Gerombolan Bidadari Sadis

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Gerombolan Bidadari Sadis Karya A. Rahman
Sonny Ogawa

Jodoh Rajawali - Gerombolan Bidadari Sadis

SATU

PERJALANAN ke Gua Mulut Iblis bukan perjalanan yang mudah. Untuk mencapai gua yang ada di lereng Gunung Tambak Petir itu harus melalui hutan yang ganas dan penuh dengan binatang buas. Selain hutan ganas juga tebing curam, ngarai, sungai berarus besar, dan yang paling berbahaya adalah melalui lumpur hidup di sebuah rawa yang luas. Itulah sebabnya jarang orang yang bisa sampai ke lereng Gunung Tambak Petir dan masuk ke Gua Mulut Iblis.

Tetapi buat Pendekar Rajawali Merah, hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sulit, dan bukan pula dianggapnya sebagai rintangan yang berbahaya. Kare-na saat itu, perjalanan Yoga ke Gua Mulut Iblis didam-pingi oleh seekor burung rajawali besar warna merah yang menjadi sahabat setianya. Burung rajawali merah itu oleh Yoga sering dipanggilnya dengan sebutan si Merah.
Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman

Di atas punggung burung besar itulah Yoga menungganginya dan dibawanya terbang ke Gunung Tambak Petir. Mereka melintasi hutan, sungai, ngarai, tebing, dan lembah-lembah liar. Sekalipun tangan Yoga yang kiri buntung sebatas siku, tetapi ia masih kelihatan gagah dan tegar dengan mengendarai burung rajawali merahnya itu. Rambutnya yang panjang meriap-riap ke belakang bagai menambah keperkasaannya.

Pada kejap berikutnya, tiba-tiba burung rajawali merah itu terbang menukik turun. Gerakan menukik itu sangat di luar dugaan Yoga, sehingga Yoga yang sejak tadi merasa heran mendengar suara kecil yang mirip rintihan dari mulut si Merah itu, sekarang menjadi bertambah heran lagi.

"Mengapa kita turun di hutan itu? Bukankah Gunung Tambak Petir masih agak jauh lagi?" seru Yoga mengajak bicara burungnya.

"Keeaak...! Kreeaak...!" burung itu bukan bersuara kecil lagi, melainkan berteriak keras dua kali. Yoga yang sangat paham dengan bahasa burung itu segera menjawab,

"Baru sekarang kau merasa lelah dalam perjalanan yang belum seberapa jauh, Merah! Ada apa dengan diri mu sebenarnya?"

Burung itu tidak mengeluarkan suaranya lagi, melainkan tetap terbang menukik, dan akhirnya mendarat di salah satu tempat yang tidak terlalu rapat pepohonannya. Sepasang cakarnya yang kokoh itu mendarat di atas gundukan tanah berumput yang lega mirip tanah lapang. Tempat itu bergunduk-gunduk tak rata, memiliki bebatuan yang sudah berlumut hijau.

Yoga segera melompat turun dan berdiri menghadap si Merah. Ia memandang sekeliling sebentar, ternyata keadaan di sekeliling terasa sangat sepi, tanpa suara satwa satu pun. Kemudian Yoga pun serukan kata kepada si Merah,

"Apa maksudmu mengajakku turun ke sini? Ini bukan lereng Gunung Tambak Petir! Mestinya kita mendarat di lereng gunung itu, di dekat Gua Mulut Iblis, karena aku harus masuk ke dalamnya dan mencari Telaga Bangkai tempat bunga Teratai Hitam berada! Aku harus segera membawa bunga itu untuk menyembuhkan Mahligai."

Burung itu mengangguk-angguk mendengar Yoga bicara bagai orang mengomel itu. Kemudian ia diam, memandangi tangan Yoga yang buntung. Pandangan mata burung itu sedikit sayu. Agaknya ia masih terharu melihat majikannya mengalami nasib semalang itu. Kepala si Merah segera didekatkan dan digosok gosokkan ke lengan yang buntung itu, seolah-olah mengusap-usap lengan itu dengan sedih.

"Kraaakk...!" suaranya tak terlalu keras, tapi Yoga tahu si Merah sedang menyatakan rasa ibanya kepada nasib Yoga.

"Sudahlah! Aku bisa menerima keadaanku seperti ini! Tak apa, Merah! Kau jangan ikut-ikutan seperti gadis-gadis cengeng itu."

"Kreeeak...! Keeekkk...! Krrreeaak...!"

Burung itu mengajaknya bicara, dan Yoga yang menguasai bahasa isyarat burung itu segera mengerti maksudnya, bahwa si Merah tidak mau dikatakan sebagai burung yang cengeng. Dia hanya merasa iba melihat ketabahan hati Yoga dalam menghadapi cacat tangannya itu, namun dia juga merasa bangga terhadap kegigihan majikannya.

"Kaaaek...! Kaaeek...!"

Setelah berseru dua kali begitu, burung rajawali merah yang besar itu melompat dalam keadaan terbang rendah. Ia hinggap di bawah sebuah pohon jati yang tumbuh dengan lurus ke atas itu, dahan dan cabangnya pendek-pendek serta daunnya hanya tumbuh di bagian pucuknya saja. Melihat burung itu bergerak ke sana, Yoga sedikit bingung mengartikan maksud si Merah. Tetapi ia segera ikut ke bawah pohon itu dalam jarak sekitar tiga tombak dari si Merah.

"Kraaeek...!" satu kali burung itu berseru, kemudian kedua kakinya melompat ke sana-sini dengan satu sayap bergerak-gerak, membentang ataupun mengibas ke sana-sini. Sayap kanan yang bergerak, sedangkan sayap yang kiri tetap terkatup diam.

Wees...! Weess...! Zraak...!

Sayap kanan itu bergerak dengan cepat dan menghantam pohon jati tersebut. Kulit pohon menjadi koyak hingga serat-serat batangnya pun tampak putus berhamburan. Kemudian si Merah melompat dan berputar berkeliling dengan cepat, setelah itu kedua cakar kakinya itu menjejak batang pohon jati tersebut secara beruntun. Gerakan cakarnya begitu cepat dan tertuju hanya satu tempat.

Tempat yang di cakarnya dengan beruntun itu pun menjadi koyak dan hampir menumbangkan pohon jati itu. Kemudian kepala si Merah merendah hampir menyentuh tanah, tapi sayap kanannya membentang dengan sentakan keras tak sampai menyentuh batang pohon tersebut. Angin yang ditimbulkan dari sentakan sayap itu sangat besar dan membuat pohon jati itu akhirnya tumbang terhempas hembusan sayap yang di kepakkan satu kali.

Bruuuss...!

"Edan burung ini!" pikir Yoga dalam kekagumannya. "Hanya tiga helaan napas ia mampu tumbangkan pohon jati itu! Rupanya dia ajarkan jurus baru padaku. Dan jurus barunya itu hanya menggunakan satu sayap, berarti dia ajarkan jurus baru padaku dengan gunakan satu tangan."

"Kaaakk... kreeahk...!"

"Kau minta aku mencoba jurus itu?" "Kaaak...!" si Merah mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Baik. Tapi lebih dulu aku ingin tahu, dari mana kau bisa mainkan jurus itu?"

"Kak, kak, kak, kaaaaak...!"

"O, dari Eyang Guru Dewa Geledek?! Jadi pada saat mendiang Dewa Geledek berlatih menggunakan jurus itu, kau memperhatikannya?"

"Kaaak...!" si Merah kembali anggukkan kepalanya.

Yoga tersenyum bangga. "Kau memang burung yang cerdas, Merah! Banyak sekali jurus-jurus milik Guru Dewa Geledek bisa kau tirukan! Kalau kau seorang manusia, kau pasti lebih hebat dariku!"

"Keaak.. keaak...!" si Merah gelengkan kepala.

Yoga memberi nama jurus itu sebagai jurus 'Kepak Sayap Tunggal'. Ketika ia mencobanya, terbukti kehebatan dari jurus 'Kepak Sayap Tunggal' tersebut. Selanjutnya, si Merah ternyata banyak berikan jurus-jurus yang belum dimiliki oleh Yoga, yaitu jurus yang gunakan satu sayap alias satu tangan.

Rupanya si Merah sengaja membawa Yoga mendarat di tempat itu untuk ajarkan jurus baru yang menggunakan satu tangan. Burung cerdik itu ternyata tahu betul tentang kebutuhan majikannya dalam keadaan bertangan satu. Sedangkan sang Majikan ternyata amat menggemari jurus-jurus si Merah, sehingga mereka pun akhirnya bermalam di hutan itu hanya untuk pelajari jurus-jurus baru bertangan satu.

Pada waktu istirahat dan tidur, burung rajawali besar itu merendahkan badannya ke tanah, lalu satu sayapnya sedikit mengembang. Sayap itulah yang dipakai bernaung oleh Yoga. Pendekar tampan bertangan buntung itu tidur berselimutkan sayap sang rajawali. Seolah-olah burung besar itu menjaga dan melindungi majikannya yang sedang tidur dengan nyenyak, agar jangan sampai ada yang mengganggunya.

Di ujung pagi, Yoga dikejutkan oleh suara lembut yang bernada mendesis. Ia terbangun dari tidurnya, dan ternyata seekor ular sebesar betis yang cukup panjang sedang merayap mendekatinya. Baru kini Yoga temukan suara satwa di hutan yang sepi itu, dan satwa itu sekarang sedang mengincar serta ingin memangsanya.

Tetapi Rajawali Merah berparuh besar itu mengerang panjang dan menampakkan wajah marahnya. Ketika Yoga keluar dari bawah sayapnya, si Merah segera melompat menyerang ular sebesar betis itu. Gerakannya begitu cepat, paruhnya seakan ingin menyambar kepala ular itu, tapi ternyata si Merah berjungkir balik dan menghantamkan kedua kakinya secara beruntun di kepala ular tersebut. Pada waktu itu, sang ular bermaksud ingin melompat untuk mematuk leher rajawali. Tapi ular itu kecele, ternyata justru kepalanya yang kena dua kali hantaman cakar tajam si rajawali dengan kuat.

Crak, craak...! Zzzrrr...!

Pada saat ular terpental dalam keadaan kepalanya hampir remuk, Yoga menggumam kata dalam hatinya, "Hmm...! Jurus 'Rajawali Menipu Naga'! Kurasa nama jurus itu sangat cocok dengan gerakan si Merah tadi..!"

Yoga ingin melanjutkan ucapan batinnya, tapi ia terbungkam seketika ketika melihat ular berkepala hampir remuk itu masih bisa menyambar ke arah si Merah. Tetapi si Merah segera kibaskan sayap kanannya yang membentang dengan sentakan keras dan ular itu terpental akibat angin kibasan tersebut. Bahkan kepalanya menjadi hancur sebelum jatuh di bawah sebuah pohon.

"Hebat!" kata Yoga pelan, seperti ditujukan pada diri sendiri. "Jurus yang terakhir itu lebih pantas dinamakan jurus 'Sayap Gempur'!"

"Kaaak...! Kreaaak...!" si Merah bentangkan sayap kanannya lebar-lebar dan bergerak-gerak kecil seakan merasa bangga atas kemenangannya. Yoga pun tertawa sambil mendekatinya dan segera mengusap-usap dada si Merah sambil berkata,

"Hebat, hebat...! Aku pun akan mempelajari kedua jurusmu itu!"

"Kaak...!" si Merah mengangguk-angguk seolah mendukung niat Yoga yang akan mempelajari kedua jurus tersebut. Dan ternyata si Merah benar-benar membimbing majikannya untuk pelajari kedua jurus itu dengan sesekali menggeram jengkel jika Yoga lakukan kesalahan.

Pagi mulai merayap menuju siang, dan matahari pancarkan sinar panasnya yang cukup menyengat kulit. Memang belum seberapa tinggi, namun sinar panas matahari yang baik untuk kesehatan tubuh itu sudah terasa menyengat. Sebenarnya Yoga belum ingin berhenti mempelajari jurus-jurus dari si Merah, tetapi agaknya memang ada sesuatu yang membuatnya terpaksa berhenti.

Di kejauhan sana, Yoga melihat sesosok tubuh manusia berlari dalam keadaan limbung sana limbung sini. Orang tersebut bahkan sesekali tampak jatuh tersungkur, lalu bangkit lagi dan berlari kembali. Lari orang itu tak terlalu cepat, bahkan berkesan lemah. Hal itulah yang mengundang perhatian Yoga, sehingga Yoga berkata kepada si Merah,

"Merah, pergilah dulu! Aku ingin mendekati orang itu! Kelihatannya ia diburu oleh sesuatu yang amat ditakuti!"

"Kaaak...!" si Merah mengangguk, kejap berikutnya ia melompat terbang dengan menyibakkan dedaunan pohon akibat kepak sayapnya.

Orang yang berlari itu agaknya tidak menghiraukan bahwa dalam jarak tak seberapa jauh darinya itu ada orang lain yang memandanginya. Orang tersebut juga tidak tahu kalau Yoga berlari memotong arah melalui kerimbunan semak yang diterabasnya. Karena itu, orang tersebut terpekik kaget dan berhenti langkahnya ketika tahu Yoga sudah berada di depannya, bagaikan menghadang langkahnya.

"Aam... ammm... ampuuun...! Jangan pakai saya lagi! Ampun!" ratap lelaki kurus itu sambil bersu-jud di tanah di depan Yoga.

"Apa maksud kata-katamu itu, Sobat?!" tanya Yoga dengan dahi berkerut heran.

Orang itu menunduk dengan kaki bersimpuh dan tubuh gemetar. Wajahnya pucat pasi, bibirnya sedikit membiru. Ia masih dilanda ketakutan yang begitu mencekam jiwanya.

"Ssa... saya sudah tak mampu lagi! Saya tidak kuat, Nyai!" ucapnya sambil menunduk dengan napas terengah-engah. Ia bagaikan tak berani dongakkan kepala menatap Yoga.

Mendengar orang itu menyebutnya Nyai, Yoga semakin berkerut dahi dan merasa heran. Segera ia mengetahui bahwa orang itu salah sangka terhadapnya. Maka, Yoga pun membungkuk dan memegang lengan orang berpakaian abu-abu itu,

"Bangun! Berdirilah...! Aku bukan Nyai. Aku seorang lelaki, sama sepertimu juga!"

Orang itu segera mendongakkan wajah, dan memandangi Yoga yang mengenakan baju selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya dengan mata sedikit menyipit dan dahi berkerut tajam. Beberapa saat kemudian, agaknya ia segera menyadari bahwa yang ada didepannya itu memang seorang pemuda, bukan seorang wanita seperti sangkanya tadi.

Maka orang tersebut segera bangkit dengan tubuh lemas dan sedikit sem-poyongan. Ketika ia ingin limbung jatuh, Yoga segera menangkapnya dan membimbingnya berjalan ke ba-wah sebuah pohon. Di sana ada batu yang bisa dipakai untuk duduk berukuran setinggi paha. Di sanalah Yo-ga menyuruh orang itu duduk dan menenangkan diri.

"Tenangkan dulu dirimu. Istirahatlah dulu. Nafasmu sangat memburu begitu, jika tak kau tenangkan bisa putus mendadak!"

Orang itu sesekali memandang cemas ke arah tempat datangnya. Yoga mengerti, pasti ada orang yang mengejar si lelaki kurus itu. Karenanya, Yoga segera bertanya kepada lelaki yang juga berwajah pucat pasi itu,

"Siapa namamu, Sobat?"

"Nnna... na... namaku; Tayon!"

"Kau dikejar seseorang?"

Tayon mengangguk. Yoga memandanginya lebih cermat lagi. Ia baru tahu bahwa pergelangan tangan orang itu terluka bagaikan robek dalam bentuk melingkar. "Kenapa tanganmu, Tayon?" tanya Yoga sambil meraih tangan itu dan memandangi luka di pergelangannya.

Tayon tidak menjawab, namun ia segera membuka bajunya, dan Yoga terkejut melihat punggung Tayon menderita banyak luka membiru bagaikan bekas cambukan keji. Luka membiru itu ada yang mem-buat kulit tubuh koyak dan berdarah, namun sudah kering. Luka yang berdarah kering itu ada yang melilit sampai ke perut dan pinggang, bahkan ada luka memar menggores di dada kanannya.

Mata Yoga tak berkedip memandangi bilur-bilur di tubuh Tayon. Dalam hatinya, Yoga hanya berkata dalam nada keluh, "Kasihan sekali dia! Rupanya dia habis dicambuk oleh seseorang. Entah siapa orang yang begitu keji terhadapnya, dan entah mengapa ia dicambuk! Tapi agaknya, keadaan tubuhnya menjadi rusak akibat cambuk itu beracun. Bilur-bilur birunya membentuk warna memecah lebar, seakan tiap cambukan punya racun yang meresap ke darah dan bergerak menyebar di bawah kulit."

Lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu berkata di sela sisa engahan nafasnya yang masih belum terkendali, "Mereka menyiksaku! Mereka mencambuk ku tanpa belas kasihan lagi. Dan ketika aku berhasil melarikan diri, salah satu mengejarku! Aku sempat ber-temu dengannya, lalu dicambuknya lagi. Aku menang-kis dengan tanganku, tapi cambuknya merobek perge-langan tangan ku ini!"

"Siapa mereka itu?"

"Para bidadari!"

Mata Yoga terkesiap. Mata itu makin tajam memandang Tayon. Tanpa diminta, Tayon sudah men-gerti maksud Yoga dan segera ia jelaskan jawabannya tadi,

"Mereka para wanita sadis dan liar! Aku diculiknya ketika kapal ku merapat di pantai sebelah utara. Dulu, badanku tak sekurus ini...," suaranya mendadak menjadi pelan dan lemah. Matanya mulai sayu seperti orang mengantuk. Tapi ia tetap bicara,

"Dulu... badanku segar... kuat dan berotot seperti... kamu. Tapi sejak aku disekap di dalam gua itu oleh para bidadari sadis, badanku menjadi kurus begini dan... dan... tubuhku sangat lemah. Mereka menyekapku di dalam gua itu hampir satu bulan penuh. Dan... baru sekarang aku... punya kesempatan untuk lari...."

"Tayon...!" sergah Yoga dengan satu sentakan, karena wajah Tayon semakin memutih, suaranya kian lemah dan matanya bertambah kecil, seakan tak kuat lagi untuk terbuka lebih lebar lagi. Tapi orang beram-but pendek itu masih teruskan bicaranya,

"Jika kau... bertemu dengan mereka... cepatlah lari. Jang... jangan... jangan sampai kau dibawanya ke gua itu. Kau akan menjadi seperti... aku ini...."

"Gua apa maksudmu?"

"Gua.... Gua.... Bidadari!"

Yoga makin berkerut dahi ketika menggumamkan kata, "Gua Bidadari?" Sebab, sepertinya ia pernah mendengar nama itu. Setelah diingatnya sejenak, barulah ia tahu bahwa Gua Bidadari dulu pernah disebutkan oleh Sendang Suci, si Tabib Perawan itu, yang dikatakan sebagai gua tempat bersarangnya wanita-wanita liar. Menurut penjelasan Sendang Suci, gua tersebut diisi oleh banyak wanita cantik yang berilmu tinggi dan berjiwa sadis (Baca episode: "Misteri Topeng Merah").

Terdengar kembali suara Tayon yang semakin lirih dengan tubuh bersandar pada batang pohon, lemah dan tak bertenaga lagi, "Salah seorang... dari mereka... sedang mengejar ku. Ia bernama... Dewi Sukesi! Ganas... kej... kejam dan...."

Hanya sampai di situ Tayon bicara. Mata Yoga kembali terkesiap curiga. Ia memanggil orang kurus itu. Tapi tidak ada jawaban. Ia mengguncang-guncang tubuhnya, tapi tidak ada gerakan lain. Tayon pejamkan mata dengan mulut sedikit ternganga. Setelah Yoga memeriksanya, ternyata mulut itulah yang tadi dipakai menghembuskan napas terakhir. Tayon mati dalam keadaan lemas. Yoga berkata heran di hati,

"Begitu beratkah penderitaannya, sehingga membuat jiwanya tak tertolong lagi? Oh, tapi... bilur-bilur di perut dan dadanya itu telah melebar. Tadi tidak sebegini lebar?!"

Yoga penasaran, maka diperiksanya bagian punggung Tayon, ternyata sekujur punggung menjadi biru akibat pelebaran luka dan bilur-bilur bekas cambukan. Tak salah, bahwa cambuk orang yang bernama Dewi Sukesi itu memang beracun membahayakan. Tayon sendiri bukan orang berilmu tinggi. Bahkan mungkin pula ia tidak berilmu, sehingga tubuhnya tak kuat menerima racun cambuk tersebut.

"Kasihan sekali orang ini! Seharusnya aku tadi jangan dengarkan dulu ceritanya, melainkan cepat mencoba sembuhkan dia dengan menggunakan hawa murni ku dulu, setelah itu baru mendengarkan ceritanya! Ah, salah aku! Mestinya aku tadi segera menolong dia!"

Yoga menyesal dalam hatinya. Namun sekarang keadaan sudah telanjur seperti itu. Pendekar Rajawali Merah hanya bisa pandangi jenazah Tayon yang terkulai bersandar di batang pohon.

Namun tiba-tiba, Pendekar Rajawali Merah segera lompat dan berguling ke tanah ketika ia merasakan ada angin aneh bergerak mendekati bagian belakangnya. Wuuust...! Yoga berguling dengan langsung sentakkan pinggulnya, sehingga ia tahu-tahu sudah berdiri lagi dan memandang ke arah belakangnya. Ternyata di sana sudah berdiri seorang gadis cantik berpakaian merah dengan pedang di pinggang.

"Ooo... orang ini yang bernama Dewi Sukesi?!" pikir Yoga.

DUA

MATA bening gadis berpakaian merah yang mengenakan kain semacam jubah tanpa lengan berwarna kuning dan panjangnya sampai lutut itu, memandang tajam kepada Yoga. Ia agak curiga dalam tatapan matanya, setelah itu baru menatap mayat Tayon. Kini pandangan matanya menjadi sedikit menyipit heran.

"Tayon...?!" gumamnya lirih sekali.

Yoga tak mau diserang lebih dulu, karena ia ingat pesan Tayon, bahwa wanita yang mengejarnya itu kejam dan ganas. Karena itu, Yoga segera sentakkan kakinya ke tanah dan melentinglah tubuhnya ke udara dan bersalto satu kali. Kakinya menendang wajah gadis cantik berhidung mancung itu dengan gerakan cepat.

Wuuut...! Plaaak...!

Gadis itu mampu menangkis tendangan kaki Pendekar Rajawali Merah. Tapi setelah itu ia terhuyung-huyung ke belakang dan menggenggam lengan kirinya yang dipakai menangkis. Dalam hati gadis itu ia berkata penuh gerutuan, "Sial! Kurang ajar betul dia! Tendangannya membuat tulangku bagaikan tertindih besi besar dan mungkin luka bagian dalamnya! Tendangan ringan begitu sudah bisa membuat tulangku terasa sakit, jika bukan yang berilmu tinggi, tak mungkin aku merasakan sakitnya sampai ke tulang belakang!"

Pendekar Rajawali Merah tidak menyerangnya lagi, karena ketika ia pancing dengan berdiri tegak dan diam saja, ternyata gadis itu tidak membalas serangannya. Gadis itu bahkan bertanya dengan suara bernada menghardik,

"Mengapa kau menyerangku. hah?!"

"Karena aku tak ingin kau serang aku seperti Tayon, Dewi Sukesi!" jawab Yoga, sengaja sambil ter-senyum supaya kelihatan tenang dan meremehkan gadis itu.

"Siapa Dewi Sukesi itu? Apakah dia kekasihmu?"

"Hmm...! Jangan berlagak bodoh, Dewi Sukesi!"

Tampak alis mata yang tebal tapi tak terlalu lebar dan berbentuk sangat indah itu mengernyit sedikit. Gadis itu kelihatan heran mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Merah. Dalam hatinya ia berkata dengan mata tetap memandang Yoga,

"Tampan sekali dia! Sayang dia tak menunjukkan sikap ramah padaku?! Padahal dia punya senyum yang ramah dan bisa menjadi lebih menarik lagi jika tidak memusuhi ku! Hmm... siapa orang bertangan buntung sebelah itu? Mengapa tangannya yang hanya satu itu tidak membuatnya berkurang dari ketampanannya? Ia bahkan kelihatan gagah!"

Yoga tahu bahwa gadis itu sedang membatin perihal dirinya. Yoga sengaja biarkan beberapa saat, setelah itu baru berkata dengan nada tegas, "Kau tak akan bisa membuatku seperti Tayon, Dewi Sukesi!"

"Aku bukan Dewi Sukesi, Bodoh!" bentak gadis itu dengan mata indahnya yang dilebarkan. "Namaku Kencana Ratih! Aku tak kenal siapa itu Dewi Sukesi! Jangan sebut-sebut nama kekasihmu di depanku!"

Wajah ketus gadis itu dipamerkan di depan Yoga. Pendekar Rajawali Merah hanya tertegun beberapa saat. Hasrat memusuhinya mulai mengendur, dan ia pun bertanya, "Betulkah namamu Kencana Ratih?!"

"Ya!" jawabnya tegas. Ia melangkah dua tindak. Wajahnya tampak berani menentang pandangan mata Yoga yang masih kurang percaya itu. Kemudian ia berkata sambil melirik Tayon.

"Aku memang kenal dengan orang itu! Dia seorang awak kapal yang sering memuat rempah-rempah. Tapi aku tidak tahu kalau dia ada di sini. Setahuku dia sudah ikut berlayar kembali dengan kapalnya beberapa waktu yang lalu!"

"Dia sudah mati!" kata Yoga singkat.

Kencana Ratih terkesiap, lalu melangkah mendekati mayat Tayon dan memeriksanya. Setelah yakin betul bahwa Tayon sudah tidak bernapas lagi, Kencana Ratih berpaling memandang Yoga dan bertanya dengan nada menuduh,

"Mengapa kau membunuhnya?"

"Bukan aku yang membunuhnya!" jawab Yoga. "Dia datang kemari dalam keadaan sudah terluka cambuk yang beracun. Dia menceritakan pelariannya dari Gua Bidadari dan..."

"Gua Bidadari?!" sergah Kencana Ratih sambil maju dekati Yoga dua tindak. Matanya lebih tajam memandang mata Yoga.

"Menurut pengakuannya, dia dihukum cambuk di sana! Hampir satu bulan dia ada di dalam gua itu dan baru sekarang bisa melarikan diri, walau tetap dalam pengejaran...."

"Pantas!" ucap Kencana Ratih sambil memandang mayat Tayon. "Pantas sekali tubuhnya menjadi sekurus itu!"

"Dan dia sebutkan nama pengejarnya adalah Dewi Sukesi! Kusangka kaulah orangnya yang bernama Dewi Sukesi!"

"Matamu terlalu buta untuk memandang seseorang, dan tak bisa bedakan mana orang jahat dan mana orang baik!"

"Maafkan aku!"

"Justru aku sedang mencari tempat itu! Aku ingin datang ke Gua Bidadari dan membantai habis mereka jika memang itu perlu!" kata Kencana Ratih dengan air muka penuh kesungguhan. Pandangan matanya yang menyipit itu tampak mencerminkan segenggam dendam yang sedang ditahannya. Bibirnya yang tidak terlalu kecil namun berbentuk indah menyegarkan itu tampak cemberut keras karena hawa murkanya tertahan.

Kesungguhan yang terbentang di wajah cantik bertubuh sekal itu membuat Yoga percaya dengan apa yang dikatakan Kencana Ratih, kemudian Yoga pun berkata dengan tanpa nada permusuhan lagi,

"Kalau boleh ku ingatkan, jangan datang ke Gua Bidadari. Penghuni gua itu rata-rata berilmu tinggi. Seorang sahabatku pernah mengatakan hal itu, juga menurut keterangan Tayon sebelum ia meninggal, juga begitu!"

"Aku tak peduli apakah mereka berilmu tinggi atau tidak, tapi aku tetap harus ke sana!"

"Mengapa harus?"

"Karena mereka telah menculik kakakku yang bernama Aditya!"

"Apa kau melihatnya sendiri bahwa orang-orang penghuni gua itu yang menculiknya? Jangan-jangan bukan mereka, sehingga kau hanya cari mati saja datang ke sana!"

Kencana Ratih memandang dengan sedikit mata menyipit. Rupanya ia tak suka direndahkan dan dianggap sebagai orang yang tidak cermat dalam bertindak. Dengan nada sedikit ketus ia bertanya, "Siapa kau sebenarnya, sehingga berani-beraninya menganggapku sebagai orang bodoh?"

Yoga sunggingkan senyumnya dengan tenang. "Maaf, aku tidak menganggapmu bodoh. Hmmm... namaku Yoga, dan aku orang yang paling menyayangkan tindakan gegabah seseorang yang sebenarnya kuanggap cantik di mataku!"

"Jangan bicara soal cantik!" sergah Kencana Ratih, karena hatinya berdebar gelisah ketika disebut cantik. Yoga semakin sunggingkan senyumannya, dan hati Kencana Ratih bertambah berdebar-debar.

"Ku sarankan agar niatmu datang ke sana benar-benar diperhitungkan! Jangan sampai kau tetap kehilangan kakakmu, namun nyawamu sendiri jadi ikut hilang juga!"

"Pertimbangan ku tidak sedangkal pertimbangan mu, Yoga! Kau tak perlu memberi ku saran begitu, karena kau bukan penasihat ku!"

"Baik. Itu terserah kamu!" kata Yoga sambil mengangkat kedua pundaknya tanda pasrah. Sementara itu, Kencana Ratih masih tetap memandangnya dengan mulut membisu. Kejap berikutnya ia melengos dan mulai melangkah meninggalkan Yoga tanpa ragu-ragu.

Baru mendapat empat langkah, tiba-tiba Yoga dan Kencana Ratih sama-sama melihat sekelebat bayangan berwarna hitam, berlari meninggalkan semak-semak. Dalam pikiran Kencana Ratih langsung menduga bayangan hitam itu tak lain adalah pakaian dari seorang mata-mata dari Gua Bidadari yang rupanya sejak tadi mengintai percakapannya dengan Yoga.

Maka, Kencana Ratih pun berseru, "Hei, berhenti!" dan ia pun berlari mengejar orang berpakaian hitam itu.

Pada dasarnya Yoga hanya ingin tahu, siapa yang dikejar Kencana Ratih itu. Karenanya, Yoga pun cepat larikan diri memburu Kencana Ratih namun tidak mau mendahului langkah gadis cantik itu.

Orang berpakaian serba hitam dan mengenakan ikat kepala kuning itu tiba-tiba terjungkal dari larinya ketika Kencana Ratih berhenti melangkah dan sentakkan satu tangannya ke depan. Orang berpakaian serba hitam itu terkena pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh Kencana Ratih. Tubuhnya menukik mencium tanah dengan berguling-guling beberapa kali dan akhirnya tersandar di akar pohon besar.

"Uuhg...!" orang itu mengeluh kesakitan, wajahnya berlumur tanah basah. Ia berusaha bangkit ketika Kencana Ratih tiba di tempatnya, tak lama kemudian Yoga pun sampai di situ. Kencana Ratih segera cabut pedang nya. Sraaang...! Dan pedang itu siap dikibaskan memenggal kepala orang berpakaian hitam. Taab...! Ternyata tangan Yoga menahan gerakan tangan Kencana Ratih yang ingin lepaskan tebasan pedang.

"Lepaskan tanganmu!" sentak Kencana Ratih kepada Yoga.

"Jangan mudah memenggal orang! Tanya dulu salahnya!"

Geram dan gemas hati Kencana Ratih terhadap lagak Yoga yang sering menasihatinya itu. Ia hanya mengeluarkan gumam menyentak satu kali, lalu mengendurkan urat tangannya.

Orang berpakaian hitam itu ternyata seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya kurus dan matanya agak sipit. Orang itu mempunyai kumis sedikit melengkung ke bawah dan hidungnya agak pesek. Ia menyandang golok di pinggangnya, dan mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Rambutnya lurus, panjang sepundak, diikat dengan kain warna kuning.

Orang itu menangis sambil memegangi pinggangnya. Sesekali ia menyapu wajahnya yang terkena tanah basah. Tangisnya terisak-isak seperti anak kecil yang jatuh tersungkur.

Yoga dan Kencana Ratih sama-sama memendam keheranan melihat orang berkumis itu menangis sungguh-sungguh. Dengan suara pelan Yoga bertanya kepada Kencana Ratih, "Mengapa kau ingin membunuhnya?"

Dengan suara keras Kencana Ratih menjawab, "Karena dia ternyata sejak tadi mencuri dengar percakapan kita! Aku yakin dia pasti mata-mata dari pihak Partai Gadis Pujaan!"

Orang itu menyahut, "Bukan! Aku bukan mata-mata!" sambil suara tangisnya terdengar meraung lirih. Ia mengusap air matanya dengan lengan, namun masih menampakkan wajah jengkel kepada Kencana Ratih.

"Jangan seenaknya menuduhku sebagai mata-mata! Huk, huk, huk...! Aku orang baik-baik! Aku bukan mata-matanya Partai Gadis Pujaan! Kalian jahat! Kalian menyerang orang tak bersalah! Kejam! Oh, kejamnya kalian...! Huuu... huuu...!" tangisnya makin bertambah keras lagi.

Dalam hati Kencana Ratih dan Yoga sebenarnya sama-sama ingin tertawa melihat orang berkumis menangis sekeras itu. Kencana Ratih menyarungkan kembali pedangnya pada saat Pendekar Rajawali Merah mendekati orang itu dan menepuk-nepuk pundaknya.

"Sudahlah! Maafkan temanku ini yang tadi menyerangmu! Diamlah, jangan menangis begitu, seperti anak kecil saja! Malu kalau dilihat orang lain!"

"Biar saja!" sentaknya di sela tangis. "Aku menangis pakai mulutku sendiri, pakai air mataku sendiri, pakai perasaanku sendiri, mengapa kau melarangku?!" Orang itu kibaskan pundaknya. Ia bergerak menjauhi Yoga.

Suara keras terdengar dari mulut Kencana Ratih, "Kalau kau bukan mata-mata dari Gua Bidadari itu, mengapa kau mengintip kami?!"

"Aku tidak mengintip!" sanggahnya lagi di sela tangis. "Aku hanya ingin melihat orang bermesraan!"

"Kami tidak bermesraan!" kata Yoga.

"Ya sudah! Aku juga tidak salahkan kalian!" sentak orang berpakaian hitam itu.

Kencana Ratih berkata, "Kurasa dia hanya pura-pura menangis! Kepura-puraannya itu dimaksudkan agar kita tidak curiga padanya, bahwa dia adalah mata-mata Partai Gadis Pujaan yang bersarang di Gua Bidadari itu!"

"Bohong! Bohong!" sanggahnya, benar-benar seperti bocah kecil yang sedang bertengkar dengan temannya. Suara raung tangis masih memenuhi hutan sepi itu.

Yoga mendekati Kencana Ratih dan bicara pelan dengan gadis itu, "Biarkan dia berhenti dulu dari tangisnya, setelah itu baru kita selidiki kebenaran tentang dirinya. Kurasa dia orang aneh!"

"Dia hanya berlagak aneh!" kata Kencana Ratih dengan ketus.

"Kalau dia berlagak aneh, kita bisa tahu juga nantinya! Karena itu, jangan dulu kau ajak bertengkar! Biarkan dia beberkan sendiri kepura-puraannya dengan sikap baik kita, kalau toh memang dia hanya berpura-pura aneh!"

"Lama-lama aku muak padamu! Terlalu banyak memberi nasihat seperti nenek cerewet!"

Yoga tertawa pelan. Kemudian ia berpaling memandang orang berikat kepala kuning itu, "Siapa namamu, Sobat?"

Orang itu reda dari tangisnya setelah Yoga menyapa dengan ramah. Tapi sisa isaknya masih ada. Beberapa saat kemudian, orang itu menjawab dengan suara pelan, "Namaku Bujang Lola!"

"Apakah tidak sebaiknya diganti: Manusia Cengeng saja?!" sela Kencana Ratih.

Orang yang mengaku bernama Bujang Lola itu membentak sambil mau menangis lagi, "Tidak! Aku tidak mau punya nama Manusia Cengeng! Aku bukan manusia cengeng!" Padahal waktu itu ia ingin menangis lagi. Tapi oleh Yoga segera dihibur dengan kalimat kata sanjungan,

"Namamu itu bagus sekali, Bujang Lola! Tak pantas nama sebagus itu dimiliki oleh orang yang suka menangis."

"Aku tidak menangis!" sanggahnya lagi dengan tangis yang tertahan. "Aku hanya merasa sedih, mengapa ada orang yang menganggapku cengeng! Padahal aku terpilih menjadi pengawal Eyang Guru. Itu berarti aku orang perkasa! Pantas dengan nama Bujang Lola, sebab aku sampai sekarang masih bujangan, belum pernah menikah dan belum pernah bercinta!"

"Siapa gurumu?"

"Leak Parang!"

"Apa...?!" Kencana Ratih terkejut, ia mendekati Bujang Lola dan berkata dengan nada keras, "Jangan lagi kau mengaku-aku murid Leak Parang! Dia adalah paman ku!"

"Aku memang murid Leak Parang!" sentak Bujang Lola dengan nada memelas.

"Bohong!"

"Betul...! Betul...!" Bujang Lola mencucurkan air mata lagi. "Aku betul murid Leak Parang, kenapa kau tidak percaya...? Jahat sekali kau, Perempuan Jelek! Huuu... huuu...!"

Yoga menarik napas, tapi tangannya juga menarik lengan Kencana Ratih agar mundur dari hadapan Bujang Lola. Yoga tampak menahan jengkel kepada Kencana Ratih. Gadis itu hanya menatapnya, lalu cepat melengos sambil sentakkan lengan yang digeng-gam Yoga, dan ia berkata dengan memunggungi Yoga serta Bujang Lola,

"Paman Leak Parang tidak punya murid secengeng dia! Beliau hanya mempunyai sepasang murid, yang sekarang sudah berkelana entah ke mana! Paman ku tidak pernah mengangkat murid lagi sejak sepasang muridnya itu selesaikan pelajarannya!"

"Tapi... tapi... kalau ke mana-mana, Leak Parang selalu mengajakku! Kalau butuh apa-apa, Leak Parang selalu menyuruhku! Kalau tak percaya, tanyakan saja pada Guru Leak Parang di pertapaannya!" kata Bujang Lola sambil sesenggukan.

"Itu namanya kau pelayannya!" bentak Kencana Ratih.

"Aku muridnya!" Bujang Lola ganti membentak.

"Pelayan!"

"Murid!" seru Bujang Lola. "Aku muridnya Eyang Guru Leak Parang! Muridnya...! Muridnya...! Huuu... huuu...!"

"Ya, ya, ya... muridnya! Kau muridnya!" seru Yoga dengan nada kesal hati. Ia membujuk Bujang Lola agar berhenti menangis. Setelah orang aneh itu berhenti menangis dan Kencana Ratih tidak ajukan sang-gahan apa pun, Yoga bertanya kepada Bujang Lola, "Lalu, apa maksudmu tadi mengintai kami dari semak-semak?"

"Sudah kubilang, aku tadi menyangka kalian sedang bermesraan! Aku kepingin melihatnya. Ternyata kalian bukan bermesraan. Maka aku pun pergi!" Bujang Lola berkata dengan bersungut-sungut, mulutnya cemberut seperti anak kecil yang sedang sewot.

"Bujang Lola, aku percaya kau murid Leak Parang," kata Yoga. "Tapi tentunya sebagai murid Leak Parang, kau pasti harus mempunyai kejujuran. Aku merasa jawabanmu itu belum jujur. Ayo, bicaralah jujur supaya gurumu tidak malu kepada dunia karena memiliki murid yang tidak jujur. Bicaralah jujur supaya gurumu bangga terhadap siapa saja, Bujang Lola."

Orang itu diam sebentar, matanya melirik Kencana Ratih dengan curiga, kemudian menundukkan wajah dan berkata pelan, "Aku ingin membunuh perempuan itu!"

Kencana Ratih terkejut. "Apa...?! Kau ingin membunuhku?!" Kencana Ratih mau mencabut pedangnya, tapi Yoga memberi isyarat dengan tangan dan berkata kepada Bujang Lola,

"Mengapa kau ingin membunuhnya?"

"Karena... karena dia orang Partai Gadis Pujaan! Dia salah satu penghuni Gua Bidadari itu!"

"Jahanam kau! Menyebar fitnah seenaknya!"

Sret...! Pedang dicabut oleh Kencana Ratih yang wajahnya menjadi merah padam karena marah. Bujang Lola pun mencabut goloknya dari pinggang. Sreet...!

"Kau memang orang dari sana!" tuduh Bujang Lola dengan keras. Tangannya memegang golok, siap untuk melakukan serangan, tapi matanya masih basah dan mencucurkan air mata.

"Kubunuh kau berani memfitnahku begitu, Bujang Cengeng! Heah!"

"Tahan!" bentak Yoga yang segera berdiri di depan Kencana Ratih.

Tapi gadis itu semakin geram dan matanya mendelik ketika berkata keras kepada Yoga, "Dia memfitnahku! Dia menuduhku orang Partai Gadis Pujaan! Aku tidak terima dan sakit hati dengan fitnahan itu. Yoga!"

"Tenanglah," bisik Yoga dengan memberi isyarat kedipan mata.

Kencana Ratih geram dan denguskan napas kesalnya. Pedang yang sudah diangkat diturunkan dalam satu sentakan dongkol. Lagi-lagi ia tak sampai hati untuk menyerang ataupun menampar wajah pendekar tampan itu. Gemas ia pada dirinya sendiri.

Bujang Lola mulai mau menangis lagi karena merasa mau dibunuh. Ia pun siap menghadapi serangan Kencana Ratih walau air matanya sudah mencucur dan bibirnya mulai bergerak-gerak.

Yoga bertanya kepada Bujang Lola, "Dari mana kau tahu kalau Kencana Ratih adalah orang Gua Bidadari?"

"Empat bulan aku... aku tersekap di sana! Aku kenal betul wajah-wajah mereka yang memeras darahku, memeras keringat ku, dan menghisap madu ku seenaknya sendiri! Aku benci sekali dengan mereka! Maka aku bertekad ingin membunuh mereka kapan saja aku bertemu!" Bujang Lola mengisak dalam tangisan. Yoga dalam kebimbangan yang meragukan.

TIGA

SATU bulan yang lalu, Bujang Lola berhasil melarikan diri dari sekapan para bidadari liar itu. Selama empat bulan lamanya Bujang Lola dijadikan sapi perahan dan budak nafsu para bidadari sadis. Rupanya perempuan-perempuan di dalam gua itu menganut satu ilmu beraliran sesat. Mereka memperkuat ketahanan tubuhnya, memperbesar tenaganya, dan mempertinggi ilmunya dengan menggunakan cara menyerap tenaga lelaki yang di cumbunya.

Menurut penuturan Bujang Lola yang mengaku belum pernah bercinta dengan perempuan mana pun itu, para bidadari liar tersebut mempunyai aliran kepercayaan yang disebut ilmu 'Karang Jantan'. Ilmu itu akan membuat tubuh mereka menjadi alot, kuat seperti lelaki dan bertenaga besar melebihi raksasa pria.

Tenaga dalam yang dihimpun dari ilmu 'Karang Jantan' mampu membuat setiap sentakan anggota tubuh apa pun dapat menghancurkan benda sekeras baja. Satu-satunya orang yang telah menguasai ilmu 'Karang Jantan' adalah Ketua Partai Gadis Pujaan yang bergelar Bidadari Manja.

"Kekuatan lelaki yang terhisap oleh mereka pada saat bercinta, membuat satu kumpulan tenaga inti yang ditampung dalam hawa murni mereka. Semakin banyak tenaga inti yang tertampung, semakin besar getaran tenaga dalam yang dipadatkan dalam tiap denyut nadi dan darah mereka," tutur Bujang Lola, kali ini tidak sambil menangis.

"Mereka memeras ku setiap saat, dan hampir-hampir aku tidak punya waktu untuk beristirahat! Mereka mencekoki ku dengan semacam obat yang dilarutkan dalam minuman, membuatku tetap bisa digunakan oleh mereka sewaktu-waktu! Badan ku dulu tidak sekurus ini. Badanku sekekar kamu, Yoga! Tapi akibat diperas terus oleh mereka, kekuatanku, tenagaku, raga ku, bagaikan dikikis habis dalam waktu empat bulan! Aku baru bisa tegak berdiri kira-kira dua pekan ini! Pada mulanya aku tak bisa tegak berdiri dan lutut ku selalu gemetaran, urat-urat ku terasa lemas semua. Aku... aku sangat menderita selama di sana...," Bujang Lola mulai bergenang air mata lagi, mau menangis. Katanya lagi,

"Salah satu orang yang sering menyerap tenagaku habis-habisan, baik siang maupun malam adalah dia!" Bujang Lola menuding Kencana Ratih.

Wajah gadis itu kian memerah dan geramnya terdengar kuat. "Bujang Cengeng, kalau memang benar kau menganggapku adalah salah satu dari mereka, baiklah...! Kita tentukan siapa yang mati, kau atau aku! Dan aku tak akan gentar walau Yoga ada di pihakmu! Lebih baik aku mati daripada harus menerima tuduhan seperti itu! Selain merendahkan martabat ku, harga diriku pun tidak ada di mata kalian! Lekas cabut senjata kalian!" sentak Kencana Ratih yang tak bisa menahan kesabarannya lagi.

"Baik!" jawab Bujang Lola, kemudian ia sentakkan tangan kanannya dan seberkas sinar merah kecil melesat menghantam tubuh Kencana Ratih.

Wuuut...! Draas...!

Kencana Ratih mengadu sinar merah itu dengan sinar birunya yang keluar dari telapak tangan kiri. Ledakannya tak seberapa besar, tapi benturan itu timbulkan gelombang angin yang cukup kuat dan membuat Bujang Lola terpental jauh dengan cepat dan membentur pohon.

Bruuss...!

"Uuuhhg...!" rintihnya dari kejauhan sana. Tak ada yang menolong dan tak ada yang menghiraukan, karena pada saat itu Yoga menatap Kencana Ratih dalam kebimbangan sikap.

Kencana Ratih memandangnya dengan berani dan berkata, "Seranglah aku jika kau juga menganggapku orang Gua Bidadari!"

Pendekar Rajawali Merah diam saja dan tetap memandanginya dengan tenang. Kencana Ratih semakin penasaran dan membentak,

"Ayo, serang aku!"

Terdengar suara tangis Bujang Lola yang ternyata berlari dari tempatnya jatuh ke arah Kencana Ratih. Ia menyerang lawannya sambil meraung dalam tangisnya. Goloknya ditebaskan ketika ia melompat dan bersalto. Pada saat ia selesai bersalto, saat itu juga golok ditebaskan.

Wuuut...! Trang...!

Kencana Ratih menangkis golok tersebut, kakinya berkelebat menendang ke arah rusuk Bujang Lola.

Buuhg...!

"Uuhhg...!" Bujang Lola memekik kesakitan, tubuhnya terpental jauh lagi karena tendangan bertenaga dalam tinggi itu. Bruuk...! Ia jatuh ke tanah dan menggeliat-geliat sambil mulutnya tercengap-cengap tak bisa bernapas. Tangannya memegangi tulang rusuk yang terkena tendangan dan goloknya lepas dari tangan.

Kencana Ratih melompat dengan cepat, lalu tiba di samping Bujang Lola. Seet...! Pedangnya diarahkan ke leher Bujang Lola yang terkapar dengan berusaha untuk bisa bernapas. Ujung pedang yang sudah menempel di leher Bujang Lola itu tinggal ditekan satu kali sudah bisa membuat nyawa Bujang Lola melayang. Tapi rupanya Kencana Ratih tidak segera melakukannya, melainkan berkata dengan geram,

"Membunuh jahanam macam kau sangat mudah, Bujang Cengeng! Lihat ujung pedangku sudah di ujung nyawamu, tahu?!"

Dengan mencucurkan air mata dan tersengal-sengal, Bujang Lola berkata, "Lak... lakukan...! Lakukanlah kalau kau tega padaku...!"

"Bukan soal tega ataupun tak tega!" bentak Kencana Ratih. "Tapi aku sakit hati mendengar tuduhanmu itu, Bujang Laknat!"

"Kencana...," sapa Pendekar Rajawali Merah yang melangkah mendekatinya dengan tenang. Sapaan itu membuat Kencana Ratih melirik galak pada Yoga. Napasnya tampak terengah-engah karena menahan luapan amarah. "Lepaskan dia, Kencana Ratih!" kata Yoga dengan kalem namun punya nada wibawa tersendiri.

Kencana Ratih denguskan napas sambil jauh-kan pedang dari leher Bujang Lola. Lelaki yang terkapar itu masih menangis terisak-isak sambil bangkit dan duduk di tempat. Pedangnya jauh dari jangkauan.

"Kalau aku orang dari gua itu, pasti sudah kubunuh dia di depan matamu, supaya kau sendiri ciut nyali melihat kesadisan ku!" kata Kencana Ratih kepada Pendekar Rajawali Merah.

"Nyali ku tak pernah ciut melihat dan menghadapi apa pun, Kencana! Harap kau tahu hal itu!" kata Yoga. Kejap berikutnya, Pendekar Rajawali Merah itu mendekati Bujang Lola dan ikut jongkok di samping pria cengeng itu.

"Apakah kau tak salah lihat dengan wajah wanita yang kau anggap sering memerasmu siang malam itu?"

"Tid... tidak! Aku tidak salah lihat!" jawab Bujang Lola dengan tersengal-sengal. "Aku masih ingat wajah itu yang selalu memaksaku menjadi budaknya, yang selalu menyerap kekuatan dan tenagaku untuk dijadikan gumpalan 'Karang Jantan' dalam hawa murninya!"

"Apakah namanya Kencana Ratih?"

Bujang Lola menggeleng. "Namanya Pinjung Dara!"

"Namaku Kencana Ratih, dari lahir hingga sekarang!" bentak Kencana Ratih dengan mata melebar.

"Apakah kau punya ciri-ciri yang bisa memperkuat dugaanmu, bahwa Kencana Ratih itu Pinjung Dara?"

Bujang Lola diam dalam isakan-isakan tangisnya. Beberapa saat kemudian, Bujang Lola berkata, "Yang ku tahu... diiia... dia punya tompel kecil di belakang telinganya, seperti tahi lalat. Tompel itu sebesar biji sawo!"

Yoga bangkit berdiri dari jongkoknya. Ia menatap Kencana Ratih. Yang ditatap tahu maksudnya, kemudian ia berbalik arah, memunggungi Yoga seraya berkata,

"Periksalah supaya kalian lega!" sambil ia menyingkapkan rambutnya yang panjang sepunggung itu. Yoga pun terpaksa melakukan pemeriksaan. Bagian belakang telinga Kencana Ratih diperhatikan. Daun telinga itu sempat dipegang Yoga, tapi Kencana Ratih mengibaskan sambil menyentak,

"Cukup kau lihat saja! Jangan sekali-kali menyentuh ku!"

"Baik, baik...!" Yoga menenangkan bentakan Kencana Ratih, kemudian mengulang meneliti bagian belakang telinga gadis itu. Ternyata di kedua bagian belakang telinga Kencana Ratih, tidak ada tompel hitam seperti yang dikatakan Bujang Lola.

"Kau salah duga, Bujang Lola! Kencana Ratih tidak mempunyai tompel hitam seperti yang dimiliki oleh Pinjung Dara!"

"Tid... tidak... tidak mempunyai tompel di daun telinganya yang kiri?" Bujang Lola hentikan isak tangisnya.

"Tidak ada! Mungkin memang dia punya wajah yang mirip dengan Pinjung Dara!"

"Jika... jika dia memang bukan Pinjung Dara, berarti ini suatu keanehan alam! Ada orang yang punya wajah kembar tapi bukan saudara sedarah!" kata Bujang Lola mulai reda isak tangisnya karena dili-puti perasaan heran.

"Hmm...!" Kencana Ratih yang merasa di pihak yang menang itu mendengus dengan bibir indahnya sedikit mencibir sinis. "Pendekar tampan seperti kamu masih bisa dipengaruhi oleh kebodohan orang gila, Yoga! Aku tak habis pikir, siapa yang mendidikmu menjadi sedungu itu?!"

"Jaga bicaramu, Kencana! Jangan bawa-bawa Guru yang mendidikku! Ini hanya kewaspadaan, bukan kebodohan!"

"Terlalu lama bersama kalian di sini, lama-lama aku bisa muak! Ada baiknya kalau aku segera pergi mencari tempat Gua Bidadari!" Kencana Ratih melesat pergi, tapi kembali tertahan karena mendengar suara Bujang Lola berkata agak keras,

"Tak semudah kau duga bisa menemukan gua itu!"

Dalam hati Kencana Ratih membatin, "Benar juga kata si Cengeng Bodoh itu?! Sudah dua hari aku berkeliling di sekitar sini tapi tak kutemukan sebuah gua yang dipakai bersarang oleh para bidadari sadis itu! Agaknya aku bisa memanfaatkan Bujang Cengeng tersebut sebagai penunjuk jalan!"

Maka, Kencana Ratih pun kembali ke tempat asal dan kini ia mendekati Bujang Lola dengan berkata ketus, "Tunjukkan di mana letak gua itu, supaya aku tidak mengulangi niat membunuhmu!"

"Aku tidak suka diancam!" seru Bujang Lola sambil melangkah mundur dan mulai mau menangis lagi. "Aku bukan tawanan, aku tak pantas diancam oleh siapa pun!"

"Aku tidak mengancam mu! Tapi jika kau tak mau menunjukkan di mana letak Gua Bidadari itu, aku benar-benar akan membunuhmu!"

"Aku tidak mau!" Bujang Lola terisak-isak dan akhirnya meraung kecil dalam tangisnya. Wajahnya jelek sekali jika sedang menangis begitu. Yoga menjadi kesal hatinya melihat lelaki yang mudah menangis dan gampang disentuh oleh kesedihan. Ia segera mendekati Bujang Lola dan berkata tanpa sentakan,

"Sekali lagi kau menangis, kutampar kau saat itu juga!"

Bujang Lola bahkan mengeraskan tangisnya dan berseru, "Kau ikut-ikutan mengancamku! Kau jahat! Kau juga jahat seperti dia!"

Ploook...!

Tamparan keras itu bukan datang dari Pendekar Rajawali Merah, melainkan dari telapak tangan Kencana Ratih. Tamparan itu membuat Bujang Lola menjerit kesakitan dan tambah meraung-raung setelah dia terpental ke samping dan membentur pohon.

"Kenapa kau benar-benar menamparnya?" hardik Yoga kepada Kencana Ratih.

Dengan ketus dan masih jengkel gadis itu menjawab, "Aku lebih banyak bertindak daripada hanya banyak bicara!"

"Tapi bukan begitu cara membujuknya!"

"Aku tak bisa membujuk siapa pun dengan kelembutan!"

"Kau seorang gadis, mestinya lebih lembut dariku!"

"Lakukanlah sendiri! Itu bukan caraku membujuk orang! Kekerasan yang kupakai membujuk orang!" lalu Kencana Ratih berpaling muka, dan dari hidungnya keluar dengusan kesal yang menyentak.

Tepat pada saat suara dengusan itu terdengar, hembusan angin panas menyambar dari belakang Yoga dan menghantam punggungnya.

Bluuhg...! Wuuut...!

Tubuh Yoga terlempar ke depan, tersungkur dan terguling-guling. Hal itu membuat Kencana Ratih dan Bujang Lola terperanjat heran. Lebih heran lagi mereka melihat mulut Yoga menjadi berdarah, sepertinya meleleh dari dalam.

"Yo...?!" Kencana Ratih tak sadar tampakkan kecemasannya. Ia segera mendekati Yoga, bermaksud menolong pemuda berlengan buntung itu. Tapi baru saja ia mau melangkah, tiba-tiba tubuh Yoga kembali terpental bagal ada yang menendang bagian dadanya.

Duuhhg...! Suara itu pun didengar oleh Kencana Ratih, tapi ia tidak melihat bentuk manusia yang menyerang Yoga. Tenaga kuat yang sepertinya menendang dada itu membuat tubuh Yoga terkapar jauh. Bahkan ketika Yoga bergegas bangkit, ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Ada apa orang itu?! Mengapa tiba-tiba berjumpalitan begitu?!" pikir Kencana Ratih sambil berlari mendekati Yoga dengan rasa kasihan dan tak rela dalam hatinya melihat Yoga diperlakukan dengan kasar oleh seseorang.

"Kencana...! Menjauh! Jangan dekati aku!" seru Yoga sambil mencoba bertahan untuk bisa berdiri walau sempoyongan.

"Yo, kenapa kau?!" Kencana Ratih kian tampakkan kecemasannya.

"Seseorang yang tak terlihat telah menyerangku!" jawab Yoga dalam seruan keras, namun ia segera terbatuk-batuk dan memuntahkan darah merah segar lagi dari mulutnya.

"Sii... siapa yang menyerangmu, Yoga?!"

Yoga tidak menjawab, karena ia merasakan datangnya hembusan angin kencang tadi dari arah sisi kanannya. Dengan cepat ia mencabut pedang pusaka di punggungnya.

Blaaar...!

Petir menggelegar ketika pedang itu di lolos dari sarungnya. Itulah tandanya bahwa pedang itu adalah pusaka Pedang Lidah Geledek. Pedang tersebut menyala merah terang dan mempunyai loncatan-loncatan bunga api di sekelilingnya yang pendek-pendek seperti seekor cacing kurus berlarian mengitari tepian pedang. Mata Kencana Ratih dan Bujang Lola tertegun diam dan terbelalak lebar memandangi pedang pusaka yang pada gagangnya itu terdapat ukiran kepala burung sal-ing bertolak belakang.

Dengan gunakan satu tangan Yoga mengibaskan pedangnya itu ke arah samping tempat datangnya angin panas yang berhembus ke arahnya itu. Rupanya kibasan pedang tersebut dapat melepaskan sinar merah yang segera menghantam angin panas.

Blaaar...!

Tiba-tiba tampak sesosok tubuh besar yang terlempar ke belakang dengan kerasnya. Tubuh besar itu berambut botak separo dan sisanya berambut panjang sebatas pundak. Kepala orang besar dan gemuk itu dililit kain merah bergambar swastika kuning emas. Orang tersebut kenakan pakaian abu-abu dengan jubah hitam bertepian kain satin merah. Alis matanya tebal ke atas, kumisnya tebal ke bawah sampai sebatas jenggotnya yang pendek. Dengan mata lebar, orang itu mempunyai wajah berkesan angker dan menyeramkan.

Kencana Ratih terbelalak kaget sekali melihat orang besar itu, dan tak sadar mulutnya mengucap kata, "Malaikat Gelang Emas...?!"

Siapa orang yang tidak mengenal Malaikat Gelang Emas, tokoh sesat yang namanya kondang ke mana-mana dan membuat bulu kuduk setiap orang yang mendengar namanya menjadi merinding. Malaikat Gelang Emas dengan ilmu 'Bayang Siluman'-nya dapat menghilang dari pandangan mata seseorang, namun baru sekarang Kencana Ratih melihat ada orang yang mampu memaksa Malaikat Gelang Emas keluar dari bayang silumannya itu. Orang tersebut adalah Yoga yang menggunakan pedang pusaka menakjubkan itu.

Terdengar suara Malaikat Gelang Emas yang menggeram dari kejauhan tempatnya jatuh. Ia berseru dari sana dan membuat Bujang Lola menangis karena merasa ngeri melihat Yoga terancam mati oleh keganasan Malaikat Gelang Emas itu,

"Jangan merasa bangga dulu kalau kau bisa memaksaku keluar dari ilmu 'Bayang Siluman' ku, Pendekar Rajawali Merah! Karena sebentar lagi aku akan menuntut balas atas kematian adikku, si Mata Neraka!"

"Tak ku ingkari, memang akulah yang membunuhnya!" seru Yoga dengan suara agak serak akibat luka tendangan lawan tadi. "Kapan pun kau ingin menuntut balas, aku sudah siap, Malaikat Gelang Emas!"

Kencana Ratih kian terbengong mendengar percakapan mereka. Dalam hatinya ia segera membatin, "Ternyata Yoga itulah orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Merah? Ya, ampuuun... mengapa baru sekarang kusadari bahwa dialah orangnya! Pantas dia punya wajah setampan itu dan membuat hatiku sering berdebar-debar?! Rupanya memang dialah orang yang dikenal sebagai pendekar tampan pemikat hati wanita itu?! Oh, terlalu berani dan gegabahnya aku tadi di depan Pendekar Rajawali Merah itu. Padahal selain tampan, ia juga dikenal sebagai orang berilmu tinggi yang mewarisi ilmu-ilmunya Ki Dirgantara atau si Dewa Ge-edek, sahabat guruku itu?!"

Jleg... jleg... jleg...!

Malaikat Gelang Emas melangkah dekati Yoga dengan wajah bengisnya yang seakan ingin menelan Yoga bulat-bulat. Ia berhenti melangkah dalam jarak empat tombak dari depan Pendekar Rajawali Merah yang masih memegangi pedangnya dan siap ditebaskan sewaktu-waktu.

"Bocah bangsat! Mana pasangan mu, si Pendekar Rajawali Putih itu?! Aku ingin mengulitinya sampai mati karena dialah yang telah melompati kuburan kakekku dengan menyamar sebagai Topeng Merah!"

"Topeng Merah bukan Pendekar Rajawali Putih, Bodoh!" sentak Yoga.

"Kalau begitu, berarti kaulah si Topeng Merah itu!"

"Juga bukan! Tapi kalau kau ingin menganggap akulah si Topeng Merah, silakan saja! Majulah kalau kau ingin balas dendam dan curahkan murka mu padaku! Aku sudah siap! Karena aku pun punya tugas untuk membunuhmu dari guruku!"

"Jahanam busuk! Heaaah...!" Malaikat Gelang Emas sentakkan tangan kirinya ke depan dalam bentuk satu pukulan. Selain dari genggamannya keluar sinar hijau berkelebat ke arah Yoga, juga dari lengannya keluar sinar kuning keemasan berupa gelang-gelang yang jumlahnya tiga lingkaran.

Wuut...! Clap, clap, clap...!

Yoga cepat kibaskan pedangnya membentuk lingkaran besar satu kali. Wuuut...! Dan sinar merah yang menyala-nyala dari ujung pedang itu membentuk lingkaran besar di udara tanpa bergerak. Kini sinar hijau dari genggaman tangan Malaikat Gelang Emas dan sinar kuning emas bergelang-gelang dari lengannya, meluncur hendak memasuki lingkaran besar sinar merahnya Yoga.

Tetapi ketika sinar-sinar itu menembus masuk lingkaran, tiba-tiba sinar itu jatuh ke tanah bagai daun layu. Pluk...! Jooos...! Sinar hijau itu padam dengan timbulkan suara keras. Demikian pula sinar kuning bergelang-gelang, juga jatuh bagai bunga layu dan kering setelah menembus masuk lingkaran besar sinar merah tersebut.

Mata Malaikat Gelang Emas mendelik. Tak sangka sama sekali kalau jurus gelang emasnya dapat dilumpuhkan oleh pemuda bertangan buntung sebelah itu. Maka dengan geram Malaikat Gelang Emas lepaskan sentakan dari telapak kakinya yang menghadirkan gelombang angin besar di luar dugaan Yoga.

Wuuut! Wooosss...! Brruush...!

Yoga terlempar dan jatuh terbenam disemak-semak. Malaikat Gelang Emas ingin menyerang dengan satu lompatan, tapi tiba-tiba terdengar suara Kencana Ratih berseru,

"Jangaaan...!" Gadis itu cepat berdiri menghadang di depan Yoga, dan Malaikat Gelang Emas terkejut dengan wajah menjadi ketakutan melihat Kencana Ratih. Yoga merasa heran, mengapa tokoh sesat itu takut dan mundur melihat Kencana Ratih? Ada hubungan apa antara Malaikat Gelang Emas dan Kencana Ratih?

EMPAT

YOGA masih ingat sepatah kata yang diucapkan oleh Malaikat Gelang Emas sebelum pergi. Dengan mata yang membelalak lebar dan kaki melangkah mundur pelan-pelan, Malaikat Gelang Emas mengucapkan kata bernada heran, "Asmarani...?!"

Mata lebar itu menatap nanar pada Kencana Ratih beberapa saat, kemudian Malaikat Gelang Emas cepat sentakkan kakinya ke tanah dan melesat pergi dengan satu lompatan cukup jauh. Wuuus...! Pada saat itu Yoga hanya bisa memandang dengan dahi berkerut karena merasa heran sekali. Sementara itu, Kencana Ratih merasa lega melihat tokoh sesat berilmu tinggi itu tak jadi menghabisi nyawa Yoga, sedangkan Bujang Lola hanya memandangi kepergian tokoh sesat itu dengan mulut melompong karena bengong.

Pendekar Rajawali Merah memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung pedangnya, tepat pada saat Kencana Ratih membalikkan badan dan menatap ke arah Yoga. Perempuan cantik itu pun berkata,

"Syukurlah dia lekas pergi. Aku tadi khawatir sekali kalau kau menjadi celaka karena murkanya itu! Dan... maafkan sikapku tadi kepadamu yang agak kasar dan gegabah. Sungguh aku tidak tahu kalau kau adalah Pendekar Rajawali Merah, murid dari Empu Dirgantara. Gurumu adalah sahabat baik guruku, Yo!"

Bujang Lola mendekati mereka, ingin ikut bicara. Tetapi Yoga sudah lebih dulu berkata kepada Kencana Ratih,

"Malaikat Gelang Emas tak pernah mundur dari pertarungan. Mengapa sekarang hal itu ia lakukan setelah tahu akan berhadapan denganmu, Kencana Ratih? Ada hubungan apa antara kau dan dia sebenarnya?"

"Tidak ada hubungan apa-apa!" jawab Kencana Ratih dengan tegas.

"Tetapi mengapa dia tadi kelihatannya sangat ketakutan padamu?"

Bujang Lola menyahut, "Kudengar tadi, dia menyebutkan nama Asmarani!"

Yoga membenarkan, "Ya. Aku juga mendengarnya. Apakah nama aslimu Asmarani, Kencana Ratih?"

"Bukan. Kencana Ratih adalah nama asli ku sejak kecil."

Kemudian, Pendekar Rajawali Merah menggumam dalam nada keheranannya, "Aneh! Pasti ada sesuatu pada dirimu, sehingga Malaikat Gelang Emas lari terbirit-birit begitu kau tampil di depanku."

Kencana Ratih sentakkan pundak satu kali sambil berkata, "Entahlah! Itu urusan dia pribadi. Yang jelas aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Malaikat Gelang Emas. Dan, sebaiknya kita lupakan dulu masalah itu. Barangkali sudah waktunya kita harus berpisah untuk sementara waktu, Pendekar Rajawali Merah. Aku harus segera pergi ke Gua Bidadari itu untuk membebaskan kakakku!"

Bujang Lola menyahut, "Aku juga akan ke sana! Sebaiknya kita pergi bersama-sama saja, Kencana Ratih!"

"Tidak. Aku akan pergi sendiri."

"Kau butuh pemandu untuk menuju ke sana!"

"Tidak. Aku bisa mencari gua maksiat itu! Tak perlu bantuanmu!"

"Tapi di sana banyak jebakan dan kau tak tahu di mana letak jebakan maut itu, Kencana Ratih!"

"Aku akan pergi sendiri!" bentak Kencana Ratih.

"Bodoh amat kau! Aku cuma ingin bantu kamu supaya berhasil menyapu bersih perempuan-perempuan sesat itu!" Bujang Lola mulai ngotot.

"Kataku, tidak!" bentak Kencana Ratih dengan tegas. "Aku tidak mau kau dampingi! Salah-salah kau sendiri yang akan menjebakku ke dalam perangkap mereka! Karena aku belum yakin betul, siapa kau se-benarnya dan di pihak mana kau sesungguhnya!"

"Aku bukan di pihak mereka! Bukan! Jangan mencurigaiku begitu!" Bujang Lola mulai bernada sumbang karena mau menangis lagi.

Pendekar Rajawali Merah sengaja tidak pedulikan perdebatan kedua orang itu. Benaknya masih sibuk berkecamuk sendiri memikirkan keanehan sikap Malaikat Gelang Emas. Dalam renungannya, Yoga berkata di dalam hatinya,

"Aku jadi curiga dengan Kencana Ratih. Dia sepertinya menyembunyikan sesuatu, terutama nama Asmarani itu. Pasti dia punya hubungan dekat dengan Malaikat Gelang Emas yang selama ini sengaja dirahasiakan rapat-rapat! Mungkin saja Kencana Ratih mempunyai ilmu yang lebih tinggi dan pernah membuat Malaikat Gelang Emas hampir mati, sehingga ia menjadi satu-satunya orang yang amat ditakuti oleh tokoh sesat itu. Jika Kencana Ratih tidak berilmu tinggi, tak mungkin ia berani menghadang Malaikat Gelang Emas yang ingin melepaskan serangan mautnya ke arah ku. Jika Kencana Ratih tidak berilmu tinggi, tak mungkin ia berani nekat ingin menyerang ke Gua Bidadari seorang diri, sementara tubuhnya dia sudah tahu bahwa para bidadari sadis di sana berilmu tinggi semua. Aku jadi penasaran sekali, siapa sebenarnya Kencana Ratih itu, sampai-sampai dia bisa menyebutkan nama asli guruku si Dewa. Geledek yang memang bernama Empu Dirgantara itu? Walau ia mengaku mengetahui nama Empu Dirgantara dari gurunya, tapi kurasa itu hanya alasannya saja untuk menutupi jati dirinya! Atau... barangkali Kencana Ratih ini sebenarnya tokoh tua yang punya ilmu awet muda dan masih tetap cantik seperti baru berusia dua puluh tahun?! Jika benar dia tokoh tua yang awet muda, maka pantaslah jika ia kenal nama asli guruku, dan ia ditakuti oleh Malaikat Gelang Emas!"

Dua orang itu ribut sendiri. Mereka bertengkar mulut di samping kanan Yoga. Bujang Lola sudah mulai menangis sambil melontarkan debatan-debatannya. Kencana Ratih sendiri semakin menampakkan sikap keras kepalanya dan tak mau mengalah. Sampai tiba-tiba, mata Yoga melihat berkelebatnya sebuah benda mengkilap ke arah Bujang Lola. Benda itu melesat dengan cepat dan tak diketahui oleh kedua orang tersebut.

Wuuut...! Taab...!

Pendekar Rajawali Merah secara tiba-tiba melompat melintasi Bujang Lola dan Kencana Ratih. Gerakannya itu mengagetkan keduanya, bahkan Kencana Ratih sempat terpekik pelan ketika Yoga berguling satu kali di rerumputan.

"Yo...? Ada apa?!" Kencana Ratih menampakkan kecemasannya sambil mendekati Yoga.

Tapi Yoga hanya membuka tangannya yang menggenggam itu dan memperlihatkan sebuah senjata rahasia berbentuk bunga matahari dari logam putih anti karat yang tajam dan tentunya beracun ganas itu. Kencana Ratih terbelalak kaget melihatnya.

"Ada yang ingin membunuhku?" gumamnya tegang.

"Entah kau atau Bujang Lola yang diincarnya!" kata Yoga sambil memandang ke arah datangnya senjata rahasia itu.

Seseorang berdiri di atas pohon, memandang ke arah mereka. Yoga terkejut setengah mati melihat orang yang ada di atas pohon dan yang diduga telah melemparkan senjata rahasia itu. Mulut Yoga tak sadar mengucapkan kata, "Topeng Merah...?!"

Wuuut...! Orang itu pergi seketika setelah tahu di pandangi oleh Yoga dan Kencana Ratih.

"Keparat dia...!" geram Kencana Ratih dalam nada marah. Kemudian ia segera lari mengejar si Topeng Merah. Wuuut...!

"Kencana...!" seru Yoga melarang pengejaran itu, tetapi Kencana Ratih tidak hiraukan seruan Yoga dan ia tetap mengejar si Topeng Merah. Pada waktu itu sebenarnya Yoga ingin lekas mengejar pula, tetapi langkahnya terhenti karena ia mendengar suara Bujang Lola mendesah berat.

"Uughh...!" Bujang Lola masih berdiri, tapi wajahnya menjadi pucat pasi. Tangannya memegangi pundak kanannya dengan gemetar.

Yoga kembali terkejut setelah ia mendekati Bujang Lola dan melihat satu senjata rahasia berbentuk bunga matahari itu ternyata telah menancap di pundak kanan Bujang Lola, hampir dekat dengan lehernya. Rupanya orang yang melemparkan senjata rahasia itu menjadi penasaran setelah lemparan pertamanya berhasil ditangkap oleh pendekar bertangan satu, sehingga ia perlu melemparkannya satu kali lagi pada saat pendekar tampan itu bicara dengan Kencana Ratih.

"Bujang Lola...! Diamlah dan tahan sebentar, akan ku cabut senjata ini supaya racunnya tidak banyak menyebar dalam darahmu!"

Bruuk...! Bujang Lola lemas kakinya dan jatuh terduduk. Punggung lelaki cengeng itu bersandarkan batang pohon kecil di belakangnya. Ia menyeringai menahan sakit dan tubuhnya menyentak ketika Yoga mencabut senjata bundar yang menyerupai bunga matahari itu.

Slaap..!

"Ouh...!" pekikan itu dilanjutkan dengan helaan napas yang terengah-engah, keringat dingin mengucur dari kening dan sekitarnya, wajah kian memucat dan badannya terasa dingin. Namun Bujang Lola sempat perhatikan senjata yang dicabut oleh Yoga dari tubuhnya itu.

"Sukesi...!" ucap Bujang Lola dengan suara mendesah.

"Apa maksudmu menyebut nama Sukesi?"

"Aku tahu, senjata ini milik Dewi Sukesi. Oouh...!" ia mengerang sambil pejamkan mata kuat-kuat menahan rasa sakit.

"Tahanlah sebentar, aku akan mengobatimu!"

"Tak perlu! Lekas kejar saja Kencana Ratih. Jangan sampai dia berhadapan dengan Dewi Sukesi, sebab orang itu berilmu tinggi! Kencana Ratih bisa celaka jika berhadapan dengan Dewi Sukesi!"

"Kau yakin senjata ini milik Dewi Sukesi?"

"Ya. Aku dulu sering melihat dia membunuh para pelarian dengan senjata seperti ini! Dia... dia menamakannya senjata Bunga Neraka!"

"Sukesi...?!" gumam Yoga antara percaya dan tidak. "Tapi... tapi kulihat tadi dia mengenakan pakaian serba merah dan topeng merah juga! Apakah dia bukan si Topeng Merah?!"

"Dia... dia boleh pakai topeng apa saja. Tapi aku tak bisa ditipunya jika melihat bentuk senjata rahasianya yang bergerigi dan beracun ini! Pasti Dewi Sukesi-lah pemiliknya! Tidak salah lagi!"

Yoga terbungkam dalam kebingungannya. Bahkan ia sempat tak mengerti apa yang harus dilakukan saat itu karena bingungnya menghadapi apa yang dili-hat dan apa yang didengar dari Bujang Lola.

"Lekas... lekas susul Kencana Ratih sebelum bentrok dengan Dewi Sukesi! Jangan pikirkan aku, aku bisa mengobati lukaku ini!"

"Kau yakin bahwa kau benar-benar bisa mengobati lukamu?"

Bujang Lola mengangguk dengan masih terengah-engah, "Sewaktu aku menjadi pelayan kehangatan Dewi Sukesi, dia banyak bercerita tentang racun dalam senjata Bunga Neraka ini. Secara tak sengaja... dia sebutkan cara pengobatannya jika terkena racun senjata Bunga Neraka ini! Karena itu, cepatlah susul Kencana Ratih dan bantu dia jika sudah telanjur berhadapan dengan Sukesi. Biarkan aku mengatasi lukaku ini sendiri. Bantulah dia, Yoga. Ooh...!" Bujang Lola menangis dengan sedihnya. Entah tangis apa yang ia lakukan itu, tak jelas artinya, karena memang dia manusia ter-cengeng di dunia.

Pendekar Rajawali Merah akhirnya percaya dengan penjelasan Bujang Lola. Tapi dalam pelariannya mengejar Kencana Ratih, Pendekar Rajawali Merah berkata dalam hatinya,

"Benarkah si Topeng Merah itu adalah Dewi Sukesi? Bukankah pemilik pakaian merah dan topeng merah adalah Sendang Suci alias Tabib Perawan yang mencintai ku itu? Bukankah Sendang Suci sudah ku sembunyikan di puncak Gunung Rimba Gading? Tapi mengapa dia muncul di sini? Mengapa pula Bujang Lola yakin betul bahwa senjata itu milik Dewi Sukesi? Apakah Dewi Sukesi dan Sendang Suci itu satu orang? Jika benar begitu, berarti Sendang Suci adalah anggota Partai Gadis Pujaan yang dipimpin oleh Bidadari Manja itu? Ah... tapi aku tak yakin kalau Sendang Suci adalah satu dari sekian banyak penghuni Gua Bidadari itu?!"

Yoga kehilangan jejak Kencana Ratih. Padahal ia telah mengejarnya dengan jurus 'Langkah Bayu' yang mampu bergerak cepat seperti menghilang. Jika ternyata Kencana Ratih tidak tersusul itu berarti dia salah arah. Atau, mungkinkah Kencana Ratih juga mampu bergerak cepat dan mempunyai ilmu sejenis 'Langkah Bayu'? Mengingat Malaikat Gelang Emas saja takut kepada Kencana Ratih, tak menutup kemungkinan bahwa perempuan cantik itu juga memiliki jurus sejenis 'Langkah Bayu' yang mampu berlari dengan sangat cepat dan melebihi terlepasnya anak panah dari busurnya.

Di atas tanggul sungai yang bertanaman tak begitu rapat itu,nPendekar Rajawali Merah sempat berhenti dan mempertimbangkan arah. Matanya memandang ke sana sini mencari kemungkinan pelarian Kencana Ratih, tapi ia tidak menemukan pertanda apa pun di sekelilingnya.

Hatinya masih diliputi perdebatan batin antara Topeng Merah, Sendang Suci, dan Dewi Sukesi. Sungguh sebuah teka-teki yang sempat membuat Pendekar Rajawali Merah dicekam kegelisahan yang menjengkelkan.

"Atau, jangan-jangan aku terkecoh oleh pengakuan dan cerita dari Bujang Lola? Jangan-jangan Bujang Lola adalah orangnya Bidadari Manja yang bertugas memata-matai sekaligus mengacaukan pikiran orang yang bermaksud menyerang ke Gua Bidadari? Tapi... mengapa Bujang Lola diserang dan agaknya ia ingin dibunuh oleh Topeng Merah? Jika benar Topeng Merah itu adalah Dewi Sukesi atau Sendang Suci yang berpihak pada Partai Gadis Pujaan, maka rencana melenyapkan nyawa Bujang Lola pasti punya alasan tertentu. Mungkin karena mereka takut kalau Bujang Lola sebarkan rahasia yang ada di Gua Bidadari itu? Jika rasa takut itu ada pada pelempar senjata Bunga Neraka tersebut, maka apa yang dikatakan Bujang Lola memang benar, bahwa ia memang tawanan yang berhasil lolos dari gua tersebut, karenanya perlu dilenyapkan! Tapi bagaimana jika rencana melenyapkan nyawa Bujang Lola itu timbul dari si pemilik Bunga Neraka dengan alasan karena Bujang Lola hampir saja membeberkan rahasia tempat-tempat jebakan kepada Kencana Ratih? Itu berarti Bujang Lola ada di pihak Bidadari Manja, dan mau berkhianat di depan Kenca-na Ratih?! Edan! Mengapa jadi lebih membingungkan lagi?"

Sementara Pendekar Rajawali Merah mencari Kencana Ratih, ternyata yang dicari sudah berhasil berhadapan dengan orang yang dikejarnya, yaitu manusia bertopeng merah. Kencana Ratih memotong jalan setelah mengetahui arah pelarian si Topeng Merah dan segera melompat dari tempatnya, menghadang langkah orang yang dikejarnya.

Jleeg...!

Langkah si Topeng Merah terhenti seketika. Ia tidak bermaksud berbalik arah atau mencari jalan lain untuk melanjutkan pelariannya, namun bertekad menghadapi pengejarnya dengan pertarungan bagaimanapun juga.

"Pengecut sekali ternyata kau ini! Begitukah semua jiwa orang-orang Gua Bidadari? Berjiwa pengecut dan bernyali ciut?!" ejek Kencana Ratih memancing pertikaian dengan si Topeng Merah.

Terdengar suara dari balik topeng itu sedikit pelan karena teredam oleh topeng itu sendiri, "Aku tidak punya urusan apa-apa denganmu! Aku hanya ingin membunuh Bujang Lola! Siapa kau sebenarnya, sehingga mau ikut campur urusanku ini?!"

"Aku Kencana Ratih, adik dari Aditya! Kau tentu kenal dengan nama Aditya!"

"Aku tidak kenal!" jawaban itu terdengar kaku dan ketus, seakan bernada dingin dan sama sekali tidak bersahabat.

"Omong kosong kalau kau tidak kenal dengan nama kakakku! Karena kakakku sudah beberapa waktu kalian culik dan dibawa ke sarang bidadari rakus itu!"

"Soal culik menculik bukan urusanku! Kusarankan, pergilah dari hadapanku sebelum kesabaranku hilang sama sekali!"

"Aku harus pergi sambil mencabut nyawamu! Heaaah...!"

Kencana Ratih sentakkan kaki kirinya dan cepat melayang tubuhnya dengan kaki kanan merentang siap menendang ke arah lawan. Tapi oleh lawan kaki itu ditangkisnya dengan kibasan tangan. Desss...! Mata kaki dihantam dengan pergelangan tangan. Kencana Ratih terpelanting begitu kuatnya, hingga ia jatuh terpuruk karena tak sempat menjaga keseimbangan tubuh.

"Kurang ajar! Mata kakiku terasa remuk akibat tangkisan tangannya! Uuh... tulang tulangku pun terasa dingin semua. Pasti dia salurkan tenaga dalamnya lewat pergelangan tangan itu! Hmmm... kuanggap tinggi juga ilmu orang bertopeng merah tersebut!"

Topeng Merah tidak balas menyerang. Begitu Kencana Ratih jatuh, ia segera lanjutkan pelariannya. Tetapi, walau kaki terasa sakit, Kencana Ratih masih bisa bertahan dan mengejar Topeng Merah lagi dengan lari dan melesat bagaikan terbang. Ia bersalto di udara dua kali, melintasi kepala Topeng Merah dan menda-ratkan kedua kakinya di depan langkah Topeng Merah. Hal itu membuat Topeng Merah kembali hentikan langkahnya.

"Rupanya kau belum jera dengan peringatanku tadi?!" geram Topeng Merah dengan kedua tangan mu-lai menggenggam.

"Takkan kubiarkan kau lari tanpa membawa cacat di tubuhmu atau lari bersama nyawamu! Kau adalah bagian dari mereka yang telah menculik kakakku, dan kau harus menerima hukuman dariku atas tindakan penculikan itu!"

"Cabut pedangmu kalau kau ingin bertaruh nyawa denganku!"

"Membunuh tikus kecil seperti kamu tidak perlu memakai pedang. Cukup dengan sekali gencet saja kau akan mampus! Hiaaah...!"

Kencana Ratih melepaskan tendangan putarnya sebagai tipuan. Tanpa menangkis, Topeng Merah bisa terhindar dari tendangan itu dengan sedikit merendahkan badan. Tetapi rupanya tendangan itu hanya untuk memperdekat jarak saja, sehingga begitu kaki menapak di tanah, tangan Kencana Ratih menghantam dada Topeng Merah dengan telapak tangannya yang disentakkan kuat-kuat.

Buuhg...! Deehg...!

Rupanya Topeng Merah juga menghentakkan telapak tangannya dengan cepat dan juga mendarat telak di bawah iga Kencana Ratih. Mereka sama-sama terpukul, sama-sama tersentak mundur. Namun Kencana Ratih segera jatuh berlutut karena hantaman telapak tangan lawan membuat darahnya tersentak naik, dan tersontak lewat mulut.

Kencana Ratih memuntahkan darah segar, demikian pula Topeng Merah. Darah yang menyembur keluar dari mulut Topeng Merah memang tidak terlihat jelas oleh mata Kencana Ratih, namun dari tepian topengnya itu Kencana Ratih sempat melihat ada darah merembes keluar. Membasah di sekitar leher lawan. Itu tandanya lawan juga memuntahkan darah dari mu-lutnya. Tetapi lawan dalam keadaan berdiri sedikit membungkuk ke depan dan bertahan untuk tidak jatuh ke tanah.

"Edan! Dia bisa melukai ku!" kata Topeng Merah dalam hatinya. "Kalau saja aku tidak harus segera melaporkan tentang tugasku ini, ingin rasanya aku mengadu nyawa sampai mati dengan Kencana Ratih! Sayang aku harus segera menghadap Nyai Bidadari Manja, sehingga terpaksa aku harus meninggalkan lawanku ini!"

Pada saat Topeng Merah punya kesempatan untuk melarikan diri, saat itulah Pendekar Rajawali Merah menemukan jejak mereka dan hadir di sana dengan napas terhempas lega.

"Kencana...?!" Yoga cepat membantu Kencana Ratih yang mulai terkulai lemas dalam keadaan masih berlutut.

Melihat kehadiran Yoga di situ, Kencana Ratih sedikit lega. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun niatnya itu tertunda karena melihat Topeng Merah lekas tinggalkan tempat itu ke arah perbukitan.

Yoga sendiri berseru, "Bibi...!"

Topeng Merah tidak berpaling tidak pula berhenti, ia terus melarikan diri dengan cepatnya. Hal itu membuat Yoga menjadi sangat penasaran. Ia pun segera memburunya hanya untuk membuka kedok yang dipakai orang itu, demi membuktikan apakah orang itu Bibi Sendang Suci atau orang lain yang mungkin bernama Dewi Sukesi?

LIMA

KENCANA Ratih menguatkan diri untuk bisa menyusul pengejaran Yoga terhadap manusia bertopeng merah itu. Kini ganti Kencana Ratih yang mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Rajawali Merah. Rasa khawatir itu timbul karena hatinya merasa tak rela jika manusia bertopeng merah berhasil lukai tubuh Yoga.

Arah pelarian mereka ternyata bertolak belakang dengan arah pelarian Malaikat Gelang Emas. Tokoh sesat itu menuju ke arah barat sampai akhirnya menemukan sebuah makam di lereng bukit yang penuh dengan tanaman bambu liar. Di bawah tanaman bambu liar yang luasnya hampir separo bukit itu sendiri, terdapat sebuah makam yang tampak menua, ditumbuhi oleh rerumputan dan dikotori oleh daun-daun bambu kering. Di situlah Malaikat Gelang Emas berdiri dengan wajah duka, pandangi makam itu tiada berkedip sedikit pun.

Sorot matanya memancarkan kesedihan yang terpendam dalam-dalam. Bibirnya bergerak-gerak bagai mengucapkan mantera atau mengucapkan doa. Bahkan dengan tangannya ia mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekeliling makam tersebut, juga menyiangi daun-daun bambu kering yang bagai menyelimuti makam itu.

Rupanya kehadiran Malaikat Gelang Emas menjadi bahan incaran oleh sepasang mata yang mengikutinya dari tepi sungai tadi. Malaikat Gelang Emas hilang kepekaan inderanya karena diliputi kecamuk duka yang membuat jiwanya menjadi guncang, sehingga ia tak sadar ketika sepasang mata menguntitnya dari belakang. Dan ketika ia tiba di makam itu, sepasang mata tersebut diam di balik kerimbunan celah batang bambu.

Melihat keadaan sekelilingnya, jelas makam itu adalah makam yang sudah lama tidak terawat dan tidak ada penunggunya. Melihat duka di wajah tokoh sesat itu, jelaslah makam itu adalah makam yang punya arti tersendiri bagi hidup Malaikat Gelang Emas. Itulah sebabnya sepasang mata itu tidak berani mendekat atau mengganggu, kecuali hanya memperhatikan dari persembunyiannya.

Setelah beberapa saat lamanya sepasang mata itu bersembunyi di balik kerimbunan pohon bambu, ia pun memberanikan diri untuk menampakkan wajahnya agar terlihat oleh Malaikat Gelang Emas. Tentu saja tindakan itu ia lakukan dengan hati berdebar-debar penuh kengerian. Kalau bukan karena keperluan yang amat memaksa, jelas orang tersebut tak akan berani menampakkan diri di depan tokoh sesat yang dikenal keji itu.

Bahkan kalau bukan karena maksud yang luar biasa pentingnya, orang tersebut lebih baik menampakkan diri di depan tokoh sesat lainnya ketimbang di depan tokoh sesat yang tak kenal belas kasi-han sedikit pun itu. Satu cara untuk menghindari kekejian Malaikat Gelang Emas, orang berpakaian hijau dengan rompi putih yang rapat itu lekas-lekas bersujud sampai mencium tanah dalam jarak sekitar tujuh langkah dari tempat berdiri Malaikat Gelang Emas.

Tentu saja tokoh sesat itu terkejut dan hampir saja amarahnya meluap melihat kemunculan orang lain di makam itu. Tapi demi melihat orang itu langsung bersujud dan menyembah sampai mencium tanah, kemarahan Malaikat Gelang Emas menjadi tertahan di dalam dadanya. Orang tinggi berbadan besar itu hanya menghembuskan napas sebagai penenang jiwanya dan berkata dengan nada tak ramah sama sekali,

"Siapa kau?!"

Orang yang menyembah itu angkat wajah sebentar dan ucapkan kata, "Hamba bernama Tamtama, Tuan ku!" lalu dia menyembah lagi, wajahnya sengaja ditempelkan ke tanah.

"Aku tak kenal nama Tamtama!"

Pemuda yang bernama Tamtama itu tentunya sudah tidak asing lagi bagi Pendekar Rajawali Merah dan orang-orang di sekelilingnya. Tapi bagi Malaikat Gelang Emas, Tamtama adalah orang yang belum dikenalnya karena memang Tamtama bukan orang berilmu tinggi yang namanya mencuat di rimba persilatan.

Tamtama dikenal oleh banyak orang karena sikapnya yang menjengkelkan berbagai pihak. Dia sedang memburu dendam dengan Yoga, karena menyangka Yoga merebut kekasihnya, yaitu Mahligai. Dia belum tahu bahwa Mahligai dalam keadaan terpasung karena gila.

Malaikat Gelang Emas memandang Tamtama dengan mata tajam dan bersikap tak suka melihat kehadiran orang lain ditempat itu. Tetapi sebelum ia mengusir pemuda yang sebenarnya lumayan tampan itu, terlebih dulu ia ingin tahu apa maksud kedatangan Tamtama menemuinya. Karena itu, ia membentak dalam tanya,

"Apa maksudmu menemuiku, hah?! Mau cari mampus kau?!"

"Hamba ingin mohon bantuan kepada Tuan ku Malaikat Gelang Emas!"

"Mintalah bantuan pada orang lain!"

"Hamba yakin orang lain tak akan mampu karena orang lain tak punya kesaktian setinggi Tuan ku!" Tamtama sengaja menyanjung supaya mendapat perhatian dari Malaikat Gelang Emas.

Hati Malaikat Gelang Emas menghargai sanjungan itu, sehingga ia pun berkata, "Bangkit! Berdiri kau!"

Tamtama pun lekas-lekas berdiri mendengar suara menghardik itu, tapi ia masih tetap tundukkan kepalanya sebagai rasa hormat. Malaikat Gelang Emas dekati Tamtama dan pandangi terus wajah pemuda itu, sampai ia bergerak mengelilingi Tamtama, kemudian berkata,

"Mengapa tanganmu bengkok satu?"

"Dipatahkan oleh seseorang, Tuanku. Karenanya hamba datang menghadap Tuan ku untuk minta disembuhkan."

Plaaak...!

Wajah Tamtama ditampar keras-keras sampai ia terpelanting jatuh dan pandangan matanya menjadi gelap seketika. Ia mengejap-ngejapkan mata beberapa saat, sampai akhirnya pandangan matanya kembali terang. Namun ia tak berani bangkit berdiri karena pada saat itu, Malaikat Gelang Emas segera berseru dalam nada marah,

"Kau pikir aku dukun pijat yang biasa meluruskan tangan yang patah?! Berani-beraninya kau datang padaku hanya untuk menyuruhku meluruskan tulang yang patah?!"

Buuhhg...!

Tamtama ditendang pinggang kanannya. Ia terpental dan terguling-guling sambil menyeringai menahan sakit. Mulanya ia punya niat untuk lari. Tapi hati kecilnya melarang, sebab kalau dia melarikan diri saat itu juga pasti Malaikat Gelang Emas akan semakin penasaran dan membunuhnya dengan menggunakan pukulan jarak jauhnya yang berbahaya. Karena itu, Tamtama seakan menerima saja nasib apa yang akan dialaminya di tempat itu.

"Kedatanganmu ke sini mengganggu masa duka ku, tahu?! Sudah mengganggu masa duka ku, menghinaku sebagai tukang pijat! Sungguh suatu sikap yang layak diberi hukuman mati!"

Tamtama buru-buru sujud mencium tanah lagi sambil berkata dengan wajah tetap di tanah, "Ampun, Tuan ku! Ampunilah hamba...! Hamba sama sekali tidak mempunyai maksud menghina Tuan ku Malaikat Gelang Emas! Hamba hanya tahu bahwa Tuan ku adalah orang sakti yang pastilah mempunyai cara sendiri untuk memulihkan tangan hamba yang patah karena perbuatan Pendekar Rajawali Merah itu. Jadi...."

"Karena perbuatan siapa?!" sentak Malaikat Gelang Emas dengan nada terperanjat.

"Perbuatan Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu, Tuan ku! Hamba kalah melawan dia, tapi hati hamba ingin membalasnya! Sayang sekali tangan hamba dibuatnya patah satu, sehingga hamba merasa tak akan berhasil jika melawannya lagi. Tapi jika tangan hamba sudah pulih kembali, maka hamba yakin akan bisa mengalahkan Yoga dengan cara selicik apa pun!"

Rupanya kebencian Tamtama kepada Yoga memang sudah menyatu dengan napas, darah, dan hidupnya. Ia tahu bahwa Malaikat Gelang Emas adalah musuh utama Yoga dan Lili, yaitu Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. Permusuhan itu didengarnya dalam suatu percakapan antara Lili dengan Lembayung Senja, di suatu hari.

Dan dalam kesempatan itu, Tamtama sengaja mengaku bahwa Yoga-lah yang mematahkan tangannya, supaya ia mendapat perhatian dari Malaikat Gelang Emas. Padahal patahnya tangan Tamtama itu bukan karena ulah Yoga, melainkan sengaja dipatahkan oleh Gandaloka, yang pernah di hasutnya agar melawan Pendekar Rajawali Me-rah (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat").

Pancingan Tamtama itu berhasil menarik perhatian Malaikat Gelang Emas. Orang gemuk berkumis angker itu segera berkata, "Bangkit kau!"

Tamtama mengikuti perintah itu dengan sedikit bungkuk karena menahan sakit di pinggangnya yang habis terkena tendangan tadi. Dengan hati berdebar-debar, Tamtama tundukkan kepala ketika Malaikat Gelang Emas dekati dirinya.

"Jadi kau musuh bebuyutan dengan Pendekar Rajawali Merah?!" tanya Malaikat Gelang Emas dengan suara menggeram.

"Benar, Tuan ku! Berulang kali saya mencoba ingin membunuhnya tapi saya selalu kalah, dan yang terakhir dia mematahkan tangan saya ini!"

"Jika aku bisa sembuhkan tanganmu, apakah kau mau bantu aku untuk membunuh Yoga dan Lili, si Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih?!"

"Sangat mau, Tuan ku! Sangat bersedia!" jawab Tamtama menunjukkan sikap berapi-apinya yang penuh semangat.

"Kau janji akan hal itu, tapi kalau kau ingkari janji itu, maka nyawamu akan ku cabut dalam satu hembusan napas!"

"Baik, saya berjanji dan berani bertaruh nyawa!"

Malaikat Gelang Emas pandangi Tamtama beberapa saat dengan sorot pandangan mata bagaikan penuh selidik. Kejap berikutnya, barulah ia perdengarkan kata, "Ulurkan tanganmu yang patah itu...!"

"Tid... tidak... tidak bisa, Tuan ku!"

"Bodoh amat kau!" geram Malaikat Gelang Emas. Kemudian, ia meraih tangan yang patah.

Tamtama menyeringai kesakitan ketika tangannya diluruskan oleh Malaikat Gelang Emas. Tangan itu diusapnya pelan dan sentuhannya samar-samar. Dari pangkal lengan tangan Malaikat Gelang Emas meraba sampai ke pergelangan tangan. Di sana tangan itu merapat dan menggenggam pergelangan tangan, sedangkan tangan yang satunya memegangi ujung pundak Tamtama. Lalu tiba-tiba tangan yang patah itu disentakkan dengan kuat.

Kraak...!

"Uuaaahhh...!" Tamtama menjerit sekeras-kerasnya dengan mata mendelik. Rasa sakit yang ditimbulkan karena sentakan tangan tadi sungguh luar biasa, sampai ingin menjebolkan ubun-ubun rasanya. Padahal menurut dugaannya, seorang tokoh sakti akan menyembuhkan suatu penyakit seperti itu dengan gerakan yang tidak kentara sama sekali, tidak timbulkan rasa sakit sedikit pun.

Dengan pandangan mata saja orang sakti seperti Malaikat Gelang Emas semestinya bisa membuat tangan yang patah menjadi sembuh seperti sediakala. Tapi ternyata apa yang dialami Tamtama itu sama saja ia berobat ke seorang dukun pijat yang baru kali itu meluruskan tulang yang patah.

Tamtama terengah-engah sambil meraung kecil menahan rasa sakit. Tangan itu sudah dilepaskan oleh Malaikat Gelang Emas. Keadaannya memang menjadi pulih dan lurus kembali. Seolah-olah persendian siku yang terlepas itu sudah menyambung kembali. Tapi rasa sakitnya masih saja mengucurkan keringat dingin di sekujur tubuh Tamtama.

"Bangsat betul dia!" geram Tamtama di dalam hatinya. "Tangan yang ku senggol saja sakitnya bukan main, sekarang malah ditariknya kuat-kuat. Uuuh...! Tak tahan rasa sakitnya. Kalau begini lebih baik aku jatuh pingsan beberapa saat, sehingga tak ku rasakan kenyerian ini! Gila! Sakitnya melebihi waktu dipatahkan oleh Gandaloka!"

Kemudian Malaikat Gelang Emas perdengarkan suaranya yang masih menyentak-nyentak, "Buka telapak tanganmu! Lekas...!"

Tamtama membuka telapak tangannya. Malaikat Gelang Emas menyentak lagi dengan jengkel, "Bukan yang ini! Yang sakit itu, Goblok!"

Pelan-pelan sekali Tamtama mengangkat tangannya yang sakit dan membuka telapak tangan tersebut. Kemudian, jari tengah Malaikat Gelang Emas ditempelkan di pertengahan telapak tangan itu. Jari tersebut memancarkan cahaya kuning kehijau-hijauan. Seeet...! Ada seberkas sinar yang masuk ke dalam telapak tangan Tamtama, rasanya dingin sekali. Dan rasa dingin itu ternyata meredakan rasa sakit di sekujur tubuh Tamtama, terutama di bagian lengan yang habis patah itu.

Pada waktu Malaikat Gelang Emas mencabut jari tengahnya dan jari itu tidak lagi memancarkan sinar kuning kehijauan, hawa dingin bagai menguasai sekujur tubuh dan melenyapkan rasa sakit. Sehingga, kini Tamtama sama sekali tidak merasakan sakit sedikit pun, baik di sekujur tubuh maupun pada bagian lengan yang patah.

"Gerakkan tanganmu!" perintah Malaikat Gelang Emas.

Tamtama menggerakkan tangan yang habis disembuhkan. Ternyata dapat bergerak dengan leluasa tanpa timbulkan rasa sakit juga. Bahkan untuk menghantam tempat kosong pun tidak terasa sakit sedikit pun. Tamtama tersenyum lega, karena sekarang tangannya yang patah sudah pulih seperti sediakala.

"Masih ada yang kau rasakan sakit?"

"Tidak, Tuan ku!"

"Itu berarti kau harus segera pergi mencari Yoga dan membunuhnya dengan kelicikanmu!"

"Baik, Tuan ku! Saya akan penuhi janji saya! Tapi... sejujurnya saya katakan bahwa ilmu saya jauh tidak sebanding dengan ilmunya Pendekar Rajawali Merah itu. Apalagi dia punya pedang pusaka yang maha dahsyat! Rasa-rasanya perlawanan saya hanya akan sia-sia belaka, Tuan ku!"

Malaikat Gelang Emas menggeram. "Hhrrrmm...! Jadi apa maksudmu?"

"Bekalilah saya satu jurus untuk mengalahkan Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih, Tuan ku!"

"Aku tidak akan turunkan satu ilmu pada siapa pun! Mengerti?! Jangan kau berharap aku akan turunkan ilmu padamu walau hanya satu jurus!" kata Malaikat Gelang Emas dengan mata memandang tajam.

"Jadi, bagaimana saya harus mengalahkan Yoga dan Lili, Tuan ku?"

"Curi pedang mereka! Kekuatan mereka ada di dua pedang pusaka itu! Jika kau bisa curi pedang mereka dan membunuh mereka berdua, serahkan pedang itu padaku dan barulah aku akan mengangkatmu sebagai muridku!"

"Baik! Terima kasih atas saran Tuan ku Yang Mulia Malaikat Gelang Emas. Saya akan kerjakan hal itu!"

"Cepat kau minggat dari sini, aku sudah muak melihatmu terlalu lama! Aku hanya ingin melihat kebenaran janjimu!" hardik Malaikat Gelang Emas yang membuat Tamtama segera membungkuk memberi hormat dan lekas pergi tinggalkan tempat itu.

Dalam perjalanannya yang tak tentu arah, karena memang Tamtama tak tahu di mana Yoga berada saat itu, hati pemuda yang mempunyai jiwa penghasut itu berucap kata di dalam hatinya sendiri,

"Memang benar apa yang dikatakan oleh Malaikat Gelang Emas, pedang pusaka itulah yang menjadikan Yoga sebagai orang berilmu tinggi dan punya kekuatan hebat walau sudah buntung tangannya! Untuk melumpuhkan dia, memang harus mencuri pedangnya. Tetapi alangkah sulitnya mencuri pedang pendekar itu jika aku tidak memiliki ilmu lebih tinggi dari yang kumiliki sekarang ini?! Tentunya mencuri pedang pusaka itu tidak semudah mencuri jemuran! Setidaknya melalui pertarungan dulu, dan jika sekali gebrak aku sudah tak berdaya, lantas kapan aku bisa mencuri pedang tersebut? Mau tak mau harus kulakukan dengan tipu muslihat! Tapi tipu muslihat bagaimana yang bisa kugunakan menipu dirinya? Bisakah mereka berdua ditipu? Dan... dan...."

Ucapan yang membatin itu terhenti karena adanya suara samar-samar yang didengar. Suara itu adalah suara seruling yang tidak lengking, bahkan berkesan besar, namun enak didengar. Sayup-sayup suara itu dihembuskan angin yang bergerak dari utara ke selatan.

"Suara seruling itu sungguh melegakan hati. Enak sekali didengarnya dalam keteduhan angin semilir begini?!" pikir Tamtama sambil hentikan langkahnya. Ia kembali menelengkan telinganya untuk menyimak suara seruling nan merdu tersebut. Hatinya semakin terpikat untuk lebih mendekati sumber suara tersebut. Maka, Tamtama segera bergerak pelan-pelan menyusuri arah datangnya suara seruling itu.

Di bawah sebuah pohon rindang bertanah menggunduk tak rata, di sana duduk seorang gadis cantik berpakaian kuning kunyit. Gadis itu duduk bersimpuh sambil meniup seruling bambu yang berukuran besar. Panjang seruling itu sekitar satu lengan lebih sedikit. Suaranya bukan melengking namun menggaung. Bambu seruling itu berwarna coklat muda, dengan lubang tiup di bagian ujungnya.

Gadis itu meniup seruling dengan tenang dan damai. Matanya terpejam samar-samar, bibirnya dirapatkan dengan ujung bambu seruling yang menjadi tempat tiupnya. Rambutnya yang tersisa dari gulungan di atas kepala itu meriap-riap dipermainkan angin yang semilir.

Seruling itu mengalunkan irama yang seolah-olah menghadirkan kelegaan di dalam hati siapa pun yang mendengarnya. Sungguh merdu bunyi seruling, dan sungguh menawan irama nadanya. Tamtama sempat terkesima ketika ia melihat bahwa si peniup seruling itu adalah seorang gadis cantik berhidung mancung, berbulu mata lentik, dan berkulit kuning langsat.

Pakaian yang dikenakan sedikit seronok karena terlihat jelas gumpalan dua bukit di dadanya yang menggunung padat dan mulus. Gaun yang dikenakan itu sendiri mempunyai belahan panjang sampai di batas paha kanan kiri, sehingga semilir angin telah menyingkapkan gaun itu, memperlihatkan sebagian kulit pahanya yang sangat mendebarkan setiap lelaki yang memandangnya.

Gadis yang rambutnya digulung sebagian dan pada gulungannya diberi pita hijau muda itu, melihat kedatangan Tamtama yang berdiri agak menyamping dari tempat duduknya. Tapi gadis itu kembali redupkan matanya dan tetap meniup serulingnya bagai tak mau tahu dengan kehadiran seseorang di dekatnya.

Irama seruling kian mendayu-dayu, menciptakan debar-debar keindahan bagi pendengarnya. Tamtama begitu terbuai oleh alunan irama seruling itu, sehingga hatinya digumuli oleh kebahagiaan dan keme-sraan yang mengguncangkan hasratnya. Tak sadar ia melangkah pelan-pelan mendekati gadis cantik peniup seruling itu. Semakin dekat semakin berdebar hati Tamtama, jantungnya pun berdetak cukup kuat, hasratnya mulai terbakar ketika ia mencium aroma wangi aneh yang tertiup angin dari tubuh gadis itu.

Setiap seruling itu menyerukan nada memanjang, hati Tamtama berdesir dan hasrat kemesraannya bagai diterbangkan tinggi-tinggi. Tak sadar pula ia melakukan gerakan-gerakan tangan yang seolah-olah ingin menghantarkan jiwanya ke puncak kemesraan itu. Semakin dekat semakin jelas aroma wangi yang membakar gairah itu. Tamtama mulai dicekam tuntutan yang meledak-ledak dalam dadanya. Ia bagaikan tak mampu menahan hasratnya sendiri dan ingin segera melampiaskannya.

Tetapi tiba-tiba suara seruling itu berhenti. Gadis cantik peniupnya memandang Tamtama dengan mata sayu. Seruling dijauhkan dari bibir si peniupnya, dan bibir itu menyunggingkan senyum tipis namun semakin membuat darah kemesraan bergejolak mendidih mencari tempat pelepasannya.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya gadis cantik itu, seakan sebuah tantangan hebat yang tak boleh disia-siakan oleh Tamtama.

Tetapi lidah Tamtama justru kelu, kerongkongannya sibuk menghambur-kan napas yang tak terkendali karena desakan hasrat dalam jiwanya itu. Gadis tersebut bergegas bangkit, lalu melangkah menjauhi Tamtama, tapi matanya melirik sayu dan penuh senyum yang menggoda. Tamtama mau tak mau jadi mengikuti langkah itu walau arahnya ke semak-semak.

ENAM
TAMTAMA terkulai di rerumputan, di samping gadis cantik berkulit mulus tanpa cacat sedikit pun itu. Keringatnya membanjir di sekujur tubuh, nafasnya terengah-engah bagai orang habis berlari sehari sema-laman. Semak-semak berdaun rambat yang membentuk semacam atap sebuah lorong itu sungguh merupakan tempat bernaung yang paling aman untuk berbuka busana dalam keadaan terkulai lemas begitu. Tamtama tidak merasa khawatir diintip orang, sehingga ia biarkan tubuhnya terkapar terbungkus keringat tanpa selembar benang pun.

Gadis cantik itu juga terkulai di samping Tamtama, tapi bibirnya masih menyunggingkan senyum kepuasan. Ketika ia miringkan tubuh dan memandang Tamtama dengan kepala disangga satu tangan, senyumnya dilebarkan, tangan binalnya kembali merayap dengan nakal. Terdengar suaranya yang serak-serak basah itu berkata kepada Tamtama,

"Ada tempat yang lebih baik dari tempat ini untuk mengulang kemesraan kita yang keempat kalinya. Tapi, aku khawatir kau menolak untuk menempati tempat yang lebih baik dari semak-semak ini."

Matanya yang memang selalu sayu memandang itu, kini ditatap Tamtama dengan sikap menahan tawa kegirangan. Keheranan yang tersimpan di dalam hati Tamtama hanya terlontar dalam bentuk kata tanya, "Apakah kau belum merasa cukup?"

Gadis bermata sayu penuh ajakan bercumbu itu gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum na-kalnya. Ia berucap kata dalam nada bisik, "Tak pernah ku rasakan keindahan setinggi ini. Tak pernah kudapatkan kebahagiaan sebesar yang kau berikan padaku! Aku menginginkannya lagi."

"Agaknya kau sangat dahaga."

"Memang. Kau ingin menolak ku?"

Tamtama tertawa sambil mencubit dagu gadis menggairahkan itu. Kemudian Tamtama ucapkan kata setelah menggeleng pelan, "Aku bukan lelaki yang bodoh, yang berani menolak tantanganmu. Hanya saja, aku ingin tahu siapa dirimu sebenarnya."

"Namaku Seruni, aku tinggal di sebuah gua. Hanya itu tempat tinggalku sebagai tempatku bernaung kesehariannya."

"Jauhkah gua itu dari sini?"

"Tidak terlalu jauh."

Tamtama diam, memandangi kecantikan yang terbentang jelas di depannya. Memandangi dada me-nantang yang juga terpampang jelas di depannya. Bahkan tangan Tamtama mencoba memberi kenakalan seimbang dengan tangan Seruni.

Terdengar Seruni bertanya, "Maukah kau datang ke tempat tinggalku di gua itu?"

"Mengapa tidak? Setelah istirahat sejenak kita segera berangkat ke sana, Seruni! Kau sungguh membuatku senang."

"Kau akan lebih senang lagi jika di sana!"

Suara tawa lirih dari Tamtama melambangkan hatinya yang semakin bersorak girang. Tamtama tak sadar bahwa ia telah terpengaruh dan terkuasai oleh ilmu pemikat yang dipancarkan oleh Seruni melalui suara serulingnya. Memang wajah Seruni sendiri sudah menghadirkan daya pikat tinggi dari sebuah kecantikan seorang gadis seusianya, tubuhnya yang molek juga memancarkan daya tarik tersendiri untuk seo-rang lelaki seusia Tamtama.

Tapi jika Tamtama tidak mendengarkan nada-nada seruling mesra Seruni, tak mungkin hatinya secepat itu terpikat dan menjadi pasrah dengan ajakan binal Seruni. Tamtama mencintai Mahligai. Baginya, hanya Mahligailah gadis yang ada dalam hidupnya dan harus tetap diburu. Tamtama tak mau pindah hati ke perempuan lain. Tapi karena pengaruh kekuatan ilmu pemikat dari suara seruling Seruni itu, Tamtama bagaikan lupa pada Mahligai, lupa pada cita-cita hatinya.

Nada-nada seruling itu mampu menundukkan hati seorang pria sekeras apa pun, mampu membuat lelaki kasar menjadi halus, lembut, lunak, dan penurut. Nada-nada seruling itulah yang menggerakkan hasrat dan keinginan bercumbu bagi seorang pria, sehingga semangatnya berkobar-kobar dan seolah-olah pantang menolak ajakan si gadis binal itu.

Terbukti, Tamtama menurut saja ketika diajak pergi dari semak-semak yang habis digunakan sebagai ajang kemesraan mereka. Tamtama tidak curiga sedikit pun ketika Seruni sebutkan nama Gua Bidadari. Tamtama sama sekali tidak tahu, bahwa Seruni adalah anggota dari kumpulan bidadari sadis yang punya tugas menjerat dan menculik seorang pria berperawakan kekar, perkasa, dan masih segar. Lewat ilmu 'Seruling Bulan Madu' itulah, Seruni melaksanakan tugas utamanya yang diberikan oleh sang Ketua Partai Gadis Pujaan, yaitu Bidadari Manja.

Dan seperti biasanya, setiap mangsa yang berhasil dijerat dengan ilmu 'Seruling Bulan Madu', pasti dikuasai lebih dulu oleh Seruni. Setelah Seruni merasa cukup untuk sementara, barulah orang tersebut dibawa ke Gua Bidadari. Dan di sana, siapa saja boleh menggunakan Tamtama atau lelaki jeratannya sebagai sarana mendapatkan ilmu 'Karang Jantan'. Malangnya, jika lelaki itu menolak dan memberontak maka mereka akan membunuhnya secara biadab dan sadis, lalu membuangnya ke jurang yang sering disebut-sebut dengan istilah Ranjang Bangkai.

Tamtama sama sekali belum tahu hal itu. Ia hanya pernah mendengar sekilas tentang cerita bidadari penghuni gua, tapi tak tahu lebih banyak apa saja yang terjadi di dalam gua tersebut. Maka ketika ia dibawa ke jalanan menuju Gua Bidadari, wajah Tamtama menjadi teperangah kaget tapi ada sunggingan senyum tipis di sudut bibirnya. Dari kejauhan ia melihat gadis-gadis berlalu lalang di depan mulut gua yang cukup besar itu. Maka segeralah Tamtama berkata,

"Apakah kau tinggal di dalam gua itu?"

"Ya, aku tinggal di sana!" jawab Seruni sambil menggandeng lengan Tamtama, berjaga-jaga agar jangan sampai pria buruannya terlepas dan lari ketakutan, jika pria itu tahu siapa mereka.

"Jadi, kau adalah... adalah salah satu dari bidadari-bidadari penghuni Gua Bidadari itu!"

"Benar. Kurasa kau tak perlu takut, teman-temanku ramah-ramah sikapnya dan tak ada yang akan menyakiti dirimu!"

"Aku tidak takut! Aku justru seperti sedang bermimpi! Ku pikir tadinya Gua Bidadari itu hanya dongeng belaka, ternyata memang benar-benar ada. Dan... dan ini suatu keberuntungan bagiku dapat melihat bidadari cantik-cantik yang mungkin tak akan kujumpai di tempat lain, Seruni!"

Senyum Seruni mekar bersama tawa seraknya yang tipis. Tawa itu sebenarnya tawa kelegaan hati, bahwa pria buruannya ternyata justru merasa senang dibawa ke Gua Bidadari. Seruni berani melepaskan genggaman tangannya dari lengan Tamtama, sebab ia yakin Tamtama tidak akan lari ketakutan.

Ketika Seruni dan Tamtama mendekati pintu gua yang dijaga lima perempuan cantik dalam usia sekitar tiga puluh tahun sampai empat puluh tahun, tapi masih cantik-cantik dan kencang-kencang tubuhnya itu, salah seorang dari mereka menegur Seruni dalam godaan,

"Wah, kali ini kau mendapat ikan emas rupanya. Bukan mujair lagi seperti kemarin, Seruni!"

"Begitulah. Dan ikan emas ini makin jinak, belum pernah kena kail sedikit pun!" kata Seruni dalam senyum kebanggaan.

"Kalau begitu, lekaslah menghadap sang Ketua supaya beliau lekas bagi-bagikan pada kami! Ku harap akulah orang pertama yang mendapat giliran berenang bersama ikan emasmu itu, Seruni!"

"Berdoa saja kalau memang doa mu masih bisa diterima!" jawab Seruni sambil mengikik tertahan dan membawa Tamtama masuk ke dalam gua tersebut. Sementara itu, Tamtama sibuk memberikan senyuman balasan kepada para penjaga pintu gua lainnya.

Gua itu berlangit-langit tinggi. Pintu mulut guanya sendiri sangat besar dan tinggi, sukar diberi penutup. Dari luar gua itu kelihatannya biasa-biasa saja, dan tidak terlalu dalam. Ternyata ada dinding batu yang sangat lebar bagai penyekat antara bagian depan gua dengan bagian dalamnya. Di samping kanan kiri dinding batu penyekat itu terdapat celah lebar menyerupai jalan masuk yang bisa dipakai lewat tiga orang sekaligus. Bagian kanan dan kiri punya celah yang sama lebarnya. Dan celah itu ternyata membentuk lorong selebar antara dua tombak.

Lorong berdinding tak rata itu hanya mempu-nyai dua obor, demikian pula di lorong satunya lagi. Tamtama diajak masuk oleh Seruni melalui lorong yang kanan, dan di sepanjang lorong kanan itu ada beberapa gadis yang membentuk kelompok sendiri-sendiri dan saling bergunjing, entah apa yang digunjingkan. Tawa mereka menjadi irama khas bagi Gua Bidadari itu.

"Pantas gua ini dikatakan sebagai Gua Bidadari, sebab di sini banyak terdapat perempuan-perempuan cantik yang mengagumkan hati," kata Tamtama kepada Seruni.

"Begitulah kami," hanya itu jawaban Seruni, karena para wanita yang tadi sedang bergunjing dan saling kasak-kusuk itu sekarang mulai memperhatikan kedatangan Seruni dan Tamtama. Mereka mulai saling nyeletuk dan menampakkan sikap memuji Tamtama. Bahkan ada yang langsung berani mencubit dagu Tamtama, atau menggelitik pinggang Tamtama.

"Biar aku yang menuntunnya ke kamar, Seruni!" kata salah seorang wanita cantik yang kelihatan berselera sekali dengan Tamtama. Tetapi temannya segera menepiskan tangan orang yang sudah meraih pergelangan tangan Tamtama.

Plaak...!

"Lagi-lagi kau selalu minta yang paling awal! Kau pikir aku tidak punya hak untuk menjadi yang pertama?!"

"Hei, hei... sudah! Jangan ribut dulu, biar sang Ketua yang memutuskan siapa yang pertama!" kata Seruni sambil memisahkan Tamtama dari kedua temannya yang tampaknya sama-sama ingin menjadi orang pertama yang akan menggunakan Tamtama.

Sementara itu, Tamtama sendiri merasa bangga dijadikan bahan rebutan begitu. Ia merasa dirinya sangat berharga, apalagi yang memperebutkan gadis-gadis cantik yang rata-rata punya tubuh menggiurkan itu.

Lorong itu pun ternyata terbentuk dari sebidang dinding yang tak seberapa tebal, sama ketebalannya dengan dinding di ruang depan yang membuat gua itu sepertinya tidak terlalu dalam. Dinding-dinding itu sebenarnya mudah diruntuhkan dengan pukulan tenaga dalam orang yang berilmu sedang.

Tapi agaknya mereka sengaja tidak mau merobohkan dinding-dinding alami itu, supaya keadaan di dalam gua tidak terlalu terbuka ngablak, dan angin gunung tidak menembus masuk dalam jumlah besar. Tetapi apa yang ada di balik dinding itu adalah sesuatu yang membuat 'para tamu' mereka tercengang-cengang. Hal itu dialami sendiri oleh Tamtama, sebagai orang yang baru masuk Gua Bidadari.

Ternyata di balik dinding penyekat alami itu terdapat ruangan yang amat luas dan lebar, berlangit-langit tinggi. Luasnya ruangan itu menyerupai luas sebuah perkampungan tanpa langit. Ruangan yang begitu besarnya itu diterangi oleh banyak obor di sana sini yang jumlahnya lebih dari seratus batang obor. Agaknya mereka menggunakan bahan bakar obor bukan memakai minyak tanah, melainkan memakai semacam getah pohon yang apabila dibakar akan menyalakan api sepanjang masa. Tak akan habis dan tak akan padam jika tidak karena dipadamkan.

Ruangan lebar yang memanjang itu mempunyai kamar-kamar buatan mereka sendiri. Kamar-kamar itu menyerupai rumah-rumah di suatu perkampungan. Ada gang kecil, ada jalan, ada saluran air di bagian tepi dinding, ada kolam yang tak terlalu lebar namun cukup untuk menampung separo penghuni gua tersebut. Ada pula air terjun yang merupakan mata air merembas dari dinding gua sebelahnya.

Di tengah-tengah ruangan marmer putih setinggi satu berbentuk lingkaran. Luasnya tengah antara sepuluh tombak maha besar itu dibangun lantai betis, menyerupai panggung cukup lumayan dengan garis. Di lantai marmer itulah, 'para bidadari' duduk dengan santainya pada bagian tepian lantai. Ada yang sambil menikmati tembakau pipa panjang, ada yang sekadar berbincang-bincang dengan dua-tiga teman, ada yang membersihkan senjata, ada pula yang melatih gerakan-gerakan silat mereka.

Namun ketika salah seorang yang menyertai kedatangan Tamtama dan Seruni berseru, "Seruni membawa seekor ikan emas!"

Suasana menjadi semakin riuh. Semua mata menatap Tamtama. Bahkan sebagian besar bergegas mendekati Tamtama dengan senyum kegirangan. Tamtama sendiri sempat berdebar-debar karena banyaknya wanita cantik yang ada di sekelilingnya. Mata Tamtama bingung memandang karena semua wajah punya nilai kecantikan sendiri-sendiri dan semua tubuh punya keelokan masing-masing yang menggairahkan mata lelaki. Bahkan ada yang hanya mengenakan penutup dada dan penutup bagian bawahnya dengan kain berhias logam-logam berkeriap.

Menurut dugaan Tamtama, jumlah mereka lebih dari empat puluh orang. Mungkin mencapai lima puluh jiwa yang menghuni gua besar tersebut. Karena menurut anggapan Tamtama, gua tersebut sudah menjadi satu kerajaan kecil dengan jumlah rakyat yang kecil tapi pada umumnya adalah berjenis perempuan.

Dari sekian banyak perempuan, hanya satu lelaki yang dilihat oleh Tamtama saat itu. Lelaki tersebut bertubuh kurus dan berwajah pucat. Lelaki itu sedang tiduran telentang di atas lantai marmer bagai melepaskan lelah di sana. Lelaki itu hanya mengenakan pakaian penutup bawah dan tampak layu sekali kulit tubuhnya.

Semua tangan ingin menjamah tubuh Tamtama membuat Tamtama menjadi takut sendiri. Lalu, seseo-rang yang berpakaian merah muda itu membentak di tengah-tengah kerumunan mereka,

"Minggir semua! Minggir...!" sambil tangannya menyentakkan satu tubuh yang ingin memeluk Tamtama. Tubuh itu terpental mundur dan mengakibatkan beberapa orang di belakangnya roboh berjumpalitan.

Agaknya perempuan berpakaian merah muda itu menggunakan tenaga dalamnya saat menyentakkan tangan, sehingga beberapa orang menjadi tumbang karenanya. Perempuan berambut pendek dengan ikat kepala biru muda itu berseru kepada perempuan berpakaian merah muda itu,

"Citrawati...! Apa maksudmu melarang kami mendekati dia? Kau pikir kaulah orang pertama yang akan bersamanya? Iya?!"

"Aku tidak berkata begitu! Aku hanya ingin menjaga supaya tamu kehormatan kita ini tidak merasa muak dengan tingkah kalian!"

"Apakah tidak sebaliknya, justru tingkahmulah yang membuat tamu kehormatan kita ini menjadi muak?!"

"Lantas kau mau apa, hah?!" Citrawati membentak dengan geram.

"Hei, kau jangan membentak ku begitu, Citrawati! Aku punya harga diri dan tak bisa dibentak-bentak di depan tamu! Kalau ingin robek mulutmu, dekatlah kemari biar kurobek mulutmu itu!"

"Jahanam kau! Hiaaah...!" Citrawati melompat dan memberikan tendangan kepada lawannya.

Tendangan itu ditangkis dengan satu tangan, sedangkan tangan lawan yang satunya menyentak ke depan dan berkelebatlah sinar merah kecil. Sinar itu dengan telak sekali menghantam dada Citrawati.

Deebb...!

"Aahg...!" Citrawati terpekik dengan tubuh tersentak ke belakang dan jatuh menindih salah seorang yang berusaha menghindari perkelahian tersebut. Citrawati terkapar dengan wajah membiru dan napas sukar dihela. Ia tercengap-cengap dengan mata mendelik akibat pukulan sinar merah dari gadis berikat kepala biru muda itu.

Tamtama kaget dan menjadi tegang melihat pukulan orang itu berakibat berbahaya bagi Citrawati. Bahkan Tamtama menjadi memejamkan mata seketika itu karena orang berikat kepala biru melepaskan satu pukulan sinar merah lagi ke dada Citrawati yang membuat dada itu menjadi hangus seketika dan bahkan rambut kepala Citrawati pun terbakar habis tanpa terlihat ada nyala api setitik pun. Citrawati akhirnya mati dalam keadaan hangus sekujur tubuhnya.

Hal yang mengherankan Tamtama adalah sikap teman-teman mereka, ternyata bukan mencegah perkelahian maut itu, melainkan justru menjadi penonton yang baik. Bahkan mereka bersorak dan bertepuk tangan setelah orang berikat kepala biru itu berhasil membunuh Citrawati. Orang itu sendiri pun bersorak kegirangan.

"Edan! Mereka dengan mudahnya saling membunuh hanya gara-gara memperebutkan diriku?!" pikir Tamtama.

Pada saat itu Seruni berbisik, "Jangan heran! Beginilah kami jika dalam kesehariannya! Berani menantang pertarungan harus berani mati sendiri tanpa pembelaan!"

"Kehidupan macam apa ini sebenarnya, Seruni?"

Seruni tidak menjawab karena terdengar suara dari atas lantai bundar dari bahan marmer putih itu, "Widarti! Jangan menganggap dirimu jadi orang pertama dalam menemani tamu kita nanti! Keberhasilanmu membunuh Citrawati bukan syarat utama untuk menjadi orang pertama! Barangkali kalau kau bisa mengalahkan aku, kau baru boleh menjadi orang pertama!"

Widarti, yang berikat kepala biru itu, menjadi garang wajahnya mendengar tantangan dari atas arena berlantai putih itu. Serta-merta dia melompat ke sana sambil berseru, "Kulayani tantanganmu, Umami!"

Lalu, perempuan-perempuan yang lain memberi tempat, mengelilingi lantai bundar itu, dengan wajah berseri-seri bagai ingin menyaksikan tontonan yang seru. Bahkan beberapa orang ada yang memberi semangat kepada Widarti, ada pula yang memberi semangat pada Umami.

Sraang...! Umami mencabut pedangnya dan siap menghadapi Widarti. Sementara itu, Widarti hanya mencabut trisula dari pinggangnya yang agaknya merupakan senjata andalan bagi kemahirannya bermain senjata.

Trang, trang...! Wuuut...! Jruub...!

"Aaahg...!" Widarti mendelik, ulu hatinya ditembus pedang Umami. Ia jatuh berlutut, lalu tergeletak dan menghembuskan napas terakhir. Mereka bersorak mengelu-elukan Umami.

Suara sorak itu terhenti seketika. Sepi dan hening tercipta begitu mencekam di seluruh ruangan lebar dan luas tersebut. Seakan dari ujung ke ujung tak ada yang berani berkutik. Berhentinya suara sorak-sorai mereka itu dikarenakan munculnya seorang perempuan cantik yang sudah matang dalam usia namun masih muda dalam penampilan dan daya tariknya yang begitu menggiurkan.

Perempuan itu hanya mengenakan jubah tipis warna ungu muda, dan pakaian dalamnya hanya sebatas tempat-tempat tertentu saja yang ditutupi dengan pakaian dari kain kuning emas. Pakaian kuning emas itu sangat ketat, kecil, dan tipis. Seakan benar-benar apa yang perlu ditutup, ditutupnya, yang tidak perlu dibiarkan terbungkus jubah berlengan longgar dari bahan sutera yang transparan.

Ketika perempuan berambut panjang sebatas pantat yang diriap itu naik ke atas lantai bundar, semua orang segera merendahkan badan. Berlutut sambil tundukkan kepala sebentar. Setelah itu, mereka kembali berdiri dan menunggu perempuan berwajah lonjong yang punya nilai kecantikan begitu agung itu berbicara kepada Seruni,

"Kudengar seekor ikan emas telah berhasil kau peroleh, Seruni?!"

"Benar, sang Ketua!" jawab Seruni dengan tegas.

Rupanya perempuan berjubah ungu muda itu adalah sang Ketua yang punya nama Bidadari Manja. Tamtama menatap perempuan itu dan berdebar hatinya antara kagum dan hormat. Perempuan itu pun sedang menatapnya, kemudian menyuruh Seruni membawa Tamtama naik ke lantai bundar itu. Bidadari Manja memandangi Tamtama dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia tak pedulikan mayat Widarti masih tergeletak di bawahnya. Ia bahkan tersenyum memikat hati kepada Tamtama, lalu bertanya nama dan Tamtama menyebutkan namanya, sehingga mereka tahu semua nama Tamtama.

"Mana Pinjung Dara...?!" tanya Bidadari Manja kepada salah seorang.

"Sedang semadi, Ketua!"

"Bersama siapa?"

"Aditya!"

"Nanti kalau sudah selesai, suruh dia mengatur pertarungan untuk menentukan, siapa yang berhak semadi bersama Tamtama setelah aku memakainya nanti!"

"Semadi apa maksudmu, Ketua?" tanya Tamtama dengan berani.

"Setiap lelaki yang datang kemari, harus mau melayani kami satu persatu! Dan untuk dirimu, Tamtama... karena kau tampak istimewa, maka akulah orang pertama yang akan menggunakan mu untuk semadi!"

"Aku... aku harus melayanimu?"

"Ya! Apakah kau tak tertarik?" Bidadari Manja sunggingkan senyum dan kerlingkan mata yang menggoda.

Tamtama dalam keadaan bingung bertanya lagi, "Setelah itu aku bebas ke mana saja?"

"Bebas melayani siapa saja!"

"Bagaimana kalau aku menolak?"

"Kau harus mati di tangan mereka!" jawab Bidadari Manja kalem sekali, tapi membuat Tamtama menjadi deg-degan. Ia baru menyadari apa sebenarnya yang akan dialami di dalam Gua Bidadari itu.

"Aku bukan budak nafsu! Aku tidak mau!"

"Kalau begitu kau bidang pedang, dan pedanglah yang akan melayanimu dengan paksa, Tamtama!"

Semakin cemas hati Tamtama, memandang kesana sini dan ternyata tak ada satu pun yang berminat menolongnya. Akhirnya Tamtama berkata, "Baiklah! Tapi aku minta dua syarat!"

"Apa syaratmu?"

"Pertama, aku hanya mau melayani kau saja, Bidadari Manja! Kedua, aku mau melayanimu tapi kau harus turunkan ilmumu padaku! Jika kau tidak penuhi kedua syarat itu, silakan sekarang juga siapa saja mau bunuh aku, ayo bunuhlah! Aku lebih baik mati daripada harus melayani semadi semua orang di sini! Aku ingin menjadi orang khusus bagi sang Ketua dan mendapatkan imbalan ilmu dari sang Ketua yang kukagumi! Jika persyaratan ku ini tidak dipenuhi, jika tidak ada yang berani bunuh aku, aku punya cara bunuh diri sendiri!"

Bidadari Manja diam membisu. Semua mulut pun terkatup. Selama ini belum pernah ada pria yang berani berkata begitu di depan Bidadari Manja. Dan agaknya, sang Ketua sedikit bingung memberi keputusan.

TUJUH

BUJANG Lola ternyata tak bisa mengatasi racun yang bersarang di tubuhnya. Hampir saja ia mati dengan kulit pecah-pecah kalau saja seorang lelaki berpakaian putih lusuh tidak segera datang menemukan dirinya.

Lelaki itu berusia kurang lebih enam puluh tahun dengan rambutnya yang panjang berwarna abu-abu. Badannya kurus, tapi tak terlalu ceking. Wajahnya berkesan dingin dengan sorot pandangan matanya yang mempunyai kesan wibawa. Orang tua itu mempunyai kumis lebat dan alis mata tebal, juga jenggot yang lebat walau tidak panjang. Semua kumis atau bulu di wajahnya berwarna abu-abu. Pada bagian lengan dan kulit tubuh lainnya juga berbulu yang tergolong lebat untuk ukuran bulu tubuh manusia. Dan bulu itu juga berwarna abu-abu.

Orang itu mengenakan jubah hitam berlengan longgar. Sabuknya berukuran besar warna hitam pula. Di sabuknya itu terselip sebuah bumerang berujung tajam. Melihat kehadiran orang tua itu, Bujang Lola segera meratap dalam tangisnya sambil berucap kata,

"Guru, tolong saya...!"

"Bocah goblok!" bentak orang tua itu yang tak lain adalah Leak Parang, seorang tokoh sakti yang jarang muncul jika bukan karena ada urusan sangat penting.

Bujang Lola adalah pelayan dari Leak Parang, tetapi selalu merasa menjadi murid Leak Parang. Itu disebabkan karena Leak Parang sendiri berlagak tidak pernah tahu bahwa Bujang Lola mencuri-curi jurusnya jika ia sedang melatih kedua muridnya yang kini sudah jarang bertemu itu.

"Sudah tahu tidak punya kemampuan apa-apa masih nekat mengadu nyawa dengan orang berilmu tinggi!" omel Leak Parang. "Aku tahu, lawanmu itu pasti berilmu tinggi dan kau terkena racun Ludah Kobra! Dan orang yang memiliki racun Ludah Kobra berarti dia punya ilmu tinggi!"

"Saaaya... diserang mendadak, Guru!"

"Itu salahmu sendiri. Beberapa waktu yang lalu sudah ku ingatkan agar jangan keluar dari pondok! Kau banyak kehilangan tenaga. Tapi kau nekat, dan sekarang kau tak bisa menghindari serangan dari lawanmu! Masih untung kau bisa bertemu denganku dalam keadaan hampir mati! Seharusnya kau bertemu denganku dalam keadaan sudah menjadi bangkai, tahu?!"

Bujang Lola terisak-isak seperti anak kecil. Buat Leak Parang, sikap cengengnya Bujang Lola sudah tidak aneh lagi. Leak Parang tahu, Bujang Lola sejak lahir tanpa orang tua, dia selalu merindukan kasih sayang dari siapa pun, ingin bermanja namun tak punya tempat, ingin mengadu tapi tak punya pelindung. Keadaan seperti itu membuat hatinya mudah tersentuh dan gampang hanyut dalam keharuan, sehingga tumbuhlah ia menjadi manusia cengeng.

Sekalipun demikian, Leak Parang sebenarnya sayang kepadanya. Bujang Lola cukup lama mengabdi menjadi pelayannya, sehingga Leak Parang sudah menganggapnya bukan pelayan lagi. Tapi ia tetap menolak jika dipanggil sebagai guru Bujang Lola. Leak Parang tidak mau mempunyai murid yang cengeng. Sedangkan Bujang Lola sulit menghilangkan sikap cengengnya itu, sehingga Leak Parang hanya bisa menempatkan Bujang Lola sebagai pelayan.

Beruntung sekali dalam keadaan separah itu Bujang Lola ditemukan oleh Leak Parang. Jika tidak, tak sampai matahari terbenam ia sudah mati dalam keadaan pecah-pecah raganya. Leak Parang segera sembuhkan Bujang Lola, ia melenyapkan racun Ludah Kobra dengan mengubur sebagian tubuh Bujang Lola sampai sebatas leher.

Leak Parang duduk di samping tubuh yang terkubur ini. Ia bersila dan pejamkan mata beberapa saat lamanya. Tanah yang dipakai mengubur sebagian tubuh Bujang Lola itu tiba-tiba menjadi hangat, namun sepertinya tanah itu juga keluarkan air berlendir. Air itu terasa merayapi sekujur tubuh yang terkubur. Perih rasanya, sehingga Bujang Lola merintih berkepan-jangan.

Beberapa waktu kemudian, Leak Parang menghantamkan telapak tangan kanannya ke tanah. Buuhg...! Dan tubuh Bujang Lola yang terkubur itu mental ke atas, keluar dari lubang kuburnya. Seolah-olah ada suatu tenaga yang melemparkan tubuhnya dari dasar bumi, membuat tubuh itu melayang beberapa saat dengan suara teriakan keras dari mulut Bujang Lola yang ketakutan. Kemudian tubuh tersebut jatuh ke tanah dalam keadaan terkulai dan terengah-engah.

Bruuk...!

"Pulanglah! Jaga pondok, dan jangan ke mana-mana sebelum aku datang! Kalau aku datang kau tidak ada di pondok, ku hukum kau sampai lumpuh seluruh tubuh mu!"

"Baik, Guru...!"

"Jangan panggil aku guru!" sentak Leak Parang.

"Ba... baik, Ki Leak!" Bujang Lola mengangguk dengan rasa takut. Tapi ia kembali perdengarkan suaranya, "Kalau boleh saya tahu, Ki Leak mau pergi ke mana?"

Dengan nada bijak Leak Parang menjawab, "Aku ingin menemui seseorang yang bernama Nyai Kubang Darah untuk suatu keperluan penting. Jika dalam satu purnama aku tak pulang, itu berarti aku mati di perjalanan! Siapa pun tak perlu mencari mayatku!"

"Bagaimana jika pihak keluarga Ki Leak Parang yang menanyakannya? Apa yang harus saya katakan kepada mereka?"

"Sebelum satu purnama, jika pihak keluargaku ada yang bertanya, katakan. bahwa aku sedang pergi bertapa. Tapi jika lewat satu purnama, katakan bahwa aku telah mati bersama Nyai Kubang Darah!"

"Maksudnya...." Bujang Lola tak jadi lanjutkan kata. Leak Parang sudah lebih dulu lenyap dalam satu sentakan kaki ke tanah. Kepergiannya menyerupai hembusan angin kencang yang tak bisa diikuti oleh pandangan mata. Bujang Lola yang telah merasa sehat dan tubuhnya tidak retak-retak seperti tadi itu, hanya terbengong melompong memperhatikan kepergian Leak Parang.

Tetapi ia segera tersenyum melihat tubuhnya kotor berlumur cairan hitam menyerupai kubangan yang amat kotor dan bau itu. Bujang Lola tertawa geli sendiri memperhatikan keadaan tubuhnya. Lalu segera pergi mencari sungai untuk membersihkan badannya yang bau busuk itu.

"Oh, iya...! Aku lupa untuk membicarakan tentang Kencana Ratih. Seharusnya tadi kutanyakan apakah Ki Leak Parang punya keponakan yang bernama Kencana Ratih? Jika kelak Ki Leak Parang merasa tidak mempunyai keponakan yang bernama Kencana Ratih, berarti gadis cantik itu benar-benar orang Gua Bidadari yang kukenal dengan nama Pinjung Dara! Tapi, orang bertopeng merah yang melemparkan senjata Bunga Neraka itu adalah Dewi Sukesi. Jika benar Kencana Ratih orang Partai Gadis Pujaan, mengapa ia menjadi berang dan mengejar Dewi Sukesi?"

Apakah benar Topeng Merah kali ini adalah Dewi Sukesi? Hal itulah yang ingin dibuktikan oleh Yoga dalam pengejarannya. Rupanya Topeng Merah mempunyai cara sendiri untuk melarikan diri. Ia mempunyai tempat-tempat untuk bersembunyi, sehingga pengejarnya sering kehilangan arah dalam memburunya.

Bahkan arah pelariannya pun cukup membingungkan, kadang ke timur, kadang ke utara, kadang ke selatan, ada kalanya ke barat. Sepertinya ia sengaja membuat pengejarnya tak bisa memastikan arah pelariannya. Topeng Merah tampak sengaja supaya tidak bisa diterka ke mana arah tujuannya yang pasti.

Namun tiba-tiba kaki Topeng Merah yang menyentak ke tanah dalam berlari itu terhantam oleh benda keras yang tidak begitu besar. Kaki itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan ia pun jatuh tersungkur. Bruuss...! Benda yang membentur kakinya itu tak lain adalah sebatang ranting kering yang dilemparkan seseorang dari arah samping. Tentu saja ranting itu mempunyai aliran tenaga dalam sehingga dapat membuat kaki tersentak ke samping dan jatuh.

Topeng Merah tidak mau terpaku dari jatuhnya, ia cepat sentakkan tangannya dan tubuhnya melenting ke atas bersalto satu kali. Dengan sigap kembali ia menapakkan kedua kakinya ke tanah dan memandang sekelilingnya. Lalu gerakan mata memandang itu terhenti pada sisi sebelah kanannya. Seseorang telah berdiri di sana dengan mengenakan pakaian longgar warna biru dan rompi ketat yang terkancing rapat warna merah. Dia adalah seorang gadis yang cantik dan berambut poni, wajah mungil, bibir pun tampak mungil.

Lembayung Senja, itulah orang yang mengusik pelarian Topeng Merah. la bersama Lili, si Pendekar Rajawali Putih, mencari kepergian Yoga untuk mendesak Pendekar Rajawali Merah itu agar mengaku siapa orang yang ada di balik Topeng Merah selama ini. Mereka berpencar dalam mencari Yoga. Tapi ternyata justru Lembayung Senja melihat kelebatan seseorang yang mengenakan pakaian serba merah dan bertutupkan wajah sebuah topeng setan berwajah merah pula. Karena itu Lembayung Senja yang berpihak pada Lili itu segera serukan kata di depan manusia berto-peng merah itu,

"Pucuk di cinta ulam pun tiba! Susah-susah mendesak Yoga untuk menyebutkan siapa sebenarnya manusia di balik topeng merah itu, ternyata aku sudah temukan sendiri biang keladinya!"

Topeng Merah melangkah dekati Lembayung Senja dengan sikap beringas. Ia telah mengepalkan kedua tangannya dan berhenti dalam jarak lima tindak dari depan Lembayung Senja.

"Apa perlumu mengganggu perjalananku, hah?!" sentaknya dengan suara tak bisa lantang kare-na tertutup topeng.

"Bukalah topengmu! Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya, setelah itu cepatlah pergi. Aku tak akan mengganggumu lagi!"

"Apa urusanmu dengan topeng ini?!"

"Hanya rasa penasaran saja; karena selama ini kau selalu bersembunyi di balik topeng iblismu itu!"

"Aku tidak bersedia membuka topeng ku! Lantas kau mau apa?!"

"Kalau begitu aku harus memaksamu! Atau, kubuka sendiri topengmu dengan pedangku ini?!"

Sreet...! Lembayung Senja yang sudah tidak lagi bersenjata cambuk melainkan pedang itu, segera mencabut pedangnya dan bersikap membuka pertarungan. Ia melangkah ke samping dengan pedang siap dite-baskan atau di hujamkan ke tubuh lawan, jika sewaktu-waktu lawan mendekat. Tetapi agaknya Topeng Merah tidak mau lama-lama melayani orang yang tak di-kenalnya itu.

Wuuut...!

Satu sentakan tangan melepaskan cahaya merah sebesar bola bekel. Cahaya merah itu melesat cepat, terbang ke arah Lembayung Senja. Den-gan cepat pula Lembayung Senja menghindar dengan cara bersalto ke belakang satu kali.

Wuuut...! Blaar...!

Cahaya merah sebesar bola bekel itu menghantam pohon, dan pohon itu pecah seketika, la-lu sisanya tumbang hampir menjatuhi tubuh Lem-bayung Senja. Beruntung tubuh Lembayung Senja ce-pat melompat dan bersalto dua kali di udara, menjauhi robohan batang pohon itu. Tapi ketika ia mendaratkan kakinya ke bumi, ternyata Topeng Merah sudah kembali lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa selarik si-nar kuning bagai sebatang besi lurus memanjang.

Zlaaap...!

Lembayung Senja cepat-cepat kibaskan pedangnya ke depan dada sendiri, dan selarik sinar kuning itu menghantam pedang. Logam pedang yang mengkilap itu pantulkan sinar kuning tersebut ke arah lain, sehingga semak-semaklah yang menjadi sasaran sinar kuning tersebut.

Blaarrsss...!

Semak-semak terbakar, tapi kejap berikutnya tubuh Lembayung Senja sendiri terpental ke belakang karena pedangnya tak mampu menahan sinar kuning terlalu lama. Pedang itu patah pada saat selarik sinar kuning itu menghantam semak dan membakarnya.

Begitu tubuh Lembayung Senja terpental ke belakang dan jatuh berjumpalitan bersama pedangnya yang lumer itu, ia segera dihantam oleh Topeng Merah dengan pukulan tenaga dalam tanpa sinar.

Baaahg!

Dada Lembayung Senja terasa jebol seketika itu. Tubuh yang baru saja mau berdiri menjadi tunggang-langgang kembali bagai disapu badai raksasa. Di seberang sana, Lembayung Senja muntahkan darah segar. Pada saat itulah Topeng Merah lanjutkan pelariannya karena takut diburu pengejarnya.

"Lembayung Senja...!" seru sebuah suara ketika Lembayung Senja mencoba bangkit dan berjalan terhuyung-huyung mencapai sebuah pohon yang akan dipakainya untuk bersandar.

"Lili...!" sapa Lembayung Senja dengan lemah. "Dadaku panas sekali! Aku terkena pukulan tenaga dalam yang cukup besar!"

Pendekar Rajawali Putih tiba di tempat itu karena mendengar suara ledakan tadi. Ia terkejut mendapatkan Lembayung Senja berwajah pucat dengan mulut berdarah. Ia segera memapah Lembayung Senja ke bawah sebuah pohon besar. Lalu ia lontarkan tanya yang tampak berapi-api,

"Siapa yang melukaimu?! Siapa?! Kau kenal orangnya?!"

"Topeng Merah sendiri!"

"Hah...?! Jadi kau jumpa dengan Topeng Merah?"

"Benar! Tapi dia menyerangku secara bertubi-tubi dan aku tak punya kesempatan membalasnya!"

"Ke mana ia pergi? Arah mana yang ditujunya?"

"Selatan...!" jawab Lembayung Senja dengan tubuh tersentak dan kembali memuntahkan darah segar.

"Ap... apakah... apakah dia bersama Yoga?"

"Tidak! Dia sendirian!"

"Tetaplah di sini! Jangan pergi dulu. Aku akan mengejarnya!"

"Ya, kejarlah! Kurasa dia belum jauh dari sini! Hati-hati, dia tampaknya cukup ganas!"

Pendekar Rajawali Putih tak hiraukan lagi peringatan itu Hatinya sudah tak sabar, ingin segera jumpa dengan Topeng Merah dan lakukan suatu pertarungan. Ia ingin buktikan kebenaran dugaannya, apakah wajah di balik Topeng Merah itu adalah wajah Sendang Suci atau wajah yang belum pernah dikenalnya sama sekali?

Pada waktu itu, sebenarnya Yoga juga berlari ke arah selatan. Karena menurut dugaannya, Topeng Merah yang dikejarnya itu sengaja memancing arah ke barat, supaya Yoga terperangkap masuk ke Lumpur Hidup. Dan memang hampir saja Yoga menginjak tanah yang kelihatannya keras namun sebenarnya adalah Lumpur Hidup itu. Kalau tidak penuh waspada dan berhati-hati, Yoga akan terjebak di Lumpur Hidup itu, mungkin juga akan tenggelam dan mati terkubur di dalam lumpur yang mampu menyedot benda berat di atasnya.

"Tak mungkin Topeng Merah menyeberangi Lumpur Hidup ini! Pasti ia berbelok arah ke kiri dan kembali lagi ke selatan. Aku harus segera mengejarnya ke sana!"

Tetapi sayang sekali sesuatu telah menghantamnya dari arah samping Yoga. Sesuatu itu seperti sebongkah batu besar tanpa wujud menghantam kuat, menerjang tubuh pendekar bertangan satu itu.

Buhhg...! Gusraaak...!

Tubuh Yoga terpental kuat-kuat bagaikan terbang. Tubuh itu menghantam sebatang pohon dengan kerasnya.

Baaahg...! Bruk!

Kemudian sesosok tubuh besar tampakkan diri dari balik dua batang pohon besar yang berjajar rapat. Orang tersebut tak lain adalah Malaikat Gelang Emas. Rupanya dalam perjalanannya pulang dari makam di bawah pohon bambu itu, ia ingin melihat sampai di mana cara kerja Tamtama yang mendapat tugas membunuh dan mencuri pedang pusaka milik Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih.

Tetapi sejak tadi ia tidak menemukan Tamtama. Justru ia melihat Pendekar Rajawali Merah termenung sebentar di tepian Lumpur Hidup itu dalam keadaan sendirian. Karena itu, Malaikat Gelang Emas segera lepaskan pukulan tenaga badainya ke arah Yoga. Pukulan tenaga badai itu cukup dahsyat. Hidung Yoga sempat mengucurkan darah segar sebelum ia membentur pohon. Tulang-tulang tubuhnya terasa remuk, dan semakin remuk ketika tubuh membentur pohon tersebut.

"Kalau kau serahkan pedangmu itu, kuampuni dendam ku kepadamu termasuk kepada Lili dan para guru kalian!" kata Malaikat Gelang Emas.

Yoga masih terengah-engah. Berdirinya sedikit limbung, dan ia menarik napas panjang-panjang. Pandangan matanya sedikit buram karena pukulan badai tadi. Tapi ia tahu Malaikat Gelang Emas berdiri di depannya dalam jarak enam tindak.

"Serahkan pedang pusaka itu!" kata Malaikat Gelang Emas yang dari semasa Dewa Geledek, gurunya Yoga masih hidup, selalu mengejar-ngejar dua pusaka, yaitu Pedang Lidah Guntur yang kini berada di tangan Yoga dan Pedang Sukma Halilintar yang dimiliki Lili.

Walaupun tubuh terasa seperti remuk, tapi Yoga tetap tampakkan keberaniannya dan ketegarannya dengan berkata, "Kalau kau bisa peroleh nyawaku, maka kau bisa peroleh pedang ini, Malaikat Gelang Emas!"

Orang kejam itu menggeram dengan seringai wajah bengisnya. Ia keraskan kedua tangannya dalam keadaan kelima jari kanan kiri mekar bagai hendak mencakar, lalu ia ucapkan kata bernada bengis, "Sekarang juga akan kurobek kantong nyawamu, Bocah Ingusan!"

Tapi dari arah belakangnya berserulah sebuah suara, "Sebelumnya terima dulu ajalmu sekarang juga, Malaikat Sesat! Heaaah...!"

Malaikat Gelang Emas palingkan wajah. Ternyata Kencana Ratih yang ada di belakangnya. Ia sudah menggenggam pedang dan sekarang sedang melompat dengan ujung pedang siap menghujam perut besar Malaikat Gelang Emas. Rasa kaget yang timbul pada diri Malaikat Gelang Emas membuatnya melompat ke belakang, kemudian segera sentakkan kaki dan tubuh besar itu melenting ke atas dengan ringannya. Wuuut...! Kejap selanjutnya tubuh besar mirip raksasa itu telah berada di atas pohon, berdiri di sebuah dahan besar.

"Turun kau, Setan!" sentak Kencana Ratih. Tetapi Malaikat Gelang Emas justru sentakkan kaki kembali, lompat ke dahan lainnya dan pergi meninggalkan tempat itu.

"Terima kasih atas pertolonganmu!" kata Yoga. "Untung kau cepat datang sehingga aku tak perlu kuras tenaga untuk melawannya! Tapi... apa sebabnya dia takut kepadamu, Kencana? Kau pasti tahu! Katakanlah!"

Kencana Ratih diam, bagai memikirkan sesuatu.

DELAPAN

BARU saja Yoga ingin bergegas pergi, tiba-tiba tangan Kencana Ratih mencekalnya. Lengan Yoga digenggam erat, dan wajah Yoga berpaling memandangnya. Kencana Ratih diam sesaat, pandangi wajah itu dengan penuh resapan jiwa yang terbuai indah.

"Ada apa?" tanya Yoga karena risi dipandangi terus begitu.

"Ladang Lumpur Hidup," jawab Kencana Ratih. Bibirnya bergerak-gerak indah saat mengucapkan kata-kata tersebut.

Yoga memandangi bibir itu, lalu cepat-cepat alihkan pandang ke arah utara di mana terbentang Ladang Lumpur Hidup yang cukup luas. "Ya, aku tadi hampir terjebak ke sana!" Yoga memandang kembali wajah cantik Kencana Ratih dan bertanya, "Apa maksudmu menyebutkan Ladang Lumpur Hidup?"

"Itu pertanda kita sudah berada di dekat Gua Bidadari!"

"Dari mana kau tahu hal itu?"

"Seseorang yang kutemui sebelum aku berangkat mencari kakakku, dia menyebutkan bahwa Gua Bidadari letaknya tak jauh dari Ladang Lumpur Hidup, yang merupakan salah satu tempat jebakan bagi orang-orang yang bermaksud datang ke Gua Bidadari. Setelah itu, kita akan menemui Pohon Setan, di mana akarnya dapat membelit ke tubuh orang yang lewat di dekatnya. Orang itu bisa mati membiru bagai dililit seekor ular besar. Konon Pohon Setan itu ciri-cirinya berdaun segi tiga dan berlubang-lubang."

"Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati lagi dan jangan gegabah berteduh di bawah pohon! Siapa tahu pohon itu adalah Pohon Setan!"

"Memang. Tapi bukan itu yang ingin kukatakan padamu."

Pendekar Rajawali Merah berkerut dahi, dan Kencana Ratih tahu maksudnya, yaitu sebaris penjela-san dibutuhkan oleh Yoga berkenaan dengan kata-katanya tadi. Maka Kencana Ratih pun berkata pelan,

"Aku ingin kau pulang! Jangan ikut ke Gua Bidadari!"

"Mengapa begitu?"

"Seperti apa yang kita dengar dari mulut Bujang Lola, agaknya memang di gua itu banyak wanita cantik yang menggiurkan hati namun ganas-ganas! Salah satu bahaya yang mengincar kaum lelaki adalah hasrat mereka yang ingin menguasai ilmu 'Karang Jantan'!"

"Kita sudah telanjur sama-sama berada tidak jauh dari Gua Bidadari! Haruskah aku pergi dan membiarkan kau nekat menyusup masuk ke sana untuk selamatkan kakakmu?"

Kencana Ratih palingkan wajah memandang tempat lain, tapi tangannya masih pegangi lengan Yo-ga, seakan enggan untuk melepaskannya. "Sejujurnya kukatakan, aku khawatir kau terpikat oleh mereka dan menjadi korban dalam memburu ilmu 'Karang Jantan'. Entah mengapa hatiku seakan tak rela jika kau menjadi korban seperti yang dialami Bujang Lola." Kencana Ratih kembali pandangi Yoga, "Sungguh aku tak rela mereka menjadikan kau sebagai korban atau kau terluka oleh keganasan mereka!"

"Apakah kau percaya dengan cerita Bujang Lola?"

"Separo hatiku mempercayainya, separonya lagi mencurigainya!" jawab Kencana Ratih. Agaknya ia bicara apa adanya. Dan ia berharap sekali Yoga memahami maksud hatinya. Bahkan ia sempat berucap kata, "Biarkan aku menempuh bahaya ini sendirian! Jangan mengorbankan dirimu untuk diriku atau untuk kakakku, Aditya itu!"

"Bagaimana dengan lukamu akibat pukulan Topeng Merah tadi?"

"Bisa ku atasi sendiri. Sekarang agak ringan."

Yoga memandangi wajah cantik itu beberapa saat, kemudian ia berkata dengan suara pelan, "Bagaimana kalau aku nekat mengikutimu? Apakah kau akan memenggal kepalaku?"

Kencana Ratih tersenyum kecil, tapi membuat hati Yoga berdebar, sebab senyuman itu mempunyai sepasang lesung pipit yang sungguh manis jika dipandang, sungguh menggemaskan untuk dicubit. Lili juga punya lesung pipit jika tersenyum, tapi Yoga jarang melihat senyum dan lesung pipit itu, karena Lili jarang menyunggingkan senyuman manis di depan Yoga.

"Terlalu bodoh kalau aku berusaha memenggal kepalamu. Mungkin lebih baik aku memenggal kepalaku sendiri," kata Kencana Ratih setelah tersipu mendengar kata-kata Yoga tadi. Sambungnya lagi, "Kuharap kau bisa memahami kecemasan hatiku jika kau turut sampai ke Gua Bidadari itu."

"Yang kau cemaskan sangat kupahami, tapi kau tidak memahami hatiku, Kencana Ratih."

"Hati yang bagaimana yang harus kupahami?"

"Aku tak mungkin tega membiarkan kau menempuh bahaya sendirian, terlebih setelah dua kali kau mampu menghalangi niat Malaikat Gelang Emas yang ingin membunuhku! Bukan aku merasa tak sanggup melawan dia, tapi tindakanmu itu merupakan suatu keberanian dan kerelaan tersendiri bagiku! Aku tahu, kau menyimpan rahasia tentang Malaikat Gelang Emas, tapi sikapmu yang melindungiku membuat aku tak berani memaksamu harus membuka rahasia itu."

"Aku berani angkat sumpah, bahwa aku tak punya rahasia apa-apa tentang Malaikat Gelang Emas. Jangan kau menaruh curiga begitu terus padaku! Sungguh aku tidak mengerti mengapa dia takut padaku, Yo!"

Pendekar Rajawali Merah hembuskan napas panjang-panjang, lalu berkata dengan sikap lebih bijaksana, "Baiklah, kita lupakan tentang Malaikat Gelang Emas. Ada baiknya kalau kita mulai melangkah bersama menuju Gua Bidadari!"

Kencana Ratih tetap menggeleng. "Kalau harus mati dan terluka, biarlah aku saja. Kau jangan sampai ikut mati dan terluka. Jadi, pergilah dariku dan biarkan aku melangkah sendiri, Yo!"

Setelah diam beberapa saat, akhirnya Yoga berkata, "Baiklah! Rupanya kau memang tidak suka jika pergi bersamaku."

"Yo, kuharap kau tidak salah mengartikan permohonan ku ini."

"Baik. Aku tidak akan salah mengartikan. Kau memang keras kepala dan punya keberanian tinggi dalam menempuh bahaya. Jika memang begitu maksudmu, aku pun akan mohon diri sekarang juga."

Kencana Ratih anggukkan kepala. "Sampai jumpa lagi jika kita masih ada umur, Yo!"

"Jaga dirimu baik-baik!" Yoga menepuk-nepuk punggung Kencana Ratih.

Wajah gadis itu sebenarnya berubah duka, tapi ia berusaha menahan dan menampakkan ketabahannya. Ia pandangi langkah pendekar tampan bertangan satu itu. Hati terasa berat, namun jiwa bertahan untuk tetap kuat dan tegar. Pendekar Rajawali Merah sentakkan kakinya dan melesat pergi. Dalam waktu sekejap ia bagaikan menghilang dari pandangan Kencana Ratih.

Gadis itu pun tertegun sebentar, terkesima dalam kesedihan. Lalu ia tarik napas dalam-dalam untuk menahan perasaan dukanya, dan ia ayunkan kaki secepatnya menuju Gua Bidadari, sesuai dengan petunjuk dari seseorang yang membekali arah perjalanan sebelum ia berangkat mencari kakaknya.

Apa yang dikatakan oleh sang penunjuk jalan ternyata memang benar. Tak jauh dari Ladang Lumpur Hidup itu terdapat hutan berpohon setan. Kencana Ratih hampir saja terjebak masuk ke hutan akibat tingkahnya sendiri. Ia melihat sekelebat bayangan merah melintas di seberang sana. Ia segera mengejarnya karena ia tahu bayangan merah itu pasti gerakan lari si Topeng Merah.

Merasa sudah dilukai oleh Topeng Merah, Kencana Ratih bermaksud mengejar untuk membalas kekalahannya. Tetapi pengejarannya itu agaknya diketahui oleh Topeng Merah. Orang misterius itu segera lari ke satu arah, kejap berikutnya hilang dari pandangan mata Kencana Ratih. Topeng Merah itu hilang di tepi hutan berpohon setan.

Jika Kencana Ratih tidak waspada dan hati-hati, maka ia akan mengejar masuk ke hutan tersebut. Tetapi langkahnya segera terhenti begitu melihat pohon-pohon berakar gantung seperti beringin. Ketika daun-daunnya diperhatikan, ternyata berbentuk segi tiga dan berlubang-lubang pada bagian tengahnya.

"Pohon Setan...!" gumam Kencana Ratih dalam hatinya, lalu membatin, "Tak mungkin Topeng Merah masuk ke dalam hutan ini. Jika ia masuk ke sana, berarti saat ini akan kulihat tubuhnya dililit akar-akar pohon tersebut. Hmm... pasti dia menjebakku agar aku masuk ke dalam hutan berpohon setan itu! Jika ia berani menjebakku begitu, berarti dia sudah tahu persis keadaan di sekitar sini, juga sudah mengenal adanya Pohon Setan itu. Lalu, ke mana dia sekarang? Bersembunyi di sebelah mana orang misterius itu?"

Kencana Ratih memandang sekelilingnya dengan penuh selidik. Ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di situ. Tetapi ia justru melihat jalan setapak di samping hutan tersebut yang menuju ke lereng perbukitan. Jalan setapak itu pasti menuju ke Gua Bidadari, sebab pada saat itu ia sudah berada di kaki Gunung Tambak Petir. Sedangkan Gua Bidadari itu terletak di lereng Gunung Tambak Petir.

Ketika merenung itulah, tiba-tiba sebuah serangan datang dari arah belakang Kencana Ratih. Serangan itu berupa melesatnya senjata rahasia dari logam baja yang berbentuk bunga matahari. Ziiing...! Desing suara logam itu diterima oleh telinga Kencana Ratih. Cepat-cepat ia berpaling dan melihat benda berkerilap menuju ke arahnya. Tak sempat lagi Kencana Ratih untuk menghindar dan menangkis.

Hanya saja, sebongkah batu kecil tiba-tiba melesat dari arah sampingnya. Batu itu menghantam kuat benda berkelirap tersebut. Triing...! Arah logam tajam beracun itu menjadi membelok ke tempat lain, sehingga tubuh Kencana Ratih selamat dari hantaman senjata rahasia tersebut. Yang dipertanyakan dalam hatinya sekarang adalah, siapa pelempar batu kecil itu?

Topeng Merah muncul dari persembunyiannya. Ia menyangka senjatanya mengenai lawan. Tapi ketika ia muncul, ternyata lawan masih berdiri tegak dan memandang ke samping. Maka lekas-lekas Topeng Merah lemparkan senjata rahasianya kembali. Ziing...! Tapi kali ini dengan lincahnya Kencana Ratih melompat hindari senjata berbahaya itu. Sambil melompat ia sentakkan tangannya ke depan dan seberkas sinar putih perak melesat menghantam tubuh Topeng Merah.

Wuuut...!

Topeng Merah menahan dengan telapak tangan yang membara merah bagaikan besi terpanggang api. Sinar putih perak itu menghantam telapak tangan tersebut. Diduga sinar itu akan padam bagai tersiram air. Tapi ternyata benturan sinar putih dengan telapak tangan yang memerah itu justru timbulkan ledakan besar yang membuat tubuh Topeng Merah terpental ke belakang dengan sangat kerasnya.

Blaaar...!

"Sekarang saatnya aku membalas kekalahan ku, Jahanam!" geram Kencana Ratih begitu melihat Topeng Merah terkapar kehilangan daya. Ia segera mencabut pedangnya dan bergegas menghampiri lawan.

Tapi dari arah lain terdengar suara seruan. "Jangan!"

Langkah itu jadi terhenti. Wajah cantik itu berpaling memandang kepada si pemilik suara. Ternyata Yoga-lah orangnya. Kencana Ratih hembuskan napas lepas-lepas bagai menghalau perasaan jengkel yang timbul akibat kemunculan Yoga. Pendekar tampan itu pula yang tadi selamatkan nyawa Kencana Ratih dari lemparan senjata rahasia si Topeng Merah. Tapi mengapa sekarang ia mencegah Kencana Ratih yang ingin membunuh Topeng Merah?

"Apa maksudmu melarangku?" geram Kencana Ratih kepada Yoga.

Pendekar bertangan buntung sebelah kiri itu melangkah melewati Kencana Ratih, arahnya ke tempat Topeng Merah yang terkulai di sana. Tapi Yoga sempat menjawab sambil melintasi Kencana Ratih, "Ada sesuatu yang tidak kau ketahui tentang manusia bertopeng merah itu! Serahkan dia padaku!"

Tetapi belum lagi Yoga berada dalam jarak dekat dengan Topeng Merah, tiba-tiba seberkas sinar berkabut hitam melesat bagaikan anak panah. Datangnya dari atas pohon dan menghantam telak dada si Topeng Merah.

Zlaaap...! Blaaas...!

"Uuhg...!" terdengar suara pekik tertahan dari balik topeng, dan tubuh itu mengejang dengan kepala terjulur ke belakang.

Yoga dan Kencana Ratih sama-sama terkejut, sebab keduanya sama-sama tidak merasa melepaskan serangan jarak jauh ke tubuh Topeng Merah. Maka keduanya segera berpaling ke arah datangnya sinar terbungkus kabut hitam itu. Ternyata di atas pohon sana tengah berdiri seorang bertubuh besar yang tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.

Sikap memandang Yoga dan Kencana Ratih itu sudah mewakili tuntutan hati mereka atas kelancangan Malaikat Gelang Emas yang melepaskan pukulan dahsyatnya ke tubuh Topeng Merah. Sebab itulah, dari atas pohon sana Malaikat Gelang Emas serukan kata sambil menuding Topeng Merah dengan tangannya yang berjari besar,

"Dia telah lompati makam kakekku, sehingga kakekku tak akan bisa bangkit lagi! Aku harus membunuhnya! Sebentar lagi kau pun akan menerima nasib seperti itu, Pendekar Rajawali Merah!"

Tanpa disengaja, kedua anak muda itu sama-sama sentakkan tangannya dan lepaskan jurus yang memancarkan sinar merah dan biru. Dari tangan Yoga melesat sinar merah, dari tangan Kencana Ratih melesat sinar biru. Kedua sinar itu bagai berdampingan menuju ke arah Malaikat Gelang Emas. Tetapi sebelum kedua sinar itu menghantamnya, Malaikat Gelang Emas sudah lebih dulu lenyap bagaikan menghilang begitu saja. Pasti ia gunakan ilmu 'Bayang Siluman'nya, sehingga kedua sinar bertenaga dalam sangat tinggi itu hanya bisa menghantam pepohonan yang bukan jenis Pohon Setan itu.

Blaarr...! Duaaar...! Habis sudah pepohonan di sekitar tempat berdirinya Malaikat Gelang Emas tadi.

"Jahanam itu lari lagi!" geram Kencana Ratih.

Tapi Yoga tidak menyambut geraman tersebut. Ia lebih tertarik kepada keadaan manusia bertopeng merah itu. Dada orang berselubung kain merah dan mengenakan topeng merah iblis itu sekarang kepulkan asap tipis. Ia tak dapat bergerak sedikit pun, kecuali tersengal-sengal karena sulit bernapas. Yoga merasa khawatir dengan keselamatan Topeng Merah, sebab yang terbayang dalam benaknya adalah wajah Sendang Suci, si Tabib Perawan itu.

Cepat-cepat Yoga melepaskan topeng tersebut. Slaap...! Dan ia segera tertegun memandangi wajah pucat pasi berbibir biru itu. Kencana Ratih juga tertegun memandang wajah di balik topeng tersebut, karena ia merasa asing dengan wajah itu. Yoga tertegun karena wajah dalam bayangannya ternyata berbeda dengan wajah yang dilihatnya. Wajah itu bukan milik Sendang Suci.

"Kau kenal dia?" tanya Kencana Ratih ketika Yoga memandangi kepadanya. Yoga menggeleng, dan Kencana Ratih kembali berkata, "Aku juga tidak mengenalnya!"

Terdengar suara orang yang tadi kenakan to-peng merahnya itu dengan nada pelan dan lirih, "Ak... aku..., Dewi Sukesi...."

"Mengapa kau memakai topeng merah? Aku tahu siapa pemilik topeng merah ini sebenarnya. Bukan kau!" kata Yoga.

"Mem... memang bukan aku. Ak... aku hanya menemukan seperangkat pakaian merah, lengkap dengan topeng dan pedangnya, di... di atas sebuah bukit, tepi jurang. Laaa... lalu aku iseng-iseng memakainya. Ternyata sempat menghebohkan kalian. Ak... aku sendiri tak tahu siapa pemilik pakaian dan topeng ini...."

Terbungkam mulut Yoga jadinya. Teringat di saat Lili habis menyamar sebagai Topeng Merah yang kemudian melepas pakaian itu, melepas topengnya dan meninggalkan di bukit tersebut bersama-sama pedangnya juga. Rupanya seperangkat pakaian dan topeng itu ditemukan oleh Dewi Sukesi yang iseng mengenakannya (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat").

Kembali terdengar suara Dewi Sukesi, "Seharusnya... aku menghadap sang... sang Ketua, memberitahukan bahwa aku telah berhasil membunuh Tayon, juga... juga Bujang Lola. Tapi...."

"Bujang Lola belum mati menurutku!" sahut Yoga.

"Pasti... pasti mati, karena ia terkena racun Ludah Kobra yang ada di senjata Bunga Matahari itu! Dan... sebenarnya aku tidak punya urusan dengan kalian. Tapi karena kalian bermaksud menyerang Gua Bidadari, maka... maka aku pun harus menghalangi niat kalian. Ku jebak kalian agar masuk ke dalam Ladang Lumpur Hidup dan terjerat mati di Pohon Setan. Ternyata... kalian bukan orang bodoh...."

Dewi Sukesi yang sebenarnya berwajah cantik itu mencoba tersenyum walau sangat tawar. Dan senyum itu rupanya senyum yang penghabisan. Karena setelah itu, kepalanya segera terkulai dan nafasnya terhembus lepas. Ia tak berkutik lagi selama-lamanya.

"Apakah kakakku yang bernama Aditya masih ada di sana?" sentak Kencana Ratih.

Tapi Yoga segera berkata, "Percuma. Tinggalkan saja dia. Dia telah mati."

Keduanya sama-sama menjauhi mayat Dewi Sukesi. Di atas sebuah batu, Kencana Ratih sengaja duduk termenung pandangi mayat Dewi Sukesi dari sana. Yoga pun segera mendekati Kencana Ratih, lalu gadis itu berkata dengan mata masih memandang ke arah mayat lawannya,

"Mengapa kau masih saja mengikutiku?"

"Maaf," kata Yoga pelan. Ia menyingkapkan rambutnya yang meriap ke depan karena hembusan angin. "Setelah kupertimbangkan, ternyata hatiku tak mau ku paksakan untuk tega membiarkan kau menempuh bahaya sendirian. Mulanya aku tidak bermaksud mengikutimu, tapi karena kau terancam bahaya, terpaksa aku mengikutimu. Terlebih setelah aku tahu kau ingin membunuh Topeng Merah yang kusangka adalah seseorang yang kukenal itu. Aku perlu mendekatimu untuk mencegahnya. Sekarang, kalau kau masih tetap ingin ke Gua Bidadari sendirian, aku akan pergi!"

Kencana Ratih memandang Yoga dengan lirikan menahan kejengkelan. Tapi di sudut bibirnya ada lesung pipit yang menandakan ia tersenyum tipis. Kejap berikutnya ia perdengarkan suaranya, "Tak usah ke mana-mana! Percuma saja kau kusuruh pergi, pasti tetap akan menguntit ku!"

Pendekar Rajawali Merah ganti tersenyum lebar, bahkan sempat tertawa mirip orang menggumam. Kemudian ia berkata, "Jadi sekarang bagaimana?"

"Aku bisa memahami perasaanmu. Sekarang kalau kau mau ikut, ikutlah, tapi kau harus berjanji padaku."

"Janji yang bagaimana?"

"Jangan kau tergoda dan terpikat oleh para bidadari itu, dan jaga dirimu agar jangan ada yang melukaimu! Sanggupkah kau untuk begitu?"

"Mengapa tidak? Tentunya kau akan melindungiku agar jangan sampai aku terluka."

"Ya. Melindungimu untuk tidak terluka, mungkin bisa kulakukan. Tapi melindungimu untuk tidak terpikat oleh kecantikan mereka, aku tak bisa melakukannya."

Yoga tertawa dan bertanya, "Mengapa begitu?"

"Karena, menurutku kau pemuda mata keranjang!"

Semakin keras tawa Yoga walau tidak berarti terbahak-bahak. Hal itu membuat Kencana Ratih menjadi tersipu sendiri. Sungging senyumnya makin lebar, lesung pipitnya kian jelas, hati Yoga makin girang memandangi lesung pipit dalam kecantikan wajah manis Kencana Ratih. Tawa itu terhenti secara sedikit demi sedikit. Keceriaan wajah mereka pun susut perlahan-lahan. Kini wajah mereka mulai tampak menegang, dahi mereka berkerut.

Terdengar suara seruling yang sayup-sayup membelai hati, meluluhkan jiwa. Hati Yoga menjadi berdebar-debar akibat mendengar suara alunan seruling di kejauhan. Hasratnya menjadi berkehendak untuk melangkah, mendekati suara seruling itu. Pelan-pelan pendekar tampan tersebut mulai tinggalkan Kencana Ratih dan mendekati sumber suara seruling yang peniupnya tak lain adalah Seruni.

SEMBILAN

SERUNI duduk di atas batang kayu kering yang sudah tumbang. Di sana ia meniup serulingnya dengan suara mendayu-dayu lembut. Rupanya ia telah mengetahui bahwa di sekitarnya ada seorang pemuda tampan, yang walaupun tanpa satu tangan tapi tidak mengurangi ketampanan dan kegagahannya. Ia melihat Yoga sedang bicara dengan Kencana Ratih dari kejauhan, maka lekas-lekas ia cari tempat dan di pancingnya pemuda tampan itu dengan suara serulingnya.

Pancingan itu mengenai sasaran. Terbukti dengan langkah pelan Yoga datang mendekatinya, dan Seruni meliriknya sekejap. Kemudian ia mainkan serulingnya dengan tiupan ilmu 'Seruling Bulan Madu'. Hati Yoga tergugah, mulai gelisah menahan gejolak hasratnya yang segera ingin bercinta dengan lawan jenisnya.

Matanya tak berkedip memandang Seruni yang sengaja duduk dalam keadaan seronok, memamerkan apa saja yang bisa dipamerkan pada kaum lelaki. Hal itu membuat jantung Yoga berdetak-detak kencang, benak dan jiwanya telah teracuni kekuatan ilmu 'Seruling Bulan Madu'. Sambil meniup serulingnya dan berlagak acuh tak acuh terhadap kehadiran Yoga, dalam hatinya Seruni berkata,

"Gila! Dia lebih tampan dan lebih memikat hati ketimbang Tamtama! Sang Ketua pasti akan memilih ikan emas yang ini ketimbang Tamtama. Aku tak boleh kehilangan kesempatan sedikit pun. Akulah yang selalu menjadi yang pertama untuk lakukan semadi bersama ikan emas ini...! Oh, celaka... aku sendiri terbuai jadinya!"

Langkah dan gerakan Yoga ternyata diikuti dan diperhatikan terus oleh Kencana Ratih. Gadis yang memiliki lesung pipit itu mulai curiga ketika Yoga makin lama makin dekat jaraknya dengan Seruni. Cahaya mata yang dipancarkan dari mata Yoga pun mempunyai sorot yang sendu, seperti layaknya orang terbuai oleh kemesraan yang membawa nikmat sekujur tubuhnya.

Hati Kencana Ratih membatin, "Suara seruling itu memang membuat hati menjadi damai dan tenang. Tapi rasa-rasanya suara seruling itu tidak beres. Ia menciptakan pengaruh tersendiri bagi seorang pemuda seperti Yoga itu. Agaknya suara seruling itu mempunyai kekuatan tenaga gaib yang mampu membangkitkan gairah lelaki mana pun juga! Celaka kalau sudah begini! Pasti si peniup seruling itu orang dari Gua Bidadari yang sengaja memikat hati Yoga! Pasti orang itu ingin memiliki Yoga, setidaknya dia ingin membawa Yoga ke Gua Bidadari. Oh, kalau begini caranya aku tak boleh tinggal diam!"

Tanpa tanggung-tanggung lagi, Kencana Ratih sentakkan pukulan jarak jauhnya bertenaga dalam tinggi tanpa sinar. Wuuut...! Buhhg! Punggung Seruni menjadi sasaran serangan tenaga dalam Kencana Ratih. Akibatnya, tiupan seruling terhenti seketika dan tubuh itu terjungkal ke depan dan berguling-guling.

Pada saat itu, Yoga tersentak dengan mata terbelalak lebar. Ia bergegas menolong Seruni. Gadis itu bangkit dalam genggaman tangan kanan Yoga. Keadaan itu membuat Kencana Ratih menjadi makin marah. Kemudian ia segera melompat dalam satu lompatan bersalto di tanah beberapa kali. Begitu tiba di depan Yoga dan Seruni, kakinya segera menendang dada Seruni dengan kuat.

Wuuut...! Traaak...!

"Auh...!" Kencana Ratih terpekik karena tulang kakinya dihantam memakai bambu seruling. Hantaman itu membuat kaki Kencana Ratih bagai tak bisa digunakan untuk berjalan atau berdiri beberapa saat. Ia menyeringai kesakitan dalam keadaan jatuh tersimpuh lima langkah di depan Seruni dan Yoga.

Dari gerakan bambu seruling yang cepat, Kencana Ratih sudah dapat menakar ilmu lawannya. Menurutnya, lawannya berilmu cukup tinggi dan tidak bisa diperlakukan dengan sepele atau diremehkan Kencana Ratih harus gunakan perhitungan matang jika ingin menyerangnya. Tetapi hati yang panas melihat tangan Yoga digenggam oleh Seruni membuat Kencana Ratih sukar menggunakan perhitungan yang matang. Ia bahkan menggeram dengan suara kebenciannya,

"Jauhi dia, atau kubunuh kau dari sini!"

Seruni hanya tertawa serak sambil makin rapatkan tubuh kepada Pendekar Rajawali Merah. Anehnya, Yoga justru menyambut gerakan tubuh merapat itu sambil pandangi Kencana Ratih dalam senyum yang seolah-olah mengejek. Ini membuat Kencana Ratih nyaris kehilangan kendali jiwa. Nafsu untuk mengamuk membakar setiap denyut nadinya.

Maka serta merta ia lepaskan pukulan dari tempatnya tersimpuh dengan gunakan gerakan kedua tangannya. Tangan itu berkelebat ke sana sini membentuk seperti jurus kembar, lalu tiba-tiba menyentak ke depan dan melesatlah sinar biru seperti mata tombak.

Zlaaap..!

Duaaar...! Sinar biru itu meledak ketika dihantam dengan bambu seruling dalam kibasan membuang arah. Ternyata bambu seruling itu bukan sembarang bambu. Terbukti bambu itu bisa memukul pecah sinar biru dari Kencana Ratih sementara seruling itu sendiri masih tetap utuh, tanpa keretakan sedikit pun.

Namun ledakan tersebut membuat tubuh Seruni tersentak mundur tiga langkah dan menjauhi Yoga. Dengan cepat Yoga memburu Seruni, bagai tak mau kehilangan gadis itu. Kencana Ratih segera berseru,

"Jauhi dia, Yo...! Kau terpengaruh oleh suara seruling tadi!"

"Tutup mulutmu, Gadis Jahanam!" bentak Seruni yang mulai terpancing amarahnya akibat langkah Yoga terhenti setelah mendengar seruan Kencana Ratih itu.

Yoga seperti menjadi orang bimbang yang tak punya kepastian. Seruni mulai cemas akan kehilangan pengaruh yang telah menjerat hati Yoga itu. Maka, ce-pat-cepat Seruni bermaksud meniup serulingnya lagi agar jerat di hati Yoga tidak pudar. Namun pada saat itu, Kencana Ratih kembali berseru,

"Jauhi dia, Yo...! Kau terkena pengaruh kekuatan gaib dari seruling itu! Jauhi dia, lekas...!"

Sambil berseru begitu, dari tempat bersimpuhnya Kencana Ratih lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke arah Seruni. Wuuut...! Braaasss...! Pukulan itu bagai menghantam telak bagian wajah Seruni. Seruling yang mau ditiupnya menyodok mulut dan tubuh Seruni sendiri terpelanting ke belakang dengan kerasnya.

"Bangsat...!" teriaknya dengan geram, lalu ia melompat dengan bersalto di udara tiga kali, dan begitu tiba di depan Kencana Ratih, ia tebaskan bambu serulingnya ke kepala Kencana Ratih.

Traaak...!

"Aaauh...!" Kencana Ratih memekik karena lengan kanannya dipakai untuk menangkis bambu seruling. Ternyata tangkisan itu membuat tulang lengan terasa remuk dihantam besi sekeras baja. Tangan itu pun seketika menjadi memar membiru. Kencana Ratih mendekap tangannya itu sambil menyeringai kesakitan.

Melihat lawannya kesakitan, Seruni segera kibaskan kakinya menendang wajah Kencana Ratih. Wuuut...! Kepala Kencana Ratih sempat membungkuk hindari kelebatan kaki lawan. Pada saat kepala menunduk itulah Seruni punya kesempatan untuk hantamkan serulingnya ke tengkuk kepala lawan.

Wuuut...!

Traaak...!

Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, tiba-tiba Yoga telah menyambar sepotong ranting bercabang dan ranting itu digunakan untuk menahan gerakan bambu seruling yang akan menghancurkan tengkuk kepala Kencana Ratih. Saat itulah Seruni tahu bahwa pengaruh serulingnya telah hilang dari jiwa pemuda tampan tersebut, dan pemuda itu telah menyadari keadaan sebenarnya. Seruni terperanjat melihat gerakan Yoga yang amat cepat itu.

Lebih terperanjat lagi setelah tahu-tahu ia sudah terkapar di tanah dalam keadaan dagunya memar membiru. Rupanya gerakan cepat Yoga yang menangkis seruling tadi dilanjutkan dengan sentakan kuat ke arah atas dan bambu itu menghantam dagu pemiliknya dengan luar biasa kuatnya. Sentakan bertenaga dalam tinggi itu membuat Seruni terkapar bagai orang tak sadarkan diri beberapa kejap tadi.

"Menepilah! Biar kuhadapi sendiri dia!" kata Yoga kepada Kencana Ratih. Gadis itu mengeluh tertahan, memegangi tangannya yang bengkak. Yoga terpaksa membantu Kencana Ratih untuk menepi ke batang pohon yang tumbang, yang tadi dipakai duduk oleh Seruni itu.

Tetapi pada saat itu, Seruni sudah berhasil bangkit kembali dan segera larikan diri setelah ia membatin, "Pemuda itu berilmu tinggi! Rasa-rasanya aku tak mampu melawannya, karena gerakan seruling ku saja bisa ditahannya memakai ranting sekecil itu! Ada baiknya kalau kuberitahukan keberadaannya kepada sang Ketua, biar sang Ketua sendiri yang turun tangan! Pasti dia sangat tertarik jika kuceritakan ketampanan, kegagahan, dan keperkasaan pemuda itu!"

Ketika Yoga ingin menghadapi Seruni, tiba-tiba ia jadi tertegun bengong melihat gadis peniup seruling itu sudah berlari jauh dari tempatnya berada. Yoga ingin mengejarnya, tapi ia ingat keadaan Kencana Ratih yang tak bisa berdiri karena tangkisan seruling tadi. Maka Yoga pun urungkan niatnya untuk mengejar Seruni.

"Mengapa tak kau kejar dia?!" Kencana Ratih setengah menyalahkan Pendekar Rajawali Merah.

"Bisa saja kukejar, tapi keadaanmu butuh pertolongan dariku. Kau terluka, Kencana!"

"Aku bisa atasi luka di tulangku ini!"

"Kalau begitu, atasilah dulu baru kita susul dia ke Gua Bidadari!"

"Bantu aku! Salurkan hawa murni mu lewat telapak tanganku!" kata Kencana Ratih yang lekas-lekas ambil sikap memusatkan pikiran.

Tak banyak makan waktu menghilangkan rasa sakit di bagian dalam tubuh Kencana Ratih. Walau lengannya masih bengkak dan tulang kakinya juga masih memar membiru, tapi rasa sakit itu telah lenyap dan tak terasa. Maka, mereka berdua segera mengejar Seruni mengikuti arah kepergian si peniup seruling itu.

Pada saat mereka temukan Gua Bidadari, tentu saja Seruni sudah lebih dulu melaporkan keadaan yang baru saja dihadapinya, yaitu tentang seorang pemuda tampan yang jauh lebih menawan dari Tamtama. Tak terlihat Seruni di depan mulut gua tersebut, tetapi Yoga dan Kencana Ratih justru terpaku dengan pemandangan yang menegangkan.

Empat orang pemuda berbadan kurus sedang digiring keluar dari gua besar tersebut. Rupanya mereka dituntun ke tepi jurang. Sampai di sana mereka yang bertubuh lunglai dan berwajah pucat itu segera ditinggalkan oleh penuntunnya. Tapi lima orang gadis lainnya telah siap dengan tombak mereka. Begitu kelima penuntun pergi, pemuda-pemuda bertubuh kerempeng dan layu itu di hujami tombak secara bersamaan.

Jruub...! Lima tombak tepat mengenai tubuh lima pemuda gontai. Tubuh mereka tersentak jatuh ke jurang secara bersamaan dengan suara teriakan mereka yang menggema membuat bulu kuduk merinding.

"Kejam!" geram Kencana Ratih dari balik persembunyiannya. "Mereka pasti pemuda-pemuda yang sudah dianggap tidak bisa dipakai lagi oleh mereka, seperti yang diceritakan oleh Bujang Lola itu!"

"Wajah-wajah cantik itu ternyata berhati binatang!" ujar Yoga dengan tetap tampakkan sikap kalemnya.

"Hati-hatilah, jangan terpengaruh seperti tadi lagi!" bisik Kencana Ratih. "Kita akan...."

Kata-kata tersebut jadi terhenti karena kali ini ia melihat seorang pemuda diseret keluar dari dalam gua. Pemuda itu dalam keadaan berdarah di sekujur tubuhnya, namun bagian wajahnya masih tampak bersih. Wajah itulah yang membuat Kencana Ratih bagaikan tersiram lahar panas di sekujur tubuhnya. Panas seketika, karena ia tahu betul bahwa wajah tersebut adalah wajah Aditya, kakaknya. Maka, tanpa perhitungan lagi, Kencana Ratih segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru,

"Adityaaa...!"

Tapi pada saat itu, dua orang yang menyeret Aditya telah melemparkan tubuh tersebut ke dalam jurang. Terdengar jeritan Aditya yang sebenarnya hanya terluka parah dan belum mati itu. Jeritan tersebut kini mewakili jeritan kematian yang amat menghancurkan hati Kencana Ratih. Maka, gadis itu pun segera mencabut pedangnya dan menghambur ke arah mulut gua sambil berseru lantang,

"Biadab kalian semuaaa...! Jahanaaam...!"

Yoga hanya menggerutu sambil bergegas bangkit, "Celaka! Dia kehilangan kendali jiwanya...!"

Kencana Ratih mengamuk sejadi-jadinya. Semua ilmu dan jurus yang dimiliki dikeluarkannya. Delapan orang dalam sekejap mati terbunuh olehnya. Suara pekikannya begitu keras karena menangisi kematian kakaknya yang terlihat jelas di depan matanya sendiri.

Beberapa 'bidadari' keluar dari dalam gua besar itu. Pendekar Rajawali Merah segera mencabut pedangnya. Blaaar. Petir menggelegar di langit sebagai tanda dicabutnya Pedang Lidah Guntur dari sarungnya. Pedang yang bercahaya merah berkerilapan sinar merah kebiru-biruan itu segera ikut menebas lawan yang mengeroyok Kencana Ratih.

Pada umumnya mereka mati robek karena kilatan cahaya merah yang menyambar-nyambar dari pusaka Pedang Lidah Guntur tersebut. Sebagian ada yang mati terpenggal tanpa keluarkan darah setetes pun. Bagi mereka yang terpotong langsung oleh Pedang Lidah Guntur, mereka tidak menyadari keadaan tubuh nya yang terpotong, karena tidak timbulkan rasa sakit sedikit pun. Bahkan sebagian tidak menyadari kalau lengannya, atau pergelangan tangannya telah terpotong putus oleh Pedang Lidah Guntur. Tahu-tahu mereka jatuh, dan tak berkutik lagi selamanya.

Pendekar Rajawali Merah melihat Kencana Ratih terdesak lawan. Ia bergegas mengarahkan serangannya ke tempat Kencana Ratih. Namun tiba-tiba ia masih sempat mendengar suara petir menggelegar di angkasa dengan gemuruhnya.

Blegaaar...!

Sambil melakukan perlawanan, Pendekar Rajawali Merah memandang sekelilingnya, mencari-cari sesuatu. Sebab ia yakin, suara petir menggelar tadi bukan dari hempasan tenaga dalam seseorang, melainkan akibat tercabutnya sebuah pedang pusaka yang bernama Pedang Sukma Halilintar. Dan pemilik Pedang Sukma Halilintar tak lain adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih.

"Di mana dia...? Pasti dia ada di sekitar sini dan sedang mencabut pedangnya!" pikir Yoga sambil mengibaskan pedang di depan delapan orang pengeroyoknya.

Dari dalam gua semakin banyak berhamburan para 'bidadari' yang siap melakukan perlawanan dengan kesadisannya masing-masing. Tetapi pada saat itu ternyata seorang wanita cantik bersenjatakan pedang yang membara putih keperak-perakan sedang mengamuk di sudut pintu masuk gua tersebut. Wanita cantik itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Putih yang mengenakan pakaian merah jambu.

Gerakan Lili begitu cepat dan gesit, sukar ditandingi lawan. Ia menyerang sambil berusaha mendekati Yoga, hingga satu saat ia berhasil melambungkan tubuhnya ke atas dan menggunakan kepala lawannya sebagai tempat pijakan kakinya. Pendekar Rajawali Putih berhasil melompat dari kepala ke kepala lainnya hingga tiba di samping Yoga, dan mereka segera bera-du punggung.

Jleeg...!

"Apa urusanmu dengan mereka sehingga terjadi pertarungan seperti ini, Yo?!"

"Mereka ingin menjadikan aku sebagai budak nafsu!"

"Keparat mereka!" geram Lili sambil tetap melakukan tangkisan dan serangan dengan pedangnya. Semangat tarungnya semakin besar begitu mendengar Yoga ingin dijadikan budak nafsu oleh mereka. Kecemburuannya membara menciptakan murka, sehingga makin ganas lagi Pendekar Rajawali Putih menyerang lawan-lawannya.

"Jumlah mereka sangat banyak, Guru! Sejak tadi tiada habisnya yang keluar dari dalam gua besar itu!"

"Satukan pedang kita, hancurkan langit gua biar mereka mati tertimbun reruntuhannya!"

"Baik, Guru!"

Maka, kedua pendekar itu menyatukan jurus-jurus mereka. Melalui perpaduan dua pedang pusaka yang disebut jurus 'Jodoh Rajawali', melesatlah sinar ungu yang menghantam langit-langit gua.

Blaaar...! Jiegaaar...! Blaaar...!

Sesekali mereka menghalau serangan lawan dari kanan kiri maupun depan belakang. Kedua pedang pusaka itu bagai tak mengenal ampun lagi, sementara mereka yang masih tinggal di dalam gua sibuk melarikan diri keluar karena langit-langit gua runtuh. Sedikit kesempatan digunakan mereka untuk hancurkan langit-langit gua lagi. Sinar ungu tiada habisnya menggempur gua tersebut, hingga akhirnya terdengar suara gemuruh hebat yang menandakan langit-langit gua runtuh seluruhnya.

Glegaaarrr...! Wwwrrr...!

Bumi bagai terguncang. Jerit melengking di sana sini. Gua itu benar-benar roboh dan tak tersisa lubang sedikit pun. Jalan masuk ke dalam gua telah tertutup. Sebagian bentuk atap gua pun sudah berubah menjadi gundukan batu yang membukit. Beberapa orang yang ada di dalamnya tak terdengar lagi suaranya.

Sisa dari mereka yang selamat ada yang segera larikan diri dari pertarungan, ada yang mencoba tetap melawan walau akhirnya mati, ada pula yang membuang senjatanya pertanda menyerah. Sementara itu bumi yang berguncang bagai dilanda gempa dahsyat itu sudah reda kembali. Tetapi debu-debu masih beterbangan dan asap mengepul bagai bencana alam yang ditakuti oleh para penduduk yang tinggal di kaki Gunung Tambak Petir.

Sesaat kemudian suasana menjadi hening dan sunyi. Mereka yang menyerah dibiarkan lolos meninggalkan tempat itu. Di antara mayat-mayat para bidadari, berdiri dua sosok tegar yang masih menggenggam pedang pusaka masing-masing; Yoga dan Lili.

"Siapa mereka ini sebenarnya, Yo?" tanya Lili, kemudian secara singkat Yoga menjelaskan tentang Gua Bidadari dan orang-orang di dalamnya. Lili pun jelaskan usahanya mengejar Topeng Merah justru menemukan tempat tersebut yang ternyata menjadi ladang pertarungan bagi Yoga. Maka Lili pun segera turun tangan membantu orang yang dicari-carinya sejak beberapa hari ini.

Seorang perempuan muda dan cantik muncul dari tumpukan mayat. Ia berjalan dengan gontai mendekati Yoga dan Lili dalam keadaan terluka di lambungnya. Lili segera bertindak cepat, melompat dengan tangan siap lepaskan pukulan dahsyatnya. Tapi Yoga segera menerjang Lili dari samping, dan Lili pun jatuh terguling-guling, lalu cepat sentakkan pinggulnya dan bangkit berdiri lagi dengan tegap, wajahnya menjadi berang memandang Yoga.

"Mengapa kau menyerangku?!" bentaknya. "Aku mau bunuh sisa mereka itu, biar habis tuntas segalanya!"

"Dia bukan lawan kita! Dia teman! Dialah Kencana Ratih yang telah kehilangan kakaknya sebagai korban kekejaman para bidadari di sini!"

Kencana Ratih hentikan langkahnya sambil menopang badan di salah satu gundukan batu. Ia hanya memandangi Yoga dan Lili dalam keadaan menahan luka di lambung, Lili berseru dengan ketus, "O, jadi perempuan itulah yang membuatmu nekat melawan bahaya sebanyak ini?! Kau ini jadi dewa penolong baginya?! Kau ingin tampak ksatria di depan dia?!"

"Guru, tolong dengar dulu penjelasanku...."

"Cukup! Aku sudah mengerti maksudmu! Menyesal aku telah membantumu dalam peristiwa ini!"

"Tapi Kencana Ratih telah selamatkan aku dari ancaman maut Malaikat Gelang Emas, Guru!"

"Kau tak perlu berdalih dan mengarang kemustahilan, Yo! Kalau memang gadis itu yang membuatmu segila ini, aku akan pergi dan tak akan temui kau lagi!"

"Guru...."

Wuuut...! Pendekar Rajawali Putih cepat sentakkan kakinya ke tanah dan melesat pergi dengan sangat cepatnya. Yoga ingin mengejar, sebab dia tahu Lili kecewa melihat Yoga menolong Kencana Ratih. Guru cantik itu cemburu dan tak mau tahu lagi. Yoga takut kehilangan Lili. Namun ketika ia hendak bergegas mengejarnya, tiba-tiba sebuah suara parau memanggilnya dari belakang dengan nada mengharu,

"Yooo...!" pelan dan bercampur dengan desah.

Pendekar Rajawali Merah terhenti dari segala geraknya, akhirnya berpaling ke belakang, menatap Kencana Ratih yang sedang memandanginya dengan menahan sakit. Tak tega Yoga melihat Kencana Ratih menderita begitu. maka dihampirinya gadis tersebut dan segera dipapahnya karena ia terhuyung hendak jatuh.

"Aku terluka berat, Yo...," ucap Kencana Ratih bagai mengadu kesedihannya. Yoga semakin trenyuh hatinya. Ia segera membawa Kencana Ratih ke tempat yang datar dan teduh.

"Kita beristirahat dulu di sini," kata Yoga. "Lukamu ku sembuhkan dulu untuk sementara waktu.."

"Siapa gadis cantik tadi, Yo?"

"Guruku," jawab Yoga polos, secara apa adanya.

"Dia tampak mencemburui keberadaanku bersamamu."

"Lupakan tentang itu. Lihat..., Gua Bidadari telah hancur. Entah berapa orang yang terkubur di dalam reruntuhannya!"

"Ya, aku sudah melihatnya. Tapi bagaimana dengan gurumu yang cantik itu, Yo? Apakah dia mencintaimu?"

Yoga tidak menjawab, namun berkata lain, "Aku harus mencari bunga Teratai Hitam di Gua Mulut Iblis. Tak jauh dari sini!"

Kencana Ratih tahu, Yoga menghindari pertanyaannya. Kencana Ratih tak mau memburunya. Untuk sementara ia bersikap mengalah dan menimpali kata-kata Yoga dengan bertanya, "Untuk apa kau mencari bunga Teratai Hitam?"

"Untuk mengobati sahabatku yang menderita sakit ingatan akibat terkena Racun Edan dari lawannya."

"Akan kubantu kau ke gua itu. Setahuku, gua itu sekarang ditunggu oleh seorang tokoh sakti yang dikenal dengan nama Kiyai Kubang Darah!"

"Siapa pun penunggunya, aku harus bisa dapatkan bunga itu, Kencana. Dan kurasa kau tak perlu ikut denganku."

"Benarkah? Benarkah kau melarangku untuk ikut denganmu?"

Pendekar Rajawali Merah justru bingung menjawabnya. Ia sendiri tak yakin apakah hatinya menolak Kencana Ratih yang ingin menemaninya atau kata-kata yang hanya sebagai ungkapan balik dari ucapan Kencana Ratih yang pernah melarangnya ikut ke Gua Bidadari?

Lalu, bagaimana dengan Lili yang terluka hatinya melihat sikap Yoga memihak Kencana Ratih? Dapatkah luka itu disembuhkan dengan kehadiran Yoga kembali? Haruskah Yoga meredakan luka di hati Pendekar Rajawali Putih lebih dulu, baru kembali ke lereng Gunung Tambak Petir untuk mencari bunga Teratai Hitam?

Gua Bidadari telah hancur dan runtuh. Tetapi benarkah semua penghuninya telah binasa tiada yang selamat satu pun? Padahal, bongkahan batu dan cadas itu terlihat bergerak-gerak di atas reruntuhan gua. Kemudian sepotong tangan tampak keluar terjulur ke atas. Siapakah pemilik tangan itu?

SELESAI
Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.