Jodoh Rajawali - Wasiat Dewa Geledek
TANAH tak bertuan terletak di Teluk Benggala. Tempatnya sunyi, berkesan angker. Udaranya lembab dan berbau tanah basah. Air laut dari Teluk Benggala kadang sampai memenuhi wilayah tanah tak bertuan jika air laut pasang. Tak heran jika tanah di situ jarang bisa kering. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, sering rubuh seketika karena disambar petir.
Hembusan angin laut yang sering membadai membuat tanah tak bertuan itu menjadi semakin kuat oleh cerita lama, tentang keangkeran dan keganasan hutan nya dari roh-roh jahat. Barangkali karena cerita lama yang dituturkan dari mulut ke mulut itulah yang membuat manusia enggan melintasi tanah tak bertuan itu. Hanya orang yang tersesat dan terdesak saja yang mau berada di hutan tanah tak bertuan.
Seperti halnya seorang gadis bergaun kuning, terpaksa mengarahkan larinya ke tanah angker tersebut karena suatu hal. Jika bukan karena menghindari bahaya, tentunya gadis berambut panjang yang diikat kain merah itu tak mau singgah dan bersembunyi di tanah tersebut.
Gadis itu berwajah cantik, namun tampak dihinggapi ketegangan. Matanya yang bulat bening dan berbulu lentik itu kelihatan menyimpan kecemasan, yang membuat gerakannya serba cepat. la melompat dari batu ke batu, sampai tiba di gundukan tanah yang menyerupai kuburan panjang itu.
Kuburan membukit bertanah kering, tapi berumput duri. Beberapa bebatuan tersembul di sana, bahkan ada yang tingginya seukuran manusia dewasa. Gadis itu menyelinap di balik bebatuan besar dengan mata melirik ke kanan-kiri penuh ketegangan. Namun tiba-tiba gadis berbaju kuning dengan ikat pinggang selendang warna biru muda dan menyelipkan pedang pendek di selendang itu, menjadi tertegun dalam satu sentakan mengejutkan.
"Ha ha ha...! Mau bersembunyi di mana kau, Mahligai?”
Orang bertampang ganas tiba-tiba mencegatnya dan tahu-tahu sudah berada di depan gadis berbaju kuning yang ternyata bernama Mahligai. Orang bertampang ganas itu mempunyai mata lebar dan tubuh lebih besar dari Mahligai. Kumisnya tebal dan rambutnya panjang diikat dengan logam tembaga. Di tengah logam tembaga itu ada hiasan mulut singa yang menganga lebar, menambah kesan ganas pada wajah lelaki itu.
la mengenakan pakaian serba biru tua dan sabuk warna hitam lebar. Di sabuknya terselip pedang lebar berujung lengkung dan runcing. Pedang itu menimbulkan kesan bahwa si pemiliknya gemar memancung leher lawannya tanpa ampun lagi.
"Kau tak akan bisa lari untuk menghindari perjanjianku dengan gurumu, Mahligai!" kata orang berwajah angker itu dengan suara besar.
"Aku tak punya urusan dengan perjanjianmu itu, Mata Neraka!" Mahligai mencoba menangkis anggapan si Mata Neraka.
"Siapa bilang tak ada urusan? Justru kalau bukan gurumu Sendang Suci menjanjikan perkawinanku dengan dirimu, aku tak akan mau mengobati sakit gurumu itu! Dan sekarang aku sudah bisa menyembuhkan gurumu, maka janjinya pun harus dipenuhi! Dia harus mengawinkan aku denganmu, sebagai murid tunggalnya!"
"Mata Neraka!" kata Mahligai memaksakan diri untuk tetap kelihatan berani, "Guru tidak pernah mempertaruhkan aku sebagai jaminan kesembuhannya! Jangan kau memaksa diriku untuk menerima lamaranmu, Mata Neraka!"
"Pada waktu aku buat perjanjian itu dengan Sendang Suci, kau ada tak jauh dari kami, dan kau mendengar apa yang dikatakan oleh gurumu! Kau tidak membantah dan mengajukan keberatan! Sekarang kau mau berlagak tidak tahu menahu dengan perjanjian itu! Jelas itu tidak bisa kuterima, Mahligai! Apa pun yang terjadi, kau harus menjadi istriku karena itulah upahku mengobati sakit gurumu!"
Mahligai masih berdiri dengan sikap dibuat setenang mungkin. Dalam hatinya ia membatin, "Sebenarnya ini hanya siasat yang kuciptakan bersama Guru. Tapi ternyata Guru tidak mau mencegah tindakan Mata Neraka. Apa maksud Guru membiarkan Mata Neraka mengejarku?! Apakah dia benar-benar mau menjodohkan aku dengan Mata Neraka? Apakah Guru tega melihat aku mempunyai suami manusia sesat ini?! Oh, tidak! Aku tidak mau jika harus menyerah menjadi istri Mata Neraka! Aku harus melawannya dan lebih baik mati daripada menjadi istri tokoh sesat ini!"
Setelah kesunyian terjadi beberapa kejap melingkupi mereka berdua, maka terdengarlah suara Mata Neraka yang menggetarkan jantung Mahligai itu, "Bagaimana? Sudah kau ingat-ingat perjanjian itu. Mahligai?"
"Aku tidak Ingat!" jawab Mahligai dengan ketus. "Aku menolak menjadi istrimu!"
Si Mata Neraka mulai pancarkan pandangan marahnya, Suaranya sedikit menggeram ketika ia berkata, "Mahligai, Jangan kau buat hatiku kecewa dengan penolakanmu! Aku bisa celakai gurumu lagi dengan racun yang tak bisa disembuhkan oleh siapa pun kecuali olehku. Dan usia gurumu akan pendek! Atau aku bahkan tak segan-segan menghabisi nyawamu jika kau masih menolakku dan mengecewakan hatiku, Mahligai!"
Mahligai bahkan mencibir sinis dan berkata, "Hmm...! Rupanya kau telah membongkar rahasiamu sendiri, Mata Neraka! Berarti kaulah orang yang telah melukai Guru dengan jarum racunmu itu, ketika Guru sedang dalam perjalanan pulang dari Bukit Mawar! Guru menderita luka racun yang tak bisa disembuhkan oleh siapa pun. Lalu, kau tampil berlagak sebagai tabib, karena kau punya rencana ingin memperistriku! Rupanya kau buat Guru berhutang budi padamu, sehingga Guru mau membantumu membujukku supaya menerima lamaranmu! Sekarang buatku jelas sudah tipu muslihatmu itu, Mata Neraka!"
"Ha ha ha...! Kalau sudah jelas, lantas bagaimana?!"
“Aku tetap menolak lamaranmu!"
"Itu berarti kau memaksaku membunuhmu, Mahligai!"
"Apa boleh buat jika memang itu, yang harus kutempuh demi membayar hutang Guru kepadamu!"
"Benar-benar kau adalah perempuan bodoh, Mahligai! Tidak sembarang perempuan ingin kukawini sebagai istriku yang sah! Hanya kamu yang terpilih di hatiku! Biasanya aku hanya merenggut kesuciannya, atau menikmati mahkotanya barang sejenak, selesai itu kubuang atau kubunuh! Tapi terhadapmu, Aku bermurah hati dan tak ingin membuangmu, Mahligai!. Kau akan kurawat dan kusayangi sepanjang hidupmu, kau akan kumanjakan kapan saja!"
"Persetan dengan semua itu! Aku tak sudi menjadi istrimu!"
Panas hati si Mata Neraka mendengar penolakannya yang terang-terangan itu. Ia diam memandangi Mahligai dengan wajah menjadi kaku, dingin namun angker. Mahligai tahu gelagat, pasti sebentar lagi orang keji itu akan menyerang, karena itu Mahligai segera mencabut pedangnya.
Sraangng...!
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan padaku, Mata, Neraka. Aku sudah siap menghadapi mu!" ucap Mahligai dengan ketus sekali.
Mata Neraka masih diam memandangi tak berkedip dengan wajah semakin tampak lebih angker lagi. Kejap berikutnya, bola mata orang berkumis lebat itu tiba-tiba menjadi hijau menyala.
Mahligai mundur setindak dan agak kaget. Dengan, cepat ia melesat ke samping, tubuhnya bagai melayang ke atas batu yang setinggi pundaknya. Tepat pada waktu itu, sorot mata yang hijau melepaskan sinar dua larik seperti jalur sebesar lidi.
Claapp...! Duaaar...!
Dua larik sinar hijau itu menghantam batu di belakang tempat berdiri Mahligai sebelumnya. Andai Mahligai tidak lekas melompat ke atas batu setinggi pundak, maka tubuhnya akan pecah pula dihantam sinar hijau dua larik itu.
"Hiaaat...!" Mahligai sentakkan kaki dan tubuhnya bagaikan terbang menyerang si Mata Neraka dengan pedang tajamnya yang berujung runcing itu. la kelebatkan tangan yang memegang pedang, sehingga pedang itu pun berkelebat di depan mata lawannya.
Wuutt! Trangng...!
Cepat sekali si Mata Neraka mencabut pedang lebarnya, nyaris tak bisa terlihat oleh mata Mahligai. Tahu-tahu pedang besar itu menangkis dalam gerakan tebas yang cepat pula. Akibatnya pedang Mahligai terlepas dari pegangannya dan terpental tiga tombak dari tempatnya berdiri.
Melihat Mahligai mundur tiga tindak, si Mata Neraka lepaskan tawa terbahak-bahak. ia merasa punya satu kemenangan setelah pedang di tangan Mahligai berhasil dibuangnya jauh-jauh.
"Aku tahu kekuatanmu sudah berkurang jika tanpa pedang pendekmu itu, Mahligai! Karena itu, jangan kamu memaksaku lagi untuk membunuhmu! Menyerahlah dan Jadilah istriku sesuai perjanjianku dengan gurumu itu!"
"Kawini saja mayatku! Haiaaah...!"
Wuuk... wwukkk...!
Mahligai bersalto mundur dua kail, lalu dari tangan kanannya ia lepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar lebar berwarna kuning.
Zlaaap...!
Si Mata Neraka kibaskan pedang lebarnya dari kanan ke kiri. Wuuut...! Lalu pedang itu berhenti di atas kepala sebelah kiri, dan memancarkan sinar hijau bergelombang-gelombang. Sinar itu bagaikan suatu kekuatan yang mampu menghisap sinar kuning dari Mahligai.
Zrruubb!
Dalam sekejap sinar kuning pun lenyap tanpa menimbulkan bunyi ledakan apa pun.
"Gila! Pedang itu mampu menyerap jurus 'Badai Darah' ku!" ucap Mahligai dalam hatinya. "Gawat! Terpaksa aku menggunakan selendang ini! Kurasa dia tak akan sanggup menahan jurus selendangku yang bernama 'Ekor Naga Murka' Ini!"
Agaknya Mahligai benar-benar tak mau menyerah dan pasrah menjadi Istri manusia sesat itu. Ia menggunakan selendang birunya dan selendang itu dikibaskan dalam satu hentakkan ke arah si Mata Neraka.
Wuuusss...!
Selendang itu berkelebat cepat menghantam kepala si Mata Neraka. Tetapi pedang lebar Mata Neraka menangkisnya dan selendang biru itu tertahan ujungnya di sana.
Weertt...!
"Uhg...!" Mahligai bertahan ketika pedang Mata Neraka bergerak ingin menarik selendang tersebut dalam sentakan. Mahligai tidak mau terbawa oleh tarikan selendang suteranya itu, sehingga ia kerahkan tenaganya untuk menahan kekuatan lawan yang berusaha menarik selendang. Sementara, Mata Neraka sendiri tampak kerahkan tenaga pula berusaha untuk menarik selendang dan pemiliknya agar terpental maju ke arahnya.
Tetapi, begitu melihat di belakangnya ada pohon, Mahligai segera memutari pohon itu dua kali. Selendangnya tersangkut di pohon itu dalam keadaan terentang. Lalu, tubuhnya yang ramping itu melesat naik di atas rentangan selendang dan berlari dengan cepat ke arah lawannya.
Mata Neraka tidak menyangka Mahligai mampu berlari di atas rentangan selendangnya, bahkan tahu-tahu telapak kaki gadis itu menjejak wajah Mata Neraka dengan kuat.
Plookkk...! Deesss!
Dua kali tendangan sama-sama telah mengenai Wajah Mata Neraka. Wajah itu tersentak ke belakang pada saat Mahligai bersalto di udara satu kali dan hinggap di rentangan selendangnya lagi. Namun setelah itu ia melompat turun dengan segera, karena selendangnya terlepas dari lilitan ke pedang besarnya Mata Neraka. Sedangkan tubuh Mata Neraka terguling-guling ke belakang, tiga tombak jauhnya. dan terakhir punggungnya membentur akar pohon besar.
Duuggg...!
Dilihatnya Mahligai telah sigap berdiri dengan selendang birunya di tangan kanan dalam keadaan memendek seperti ukuran semula. Mata Neraka menjadi semakin marah. Maka dengan cepat ia bangkit dan matanya berubah menjadi merah. Kemudian dari dua bola mata yang hijau menyala itu melesatlah sinar hijau dua larik yang menjadi satu di pertengahan, lalu sinar hijau yang panjang dan lurus itu menghantam tubuh Mahligai bagai tak kenal ampun lagi.
Wutt…! Blaaarr!
Seberkas cahaya merah bagai lempengan logam yang menyala melesat dari arah lain dan menghadang sinar hijau tersebut. Benturan cahaya merah dan hijau itu timbulkan ledakan dahsyat dan membuat tubuh Mahligai terpental jauh ke arah belakang sampai disamping pedangnya yang tergeletak di rerumputan.
Mata Neraka terperanjat dan segera memandang ke arah kiri, sebab ia tahu sinar merah itu bukan berasal dari tangan Mahligai, tapi dari tangan orang lain. Maka, segeralah dilihatnya seorang pemuda tampan berambut panjang lurus dan lemas, berdiri dengan tegapnya di bawah sebuah pohon berakar gantung. Pemuda itu berbadan tegap, kekar, mengenakan selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya. Celananya merah diikat kain hitam pada pinggangnya.
“Jahanam Kau. Mau ikut campur urusan orang, hah? Mau jadi dewa penolong untuk gadis dungu itu, hah?!" gertak si Mata Neraka.
Tetapi, pemuda itu bahkan berkata kepada Mahligai, "Larilah! Kutangani orang ini dan selamatkan dirimu jika kau tidak mau menjadi istrinya!"
Mahligai berkata dalam hatinya, "Siapa pemuda ini? Aku tidak mengenalnya, tapi agaknya dia tadi mendengar perdebatanku dengan si Mata Neraka, sehingga dia tahu persoalanku sebenarnya. Rasa-rasanya baru sekarang aku jumpa dia. Hmmm… tampan juga wajahnya. Ia mempunyai sorot mata yang menggetarkan hatiku! Siapa dia sebenarnya dan mengapa ia membelaku?"
Rasa-rasanya Mahligai ingin diam dan melihat pertarungan pemuda tampan itu dengan si Mata Neraka. Tetapi Mahligai merasa punya peluang baik untuk melarikan diri, seperti yang disarankan pemuda berlengan kekar itu. Mahligai tak tahu, apakah pemuda itu mampu menaklukkan si Mata Neraka yang terkenal tinggi ilmunya itu atau tidak, tapi langkah yang terbaik memang lari dan segera menyelamatkan diri sementara si Mata Neraka biar dihambat pengejarannya oleh pemuda tampan itu. Maka, dengan cepat Mahligai pun angkat kaki dari tempat tersebut setelah ia menyambar pedangnya yang masih tergeletak di rerumputan itu.
Wess,..!
"Mahligai! Tunggu...!" seru si Mata Neraka.
Pemuda itu segera menyentakkan telapak tangan kirinya ke depan dan melesatlah pukulan tenaga dalam yang tak terlihat bentuknya itu. Pukulan tersebut tepat mengenai pinggang belakang Mata Neraka saat orang berwajah angker itu ingin mengejar Mahligai.
Duuub...!
"Uhhg...!" Mata Neraka tersentak ke depan seperti dihantam dengan sebatang pohon gelondongan tepat di pinggangnya. la melengkung ke depan dan akhirnya jatuh tersungkur. Dengan cepat Mata Neraka bangkit kembali dan tak hiraukan rasa ngilu di tulang belakangnya. la segera menatap pemuda tampan yang gagah perkasa itu dengan mata liarnya. Ia pun menggeram sambil mengusap kumisnya yang tebal memakai tangan kiri, lalu berkata, "Biadab kau! Rupanya kau sengaja bikin perkara denganku, hah?!"
"Aku hanya tak suka melihat caramu memaksa gadis itu untuk kau jadikan istrimu! Kudengar kau yang bernama Mata Neraka?!"
"Betul! Pasti kau tadi telah menyadap perdebatanku dengan Mahligai!" ucap Mata Neraka sambil napasnya sedikit terengah-engah karena menahan luapan amarah kepada pemuda Itu. la berkata lagi. "Dan kau... kalau tak kusalah pandang, kau pasti muridnya Empu Dirgantara yang punya gelar Dewa Geledek itu! Kau yang bernama Yoga!"
"Dari mana kau tahu tentang diriku?!"
"Sudah kuincar dirimu bersama gurumu itu! Tapi aku belum sempat lakukan penyerangan kepada kalian! Agaknya, aku harus membunuh muridnya dulu. setelah itu gurunya yang kubunuh!"
"Ada dendam apa kau kepadaku sehingga ingin membunuhku?"
"Dendamnya sudah jelas, kau membuat Mahligai lari, kau mencampuri urusanku dengan Mahligai, kau berlagak menjadi dewa penolongnya, dan itu berarti kau sudah bosan hidup! Soal dendamku kepada gurumu memang tidak ada, tapi karena dia adalah musuh bebuyutan kakakku, maka ada baiknya jika aku membunuh si Dewa Geledek itu!"
Yoga memandang lawannya dengan menyipitkan mata, dan dalam hatinya la berkata, "Rupanya dia punya niat yang sungguh-sungguh untuk membunuh Guru! Kulihat tangannya menggenggam kuat sekali saat ia lontarkan niatnya untuk membunuh Guru! Jadi, aku pun tak boleh tanggung-tanggung melawannya. Bukan lantaran ingin menyelamatkan gadis itu saja, melainkan juga harus menyelamatkan Guru sebelum bahaya datang dari si Mata Neraka Ini!"
Sementara itu, si Mata Neraka pun berkata dalam hati ketika ia menatap Yoga tanpa berkedip sedikit pun. "Ini lah saatnya memancing si Dewa Geledek keluar dari persembunyiannya selama ini. Pemuda didepanku itu sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan beberapa orang sebagai murid si Dewa Geledek. Jadi kurasa dengan membunuh muridnya, maka Dewa Geledek akan muncul dan ikut campur lagi di rimba persilatan! Dia tak akan menjadi petapa lagi dan membatalkan niatnya untuk mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
Beberapa saat ketika mereka berdua saling pandang dan saling membatin, tiba-tiba sekilas sinar hijau kecil melesat dari mata orang berwajah angker itu. Claappp!! Dua sinar kecil hijau itu melesat bersamaan dan menghantam mata Yoga dengan cepatnya.
“Ouhh…?” Yoga terkejut. Pandangan matanya menjadi gelap. Bola matanya pedih dan sakit sekali. la meraba-raba sambil bergerak. Lalu ia rasakan hembusan angin dingin mendekati lehernya. Buru-buru ia merunduk, setelah itu berguling ke tanah dengan cepat, dan bangkit dengan kaki berlutut sebelah.
Wuukkkk...!
Pedang besar itu lolos dari leher Yoga, karena Yoga menghindar saat hawa dingin dari logam baja putih pedang lawan ingin menebas lehernya. Sementara itu, Yoga segera menjadi berdebar-debar setelah ia sadar dan berkata dalam hatinya,
"Oh, gelap sekali! Aku tak melihat apa-apa!"
"Ha ha ha ha! Nyawamu tinggal beberapa helaan napas lagi, Yoga! Kau tak akan bisa melawanku dalam keadaan buta begitu! Ha ha ha ha...!" seru si, Mata Neraka dengan bergerak mengelilingi Yoga, sementara itu, Yoga meraba-raba di udara mencari keseimbangan indera.
Tiba-tiba ia rasakan kembali hembusan angin dingin yang mendekat di punggungnya. Pedang lawan ingin membelah punggung. Tapi tiba-tiba ia mendengar suara, triingng...! Lalu suara lawan terpekik tertahan, "Uuhg...!"
Dan setelah itu, wuutttt...! Tubuh Yoga bagai ada yang menyambarnya, membawanya pergi dengan gerakan secepat hembusan badal mengamuk.
PADA sisi hutan yang lain, sebuah pondok dibangun dalam kerimbunan tanaman jalar. Udara di sekitar pondok Itu cukup dingin, karena terletak di ketinggian lereng yang mendekati puncak sebuah gunung yang bernama Gunung Tiang Awan. Walau matahari mencapai pertengahan edar, tapi permukaan lereng gunung tersebut masih diselimuti kabut tipis.
Di Gunung Tiang Awan itulah, Dewa Geledek yang bernama asli Empu Dirgantara itu membawa muridnya yang bandel. Kakek tua berbadan kurus dengan rambut serba putih sampai pada kumis dan jenggotnya itu, sedang menyembuhkan luka di mata Yoga akibat serangan si Mata Neraka.
Luka yang bisa membutakan mata Yoga termasuk belum terlambat, sehingga dengan menyalurkan hawa murninya di dalam ubun-ubun Yoga, Empu Dirgantara berhasil membuat muridnya terhindar dari kebutaan. Sekalipun untuk itu sang Guru terpaksa kerahkan tenaganya yang sedang dalam keadaan sakit-sakitan itu.
"Lain kali jangan lakukan tindakan sebodoh ini, Yo!" kata sang Guru sambil memberikan ramuan obat penyegar darah yang harus diminum oleh Yoga. Lanjutnya lagi. "Kalau kau selalu lakukan tindakan sebodoh ini, umurmu tidak sampai satu hari, Yo! Kau cepat mati dan merepotkan orang lain yang harus menguburkan mayatmu!"
Setelah meneguk ramuan penyegar darah, Yoga pun berkata kepada sang Guru, "Aku hanya menyelamatkan gadis yang hampir dibunuh oleh si Mata Neraka itu, Guru! Gadis itu cantik dan tak seimbang ilmunya dengan...."
"Yang kau selamatkan kecantikannya atau nyawanya?" potong Empu Dirgantara alias si Dewa Geledek itu.
Yoga tersipu malu mendengar pertanyaan itu. ia tak bisa menjawab, karena dalam hatinya sejak tadi memang mengakui kecantikan Mahligai yang tak membosankan dipandang mata. Yoga memang merasa sayang jika kecantikan itu rusak ataupun hilang tanpa nyawa. Yoga juga merasa tak rela jika gadis secantik Mahligai akhirnya jatuh bertekuk lutut dan pasrah menjadi suami si Mata Neraka yang bengis dan kasar itu.
Dewa Geledek bicara lagi kepada muridnya setelah ia duduk bersila di depan sang murid. “Tidak semua gadis cantik harus kau campuri urusan pribadinya, Yo. Hati-hatilah dengan kecantikan, yang bisa berubah menjadi perangkap maut bagi dirimu!"
"Baik, Guru. Akan kuingat nasihat Guru ini!"
"Dan lagi, belum waktunya kau melawan Malaikat Gelang Emas dalam keadaan ilmumu masih serendah ini! Kau tidak imbang melawan Malaikat Gelang Emas, Yo!"
"Yang kulawan si Mata Neraka, Guru! Bukan Malaikat Gelang Emas!"
"Si Mata Neraka adalah adik dari Malaikat Gelang Emas. Dia mempunyai ilmu sedikit lebih rendah dari Malaikat Gelang Emas."
“Tapi si Mata Neraka juga mengancam ingin membunuh Guru, setelah ia mengenaliku sebagai murid Guru! Apakah aku harus diam saja terhadap orang yang akan membunuh Guru?!"
“Tak heran jika si Mata Neraka ingin membunuhku, sebab Malaikat Gelang Emas kakaknya, adalah musuh bebuyutanku. Tentunya si Mata Neraka ingin membantu kakaknya dalam melenyapkan aku dari permukaan bumi ini!”
Yoga terbungkam sesaat melihat sang Guru termenung dengan mata lurus ke depan menerawang pada satu rasa permusuhan yang terpendam. Yoga ingin menanyakan sebab-sebab permusuhan antara gurunya dengan Malaikat Gelang Emas, namun ia ragu dan tak berani, karena sepertinya ada amarah yang tersembul dari hati kecil sang Guru, yang membuat sang Guru bungkam beberapa saat lamanya.
Rupanya bungkamnya mulut Dewa Geledek itu bukan semata-mata sikapnya yang sedang larut dalam lamunan, melainkan karena suatu pertimbangan yang bergumul dalam hati sanubarinya.
"Sepertinya sudah saatnya kuturunkan semua ilmuku kepadanya. Penyakit tuaku Ini seakan sudah tak mampu menahan ilmu yang ada padaku. Lebih baik sekarang kulakukan hal itu, dari pada aku mati sebelum menurunkan semua ilmuku kepada Yoga."
Pada saat itu, Yoga sengaja melemparkan pandangannya ke arah seekor burung rajawali berbulu merah yang melompat-lompat di samping pondok. Burung itu sesekali mengibaskan sayapnya yang besar dan lebar itu. Sesekali terdengar suaranya yang serak, seakan ingin ikut bicara dengan mereka berdua.
Burung rajawali besar itu menggerak-gerakkan matanya ketika ia berada dalam posisi berhadapan jauh dengan Dewa Geledek, seperti memberi suatu isyarat tertentu yang membuat Dewa Geledek akhirnya berkata kepada Yoga Prawira, muridnya.
"Apakah si Mata Neraka yakin betul bahwa kau adalah muridku?"
"Ya, Guru! Kurasa ia sudah mendapat kabar dari beberapa tokoh sakti yang mengetahui aku menjadi murid Guru, dan ia mencocokkan ciri-ciri yang ada padaku, sehingga ia bisa langsung tahu bahwa aku adalah murid Guru. Aku pun mengakui di depannya bahwa aku adalah murid Dewa Geledek dan akan menjadi orang pertama yang menghadang maut yang ingin menyerang Guru!"
"Berarti Malaikat Gelang Emas pun akan mencarimu untuk dibunuh!" kata Dewa Geledek yang berpakaian serba putih itu. Kemudian katanya lagi sambil memandangi Yoga.
"Hati-hatilah jika bertemu Malaikat Gelang Emas. Dia berilmu tinggi. Sampai sekarang aku belum menemukan jurus yang bisa untuk mengalahkan kesaktiannya. Malaikat Gelang Emas adalah tokoh sakti yang sesat dan tak segan-segan membunuh lawannya, entah dia anak kecil ataupun perempuan tua. Dia mempunyai ilmu 'Bayang Siluman', yang membuatnya tak bisa disentuh oleh benda apa pun. Tapi dia sendiri bisa menyentuh semua benda, bisa menembus dinding, bahkan pintu baja pun bisa diterabasnya masuk tanpa harus merusak atau membuka pintu tersebut. Itulah jurus yang paling ditakuti oleh tokoh sakti dalam melawan Malaikat Gelang Emas!"
Pemuda berambut panjang sebatas lewat pundak yang tidak mengenakan ikat kepala itu terangguk-angguk kepalanya merenungi cerita sang Guru, ia sengaja tidak memotong kata untuk sementara ini, karena ia lebih tertarik untuk membiarkan sang Guru bercerita dengan sendirinya tentang Malaikat Gelang Emas yang mempunyai kesaktian sehebat itu. Maka, setelah diam beberapa saat, sang Guru pun melanjutkan kata-katanya dengan nada arif dan bijaksana,
"Kesaktian dari Malaikat Gelang Emas itulah yang membuat aku terpisah dari istriku yang memiliki tunggangan seekor burung rajawali juga tetapi berwarna putih. Sebenarnya pada waktu itu, kami berdua bisa mengalahkan Malaikat Gelang Emas dengan memadukan pusaka kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dengan Pedang Sukma Halilintar. Tetapi Dewi Langit Perak, atau Istriku itu, kehilangan pedangnya yang jatuh ke lautan saat dalam pengejaran, sebelum ia bergabung denganku. Akibatnya, kami menyerang Malaikat Gelang Emas tanpa pusaka! Hanya ada satu pusaka di tanganku, yaitu Pedang Lidah Guntur, tapi itu tidak membuat Malaikat Gelang Emas mudah kami kalahkan."
Sekarang Yoga punya rasa penasaran dan ingin tahu, sehingga ia berani menyela kata dengan mengajukan pertanyaan pada gurunya, "Apa persoalannya sehingga Malaikat Gelang Emas menyerang Guru dan Nyai Guru?"
"Dia ingin memiliki kedua pusaka kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dan Pedang Sukma Halilintar. Kami mempertahankan, sampai pada akhirnya kami sama-sama terdesak dan lari berpencar arah. Hingga sekarang, aku tak pernah bertemu dengan Dewi Langit Perak, istriku itu. Aku tak tahu di mana dia berada, dan dia tak tahu di mana aku berada. Sampai suatu saat, kutemukan seorang perempuan yang mengandung bayinya dalam keadaan hamil tua. Perempuan itu bernama Nurmala Wening atau berjuluk Angin Teratai. Aku kenal perempuan itu, dia adalah istri dari Paksi Jagat. Sedangkan Paksi Jagat adalah murid sahabat baikku, yaitu Ki Gentar Swara, yang sekarang sudah tiada. Paksi Jagat bukan saja murid dari Ki Gentar Swara, namun juga anak kandung dari Ki Gentar Swara...."
"Apakah murid dan anak kandung Ki Gentar Swara yang bergelar Paksi, Jagat itu sekarang masih hidup, Guru?" tanya Yoga semakin ingin tahu kisah hidup masa lalu dari gurunya.
Dewa Geledek menjawab dengan tarikan napas memberat, "Paksi Jagat sudah tiada juga. Dan orang yang membunuh Paksi Jagat tak lain dari Malaikat Gelang Emas, karena ia diserang oleh Paksi Jagat yang menuntut balas atas kematian ayahnya di tangan Malaikat Gelang Emas."
"Oo, jadi... ayah Paksi Jagat yang bernama Ki Gentar Swara itu juga mati di tangan Malaikat Gelang Emas?"
"Benar. Dan karena Paksi Jagat telah dibunuhnya, sedangkan Paksi Jagat mempunyai istri cantik bernama Angin Teratai itu, maka Malaikat Gelang Emas bermaksud mengambil istri Paksi Jagat yang kala itu memang terkenal cantik. Tetapi, Angin Teratai tak sudi dijadikan pemuas nafsu Malaikat Gelang Emas. Sebenarnya, Angin Teratai mempunyai Ilmu cukup tinggi juga, tapi karena ia sedang hamil tua, ia tak bisa banyak berbuat apa-apa kecuali hanya melarikan diri dan melahirkan di sebuah hutan. Pada saat itulah aku datang dan mengenalinya, lalu segera menolong Angin Teratai melahirkan bayinya. Sang jabang bayi bisa tertolong, tapi Angin Teratai tak bisa kutolong jiwanya. ia meninggal setelah bayinya lahir, dan diusap-usapnya beberapa saat. Angin Teratai juga sempat menceritakan padaku apa yang terjadi pada keluarganya. la menitipkan anak tunggalnya itu padaku dan memintaku memberi nama bayi tersebut dengan nama: Yoga Prawira!"
Seperti petir menyambar tepat di gendang telinganya, Yoga terbelalak matanya, kaget mendengar akhir dari kisah tersebut. Jantung pemuda itu berdebar-debar sangat keras, membuat di dalam dadanya terasa gemuruh membendung berbagai rasa yang menggumpal menjadi satu antara dendam, sedih, dan keharuan.
Ia memandangi Dewa Geledek, gurunya tanpa kedip. Sang Guru sendiri memandang sedikit sayu karena ditikam perasaan iba. Sejak dulu, kisah inilah yang tak bisa dituturkan lewat mulutnya, dan baru sekarang ia berhasil menceritakannya kepada sang murid, yang tak lain adalah anak dari Paksi Jagat dan Angin Teratai.
Berhari-hari Yoga merenungi kisah itu. Berhari-hari pula ia mengingat-ingat nama kedua orangtuanya, termasuk nama kakeknya; Ki Gentar Swara. Semakin ia tajam mengingat nama orangtuanya, terasa semakin tajam pula rasa dendam mencuat di dalam hatinya. Dendam itu tak lain ditujukan kepada Malaikat Gelang Emas yang membunuh kakeknya, lalu membunuh ayahnya, mengejar-ngejar ibunya, dan terakhir memisahkan gurunya dengan istri sang Guru.
Agaknya Malaikat Gelang Emas merupakan tokoh sakti yang harus dimusnahkan dari permukaan bumi ini. Rasa-rasanya tak ada ampun lagi untuk tokoh sesat itu, sehingga pada suatu pagi, sang Guru melihat muridnya berkemas untuk pergi meninggalkan pondok. Maka bertanyalah sang Guru kepada muridnya,
"Hendak ke mana kau, Yo?"
"Guru, aku harus mencari Malaikat Gelang Emas untuk menuntut balas atas kematian kakekku, kematian ayahku, juga atas kematian ibuku yang melahirkan di hutan karena ulah si sesat itu! Aku juga harus menuntut balas atas pecahnya Guru dengan Nyai Guru yang sampai sekarang membuat Guru merana hidupnya di lereng puncak gunung ini! Aku tak bisa menahan kesabaran lagi. Guru!"
"Murid bodoh!" geram Dewa Geledek. "Sudah kubilang, kau tak akan berhasil melawan kesaktian Malaikat Gelang Emas! ilmu tandingannya belum ada yang punya! Kau hanya sia-sia mengorbankan nyawa tanpa memperoleh kemenangan sedikit pun!"
"Aku tak peduli, Guru! Hatiku sudah telanjur sakit dan terluka parah setelah mendengar cerita dari Guru beberapa hari yang lalu!"
Dewa Geledek hanya menarik napas panjang-panjang. Sesuatu yang ditakutkan dari dulu kini telah terjadi dan nyata dihadapi tuntutan balas dendam muridnya pasti akan terjadi. Itulah sebabnya dari dulu Dewa Geledek menjaga mulutnya rapat-rapat untuk tidak menceritakan siapa orangtua Yoga sebenarnya. Tetapi, agaknya hal itu tak bisa dipendamnya lebih lama lagi. dan tuntutan dendam telah tumbuh di hati Yoga, sulit untuk dipadamkan jika sudah begini.
"Tak bisa kutunda lagi niatku untuk turunkan semua ilmu padanya. Napasku terasa kian hari kian memberat." kata Dewa Geledek dalam hatinya. Kemudian ia memandang muridnya dengan lembut.
"Baiklah, Yoga...," kata Dewa Geledek bernada menyerah. "Kalau kau memang ingin membalas dendam kepada Malaikat Gelang Emas, itu adalah nalurimu yang tak bisa kucegah lagi. Tetapi aku tak bisa melepaskan kau pergi begitu saja, Yo."
"Apa maksud Guru?"
"Semua ilmuku, semua kekuatanku, akan kutitipkan padamu, Dan..."
Dewa Geledek bergegas ke satu sudut ruangan di dalam pondoknya. Kemudian ia kembali menemui muridnya dalam keadaan sudah membawa sebuah pedang bergagang merah, di ujung gagangnya ada hiasan kepala burung rajawali sepasang bertolak belakang juga berwarna merah, satu menghadap ke kiri, satu menghadap ke kanan.
"Kuserahkan pusaka Pedang Lidah Guntur ini padamu sebagai bekal perjalananmu turun gunung!" kata Dewa Geledek yang membuat hati ,Yoga berdebar-debar.
Tentu saja hati Yoga berdebar-debar, karena ia tak menyangka akan mendapat pusaka Pedang Lidah Guntur yang sudah sering didengar kehebatannya dari mulut sang Guru. Pedang itu punya keistimewaan, mampu merobek lawan dari jarak satu tombak dan mengeluarkan cahaya merah yang sangat membahayakan. Pedang itu mampu menebas lawan tanpa mengeluarkan darahnya, dan membuat lawan mati tanpa merasa sakit.
"Duduklah," kata Dewa Geledek yang membuat Yoga segera duduk bersila di depan gurunya yang masih berdiri.
Dewa Geledek mencabut pedang itu dari sarungnya. Ssstt...! Pedang tersebut ternyata menyala merah membara, seperti besi dipanggang api tapi mempunyai warna merah berpijar-pijar. Pada saat itu pun, di angkasa terdengar ledakan dahsyat yang menggelegar bagai memenuhi seluruh bumi.
Glegarrr...!
Guntur bagai membelah langit satu kali, tanpa hujan, tanpa mendung dan tanpa badai. Empu Dirgantara memandangi pedang yang menyala merah itu beberapa saat, setelah itu memasukkan ke dalam sarungnya kembali. Kemudian ia duduk bersila di depan muridnya.
"Kurasa memang saatnya telah tiba, Yo. Kaulah pewaris pusaka Pedang Lidah Guntur ini, yang dulu membuat namaku kondang dan menjadi dikenal dengan nama Dewa Geledek. Kuharap kau tidak keberatan menerima warisan pusaka Pedang Lidah Guntur ini, Yo!"
"Aku siap, Guru!" kata Yoga dengan duduknya yang tegak dan menampakkan kesan tegas dan sigapnya.
"Kau tak akan bisa banyak berbuat dengan pusaka ini jika kau tidak memiliki ilmu dan kekuatan hawa yang ada padaku. Karena itu, sekarang pejamkan matamu dan ulurkan kedua telapak tanganmu ke depan!"
Perintah itu dituruti oleh Yoga, la mengulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap sang Guru. Kemudian sang Guru menggerakkan kedua tangannya dengan penuh curahan tenaga hingga bergetar seluruh tubuhnya. Mata sang Guru sedikit terpejam penuh dengan pengerahan konsentrasi yang kuat.
Dan tiba-tiba ia sentakkan kedua jari tengahnya dari masing-masing tangannya. Jari tengah itu masing-masing melepaskan enam larik sinar; yaitu sinar hijau, merah, kuning, putih, biru, dan ungu. Sinar-sinar yang memancar dari masing-masing jari tengah itu menghantam ke telapak tangan Yoga.
Kejap berikutnya, tubuh Yoga gemetar dan berkeringat basah. Tubuh anak muda itu dilapisi oleh enam sinar yang tidak saling bersentuhan satu dengan lainnya. Pada saat tubuh Yoga dilapisi enam sinar dari ujung kaki sampai kepala itu, tubuh tersebut semakin gemetar kuat hingga terguncang-guncang. Sementara itu, di luar pondok, burung rajawali besar memperdengarkan suaranya yang melengking tinggi bagai mengundang segala macam satwa di hutan itu.
"Kraaahk..! Kraaahk..! Kreeaaahkk..!"
Buug bug bug buggg...!
Sayapnya pun ditebas-tebaskan, kejap berikutnya datang angin badai yang dari kecepatan pelan menjadi sedang dan makin lama menjadi kuat. Suara deru hembusan badai melingkupi lereng dl puncak Gunung Tiang Awan. Langit menjadi mendung dan awan hitam bergulung-gulung. Tak ketinggalan pula petir menyambar-nyambar, menggelegar bagai ingin meruntuhkan langit.
Enam sinar masih menyembur dari kedua jari tengah Dewa Geledek. Mereka berdua seakan tidak peduli dengan alam yang mengamuk dan tanah yang terguncang bagai hendak dilanda gempa. Mereka berdua tetap hikmat dan khusuk, sampai akhirnya sinar ungu padam, tapi sinar lainnya masih menyembur ke telapak tangan Yoga.
Kini sinar hijau padam, tinggal empat sinar yang masih memancar dari kedua ujung jari tengah Dewa Geledek. Makin lama semakin membuat kulit tubuh Yoga menjadi merah bagai terpanggang api. Keringatnya pun telah membasah kuyup di sekujur tubuhnya yang kekar itu. Dan Yoga masih merasakan aliran hawa hangat yang meresap masuk ke sekujur tubuhnya melalui kedua telapak tangannya.
Satu demi satu sinar itu padam dalam jarak tak bersamaan. Kini tinggal satu sinar merah yang masih membias lewat ujung jari tengah Dewa Geledek. Pada saat itu, badai di luar pondok mulai mereda dan gumpalan awan hitam mulai menipis. Petir pun sudah jarang mengguntur di angkasa. Sampai akhirnya alam menjadi damai kembali ketika sinar merah itu berhenti dan padam tak berbekas sedikit pun di telapak tangan Yoga.
Dewa Geledek segera tundukan kepala dengan napas terhela memberat. Cukup lama ia menundukkan kepala, dan Yoga pun ikut menundukkan kepalanya dengan napas terengah-engah. Kulit tubuhnya yang tadi memerah bagai terpanggang api, sekarang sudah kembali seperti sediakala, yaitu coklat sawo matang.
"Yo...," terdengar suara Dewa Geledek menyapa. muridnya dengan nada pelan dan lirih.
"Ya, Guru!" jawab Yoga sambil tengadahkan wajah, dan ia melihat gurunya masih menundukkan kepala seperti orang sedang semadi.
"Ambillah pedang di depanmu itu!"
"Baik, Guru," jawab Yoga lagi, kemudian ia mengambil pedang pusaka itu dengan dua tangan, mengangkatnya tinggi hingga di atas kepala. Kejap berikut terdengar suara gurunya berkata lagi,
"Sekarang semuanya telah menjadi milikmu, Yo! Sekarang aku telah kosong. Kau adalah Dewa Geledek muda yang akan berkelana di rimba persilatan! Tetapi jangan kau gunakan nama julukanku itu!"
"Baik, Guru! Aku tidak akan menggunakan julukan Dewa Geledek!!”'
"Karena Rajawali Merah itu sekarang juga menjadi tunggangan mu dan kau adalah tuannya, maka kau kuberi gelar Pendekar Rajawali Merah!" kata Dewa Geledek dengan tetap menundukkan kepala, memejamkan mata dan bersuara lemah.
"Baik, Guru! Aku akan menggunakan gelarku, yaitu Pendekar Rajawali Merah!"
"Tapi ingat, Yo... jika kau ingin mengalahkan Malaikat Gelang Emas, kau harus tetap mencari Rajawali Putih. Burung rajawali merahmu itu adalah suami dari burung Rajawali Putih. Jurus 'Rajawali Merah' jika digabungkan dengan Jurus 'Rajawali Putih' dapat untuk mengalahkan kekuatan dahsyat yang di miliki Malaikat Gelang Emas, atau kekuatan dahsyat siapa pun juga yang memilikinya! Penggabungan jurus 'Rajawali Merah' dengan jurus 'Rajawali Putih', akan membentuk satu kekuatan dahsyat yang tiada tandingnya! Karena itu, carilah Rajawali Putih terlebih dulu sebelum melawan Malaikat Gelang Emas! Carilah Dewi Langit Perak, si penunggang Rajawali Putih, karena pada dirinya itulah jodoh dari ilmu yang kutitipkan padamu, Yo!"
"Saya mengerti, Guru!" jawab Yoga lebih menghormat lagi. "Saya akan patuhi pesan dan wasiat dari Guru ini!"
Dewa Geledek diam beberapa saat lamanya. Kemudian Yoga memberanikan diri mengajukan pertanyaan,
"Bolehkah saya turun gunung sekarang juga, Guru?"
Agak lama Yoga menunggu, tapi tak ada jawaban. Ia mengulangi pertanyaan yang sama, namun tetap tak ada jawaban. Sampai tiga kail tak ada jawaban, Yoga menjadi curiga. Kemudian ia memeriksa keadaan Guru dan ia terkejut melihat gurunya sudah tak bernapas lagi.
"Guruuu...?! Guruuu...?!" teriak Yoga dengan panik.
ANGIN bersalju berhembus ke arah timur. Sesosok tubuh kekar masih berdiri menundukkan kepala di depan sebuah tanah yang menggunduk dan berbatu nisan. Itulah makam Dewa Geledek, yang baru saja selesai dikuburkan oleh murid tunggalnya, Pendekar Rajawali Merah. Sementara di seberang pemuda tampan bertubuh tegap dan gagah itu, berdiri pula seekor burung rajawali besar berbulu merah. Burung itu bagai menyekap kedua sayapnya sendiri dan menundukkan kepalanya, seakan ingin ikut menangisi kematian sang Guru, Dewa Geledek.
Bertahun-tahun ia ikut Empu Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek itu. Bertahun-tahun ia merasakan pahit getirnya hidup bersama sang Empu yang ahli membuat berbagai macam senjata, sampai akhirnya ia melihat sang Empu menjadi tokoh sakti di rimba persilatan yang sukar ditandingi kecuali Malaikat Gelang Emas. Rajawali itu bagaikan sedang mengenang masa-masa bercanda dengan Empu Dirgantara, atau terbayang saat sang Empu menemukan beberapa jurus 'Rajawali Maut' yang ditimbulkan dari gerakan sayap atau cakarnya.
Kini perpisahan dengan sang Empu seakan membungkus kesedihan yang dalam di hati sang Rajawali Merah. Tadi pun ia ikut menimbun tanah ke liang kubur, seakan ikut mengucapkan selamat berpisah dengan majikan lamanya, dan selamat jalan bagi sang Dewa Geledek yang sering dilihat keperkasaannya semasa mudanya.
Yoga dapat membaca gerak isyarat burung rajawali tersebut. Bahkan Dewa Geledek pernah mengajarinya menerjemahkan bahasa burung sehingga ketika Rajawali Merah itu menyerukan suaranya yang memanjang, Yoga pun segera mendekati burung tersebut dan berkata,
"Sudahlah, jangan kita terlalu berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Kita semua akan mengalami saat-saat seperti ini, yaitu mati untuk kembali kepada Sang Pencipta!"
"Kraahk...! Kreeakh...!" burung itu manggut-manggut, kelopak matanya berkedip-kedip dengan gerakan lambat.
Yoga mengusap-usap leher burung tersebut yang kini berdiri di sampingnya, lebih tinggi dari ukuran tinggi tubuh Yoga. Sambil mengusap-usap bulu bagian leher belakang, Yoga berkata, "Jangan cemas, Rajawali Merah, aku akan laksanakan apa yang menjadi wasiat Guru! Aku juga akan mencarikan istrimu; si Rajawali Putih, yang hilang bersama Nyai Guru Dewi Langit Perak. Kita akan melalang buana untuk mencari mereka sampai dapat! Apakah kau setuju?"
"Kraaahk...! Kraaahk...!" burung itu manggut-manggut lagi. Kini ia membuka sayapnya dan mengipas-ngipaskan dua kali. Itu pertanda dia tak sabar, ingin cepat pergi mencari kekasihnya; burung Rajawali Putih. Mungkin si Rajawali Merah sudah teramat rindu ingin jumpa dengan Rajawali Putih.!
Angin masih berhembus pelan, menaburkan busa-busa salju yang kecil dan tipis. Pada saat Yoga ingin bergegas naik ke punggung burung besar itu, tiba-tiba gerakannya terhenti karena kemunculan seorang gadis di balik bebatuan yang menggugus tinggi itu. Gadis itu melompat dan tahu-tahu hinggap di atas bebatuan berjarak sekitar empat tombak dari kuburan Dewa Geledek.
Yoga terkesiap memandang gadis cantik itu. Ia kembali teringat pada saat matanya menjadi buta oleh kekuatan sinar dari mata adik Malaikat Gelang Emas, yaitu si Mata Neraka. Karena ia ingat peristiwa itu, maka ia pun Ingat nama gadis cantik berpakaian kuning dengan selendang biru melilit pinggangnya dan pedang pendek terselip di pinggang itu. Maka, Yoga pun menyapa gadis itu dengan senyum tipis,
"Mahligai..?!"
Gadis itu menyunggingkan senyum tipis sambil cepat melompat turun dari atas gugusan batu. Jleeg...! Kemudian ia berdiri di seberang makam, memandang dengan raut wajah ikut berkabung.
"Mahligai, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?"
"Aku tidak sengaja menemukan sebuah pondok di atas sana. Lalu kususuri telapak kaki manusia yang menuju kemari, dan ternyata disini kutemukan kau sedang memakamkan jenazah orang tua yang kau sebut-sebut sebagai Guru! Apakah yang kau makamkan ini jenazah gurumu?"
"Benar!” jawab Yoga dengan tegas.
"Kukenali wajah jenazah itu sebagai wajah si Dewa Geledek, tokoh sakti yang sudah lama menghilang. Dulu waktu aku berusia dua belas tahun, ia pernah jumpa dengan guruku dan aku melihatnya. Apakah benar kau murid dari Dewa Geledek?”
"Tidak salah dugaanmu, Mahligai! Tapi apakah kau tahu namaku?"
“Aku baru ingin menanyakannya."
"Namaku Yoga! Guru sering memanggilku, Yo!"
"Lalu aku harus memanggilmu apa?"
"Terserah," Yoga semakin menyunggingkan senyumnya. "Yang jelas, namaku Yoga, atau kau boleh menyebutku Pendekar Rajawali Merah? Kau boleh memanggil dengan nama depannya saja, atau dengan nama lengkapku, atau kau punya nama panggilan sendiri padaku, silakan saja! Selagi nama itu bagus, aku akan senang menerimanya!”
"Aku tidak terlalu peduli dengan namamu. Aku sengaja mencarimu ke sini karena aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, yang membuat aku terhindar dari amukan si Mata Neraka. Aku melihat kau dibawa lari oleh sekelebat bayangan putih, dan aku mengikutinya, tapi aku tersesat dihutan sampai beberapa hari, dan secara tak sengaja kutemukan dirimu, Yo!"
"Kini kau telah sampaikan ucapan terima kasihmu padaku, apa lagi yang ingin kau lakukan?”
Gadis cantik berhidung bangir itu mengalihkan pandangan matanya, karena ia tak tahan menatap mata pemuda tampam itu yang menimbulkan debar-debar keindahan yang menggoda dalam hatinya. la berkata saat itu dengan pandangan mata ke arah pepohonan sekelilingnya.
"Karena kau telah menyelamatkan aku, menolong jiwaku lolos dari amukan si Mata Neraka, maka aku bermaksud menolongmu jika diperlukan, Yo. Apa yang bisa kuperbuat untukmu?"
"Aku berniat mencari Istri mendiang guruku, yaitu Dewi Langit Perak. Karena menurut wasiat dari mendiang Guru, aku harus mencari Dewi Langit Perak yang menunggang seekor burung rajawali besar berbulu putih."
Mahligai menatap Yoga dengan dahi sedikit berkerut. la berkata bagaikan orang menggumam untuk dirinya sendiri, "Sepertinya aku pernah mendengar nama Dewi Langit Perak itu! Hmmm.,, tapi di mana dan kapan aku mendengarnya, aku sudah lupa!"
Gadis itu melangkah sambil mengingat-ingat. Dahinya berkerut dan matanya tertuju pada tanah yang dipijaknya. Sementara itu, burung Rajawali Merah itu juga ikut memandangi gadis cantik tersebut, seakan menunggu suatu kabar yang menggembirakan. Tetapi agaknya Mahligai tidak menemukan apa yang sedang dicari dalam ingatannya.
Maka, Pendekar Rajawali Merah yang kini sudah menyandang pedang di punggungnya itu segera berkata, "Sudahlah, tak perlu kau peras otakmu jika kau tak mampu mengingatnya! Aku akan pergi mencarinya sendiri!"
"Eh, eh... tunggu dulu!" sergah Mahligai. "Aku ingat sekarang, orang yang pernah menyebutkan nama Dewi Langit Perak adalah guruku sendiri; yaitu Bibi Sendang Suci!"
"Kau yakin orang yang bernama Sendang Suci itu tahu tentang Dewi Langit Perak?"
"Ya. Karena Bibi Sendang Suci, selain bibiku juga guruku itu, pernah bercerita padaku tentang perempuan sakti yang mengendarai seekor rajawali dan bernama Dewi Langit Perak. Cerita itu dituturkan padaku ketika aku masih kecil, kira-kira berusia sepuluh tahun!"
"Kalau begitu, aku perlu bertemu dengan beliau!"
"Aku bersedia mengantarmu, Yo! Tapi kalau bisa jangan menunggang burung itu! Aku takut menunggang burung!" sambil Mahligai tersipu.
"Merah," panggil Yoga kepada burung rajawali besar Itu. "Aku akan pergi bersama Mahligai mencari kabar tentang Istrimu, si Rajawali Putih! Ikutilah aku dari atas!"
"Kreaahk...!" burung itu mengangguk-angguk.
Wuurrss...! Burung itu melesat terbang dengan kibasan sayapnya yang menyingkapkan kerimbunan semak dan daun-daun kering beterbangan. Burung itu pergi mengitari angkasa setelah Yoga dan Mahligai pun meninggalkan makam Dewa Geledek, yang meninggal akibat seluruh kekuatan dan ilmunya disalurkan ke dalam tubuh muridnya.
Hati Mahligai amat senang bisa berjalan berdampingan dengan pemuda tampan itu. Mahligai merasa menemukan kebahagiaan ketika berjalan bersama Yoga, la tak pernah temukan pemuda setampan dan segagah Pendekar Rajawali Merah.
itu. "Auuh...!" Mahligai sengaja membuat Kakinya tergelincir jatuh ketika menuruni tanah miring. Tangan Yoga cepat menangkapnya, sehingga tubuh itu tak terbawa sentakan ke tepi jurang.
"Oh, untung kau cepat menangkapku, kalau tidak aku bisa tergelincir masuk ke jurang sebelah kiri, Yoga!"
"Hati-hatilah kalau berjalan, jangan sambil melamun!"
"Aku tidak melamun!" sanggah Mahligai karena malu diketahui sedang melamun, padahal sedang memikirkan cara untuk bisa lebih dekat lagi bersama Pendekar Rajawali Merah itu.
"Kurasa kita berjalan pelan-pelan saja...! Jangan lari seperti tadi, nanti kau tergelincir lagi."
"Aduuuh... kakiku terkilir, tak bisa dipakai untuk menapak, Yo!" Mahligai merengek, mulai menampakkan kemanjaannya.
"Kalau begitu biar kuurut sebentar!"
"Apakah kau bisa mengurutnya?" "Aku pernah mendapat pelajaran memijat dari Guru!” sambil berkata begitu, Pendekar Rajawali Merah mulai mengurut mata kaki Mahligai yang dianggapnya terkilir itu. Mahligai tersenyum-senyum dalam hati, merasa kegirangan kakinya itu diusap-usap oleh tangan Yoga.
"Rasa sakitnya sampai ke betis, Yo!" rengek Mahligai semakin menjadikan dirinya sebagai gadis manja.
"Urat telapak kaki memang menjalar sampai ke betis. Tapi dengan sedikit urutan pada urat betis, pembengkakan bisa diatasi!" sambil Yoga memijat pada bagian betis Mahligai, dan gadis itu kian berbunga-bunga hatinya. ia berharap pijatan itu jangan lekas-lekas selesai. Tapi apa yang diharapkan itu justru terbalik. Yoga menghentikan pijatannya dan berkata, "Kurasa sudah lemas urat kakimu!"
"Kenapa hanya sebentar memijatnya?”
"Kalau terlalu lama justru akan timbul pembengkakan pada urat yang menuju tumit!"
“Tapi kakiku masih sakit, Yo! Masih tak bisa dipakai untuk menapak! Aduh, bagaimana ini?!"
Kalau begitu kau kutinggalkan disini sampai saatnya kau bisa berjalan dan pulang menuju rumah bibimu itu!" jawab Yoga sedikit agak dongkol dengan kemanjaan itu.
"Kalau aku di sini mati dimakan harimau, bagaimana?"
"Itu salah harimaunya, bukan salahku!"
"Aaah... kamu jahat kalau begitu!" Mahligai cemberut dan buang muka sambil tetap duduk di atas sebongkah batu setinggi satu lutut.
"Lalu apa saranmu?"
"Gendonglah aku, mungkin beberapa saat lagi urat-urat kakiku menjadi lemas!"
"Aku tak mau!"
"Kalau kau tak mau, aku juga tak akan membawamu kepada Bibi!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan napas panjang, pertanda menahan kejengkelan dalam hatinya. Kemudian, dengan sangat terpaksa ia pun menggendong gadis cantik tersebut dan membawanya lari lebih cepat dari sebelumnya. Mahligai tertawa kegirangan di dalam hatinya. la berlagak takut dibawa lari dalam gendongan kedua tangan Yoga, karenanya dia punya alasan kuat memeluk leher Yoga rapat-rapat.
Tiba-tiba sebatang pohon tumbang tepat di depan Yoga. Brukkk...! Pohon itu merintangi jalan dan langkah Pendekar Rajawali Merah. Mau tak mau Pendekar Rajawali Merah melompat ke samping sambil tetap membawa tubuh Mahligai dengan kedua tangannya.
"Apa itu, Yo?"
"Sebatang pohon tumbang!" jawab Yoga pelan, tapi matanya yang jeli itu segera melirik ke arah sekelilingnya. la mulai curiga dengan pohon yang tahu-tahu tumbang sendiri. Ia berpendapat, pohon yang masih segar dan kokoh, tak mungkin bisa tumbang sendiri jika tidak ada yang menumbangkannya.
"Ada seseorang yang sengaja menghentikan langkah kita, Mahligai!" bisik Yoga yang masih menggendong Mahligai.
"Si Mata Neraka itukah orangnya?"
"Entahlah! Aku belum melihat gerakan aneh di sana-sini!" Yoga melangkahkan kakinya ke arah samping, ke tempat akar pohon yang mencuat keluar dari tanah itu. Kedua tangannya masih belum sadar menggendong tubuh si gadis cantik itu.
Tiba-tiba selarik sinar terlihat berkelebat melesat dari atas sebuah pohon berdaun rimbun. Sinar itu berwarna merah dan melesat dengan cepatnya.
Wuuusst...!
Pendekar Rajawali Merah segera sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat ke atas dengan bersalto dua kali ke belakang. Tubuh dalam gendongannya masih tetap ada dan ikut terguling-guling bersamanya.
Duaarrr...! Sinar merah itu mengenai pangkal pohon yang tumbang, sehingga bagian yang terkena sinar merah itu menjadi pecah berhamburan. Akar pohon itu pun menjadi serpihan-serpihan kecil. Kalau saja Yoga tidak segera melompat menghindarinya, maka tubuhnya dan tubuh Mahligai akan menjadi serpihan-serpihan kecil seperti nasib pohon itu.
"Arahnya dari atas pohon, Yoga!" bisik Mahligai.
"Ya, aku tahu!" balas Yoga berbisik. Lalu, dengan cepat ia bergerak melompat dan memutarkan tubuhnya. Wuuttt...! Kakinya menendang dalam gerak mengibas cepat. Kibasan kaki itu melepaskan sebuah tendangan jarak jauh yang tidak memancarkan sinar warna apa pun, namun menimbulkan hawa panes yang segera melesat ke arah kerimbunan pohon lebat itu.
Wuuugh...! Grusssaakkk. Buuhg...!
Sekelebat bayangan hitam jatuh dari atas pohon tersebut dengan menimbulkan bunyi bergedebuk cukup keras. Tapi tak ada suara pekik dan jerit kesakitan dari bawah pohon berdaun lebat itu. Sementara itu, daun-daun pohon yang tadi terkena tendangan hawa panas Yoga kini menjadi layu dan mengkerut.
"Keluarlah kalau kau ingin menemui ku!" seru Yoga masih belum menyadari bahwa dia sebenarnya bisa menurunkan tubuh Mahligai dari gendongannya. Sedangkan Mahligai sendiri yang menyadari hal itu, diam saja dan merasa semakin betah berada dalam gendongan pemuda tampan yang menawan hatinya itu.
Kejap selanjutnya, seorang lelaki berpakaian serba hitam muncul dari balik pohon yang berdaun rimbun itu. Orang tersebut sudah memasang wajah angker dengan pandangan mata yang sangar dan dingin. Orang itu berkumis agak lebat, turun ke bawah hingga mencapai tepian dagunya yang tidak berjenggot.
Di perkirakan oleh Yoga, usia orang berambut abu-abu pendek berikat kain putih Itu sekitar empat puluh tahun, Tapi Yoga merasa tidak mengenal orang tersebut dan baru kali itu berjumpa. Hanya saja, Mahligai segera berkata seakan bicara pada dirinya,
"Paman Jalak Hutan...?!"
"Siapa pemuda gila itu, Mahligai?!"
"Dia Pendekar Rajawali Merah yang bernama Yoga, Paman! Mengapa Paman menghadang langkah kami?!"
"Aku tertarik dengan pedang di punggung anak muda itu! Kalau tak salah lihat, itulah Pedang Lidah Guntur milik Empu Dirgantara!"
Yoga menyahut, "Benar! Akulah murid Empu Dirgantara dan pewaris Pedang Lidah Guntur!"
"O, pantas...! Rupanya cukup lama Empu Dirgantara menghilang dari rimba persilatan karena mendidik seorang murid yang akan dijadikan pewaris seluruh ilmunya?" kata Jalak Hutan dengan pandangan mata tidak bersahabat.
"Lalu apa maumu, Paman?" tanya Yoga bernada menantang.
Jalak Hutan memandangi beberapa saat tanpa bicara. Sementara itu, Yoga berbisik kepada Mahligai, "Siapa orang itu, Mahligai?"
"Dia orang yang dari dulu mengharapkan cinta bibiku, tapi tak pernah disambut oleh Bibi! Dia sangat mencintai Bibi, tapi Bibi sama sekali tidak mencintainya, namun juga tidak memusuhinya!"
"Hmmm...! Yoga menggumam pendek dan sedikit mengangguk-anggukkan kepalanya. Mata masih menatap tajam ke arah Jalak Hutan yang berpakaian serba hitam dan menyandang golok di pinggangnya.
Orang itu segera berkata kepada Yoga, "Kusarankan padamu, Anak Muda... jangan kau membawa-bawa pedang itu! Karena pedang tersebut akan menjadi incaran banyak orang. Hampir setiap tokoh sakti ingin memiliki Pedang Lidah Guntur itu! Jadi, alangkah baiknya jika kau titipkan padaku untuk kusimpan dan kuselamatkan!"
"Terima kasih, Paman Jalak Hutan! Aku cukup mampu menyelamatkan pedang ini, karena memang wasiat dari guruku melarang aku menyerahkan pedang ini kepada siapa pun!"
"Ternyata kau anak muda yang bodoh, hanya tampan wajahmu tapi tumpul otakmu! Serahkanlah padaku, akan kusimpan pedang itu!"
“Tidak!"
"Kalau begitu aku harus merebutnya, supaya pedang itu tidak membawa korban tak bersalah!"
"Kau kelihatan bernafsu sekali ingin memiliki pedang ini, Paman Jalak Hutan!" kata Mahligai dari gendongan Yoga.
"Ini bukan urusanmu, Mahligai! Jangan ikut bicara!" bentak Jalak Hutan. Lalu ia berkata kepada Yoga.
"Pendekar Rajawali Merah, demi keselamatan umat manusia dari ancaman maut pedang itu, aku terpaksa merebutnya darimu!"
"Aku terpaksa mempertahankannya!”
"Kurang ajar! Berani kau menentang kehendakku, hah? Hiaaat...!"
Jalak Hutan mencabut goloknya dan langsung menyerang Yoga dengan satu lompatan yang siap menebaskan golok tersebut. Tetapi, di luar dugaan, Pendekar Rajawali Merah yang sedang menggendong Mahligai mampu melesat naik lebih tinggi lagi hingga melampaui ketinggian lompat Jalak Hutan.
Wuuttt...! Golok itu ditebaskan dan tentu saja mengenai tempat kosong. Orang yang ditebasnya sudah ada di atas dan dengan gerakan kaki begitu cepat, Yoga menendang tengkuk kepala dan bagian belakang kepala lawannya.
Des des des des...!
Ujung jempol kaki yang dipakai menendang beberapa kali dengan gerakan yang tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Gerakan tendangan pada ujung jempol kaki yang begitu cepat itulah yang dinamakan jurus 'Rajawali Paruh Pendek'.
"Ahg...!" kepala Jalak Hutan tersentak mendongak dengan mulut ternganga. Tubuh berpakaian hitam itu diam tak bergerak sesaat, namun kejap berikutnya ia tampak menggeram dan dengan susah payah mengembalikan kepalanya agar tidak mendongak. Namun agaknya ada tulang dan urat yang terkunci akibat pukulan jurus 'Rajawali Paruh Pendek' itu, sehingga Jalak Hutan tak bisa gerakkan kepalanya ke kiri atau ke kanan, bahkan menunduk ataupun tegak sudah tak bisa lagi.
"Keparat...!" geramnya sambil mengerahkan tenaga untuk menundukkan kepala, namun sama sekali tak bisa bergerak sedikit pun. la menjadi sulit memandang ke depan, dan sulit berpaling ke mana-mana.
"Kau memang kurang ajar, Pendekar Rajawali Merah! Kurasa untuk kali ini pertemuan kita sampai di sini dulu! Aku berjanji akan kembali lagi setelah aku berhasil mengembalikan keadaan kepalaku ini!"
Wuuuttt...! Jalak Hutan cepat-cepat melarikan diri dengan kepala selalu menghadap ke langit. Yoga ingin mengejarnya, tapi Mahligai yang masih dalam gendongannya itu melarang.
MAHLIGAI dirawat dan diasuh oleh Bibi Sendang Suci sejak la berusia tujuh tahun. Mahligai bukan anak piatu, tapi ia mempunyai sebelas saudara dan orang tuanya orang tak mampu. Lalu, Sendang Suci bermaksud meringankan beban kedua orangtua Mahligai dengan merawat dan mengasuh salah satu dari kedua belas anak adiknya itu.
Mahligailah yang terpilih, karena pada waktu itu Mahligailah anak yang paling nakal dan bandel, melebihi kakak lelakinya yang berjumlah tiga orang itu. Mahligai adalah anak yang keenam, jadi ia masih mempunyai lima saudara tua dan enam saudara muda. Mereka tinggal bersama orang tua Mahligai, jauh dari tempat Bibi Sendang Suci merawat dan mengasuhnya.
Sendang Suci perempuan berusia empat puluh lima tahun yang masih kelihatan cantik dan muda berkat ramuan obat-obatan yang sering digunakannya. !a cukup ahli dalam ramuan obat-obatan, karena itu banyak yang memanggilnya dengan julukan Tabib Perawan. Dijuluki sebagai Tabib Perawan, karena selain Sendang Suci ahli meracik obat-obatan juga dia dalam usia setua itu masih perawan dan belum pernah dijamah seorang lelaki mana pun juga.
Tabib Perawan atau Sendang Suci pernah patah hati semasa remajanya. Kekasihnya mati terbunuh oleh lawan yang tidak diketahui siapa pembunuhnya. Tabib Perawan bertekad tidak mau menerima cinta seorang lelaki lagi, karena ia takut kecewa jika lelaki yang dicintainya itu mati. Baginya, kematian seorang kekasih merupakan kepergian yang amat kejam dan tak bisa dibendung lagi. Hal yang paling sulit dilakukannya adalah mencegah kepergian kekasih ke alam baka.
Dalam kesendiriannya di Lembah Bukit Berhala itu, ia menekuni ilmu pengobatan dari rempah-rempah dan segala sesuatu yang bersifat alami. Untuk mengisi agar hidupnya tak sepi, ia mengajarkan ilmu silatnya kepada Mahligai. Hampir semua ilmu silatnya telah diturunkan kepada sang keponakan itu, tapi ilmu pengobatannya hanya beberapa bagian saja yang baru diturunkan kepada Mahligai.
Namun ketika suatu saat ia diserang oleh penyerang gelap dengan jarum beracun, Sendang Suci tak bisa sembuhkan dirinya. la tak bisa melenyapkan racun yang hampir-hampir merenggut nyawanya itu. Sampai suatu saat, datang si Mata Neraka dan berjanji akan menyembuhkan luka racun di tubuh Sendang Suci, jika Sendang Suci mau mengizinkan serta membujuk Mahligai agar menjadi istri si Mata Neraka.
Sendang Suci menyetujui, karena ia tak tahu bahwa orang yang menanamkan racun dalam tubuhnya itu tak lain adalah si Mata Neraka sendiri, dan semua itu adalah siasat Mata Neraka, agar dalam upayanya memperistri Mahligai, Sendang Suci tidak ikut campur. Mata Neraka tahu kekuatan ilmu Sendang Suci, yang bila tak waspada bisa mencelakai dirinya.
Karena itu, Sendang Suci ditundukkan dengan perjanjian tersebut. Sendang Suci pun tak bisa berbuat banyak ketika si Mata Neraka mengejar Mahligai yang melarikan diri dari Lembah Bukit Berhala.
Kini setelah gagal mengejar Mahligai, si Mata Neraka datang kepada Sendang Suci untuk menagih janjinya. Dengan hati yang dongkol dan memendam kemarahan besar, si Mata Neraka berkata kepada Sendang Suci atau si Tabib Perawan itu.
"Aku menyesal telah mengobatimu, Sendang Suci! Kalau kutahu kau akan biarkan Mahligai lari, aku tak akan sudi menolong nyawamu!"
"Aku tak menghalangi niatmu, Mata Neraka! Mengapa kau marah kepadaku?" sanggah Sendang Suci yang berpakaian longgar putih berlengan panjang dengan rompi ketat yang rapat sepanjang betis berwarna ungu menyala itu. "Bukankah aku tidak membantu melarikan Mahligai?!"
"Memang, tapi seharusnya kau buat Mahligai untuk tetap di tempat!"
"Kupikir kau cukup mampu mengejar gadis kecil seperti dia! Kau cukup mampu menundukkan jiwanya dan membuatnya bertekuk lutut padamu! Jadi kurasa tak perlu lagi aku ikut campur tangan menahan Mahligai!"
"Hmmm...! Aku tahu semua ini adalah rencana busukmu, Sendang Suci! Kau beberkan perjanjian kita di depan Mahligai, kau ceritakan bahayanya menjadi istriku, dan kau ceritakan keburukan-keburukan ku sehingga hati Mahligai memberontak dan berkesimpulan untuk melarikan diri! Kau memang tidak menyuruhnya lari, tapi kau buat ia mengambil keputusan itu dengan sendirinya!"
Dalam hati, perempuan bertubuh sedang dengan rambut di sanggul di tengah yang sisanya meriap di sekeliling itu, berkata membatin,
"Rupanya dia tahu siasatku menyelamatkan Mahligai! Tapi mengapa ia tidak bisa menangkap Mahligai? Apakah ia tak berhasil mengejarnya, atau Mahligai membuatnya terdesak? Ah, kurasa tidak begitu. Ilmu yang dimiliki Mahligai tidak sebanding dengan ilmu si Mata Neraka. Lelaki ini mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari Mahligai, tak mungkin ia terdesak mundur oleh serangan Mahligai!"
Terdengar suara Mata Neraka menyentak keras, "Sekarang kuminta kau serahkan Mahligai padaku dalam waktu satu hari satu malam! Kalau tidak, kucabut nyawamu tanpa ada perjanjian apa-apa lagi!"
"Aku tidak tahu di mana Mahligai berada!" balas Sendang Suci bernada ketus dan berani, Tangkaplah dengan ilmumu sendiri gadis kecil itu, Mata Neraka! Bukankah ilmumu jauh lebih tinggi daripada ilmunya?!"
"Ada pihak lain yang ikut campur dalam pengejaranku, Sendang Suci!"
Terkesiap mata Sendang Suci memandang! orang berkumis lebat itu. Kemudian, setelah diam sesaat, Sendang Suci perdengarkan suaranya, "Siapa yang ikut campur dalam masalah ini?"
"Murid Dewa Geledek!"
Makin terkejut Tabib Perawan itu mendengarnya. Ia menggumam lirih, "Murid Dewa Geledek...?! Sejak kapan Dewa Geledek mempunyai murid? Aku tak pernah dengar kabarnya mendidik seorang murid! Mungkin hal itu sengaja ia sembunyikan dari telinga para tokoh di dunia persilatan untuk membuat suatu kejutan baru?"
"Kalau murid Dewa Geledek itu tidak ikut campur, Mahligai sudah mati di tanganku!"
"O, kalau Mahligai tewas, jelas aku turun tangan dan mencarimu, Mata Neraka! Sebab perjanjiannya bukan merenggut nyawa muridku itu!" kata Sendang Suci dengan beraninya.
"Kalau Mahligai menolak lamaranku, maka ia harus mau menerima nasibnya, yaitu kucabut nyawanya dalam sekejap!"
"Dan aku ada di depan Mahligai. jika hal itu kau lakukan, Mata Neraka! Tak kuizinkan siapa pun mencabut nyawa muridku sebelum ia berhasil membunuhku!"
Sikap berdiri Sendang Suci sudah mulai menampakkan keadaan siap bertarung. Mata Neraka pun memandang dengan menyipit benci, lalu keluarlah kata-kata pedas dari mulutnya yang berbibir tebal itu,
"Kalau aku harus membunuhmu, sangatlah disayangkan jika hanya kulakukan seperti membunuh lawan-lawanku lainnya. Khususnya untuk kamu, Tabib Perawan, kau harus dibunuh setelah kau merasakan cumbuan hangatku lebih dulu, ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Mata Neraka!" bentak Sendang Suci dengan mulai semakin terpancing amarahnya.
"Kau perawan tua, Sendang Suci! Rugi kalau kau mati belum pernah merasakan nikmatnya cumbuan lelaki! Jadi kalau kau menghendaki aku membunuhmu sebelum membunuh muridmu, itu berarti kau menyuruhku untuk segera mencumbumu, Tabib Perawan!".
Semakin geram hati Sendang Suci mendengar ucapan lawannya, kemudian ia segera berkata dengan mata terbuka menantang. "Majulah kalau kau ingin kuremukkan kepalamu, Mata Neraka!"
Seet...! Sendang Suci mencabut kipas dari pinggangnya. Kipas lebar itu mulai dibentangkan membuka di depan dadanya. Pandangan matanya semakin tajam dan penuh sorot tatapan mata permusuhan.
"Rupanya kau memang memancingku agar memperkosamu, Perawan Tua! Ha ha ha ha...!" Mata Neraka mulai melangkah dalam gerak ke samping, mengitari Sendang Suci dengan tangan siap melakukan serangan.
Sendang Suci sendiri pun melangkah menyamping dengan mata tak berkedip memandangi tiap gerakan anggota tubuh Mata Neraka. Hal yang paling selalu diperhatikan adalah mata dari lawannya, karena ia tahu lawannya mempunyai jurus maut pada pancaran matanya.
Dugaan Sendang Suci memang benar, mata lawannya segera berubah menjadi hijau menyala. Tak lama kemudian mata itu melepaskan sinar hijau dua larik yang menghantam ke tubuh Sendang Suci.
Clap, clap!
Sendang Suci mengibaskan kipasnya dengan cepat. Wuutt wuuttt! Dua sinar hijau itu bisa ditangkis keduanya, dibelokkan arahnya hingga menghantam dua buah pohon di kejauhan sana.
Duarrr, duaarrr...!
Kedua pohon itu segera rubuh dalam keadaan hancur pada bagian yang terkena sinar hijau Itu. Dan setelah merasa kilatan sinar dari matanya mudah ditangkis dengan kipas lebar itu, si Mata Neraka segera mencabut pedang lebarnya.
Wusss...!
Ia mulai memainkan jurus pedang. Pedang itu digenggam dengan kedua tangan dan segera kakinya menyentak ke tanah, tubuh pun melesat maju dalam keadaan melompat bagaikan terbang. Pedang besar itu ditebaskan dari samping kanan ke kiri.
Wuusss...!
Trangng...!
Kipas Sendang Suci menghadang gerakan pedang lawan. Kipas itu tidak patah, robek, ataupun terpotong. Kipas itu menjadi sekeras baja, dan bisa dipakai menahan tebasan pedang besar. Maka dengan cepat kaki Sendang Suci bergerak menendang ke arah rusuk kiri lawannya.
Wuutt...! Duuggh...!
"Ahg...!" si Mata Neraka tersentak dalam pekik tertahan. Tulang rusuknya terasa patah sebagian karena tendangan berat itu.
Pada saat si Mata Neraka terhuyung-huyung ke samping, Sendang Suci segera menutupkan kipas besarnya. Kipas itu menjadi seperti sebuah senjata dari baja keras, dan dapat dikibaskan ke leher lawannya. Wuuttt...! Claap..! Seberkas sinar keluar dari ujung kipas, berwarna ungu seperti bentuk bintang.
Trangng...! Wuusss...!
Sinar itu dihadang oleh seberkas sinar hijau yang melesat dari mata lelaki berkumis tebal itu.
Zlaapp...! Blaarrr...!
Benturan dua sinar itu mengakibatkan ledakan besar yang membuat kedua tubuh terpental saling menjauh. Sendang Suci sendiri terpental hingga empat tombak jauhnya, dan si Mata Neraka hanya terpental antara dua tombak ke belakang. Tapi keadaan si Mata Neraka masih tetap berdiri, sedangkan Sendang Suci jatuh tersimpuh di samping sebongkah batu sebesar tubuhnya sendiri.
Brukkk...!
Pada waktu itu, si Mata Neraka segera menggeram dan bola matanya menjadi hijau. Lalu, dari bola mata itu melesatlah sinar hijau dua larik yang mengarah ke tubuh Sendang Suci. Kehadiran sinar hijau itu tak sempat diperhatikan oleh Sendang Suci, sebab saat itu perempuan tersebut sedang terbatuk-batuk dan memuntahkan darah segar dari mulutnya akibat gelombang ledakan tadi.
Duaaar...! Blaarrr...!
Dua larik sinar hijau terpotong meledak di pertengahan jarak sebelum mencapai Sendang Suci. Sinar tersebut tertahan oleh sinar kuning yang membentuk seperti dua cakram berkelebat dari arah tiga pohon terjajar merapat. Kalau sinar hijau dari mata lelaki berpakaian serba biru itu tidak terpotong sinar kuning berbentuk cakram, maka tubuh Sendang Suci akan hancur berkeping-keping dan tak akan tertolong lagi jiwanya.
Dari tiga batang pohon terjajar itu muncullah sesosok tubuh berpakaian hijau lengan panjang komprang dengan rompi putih rapat membungkus dadanya. Orang itu mengenakan tudung hitam yang segera dikenali oleh si Mata Neraka.
"Jahanam kau, Tudung Hitam! Rupanya kau pun Ingin ikut campur urusanku ini, hah?!"
Tudung Hitam segera melompat dengan bersalto satu kali, dan ia tiba di depan Sendang Suci yang telah sanggup berdiri lagi itu.
"Tamtama," kata Sendang Suci, "Menyingkirlah, biar aku yang menangani masalah ini!"
"Tidak, Bibi! Silakan Bibi mundur dan saya akan menghadapi si Mata Neraka yang berwatak jahanam itu, Bibi!"
“Tamtama, ilmumu tidak seimbang dengan ilmunya! Jangan melawan dia, Tamtama."
"Saya tidak peduli, Bibi! Tadi saya dengar dia ingin memperistri Mahligai atau membunuhnya! Itu berarti dia harus berhadapan dengan saya, Bibi!"
Kesempatan lengah itu digunakan oleh si Mata Neraka untuk melepaskan pukulan jarum beracunnya dari telapak tangan kanan.
Wuuttt...! Werrr...!
Puluhan jarum hitam beracun menyembur keluar dari telapak tangan dan mengarah ke punggung si Tudung Hitam. Sendang Suci segera terpekik kaget melihat jarum beracun,
"Awas...!"
Sentakan itu membuat gerakan naluriah dilakukan oleh si Tudung Hitam dengan melepas tudungnya dan mengibaskan ke depan.
Wuuuttt...! Jrabbb...!
Puluhan jarum beracun itu menancap di tudung tersebut. Mengepulkan asap putih kebiru-biruan, membuat tudung tersebut menjadi hangus terbakar dan kejap berikutnya menjadi arang yang tergeletak di tanah.
"Terimalah pembalasanku, Jahanam! Heeeaaah...!" Tamtama atau si Tudung Hitam yang sudah tidak mengenakan tudung lagi segera menyentakkan kedua tangannya ke depan. Pada saat itu, segeralah melesat sinar berkelok-kelok seperti akar pohon beringin yang warnanya kuning. Sinar tersebut segera menyerang tubuh si Mata Neraka dengan gerakan cepat.
Tetapi Mata Neraka hanya menggunakan satu tangan menghentakkan telapak tangan kanannya hingga keluarkan sinar berkelok-kelok semacam akar itu, tetapi berwarna hijau. Kedua sinar itu bagaikan saling melilit berbelit-belit di pertengahan jarak.
Craattt... traatt... cratt!
Percikan bunga api terjadi bagai pertarungan dua kekuatan yang sama-sama hebatnya. Sendang Suci segera melompat ke kanan, lalu dengan gerakan kaki merenggang lebar, ia menyentakkan kipasnya ke depan. Suttt...! Dan dari kipas itu keluar sinar lebar warna ungu yang segera menghantam ke pertemuan dua sinar tersebut.
Zrruubb...!
Traattt... ttar... taarr... ttrratttt... trat... tar...!
Tiga sinar beradu dengan sama-sama kuatnya. Sendang Suci bermaksud membantu Tamtama untuk mengalahkan sinar hijaunya si Mata Neraka. Tetapi tiba-tiba dari hiasan mulut singa yang ada di ikat kepala si Mata Neraka itu keluar pula sinar biru sebesar ibu jari.
Zuuuttt...! Blaarrr..,!
Sinar biru itu mengakhiri perang kekuatan tenaga dalam berbentuk sinar. Begitu sinar biru itu menghantam ketiga sinar yang ada di pertengahan jarak, tiga orang Itu sama-sama terpental akibat ledakan dahsyat yang sempat mengguncangkan pepohonan di sekitar mereka. Tubuh ketiga orang itu sama-sama terpental berbeda arah.
Tetapi jarak terpentalnya yang paling jauh adalah Tamtama. la terpental dan berguling-guling bagai disapu badai besar sejauh enam tombak, sedangkan Sendang Suci dan Mata Neraka hanya terpental dalam jarak sekitar empat tombak.
Sendang Suci kembali mengeluarkan darah dari mulutnya. Tapi hanya sedikit. Sedangkan Tamtama banyak mengeluarkan darah dari lubang hidung, telinga, dan mulutnya. Agaknya sentakan daya ledak tadi cukup kuat menghantam dadanya, sehingga dada kiri Tamtama kelihatan sedikit hangus. Pakaian yang menutupi dada Itu menjadi hitam dan berasap tipis.
"Tamtama...!" seru Sendang Suci dengan cemas. Cepat-cepat ia melompat dan bersalto dua kali di tanah, lalu segera menolong Tamtama yang berwajah pucat. Sendang Suci menjadi iba hatinya melihat pembelaan pemuda yang selama ini dikenal sebagai kekasih Mahligai itu. Sudah pasti Tamtama siap mati untuk membela Mahligai, karena ia sangat mencintai Mahligai, walaupun selama ini Mahligai tidak pernah memberi tanggapan secara sungguh-sungguh terhadap cinta Tamtama.
"Tamtama, bertahanlah...! Bibi akan salurkan hawa murni ke dalam tubuhmu! Bertahanlah...!"
Dari seberang sana, si Mata Neraka berteriak, "Sendang Suci! Saatnya telah tiba untuk membunuh kalian berdua! Heaaah...!"
Zlaaap...!
Kembali sinar biru sebesar ibu jari tangan itu melesat bagaikan tongkat baja yang membahayakan, keluar dari hiasan kepala singa yang ada di tengah dahinya. Gerakan sinar itu amat cepatnya, sehingga Sendang Suci tak sempat menghindar sedikit pun.
Hanya saja, gerakan sinar biru yang cepat itu tiba-tiba terhenti di udara, tepat dalam jarak dua jengkal dari tubuh Sendang Suci. Sinar biru yang ganas itu tiba-tiba bergerak memendek, bagaikan didesak untuk kembali masuk dari sumbernya. Sendang Suci merasa heran, karena ia tidak melakukan tindakan seperti itu.
Dan semakin heran lagi setelah di depannya mulai tampak samar-samar sesosok tubuh besar yang memung-gunginya. Bayangan itu makin lama semakin jelas dan akhirnya benar-benar nyata dalam penglihatan siapa saja.
Zluuub...!
Sinar biru itu kembali masuk ke hiasan mulut singa di kening Mata Neraka. Masuknya sinar tersebut membuat Mata Neraka tersentak mundur tiga tindak. Kemudian ia memandang gemas kepada orang yang muncul dari bayangan tadi, yaitu orang bertubuh besar dan berwajah lebih angker dari si Mata Neraka. Tinggi tubuh orang Itu sejajar dengan tinggi tubuh Mata Neraka. Tapi perutnya lebih tampak besar orang tersebut.
Orang itu berpakaian abu-abu dengan dirangkap jubah berlengan longgar yang panjang warna hitam bertepian merah mengkilap. Rambutnya botak separo kepala, sisanya panjang ke belakang sebatas pundak. Ia mengenakan ikat kepala merah dengan bagian tengah dahi terdapat hiasan dari logam emas berbentuk simbol swastika, ia berkumis tebal turun ke bawah dan menjadi satu dengan jenggotnya yang pendek itu.
Matanya lebar dan alis matanya lebat ke atas bentuknya. Orang itu menyelipkan senjatanya di pinggang kanan kiri berupa logam gelang berwarna kuning emas, di mana setiap gelang emas Itu mempunyai tepian yang bergerigi tajam.
Sendang Suci menggumam lirih, "Malaikat Gelang Emas...?!" Ia kelihatan menggumam dengan wajah cemas, karena ia tahu bahwa Malaikat Gelang Emas ilmunya jauh lebih tinggi dari adiknya; si Mata Neraka itu. Tapi agaknya kali ini Malaikat Gelang Emas punya urusan sendiri dengan sang adik, sehingga ia menghampiri Mata Neraka dan dengan gerakan cepat tangannya berkelebat menampar.
Plakkk...!
Mata Neraka tak berani membalas. Ia terlempar dan berguling-guling di tanah, lalu Malaikat Gelang Emas menghampiri dan menenteng bajunya hingga terangkatlah tubuh Mata Neraka.
"Kuperintahkan kau menjaga makam kakek, mengapa kau minggat sampai di sini, hah! Dasar bocah setan!"
Plook...! Plookkk...! Buugh...! Mata Neraka dihajar kakaknya.
"Pulang kau ke makam kakek! Jangan ke mana-mana sebelum genap tiga tahun jenazah kakek terkubur! Pulang ke sana, lekas!"
"Ba...baik! Baik, Kak...!
Mata Neraka segera lari pergi, dan Malaikat Gelang Emas pun pergi ke arah lain, tanpa menghiraukan Sendang Suci dan Tamtama lagi.
KEPERGIAN Malaikat Gelang Emas masih memukau Sendang Suci beberapa saat. Karena Sendang Suci tak menyangka kalau Malaikat Gelang Emas hanya datang untuk menghajar adiknya sendiri dan menyuruhnya kembali sebagai penjaga makam kakek mereka. Semula Sendang Suci menyangka Malaikat Gelang Emas datang untuk membantu pertarungan adiknya, setidaknya membalaskan beberapa serangan yang berhasil mengenai adiknya. Ternyata dugaan itu meleset.
Sendang Suci segera sadar akan keadaan Tamtama yang semakin memucat wajahnya. la segera membawanya masuk ke dalam rumahnya. Pemuda tampan berambut ikal itu sudah tak bisa bicara apa-apa, bahkan bernapas pun tampak susah sekali. la dibaringkan di atas dipan pembaringan yang ada di ruang tamu rumah tersebut.
"Belum terlambat! Belum terlambat!" ucap Sendang Suci sendirian. la segera menyiapkan ramuan obat untuk menyembuhkan luka dalam yang mengandung racun berbahaya itu.
Tak seberapa jauh dari rumah kediaman Sendang Suci, ada sebuah kedai yang cukup ramai dikunjungi pembeli. Sendang Suci bergegas lari ke kedai itu untuk membeli arak. Ia membutuhkan arak sebagai campuran ramuan obatnya. Kebetulan persediaan arak di rumah sudah habis, sehingga Sendang Suci terpaksa lari ke kedai tersebut.
Ternyata di depan kedai orang berkumpul di antara lelaki berpakaian hitam-hitam. Orang yang berpakaian hitam itu tak lain adalah Jalak Hutan yang kepalanya masih terdongak ke atas karena terkena jurus 'Rajawali Paruh Pendek' itu. Mulanya Jalak Hutan bertemu dengan seorang kenalannya di depan kedai tersebut dan berkata dengan nada keras,
"Sambara...! Apakah kau melihat Tabib Perawan di sekitar sini?!"
Sambara yang tidak tahu keadaan Jalak Hutan itu segera ikut mendongakkan kepala, memandang ke langit sambil berkata, "Sepertinya tak kulihat Tabib Perawan di sana! Mana...?!"
"Justru aku mencari dia! Barangkali saja dia ada di sekitar sini?!" kata Jalak Hutan.
Sambara berseru kepada temannya yang bernama Kambas, "Hei, Kambas... apakah kau melihat Tabib Perawan?"
Karena Sambara kembali mendongak ke langit, maka mata Kambas pun ikut mendongak ke langit, mencari-cari Tabib Perawan di langit sana. Kejap berikutnya, Kambas pun menjawab, "Ah, tak kulihat Tabib Perawan di sana?! Mungkin dia masih ada di rumahnya!"
"Kalau begitu aku harus segera pergi ke rumahnya!" kata Jalak Hutan sambil tetap mendongak ke atas. Kini bukan hanya Kambas dan Sambara saja yang ikut mendongak keatas, melainkan dua orang yang baru saja keluar dari kedai Ikut mendongak ke atas, ikut memandangi langit, mencari sesuatu yang dianggapnya sedang dipandangi oleh Jalak Hutan dan kedua orang lainnya Itu.
"Apa yang mereka lihat di atas sana?" tanya salah seorang yang baru saja keluar dari kedai. Temannya menjawab,
"Entahlah, mungkin bintang jatuh!" Pada waktu itu, Jalak Hutan berbicara pelan kepada Sambara, menceritakan perasaan hatinya dengan tetap mendongak ke atas, demikian pula Sambara yang ikut mendongak ke atas tanpa tahu persis apa yang dilihat Jalak Hutan. Mereka berdua tidak tahu bahwa banyak orang yang ikut-ikutan memandang ke atas. Bahkan ketika Sendang Suci bergegas masuk ke kedai untuk memesan arak, ia kembali keluar sebentar dan ikut memandang ke atas.
"Apa yang mereka lihat di sana? Tak ada apa-apa?!" gumam Sendang Suci, kemudian ia tinggalkan orang-orang yang mendongak ke atas itu dan ia pun segera membeli arak. Begitu ia hendak pulang, ia kembali penasaran dan ikut mendongak ke atas sambil bertanya kepada Jalak Hutan.
"Ada apa di langit sana, Jalak Hutan?!"
Sambara cepat-cepat berkata, "Nah, ini dia si Tabib Perawan?! Mengapa kau mencarinya di langit sana?"
"Siapa yang mencarinya di langit?" bantah Jalak Hutan.
"Buktinya kau mendongak ke atas, sehingga aku pun ikut mendongak ke atas!"
"Dasar bodoh! Aku mendongak ke atas karena tulang dan uratku terkunci oleh tendangan si Pendekar Rajawali Merah!"
"Pendekar Rajawali Merah?" Sendang Suci menyahut dengan nada heran. "Bukankah Dewa Geledek sudah mengasingkan diri dan tidak ikut campur lagi di dunia persilatan?"
"Bukan Dewa Geledek, melainkan muridnya! Murid yang kurang ajar itu telah membuat kepalaku jadi begini terus menerus, Tabib Perawan!"
"Mengapa kau dibuat sampai begitu, Jalak Hutan?" tanya Sendang Suci sambil memandang antara geli dan heran.
"Ini gara-gara muridmu, Mahligai!"
Terkesiap mata Sendang Suci dan segera bertanya, "Ada apa dengan Mahligai muridku?"
"Dia diculik oleh Pendekar Rajawali Merah! Ia dilukai dan dibuatnya lumpuh. Aku bermaksud menolongnya, tapi ternyata anak muda itu telah lebih dulu menotok jalan darahku, mengunci urat-urat tengkukku hingga aku tak bisa gerakkan kepala lagi. Oh, Tabib Perawan... bisakah kau bantu aku untuk memulihkan urat-uratku agar kepalaku bisa bergerak lagi?!"
"Akan kuusahakan! Tapi benarkah Mahligai dilumpuhkan oleh Pendekar Rajawali Merah?!"
"Benar! Aku melihatnya sendiri! Kalau aku tidak melihatnya, aku tidak akan bertarung dengannya dan dibuat seperti ini!"
"Keparat murid Dewa Geledek itu!" geram Sendang Suci. Kemudian tangannya bergerak dalam keadaan menguncup dan menotok beberapa bagian di punggung Jalak Hutan.
Deb deb deb...!
"Aaauh...!" Jalak Hutan mengerang kesakitan. Kepalanya tak bisa kembali seperti semula. Maka, Sendang Suci melakukan gerakan menotok lagi di beberapa tempat, terutama di tubuh bagian belakang dan pada tengkuk Jalak Hutan. Tetapi kepala Jalak Hutan masih belum bisa kembali seperti sediakala.
"Urat-uratmu telah menjadi keras seperti batu di bagian kepala dan leher," kata Sendang Suci. "Kau harus meminum ramuan obat yang kupakai untuk melemaskan urat dan otot!"
"Kalau begitu, apakah aku harus ke rumahmu sekarang juga?!"
"Besok saja! Aku sedang menyembuhkan seseorang yang terkena racun berbahaya! Aku tak bisa menolongmu sekarang, Jalak Hutan!"
"Jadi, aku harus mendongak terus begini sampai esok pagi?!"
Ucapan itu tidak dilayani oleh Sendang Suci. la segera melesat pergi tinggalkan tempat. la tak bisa menunda pengobatan lebih lama lagi, karena keadaan Tamtama benar-benar sangat gawat. Terlambat sedikit lagi, racun berbahaya itu akan menyerang jantung dan Tamtama akan mati.
Kepedulian Sendang Suci terhadap luka Tamtama itu hanya semata-mata dia tahu bahwa Tamtama sangat sayang kepada Mahligai. Tamtama pernah melamar langsung kepada Sendang Suci untuk mengawini Mahligai, tetapi Mahligai masih jinak-jinak merpati dan malu-malu kucing memberi jawaban yang pasti.
Terlepas dari perasaan yang ada pada hati Tamtama, Sendang Suci melihat sikap baik Tamtama yang tidak semata-mata ingin mengumbar nafsu saja, namun ingin bertanggung jawab terhadap segala hidup dan matinya Mahligai dengan wujud lamaran tersebut.
Tapi Sendang Suci belum mengetahui perkembangan hati Mahligai, terutama setelah gadis itu bertemu dengan Yoga; si Pendekar Rajawali Merah. Buat Mahligai, membuka pintu hati untuk Yoga ternyata lebih mudah daripada membuka pintu hati untuk Tamtama. Apalagi ia sudah berhasil mengelabui Yoga dengan membelokkan arah tujuan ke rumah bibinya.
Seharusnya perjalanan bisa ditempuh setengah hari, namun Mahligai membuat arah jauh yang mengakibatkan waktu perjalanan menjadi sehari semalam. Dan dalam waktu selama itu, Yoga bagai manusia tak mengenal lelah. Ia tetap menggendong Mahligai yang selalu mengatakan bahwa kakinya belum bisa dipakai untuk menapak karena luka terkilirnya. Padahal Mahligai sudah bisa menapak sejak dari semula sebelum digendong Yoga.
Barulah ketika mereka tiba di depan rumah Sendang Suci, Mahligai turun dari gendongan Yoga. Itu pun karena Sendang Suci tampak menjadi marah melihat keponakannya digendong oleh Yoga, ia menyangka Mahligai benar-benar lumpuh dan hendak diculik seperti apa kata Jalak Hutan.
Dengan kipasnya, Sendang Suci segera menyerang Pendekar Rajawali Merah yang masih menggendong tubuh Mahligai. Kipas itu dalam keadaan tertutup dan disodokan ke wajah Pendekar Rajawali Merah. Namun dengan gesitnya kepala anak muda yang tampan dan punya senyum sangat menawan itu berkelit menghindari sodokan kipas yang mengeluarkan hawa panas tersebut.
Wuuuttt...!
Dengan cepat Sendang Suci memutar tubuh dan melayangkan tendangan kaki kanannya. Wuuus...! Tendangan Itu dihindari pula oleh Yoga dengan satu seruan,
"Mengapa kau menyerangku?!"
"Bibi, hentikan serangan itu! Jangan serang dia, Bibi!"
"Mahligai, apakah kau masih ingin membela orang yang telah melumpuhkan kakimu itu, hah?!" Sendang Suci marah kepada muridnya.
"Siapa bilang kakiku dilumpuhkannya?"
"Jalak Hutan memberikan laporan begitu padaku!"
"Itu fitnah, Bibi! Aku tidak lumpuh. Aku masih bisa berdiri dan berjalan biasa! Lihat..!" lalu Mahligai berkata kepada Yoga, "Turunkan aku...!"
Mahligai turun dari gendongan Yoga, ia melompat dan bersalto satu kali di udara. Kemudian ia memperagakan jurus tendangan beruntun yang diajarkan oleh gurunya. Setelah itu, ia kembali mengambil sikap berdiri tegak dan sigap.
Sendang Suci tertegun melihat keponakannya masih sehat, tidak seperti yang dilaporkan Jalak Hutan kepadanya. Lebih tertegun lagi Pendekar Rajawali Merah, yang mulai merasa dikelabui oleh Mahligai sejak dari kemarin. Dalam keadaan terbengong, Yoga berkata kepada gadis cantik yang nakal dan bandel itu.
"Rupanya kau dalam keadaan sehat, Mahligai? Kakimu berguna dengan baik sekali! Kau telah menipuku, Mahligai!"
Mahligai tersipu malu. Tapi segera ia tutupi perasaan malunya itu dengan membuang pandangan ke arah lain sambil berkata, “Tadi memang terasa sakit. Tapi begitu aku bertemu dengan Guru, sakit di kakiku ini sembuh seketika!"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum sambil geleng-geleng kepala. la sadar bahwa dirinya telah dikelabui oleh gadis cantik itu untuk satu maksud tersembunyi di balik hati sang gadis. Yoga menerima kalah dan tidak banyak menuntut.
Tetapi senyuman itu membuat Sendang Suci lupa mengedipkan mata. la merasakan ada desiran halus di hatinya begitu meresapi senyuman Pendekar Rajawali Merah. Desiran halus itu menggelisahkan hati dan membuat Sendang Suci lupa berkedip kalau tidak segera diajak bicara oleh keponakan yang sekaligus muridnya itu.
"Dia menyelamatkan aku dari kejaran si Mata Neraka, Bibi! Lalu, dia punya kesulitan dan aku ingin menolongnya!"
Percakapan mereka di luar terhenti oleh kemunculan Tamtama dari dalam rumah. Rupanya pengobatan yang dilakukan oleh Sendang Suci tak sia-sia. Keadaan Tamtama memang belum sesehat biasanya, tapi racun di dalam tubuhnya telah berhasil ditawarkan dan tidak lagi menyerang dan mengancam jiwanya.
Mata Mahligai terkesiap curiga melihat Tamtama keluar dari dalam rumah. Sepagi ini sudah berada di rumah bibinya, berarti Tamtama bermalam di rumah itu. Maka Mahligai pun segera menyapanya, "0, rupanya kau sudah ada di sini sepagi ini, Tamtama?"
"Ya. Aku terluka racun berbahaya dari serangan si Mata Neraka!'' jawab Tamtama. "Aku tak sadarkan diri sampai tengah malam. Rupanya Bibi berhasil mengobatiku, sehingga pagi ini aku sudah segar walau belum pulih seperti sediakala, Mahligai!"
Sambil berkata begitu, sesekali mata Tamtama melirik ke arah Yoga dengan sikap pandang tak enak di hati. Yoga merasa dipandang kurang bersahabat, sehingga ia pun mencoba mempelajari sikap pemuda yang sebaya dengannya itu. Apalagi saat itu Tamtama berkata,
"Seharusnya kau menghubungiku jika si Mata Neraka mengejar-ngejarmu begitu. Kurasa itu lebih baik dari pada kau minta tolong kepada orang lain, Mahligai!"
Mahligai menjawab dengan nada ketus yang tak enak dicerna di hati siapa pun, "Apa pedulimu dengan diriku, Tamtama? Aku meminta pertolongan pada orang lain atau tidak sama sekali, kau tak berhak menganjurkan seperti itu!"
"Aku hanya mengingatkan kamu, agar orang lain tidak merendahkan kamu setelah habis menolongmu, Mahligai!"
"Justru kaulah yang merendahkan aku karena menganggap aku tak layak minta pertolongan pada orang lain!"
Sendang Suci hanya menarik napas. la tahu, Tamtama menaruh rasa cemburu melihat Mahligai pulang bersama pemuda yang lebih tampan darinya. la juga tahu bahwa Mahligai mempertahankan sikapnya dan membela posisi Pendekar Rajawali Merah atas kecemburuan Tamtama. Dan agaknya keadaan itu jika dibiarkan berlarut-larut akan menjadi semakin panas. Sebab itu, Sendang Suci segera menengahi perdebatan Tamtama dengan Mahligai.
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja!"
Mahligai pun berkata, "Yoga, kita bicara di dalam saja, yuk!"
Melihat sikap lembut Mahligai kepada Yoga, hati Tamtama menjadi semakin panas. Maka segera ia berkata kepada Sendang Suci dengan menyindir kepada Yoga, "Rasa-rasanya apa yang dikatakan oleh Paman Jalak Hutan itu benar, Bi! Mahligai dalam ancaman bahaya halus yang tak mudah dikenali oleh siapa pun!"
"Ancaman halus apa?!" sergah Mahligai.
"Jarang sekali Mahligai bisa bersikap lembut, Bi. Jangan-jangan ia terkena mantera guna-guna oleh seseorang?!" kata Tamtama masih ditujukan kepada Sendang Suci.
Mahligai semakin jengkel karena tahu arah pembicaraan Tamtama. Maka ia pun kian membuat Tamtama panas hatinya dengan menggandeng lengan Yoga dan berkata, "Masuklah! Yang punya rumah adalah Guruku, dan Guruku sudah mempersilakan! Tak perlu kau hiraukan omongan orang yang bukan anggota keluarga di rumah ini, Yoga!"
Yoga yang tahu gelagat segera menjawab, “Tak usah. Biarlah aku di luar saja. Aku perlu bicara dengan Bibi gurumu itu!"
Tamtama yang sudah telanjur panas hatinya segera menyahut, "Kurasa itu memang lebih baik daripada kau duduk di dalam rumah terhormat ini! Rumah Bibi Sendang Suci hanya untuk menerima tamu-tamu terhormat!"
"O, jadi kau juga memilih di luar rumah saja?!"
"Aku orang terhormat, Kunyuk!" sentak Tamtama yang hanya mendapat senyuman ringan dari Yoga.
"Kasar sekali kau, Tamtama!" bentak Mahligai dengan mata melotot.
"Mengapa aku harus berbuat sopan dengan orang macam dia yang tak banyak bedanya dengan gelandangan jalanan?!" sambil Tamtama menuding Pendekar Rajawali Merah.
"Jaga mulutmu, Tamtama!" ucap Sendang Suci dengan pelan.
"Saya tak bisa menjaga mulut dan omongan saya sebelum gelandangan itu pergi dari sini, Bibi!"
"Perlukah aku yang menjaga mulutmu, Orang terhormat?." sahut Pendekar Rajawali Merah dengan pandangan mata tajam ke arah Tamtama.
"Apa maksudmu?!" hardik Tamtama dengan mata terbuka lebar.
"Mungkin kau butuh seseorang untuk membungkam mulutmu biar terjaga dalam bicaranya?" jawab Yoga masih dengan tenang dan kalem.
"O, kau ingin memancing kemarahanku, hah?! Kau ingin mencoba ilmuku, Orang Hina?!"
"Tamtama...! Sendang Suci mengingatkan, tapi tidak digubrisnya.
"Tahan pukulanku kalau kau memang ingin menjajal ilmuku! Hiaaah!"
Wuutt..! Sinar hijau dilepaskan dari telapak tangan Tamtama dalam jarak hanya tiga tombak. Tapi dengan cekatan tangan Yoga berkelebat mengibas, dan angin kibasannya cukup kuat, hingga membuat sinar hijau itu melesat naik dan menghantam dahan pohon.
Duaarrr...!
Brruuusss...! Dahan pohon itu jatuh dan hancur sementara mereka yang ada di bawahnya melompat menyebar ke lain arah. Kini keadaan Tamtama berhadapan persis dengan Yoga. Wajah Tamtama kelihatan garang dipanggang api kemarahan, sedangkan Yoga tetap tenang.
Tamtama segera mencabut pedangnya. Tapi dengan cepat kedua tangan Yoga menyodok ke depan dengan telapak tangan terbuka dan tengadah ke atas. Zuuuttt...! Sodokan kedua telapak tangan itu membuat tubuh Tamtama tersentak ke belakang dengan sangat kerasnya dan masuk di sela-sela dua batang pohon yang tumbuh bersebelahan, hampir merapat itu. Brusss...! Terjepitlah tubuh Tamtama di sana dan tak bisa bergerak, tak mampu berteriak kecuali erangan dengan suara tertahan.
Mahligai dan Sendang Suci bergegas menghampirinya dan berusaha mengeluarkan tubuh Tamtama yang terjepit kuat itu. Tapi mereka tak berhasil, sedangkan wajah Tamtama sudah merah kebiru-biruan bagai terjepit benda keras pada bagian ulu hati dan perutnya.
"Dia bisa mati kalau tidak segera dilepaskan dari dua pohon itu!" kata Sendang Suci kepada Yoga setelah ia bergegas mendekati Yoga.
“Yo, lepaskan dia...!" seru Mahligai.
Kemudian Pendekar Rajawali Merah berlari dan melompat ke udara, bersalto satu kali ke arah pertengahan atas kedua pohon tersebut. Lalu dengan dua kakinya yang menjejak ke kanan kiri dengan kuat pohon-pohon Itu tersentak ke samping dan salah satunya tumbang dengan akar tersentak keluar dari tanah.
Brukkk...! Kraakkk...!
Sedangkan pohon yang satunya lagi hanya miring ke arah samping. Dengan begitu, tubuh Tamtama yang terjepit kuat itu kini bebas dari jepitan dua batang pohon besar, dan hal itu membuat Sendang Suci tertegun kagum memandangi kehebatan daya sentak kaki pemuda tampan tersebut.
SENDANG Suci membalutkan rempah-rempah adonannya di sekujur tubuh Tamtama. Pengobatan itu dimaksudkan untuk memperlancar kembali aliran jalan darah. Karena pada bagian perut sampai ulu hati pemuda itu menjadi biru dan cekung membentuk benda yang telah menghimpit tadi.
Mahligai ada di dekat pembaringan itu. Wajahnya masih bersungut-sungut menahan jengkel. Suaranya terdengar seperti orang menggerutu, "Kalau aku tidak mengingatkan Yoga, kau tidak akan dilepaskan dari himpitan dua pohon itu selamanya, Tamtama!"
"Kenapa kau tidak menyuruhnya membunuhku saja?" Tamtama pun bersungut-sungut menahan kedongkolan hatinya, sambil menahan rasa sakit karena perutnya terasa linu jika dipakai bicara.
Mahligai menyahut, "Yoga bukan seorang pembunuh yang keji. Dia seorang pendekar beraliran putih. Dia hanya akan bertindak demi kedamaian sesama umat manusia!"
"Hmm...! Kau selalu saja memujinya!"
Mahligai diam saja. Terbayang dalam benaknya saat ia saksikan sendiri Tamtama bertarung dengan para peserta landing laga di Bukit Sengkala. Pada waktu itu, pihak perguruan Tamtama mengadakan uji landing bagi murid-muridnya. Guru Tamtama yang sekarang sudah wafat itu; Ki Jipang Saga, sengaja memanggil beberapa jago dari Tanah Hulu. Jago-jago dari Tanah Hulu itulah yang akan diadu oleh beberapa murid pilihan Ki Jipang Saga, satu di antaranya adalah Tamtama.
Bagi Tamtama, terpilih sebagai murid yang akan diadu merupakan suatu kebanggaan tersendiri. la kabarkan hal itu kepada Mahligai. Dengan berapi-api saat itu Tamtama berkata, "Aku terpilih sebagai murid teladan Ki Jipang Saga, Mahligai!"
"Apa maksudnya murid teladan?" tanya Mahligai kala itu.
"Dari sekian banyak murid Ki Jipang Saga, ada beberapa yang memang mampu memperdalam pelajaran dengan cepat, ada yang lamban. Aku dinilai dapat perdalam ilmu dengan cepat bersama kesembilan temanku lainnya. Ketangkasan kami telah diuji sesama teman. Akhirnya dari kesepuluh murid dipilih lima orang untuk dinyatakan sebagai murid tercepat, tertangkas dan pandai menggunakan siasat bertarung. Lima murid itu adalah aku. Untuk menguji kegigihan kami, Guru memanggil lima jago dari Tanah Hulu. Tiga hari lagi kami akan diadu di Bukit Sengkala dengan lima jago Tanah Hulu itu."
"Kau juga akan diadu di sana?"
“Tentu. Karena aku satu-satunya murid yang punya nilai tertinggi dan diandalkan oleh guruku. Kau harus hadir di Bukit Sengkala untuk melihat kehebatan jurus-jurusku, Mahligai."
"Aku tak bersedia," jawab Mahligai cepat.
"Mengapa?" Tamtama mulai kecewa.
"Aku takut melihatmu terluka atau babak belur."
"Ha-ha ha ha...! Itu tidak mungkin, Mahligai. Tidak mungkin! Tamtama yang sekarang bukan Tamtama yang kau kenal beberapa tahun yang lalu. Karenanya, hadirlah dalam tanding laga di Bukit Sengkala nanti supaya kau tahu siapa diriku sebenarnya!"
Desakan itu akhirnya membuat Mahligai menuruti kehendak Tamtama. Tapi dalam hati kecil Mahligai sudah timbul rasa tidak percaya akan ketangkasan Tamtama. Sebab dalam kesehariannya, jika Mahligai marah dan menyerang Tamtama, pemuda itu jarang bisa hindari serangan Mahligai. Bisa saja dikarenakan sikap mengalahnya Tamtama, tapi bisa juga dikarenakan kurang tangkasnya pemuda itu.
Pada hari yang sudah ditentukan, Tamtama membawa Mahligai ke Bukit Sengkala. Kehadirannya bersama Mahligai menjadi bahan kasak-kusuk oleh beberapa teman seperguruannya. Bahkan salah seorang teman sempat berkata kepada Tamtama.
"Kau memang layak mendapatkan gadis secantik dia. Tapi alangkah memalukan gadismu jika dalam pertarungan nanti kau tidak dapat tumbangkan dua lawanmu, Tamtama!"
Dengan rasa bangga dan tinggi hati, Tamtama menjawab, "Kelima jago dari Tanah Hulu akan kutumbangkan sekaligus! Aku tak ingin kecewakan Mahligai!"
"Bagus, bagus...!" temannya itu manggut-manggut dengan bangga.
Ki Jipang Saga mulai hadir bersama lima jago Tanah Hulu. Mereka berperawakan tinggi besar, rata-rata berkumis tebal. Wajah mereka berkesan angker dan berdarah dingin. Sebenarnya mereka adalah sahabat Ki Jipang Saga yang selalu ikut membina perkembangan perguruan tersebut, sehingga sebelum mengawali pertarungan landing laga, Ki Jipang Saga lebih dulu berkata kepada para muridnya yang berkumpul mengelilingi arena landing tersebut.
"Murid-muridku, pertarungan ini kita adakan bukan sebagai permusuhan yang mempunyai dasar kebencian ataupun dendam. Pertarungan ini merupakan bagian dari pelajaran yang harus kalian terima, terutama bagi kelima murid teladan yang kupilih. Jadi kuharap, selesai pertarungan jangan timbulkan dendam di dalam hati kalian, jangan timbulkan kesombongan dalam sikap kalian. Pertarungan ini hanya sebagai penguji nyali dalam menghadapi orang asing yang tidak kalian kenal sebelumnya. Ingat, pertarungan ini tidak diperkenankan menggunakan senjata apa pun. Hanya boleh dilakukan dengan tangan kosong, tanpa tenaga dalam bersinar. Pertarungan ini bukan untuk saling membunuh, melainkan untuk saling mencuri kelemahan lawan. Paham?!"
"Pahaaam...!" jawab kelima murid teladan yang akan bertanding, termasuk Tamtama.
Kala itu, Tamtama berbisik kepada Mahligai yang berdiri dengan mulut terbungkam di sampingnya, "Lihat saja permainanku nanti! Kau akan kagum melihat kecepatanku merubuhkan mereka satu persatu!"
"Mereka sepertinya berdarah dingin dan tak kenal belas kasihan. Sekali kau gagal, mereka akan mencecarmu terus sampai kau tak berdaya lagi. Bisa-bisa satu pukulan mereka bisa bikin kau cedera berat, Tamtama. Kau harus hati-hati betul melakukannya!"
"Tenang saja. Tenang...!" Tamtama menepuk-nepuk pundak Mahligai. "Tak akan kubiarkan satu pun menyentuh tubuhku selain tangan dan kakiku! Mereka akan kubuat tercengang-cengang melihat kehebatan ku! Ingat, Mahligai.... mereka akan kubuat tercengang oleh kehebatanku!"
Mahligai hanya manggut-manggut kecil. Kemudian terdengar suara tepuk tangan riuh ketika teman Tamtama yang bernama Jayengrana tampil sebagai peserta pertama melawan orang berbaju kuning berperut sedikit buncit itu. Keadaan pun menjadi sedikit tegang ketika Jayengrana terdesak serangan lawannya, hingga akhirnya Jayengrana jatuh tersungkur tak mampu bangkit lagi. ia terpaksa digotong keluar dari arena dan mendapatkan pengobatan seperlunya. Orang yang melakukan pengobatan itu juga dari pihak Tanah Hulu.
Diam-diam Mahligai berbisik, "Hati-hati betul, Tamtama. Kelihatannya aliran silat mereka mempunyai gerakan-gerakan pendek namun berkecepatan tinggi. Kau harus atur jarak dengan mereka."
“Tenang saja, itu sudah kupikirkan sebelum kau bicara! Jayengrana tidak mau gunakan siasat bertarung, jadi dia roboh dalam waktu singkat. Masa hanya lima jurus saja dia sudah nungging begitu, he he he he...!"
Seorang teman lagi tampil, ia bernama Pratikta. Orang ini sedikit mampu imbangi permainan jurus jarak pendek lawan. la sedikit lumayan ulet hingga bisa membuat orang berbaju kuning itu terdesak mundur dan akhirnya menyerah. Lalu orang berpakaian serba hitam tampil melawan Pratikta. Orang berbaju hitam itu memainkan jurus-jurus jarak jauh. Pratikta mampu imbangi sampai delapan jurus, namun akhirnya ia tumbang karena kalah cepat bergerak dengan lawannya.
KI Jipang Saga berseru, "Baik. Sekarang giliran Tamtama, maju ke arena!"
Dengan gagah dan bangga Tamtama pun tampil setelah sebelumnya sempat berbisik kepada Mahligai, "Lihat, perhatikan baik-baik, dan ingat...!"
Mahligai hanya mengangguk dengan sikap tetap tenang. Tamtama tampil menghadapi orang berbaju kuning yang tadi menumbangkan Jayengrana dengan lima jurus.
"Heaaat...!" Tamtama membuka jurus pertama dengan gaya seekor naga ingin menyerang mangsanya. Orang berbaju kuning itu masih tenang-tenang saja. Tamtama melompat ke kiri, lalu ke kanan dan ke kiri lagi, melakukan gertakan-gertakan tipuan bagi lawan. Namun lawan tampak tetap tenang dengan matanya tak berkedip pandangi Tamtama.
Kejap berikutnya, Tamtama lakukan lompatan memutar dengan tendangan kipasnya. Wuutttt...! Tapi ternyata lawan lebih dulu dan lebih cepat bergerak menggunakan jurus sama.
Wuusss...! Plak plak prak! Buuhg...! Pak, pak...! Braasss..!
Tendangan dan pukulan beruntun dilancarkan oleh orang berbaju kuning. Tamtama gelagapan tak bisa hindari serangan tersebut. la pun terpental ketika lawan lakukan tendangan putar sekali lagi. Mulutnya semburkan darah dan ia pun jatuh terkapar tak berdaya lagi.
"Huuu...!" teman-temannya mengecam bersama. Tamtama tak dapat bangkit lagi. Kepalanya terasa mau pecah, dadanya bagaikan mau jebol. Hanya tiga jurus, Tamtama dibuat tak berkutik oleh lawannya. Mahligai diam saja, hanya tersenyum sinis dan meninggalkan arena dengan hati kecewa.
Di perjalanan Mahligai waktu itu menggerutu, "Omong besar! Masih mending Jayengrana, mampu bertahan lima jurus. Dia baru tiga jurus sudah tak berdaya begitu! Hmmm...!"
Satu hal yang terjadi di luar dugaan Mahligai kala itu, bahwa ternyata sikapnya yang keluar dari kerumunan dan meninggalkan Bukit Sengkala itu merupakan tindakan yang dianggap menyinggung perasaan dan menghina perguruan. Ki Jipang Saga melihat kepergian Mahligai, kemudian segera perintahkan kepada beberapa muridnya untuk menangkap dan membawa kembali Mahligai. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Mahligai. la menolak untuk diajak kembali ke Bukit Sengkala.
"Jika kau ingin hadir sebagai penonton, kau harus menontonnya sampai selesai acara tanding laga itu. Jangan pergi begitu saja. Seolah-olah kau meremehkan perguruan kami dan menghina jago-jago dari Tanah Hulu itu. Kami tersinggung dengan caramu seperti itu!" kata salah seorang teman Tamtama yang termasuk mendapat tugas membawa Mahligai kembali ke Bukit Sengkala.
Mahligai berkata, "Aku tidak bermaksud menghina perguruanmu. Aku hanya merasa tidak tertarik melihat pertarungan seperti itu. Kubayangkan akan terjadi pertarungan yang hebat, ternyata tidak hebat. Biasa-biasa saja, dan aku merasa tidak perlu menyaksikan sampai selesainya acara tersebut!"
"Itu namanya meremehkan perguruan kami dan jago-jago Tanah Hulu!"
Perdebatan di kaki bukit mengundang perhatian mereka yang di atas. Ki Jipang Saga segera turun untuk hampiri Mahligai, semua muridnya ikut turun, bahkan jago-Jago Tanah Hulu pun turun pula. Mereka segera membentuk lingkaran besar mengelilingi Mahligai yang sedang berdebat dengan tiga murid Ki Jipang Saga.
Dalam keadaan sempoyongan, Tamtama pun ikut turun dari atas bukit, maksudnya mau memintakan maaf kepada gurunya atas sikap Mahligai, tapi ia disingkirkan oleh teman-temannya. Kini Ki Jipang Saga hanya berdua dengan Mahligai di tengah lingkaran para muridnya.
"Maafkan saya, Ki Jipang Saga. Saya tidak bermaksud menghina perguruan Ki Jipang Saga maupun orang-orang Tanah Hulu. Saya hanya ingin pulang, karena sahabat saya; Tamtama itu, ternyata telah keok melawan jago-jago Tanah Hulu."
"Maaf tetap kami berikan. Tapi perasaan terhina kami belum lebur. Kau seolah-olah ingin mengatakan, bahwa perguruan kami tidak ada apa-apanya dibandingkan perguruanmu. Sekarang sebaiknya kau tunjukkan kepada kami, bagaimana seharusnya menghadapi lawan seperti orang-orang dari Tanah Hulu itu."
"Ki Jipang Saga memaksaku untuk bertarung melawan lima jago dari Tanah Hulu itu?!"
"Anggaplah begitu. Setidaknya dengan begitu kau telah tunjukkan bahwa kepergianmu bukan semata-mata meremehkan perguruanku!"
Mahligai tarik napas panjang-panjang memendam kedongkolan. Tapi akhirnya ia berkata, "Baiklah! Akan kutebus kesalahanku ini!"
Maka, Ki Jipang Saga menyingkir dari arena, la bicara sebentar dengan kelima jago dari Tanah Hulu itu. Kemudian, orang berbaju kuning yang tadi bikin Tamtama babak belur itu tampil lebih dulu. ia segera lakukan serangan mendadak kepada Mahligai. Dengan sigap dan lincah Mahligai sentakkan kakinya dan tubuhnya pun melenting di udara dengan cepat.
Ketika ia mendarat kembali, orang berbaju kuning itu telah lancarkan tendangan kipasnya. Tapi Mahligai cepat kelebatkan tangan menangkis tendangan itu. Plaakkk...! Lalu, Mahligai memutar badan dengan cepat dan kakinya masuk ke perut lawan dengan telak.
Buhhg...! Wuuusss...!
Tendangan itu membuat lawan terpental sampai menabrak para penonton yang ada di belakangnya. Orang itu menyeringai dalam keadaan terkapar di tanah, sukar bernapas. Hal Itu membuat murid-murid Ki Jipang Saga menjadi tercengang. Salah seorang bergumam lirih,
"Gila! Hanya satu jurus saja gadis itu bisa bikin orang ini tak berdaya lagi?! Ternyata dia lebih hebat dari Tamtama?"
Mahligai disambar orang berbaju hitam yang tadi kalahkan Pratikta. Sambaran kaki orang tersebut membuat tangan Mahligai berkelebat menghantam mata kaki dengan dua jarinya. Taakk...! Orang Itu langsung jatuh dan memekik tak tanggung-tanggung lagi.
"Aaaa...!" ia merasakan sakit dari mata kaki sampai ke ubun-ubun.
Dua jago dari Tanah Hulu lainnya segera maju serempak. Namun dengan hanya satu jurus, Mahligai mampu tumbangkan mereka secara bersamaan. Bahkan orang terakhir dari Tanah Hulu yang tampil menyerang Mahligai, sempat dibuat terpental jauh, sekitar sepuluh tombak, sebelum ia sempat menyentuh Mahligai sedikit pun. Orang itu muntah darah di tempatnya jatuh terkapar.
Lima jago dari Tanah Hulu mampu dikalahkan Mahligai dalam waktu yang amat singkat. Tentu saja hal itu membuat para murid Ki Jipang Saga terkagum-kagum hingga tak bisa keluarkan suaranya. Tamtama yang melihat kejadian itu merasa malu sekali, ia hanya bisa tundukkan kepalanya, tak berani memandang Mahligai.
Ketika Ki Jipang Saga mendekati Mahligai, gadis itu bertanya, "Sudan puaskah orang-orangmu melihat kejadian ini, Ki Jipang Saga?"
Ki Jipang Saga diam sebentar, kemudian ia bahkan bertanya, "Kau murid perguruan mana, Nona?"
"Aku tidak punya perguruan!" jawab Mahligai sedikit ketus karena masih merasa dongkol dipaksa harus bertarung di depan para murid Ki Jipang Saga itu. Mahligai kembali ajukan tanya, "Boleh aku tinggalkan tempat ini?!"
Dengan jujur dan kesatria, Ki Jipang Saga mengakui kehebatan Mahligai dan berkata, "Silakan. Terima kasih atas kesediaanmu memberikan contoh terbaik pada murid-muridku."
Gadis itu pun segera tinggalkan tempat tersebut, tanpa peduli suara para murid Ki Jipang Saga menjadi bergemuruh seperti ratusan lebah bergaung. Mereka saling berkasak-kusuk sambil pandangi kepergian Mahligai. Tamtama segera memburunya dengan langkah lambat. la memanggil-manggil Mahligai, namun Mahligai tak mau berhenti ataupun berpaling satu kali pun.
"Aku mengenal nama Dewi Langit Perak sebagai perempuan sakti yang sering menunggangi burung Rajawali Putih," kata Sendang Suci ketika percakapan mereka mencapai pada masalah yang sedang dihadapi Yoga. Sendang Suci berkata lagi, "Seingatku, dialah istri dari Dewa Geledek yang dulunya bernama Empu Dirgantara."
"Memang benar. Dewi Langit Perak adalah nyai guruku, istri dari guruku sendiri! Wasiat dari Guru sebelum meninggal, aku harus mencari Nyai Guru Dewi Langit Perak bersama burung rajawalinya. Tapi aku tak tahu dimana beliau berada dan ke mana arah yang harus kutempuh pertama kalinya?"
"Apakah kau bermaksud berguru lagi dengan Dewi Langit Perak?"
"Aku belum bisa menjawab, karena aku belum pernah jumpa dengan beliau! Tidak semua orang sakti mau menerimaku sebagai muridnya!"
"Memang benar," jawab Sendang Suci. Tapi seandainya kau tidak berguru lagi kepada Dewi Langit Perak, ilmumu pun sudah cukup tinggi, Yo! Dari caramu menghindari serangan Tamtama dan caramu menghajar Tamtama sampai membelah dua batang pohon itu, aku yakin hanya orang berilmu tinggi yang bisa melakukannya begitu. Kurasa kau sudah tidak perlu mencari seorang guru lagi, Yo!"
"Terlepas dari soal berguru ataupun tidak, tapi aku harus melaksanakan amanat dari guruku, Bibi! Aku harus mencari Nyai Guru!"
"Kalau begitu, kau harus menuju ke arah Gunung Menara Salju. Karena beberapa orang pernah melihat burung Rajawali Putih terbang ke arah sana dengan dua penunggangnya. Tapi sejak itu, karena tak pernah lagi melihat burung Rajawali Putih terbang mengelilingi angkasa. Barangkali Dewi Langit Perak bersemayam di Gunung Menara Salju!"
"Dua orang penunggang...?!" gumam Yoga sambil berkerut dahi.
"Kabar yang terakhir kudengar dari seorang pengelana memang begitu. Apakah benar dua orang penunggang atau hanya satu tapi kelihatannya seperti dua orang, itu tak tahu dengan pasti! Tapi menurutku, kau bisa mencari keterangan dengan penduduk yang tinggal di kaki Gunung Menara Salju! Kabar itu kudengar lima tahun yang lalu, tapi sejak itu tak pernah lagi ada orang membicarakan tentang burung Rajawali Putih. Jadi menurut dugaanku, sudah lima tahun yang lalu Dewi Langit Perak bersemayam di sana, mungkin juga lebih dari lima tahun!"
"Jika begitu," kata Yoga setelah diam beberapa saat, "Aku harus segera berangkat ke Gunung Menara Salju, Bibi!"
"Mengapa harus tergesa-gesa? Tidakkah kau ingin beristirahat di pondokku untuk beberapa saat?"
“Tidak, Bi. Amanat dari mendiang Guru kalau tidak segera kukerjakan, terasa mengganjal dalam hidupku, Bi!"
Mata Sendang Suci menatap tak berkedip, berkesan penuh kelembutan yang sarat dengan makna kejiwaan. Dengan tutur kata yang lembut pula, Sendang Suci berkata kepada Yoga. "Barangkali kau membutuhkan seorang penunjuk Jalan, Yo! Dan rasa-rasanya aku punya kesanggupan untuk menjadi penunjuk jalanmu!"
Yoga tersenyum dalam keramahan. Senyum itu membuat hati Sendang Suci bergetar kuat dan bahkan jantungnya pun terasa cepat detakannya. Yoga segera berkata dengan lembut pula,
"Terima kasih, Bi! Kesanggupanmu menjadi penunjuk jalanku bukan kutolak, tapi aku merasa cukup sendirian pergi ke sana! Kurasa bantuanmu menceritakan tentang Gunung Menara Salju tadi sudah banyak membantu pencarian ku terhadap Nyai Guru Dewi Langit Perak. Aku tak ingin merepotkan Bibi terlalu banyak lagi!"
Sendang Suci juga sunggingkan senyum tuanya yang masih manis dan enak di pandang mata itu, kemudian la berkata, "Aku tak akan memaksakan kehendak jika memang Itu keputusanmu, Yo. Tetapi pesanku, jika kau sudah berjumpa dengan Dewi Langit Perak, sampaikan salamku kepada beliau. Beliau pasti mengenal aku karena dulu aku pernah ditolongnya dari serangan orang-orang Mongol. Dan jika kau pulang dari Gunung Menara Salju, jangan lupa, sempatkan mampir ke pondokku ini, Yo!"
Zraap...! Tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melintas cepat di kerimbunan pohon, jauh dari tempat mereka berdua berbicara. Namun, baik Yoga maupun Sendang Suci sama-sama melihat kelebatan aneh yang ada di kerimbunan pohon seberang sana. Mereka sama-sama saling pandang dan Yoga segera berkata,
"Ada orang yang mengintai kita rupanya!"
"Kurasakan begitu juga," jawab Sendang Suci. "Diamlah di sini. Aku akan memeriksa hutan seberang sana!"
Sendang Suci merasa bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan tamunya. Karena itu, Sendang Suci segera melesat pergi mencari sesosok bayangan yang tak jelas wujudnya itu di kerimbunan hutan seberang. Sementara itu, Yoga segera menuju ke rumah setelah beberapa saat ia menunggu Sendang Suci dan perempuan itu belum juga kembali. Yoga ingin menemui Mahligai untuk membicarakan apa yang sudah dibicarakan dengan Bibi Sendang Suci.
Pada saat Yoga tiba di sana, Tamtama sedang berusaha bangkit dari rebahannya dengan menyeringai kesakitan. Mahligai yang membantu Tamtama untuk bangkit dan duduk itu, menjadi terperanjat dan tak enak hati, sebab Yoga pasti melihat tangan Mahligai memegangi punggung Tamtama. Mahligai takut Yoga cemburu, tetapi ternyata Yoga justru tersenyum dan berkata kepada Tamtama,
"Maafkan sikapku tadi, Tamtama! Sebaiknya kucoba memulihkan kekuatanmu dan menghilangkan rasa sakitmu itu. Berbaliklah ke belakang, Tamtama!"
Namun mata Yoga dipandangi oleh Tamtama dengan sikap tidak bersahabat. Yoga hanya tersenyum dan tetap ramah kepada Tamtama. Lalu, pelan-pelan Tamtama memutar tubuhnya dan memunggungi Yoga.
Punggung yang tanpa baju itu terbuka lebar di depan Yoga. Kemudian, dua jari tengah Yoga ditempelkan Ke punggung tersebut. Kedua jari tengah Yoga itu menyala biru lembut. Yoga memejamkan matanya beberapa saat dengan tangan sedikit gemetar. Kejap berikutnya nyala biru pada kedua jari tengah Yoga Itu menjadi padam. Yoga pun menarik kembali kedua jarinya dan segera berkata,
"Moga-moga tak berapa lama lagi keadaanmu pulih, Tamtama! Dan aku mohon pamit kepada kalian berdua!"
"Yo...?! Kau mau ke mana?!" Mahligai mulai bernada cemas.
"Aku harus pergi ke Gunung Menara Salju. Karena menurut keterangan bibimu, berita terakhir yang diterimanya tentang Dewi Langit Perak dan burung Rajawali Putihnya, terbang ke arah Gunung Menara Salju! Sekalipun hal itu terjadi lima tahun yang lalu, tapi bibimu menyarankan agar aku mencarinya ke sana, menanyakan kepada para penduduk yang tinggal di kaki gunung tersebut."
"Aku ikut!" sahut Mahligai.
"Bibi tidak akan mengizinkan kau ikut dengannya, Mahligai," kata Tamtama dengan cepat dan dengan perasaan tak suka terhadap usul Mahligai.
Pendekar Rajawali Merah pun berkata dalam senyumnya, "Tak perlu ada yang ikut denganku? ini urusan pribadi yang tak bisa melibatkan orang lain terlalu dalam, Mahligai! Kurasa kau tetaplah tinggal bersama bibi gurumu di sini!"
"Tidak. Aku harus ikut! Kau belum tahu betapa sulitnya menembus hutan Gunung Menara Salju, Yo! Untuk menuju ke sana pun kau harus melewati ngarai yang curam dan licin!"
"Aku bisa atasi semua itu! Justru kalau kau ikut, aku akan kerepotan menjaga keselamatanmu!"
Yoga sengaja berkata begitu di depan Tamtama, supaya Tamtama tahu bahwa Yoga tidak punya maksud merebut kekasih Tamtama. Dan Tamtama melihat sendiri wajah Mahligai menjadi cemberut dan bersungut-sungut
Yoga bergegas keluar dari rumah ketika melihat langkah Sendang Suci pulang dari memburu pengintai gelap itu. Di depan pintu Yoga berdiri dan Sendang Suci berkata pelan bagai berbisik,
“Tak kutemukan siapa pun di sana!"
"Lupakanlah, Bi! Yang penting waspadalah terhadap hal-hal yang sekiranya nanti terjadi. Dan, agaknya aku harus pamit sekarang juga, Bi!"
Sejenak Tabib Perawan yang belum pernah mengagumi seorang lelaki untuk yang kedua kalinya, kali ini memandang kagum lagi kepada Yoga. Menurutnya, wajah itu lebih menawan dari wajah bekas kekasihnya yang dulu mati dibunuh orang tak dikenal. Tabib Perawan bagaikan memuaskan diri menikmati ketampanan dan pesona indah yang ada pada diri Pendekar Rajawali Merah itu. Setelah merasa puas memandang, perempuan tersebut pun berkata dengan pelan,
"Berangkatlah dan hati-hati di jalan! Aku tak ingin mendengar berita tentang dirimu yang menemui celaka apa pun, Yo!"
"Kuperhatikan pesan Bibi itu!" jawab Yoga sambil tersenyum.
Mahligai segera muncul dari dalam rumah dan berseru, "Yo, aku ikut denganmu!"
"Jangan, Mahligai!" cegah bibinya.
"Aku hanya ingin mengantar dia sampai di ngarai saja!"
Tamtama keluar dari kamar, badannya sedikit lemas tapi rasa sakitnya sudah lenyap. Rupanya cara penyembuhan yang dilakukan oleh Yoga tadi mempercepat hilangnya rasa sakit dan memulihkan kekuatannya, walau tak sepenuh sebelumnya. Tamtama langsung berkata, "Mahligai, tak pantas seorang gadis memaksakan diri mendampingi pemuda yang tidak mau bersamanya!"
"Kau tidak berhak melarangku!" sergah Mahligai sambil berpaling ke belakang.
"Aku hanya mengingatkan kamu, supaya kamu punya harga diri di depan pemuda itu!"
"Dia lebih bisa menghargai diriku ketimbang kau, Tamtama!" debat Mahligai dengan keras. Tamtama merasa jengkel dan menggerutu tak jelas.
TERNYATA orang yang terlihat mengintip percakapan Yoga dengan Sendang Suci Itu adalah seorang gadis cantik bertubuh ramping dan berpakaian warna merah dengan rompi ketat biru muda yang bagian depannya terkancing rapat. ia mempunyai bentuk wajah yang sedikit lonjong tapi kecantikannya cukup memukau lawan jenis.
Gadis berambut panjang yang diikat menjadi satu dengan pita merah sutera itu adalah keponakan dari Jalak Hutan yang bernama Mutiara Naga. Hubungannya dengan Sendang Suci cukup baik, sering minta nasihat tentang segi pengobatan.
Sebenarnya Mutiara Naga tadi ingin temui Tabib Perawan itu, namun demi melihat seraut wajah tampan milik seorang pendekar muda, Mutiara Naga urungkan niatnya datang ke pondok Sendang Suci. la lebih merasa senang memandang pemuda tampan itu dari balik persembunyiannya, karena dengan begitu apa yang ingin dipandangnya dapat dilakukan tanpa rasa kikuk dan malu kepada Sendang Suci.
"Menarik sekali dia. Hatiku bisa bergetar bila memandanginya. Getaran ini cukup indah. Tapi... agaknya Mahligai pun menaruh minat kepada pemuda itu. Tak enak jika aku tampilkan diri di depan mereka. Ada baiknya kuikuti saja nanti jika pemuda itu pergi dari rumah Tabib Perawan. Aku bisa berkenalan dengannya secara bebas jika tidak di rumah Bibi Sendang Suci itu!" pikir Mutiara Naga yang membuat ia bertahan di persembunyiannya.
Maka ketika ia melihat Yoga tinggalkan tempat itu, la pun segera mengikutinya dari jarak tak seberapa jauh. Namun tiba-tiba langkahnya dipatahkan oleh kekuatan tenaga dalam yang dilepaskan dari Jarak jauh. Angin padat menghantam pinggang Mutiara Naga, membuatnya jatuh terjungkal dan berguling-guling di tanah.
"Keparat! Siapa yang berani menyerangku dengan sembunyi-sembunyi?! Melihat jenis serangannya yang begitu kuat tanpa bunyi dan hawa sedikit pun, pasti serangan itu datangnya dari orang Perguruan Belalang Liar! Hmmm... siapa orangnya yang menggunakan pukulan jarak jauh milik orang Perguruan Belalang Liar tadi?!"
Mata tajam Mutiara Naga memandang sekelilingnya dengan penuh selidik. Kemudian pandangan matanya tertuju pada serumpun bambu dalam jarak delapan tombak darinya. Serumpun bambu itu mencurigakan, sehingga Mutiara Naga pun mengirimkan pukulan jarak jauhnya ke arah tersebut dengan melepaskan sinar merah dari telapak tangan kirinya.
Wuuut...! Wesss...!
Duaar...!
Sinar merah itu menghantam hancur serumpun bambu tersebut. Tapi tak ada sesosok bayangan yang berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Mutiara Naga menyipitkan pandangan matanya yang mencari orang yang menyerangnya di sekeliling serumpun bambu yang sudah hancur berantakan itu.
Rupanya Mutiara Naga salah sasaran. Orang yang dicarinya ada di bawah tanaman perdu yang tingginya hanya sebatas pinggul itu. Orang tersebut bersembunyi di sana dengan menelungkupkan tubuhnya. Orang itu sekarang bangkit dan menampakkan diri setelah ia puas melihat Mutiara Naga kebingungan mencarinya. Orang itu langsung tertawa dengan suara lengking meninggi, membuat gendang telinga terasa mau pecah. Mutiara Naga segera menutup kedua telinganya dengan menggunakan telapak tangannya.
"Hik hik hik hik hiiik...! Kau seperti kucing kehilangan ekornya, Mutiara Naga! Hik hik hik hiiik...!"
Setelah tawa itu terhenti, kedua tangan Mutiara Naga pun dilepaskan dari telinga. Tapi ia siap bergerak menutup telinga lagi jika didengarnya perempuan yang berdiri dalam jarak delapan langkah itu akan tertawa lagi. Mutiara Naga tahu, tawa itu jelas tawa yang mengandung kekuatan tenaga dalam untuk memecahkan gendang telinga lawan. Hanya orang-orang Perguruan Belalang Liar saja yang bisa melakukan tawa seperti itu.
"Biadab kau, Merak Betina!" maki Mutiara Naga kepada perempuan berusia antara dua puluh tujuh tahun itu.
Perempuan cantik berwajah mungil indah, bermata bundar dan bertahi lalat kecil dl ujung dagu kirinya itu hanya menyunggingkan senyum sinis sambil maju dua tindak. la mengenakan pakaian hijau muda dengan rompi panjang sebetis berwarna kuning gading. Rambutnya panjang sebahu diikat kain merah yang melilit di kepalanya.
Selain ia menyelipkan pisau besar semacam pisau berburu, juga mengenakan sabuk dari kulit binatang warna hitam yang mempunyai banyak pisau kecil melingkari pinggangnya. Pisau-pisau terbang itu dalam keadaan slap cabut dan siap melayang ke arah lawannya kapan saja.
"Tiba saatnya kita bikin perhitungan, Mutiara Naga!" ucap Merak Betina dengan lantangnya. "Kalau dulu kau membunuh tiga orang perguruanku, sekarang aku sendiri yang akan menebus nyawa mereka dengan mencabut nyawamu, Mutiara Naga!"
"Aku terpaksa membunuh ketiga orangmu, karena mereka melukai adikku hingga cacat kakinya! Jadi pantaslah kalau aku berbuat kejam terhadap mereka, karena mereka mendului bertindak kejam pada keluargaku, Merak Betina!"
Terbayang wajah adik lelakinya di benak Mutiara Naga yang bernama Wibawa Arga. Sebenarnya hubungan Mutiara Naga dengan Wibawa Arga tidak terlalu rukun. Sering terjadi selisih paham dan cekcok, terkadang mereka sampai berkelahi hanya perkara kecil. Wibawa Arga selalu dibela oleh ayah Mutiara Naga, sehingga Mutiara Naga akhirnya memilih hidup menyendiri walau tidak berarti berkelana jauh dari keluarganya.
Tetapi ketika ia mendengar Wibawa Arga mengalami nasib buruk, sebagai kakak, Mutiara Naga tetap saja tak tega untuk membiarkan adik kandungnya bernasib buruk. Mutiara Naga segera pulang ke rumah dan ia sangat terkejut melihat kedua kaki adiknya ternyata telah buntung. Mendidih darah Mutiara Naga kala itu.
"Siapa yang lakukan semua ini, Wibawa Arga?! Katakan, siapa?!" sentak Mutiara Naga.
"Mereka yang lakukan!"
"Mereka siapa? Jawab dengan jelas!"
Wibawa Arga diam sebentar, kemudian menjawab, "Orang-orang Perguruan Belalang Liar."
Terdengar gigi Mutiara Naga menggeletuk menahan kemarahannya. Lalu, Wibawa Arga menceritakan duduk perka-ranya. Ia ingin jumpa dengan gadis yang ditaksirnya, murid Perguruan Belalang Liar yang bernama Merak Betina. Tetapi ia justru terlibat pertikaian dengan gadis lain, hingga diluar kesadarannya ia telah membunuh gadis itu.
Wibawa Arga akhirnya ditangkap oleh orang-orang Perguruan Belalang Liar yang dipimpin oleh Kembang Mayat. Wibawa Arga diadu dengan seorang murid Kembang Mayat yang jago pedang. Akhirnya, Wibawa Arga bernasib malang. Kedua kakinya berhasil dibuntungi oleh orang tersebut, kemudian ia dibuang di tepi jalan menuju ke kadipaten.
Seseorang menemukannya, lalu mengantarkan Wibawa Arga pulang. Sejak itulah, Mutiara Naga benci dan menaruh dendam kepada orang Belalang Liar dan berhasil membunuh tiga anggota perguruan tersebut.
Kini ia bertemu dengan Merak Betina, dan saat itu Merak Betina berkata, "Kau berhutang nyawa pada kami, dan harus kau bayar!"
"Kalau itu kehendakmu, terimalah pukulan 'Naga Setan' ku ini! Hiaaah...!"
Mutiara Naga berkelebat tangannya seperti membuang sesuatu ke arah depan. Dan bersamaan dengan itu terlepaslah sinar merah berpendar-pendar yang melayang cepat menghantam tubuh Merak Betina. Tetapi agaknya perempuan berwajah mungil Itu cukup sigap menghadapi serangan lawannya. la sentakkan telapak tangan kirinya yang mengeluarkan cahaya sinar putih bagai sebatang tongkat tak lebih dari satu jengkal panjangnya.
Wuuttt..,! Sinar putih perak itu menghantam sinar merah dan terjadilah benturan dan dentuman yang cukup hebat.
Blarrr...!
Gelombang getaran yang timbul dari ledakan itu menghempas kedua arah. Merak Betina tersentak mundur tiga tindak, sedangkan Mutiara Naga terpental sejauh lima langkah dan terhuyung-huyung jatuh.
Melihat lawannya terhuyung-huyung, dengan cepat kedua tangan Merak Betina melepaskan sesuatu ke depan. Wuutt, wuuttt...! Ternyata ia telah mencabut dua pisau terbangnya yang dilemparkan dengan gerakan amat cepat ke arah tubuh lawan.
Zingng, zingng...!
Kemilau dua sinar yang timbul dari pantulan matahari ke logam putih pisau terbang itu membuat mata Mutiara Naga terkesiap sekejap, lalu ia melompat dengan sentakan kakinya dan pedang pun tercabut dengan cepat. Sraat...! Lalu dikibaskan ke arah datangnya dua pisau kecil tersebut.
Tring, tring...!
Pisau itu berhasil dihalaunya dan mental ke arah sebatang pohon. Keduanya sama-sama menancap di satu batang pohon yang ada di sebelah kiri Mutiara Naga.
Jrub, jruub...!
"Hiaaat...!" Mutiara Naga cepat melompat dan bersalto di udara dua kali, kemudian ketika tubuhnya hendak mendarat, pedangnya ditebaskan ke arah dada lawannya.
Wuuttt...!
Merak Betina berhasil menghindari tebasan itu dengan lompat ke belakang satu tindak. Dengan cepat ia cabut pisau besarnya dan ganti menebaskannya ke perut Mutiara Naga.
Wuusss...!
Hampir saja perut Mutiara Naga robek oleh pisau besar itu seandainya ia tidak segera menarik diri mundur dalam satu lompatan cepat. Bersamaan dengan itu, kaki Merak Betina berkelebat menendang dan berhasil mengenai wajah Mutiara Naga.
Wuuutt...! Plokkk...!
"Biadab kau!" geram Mutiara Naga setelah merasakan bibirnya berdarah akibat tendangan Merak Betina.
Maka dengan cepat Mutiara Naga kibaskan pedangnya ke sana-sini hingga terdengar bunyi menggaung; wuungng, wuung...! Dan mata Merak Betina mengikuti tiap gerakan pedang karena takut datang menyerang sewaktu-waktu. Namun ternyata jurus itu hanya jurus tipuan belaka, sehingga Merak Betina tak sempat menghindar ketika pukulan jarak jauh berwarna hijau gelap itu terlepas dari tangan kiri Mutiara Naga.
Zlaap...! Buhhg...!
"Aaahg...!" Sinar hijau sebesar lebar telapak tangan Itu menghantam telak dada Merak Betina. Tubuh yang terhantam sinar hijau gelap itu terpental mundur dan membentur sebatang pohon. Tubuh Merak Betina mengerang kesakitan di bawah pohon itu, sambil memegangi dada kanannya yang terbakar dan hangus. Pakaiannya menjadi hitam dan bolong serta mengepulkan asap putih kehitaman.
Melihat lawannya terkulai tak berdaya, Mutiara Naga segera sentakkan kakinya, tubuhnya segera meluncur terbang ke arah lawan dengan pedang terarah kedepan, siap menusuk dada lawannya. Tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan melintas di depan mata Mutiara Naga.
Jrubb...! Ujung pedang itu menusuk batang pohon hingga masuk hampir separo bagian. Mutiara Naga terkesiap melihat Merak Betina telah lenyap dari bawah pohon itu. Cepat-cepat Mutiara Naga mencabut pedangnya itu dan berpaling ke belakang.
"Oh, kau...?!" gumamnya kaget begitu melihat seorang pemuda tampan berpakaian putih lengan panjang dilapis selempang warna coklat dan celana merah diikat menjadi satu dengan baju bulunya dengan kain warna hitam tebal. Pemuda berambut panjang tanpa ikat kepala itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah.
Mutiara Naga yang berdiri di depan pendekar tampan dalam jarak tiga tombak itu tiba-tiba jatuh terkulai karena kepalanya mendadak pusing dan berat sekali. la tidak tahu bahwa pada saat Pendekar Rajawali Merah berkelebat menyambar tubuh Merak Betina, ia telah melepaskan pukulan lembut bercahaya putih yang sangat cepat. Pukulan itu dinamakan pukulan 'Cakar Gersang', yang dapat membuat lawan menjadi pusing, berat kepalanya dan mual perutnya. Tak terlalu berbahaya, tapi cukup untuk melumpuhkan lawan dalam sekejap.
"Kenapa dengan diriku...?!" ucap Mutiara Naga tak sadar.
Pendekar Rajawali Merah berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud memihak lawan mu dan mencelakai kamu! Aku hanya ingin memisahkan pertarungan kalian dan menyelamatkan perempuan yang sudah tak berdaya ini, Nona! Terpaksa kulepaskan pukulan 'Cakar Gersang' untuk menghentikan seranganmu yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa perempuan ini!"
"Kau... kau... aduh, kepalaku sakit sekali!" Mutiara Naga terkulai jatuh semakin terbaring. Napasnya terengah-engah dan keringat dinginnya pun keluar.
Terdengar Yoga berkata dari jarak lebih dekat lagi, "Aku membutuhkan perempuan ini, karena tadi kudengar ia tertawa begitu lengkingnya, bisa untuk dipakai memanggil seekor burung di angkasa! Sekali lagi, maaf... kupinjam sebentar lawanmu ini untuk satu keperluan! Kelak akan kukembalikan padamu, Nona!"
Setelah berkata begitu, Yoga berkelebat pergi sambil membawa Merak Betina yang terkulai di atas pundak kiri Yoga. Mutiara Naga hanya memperhatikan kepergian Yoga, tak bisa mengejar karena sekujur badannya menjadi lemas lunglai untuk beberapa saat.
KALAU tidak segera ditangani Yoga, Merak Betina tidak akan tertolong lagi jiwanya. Pukulan Mutiara Naga sungguh dahsyat dan berbahaya. Beruntung sekali Merak Betina mempunyai suara tawa yang lengking, sehingga menarik perhatian Yoga dan segera disembuhkan oleh Pendekar Rajawali Merah itu.
Tetapi agaknya ada salah pengertian pada diri Merak Betina. Ketika ia sadar penolongnya adalah seorang pendekar tampan dan punya daya pikat tinggi itu, Merak Betina merasa mendapat kesempatan untuk membuka hatinya. Pikirnya, Pendekar Rajawali Merah itu telah terpikat olehnya dan karena itu membawanya lari dari pertarungannya dengan Mutiara Naga.
Tak heran jika Merak Betina sejak saat itu merapatkan diri terus kepada Pendekar Rajawali Merah dan menampakkan kesetiaan dan kelembutan kasih sayangnya. Yoga sendiri mulai membaca sikap yang salah arti itu, sehingga terang-terangan Yoga berkata,
"Aku menolongmu dan membawamu lari karena kudengar kau mempunyai suara tawa yang lengking. Suara tawamu itu dapat dipakai untuk memanggil seekor burung Rajawali Putih yang sedang kucari-cari. Karena itu, aku ingin mengajakmu ke Gunung Menara Salju dan memperdengarkan suara tawamu di sana. Jujur saja, suara tawamu itu mirip sekali dengan panggilan minta tolong bagi seorang burung rajawali!"
"Aku mau membantumu mencari burung Rajawali Putih di Gunung Menara Salju, tapi aku harus mendapatkan sesuatu dari pertolonganku itu! Aku minta upah!"
"Berapa upah yang kau minta?" tanya Yoga sambil tersenyum geli.
"Bukan berupa uang atau emas permata!"
"Lalu, upah apa yang kau minta?"
"Perhatian darimu!"
Yoga tertawa lepas. Tawanya itu membuat Merak Betina malu dan bersungut-sungut menahan senyum sambil mencubit lengan pemuda ganteng Itu. Si pemuda ganteng tak merasakan cubitan tersebut, tapi lebih berpikir tentang cara menolaknya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan hanya dengan berkata,
"Beri aku kesempatan untuk memikirkannya setelah kutemukan burung Rajawali Putih itu!"
"Uhhg...!" tiba-tiba Merak Betina terpekik dengan tubuh tersentak ke depan, hampir jatuh jika tidak berpegangan lengan Yoga. Rupanya ada seseorang yang melepaskan pukulan jarak jauh ke punggung Merak Betina dari belakang.
Setelah menangkap tubuh Merak Betina yang tersentak ke depan sambil menyeringai kesakitan itu, Pendekar Rajawali Merah segera berpaling ke belakang, dan ia menemukan seorang gadis nakal dan bandel telah berdiri di bawah sebuah pohon dengan wajahnya yang murung dan cemberut. Gadis berpakaian kuning itu tak lain adalah Mahligai, murid dan keponakan Tabib Perawan.
Merak Betina segera tegakkan badannya dan menahan sakit setelah mengetahui penyerangnya adalah gadis cantik. Kemarahan Merak Betina bertambah besar, sebab Mahligai ternyata sudah mengenal Yoga dan dari tempatnya ia berseru, "Mengapa kau justru mengajak perempuan ini, Yo?! Dia tak akan bisa melindungimu, selain hanya akan merepotkan kamu dalam perjalanan ke Gunung Menara Salju!"
"Apakah kau pikir kau bisa melindungi Pendekar Rajawali Merah jika kau diajak ikut ke Gunung Menara Salju, Gadis Bodoh?!" sentak Merak Betina. "Aku tahu kau murid Tabib Perawan yang tak laku kawin itu! Kau pikir dengan mendekati Pendekar Rajawali Merah ini kau bisa dijodohkan gurumu dengannya?! Tidak!"
"Merak Betina, jangan berkata begitu!" sergah Yoga.
Mahligai menjawab dengan suara lantang, "Lancang betul mulut liarmu, Merak Betina! Sepantasnya mulut orang-orang Perguruan Belalang Liar yang kotor-kotor itu dihancur lumatkan dengan pukulan 'Kobra Gila' Ini! Hiaaat...!"
Zaappp...!
Selarik sinar ungu keluar dari telapak tangan Mahligai yang disentakkan ke depan. Selarik sinar ungu itu berkelok-kelok jalannya bagai seekor ular kobra kehilangan arah. Gerakannya yang liar itu tidak memungkinkan dihantam dengan jurus lain kecuali hanya bisa dihindari. Maka, Merak Betina pun segera sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melenting di udara.
Wuuttt...!
Dari atas sana ia pun melepaskan pukulan berbahaya berupa serbuk merah bintik-bintik yang menyala terang tiap bintiknya. Serbuk merah itu melesat dengan cepat setelah pukulan 'Kobra Gila' menghantam pohon dan membuat pohon tersebut menjadi hangus seketika tanpa keluarkan api kecuali asap putih.
"Merak Betina! Mahligai! Tahan amarah kalian!" seru Yoga, dan seruan itu kembali tak dihiraukan oleh mereka. Pukulan serbuk merah bintik-bintik itu sudah telanjur menyerang Mahligai, dan gadis itu tak sempat menghindarinya. Zruubbb...! Serbuk merah bintik-bintik itu menerpa dada Mahligai dan membuat gadis itu tersentak mundur dua tindak. Tetapi segera tertegun beberapa saat.
Terdengar Merak Betina tertawa lengking yang membuat Pendekar Rajawali Merah menutup telinga, "Hiih hik hik hik hiiikkk...! Kau pikir hanya kau sendiri yang mempunyai jurus gila, Mahligai?! 'Kobra Gilamu tidak seberapa berbahaya dibandingkan pukulan 'Racun Edan' yang kini meresap dalam dadamu! Tak akan ada orang yang mampu menawarkan dan melenyapkan Racun Edan kecuali diriku sendiri! Gurumu, si Tabib Perawan, belum punya obat pemunah Racun Edan! Biar sampai botak kepalanya, Tabib Perawan tak akan bisa sembuhkan dirimu, Mahligai!"
"Gggrrr...! Jahanam kau! Kubunuh kau, Merak Betina! Hiaaat...!"
"Hai, tunggu...! Tahan semuanya! Tahan...!" seru Yoga kebingungan sendiri.
Mahligai berlari menyerang Merak Betina, tapi yang diserang sudah lebih dulu melarikan diri dengan gerakan peringan tubuh yang cukup tinggi. Mahligai mengerang buas sambil mengejar lawannya, la bagai tak pedulikan lagi dengan pendekar ganteng yang dilintasinya itu.
"Sial!" Yoga memaki jengkel sendirian. "Dasar perempuan bodoh semua! Perselisihan tak punya makna dilakukan! Bodoh! Aku tak mau mengejar perempuan-perempuan bodoh itu! Aku tak mau peduli lagi dengan mereka! Biarlah aku ke Gunung Menara Salju seorang diri saja! Tak perlu membawa Merak Betina! Bikin susah dan menghambat langkah saja perempuan-perempuan itu!"
Pendekar Rajawali Merah teruskan perjalanan seorang diri. la merasa lebih tenang dalam kesendirian, ketimbang harus ditemani seorang wanita yang dapat menimbulkan kericuhan dalam pikirannya. Walaupun dalam hati Yoga mengakui bahwa kecantikan dan lekuk tubuh Merak Betina memang menarik hati dan menggiurkan sekali, tapi untuk kali ini Pendekar Rajawali Merah memaksakan diri untuk tidak berpikir ke arah situ, la lebih memusatkan perhatiannya ke Gunung Menara Salju, dan hatinya pun sempat bertanya-tanya.
"Jika Nyai Guru Dewi Langit Perak tidak kutemukan di Gunung Menara Salju, lantas ke mana lagi kira-kira aku harus mencari beliau? Jangan-jangan beliau telah melarikan diri sampai ke dataran Cina atau ke Tibet? Mungkinkah aku harus melawatnya sampai ke sana?!"
Langkah pun terhenti, sebuah jurang dengan ngarai terjalnya membentang di depan Yoga. Gemuruh suara air terjun yang tinggi itu terdengar bagaikan ombak lautan yang sedang mengamuk. Untuk melihat ke arah dasar air terjun terlalu dalam, sehingga tak ada yang bisa dilihat dari atas tebing mulut jurang itu.
"Mahligai mengatakan, aku harus melintasi ngarai dan jurang terjal yang amat dalam ini! Jika kulakukan dengan melintas di tepian air terjun itu, keadaannya sangat licin dan berbahaya. Belum lagi aku harus menyeberangi lautan untuk mencapai sebuah daratan di mana terletak Gunung Menara Salju. Rasa-rasanya jika kutempuh dengan jalan kaki, harus memutar jauh untuk mencapai daratan yang sebenarnya masih menjadi satu dengan tanah di sini! Hmm...! Kurasa lebih baik meminta bantuan si Merah saja!"
Yoga segera sentakkan tangan kanannya ke atas. Jari kelingking, jari telunjuk dan ibu jarinya berdiri tegak ujung-ujung jari itu keluarkan sinar merah yang melesat lurus ke angkasa dan bertemu di sana menimbulkan dentuman yang menggaung-gaung.
"Bung, wung, wung, wung...!"
Itulah bahasa isyarat memanggil Rajawali Merah. Dan suara gaung itu hanya bisa dipahami oleh Rajawali Merah karena mempunyai nada tersendiri serta alunan irama yang khas bagi pendengaran Rajawali Merah. Maka dalam beberapa saat kemudian, seekor burung Rajawali Merah besar datang dan mendarat di dekat Yoga.
"Kraahk...! Keeaahk...!" burung itu bagai memberi salam pada pendekar ganteng yang akan menungganginya.
"Kita mencari kekasihmu ke Gunung Menara Salju! Apakah kau tahu arahnya?!"
"Kaahk...! Khaaak...!" burung jantan itu manggut-manggut sambil menggerakkan sayapnya: yang belum merentang lebar.
"Baiklah kalau kau tahu, kita berangkat ke sana, Merah!”
Yoga segera naik ke atas punggung rajawali jantan Itu, kemudian dalam beberapa saat saja Yoga telah berada di angkasa, terbang dengan menunggang seekor burung Rajawali Merah yang besar dan berparuh kekar itu. Ia dibawanya berkeliling satu kali, kemudian segera burung besar itu meluncur terbang ke arah utara. Dengan gagahnya Yoga bertengger di atas punggung burung itu, menerabas awan putih yang sesekali tampak, sesekali membuatnya lenyap bagai ditelan awan. Pendekar itu tampak jauh lebih gagah daripada ia menunggang kuda.
Dalam ketinggian itu ternyata angin berhembus cukup kencang. Yoga memerintahkan agar burung Rajawali Merah terbang jangan terlalu tinggi. Maka burung itu pun merendah, dan kini mereka sedang menyeberangi langit di atas lautan. Maka Yoga memandang sekeliling sambil mencari-cari siapa tahu menangkap gerakan seekor burung Rajawali Putih. Namun sepanjang penerbangannya itu, yang mereka temui hanyalah burung-burung kecil, camar laut, dan kadang juga seekor elang hitam. Mereka lari terbirit-birit ketika melihat seekor rajawali besar terbang mendekati mereka.
Tak ada burung atau hewan lain yang berani mendekati jalur penerbangan Rajawali Merah. Bahkan seekor ikan paus yang muncul di permukaan air laut itu buru-buru menenggelamkan diri sewaktu Rajawali Merah melintas diatasnya. Agaknya burung Rajawali Merah itu juga mempunyai semacam kharisma tersendiri di antara para hewan, yang membuat mereka sungkan berhadapan dengan sang Rajawali Merah itu.
Puncak Gunung Menara Salju mulai kelihatan. Warnanya putih keabu-abuan, dan bagian bawahnya membiru. Yoga memerintahkan Rajawali Merah untuk terbang lebih cepat lagi ke arah gunung tersebut. Dan dengan suara khasnya, Rajawali Merah menyerukan kesanggupannya untuk terbang lebih cepat. Sayapnya yang tegar dan perkasa mengibas kuat bagai ingin menyingkirkan mega-mega.
Penunggangnya sendiri tampak lebih bersemangat lagi untuk segera mencapai tempat yang dituju. Rambutnya yang panjang meriap-riap dibelakang tersapu angin, satu tangannya berpegangan pada bulu bagian leher burung, satunya lagi sedang menunjuk-nunjuk ke arah gunung tersebut, tentu saja diiringi dengan ucapan-ucapan yang tak terjangkau oleh pendengaran orang yang melihatnya dari daratan.
Semakin dekat dengan gunung tersebut, semakin rendah terbang sang rajawali. Tetapi Yoga merasakan adanya angin aneh yang berhembus dari arah depannya. Angin itu berkecepatan tinggi dan membawa hawa hangat yang terasa mulai memanas di kulit. Yoga segera berteriak kepada rajawalinya,
"Hati-hati, ada angin kiriman yang tak jelas maksudnya!"
"Kreeaahg...! Krraahg...!"
Rajawali melakukan gerakan menukik. Wuuttt...! Ia bagai menghindari gelombang hawa panas yang makin dekat dengan gunung itu semakin terasa jelas. Kini ia terbang lebih rendah lagi, tak seberapa tinggi dari permukaan air laut.
Tetapi kejap berikutnya, angin panas itu berubah menjadi badai. Hembusannya begitu kuat, hingga membuat binatang besar itu terhenti di udara karena tak sanggup mendesak hembusan angin dari arah depannya. Angin badai Itu bagaikan ingin melemparkan rajawali besar bersama penunggangnya.
Sang rajawali bertahan dengan mencoba menukik lebih ke bawah lagi. Tapi semakin ke bawah badai semakin mengamuk kuat. Ombak lautan bergulung-gulung bagaikan ikut mengamuk. Sementara itu, Yoga berpegangan kuat-kuat pada bulu-bulu di bagian leher burung dengan posisi setengah tengkurap di punggung burung itu.
"Kraahk...! Kraahg...!" Rajawali Merah menjerit-jerit dan bergerak memutar bagai terhempas kehilangan kendali dan keseimbangan.
"Meraaah...! Hati-hati...!" teriak Yoga dengan berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Tetapi karena badai begitu kuatnya, maka tubuh kecil di atas punggung burung besar itu terhempas jatuh ke laut.
"Meraaaah...!"
"Kraaahk...! Kraahg...! Kraahg...!"
Rajawali Merah bermaksud menyambar tubuh Yoga yang sedang melayang turun mendekati permukaan air laut, tetapi cakar rajawali segera ditariknya kembali karena ombak lautan datang bergulung-gulung tingginya seukuran pohon kelapa di pantai. Besar dan ganas ombak itu, sehingga Rajawali Merah menyelamatkan diri dengan terbang ke atas lebih cepat lagi. Sedangkan Yoga tak tertolong, jatuh ke lautan berombak ganas.
Byuurrr..!
Rajawali Merah masih berkeliling, terbang mengitari lautan tempat jatuhnya Yoga. Badai yang mengganas itu telah reda. Tapi ombak masih bergulung-gulung bagai ingin menelan benda apa pun yang ada di depannya. Burung besar itu hanya memekik-mekik selama di angkasa, karena ia melihat gerakan tubuh Yoga yang berusaha menyelamatkan diri dari gulungan ombak, namun justru terseret masuk dalam gerakan air yang memutar.
"Kraaahk...! Kraahg...!" Rajawali Merah bagai memekik tegang melihat Yoga semakin tenggelam karena masuk dalam pusaran arus gelombang yang sangat berbahaya itu. Sampai pada akhirnya burung besar itu memekik keras dan panjang ketika Yoga jelas-jelas tersedot pusaran arus tanpa bisa berkelit dan menghindari lagi.
"Krraaahhg...!"
Yoga hanya mendengar pekikan burung besar itu sekilas, setelah itu ia tak mampu mendengar apa-apa lagi. Ia berjuang melawan pusaran air laut itu yang makin lama semakin menyedotnya lebih ke dalam. Tangan dan kakinya menggapai-gapai, namun tubuhnya tetap terpelanting berputar-putar sampai di kedalaman yang paling dalam. Semakin ke dalam putaran itu semakin lamban, dan dengan satu sentakan kuat Yoga berhasil melepaskan diri, keluar dari lingkaran arus air yang berputar-putar itu.
Zruub...!
Ia berenang sejadinya dan berusaha keluar dari perjalanan di dalam laut itu, tapi tubuhnya terlalu lemas. Bahkan gerakan gelombang bawah laut begitu kuat dan menghempaskan tubuh lemas itu.
Wuuhg...!"
Tak ada upaya dari seseorang yang sia-sia. Ada kalanya perjuangan membutuhkan kekuatan yang melebihi daya kemampuan. Namun bagaimanapun juga nasib manusia tetap ada di tangan Yang Mana Kuasa. Demikian halnya dengan Yoga. Perjuangannya dalam mempertahankan hidup terasa sudah melebihi daya yang ada. Hempasan gelombang bawah laut itu ternyata hanya membuatnya tak sadarkan diri beberapa saat.
Ketika ia sadar dari pingsannya, terpaksa ia sudah berada di sebuah relung tebing karang. Lidah ombak masih menyapu wajahnya bagai cemeti yang jahat. Yoga berusaha merayap untuk lebih masuk ke relung itu. Ternyata relung tersebut punya lorong ke atas dan memungkinkan untuk didaki. Yoga pun segera mendaki lorong tersebut, sehingga ia terbebas dari air laut yang bergelombang besar itu.
Rupanya di dasar laut itu ada gua yang tidak terkena siraman air laut. Gua itu pada mulanya berbentuk lorong yang memanjang ke atas dan cukup tinggi. Di ujung lorong itulah terdapat ruangan lebar, yaitu sebuah gua bebas air laut, karena gua itu sepertinya berada di dalam perut gunung karang yang ada di dasar laut. Bahkan gua tersebut dalam keadaan terang, karena mempunyai tanaman sejenis lumut yang menyala hijau memenuhi dinding gua.
Yoga menjadi seperti berada dalam ruang lingkup bermandikan cahaya hijau. Tapi dengan cahaya lumut aneh itulah, mata Yoga bisa memandangi keadaan sekeliling gua. Dengan sisa tenaganya yang masih lemas, Yoga menyusuri lorong gua yang berkelok-kelok dan seluruhnya terdiri dari batuan jenis karang. Yoga tak berani menyentuh lumut menyala hijau itu, karena takut lumut itu beracun ganas.
Langkah menyusuri lorong itu terhenti, karena ia tiba di persimpangan. Ada tiga lorong yang bisa ditempuhnya, satu lorong berpenerangan cahaya hijau, yaitu yang dilewatinya tadi, satu lorong sebelah kanannya dalam keadaan gelap, sedangkan lorong sebelah kirinya mempunyai cahaya merah. Yoga memandangi lorong itu dan berkata dalam hatinya, "Sepertinya ada cahaya api di sana! Mungkinkah ada orang di dalam lorong bercahaya merah api itu?!"
Tiba-tiba dari lorong yang gelap itu, Yoga melihat sekelebat sinar putih perak melesat ke arahnya. Cepat-cepat Yoga melompat untuk menghindarinya, tapi sinar putih perak itu ternyata membelok arah dan memburunya. Buuhg...! Sinar putih perak itu menghantam punggung Yoga bagai sebuah tendangan kaki kuda yang beratnya tiga kali lipat tenaga kuda.
"Uuhg...!" Yoga mengerang dan sulit bernapas, akhirnya ia jatuh pingsan lagi dalam keadaan terpuruk di lantai gua.
Ketika Pendekar Rajawali Merah itu sadarkan diri, tahu-tahu ia sudah berada di ruangan besar berpenerangan nyala api obor. Jumlah obornya yang mengelilingi dinding tak rata itu lebih dari sepuluh dan dalam keadaan besar. Anehnya, nyala api itu tidak menimbulkan asap hitam yang membuat hangus bagian atas di mana obor itu diletakkan. Jelas obor itu menggunakan jenis bahan bakar bukan dari minyak tanah, mungkin dari sari minyak ikan yang dapat menimbulkan api tanpa asap hangus yang membekas di sekelilingnya.
Yoga sungguh merasa heran melihat keadaannya sendiri. la berada di sebuah pembaringan yang terbuat dari susunan batu dan mempunyai tikar dari lumut-lumut kering yang dirakit sedemikian rupa. Bahkan barang-barang di sekitarnya pun mengingatkan Yoga pada cerita zaman purba, di mana segalanya serba alami. Batang-batang obor itu pun terbuat dari tulang ikan besar, mungkin bagian tulang punggung ikan. Batu-batuan jenis karang yang sudah dihaluskan tersusun rapi di sana-sini, membentuk semacam meja atau kursi tempat duduk.
Tetapi anehnya ruangan berpenerangan api obor itu mengabarkan bau wangi, bukan bau amis. Bau wangi itu seperti bau cendana yang ada di sarung pedangnya. Mungkinkah bau harum cendana dari sarung pedang Yoga dapat mengabar memenuhi ruangan besar itu?
"Siapa penghuni ruangan besar ini?! Hmmm... Kurasa aku masih berada dl gua bawah laut! Dinding-dindingnya berton-jolan, Itu menandakan dinding gua yang tak berlumut hijau seperti lorong yang kulewati tadi..Lalu, siapa yang membawaku kemari? Siapa yang menyerangku di persimpangan lorong tadi? Mungkinkah makhluk peri dasar laut yang menawanku di ruangan besar ini?"
Yoga memeriksa pedangnya, ternyata sudah terlepas dari punggung dan berada di samping pembaringan. Dalam hatinya Yoga berkata lagi,
"Kurasa siapa pun yang membawaku ke ruangan ini, dia bukan bermaksud jahat padaku! Terbukti dia tinggalkan pedang pusaka ini di sampingku! Kalau dia bermaksud jahat, pasti dia akan menyembunyikan pedang ini, atau... atau dia tidak tahu benda apa yang ada di punggungku tadi? Mungkin dia tidak mengenal pedang. Tapi... hei?! Lenganku telah dibalutnya! Oh, mungkin tadi lenganku terluka saat mendaki lorong dari dasar laut. Aku tak sadar kalau lengan kiriku terluka dan... dan sekarang telah dibalut dengan kain! Hmmm... kain ini sepertinya kain jenis sutera lama. Oh, ada rempah-rempah yang digunakan sebagai pengering luka?! Siapa yang telah membalut lukaku ini sebenarnya? Mengapa ruangan lebar ini sepi-sepi saja?!"
Ada lorong yang membelok ke arah kanan di ujung sana. Ada juga lorong yang lurus dan berkeadaan remang-remang. Yoga memperhatikan kedua lorong tersebut dengan keragu-raguan. la ingin melangkah menyusuri lorong yang remang-remang, tapi takut ada jebakan yang mematikan di sana. Ia ingin menyusuri lorong yang membelok ke kanan itu, tapi seingatnya lorong Itulah yang menjadi tempatnya pingsan akibat serangan orang tak diketahui wujudnya Itu. Jangan-jangan di lorong itu dia mengalami nasib serupa tadi?
Pendekar Rajawali Merah itu akhirnya hanya duduk di tepi pembaringan, merenungi langkah yang harus diambilnya. Tapi beberapa saat kemudian, dari lorong yang membelok ke kanan itu muncul seraut wajah yang membuat Yoga terperangah dan tertegun beberapa saat. Mulutnya ternganga sedikit, matanya melebar, gerakkannya mematung seketika. Jantungnya pun terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Lidah Yoga merasa kelu, hingga untuk mengucapkan sepatah kata pun sulit sekali rasanya. la masih tetap ternganga ketika raut wajah itu datang mendekatinya perlahan-lahan.
Seraut wajah itu adalah seraut wajah cantik sekali. Serupa betul dengan wajah-wajah para bidadari dari kayangan. Si cantik itu berpakaian merah jambu. la mempunyai rambut panjang sebatas punggung dengan bagian tengahnya disanggul sederhana.
Yoga memperkirakan usia si cantik itu antara dua puluh empat tahun, tiga tahun lebih tua darinya. Karena memang si cantik itu kelihatan lebih dewasa dari Yoga sendiri. Matanya yang bulat bening dengan sedikit poni di keningnya memang kelihatan mempermuda wajah cantiknya, tapi tidak bisa menyembunyikan kedewasaannya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang mirip sekuncup mawar segar, cahaya dari sorot matanya jika memandang, mengesankan sikap dewasa yang melebihi Yoga. Ditambah lagi dengan rambut yang disanggul tengah dengan dililit lempengan perak berukir, menampakkan sekali cara dandanannya yang cukup dewasa.
Mata Pendekar Rajawali Merah tertarik pada pedang yang ada di genggaman tangan kanan perempuan itu. Pedang tersebut bersarung perak berukir, gagangnya putih, di ujung gagangnya ada hiasan dua kepala burung rajawali yang bertolak belakang. Makin berdebar saja hati Yoga melihat ciri-ciri pedang tersebut, sehingga ia pun bermaksud mengajukan pertanyaan, tapi sudah didahului oleh perempuan cantik itu.
"Siapa kau sebenarnya, sehingga kau menyandang pusaka Pedang Lidah Guntur?"
Terkejut hati Yoga mendengar perempuan secantik bidadari itu menyebutkan nama pusaka pedangnya. Berkerutlah dahi Yoga dalam memandanginya. Setelah beberapa saat ia terbungkam heran, barulah ia memberikan jawaban dengan suaranya yang pelan dan lembut.
"Namaku Yoga Prawira; akulah Pendekar Rajawali Merah, murid dari Dewa Geledek!"
Mata perempuan cantik itu terkesiap. Bulu matanya yang lentik itu merapat sejenak. Kemudian ia maju dua tindak hingga berjarak sekitar empat langkah dari tempat Yoga duduk. "Kalau begitu dugaanku tadi tak salah," katanya.
Dan Yoga buru-buru bertanya, "Kaukah yang bernama Dewi Langit Perak?!"
Tapi perempuan cantik itu hanya diam menatap tak berkedip dengan sorot pandangan mata yang aneh, punya kesan dan makna tersendiri, yang hanya bisa dirasakan didalam hati Yoga. Kejap berikutnya perempuan itu berkata, ikutlah aku…!"
Karena perempuan cantik itu bergerak melangkah, maka Yoga pun menuruti langkah kaki perempuan tersebut. Rupanya Yoga dibawanya ke lorong yang remang-remang itu. Dan langkah mereka berhenti di sebuah ruangan kecil yang penuh dengan nyala api kecil dari pelita yang terbuat dari tulang-tulang ikan. Api kecil itu mengitari sesosok kerangka yang mempunyai bagian masih utuh. Kerangka manusia itu terletak di atas selembar kain jubah warna merah jambu. Wujudnya tinggal tulang-belulang yang sudah kering tapi antara satu dan lainnya masih merekat utuh.
"Tulang-belulang siapa itu?" tanya Yoga.
"Guruku; Dewi Langit Perak!"
"Oh...?!" Sekejap wajah Yoga terperanjat kaget dengan mata melebar memandangi kerangka manusia itu. Kemudian Yoga membungkukkan badan, memberi hormat kepada kerangka tersebut. Setelah itu mundur dua tindak, dan perempuan itu segera melangkah kembali ke tempat semula, Yoga mengikutinya dari samping kiri.
"Lima tahun yang lalu kami terdampar di gua ini!" kata perempuan cantik itu. Yoga masih belum mengajukan pertanyaan, karena ia sengaja membiarkan perempuan itu melanjutkan ceritanya sambil melangkah pelan-pelan menuju ruangan lebar yang terang benderang itu.
"Lima tahun yang lalu, Guru menyelamatkan aku dari kejaran Malaikat Gelang Emas! Kami melarikan diri ke Lembar Pusar Bumi, yaitu sebuah tempat di dasar jurang yang amat dalam dan tak diketahui oleh siapa pun. Di Lembah Pusar Bumi itulah Guru menemukan ragaku. Aku dalam keadaan terluka parah. Pada waktu itu aku berusia tujuh tahun. Aku jatuh dari lereng jurang karena sengaja dibuang oleh sekelompok manusia yang membenci keluargaku, yang tak kutahu siapa mereka Itu. Dan sampai sekarang aku sudah lupa, siapa mereka dan siapa orangtuaku sebenarnya."
Perempuan berbibir menggiurkan itu duduk di tepi pembaringan, sedangkan Yoga berdiri di depannya dengan pundak kiri bersandar pada dinding ruangan yang tidak runcing. Perempuan itu meneruskan kisahnya dengan sesekali menatap Yoga.
"Aku dididik dan dibesarkan oleh Guru di Lembah Pusar Bumi itu! Sampai aku dewasa, aku diizinkan untuk muncul di dunia persilatan, tapi harus menjauhi tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gelang Emas. Namun, pertemuan itu tak bisa dihindari lagi, aku dikejar-kejar oleh Malaikat Gelang Emas, karena ia mengincar pedang yang kubawa ini!" sambil perempuan itu menunjukkan pedang tersebut.
Yoga menyahuti, "Pusaka Pedang Sukma Halilintar!"
"Benar! Pada masa lalu, Guru terpisah dari Kakek Guru Dewa Geledek juga akibat mempertahankan pedang pusaka mereka. Tapi pedang ini jatuh ke laut, beberapa waktu kemudian berhasil ditemukan oleh Guru lagi, namun keadaan mereka sudah terpisah jauh dan saling tak mengetahui di mana tempat masing-masing berada. Aku pernah diajak berkeliling mencari Kakek Guru Dewa Geledek, tapi kami tak pernah menemukan beliau. Kabarnya pun tak pernah kami dengar."
"Lantas bagaimana dengan pengejaran Malaikat Gelang Emas itu?"
"Aku lari ke Lembah Pusar Bumi, dan Malaikat Gelang Emas mencari tahu tempat persembunyian Guru. Maka sebelum Malaikat Gelang Emas menyerang, Guru mengajakku lari. Kami terbang dengan menunggang seekor burung Rajawali Putih dengan arah tujuan Gunung Menara Salju. Tapi di perjalanan, kami diserang oleh Malaikat Gelang Emas. Guru terluka, dan Rajawali Putih terhempas badai, sehingga kami berdua jatuh ke laut, tersedot pusaran arus yang akhirnya membawa kami ke gua ini. Guru dalam keadaan terluka parah. Aku berusaha mengobatinya sesuai petunjuk beliau, tapi jiwanya tak tertolong lagi. Guru hanya bertahan hidup tiga hari atau empat hari, aku tak pasti, dan setelah itu beliau wafat!"
Wajah perempuan cantik itu tampak menahan duka yang hampir-hampir membuat air matanya meleleh. Yoga buru-buru melontarkan pertanyaan agar duka Itu tidak memeras air mata si perempuan cantik,
"Mengapa kau tidak keluar dari gua ini selama lima tahun?"
"Aku tidak punya jalan keluar! Jika aku harus keluar dari lorong dasar laut, kemungkinan selamat sangat tipis. Sebelum Guru wafat, beliau pernah bilang padaku, bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari gua ini adalah melewati lorong tembus yang bisa membawa kami ke lereng Gunung Menara Salju. Aku ditugaskan mencari lorong berbentuk persegi empat. Kutemukan lorong itu, tapi dalam keadaan tertutup batu kristal yang amat besar. Kucoba menggeser dan menghancurkannya, tapi tak berhasil sedikit pun. Kata Guru, batu kristal itu adalah Mata Iblis, yang sulit dihancurkan oleh benda pusaka apa pun."
"Kelihatannya Guru Dewi Langit Perak tahu seluk-beluk gua ini?!"
"Menurut ceritanya, beliau semasa kecil pernah terperosok di sebuah sumur yang ada di lereng Gunung Menara Salju. Beliau masuk ke sumur tanpa dasar bersama pamannya yang kala itu mengajaknya berburu. Sumur itu ternyata adalah lorong yang tembus ke gua ini. Dan semasa itu, di gua ini hidup seekor ular naga bertanduk satu. Ular naga itu sangat ganas, dan akan menjadi busuk tubuhnya jika terkena air, sebab itu ia sering menunggu mangsanya yang terperosok ke dalam sumur tanpa dasar itu. Lalu, untuk menghindari kejaran ular naga tersebut, paman dari Guru Dewi Langit Perak menutup lorong persegi empat dengan kekuatan ilmunya yang mengkristal dan bernama Batu Mata Iblis. Sebuah lapisan batu yang bisa tembus pandang tapi tak bisa dihancurkan oleh siapa pun."
"Lalu, pada saat kau masuk gua ini bersama Nyai Guru, apakah naga bertanduk satu itu masih ada?"
"Sudah tiada! Mungkin air laut meluap dan sampai menggenangi gua ini, sehingga naga itu mati. Hanya sisa kulitnya yang telah rapuh kami temukan menjadi lapisan karang yang ada di dekat rongga menuju ke laut itu."
Yoga menarik napas panjang-panjang. Kemudian ia duduk di samping perempuan cantik itu, dan berkata, "Apa saja yang kau lakukan selama lima tahun di dalam gua ini?"
"Mempelajari kitab Rembulan Putih yang selalu dibawa Guru ke mana-mana itu. Kitab Rembulan Putih adalah rangkuman dari jurus-jurus yang dimiliki oleh Guru dan Kakek Guru; Dewa Geledek. Tapi sampai saat ini belum bisa kuselesaikan hingga tamat, karena aku masih belum tahu beberapa jurus yang dirahasiakan oleh Kakek Guru Dewa Geledek, dan jurus itu hanya ditulis namanya saja di dalam Kitab Rembulan Putih."
"Jurus apa yang kau maksud?"
"Banyak. Antara lain; jurus 'Rajawali Membelah Matahari!"
Yoga tersenyum dan berkata, "Aku menguasai jurus itu!"
"O, ya...?!" wajah perempuan cantik itu mulai berseri sedikit. "Tapi apakah kau menguasai jurus 'Rajawali Membelah Bulan'?"
Yoga menggelengkan kepala dan berkata, "Kurasa kau menguasainya, karena itu jurus ciptaan Nyai Guru Dewi Langit Perak!"
"Sangat menguasai," jawab perempuan cantik itu dengan senyum bangganya. Yoga menatapnya beberapa saat, hingga keduanya menjadi saling bungkam tapi saling beradu tatapan mata. Kejap berikutnya, perempuan itu memalingkan wajahnya, tak tahan menerima sesuatu yang mendebarkan hatinya.
Sementara itu, Yoga segera bertanya, "Sekarang kita ditakdirkan untuk bertemu di gua Ini. Tapi aku belum tahu siapa namamu?"
"Panggil saja aku; Lili, karena begitulah Guru memanggilku!"
"Lili...," gumam Yoga sambil merenung sesaat Perempuan cantik cepat berpaling menyangka dirinya di panggil. Mata mereka kembali saling bertemu, dan Yoga berkata, "Sebuah nama yang bagus, mudah diingat dan mudah melekat di hati!" senyum Yoga mekar kian lebar.
Lili tersipu dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi ia segera berpaling menatap Yoga kembali karena Yoga berkata,
"Tidakkah kau ingin keluar dari penjara ini, Lili?!"
"Keinginan itu sudah menjadi karang di dalam hatiku, Yo. Aku sudah tidak punya keinginan keluar, karena aku tahu tak ada lagi jalan untuk menuju ke alam bebas, sebab batu kristal Mata Iblis itu tak bisa digempur dengan semua ilmu yang sudah kumiliki."
"Mengapa tidak kau izinkan aku mencoba menggempur Batu Mata Iblis itu? Apakah kau sangsi dengan kedahsyatan Pedang Lidah Guntur ini?!"
"Kalau kau ingin mencobanya, aku tak keberatan mengantarmu ke lorong itu!"
Maka, dengan tanpa ragu-ragu lagi, mereka berdua bergegas menuju lorong berbentuk persegi empat. Lorong itu semacam pintu gua yang sudah tertutup oleh lapisan kristal. Kristal tersebut dalam keadaan buram, mungkin karena sudah cukup lama tersekap lembab di sana. Kristal berbentuk bundar bagaikan bola besar yang mengganjal tepat di tengah pintu tersebut dulunya berwarna putih bening, tapi sekarang selain buram juga berwarna kehijau-hijauan.
"Gempurlah dia, jika berhasil, maka kita akan bisa lolos dari penjara alam ini!" kata Lili setelah beberapa saat Pendekar Rajawali Merah itu memperhatikan bola kristal tersebut.
"Mundurlah, akan kugunakan jurus 'Rajawali Lebur Jagat'...!" kata Yoga sambil mengatur jarak berdirinya.
Sementara itu Lili pun berdebar-debar karena ia berharap dapat keluar dari tempat itu dengan berhasilnya Yoga memecahkan Batu Mata iblis tersebut. Sekelebat sinar merah bening melesat dari telapak tangan Yoga.
Claaap...! Buuush...!
Sinar merah bening itu padam saat membentur Batu Mata Iblis. Batu kristal itu masih tidak bergeming sedikit pun. Bahkan Yoga mencobanya, sampai tiga kali, tapi pukulan 'Rajawali Lebur Jagat' tidak berhasil membuat Batu Mata Iblis menjadi serbuk lembut seperti benda-benda lainnya yang terkena pukulan tersebut.
"Cakar Gerhana...!" seru Yoga, dan tangannya berkelebat bagaikan mencakar sesuatu, dari kelima jarinya keluar barisan sinar merah berkelok-kelok yang segera menghantam Batu Mata Iblis itu.
Zrraab...! Zuuurrp...!
Lima sinar merah itu hanya memercikkan bunga api dan asap putih, untuk kemudian padam. Sedangkan Batu Mata Iblis masih tetap kokoh dan tak tergores sedikit pun. Padahal biasanya jurus 'Cakar Gerhana’ itu bisa membuat benda apa pun rontok dan menjadi butiran-butiran sebesar kacang hijau.
"Luar biasa kekuatan Batu Mata Iblis ini!" gumam Yoga, dan ia melirik Lili, ternyata perempuan cantik itu sedang menertawakan dirinya sambil menyembunyikan senyum. Yoga menjadi semakin penasaran dan ingin menutupi rasa malu akibat kegagalannya. Sejenak ia mendengar Lili berkata,
"Kekuatan sejenis itu sudah kupakai beberapa kali tapi tak ada yang bisa membuatnya hancur!"
"Baiklah! Agaknya Batu Mata Iblis Ini salah satu lawan yang tangguh dan luar biasa saktinya! Tapi belum tentu ia mampu menahan pedang pusakaku; Lidah Guntur...!"
Srrrt...!
Yoga mencabut Pedang Lidah Guntur. Bumi terasa berguncang sejenak. Di luar gua terjadi satu ledakan petir yang menggelegar, namun tak didengar oleh Yoga dan Lili. Pedang Lidah Guntur menyala merah pijar, membuat mata Lili sempat memandang penuh rasa kagum. Tapi rasa kagum itu hanya dipendamnya dalam hati.
Yoga segera menebaskan pedangnya kesamping, wuuuttt...! Dan melesatlah cahaya itu yang menghantam batu tersebut. Tapi keadaannya masih sama saja. Batu Mata Iblis tidak bergeming dan tergores sedikit pun tidak. Padahal nyala sinar merah akibat kibasan pedang tadi biasanya bisa merobek pohon sebesar apa pun, bisa merobek batu setangguh apa pun, lebih-lebih tubuh manusia, bisa hancur tercabik-cabik oleh sinar merah tersebut.
Setelah Yoga melakukan usaha penggempuran Batu Mata Iblis beberapa kali, baik dengan keampuhan pedangnya maupun tenaga dalamnya, dan masih tidak membawa hasil apa-apa kecuali lelah, maka Lili segera mencabut pedangnya yang bernama Pedang Sukma Halilintar.
Ggrrr...! Tanah gemuruh, bumi bagai dilanda gempa sepintas. Di luar sana, guntur menggelegar tak didengar oleh mereka. Hal itu membuat mata Yoga terkesiap dan tertegun beberapa saat. la memandangi pedang Lili yang menyala pijar putih warna perak sedikit kebiru-biruan. Sama membaranya dengan Pedang Lidah Guntur.
Yoga ingat cerita mendiang gurunya tentang Pedang Sukma Halilintar itu yang konon bisa keluarkan sinar putih perak untuk menjerat lawan dan susah lepas. Pedang itu jika melukai lawan bisa keluarkan asap putih dan luka menjadi hitam, tapi darah lawan menjadi putih seperti getah pohon, sukar diselamatkan lagi nyawanya.
Bahkan pedang itu pun menurut cerita mendiang guru Yoga, dapat mengeluarkan hawa panas yang mampu melelehkan baja. Jika ternyata Lili selama ini tak sanggup menghancurkan Batu Mata Iblis, maka itu pertanda batu tersebut melebihi baja kerasnya, mungkin seratus kali lipat dari kekerasan logam baja.
"Yo, kita gabungkan kekuatan pusaka kita masing-masing, siapa tahu bisa meleburkan Batu Mata Iblis!" kata Lili.
"Baik! Bersiaplah...."
"Hiaaat...!" Lili menebaskan pedang dengan gerakan singkat namun tepat. Pedangnya disentakkan ke depan dan keluarlah sinar putih terang, sedangkan pedang Yoga mengeluarkan sinar merah. Kedua sinar putih merah itu menghantam Batu Mata Iblis, tapi batu tersebut tetap tidak tergores seujung kuku pun.
"Hiaatt...! Jodoh Rajawali!” teriak Yoga sambil mengibaskan pedangnya dan membentur pedang Lili hingga membentuk silang. Trangng...! Dari persilangan kedua pedang itu keluarlah sinar ungu yang melesat cepat dan tak terputus sedikit pun. Sinar ungu itu menghantam Batu Mata Iblis tepat di bagian pertengahannya.
Blarrr...! Glegaarrr...!
Kedua tubuh pendekar rajawali itu terpelanting dan terpental ke belakang. Batu Mata Iblis pecah dan semburkan serpihannya. Bahkan pintu lorong berbentuk persegi empat itu pun hancur dalam keadaan tak berbentuk lagi. Seluruh gua dan lorong yang ada di situ bergemuruh, berguncang-guncang, langit gua rontok beberapa bagian, namun tak sempat membuatnya rubuh.
"Kita berhasil, Yo...!" seru Lili dengan wajah sangat kegirangan.
"Ternyata perpaduan jurus 'Jodoh Rajawali' kita menghasilkan kekuatan yang maha dahsyat, Lili!"
"Benar! Selama lima tahun aku merindukan hancurnya Batu Mata Iblis itu, tapi baru sekarang terjadi nyata apa yang kuimpi-impikan selama ini! Oh, senangnya hatiku, Yoga! Kau telah membebaskan aku dari penjara abadi ini!" tanpa sadar, karena perasaan girang yang meluap tak terkendalikan, Lili memeluk Yoga dan tertawa-tawa berburai air mata.
"Lili, sebaiknya kita cepat susuri lorong itu dan kau perlu selekasnya menghirup udara segar di luar gua ini!"
"Ya, ya...! Aku setuju," jawab Lili dengan penuh semangat. Maka, mereka pun segera menyusuri lorong dari sumur yang dikabarkan sebagai sumur tanpa dasar itu. Dalam beberapa waktu kemudian, ternyata mereka muncul juga di permukaan bumi lewat sebuah lubang yang ada di lereng Gunung Menara Salju itu.
Sudah tentu kegirangan Lili menjadi semakin berkepanjangan. Ia merasa telah bebas dari penjaranya selama lima tahun hidup dalam kesendirian dan kesunyian. Kemunculan Yoga merupakan kebebasan bagi Lili, dan karenanya Lili sesekali mengucapkan terima kasih atas pertolongan Yoga yang dianggapnya sebagai dewa penolong.
Tapi Yoga berkata, "Bukankah aku sendiri terperosok masuk dalam penjara abadi Itu? Kalau tak ada pedangmu, aku pun tak mampu pecahkan Batu Mata Iblis Itu. Jadi bukan aku yang menolongmu, melainkan kita sama-sama berhasil mengalahkan kekuatan dahsyat dari Batu Mata Iblis tersebut! Perpaduan jurus 'Jodoh Rajawali' kita itulah yang bisa kalahkan kekuatan apa pun juga!"
"Oh, ya... kurasa memang begitu! Eh, hmm... tapi, aku rindu sama si Putih! Ke mana aku harus mencari si Putih?!"
"Cobalah kau panggil dengan caramu sendiri, barangkali burung Rajawali Putihmu itu ada di sekitar gunung ini!"
Kemudian, Lili pun memasukkan dua jarinya ke mulut dan meniupnya panjang-panjang, "Siiiuuuttt...! Siiiuuuttt...! Siiuuuttt...!"
Yoga sendiri juga meniup jarinya, "Suiitt...! Suiittt...!"
Kepala mereka mendongak memandang langit, mencari-cari benda bergerak di angkasa. Beberapa saat terlihat burung Rajawali Merah datang dari arah timur. Gerakannya begitu gesit menuju ke arah suara yang memanggilnya.
"Hal, itu Rajawali Merah! Kaukah pemiliknya?!" tanya Lili.
"Ya! Dan... dan lihat ke barat! Bukankah di sana seperti ada sesuatu yang sedang bergerak kemari?!"
"Oh, ya...! Benar. Itu dia si Putih...!" Lalu, Lili pun meniup jarinya lagi panjang-panjang. "Siiuuut...! Siiuuut...!" Irama dan nadanya hampir sama dengan suitan memanggil Rajawali Merah, tapi sebenarnya punya perbedaan tersendiri.
"Kraaahg...! Kraahg...!" terdengar jeritan Rajawali Merah dari timur. Suara itu bagaikan disahut dari arah barat.
"Kreeaahg...! Kreeeaaahg...!"
Lalu kedua burung itu bersahutan dan tak jadi menukik ke arah dua pendekar rajawali itu. Kedua burung itu saling melintas di udara, berputar-putar sambil jejeritan. Seakan keduanya saling melepas rindu setelah tiga puluh tahun tidak saling jumpa. Sedangkan Lili dan Yoga yang memandangnya dari bawah sama-sama tertawa geli melihat kedua burung itu saling melepas rindu di udara, saling cakar, saling mematuk, saling kejar, dan pada akhirnya si jantan yang berwarna merah lebih dulu menukik ke bumi, si putih yang betina pun mengikutinya.
Tapi mendadak kedua pendekar berkendaraan burung rajawali itu sama-sama melompat dan bersalto terpisah, karena sekelebat sinar merah bagai piringan baja itu menghantam ke arah mereka. Wuuttt...! Sinar merah lebar itu berhasil dihindari, dan akibatnya sinar merah tersebut menghantam satu pohon, tetapi tiga pohon di belakangnya ikut tumbang dan hancur.
Blarrr...! Wuuurrrsss...!
Yoga berseru, "seseorang telah menyerang kita, Lili!"
“Ya. Aku hafal dengan jenis serangannya! Sinar merah itu milik Malaikat Gelang Emas!"
"Kulihat gerakan berkelebat ke arah selatan! Aku mengejarnya!"
Wuuttt...!
Yoga berlari lebih dulu, sedang Lili tersentak cemas. la pun segera berseru, "Yooo...! Tunggu!" dan Lili cepat-cepat berlari menyusul Yoga. Sementara itu, dua ekor burung rajawali besar berwarna merah dan putih segera terbang mengikuti kedua pendekar itu dari angkasa.
Benarkah penyerangnya Malaikat Gelang Emas? Mampukah mereka mengalahkan tokoh sesat yang sangat sakti itu? Lalu, bagaimanakah petualangan 'Jodoh Rajawali’ selanjutnya? Ikuti kisah selanjutnya dengan judul Misteri Topeng Merah