Jodoh Rajawali - Misteri Topeng Merah
SATU
TERIK matahari yang menyengat kulit tak dipedulikan oleh dua orang yang sedang beradu
kecepatan memukul dengan tangan kosong. Dalam keheningan hutan itu, terdengar suara beradunya dua pasang tangan secara berturut-turut
dan cepat.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Terkadang suara itu diselingi bunyi angin kelebatan kain baju yang mereka kenakan, atau karena keras dan cepatnya gerakan, sehingga terdengar pula suara; wuuhg, wuuhg, wuuhg, wuuhg! Plak! Bahkan suara beradunya kaki dengan kaki pun menambah kesunyian hutan yang kian gaduh dan gemerisik.
Perempuan muda berpakaian merah jambu itu sejak tadi hanya menangkis dan menghindar saja dari serangan pemuda berpakaian putih lengan panjang yang dibungkus selempang coklat. Sekalipun di punggung mereka sama-sama menyandang sebilah pedang, namun agaknya mereka sepakat untuk tidak menggunakan pedang dalam pertarungan tersebut.
Pemuda berwajah tampan itu sebenarnya sudah melakukan beberapa pukulan yang cukup hebat, cepat, dan mematikan. Sayangnya si wanita mampu menghindar dan menangkis, sehingga pemuda itu bagaikan tidak diberi kesempatan untuk mengenai sasaran sedikit pun. Tendangan kipasnya yang dilakukan dengan memutar tubuh secara cepat itu pun dapat dibuang oleh si wanita muda dengan sentakan telapak tangan yang mengenai tulang kaki pemuda tersebut.
Takkk...!
"Aow...!" pemuda tampan itu memekik kesakitan. Tulang kakinya bagaikan diadu dengan besi baja. Telapak tangan yang menangkis tendangan kipasnya terasa sangat keras, dan itu pasti karena telapak tangan tersebut dialiri tenaga dalam yang cukup matang. Bahkan sekujur tubuh pemuda tampan itu terasa merinding dan kesemutan akibat tangkisan tersebut.
Pemuda tampan yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah, segera hentikan serangannya. Seperti telah dituturkan dalam episode: "Wasiat Dewa Geledek", ketika Yoga dan Lili baru saja keluar dari gua di bawah laut, tiba-tiba kedua orang muda itu menerima serangan gelap.
Dan.ketika mereka hendak mengejar penyerang gelap itu, manusia yang dikejar telah jauh meninggalkan tempat itu. Lalu, Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih memutuskan untuk mencari tempat berlatih terlebih dulu hingga sampai di tempat ini.
"Perhitungan seranganmu masih kurang tepat, Yo! Sekali kuterobos pertahananmu bisa jebol dadamu!"
Yoga segera bangkit dengan tegak kembali. Lalu terdengar ia berkata dengan tegas, "Cobalah terobos seranganku kalau memang kau bisa!"
Begitu selesai bicara, tahu-tahu perempuan muda itu tubuhnya melesat bagaikan terbang dengan satu kaki lurus ke depan. Wuuusss...! Gerakan itu di luar dugaan Yoga, sehingga badan Yoga tak sempat berkelit sedikit pun, namun tangannya berkelebat menangkis tendangan kaki tersebut.
Wuuttt...! Plak, buuhg...!
Yoga, si Pendekar Rajawali Merah, sama sekali tidak menduga bahwa kaki lawannya yang tidak tertangkis mampu menjejak sikunya dan menggunakan siku itu sebagai alas menyentakkan kaki, sehingga tubuh perempuan muda dan cantik itu berhasil melenting naik dan bersalto satu kali melewati kepala Yoga, lalu menendang kebelakang dan tepat mengenai punggung Yoga.
Tak heran jika Pendekar Rajawali Merah tersungkur ke depan karena tendangan tersebut. Beruntung sekali ia bisa kuasai keseimbangan tubuhnya dengan cepat, sehingga ia tidak jatuh terjerembab melainkan berguling di atas tanah satu kali dan cepat bangkit lagi.
Namun ia merasakan punggungnya bagaikan dihantam batang kayu yang besar dan terasa ngilu sekali. Yang membuat Yoga tertegun beberapa kejap bukan rasa nyeri akibat tendangan itu, melainkan gerakan jurus yang tak pernah dilihatnya itu telah membuatnya diam beberapa saat.
Sungguh heran Yoga melihat siku tangannya yang menangkis bisa dipakai untuk tumpuan kaki lawan yang menyentak hingga tubuh lawan melesat naik. Dan pada saat itu wanita muda berparas cantik seperti bidadari itu memandangi Yoga dengan senyum di bibir.
"Jurus apa itu tadi Aku tidak mempunyainya!" kata Yoga.
Wanita cantik yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Putih, atau Lili itu, semakin melebarkan senyum ejekannya. Ia melangkah ke tempat yang teduh, sehingga Yoga mengikutinya. Sambil melangkah Lili berkata, "itu yang dinamakan jurus Tendang Bintang'!"
"Mengapa Guru Dewa Geledek tidak mengajari ku jurus itu?"
"Karena jurus itu hanya ada di dalam Kitab Rembulan Putih, yang dibawa-bawa oleh guruku, Dewi Langit Perak itu!"
"Maukah kau mengajari ku jurus tendangan tadi, Lili?"
"Mengajari"!" Pendekar Rajawali Putih berlagak kaget, lalu katanya lagi, "Aku bukan gurumu! Aku tak mau turunkan ilmu walau sejurus padamu! Berusahalah mencari dan mempelajari sendiri jurus itu!"
"Jangan pelit-pelit, Lili!" bujuk Pendekar Rajawali Merah. "Kalau kedua guru kita masih ada, pasti aku tidak meminta pelajaran jurus itu padamu!"
Lili memandang penuh pesona, tapi kepalanya menggeleng di seta senyuman manisnya, lalu berkata, "Aku tidak akan ajarkan jurus apa pun padamu, walau sebenarnya aku mempunyai banyak jurus maut yang belum kau miliki!"
"Sehebat apa pun jurus-jurusmu, Lili..., tapi jika tidak digabungkan dengan jurus yang kumiliki, jurus Itu tidak akan menjadi dahsyat! Tidak akan bisa dipakai untuk mengalahkan Malaikat Gelang Emas dan beberapa tokoh sesat lainnya! Ingatlah itu, Lili!"
"Dalam Kitab Rembulan Putih pun telah tertulis kata-kata seperti itu, bahwa jurus-jurus dalam Kitab Rembulan Putih akan menjadi lebih dahsyat lagi jika digabungkan dengan jurus-jurus yang ada di dalam jiwa sang Dewa Geledek! Hmmm...! Sayang sekali gurumu itu tidak pernah punya kitab seumur hidupnya, Yo! Kalau saja beliau mempunyai kitab, maka aku mau bertukar kitab dengan kitabnya! Kau pelajari jurus dari Kitab Rembulan Putih, yang merupakan jurus-jurus milik guruku, dan aku pelajari kitab jurus-jurus gurumu! Tapi sekarang, kita tidak bisa bertukar kitab, sehingga aku tidak mau ajarkan satu jurus pun padamu!"
Pendekar Rajawali Merah diam bagai tersudut. Gurunya; si Dewa Geledek yang adalah suami dari gurunya Lili, selamanya tidak pernah mau menuliskan jurus-jurusnya ke dalam sebuah kitab, dan Dewa Geledek satu-satunya tokoh sakti yang tidak pernah punya kitab. Bukan berarti masa lalunya ia tak pernah belajar silat dari sebuah kitab, melainkan jika ia mendapatkan kitab dan selesai menamatkan semua jurus di dalam kitab itu, maka kitab itu segera dimusnahkan atau dibakar.
Hal itu dilakukan untuk menghindari agar tak ada orang lain yang menemukan dan mempelajari kitab tersebut. Jurus-jurus ciptaannya yang punya kekuatan hebat itu pun tidak mau dikitabkan, karena Dewa Geledek tidak mau seseorang mempelajari jurus-jurusnya tanpa menjadi muridnya dan hanya berdasarkan catatan dalam kitab saja.
Berbeda dengan Dewi Langit Perak, gurunya Lili. Semua Jurus yang ada padanya dituangkan dalam sebuah kitab yang bernama Kitab Rembulan Putih. Kitab itu merangkum bukan saja jurus-jurusnya melainkan beberapa jurus Rajawali milik suaminya juga ada di kitab tersebut. Itulah sebabnya Lili dapat mengetahui sebagian dari ilmu yang dimiliki Yoga, demikian pula sebaliknya.
Tetapi masing-masing sebenarnya mempunyai simpanan ilmu yang tidak saling dikenal, tapi jika dipadukan menjadi satu kekuatan yang dahsyat. Yoga sangat paham akan hal itu, sehingga ia begitu tertarik ingin mempelajari jurus-jurus milik Lili. Tetapi wanita muda yang sangat cantik itu jual mahal. Ia berkata kepada Yoga,
"Jika kuajarkan jurus-jurusku kepadamu, lalu apa yang kuperoleh darimu"!" sambil mata Lili memandang wajah Yoga yang membuatnya kagum dan berdesir-desir dalam hatinya. Keadaan seperti itu ia rasakan sejak mereka bertemu dan berada di dalam gua didasar laut. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam kisah: "Wasiat Dewa Geledek").
Yoga garuk-garuk kepala dan berpikir mengenai upah yang akan diberikan kepada Lili, supaya ia mendapatkan jurus-jurus tersebut. Beberapa saat kemudian ia berkata, "Bagaimana kalau jurus-jurusmu itu kubeli dengan seharga sepuluh sikat untuk satu jurusnya?"
"Hmm...!" Pendekar Rajawali Putih mencibirkan bibir, membuat gemas hati setiap lelaki yang memandangnya. "Semurah itukah harga jurus-jurusku!"
"Habis untuk membayar lebih dari itu aku tak sanggup!"
"Lagi pula aku bukan pedagang loak yang kerjanya jual-beli jurus bekas!" katanya dengan memunggungi dan berkesan angkuh.
"Baiklah. Menurutmu sendiri, harus kubayar dengan apa jurus-jurusmu itu?"
Lagak wanita cantik itu semakin jual mahal kepada Yoga. Hal itu membuat Yoga bertambah penasaran. la mendesak terus kepada Lili agar Lili mau ajarkan jurus-jurusnya, terutama jurus 'Tendangan Bintang' yang ia kagumi itu. Sampai pada akhirnya Lili berkata,
"Baiklah, akan kuajarkan jurus itu padamu, tapi ada dua syarat yang harus kau penuhi!"
"Sebutkan!"
"Pertama, kau harus mau memanggilku sebagai Guru dan mengakui bahwa aku adalah gurumu!"
"Gila! Hanya untuk satu jurus saja aku harus memanggilmu Guru" Hrnm...! Tidak bisa! Sebenarnya ilmu kita tidak jauh berbeda. Usiamu memang lebih tua tiga tahun dari usiaku, tapi itu bukan berarti kau bebas merasa sebagai guruku!"
"Syarat pertama tidak kau setujui, maka niatku untuk turunkan ilmu padamu... batal!"
"Lili..,!" Yoga bergegas meraih lengan Lili yang mau pergi. Gadis itu tertahan langkahnya dan berpaling dengan acuh tak acuh.
"Lili, syaratnya diganti saja!" bujuk Pendekar Rajawali Merah.
'"Syarat pertama kau setujui atau tidak!"
"Tapi kalau aku harus...."
"Kau setujui atau tidak"!" potong Lili sengaja berangkuh diri.
Yoga garuk-garuk kepala dan menghembuskan napas panjang-panjang. "Baiklah!" jawabnya dengan malas-malasan.
"Syarat kedua," kata Lili lagi "Kau harus selalu ada didekatku!"
Terkesiap mata Yoga memandang Lili saat mendengar syarat kedua itu. Berkerut pula dahi Yoga, lalu bertanyalah ia dengan nada pelan, "Apa maksudmu...!"
Lili justru menjadi kikuk dan malu yang tertahan. Mata mereka saling pandang dalam jarak hanya satu jengkal. Lili jadi gemetar dan gelisah. Akhirnya ia cepat-cepat buang muka sambil berkata, "Eh, hmm...! tidak! Maksudku, kalau... kalau kau selalu ada di dekatku, aku bisa turunkan ilmu-ilmuku yang lain sewaktu-waktu!"
Yoga memalingkan wajah Lili sambil memegang kedua pundak gadis itu yang ditarik agar berhadapan dengannya. "Jika itu maksudmu, aku siap! Aku setuju dengan syarat kedua! Tapii...." Wajah itu mengendur sedikit. "...berapa banyak jurus mautmu yang akan kau turunkan padaku?"
"Tergantung berapa banyak kau tidak mengecewakan hatiku," jawab Lili. "Semakin banyak tidak bikin aku kecewa, semakin banyak jurus-jurus itu mengalir turun kepadamu!"
"Mengecewakan dalam hal apa maksudmu?" tanya Yoga pelan.
Pendekar Rajawali Putih merasa kikuk sebentar, tapi segera bisa diatasi dan segera menjawab, "Dalam segala hal!" matanya kembali memandang kebeningan mata Yoga yang punya nuansa teduh dan sejuk di hati. Apalagi saat itu Yoga tersenyum, oh... kembali bergetar hati Lili menerimanya. Ia biarkan kedua tangan Yoga masih memegangi kedua pundaknya, ia Ingin ikut memegangi tangan itu, tapi ia menahan hasratnya tersebut demi menjaga kewibawaan di depan pemuda tampan yang akan menjadi muridnya. Bahkan dengan nada tegas yang masih sedikit bergetar, Lili berkata, "Kebersamaan kita akan melahirkan kesaktian yang tiada tandingnya, Yoga. Sadarkah kau akan hal itu?"
"Ya, aku sadar, Lili... eh, Guru!" Yoga menjawab dengan kaku dan malu.
Sementara Lili sendiri menjadi geli namun ditahannya dalam hati. Ia tampakkan sikapnya sebagai guru yang segera manggut-manggut penuh wibawa, tapi tidak merasa tersinggung melihat kedua tangan Yoga masih memegangi pundaknya. "Kau sanggup mematuhi perintah dan nasihatku, Yo?" "Aku akan patuh padamu, Lili. Eh... Guru!"
"Baik. Kalau begitu, kuajarkan jurus 'Tendangan Bintang' yang tadi sekarang juga!" kata Lili, dan Yoga tampak berseri-seri kegirangan.
Siang itu, di bawah kerindangan pohon yang berdaun rapat, Lili mulai menurunkan ilmunya terutama jurus-jurus tangan kosong. Bukan hanya jurus 'Tendangan Bintang' saja, melainkan beberapa jurus tangan kosong yang tidak dimiliki Yoga diturunkan kepadanya. Termasuk jurus 'Rajawali Menembus Langit' yang punya kecepatan cakar luar biasa itu.
Sambil melompat bersal-to maju satu kali, gerakan cakar terjadi lebih dari sepuluh kali, dilakukan dengan cepat. Bersalto lagi, bergerak mencakar berkali-kali dengan cepat. Begitu seterusnya dan semua itu dengan tekun diikuti oleh Yoga sampai matahari mulai bergeser miring ke barat.
"Tahan sebentar...!" seru Lili yang membuat gerakan cakar yang dilakukan Yoga itu terhenti. Yoga berpaling ke belakang memandang gurunya, dan dahinya berkerut heran melihat sang Guru memandang dengan aneh ke tanah, bahkan sekarang sang Guru sempat jongkok.
"Ada apa, Guru..."!" Pendekar Rajawali Merah segera mendekat.
"Ada potongan tangan manusia!"
Yoga tersentak kaget melihat sepotong tangan tergeletak di tanah yang sudah jauh dari tempatnya berunding tadi. Tangan itu terpotong pada bagian siku, tapi tampaknya bukan dengan senjata tajam memotongnya. Keadaan tangan itu sudah pucat, pada bagian potongannya tidak rata. Mengerikan jika dipandangi terlalu lama.
Lili segera lemparkan pandang ke arah lain, ke sekeliling tempat itu sambil berkata, "Aku yakin tangan ini adalah tangan seorang perempuan muda!"
"Menurut dugaanku memang begitu, Guru! Jari tangannya lentik dan kulitnya masih halus, belum berkeriput! Tapi sepertinya tangan ini terputus dari bagiannya oleh sebab gigitan buas, Guru! Terlihat bekas cakaran kuku di beberapa tempat dan bekas gigitan di samping bagian yang terpotong ini!" Yoga masih jongkok memperhatikan potongan tangan Itu.
"Melihat cincin merah di jari manisnya, rasa-rasanya dia tangan seorang gadis yang cukup terhormat! Setidaknya bukan tangan gadis desa biasa!" tambah Lili setelah kembali memandangi tangan itu dalam sekejap.
"Guru!" Yoga menyentak, "Agaknya di bawah pohon itu juga ada potongan anggota tubuh lainnya! Kulihat ada dua lalat di sana!"
Pendekar Rajawali Putih memandangi tempat yang ditunjuk oleh Yoga, kemudian ia bergegas ke bawah pohon tersebut. la.terkesiap sekejap dan segera berseru dari tempatnya, "Benar, Yo! Di sini ada daun telinga bergiwang merah!"
Yoga mengangkat potongan tangan itu dengan kayu, dibawanya ke bawah pohon tempat ditemukannya potongan telinga yang mengerikan. Beberapa saat Yoga menatap ke arah potongan daun telinga yang kelihatannya bukan putus karena senjata tajam, melainkan karena gigitan dari sebaris gigi yang tak tahu siapa pemiliknya. Ada giwang kecil warna merah delima di telinga tersebut. Warna merahnya sama persis dengan warna cincin yang dikenakan di jari manis, pada potongan tangan yang saat itu sudah digeletakkan oleh Yoga di samping telinga tersebut.
"Ada binatang buas di sekitar sini, Guru! Pasti gadis ini korban dimakan binatang buas tersebut!"
"Tapi tak kulihat ada telapak kaki binatang! Suaranya pun tak kita dengar sejak tadi, Yo!"
"Apakah sesosok setan siang bolong yang menyantap rakus tubuh gadis ini! Rasa-rasanya tak mungkin setan muncul siang hari, kecuali kepepet!" kata Yoga sambil memandang sekeliling dengan penuh selidik, demikian pula yang dilakukan Lili.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara derap kaki kuda yang datang dari arah selatan. Semakin lama semakin jelas, semakin nyata arahnya menuju ke tempat Yoga dan Lili berada. Dari arah tikungan lereng, muncul lima ekor kuda bersama lima penunggangnya yang berwajah ganas-ganas.
"Siapa mereka itu?"
"Mana aku tahu?" jawab Yoga.
"Sepertinya rombongan dari suatu wilayah atau...."
"Hei, mereka berbalik ke arah kita, Guru!"
Rombongan berkuda itu sebenarnya sudah lewat melintasi depan Lili dan Yoga. Kedua Pendekar Rajawali itu hanya memandanginya saja. Tetapi beberapa jarak kemudian, rupanya pimpinan rombongan tersebut memerintahkan anak buahnya untuk berhenti dan memandang ke arah Lili dan Yoga. Entah apa yang dibisikan oleh pimpinan mereka, tiba-tiba keempat kuda bergerak membalik dan menuju ke tempat dua pendekar muda itu berada.
Keempat orang penunggang kuda itu berhenti didepan Lili dan Yoga dengan masing-masing wajah dan sorot pandangan mata yang tidak bersahabat. Mereka menampakkan kebengisannya yang dibalut kemarahan terpendam. Hanya satu orang yang berwajah tak terlalu bengis dan tak segarang yang lainnya. yaitu orang berpakaian coklat yang ada di bagian belakang sendiri.
Orang berpakaian coklat itu hanya bersenjatakan golok dengan tubuhnya yang kurus, rambutnya yang lurus sepundak, matanya yang bundar dan alis yang tipis dalam wajah bulatnya itu. Tetapi orang berpakaian coklat tua itu juga menjadi terkejut setelah ia dan ketiga orang lainnya memandang potongan tangan dan daun telinga bergiwang merah.
Ketiga orang bengis itu menggeram penuh luapan amarah yang ingin cepat meledak, tetapi orang berpakaian coklat tua itu hanya bergidik merinding dan wajahnya yang lebar itu menjadi pucat.
"Tak salah lagi, itu anggota tubuh Putri Ganis!" seru pimpinan mereka yang berpakaian abu-abu dengan ikal kepala merah dan wajah bertonjolan tulang pipi dan rahangnya, tampak besar dan keras.
"Siapa Putri Ganis itu"' tanya Yoga kepada Lili dengan pelan.
"Mana aku kenal" Coba saja kau tanyakan kepada orang itu!"
PENDEKAR Rajawali Merah maju satu tindak, tapi sebelum ia ajukan pertanyaan, tiba-tiba salah satu dari mereka melepaskan serangannya berupa pisau terbang yang dilemparkan ke arah Yoga.
Wuuut...! Tabb...!
Pisau itu tertangkap oleh dua jari Yoga. Keempat orang itu memandang dengan mata makin melebar. Serentak mereka melompat turun dari atas punggung kuda dan mencabut senjata masing-masing. Orang berpakaian abu-abu yang ada di depan mereka segera membentak dengan kemarahan yang memerahkan wajahnya,
"Mengapa kau bunuh Putri Ganis?"
"Siapa Putri Ganis itu? Yang mana orangnya? Aku merasa tidak membunuh siapa pun!" jawab Yoga heran.
"Jangan berpura-pura linglung kau, Bocah Ingusan. Kau pikir kami tidak bisa mengenali potongan tubuh yang ada di tanah itu! Cincin dan giwang merah itu milik Putri Ganis, anak dari Panglima Makar, yang menjadi penguasa di Tanah Gerong!"
"O, kalian salah alamat!" sahut Lili. "justru kami sedang selidiki siapa yang memiliki tangan dan daun telinga ini, serta siapa yang menjadi pelakunya!"
Orang berpakaian hitam dengan celana hijau itu berseru, "Diam kau, Perempuan Setan!" Yang berpakaian biru pun berkata kepada si baju abu-abu, "Kurasa benar apa yang dilaporkan Nala, perempuan itulah yang memakan Putri Ganis! Tak perlu kita banyak bicara, Rahang Besi! Serang saja mereka sebelum mereka sempat melarikan diri!"
Orang berpakaian abu-abu yang dipanggil sebagai Rahang Besi itu segera menggeram dan menggenggam senjatanya, berupa tombak berujung kapak lebar dua mata yang mengkilat tajam setiap sisinya. Rahang Besi pun segera berseru, "Serang mereka!"
"Tunggu...!" seru Pendekar Rajawali Merah yang membuat gerakan mereka terhenti seketika. Kemudian, Pendekar Rajawali Merah berkata, "Soal serang-menyerang itu soal mudah! Tapi kalian salah serang!"
"Bukti sudah ada! Kalian tak bisa mengelak!" kata Rahang Besi. "Kalau kalian ingin hidup agak panjang sedikit, kalian harus menyerah dan akan kami hadapkan kepada pengadilan Panglima Makar!"
Pendekar Rajawali Putih berkata kepada Yoga, "Biar aku yang tangani mereka. Mundurlah, Yo!" Gadis cantik itu maju dalam jarak satu langkah di depan Yoga. Mau tak mau Yoga segera mundur dua tindak untuk memberi ruang bergerak Pendekar Rajawali Putih dalam bergerak. "Ku ingatkan sebelumnya, kalian salah orang! Bukan kami yang membunuh Putri Ganis! Tapi kalau kalian tidak percaya dan nekat menyerang kami, jangan salahkan kami jika nyawa kalian pun akan terancam!" kata Pendekar Rajawali Putih dengan tenang juga.
"Banyak mulut amat perempuan iblis ini! Hiaaat...!" orang berpakaian biru segera menyerang Lili dengan sabit kembarnya. Ia melompat dan berdiri di depan Lili, langsung kibaskan dua sabit di kanan-kirinya dengan gerakan cepat, wiisss... wiiisss...!
Teb, teeb...! Tangan kiri pemegang sabit ditangkis oleh tangan kanan Lili, sedangkan tangan kanan pemegang sabit ditangkis tertahan oleh tangan kanan Lili. Kemudian dengan cepat dan serentak kedua tangan Pendekar Rajawali Putih itu menghentak maju, tepat mengenai dada lawannya.
Wuuttt...!
Orang itu tersentak mundur empat langkah. Pada waktu itu Rahang Besi melemparkan senjata rahasianya ke arah Lili, maksudnya ingin mencegah Lili agar tidak jadi menghantam anak buahnya. Namun di luar dugaan sang anak buah sedikit terpelanting ke kiri hingga lemparan pisau yang menjadi senjata rahasia Rahang Besi itu tepat menancap di punggung orang tersebut.
"Aahhg...!" orang itu pun mendelik sesaat, kemudian rubuh tak bernyawa lagi.
Ketiga orang utusan dari Tanah Gerong itu serentak bergerak mundur beberapa langkah setelah melihat temannya mati karena senjata Rahang Besi yang salah sasaran. Orang berbaju hitam segera memisahkan diri dengan Rahang Besi. Ia ingin mencuri kesempatan menyerang dengan parang tajamnya. Keberadaannya di sebelah kanan Lili membuat mata Lili terpaksa melirik ke kanan dan ke depan, serta ke kiri, sebab di sebelah kiri ada si muka bulat berbaju coklat, di depannya ada Rahang Besi.
Mereka sama-sama menunggu kesempatan menyerang, mencari kelengahan gerakan mata Pendekar Rajawali Putih. Senjata mereka dimain-mainkan untuk mengacaukan perhatian gadis cantik bertubuh menggiurkan itu.
"Heaaah...!" Orang berpakaian hitam segera berguling ke tanah dua kali, lalu bangkit dalam satu sentakan dan menebaskan parangnya kearah Lili. Pada saat itu, Rahang Besi menyodokkan tombak kapaknya yang pada bagian paling ujung mempunyai mata tombak yang runcing. Tombak itu terarah ke pinggang Pendekar Rajawali Putih yang sedang menangkis serangan dari si baju hitam.
Melihat tombak itu ingin menghujam pinggang Lili serta-merta Pendekar Rajawali Merah melompat dan kakinya menyentuh tombak itu dan berlari dua tindak di atas batang tombak yang panjang itu.
Tab, tab, tab....!
Rahang Besi kaget melihat lawannya berlari cepat diatas tombaknya. Rahang Besi terkesima, dan saat ia terkesima kaget itulah tahu-tahu kaki lawan sudah menendang telak pertengahan hidungnya.
Deesss...!
"Aow...!" Bukan Rahang Besi yang memekik begitu, melainkan Pendekar Rajawali Merah yang memekik. Kakinya terasa sakit, seperti menendang bongkahan besi baja yang luar biasa kerasnya. Pendekar Rajawali Merah segera melompat turun dari tombak itu. la mendarat dengan satu kaki, karena kaki yang dipakai untuk menendang tadi masih terasa ngilu untuk menapak.
Sementara itu, Rahang Besi sendiri terpental ke belakang dan terhuyung-huyung akibat tendangan yang cukup lumayan baginya. Begitu kaki mendarat, Pendekar Rajawali Merah segera hadapi serangan dari si baju coklat. Serangan itu berupa lemparan golok dari si baju coklat, sementara setelah melempar si baju coklat melarikan diri dan berhenti dalam jarak beberapa tombak, berlindung pada sebatang pohon dengan wajah tegangnya.
Lemparan golok tadi bisa dihindari oleh Pendekar Rajawali Merah dengan satu lompatan ke atas, dan golok melesat di bawah kakinya. Dengan gerakan cepat tak terlihat, kaki Pendekar Rajawali Merah menendang gagang golok, akibatnya gagang golok itu berputar arah dan melesat kembali ke pelemparnya. Tapi karena pelemparnya sudah bersembunyi di balik pohon, maka golok itu menancap persis di batang pohon yang dipakainya bersembunyi itu.
Jruubbb...!
"Mati aku...!" pekik si baju coklat dengan semakin tegang karena rasa takutnya. la memejamkan mata dengan ngeri waktu goloknya menancap di pohon yang dipakainya berlindung itu.
Pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Putih telah berdiri di samping mayat lawannya, si baju hitam. Orang berbaju hitam itu bukan mati karena serangan Lili, melainkan tersabet tombak Rahang Besi ketika Rahang Besi bermaksud menyambar kepala Lili, dan Lili dengan cepat berguling ke tanah. Akibatnya sambaran tombak tersebut merobek dada di baju hitam, yang membuat si baju hitam tumbang tak bernyawa lagi.
Rahang Besi menggeram penuh murka. "Kurang ajar! Dari tadi justru senjataku sendiri yang membunuh anak buahku! Aku harus lebih hati-hati lagi dengan si gadis centil ini!"
Gentar juga Rahang Besi melihat anak buahnya mati. la secara diam-diam mengagumi kehebatan jurus-jurus tipuan yang digunakan oleh kedua lawannya itu. la sengaja tidak segera menyerang karena membutuhkan waktu untuk mempelajari gerakan jurus kedua lawannya yang sukar diduga arah serangannya itu.
"Siapa kalian sebenarnya, sehingga dapat dengan mudah dan cepat membunuh kedua anak buahku dengan jurus tipuan"!" tanyanya bernada penasaran.
"Aku Pendekar Rajawali Putih!" jawab Lili dengan tegas dan bertolak pinggang. "Dan itu muridku, Pendekar Rajawali Merah!"
Yoga bersungut-sungut cemberut. la tak suka diperkenalkan sebagai murid di depan lawan. Tapi agaknya ia tak bisa membantah lagi, karena rupanya hal itu sengaja diucapkan oleh Lili untuk mengendurkan ketegangan. Sebab setelah berkata begitu, Lili melirik dan menyunggingkan senyum kecil serta tipis di sudut bibirnya.
"Sebaiknya kau kembali saja, Rahang Besi!" kata Yoga, "Daripada dipihakmu timbul korban yang sebenarnya salah sasaran ini!"
"Rahang Besi dan orang-orang Tanah Gerong pantang mundur sekali sudah maju!" sumbar Rahang Besi.
Sementara itu, si baju coklat mencoba ajukan usulnya dengan takut-takut, "Sekali tempo mundur tak apalah...!"
"Tidak bisa!" bentak Rahang Besi membuat tubuh si baju coklat terlonjak kaget Orang itu justru berkata lagi kepada temannya, "Nyali Kutu...! Giliranmu menyerang mereka! Tunjukkan kehebatan ilmu 'Jari Ular'mu...!"
"Sebaiknya tak usah. Sebaiknya kita segera saja pulang dan me...."
"Serang mereka, Bodoh!" bentak Rahang Besi dengan marah.
"Bbba... ba... baik!" jawab Nyali Kutu dengan menggeragap. Kemudian, dengan kesan memaksakan keberaniannya, ia berdiri di depan Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. la menggerak-gerakkan tangannya dengan gemulai, termasuk gerakan jari-jemarinya yang meliuk-liuk bagai sepuluh ekor ular berkelok-kelok. Tiba-tiba dari kesepuluh jarinya itu memancarkan sinar bagaikan lidah petir yang berwarna biru. Sinar-sinar itu melesat dan saling bertemu di satu titik, menjadi gumpalan besar dan menghantam tubuh Pendekar Rajawali Putih.
Wuuust...!
Dengan satu sentakan tangan kiri, telapak tangan Pendekar Rajawali Putih keluarkan sinar merah berbentuk gumpalan kecil. Sinar merah itu menghantam gulungan sinar birunya Nyali Kutu. Kedua sinar tersebut berhenti di udara, tangan Pendekar Rajawali Putih masih tertahan ke depan, seakan mendorong sinar merahnya untuk mendesak sinar biru itu. Sedangkan dari jari-jari Nyali Kutu masih memancarkan sinar biru berkelok-kelok.
Melihat keadaan begitu, Yoga yakin sinar biru itu sukar dipecahkan atau didorong oleh sinar merahnya Lili. Maka, dengan cepat Pendekar Rajawali Merah itu segera sentakkan telapak tangan kirinya dan melesatlah sinar hijau satu larik bagaikan besi yang lurus menghantam sinar birunya Nyali Kutu. Begitu sinar hijau itu menyentuh sinar biru, maka meledaklah sinar birunya Nyali Kutu yang agaknya sukar dihancurkan itu.
Blaarrr...! Ledakan begitu keras. Gelombangnya begitu kuat menghentak sekeliling. Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih tersentak mundur dua tindak. Tetapi Nyali Kutu terlempar sekitar lima tombak jauhnya dan terkapar jatuh ia di sana. Bahkan Rahang Besi sendiri terhuyung oleh tubuhnya akibat gelombang ledakan tersebut, hingga ia pun mundur empat tindak, nyaris jatuh jika tidak tertahan pada tombaknya.
Nyali Kutu bangkit pada waktu Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih saling pandang dengan sama-sama sunggingkan senyum tipis, sebagai simbol senyum kemenangan mereka dalam jurus itu. Dari tempatnya, terdengar Nyali Kutu menggerutu kepada Rahang Besi,
"Apa kubilang tadi..."! Kita pulang sajalah! Jurus mereka sangat berbahaya. Apalagi jika mereka menyerang secara bersamaan dan..."
"Tutup mulutmu!" bentak Rahang Besi. "Dasar nyalimu nyali sekecil anak teri!"
Pendekar Rajawali Merah berseru, "Kurasa benar apa saran temanmu yang kau panggil Nyali Kutu itu! Pulanglah dan jangan coba-coba melawan kami berdua!"
"Persetan dengan saran itu! Kalian telah kuanggap membunuh dua orang Tanah Gerong! Sebagai utusan Panglima Makar yang dipercaya, aku tidak ingin pulang dengan tangan hampa! Kubalas kematian mereka saat ini juga, Jahanam! Heaaah...!"
Rahang Besi melompat dan tombaknya ditancapkan di tanah, lalu tubuhnya melayang tinggi mengikuti gerakan tangkai tombak. Tubuh itu tepat menendang ke wajah Yoga. Tapi sebelum Yoga terkena tendangan, ia sudah memiringkan badannya ke samping, wuuusttt...! Dan tiba-tiba kaki kanan Pendekar Rajawali Putih menendang ke dagu si Rahang Besi.
Plookkk...! Krak...! Terdengar bunyi berderak.
"Uhg...!" Rahang Besi mendelik kesakitan dalam keadaan jatuh terduduk. Tangannya masih memegangi ujung tangkai tombak. Bibirnya tampak pecah dengan dagu membiru. Tapi agaknya orang bertulang wajah keras itu tidak ada jeranya. Tombaknya ditarik dan dikibaskan menyambar kaki Pendekar Rajawali Putih.
Wuuungng...!
Tombak itu memutar sekeliling bagian. Pendekar Rajawali Putih berhasil melompat ke atas, sedangkan Pendekar Rajawali Merah hampir saja tergores kakinya jika tidak segera mundur dalam satu lompatan.
"Edan..! Rupanya yang jadi sasaran utama adalah diriku!" kata Yoga dalam hatinya. Segera ia melompat bersalto di tanah beberapa kali, dan berhenti tepat di samping Pendekar Rajawali Putih. Mereka saling adu punggung dalam keadaan berdiri menyamping menghadap ke arah lawannya yang segera bangkit dengan lebih ganas lagi itu.
"Kita serang orang itu bersama-sama! Jangan ambil wajahnya. Keras!" bisik Lili. Dan terdengar suara Yoga menggumam sambil mengangguk.
"Heaaah...!" Rahang Besi melompat sambil menyodokkan tombak kapaknya kedepan. Yoga dan Lili pun sama-sama melompat menyambut gerakan tubuh lawannya.
"Hiaaat...!"
Tombak bermata dua yang lebar di kanan kirinya itu akan merobek perut atau pinggang lawan yang maju bersamaan. Tetapi agaknya lawan itu bukan sembarang lawan. Pendekar Rajawali Merah sentakkan kakinya ke depan pada saat melompat sehingga tombak itu terhempas naik, bahkan hampir lepas dari pegangan pemiliknya.
Karena tombak terhempas naik dalam keadaan kedua tangan masih memegangi tangkai tombak, maka bagian depan Rahang Besi terbuka lebar. Dan saat itulah telapak tangan Pendekar Rajawali Putih menghantam satu kali dengan teriakan memanjang dan telak sekali.
"Heaaah...!"
Beeehg...!
"Eng...!" kecil sekali pekikan Rahang Besi. Ia segera rubuh terpental mundur dan jatuh di tanah sekitar empat tombak jaraknya dari tempatnya berdiri tadi. Mata Rahang Besi terbeliak-beliak dan berusaha untuk bangkit. Tapi tiba-tiba kepalanya tersentak ke depan, dan darah merah kehitaman muncrat keluar dari mulutnya. Bagian yang terkena pukulan Tapak Geledek' Itu mengepulkan asap dan mengabarkan bau hangus. Baju abu-abunya membara terbakar. Lalu, tak sampai tujuh helaan napas, Rahang Besi pun terkulai tak bernyawa untuk selamanya.
"Rahang Besi...!" sentak Nyali Kutu melihat orang kekar yang dianggapnya bertulang rahang keras itu akhirnya mati juga di tangan dua pendekar muda tersebut. Nyali Kutu yang berusia sekitar lima tahun lebih tua dari kedua pendekar itu, segera bergerak mundur dengan wajahnya yang tegang ketakutan.
Yoga mendekati sambil berkata, "Kau mau menyusul Rahang Besi?"
"Eh, hmm... anu... tidak. Kapan-kapan saja'" jawab Nyali Kutu.
"Kalau begitu pulanglah, dan katakan pada penguasa Tanah Gerong, bahwa pembunuh Putri Ganis bukan kami. Dan kalau kami membunuh keempat temanmu ini, karena kami terpaksa, sebab kami belum ingin mati dibunuh mereka!"
"Iiy... iya! Iya...! Nanti saya sampaikan pesan itu kepada Panglima Tanah Gerong, Pendekar.... Pendekar Rajawali Merah dan Putih!" Nyali Kutu manggut-manggut dengan tubuh gemetar.
Namun sebelum Nyali Kutu pergi, tiba-tiba muncul suara tawa yang memanjang dari arah semak-semak di seberang sana, jaraknya antara dua puluh tombak dari tempat mereka. Suara tawa mengikik berkepanjangan itu segera disusul munculnya seraut wajah berlumur darah pada bagian mulut. Orang itu juga berlumur darah pada bagian kedua tangannya. la berlari-lari mendekati Nyali Kutu sambil berseru,
"Santapan lagi... santapan lagi...! Oh, lezatnya...! Hia ha ha ha...! Santapan lezat datang lagi! Hi hi hi hik...!"
"Cepat lari kau!" sentak Lili kepada Nyali Kutu.
Maka orang penakut itu pun segera lari dengan cepatnya, tunggang-langgang sampai membentur batang pohon, jatuh, bangkit lagi dan lari kembali.
"Ya, ampuuun...!" gumam Yoga dengan mata mendelik dan terpaku di tempat.
Lili mendekatinya sambil mata tetap memandang ke arah seorang gadis berpakaian serba kuning penuh percikan darah. Gadis itu melilitkan selendang biru dipinggangnya dan menyelipkan pedang pendek di sana. Lili segera bertanya pelan sambil tak berkedip memandangi setiap gerakan gadis berlumur darah dan berambut awut-awutan itu. "Siapa dia! Agaknya kau sudah mengenal gadis itu!"
"Ya. Aku kenal. Dia adalah Mahligai...! Tapi mengapa dia menjadi gila begitu! Dan... dan sepertinya dialah yang membunuh Putri Ganis memakai giginya!"
"Maksudmu, dia memakan Putri Ganis?"
"Kelihatannya begitu! Padahal aku tahu, dia bukan manusia pemakan daging manusia! Dia gadis baik-baik, lincah, manis, dan...."
"Cukup! Kau tak perlu memujinya di depanku!" sergah Lili, cemberut dan bersungut-sungut.
SUNGGUH tak habis pikir buat Yoga, mengapa Mahligai menjadi ganas dan gila begitu. Matanya yang dulu indah kini menjadi buas dan liar, ia bahkan tidak mengenali diri Yoga, la melompat dan menerkam Yoga dengan kedua tangannya sambil memekik liar.
"Uaaa...!"
"Mahligai! Ingat... ini aku! Aku Yoga, Mahligai!"
Zreep...! Yoga dicekik lehernya dalam keadaan jatuh ditanah. Mahligai menggeram, menyeringai, sementara Yoga tidak mau menolak dengan kasar, ia kasihan jika menendang atau menghantam Mahligai. Sementara itu, Mahligai telah menyeringai dan siap mengigit pipi Yoga dengan buasnya.
"Hiaaat...!"
Buuhg...! Wuuurrs...!
"Aaaa...!" Mahligai memekik sekeras-kerasnya. Tubuhnya ditendang oleh Lili hingga terlepaslah cengkeraman pada leher Yoga dan tubuh itu melayang, jatuh berguling-guling dengan menjerit. Lalu bangkit lagi dengan badan agak membungkuk dan tangan keduanya sudah diangkat menyeramkan, siap menerkam dan menyerang kembali. "Aaagrrr...!"
"Kubunuh kau berani menyentuh muridku, Perempuan Gila!" sentak Pendekar Rajawali Putih. Kemudian Ia bergegas maju untuk melaksanakan niatnya yang dibumbui oleh kemarahan hebat itu.
"Lili...! Eh, Guru...! Jangan lawan dia, Guru!" seru Yoga sambil berlari menyusul Lili. Tetapi pada saat itu, Lili sudah menyerang dengan tendangan beruntunnya ke arah Mahligai. Sekalipun Mahligai telah menjadi gila dan sebuas itu, namun ia masih bisa gunakan jurus-jurusnya sehingga tendangan itu dapat ditangkisnya beberapa kali, namun yang terakhir berhasil lolos dari tangkisannya. Buuuhg...! Dada Mahligai terkena tendangan kaki kiri Pendekar Rajawali Putih.
"Aaaa...! Aaaa...!" Mahligai menjerit-jerit dengan suara keras sekali. Ia jatuh terguling-guling lagi namun segera dapat berdiri dengan cepat kembali. "Aaagggrrr...!" Ia mengerang menyeramkan.
Lili melangkah terus mengejar ke mana pun Mahligai berada. Dan Pendekar Rajawali Merah segera menyusul dengan satu lompatan salto yang melewati atas kepala Lili.
Wuuttt...! Jleg!
Yoga sudah berada di depan Lili pada waktu jarak Lili dengan Mahligai sekitar tiga tombak. Dengan sentakan penuh wibawa, Lili membelalakkan mata kepada Yoga,
"Minggir kau!"
"Jangan serang dia, Guru! Dia temanku!"
"Dia akan membunuhmu, Bodoh!"
"Dia dalam keadaan tak waras! Itu mungkin akibat pukulan dari Merak Betina yang mengandung Racun Edan!" (Baca Jodoh Rajawali dalam kisah: "Wasiat Dewa Geledek").
"Aku tak peduli siapa dia! Tapi dia sudah hampir membunuhmu dan aku harus membunuhnya sebelum kau nantinya dibunuh oleh dia!"
"Dia tidak akan membunuhku, Guru! Dia...,"
"Minggir, Yoga!" bentak Lili.
"Aku tidak mau minggir!"
"Dasar bandel.. Hiaaah...!" Lili segera menendang ke permukaan wajah Yoga. Dengan cepat tangan Yoga berkelebat menangkisnya. Plak! Kemudian Lili menyerang dengan jurus 'Rajawali Menembus Langit' yang berbentuk cakaran cepat dari kaki merayap sampai ke kepala.
Wuk, wuk, wuk, wuk, wuk wuk...!
Yoga bergerak mundur beberapa tindak menghindari gerakan cepat tersebut. Sampai tak sadar ia sudah ada persis di depan Mahligai. Gadis gila itu segera berteriak keras-keras sambil melompat ke punggung Yoga.
"Aaaagggr...!"
Bruus...! Tubuh gadis gila itu menyergap leher Yoga, kemudian berusaha menggigit punggung dan tengkuk kepala Yoga. Tapi tubuh Yoga bergerak-gerak dengan oleng ke kiri-kanan sangat cepat. Dan akhirnya menyentak dalam gerakan membungkuk, maka tubuh Mahligai pun terpental ke depan. Lepas dari punggung Yoga.
Wuuuttt...!
"Aaaagggrr...!" teriak Mahligai sambil tubuhnya melayang, kemudian jatuh dengan pinggang belakang membentur batu. ia semakin memekik keras-keras dengan suara-suara liarnya.
"Mati kau, Gadis Gila! Hiaaat...!" Pendekar Rajawali Putih melompat ke arah Mahligai yang sedang berusaha untuk bangkit.
"Guuurua..! Jangaaan...!" teriak Yoga sambil tubuhnya melayang bagaikan terbang dan menerjang tubuh Lili.
Bruuus...!
Keduanya jatuh berjumpalitan di tanah, dan segera sama-sama bangkit serta siap saling menyerang kembali.
"Percayalah, Guru! Dia tidak tahu apa yang dia lakukan terhadapku!"
"Sekeras itu kau membela dia, Yoga! Ada hubungan apa sebenarnya antara kau dengan dia!" geram Lili dengan mata menyipit curiga.
"Hanya sebagai teman baik saja, Guru! Waktu aku memakamkan Guru Dewa Geledek, dia ikut hadir juga dan...."
"Dan kalian saling jatuh cinta"!"
"Tidak, Guru! Jangan berprasangka begitu!"
"Omong kosong! Kau kelihatannya sangat sayang sekali padanya dan tak rela jika aku menghajarnya!"
"Karena dia dalam keadaan gila, Guru! Kau salah kalau menghukum orang gila! Orang gila itu bebas hukuman!"
"Aku tidak pernah memanjakan orang gila, Yo! Kalau kau memang ingin membelanya, kau harus siap bertarung denganku! Hiaaat...!"
Lili melepaskan pukulan jarak jauh yang tidak timbulkan cahaya apa pun. Tubuh Yoga terpental karena tidak menangkis dan tidak mengelak dari pukulan itu. Yoga jatuh di semak-semak dalam jarak sekitar lima tombak dari tempatnya berdiri. Jika pukulan jarak jauh itu tidak bertenaga dalam tinggi, tak mungkin Yoga terpental sejauh itu. Lili segera menghampiri Yoga untuk menghajarnya lagi. Tapi tiba-tiba dari arah samping melesatlah tubuh Mahligai dengan gerakan seperti seekor singa lapar.
"Aaaahgggr...!"
Lili cepat sentakkan tangan kanannya ke kiri. Wuuutttt...! Dan tenaga dalam tanpa sinar itu menghantam telak ke tubuh Mahligai. Buuuhg! Tubuh Mahligai juga terpental lagi. Weers...! Langkah kaki Lili kembali mendekati Yoga yang sedang merintih menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya sambil berusaha berdiri. Pada saat itu, Lili kembali lepaskan pukulan jarak jauhnya dalam ukuran jarak antara dua tombak. Tetapi, sebelum pukulan itu dilepaskan, tiba-tiba angin panas yang cukup besar datang dari arah kanan Lili dan membuat Lili terpental terbang bagai dilanda badai.
Woouuss...! Jleeg...!
Sesosok tubuh berpakaian merah-merah berdiri di depan Yoga, memandang ke arah Lili. Orang tersebut membungkus dirinya dengan pakaian kain merah tebal dari kaki sampai kepala, dan mengenakan topeng penutup wajah warna merah juga. Topeng itu membentuk wajah yang menyeramkan, bagai wajah iblis dari neraka. Yoga sendiri tidak mengenali orang yang membungkus tubuhnya dengan kain merah sampai pada batas pergelangan tangannya.
Pandangan mata orang itu tak jelas ke arah mana, karena topeng yang menutup wajahnya itu hanya mempunyai lubang mata cukup kecil. Tapi gerakan wajah yang berpaling ke kiri itu, jelas menampakkan dirinya sedang memandang kearah Pendekar Rajawali Putih.
"Jahanam kau! Siapa kau, sehingga tahu-tahu menyerangku, hah"!" sentak Lili dengan berdiri tegak, seakan tak pernah takut sedikit pun. Bahkan ia kelihatan siap lakukan serangan balas.
Sebelum Topeng Merah menyebutkan namanya atau mengatakan sesuatu, ia sudah lebih dulu diserang oleh Mahligai dari arah belakang. Mahligai melayang dengan siap menerkam dengan suara teriakan yang liar.
"Aaagggrr...!"
Buuh...! Teb... teb...!
Topeng Merah kelebatkan tangannya tiga kali, ia berhasil memukul dada kanan Mahligai, lalu menotok gadis gila itu, hingga sang gadis tertegun berdiri bagaikan patung tak bisa bergerak. Bahkan untuk keluarkan suara teriakan pun tak bisa. Tapi mulut dan kepalanya masih bisa bebas bergerak, berusaha melepaskan diri dari totokan tersebut. Mulutnya ternganganganga ingin lontarkan teriakan, tapi kerongkongannya bagai ada yang menutup dengan rapat.
Lili segera bergegas mendekati Topeng Merah dengan pandangan mata tajam, penuh permusuhan. Namun sebelum ia melakukan serangan atau melontarkan pertanyaan, tiba-tiba Topeng Merah mencabut pedangnya yang ada di punggung. Sreek ! Badannya sedikit membungkuk dengan kedua tangan memegang gagang pedang yang menyerupai samurai itu.
"O, kau benar-benar mengajakku adu nyawa, hah"!" geram Lili dengan gemas. Lalu, segera Lili pasang kuda-kuda dan kedua tangannya mulai diangkat ke atas. la belum mau mencabut pedangnya.
Yoga semakin tertegun melihat sikap yang diambil manusia Topeng Merah itu. Agaknya orang tersebut benar-benar ingin membunuh Lili. Mungkinkah orang bertopeng merah itu bekas musuh lamanya Lili."
Topeng Merah segera maju menyerang Pendekar Rajawali Putih. Pedangnya itu ditebaskan dengan tiga kali gerakan.
Wuuut, wuutt, wuuttt...!
Zlaap...! Orang bertopeng merah itu agaknya terperanjat kaget melihat lawannya tidak ada di depannya. Ternyata Lili sudah berada dibelakangnya dan segera menyerangnya dengan tendangan kaki kiri yang menyamping.
"Hiaaat...!"
Plakkk...!
Yoga terkejut, ternyata orang yang bertopeng merah itu bisa menangkis tendangan secepat itu dengan menggunakan kelebatan kakinya. Kaki itu beradu dalam sekejap, kemudian pedang Topeng Merah menebas dari atas ke bawah, memenggal pundak Lili. Tetapi dengan cepat Lili menghindar ke samping. Dan serta-merta orang bertopeng merah itu terjungkal jatuh ke samping, tiga tindak jaraknya dari tempatnya berdiri. Karena pada saat itu, kaki Yoga segera menendang dan tepat mengenai lengan orang tersebut.
Buuhg...!
"Siapa kau sebenarnya"!" sentak Yoga kepada orang bertopeng merah.
Orang itu tidak menjawab, hanya berdiri dengan pedang siap di tangan kanan, tangan kirinya ada di samping dalam keadaan menggenggam. Orang itu mundur dua tindak ketika Yoga maju satu tindak.
Yoga berkata dengan suara keras, "Kalau kau mau membunuh guruku, kau harus melangkahi dulu bangkaiku! Paham!"
Orang bertopeng merah itu segera mundur lagi dua tindak. Dan tiba-tiba ia membalikkan badan, menoleh sebentar, lalu cepat sentakkan kaki. Wuuuttt...! la melesat pergi dengan cepatnya. Pendekar Rajawali Putih segera mengejar dengan gerakan cepatnya pula.
"Guru! Biarkan dia pergi!" sentak Yoga dengan keras. Akibatnya, Lili hanya mengejar sampai di kerimbunan semak, kemudian kembali lagi dengan wajah cemberut menahan marah.
"Apakah kau tidak mengenai orang bertopeng merah tadi!"
"Sama sekali tidak, Guru!"
"Mungkin musuh lamamu?"
"Bukan. Justru kupikir itu tadinya musuhmu, karena dia tahu-tahu menyerangmu!"
"Aku tidak punya musuh sepengecut itu! Tak berani tampakkan wajahnya di depanku, itu suatu sikap pengecut yang paling ku benci!"
"Sudahlah, kita tak perlu lagi memikirkan dia! Toh dia sudah pergi! Sebaiknya, kubawa saja gadis gila Itu kepada bibinya!"
"Kau mau bawa dia. Mau urus gadis macam begitu!" Lili berkerut dahi dengan rasa tak suka. "Rajin amat kau! Mau-maunya mengurus gadis liar macam dia!"
"Karena aku kenal baik dengan bibinya, Guru! Bibinya itu yang memberi tahu aku tentang Gunung Menara Salju! Bibi gadis ini yang sarankan aku mencari burung Rajawali Putih ke daerah Gunung Menara Salju, sampai akhirnya aku bertemu denganmu! Kalau aku tidak mendapat saran dan petunjuk dari bibinya, aku tidak tahu harus mencarimu ke mana, dan mungkin kita tidak akan jumpa sampai saat ini!"
Lili makin cemberut dan menghempaskan napas kekesalan hatinya. la agaknya benar-benar tak suka kalau Yoga membawa pergi gadis itu. la punya kecemasan sendiri yang menimbulkan rasa tak suka di hatinya.
"Kita harus menolong dia, membebaskan racun gilanya itu!"
"Kita..."!" Lili kian bersungut-sungut. "Aku tak punya kepentingan apa-apa dengan gadis itu! Tak sudi aku melakukannya!"
"Guru Lili, cobalah berbaik hati sedikit terhadap sesama mu!"
"Untuk gadis itu, aku tidak mau berbaik hati!"
"Mengapa?"
"Pasti dia gadis yang mencintaimu!"
"Aku tak tahu! Tapi aku tak pernah menyuruhnya jatuh cinta padaku! Sumpah, aku tak pernah menyuruhnya begitu!"
"Tapi kau pernah mengharapkannya, Yoga!"
"Tidak pernah juga!"
"Kepada siapa pun kau tidak pernah mengharapkan dicintai oleh seorang gadis?"
"Tidak pernah!" jawab Yoga semakin tegas.
"Juga kepadaku kau tidak berhadap begitu?"
"Berharap... berharap bagaimana maksudnya?" Yoga mulai kikuk demikian pula Lili.
Segera tubuh Lili bergerak pelan membalik dan kini mereka saling bertatapan pandang. Dua helaan napas mereka saling memandang dalam kelembutan. Kemudian terdengar Lili berkata, "Tidakkah kau berharap agar aku... agar aku... lebih memperhatikan kamu lagi, Yo?"
"Sangat berharap," jawab Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu. Kemudian, sebaris senyum menawan mekar di bibir Yoga.
Berdebarlah hati Lili, dan tak berani ia memandang Yoga lagi, karena takut tak bisa kuasai kegirangan hatinya saat itu. "Aku akan memperhatikan kamu lebih besar lagi dari sekarang," ucap Lili sambil menunduk, Tapi ku mohon, jangan kau bersama gadis itu lagi! Tinggalkan dia di sini, Yo!"
"Tidak bisa, Guru!"
"Yo...." Lili merengek, hilanglah kesan seorang gurunya.
"Aku berhutang jasa kebaikan kepada bibinya!"
Lili mendengus kesal sambil cemberut, kemudian melangkah menjauhi Yoga, la mendekati pohon dan bersandarkan pundak di pohon itu sambil memainkan rambutnya yang ada di depan dadanya.
"Aku harus membawa dia pulang ke bibinya, selagi dia masih dalam keadaan tertotok begitu! Bibinya seorang tabib yang pandai mengobati berbagai macam penyakit, sehingga ia disebut sebagai Tabib Perawan! Bibinya pasti tahu bagaimana menghilangkan pengaruh Racun Edan itu!"
"Aku tak ingin ikut denganmu!" ketus Lili dengan wajah cemberut manis dan menggemaskan. "Kalau kau mau pergi, pergilah sana!"
"Kita hanya sebentar mengantar pulang gadis itu, Guru. Setelah itu kita pergi bersama-sama mencari musuh guru kita yang harus segera kita lenyapkan itu, Guru!"
"Pergilah sana! Aku tak mau ikut!" bentak Li-li dengan mata mendelik ke arah Yoga.
Napas Yoga terhempas lepas. Jengkel dalam hatinya, namun ia tahan kuat-kuat kejengkelan itu. Akhirnya Yoga mendekati Mahligai, lalu menambahkan satu totokan di belakang telinga gadis itu sehingga kepala gadis itu tak bisa bergerak, mulutnya tidak lagi terbuka. Mahligai diangkatnya, ditaruh pada pundak kirinya.
"Aku pergi dulu, Guru...!" pamitnya kepada Lili.
Tapi oleh Lili dibiarkan saja. Lili tetap cemberut jengkel. Yoga bergerak meninggalkan tempat itu, Lili cepat berpaling dan berseru, "Yooo...!"
Langkah Pendekar Rajawali Merah terhenti sejenak. Tapi ia tidak berpaling ke belakang. Ia dengarkan suara di belakangnya. Ternyata tak ada suara melangkah mendekatinya, itu berarti Lili tetap tak mau ikut dengannya. Maka, Yoga pun teruskan langkahnya berkelebat cepat menuju ke pondok tempat tinggal Tabib Perawan yang bernama Sendang Suci itu.
Hati Lili menjadi bertambah gemas dan dongkol kepada Pendekar Rajawali Merah. la masih diam di tempat itu, memandangi mayat yang bergelimpangan di tempat pertarungan tadi. Tetapi dalam hatinya, Pendekar Rajawali Putih itu berucap kata sendirian.
"Kalau tak ada hubungan intim, tak mungkin ia memberati gadis itu! Menyesal sekali mengapa tadi gadis itu tidak segera kubunuh saja, supaya Yo tidak beralih kepada gadis itu! Haruskah aku mengejar hatinya agar bersatu dengan hatiku. Tapi... tapi sekarang aku adalah gurunya! Haruskah seorang guru mencintai muridnya. Pantaskah begitu?"
Lili melangkah pelan-pelan sambil memikirkan berbagai pertanyaan batinnya itu. la melangkah ketika matahari kian surut dari permukaan bumi. Tapi rasa cinta yang tumbuh di hatinya, tak akan pernah ikut surut seperti matahari. Hanya saja, ia masih sangsi, apakah rasa cinta itu layak untuk tetap menyala dan berkobar-kobar jika orang yang ingin dicintainya itu adalah muridnya. Apakah benar sesuatu yang menyala-nyala di dalam hatinya itu adalah rasa cinta. Atau hanya sekadar rasa kagum saja terhadap sebentuk ketampanan wajah lelaki"
SENDANG SUCI menatap kehadiran Yoga dengan mata lembut penuh kharisma. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu masih kelihatan seperti berusia tiga puluh tahun kurang. Ten-tu saja ia kelihatan cantik, muda tanpa kerutan kulit ketuaan, karena la seorang tabib yang punya ramuan awet muda. Baju longgar putih dengan rompi ketat yang rapat berwarna ungu sebatas betis, menambah anggun penampilan sang bibi sekaligus guru dari Mahligai itu.
"Di mana kau temukan dia, Yoga?"
"Di hutan seberang ngarai, Bibi!"
Tabib Perawan yang memang masih suci dan belum pernah dijamah lelaki itu memandangi Mahligai yang dibaringkan di atas pembaringan, tempat biasanya ia mengobati para tamunya. la tampak sedih melihat keponakannya menderita Racun Edan, dan menjadi gila seperti yang telah diceritakan Yoga tadi.
Dengan hati tak tega, ia terpaksa meminta bantuan Yoga untuk membelenggu kedua tangan dan kaki Mahligai. Gadis malang itu dipindahkan ke sudut ruangan dalam keadaan tangan dan kakinya terbelenggu sudah. Kemudian Tabib Perawan membebaskan dua totokan pada tubuh Mahligai yang membuat anggota tubuh Mahligai bisa bergerak normal, tapi bagian kepalanya belum bisa bergerak.
"Satu lagi totokan ada padanya, tapi aku tak tahu bagaimana cara membebaskan totokan itu!" kata Tabib Perawan.
"Saya yang menotoknya, Bi!" kata Yoga dengan perasaan dan nada suara penuh sesal, kemudian Yoga pun membebaskan totokannya.
"Aaaggrrr...! Aaaagggrr...!" Mahligai berteriak-teriak dan meronta-ronta. Rantai yang digunakan untuk membelenggu kaki dan kedua tangannya disentak-sentakkan. Wajahnya menyeringai liar beberapa kali. Matanya melotot lebar-lebar.
"Makan...! Makan...! Aku ingin makan kalian! Lekas, makaan...! seru Mahligai yang memberontak. Rantainya gemerincing ditarik-tarik dengan kuat.
Teeb...! Tiba-tiba tangan Tabib Perawan itu bergerak cepat menggunakan kedua jarinya, menotok bagian sekitar bawah ketiak. Seketika itu tubuh Mahligai terkulai lemas dengan napas terengah-engah. Suaranya pun menjadi pelan ketika mengerang maupun merintih. Totokan itu rupanya telah kendor seluruh uratnya, termasuk urat leher yang biasa digunakan untuk berteriak itu.
"Mungkin dia perlu dipasung!" gumam Sendang Suci seperti bicara pada diri sendiri. "Kasihan kalau dia sampai dipasung," ujar Yoga. "Apakah Bibi tidak bisa sembuhkan dia dalam waktu singkat?"
Sendang Suci gelengkan kepala. "Aku butuh beberapa waktu untuk melenyapkan Racun Edan itu! Ada beberapa bahan yang belum kumiliki dalam persediaan obatku! Satu bahan amat sulit diperolehnya."
"Bahan apa itu, Bibi. Kalau sekiranya saya bisa membantu, saya akan bantu mencarinya!"
"Bunga teratai Hitam!"
Yoga berkerut dahi dan bertanya, "Apakah ada bunga teratai warnanya hitam, Bi?"
"Ada. Bunga itu dapat menawarkan berbagai macam jenis racun tapi juga bisa berubah menjadi racun ganas apabila salah penempatannya! Jika tubuh seseorang terkena racun tertentu, dan diberi minum air rebusan bunga Teratai Hitam, bisa-bisa racun tersebut semakin ganas dan mematikan orang tersebut. Tetapi jenis Racun Edan, jika terkena racun Teratai Hitam, akan menjadi tawar dan menyembuhkan si penderita."
Yoga mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu, di mana dapat diperoleh bunga Teratai Hitam itu, Bi!"
"Di Telaga Bangkai!"
"Telaga Bangkai"! Di mana letak Telaga Bangkai itu, Bi?"
"Di dalam Gua Mulut Iblis! Gua itu ada di lereng Gunung Tambak Petir. Gua itu biasanya di-gunakan untuk bertapa seseorang. Entah sekarang masih digunakan atau sudah tidak lagi!"
Pendekar Rajawali Merah termenung sebentar membayangkan tempat tersebut yang belum pernah diketahuinya. Melihat keadaan Mahligai yang saat itu terkulai lemas dan meraung-raung kecil itu, hati Yoga tidak tega sama sekali. la terbayang saat pertemuannya dengan Mahligai, terutama ketika hadir di pemakaman mendiang Guru Yoga, yaitu si Dewa Geledek.
Yoga juga terbayang saat menggendong-gendong Mahligai yang ternyata hanya suatu permainan Mahligai saja. Yoga ingat ketika Mahligai terdesak dan nyaris mati ditangan si Mata Neraka itu. Semua bayangan masa lalu yang belum lama telah membuat hati Pendekar Rajawali Merah menjadi terharu. (Baca serial Jodoh Rajawali episode; "Wasiat Dewa Geledek").
"Aku yang akan berangkat ke sana, Bi!" kata Yoga tiba-tiba setelah merasa semakin tak tega melihat keadaan Mahligai.
"Kau ingin mencari bunga Teratai Hitam!"
"Benar, Bi!" jawab Yoga dengan tegas. "Tapi berilah arah jalannya yang jelas, supaya aku tidak tersesat di tempat lain!"
"Memang kau harus hati-hati jika ingin kesana, karena jika salah arah kau bisa tersesat di Gua Bidadari"
Kaget juga Yoga mendengar nama gua aneh itu. "Gua Bidadari itu gua untuk bertapa juga, Bi?"
"Bukan! Gua Bidadari adalah tempat tinggal Ketua Partai Gadis Pujaan, yang dipimpin oleh Bidadari Manja. Gua itu cukup lebar dan digunakan untuk berkumpul, hidup bersama-sama oleh kelompok anggota partai Gadis Pujaan. Mereka rata-rata berilmu tinggi. Mereka para perempuan liar yang haus kemesraan lelaki dan tak pernah ada puasnya. Jika lelaki yang tertangkap oleh mereka sudah tidak mampu lagi memberikan kepuasan, maka lelaki itu akan dibunuh, dibuang ke jurang. Sebab itu, hati-hatilah jika menuju ke arah Gunung Tambak Petir."
Yoga mengangguk-anggukkan kepala, lalu menyimak keterangan Sendang Suci yang memberikan petunjuk tentang arah yang harus ditempuh Yoga dalam menuju ke Gua Mulut Iblis itu. Selesai memberikan penjelasan tersebut, Sendang Suci yang sering mencuri pandang pada Yoga itu segera bertanya,
"Boleh aku tahu apa alasanmu sehingga kamu mau mencarikan bunga Teratai Hitam untuk Mahligai?"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum sepintas dan segera menjawab, "Mahligai sahabatku. Sejak aku turun dari gunung, tempatku ditempa oleh Empu Dirgantara atau di Dewa Geledek itu, Mahligailah orang pertama yang kukenal dan menjadi sahabatku, Bi! Karenanya aku merasa kasihan kepada Mahligai jika Mahligai gila seperti itu!"
Tabib Perawan menghembuskan napas panjang-panjang. Seolah-olah ia merasakan ada kelegaan di hatinya begitu mendengar penjelasan dari Pendekar Rajawali Merah. Ia segera berkata dengan mata menerawang ke arah wajah keponakannya yang malang itu.
"Racun Edan memang salah satu jenis racun yang sulit dilawan! Dari sekian banyak orang Perguruan Belalang Liar, hanya Merak Betina yang mempunyai pukulan beracun seperti itu, karena dia anak seorang tabib sakti yang sekarang sudah tiada. Tapi jelas perbuatan ini sama saja ia menjamah kepalaku. Padahal aku amat kenal dengan ketua Perguruan Belalang Liar, yaitu si Kembang Mayat. Bahkan sebelum Kembang Mayat menjadi ketua perguruan, ketika neneknya yang bernama Nyai Sangkal Pati itu masih menjabat sebagai ketua dan guru di antara mereka, aku punya hubungan baik dengan Nyai Sangkal Pati. Dan agaknya, perguruan itu sekarang benar-benar menjadi liar setelah kedudukan ketua dipegang oleh Kembang Mayat yang masih muda itu!"
Sekali lagi Tabib Perawan menarik napas, sepertinya menahan sesuatu yang ingin meledak di dadanya. Kemudian ia mengantar Yoga yang ingin meninggalkan tempatnya. Tetapi ketika mereka sampai luar, ternyata langkah Yoga di ujung senja itu telah berpapasan dengan langkah kaki orang berpakaian serba hitam yang kepalanya selalu mendongak ke atas, bagaikan memandang langit.
Orang itu tak lain adalah Jalak Hutan, yang pernah terkena tendangan jurus 'Rajawali Paruh Pendek' dari Yoga. Tendangan itulah yang membuat urat leher dan tulangnya terkunci, sehingga Jalak Hutan tak bisa gerakkan kepalanya untuk menunduk atau miring ke kanan-kiri.
Sendang Suci menarik napas lagi. Kali ini ada kesan sebal di hatinya, sebab ia tahu Jalak Hutan adalah laki-laki yang tak pernah ada jeranya ditolak cintanya ditampik lamarannya. Dari dulu Jalak Hutan selalu berusaha menundukkan hati Sendang Suci. Tapi hati Sendang Suci sekeras batu karang segigih baja.
"Manusia Busuk!" umpat Jalak Hutan kepada Yoga begitu ia tahu Yoga keluar dari rumah Sendang Suci.
Tentu saja umpatan itu membuat Sendang Suci heran dan menjadi bertanya kepada Yoga, "Apakah kau mengenalnya?"
"Dia yang ingin merebut pedangku ketika aku menggendong Mahligai dan melarikan diri dari kejaran Mata Neraka! Dia yang memfitnah tempo hari."
"Ooo...!" gumam Sendang Suci pelan dan manggut-manggut, ia baru ingat tentang fitnah yang dilontarkan oleh Jalak Hutan beberapa waktu yang lalu.
"Lihat, Manusia busuk! Gara-gara ulahmu kepalaku jadi begini terus! Hujan kehujanan, panas kepanasan! Dasar kunyuk!" geram Jalak Hutan kepada si Pendekar Rajawali Merah. Ia kebingungan mencari posisi untuk memandang Yoga. Hatinya diliputi oleh kemarahan yang tak terbendung lagi rasanya.
"Itu karena ulahmu sendiri, Jalak Hutan! Kau ingin merebut pedang pusakaku, sehingga akibatnya menderita seperti itu! Karenanya ku ingatkan padamu, jangan jadi orang serakah dan bernafsu untuk merebut barang yang bukan miliknya!"
"Tutup bacotmu! Hiaaah...!"
Wuuutt...!
Jalak Hutan masih sempat lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa pancaran sinar kuning yang melesat bagaikan sebutir telur burung itu. Pancaran sinar kuning dihindari oleh Yoga dengan melompat dan bersalto satu kali diudara. Sasaran berikutnya menjadi Sendang Suci yang akan terkena sinar kuning itu. Tetapi dengan cepat Sendang Suci lepaskan pukulan penangkis berupa sinar hijau. Sinar itu menghantam sinar kuning dan menimbulkan ledakan yang lumayan besarnya.
Duaaar...!
Jalak Hutan terpental akibat hentakan daya ledak itu. Sebenarnya tak perlu membuatnya jatuh, namun karena keadaan kepalanya mendongak, akhirnya ia jatuh juga kehilangan keseimbangan. "Kau jangan ikut membela pemuda kunyuk itu, Sendang Suci!" geram Jalak Hutan masih tetap tengadahkan kepala.
"Aku hanya menghindari pukulanmu, Jalak Hutan! Kalau kau mau bertarung dengan Pendekar Rajawali Merah itu, bertarunglah di tempat yang lega sana! Jangan membuatku sebagai tempat salah sasaran! Dan kujamin kau akan mati sekarat jika bertarung melawannya!"
"Setan!" gerutu Jalak Hutan sambil mengen-cangkan genggaman tangannya. "Aku kesini sebenarnya untuk meminta bantuanmu mencoba menyembuhkan kepalaku ini! Tapi kau justru membuatku marah, Sendang Suci Kau dan dia sama-sama keluar dari rumah! Apa yang kalian berdua lakukan di dalam sana, hah! Apakah pemuda itu sudah berhasil membuatmu tidak suci lagi!"
"Jaga mulutmu, Jalak Hutan!" bentak Sendang Suci, wajahnya menjadi merah karena kata-kata Jalak Hutan. "Pikiran kotormu itulah yang membuat kau sekarang menderita begitu! Dan lagi, sudah kucoba beberapa kali aku sudah tidak bisa menyembuhkan kepalamu itu, dan kukatakan aku tak mampu lagi melakukan! Tapi mengapa kau masih nekad datang dengan alasan yang itu-itu saja! Aku lama-lama muak padamu, Jalak Hutan!"
"Tentu saja, sebab sekarang kau rupanya sudah mempunyai mainan baru! Pemuda kunyuk itulah sekarang yang membuatmu betah mengeram di dalam rumah dan...,"
Wuuutt...! buuhg...!
Gusraaak...! Kata-kata itu terpotong karena Sendang Suci segera lepaskan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Tubuh Jalak Hutan terpental dan jatuh membentur pagar. la mengerang di sana dengan wajah menyeringai sambil tetap tengadah.
"Pergi kau dari sini!" bentak Sendang Suci yang merasa malu dan rendah mendengar tuduhan Jalak Hutan. "Sekali lagi kau bicara seperti itu, tak akan kubiarkan kau hidup lebih dari sehari!"
"Sendang Suci..., tega sekali kau merusak persahabatan kita yang sudah sekian lama kita bina!"
"Kau yang merusaknya!" bentak Sendang Suci.
Sementara itu, Yoga hanya diam saja dan merasa pertengkaran itu menjadi pertengkaran antara pribadi. la tak berani turut campur. Tapi ia menjaga Sendang Suci jika sewaktu-waktu diserang oleh Jalak Hutan dalam keadaan lengah.
"Tinggalkan tempatku ini, Jalak Hutan! Jangan paksa aku kehilangan kesabaran!"
"Baik! Baik! Aku akan pergi, tapi ingat... kelak kalau kepalaku sudah tidak begini, kubalas kekalahanku hari ini, Sendang Suci!"
"Aku siap menerimanya!" jawab Sendang Suci dengan ketus.
"Terutama kepada dia!" Jalak Hutan menuding Yoga. "Aku tak akan mati lebih dulu sebelum bisa membunuhnya!"
"Lakukanlah kalau kau mampu!" Ini pun kata-kata Sendang Suci yang merasa yakin bahwa Jalak Hutan mempunyai ilmu tidak ada sekuku hitamnya dibanding ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Merah.
Setelah berkata demikian, Jalak Hutan meninggalkan halaman rumah Tabib Perawan itu. Ia berlari cepat dan membentur pohon dua kali karena posisi kepalanya yang tengadah masih berlagak mampu berlari cepat di depan Yoga dan Sendang Suci. Akibatnya justru ia mendapat malu karena menabrak pohon dua kali.
"Agaknya dia cemburu padaku, Bibi!"
"Lupakan tentang dia," kata Sendang Suci masih tampak cemberut kesal kepada Jalak Hutan. "Dia memang sering bersikap memuakkan di depanku! Tapi baru kali ini aku melepaskan kejengkelanku kepadanya. Kupikir sikapnya sudah keterlaluan, sehingga aku pun terpaksa sekasar tadi!"
"Agaknya Bibi dan dia ada hubungan pribadi yang dalam!"
"Dia yang punya perasaan begitu! Dia yang dari dulu ingin melamarku, tapi aku tak pernah bisa ditundukkan olehnya. Hatiku sudah telanjur patah dan beku untuk selamanya?"
"Untuk selamanya" Sampai sekarang ini, Bi?"
Perempuan itu menatap Yoga dengan gelisah dan berdebar-debar. Kemudian segera menundukkan kepala sambil berkata, "Entahlah kalau untuk saat sekarang ini! Aku masih bimbang!"
Yoga perdengarkan tawanya yang pendek dan pelan, seperti orang menggumam. Sendang Suci menjadi malu. la salah tingkah sendiri dan akhirnya cepat melangkah pergi untuk masuk kedalam rumah. Namun pada saat itu terdengar suara lain memanggilnya,
"Bibi Sendang Suci...!"
Sendang Suci cepat berpaling memandang orang yang baru datang itu. Ternyata seorang pemuda yang lumayan ganteng, tapi mempunyai sorot mata tak seteduh Yoga. Pemuda itu tak lain adalah Tamtama, orang yang mencintai Mahligai dan belum lama cekcok gara-gara Mahligai bersama Pendekar Rajawali Merah. Melihat ada Yoga di situ, Tamtama memandang sebentar dengan sinis, kemudian ia segera menemui Sendang Suci.
"Bibi, bolehkan saya menemui Mahligai!"
"Mahligai...?" Sendang Suci melirik sekejap pada Yoga, setelah matanya beradu pandang, ia kembali berkata kepada Tamtama, "Mahligai tidak ada. Sudah dua hari dia tidak pulang ke rumah!"
"Sudah empat hari, Bi! Bukan dua hari. Karena sudah empat kali saya datang kemari, namun tidak pernah jumpa dia."
"Dua hari yang lalu dia pulang sebentar lalu pergi lagi."
"Apakah kepergiannya bersama Orang Hutan itu, Bi?" sambil Tamtama menuding Yoga, karena sikapnya masih bermusuhan terhadap Yoga. Rasa cemburu Tamtama cukup besar, sehingga tidak bisa melupakan Yoga, sebagai orang yang belakangan ini sering dipuji-puji Mahligai.
"Jangan bicara kasar begitu, Tamtama." ucap Sendang Suci dengan sikap kalem.
"Ah, tak apa, Bi! Orang seperti dia sudah layak mendapat perlakuan kasar! Kalau perlu dilenyapkan dari muka bumi!"
Yoga tersenyum sambil menyahut, "Kenapa tidak kau lakukan" Bukankah aku sudah berada dalam jarak dekat denganmu, Tamtama!"
Tamtama tidak berpaling ke arah Yoga, namun matanya memandang lurus dengan menyipit. Giginya menggeletuk menahan amarah. Dan tiba-tiba tangannya melepaskan senjata rahasia berbentuk bintang dalam satu kelebatan memutar.
Wuuust..! Zlaaap...! Teeb...!
Tangan Yoga berkelebat ke depan seperti gerakan kilat. Tangan itu berhenti tepat di depan lehernya dengan telapak tangan membalik menghadap lehernya sendiri, tapi di punggung telapak tangan terlihat senjata berbentuk bintang itu terjepit di kedua jarinya. Pendekar Rajawali Merah tersenyum ramah. Sendang Suci terbengong tertahan, sedangkan mata Tamtama terkesiap, kemudian la mendengus dengan nada kesal.
"Boleh senjata ini kulempar balik kepadamu?" tanya Yoga.
Diam-diam Tamtama cemas, maka segera ia mengalihkan kata, "Kalau kau merasa hebat dan jago, jangan melawanku, tapi lawanlah orang andalanku!"
"Dari dulu aku sudah mengingatkan, jangan melawanku! Mengapa baru sekarang kau sadar akan hal itu, Tamtama?"
"Akan ku adu kau dengan Tanduk Iblis, sahabatku!"
"Akan kutunggu kedatanganmu dengan tanduk ayam sekalipun!"
Tamtama berpaling sebentar kepada Sendang Suci, "Bibi, saya pamit dulu! Permisi!" Lalu, sambil melangkah pergi Tamtama berkata kepada Yoga, "Tunggu saatnya tiba!"
Yoga hanya tersenyum memperhatikan kepergian Tamtama, Sendang Suci hanya gelenggeleng kepala melihat sikap anak sahabatnya itu.
"Yo, berangkatlah besok saja. Sekarang sudah petang. Bermalamlah di sini!" kata Sendang Suci kepada Yoga.
JALAK HUTAN menjadi sangat benci kepada Pendekar Rajawali Merah. Pertama, karena ia gagal merebut pusaka Pedang Lidah Guntur itu yang membuat kepalanya tak bisa menunduk lagi, dan kedua karena ia melihat Yoga semakin akrab dengan Sendang Suci. Padahal selama ini ia tak pernah mendapat perlakuan seakrab itu dari Sendang Suci. Dia naksir berat dengan Tabib Perawan itu, tapi hasratnya sekarang menjadi surut karena kehadiran Pendekar Rajawali Merah disamping Tabib Perawan.
Tak ada jalan lain untuk menyembuhkan kepalaku ini kecuali datang kepada Eyang Wejang Keramat. Aku yakin beliau bisa sembuhkan kepalaku ini!" pikir Jalak Hutan di tengah langkahnya yang sesekali terantuk batu itu. Langkah itu terhenti ketika Jalak Hutan mendengar suara orang turun dari atas pohon di jalan depannya.
Jleeg...!
Ia segera ambil posisi menyamping supaya bisa jelas memandang. Dan ternyata orang yang turun dari atas pohon itu adalah musuh lamanya. Berbaju hijau tak dikancingkan depannya, bercelana hitam dengan sabuk besarnya yang hitam pula, menyandang golok lebar di pinggangnya itu. Orang tersebut mirip raksasa. Tubuhnya tinggi, besar, berwajah lebar tapi lonjong. Tulang rahangnya tampak jelas, hidungnya besar dan tulang pipinya pun bertonjolan.
Orang itu mempunyai alis tebal, rambut meriap tanpa diikat tapi tak sampai lewat pundak. Di dahinya terdapat dua benjolan sebesar jeruk peras, ada di kanankiri kening. Mirip sepasang tanduk. Sedangkan dadanya yang lebar dan kekar itu mempunyai tato gambar wajah iblis. Tak salah lagi, dialah manusia yang dijuluki Tanduk Iblis oleh para tokoh persilatan di sekelilingnya.
"Jalak Hutan, kau masih ingat aku"!" sentaknya dengan suara besar menyeramkan.
"Oh, kau Tanduk Iblis"! Tentu saja aku masih mengingatmu! Kau dulu kubuat lari terbirit-birit ketika masih bau kencur!"
"Tapi sekarang nyawamu yang akan kubuat lari terbirit-birit dari hadapanku, Jalak Hutan!"
"He he he...! Apakah kau sudah cukup hebat, sehingga berani mengancamku demikian, ha!"
"Tanduk iblis yang dulu, bukan lagi Tanduk Iblis yang sekarang! Kau boleh keluarkan ilmumu semua untuk menghadapiku! Tapi aku ragu dengan kemampuanmu sekarang, sebab kepalamu saja sudah miring ke atas!"
Zlaaap...!
Tiba-tiba Tanduk Iblis sentakkan tangannya dan melesatlah sinar merah menghantam tubuh Jalak Hutan. Tak sempat Jalak Hutan menghindar. la hanya sempat membalas dengan pukulan bersinar kuning dan sinar tersebut menghantam sinar merah lalu meledak di pertengahan jarak.
Duaar...!
Suaranya memekakkan telinga. Jalak Hutan jatuh karena dalam keadaan kepala tengadah, ia sulit sekali menjaga keseimbangan tubuh. Dalam jatuhnya ia sempat membatin, "Lumayan juga pukulannya sekarang ini! Rupanya ia habis berguru dan memperdalam ilmu. Aku harus hati-hati melawannya, tak boleh menganggap remeh seperti dulu!"
Jalak Hutan dan Tanduk Iblis memang pernah bertarung dua tahun yang lalu. Pertarungan itu adalah untuk memperebutkan kitab pusaka yang akhirnya jatuh ke jurang yang amat dalam dan tak tahu siapa yang berhasil memilikinya. Yang Jelas waktu itu Tanduk Iblis dikalahkan oleh Jalak Hutan dan melarikan diri dalam keadaan terluka dalamnya.
Kini Jalak Hutan merasa mendapat lawan yang lebih tangguh dari dua tahun yang lalu. Masalahnya sudah bukan karena rebutan kitab lagi, tapi karena dendam dan kekalahan yang akan ditebus oleh si Tanduk iblis. Dulu Tanduk Iblis hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya yang besar dengan permainan jurus silat yang tergotong lumayan.
Tapi sekarang ia sudah mempunyai tenaga dalam dan mampu menyerang dengan cepat dalam jarak lima tombak. Ini jelas suatu kemajuan nyata bagi Tanduk Iblis di depan Jalak Hutan. Karena itu, Jalak Hutan selalu menjaga jarak dan berdirinya menyamping supaya lebih jelas memandang setiap gerakan lawan.
"Sudah lama aku ingin melepaskan pembalasan ini Jalak Hutan! Sangat kebetulan kita bertemu di sini, sehingga bisa kuselesaikan sekarang juga hutang kekalahanku kepadamu! Heaaah...!"
Kedua telapak tangan Tanduk Iblis disentakkan ke depan dan dua sinar melesat bersamaan, keduanya berwarna merah berpendar-pendar. Dalam keadaan kepala tengadah, Jalak Hutan memang kesulitan menangkis serangan lawan. Akibatnya ia hanya bisa bersalto ke belakang, itu pun tergelincir jatuh. Brukk...! Tapi kedua sinar merah itu melesat lewat di depannya, menghantam sebatang pohon besar.
Duaar!
Pohon itu pecah menjadi serpihan-serpihan kecil dan menyebar ke mana-mana. Sebagian ada yang jatuh menimbun tubuh Jalak Hutan. Melihat keadaan seperti itu, membandingkan dengan keadaan kepalanya yang begitu, Jalak Hutan merasa tak punya harapan untuk bisa mengalahkan Tanduk Iblis. Apalagi gerakan Tanduk Iblis tampak liar dan buas, Jalak Hutan kalah gesit dan tak bisa tangkas lagi.
"Putus kepalamu, Jalak Hutan! Hiaaah...!" Tanduk Iblis berteriak setelah mencabut golok lebarnya yang bergerigi pada bagian belakang sisi tajamnya. Ia melompat dengan bersalto satu kali dan dalam waktu singkat sudah tiba di samping Jalak Hutan dengan sentakan kaki ke tanah terdengar berat karena besarnya tubuh.
Bluhg...!
Lalu, golok besar itu tidak mau menunggu lama di atas, segera berkelebat menebas dari atas kanan ke kiri.
Wuuut...! Traang...!
Sebongkah batu melayang dan menghantam golok besar itu. Golok tersebut hampir saja terlepas dari tangan akibat mental ke samping kanan. Untung tubuh Tanduk Iblis mengikuti sentakan laju goloknya, sehingga senjata itu tetap bisa terpegang oleh tangan kanannya.
"Bangsat! Siapa yang ikut campur dengan urusanku ini! Keluar!" teriak Tanduk Iblis dengan kerasnya.
Matanya pun memandang ke arah datangnya batu itu dengan buas. Jalak Hutan dijauhinya sesaat, dan Jalak Hutan sendiri yang selamat dari saat-saat kematiannya itu segera berusaha menjauhi orang besar seperti raksasa itu. Dari kerimbunan pohon dan semak, melesat sesosok tubuh dengan lompatan ringannya.
Jleeg...! Seorang gadis cantik dengan rambut panjang yang diikat menjadi satu dengan tali merah berdiri di hadapan Tanduk Iblis dalam jarak sekitar empat tombak. Gadis itu berbaju merah dengan rompi rapat biru muda, ikat pinggang dari kain putih dan berguna untuk menyelipkan sebilah pedang. Wajah bulat telurnya yang cantik itu mempunyai hidung mancung dan mata membelalak Indah berbulu lentik.
"Mutiara Naga..."!" ucap Jalak Hutan, sudah mengenali gadis itu, karena gadis itu adalah anak dari kakaknya Jalak Hutan. Ibunya Mutiara Naga itulah kakak Jalak Hutan.
"Paman, menjauhlah...! Biar raksasa itu kuhadapi" kata Mutiara Naga dengan beraninya.
"Gggrrrmmn...!" Tanduk Iblis hanya menggeram penuh kejengkelan. la mundur satu tindak ketika Mutiara Naga mendekatinya. Mata Tanduk Iblis memandang penuh kebencian namun tak terlihat permusuhannya.
"Hadapi aku sekarang!"
"Siapa kau!" geram Tanduk Iblis yang berwajah menyeramkan itu.
"Aku Mutiara Naga! Jalak Hutan adalah paman ku! Kalau kau mau membunuh paman ku, kau harus hadapi dulu aku!" Mutiara Naga menepuk dadanya sendiri.
"Mutiara Naga, dia berbahaya! Lari saja!" bisik Jalak Hutan. Tapi agaknya bisikan itu tidak dihiraukan oleh gadis pemberani itu.
"Gadis goblok! Aku tidak ada urusan denganmu. Kuharap pergilah dari hadapanku!"
"Kalau kau memang berilmu tinggi, hadapi dulu aku! Usirlah dengan perlawananmu!" tantang Mutiara Naga.
"Aku tidak pernah bertarung dengan perempuan! Aku paling pantang melawan dan menyerang perempuan!"
"Omong kosong!"
"Terserah apa anggapan mu." Jika kau berkeras melindungi pamanmu, sebaiknya aku yang pergi! Tapi ingatkan pada dia agar jangan jalan sendirian tanpa dirimu! Dia bisa kubunuh tanpa kamu!" Setelah berkata begitu Tanduk Iblis segera sentakkan kaki besarnya itu dan melesat naik kepohon, lalu melompat dari dahan ke dahan dengan cepatnya.
Mutiara Naga berkerut dahi dan heran melihat orang besar itu ketakutan. la tidak tahu, bahwa Tanduk Iblis memang tidak berani dan tidak mau menyerang perempuan. Dia sangat pantang melakukan hal itu, karena Tanduk Iblis adalah seorang anak yang sangat mencintai ibunya, sehingga punya rasa segan dan kasihan kepada setiap perempuan mana pun juga.
Jalak Hutan berkata kepada Mutiara Naga sambil dongakkan kepala, "Untung kau datang! Rupanya orang itu memang tak mau melawan wanita, Mutiara Naga!"
"Siapa dia. Apa benar dia keturunan raksasa?"
'"Bukan! Dia keturunan manusia biasa! Paman dulu pernah melawannya dan membuatnya lari terbirit-birit, dan rupanya dia sekarang ingin membalas dendam. Aku merasa akan kalah jika melawannya karena keadaanku seperti ini!"
Mutiara Naga ikut memandang ke atas pohon, karena ia menyangka pamannya sedang mencari sesuatu di atas pohon. Tetapi pamannya segera berkata kepadanya,
"Tak perlu ikut memandang ke atas, Paman tidak sedang mencari sesuatu!"
"Lalu mengapa Paman mendongak ke atas?"
"Ini perbuatan orang yang biadab! Dia membuat tulang dan urat di leherku terkunci dan tak mau membebaskan! Sudah berhari-hari aku dibuatnya begini terus. Tidur pun jadi susah telentang!"
"Ya, ampuuun..."! Siapa orangnya, Paman! Biar kubalaskan perlakuannya yang konyol terhadap Paman itu!"
"Tak usah! Dia ilmunya lebih tinggi dan si Tanduk Iblis tadi! Kau tak akan mampu melawannya, Mutiara Naga!"
"Paman merendahkan aku!"
"Ah, sudahlah! Jangan beranggapan begitu," Jalak Hutan menepuk-nepuk pundak keponakannya sendiri itu. "Bagaimana kabar ibumu, Mutiara Naga. Masih sakitkah dia?"
"Sudah sembuh, Paman! Tapi masih harus banyak istirahat. Paman ditunggu-tunggu kedatangannya. Ada yang ingin ibu katakan kepada Paman mengenai warisan kakek."
"Bilang sama ibumu, Mutiara Naga, bahwa aku tidak akan ikut campur mengenai warisan itu! Terserah keputusan ibumu saja, aku ikut keputusan itu. Tidak akan menentangnya!"
"Lalu, sekarang Paman mau ke mana?"
"Paman mau pergi ke Bukit Gobang. Paman mau menemui Eyang Wejang Keramat untuk minta dipulihkan keadaan kepala paman ini!"
"Paman, kalau di perjalanan nanti Paman bertemu dengan orang tampan berpakaian putih panjang dan berselempang coklat, celananya merah dan rambutnya panjang, bawalah dia padaku, Paman!"
"Untuk apa?"
Dengan sedikit merengek, Mutiara Naga menjawab, "Aku merindukan dia, Paman! Aku ingin jumpa dengannya!"
"He he he he...! Kamu sedang kasmaran rupanya, ha!"
"Ah, Paman..,!" Kemanjaan Mutiara Naga semakin menjadi. "Atau, Paman cari dululah orang itu. Katakan padanya, Mutiara Naga menunggu kedatangannya. Dia sangat rindu padanya!"
"Kalau dia tak mau datang?"
"Rayulah dia, Paman!"
"Bah! Macam apa aku kau suruh rayu lelaki. Kau pikir aku ini manusia yang suka terhadap sejenis. Tak maulah aku...!"
"Ah, Paman...!" kaki Mutiara Naga menghentak-hentak. "Paman pasti bisa membujuknya!"
"lalah," jawab Jalak Hutan dengan setengah dongkol. Sebagai paman yang sayang kepada keponakannya, layak sudah dia menuruti rengekan sang bocah. Apalagi dari sekian banyak keponakannya, hanya Mutiara Naga yang dekat dengannya. Jalak Hutan sangat sayang kepada keponakan yang satu itu.
"Bagaimana kau bilang tadi ciri-cirinya?" tanya Jalak Hutan.
"Pakaiannya baju putih lengan panjang, berselempang coklat. Celananya merah. Rambutnya panjang dan berikat kepala. Dia menyandang pedang di punggungnya bergagang merah dengan hiasan dua kepala burung rajawali bertolak belakang berwarna merah tembaga. Dia bernama Yoga dan bergelar Pendekar Rajawali Merah!"
"Mati aku, Mutia!' kata Jalak Hutan tiba-tiba sambil menepuk kepala sendiri, tapi karena kepalanya mendongak, yang kena pipinya. Plook.... Ia pun mulai menjauhi Mutiara Naga yang sering dipanggil dengan nama kecilnya: Mutia.
Gadis itu heran melihat pamannya menjauh dan tidak bersemangat lagi. Bahkan samar-samar dilihatnya wajah pamannya tidak ceria. Mutiara Naga segera dekati orang tua itu dan bertanya, "Kenapa Paman kelihatannya kecewa?"
"Carilah lelaki lain!"
"Tidak bisa! Hatiku telah terpikat olehnya, Paman!"
"Yang lebih ganteng dari dia banyak, Mutia!"
"iya. Tapi aku suka sama dia, Paman! Dia baik, ramah, berilmu tinggi dan...."
"Dan aku tak sanggup membujuk dia!"
"Kenapa...!" Mutiara Naga merengek.
"Aku tak suka padanya!"
"Iya, tapi kenapa tak suka?"
"Kalau kau mau tahu, Mutia... dialah yang membuat kepala paman menjadi seperti ini!"
"Dia..." Pendekar Rajawali Merah itu!"
"Iya! Dan sampai sekarang paman masih benci padanya!"
"Kenapa Paman sampai dibuatnya begin!!"
"Pertarungan antara ksatria melawan pendekar!" jawab Jalak Hutan bermaksud menyembunyikan masalah sebenarnya.
"Pertarungan sebab apa, Paman?" Mutiara Naga mendesak.
Jalak Hutan mulanya tak mau menjawab, tapi setelah dipikir-pikirnya, ia tak tega jika harus menipu keponakannya yang tersayang itu. "Masalahnya sepele...," jawabnya pada awal bicara. "Paman tahu dia murid tokoh sakti yang bernama Empu Dirgantara dan berjuluk Dewa Geledek. Paman tahu, Dewa Geledek punya pedang pusaka dan ampuh bernama Pedang Lidah Guntur. Pedang itu sekarang diwariskan kepada Pendekar Rajawali Merah. Paman mau rebut pedang pusaka itu darinya, tapi dia melawan dan membuat kepala Paman jadi begini!"
"Itu memang salah Paman!" ketus Mutiara Naga. "Sudah tahu pusaka itu bukan hak milik Paman, kenapa mau merebutnya!"
"Iya, tapi setidaknya dia sama orang tua harus sopan. Tidak membuatku menderita begini!"
"Paman sendiri tak tahu aturan!"
"Eh, kenapa kau jadi kecam pamanmu ini!"
"Habis tindakan Paman seperti itu! Tak mau aku punya Paman bersikap begitu!"
"Eh, eh... Mutia, dengar dulu kataku!" Jalak Hutan takut keponakannya menjadi benci kepadanya. Ia memburu Mutiara Naga yang menjauhinya. Pundak Mutiara Naga dibalikkannya supaya menatap ke arahnya. "Dengar, Mutia... di dunia persilatan, rebut-merebut pusaka itu sudah umum. Wajar terjadi, Mutia!"
"Tapi aku tak suka punya Paman yang kerjanya merebut barang milik orang lain! Aku malu, Paman! Malu sekali!"
"Eh, Mutia... dengarlah dulu, jangan marah begitu!"
"Tidak! Aku tidak suka cara Paman begitu!" Lalu keduanya sama-sama bungkam. Sepi terjadi sesaat. Ada kabut merayap di tanah. Kabut putih bergerak dan membungkus kaki Mutiara Naga. Gadis itu membiarkannya, karena hanya kabut biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara Jalak Hutan berkata, "Baiklah kalau kau malu. Aku akan temui dia dan meminta maaf kepadanya! Tapi bagaimana jika dia tetap membuat kepalaku begini!"
"Katakan, Paman adalah saudaraku. Bilang padanya, Mutiara Naga adalah keponakan Paman Jalak Hutan, dan sekarang Mutiara Naga ingin bertemu dengannya karena rindu! Mintalah dia membuka kunci urat di leher Paman. Kalau Paman sebutkan namaku, dia pasti akan menolong Paman dan membebaskan kepala Paman menjadi pulih kembali!"
"Kalau dia tak mau?"
"Aku yang akan memaksanya supaya menjadi mau!"
"Apa kau sanggup melawannya?"
"Melawannya, sanggup! Tapi memukulnya... aku tak tahu, apakah aku sanggup atau tidak!"
"Nah, kalau sudah begitu siapa yang akan bela aku?"
"Sudahlah, Paman! Percayalah, dia pasti akan sembuhkan kepala Paman itu jika Paman bilang bahwa Mutiara Naga adalah keponakanmu!"
Sebenarnya ada yang ingin dikatakan lagi oleh Mutiara Naga. Tetapi ia merasakan aneh pada bagian kakinya. Kabut itu makin tebal membungkus kaki. Terasa hangat dan merayap geli dibagian betis. Bahkan semakin lama semakin naik ke paha dan rasa desir keindahan itu hadir di sana. Tambah lama tambah naik lagi dan Mutiara Naga merasakan ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh nikmat di salah satu relung tubuhnya. Jantung pun jadi berdebar-debar. Jalak Hutan tak tahu datangnya kabut itu karena ia mendongak ke atas terus. la tahu hal itu setelah Mutiara Naga berkata,
"Paman, aku merasakan ada yang menggerayangi tubuhku!"
Jalak Hutan terkesiap matanya, lalu mencoba memandangi tubuh keponakannya dengan agak menjauhkan jarak. la mulai melihat gerakan kabut yang membungkus kaki sampai di bagian dada Mutiara Naga. Dengan cepat ia menyambar tangan gadis itu dan berkata, "Cepat lari! Itu perbuatan jalang si Manusia Kabut! Lari...!"
"Manusia Kabut...!"
"Larilah, nanti kau dijahili lagi olehnya! Dia tak bisa dilawan jika dalam keadaan berubah menjadi kabut seperti itu!"
"Tapi... tapi, Paman...!"
Jalak Hutan segera membawa keponakannya berlari, walau ia sendiri tersandung-sandung batu atau akar pohon. la berkata sambil menyeret tangan Mutiara Naga.
"Untuk melawan Manusia Kabut, tak ada cara lain kecuali harus lari menjauhinya! Dia adalah si Tua Usil yang punya nama asli Pancasona! Karena dia mempunyai ilmu yang bisa mengubah dirinya menjadi kabut, maka banyak yang menamainya Manusia Kabut!"
"Apakah dia sakti, Paman?"
"Tak seberapa tinggi ilmunya! Hanya ilmu kabutnya saja yang membuatnya tampak sakti!"
"Tapi... oh, dia mengejar kita, Paman!"
"Dia tak bisa lari cepat dalam keadaan menjadi kabut. Kita harus bergerak lebih cepat lagi!"
Mutiara Naga terseret-seret karena ia sebenarnya ingin berhenti dan penasaran terhadap kabut yang menghadirkan kemesraan tersendiri Itu. Ia merasa sedang dijamah oleh tangan Pendekar Rajawali Merah yang sedang jadi harapan hatinya itu.
PERJALANAN Yoga menuju Gua Mulut Iblis untuk mencari bunga Teratai Hitam terhenti sejenak. la mendengar suara percakapan dua perempuan yang saling cekikikan. Rasa tertarik ingin mengetahui siapa mereka, membuat Yoga mencari tempat untuk mengintai.
Akhirnya ia temukan semak-semak ilalang tak berduri. Dengan langkah hati-hati dan gerakan pelan, Yoga menyingkapkan rumpun ilalang tersebut. Ketika itu, Yoga segera berkerut dahi karena merasa mengenai perempuan yang bertahi lalat kecil di dagu kiri.
"Merak Betina...!" gumamnya dalam hati.
Perempuan cantik bermata bulat itu sedang bersama temannya yang juga bermata bulat. Mereka berusia sebaya. Wajahnya juga sama mungilnya, hidungnya mancung, bibirnya kecil tapi Indah. Perempuan muda itu mengenakan pakaian biru cerah yang berlengan longgar dilapisi kain semacam rompi warna merah yang memanjang lewat perut. Rambutnya lurus sepundak, lemas, dan berponi indah. Perempuan itu menyelipkan gulungan cambuk warna hitam di pinggangnya.
Pendekar Rajawali Merah tahu persis, Merak Betina itulah orang Perguruan Belalang Liar yang melukai Mahligai dengan Racun Edan. Tentunya perempuan muda berbaju biru itu juga orang Perguruan Belalang Liar. Hal yang membuat Yoga bimbang adalah keadaan Merak Betina yang enak untuk diserang atau bahkan dibunuh pada saat itu.
Tapi apakah Yoga harus melakukan pembalasan atas nasib yang diterima Mahligai? Apakah Yoga harus melakukan pembelaan terhadap Mahligai yang menyerang Merak Betina, sementara urusan mereka itu sebenarnya hanyalah urusan perempuan yang tidak sepantasnya dicampuri oleh pihak lelaki?
"Tidak. Aku tidak boleh melakukan pembalasan! Aku hanya boleh melakukan pertolongan saja!" kata hati Yoga. "Jika aku membela Mahligai dan membalaskan dendamnya kepada Merak Betina, maka kedudukanku pasti dianggap memihak salah satu sisi, dan pasti mereka akan beranggapan bahwa Mahligai adalah kekasihku. Aku tak mau hal itu sampai terdengar oleh Guru Lili. Beliau bisa semakin mengamuk kepada Mahligai, juga kepada diriku sendiri!"
Kecamuk di dalam hati Yoga itu terhenti setelah Yoga menyadari apa yang sedang dilakukan oleh kedua perempuan muda itu. Mereka sama-sama memejamkan mata dan berdiri berdekatan. Mereka saling berpelukan dan bahkan saling berciuman, seperti layaknya muda-mudi yang berkasihan. Yoga segera berucap dalam hatinya,
"Ternyata mereka mempunyai kemesraan yang ganjil. Sesama perempuan saling memadu kasih. Aneh. Bagaimana mereka bisa rasakan kemesraan itu jika sama-sama perempuan. Atau... mungkin mereka hanya sekadar iseng saja, melampiaskan hasrat terhadap sesama sejenis karena tak ada lawan jenisnya?"
Krak...! Kaki Yoga menginjak ranting kering. Suara itu mengagetkan Merak Betina dan temannya. Serta-merta mereka berhenti dari apa yang mereka lakukan sejak tadi. Buru-buru mereka membenahi pakaian dan, Merak Betina pun berseru ke arah datangnya suara itu.
"Siapa di sana! Keluarlah! Jangan sampai kuhantam dengan pukulan mautku dari sini!"
Pendekar Rajawali Merah masih belum mau keluar dari kerimbunan semak. Ia merasa malu karena sudah telanjur diketahui persembunyiannya. Tentunya Merak Betina akan menganggapnya sebagai tukang intip terhadap tindakan yang tidak senonoh.
Tapi jika ia tidak muncul dari semak-semak itu, maka perkaranya akan menjadi lain lagi. Jika Merak Betina sampai memergoki sendiri dan Yoga melarikan diri, pasti akan timbul salah anggapan. Bisa-bisa Yoga dianggap punya maksud jahat mengintai mereka berdua di situ.
Terdengar suara Merak Betina berkata kepada temannya, "Coba kau periksa di semak-semak itu, Lembayung Senja! Aku mengawasi mu dari sini! Kalau orang itu macam-macam tingkahnya, habisi dia di semak-semak itu!"
Perempuan yang mengenakan baju biru muda itu bergegas mendekati tempat persembunyian Yoga. Namun belum sampai Lembayung Senja tiba di sana, Pendekar Rajawali Merah segera melompat keluar dari semak-semak tersebut dengan seulas senyum menawan mekar di bibirnya.
Jleeg...!
"Aku yang mengintip kalian," kata Yoga kepada Lembayung Senja yang tepat berada di depannya, berjarak kira-kira empat langkah.
Lembayung Senja bukannya marah tapi justru terkesima dan terperangah memandang ketampanan Pendekar Rajawali Merah. Matanya terbuka bundar dan tak mau berkedip. Bibirnya yang kecil merekah itu ternganga sedikit sebagai tanda terperangahnya. Lidahnya sempat kelu dan tak bisa berucap kata apa pun.
Sementara Merak Betina juga terperangah begitu mengetahui orang yang mengintipnya adalah si tampan yang pernah ingin membawanya pergi ke Gunung Menara Salju. "Yo...!" seru Merak Betina dengan gembira dan segera berlari mendekati Yoga, la ingin melepas kegembiraan itu dengan memeluk pemuda tampan tersebut, namun niatnya terhenti ketika Lembayung Senja memaksakan diri untuk mendehem, batuk-batuk kecil.
"Nakal juga kau ini, Yo...!" Merak Betina hanya mendekat dan segera menggandeng lengan Yoga, menampakkan diri di depan Lembayung Senja bahwa ia sudah kenal akrab dengan pemuda tampan itu.
"Aku tak sengaja melihat apa yang kalian lakukan tadi," kata Yoga mendahului tuduhan jelek yang akan dilontarkan kedua wanita itu.
"Kami hanya main-main saja!" jawab Merak Betina sambil tersipu malu. "Habis, sejak jumpa kita pertama itu, aku selalu merindukan pertemuan denganmu kembali, Yo! Tapi aku tak tahu di mana kau berada. Apakah jadi ke Gunung Menara Salju atau pergi bersama perempuan lain!"
Lembayung Senja segera menukas, "Merak Betina tidakkah kau ingin memperkenalkan dia kepadaku?"
"O, ya! Aku hampir lupa! Yo, dia temanku. Namanya Lembayung Senja. Dan..." kepada Lembayung Senja Merak Betina berkata, "Ini yang kusebut-sebut sebagai pendekar tampan pemikat hati wanita itu. Namanya Yoga tapi dia punya gelar yang menggetarkan rimba persilatan, yaitu Pendekar Rajawali Merah!"
Lembayung Senja mendekati Yoga dengan mata memandang dari kepala sampai kaki. Kemudian wanita muda berbibir mungil merekah itu berkata bagai orang menggumam, "Pendekar pemikat hati, rasa-rasanya julukan itu lebih tepat untuknya!"
Yoga hanya tertawa kecil. Ia memandangi Lembayung Senja yang ingin menyentuh tangannya seperti yang dilakukan Merak Betina, tapi niat itu diurungkan oleh Lembayung Senja. Ada rasa kikuk dan malu untuk menyentuh tangan Pendekar Rajawali Merah, yang menurutnya lebih pantas diganti Pendekar Tampan Pemikat Hati.
"Apakah burung Rajawali Putih yang kau cari itu sudah kau temukan, Yo? Jika belum, sekarang pun aku sanggup pergi denganmu ke gunung itu untuk mencari burung tersebut!"
Lembayung Senja menyahut dengan bertanya kepada Merak Betina, "Apakah benar dia kehilangan burungnya? Oh, alangkah sayangnya pemuda setampan dan segagah ini kehilangan burungnya!"
Merak Betina tertawa kecil, dan berkata, "Kali ini benar-benar seekor burung yang dicarinya, Lembayung Senja!"
"Ooo... benar-benar burung yang bisa terbang itu!"
Zingng... ziingng...!
Tiba-tiba desing dua keping logam melaju cepat menuju punggung Merak Betina. Firasat Yoga mengatakan, ada bahaya menyerang. Maka seketika itu juga Yoga sentakkan tubuh Merak Betina dengan kuat, lalu tangannya berkelebat menangkap dua keping logam putih berkilat itu. Tetapi usaha penyelamatan Pendekar Rajawali Merah terhadap diri Merak Betina itu terlambat. Satu keping logam telah menancap di atas tengkuk Merak Betina.
Jreeb...!
Satu keping logam lagi berhasil disahutnya. Sleep...!Terjepit di antara dua jari tangan kanannya. Benda tersebut adalah senjata rahasia berbentuk segi tiga yang mempunyai keruncingan sangat tajam diketiga sudutnya. Logam segi tiga itu berwarna putih mengkilap dan berukuran kecil. tetapi warna merah samar-samar pada setiap sudutnya itu menandakan bahwa logam tersebut beracun dan racun itu tentunya sangat berbahaya.
Terbukti satu keping logam yang menancap tepat di otak kecil Merak Betina membuat perempuan itu terkapar tak berdaya lagi, matanya mendelik dan wajahnya berubah cepat menjadi biru. Mulutnya keluarkan cairan busa berwarna hitam kebiru-biruan.
"Merak Betina...! Merak...!" Lembayung Senja mencoba menolong, tapi agaknya keadaan Merak Betina sangat parah. Bahkan ketika Lembayung Senja mencoba untuk menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh temannya itu, tiba-tiba sebuah pukulan tenaga dalam jarak jauh yang mempunyai kadar tinggi menghantamnya tanpa sinar.
Wuuttt...! Buuhg...! Weess..! Zrrraakkk...!
Lembayung Senja terlempar dalam keadaan terseret di tanah sejauh sekitar tujuh tombak. Tubuh Lembayung Senja berhenti terlempar setelah membentur akar pohon yang menggunduk seperti bongkahan batu.
"Uuuhhhg...!" Lembayung Senja mengerang di sana dengan memegangi bagian pinggang yang terasa patah tulangnya.
Pendekar Rajawali Merah tidak banyak bicara, ia segera melompat dan mencari penyerang gelap di tempat yang semula dipakainya untuk bersembunyi. la yakin penyerang gelap itu sembunyi di sana, sebab arah datangnya dua keping logam beracun itu memang dari semak-semak itu. Sayangnya Yoga tidak menemukan siapa pun di sana. ia mencari lebih ke dalam kerimbunan semak, namun kembali ia tidak dapatkan seorang pun di sana.
Karena itu, ia pun segera melompat keluar dari kerimbunan semak dan kembali menemui Merak Betina yang sudah semakin parah itu. Ia terkejut, karena ternyata orang yang dicari sudah ada di sana, sedang berhadapan dengan Lembayung Senja. Orang itu adalah si Topeng Merah yang agaknya begitu bernafsunya untuk membunuh Lembayung Senja. ia menyerang dengan pukulan bercahaya kuning yang melesat dari telapak tangan kirinya seperti sebatang besi bercahaya.
Lembayung Senja segera menghantam sinar kuning itu dengan sinar merah dari telapak tangannya pula, sehingga terjadilah ledakan yang menimbulkan gelombang sentakan cukup besar.
Blaarrr...!
Lembayung Senja kembali terlempar semakin jauh. Tetapi ia segera bangkit dan cepat-cepat mencabut cambuknya. Taarr...! Satu kali cambuk itu dilecutkan oleh Lembayung Senja, dan membuat Topeng Merah berpindah tempat dengan melambungkan tubuhnya ke udara dan bersalto dua kali. Begitu kakinya mendarat di atas sebongkah batu, Lembayung Senja menyerang kembali dengan cambuknya.
Taarrr...! Kali ini lecutan itu memercikan cahaya biru seperti kilatan petir. Cahaya biru itu hampir saja mengenai dada si Topeng Merah jika tidak segera dihantamnya dengan cahaya kuning lagi dari telapak tangannya.
Blaaarrr...!
Pendekar Rajawali Merah segera berlari ke pertarungan itu dan berseru dari tempatnya berhenti, "Cukup! Hentikan pertarungan ini!"
Topeng Merah sudah mau mencabut pedangnya di punggung. Tapi gerakan tangannya itu menjadi terhenti begitu mendengar seruan Yoga, ia berpaling memandang ke arah Yoga. Pada saat itu, Lembayung Senja melihat sisi kelengahan lawan, maka dengan cepat ia kembali melecutkan cambuknya ke arah tubuh lawannya.
Taarrr...!
Zllaaap...! Yoga bergerak dengan sangat cepat, tak mampu dilihat oleh mata siapa pun. Tahu-tahu ia sudah berada di depan si Topeng Merah, dan tangannya menyambar ujung cambuk yang membara merah itu
Wuuuutt Srrrtt....!
Cambuk itu melilit di tangan Yoga dan oleh Yoga disentakkan dalam satu tarikan keras. Cambuk itu pun lepas dari pegangan tangan Lembayung Senja. Kini Yoga berdiri dl pertengahan Jarak antara Lembayung Senja dan si Topeng Merah.
"Berikan cambuk itu! Akan kucabik-cabik dia!" bentak Lembayung Senja sambil melangkah cepat mau merebut cambuk dari tangan Yoga.
Tetapi dengan pandangan mata tajam yang diarahkan kepada Lembayung Senja, Yoga berhasil membuat hati wanita muda itu bergetar takut. Mata tetap memandang tajam, Lembayung Senja hentikan langkah. Ia ingin menangis karena menahan kemarahan yang tak berani dilepaskan gara-gara pandangan mata tajam itu.
"Dia telah membunuh Merak Betina! Aku harus membalasnya, Yo!"
"Merak Betina belum tentu mati. Persoalan ini tidak jelas, dan aku pun penasaran dengan si Topeng Merah itu..!" sambil Yoga menuding ke arah Topeng Merah, lalu berpaling memandangnya. Tetapi alangkah terkejutnya Yoga setelah tahu, ternyata Topeng Merah sudah tidak ada ditempatnya. Ia telah pergi dan cepat sekali kepergiannya itu hingga tidak menimbulkan suara dan tidak menimbulkan hembusan angin.
"Ke mana dia?" tanya Yoga kepada Lembayung Senja.
Pertanyaan itu tidak dijawabnya, karena Lembayung Senja lebih mementingkan memeriksa keadaan Merak Betina. Maka ia pun berkelebat menemui teman seperguruannya yang terkapar dalam keadaan biru wajahnya.
Sementara itu, Yoga bergegas mencari arah kepergian Topeng Merah sambil membatin di hatinya, "Siapa sebenarnya orang bertopeng merah itu! Ia agaknya takut melawanku, padahal dilihat dari caranya pergi tanpa meninggalkan suara dan angin, sudah jelas dia berilmu tinggi! Mungkin saja ilmunya lebih tinggi dariku! Tapi, apa maksudnya muncul secara aneh dan lenyap begitu saja. Apakah memang dia punya dendam terhadap Merak Betina dan orang-orang Perguruan Belalang Liar. Mungkinkah Topeng Merah adalah musuh mereka?"
Yoga pun segera mendekati Merak Betina setelah ia tak berhasil mencari Topeng Merah di sekitar tempat itu. Lembayung Senja menangis ketika Merak Betina ternyata tak bisa tertolong lagi jiwanya. Pendekar Rajawali Merah terpaksa menenangkan tangis Lembayung Senja, sambil memeluk dengan rasa haru.
Sesaat kemudian, Lembayung Senja segera menyentakkan tubuhnya dan menjauhi Yoga, la memandang dengan penuh curiga setelah cambuknya dikembalikan oleh Yoga.
Waktu itu, Yoga berkata, "Bawalah mayat Merak Betina pulang ke perguruanmu! Katakan bahwa manusia bertopeng merah itu telah menyerangnya secara sembunyi-sembunyi dan aku sudah berusaha menyelamatkannya namun gagal. Hanya satu senjata rahasia Topeng Merah yang berhasil kutangkap dengan tanganku!"
Lembayung Senja menyipitkan mata dan berkata dengan ketus. "Kau pasti bersekongkol dengannya, menempatkan keadaan Merak Betina sedemikian rupa sehingga bisa diserang dari belakang!"
"Itu tuduhan yang mengada-ada!"
"Buktinya serangan itu kulihat datang dari tempatmu bersembunyi! Pasti kau sebenarnya bersama dia. Untuk menghilangkan kecurigaan ketika kami mengetahui ada yang mengintip, kau muncul lebih dulu, sementara temanmu itu menunggu kesempatan di balik semak itu! Menyesal sekali aku tidak memeriksa semak-semak itu, karena terlalu yakin dengan dugaanku, bahwa kau hanya seorang diri!"
"Lembayung Senja, tuduhanmu itu membabi buta! Kalau aku teman si Topeng Merah, tak perlu aku mendorong tubuh Merak Betina untuk menyelamatkan dia dari dua keping logam beracun itu! Kalau aku bersekongkol dengan Topeng Merah, untuk apa aku menangkap senjata rahasia itu?"
"Siasat mu sangat rapi dan tidak sembarang orang bisa mengetahui. Yoga!" kata Lembayung Senja dengan mata kian menyipit benci. "Kalau bukan aku, tak akan ada yang menyangka begitu padamu. Terbukti kau menahan seranganku saat Topeng Merah lengah. Itu pertanda kau tak ingin temanmu terluka atau terbunuh oleh cambukku!"
"Aku hanya menghentikan pertarungan yang tak jelas maksudnya tadi! Aku tidak bermaksud melindunginya, juga tidak bermaksud menahan seranganmu! Kalau aku tidak berseru menyuruh kalian berhenti, kalian pasti saling bunuh untuk maksud yang belum jelas!"
"Kehadiranmu menahan seranganku hanya memberi kesempatan Topeng Merah melarikan diri, kemudian kau berpura-pura bingung mencarinya! Hmmm...! Kau tidak rapi dalam penyerangan ini, Yoga! Seandainya penyerangan itu tidak muncul dari tempatmu bersembunyi tadi, aku tidak bisa menduga bahwa ini adalah persekongkolan!"
"Persekongkolan apa"!" bentak Yoga dengan kesal juga akhirnya. "Aku dan Merak Betina tidak ada masalah apa-apa, mengapa aku harus membunuhnya dalam satu persekongkolan! Kau semakin mengacau, Lembayung Senja!"
Perempuan muda itu mendengus, kemudian segera ia mengangkat mayat Merak Betina kepundaknya. la sempat memandang tak akrab pada Yoga yang berkata, "Tunggu pembalasan dari orang-orang Belalang Liar! Pasti akan datang dan menuntut hutang nyawa kepadamu!" Lembayung Senja pergi.
"Hei, tunggu dulu...! Jangan libatkan aku dalam masalah ini!"
Tapi seruan itu tak didengar lagi oleh Lembayung Senja yang merasa yakin betul, bahwa semua kejadian tersebut adalah persekongkolan Yoga dengan si Topeng Merah.
PERGURUAN Belalang Liar berkabung menerima kematian Merak Betina. Lembayung Senja memberi penjelasan kepada ketuanya yang bernama Kembang Mayat. Sang ketua yang masih muda dan cantik itu menerima laporan secara apa adanya. ia percaya betul dengan kata-kata Lembayung Senja, bahwa kematian Merak Betina adalah persekongkolan antara Topeng Merah dengan Pendekar Rajawali Merah.
"Sama-sama memakai julukan Merah, kalau bukan bersahabat, mau apalagi! Setidaknya mereka pasti murid satu perguruan, Ketua!" kata Lembayung Senja membubuhkan praduganya.
Kembang Mayat yang cantik berwajah lonjong dengan usia sekitar dua puluh lima tahun itu, menampakkan wajah dendamnya dengan gigi menggeletuk menekan murkanya. Sekalipun masih muda, namun Kembang Mayat mewarisi kharisma dan kewibawaan neneknya sehingga layaknya ia menjadi seorang ketua di perguruan itu. la disegani dan dihormati oleh orang-orang Belalang Liar.
"Mengapa kau tidak membunuh Topeng Merah!" katanya kepada Lembayung Senja dengan nada dingin.
"Pendekar Rajawali Merah menghalanginya, Ketua!"
"Mengapa tidak kau lenyapkan saja dia!"
"Dia... dia... dia...," Lembayung Senja bingung menjawabnya.
"Bodoh!" bentak gadis cantik yang sebenarnya kelihatan jauh lebih muda dari Lembayung Senja. Kembang Mayat punya kesan masih remaja jika tidak sedang bicara dan menahan murka. Itulah sebabnya kadang-kadang tamu yang datang ke perguruan itu tidak percaya bahwa Kembang Mayat adalah Ketua Perguruan Belalang Liar. "Apakah kau takut dengan Pendekar Rajawali Merah!"
"Tidak, Ketua!"
"Apakah kau kasihan jika harus melukainya?"
"Juga tidak, Ketua!"
"Lantas apa alasanmu sehingga kau tidak membunuhnya!"
"Hmmm... eeeh... anu...!"
Plaaak...!
Kembang Mayat menampar wajah Lembayung Senja dengan gerakan tangan cepat yang tak terlihat. Lembayung Senja terpelanting ke kiri karena kerasnya tamparan itu. Kulitnya yang kuning langsat menjadi merah di bagian pipinya, membekas jari tangan sang Ketua muda yang sedang murka itu.
"Ikut aku! Cari pemuda yang mengaku Pendekar Rajawali Merah itu! Kalau kau tak berani melawannya, aku yang akan melawannya, demi kehormatan Perguruan Belalang Liar ini!"
"Baik, Ketua! Saya akan antar mencari dia!" jawab Lembayung Senja dengan patuh.
Tak ada yang berani menentang atau melawan keputusan Kembang Mayat. Semua orang Perguruan Belalang Liar tahu persis, bahwa Kembang Mayat berilmu tinggi, karena ia mewarisi seluruh ilmu milik neneknya yang dulu menjadi ketua dan guru mereka, yaitu Nyai Sangkal Pati. Bahkan menurut mereka, Kembang Mayat bisa bertindak lebih tegas dan keji lagi terhadap siapa pun yang ingin menjatuhkan nama perguruan.
Dalam memberikan keputusan-keputusan, Kembang Mayat pantang menerima sanggahan atau usulan. Sekali ia bilang putih, harus putih terjadi. Sekali bilang merah, harus merah yang mereka lakukan. Kembang Mayat pun tak pernah pandang bulu dalam menjatuhkan hukuman kepada para anggotanya.
Tak segan-segan ia memancung anggotanya sendiri jika memang orang tersebut terbukti melakukan kesalahan besar. Bahkan sahabat baiknya sebelumnya ia menjadi ketua, mengalami nasib malang, yaitu dijatuhi hukuman gantung karena suatu kesalahan yang dapat membahayakan perguruan.
Pendekar Rajawali Merah tidak tahu bahwa dirinya sedang dicari-cari oleh Kembang Mayat dan Lembayung Senja. Pendekar Rajawali Merah tetap melangkah menuju ke Gua Mulut lblis, sesuai dengan peta yang dibuat oleh Sendang Suci, si Tabib Perawan itu. Tetapi, kali ini langkah Yoga kembali terhenti karena seseorang memanggilnya dari arah belakang dengan panggilan seenaknya,
"Hai...! Rajawali"
Begitu panggil orang tersebut. Tapi Yoga paham dirinya itulah yang dimaksud orang tersebut. Maka ia pun hentikan langkahnya dan berpaling ke belakang. Ternyata orang yang memanggilnya adalah lelaki bertubuh kurus berwajah bulat, mengenakan pakaian coklat tua. Orang tersebut tak lain adalah si Nyali Kutu, yang selamat dari pertarungan bersama keempat orang-orang Tanah Gerong itu.
Tetapi kali ini agaknya Nyali Kutu tidak sendirian lagi, melainkan bersama satu orang yang tampaknya lebih terhormat ketimbang ketua rombongannya tempo hari, yaitu si Rahang Besi. Orang yang bersama Nyali Kutu itu berpakaian mewah, warna baju dan celananya adalah kuning, tapi jubahnya berwarna biru mengkilap, seperti terbuat dari kain jenis satin tempo dulu.
Orang tersebut berwajah bengis dengan kumis lebat melintang ke kiri-kanan. Kepalanya dihias dengan lempengan emas berukir sebagai pengganti ikat kepala yang berambut pendek rapi itu. la pun mengenakan gelang dari lempengan logam emas berhias bebatuan warna-warni. la menunggang seekor kuda warna hitam keling, sementara Nyali Kutu berlari-lari mengikutinya dari samping.
Keadaan itu menandakan bahwa orang tersebut ada lah orang yang punya derajat lebih tinggi dari si Nyali Kutu. Ketika berhenti di depan Yoga, orang itu belum mau turun dari kudanya. la berseru menyapa dari atas punggung kuda dengan sapaan tak ramah,
"Kau yang bernama Pendekar Rajawali Merah!"
"Benar!" jawab Yoga dengan tegas.
"Kalau begitu, kaulah orang yang kucari sejak kemarin!"
"Untuk apa mencariku?"
"Untuk membunuhmu!"
"Siapa kau ini, datang-datang mau membunuhku?"
"Aku yang bernama Panglima Makar, penguasa Tanah Gerong!"
"Ooo... kamu yang bernama Panglima Makar! Aku pernah mendengar namamu dari beberapa anak buahmu yang bandel-bandel itu!" kata Yoga dengan tenang, tapi ia sudah siap menjaga sikap sewaktu-waktu dapat serangan dari Panglima Makar. Yoga yakin, pertarungan tak bisa dihindari lagi, sebab Panglima Makar agaknya orang yang sulit diberi pengertian dan sulit diajak damai.
Dengan lompatan tanpa membuat kuda bergerak sedikit pun, Panglima Makar turun dari kudanya. Kuda segera disingkirkan oleh Nyali Kutu, ditambatkan di pohon kecil. Di sana ia menunggu penguasanya mengajukan tuntutan atas kematian keempat orangnya tempo hari.
"Sudah kukatakan kepada anak buahmu, bahwa bukan aku dan guruku yang membunuh Putri Ganis, anakmu itu. Tapi mereka tidak percaya! Mereka menyerang kami, dan kami tidak mau diserang! Dari pada kami yang dibunuh oleh mereka, bukankah lebih balk mereka yang kami bunuh"!" kata Yoga dengan seenaknya.
Panglima Makar menggeram dengan menahan marah, "Apa pun alasanmu, kau telah berhutang empat nyawa kepadaku, maka aku pun ingin menagihnya!"
"Mengapa aku kau katakan berhutang nyawa. Aku hanya mempertahankan nyawa! Kalau orang-orangmu itu mau menuruti saranku agar jangan menyerang aku dan guruku, maka mereka tidak akan mati!"
"Makin lama kata-katamu makin memerahkan telinga! Sekarang terima saja pembalasanku ini, haaahh...!'
Braaak...!
Dengan satu kali sentakan, kaki Panglima Makar menghentak ke bumi, dan saat itu pula tubuh Pendekar Rajawali Merah terpental terbang ke atas bagai ada yang melemparkannya tinggitinggi. Wuutt! Panglima Makar segera mencabut pedang, menunggu lawannya turun dan akan segera menebasnya dengan pedang panjang itu. Tetapi Pendekar Rajawali Merah yang sempat terkejut dengan datangnya serangan seperti itu cepat-cepat menguasai diri dan bersalto satu kali, hingga kini kakinya hinggap di salah satu dahan pohon.
Jleeg...! Dengan tegak dan sigap, Pendekar Rajawali Merah berdiri di dahan tersebut.
"Gggrrr...! Turun kau!" geram Panglima Makar yang merasa penantian pedangnya tertunda.
"Kalau kau melawanku, kau nanti ikut-ikutan mati seperti Rahang Besi dan teman-temannya! Kalau kau mati, lantas siapa yang akan menjadi penguasa di Tanah Gerong! Sebaiknya jangan melawan aku!" seru Yoga dari atas pohon.
"Jangan banyak bacot kau! Turun dan hadapi aku!" bentak Panglima Makar. Tapi agaknya Pendekar Rajawali Merah tidak berminat untuk melayani orang itu, karena ia tak membunuh dengan sia-sia seperti hari-hari kemarin. Hanya saja, rupanya Panglima Makar menjadi sangat penasaran kepada Yoga, maka dengan menggeram panjang la melompat dan menendang pohon tersebut dengan satu kakinya.
Duuhg...! Wuutt, wuuttt..!
Tubuh Yoga segera melesat dan bersalto di udara dua kali. Jika ia tidak segera turun dari pohon itu, maka ia akan menjadi hangus seperti keadaan pohon tersebut. Tendangan Panglima Makar bukan sekadar tendangan biasa, melainkan penuh kekuatan tenaga dalam dan membuat pohon tersebut menjadi terbakar dan hangus. Dari akar sampai ujung daunnya paling tinggi dibungkus api secara cepat.
Api itu pun dalam waktu yang luar biasa singkatnya telah membuat hangus pohon tersebut. Sepertinya api itu pun bukan sembarang api yang bisa untuk memasak nasi. Melihat lawannya sudah turun dari atas pohon, Panglima Makar segera menyerangnya dengan buas. Ia melompat dengan pedang berkelebat ke sana-sini menjebak gerakan lawan.
"Heaaah...!"
Wuuuttt...!
Yoga berguling ditanah menyambar sebatang kayu yang besarnya satu lengan dan panjangnya hampir satu ukuran tombak. Kayu kering itu segera digunakan untuk menangkis tebasan pedang lawan yang bergerak dari kanan kekiri.
Trrak... Trrakk...! Buuhg...!
Pendekar Rajawali Merah berhasil menangkis dua kali tebasan pedang, namun lengah di bagian perutnya, sehingga perut itu tertendang telak oleh kaki Panglima Makar. Yoga terpental kebelakang dan membentur pohon dalam keadaan berdiri. Namun ia segera menarik napas dan menahannya dalam perut, kejap berikutnya rasa sakit itu pun lenyap dan Pendekar Rajawali Merah siap hadapi lawannya lagi dengan menggunakan kayu kering tersebut.
"Edan! Kayu itu tak bisa putus oleh pedangku!" pikir Panglima Makar. "Kalau bukan karena ada aliran tenaga dalam pada kayu tersebut, pasti pedangku sudah berhasil memotongnya dua kali! Hmmm... boleh juga ilmu anak sinting ini!"
Kembali Panglima Makar yang berjiwa mudah penasaran itu menyerang Pendekar Rajawali Merah dengan sabetan-sabetan pedangnya. Tetapi kayu kering itu digunakan menangkisnya beberapa kali, dan untuk kali ini kayu kering itu berhasil menyodok ulu hati Panglima Makar dengan sabetan cepat.
Buuuhg...!
Kelihatannya sentakan itu tak seberapa berat, hanya terlihat cepat saja, namun hasilnya membuat tubuh Panglima Makar terlempar bagai dihempaskan badai dahsyat dari arah depan. Tubuh itu sempat melayang dalam keadaan membungkuk ke depan dan kedua tangan merentang sedikit ke samping, kakinya tidak menapak tanah.
"Heeggh...!" Mata Panglima Makar mendelik karena punggungnya menghantam batang kayu pohon yang tadi terbakar itu. Begitu tubuh membentur batang pohon tersebut, langsung tersentak ke depan antara tiga langkah dari pohon tersebut. Brukk...! Ia jatuh tersungkur, namun cepat-cepat bangkit dan menggenggam pedangnya lebih kuat lagi.
Pertarungan itu ternyata ada yang menontonnya secara sembunyi-sembunyi, yaitu Lembayung Senja dan Kembang Mayat. Mereka berdua ada di atas pohon berdaun lebat, sehingga tak mudah diketahui siapa pun. Mereka berdua dengan asyiknya menyaksikan pertarungan tersebut, di mana Kembang Mayat dan Lembayung Senja sudah mengenal siapa Panglima Makar itu. Karenanya, Kembang Mayat pun berkata, "Bisa mati anak muda itu melawan Panglima Makar! Dia tak tahu kehebatan ilmu Panglima Makar yang sangat tinggi itu!"
"Anak muda tersebut, Ketua... adalah Pendekar Rajawali Merah yang kita cari-cari!" kata Lembayung Senja.
"Pemuda tampan itu si Pendekar Rajawali Merah...!" Kembang Mayat minta penegasan karena dia hampir tak percaya dengan apa yang dibayangkan dalam benaknya dengan kenyataan yang dilihatnya.
"Benar, ketua! Dia Pendekar Rajawali Merah yang bernama Yoga!"
Cukup lama Kembang Mayat memperhatikan kearah Yoga tak berkedip. Dalam hatinya terjadi satu pergumulan yang cukup seru antara mempercayai laporan Lembayung Senja atau mempercayai hati nuraninya. Sampai kemudian Lembayung Senja berkata lirih,
"Mengapa kita tidak membantu Panglima Makar untuk membunuh Pendekar Rajawali Merah, Ketua! Saya rasa saat ini adalah saat yang tepat untuk membalas kematian Merak Betina, Ketua!"
"Orang setampan dia tak pantas dicurigai sebagai pembunuh! Cari orang lain saja, Lembayung Senja!"
"Agaknya Ketua mulai berubah pikiran!" kata Lembayung Senja kian lirih, sepertinya takut untuk mengucapkannya.
Kembang Mayat menjawab, "Memang, aku berubah pikiran! Karena pemuda setampan dia, semenarik dia, semenggemaskan dia, sungguh tak pantas kita tuduh sebagai pembunuh Merak Betina! Merencanakan suatu pembunuhan saja ia tak pantas, apalagi melakukan pembunuhan tanpa alasan membela diri, lebih tak pantas lagi! Sebaiknya jangan menuduh dia! Aku merasa tak rela jika wajah setampan dia kau curigai sebagai komplotan yang bersekongkol membunuh Merak Betina!"
"Terserah Ketua saja, aku sudah memberi jawaban apa adanya," kata Lembayung Senja.
"Bagaimana kalau kita cari si Topeng Merah saja! Kurasa dia lebih pantas kita cari dan kita bunuh, karena memang dari tangannya senjata rahasia itu dilepaskannya untuk membunuh Merak Betina!"
"Memang tangan Topeng Merah yang membunuhnya, Ketua. Tapi...."
"Tak usah pakai kata tapi lagi. Dia saja sasaran kita!"
"Lalu, pemuda tampan itu!"
"Akan kutemui dia dan kubicarakan kebenaran sikapnya dalam masalah kematian Merak Betina itu. Jika terbukti dia tidak bersalah, kita bebaskan dia dari segala macam kecurigaan dan tuduhan."
"Jika terbukti bersalah, bagaimana?"
"Yaah... kita peringatkan dia agar lain kali jangan begitu!"
Lembayung Senja memandangi sang Ketua, lalu menggelengkan kepala dengan samar-samar. Lembayung Senja mulai paham maksud sang Ketua. Jelas sang Ketua telah terkesan melihat ketampanan pendekar ganteng Itu. Jelas sang Ketua tak akan bersikap tegas lagi jika berhadapan dengan Pendekar Pemikat Hati' itu. Karenanya, Lembayung Senja tak segan-segan ajukan usul kepada sang Ketua,
"Kalau begitu, mengapa kita tidak bantu dia saja untuk mengalahkan Panglima Makar!"
"Hatiku sedang menyusun rencana itu, Lembayung Senja! Tapi... jangan bergerak dulu, agaknya Panglima Makar terdesak terus oleh serangan si Tampan itu, padahal si Tampan hanya menggunakan sebatang kayu kering, bukan pedang!"
Memang hanya sebatang kayu kering, tapi bisa membuat Panglima Makar kewalahan melawannya. Bahkan kali ini, Yoga berhasil membuat gerak tipuan yang mengakibatkan pergelangan tangan lawan berhasil dihantam dengan batang kayu kering tersebut.
Plokk...!
"Auh...!" Pedang di tangan Panglima Makar pun terlepas. Dada yang terbuka menjadi sasaran empuk bagi kaki Yoga.
Wuuttt...! Beehg...! Wuusss...!
Panglima Makar terpental beberapa langkah jaraknya. la tak sempat berhenti untuk mengerang walau terasa sakit. la cepat-cepat bangkit dan kali ini mengeraskan kedua tangannya sambil menggeram bengis. Kemudian ia berlari dan melompat di udara menyerang Pendekar Rajawali Merah.
"Heeaaahh...!" Kedua telapak tangannya membara merah bagaikan besi terpanggang api. Saat itu sebenarnya Yoga ingin melompat dan menyambut gerakan terbang itu. Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan merah meluncur cepat dari belakang Yoga, melintasi kepala Pendekar Rajawali Merah itu dan mengadu tangan dengan Panglima Makar.
Plak, plak, plak...! Buueehg...!
"Ouhhg...!" Panglima Makar terpental dan jatuh di dekat kudanya. la memuntahkan darah dari telinga, hidung, dan mata mulai berasap. Dadanya terkena pukulan dahsyat. Bukan dari Yoga, bukan pula dari Kembang Mayat ataupun Lembayung Senja. Pukulan dahsyat itu datang dari sekelebat bayangan merah tadi yang tak lain adalah si Topeng Merah.
"Dia lagi...!" gumam Yoga di dalam hatinya.
Topeng Merah berpaling sebentar ke arah Yoga, lalu dengan sentakan pelan ia meleset pergi dengan cepat meninggalkan pertarungan. Kehadirannya seakan hanya untuk menjatuhkan Panglima Makar, setelah itu tak ada urusan lagi dengan orang-orang di situ.
Kehadirannya membuat beberapa pasang mata terkesima, termasuk si Nyali Kutu yang sejak tadi lebih baik menjadi penunggu kuda ketimbang ikut bertarung. Kembang Mayat dan Lembayung Senja juga terkesima melihat kemunculan Topeng Merah yang hanya sekejap itu.
Bahkan Lembayung Senja belum sempat mengatakan kepada sang Ketua tentang si Topeng Merah itu, ia hanya baru menuding untuk memberitahukan kepada sang Ketua tentang Topeng Merah tersebut, tapi tahu-tahu orang misterius itu telah lenyap dari penglihatannya. Ke mana larinya, juga tak jelas. Setan atau manusia; juga tak jelas.
Tetapi Yoga memastikan, Topeng Merah bukan setan, melainkan manusia berilmu tinggi. Sekali pukul Panglima Makar rubuh dan terluka parah di dalam tubuhnya. Bahkan ia segera lompat ke kudanya dan kabur dengan kudanya itu, sementara Nyali Kutu dengan ketakutan segera berlari mengikuti arah perginya kuda hitam tersebut.
"Dia membuntutiku terus"!" gumam Yoga dalam renungannya saat itu: "Muncul sebentar, lalu lenyap! Seakan dia selalu mencampuri urusanku! Apakah secara disengaja atau secara tidak sengaja memang dia punya urusan sendiri dengan lawanku!"
Jleeg...! Wuuttt...! Plakk...!
Yoga mendengar orang melompat dan berada di belakangnya, ia menyangka orang itu adalah Topeng Merah, karenanya dengan cepat ia kelebatkan kakinya menendang dalam gerakan memutar. Gerakan kaki itu tertangkis oleh sepotong tangan milik gadis cantik berhidung mancung, namun memancarkan kharisma dan wibawa.
Gadis cantik itu tak lain adalah Kembang Mayat, disusul kemudian kemunculan Lembayung Senja. Yoga terperanjat kaget dan malu, akhirnya tersenyum dan senyum Itu sungguh meluluhkan hati setiap wanita.
YANG ada dalam pikiran Kembang Mayat adalah bagaimana bisa berkenalan dengan Pendekar Rajawali Merah yang dijuluki oleh Lembayung Senja sebagai Pendekar Tampan Pemikat Hati. Di atas pohon tadi, Kembang Mayat telah berkata terus terang kepada Lembayung Senja,
"Aku tertarik sama dia!" Karena itu, ketika sekarang Kembang Mayat si berhadapan dengan Pendekar Rajawali Merah, segera otaknya berputar memancing perhatian dan minat, supaya Yoga bisa didekatinya. Kembang Mayat pun menampakkan sikap tenang dan kalem, seolah-olah tidak terlalu tertarik dengan ketampanan dan kegagahan Yoga.
Ketika Yoga tersenyum karena kecele atas tendangannya tadi, Kembang Mayat hanya membalas dengan senyuman tipis, walau hatinya bergemuruh melihat senyuman tersebut. "Maaf, kusangka kau si Topeng Merah tadi!" kata Yoga saat itu.
"Jika aku Topeng Merah, apakah kau Ingin menyerangnya?"
"Benar! Karena ia selalu membuntutiku dan mencampuri urusanku!"
"O, jadi kau bukan temannya Topeng Merah?"
"Bukan!"
"Kalau begitu tuduhan Lembayung Senja itu keliru! Maafkan kami, karena tadi kami menyangka kau bersekongkol dengan Topeng Merah. Ternyata tidak!"
"Kau orang Perguruan Belalang Liar, teman dari Merak Betina itu?"
"Benar," jawab Kembang Mayat. Lembayung Senja menimpali, "Beliau adalah Ketua kami!"
"Ketua...!" mata Yoga makin lekat memandang, ada keheranan di hatinya melihat sang Ketua semuda itu. Hampir saja Yoga tidak mempercayai hal itu, namun ketika sang Ketua berkata,
"Namaku Kembang Mayat, cucu dari Nyai Sangkal Pati! Mungkin kau pernah mendengar nama nenekku itu!"
Barulah Yoga percaya bahwa gadis muda yang cantik belia itu adalah Ketua Perguruan Belalang Liar, la pernah mendengar dua nama itu dari Sendang Suci, namun waktu itu tak terbayang semuda inilah sang Ketua yang bernama Kembang Mayat.
"Boleh aku tahu ke mana arah tujuan pergimu, Pendekar Rajawali Merah!" tanya Kembang Mayat.
"Aku mau ke lereng Gunung Tambak Petir."
"Oh, gunung keramat itu!" gumam Kembang Mayat sambil kedua tangannya bersidekap di dada. "Kau akan ke sana sendirian?"
"Ya. Aku harus menemukan Gua Mulut Iblis. Karena di dalam gua itu terdapat sebuah telaga yang bernama...."
"Telaga Bangkai!" sahut Kembang Mayat.
"Kau tahu tentang Telaga Bangkai itu rupanya?"
"Nenekku pernah bercerita tentang telaga tersebut. Mau apa kau ke sana kalau boleh ku tahu?"
"Mencari bunga Teratai Hitam sebagai obat!"
"Teratai Hitam..."! Mengapa jauh-jauh ke Gunung Tambak Petir" Di tempatku pun ada Teratai Hitam yang bisa dipakai untuk campuran obat pemunah racun! Aku tahu persis tentang bunga tersebut!"
"Jadi, di tempatmu ada bunga Teratai Hitam?"
"Cukup banyak! Kalau kau mau, ambillah sesukamu!" Jawab Kembang Mayat.
Sementara itu, Lembayung Senja berkerut dahi dan merasa heran mendengar ucapan sang Ketua. la membatin, "Seingatku di Pesanggrahan Belalang Liar tidak ada bunga Teratai Hitam! Malahan dulu Nyai Guru Sangkal Pati pernah kebingungan mencari bunga Teratai itu. Tapi mengapa sekarang Ketua bilang cukup banyak bunga Teratai Hitam di pesanggrahan. Jangan-jangan sang Ketua tidak bisa bedakan antara bunga Teratai dengan bunga mawar kering!"
Lembayung Senja tak tahu bahwa itu adalah siasat Kembang Mayat untuk mengajak Pendekar Rajawali Merah. Dengan sedikit tipuan, Pendekar Tampan Pemikat Hati wanita itu pasti akan ikut pulang dan bila perlu memaksakan diri untuk datang ke Pesanggrahan Belalang Liar. Lembayung Senja baru mengetahui siasat itu setelah Yoga akhirnya ikut pulang ke tempat kediaman Kembang Mayat. Di perjalanan Kembang Mayat sempat membisikkan siasatnya yang berhasil itu. Lembayung Senja akhirnya tertawa pelan dan disembunyikan.
"Seharusnya kau kejar si Panglima Makar itu! Dia adalah orang yang patut dilenyapkan dari muka bumi," kata Kembang Mayat menunjukkan sikap memihak pada Yoga.
Tetapi dengan lembut Yoga berkata, "Orang yang sudah lari, berarti dia sudah mengakui kekalahannya! Tak perlu kita memburunya. Karena di dalam sebuah pertarungan yang ada hanya dua makna, yaitu menang atau kalah. Kalau yang satu sudah merasa kalah, untuk apa dikejar dan dibunuh!"
"Tapi kejahatannya bisa kambuh kembali dan menyerang diri kita dari belakang! Kita bisa dibuatnya celaka!"
"Itu salah diri kita sendiri, mengapa tidak hati-hati dan kurang waspada! Dan orang yang berbuat jahat suatu saat akan mati oleh kejahatannya sendiri! Entah melalui perantara pedang lawan atau ulahnya sendiri!"
"Menarik juga ajaranmu itu! Pasti kau dapat dari gurumu!" Kembang Mayat selalu menampakkan sikap menyenangkan buat hati Yoga. Kadang ia memuji atau menyanjung beberapa hal yang ada pada diri Yoga, sehingga Yoga semakin jauh melangkah semakin terkesan oleh sikap baik Kembang Mayat.
Sementara itu, Lembayung Senja hanya diam saja, tak banyak bicara. Tapi diam-diam ia mencuri ilmu berbicara yang dapat membuat lawan jenisnya tertarik kepadanya. Mendengar percakapan sang Ketua dengan Yoga, Lembayung Senja menjadi tahu bahwa cara menundukkan lelaki ternyata bukan hanya dengan kecantikan saja, melainkan bisa dengan menggunakan kelincahan berbicara.
"Aku tahu di mana letak Tanah Gerong. Kalau kau ingin ke sana mencari Panglima Makar, aku bersedia mengantarkanmu ke sana! Barang kali kau ingin meluruskan perselisihan yang salah anggapan seperti antara kamu dan aku dalam masalah kematian Merak Betina!"
"Tidak! Aku tidak ingin ke Tanah Gerong. Lebih utama mendapatkan Teratai Hitam ketimbang memperpanjang urusan dengan Panglima Makar itu!"
Padahal, seandainya Yoga dan Kembang Mayat benar-benar datang ke Tanah Gerong, maka mereka tidak akan mendapatkan Panglima Makar di sana. Sebab, Panglima Makar dan Nyali Kutu yang setia itu bukan lari ke Tanah Gerong, melainkan lari untuk minta bantuan kepada seseorang. Mereka lari ke sebuah lembah, di mana di lembah yang sunyi sepi itu terdapat sebuah makam berbatu nisan hitam.
Makam itu terletak di bawah sebuah pohon rindang yang besar dan tinggi. Sebuah gubuk kecil dibangun di samping makam tersebut. Rupanya makam itu ada penjaganya. Dan kepada penjaga makam itulah Panglima Makar memohon bantuannya dalam melawan Pendekar Rajawali Merah yang dianggap berilmu tinggi, namun tak setinggi penjaga makam tersebut.
Orang yang menjaga kuburan itu adalah lelaki berwajah ganas, mempunyai kumis lebat, mata lebar, badan agak besar. Pakaiannya serba biru dan sabuknya berwarna hitam, besar. Ia menyelipkan pedang lebar berujung lengkung dan runcing. Rambutnya panjang diikat dengan logam tembaga yang melingkari kepala. Logam tembaga itu berhias kepala singa kecil yang mulutnya ternganga, dan hiasan itu tepat berada di keningnya. Orang tersebut adalah si Mata Neraka, yang pernah mengejar-ngejar Mahligai untuk dikawini.
Mata Neraka adalah sahabat Panglima Makar, karena mereka sama-sama berpikiran serupa, yaitu menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kebutuhan pribadinya. Jelasnya, mereka sama-sama orang sesat, namun baik usia maupun ilmunya masih tua Mata Neraka, yang merupakan adik bungsu dari Malaikat Gelang Emas.
Sedangkan orang yang berjuluk Malaikat Gelang Emas itu tokoh sesat yang kala itu sedang menjadi momok bagi setiap orang. Selain ilmunya sangat tinggi, Malaikat Gelang Emas adalah orang yang paling keji dari yang terkeji. Dialah yang sedang dicari-cari oleh Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. Karena Malaikat Gelang Emas itulah yang memisahkan dua tokoh sakti yang berpasangan sebagai suami-istri, yaitu mendiang Dewa Geledek dan mendiang Dewi Langit Perak, keduanya adalah guru utama dari Yoga dan Lili.
Kalau bukan karena tugas menjaga kuburan sang kakek, Mata Neraka pasti sudah berkeliling jagat dan melakukan tindakantindakan yang sama sesatnya dengan kakak sulungnya, yaitu Malaikat Gelang Emas. Tapi karena mendapat tugas dari Malaikat Gelang Emas bahwa ia harus menjaga kuburan kakek mereka selama tiga tahun, maka Mata Neraka merasa seperti sedang dipenjara oleh sang kakak. Ia sering merasa kesepian di tempat itu, sehingga untuk membuang kesepiannya ia berlatih terus jurus-jurus warisan dari kakeknya, sehingga semakin lama semakin tinggi ilmu Mata Neraka itu.
Ketika ia melihat kedatangan Panglima Makar bersama Nyali Kutu, senyumnya menjadi gembira dan ia menyambutnya penuh tawa. Apalagi mereka adalah teman, sehingga tak segan-segan Mata Neraka tahu-tahu melepaskan pukulan jarak jauhnya melalui sebatang rumput yang tadi digigit-gigitnya. Rumput panjang itu dikibaskan ke depan dan sebentuk tenaga dalam tanpa sinar melesat menghantam dada Panglima Makar yang ada di punggung kuda.
Wuuttt...! Buuhg...!
"Uuuhg...!" Panglima Makar terjungkal ke belakang, jatuh dari atas punggung kuda, sementara itu kudanya sendiri lari ketakutan dan dikejar-kejar oleh Nyali Kutu. Kuda itu menjadi liar karena kepalanya ikut terkena hantaman jarak jauh tersebut.
"Ha ha ha ha...! Lemah sekali kau sekarang, Panglima Makar!" seru Mata Neraka menertawakan jatuhnya Panglima Makar.
"Setan kecut kau! Aku sedang terluka, tahu!" bentak Panglima Makar sambil berusaha bangkit.
"O, kau sedang terluka"! Ha ha ha ha...! Pantas semakin bonyok saja dadamu! Coba lihat...!"
Panglima Makar dibawa ke gubuk. Bajunya dibuka. Dadanya tampak hitam kebiru-biruan. Mata Neraka menggumam, "Pukulan ini sangat berbahaya. Untung kau memiliki tenaga dalam yang cukup lumayan, sehingga bisa bertahan datang kemari!"
Sementara itu, Mata Neraka sendiri memperhatikan bagian ulu hati yang berwarna merah legam dan ada bagian yang merah samar-samar. Mata Neraka mengenali pukulannya sendiri, yaitu yang merah samar-samar. Tapi yang merah legam di ulu hati itu, jelas pukulan orang lain. Diam-diam Mata Neraka menggumam kagum melihat ketahanan Panglima Makar menerima pukulan-pukulan seberat itu.
Orang lain yang menerima pukulan-pukulan seberat itu pasti sudah mati sejak tadi, tapi Panglima Makar ini agaknya punya nyawa yang cukup bandel dan tak mau minggat dari raganya walau sudah dihantam beberapa kali di bagian dada. Jelas banyak luka di bagian dalam tubuh Panglima Makar.
Tanpa diminta, Mata Neraka segera menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Panglima Makar. Cukup lama hal itu dilakukan, sampai akhirnya pengobatan tersebut berhasil melumpuhkan racun dan luka yang ada di tubuh Panglima Makar. Pada saat itu, Nyali Kutu datang terengah-engah dan berkata kepada Panglima Makar,
"Kuda kita kabur, Tuan Panglima!"
"Aku sudah tahu kalau dia kabur! Tapi apakah kau tidak bisa mengejarnya dan membawanya pulang ke mari!"
"Tidak... tidak bisa, Panglima!"
"Bodoh amat kau ini!!" bentak Panglima Makar.
Mata Neraka tertawa sebentar, kemudian bertanya kepada Panglima Makar, "Apakah luka-lukamu itu yang membawamu datang kemari, Makar!"
"Bukan hanya karena luka, tapi aku ingin minta bantuanmu!"
"Aha...! Pasti kau ingin suruh aku membalaskan lawanmu yang telah melukai dadamu sebonyok itu, bukan!"
"Benar!"
"Huah hah hah hah hah....!" Mata Neraka tertawa terbahak-bahak. Panglima Makar bersungut-sungut menahan dongkol. "Siapa orang yang berani melukaimu sebonyok itu, hah!"
"Seorang anak muda!" jawab Panglima Makar masih bersungut-sungut.
"Dengan anak muda saja kau kalah. Bagaimana kau ini, hah" Mana kesaktianmu sebagai seorang panglima armada perang Kerajaan Swadanaga dulu, hah! Masa' dengan anak muda saja kalah!"
"Dia berilmu tinggi!"
"Hmm...! Siapa anak muda itu?"
"Pendekar Rajawali Merah!" jawab Panglima Makar.
Jawaban itu membuat Mata Neraka tertegun dengan wajah mulai penuh kebencian. Tak ada senyum lagi di bibir orang angker itu. Matanya pun sedikit menyipit membayangkan Pendekar Rajawali Merah yang setahu dia adalah murid Dewa Geledek. Terbayang kegagalannya menjerat Mahligai gara-gara kehadiran anak muda yang berlagak jagoan itu.
Panglima Makar mulai perdengarkan suaranya lagi, "Aku sudah berusaha mengerahkan ilmuku, tapi aku tak mampu menumbangkannya. Bahkan akulah yang dibuat seperti mainan oleh anak semuda dia!"
"Memalukan sekali!" gerutu Mata Neraka dalam geram.
"Terakhir kali pertempuran kami semakin dibuat parah oleh kemunculan manusia bertopeng merah. Dia menyerangku dengan satu kali pukulan dan membuatku semakin rapuh!"
"Siapa Topeng Merah itu!"
"Tak ku tahu wajahnya, juga tak ku tahu namanya, yang jelas pasti dia teman dari Pendekar Rajawali Merah yang datang membelanya!"
Mata Neraka tertegun sebentar, lalu berkata, "Kabar terakhir yang sempat kudengar dari orang lewat, Rajawali Merah sudah menemukan jodohnya, yaitu Rajawali Putih. Jika orang bertopeng merah itu adalah teman yang selalu melindungi murid Dewa Geledek itu, berarti orang tersebut adalah murid dari Dewi Langit Perak!"
"Bukankah Dewi Langit Perak sudah mati. Menurut kabarnya diserang oleh kakakmu dan ia jatuh ke laut yang ganas!"
"Memang. Tapi menurut penjelasan kakakku; Malaikat Gelang Emas, istri Dewa Geledek itu ternyata punya murid perempuan yang bernama Lili. Ketika Dewi Langit Perak jatuh ke laut yang ganas, murid itu pun ikut jatuh, tapi apakah keduanya mati atau tidak, kurang jelas! Belum lama ini Malaikat Gelang Emas melihat sekelebat burung Rajawali Putih ditunggangi seorang gadis muda, tapi tak jelas apakah dia murid Dewi Langit Perak atau gadis lain yang kebetulan bisa menjinakkan burung Rajawali Putih yang besar itu!"
"Apakah kau tak sanggup mengalahkan mereka!"
"Setan kau!" sentak si Mata Neraka dengan gusar. "Bayi seperti mereka hanya sekali injak modar semua!"
"Kalau begitu tolong balaskan sakit hatiku kepada Pendekar Rajawali Merah itu! Empat anak buahku mati dihabisi oleh mereka!"
Mata Neraka menghempaskan napas. Kesal dengan hatinya sendiri. Kemauan hati ingin segera membunuh murid-murid Dewa Geledek dan Dewi Langit Perak, sebab kedua orang sakti itulah yang melukai kakeknya dengan pukulan beracun ganda yang tak bisa disembuhkan, sampai akhirnya sang kakek mati hanya gara-gara ingin memperoleh sepasang pedang pusaka milik dua tokoh sakti itu.
Akhirnya, sang kakek pun mati dan dikuburkan disitu. Usaha merebut dua pedang pusaka diteruskan oleh cucunya, yaitu Malaikat Gelang Emas, yang telah memecah belah hubungan cinta antara Dewa Geledek dengan Dewi Langit Perak. Sedangkan sekarang kuburan sang kakek itu harus ditunggui oleh salah satu dari kedua murid dan cucu sekaligus yang masih hidup, yaitu Malaikat Gelang Emas atau Mata Neraka. Tiga saudara tua Mata Neraka telah tewas dalam upaya merebut dua pedang pusaka itu.
"Ini yang membuatku tak bisa pergi ke mana-mana," kata Mata Neraka. "Malaikat Gelang Emas akan marah jika aku keluyuran ke mana-mana Tugasku harus menunggui makam kakek ini selama tiga tahun!"
"Kenapa harus ditunggui. Bukankah ini hanya sebuah makam?"
"Memang. Tapi aku harus menjaga supaya makam ini tidak dilangkahi oleh orang."
"Jika dilangkahi dan tidak dilangkahi apa akibatnya?"
"Kakekku meninggal akibat racun ganda dari kedua guru anak-anak ingusan itu. Kakek berpesan, apabila la meninggal, usahakan agar kuburannya jangan sampai dilangkahi oleh siapa pun. Apabila selama tiga tahun kuburan ini tidak dilangkahi oleh siapa pun, maka kakek akan bangkit dari kubur dalam keadaan bebas racun ganda, tapi jika satu kali saja dilangkahi oleh orang, maka kakek akan mati selama-lamanya dan tidak akan bangkit lagi. Karena itulah aku ditugaskan menjaga makam kakek supaya jangan sampai ada yang melangkahinya! Karena kami berharap kakek bisa bangkit lagi. Dan jika kakekku bangkit lagi, maka seluruh dunia persilatan akan dikuasai olehnya!"
Setelah diam beberapa saat dan merenungi cerita tersebut, Panglima Makar kembali membujuk Mata Neraka dengan berkata, "Jika memang itu tugasmu, aku sanggup menggantikan tugasmu sementara kau pergilah mencari Pendekar Rajawali Merah, bunuh dia! Aku yang menjaga makam ini supaya tidak dilangkahi oleh siapa pun!"
"Tapi kakakku jika melihatnya akan marah dan menghajarku! Sebab aku dianggap melalaikan tugas!"
"Katakan saja, Panglima Makar yang menjaga makam ini! Apa bedanya dijaga olehmu dengan dijaga oleh ku, toh maksud penjagaannya aku sudah tahu persis, yaitu supaya makam jangan dilangkahi orang!"
Mata Neraka membenarkan kata-kata Panglima Makar dalam hatinya. Tapi ia sendiri masih diliputi kebimbangan untuk meninggalkan makam seperti tempo hari. Tapi jika dengan alasan bahwa makam sudah ada yang menjaganya, maka kemungkinan besar Malaikat Gelang Emas bisa memaklumi keadaan adiknya.
"Berangkatlah!" bujuk Panglima Makar. "Biar ku jaga makam ini! Aku pun gembira kalau kakekmu bisa bangkit lagi, setidaknya aku bisa menjadi muridnya atau pengikutnya!"
"Baiklah kalau begitu!" jawab Mata Neraka. "Akan kucari Pendekar Rajawali Merah maupun Putih. Kupenggal kepala mereka dan kutancapkan didepan situ sebagai tontonanku setiap harinya!"
"Aku percaya kau pasti berhasil, karena ilmu yang kau miliki jauh lebih tinggi dari ilmu yang ada padaku, maupun yang ada pada mereka! Kau pasti bisa memenggal kepala mereka, Mata Neraka!" sambil Panglima Makar menepuk-nepuk pundak orang angker itu.
Maka terbakarlah semangat Mata Neraka mendengarkan sanjungan itu, dan pergilah ia mencari Pendekar Rajawali Merah, maupun Pendekar Rajawali Putih. Kuburan sang kakek dipercayakan kepada Panglima Makar yang ditemani oleh pengikut setianya, yaitu Nyali Kutu.
RUPANYA percakapan tentang makam itu ada yang mencuri dengar. Ketika Mata Neraka melangkah meninggalkan makam antara delapan tindak, tiba-tiba ekor matanya melihat sekelebat bayangan yang melesat dari balik pohon. Cepat-cepat Mata Neraka memutar tubuhnya dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya dengan menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt...!
Pukulan jarak jauhnya yang bertenaga tinggi itu berhasil melesat mengenai tubuh yang melayang hendak melompati makam dari arah belakang gubuk. Tubuh itu belum sampai di atas makam sudah terhantam pukulan jarak jauh Mata Neraka.
Buuuhg...! Brraak...! Gubraasss...!
Tubuh itu terpental dan menabrak gubuk. Gubuk itu menjadi rubuh, tapi tubuh tersebut segera melesat naik dengan jejakan kaki kirinya ke tanah. Melesatlah ia menerabas atap gubuk yang terbuat dari anyaman ilalang kering itu. Maka jebol pula atap gubuk tersebut dan keadaan gubuk itu sudah menjadi morat-marit.
Kejadian yang begitu cepat itu membuat Panglima Makar terpukau ditempat dan menggeragap sampai tak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ketika ia memperoleh kesadarannya kembali, matanya sudah memandang ke arah gadis cantik yang berdiri di jalanan menuju makam.
Sementara itu, Mata Neraka juga sudah berdiri dan siap menyerang gadis yang ingin melompati makam tersebut. Melihat pedang di punggung mempunyai gagang berhias kepala rajawali dari bahan perak putih, maka Mata Neraka segera dapat mengenali bahwa gadis itu adalah Pendekar Rajawali Putih.
Panglima Makar berseru, "Mata Neraka, pergilah sana! Biar kuhadapi gadis itu!"
"Tidak bisa, Panglima Makar! Kau habis terluka berat, dan gadis itu adalah si Pendekar Rajawali Putih!"
"Hahh..."!" Panglima Makar terbelalak kaget.
Nyali Kutu menyahut di samping Panglima Makar, "iya, memang dia gadis yang ikut membunuh Rahang Besi, Tuan Panglima!"
"Kenapa dari tadi diam saja kau!" sambil tangan Panglima Makar mendorong kepala Nyali Kutu.
Lili sama sekali tidak sengaja datang ke kuburan itu. Setelah ia ditinggal pergi Yoga yang membawa Mahligai ke rumah bibinya, Lili pergi tak tentu arah dengan hati kecewa namun memendam rindu. Akhirnya ia menangkap suara orang bercakap-cakap yang menyebut-nyebut kata 'rajawali', maka ia mendekati tempat mereka dan mendengar semua yang dikatakan oleh Mata Neraka. Itulah sebabnya Lili ingin melangkahi makam itu, supaya kakek Mata Neraka tidak bisa bangkit lagi di kelak kemudian hari.
Tetapi usahanya itu sempat gagal, karena mata jeli adik Malaikat Gelang Emas Itu mengetahui gerakannya. Kini Pendekar Rajawali Putih terpaksa harus berhadapan dengan si Mata Neraka. Sedikit pun tak ada gentar pada diri Pendekar Rajawali Putih, bahkan ia masih bisa memandang lawannya yang gusar itu dengan tenang.
"Rupanya aku tidak perlu terlalu repot mencarimu, Anak Manis! Sungguh mati aku tidak pernah bayangkan kalau murid Dewi Langit Perak itu ternyata cantiknya melebihi wajah bidadari!"
"Tutup mulutmu, Manusia sesat! Bersiaplah terbang ke neraka menyusul kakekmu yang ada di dalam kubur itu!"
"Gggrrmm...!" Mata Neraka menggeram dengan wajah semakin angker. "Bocah bayi bau pesing masih berani berkoar begitu di depanku! Habislah nyawamu sekarang juga! Heaaah...!" Mata Neraka semburkan cahaya merah dari kedua matanya ke arah Pendekar Rajawali Putih.
Wuuttt...! Bluubb...! Wuusss...!
Sinar merah itu membakar tanah yang tadi dipijak oleh Lili, sedangkan Lili sendiri telah melentingkan tubuh dan berpindah tempat dengan gerakan salto satu.kali. Sambil bersalto ia melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui telapak tangan, berupa selarik sinar hijau yang menghantam ke arah Mata Neraka.
Zlappp...! Blarrr...!
Sinar hijau itu terhantam oleh sinar merah lagi dari telapak tangan Mata Neraka. Akibatnya ledakan itu membuat Mata Neraka terbang ke belakang karena terpental hebat. la jatuh berguling-guling menyusuri jalanan menurun. Sedangkan Pendekar Rajawali Putih hanya jatuh di tempat, untuk kemudian segera bangkit dan mengejar Mata Neraka. la mengejar dengan bersalto berulangkali dengan tangan dan kaki menapak tanah secara bergantian. Keadaan seperti itu sulit bagi Panglima Makar untuk membokong Lili, melepaskan pukulan jarak jauh dari arah belakang Lili.
Srettt...!
Pedang besar berujung lengkung dan runcing itu dicabut oleh Mata Neraka. Pendekar Rajawali Putih belum mau mencabut pedang pusakanya, karena merasa masih mampu menghadapi lawan tanpa senjata. la hanya mengerahkan tenaga dalamnya melalui kedua tangan yang melintang di dada, lalu segera melepaskan jurus mautnya yang berupa sinar biru patah-patah dari perpaduan dua jari tengah tangannya. Sinar biru patah-patah itu meluncur dengan deras dan cepat.
Zlap, zlap, zlap, zlap, zlap...!
"Hiaaat...!" Mata Neraka menggerakkan pedangnya hingga menghadang di depan dada. Pe-dang itu memantulkan sinar biru yang membenturnya. Setiap sinar biru yang membentur pedang membalik ke arah Lili dengan membentuk sudut kecil.
"Hiaaah...!" Lili memekik sambil bersalto ke beberapa arah, karena ia hampir saja dihantam habis oleh sinar birunya sendiri. Pada saat bersalto ke beberapa arah itulah, mata manusia berwajah angker itu melepaskan selarik sinar merah.
Claapp...!
Dan Pendekar Rajawali Putih segera sentakkan tangan kanannya, melepaskan sinar putih yang menghantam sinar merah terang itu.
Blaarrr...!
Ledakan kali ini lebih besar lagi, gelombang ledakannya makin bertambah kuat. Tubuh Pendekar Rajawali Putih terpental dan jatuh berguling-guling menuruni tanah miring, demikian pula Mata Neraka juga menuruni tanah miring dan berguling-guling.
"Jangan lari kau, Bangsaaat...!" teriak Mata Neraka.
"Aku di sini, Beruk!" seru Lili.
"Heaaat...!" Mata Neraka melompat dalam satu sentakkan kaki, tubuhnya melayang maju bagaikan terbang dengan pedang siap ditebaskan.
Sedangkan, Lili pun rupanya tak mau kalah maju. Ia juga melesat bagaikan terbang dengan tangan lurus ke depan, siap menghantam dengan kedua telapak tangannya. "Hiaaat...!"
Pedang besar itu pun ditebaskan. Telapak tangan gadis cantik itu seperti baja. Trangng...! Pedang itu ditahan dengan telapak tangannya tanpa luka sedikit pun. Kemudian, telapak tangan yang kiri menghantam dada Mata Neraka.
Buuhg...!
"Eehg...!" Mata Neraka memekik. Tubuh mereka bersimpangan di udara. Cepat-cepat kaki Pendekar Rajawali Putih menendang ke belakang bagaikan seekor kuda memencal lawannya.
Deesss...!
Tepat mengenai punggung lawan, setelah itu ia bersalto satu kali dan mendarat dengan sigap di tanah. Sedangkan Mata Neraka jatuh tersungkur dengan wajah membentur batu. Darah pun mulai mengucur dari batang hidung Mata Neraka. Melihat lawannya masih tersungkur, Pendekar Rajawali Putih segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya dari kedua tangan yang berhimpit di depan dada, lalu dibentangkan ke atas telinga. Telapak tangan itu melepaskan sinar ungu dua larik yang segera bertemu di pertengahan jarak dan menjadi satu menghantam punggung Mata Neraka.
Wuuusst...! Blaarrr...!
Pendekar Rajawali Putih terkejut sekali melihat ada sinar merah mematahkan sinar ungunya, Sinar merah itu bercampur dengan sinar biru, seperti cakram bentuknya. Bagian tengah merah, tepiannya biru. Dan sinar tersebut menghantam sinar ungu dari arah samping kanan. Tepat menghadang di ujung sinar ungu tersebut.
Akibatnya timbul ledakan yang amat dahsyat dan membuat tubuh si Mata Neraka terpental berjungkir balik tak karuan, sedangkan tubuh Pendekar Rajawali Putih pun terpelanting jatuh dan berguling-guling lagi menuruni tanah miring. Tubuh itu terbentur pohon dan berhenti berguling. Tulang rusuk Lili terasa patah akibat benturan dengan pohon yang cukup kuat.
Dengan menahan rasa sakit, Pendekar Rajawali Putih berusaha bangkit. Ia memandang ke arah Mata Neraka, ternyata dari arah datangnya sinar merah bertepian biru tadi muncul sesosok tubuh yang terbungkus kain merah seluruhnya. Dialah si Topeng Merah.
"Edan betul orang bertopeng merah itu! Siapa dia sebenarnya! Ada di pihak mana dia. Kelihatannya dia membela si Mata Neraka!" pikir Lili sambil menyipit dalam memandangnya. Kehadiran manusia bertopeng merah itu agaknya tidak dihiraukan oleh Mata Neraka.
Orang bengis itu segera bangkit dan mengambil pedang besarnya yang tadi terpental jatuh saat terjadi ledakan. Kemudian ia mengejar Pendekar Rajawali Putih yang ada di tanah bawahnya. Sambil melontarkan teriakan liar, la berlari dengan cepat dan pedangnya siap ditebaskan dari atas ke bawah. Sedangkan si Topeng Merah itu pun ikut-ikutan mengejar Lili dengan gerakan yang lebih cepat dari Mata Neraka.
Wuusstt...!
Kembali Lili melepaskan pukulan bersinar merah, kali ini sinar merah itu berkelok-kelok dan keluar dari jarijarinya. Dengan kedua tangan masih terangkat memancarkan sinar merah berkelok-kelok. Pendekar Rajawali Putih melihat sekilas sinar biru melesat dari tangan si Topeng Merah. Padahal sinar dari jemarinya itu diarahkan kepada Mata Neraka dan tubuh Mata Neraka terbungkus sinar merah.
Orang itu tak bisa bergerak dan berteriak-teriak kesakitan seperti terkena aliran listrik, tubuhnya pun mengejang-ngejang. Sayang sekali sinar biru itu datang dan hampir mengenai kepala Pendekar Rajawali Putih. Untung gadis itu segera berguling dan hentikan serangannya kepada si Mata Neraka.
Sinar biru itu melesat di atas kepalanya hanya dalam jarak kurang dari satu jengkal. Sinar itu membentur bongkahan batu, dan bongkahan batu itu bukan saja meledak menjadi kepingan-kepingan kecil, namun hancur lebur menjadi butiran-butiran pasir yang menyembur.
Bruusss...!
"Auh...! semburan pasir itu ada yang masuk ke mata Pendekar Rajawali Putih. Akibatnya, Lili tak bisa melihat lawannya dengan jelas. Matanya perih dan sibuk membersihkan dari pasir-pasir itu.
"Celaka, aku tak bisa melihat serangan lawan kalau begini! Aku harus melarikan diri ke mana saja!" pikir Lili. Maka dengan gerakan yang dinamakan Jurus 'Langkah Bayu', Lili pun melesat pergi dan tak terlihat gerakannya oleh kedua lawannya itu.
"Biadab kau! Jangan lari! Ku buru kau ke mana saja, Jahanam!" seru si Mata Neraka sambil wajahnya berlumuran darah.
edangkan si Topeng Merah Itu pun lenyap menghilang ketika Mata Neraka berpaling ke belakang, ingin mengajaknya bicara. Entah ke mana si Topeng Merah bersembunyi saat itu, yang jelas Mata Neraka tidak mau kehilangan lawannya, maka ia pun segera mengejar Lili, mencarinya ke arah mana saja, jauh dari makam kakeknya.
Angin besar datang di sekeliling makam itu. Nyali Kutu deg-degan, karena hari itu matahari sudah hampir tenggelam. Angin besar datang seperti awal kehadiran hantu-hantu kuburan. la bergegas mendekati Panglima Makar yang sedang tertegun memandangi makam itu sambil menunggu Mata Neraka kembali.
Di makam itu tumbuh setangkai bunga seperti mawar tapi berwarna kuning. Indah sekali warnanya di ujung senja itu. Panglima Makar tertarik untuk memetiknya. Tapi ketika ia membungkuk, tiba-tiba tangan yang akan memetik bunga di atas makam itu menjadi kaku dan sakit sekali. Disusul kemudian tubuhnya tersentak dan jatuh ke belakang dalam keadaan terpental keras.
la merasakan ada seseorang yang menendangnya dari samping yang membuat perutnya menjadi sangat mual, Nyali Kutu terbengong saja bagaikan patung hidup memandangi tuannya jatuh terkapar di dekat reruntuhan gubuk. Ia tak tahu apa penyebabnya, tapi ia lihat wajah tuannya menjadi pucat pasi seperti orang mau mati. Nyali Kutu gemetar dan ikut-ikutan pucat pasi.
Panglima Makar mencoba bangkit dengan masih menyeringai. Lalu ia memandang ke arah makam itu, ternyata masih kosong. Tidak ada seorang pun di sana. Namun tiba-tiba ia dikejutkan sebuah suara besar dari arah samping kirinya,
"Keparat busuk kau, Makar!"
"Ooh..."!" Panglima Makar sangat terkejut melihat orang berjubah hitam dengan tepian jubah warna merah mengkilap.
Orang itu berwajah angker, kumisnya tebat, dan melengkung ke bawah menjadi satu dengan jenggotnya yang pendek. Alisnya juga tebal dan membentuk garis sangar ke atas. Rambutnya botak separo kepala, bagian belakang tumbuh panjang sebatas pundak. Kepala botak separo itu diikat dengan ikat kepala kain merah mengkilap dengan simbol swastika ditengah keningnya. Ciri-ciri itulah yang membuat Panglima Makar terkejut dan menjadi takut, karena orang itu adalah Malaikat Gelang Emas.
"Mana si Mata Neraka"!" gertak Malaikat Gelang Emas.
"Per... pergi...! Memburu... memburu...."
"Siapa yang menyuruhnya pergi, hah"! Kau yang menyuruhnya!"
"Iya... iya! Aku menunjukkan di mana Pendekar Rajawali Merah berada! Lalu, Mata Neraka ingin membunuh murid Dewa Geledek itu, juga akan membunuh murid Dewi Langit Perak...!"
"Dari mana kau tahu ada Pendekar Rajawali Merah?"
"Ak... aku diserangnya! Dan aku mengadu pada Mata Neraka, sehingga Mata Neraka...."
Plookkk...! Buuhk...!
"Eeehg...!" Wajah Panglima Makar dihantamnya kuat-kuat oleh Malaikat Gelang Emas, juga dadanya ditendang dengan sangat kuatnya hingga hampir saja jebol.
"Kalau begitu kau yang menjadi penyebab perginya adikku itu! Kau yang mempengaruhinya, sehingga ia meninggalkan tugasnya! Bangsat busuk kau, Makar!"
Panglima Makar yang terkapar itu segera didekati. Lalu, jari tangan kanan Malaikat Gelang Emas mekar semuanya, menekuk kaku dan disentakkan ke bawah. Zraaap...! Sinar merah seperti petir menancap di dada Panglima Makar. Tubuh itu tersentak kejang satu kali, setelah itu lenyap, tinggal pakaiannya. Tulang dan rambutnya tidak tersisa sedikit pun.
"Kau layak mendapat hukuman dariku, karena telah mempengaruhi Mata Neraka meninggalkan tugas!" geram Malaikat Gelang Emas.
Dan hal itu membuat Nyali Kutu menjadi semakin gemetar dan basah celananya karena tak tahan membendung air seninya. Ia sangat ketakutan melihat tuannya meninggal dan tubuhnya meleleh begitu saja, tinggal pakaiannya yang tersisa.
"Siapa kau..."!" bentak Malaikat Gelang Emas kepada Nyali Kutu.
Nyali Kutu tak bisa menjawab kecuali hanya menuding-nuding pakaian Panglima Makar. Mulutnya ternganga tanpa suara.
"0, kau pelayannya Makar!"
Seperti orang gagu, Nyali Kutu mengangguk-angguk antara tersenyum dengan menyeringai ketakutan. Malaikat Gelang Emas memandanginya sesaat, kemudian berkata,
"Jaga kuburan ini, sebagai ganti tuanmu menjaganya! Jangan ada yang melangkahi, dan jangan coba-coba kau lari! Ke mana pun kau lari akan kukejar dan ku binasakan seperti tuanmu itu! Mengerti!"
Nyali Kutu mengangguk-angguk dengan. wajah semakin pucat membiru, sedangkan Malaikat Gelang Emas segera pergi. Mata Nyali Kutu terbelalak hampir copot dari kelopaknya melihat Malaikat Gelang Emas menembus pohon, bagaikan bayangan yang melesat pergi dengan tanpa peduli benda apa pun di depannya. Rupanya ia ingin mengejar Mata Neraka dan ingin menghajar sang adik karena melalaikan tugas utama, yaitu menjaga makam kakek mereka.
Tetapi Mata Neraka tidak tahu kalau sedang dikejar oleh kakaknya. la sendiri sibuk mengejar Pendekar Rajawali Putih ke berbagai arah. Sementara itu Pendekar Rajawali Putih sendiri sibuk membersihkan matanya ketepi sungai sambil hatinya membatin,
"Apa urusan si Topeng Merah itu sehingga menyerangku! Siapa sebenarnya dia. Apakah dia orang utusannya si Malaikat Gelang Emas! Ilmunya cukup tinggi juga! Mataku jadi perih begini! Kuhabisi dia kalau sampai ketemu denganku satu lawan satu. Kalau saja ada Yoga di situ, pasti Mata Neraka dan Topeng Merah segera dibabat habis dengan memadukan dua jurus rajawalinya itu. Sayang sekali Yoga ada bersama Kembang Mayat. Benarkah disana Yoga akan dapatkan bunga Teratai Hitam. Bagaimana jika Yoga justru terkena Racun Bunga Asmara yang dimiliki Kembang Mayat itu. Lalu, bagaimana dengan Topeng Merah. Siapa sebenarnya dia?"
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Terkadang suara itu diselingi bunyi angin kelebatan kain baju yang mereka kenakan, atau karena keras dan cepatnya gerakan, sehingga terdengar pula suara; wuuhg, wuuhg, wuuhg, wuuhg! Plak! Bahkan suara beradunya kaki dengan kaki pun menambah kesunyian hutan yang kian gaduh dan gemerisik.
Perempuan muda berpakaian merah jambu itu sejak tadi hanya menangkis dan menghindar saja dari serangan pemuda berpakaian putih lengan panjang yang dibungkus selempang coklat. Sekalipun di punggung mereka sama-sama menyandang sebilah pedang, namun agaknya mereka sepakat untuk tidak menggunakan pedang dalam pertarungan tersebut.
Pemuda berwajah tampan itu sebenarnya sudah melakukan beberapa pukulan yang cukup hebat, cepat, dan mematikan. Sayangnya si wanita mampu menghindar dan menangkis, sehingga pemuda itu bagaikan tidak diberi kesempatan untuk mengenai sasaran sedikit pun. Tendangan kipasnya yang dilakukan dengan memutar tubuh secara cepat itu pun dapat dibuang oleh si wanita muda dengan sentakan telapak tangan yang mengenai tulang kaki pemuda tersebut.
Takkk...!
"Aow...!" pemuda tampan itu memekik kesakitan. Tulang kakinya bagaikan diadu dengan besi baja. Telapak tangan yang menangkis tendangan kipasnya terasa sangat keras, dan itu pasti karena telapak tangan tersebut dialiri tenaga dalam yang cukup matang. Bahkan sekujur tubuh pemuda tampan itu terasa merinding dan kesemutan akibat tangkisan tersebut.
Pemuda tampan yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah, segera hentikan serangannya. Seperti telah dituturkan dalam episode: "Wasiat Dewa Geledek", ketika Yoga dan Lili baru saja keluar dari gua di bawah laut, tiba-tiba kedua orang muda itu menerima serangan gelap.
Dan.ketika mereka hendak mengejar penyerang gelap itu, manusia yang dikejar telah jauh meninggalkan tempat itu. Lalu, Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih memutuskan untuk mencari tempat berlatih terlebih dulu hingga sampai di tempat ini.
"Perhitungan seranganmu masih kurang tepat, Yo! Sekali kuterobos pertahananmu bisa jebol dadamu!"
Yoga segera bangkit dengan tegak kembali. Lalu terdengar ia berkata dengan tegas, "Cobalah terobos seranganku kalau memang kau bisa!"
Begitu selesai bicara, tahu-tahu perempuan muda itu tubuhnya melesat bagaikan terbang dengan satu kaki lurus ke depan. Wuuusss...! Gerakan itu di luar dugaan Yoga, sehingga badan Yoga tak sempat berkelit sedikit pun, namun tangannya berkelebat menangkis tendangan kaki tersebut.
Wuuttt...! Plak, buuhg...!
Yoga, si Pendekar Rajawali Merah, sama sekali tidak menduga bahwa kaki lawannya yang tidak tertangkis mampu menjejak sikunya dan menggunakan siku itu sebagai alas menyentakkan kaki, sehingga tubuh perempuan muda dan cantik itu berhasil melenting naik dan bersalto satu kali melewati kepala Yoga, lalu menendang kebelakang dan tepat mengenai punggung Yoga.
Tak heran jika Pendekar Rajawali Merah tersungkur ke depan karena tendangan tersebut. Beruntung sekali ia bisa kuasai keseimbangan tubuhnya dengan cepat, sehingga ia tidak jatuh terjerembab melainkan berguling di atas tanah satu kali dan cepat bangkit lagi.
Namun ia merasakan punggungnya bagaikan dihantam batang kayu yang besar dan terasa ngilu sekali. Yang membuat Yoga tertegun beberapa kejap bukan rasa nyeri akibat tendangan itu, melainkan gerakan jurus yang tak pernah dilihatnya itu telah membuatnya diam beberapa saat.
Sungguh heran Yoga melihat siku tangannya yang menangkis bisa dipakai untuk tumpuan kaki lawan yang menyentak hingga tubuh lawan melesat naik. Dan pada saat itu wanita muda berparas cantik seperti bidadari itu memandangi Yoga dengan senyum di bibir.
"Jurus apa itu tadi Aku tidak mempunyainya!" kata Yoga.
Wanita cantik yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Putih, atau Lili itu, semakin melebarkan senyum ejekannya. Ia melangkah ke tempat yang teduh, sehingga Yoga mengikutinya. Sambil melangkah Lili berkata, "itu yang dinamakan jurus Tendang Bintang'!"
"Mengapa Guru Dewa Geledek tidak mengajari ku jurus itu?"
"Karena jurus itu hanya ada di dalam Kitab Rembulan Putih, yang dibawa-bawa oleh guruku, Dewi Langit Perak itu!"
"Maukah kau mengajari ku jurus tendangan tadi, Lili?"
"Mengajari"!" Pendekar Rajawali Putih berlagak kaget, lalu katanya lagi, "Aku bukan gurumu! Aku tak mau turunkan ilmu walau sejurus padamu! Berusahalah mencari dan mempelajari sendiri jurus itu!"
"Jangan pelit-pelit, Lili!" bujuk Pendekar Rajawali Merah. "Kalau kedua guru kita masih ada, pasti aku tidak meminta pelajaran jurus itu padamu!"
Lili memandang penuh pesona, tapi kepalanya menggeleng di seta senyuman manisnya, lalu berkata, "Aku tidak akan ajarkan jurus apa pun padamu, walau sebenarnya aku mempunyai banyak jurus maut yang belum kau miliki!"
"Sehebat apa pun jurus-jurusmu, Lili..., tapi jika tidak digabungkan dengan jurus yang kumiliki, jurus Itu tidak akan menjadi dahsyat! Tidak akan bisa dipakai untuk mengalahkan Malaikat Gelang Emas dan beberapa tokoh sesat lainnya! Ingatlah itu, Lili!"
"Dalam Kitab Rembulan Putih pun telah tertulis kata-kata seperti itu, bahwa jurus-jurus dalam Kitab Rembulan Putih akan menjadi lebih dahsyat lagi jika digabungkan dengan jurus-jurus yang ada di dalam jiwa sang Dewa Geledek! Hmmm...! Sayang sekali gurumu itu tidak pernah punya kitab seumur hidupnya, Yo! Kalau saja beliau mempunyai kitab, maka aku mau bertukar kitab dengan kitabnya! Kau pelajari jurus dari Kitab Rembulan Putih, yang merupakan jurus-jurus milik guruku, dan aku pelajari kitab jurus-jurus gurumu! Tapi sekarang, kita tidak bisa bertukar kitab, sehingga aku tidak mau ajarkan satu jurus pun padamu!"
Pendekar Rajawali Merah diam bagai tersudut. Gurunya; si Dewa Geledek yang adalah suami dari gurunya Lili, selamanya tidak pernah mau menuliskan jurus-jurusnya ke dalam sebuah kitab, dan Dewa Geledek satu-satunya tokoh sakti yang tidak pernah punya kitab. Bukan berarti masa lalunya ia tak pernah belajar silat dari sebuah kitab, melainkan jika ia mendapatkan kitab dan selesai menamatkan semua jurus di dalam kitab itu, maka kitab itu segera dimusnahkan atau dibakar.
Hal itu dilakukan untuk menghindari agar tak ada orang lain yang menemukan dan mempelajari kitab tersebut. Jurus-jurus ciptaannya yang punya kekuatan hebat itu pun tidak mau dikitabkan, karena Dewa Geledek tidak mau seseorang mempelajari jurus-jurusnya tanpa menjadi muridnya dan hanya berdasarkan catatan dalam kitab saja.
Berbeda dengan Dewi Langit Perak, gurunya Lili. Semua Jurus yang ada padanya dituangkan dalam sebuah kitab yang bernama Kitab Rembulan Putih. Kitab itu merangkum bukan saja jurus-jurusnya melainkan beberapa jurus Rajawali milik suaminya juga ada di kitab tersebut. Itulah sebabnya Lili dapat mengetahui sebagian dari ilmu yang dimiliki Yoga, demikian pula sebaliknya.
Tetapi masing-masing sebenarnya mempunyai simpanan ilmu yang tidak saling dikenal, tapi jika dipadukan menjadi satu kekuatan yang dahsyat. Yoga sangat paham akan hal itu, sehingga ia begitu tertarik ingin mempelajari jurus-jurus milik Lili. Tetapi wanita muda yang sangat cantik itu jual mahal. Ia berkata kepada Yoga,
"Jika kuajarkan jurus-jurusku kepadamu, lalu apa yang kuperoleh darimu"!" sambil mata Lili memandang wajah Yoga yang membuatnya kagum dan berdesir-desir dalam hatinya. Keadaan seperti itu ia rasakan sejak mereka bertemu dan berada di dalam gua didasar laut. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam kisah: "Wasiat Dewa Geledek").
Yoga garuk-garuk kepala dan berpikir mengenai upah yang akan diberikan kepada Lili, supaya ia mendapatkan jurus-jurus tersebut. Beberapa saat kemudian ia berkata, "Bagaimana kalau jurus-jurusmu itu kubeli dengan seharga sepuluh sikat untuk satu jurusnya?"
"Hmm...!" Pendekar Rajawali Putih mencibirkan bibir, membuat gemas hati setiap lelaki yang memandangnya. "Semurah itukah harga jurus-jurusku!"
"Habis untuk membayar lebih dari itu aku tak sanggup!"
"Lagi pula aku bukan pedagang loak yang kerjanya jual-beli jurus bekas!" katanya dengan memunggungi dan berkesan angkuh.
"Baiklah. Menurutmu sendiri, harus kubayar dengan apa jurus-jurusmu itu?"
Lagak wanita cantik itu semakin jual mahal kepada Yoga. Hal itu membuat Yoga bertambah penasaran. la mendesak terus kepada Lili agar Lili mau ajarkan jurus-jurusnya, terutama jurus 'Tendangan Bintang' yang ia kagumi itu. Sampai pada akhirnya Lili berkata,
"Baiklah, akan kuajarkan jurus itu padamu, tapi ada dua syarat yang harus kau penuhi!"
"Sebutkan!"
"Pertama, kau harus mau memanggilku sebagai Guru dan mengakui bahwa aku adalah gurumu!"
"Gila! Hanya untuk satu jurus saja aku harus memanggilmu Guru" Hrnm...! Tidak bisa! Sebenarnya ilmu kita tidak jauh berbeda. Usiamu memang lebih tua tiga tahun dari usiaku, tapi itu bukan berarti kau bebas merasa sebagai guruku!"
"Syarat pertama tidak kau setujui, maka niatku untuk turunkan ilmu padamu... batal!"
"Lili..,!" Yoga bergegas meraih lengan Lili yang mau pergi. Gadis itu tertahan langkahnya dan berpaling dengan acuh tak acuh.
"Lili, syaratnya diganti saja!" bujuk Pendekar Rajawali Merah.
'"Syarat pertama kau setujui atau tidak!"
"Tapi kalau aku harus...."
"Kau setujui atau tidak"!" potong Lili sengaja berangkuh diri.
Yoga garuk-garuk kepala dan menghembuskan napas panjang-panjang. "Baiklah!" jawabnya dengan malas-malasan.
"Syarat kedua," kata Lili lagi "Kau harus selalu ada didekatku!"
Terkesiap mata Yoga memandang Lili saat mendengar syarat kedua itu. Berkerut pula dahi Yoga, lalu bertanyalah ia dengan nada pelan, "Apa maksudmu...!"
Lili justru menjadi kikuk dan malu yang tertahan. Mata mereka saling pandang dalam jarak hanya satu jengkal. Lili jadi gemetar dan gelisah. Akhirnya ia cepat-cepat buang muka sambil berkata, "Eh, hmm...! tidak! Maksudku, kalau... kalau kau selalu ada di dekatku, aku bisa turunkan ilmu-ilmuku yang lain sewaktu-waktu!"
Yoga memalingkan wajah Lili sambil memegang kedua pundak gadis itu yang ditarik agar berhadapan dengannya. "Jika itu maksudmu, aku siap! Aku setuju dengan syarat kedua! Tapii...." Wajah itu mengendur sedikit. "...berapa banyak jurus mautmu yang akan kau turunkan padaku?"
"Tergantung berapa banyak kau tidak mengecewakan hatiku," jawab Lili. "Semakin banyak tidak bikin aku kecewa, semakin banyak jurus-jurus itu mengalir turun kepadamu!"
"Mengecewakan dalam hal apa maksudmu?" tanya Yoga pelan.
Pendekar Rajawali Putih merasa kikuk sebentar, tapi segera bisa diatasi dan segera menjawab, "Dalam segala hal!" matanya kembali memandang kebeningan mata Yoga yang punya nuansa teduh dan sejuk di hati. Apalagi saat itu Yoga tersenyum, oh... kembali bergetar hati Lili menerimanya. Ia biarkan kedua tangan Yoga masih memegangi kedua pundaknya, ia Ingin ikut memegangi tangan itu, tapi ia menahan hasratnya tersebut demi menjaga kewibawaan di depan pemuda tampan yang akan menjadi muridnya. Bahkan dengan nada tegas yang masih sedikit bergetar, Lili berkata, "Kebersamaan kita akan melahirkan kesaktian yang tiada tandingnya, Yoga. Sadarkah kau akan hal itu?"
"Ya, aku sadar, Lili... eh, Guru!" Yoga menjawab dengan kaku dan malu.
Sementara Lili sendiri menjadi geli namun ditahannya dalam hati. Ia tampakkan sikapnya sebagai guru yang segera manggut-manggut penuh wibawa, tapi tidak merasa tersinggung melihat kedua tangan Yoga masih memegangi pundaknya. "Kau sanggup mematuhi perintah dan nasihatku, Yo?" "Aku akan patuh padamu, Lili. Eh... Guru!"
"Baik. Kalau begitu, kuajarkan jurus 'Tendangan Bintang' yang tadi sekarang juga!" kata Lili, dan Yoga tampak berseri-seri kegirangan.
Siang itu, di bawah kerindangan pohon yang berdaun rapat, Lili mulai menurunkan ilmunya terutama jurus-jurus tangan kosong. Bukan hanya jurus 'Tendangan Bintang' saja, melainkan beberapa jurus tangan kosong yang tidak dimiliki Yoga diturunkan kepadanya. Termasuk jurus 'Rajawali Menembus Langit' yang punya kecepatan cakar luar biasa itu.
Sambil melompat bersal-to maju satu kali, gerakan cakar terjadi lebih dari sepuluh kali, dilakukan dengan cepat. Bersalto lagi, bergerak mencakar berkali-kali dengan cepat. Begitu seterusnya dan semua itu dengan tekun diikuti oleh Yoga sampai matahari mulai bergeser miring ke barat.
"Tahan sebentar...!" seru Lili yang membuat gerakan cakar yang dilakukan Yoga itu terhenti. Yoga berpaling ke belakang memandang gurunya, dan dahinya berkerut heran melihat sang Guru memandang dengan aneh ke tanah, bahkan sekarang sang Guru sempat jongkok.
"Ada apa, Guru..."!" Pendekar Rajawali Merah segera mendekat.
"Ada potongan tangan manusia!"
Yoga tersentak kaget melihat sepotong tangan tergeletak di tanah yang sudah jauh dari tempatnya berunding tadi. Tangan itu terpotong pada bagian siku, tapi tampaknya bukan dengan senjata tajam memotongnya. Keadaan tangan itu sudah pucat, pada bagian potongannya tidak rata. Mengerikan jika dipandangi terlalu lama.
Lili segera lemparkan pandang ke arah lain, ke sekeliling tempat itu sambil berkata, "Aku yakin tangan ini adalah tangan seorang perempuan muda!"
"Menurut dugaanku memang begitu, Guru! Jari tangannya lentik dan kulitnya masih halus, belum berkeriput! Tapi sepertinya tangan ini terputus dari bagiannya oleh sebab gigitan buas, Guru! Terlihat bekas cakaran kuku di beberapa tempat dan bekas gigitan di samping bagian yang terpotong ini!" Yoga masih jongkok memperhatikan potongan tangan Itu.
"Melihat cincin merah di jari manisnya, rasa-rasanya dia tangan seorang gadis yang cukup terhormat! Setidaknya bukan tangan gadis desa biasa!" tambah Lili setelah kembali memandangi tangan itu dalam sekejap.
"Guru!" Yoga menyentak, "Agaknya di bawah pohon itu juga ada potongan anggota tubuh lainnya! Kulihat ada dua lalat di sana!"
Pendekar Rajawali Putih memandangi tempat yang ditunjuk oleh Yoga, kemudian ia bergegas ke bawah pohon tersebut. la.terkesiap sekejap dan segera berseru dari tempatnya, "Benar, Yo! Di sini ada daun telinga bergiwang merah!"
Yoga mengangkat potongan tangan itu dengan kayu, dibawanya ke bawah pohon tempat ditemukannya potongan telinga yang mengerikan. Beberapa saat Yoga menatap ke arah potongan daun telinga yang kelihatannya bukan putus karena senjata tajam, melainkan karena gigitan dari sebaris gigi yang tak tahu siapa pemiliknya. Ada giwang kecil warna merah delima di telinga tersebut. Warna merahnya sama persis dengan warna cincin yang dikenakan di jari manis, pada potongan tangan yang saat itu sudah digeletakkan oleh Yoga di samping telinga tersebut.
"Ada binatang buas di sekitar sini, Guru! Pasti gadis ini korban dimakan binatang buas tersebut!"
"Tapi tak kulihat ada telapak kaki binatang! Suaranya pun tak kita dengar sejak tadi, Yo!"
"Apakah sesosok setan siang bolong yang menyantap rakus tubuh gadis ini! Rasa-rasanya tak mungkin setan muncul siang hari, kecuali kepepet!" kata Yoga sambil memandang sekeliling dengan penuh selidik, demikian pula yang dilakukan Lili.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara derap kaki kuda yang datang dari arah selatan. Semakin lama semakin jelas, semakin nyata arahnya menuju ke tempat Yoga dan Lili berada. Dari arah tikungan lereng, muncul lima ekor kuda bersama lima penunggangnya yang berwajah ganas-ganas.
"Siapa mereka itu?"
"Mana aku tahu?" jawab Yoga.
"Sepertinya rombongan dari suatu wilayah atau...."
"Hei, mereka berbalik ke arah kita, Guru!"
Rombongan berkuda itu sebenarnya sudah lewat melintasi depan Lili dan Yoga. Kedua Pendekar Rajawali itu hanya memandanginya saja. Tetapi beberapa jarak kemudian, rupanya pimpinan rombongan tersebut memerintahkan anak buahnya untuk berhenti dan memandang ke arah Lili dan Yoga. Entah apa yang dibisikan oleh pimpinan mereka, tiba-tiba keempat kuda bergerak membalik dan menuju ke tempat dua pendekar muda itu berada.
Keempat orang penunggang kuda itu berhenti didepan Lili dan Yoga dengan masing-masing wajah dan sorot pandangan mata yang tidak bersahabat. Mereka menampakkan kebengisannya yang dibalut kemarahan terpendam. Hanya satu orang yang berwajah tak terlalu bengis dan tak segarang yang lainnya. yaitu orang berpakaian coklat yang ada di bagian belakang sendiri.
Orang berpakaian coklat itu hanya bersenjatakan golok dengan tubuhnya yang kurus, rambutnya yang lurus sepundak, matanya yang bundar dan alis yang tipis dalam wajah bulatnya itu. Tetapi orang berpakaian coklat tua itu juga menjadi terkejut setelah ia dan ketiga orang lainnya memandang potongan tangan dan daun telinga bergiwang merah.
Ketiga orang bengis itu menggeram penuh luapan amarah yang ingin cepat meledak, tetapi orang berpakaian coklat tua itu hanya bergidik merinding dan wajahnya yang lebar itu menjadi pucat.
"Tak salah lagi, itu anggota tubuh Putri Ganis!" seru pimpinan mereka yang berpakaian abu-abu dengan ikal kepala merah dan wajah bertonjolan tulang pipi dan rahangnya, tampak besar dan keras.
"Siapa Putri Ganis itu"' tanya Yoga kepada Lili dengan pelan.
"Mana aku kenal" Coba saja kau tanyakan kepada orang itu!"
DUA
PENDEKAR Rajawali Merah maju satu tindak, tapi sebelum ia ajukan pertanyaan, tiba-tiba salah satu dari mereka melepaskan serangannya berupa pisau terbang yang dilemparkan ke arah Yoga.
Wuuut...! Tabb...!
Pisau itu tertangkap oleh dua jari Yoga. Keempat orang itu memandang dengan mata makin melebar. Serentak mereka melompat turun dari atas punggung kuda dan mencabut senjata masing-masing. Orang berpakaian abu-abu yang ada di depan mereka segera membentak dengan kemarahan yang memerahkan wajahnya,
"Mengapa kau bunuh Putri Ganis?"
"Siapa Putri Ganis itu? Yang mana orangnya? Aku merasa tidak membunuh siapa pun!" jawab Yoga heran.
"Jangan berpura-pura linglung kau, Bocah Ingusan. Kau pikir kami tidak bisa mengenali potongan tubuh yang ada di tanah itu! Cincin dan giwang merah itu milik Putri Ganis, anak dari Panglima Makar, yang menjadi penguasa di Tanah Gerong!"
"O, kalian salah alamat!" sahut Lili. "justru kami sedang selidiki siapa yang memiliki tangan dan daun telinga ini, serta siapa yang menjadi pelakunya!"
Orang berpakaian hitam dengan celana hijau itu berseru, "Diam kau, Perempuan Setan!" Yang berpakaian biru pun berkata kepada si baju abu-abu, "Kurasa benar apa yang dilaporkan Nala, perempuan itulah yang memakan Putri Ganis! Tak perlu kita banyak bicara, Rahang Besi! Serang saja mereka sebelum mereka sempat melarikan diri!"
Orang berpakaian abu-abu yang dipanggil sebagai Rahang Besi itu segera menggeram dan menggenggam senjatanya, berupa tombak berujung kapak lebar dua mata yang mengkilat tajam setiap sisinya. Rahang Besi pun segera berseru, "Serang mereka!"
"Tunggu...!" seru Pendekar Rajawali Merah yang membuat gerakan mereka terhenti seketika. Kemudian, Pendekar Rajawali Merah berkata, "Soal serang-menyerang itu soal mudah! Tapi kalian salah serang!"
"Bukti sudah ada! Kalian tak bisa mengelak!" kata Rahang Besi. "Kalau kalian ingin hidup agak panjang sedikit, kalian harus menyerah dan akan kami hadapkan kepada pengadilan Panglima Makar!"
Pendekar Rajawali Putih berkata kepada Yoga, "Biar aku yang tangani mereka. Mundurlah, Yo!" Gadis cantik itu maju dalam jarak satu langkah di depan Yoga. Mau tak mau Yoga segera mundur dua tindak untuk memberi ruang bergerak Pendekar Rajawali Putih dalam bergerak. "Ku ingatkan sebelumnya, kalian salah orang! Bukan kami yang membunuh Putri Ganis! Tapi kalau kalian tidak percaya dan nekat menyerang kami, jangan salahkan kami jika nyawa kalian pun akan terancam!" kata Pendekar Rajawali Putih dengan tenang juga.
"Banyak mulut amat perempuan iblis ini! Hiaaat...!" orang berpakaian biru segera menyerang Lili dengan sabit kembarnya. Ia melompat dan berdiri di depan Lili, langsung kibaskan dua sabit di kanan-kirinya dengan gerakan cepat, wiisss... wiiisss...!
Teb, teeb...! Tangan kiri pemegang sabit ditangkis oleh tangan kanan Lili, sedangkan tangan kanan pemegang sabit ditangkis tertahan oleh tangan kanan Lili. Kemudian dengan cepat dan serentak kedua tangan Pendekar Rajawali Putih itu menghentak maju, tepat mengenai dada lawannya.
Wuuttt...!
Orang itu tersentak mundur empat langkah. Pada waktu itu Rahang Besi melemparkan senjata rahasianya ke arah Lili, maksudnya ingin mencegah Lili agar tidak jadi menghantam anak buahnya. Namun di luar dugaan sang anak buah sedikit terpelanting ke kiri hingga lemparan pisau yang menjadi senjata rahasia Rahang Besi itu tepat menancap di punggung orang tersebut.
"Aahhg...!" orang itu pun mendelik sesaat, kemudian rubuh tak bernyawa lagi.
Ketiga orang utusan dari Tanah Gerong itu serentak bergerak mundur beberapa langkah setelah melihat temannya mati karena senjata Rahang Besi yang salah sasaran. Orang berbaju hitam segera memisahkan diri dengan Rahang Besi. Ia ingin mencuri kesempatan menyerang dengan parang tajamnya. Keberadaannya di sebelah kanan Lili membuat mata Lili terpaksa melirik ke kanan dan ke depan, serta ke kiri, sebab di sebelah kiri ada si muka bulat berbaju coklat, di depannya ada Rahang Besi.
Mereka sama-sama menunggu kesempatan menyerang, mencari kelengahan gerakan mata Pendekar Rajawali Putih. Senjata mereka dimain-mainkan untuk mengacaukan perhatian gadis cantik bertubuh menggiurkan itu.
"Heaaah...!" Orang berpakaian hitam segera berguling ke tanah dua kali, lalu bangkit dalam satu sentakan dan menebaskan parangnya kearah Lili. Pada saat itu, Rahang Besi menyodokkan tombak kapaknya yang pada bagian paling ujung mempunyai mata tombak yang runcing. Tombak itu terarah ke pinggang Pendekar Rajawali Putih yang sedang menangkis serangan dari si baju hitam.
Melihat tombak itu ingin menghujam pinggang Lili serta-merta Pendekar Rajawali Merah melompat dan kakinya menyentuh tombak itu dan berlari dua tindak di atas batang tombak yang panjang itu.
Tab, tab, tab....!
Rahang Besi kaget melihat lawannya berlari cepat diatas tombaknya. Rahang Besi terkesima, dan saat ia terkesima kaget itulah tahu-tahu kaki lawan sudah menendang telak pertengahan hidungnya.
Deesss...!
"Aow...!" Bukan Rahang Besi yang memekik begitu, melainkan Pendekar Rajawali Merah yang memekik. Kakinya terasa sakit, seperti menendang bongkahan besi baja yang luar biasa kerasnya. Pendekar Rajawali Merah segera melompat turun dari tombak itu. la mendarat dengan satu kaki, karena kaki yang dipakai untuk menendang tadi masih terasa ngilu untuk menapak.
Sementara itu, Rahang Besi sendiri terpental ke belakang dan terhuyung-huyung akibat tendangan yang cukup lumayan baginya. Begitu kaki mendarat, Pendekar Rajawali Merah segera hadapi serangan dari si baju coklat. Serangan itu berupa lemparan golok dari si baju coklat, sementara setelah melempar si baju coklat melarikan diri dan berhenti dalam jarak beberapa tombak, berlindung pada sebatang pohon dengan wajah tegangnya.
Lemparan golok tadi bisa dihindari oleh Pendekar Rajawali Merah dengan satu lompatan ke atas, dan golok melesat di bawah kakinya. Dengan gerakan cepat tak terlihat, kaki Pendekar Rajawali Merah menendang gagang golok, akibatnya gagang golok itu berputar arah dan melesat kembali ke pelemparnya. Tapi karena pelemparnya sudah bersembunyi di balik pohon, maka golok itu menancap persis di batang pohon yang dipakainya bersembunyi itu.
Jruubbb...!
"Mati aku...!" pekik si baju coklat dengan semakin tegang karena rasa takutnya. la memejamkan mata dengan ngeri waktu goloknya menancap di pohon yang dipakainya berlindung itu.
Pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Putih telah berdiri di samping mayat lawannya, si baju hitam. Orang berbaju hitam itu bukan mati karena serangan Lili, melainkan tersabet tombak Rahang Besi ketika Rahang Besi bermaksud menyambar kepala Lili, dan Lili dengan cepat berguling ke tanah. Akibatnya sambaran tombak tersebut merobek dada di baju hitam, yang membuat si baju hitam tumbang tak bernyawa lagi.
Rahang Besi menggeram penuh murka. "Kurang ajar! Dari tadi justru senjataku sendiri yang membunuh anak buahku! Aku harus lebih hati-hati lagi dengan si gadis centil ini!"
Gentar juga Rahang Besi melihat anak buahnya mati. la secara diam-diam mengagumi kehebatan jurus-jurus tipuan yang digunakan oleh kedua lawannya itu. la sengaja tidak segera menyerang karena membutuhkan waktu untuk mempelajari gerakan jurus kedua lawannya yang sukar diduga arah serangannya itu.
"Siapa kalian sebenarnya, sehingga dapat dengan mudah dan cepat membunuh kedua anak buahku dengan jurus tipuan"!" tanyanya bernada penasaran.
"Aku Pendekar Rajawali Putih!" jawab Lili dengan tegas dan bertolak pinggang. "Dan itu muridku, Pendekar Rajawali Merah!"
Yoga bersungut-sungut cemberut. la tak suka diperkenalkan sebagai murid di depan lawan. Tapi agaknya ia tak bisa membantah lagi, karena rupanya hal itu sengaja diucapkan oleh Lili untuk mengendurkan ketegangan. Sebab setelah berkata begitu, Lili melirik dan menyunggingkan senyum kecil serta tipis di sudut bibirnya.
"Sebaiknya kau kembali saja, Rahang Besi!" kata Yoga, "Daripada dipihakmu timbul korban yang sebenarnya salah sasaran ini!"
"Rahang Besi dan orang-orang Tanah Gerong pantang mundur sekali sudah maju!" sumbar Rahang Besi.
Sementara itu, si baju coklat mencoba ajukan usulnya dengan takut-takut, "Sekali tempo mundur tak apalah...!"
"Tidak bisa!" bentak Rahang Besi membuat tubuh si baju coklat terlonjak kaget Orang itu justru berkata lagi kepada temannya, "Nyali Kutu...! Giliranmu menyerang mereka! Tunjukkan kehebatan ilmu 'Jari Ular'mu...!"
"Sebaiknya tak usah. Sebaiknya kita segera saja pulang dan me...."
"Serang mereka, Bodoh!" bentak Rahang Besi dengan marah.
"Bbba... ba... baik!" jawab Nyali Kutu dengan menggeragap. Kemudian, dengan kesan memaksakan keberaniannya, ia berdiri di depan Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. la menggerak-gerakkan tangannya dengan gemulai, termasuk gerakan jari-jemarinya yang meliuk-liuk bagai sepuluh ekor ular berkelok-kelok. Tiba-tiba dari kesepuluh jarinya itu memancarkan sinar bagaikan lidah petir yang berwarna biru. Sinar-sinar itu melesat dan saling bertemu di satu titik, menjadi gumpalan besar dan menghantam tubuh Pendekar Rajawali Putih.
Wuuust...!
Dengan satu sentakan tangan kiri, telapak tangan Pendekar Rajawali Putih keluarkan sinar merah berbentuk gumpalan kecil. Sinar merah itu menghantam gulungan sinar birunya Nyali Kutu. Kedua sinar tersebut berhenti di udara, tangan Pendekar Rajawali Putih masih tertahan ke depan, seakan mendorong sinar merahnya untuk mendesak sinar biru itu. Sedangkan dari jari-jari Nyali Kutu masih memancarkan sinar biru berkelok-kelok.
Melihat keadaan begitu, Yoga yakin sinar biru itu sukar dipecahkan atau didorong oleh sinar merahnya Lili. Maka, dengan cepat Pendekar Rajawali Merah itu segera sentakkan telapak tangan kirinya dan melesatlah sinar hijau satu larik bagaikan besi yang lurus menghantam sinar birunya Nyali Kutu. Begitu sinar hijau itu menyentuh sinar biru, maka meledaklah sinar birunya Nyali Kutu yang agaknya sukar dihancurkan itu.
Blaarrr...! Ledakan begitu keras. Gelombangnya begitu kuat menghentak sekeliling. Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih tersentak mundur dua tindak. Tetapi Nyali Kutu terlempar sekitar lima tombak jauhnya dan terkapar jatuh ia di sana. Bahkan Rahang Besi sendiri terhuyung oleh tubuhnya akibat gelombang ledakan tersebut, hingga ia pun mundur empat tindak, nyaris jatuh jika tidak tertahan pada tombaknya.
Nyali Kutu bangkit pada waktu Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih saling pandang dengan sama-sama sunggingkan senyum tipis, sebagai simbol senyum kemenangan mereka dalam jurus itu. Dari tempatnya, terdengar Nyali Kutu menggerutu kepada Rahang Besi,
"Apa kubilang tadi..."! Kita pulang sajalah! Jurus mereka sangat berbahaya. Apalagi jika mereka menyerang secara bersamaan dan..."
"Tutup mulutmu!" bentak Rahang Besi. "Dasar nyalimu nyali sekecil anak teri!"
Pendekar Rajawali Merah berseru, "Kurasa benar apa saran temanmu yang kau panggil Nyali Kutu itu! Pulanglah dan jangan coba-coba melawan kami berdua!"
"Persetan dengan saran itu! Kalian telah kuanggap membunuh dua orang Tanah Gerong! Sebagai utusan Panglima Makar yang dipercaya, aku tidak ingin pulang dengan tangan hampa! Kubalas kematian mereka saat ini juga, Jahanam! Heaaah...!"
Rahang Besi melompat dan tombaknya ditancapkan di tanah, lalu tubuhnya melayang tinggi mengikuti gerakan tangkai tombak. Tubuh itu tepat menendang ke wajah Yoga. Tapi sebelum Yoga terkena tendangan, ia sudah memiringkan badannya ke samping, wuuusttt...! Dan tiba-tiba kaki kanan Pendekar Rajawali Putih menendang ke dagu si Rahang Besi.
Plookkk...! Krak...! Terdengar bunyi berderak.
"Uhg...!" Rahang Besi mendelik kesakitan dalam keadaan jatuh terduduk. Tangannya masih memegangi ujung tangkai tombak. Bibirnya tampak pecah dengan dagu membiru. Tapi agaknya orang bertulang wajah keras itu tidak ada jeranya. Tombaknya ditarik dan dikibaskan menyambar kaki Pendekar Rajawali Putih.
Wuuungng...!
Tombak itu memutar sekeliling bagian. Pendekar Rajawali Putih berhasil melompat ke atas, sedangkan Pendekar Rajawali Merah hampir saja tergores kakinya jika tidak segera mundur dalam satu lompatan.
"Edan..! Rupanya yang jadi sasaran utama adalah diriku!" kata Yoga dalam hatinya. Segera ia melompat bersalto di tanah beberapa kali, dan berhenti tepat di samping Pendekar Rajawali Putih. Mereka saling adu punggung dalam keadaan berdiri menyamping menghadap ke arah lawannya yang segera bangkit dengan lebih ganas lagi itu.
"Kita serang orang itu bersama-sama! Jangan ambil wajahnya. Keras!" bisik Lili. Dan terdengar suara Yoga menggumam sambil mengangguk.
"Heaaah...!" Rahang Besi melompat sambil menyodokkan tombak kapaknya kedepan. Yoga dan Lili pun sama-sama melompat menyambut gerakan tubuh lawannya.
"Hiaaat...!"
Tombak bermata dua yang lebar di kanan kirinya itu akan merobek perut atau pinggang lawan yang maju bersamaan. Tetapi agaknya lawan itu bukan sembarang lawan. Pendekar Rajawali Merah sentakkan kakinya ke depan pada saat melompat sehingga tombak itu terhempas naik, bahkan hampir lepas dari pegangan pemiliknya.
Karena tombak terhempas naik dalam keadaan kedua tangan masih memegangi tangkai tombak, maka bagian depan Rahang Besi terbuka lebar. Dan saat itulah telapak tangan Pendekar Rajawali Putih menghantam satu kali dengan teriakan memanjang dan telak sekali.
"Heaaah...!"
Beeehg...!
"Eng...!" kecil sekali pekikan Rahang Besi. Ia segera rubuh terpental mundur dan jatuh di tanah sekitar empat tombak jaraknya dari tempatnya berdiri tadi. Mata Rahang Besi terbeliak-beliak dan berusaha untuk bangkit. Tapi tiba-tiba kepalanya tersentak ke depan, dan darah merah kehitaman muncrat keluar dari mulutnya. Bagian yang terkena pukulan Tapak Geledek' Itu mengepulkan asap dan mengabarkan bau hangus. Baju abu-abunya membara terbakar. Lalu, tak sampai tujuh helaan napas, Rahang Besi pun terkulai tak bernyawa untuk selamanya.
"Rahang Besi...!" sentak Nyali Kutu melihat orang kekar yang dianggapnya bertulang rahang keras itu akhirnya mati juga di tangan dua pendekar muda tersebut. Nyali Kutu yang berusia sekitar lima tahun lebih tua dari kedua pendekar itu, segera bergerak mundur dengan wajahnya yang tegang ketakutan.
Yoga mendekati sambil berkata, "Kau mau menyusul Rahang Besi?"
"Eh, hmm... anu... tidak. Kapan-kapan saja'" jawab Nyali Kutu.
"Kalau begitu pulanglah, dan katakan pada penguasa Tanah Gerong, bahwa pembunuh Putri Ganis bukan kami. Dan kalau kami membunuh keempat temanmu ini, karena kami terpaksa, sebab kami belum ingin mati dibunuh mereka!"
"Iiy... iya! Iya...! Nanti saya sampaikan pesan itu kepada Panglima Tanah Gerong, Pendekar.... Pendekar Rajawali Merah dan Putih!" Nyali Kutu manggut-manggut dengan tubuh gemetar.
Namun sebelum Nyali Kutu pergi, tiba-tiba muncul suara tawa yang memanjang dari arah semak-semak di seberang sana, jaraknya antara dua puluh tombak dari tempat mereka. Suara tawa mengikik berkepanjangan itu segera disusul munculnya seraut wajah berlumur darah pada bagian mulut. Orang itu juga berlumur darah pada bagian kedua tangannya. la berlari-lari mendekati Nyali Kutu sambil berseru,
"Santapan lagi... santapan lagi...! Oh, lezatnya...! Hia ha ha ha...! Santapan lezat datang lagi! Hi hi hi hik...!"
"Cepat lari kau!" sentak Lili kepada Nyali Kutu.
Maka orang penakut itu pun segera lari dengan cepatnya, tunggang-langgang sampai membentur batang pohon, jatuh, bangkit lagi dan lari kembali.
"Ya, ampuuun...!" gumam Yoga dengan mata mendelik dan terpaku di tempat.
Lili mendekatinya sambil mata tetap memandang ke arah seorang gadis berpakaian serba kuning penuh percikan darah. Gadis itu melilitkan selendang biru dipinggangnya dan menyelipkan pedang pendek di sana. Lili segera bertanya pelan sambil tak berkedip memandangi setiap gerakan gadis berlumur darah dan berambut awut-awutan itu. "Siapa dia! Agaknya kau sudah mengenal gadis itu!"
"Ya. Aku kenal. Dia adalah Mahligai...! Tapi mengapa dia menjadi gila begitu! Dan... dan sepertinya dialah yang membunuh Putri Ganis memakai giginya!"
"Maksudmu, dia memakan Putri Ganis?"
"Kelihatannya begitu! Padahal aku tahu, dia bukan manusia pemakan daging manusia! Dia gadis baik-baik, lincah, manis, dan...."
"Cukup! Kau tak perlu memujinya di depanku!" sergah Lili, cemberut dan bersungut-sungut.
TIGA
SUNGGUH tak habis pikir buat Yoga, mengapa Mahligai menjadi ganas dan gila begitu. Matanya yang dulu indah kini menjadi buas dan liar, ia bahkan tidak mengenali diri Yoga, la melompat dan menerkam Yoga dengan kedua tangannya sambil memekik liar.
"Uaaa...!"
"Mahligai! Ingat... ini aku! Aku Yoga, Mahligai!"
Zreep...! Yoga dicekik lehernya dalam keadaan jatuh ditanah. Mahligai menggeram, menyeringai, sementara Yoga tidak mau menolak dengan kasar, ia kasihan jika menendang atau menghantam Mahligai. Sementara itu, Mahligai telah menyeringai dan siap mengigit pipi Yoga dengan buasnya.
"Hiaaat...!"
Buuhg...! Wuuurrs...!
"Aaaa...!" Mahligai memekik sekeras-kerasnya. Tubuhnya ditendang oleh Lili hingga terlepaslah cengkeraman pada leher Yoga dan tubuh itu melayang, jatuh berguling-guling dengan menjerit. Lalu bangkit lagi dengan badan agak membungkuk dan tangan keduanya sudah diangkat menyeramkan, siap menerkam dan menyerang kembali. "Aaagrrr...!"
"Kubunuh kau berani menyentuh muridku, Perempuan Gila!" sentak Pendekar Rajawali Putih. Kemudian Ia bergegas maju untuk melaksanakan niatnya yang dibumbui oleh kemarahan hebat itu.
"Lili...! Eh, Guru...! Jangan lawan dia, Guru!" seru Yoga sambil berlari menyusul Lili. Tetapi pada saat itu, Lili sudah menyerang dengan tendangan beruntunnya ke arah Mahligai. Sekalipun Mahligai telah menjadi gila dan sebuas itu, namun ia masih bisa gunakan jurus-jurusnya sehingga tendangan itu dapat ditangkisnya beberapa kali, namun yang terakhir berhasil lolos dari tangkisannya. Buuuhg...! Dada Mahligai terkena tendangan kaki kiri Pendekar Rajawali Putih.
"Aaaa...! Aaaa...!" Mahligai menjerit-jerit dengan suara keras sekali. Ia jatuh terguling-guling lagi namun segera dapat berdiri dengan cepat kembali. "Aaagggrrr...!" Ia mengerang menyeramkan.
Lili melangkah terus mengejar ke mana pun Mahligai berada. Dan Pendekar Rajawali Merah segera menyusul dengan satu lompatan salto yang melewati atas kepala Lili.
Wuuttt...! Jleg!
Yoga sudah berada di depan Lili pada waktu jarak Lili dengan Mahligai sekitar tiga tombak. Dengan sentakan penuh wibawa, Lili membelalakkan mata kepada Yoga,
"Minggir kau!"
"Jangan serang dia, Guru! Dia temanku!"
"Dia akan membunuhmu, Bodoh!"
"Dia dalam keadaan tak waras! Itu mungkin akibat pukulan dari Merak Betina yang mengandung Racun Edan!" (Baca Jodoh Rajawali dalam kisah: "Wasiat Dewa Geledek").
"Aku tak peduli siapa dia! Tapi dia sudah hampir membunuhmu dan aku harus membunuhnya sebelum kau nantinya dibunuh oleh dia!"
"Dia tidak akan membunuhku, Guru! Dia...,"
"Minggir, Yoga!" bentak Lili.
"Aku tidak mau minggir!"
"Dasar bandel.. Hiaaah...!" Lili segera menendang ke permukaan wajah Yoga. Dengan cepat tangan Yoga berkelebat menangkisnya. Plak! Kemudian Lili menyerang dengan jurus 'Rajawali Menembus Langit' yang berbentuk cakaran cepat dari kaki merayap sampai ke kepala.
Wuk, wuk, wuk, wuk, wuk wuk...!
Yoga bergerak mundur beberapa tindak menghindari gerakan cepat tersebut. Sampai tak sadar ia sudah ada persis di depan Mahligai. Gadis gila itu segera berteriak keras-keras sambil melompat ke punggung Yoga.
"Aaaagggr...!"
Bruus...! Tubuh gadis gila itu menyergap leher Yoga, kemudian berusaha menggigit punggung dan tengkuk kepala Yoga. Tapi tubuh Yoga bergerak-gerak dengan oleng ke kiri-kanan sangat cepat. Dan akhirnya menyentak dalam gerakan membungkuk, maka tubuh Mahligai pun terpental ke depan. Lepas dari punggung Yoga.
Wuuuttt...!
"Aaaagggrr...!" teriak Mahligai sambil tubuhnya melayang, kemudian jatuh dengan pinggang belakang membentur batu. ia semakin memekik keras-keras dengan suara-suara liarnya.
"Mati kau, Gadis Gila! Hiaaat...!" Pendekar Rajawali Putih melompat ke arah Mahligai yang sedang berusaha untuk bangkit.
"Guuurua..! Jangaaan...!" teriak Yoga sambil tubuhnya melayang bagaikan terbang dan menerjang tubuh Lili.
Bruuus...!
Keduanya jatuh berjumpalitan di tanah, dan segera sama-sama bangkit serta siap saling menyerang kembali.
"Percayalah, Guru! Dia tidak tahu apa yang dia lakukan terhadapku!"
"Sekeras itu kau membela dia, Yoga! Ada hubungan apa sebenarnya antara kau dengan dia!" geram Lili dengan mata menyipit curiga.
"Hanya sebagai teman baik saja, Guru! Waktu aku memakamkan Guru Dewa Geledek, dia ikut hadir juga dan...."
"Dan kalian saling jatuh cinta"!"
"Tidak, Guru! Jangan berprasangka begitu!"
"Omong kosong! Kau kelihatannya sangat sayang sekali padanya dan tak rela jika aku menghajarnya!"
"Karena dia dalam keadaan gila, Guru! Kau salah kalau menghukum orang gila! Orang gila itu bebas hukuman!"
"Aku tidak pernah memanjakan orang gila, Yo! Kalau kau memang ingin membelanya, kau harus siap bertarung denganku! Hiaaat...!"
Lili melepaskan pukulan jarak jauh yang tidak timbulkan cahaya apa pun. Tubuh Yoga terpental karena tidak menangkis dan tidak mengelak dari pukulan itu. Yoga jatuh di semak-semak dalam jarak sekitar lima tombak dari tempatnya berdiri. Jika pukulan jarak jauh itu tidak bertenaga dalam tinggi, tak mungkin Yoga terpental sejauh itu. Lili segera menghampiri Yoga untuk menghajarnya lagi. Tapi tiba-tiba dari arah samping melesatlah tubuh Mahligai dengan gerakan seperti seekor singa lapar.
"Aaaahgggr...!"
Lili cepat sentakkan tangan kanannya ke kiri. Wuuutttt...! Dan tenaga dalam tanpa sinar itu menghantam telak ke tubuh Mahligai. Buuuhg! Tubuh Mahligai juga terpental lagi. Weers...! Langkah kaki Lili kembali mendekati Yoga yang sedang merintih menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya sambil berusaha berdiri. Pada saat itu, Lili kembali lepaskan pukulan jarak jauhnya dalam ukuran jarak antara dua tombak. Tetapi, sebelum pukulan itu dilepaskan, tiba-tiba angin panas yang cukup besar datang dari arah kanan Lili dan membuat Lili terpental terbang bagai dilanda badai.
Woouuss...! Jleeg...!
Sesosok tubuh berpakaian merah-merah berdiri di depan Yoga, memandang ke arah Lili. Orang tersebut membungkus dirinya dengan pakaian kain merah tebal dari kaki sampai kepala, dan mengenakan topeng penutup wajah warna merah juga. Topeng itu membentuk wajah yang menyeramkan, bagai wajah iblis dari neraka. Yoga sendiri tidak mengenali orang yang membungkus tubuhnya dengan kain merah sampai pada batas pergelangan tangannya.
Pandangan mata orang itu tak jelas ke arah mana, karena topeng yang menutup wajahnya itu hanya mempunyai lubang mata cukup kecil. Tapi gerakan wajah yang berpaling ke kiri itu, jelas menampakkan dirinya sedang memandang kearah Pendekar Rajawali Putih.
"Jahanam kau! Siapa kau, sehingga tahu-tahu menyerangku, hah"!" sentak Lili dengan berdiri tegak, seakan tak pernah takut sedikit pun. Bahkan ia kelihatan siap lakukan serangan balas.
Sebelum Topeng Merah menyebutkan namanya atau mengatakan sesuatu, ia sudah lebih dulu diserang oleh Mahligai dari arah belakang. Mahligai melayang dengan siap menerkam dengan suara teriakan yang liar.
"Aaagggrr...!"
Buuh...! Teb... teb...!
Topeng Merah kelebatkan tangannya tiga kali, ia berhasil memukul dada kanan Mahligai, lalu menotok gadis gila itu, hingga sang gadis tertegun berdiri bagaikan patung tak bisa bergerak. Bahkan untuk keluarkan suara teriakan pun tak bisa. Tapi mulut dan kepalanya masih bisa bebas bergerak, berusaha melepaskan diri dari totokan tersebut. Mulutnya ternganganganga ingin lontarkan teriakan, tapi kerongkongannya bagai ada yang menutup dengan rapat.
Lili segera bergegas mendekati Topeng Merah dengan pandangan mata tajam, penuh permusuhan. Namun sebelum ia melakukan serangan atau melontarkan pertanyaan, tiba-tiba Topeng Merah mencabut pedangnya yang ada di punggung. Sreek ! Badannya sedikit membungkuk dengan kedua tangan memegang gagang pedang yang menyerupai samurai itu.
"O, kau benar-benar mengajakku adu nyawa, hah"!" geram Lili dengan gemas. Lalu, segera Lili pasang kuda-kuda dan kedua tangannya mulai diangkat ke atas. la belum mau mencabut pedangnya.
Yoga semakin tertegun melihat sikap yang diambil manusia Topeng Merah itu. Agaknya orang tersebut benar-benar ingin membunuh Lili. Mungkinkah orang bertopeng merah itu bekas musuh lamanya Lili."
Topeng Merah segera maju menyerang Pendekar Rajawali Putih. Pedangnya itu ditebaskan dengan tiga kali gerakan.
Wuuut, wuutt, wuuttt...!
Zlaap...! Orang bertopeng merah itu agaknya terperanjat kaget melihat lawannya tidak ada di depannya. Ternyata Lili sudah berada dibelakangnya dan segera menyerangnya dengan tendangan kaki kiri yang menyamping.
"Hiaaat...!"
Plakkk...!
Yoga terkejut, ternyata orang yang bertopeng merah itu bisa menangkis tendangan secepat itu dengan menggunakan kelebatan kakinya. Kaki itu beradu dalam sekejap, kemudian pedang Topeng Merah menebas dari atas ke bawah, memenggal pundak Lili. Tetapi dengan cepat Lili menghindar ke samping. Dan serta-merta orang bertopeng merah itu terjungkal jatuh ke samping, tiga tindak jaraknya dari tempatnya berdiri. Karena pada saat itu, kaki Yoga segera menendang dan tepat mengenai lengan orang tersebut.
Buuhg...!
"Siapa kau sebenarnya"!" sentak Yoga kepada orang bertopeng merah.
Orang itu tidak menjawab, hanya berdiri dengan pedang siap di tangan kanan, tangan kirinya ada di samping dalam keadaan menggenggam. Orang itu mundur dua tindak ketika Yoga maju satu tindak.
Yoga berkata dengan suara keras, "Kalau kau mau membunuh guruku, kau harus melangkahi dulu bangkaiku! Paham!"
Orang bertopeng merah itu segera mundur lagi dua tindak. Dan tiba-tiba ia membalikkan badan, menoleh sebentar, lalu cepat sentakkan kaki. Wuuuttt...! la melesat pergi dengan cepatnya. Pendekar Rajawali Putih segera mengejar dengan gerakan cepatnya pula.
"Guru! Biarkan dia pergi!" sentak Yoga dengan keras. Akibatnya, Lili hanya mengejar sampai di kerimbunan semak, kemudian kembali lagi dengan wajah cemberut menahan marah.
"Apakah kau tidak mengenai orang bertopeng merah tadi!"
"Sama sekali tidak, Guru!"
"Mungkin musuh lamamu?"
"Bukan. Justru kupikir itu tadinya musuhmu, karena dia tahu-tahu menyerangmu!"
"Aku tidak punya musuh sepengecut itu! Tak berani tampakkan wajahnya di depanku, itu suatu sikap pengecut yang paling ku benci!"
"Sudahlah, kita tak perlu lagi memikirkan dia! Toh dia sudah pergi! Sebaiknya, kubawa saja gadis gila Itu kepada bibinya!"
"Kau mau bawa dia. Mau urus gadis macam begitu!" Lili berkerut dahi dengan rasa tak suka. "Rajin amat kau! Mau-maunya mengurus gadis liar macam dia!"
"Karena aku kenal baik dengan bibinya, Guru! Bibinya itu yang memberi tahu aku tentang Gunung Menara Salju! Bibi gadis ini yang sarankan aku mencari burung Rajawali Putih ke daerah Gunung Menara Salju, sampai akhirnya aku bertemu denganmu! Kalau aku tidak mendapat saran dan petunjuk dari bibinya, aku tidak tahu harus mencarimu ke mana, dan mungkin kita tidak akan jumpa sampai saat ini!"
Lili makin cemberut dan menghempaskan napas kekesalan hatinya. la agaknya benar-benar tak suka kalau Yoga membawa pergi gadis itu. la punya kecemasan sendiri yang menimbulkan rasa tak suka di hatinya.
"Kita harus menolong dia, membebaskan racun gilanya itu!"
"Kita..."!" Lili kian bersungut-sungut. "Aku tak punya kepentingan apa-apa dengan gadis itu! Tak sudi aku melakukannya!"
"Guru Lili, cobalah berbaik hati sedikit terhadap sesama mu!"
"Untuk gadis itu, aku tidak mau berbaik hati!"
"Mengapa?"
"Pasti dia gadis yang mencintaimu!"
"Aku tak tahu! Tapi aku tak pernah menyuruhnya jatuh cinta padaku! Sumpah, aku tak pernah menyuruhnya begitu!"
"Tapi kau pernah mengharapkannya, Yoga!"
"Tidak pernah juga!"
"Kepada siapa pun kau tidak pernah mengharapkan dicintai oleh seorang gadis?"
"Tidak pernah!" jawab Yoga semakin tegas.
"Juga kepadaku kau tidak berhadap begitu?"
"Berharap... berharap bagaimana maksudnya?" Yoga mulai kikuk demikian pula Lili.
Segera tubuh Lili bergerak pelan membalik dan kini mereka saling bertatapan pandang. Dua helaan napas mereka saling memandang dalam kelembutan. Kemudian terdengar Lili berkata, "Tidakkah kau berharap agar aku... agar aku... lebih memperhatikan kamu lagi, Yo?"
"Sangat berharap," jawab Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu. Kemudian, sebaris senyum menawan mekar di bibir Yoga.
Berdebarlah hati Lili, dan tak berani ia memandang Yoga lagi, karena takut tak bisa kuasai kegirangan hatinya saat itu. "Aku akan memperhatikan kamu lebih besar lagi dari sekarang," ucap Lili sambil menunduk, Tapi ku mohon, jangan kau bersama gadis itu lagi! Tinggalkan dia di sini, Yo!"
"Tidak bisa, Guru!"
"Yo...." Lili merengek, hilanglah kesan seorang gurunya.
"Aku berhutang jasa kebaikan kepada bibinya!"
Lili mendengus kesal sambil cemberut, kemudian melangkah menjauhi Yoga, la mendekati pohon dan bersandarkan pundak di pohon itu sambil memainkan rambutnya yang ada di depan dadanya.
"Aku harus membawa dia pulang ke bibinya, selagi dia masih dalam keadaan tertotok begitu! Bibinya seorang tabib yang pandai mengobati berbagai macam penyakit, sehingga ia disebut sebagai Tabib Perawan! Bibinya pasti tahu bagaimana menghilangkan pengaruh Racun Edan itu!"
"Aku tak ingin ikut denganmu!" ketus Lili dengan wajah cemberut manis dan menggemaskan. "Kalau kau mau pergi, pergilah sana!"
"Kita hanya sebentar mengantar pulang gadis itu, Guru. Setelah itu kita pergi bersama-sama mencari musuh guru kita yang harus segera kita lenyapkan itu, Guru!"
"Pergilah sana! Aku tak mau ikut!" bentak Li-li dengan mata mendelik ke arah Yoga.
Napas Yoga terhempas lepas. Jengkel dalam hatinya, namun ia tahan kuat-kuat kejengkelan itu. Akhirnya Yoga mendekati Mahligai, lalu menambahkan satu totokan di belakang telinga gadis itu sehingga kepala gadis itu tak bisa bergerak, mulutnya tidak lagi terbuka. Mahligai diangkatnya, ditaruh pada pundak kirinya.
"Aku pergi dulu, Guru...!" pamitnya kepada Lili.
Tapi oleh Lili dibiarkan saja. Lili tetap cemberut jengkel. Yoga bergerak meninggalkan tempat itu, Lili cepat berpaling dan berseru, "Yooo...!"
Langkah Pendekar Rajawali Merah terhenti sejenak. Tapi ia tidak berpaling ke belakang. Ia dengarkan suara di belakangnya. Ternyata tak ada suara melangkah mendekatinya, itu berarti Lili tetap tak mau ikut dengannya. Maka, Yoga pun teruskan langkahnya berkelebat cepat menuju ke pondok tempat tinggal Tabib Perawan yang bernama Sendang Suci itu.
Hati Lili menjadi bertambah gemas dan dongkol kepada Pendekar Rajawali Merah. la masih diam di tempat itu, memandangi mayat yang bergelimpangan di tempat pertarungan tadi. Tetapi dalam hatinya, Pendekar Rajawali Putih itu berucap kata sendirian.
"Kalau tak ada hubungan intim, tak mungkin ia memberati gadis itu! Menyesal sekali mengapa tadi gadis itu tidak segera kubunuh saja, supaya Yo tidak beralih kepada gadis itu! Haruskah aku mengejar hatinya agar bersatu dengan hatiku. Tapi... tapi sekarang aku adalah gurunya! Haruskah seorang guru mencintai muridnya. Pantaskah begitu?"
Lili melangkah pelan-pelan sambil memikirkan berbagai pertanyaan batinnya itu. la melangkah ketika matahari kian surut dari permukaan bumi. Tapi rasa cinta yang tumbuh di hatinya, tak akan pernah ikut surut seperti matahari. Hanya saja, ia masih sangsi, apakah rasa cinta itu layak untuk tetap menyala dan berkobar-kobar jika orang yang ingin dicintainya itu adalah muridnya. Apakah benar sesuatu yang menyala-nyala di dalam hatinya itu adalah rasa cinta. Atau hanya sekadar rasa kagum saja terhadap sebentuk ketampanan wajah lelaki"
EMPAT
SENDANG SUCI menatap kehadiran Yoga dengan mata lembut penuh kharisma. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu masih kelihatan seperti berusia tiga puluh tahun kurang. Ten-tu saja ia kelihatan cantik, muda tanpa kerutan kulit ketuaan, karena la seorang tabib yang punya ramuan awet muda. Baju longgar putih dengan rompi ketat yang rapat berwarna ungu sebatas betis, menambah anggun penampilan sang bibi sekaligus guru dari Mahligai itu.
"Di mana kau temukan dia, Yoga?"
"Di hutan seberang ngarai, Bibi!"
Tabib Perawan yang memang masih suci dan belum pernah dijamah lelaki itu memandangi Mahligai yang dibaringkan di atas pembaringan, tempat biasanya ia mengobati para tamunya. la tampak sedih melihat keponakannya menderita Racun Edan, dan menjadi gila seperti yang telah diceritakan Yoga tadi.
Dengan hati tak tega, ia terpaksa meminta bantuan Yoga untuk membelenggu kedua tangan dan kaki Mahligai. Gadis malang itu dipindahkan ke sudut ruangan dalam keadaan tangan dan kakinya terbelenggu sudah. Kemudian Tabib Perawan membebaskan dua totokan pada tubuh Mahligai yang membuat anggota tubuh Mahligai bisa bergerak normal, tapi bagian kepalanya belum bisa bergerak.
"Satu lagi totokan ada padanya, tapi aku tak tahu bagaimana cara membebaskan totokan itu!" kata Tabib Perawan.
"Saya yang menotoknya, Bi!" kata Yoga dengan perasaan dan nada suara penuh sesal, kemudian Yoga pun membebaskan totokannya.
"Aaaggrrr...! Aaaagggrr...!" Mahligai berteriak-teriak dan meronta-ronta. Rantai yang digunakan untuk membelenggu kaki dan kedua tangannya disentak-sentakkan. Wajahnya menyeringai liar beberapa kali. Matanya melotot lebar-lebar.
"Makan...! Makan...! Aku ingin makan kalian! Lekas, makaan...! seru Mahligai yang memberontak. Rantainya gemerincing ditarik-tarik dengan kuat.
Teeb...! Tiba-tiba tangan Tabib Perawan itu bergerak cepat menggunakan kedua jarinya, menotok bagian sekitar bawah ketiak. Seketika itu tubuh Mahligai terkulai lemas dengan napas terengah-engah. Suaranya pun menjadi pelan ketika mengerang maupun merintih. Totokan itu rupanya telah kendor seluruh uratnya, termasuk urat leher yang biasa digunakan untuk berteriak itu.
"Mungkin dia perlu dipasung!" gumam Sendang Suci seperti bicara pada diri sendiri. "Kasihan kalau dia sampai dipasung," ujar Yoga. "Apakah Bibi tidak bisa sembuhkan dia dalam waktu singkat?"
Sendang Suci gelengkan kepala. "Aku butuh beberapa waktu untuk melenyapkan Racun Edan itu! Ada beberapa bahan yang belum kumiliki dalam persediaan obatku! Satu bahan amat sulit diperolehnya."
"Bahan apa itu, Bibi. Kalau sekiranya saya bisa membantu, saya akan bantu mencarinya!"
"Bunga teratai Hitam!"
Yoga berkerut dahi dan bertanya, "Apakah ada bunga teratai warnanya hitam, Bi?"
"Ada. Bunga itu dapat menawarkan berbagai macam jenis racun tapi juga bisa berubah menjadi racun ganas apabila salah penempatannya! Jika tubuh seseorang terkena racun tertentu, dan diberi minum air rebusan bunga Teratai Hitam, bisa-bisa racun tersebut semakin ganas dan mematikan orang tersebut. Tetapi jenis Racun Edan, jika terkena racun Teratai Hitam, akan menjadi tawar dan menyembuhkan si penderita."
Yoga mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu, di mana dapat diperoleh bunga Teratai Hitam itu, Bi!"
"Di Telaga Bangkai!"
"Telaga Bangkai"! Di mana letak Telaga Bangkai itu, Bi?"
"Di dalam Gua Mulut Iblis! Gua itu ada di lereng Gunung Tambak Petir. Gua itu biasanya di-gunakan untuk bertapa seseorang. Entah sekarang masih digunakan atau sudah tidak lagi!"
Pendekar Rajawali Merah termenung sebentar membayangkan tempat tersebut yang belum pernah diketahuinya. Melihat keadaan Mahligai yang saat itu terkulai lemas dan meraung-raung kecil itu, hati Yoga tidak tega sama sekali. la terbayang saat pertemuannya dengan Mahligai, terutama ketika hadir di pemakaman mendiang Guru Yoga, yaitu si Dewa Geledek.
Yoga juga terbayang saat menggendong-gendong Mahligai yang ternyata hanya suatu permainan Mahligai saja. Yoga ingat ketika Mahligai terdesak dan nyaris mati ditangan si Mata Neraka itu. Semua bayangan masa lalu yang belum lama telah membuat hati Pendekar Rajawali Merah menjadi terharu. (Baca serial Jodoh Rajawali episode; "Wasiat Dewa Geledek").
"Aku yang akan berangkat ke sana, Bi!" kata Yoga tiba-tiba setelah merasa semakin tak tega melihat keadaan Mahligai.
"Kau ingin mencari bunga Teratai Hitam!"
"Benar, Bi!" jawab Yoga dengan tegas. "Tapi berilah arah jalannya yang jelas, supaya aku tidak tersesat di tempat lain!"
"Memang kau harus hati-hati jika ingin kesana, karena jika salah arah kau bisa tersesat di Gua Bidadari"
Kaget juga Yoga mendengar nama gua aneh itu. "Gua Bidadari itu gua untuk bertapa juga, Bi?"
"Bukan! Gua Bidadari adalah tempat tinggal Ketua Partai Gadis Pujaan, yang dipimpin oleh Bidadari Manja. Gua itu cukup lebar dan digunakan untuk berkumpul, hidup bersama-sama oleh kelompok anggota partai Gadis Pujaan. Mereka rata-rata berilmu tinggi. Mereka para perempuan liar yang haus kemesraan lelaki dan tak pernah ada puasnya. Jika lelaki yang tertangkap oleh mereka sudah tidak mampu lagi memberikan kepuasan, maka lelaki itu akan dibunuh, dibuang ke jurang. Sebab itu, hati-hatilah jika menuju ke arah Gunung Tambak Petir."
Yoga mengangguk-anggukkan kepala, lalu menyimak keterangan Sendang Suci yang memberikan petunjuk tentang arah yang harus ditempuh Yoga dalam menuju ke Gua Mulut Iblis itu. Selesai memberikan penjelasan tersebut, Sendang Suci yang sering mencuri pandang pada Yoga itu segera bertanya,
"Boleh aku tahu apa alasanmu sehingga kamu mau mencarikan bunga Teratai Hitam untuk Mahligai?"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum sepintas dan segera menjawab, "Mahligai sahabatku. Sejak aku turun dari gunung, tempatku ditempa oleh Empu Dirgantara atau di Dewa Geledek itu, Mahligailah orang pertama yang kukenal dan menjadi sahabatku, Bi! Karenanya aku merasa kasihan kepada Mahligai jika Mahligai gila seperti itu!"
Tabib Perawan menghembuskan napas panjang-panjang. Seolah-olah ia merasakan ada kelegaan di hatinya begitu mendengar penjelasan dari Pendekar Rajawali Merah. Ia segera berkata dengan mata menerawang ke arah wajah keponakannya yang malang itu.
"Racun Edan memang salah satu jenis racun yang sulit dilawan! Dari sekian banyak orang Perguruan Belalang Liar, hanya Merak Betina yang mempunyai pukulan beracun seperti itu, karena dia anak seorang tabib sakti yang sekarang sudah tiada. Tapi jelas perbuatan ini sama saja ia menjamah kepalaku. Padahal aku amat kenal dengan ketua Perguruan Belalang Liar, yaitu si Kembang Mayat. Bahkan sebelum Kembang Mayat menjadi ketua perguruan, ketika neneknya yang bernama Nyai Sangkal Pati itu masih menjabat sebagai ketua dan guru di antara mereka, aku punya hubungan baik dengan Nyai Sangkal Pati. Dan agaknya, perguruan itu sekarang benar-benar menjadi liar setelah kedudukan ketua dipegang oleh Kembang Mayat yang masih muda itu!"
Sekali lagi Tabib Perawan menarik napas, sepertinya menahan sesuatu yang ingin meledak di dadanya. Kemudian ia mengantar Yoga yang ingin meninggalkan tempatnya. Tetapi ketika mereka sampai luar, ternyata langkah Yoga di ujung senja itu telah berpapasan dengan langkah kaki orang berpakaian serba hitam yang kepalanya selalu mendongak ke atas, bagaikan memandang langit.
Orang itu tak lain adalah Jalak Hutan, yang pernah terkena tendangan jurus 'Rajawali Paruh Pendek' dari Yoga. Tendangan itulah yang membuat urat leher dan tulangnya terkunci, sehingga Jalak Hutan tak bisa gerakkan kepalanya untuk menunduk atau miring ke kanan-kiri.
Sendang Suci menarik napas lagi. Kali ini ada kesan sebal di hatinya, sebab ia tahu Jalak Hutan adalah laki-laki yang tak pernah ada jeranya ditolak cintanya ditampik lamarannya. Dari dulu Jalak Hutan selalu berusaha menundukkan hati Sendang Suci. Tapi hati Sendang Suci sekeras batu karang segigih baja.
"Manusia Busuk!" umpat Jalak Hutan kepada Yoga begitu ia tahu Yoga keluar dari rumah Sendang Suci.
Tentu saja umpatan itu membuat Sendang Suci heran dan menjadi bertanya kepada Yoga, "Apakah kau mengenalnya?"
"Dia yang ingin merebut pedangku ketika aku menggendong Mahligai dan melarikan diri dari kejaran Mata Neraka! Dia yang memfitnah tempo hari."
"Ooo...!" gumam Sendang Suci pelan dan manggut-manggut, ia baru ingat tentang fitnah yang dilontarkan oleh Jalak Hutan beberapa waktu yang lalu.
"Lihat, Manusia busuk! Gara-gara ulahmu kepalaku jadi begini terus! Hujan kehujanan, panas kepanasan! Dasar kunyuk!" geram Jalak Hutan kepada si Pendekar Rajawali Merah. Ia kebingungan mencari posisi untuk memandang Yoga. Hatinya diliputi oleh kemarahan yang tak terbendung lagi rasanya.
"Itu karena ulahmu sendiri, Jalak Hutan! Kau ingin merebut pedang pusakaku, sehingga akibatnya menderita seperti itu! Karenanya ku ingatkan padamu, jangan jadi orang serakah dan bernafsu untuk merebut barang yang bukan miliknya!"
"Tutup bacotmu! Hiaaah...!"
Wuuutt...!
Jalak Hutan masih sempat lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa pancaran sinar kuning yang melesat bagaikan sebutir telur burung itu. Pancaran sinar kuning dihindari oleh Yoga dengan melompat dan bersalto satu kali diudara. Sasaran berikutnya menjadi Sendang Suci yang akan terkena sinar kuning itu. Tetapi dengan cepat Sendang Suci lepaskan pukulan penangkis berupa sinar hijau. Sinar itu menghantam sinar kuning dan menimbulkan ledakan yang lumayan besarnya.
Duaaar...!
Jalak Hutan terpental akibat hentakan daya ledak itu. Sebenarnya tak perlu membuatnya jatuh, namun karena keadaan kepalanya mendongak, akhirnya ia jatuh juga kehilangan keseimbangan. "Kau jangan ikut membela pemuda kunyuk itu, Sendang Suci!" geram Jalak Hutan masih tetap tengadahkan kepala.
"Aku hanya menghindari pukulanmu, Jalak Hutan! Kalau kau mau bertarung dengan Pendekar Rajawali Merah itu, bertarunglah di tempat yang lega sana! Jangan membuatku sebagai tempat salah sasaran! Dan kujamin kau akan mati sekarat jika bertarung melawannya!"
"Setan!" gerutu Jalak Hutan sambil mengen-cangkan genggaman tangannya. "Aku kesini sebenarnya untuk meminta bantuanmu mencoba menyembuhkan kepalaku ini! Tapi kau justru membuatku marah, Sendang Suci Kau dan dia sama-sama keluar dari rumah! Apa yang kalian berdua lakukan di dalam sana, hah! Apakah pemuda itu sudah berhasil membuatmu tidak suci lagi!"
"Jaga mulutmu, Jalak Hutan!" bentak Sendang Suci, wajahnya menjadi merah karena kata-kata Jalak Hutan. "Pikiran kotormu itulah yang membuat kau sekarang menderita begitu! Dan lagi, sudah kucoba beberapa kali aku sudah tidak bisa menyembuhkan kepalamu itu, dan kukatakan aku tak mampu lagi melakukan! Tapi mengapa kau masih nekad datang dengan alasan yang itu-itu saja! Aku lama-lama muak padamu, Jalak Hutan!"
"Tentu saja, sebab sekarang kau rupanya sudah mempunyai mainan baru! Pemuda kunyuk itulah sekarang yang membuatmu betah mengeram di dalam rumah dan...,"
Wuuutt...! buuhg...!
Gusraaak...! Kata-kata itu terpotong karena Sendang Suci segera lepaskan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Tubuh Jalak Hutan terpental dan jatuh membentur pagar. la mengerang di sana dengan wajah menyeringai sambil tetap tengadah.
"Pergi kau dari sini!" bentak Sendang Suci yang merasa malu dan rendah mendengar tuduhan Jalak Hutan. "Sekali lagi kau bicara seperti itu, tak akan kubiarkan kau hidup lebih dari sehari!"
"Sendang Suci..., tega sekali kau merusak persahabatan kita yang sudah sekian lama kita bina!"
"Kau yang merusaknya!" bentak Sendang Suci.
Sementara itu, Yoga hanya diam saja dan merasa pertengkaran itu menjadi pertengkaran antara pribadi. la tak berani turut campur. Tapi ia menjaga Sendang Suci jika sewaktu-waktu diserang oleh Jalak Hutan dalam keadaan lengah.
"Tinggalkan tempatku ini, Jalak Hutan! Jangan paksa aku kehilangan kesabaran!"
"Baik! Baik! Aku akan pergi, tapi ingat... kelak kalau kepalaku sudah tidak begini, kubalas kekalahanku hari ini, Sendang Suci!"
"Aku siap menerimanya!" jawab Sendang Suci dengan ketus.
"Terutama kepada dia!" Jalak Hutan menuding Yoga. "Aku tak akan mati lebih dulu sebelum bisa membunuhnya!"
"Lakukanlah kalau kau mampu!" Ini pun kata-kata Sendang Suci yang merasa yakin bahwa Jalak Hutan mempunyai ilmu tidak ada sekuku hitamnya dibanding ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Merah.
Setelah berkata demikian, Jalak Hutan meninggalkan halaman rumah Tabib Perawan itu. Ia berlari cepat dan membentur pohon dua kali karena posisi kepalanya yang tengadah masih berlagak mampu berlari cepat di depan Yoga dan Sendang Suci. Akibatnya justru ia mendapat malu karena menabrak pohon dua kali.
"Agaknya dia cemburu padaku, Bibi!"
"Lupakan tentang dia," kata Sendang Suci masih tampak cemberut kesal kepada Jalak Hutan. "Dia memang sering bersikap memuakkan di depanku! Tapi baru kali ini aku melepaskan kejengkelanku kepadanya. Kupikir sikapnya sudah keterlaluan, sehingga aku pun terpaksa sekasar tadi!"
"Agaknya Bibi dan dia ada hubungan pribadi yang dalam!"
"Dia yang punya perasaan begitu! Dia yang dari dulu ingin melamarku, tapi aku tak pernah bisa ditundukkan olehnya. Hatiku sudah telanjur patah dan beku untuk selamanya?"
"Untuk selamanya" Sampai sekarang ini, Bi?"
Perempuan itu menatap Yoga dengan gelisah dan berdebar-debar. Kemudian segera menundukkan kepala sambil berkata, "Entahlah kalau untuk saat sekarang ini! Aku masih bimbang!"
Yoga perdengarkan tawanya yang pendek dan pelan, seperti orang menggumam. Sendang Suci menjadi malu. la salah tingkah sendiri dan akhirnya cepat melangkah pergi untuk masuk kedalam rumah. Namun pada saat itu terdengar suara lain memanggilnya,
"Bibi Sendang Suci...!"
Sendang Suci cepat berpaling memandang orang yang baru datang itu. Ternyata seorang pemuda yang lumayan ganteng, tapi mempunyai sorot mata tak seteduh Yoga. Pemuda itu tak lain adalah Tamtama, orang yang mencintai Mahligai dan belum lama cekcok gara-gara Mahligai bersama Pendekar Rajawali Merah. Melihat ada Yoga di situ, Tamtama memandang sebentar dengan sinis, kemudian ia segera menemui Sendang Suci.
"Bibi, bolehkan saya menemui Mahligai!"
"Mahligai...?" Sendang Suci melirik sekejap pada Yoga, setelah matanya beradu pandang, ia kembali berkata kepada Tamtama, "Mahligai tidak ada. Sudah dua hari dia tidak pulang ke rumah!"
"Sudah empat hari, Bi! Bukan dua hari. Karena sudah empat kali saya datang kemari, namun tidak pernah jumpa dia."
"Dua hari yang lalu dia pulang sebentar lalu pergi lagi."
"Apakah kepergiannya bersama Orang Hutan itu, Bi?" sambil Tamtama menuding Yoga, karena sikapnya masih bermusuhan terhadap Yoga. Rasa cemburu Tamtama cukup besar, sehingga tidak bisa melupakan Yoga, sebagai orang yang belakangan ini sering dipuji-puji Mahligai.
"Jangan bicara kasar begitu, Tamtama." ucap Sendang Suci dengan sikap kalem.
"Ah, tak apa, Bi! Orang seperti dia sudah layak mendapat perlakuan kasar! Kalau perlu dilenyapkan dari muka bumi!"
Yoga tersenyum sambil menyahut, "Kenapa tidak kau lakukan" Bukankah aku sudah berada dalam jarak dekat denganmu, Tamtama!"
Tamtama tidak berpaling ke arah Yoga, namun matanya memandang lurus dengan menyipit. Giginya menggeletuk menahan amarah. Dan tiba-tiba tangannya melepaskan senjata rahasia berbentuk bintang dalam satu kelebatan memutar.
Wuuust..! Zlaaap...! Teeb...!
Tangan Yoga berkelebat ke depan seperti gerakan kilat. Tangan itu berhenti tepat di depan lehernya dengan telapak tangan membalik menghadap lehernya sendiri, tapi di punggung telapak tangan terlihat senjata berbentuk bintang itu terjepit di kedua jarinya. Pendekar Rajawali Merah tersenyum ramah. Sendang Suci terbengong tertahan, sedangkan mata Tamtama terkesiap, kemudian la mendengus dengan nada kesal.
"Boleh senjata ini kulempar balik kepadamu?" tanya Yoga.
Diam-diam Tamtama cemas, maka segera ia mengalihkan kata, "Kalau kau merasa hebat dan jago, jangan melawanku, tapi lawanlah orang andalanku!"
"Dari dulu aku sudah mengingatkan, jangan melawanku! Mengapa baru sekarang kau sadar akan hal itu, Tamtama?"
"Akan ku adu kau dengan Tanduk Iblis, sahabatku!"
"Akan kutunggu kedatanganmu dengan tanduk ayam sekalipun!"
Tamtama berpaling sebentar kepada Sendang Suci, "Bibi, saya pamit dulu! Permisi!" Lalu, sambil melangkah pergi Tamtama berkata kepada Yoga, "Tunggu saatnya tiba!"
Yoga hanya tersenyum memperhatikan kepergian Tamtama, Sendang Suci hanya gelenggeleng kepala melihat sikap anak sahabatnya itu.
"Yo, berangkatlah besok saja. Sekarang sudah petang. Bermalamlah di sini!" kata Sendang Suci kepada Yoga.
LIMA
JALAK HUTAN menjadi sangat benci kepada Pendekar Rajawali Merah. Pertama, karena ia gagal merebut pusaka Pedang Lidah Guntur itu yang membuat kepalanya tak bisa menunduk lagi, dan kedua karena ia melihat Yoga semakin akrab dengan Sendang Suci. Padahal selama ini ia tak pernah mendapat perlakuan seakrab itu dari Sendang Suci. Dia naksir berat dengan Tabib Perawan itu, tapi hasratnya sekarang menjadi surut karena kehadiran Pendekar Rajawali Merah disamping Tabib Perawan.
Tak ada jalan lain untuk menyembuhkan kepalaku ini kecuali datang kepada Eyang Wejang Keramat. Aku yakin beliau bisa sembuhkan kepalaku ini!" pikir Jalak Hutan di tengah langkahnya yang sesekali terantuk batu itu. Langkah itu terhenti ketika Jalak Hutan mendengar suara orang turun dari atas pohon di jalan depannya.
Jleeg...!
Ia segera ambil posisi menyamping supaya bisa jelas memandang. Dan ternyata orang yang turun dari atas pohon itu adalah musuh lamanya. Berbaju hijau tak dikancingkan depannya, bercelana hitam dengan sabuk besarnya yang hitam pula, menyandang golok lebar di pinggangnya itu. Orang tersebut mirip raksasa. Tubuhnya tinggi, besar, berwajah lebar tapi lonjong. Tulang rahangnya tampak jelas, hidungnya besar dan tulang pipinya pun bertonjolan.
Orang itu mempunyai alis tebal, rambut meriap tanpa diikat tapi tak sampai lewat pundak. Di dahinya terdapat dua benjolan sebesar jeruk peras, ada di kanankiri kening. Mirip sepasang tanduk. Sedangkan dadanya yang lebar dan kekar itu mempunyai tato gambar wajah iblis. Tak salah lagi, dialah manusia yang dijuluki Tanduk Iblis oleh para tokoh persilatan di sekelilingnya.
"Jalak Hutan, kau masih ingat aku"!" sentaknya dengan suara besar menyeramkan.
"Oh, kau Tanduk Iblis"! Tentu saja aku masih mengingatmu! Kau dulu kubuat lari terbirit-birit ketika masih bau kencur!"
"Tapi sekarang nyawamu yang akan kubuat lari terbirit-birit dari hadapanku, Jalak Hutan!"
"He he he...! Apakah kau sudah cukup hebat, sehingga berani mengancamku demikian, ha!"
"Tanduk iblis yang dulu, bukan lagi Tanduk Iblis yang sekarang! Kau boleh keluarkan ilmumu semua untuk menghadapiku! Tapi aku ragu dengan kemampuanmu sekarang, sebab kepalamu saja sudah miring ke atas!"
Zlaaap...!
Tiba-tiba Tanduk Iblis sentakkan tangannya dan melesatlah sinar merah menghantam tubuh Jalak Hutan. Tak sempat Jalak Hutan menghindar. la hanya sempat membalas dengan pukulan bersinar kuning dan sinar tersebut menghantam sinar merah lalu meledak di pertengahan jarak.
Duaar...!
Suaranya memekakkan telinga. Jalak Hutan jatuh karena dalam keadaan kepala tengadah, ia sulit sekali menjaga keseimbangan tubuh. Dalam jatuhnya ia sempat membatin, "Lumayan juga pukulannya sekarang ini! Rupanya ia habis berguru dan memperdalam ilmu. Aku harus hati-hati melawannya, tak boleh menganggap remeh seperti dulu!"
Jalak Hutan dan Tanduk Iblis memang pernah bertarung dua tahun yang lalu. Pertarungan itu adalah untuk memperebutkan kitab pusaka yang akhirnya jatuh ke jurang yang amat dalam dan tak tahu siapa yang berhasil memilikinya. Yang Jelas waktu itu Tanduk Iblis dikalahkan oleh Jalak Hutan dan melarikan diri dalam keadaan terluka dalamnya.
Kini Jalak Hutan merasa mendapat lawan yang lebih tangguh dari dua tahun yang lalu. Masalahnya sudah bukan karena rebutan kitab lagi, tapi karena dendam dan kekalahan yang akan ditebus oleh si Tanduk iblis. Dulu Tanduk Iblis hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya yang besar dengan permainan jurus silat yang tergotong lumayan.
Tapi sekarang ia sudah mempunyai tenaga dalam dan mampu menyerang dengan cepat dalam jarak lima tombak. Ini jelas suatu kemajuan nyata bagi Tanduk Iblis di depan Jalak Hutan. Karena itu, Jalak Hutan selalu menjaga jarak dan berdirinya menyamping supaya lebih jelas memandang setiap gerakan lawan.
"Sudah lama aku ingin melepaskan pembalasan ini Jalak Hutan! Sangat kebetulan kita bertemu di sini, sehingga bisa kuselesaikan sekarang juga hutang kekalahanku kepadamu! Heaaah...!"
Kedua telapak tangan Tanduk Iblis disentakkan ke depan dan dua sinar melesat bersamaan, keduanya berwarna merah berpendar-pendar. Dalam keadaan kepala tengadah, Jalak Hutan memang kesulitan menangkis serangan lawan. Akibatnya ia hanya bisa bersalto ke belakang, itu pun tergelincir jatuh. Brukk...! Tapi kedua sinar merah itu melesat lewat di depannya, menghantam sebatang pohon besar.
Duaar!
Pohon itu pecah menjadi serpihan-serpihan kecil dan menyebar ke mana-mana. Sebagian ada yang jatuh menimbun tubuh Jalak Hutan. Melihat keadaan seperti itu, membandingkan dengan keadaan kepalanya yang begitu, Jalak Hutan merasa tak punya harapan untuk bisa mengalahkan Tanduk Iblis. Apalagi gerakan Tanduk Iblis tampak liar dan buas, Jalak Hutan kalah gesit dan tak bisa tangkas lagi.
"Putus kepalamu, Jalak Hutan! Hiaaah...!" Tanduk Iblis berteriak setelah mencabut golok lebarnya yang bergerigi pada bagian belakang sisi tajamnya. Ia melompat dengan bersalto satu kali dan dalam waktu singkat sudah tiba di samping Jalak Hutan dengan sentakan kaki ke tanah terdengar berat karena besarnya tubuh.
Bluhg...!
Lalu, golok besar itu tidak mau menunggu lama di atas, segera berkelebat menebas dari atas kanan ke kiri.
Wuuut...! Traang...!
Sebongkah batu melayang dan menghantam golok besar itu. Golok tersebut hampir saja terlepas dari tangan akibat mental ke samping kanan. Untung tubuh Tanduk Iblis mengikuti sentakan laju goloknya, sehingga senjata itu tetap bisa terpegang oleh tangan kanannya.
"Bangsat! Siapa yang ikut campur dengan urusanku ini! Keluar!" teriak Tanduk Iblis dengan kerasnya.
Matanya pun memandang ke arah datangnya batu itu dengan buas. Jalak Hutan dijauhinya sesaat, dan Jalak Hutan sendiri yang selamat dari saat-saat kematiannya itu segera berusaha menjauhi orang besar seperti raksasa itu. Dari kerimbunan pohon dan semak, melesat sesosok tubuh dengan lompatan ringannya.
Jleeg...! Seorang gadis cantik dengan rambut panjang yang diikat menjadi satu dengan tali merah berdiri di hadapan Tanduk Iblis dalam jarak sekitar empat tombak. Gadis itu berbaju merah dengan rompi rapat biru muda, ikat pinggang dari kain putih dan berguna untuk menyelipkan sebilah pedang. Wajah bulat telurnya yang cantik itu mempunyai hidung mancung dan mata membelalak Indah berbulu lentik.
"Mutiara Naga..."!" ucap Jalak Hutan, sudah mengenali gadis itu, karena gadis itu adalah anak dari kakaknya Jalak Hutan. Ibunya Mutiara Naga itulah kakak Jalak Hutan.
"Paman, menjauhlah...! Biar raksasa itu kuhadapi" kata Mutiara Naga dengan beraninya.
"Gggrrrmmn...!" Tanduk Iblis hanya menggeram penuh kejengkelan. la mundur satu tindak ketika Mutiara Naga mendekatinya. Mata Tanduk Iblis memandang penuh kebencian namun tak terlihat permusuhannya.
"Hadapi aku sekarang!"
"Siapa kau!" geram Tanduk Iblis yang berwajah menyeramkan itu.
"Aku Mutiara Naga! Jalak Hutan adalah paman ku! Kalau kau mau membunuh paman ku, kau harus hadapi dulu aku!" Mutiara Naga menepuk dadanya sendiri.
"Mutiara Naga, dia berbahaya! Lari saja!" bisik Jalak Hutan. Tapi agaknya bisikan itu tidak dihiraukan oleh gadis pemberani itu.
"Gadis goblok! Aku tidak ada urusan denganmu. Kuharap pergilah dari hadapanku!"
"Kalau kau memang berilmu tinggi, hadapi dulu aku! Usirlah dengan perlawananmu!" tantang Mutiara Naga.
"Aku tidak pernah bertarung dengan perempuan! Aku paling pantang melawan dan menyerang perempuan!"
"Omong kosong!"
"Terserah apa anggapan mu." Jika kau berkeras melindungi pamanmu, sebaiknya aku yang pergi! Tapi ingatkan pada dia agar jangan jalan sendirian tanpa dirimu! Dia bisa kubunuh tanpa kamu!" Setelah berkata begitu Tanduk Iblis segera sentakkan kaki besarnya itu dan melesat naik kepohon, lalu melompat dari dahan ke dahan dengan cepatnya.
Mutiara Naga berkerut dahi dan heran melihat orang besar itu ketakutan. la tidak tahu, bahwa Tanduk Iblis memang tidak berani dan tidak mau menyerang perempuan. Dia sangat pantang melakukan hal itu, karena Tanduk Iblis adalah seorang anak yang sangat mencintai ibunya, sehingga punya rasa segan dan kasihan kepada setiap perempuan mana pun juga.
Jalak Hutan berkata kepada Mutiara Naga sambil dongakkan kepala, "Untung kau datang! Rupanya orang itu memang tak mau melawan wanita, Mutiara Naga!"
"Siapa dia. Apa benar dia keturunan raksasa?"
'"Bukan! Dia keturunan manusia biasa! Paman dulu pernah melawannya dan membuatnya lari terbirit-birit, dan rupanya dia sekarang ingin membalas dendam. Aku merasa akan kalah jika melawannya karena keadaanku seperti ini!"
Mutiara Naga ikut memandang ke atas pohon, karena ia menyangka pamannya sedang mencari sesuatu di atas pohon. Tetapi pamannya segera berkata kepadanya,
"Tak perlu ikut memandang ke atas, Paman tidak sedang mencari sesuatu!"
"Lalu mengapa Paman mendongak ke atas?"
"Ini perbuatan orang yang biadab! Dia membuat tulang dan urat di leherku terkunci dan tak mau membebaskan! Sudah berhari-hari aku dibuatnya begini terus. Tidur pun jadi susah telentang!"
"Ya, ampuuun..."! Siapa orangnya, Paman! Biar kubalaskan perlakuannya yang konyol terhadap Paman itu!"
"Tak usah! Dia ilmunya lebih tinggi dan si Tanduk Iblis tadi! Kau tak akan mampu melawannya, Mutiara Naga!"
"Paman merendahkan aku!"
"Ah, sudahlah! Jangan beranggapan begitu," Jalak Hutan menepuk-nepuk pundak keponakannya sendiri itu. "Bagaimana kabar ibumu, Mutiara Naga. Masih sakitkah dia?"
"Sudah sembuh, Paman! Tapi masih harus banyak istirahat. Paman ditunggu-tunggu kedatangannya. Ada yang ingin ibu katakan kepada Paman mengenai warisan kakek."
"Bilang sama ibumu, Mutiara Naga, bahwa aku tidak akan ikut campur mengenai warisan itu! Terserah keputusan ibumu saja, aku ikut keputusan itu. Tidak akan menentangnya!"
"Lalu, sekarang Paman mau ke mana?"
"Paman mau pergi ke Bukit Gobang. Paman mau menemui Eyang Wejang Keramat untuk minta dipulihkan keadaan kepala paman ini!"
"Paman, kalau di perjalanan nanti Paman bertemu dengan orang tampan berpakaian putih panjang dan berselempang coklat, celananya merah dan rambutnya panjang, bawalah dia padaku, Paman!"
"Untuk apa?"
Dengan sedikit merengek, Mutiara Naga menjawab, "Aku merindukan dia, Paman! Aku ingin jumpa dengannya!"
"He he he he...! Kamu sedang kasmaran rupanya, ha!"
"Ah, Paman..,!" Kemanjaan Mutiara Naga semakin menjadi. "Atau, Paman cari dululah orang itu. Katakan padanya, Mutiara Naga menunggu kedatangannya. Dia sangat rindu padanya!"
"Kalau dia tak mau datang?"
"Rayulah dia, Paman!"
"Bah! Macam apa aku kau suruh rayu lelaki. Kau pikir aku ini manusia yang suka terhadap sejenis. Tak maulah aku...!"
"Ah, Paman...!" kaki Mutiara Naga menghentak-hentak. "Paman pasti bisa membujuknya!"
"lalah," jawab Jalak Hutan dengan setengah dongkol. Sebagai paman yang sayang kepada keponakannya, layak sudah dia menuruti rengekan sang bocah. Apalagi dari sekian banyak keponakannya, hanya Mutiara Naga yang dekat dengannya. Jalak Hutan sangat sayang kepada keponakan yang satu itu.
"Bagaimana kau bilang tadi ciri-cirinya?" tanya Jalak Hutan.
"Pakaiannya baju putih lengan panjang, berselempang coklat. Celananya merah. Rambutnya panjang dan berikat kepala. Dia menyandang pedang di punggungnya bergagang merah dengan hiasan dua kepala burung rajawali bertolak belakang berwarna merah tembaga. Dia bernama Yoga dan bergelar Pendekar Rajawali Merah!"
"Mati aku, Mutia!' kata Jalak Hutan tiba-tiba sambil menepuk kepala sendiri, tapi karena kepalanya mendongak, yang kena pipinya. Plook.... Ia pun mulai menjauhi Mutiara Naga yang sering dipanggil dengan nama kecilnya: Mutia.
Gadis itu heran melihat pamannya menjauh dan tidak bersemangat lagi. Bahkan samar-samar dilihatnya wajah pamannya tidak ceria. Mutiara Naga segera dekati orang tua itu dan bertanya, "Kenapa Paman kelihatannya kecewa?"
"Carilah lelaki lain!"
"Tidak bisa! Hatiku telah terpikat olehnya, Paman!"
"Yang lebih ganteng dari dia banyak, Mutia!"
"iya. Tapi aku suka sama dia, Paman! Dia baik, ramah, berilmu tinggi dan...."
"Dan aku tak sanggup membujuk dia!"
"Kenapa...!" Mutiara Naga merengek.
"Aku tak suka padanya!"
"Iya, tapi kenapa tak suka?"
"Kalau kau mau tahu, Mutia... dialah yang membuat kepala paman menjadi seperti ini!"
"Dia..." Pendekar Rajawali Merah itu!"
"Iya! Dan sampai sekarang paman masih benci padanya!"
"Kenapa Paman sampai dibuatnya begin!!"
"Pertarungan antara ksatria melawan pendekar!" jawab Jalak Hutan bermaksud menyembunyikan masalah sebenarnya.
"Pertarungan sebab apa, Paman?" Mutiara Naga mendesak.
Jalak Hutan mulanya tak mau menjawab, tapi setelah dipikir-pikirnya, ia tak tega jika harus menipu keponakannya yang tersayang itu. "Masalahnya sepele...," jawabnya pada awal bicara. "Paman tahu dia murid tokoh sakti yang bernama Empu Dirgantara dan berjuluk Dewa Geledek. Paman tahu, Dewa Geledek punya pedang pusaka dan ampuh bernama Pedang Lidah Guntur. Pedang itu sekarang diwariskan kepada Pendekar Rajawali Merah. Paman mau rebut pedang pusaka itu darinya, tapi dia melawan dan membuat kepala Paman jadi begini!"
"Itu memang salah Paman!" ketus Mutiara Naga. "Sudah tahu pusaka itu bukan hak milik Paman, kenapa mau merebutnya!"
"Iya, tapi setidaknya dia sama orang tua harus sopan. Tidak membuatku menderita begini!"
"Paman sendiri tak tahu aturan!"
"Eh, kenapa kau jadi kecam pamanmu ini!"
"Habis tindakan Paman seperti itu! Tak mau aku punya Paman bersikap begitu!"
"Eh, eh... Mutia, dengar dulu kataku!" Jalak Hutan takut keponakannya menjadi benci kepadanya. Ia memburu Mutiara Naga yang menjauhinya. Pundak Mutiara Naga dibalikkannya supaya menatap ke arahnya. "Dengar, Mutia... di dunia persilatan, rebut-merebut pusaka itu sudah umum. Wajar terjadi, Mutia!"
"Tapi aku tak suka punya Paman yang kerjanya merebut barang milik orang lain! Aku malu, Paman! Malu sekali!"
"Eh, Mutia... dengarlah dulu, jangan marah begitu!"
"Tidak! Aku tidak suka cara Paman begitu!" Lalu keduanya sama-sama bungkam. Sepi terjadi sesaat. Ada kabut merayap di tanah. Kabut putih bergerak dan membungkus kaki Mutiara Naga. Gadis itu membiarkannya, karena hanya kabut biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara Jalak Hutan berkata, "Baiklah kalau kau malu. Aku akan temui dia dan meminta maaf kepadanya! Tapi bagaimana jika dia tetap membuat kepalaku begini!"
"Katakan, Paman adalah saudaraku. Bilang padanya, Mutiara Naga adalah keponakan Paman Jalak Hutan, dan sekarang Mutiara Naga ingin bertemu dengannya karena rindu! Mintalah dia membuka kunci urat di leher Paman. Kalau Paman sebutkan namaku, dia pasti akan menolong Paman dan membebaskan kepala Paman menjadi pulih kembali!"
"Kalau dia tak mau?"
"Aku yang akan memaksanya supaya menjadi mau!"
"Apa kau sanggup melawannya?"
"Melawannya, sanggup! Tapi memukulnya... aku tak tahu, apakah aku sanggup atau tidak!"
"Nah, kalau sudah begitu siapa yang akan bela aku?"
"Sudahlah, Paman! Percayalah, dia pasti akan sembuhkan kepala Paman itu jika Paman bilang bahwa Mutiara Naga adalah keponakanmu!"
Sebenarnya ada yang ingin dikatakan lagi oleh Mutiara Naga. Tetapi ia merasakan aneh pada bagian kakinya. Kabut itu makin tebal membungkus kaki. Terasa hangat dan merayap geli dibagian betis. Bahkan semakin lama semakin naik ke paha dan rasa desir keindahan itu hadir di sana. Tambah lama tambah naik lagi dan Mutiara Naga merasakan ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh nikmat di salah satu relung tubuhnya. Jantung pun jadi berdebar-debar. Jalak Hutan tak tahu datangnya kabut itu karena ia mendongak ke atas terus. la tahu hal itu setelah Mutiara Naga berkata,
"Paman, aku merasakan ada yang menggerayangi tubuhku!"
Jalak Hutan terkesiap matanya, lalu mencoba memandangi tubuh keponakannya dengan agak menjauhkan jarak. la mulai melihat gerakan kabut yang membungkus kaki sampai di bagian dada Mutiara Naga. Dengan cepat ia menyambar tangan gadis itu dan berkata, "Cepat lari! Itu perbuatan jalang si Manusia Kabut! Lari...!"
"Manusia Kabut...!"
"Larilah, nanti kau dijahili lagi olehnya! Dia tak bisa dilawan jika dalam keadaan berubah menjadi kabut seperti itu!"
"Tapi... tapi, Paman...!"
Jalak Hutan segera membawa keponakannya berlari, walau ia sendiri tersandung-sandung batu atau akar pohon. la berkata sambil menyeret tangan Mutiara Naga.
"Untuk melawan Manusia Kabut, tak ada cara lain kecuali harus lari menjauhinya! Dia adalah si Tua Usil yang punya nama asli Pancasona! Karena dia mempunyai ilmu yang bisa mengubah dirinya menjadi kabut, maka banyak yang menamainya Manusia Kabut!"
"Apakah dia sakti, Paman?"
"Tak seberapa tinggi ilmunya! Hanya ilmu kabutnya saja yang membuatnya tampak sakti!"
"Tapi... oh, dia mengejar kita, Paman!"
"Dia tak bisa lari cepat dalam keadaan menjadi kabut. Kita harus bergerak lebih cepat lagi!"
Mutiara Naga terseret-seret karena ia sebenarnya ingin berhenti dan penasaran terhadap kabut yang menghadirkan kemesraan tersendiri Itu. Ia merasa sedang dijamah oleh tangan Pendekar Rajawali Merah yang sedang jadi harapan hatinya itu.
ENAM
PERJALANAN Yoga menuju Gua Mulut Iblis untuk mencari bunga Teratai Hitam terhenti sejenak. la mendengar suara percakapan dua perempuan yang saling cekikikan. Rasa tertarik ingin mengetahui siapa mereka, membuat Yoga mencari tempat untuk mengintai.
Akhirnya ia temukan semak-semak ilalang tak berduri. Dengan langkah hati-hati dan gerakan pelan, Yoga menyingkapkan rumpun ilalang tersebut. Ketika itu, Yoga segera berkerut dahi karena merasa mengenai perempuan yang bertahi lalat kecil di dagu kiri.
"Merak Betina...!" gumamnya dalam hati.
Perempuan cantik bermata bulat itu sedang bersama temannya yang juga bermata bulat. Mereka berusia sebaya. Wajahnya juga sama mungilnya, hidungnya mancung, bibirnya kecil tapi Indah. Perempuan muda itu mengenakan pakaian biru cerah yang berlengan longgar dilapisi kain semacam rompi warna merah yang memanjang lewat perut. Rambutnya lurus sepundak, lemas, dan berponi indah. Perempuan itu menyelipkan gulungan cambuk warna hitam di pinggangnya.
Pendekar Rajawali Merah tahu persis, Merak Betina itulah orang Perguruan Belalang Liar yang melukai Mahligai dengan Racun Edan. Tentunya perempuan muda berbaju biru itu juga orang Perguruan Belalang Liar. Hal yang membuat Yoga bimbang adalah keadaan Merak Betina yang enak untuk diserang atau bahkan dibunuh pada saat itu.
Tapi apakah Yoga harus melakukan pembalasan atas nasib yang diterima Mahligai? Apakah Yoga harus melakukan pembelaan terhadap Mahligai yang menyerang Merak Betina, sementara urusan mereka itu sebenarnya hanyalah urusan perempuan yang tidak sepantasnya dicampuri oleh pihak lelaki?
"Tidak. Aku tidak boleh melakukan pembalasan! Aku hanya boleh melakukan pertolongan saja!" kata hati Yoga. "Jika aku membela Mahligai dan membalaskan dendamnya kepada Merak Betina, maka kedudukanku pasti dianggap memihak salah satu sisi, dan pasti mereka akan beranggapan bahwa Mahligai adalah kekasihku. Aku tak mau hal itu sampai terdengar oleh Guru Lili. Beliau bisa semakin mengamuk kepada Mahligai, juga kepada diriku sendiri!"
Kecamuk di dalam hati Yoga itu terhenti setelah Yoga menyadari apa yang sedang dilakukan oleh kedua perempuan muda itu. Mereka sama-sama memejamkan mata dan berdiri berdekatan. Mereka saling berpelukan dan bahkan saling berciuman, seperti layaknya muda-mudi yang berkasihan. Yoga segera berucap dalam hatinya,
"Ternyata mereka mempunyai kemesraan yang ganjil. Sesama perempuan saling memadu kasih. Aneh. Bagaimana mereka bisa rasakan kemesraan itu jika sama-sama perempuan. Atau... mungkin mereka hanya sekadar iseng saja, melampiaskan hasrat terhadap sesama sejenis karena tak ada lawan jenisnya?"
Krak...! Kaki Yoga menginjak ranting kering. Suara itu mengagetkan Merak Betina dan temannya. Serta-merta mereka berhenti dari apa yang mereka lakukan sejak tadi. Buru-buru mereka membenahi pakaian dan, Merak Betina pun berseru ke arah datangnya suara itu.
"Siapa di sana! Keluarlah! Jangan sampai kuhantam dengan pukulan mautku dari sini!"
Pendekar Rajawali Merah masih belum mau keluar dari kerimbunan semak. Ia merasa malu karena sudah telanjur diketahui persembunyiannya. Tentunya Merak Betina akan menganggapnya sebagai tukang intip terhadap tindakan yang tidak senonoh.
Tapi jika ia tidak muncul dari semak-semak itu, maka perkaranya akan menjadi lain lagi. Jika Merak Betina sampai memergoki sendiri dan Yoga melarikan diri, pasti akan timbul salah anggapan. Bisa-bisa Yoga dianggap punya maksud jahat mengintai mereka berdua di situ.
Terdengar suara Merak Betina berkata kepada temannya, "Coba kau periksa di semak-semak itu, Lembayung Senja! Aku mengawasi mu dari sini! Kalau orang itu macam-macam tingkahnya, habisi dia di semak-semak itu!"
Perempuan yang mengenakan baju biru muda itu bergegas mendekati tempat persembunyian Yoga. Namun belum sampai Lembayung Senja tiba di sana, Pendekar Rajawali Merah segera melompat keluar dari semak-semak tersebut dengan seulas senyum menawan mekar di bibirnya.
Jleeg...!
"Aku yang mengintip kalian," kata Yoga kepada Lembayung Senja yang tepat berada di depannya, berjarak kira-kira empat langkah.
Lembayung Senja bukannya marah tapi justru terkesima dan terperangah memandang ketampanan Pendekar Rajawali Merah. Matanya terbuka bundar dan tak mau berkedip. Bibirnya yang kecil merekah itu ternganga sedikit sebagai tanda terperangahnya. Lidahnya sempat kelu dan tak bisa berucap kata apa pun.
Sementara Merak Betina juga terperangah begitu mengetahui orang yang mengintipnya adalah si tampan yang pernah ingin membawanya pergi ke Gunung Menara Salju. "Yo...!" seru Merak Betina dengan gembira dan segera berlari mendekati Yoga, la ingin melepas kegembiraan itu dengan memeluk pemuda tampan tersebut, namun niatnya terhenti ketika Lembayung Senja memaksakan diri untuk mendehem, batuk-batuk kecil.
"Nakal juga kau ini, Yo...!" Merak Betina hanya mendekat dan segera menggandeng lengan Yoga, menampakkan diri di depan Lembayung Senja bahwa ia sudah kenal akrab dengan pemuda tampan itu.
"Aku tak sengaja melihat apa yang kalian lakukan tadi," kata Yoga mendahului tuduhan jelek yang akan dilontarkan kedua wanita itu.
"Kami hanya main-main saja!" jawab Merak Betina sambil tersipu malu. "Habis, sejak jumpa kita pertama itu, aku selalu merindukan pertemuan denganmu kembali, Yo! Tapi aku tak tahu di mana kau berada. Apakah jadi ke Gunung Menara Salju atau pergi bersama perempuan lain!"
Lembayung Senja segera menukas, "Merak Betina tidakkah kau ingin memperkenalkan dia kepadaku?"
"O, ya! Aku hampir lupa! Yo, dia temanku. Namanya Lembayung Senja. Dan..." kepada Lembayung Senja Merak Betina berkata, "Ini yang kusebut-sebut sebagai pendekar tampan pemikat hati wanita itu. Namanya Yoga tapi dia punya gelar yang menggetarkan rimba persilatan, yaitu Pendekar Rajawali Merah!"
Lembayung Senja mendekati Yoga dengan mata memandang dari kepala sampai kaki. Kemudian wanita muda berbibir mungil merekah itu berkata bagai orang menggumam, "Pendekar pemikat hati, rasa-rasanya julukan itu lebih tepat untuknya!"
Yoga hanya tertawa kecil. Ia memandangi Lembayung Senja yang ingin menyentuh tangannya seperti yang dilakukan Merak Betina, tapi niat itu diurungkan oleh Lembayung Senja. Ada rasa kikuk dan malu untuk menyentuh tangan Pendekar Rajawali Merah, yang menurutnya lebih pantas diganti Pendekar Tampan Pemikat Hati.
"Apakah burung Rajawali Putih yang kau cari itu sudah kau temukan, Yo? Jika belum, sekarang pun aku sanggup pergi denganmu ke gunung itu untuk mencari burung tersebut!"
Lembayung Senja menyahut dengan bertanya kepada Merak Betina, "Apakah benar dia kehilangan burungnya? Oh, alangkah sayangnya pemuda setampan dan segagah ini kehilangan burungnya!"
Merak Betina tertawa kecil, dan berkata, "Kali ini benar-benar seekor burung yang dicarinya, Lembayung Senja!"
"Ooo... benar-benar burung yang bisa terbang itu!"
Zingng... ziingng...!
Tiba-tiba desing dua keping logam melaju cepat menuju punggung Merak Betina. Firasat Yoga mengatakan, ada bahaya menyerang. Maka seketika itu juga Yoga sentakkan tubuh Merak Betina dengan kuat, lalu tangannya berkelebat menangkap dua keping logam putih berkilat itu. Tetapi usaha penyelamatan Pendekar Rajawali Merah terhadap diri Merak Betina itu terlambat. Satu keping logam telah menancap di atas tengkuk Merak Betina.
Jreeb...!
Satu keping logam lagi berhasil disahutnya. Sleep...!Terjepit di antara dua jari tangan kanannya. Benda tersebut adalah senjata rahasia berbentuk segi tiga yang mempunyai keruncingan sangat tajam diketiga sudutnya. Logam segi tiga itu berwarna putih mengkilap dan berukuran kecil. tetapi warna merah samar-samar pada setiap sudutnya itu menandakan bahwa logam tersebut beracun dan racun itu tentunya sangat berbahaya.
Terbukti satu keping logam yang menancap tepat di otak kecil Merak Betina membuat perempuan itu terkapar tak berdaya lagi, matanya mendelik dan wajahnya berubah cepat menjadi biru. Mulutnya keluarkan cairan busa berwarna hitam kebiru-biruan.
"Merak Betina...! Merak...!" Lembayung Senja mencoba menolong, tapi agaknya keadaan Merak Betina sangat parah. Bahkan ketika Lembayung Senja mencoba untuk menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh temannya itu, tiba-tiba sebuah pukulan tenaga dalam jarak jauh yang mempunyai kadar tinggi menghantamnya tanpa sinar.
Wuuttt...! Buuhg...! Weess..! Zrrraakkk...!
Lembayung Senja terlempar dalam keadaan terseret di tanah sejauh sekitar tujuh tombak. Tubuh Lembayung Senja berhenti terlempar setelah membentur akar pohon yang menggunduk seperti bongkahan batu.
"Uuuhhhg...!" Lembayung Senja mengerang di sana dengan memegangi bagian pinggang yang terasa patah tulangnya.
Pendekar Rajawali Merah tidak banyak bicara, ia segera melompat dan mencari penyerang gelap di tempat yang semula dipakainya untuk bersembunyi. la yakin penyerang gelap itu sembunyi di sana, sebab arah datangnya dua keping logam beracun itu memang dari semak-semak itu. Sayangnya Yoga tidak menemukan siapa pun di sana. ia mencari lebih ke dalam kerimbunan semak, namun kembali ia tidak dapatkan seorang pun di sana.
Karena itu, ia pun segera melompat keluar dari kerimbunan semak dan kembali menemui Merak Betina yang sudah semakin parah itu. Ia terkejut, karena ternyata orang yang dicari sudah ada di sana, sedang berhadapan dengan Lembayung Senja. Orang itu adalah si Topeng Merah yang agaknya begitu bernafsunya untuk membunuh Lembayung Senja. ia menyerang dengan pukulan bercahaya kuning yang melesat dari telapak tangan kirinya seperti sebatang besi bercahaya.
Lembayung Senja segera menghantam sinar kuning itu dengan sinar merah dari telapak tangannya pula, sehingga terjadilah ledakan yang menimbulkan gelombang sentakan cukup besar.
Blaarrr...!
Lembayung Senja kembali terlempar semakin jauh. Tetapi ia segera bangkit dan cepat-cepat mencabut cambuknya. Taarr...! Satu kali cambuk itu dilecutkan oleh Lembayung Senja, dan membuat Topeng Merah berpindah tempat dengan melambungkan tubuhnya ke udara dan bersalto dua kali. Begitu kakinya mendarat di atas sebongkah batu, Lembayung Senja menyerang kembali dengan cambuknya.
Taarrr...! Kali ini lecutan itu memercikan cahaya biru seperti kilatan petir. Cahaya biru itu hampir saja mengenai dada si Topeng Merah jika tidak segera dihantamnya dengan cahaya kuning lagi dari telapak tangannya.
Blaaarrr...!
Pendekar Rajawali Merah segera berlari ke pertarungan itu dan berseru dari tempatnya berhenti, "Cukup! Hentikan pertarungan ini!"
Topeng Merah sudah mau mencabut pedangnya di punggung. Tapi gerakan tangannya itu menjadi terhenti begitu mendengar seruan Yoga, ia berpaling memandang ke arah Yoga. Pada saat itu, Lembayung Senja melihat sisi kelengahan lawan, maka dengan cepat ia kembali melecutkan cambuknya ke arah tubuh lawannya.
Taarrr...!
Zllaaap...! Yoga bergerak dengan sangat cepat, tak mampu dilihat oleh mata siapa pun. Tahu-tahu ia sudah berada di depan si Topeng Merah, dan tangannya menyambar ujung cambuk yang membara merah itu
Wuuuutt Srrrtt....!
Cambuk itu melilit di tangan Yoga dan oleh Yoga disentakkan dalam satu tarikan keras. Cambuk itu pun lepas dari pegangan tangan Lembayung Senja. Kini Yoga berdiri dl pertengahan Jarak antara Lembayung Senja dan si Topeng Merah.
"Berikan cambuk itu! Akan kucabik-cabik dia!" bentak Lembayung Senja sambil melangkah cepat mau merebut cambuk dari tangan Yoga.
Tetapi dengan pandangan mata tajam yang diarahkan kepada Lembayung Senja, Yoga berhasil membuat hati wanita muda itu bergetar takut. Mata tetap memandang tajam, Lembayung Senja hentikan langkah. Ia ingin menangis karena menahan kemarahan yang tak berani dilepaskan gara-gara pandangan mata tajam itu.
"Dia telah membunuh Merak Betina! Aku harus membalasnya, Yo!"
"Merak Betina belum tentu mati. Persoalan ini tidak jelas, dan aku pun penasaran dengan si Topeng Merah itu..!" sambil Yoga menuding ke arah Topeng Merah, lalu berpaling memandangnya. Tetapi alangkah terkejutnya Yoga setelah tahu, ternyata Topeng Merah sudah tidak ada ditempatnya. Ia telah pergi dan cepat sekali kepergiannya itu hingga tidak menimbulkan suara dan tidak menimbulkan hembusan angin.
"Ke mana dia?" tanya Yoga kepada Lembayung Senja.
Pertanyaan itu tidak dijawabnya, karena Lembayung Senja lebih mementingkan memeriksa keadaan Merak Betina. Maka ia pun berkelebat menemui teman seperguruannya yang terkapar dalam keadaan biru wajahnya.
Sementara itu, Yoga bergegas mencari arah kepergian Topeng Merah sambil membatin di hatinya, "Siapa sebenarnya orang bertopeng merah itu! Ia agaknya takut melawanku, padahal dilihat dari caranya pergi tanpa meninggalkan suara dan angin, sudah jelas dia berilmu tinggi! Mungkin saja ilmunya lebih tinggi dariku! Tapi, apa maksudnya muncul secara aneh dan lenyap begitu saja. Apakah memang dia punya dendam terhadap Merak Betina dan orang-orang Perguruan Belalang Liar. Mungkinkah Topeng Merah adalah musuh mereka?"
Yoga pun segera mendekati Merak Betina setelah ia tak berhasil mencari Topeng Merah di sekitar tempat itu. Lembayung Senja menangis ketika Merak Betina ternyata tak bisa tertolong lagi jiwanya. Pendekar Rajawali Merah terpaksa menenangkan tangis Lembayung Senja, sambil memeluk dengan rasa haru.
Sesaat kemudian, Lembayung Senja segera menyentakkan tubuhnya dan menjauhi Yoga, la memandang dengan penuh curiga setelah cambuknya dikembalikan oleh Yoga.
Waktu itu, Yoga berkata, "Bawalah mayat Merak Betina pulang ke perguruanmu! Katakan bahwa manusia bertopeng merah itu telah menyerangnya secara sembunyi-sembunyi dan aku sudah berusaha menyelamatkannya namun gagal. Hanya satu senjata rahasia Topeng Merah yang berhasil kutangkap dengan tanganku!"
Lembayung Senja menyipitkan mata dan berkata dengan ketus. "Kau pasti bersekongkol dengannya, menempatkan keadaan Merak Betina sedemikian rupa sehingga bisa diserang dari belakang!"
"Itu tuduhan yang mengada-ada!"
"Buktinya serangan itu kulihat datang dari tempatmu bersembunyi! Pasti kau sebenarnya bersama dia. Untuk menghilangkan kecurigaan ketika kami mengetahui ada yang mengintip, kau muncul lebih dulu, sementara temanmu itu menunggu kesempatan di balik semak itu! Menyesal sekali aku tidak memeriksa semak-semak itu, karena terlalu yakin dengan dugaanku, bahwa kau hanya seorang diri!"
"Lembayung Senja, tuduhanmu itu membabi buta! Kalau aku teman si Topeng Merah, tak perlu aku mendorong tubuh Merak Betina untuk menyelamatkan dia dari dua keping logam beracun itu! Kalau aku bersekongkol dengan Topeng Merah, untuk apa aku menangkap senjata rahasia itu?"
"Siasat mu sangat rapi dan tidak sembarang orang bisa mengetahui. Yoga!" kata Lembayung Senja dengan mata kian menyipit benci. "Kalau bukan aku, tak akan ada yang menyangka begitu padamu. Terbukti kau menahan seranganku saat Topeng Merah lengah. Itu pertanda kau tak ingin temanmu terluka atau terbunuh oleh cambukku!"
"Aku hanya menghentikan pertarungan yang tak jelas maksudnya tadi! Aku tidak bermaksud melindunginya, juga tidak bermaksud menahan seranganmu! Kalau aku tidak berseru menyuruh kalian berhenti, kalian pasti saling bunuh untuk maksud yang belum jelas!"
"Kehadiranmu menahan seranganku hanya memberi kesempatan Topeng Merah melarikan diri, kemudian kau berpura-pura bingung mencarinya! Hmmm...! Kau tidak rapi dalam penyerangan ini, Yoga! Seandainya penyerangan itu tidak muncul dari tempatmu bersembunyi tadi, aku tidak bisa menduga bahwa ini adalah persekongkolan!"
"Persekongkolan apa"!" bentak Yoga dengan kesal juga akhirnya. "Aku dan Merak Betina tidak ada masalah apa-apa, mengapa aku harus membunuhnya dalam satu persekongkolan! Kau semakin mengacau, Lembayung Senja!"
Perempuan muda itu mendengus, kemudian segera ia mengangkat mayat Merak Betina kepundaknya. la sempat memandang tak akrab pada Yoga yang berkata, "Tunggu pembalasan dari orang-orang Belalang Liar! Pasti akan datang dan menuntut hutang nyawa kepadamu!" Lembayung Senja pergi.
"Hei, tunggu dulu...! Jangan libatkan aku dalam masalah ini!"
Tapi seruan itu tak didengar lagi oleh Lembayung Senja yang merasa yakin betul, bahwa semua kejadian tersebut adalah persekongkolan Yoga dengan si Topeng Merah.
* * *
TUJUH
PERGURUAN Belalang Liar berkabung menerima kematian Merak Betina. Lembayung Senja memberi penjelasan kepada ketuanya yang bernama Kembang Mayat. Sang ketua yang masih muda dan cantik itu menerima laporan secara apa adanya. ia percaya betul dengan kata-kata Lembayung Senja, bahwa kematian Merak Betina adalah persekongkolan antara Topeng Merah dengan Pendekar Rajawali Merah.
"Sama-sama memakai julukan Merah, kalau bukan bersahabat, mau apalagi! Setidaknya mereka pasti murid satu perguruan, Ketua!" kata Lembayung Senja membubuhkan praduganya.
Kembang Mayat yang cantik berwajah lonjong dengan usia sekitar dua puluh lima tahun itu, menampakkan wajah dendamnya dengan gigi menggeletuk menekan murkanya. Sekalipun masih muda, namun Kembang Mayat mewarisi kharisma dan kewibawaan neneknya sehingga layaknya ia menjadi seorang ketua di perguruan itu. la disegani dan dihormati oleh orang-orang Belalang Liar.
"Mengapa kau tidak membunuh Topeng Merah!" katanya kepada Lembayung Senja dengan nada dingin.
"Pendekar Rajawali Merah menghalanginya, Ketua!"
"Mengapa tidak kau lenyapkan saja dia!"
"Dia... dia... dia...," Lembayung Senja bingung menjawabnya.
"Bodoh!" bentak gadis cantik yang sebenarnya kelihatan jauh lebih muda dari Lembayung Senja. Kembang Mayat punya kesan masih remaja jika tidak sedang bicara dan menahan murka. Itulah sebabnya kadang-kadang tamu yang datang ke perguruan itu tidak percaya bahwa Kembang Mayat adalah Ketua Perguruan Belalang Liar. "Apakah kau takut dengan Pendekar Rajawali Merah!"
"Tidak, Ketua!"
"Apakah kau kasihan jika harus melukainya?"
"Juga tidak, Ketua!"
"Lantas apa alasanmu sehingga kau tidak membunuhnya!"
"Hmmm... eeeh... anu...!"
Plaaak...!
Kembang Mayat menampar wajah Lembayung Senja dengan gerakan tangan cepat yang tak terlihat. Lembayung Senja terpelanting ke kiri karena kerasnya tamparan itu. Kulitnya yang kuning langsat menjadi merah di bagian pipinya, membekas jari tangan sang Ketua muda yang sedang murka itu.
"Ikut aku! Cari pemuda yang mengaku Pendekar Rajawali Merah itu! Kalau kau tak berani melawannya, aku yang akan melawannya, demi kehormatan Perguruan Belalang Liar ini!"
"Baik, Ketua! Saya akan antar mencari dia!" jawab Lembayung Senja dengan patuh.
Tak ada yang berani menentang atau melawan keputusan Kembang Mayat. Semua orang Perguruan Belalang Liar tahu persis, bahwa Kembang Mayat berilmu tinggi, karena ia mewarisi seluruh ilmu milik neneknya yang dulu menjadi ketua dan guru mereka, yaitu Nyai Sangkal Pati. Bahkan menurut mereka, Kembang Mayat bisa bertindak lebih tegas dan keji lagi terhadap siapa pun yang ingin menjatuhkan nama perguruan.
Dalam memberikan keputusan-keputusan, Kembang Mayat pantang menerima sanggahan atau usulan. Sekali ia bilang putih, harus putih terjadi. Sekali bilang merah, harus merah yang mereka lakukan. Kembang Mayat pun tak pernah pandang bulu dalam menjatuhkan hukuman kepada para anggotanya.
Tak segan-segan ia memancung anggotanya sendiri jika memang orang tersebut terbukti melakukan kesalahan besar. Bahkan sahabat baiknya sebelumnya ia menjadi ketua, mengalami nasib malang, yaitu dijatuhi hukuman gantung karena suatu kesalahan yang dapat membahayakan perguruan.
* * *
Pendekar Rajawali Merah tidak tahu bahwa dirinya sedang dicari-cari oleh Kembang Mayat dan Lembayung Senja. Pendekar Rajawali Merah tetap melangkah menuju ke Gua Mulut lblis, sesuai dengan peta yang dibuat oleh Sendang Suci, si Tabib Perawan itu. Tetapi, kali ini langkah Yoga kembali terhenti karena seseorang memanggilnya dari arah belakang dengan panggilan seenaknya,
"Hai...! Rajawali"
Begitu panggil orang tersebut. Tapi Yoga paham dirinya itulah yang dimaksud orang tersebut. Maka ia pun hentikan langkahnya dan berpaling ke belakang. Ternyata orang yang memanggilnya adalah lelaki bertubuh kurus berwajah bulat, mengenakan pakaian coklat tua. Orang tersebut tak lain adalah si Nyali Kutu, yang selamat dari pertarungan bersama keempat orang-orang Tanah Gerong itu.
Tetapi kali ini agaknya Nyali Kutu tidak sendirian lagi, melainkan bersama satu orang yang tampaknya lebih terhormat ketimbang ketua rombongannya tempo hari, yaitu si Rahang Besi. Orang yang bersama Nyali Kutu itu berpakaian mewah, warna baju dan celananya adalah kuning, tapi jubahnya berwarna biru mengkilap, seperti terbuat dari kain jenis satin tempo dulu.
Orang tersebut berwajah bengis dengan kumis lebat melintang ke kiri-kanan. Kepalanya dihias dengan lempengan emas berukir sebagai pengganti ikat kepala yang berambut pendek rapi itu. la pun mengenakan gelang dari lempengan logam emas berhias bebatuan warna-warni. la menunggang seekor kuda warna hitam keling, sementara Nyali Kutu berlari-lari mengikutinya dari samping.
Keadaan itu menandakan bahwa orang tersebut ada lah orang yang punya derajat lebih tinggi dari si Nyali Kutu. Ketika berhenti di depan Yoga, orang itu belum mau turun dari kudanya. la berseru menyapa dari atas punggung kuda dengan sapaan tak ramah,
"Kau yang bernama Pendekar Rajawali Merah!"
"Benar!" jawab Yoga dengan tegas.
"Kalau begitu, kaulah orang yang kucari sejak kemarin!"
"Untuk apa mencariku?"
"Untuk membunuhmu!"
"Siapa kau ini, datang-datang mau membunuhku?"
"Aku yang bernama Panglima Makar, penguasa Tanah Gerong!"
"Ooo... kamu yang bernama Panglima Makar! Aku pernah mendengar namamu dari beberapa anak buahmu yang bandel-bandel itu!" kata Yoga dengan tenang, tapi ia sudah siap menjaga sikap sewaktu-waktu dapat serangan dari Panglima Makar. Yoga yakin, pertarungan tak bisa dihindari lagi, sebab Panglima Makar agaknya orang yang sulit diberi pengertian dan sulit diajak damai.
Dengan lompatan tanpa membuat kuda bergerak sedikit pun, Panglima Makar turun dari kudanya. Kuda segera disingkirkan oleh Nyali Kutu, ditambatkan di pohon kecil. Di sana ia menunggu penguasanya mengajukan tuntutan atas kematian keempat orangnya tempo hari.
"Sudah kukatakan kepada anak buahmu, bahwa bukan aku dan guruku yang membunuh Putri Ganis, anakmu itu. Tapi mereka tidak percaya! Mereka menyerang kami, dan kami tidak mau diserang! Dari pada kami yang dibunuh oleh mereka, bukankah lebih balk mereka yang kami bunuh"!" kata Yoga dengan seenaknya.
Panglima Makar menggeram dengan menahan marah, "Apa pun alasanmu, kau telah berhutang empat nyawa kepadaku, maka aku pun ingin menagihnya!"
"Mengapa aku kau katakan berhutang nyawa. Aku hanya mempertahankan nyawa! Kalau orang-orangmu itu mau menuruti saranku agar jangan menyerang aku dan guruku, maka mereka tidak akan mati!"
"Makin lama kata-katamu makin memerahkan telinga! Sekarang terima saja pembalasanku ini, haaahh...!'
Braaak...!
Dengan satu kali sentakan, kaki Panglima Makar menghentak ke bumi, dan saat itu pula tubuh Pendekar Rajawali Merah terpental terbang ke atas bagai ada yang melemparkannya tinggitinggi. Wuutt! Panglima Makar segera mencabut pedang, menunggu lawannya turun dan akan segera menebasnya dengan pedang panjang itu. Tetapi Pendekar Rajawali Merah yang sempat terkejut dengan datangnya serangan seperti itu cepat-cepat menguasai diri dan bersalto satu kali, hingga kini kakinya hinggap di salah satu dahan pohon.
Jleeg...! Dengan tegak dan sigap, Pendekar Rajawali Merah berdiri di dahan tersebut.
"Gggrrr...! Turun kau!" geram Panglima Makar yang merasa penantian pedangnya tertunda.
"Kalau kau melawanku, kau nanti ikut-ikutan mati seperti Rahang Besi dan teman-temannya! Kalau kau mati, lantas siapa yang akan menjadi penguasa di Tanah Gerong! Sebaiknya jangan melawan aku!" seru Yoga dari atas pohon.
"Jangan banyak bacot kau! Turun dan hadapi aku!" bentak Panglima Makar. Tapi agaknya Pendekar Rajawali Merah tidak berminat untuk melayani orang itu, karena ia tak membunuh dengan sia-sia seperti hari-hari kemarin. Hanya saja, rupanya Panglima Makar menjadi sangat penasaran kepada Yoga, maka dengan menggeram panjang la melompat dan menendang pohon tersebut dengan satu kakinya.
Duuhg...! Wuutt, wuuttt..!
Tubuh Yoga segera melesat dan bersalto di udara dua kali. Jika ia tidak segera turun dari pohon itu, maka ia akan menjadi hangus seperti keadaan pohon tersebut. Tendangan Panglima Makar bukan sekadar tendangan biasa, melainkan penuh kekuatan tenaga dalam dan membuat pohon tersebut menjadi terbakar dan hangus. Dari akar sampai ujung daunnya paling tinggi dibungkus api secara cepat.
Api itu pun dalam waktu yang luar biasa singkatnya telah membuat hangus pohon tersebut. Sepertinya api itu pun bukan sembarang api yang bisa untuk memasak nasi. Melihat lawannya sudah turun dari atas pohon, Panglima Makar segera menyerangnya dengan buas. Ia melompat dengan pedang berkelebat ke sana-sini menjebak gerakan lawan.
"Heaaah...!"
Wuuuttt...!
Yoga berguling ditanah menyambar sebatang kayu yang besarnya satu lengan dan panjangnya hampir satu ukuran tombak. Kayu kering itu segera digunakan untuk menangkis tebasan pedang lawan yang bergerak dari kanan kekiri.
Trrak... Trrakk...! Buuhg...!
Pendekar Rajawali Merah berhasil menangkis dua kali tebasan pedang, namun lengah di bagian perutnya, sehingga perut itu tertendang telak oleh kaki Panglima Makar. Yoga terpental kebelakang dan membentur pohon dalam keadaan berdiri. Namun ia segera menarik napas dan menahannya dalam perut, kejap berikutnya rasa sakit itu pun lenyap dan Pendekar Rajawali Merah siap hadapi lawannya lagi dengan menggunakan kayu kering tersebut.
"Edan! Kayu itu tak bisa putus oleh pedangku!" pikir Panglima Makar. "Kalau bukan karena ada aliran tenaga dalam pada kayu tersebut, pasti pedangku sudah berhasil memotongnya dua kali! Hmmm... boleh juga ilmu anak sinting ini!"
Kembali Panglima Makar yang berjiwa mudah penasaran itu menyerang Pendekar Rajawali Merah dengan sabetan-sabetan pedangnya. Tetapi kayu kering itu digunakan menangkisnya beberapa kali, dan untuk kali ini kayu kering itu berhasil menyodok ulu hati Panglima Makar dengan sabetan cepat.
Buuuhg...!
Kelihatannya sentakan itu tak seberapa berat, hanya terlihat cepat saja, namun hasilnya membuat tubuh Panglima Makar terlempar bagai dihempaskan badai dahsyat dari arah depan. Tubuh itu sempat melayang dalam keadaan membungkuk ke depan dan kedua tangan merentang sedikit ke samping, kakinya tidak menapak tanah.
"Heeggh...!" Mata Panglima Makar mendelik karena punggungnya menghantam batang kayu pohon yang tadi terbakar itu. Begitu tubuh membentur batang pohon tersebut, langsung tersentak ke depan antara tiga langkah dari pohon tersebut. Brukk...! Ia jatuh tersungkur, namun cepat-cepat bangkit dan menggenggam pedangnya lebih kuat lagi.
Pertarungan itu ternyata ada yang menontonnya secara sembunyi-sembunyi, yaitu Lembayung Senja dan Kembang Mayat. Mereka berdua ada di atas pohon berdaun lebat, sehingga tak mudah diketahui siapa pun. Mereka berdua dengan asyiknya menyaksikan pertarungan tersebut, di mana Kembang Mayat dan Lembayung Senja sudah mengenal siapa Panglima Makar itu. Karenanya, Kembang Mayat pun berkata, "Bisa mati anak muda itu melawan Panglima Makar! Dia tak tahu kehebatan ilmu Panglima Makar yang sangat tinggi itu!"
"Anak muda tersebut, Ketua... adalah Pendekar Rajawali Merah yang kita cari-cari!" kata Lembayung Senja.
"Pemuda tampan itu si Pendekar Rajawali Merah...!" Kembang Mayat minta penegasan karena dia hampir tak percaya dengan apa yang dibayangkan dalam benaknya dengan kenyataan yang dilihatnya.
"Benar, ketua! Dia Pendekar Rajawali Merah yang bernama Yoga!"
Cukup lama Kembang Mayat memperhatikan kearah Yoga tak berkedip. Dalam hatinya terjadi satu pergumulan yang cukup seru antara mempercayai laporan Lembayung Senja atau mempercayai hati nuraninya. Sampai kemudian Lembayung Senja berkata lirih,
"Mengapa kita tidak membantu Panglima Makar untuk membunuh Pendekar Rajawali Merah, Ketua! Saya rasa saat ini adalah saat yang tepat untuk membalas kematian Merak Betina, Ketua!"
"Orang setampan dia tak pantas dicurigai sebagai pembunuh! Cari orang lain saja, Lembayung Senja!"
"Agaknya Ketua mulai berubah pikiran!" kata Lembayung Senja kian lirih, sepertinya takut untuk mengucapkannya.
Kembang Mayat menjawab, "Memang, aku berubah pikiran! Karena pemuda setampan dia, semenarik dia, semenggemaskan dia, sungguh tak pantas kita tuduh sebagai pembunuh Merak Betina! Merencanakan suatu pembunuhan saja ia tak pantas, apalagi melakukan pembunuhan tanpa alasan membela diri, lebih tak pantas lagi! Sebaiknya jangan menuduh dia! Aku merasa tak rela jika wajah setampan dia kau curigai sebagai komplotan yang bersekongkol membunuh Merak Betina!"
"Terserah Ketua saja, aku sudah memberi jawaban apa adanya," kata Lembayung Senja.
"Bagaimana kalau kita cari si Topeng Merah saja! Kurasa dia lebih pantas kita cari dan kita bunuh, karena memang dari tangannya senjata rahasia itu dilepaskannya untuk membunuh Merak Betina!"
"Memang tangan Topeng Merah yang membunuhnya, Ketua. Tapi...."
"Tak usah pakai kata tapi lagi. Dia saja sasaran kita!"
"Lalu, pemuda tampan itu!"
"Akan kutemui dia dan kubicarakan kebenaran sikapnya dalam masalah kematian Merak Betina itu. Jika terbukti dia tidak bersalah, kita bebaskan dia dari segala macam kecurigaan dan tuduhan."
"Jika terbukti bersalah, bagaimana?"
"Yaah... kita peringatkan dia agar lain kali jangan begitu!"
Lembayung Senja memandangi sang Ketua, lalu menggelengkan kepala dengan samar-samar. Lembayung Senja mulai paham maksud sang Ketua. Jelas sang Ketua telah terkesan melihat ketampanan pendekar ganteng Itu. Jelas sang Ketua tak akan bersikap tegas lagi jika berhadapan dengan Pendekar Pemikat Hati' itu. Karenanya, Lembayung Senja tak segan-segan ajukan usul kepada sang Ketua,
"Kalau begitu, mengapa kita tidak bantu dia saja untuk mengalahkan Panglima Makar!"
"Hatiku sedang menyusun rencana itu, Lembayung Senja! Tapi... jangan bergerak dulu, agaknya Panglima Makar terdesak terus oleh serangan si Tampan itu, padahal si Tampan hanya menggunakan sebatang kayu kering, bukan pedang!"
Memang hanya sebatang kayu kering, tapi bisa membuat Panglima Makar kewalahan melawannya. Bahkan kali ini, Yoga berhasil membuat gerak tipuan yang mengakibatkan pergelangan tangan lawan berhasil dihantam dengan batang kayu kering tersebut.
Plokk...!
"Auh...!" Pedang di tangan Panglima Makar pun terlepas. Dada yang terbuka menjadi sasaran empuk bagi kaki Yoga.
Wuuttt...! Beehg...! Wuusss...!
Panglima Makar terpental beberapa langkah jaraknya. la tak sempat berhenti untuk mengerang walau terasa sakit. la cepat-cepat bangkit dan kali ini mengeraskan kedua tangannya sambil menggeram bengis. Kemudian ia berlari dan melompat di udara menyerang Pendekar Rajawali Merah.
"Heeaaahh...!" Kedua telapak tangannya membara merah bagaikan besi terpanggang api. Saat itu sebenarnya Yoga ingin melompat dan menyambut gerakan terbang itu. Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan merah meluncur cepat dari belakang Yoga, melintasi kepala Pendekar Rajawali Merah itu dan mengadu tangan dengan Panglima Makar.
Plak, plak, plak...! Buueehg...!
"Ouhhg...!" Panglima Makar terpental dan jatuh di dekat kudanya. la memuntahkan darah dari telinga, hidung, dan mata mulai berasap. Dadanya terkena pukulan dahsyat. Bukan dari Yoga, bukan pula dari Kembang Mayat ataupun Lembayung Senja. Pukulan dahsyat itu datang dari sekelebat bayangan merah tadi yang tak lain adalah si Topeng Merah.
"Dia lagi...!" gumam Yoga di dalam hatinya.
Topeng Merah berpaling sebentar ke arah Yoga, lalu dengan sentakan pelan ia meleset pergi dengan cepat meninggalkan pertarungan. Kehadirannya seakan hanya untuk menjatuhkan Panglima Makar, setelah itu tak ada urusan lagi dengan orang-orang di situ.
Kehadirannya membuat beberapa pasang mata terkesima, termasuk si Nyali Kutu yang sejak tadi lebih baik menjadi penunggu kuda ketimbang ikut bertarung. Kembang Mayat dan Lembayung Senja juga terkesima melihat kemunculan Topeng Merah yang hanya sekejap itu.
Bahkan Lembayung Senja belum sempat mengatakan kepada sang Ketua tentang si Topeng Merah itu, ia hanya baru menuding untuk memberitahukan kepada sang Ketua tentang Topeng Merah tersebut, tapi tahu-tahu orang misterius itu telah lenyap dari penglihatannya. Ke mana larinya, juga tak jelas. Setan atau manusia; juga tak jelas.
Tetapi Yoga memastikan, Topeng Merah bukan setan, melainkan manusia berilmu tinggi. Sekali pukul Panglima Makar rubuh dan terluka parah di dalam tubuhnya. Bahkan ia segera lompat ke kudanya dan kabur dengan kudanya itu, sementara Nyali Kutu dengan ketakutan segera berlari mengikuti arah perginya kuda hitam tersebut.
"Dia membuntutiku terus"!" gumam Yoga dalam renungannya saat itu: "Muncul sebentar, lalu lenyap! Seakan dia selalu mencampuri urusanku! Apakah secara disengaja atau secara tidak sengaja memang dia punya urusan sendiri dengan lawanku!"
Jleeg...! Wuuttt...! Plakk...!
Yoga mendengar orang melompat dan berada di belakangnya, ia menyangka orang itu adalah Topeng Merah, karenanya dengan cepat ia kelebatkan kakinya menendang dalam gerakan memutar. Gerakan kaki itu tertangkis oleh sepotong tangan milik gadis cantik berhidung mancung, namun memancarkan kharisma dan wibawa.
Gadis cantik itu tak lain adalah Kembang Mayat, disusul kemudian kemunculan Lembayung Senja. Yoga terperanjat kaget dan malu, akhirnya tersenyum dan senyum Itu sungguh meluluhkan hati setiap wanita.
DELAPAN
YANG ada dalam pikiran Kembang Mayat adalah bagaimana bisa berkenalan dengan Pendekar Rajawali Merah yang dijuluki oleh Lembayung Senja sebagai Pendekar Tampan Pemikat Hati. Di atas pohon tadi, Kembang Mayat telah berkata terus terang kepada Lembayung Senja,
"Aku tertarik sama dia!" Karena itu, ketika sekarang Kembang Mayat si berhadapan dengan Pendekar Rajawali Merah, segera otaknya berputar memancing perhatian dan minat, supaya Yoga bisa didekatinya. Kembang Mayat pun menampakkan sikap tenang dan kalem, seolah-olah tidak terlalu tertarik dengan ketampanan dan kegagahan Yoga.
Ketika Yoga tersenyum karena kecele atas tendangannya tadi, Kembang Mayat hanya membalas dengan senyuman tipis, walau hatinya bergemuruh melihat senyuman tersebut. "Maaf, kusangka kau si Topeng Merah tadi!" kata Yoga saat itu.
"Jika aku Topeng Merah, apakah kau Ingin menyerangnya?"
"Benar! Karena ia selalu membuntutiku dan mencampuri urusanku!"
"O, jadi kau bukan temannya Topeng Merah?"
"Bukan!"
"Kalau begitu tuduhan Lembayung Senja itu keliru! Maafkan kami, karena tadi kami menyangka kau bersekongkol dengan Topeng Merah. Ternyata tidak!"
"Kau orang Perguruan Belalang Liar, teman dari Merak Betina itu?"
"Benar," jawab Kembang Mayat. Lembayung Senja menimpali, "Beliau adalah Ketua kami!"
"Ketua...!" mata Yoga makin lekat memandang, ada keheranan di hatinya melihat sang Ketua semuda itu. Hampir saja Yoga tidak mempercayai hal itu, namun ketika sang Ketua berkata,
"Namaku Kembang Mayat, cucu dari Nyai Sangkal Pati! Mungkin kau pernah mendengar nama nenekku itu!"
Barulah Yoga percaya bahwa gadis muda yang cantik belia itu adalah Ketua Perguruan Belalang Liar, la pernah mendengar dua nama itu dari Sendang Suci, namun waktu itu tak terbayang semuda inilah sang Ketua yang bernama Kembang Mayat.
"Boleh aku tahu ke mana arah tujuan pergimu, Pendekar Rajawali Merah!" tanya Kembang Mayat.
"Aku mau ke lereng Gunung Tambak Petir."
"Oh, gunung keramat itu!" gumam Kembang Mayat sambil kedua tangannya bersidekap di dada. "Kau akan ke sana sendirian?"
"Ya. Aku harus menemukan Gua Mulut Iblis. Karena di dalam gua itu terdapat sebuah telaga yang bernama...."
"Telaga Bangkai!" sahut Kembang Mayat.
"Kau tahu tentang Telaga Bangkai itu rupanya?"
"Nenekku pernah bercerita tentang telaga tersebut. Mau apa kau ke sana kalau boleh ku tahu?"
"Mencari bunga Teratai Hitam sebagai obat!"
"Teratai Hitam..."! Mengapa jauh-jauh ke Gunung Tambak Petir" Di tempatku pun ada Teratai Hitam yang bisa dipakai untuk campuran obat pemunah racun! Aku tahu persis tentang bunga tersebut!"
"Jadi, di tempatmu ada bunga Teratai Hitam?"
"Cukup banyak! Kalau kau mau, ambillah sesukamu!" Jawab Kembang Mayat.
Sementara itu, Lembayung Senja berkerut dahi dan merasa heran mendengar ucapan sang Ketua. la membatin, "Seingatku di Pesanggrahan Belalang Liar tidak ada bunga Teratai Hitam! Malahan dulu Nyai Guru Sangkal Pati pernah kebingungan mencari bunga Teratai itu. Tapi mengapa sekarang Ketua bilang cukup banyak bunga Teratai Hitam di pesanggrahan. Jangan-jangan sang Ketua tidak bisa bedakan antara bunga Teratai dengan bunga mawar kering!"
Lembayung Senja tak tahu bahwa itu adalah siasat Kembang Mayat untuk mengajak Pendekar Rajawali Merah. Dengan sedikit tipuan, Pendekar Tampan Pemikat Hati wanita itu pasti akan ikut pulang dan bila perlu memaksakan diri untuk datang ke Pesanggrahan Belalang Liar. Lembayung Senja baru mengetahui siasat itu setelah Yoga akhirnya ikut pulang ke tempat kediaman Kembang Mayat. Di perjalanan Kembang Mayat sempat membisikkan siasatnya yang berhasil itu. Lembayung Senja akhirnya tertawa pelan dan disembunyikan.
"Seharusnya kau kejar si Panglima Makar itu! Dia adalah orang yang patut dilenyapkan dari muka bumi," kata Kembang Mayat menunjukkan sikap memihak pada Yoga.
Tetapi dengan lembut Yoga berkata, "Orang yang sudah lari, berarti dia sudah mengakui kekalahannya! Tak perlu kita memburunya. Karena di dalam sebuah pertarungan yang ada hanya dua makna, yaitu menang atau kalah. Kalau yang satu sudah merasa kalah, untuk apa dikejar dan dibunuh!"
"Tapi kejahatannya bisa kambuh kembali dan menyerang diri kita dari belakang! Kita bisa dibuatnya celaka!"
"Itu salah diri kita sendiri, mengapa tidak hati-hati dan kurang waspada! Dan orang yang berbuat jahat suatu saat akan mati oleh kejahatannya sendiri! Entah melalui perantara pedang lawan atau ulahnya sendiri!"
"Menarik juga ajaranmu itu! Pasti kau dapat dari gurumu!" Kembang Mayat selalu menampakkan sikap menyenangkan buat hati Yoga. Kadang ia memuji atau menyanjung beberapa hal yang ada pada diri Yoga, sehingga Yoga semakin jauh melangkah semakin terkesan oleh sikap baik Kembang Mayat.
Sementara itu, Lembayung Senja hanya diam saja, tak banyak bicara. Tapi diam-diam ia mencuri ilmu berbicara yang dapat membuat lawan jenisnya tertarik kepadanya. Mendengar percakapan sang Ketua dengan Yoga, Lembayung Senja menjadi tahu bahwa cara menundukkan lelaki ternyata bukan hanya dengan kecantikan saja, melainkan bisa dengan menggunakan kelincahan berbicara.
"Aku tahu di mana letak Tanah Gerong. Kalau kau ingin ke sana mencari Panglima Makar, aku bersedia mengantarkanmu ke sana! Barang kali kau ingin meluruskan perselisihan yang salah anggapan seperti antara kamu dan aku dalam masalah kematian Merak Betina!"
"Tidak! Aku tidak ingin ke Tanah Gerong. Lebih utama mendapatkan Teratai Hitam ketimbang memperpanjang urusan dengan Panglima Makar itu!"
Padahal, seandainya Yoga dan Kembang Mayat benar-benar datang ke Tanah Gerong, maka mereka tidak akan mendapatkan Panglima Makar di sana. Sebab, Panglima Makar dan Nyali Kutu yang setia itu bukan lari ke Tanah Gerong, melainkan lari untuk minta bantuan kepada seseorang. Mereka lari ke sebuah lembah, di mana di lembah yang sunyi sepi itu terdapat sebuah makam berbatu nisan hitam.
Makam itu terletak di bawah sebuah pohon rindang yang besar dan tinggi. Sebuah gubuk kecil dibangun di samping makam tersebut. Rupanya makam itu ada penjaganya. Dan kepada penjaga makam itulah Panglima Makar memohon bantuannya dalam melawan Pendekar Rajawali Merah yang dianggap berilmu tinggi, namun tak setinggi penjaga makam tersebut.
Orang yang menjaga kuburan itu adalah lelaki berwajah ganas, mempunyai kumis lebat, mata lebar, badan agak besar. Pakaiannya serba biru dan sabuknya berwarna hitam, besar. Ia menyelipkan pedang lebar berujung lengkung dan runcing. Rambutnya panjang diikat dengan logam tembaga yang melingkari kepala. Logam tembaga itu berhias kepala singa kecil yang mulutnya ternganga, dan hiasan itu tepat berada di keningnya. Orang tersebut adalah si Mata Neraka, yang pernah mengejar-ngejar Mahligai untuk dikawini.
Mata Neraka adalah sahabat Panglima Makar, karena mereka sama-sama berpikiran serupa, yaitu menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kebutuhan pribadinya. Jelasnya, mereka sama-sama orang sesat, namun baik usia maupun ilmunya masih tua Mata Neraka, yang merupakan adik bungsu dari Malaikat Gelang Emas.
Sedangkan orang yang berjuluk Malaikat Gelang Emas itu tokoh sesat yang kala itu sedang menjadi momok bagi setiap orang. Selain ilmunya sangat tinggi, Malaikat Gelang Emas adalah orang yang paling keji dari yang terkeji. Dialah yang sedang dicari-cari oleh Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. Karena Malaikat Gelang Emas itulah yang memisahkan dua tokoh sakti yang berpasangan sebagai suami-istri, yaitu mendiang Dewa Geledek dan mendiang Dewi Langit Perak, keduanya adalah guru utama dari Yoga dan Lili.
Kalau bukan karena tugas menjaga kuburan sang kakek, Mata Neraka pasti sudah berkeliling jagat dan melakukan tindakantindakan yang sama sesatnya dengan kakak sulungnya, yaitu Malaikat Gelang Emas. Tapi karena mendapat tugas dari Malaikat Gelang Emas bahwa ia harus menjaga kuburan kakek mereka selama tiga tahun, maka Mata Neraka merasa seperti sedang dipenjara oleh sang kakak. Ia sering merasa kesepian di tempat itu, sehingga untuk membuang kesepiannya ia berlatih terus jurus-jurus warisan dari kakeknya, sehingga semakin lama semakin tinggi ilmu Mata Neraka itu.
Ketika ia melihat kedatangan Panglima Makar bersama Nyali Kutu, senyumnya menjadi gembira dan ia menyambutnya penuh tawa. Apalagi mereka adalah teman, sehingga tak segan-segan Mata Neraka tahu-tahu melepaskan pukulan jarak jauhnya melalui sebatang rumput yang tadi digigit-gigitnya. Rumput panjang itu dikibaskan ke depan dan sebentuk tenaga dalam tanpa sinar melesat menghantam dada Panglima Makar yang ada di punggung kuda.
Wuuttt...! Buuhg...!
"Uuuhg...!" Panglima Makar terjungkal ke belakang, jatuh dari atas punggung kuda, sementara itu kudanya sendiri lari ketakutan dan dikejar-kejar oleh Nyali Kutu. Kuda itu menjadi liar karena kepalanya ikut terkena hantaman jarak jauh tersebut.
"Ha ha ha ha...! Lemah sekali kau sekarang, Panglima Makar!" seru Mata Neraka menertawakan jatuhnya Panglima Makar.
"Setan kecut kau! Aku sedang terluka, tahu!" bentak Panglima Makar sambil berusaha bangkit.
"O, kau sedang terluka"! Ha ha ha ha...! Pantas semakin bonyok saja dadamu! Coba lihat...!"
Panglima Makar dibawa ke gubuk. Bajunya dibuka. Dadanya tampak hitam kebiru-biruan. Mata Neraka menggumam, "Pukulan ini sangat berbahaya. Untung kau memiliki tenaga dalam yang cukup lumayan, sehingga bisa bertahan datang kemari!"
Sementara itu, Mata Neraka sendiri memperhatikan bagian ulu hati yang berwarna merah legam dan ada bagian yang merah samar-samar. Mata Neraka mengenali pukulannya sendiri, yaitu yang merah samar-samar. Tapi yang merah legam di ulu hati itu, jelas pukulan orang lain. Diam-diam Mata Neraka menggumam kagum melihat ketahanan Panglima Makar menerima pukulan-pukulan seberat itu.
Orang lain yang menerima pukulan-pukulan seberat itu pasti sudah mati sejak tadi, tapi Panglima Makar ini agaknya punya nyawa yang cukup bandel dan tak mau minggat dari raganya walau sudah dihantam beberapa kali di bagian dada. Jelas banyak luka di bagian dalam tubuh Panglima Makar.
Tanpa diminta, Mata Neraka segera menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Panglima Makar. Cukup lama hal itu dilakukan, sampai akhirnya pengobatan tersebut berhasil melumpuhkan racun dan luka yang ada di tubuh Panglima Makar. Pada saat itu, Nyali Kutu datang terengah-engah dan berkata kepada Panglima Makar,
"Kuda kita kabur, Tuan Panglima!"
"Aku sudah tahu kalau dia kabur! Tapi apakah kau tidak bisa mengejarnya dan membawanya pulang ke mari!"
"Tidak... tidak bisa, Panglima!"
"Bodoh amat kau ini!!" bentak Panglima Makar.
Mata Neraka tertawa sebentar, kemudian bertanya kepada Panglima Makar, "Apakah luka-lukamu itu yang membawamu datang kemari, Makar!"
"Bukan hanya karena luka, tapi aku ingin minta bantuanmu!"
"Aha...! Pasti kau ingin suruh aku membalaskan lawanmu yang telah melukai dadamu sebonyok itu, bukan!"
"Benar!"
"Huah hah hah hah hah....!" Mata Neraka tertawa terbahak-bahak. Panglima Makar bersungut-sungut menahan dongkol. "Siapa orang yang berani melukaimu sebonyok itu, hah!"
"Seorang anak muda!" jawab Panglima Makar masih bersungut-sungut.
"Dengan anak muda saja kau kalah. Bagaimana kau ini, hah" Mana kesaktianmu sebagai seorang panglima armada perang Kerajaan Swadanaga dulu, hah! Masa' dengan anak muda saja kalah!"
"Dia berilmu tinggi!"
"Hmm...! Siapa anak muda itu?"
"Pendekar Rajawali Merah!" jawab Panglima Makar.
Jawaban itu membuat Mata Neraka tertegun dengan wajah mulai penuh kebencian. Tak ada senyum lagi di bibir orang angker itu. Matanya pun sedikit menyipit membayangkan Pendekar Rajawali Merah yang setahu dia adalah murid Dewa Geledek. Terbayang kegagalannya menjerat Mahligai gara-gara kehadiran anak muda yang berlagak jagoan itu.
Panglima Makar mulai perdengarkan suaranya lagi, "Aku sudah berusaha mengerahkan ilmuku, tapi aku tak mampu menumbangkannya. Bahkan akulah yang dibuat seperti mainan oleh anak semuda dia!"
"Memalukan sekali!" gerutu Mata Neraka dalam geram.
"Terakhir kali pertempuran kami semakin dibuat parah oleh kemunculan manusia bertopeng merah. Dia menyerangku dengan satu kali pukulan dan membuatku semakin rapuh!"
"Siapa Topeng Merah itu!"
"Tak ku tahu wajahnya, juga tak ku tahu namanya, yang jelas pasti dia teman dari Pendekar Rajawali Merah yang datang membelanya!"
Mata Neraka tertegun sebentar, lalu berkata, "Kabar terakhir yang sempat kudengar dari orang lewat, Rajawali Merah sudah menemukan jodohnya, yaitu Rajawali Putih. Jika orang bertopeng merah itu adalah teman yang selalu melindungi murid Dewa Geledek itu, berarti orang tersebut adalah murid dari Dewi Langit Perak!"
"Bukankah Dewi Langit Perak sudah mati. Menurut kabarnya diserang oleh kakakmu dan ia jatuh ke laut yang ganas!"
"Memang. Tapi menurut penjelasan kakakku; Malaikat Gelang Emas, istri Dewa Geledek itu ternyata punya murid perempuan yang bernama Lili. Ketika Dewi Langit Perak jatuh ke laut yang ganas, murid itu pun ikut jatuh, tapi apakah keduanya mati atau tidak, kurang jelas! Belum lama ini Malaikat Gelang Emas melihat sekelebat burung Rajawali Putih ditunggangi seorang gadis muda, tapi tak jelas apakah dia murid Dewi Langit Perak atau gadis lain yang kebetulan bisa menjinakkan burung Rajawali Putih yang besar itu!"
"Apakah kau tak sanggup mengalahkan mereka!"
"Setan kau!" sentak si Mata Neraka dengan gusar. "Bayi seperti mereka hanya sekali injak modar semua!"
"Kalau begitu tolong balaskan sakit hatiku kepada Pendekar Rajawali Merah itu! Empat anak buahku mati dihabisi oleh mereka!"
Mata Neraka menghempaskan napas. Kesal dengan hatinya sendiri. Kemauan hati ingin segera membunuh murid-murid Dewa Geledek dan Dewi Langit Perak, sebab kedua orang sakti itulah yang melukai kakeknya dengan pukulan beracun ganda yang tak bisa disembuhkan, sampai akhirnya sang kakek mati hanya gara-gara ingin memperoleh sepasang pedang pusaka milik dua tokoh sakti itu.
Akhirnya, sang kakek pun mati dan dikuburkan disitu. Usaha merebut dua pedang pusaka diteruskan oleh cucunya, yaitu Malaikat Gelang Emas, yang telah memecah belah hubungan cinta antara Dewa Geledek dengan Dewi Langit Perak. Sedangkan sekarang kuburan sang kakek itu harus ditunggui oleh salah satu dari kedua murid dan cucu sekaligus yang masih hidup, yaitu Malaikat Gelang Emas atau Mata Neraka. Tiga saudara tua Mata Neraka telah tewas dalam upaya merebut dua pedang pusaka itu.
"Ini yang membuatku tak bisa pergi ke mana-mana," kata Mata Neraka. "Malaikat Gelang Emas akan marah jika aku keluyuran ke mana-mana Tugasku harus menunggui makam kakek ini selama tiga tahun!"
"Kenapa harus ditunggui. Bukankah ini hanya sebuah makam?"
"Memang. Tapi aku harus menjaga supaya makam ini tidak dilangkahi oleh orang."
"Jika dilangkahi dan tidak dilangkahi apa akibatnya?"
"Kakekku meninggal akibat racun ganda dari kedua guru anak-anak ingusan itu. Kakek berpesan, apabila la meninggal, usahakan agar kuburannya jangan sampai dilangkahi oleh siapa pun. Apabila selama tiga tahun kuburan ini tidak dilangkahi oleh siapa pun, maka kakek akan bangkit dari kubur dalam keadaan bebas racun ganda, tapi jika satu kali saja dilangkahi oleh orang, maka kakek akan mati selama-lamanya dan tidak akan bangkit lagi. Karena itulah aku ditugaskan menjaga makam kakek supaya jangan sampai ada yang melangkahinya! Karena kami berharap kakek bisa bangkit lagi. Dan jika kakekku bangkit lagi, maka seluruh dunia persilatan akan dikuasai olehnya!"
Setelah diam beberapa saat dan merenungi cerita tersebut, Panglima Makar kembali membujuk Mata Neraka dengan berkata, "Jika memang itu tugasmu, aku sanggup menggantikan tugasmu sementara kau pergilah mencari Pendekar Rajawali Merah, bunuh dia! Aku yang menjaga makam ini supaya tidak dilangkahi oleh siapa pun!"
"Tapi kakakku jika melihatnya akan marah dan menghajarku! Sebab aku dianggap melalaikan tugas!"
"Katakan saja, Panglima Makar yang menjaga makam ini! Apa bedanya dijaga olehmu dengan dijaga oleh ku, toh maksud penjagaannya aku sudah tahu persis, yaitu supaya makam jangan dilangkahi orang!"
Mata Neraka membenarkan kata-kata Panglima Makar dalam hatinya. Tapi ia sendiri masih diliputi kebimbangan untuk meninggalkan makam seperti tempo hari. Tapi jika dengan alasan bahwa makam sudah ada yang menjaganya, maka kemungkinan besar Malaikat Gelang Emas bisa memaklumi keadaan adiknya.
"Berangkatlah!" bujuk Panglima Makar. "Biar ku jaga makam ini! Aku pun gembira kalau kakekmu bisa bangkit lagi, setidaknya aku bisa menjadi muridnya atau pengikutnya!"
"Baiklah kalau begitu!" jawab Mata Neraka. "Akan kucari Pendekar Rajawali Merah maupun Putih. Kupenggal kepala mereka dan kutancapkan didepan situ sebagai tontonanku setiap harinya!"
"Aku percaya kau pasti berhasil, karena ilmu yang kau miliki jauh lebih tinggi dari ilmu yang ada padaku, maupun yang ada pada mereka! Kau pasti bisa memenggal kepala mereka, Mata Neraka!" sambil Panglima Makar menepuk-nepuk pundak orang angker itu.
Maka terbakarlah semangat Mata Neraka mendengarkan sanjungan itu, dan pergilah ia mencari Pendekar Rajawali Merah, maupun Pendekar Rajawali Putih. Kuburan sang kakek dipercayakan kepada Panglima Makar yang ditemani oleh pengikut setianya, yaitu Nyali Kutu.
SEMBILAN
RUPANYA percakapan tentang makam itu ada yang mencuri dengar. Ketika Mata Neraka melangkah meninggalkan makam antara delapan tindak, tiba-tiba ekor matanya melihat sekelebat bayangan yang melesat dari balik pohon. Cepat-cepat Mata Neraka memutar tubuhnya dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya dengan menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt...!
Pukulan jarak jauhnya yang bertenaga tinggi itu berhasil melesat mengenai tubuh yang melayang hendak melompati makam dari arah belakang gubuk. Tubuh itu belum sampai di atas makam sudah terhantam pukulan jarak jauh Mata Neraka.
Buuuhg...! Brraak...! Gubraasss...!
Tubuh itu terpental dan menabrak gubuk. Gubuk itu menjadi rubuh, tapi tubuh tersebut segera melesat naik dengan jejakan kaki kirinya ke tanah. Melesatlah ia menerabas atap gubuk yang terbuat dari anyaman ilalang kering itu. Maka jebol pula atap gubuk tersebut dan keadaan gubuk itu sudah menjadi morat-marit.
Kejadian yang begitu cepat itu membuat Panglima Makar terpukau ditempat dan menggeragap sampai tak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ketika ia memperoleh kesadarannya kembali, matanya sudah memandang ke arah gadis cantik yang berdiri di jalanan menuju makam.
Sementara itu, Mata Neraka juga sudah berdiri dan siap menyerang gadis yang ingin melompati makam tersebut. Melihat pedang di punggung mempunyai gagang berhias kepala rajawali dari bahan perak putih, maka Mata Neraka segera dapat mengenali bahwa gadis itu adalah Pendekar Rajawali Putih.
Panglima Makar berseru, "Mata Neraka, pergilah sana! Biar kuhadapi gadis itu!"
"Tidak bisa, Panglima Makar! Kau habis terluka berat, dan gadis itu adalah si Pendekar Rajawali Putih!"
"Hahh..."!" Panglima Makar terbelalak kaget.
Nyali Kutu menyahut di samping Panglima Makar, "iya, memang dia gadis yang ikut membunuh Rahang Besi, Tuan Panglima!"
"Kenapa dari tadi diam saja kau!" sambil tangan Panglima Makar mendorong kepala Nyali Kutu.
Lili sama sekali tidak sengaja datang ke kuburan itu. Setelah ia ditinggal pergi Yoga yang membawa Mahligai ke rumah bibinya, Lili pergi tak tentu arah dengan hati kecewa namun memendam rindu. Akhirnya ia menangkap suara orang bercakap-cakap yang menyebut-nyebut kata 'rajawali', maka ia mendekati tempat mereka dan mendengar semua yang dikatakan oleh Mata Neraka. Itulah sebabnya Lili ingin melangkahi makam itu, supaya kakek Mata Neraka tidak bisa bangkit lagi di kelak kemudian hari.
Tetapi usahanya itu sempat gagal, karena mata jeli adik Malaikat Gelang Emas Itu mengetahui gerakannya. Kini Pendekar Rajawali Putih terpaksa harus berhadapan dengan si Mata Neraka. Sedikit pun tak ada gentar pada diri Pendekar Rajawali Putih, bahkan ia masih bisa memandang lawannya yang gusar itu dengan tenang.
"Rupanya aku tidak perlu terlalu repot mencarimu, Anak Manis! Sungguh mati aku tidak pernah bayangkan kalau murid Dewi Langit Perak itu ternyata cantiknya melebihi wajah bidadari!"
"Tutup mulutmu, Manusia sesat! Bersiaplah terbang ke neraka menyusul kakekmu yang ada di dalam kubur itu!"
"Gggrrmm...!" Mata Neraka menggeram dengan wajah semakin angker. "Bocah bayi bau pesing masih berani berkoar begitu di depanku! Habislah nyawamu sekarang juga! Heaaah...!" Mata Neraka semburkan cahaya merah dari kedua matanya ke arah Pendekar Rajawali Putih.
Wuuttt...! Bluubb...! Wuusss...!
Sinar merah itu membakar tanah yang tadi dipijak oleh Lili, sedangkan Lili sendiri telah melentingkan tubuh dan berpindah tempat dengan gerakan salto satu.kali. Sambil bersalto ia melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui telapak tangan, berupa selarik sinar hijau yang menghantam ke arah Mata Neraka.
Zlappp...! Blarrr...!
Sinar hijau itu terhantam oleh sinar merah lagi dari telapak tangan Mata Neraka. Akibatnya ledakan itu membuat Mata Neraka terbang ke belakang karena terpental hebat. la jatuh berguling-guling menyusuri jalanan menurun. Sedangkan Pendekar Rajawali Putih hanya jatuh di tempat, untuk kemudian segera bangkit dan mengejar Mata Neraka. la mengejar dengan bersalto berulangkali dengan tangan dan kaki menapak tanah secara bergantian. Keadaan seperti itu sulit bagi Panglima Makar untuk membokong Lili, melepaskan pukulan jarak jauh dari arah belakang Lili.
Srettt...!
Pedang besar berujung lengkung dan runcing itu dicabut oleh Mata Neraka. Pendekar Rajawali Putih belum mau mencabut pedang pusakanya, karena merasa masih mampu menghadapi lawan tanpa senjata. la hanya mengerahkan tenaga dalamnya melalui kedua tangan yang melintang di dada, lalu segera melepaskan jurus mautnya yang berupa sinar biru patah-patah dari perpaduan dua jari tengah tangannya. Sinar biru patah-patah itu meluncur dengan deras dan cepat.
Zlap, zlap, zlap, zlap, zlap...!
"Hiaaat...!" Mata Neraka menggerakkan pedangnya hingga menghadang di depan dada. Pe-dang itu memantulkan sinar biru yang membenturnya. Setiap sinar biru yang membentur pedang membalik ke arah Lili dengan membentuk sudut kecil.
"Hiaaah...!" Lili memekik sambil bersalto ke beberapa arah, karena ia hampir saja dihantam habis oleh sinar birunya sendiri. Pada saat bersalto ke beberapa arah itulah, mata manusia berwajah angker itu melepaskan selarik sinar merah.
Claapp...!
Dan Pendekar Rajawali Putih segera sentakkan tangan kanannya, melepaskan sinar putih yang menghantam sinar merah terang itu.
Blaarrr...!
Ledakan kali ini lebih besar lagi, gelombang ledakannya makin bertambah kuat. Tubuh Pendekar Rajawali Putih terpental dan jatuh berguling-guling menuruni tanah miring, demikian pula Mata Neraka juga menuruni tanah miring dan berguling-guling.
"Jangan lari kau, Bangsaaat...!" teriak Mata Neraka.
"Aku di sini, Beruk!" seru Lili.
"Heaaat...!" Mata Neraka melompat dalam satu sentakkan kaki, tubuhnya melayang maju bagaikan terbang dengan pedang siap ditebaskan.
Sedangkan, Lili pun rupanya tak mau kalah maju. Ia juga melesat bagaikan terbang dengan tangan lurus ke depan, siap menghantam dengan kedua telapak tangannya. "Hiaaat...!"
Pedang besar itu pun ditebaskan. Telapak tangan gadis cantik itu seperti baja. Trangng...! Pedang itu ditahan dengan telapak tangannya tanpa luka sedikit pun. Kemudian, telapak tangan yang kiri menghantam dada Mata Neraka.
Buuhg...!
"Eehg...!" Mata Neraka memekik. Tubuh mereka bersimpangan di udara. Cepat-cepat kaki Pendekar Rajawali Putih menendang ke belakang bagaikan seekor kuda memencal lawannya.
Deesss...!
Tepat mengenai punggung lawan, setelah itu ia bersalto satu kali dan mendarat dengan sigap di tanah. Sedangkan Mata Neraka jatuh tersungkur dengan wajah membentur batu. Darah pun mulai mengucur dari batang hidung Mata Neraka. Melihat lawannya masih tersungkur, Pendekar Rajawali Putih segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya dari kedua tangan yang berhimpit di depan dada, lalu dibentangkan ke atas telinga. Telapak tangan itu melepaskan sinar ungu dua larik yang segera bertemu di pertengahan jarak dan menjadi satu menghantam punggung Mata Neraka.
Wuuusst...! Blaarrr...!
Pendekar Rajawali Putih terkejut sekali melihat ada sinar merah mematahkan sinar ungunya, Sinar merah itu bercampur dengan sinar biru, seperti cakram bentuknya. Bagian tengah merah, tepiannya biru. Dan sinar tersebut menghantam sinar ungu dari arah samping kanan. Tepat menghadang di ujung sinar ungu tersebut.
Akibatnya timbul ledakan yang amat dahsyat dan membuat tubuh si Mata Neraka terpental berjungkir balik tak karuan, sedangkan tubuh Pendekar Rajawali Putih pun terpelanting jatuh dan berguling-guling lagi menuruni tanah miring. Tubuh itu terbentur pohon dan berhenti berguling. Tulang rusuk Lili terasa patah akibat benturan dengan pohon yang cukup kuat.
Dengan menahan rasa sakit, Pendekar Rajawali Putih berusaha bangkit. Ia memandang ke arah Mata Neraka, ternyata dari arah datangnya sinar merah bertepian biru tadi muncul sesosok tubuh yang terbungkus kain merah seluruhnya. Dialah si Topeng Merah.
"Edan betul orang bertopeng merah itu! Siapa dia sebenarnya! Ada di pihak mana dia. Kelihatannya dia membela si Mata Neraka!" pikir Lili sambil menyipit dalam memandangnya. Kehadiran manusia bertopeng merah itu agaknya tidak dihiraukan oleh Mata Neraka.
Orang bengis itu segera bangkit dan mengambil pedang besarnya yang tadi terpental jatuh saat terjadi ledakan. Kemudian ia mengejar Pendekar Rajawali Putih yang ada di tanah bawahnya. Sambil melontarkan teriakan liar, la berlari dengan cepat dan pedangnya siap ditebaskan dari atas ke bawah. Sedangkan si Topeng Merah itu pun ikut-ikutan mengejar Lili dengan gerakan yang lebih cepat dari Mata Neraka.
Wuusstt...!
Kembali Lili melepaskan pukulan bersinar merah, kali ini sinar merah itu berkelok-kelok dan keluar dari jarijarinya. Dengan kedua tangan masih terangkat memancarkan sinar merah berkelok-kelok. Pendekar Rajawali Putih melihat sekilas sinar biru melesat dari tangan si Topeng Merah. Padahal sinar dari jemarinya itu diarahkan kepada Mata Neraka dan tubuh Mata Neraka terbungkus sinar merah.
Orang itu tak bisa bergerak dan berteriak-teriak kesakitan seperti terkena aliran listrik, tubuhnya pun mengejang-ngejang. Sayang sekali sinar biru itu datang dan hampir mengenai kepala Pendekar Rajawali Putih. Untung gadis itu segera berguling dan hentikan serangannya kepada si Mata Neraka.
Sinar biru itu melesat di atas kepalanya hanya dalam jarak kurang dari satu jengkal. Sinar itu membentur bongkahan batu, dan bongkahan batu itu bukan saja meledak menjadi kepingan-kepingan kecil, namun hancur lebur menjadi butiran-butiran pasir yang menyembur.
Bruusss...!
"Auh...! semburan pasir itu ada yang masuk ke mata Pendekar Rajawali Putih. Akibatnya, Lili tak bisa melihat lawannya dengan jelas. Matanya perih dan sibuk membersihkan dari pasir-pasir itu.
"Celaka, aku tak bisa melihat serangan lawan kalau begini! Aku harus melarikan diri ke mana saja!" pikir Lili. Maka dengan gerakan yang dinamakan Jurus 'Langkah Bayu', Lili pun melesat pergi dan tak terlihat gerakannya oleh kedua lawannya itu.
"Biadab kau! Jangan lari! Ku buru kau ke mana saja, Jahanam!" seru si Mata Neraka sambil wajahnya berlumuran darah.
edangkan si Topeng Merah Itu pun lenyap menghilang ketika Mata Neraka berpaling ke belakang, ingin mengajaknya bicara. Entah ke mana si Topeng Merah bersembunyi saat itu, yang jelas Mata Neraka tidak mau kehilangan lawannya, maka ia pun segera mengejar Lili, mencarinya ke arah mana saja, jauh dari makam kakeknya.
Angin besar datang di sekeliling makam itu. Nyali Kutu deg-degan, karena hari itu matahari sudah hampir tenggelam. Angin besar datang seperti awal kehadiran hantu-hantu kuburan. la bergegas mendekati Panglima Makar yang sedang tertegun memandangi makam itu sambil menunggu Mata Neraka kembali.
Di makam itu tumbuh setangkai bunga seperti mawar tapi berwarna kuning. Indah sekali warnanya di ujung senja itu. Panglima Makar tertarik untuk memetiknya. Tapi ketika ia membungkuk, tiba-tiba tangan yang akan memetik bunga di atas makam itu menjadi kaku dan sakit sekali. Disusul kemudian tubuhnya tersentak dan jatuh ke belakang dalam keadaan terpental keras.
la merasakan ada seseorang yang menendangnya dari samping yang membuat perutnya menjadi sangat mual, Nyali Kutu terbengong saja bagaikan patung hidup memandangi tuannya jatuh terkapar di dekat reruntuhan gubuk. Ia tak tahu apa penyebabnya, tapi ia lihat wajah tuannya menjadi pucat pasi seperti orang mau mati. Nyali Kutu gemetar dan ikut-ikutan pucat pasi.
Panglima Makar mencoba bangkit dengan masih menyeringai. Lalu ia memandang ke arah makam itu, ternyata masih kosong. Tidak ada seorang pun di sana. Namun tiba-tiba ia dikejutkan sebuah suara besar dari arah samping kirinya,
"Keparat busuk kau, Makar!"
"Ooh..."!" Panglima Makar sangat terkejut melihat orang berjubah hitam dengan tepian jubah warna merah mengkilap.
Orang itu berwajah angker, kumisnya tebat, dan melengkung ke bawah menjadi satu dengan jenggotnya yang pendek. Alisnya juga tebal dan membentuk garis sangar ke atas. Rambutnya botak separo kepala, bagian belakang tumbuh panjang sebatas pundak. Kepala botak separo itu diikat dengan ikat kepala kain merah mengkilap dengan simbol swastika ditengah keningnya. Ciri-ciri itulah yang membuat Panglima Makar terkejut dan menjadi takut, karena orang itu adalah Malaikat Gelang Emas.
"Mana si Mata Neraka"!" gertak Malaikat Gelang Emas.
"Per... pergi...! Memburu... memburu...."
"Siapa yang menyuruhnya pergi, hah"! Kau yang menyuruhnya!"
"Iya... iya! Aku menunjukkan di mana Pendekar Rajawali Merah berada! Lalu, Mata Neraka ingin membunuh murid Dewa Geledek itu, juga akan membunuh murid Dewi Langit Perak...!"
"Dari mana kau tahu ada Pendekar Rajawali Merah?"
"Ak... aku diserangnya! Dan aku mengadu pada Mata Neraka, sehingga Mata Neraka...."
Plookkk...! Buuhk...!
"Eeehg...!" Wajah Panglima Makar dihantamnya kuat-kuat oleh Malaikat Gelang Emas, juga dadanya ditendang dengan sangat kuatnya hingga hampir saja jebol.
"Kalau begitu kau yang menjadi penyebab perginya adikku itu! Kau yang mempengaruhinya, sehingga ia meninggalkan tugasnya! Bangsat busuk kau, Makar!"
Panglima Makar yang terkapar itu segera didekati. Lalu, jari tangan kanan Malaikat Gelang Emas mekar semuanya, menekuk kaku dan disentakkan ke bawah. Zraaap...! Sinar merah seperti petir menancap di dada Panglima Makar. Tubuh itu tersentak kejang satu kali, setelah itu lenyap, tinggal pakaiannya. Tulang dan rambutnya tidak tersisa sedikit pun.
"Kau layak mendapat hukuman dariku, karena telah mempengaruhi Mata Neraka meninggalkan tugas!" geram Malaikat Gelang Emas.
Dan hal itu membuat Nyali Kutu menjadi semakin gemetar dan basah celananya karena tak tahan membendung air seninya. Ia sangat ketakutan melihat tuannya meninggal dan tubuhnya meleleh begitu saja, tinggal pakaiannya yang tersisa.
"Siapa kau..."!" bentak Malaikat Gelang Emas kepada Nyali Kutu.
Nyali Kutu tak bisa menjawab kecuali hanya menuding-nuding pakaian Panglima Makar. Mulutnya ternganga tanpa suara.
"0, kau pelayannya Makar!"
Seperti orang gagu, Nyali Kutu mengangguk-angguk antara tersenyum dengan menyeringai ketakutan. Malaikat Gelang Emas memandanginya sesaat, kemudian berkata,
"Jaga kuburan ini, sebagai ganti tuanmu menjaganya! Jangan ada yang melangkahi, dan jangan coba-coba kau lari! Ke mana pun kau lari akan kukejar dan ku binasakan seperti tuanmu itu! Mengerti!"
Nyali Kutu mengangguk-angguk dengan. wajah semakin pucat membiru, sedangkan Malaikat Gelang Emas segera pergi. Mata Nyali Kutu terbelalak hampir copot dari kelopaknya melihat Malaikat Gelang Emas menembus pohon, bagaikan bayangan yang melesat pergi dengan tanpa peduli benda apa pun di depannya. Rupanya ia ingin mengejar Mata Neraka dan ingin menghajar sang adik karena melalaikan tugas utama, yaitu menjaga makam kakek mereka.
Tetapi Mata Neraka tidak tahu kalau sedang dikejar oleh kakaknya. la sendiri sibuk mengejar Pendekar Rajawali Putih ke berbagai arah. Sementara itu Pendekar Rajawali Putih sendiri sibuk membersihkan matanya ketepi sungai sambil hatinya membatin,
"Apa urusan si Topeng Merah itu sehingga menyerangku! Siapa sebenarnya dia. Apakah dia orang utusannya si Malaikat Gelang Emas! Ilmunya cukup tinggi juga! Mataku jadi perih begini! Kuhabisi dia kalau sampai ketemu denganku satu lawan satu. Kalau saja ada Yoga di situ, pasti Mata Neraka dan Topeng Merah segera dibabat habis dengan memadukan dua jurus rajawalinya itu. Sayang sekali Yoga ada bersama Kembang Mayat. Benarkah disana Yoga akan dapatkan bunga Teratai Hitam. Bagaimana jika Yoga justru terkena Racun Bunga Asmara yang dimiliki Kembang Mayat itu. Lalu, bagaimana dengan Topeng Merah. Siapa sebenarnya dia?"
SELESAI
Selanjutnya,