Utusan Pulau Keramat

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Utusan Pulau Keramat Karya A. Rahman
Sonny Ogawa

Jodoh Rajawali - Utusan Pulau Keramat

SATU

EMBUN pagi masih menetes bagai darah tersisa dari tangan yang terpotong buntung. Udara pagi yang menyegarkan peredaran darah itu digunakan oleh Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu, untuk melatih diri menggunakan pedang dengan satu tangan.

Pada mulanya, Yoga mengalami kecanggungan dalam bergerak karena ia telah kehilangan tangannya (Baca episode: "Ratu Kembang Mayat"), tetapi sedikit demi sedikit ia sudah mulai terbiasa bergerak dan memainkan jurus pedang dengan hanya menggunakan satu tangan.
Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman
Luka bekas potongan di lengan kiri Pendekar Rajawali Merah itu sudah mulai mengering. Warna biru racun yang ada di sekeliling bekas potongan lengan itu sudah tidak ada. Bahkan rasa sakitnya pun tidak tersisa sedikit pun. Ramuan obat yang diminumnya dari Tabib Perawan atau Sendang Suci, memang sungguh hebat khasiatnya.

Hanya satu malam beristirahat penuh setelah meminum obat tersebut, luka bekas potongan menjadi mengering dan tidak terasa sakit lagi. Itulah sebabnya pagi itu Yoga memberanikan diri mencoba berlatih pedang memakai batang bambu untuk membiasakan diri menggunakan satu tangannya yang tidak ikut terpotong.

Tanpa disadari oleh Yoga, ada sepasang mata yang memperhatikan gerakan jurus-jurus pedangnya dari satu tempat. Tempat itu tidak terlalu tersembunyi, namun berada dl belakang Yoga, sehingga Yoga tidak tahu, bahwa sepasang mata yang memandanginya itu kini sedang menitikkan air mata.

"Menyesal sekali aku telah membuatnya cacat begitu. Seharusnya sebagai Topeng Merah aku tak boleh sampai melukainya, tugasku justru menjaganya. Tapi mengapa akhirnya pedangku yang membuatnya sengsara begitu Oh, Yoga... maafkanlah aku. Semua ini tidak sengaja kulakukan pada dirimu," kata sepasang mata itu dalam hatinya yang tak lain adalah si Tabib Perawan.

Ketika Yoga berkelebat memperagakan menebas lawan dengan pedang sambil membalikkan badan, barulah Yoga menyadari ada sepasang mata yang memandanginya sejak tadi. Pendekar Rajawali Merah itu segera hentikan gerakannya, tersenyum malu sambil melangkah mendekati perempuan yang memandanginya dari samping rumah.

"Bibi...," sapanya ketika ia berada di depan Tabib Perawan yang masih tampak muda dan cantik walau usianya sudah mencapai empat puluh tahun itu. Yoga melanjutkan kata-katanya, "Aku melihat air matamu menetes, Bi! Mengapa menangis?"

Buru-buru Sendang Suci menyusutkan air matanya dengan tersenyum malu ia sedikit salah tingkah, setelah itu berkata, "Aku terharu melihatmu! Aku bersyukur sekali, ternyata kau sudah terhindar dari racun pedang itu, dan sekarang kau tampak sehat serta segar badanmu!"

"Ya, aku memang sudah merasa segar, Bi! Tapi mestinya Bibi tidak perlu menangis begitu!"

"Tidak. Aku tidak menangis. Aku... aku hanya merasa bahagia bisa menolongmu, Yo! Semula aku menyangka tak bisa menolongmu!"

"Aku ucapkan banyak terima kasih padamu, Bi! Kalau kau tidak menolongku menangkal racun itu, aku bisa mati busuk!"

"Ya. Tapi sebaiknya jangan kau gunakan untuk berlatih dulu. Masa istirahat mu masih sangat dibutuhkan untuk mengembalikan urat-urat yang kaku akibat racun itu! Jangan banyak gunakan tenaga dulu, Yo!"

"Maaf, Bi. Aku sudah tak tahan ingin berlatih jurus-jurusku!"

"Cukuplah sampai di sini dulu! Mungkin besok kau bisa melanjutkan latihan mu itu! Sekarang aku sudah memasakkan sup untukmu! Sup jamur itu akan memulihkan kekuatanmu kembali, Yo!"

"Bibi terlalu merepotkan diri. Mestinya Bibi tak perlu memasak segala! Kita bisa pergi ke kedai terdekat untuk makan di sana!"

"Aku memasak untuk dirimu, Yo! Aku bangga sekali dapat memasak untuk diri seseorang yang... yang ku... maksudnya yang bersahabat baik denganku!"

Ada keraguan yang kikuk diucapkan dan akhirnya dibelokkan ke arah lain. Pendekar Rajawali Me-rah menyadari hal itu, tapi ia tidak mau membahasnya terlalu panjang lebar. Cukup disimpannya saja di da-lam hati. Kemudian ia segera melegakan hati Sendang Suci untuk menikmati sarapan sup masakan Sendang Suci itu.

Satu malam Yoga tidur di rumah Tabib Perawan. Ia merasa mendapat perawatan yang benar-benar baik. Tabib Perawan merawat Yoga dengan sungguh-sungguh. Bahkan ketika Yoga tertidur di balai-balai depan, Tabib Perawan datang, menyelimuti tubuhnya dengan pelan-pelan. Saat itu sebenarnya Yoga terbangun, namun karena masih terasa berat untuk membuka mata, maka ia biarkan saja kehadiran Tabib Perawan di dekatnya.

Perempuan itu tidak tidur di tempatnya, melainkan menggelar tikar dan tidur di lantai bawah balai-balai bambu itu. Sesekali Sendang Suci terbangun, menghalau nyamuk yang mengerumun di tubuh Yoga. Kemudian dengan pelan-pelan dan penuh hati-hati, Tabib Perawan melulurkan cairan anti gigitan nyamuk di tubuh Yoga yang tidak tertutup selimut. Yoga mera-sakan hal itu, tapi ia membiarkan saja.

Bahkan ketika Sendang Suci mengusap-usap rambut Yoga dengan pelan dan lembut sekali, Yoga tetap pejamkan mata dan tidak melarang sikap perlakuan lembut itu. Hanya dalam hatinya, Pendekar Ra-jawali Merah menemukan satu keanehan sikap dari Sendang Suci. Sikap itu adalah sikap seorang kekasih yang begitu sayang kepada orang yang dicintainya. Sepertinya begitulah sikap lembut yang diterima Yoga malam itu.

Sementara, di sisi lain, Mahligai yang gila akibat Racun Edan itu masih tetap dalam pasungannya. Sore tadi Mahligai mengamuk karena lapar, lalu Tabib Perawan memberikan makan, tapi makanan itu disembur-semburkan sambil Mahligai menggeram berseru,

"Aku mau makan daging manusia! Manusia tampan itu! Manusia tampan itu, bawa kemari! Lekaaas...!"

Teeb...! Kembali Mahligai ditotok oleh bibinya sendiri dan jatuh terkulai lemas di atas pembaringannya. Perempuan cantik berhidung mancung itu menjadi repot sendiri. Ada dua kerepotan yang harus ditangani secara bergantian, yaitu merawat keponakannya yang gila dan merawat Yoga. Bahkan pagi itu pun mereka sarapan berdua, sedangkan Mahligai tidak diberinya sarapan. Ketika Yoga menanyakannya,

"Mengapa Mahligai tidak diajak makan sekalian, Bi?"

"Santapannya berbeda dengan kita! Aku harus membeli seekor ayam di pasar dan dia akan memakannya mentah-mentah!"

Yoga menghembuskan napas menandakan iba hatinya mendengar nasib Mahligai yang menjadi doyan makan daging mentah itu. Karenanya, Yoga pun segera berkata, "Bolehkah nanti siang aku pergi ke Telaga Bangkai untuk mencari bunga Teratai Hitam itu, Bi?! Rasa-rasanya, aku harus secepatnya mendapatkan bunga Teratai Hitam, agar Mahligai lekas sembuh! Tak tega aku melihatnya dalam keadaan terpasung begitu terus-menerus!"

"Keadaanmu masih belum sembuh total, Yo! Jangan dulu ke mana-mana. Mungkin dua hari lagi kau baru bisa melakukan perjalanan jauh ke Telaga Bangkai itu!"

"Tapi kalau terlalu lama, kasihan nasib Mahligai!"

"Ya. Memang. Tapi aku tak izinkan kau pergi dalam keadaan belum sembuh total! Dan... rasa-rasanya memang kau tak perlu lagi mencari bunga Teratai Hitam itu!"

"Mengapa begitu, Bi?!" Pendekar Rajawali Merah terkejut.

"Aku tak izinkan kau mencari bunga itu sebelum kau membalas kekalahanmu kepada si Topeng Merah!"

"Bukankah Bibi bilang aku tak boleh menaruh dendam kepada si Topeng Merah, atau siapa pun yang melukai ku?"

"Ini bukan dendam. Aku yakin Topeng Merah menyesal atas tindakannya yang tidak sengaja telah membuat tanganmu putus itu! Karenanya, untuk melegakan hati orang itu, kau harus membalasnya dengan memotong tangan kirinya!"

"Ku rasakan sikap Bibi makin lama semakin aneh saja!"

"Karena aku tak rela melihat tanganmu buntung satu! Balas kekalahanmu ini kepada Topeng Merah! Jika kau belum balas kekalahanmu ini, kau tidak perlu mencari bunga Teratai Hitam itu! Kalau toh kau nekat dan mendapatkannya, aku tak akan mau menerima bunga itu sebelum kau membuat tangan Topeng Merah buntung satu!"

Pendekar Rajawali Merah diam saja setelah menelan sisa makanannya. Matanya tertuju ke tepian meja, dan ia melamun di sana, sampai akhirnya Sendang Suci mendengar Yoga berkata,

"Aku tak bisa melakukan pembalasan itu, Bi! Bagaimana jika Bibi saja yang melakukan pembalasan?!"

Sendang Suci terperanjat dan bingung menjawabnya. Ia tampak gelisah beberapa saat, lalu terdengar pula ia bertanya, "Mengapa tak bisa? Kau seorang pendekar yang perkasa dan punya ilmu tinggi! Pasti kau bisa kalahkan jurus-jurusnya Topeng Merah!"

Yoga menggeleng dalam lamunannya, "Tidak. Bi! Tanganku sudah putus satu. Sedangkan Topeng Merah mempunyai jurus pedang yang bagus dan cukup hebat! Aku akan kalah bila melawannya!"

"Tidak! Kau tidak akan kalah! Jangan merasa kecil hati, Yo! Cacat di tanganmu ini akan membuat kau semakin hebat dalam ilmu pedang! Percayalah, Topeng Merah bisa kau kalahkan! Lakukan, Yo! Buntungi lengan si Topeng Merah biar lega hatiku dan tidak kecewa lagi melihat tanganmu di buntungi olehnya!"

"Kau saja yang melakukannya, Bi! Jangan aku! Kalau kau memaksaku, aku akan pergi dan tidak mau bertemu denganmu lagi! Kau saja yang melakukannya! Buntungi tangan si Topeng Merah itu, tapi hati-hati jangan sampai tanganmu sendiri yang menjadi buntung! Aku akan marah besar kepadamu jika tanganmu sampai buntung!"

"Ilmu... ilmu pedangku... hmmm... ilmu pedangku tak sehebat ilmu pedangnya Topeng Merah, Yo! Kalau kau saja bisa dibuatnya buntung, apalagi aku?!"

Sendang Suci semakin gelisah. Yoga melihat kegelisahan itu sebagai ungkapan perasaan takut. Bahkan ketika Yoga mengulangi kata-katanya, "Lakukan, Bi! Kalau kau tak bisa melawan dan mengalahkan Topeng Merah, aku tak mau mengenalmu lagi!"

Sendang Suci hanya diam saja, seakan tidak mendengar ucapan itu. Ia mengemasi perabot makannya dan kembali lagi dengan berkata, "Aku akan ke hutan sebentar untuk mencari ayam buat Mahligai!"

"Ya. Silakan. Tapi ingat, jika di perjalanan kau bertemu dengan Topeng Merah, buntungi dia saat itu juga, Bi!"

"Aku tak menjanjikan apa-apa untukmu, Yo! Yang kujanjikan hanya kesembuhan mu!" jawab Sendang Suci lalu pergi meninggalkan Yoga yang tersenyum aneh menurut perasaan hatinya itu. Di perjalanan, hati Sendang Suci sangat resah. Perhatiannya terpusat pada kata-kata Yoga, hingga dalam hatinya timbul berbagai kecamuk yang semakin mengacaukan jalan otaknya.

Ia sepertinya justru mendapat tugas dari pendekar tampan itu, tugas untuk membuntungi Topeng Merah. Ini adalah tugas yang berat baginya, sementara itu, Yoga mengancam untuk tidak mau mengenalnya lagi jika hal itu tidak dilakukan. Repotnya lagi, jika tangan Sendang Suci sendiri yang menjadi buntung, Yoga akan marah besar kepadanya.

Sungguh tertekan jiwa Sendang Suci. Ia sepertinya makan buah simalakama. Ia harus bisa menga-tasi hal itu! dalam keadaan hatinya bersedih memikirkan nasib Mahligai yang masih gila dan liar itu. Karena kalutnya otak, Sendang Suci sampai tak menyadari bahwa di depannya sudah berdiri Tamtama dan Tanduk Iblis, si manusia raksasa yang punya wajah angker menyeramkan itu. Sendang Suci terkejut dan menggeragap ketika Tamtama menyapanya,

"Bibi Sendang Suci...!"

"Hmmm... eh... siapa kau? Oh, kau Tamtama?! Hmm... ada apa, Tamtama?!"

Pemuda yang patah hati dan cemburu besar kepada Yoga itu segera berkata dengan dahi berkerut, "Pucat sekali wajah Bibi hari ini? Ada apa, Bi?"

"Hmmm... anu... tidak. Tidak ada apa-apa!" jawab Sendang Suci.

"Apakah Mahligai sudah pulang?"

"Belum! Mahligai belum pulang!"

"Jangan-jangan dia dibawa kabur oleh Yoga, Bi?"

"Oh, tidak! Tidak begitu, Tamtama. Yoga tidak membawa kabur Mahligai! Dia tidak bersama Mahligai!"

"Lalu, ke mana dia sekarang? Maksud saya, bocah kunyuk yang memakai gelar Pendekar Rajawali Merah itu, Bi?"

"Ada... !"jawab Sendang Suci, kemudian buru-buru sadar apa yang diucapkannya itu. "Maksudku, ada apa kau mencari Yoga?"

"Saya akan adu si kunyuk itu dengan teman saya ini, Tanduk Iblis!"

Mata Sendang Suci agak terkesiap. Kemudian mata itu memandang Tanduk Iblis yang mempunyai dua benjolan di keningnya seperti sepasang tanduk. Orang tinggi besar itu selalu mengenakan baju yang tak pernah di kancingkan, sehingga di dadanya terlihat jelas gambar tato wajah iblis yang menyeramkan. Itulah sebabnya dia dijuluki Tanduk Iblis.

Dan kali ini matanya itu memandang lembut kepada Sendang Suci, tidak seganas jika ia memandang seorang lelaki. Sebab Tanduk Iblis adalah orang yang tidak pernah mau me-lawan perempuan atau bertindak kasar kepada wanita mana pun juga. Karena itu ia memandang lembut kepada Sendang Suci.

"Kau ingin mengadu Tanduk Iblis dengan Yoga?" ulang Sendang Suci karena tak punya kalimat lain untuk mengatasi kegugupannya saat itu.

"Ya! Aku ingin melihat kejantanannya. Kalau dia melawan teman saya ini bisa unggul, maka saya rela Mahligai jatuh ke dalam pelukannya, Bi! Tapi jika ia melawan Tanduk Iblis kalah, bagaimanapun juga saya tidak mundur dari Mahligai dan tetap ingin mempertahankan Mahligai, sebab... sebab cinta saya terlalu dalam kepadanya, Bi. Mohon Bibi bisa memaklumi keadaan saya!"

"Yaaah... aku bisa memaklumi. Tapi.. tapi kurasa...," Sendang Suci diam kembali. Matanya memandang sekeliling seperti punya kecurigaan dan kecemasan tersendiri.

"Bibi mau bicara apa?" tanya Tamtama. "Hmmm... kalau kau ingin mengadunya, silakan saja. Tapi aku tidak tahu di mana Pendekar Rajawali Merah yang perkasa itu berada! Cobalah cari di tempat lain. Jangan tanyakan padaku, Tamtama!"

"Mengapa Bibi kelihatannya menghindari pertanyaan saya itu?"

"Karena aku tidak tahu dan tidak bisa menjawab pertanyaanmu! Kalau aku tahu di mana Yoga, akan kutunjukkan padamu! Jangan coba-coba memaksaku, Tamtama. Aku bisa marah kepadamu!"

"Baiklah, Bi! Saya tidak bermaksud memaksa Bibi, cuma... Bibi kelihatannya hari ini mudah tersinggung! Ada apa sebenarnya?"

"Tidak ada apa-apa! Aku mau mencari ayam hutan! Pergilah sana, cari dia sampai dapat kalau memang kau ingin mengadu dia dengan Tanduk Iblis!"

"Itu pasti, Bi!" jawab Tamtama sambil memberi isyarat kepada Tanduk Iblis untuk berjalan lagi mencari di mana Yoga berada.

Langkah Sendang Suci kembali dikerumuni oleh lamunan dan percakapan dalam hatinya. Terbayang perawakan tinggi besarnya Tanduk Iblis yang mirip raksasa itu, dengan perawakan Yoga yang sekarang dalam keadaan buntung tangannya itu. Kecemasan pun timbul di hati Sendang Suci apabila Yoga sampai bertarung dengan Tanduk Iblis.

"Dalam keadaan seperti itu, apakah Yoga mampu mengalahkan Tanduk iblis? Rasa-rasanya untuk saat sekarang, di mana Yoga belum terbiasa menghadapi lawan dengan satu tangan, tipis sekali kemungkinan menang pada diri Yoga! Aku akan mencegah pertarungan itu dengan cara menyembunyikan Yoga dari mata Tamtama! Kekuatan itu tidak seimbang jika sampai Tanduk Iblis, yang bertangan lengkap menyerang Yoga, yang bertangan buntung dan baru saja menjalani kehidupan buntungnya beberapa hari ini! Tapi... bagaimana jika mereka memergoki Yoga ada di rumahku, atau memergoki Yoga ada di perjalanan?! Hmmm... agaknya aku harus melakukan sesuatu!"

Ternyata ketika Sendang Suci sedang pergi, ada orang yang datang ke pondoknya, tapi bukan Tamtama atau Tanduk Iblis. Orang yang datang itu berusia antara enam puluh tahun dengan rambut putihnya dan pakaian coklat. Orang itu tak lain adalah si Tua Usil, Pancasona, yang juga dikenal sebagai Manusia Kabut, karena bisa merubah wujudnya menjadi segumpal kabut.

"Beruntung sekali kau datang, Tua Usil!" kata Yoga kepada Tua Usil. Ia segera menarik tangan orang itu sambil membawanya ke bawah sebuah pohon.

"Tuan Yo diminta pulang oleh Nona Lili jika keadaan sudah membaik!" kata Tua Usil.

"Mengapa dia tidak datang sendiri kemari?"

"Nona Li tidak mau mencampuri urusan pribadi Tuan Yo, katanya!"

"Urusan pribadi...?! Apa maksudnya urusan pribadi itu?"

Tua Usil angkat bahu, "Saya tidak tahu, Tuan Yo! Yang jelas, Nona Li mengharapkan Tuan Yo lekas pulang!"

"Baik! Aku akan pulang, tapi aku mau minta tolong padamu, Tua Usil! Kuharap kau mau menolongku untuk urusan yang satu ini!"

"Saya tidak pernah menolak permohonan bantuan Tuan Yo, tapi selama ini tak ada yang mau mengabulkan permohonan saya untuk mengajari saya berdiri di atas ilalang!"

Melihat si Tua Usil bersungut-sungut, Yoga tertawa pendek. Lalu Pendekar Rajawali Merah itu segera berkata, "Kalau kau mau menolongku, aku akan mendesak Lili untuk mengajarkan padamu jurus berdiri di atas ilalang!"

"Benarkah?!" Tua Usil tampak kegirangan.

"Benar! Kurasa kalau aku yang mendesaknya, Lili akan mau menuruti dan dia akan mengajarkan padamu bagaimana bisa berdiri di atas ilalang!"

"Oh, itu menyenangkan sekali buat saya, Tuan Yo...! Terima kasih! Terima kasih sebelumnya!" si Tua Usil membungkuk-bungkuk memberi hormat sebagai tanda suka citanya.

"Tetapi ingat, kalau pertolonganmu itu sampai bocor dan didengar oleh satu orang pun, akan kupenggal kepalamu saat itu juga! Karena apa yang harus kau kerjakan ini sangat rahasia!"

"Baik! Saya paham dan akan menjaga rahasia itu, Tuan Yo! Katakan apa yang harus saya lakukan!"

Dengan suara lirih bernada bisik, Yoga menjelaskan kepada Tua Usil tentang sesuatu yang harus dilakukan oleh si Tua Usil. Pada waktu itu, Sendang Suci dalam perjalanan pulang. Perasaannya menjadi tak enak, sehingga langkahnya dipercepat. Yang terbayang di benaknya adalah pertarungan antara Yoga dengan Tanduk Iblis. Itulah yang membuat Sendang Suci tak bisa terlalu lama dalam perjalanan.

Ketika ia tiba di rumah, ternyata Yoga sedang duduk sendirian di atas sebuah batu datar di bawah pohon rindang depan rumah. Sendang Suci merasa lega. Langkahnya terhenti dan senyumnya mekar ceria ketika melihat Yoga berdiri memandang ke arahnya dengan senyum ramahnya yang menawan itu.

"Hampir saja aku menyusulmu ke hutan, Bi!" kata Yoga membuat hati Sendang Suci berdebar indah.

"Apakah aku terlalu lama meninggalkan kamu?"

"Tidak. Tapi ada sesuatu yang harus kukerjakan secepatnya, Bi!"

"Tentang apa itu?" sambil Tabib Perawan melangkah masuk dan diikuti oleh Pendekar Rajawali Merah.

"Saya harus pergi sebentar, Bi! Saya harus memenuhi undangan pertarungan dari seseorang!"

"Siapa dia orangnya?" Sendang Suci terperanjat. "Topeng Merah!"

"Hah...?!" Sendang Suci makin terkejut. Wajahnya menjadi pucat pasi. "itu tidak mungkin, Yo...! Eh, hmm... maksudku, tidak mungkin kau harus bertarung dengan Topeng Merah dalam keadaan lukamu belum sembuh total begini!"

"Tapi dia menantangku, Bi! Dia datang ke sini sendirian!"

"Oh, tak mungkin itu, Yo...!" ucap Sendang Suci pelan dengan tertegun bengong.

DUA

RASA penasaran membuat Sendang Suci mendesak ikut dengan Yoga. Pendekar Rajawali Merah tak bisa menahan keinginan Sendang Suci yang punya alasan hanya ingin mendampingi demi menjaga kese-lamatan Yoga. Maka akhirnya mereka pun berangkat berdua setelah memberi makan Mahligai. Sasaran yang dituju adalah sebuah bukit di dekat ngarai, jalan menuju Gunung Menara Salju.

Sepanjang perjalanan Sendang Suci tidak banyak bicara. Perempuan yang melengkapi dirinya dengan senjata kipas itu lebih banyak termenung dalam langkahnya. Sesekali ia menggeragap jika diajak bicara oleh Pendekar Rajawali Merah.

"Apa yang kau renungkan sejak tadi, Bi?" tanya Yoga.

Tetapi Sendang Suci hanya tersenyum, atau terkadang ia menjawab, "Tak ada yang kurenungkan kecuali luka potong mu itu!"

Pendekar Rajawali Merah tersenyum. Ia tidak mengupas percakapan dari jawaban tersebut sebab ia tahu jawaban itu bohong. Sesuatu yang direnungkan Sendang Suci adalah sesuatu yang menggelisahkan hati perempuan itu. Hal yang menggelisahkan hati tidak lain kecuali sesuatu yang berhubungan erat dengan diri pribadinya.

Sebenarnya Yoga bisa saja mendesak sampai Sendang Suci mengatakan yang sebenarnya menggelisahkan hatinya itu, tetapi Yoga tidak ingin memancing keributan dalam perjalanan itu. Dengan tangannya yang buntung satu, Yoga tetap melangkah dengan tenang, seakan tidak merasa dirinya telah cacat. Langkahnya pun tetap kelihatan tegap dan gagah, membuat semakin iba hati Sendang Suci memandang ketegaran jiwa Yoga.

Langkah mereka berdua terhenti ketika sekelebat sinar merah melesat dari arah kiri Yoga. Dengan cepat pendekar bertangan buntung sebelah itu melompat ke belakang dengan bersalto satu kali setelah ia mendengar seruan dari Sendang Suci,

"Awas...!"

Wuuut..!

Tubuh Yoga yang melesat bersalto ke belakang itu membuat sinar merah yang terbang dengan cepat terhindar darinya, dan menuju ke arah Sendang Suci. Dengan cepat Sendang Suci yang punya kesigapan tinggi itu menghentakkan tangan kanannya dan melepaskan sinar putih menyilaukan hingga kedua sinar itu beradu di pertengahan jarak.

Duaaar...!

Sendang Suci limbung sedikit namun kembali berdiri dengan sigap dan tahu-tahu kipasnya sudah berada di tangan dalam keadaan terbuka lebar. Traab...! Ia melompat maju di depan Yoga dengan sikap melindungi dan memandang sekeliling dengan tajam. Tak ada sesuatu yang bergerak mencurigakan. Tetapi sikap Sendang Suci tetap berjaga-jaga penuh waspada, seakan sengaja menunggu serangan berikutnya.

"Topeng Merah sudah ada di dekat kita, Bi!" bisik Yoga dari belakang Sendang Suci.

"Benarkah ada Topeng Merah yang lain?! Aku tak yakin! Sama sekali tak yakin!" kata Sendang Suci di dalam hatinya.

Tiba-tiba muncul kembali sinar merah berbentuk seperti mata tombak seperti tadi. Gerakannya cepat dan datangnya dari kerimbunan pohon di seberang sana. Wuuut...! Sasaran utama adalah tubuh Yoga, ta-pi dengan satu kali lompatan dan tangan yang memegang kipas berkelebat, arah sinar merah itu bisa mental berbelok tujuan dan menghantam sebuah pohon. Wuuusst...! Duaaar...! Pohon besar itu berongga bolong karena hantaman sinar merah tersebut.

"Mundur, merapat di pohon! Biar ku atasi ini!" kata Sendang Suci kepada Yoga.

"Biarkan aku yang menghadapi, Bi!"

"Lukamu belum sembuh sekali, Bodoh! Jangan berdebat pada saat seperti ini! Lekas ke pohon belakang sana!"

Tetapi Pendekar Rajawali Merah bukan orang yang mudah bersembunyi dari sebuah serangan. Ia justru sentakkan kakinya dan melentingkan tubuhnya di udara dengan bersalto maju melewati kepala Sendang Suci. Pada saat itu tepat seberkas sinar hijau pecah menghantam ke arahnya dengan cepat.

Wuuut..!

Pendekar Rajawali Merah hanya menyentakkan telapak tangannya yang dalam posisi miring itu ke depan. Suuut...! Lalu sinar merahnya melesat menyebar bagai membentuk perangkap dan yang segera menyerap sinar hijau itu. Zraaap...! Kini gumpalan sinar merah itu terbang cepat membawa sinar hijau yang telah disekapnya, arah tujuannya ke tempat di mana sinar hijau tadi dilepaskan oleh pemiliknya. Dan sekelebat bayangan pun segera melompat keluar dari kerimbunan ketika sinar merah itu datang ke sana. Braaasss...! Pecah dalam satu ledakan yang membuat kerimbunan itu menjadi plontos seketika.

Seseorang yang melompat keluar tadi kini terlihat jelas di mata Yoga dan Sendang Suci. Melihat kemunculan orang tersebut, Sendang Suci menggeram sambil menahan kecemasannya. Orang itu tak lain adalah Tanduk Iblis yang tadi bertemu dengannya. Apa yang dicemaskan kini terjadi.

"Yo, mundurlah!" seru Sendang Suci. Pada saat itu Yoga hanya memandang tertegun melihat perawakan manusia tinggi besar dan menyerupai raksasa itu.

Wuuut...!

Sekelebat bayangan berwarna hijau melesat turun dari atas pohon yang ada di belakang Tanduk Iblis. Bayangan itu pun mendaratkan kakinya di depan Yoga dengan bersalto melewati kepala Tanduk Iblis. Warna hijau itu tak lain adalah warna pakaian dari Tamtama.

Melihat wajah Tamtama, Yoga baru bisa tersenyum dan melepaskan diri dari keterbengongannya tadi. Ia ingat tentang Tamtama yang selalu menyangka Yoga merebut kekasihnya, yaitu Mahligai. Sedangkan Sendang Suci sendiri selama ini belum pernah mence-ritakan kepada Tamtama tentang keadaan Mahligai yang sekarang menjadi gila, buas, dan liar itu.

"Masih ingat tantanganku tempo hari, Kunyuk?!" seru Tamtama dengan tersenyum sinis, merasa besar nyalinya karena ada Tanduk Iblis di sampingnya.

"Ya, aku ingat! Mana jagomu yang ingin kau adu denganku?"

"Ini...!" Tamtama menuding Tanduk Iblis, dan yang dituding memandang dengan menyeramkan.

Sebaris geram terdengar pada saat kedua tangan besar Tanduk Iblis itu menggenggam kuat-kuat. Pada waktu itu, Sendang Suci mendekat dan berdiri di samping Yoga, seakan siap bertindak sebagai wakil dari Yoga jika sewaktu-waktu datang serangan dari Tanduk Iblis ataupun dari Tamtama.

Yoga memandang Tanduk Iblis dengan tenang dan bahkan berkata, "Hanya satu yang kau bawa kemari? Ah... tanggung sekali!"

Tamtama semakin panas hatinya mendengar sesumbar yang sengaja dilontarkan Yoga untuk memancing amarah lawan. Tamtama jadi tak enak hati karena ada Sendang Suci di samping Yoga. Mata Tamtama segera berkesip ketika ia melihat ke tangan kiri Yoga yang buntung itu. Ia terkejut girang dan berkata,

"Hai, mana tangan kirimu? Hilang? Oh, terpotong? Oho, ho, ho.,.!" Tamtama menertawakan. "Sekarang kau ternyata menjadi pendekar buntung, ya?! Ha, ha, ha, ha, ha...!"

Tamtama terbahak-bahak. Tapi tawanya itu segera terhenti setelah Sendang Suci melompat maju satu tindak dan kipasnya yang terkatup itu disodokkan ke dada kanan Tamtama.

Desss...!

Tanduk Iblis mundur satu tindak, tak berani serang Sendang Suci. Sementara itu, sodokan satu kali tersebut membuat Tamtama tersentak ke belakang dan jatuh terkapar dengan suara mengerang kesakitan.

"Bangkitlah kalau kau ingin mati di tanganku, Tamtama!" sentak Sendang Suci dengan wajah cemberut marah.

Tamtama tak berani bangkit. Ia hanya duduk memegangi tangan kanannya. Ketika ia punya kesempatan melepaskan tangan yang memegang dada kanannya, tampaklah oleh Yoga bahwa dada tersebut telah membiru, baju yang dipakai Tamtama berlubang hangus bagai habis terbakar. Jelas sodokan kipas tadi mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Bibi ada di pihak kunyuk itu, rupanya?!"

"Ya. Mau apa kau! Mau tetap menyerangnya? Silakan! Majulah kalian berdua melawanku dulu! Kalau aku kalah melawan kalian, baru kalian boleh melawan Yoga!"

Dengan masih duduk di tanah tak berani bangkit karena ancaman Sendang Suci tadi, Tamtama berseru kembali, "Aku hanya ingin menguji kesaktian orang yang berani mengaku sebagai pendekar itu, Bi! Aku hanya ingin bukti kekuatan dan kehebatan ilmunya dengan mendatangkan jago pilihan ku ini! Kalau Bibi menghalangi, berarti Bibi secara tidak langsung mengatakan bahwa kunyuk itu orang lemah yang pantas dilindungi oleh wanita seperti Bibi!"

Panas telinga Sendang Suci mendengar ucapan itu. Tamtama berhasil memancing tantangan yang membangkitkan gairah bertarung bagi Yoga. Maka Pendekar Rajawali Merah pun berkata kepada Sendang Suci,

"Bibi, mundurlah...! Kulayani dua-tiga jurus saja tantangan itu!"

Sendang Suci memang mundur, tapi segera berbisik kepada Yoga, "Bagaimana dengan lukamu?"

"Percayalah, Bi! Bisa ku atasi sendiri!"

"Baiklah! Kalau perlu, bunuh keduanya!"

"Kalau memaksa apa boleh buat!" jawab Pendekar Rajawali Merah.

Sendang Suci pun akhirnya berkata, "Baiklah, Tamtama! Kita lihat siapa yang unggul dalam pertarungan nanti. Tapi jangan sekali-kali kau menyesal jika jagomu itu copot kepalanya, dan bahkan dirimu kehilangan nyawa!"

Rasa sakit di dada kanan seolah-olah menjadi hilang. Itu akibat rasa girangnya Tamtama mendengar keputusan tersebut. Ia pun segera bangkit dan berkata kepada Tanduk Iblis, "Tanduk iblis, bunuh dia dan jangan kasih kesempatan menyentuh mu sedikit pun! Sisa uang upah mu harus kau ambil secepatnya dengan menukar kepala bangsat itu!"

"Mundurlah, Tamtama...! Jadilah penonton yang baik!" kata Tanduk Iblis dengan wajah berseri seri penuh nafsu untuk membunuh.

"Yo... hati-hati," bisik Sendang Suci sambil mengusap-usap punggung Yoga, kemudian ia menjauhi tempat itu, memberi keleluasaan bergerak pada diri Pendekar Rajawali Merah.

Sendang Suci berdebar-debar. Matanya tetap memandang dengan awas, baik pada diri Tanduk Iblis maupun pada diri Tamtama. Sebab ia khawatir Tamtama melepaskan pukulan curangnya di saat Yoga sibuk menghadapi Tanduk iblis.

Jarak antara Tanduk Iblis dengan Yoga hanya empat langkah. Mereka saling pandang dengan tajam. Mereka sama-sama bergerak melangkah membentuk lingkaran. Lalu tiba-tiba Tanduk Iblis berseru keras-keras sambil melompat menyerang Yoga,

"Heaaa...!"

Wuuut...! Kaki menendang, tangan Yoga menangkisnya. Plaak...! Tangan Tanduk Iblis pun menghantam cepat ke arah wajah Yoga. Wuut! Tebb...! Tangan itu ditangkap oleh Yoga, dan dengan cepatnya kaki Pendekar Rajawali Merah itu menendang beruntun ke arah rusuk lawannya.

Des, des, des, des. des...!

Tendangan itu sangat cepat dan tak terlihat oleh mata telanjang. Yang mereka lihat, Yoga menendang satu kali saja. Tapi yang dirasakan oleh Tanduk Iblis lebih dari lima kali. Ketika tangan orang besar itu dilepaskan, tubuh tersebut terhuyung-huyung ke belakang dan hampir saja jatuh menindih tubuh Tamtama. Orang tinggi besar itu menyeringai kesakitan sambil memegangi tulang rusuknya.

"Serang terus dia! Cabut golokmu dan hantam kepalanya!" kata Tamtama memberi semangat pada jagonya itu.

"Tulang rusuk ku sepertinya ada yang patah satu! Tendangannya sangat cepat dan berat! Dia punya ilmu yang tinggi, Tamtama!"

"Desak terus dia! Jangan kasih kesempatan! Keluarkan senjatamu! Terlalu lama kalau kau tidak memakai senjata, Tanduk Iblis!"

"Baik!" orang besar itu seperti kerbau yang menurut dengan perintah tuannya. Semua ia lakukan demi upah besar yang dijanjikan oleh Tamtama. Maka, kini ia pun mencabut senjatanya dari pinggang. Slaap...! Kini di tangan Tanduk Iblis tergenggam golok besar dan lebar bergerigi pada sebelah sisi tajamnya.

Sendang Suci semakin cemas Senjata lawan cukup besar dan wajah lawan kian beringas. Satu kali tebasan goloknya menghadirkan bunyi gaung yang membuat bulu kuduk merinding. Yoga hanya berkelit ke samping ketika golok besar itu menebas sebelah kirinya. Wuuung...! Hanya beberapa Jarak saja golok itu berkelebat di samping kiri Yoga, mungkin kurang dari setengah jengkal.

Hati Sendang Suci terharu melihatnya. Sebab ia bayangkan kalau saja tangan kiri Yoga masih ada, sudah pasti Yoga dapat menangkis tangan Tanduk Iblis dengan tangan kirinya. Tetapi dengan hilangnya tangan kiri itu, Yoga hanya bisa menghindari ke samping kanan dan lawan membuang tubuh sambil menendang cepat ke dada Yoga.

Buugh...!

"Ehhg...!" Yoga terpental ke belakang dan hampir saja jatuh jika tidak ditahan tubuhnya dari belakang oleh Sendang Suci.

"Jangan paksakan diri kalau sekiranya berat! Biar aku yang maju, Yoga!" bisik Sendang Suci.

"Masih bisa ku atasi, Bi!" jawab Yoga sambil kemudian berkelebat maju dalam satu lompatan bersalto.

Kehadiran tubuh Yoga itu disambut oleh golok lebarnya Tanduk Iblis yang di hujamkan ke depan. Tetapi pada saat itu, rupanya Yoga sudah memperhitungkan gerakan lawan tersebut, sehingga kakinya terangkat sedikit dan cepat menjejak golok besar itu sebagai alas kaki kirinya. sedangkan kaki kanannya menendang wajah Tanduk Iblis dengan sangat kuat.

"Haah...!"

Duugh...! Tendangan kuat itu terkena telak di wajah Tanduk iblis. Tubuhnya terlempar empat tindak ke belakang. Darah mengucur dari hidung Tanduk Iblis. Tamtama terkesiap melihat orang yang di jagokannya bercucuran darah.

Cucuran darah itu membuat Tanduk Iblis menjadi semakin ganas. Dengan menggereng ganas ia menebaskan goloknya ke segala arah. Serangannya membabi buta dan hampir mengenai Yoga beberapa kali. Tamtama kegirangan melihat Tanduk Iblis mengamuk. Gerakan goloknya itu sering merupakan gerakan menipu lawan sehingga Pendekar Rajawali Merah terdesak beberapa kali, dan satu kesempatan bagus dimanfaatkan oleh Tanduk Iblis untuk menendang tubuh Yoga dengan kuat.

Buuhg...! Punggung Yoga menjadi sasaran telak. Tendangan itu membuat tubuh Yoga terpental terbang dan kepalanya membentur pohon.

Dees...!

"Yo...!" pekik Sendang Suci dengan nada penuh kecemasan. Ia segera berlari menghampiri Yoga, tetapi Pendekar Rajawali Merah itu cepat-cepat bangkit dan berdiri tegak sebelum perempuan itu datang menolongnya. Ada darah yang keluar dari hidung Yoga. Tak terlalu banyak tapi amat mencemaskan Sendang Suci, sebab ia tahu tendangan Tanduk Iblis tadi adalah tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Pohon pun akan rontok daunnya jika mendapat tendangan seperti tadi.

"Yo, kau tak apa-apa?" Sendang Suci terhenti langkahnya di depan Yoga dalam jarak empat tindak.

"Menyingkirlah, Bi! Akan kuselesaikan sekarang juga!" kata Pendekar Rajawali Merah dengan suara datar. Ia kelihatan bersungguh-sungguh, sehingga Sendang Suci pun mundur kembali.

"Majulah kalau mau buntung kepalamu!" teriak Tanduk Iblis dengan seringai menyeramkan.

Pendekar Rajawali Merah berdiri tegar dan memandang dengan dingin. Pelan-pelan tangan kanannya bergerak mencabut pedang di punggung. Sendang Suci berdebar-debar memperhatikan Pedang Lidah Geledek di lolos pelan-pelan dari sarungnya.

Blaaar...!

Petir menggelegar satu kali di angkasa pada saat pedang itu telah lepas dari sarungnya. Semua mata terpana dan tak berkedip menatap pedang bercahaya merah membara megah itu. Tamtama sendiri sempat bengong memperhatikan pedang Pendekar Rajawali Merah yang di ujung gagangnya terdapat kepala burung rajawali saling bertolak belakang.

"Tanduk Iblis...!" seru Yoga dari tempatnya. "Mundur kau!"

Pendekar Rajawali Merah memberi kesempatan kepada Tanduk Iblis untuk merubah pikirannya. Tetapi, Tanduk Iblis justru melompat maju bersama golok lebarnya.

"Heeeaaahhh...!"

Pendekar Rajawali Merah masih diam di tempat melihat lawannya maju menyerang. Setelah lawan berada dalam jarak sekitar satu tombak, Pendekar Rajawali Merah mengibaskan pedangnya dari atas kanan ke bawah kiri.

Wuuut...! Claaap...!

Melesat sinar merah panjang berkelok-kelok dari hasil kibasan pedang itu. Sinar tersebut merobek tubuh lawan dari atas ke bawah.

Craas...!

Tanduk Iblis terhenti dari langkahnya. Diam tak bergerak sambil masih menggenggam golok lebarnya. Ia berdiri dengan satu kaki maju ke depan dan tubuh merendah. Kedua tangan menggenggam erat gagang golok itu.

Tamtama berseru, "Serang terus! Serang, Tanduk Iblis!"

Tetapi tiba-tiba saja Tanduk Iblis menjatuhkan golok lebarnya. Pluuk! Lalu perlahan-lahan tubuh besar itu limbung ke belakang dan jatuh terkapar dengan mata mendelik dan mulut masih ternganga kecil.

Buugh..!

"Tanduk Iblis...!" teriak Tamtama kaget.

Sendang Suci mendekati dengan mata menyipit. Ternyata tubuh Tanduk Iblis telah robek dari mata kiri turun ke bawah sampai pada bagian perut kanan. Darah merembes keluar dari robekan dalam itu. Bekas robekan tersebut berwarna hitam sampai pada bagian sekeliling luka tersebut. Tanduk Iblis saat itu sudah tak bernyawa lagi dalam keadaan wajah seperti orang kaget.

"Mengerikan sekali!" pikir Sendang Suci. "Padahal pedang itu belum sampai menyentuh kulit tubuhnya sudah menjadi seperti ini, bagaimana kalau sampai pedang itu membelah kepala secara jelas-jelas?! Bisa seperti pohon yang terbelah kapak tajam jadinya!"

Tamtama memandang tak berkedip, lalu menatap Pendekar Rajawali Merah yang masih menggenggam pedangnya. Pendekar Rajawali Merah berkata dengan nada dingin kepada Tamtama,

"Majulah kau sekalian, Tamtama!"

Blaas...! Tamtama pergi begitu saja tanpa pamit lagi. Ia lari terbirit-birit ketakutan. Menoleh ke belakang pun tak berani. Sementara itu, Sendang Suci hanya berkata dalam hati,

"Dahsyat sekali ilmu pedangnya! Siapa yang mampu menandinginya?!"

TIGA

MELIHAT kedahsyatan pusaka Pedang Lidah Geledek, hati Sendang Suci merasa kecil sekali. Bahkan dalam perjalanan ke bukit, tempat si Topeng Merah menunggu, Sendang Suci sempat berkata pelan kepada Pendekar Rajawali Merah,

"Kurasa kau mampu memotong tangan Topeng Merah dengan pedang pusaka itu, Yo! Mengapa tidak kau lakukan saja pada saat itu?"

"Pedang ini tidak untuk bertindak semena-mena. Kalau tidak sangat terpaksa dan mengancam nyawa, aku tak mau mencabut pedang ini. Pedang ini pun bukan sarana untuk balas dendam! Masih banyak kekuatan lain yang bisa digunakan untuk menyadarkan seseorang dari jalannya yang sesat! Kalau orang itu sudah berulang kali ku sadarkan memakai jurus-jurus maut ku, tapi ia justru melawannya semakin beringas, barulah kugunakan pedang ini!"

"Apakah nanti jika memang benar kau berhadapan dengan si Topeng Merah, kau akan gunakan pedangmu itu. Yo?!"

"Tergantung bagaimana keadaannya nanti! jawab Pendekar Rajawali Merah dengan suara kalem.

"Kalau begitu, biarlah aku yang menghadapi Topeng Merah nanti!"

"Sekarang kulihat Bibi sudah yakin betul bahwa kita akan berjumpa dengan Topeng Merah! Mengapa tadi dari rumah Bibi ngotot bahwa kita tidak akan jumpa dengan Topeng Merah?"

"Hmmm... ehh... aku takut bertemu dengan Topeng Merah," jawab Sendang Suci dengan kikuk dan pelan.

"Apakah sekarang merasa tidak takut lagi?"

"Entahlah!"

Bukit itu tidak terlalu tinggi, juga tidak melelahkan sekali jika didaki. Ketika Sendang Suci dari Pendekar Rajawali Merah tiba di kaki bukit, langkah mereka terhenti sejenak karena tangan Sendang Suci menahan lengan Yoga. Hal itu membuat pendekar tampan yang buntung tangannya memandang heran ke arah Sendang Suci, dan mata mereka saling berta-tapan beberapa saat. Lalu, terdengar Yoga bersuara,

"Ada apa, Bi?"

"Apakah benar di atas sana kita sudah ditunggu Topeng Merah?"

"Benar! Apakah sekarang Bibi sangsi kembali?"

"Hmmm... ehh... iya! Aku... aku sangsi kembali!"

"Apa alasannya?"

"Karena... karena... karena aku berharap jangan bertemu dengan Topeng Merah itu!"

"Kenapa?" desak Yoga.

"Hmmm...!" Sendang Suci menundukkan wajahnya. Kejap berikut ia kembali tegakkan wajah dan berkata, "Baiklah! Aku tidak sangsi! Kita naik ke atas bukit ini sekarang juga! Jangan pikirkan keraguan ku lagi, Yo!"

"Tapi wajah Bibi masih pucat begitu?"

"Hmmm... mungkin hanya merasa lelah saja! Kita buktikan saja, apakah benar Topeng Merah menunggu kita, atau kau membohongi aku!"

Langkah mereka pun dilanjutkan. Sendang Suci lebih banyak diam sepanjang pendakian tersebut. Jika Yoga menanyakan sesuatu, ia hanya menjawab sepatah-dua patah kata saja.

Ketika mereka sampai di atas bukit, suara-suara mereka hilang sama sekali. Dari bongkahan batu tinggi melebihi tubuh manusia dewasa itu muncul sesosok tubuh berpakaian serba merah dari kepala sampai kaki. Orang tersebut mengenakan topeng wajah iblis berwarna merah. Kemunculan itulah yang membuat mulut Sendang Suci semakin terbungkam dan mata terbelalak lebar tak berkedip. Pendekar Rajawali Merah juga diam, menatap Topeng Merah di seberang sana dengan sikap tenang dan kalem.

Topeng Merah sendiri juga diam di tempatnya, berdiri tegak dengan pedang hitam di punggung, kakinya sedikit direntangkan. Kedua tangannya mengeppal di kanan kiri. Sikap itu menunjukkan bahwa ia siap melayani serangan siapa saja yang datang kepadanya, sekarang ataupun nanti. Setelah terbengong beberapa saat, Sendang Suci terdengar berkata kepada Yoga dengan suara membisik,

"Benarkah yang kulihat itu adalah Topeng Merah?"

Senyum Yoga berkembang mekar. "Menurut Bibi apakah warna topengnya itu hitam?"

Sendang Suci masih menatap Topeng Merah tapi kepalanya menggeleng-geleng pelan, mulutnya mengucap kata lirih juga, "Tidak mungkin! Dia bukan Topeng Merah! Dia...!"

"Hei, kenapa kau bilang begitu, Bi? Apakah kau buta warna?"

"Tidak!" Sendang Suci menggeleng tegas. "Dia bukan Topeng Merah!"

"Aneh. Mengapa Bibi ngotot menyangkal dia bukan Topeng Merah?"

Wuuut...!

Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas dengan cepat. Benda pipih berkeriap sinar matahari itu pun melesat ke arah kepala Sendang Suci. Kalau tidak tangan kanan Yoga segera menyembunyikan kepala Sendang Suci dalam rangkulannya, maka kepala itu akan terpenggal oleh senjata tajam mengkilap itu.

Jleeg...! Bayangan yang berkelebat itu tahu-tahu sudah ada di depan Yoga dan Sendang Suci. Makin terbelalak mata Sendang Suci melihat bayangan yang sekarang sudah berwujud nyata menjadi sesosok tubuh wanita cantik berpakaian biru muda, rambut lurus berponi rapi, matanya bundar bening, hidungnya mancung, dan bibirnya mungil menggemaskan.

"Lembayung Senja...?!" gumam Yoga yang sangat mengenali wanita berbibir mungil itu.

Sementara itu, Sendang Suci pun segera menyipitkan matanya karena ia juga mengenali Lembayung Senja sebagai orang Perguruan Belalang Liar. Sendang Suci cepat membentak, "Apa maksudmu menyerangku dari belakang, hah?!"

"Tugas untuk membunuhmu!"

Yoga menyahut, "Siapa yang memberimu tugas?!"

"Gurumu!" jawab Lembayung Senja.

Zlaaap...! Sekelebat bayangan melesat dari balik pohon. Bayangan itu menyambar tubuh Topeng Merah dan dibawanya lari turun ke kaki bukit. Hal itu membuat Yoga terperanjat kaget dan bergegas untuk mengejar orang yang menyambar Topeng Merah. Tetapi pada waktu itu kecepatan bergerak kaki Lembayung Senja mendahului langkah Yoga, sehingga Yoga terpaksa tersentak jatuh ke belakang karena pinggangnya terkena tendangan Lembayung Senja.

Sementara itu, Sendang Suci terperanjat melihat Yoga dijatuhkan oleh tendangan Lembayung Senja, maka cepat-cepat Sendang Suci mencabut kipasnya dan mengibaskan ke lengan Lembayung Senja dalam keadaan kipas tersebut tertutup.

Wuuusst...! Craas...!

"Aahg...!" Lembayung Senja tersentak mundur beberapa tindak.

Serangan Sendang Suci kembali datang dengan sebuah lompatan yang membuat Lembayung Senja terpaksa melompat mundur lagi, sebab luka di lengannya akibat kibasan kipas tadi terasa sakit di sekujur tubuhnya. Serangan Sendang Suci itu mengenai sasaran kosong.

Namun tiba-tiba tanpa disangka muncul kembali Topeng Merah dan segera melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Sendang Suci. Wuuut...! Sendang Suci tak tahu datangnya pukulan jarak jauh tanpa sinar itu. Akibatnya ia terhempas dan jatuh terguling-guling.

Sendang Suci jatuh terkulai. Tubuhnya menjadi memar sampai di bagian dada serta leher. Melihat keadaan Sendang Suci, Yoga semakin menggeragap. Ia ingin menolong Sendang Suci namun tahu-tahu datang lagi serangan bercahaya perak menghantam dada Sendang Suci.

Cahaya perak itu memang sudah ditangkis dengan bentangan kipas oleh Sendang Suci, tetapi tubuh Sendang Suci tetap terpental dan jatuh kembali dengan terguling-guling. Sedangkan Topeng Merah yang baru saja melepaskan sinar perak itu, kini melepaskan kembali pukulan mautnya.

"Hiaaat...!" Yoga memekik dan menyentakkan tangan kanannya. Sinar merah terlepas bagai selarik besi keras menghantam sinar putih perak tersebut Blaaar.! Akhirnya kedua sinar itu berbenturan dan pecah di pertengahan jarak antara Topeng Merah dengan Sendang Suci.

"Edan! Ternyata dia punya pukulan dahsyat juga?!" pikir Yoga sambil menatap Topeng Merah yang hendak kembali menyerang Sendang Suci. Untung Yoga segera berdiri dan menghadang di depan Topeng Merah.

Pendekar Rajawali Merah dan Topeng Merah saling beradu pandang. Jarak mereka sekitar tiga tombak. Pada waktu itu, ekor mata Yoga melihat Sendang Suci memuntahkan darah di tempat ia terjatuh itu.

"Hentikan semua serangan!" seru Pendekar Rajawali Merah. Ia tampak gusar melihat Sendang Suci jatuh dalam keadaan berbahaya.

Hal ini membuat Yoga benar-benar panik mengatasinya, karena semuanya berlangsung di luar dugaan. Munculnya Lembayung Senja juga di luar dugaan. Serangan bertenaga dalam tinggi dari Topeng Merah juga di luar dugaan. Yoga merasa keadaan di atas bukit menjadi lebih kacau lagi dari perhitungan semula.

Sendang Suci bangkit dengan napas terengah-engah. Ia berpegangan pada sebatang pohon yang ada di dekatnya. Matanya memandang tajam kepada Topeng Merah, lalu terdengar suaranya berseru,

"Yo...! Minggirlah, biar kuhadapi orang itu!"

"Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku hanya Ingin membuktikan pada Bibi, bahwa Topeng Merah ada. Karenanya aku membawa Bibi kemari supaya Bibi melihatnya, bukan bertarung melawannya!"

"Yo... tolong aku...!" Lembayung Senja merintih.

Mata Yoga memandang ke arah Lembayung Senja, demikian pula mata Sendang Suci dan Topeng Merah. Lembayung Senja dalam keadaan menderita termakan racun yang ada di ujung kipas Sendang Suci itu. Kini separo lengannya telah menjadi biru dan mulai membengkak.

Topeng Merah mendekati Lembayung Senja dan ingin menolongnya. Tetapi perempuan itu masih punya sisa tenaga yang bisa dipakai untuk menendang. Maka berkelebatlah kakinya menghantam perut Topeng Merah dengan telaknya.

Buuhg...!

"Uhg...!" Topeng Merah tersentak mundur dan hampir jatuh. Tapi tubuhnya segera disambar oleh Pendekar Rajawali Merah dan jatuh ke dalam pelukan pendekar buntung itu.

Taab...!

"Ternyata kau mempunyai ilmu tinggi juga!" kata Yoga kepada Topeng Merah. Tetapi tubuh Topeng Merah segera menyentak dan lepas dari pelukan Yoga. Pada saat itu, tangan kanan Yoga dengan gerakan cepat menyambar topeng di wajah orang misterius itu. Sreet...! Terbukalah topeng tersebut, tampaklah wajah di balik topeng itu.

Bukan hanya Yoga yang terbelalak memandang kaget kepada seraut wajah Topeng Merah, tetapi Lembayung Senja sempat pula terpekik kaget, dan Sendang Suci membuka mata lebar-lebar dengan mulut ternganga. Wajah itu sangat dikenali oleh mereka. Tapi hampir-hampir mereka tidak mempercayai wajah itu adalah wajah yang ada di balik topeng selama ini. Yoga sendiri menjadi gusar dan kebingungan.

"Guru...?!" sebut si Pendekar Rajawali Merah kepada orang yang tadi memakai topeng.

Sedangkan Lembayung Senja menyebutnya, "Lili...!"

Sendang Suci mengucap kata, "Kau...?! Kau yang menjadi Topeng Merah selama ini? Benarkah itu?! Tidak!"

"Memang bukan aku!" jawab Lili dengan pakaian serba merahnya. Ia segera melepaskan pakaian serba merah itu dan ternyata di dalamnya ia mengenakan pakaiannya sehari-hari.

"Bagaimana mungkin kau bisa memakai pakaian Topeng Merah, sedangkan aku tahu persis orang yang memakai Topeng Merah adalah si Tua Usil!" kata Yoga terheran-heran.

"Tua Usil...?! Maksudmu si Pancasona itu? Oh, tidak! Aku tidak percaya!" kata Sendang Suci menyanggah mati-matian.

Dengan nada dingin dan ketus, Lili pun berkata, "Aku sendiri tidak menyangka kalau si pemakai topeng merah ini adalah Tua Usil, si Pancasona!"

"Si Tua Usil...?! Bbeb... benarkah dia yang mengenakan topeng merah itu? Oh, aku tak percaya, Lili!"

"Tak perlu dipercaya! Karena Tua Usil pun Topeng Merah yang palsu!" kata Lili. "Dia mengenakan pakaian dan Topeng Merah karena menuruti bujukan Yoga!"

Mata Pendekar Rajawali Putih menatap Yoga. Yang ditatap salah tingkah karena merasa bersalah. Akhirnya, Yoga sendiri yang mendahului bicara untuk menjelaskan perkara tersebut.

"Memang aku yang menyuruh si Tua Usil mengenakan pakaian Topeng Merah. Aku menyuruhnya berdandan seperti itu, untuk membuktikan kepada Tabib Perawan bahwa Topeng Merah memang ada...."

"Dan yang memenggal tanganmu, bukan?"

"Ya. Benar! Memang Topeng Merah yang memenggal tanganku ini!" jawab Yoga.

"Lalu siapa yang menjadi Topeng Merah itu?!" desak Lili.

Yoga diam beberapa saat, menundukkan kepala. Pada waktu itu, semua mata memandang ke arahnya. Bahkan Sendang Suci mencoba untuk mendekatinya dengan langkah gontai. Yoga pun segera menjawab,

"Orang itu adalah Sulasmi!"

"Siapa Sulasmi itu?"

"Dulu dia teman dekat ku. Dia dari seberang lautan. Dia punya dendam dengan Kembang Mayat! Dia ingin melindungiku, karena merasa tak rela melihat aku diserang orang lain. Tapi pada waktu ia bertarung dengan Kembang Mayat, ia salah arah dalam menyerang. Tanganku menjadi sasarannya dan putus! Kembang Mayat mengamuk, akhirnya kedua orang sama-sama jatuh ke jurang yang amat dalam. Jurang itu tak seberapa jauh dari makam kakeknya Malaikat Gelang Emas! Jadi, kalau kau mau menuntut balas atas terpenggalnya tangan ku ini, tuntutlah dia di neraka sana! Sulasmi sudah mati bersama Kembang Mayat."

"Tapi bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan topengnya ini? Bahkan bersama pedangnya juga?"

"Sebelum ia melakukan pertarungan terakhir dengan Kembang Mayat, ia melepaskan semua pakaiannya, topengnya, dan pedangnya. Ia mengenakan pakaian biasa. Pakaian ini disembunyikan di suatu tempat dekat dengan tempat pertarungannya itu. Maksudnya supaya Kembang Mayat tahu, siapa dirinya sebenarnya. Pakaian itu sempat ku sembunyikan juga di tempat lain sebelum aku muncul di pertarungan akhir. Dan kemarin, aku sengaja bangun dari tidurku tanpa setahu Tabib Perawan, lalu mengambil pakaian tersebut. Pada waktu Tabib Perawan pergi, Tua Usil datang. Kusuruh dia menjadi Topeng Merah dengan jaminan akan kuajarkan satu ilmu yang belum pernah ia lihat, yaitu ilmu berdiri di atas air. Ia sangat gembira dan bersedia menjadi Topeng Merah. Padahal aku hanya ingin meyakinkan kepada Tabib Perawan, bahwa Topeng Merah itu memang ada dan dialah yang memenggal tanganku ini! Karena Tabib Perawan agaknya curiga, bahwa bukan Topeng Merah yang memenggal tanganku!"

Lili menghempaskan napas, lalu berkata, "Hampir saja aku membunuh si Tua Usil tadi. Untung ia segera menyebut namaku. Lalu kurampas pakaian merah dan topengnya itu, dan ku kenakan sendiri!"

"Sekarang di mana dia?"

"Ku ikat di bawah pohon sana!"

"Kasihan!"

Lili memandang Tabib Perawan dan berkata, "Bagaimana keadaan lukamu, Tabib Perawan?"

"Sudah membaik. Tapi butuh istirahat agak lama supaya benar-benar membaik!"

Kemudian gadis cantik jelita itu menatap Yoga. "Kapan kau akan pulang ke rumah si Tua Usil?"

"Mungkin besok pagi, jika menurut hasil pemeriksaan Tabib Perawan, lukaku benar-benar sembuh! Aku masih harus menjalani perawatan beberapa saat untuk menyempurnakan kesembuhan ku!"

"Terserah kamu saja, Yo! Aku akan membawa pulang Lembayung Senja untuk menyembuhkan luka-lukanya itu! Kurasa, aku tak perlu lagi mencari-cari Topeng Merah! Buang-buang waktu saja!"

Dengan sangat ringannya Lili mengangkat tubuh Lembayung Senja, seperti mengangkat pelepah daun pisang, kemudian ia segera pergi berkelebat tanpa memandangi Yoga lagi. Wajahnya tetap cemberut kaku, namun semakin cantik bagi hati Yoga.

Setelah Lili dan Lembayung Senja menghilang, barulah Sendang Suci, si Tabib Perawan itu memandangi Yoga dengan sorot pandangan mata yang dingin. Yoga sempat salah tingkah sebentar ditatap demikian. Kejap berikutnya terdengar Tabib Perawan bersuara tegas, "Mengapa kau mengarang cerita seperti itu di depan Lili dan Lembayung Senja?!"

"Apakah itu salah, Bibi?"

"Salah besar! Seharusnya kau katakan yang sebenarnya, bahwa kau telah menemukan pakaian dan topeng merah itu di rumahku!"

Yoga sedikit salah tingkah, tapi ia masih kelihatan tenang. Yoga tidak terkejut mendengar kata-kata Sendang Suci, sebab ia telah terkejut lebih dulu, yaitu ketika ia menemukan pakaian dan topeng warna-merah di rumah Sendang Suci. Di saat itulah ia terkejut karena tak menyangka bahwa Topeng Merah adalah Sendang Suci sendiri.

Sendang Suci berkata lagi, "Seharusnya kau katakan saja, bahwa Topeng Merah itu adalah aku! Kau telah menjebakku hadir di sini dengan memaksa Pancasona untuk menjadi Topeng Merah. Kau menemukan pakaianku itu di kamar rempah-rempah, bukan?!"

"Ya. Benar, Bi!" jawab Yoga pelan, seperti merasa bersalah. "Tapi aku tidak pernah bilang kepada Pancasona, bahwa Topeng Merah itu adalah kau, Bi! Sampai sekarang Topeng Merah masih tersembunyi jati dirinya!"

"Mengapa tidak kau beberkan saja di depan mereka tadi!" sentak Tabib Perawan dengan menahan segumpal rasa yang bercampur aduk, antara marah, malu, dan haru.

"Kalau kukatakan kepada mereka, terutama kepada Lili, pasti Lili akan membalas membuntungi tanganmu, Bi!"

"Akan kuserahkan tanganku! Sekarang pun kalau kau mau buntungi aku, aku tak akan melawan! Karena aku sangat menyesal, mengapa pedangku mengenai tanganmu! Penyesalan ini rasa-rasanya tidak akan ada habisnya, sebelum kau membalas membuntungi tangan ku!"

"Bi... sudahlah! Lupakan semua itu! Aku tahu saat itu kau tidak sengaja! Sudah kubilang dalam percakapan kita kemarin, tak ada orang yang bisa menolak takdir. Cacat di tubuhku ini adalah takdir, Bi!"

Air mata Sendang Suci meleleh basah di pipinya yang masih halus dan berkulit kencang. Dengan memandang ke arah jauh dan berburai air mata, Sendang Suci berkata,

"Rasa sesal ku tak akan terobati seumur hidup! Aku tak rela jika kau diserang atau dilukai oleh orang lain, karenanya aku selalu tampi! dengan topeng merah ku dan membelamu jika kau bertarung dengan siapa pun. Sementara aku tak rela kau dilukai orang lain, aku sendiri justru membuntungi tanganmu! Apakah itu bukan penyesalan yang luar biasa besarnya bagi diriku, Yo?!" Tabib Perawan mengisak pelan.

Yoga sengaja diam saja, lalu ia mendengar Sendang Suci melanjutkan kata,

"Kalau saja kau tahu isi hatiku yang sebenarnya, kau akan memahami mengapa aku membelamu dalam tiap pertarungan mu! Aku merasa sudah cukup tua dalam usia, aku malu jika tampak terang-terangan terpikat pada seorang pemuda seusia mu. Aku berusaha untuk menjaga hatiku agar jangan menyatakan cinta kepada mu, dan aku bertekad hanya akan hadir dalam keadaan kau dalam bahaya. Tetapi, aku sendiri bertarung dengan kecemburuan dalam hatiku! Ketika kulihat kau bersama Kembang Mayat, hatiku luka. Aku mencoba mengobatinya sendiri. Tapi tak berhasil. Kebetulan Kembang Mayat punya hutang padaku, yaitu anak buahnya yang bernama Merak Betina telah membuat keponakanku gila. Maka kuhabisi perguruannya sebagai pelepas dendam dan kecemburuan ku itu. Sengaja ku pancing Kembang Mayat untuk bertarung denganku di tempat lain, karena kulihat waktu itu kau datang bersama Lili! Pernah aku ingin membunuh Lili tapi kau membelanya dan aku tak sanggup melawanmu!"

Samar-samar isak yang lembut itu masih terdengar di telinga Yoga. Dalam keadaan seperti itu, Pendekar Rajawali Merah bagai tersekat kerongkongannya, tak dapat berkata apa pun kepada perempuan yang mengutarakan cintanya secara terang-terangan itu.

"Itulah sebabnya saat kau datang minta obat atas luka di tanganmu, hatiku seperti disayat-sayat. Orang yang ku sayangi datang dalam keadaan buntung tangannya, dan itu karena ulah ku, oh... perih sekali hatiku kala itu, Yo! Hampir-hampir aku ingin memelukmu dan menangis dalam pelukan mu. Tapi... aku malu! Sejak dulu aku tak pernah punya perasaan seperti ini, mengapa sekarang menjelang usiaku menua, perasaan cinta dan ingin dicintai itu datang? Aku malu, Yo! Aku sadar, kau berhak menolak ku dan aku tidak berhak memaksa mu! Tapi izinkan aku tetap dekat denganmu, supaya aku bisa selalu memandangi kekasih hatiku jika aku sedang rindu padanya..."

Pendekar Rajawali Merah masih tidak bisa katakan apa-apa selain hanya tundukkan kepala dan bungkam seribu bahasa.

* * *

EMPAT

BENARKAH persoalan telah selesai? Benarkah Lili, si Pendekar Rajawali Putih itu, mempercayai sepenuhnya cerita tentang Sulasmi itu? Ternyata gadis yang cantiknya melebihi bidadari itu tidak mudah percaya begitu saja. Beberapa hal ia pikirkan yang membuat cerita Yoga tentang Sulasmi si Topeng Merah, ternyata mempunyai kejanggalan di dalamnya.

"Jika benar Sulasmi adalah si Topeng Merah, mengapa ia membumihanguskan pesanggrahan mu, Lembayung Senja?!"

"Itu yang tidak ku mengerti, Lili!"

"Apakah perguruanmu punya persoalan dengan tokoh bernama Sulasmi?" tanya Lili kepada Lembayung Senja yang habis diobati itu.

Lembayung Senja yang bersuara lemah menjawab, "Tidak. Kami tidak punya masalah dengan orang yang bernama Sulasmi!"

"Apakah Kembang Mayat punya musuh bernama Sulasmi!"

"Setahuku tidak! Semua musuh Kembang Mayat kami kenal! Karena setiap orang yang ingin menyerang Kembang Mayat, selalu harus melewati kami dulu, sehingga kami kenal siapa-siapa mereka!"

Pendekar Rajawali Putih diam merenung beberapa saat lamanya. Setelah puas merenung, ia kembali berkata kepada Lembayung Senja, "Aku sangsi dengan pengakuan Yoga!"

"Hati kecilku pun mengatakan demikian."

"Jika benar Sulasmi sudah mati bersama Kembang Mayat, mengapa Yoga tidak memberitahukan kepada kita sejak awalnya? Mengapa baru sekarang ia ceritakan tentang siapa Topeng Merah sebenarnya?"

"Ya," hanya itu jawaban Lembayung Senja. Ia menyeringai sebentar, menahan rasa sakit pada bagian luka di lengan kiri. Luka itu sebenarnya tak terlalu le-bar. Tetapi menghitam dan tepiannya masih membiru. Bagian lain yang memar dan bengkak sudah bisa diatasi oleh hawa murni Lili, tapi bagian sekitar luka masih belum bisa hilang dari warna birunya.

Mata Lili memandangi luka itu sambil termenung memikirkan kata-kata Pendekar Rajawali Merah. Tiba-tiba Lili menemukan sesuatu yang membuatnya tegak dan bersemangat, "Lukamu ini aneh!" katanya.

"Aneh bagaimana maksudmu?"

"Lukamu ini seperti luka potong yang dialami Yoga. Masih ada racunnya yang belum bisa hilang dari sekeliling luka. Biasanya, luka yang biasa-biasa saja jika mendapat hawa murni dariku, bisa lekas sembuh. Mengapa luka ini tidak? Dari... agaknya racun yang ada di lukamu ini, sama dengan racun yang ada di luka Yoga!"

"Ya, benar pendapatmu itu! Tapi, luka ini akibat kipasnya Tabib Perawan itu, sedangkan lukanya Yoga akibat pedang si Topeng Merah! Mungkinkah racun mereka sama?"

"Bisa saja terjadi, jika mereka adalah satu orang!"

"Maksudmu, Tabib Perawan itulah si Topeng Merah?"

Lili diam, memandangi Lembayung Senja. Agaknya Ia hati-hati sekali untuk menjawab ya atau tidak. Ia pikirkan beberapa saat, setelah itu ia berkata, "Kulihat tadi luka di tangan Yoga sudah mengering! Ampuh sekali obat dari Tabib Perawan itu! Aku saja tak bisa menangkal racun tersebut dari lukanya Yoga!"

"Jika dia si pembuat racun, maka dia tahu persis penangkalnya!" timpal Lembayung Senja.

"Kurasa, memang dialah si Topeng Merah!" suara Lili agak menyentak. Kemudian ia berseru memanggil Pancasona yang ada di dapur rumah pondoknya itu, "Tua Usil...! Tua Usil, kemari sebentar!"

Manusia Kabut itu datang dengan tergesa-gesa, lalu berkata, "Apakah malam ini juga Nona Li mau ajarkan saya berdiri di atas ilalang?"

"Malam ini ilalang tidur, tahu?!" sentak Lili.

"O, ya! Memang tidur. Lantas mengapa saya di panggil, Nona Li?"

"Coba ceritakan kembali apa yang dikatakan Yoga pada saat dia menyuruhmu menyamar sebagai Topeng Merah?"

"Saya sudah lupa, Nona Li!"

"Kalau begitu aku juga lupa caranya berdiri di atas ilalang!"

"Ah, jangan begitulah, Nona Li! Hmmm...! Baiklah akan saya ceritakan kembali! Tuan Yo waktu itu bilang, saya harus jadi Topeng Merah. Saya bertanya, bagaimana bisa sedangkan saya tidak punya topeng merah! Lalu, Tuan Yo bilang, bahwa ia menemukan pakaian Topeng Merah di semak-semak pada saat ia jalan-jalan di pagi hari!"

"Tunggu...!" potong Lili. "Dia bilang, menemukan?"

"Ya. Dia bilang begitu, Nona Li!"

"Padahal menurut pengakuannya di depan kita, dia yang sembunyikan pakaian dan topeng merah itu!" katanya kepada Lembayung Senja.

"Barangkali dia tidak perlu jelaskan masalah sebenarnya kepada Tua Usil. Ia ambil singkatnya cerita saja. Itu bisa saja terjadi!"

Lili mengangguk-angguk, kemudian menyuruh Tua Usil melanjutkan ceritanya, dan orang berambut putih rata itu melanjutkan kata-katanya,

"Saya bilang pada Tuan Yo, bahwa saya tidak mau disuruh-suruh tanpa mendapat upah. Lalu Tuan Yo bilang, Nona Lili mau ajarkan saya berdiri di atas ilalang jika mau menyamar menjadi Topeng Merah. Saya tanya, siapa pemilik Topeng merah itu? Tuan Yo menjawab, bahwa Topeng Merah itu milik seseorang yang tak perlu saya tahu namanya! Setelah itu saya didandani Tuan Yo, tampaknya tergesa-gesa sekali sehingga saya mengenakan topengnya sambil berlari meninggalkan tempat itu...."

"Maksudmu, rumah si Tabib Perawan itu?"

"Ya. Benar!"

"Padahal menurut keterangannya, waktu itu Tabib Perawan sedang pergi. Mengapa harus terburu-buru?"

Lembayung Senja menjawab, "Karena Yo takut kalau Tabib Perawan keburu datang dan memergoki dia sedang mendandani Tua Usil sebagai Topeng Merah palsu!"

"Tepat sekali!" kata Lili dengan tegas.

"Apakah kau tahu dari mana Tuan Yo mengambil pakaian merah dan topengnya?"

"Dari belakang rumah itu, Lembayung Senja," jawab Tua Usil.

"Bukan dari suatu tempat yang jauh?"

"Bukan!"

Tiba-tiba Lili berkata setelah suasana menjadi hening sesaat, "Aku ingin satu bukti lagi!"

"Bagaimana caranya?"

"Besok kau ikut aku ke rumah Tabib Perawan itu. Kita pura-pura tidak tahu soal Topeng Merah. Kedatangan kita untuk minta obat padanya, supaya lukamu itu sembuh dan racunnya hilang. Jika ia bisa obati lukamu itu, berarti memang dialah pemilik racun di pedang yang memotong tangan Yoga!"

"Baik. Aku setuju! Berarti dialah yang membu-mihanguskan perguruanku, dan aku berhak menuntut pembalasan padanya!" kata Lembayung Senja, yang secara diam-diam masih mengincar Topeng Merah juga.

Tua Usil bertanya, "Lalu, kapan saya akan diajari berdiri di atas ilalang, Nona Li?!"

"Tunggu kalau masalah ku ini sudah selesai!"

"Yaaaah... tertunda lagi...!" Tua Usil bersungut-sungut. "Nanti keburu saya mati, Nona Li!"

"Arwahmu yang akan ku ajari bagaimana berdiri di atas ilalang!"

* * *

Di ujung pagi, Lili dan Lembayung Senja berangkat menuju Lembah Bukit Berhala, tempat kediaman Tabib Perawan. Sebenarnya mereka mau ajak Tua Usil. tapi Manusia Kabut itu tidak mau.

Lembayung Senja bisa berjalan sendiri. Rasa sakit, tinggal sedikit, tapi lukanya masih berdenyut-denyut dan memar membiru di sekelilingnya. Pada saat mereka sedang menyeberangi sebuah sungai dangkal itulah, mereka berpapasan dengan enam orang bertubuh tinggi dan besar. Lembayung Senja sempat terpekik tertahan ketika enam orang itu muncul dari tanggul sungai dan mendekati mereka bersama-sama.

"Lili, siapa mereka itu?" bisik Lembayung Senja.

"Entahlah! Mungkin keturunan raksasa zaman purba!" balas Lili berbisik, tapi matanya masih tetap memandang ke arah orang-orang bertubuh tinggi besar itu.

Lima dari mereka berhenti, bagai berbaris membuat hambatan didepan Lili dan Lembayung Senja. Satunya lagi mendekati Lili. Orang yang mendekati Lili itu adalah orang muda yang ganteng dan berkumis tipis, namun tingginya hampir dua kali tinggi tubuh Li-li, sehingga waktu bicara dengannya Lili harus mendongak.

"Jangan takut, Nona!" kata orang muda yang tampan itu. "Kami tidak bermaksud jahat kepada Nona, dan tidak bermaksud menyantap kalian. Kami manusia biasa, bukan raksasa!"

"Lantas apa mau kalian menghadang di depan kami?"

"Kami hanya ingin bertanya tentang seseorang, Nona!"

"Siapa kalian sebenarnya?" tanya Lembayung Senja memaksakan diri untuk bersikap berani.

"Namaku sendiri Gandaloka," jawab pemuda raksasa yang ganteng itu. "Mereka berlima adalah temanku, Gadranaya, Rogami, Lombo, Sarpa, dan satu lagi Yodana. Kami utusan dari Pulau Kana!"

"Pulau Keramat?!" sela Lembayung Senja dengan dahi berkerut.

"Ya. Orang-orang sini banyak yang menyebutnya Pulau Keramat! Tapi nama pulau itu sendiri adalah Pulau Kana!"

"Nenek guruku pernah berpesan agar jangan sekali-sekali mendekati Pulau Keramat!" kata Lembayung Senja kepada Lili dengan suara didengar oleh Gandaloka. "Konon, Pulau Keramat itu penduduknya pemakan daging manusia semua!"

"Itu tidak benar, Nona! Barangkali karena keturunan kami adalah orang-orang bertubuh besar, sehingga mereka anggap kami ini raksasa pemakan daging manusia. Padahal kenyataannya tidak begitu!"

Lili menyahut dengan pertanyaan, "Lantas, apa maksud kalian datang kemari dan menghadang kami?"

"Kami diutus untuk mencari seorang pendekar bertangan buntung!" jawab Gandaloka kemudian.

Lili dan Lembayung Senja sama-sama terperanjat dan saling pandang. Namun mulut mereka hanya sama-sama membisu tanpa suara, sehingga Gandaloka berkata,

"Maksud kami, pendekar itu buntung salah satu tangannya. Bukan kedua kakinya!"

"Siapa nama pendekar itu?"

"Utusan kami menyebutnya, Pendekar Rajawali Merah alias Yoga!"

Seperti ada petir menampar pipi Pendekar Rajawali Putin, ia sangat terkejut dan kembali menatap Lembayung Senja yang juga terperangah mendengar jawaban polos Gandaloka. Kemudian Lili berkata,

"Dari mana kalian tahu bahwa Pendekar Rajawali Merah itu bertangan buntung?"

"Orang yang mengutus kami menyebutkan ciri-ciri tersebut, Nona."

"Siapa yang mengutus kalian sebenarnya?"

"Gusti Ratu!"

Kali ini Lili berbisik dengan pelan, "Bagaimana menurutmu? Apakah kita perlu melawan orang-orang ini?"

"Jangan! Mereka orang-orang berbahaya, Lili!" bisik Lembayung Senja. "Seseorang dari rakyat Pulau Keramat yang diutus pergi keluar dari pulaunya, berarti dia adalah orang yang berilmu tinggi."

"Tapi dia mencari Yoga?! Aku harus melindungi Yoga jika dia mau mencelakakan Yoga?"

"Tanyakan dulu apa keperluannya mencari Yoga?"

Maka, Lili pun bertanya kepada Gandaloka, "Sebenarnya apa maksud kalian mencari Pendekar Rajawali Merah?"

"Dia calon mempelai ratu kami!"

"Hahh...?!" Lili terperangah kaget dengan mulut dan mata sama-sama terbuka. Hatinya menjadi seperti di panggang lahar gunung berapi yang amat panas mendengar jawaban polos itu.

"Siapa yang menyuruh kalian? Gusti Ratu?"

"Benar, Nona!"

"Maksudnya, Pendekar Rajawali Merah mau dikawinkan dengan Gusti Ratu kalian?" desak Lili makin penasaran.

"Benar, Nona! Dan itu atas pilihan Gusti Ratu sendiri!"

"Siapa Gusti Ratu kalian itu sebenarnya?"

"Gusti Kembang Mayat!"

"Hahh...?!" kini Lembayung Senja ikut terpekik bersama Lili. Jawaban itu benar-benar seperti sebuah mimpi bagi Lembayung Senja.

"Buk... buk... bukankah Kembang Mayat telah meninggal karena masuk ke jurang?" kata Lembayung Senja memancing penjelasan.

Gandaloka yang lugu itu menjawab apa adanya, "Tidak, Nona! Gusti Kembang Mayat belum meninggal. Beliau memang jatuh ke jurang, tapi pada waktu itu Pendeta Agung kami sedang bertapa di bawah jurang tersebut, yaitu memohon kepada dewata agar diberikan seorang pemimpin negeri untuk kami. Lalu, Gusti Kembang Mayat jatuh dl pangkuan Pendeta Agung Ganesha itu, dan berarti beliaulah calon ratu kami! Sekarang beliau sudah diboyong ke negeri kami, dan siap lakukan penobatan sebagai ratu secara resmi. Tetapi syaratnya, beliau harus kawin dulu! Dan beliau memilih Pendekar Rajawali Merah sebagai calon mempelai prianya. Kami diutus untuk mencari Pendekar Rajawali Merah dl sini, untuk kemudian membawanya ke negeri kami di Pulau Kana. Di sana Pendekar Rajawali Merah akan dinikahkan dengan ratu kami!"

Gemetar tangan Lili mendengarnya. Gemeletuk juga giginya menahan amarah yang ingin meledak di dadanya. Sebelum kedua perempuan itu bicara, Gandaloka sudah mendahului berkata dengan tetap ramah,

"Jika Nona-nona bisa menolong kami, menunjukkan di mana Pendekar Rajawali Merah itu berada, kami akan undang kehadiran Nona-nona ini pada malam perkawinan ratu kami! Kami akan sediakan undangan khusus, dan menganggap Nona-nona adalah tamu kehormatan kami!"

Lili diam saja karena sibuk menahan amarahnya. Ia pun masih bingung mengambil keputusan Tetapi Lembayung Senja buru-buru berkata,

"Kami sedang ingat-ingat di mana Pendekar Rajawali Merah berada, sebab kami juga sedang mencari dia! Aku sendiri ingin minta tolong kepada Yoga untuk sembuhkan lukaku ini!" sambil Lembayung Senja menunjukkan lukanya. "Jadi kami belum bisa memberi tahu di mana Pendekar Rajawali Merah itu berada!"

Maksud Lembayung Senja bicara begitu, karena ia tahu Lili membutuhkan pertimbangan dalam melangkah. Lili agaknya ragu-ragu untuk mengambil sikap menyerang Gandaloka dan kawan-kawannya. Tetapi karena Lembayung Senja menunjukkan lukanya, maka Gandaloka pun memandangnya dan segera berkata,

"Lukamu itu kalau tak salah karena terkena Racun Serangga Setan. Itu bisa membuat sekujur tubuh menjadi busuk!"

"Dari mana kau tahu tentang Racun Serangga Setan ini?!" tanya Lembayung Senja.

"Kami mempelajari segala macam jenis racun, Nona. Dan... kalau Nona bersedia, boleh saya turut mencoba menyembuhkan luka Nona?"

Bingung juga Lembayung Senja menjawabnya, ia memandang Lili, tetapi Lili diam saja. Tak memberi isyarat apa-apa. Wajahnya menjadi cemberut dan berkesan ketus serta dingin. Gandaloka sudah mendekati Lembayung Senja. Ia mendekatkan wajahnya ke lengan itu, memeriksanya sesaat. Lembayung Senja karena tak tahu harus berbuat apa, maka ia diam saja ketika lukanya dipandangi Gandaloka.

Bahkan sekarang Gandaloka menempelkan telapak tangannya ke luka itu. Telapak tangan tersebut menjadi menyala kuning kehijau-hijauan. Terasa dingin sekujur tubuh Lembayung Senja pada saat itu. Dan beberapa saat kemudian, telapak tangan yang membara kuning kehijauan itu padam. Telapak tangan yang mencakup menutup semua luka di lengan kiri Lembayung Senja itu segera diangkat.

Terkesiap mata Lembayung Senja saat melihat luka itu telah hilang. Bukan hanya kering, melainkan hilang lenyap tak berbekas, sampai pada darahnya yang mengering pun hilang seluruhnya. Telapak tangan yang tadi habis dipakai menutup luka tersebut ternyata mempunyai kesaktian tersendiri yang mengagumkan.

"Saya telah bantu Nona, sekarang bisakah Nona bantu saya menemukan Pendekar Rajawali Merah itu?!" kata Gandaloka yang membuat Lembayung Senja dan Lili hanya bisa saling pandang untuk beberapa saat.

LIMA

ADA sepasang mata yang memandangi pertemuan antara enam utusan dari Pulau Keramat itu dengan Lili dan Lembayung Senja. Ada sepasang telinga yang mendengarkan percakapan mereka dari balik persembunyian. Sepasang mata dan telinga itu adalah milik seorang pemuda lumayan tampan dan dengan pakaian hijau dan rompi putih rapi. Pemuda itu juga mendengar perkataan Lembayung Senja kepada Gandaloka,

"Untuk sementara ini, kami belum tahu di mana Pendekar Rajawali Merah berada! Karena kami pun sedang mencari dia. Jika kami temukan Pendekar Rajawali Merah, maka kami akan memberi tahu kalian! Di mana kami bisa temukan kalian jika sewaktu waktu kami mempunyai kabar yang kalian butuhkan itu?"

"Kami tinggal di tempat tak tentu, Nona. Tapi untuk memanggil kami berenam...!" Gandaloka berhenti sebentar. Ia mendekati temannya yang tadi disebutkan bernama Gadranaya itu. Ia bicara sebentar dengan orang tersebut, lalu orang berambut panjang dengan botak di bagian tangannya itu menyerahkan sesuatu kepada Gandaloka, kemudian Gandaloka kembali menemui Lembayung Senja dan berkata.

"Nona, bawalah Kulit Kerang Kencana ini! Jika Nona ingin memanggil kami, tiuplah kulit kerang itu. Memang di telinga manusia biasa, sepertinya tidak mendatangkan bunyi. Tapi untuk telinga kami, bunyi itu cukup keras, dan kami bisa melacak di mana Nona berada. Kami akan segera datang menemui Nona!"

Lembayung Senja menerima sebuah benda kecil. Benda itu adalah kulit kerang berwarna kuning mengkilap seperti emas. Karenanya disebut Kulit Kerang Kencana.

"Bagaimana cara meniupnya?"

"Tiup saja pada bagian yang berlubang itu, Nona!"

Kulit kerang sebesar jempol tangan itu segera ditiup pada bagian yang berlubang oleh Lembayung Senja. Uuuff...! Tak ada suara apa-apa. Tetapi seseorang yang tertunduk di barisan paling pinggir itu segera dongakkan wajah dan memandang Lembayung Senja.

"Tidak ada suaranya?"

"Memang. Tapi telinga kami mendengar semuanya! Itu adalah alat panggil bagi prajurit-prajurit Negeri Linggapraja, Nona!" Gandaloka tersenyum dengan keramahannya.

"Baiklah! Akan kulakukan jika kabar itu sudah ada pada kami!"

Sejak tadi Lili hanya diam saja dengan wajah dingin. Ketika Lembayung Senja pamit pun, Lili hanya anggukkan kepala dan tidak mengucapkan kata apa pun. Tapi matanya memandangi kepergian keenam manusia raksasa itu dengan sorot pandangan mata yang dingin, memendam permusuhan yang dalam.

"Mengapa kau terima kulit kerang itu?" tanya Lili dengan datar.

"Untuk meyakinkan bahwa kita benar-benar tidak tahu di mana Yoga. Apakah kau tidak berkenan? Jika tidak berkenan akan ku buang saja kulit kerang ini!"

Pendekar Rajawali Putih tidak menjawab, tapi segera teruskan langkahnya. Lembayung Senja terpaksa mengikuti langkah itu. Tapi ia segera berkata, "Ke mana arah tujuan kita, Lili?!"

"Ke rumah Tabib Perawan itu!"

"Tapi... lukaku telah hilang! Untuk apa kita ke sana?"

"Bikin perhitungan dengan Tabib Perawan itu! Tak perlu pembuktian lagi. Kurasa sudah cukup kesimpulan yang kita peroleh. Cukup kuat bukti kita untuk menuduhnya sebagai si Topeng Merah!"

"Lantas bagaimana dengan keenam utusan Pulau Keramat itu?"

Langkah Pendekar Rajawali Putih terhenti lagi. Kali ini ia berhenti tepat di bawah sebuah pohon rindang, sehingga matahari pagi melindungi kulitnya yang kuning langsat itu. Tak jauh darinya ada sebongkah batu, dan di sana Lili duduk termenung dengan mata memandang ke depan dalam keadaan menerawang. Lembayung Senja ada di sampingnya, berdiri dengan memperhatikan kulit kerang itu. Tak berapa lama ke-mudian barulah terdengar suara Lili berkata,

"Ternyata Kembang Mayat masih hidup, dan dia justru diangkat menjadi ratu di Pulau Kana atau Pulau Keramat itu! Sekarang dia kirim utusan untuk membawa Yoga ke Pulau Kana, ini benar-benar sebuah tantangan bagiku!"

"Kau akan melawan keenam utusan itu?"

"Bagaimana jika benar begitu? Apakah aku tak layak melawan mereka?"

"Alasanmu apa?"

"Menahan supaya Yoga tidak dibawa mereka, melarang mereka mengawinkan Yoga dengan Kembang Mayat! Apakah kau ingin membela Kembang Mayat dalam hal ini? Jika ya, itu berarti kau dan aku harus bertarung lebih dulu, Lembayung Senja!"

Tertegun Lembayung Senja mendengar tantangan itu, ia tidak cepat memberi jawaban. Ia ganti menerawang sampai beberapa saat. Setelah Lili berdiri dan melangkah tiga tindak ke depan sambil menarik napas di sana, terdengarlah suara Lembayung Senja berkata,

"Kembang Mayat masih kuanggap ketua perguruanku! Tapi hubungan ku dengan kau semakin hari semakin akrab saja, Lili. Sulit sekali bagiku untuk memusuhi mu!"

"Pada dasarnya apakah kau setuju jika Yoga menikah dengan Kembang Mayat di Pulau Kana sana?"

"Aku tidak bisa menjawab!" kata Lembayung Senja. "Masalah itu adalah masalah pribadi yang tidak bisa diselami oleh orang lain! Jika aku disuruh berpihak, aku tidak tahu harus berpihak pada siapa!"

Pendekar Rajawali Putih dekati Lembayung Senja, berhadapan muka dalam jarak dekat, lalu berkata, "Jika kau ingin berpihak kepada ketuamu, aku tidak keberatan!"

"Aku berhutang nyawa padamu, saat kau selamatkan aku dari luka serangan Topeng Merah! Jika benar Topeng Merah adalah Tabib Perawan itu, berarti dua kali kau selamatkan aku dari tindakan Topeng Merah yang melukai ku dengan racun!"

"Lupakan tentang hutangmu itu! Aku pun akan melupakannya!" kata Lili dengan tegas.

"Apakah kau pikir itu hal yang mudah? Kubayangkan andaikata pada waktu itu kau tidak merawatku, lantas bagaimana nasibku? Pasti sudah mampus sejak kemarin-kemarin! Untung kau mau menyalurkan hawa murni ke tubuhku, sehingga aku selamat dari ancaman mati itu!"

Masih menatap dalam jarak dekat, Lili membungkamkan mulutnya sampai beberapa saat. Kira-kira tiga helaan napas, terdengar lagi ia ucapkan kata, "Yang jelas aku akan halangi niat Kembang Mayat untuk merebut Yoga dari hatiku! Sekarang, apa tindakanmu?"

"Aku tidak akan bertindak apa-apa selama kau tidak bertarung secara langsung dengan sang Ketua! Toh semua keputusan akhir ada di tangan Yoga sendiri! Apakah dia mencintaimu atau mencintai Kembang Mayat!"

Terbungkam lagi mulut Pendekar Rajawali Putih. Ia palingkan pandang dengan tetap berdiri di depan Lembayung Senja. Ia simpan kegelisahan yang mengobarkan geram amarah di dalam dada. Sejenak kemudian, ia pun berkata dengan nada datar,

"Kalau kau memberitahukan kepada mereka berenam tentang di mana Yoga, aku terpaksa bertindak kasar kepadamu!"

"Kalau hal itu kulakukan, berarti aku sudah siap melawanmu!"

"Kapan saja waktunya kau siap melawan aku beritahukan padaku. Aku akan melayanimu!"

"Lili...!" sentak Lembayung Senja. "Haruskah persahabatan kita pecah gara-gara kabar dari enam utusan Pulau Keramat itu?"

"Jika tak bisa dihindari, apa boleh buat! Semua itu tergantung bagaimana sikapmu!"

"Untuk sementara, lupakan dulu soal itu! Kurasa kita memang perlu selekasnya menemui Tabib Perawan untuk bikin perhitungan dengan perempuan itu!" Lembayung Senja mengalihkan pembicaraan.

Agaknya Lili setuju, sehingga mereka pun kembali teruskan langkah menuju ke Lembah Bukit Berhala.

* * *

Sepasang mata dan sepasang telinga yang mengikuti mereka ternyata sudah tidak lagi tertarik dengan langkah perjalanan tersebut. Sepasang mata dan sepasang telinga itu ternyata lebih tertarik mengikuti langkah para utusan dari Pulau Keramat itu, dan ia berusaha bergerak mendahului para utusan tersebut.

Keenam utusan dari Pulau Keramat segera hentikan langkah setelah mereka sama-sama melihat di depan mereka berdiri seorang pemuda berpakaian hi-jau dengan rompi rapat warna putih. Pemuda itu tak lain adalah Tamtama, yang sedang kebingungan mencari orang untuk membunuh Pendekar Rajawali Merah.

Gandaloka yang agaknya menjadi pimpinan dari beberapa orang utusan Ratu Kembang Mayat itu, maju mendekati Tamtama dan menyapanya dengan kesan bersahabat,

"Ada keperluan apa sehingga kau menghadang di depan langkah kami, Sobat?!"

"Benarkah kalian utusan dari Pulau Keramat itu?" tanya Tamtama meyakinkan diri sekali lagi.

"Ya. Benar! Perlu apa kau menanyakan hai itu kepada kami, sedangkan kami tidak mengenal siapa kamu, Sobat!"

"Namaku Tamtama! Aku sahabatnya Tanduk Iblis!"

"Tanduk Iblis...?!" salah seorang dari mereka bergumam, yaitu yang bernama Lombo. Gumaman itu membuat temannya yang lain memandang ke arahnya.

Lalu yang bernama Rogami bertanya, "Sepertinya aku juga pernah mendengar nama itu!"

"Dia anaknya Paman Tartar!" kata yang bernama Sarpa.

"O, ya, ya...! Dia memang orang kami," kata Gandaloka kepada Tamtama. "Ada apa kau membawa-bawa nama orang kami itu?"

"Aku hanya ingin menunjukkan di mana mayatnya sekarang berada!"

"Mayatnya?!" Gandaloka berkerut dahi. "Apakah Tanduk iblis sudah meninggal?"

"Sudah! Mari ikut aku...!"

Keenam utusan Pulau Keramat itu segera mengikuti langkah Tamtama. Rupanya Tamtama membawa mereka ke tempat bekas pertarungan antara Yoga dan Tanduk Iblis. Di sana Tamtama menunjukkan mayat Tanduk Iblis yang belum dimakamkan.

Para utusan Pulau Keramat itu memperhatikan mayat Tanduk Iblis dengan mata sedikit berkesip, tapi tak terlihat kesan kaget ataupun marah atas kematian Tanduk Iblis itu.

Kemudian Tamtama bertanya, "Apakah benar ini orang yang kalian katakan sebagai anaknya Paman Tartar tadi?"

"Ya, benar!" jawab Sarpa yang berkumis lebat dan berwajah angker.

"Tidakkah kalian ingin menuntut kematian teman kalian ini?" kata Tamtama kepada Sarpa, tapi yang menyahut Gandaloka,

"Tanduk Iblis adalah pengacau di negeri kami! Kematiannya ini membuat rakyat kami menjadi lega. Jadi kami tidak perlu menuntut kepada siapa pun!"

"Tapi aku tahu siapa pembunuhnya!"

"Kami tidak perlu tahu!" jawab Gandaloka.

"Rupanya orang Pulau Kana kurang memiliki rasa persahabatan!"

"Barangkali kita punya cara menilai persahabatan yang berbeda, Tamtama! Kami tidak bersahabat dengan seorang pengacau seperti si Tanduk Iblis dan yang lainnya!"

Pancingan Tamtama agar mereka marah, ternyata tidak mengenai sasaran. Tetapi ia tidak mau mundur begitu saja, ia bahkan menghasut, "Pembunuh Tanduk Iblis ini, bercita-cita ingin menumpas habis semua orang Pulau Kana, baik yang dewasa maupun yang masih bayi!"

Gandaloka tersenyum, yang lainnya tetap diam tanpa perubahan air muka sedikit pun. Gandaloka berkata, "Banyak orang yang bercita-cita begitu, tapi pada umumnya mereka hanya bisa bercita-cita saja! Mereka tak akan lakukan apa-apa setelah bertemu dengan kami!"

"Tapi orang itu sangat pemberani!"

"Setiap orang mempunyai keberanian yang berbeda, tergantung saatnya dan tugasnya!" jawab Gandaloka yang agaknya tahu persis bahwa dirinya bersama kelima anak buahnya sedang dipancing untuk marah.

"Jadi kalian tak ingin menuntut balas atas kematian warga sendiri ini?"

"Tamtama, kami tidak bertugas mengurus balas dendam! Kami adalah prajurit pilihan untuk menjaga istana dan melaksanakan tugas-tugas dari Gusti Ratu! Jadi urusan balas dendam bukan bidang kami!"

Orang besar berambut ikal yang bernama Yodana itu berkata kepada Gandaloka, "Sebaiknya kita teruskan pencarian kita! Jangan terlalu banyak melayani hal-hal yang tidak perlu, Gandaloka!"

"Baik! Kita teruskan langkah kita, Yodana!"

"Tunggu...!" sergah Tamtama. "Kalian akan pergi mencari Pendekar Rajawali Merah, bukan?"

"Benar," jawab Gandaloka kalem.

"Orang itulah yang membunuh teman kalian ini!"

"Bukan pekerjaannya yang kami cari, tapi orangnya!"

"Aku bisa tunjukkan di mana dia berada!"

Keenam orang tinggi besar itu saling pandangkan wajah masing-masing. Kemudian serempak mereka menatap Tamtama, dan Gandaloka berkata tetap dengan tenang,

"Benarkah kau tahu pendekar bertangan buntung itu?"

"Benar! Aku tahu! Tapi... aku sangsi apakah kalian mampu membunuh pendekar bertangan buntung sebelah itu?" pancing Tamtama agar mereka penasaran.

Tapi nyatanya mereka tetap tenang, dan Gandaloka yang selalu bicara kepada Tamtama menyahut. "Kami mencari dia bukan untuk dibunuh! Jangan salah duga, Tamtama! Justru kami mencari dia untuk kebaikan!"

"Kalau begitu, aku tak tahu di mana dia!" Tamtama cemberut kesal.

Tetapi yang bernama Gadranaya berbadan paling gemuk dari kelima temannya itu segera datang mendekati Tamtama. Rambut Tamtama dijambaknya dan diangkat hingga kaki Tamtama tidak menyentuh tanah. "Tunjukkan dia, dan jangan bikin kami marah kepadamu!"

"Bbba... ba... baik! Lepaskan dulu rambutku. Auuh...!"

"Gadranaya, lepaskan dia!" perintah Gandaloka tetap dengan suara kalem, tanpa ada bentakan sedikit pun. Maka Gadranaya pun melepaskan jambakan rambut tersebut. Bruuk...! Tamtama menyeringai kesakitan sambil memijat-mijat kepalanya.

Gandaloka bertanya, "Di mana kami bisa menjumpai Pendekar Rajawali Merah itu, Tamtama?"

"Di... di... mungkin dia ada di rumahnya Tabib Perawan!"

"Di mana rumah Tabib Perawan itu, Tamtama?" "Di sana! Jauh...!"

Sraaak. ! Wuuut...!

Gadranaya kembali menjambak rambut Tamtama dan mengangkatnya hingga kaki Tamtama tergantung. Kulit kepala Tamtama rasanya mau copot saja dijambak sedemikian rupa. Kemudian, Gandaloka berkata dengan tersenyum tenang,

"Maukah kau tunjukkan dan mengantar kami ke rumah Tabib Perawan?"

"Bbba... baik! iy... iya, aku mau!"

Sambil bersungut-sungut, Tamtama pun akhirnya mengantarkan mereka ke rumah Tabib Perawan. Hatinya menyesal mengatakan bahwa dia tahu di mana Pendekar Rajawali Merah berada. Karena, semula ia berharap orang-orang itu hendak mencelakai Yoga, tapi ternyata justru datang dengan maksud baik, dan secara tak langsung telah menampakkan sikap pembelaannya kepada Yoga. Tamtama menjadi sangat kesal, karena kebenciannya kepada Yoga belum ada yang bisa membalaskannya.

Sampai di rumah Tabib Perawan, ternyata rumah itu dalam keadaan tertutup rapat dan terkunci. Kuncinya bukan memakai gerendel biasa, melainkan memakai sinar berlapis yang mengelilingi pintu tersebut. Sinar itu berwarna hijau samar-samar.

Ketika Tamtama hendak mengetuk pintu itu, tiba-tiba tangannya menjadi kaku dan sekujur tubuhnya gemetar keras. Ia menyeringai kesakitan bagai disengat petir sekujur tubuhnya. Nyuuut...!

"Woaowww...! Uuuhg...! Tolong, tolong...! Tolong, Gandaloka!"

Kaki Gandaloka yang besar itu segera menendang punggung Tamtama. Buuhg...! Tubuh Tamtama terpental dan jatuh tersungkur mencium tanah. Ia mengerang kesakitan di sana. Sementara itu, Gadranaya dan yang lainnya saling pandang, lalu sepakat mereka menatap ke arah pintu tersebut. Kelima orang itu tiba-tiba memancarkan sinar merah dari mata mereka. Wuuut...! Sinar merah itu menghantam pintu yang tertutup itu. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang dahsyat.

Blaaar...!

Kelima orang itu terpental bersama. Kendati tubuh mereka besar-besar, namun dapat terpental bagaikan daun kering dihempas oleh angin badai yang cukup kencang. Sedangkan pintu itu tetap dalam keadaan utuh dan tertutup. Sinar hijaunya pun masih tetap mengelilingi tepian daun pintu.

"Benarkah rumah ini adalah rumahnya Tabib Perawan?" tanya Gandaloka kepada Tamtama yang baru saja berdiri sambil membersihkan pakaiannya yang kotor.

"Benar! Memang inilah rumahnya!"

"Agaknya mereka pergi, Gandaloka!" kata Yodana.

"Pergi...?! Pergi ke mana?!" gumam Gandaloka dalam renungannya.

Pada waktu itu, Lili dan Lembayung Senja pun tiba di rumah tersebut. Mereka terkejut melihat para utusan sudah ada di rumah Tabib Perawan. Rupanya pemuda lumayan tampan berpakaian hijau itulah yang menunjukkan di mana Yoga berada. Lili hampir saja melepaskan pukulan untuk Tamtama, tapi Lembayung Senja mencegah dengan berbisik lirih,

"Jangan! Nanti mereka tahu siapa kita dan apa tujuan kita."

Lili mengurungkan niatnya. Tapi ia memandang benci kepada pemuda yang lumayan tampan itu. Gandaloka tersenyum kepada Lili dan berkata, "Agaknya kau juga menduga Pendekar Rajawali Merah ada di sini, Nona?! Atau barangkali kau tahu dengan pasti bahwa dia di sini?"

Lembayung Senja yang menyahut, "Justru kami coba-coba mencarinya kemari! Apakah dia ada di rumah itu?"

"Tidak ada! Rumah tertutup, pintunya dipasangi sinar penghancur! Kami tak bisa membuka pintu rumah itu dan menggeledahnya!" kata Gandaloka sambil menunjukkan sinar hijau mengelilingi pintu.

Lili berkata dalam bisikan, "Itu pekerjaan Yoga! Biasanya, bila rumah dipasangi sinar hijau begitu, mereka pergi jauh dan untuk beberapa saat tidak pulang ke rumah! Itu sinar anti maling!"

"Kalau begitu, mereka pergi ke mana?"

"Mungkin... mungkin kita terlambat! Mereka telah bersembunyi di suatu tempat yang tak mudah ditemukan oleh kita!"

Benarkah Yoga dan Sendang Suci bersembunyi? Siapa yang mereka hindari jika benar mereka bersembunyi? Lili atau keenam utusan Pulau Keramat itu? Dari mana Yoga tahu kalau akan kedatangan mereka?

* * *

LIMA

PUNCAK Gunung Rimba Gading tidak terlalu tinggi untuk di daki. Tetapi udara di sana cukup dingin. Ketinggian puncaknya sering dilapisi kabut dan salju. Hutan-hutannya penuh dengan tanaman liar yang jarang terdapat di tempat-tempat lainnya.

Di puncak Gunung Rimba Gading itu, dulu pernah tinggal seorang pertapa sakti yang bernama Resi Tandang Gawe. Orang sakti inilah yang dulu menjadi guru dari Sendang Suci. Kabarnya, Resi Tandang Gawe meninggal secara moksa; hilang begitu saja tanpa bekas.

Petilasannya masih ada sampai sekarang, dan tak satu pun orang bisa menemukan tempat tinggal mendiang Resi Tandang Gawe, selain Tabib Perawan atau Sendang Suci itu. Petilasan tersebut berupa sebuah gua yang cukup lega di bagian dalamnya, tanpa memiliki lorong tembus ke mana-mana.

Atas desakan Pendekar Rajawali Merah, akhirnya Sendang Suci membawa keponakannya, Mahligai, untuk mengungsi ke puncak Gunung Rimba Gading itu. Mereka menempati petilasan Resi Tandang Gawe dengan masih tetap memasung Mahligai yang semakin hari semakin liar serta buas. Jika tidak ditotok terus-menerus, maka Sendang Suci pun bisa dimakannya habis.

Sebenarnya Sendang Suci tidak ingin berada di tempat dingin itu. Tetapi Pendekar Rajawali Merah memaksanya; biar bagaimanapun Sendang Suci harus bersembunyi, karena Yoga punya firasat bahwa Lili akan mengetahui siapa Topeng Merah sebenarnya. Dan jika Lili mengetahui hal itu, bisa dipastikan ia akan datang kepada Sendang Suci dan menuntut balas atas terpotongnya tangan Yoga kepada Sendang Suci.

"Aku akan hadapi dia! Aku tidak takut terpotong tanganku! Kalau toh dia mengancam ingin membunuh ku, aku akan hadapi juga. Belum tentu aku kalah dengannya!" begitu Sendang Suci bersikeras pada mulanya. "Apa pun yang terjadi aku harus tetap di sini!"

"Bibi harus mengungsi ke sana! Bibi harus bersembunyi di Gunung Rimba Gading! Sekalipun aku percaya, Bibi mampu melawan Lili, tapi aku tidak ingin pertarungan itu terjadi!"

Sendang Suci diam menerawang. Pandangan matanya terlempar jauh. Lalu Pendekar Rajawali Merah berkata lagi, "Bibi adalah orang pertama yang menolongku mempertemukan aku dengan Lili! Masih ingatkah Bibi, waktu aku datang bersama Mahligai dan menanyakan tentang seekor burung rajawali putih? Pada waktu itu, Bibi bercerita tentang seekor burung rajawali putih yang terbang ke arah Gunung Menara Salju. Lalu aku pergi ke sana dan menemukan Lili dan burung rajawali putihnya. Andaikata waktu itu Bibi membisu dan tidak menceritakan tentang hal itu, maka aku tidak tahu harus pergi kemana dalam mencari burung rajawali putih itu. Mungkin aku akan tersesat di tempat jauh dan belum bertemu Lili sampai saat ini. Juga kalau bukan karena Mahligai yang membawaku kepada Bibi, lantas kepada siapa aku harus bertanya?"

Sendang Suci hanya menarik napas, lalu Yoga menyambung kata,

"Bibi dan Mahligai adalah orang yang berjasa dalam hidupku," kata Pendekar Rajawali Merah. "Ketika aku mengenal manusia pertama kalinya, yang kukenal adalah guruku; si Dewa Geledek itu. Ketika aku turun dari gunung, yang kutemukan pertama kali adalah Mahligai dan si Mata Neraka. Mahligai lah orang pertama yang kukenal setelah Dewa Geledek, guruku! Jadi, untuk melupakan Mahligai sangat sulit bagiku, Bi! Itulah sebabnya aku sangat prihatin melihat Mahligai terkena racun edan dari Merak Betina sampai segila itu! Buatku, Bi... melupakan orang-orang yang berjasa padaku adalah sesuatu yang amat sulit. Satu kali orang berbuat baik padaku, rasa-rasanya belum puas hatiku jika belum membalas tujuh kali dengan kebaikan!"

"Apakah kebaikan itu termasuk perasaan cinta dan kasih sayang?" sela Sendang Suci masih tanpa memandang Yoga.

"Ya. Cinta dan kasih sayang, juga termasuk kebaikan!" jawab Yoga dengan tegas-tegas. "Tetapi cinta dan kasih sayang tidak harus memiliki seseorang. Cinta dan kasih sayang hanya boleh diberikan kepada setiap orang, sesama hidup, tapi tidak harus mengekang kebebasan orang itu dengan memilikinya! Cinta dan kasih adalah sesuatu yang agung dan mulia bagiku! Kepada siapa pun Bibi boleh memberikannya; tetapi kemesraan dan kehangatan hati hanya boleh diberikan kepada satu orang."

"Dan aku ingin memberikannya padamu," sahut Sendang Suci. "Tetapi aku tidak ingin memaksamu untuk menerimanya. Aku hanya memberikan, tanpa harus menuntut pembalasan darimu!"

"Tak bisakah Bibi berikan kepada orang lain, supaya orang itu membalasnya?"

Kali ini Sendang Suci menatap Yoga dengan lembut dan berkata, "Tak bisa, Yo! Tak pernah bisa kulakukan hal itu kepada orang lain! Dan... karena itulah aku sampai sekarang masih perawan!"

Yoga semakin rapat memeluk Sendang Suci. Perempuan itu merasa damai di dalam pelukan pemuda tampan tersebut. Kemudian terdengar suara Sendang Suci berkata seperti ditujukan pada dirinya sendiri.

"Barangkali perasaan kasih ini adalah yang paling tulus yang pernah kumiliki. Sekalipun tidak terjamah olehmu, aku akan menyimpannya sendiri. Kusimpan dalam hidupku, ku sematkan dalam keabadian hatiku! Kelak, suatu saat, siapa tahu kau ingin memilikinya. Tak akan kubiarkan orang lain merenggutnya dari hatiku, kecuali kamu!"

Terharu lembut hati Pendekar Rajawali Merah mendengar ucapan itu. Rasa-rasanya ia ingin memeluk Sendang Suci mulai sekarang sampai selama-lamanya. Tetapi hatinya sudah tersita habis untuk Guru Li. Pendekar Rajawali Merah tak mampu lagi menyisipkan perempuan lain di relung hatinya, kecuali hanya Lili, si Pendekar Rajawali Putih. Hanya saja, selama ini Yoga tak pernah menampakkan sikap kasih dan cintanya kepada Lili.

"Bibi, kurasa sudah waktunya aku pergi mencari bunga Teratai Hitam untuk Mahligai!" kata Yoga di awal pagi.

"Berangkatlah jika itu cita-cita mu!" kata Sendang Suci.

"Bagaimana kesehatan tanganku ini menurut Bibi?"

"Sudah tak ada halangan! Kau sudah pulih seperti sediakala walau hanya bertangan satu!"

"Kalau begitu, saya berangkat pagi ini juga dan kembali secepatnya setelah kudapatkan bunga Teratai Hitam itu!"

"Lakukan yang terbaik menurutmu, Yo! Aku percaya padamu!" Sendang Suci sunggingkan senyum menyambut pagi yang cerah. "Kalau suatu saat kau temukan aku mati di sini, tolong makamkan aku di dalam gua ini!"

"Mengapa Bibi berkata begitu?"

"Karena usiaku sudah cukup tua. dan kau masih muda! Besar kemungkinan kau masih tahan lama dalam hidup, aku tinggal separo hidup lagi! Besar kemungkinan kau akan lupa padaku setelah kau membaur dengan cinta dan kasih sayang mu di sana, sedangkan aku tetap merawat hatiku untuk dirimu!"

"Ah, sudahlah! Jangan bicara soal umur! itu kekuasaan Yang Maha Agung!"

Perempuan cantik yang masih kelihatan muda itu kembali sunggingkan senyum manisnya. Tangannya menjamah pipi Yoga dan mengusap-usapnya dengan lembut sambil berkata, "Berangkatlah! Tunjukkan padaku bahwa kau seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu memperoleh kemenangan! Tumbangkan lawanmu dan jangan kasih kesempatan untuk melukaimu lagi!"

Dada Yoga terasa keras bagaikan baja. Ia tersenyum menawan sambil berkata dengan tegas, "Aku tidak ingin mengecewakan mu, Bi! Akan ku ingat selalu pesanmu ini! Jaga dirimu baik-baik, Bi!"

Sendang Suci hanya mengangguk dan tersenyum. Ia menatap kepergian Yoga dengan tegar.

* * *
Tak seorang pun tahu, di mana Yoga saat itu. Tak heran jika Lili dan Lembayung Senja kebingungan mencarinya. Enam utusan dari Pulau Keramat itu pun kebingungan mencari Pendekar Rajawali Merah. Tetapi usaha mereka tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka terus mencari demi tugas dan sang Ratu.

Ketika Lili berpapasan dengan Jalak Hutan, yang pernah disembuhkan dari luka-lukanya, ia menjadi geram mendengar kata-kata Jalak Hutan yang bernada tak enak di hati.

"Mana Pendekar Rajawali Merah itu?! Dia bersama Sendang Suci akan kubunuh! Dia telah membuat keponakanku tergila-gila dan Sendang Suci telah meracuninya! Dia dan Sendang Suci penyebab sakitnya Mutiara Naga, keponakanku itu!"

"Kau ini gila atau sinting? Datang-datang langsung marah-marah kepada kami!" kata Lembayung Senja.

"Kau juga!" bentak Jalak Hutan. "Kau yang pernah menganiaya aku seenak perutmu sendiri, bukan?!"

Lili menyahut, "Dan aku yang menyembuhkan mu, bukan?!"

"Aku tak peduli siapa kau sekarang! Aku tahu kau orang seperguruan dengan Pendekar Rajawali Merah itu! Kalau perlu aku pun akan membunuhmu, karena keponakanku yang tersayang itu sekarang sakit dan hampir mati gara-gara orang seperguruanmu!"

"Lili, tinggalkan saja orang ini! Dia cuma orang gila yang cari-cari perkara! Jangan layani dia!"

"Hei, tunggu dulu!" Jalak Hutan melompat ke depan mereka.

"Jangan cari penyakit, Jalak Hutan!" hardik Lembayung Senja.

"Aku tidak cari penyakit, tapi siapa yang akan bertanggung jawab dengan sakitnya Mutiara Naga itu, hah?! Siapa?!"

"Mengapa kau menuntut kepada kami!" bentak Lili tak sabar lagi. "Kami tidak ada hubungannya dengan sakitnya keponakanmu itu! Kalau kau mau cari mampus, dekatlah kemari!"

Jalak Hutan terengah-engah. Memandang dengan nanar, menoleh ke kiri dan ke kanan seperti kehilangan arah. Apa yang dilakukan serba salah saja rasanya.

"Aku panik!" sambil ia membuka kedua tangannya. "Aku panik sekali! Keponakanku sakit dan aku tidak tahu di mana Sendang Suci!"

"Kenapa dia sakit?" tanya Lili menurunkan amarahnya.

"Dia meminta bantuan kepada Sendang Suci untuk menundukkan Yoga. Dia diberi minuman yang katanya adalah minuman Darah Kasih Dewa, bisa untuk membuat Pendekar Rajawali Merah itu terpikat olehnya. Tapi setelah ia minum, ternyata itu racun yang membahayakan. Untung tidak semuanya cairan itu diminum! Sekarang Mutiara Naga dalam keadaan sekarat! Aku harus berbuat apa sedangkan rumah Sendang Suci si Tabib Laknat itu dalam keadaan tertutup! Aku gugup! Panik sekali!"

Lili menarik napas dalam-dalam. Agaknya orang ini akan mencurahkan kemarahannya terhadap Sendang Suci, tapi tidak punya sasaran. Akibatnya siapa saja yang bertemu dengannya menjadi tempat pelampiasan kemarahannya. Tiba-tiba Jalak Hutan bergerak cepat memutar dan kakinya menendang kepala Lembayung Senja dengan kilat.

Wuuut...! Plook!

Lembayung Senja tak siap dan terpental jatuh akibat tendangan tersebut. Lembayung Senja yang sudah tidak bersenjatakan cambuk tadi bersenjatakan pedang itu, segera mencabut pedangnya. Cambuknya telah putus pada saat melawan Topeng Merah di pesanggrahannya. Kini pedanglah yang menjadi andalan Lembayung Senja dan ditebaskan ke arah lawannya dengan satu kali lompatan kaki.

Wuuut...! Traang...!

Jalak Hutan cepat mencabut pedang sambil berkelebat menangkis pedang Lembayung Senja. Lili mundur beberapa langkah untuk memberikan tempat bagi Lembayung Senja yang telah terkena tendangan Jalak Hutan itu. Lili sengaja membiarkan mereka bertarung karena antara Jalak Hutan dan Lembayung Senja memang ada dendam sendiri yang tak bisa dicampuri terlalu dalam.

Lembayung Senja berdiri dengan pedang di tangan ke atas kepala, dan tangan kirinya pun naik dl atas kepala mendekati ujung pedangnya. Jurus kedua dibuka oleh Lembayung Senja, sementara itu Jalak Hutan pun membuka jurus keduanya dengan pedang di tengah dada, berdiri tegak ke atas.

"Aku akan membalas kekalahan ku ketika kepalaku masih terdongak tempo hari itu, Lembayung Senja!"

"Kulayani apa maumu, Bandot Busuk!"

"Hiaaat...!"

Wuuus...! Wuuut, traaang...!

Pedang mereka beradu, keduanya sama-sama mental ke belakang tak seberapa jauh dan tak sampai jatuh. Lembayung Senja membuka jurus ketiganya. Jalak Hutan tak mau kalah dan menggunakan jurus ketiganya juga.

"Tahan...!" tiba-tiba terdengar suara berseru dari arah barat. Semua mata memandang ke arah barat. Dan ternyata di sana sudah berdiri seorang pemuda tampan bertangan buntung.

Lili segera memekik, "Yooo...!" ia berlari dan menghamburkan pelukan manjanya kepada orang yang selama ini dicemaskan bakal tak muncul lagi. Pertarungan Jalak Hutan dan Lembayung Senja pun terhenti karena seruan tadi dan kini mereka sibuk memperhatikan pelepasan rindu Lili kepada Yoga.

"Kupikir kau hanyut bersama perempuan itu!" Lili bersungut-sungut.

"Tidak mungkin aku hanyut dengan perempuan lain selama kau masih berkeliaran di permukaan bumi ini, Guru Li!" sambil Yoga mencubit dagu Pendekar Rajawali Putih.

Tapi pada saat itu Jalak Hutan berseru, "Yo, bagaimana dengan nasib keponakanku itu! Dia minum racun dari Sendang Suci! Mana si Tabib Laknat itu, hah?!"

"Aku tidak tahu di mana dia sekarang!"

"Bohong! Belakangan ini dia akrab denganmu, pasti kau tahu di mana dia! Akan kupenggal kepalanya karena dia membuat Mutiara Naga sekarat sampai saat ini!" bentak Jalak Hutan.

"Sabarlah, Paman Jalak Hutan!" kata Yoga dengan kalem. "Jangan kau marah-marah padaku, dan pada mereka berdua!"

"Bagaimana aku tidak marah?! Mutiara Naga nyawanya terancam!"

"Boleh aku mengunjunginya?" tanya Yoga.

"Datanglah lekas ke rumahku! Mutiara Naga ada di sana!" sahut Jalak Hutan.

"Guru, aku mau ke sana! Maukah kau ikut ke sana, Guru?"

Lili tidak menjawab. Wajahnya terlihat sedih. Baru saja bertemu, Yoga harus pergi lagi. Sepertinya Yoga mementingkan perempuan lain ketimbang dirinya. Kemudian ketika Yoga pergi bersama Jalak Hutan, Lili mengikutinya, Lembayung Senja pun menyertainya.

* * *

TUJUH

RACUN yang ditelan Mutiara Naga memang berbahaya. Tetapi berkat pertolongan Yoga yang menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh Mutiara Naga, racun itu bisa terhambat cara kerjanya hingga menjadi lemah. Mutiara Naga mendapat sedikit kesegaran baik tubuhnya maupun hatinya, karena rasa rindu ingin bertemu dengan Yoga telah terpenuhi.

Sayangnya Yoga datang bersama Lili dan Lembayung Senja. Hati Mutiara Naga sedikit kecewa karena memendam rasa cemburu. Sekalipun Yoga mengetahui hal itu, namun ia berlagak pura-pura tidak tahu adanya kecemburuan di dalam hati Mutiara Naga.

Yoga berkata kepada Jalak Hutan, "Racunnya sudah ku hambat! Secepatnya aku akan menghubungi kenalan ku yang juga ahli racun. Akan kumintakan obat padanya, atau bila perlu kubawa kemari orangnya biar mengobati Mutiara Naga sendiri!"

Jalak Hutan sedikit tenang melihat kejang-kejang yang tadi dialami Mutiara Naga itu sudah tidak ada lagi. Amarah Jalak Hutan pun mereda turun. Ia hanya berkata, "Kapan kau akan membawa kenalan mu itu?"

"Secepatnya! Mungkin sekarang juga aku akan ke sana, atau lusa. Tapi kurasa racun itu sudah tidak berbahaya seperti tadi. Masih cukup waktu untuk mencari penangkalnya!"

Ketika mereka meninggalkan Mutiara Naga dan Jalak Hutan, Lili sempat berbisik kepada Yoga, "Kau banyak waktu untuk mengurus perempuan lain, tapi kau tidak punya waktu untuk memperhatikan aku, Yo!"

"Aku memperhatikan kamu dari hati, Guru! Bukan dari mata!"

Lili menarik napas, lalu berkata, "Kau harus banyak berlatih! Ilmu pedang tangan satu harus kau perdalam! Mulai besok kita berlatih di pondoknya si Tua Usil!"

"Guru, aku ingin beristirahat dulu!"

"Kau harus berlatih Ilmu pedang tangan satu! Kau banyak menghadapi bahaya, Yo! Malaikat Gelang Emas bisa menghadangmu sewaktu-waktu, dan kau akan keteter jika tidak menguasai jurus ilmu pedang tangan satu!"

"Aku sudah belajar dari Eyang Guru Dewa Geledek!"

"Tapi kau belum menguasai jurus 'Pedang Buntung'!"

"Apa ada jurus 'Pedang Buntung'?"

"Aku yang menemukan jurus itu di dalam gua di laut!" kemudian, Lili hentikan langkah. la berpaling kepada Lembayung Senja dan berkata, "Pinjam pedangmu, Lembayung Senja!"

Lembayung Senja pun menyerahkan pedangnya, kemudian Lili menyuruh Yoga mengambil sebatang kayu seukuran pedang juga.

"Pakai kayu itu. Anggap itu pedang. Sekarang, serang aku!"

Dengan menggunakan kayu yang diibaratkan pedang, Yoga menebaskannya dari atas ke bawah. Lili berkelit ke samping menghindari kayu itu, kemudian pedangnya ditancapkan di tanah dengan satu tangan. Dan pada waktu menancapkan pedang itu tubuh Lili ikut membungkuk, lalu dengan satu tangan ia bertumpu pada pedang, kakinya naik ke belakang dalam gerakan seperti mau bersalto, dan kedua kaki itu menjejak wajah Yoga empat kali berturut-turut dengan kecepatan yang luar biasa.

Des, des, des, des...! Yoga pun tersentak mundur dan membentur pohon. Kemudian kaki Lili mendarat ke tanah dalam satu sentakan tu-buh hingga melompat mendekati Yoga, tahu-tahu ujung pedang sudah ada di depan leher Yoga yang sedang bersandar di pohon.

Wuuut...!

Yoga melirik ke ujung pedang yang sudah teracungkan di depan lehernya itu, dan Lili pun berkata, "Satu sentakan, lawan akan mati tertusuk pedang, lehernya! Ini namanya jurus 'Pedang Buntung'!"

"Puih...! Hebat sekali?!"

"Ambil kayu itu lagi," perintah Lili dengan tegas-tegas tanpa ada kelembutan dan senyum sedikit pun. "Serang aku kembali!"

Yoga kembali menyerangnya walau kepalanya masih sedikit pening karena tendangan beruntun empat kali tadi. Kali ini Yoga menebaskan kayu itu ibarat pedang mau merobek perut atau dada lawan. Lili menangkis kayu itu dengan bagian pedang yang tumpul. Kakinya maju dan tubuhnya berputar, lalu dengan membelakangi Yoga siku tangan yang memegang pedang itu menyodok ke belakang, tepat mengenal rusuk kanan Yoga.

Kaki itu sendiri menggaet kaki Yoga hing-ga Yoga jatuh. Dengan cepat Lili bersalto ke belakang agak menyamping, dan begitu mendarat ia langsung jongkok dengan berdiri satu lutut, sedangkan pedangnya sudah siap menghujam ke jantung lawan. Yoga melirik ke ujung pedang yang berhenti tepat di depan jantungnya, siap untuk ditancapkan.

"Matilah aku ditusuk jantungku!" kata Yoga.

"Ini namanya jurus 'Pedang Sepenggal', cocok untuk orang yang buntung tangan kirinya!" kata Lili dengan tegas. Ia segera bangkit berdiri dan menyerahkan pedang kepada Lembayung Senja.

Melihat jurus pedang Lili yang dipamerkan kepada Yoga, Lembayung Senja semakin tertarik untuk mempelajari jurus-jurus yang dimiliki Pendekar Rajawali Putih itu. Karenanya, sejak awal ia lebih suka bersama-sama Lili, karena diam-diam dia ingin mempelajari ilmu dari Pendekar Rajawali Putih itu, sebagai penambah jurus-jurus yang sudah dimilikinya. Sebenarnya ia lebih senang melihat Lili bertarung dengan lawannya yang tangguh, sehingga dengan begitu jurus-jurus maut Lili akan keluar dan dapat dicuri olehnya.

Tapi Lili agaknya tidak peduli dengan niat Lembayung Senja. Karena ia yakin bahwa tidak semua orang bisa memainkan jurus-jurusnya. Sekalipun menemukan kuncinya, tapi tidak akan menemukan intinya. Lili berkata kepada Yoga,

"Kau harus pelajari jurus 'Pedang Buntung', jurus 'Pedang Sepenggal' dan jurus pedang lainnya! Aku jamin Eyang Guru Dewa Geledek tidak memiliki jurus-jurus itu! Bahkan eyang guruku sendiri, Dewi Langit Perak, tidak sempat melihat aku menemukan jurus-jurus pedang itu!"

Percakapan mereka terhenti. Lembayung Senja berseru, "Hei, lihat...! Sepertinya yang lari di sebelah sana itu si Tua Usil!"

Yoga dan Lili memandang arah yang ditunjukkan Lembayung Senja. Terdengar suara Yoga bergumam, "Benar! Si Tua Usil...! Ada apa dia berlari secepat itu dengan terburu-buru?"

Yoga segera memanggil orang berbaju coklat dengan rambut putih rata itu, "Tua Usil...! Hoi...!"

Tua Usil melihat ada Yoga di sebelah timurnya. Tapi ia bingung menghentikan larinya yang sudah telanjur cepat itu. Maka tangannya segera berkelebat menggaet pohon kecil, dan larinya menjadi memutari pohon kecil itu, makin lama semakin pelan. Setelah itu ia baru bisa membelokkan arah larinya ke arah Yoga, Lili, dan Lembayung Senja. Ia terengah-engah tiba di depan mereka.

"Ada apa kau lari-lari, Tua Usil? Wajahmu pucat sekali!" kata Lili sambil memandangi wajah Tua Usil yang pucat dan berkeringat.

"Ada... ada enam raksasa mencarimu, Tuan Yo!"

"Raksasa...?!" Yoga berkerut dahi.

Lili dan Lembayung Senja segera ingat tentang enam utusan dari Pulau Keramat itu. Lalu, Lembayung Senja menimpali kata, "Kurasa Tua Usil benar, Yo! Enam orang utusan dari Pulau Keramat mencarimu. Mereka bertubuh tinggi dan besar seperti raksasa!"

"Iya, betul! Pulau Keramat, sebab mereka menyebutnya utusan dari Pulau Kana. Dan Pulau Kana itu adalah Pulau Keramat! Hanya dedemit yang tinggal di sana! Sebab itu aku tak mau tinggal di sana!"

"Di mana kau bertemu dengan mereka?" tanya Lili.

"Mereka datang ke rumah, Nona Li!"

"Siapa yang menunjukkan kalau kami tinggal di pondokmu?"

"Bocah gemblung, Tamtama!"

"Tamtama...?!" gumam Yoga pelan.

"Bocah gemblung itu pernah melihat kita berjalan berdua, dan kebetulan dia melihatku sedang berada didepan rumah, lalu dia ajak keenam orang besar itu singgah ke rumah! Tamtama memaksa saya untuk segera mencari Tuan Yo! Jika tidak mau, rumah saya akan dirobohkan oleh keenam orang besar itu! Karena saya takut rumah akan dirobohkan, saya pun segera mencari Tuan Yo dan Nona Li!"

Yoga segera berkata, "Kita pulang sekarang juga! Kita temui keenam utusan dari Pulau Keramat itu!"

"Yo, tak usah ke sana!" cegah Lili tapi Tua Usil berkata,

"Harus ke sana! Kalau tidak nanti rumah saya dirobohkan raksasa-raksasa itu!"

"Diam kau!" bentak Lili. "Yo, kau bersembunyi saja! Aku yang akan menghadapi mereka!"

Tua Usil menggerutu sambil bersungut-sungut, "Belum bisa berdiri di atas ilalang, rumah sudah roboh...! Huuh...!"

"Tutup mulutmu, Tua Usil!" bentak Lili dengan mata mendelik. "Rumahmu tidak akan roboh tapi tubuh mereka yang akan roboh!"

Lembayung Senja ikut bicara kepada Tua Usil, "Siapa yang bilang kalau rumahmu akan roboh jika Yoga tidak muncul?"

"Si gemblung Tamtama itu!"

"Itu hanya gertakan si Tamtama saja! Mereka tak akan merobohkan rumahmu! Jangan khawatir...!"

Lili berkata kepada Lembayung Senja, "Kita berangkat sekarang, Lembayung Senja!"

"Bagaimana dengan aku, Guru?"

"Bersembunyilah!" bentak Lili. "Apa kau tadi tidak mendengar aku bilang begitu?!"

"Ak... aku... aku tak bisa bersembunyi! Aku bukan pengecut!"

"Lantas apa maumu dengan tangan buntung mu itu, hah?!" ketus Pendekar Rajawali Putih dengan mata mendelik, berkesan galak kepada sang murid.

"Aku harus menghadapi mereka, Guru!"

"Tak perlu! Cukup aku saja! Hmmm... Lembayung Senja, temani dia, dan biarkan aku pergi bersama Tua Usil saja! Tua Usil, ikut aku pulang ke rumah!"

"Raksasa itu bagaimana?"

"Kita habisi mereka dari atas ilalang!"

"Oho, saya sangat setuju itu!" Tua Usil kegirangan begitu mendengar kata 'ilalang' dari mulut Lili. Maka, Lili pun segera pergi dari tempat itu bersama si Tua Usil yang tersenyum-senyum girang.

Yoga ingin ikut melangkah, tapi ditahan oleh Lembayung Senja. "Jangan memancing kemarahan kekasihmu! Dia kalau marah berbahaya!"

"Kenapa dia melarangku ke sana?! Apakah dia pikir aku tak mampu melawan mereka?!"

"Kau sangat dibutuhkan oleh mereka!"

"Sangat dibutuhkan untuk apa?"

"Untuk dibawa ke Pulau Kana atau Pulau Keramat itu!"

"Untuk apa aku dibawa ke sana?"

"Dikawinkan dengan Ratu Kembang Mayat!"

"Hahh...?! Kembang Mayat?! Maksudmu sang Ketua itu?"

"Benar! Ternyata dia masih hidup, menurut pengakuan Gandaloka!"

"Siapa Gandaloka itu?"

"Salah satu dari keenam utusan Pulau Keramat itu!" kemudian, Lembayung Senja menceritakan apa yang di dengar dari mulut Gandaloka tentang kesela-matan Kembang Mayat saat jatuh dari jurang. Cerita itu membuat Yoga tertegun bengong dan hampir tidak mempercayainya.

"Aku sendiri semula tidak mempercayai kalau sang Ketua masih hidup, dan bahkan diangkat menjadi ratu di Pulau Kana!"

"Kau tak ingin menemui dia?" tanya Yoga.

"Aku masih dalam kebimbangan. Perguruanku sudah hancur lebur dan bubar begitu saja. Masihkah Kembang Mayat menerimaku sebagai anak buahnya, atau melupakan siapa aku setelah dia duduk sebagai ratu? Aku tak berani memastikan diri akan hal itu!"

"Pulau Kana terletak di mana?"

"Di tenggara pulau kita ini! Pulau itu dulu menjadi pantangan nenek moyang kita! Tak boleh ada yang datang ke sana karena Pulau Keramat itu terkenal angker. Setiap orang yang terdampar ke pulau itu pasti mati dan mayatnya ditemukan di laut dalam keadaan sudah menjadi tulang-belulang, tinggal beberapa bagian yang masih ada dagingnya! Maka tersebarlah berita Pulau Kana itu dihuni oleh makhluk pemakan daging manusia. Karenanya tak ada yang berani menyeberang ke sana. Itu sebabnya pula dikatakan sebagai Pulau Keramat!"

"Lalu, mengapa sekarang aku dicari mereka dan mau dikawinkan oleh mereka dengan Kembang Mayat?"

"Karena syarat untuk menjadi ratu harus menikah, dan Kembang Mayat memilih kamu untuk menjadi calon suaminya! Dia segera mengirim utusan kemari untuk menjemput mu!"

"Menurutmu, bagaimana jika aku menolak ajakan mereka?"

"Mereka akan marah kepadamu, dan kau akan kewalahan mengatasi amarah mereka! Konon, orang yang sudah diutus keluar dari Pulau Kana itu pasti orang yang sudah berilmu tinggi! Lukaku akibat goresan kipas Sendang Suci itu disembuhkan oleh orang yang bernama Gandaloka! Lihatlah... tak ada bekas sedikit pun pada kulitku!"

"Bagaimana jika aku melawan mereka saja ketimbang harus dikawinkan dengan Kembang Mayat?!"

Lembayung Senja diam sejenak. Ia melangkah mendekati sebuah pohon dan berseru dari sana sambil tangannya bersandar pada pohon itu, "Apakah kau benar-benar tak ingin menjadi suami Kembang Mayat?"

"Aku lebih berat meninggalkan Guru Lili!"

"Tapi dia adalah gurumu! Kalau kau sudah mengakui dia gurumu, kau tak boleh menikah dengan gurumu sendiri!"

"Mengapa tak boleh?"

"Karena... ah, aku tidak bisa mengatakannya!"

"Aha, lucu sekali kau ini!" Yoga tertawa sendiri, kemudian diam merenungkan soal utusan dari Pulau Keramat itu.

"Agaknya aku harus ke sana! Aku harus temui mereka dan bicara baik-baik!"

"Tidak! Kau tidak boleh temui mereka, nanti kau terluka lagi!" kata Lembayung Senja dengan cemas.

DELAPAN

PENDEKAR Rajawali Merah pantang bersembunyi dari lawannya. Ia tidak mau menghilangkan diri hanya karena ingin menghindari lawannya yang menantangnya bertarung. Dan lagi, Yoga ingin mengatakan apa yang ada di dalam hatinya kepada para utusan itu ketimbang harus menghilang tanpa penjelasan apa-apa.

Karenanya, Yoga nekat berangkat menemui keenam utusan itu di rumahnya si Tua Usil. Lembayung Senja mencegahnya beberapa kali tapi tak pernah mampu. Sampai akhirnya mereka pun tiba di ru-mah Tua Usil dalam waktu berjarak dekat sekali den-gan kedatangan Lili.

Ketika Pendekar Rajawali Merah tiba di sana. Lili menampakkan wajah marahnya. Ia cepat-cepat menghampiri Yoga dan berkata geram dengan suara lirih,

"Mengapa kau nekat ke sini hah?!"

"Aku harus bicara pada mereka! Mereka harus tahu bahwa aku hanya punya hati untukmu, Guru Li!"

Mendengar alasan Yoga, kemarahan Lili pun mulai susut walau ia masih tetap menjaga rona wajah yang marah. Tapi sebenarnya itu hanya sebagai penutup rasa malu mendengar ucapan Yoga dan menjadi girang hatinya. Maka, Lili pun membiarkan Yoga maju mendekati enam utusan dari Pulau Keramat yang agaknya sudah cukup lama menunggu di depan rumah Tua Usil. Sementara itu, di pihak mereka pun terlihat Tamtama sedang memandang Yoga dengan mata menyipit benci.

"Itu yang namanya Yoga dengan sok-sokan pakai gelar Pendekar Rajawali Merah!" kata Tamtama kepada Gandaloka.

Senyum Gandaloka terbentang ramah sambil sedikit membungkukkan badan memberi hormat kepada Yoga. Sikap itu disambut baik oleh Pendekar Rajawali Merah, dan berkatalah pendekar buntung yang masih tetap punya ketampanan memikat hati wanita itu,

"Benarkah kalian berenam utusan dari Pulau Keramat?"

"Benar, Tuan Pendekar!" jawab Gandaloka. Kalem dan tenang. Sikapnya hampir sama dengan sikap yang ada pada Yoga. "Kami diutus oleh Ratu Kembang Mayat untuk menjemput Tuan Pendekar Rajawali Merah yang terhormat! Dalam waktu dekat, kami akan segera mengadakan pesta perkawinan Tuan dengan Gusti Ratu kami!"

Seperti ditusuk jarum hati Lili jika mendengar kata-kata seperti itu. Tapi hati yang nyeri itu cepat menjadi teduh kembali setelah Lili mendengar Yoga menjawab,

"Tidak bisa! Dengan sangat menyesal dan berat hati, tolong sampaikan kepada Gusti Ratu kalian, saya tidak bisa hadir memenuhi panggilannya!"

"Kami harus punya alasan, Tuan Pendekar!"

"Alasannya..." Yoga melirik Lili sebentar, kemudian meneruskan kata-katanya, "Alasannya karena aku menolak untuk dikawinkan dengan Kembang Mayat! Aku tidak mau, karena aku punya kekasih sendiri!"

Tamtama menyahut dengan ketus, "Hmmm...! Bodoh amat kau! Mengapa masih saja memberati Mahligai?! Kawin dengan ratu itu enak, Bodoh!"

"Aku tidak memberati Mahligai, Tamtama!"

"Omong kosong!" Tamtama melengos, buang muka dengan ketus dan sinis.

Lili hampir saja melangkah untuk menampar wajah Tamtama, tapi Yoga memberi isyarat dengan tangan sehingga Lili urungkan niatnya. Terdengar Gandaloka berkata lagi dengan tetap kalem,

"Sayang sekali Tuan Pendekar menolak perkawinan dengan Gusti Ratu kami yang baru itu! Padahal Tuan Pendekar-lah yang terpilih untuk mendampingi beliau dalam memimpin rakyat kami!"

"Kurasa, Kembang Mayat bisa memilih pria lain saja untuk menjadi calon suaminya!"

Tua Usil yang sejak tadi manggut-manggut sekarang ikut nyeletuk, "Suruh saja dia kawin sama bocah gemblung itu!" sambil menuding Tamtama.

Merasa dipanggil 'bocah gemblung', Tamtama menjadi marah. Ia ingin mendekati Tua Usil, tapi Lembayung Senja menghadang di depannya, dan Tamtama tak jadi bergerak ke arah Tua Usil.

Gandaloka berkata lagi kepada Yoga, "Sebenarnya, melihat ketampanan dan kegagahan Tuan Pendekar, kami sendiri sebagai utusan merasa sangat gembira jika Tuan mau terima tawaran Gusti Ratu ini!"

"Pria tampan dan gagah bukan hanya aku saja! Masih banyak yang lain, yang belum punya kekasih atau yang sudah menjadi duda!"

"Apakah... mungkin Tuan Pendekar mempunyai syarat tertentu agar mau menikah dengan Gusti Ratu kami?"

Lili menjadi semakin jengkel. Sepertinya Gandaloka berusaha membujuk Yoga agar mau dikawinkan dengan Kembang Mayat. Lalu, Pendekar Rajawali Putih pun berkata,

"Rasa-rasanya sudah jelas, Gandaloka! Yoga tidak bersedia. Jadi kalian boleh pulang sekarang juga dan sampaikan salam kami kepada Kembang Mayat!"

"Saya yakin Tuan Pendekar belum berpikir masak-masak. Kami akan beri waktu dua hari untuk mempertimbangkannya, Tuan Pendekar! Dan, sekarang kami pamit pulang dulu! Dua hari lagi kami akan datang untuk meminta kepastian jawaban!"

"Kurasa jawabannya sudah pasti, aku tidak bersedia kawin dengan Kembang Mayat, karena aku sudah punya calon istri sendiri!"

Gandaloka tersenyum makin lebar, "Saya yakin Tuan belum pertimbangkan masak-masak! Jangan terburu-buru memberi kepastian jawaban jika belum dipertimbangkan sungguh-sungguh! Kami masih punya banyak waktu untuk menunggu!"

Gandaloka pergi bersama kelima anak buahnya yang tinggi-tinggi itu. Tamtama juga ikut pergi bersama rombongan mereka. Yoga dan yang lainnya hanya memandangi kepergian para utusan Pulau Keramat itu dengan benak dan hati berkecamuk masing-masing. Kemudian, mereka segera melepaskan diri dari kebisuan yang ada.

"Tengil amat gaya bocah gemblung itu!" Tua Usil yang mengawali merobek sepi dengan gerutuannya yang jelas didengar mereka.

"Kapan-kapan kalau aku ketemu dia, kuhajar dia sampai babak belur! Biar tahu rasa!" kata Lembayung Senja yang agaknya juga tak suka melihat lagak Tamtama itu. Lembayung Senja masuk dan Tua Usil juga ikut masuk. Tapi Yoga serta Lili masih ada di luar, di bawah pohon rindang berdahan lengkung serta rendah itu.

"Kau tak menyesal memberi keputusan seperti tadi?" pancing Lili.

"Yang membuatku menyesal adalah jika aku menolak ajakan mu seperti tawaran Kembang Mayat itu!"

"Aku tak jelas maksudmu!"

"Aku berharap bukan Kembang Mayat yang punya niat seperti itu, tapi kau!"

"Aku perempuan yang punya harga diri jangan samakan dengan Kembang Mayat!" gerutu Lili masih tak mau jujur dengan hatinya sendiri.

Yoga tertawa, "Kau jelas beda dengan Kembang Mayat! Cantiknya beda, kesaktiannya beda!"

"Hhh! Sudah...! Jangan bicara soal itu! Kau harus latihan jurus 'Pedang Buntung' dan 'Pedang Sepenggal' tadi! Ayo lekas...!"

Sementara itu, di perjalanan Tamtama kembali menghasut keenam utusan dari Pulau Keramat itu. Ia merasa belum puas melihat sikap keenam utusan Pulau Keramat yang tidak menampakkan kekerasan dan permusuhan dengan Yoga. Padahal dia berharap mereka bisa bersikap kasar kepada Yoga.

Dalam hatinya, Tamtama berharap agar mereka berenam bisa berhasil membawa Yoga ke Pulau Kana. Jika Yoga dibawa ke Pulau Kana dan menikah dengan Kembang Mayat, maka Tamtama merasa tidak punya pengganggu dalam hubungannya terhadap Mahligai. Kepada Gandaloka, Tamtama berkata, "Seharusnya kau tadi sedikit keras dan jangan lunak kepadanya!"

"Aku terbiasa begitu. Tamtama! Kalau dia baik padaku, maka aku pun harus baik padanya!"

"Tapi demi mendapatkan apa yang kita harapkan, sedikit keras tak apalah! Daripada begini, kalian tidak berhasil mendapatkan apa yang diperintah-kan oleh Gusti Ratu kalian!"

"Aku yakin Pendekar Rajawali Merah itu akan berubah pikiran setelah merenungkan tawaran tadi!" kata Gandaloka dengan kalem.

"Kurasa dia tidak akan berubah pikiran! Aku tahu persis watak pendekar buntung itu."

"Bagaimana dengan wataknya?"

"Kalau kita lemah, kita disepelekan olehnya!"

"Betulkah begitu?"

"Iya! Aku cukup lama bergaul dengannya, jadi aku tahu persis bagaimana wataknya!"

Gandaloka diam, masih tetap berjalan sambil mempertimbangkan kata-kata Tamtama. Lima orang temannya ada di belakangnya, yang seolah-olah siap menunggu perintah apa saja dari Gandaloka.

Tamtama berkata lagi, "Yoga adalah seorang pendekar, kalau dia punya keinginan harus ditempuhnya dengan susah payah. Karena di situlah letak jiwa pendekarnya! Kalau seseorang meminta bajunya dengan baik-baik, tidak akan diberikan! Tapi kalau orang itu bisa mengalahkan ilmunya, barulah ia akan serahkan baju itu sebagai tanda bahwa ia mengakui kehebatan ilmu lawannya!"

"Jadi, apa saran mu?!"

"Tantanglah dia dalam satu pertarungan! Bertaruhlah, kalau dia kalah dia menjadi suami Kembang Mayat, kalau dia menang dia bebas dari tawaran kalian itu! Dan aku yakin, dia tidak akan bisa mengalahkan kalian!"

"Tapi itu suatu pemaksaan, Tamtama. Itu tidak baik!"

"Wataknya dia memang suka menghadapi hal-hal yang bersifat memaksa! Dia paling marah jika ilmunya dianggap remeh. Walaupun sebenarnya dia ti-dak punya ilmu seujung kuku pun, tapi kalau ilmunya dianggap remeh, dia akan bangkit dan berani bertarung apa saja!"

Langkah Gandaloka terhenti beberapa saat. Ia bertanya kepada Gadranaya, "Menurutmu bagaimana? Haruskah dia kita pancing dengan tantangan di arena pertarungan?"

"Kurasa tidak perlu," kata Gadranaya. "Kalau memang hatinya tidak berminat untuk menjadi suami Gusti Ratu kita, mengapa harus dipaksakan? Akhirnya perkawinan mereka tidak bisa menjadi suri teladan bagi pasangan-pasangan di antara rakyat kita!"

Rogami menyahut, "Tapi kalau memang letak harga dirinya dalam satu pertarungan, tak ada salahnya kalau kita mencoba menghargainya dengan pertarungan juga!"

Tamtama menimpali, "Dan lagi, Gusti Ratu kalian pasti akan kecewa jika kalian pulang dengan tangan kosong! Masa' utusan terpilih tidak bisa membawa pulang orang yang dicintai oleh sang Ratu? Bukankah ratu kalian sudah sangat mempercayai kesaktian kalian, sehingga menugaskan kalian kemari, karena Ratu Kembang Mayat sudah telanjur yakin, bahwa masalah ini bisa ditangani oleh kalian. Tidak gagal!"

Enam utusan Pulau Keramat itu terbungkam beberapa saat, merenungi langkah, merenungi kata-kata Yoga, juga merenungi cara terbaik untuk membawa pulang Pendekar Rajawali Merah. Tamtama wak-tu itu punya kesempatan lagi untuk mempengaruhi otak mereka dengan kata,

"Kalau kalian mau menangkap ikan, kalian harus tahu umpannya apa? Kalau kalian tidak tahu umpan ikan itu apa, mana bisa membawa pulang seekor ikan? Sama halnya dengan membawa pulang Yoga. Kalian harus tahu apa umpannya? Dan umpan itu adalah pertarungan!"

"Seberapa tinggi ilmunya?" tanya Sarpa.

"Aaah... kecil!" Tamtama menjentikkan jari kelingkingnya. "Dia sebenarnya tidak punya ilmu apa-apa! Di bandingkan dengan ilmu kalian jauh tidak sebanding! Tapi kesombongannya tinggi dia!"

"Baiklah! Agaknya kita memang harus perlu mengikuti selera dia!" kata Yodana. "Apa pun caranya, yang penting kita pulang membawa apa yang ditugaskan pada kita oleh sang Ratu!"

"Bagus!" Tamtama menghentak memberi semangat.

"Bagaimana kalau dia mati di tangan kita?" tanya Lombo.

"Jangan sampai mati!" kata Gandaloka. "Kita harus tahu takaran!"

"Kalau dia menyerang dengan bahaya dan akan menewaskan diri kita, apakah kita harus gunakan jurus-jurus sederhana saja?" ujar Yodana dengan sedikit ngotot.

"Hentikan pertarungan jika memang ia tampak berbahaya!"

Tamtama menyahut, "Dia paling bangga kalau bisa dilukai oleh lawannya! Jiwa pendekarnya ada di atas luka! Seolah-olah jika ia sudah dilukai lawannya, ia merasa lebih gagah dan lebih hebat lagi!"

Gandaloka berkata kepada yang lain, "Kalau begitu, lukai dia tapi jangan di tempat yang berbahaya!"

"Baiklah kalau memang begitu! Lantas siapa yang mau menyampaikan tantangan ke sana?"

"Aku juga bersedia!" kata Tamtama dengan penuh semangat. "Di mana kita akan bertarung dengannya?"

"Aku punya tempat yang bagus untuk pertarungan!" kata Tamtama lagi. "Kalian pasti menyukai arena itu! Letaknya ada di bibir jurang, tanahnya lega, punya gugusan batu yang bisa digunakan untuk melompat ke sana kemari, dan... pokoknya sangat hebat jika digunakan oleh kalian yang bertubuh besar begini!"

"Baiklah, kau yang atur, Tamtama!" kata Gandaloka.

"Itu mudah! Sangat mudah bagiku!" kata Tamtama. "Tulislah surat tantangan dan aku akan membawanya kepada Pendekar Rajawali Merah, calon suami dari ratu kalian itu!"

Merasa tak bisa dikalahkan Yoga dengan kesaktiannya dan ilmu-ilmunya, Tamtama menggunakan siasat adu domba tersebut. Ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa Yoga akan celaka dalam pertarungan nanti. Kali ini yang akan dihadapi Yoga bukan orang-orang berilmu sedang, tapi orang-orang berilmu tinggi yang terpilih dari Pulau Kana. Tubuh mereka saja sudah tidak seimbang dibanding tubuh Yoga. Apalagi Yoga hanya bertangan satu, jelas akan terdesak sekali oleh serangan orang-orang besar bertangan lengkap itu.

Dengan penuh semangat Tamtama pergi ke rumah Tua Usil untuk menyampaikan surat tantangan. Kehadirannya disambut dengan serangan oleh Lembayung Senja. Tamtama sempat mengelak dengan satu lompatan kecil yang membuat pukulan jarak jauh Lembayung Senja meleset dan mengenai tempat kosong.

Weeess...!

"Tahan, aku tidak menghendaki pertarungan! Aku ke sini mau menemui Pendekar Rajawali Merah!" kata Tamtama sambil matanya terbuka lebar-lebar. Tapi Lembayung Senja menyipitkan mata, memandang dengan sinis. Tamtama akhirnya tersenyum dan berkata,

"Kau tampak cantik sekali jika sedang cemberut begitu, Lembayung Senja! menggemaskan sekali bibirmu itu, Nona!"

Wuuut...! Plook...!

Tendangan kaki Lembayung Senja yang berkelebat secara tiba-tiba itu mengenai wajah Tamtama dengan telak. Pemuda itu sempat terpelanting ke belakang dan hampir jatuh. Ia menjadi marah, lalu melepaskan pukulan tenaga dalamnya.

Claap...! Duaar...!

Sinar kuning disambut dengan sinar merah dari tangan Lembayung Senja. Akibatnya sebuah ledakan bergelombang besar menghempaskan tubuh Tamtama hingga membentur pohon dua kali. Sedangkan Lembayung Senja hanya tersentak mundur dua tindak.

"Keparat kau! Apa maksudmu menyerangku, hah?"

"Aku tidak suka dengan lagakmu! Mau apa kau?!" tantang Lembayung Senja. Lalu, Tamtama menggeram jengkel dan segera melompat dengan telapak tangan terbuka keduanya. Lembayung Senja juga segera sentakkan kaki dan melompat. Tubuh mereka bertemu di udara.

Wuuuttt...!

Telapak tangan mereka saling beradu. Plaaak...! Duaaar. Tamtama terpental lagi, jauhnya lebih dari lima tombak. Sedangkan Lembayung Senja hanya ter-pental tak lebih dari satu tombak. Ia bisa mendaratkan kakinya dengan sigap, sedangkan Tamtama terguling-guling melintasi bebatuan yang runcing. Pinggangnya terasa sakit, bahkan ada batu runcing yang menggores bagian lambungnya. Lambung itu berdarah dan perih rasanya.

"Dari dulu aku muak dengan lagakmu, Bangsat! Kau dulu pernah mengalahkan aku dengan seenak perutmu! Sekarang aku akan membalas kekalahan ku itu dengan mencabut nyawamu!"

Sraang...! Pedang dicabut dari sarungnya. Lembayung Senja siap menyerang Tamtama. Untung saat itu Yoga dan Lili segera keluar karena mendengar dua kali suara ledakan. Lili segera berseru,

"Lembayung...! Tahan marah mu!"

Suara itu sangat berwibawa bagi Lembayung Senja, sehingga ia tak jadi menyerang Tamtama, dan pedangnya dimasukkan kembali. Slep! Lili segera bertanya kepada Tamtama,

"Apa maksudmu datang kemari?"

"Menyampaikan surat buat Yoga!"

"Surat...?!" gumam Lili sambil menatap Yoga, lalu ia berbisik penuh geram, "Apakah kau punya kekasih lain?"

"Tidak! Jangan berpikiran seperti itu!" kemudian Yoga berkata kepada Tamtama, "Surat apa dan surat dari siapa?"

"Surat tantangan dari enam utusan Pulau Keramat itu!"

"Surat tantangan?!"

"Benar! Karena kamu menolak ajakannya dan secara tidak langsung menolak lamaran Kembang Mayat yang menjadi ratu mereka, maka mereka menganggap sikapmu itu suatu penghinaan besar! Kau harus menebusnya dengan pertarungan di Bukit Darah!"

Surat itu dibaca sebentar oleh Yoga dan Lili. Kemudian Lili segera berkata kepada Tamtama, "Baiklah, sampaikan kepada mereka, aku yang akan menggantikan Yoga dalam pertarungan nanti!"

"Mereka menantang Pendekar Rajawali Merah, bukan kau!"

"Aku Pendekar Rajawali Putih! Sama saja!" jawab Lili tegas sekali.

"Tidak bisa! Mereka tetap menghendaki pertarungan dengan Pendekar Rajawali Merah! Mereka tak yakin kalau kau berani menolak lamaran Gusti Ratu mereka! Penolakan itu harus dibuktikan dengan pertarungan. Esok lusa mereka menunggu kalian di Bukit Darah, terutama Yoga yang mereka tunggu!"

SEMBILAN

TERNYATA yang dimaksud Bukit Darah adalah tanah datar di bibir jurang yang pernah dipakai pertarungan antara Kembang Mayat dengan Topeng Merah. Di tempat itulah Yoga kehilangan satu tangannya dan terkapar ditemukan Lili, (Baca episode: "Ratu Kembang Mayat").

Ketika Yoga hadir ditempat itu, hatinya berdesir ingat saat ia kehilangan tangannya. Hati Lili pun berdesir pedih, ingat saat menemukan Yoga dalam keadaan buntung. Darah bekas potongan tangan itu sekarang menghitam di tanah Bukit Darah tersebut. Sebenarnya Pendekar Rajawali Merah sudah dilarang hadir ke pertarungan tersebut oleh gurunya, yaitu Lili.

Tetapi mereka justru sempat bertengkar dan saling baku hantam sendiri. Akhirnya, Lili bersikap masa bodoh terhadap kemauan Pendekar Rajawali Merah itu. Sekali pun demikian, toh pada saat ditentukannya pertarungan, Lili tetap tak tega. Ia ikut hadir mendampingi orang yang diam-diam sangat dicintai itu.

Bahkan Lembayung Senja pun ikut serta, karena ia ingin mencuri jurus-jurus yang dimainkan oleh Pendekar Rajawali Merah. Sedangkan Tua Usil ikut pula, karena ia senang melihat jurus-jurus yang mengagumkan itu.

Gandaloka hadir bersama kelima anak buahnya. Tak ketinggalan, Tamtama pun ada di pihak mereka. Tamtama memandang sinis berkesan meremehkan kepada Yoga, membuat geram hati Lili dan Lembayung Senja mencari kesempatan untuk memukul Tamtama. Sementara itu, si Tua Usil sebentar-sebentar menunggingkan pantat untuk meledek Tamtama dengan rasa bencinya.

Pendekar Rajawali Merah siap di tengah arena yang dikelilingi oleh mereka. Ia berdiri tegak dan da-danya yang keras itu terbusung gagah walau tanpa sa-tu tangan. Pedangnya tetap bertengger di punggung dan siap dicabut bilamana diperlukan. Sementara itu, Lili berdiri di tepian jurang, menjaga kemungkinan tu-buh Yoga terpental ke arah jurang.

Gandaloka maju dengan memberi hormat melalui anggukkan kepala dan senyuman tipis. Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Merah segera bertanya kepada Gandaloka,

"Siapa yang akan maju melawanku?"

"Gadranaya!" jawab Gandaloka dengan menunjuk orang paling gemuk di antara mereka. Gadranaya pun maju dan berdiri di samping Gandaloka. Matanya memandang tajam ke arah Yoga, seakan tak sabar ingin segera menyerangnya. Gadranaya menggunakan senjata pedang panjang yang menyerupai samurai, tetapi pedang itu berukuran besar dan sesuai dengan perawakan badannya.

"Sebelumnya aku minta maaf, karena pertarungan ini sebagai ungkapan rasa hormat kami kepadamu, Tuan Pendekar," kata Gandaloka.

"Bukan begini cara memberi rasa hormat kepadaku, Gandaloka! Kusarankan, sebaiknya kalian pulang saja dan laporkan kepada Gusti Ratu kalian tentang keadaan diriku dan hatiku! Jangan kau tempuh dengan cara seperti ini!"

Gandaloka sudah terpengaruh oleh kata-kata Tamtama, sehingga ia berkata dengan kalem, "Harga diri seorang pendekar terletak pada suatu pertarungan! Kami tahu persis hal itu. Jadi kami tempuh cara seperti ini! Jika Tuan Pendekar menang melawan kami, maka kami akan pulang dan melaporkan keadaan di sini kepada Gusti Ratu Kembang Mayat. Tetapi jika Tuan Pendekar kalah, maka Tuan Pendekar harus ikut kami ke Pulau Kana dan menikah dengan Gusti Ratu Kembang Mayat!"

"Bagaimana jika di antara kalian ada yang mati?"

"Itu sudah tugas kami! Kami prajurit pilihan yang punya tugas dan tanggung jawab mati untuk sang Ratu!"

"Baiklah! Jangan katakan aku keji jika kalian ada yang mati karena pertarungan ini!"

"Kami sudah siap untuk itu, Tuan Pendekar!" sambil Gandaloka anggukkan kepala sebagai hormat yang di sertai dengan senyum ramah.

"Baik. Minggirlah...! Akan segera ku mulai!" kata Yoga dengan tenang juga. Lalu, Gandaloka pun mundur dari arena. Dan Gadranaya mulai maju perlahan-lahan.

"Hait..!" Gadranaya membuka jurus pertama, satu tangannya di atas kepala dan tangan yang satunya lurus ke depan dalam keadaan tengkurap telapaknya.

Pendekar Rajawali Merah berjalan pelan-pelan membentuk gerak lingkaran. Tangan kanannya yang masih utuh itu sebentar-sebentar menepiskan cuping hidungnya yang mancung dengan ibu jarinya. Matanya tak berkedip memandangi lawannya yang tinggi besar itu.

"Heaaat...!" Gadranaya menyerang lebih dulu dengan satu lompatan berkaki lurus. Kaki itu diarahkan ke dada Pendekar Rajawali Merah.

Tetapi dengan gesit dan cepat, Pendekar Rajawali Merah berkelebat lompat ke atas, lalu kaki besar yang memanjang lurus karena menendang itu digunakan sebagai alas bertapak oleh Yoga. Ia berlari menggunakan alas kaki betis dan paha lawan. Kemudian dengan cepat kaki kanannya menendang wajah Gadranaya kuat-kuat.

"Hiaaat..!" Plookk...!

Pendekar Rajawali Merah melompat dan memutar tubuhnya bagaikan kitiran. Wuuurt...! Putaran itu melepaskan tendangan berkali-kali dalam gerak serempak. Prroookk...! Suara wajah tertendang secara beruntun itu membuat Tamtama terbengong melompong.

Gadranaya bertahan untuk tidak terpental. Tapi tubuhnya limpung ke kanan kirinya. Mulutnya menyemburkan darah dengan salah satu gigi terloncat keluar akibat tendangan tersebut. Matanya terkedip-kedip karena pandangannya menjadi gelap.

"Gggrrr...!" ia menggeram antara sakit dan marah. Segera ia mencabut pedangnya yang ada di ping-gang. Tetapi baru saja ia memegang gagang pedang, tiba-tiba Yoga melompat maju lagi, dan menghantamkan telapak tangannya dengan kuat, menyodok ke atas ulu hatinya.

Buuhg!

Hantaman telapak tangan itu begitu telaknya. Bahkan untuk sesaat masih menempel dl ulu hati orang besar itu. Tampak telapak tangan Pendekar Rajawali Merah membara merah bagaikan besi terpanggang. Dan seketika itu pula, dari mulut Gadranaya muncratlah darah segar yang menyembur lumayan jauhnya.

Seet...! Yoga menarik tangannya dan segera bersalto ke belakang satu kali. Wuuut...! Jleeg...! Ia kembali berdiri dengan tegap, memandangi lawannya yang masih berdiri dengan limbung. Kejap berikutnya Gadranaya pun tumbang bagai sebatang pohon besar tak berakar lagi. Bluuuhg...! Darah makin banyak yang keluar dari mulutnya, kemudian kepala orang besar itu tergolek miring dengan lemas. Saat itulah Gadranaya menghembuskan napas terakhirnya.

Semua mata teman-temannya terbelalak kaget melihat Gadranaya tumbang. Gandaloka sendiri terbuka matanya dan segera berlari menolong Gadranaya, tetapi ia terlambat. Ia mengetahui Gadranaya telah mati. Rasa sesalnya ditahan kuat-kuat dengan cara menundukkan kepala dalam keadaan jongkok di samping mayat Gadranaya.

"Gandaloka! Izinkan aku maju membalas keka-lahan ini!" seru Yodana.

Gandaloka hanya memandang Yodana yang bermata lebar itu. Lalu, Gandaloka anggukkan kepala tipis sambil ia segera pergi membawa mayat Gadranaya ke tepi. Sekarang Yodana melompat maju ke tengah arena. Pada saat itu, Yoga mendengar suara Lili berbisik di belakang,

"Hindari tangan kirinya! Dia kidal!"

Lili bisa berkata begitu, karena dia melihat Yodana menyelipkan senjata golok lebarnya di sebelah kanan. Yoga segera paham maksud Lili, tapi ia tidak memberi anggukan sedikit pun. Ia justru bergerak maju dengan langkah pelan.

"Tuan Pendekar!" kata Yodana. "Kalau sampai Tuan luka, anggap saja itu penebus kematian teman saya itu!"

"Aku siap menebusnya dengan nyawa!" jawab Pendekar Rajawali Merah dengan mantap. Kemudian ia segera hentikan langkah karena tiba-tiba Yodana melepaskan pukulan bersinar putih terang ke arah dada Yoga. Maka dengan cepat Yoga pun menghantamkan telapak tangannya ke depan. Claap...! Sinar merah baru saja keluar dari tangannya sudah lebih dulu didesak oleh sinar putih perak itu.

Blaaar...!

Tubuh Pendekar Rajawali Merah terpental dan jatuh terguling-guling hingga mencapai tepian jurang. Mereka yang memandang menjadi cemas. Lili ingin berlari menahan tubuh Yoga agar jangan sampai terjerumus ke jurang. Namun tiba-tiba terdengar suara pekikan Yodana yang melompat bersama golok besarnya yang sudah diangkat siap untuk ditebaskan.

"Heaaahhh...!"

Pendekar Rajawali Merah berguling ke kanan dan kiri dalam keadaan telentang. Matanya melihat jelas gerakan lawan yang ingin membelah kepala dan dadanya. Maka dengan cepat kaki Yoga menendang tulang kering lawannya dengan kuat.

Dees...!

"Aahg...!"

Kesempatan itu digunakan oleh Yoga untuk berguling lagi ke kanan, dan kakinya berkelebat ke samping, menendang pinggul Yodana dengan keras.

Duugh...!

"Auh...!" Tendangan itu sangat kuat, sehingga tubuh Yodana akhirnya terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan.

Yoga segera sentakkan pinggulnya sendiri, wuuut...! Jleeg...! Ia sudah berdiri, dan segera lepaskan tendangan sekali lagi ke punggung Yodana. Wuuut! Duuhg...!

"Uaaa...!" Yodana menjerit sekeras-kerasnya karena tubuhnya terlempar ke jurang yang dalam. Jeritan itu membuat mata teman-temannya terpejam kuat-kuat menahan kengerian yang dialami Yodana. Jeritan itu menggema panjang dan makin lama semakin hilang bagaikan tertelan bumi.

Tiba-tiba terdengar suara. "Keparat kau, heeaaah...!"

Waktu itu Pendekar Rajawali Merah sedang memandang ke arah jurang yang menelan tubuh Yodana. Tapi begitu mendengar pekikan keras dari arah belakangnya, dengan tanpa menoleh lagi Pendekar Rajawali Merah sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas dengan gerakan bersalto dua kali.

Wuuut... wuuut...!

Gerakan bersalto ke belakang dua kali itu membuat Yoga lolos dari hujaman pedang berujung runcing. Zuuut...!

Orang itu cepat balikkan badan dan pandangi Yoga dengan penuh dendam. Dia adalah yang bernama Sarpa. Kumisnya tebal. rambutnya ikal, dengan pe-dang besar runcing tajam dua sisinya. Ketika pedang itu di hujamkan tadi, tampak ada sinar merah melesat sebesar lidi. Kali ini agaknya Sarpa juga ingin menggunakan kehebatan pedangnya itu.

Pendekar Rajawali Merah melangkah pelan mengitari arena demikian pula orang tinggi besar bersenjata pedang runcing yang berukuran besar juga itu. Dan tiba-tiba ia menyerang dengan cepat, mengibaskan pedangnya ke kanan kiri hingga keluarkan asap putih dan suara menggaung.

Wuuung... wuuung... wuuung... wuuung...!

"Asap racun!" seru Lili kepada Yoga. Yang menutup hidung Lembayung Senja dan si Tua Usil. Sedangkan Lili dan Pendekar Rajawali Merah tetap diam, tidak menutup hidung, namun mereka menahan napas.

Asap itu makin lama semakin tebal, karena Yoga tidak segera menyerang melainkan hanya menghindar ke sana sini saja. Gandaloka dan Tamtama juga segera menutup hidung. Bau seperti belerang busuk adalah bau racun yang berbahaya. Sedangkan Rogami dan Lombo hanya menahan napas seperti Yoga.

Begitu kibasan pedang berhenti dan asap mengepul tebal, Yoga segera lepaskan pukulan jarak jauhnya yang berwarna hijau. Selarik sinar hijau itu melesat dari ujung jari Yoga. Zlaaap! Sinar hijau itu berkelebat menembus gumpalan asap beracun.

Zluub...! Wuuurrsss...!

Asap itu menyebar dan lenyap seketika bagai dihembus badai yang amat besar. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Merah berguling ke tanah dan tahu-tahu kakinya sudah menendang kuat 'jimat simpanan' Sarpa.

Buuhhg...!

"Ouuh...!" Sarpa mendelik sambil memegangi ‘jimat simpanannya’ yang ada di bawah perut. Tubuhnya sedikit membungkuk. Keadaan itu segera dimanfaatkan oleh Pendekar Rajawali Merah untuk menyerang wajah lawan. Kakinya lurus ke atas dan tangan kanannya bertumpu di tanah lalu menyentak.

Wuuut...!

Pendekar Rajawali Merah melesat ke atas dengan cepat dalam keadaan kaki kanan dan kiri men-jejak ke atas kepala di bawah. Plook...! Tendangan kaki itu tepat mengenai wajah lawan dengan telak sekali. Lawan terdongak seketika dan terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut dan hidung bonyok berdarah.

Pedang Sarpa jatuh di tanah dan Pendekar Rajawali Merah sudah putarkan tubuh, lalu ketika ia turun dari lompatannya kakinya lebih dulu memapak di tanah.

Jleeg...!

Sarpa masih kuat. Ia membelalakkan mata dengan ganas ketika melihat wajahnya berlumur darah. Dengan mengerang keras Sarpa pun melompat bagai singa lapar ingin menerkam mangsanya. Tetapi pada saat itu Yoga melihat pedang lawan di tanah dalam keadaan ujungnya mengarah ke lawan. Maka, kaki Yoga pun segera menendang ujung gagang pedang tersebut.

Teeb...! Wuuut...!

Pedang melesat cepat dan menancap tepat di ulu hati Sarpa. Jrruub...!

"Uhhg...!" Sarpa mendelik. Pedangnya masuk ke ulu hati dan tembus sampai di punggungnya. Jika tendangan itu tidak disertai kekuatan tenaga dalam, tak mungkin bisa sampai menembus ke belakang tubuh Sarpa.

Melihat Sarpa masih berdiri dengan tubuh kejang memegangi pedangnya, Lombo segera melompat dari belakang Yoga dan melepaskan senjata kapaknya ke arah punggung Yoga. "Heaaat...!"

Yoga segera melompat maju, mencabut pedang yang menancap di perut lawan, sambil kakinya menjejak tubuh Sarpa. Zluub...! Begitu pedang tercabut, langsung dikibaskan dari atas ke bawah. Traang! Pedang itu beradu dengan kapak Lombo. Bunga api memercik akibat benturan dua senjata dengan kuatnya itu.

Wuuut...! Buhhg...!

Dada Yoga terkena tendangan putar dari Lombo. Tubuh Yoga tersentak ke belakang dan jatuh lagi dalam keadaan telentang. Lombo yang hidung lebar serta besar itu menghujamkan kapaknya ke perut Yoga sambil menggeram ganas.

"Gggrrr...! Hoaaah...!"

Jruub...! Kapak bergagang panjang itu menancap di tanah. Yoga segera berguling lagi ke kanan, kemudian bangkit memunggungi Lombo, dan pedang yang masih dipegangnya itu disentakkan ke belakang.

Jruub...!

Tepat mengenai lambung Lombo. Begitu pedang dihujamkan Pendekar Rajawali Merah memutar balik dan menghantam telak pelipis orang besar yang sedang terbungkuk itu. Prook...! Pukulan itu berasap tipis dan membuat kepala lawan retak seketika, mungkin juga pecah pada bagian dalamnya. Akibatnya tubuh lawan itu tumbang bagai seekor kerbau dan kejap selanjutnya sudah tidak bernapas lagi.

Pendekar Rajawali Merah wajahnya menjadi keras dan ganas. Matanya menatap tajam pada Gandaloka dan Rogami. Hanya dua orang itu yang tersisa dari keenam utusan Pulau Keramat. Kedua orang itu tertegun melihat kematian Lombo yang dikenal jago bermain kapak.

"Apakah masih mau dilanjutkan?!" ucap Pendekar Rajawali Merah dengan nada dingin.

Gandaloka memandang Rogami. Yang dipandang seakan penuh nafsu membunuh kepada Pendekar Rajawali Merah. Sebentar kemudian terdengar suara Rogami berkata tanpa menoleh ke arah Gandaloka,

"Akan ku tebus kematian teman-teman kita, Gandaloka!"

"Rogami, kurasa cukup sampai di sini saja!" kata Gandaloka.

Mata Rogami masih memandang buas kepada Yoga dan ia berkata, "Kalau aku mati, hentikan pertarungan sampai di sini! Tapi kalau aku hidup, lanjutkan pertarungan dengan yang lainnya!"

"Rogami, ini hanya sia-sia belaka!"

"Sudah telanjur, Gandaloka! Sudah telanjur dan ini adalah pertarungan yang penghabisan...!" sambil Rogami melangkah maju dengan sangarnya. Rambutnya yang panjang dengan mata lebar, benar-benar menampakkan dirinya seperti raksasa haus darah.

Sreek...! Ia mencabut pedang berujung papak tapi tajam. Pedang segi empat yang menyerupai parang besar itu berkilauan karena memantulkan sinar matahari. Pada saat itu, tangan Pendekar Rajawali Merah pelan-pelan mencabut pedang pusakanya dari punggung.

Sreet! Blaaar...!

Kilatan petir menggelegar di angkasa walau panas matahari begitu menyengat kulit. Itulah tandanya Pedang Lidah Guntur dikeluarkan dari sarungnya. Pedang tersebut bercahaya merah pijar dan sesekali terlihat ada lompatan lidah petir yang kecil-kecil di tepian pedang tersebut.

"Gandaloka, aku terpaksa...!" kata Pendekar Rajawali Merah dengan suara keras. Gandaloka tidak bisa berkata apa-apa. Rogami menyerang dengan ganas. Pedangnya digenggam dengan dua tangan.

"Hiaaahhh...!" ia berteriak keras sambil menerjang Pendekar Rajawali Merah. Tetapi Yoga cepat kelebatkan pedangnya dari atas ke bawah. Wuuut... ! Zlaaap...! Sinar merah berkelok-kelok melesat dari ujung pedang itu dan menghantam tubuh Rogami.

Zraab...!

Rogami diam tak bergerak. Pedang kapaknya jatuh dari tangan dan tubuhnya pun tumbang ke belakang. Blaam...!

Gandaloka mendelik melihat tubuh Rogami terbelah dari kening sampai ke perut. Belahannya berkelok-kelok, jelas bukan karena tebasan ujung pedang, tapi karena sinar merah tadi. Melihat Rogami tumbang, Gandaloka hanya menarik napas panjang. Lalu ia berkata kepada Pendekar Rajawali Merah,

"Tuan Pendekar, kiranya cukup sudah sampai di sini pertarungan kita! Pada dasarnya, Tuan Pendekar menolak, dan saya salah langkah dalam bertindak! Saya... pamit pulang ke Pulau Keramat!"

"Gandaloka...! Secara jujur kuakui, kau seorang ksatria! Sampaikan salamku kepada Kembang Mayat dan ceritakanlah apa adanya."

"Baik," jawab Gandaloka sambil menunduk memberi hormat Kemudian ia pun berbalik arah dan pergi dengan hati getir.

Tamtama mengikutinya dan berkata, "Kenapa kau tidak turun juga, Gandaloka?! Siapa tahu kau menang... dan... dan...."

Tamtama tidak melanjutkan kata-katanya, Tangannya digenggam Gandaloka sambil berkata, "Kau penghasut licik!"

Kraak...!

"Aaauhh...!" Tamtama menjerit kesakitan. Tangan kirinya dipatahkan oleh Gandaloka. Setelah itu ditinggalkannya pergi begitu saja.

Mereka yang ada di pihak Yoga hanya menertawakan kesakitan Tamtama, dan membiarkan pemuda itu meraung-raung sambil berguling-guling di tanah. Suaranya bagai memenuhi seluruh bumi.

Tua Usil mendekatinya dan berkata, "Bocah gemblung...! Tangannya dipatahkan kok mau saja! Huhh..,! Dasar gemblung kamu!"

"Tua Usil, tinggalkan dia! Kita pulang!" seru Lili.

"Oh, eh... iya, baik! Baik, Nona Lili! Hmmm... kita belajar berdiri di atas ilalang, bukan?!" Tua Usil girang.

Lili menjawab, "Kubilang kalau urusanku sudah selesai, baru kuajarkan cara berdiri di atas ilalang!"

"Lho, urusannya kan sudah selesai, Nona Lili!"

"Belum. Karena Yoga belum mau kasih tahu, di mana Sendang Suci atau si Topeng Merah itu disembunyikan!" geram Lili sambil melirik Pendekar Rajawali Merah.

Yoga berkerut dahi, "Aku tidak tahu soal dia!"

"Bohong!"

"Sungguh. Aku tidak tahu!"

"Kataku; bohong!" bentak Lili dengan mata mendelik.

Pendekar Rajawali Merah angkat bahu, pertanda menyerah dan terserah apa kata Lili. Tapi lama-lama ia membatin pula, perlukah memberitahukan di mana Sendang Suci? Padahal Yoga masih punya tugas mencari bunga Teratai Hitam untuk Mahligai, dan mencarikan obat penyembuh racun untuk Mutiara Naga.

Dan apakah kematian kelima utusan Pulau Keramat itu tidak mendatangkan penyerang besar-besaran? Bagaimana jika penduduk Pulau Keramat yang bertubuh tinggi besar semua itu menyerang Pendekar Rajawali Merah secara bersama-sama?

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.