Kisah Si Pedang Terbang
Jilid 04
"AWAS, jurus, ke sembilan!" terdengar suara Kwa Lian dan kedua tangannya melakukan totokan dari kanan kiri!
Melihat ini, Seng Gun menggerakkan sulingnya untuk menyambut tangan kiri gadis itu dengan totokan pada telapak tangan, sedangkan tangan kirinya siap menangkis totokan lawan dengan tangan kanan. Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara terkekeh, kepalanya bergerak dan tiba-tiba nampak sinar hitam menyambar dari atas kepalanya. Itulah rambutnya yang hitam dan panjang, yang merupakan senjata ampuh wanita itu di samping pedangnya.
Rambut itu, sekali ia menggerakkan' kepala dengan sentakan tertentu, telah terlepas dari sanggulnya dan rambut yang hitam panjang itu kini menyambar ke arah Seng Gun, terpecah menjadi dua gumpal dan tahu-tahu dua gumpal rambut itu telah melibat kedua pergelangan tangan Seng Gun! Demikian kuat libatannya sehingga pemuda remaja itu merasa kedua lengannya lumpuh.
"Nah, dalam sembilan jurus aku telah mengalahkanmu, adik tampan!" kata Kwa Lian.
Seng Gun mengerahkan tenaga, berusaha melepaskan kedua tangannya yang terlibat rambut, namun gagal. Muka wanita itu demikian dekat dengan muka mereka sehingga dia dapat merasakan hembusan napas dari hidung wanita itu ke mukanya, akan tetapi dia sudah gagal untuk mendapatkan ciuman kemenangan. Dia menghela napas kecewa.
"Baiklah, aku mengaku kalah dan aku akan memberi hormat kepadamu dengan cawan arak," katanya lemas.
"Hi-hik, engkau tampan dan cerdik, sudah sepatutnya kuberi hadiah ciuman, biarpun hanya satu kali," kata Kwa Lian dan tanpa melepaskan libatan rambutnya. Ia menggunakan kedua tangan merangkul leher pemuda itu, menariknya dan di lain saat, mulutnya telah mencium mulut Seng Gun.
Pemuda ini, hampir pingsan rasanya ketika merasakan betapa bibir yang lunak dan lembut, hangat dan penuh gairah itu menghisap bibirnya. Setelah Kwa Lian melepaskan ciumannya, Seng Gun terengah dan mukanya menjadi merah sekali. Bi-sin-liong Kwa Lian melepaskan libatan rambutnya sambil tertawa.
Sementara itu, Ang-sin-liong Yu Kiat, orang tertua yang menjadi pemimpin Bu-tek Ngo-sin-liong segera berseru dengan suara berwibawa ke arah kelenteng. "Kwi-jiauw Lo-mo, apakah engkau tidak cepat keluar menyambut kami?"
Dari dalam kelenteng segera terdengar suara tawa dan jawaban Kwi-ji-auw Lo-mo segera terdengar. "Aha, maafkan kami, Bu-tek Ngo-sin-liong! Kami sudah menyuruh puteraku menyambut, agaknya dia yang masih muda suka bermain-main. Maafkan kami!"
Tiga orang datuk itu berjalan keluar dengan kedua tangan terangkap di depan dada, menyambut dengan gembira.
"Hi-hik, Lo-mo! Puteramu ini menyenangkan juga!" kata Kwa Lian kepada Kwi-jiauw Lo-mo. Datuk yang gendut seperti katak itu tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, tentu saja. Anak siapa? Akan tetapi usianya baru enam belas tahun. Nona Kwa, maka kuharap engkau jangan menyeret dia!" Keduanya tertawa, dan Kwa Lian menjawab dengan suara mengejek.
"Hemm, aku bukan wanita yang suka memperkosa seperti engkau! Dan kalau saja puteramu ini seperti engkau, seperti seekor katak, aku tidak akan mengatakan dia menyenangkan," kembali mereka tertawa-tawa.
Melihat sikap orang-orang itu, diam-diam Seng Gun merasa heran. Kiranya lima orang tamu itu tidak banyak bedanya dalam hal sikap dibandingkan ayahnya dan kedua orang susioknya. Padahal, bukankah mereka itu tokoh-tokoh besar dari Hoat-kauw? Dan sepanjang pengetahuannya, Hoat-kauw adalah suatu aliran yang menjaga keras peraturan! Menjaga keras tegaknya hukum dan keadilan!
Tadinya dia sudah khawatir mendengar ayahnya dan dua orang susioknya yang menjadi kepercayaan dan utusan orang-orang Mongol, hendak mengadakan hubungan dan kerjasama dengan Hoat-kauw. Dia khawatir kalau-kalau ayahnya tidak akan cocok dengan orang-orang yang kabarnya menegakkan hukum dan keadilan dengan kekerasan. Siapa kira, sikap mereka itu ugal-ugalan dan tidak mengenal peraturan seperti juga sikap ayahnya, susioknya dan segolongan mereka.
Tentu saja seorang pemuda berusia enambelas tahun seperti Seng Gun, apalagi yang sejak kecil hidup di tengah lingkungan orang-orang sesat, tidak dapat menangkap keadaan yang nampaknya bertentangan itu.
Dia tahu bahwa seperti juga semua aliran dan ajaran kebatinan, bahkan ajaran agama, merupakan ajaran yang baik, menjadi penuntun bagi manusia agar hidup bermanfaat bagi kemanusiaan, bagi dunia, agar hidup sebagai orang yang selalu membela kebenaran, keadilan dan menumbuhkan cinta kasih di antara manusia.
Tidak ada ajaran agama atau aliran kebatinan yang mengajarkan orang untuk berbuat jahat dan kejam. Namun, ajaran tetap merupakan ajaran, sesuatu yang mati. Yang hidup dan yang menentukan adalah manusianya, penganut ajaran itu. Baik dan buruknya bukan terletak di dalam ajaran itu, melainkan di dalam pelaksanaannya dalam kehidupan, di dalam langkah hidup dan perbuatannya.
Betapa pun suci teorinya, kalau prakteknya kotor, maka perbuatan atau praktek itu hanya akan menodai dan mengotori teorinya. Betapa banyaknya terjadi pertentangan agama, pertentangan aliran. Sesungguhnya, bukan ajaran-ajaran itu yang bertentangan, karena tidak ada ajaran yang menganjurkan manusia saling bertentangan, melainkan ulah si manusia sendirilah yang mempertentangkannya.
Ajaran aliran dan keagamaan diadakan untuk manusia di dunia tanpa pilih bulu. Kalau ajaran itu sudah dimonopoli, menjadi milikku, milik golongan atau kelompokku, milik bangsaku, maka timbullah pertentangan antara milikku dan milikmu , agamaku dan agamamu. Apapun diperebutkan oleh kita manusia ini. Kebenaran diperebutkan, bahkan Tuhan diperebutkan!
Aliran Hoat-kauw mempunyai ajaran agar manusia menaati hukum dan keadilan. Akan tetapi, bagaimana kenyataannya? Manusia tetap manusia dengan segala macam nafsu daya rendah yang menguasai dirinya. Kenyataannya, seperti yang dilihat Seng Gun, hukum itu hanya berlaku bagi mereka yang kalah, mereka yang berada di bawah. Mereka itulah yang harus menaati hukum. Bagi yang menang dan yang berkuasa? Merekalah hukum! Merekalah pembuataan penggaris hukum! Merekalah yang benar dan apapun yang mereka lakukan adalah adil dan benar.
Mereka adalah penegak hukum, yaitu menegakkan hukum agar ditaati bawahan. Merekalah lambang hukum, kebenaran dan keadilan. Yang salah adalah orang lain, terutama orang bawahan. Sesungguhnya, kalau kita mau melihat keadaan sebagaimana adanya, hukum rimbalah yang berlaku di mana-mana. Yang kuat dia menang, yang menang dia berkuasa, yang berkuasa dia benar dan baik! Tentu saja hukum rimba ini diselubungi berbagai macam peraturan yang nampaknya beradab dan baik sehingga tidak nampak lagi.
Karena yang kuasa selalu benar, maka di dunia ini manusia saling berlumba memperebutkan kekuasaan. Dalam keluarga, di antara teman, dalam masyarakat, dalam perkumpulan, dalam pemerintahan. Di mana saja orang memperebutkan kekuasaan karena kekuasaan sumber kesenangan. Kekuasaan memungkinkan orang memperoleh apapun yang dikehendakinya.
Kini empat orang pihak tuan rumah dan lima orang tamu mereka itu duduk menghadapi meja dan menikmati jamuan makan yang dibuat oleh orang-orang dusun yang dipaksa menjadi pembantu di kelenteng itu. Kwi-jiauw Lo-mo menyatakan keinginan kepala suku Mongol untuk mengajak Hoat-kauw bersekutu agar mereka dapat bersama-sama menguasai seluruh negara.
"Menurut Ku-ma-khan, kepala suku Mongol, sekaranglah waktunya yang tepat untuk menguasai Kerajaan Tang yang semakin lemah. Orang-orang Mongol sudah menghimpun kekuatan dan siap untuk melakukan penyerbuan ketimur dan selatan. Dan melihat bahwa Hoat-kauw merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai banyak orang pandai, maka Ku-ma-khan mengulurkan tangan mengajak bekerja sama. Kalau kelak berhasil, maka Hoat-kauw yang akan menjadi satu-satu aliran agama yang harus dipeluk oleh seluruh rakyat."
Ang-sin-liong Yu Kiat minum arak dari cawannya dan tersenyum lebar. "Ha ha agaknya kepala suku Mongol seorang yang bijaksana dan pandai. Mungkin beliau teringat betapa ratusan tahun yang lalu, aliran Hoat-kauw kami yang berhasil memperkuat Kerajaan Cin dan menguasai seluruh wllayah negeri. Memang, hanya dengan memegang teguh ajaran aliran kamilah maka suatu pemerintahan akan berhasil!" Ucapan terakhir ini bernada sombong.
Kwi-jiauw Lo-mo tidak mau kalah. "Akan tetapi, sobat. Hanya mengandalkan peraturan ketat saja, tanpa adanya kekuatan pasukan, juga tidak akan mampu menghasilkan kekuasaan. Oleh karena itulah, kepala suku kami mengajak Hoat-kauw bergabung, agar dengan kekuatan pasukan Mongol, ditambah lagi penyebaran aliran Hoat-kauw, maka perjuangan akan berhasil.
Ang-sin-liong mengangguk-angguk. "Pendapatmu memang benar, Lo-mo. Akan tetapi, untuk mencapai hasil yang baik, merupakan jalan panjang dan tidak mudah. Kami mendengar bahwa bukan hanya bangsa Mongol yang melakukan gerakan untuk merampas kekuasaan, akan tetapi juga banyak suku bangsa lain, terutama sekali suku bangsa Tibet dengan para Lama Jubah Merah. Dan kami kira, kita harus membagi tugas kalau hendak bekerja sama. Kami akan mencoba untuk mengalahkan aliran-aliran yang ada, sedangkan pihak Mongol berusaha untuk menalukkan suku-suku bangsa yang melakukan gerakan. Kalau kita kedua pihak su dah dapat menguasai suku-suku bangsa yang memberontak, menghimpun pula aliran-aliran di bawah satu bendera, yaitu bendera Hoat-kauw, barulah kita mempunyai kekuatan untuk bertindak."
"Tepat sekali," kata Hek-bin Mo-ong sambil tersenyum lebar. "Kita memang harus membagi tugas. Akan tetapi, menghadapi orang-orang Tibet kita harus bersatu padu karena mereka itu merupakan gerakan gabungan antara pasukan Tibet yang dipimpin pula oleh para pendeta Lama yang hendak menyebar agama mereka."
"Memang sebaiknya demikian. Bangsa Tibet cukup kuat. Bukan saja mereka mempunyai banyak pendeta Lama yang sakti, akan tetapi juga suku bangsa Yi-an Miao termasuk suku yang tunduk kepada mereka dan menjadi sekutu mereka."
"Hemm, untuk menghadapi pasukan mereka, kami tidak akan gentar," kata Kwi-jiauw Lo-mo. "Bangsa Mongol juga mempunyai banyak kawan dari suku-suku bangsa yang berada di utara, seperti suku Mancu, Hui dan peranakan Han dengan kedua suku itu. Seperti juga kami bertiga ini. "Aku sendiri peranakan Mongol, Hek-bin Mo-ong peranakan Mancu, dan Pek-bin Mo-ong peranakan Hui."
Demikianlah, delapan orang itu bercakap-cakap dan membagi siasat dan memutuskan bahwa kelenteng di Bukit Ayam Emas itu mereka jadikan tempat pertemuan. Ketika Kwi-jiauw Lo-mo mengusulkan agar Hoat-kauw mengambil alih kelenteng itu dan membuka cabang di situ agar tempat itu terjaga, Bu-tek Ngo sin-liong setuju. Memang tempat itu indah sekali, juga cukup sepi dan jauh dari kota besar.
"Baik, kami akan mengirim anak buah ke sini dan sementara menjaga tempat ini agar tidak lagi dikunjungi orang dusun," kata Ang-sin-liong Yu Ki-at.
Ketika perundingan itu berlangsung, Seng Gun hanya mendengarkan saja, tidak pernah mencampuri. Akan tetapi ada suatu rahasia yang hanya diketahui dia dan tiga orang datuk besar itu saja, rahasia besar tentang dirinya dan tentang cita-cita Kwi-jiauw Lo mo. Sepuluh tahun yang lalu, atau lebih sedikit, dia berusia enam tahun dia dilarikan dari istana kerajaan di Tiang-an ketika di istana terjadi perebutan kekuasaan secara besar-besaran dengan terbunuhnya Kaisar An Lu Shan karena keracunan.
Seng Gun sebetulnya bermarga An, karena dia adalah putera An Lu Shan, dan ibunya adalah puteri Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui. Melihat betapa puteri dan cucunya terancam oleh perebutan kekuasaan, Kwi-jiauw Lo-mo menggunakan kepandaiannya untuk menyelamatkan mereka keluar dari istana. Akan tetapi, puterinya tidak mau, bahkan saking sedihnya karena kematian suaminya, sebagai seorang selir tercinta yang sebagai peranakan Mongol dahulu banyak membantu pemberontakan An Lu Shan sehingga berhasil, puterinya itu, Tong Kiauw Ni membunuh diri.
Terpaksa Kwi-jiauw Lo-mo hanya melarikan cucunya saja, dan semenjak itu, untuk menjaga agar tidak ada yang mengenal Seng Gun sebagai putera Kaisar An Lu Shan, dia mengakui Seng Gun sebagai puteranya sendiri dan mengganti marga An di depan nama Seng Gun menjadi marganya sendiri, yaitu Tong. Biarpun ketika itu usianya baru enam tahun, Seng Gun mengerti akan semua peristiwa yang terjadi dan menyadari bahwa demi keselamatan dirinya, dia harus mengakui kakek luarnya itu sebagai ayahnya.
Perundingan yang dilakukan tiga orang datuk dengan para pimpinan atau tokoh Hoat-kauw itu diikuti dengan penuh perhatian oleh Seng Gun, akan tetapi dia tidak mencampurinya sama sekali, hanya menjadi pendengar saja. Akan tetapi dia tahu benar bahwa kakeknya yang kini diakuinya sebagai ayahnya itu sedang mengatur suatu rencana untuk dirinya! Ya, dia tahu benar bahwa Kwi-jiauw Lo-mo berusaha keras untuk mengembalikan dia ke tempatnya semula, yaitu di istana kota raja, kalau mungkin sebagai kaisar baru! Sebagai penerus kekuasaan An Lu Shan yang telah hancur dan diambil alih oleh Sia Su Beng.
Han Lin merasa seperti melayang di angkasa! Awan berarak di sekeliling nya seperti asap putih yang tebal. Tubuhnya terasa ringan sekali dan setiap ada angin berhembus, tubuhnya hanyut dalam aliran angin itu. Dan dia mendengar percakapan antara dua suara yang tidak nampak orangnya, suara yang kecil dan suara yang parau besar. Begitu jauh bedanya antara kedua suara itu sehingga tanpa melihat si pembicara sekalipun. Han Lin dapat membayangkan bahwa sepantasnya pemilik suara kecil itu seorang yang kurus dan pemilik suara besar seorang yang tinggi gemuk.
Suara kecil bertanya, "Tahukah engkau dengan sesungguhnya bahwa segala sesuatu adalah sama saja?" Suara besar menjawab dengan pertanyaan pula, "Bagaimana saya bisa tahu?"
"Tahukah engkau apa yang engkau tidak tahu?"
"Bagaimana saya bisa tahu?"
"Kalau begitu tidak ada seorangpun tahu?"
"Bagaimana saya bisa tahu?" terdengar pula suara besar, lalu suara Itu melanjutkan, "Bagaimanapun juga, akan saya coba menerangkan padamu. Bagaimana dapat diketahui bahwa yang saya katakan tahu itu sesungguhnya tidak tahu, dan apa yang saya katakan tidak tahu itu sebetulnya tahu? Mungkin yang dikatakan salah itu benar dan yang dikatakan benar itu salah. Seorang manusia yang tidur di tempat basah akan jatuh sakit dan mati. Akan tetapi bagaimana dengan seekor belut? Dan hidup di atas puncak pohon adalah berbahaya dan menegangkan syaraf. Akan tetapi bagaimana dengan seekor monyet? Di antara manusia, belut dan monyet itu, tempat tinggal siapakah yang lebih benar dan tepat? Manusia makan daging, rusa makan rumput, burung makan ulat, kucing makan tikus. Dari mereka semua itu, selera manakah yang lebih benar dan tepat? Monyet jantan bergaul dengan monyet betina, rusa jantan dengan rusa betina, belut dengan ikan, sedangkan manusia pria mengagumi, Dewi Mo Clang dan Dewi Li Ci, pada hal melihat kedua wanita ini, ikan-ikan bersembunyi menyelam dan burung-burung ketakutan terbang, kijang lari ketakutan pula. Lalu siapakah dapat mengatakan yang manakah ukuran kecantikan" itu? Saya kira, pelajaran tentang kemanusiaan dan keadilan dan lorong-lorong dari benar dan salah demikian kacau balau sehingga tidak mungkin diselami dan diketahui."
"Kalau begitu, Manusia Sempurna tidak tahu akan baik dan buruk?"
"Manusia sempurna adalah mahluk suci. Bahkan andaikata lautan mendidih, dia tidak akan merasa kepanasan. Apabila sungai-sungai membeku, dia tidak akan merasa kedinginan. Apabila gunung-gunung dibelah halilintar, dan lautan-lautan diamuk badai, dia tidak akan gemetar ketakutan. Maka, dia seolah mendaki awan-awan di langit, menggembala matahari dan bulan di depannya, dan melewati batas-batas dari keberadaan duniawi. Mati' dan hidup tidak lagi menguasai dia. Sama sekali dia ti dak lagi memperdulikan untung atau rugi."
Mendengar percakapan antara dua suara kecil dan besar itu, Han Lin tersenyum dan diapun berkata, "Percakapan antara Yeh Cia dan Wang Yi, pelajaran bagi Mahaguru Juang-ce!" Sebagai jawaban ucapannya itu, terdengar suara tawa yang aneh.
"Heh-heh-heh-ha-ha-hihihik!!" Seolah yang tertawa ada beberapa orang. Suara tawa itu seperti menyentakkan Han Lin ke dalam kesadaran. Seperti orang baru bangun tidur, dia menggosok kedua mata, membuka mata dan bangkit duduk. Dia masih berada di depar gundukan makam Liu Ma, cuaca gelap dan hanya remang-remang diterangi bintang di langit. Han Lin segera teringat segalanya dan diapun memutar tubuh dan nampak gundukan tanah kuburan ibu angkatnya, Liu Ma.
Dan teringatlah dia akan peristiwa di kelenteng, betapa tiga orang hwesio telah terbunuh, dan ibu angkatnya juga tewas membunuh diri ke dalam jurang ini karena melihat dia terjerumus ke dalam jurang. Teringat akan ini, Han Lin menjatuhkan diri tiarap di depan gundukan tanah itu dan menangis lagi, menangisi kematian. Liu Ma yang telah mengorbankan nyawanya karena amat menyayangnya. Kini terkenang semua kebaikan hati Liu Ma yang menyayangnya seperti anak sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara tawa aneh tadi, disusul kata-kata yang lembut. "Betapa indahnya sangkar emas penuh makanan, burung akan tetap berusaha meloloskan diri. Setelah burung terbang bebas, lepas dari sangkarnya, pantaskah ditangisi?"
Han Lin menghentikan tangisnya, merangkak bangun dan membalikkan tubuh Dia tadi tidak mimpi ! Suara kecil berlawanan dengan suara besar, suara tawa aneh itu, tanya-jawab seperti dua orang memainkan ajaran Juang-ce, semua itu bukan mimpi! Dan dia melihat seorang kakek berdiri di depannya! Cuaca memang remang-remang, akan tetapi entah bagaimana, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas sekali. Apakah wajah itu mengandung cahaya sehingga demikian jelas? Dia tidak tahu.
Wajah seorang kakek yang tubuhnya sedang tingginya namun agak kurus. Wajah itu nampak putih kemerahan, matanya seperti sepasang bintang, rambutnya, kumis dan jenggotnya, seperti benang sutera putih. Pakaiannya dari kain kasar berwar na putih kekuningan, namun bersih. Sepatunya dari kulit kayu, merupakan pelindung telapak kaki saja.
Sukar menaksir usianya, bisa saja sudah tua sekali lebih dari seratus tahun, akan tetapi wajah dan terutama matanya seperti masih amat muda. Ketuaannya itu diperkuat dengan adanya sebatang tongkat bambu yang dipegangnya, seolah menjadi penopang tubuhnya.
"Heh-heh-heh, engkau mengenal ajaran Mahaguru Juang-ce, bagus memang, akan tetapi alangkah lebih bagusnya ka lau engkau tidak hafal akan semua ajaran mahaguru yang manapun juga." Tentu saja ucapan yang berlawanan ini membuat Han Lin mengerutkan alisnya. Dia sudah duduk bersila menghadap gurunya, seperti kalau dia menghadap mendiang Kong Hwi Hosiang di kelenteng.
"Maafkan saya, lo-cianpwe. Saya kira pendapat lo-cianpwe tadi membingungkan dan berlawanan. Lo-cianpwe mengatakan bagus bahwa saya mengenal ajaran Juang-ce, lalu menambahkan akan lebih bagus kalau saya tidak mengenal semua ajaran."
Kembali kakek itu tertawa, kini suara tawanya lembut sekali. "Memang sebaiknya kalau mengenal semua ajaran para bijaksana itu dengan membaca kitabnya, namun hanya sekedar mengenal saja untuk menambah pengertian. Namun, semua ujar-ujar dan nasihat yang ribuan banyaknya itu tidak ada manfaatnya kalau hahya dihafal saja."
"Maaf, lo-cianpwe. Bukankah ajaran-ajaran itu baik sekali untuk pedoman kita hidup di dunia ini? Ajaran-ajaran itu dapat menuntun kita melalui jalan kebenaran dalam hidup, membuat kita mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang salah."
"Ha-ha-ha, di situlah letak kesalahannya, anak yang baik. Kalau orang menjalani hidup ini disesuaikan dengan ajaran-ajaran itu, melakukan perbuatan yang sesuai dengan petunjuk ajaran, maka kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran bahwa itu adalah kebaikan bukanlah kebaikan lagi namanya! Perbuatan seperti itu palsu, anakku, karena perbuatan seperti itu hanya merupakan suatu cara untuk mencapai sesuatu, bukan merupakan suatu keadaan yang wajar, yang dengan sendirinya sudah merupakan suatu keadaan tanpa membutuhkan cara untuk mencapainya lagi."
Han Lin menjadi pening tujuh keliling! "Wah, saya tidak mengerti, locianpwe. Apa artinya semua itu? Mohon penjelasan."
"Sudah jelas, anak baik. Perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih meraih sesuatu hasil dari perbuatan itu, adalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu cara mendapatkan sesuatu. Perbuatan apapun itu, dinilai baik ataupun buruk, kalau dilakukan karena digerakkan pamrih memperoleh hasil sesuatu, adalah palsu! Munafik, topeng kebaikan untuk mendapatkan keuntungan, sama seperti harimau bertopeng domba, tidak lebih baik dari pada harimau tanpa topeng. Dan itu seringkali menjadi topeng domba bagi harimau-harimau yang berkeliaran."
"Wah, saya menjadi semakin bingung. Kalau perbuatan baik menurut ajaran dianggap palsu, lalu yang baik itu bagaimana, lo-cianpwe?"
Han Lin mengejar dengan hati penasaran. Alangkah bedanya pendapat kakek aneh ini di bandingkan ajaran yang dia terima dari Kong Hwi Hosiang yang selalu mengajarkan bahwa hidup haruslah melalui jalan kebenaran, memupuk kebaikan dan menjauhi perbuatan jahat. Dan kakek ini mengatakan bahwa perbuatan baik menurut ajaran adalah palsu dan sama saja dengan perbuatan jahat. Bagaimana ini?
"Kebaikan dan kejahatan itu sama saja, hanya penilaian, seperti siang dan malam, kanan dan kiri, benar dan tidak benar dan selanjutnya, dan selama kita dikuasai oleh im-yang (positif negatif) ini, maka biduk kehidupan tak kan pernah merasakan ketenangan, dipermainkan ombak kanan kiri."
"Tapi, apa yang harus kita laku ke dalam kehidupan ini, locianpwe?"
"Lakukan apa saja yang harus kau lakukan. Yang dinamakan kebenaran, kebajikan dan sebagainya, sesungguhnya merupakan suatu keadaan batin, tidak dinilai dari kata dan perbuatannya. Selama batin masih dicengkeram nafsu, maka daya-daya rendah yang menjadi dasar setiap kata dan perbuatan, karenanya palsu."
"Lalu sikap apa yang harus kita ambil dalam hidup?"
"Lihatlah bulan, bintang, matahari, awan dan seluruh alam ini. Mereka semua bergerak, mereka semua bekerja, dan memang demikianlah keharusan dan keadaan mereka. Tidak baik tidak buruk, tidak benar tidak salah, dan itu adalah karena mereka itu wajar. Bunga mawar berduri dan harum, itulah kewajaran. Bunga anggrek indah dan tidak harum, itulah kewajaran. Wajar itulah indah, wajar itulah kenyataan, wajar itulah To (Jalan, atau Kekuasaan Mutlak). Seyogianya kita menjadi manusia wajar."
"Akan tetapi, dari mana timbulnya rangsangan kejahatan yang membuat manusia melakukan perbuatan kejam dan jahat?"
"Nafsu daya rendah yang mendorong manusia melakukan perbuatan merugikan sesamanya. Nafsu selalu mendorong, ingin ini, ingin itu, berpamrih demi pemuasan diri, demi kesenangan, karena itu, perbuatan yang didorongnya selalu berpamrih. Dan pamrih tetap pamrih, bisa berpakaian bersih dan indah atau berpakaian butut kotor, tetap pamrih dan selama ada pamrih, setiap perbuatan adalah palsu. Sudahlah, Han Lin, kelak engkau akan mengerti sendiri kalau engkau mulai saat ini suka menjadi temanku."
Han Lin terbelalak. "Bagaimana lo-cianpwe dapat mengetahui nama saya?"
"Ha-ha, apa artinya nama? Karena engkau bernama, maka aku mengetahunya."
"Maksud lo-cianpwe, mulai sekarang saya menjadi murid lo-cianpwe?"
"Bukan murid, melainkan teman, sahabat. Tidak ada guru manusia lain dalam kehidupan ini, mengenai soal kehidupan karena kita sendiri masing-masing adalah gurunya, juga muridnya. Bimbingan utama datang dari dalam diri sendiri, To (Kekuasaan Tuhan) telah berada dalam diri setiap orang manusia dan Dialah yang menjadi pembimbing. Tentu saja kalau engkau ingin mempelajari ilmu jasmaniah yang dikuasai, engkau dapat belajar dariku."
Mendengar ini, langsung saja Han Lin menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu. "Suhu yang mulia, mulai malam ini, teecu (murid) Han Lin akan menaati semua petunjuk suhu!"
Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih halus dan tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bukan kehendakku engkau menjadi muridku, Han Lin, bukan kehendakku, melainkan sudah digariskan dari semula!" Kakek itu menengadah memandang langit, seolah hendak mencari rahasia kejadian itu di antara bintang di langit.
"Suhu, kalau boleh teecu mengetahui, suhu siapakah?"
"Heh-heh, tidak tahukah engkau? Aku juga seorang manusia seperti engkau, hanya bedanya, aku lebih lama berada di dunia ini dibandingkan engkau."
Han Lin tertegun. Jawaban itu memang tentu saja benar, namun begitu sederhana, seperti percakapan antara kanak-kanak saja. "Maksud teecu, suhu. Siapakah nama suhu yang mulia?"
"Hemm, apakah artinya nama? Nama tidak sama dengan yang dinamakan. Sebutan bulan bukanlah bendanya, sebutan Han Lin bukanlah orangnya."
Han Lin sudah banyak membaca. kitab-kitab kuno, maka ucapan ini tidak membuatnya heran. "Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi, tanpa adanya nama atau sebutan, tentu tidak ada percakapan, tidak ada hubungan antar manusia. Maksud teecu, sebutan teecu dengan kata "suhu" juga merupakan nama, bukan? Nah, maksud teecu, nama suhu, bukan sebutannya, siapakah?"
"Ha-ha, kalau hendak menyebutku, sebut saja Lo-jin (Orang tua), karena memang aku seorang yang sudah tua!" Diapun tertawa-tawa seperti merasa geli mendengar ucapannya sendiri.
"Ingat suhu. Nama Lo-jin itupun dapat menjadi nama, dan Lo-jin bukanlah orangnya!"
Kini guru dan murid itu tertawa-tawa geli dan sungguh aneh sekali kalau ada orang lain melihatnya. Seorang pemuda remaja dan seorang kakek, di tengah malam penuh bintang didasar jurang depan gundukan tanah kuburan baru, tertawa-tawa seperti digelitik perutnya!
"Sudahlah, hayo ikut aku. Pegang ujung tongkatku," kata kakek itu sambil menyodorkan tongkat bambunya.
Han Lin memegang ujung tongkat bambu itu dan kakek itu lalu bergerak melangkah. Dan terjadilah sesuatu yang membuat Han Lin terbelalak dan tengkuknya terasa dingin. Dia merasa seperti dalam mimpi ketika dia setengah tertarik ketika memegangi ujung tongkat, mengikuti kakek itu mendaki jurang yang amat curam, tebing yang berlawanan dengan tebing di mana dia terjatuh. Menurut nalar, agaknya tidak mungkin mendaki tebing seperti itu, apa lagi dalam malam yang remang-remang.
Akan tetapi Han Lin merasa seperti seekor cecak saja, atau lebih tepat lagi dia terbetot dan terseret naik oleh tongkat bambu itu. Dia merasa ngeri dan memejamkan kedua matanya, menurut saja diseret ke atas, kedua kakinyapun asal melangkah saja, akan tetapi dia memegangi ujung tongkat dengan pengerahan seluruh tenaganya karena sekali tongkat itu terlepas dari tangannya, tentu dia akan meluncur ke bawah dan tidak akan ada yang mampu menyelamatkannya. Akhirnya mereka tiba di atas tebing. Akan tetapi kakek itu masih terus saja menariknya.
Demikian kuatnya tenaga yang tersalur melalui tongkat bambu itu sehingga Han Lin merasa seolah-olah tubuhnya diterbangkan. Cuaca kadang gelap, kadang terang, namun mereka meluncur terus. Han Lin merasa seperti dalam mimpi dan kembali dia memejamkan mata, menyerah saja penuh keyakinan bahwa kakek itu bukan manusia biasa, bahkan mungkin pula bukan manusia! Ataukah kakek itu petugas yang menjemputnya meninggalkan dunia ini? Apakah dia sudah mati?
Langit di ufuk timur mulai terbakar oleh cahaya kemerahan. Sinar cerah sang matahari mulai mengusir kegelapan walaupun mataharinya sendiri beium nampak. Seluruh permukaan bumi agaknya menyambut kemunculan Sang Surya ini dengan penuh kegembiraan. Bayang-bayang hitam kegelapan mulai memudar, terganti cahaya yang.mulai menghidupkan segala sesuatu.
Pohon-pohon dan semua tumbuh-tumbuhan sampai rumput, seolah baru bangkit dari tidur lelap diselimuti kegelapan malam. Burung-burung berkicau riang, ayam hutan berkokok bangga. Kabut pagi mulai menyingkir perlahan dihembus semilir angin, dihalau cahaya matahari pagi. Embun bergantungan pada pucuk daun dan rumput, di bibir bunga-bunga, nampak tak rela melepaskan pegangan terakhir sebelum akhirnya terle pas dan terhempas ke tanah pula. Segala sesuatu nampak segar gemilang.
Han Lin duduk bersila. Baru saja kakek itu menghentikan gerakannya dan melihat kakek itu duduk bersila di atas batu datar halus diapun ikut duduk di atas rumput kering. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit yang sepi sekali, di tengah perbukitan yang amat luas. Dia tidak berani mengganggu karena kakek itu duduk bersila dengan ke dua mata terpejam dan pernapasannya seperti orang yang sedang tidur.
Melihat kakek itu beristirahat, Han Lin tidak berani mengganggu dan diapun memperhatikan kakek aneh itu. Melihat wajah kakek itu, dia teringat kepada mendiang Kong Hwi Hosiang yang mempunyai wajah seperti wajah anak kecil. Wajah kakek inipun segar kemerahan dan tidak terhias keriput walaupun tubuhnya tidak gemuk seperti Kong Hwi Hosiang.
Tubuh kakek ini tegap dan kurus. Rambut, kumis dan jenggotnya putih seperti benang sutera putih. Karena baru saja dia nyaris tewas, juga telah terpukul, kemudian semalam suntuk mengikuti kakek itu melakukan perjalanan seperti terbang, Han Lin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan lelah sekali, maka diapun mencontoh kakek di depannya dan memejamkan mata, beristirahat. Ketukan tongkat pada batu membangunkan Han Lin dan ternyata hari telah menjelang siang.
Matahari telah naik tinggi dan kakek itu memandang kepadanya dengan senyum aneh. Senyum itu seperti sinar matahari pagi yang menghidupkan, hangat dan menimbulkan gairah hidup, penuh kepasrahan, kesabaran, kewajaran.
"Suhu!" kata Han Lin dan diapun mengubah kedudukan kakinya yang tadi bersila kini berlutut.
"Han Lin, duduklah bersila seperti tadi dan sekarang ceritakan segalanya tentang dirimu," terdengar kakek yang hanya dikenalnya dengan' sebutan Lo-jin (Orang tua) itu berkata dengan lembut. Snaranya bagaikan desir angin bermain-main di antara daun pohon dan ujung rumput.
Han Lin menaati perintah gurunya dan kembali duduk bersila, lalu berkata, "Teecu kira suhu sudah pasti telah mengetahui hal mengenai diri teecu. Perlukah lagi teecu menceritakannya sendiri?"
Suara tawa kakek itu mempunyai daya tular yang kuat sehingga Han Lin juga ikut tertawa. Tawa maupun tangis merupakan suara aseli dari semua manusia di dunia ini. Biarpun bahasa antara bangsa berbeda, namun tawa dan tangis semua bangsa tidak ada bedanya karena suara tawa dan tangis itu mengandung seluruh perasaan, maka mudah sekali menular kepada orang lain.
Demikian pula tawa kakek itu yang wajar, tidak di buat-buat, tidak pula mengandung sesuatu yang lain, seperti tawa seorang bayi yang mendatangkan rasa gembira da lam hati setiap orang.yang mendengarnya, maka Han Lin tidak dapat menahan diri untuk. tidak ikut tersenyum lebar.
"Ha-ha-ha-heh-heh, Han Lin, orang yang mengaku tahu adalah orang yang tidak tahu! Ceritakanlah semuanya sejak engkau kecil sampai sekarang ini."
Tiba-tiba Han Lin menyadari. Kakek ini jelas bukan manusia biasa. Kalau tanpa diberitahu kakek ini sudah mengetahui namanya, tentu telah mengetahu segala tentang dirinya. Kenapa masih bertanya dan menginginkan dia bercerita? Tentu untuk mengujinya, menguji kejujurannya! Maka, tanpa ragu-ragu lagi diapun bercerita tentang dirinya, semenjak dia hidup sebagai seorang "pangeran" kecil, putera Sia Su Beng dan Yang Kui Bi sampai terjadinya penyerbuan pasukan Tang yang memasuki kota raja dan kedua orang tuanya ikut bertempur.
Betapa dia diungsikan oleh Liu Ma yang kemudian dianggap sebagai ibunya. Betapa dia menjadi murid Kong Hwi Hosiang di kelenteng dekat puncak Bukit Ayam Emas itu dan tentang munculnya tiga orang datuk sesat bersama seorang pemuda, dan betapa Kong Hwi Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio terbunuh oleh para datuk sesat itu. Kemudian tentang ibunya yang melempar diri ke dalam jurang menyusul dirinya yang terpukul dan terjungkal ke dalam jurang itu.
"Agaknya Tuhan belum menghendaki mati, suhu, maka teecu berhasil menangkap cabang pohon dan tidak terbanting ke dasar jurang. Akan tetapi ibu Liu Ma, ia tewas dan teecu kubur jenazahnya di dasar jurang itu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Belum kau ceritakan tentang keadaan tubuh mu. Pukulan yang membuatmu terjungkal ke jurang itu adalah pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi engkau tidak keracunan. Nah, bagaimana hal itu dapat terjadi?"
"Ah, maafkan teecu, suhu. Teecu sampai lupa," kata Han Lin, padahal dia sengaja melewatkan bagian itu untuk melihat apakah kakek itu mengetahui akan keadaan tubuhnya yang telah menjadi kebal terhadap racun itu. Dengan tersipu karena ternyata kakek itu mengetahui segalanya,.diapun menceritakan dengan jelas akan peristiwa pertemuannya dengan Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong yang pertama kalinya, ketika dia terkena pukulan dari depan dan belakang oleh kedua orang datuk itu, ditambah lagi gigitan ular senduk kepala putih yang membuat tubuhnya dimasuki tiga macam racun sekaligus.
"Menurut keterangan mendiang suhu Kong Hwi Hosiang, akibat tiga racun itu, tubuh teecu menjadi kebal terhadap racun."
Demikian dia mengakhiri ceritanya dan kakek itupun mengangguk-angguk senang. Demikianlah, mulai hari itu, Han Lin menjadi murid kakek yang hanya dikenal sebagai Lo-jin. Dan ternyata kemudian oleh pemuda remaja ini bahwa kakek itu adalah seorang manusia yang amat sederhana, juga aneh sekali. Kadang hanya cukup hidup sehari dengan beberapa helai daun dan seteguk air saja, kadang tidak ada entah ke mana sampai beberapa hari, lalu muncul kembali.
Akan tetapi dia menganggap semua itu wajar karena memang demikianlah keadaan Lo-jin. Dan dia mulai menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Namun, Lo-jin mengatakan bahwa semua ilmu yang diajarkannya itu adalah ilmu untuk mempertahankan keselamatan jasmani, dan ilmu-ilmu itu adalah ilmu untuk dipergunakan selagi hidup di dunia ini dan kelak ilmu-ilmu itu akan musnah bersama raga. Karena itu, dia tidak boleh terikat kepada ilmu-ilmu itu, dan untuk dapat membebaskan diri dari segala sesuatu, dia harus memiliki dasar yang satu, yaitu kewajaran yang berarti penyerahan!
Menyerah sebagai dasar semua ikhtiar hidup, menyerah secara mutlak kepada Sang Maha Pencipta, seperti halnya bumi, matahari, bulan, bintang dan segala mahluk di alam ini yang tidak dikuasai nafsu daya rendah dan hidup selaras dengan To (Kekuasaan Tuhan).
Dara itu berusia delapanbelas tahun. Cantik jelita bagaikan setangkai bunga mawar rimba. Mukanya berbentuk bulat telur dan kulit mukanya halus putih kemerahan. Wajah yang bentuknya indah itu dihias rambut bagaikan mahkotanya, rambut yang halus lebat dan hitam mengkilat, digelung ke atas, di ikat dengan pita sutera kuning dan dihias tusuk sanggul dari batu kemala.
Sepasang matanya lebar dan sinarnya tajam. Hidungnya mancung dengan cuping hidung tipis yang dapat berkembang kempis dengan lucunya. Mulutnya penuh gairah hidup dan selalu tersenyum bersama matanya, senyum yang amat manis, apa lagi kalau lesung pipit di kedua pipinya nampak. Tubuhnya padat dan ramping, dan di balik kelembutannya sebagai seorang dara remaja, terkandung suatu kekuatan yang hebat, yang dapat nampak pada lekukan di dagu dan tubuh yang tegak dan dada yang membusung.
Gerak geriknya lincah, matanya memandang penuh gairah dan kejenakaan. la berdiri di bawah sebatang pohon, pungggungnya hanya terpisah seperempat meter saja dari batang pohon dan ia berdiri tegak, dengan mata dan mulut tersenyum ke arah wanita yang berdiri dalam jarak sekitar limapuluh kaki. Dan di atas ubun-ubun kepalanya, di depan sanggulnya, terletak sebutir buah apel merah.
“Mei Li! kau lepas saja sanggulmu yang tinggi itu agar jangan sampai ada yang terbabat Hui-kiam (pedang terbang)!" kata wanita yang berada di depannya dalam jarak limapuluh kaki itu.
Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh sembilan tahun walaupun nampak jauh lebih muda, pakaiannya sutera serba hitam, wajahnya juga cantik dan mirip sekali dengan wajah gadis itu, tubuhnya masih padat ramping dengan pinggang kecil dan pinggul besar. Wanita cantik ini nampak gagah perkasa dan di balik kecantikannya dan kelembutannya sebagai seorang wanita tersembunyi sifat gagah yang mudah dilihat dari sinar matanya yang tajam mencorong.
Ia memang bukan wanita sambarangan. Ia adalah seorang pendekar wanita yang pernah menggegerkan dunia persilatan karena sepak terjangnya yang menggiriskan lawan mengagumkan kawan. Namanya Can Kim Hong dan ia ibu kandung gadis jelita itu yang bernama Yang Mei Li. Can Kim Hong ini isteri Yang Cin Han, putera bangsawan tinggi yang pernah menjadi perdana menteri, yaitu mendiang Yang Kok Tiong. Seperti isterinya, Yang Cin Han juga seorang pendekar yang tangguh karena dia adalah murid dari Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), seorang datuk dunia persilatan yang terkenal.
Namun, isterinya, Can Kim Hong, lebih hebat lagi karena isterinya ini murid Hek-liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu seorang pendekar sakti yang aneh, yang telah merangkai ilmu pedang yang amat hebat, yaitu ilmu pedang Hek-liong Hui-kiam (Pedang Terbang Naga Hitam).
Dapat dibayangkan betapa bahagianya Yang Mei Li, gadis berusia delapanbelas tahun yang suka belajar ilmu silat itu karena ia langsung dibimbing oleh ayah ibunya yang keduanya memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Dan pada sore hari itu, mereka melakukan latihan ilmu silat dan ibunya memberi petunjuk dan contoh cara menggunakan ilmu hui-kiam (pedang terbang).
Mendengar ucapan ibunya, Mei Li lalu melepas sanggulnya membiarkan rambutnya yang hitam lebat itu terurai lepas, panjang sampai ke pinggulnya. Kini buah apel itu terletak di atas rambut yang padat menutup ubun-ubun kepalanya.
"Jangan bergoyang!" terdengar nyonya cantik itu berseru dan ia menggerakkan tangan kanannya. Sebatang pedang kecil yang berada di tangannya meluncur bagaikan anak panah cepatnya, berubah bentuknya menjadi sinar kilat menyambar ke atas kepala Mei Li.
"Singgg.... cappp...!!"
Pedang kecil itu meluncur dan tepat sekali membabat putus buah itu pada tengah-tengah dan pedangnya menancap di batang pohon. Apel terpotong menjadi dua, bagian atasnya terlempar jatuh dan bagian bawahnya masih berada di atas kepala Mei Li...!
Mei Li menggerakkan kepala sehingga potongan apel itu terlempar jatuh pula dari atas kepalanya dan iapun bertepuk tangan memuji. "Hebat, ibu memang hebat!" serunya gembira.
Can Kim Hong tersenyum dan kedua pipinya kemerahan. "Aih, anak nakal, engkau hendak menggoda ibumu? Apa sih hebatnya memotong buah apel itu dengan hui-kiam (pedang terbang)? Aku yakin engkaupun akan mampu melakukannya. Aku tadi hanya memberi contoh bagaimana untuk bersikap agar tanganmu mantap dan tidak ragu sedikitpun."
"Aih, ibu! Mana aku berani menggoda ibu? biarpun mungkin saja aku dapat melakukan seperti yang ibu lakukan tadi, akan tetapi dipaksa bagaimanapun juga, aku tidak akan berani menyambit apel dengan hui-kiam kalau apel itu di taruh di atas kepala ibu. Hih, meleset sedikit saja ke bawah" Dara itu memejamkan kedua matanya dan menggerak gerakkan kedua pundaknya seperti orang yang merasa kengerian.
"Hemm, karena itulah maka aku sengaja memberi contoh padamu tadi, Mei Li. Ilmu mempergunakan hui-kiam bukan hanya tergantung kepada kemahiran tangan saja, melainkan terutama sekali keteguhan hati. Kalau hatimu seteguh baja, bidikanmu takkan meleset serambutpun dan jari-jari tanganmu akan mantap dan tidak tergetar sedikitpun juga."
Gadis manis itu menjulurkan lidah, ujung lidah yang merah itu mengintai dari sepasang bibirnya dan iapun menjawab, "Aku tahu, ibu memiliki ketabahan hati seteguh baja! Ayah juga sering menceritakan kepadaku dan memuji-muji ibu. Mungkin aku yang telah berlatih dengan tekun memiliki kemahiran itu, akan tetapi keteguhan hati tak dapat dilatih, ibu. Betapapun keras hati ku, bagaimana mungkin aku berani membidik apel di atas kepala ibu? Sekarang tolong ibu lemparkan sebuah apel ke atas, aku akan mencoba denqan jurus Siang-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mestika) dengan sepasang pedangku."
Can Kim Hong tersenyum, lalu mengambil sebuah apel dari dalam keranjang yang memang dipersiapkan untuk latihan, kemudian ia melempar buah itu ke atas. Mei Li dengan gerakan cepat sekali sudah mencabut keluar sepasang pedang yang bentuknya indah dan merupakan sepasang pedang pendek yang berkilauan saking tajamnya, dan pedang-pedang itu diberi tali sutera merah yang cukup panjang dan digulung dan dibelitkan di ujung gagang pedang.
Sekali gadis itu mengeluarkan bentakan halus dan menggerakkan sepasang pedangnya, maka nampak dua sinar menyambar ke atas menyerang apel tadi dan meluncur dengan menyilang membabat buah apel. Buah apel itu terpotong menjadi empat oleh sepasang pedang, dan potongannya berjatuhan di atas tanah sedangkan sepasang pedang itu meluncur kembali ke arah kedua tangan Mei Li ketika ia menarik tali sutera itu.
Dan cepat sekali, begitu sepasang pedang telah berada di kedua tangannya, sukar diikuti pandang mata saking cepatnya sepasang pedang itu telah kembali ke dalam sarungnya, hampir berbareng saatnya dengan jatuhnya empat potong apel itu.
"Cukup bagus!" puji ibunya, "Sekarang coba perlihatkan siang-hui-kiam sut (Ilmu Sepasang Pedang Terbang) yang telah digabung dengan Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi). Berlatihlah yang sungguh-sungguh, karena aku akan menyerangmu dengan apel-apel ini, dan aku akan menyerang dengan sungguh-sungguh!”
Mei Li segera mencabut sepasang pedangnya dan kini ia bersilat dengan sepasang pedang. Gerakannya indah seperti seorang dewi menari-nari dan itulah Sian-li Kiam-sut yang ia pelajari dari ayahnya, akan tetapi kadang-kadang pedangnya menyambar lepas dari tangan untuk cepat berputar dan terbang kembali ke tangannya. itulah Siang-hui Kiam-sut.
Dengan bantuan ayah dan ibunya, Mei Li berhasil menggabungkan kedua ilmu pedang yang ia pelajari dari ayah ibunya. Can Kim Hong mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring dan ibu ini menyerang puterinva dengan lemparan apel-apel dari dalam keranjang. Sambitan Can Kim Hong bukan sambitan biasa, melainkan sambitan seorang ahli silat tingkat tinggi yang memiliki tenaga sinkang kuat, maka tentu saja buah-buah apel itu menyambar-nyambar seperti peluru meriam!
Namun, sepasang pedang yang digerakkan dengan indahnya itu kini bergerak cepat sehingga lenyaplah bentuk sepasang pedang itu, berubah menjadi dua sinar yang bergulung-gulung membentuk perisai sinar dan semua buah apel yang menyambar tentu runtuh terbelah oleh sinar pedang yang amat tajam!
Dalam waktu beberapa menit saja, puluhan buah apel itu habis terpotong-potong dan berserakan di atas tanah. Can Kim Hong mengeluarkan suara melengking dan ibu inipun kini menerjang maju dengan sepasang pedangnya sendiri, menyerang Mei Li dengan gerakan cepat. Dan terjadilah latihan pertandingan yang amat seru dan kalau ada orang lain kebetulan menjadi penonton, tentu dia akan merasa tegang dan mengira bahwa kedua orang wanita itu benar-benar sedang berkelahi mati-matian!
Memang ibu dan anak itu berlatih dengan sungguh-sungguh, mengerahkan tenaga dan kecepatan. Hal ini berani mereka lakukan karena keduanya sudah menguasai benar ilmu sepasang pedang terbang itu.
"Awas pedang!" tiba-tiba Mei Li berseru dan pedangnya yang kiri meluncur cepat dan ke arah leher ibunya, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Can Kim Hong berusaha keras untuk mengalahkan puterinya dalam latihan ini, maka iapun menggunakan sepasang pedangnya untuk menggunting atau menjepit pedang yang terbang menyerangnya itu dengan kedua pedangnya yang bergerak cepat.
Akan tetapi, begitu pedang kiri itu terjepit di antara sepasang pedang ibunya, Mei Li sudah membentak lagi dan pedang kanannya kini meluncur ke arah kaki ibunya. Can Kim Hong mengeluarkan seruan kagum dan tubuhnya mencelat ke atas, dan dengan sendirinya jepitan kedua pedangnya terlepas dan sekali tarik, pedang kiri itu sudah melayang kembali kepada pemiliknya. Can Kim Hcng melayang turun dan menyimpan kembali sepasang pedangnya sambil tersenyum.
"Thian-te-siang-liong (Sepasang Naga Langit Bumi) yang cukup bagus dalam penyeranganmu tadi, Mei Li. Akan tetapi, pedang ke dua itu agak terlambat, kalau kaulepaskan pedang kanan itu sedetik lebih cepat, sebelum pedang kirimu terjepit, tentu akan membuat aku lebih repot."
Dara berusia delapan belas tahun itu memang telah menguasai sepasang pedang terbang dengan amat baiknya. Memang ia memiliki bakat besar dan ditambah ketekunannya dan kecerdikannya, maka dalam usia delapanbelas tahun ia bahkan lebih mahir dibandingkan ibunya! Hal ini tidaklah terlalu aneh karena selain ayah ibunya yang menggemblengnya sejak ia masih kecil, juga Mei Li selama dua tahun terakhir ini menerima penggemblengan dari kakek gurunya, yaitu Hek-liong Kwan Bhok Cu, guru ibunya.
Yang Mei Li merupakan anak tunggal dari suami isteri Yang Cin Han dan Can Kim Hong. Ayah dari Yang Cin Han, yaitu mendiang perdana menteri Yang Kok Tiong, kakak dari mendiang selir Yang Kui Hui yang amat terkenal, terlibat langsung ketika terjadi pemberontakan dalam Kerajaan Tang yang dilakukan oleh An Lu Shan.
Dalam keributan pemberontakan itu, yang membuat Kaisar Hsuan Tsung terpaksa melarikan diri dan diiringkan pula oleh Perdana Menteri Yang Kok Tiong, perdana menteri ini tewas. Juga isterinya tewas membunuh diri ketika kota raja diserbu pemberontak. Perdana menteri ini meninggalkan tiga orang anak, yaitu Yang Cin Han sebagai anak tertua, kemudian masih ada dua orang adiknya, keduanya wanita, yaitu Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi.
Yang Kui Bi menikah dengan Sia Su Beng pemberontak lain yang berhasil membunuh An Lu Shan dan puteranya, kemudian Yang Kui Bi, yaitu ibu kandung Sia Han Lin, gugur ketika pasukan pemerintah Tang merebut kembali kota raja.
Sedangkan Yang Kui Lan yang menjadi isteri pendekar Go-bipai yang bernama Souw Hui San tinggal di Wu-han di pantai Yang-ce-kiang. Biarpun tiga orang ini merupakan putera puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong, namun yang terlibat langsung dalam perang perebutan mahkota Kerajaan hanyalah Yang Kui Bi yang menjadi isteri Sia Su Beng yang telah mengangkat diri sendiri sebagai kaisar baru menggantikan An Lu Shan.
Yang Cin Han dan adiknya, Yang Kui Lan, tidak mau melibatkan diri dan ketika pasukan Tang akhirnya berhasil merebut kembali tahta kerajaan dari tangan Sia Su Beng dalam tahun 766, kakak beradik ini tidak mencampuri. Ketika mendengar bahwa kota raja telah jatuh kembali ke tangan pasukan Tang yang dipimpin oleh Pang lima Kok Cu It yang setia dan gagah perkasa, dan mendengar pula akan gugurnya Sia Su Beng dan adiknya, Yang Kui Bi, Yang Cin Han mencoba untuk mencari berita tentang adiknya itu di kota raja yang telah diduduki kembali oleh Kaisar Su Tsung.
Dia mendengar bahwa adiknya itu benar telah gugur, demikian pula suami adiknya. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan keponakannya, Sia Han Lin yang baru berusia lima tahun. Anak itu lenyap tak tentu rimbanya dan dia tidak berhasil menemukan jejaknya.
Demikianlah sedikit riwayat Yang Cin Han, ayah Yang Mei Li. Kini, Kerajaan Tang telah pulih kembali, telah berdiri kembali dengan tegaknya berkat kegagahan Panglima Kok Cu It. Akan tetapi, semenjak Kaisar Su Tsung yang menggantikan Kaisar Hsuan Tsung merebut kembali kota raja dalam tahun 766, sudah beberapa kali terjadi penggantian kaisar. Kaisar Su Tsung hanya memerintah sampai tahun 768 saja sejak dinobatkan menggantikan ayahnya dalam tahun 755.
Kemudian penggantinya, Kaisar Kui Tsung, adiknya sendiri, memerintah sebagai kaisar dari tahun 768 sampai 773- Kemudian, baru saja beberapa bulan yang lalu Kaisar Kui Tsung meninggal dunia dan tahta kerajaan diserahkan kepada puteranya, yaitu Kaisar Thai Tsung.
Ketika kisah ini terjadi, kaisarnya adalah Kaisar Thai Tsung. Karena pasukan Tang merampas kembali tahta kerajaan dengan bantuan banyak suku asing dari barat dan utara, maka setelah kerajaan Tang dapat dibangun kembali, suku-suku bangsa yang tadinya membantu itu menuntut balas jasa. Banyak di antara mereka yang tidak mau kembali ke kampung halaman, keenakan tinggal di daerah pedalaman Kerajaan Tang.
Berbagai bangsa tinggal bertebaran di wilayah Tang, di antara mereka adalah bangsa Arab yang tadinya merupakan pasukan Arab yang dikirim oleh Kalif Abu Jafar al Mansur dalam tahun 756 untuk pembantu Kerajaan Tang menghadapi pemberontakan yang telah menduduki kota raja Tiang-an, ada pula bangsa Nepal, Turki dan banyak suku bangsa lagi. Banyak di antara mereka telah menikah dengan wanita Han dan tinggal menetap di pedalaman.
Namun, yang merupakan gangguan terbesar bagi Kerajaan Tang yang baru saja menguasai kembali kota raja Tiang-an adalah gerakan dari bangsa Tibet di barat dan disusul gerakan Kerajaan Nan Chao yang berkedudukan di Yunnan, sebelah selatan. Gangguan dari barat dan selatan inilah yang merongrong Kerajaan Tang sepanjang tahun-tahun mendatang. Yang Cin Han dan keluarganya tinggal di Lok-yang, kota besar yang merupakan ibukota ke dua setelah Tiang-an.
Dia menjadi saudagar rempa-rempa yang berhasil, sehingga keadaan keluarganya cukup kaya. Dan biarpun dia sendiri seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, demikian pula isterinya, namun suami isteri ini selalu menjaga agar mereka jangan sampai terlibat dalam urusan dunia kangouw. Juga Mei Li mereka pesan agar jangan mencari permusuhan.
Gadis ini bukan saja digembleng ilmu silat tinggi, akan tetapi juga sastra dan kesenian lain. Mei Li memang cantik, kecantikan yang amat menarik seperti biasa kecantikan wanita yang berdarah campuran. Ibunya, Can Kim Hong, adalah seorang peranakan Khitan, ayahnya orang Han dan ibunya orang Khitan. Dan Mei Li ju ga mewarisi kecantikan campuran dari ibunya.
Seperti juga Cin Han, Kim Hong juga sudah yatim piatu. Ayahnya, seorang perwira bernama Can Bu, belum lama ini meninggal dunia karena terluka dalam pertempuran kemudian menderita sakit sampai berbulan-bulan. Hek-liong Kwan Bhok Cu, guru Can Kim Hong, pernah berkunjung ke rumah muridnya sekitar tiga tahun yang lalu.
"Sudahlah, jangan merisaukan yang bukan-bukan," kata Yang Cin Han dan dia merangkul isterinya dengan penuh perasaan sayang. Suasana menjadi sunyi dalam kamar itu.
Di kota Wu-han, Souw Hui San dan isterinya, Yang Kui Lan, berdagang kain dan mempunyai sebuah toko yang cukup besar. Mereka hidup serba kecukupan dan tenang, tidak pernah suami isteri pendekar ini menonjolkan diri sebagai jagoan. Biarpun demikian, diam-diam mereka berdua menggembleng anak tunggal mereka, yaitu Souw Kian Bu yang telah berusia sembilan belas tahun.
Souw Hui San telah berusia empat puluh lima tahun. Dia seorang Murid Gobi-pai yang terpandai, seorang yang sejak muda sudah yatim piatu dan bertualang di dunia persilatan sebagai seorang pendekar yang lincah jenaka dan gembira, namun cerdik dan lihai sekali. Wajahnya cukup tampan dengan bentuk yang bulat, matanya membayangkan kecerdikan dan mulutnya membayangkan keramahan dengan senyum yang agaknya penuh pengertian. Tubuhnya sedang dan kekar.
Sebagai seorang ayah, dia menurunkan semua ilmu silatnya kepada Souw Kian Bu, di samping mengharuskan puteranya itu mempelajari kesusasteraan dari seorang guru sastra yang sengaja dia bayar untuk mendidik puteranya...
Melihat ini, Seng Gun menggerakkan sulingnya untuk menyambut tangan kiri gadis itu dengan totokan pada telapak tangan, sedangkan tangan kirinya siap menangkis totokan lawan dengan tangan kanan. Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara terkekeh, kepalanya bergerak dan tiba-tiba nampak sinar hitam menyambar dari atas kepalanya. Itulah rambutnya yang hitam dan panjang, yang merupakan senjata ampuh wanita itu di samping pedangnya.
Rambut itu, sekali ia menggerakkan' kepala dengan sentakan tertentu, telah terlepas dari sanggulnya dan rambut yang hitam panjang itu kini menyambar ke arah Seng Gun, terpecah menjadi dua gumpal dan tahu-tahu dua gumpal rambut itu telah melibat kedua pergelangan tangan Seng Gun! Demikian kuat libatannya sehingga pemuda remaja itu merasa kedua lengannya lumpuh.
"Nah, dalam sembilan jurus aku telah mengalahkanmu, adik tampan!" kata Kwa Lian.
Seng Gun mengerahkan tenaga, berusaha melepaskan kedua tangannya yang terlibat rambut, namun gagal. Muka wanita itu demikian dekat dengan muka mereka sehingga dia dapat merasakan hembusan napas dari hidung wanita itu ke mukanya, akan tetapi dia sudah gagal untuk mendapatkan ciuman kemenangan. Dia menghela napas kecewa.
"Baiklah, aku mengaku kalah dan aku akan memberi hormat kepadamu dengan cawan arak," katanya lemas.
"Hi-hik, engkau tampan dan cerdik, sudah sepatutnya kuberi hadiah ciuman, biarpun hanya satu kali," kata Kwa Lian dan tanpa melepaskan libatan rambutnya. Ia menggunakan kedua tangan merangkul leher pemuda itu, menariknya dan di lain saat, mulutnya telah mencium mulut Seng Gun.
Pemuda ini, hampir pingsan rasanya ketika merasakan betapa bibir yang lunak dan lembut, hangat dan penuh gairah itu menghisap bibirnya. Setelah Kwa Lian melepaskan ciumannya, Seng Gun terengah dan mukanya menjadi merah sekali. Bi-sin-liong Kwa Lian melepaskan libatan rambutnya sambil tertawa.
Sementara itu, Ang-sin-liong Yu Kiat, orang tertua yang menjadi pemimpin Bu-tek Ngo-sin-liong segera berseru dengan suara berwibawa ke arah kelenteng. "Kwi-jiauw Lo-mo, apakah engkau tidak cepat keluar menyambut kami?"
Dari dalam kelenteng segera terdengar suara tawa dan jawaban Kwi-ji-auw Lo-mo segera terdengar. "Aha, maafkan kami, Bu-tek Ngo-sin-liong! Kami sudah menyuruh puteraku menyambut, agaknya dia yang masih muda suka bermain-main. Maafkan kami!"
Tiga orang datuk itu berjalan keluar dengan kedua tangan terangkap di depan dada, menyambut dengan gembira.
"Hi-hik, Lo-mo! Puteramu ini menyenangkan juga!" kata Kwa Lian kepada Kwi-jiauw Lo-mo. Datuk yang gendut seperti katak itu tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, tentu saja. Anak siapa? Akan tetapi usianya baru enam belas tahun. Nona Kwa, maka kuharap engkau jangan menyeret dia!" Keduanya tertawa, dan Kwa Lian menjawab dengan suara mengejek.
"Hemm, aku bukan wanita yang suka memperkosa seperti engkau! Dan kalau saja puteramu ini seperti engkau, seperti seekor katak, aku tidak akan mengatakan dia menyenangkan," kembali mereka tertawa-tawa.
Melihat sikap orang-orang itu, diam-diam Seng Gun merasa heran. Kiranya lima orang tamu itu tidak banyak bedanya dalam hal sikap dibandingkan ayahnya dan kedua orang susioknya. Padahal, bukankah mereka itu tokoh-tokoh besar dari Hoat-kauw? Dan sepanjang pengetahuannya, Hoat-kauw adalah suatu aliran yang menjaga keras peraturan! Menjaga keras tegaknya hukum dan keadilan!
Tadinya dia sudah khawatir mendengar ayahnya dan dua orang susioknya yang menjadi kepercayaan dan utusan orang-orang Mongol, hendak mengadakan hubungan dan kerjasama dengan Hoat-kauw. Dia khawatir kalau-kalau ayahnya tidak akan cocok dengan orang-orang yang kabarnya menegakkan hukum dan keadilan dengan kekerasan. Siapa kira, sikap mereka itu ugal-ugalan dan tidak mengenal peraturan seperti juga sikap ayahnya, susioknya dan segolongan mereka.
Tentu saja seorang pemuda berusia enambelas tahun seperti Seng Gun, apalagi yang sejak kecil hidup di tengah lingkungan orang-orang sesat, tidak dapat menangkap keadaan yang nampaknya bertentangan itu.
Dia tahu bahwa seperti juga semua aliran dan ajaran kebatinan, bahkan ajaran agama, merupakan ajaran yang baik, menjadi penuntun bagi manusia agar hidup bermanfaat bagi kemanusiaan, bagi dunia, agar hidup sebagai orang yang selalu membela kebenaran, keadilan dan menumbuhkan cinta kasih di antara manusia.
Tidak ada ajaran agama atau aliran kebatinan yang mengajarkan orang untuk berbuat jahat dan kejam. Namun, ajaran tetap merupakan ajaran, sesuatu yang mati. Yang hidup dan yang menentukan adalah manusianya, penganut ajaran itu. Baik dan buruknya bukan terletak di dalam ajaran itu, melainkan di dalam pelaksanaannya dalam kehidupan, di dalam langkah hidup dan perbuatannya.
Betapa pun suci teorinya, kalau prakteknya kotor, maka perbuatan atau praktek itu hanya akan menodai dan mengotori teorinya. Betapa banyaknya terjadi pertentangan agama, pertentangan aliran. Sesungguhnya, bukan ajaran-ajaran itu yang bertentangan, karena tidak ada ajaran yang menganjurkan manusia saling bertentangan, melainkan ulah si manusia sendirilah yang mempertentangkannya.
Ajaran aliran dan keagamaan diadakan untuk manusia di dunia tanpa pilih bulu. Kalau ajaran itu sudah dimonopoli, menjadi milikku, milik golongan atau kelompokku, milik bangsaku, maka timbullah pertentangan antara milikku dan milikmu , agamaku dan agamamu. Apapun diperebutkan oleh kita manusia ini. Kebenaran diperebutkan, bahkan Tuhan diperebutkan!
Aliran Hoat-kauw mempunyai ajaran agar manusia menaati hukum dan keadilan. Akan tetapi, bagaimana kenyataannya? Manusia tetap manusia dengan segala macam nafsu daya rendah yang menguasai dirinya. Kenyataannya, seperti yang dilihat Seng Gun, hukum itu hanya berlaku bagi mereka yang kalah, mereka yang berada di bawah. Mereka itulah yang harus menaati hukum. Bagi yang menang dan yang berkuasa? Merekalah hukum! Merekalah pembuataan penggaris hukum! Merekalah yang benar dan apapun yang mereka lakukan adalah adil dan benar.
Mereka adalah penegak hukum, yaitu menegakkan hukum agar ditaati bawahan. Merekalah lambang hukum, kebenaran dan keadilan. Yang salah adalah orang lain, terutama orang bawahan. Sesungguhnya, kalau kita mau melihat keadaan sebagaimana adanya, hukum rimbalah yang berlaku di mana-mana. Yang kuat dia menang, yang menang dia berkuasa, yang berkuasa dia benar dan baik! Tentu saja hukum rimba ini diselubungi berbagai macam peraturan yang nampaknya beradab dan baik sehingga tidak nampak lagi.
Karena yang kuasa selalu benar, maka di dunia ini manusia saling berlumba memperebutkan kekuasaan. Dalam keluarga, di antara teman, dalam masyarakat, dalam perkumpulan, dalam pemerintahan. Di mana saja orang memperebutkan kekuasaan karena kekuasaan sumber kesenangan. Kekuasaan memungkinkan orang memperoleh apapun yang dikehendakinya.
Kini empat orang pihak tuan rumah dan lima orang tamu mereka itu duduk menghadapi meja dan menikmati jamuan makan yang dibuat oleh orang-orang dusun yang dipaksa menjadi pembantu di kelenteng itu. Kwi-jiauw Lo-mo menyatakan keinginan kepala suku Mongol untuk mengajak Hoat-kauw bersekutu agar mereka dapat bersama-sama menguasai seluruh negara.
"Menurut Ku-ma-khan, kepala suku Mongol, sekaranglah waktunya yang tepat untuk menguasai Kerajaan Tang yang semakin lemah. Orang-orang Mongol sudah menghimpun kekuatan dan siap untuk melakukan penyerbuan ketimur dan selatan. Dan melihat bahwa Hoat-kauw merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai banyak orang pandai, maka Ku-ma-khan mengulurkan tangan mengajak bekerja sama. Kalau kelak berhasil, maka Hoat-kauw yang akan menjadi satu-satu aliran agama yang harus dipeluk oleh seluruh rakyat."
Ang-sin-liong Yu Kiat minum arak dari cawannya dan tersenyum lebar. "Ha ha agaknya kepala suku Mongol seorang yang bijaksana dan pandai. Mungkin beliau teringat betapa ratusan tahun yang lalu, aliran Hoat-kauw kami yang berhasil memperkuat Kerajaan Cin dan menguasai seluruh wllayah negeri. Memang, hanya dengan memegang teguh ajaran aliran kamilah maka suatu pemerintahan akan berhasil!" Ucapan terakhir ini bernada sombong.
Kwi-jiauw Lo-mo tidak mau kalah. "Akan tetapi, sobat. Hanya mengandalkan peraturan ketat saja, tanpa adanya kekuatan pasukan, juga tidak akan mampu menghasilkan kekuasaan. Oleh karena itulah, kepala suku kami mengajak Hoat-kauw bergabung, agar dengan kekuatan pasukan Mongol, ditambah lagi penyebaran aliran Hoat-kauw, maka perjuangan akan berhasil.
Ang-sin-liong mengangguk-angguk. "Pendapatmu memang benar, Lo-mo. Akan tetapi, untuk mencapai hasil yang baik, merupakan jalan panjang dan tidak mudah. Kami mendengar bahwa bukan hanya bangsa Mongol yang melakukan gerakan untuk merampas kekuasaan, akan tetapi juga banyak suku bangsa lain, terutama sekali suku bangsa Tibet dengan para Lama Jubah Merah. Dan kami kira, kita harus membagi tugas kalau hendak bekerja sama. Kami akan mencoba untuk mengalahkan aliran-aliran yang ada, sedangkan pihak Mongol berusaha untuk menalukkan suku-suku bangsa yang melakukan gerakan. Kalau kita kedua pihak su dah dapat menguasai suku-suku bangsa yang memberontak, menghimpun pula aliran-aliran di bawah satu bendera, yaitu bendera Hoat-kauw, barulah kita mempunyai kekuatan untuk bertindak."
"Tepat sekali," kata Hek-bin Mo-ong sambil tersenyum lebar. "Kita memang harus membagi tugas. Akan tetapi, menghadapi orang-orang Tibet kita harus bersatu padu karena mereka itu merupakan gerakan gabungan antara pasukan Tibet yang dipimpin pula oleh para pendeta Lama yang hendak menyebar agama mereka."
"Memang sebaiknya demikian. Bangsa Tibet cukup kuat. Bukan saja mereka mempunyai banyak pendeta Lama yang sakti, akan tetapi juga suku bangsa Yi-an Miao termasuk suku yang tunduk kepada mereka dan menjadi sekutu mereka."
"Hemm, untuk menghadapi pasukan mereka, kami tidak akan gentar," kata Kwi-jiauw Lo-mo. "Bangsa Mongol juga mempunyai banyak kawan dari suku-suku bangsa yang berada di utara, seperti suku Mancu, Hui dan peranakan Han dengan kedua suku itu. Seperti juga kami bertiga ini. "Aku sendiri peranakan Mongol, Hek-bin Mo-ong peranakan Mancu, dan Pek-bin Mo-ong peranakan Hui."
Demikianlah, delapan orang itu bercakap-cakap dan membagi siasat dan memutuskan bahwa kelenteng di Bukit Ayam Emas itu mereka jadikan tempat pertemuan. Ketika Kwi-jiauw Lo-mo mengusulkan agar Hoat-kauw mengambil alih kelenteng itu dan membuka cabang di situ agar tempat itu terjaga, Bu-tek Ngo sin-liong setuju. Memang tempat itu indah sekali, juga cukup sepi dan jauh dari kota besar.
"Baik, kami akan mengirim anak buah ke sini dan sementara menjaga tempat ini agar tidak lagi dikunjungi orang dusun," kata Ang-sin-liong Yu Ki-at.
Ketika perundingan itu berlangsung, Seng Gun hanya mendengarkan saja, tidak pernah mencampuri. Akan tetapi ada suatu rahasia yang hanya diketahui dia dan tiga orang datuk besar itu saja, rahasia besar tentang dirinya dan tentang cita-cita Kwi-jiauw Lo mo. Sepuluh tahun yang lalu, atau lebih sedikit, dia berusia enam tahun dia dilarikan dari istana kerajaan di Tiang-an ketika di istana terjadi perebutan kekuasaan secara besar-besaran dengan terbunuhnya Kaisar An Lu Shan karena keracunan.
Seng Gun sebetulnya bermarga An, karena dia adalah putera An Lu Shan, dan ibunya adalah puteri Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui. Melihat betapa puteri dan cucunya terancam oleh perebutan kekuasaan, Kwi-jiauw Lo-mo menggunakan kepandaiannya untuk menyelamatkan mereka keluar dari istana. Akan tetapi, puterinya tidak mau, bahkan saking sedihnya karena kematian suaminya, sebagai seorang selir tercinta yang sebagai peranakan Mongol dahulu banyak membantu pemberontakan An Lu Shan sehingga berhasil, puterinya itu, Tong Kiauw Ni membunuh diri.
Terpaksa Kwi-jiauw Lo-mo hanya melarikan cucunya saja, dan semenjak itu, untuk menjaga agar tidak ada yang mengenal Seng Gun sebagai putera Kaisar An Lu Shan, dia mengakui Seng Gun sebagai puteranya sendiri dan mengganti marga An di depan nama Seng Gun menjadi marganya sendiri, yaitu Tong. Biarpun ketika itu usianya baru enam tahun, Seng Gun mengerti akan semua peristiwa yang terjadi dan menyadari bahwa demi keselamatan dirinya, dia harus mengakui kakek luarnya itu sebagai ayahnya.
Perundingan yang dilakukan tiga orang datuk dengan para pimpinan atau tokoh Hoat-kauw itu diikuti dengan penuh perhatian oleh Seng Gun, akan tetapi dia tidak mencampurinya sama sekali, hanya menjadi pendengar saja. Akan tetapi dia tahu benar bahwa kakeknya yang kini diakuinya sebagai ayahnya itu sedang mengatur suatu rencana untuk dirinya! Ya, dia tahu benar bahwa Kwi-jiauw Lo-mo berusaha keras untuk mengembalikan dia ke tempatnya semula, yaitu di istana kota raja, kalau mungkin sebagai kaisar baru! Sebagai penerus kekuasaan An Lu Shan yang telah hancur dan diambil alih oleh Sia Su Beng.
* * *
Han Lin merasa seperti melayang di angkasa! Awan berarak di sekeliling nya seperti asap putih yang tebal. Tubuhnya terasa ringan sekali dan setiap ada angin berhembus, tubuhnya hanyut dalam aliran angin itu. Dan dia mendengar percakapan antara dua suara yang tidak nampak orangnya, suara yang kecil dan suara yang parau besar. Begitu jauh bedanya antara kedua suara itu sehingga tanpa melihat si pembicara sekalipun. Han Lin dapat membayangkan bahwa sepantasnya pemilik suara kecil itu seorang yang kurus dan pemilik suara besar seorang yang tinggi gemuk.
Suara kecil bertanya, "Tahukah engkau dengan sesungguhnya bahwa segala sesuatu adalah sama saja?" Suara besar menjawab dengan pertanyaan pula, "Bagaimana saya bisa tahu?"
"Tahukah engkau apa yang engkau tidak tahu?"
"Bagaimana saya bisa tahu?"
"Kalau begitu tidak ada seorangpun tahu?"
"Bagaimana saya bisa tahu?" terdengar pula suara besar, lalu suara Itu melanjutkan, "Bagaimanapun juga, akan saya coba menerangkan padamu. Bagaimana dapat diketahui bahwa yang saya katakan tahu itu sesungguhnya tidak tahu, dan apa yang saya katakan tidak tahu itu sebetulnya tahu? Mungkin yang dikatakan salah itu benar dan yang dikatakan benar itu salah. Seorang manusia yang tidur di tempat basah akan jatuh sakit dan mati. Akan tetapi bagaimana dengan seekor belut? Dan hidup di atas puncak pohon adalah berbahaya dan menegangkan syaraf. Akan tetapi bagaimana dengan seekor monyet? Di antara manusia, belut dan monyet itu, tempat tinggal siapakah yang lebih benar dan tepat? Manusia makan daging, rusa makan rumput, burung makan ulat, kucing makan tikus. Dari mereka semua itu, selera manakah yang lebih benar dan tepat? Monyet jantan bergaul dengan monyet betina, rusa jantan dengan rusa betina, belut dengan ikan, sedangkan manusia pria mengagumi, Dewi Mo Clang dan Dewi Li Ci, pada hal melihat kedua wanita ini, ikan-ikan bersembunyi menyelam dan burung-burung ketakutan terbang, kijang lari ketakutan pula. Lalu siapakah dapat mengatakan yang manakah ukuran kecantikan" itu? Saya kira, pelajaran tentang kemanusiaan dan keadilan dan lorong-lorong dari benar dan salah demikian kacau balau sehingga tidak mungkin diselami dan diketahui."
"Kalau begitu, Manusia Sempurna tidak tahu akan baik dan buruk?"
"Manusia sempurna adalah mahluk suci. Bahkan andaikata lautan mendidih, dia tidak akan merasa kepanasan. Apabila sungai-sungai membeku, dia tidak akan merasa kedinginan. Apabila gunung-gunung dibelah halilintar, dan lautan-lautan diamuk badai, dia tidak akan gemetar ketakutan. Maka, dia seolah mendaki awan-awan di langit, menggembala matahari dan bulan di depannya, dan melewati batas-batas dari keberadaan duniawi. Mati' dan hidup tidak lagi menguasai dia. Sama sekali dia ti dak lagi memperdulikan untung atau rugi."
Mendengar percakapan antara dua suara kecil dan besar itu, Han Lin tersenyum dan diapun berkata, "Percakapan antara Yeh Cia dan Wang Yi, pelajaran bagi Mahaguru Juang-ce!" Sebagai jawaban ucapannya itu, terdengar suara tawa yang aneh.
"Heh-heh-heh-ha-ha-hihihik!!" Seolah yang tertawa ada beberapa orang. Suara tawa itu seperti menyentakkan Han Lin ke dalam kesadaran. Seperti orang baru bangun tidur, dia menggosok kedua mata, membuka mata dan bangkit duduk. Dia masih berada di depar gundukan makam Liu Ma, cuaca gelap dan hanya remang-remang diterangi bintang di langit. Han Lin segera teringat segalanya dan diapun memutar tubuh dan nampak gundukan tanah kuburan ibu angkatnya, Liu Ma.
Dan teringatlah dia akan peristiwa di kelenteng, betapa tiga orang hwesio telah terbunuh, dan ibu angkatnya juga tewas membunuh diri ke dalam jurang ini karena melihat dia terjerumus ke dalam jurang. Teringat akan ini, Han Lin menjatuhkan diri tiarap di depan gundukan tanah itu dan menangis lagi, menangisi kematian. Liu Ma yang telah mengorbankan nyawanya karena amat menyayangnya. Kini terkenang semua kebaikan hati Liu Ma yang menyayangnya seperti anak sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara tawa aneh tadi, disusul kata-kata yang lembut. "Betapa indahnya sangkar emas penuh makanan, burung akan tetap berusaha meloloskan diri. Setelah burung terbang bebas, lepas dari sangkarnya, pantaskah ditangisi?"
Han Lin menghentikan tangisnya, merangkak bangun dan membalikkan tubuh Dia tadi tidak mimpi ! Suara kecil berlawanan dengan suara besar, suara tawa aneh itu, tanya-jawab seperti dua orang memainkan ajaran Juang-ce, semua itu bukan mimpi! Dan dia melihat seorang kakek berdiri di depannya! Cuaca memang remang-remang, akan tetapi entah bagaimana, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas sekali. Apakah wajah itu mengandung cahaya sehingga demikian jelas? Dia tidak tahu.
Wajah seorang kakek yang tubuhnya sedang tingginya namun agak kurus. Wajah itu nampak putih kemerahan, matanya seperti sepasang bintang, rambutnya, kumis dan jenggotnya, seperti benang sutera putih. Pakaiannya dari kain kasar berwar na putih kekuningan, namun bersih. Sepatunya dari kulit kayu, merupakan pelindung telapak kaki saja.
Sukar menaksir usianya, bisa saja sudah tua sekali lebih dari seratus tahun, akan tetapi wajah dan terutama matanya seperti masih amat muda. Ketuaannya itu diperkuat dengan adanya sebatang tongkat bambu yang dipegangnya, seolah menjadi penopang tubuhnya.
"Heh-heh-heh, engkau mengenal ajaran Mahaguru Juang-ce, bagus memang, akan tetapi alangkah lebih bagusnya ka lau engkau tidak hafal akan semua ajaran mahaguru yang manapun juga." Tentu saja ucapan yang berlawanan ini membuat Han Lin mengerutkan alisnya. Dia sudah duduk bersila menghadap gurunya, seperti kalau dia menghadap mendiang Kong Hwi Hosiang di kelenteng.
"Maafkan saya, lo-cianpwe. Saya kira pendapat lo-cianpwe tadi membingungkan dan berlawanan. Lo-cianpwe mengatakan bagus bahwa saya mengenal ajaran Juang-ce, lalu menambahkan akan lebih bagus kalau saya tidak mengenal semua ajaran."
Kembali kakek itu tertawa, kini suara tawanya lembut sekali. "Memang sebaiknya kalau mengenal semua ajaran para bijaksana itu dengan membaca kitabnya, namun hanya sekedar mengenal saja untuk menambah pengertian. Namun, semua ujar-ujar dan nasihat yang ribuan banyaknya itu tidak ada manfaatnya kalau hahya dihafal saja."
"Maaf, lo-cianpwe. Bukankah ajaran-ajaran itu baik sekali untuk pedoman kita hidup di dunia ini? Ajaran-ajaran itu dapat menuntun kita melalui jalan kebenaran dalam hidup, membuat kita mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang salah."
"Ha-ha-ha, di situlah letak kesalahannya, anak yang baik. Kalau orang menjalani hidup ini disesuaikan dengan ajaran-ajaran itu, melakukan perbuatan yang sesuai dengan petunjuk ajaran, maka kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran bahwa itu adalah kebaikan bukanlah kebaikan lagi namanya! Perbuatan seperti itu palsu, anakku, karena perbuatan seperti itu hanya merupakan suatu cara untuk mencapai sesuatu, bukan merupakan suatu keadaan yang wajar, yang dengan sendirinya sudah merupakan suatu keadaan tanpa membutuhkan cara untuk mencapainya lagi."
Han Lin menjadi pening tujuh keliling! "Wah, saya tidak mengerti, locianpwe. Apa artinya semua itu? Mohon penjelasan."
"Sudah jelas, anak baik. Perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih meraih sesuatu hasil dari perbuatan itu, adalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu cara mendapatkan sesuatu. Perbuatan apapun itu, dinilai baik ataupun buruk, kalau dilakukan karena digerakkan pamrih memperoleh hasil sesuatu, adalah palsu! Munafik, topeng kebaikan untuk mendapatkan keuntungan, sama seperti harimau bertopeng domba, tidak lebih baik dari pada harimau tanpa topeng. Dan itu seringkali menjadi topeng domba bagi harimau-harimau yang berkeliaran."
"Wah, saya menjadi semakin bingung. Kalau perbuatan baik menurut ajaran dianggap palsu, lalu yang baik itu bagaimana, lo-cianpwe?"
Han Lin mengejar dengan hati penasaran. Alangkah bedanya pendapat kakek aneh ini di bandingkan ajaran yang dia terima dari Kong Hwi Hosiang yang selalu mengajarkan bahwa hidup haruslah melalui jalan kebenaran, memupuk kebaikan dan menjauhi perbuatan jahat. Dan kakek ini mengatakan bahwa perbuatan baik menurut ajaran adalah palsu dan sama saja dengan perbuatan jahat. Bagaimana ini?
"Kebaikan dan kejahatan itu sama saja, hanya penilaian, seperti siang dan malam, kanan dan kiri, benar dan tidak benar dan selanjutnya, dan selama kita dikuasai oleh im-yang (positif negatif) ini, maka biduk kehidupan tak kan pernah merasakan ketenangan, dipermainkan ombak kanan kiri."
"Tapi, apa yang harus kita laku ke dalam kehidupan ini, locianpwe?"
"Lakukan apa saja yang harus kau lakukan. Yang dinamakan kebenaran, kebajikan dan sebagainya, sesungguhnya merupakan suatu keadaan batin, tidak dinilai dari kata dan perbuatannya. Selama batin masih dicengkeram nafsu, maka daya-daya rendah yang menjadi dasar setiap kata dan perbuatan, karenanya palsu."
"Lalu sikap apa yang harus kita ambil dalam hidup?"
"Lihatlah bulan, bintang, matahari, awan dan seluruh alam ini. Mereka semua bergerak, mereka semua bekerja, dan memang demikianlah keharusan dan keadaan mereka. Tidak baik tidak buruk, tidak benar tidak salah, dan itu adalah karena mereka itu wajar. Bunga mawar berduri dan harum, itulah kewajaran. Bunga anggrek indah dan tidak harum, itulah kewajaran. Wajar itulah indah, wajar itulah kenyataan, wajar itulah To (Jalan, atau Kekuasaan Mutlak). Seyogianya kita menjadi manusia wajar."
"Akan tetapi, dari mana timbulnya rangsangan kejahatan yang membuat manusia melakukan perbuatan kejam dan jahat?"
"Nafsu daya rendah yang mendorong manusia melakukan perbuatan merugikan sesamanya. Nafsu selalu mendorong, ingin ini, ingin itu, berpamrih demi pemuasan diri, demi kesenangan, karena itu, perbuatan yang didorongnya selalu berpamrih. Dan pamrih tetap pamrih, bisa berpakaian bersih dan indah atau berpakaian butut kotor, tetap pamrih dan selama ada pamrih, setiap perbuatan adalah palsu. Sudahlah, Han Lin, kelak engkau akan mengerti sendiri kalau engkau mulai saat ini suka menjadi temanku."
Han Lin terbelalak. "Bagaimana lo-cianpwe dapat mengetahui nama saya?"
"Ha-ha, apa artinya nama? Karena engkau bernama, maka aku mengetahunya."
"Maksud lo-cianpwe, mulai sekarang saya menjadi murid lo-cianpwe?"
"Bukan murid, melainkan teman, sahabat. Tidak ada guru manusia lain dalam kehidupan ini, mengenai soal kehidupan karena kita sendiri masing-masing adalah gurunya, juga muridnya. Bimbingan utama datang dari dalam diri sendiri, To (Kekuasaan Tuhan) telah berada dalam diri setiap orang manusia dan Dialah yang menjadi pembimbing. Tentu saja kalau engkau ingin mempelajari ilmu jasmaniah yang dikuasai, engkau dapat belajar dariku."
Mendengar ini, langsung saja Han Lin menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu. "Suhu yang mulia, mulai malam ini, teecu (murid) Han Lin akan menaati semua petunjuk suhu!"
Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih halus dan tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bukan kehendakku engkau menjadi muridku, Han Lin, bukan kehendakku, melainkan sudah digariskan dari semula!" Kakek itu menengadah memandang langit, seolah hendak mencari rahasia kejadian itu di antara bintang di langit.
"Suhu, kalau boleh teecu mengetahui, suhu siapakah?"
"Heh-heh, tidak tahukah engkau? Aku juga seorang manusia seperti engkau, hanya bedanya, aku lebih lama berada di dunia ini dibandingkan engkau."
Han Lin tertegun. Jawaban itu memang tentu saja benar, namun begitu sederhana, seperti percakapan antara kanak-kanak saja. "Maksud teecu, suhu. Siapakah nama suhu yang mulia?"
"Hemm, apakah artinya nama? Nama tidak sama dengan yang dinamakan. Sebutan bulan bukanlah bendanya, sebutan Han Lin bukanlah orangnya."
Han Lin sudah banyak membaca. kitab-kitab kuno, maka ucapan ini tidak membuatnya heran. "Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi, tanpa adanya nama atau sebutan, tentu tidak ada percakapan, tidak ada hubungan antar manusia. Maksud teecu, sebutan teecu dengan kata "suhu" juga merupakan nama, bukan? Nah, maksud teecu, nama suhu, bukan sebutannya, siapakah?"
"Ha-ha, kalau hendak menyebutku, sebut saja Lo-jin (Orang tua), karena memang aku seorang yang sudah tua!" Diapun tertawa-tawa seperti merasa geli mendengar ucapannya sendiri.
"Ingat suhu. Nama Lo-jin itupun dapat menjadi nama, dan Lo-jin bukanlah orangnya!"
Kini guru dan murid itu tertawa-tawa geli dan sungguh aneh sekali kalau ada orang lain melihatnya. Seorang pemuda remaja dan seorang kakek, di tengah malam penuh bintang didasar jurang depan gundukan tanah kuburan baru, tertawa-tawa seperti digelitik perutnya!
"Sudahlah, hayo ikut aku. Pegang ujung tongkatku," kata kakek itu sambil menyodorkan tongkat bambunya.
Han Lin memegang ujung tongkat bambu itu dan kakek itu lalu bergerak melangkah. Dan terjadilah sesuatu yang membuat Han Lin terbelalak dan tengkuknya terasa dingin. Dia merasa seperti dalam mimpi ketika dia setengah tertarik ketika memegangi ujung tongkat, mengikuti kakek itu mendaki jurang yang amat curam, tebing yang berlawanan dengan tebing di mana dia terjatuh. Menurut nalar, agaknya tidak mungkin mendaki tebing seperti itu, apa lagi dalam malam yang remang-remang.
Akan tetapi Han Lin merasa seperti seekor cecak saja, atau lebih tepat lagi dia terbetot dan terseret naik oleh tongkat bambu itu. Dia merasa ngeri dan memejamkan kedua matanya, menurut saja diseret ke atas, kedua kakinyapun asal melangkah saja, akan tetapi dia memegangi ujung tongkat dengan pengerahan seluruh tenaganya karena sekali tongkat itu terlepas dari tangannya, tentu dia akan meluncur ke bawah dan tidak akan ada yang mampu menyelamatkannya. Akhirnya mereka tiba di atas tebing. Akan tetapi kakek itu masih terus saja menariknya.
Demikian kuatnya tenaga yang tersalur melalui tongkat bambu itu sehingga Han Lin merasa seolah-olah tubuhnya diterbangkan. Cuaca kadang gelap, kadang terang, namun mereka meluncur terus. Han Lin merasa seperti dalam mimpi dan kembali dia memejamkan mata, menyerah saja penuh keyakinan bahwa kakek itu bukan manusia biasa, bahkan mungkin pula bukan manusia! Ataukah kakek itu petugas yang menjemputnya meninggalkan dunia ini? Apakah dia sudah mati?
Langit di ufuk timur mulai terbakar oleh cahaya kemerahan. Sinar cerah sang matahari mulai mengusir kegelapan walaupun mataharinya sendiri beium nampak. Seluruh permukaan bumi agaknya menyambut kemunculan Sang Surya ini dengan penuh kegembiraan. Bayang-bayang hitam kegelapan mulai memudar, terganti cahaya yang.mulai menghidupkan segala sesuatu.
Pohon-pohon dan semua tumbuh-tumbuhan sampai rumput, seolah baru bangkit dari tidur lelap diselimuti kegelapan malam. Burung-burung berkicau riang, ayam hutan berkokok bangga. Kabut pagi mulai menyingkir perlahan dihembus semilir angin, dihalau cahaya matahari pagi. Embun bergantungan pada pucuk daun dan rumput, di bibir bunga-bunga, nampak tak rela melepaskan pegangan terakhir sebelum akhirnya terle pas dan terhempas ke tanah pula. Segala sesuatu nampak segar gemilang.
Han Lin duduk bersila. Baru saja kakek itu menghentikan gerakannya dan melihat kakek itu duduk bersila di atas batu datar halus diapun ikut duduk di atas rumput kering. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit yang sepi sekali, di tengah perbukitan yang amat luas. Dia tidak berani mengganggu karena kakek itu duduk bersila dengan ke dua mata terpejam dan pernapasannya seperti orang yang sedang tidur.
Melihat kakek itu beristirahat, Han Lin tidak berani mengganggu dan diapun memperhatikan kakek aneh itu. Melihat wajah kakek itu, dia teringat kepada mendiang Kong Hwi Hosiang yang mempunyai wajah seperti wajah anak kecil. Wajah kakek inipun segar kemerahan dan tidak terhias keriput walaupun tubuhnya tidak gemuk seperti Kong Hwi Hosiang.
Tubuh kakek ini tegap dan kurus. Rambut, kumis dan jenggotnya putih seperti benang sutera putih. Karena baru saja dia nyaris tewas, juga telah terpukul, kemudian semalam suntuk mengikuti kakek itu melakukan perjalanan seperti terbang, Han Lin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan lelah sekali, maka diapun mencontoh kakek di depannya dan memejamkan mata, beristirahat. Ketukan tongkat pada batu membangunkan Han Lin dan ternyata hari telah menjelang siang.
Matahari telah naik tinggi dan kakek itu memandang kepadanya dengan senyum aneh. Senyum itu seperti sinar matahari pagi yang menghidupkan, hangat dan menimbulkan gairah hidup, penuh kepasrahan, kesabaran, kewajaran.
"Suhu!" kata Han Lin dan diapun mengubah kedudukan kakinya yang tadi bersila kini berlutut.
"Han Lin, duduklah bersila seperti tadi dan sekarang ceritakan segalanya tentang dirimu," terdengar kakek yang hanya dikenalnya dengan' sebutan Lo-jin (Orang tua) itu berkata dengan lembut. Snaranya bagaikan desir angin bermain-main di antara daun pohon dan ujung rumput.
Han Lin menaati perintah gurunya dan kembali duduk bersila, lalu berkata, "Teecu kira suhu sudah pasti telah mengetahui hal mengenai diri teecu. Perlukah lagi teecu menceritakannya sendiri?"
Suara tawa kakek itu mempunyai daya tular yang kuat sehingga Han Lin juga ikut tertawa. Tawa maupun tangis merupakan suara aseli dari semua manusia di dunia ini. Biarpun bahasa antara bangsa berbeda, namun tawa dan tangis semua bangsa tidak ada bedanya karena suara tawa dan tangis itu mengandung seluruh perasaan, maka mudah sekali menular kepada orang lain.
Demikian pula tawa kakek itu yang wajar, tidak di buat-buat, tidak pula mengandung sesuatu yang lain, seperti tawa seorang bayi yang mendatangkan rasa gembira da lam hati setiap orang.yang mendengarnya, maka Han Lin tidak dapat menahan diri untuk. tidak ikut tersenyum lebar.
"Ha-ha-ha-heh-heh, Han Lin, orang yang mengaku tahu adalah orang yang tidak tahu! Ceritakanlah semuanya sejak engkau kecil sampai sekarang ini."
Tiba-tiba Han Lin menyadari. Kakek ini jelas bukan manusia biasa. Kalau tanpa diberitahu kakek ini sudah mengetahui namanya, tentu telah mengetahu segala tentang dirinya. Kenapa masih bertanya dan menginginkan dia bercerita? Tentu untuk mengujinya, menguji kejujurannya! Maka, tanpa ragu-ragu lagi diapun bercerita tentang dirinya, semenjak dia hidup sebagai seorang "pangeran" kecil, putera Sia Su Beng dan Yang Kui Bi sampai terjadinya penyerbuan pasukan Tang yang memasuki kota raja dan kedua orang tuanya ikut bertempur.
Betapa dia diungsikan oleh Liu Ma yang kemudian dianggap sebagai ibunya. Betapa dia menjadi murid Kong Hwi Hosiang di kelenteng dekat puncak Bukit Ayam Emas itu dan tentang munculnya tiga orang datuk sesat bersama seorang pemuda, dan betapa Kong Hwi Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio terbunuh oleh para datuk sesat itu. Kemudian tentang ibunya yang melempar diri ke dalam jurang menyusul dirinya yang terpukul dan terjungkal ke dalam jurang itu.
"Agaknya Tuhan belum menghendaki mati, suhu, maka teecu berhasil menangkap cabang pohon dan tidak terbanting ke dasar jurang. Akan tetapi ibu Liu Ma, ia tewas dan teecu kubur jenazahnya di dasar jurang itu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Belum kau ceritakan tentang keadaan tubuh mu. Pukulan yang membuatmu terjungkal ke jurang itu adalah pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi engkau tidak keracunan. Nah, bagaimana hal itu dapat terjadi?"
"Ah, maafkan teecu, suhu. Teecu sampai lupa," kata Han Lin, padahal dia sengaja melewatkan bagian itu untuk melihat apakah kakek itu mengetahui akan keadaan tubuhnya yang telah menjadi kebal terhadap racun itu. Dengan tersipu karena ternyata kakek itu mengetahui segalanya,.diapun menceritakan dengan jelas akan peristiwa pertemuannya dengan Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong yang pertama kalinya, ketika dia terkena pukulan dari depan dan belakang oleh kedua orang datuk itu, ditambah lagi gigitan ular senduk kepala putih yang membuat tubuhnya dimasuki tiga macam racun sekaligus.
"Menurut keterangan mendiang suhu Kong Hwi Hosiang, akibat tiga racun itu, tubuh teecu menjadi kebal terhadap racun."
Demikian dia mengakhiri ceritanya dan kakek itupun mengangguk-angguk senang. Demikianlah, mulai hari itu, Han Lin menjadi murid kakek yang hanya dikenal sebagai Lo-jin. Dan ternyata kemudian oleh pemuda remaja ini bahwa kakek itu adalah seorang manusia yang amat sederhana, juga aneh sekali. Kadang hanya cukup hidup sehari dengan beberapa helai daun dan seteguk air saja, kadang tidak ada entah ke mana sampai beberapa hari, lalu muncul kembali.
Akan tetapi dia menganggap semua itu wajar karena memang demikianlah keadaan Lo-jin. Dan dia mulai menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Namun, Lo-jin mengatakan bahwa semua ilmu yang diajarkannya itu adalah ilmu untuk mempertahankan keselamatan jasmani, dan ilmu-ilmu itu adalah ilmu untuk dipergunakan selagi hidup di dunia ini dan kelak ilmu-ilmu itu akan musnah bersama raga. Karena itu, dia tidak boleh terikat kepada ilmu-ilmu itu, dan untuk dapat membebaskan diri dari segala sesuatu, dia harus memiliki dasar yang satu, yaitu kewajaran yang berarti penyerahan!
Menyerah sebagai dasar semua ikhtiar hidup, menyerah secara mutlak kepada Sang Maha Pencipta, seperti halnya bumi, matahari, bulan, bintang dan segala mahluk di alam ini yang tidak dikuasai nafsu daya rendah dan hidup selaras dengan To (Kekuasaan Tuhan).
* * *
Dara itu berusia delapanbelas tahun. Cantik jelita bagaikan setangkai bunga mawar rimba. Mukanya berbentuk bulat telur dan kulit mukanya halus putih kemerahan. Wajah yang bentuknya indah itu dihias rambut bagaikan mahkotanya, rambut yang halus lebat dan hitam mengkilat, digelung ke atas, di ikat dengan pita sutera kuning dan dihias tusuk sanggul dari batu kemala.
Sepasang matanya lebar dan sinarnya tajam. Hidungnya mancung dengan cuping hidung tipis yang dapat berkembang kempis dengan lucunya. Mulutnya penuh gairah hidup dan selalu tersenyum bersama matanya, senyum yang amat manis, apa lagi kalau lesung pipit di kedua pipinya nampak. Tubuhnya padat dan ramping, dan di balik kelembutannya sebagai seorang dara remaja, terkandung suatu kekuatan yang hebat, yang dapat nampak pada lekukan di dagu dan tubuh yang tegak dan dada yang membusung.
Gerak geriknya lincah, matanya memandang penuh gairah dan kejenakaan. la berdiri di bawah sebatang pohon, pungggungnya hanya terpisah seperempat meter saja dari batang pohon dan ia berdiri tegak, dengan mata dan mulut tersenyum ke arah wanita yang berdiri dalam jarak sekitar limapuluh kaki. Dan di atas ubun-ubun kepalanya, di depan sanggulnya, terletak sebutir buah apel merah.
“Mei Li! kau lepas saja sanggulmu yang tinggi itu agar jangan sampai ada yang terbabat Hui-kiam (pedang terbang)!" kata wanita yang berada di depannya dalam jarak limapuluh kaki itu.
Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh sembilan tahun walaupun nampak jauh lebih muda, pakaiannya sutera serba hitam, wajahnya juga cantik dan mirip sekali dengan wajah gadis itu, tubuhnya masih padat ramping dengan pinggang kecil dan pinggul besar. Wanita cantik ini nampak gagah perkasa dan di balik kecantikannya dan kelembutannya sebagai seorang wanita tersembunyi sifat gagah yang mudah dilihat dari sinar matanya yang tajam mencorong.
Ia memang bukan wanita sambarangan. Ia adalah seorang pendekar wanita yang pernah menggegerkan dunia persilatan karena sepak terjangnya yang menggiriskan lawan mengagumkan kawan. Namanya Can Kim Hong dan ia ibu kandung gadis jelita itu yang bernama Yang Mei Li. Can Kim Hong ini isteri Yang Cin Han, putera bangsawan tinggi yang pernah menjadi perdana menteri, yaitu mendiang Yang Kok Tiong. Seperti isterinya, Yang Cin Han juga seorang pendekar yang tangguh karena dia adalah murid dari Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), seorang datuk dunia persilatan yang terkenal.
Namun, isterinya, Can Kim Hong, lebih hebat lagi karena isterinya ini murid Hek-liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu seorang pendekar sakti yang aneh, yang telah merangkai ilmu pedang yang amat hebat, yaitu ilmu pedang Hek-liong Hui-kiam (Pedang Terbang Naga Hitam).
Dapat dibayangkan betapa bahagianya Yang Mei Li, gadis berusia delapanbelas tahun yang suka belajar ilmu silat itu karena ia langsung dibimbing oleh ayah ibunya yang keduanya memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Dan pada sore hari itu, mereka melakukan latihan ilmu silat dan ibunya memberi petunjuk dan contoh cara menggunakan ilmu hui-kiam (pedang terbang).
Mendengar ucapan ibunya, Mei Li lalu melepas sanggulnya membiarkan rambutnya yang hitam lebat itu terurai lepas, panjang sampai ke pinggulnya. Kini buah apel itu terletak di atas rambut yang padat menutup ubun-ubun kepalanya.
"Jangan bergoyang!" terdengar nyonya cantik itu berseru dan ia menggerakkan tangan kanannya. Sebatang pedang kecil yang berada di tangannya meluncur bagaikan anak panah cepatnya, berubah bentuknya menjadi sinar kilat menyambar ke atas kepala Mei Li.
"Singgg.... cappp...!!"
Pedang kecil itu meluncur dan tepat sekali membabat putus buah itu pada tengah-tengah dan pedangnya menancap di batang pohon. Apel terpotong menjadi dua, bagian atasnya terlempar jatuh dan bagian bawahnya masih berada di atas kepala Mei Li...!
Mei Li menggerakkan kepala sehingga potongan apel itu terlempar jatuh pula dari atas kepalanya dan iapun bertepuk tangan memuji. "Hebat, ibu memang hebat!" serunya gembira.
Can Kim Hong tersenyum dan kedua pipinya kemerahan. "Aih, anak nakal, engkau hendak menggoda ibumu? Apa sih hebatnya memotong buah apel itu dengan hui-kiam (pedang terbang)? Aku yakin engkaupun akan mampu melakukannya. Aku tadi hanya memberi contoh bagaimana untuk bersikap agar tanganmu mantap dan tidak ragu sedikitpun."
"Aih, ibu! Mana aku berani menggoda ibu? biarpun mungkin saja aku dapat melakukan seperti yang ibu lakukan tadi, akan tetapi dipaksa bagaimanapun juga, aku tidak akan berani menyambit apel dengan hui-kiam kalau apel itu di taruh di atas kepala ibu. Hih, meleset sedikit saja ke bawah" Dara itu memejamkan kedua matanya dan menggerak gerakkan kedua pundaknya seperti orang yang merasa kengerian.
"Hemm, karena itulah maka aku sengaja memberi contoh padamu tadi, Mei Li. Ilmu mempergunakan hui-kiam bukan hanya tergantung kepada kemahiran tangan saja, melainkan terutama sekali keteguhan hati. Kalau hatimu seteguh baja, bidikanmu takkan meleset serambutpun dan jari-jari tanganmu akan mantap dan tidak tergetar sedikitpun juga."
Gadis manis itu menjulurkan lidah, ujung lidah yang merah itu mengintai dari sepasang bibirnya dan iapun menjawab, "Aku tahu, ibu memiliki ketabahan hati seteguh baja! Ayah juga sering menceritakan kepadaku dan memuji-muji ibu. Mungkin aku yang telah berlatih dengan tekun memiliki kemahiran itu, akan tetapi keteguhan hati tak dapat dilatih, ibu. Betapapun keras hati ku, bagaimana mungkin aku berani membidik apel di atas kepala ibu? Sekarang tolong ibu lemparkan sebuah apel ke atas, aku akan mencoba denqan jurus Siang-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mestika) dengan sepasang pedangku."
Can Kim Hong tersenyum, lalu mengambil sebuah apel dari dalam keranjang yang memang dipersiapkan untuk latihan, kemudian ia melempar buah itu ke atas. Mei Li dengan gerakan cepat sekali sudah mencabut keluar sepasang pedang yang bentuknya indah dan merupakan sepasang pedang pendek yang berkilauan saking tajamnya, dan pedang-pedang itu diberi tali sutera merah yang cukup panjang dan digulung dan dibelitkan di ujung gagang pedang.
Sekali gadis itu mengeluarkan bentakan halus dan menggerakkan sepasang pedangnya, maka nampak dua sinar menyambar ke atas menyerang apel tadi dan meluncur dengan menyilang membabat buah apel. Buah apel itu terpotong menjadi empat oleh sepasang pedang, dan potongannya berjatuhan di atas tanah sedangkan sepasang pedang itu meluncur kembali ke arah kedua tangan Mei Li ketika ia menarik tali sutera itu.
Dan cepat sekali, begitu sepasang pedang telah berada di kedua tangannya, sukar diikuti pandang mata saking cepatnya sepasang pedang itu telah kembali ke dalam sarungnya, hampir berbareng saatnya dengan jatuhnya empat potong apel itu.
"Cukup bagus!" puji ibunya, "Sekarang coba perlihatkan siang-hui-kiam sut (Ilmu Sepasang Pedang Terbang) yang telah digabung dengan Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi). Berlatihlah yang sungguh-sungguh, karena aku akan menyerangmu dengan apel-apel ini, dan aku akan menyerang dengan sungguh-sungguh!”
Mei Li segera mencabut sepasang pedangnya dan kini ia bersilat dengan sepasang pedang. Gerakannya indah seperti seorang dewi menari-nari dan itulah Sian-li Kiam-sut yang ia pelajari dari ayahnya, akan tetapi kadang-kadang pedangnya menyambar lepas dari tangan untuk cepat berputar dan terbang kembali ke tangannya. itulah Siang-hui Kiam-sut.
Dengan bantuan ayah dan ibunya, Mei Li berhasil menggabungkan kedua ilmu pedang yang ia pelajari dari ayah ibunya. Can Kim Hong mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring dan ibu ini menyerang puterinva dengan lemparan apel-apel dari dalam keranjang. Sambitan Can Kim Hong bukan sambitan biasa, melainkan sambitan seorang ahli silat tingkat tinggi yang memiliki tenaga sinkang kuat, maka tentu saja buah-buah apel itu menyambar-nyambar seperti peluru meriam!
Namun, sepasang pedang yang digerakkan dengan indahnya itu kini bergerak cepat sehingga lenyaplah bentuk sepasang pedang itu, berubah menjadi dua sinar yang bergulung-gulung membentuk perisai sinar dan semua buah apel yang menyambar tentu runtuh terbelah oleh sinar pedang yang amat tajam!
Dalam waktu beberapa menit saja, puluhan buah apel itu habis terpotong-potong dan berserakan di atas tanah. Can Kim Hong mengeluarkan suara melengking dan ibu inipun kini menerjang maju dengan sepasang pedangnya sendiri, menyerang Mei Li dengan gerakan cepat. Dan terjadilah latihan pertandingan yang amat seru dan kalau ada orang lain kebetulan menjadi penonton, tentu dia akan merasa tegang dan mengira bahwa kedua orang wanita itu benar-benar sedang berkelahi mati-matian!
Memang ibu dan anak itu berlatih dengan sungguh-sungguh, mengerahkan tenaga dan kecepatan. Hal ini berani mereka lakukan karena keduanya sudah menguasai benar ilmu sepasang pedang terbang itu.
"Awas pedang!" tiba-tiba Mei Li berseru dan pedangnya yang kiri meluncur cepat dan ke arah leher ibunya, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Can Kim Hong berusaha keras untuk mengalahkan puterinya dalam latihan ini, maka iapun menggunakan sepasang pedangnya untuk menggunting atau menjepit pedang yang terbang menyerangnya itu dengan kedua pedangnya yang bergerak cepat.
Akan tetapi, begitu pedang kiri itu terjepit di antara sepasang pedang ibunya, Mei Li sudah membentak lagi dan pedang kanannya kini meluncur ke arah kaki ibunya. Can Kim Hong mengeluarkan seruan kagum dan tubuhnya mencelat ke atas, dan dengan sendirinya jepitan kedua pedangnya terlepas dan sekali tarik, pedang kiri itu sudah melayang kembali kepada pemiliknya. Can Kim Hcng melayang turun dan menyimpan kembali sepasang pedangnya sambil tersenyum.
"Thian-te-siang-liong (Sepasang Naga Langit Bumi) yang cukup bagus dalam penyeranganmu tadi, Mei Li. Akan tetapi, pedang ke dua itu agak terlambat, kalau kaulepaskan pedang kanan itu sedetik lebih cepat, sebelum pedang kirimu terjepit, tentu akan membuat aku lebih repot."
Dara berusia delapan belas tahun itu memang telah menguasai sepasang pedang terbang dengan amat baiknya. Memang ia memiliki bakat besar dan ditambah ketekunannya dan kecerdikannya, maka dalam usia delapanbelas tahun ia bahkan lebih mahir dibandingkan ibunya! Hal ini tidaklah terlalu aneh karena selain ayah ibunya yang menggemblengnya sejak ia masih kecil, juga Mei Li selama dua tahun terakhir ini menerima penggemblengan dari kakek gurunya, yaitu Hek-liong Kwan Bhok Cu, guru ibunya.
Yang Mei Li merupakan anak tunggal dari suami isteri Yang Cin Han dan Can Kim Hong. Ayah dari Yang Cin Han, yaitu mendiang perdana menteri Yang Kok Tiong, kakak dari mendiang selir Yang Kui Hui yang amat terkenal, terlibat langsung ketika terjadi pemberontakan dalam Kerajaan Tang yang dilakukan oleh An Lu Shan.
Dalam keributan pemberontakan itu, yang membuat Kaisar Hsuan Tsung terpaksa melarikan diri dan diiringkan pula oleh Perdana Menteri Yang Kok Tiong, perdana menteri ini tewas. Juga isterinya tewas membunuh diri ketika kota raja diserbu pemberontak. Perdana menteri ini meninggalkan tiga orang anak, yaitu Yang Cin Han sebagai anak tertua, kemudian masih ada dua orang adiknya, keduanya wanita, yaitu Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi.
Yang Kui Bi menikah dengan Sia Su Beng pemberontak lain yang berhasil membunuh An Lu Shan dan puteranya, kemudian Yang Kui Bi, yaitu ibu kandung Sia Han Lin, gugur ketika pasukan pemerintah Tang merebut kembali kota raja.
Sedangkan Yang Kui Lan yang menjadi isteri pendekar Go-bipai yang bernama Souw Hui San tinggal di Wu-han di pantai Yang-ce-kiang. Biarpun tiga orang ini merupakan putera puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong, namun yang terlibat langsung dalam perang perebutan mahkota Kerajaan hanyalah Yang Kui Bi yang menjadi isteri Sia Su Beng yang telah mengangkat diri sendiri sebagai kaisar baru menggantikan An Lu Shan.
Yang Cin Han dan adiknya, Yang Kui Lan, tidak mau melibatkan diri dan ketika pasukan Tang akhirnya berhasil merebut kembali tahta kerajaan dari tangan Sia Su Beng dalam tahun 766, kakak beradik ini tidak mencampuri. Ketika mendengar bahwa kota raja telah jatuh kembali ke tangan pasukan Tang yang dipimpin oleh Pang lima Kok Cu It yang setia dan gagah perkasa, dan mendengar pula akan gugurnya Sia Su Beng dan adiknya, Yang Kui Bi, Yang Cin Han mencoba untuk mencari berita tentang adiknya itu di kota raja yang telah diduduki kembali oleh Kaisar Su Tsung.
Dia mendengar bahwa adiknya itu benar telah gugur, demikian pula suami adiknya. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan keponakannya, Sia Han Lin yang baru berusia lima tahun. Anak itu lenyap tak tentu rimbanya dan dia tidak berhasil menemukan jejaknya.
Demikianlah sedikit riwayat Yang Cin Han, ayah Yang Mei Li. Kini, Kerajaan Tang telah pulih kembali, telah berdiri kembali dengan tegaknya berkat kegagahan Panglima Kok Cu It. Akan tetapi, semenjak Kaisar Su Tsung yang menggantikan Kaisar Hsuan Tsung merebut kembali kota raja dalam tahun 766, sudah beberapa kali terjadi penggantian kaisar. Kaisar Su Tsung hanya memerintah sampai tahun 768 saja sejak dinobatkan menggantikan ayahnya dalam tahun 755.
Kemudian penggantinya, Kaisar Kui Tsung, adiknya sendiri, memerintah sebagai kaisar dari tahun 768 sampai 773- Kemudian, baru saja beberapa bulan yang lalu Kaisar Kui Tsung meninggal dunia dan tahta kerajaan diserahkan kepada puteranya, yaitu Kaisar Thai Tsung.
Ketika kisah ini terjadi, kaisarnya adalah Kaisar Thai Tsung. Karena pasukan Tang merampas kembali tahta kerajaan dengan bantuan banyak suku asing dari barat dan utara, maka setelah kerajaan Tang dapat dibangun kembali, suku-suku bangsa yang tadinya membantu itu menuntut balas jasa. Banyak di antara mereka yang tidak mau kembali ke kampung halaman, keenakan tinggal di daerah pedalaman Kerajaan Tang.
Berbagai bangsa tinggal bertebaran di wilayah Tang, di antara mereka adalah bangsa Arab yang tadinya merupakan pasukan Arab yang dikirim oleh Kalif Abu Jafar al Mansur dalam tahun 756 untuk pembantu Kerajaan Tang menghadapi pemberontakan yang telah menduduki kota raja Tiang-an, ada pula bangsa Nepal, Turki dan banyak suku bangsa lagi. Banyak di antara mereka telah menikah dengan wanita Han dan tinggal menetap di pedalaman.
Namun, yang merupakan gangguan terbesar bagi Kerajaan Tang yang baru saja menguasai kembali kota raja Tiang-an adalah gerakan dari bangsa Tibet di barat dan disusul gerakan Kerajaan Nan Chao yang berkedudukan di Yunnan, sebelah selatan. Gangguan dari barat dan selatan inilah yang merongrong Kerajaan Tang sepanjang tahun-tahun mendatang. Yang Cin Han dan keluarganya tinggal di Lok-yang, kota besar yang merupakan ibukota ke dua setelah Tiang-an.
Dia menjadi saudagar rempa-rempa yang berhasil, sehingga keadaan keluarganya cukup kaya. Dan biarpun dia sendiri seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, demikian pula isterinya, namun suami isteri ini selalu menjaga agar mereka jangan sampai terlibat dalam urusan dunia kangouw. Juga Mei Li mereka pesan agar jangan mencari permusuhan.
Gadis ini bukan saja digembleng ilmu silat tinggi, akan tetapi juga sastra dan kesenian lain. Mei Li memang cantik, kecantikan yang amat menarik seperti biasa kecantikan wanita yang berdarah campuran. Ibunya, Can Kim Hong, adalah seorang peranakan Khitan, ayahnya orang Han dan ibunya orang Khitan. Dan Mei Li ju ga mewarisi kecantikan campuran dari ibunya.
Seperti juga Cin Han, Kim Hong juga sudah yatim piatu. Ayahnya, seorang perwira bernama Can Bu, belum lama ini meninggal dunia karena terluka dalam pertempuran kemudian menderita sakit sampai berbulan-bulan. Hek-liong Kwan Bhok Cu, guru Can Kim Hong, pernah berkunjung ke rumah muridnya sekitar tiga tahun yang lalu.
...Ada halaman yang hilang....
"Sudahlah, jangan merisaukan yang bukan-bukan," kata Yang Cin Han dan dia merangkul isterinya dengan penuh perasaan sayang. Suasana menjadi sunyi dalam kamar itu.
Di kota Wu-han, Souw Hui San dan isterinya, Yang Kui Lan, berdagang kain dan mempunyai sebuah toko yang cukup besar. Mereka hidup serba kecukupan dan tenang, tidak pernah suami isteri pendekar ini menonjolkan diri sebagai jagoan. Biarpun demikian, diam-diam mereka berdua menggembleng anak tunggal mereka, yaitu Souw Kian Bu yang telah berusia sembilan belas tahun.
Souw Hui San telah berusia empat puluh lima tahun. Dia seorang Murid Gobi-pai yang terpandai, seorang yang sejak muda sudah yatim piatu dan bertualang di dunia persilatan sebagai seorang pendekar yang lincah jenaka dan gembira, namun cerdik dan lihai sekali. Wajahnya cukup tampan dengan bentuk yang bulat, matanya membayangkan kecerdikan dan mulutnya membayangkan keramahan dengan senyum yang agaknya penuh pengertian. Tubuhnya sedang dan kekar.
Sebagai seorang ayah, dia menurunkan semua ilmu silatnya kepada Souw Kian Bu, di samping mengharuskan puteranya itu mempelajari kesusasteraan dari seorang guru sastra yang sengaja dia bayar untuk mendidik puteranya...
Selanjutnya,