AWAN hitam di langit bergumpal-gumpal membungkus jagat raya. Awan hitam itu dipandangi beberapa saat oleh seorang pemuda berpakaian biru mewah. Pandangan matanya berkesan sayu, redup, tak bersemangat. Raut wajah pemuda berpenampilan bangsawan itu bagaikan sekumpulan awan di atas kepalanya; kusut, buram, dan simpang siur. Itu pertanda pemuda berbadan sedikit gemuk sedang dirundung kesedihan dalam hatinya.
Pemuda itu duduk di atas bongkahan tanah cadas berumput tipis, di bawah sebuah pohon besar berdaun rimbun. Sebentar-sebentar matanya meman-dang dahan-dahan daun yang tampak kekar. Lalu menghela nafas dalam-dalam, merasakan sesuatu yang bergerak menyesakkan di dalam dadanya, yaitu sebongkah luka hati yang amat memilukan.Tangan pemuda itu memainkan ujung tambang. Segulung tambang tergeletak di tanah dekat kakinya. Tambang itu pun sering menjadi pusat pandangan matanya. Sering diiringi suara hati yang berucap penuh iba, "Haruskah kau yang melakukannya, tambang putih?"
Setelah memandangi tambang dengan otak menimbang-nimbang, akhirnya pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu berdiri, lalu berusaha memanjat pohon tersebut sambil membawa tambangnya. Tapi karena badannya agak berat dan memang kurang terbiasa memanjat pohon, akibatnya tubuh itu selalu merosot ke bawah jika sudah hampir mencapai cabang pertama.
Sroot...! Dia mengulang dan mengulanginya terus. Manik-manik hias pada baju mewahnya sebagian menjadi rusak karena gesekan dengan batang pohon tersebut. Nafasnya terengah-engah kecapekan, lalu pemuda itu pun menunda niatnya untuk memanjat pohon, dan duduk kembali di bawah pohon tersebut dengan punggung bersandar seenaknya. Ia menenangkan nafasnya sambil matanya masih memandang langit mendung yang seolah-olah sedang melecehkan kesedihan hatinya.
"Biarlah langit tertutup mendung, kalau bisa selama-lamanya. Tak perlu lagi sinar matahari menembus dan menyiram ke bumi, karena bagiku sinar matahari tak berarti lagi," pikir pemuda itu. "Bagiku sekarang ini, bunga tak punya keindahan lagi, rembulan tak berguna, matahari memuakkan, bintang menjijikkan, orang lain menyebalkan, laut menjengkelkan, semua kehidupan tak punya makna! Satu-satunya yang kubutuhkan sekarang ini hanyalah kematian! Gantung diri adalah cara mati yang lebih baik daripada gantung kaki. Tapi... alangkah susahnya memanjat pohon ini? Aku harus bisa sampai di atas pohon, mengikatkan tambang ini, lalu memasukkan kepala pada lingkaran jeratnya, dan... matilah aku. Habis sudah nyawaku. Lengkap sudah penderitaan ku. Puas sudah kebencian ku pada nasibku sendiri ini!"
Pemuda yang rupanya sudah patah semangat itu kembali berusaha memanjat pohon yang tadi. Dengan susah payah dan jatuh-bangun berulang-ulang, akhirnya ia berhasil sampai di atas pohon! Ia beristirahat sebentar di sana, karena nafasnya terengah-engah bagai mau putus. Pada saat beristirahat itu ia melihat ada pohon yang mempunyai dahan pertama cukup pendek serta mudah dipanjat.
"Uuh...! Kenapa aku tidak memanjat pohon yang itu saja? Pasti lebih mudah dan tidak membuat lenganku beset begini?! Uh, sial!"
Pemuda itu segera mengikatkan tambangnya pada sebuah dahan kekar. Lingkaran jerat untuk gantung diri segera diturunkan. Ia tersenyum melihat lingkaran jerat itu, lalu berkata sendiri, "Nah, sekarang tinggal memasukkan kepala ke dalam jerat itu, lalu aku akan mati tergantung. Aha, menyenangkan sekali! He, he, he...!"
Pemuda itu segera turun dari pohon dengan susah payah juga, akhirnya menjatuhkan diri setelah sebelumnya ia menginjak sebatang dahan kecil, dan dahan itu patah.
Kraak...! Wuut...!
"Eit...!" pemuda itu menyambar dahan di atasnya hingga bergelayutan. Nafasnya terhempas lega, hatinya berucap kata, "Untung tak sampai jatuh. Kalau aku jatuh. Kalau aku jatuh, wah... bisa mati lho?!"
Dengan merayap sebentar ke dahan paling ba-wah, pemuda tersebut lompat turun dan brrruk...! Ia tak berhasil mendaratkan kedua kakinya dengan baik, akibatnya jatuh terduduk sambil menyeringai kesakitan pada tulang ekornya.
Sambil mengusap-usap tulang ekornya yang sakit, pemuda itu dekati tali gantungan. Ia bermaksud ingin memasukkan kepalanya ke dalam lingkaran jerat itu. Namun yang dapat ia lakukan hanya memandangi tali tersebut sambil menggerutu,
"Yaaah... ketinggian! Tanganku tak bisa mencapai tali itu dan tak bisa memasukkan kepalaku ke lingkaran jeratnya."
Pada seat pemuda tanpa kumis itu kebingungan mencari cara untuk menggantung diri ke tali yang di atasnya itu, tiba-tiba muncullah seorang pengemis tua berpakaian compang-camping. Jalannya tertatih-tatih karena gemetar, pakaiannya hitam bertambal-tambal dan robek sana-sini, rambutnya abu-abu karena sudah banyak beruban, usia pengemis itu sekitar lima puluh.
Dengan tongkat seukuran setinggi batas pinggangnya, ia melangkah bagaikan tidak menghiraukan keadaan pemuda tersebut. Melihat kehadiran pengemis itu, sang pemuda pun segera memanggilnya,
"Pak, Pak...! Kemarilah sebentar, Pak...!"
Pengemis itu hentikan langkah, palingkan wajah, mata sipitnya memandang dengan dahi berkerut, kemudian ia melangkah mendekati pemuda tersebut. Sampai di depan pemuda itu, ia berkata dengan nada suara menghiba,
"Kasihanilah saya, Tuan. Saya belum makan selama seminggu ini. Minta sedekah, Tuaaannn...!" sambil ia menadahkan tangannya.
"Aku memanggilmu kemari karena aku mau minta tolong kamu, Pak Tua!" kata pemuda itu dengan sedikit jengkel.
"Saya pengemis, Tuan. Saya mohon bantuan sedekah sekadarnya, Tuan. Kasihanilah saya, Tuan...," sambil matanya berkedip-kedip menyedihkan. Badannya sedikit membungkuk dan wajahnya tertunduk.
"Pak Tua, aku tahu kau pengemis, tapi kalau kau bisa tolong aku, maka aku pun bisa tolong kamu!"
Pengemis itu dongakkan wajah, lalu berkata, "Apa yang harus saya lakukan untuk menolong, Tuan Muda?"
"Menjadi pembantuku!"
"Pembantu...?!" pengemis itu heran.
"Ya. Tugasmu hanya membantuku untuk lakukan bunuh diri."
"Hahh...?!" pengemis yang giginya hilang dua di bagian depan itu terperangah dengan mulut terbuka, seakan pamerkan gigi ompongnya itu.
"Aku akan memberikan upah padamu jika kau mau membantuku, Pak."
"Upah...?!" kepalanya sedikit dimiringkan karena semakin heran.
Pemuda itu melepas salah satu dari tiga cincin yang dikenakan itu, kemudian cincin emas bermata berlian di berikan kepada pengemis itu sambil berkata, "Nih, terimalah upah pertama sebagai ikatan kerja sama kita."
"Cincin...?!" pengemis itu kian berkerut dahi dengan perasaan sangat heran, ia pandangi cincin itu tiada habisnya, penuh rasa kagum, takjub, senang, dan bimbang. Lama-lama tersungging senyum di bibir tuanya yang ditumbuhi kumis. Senyum itu semakin lebar, semakin berubah jadi tawa pelan yang mengguncang-guncang tubuh, lalu pengemis itu berkata,
“Cincin ini buat aku? Hanya untuk membantumu bunuh diri, aku mendapatkan cincin mahal ini? Mengapa kau sampai bertindak sejauh ini, anak muda?”
Pemuda itu menatap pengemis itu sebentar, kemudian dengan pelan ia berkata, "Perempuan itu memang racun. Dia telah meracuni hatiku dan hatiku tak mampu lagi punya semangat hidup. Aku jadi kepingin mati saja."
"Tabahkan saja hati Raden."
"Aku sudah bosan jadi orang tabah, Paku Juling."
"Orang sabar itu subur lho, Raden."
"Orang sabar memang subur, tapi orang tabah pasti banyak musibah."
"Sebaiknya batalkan saja niat Raden untuk gantung diri!”
"Tidak bisa. Pertama, aku sudah telanjur sakit hati karena tak pernah jumpa kekasihku lagi. Kedua, karena aku sudah telanjur diusir dari keluarga, dan tak dianggap sebagai anak oleh orangtua ku. Ketiga, karena cincin itu sudah ada di tanganmu, kalau aku tak jadi bunuh diri berarti aku harus mengambil cincin itu darimu. Apakah kau tak sayang jika cincin itu tidak jadi milikmu?"
"Sayang, Raden," jawab Paku Juling dengan sopan.
"Karena itu, bantulah aku gantung diri di tali yang sudah kupasang itu, Paku Juling. Angkatlah tubuhku supaya kepalaku bisa masuk ke dalam lingkaran jerat itu."
Pengemis itu akhirnya angkat bahu, "Ya sudahlah...! Itu terserah Raden. Saya sudah mengingatkan tapi Raden tetap ngotot, saya juga terpaksa membantu Raden, karena saya dapat upah semahal cincin ini!"
"Kau kuat mengangkat tubuhku, bukan?"
"Kalau mengangkat saya tak kuat, tapi cobalah Raden berdiri di atas telapak kaki saya ini. Pijaklah kaki saya ini dan saya akan angkat supaya Raden mencapai tali gantungan itu."
Raden Balelo sedikit heran dengan maksud Paku Juling. Tetapi karena kaki Paku Juling sudah disodorkan dengan bentuk jempolnya menukik ke atas, maka Raden Balelo pun segera menginjak kaki tersebut dengan pelan-pelan. Akhirnya ia berdiri di atas kaki itu dengan satu kaki, lalu kaki tersebut bergerak pelan-pelan naik ke atas, membuat tubuh Raden Balelo menjadi lebih tinggi lagi.
Sempat pula Raden Balelo merasa terheran-heran melihat Paku Juling mengangkat kakinya naik dengan beban tubuh sebesar badan Raden Balelo. Yang mengherankan lagi, Paku Juling tidak tampak kerahkan tenaganya, hanya tangannya yang memegangi tongkat itu tampak sedikit mengeras pada saat mengangkat kakinya.
Dengan cara begitu, Raden Balelo berhasil mencapai tali gantungan. Sambil masih tetap berdiri di atas kaki Paku Juling yang naik sampai tubuhnya miring ke belakang, Raden Balelo memasukkan kepalanya ke dalam jerat. Setelah tali jerat sudah melingkar di lehernya, Raden Balelo pun berkata dengan nada sedih,
"Paku Juling... lepaskan kakimu, dan selamat tinggal...!"
"Raden sudah tidak ragu lagi memilih kematian seperti ini?"
"Tidak. Aku memang lebih baik mati daripada kehilangan gadis itu. Lekas, lepaskan kakimu biar tubuhku tergantung. Jaga dirimu baik-baik dan tetap tekunlah selama menjadi pengemis."
"Terima kasih, Raden. Selamat jalan," kata Paku Juling, kemudian kakinya bergerak turun. Wuuut...! Jleeg...! Tubuh Raden Balelo tersentak di tali gantungan.
“Bruuukk!"
Tali itu putus tepat setelah kaki pemuda itu dilepaskan. “Aduuhhhhh! Kenapa tali ini bisa putus? Apa tali ini sudah tua?”
Paku Juling ikut memperhatikan tali tersebut yang ujung tempatnya putus cukup rata. Tak ada serat yang berhamburan. Paku Juling berkata, "Rasa-rasanya ada pihak lain yang sengaja memutuskan tali ini, Raden!"
"Pihak lain mana? Yang ada di sini hanya aku dan kau."
"Tapi potongan tali yang putus karena rantas tidak akan serata ini, Raden. Potongan ini seperti potongan dengan pisau yang amat tajam. Barangkali selembar daun yang terbang tadi."
"Selembar daun?" pemuda berpipi tembem sedikit itu merasa heran.
"Saat tubuh Raden tergantung, sepertinya saya melihat sekelebat daun yang terbang melayang di atas kepala Raden. Mungkin ada seseorang yang punya ilmu tinggi dan bisa merubah daun menjadi pisau."
"Ah, itu rekaan mu saja! Jangan berkhayal begitu, bikin bingung pikiranku saja!" sambil Raden Balelo memandangi sekelilingnya. Demikian pula yang dilakukan oleh Paku Juling. Lalu, terdengar Raden Balelo ucapkan kata,
"Jika memang orang lain yang memutuskan tambang ini, lantas siapa dia orangnya, Paku Juling?"
"Aku...!" sahut sebuah suara yang ada di atas pohon beda tempat. Orang itu cepat melesat turun dari atas pohon dan dalam waktu sekejap sudah berada di depan Raden Balelo dan Paku Juling. Mereka berdua memandang dengan tercengang.
Orang tersebut ternyata seorang pemuda mengenakan pakaian selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang dengan sebuah pedang yang di ujungnya terdapat ukiran dua kepala burung saling bertolak belakang tersemat di punggung. Pemuda tampan berambut panjang tanpa ikat kepala itu tak lain adalah Yoga; si Pendekar Raja-wali Merah.
Kepada Paku Juling, Yoga berkata, "Kau ini orang tua apa? Ada anak muda mau bunuh diri malah didukung, bukannya dihentikan dan disadarkan!"
Paku Juling berkata sambil bersungut-sungut, "Aku sudah sadarkan dia, sudah nasihati dia, sudah kasih saran agar jangan lakukan, tapi Raden Balelo sendiri yang mendesak dan bahkan mengupah ku agar mau membantunya. Yaaah... apa boleh buat, aku hanya sekadar menolong saja!"
"Kau tak perlu ikut campur kesedihan hatiku, Sobat," ucap Raden Balelo kemudian.
"Aku tidak bermaksud ikut campur, tapi aku hanya ingin kasih tahu kamu, bahwa kematian seperti itu adalah kematiannya orang-orang sesat! Hindarilah kematian sesat. Sedangkan yang hidup saja tak diizinkan untuk bertindak sesat, mengapa yang mau mati harus memilih jalan sesat? Bodoh amat kau ini."
"Aku sakit hati, aku kecewa dengan hidupku, karena gadis itu meninggalkan aku. Padahal dia sudah bilang kalau cinta padaku. Aku sedih sekali tak bisa temui gadis itu lagi."
Yoga sunggingkan senyum dan bertanya, "Gadis siapa maksudmu?"
"Gadis cantik yang bernama Lili itu!"
DUA
SERIBU petir menyambar di wajah Yoga. Pendekar Rajawali Merah sangat terkejut mendengar jawaban Raden Balelo. Hampir saja tangannya berkelebat menampar mulut pemuda yang tampak sedikit lebih muda darinya itu. Untung Yoga segera berpikir, bahwa mungkin yang dimaksud Raden Balelo adalah gadis cantik bernama Lili yang tidak mempunyai gelar Pendekar Rajawali Putih.
"Bukan Lili guru angkatku yang dimaksud. Pasti bukan!" kata Yoga di dalam hatinya. Ia pun segera tenangkan diri.
Pengemis kurus itu didekatinya dan Yoga berkata pelan, "Siapa sebenarnya kalian ini? Apakah dia anak raja?"
"Aku tidak tahu," jawab Paku Juling. "Aku hanya seorang pengemis yang bernama Paku Juling dan sedang melewati tempat ini. Lalu, kulihat Raden Balelo mau gantung diri, dia memanggilku, menyuruhku membantunya, memberi ku upah cincin ini, dan aku cegah dia tak mau, ya terpaksa aku mendukung rencananya."
"Kau pernah lihat gadis yang dicintai Raden Balelo itu?"
"Mana aku tahu?!" Paku Juling angkat bahu kembangkan tangan.
Raden Balelo yang ada di belakang Yoga dalam jarak empat langkah itu segera bergerak dekati Yoga dan berkata, "Maukah kau menolongku, Teman?"
"Menolong untuk mati?"
"Benar."
"Aku tidak tahu caranya mati, karena aku tidak pernah mau mati. Mati gantung diri itu perbuatan yang memalukan. Aku malu pada diriku sendiri kalau aku membantu seseorang untuk mati gantung diri."
Raden Balelo segera melepas satu cincinnya lagi. Cincin emas bermata berlian lebih besar dari yang diberikan Paku Juling itu ditaburi intan di sekelilingnya. "Ambillah cincinku ini sebagai upah mu jika mau menolongku untuk gantung diri, atau mati dengan cara bagaimanapun juga!"
"Raden Balelo," kata Yoga sambil tersenyum bijak, "Kalau aku mau barang berharga seperti cincin mu itu, aku dapat memperolehnya dalam waktu singkat dan jauh lebih banyak dari yang kau berikan padaku. Tapi apalah arti kekayaan jika harus biarkan seseorang berada di jalan sesat?"
Raden Balelo hembuskan napas jengkel. Ia pandangi Yoga sambil mengenakan cincinnya kembali. Matanya memandang dengan rasa kurang bersahabat. Kemudian ia berkata, "Kau seorang perampok?"
"Bukan. Namaku Yoga, murid mendiang Empu Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek, tinggal di Gunung Tiang Awan. Tugasku membela kebenaran, meluruskan kekeliruan, melempangkan kesesatan, membasmi kejahatan."
"Ooo... kau seorang pendekar?" ucap Raden Balelo dengan sikap sinis, seakan melecehkan Yoga.
"Benar. Apakah kau seorang anak raja?"
"Ya. Aku putra Raja Kandakayuda dari Kerajaan Wirawiri."
Raden Balelo mengatakan hal itu dengan rasa bangga dan sedikit menampakkan kesombongannya. Namun kesombongan dan kebanggaannya itu segera surut dan wajahnya kembali dibalut kemurungan. Ia menambahkan kata, "Tapi... sekarang aku sudah bukan anak raja. Aku telah diusir dari istana, dicoret dari silsilah keturunan raja Wirawiri."
Yoga dan Paku Juling hanya memandanginya, mengikuti gerakan Raden Balelo yang duduk di gundukan cadas dengan wajah penuh duka. Suara Raden Balelo terdengar sedikit parau, mungkin karena menahan tangis yang semestinya tercurah pada saat ia ceritakan nasibnya.
"Semua kemewahan, derajat, harga diri, dan kekuasaan yang mestinya bakal kuterima dari keluarga raja, kini telah ku tinggalkan. Semuanya ku tinggalkan demi cintaku kepada Lili. Tapi ternyata, Lili tidak pernah kujumpai lagi. Lili tidak mau menemuiku lagi. Dia pergi, entah ke mana, entah dengan siapa..."
Yoga menyela tanya, "Di mana gadis itu tinggalnya?"
Raden Balelo geleng-geleng kepala pelan, "Kutemukan dia pada saat aku berburu sebulan yang lalu. Dia sangat cantik. Lebih cantik dari bidadari. Dia juga seorang pendekar yang lincah dan punya keberanian tinggi. Aku menyukainya, pada saat ia menolongku yang hampir ditelan harimau. Dia pun waktu itu menyambut rasa sukaku dengan hati bahagia. Selama satu bulan aku banyak bertemu dengannya di bawah curahan air terjun. Kami memang selalu punya janji untuk bertemu lagi di sana. Kami bercumbu di sana berkali-kali, menikmati kehangatan tubuh dan kemesraan cinta. Lalu ia ingin mengajakku menikah. Kubawa ia kepada ayahanda ku, tapi keluargaku tak suka karena Lili bukan keturunan ningrat. Aku tetap membangkang dengan keputusan Ayahanda, akhirnya aku diusir dan tidak diakui sebagai anaknya lagi. Aku pergi menyusul Lili yang lari dengan hati luka oleh sikap Ayah." Raden Balelo menarik napas sebentar. Ia kelihatan menahan rasa sakit di hatinya. Sesaat kemudian ia berkata lagi,
"Dua kali kutemui dia, dua kali itu juga ku pergoki dia sedang bercumbu dengan seorang lelaki. Aku bahkan hampir dibunuh oleh lelaki itu. Yang membuatku sakit hati sekali, Lili terang-terangan bergumul dan bercumbu dengan lelaki lain di depanku. Aku melihatnya jelas-jelas di depan-mataku. Maka, ku putuskan bahwa aku lebih baik mati daripada kelak harus melihat kemesraan itu lagi. Aku sudah tidak punya hara-pan untuk bisa menikmati hidup ini. Tanpa Lili, aku bukanlah manusia yang punya harapan dan kebahagiaan. Mati adalah jalan yang terbaik bagiku."
Pendekar Rajawali Merah masih diam saja sambil menyimpan kecemasan hati. "Kalau aku punya ilmu silat tinggi, akan kubunuh Lili dan pria itu. Tapi aku tidak punya ilmu silat kecuali ilmu berburu. Aku pun akan kalah jika melawan Lili, karena dia seorang pendekar perempuan. Gelarnya saja cukup seram," ucap Raden Balelo lagi.
"Siapa gelar kependekarannya?" tanya Yoga.
"Pendekar Rajawali Putih!"
Blaaar...! Seolah-olah begitulah bunyi seribu petir yang kembali bagaikan menghantam wajah Yoga pada, saat itu. Wajah Yoga menjadi merah padam. Hampir saja ia menghantam kuat-kuat wajah Raden Balelo ketika pemuda itu menyebutkan gelar guru angkatnya yang juga menjadi kekasihnya itu. Yoga hanya cepat berpaling, memandang arah jauh menarik napas dalam-dalam, dan menenangkan guncangan jiwanya.
Yoga sengaja menjauh tiga langkah, mengusap wajahnya dua kali. Menghembuskan napas lewat mulut demi memburu ketenangan dan menekan luapan amarahnya yang sudah hampir meledak itu. Dan pada saat berikutnya, Paku Juling mendekati Yoga lalu berkata pelan,
"Apakah kau percaya dengan ucapannya?"
"Entahlah," jawab Yoga sangat lirih.
"Sebenarnya, aku kenal dengan nama Pendekar Rajawali Putih. Maksudku, kenal namanya saja. Kudengar dia seorang pendekar wanita yang sakti dan beraliran putih. Tentunya tingkah laku seorang pendekar beraliran putih tidak serusak itu. Apalagi, kabarnya ia punya kekasih murid angkatnya sendiri yang bergelar Pendekar Rajawali Merah, berparas tampan, gagah, dan juga sakti."
Yoga terkesiap, melirik Paku Juling. Tapi pada waktu itu Paku Juling bicara dengan memandang arah jauh, seakan menerawang pada satu perasaan yang ada di dalam hatinya. Ia lanjutkan kata,
"Rasa-rasanya tak mungkin Pendekar Rajawali Putih pernah bercinta dengan Raden Balelo itu, bahkan melakukan hal-hal tak susila di depannya. Aku jadi sangsi dengan pengakuannya. Atau, barangkali dia orang gila yang punya banyak khayalan?"
"Lalu, mengapa dia mau gantung diri jika hal itu hanya sebagai bualannya saja?"
Paku Juling manggut-manggut. "Kulihat dia juga bersungguh-sungguh ingin mati. Kalau tadi tidak kau putus tali gantungan itu, dia pasti akan mati tergantung dan saat ini sudah tidak bernapas lagi."
Yoga bingung menyimpulkan kata-kata Paku Juling, sebab hatinya sangat gundah dan diliputi oleh kebimbangan yang menjengkelkan. Maka, Yoga pun segera kembali dekati Raden Balelo, sedangkan Paku Juling mengikutinya dari belakang.
"Apakah benar kau bercinta dengan Pendekar Rajawali Putih?"
"Ya. Kau tak percaya? Aku berani sumpah disambar dua belas petir saat ini juga kalau aku berkata bohong padamu!"
"Seperti apa ciri-ciri gadis itu sebenarnya?" pancing Yoga.
"Yaaah... Cantik, ramping, tubuhnya sekal, pakaiannya merah muda, namun mengenakan jubah longgar warna putih, dia... dia juga mempunyai pedang yang diletakkan di punggungnya, seperti kamu. Kalau tersenyum ada lesung pipitnya. Manis sekali."
Debar-debar jantung yang sejak tadi ada di dalam dada Yoga itu kali ini terasa pecah dan meledak. Tubuh Yoga bagaikan lemas mendengar Raden Balelo menyebutkan ciri-ciri itu. Karena Yoga tahu persis, itulah ciri-ciri guru angkatnya yang juga kekasihnya sendiri. Yoga tak tahu harus melepaskan murkanya kepada siapa. Karena itu ia berkata kepada Paku Juling dengan wajah pucat,
"Jaga pemuda itu, jangan sampai bunuh diri. Dia sudah tak waras lagi," sambil Yoga membawa Paku Juling jauhi Raden Balelo. "Apa yang diucapkan adalah sesuatu yang di luar kesadarannya. Kasihan dia. Dia perlu seseorang yang menjaganya. Dan kalau perlu, bujuklah dia agar kembali ke istananya!"
"Mengapa kau memberi ku tugas begitu?"
"Karena aku akan pergi teruskan perjalananku, dan karena kau telah menerima upah cincin berharga amat mahal itu darinya."
Setelah berkata begitu, Yoga cepat tinggalkan tempat tersebut tanpa pamit lagi. Ia berlari cepat dengan menggunakan jurus 'Langkah Bayu' yang mampu bergerak melebihi cepatnya anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Zlaaap...! Zlaaap...!
Yoga seperti dihantam dengan batu sebesar gunung. Nafasnya sangat sesak, sehingga ia perlu memperlambat langkahnya. Bayangan cerita Raden Balelo menghantui pelupuk matanya. Tapi hati kecilnya sela-lu menyangkal bayangan tersebut.
"Tak mungkin Lili berbuat seperti itu. Tak mungkin Guru Li mau bercumbu seliar itu. Guru Li bukan gadis yang liar dan buas. Guru Li gadis yang anggun dan bijaksana, keras dan tegas, tak mudah tergiur oleh kemesraan pria lain, tak mudah jatuh cinta pada lelaki mana pun juga. Guru Li punya harga diri yang amat tinggi."
Sungguh berita itu merupakan siksaan bagi hati pendekar tampan bertangan buntung itu. Hatinya yang dicekam rindu kepada sang guru angkatnya semakin terasa membengkak memar di sekujur tubuh. Yoga terpaksa harus tetap menahan dan menahannya saja.
* * *
Lili sudah sebulan lebih berada di Gua Rama untuk pelajari ilmu 'Mata Dewa'. Gua itu ditutup batu bertumpuk-tumpuk oleh Tua Usil, dan tidak akan dibuka sebelum empat puluh hari lamanya. Hal itu membuat Yoga tak bisa bertemu dengan Lili, tak bisa melihatnya dan tak bisa menyapanya. Lalu, terbitlah kerinduan yang amat lekat di hati Yoga.
Untuk menghilangkan rasa rindunya, Yoga bermaksud pergi ziarah ke makam guru sejatinya, yaitu Dewa Geledek, yang disemayamkan di puncak Gunung Tiang Awan. Tetapi seperti sial yang menunggu di depan langkah, Yoga temukan Raden Balelo bersama ceritanya itu. Tentu saja hati pendekar tampan pemikat hati wanita itu menjadi tak tentu arah. Rindunya bercampur murka, sehingga sejuta tanya bermunculan menggelisahkannya.
Harapan yang tersisa hanyalah pada pusara guru sejatinya di Gunung Tiang Awan. Yoga berharap, setelah ziarah ke makam guru sejatinya ia bisa beroleh ketenangan jiwa dan mampu meredam segala nafsu amarahnya.
Tetapi, agaknya menuju makam guru bukanlah perjalanan yang mudah ditempuh dalam ketenangan jiwa. Di perjalanan, Yoga tiba-tiba dihadang oleh dua wanita yang muncul secara tidak bersamaan. Kedua perempuan itu agaknya tidak saling kenal, sehingga ketika mereka bertemu, keduanya saling pandang pe-nuh curiga.
Kemunculan itu diawali oleh seberkas sinar pu-tih yang datang dari arah belakang Pendekar Rajawali Merah. Tanpa menoleh lebih dulu, nalurinya bergerak cepat, membuat tubuhnya melesat ke atas dan bersalto ke samping kanan dua kali.
Wuuuk... wuuuk...! Jleeg.
Yoga kembali daratkan kakinya dengan tegap, lalu pandangi arah datangnya sinar putih yang akhir-nya mematahkan sebatang pohon itu. Seorang perempuan yang tergolong masih muda, walau Sedikit lebih tua dari Yoga itu, berdiri dengan pedang terhunus dan mata memandang tajam.
Perempuan itu mengenakan pakaian kuning dan rambutnya dilepas riap. Raut mukanya yang cantik itu menampakkan kemarahan yang terpendam. Dadanya yang membusung itu menandakan bahwa dia bukan perempuan yang tidak menarik bagi lelaki. Dengan suara geram yang lembut, perempuan itu berkata kepada Yoga yang tetap tenang memandanginya dengan senyum tipis.
"Melihat ciri pedangmu, pasti kau Pendekar Rajawali Merah!"
"Betul," jawab Yoga. "Kau siapa?"
"Aku Lenggani, bekas istrinya Sanjaya!"
Yoga menampakkan wajah herannya, lalu berkata, "Sanjaya? Aku tak kenal nama Sanjaya."
"Mungkin memang kau tak kenal, tapi kekasihmu yang bernama Lili, yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali Putih dan mempunyai pedang berciri seperti pedangmu itu, pasti tahu persis tentang Sanjaya!"
"Kemudian...?"
Perempuan bernama Lenggani yang berwajah sedikit lonjong dan berkulit kuning langsat itu diam sesaat. Tenggorokannya terasa kering sejenak manakala hatinya berdebar setelah lama ia simak wajah tampan Yoga itu ternyata memang punya daya getar yang cukup kuat. Lenggani berusaha melupakan getaran hatinya, kemudian segera berkata,
"Aku mencari Lili! Aku akan membunuhnya sekarang juga! Katakan, di mana aku bisa temui dia!"
"Aneh...?" gumam Yoga dengan dahi berkerut. Lalu, ia bertanya kepada Lenggani, "Untuk apa kau mencari dia dan ingin membunuhnya?"
"Melepaskan dendamku kepadanya, karena dia telah membawa lari suamiku sampai sekarang!"
Kaget juga Yoga mendengar pengakuan orang yang menahan marah itu. Ia bahkan mulai melangkah dekati Lenggani sampai berjarak tiga langkah baru berhenti, dan berkata, "Lili melarikan suamimu?"
"Benar! Dia telah memikat Sanjaya, sehingga Sanjaya tergila-gila padanya. Sanjaya tak mau peduli lagi dengan diriku dan ia pergi mengikuti kekasih binal mu itu!"
"Aku tak percaya!" jantung Yoga berdebar-debar mendengar pengakuan tersebut. Ia mulai gelisah dan menahan kemarahan.
"Kau tak perlu percaya, yang penting temukan aku dengannya. Kau pasti tahu di mana dia, karena kau adalah kekasihnya!"
"Jika kau tahu aku kekasihnya, tentunya kau pun tahu bahwa Lili tidak akan membawa lari suamimu, Lenggani!"
Makin tajam Lenggani berkata, "Mengapa tidak? Sebelumnya dia mengenalku, menceritakan kepedihan hatinya yang tersiksa menjadi istrimu, menceritakan betapa dinginnya dirimu kepadanya dan tak pernah mendapatkan kehangatan darimu. Lalu suamiku datang, kami berteman, tapi ternyata dalam waktu singkat dia taklukkan suamiku dan berbuat tak senonoh di depan mata ku, setelah dia dan suamiku mengikatku di sebuah pohon. Biadab betul gadismu itu! Karenanya aku ingin hancurkan dia bersama Sanjaya dengan pedang pusaka nenek ku ini!"
Dada Pendekar Rajawali Merah terasa retak dan sebentar lagi jebol. Ia mencoba membantah tuduhan itu dalam hatinya, namun yang ada hanya gemuruh darah yang mendidih di sekujur tubuhnya. Ketika ia ingin katakan sesuatu, tiba-tiba niatnya itu urung karena kemunculan seorang gadis yang melompat dari atas pohon.
Jleeg,..!
"Tidak! Siapa pun tidak boleh membunuh Lili, selain aku! Ku siapkan diriku selama memburunya untuk merajang habis sekujur tubuhnya!" kata gadis berpakaian merah dan bermata bundar bening itu.
"Siapa kau?!" hardik Lenggani.
"Aku Anggita, putri Ki Lurah Prawiba!" jawab gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun yang menyelipkan cambuk di pinggangnya. Gadis itu mempunyai bulu mata lentik lebat, dan punya sikap pemberani. Matanya tak segan-segan menatap Lenggani ba-gai ingin melabraknya. Gadis bernama Anggita itu pun berkata lagi kepada Lenggani,
"Tak kuizinkan siapa pun membunuh Lili, karena nyawa Lili adalah nyawa yang harus ku buru!"
Yoga cepat menyahut, "Mengapa kau memburu Lili?"
Anggita menampakkan dendamnya ketika me-jawab, "Dia telah mencuri cincin pusaka milik ayahku, dan membuat ayahku tergila-gila padanya. Sekarang ayah ku bermaksud menceraikan ibu hanya untuk menikahi Lili! Tapi sayang gadis itu belum muncul juga sampai sekarang dan membawa lari cincin pusaka itu!"
Lenggani berkata, "Jika kau benar anak Lurah Prawiba, berarti kau murid Perguruan Cambuk Ratu?!"
"Benar! Dari mana kau tahu?"
"Gurumu adalah bibiku, dan sering membanggakan muridnya yang bernama Anggita, anak Lurah Prawiba!"
Anggita menghela napas, rupanya mengurangi ketegangan dan sikap bermusuhan dengan Lenggani. Lenggani sendiri juga mulai dekati Anggita seraya berkata,
"Berarti kita punya satu buruan yang sama!"
"Agaknya memang begitu!"
"Kubantu kau merebut cincin milik ayahmu itu, lalu kita bunuh bersama gadis binal yang mengaku bergelar Pendekar Rajawali Putih itu! Apakah kau set-ju?!"
"Kalau memang itu yang terbaik. aku setuju!"
"Paksa pemuda ini supaya memberitahukan kepada kita di mana gadis laknat itu berada!" sambil Lenggani lemparkan pandangan kepada Yoga.
Anggita pun menatap Yoga dengan perasaan makin lama semakin gundah. Getaran lembut terasa menyentuh ha-tinya manakala ia nikmati seraut wajah tampan itu.
"Kalian menyebar fitnah untuk guru angkatku!" kata Yoga. "Tak kuizinkan kalian melihat bayangannya sekalipun hanya sekejap!"
"Jangan memaksa kami lakukan kekerasan pada mu, Pendekar Rajawali Merah! Kau akan menyesal jika kami bertindak kasar padamu!" kata Anggita sedi-kit memaksakan diri untuk bersikap keras.
"Jika memang kau ingin bersikap kasar padaku, aku pun bisa lebih kasar darimu!"
"Keparat! Perlu kubuktikan kekasaran ini padamu rupanya, heat!" Lenggani bergerak lebih dulu dengan satu lompatan yang membuat pedangnya ber-kelebat cepat hampir merobek dada Yoga.
Untung Yoga segera tersentak mundur dan cepat lepaskan pukulan bertenaga dalam dari telapak tangannya. Pukulan itu tidak bersinar namun membuat tubuh Lenggani bagaikan terhempas badai kuat.
Wuuu..! Beehg...!
Suara badan terpukul kuat bersamaan dengan melesatnya tubuh Lenggani ke belakang dan jatuh da-lam jarak empat tombak dari tempatnya berdiri tadi.
Grussaak...!
Pada saat itu Anggita lekas melompat mengirimkan sebuah tendangan kipas yang membuatnya berputar dengan cepat. Wuuusst.. ! Plaak...! Wajah Yoga tertampar oleh tendangan tersebut. Yoga sempat oleng sejenak, kemudian kembali tegak. Bersamaan dengan itu, Lenggani melemparkan pedangnya ke arah Yoga.
Zuuut...! Weees...!
Yoga bersalto ke belakang sa-tu kali, pedang bergagang putih itu melesat melewati sasaran. Tapi segera membentur batang pohon dan berbalik arah memburu Yoga kembali. Pendekar Rajawali Merah sedikit kaget melihat pedang itu berbalik arah menuju ke tempatnya. Dengan cepat, Yoga segera gulingkan tubuh ke tanah, dan kakinya segera menendang ke atas tepat kenai gagang pedang tersebut.
Taaak...!
Pedang berputar-putar sambil melenting tinggi. Lalu, bergerak ke bawah dengan gerakan seperti anak panah. Lurus dan cepat sekali. Jruub...! Pedang itu pun menancap di tanah dan tak bisa bergerak lagi. Tangan Yoga segera meraih pedang tersebut, namun Anggita segera memekik sambil melecutkan cambuknya.
Taaarr...!
Tangan Yoga menjadi sasaran cambuk itu, sehingga dengan cepat ia menarik tangannya dan tak jadi mencabut pedang tersebut. Bahkan ia bergerak ke samping dengan satu lompatan ringan yang membuatnya jauh dari pedang tersebut.
Namun pada saat ia daratkan kakinya ke tanah, Lenggani menyerangnya dengan pukulan tenaga dalam dari tangan kirinya. Wuut...! Sinar putih terlepas lagi dan menghantam tubuh Yoga. Dengan cepat sinar itu dihantam oleh Yoga melalui kibasan dua jari tangannya yang mengeras tegak dan mengeluarkan selarik sinar merah bening.
Claap! Glegaaar...!
Ledakan hebat terjadi pada saat kedua sinar saling berbenturan. Gelombangnya menghempas kuat, membuat tubuh Lenggani kembali terjungkal ke belakang dan membentur pohon. Kepala yang terbentur pohon itu menjadi memar dan bengkak. Lenggani kesakitan, sementara Yoga berusaha bangkit, karena ia sempat jatuh berlutut dihempas gelombang ledakan tersebut.
Namun baru saja Yoga bergegas bangkit, seke-lebat sinar menghantam kepalanya bersama dile-cutkannya cambuk Anggita dengan gerakan cepat. Taaar...! Sinar hijau keluar dari ujung cambuk. Yoga tak sempat menangkis dengan pukulan tenaga dalam, sehingga yang dapat dilakukannya adalah berguling ke depan secepat mungkin.
Wuusst...!
Tiba di bawah pohon, Yoga diserbu oleh lecutan cambuk Anggita yang memancarkan sinar hijau berke-lok-kelok bagai lidah cambuk itu. Taaarr...! Dan sekali lagi Yoga hanya bisa menghindar dengan berguling di tanah dalam satu lompatan rendah.
Wuuut...!. Blaaar...!
Sinar yang mirip cambuk itu menghantam pohon, lalu pohon itu tumbang seketika. Potongannya nyaris menjatuhi Lenggani, sehingga Lenggani pun menghindar dengan satu lompatan, dan dengan cepat ia sambar pedang pusaka milik neneknya itu.
Wuusstt...!
Kini Lenggani dan Anggita sama-sama berdiri dalam jarak enam langkah dari depan Yoga. Mereka berdiri berjajar, siap dengan senjatanya, siap dengan serangan berikutnya. Namun sebelumnya Anggita berseru kepada Pendekar Rajawali Merah,
"Serahkan kekasihmu itu, atau kulenyapkan nyawa mu sekarang juga!"
Yoga hanya menarik napas, diam beberapa saat sambil berkata dalam hatinya, "Kedua perempuan ini benar-benarmencari Lili dan tak segan-segan membunuh ku! Agaknya aku tak boleh main-main dengannya. Tapi, mereka sebenarnya tidak bersalah jika benar Lili melakukan apa yang dikatakan mereka tadi. Masalahnya sekarang, aku tidak tahu mana yang benar? Jika gadis itu yang benar, aku tak berani membunuh mereka. Jika Lili yang benar dan mereka memfitnahnya, aku butuh pengakuan dari Lili. tapi... Lili sekarang masih ada di dalam Gua Rama! Mungkinkah ia keluar dari dalam gua dan membuat keonaran yang amat memalukan para mendiang guru kami itu? Ah, sial sekali aku ini! Aku tak bisa punya kepastian dalam bertindak. Aku harus lekas-lekas pulang dan membongkar batu-batu penutup gua itu untuk buktikan apakah Lili ada di dalamnya atau tidak!"
Terdengar suara Anggita berseru lagi, "Hei, kenapa diam saja? Atau kau ingin aku melukai wajah tampan mu itu? Heaah...!"
Anggita menyentakkan cambuknya. Taaar...! Cambuk bergerak cepat, bagaikan pedang panjang yang hendak membelah kepala Yoga dari atas ke ba-wah. Tentu saja tubuh gadis cantik berhidung man-cung itu sambil melompat dalam melakukan jurus cambuk membelah wajah itu. Tetapi, Yoga masih mampu menghindar dengan satu lompatan ke kiri, kemudian ia lepaskan jurus 'Cakar Gersang' dari ujung jari telunjuk, berupa sinar merah berkerilap yang menghantam perut Anggita.
Claap! Beehg!
Bruuuk...! Anggita roboh, perutnya mual, kepalanya amat pusing dan badannya lemas. Ia mengerang pelan. Lenggani melihat hal itu menjadi lebih bernafsu lagi untuk lumpuhkan Yoga, la cepat berkelebat bersama pedang gagang putih itu. Tapi Yoga pun cepat-cepat lepaskan jurus 'Cakar Gersang' lagi yang tepat mengenai pundak Lenggani.
Claaap...! Brrruk...!
Nasib Lenggani serupa dengan Anggita. Pada saat kedua perempuan itu terkulai lemas, Yoga cepat tinggalkan mereka dengan satu lompatan yang membuat ia bagaikan menghilang.
Zlaaap...!
"Harus kubuktikan, apakah Lili ada di dalam Gua Rama atau tidak!" ucap Yoga di dalam hatinya.
* * *
TIGA
KERIMBUNAN hutan dekat sungai itu tak terlalu liar dan ganas. Binatang buas tak ada, kecuali hanya ular. Mungkin itu pun hanya beberapa ekor saja yang menjadi penghuni hutan tepi sungai. Tanaman berbahaya pun tak terdapat di sana, kecuali hanya tanaman berduri di sela-sela semak belukar.
Gemerisik suara semak itu ternyata mampu menahan langkah seorang lelaki tua berpakaian rompi merah kumal dan celana abu-abu. Orang tersebut tak lain adalah Cola Colo, si Bocah Bodoh. Sejak pedang pusaka yang diwariskan kepada ibunya dan kelak akan menjadi miliknya itu diserahkan oleh Yoga, hubungan Cola Colo menjadi lebih erat lagi dengan Yoga, Lili, dan Tua Usil, pelayan Lili itu.
Hari itu, Bocah Bodoh yang sebenarnya sudah berusia lima puluh tahun itu, sudah pamit kepada sang Ibu untuk pergi menemui Yoga. Sang Ibu pun mendukung rencana Bocah Bodoh yang ingin belajar ilmu pedang dengan Yoga. Karena itu, untuk mencapai pondok Tua Usil, tempat Yoga dan Lili tinggal itu, Bocah Bodoh menyusuri tepi sungai yang arus airnya menuju ke lembah samping pondok Tua Usil itu.
Dalam rangka perjalanan tersebutlah, Bocah Bodoh menjadi curiga dengan bunyi gemerisik semak ilalang yang ada di tepi sungai tersebut. Semak ilalang itu adalah bagian dari hutan di atas tanggul sungai. Dan semak ilalang itu kali ini memperdengarkan suara bisik yang mampu didengar oleh telinga Bocah Bodoh.
* * *
"Kau sungguh tampan sekali, Prabu. Hatiku sangat terpikat dan luluh dalam pelukan mu. Oh, hangatnya pelukan mu, membuat aku enggan lepaskan diri lagi, Prabu. Hi, hi, hi...!"
Bocah Bodoh berkerut dahi sambil menelengkan telinganya, menyimak suara bisik-bisik itu. Hatinya membatin, "Kalau tak salah, suara perempuan itu seperti suaranya Nona Lili. Tapi, apakah benar yang ada di balik semak-semak itu adalah Nona Lili..?"
Kemudian,. Bocah Bodoh mendengar lagi suara orang berbisik, kali ini adalah suara lelaki yang sedikit serak, "Tubuhmu indah sekali, sangat menantang ke-beranian ku. Baru sekarang kulihat tubuh semulus ini, dan... dan sehangat ini."
"Ih, jangan nakal tanganmu, Prabu. Aku geli, hi, hi, hi...! Ah, geli...! Geli, Prabu! Hih, hi, hik...!"
Dada Cola Colo bergemuruh. Ia yakin suara itu adalah suara seorang lelaki bersama Nona Lili yang dikenalnya. Tapi suara lelaki itu bukan suara Yoga. Itulah yang membuat Bocah Bodoh menjadi heran. Bahkan menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang dilakukan mereka di balik kerimbunan semak tersebut. Maka, pelan-pelan sekali Bocah Bodoh mendekati semak-semak itu, menyingkapkan daunnya helai demi helai dengan tangan gemetar.
Mata Bocah Bodoh menjadi melebar ketika ia berhasil mengintip apa yang dilakukan dua insan di balik semak-semak itu. Dalam hatinya ia berucap kata,
"Itu Nona Lili...?! Oh, kenapa ia digigit bibirnya oleh pemuda itu tidak melawan? Oh, kasihan Nona Lili...! Dia kalah dengan pemuda itu. Oh, kenapa Nona Lili diam saja dibekuk oleh lawannya? Seharusnya ia bisa gunakan jurus maut untuk menghantam lawannya itu, tapi... tapi... ya, ampun?! Nona Lili tidak berdaya! Ia dikuasai oleh pemuda itu dan... dan... oh, ke mana pakaian mereka? Jurus silat macam apa yang mereka gunakan sehingga pakaian mereka ada di sana-sini? Kasihan sekali Nona Lili. Aku harus segera memberitahukan Tuan Yoga supaya Tuan Yo membantunya!"
Bocah Bodoh mundur pelan-pelan sambil merangkak. Sekujur tubuhnya gemetar, karena yang terbayang dalam benaknya adalah kekalahan Lili. Menurutnya, jika Lili mampu dikalahkan oleh pemuda itu, sampai seperti orang sekarat sebab digencet, apalagi dirinya. Pasti akan mati seketika itu jika digencet oleh tubuh pemuda tersebut.
Debar-debar di dalam dada Bocah Bodoh menghadirkan keringat dingin di sekitar wajahnya. Keringat dingin itu ada karena ia melihat kepolosan tubuh Lili yang putih bersih tanpa cacat sedikit pun itu. Ia melihat tak begitu jelas, karena tertutup tubuh pemuda yang disangka menggulatnya dengan niat membunuh Lili. Tapi sekalipun hanya bagian-bagian tertentu yang bisa ditangkap oleh mata Bocah Bodoh, sudah cukup menghadirkan debar-debar aneh yang membuatnya menjadi panas dingin.
Maka, dengan cepat ia berlari menyusuri tepian sungai. Wajahnya menjadi tegang ketika ia berpapasan dengan Tua Usil yang sedang memancing ikan di atas sebuah batu. Tua Usil pun segera merasa heran sewaktu Bocah Bodoh mendekatinya dengan berkata,
"Nona Lili dalam bahaya... Nona Lili hampir mati...!"
Wajah Tua Usil kian berkerut heran dan berkata, "Kau kesurupan atau kemasukan setan?"
"Belum. Tapi aku lihat jelas."
"Lihat jelas? Kau melihat setan dengan jelas?"
"Nona Lili! Bukan setan, tapi Nona Lili!" Bocah Bodoh semakin kelihatan panik.
"Aku tak mengerti maksudmu, Bocah Bodoh!"
"Di semak-semak sana, aku melihat Nona Setan, eh... Nona Lili sedang sekarat. Ia hampir mati tercekik ditindih lawannya yang jahat itu. Nona Lili tidak berdaya. Ketika mulutnya digigit pemuda itu, tangan Nona. Lili menggelepar-gelepar. Kasihan sekali."
"Ah, mana mungkin?! Nona Lili sedang berlatih jurus baru di dalam Gua Rama! Sampai sekarang beliau masih di sana!"
"Aku tidak bohong, Tua Usil! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, bukan. dengan mata kakiku! Kalau tak percaya, cobalah buktikan sendiri. Ikutlah aku, dan kutunjukkan keadaan Nona Lili yang perlu bantuan Tuan Yo!"
Tua Usil menjadi penasaran, kemudian mengikuti Bocah Bodoh menyusuri tepian sungai dengan berlari secepat mereka bisa. Ketika hampir tiba di tempat yang dimaksud, Bocah Bodoh berbalik memandang Tua Usil dan meletakkan jari telunjuknya di mulut.
"Sssttt...! Pelan-pelan langkahmu, jangan seperti kuda kena api pantatnya!"
"Di mana tempatnya?" bisik Tua Usil.
"Itu...," Bocah Bodoh menunjuk satu tempat. "Di bawah pohon berdaun rimbun itu. Di balik semak-semak sana kulihat Nona Lili sedang sekarat. Kalau tak lekas ditolong, beliau bisa mati!"
Tua Usil pun mendekati semak-semak ilalang, menyingkapkan pelan-pelan. Dan pada saat itu, ia mendengar suara Nona Lili-nya yang mengerang pan-jang bagai terkena luka yang amat sakit. Daun-daun ilalang berguncang-guncang gemerisik. Tua Usil semakin melebarkan celah pandangannya dengan menyingkapkan ilalang tersebut.
"Ooh...?!" pekik Tua Usil dalam hatinya. Mata Tua Usil melebar dan sepertinya tak bisa kembali bergerak mengecil lagi manakala ia melihat Lili sedang bercumbu dengan seorang pemuda. Pertarungan mesra itu sangat hebat, sampai mengguncangkan semua ilalang yang ada di sekelilingnya. Tua Usil menjadi gemetar dan sesak napas.
Ia melepaskan pandangan matanya dari tempat pengintaian, memandang Bocah Bodoh sejenak dengan mata tetap mendelik. Bocah Bodoh berbisik, "Benar kan apa kataku?"
"Gawat!"
"Memang. Kalau kita terlambat memberitahukan hal itu kepada Tuan Yoga, Nona Li bisa mati tak bernyawa lagi!"
Tua Usil tertegun bengong bagaikan patung yang matanya mendelik. Bocah Bodoh mengipas-ngipaskan tangannya di depan mata Tua Usil agar Tua Usil segera sadar dari keterpukauannya. Tua Usil segera sadar setelah gerakan tangan Bocah Bodoh itu tak sengaja menyodok mata kirinya.
Teeb...! Tangan itu ditangkap dengan satu mata terpejam perih. Tua Usil mau memukul wajah Bocah Bodoh, tapi segera urungkan niat setelah terdengar suara Lili yang memekik panjang dan keras bersama suara pemuda itu yang menggeram.
"Ayolah... Nona Li sudah semakin sekarat begitu. Dia bisa mati kalau tak segera ditolong. Pemuda itu lebih jahat dari almarhumah bibiku. Pemuda itu sedang mencekik leher Nona Li! Lekas kita temui Tuan Yo...!" Bocah Bodoh menarik-narik tangan Tua Usil sambil ucapkan kata-kata tegangnya itu.
Bocah Bodoh berhasil membuat Tua Usil melangkah tinggalkan semak-semak. Tapi kali ini langkah Tua Usil tak bisa cepat, karena lututnya gemetar dan urat-uratnya bagaikan lemas. Apa yang dilihatnya itu sungguh suatu pemandangan yang tak pernah dibayangkan akan dilakukan oleh Nona Lili-nya itu. Tua Usil pun jadi terbungkam untuk sesaat dengan lidah-nya seakan tertelan masuk ke tenggorokan.
Sampai di tempat pemancingannya semula, Tua Usil berhenti melangkah dan jatuh berlutut di pasir sungai. Buuhg...! Nafasnya terengah-engah, seakan sedang menggenggam nyawanya yang nyaris melayang lewat ubun-ubunnya yang berambut putih tipis itu. Bocah Bodoh yang sudah berlari lebih dulu terpaksa kembali lagi temui Tua Usil sambil menarik tangannya.
"Lekaslah! Baru berlari sedekat itu kok sudah capek? Uuh...! Payah kau, Tua Usil!"
Plook...! Tua Usil menampar pipi Bocah Bodoh sambil berkata, "Aku bukan kecapekan, tapi lemas sekujur tubuhku melihat apa yang dilakukan oleh Nona Li. Sungguh tak kuduga Nona Li berbuat seperti itu kepada pria selain Tuan Yo."
"Aku juga tak sangka kalau Nona Li bisa dibuat tak berdaya oleh pemuda tersebut, padahal Nona Li punya ilmu tinggi. Seharusnya Nona Li tadi hantamkan tangannya ke dada pemuda itu biar jebol dan mati lawannya. Tapi dia malah meremas-remas punggung pemuda itu. Remasannya tak membuat kulit tubuh si pemuda menjadi koyak. Itu tandanya pemuda tersebut lebih tinggi ilmunya daripada Nona Li. Pertarungan itu harus segera diselamatkan, kalau tidak Nona Lili akan mati."
"Bodoh!" bentak Tua Usil.
Tapi Bocah Bodoh menyangka dipanggil sehingga ia menjawab, "Ya...? Ada apa?"
"Kubilang, kau ini goblok sekali!"
"Lho...?!" Bocah Bodoh bingung, wajahnya menjadi bego sekali dikatakan dirinya goblok. "Mengapa kau bilang begitu?"
"Nona Li tidak sedang bertarung dengan jurus-jurus silat! Nona Li tidak sedang dicekik dan bukan mau di bunuh oleh pemuda itu."
"Ah, tapi Nona Li matanya terbeliak-beliak mau mati, dan pemuda itu tidak mau melepaskan. Bahkan kulihat tadi mulut Nona Li dimakannya! Ih, jangan-jangan pemuda itu pemakan daging manusia?"
Kepala Bocah Bodoh disodok dengan jari Tua Usil. Kepala itu tersentak sekejap ketika Tua Usil berkata, "Goblok! Mereka itu bukan sedang bertarung. Itu namanya sedang bercumbu! Sedang berkasih-kasihan. Jika mata Nona Li terbeliak-beliak, itu bukan karena Nona Li mau mati, tapi karena merasakan kenikmatan yang diberikan oleh pemuda Itu!"
"Lalu...? Lalu apa artinya pemuda itu memakan mulut Nona Li?"
"Itu namanya mereka sedang ciuman, Tolol!"
"Ciuman kok lewat mulut?"
"Habis kalau lewat sungai takut basah!" jawab Tua Usil dengan hati dongkol sekali. Kemudian, mereka pun bergegas menuju ke pondok. Namun sebelum mereka mencapai pondok, mereka sudah bertemu dengan Yoga, yang memang mencari Tua Usil sebab di pondok ia tidak temukan Tua Usil.
"Naaah... kebetulan!" teriak Bocah Bodoh begitu melihat Yoga.
Tua Usil segera menghantam dada Bocah Bodoh. Buuhg...! Ia bersungut-sungut dan membentak, "Kalau mau teriak jangan di dekat telingaku! Budek aku jadinya!"
"Itu Tuan Yo!"
"Iya. Yang bilang tuan tanah siapa?!" geram Tua Usil.
Yoga mendekati mereka, keributan kecil di an-tara mereka terhenti. Bocah Bodoh berapi-api melaporkan apa yang dilihatnya, dan menterjemahkan semua gerakan Lili dengan pemuda itu sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Tua Usil tadi.
"Nona Lili sedang berciuman dengan seorang pemuda, Tuan Yo! Mereka ada di balik semak-semak. Ih, mengerikan!" Bocah Bodoh bergidik.
Yoga diam tercekat. Dadanya kembang kempis. Ia memandangi Tua Usil, yang dipandang sedikit takut menjelaskan maksud Bocah Bodoh. Tapi Yoga mendesaknya dengan ucapan, "Apa benar kata-kata si Bocah Bodoh ini, Tua Usil?"
"Hmm... eeh... Iya. Saya melihatnya sendiri tadi, Tuan."
"Berciuman?"
"Iya. Berciuman," jawab Tua, Usil mengangguk langsung menunduk.
Bocah Bodoh menambahkan kata penuh semangat, "Nona Li kehilangan semua pakaiannya, Tuan. Mungkin disihir oleh pemuda yang bernama Prabu itu, sebab saya lihat Prabu juga kehilangan pakaiannya. Tapi, saya kasihan melihat Nona Li terengap-engap karena ditindih oleh Prabu. Saya mau membantunya, tapi..."
"Di mana mereka sekarang?!" sahut Yoga dengan wajah merah padam. "Cepat bawa aku ke sana!"
"Mari...! Mari, Tuan. Saya masih hapal tempatnya!" Bocah Bodoh bersemangat terus, padahal Tua Usil merasa takut dan ngeri membayangkan kemarahan Yoga jika melihat kekasihnya berbuat serong begitu. Bocah Bodoh tidak punya rasa takut dan ngeri sedikit pun.
Sayangnya, ketika mereka tiba di semak-semak itu, Lili dan pemuda bernama Prabu itu sudah tidak ada. Bocah Bodoh bingung berpaling kesana-kemari dengan mulut bengong dan mata lebar. "Lho... lho... tadi mereka ada di sini kok! Sumpah, Tuan Yo. Mereka ada di sini...! Nah, lihat... rumput-rumput ini tiduran semua. Itu tandanya rumput-rumput itu di pakai bergelut oleh Nona Lili dan Prabu tadi"
Tangan si Tua Usil menarik tubuh Bocah Bodoh, Mereka menjadi berada di belakang Yoga. Lalu, mulut Bocah Bodoh diremas oleh tangan Tua Usil. Kruues...! Bocah Bodoh menyeringai sambil kelojotan sesaat. Tua Usil berbisik dengan nada menghardik,
"Mulutmu jangan bikin hati Tuan Yo lebih panas lagi! Tak tahukah kau bahwa Tuan Yo cinta dengan Nona Li? Kalau dengar laporanmu begitu, Tuan Yo bisa marah, Nona Li bisa dibunuhnya! Ngerti?!"
Sambil mulut masih diremas tangan Tua Usil, Bocah Bodoh mengangguk-angguk. Lalu mulut itu dilepaskannya. Bocah Bodoh bersungut-sungut tak be-rani membalas Tuan Usil.
Sementara itu, Yoga menemukan beberapa rumput yang tercabut karena remasan kuat, dan hal-hal lain yang meyakinkan dirinya, bahwa apa yang diceritakan Bocah Bodoh itu memang benar. Hati Yoga seperti di hunjam sejuta tombak. Perih sekali. Sakitnya luar biasa saat membayangkan apa yang dilihat Bocah Bodoh tadi.
"Tua Usil...!" panggilnya dengan suara menghentak. Tua Usil tidak langsung menjawab, tapi terlon-jak kaget dulu. Sikunya sempat menghentak mengenai dagu Bocah Bodoh yang ada di sampingnya. Bocah Bodoh cemberut kesakitan dan menabok punggung Tua Usil, tapi Tua Usil diam saja. Ia segera menatap Yoga dan Yoga pun bertanya dengan mata yang memancarkan bara kemurkaannya,
"Apa benar Lili masuk ke dalam Gua Rama?"
"Benar, Tuan. Saya sendiri yang mengantarkan beliau ke sana, lalu menutup pintu gua itu dengan bebatuan besar hingga berlapis-lapis. Saya yakin gua itu tidak bisa ditembus sinar matahari lagi bagian dalamnya, Tuan."
"Ikut aku ke sana dan bongkar batu itu!"
"Jangan, Tuan!"
"Aku ingin buktikan di mana Lili saat ini berada!" bentak Yoga. Matanya kian tajam memandang Tua Usil.
Sekalipun takutnya bukan main, tapi Tua Usil tetap paksakan diri untuk berkata, "Jangan, Tuan. Jangan bongkar batu-batu penutup itu. Nona" Li berpesan pada saya, bahwa batu-batu itu boleh dibongkar setelah empat puluh hari lamanya Nona Li ada di dalam gua itu. Jika saya membongkar batu-batu tersebut, berarti Nona Li tahu bahwa beliau sudah empat puluh hari berada di dalam gua. Sekarang baru tiga puluh satu hari lewat setengah hari, Tuan Yo!"
"Kalau begitu, siapa yang kau lihat di semak-semak ini tadi?!"
"Hmm... eh... mungkin... mungkin seseorang yang mirip Nona Li. Saya percaya, Nona Li masih ada di dalam gua. Kalau dibongkar sekarang, sia-sia sekali Tuan. Sudah cukup lama Nona Li tidak terkena cahaya, dan itu akan membuatnya memperoleh ilmu baru yang bernama ilmu 'Mata Dewa', Tuan. Jangan gagalkan rencana beliau, Tuan, ku mohon, jangan bongkar dulu batu-batu penutup gua itu...!"
Tua Usil sampai berlutut dan mencium tanah tiga kali sebagai tanda permintaan yang amat diharapkan dengan penuh segala hormat. Pendekar Rajawali Merah menjadi tertegun dengan memendam kemarahan yang tak kuat lagi ditahannya. Akibatnya tangannya menyentak ke samping kiri, dan sekelebat sinar merah terlepas bersama teriakan keras dari mulut Yoga,
"Heaaahhh...!"
Blegaaarr...! Satu pohon yang kena sinar merah, empat pohon lainnya tumbang secara bersamaan.
EMPAT
BETAPA sulitnya mengendalikan hawa nafsu pada saat-saat seperti itu. Beruntung Yoga segera lakukan semadi penenang jiwa, sehingga dalam sehari semalam ia sudah berhasil kendalikan kemarahannya. Sekarang yang ada dalam hatinya hanya sebuah tanya,
"Apa maksud kejadian-kejadian yang ku alami ini?" Pohon buni berdaun lebar dengan buahnya yang lebat pula, menjadi tempat berdiam diri buat Yoga, ia duduk di bawah pohon tersebut, yang letaknya tak seberapa jauh dari bagian depan pondok. Tua Usil dan Bocah Bodoh ada di dalam pondok, sedang sibuk menyiangi dua ekor kelinci yang hendak dibakarnya sebagai santapan hari itu.
Pendekar Rajawali Merah bagaikan orang yang sedang berkabung. Renungan panjangnya membuat wajah tampan itu berkesan muram dan tak lagi pancarkan sinar kegembiraannya. Yang ada dalam hati Yoga saat itu hanyalah kecamuk batin, yang tak pernah diam sejak pertemuannya dengan Raden Balelo dan pengemis Paku Juling.
"Jika apa yang dilihat Bocah Bodoh dan Tua Usil itu adalah memang Lili, maka apa yang dikatakan oleh Raden Balelo itu memang benar. Apa yang dituduhkan oleh Lenggani dan Anggita itu juga benar adanya. Seandainya memang begitu, lalu apa maksud Lili bertindak sedemikian rupa? Nama pendekar rajawali akan hancur di mata para tokoh dunia persilatan! Nama besar mendiang guru Dewa Geledek dan Dewa Langit Perak juga akan musnah oleh tindakan Lili. Nama-nama beliau tidak harum lagi, karena mempunyai murid sebejad Lili! Haruskah aku bertarung membunuhnya demi nama baik guru-guru kami, dan aliran silat rajawali ini? Atau, haruskah kubiarkan Lili berbuat begitu, sementara hatiku pun hancur karenanya?"
Seperti ada sinar tajam yang menembus dada dan melukai ulu hati Yoga pada saat ia berkecamuk batin seperti itu. Dicobanya menarik napas dalam-dalam dan ditahannya beberapa saat di dalam dada, maka rasa nyeri itu sedikit demi sedikit reda kembali. Pendekar Rajawali Merah menerawang, membiarkan angin teduh menerbangkan rambutnya yang panjang tanpa ikat kepala itu. Sebagian rambut ada yang melintang di depan mata, dan itu pun dibiarkannya saja.
"Barangkali saja apa yang dikatakan Tua Usil itu. memang benar. Orang yang dilihatnya, adalah perempuan yang mirip dengan Lili. Moga-moga begitulah kenyataan yang ada. Tapi jika dugaan itu meleset, maka aku harus memahami maksud Lili bertindak seperti itu, seakan ia seorang gadis yang membutuhkan kehangatan dan kemesraan lelaki. Oh... memalukan sekali. Dia menjadi liar dan keji. Mungkinkah keliarannya itu dikarenakan aku kurang memberikan perhatian kepadanya? Mungkinkah aku tak sehangat kemesraan yang diharapkannya? Tapi, bukankah Lili sendiri yang selalu bersikap dingin jika aku terlalu lama memeluknya? Lili sendiri yang sering membatasi diri agar hubungan kami tidak terjerat ke dalam lumpur dosa dan perzinahan? Tapi mengapa sekarang dia lakukan kepada orang lain? Bahkan harus merusak rumah tangga Lenggani dan Lurah Prawiba segala? Oh, benar-benar tak kuat aku menahan rasa malu jika jumpa dengan mereka."
Hal yang membuat Yoga bimbang adalah kemungkinan Lili keluar dari Gua Rama sungguh besar. Buat Lili, menyingkirkan batu-batu yang menutup pintu gua bukan merupakan pekerjaan yang sulit. Dengan menggunakan ilmu dahsyatnya, ia dapat hancurkan batu-batu tersebut dan pergi keluar mencari mangsa. Bisa saja Lili berpura-pura mempelajari ilmu 'Mata Dewa' di dalam gua tersebut, supaya dia punya alasan sendiri mengapa menghilang dari Yoga selama empat puluh hari nanti?
"Tetapi di dalam Kitab Jagat Sakti, ilmu 'Mata Dewa' hanya bisa ditempuh dalam keadaan gelap pekat selama empat puluh hari, dan Lili tampaknya ingin sekali memperoleh ilmu 'Mata Dewa' itu!"
Dalam keadaan yang serba membingungkan itu, Yoga sempat dibuat terkejut ketika tahu-tahu di atas pohon terdengar suara, "Orang jahat akan masuk ke dalam jerat, orang lurus jalannya akan bahagia hidupnya...!"
Serta-merta Yoga bangkit dari duduknya dan memandang ke atas. Matanya sedikit menyipit mencari suara yang sedikit cadel itu, tapi tak terlihat ada orang di atas pohon tersebut. Yoga memperhatikan beberapa saat lamanya, memeriksa dengan lebih teliti lagi. Namun pohon itu tetap saja tidak berpenghuni.
Yoga memandang datar ke arah sekelilingnya, bahkan sempat memeriksa semak-semak di sebelah barat. Tapi baru tiga tindak ia melangkah, terdengar lagi suara sedikit cadel dari atas pohon,
"Orang jahat akan masuk dalam jerat, orang lurus jalannya akan bahagia hidupnya...!"
Karena penasaran dan merasa dipermainkan oleh seseorang yang bersembunyi di atas pohon, maka Yoga pun segera lepaskan pukulan jarak jauhnya tanpa sinar. Wuuut...! Braaasss...! Pohon-pohon buni berguguran, demikian juga daunnya, lalu seekor burung pun melesat terbang dari kerimbunan daun. Burung itu terbang sambil bersuara,
"Selamat tinggal... selamat tinggal... selamat tinggal...!"
Yoga menghempaskan napas dengan hati kesal dan sedikit geli, karena suara tersebut datangnya dari seekor burung beo berwarna hitam berparuh kuning. Burung itu terbang berkeliling bagai mengitari alam di sekitar tempat Yoga berdiri itu. Mata Yoga pun memandanginya terus, karena punya rasa tertarik dengan burung beo itu. Tapi, burung tersebut segera hinggap di balik pepohonan yang tumbuh dengan rapat. Yoga ragu untuk mengejar dan menangkapnya.
Kejap berikutnya, dari balik pepohonan rapat itu muncul sesosok tubuh sekal berpakaian warna jingga. Seorang perempuan yang rambutnya disanggul tak begitu rapi, segera melesat menghampiri Yoga dengan gerakan cepat bagaikan terbang.
Wuuut...! Jleeg...!
"Mimpikah aku?" pikir Yoga. "Yang kulihat tadi seekor burung beo menghilang di balik pohon, mengapa sekarang yang muncul dari balik pohon itu seorang perempuan cantik berhidung mancung?"
Memang benar, perempuan itu berhidung mancung dengan mata sedikit lebar namun berbentuk indah dan bercahaya meneduhkan. Ia kelihatan anggun dengan sebatang tusuk konde dari logam emas berben-tuk bintang pada ujung batang tusuk konde tersebut. Ia mempunyai tahi lalat kecil di sudut bibir kirinya, yang membuat wajah itu menjadi selain cantik juga menggemaskan.
Matanya memandangi Yoga tak berkedip, berdirinya tegap. Dadanya terbusung karena memang besar. Di pinggangnya terselip pedang emas berukuran pendek, mempunyai ronce-ronce benang merah pada gagangnya. Ia mengenakan kalung, gelang, dan giwang emas bermata berlian.
Sosok tubuhnya yang tinggi sejajar dengan Yoga itu cukup imbang dengan bentuk badannya yang tidak langsing namun ramping, padat berisi. Bibirnya yang tak terlalu tebal namun cukup menantang itu tampak selalu tersenyum, walaupun Yoga tahu perempuan itu dalam keadaan memendam kemarahan.
Yoga memberanikan diri menyapa lebih dulu, "Apakah kau jelmaan dari burung beo itu?"
Perempuan tersebut tidak menjawab, hanya berkata, "Aku butuh bertemu dengan Pendekar Rajawali Putih!"
Pendekar Rajawali Merah berkerut kening, sambil matanya melihat seekor burung berkelebat muncul dari balik pohon dan langsung hinggap di pundak kiri perempuan yang berusia sedikit lebih tua dari Lili, mungkin sama dengan usia Lenggani. Rupanya burung beo itu piaraan perempuan cantik itu, sehingga dugaan Yoga tentang jelmaan burung beo itu pun hilang dari benak.
Kini burung beo itu perdengarkan suaranya, "Siapa namamu, Lintang Ayu namaku! Siapa namamu, Lintang Ayu namaku!"
Yoga tersenyum kalem, perempuan itu memandangi terus tak berkedip. Yoga pun bertanya, "Apakah yang dimaksud burung itu, Lintang Ayu adalah namamu?"
Burung beo hitam yang menyahut, "Benar. Benar. Namaku Lintang Ayu, putri Adipati Windunegara, murid Eyang Jubah Peri, dari perguruan Tapak Kembar. Terima kasih. Terima kasih!"
"Lucu sekali burung mu itu, Nona," kata Yoga sambil menahan tawa. "Dia mewakili mulutmu, yang mungkin akan lebih ramah sang burung daripada si pemilik burung."
Putri Adipati Windunegara itu berkata, "Cepat, pertemukan aku dengan Lili, Pendekar Rajawali Putih itu! Aku tahu, kau pasti Pendekar Rajawali Merah. Pedang mu punya bentuk yang sama dengan pedang yang disandang di punggung Lili itu."
"Tunggu dulu," sela Yoga. "Apa benar kau muridnya si Jubah Peri?"
"Benar. Tapi urusanku tidak ada hubungannya dengan Guru."
"Memang. Tapi aku hanya ingin kasih tahu padamu, bahwa gurumu adalah sahabat guruku, yaitu Eyang Dewa Geledek!"
"Aku tahu. Sebutan dan gelar Rajawali, hanya dimiliki oleh Eyang Dewa Geledek dan Dewi Langit Perak."
"Syukurlah kalau kau sudah mengetahuinya."
"Tetapi urusan ini telah membuat aku dan pihak keluargaku tidak punya rasa bersahabat dengan mu-rid-murid tokoh sakti yang namanya cukup masyhur itu. Ini disebabkan oleh kelakuan salah seorang murid mereka yang bernama Lili!"
"Apa yang dilakukan oleh Lili?"
"Dia menculik adik lelakiku yang bernama Prabu Anom! Padahal esok lusa ia akan menikah dengan Putri Giri Manca. Jika sampai pernikahan itu gagal, Lili sama saja mencoreng nama baik keluargaku, dari balasannya tak lain hanyalah dengan cara membunuhnya! Jika Lili tak mau lepaskan Prabu Anom sekarang juga, aku terpaksa membunuhnya. sebelum ia sempat mencoreng-moreng nama keluarga."
"Prabu Anom...?" gumam Yoga, lalu teringat ucapan Bocah Bodoh tentang nama Prabu yang dipergokinya sedang bercumbu dengan Lili. Jantung Yoga kembali berdetak-detak dengan cepat, wajahnya panas karena menahan malu bercampur amarah membayangkan tindakan guru angkatnya itu.
Luar biasa sekali rasa malunya Yoga, sampai-sampai ia tak bisa berkata apa-apa kecuali hanya diam dan membuang pandangan ke arah lain. Sedangkan Lintang Ayu masih menatapnya dengan sikap siap lakukan pertarungan kapan saja.
"Kalau kau tak mau mempertemukan aku dengan Lili di tempat persembunyiannya, maka aku akan memaksamu dengan pedang. Mungkin juga akan melukaimu, atau bahkan terpaksa membunuhmu!"
"Sabarlah, Lintang Ayu...!"
"Tak ada kata sabar lagi bagi diriku!" ucap Lintang Ayu bernada dingin. "Aku menuntut perbuatan murid-murid Rajawali yang konon dikenal sebagai pembela kebenaran dan membantai kejahatan. Mana buktinya? Ternyata aliran Rajawali hanya membuat kerusuhan dan sama jahatnya dengan Malaikat Gelang Emas! Murid-murid aliran Rajawali sama sekali tidak mencerminkan sifat kependekarannya, malahan lebih cenderung mencerminkan kebejatan manusianya, kebuasan nafsunya, dan kerakusan cinta! Cuih...!"
Lintang Ayu meludah. Hati Yoga bagaikan pecah. Kalau bukan karena banyaknya kabar tentang tingkah laku Lili dari berbagai pihak, sudah pasti perempuan secantik apa pun akan dihajar habis oleh Yoga jika merendahkan aliran silatnya sedemikian rupa. Sayang sekali banyak orang mengetahui tindakan Lili seburuk itu, sehingga Yoga sulit membela aliran Rajawali di mata perempuan cantik itu. Yoga hanya bisa menahan dan menahan mati-matian rasa malu yang bergumul kuat dengan kemarahan besar dalam hatinya.
"Kabarnya, kaulah kekasih Lili yang sebenarnya! Aku tak tahu itu kabar yang benar atau tidak, yang jelas, kalau kau adalah kekasih Lili yang sebenarnya, maka kusarankan, bunuh saja kekasihmu itu. Dia tidak punya harga diri sebagai seorang gadis bergelar pendekar. Carilah kekasih lain yang lebih memiliki harga diri dan layak kau banggakan di mata dunia persilatan!"
Burung beo di pundak kiri terbang, hingga di pohon tinggi dan bersuit-suit dari atas sana. Yoga memandangnya sebentar sebagai penenang guncangan jiwanya. Kemudian, matanya turun ke bawah dalam memandang dan tiba di wajah cantik Lintang Ayu itu. Dengan nada tegas Yoga berkata,
"Serahkan urusan Lili kepadaku. Aku yang akan membereskannya!"
"Kau boleh membereskannya setelah aku membawa pulang calon mempelai pria, yaitu adikku sendiri; Prabu Anom! Selama aku belum membawa pulang Prabu Anom, aku harus memburu Lili dan bikin perhitungan sendiri dengan gadis bejatmu itu!"
"Urusan ini adalah urusan aliran Rajawali. Bukan urusan perguruan lain! Kau tak perlu mencampuri urusan kami!"
"Aku akan mencampuri, karena aliran Rajawali telah membuka permusuhan dengan pihak kadipaten, dan akulah senopati kadipaten itu!"
"Kalau begitu, kau telah membuka tantangan terhadapku, Lintang Ayu? Kau telah menantang aliran Rajawali!"
"Kalau kau menganggapnya begitu, aku tidak keberatan dengan anggapan tersebut! Murid Jubah Peri tak pernah menghindari tantangan dari siapa pun!"
"Balk. Ini pilihan mu dan aku melayani pilihan mu!"
"Bersiaplah membela aliran sesat mu, Pengecut!" setelah berkata demikian, Lintang Ayu cepat kibaskan tangannya, seperti mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya dan melemparkannya kepada Yoga.
Wuuut! Zlaaap...!
Ternyata sinar kuning yang dilemparkan oleh Lintang Ayu ke dada Pendekar Rajawali Merah itu. Dengan cepat, Yoga sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat naik dengan gerakkan tangan menghantamkan pukulan jarak jauhnya. Wuuuss...! Sinar merah keluar dari telapak tangan Yoga dan berbentuk seperti sepotong besi yang bergerak dengan cepatnya.
Deeeb...! Sinar merah itu dihadang oleh telapak tangan Lintang Ayu yang langsung membara kuning. Sinar merah itu padam seketika tanpa hadirkan ledakan. Sedangkan sinar kuningnya Lintang Ayu tadi telah membentur sebongkah batu sebesar kerbau, lalu batu itu pun menjadi kristal bening warna kuning. Kejap berikutnya hancur remuk tak sedikit pun ada sisa secuil. Semuanya menjadi serbuk pasir kuning yang menggunung di tempat batu tersebut tadi berada.
Pendekar Rajawali Merah sempat merasa kagum melihat Lintang Ayu mampu menahan pukulan sinar merahnya. Perempuan itu hanya sunggingkan senyum sinis ketika Yoga berkata, "Hebat juga ilmumu! Tak sia-sia kau berguru kepada..."
"Eyang Jubah Peri tak pernah membekali muridnya dengan ilmu serendah ilmu-ilmunya aliran Rajawali!" sahut Lintang Ayu, membuat Yoga semakin lebih kuat menekan luapan murkanya.
"Tunggu sebentar. Sekarang baru kuingat bahwa Jubah Peri bukan memiliki murid kau saja, tapi ada satu murid yang kukenal dekat, walau sekarang sudah tiada. Murid itu bernama Kencana Ratih!"
Lintang Ayu gerakkan matanya sedikit terperanjat lebar. Tapi sorot pandangan matanya kian tajam. Ia berkata dengan nada tetap sedingin balok-balok es dari kutub utara, "Kencana Ratih adalah adik angkatku!"
"Oo..?!" Yoga kaget dan segera berkerut dahinya.
"Omong kosong kalau kau kenal dengan Kencana Ratih yang sudah lama tak pernah jumpa denganku."
"Aku memang kenal dia. Aku bersahabat dengannya dan sama-sama menghancurkan Gua Bidadari dengannya, mengambil bunga Teratai Hitam dengannya, dan... dan dia mencintai ku, namun terbunuh oleh seseorang di tengah hutan!"
"Omong kosong!" bentak Lintang Ayu. "Kencana Ratih belum meninggal. Aku tak percaya dia terbunuh di tengah hutan, karena dia punya jurus 'Candera Wungu' yang sangat berbahaya itu!"
Lintang Ayu tampak gundah hatinya, antara percaya dan tidak. Padahal Kencana Ratih memang telah tewas di tangan Mahligai karena memperebutkan Yoga, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Prasasti Tonggak Keramat").
Maka, Yoga pun berkata, "Kalau tak percaya, aku bisa mengantarmu untuk temui makamnya, karena aku sendiri yang memakamkan jenazahnya. Dan... aku merasa kehilangan sesuatu yang amat ku sayangi selama ini," ucap Yoga dengan melemah pada akhir katanya.
Lintang Ayu pandangi wajah Yoga tiada berkedip, dan ia temukan segumpal kesedihan di wajah tampan itu. Maka ia menjadi percaya dengan keterangan Pendekar Rajawali Merah itu, sehingga ia pun ikut menjadi berwajah duka, yang kemudian segera berkata,
"Aku harus temui Guru untuk laporkan hal ini! Ku tunda, urusanku denganmu, tapi ingat... aku akan kembali lagi untuk menantang aliran Rajawali dan membunuh satu muridnya berperilaku liar itu!"
Wuuut...! Lintang Ayu cepat sentakkan kaki dan melesat pergi seperti kilatan cahaya jingga yang melesat ke suatu tempat. Kini tinggallah Yoga sendirian dalam ketermenungannya memandangi arah ke-pergian Lintang Ayu. Namun otak dan hati Yoga memperdengarkan keluh bagi dirinya sendiri tentang sikap dan tindakan Lili yang benar-benar memalukan aliran Rajawali itu. Yoga harus lakukan sesuatu untuk mem-perbaiki nama aliran Rajawali dan mengharumkan kembali nama mendiang gurunya agar tak tercemar di mata dunia persilatan.
"Aku akan datang sendiri ke Gua Rama tanpa si Tua Usil dan Bocah Bodoh! Akan ku bongkar gua itu dan kubuktikan sendiri kebenaran apa sesungguhnya yang ada di dalam gua tersebut! Mungkin Lili justru menyimpan Prabu di dalam gua itu! Jahanaaam...!" geram Yoga sambil genggamkan kedua tangan kuat-kuat, dan gigi pun menggeletuk bersama mata yang menyipit dendam.
LIMA
PERJALANAN menuju Bukit Rama tempat di mana Lili masuk ke dalam guanya itu, ternyata mengalami hambatan yang membuat tujuan tersebut tertunda. Hambatan itu timbul akibat Yoga melihat sekelebat bayangan manusia berlari menembus kerimbunan pohon. Dalam sepintas saja, Yoga dapat kenali bayangan yang berkelebat itu, yang tak lain adalah Anggita; gadis cantik bermata bundar bening dan indah mengagumkan.
Sebenarnya Yoga tidak ingin mempedulikan gadis itu. Tetapi gadis itu tiba-tiba tampak mengendap-endap menuju, balik pohon bersemak-semak. Gerakan yang mencurigakan itu menarik minat ingin tahu bagi Pendekar Rajawali Merah, sehingga ia pun berusaha dekati Anggita pelan-pelan.
Tetapi agaknya gadis bersenjata cambuk maut itu punya telinga yang cukup tajam. Sekalipun Yoga telah rapatkan badan dengan batang pohon dan sembunyi tanpa bernapas, namun Anggita mengetahui ada orang yang mengintai dirinya. Maka, dengan cepat ia mencabut cambuknya dan dilecutkannya ke arah pohon tersebut.
Taaarrr...!
Cambuk itu melilit pada batang pohon tersebut. Tubuh Yoga terjerat. Namun dengan cepat cambuk itu ditarik dalam satu sentakan bertenaga dalam oleh Pendekar Rajawali Merah. Wuuut...! Dan tubuh Anggita terbawa melayang. Wuuurrss...! Buuhg...! Anggita terbanting tepat di depan Yoga.
Dalam sentakan berikut, cambuk itu terlepas dari tangan Anggita. Gadis itu segera sentakkan kaki kirinya dan melesat bangkit dari keadaan berguling-guling. Anggita tercengang setelah sadari cambuk itu sudah tidak di tangannya, melainkan di tangan Yoga.
Lebih tercengang lagi setelah gadis itu melihat Pendekar Rajawali Merah lecutkan cambuk ke udara bebas satu kali, namun mampu timbulkan suara lecutan tiga kali bersama pancaran sinar biru berpendar-pendar bagaikan petir menyambar ke sana-sini.
Taaar...! Blar, blar, blar...!
Tiga pohon pun tumbang secara bergantian. Kraaak...! Brrrukk! Daun-daun berguguran, hingga ada satu pohon yang kehilangan banyak daun, tinggal tersisa antara empat atau lima daun. Padahal Anggita tak pernah tahu bahwa senjata cambuk mautnya itu mampu lepaskan pukulan sedahsyat itu. Karenanya, Anggita diam terpaku di tempat menyaksikan daun-daun beterbangan karena dihembus angin yang datang dengan kencang setelah terjadi ledakan tiga kali dari gerakan cambuk yang dilecutkan hanya satu kali tadi.
Yoga segera berkata setelah keadaan menjadi tenang, "Kalau aku mau membunuhmu, alangkah mudahnya saat ini?! Kau bisa kubuat seperti tiga batang pohon itu. Mungkin tubuhmu akan menjadi tiga bagian jika masih tetap ingin menyerangku!"
Gadis cantik berhidung mancung itu menahan rasa malu. Tapi matanya kini menatap lekat ke wajah Yoga dan lama-lama mata garang itu berubah menjadi redup serta lembut. Ia pun segera berkata, "Kalau kau ingin membunuhku dengan senjataku itu, lakukanlah!"
Cambuk tersebut justru dilemparkan ke arah Anggita dan gadis itu segera menangkapnya. Pada waktu itu matanya kian terpukau melihat senyuman Yoga semakin mekar indah dan berkata, "Aku tak sejahat dugaanmu! Hanya perlu kau ketahui saja, aku bisa menjadikan ilalang ini sebagai cambuk yang lebih tajam dari cambuk mu, yang lebih alot dari senjatamu itu!" seraya Yoga mencabut sebatang daun ilalang. Ilalang itu segera dimainkan dengan jarinya, diputar-putar dengan pandangan mata tertuju pada bola mata Anggita yang punya bulu mata lentik itu.
Gadis itu tak tahan menerima tatapan mata Yoga. Ia alihkan pandangan matanya sambil menghela napas, kemudian menggulung cambuknya menjadi sebuah lingkaran susun, dan ia pun berkata, "Kau telah menghambat pengejaran ku."
"Maaf, aku sebenarnya ingin tahu apa yang kau dekati di balik gugusan batu itu. Tapi tahu-tahu kau menyerangku."
"Apakah kau terluka?"
"Tidak."
"Syukurlah," Anggita manggut-manggut sambil melangkah ke bawah pohon yang tadi digunakan bersembunyi oleh Yoga. Matanya menatap ke bebatuan yang dibaliknya mempunyai jalan menuruni lembah.
"Mereka pasti telah lari mendengar lecutan cambuk mu tadi," kata Anggita tanpa memandang Yoga.
"Siapa yang kau maksud?"
"Lili dan seorang pemuda yang kudengar dipanggilnya dengan nama Prabu Anom!"
"Lili...?!" Yoga terperanjat dan hilang keramahan serta keceriaannya seketika itu juga. Ia dekati Anggita dan berkata, "Jadi, kau melihat Lili dan Prabu?!"
"Aku melihat mereka berdua sedang berlari kejar-kejaran penuh tawa ceria. Aku mengikutinya, baru saja berusaha menyusulnya, tapi kehadiranmu telah menggangguku dan... mungkin ia sudah lari bersama Prabu Anom, entah ke arah mana."
Pendekar Rajawali Merah menyimpan sesal. Ia bergegas dekati gugusan batu itu, memandang ke arah lembah, namun tak melihat gerakan manusia di sana. Padahal ia ingin sekali pergoki Lili bersama Prabu, sehingga ia bisa punya kepastian dalam hatinya tentang sikap Lili sebenarnya.
Anggita mendekati Yoga yang jadi termenung di samping gugusan batu tersebut. Lalu, gadis itu perdengarkan suara dengan lembut, "Apakah kau masih mencintai gadis itu?"
"Aku tak tahu. Yang ku tahu, dia telah memalukan aliran Rajawali, mencoreng-moreng wajahku di depan orang-orang seperti kamu, dan merusak nama baik guru-guru kami. Kalau memang aku bisa pergoki dia berbuat tak senonoh atau bertindak kejam terhadap seseorang, aku akan punya perhitungan sendiri dengannya."
"Kau akan membunuhnya?"
"Mungkin," jawab Yoga pelan, itu pun setelah ia terbungkam beberapa saat.
Lalu, Anggita sengaja berdiri agak ke depan Yoga supaya bisa pandangi wajah pemuda tampan itu dari depan, lalu bertanya, "Kau tak menyesal apabila kau berhasil membunuhnya?"
"Yang ku sesali, mengapa ia harus berbuat begitu? Kalau mendiang guru kami bisa bangkit kembali, pasti guru kami yang akan pancung leher Lili tanpa ampun lagi."
Anggita diam termenung dengan mata tetap memandang ke arah jauh, dan membiarkan angin lembah menghembus rambutnya hingga poni di keningnya menjadi rusak, namun justru menambah manis wajahnya. Anggita berkata dengan suara pelan, "Kalau aku menjadi kau, aku akan tinggalkan gadis itu dan mencari gadis lain!"
"Aku tidak pikirkan gadis lain, tapi pikirkan bagaimana caranya supaya aliran silat Rajawali ini tidak jatuh di mata dunia persilatan. Guru selalu wanti-wanti padaku agar jaga nama baik aliran Rajawali dengan sikap dan tutur kata. Kalau begini... aku malu sekali muncul di depan para tokoh dunia persilatan, sebab mereka akan mengecamku, setidaknya akan menilaiku bersikap rusak seperti Lili."
Dalam hati Anggita terucap kata, "Kasihan pemuda tampan ini. Dia ternyata tidak bermaksud melindungi Lili, namun menjaga nama baik aliran Rajawali-nya. Tak seharusnya aku bermusuhan dengannya. Tak semestinya, Lenggani pun menyerang dia. Ternyata dia justru menjadi korban tindakan Lili, dan menjadi serba salah karena tergencet antara Lili dan korbannya. Hmmm..., kasihan sekali dia."
Pendekar Rajawali Merah segera pandangi Anggita ketika bertanya, "Benarkah Lili bercinta dengan ayahmu?"
"Mungkin kau tak percaya. Tapi kau bisa temui sendiri ayah dan tanyakan kepada ayah. Sejak beliau kehilangan cincin pusakanya, beliau mengupah orang untuk mencari Lili dan membawanya kepadanya. Kini yang menderita adalah ibuku. Ibu sering dikucilkan oleh ayah dan kabar terakhir kudengar, ayah ingin ceraikan ibu! Semua itu gara-gara kehadiran Lili. Ia telah merampas cincin dan kebahagiaan keluargaku."
"Kau mau antarkan aku pada ayahmu? Aku ingin bicara dengan beliau."
"Aku... aku...!" Anggita menjadi ragu untuk mengatakan sesuatu, dan Yoga pun mendesaknya, sehingga Anggita kembali berkata,
"Aku takut kalau orang-orang di desaku menyangka kau adalah kekasihku!"
"Apakah itu membuatmu malu?"
"Jika tidak terjadi dalam kenyataan, aku malu. Tapi jika terjadi dalam kenyataan, aku tak pernah malu mempunyai seorang kekasih seperti dirimu, Pendekar Rajawali Merah."
Yoga tersenyum dan memahami maksud Anggita. Gadis itu agaknya membuka peluang dan siap menerima Yoga dalam hatinya, jika Yoga ingin rapatkan hati dan cintanya. Tapi Pendekar Rajawali Merah tidak turuti hati kecil Anggita, bahkan ia bersikap seakan kurang paham dengan maksud ucapan Anggita,
"Sebelum Lili berhasil memikat ayahku, dia selalu bicara tentang kekasihnya yang menurutnya bernama Yoga. Keluargaku banyak mendengar tentang nama Yoga, Pendekar Rajawali Merah, dan ciri-ciri sang kekasih itu. Yang tidak ku tahu, apakah benar kau yang bernama Yoga?"
"Pertanyaanmu lucu," jawab Yoga sambil sunggingkan senyum tipis. Mereka melangkah beriringan menuju rumah Anggita. Yoga lanjutkan kata, "Kalau aku mengaku Pendekar Rajawali Merah, tentunya akulah yang bernama Yoga itu."
"Adik perempuanku sering mendengar Lili memuji ketampanan kekasihnya. Setelah melihat sendiri, tak kusangka, Lili punya kekasih yang benar-benar patut dibanggakan."
Yoga hanya tersenyum tipis dan tetap melang-kah memandang sekeliling dengan gerakan matanya yang penuh waspada itu.
Anggita kembali perdengarkan suaranya, "Sayang dia tidak mau merawat cintanya dengan kemurnian dan ketulusan hati. Akibatnya, sang kekasih jadi kecewa, dan mungkin dalam waktu dekat akan tinggalkan dirinya."
Yoga segera alihkan percakapan supaya tidak ke masalah cinta, "Bagaimana Lili bisa dekat dengan keluargamu?"
"Dia berhasil kalahkan Sekutu Rampok Laknat, yang setiap sebulan sekali mengganggu warga desa kami. Keberhasilannya itu menarik simpati keluargaku, sehingga ia tinggal di rumah keluargaku selama satu minggu lebih. Itulah sebabnya ia bisa dekat dengan keluargaku, terutama dengan ayahku."
"Selama seminggu lebih itu ia tidak pergi-pergi dari rumahmu?"
"Menurut penjelasan adik perempuanku, ia sering pergi, tapi bila malam tiba; ia pulang ke rumahku. Karena aku belakangan ini sering tinggal di perguruan, jadi aku tak sempat jumpa dia. Hanya diberi tahu ciri-cirinya; pakaian merah, pedang di punggung berwarna perak yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua burung rajawali saling bertolak belakang dan sebagainya. Lalu, tadi kulihat wajahnya yang memang cantik itu. Dua kali aku melihatnya namun selalu gagal menangkapnya."
Sebongkah batu menggelinding dari atas lembah. Arahnya menuju tubuh Pendekar Rajawali Merah. Suara gemuruhnya terdengar sehingga dengan cepat Yoga berbalik arah. Melihat gerakan batu besar ingin menggilasnya, cepat-cepat Yoga sentakkan tangan buntungnya itu dan dari balik kain lengan baju mele-satlah sinar merah yang menghantam batu tersebut.
Blaaar...! Batu itu pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Lalu ia memandang sekeliling yang tampak sepi, demikian pula halnya yang dilakukan oleh Anggita, memandang penuh waspada.
"Mungkin batu itu menggelinding sendiri di luar kesengajaan seseorang," kata Anggita.
"Baiklah, kita anggap saja begitu! Tapi firasatku mengatakan, ada seseorang yang ingin mencelakaiku."
Kira-kira mendapat sepuluh langkah lebih sedikit, perjalanan mereka menjadi terhenti oleh gerakan pohon yang tumbang tepat di depan mereka. Mereka pun cepat melompat mundur dan pohon itu jatuh lima langkah di depan mereka.
Brrruk...!
"Tak mungkin pohon itu tumbang sendiri. Pasti ada yang menumbangkannya," bisik Yoga kepada Anggita, gadis itu diam saja namun matanya semakin menyelidik sekeliling mereka.
Kejap berikutnya, mereka mendengar suara seruling mengalun dengan lembut. Bunyi seruling itu mengejutkan Anggita, lalu ia cepat bergumam dalam ketegangan,
"Aji Seta...?!"
Yoga mendengar, lalu bertanya, "Apa itu Aji Seta?"
"Nama seorang pemuda yang selalu mengejar-ngejar ku karena dia mencintai ku. Cepat tinggalkan tempat ini!"
"Mengapa harus pergi?"
"Aku tak ingin bertemu dengannya. Dan suara seruling itu akan mempengaruhi kita untuk lakukan bunuh diri, atau saling bermusuhan, saling bunuh di antara kita berdua! Ia mempunyai ilmu seruling yang cukup tinggi."
Yoga tetap kelihatan kalem, bahkan ia dekati suara seruling itu beberapa langkah ke depan, kemudian ia tarik napas dalam-dalam. dan dihembuskan melalui hidung. Wuuuts...! Dan tiba-tiba badai pun datang. Dedaunan terhempas hingga tumbangkan pohon.
Suara seruling lenyap seketika. Gemuruh angin badai mengguncang bumi. Kejap berikut, angin badai itu berhenti. Suasana menjadi sunyi, Anggita masih tertegun bengong karena terpukau melihat datangnya angin badai dari lubang hidung Yoga, ia tak tahu, Yoga telah gunakan jurus Badai Petir' untuk menguji ketinggian ilmu si peniup seruling itu.
"Jika ia berilmu tinggi, ia akan mati berkeping-keping di tempat yang jauh karena terhempas badai. jika ilmunya masih di bawah ilmuku, ia tetap selamat!" bisik Yoga kepada Anggita.
Anggita hanya mengangguk, tapi hatinya berkata, "Pemuda ini punya ilmu macam-macam rupanya. Dan ilmunya itu bukan ilmu yang ringan. Mungkin satu-satunya ilmu ringannya adalah yang dilepaskan untuk melumpuhkan aku dan Lenggani tempo hari. Ilmu itu hanya membuatku lemas beberapa saat, seakan menciptakan peluang baginya untuk melarikan diri. Setelah beberapa saat toh aku dan Lenggani kembali segar, tidak merasa mual, pusing, dan lemas lagi. Sungguh mengagumkan pendekar tampan ini. Aku sangat terkesan oleh ketenangan sikapnya dan tutur katanya yang tegas namun tidak menusuk hati itu."
Anggita setuju untuk lanjutkan langkah. Namun rencana itu tertunda oleh kemunculan seorang pemuda berkumis tipis dan mengenakan pakaian hijau tua. Di tangan pemuda itu tampak sebatang seruling warna hitam. Yoga dapat menebak, bahwa pemuda berikat kepala merah itu pasti lelaki yang bernama Aji Seta. Dugaan Yoga terbukti benar, karena Anggita cepat menyapa sinis pemuda itu,
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Aji Seta?"
Senyum sinis tersungging di bibir pemuda yang lumayan tampan itu. Pakaiannya sedikit kotor, itu pertanda ia mungkin tadi terhempas sebentar dan jatuh ke tanah lembab ketika angin badai datang menghembusnya. Keadaannya tetap sehat tanpa luka sedikit pun. Ini menandakan ilmu pemuda itu tidak lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Yoga.
"Anggita, aku hanya ingin menemuimu karena rasa rindu yang sudah lama tak terbendung lagi di dalam hati," kata Aji Seta sambil melirik sinis kepada Yoga, seakan sengaja membuat panas hati Yoga. Namun Yoga tetap tenang dan tidak tunjukkan sikap bermusuhan.
Anggita segera berkata, "Simpanlah rayuanmu itu untuk gadis lain, Aji Seta. Tak akan berlaku untuk diriku, karena aku sudah punya kekasih sendiri. Yoga inilah kekasihku!" Anggita sengaja bergelendot di pundak kiri Yoga.
Sebenarnya Yoga ingin membantah kata-kata itu, tapi ia segera sadar akan maksud hati Anggita. Gadis itu ingin mengelak dari kejaran cinta Aji Seta dengan memperkenalkan Yoga sebagai kekasihnya. Tapi Anggita tidak berpikir bahwa hal itu akan menimbulkan permusuhan di dalam hati Aji Seta dan Yoga. Padahal Yoga sendiri sebenarnya tidak ingin ikut campur masalah pribadi mereka berdua.
Aji Seta semakin tersenyum sinis, dan matanya tertuju pada Yoga, lalu berkata dengan ketus, "Benarkah kau kekasih Anggita?"
"Kau bisa tanyakan lagi kepada Anggita," jawab Yoga.
"Apakah kau punya tiga nyawa sehingga berani mencintai Anggita?"
"Semula ada sepuluh nyawa, tapi sekarang tinggal satu!" jawab Yoga dengan santai, seakan sengaja memancing kemarahan Aji Seta, pemuda itu memukul-mukulkan serulingnya ke tangan kiri sambil manggut-manggut dan berlagak meremehkan Yoga. Lalu, terdengar lagi Aji Seta berkata ketus,
"Aku tahu tangan kirimu buntung. Lengan bajumu yang kiri kosong dan tertiup angin. Sejujurnya kukatakan padamu, Anggita tidak pantas mempunyai kekasih seekor kerbau buntung. Jadi saranku, jangan lagi dekati Anggita dan...."
"Cukup, Aji Seta!" bentak Anggita. "Kau akan mati berdiri jika ucapanmu itu masih kau teruskan!"
Aji Seta justru tertawa, "Ha, ha, ha...! Mana bisa orang buntung itu membuatku mati berdiri, Anggita?! Jika kau tidak menolongnya, aku mampu tumbangkan dia dalam satu jurus saja!"
Anggita berkata kepada Yoga, "Jangan layani dia! Mari kita pergi secepatnya, Yoga!"
"Aku tak ingin mengecewakan dia, Anggita. Biar saja aku melayani tantangannya, supaya hatinya puas!"
Aji Seta berseru, "Jangan berlagak menjadi dewa penolong di depan mata Anggita, Kerbau Buntung! Ku buat malu kau sekarang juga, heaaat...!"
Aji Seta sentakkan seruling hitamnya yang pendek itu ke depan. Wuuut...! Seberkas sinar melesat warna kuning, menghantam tubuh Pendekar Rajawali Merah. Hanya saja, sinar itu datang terlambat, karena Yoga tahu-tahu seperti menghilang lenyap, karena ia gunakan jurus 'Petir Selaksa' yang mampu bergerak cepat menyerang lawan.
Zlaaap...! Baaahg...! Krek...!
Tahu-tahu Yoga sudah berada di belakang Aji Seta. Pemuda itu menoleh ke belakang, namun ia segera jatuh berlutut karena tulang iganya terasa patah satu. Aji Seta tak melihat gerakan Yoga menghantam tulang iganya. Ia hanya merasakan satu pukulan cepat yang mengagetkan, seperti dihembus angin besar. Ternyata pukulan itu telah membuat iga Aji Seta patah satu.
"Uuhg...!" Aji Seta menyeringai kesakitan. Anggita memandang dengan heran dan segera sadar apa yang telah dilakukan Pendekar Rajawali Merah itu. Dalam hati, Anggita kembali mencatat sesuatu yang mengagumkan dari Pendekar Rajawali Merah. Anggita sendiri tak sangka kalau Yoga bisa bergerak secepat itu dan tahu-tahu telah lenyap dari samping kanannya.
"Satu jurus telah kita lakukan. Apakah kau anggap telah berhasil tumbangkan aku?"
"Jahanam kau! Hiaaah..!"
Clak, wuuus...! Dari ujung seruling keluar pisau sepanjang satu jengkal. Pisau itu segera dikibaskan untuk merobek dada Yoga. Namun oleh Yoga tangan Aji Seta berhasil ditangkis dengan sekelebatan lengannya, dan cepat-cepat tangan Yoga menguncup kemudian menghantam ke dada kanan Aji Seta, dekat pangkal lengannya.
Dees.
"Aaah...!" Jurus 'Rajawali Liar' meremukkan tulang dada kanan Aji Seta. Sakitnya bukan main. Aji Seta pejamkan mata kuat-kuat, tapi tiba-tiba ia harus membuka mata dalam satu gerakan cepat, karena dadanya terasa panas mendapat sentakan tangan Yoga.
Beehg...! Dan akhirnya, Aji Seta muntahkan darah segar dari mulutnya, sambil sempoyongan ke belakang. Ia jatuh terkapar sebentar, lalu berusaha bangkit dengan menggeliat pelan-pelan. Nafasnya dikendalikan, matanya memandang Yoga penuh dendam. Dan ketika Yoga ingin lepaskan satu pukulan lagi, Aji Seta sudah lebih dulu larikan diri tanpa pamit kepada siapa pun.
Wuuus...!
Anggita hanya pandangi kepergian Aji Seta dengan senyum jumawa. Sebaris kata diucapkannya, "Selamat tinggal, Aji Seta! Kurasa kau akan jumpa aku di neraka, pada suatu saat nanti!"
"Kalau dia bisa salurkan hawa murninya, dia tidak akan mati. Luka dalamnya akan tertolong," kata Yoga sambil memandang kearah larinya Aji Seta.
Anggita cepat menoleh ke arah Yoga, lalu berkata sambil tersenyum malu, "Maafkan atas kelancanganku tadi yang telah mengaku-aku sebagai kekasihmu."
Yoga tersenyum dan menjawab, "Aku tahu maksud mu, kau tidak sungguh-sungguh dalam ucapanmu. Kau tak perlu minta maaf, Anggita. Dan... sebaiknya lupakan saja soal itu, kita harus lekas sampai ke rumahmu sebelum malam tiba. Aku ingin bicara dengan ayahmu!"
Anggita tidak bisa menolak. Perjalanan pun dilanjutkan. Mereka tiba di rumah Anggita ketika siang hampir punah dan berganti petang. Tapi kedatangan mereka agaknya sudah terlambat. Tangis dan jeritan terdengar di rumah Lurah Prawiba. Kejap berikutnya Yoga dapat keterangan dari pihak keluarga Anggita, bahwa ayah Anggita telah mati bunuh diri karena malu pada keluarga sehubungan dengan percintaannya dengan Lili.
Namun hati Pendekar Rajawali Merah berkata lain, "Kurasa bukan karena malu, tapi karena rindu! Nasib Ki Lurah Prawiba tak jauh berbeda dengan Raden Balelo; lebih baik mati daripada kehilangan Lili!"
* * *
ENAM
MASIH lumayan nasib Ki Lurah Prawiba, ia bisa langsung mati seandainya ia gantung diri. Tapi kematian Ki Lurah Prawiba bukan dengan cara gantung diri, melainkan dengan cara menghujamkan kerisnya tepat mengenai jantung, Sedangkan Raden Balelo, selalu saja gagal dalam usahanya bunuh diri. Padahal ia sudah dibantu oleh pengemis Paku Juling, yang selalu melayaninya, mengerjakan apa perintah sang Raden itu.Siang itu, Raden Balelo duduk termenung berwajah murung di bawah bongkahan batu besar, di kaki sebuah bukit. Batu besar itu membentuk bayangan yang bisa digunakan untuk meneduh. Sedangkan pohon-pohon kurus di sekelilingnya mengipas Raden Balelo hingga merasa lebih teduh lagi. Angin berhembus bagai membawa sejuta kesejukan. Tapi kesejukan itu tidak bisa meresap di hati Raden Balelo yang bernasib sial terus.
Kemarin, ia sudah lakukan saran Paku Juling agar Raden Balelo bunuh diri dengan cara melompat dari tebing karang yang paling tinggi di sekitar pantai dekat-dekat situ. Raden Balelo lakukan lompatan dengan kepala ke bawah. Tapi ia jatuh tidak membentur batu karang yang ada di bawah tebing itu. Ia langsung terbenam di perairan laut.
Dan repotnya secara naluriah tangan dan kaki Raden Balelo bergerak-gerak mencapai tepian karang, ia lupa bahwa dirinya bisa berenang, sehingga mati karena terhantam karang ti-dak, mati karena tenggelam pun tidak.
"Tiga kali mencoba gantung diri selalu gagal," renungnya dengan hati sedih. "Loncat dari pohon, jatuhnya malah bikin kaki keseleo saja, belum juga mati. Cari pisau untuk bunuh diri, tak ada yang dipinjami pisau. Memotong urat nadi pakai kulit bambu, bukannya mati kehabisan darah malah jadi korengan begini. Uuh...! Sial amat nasibku, gagal bercinta, gagal pula bunuh diri. Tapi, mudah-mudahan usaha yang satu ini berhasil...."
Baru saja Raden Balelo berpikir demikian, dari kejauhan sudah tampak gerakan lari Paku Juling yang tampak terburu-buru menghampiri ke arahnya itu. Raden Balelo memandang dengan penuh harap. Ia tak sabar dan segera menyambut kedatangan Paku Juling dengan menyongsongnya dalam jarak beberapa langkah.
"Bagaimana? Berhasil?" serunya sebelum Paku Juling lebih dekat lagi.
Pengemis itu angkat satu tangan, tunjukkan sebuah guci kecil yang tergenggam di tangannya. "Saya berhasil, Raden...!" kata Paku Juling sambil terengah-engah.
Raden Balelo berseri-seri walau masih dirundung duka karena cinta. Ia segera menerima guci tersebut dari Paku Juling yang berkata,
"Racun ini saya curi dari rumah Tabib Maut. Sedikit saja sudah dapat mematikan makhluk apa pun, apalagi jika diminum segucinya, eh... maksud saya, apalagi jika diminum satu guci penuh begitu, pasti cepat mematikan detak jantung, Raden!"
Pemuda berpipi sedikit bengkak itu tampak lebih gembira lagi. Ia menepuk-nepuk punggung Paku Juling seraya berkata, "Hebat. Hebat. Tak sia-sia aku punya pelayan sehebat kamu, Paku Juling. Racun ini akan kutenggak sampai habis, biar nyawaku cepat melayang! Terima kasih atas bantuanmu, Paku Juling."
"Sama-sama, Raden."
"Dan terimalah satu lagi cincin ku ini sebagai hadiah istimewa bagi keberhasilanmu mencuri racun ganas dari seorang tabib!"
Cincin yang tempo hari mau diberikan kepada Yoga itu, sekarang diserahkan kepada Paku Juling. Tentu saja pengemis itu semakin girang menerimanya, dan tak lupa ucapkan terima kasih berkali-kali.
"Sekarang," kata Raden Balelo, "Sebelum meminum racun ganas ini, aku ingin berpesan padamu, Paku Juling."
"Pesan apa, Raden? Pesan nasi bungkus, atau ketan kelapa?"
"Bukan pesan makanan! Aku hanya ingin berpesan padamu, bahwa kelak, kalau aku sudah tidak bernyawa, jangan kau bawa mayatku kepada pihak keluargaku, tapi makamkan di atas bukit itu...!" sambil Raden Balelo menuding bukit di belakangnya.
"O, iya, iya... saya akan kerjakan, Raden."
"Berilah tulisan pada batu nisan ku yang berbunyi: 'Raden Balelo, mati bunuh diri dengan meminum racun, akibat kecewa dan sakit hati terhadap cintanya yang di permainkan oleh Lili, si Pendekar Rajawali Putih yang mendusta itu.' Nah, tulis begitu, ya?!"
"Baik. Saya ingat bunyi tulisan itu."
Raden Balelo membuka tutup guci tersebut. Mencium bau cairan keruh sedikit kehitam-hitaman yang ada di dalam guci tersebut. Ia menyeringai jijik, berkedip-kedip matanya, lalu berkata, "Baunya tidak sesedap bau teh wangi Jabalika."
"Yah, namanya racun ganas tentu baunya tak bisa wangi, Raden."
"Akan kuminum racun ini! Akan kuminum, sebagai tanda aku sangat cinta kepada Lili. Kaulah saksinya, ya Paku Juling?"
"Ya, Raden...."
"Nah, selamat tinggal, selamat berpisah, Paku Juling. Sekali lagi kuucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu selama ini."
"Selamat jalan, Raden," kata Paku Juling dengan nada menyedihkan. "Jika sudah sampai sana, kalau bisa kirim surat pada saya, Raden. Dan hati-hati, di sana jangan jatuh cinta lagi...."
"Ya, ya...," jawab Raden Balelo sambil menahan duka dihati. Dengan tekad membulat, dengan tangis perpisahan tersimpan di dada dan membuat matanya merah, Raden Balelo akhirnya menenggak habis cairan racun dalam guci tersebut. Glek, glek, glek...! Tak sedikit pun disisakan untuk Paku Juling.
Hhgggrr...! Raden Balelo bersendawa, bagaikan orang kekenyangan sehabis makan. Matanya berkedip-kedip sambil masih tetap berdiri. Paku Juling memandanginya dengan wajah tegang. Raden Balelo mengerjap-ngerjapkan matanya, memandang ke arah jauh. Ia menunggu tubuhnya tumbang ke tanah, namun sampai beberapa helaan napas masih saja tetap berdiri.
"Ba... bagai... bagaimana rasanya, Raden?"
"Aku merasa bagaikan terbang, Paku Juling."
"O, itu karena di sini memang banyak angin."
"Wajahmu... wajahmu mulai menyeramkan, Paku Juling."
"Terima kasih, Raden. Ini memang sejak lahir sudah menyeramkan."
Raden Balelo melangkah dekati batu besar itu dan punggungnya bersandar dengan tangan masih pegangi guci tersebut. Ia bertanya, "Apakah wajahku sudah mulai pucat?"
"Sejak kemarin memang sudah pucat, Raden. Karena Raden tidak doyan makan apa-apa."
"Aneh. Ternyata rasanya orang mau mati terkena racun ganas seperti ini, Paku Juling?"
"Melayang-layang, begitu?"
"Bukan. Rasanya... lapar sekali dan... dan... oh, aku seperti melihat malaikat pencabut nyawa datang mendekatiku, Paku Juling."
Sambil menunduk tak tega, Paku Juling berkata, "Itu berarti ajal Raden sudah dekat Bersiaplah, Raden...!"
"Malaikat itu berlari kemari, badannya kurus, tua, dan kulitnya hitam. Ia berwajah menyeramkan dengan rambut pelontos, kumis dan jenggotnya pendek, tapi berwarna putih.,.. Menyeramkan sekali."
Mendengar celotehan itu, Paku Juling terkejut. Kemudian ia segera berpaling ke belakang, dan melihat seorang lelaki tua berbadan kurus datang mendekati mereka. Seketika itu wajah Paku Juling terperanjat tegang dan mulutnya gumamkan kata, "Celaka...! Dia mengejar sampai kemari?! Cepat Juga larinya orang itu?!"
Raden Balelo berkata dengan nada mengambang, "Paku Juling... rasa-rasanya malaikat itu semakin dekat!"
"Raden... yang datang kemari bukan malaikat, tapi Tabib Maut pemilik racun itu."
"Hah...?!" Raden Balelo langsung tersentak kaget dan melepaskan diri dari sandarannya.
Kini di hadapannya telah berdiri seorang lelaki kurus, jangkung, bermata cekung, dan berjubah abu-abu. Lelaki itu adalah Tabib Maut yang memiliki guci tersebut. Begitu menatap Paku Juling, ia langsung menamparnya dengan keras. Plaaak...! Paku Juling sengaja tidak menghindar karena merasa bersalah.
"Pencuri busuk!" caci Tabib Maut. "Mana guci yang kau curi tadi?"
"Sud... sudah... sudah diminum oleh Raden Balelo, Ki Tabib!"
Tabib Maut tersentak kaget. Makin terkejut lagi setelah ia merampas guci dari tangan Raden Balelo yang ternyata sudah kosong tanpa isi lagi itu. "Celaka! Setan kau...! Kau telah meminum obatku ini, hah?!" bentak Tabib Maut kepada Raden Balelo.
"Mmma... maaf Ki Tabib Maut, semua isi guci sudah kuminum, karena aku ingin lekas mati. Aku sakit hati dan...."
Plaaak...! Tamparan kuat mendarat di pipi Raden Balelo. Tabib Maut membentak, "Bocah rakus! Bocah tolol! Kalau mau mati minumlah racun! Jangan minum obat penambah nafsu makan begini!"
"Hahhh...?!" Raden Balelo terkejut. "Jadi yang kuminum bukan racun ganas, Ki Tabib?!"
"Gundulmu itu yang ganas!" gerutu Tabib Maut. "Yang kau minum ini ramuan obat penambah nafsu makan, alias obat penggemuk badan. Aku sendiri yang ingin meminumnya! Tapi... sial! Sekarang sudah kau minum habis begini, apakah aku harus menelan gucinya?!"
"Heh, he, he, he... kalau begitu aku salah ambil. Bukan racun yang kuambil, tapi obat penggemuk badan. He, he, he, he...!"
Buuhg...! Tabib Maut menendang perut Paku Juling. Tubuh pengemis bertongkat pendek itu terpental tiga langkah ke belakang. Jatuh terduduk di sana. Sedangkan Raden Balelo menjadi tegang dan ketakutan. Ia gemetar dari kepala sampai kaki, karena Tabib Maut memandangnya dengan tajam dan lebih menyeramkan. Kemudian Tabib Maut yang kurus kering itu menggeram dalam ucapannya,
"Bayar obat ini! Bayar ganti kerugian ini, atau kupatahkan batang lehermu sampai mati, hah?!"
"Eh, hmmm... jangan! Akan... akan kubayar...!"
"Lekas bayar!"
"Hmmm... tapi... tapi aku tidak membawa uang. Bagaimana kalau ku tukar dengan cincin ku ini?"
"Cincin...?! Hmmm... ya, boleh juga! Mana..., lekas copot!"
Raden Balelo akhirnya garuk-garuk kepala. Cincin yang tinggal satu di jari kanannya itu kini sudah lenyap bersama perginya Tabib Maut. Hati Raden Balelo menjadi bertambah jengkel. Maka dibentaknya Paku Juling itu dengan suara keras hingga air liurnya muncrat ke wajah pengemis tua tersebut,
"Bodoh! Tolol! Disuruh mencuri racun, yang dicuri obat penambah nafsu makan! Dasar budek kupingmu, ya?! Mana cincinnya! Kembalikan yang satu tadi!"
"Maaf, Raden. Saya terburu-buru sehingga salah ambil."
"Tiada maaf bagimu!" sentak Raden Balelo sambil kembali kenakan cincinnya. "Kalau sudah begini bagaimana? Aku jadi lapar sedangkan di sekitar sini tak ada kedai?! Mestinya aku mati, ini malah bingung cari makanan! Dasar bodoh tak ketulungan!"
Terpaksa mereka mencari kedai, menjual cincin untuk makan. Karena ternyata ramuan obat buatan Tabib Maut sungguh mujarab. Raden Balelo sangat lapar. Ketika di kedai, ia makan cukup banyak. Namun sambil makan tetap saja ia menggerutu tiada habisnya. Paku Juling sembunyikan senyum gelinya melihat apa yang di alami oleh Raden Balelo.
Pulang dari kedai, Raden Balelo tetap ajak Paku Juling untuk cari cara terbaik untuk bunuh diri. Sambil melangkah menyusuri sungai bertepian kering tanpa tanaman, mereka bicarakan tentang rencana bunuh diri selanjutnya.
Tetapi, tiba-tiba Raden Balelo tersentak kaget dan hentikan langkah ketika ia melihat seorang gadis cantik berpakaian merah sedang berjalan bergandengan mesra dengan seorang lelaki berpakaian mewah, dari kain beludru kuning kecoklatan, berkesan sebagai orang keturunan bangsawan. Mereka tak lain adalah orang yang dicari-cari Raden Balelo dan yang dicari pula oleh Lintang Ayu.
"Paku Juling...! Kurasa gadis itu adalah Lili! Dia Lili, Paku Juling! Ayo, lekas kejar dia...! Ayo...!" Raden Balelo berlari lebih dulu menaiki tanggul. Paku Juling diam saja. Namun tiba-tiba pengemis itu sudah hentikan langkah Lili dan Prabu Anom. Kejap berikut Raden Balelo tiba di tempat itu.
"Lili...?!" seru Raden Balelo dengan girang. "Lili, ini aku! Raden Balelo! Oh, Lili... aku rindu padamu...!"
Raden Balelo hendak hamburkan pelukan kepada Lili, namun Prabu Anom cepat kelebatkan kakinya dan menendang telak wajah Raden Balelo. Plook...! Raden Balelo jatuh terjengkang. Lili hanya memandang sinis dan menggeram pelan,
"Bocah edan!"
"Kau kenal dia?" tanya Prabu Anom kepada Lili.
"Tidak. Aku tidak mengenal dia. Tapi mungkin dia salah satu orang yang tergila-gila padaku!"
Raden Balelo bangkit dengan mulut berdarah. Ia segera berseru kepada Raden Anom,"Kau merebut kekasihku, hah?! Sekarang kau bertarung saja denganku. Siapa yang menang, dia berhak memiliki gadis itu!"
Lili menarik tangan Prabu Anom, "Tinggalkan dia! Jangan layani celoteh orang gila itu!"
"Hei, tunggu...!" teriak Raden Balelo. "Aku mencintaimu, Lili! Jangan pergi dengan musang itu! Heh...!"
Raden Balelo berusaha menarik pundak Prabu Anom, namun dengan cepat tangannya dicekal, dipelintir hingga Raden Balelo menyeringai kesakitan. Setelah itu, satu tangan Prabu Anom menghantam dada Raden Balelo dengan pukulan keras bertenaga dalam.
Baahg, baaahg, baahg...! Plok...! Plak...! Duuhg...!
Wuuus...! Tubuh Raden Balelo terlempar tinggi dan jauh karena tendangan Prabu Anom. Sudah pasti Raden Balelo luka parah, babak belur dan nyaris tak bisa bernapas lagi. Banyak darah yang keluar dari mulut, hidung, dan telinganya. Namun demikian, sekalipun sudah tak mampu bersuara lagi, Raden Balelo berusaha bangkit dan ingin merebut Lili dari tangan. Prabu Anom.
Serta merta Prabu Anom lepaskan pukulan berbahayanya berupa selarik sinar kuning yang keluar dari telapak tangannya. Wuuutt...! Arahnya ke kepala Raden Balelo. Tetapi dengan gerakan cepat, Paku Juling juga lepaskan pukulan dari telapak tangannya dan keluarlah cahaya putih yang melesat menghantam sinar kuning itu.
Blegaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi karena tabrakan dua sinar bertenaga dalam cukup tinggi itu. Prabu Anom segera memandang tajam pada Paku Juling. Yang dipandang menampakkan sikap beraninya, lalu berkata, "Masih ingat aku, Prabu Anom?!"
"Ya. Kau adalah Ketua Partai Pengemis Liar yang berjuluk Paku Juling! Tapi apa urusanmu dengan ku? Apakah kau ingin membela pemuda gila itu?!"
"Kau masih punya hutang nyawa padaku! Dua tahun yang lalu, kau membunuh Rotan Gledek. Dan perlu kau ketahui, Rotan Gledek adalah adik kandungku sendiri! Sekarang aku menuntut balas padamu, Prabu Anom! Kau harus bisa bunuh aku, jika kau tak ingin kubunuh!"
"Biar kuhadapi dia!" kata Lili dengan lantang.
"Jangan, Lili! Ini urusan pribadi. Aku sanggup hancurkan wajah tuanya itu dan percepat kematiannya, Mundurlah, biar ku tangani dia!"
Lili pun akhirnya melangkah mundur, ambil jarak menjauh agar tak menjadi korban salah sasaran. Prabu Anom bersiap hadapi Paku Juling seraya berkata, "Bersiaplah untuk menyusul adik kandungmu, Paku Juling! Heaaah!"
Paku Juling, pun tak kalah siap. Matanya tiba-tiba berubah menjadi juling, semua manik hitam ada di sudut mata tengah, dekat tulang hidung. Dan ia menarik tongkatnya dari gagang sampai ke bawah. Zuuut! Tongkat itu menjadi besi runcing putih yang berkilauan karena pantulan sinar matahari. Senjata runcing itu dinamakan Paku Dewa.
Dengan menahan sakit, Raden Balelo sempat merasa heran melihat gerakan silat Paku Juling yang sangat cepat dan tangkas itu. Dalam hatinya Raden Balelo berkata; "Ternyata dia orang berilmu tinggi. Kalau marahnya sudah datang, rupanya bisa membuat matanya menjadi juling dan tongkatnya menjadi paku besar yang amat runcing. Pantas dia bernama Paku Juling?"
Prabu Anom mencabut pedang, kemudian bertarunglah dua senjata besi itu dengan sengitnya. Mereka saling tebas dan saling tangkis dan percikan bunga api menyebar ke mana-mana jika kedua senjata itu saling beradu dengan kuat.
Trang, trang, trang, trang...! Buuhg, jruub...!
Paku Dewa itu menghujam tembus ke dada Prabu Anom, Tak bisa ditawar lagi, maka Prabu Anom pun roboh tak bernyawa di tangan Paku Juling. Sedangkan gadis cantik itu telah lenyap sejak ia tahu Prabu Anom terdesak dan bakal menemui ajalnya.
"Ke mana larinya gadis itu tadi?" pikir Paku Juling sambil memandang sekelilingnya.
* * *
TUJUH
PULANG dari memberitahukan tentang kematian Kencana Ratih kepada gurunya, Lintang Ayu temukan mayat Prabu Anom terkapar di atas tanggul sungai. Lintang Ayu periksa jenazah adiknya, lalu ia temukan lubang hangus di dada Prabu Anom.
Hati perempuan cantik bersama burung beonya itu bagai disekap seribu jarum-jarum tajam. Sakit, namun mengepulkan asap dendam yang tak mudah dilupakan. Lintang Ayu diam beberapa saat lamanya karena menahan tangis yang ingin meledak melihat kematian adiknya. Ia berjuang keras mengalahkan tangis, dan akhirnya berhasil. Sekalipun demikian, dada yang terasa sakit dan sesak itu tak dapat membuat pernapasan Lintang Ayu menjadi longgar.
Berulang kali ia menarik napas dan berkata dalam hatinya, "Tunggu saatnya! Tunggu saatnya tiba!"
Esok hari adalah hari perkawinan Prabu Anom dengan Putri Giri Manca. Jelas perkawinan itu akan gagal total. Tapi keadaan Prabu Anom yang tewas itu sedikit menolong martabat keluarganya, karena alasan kegagalan perkawinan itu bisa menggunakan alasan musibah. Hal itu lebih baik daripada mereka harus menerima malu akibat Prabu Anom gagal menikah karena diculik oleh gadis cantik yang memikat hati Prabu Anom.
Sekalipun demikian, dendam di hati Lintang Ayu tak bisa ditawar-tawar lagi. Darahnya yang men-didih memancarkan bayangan seraut wajah cantik milik Pendekar Rajawali Putih. Wajah itulah yang harus tetap diburunya setelah ia memakamkan jenazah adiknya di pemakaman keluarga istana.
Namun sebelum mayat itu diangkat dari dibawanya pulang, seorang pemuda berwajah tampan lewat di dekat tempat itu. Pemuda tersebut mengetahui Lintang Ayu berlutut di samping sesosok mayat, lalu ia pun mendekatinya dengan hati-hati.
Wajah ayu yang dibungkus duka itu segera terangkat pelan-pelan. Matanya menatap pemuda tampan mengenakan baju selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih di dalamnya. Pemuda itu pun menampakkan wajah berkabungnya, sehingga Lintang Ayu merasa dihormati oleh pemuda yang tak lain adalah Yoga itu.
Pelan-pelan Lintang Ayu berdiri dengan mata tetap memandang Yoga. Sinar dendam masih tampak jelas di sorot mata indahnya itu. Yoga tidak melayani sorot mata dendam, melainkan membalas dengan keteduhan. Maka, terdengarlah suara Yoga berkata,
"Jika pemuda ini adalah adikmu yang bernama Prabu Anom, aku turut berkabung atas musibah ini!"
Lintang Ayu perdengarkan suaranya yang dingin, "Ini bukan musibah! Ini sebuah tantangan permusuhan; antara aliran Rajawali dengan murid Jubah Peri!"
"Apakah Lili yang membunuhnya?"
"Siapa lagi kalau bukan dia? Mungkin dia sudah bosan menghisap madu kemesraan adikku, lalu dia membunuhnya karena menganggap adikku barang bekas yang sudah waktunya dibuang! Sungguh keji ternyata gadismu itu!"
Pendekar Rajawali Merah bersabar diri dengan menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata dengan tetap tenang, "Kalau benar dia dan terbukti memang dia, biar kupenggal sendiri kepalanya!"
Lintang Ayu geleng-gelengkan kepalanya sambil matanya menyipit benci, lalu berkata dengan lebih dingin lagi, "Kau tak akan tega melakukannya, karena kau mencintai dia!"
"Aku sudah perhitungkan baik-baik langkahku! Demi menyelamatkan nama harum mendiang guru-guru kami, demi membersihkan aib yang ada dalam aliran Rajawali, ku putuskan untuk memenggal kepala Lili jika benar dia bersalah dalam hal ini."
"Kau akan kehilangan kekasih!"
"Kekasihku bukan orang sesat. Lebih baik kehilangan kekasih daripada harus menderita malu tak berkesudahan."
"Kau akan kesepian!" ucapnya semakin lirih.
"Aku sudah terbiasa hidup tanpa teman. Tak akan kukenal kata kesepian dalam hidupku."
Lintang Ayu terbungkam dengan masih menatap Yoga. Pendekar Rajawali Merah segera berkata, "Biar aku yang menggotong mayat ini sampai ke istanamu. Aku akan temui keluargamu dari menjelaskan perkara yang sebenarnya!"
"Tak perlu," kata Lintang Ayu setelah menghela nafas. "Aku masih sanggup membawa pulang sendiri adikku ini."
"Kau menolak tawaran baikku?"
"Kau tak perlu menghibur hatiku. Dendam tetap dendam. Akan kubalas semua ini setelah usai pemakaman nanti!"
Hati perempuan cantik itu cukup keras. Tak mudah dibujuk dengan kelembutan sikap. Yoga tak mampu melunakkan hati itu, dan ia sendiri butuh waktu selekasnya untuk bisa menemui Lili. Akhirnya ia tidak peduli lagi dengan kekerasan hati Lintang Ayu. Ia cepat-cepat tinggalkan tempat dan berlari menuju Gua Rama.
Ternyata gua itu masih tertutup timbunan batu-batu besar. Sepertinya tak pernah ada seorang pun yang menggeser atau memindahkan batu-batu tersebut. Yoga tahu persis, sebab satu hari setelah Lili masuk ke dalam gua itu, Yoga menjenguk keadaan di sana. Batu-batunya masih tetap dalam susunan seperti saat ini,
"Jika ia keluar dari dalam gua, pasti batu-batu ini akan berubah letaknya;" pikir Yoga. "Tapi jika dia tidak keluar dari dalam gua ini, lantas bagaimana caranya dia bisa berkeliaran di luar gua dan berbuat sekeji itu? Atau, mungkinkah gua itu punya jalan tembus di tempat lain? Rasa-rasanya, sebelum dia masuk dan menggunakan gua ini sebagai tempat menuntut ilmu 'Mata Dewa', aku sudah memeriksa kedalaman gua tersebut. Tak kutemukan lorong yang menuju ke tempat lain. Gua itu buntu. Hanya mempunyai ruangan yang lega saja."
Keraguan selalu menyertai hati Yoga pada saat ia berniat ingin membongkar penutup gua tersebut. Entah apa penyebabnya, sehingga Yoga selalu merasakan ada kekuatan batin yang melarangnya membongkar penutup gua. Barangkali kepekaan firasatnya itulah yang melarangnya. Akibatnya, Yoga menjadi penasaran dan tinggal di depan gua tersebut hingga beberapa hari lamanya. Ia ingin melihat keluar-masuknya Lili di dalam gua tersebut. Namun sampai berhari-hari ia tidak pernah melihat Lili keluar atau masuk ke dalam gua.
Kemunculan Tua Usil dan Bocah Bodoh membuat Yoga terkejut dan segera menemui mereka. Yoga langsung ajukan tanya, "Ada apa?! Seseorang menyerang pondok kita?"
"Tidak, Tuan," jawab Tua Usil.
"Lalu, mengapa kau ke sini menemuiku?"
"Saya kemari bukan untuk temui Tuan Yo, tapi untuk membongkar tumpukan batu ini. Sekarang adalah hari penghabisan; genap empat puluh hari Nona Li ada di dalam gua. Saya harus membukanya!"
"Ooo...?" Yoga manggut-manggut. Ia benar-benar merasa telah menjadi linglung gara-gara masalah tersebut, sampai lupa menghitung hari, lupa mengurus diri hingga tampak sedikit kucel dan lusuh.
"Saya kira Tuan Yo pergi bersama perempuan cantik dan burung beonya itu!" kata Bocah Bodoh.
Yoga sempat terperanjat dan bertanya, "Apakah kau kenal dengan perempuan dan burung beo itu?"
"Terpaksa kenal, Tuan," jawab Bocah Bodoh, sebab sudah tiga kali perempuan cantik itu datang ke pondok mencari Tuan Yo. Ia ingin sekali bertemu dengan Tuan Yo."
"Bukan mencari Lili?"
"Bukan, Tuan. Yang dia cari adalah Tuan Yo."
"Aneh...?!" gumam Yoga sambil termenung sejenak. Ia memang sudah ada lima hari lebih berada di luar gua, menyelidiki Lili, sehingga tak pernah bertemu dengan siapa pun, kecuali dengan sepi. Wajarlah jika seseorang mencarinya. Hanya dengan maksud yang bagai mana orang itu mencarinya, Yoga belum tahu persis.
"Apakah dia marah-marah padamu?" tanya Yoga kepada Bocah Bodoh, sementara Tua Usil mulai mengangkat bebatuan satu-persatu.
"Tidak, Tuan. Perempuan cantik itu datang dengan sikap baik. Tidak membentak-bentak kami, tidak marah kepada kami, hanya sedikit kaku dalam bicaranya. Setiap kami bilang bahwa Tuan Yo belum pulang, maka ia tampak kecewa, sedih, dan akhirnya pulang sendiri setelah merenung lama di bawah pohon buni, tak jauh dari pondok itu!"
"Di bawah pohon buni?" gumam hati Yoga. "Untuk apa dia merenung lama di tempat pertama kali aku bertemu dengannya itu? Ah, aneh sekali Lintang Ayu itu. Tak tahulah apa maunya. Aku tak mau dibuat pusing. Yang penting aku ingin buktikan apakah Lili ada di dalam gua itu atau tidak?!"
Bocah Bodoh ikut membantu mengangkati batu-batu penutup gua. Yoga sengaja tidak ikut membantu, karena matanya mengawasi keadaan sekeliling, kalau-kalau ia temukan Lili sudah di luar dan bergegas mau masuk ke dalam gua lewat jalan lain. Tapi harapannya itu sia-sia, Lili tak terlihat berkeliaran di luar gua.
Cahaya menerobos masuk ke dalam gua ketika batu bagian terakhir sudah diangkat oleh Bocah Bodoh dan Tua Usil. Kini mulut gua semakin terbuka lebar. Mata Yoga memandang dengan hati berdebar-debar. Ia menyuruh Tua Usil memanggil. Maka tua Usil pun berseru dari mulut gua,
"Nona Li...?! Nona Li...?!"
Bocah Bodoh yang berkata kepada Yoga, "Tidak ada jawaban, Tuan."
Yoga menjadi tambah tegang. Ia turun dari atas batu besar yang dipakainya duduk sejak tadi. Semen-tara itu, Tua Usil semakin memperlebar mulut gua, sehingga akhirnya semua batu telah disingkirkan dari mulut gua. Tapi Lili tak terlihat muncul dari dalam sana. Hati Yoga menjadi bertambah gelisah. Ia bergegas masuk ke dalam gua untuk memeriksa keadaan yang sebenarnya.
Tetapi langkahnya segera berhenti, karena sesosok tubuh berpakaian merah jambu itu sudah muncul lebih dulu dari dalam gua. Lili mengerjapkan matanya menerima cahaya matahari. Setelah terbiasa, ia segera memandang Yoga, lalu sunggingkan senyum. Yoga membalas dengan senyuman kaku, karena benaknya masih dikacaukan dengan kemunculan-kemunculan Lili di tempat lain.
"Sukar sekali membedakan apakah dia benar-benar baru keluar dari gua atau sudah lama keluar-masuk? Melihat kepucatan wajahnya, sepertinya ia memang sudah cukup lama berada di dalam gua ini. Tapi membayangkan tindakannya terhadap para korban itu, aku jadi sangsi apakah benar ia cukup lama di dalam gua?" pikir Yoga dalam ketermenungannya.
Lili yang segera menghampirinya itu dibiarkan saja. Gadis itu berkata sambil menggenggam tangan Yoga, "Aku sudah berhasil kuasai jurus itu! Aku senang sekali kau datang menjemputku!"
Hati Yoga menjadi luluh, tak berani langsung menuduh. Bahkan untuk membicarakannya pun tak tega, karena dilihatnya tubuh Lili menjadi lemah dengan wajah pucatnya yang menghiba hati. Karenanya, Yoga putuskan untuk membawa Lili pulang ke pondok dan membiarkan gadis itu pulih kesehatannya seperti sediakala.
Ternyata, tak sampai dua hari Lili sudah pulih kembali. Ia mulai keluar dari pondok dan mencari Yoga. Pada waktu itu Yoga ada di tepi sungai, diam mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya. Ketika Lili datang mendekatinya, Yoga masih diam dengan wajah tak memiliki keceriaan sama sekali. Hal itu membuat Lili menjadi curiga dan segera berkata,
"Yo, empat puluh hari lamanya kita tidak bertemu. Tidakkah kau merasa ingin menggenggam tanganku?"
"Sudah ada yang bisa menggenggam tanganmu sendiri!" jawab Yoga.
Pendekar Rajawali Putih pandangi mata Yoga. Pemuda tampan itu cepat buat pandangan matanya ke arah lain. Kemudian, terdengar lagi Lili berkata, "Tidakkah kau rindu padaku, Yo?"
"Sudah ada orang lain yang merindukan kamu!" jawab Yoga dingin.
Lili cepat berkata dengan nada dongkol, "Apa maksudmu?"
"Maksudku banyak lelaki yang sekarang mencari mu karena rindu padamu, rindu pada cumbuanmu, rindu pada ciumanmu, dan rindu pada pelukan mesramu!"
Gadis yang cantiknya melebihi bidadari itu kian berkerut tajam keningnya. Lama-lama ia menjadi tertawa sumbang lalu berkata, "Kau berubah sekali, Yo?"
"Karena kau pun berubah!"
"Berubah bagaimana?"
"Lurah Prawiba sekarang sudah mati bunuh diri," jawab Yoga dengan suara datar. Dadanya bergemuruh pada saat itu, karena sedang mati-matian menahan murka yang ingin meledak.
"Siapa Lurah Prawiba itu?"
"Jangan berlagak bodohlah!" Yoga bersungut-sungut. "Kau telah mencuri cincinnya dan merusak rumah tangganya."
"Hei, apa yang kau bicarakan sebenarnya, Yo?"
"Kau juga dicari oleh Lenggani, dia ingin menuntut balas padamu karena Sanjaya suaminya kau bawa lari! Kau juga dicari oleh Lintang Ayu, karena kau telah membunuh Prabu Anom yang telah kau bawa lari, padahal Prabu Anom mestinya menikah dengan Putri Giri Manca!"
Terdengar Lili menggumam heran sambil kerutkan dahi dari pandangan mata menerawang, "Prabu Anom...? Sanjaya...? Lurah Prawiba...?! Aku tidak kenal nama-nama itu!"
"Hmm...!" Yoga mencibir. "Apakah kau juga tak kenal dengan Raden Balelo, anak raja dari Kerajaan Wirawiri itu?!"
Lili geleng-gelengkan kepala sambil berkata, "Aku benar-benar tak mengerti maksudmu.. Kau menyebutkan beberapa nama tanpa ku tahu satu pun. Ada apa sebenarnya, Yo? Katakanlah!"
Pendekar Rajawali Merah pandangi wajah Lili lekat-lekat. Lalu hati kecilnya menemukan sesuatu yang terbentang jelas di wajah cantik itu. Sesuatu tersebut tak lain adalah kebingungan yang polos. Kebingungan itu agaknya benar-benar menuntut suatu penjelasan panjang-lebar, sehingga Yoga pun akhirnya menceritakan segala sesuatu yang dialaminya selama Lili mengaku berada di dalam gua tersebut.
Pendekar Rajawali Putih sangat terkejut dan menjadi tajam pandangan matanya ketika ia berkata, "Untuk apa kau mengarang sebuah cerita panjang seperti itu?"
"Ini kenyataan. Ini bukan cerita hasil karangan ku sendiri! Kau telah memalukan aliran Rajawali, menghancurkan martabat kita sendiri, menghancurkan nama harum mendiang guru-guru kita, sehingga aliran Rajawali dapat dianggap remeh oleh mereka, dipandang hina oleh dunia persilatan!"
"Aku tidak lakukan apa-apa!" bentak Lili. "Kau lihat sendiri aku keluar dari dalam gua itu empat puluh hari lamanya!"
"Kau bisa keluar melalui jalan lain!"
"Carilah jalan lain dalam gua itu! Kalau kau menemukannya, aku berani kau penggal kepalaku saat itu juga!"
"Tentu saja tidak akan kutemukan, karena hanya kau satu-satunya orang yang tahu jalan keluar di dalam gua selain melalui mulutnya!"
"Kau keterlaluan! Kau sengaja menyakiti hatiku karena kau iri tak bisa pelajari ilmu 'Mata Dewa' itu! Tapi jangan begini caranya, Yo. Atau, barangkali kau sudah terpikat dengan gadis lain dan ingin lepas dariku? Kurasa tidak harus dengan memfitnah diriku, Yo. Katakan saja apa adanya, mungkin aku lebih bisa menerima ketimbang harus kau tuduh dengan berbagai macam kepalsuan itu!"
Pendekar Rajawali Putih menahan tangis. Ia lekas-lekas pergi tinggalkan Yoga, ia kembali ke pondok dan duduk merenung di belakang rumah kayu itu. Melihat gerakan cepat begitu, Yoga paham kebiasaan gadis tersebut; pasti marah dan luka hatinya. Biasanya jika Lili tidak bersalah tapi dituduh sebagai pihak yang bersalah, gadis itu cepat pergi tinggalkan Yoga dan tak mau bicara lagi. Tapi jika ia salah dan dituduh bersalah, ia hanya bersungut-sungut pergi, namun masih mau diajak bicara untuk mempertahankan alasan kesalahannya.
Kali ini Pendekar Rajawali Merah menangkap adanya firasat kebenaran di pihak Lili. Tapi ia sulit mempercayai firasatnya sendiri. Maka, ia segera temui Lili dan berkata, "Jika kau memang di pihak yang benar, tunjukkan padaku bahwa kau memang benar dan tidak lakukan semua itu!"
"Aku akan tinggalkan tempat ini sekarang juga. Dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi!" katanya dengan tajam dan menyentuh hati.
Yoga mulai tegang jika sudah melihat Lili keluarkan ketegasannya. Biasanya ketegasan itu sudah tak bisa dibujuk dengan cara apa pun. Namun kali ini Yoga temukan satu cara yang tidak dijamin kebenarannya. Dengan sikap dibuat tegas, Yoga berkata, "Kalau kau pergi dan meninggalkan aku, berarti kau mengakui semua tindakanmu yang kudengar dari mulut mereka!"
Lili hanya berpaling cepat menatap Yoga dengan mata menatap tajam dan mulut terbungkam rapat. Yoga tak berani memandangnya. Sorot mata itu mempunyai kekuatan yang membuat sekujur tubuh Yoga terasa menjadi gemetar dan hatinya berdebar-debar. Entah apa artinya hal itu?
* * *
DELAPAN
NYANYIAN pantai adalah gemuruh ombak memecah karang dan riak-riak alun menyibak pasir. Gemericik suara riak di sela bebatuan dan pasir membuat hati bagai dibuai tipis oleh kemesraan. Dan kemesraan pantai kala itu adalah perpaduan dua hati yang saling merapat dan saling mendekap di sela-sela senja. Ketika itu, mentari merah terbakar di langit barat, nyaris sembunyikan diri dari siang.
Pendekar Rajawali Merah bermaksud larikan diri ke pantai di ujung senja. Ia ingin dapatkan ketenangan berpikir dalam kesendiriannya di pantai itu. Namun alangkah kagetnya Pendekar Rajawali Merah manakala pandangannya tertuju ke arah selatan, menatap dua makhluk yang saling dekap dan saling rapat itu.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Merah undurkan diri ke batik pohon, bersembunyi mengintai dua makhluk yang saling dekat dan saling rapat itu. Sedikit demi sedikit ia bergerak mendekat, sampai akhirnya ia temukan dua raut wajah yang amat dikenalnya; wajah Lili dan wajah seorang pemuda yang sejak dulu menghendaki kematiannya, yaitu Tamtama. Dan wajah pemuda Itulah yang membuat jantung Yoga seolah-olah meledak, darahnya menyembur panas sampai di kepala.
“Tamtama...?!" gumam Yoga penuh keheranan dan nyaris tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Bukankah Tamtama telah mati bersama Bidadari Manja ketika Gua Bidadari itu ku runtuhkan? O, ya... tunggu dulu. Samar-samar kuingat Tamtama muncul dalam peristiwa di Candi Langu?" (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Gerombolan Bidadari Sadis" dan "Mempelai Liang Kubur")
Tamtama adalah seorang pemuda yang mencintai Mahligai. Tapi ia merasa tersisih setelah Mahligai mengenal Yoga, dan bahkan jatuh cinta kepada Yoga. Tamtama merasa dikalahkan cintanya oleh kehadiran Yoga, sehingga ia selalu berusaha membuat Yoga celaka dan mati. Tetapi niatnya itu tak pernah berhasil sekalipun ia bergabung dengan perempuan keji yang berjuluk Bidadari Manja itu.
Sekarang Tamtama muncul di pantai bersama Lili, mendekap gadis cantik itu, menciuminya beberapa kali disela tawa Lili yang terkikik-kikik itu. Pendekar Rajawali Merah sempat pejamkan mata lama di balik persembunyiannya ketika Tamtama semakin liar melepaskan kemesraannya dan tangannya kian berani menjamah ke mana-mana. Lili sendiri hanya membiarkan dan seolah-olah kian kegirangan mendapat jamahan liar Tamtama itu.
Mata Pendekar Rajawali Merah seperti di hujam tombak. Bukan hanya perih memandang, namun juga panas terbakar dari dalam hatinya. Jika dulu Tamtama selalu merasa bahwa Yoga merebut kekasihnya, sekarang ganti Yoga yang merasa diinjak-injak kepalanya oleh Tamtama. Tentu saja hal itu membuat murka Pendekar Rajawali Merah meledak-ledak dalam dada, walaupun ia sempat bertanya-tanya dalam hati,
"Bukankah Lili sudah berjanji tak akan keluar dari pondok? Bukankah Lili ingin buktikan bahwa dirinya tak pernah berbuat sehina itu dengan mengurung diri ditemani Tua Usil? Mengapa ia sekarang nekat dan berada di sini dengan pemuda itu? Mungkinkah ia sengaja membuatku murka?"
Hati Yoga tak mampu bertahan memendam murkanya. Ia cepat lepaskan pukulan dahsyatnya yang bernama jurus 'Rajawali Membelah Matahari'. Jurus itu merupakan selarik sinar merah yang memecah ke berbagai penjuru dan keluar dari pertengahan da-danya. Zzzrraaat...! Sepuluh lawan di depan Yoga bisa pecah bersama jika terkena sinar merah jurus 'Rajawali Membelah Matahari' itu.
Tetapi di luar dugaan, Lili berpaling ke belakang dan cepat mendekap Tamtama. Pada saat itulah, tubuh Lili dan Tamtama sama-sama memancarkan sinar hijau bening, sehingga ketika sinar merah yang memecah arah itu mengenai tubuh mereka, yang terjadi hanyalah sebuah ledakan besar menggelegar menggema sampai ke langit senja.
Blegaaarrr...!
Pendekar Rajawali Merah terpental ke semak-semak mendapat hentakan gelombang ledak tadi. Tubuh Lili dan Tamtama pun terpental nyaris terbuang ke tengah lautan. Delapan pohon kelapa yang ada di sekitar mereka tumbang dalam keadaan hangus secara serentak. Beberapa batuan karang yang menggunung pecah mengerikan, seakan dilanda bencana alam yang cukup dahsyat. Ombak laut pun tersentak naik, tingginya lebih dari lima tombak. Menyembur ke segala arah.
Ada darah kecil yang meleleh dan mulut Yoga. Tapi darah itu tidak membuat Pendekar Rajawali Merah menjadi lemah. Ia cepat bangkit dan melompat ke pasir pantai. Ternyata pada saat yang bersamaan, Lili dan Tamtama pun melompat ke tempat yang sama dalam keadaan basah kuyup karena terlempar ke laut.
Hal yang membuat Yoga terkesima di tempat adalah melihat keadaan Lili dan Tamtama yang tetap utuh tanpa luka di bagian tubuh mereka. Hanya saja, hidung Tamtama keluarkan darah dan mulut Lili juga keluarkan darah. Padahal seharusnya tubuh mereka hancur berkeping-keping jika terkena pukulan maut yang jarang digunakan oleh Pendekar Rajawali Merah itu. Barangkali kekuatan sinar hijau yang melapisi tubuh mereka berdua itulah yang membuat mereka selamat dari kehancuran. Dan Yoga berkata dalam hatinya,
"Sejak kapan Lili mempunyai jurus seperti itu? Mungkinkah ia peroleh saat berada di dalam Sumur Perut Setan?!"
Kini keduanya sama-sama berhadapan dengan Yoga. Tamtama memandang dendam kepada Yoga, demikian pula Yoga, memancarkan sinar permusuhan yang sepertinya sulit dipadamkan lagi itu. Sedangkan Lili cepat hampiri Yoga lalu menghantam wajah Yoga dengan kuat.
Plaaak...!
Pendekar Rajawali Merah diam saja, walaupun pukulan itu membuat hidungnya menjadi berdarah dan tubuhnya tersentak tiga langkah ke belakang. Yoga kembali berdiri dengan menarik napas, tak mau membalas pukulan gadis cantik itu.
"Jahanam kau, Yoga!" bentak Lili. "Berani-beraninya kau mengganggu kemesraan ku bersama Tamtama, hah?! Apakah kau menghendaki aku membunuhmu dengan pedang pusaka ini?!"
Pendekar Rajawali Merah diam saja. Sedikit pun tak mau menjawab, kecuali hanya memandang Lili dengan mata menyipit antara menahan murka dan menahan kesabaran. Tetapi ketika Tamtama ikut mendekat dan berkata sambil menuding Yoga,
"Sekarang saatnya aku membalas sakit hatiku kepadamu, Monyet! Lili telah jatuh cinta padaku, seperti halnya dulu Mahligai jatuh cinta padamu! Sekarang apa maumu, Setan?!"
"Pertarungan antara aku dan kau!" jawab Yoga dengan geram kemarahan yang membuat suaranya bergetar.
"Baik! Kita lakukan sekarang juga!" kata Tamtama.
"Tidak!" sahut Lili, lalu semakin maju berdiri di antara Yoga dan Tamtama. Kedua tangan Lili bertolak pinggang dan ia berseru, "Kalau kau memang berani, hadapi aku sekarang juga! Akulah lawanmu, Yoga! Akulah yang akan menyerangmu dan membunuhmu!"
Pendekar Rajawali Merah dibakar oleh kebimbangan yang mendidihkan sukmanya. Apa pun yang terjadi, ia bertekad akan melawan Lili, tapi tidak di depan Tamtama, tidak di depan siapa pun juga. Dengan suaranya yang masih bergetar, Pendekar Rajawali Merah akhirnya berkata kepada Lili,
"Datanglah ke makam Guru, dan kita bertarung di sana sampai mati!"
"Mengapa harus ke sana-sana? Di sini saja aku sudah bisa membunuhmu Yoga! Kau ingin bukti?!"
Wuuut...! Plaak! Buhg...! Plak, plak, duuhg...! Praak...!
Yoga dihajar habis oleh gadis cantik yang seakan berubah menjadi ganas itu. Tamtama hanya tertawa-tawa menyaksikan Pendekar Rajawali Merah babak belur dihajar Pendekar Rajawali Putih. Sejauh itu, Yoga masih diam dan tidak memberikan perlawanan, juga tidak memberikan tangkisan apa pun. Akibatnya, wajah tampan itu hancur dihujani luka dan memar. Bahkan Yoga sempat memuntahkan darah dari mulutnya karena pukulan tenaga dalam yang dilepaskan oleh Lili.
"Bangun kau, Bangsat!" teriak Lili kepada Yoga yang terkapar di pasir pantai. "Cabut pedangmu dan kita tentukan siapa yang mati di sini! Lekas cabut pedang mu!"
Kemarahan gadis itu menjadi liar sekali. Pendekar Rajawali Merah tak punya keluh dan ratap, tak punya pembalasan dan cacian. Pemuda bertangan buntung sebelah kiri itu berdiri dengan pelan-pelan. Berusaha tegak kembali di depan Lili. Matanya yang telah bengkak dan membiru itu masih berusaha memandang Lili dengan penuh dendam dan kemarahan yang tertahan.
"Sudah puaskah kau melihatku begin!, Guru?!" ucap Yoga dengan pelan sekali, karena bibirnya pun pecah dan keluarkan darah.
Lili hanya sunggingkan senyum, lalu dekati Tamtama, merangkul pinggang pemuda itu yang juga tersenyum sinis pandangi Yoga. Kembali, Yoga berkata kepada Lili,
"Jika kau sudah puas melihatku begini, mari kita ke makam Guru untuk tentukan siapa yang berhak hidup sebagai penerus aliran Rajawali! Jika kau tak berani, berarti kau harus bunuh diri sebagai kematian penebus dosa sendiri!"
Tamtama menghardik, "Kalau kau tak mau pergi, kuhabisi sendiri nyawamu, Yoga!"
"Guru," kata Yoga yang tidak hiraukan kata-kata Tamtama Sedikit pun. "Kalau kau bimbang, kuberi waktu untuk pertimbangkan tantanganku ini! Tapi ingat, aku hanya mau bertarung denganmu di makam Guru. Karena di sanalah aliran Rajawali sejati tumbuh dan bertahan!"
Wuuut...! Yoga segera pergi setelah berkata demikian. Samar-samar ia mendengar suara tawa Lili dan Tamtama menertawakan kepergiannya. Tapi Yoga tak pernah gubris lagi mereka berdua. Hanya saja, langkah Yoga jadi terhenti ketika ia melihat sekelebat bayangan yang berlari menuju pantai melalui semak-semak di sebelah utara.
"Iblis Mata Genit...?!" ucap Yoga dalam hatinya. Ia mengenali perempuan cantik berpakaian hijau muda. "Pasti ia masih mencari Lili untuk bikin perhitungan dengannya, karena Lili telah lenyapkan seluruh ilmu Wali Kubur dengan jurus Sirna Jati'. Iblis Mata Genit tetap akan menuntut kepada Lili, membela adik-nya yang menjadi ketua dan guru di Perguruan Lereng Lawu itu?" (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Prasasti Tonggak Keramat").
Melihat kemunculan Iblis Mata Genit, Yoga jadi penasaran ingin melihat pertemuan tokoh sakti itu dengan Lili. Maka, ia pun kembali lagi ke tempat semu-la, namun kali ini melalui dahan demi dahan, dan di balik kerimbunan pohon itulah Yoga mengintai apa yang dilakukan oleh Iblis Mata Genit dan Lili.
Lili sempat terkejut ketika melepaskan pelukan Tamtama, ternyata sudah ada Iblis Mata Genit di depan mereka. Tamtama tampak menggeram penuh kejengkelan. Pemuda itu segera menegur dengan suara lantang,
"Apakah kau belum pernah berciuman dengan seseorang? Mengapa kau memperhatikan kemesraan kami? Kau iri?"
Iblis Mata Genit yang datang sendirian tanpa mengajak kedua anak buahnya yang semula bersamanya, yaitu Gandul dan Brata, segera berkata, "Aku tak butuh suaramu, Tikus Sawah! Yang kubutuhkan adalah dia!" Iblis Mata Genit menuding Lili, Yang dituding hanya tersenyum sinis dan segera renggangkan jarak dari Tamtama. Kemudian Iblis Mata Genit kembali perdengarkan suaranya, "Kau tahu siapa aku, Lili?"
"Hmmm...! Iblis Mata Genit!"
"Syukurlah kalau kau sudah tahu siapa diriku."
Dari persembunyiannya Yoga bertanya dalam hati, "Sejak kapan Lili pernah bertemu Iblis Mata Genit? Seingatku belum pernah. Tapi ia bisa kenali lawannya itu. Apakah sebelumnya mereka pernah saling jumpa di luar pengetahuanku?"
Terdengar lagi Iblis Mata Genit berkata kepada Lili, "Sudah waktunya kau berhadapan denganku. Kembalikan semua ilmu adikku, si Wali Kubur itu, atau kubunuh kau sebagai imbalannya?"
Tamtama maju selangkah dan berkata, "Iblis Mata Genit, kalau kau berniat membunuhnya, kau harus berhadapan dulu dengan aku!"
"Aku tak butuh bacotmu, Kambing Kampung!"
"Kurang ajar!" geram Tamtama. "Kau jangan sepelekan aku, Biadab! Coba terima dulu pukulanku ini! Hiaah...!"
Wuuut...! Tamtama segera lepaskan pukulan tenaga dalam dari tangan kanannya. Pukulan sinar kuning itu berusaha menghantam kepala Iblis Mata Genit. Namun dengan sekali berkelebat, tangan Iblis Mata Genit telah keluarkan cahaya hijau yang memercik. Cahaya itu menghantam pukulan sinar kuningnya Tamtama.
Blaaar...!
Tamtama tersentak mundur tiga langkah, demikian pula Lili terkena hentakan gelombang ledak itu hingga mundur tiga langkah. Sementara itu Iblis Mata Genit masih tetap diam di tempatnya dengan mata indahnya memandang tajam kepada Tamtama.
"Jangan dulu merasa menang, Perempuan Lacur! Aku masih sekadar menjajal ilmumu!" kata Tamtama sambil melangkah maju. Ia berhenti dalam jarak tiga langkah di depan Iblis Mata Genit.
"Kalau kau bisa kalahkan aku, kau boleh coba mengadu ilmu dengan kekasihku" ini!" kata Tamtama dengan sesumbarnya.
Iblis Mata Genit diam memandang, demikian pula Tamtama. Tapi tiba-tiba Iblis Mata Genit kerlingkan mata kirinya. Claap...! Pukulan jurus 'Surya Pendar' telah dilepaskan oleh Iblis Mata Genit melalui kerlingan mata tersebut, dan hal itu membuat tubuh Tamtama terpental keras, membentur bongkahan karang, lalu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Hanya dengan kerlingan mata kiri saja Tamtama sudah dibuat parah oleh Iblis Mata Genit, padahal dulu Yoga mampu menahan pukulan tersebut dan membuat Iblis Mata Genit terkagum-kagum.
"Kau memang perempuan jahanam!" bentak Lili setelah melihat Tamtama terluka parah.
Iblis Mata Genit sunggingkan senyuman sinisnya. Ketika ia melihat Lili bergegas maju untuk menyerang, ia kembali kerlingkan mata kirinya.
Glaap...! Wuuusss...! Buuhg...!
Tubuh Lili bagaikan kapas terhempas badai. Melayang dengan cepatnya dan jatuh di tempat jauh. Terguling-guling sebentar, lalu memuntahkan darah segar.
Yoga ingin keluar dari persembunyiannya untuk menolong Lili atau menyerang Iblis Mata Genit. Tetapi niat itu diurungkan setelah ia putuskan dalam hatinya, bahwa ia hanya ingin melihat sampai di mana kekuatan Lili menghadapi Iblis Mata Genit. Mampukah Lili menggunakan jurus 'Sirna Jati'nya untuk menyedot habis ilmu Iblis Mata Genit, sehingga perempuan ganas itu kehilangan semua ilmu dan menjadi polos serta kosong seperti Wali Kubur?
Tetapi agaknya Tamtama yang lebih penasaran. Sikap berlagak membela kekasih terlalu berlebihan. Sekalipun ia terluka parah dalam tubuhnya, namun ia masih paksakan diri untuk bangkit dan kembali menyerang Iblis Mata Genit.
"Tak kan kubiarkan kau meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, Iblis Keparat!" teriak Tamtama.
Namun, Iblis Mata Genit masih tetap berpenampilan tenang. Ia menatap Tamtama, lalu segera menggunakan jurus 'Soca Pelebur' yang dulu juga pernah dilepaskan untuk Yoga namun bisa ditahan oleh Pendekar Rajawali Merah itu. Jurus 'Soca Pelebur' adalah kerlingan mata kanan yang hanya dilakukan satu kali.
Claaap...!
Jurus itu tak mempunyai kilatan sinar apa pun, namun menghadirkan gelombang panas yang menghentak ke tubuh Tamtama dan hanya Tamtama yang bisa rasakan kehadiran gelombang panas tersebut. Namun sayangnya ia tak dapat bertahan, sehingga tubuhnya kembali terpental dan dadanya pun jebol seketika itu juga.
Blaaar...!
Tamtama terkapar di pasir pantai dalam keadaan pecah dadanya. Bagian dalam dada menyembur ke mana-mana, dan tentu saja hal itu membuat Tamtama tak mampu menahan nyawanya. Maka, ia pun menghembuskan napas terakhir, menemui ajalnya dengan mengerikan.
"Tiba giliranmu, Gadis Keparat...!" teriak Iblis Mata Genit. Tetapi ia menjadi tertegun melihat tempat kosong di mana tadi Lili terpental. Iblis Mata Genit semakin tegang, ia telan kehilangan buruannya. Ia memekik berkali-kali memanggil Lili, menghamburkan sebaris makian dan tantangan. Tetapi Lili tetap tak ditemukannya.
Diam-diam di atas pohon Yoga sendiri menjadi heran dan kebingungan melihat Lili ternyata telah tinggalkan tempat. Ia tak melihat gerakan Lili pergi dari tempatnya. Mata Yoga ikut mencari Lili dari atas pohon, namun tetap saja tak ditemukannya kelebatan gadis itu. Iblis Mata Genit segera berlari menuruti firasatnya, kejap berikut Yoga pun segera tinggalkan tempat itu dalam keadaan wajah babak belur dihajar Lili.
Ketika sampai di pondok, Tua Usil terkejut melihat Pendekar Rajawali Merah hancur wajahnya. Ia segera menyapa, "Tuan...?! Apa yang telah terjadi, Tuan Yo?!"
Yoga tak menggubris teguran Tua Usil, juga tak menghiraukan terperangahnya wajah Cola Colo yang berdiri di depan pintu masuk. Yoga langsung saja masuk ke dalam pondok, dan tersentak kaget melihat Lili sudah ada di dalam pondok tersebut.
"Cepat sekali kau tiba di sini!" gumam Yoga sambil memendam kemarahan. Ia tak sadari bahwa Lili terperanjat kaget bukan kepalang melihat wajah Yoga menjadi babak belur begitu.
"Yo...?! Apa yang terjadi?" wajah Lili menegang sambil hampiri Pendekar Rajawali Merah. Tapi ketika Lili ingin sentuh tangan Yoga, tangan itu dikibaskan dan tak mau disentuh.
Mata Yoga yang memar biru itu menatap Lili dengan sikap bermusuhan. Lili semakin berkerut dahi tajam-tajam, kemudian segera berkata,
"Siapa yang melukaimu sedemikian rupa?! Jawab! Akan kuhancurkan wajah orang itu sekarang juga! Katakan, siapa orangnya?!" desak Lili.
Yoga menjawab dengan pelan, "Kau sendiri!"
"Yo...?! Katakan yang sebenarnya, siapa?!"
"Kau sendiri!" bentak Yoga yang membuat Tua Usil dan Bocah Bodoh terlonjak kaget bersamaan.
Kepala Bocah Bodoh sempat membentur pintu dengan lumayan keras. Mereka ada di pintu dan ikut memandang heran kepada Yoga. Semakin heran setelah Yoga menyatakan bahwa Lili adalah orang yang telah menghajarnya hingga babak belur begitu.
Tapi Lili menyanggah tuduhan tersebut. "Tak mungkin! Tak mungkin kau melemparkan hal ini kepada ku! Kau tak punya alasan kuat untuk menuduhku, Yo! Sejak tadi aku ada di rumah dan tidak pergi ke mana-mana. Bahkan keluar dari rumah pun tidak!"
"Omong kosong!" bentak Yoga. "Cepat sekali kau memutar kata menghindar kenyataan. Kulihat dengan mata kepala sendiri kau sedang bermesraan dengan Tamtama, bekas kekasihnya Mahligai itu! Ku rasakan sendiri pukulanmu bertubi-tubi yang bersifat membela Tamtama dan..."
"Tidak mungkin!" teriak Lili semakin tinggi. "Aku ada di rumah, dan Tua Usil serta Bocah Bodoh menjadi saksi, bahwa aku tidak pergi ke mana-mana!"
Yoga segera menatap Bocah Bodoh dan Tua Usil, lalu bertanya, "Benarkah dia tidak pergi ke mana-mana?"
"Benar, Tuan," jawab Tua Usil. "Sayalah saksinya! Saya berani bersumpah!" Tua Usil angkat tangannya menyatakan sumpahnya.
Bocah Bodoh menimpali, "Nona Li keluar rumah hanya untuk meludah, Tuan. Setelah itu tetap berada di dalam rumah sampai saat Tuan datang tadi. Saya saksinya, dan saya berani sumpah sambar geledek atau sambar apa saja, Tuan!"
Yoga tertegun, mereka pun termenung. Dalam hati mereka masing-masing bertanya, "Siapa orang yang bersama Tamtama itu?"
* * *
SEMBILAN
KEADAAN yang aneh itu tak bisa terjangkau oleh pikiran Pendekar Rajawali Merah, terutama dibarengi oleh perasaan dendam dan kebencian yang tidak jelas tertuju untuk siapa. Karenanya, Yoga mencoba meminta bantuan Sendang Suci, yang disebut pula Tabib Perawan.
Perempuan itu adalah perempuan yang menyimpan kasih serta cinta sejati kepada Yoga, namun tak pernah menuntut pembalasan yang setimpal dari apa yang ada di dalam hatinya. Sikap seperti itulah yang membuat hubungan Yoga dengan Sendang Suci tetap baik dan semakin dekat dalam bicara jiwa.
Sendang Suci menempati pondoknya yang ada di Bukit Berhala bersama sang keponakan yang juga menjadi muridnya, yaitu Mahligai. Tapi keadaan Mahligai kala datang ke situ, sungguh menyedihkan. Gadis yang terluka hatinya oleh penolakan cinta Yoga itu terbujur di atas pembaringan dalam keadaan kurus, pucat, tak bisa bicara, dan tak bisa bergerak. Ia mengalami kelumpuhan dan hilang jati dirinya.
"Dia sangat mencintaimu, tapi dia sangat terluka olehmu. Dia telah mengalami goncangan jiwa. Secara tak sadar dia pernah mengaku padaku, bahwa dirinya telah membunuh beberapa gadis yang mencintaimu, termasuk Mutiara Naga. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, karena segalanya telah telanjur terjadi. Kini ia menderita sekali, dan tak ada obat yang bisa menyembuhkandirinya, karena dia terkena racun yang dinamakan Racun Hati. Racun itu tak bisa disembuhkan oleh obat apa pun, dan kalau toh terjadi kesembuhan itu karena dirinya sendiri. Racun Hati adalah racun yang datang dari dirinya dan sembuh oleh dirinya pula," tutur Sendang Suci kepada Yoga.
Hati Yoga berdesir iba melihat keadaan Mahligai, namun ia tak mampu berbuat apa-apa. Tokoh sakti yang sudah berusia lanjut namun masih tampak muda dan cantik itu menatap Yoga den-gan sebentuk kelembutan dan kerinduan. Yoga dapat rasakan hal itu, sehingga ia biarkan Tabib, Perawan yang sampai saat itu belum hilang kesuciannya, menggenggam tangan Yoga erat-erat dan merasakan kehangatan dari genggaman itu sebagai obat rindu baginya.
Kejap berikutnya, Sendang Suci berkata, "Masih ada sisa memar di sudut matamu, Yo. Apa yang terjadi sebenarnya?"
Maka, Yoga pun menuturkan peristiwa-peristiwa aneh yang dialaminya dan membuatnya tersiksa batin tanpa tahu harus melampiaskannya kepa-da siapa. Semua yang berkenaan dengan diri Lili, diceritakan oleh Yoga, sampai akhirnya Tabib Perawan itu berkata,
"Hati-hatilah, ada pihak yang ingin menghancurkan nama baik aliran Rajawali. Mungkin musuh lama kalian. Orang itu pasti mempunyai Ilmu 'Perawan Siluman'."
"Ilmu semacam apa itu, Bi?" tanya Yoga dengan lembut.
"Orang yang menggunakan ilmu 'Perawan Siluman' dapat merubah dirinya seperti orang yang dimaksud. Segala tingkah laku, suara, wajah, potongan tubuhnya, semuanya mirip dengan orang yang ditirukan. Tapi kesaktiannya berbeda. Pakaian dan pedang bisa ditiru juga. Jelas untuk meniru pakaian dan pedang, bukan hal yang sulit. Tapi pedangnya itu tidak mempunyai kekuatan yang sama dengan pedang aslinya!"
Yoga manggut-manggut. "Pantas Lili waktu melawan Iblis Mata Genit tidak mau cabut pedangnya?!" gumam Yoga dalam renungannya.
"Ilmu 'Perawan Siluman' jarang dimiliki orang. Dulu yang kukenal sebagai pemilik ilmu 'Perawan. Siluman' adalah si Pagar Jagat. Tapi tokoh itu sudah lama meninggal. Tak tahu siapa muridnya yang menerima warisan ilmu 'Perawan Siluman'. Itu adalah ilmu yang bisa menggegerkan dunia persilatan dalam tempo cepat, karena mereka bisa saling bunuh karena salah duga. Sebaiknya...."
Ucapan perempuan cantik yang cukup dewasa dalam pemikirannya itu, terpaksa terhenti oleh datangnya suara di luar rumah. Suara itu berseru bagai berkeliling di atas rumah.
"Pendekar Rajawali Putih di mana pun kau berada, hadapilah tantanganku. Tiga hari lagi, kita bertarung di Bukit Batulima! Pendekar Rajawali Putin di mana pun kau berada, hadapilah tantanganku. Tiga hari lagi, kita bertarung di Bukit Batulima...!"
Suara sedikit cadel itu berulang-ulang berseru demikian mengitari rumah Sendang Suci. Mereka berdua segera keluar dari dalam rumah untuk melihat siapa yang bersuara. Ternyata seekor burung beo hitam yang berkeliling ke mana-mana sambil serukan kata tantangan buat Lili.
"Beo hitam...," gumam Tabib Perawan. "Kalau tak salah beo hitam itu milik Lintang Ayu."
"Benar, Bi, Perempuan itulah yang tadi kuceritakan sebagai kakak dari Prabu Anom!"
"Hati-hati berhadapan dengan dia."
"Setinggi apakah ilmunya, Bi?" "Bukan soal tinggi ilmunya atau tidak, tapi... dia cantik dan mempunyai daya pikat yang tinggi bagi setiap lelaki. Dia murid dari si Jubah Peri."
"Benar. Dan... agaknya Lintang Ayu terpaksa gunakan tantangan melalui burung beonya, karena ia tak pernah berhasil temui Lili."
"Lili-mu yang asli jangan boleh keluar kemana-mana, nanti ia menjadi salah sasaran. Karena banyak musuh yang sedang mengincarnya akibat ulah manusia yang menggunakan ilmu 'Perawan Siluman' itu."
"Baik, Bi. Akan kuperingatkan kepadanya seperti pesan Bibi ini!"
"Sekali lagi ku ingatkan padamu pribadi, Yo; hati-hati dengan Lintang Ayu. Dia pernah dijuluki sebagai 'Gadis Penakluk Hati'"
Yoga tersenyum, "Apakah aku tak berhak pakai julukan seperti itu?"
Kini Sendang Suci yang tersenyum dan berkata, "Kau satu tingkat di atasnya!"
Dalam perjalanan pulang dari pondok Tabib Perawan itu, secara kebetulan Yoga berpapasan dengan seorang gadis berpakaian merah dan menyandang pedang di punggung berwarna putih perak. Yoga sempat tercekam keraguan sejenak, dan hatinya bertanya-tanya,
"Lili...? Benarkah dia Lili yang asli atau yang palsu?"
Sebelum ada keputusan di hati Yoga, gadis itu telah mendekatinya. Ia sunggingkan senyum kepada Yoga. Lesung pipitnya dipamerkan yang sering membuat hati Yoga luluh itu.
"Aku sengaja menyusulmu," kata Lili ketika sudah berhadapan dengan Yoga. Sikap Yoga tetap tenang walau otak berputar menentukan kepastian dugaannya.
"Mengapa kau menyusul ku? Bukankah aku bilang, tak sampai sehari aku pasti sudah kembali, Guru!"
"Aku rindu. Rindu sekali. Tak tahu kenapa tiba-tiba kerinduan ku amat menggebu-gebu padamu!" Lili segera memeluk Yoga, bahkan menciumi wajah pemuda itu.
Dengan cepat firasat Yoga mengatakan, bahwa gadis itu bukanlah Lili yang sebenarnya. Dia pasti Lili palsu. Karena Lili tidak pernah menciuminya seganas itu. Ciuman Lili berupa ciuman lembut yang punya keagungan cinta dan mendamaikan hati. Tapi gadis itu justru sebaliknya. Bahkan ia sempat menarik tangan Yoga agar mendekati semak-semak dan menuntut suatu kemesraan yang lebih dalam lagi. Semakin yakinlah Yoga, bahwa gadis itu bukan Lili yang asli. Karena Lili tidak pernah menuntut kemesraan yang lebih dalam dengan cara sekasar itu. Yoga pun segera menahan hasrat gadis itu dengan mengalihkan pembicaraan ke masalah lain.
"Tidakkah kau dengar seruan burung beo itu, Lili?" Yoga masih berlagak tidak tahu tentang kepalsuan tersebut.
"Ya. Aku mendengarnya, Tapi... rasa-rasanya aku tak perlu melayani, tantangan orang gila!"
"Lintang Ayu yang menantangmu. Mungkin dia sangka kaulah yang membunuh adiknya; Prabu Anom itu."
"Itulah sebabnya kukatakan tadi, aku merasa tak perlu melayani tantangan orang gila! Biar saja dia sangka aku yang membunuh Prabu Anom. Kalau memang ia berilmu tinggi, mestinya ia bisa temukan aku di mana saja aku berada."
"Benar juga!" kata Yoga sambil membatin dalam hati, "Dia tidak merasa asing dengan nama Lintang Ayu. Dia tidak menyanggah nama Prabu Anom. Ini bukan watak Lili. Dan Lili yang asli tidak pernah menganggap setiap tantangan siapa pun. Biarlah aku berpura-pura menganggapnya Lili asli. Sebenarnya aku bisa saja membunuhnya saat ini, tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Orang-orang tetap akan menganggap aliran Rajawali telah cemar akibat ulah Lili. Aku ingin gadis ini terbuka kedoknya di depan Lintang Ayu, supaya Lintang Ayu sendiri tahu, siapa sebenarnya gadis ini. Aku yakin, banyak orang yang datang ke Bukit Batulima, terutama orang-orang yang mempu-nyai dendam kepada Lili. Di sanalah nanti mereka akan mengetahui, bahwa Lili kekasihku, bukanlah Lili si keparat ini!"
Kemudian Yoga berkata kepada gadis itu, "Tapi untuk mengangkat harga diri kita sebagai pewaris aliran Rajawali, kurasa kau perlu datang ke Bukit Batu lima dan mengalahkan Lintang Ayu. Aku akan bantu kamu untuk mengalahkan Lintang Ayu dengan menghantamnya dari belakang hingga dia lengah. Pada saat ia lengah nanti, kau hantam dia dari depan dengan jurus maut mu, Lintang Ayu pasti hancur di depan beberapa orang yang akan menyaksikan pertarungan mu nanti. Dengan begitu, mereka tidak akan lagi berani menantang kita dan akan semakin hormat kepada ki-ta. Kurasa burung beo itu terbang ke mana-mana dan membuat setiap orang tahu bahwa tiga hari lagi akan ada pertarungan di Bukit Batulima. Jika kau tak hadir, kau dianggap pengecut dan direndahkan. Karena itu, sebaiknya kau hadir dan aku akan membantumu!"
"Kau sungguh-sungguh akan membantuku?"
"Ya, Karena aku tak ingin kau mati di tangan siapa pun! Aku akan kehilangan dirimu jika kau mati. Dan itu adalah siksaan terberat bagi hidupku, Lili."
"Baiklah kalau kau mau membantuku dan memang begitu pertimbanganmu. Aku akan hadir di Bukit Kaki lima...."
"Bukit Batulima!" Yoga membetulkan.
"O, iya! Bukit Kakilima, eh.... Bukit Batulima. Tapi... tapi kali ini aku ingin berlayar ke lautan cinta bersamamu, Yo. Dekatlah padaku, Sayang...."
"Celaka!" gumam Yoga dalam hati dicekam kecemasan. Ia berpikir mencari alasan untuk menolak. Namun belum sempat ia temukan alasan yang kuat tiba-tiba di hadapan mereka telah muncul sesosok tubuh tua berjubah merah darah.
Seorang nenek berjubah merah darah dengan pakaian dalamnya yang kuning itu memandang Lili dengan mata tajam. Rambutnya yang putih rata disanggul sebagian. Nenek berjubah merah itu kenakan giwang batu ungu yang berkerilap memancarkan sinar jika terkena sorot matahari. Nenek itu juga menggeng-gam sebatang tongkat yang ujung atasnya berukir se-kuntum bunga teratai yang sedang mekar.
Ketika Lili palsu memandang nenek berusia sekitar tujuh puluh tahun, ia segera berdiri dan sunggingkan senyum kaku, lepaskan pelukan pada diri Yoga. Nenek itu hanya berkata dengan wajah marah, "Aku ingin bicara denganmu!"
"Baik!" Lili palsu berkata kepada Yoga, "Tetaplah di sini, aku akan bicara dengan orang ini sebentar di tempat sepi. Nanti aku kembali lagi, Sayang."
"Akan kutunggu sampai kau datang!" jawab Yoga sambil mengangguk dan tetap bersikap tenang.
Ketika gadis itu pergi dengan nenek berjubah merah dan bergiwang ungu itu, Yoga bertanya dalam hatinya, "Siapa nenek berjubah merah itu? Lawan atau teman gadis itu? Sikapnya aneh, keras dan sepertinya sedang memendam marah. Sebaiknya ku tinggalkan saja gadis itu untuk memberitahukan pada Lili-ku, agar ia jangan keluar dari rumah sebelum masalah ini selesai!"
* * *
Pada mulanya, Lili tak bisa menerima saran tersebut. Ia tetap ngotot berkata, "Aku harus datang! Aku akan lihat siapa orang yang gunakan ilmu 'Perawan Siluman' itu?! Aku ingin bantai dia di depan mereka, supaya mereka tahu yang mana Pendekar Rajawali Putih sebenarnya! Aku tak bisa menerima saran mu!"
"Guru Li, serahkan persoalan ini padaku. Aku akan selesaikan setuntas mungkin. Kalau Guru Li datang ke Bukit Batulima, maka keadaan sedikit sulit ku atasi. Percayalah, Guru jangan hadir dan aku yang akan selesaikan dengan rencana yang sudah ku susun. Aliran Rajawali harus bersih kembali dari kecaman setiap orang. Tolong, untuk sekali ini kau menurut padaku, Guru Li yang cantik."
"Hhhaah....!" Lili cemberut dan segera memunggungi Yoga.
Dalam hati Yoga hanya berkata, "Nah, inilah watak asli kekasihku! Tak pernah mau mundur dari pertarungan. Jika harus mundur, harus melalui bujukan yang amat sulit! Pasti dia kecewa. Tapi biarlah dia pertimbangkan dulu saran dan usulan ku tadi...!"
Selama tiga hari berturut-turut, burung beo itu terbang ke mana-mana sambil serukan tantangan kepada Lili. Pendekar Rajawali Putih yang asli mendengar suara tantangan itu, hatinya bergolak dan menjadi tak pernah tenteram. Tetapi Yoga selalu wanti-wanti untuk tidak lakukan tindakan apa pun. Yoga mencoba meyakinkan diri bahwa ia pasti mampu selesaikan masalah tersebut sampai tuntas.
"Terserah kau sajalah! Aku bosan mendengar nasihatmu!" Lili asli merajuk dengan wajah cemberut yang makin cantik menurut Yoga.
Maka ketika hari pertarungan tiba, Yoga pun segera pergi tinggalkan pondokannya sendirian. Ia tugaskan Tua Usil dan Bocah Bodoh untuk menjaga Lili dan berusaha menghalangi Lili jika Lili bermaksud ke Bukit Batulima.
"Alihkan pikirannya dengan polah kalian yang lucu, biar Lili tidak berpikiran ke pertarungan terus," pesan Yoga kepada Tua Usil dan Bocah Bodoh.
Dugaan Yoga memang benar, di bukit tersebut telah berkumpul banyak orang selain Lintang Ayu sendiri, Lenggani juga hadir, Anggita, Iblis Mata Genit, pengemis Paku Juling, dan beberapa orang lainnya yang tak sempat dikenali oleh Yoga. Bahkan nenek berjubah merah yang mengenakan giwang batu ungu itu pun juga hadir di sela-sela orang banyak, sepertinya bersembunyi di balik mereka.
Pendekar Rajawali Merah tidak datang sendirian. Sebenarnya ia cukup lama menunggu di kaki bukit. Dari pagi hingga mencapai hampir tengah hari, barulah ia bertemu dengan Lili palsu. Itu pun karena ketajaman firasatnya yang mengatakan, ada seseorang bersembunyi di balik rumpun bambu seberang sana. Ketika Yoga menghampirinya, ternyata Lili palsu ada di sana.
"Kau sudah siap?" tanya Yoga.
"Siap! Kau ingat rencanamu sendiri, bukan?"
"Ya. Aku akan ambil posisi berlawanan arah denganmu, di belakang Lintang Ayu. Akan kugunakan pukulan tanpa sinar supaya tak ada orang yang tahu. Kau perhatikan saja dia, apabila tubuhnya limbung secara tiba-tiba, itulah saatnya kau menghantamnya!"
"Baik. Rasa-rasanya aku tak pernah punya rasa takut sedikit pun jika bersamamu, Yo!"
Yoga hanya sunggingkan senyum menawan, walau hatinya simpan sejuta kedongkolan dan kemarahan. Maka, mereka pun segera mendaki bukit terse-but yang tak seberapa tinggi. Mereka muncul di antara orang-orang yang sudah membentuk lingkaran dengan sendirinya.
Suara kecaman dan kemarahan mereka saling sahut-sahutan. Semua tertuju kepada Lili palsu. Ada yang hendak menyerangnya secara tiba-tiba, tapi serangan itu segera dipatahkan oleh Yoga. Lili palsu merasa benar-benar dalam perlindungan Yoga.
"Diam semua!" bentak Lintang Ayu dengan suara yang menggelegar. Semuanya pun diam tak berucap kata, Lintang Ayu berseru lagi, "Ini acara ku, kalian hanya berhak menonton, atau menggantikan aku jika aku mati di tangan gadis busuk itu!"
Tapi seorang perempuan berambut panjang terurai dan berwajah buruk segera mendekati Lili palsu. Perempuan itu mempunyai Wajah seperti habis disiram air panas, mengenakan pakaian serba hitam. Perempuan itu berkata dengan suara serak,
"Kalau kau berhasil tumbangkan Lintang Ayu, aku si Iblis Hitam, akan menggantikannya! Kau akan berhadapan denganku, Busuk!"
Suara serak yang ingin menggerakkan tangannya untuk memukul Lili palsu itu segera dicegah Yoga. Sambil menuding Iblis Hitam, Yoga mengeluarkan kata ancaman,
"Kau berhadapan denganku jika sekarang kau memukul dia!"
Iblis Hitam mendengus, lalu undurkan diri. Yoga pun segera hantarkan Lili palsu ke tengah arena pertarungan. Ia segera dekati Lintang Ayu dalam jarak hanya satu langkah di depan perempuan itu. Wajahnya memancarkan permusuhan. Kedua tangannya menggenggam kuat. Giginya pun tampak menggeletuk, lalu suaranya yang menggeram itu berkata dalam nada bisik yang hanya didengar oleh Lintang Ayu,
"Hancurkan dia! Jangan sampai kau gagal!"
Lintang Ayu segera tanggap, bahwa ternyata Pendekar Rajawali Merah itu ada di pihaknya. Tapi Lintang Ayu tidak beri jawaban apa pun, seakan tidak pedulikan ucapan tersebut. Maka, Yoga pun segera bergerak ke arah belakang Lintang Ayu, membuat Lili palsu merasa bahwa Yoga datang dekati Lintang Ayu hanya sebagai alasan untuk mengambil tempat di belakang lawannya.
"Pertarungan ini untuk menebus kebejatan tingkah lakumu, Pendekar Rajawali Putih! Jangan menyesal kalau kau mati di tanganku!" kata Lintang Ayu.
"Kau yang akan menyesal karena sebentar lagi tidak akan bernyawa lagi!"
Sreet...! Lintang Ayu cabut pedang emasnya. Pada saat itu, Lili palsu segera menyerangnya dengan satu lompatan salto yang mengarah ke kepala Lintang Ayu. Wyuut...! Wwwees...! Lintang Ayu tebaskan pedang ke kaki Lili palsu, tapi tebasan itu bisa dihindarinya.
Pertarungan terjadi dengan sengitnya. Iblis Mata Genit memperhatikan jurus-jurus yang dipakai Lili palsu. Ia mempelajari jurus-jurus itu mencari kelemahan, karena punya niat menyerangnya jika pertarungan itu telah usai.
Lili palsu menunggu rencana Yoga, tetapi Yoga tampak tenang-tenang saja. Akibat sebentar-sebentar mencuri pandang ke arah Yoga, pikirannya jadi kacau, perhatiannya tidak terarah sepenuhnya pada lawan, sehingga dalam satu gebrakan tertentu, Lintang Ayu berhasil tebaskan pedangnya dengan kecepatan tinggi. Zlaaap...! Craas! Pedang itu merobek perut. Lalu, jruub..! Pedang emas itu menembus masuk di dada Lili palsu.
Gemuruh suara para penonton bertepuk tangan dengan wajah-wajah ceria. Mereka bersorak memuji kehebatan jurus pedang Lintang Ayu, sekaligus menyatakan kegirangannya atas kematian Lili palsu itu. Tetapi pada saat berikutnya, semua menjadi bungkam, terdiam, dan tercekam. Lili palsu yang terkapar berlumuran darah itu menghembuskan napas terakhir.
Tapi pada saat itu wajahnya berubah perlahan-lahan. Wajah itu membentuk kecantikan memucat yang jauh berbeda dengan wajah Lili. Semua orang, termasuk Yoga sendiri, memandang tak berkedip dengan mulut terpengang melompong.
Lalu, tak sadar Yoga terucap kata, "Gadis Linglung...?!"
Yang lainnya ikut berucap kata yang sama. Gadis Linglunglah ternyata orang yang gunakan ilmu 'Perawan Siluman' dan bikin geger dunia persilatan. Tujuannya hanya ingin memisahkan Lili dari Yoga, dan Lili akan dimusuhi banyak orang, sehingga ia tak perlu susah-susah memusnahkan kekasih Yoga itu. Ternyata, Gadis Linglung justru terjebak dengan rayuan Pendekar Rajawali Merah itu, kedoknya terbongkar di pertarungan, di depan sekian banyak orang yang pernah dikecewakan oleh tingkah lakunya selama empat puluh lima hari lebih itu.
"Ternyata dia Gadis Linglung, muridnya Nyai Mantera Dewi!" seru seseorang.
Nenek berjubah merah darah dan bergiwang batu ungu itu segera tampil di tengah arena dan berseru, "Saudara-saudara... memang benar, dia adalah muridku!"
"O, rupanya dia Nyai Mantera Dewi?" pikir Yoga.
"Tetapi ketahuilah, semua ini di luar rencanaku. Dia mencuri kitab pusakaku, yaitu kitab berisi ilmu 'Perawan Siluman'. Semula kusangka muridku yang lain yang mencurinya, tapi ternyata dialah pencurinya. Ku coba untuk mengingatkan dia, tapi dia bersikeras untuk merebut Yoga dari tangan Lili. Sejujurnya kukatakan, aku sangat berterima kasih kepada Lintang Ayu, yang telah memadamkan perkara ini dengan pertarungan yang sungguh bijaksana! Dan ku mohonkan beribu maaf kepada kalian semua yang dirugikan dan dikecewakan oleh muridku ini. Kuharap, kematian penebus dosa ini, tidak memperuncing hubungan kalian dengan Perguruan Camar Sakti!"
Setelah Nyai Mantera Dewi selesai bicara, kini tiba giliran Yoga yang berkata, "Saudara-saudara tercinta, dengan terbukanya kedok ilmu 'Perawan Siluman', ku mohon kalian tidak menaruh dendam lagi kepadaku, maupun kepada Pendekar Rajawali Putih. Luruskan anggapan kalian, bahwa aliran Rajawali sebenarnya adalah aliran putih yang tidak menyukai tindakan-tindakan keji dan tak senonoh seperti yang telah dilakukan oleh Lili palsu ini..."
Tiba-tiba gadis berwajah buruk yang berjuluk Iblis Hitam itu juga tampil di tengah arena, ia berdiri di samping Yoga dan berkata, "Jangan lagi timbulkan permusuhan denganku, karena aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian!"
"Siapa kau?" tanya Yoga dengan heran.
Iblis Hitam segera menarik kulit di bawah lehernya, mengelupasnya sampai seluruh wajah. Dan orang-orang, termasuk Yoga, menjadi tercengang. Karena Iblis Hitam itu ternyata adalah Lili yang asli. Ia mengenakan topeng buatan Tua Usil yang belum bisa sempurna tapi harus sudah pakai, sehingga wajah topeng itu menjadi buruk.
Melihat wajah cantik di balik topeng buruk itu, semua orang menjadi terperangah dalam senyum kekaguman. Mereka tak punya sikap bermusuhan dengan Lili, karena mereka tahu yang mana Lili sebenarnya.
Tetapi, Iblis Mata Genit segera menyerang Pendekar Rajawali Putih setelah ia berseru, "Sekaranglah saatnya untuk membalaskan sakit hati adikku, si Wali Kubur, yang sekarang sudah gantung diri karena kehilangan ilmunya! Heaaah...!"
Melihat Iblis Mata Genit melompat dan tak bisa dibendung lagi, dengan cepat Lili lepaskan sinar putih keperakan dari kedua tangannya. Zraaap...! Sinar putih keperakan itulah yang dinamakan jurus 'Sirna Jati'. Dan orang sesat bernama Iblis Mata Genit itu pun jatuh tersungkur, seluruh ilmunya menjadi hilang. Bahkan wajah dan tubuhnya berubah menjadi tua renta. Iblis Mata Genit menangis karena merasa senasib dengan adiknya.
Rupanya banyak orang tak suka kepada Iblis Mata Genit. Mereka menertawakan tangis perempuan tua renta itu, dan merasa bersyukur bahwa orang sesat itu sekarang telah dilumpuhkan oleh Lili; si Pendekar Rajawali Putih itu.
Kini, perkara tersebut telah selesai secara tuntas. Walaupun banyak orang yang menaruh kekaguman dan pujian terhadap sepasang pendekar aliran Rajawali itu, namun di dalam hati Lintang Ayu masih terucap kata hati yang amat lirih,
"Aku tak tahan menghadapi getaran hatiku jika melihat Yoga. Haruskah aku menyingkirkan Pendekar Rajawali Putih itu?"
Sementara itu Yoga dan Lili telah melangkah dalam damai sambil bergandengan tangan. Hal itu membuat banyak hati para gadis merasa iri dan ingin merasakan keindahan seperti itu.
SELESAI
Kisah selanjutnya,