Jodoh Rajawali - Ratu Kembang Mayat
GADIS cantik berparas lonjong berjalan merapatkan badan di sebelah kiri pendekar tampan; Yoga Prawira yang mengenakan baju selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya. Bukan hanya berdebar mesra saja hati gadis itu, tapi juga merasa bangga dapat seir-ing melangkah bersama seorang pendekar yang na-manya cukup dikenal di kalangan tokoh-tokoh rimba persilatan yaitu: Pendekar Rajawali Merah.
Gadis cantik berambut panjang yang disanggul kecil di tengah dengan sisanya meriap ke samping, merasa damai hatinya manakala ia dibiarkan menggenggam lengan Pendekar Rajawali Merah yang kekar, gagah. dan tampak perkasa itu. Gadis itu membiarkan jubah ungu berlengan longgar yang menutup pakaian hijaunya berkibar disapu angin. Seakan sang angin sendiri merasa ikut gembira melihat langkahnya yang santai dengan diselingi obrolan-obrolan mesra.Sementara itu, di belakang mereka berdua berjalan seorang wanita cantik yang usianya lebih tua dari yang menggandeng Yoga, dan wanita cantik itu menyimpan rasa iri yang tak mungkin dilampiaskan. Sikapnya yang penuh waspada memandang kanan-kiri menandakan sikap seorang pengawal. Wanita cantik berwajah mungil dengan rambut berponi itu tak lain adalah Lembayung Senja, yang bertugas menjaga keselamatan ketua perguruannya, yaitu Kembang Mayat.
Hati Lembayung Senja sendiri sebenarnya Ikut merasakan gembira, karena Kembang Mayat berhasil menyiasati Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu, dengan mengatakan bahwa di tempatnya banyak terdapat bunga Teratai Hitam. Yoga terkecoh sebenarnya, dan ia bernafsu sekali untuk ikut ke Pesanggrahan Belalang Liar demi mendapatkan Teratai Hitam.
Kalau bukan karena merasa iba melihat nasib Mahligai yang terkena Racun Edan dan harus disembuhkan dengan bunga Teratai Hitam, mungkin Yoga tak akan ikut ke tempat tinggal Kembang Mayat (Baca Jodoh Rajawali dalam kisah: "Misteri Topeng Merah").
Sejauh ini, Pendekar Rajawali Merah memang belum tahu bahwa dirinya ditipu untuk dipancing supaya ikut bersama Kembang Mayat, sebab hati Kembang Mayat semakin lama semakin terkesan oleh kelembutan Yoga, juga terkesan oleh ketampanan dan senyumnya yang memikat. Namun sebagai Ketua Per-guruan Belalang Liar, tentu saja Kembang Mayat tidak menampakkan perasaan hatinya.
Ketika ia mengajaknya bermalam ke rumah seorang sahabat, Kembang Mayat pun tidak kelihatan mengumbar cintanya. Di rumah sahabatnya itu, ia ju-stru banyak bicara dengan Lembayung Senja di dalam sebuah kamar. Sementara itu, Yoga ada di kamar lain dan tak tahu apa yang dibicarakan mereka.
"Padahal kalau kita mau bergerak cepat, kita sudah sampai ke pesanggrahan sebelum matahari tenggelam," kata Lembayung Senja pada malam itu.
Kembang Mayat tertawa kecil dan berkata, "Sengaja ku perpanjang perjalanan, supaya aku punya banyak kesempatan menikmati alam bebas bersama Pendekar Rajawali Merah. Apa katamu itu memang benar, Lembayung Senja. Dia memang lebih layak mendapat gelar atau julukan sebagai pendekar tampan pemikat hati wanita! Karena saat ini begitu cepat aku dapat merasakan daya pikatnya yang luar biasa. Padahal selama ini aku tidak pernah merasakan terpikat sebegitu hebat terhadap seorang pemuda. Tapi terhadap pendekar tampan itu, rasa terkesan ku sudah berubah menjadi terpikat, dan akhirnya menjadi ingin memiliki dia! Apakah hatimu tidak begitu, Lembayung Senja?"
“Tidak, Ketua!" jawab Lembayung Senja.
"Mengapa kau tidak terpikat olehnya?"
"Saya takut jatuh cinta, Ketua!"
"Apa yang kau takuti? Jatuh cinta itu indah!"
"Saya takut tidak bisa lepas dari orang yang saya cintai. Jadi saya menutup diri untuk tidak jatuh cinta pada siapa pun!"
"Aha, aneh juga kau rupanya!" Kembang Mayat tertawa pelan.
Padahal di dalam hati Lembayung Senja tidak seperti apa yang diucapkannya. Ia justru lebih dulu terpikat ketimbang sang Ketua. Namun karena pendekar tampan itu diincar oleh sang Ketua, ia tidak berani bersaing, dan secara tidak langsung mengundurkan diri dari hasratnya. Ia merasa cukup menyimpan perasaan hatinya jauh di dasar sanubarinya dan tak berani dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itulah, Lembayung Senja bisa merasakan kebahagiaan yang tumbuh di hati sang Ketua, manakala ia berjalan dl belakang sang Ketua yang menggenggam lengan pendekar tampan itu.
Langkah mereka terhenti ketika dari tikungan jalan muncul seorang berpakaian hitam, berkumis, dan berkepala mendongak. Orang itu adalah Jalak Hu-tan, yang pernah mendapat tendangan jurus 'Rajawali Paruh Pendek' dari Yoga sehingga kepalanya tetap mendongak tak bisa kembali seperti biasanya.
Melihat ada orang berdiri menghadang dalam keadaan menyamping, dengan mata memandang miring, Kembang Mayat segera memberi isyarat kepada Lembayung Senja untuk maju ke depan. Lembayung Senja cepat melangkah dan mendekati Jalak Hutan dengan tangan siap mengambil cambuknya dari ping-gang. Tetapi terdengar suara Yoga berseru,
"Biar aku yang temui dia, Lembayung Senja!"
Lembayung Senja memandang Kembang Mayat. Isyarat kecil diberikan oleh Kembang Mayat sehingga Lembayung Senja mundur dan membiarkan Yoga mendekati Jalak Hutan.. Sekalipun begitu, Kembang Mayat tetap menyertainya, Lembayung Senja tetap menjaganya.
"Agaknya kau sengaja menemuiku, Jalak Hutan!" kata Yoga.
"Benar! Aku memang sengaja menemuimu, walau sulit bagiku mencarimu, Pendekar Rajawali Merah!" jawab Jalak Hutan tidak sekasar sebelumnya, sehingga Yoga sendiri bersikap tenang.
"Apakah kau masih ingin melanjutkan pertarungan kita kemarin?"
"Tidak! Ada beberapa hal yang ingin kukatakan padamu secara empat mata, Yoga!"
Kembang Mayat berkerut dahi, merasa tak suka mendengar ucapan tersebut. Seakan ia ingin dis-ingkirkan dari pembicaraan mereka berdua. Maka Kembang Mayat pun segera berkata, "Bicaralah di sini, tak perlu harus empat mata!"
"Ini soal pribadi!" kata Jalak Hutan kalem.
"Kau juga telah mengganggu perjalanan pribadiku!" balas Kembang Mayat dengan suara sedikit tinggi. Yoga mulai menangkap adanya gelagat tak baik dalam perasaan Kembang Mayat yang pasti tersinggung dengan kata-kata Jalak Hutan tadi.
Maka, Yoga pun segera berkata, "Beri aku kesempatan bicara dengannya, Kembang Mayat. Antara aku dan dia pernah bertarung gara-gara pedang pusaka milik guruku. Mungkin dia ingin mengatakan sesuatu dan malu jika didengar kamu."
Dengan napas terhempas menahan dongkol dan wajah sedikit murung, akhirnya Kembang Mayat mengizinkan Yoga bicara dengan Jalak Hutan berdua. Mereka segera melangkah ke bawah sebuah pohon, se-dikit berlindung di belakang pohon itu.
"Kita lupakan dulu pertikaian antara kita berdua," kata Jalak Hutan, dan Yoga menyahut,
"Kalau itu maumu, aku tak pernah keberatan! Lalu apa maksudmu bicara empat mata denganku, Jalak Hutan?"
Sambil tetap mendongakkan kepala, Jalak Hutan menjawab, "Aku mempunyai seorang keponakan yang cantik...."
"Kau mau menukar keponakanmu itu dengan pedang pusakaku ini?" potong Yoga kaget.
"Dengar dulu kata-kataku, Yo!" sergah Jalak Hutan sedikit keras. Hal itu membuat Lembayung Senja mencabut cambuknya dan melangkah mendekati Yoga.
Tangan Yoga memberi isyarat bahwa di situ tidak terjadi hal yang membahayakan. Maka Lembayung Senja pun kembali berdiri di samping Kembang Mayat dengan cambuk tetap di tangan, sewaktu-waktu siap dilecutkan. Melihat sikap jaga-jaganya Lembayung Senja, Jalak Hutan segera bertanya kepada Yoga,
"Apakah kau punya hubungan intim dengan Kembang Mayat dan orang Perguruan Belalang Liar itu?"
"Tidak s intim dugaanmu! Aku hanya ada urusan sedikit dengan Kembang Mayat untuk menolong seseorang! Lanjutkan saja kata-katamu!"
"Begini, Yo..., aku mempunyai seorang keponakan yang sangat ku sayangi! Dia mengenal kamu, dia pernah bertemu dengan kamu, dan dia menyuruhku mencari kamu untuk menyampaikan kabar darinya, bahwa dia rindu sama kamu! Dia mengharapkan kedatanganmu, Yo!"
"Siapa nama keponakanmu itu?"
"Mutiara Naga!"
"Oooh... dia keponakanmu?!"
"Benar, Yo!"
Pendekar Rajawali Merah manggut-manggut sambil tersenyum. Terbayang wajah Mutiara Naga yang berhidung mancung, wajah bulat telur, mata bulat indah, dan rambutnya yang panjang diikat jadi satu dengan tali pita merah. Sisa pitanya cukup panjang hingga melambai-lambai bagaikan ekor burung cenderawasih.
"Datanglah padanya, Yo. Dia sangat merindukan kamu. Sebenarnya aku enggan menemuimu dengan sikap seperti saat ini, tapi karena dia merengek terus padaku, dan aku tak bisa bilang apa-apa lagi, maka kucari juga kau, Yo! Dan... dan... yah, mau tidak mau kita berhenti dululah dari pertikaian kita!"
"Heh... lucu sekali!" kata Yoga sambil tertawa pendek dan pelan.
"Dia mencintaimu, Yo! Dia tekadkan hati untuk kawin denganmu! Jadi, karena itulah kuharap kau mau datang padanya. Yo!"
Tiba-tiba suara Kembang Mayat menyahut dari jarak empat tombak. "Tidak bisa! Yoga punya urusan sendiri denganku dan harus diselesaikan sekarang juga!"
Yoga dan Jalak Hutan tertegun memandang ke arah Kembang Mayat. Rupanya Kembang Mayat gunakan ilmu penyadap suara, sehingga dari jarak sejauh itu pun ia masih bisa dengarkan suara bisik-bisik percakapan kedua lelaki itu.
"Yo, kita lanjutkan perjalanan kita dan jangan hiraukan omongan orang mabuk itu!" kata Kembang Mayat yang telah menyusul sambil menarik tangan Pendekar Rajawali Merah.
Jalak Hutan segera berseru, "Hei, jangan campuri dulu urusan pribadiku, Kembang Mayat!"
"Kau yang merampas urusan pribadi orang dengan mencegat seenaknya saja!" bentak Kembang Mayat.
Yoga menengahi, "Kembang Mayat, sebaiknya ku beri keputusan dulu kepada Jalak Hutan bahwa...."
"Kalau kau masih mengurus dia, tidak akan ku izinkan kau memetik bunga itu dari tempatku!" ancam Kembang Mayat dengan ketus.
Pendekar Rajawali Merah menjadi bimbang. ia butuh sekali bunga Teratai Hitam itu agar Mahligai lekas sembuh, namun ia perlu memberi jawaban past! kepada Jalak Hutan bertalian dengan permohonan Mutiara Naga itu. Tetapi di lain sisi ia diancam oleh Kembang Mayat dan tak enak jika sampai mengecewa-kan sahabat barunya itu.
"Kembang Mayat!" seru Jalak Hutan setelah mereka melangkah makin jauh, "Jangan paksa aku melepaskan amarahku kepadamu! Biarkan Yoga ikut denganku, Kembang Mayat!"
"Lembayung Senja, urusi dia!" perintah Kembang Mayat kepada Lembayung Senja dan wanita cantik itu bergegas membalikkan langkah sambil mencabut cambuknya.
Yoga mulai cemas dan berusaha menahan apa yang ingin dilakukan Lembayung Senja. "Lembayung Senja, tahan dulu...!"
Tapi terlambat, Lembayung Senja cepat berge-rak dan cambuknya segera melecut ke arah Jalak Hu-tan. Taaar...! Jalak Hutan melompat ke kiri, ternyata gerakan cambuk itu seperti kibasan ekor buaya, ia bergerak ke kanan namun sesungguhnya ujung cam-buk mengarah ke kiri. Maka tak ayal lagi, Jalak Hutan pun terkena lecutan cambuk pada pahanya.
Craas...!
"Auh...!" Jalak Hutan memekik kesakitan. Ujung cambuk itu setajam mata pedang. Paha Jalak Hutan robek, lukanya menguak dan darahnya mengalir deras. Darah itu lama-lama menjadi kehitam-hitaman, itu pertanda racun dari ujung cambuk telah membaur dengan darah di tubuh Jalak Hutan.
"Jangan serang dia!" sentak Yoga sambil menyambar cambuk dari tangan Lembayung Senja. Tapi Lembayung Senja mempertahankan dan berkata kepada Yoga,
"Ini perintah dari Ketua!"
"Penyelesaiannya tidak harus dengan cara keras begini!"
Tiba-tiba Jalak Hutan melepaskan pukulan bercahaya merah melesat menuju Lembayung Senja. Melihat kilatan cahaya merah itu, Yoga segera menyentakkan tangannya dan melepaskan cahaya merah pula ke arah cahayanya Jalak Hutan.
Blaaar...! Cahaya itu pecah di pertengahan dan tak jadi mengenai tubuh Lembayung Senja. Tetapi akibat ledakan itu, Lembayung Senja terpental keras, hanya untungnya segera dipeluk oleh Yoga untuk diselamatkan dari hempasan kuat, sedangkan Jalak Hutan terpental dan berguling-guling mendekati pohon di mana tadi ia berdiri.
Melihat Lembayung Senja dipeluk oleh Yoga, Kembang Mayat menjadi semakin jengkel, karenanya ia segera berseru, “Yo, mau ikut aku atau tidak! Kalau tidak, ku tinggalkan kau di sini!"
Kembang Mayat mempercepat langkah dan melesat pergi. Terpaksa Yoga segera men-gejarnya karena takut kehilangan arah. Lembayung Senja masih tinggal di tempat dan kembali mengham-piri Jalak Hutan.
Racun yang meresap dalam darah Jalak Hutan membuat tubuhnya menjadi lemas. Akibatnya, ketika Lembayung Senja menghajarnya, Jalak Hutan tidak bisa membuat perlawanan. Apalagi keadaan kepalanya masih kaku mendongak begitu, maka dengan seenaknya Lembayung Senja menghajar memakai cambuknya. Akibatnya Jalak Hutan menderita luka-luka cukup banyak dan ia segera melarikan diri.
Untung Lembayung Senja tak sampai membunuhnya. la merasa puas melihat lawannya menderita banyak luka cambukan, berarti lawan dalam keadaan semakin lemas tubuhnya termakan racun dari ujung cambuk. Kemudian ia bergegas pergi menyusul Kembang Mayat dan Pendekar Rajawali Merah.
Jalak Hutan berusaha mencari tempat yang lebih aman lagi. Sasaran arah adalah pondok Tabib Perawan. Setidaknya di sana ia bukan saja mendapat tempat aman, melainkan juga bisa mendapat obat untuk melawan racun dari ujung cambuk tadi. Tetapi agaknya langkahnya sudah sangat lemah, tenaganya bagai hilang.
Jalak Hutan hanya merapatkan badan di bawah pohon besar dan terengah-engah di sana mena-han luka. Ia berusaha menyembuhkan lukanya sendiri dalam keadaan susah payah, karena kepalanya tetap mendongak dan tak bisa dipakai untuk melihat luka-lukanya.
Beberapa saat kemudian, ketika hari mulai merayap siang dan matahari pun mendekati titik pertengahannya, Jalak Hutan melihat sekelebatan warna merah jambu. Warna itu adalah pakaian seseorang yang berkelebat di balik semak antara delapan tombak darinya. Jalak Hutan sengaja memekik untuk memancing perhatian orang tersebut, dan ternyata usahanya itu berhasil.
Orang tersebut berpaling ke arahnya dan segera mendekatinya. Ternyata orang itu adalah seo-rang gadis cantik yang mengenakan pakaian merah jambu dan menyandang pedang bergagang dua kepala burung rajawali yang bertolak belakang berwarna pu-tih keperakan di punggungnya. Jalak Hutan terkejut sesaat melihat kehadiran gadis cantik itu.
"Pasti itu Pedang Sukma Halilintar, milik Dewi Langit Perak!" pikir Jalak Hutan dalam keterbengongannya. "Lalu siapa gadis ini? Muridnya Dewi Langit Perak?! Jadi..., ada dua pendekar rajawali sekarang ini? Benarkah begitu?!"
Mata gadis cantik yang ternyata bernama Lili itu memandangi Jalak Hutan dengan dahi berkerut Semakin dekat semakin berkerut dahinya itu. ia pun segera bertanya, "Siapa yang melukaimu sebanyak ini, Pak Tua?"
Sambil mendongak ke atas karena memang begitu keadaan kepalanya, Jalak Hutan pun menjawab, "Seseorang dari Perguruan Belalang Liar! Kalau kau bisa tolong aku, tolonglah. Kalau tak bisa, tinggalkan saja aku!"
Karena kepala Jalak Hutan memandang ke atas, maka Lili yang berjuluk Pendekar Rajawali Putih pun ikut memandangi ke atas pohon. Lili menyangka lawan Pak Tua itu ada di atas pohon. Ia hampir saja melepaskan pukulan tenaga dalamnya untuk memanc-ing agar orang yang di atas pohon itu turun mene-muinya. Tetapi Jalak Hutan mencegahnya,
"Mau apa kau?!"
"Melepaskan pukulan agar lawanmu turun dari atas pohon!"
"Lawanku sudah lari!"
"Lalu, kenapa kau mendongak terus begitu?"
"Memang beginilah nasib kepalaku, tak bisa dikembalikan seperti semula sejak aku berselisih dengan Pendekar Rajawali Merah!"
"Hah...?! Kau bertarung dengannya?!" Lili terkejut.
"Ya, tapi itu beberapa waktu yang lalu! Sekarang aku sudah berdamai dengannya, tapi dia lupa mengembalikan kepalaku ke tempat semula! Bahkan tadi pun dia pergi begitu saja tanpa sempat memulihkan keadaanku ini!"
Lili membatin dalam hatinya, "Pasti orang ini kena tendangan 'Rajawali Paruh Pendek'! Hmm...! Memang suka usil juga Yoga itu!"
Pendekar Rajawali Putih yang matanya sudah tidak terkena pasir lagi itu, segera bertanya kepada Jalak Hutan, "Jadi kau tadi juga bertemu dengan Yoga?"
"Ya! Kulihat dia berjalan dengan dua perempuan cantik."
Lili tersentak dan jantungnya mulai bergemu-ruh. Hatinya pun membatin, "Hmm.... Rupanya dia pergi dengan dua perempuan cantik. Awas kalau kutemukan nanti!"
"Sekarang ke mana dia perginya? Kau bisa tunjukkan padaku di mana dia berada?" tanyanya kepada Jalak Hutan.
"Bisa!" jawab Jalak Hutan. "Tapi dengan syarat kau mau pulihkan kembali kepalaku ini dan obati luka-lukaku."
"Apakah yang melukaimu ini juga Yoga?"
"Bukan! Sudah kukatakan tadi, orang Perguruan Belalang Liar yang melukai ku, Nona Manis!"
Lili memeriksa keadaan luka Jalak Hutan, lalu ia berkata, "Lukamu ini beracun!"
"Benar! Dan apakah kau bisa menawarkan racunnya?"
"Baiklah! Akan ku coba! Tapi kau harus tunjukkan di mana Yoga berada, kalau tidak... kau akan ku bantai lebih kejam dari ini!"
"Baik. Aku berjanji!"
Karena Lili tahu kunci melepaskan jurus 'Rajawali Paruh Pendek', maka ia pun segera menghan-tam bagian di bawah tulang dekat leher depan. Dengan kedua tangan menguncup, Lili sentakkan tangan itu ke arah tempat tersebut.
Deeb, deeb...!
Dan kepala Jalak Hutan pun seketika terkulai ke depan. Wuuut...! Lega rasanya. Kemudian Lili juga salurkan hawa murninya ke tubuh Jalak Hutan, sehingga darah hitam semakin banyak yang keluar dari setiap lukanya. Makin lama darah itu semakin bening, menjadi merah seperti darah pada umumnya. Itu pertanda racun di dalam darah tersebut telah keluar habis.
"Sekarang giliranmu menolongku, Pak Tua! Tunjukkan di mana Yoga pergi dan ke mana arah-nya?!" kata Lili menagih janji.
"Dia pergi ke Perguruan Belalang Liar. Dia agaknya terpikat kepada Ketua Perguruan Belalang Liar itu yang bernama Kembang Mayat!"
"Terpikat?!" Lili berdebar-debar.
"Yang ku khawatirkan, dia terkena Racun Bunga Asmara! Itu berbahaya! Sebab jika ia terkena Racun Bunga Asmara, ia tak akan kenal siapa-siapa kecuali Kembang Mayat saja!"
"Celaka...!" Lili menjadi tegang dan menahan amarah.
BEBERAPA saat lagi mereka akan tiba di Pesanggrahan Belalang Liar. Sepanjang perjalanan Yoga sibuk membujuk Kembang Mayat yang cemberut karena merasa tak suka dengan pembicaraan yang dilaku-kan Yoga terhadap Jalak Hutan. Beberapa kali Yoga terpaksa harus meyakinkan Kembang Mayat,
"Aku tak punya hubungan apa-apa dengan Mutiara Naga, selain hanya sahabat biasa!"
"Aku mendengar sendiri dari ucapan Jalak Hutan kalau gadis itu mencintaimu dan mengharapkan kau datang padanya!"
"Tapi aku tidak menyuruhnya mencintai ku dan aku belum datang kepadanya! Kenapa kau harus tak suka dengan percakapan itu?!"
"Kurasa Mutiara Naga harus dibunuh!"
"Jangan begitu, Kembang Mayat! Dia manusia, sama halnya dengan kamu, kalau dia tertarik padaku itu wajar, karena aku lelaki! Kau pun wajar kalau tertarik padaku, Lembayung Senja juga wajar atau perempuan mana pun wajar tertarik padaku, karena aku lawan jenis mereka! Mengapa kau ingin mempersalahkan Mutiara Naga?"
"Aku tidak menyalahkan dia, aku hanya ingin melenyapkan dia, karena dia akan menjadi penghalang ku nantinya!" kata Kembang Mayat dengan sikap tegas.
"Penghalang dalam hal apa?"
"Dalam hal... dalam hal memiliki kamu!"
Pendekar Rajawali Merah hentikan langkah karena terkejut mendengar pengakuan yang terang-terangan itu. Kembang Mayat menatapnya dalam, tak peduli Lembayung Senja yang ada di sampingnya setelah menyusul tadi, memperhatikan ke arah mereka berdua.
"Aku memang ingin memiliki kamu, karena aku tertarik padamu!"
Yoga tertawa pendek, "Ini hal yang lucu, Kembang Mayat!"
"Di mana letak lucunya?"
"Kita baru saja saling bertemu kau sudah bisa jauh hati padaku! Bukankah itu hal yang lucu?"
"Itu hal yang aneh!" sahut Kembang Mayat. "Dan seumur hidupku belum pernah aku merasa seaneh ini, Yo!"
"Aku... aku...," Yoga cengar-cengir kebingungan. "Aku jadi tak tahu harus bersikap apa dan bagaimana terhadapmu!"
Kembang Mayat semakin mendekatkan wajah. Lembayung Senja risi dan segera palingkan wajahnya ke arah lain. Lalu terdengar olehnya sang Ketua bertanya kepada Yoga dengan suara pelan dan lembut,
"Tidakkah kau ingin memiliki diriku juga, Yo?!"
Senyum Pendekar Rajawali Merah yang membuat hati itu mengembang, matanya memandang ke atas berkeliling, sebagai sikap memandang yang salah tingkah. Belum sempat Yoga melontarkan jawaban, tiba-tiba terdengar suara Lembayung Senja berseru,
"Ketua...! Kelihatannya orang yang menuju kemari itu Rahsumi!"
Kembang Mayat dan Yoga sama-sama memandang ke arah yang ditunjuk Lembayung Senja. Kembang Mayat semakin terperanjat setelah tahu orang yang memakai pakaian kuning dan sedang berlari-lari itu memang anak buahnya yang bernama Rahsumi. Kembang Mayat yang tegang segera menyambut kedatangan Rahsumi dengan berlari menjemputnya.
Rahsumi pun roboh di atas rerumputan dalam keadaan tubuhnya terluka. Banyak luka bakar maupun luka sayatan pedang pada tubuh Rahsumi. Hal itu membuat wajah Kembang Mayat yang jelita menjadi merah karena menahan murkanya sendiri.
"Apa yang terjadi, Rahsumi?! Siapa yang menganiaya kamu seperti ini?! Siapa...?!" Kembang Mayat membentak karena tak sabar.
"Perguruan... diserang orang... dibakar!" ucap Rahsumi dengan suara lemah. Kembang Mayat dan Lembayung Senja saling bertatap pandang dengan ma-ta terbelalak lebar.
Lembayung Senja segera bertanya kepada Rahsumi, "Ceritakan dengan jelas, siapa pelakunya, Rahsumi?!"
"Mereka... orang-orang kita... tewas semua... hanya sebagian yang masih hidup, dan... dan aku lari mencari Ketua untuk... untuk melaporkan kerusuhan itu!"
"Siapa pelakunya...!" sentak Kembang Mayat.
"Manusia... manusia bertopeng merah...!"
"Hahh...?!" Kembang Mayat dan Lembayung Senja kembali tersentak kaget mendengar jawaban itu. Yoga pun menjadi terperanjat mendengarnya, wajahnya berubah tegang. Ke arah utara ia memandang, samar-samar terlihat asap mengepul di sela relung ta-naman di tempat jauh sana.
"Topeng Merah...?! Mengapa ia lakukan hal itu?!" pikir Yoga.
Ia tak sempat berkecamuk dalam hati terlalu panjang, karena Kembang Mayat segera berkata kepada Lembayung Senja,
"Pergi dan hadapi dia secepatnya!"
"Baik, Ketua!" Lembayung Senja pun melesat pergi lebih dulu.
Kembang Mayat bertanya kepada Rahsumi yang semakin tipis nafasnya, "Sekarang lari ke mana si Topeng Merah itu?"
"Mas... masih... masih di sana, Ketua...!"
"Berapa orang yang menyerang perguruan kita?"
"Hanya... hanya dia... Topeng Merah sendiri...."
"Biadab!" geram Kembang Mayat dengan napas mulai memburu cepat karena dadanya bagai ingin meledak menyimpan murka. "Tolong dia!" katanya kemudian kepada Yoga, lalu tanpa pamit lagi Kembang Mayat segera meninggalkan tempat.
Yoga tahu maksudnya, bahwa ia disuruh menolong mengobati Rahsumi. Tetapi apa yang harus ditolong jika begitu Kembang Mayat pergi, Rahsumi menghembuskan napas terakhir. Ia mati dengan terlalu lemas. Yoga pun segera menyusul Kembang Mayat untuk memberi bantuan. Setidaknya menahan tindakan Topeng Merah yang sampai saat itu belum diketahui siapa orangnya.
Namun baru saja Pendekar Rajawali Merah melesat antara lima belas tombak dari mayat Rahsumi tergeletak, tiba-tiba sebaris cahaya biru melintang di depan langkahnya dalam jarak lima langkah. Cahaya biru itu lebarnya tiga jengkal, membentang lurus dari pohon kiri ke pohon yang kanan. Tingginya sekitar lima jengkal dari permukaan tanah. Yoga hentikan langkah melihat sinar biru membentang dari pohon ke pohon. Ia hanya menggumam dengan tubuh melemas menahan jengkel.
"Pagar Kematian! Ini pasti perbuatan Lili...!"
Pendekar Rajawali Merah yakin betul, pasti ada Pendekar Rajawali Putih di sekitar tempat itu. Karena ia tahu, sinar biru yang membentang itu adalah 'Pagar Kematian' yang biasanya dipakai sebagai jebakan maut bagi pengejaran lawan yang gegabah. Siapa pun me-lompati, atau meloloskan diri dari bawah sinar itu, pasti akan mati terbakar. Apalagi menerobosnya, jelas akan hancur tubuh orang tersebut.
Yoga pun bisa memasang 'Pagar Kematian', karena ilmu itu ia peroleh juga dari mendiang gurunya. Karena itu, dengan menarik napas panjang dan menahannyYogi dada, Yoga menggerakkan tangannya dari kanan ke kiri dalam satu kelebatan. Zruub...! Sinar itu padam dan hilang. Kemudian ia berseru, "Guru...! Keluarlah!"
Dari balik sebuah pohon muncul seraut wajah cantik yang melebihi wajah bidadari. Wajah cantik itu cemberut dan memandang sinis kepada Yoga. Wajah cantik itu adalah wajah Lili; guru angkatnya Yoga.
Lili melangkah dengan tenang namun penuh kedongkolan dl hatinya. la mendekati Yoga dan memandang tak berkedip, menampakkan kemarahannya Pendekar Rajawali Merah hanya tersenyum-senyum dan berkata,
"Mengapa aku tak boleh lewat?"
"Bukan urusanmu!"
"Aku ingin menolong Kembang Mayat, karena Topeng Merah mengamuk di sana dan membakar ha-bis perguruan yang diketuai oleh Kembang Mayat itu, Guru!"
"Gurumu adalah aku, bukan dia!" kata Lili dengan tegas. "Kau harus patuh padaku, bukan kepada dia!"
Senyum Yoga semakin mengembang dan membuat gemas hati Lili. Yoga berkata lagi, "Aku hanya ingin menolongnya, Guru!"
"Setiap perempuan cantik apakah harus kau tolong?"
"Kau cemburu kepadanya?" ucap Yoga pelan dengan mata memandang lembut kepada Lili.
"Jangan lontarkan lagi pertanyaan seperti itu kalau tak ingin kutampar mulutmu!"
"Lalu kenapa kau menghalangiku ke sana? Apa alasannya?"
"Kau terlalu jauh melibatkan diri dalam urusan perguruan lain! Kau bukan dari perguruan itu. Yoga!"
"Apakah dalam menolong kita harus memandang perguruan?"
"Aku tidak berkata begitu!" jawab Lili dengan tegas. “Tapi aku tidak suka kau selalu ikut campur urusan pribadi orang, sementara urusan pribadimu sendiri belum bisa kau selesaikan!"
"Bukankah Guru mengajarkan juga agar kita lebih mementingkan pertolongan untuk orang lain daripada mementingkan diri sendiri?!"
"Artinya, kita menolong sebatas kemampuan kita dan tidak perlu sampai berlebih-lebihan!"
"Pertolonganku kepada orang-orang Belalang Liar itu tidak berlebihan!"
"Dengan menyelam ke dalam jiwa dan pribadi ketuanya yang genit itu, kau sudah berlebihan memberi pertolongan, Yo!"
"Kurasa tidak! Kurasa tidak ada salahnya kalau aku datang ke sana untuk melerai pertarungan antara Topeng Merah dan Kembang Mayat! Bukankah tugas kita juga mencegah tindakan yang sewenang-wenang dan tidak manusiawi?!"
"Topeng Merah sudah kelewat batas! Dia telah menyerangku dan membela Mata Neraka saat aku bertarung dengan adik si Malaikat Gelang Emas itu!"
Pendekar Rajawali Merah terperanjat mendengarnya. Matanya menatap dengan tajam di iringi kerutan dahi. Ia melangkah dua tindak agar lebih dekat lagi dengan Lili, kemudian segera berkata pelan, "Kau telah melawan Mata Neraka?"
"Ya!" Lili buang muka. "Kudengar percakapannya dengan Panglima Makar, bahwa kuburan kakeknya tidak boleh dilangkahi siapa pun, supaya kelak dalam masa tiga tahun kemudian dapat bangkit kembali!"
"Lalu apa yang kau lakukan?"
"Aku melompati makam Itu."
"Berhasil?"
"Tidak! Dia menggagalkan gerakanku. Kami pun segera membuka pertarungan! Sebenarnya Mata Neraka bisa kubunuh, tapi Topeng Merah muncul dan membantunya! Sekarang aku melarikan diri dari mereka, dan agaknya Mata Neraka masih mengejarku!"
"Mengapa kau harus lari?! Mengapa Topeng Merah tidak kau bunuh sekalian?! Barangkali dia memang sekutunya Malaikat Gelang Emas!"
"Mataku terkena semburan pasir dari batu yang di ledakkannya. Aku terpaksa harus mencuci mataku lebih dulu sebelum meneruskan pertarungan!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan napas panjang, pandangannya terlempar jauh ke arah kepulan asap di seberang sana. Tapi pikirannya mene-rawang pada wajah si Mata Neraka. Di dalam hati, Yoga menyimpan kemarahan mendengar Lili dikejar-kejar oleh si Mata Neraka. Tapi kemarahan itu dipendamnya dengan rapi dan ia tetap bersikap tenang. Bahkan sekarang ia bertanya dengan suara pelan,
"Lalu untuk apa kau berada di sini sekarang?"
"Mata Neraka mencarimu juga!"
"Ya, aku tahu! Tapi dari siapa kau tahu aku menuju kemari?"
"Pak Tua yang pernah kau tendang dengan jurus 'Rajawali Paruh Pendek' itu yang menunjukkan arah kemari! Dia yang menceritakan bahwa kau dalam pengaruh kecantikan Kembang Mayat! Kau dibawanya pulang oleh perempuan yang layaknya menjadi seorang gundik! Bukan seorang istri yang baik!" ketus Lili dengan penuh kebencian. Wajahnya semakin cemberut.
"Kita belum tahu persis siapa Kembang Mayat," kata Yoga, "Jadi tak pantas memberikan penilaian jelek terhadapnya!"
"Pak Tua yang terluka itu menyebutkan adanya Racun Bunga Asmara yang dimiliki oleh Kembang Mayat!"
"Apa kehebatan Racun Bunga Asmara itu?"
"Jika kau terkena racun itu, kau akan lupa segala-galanya, tak ingat dengan siapa pun. Yang kau ingat hanya Kembang Mayat! Karena itu aku akan mencegahmu datang ke sana, supaya kau tetap ingat padaku!"
"Itu omong kosongnya si Jalak Hutan, yang kau temui di jalan tadi! Jangan mau percaya dengan bualan orang sinting itu, Guru!"
Pendekar Rajawali Putih melangkah pelan mendekati bawah pohon yang berdaun rindang, dan Pendekar Rajawali Merah mengiringinya di samping kanan. Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Putih masih cemberut dan berkata,
“Terlepas omongan Pak Tua itu bualan atau jujur, tapi kekhawatiran itu memang ada padaku, Yo!"
"Maksudnya, kau khawatir kalau aku lupa padamu?"
"Ya! Itu adalah musuh yang paling ku takuti! Malaikat Gelang Emas berani kuhadapi, seribu pun orang macam dia tetap berani kuhadapi! Tapi keadaan dirimu yang melupakan aku, adalah hal yang paling ku takuti dan membuatku gelisah dan cemas, Yo!"
"Mengapa sampai sebegitu takut? Apa sebabnya?" desak Yoga.
Lili berhenti, tepat di bawah pohon rindang itu mereka hentikan langkah secara bersamaan. Kemu-dian dengan memandang tajam penuh makna dari hati ke hati, Lili menjawab pertanyaan Yoga yang tadi. "Kau satu-satunya muridku! Wajarlah rasanya kalau seorang guru takut kehilangan muridnya, karena sang Guru tidak mau ambil murid lain lagi!"
"Hanya karena hubungan itukah yang membuatmu takut, Guru?!"
"Apa maksudmu mendesak ku terus?" Lili ganti bertanya dan Yoga menjadi terpojok sendiri. Ia gelagapan dan hanya bisa tersenyum-senyum sambil me-mandang ke arah lain.
Pada saat memandang ke arah lain itulah, Yoga melihat sekelebat sinar hijau melesat ke arah Lili. Dengan cepat Yoga menarik tubuh Lili untuk menghindar dari sinar hijau yang datang dari belakang tubuh Lili itu.
Wuuut...! Sreeb...!
Lili dipeluknya dengan kuat. Sinar hijau melesat tiga jengkal di belakang Lili. Sinar hijau itu menghantam sebatang pohon yang agak jauh dari mereka.
Duaaar...!
Pohon tersebut hancur berkeping-keping dari akar sampai ranting kecilnya. Kalau bukan karena ada bahaya, mau rasanya Lili dipeluk terus oleh Yoga seperti Itu Bahkan mungkin ia tak mau merenggangkan jarak sedikit pun. Tapi karena adanya bahaya yang menyerangnya, Lili ter-paksa cepat menarik diri dan menghadap ke tempat yang tadi di punggunginya.
Wuuut...! Jleeg...!
Sesosok tubuh agak gemuk gurun dari atas pohon. Wajahnya angker, menyandang golok besar berujung lengkungan runcing yang layak disebut pedang lebar Orang itu tak lain adalah Mata Neraka. Ia tertawa terbahak-bahak melihat Lili sudah berada bersama Yoga.
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Ini baru seru! Tak sia-sia aku meninggalkan makam kakekku, karena aku berhasil menemukan kelinci buruanku dua-duanya sekaligus! Hua, ha, ha, ha...!"
Claap...!
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Merah melemparkan sesuatu dari tangannya. Ternyata seberkas sinar merah pipih yang melesat dengan cepat ke tubuh si Mata Neraka. Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Putih juga melemparkan sesuatu dari tangan kirinya. Ternyata juga seberkas sinar merah pipih sama seperti yang dilemparkan Yoga.
Tawa si Mata Neraka terhenti seketika melihat dua sinar itu melesat ke arahnya secara bersamaan. Cepat-cepat ia sentakkan kedua tangannya ke depan dan sinar pipih keduanya tertahan oleh telapak tangannya, satu dl kanan satu lagi di kiri.
"Grrrmmm...!" Mata Neraka seperti mendorong benda berat ketika sinar biru membungkus telapak tangannya kanan-kiri untuk menahan sinar merah tersebut. Tubuhnya gemetar pada saat itu. Urat-uratnya bagaikan mau keluar dari lapisan kulitnya. Wajah angker itu semakin tambah menyeramkan karena menjadi merah. Jelas sudah, Mata Neraka mengerahkan segenap tenaganya untuk menahan dua berkas sinar pipih yang berusaha didorongnya kembali ke tempat semula.
"Menyebar, serang dia dengan jurus 'Rajawali Menembus Langit'!" bisik Pendekar Rajawali Putih.
"Baik, Guru!"
Kemudian kedua pendekar rajawali itu menyebar ke kanan-kiri. Pada waktu itu sinar merah berhasil ditolak balik ke arah semula, tapi Yoga dan Lili sudah tidak ada di tempat awal, sehingga sinar merah itu melesat terbang dua-duanya menghantam pohon di kejauhan.
Blaar...! Blaaar...!
"Heaaat...!" teriak Lili.
"Hiaaah...!" teriak Yoga.
Keduanya bergulingan ke tanah dua kali dan tahu-tahu sudah berada di bawah kaki Mata Neraka; Lili di sebelah kanan, Yoga di sebelah kiri. Maka, den-gan cepat kedua pendekar rajawali itu melakukan ge-rakan mencakar dengan sangat cepat dari kaki Mata Neraka sampai ke bagian wajahnya.
Cras, cras, cras, cras, cras, cras...!
"Uaaa...!" Mata Neraka menjerit karena tubuhnya bagaikan terkena sengatan yang amat panas. Sengatan itu merayap dengan cepatnya dari kaki sampai kepala dan tak sempat ditangkis lagi. Sengatan itu sebenarnya luka cakar yang merobek kulit dan daging dari kaki sampai kepala.
Begitu gerakan mencakar sampai di kepala, Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih berhenti serempak, lalu kaki mereka sama-sama berkelebat menendang dengan tendangan samping.
"Hiaaah...!" mereka sama-sama menyentak dengan suara keras. Kaki mereka sama-sama masih membentang tegak dan diam di tempat, sementara tu-buh lawannya terpental jauh hingga membentur pohon dan membuat daun-daun pohon berguguran.
Wuuurrr...!
Kaki mereka yang hampir membentuk garis tegak lurus itu sama-sama ditarik dalam sentakan mantap bersamaan. Wurrt...! Lalu kedua pendekar tampan dan cantik itu berdiri dengan kaki sedikit merenggang, tangan di samping sama-sama mengepal kuat. Mereka memandangi tubuh Mata Neraka yang koyak habis dengan darah menyembur dari mulut, hidung, dan telinganya pada saat ditendang bersamaan tadi.
Mengerikan sekali keadaan Mata Neraka. Ia bagaikan habis dikoyak-koyak serombongan singa lapar. Baju dan kulit serta serat dagingnya lengket menjadi satu dalam keadaan tercabik-cabik Kepalanya pun menjadi retak karena benturan kuat saat mengenai batang pohon tadi.
Mata Neraka pun akhirnya menghembuskan napas terakhir dengan keadaan jenazahnya yang tak layak lagi dipandang orang. Melihat lawannya telah mati, Yoga segera memandang Lili, dan gadis cantik itu pun segera memandang Yoga. Mereka sama-sama memendam rasa kagum terhadap perpaduan dua jurus mereka yang begitu dahsyatnya itu.
Akhirnya, Pendekar Rajawali Putih berkata kepada Pendekar Rajawali Merah, "Sekarang kita cari si Topeng Merah! Habisi dia dengan jurus seperti tadi!"
“Topeng Merah...?! Kita belum tahu siapa dia sebenarnya, mengapa kita bertekad menghabisinya?!" kata Yoga yang agak keberatan dengan usul tersebut. Lili menggeram gemas, dan cepat mendengus buang muka.
KEPULAN asap itu sudah menipis ketika Yoga dan Lili tiba di Pesanggrahan Belalang Liar. Keadaan pesanggrahan itu sudah tinggal reruntuhan yang hitam. Bangunan-bangunan yang ada di sana telah hangus dimakan api. Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini.
Suasana sepi dan hening menyelimuti Perguruan Belalang Liar. Tak ada suara lain kecuali derak kayu arang yang terdengar sesekali atau sisa percikan bara api yang belum padam. Di antara reruntuhan hitam itulah, dua pendekar rajawali nan tangguh melangkah dengan penuh rasa prihatin melihat nasib perguruan tersebut.
"Topeng Merah benar-benar membumihan-guskan perguruan ini!" kata Pendekar Rajawali Putih.
"Bukan hanya membumihanguskan saja, melainkan juga membantai habis seluruh orang Perguruan Belalang Liar," sahut Pendekar Rajawali Merah dengan matanya yang memandang ke sana-sini. Ia menatap setiap mayat yang dijumpainya, namun tak ditemukan mayat Lembayung Senja dan sang Ketua.
"Tak kulihat mayat kedua perempuan yang kegirangan berjalan denganmu tadi!" kata Lili dengan nada menyindir "Mungkinkah mereka sedang menantimu di perempatan jalan menuju neraka?"
Yoga hanya tertawa pendek dan pelan. Tercetus dari mulut Yoga kalimat yang membuat Lili semakin merah pipinya, "Kau punya kecemburuan yang berlebihan, Guru Li!"
"Aku tidak pernah cemburu kepada siapa pun!" Lili berkata ketus sambil cemberut dan tetap melangkah pelan dl antara reruntuhan yang masih mengepulkan sisa asap dengan tipis itu.
Yoga ingin mengatakan sesuatu di sela senyumannya, namun terpaksa dibatalkan, karena samar-samar la mendengar suara orang merintih. Dahi Yoga berkerut dengan telinga di telengkan. Agaknya Lili pun mendengarkan suara rintih pelan itu, sehingga ia pun menyimak dari mana arah datangnya suara tersebut. Ia sempat berucap kata, "Ada yang selamat! Agaknya menderita luka berat! Sepertinya suara itu datang dari balik tembok tinggi di sebelah timur itu, Guru Li!"
"Kurasa juga begitu," Lili bergegas menuju ke arah timur.
Bentangan tembok yang diduga bekas dinding pembatas ruangan itu tampak jebol dan berlubang besar pada bagian tengahnya. Agaknya tembok itu jebol karena pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Dan melalui lubang itulah Lili serta Yoga menembus ke seberang tembok.
Apa yang mereka duga memang benar. Dari sekian banyak korban yang bergelimpangan, ada satu yang masih hidup walau harus menderita luka cukup parah. Lili dan Yoga menemukan orang tersebut dalam keadaan terhimpit bongkahan dinding yang runtuh. Yoga sangat terkejut, karena ia kenal betul dengan perempuan yang masih hidup itu, yang tak lain adalah Lembayung Senja.
"Lembayung Senja, bertahanlah...! Kami akan mengeluarkan mu dari himpitan itu...!" ucap Yoga dengan suara menegang. "Guru Lili, bantu aku mengangkat bongkahan tembok Ini...!"
Dengan memandang rada sinis, Lili melangkah mendekati bongkahan tembok yang menghimpit bagian batas paha ke bawah dari tubuh Lembayung Senja. Perempuan itu menderita luka di bagian lambung juga, sepertinya luka karena senjata tajam yang merobek kulit lambung. Juga ada memar di pipi kanan serta dagunya.
Agaknya Lembayung Senja sempat melakukan perlawanan hebat ketika ia bertemu dengan lawannya. Terbukti, pada dada kirinya pun terdapat bekas luka yang menghitam akibat pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam cukup tinggi. Kain pakaiannya pada dada kiri berlubang dengan bekas bakaran.
Setelah tubuh Lembayung Senja berhasil diangkat dari bongkahan tembok, ia dibawa oleh Lili dan Yoga ke tempat yang lebih lega, yaitu di luar pagar areal pesanggrahan, di bawah sebuah pohon yang daunnya tidak ikut terbakar, kecuali hanya layu sebagian sisi saja.
"Bagian dalamnya ikut terbakar," kata Pendekar Rajawali Putih. "Ada racun yang membakarnya dan menyerang pada paru-paru serta sebagian jantungnya. Sebentar lagi orang ini akan mati!"
"Dapatkah kau menyembuhkannya?"
"Mudah sekali! Tapi untuk apa harus disembuhkan?" Lili masih berucap kata dengan sinis, karena ia khawatir perempuan itu jika ditolong dan menjadi sembuh bisa berbalik menjadi lawannya, terutama lawan dalam merebut hati Pendekar Rajawali Merah.
"Berpikirlah bijak, Guru Li! Jangan terlalu menuruti nafsu kecemburuan mu saja!"
"Aku tidak cemburu!" sentaknya dengan jengkel, karena setiap ia dituduh cemburu, wajahnya menjadi panas dan kulit pipinya yang putih mulus itu menjadi merah karena menahan rasa malu.
Terdengar suara Lembayung Senja mengerang tipis. Matanya terbuka sedikit, dan Yoga segera menggunakan kesempatan itu untuk bertanya,
"Di mana sang Ketua, Lembayung Senja?"
Dengan suara lirihnya Lembayung Senja menjawab, "Lari...."
"Lari ke mana?"
"Mengejar... Topeng Merah... ke selatan!"
"Dapatkah kau mengetahui siapa si Topeng Merah itu?"'
"Be... belum...! Tapi sang Ketua... bertekad untuk mengupas pembungkus tubuh orang itu, dan... dan akan mengulitinya!"
Yoga dan Lili saling bertatapan pandang sebentar, kemudian Yoga yang semula jongkok, kini berdiri dan memandang ke arah selatan. Ia menerawangkan pandangan matanya itu sambil berkata dalam hati,
"Mereka pasti akan bertarung sampai mati. Aku tak tahu apa kemauan Topeng Merah selama ini, tapi aku merasa dia selalu melindungiku dari bahaya musuh! Sayang sekali kalau dia harus mati di tangan Kembang Mayat. Sedangkan Kembang Mayat pun sangat disayangkan jika harus mati di tangan Topeng Merah, karena Kembang Mayat mempunyai bunga Teratai Hitam! Aku membutuhkan bunga tersebut dan...,"
Yoga menyapukan pandangan matanya ke seluruh tempat di sekelilingnya, di sekitar reruntuhan pesanggrahan itu. Tapi ia tidak menemukan tempat yang mempunyai bunga Teratai Hitam. Di mana Teratai Hitam itu tumbuh, tak terlihat di sekitar tempat itu. Maka, Yoga pun membatin kata lagi dalam hatinya,
"Pasti hanya Kembang Mayat yang mengetahuinya! Aku harus segera mengejar mereka supaya tidak saling bunuh! Setidaknya aku harus menjaga agar Kembang Mayat tetap hidup, supaya dia bisa memberi tahu di mana bunga itu tumbuh!"
Lembayung Senja semakin parah keadaannya. Ia memuntahkan darah kental berwarna merah kehitam-hitaman. Memang tak banyak darah yang dimun-tahkan itu, tapi sudah merupakan pertanda bahwa racun yang membakar dalam tubuhnya mulai mem-bungkus bagian jantung.
"Guru Li, ku mohon kau menyembuhkan lukanya demi kemanusiaan!" Setelah berkata begitu Yoga melompat ke arah timur.
Pendekar Rajawali Putih segera berseru kepadanya. "Yo...! Kau mau ke mana?"
"Mengejar mereka! Mencegah agar jangan saling membunuh!"
"Mengapa harus repot-repot begitu?! Biarlah mereka saling mempertahankan harga diri masing-masing! Mereka punya urusan yang sangat pribadi dan tak bisa dicampuri, Yo!"
"Aku harus menyelamatkan Kembang Mayat!"
"Yo...!"
Tapi Pendekar Rajawali Merah sudah lebih dulu melesat kabur dari tempat itu. Pendekar Rajawali Putih mendengus kesal dengan kaki menghentak ke tanah satu kali. Lili segera berkata kepada Lembayung Senja, "Akan ku sembuhkan dirimu, tapi kau tidak boleh dekati dia lagi. Setuju?!"
Lembayung Senja tak bisa menjawab karena sibuk menahan rasa sakitnya. Lili terpaksa melakukan apa yang diperintahkan Pendekar Rajawali Merah tadi tanpa menunggu jawaban dari Lembayung Senja la mulai menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Lembayung Senja, juga angin kutub disalurkan oleh-nya melalui dada Lembayung Senja.
Pada waktu Lili mengobati Lembayung Senja yang ditelentangkan di tanah dengan sebagian pakaian dilepaskan supaya tidak mengganggu peredaran darahnya, tanpa disadari Lili dalam keadaan terancam keusilan seseorang. Ada kabut tipis mendekatinya. Kabut itu merayap di permukaan tanah. Warnanya hampir serupa dengan asap sisa pembakaran. Itulah sebabnya, Lili tidak menaruh curiga terhadap kabut ter-sebut.
Semakin lama kabut itu semakin dekat dengan kaki Lili. Kejap berikutnya mulai merambah telapak kaki Pendekar Rajawali Putih. Kabut itu didiamkan saja oleh Lili. Ia masih sibuk mengobati luka-luka Lembayung Senja. Tetapi setelah beberapa saat, agaknya Lili merasa perlu menghentikan pengobatan yang tinggal sedikit itu.
Ia merasakan betisnya seperti sedang diusap-usap oleh tangan manusia Lili segera menyadari adanya kabut yang membungkus kedua kakinya. Semakin lama semakin ia rasakan gerakan mengusap oleh sebuah tangan yang tak tahu milik siapa. Lili menyadari, bahwa rasa usapan di betisnya itu telah merambat naik menyelusup ke dalam celah gaunnya.
"Kabut ini agaknya kabut tak beres," pikir Lili. Tapi hatinya sempat sangsi sekejap, karena yang ia lihat hanyalah gumpalan kabut. Semakin tebal gumpalannya semakin jelas rasa betisnya diusap-usap sampai ke bagian lutut dan sebentar lagi akan merayap di paha.
"Kabut setan...!" geramnya dalam hati secara diam-diam. Kemudian ia segera mencabut pedangnya dari punggung. Sreet...! Blaar..! Petir menggelegar di angkasa tanpa mendung dan tanpa hujan sedikit pun. Itulah tandanya jika Pedang Sukma Halilintar keluar dari sarungnya. Jruub...! Pedang yang menyala putih menyilaukan itu ditancapkan d tanah. Kemudian Lili pun naik dan berdiri di atas gagang pedang yang berdiri tegak itu.
Lembayung Senja yang mulai bisa melihat dengan jelas walau masih lemas, merasa heran memandang apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Putih itu. Ia melihat ada gumpalan kabut yang membungkus mata pedang. Percikan api keluar setiap kabut Itu mendekati mata pedang yang menancap di tanah. Percikan api itu berwarna biru dan memercik-mercik bagaikan serabut petir yang mengagumkan.
Setiap terjadi percikan akibat kabut menyentuh mata pedang, maka kabut tersebut bagai tersentak menyebar, lalu mengumpul lagi mendekati mata pedang, dan menyebar kembali apabila terjadi percikan biru pada mata pedang yang menyilaukan itu.
Pendekar Rajawali Putih masih berdiri di atas pedangnya dengan satu kaki. Lalu, tangannya mengembang ke samping atas, mengeras keduanya, dan ti-ba-tiba tangan itu menyentak ke bawah,
Wuuut...! Claap...!
Sinar putih perak berkilauan melesat dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Putih. Sinar itulah yang membuat kabut tersebut terserap menjadi satu dan membentuk gulungan besar seperti gentong. Kemudian gulungan kabut itu dihantam lagi oleh Pendekar Rajawali Putih melalui pukulan jarak jauhnya yang berwarna hijau bening.
Claaap...!
Gulungan kabut itu terpental membentur batang pohon, buugh...!
"Uhg...!" ada suara orang memekik tertahan, tapi tak terlihat ujud manusianya. Hati Pendekar Rajawali Putih semakin yakin dengan kecurigaannya tadi. Maka dengan cepat ia kembali sentakkan tangannya yang memancarkan sinar hijau bening bagaikan sepotong tongkat pendek itu.
Claap...!
"Uuhg...!" makin jelas suara itu, makin heran pula Lembayung Senja yang sempat menyaksikan kejadian aneh tersebut.
"Keluarlah dari kabut itu! Kalau tak mau keluar, kuhancurkan dengan pedangku ini!" kata Lili membentak sambil turun dari atas pedang, dan pedang tersebut di cabut dari tanah, lalu digenggamnya dengan kedua tangan.
Lembayung Senja saat itu membatin, "Bicara dengan siapa dia? Sepertinya yang dipandang adalah gulungan kabut itu. Tapi apakah kabut itu bisa bicara?"
Ternyata memang bisa. Kabut itu bisa berbicara, terbukti setelah mendengar ancaman Lili tadi, ada suara yang berkata "Jangan..! Jangan hancurkan aku, Nona Cantik...!" suara itu bagai mengandung gema dan bergetar, sepertinya suara seorang kakek.
"Keluar kau!" sentak Lili lagi.
"Baik! Aku akan keluar, tapi ku mohon kau jangan menghukumku, Nona Cantik yang budiman!" kata suara kabut itu.
"Kau perlu dihukum atas tindakan usil mu!"
“Tidak, tidak...! Aku tidak akan berani usil lagi! Aku tidak akan melakukan hal seperti tadi lagi! Jangan kau hukum aku, Nona Cantik! Ku mohon sekali padamu, jangan menyerangku!"
Lembayung Senja merasa heran sekali ada kabut bisa bicara. Bam sekarang ia melihat kejadian sea-neh itu. Matanya yang masih sayu itu memandang ke arah kabut dengan punggung dan kepala sudah berhasil di sandarkan pada batang pohon dengan merayap-rayap tadi.
"Cepat keluar...!"
"Bba... ba... baik...!"
Bluuub...! Wuuus...!
Kabut itu pecah dengan sendirinya, menyebar ke seluruh penjuru. Pecahnya gumpalan kabut itu menampakkan sosok tubuh lelaki tua yang berpakaian coklat muda, berambut putih dengan kumisnya yang tak begitu lebat juga berwarna putih uban Rambutnya diikat dengan ikat kepala kain hitam, yang sama den-gan warna sabuknya. Orang itu berusia sekitar enam puluh tahun, bermata sedikit sipit.
Lembayung Senja semakin heran melihat kemunculan orang yang saat itu nyengir takut-takut kepada Pendekar Rajawali Putih. Tapi bagi Lili, kemunculan orang itu tidak terlalu mengherankan sekali, karena ia sudah menduga bahwa kabut itu bukan sembarang kabut.
"Siapa kau, Tua Usil?!" tanya Lili dengan suara ketusnya.
"Ku mohon, jangan serang aku! Sarungkanlah pedangmu, Nona!" agaknya orang yang langsung dijuluki oleh Lili sebagai Tua Usil itu ketakutan sekali melihat sinar pedang yang berkilauan. Maka, Lili pun segera menyarungkan pedangnya ke punggung. Tua Usil nyengir dengan merasa lega.
"Jawab pertanyaanku tadi, siapa kau?!" mata Lili mendelik galak.
"Hmm... eh... anu... namaku Pancasona, tapi orang banyak menjuluki ku sebagai Manusia Kabut, karena aku mempunyai ilmu 'Halimun."
Lili berjalan cepat mendekati orang itu dan berhenti tepat di depan orang tersebut yang punggungnya sudah terdesak ke batang pohon. Dengan mata masih membelalak garang, Lili berkata, "Sekali lagi kau berani berbuat kurang ajar padaku, kubunuh kau saat itu juga! Mengerti?!"
Dengan takut-akut orang itu menjawab. "Meng... mengerti!"
"Bagus!"
Plak, plak, plak, ploook...!
Pendekar Rajawali Putih melepaskan tamparan beruntun beberapa kali. Yang terakhir kali tamparannya membuat Tua Usil terpental ke samping dengan tulang pinggulnya membentur sebongkah batu.
Taak...!
"Aaoow...!" Pancasona memekik kesakitan.
Lili menghampirinya, mencengkeram baju Pancasona dengan tangan kiri, mengangkatnya, wuuut...! Dengan ringan sekali Lili menenteng Tua Usil dan berkata, "Kau tidak pantas menjadi orang bernama Pancasona! Mulai sekarang namamu adalah Tua Usil! Mengerti?!"
Plook...! Buuhg...!
Lili menghantam telak dagu Tua Usil, kemudian menghantam pula perutnya dengan tangan kiri. Dan orang tersebut kembali mental ke belakang dan jatuh tak beraturan.
Bruuuk...!
"Auuuh...!" ia menggeliat sambil memegangi pinggangnya. Kejap berikut terdengar suaranya di sela rintihan kesakitan, "Nona, kau sudah berjanji tidak akan menghukum ku, tapi mengapa sekarang kau menghajar ku?!"
"Aku tidak pernah berjanji apa-apa padamu!"
Wuuut...! Rook...!
Kaki Lili menendang dada orang itu dengan kelebatan keras, dan Pancasona terpental kembali dengan berguling-guling. Ia mengerang dan memaki-maki di sana. Tanpa sengaja tangannya memegang batu satu genggaman, dan batu itu dilemparkan ke arah Pendekar Rajawali Putih yang sedang berang itu.
"Kau curang, Nona...!"
Wuuut...! Batu melayang, dan Pendekar Rajawali Putih melompat ke kiri. la hinggap di atas selembar daun ilalang yang tingginya sebatas lutut itu. Selembar daun ilalang itu tidak patah atau pun rubuh, bahkan meliuk rendah pun tidak sama sekali. Padahal daun ilalang itu digunakan kedua kaki Lili untuk berdiri memandang ke arah si Tua Usil. Dan sana ia berseru,
"Kelancangan dan keusilan tanganmu sepatutnya ku potong, Tua Usil! Tapi bersyukurlah, bahwa aku masih memandang kasihan pada dirimu yang tua renta dan peot kempot itu! Lain kali tak akan kuberi ampun lagi kau!"
Tua Usil tidak menjawab. Rintihan dan seringai kesakitannya hilang. Matanya tak berkedip memandangi kaki Lili yang bisa berdiri di atas ilalang. la memandang dengan sorot pandangan mata yang penuh kekaguman dan keheranan.
Cepat-cepat si Tua Usil bangkit bagaikan lupa dengan pinggang dan pinggulnya yang sakit. Kemudian ia mendekati Lili dan mendongakkan kepala untuk bisa memandang wajah Lili yang masih berdiri di atas Ilalang itu.
"Nona...! Bagaimana caranya bisa berdiri di atas ilalang begitu? Bagaimana caranya, Nona?"
Lili hanya mendenguskan nafas kekesalannya. Kemudian ia turun dari atas ilalang dan mendekati Lembayung Senja.
Si Tua Usil ikut mendekat dan berkata, "Nona, ajarilah aku berdiri di atas ilalang! To-longlah, aku ingin sekali bisa berdiri dl atas ilalang!"
Tapi Lili tak menanggapi malah berkata ketus kepada Lembayung Senja, "Berbaliklah! Ku lanjutkan pengobatan ku yang tertunda tadi melalui punggungmu!"
Lembayung Senja mengangguk, tak mau banyak bicara karena masih lemas tubuhnya, masih ada sisa sakit yang terasa. la membalik seakan menyodorkan punggungnya. Kemudian Lili menempelkan kedua jarinya di punggung Lembayung Senja. Terdengar suara si Tua Usil yang dengan takut-takut mencoba mendekat lagi,
"Nona, tolonglah aku! Ajarilah ilmu berdiri di atas ilalang! Dari bayi, bahkan dari sejak belum lahir, aku sudah kepingin sekali bisa berdiri di atas ilalang!"
Lili diam saja sekalipun si Tua Usil membujuknya dengan berbagai macam kibulannya. Kedua jari Lili menyala hijau bening saat menempel di punggung Lembayung Senja.
Si Tua Usil berkata lagi, "Aku akan mengabdi padamu kalau kau mau mengajari ku berdiri di atas ilalang, Nona Cantik yang budiman! Tolonglah... sebentar saja, Nona! Nanti kuceritakan bagaimana hebatnya saat kelahiranku dari perut ibuku! Tolonglah, Nona Cantik... ajar! aku berdiri di atas ilalang! Aku hanya...."
Plaaak...! Dengan berkelebat cepat Lili menampar wajah si Tua Usil. Tamparan itu membuat tubuh Tua Usil terpental, jatuh, dan pingsan. Lalu, Lili kembali melanjutkan pengobatannya di punggung Lem-bayung Senja.
TOPENG Merah akhirnya berhenti di kaki bukit cadas yang tak seberapa tinggi itu. Bisa saja ia mendaki bukit dan terus melarikan diri. Tetapi agaknya ada sesuatu yang ia lakukan untuk memancing Kembang Mayat menjauhi tempatnya yang sudah dibakar itu.
Pelarian Topeng Merah rupanya bukan pelarian semata-mata takut menghadapi Kembang Mayat. Pelarian itu ternyata disebabkan karena ia sempat melihat sekelebat bayangan Yoga di kejauhan sana, yaitu sebelum Yoga mencapai reruntuhan pesanggrahan bersama Lili. Karena itulah Topeng Merah memancing Kembang Mayat ke tempat lain untuk melanjutkan pertarungannya.
Kini Topeng Merah sengaja menunggu pengejaran lawannya. Sang lawan segera berhenti setelah melakukan lompatan bersalto dua kali di udara dan kakinya mendarat di depan Topeng Merah.
"Lelah juga kau melarikan diri rupanya?! Sekarang giliranmu untuk minggat ke neraka sana, Topeng Merah! Heaaat...!"
Kembang Mayat menebaskan pedangnya dengan gerakan cepat dan penuh tenaga dalam. Bunyi gerakan pedangnya sampai menyerupai gaung seribu lebah; wuuung... wuuung... wuuung..! Itu terjadi jika Topeng Merah bergerak menghindari pedang tersebut.
Tapi jika Topeng Merah menangkisnya, maka akan terjadi bunyi lengking yang menggema panjang berkali-kali; triing...! Triiing...! Triiing...! Dan pada saat itu, setiap denting perpaduan pedang terdengar, dua-tiga daun di sekitar tempat mereka itu jatuh dengan sendirinya, patah dari tangkainya akibat bunyi denting yang berkekuatan tinggi itu. Agaknya kedua pedang itu juga merupakan pedang pusaka yang mempunyai kekuatan tersendiri.
Bahkan ketika Kembang Mayat berteriak keras-keras sebagai pencurahan tenaga dalamnya saat memainkan ilmu pedangnya, Topeng Merah pun mengerahkan tenaga dalam ke dalam pedangnya tanpa berteriak sedikit pun. Kedua pedang itu beradu di udara dan menimbulkan bunyi dentang yang keras menggema panjang,
Traaang...! Traaang...!
Bebatuan yang ada di sekitar mereka pecah karena bunyi dentang tersebut. Daun bukan hanya rontok dari tangkainya, tapi beberapa ranting patah dari dahannya. Jika keduanya tidak berilmu cukup tinggi, sudah pasti kedua gendang telinga mereka akan pecah mendengar bunyi dentang tersebut. Bahkan ada dua ekor burung yang tiba-tiba jatuh berkelojotan dengan telinga berdarah, sedang sisa burung lainnya buru-buru terbang meninggalkan tempat tersebut.
Kejap berikutnya tangan mereka saling berbenturan dan keduanya sama-sama terpental setelah terdengar bunyi ledakan, blaar...!
Wuuus...! Bruuk...!
Kembang Mayat jatuh lebih dulu di samping sebuah pohon, sedangkan tubuh Topeng Merah membentur dinding bukit cadas itu. Nafasnya terengah-engah, dan ketika ia meludah, ternyata darah yang diludahkan. Tapi Topeng Merah tidak tampak jera sedikit pun. Bahkan ia kemudian membuka jurus pedang yang sejak tadi tidak digunakan la bersiap menyerang lawannya.
"Biadab kau, Iblis!" sentak Kembang Mayat yang masih berusia muda namun sudah punya kesaktian cukup tinggi itu. "Jangan merasa ilmumu lebih tinggi dariku setelah kau bisa membuat telapak tanganku hangus begini! Heh!"
Kembang Mayat melirik kembali pada telapak tangannya, dan kemarahan semakin membara di dalam hatinya melihat telapak tangannya menjadi hangus. Ia segera menahan napas, menggerakkan tangan kirinya yang hangus itu dengan kekuatan besar. Tangan tersebut gemetar di depan dadanya. Pelan-pelan meremas kuat. Tubuhnya ikut gemetar karena kuatnya menggenggam, dan kejap selanjutnya genggaman itu pun mengendur.
Pelan-pelan telapak tangan yang hangus dan menggenggam itu bergerak membuka tanpa kekuatan sekeras tadi. Ternyata warna hitam pada tangan tersebut telah hilang, tidak hangus lagi, dan hal itu membuat mata di balik topeng warna merah itu terkesiap. Tapi tak satu pun orang yang tahu bahwa mata itu sedang terkesiap melihat telapak tangan Kembang Mayat mulus kembali.
Bahkan sekarang telapak tangan itu memercikkan api warna merah. Bunga-bunga api itu berloncatan dari tengah telapak tangan. Jelas ada jurus baru yang dilakukan Kembang Mayat dan siap untuk menyerang lawannya.
Topeng Merah rupanya tidak gentar juga melihat hal itu. Ia berlari dengan tanpa berteriak sedikit pun. Pedangnya siap ditebaskan ke arah lawan, dan ia pun melompat dengan bersalto satu kali. Tetapi pada saat itu Kembang Mayat sentakkan tangan yang sudah memercikkan bunga api itu ke depan,
Wuuut...! Zraaakk...!
Berlarik-larik sinar merah berkelok bagaikan rajutan benang maut itu terlepas dari telapak tangan Kembang Mayat. Jumlah benang-benang membara bagai serat petir itu lebih dari dua puluh larik. Gerakannya sangat cepat, sasarannya menghantam tubuh Topeng Merah yang sedang bersalto.
Namun agaknya manusia bertopeng merah sudah menduga akan terjadi serangan seperti tadi. Maka dengan cepat ia gerakkan pedangnya berkelebat beberapa kali di depannya, memenggal rajutan benang membara yang ingin menghantam tubuhnya.
Tret... tret... treeet.... Blaaar...!
Topeng Merah berhasil menangkis rajutan benang merah tersebut. Ia melakukan dengan kibasan pedangnya yang agaknya mampu dipakai untuk menebas kekuatan dahsyat seperti itu. Tetapi ketika terjadi ledakan, tubuh Topeng Merah tidak bisa bertahan dl tempat, melainkan terlempar kembali ke belakang, hampir mendekati tempat asalnya.
Kembang Mayat pun oleng ke belakang akibat gelombang ledakan tersebut, namun ia tak sampai jatuh. Tangan yang memegangi pedang berhasil mendapat pegangan sebatang pohon dan membuat tubuhnya tertahan di sana.
"Jahanam...!" gerutu Kembang Mayat dalam makian yang menggeram menahan amarah yang tak mampu terlepaskan secara tuntas.
Topeng Merah hanya membatin, "Setan! Jurusnya yang kali ini sempat membuat napas ku sesak! Boleh juga mainan setan perempuan itu! Tapi... oh, siapa yang berlari kemari itu? Hmmm...! Sial! Dia lagi!"
Kembang Mayat baru mau melepaskan seran-gan jarak jauhnya lagi, tetapi Topeng Merah sudah menghilang. Berkelebat dengan cepat dan tertangkap oleh pandangan mata Kembang Mayat. Maka gadis itu pun berseru dengan garangnya,
"Jangan lari kau, Iblis...!" lalu ia segera mengejarnya.
Kembang Mayat tak tahu bahwa Yoga sudah ada di belakangnya dan sedang memburunya. Melihat kedua orang yang bertarung itu saling kejar-mengejar lagi, maka Pendekar Rajawali Merah pun kerahkan tenaga untuk menyusul mereka.
Duaar...! Daaar...!
Kembang Mayat lepaskan serangan jarak jauh sambil mengejar lawannya. Topeng Merah sedikit kebingungan menghindari pukulan jarak jauh yang dapat menghancurkan tubuhnya itu. la berlari terus mencari tempat yang menurutnya enak dipakai untuk melanjutkan pertarungannya.
Karena dihujani oleh pukulan-pukulan maut lawannya, Topeng Merah tidak sengaja mengarahkan pelariannya ke makam kakeknya Malaikat Gelang Emas. Pada waktu itu, makam tersebut dijaga oleh Nyali Kutu. Dan orang berwajah bundar itu hanya bisa terbengong memandangi dua orang yang saling kejar.
Nyali Kutu tahu persis, mereka adalah orang-orang berilmu tinggi, terlihat dari cara Kembang Mayat melepaskan serangan jarak jauhnya sambil lari, dan gerakan si Topeng Merah yang mampu melompat dalam larinya berpindah-pindah tempat dengan hanya sedikit menapakkan kaki dari tanah ke tanah.
Karena Nyali Kutu terbengong kagum, tak sadar ia telah membiarkan kedua orang itu berlari ke arah makam tersebut. Dan dengan mata terbuka lebar dan mematung di tempat, Nyali Kutu melihat jelas Topeng Merah melompati makam tersebut untuk menghindari serangan dari belakang. Jika ia tidak melompat, maka ia akan menjadi sasaran pukulan ganas Kembang Mayat.
Wuuut...!
Topeng Merah melangkahi makam tersebut tak peduli makam siapa itu. Dan Nyali Kutu hanya tersentak dengan mulut terbuka satu kali tanpa bisa bersuara lagi. Sedangkan Kembang Mayat masih terus mengejar Topeng Merah yang tetap melarikan diri itu.
Tinggallah Nyali Kutu mendelik dengan ketakutan setelah kedua orang itu menghilang dari tempat makam kakek Malaikat Gelang Emas. Jantung Nyali Kutu menjadi berdetak-detak karena Topeng Merah telah melangkahi makam tersebut. Padahal tugas Nyali Kutu adalah menjaga supaya jangan ada orang melangkahi makam tersebut. Artinya ia harus menyerang orang yang akan melangkahi makam. Ternyata ia tadi justru hanya terbengong dengan rasa kagum dan kemudian menjadi dicekam rasa takut.
"Celaka! Makam itu sudah dilangkahi orang! Pasti Malaikat Gelang Emas akan menghukumku jika ia tahu bahwa makam kakeknya sudah dilangkahi orang. Sebaiknya... sebaiknya aku tidak melaporkan hal ini kepada Malaikat Gelang Emas. Toh dia tidak melihatnya!" kata Nyali Kutu dl dalam hatinya.
Matanya segera memandang ke arah setangkai bunga kuning yang mirip mawar dan tumbuh di atas kuburan itu. Mata Nyali Kutu terbuka lebar lagi, sebab bunga tersebut tiba-tiba menciut, menjadi layu sedikit demi sedikit dalam perubahan yang jelas sekali. Bunga yang semula mekar dan berdiri tegak itu kini menjadi melengkung ke bawah dalam keadaan kelopaknya saling menguncup, namun belum terlihat kering betul.
"Wah, mati aku!" katanya dengan deg-degan. "Bunga itu menjadi layu, dan Malaikat Gelang Emas pasti tahu bahwa kuburan kakeknya sudah dilangkahi orang! Aduh, celaka aku kalau begini...!"
Nyali Kutu memandang jauh, kembali memandang bunga itu, lalu memandang sekelilingnya lagi dengan cemas dan panik, lalu menatap ke arah gubuk yang baru saja selesai dibetulkan atapnya itu. Ia bingung mencari cara agar Malaikat Gelang Emas tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada makam kakeknya.
Dengan tangan gemetar, Nyali Kutu menegakkan kembali setangkai bunga kuning itu. Tapi berulang kali ditegakkan, berulang kali pula bunga tersebut meliuk turun dan menunduk. Terkulai lemas tanpa tenaga apa pun. Nyali Kutu bertambah panik. Kemudian ia mencari sebatang lidi. Ia menemukan sebatang lidi di samping gubuk itu.
Lidi tersebut di tancapkan di samping bunga, lalu tangkai bunga diikatkan pada lidi tersebut dengan tali gedebong pisang. Sepintas tak terlihat bunga itu telah layu karena bisa berdiri tegak berkat bantuan lidi tersebut. Hanya kelopaknya saja yang tak bisa mekar lagi, melainkan menguncup layu.
"Mudah-mudahan Malaikat Gelang Emas tidak memperhatikan kemekaran bunga itu, melainkan ketegakkannya yang diperhatikan!" pikir Nyali Kutu sambil melangkah mundur sampai mendekati gubuk. Tapi mendadak matanya kembali melebar. Bunga itu terkulai kembali, tertunduk lemas dan lidi pengikatnya patah karena tertarik tangkai bunga yang terkulai lemah itu.
Taak...!
"Yaaah... patah lidinya?! Sial betul bunga itu!" gerutu Nyali Kutu. Ia menukar lidi tadi dengan lidi yang lain, yang agak besar. Tapi Keadaannya menjadi sama seperti tadi. Setelah tangkai bunga diikat dengan lidi, tiba-tiba bergerak menunduk pelan-pelan dan lidi itu menjadi patah. Hal itu membuat Nyali Kutu menjadi bertambah tegang dan berkeringat dingin.
"Hei, Nyali Kutu...!" sapa seseorang dari belakangnya.
Nyali Kutu terlonjak kaget dan terpekik mulutnya. Ia hampir saja melarikan diri. karena menyangka orang yang menegurnya itu adalah Malaikat Gelang Emas. Ternyata bukan! Orang yang menegurnya adalah Pendekar Rajawali Merah. Namun begitu melihat kehadiran Pendekar Rajawali Merah itu pun Nyali Kutu menjadi gemetar dan menggigil tubuhnya.
la sangat ketakutan, karena menyangka Pendekar Rajawali Merah ingin menyerangnya, sebab pada waktu bersama Rahang Baja dan Panglima Makar, Nyali Kutu tahu persis bahwa wajahnya sangat dikenali oleh Pendekar Rajawali Merah.
"Ddii... dia... dia sudah mati kok! Sud... sudah aman...!" kata Nyali Kutu menceritakan keadaan Panglima Makar.
Tetapi Pendekar Rajawali Merah itu hanya tersenyum dengan tenang dan berkata, "Siapa yang kau maksud sudah mati itu, Nyali Kutu?"
"Tuuu... tuan... Tuan Panglima Makar!" jawab Nyali Kutu menggeragap, apalagi ketika Yoga mendekat, ia semakin menggigil tubuhnya.
"Aku kemari bukan untuk mencari Makar! Aku mencari manusia bertopeng merah. Apakah kau melihat manusia bertopeng merah yang sedang dikejar-kejar oleh perempuan berjubah ungu?"
"O, hmmm... iya... betul, aku melihatnya! Belum lama aku benar-benar melihatnya...," Nyali Kutu menjawab dengan bersemangat bercampur rasa takut. Ia berharap dengan menyebutkan arah pelarian si Topeng Merah, ia akan mendapat pengampunan dari Yoga dan tidak akan dicelakai sebagai pengganti dari tuannya; Panglima Makar.
"Ke mana arah larinya mereka, Nyali Kutu?!"
"Ke sana...!" Nyali Kutu menuding ke arah selatan.
Maka Pendekar Rajawali Merah pun segera menepuk-nepuk punggung Nyali Kutu sambil berkata, "Baik, baik...! Terima kasih!" setelah itu Pendekar Rajawali Merah berlari menyusul Kembang Mayat ke arah selatan. Nyali Kutu hanya memandanginya dengan mulut dan mata masih terbengong.
Sementara itu, matanya segera berpindah ke arah bunga. Ternyata keadaan bunga mulai kecoklat-coklatan. Nyali Kutu takut hal itu akan menjadi tanda bagi Malaikat Gelang Emas. Maka, sebelum orang sesat itu datang, Nyali Kutu lebih dulu meninggalkan kuburan tersebut dan lari mencari tempat untuk bersembunyi dari incaran Malaikat Gelang Emas. Sejauh mana pun tempat yang dirasakannya aman ditempuhnya demi menyelamatkan diri dari amukan besar si Malaikat Gelang Emas nanti.
Pada waktu itu, pengejaran Kembang Mayat terhadap diri Topeng Merah pun terhenti di atas tanah datar yang menjadi bibir tebing. Kembang Mayat ber-henti, karena Topeng Merah terdesak ke bibir tebing berjurang dalam. Ia tak punya jalan lagi untuk melari-kan diri. Topeng Merah terpaksa harus menghadapi lawannya dl situ, karena Kembang Mayat segera berkata,
"Habis sudah riwayatmu sampai di sini, Topeng Iblis! Hiaah...!" tiba-tiba seberkas sinar merah pipih seperti daun segera melesat dari tangan kiri Kembang Mayat.
Wuuut...! Zlaaap...!
Topeng Merah tahu-tahu sudah berpindah tempat. Ia melesat lewat udara bagaikan terbang dengan cepat, tahu-tahu sudah berada di belakang Kembang Mayat. Kakinya segera menendang Kembang Mayat dan kena tepat di bagian punggung gadis ketua perguruan itu.
Buuhg...!
Wuuut...! tubuh Kembang Mayat terlempar. Hampir saja ia terjungkal ke jurang. Untung ia mampu menghentikan gerakan tubuhnya dengan menancapkan pedang di tanah dan berpegangan pedang tersebut. Jika tidak, habislah riwayatnya masuk ke jurang yang dalam itu.
Cepat-cepat la tegakkan kembali badannya dan ia pijakan kembali kakinya dengan kokoh. Matanya memandang tajam pada lawannya yang sejak tadi tak terdengar suaranya. Pedang sudah dicabut dari tanah, sekarang digenggam dengan tangan kanan dan dis-ilang-kan ke depan dada. Tangan kirinya ada di atas, siap lepaskan pukulan jarak jauh.
"Ke mana pun kau lari tetap kukejar, Topeng Iblis! Karena kau harus menyusul nyawa-nyawa muridku ke alam baka sana!" geramnya.
Topeng Merah diam saja. Berdiri tegak memandang Kembang Mayat dari balik topengnya. Tangan kanannya juga tetap memegang pedang yang sudah diangkat tegak di sisi pundak kanan. Dan tiba-tiba saja dari mata topeng itu keluar sinar biru dua larik seperti besi panjang membara biru.
Zlaap!
"Tahaaan...!" teriak suara dari arah samping. Yoga berkelebat menyambar tubuh Kembang Mayat untuk menghindarkan diri dari sinar biru yang tak disangka-sangka melesat dari mata topeng itu.
Wuuut...!
Tapi bertepatan dengan gerakan itu, tubuh Topeng Merah sedang berkelebat ingin menyusul serangan sinar birunya yang gagal mengenai sasaran itu. Gerakan Topeng Merah yang cepat itu dibarengi dengan tebasan pedang.
Wuuut...! Craaas...!
"Aaa...!" teriakan itu bukan datang dari mulut Kembang Mayat, melainkan dari mulut Pendekar Rajawali Merah.
Kembang Mayat terlempar dari raihan tangan kanan Yoga, ia terpelanting dan cepat berdiri. Kini Kembang Mayat dan Topeng Merah sama-sama tertegun dengan tak bergeming sedikit pun. Mereka bagai tidak percaya melihat Pendekar Rajawali Merah itu terpotong tangan kirinya dan sekarang dalam keadaan berlutut menahan rasa sakit. Potongan tangan kiri sebatas siku itu jatuh tergeletak satu langkah dl samping Yoga.
Mata Kembang Mayat tak berkedip melihat pendekar tampan itu putus tangan kirinya. Darah mengucur deras dari potongan tangan tersebut. Dan hal itu membuat Yoga mulai berkunang-kunang matanya, untuk kejap berikut ia rubuh. Jatuh dan pingsan.
Topeng Merah tersentak mundur satu langkah. Gerakan kepalanya yang patah-patah menandakan dirinya sedang gelisah. Sementara itu, napas Kembang Mayat semakin terengah-engah dan pancaran matanya membara penuh nafsu untuk membunuh Topeng Merah. Ia berteriak dalam luapan murkanya,
"Iblis keji! Kau telah membuat cacat diaaa...! Hiaaat...!"
Melihat Kembang Mayat mulai bergerak dengan pedangnya, tangan Topeng Merah menyentak dengan sangat cepat. Zlaaap...! Sinar ungu menghantam telak dada Kembang Mayat. Zruub...!
"Aaahg...!" Kembang Mayat terpekik sekejap, kemudian tubuhnya terlempar mundur dan terjungkal ke dalam jurang tersebut.
"Aaaaa...!" jeritannya terdengar menggema panjang, makin lama semakin mengecil, lalu hilang bagai ditelan bumi.
Topeng Merah diam terpaku beberapa saat di dekat tubuh Yoga yang pingsan. Keadaan Yoga yang tanpa lengan itu membuat Topeng Merah mendekati dan jongkok dengan pelan-pelan. Sikapnya tampak serba salah, ingin menolong atau membiarkan pendekar tampan itu telentang begitu saja, sungguh meru-pakan hal yang sulit dipastikan. Topeng Merah benar-benar tak mengerti apa yang harus dilakukannya saat itu.
Dan tiba-tiba saja kepalanya menyentak ke belakang, karena ia mendengar suara langkah orang menuju ke arahnya. Dengan cepat, Topeng Merah melesat pergi meninggalkan Yoga yang terkapar berlumur darah. Ia se-gera menghilang sebelum ada orang yang datang ke tempat itu.
PANCASONA alias si Tua Usil itu mempunyai tempat tinggal di tengah hutan. Pondoknya itu terbuat dari kayu-kayu batang pohon yang dibelah menjadi dua bagian. Dengan belahan kayu itulah ia membangun pondok yang tidak seberapa lebar, namun cukup untuk berteduh enam orang.
Menurut pengakuannya yang disangsikan kebenarannya oleh Lili, si Tua Usil dulu mempunyai saudara lima orang, tiga lelaki dan tiga perempuan. Si Tua Usil adalah anak bungsu dari kelima saudaranya. Mereka bukan orang-orang baik. Mereka orang-orang sesat yang masing-masing mempunyai ilmu tinggi. Hanya Pancasona yang tidak mau mengikuti jejak kelima saudaranya itu.
"Pernah dengar julukan Lima Perampok Kubur?"
"Belum," jawab Lili.
"Sayang sekali," kata si Tua Usil. "Lima kakakku itu yang menamakan diri mereka sebagai Lima Perampok Kubur! Kalau memenggal orang tidak pernah tanggung-tanggung. Tak heran jika lawannya sering didapati mati terpotong tiga belas bagian atau lebih. Dan aku tidak mau seperti mereka, Nona! Aku bukan keturunan perampok, melainkan keturunan orang baik-baik!"
"Ke mana mereka sekarang?"
"Sudah kukirim ke neraka semua!"
"Kau yang membunuh mereka?"
"Benar! Seorang satria dalam menegakkan kebenaran dan keadilan tidak memilih lawan dan tidak pandang bulu! Biar saudara sendiri, tapi kalau hidupnya merugikan orang banyak, harus ditumpas habis!"
Entah benar atau tidak cerita itu, Pendekar Rajawali Putih tidak mementingkannya. Yang ia pentingkan adalah tempat tinggal untuk sementara. Si Tua Usil tidak keberatan menerima Lembayung Senja dan Lili di tempat tinggalnya itu. Ia justru sangat bersenang hati karena punya harapan bisa membujuk Lili agar diberi pelajaran cara berdiri di atas ilalang.
Pada dasarnya Lili hanya membutuhkan tempat buat Lembayung Senja sebagai tempat istirahat. Luka di dalam tubuh Lembayung Senja membutuhkan masa istirahat yang agak lama. Sebenarnya Lili bisa saja tidak peduli lagi dengan Lembayung Senja setelah ia melakukan pengobatan.
Tetapi karena ingin menunjukkan kepada Yoga, bahwa ia menjalankan apa yang diperintahkan Yoga, maka Lili pun merawat Lembayung Senja dengan baik-baik. Setidaknya hal itu diharapkan bisa menyenangkan hati Pendekar Rajawali Merah. Karena Lili pun akan senang jika hati pendekar tampan itu merasa gembira.
Tetapi kepergian Yoga ternyata mengundang kecemasan yang cukup besar bagi Lili. Kecemasan itu makin meresahkan hatinya setelah Lembayung Senja berkata,
"Tak ada orang yang bisa mencegah Pendekar Rajawali Merah untuk tidak mendekati sang Ketua. Apa pun larangannya pasti akan diterjang oleh Yoga, dan Yoga tetap ingin mendekati Kembang Mayat."
"Mengapa begitu?" tanya Lili.
"Yoga telah terkena aji 'Candra Kasmaran' di perjalanan. Aji 'Candra Kasmaran' pasti telah dilancarkan Kembang Mayat sewaktu kami dalam perjalanan menuju ke pesanggrahan, sebelum bertemu Rahsumi yang akhirnya mati itu!"
"Apa keistimewaan aji 'Candra Kasmaran' itu?" tanya Lili.
"Memikat hati lelaki sehingga lelaki itu inginnya selalu memburu Kembang Mayat ke mana pun pergi."
"Apakah sama dengan 'Racun Bunga Asmara'?"
“Tidak. Lebih berbahaya 'Racun Bunga Asmara'! Tapi aji 'Candra Kasmaran' pun bisa membuat Yoga enggan berpikir tentang wanita lain!"
Ha! itulah yang mencemaskan hati Lili, bahkan diam-diam Lili menaruh rasa benci kepada Kembang Mayat. Dalam hatinya, Lili berkata sendiri, "Yoga harus kusingkirkan dari Kembang Mayat! Aji 'Candra Kasmaran' akan membuat Yoga tidak mau berpikir tentang diriku lagi! Oh, jangan sampai hal itu terjadi! Jangan sampai...!"
Kecemasan itulah yang membuat Pendekar Rajawali Putih bergegas pergi setelah menempatkan Lembayung Senja di pondoknya si Tua Usil. ia pergi menyusul Yoga, mengikuti arah kepergian pendekar tampan itu, walau tak yakin apakah bisa bertemu atau justru tersesat di hutan.
Dan dalam pencariannya itulah, ia menemukan sebuah tebing datar yang merupakan bibir sebuah jurang yang dalam. Di situlah Lili terperanjat kaget menemukan Yoga terkapar dan buntung tangannya. Ia tidak tahu siapa yang membuntungi tangan Yoga, si Topeng Merah atau Kembang Mayat. Bahkan ia tak tahu di mana mereka berdua, karena sebelum Lili tiba di tempat itu, Topeng Merah sudah lebih dulu pergi meninggalkan Yoga.
Hati Lili menjadi sangat sedih. Ia sempat menangis di samping tubuh Yoga yang masih terkapar pingsan itu. Dendam dan tangisnya yang menggumpal di dada, menghentak-hentak bagai ingin mendobrak dadanya. Lili hampir saja ingin membawa Yoga untuk menceburkan diri bersama-sama ke dalam jurang yang amat dalam itu. Untunglah kesadarannya segera datang, dan ia tak mau lakukan tindakan konyol seperti itu. Lili segera membawa Yoga pulang ke pondok Pancasona.
Kalau saja Lili tahu bahwa orang yang memotong tangan Yoga adalah Topeng Merah, sudah pasti ia akan memburu si Topeng Merah ke mana pun larinya orang misterius itu. Sudah pasti pula Pendekar Rajawali Putih tak akan hentikan pertarungannya sebelum Topeng Merah terpenggal kepala, tangan, dan kakinya. Sayang sekali ia tidak tahu siapa pemenggal lengan Yoga, sehingga ia tak bisa lampiaskan dendamnya.
Bukan hanya Lili yang menangisi nasib Yoga yang sekarang menjadi pendekar buntung itu, melainkan Lembayung Senja juga turut memandangi Yoga dengan hati sedih dan terharu. Bahkan di salah satu tempat di bawah pohon, seorang gadis terisak-isak menangis dengan air mata membasahi pipinya yang halus mulus itu.
Gadis cantik berambut panjang yang diikat jadi satu dengan tali merah itu, tak lain adalah Mutiara Naga. Di bawah pohon itu rupanya Mutiara Naga sudah sejak tadi menangis seorang diri, sehingga ketika ia berhenti menangis, matanya menjadi sembab dan agak sipit.
Mutiara Naga menangis karena kehadiran dua orang yang berhenti dari larinya, tak berapa jauh dari tempatnya berada. Kedua orang tersebut salah satunya bertubuh tinggi, besar, dan kekar seperti raksasa. Wajahnya lebih lebar dari ukuran wajah manusia biasa. Tulang rahang, dagu, pipi, dan tulang hidungnya, semua serba besar. Di keningnya ada dua benjolan sebesar jeruk peras, terletak tepat di kanan-kiri kening. Orang tersebut sangat dikenal oleh Mutiara Naga seba-gai tokoh ganas yang berjuluk Tanduk Iblis.
Sedangkan pemuda yang lumayan tampan tapi matanya tidak selembut dan seteduh Yoga itu tak lain adalah Tamtama, saudara sepupu dari Mutiara Naga sendiri. Tamtama terkesiap mata ketika melihat Mutiara Naga menangis. Walaupun air mata sudah dikeringkan, tapi sembabnya mata dan murungnya wajah membuat Tamtama tahu bahwa Mutiara Naga habis menangis. Maka menegurlah Tamtama dengan nada sedih mengejek,
"Rupanya kau masih ingat untuk menangis juga, Mutiara Naga?! Hmmm...! Kalau boleh ku tahu, mengapa kau menangis, Mutiara Naga?"
"Kau tak perlu tahu, Tamtama!"
"Sebagai saudara sepupu, aku perlu tahu tentang kesulitanmu! Mungkin hatiku berkenan untuk membantumu, Mutiara Naga!"
Dengan wajah masih murung dan memandang ke arah lain, Mutiara Naga menjawab sedikit parau, "Semua ini gara-gara si Pendekar Rajawali Merah!"
"O, sangat kebetulan sekali kita punya masalah yang sama, Mutiara Naga! Agaknya kau telah dikecewakan olehnya dan perlu bikin perhitungan! Tapi kalau boleh ku tahu, apa yang dilakukan oleh Yoga terhadap diri mu, sehingga kau jadi menangis begitu? Ka-takanlah, agar aku tidak tanggung-tanggung lagi dalam bergerak mencarinya bersama sahabatku; si Tanduk Iblis ini!"
"Ya, katakan apa yang dilakukan orang itu kepadamu, Mutiara Naga! Katakan saja!" desak Tanduk Iblis dengan suaranya yang pelan tapi bernada besar.
Mutiara Naga diam, tundukkan kepala dengan sedih. Hatinya bertanya-tanya kepada diri sendiri, "Haruskah aku menceritakan kejadian yang sebenarnya? Haruskah mereka berdua mengetahui masalah pribadiku? Apakah mereka nanti tidak akan menertawai ku jika aku bicara apa adanya kepada mereka?"
Cukup lama Mutiara Naga diam dan memper-timbangkan keputusan batinnya. Tamtama tak sabar dan segera berkata,
"Kalau kau tak mau menceritakan masalahnya, aku tak bersedia membantumu, Mutiara Naga!"
"Pergilah! Tinggalkan aku sendirian di sini!" kata Mutiara Naga.
"Ceritakan dulu apa yang terjadi!" desak Tamtama, diperkuat oleh bujukan dari Tanduk Iblis yang berwajah angker itu.
"Lekas ceritakan supaya tidak membuang buang waktu!"
Mutiara Naga kembali diam. Matanya memandang arah lain. Ia berdiri bersandar pada batang pohon dengan raut wajah makin sedih. Lalu, ia pun mencoba memaksakan diri untuk mengungkapkan kesedihannya di depan saudara sepupunya itu, "Yoga, Pendekar Rajawali Merah itu, tidak mau menghiraukan aku lagi! Ia telah terpikat dengan kecantikan si Kembang Mayat!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Tamtama tertawa keras.
Mutiara Naga memandang dengan tajam dan mendenguskan napas kejengkelannya. "Rupanya tangis kesedihan mu itu karena kecemburuan?! Hmmm...! Alangkah bodohnya kau ini, Mutiara Naga! Orang seperti dia tidak perlu dicemburui dan jangan mau menangis untuknya! Lelaki di dunia ini banyak dan...."
"Tapi tidak ada yang setampan dan sesakti dia!" sahut Mutiara Naga dengan cepat dan menyentak.
"Dengar kataku, Mutiara Naga.... Kau memang tidak layak berdampingan dengan Pendekar Rajawali Merah! Dia watak lelaki yang gemar main perempuan! Kalau kau jatuh cinta padanya, itu berarti kau lebih bodoh daripada seekor kerbau!"
"Setan! Dengan berkata begitu, kau sama saja menambah hatiku semakin sakit!"
"Ha, ha, ha, ha...! Maafkan aku kalau begitu, Mutiara Naga! Tapi, apa pun kebodohanmu, aku tetap akan mencari Yoga bersama Tanduk Iblis! Jangan takut, Yoga akan kubunuh begitu kami bertemu dengannya. Setidaknya sakit hatimu oleh sikapnya akan terobati, Mutiara Naga! Diamlah. Jangan menangis lagi!"
Tanduk Iblis menyahut, "Kalau aku tidak tahu kau adalah saudara sepupunya Tamtama, aku tak sudi membantumu, Mutiara Naga! Karena kau pernah menyerang ku ketika aku bertarung melawan Jalak Hutan!"
"Aku tidak butuh bantuanmu, Manusia Gajah!" ucap Mutiara Naga dengan mata menyipit benci.
Tanduk Iblis mundur dua tindak dan tak mau membantah dengan kata apa pun. “Tanduk Iblis," kata Tamtama, kemudian."... sebaiknya kita langsung saja ke Perguruan Belalang Liar! Karena kurasa Yoga ada di sana, sedang bercumbu dengan Kembang Mayat!"
"Baik. Kita berangkat sekarang! Aku sudah tak sabar, ingin segera menguliti tubuh Pendekar Rajawali Merah yang digembar-gemborkan sebagai pendekar yang tangguh itu!"
Tamtama dan Tanduk Iblis segera meninggal-kan tempat tersebut. Tetapi tiba-tiba tubuh Mutiara Naga cepat menjejak ke tanah dan melesat bagaikan terbang. Di udara ia bersalto satu kali, kemudian mendarat dan jatuh di depan langkah Tamtama dan Tanduk Iblis.
"Hmmm...! Ada apa lagi, Mutiara Naga?!" tegur Tamtama.
"Kalau tujuanmu mencari Yoga untuk dibunuh, kau harus berhadapan denganku dulu, Tamtama!"
Tamtama tidak langsung menyahut, melainkan memandang ke arah Tanduk Iblis. Pada saat itu Tanduk Iblis memang sedang menatapnya. Tanduk Iblis hanya angkat bahu, seakan terserah Tamtama mau ambil kebijakan yang mana; menuruti kemauan Mutiara Naga untuk tidak menyerang Yoga, atau menyerang Yoga sesuai rencana dengan cara menyingkirkan Mutiara Naga, sepupunya?
"Sebaiknya kita mengurus kepentingan diri sendiri saja, Mutiara Naga! Aku pun akan mengurus kepentinganku, bukan kepentinganmu!"
"Jika kepentinganmu adalah membunuh Yoga, maka kau berarti berurusan denganku, Tamtama!"
"Minggirlah, Mutiara Naga! Jangan menghalangi langkahku!" bentak Tamtama. "Nanti kalau kesabaranku hilang, kuhajar wajah cantik mu itu!"
"Mengapa tidak kau lakukan, hah?!"
"Benar-benar perlu dihajar kau ini! Hiahhh...!" Tamtama menghantam wajah Mutiara Naga dengan gerakan cepat, tapi oleh Mutiara Naga pukulan itu hanya ditangkis dengan tangan kiri.
Plak...!
Dan tangan kanannya segera menyodok dagu Tamtama Plook...! Maka terdongak wajah Tamtama sambil menahan seringai kesakitan. Sedangkan kepala yang terdongak itu belum sempat kembali turun tahu-tahu sudah mendapat sentakan kuat di bagian perutnya, buuhg...!
Tendangan Mutiara Naga mengenai perut itu dengan telaknya. Tamtama jatuh seketika dalam keadaan perut merasa mual.
"Tanduk Iblis! Mengapa diam saja?! Hajar dial" seru Tamtama dengan berang.
Tapi Tanduk Iblis hanya diam saja dan berkata, "Aku tak pernah melawan perempuan, Tamtama! Maaf saja, aku tak bisa membantumu!"
"Aah!" Tamtama mendesah jengkel. Kemudian ia menghantamkan tapak tangannya ke tanah. Buhg...! Dan dari tanah memerciklah sinar merah yang melesat naik ke arah dada Mutiara Naga. Seketika itu Mutiara Naga melompat ke samping dan menghantam sinar merah tersebut dengan sinar hijau dari punggung tangannya yang disodokkan.
Claap...! Biaaar!
Sraang...! Tamtama mencabut pedangnya, dan Mutiara Naga pun tidak mau kalah, ia segera mencabut pedangnya juga. Sreet...! Sedangkan Tanduk Iblis mundur beberapa tindak, memandangi pertarungan itu dengan sikap tenang sekali.
"Apakah kau benar-benar sudah siap korbankan nyawamu untuk melindungi si kunyuk itu, Mutiara Naga?!"
"Ya! Aku siap!" katanya dengan menggeram. Pedangnya pun segera berkelebat ke samping kiri dan di sambut dengan tangan kirinya, sehingga pedang itu menempel rapat di telapak tangan kirinya, di atas pundaknya.
"Baiklah kalau kau memang siap mati untuk kunyuk itu! Aku pun tak merasa sayang kehilangan saudara sepupu sendiri! Hiaaah...!"
Tamtama maju dengan menghujam pedangnya, tapi pedang Mutiara Naga segera menebas ke bawah, traang...! Trang...! Wuuut...! Kaki Tamtama menendang wajah Mutiara Naga, namun segera dapat dielakkan. Sebaliknya, ketika itu Mutiara Naga lekas putarkan badan dan kakinya berkelebat menendang, wuuut...! Plook...! Wajah Tamtama menjadi sasaran empuk bagi kaki itu. Tamtama sempoyongan. Mutiara Naga segera mengejar untuk menebaskan pedangnya merobek dada Tamtama.
Wuuut...! Traaang...!
Pedang Mutiara Naga tertangkis, tapi bukan oleh pedang Tamtama, melainkan tertangkis oleh pedang Jalak Hutan. Lelaki itu muncul pada saat Tamtama mestinya robek dadanya oleh pedang Mutiara Naga. Melihat kehadiran Jalak Hutan, Mutiara Naga segera mundur dua tindak dan hentikan serangannya.
"Mengapa Paman halangi seranganku?!" sentak Mutiara Naga dengan wajah memancarkan kekecewaan. Jalak Hutan yang tidak lagi mendongak kepalanya itu segera memasukkan pedangnya sendiri ke sarung pedang.
"Jangan kalian saling membunuh! Tamtama adalah saudara sepupu mu juga, Mutia!"
“Tapi dia ingin membunuh Pendekar Rajawali Merah, Paman! Aku harus melindungi Yoga dan menggagalkan rencananya!"
Tamtama segera tegak dan berkata kepada Jalak Hutan, "Uruslah keponakanmu itu, jangan sampai dia mati di tanganku, Paman Jalak Hutan! Aku bosan bertarung dengannya!"
"Itu pertanda kau tidak bisa mengalahkan dia, Tamtama!" kata Jalak Hutan bernada membela Mutiara Naga.
Tanduk Iblis geram melihat kemunculan Jalak Hutan. Ia ingin menyerang, meneruskan pertarungannya yang tertunda tempo hari. Tetapi ia melirik Mutiara Naga dan segera membatalkan niatnya, karena pikirnya percuma melawan Jalak Hutan saat itu, pasti Mutiara Naga akan ikut campur lagi.
“Tanduk iblis, cepat kita pergi dari sini!" kata Tamtama bagai seorang ketua yang memberikan perintah pada bawahannya. Tanduk Iblis menurut. Keduanya segera melesat pergi dengan menggunakan tenaga peringan tubuh.
Mutiara Naga ingin mengejar Tamtama, tapi dihadang oleh Jalak Hutan. Mutiara Naga menjadi tambah jengkel dan cemberut. "Aku akan mengikutinya. Paman! Jika dia mau bunuh Yoga, aku yang akan melindunginya!"
"Itu tak perlu kau lakukan, Mutia!" kata Jalak Hutan.
"Kenapa tak perlu?! Sekalipun Paman tadi sudah memberitahukan padaku tentang hubungan Yoga dengan Kembang Mayat, tapi aku tetap mencintainya, Paman"
"Iya! Aku tahu itu! Tapi kau tak perlu bersikap begitu, Mutia! Pendekar Rajawali Merah bisa jaga diri sendiri dan dia lebih hebat dari kau! Jadi kalau kupikir-pikir, kau ini bukan mau lindungi dia malah mau bikin repot dia saja, Mutia!"
"Macam mana aku bikin repot, karena aku yang akan bunuh Tamtama kalau Tamtama mau bunuh dia..."
"Ah, sudahlah...!" Jalak Hutan menepiskan tangan sendiri. "Lupakan saja soal itu! Tak perlu kau cemaskan jiwanya, Mutia! Sekarang yang perlu kau pikirkan, bagaimana menarik perhatian Pendekar Rajawali Merah supaya pindahkan hatinya dari Kembang Mayat kepada dirimu!"
"Maksud Paman bagaimana?" Mutiara Naga berubah sikap dan menjadi lebih bersemangat lagi.
"Aku punya sahabat, dan kau kenal dengan orang itu pasti! Aku bisa mintakan padanya agar dia mau ajarkan jurus kemesraan padamu, supaya kau bisa lawan Pendekar Rajawali Merah pakai jurus kemesraan itu, dan Pendekar Rajawali Merah akan jatuh cinta padamu!"
"Maksud Paman, semacam ilmu pelet, begitu?!"
"Ya! Betul, betul...! Ah, bagaimana? Kau setuju?!" Jalak Hutan berseri-seri dalam seringainya.
Mutiara Naga diam, memunggungi pamannya. Agaknya ada sesuatu yang ia pertimbangkan. "Jurus itu bisa bikin Yoga bertekuk lutut padamu saat itu juga, Mutia! Jurus itu lebih berbahaya daripada 'Racun Bunga Asmara'," kata Jalak Hutan, lalu ia mendekat punggung Mutiara Naga dan berbisik,
"Terus terang saja, jurus itu membuat Yoga akan terpikat padamu dan gairah kejantanannya akan tumbuh dan mengejarmu sepanjang masa! He, he, he, he...! Bagaimana? Kau bersedia?"
"Itu namanya aku berbuat jahat padanya, Paman!" hanya itu jawaban Mutiara Naga yang membuat Jalak Hutan tertegun bengong.
PENDEKAR Rajawali Merah baru saja siuman dari pingsannya. Hampir seharian penuh ia tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, bumi telah dikelilingi oleh selubung hitam karena datangnya malam. Pertama kali la membuka mata yang ia pandang adalah seraut wajah cantik bak bidadari. Tentu saja wajah itu adalah wajah Guru Lili.
Itulah sebabnya, dalam keremangan cahaya pelita penerang rumah pondok Pancasona, Yoga menyipitkan matanya untuk menangkap lebih jelas lagi wajah ayu itu, lalu ia berucap pelan, "Guru...!"
Hampir saja Lili mencucurkan air mata kembali mendengar sapaan pelan itu. Seolah-olah ia mendengar rintihan memelas dari seorang pendekar yang telah tak berdaya lagi itu. Lili hanya mengeraskan hatinya untuk tidak menitikkan air mata lagi. Ia menggenggam tangan kanan Yoga kuat-kuat. Di sanalah sebenarnya tangis itu ditahan sekuat mungkin.
"Guru Li..., tanganku hilang satu. Guru...!"
Lembayung Senja yang mendengar ucapan itu menjadi tak mampu menahan air matanya. Ia menangis dengan tundukkan kepala dan memalingkan wajah. Hatinya iba mendengar ucapan seorang pendekar tampan yang memikat hati setiap wanita itu, kini dalam keadaan buntung tangannya.
Duka yang ada di hati mereka itu sebenarnya adalah duka yang timbul akibat rasa sayang, kasihan, dan dendam kepada si pemenggal tangan tersebut. Tega-teganya orang itu membuntungi tangan seorang pemuda tampan yang begitu memukaunya jika dipandang walau sampai berapa lamanya.
"Siapa yang melakukannya, Yo?!" tanya Lili dengan suara pelan. Pertanyaan itulah yang sampai dua hari tidak terjawab oleh Yoga. Setiap Lili mendesaknya dengan pertanyaan itu, Yoga selalu menjawabnya,
"Aku tidak ingat lagi. Guru Li! Pandangan mataku gelap ketika itu dan aku tak tahu siapa yang menebaskan pedangnya hingga tangan kiriku menjadi buntung begini!"
"Apakah kau diserang dari belakang, dan tahu-tahu orang itu memenggal tanganmu?!"
"Mungkin begitu!" jawab Yoga dengan tenang.
Tetapi hati kecil Pendekar Rajawali Putih sangsi dengan pengakuan Yoga itu. Ia tak percaya kalau Yoga bisa diserang dari belakang. Seingatnya, guru Yoga yang bernama Dewa Geledek itu orang yang paling sulit diserang dari belakang karena mempunyai ilmu yang dinamakan 'Sandi Indera'. Ilmu itu membuat Dewa Geledek selalu punya gerakan cepat untuk menghindar atau menangkis jika diserang dari belakang secara sembunyi-sembunyi.
Apakah jurus 'Sandi Indera' tidak diturunkan kepada Yoga? Rasa-rasanya itu tak mungkin menurut hati nurani Lili. Jadi sangat aneh jika Yoga mengaku diserang orang dari belakang sehingga tangan kirinya putus sebatas siku.
"Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Yo!" desak Lili lagi.
"Aku tidak menyembunyikan apa-apa," jawab Yoga.
"Pengakuanmu itu palsu! Aku tak percaya kau tidak mengenali si penyerang mu itu! Kau berlari mengejar Kembang Mayat, Kembang Mayat berlari mengejar Topeng Merah. Lalu siapa di antara mereka berdua yang ganti melawanmu dan memenggal tangan kirimu sebenarnya?"
"Aku tak jumpa mereka!"
“Tak mungkin!"
"Mereka berlari dengan cepat dan aku tak sanggup mengejar!"
"Itu semakin tak mungkin!" bantah Pendekar Rajawali Putih. "Kau punya jurus 'Petir Selaksa' yang mampu bergerak melebihi gerakan kilat! Aku pun juga punya! Tak mungkin kau tak berhasil kejar mereka, Yo! Tak mungkin!" Lili geleng-gelengkan kepalanya.
Pendekar Rajawali Merah tidak membantah. Ia diam saja, hanya menghela napas dan memandang cahaya pagi dengan embun-embunnya yang belum ker-ing di permukaan dedaunan. Terdengar lagi Pendekar Rajawali Putih berkata,
"Apalagi kita sama-sama mempunyai jurus 'Langkah Bayu', yang membuat kita bagai menghilang dalam satu kali sentakan kaki, ini jelas tidak mungkin membuat mu kehilangan jejak mereka atau tak mampu mengejar mereka!"
"Aku tersesat, Guru Li!" kata Yoga, bagaikan baru saja menemukan gagasan dan alasan yang kuat. "Mungkin mereka membelok ke timur sedangkan aku membelok ke barat, atau sebaliknya."
Sekarang Lili yang termenung. Alasan itu memang masuk akal. Tapi apakah Yoga tidak bisa melacak dari bau wewangian yang dimiliki oleh Kembang Mayat? Lili sendiri sampai sekarang masih hapal dengan wewangian khas yang ada di tubuh Kembang Mayat, padahal kala itu ia datang menemui Yoga manakala Kembang Mayat telah pergi beberapa saat yang lalu, yaitu sebelum mereka berdua akhirnya membunuh Mata Neraka.
Sebenarnya Yoga tak bisa berbohong terlalu banyak kepada Lili. Tapi agaknya hal itu memang perlu ia lakukan, supaya Lili tidak lampiaskan dendamnya kepada orang yang membuat tangan Yoga putus. Padahal di dalam hati, Yoga tahu persis siapa orang yang memutuskan tangannya. Dia adalah Topeng Merah.
Ya, memang Topeng Merah. Tetapi Yoga melihat sinar penyesalan yang dalam dari gerakan mata di balik topeng itu. Hanya sekilas dan memang tak seberapa jelas diterima oleh pandangan mata Yoga. Tetapi pada saat itu Yoga punya naluri yang mengatakan, bahwa Topeng Merah menyesal sekali atas jurusnya yang salah tebas itu. Yoga yakin seyakin-yakinnya, bahwa Topeng Merah tidak bermaksud membuntungi tangannya. Tetapi apakah alasan seperti itu bisa diterima oleh Lili jika Yoga mengatakan yang sebenarnya?
"Tidak. Lili tidak bisa menerima kenyataan ini," pikir Pendekar Rajawali Merah. "Kalau kukatakan yang sebenarnya, Lili pasti akan memburu Topeng Merah dan membantainya lebih keji dari putusnya tanganku ini! Sedangkan naluri ku mengatakan, Topeng Merah tidak punya maksud jahat kepadaku, justru ia selalu melindungi ku! Tapi Lili pasti tidak akan peduli jika kukatakan bahwa Topeng Merah memutuskan tangan kiriku dengan satu tindakan yang tidak sengaja! Aku tahu persis, Lili kecewa padaku karena aku tidak mau menyebutkan siapa orangnya. Namun rasa-rasanya memang lebih baik merahasiakan hal itu, dari pada timbul peristiwa yang tak kuinginkan.!”
Yoga pun sebenarnya tahu bahwa Kembang Mayat mati karena jatuh ke jurang pada saat ia belum pingsan. Tetapi demi menjaga rahasianya, Yoga mengaku tidak mengetahui bagaimana nasib Kembang Mayat ketika Lembayung Senja menanyakannya di depan Lili juga.
"Kalau aku bertemu dengan mereka, maka aku pasti tahu bagaimana nasib mereka; Kembang Mayat di bunuh Topeng Merah, atau Topeng Merah yang dibunuh Kembang Mayat! Karena aku tak bertemu dengan mereka, maka aku tak tahu nasib mereka!"
Lembayung Senja juga merasa kecewa atas jawaban itu. Namun lambat laun ia mulai percaya. Satu saat ia menghampiri Yoga yang sedang dalam keadaan sendirian, di bawah sebuah pohon yang ada di samping rumah si Tua Usil itu.
"Lukamu belum kering juga dan akan menjadi busuk kalau tak segera diobati," kata Lembayung Senja.
"Agaknya memang begitu," jawab Yoga tetap tenang. "Ini pun sudah ditangani oleh Guru Lili, kalau belum pasti sudah sejak kemarin menjadi busuk dan menjalar ke seluruh tubuh."
"Racun itu agaknya hanya bisa dilenyapkan oleh sang Ketua! Dia tahu persis soal racun, karena neneknya dulu, yaitu Guru Sangkal Pati, adalah jago racun yang mendapat julukan Ratu Racun. Ilmu itu di turunkan semuanya kepada Kembang Mayat. Kalau sekarang kau tahu di mana Kembang Mayat, kau bisa minta bantuan kepadanya untuk menangkal racun dalam lukamu. Pedang orang itu pasti beracun dan sangat berbahaya jika tergores sedikit pun! Kalau pedang itu tidak beracun, maka lukamu itu tidak akan mem-punyai warna biru pada tepiannya!"
"Aku percaya."
"Karena itu kusarankan pergilah kepada Kembang Mayat dan mintalah bantuannya agar dia mau mengobati lukamu!"
"Ke mana?" Pendekar Rajawali Merah berlagak bodoh.
"Yah... ke mana sajalah, aku tak tahu di mana sang Ketua sekarang berada!" kata Lembayung Senja. "Apakah kau tak bisa mencarinya sendiri? Tentunya kau tahu di mana dia bersembunyi, sebab jika dalam keadaan darurat, sang Ketua selalu memberitahukan kepada salah satu orang yang dipercaya tentang di mana dia berada. Orang itulah yang akan dipakai sebagai perantara antara dirinya dengan orang lain!"
"Kalau aku tahu di mana Kembang Mayat berada, aku akan ke sana!" kata Yoga dengan suara pelan dan mata menerawang.
"Jadi kau benar-benar tidak tahu?"
"Tidak! Mungkin kau tahu? Karena biasanya sebagai murid atau anggotanya, kau tahu di mana harus bersembunyi jika dalam keadaan yang sangat berbahaya!" Yoga membalikkan tuduhan tak langsung itu.
"Aku tidak tahu! Kami tidak punya tempat seperti itu!"
"Berarti aku memang tidak punya kesempatan untuk sembuh!" Yoga berkata bagaikan orang patah semangat. Hal itu membuat Lembayung Senja menarik napas dalam-dalam karena kasihan melihat nasib Pendekar Rajawali Merah yang sangat gagah dan ru-pawan itu.
"Aku berani bersumpah, aku tidak tahu di mana dia berada!" kata Lembayung Senja sambil melangkah pergi meninggalkan Yoga, ia masuk ke dalam rumah, dan segera menemui Lili di sana.
Yoga melihat sekelebat pakaian Lili didekati Lembayung Senja, lalu mereka merapat di tempat yang tak terlihat dari luar rumah. Yoga hanya tersenyum dalam hati. Ia tahu, pertanyaan Lembayung Senja tadi adalah atas perintah Lili, yaitu perintah untuk memancing keberadaan Kembang Mayat ataupun Topeng Merah.
"Menurutku," kata Lembayung Senja kepada Lili, "Dia benar-benar jujur dan tak bertemu dengan Kembang Mayat ataupun si Topeng Merah!"
"Kalau begitu, siapa yang memutuskan tangannya itu?!" gigi Lili menggeletuk pertanda menahan dendam untuk suatu pembalasan.
"Nona Lili...!" si Tua Usil muncul dari dapur. "Saya sudah buatkan air hangat untuk mandi Tuan Yoga!"
"Bagus!"
"Jadi kapan saya akan mendapat pelajaran tentang bagaimana bisa berdiri di atas ilalang?!"
"Mintalah pada Yoga! Dia punya jurus begitu juga!" kata Lili.
Si Tua Usil bernada kecewa, "Oh, Nona Lili... kau masih saja tak mau mengajari ku untuk bisa berdiri di atas ilalang! Lama-lama aku bisa bunuh diri jika kau selalu menolaknya!"
"Bunuh dirilah! Mungkin itu pilihan terbaik menurut selera mu!" jawab Lili sambil bergegas pergi dan menghampiri Yoga, menyuruhnya mandi dengan air hangat.
Racun dalam luka memang cukup berbahaya. Sekalipun Lili telah menangkalnya dengan menyalurkan hawa murninya dan menutup kulit luka dengan hawa sakti yang dapat mempercepat keringnya luka, tapi nyatanya racun itu masih mampu menembus hawa sakti walau tidak secepat biasanya. Luka busuk akan terjadi bukan hanya pada bagian yang terpotong saja, namun juga pada seluruh lengan, sampai ketiak apabila racun busuk itu mulai merayap ke sana, dibawa oleh peredaran darah. Bahkan bisa membuat busuk sekujur tubuhnya.
"Aku harus menemui Tabib Perawan!" kata Yoga. "Kurasa dia bisa menyembuhkan luka ini, termasuk menangkal keganasan racun ini!"
"Tabib Perawan...?! Sepertinya aku pernah dengar kau menyebutkan nama itu!" kata Lili.
"Ya. Tabib Perawan bernama Sendang Suci, dia bibinya Mahligai!"
"Ooo... jadi kau ingin menjenguk Mahligai, si gadis gila itu, dengan alasan menemui Tabib Perawan?!"
"Kecemburuan mu berlebihan, Guru! Ini akan membahayakan diriku sendiri!"
"Siapa yang cemburu padamu!" sentaknya sambil ia berhenti menyisir rambut Yoga.
"Baik. Baiklah... kau tidak cemburu, lantas apa namanya jika kau selalu curiga apabila aku menemui Mahligai?!"
"Aku... aku hanya sekadar menggoda mu saja!" Lili memaksakan diri untuk tersenyum, biar ada kesan kata katanya tadi hanya bercanda. Tetapi senyum itu kaku, canda itu tak enak dilihat dan didengar, karena Yoga pun berkata,
"Hilangkan kecurigaan seperti itu. Nanti akan menyiksadirimu sendiri, Guru!"
"Aku tidak curiga!" tandasnya tegas.
"Kau curiga!"
"Tidak!"
"Kau mencintai ku, Guru!"
"Yo...! Jangan bicara selancang itu!"
"Kau tak mau mengakuinya?!"
"Aku sedang tak berselera bicara soal itu!" jawab Lili menutupi perasaan sebenarnya.
"Tapi... sayang sekarang tanganku sudah buntung satu, sehingga mengurangi rasa cinta seseorang pada diriku!"
"Jangan berkata begitu!" tegasnya lagi.
"Memang nyatanya aku kehilangan tangan satu begini! Aku sekarang sudah cacat dan buntung! Tak layak mendapatkan cinta dari seseorang!"
"Siapa bilang?!"
"Tak ada lagi orang menaruh hati padaku, Guru!"
"Masih ada!"
"Siapa?"
"Siapa saja!" jawab Lili sambil berlagak acuh tak acuh.
"Orang yang menaruh hati, jika besar kecemburuannya akan menyiksa diri sendiri! Dan itulah orang yang bodoh!"
"Aku tidak curiga, tidak cemburu, tidak apa-apa padamu! Kalau kau mau pergi ke Tabib Perawan pergilah sana! Kalau kau mau bertemu dengan Mahligai untuk melepas rindu, bertemulah sana! Aku pun tidak mau dibuat susah oleh anggapan-anggapan mu tadi. Aku punya urusan sendiri, aku punya tugas sendiri untuk mencari pemandu hatiku!"
Pendekar Rajawali Putih memang bicara dengan santai, seakan tidak mempunyai tekanan kecewa, tidak mempunyai nada cemburu, tidak mempunyai sikap marah, tapi mempunyai arti yang cukup dalam dari seluruh kata-katanya itu. Yoga menyadarinya, tapi Yoga tidak mau bilang apa-apa kecuali hanya mengatakan, "Aku boleh berangkat ke rumah Tabib Perawan sekarang juga?"
"Berangkatlah," jawab Lili sambil merapikan pakaian Yoga "Hati-hati di perjalanan, jangan sampai tangan kananmu ganti yang terpotong oleh kebodohanmu!"
"Kebodohan ku?" Yoga tersenyum. Geli sendiri mendengar ucapan Lili yang masih bernada meremehkan dirinya.
"Rasa sakit mu bagaimana?"
"Bisa ku atasi sendiri, Guru!"
"Ajaklah si Tua Usil itu buat jaga-jaga dirimu di perjalanan!"
"Apakah dia tidak akan merepotkan diriku dengan keusilannya?"
"Kurasa dia tidak berani bertingkah macam-macam. Dan kalau dia minta diajarkan bagaimana cara berdiri di atas ilalang, katakan saja, hanya aku yang bisa melakukannya! Jangan kau ajarkan ilmu itu kepadanya. Paham?"
"Sangat paham, karena aku tahu kau tidak ingin lebih rendah dariku. Guru Li...!"
"Bukan soal itu! Tua Usil tak pernah mau jujur tentang dirinya. Sebatas apa kebisaannya, setinggi apa ilmunya, dia tak pernah mau tunjukkan sedikit pun pada ku. Tapi aku punya naluri mencurigainya, bahwa sebenarnya dia itu berilmu tinggi! Tak banyak orang tahu tentang tingginya ilmu si Tua Usil."
"Kau ingin dia jujur padamu?"
"Ya!" jawabnya dengan tegas dan pendek.
Maka berangkatlah Yoga bersama si Tua Usil menuju ke lembah Bukit Berhala, tempat kediaman si Tabib Perawan alias Sendang Suci. Dalam perjalanannya, Tua Usil selalu bertanya ini-itu tentang hubungan Yoga dengan Lili, atau hubungan Yoga dengan Kembang Mayat, atau bertanya tentang jurus-jurus yang di miliki oleh Lili. Tak ketinggalan pula ia bertanya,
"Jadi, siapa orang yang memutuskan lenganmu itu, Tuan Yo?"
"Seseorang yang mempunyai pedang!"
"Siapa orang itu?"
"Aku tak tahu! Kurasa kau pun tak perlu tahu, Tua Usil."
"Tapi aku bisa menduga," katanya.
"Bagaimana dugaanmu?"
"Kulihat ilmu pedang Kembang Mayat cukup hebat. Topeng Merah melarikan diri karena terdesak oleh ilmu pedang Kembang Mayat. Lalu kau mengejarnya dan bermaksud mencegah pertarungan itu. Tindakanmu itu, sangat mengecewakan hati Kembang Mayat, Tuan Yo. Tak heran jika Kembang Mayat marah padamu. Tapi ia pun diserang oleh Topeng Merah. Gerakan pedang Kembang Mayat dapat menghindari dan menangkis jurus pedang Topeng Merah. Dan pada saat itulah, Topeng Merah kehilangan kendali geraknya, sehingga memotong lenganmu yang mungkin waktu itu ada di dekat Kembang Mayat!"
Dalam hati Yoga terkejut mendengar penjabaran si Tua Usil itu. Cara berpikirnya agak simpang siur tapi akhirnya ke arah jawaban yang benar. Diam-diam Yoga menjadi cemas, kalau-kalau mulut Tua Usil tidak bisa dijaga dan bocor ke telinga Lili. Karenanya, Yoga berlagak menertawakan dugaan Tua Usil.
"Dugaanmu sama sekali meleset, Tua Usil!"
"Baiklah kalau memang itu kau anggap dugaan yang meleset, Tuan Yo. Tapi bagaimana jika dugaan itu kubicarakan dengan Nona Li?"
Terkesiap mata Yoga, terhenti langkahnya seketika itu. Kemudian ia berkata sambil memandang Tua Usil yang tersenyum-senyum memamerkan satu gi-ginya yang ompong sebelah kanan itu. "Jaga mulut usil mu itu, nanti bikin perkara di hati Guru Li!"
"He, he, he, he...! Kau takut aku bicara yang sebenarnya, bukan?"
"Bukan takut kau bicara sebenarnya, tapi takut dugaan bodoh mu itu dipercaya oleh guruku, sehingga akan timbul pertarungan salah sasaran, Tua Usil!"
"Aku tetap akan bicara pada Nona Li, kecuali kau mau ajarkan aku tentang bagaimana bisa berdiri di atas ilalang!"
"Apakah kau pernah lihat aku berdiri di atas ilalang?"
"Belum. Hanya Nona Li yang kulihat berdiri di atas ilalang!"
"Kalau begitu, mintalah belajar padanya! Jangan padaku!"
"Tapi menurut cerita Nona Li, kalian berdua punya ilmu yang sama! Pendekar Rajawali Putih dengan Pendekar Rajawali Merah, dan jika Nona Li bisa berdiri di atas ilalang, tentunya kau pun bisa, Tuan Yo!"
"Guru Li punya ilmu sendiri yang tidak kumiliki! Jadi kau bisa minta diajarkan ilmu berdiri di atas ilalang kepadanya! Karena itu adalah salah satu kelebihannya yang tidak kumiliki!"
"Baiklah kalau kau tak mau mengajarkannya padaku, aku tetap akan bicara tentang dugaanku itu kepada Nona Li!"
Tua Usil melangkah lebih dulu dengan rasa bangga, seakan ia yakin betul siasatnya itu akan menjerat Yoga dan membuat keinginannya terpenuhi. Sementara itu, Yoga sendiri memang menjadi cemas dan gelisah. Lili berpesan agar jangan ajarkan ilmu berdiri di atas ilalang, sementara itu Tua Usil mulai mengancam dengan sesuatu yang dirahasiakan baik-baik agar tak diketahui Lili Jika sudah begini, Yoga tak tahu mana yang harus dilakukan? Membocorkan rahasianya sendiri melalui mulut si Tua Usil itu, atau melanggar larangan sang Guru?
SENDANG Suci terperanjat ketika keluar dari rumahnya, tahu-tahu Yoga sudah berjalan mendekati pintu rumah tersebut. Untuk beberapa saat Sendang Suci tertegun memandangi tangan Yoga yang buntung itu dan masih membasah pada lukanya. Wajah Sendang Suci menjadi pucat, terbungkus oleh kesedihan yang nyaris tak bisa ditahan lagi. Bahkan ia menjadi serba salah dalam memandang ketika Yoga menatapnya dengan lembut dan berkata,
"Maaf, aku belum bisa dapatkan bunga Teratai Hitam itu, Bi!"
Menelan ludah pun terasa sulit bagi Sendang Suci. Namun ia paksakan diri sedapat mungkin, dan berkata, "Masuklah, Yo!"
Ketika Sendang Suci mendahului masuk ke dalam rumah, dan Pendekar Rajawali Merah bergegas mengikutinya, si Tua Usil berkata, "Tuan Yo, kalau Tuan berkenan, izinkan aku di luar saja!"
"Kenapa?"
"Aku... aku... aku tak mau campuri pembicaraanmu dengan Tabib Perawan itu, Tuan Yo!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan napas panjang lalu berkata kepada si Tua Usil itu, "Jangan jauh-jauh dari tempat ini! Aku tak lama di sini!"
"Baik, Tuan Yo!"
Hati Yoga menjadi lebih haru lagi melihat Mahligai terkapar lemah di atas sebuah dipan kayu. Tangan dan kakinya dipasung, sementara ketika ia melihat kehadiran Yoga, ia hanya menyeringai. Seringai itu bukan seringai keramahan, melainkan seringai keganasan.
"Saya mendapat halangan, Bi!" kata Pendekar Rajawali Merah sebagai pemberitahuan, bukan sebagai keluhan.
"Hanya untuk bunga Teratai Hitam saja kau sampai korbankan tanganmu begitu, Yo! Sungguh suatu pengorbanan yang mahal!"
"Hanya sebuah kecelakaan kecil saja," kata Yoga dengan sikap tenang dan tabah. "Barangkali Dewata sudah menggariskan saya harus mengalami perjalanan hidup selanjutnya dengan satu tangan! Saya tak boleh menolaknya, bukan?"
"Ya, memang! Tak ada yang bisa menolak kehendak Dewata yang merupakan jalur garis takdir itu!"
"Cuma, kalau saja suatu saat aku bertemu dengan si Topeng Merah, dia akan kupenggal menjadi beberapa potong, Bi!"
Terkesiap mata Sendang Suci saat itu, lalu dia berkata, "Apakah dendam seperti itu akan mengembalikan tanganmu yang sudah putus begitu?"
"Memang tidak. Tapi...."
"Jangan mau diperbudak oleh dendam, Yo! Hidup ini bukan berisi dendam dan pembalasan saja, tapi juga ada kebaikan dan kebijakan. Bagiku, hilangnya tangan mu itu sangat membuat sedih di dalam hati. Tetapi toh kesedihan itu hanyalah kesedihan, tak bisa membuat tanganmu utuh kembali!"
"Memang begitu."
"Dan jika kau tambah dengan dendam, maka kau akan semakin terjerumus dalam penentangan terhadap sang takdir!"
"Benarkah dendam itu tak baik dilakukan oleh seseorang jika demi menjaga kewibawaan dan harga dirinya?"
Sendang Suci terbungkam untuk beberapa saat. Matanya berkaca-kaca ketika memandangi luka di lengan Yoga. Sejenak kemudian barulah terdengar ia bicara dengan suara lemah, "Kadang-kadang memang kita tak bisa membedakan antara dendam dan harga diri. Di dalam dendam itu memang ada harga diri, tetapi tidak selamanya lahir harga diri dari segumpal dendam."
"Jadi, bagaimana menurutmu, Bi? Apakah aku harus membalas hal ini kepada Topeng Merah?"
Diam sekejap Sendang Suci, lalu menjawab, "Kalau itu sesuatu yang baik buat harga dirimu, lakukanlah! Apa yang kau rasakan berbeda dengan apa yang ku rasakan. Sama-sama sedih, tapi pasti beda kadar kesedihannya antara aku dan kau, Yo! Jadi aku tak berani kasih keputusan apa pun, karena itu menyangkut pribadi dan harga dirimu! Kaulah yang bisa mengukurnya sendiri, Yo!"
Pendekar Rajawali Merah mengangguk-anggukkan kepala sambil menggumam beberapa saat. Setelah itu, dipandanginya Mahligai yang masih menatapnya liar sejak tadi. Yoga pun berkata kepada Sendang Suci,
"Menyedihkan sekali keadaan Mahligai itu, Bi! Aku bertekad untuk mendapatkan Teratai Hitam setelah luka tanganku mulai sembuh nanti! Kudengar Kembang Mayat mempunyai Teratai Hitam sehingga aku ingin memintanya secara baik-baik darinya. Jadi aku tak perlu lagi ke Telaga Bangkai di Gunung Tambak Petir itu, Bi!"
"Kembang Mayat...?! Mengapa kau begitu percaya dengan Kembang Mayat yang cantik dan muda itu?"
"Maksud Bibi bagaimana?" Yoga kerutkan dahinya.
"Kembang Mayat tidak mempunyai bunga Teratai Hitam, Yo! Teratai Hitam hanya ada di Telaga Bangkai, di dalam Gua Mulut Iblis! Hanya ada satu tempat yang terdapat bunga Teratai Hitam."
"Jadi... Kembang Mayat tidak mempunyainya?"
"kurasa dia menipumu untuk menarik perhatianmu! Kembang Mayat sama sekali tidak mempunyai bunga itu! Neneknya dulu pernah mencangkok bunga tersebut yang diambil dari telaga di dalam Gua Mulut Iblis, tetapi ketika sampai ditempatnya bunga itu mati dan tak bisa ditanam di mana pun juga!"
Pendekar Rajawali Merah tercengang dan kini termenung sendiri. Hatinya membatin dalam geram kedongkolan, "Sial betul sang Ketua itu! Jika memang benar dia tidak memiliki bunga itu, berarti dia hanya ingin mempermainkan diriku saja! Dia pasti punya maksud-maksud tertentu yang bersifat pribadi. Aku telah terkecoh dan terpedaya olehnya! Kecemasan ku yang membuat aku menyelamatkan dia dari Topeng Merah itu ternyata sia-sia saja. Dan berarti pengorbanan ku ini juga sia-sia belaka! Aku seperti mengejar impian yang tak pernah menjadi nyata di depan Kembang Mayat! Mestinya aku tak mudah percaya pada dia! Sial! Benar-benar bodoh diriku ini. seperti apa kata Guru Li itu!"
Melihat raut wajah dibungkus kecewa, Sendang Suci segera berkata kepada pendekar yang masih kelihatan tampan dan menawan itu, "Apakah hubunganmu dengan Kembang Mayat sudah telanjur jauh?"
"Hmmm... yah, sejauh perjalanan kami menuju pesanggrahannya saja, Bi! Tak ada yang kami perbuat lebih jauh dari itu. Ketika aku tiba di pesanggrahannya, keadaan di sana sudah habis terbakar dan Kembang Mayat mengejar Topeng Merah, karena Topeng Merahlah yang membantai habis murid-murid Pesanggrahan Belalang Liar itu, serta yang membakar tempat tersebut Lalu aku mengejarnya untuk mencegah pertarungan antara Kembang Mayat dengan Topeng Merah...."
"Mengapa kau ingin mencegahnya?"
"Karena dalam pikiranku, kalau Kembang Mayat mati, aku akan kehilangan sumber bunga Teratai Hitam yang ada dalam jarak dekat. Tapi jika Topeng Merah mati, aku pun menyayangkannya."
"Mengapa kau menyayangkan kematian Topeng Merah? Apakah dia temanmu atau...."
"Setahuku dia selalu membelaku jika aku sedang berselisih dengan siapa saja! Aku tak tahu apa alasan pembelaan itu, dan aku juga belum tahu siapa dia sebenarnya, Bi! Menurutku, dia bersikap baik padaku, karena itu aku juga harus membalas sikap baiknya. Dia pernah membelaku dalam sebuah pertarungan dan aku harus membelanya dalam sebuah pertarungan juga! Kira-kira begitulah jalan pikiran ku!"
"Tapi... bukankah kau tadi bilang bahwa yang memotong tanganmu itu adalah si Topeng Merah?"
"Benar! Tapi sejujurnya kukatakan padamu, Bi... bahwa naluri ku mengatakan hal itu dilakukan oleh Topeng Merah di luar kesengajaan! Aku sempat melihat kilatan cahaya matanya yang menandakan penyesalan melihat tangan kiriku terpotong oleh pedangnya!"
Wajah Sendang Suci menampakkan rasa harunya, lalu berkata dengan nada pelan namun jelas terdengar dl pendengaran Yoga, "Rasa-rasanya, kau layak membalas memotong tangan kiri Topeng Merah!"
"Mengapa begitu?"
"Supaya ia tidak hidup dalam penyesalan yang panjang!"
"Topeng Merah belum tentu sejalan dengan perasaanmu, Bi! Dan aku mencoba melupakan peristiwa itu! Sekarang yang ku pikirkan adalah mengobati lukaku ini, Bi! Luka ini agaknya beracun dan membahayakan keselamatanku. Setidaknya begitulah pertimbangan beberapa temanku, termasuk si Tua Usil itu! Jadi aku ke sini untuk minta bantuanmu, menangkal racun yang ada dalam lukaku!"
"Pedang si Topeng Merah beracun menurutmu?"
"Kurasa memang begitu! Tidakkah kau bisa menyembuhkan dan menawarkan racun tersebut?"
Sendang Suci memandangi luka itu dengan hati bagai tersayat-sayat. Ia ingin menangis namun ditahannya kuat-kuat. Ia menarik nafas dan berkata, "Ya, aku bisa! Sebentar... ku carikan obat untukmu!"
"Benarkah racun itu bisa merenggut nyawaku, Bi?"
"Benar. Racun itu akan membuat sekujur tubuhmu menjadi busuk!"
"Dalam berapa waktu?"
"Seharusnya dalam satu hari sekujur tubuhmu sudah membusuk. Tapi agaknya kau punya tabib sendiri sehingga bisa memperlambat gerakan keganasan racun tersebut. Racun itu namanya Racun Pusar Kobra. Jarang dimiliki orang, dan jarang ada yang bisa menangkalnya secara keseluruhan!"
"Apakah kau bisa menangkal secara keseluruhan?"
"Akan ku coba!" jawab Sendang Suci dengan suaranya yang pelan.
Sempat pula didengar oleh Pendekar Rajawali Merah suara Sendang Suci yang berkata dari ruang rempah-rempah,
"Lain kali kau ke sini jangan membawa Pancasona!"
"Kenapa, Bi?!" pertanyaan itu tak dijawab. Yoga bergegas mendekat ke ruang rempah-rempah yang terbuka tabirnya itu, bahkan masuk ke ruang tersebut dan bertanya ulang, "Kenapa tak boleh membawa si Tua Usil, Bi?"
"Aku muak padanya!" jawab Sendang Suci sambil berpaling ke belakang, dan wajahnya hampir berbenturan dengan wajah Pendekar Rajawali Merah yang tampan dan mengagumkan itu. Hati Sendang Suci berdebar-debar. Matanya jadi tertancap lekat di mata Yoga. Bibirnya bergetar-getar saat berucap kata, "Mengapa kau masuk kemari?"
"Maaf kalau ini kamar larangan! Maksudku hanya mau menanyakan hal itu tadi, Bi!"
Tapi mata Sendang Suci masih tetap lekat memandangi mata Yoga. Pandangan itu diterima aneh oleh Yoga, dan Yoga pun berkata,
"Maaf, aku akan segera keluar, Bi!" Yoga pun segera beranjak meninggalkan tempat itu, tetapi jari-jari tangan Sendang Suci menahan bahu Yoga, sehingga Pendekar Rajawali Merah itu kembali memandangnya lagi.
"Kalau kau suka menungguku meracik obat di sini, tetaplah di sini! Aku tak akan mengusirmu, walau kamar ini tak pernah dimasuki oleh pria lain kecuali kamu, Yo!"
"Hmmm... eh... tapi...." Yoga menjadi menggeragap dan salah tingkah ketika Sendang Suci semakin dekat dengannya, semakin terasa hangatnya hembusan nafas perempuan cantik yang usianya sudah cukup banyak itu. Sekalipun usianya sudah cukup banyak, dan layak menjadi bibinya Yoga, namun Sendang Suci masih kelihatan muda, segar, dan kecantikannya masih memancarkan daya pikat tersendiri.
Tiba-tiba mereka mendengar suara percakapan antara Pancasona, si Tua Usil itu, dengan seseorang. Lalu terdengar pula suara orang memanggilnya dari luar rumah,
"Tabib Perawan...! Keluarlah sebentar, aku ingin bicara padamu!"
Sendang Suci yang berada di dalam ruang rem-pah-rempah itu terkejut, ia segera menarik wajahnya yang tinggal dua jari lagi mendekati wajah Yoga Hatinya kecewa sekali, tapi ia harus telan kekecewaan itu, karena ia kenal betul suara orang yang memang-gilnya tersebut.
"Tabib Perawan...! Sendang Suci...!"
"Tetaplah di sini. Jangan keluar!"
"Suara siapa itu?"
"Jalak Hutan!" dan Sendang Suci bergegas keluar. Ia menemui Jalak Hutan dengan hati dongkol.
"Mau apa kau kemari lagi, hah?!" geram Sendang Suci dalam hardikan. Tetapi hardikan itu segera sedikit tertahan begitu ia melihat kehadiran Jalak Hutan tidak sendirian, melainkan bersama seorang gadis cantik yang tak lain adalah Mutiara Naga.
"Sendang Suci, aku datang untuk satu keperluan berkenaan dengan keponakanku ini!"
"Tentang apa?"
"Hmmm...!" Jalak Hutan melirik si Tua Usil duduk di bawah pohon depan rumah. Jalak Hutan merasa tak enak bicara di situ karena akan didengar si Tua Usil. "Bisa aku bicara di dalam rumah saja? Aku tak suka ada dia di situ!" seraya Jalak Hutan memandang Tua Usil.
Terdengar Tua Usil menyahut, "Aku akan menjauh kalau keberadaanku di sini mengganggu kalian!" sambil berkata begitu, Tua Usil berdiri dan menatap tak ramah pada Jalak Hutan, lalu melangkah pergi menjauhi mereka.
"Katakan di sini saja keperluan kalian apa?" desak Sendang Suci.
Tapi Mutiara Naga menukasnya dengan pertanyaan, "Apa yang dikerjakan orang tua itu di sini, Bi?"
"Apakah tadi kalian belum bertegur sapa?"
"Memang sudah! Tapi kami hanya bicara tentang keusilan dia! Paman Jalak Hutan mengancam akan membunuhnya jika ia berani usil dengan ilmu kabutnya itu!"
"Katakan, apa keperluan Pancasona ada di sini?" desak Jalak Hutan, dan Sendang Suci hanya menjawab,
"Biasa. Minta obat! Aku tidak kasih, tapi dia tidak akan pergi sebelum aku memberi obat yang dimintanya itu!"
Jalak Hutan menggumam sambil memandang sinis ke arah Tua Usil yang ada jauh di pojokan sana, "Pasti obat kuat yang dimintanya!"
"Jangan hiraukan tentang dia. Katakan saja apa keperluan kalian datang kemari?!"
"Hmmm... begini, Sendang Suci... Aku membutuhkan dirimu untuk menolong keponakanku!"
"Dalam hal apa?"
"Satu jurus saja, tolong ajarkan kepadanya!" kata Jalak Hutan yang membuat dahi Sendang Suci berkerut heran.
"Jurus apa?"
"Jurus 'Kamasuta'!"
"Gila!" sentak Sendang Suci yang terperanjat kaget. "Jurus 'Kamasuta' tidak boleh dipermainkan dan tak boleh digunakan sembarangan, Jalak Hutan! Kau tahu jurus itu akan membuat seorang lawan jenis menjadi tergila-gila dan berhasrat tinggi! Jika hasratnya tidak terpenuhi dia bisa mati bunuh diri!"
"Kurasa keponakanku ini bisa mengatasi orang yang akan diserangnya dengan jurus 'Kamasuta' itu, Sendang Suci. Dia sangat mencintai orang tersebut dan siap memberikan kehangatan kapan saja orang itu menginginkannya!"
"Aku tidak berani memberikan jurus itu! Bahkan keponakanku sendiri tak kuajarkan jurus 'Kamasuta'! Itu sangat berbahaya!"
"Sendang Suci, cukup lama kita bersahabat, cukup lama aku menunggu hatimu luluh, sampai akhirnya sepanjang hidupku hanya menemui kekecewaan dan kekecewaan lagi. Apakah sekarang pun akan begitu?" Jalak Hutan memelas.
"Bibi Sendang Suci, tolonglah aku! Aku sudah terjerat ke dalam khayalan jiwaku sendiri, Bi! Aku tergila-gila dengan pemuda itu! Tak banyak yang ku mohon darimu kecuali jurus 'Kamasuta', Bi!"
Jalak Hutan berkata lagi, "Sendang Suci, aku berjanji tidak akan mengganggu hidupmu lagi dengan pengejaran cintaku jika kau mau ajarkan jurus 'Kamasuta' kepada keponakanku ini! Aku hanya ingin menjalin persaudaraan atau persahabatan yang baik denganmu, Sendang Suci. Jadi ku mohon, tolong bantu keponakanku ini. Kasihan dia!"
Sendang Suci diam beberapa saat. Ia memang merasa sudah muak jika diganggu oleh pengejaran cinta Jalak Hutan yang tiada mengenal lelah, tiada mengenal malu dan tiada mengenal patah semangat itu. Rasa-rasanya hidupnya akan lebih tenang dan tidak terganjal oleh kekonyolan cinta Jalak Hutan yang dari dulu mengejar-ngejarnya itu, jika ia mau turuti permohonan Jalak Hutan dan Mutiara Naga.
Tetapi apa yang dimintanya itu sungguh berat buat Sendang Suci. Ia tahu persis tentang bahayanya orang yang terkena jurus 'Kamasuta'; jika gagal terpenuhi hasratnya selain bisa bunuh diri juga andai orang itu bertahan, maka orang itu akan menjadi gila. Gilanya adalah gila yang amat memalukan, sehingga ia berani lakukan perbuatan tak senonoh bersama binatang atau apa pun yang akan dilakukan di depan orang banyak.
"Jalak Hutan," kata Sendang Suci setelah mempertimbangkan langkah dan keputusannya, "Jika kau mendesak ku untuk memberikan jurus 'Kamasuta', aku tak sanggup! Tapi kalau hanya membuat seseorang agar mencintai Mutiara Naga, barangkali ada cara lain yang bisa ditempuh!"
"Cara apa?"
"Jurus 'Darah Kasih Dewa'!" jawab Sendang Suci.
Mutiara Naga bersemangat dan bertanya, "Maksud mu bagaimana, Bi?"
"Sebuah pukulan halus yang tak terasa mengenai lawan, dan membuat lawan menjadi kasmaran, selalu merindukan kita, dia amat sayang kepada kita dan punya kesetiaan tinggi!"
"Kalau begitu, aku mau mendapatkan jurus itu, Paman!" kata Mutiara Naga kepada pamannya. Ia tam-pak girang sekali mendengar hal itu.
Jalak Hutan pun berkata, "Kurasa itu juga boleh, Sendang Suci!"
"Tapi, kalau boleh aku ingin tahu, siapa pria yang kau tuju itu Mutiara Naga?"
Mutiara Naga ragu untuk menjawab, karena ia tahu beberapa waktu lalu Pendekar Rajawali Merah berbicara dengan akrabnya bersama Sendang Suci. Ia juga tahu bahwa Mahligai, keponakan Sendang Suci, menaruh hati kepada Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu. Mungkinkah Sendang Suci mau memberikan jurus itu jika yang diincar Mutiara Naga adalah pendekar tampan itu?
Mutiara Naga pun hanya bisa memandang pamannya, dan Jalak Hutan rupanya juga mempunyai kesangsian yang sama, sehingga ia tidak bisa menentukan jawaban yang pasti. Sebab Jalak Hutan pun tahu bahwa Sendang Suci bersahabat akrab dan baik dengan Yoga.
"Mengapa kalian diam semua? Mengapa tak kau jawab pertanyaanku, Mutiara Naga?"
"Hmmm... ehh... aku... aku malu, Bi!"
"Katakan saja, aku ingin tahu siapa orangnya!"
"Dia... dia seorang pendekar tampan!" hanya itu jawaban Mutiara Naga, selebihnya ia tak bisa memberi jawaban yang pasti.
Tetapi Sendang Suci bukan orang bodoh. Dengan hanya menyebutkan 'seorang pendekar yang tampan' itu saja ia sudah bisa tahu bahwa Yoga-lah orang yang dimaksud Mutiara Naga. Karena itu, hati Sendang Suci mulai cemas setelah tadi mengalami sentakan mengejutkan. Siapa lagi pendekar tampan yang sedang menjadi bahan incaran banyak wanita jika bukan Pendekar Rajawali Merah itu? Akhirnya Sendang Suci memberikan cairan dalam guci kecil berwarna hitam. Ia serahkan guci hitam itu kepada Mutiara Naga sambil berkata,
"Minumlah habis cairan di dalam guci ini. Ia akan bercampur dengan darahmu, nafasmu, dan seluruh kekuatanmu. Jika kau lepaskan pukulan dari dalam pusar yang mengalir lewat kelingking, maka akan terlepaslah kekuatan dahsyat yang bernama 'Darah Kasih Dewa'! Arahkan pada bagian dadanya, persis di tengahnya. Pukulanmu yang keluar lewat kelingking itu tidak akan bersinar, tidak akan terasa sakit sedikit pun pada orang tersebut! Beberapa kejap berikutnya, dia akan mengalami perubahan dalam hatinya, otaknya, dan jiwanya. Dia akan takluk padamu dan tumbuh rasa cinta serta ingin menyayangi mu!"
Mutiara Naga menyunggingkan senyum kegirangannya. Ia mengucap kata terima kasih berulang-ulang kepada Sendang Suci. Tabib Perawan itu berpesan,
"Tapi jangan sekali-kali kau mempermainkan cintanya! Kalau dia sudah kecewa, kau bisa diburunya dan dicincang habis olehnya!"
"Tidak, Bi! Tidak! Aku tidak akan mengecewakan dia sedikit pun, karena aku amat mencintai dia!"
"Terima kasih banyak atas kebaikanmu, Sendang Suci," ucap Jalak Hutan dengan rasa bangga pula.
Setelah mereka berdua pergi, Sendang Suci segera kembali ke ruang rempah-rempah. Ternyata Yoga sudah keluar dari ruangan itu dan dalam keadaan sedang mengusap-usap rambut Mahligai dengan hati trenyuh memandangi nasib gadis yang pertama kali dikenalnya itu. Melihat Sendang Suci telah kembali masuk ke dalam rumah dan mau menuju ke ruang rempah-rempah, Yoga segera menyapanya,
"Sudah pulang, Bi?"
"Ya. Mereka sudah pulang!"
"Aku mendengar semua percakapan mu tadi, Bi!"
Sendang Suci menatap merasa tak bisa membantah. Kemudian ia hanya bertanya, "Jika kau mendengarnya, lantas apa tanggapanmu tentang Mutiara Naga itu, Yo?"
"Agaknya dia memang mencintai ku!"
"Kau ingin membalasnya?"
"Tidak! Tapi mengapa Bibi berikan ramuan 'Darah Kasih Dewa' itu kepada Mutiara Naga, Bi? Apakah itu tidak membahayakan diriku?"
"Yang kuberikan adalah racun yang mematikan! Aku telah menipunya!"
"Racun...?!" yoga tersentak kaget.
SENDANG Suci menyarankan agar Yoga bermalam di pondoknya supaya pengobatan yang habis dilakukan itu dapat segera menyerap ke dalam darah. Jika digunakan untuk perjalanan pulang, maka obat itu tidak akan cepat menyerap ke dalam darah yang digunakan untuk bergerak Anjuran itu memang beralasan, tetapi jelas keberadaan Yoga di rumah Tabib Perawan akan menimbulkan kecemburuan bagi Lili.
Maka Pendekar Rajawali Merah itu segera mengutus si Tua Usil untuk segera pulang dan memberitahukan hal itu kepada Lili. Katanya kepada si Tua Usil, "Kalau Guru Li marah-marah di sana, suruh dia datang ke sini dan ikut bermalam di sini!"
"Baik, akan kusampaikan pesanmu ini, Tuan Yo! Tapi kalau Nona Lili masih berkeras hati tidak mau mengajari ku untuk bisa berdiri di atas ilalang, aku tidak mau mengantarnya kemari!"
"Lakukan apa yang terbaik menurutmu, Tua Usil!"
Tua Usil pergi meninggalkan Lembah Bukit Berhala. Semangatnya cukup menyala-nyala, karena ia punya senjata untuk memaksa Lili agar mau mengaja-rinya berdiri di atas ilalang, senjata tersebut ialah ala-mat tempat tinggal Tabib Perawan, yang dulu sering digerayanginya jika ia sedang berubah menjadi manusia kabut. Tapi sejak Tabib Perawan itu memasang kekuatan tenaga dalam dan melapisi kulit tubuhnya dengan hawa panas, Pancasona tak pernah lagi berbuat usil kepada tabib yang benar-benar masih, perawan itu.
Matahari hampir tenggelam di dasar bumi. Tua Usil berlari cepat agar segera tiba di rumahnya sebelum petang menjelang. Tetapi di perjalanan langkahnya terhenti karena berpapasan dengan Nyali Kutu yang juga berlari dalam ketakutan. Ketika Nyali Kutu melihat Pancasona yang sudah dikenalnya sebagai Manusia Kabut itu, Nyali Kutu punya sedikit kelegaan. Ia segera menemui Pancasona dengan nafas terengah-engah.
"Ki Pancasona... tolong aku, Ki!"
"Apakah kau dikejar mayat hidup?"
"Tidak! Bukan karena itu, Ki! Oh, tolong sembunyikan aku! Sembunyikanlah aku, Ki Pancasona!"
Orang tua berambut agak panjang dan putih itu terkekeh sendiri. "Kau ini seperti perawan saja, minta disembunyikan segala! Apa kau tak bisa bersembunyi sendiri?!"
"Mak... maksudku, aku tidak punya tempat yang aman untuk bersembunyi, Ki Pancasona! Jadi, tolong carikan tempat untukku, Ki! Oh, celaka sekali! Aku bisa mati jika tidak bersembunyi, Ki!"
"Apakah kalau kau bersembunyi, lantas umurmu bisa panjang, bisa mencapai ribuan tahun?!"
"Aduh, Ki...! Bodoh amat kau ini!" Nyali Kutu jadi jengkel sendiri dengan si Manusia Kabut itu. "Aku dalam bahaya besar, Ki! Aku dalam ancaman kematian yang sangat luar biasa berbahayanya!"
"Ah, dasar kau manusia tanpa nyali sedikit pun, Nyali Kutu! Bahaya kecil juga kau katakan besar! Tempo hari kau minta tolong padaku karena menghadapi bahaya besar, tak tahunya kau hanya dikejar-kejar babi hutan!"
"Kali ini bukan babi yang mengejarku, Ki! Sungguh! Aku tidak mengada-ada! Tolonglah aku!"
"Siapa yang mengejarmu kali ini? Ayam hutan?!"
"Bukan!"
"Lantas siapa?"
"Malaikat Gelang Emas!"
"Hahh...?!" Pancasona terkejut, matanya mendelik, wajahnya ikut-ikutan menjadi tegang.
"Sumpah, Ki! Sumpah sejuta kali aku juga berani! Aku dalam ancaman maut Malaikat Gelang Emas, Ki! Tolonglah aku!"
"Persoalan apa sampai kau dikejar-kejar oleh Malaikat Gelang Emas? Kau bukan tokoh sakti yang setanding dengannya!"
Lalu, Nyali Kutu pun menceritakan tentang tugasnya sebagai penjaga makam karena si Mata Neraka pergi. Diceritakan pula tentang kekuatan ajaib pada makam tersebut, sampai lompatnya Topeng Merah yang dikejar-kejar oleh Kembang Mayat, dan bertemunya Pendekar Rajawali Merah dengan dirinya.
"Jadi, Pendekar Rajawali Merah juga mengejar mereka berdua?"
"Aku yakin memang begitu, Ki. Sebab, dia menemuiku dan menanyakan ke mana arah larinya Kembang Mayat dan manusia bertopeng merah itu. Aku menunjukkan dan dia berlari mengejar mereka lagi!"
Tertegun si Tua Usil sambil mengusap-usap kumis putihnya yang tipis itu. Lalu, dalam hatinya ia membatin, "Kalau begitu. Pendekar Rajawali Merah pasti tahu dli mana Kembang Mayat! Setidaknya dia pasti melihat pesis bagaimana nasib pertarungan antara Kembang Mayat dan Topeng Merah. Berarti benarlah apa yang kuduga sejak tadi; pasti salah satu dari mereka yang membuat tangan Yoga putus; Kembang Mayat atau Topeng Merah?! Ini bisa kujadikan senjata buat Nona Lili agar gadis cantik itu mau mengajari ku berdiri di atas ilalang!"
Angin berhembus agak cepat. Rambut mereka menyingkap dan tergerai-gerai disapu angin. Makin lama makin cepat, semakin besar hembusannya. Dedaunan pun mulai runtuh di sana-sini. Angin besar itu membuat Nyali Kutu menjadi semakin cemas, karena biasanya kedatangan Malaikat Gelang Emas sering di dului dengan angin berhawa panas. Walau angin yang berhembus kala itu adalah berhawa biasa-biasa saja, tapi hati Nyali Kutu menjadi lebih ketakutan dari sebelumnya. Tetap saja ia memendam kecemasan dan ketidaksabaran.
"Ki Pancasona, ayolah... tolong aku! Aku tak tahu harus bersembunyi di mana dari amukan Malaikat Gelang Emas itu!"
"Baiklah, kau bersembunyi di rumahku saja!"
"Baik, aku mau! Aku mau sekali, Ki! Tapi... aku tidak tahu di mana kau tinggal, Ki!"
"Jalanlah lurus menuju ke dua batang pohon kelapa kuning yang kelihatan dari sini! Di seberangnya ada hutan, carilah hutan yang pepohonannya tidak terlalu rapat. Di tengah sana ada rumah kayu beratap sirap. Itulah tempat tinggalku!"
"Kau sendiri mau ke mana, Ki?"
"Aku ya mau pulang!"
"Kalau begitu, kita bersama-sama saja ke sananya!"
"Tidak bisa! Aku tidak mau bersama-sama kau! Sebab aku tidak mau terlibat dalam urusanmu itu! Kalau aku bersamamu dan menyembunyikan kamu secara terang-terangan, maka jika Malaikat Gelang Emas memergoki kita, aku bisa kena getahnya, Nyali Kutu!"
"Yaah... kena-kena sedikit tak apalah, Ki!"
"O, tidak bisa! Aku tidak mau terkena getah apa pun kecuali getah dari perbuatanku sendiri!"
"Baiklah, kalau begitu aku jalan dulu, dan kau menyusul di belakangku. Jika kau tiba di rumah aku belum ada, berarti aku tersesat di perjalanan dan mungkin tak akan sampai di pondokmu!"
"Atau mungkin juga kau dibunuh Malaikat Gelang Emas!" tambah Pancasona lagi.
Nyali Kutu menjadi bersungut-sungut karena takut. "Hei, mengapa kau tidak pulang ke Tanah Gerong saja?" Pancasona memberikan gagasan baru sebelum Nyali Kutu berangkat.
"Tidak. Aku tidak mau ke sana, sebab Malaikat Gelang Emas pasti akan menyangka aku pulang ke sana! Dia pasti mencariku di sana!"
"Hmmm...!" Tua Usil manggut-manggut. "Bagus juga pemikiran mu! Sudah, berangkatlah sana agar tidak terjebak gelap di perjalanan!"
Maka, Nyali Kutu pun segera pergi sesuai arah yang ditunjukkan oleh si Tua Usil. Sementara itu, si Tua Usil terkekeh-kekeh sendiri dan berkata dengan pelan, "Dasar bocah goblok! Bukan nyalinya saja yang sebesar kutu, tapi otaknya juga sebesar kutu! Apakah dia tidak tahu kalau hutan di seberang dua kelapa kuning itu adalah sarang ular? He, he, he, he...! Kurasa esok pagi aku akan menemukan mayatnya mati digigit ular, atau mungkin dimakan ular besar separo bagian?"
Tua Usil berjalan lagi dengan senyum kemenangan. Ia juga berkata dalam hatinya, "Biar mampus itu anak! Dulu ketika dia menjadi pelayannya Panglima Makar, dia semena-mena padaku! Sekaranglah saatnya menghajar sikapnya biar tidak semena-mena lagi kepada orang lain!"
Tua Usil tahu persis bahwa Nyali Kutu sangat berharap bisa mendapat tempat bersembunyi yang sangat aman. Harapan itu memang ada di dalam hati Nyali Kutu, karenanya ia berlari cepat sebatas kecepatan gerakannya yang tidak bisa melebihi kecepatan lari seekor kuda. Sambil berlari, sebentar-sebentar ia mencari tanda dua batang pohon kelapa kuning itu.
Karena matanya memperhatikan tanda tersebut, akhirnya Nyali Kutu tersungkur jatuh di tempat yang berbau busuk. Kakinya telah menyandung sesuatu dan membuatnya jatuh tersungkur. Sesuatu yang di sandungnya itu tiba-tiba dilihatnya dan ia pun menjerit ketakutan,
"Waooow...! Mayaaat...!" teriaknya sambil lari dengan panik dan kakinya terbelit akar, maka untuk kedua kalinya Nyali Kutu jatuh tersungkur dengan wa-jah hampir membentur batu besar. Bruuussk...!
"Uuhhgg...!" Ia menyeringai kesakitan. Tapi ingat mayat yang tadi tersambar kakinya, ia pun segera bangkit ketakutan. Ia pandangi sebentar mayat itu dengan mata menyipit ngeri, dan tiba-tiba mata itu menjadi terbuka lebar dan terbelalak.
"Ya ampun...! Bukankah itu mayat... mayat si Mata Neraka?! Oh, ja... jadi dia sudah meninggal? Iiih... mengerikan sekali keadaan jenazahnya! Hancur lebur begitu dan membusuk! Pasti sudah beberapa hari dia tergeletak di situ!"
Nyali Kutu tak sanggup memperhatikan lebih lama lagi. Ia pun kembali melarikan diri ke arah dua pohon kelapa kuning itu. Namun ketika ia berbalik arah untuk melanjutkan pelariannya, tiba-tiba ia membentur pohon dan tersentak jatuh ke belakang. Anehnya ia tak merasakan sakit sama sekali ketika wajah dan bagian tubuh depannya membentur pohon tadi. Maka mendongaklah wajah Nyali Kutu untuk memperhatikan pohon tersebut.
"Hahh...?!" Nyali Kutu terpekik dengan wajah langsung pucat pasi. Yang dibenturnya tadi ternyata bukan pohon, melainkan tubuh orang besar yang berkumis lebat melengkung sampai di dagunya. Orang itu tak lain adalah Malaikat Gelang Emas. Gemetar sekujur tubuh Nyali Kutu melihat perawakan besar Malaikat Gelang Emas berdiri di de-pannya. Jantungnya belum-belum sudah merasa sulit dipakai untuk bernapas. Sesak sekali dadanya saat itu.
"Bangun....!" geram Malaikat Gelang Emas dengan mata tajam memandang, menampakkan kemurkaannya. "Kenapa kau pergi dari makam kakekku, hah?! Apa kau tak mendengar perintahku waktu itu?!"
"Hmmm... anu... saya... saya takut sendirian di kuburan itu, Tuan! Saya... tak berani menunggunya sendirian! Maksud... maksud saya, mau panggil seorang teman buat menemani saya untuk menghilangkan rasa takut dl kuburan itu, Tuan!"
"Kau telah melanggar perintahku, Nyali Kutu! Kau pasti takut karena kuburan itu sudah dilangkahi oleh seseorang! Benar, bukan?!" bentak Malaikat Gelang Emas.
"Anu... hmm... sebenarnya... begini, anu... eeh...!"
"Jawab yang benar!" sentaknya tiba-tiba. Tubuh Nyali Kutu hampir saja terlonjak tinggi-tinggi karena kagetnya. Malaikat Gelang Emas berkata lagi,
"Kuperiksa makam itu, dan ternyata bunganya telah layu, itu pertanda makam sudah dilangkahi seseorang! Benar, bukan?! Jawab!"
"Eehh..., ehhmmm... iyyy... iya, benar!"
Plaaak...! Sebuah tamparan keras berkelebat tak sempat dilihat. Tahu-tahu wajah Nyali Kutu bagai disembur api yang berdaya didih cukup tinggi. Tubuhnya sendiri terlempar akibat tamparan itu, jaraknya sekitar enam langkah dari tempatnya berdiri. Dan ketika ia memegangi pipinya sambil mengaduh, ternyata kulit pipinya dalam keadaan terkelupas perih sekali.
"Edan tamparan itu tadi! Kulit pipiku sampai terkelupas dan... oh, apa ini... mengganjal di mu-lutku...? Oh, hmm...! Puih...!" Nyali Kutu meludah. Pruk...! Ternyata dua gigi gerahamnya copot akibat tamparan tadi. Nyali Kutu terkejut namun juga bertambah takut.
Malaikat Gelang Emas mendekatinya dengan mata angker yang tidak terbayangkan lagi menyeramkannya, "Siapa yang melangkahi makam kakekku, hah?!"
"Buk... bukan saya, Tuan! Bukan saya yang melangkahinya!"
"Siapaaa...!" bentaknya membuat jantung Nyali Kutu bagaikan pecah. Untung ia hanya terlonjak sedi-kit dari tempatnya berdiri.
"Seseorang, Tuan...!"
"Seseorang siapa? Yang Jelas!"
"Sssa... saya tidak tahu namanya, Tuan! Saya tidak sempat berkenalan dengannya, tapi... tapi saya tahu ciri-cirinya, Tuan!"
"Apa ciri-cirinya! Sebutkan!"
"Pakaian merah dan memakai topeng berwarna merah juga, Tuan!"
"Topeng Merah...?!" geram Malaikat Gelang Emas. "Jahanam orang yang mengenakan topeng merah itu!" ucapnya dengan penuh murka yang tak bisa dilampiaskan. Matanya yang mendelik bergerak liar menyusuri tempat tersebut. Lalu, mata itu semakin terbelalak ketika melihat sesosok mayat tergeletak di seberangnya. Ia segera menarik tangan Nyali Kutu, menyeretnya ke seberang dan dilepaskan setelah sampai di samping mayat itu. Malaikat Gelang Emas makin merah wajahnya setelah mengetahui mayat busuk itu adalah mayat adiknya sendiri.
"Jahanaaammm...! Heh!" ia menjambak rambut Nyali Kutu dan kepala itu di dongakkan sambil bicara dengan gigi menggeletuk, "Siapa yang membunuh adikku itu, hah?! Siapa?!"
"Buk... bukan saya, Tuan! Sumpah mati tujuh kali, bukan saya yang membunuhnya!"
Plook...! Sebuah pukulan dihantamkan telak di pipi yang tidak lecet itu. Hantaman tersebut tidak bisa membuat Nyali Kutu berteriak karena kelewat sakit. Mulutnya saja yang ternganga saat ia terhempas di ta-nah akibat hantaman keras itu. Sekali lagi, gigi gerahamnya copot dua, ditambah gigi taringnya patah dipertengahan. Gigi yang pa-tah itu tertelan olehnya, hingga mata Nyali Kutu mendelik kaget.
Terdengar Malaikat Gelang Emas menggerutu penuh luapan dendam. "Melihat bekas lukanya, agaknya luka karena cakaran! Kurasa Pendekar Rajawali Merah itulah yang membunuh si Mata Neraka! Bangsat busuk anak itu! Ku beset habis kulitnya nanti! Ku bakar hidup-hidup anak itu biar impas menebus kematian adikku!"
Kemudian Malaikat Gelang Emas berseru dengan geramnya, "Topeng Merah, Pendekar Rajawali Merah...! Ku hancurkan tubuh kalian kapan saja kutemukan! Tunggu pembalasanku, Topeng Merah dan Pendekar Rajawali Merah! Kalian berdua sama-sama bangsat...!"
Wuuus...! Tubuh Malaikat Gelang Emas yang berperawakan besar itu cepat tinggalkan tempat tersebut dengan tanpa sentakkan kaki ke tanah. Hanya satu lompatan, ia sudah lenyap bagaikan ditelan bumi. Nyali Kutu yang melihatnya sempat tak bisa berkedip karena kagumnya. Tapi hatinya menjadi lega dan berkata,
"Selamat, selamat...! Untung aku tidak dibunuhnya! Kalau saja tadi ia tidak terpancing perhatiannya kepada mayat Mata Neraka past! nyawaku sudah melayang sejak tadi...!"
Tiba-tiba ada seseorang yang menyapa Nyali Kutu dari belakang, "Hai, Nyali Kutu...!"
Dengan cepat Nyali Kutu berbalik. "Hahh...?!"
Malaikat Gelang Emas kembali lagi. Begitu Nyali Kutu terperanjat kaget, tiba-tiba Malaikat Gelang Emas sentakkan tangannya dan meluncurlah dari lengannya bulatan cahaya kuning emas menyerupai gelang yang tak lebih besar dari mulut poci. Dua berkas sinar berbentuk gelang warna kuning emas itu melesat dan memburu tubuh Nyali Kutu.
Wuuut, wuuut...! Jraab..!
Keduanya menghantam tubuh Nyali Kutu di bagian dada Nyali Kutu sempat menunduk memperhatikan dua sinar bergelang itu menghantam dadanya. Ia tidak merasa sakit, namun tiba-tiba jari tangannya berjatuhan sendiri. Bahkan telapak tangannya jatuh ke tanah.
Pluuuk…! Plook..!
Daun telin-ganya juga jatuh sendiri tanpa darah. Puuk...! Kejap berikutnya, kepala Nyali Kutu menggelinding jatuh dan tak bernyawa lagi setelah kepala itu sempat mengucap kata, "Yaaah... mati juga aku...."
Lebih dari delapan bagian tubuh Nyali Kutu mati terpotong-potong tanpa darah setetes pun yang membekas pada potongan tubuhnya itu.
LILI si Pendekar Rajawali Putih itu, wajahnya menjadi muram setelah si Tua Usil menyampaikan pesan dari Yoga. Rasa-rasanya, ingin sekali Lili melabrak ke tempat Tabib Perawan itu untuk menyeret Yoga agar tidak bermalam di sana.
Tetapi alasan yang didengarnya dari mulut si Tua Usil memang masuk akal. Yoga perlu istirahat supaya obat pemunah racun itu cepat larut dalam darahnya, jika Yoga pulang malam itu juga, maka obat itu tidak bisa cepat larut dalam darah karena darah dipakai bekerja selama perjalanan pulang.
Alasan itu cukup masuk akal, sehingga Pendekar Rajawali Putih yang menyimpan cinta di hatinya itu hanya bisa menahan dongkol dan bersungut-sungut sejak tadi. Si Tua Usil tambahkan kata, "Tuan Yo juga berpesan, apabila hal ini tidak berkenan di hatimu, Nona Li, maka Tuan Yo mengharapkan Nona Li datang ke sana dan ikut bermalam di tempatnya si Tabib Perawan itu!"
Lili diam merenung, Lembayung Senja beranikan diri ikut bicara, "Untuk menenangkan hatimu, sebaiknya kau datang ke sana dan bermalamlah di sana, Lili!"
"Tidak!" ucap Lili setelah diam beberapa saat. "Terlalu rendah harga diriku jika ikut-ikutan bermalam di sana! Biarlah Yo istirahat di sana. Aku tak perlu terlalu mencemaskan dirinya, toh dia belum tentu mencemaskan diriku! Tak perlu aku mencemburuinya, toh dia belum pernah mencemburui ku!"
"Biasanya cemburu itu cinta, bukan?" kata si Tua Usil sambil cengar-cengir.
Lembayung Senja tersenyum mengedipkan mata kepada si Tua Usil. Lembayung Senja sudah sejak kemarin menduga bahwa Lili menaruh hati pada muridnya. Itulah sebabnya Lembayung Senja tak mau tunjukkan rasa terpikatnya kepada ketampanan Yoga, walau sebenarnya hati Lembayung Senja ingin sekali mencoba mendekati Pendekar Rajawali Merah itu.
"Ada satu kabar lagi yang kubawa pulang, Nona Li!" si Tua Usil mulai memancing kepenasaran Lili lagi dengan maksud-maksud tertentu. Kata-kata Tua Usil itu membuat Lili yang termenung segera palingkan wajah dan tatap mata si Tua Usil dengan dahi berkerut.
"Aku punya kabar bagus untukmu, Nona Li. Tetapi tidak akan kukatakan kepadamu, sebelum kau berjanji akan mengajari ku berdiri di atas ilalang!"
"Kabar tentang apa?" tanya Lili.
"Kabar tentang siapa orang yang membuntungi lengan Tuan Yo!"
Terperanjat Lili jadinya, bersemangat sekali ia mendengarkan kabar tersebut. Duduknya pun berpindah ke bangku dekat si Tua Usil. Lembayung senja juga tertarik dengan kabar tersebut, sehingga perhatiannya tercurah sepenuhnya kepada si Tua Usil. Tapi yang diperhatikan hanya cengar-cengir dan tak mau cepat-cepat melanjutkan kata-katanya, sehingga Lili segera mendesaknya,
"Ceritakan kabar itu! Siapa yang membuntungi lengan Yoga?"
"Oho, tidak akan kuceritakan sebelum Nona Li berjanji akan mengajari ku berdiri di atas ilalang!" goda si Tua Usil sambil terkekeh.
"Ayolah, Tua Usil...!" Jangan bikin hatiku panas dan ingin menghajarmu malam ini juga!"
"Berjanjilah dulu, Nona Lil Kita saling bertukar jasa!"
Hati Pendekar Rajawali Putih geram sekali sebenarnya. Tapi tak bisa dia asal pukul begitu saja. Dia tahu si Tua Usil sangat ingin bisa mempelajari jurus berdiri di atas ilalang, wajar rasanya jika si Tua Usil menggunakan berbagai macam cara untuk mendapatkan jurus itu dari Lili. Keadaan Lili sekarang bagai sedang dalam ancaman si Tua Usil. Itu yang membuat Lili jengkel dan geregetan. Akhirnya, Lili hanya berkata,
"Baiklah! Akan kuajarkan jurus itu padamu, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Tunggu sampai aku bisa membuntungi orang yang telah memenggal tangan Yoga!"
"Kurasa itu mudah sekali, Nona Li! Kejar orang itu dan tebaskan pedang saktimu itu, maka habis sudah dendammu padanya!"
"Biarpun semudah itu tapi kalau tidak ku tahu siapa pelakunya, sama saja itu hal yang sulit kulakukan, Tua Usil! Karena itu, sekarang ceritakanlah kabar yang kau dengar dalam perjalananmu tadi!"
"Baiklah! Dengar Nona Li..., di perjalanan tadi aku bertemu dengan anak buah Panglima Makar, yaitu si Nyali Kutu. Dia dalam ketakutan karena dikejar-kejar Malaikat Gelang Emas...."
"Nyali Kutu dikejar Malaikat Gelang Emas...?!" Lembayung Senja menampakkan rasa herannya mendengar kabar itu. Ia berkata lagi, "Ah, jangan-jangan itu hanya kibulan mu saja, Tua Usil!"
"Aku berani angkat sumpah, apa yang kukatakan ini adalah apa yang kudengar dari mulut si Nyali Kutu!" kata si Tua Usil meyakinkan, dan kemudian ia menuturkan apa yang didengarnya dari Nyali Kutu secara keseluruhan, sampai pada bunga di atas makam yang menjadi layu itu.
Hening tercipta beberapa saat setelah si Tua Usil menceritakan apa yang didengarnya dari Nyali Kutu. Samar-samar terdengar suara Pendekar Rajawali Putih berkata dalam gumam yang lirih,
"Berarti sudah ada orang yang melompati makam itu, dan itu artinya kakek si Malaikat Gelang Emas tidak akan bangkit lagi selamanya. Syukurlah kalau begitu!" Lili manggut-manggut sejenak, kemudian berkata lagi sambil memandang si Tua Usil. "Jadi menurut keterangan dari Nyali Kutu, Yoga datang kepadanya dan menanyakan ke mana arah pelarian Kembang Mayat dan Topeng Merah?"
"Benar, Nona Li! Dan aku yakin Tuan Yo pasti tahu apa yang terjadi dengan nasib kedua orang itu. Mungkin Topeng Merah telah mati dibunuh oleh Kembang Mayat. Buktinya sampai sekarang Topeng Merah tidak pernah kelihatan muncul di beberapa tempat."
"Tapi bisa juga Kembang Mayat yang dibunuh Topeng Merah! Buktinya sudah beberapa hari ini Lembayung Senja menunggu kemunculan Kembang Mayat di reruntuhan pesanggrahannya, tapi Kembang Mayat tidak pernah muncul-muncul lagi!"
Lembayung Senja menyahut, "Mungkin keduanya sama-sama mati!"
Lili memandang Lembayung Senja dan menganggukkan kepalanya setelah diam sesaat. Lili juga membenarkan dugaan Lembayung Senja, dan segera berkata, "Tapi jika keduanya sama-sama mati, lantas siapa yang memotong tangan Yoga?"
Si Tua Usil nyeletuk, "Aku yakin salah satu dari mereka pasti ada yang hidup! Jika mereka tidak muncul lagi selama ini, itu lantaran mereka bersembunyi karena mereka takut adanya balas dendam yang akan dilakukan oleh Tuan Yo!"
Lembayung Senja berkata juga, "Kurasa benar apa dugaan Tua Usil, Lili. Tetapi aku yakin itu bukan pekerjaan sang Ketua. Kembang Mayat tak akan tega memotong tangan Yoga, karena dia sangat tertarik dengan Yoga. Jadi kesimpulanku mengatakan, Topeng Merahlah yang memotong tangan Yoga! Sedangkan Kembang Mayat mungkin mati atau terluka entah di mana!"
"Topeng Merah...?" geram Pendekar Rajawali Putih sambil matanya menerawang penuh dendam.
Lembayung Senja berkata lagi, "Kembang Mayat pernah bilang padaku, dia sangat tertarik kepada Yoga dan ingin memilikinya. Selama ini, baru kepada Yoga dia punya perasaan begitu terpikat. Jadi tidak mungkin Kembang Mayat memotong tangan orang yang diharapkan bisa menjadi pasangan hidupnya! Dan kilau saat ini Kembang Mayat masih hidup, maka dia akan membela mati-matian sebelum Yoga terpotong tangannya oleh pedang Topeng Merah! Jadi kurasa Kembang Mayat dibunuh lebih dulu oleh Topeng Merah, barulah Topeng Merah memenggal tangan kiri muridmu itu, Lili!"
Kata-kata Lembayung Senja berpengaruh dalam jiwa Lili, sehingga gadis cantik itu menggebrak meja dan berkata, "Akan kucari si Topeng Merah tanpa setahu Yoga, dan akan ku buntungi kedua kaki dan kedua tangannya! Jangan satu pun dari kalian berdua ada yang menceritakan rencanaku ini kepada Yoga!"
Tua Usil menyahut, "Aku tidak akan menceritakannya jika kau segera mengajari ku berdiri di atas ilalang, Nona Li! Tapi jika kau tak mau mengajari ku, maka...."
"Maka kepalamu yang akan kupenggal!" geram Lili dengan jengkel sekali mendengar ancaman-ancaman usil dari mulut si Tua Usil itu. Akibatnya, si Tua Usil mengkerut dan takut, ia tak berani memandang Lili yang tampak sedang mengendalikan amarahnya dengan susah payah.
Mereka bertiga memang tak satu pun yang bisa punya kepastian. Semuanya bersifat dugaan dan kesimpulan-kesimpulan yang masih mengambang dalam benak. Tak ada yang tahu, bahwa Topeng Merah masih hidup dan Kembang Mayat jatuh ke jurang.
Bahkan dari mereka tak satu pun ada yang tahu bahwa Kembang Mayat sebenarnya masih hidup. Yoga sendiri tidak akan mengira kalau Kembang Mayat masih hidup. Yoga melihat Kembang Mayat jatuh ke jurang, tapi Yoga tidak melihat seseorang telah menyelamatkan Kembang Mayat.
Orang yang menyelamatkan Kembang Mayat itu berbadan gemuk, berkepala gundul bersih, tapi jenggotnya panjang berwarna putih dan alisnya pun berwarna putih juga. Ia mengenakan pakaian kain kuning berhias kalung tasbih dilehernya sebesar kelereng berwarna putih. Orang tersebut adalah Pendeta Ganesha yang sedang melakukan semedi di dasar jurang tersebut.
Pada waktu itu, suara jeritan Kembang Mayat menggema di seluruh dinding jurang dan sampai ke telinga Pendeta Ganesha. Cepat-cepat orang berbadan gemuk dan tinggi mirip raksasa itu mendongak ke atas, lalu ia melihat sesosok tubuh yang terlempar turun ke dasar jurang.
Dalam keadaan tetap bersila, orang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu melesat ke atas. Tubuhnya terangkat dengan sendirinya dengan kedua kaki tetap dalam keadaan bersila. Tubuh Pendeta Ganesha itu seolah-olah menyambut kedatangan Kembang Mayat, sehingga Kembang Mayat jatuh dalam pangkuan Pendeta Ganesha. Begitu menerima tubuh Kembang Mayat dengan kedua tangan, tubuh Pendeta Ganesha kembali bergerak turun dalam keadaan tetap bersila.
Kejap berikutnya Kembang Mayat pingsan setelah menyadari dirinya ada yang menolong. Ia pingsan akibat pukulan tenaga dalam yang dideritanya dan Topeng Merah. Pendeta Ganesha menyembuhkan luka dalam itu dengan hanya menempelkan ujung jari tengahnya ke ulu hati Kembang Mayat. Ketika Kembang Mayat siuman, ia sudah dalam keadaan sehat tanpa luka sedikit pun baik di luar maupun di dalam tubuhnya. Tapi ia terperanjat melihat orang tua berjenggot panjang dan berbadan besar ada di sampingnya.
"Siapa kau, Pak Tua?!" tanya Kembang Mayat sambil berdiri dan mengambil pedangnya yang ada di tanah.
Pendeta Ganesha membungkukkan badan, memberi hormat dengan cukup hikmat. Tutur katanya cukup lembut dan penuh kesabaran, "Selamat datang, Gusti Ratu! Saya Pendeta Ganesha menghaturkan sembah kepada Gusti Ratu!"
Dalam hatinya Kembang Mayat berkata, "Orang ini gila barangkali! Dia menyembahku dan memanggilku Gusti Ratu!" Lalu, Kembang Mayat berkata kepada Pendeta Ganesha, "Namaku Kembang Mayat, dan aku bukan seorang ratu, Pendeta Ganesha!"
"Memang benar. Tapi agaknya dewata memberikan seorang ratu kepada kami! Sudah beberapa waktu lamanya saya bertapa di sini dan memohon kepada dewata untuk mendapatkan seorang ratu atau raja yang akan memimpin rakyat kami, dan yang akan menggantikan kedudukan raja kami yang telah meninggal lebih dari lima purnama ini. Ternyata, dewata memberikan Gusti Ratu Kembang Mayat kepada saya. Sudah menjadi adat dan tata cara di negeri kami, bahwa seorang ratu atau raja diangkat bukan dari anggota masyarakat kami, melainkan dari luar anggota masyarakat kami. Di mana pun saya bertapa untuk memohon kepada dewata seorang pemimpin kami, maka orang yang datang kepada saya itulah yang dipercaya oleh rakyat kami sebagai pemimpin negeri kami. Orang yang datang kepada saya itulah calon ratu atau raja kami!"
"Negerimu di mana?" sambil Kembang Mayat menyarungkan pedangnya.
"Negeri kami adalah Negeri Linggapraja, terletak di Pulau Kana. Dan karena Gusti Ratu Kembang Mayat adalah orang yang kali ini datang kepada saya dalam keadaan bagaimanapun, maka Gusti Kembang Mayat-lah calon ratu di negeri kami! Rakyat Linggapraja akan sangat gembira menyambut kedatangan Gusti Ratu Kembang Mayat! Mohon kiranya Gusti Ratu tidak keberatan jika saya boyong ke Pulau Kana sekarang juga!"
Berdebar-debar hati Kembang Mayat, seperti tak percaya bahwa dirinya akan dijadikan seorang ratu untuk sebuah negeri. Bahkan Kembang Mayat menampakkan kesangsiannya dengan bertanya, "Apakah pengangkatan diriku nantinya tidak akan menimbulkan pemberontakan di Negeri Linggapraja, Pendeta Ganesha?"
"Tidak, Gusti Ratu! Saya adalah Pendeta Agung di negeri itu! Semua rakyat mempercayakan tugas ini kepada saya! Siapa pun orangnya yang saya bawa pulang ke Pulau Kana, rakyat akan langsung mengakuinya sebagai pemimpin kami!"
"Apakah di Pulau Kana keadaannya menyenangkan?"
"Sangat menyenangkan, Gusti Ratu! Keadaan tanahnya subur, makmur, dan kami mempunyai tambang emas sendiri. Rakyat kami punya rasa pengabdian dan kesetiaan kepada pemimpin cukup tinggi. Kami membangun istana sebagai tempat tinggal pimpinan negeri dengan bangunan berlapiskan emas dan berhiaskan berlian! Negeri kami adalah negeri yang sukar ditundukkan lawan karena mempunyai sejumlah pasukan yang tangguh dan siap mati demi ratu!"
Mendengar istana emas berhiaskan batu-batu berlian dan permata lainnya hati Kembang Mayat san-gat tertarik. Setidaknya dia ingin melihat sebuah negeri yang konon berkeadaan subur, makmur, serta berlimpah kemewahan itu. Maka, ia pun segera menyetujui rencana Pendeta Ganesha, yang konon menjabat sebagai Pendeta Agung di Pulau Kana itu.
Kepergian Kembang Mayat ke Pulau Kana bersama Pendeta Ganesha bukan melalui jalan darat atau laut, namun melalui jalan udara. Kembang Mayat berada dalam gendongan Pendeta Ganesha, lalu orang bertubuh besar itu melompat dengan ringan dan cepat, dari ujung batu ke ujung batu yang semua gerakannya itu tak mungkin bisa di lihat dengan mata telanjang. Dan memang begitulah tata cara bagi masyarakat Pulau Kana dalam membawa seorang calon pemimpin negara. Di situlah kehebatan sebagai Pendeta Agung yang juga dihormati serta disegani oleh rakyat Linggapraja.
Menurut keterangan Pendeta Ganesha, negerinya bukan tidak mampu mencari seorang pemimpin negara dari penduduk Pulau Kana, melainkan sengaja dicari orang di luar Pulau Kana untuk memimpin negerinya. Hal itu dilakukan secara turun temurun, supaya dalam memberikan keputusan pengadilan, seorang raja atau ratu tidak memandang bulu, tidak mempertimbangkan segi persaudaraan, dan sebagainya.
Dengan mengambil pemimpin dari luar Pulau Kana, mereka yakin betul bahwa segala keputusan yang diambil oleh sang pemimpin adalah sesuatu yang adil dan seadil-adilnya. Raja atau ratu hanya akan diganti jika wafat. Tetapi bagi mereka yang sudah menjadi raja atau ratu, lalu ingin pulang ke tempat asalnya, maka rakyat Pulau Kana siap menghadang di seluruh pantai dan membunuhnya.
Tetapi menurut penjelasan Pendeta Agung itu, selama ini belum ada satu orang pun yang ingin melarikan diri dari jabatannya sebagai raja atau ratu. Sebab mereka yang sudah menjadi pimpinan di sana akan merasa betah dan senantiasa bahagia hidupnya, sampai beranak-cucu. Jika sang Raja wafat maka keturunannya akan diperlakukan sebagai kelompok masyarakat terhormat.
Kehadiran Kembang Mayat di Pulau Kana ternyata disambut dengan sorak-sorai yang amat meriah oleh rakyat negeri Linggapraja. Semua wajah menampakkan keceriaan dan kegembiraannya, apalagi mereka kali ini mendapat seorang ratu yang masih muda dan cantik. Semua mata memandang dengan penuh rasa kagum dan senang. Namun mereka tetap menjaga diri untuk tetap menghormat dan menghargai Kembang Mayat sebagai ratu mereka.
Hanya saja, Kembang Mayat merasa merinding dan kaget saat pertama jumpa dengan orang-orang Pulau Kana itu. Hal yang membuat Kembang Mayat ngeri adalah melihat keadaan masing-masing penduduk Pulau Kana itu semuanya menyerupai raksasa. Wajah mereka ada yang jelek, ada yang cantik, ada yang gagah, ada yang sedang-sedang saja. Tetapi ukuran tubuh mereka tinggi-tinggi.
Sudah tinggi, besar dan badan mereka sepertinya berotot keras atau berkulit tebal. Orang yang paling pendek dl Pulau Kana berukuran satu setengah tombak lewat sedikit. Jika Kembang Mayat berdiri di samping orang yang paling pendek di Pulau Kana itu, maka batas ketinggian tubuh Kembang Mayat hanya mencapai ketiak orang tersebut. Jika yang terpendek saja berukuran seperti itu, bagaimana jika yang tidak terhitung pendek?
Tetapi mereka itu ramah-ramah dan tidak buas seperti raksasa pada umumnya. Mereka bersikap sopan, sekalipun para pemudanya sering memandang dengan sikap kagum dan senyum menawan hati. Beberapa prajurit yang mengawal Kembang Mayat pada umumnya berwajah tampan, berbadan tegak, kekar dan besar.
Salah satu prajurit pengawal ratu yang sering mencuri pandang adalah seseorang yang bernama Gandaloka. Konon orang itu masih berusia dua puluh dua tahun dan belum mempunyai istri. Ia termasuk prajurit paling tampan dan banyak diincar oleh gadis-gadis cantik berbadan besar di Pulau Kana itu.
"Gusti Ratu," kata Pendeta Agung Ganesha yang menjabat sebagai penasihat ratu dalam urusan hukum adat, "Kami akan melakukan penobatan untuk Gusti Ratu Kembang Mayat. Tetapi hal itu tidak bisa kami lakukan sekarang. Karena menurut adat disini, seseorang akan dinobatkan sebagai ratu, apabila ia sudah menikah dan pernikahan itu dilakukan di depan rakyat Linggapraja. Jadi, kami sedang mempersiapkan pesta perkawinan yang harus segera dilakukan sebelum purnama tiba! Apabila sampai purnama tiba Gusti Ratu Kembang Mayat belum melakukan perkawinan, maka kami dengan sangat sedih akan membunuh Gusti Ratu, karena kami anggap sebagai orang pembawa sial yang datang ke Pulau Kana ini!"
"Jadi... aku harus menikah dulu, baru dinobatkan sebagai ratu secara resmi?"
"Begitulah hukum adat di sini, Gusti!" jawab Pendeta Ganesha. "Oleh karena itu, silakan mulai sekarang Gusti memilih pemuda atau lelaki mana saja yang Gusti sukai untuk dijadikan calon pengantin pria yang akan duduk di samping Gusti Ratu Kembang Mayat!"
"Aku... aku harus memilih salah satu pria di sini untuk menjadi suamiku? Wow...! Mereka besar-besar, Pendeta Agung! Aku ngeri mempunyai seorang suami berukuran sebesar mereka!"
"Tapi ini hukum adat yang berlaku di sini Gusti Kembang Mayat! Apa pun alasannya, Gusti harus mencari calon suami yang secepatnya dan kami akan mengawininya!"
Kembang Mayat tertegun, dadanya terasa sesak. Ia harus menikah dengan salah satu pria raksasa di negeri itu, adalah hal yang mengerikan. Melihat jari-jari tangan mereka yang besar-besar saja Kembang Mayat sudah merasa ngeri, apalagi ia membayangkan pada malam pertama nanti. Oh, sungguh mengerikan buat Kembang Mayat. Karenanya, Kembang Mayat pun bertanya kepada Pendeta Agung,
"Bolehkah aku mencari suami dari luar Pulau Kana?"
“Tidak ada larangan, Gusti! Itu boleh-boleh saja. Yang terpenting bagi kami, seorang ratu atau raja harus sudah berkeluarga, supaya kerukunan dan kedamaian serta kemesraan sang Ratu akan menjadi berkah bagi kehidupan keluarga kami, dan akan men-jadi panutan bagi para suami-istri yang ada di bawah titah paduka ratu!"
Kembang Mayat menghela napas panjang-panjang. Sebenarnya sungguh menyenangkan menjadi ratu di negeri itu. Seperti apa kata Pendeta Ganesha, negeri itu adalah negeri yang subur, makmur, dan ber-limpah kekayaan. Istana itu benar-benar terbuat dari emas dengan hiasan batu-batu berlian dan permata lainnya.
Sungguh sebuah istana yang megah dan menggiurkan siapa pun yang berhati jahat untuk me-rebutnya. Tetapi selama ini tak pernah ada yang ber-hasil menguasai Pulau Kana dengan segenap isinya, karena pulau itu mempunyai pasukan yang tangguh dan berbadan besar.
Dalam satu pertemuan untuk menentukan calon suami ratu, Gandaloka sejak tadi menatap Kembang Mayat dengan hati berdebar-debar. Pria itu mempunyai mata bagus, hidung mancung, kulit bersih berwarna kuning langsat, bibirnya pun indah dan menggemaskan. Maka, ketika Pendeta Agung memanggil para pemuda yang dijadikan calon untuk dipilih sebagai suami Kembang Mayat, satu di antara pemuda itu adalah Gandaloka sendiri.
Kembang Mayat tersenyum ketika Gandaloka menatapnya, lalu ia memanggil Gandaloka agar mendekat, "Datang kemari, Gandaloka!"
Semua mata tertuju pada Gandaloka yang berpakaian putih dengan rambut ikal dan berkumis tipis. Ganteng sekali dia dengan kumis tipisnya itu. Semua orang menyangka Gandaloka terpilih sebagai suami ratu nantinya. Gandaloka sendiri bersorak girang hatinya. Tetapi kegirangan itu menjadi sirna ketika Kembang Mayat berkata,
"Kuperintahkan padamu, Gandaloka... pergi keluar Pulau Kana dan cari pemuda ganteng yang bernama Yoga dan bergelar Pendekar Rajawali Merah! Bawa dia kemari, karena aku ingin mengawininya!"
"Kami akan lakukan, Gusti Ratu Kembang Mayat!" jawab Gandaloka.
"Bila mana perlu, bawa pasukan untuk mendapatkan Pendekar Rajawali Merah! Aku ingin secepatnya kalian membawa dia kemari!"
Maka berangkatlah Gandaloka dengan pasukannya mencari Yoga, si pendekar tampan itu. Jumlah pasukan yang dibawanya tidak begitu banyak. Hanya lima orang, enam bersama Gandaloka sendiri. Tapi mereka dikenal sebagai pasukan atau prajurit-prajurit yang tangguh dan terpilih. Bukan hanya berbadan besar dan kekar saja, namun mereka mempunyai ilmu yang tergolong tinggi dan menjadi andalan kekuatan pertahanan Pulau Kana.
Gandaloka memang kecewa, karena ternyata bukan dia yang terpilih menjadi suami Kembang Mayat. Tetapi Gandaloka sudah terbiasa menyingkirkan kekecewaan itu, membuang kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan negara. Karenanya, Gandaloka tidak merasa sakit hati dan tetap bersemangat mencari Pendekar Rajawali Merah itu.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah sendiri sudah punya kekasih yang jinak-jinak merpati, yaitu Pendekar Rajawali Putih, gurunya sendiri. Jika kedatangan Gandaloka dan tujuan orang-orang Pulau Kana itu diketahui oleh Lili, lantas bagaimana sikap Lili dalam mempertahankan Yoga untuk tetap menjadi pendampingnya? Mampukah Lili mengamuk dan mengalahkan enam orang sakti dari Pulau Kana itu?
Bagaimana pengobatan Sendang Suci terhadap luka potong di tangan Yoga itu? Apakah berhasil, atau semakin parah? Seandainya berhasil, maka cacat pada tangan Yoga itu apakah tidak mengurangi kesaktian dan kekuatannya? Bagaimana jika Yoga mendak ajakan Gandaloka untuk datang ke Pulau Kana dan harus bertarung dengan enam raksasa Pulau Kana itu, apakah ia mampu mengalahkannya dengan satu tangan? Atau mungkinkah Topeng Merah masih tetap muncul untuk membela Yoga?
Berhasilkah Lili memburu Topeng Merah dan membalaskan cacat yang terjadi pada diri Yoga? Lalu, bagaimana dengan Mutiara Naga yang membawa guci berisi racun itu? Apakah dia tahu bahwa guci itu adalah racun yang mematikan, bukan Darah Kasih Dewa yang diharapkan itu? Semuanya bisa terjadi. Kemungkinan apa pun bisa saja timbul dalam kisah selanjutnya Utusan Pulau Keramat.