Kisah Si Pedang Terbang
Jilid 05
ISTRINYA, Yang Kui Lan, juga mengajarkan ilmu-ilmunya yang ia dapat dari Kong Hwi Hosiang. Yang Kui Lan berusia tigapuluh sembilan tahun akan tetapi nampak jauh lebih muda. Wanita ini memang cantik jelita, kecantikan yang lembut dan agung, ia mirip sekali dengan bibinya yang terkenal, mendiang selir kaisar yang bernama Yang Kui Hui.
Setitik tahi lalat di dagu kiri nya menambah kemanisan wanita yang sudah separuh baya ini. la merupakan isteri yang cocok sekali bagi Souw Hui San. Kalau suaminya seorang yang lincah jenaka suka bergurau, sang isteri pendiam dan agung sehingga keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi.
Seperti juga kakaknya, Yang Cin Han, Kui Lan bersama suaminya juga merasa gelisah ketika mendengar tentang gugurnya adiknya, Yang Kui Bi. la pun berusaha mencari keponakannya, putera adiknya itu yang bernama Sia Han Lin, namun tidak berhasil menemukan jejak anak yang hilang dalam keributan ketika kota raja diserbu pasukan Tang. Atas persetujuan kedua pihak, Souw Hui San dan Yang Kui Lan mengikat tali perjodohan putera mereka dengan puteri kakaknya. Ketika dua pasang suami Isteri ini mengikat tali perjodohan anak mereka, Kian Bu berusia dua tahun dan Mei Li berusia satu tahun.
Sedikitnya setahun sekali, kedua keluarga itu saling datang berkunjung sehingga Kian Bu dan Mei Li mulai berkenalan dan bersahabat karena setiap kali datang berkunjung, tentu keluarga yang berkunjung itu bermalam sampai seminggu lamanya. Ketika mereka berusia lima enam tahunan, mereka diperkenalkan sebagai saudara misan. Baru setelah mereka mencapai usia belasan tahun, orang tua mereka memberitahu bahwa mereka sudah saling dijodohkan.
Di luar pengetahuan kedua orang tua masing-masing, ketika tiga tahun yang lalu Kian Bu bersama orang tuanya datang berkunjung, diam-diam Kian Bu dan Mei Li mengadakan pertemuan empat mata dan sambil berbisik-bisik mereka berdua menyatakan ketidakpuasan hati mereka bahwa mereka itu sejak kecil saling dijodohkan. Keduanya memiliki perasaan yang sama, yaitu bahwa mereka saling menyayang sebagai kakak dan adik misan, dan merekapun keduanya merasa tidak bebas dan terikat oleh perjodohan yang dipaksakan di luar kehendak mereka itu.
Dan sejak tiga tahun yang lalu itu, keduanya selalu menolak kalau diajak berkunjung. Baik orang tua Kian Bu maupun orang tua Mei Li tidak memaksa dan mengira bahwa keduanya sudah mulai dewasa dan agaknya mulai merasa malu untuk berkunjung ke rumah tunangan mereka! Souw Hui San dan isterinya, Yang Kui Lan, sudah mendengar bahwa Mei Li telah mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silatnya berkat bimbingan langsung dari kakek gurunya, yaitu Si Naga Hitam.
Oleh karena itu, suami isteri ini berusaha keras untuk menggembleng putera mereka agar dapat mengimbangi tingkat kepandaian Mei Li, karena sebagai seorang calon suami, sebaiknya kalau tingkat kepandaiannya tidak tertinggal jauh oleh calon isterinya. Maka, selama tiga tahun ini mereka mewariskan semua ilmu mereka kepada Kian Bu, bahkan menggabungkan iImu silat Gobi-pai dengan ilmu silat yang dikuasai Yang Kui Lan yang bersumber dari aliran Siauw-limpai.
Pada hari itu, pagi-pagi sekali, setelah mereka mengamati putera mereka berlatih silat pedang, Souw Hui San dan Yang Kui Lan mengajak Kian Bu untuk bicara di dalam. Toko mereka belum dibuka karena selain hari masih terlalu pagi, juga dua orang pembantu penjaga toko mereka belum datang.
"Kian Bu, bersiap-siaplah engkau seminggu lagi kita bertiga akan pergi berkunjung ke Lok-yang," kata Souw Hui San. Souw Kian Bu. mengangkat muke memandang ayahnya, lalu ibunya. Akan tetapi wajah ayah dan ibunya itu tidak berbeda, keduanya memandang dengan sinar mata tajam dan sikap mereka meyakinkan, tanda bahwa mereka berdua serius.
Kian Bu berpura-pura dan bersikap tenang dan biasa. "Kalau ayah dan ibu merasa rindu kepada keluarga pek-hu (uwa) Yang Cin Han, silakan ayah dan ibu yang pergi berkunjung ke Lok-yang. Aku akan tinggal di rumah saja, mengurus toko."
"Tidak bisa, Kian Bu," kata Yang Kui Lan dengan lembut. "Sekali ini engkau harus ikut karena ada urusan yang amat penting."
Pemuda itu memandang ibunya. "Urusan amat penting apakah, ibu?"
"Kita harus memenuhi janji, Kian Bu," kata pula ibunya. "Janji? Aku tidak merasa berjanji kepada siapapun, ibu."
"Kian Bu, seminggu lagi, Yang Mei Li tepat berusia delapanbelas tahun dan tibalah saatnya bagi kita untuk memenuhi janji, yaitu membicarakan dan menentukan hari pernikahanmu dengan Mei Li. Karena yang akan dibicarakan mengenai pernikahanmu, maka tentu saja engkau harus ikut," kata ayahnya.
Sejenak Kian Bu mengangkat muka memandang ayahnya. Dua pasang mata yang sama tajamnya beradu pandang, akan tetapi Kian Bu segera menundukkan muka, tidak ingin ayahnya meiihat perlawanan dalam sinar matanya. Agaknya Yang Kui Lan dapat merasakan isi hati puteranya, maka ia berkata dengan suara menghibur dan penuh kesayangan.
"Kian Bu, ingatlah bahwa sejak engkau berusia dua tahun, engkau telah kami tunangkan dengan Mei Li yang ketika itu berusia satu tahun. Sekarang, ia telah berusia delapan belas tahun dan engkau sembilanbelas tahun, sudah tiba saatnya memenuhi janji kita kepada pekhumu. Dan engkau sendiri melihat bahwa pilihan kami tidak keliru. Mei Li seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa. sungguh cocok sekali menjadi isterimu. Kiranya akan sulit ditemukan seorang gadis yang lebih sepadan untuk menjadi jodohmu, Kian Bu!"
Kian Bu menghela napas panjang, lalu dia memandang kepada ayah dan ibunya, bergantian, kemudian dia memberanikan diri bertanya, "Ayah dan ibu, dahulu tentu ayah dan ibu pernah juga muda seperti aku, bukan?"
Ayah dan ibunya menjawab berbareng. "Tentu saja!"dan ayahnya menambahkan sambil tertawa. "Bukan hanya pernah muda seusiamu, Kian Bu, juga aku pernah menjadi bayi, ha-ha-ha!"
"Bukan begitu maksudku, ayah. Akan tetapi apakah ayah dan ibu dahulu juga eh, sudah dijodohkan sejak masih kecil?"
Suami isteri itu terkejut dan saling pandang, tidak menyangka putera mereka akan bertanya demikian. Keduanya menggeleng tanpa menjawab.
"Atau apakah dahulu ibu adalah pilihan kakek dan nenek Yang, dan ayah adalah pilihan kakek dan nenek Souw?" pemuda itu mengejar dan sekarang. mengertilah ayah dan ibu itu ke mana arah pertanyaan Kian Bu.
"Kian Bu, kami mengerti apa yang kaupikirkan dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu," kata Souw Hui San, kini wajahnya yang biasanya periang itu nampak serius. "Akan tetapi, keadaanku dan keadaanmu sungguh jauh berbeda. Ibumu dan aku memang berjodoh karena pilihan sendiri, akan tetapi ketika kami saling berjumpa dan saling jatuh cinta, kami berdua adalah yatim piatu."
"Kian Bu, kami dan pek-humu Yang Cin Han bersama isterinya menjodohkan engkau dan Mei Li dengan niat yang baik sekali. Kami tidak memaksamu, akan tetapi, bukankah pilihan kami itu, amat tepat? Apakah apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain?" Kini pandang mata suami isteri itu menatap.wajah putera mereka penuh selidik.
"Tidak, ibu. Hanya aku merasa... eh, ganjil dan lucu kalau memikirkan bahwa aku harus berjodoh dengan adik Mei Li. Aku selalu merasa bahwa ia seperti adikku sendiri sehingga janggallah membayangkan ia menjadi jodohku."
Pada saat itu, pembantu toko datang dan melaporkan bahwa di luar ada seorang tamu ingin bertemu dengan tuan rumah dan katanya bahwa tamu itu datang dari Lok-yang. Mendengar ini, Souw Hui San segera keluar, diikuti isterinya yang ingin sekali tahu berita apa yang dibawa utusan dari Lok-yang itu, karena sudah pasti berita itu datang dari kakaknya. Dugaannya benar. Orang itu adalah utusan Yang Cin Han yang mengantar kan surat.
Setelah memberi upah tambahan kepada utusan itu, Souw Hui San dan isterinya membawa surat itu ke dalam. Utusan tadi mengatakan bahwa pengirim surat tidak minta balasan, maka dia lalu pergi lagi, tidak menanti jawaban. Dan setelah mereka membaca isi surat, memang tidak diperlukan balasan. Surat itu menyatakan bahwa dengan minta maaf keluarga di Lok-yang, itu minta agar ketentuan hari pernikahan diundur antara satu sampai dua tahun!
Alasan yang dikemukakan Yang Cin Han mengenai pengunduran itu adalah karena Mei Li berkeras ingin pergi merantau mencari pengalaman sebelum menikah dan bahwa mereka tidak dapat menahan keinginan hati puteri mereka itu. Suami isteri itu saling pandang dan mereka berdua dapat memaklumi. Mei Li adalah puteri suami isteri pendekar, maka kalau timbul hasrat ingin merantau dan mencari pengalaman, maka hal itu wajar saja.
Ketika Kian Bu diberitahu akan pengunduran itu, wajahnya berseri dan dia tidak menyembunyikan kegembiraannya. "Ha-ha-ha, sudah kuduga Li-moi akan melakukan hal itu!" katanya gembira.
"Ehhh? Bagaimana engkau dapat menduga?" tanya ibunya.
"Kian Bu, apa yang terjadi dengan kalian?" tanya pula ayahnya.
Kian Bu masih tersenyum. "Tidak apa-apa, ayah. Hanya aku dapat menduga bahwa iapun tentu tidak suka dengan ikatan jodoh yang sudah ditentukan sejak kecil itu. Kukira perasaan kami tidak jauh berbeda, dan akupun ingin pergi mencari pengalaman."
"Apa? Hendak ke mana engkau?" tanya ayahnya. Kian Bu tersenyum memandang ayahnya.
"Dari ayah dan dari ibu aku seringkali mendengar betapa ketika muda dahulu, baik ayah maupun ibu banyak melakukan petualangan di dunia kangouw. Apakah sekarang ayah dan ibu merasa heran kalau akupun ingin mencari pengalaman dan meluaskan pandangan dengan merantau barang setahun dua tahun? Aku ingin sekali mencari jejak kakak Sia Han Lin, puteri Kui Bi yang hilang tanpa meninggalkan jejak itu. Juga aku ingin mencari dan bertemu dengan sukong (kakek guru) Kong Hwi Hosiang, dan berkunjung ke Gobi-pai, bertemu dengan para suhu di Gobi-pai."
Souw Hui San dan Yang Kui Lan tidak mampu mencegah putera mereka yang hendak pergi merantau. Mereka hanya dapat memberi banyak nasihat kepada putera mereka agar berhati-hati dan tidak menanam bibit permusuhan di dunia kangouw.
Dua hari kemudian, berangkatlah pemuda yang kini nampak bergembira itu, meninggalkan Wu-han dan membawa buntalan pakaian yang digendongnya di punggung, membawa sebatang pedang dan dengan wajah berseri-seri dia pergi menuju ke Tiang-an, kota raja di mana dia ingin mencari jejak kakak misannya, yaitu Sia Han Lin, putera mendiang bibinya, Yang Kui Bi.
Apa yang terjadi dengan Mei Li dan mengapa pula gadis itu tiba-tiba saja pergi merantau seperti yang diceritakan Yang Cin Han dalam suratnya ke pada Souw Hui San dan Yang Kui Lan? Seperti juga yang terjadi dengan Kian Bu, ketika Mei Li mendengar dari ayah ibunya bahwa waktu yanq dijanjikan oleh dua keluarga itu tiba, yaitu untuk menentukan hari pernikahan, Mei Li mengerutkan alisnya dan membantah dengan keras.
"Tidak, ayah dan ibu. Aku belum ingin menikah!" katanya memrotes.
"Akan tetapi, urusan ini telah ditentukan dan telah dijanjikan Dalam waktu sebulan ini, keluarga Souw akan datang dan kita semua akan membicarakan penentuan hari pernikahan," kata ibunya.
"Benar, Mei Li, janji haruslah ditepati, kalau tidak, bagaimana kita akan dapat menghadapi keluarga bibimu itu?" sambung ayahnya.
"Tidak, ayah. Batalkan saja...!" Mei Li hampir menangis, akan tetapi di tahannya karena anak ini sejak kecil memang digembleng agar menjadi seorang pendekar wanita yang tidak cengeng.
"Batalkan? Sepihak? Tidak mungkin!"
"Kalau begitu tangguhkan saja, setahun dua tahun. Aku ingin pergi merantau, ayah, aku belum ingin menikah."
"Mei Li, jangan engkau membuat kacau urusan dan menyusahkan ayah ibumu!" Can Kim Hong menegur puterinya.
"Ibu, apakah ibu dahulu juga dipaksa menikah dengan ayah?" Mei Li bertanya dengan suara lantang. "Ayah dan ibu bersusah payah mengajarkan ilmu silat kepadaku dan sejak kecil aku rajin berlatih setiap hari. Bahkan sukong juga sudah ikut bersusah-payah mengajarku selama dua tahun. Dan semua itu tidak boleh kupergunakan, semua itu akan lenyap terbakar api dapur di mana aku harus melayani suami? Tidak, ibu, urusan perjodohan itu harus ditangguhkan barang setahun dua tahun. Aku ingin merantau, ingin berkunjung ke Tiang-an, aku ingin mencari sukong!"
Demikianlah, terpaksa Yang Cin Han dan Can Kim Hong mengalah dan memberi ijin kepada puteri mereka untuk mencari pengalaman di dunia kangouw. Bagaimanapun juga, puterinya itu tidak perlu dikhawatirkan lagi karena telah memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih lihai dibandingkan mereka. Dan mereka lalu mengirim surat kepada keluarga Souw Hui San untuk minta agar urusan pernikahan itu ditangguhkan satu atau dua tahun.
Mei Li berangkat meninggalkan Lok-yang menunggang seekor kuda putih yang baik. Kuda pilihan yang tinggi dan kuat, tentu saja berharga mahal. Akan tetapi ayah ibunya berkeras agar puterinya melakukan perjalanan dengan berkuda dan memang sejak kecil Mei Li sudah berlatih menunggang kuda sehingga ia kuat berkuda sampai berjam-jam lamanya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, setelah berpamit dan mohon doa restu ayah ibunya, dara itu menunggang kuda putihnya keluar dari pintu gerbang barat kota Lok-yang. Sebuah buntalan kain kuning berada di punggungnya dan di bawah buntalan itu nampak tergantung sepasang pedangnya yang gagangnya diberi tali sutera panjang. Di pinggangnya kanan kiri masih tergantung pula dua batang pedang pendek. Tidak lupa ia membawa bekal uang perak dan emas dalam buntalan pakaiannya, untuk bekal dalam perjalanan.
Tujuan pertama dari perjalanannya itu adalah ke kota raja Tiang-an. Ia belum pernah pergi ke kota raja itu. Ketika ayahnya pergi ke kota raja untuk mencari putera bibinya yang tewas dalam pertempuran, ia baru berusia tiga tahun dan ditinggal di rumah bersama ibunya. la memang banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang kota raja Tiang-an dan tentang pergolakan selama ini dan ia tahu pula bahwa kakak misannya, putera bibinya Yang Ku i Bi telah lenyap dari kota raja ketika terjadi perang. Nama kakak misannya itu Sia Han Lin, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengannya.
Wajah dara perkasa itu nampak berseri. Rambutnya yang hitam halus panjang, yang disanggul tinggi dan dihias tusuk sanggul dari perak dan hiasan merak dari batu kemala, nampak agak kusut karena hembusan angin yang bermain-main dengan rambut hitam halus itu.
Matanya yang lebar, yang jelas membayangkan bahwa ia seorang gadis peranakan yang masih ada darah Khitan mengalir dalam tubuhnya, mata yang indah dan jeli itu kini berbinar-binar, penuh kegembiraan ketika memandang ke depan dan kanan kiri di sepanjang jalan. Mulutnya yang mungil itupun selalu terhias senyum.
Hati Mei Li memang mengalami kebahagiaan yang luar biasa yang belum pernah ia rasakan. Ada ketegangan yang menggairahkan, ada semangat baru dalam kehidupannya, merasa bebas merdeka seperti seekor burung rajawali melayang-layang di angkasa. Perasaan seperti yang dialami Mei Li itu akan terasa oleh siapa saja yang dalam kehidupan sehari-harinya se lalu disibukkan oleh pekerjaan, keramaian, kebisingan dan segala macam masalah kehidupan dalam masyarakat yang tinggal di kota besar.
Kehidupan dalam kota selalu berkisar kepada soal-soal duniawi, mengejar uang, harga diri, ke hormatan dan kesenangan jasmani, mencari jalan pemuasan nafsu, persaingan dalam segala bidang. Semua itu ditambah oleh banyaknya manusia yang berdesakan di kota besar, segala macam kotoran sampah, udara yang tidak murni lagi, membuat dada rasanya tidak longgar untuk bernapas, pikiranpun tiada hentinya mengalami guncangan dan tantangan, dan kesehatanpun mengalami kemunduran dan gangguan.
Oleh karena itu, apabila terdapat kesempatan penghuni kota yang selalu sibuk itu dapat berada di luar kota, di tempat terbuka yang jauh dari perumahan, jauh dari keramaian manusia, dia akan dapat merasakan seperti yang dialami Mei Li pa da saat ia menjalankan kudanya perlahan-lahan itu.
Kebesaran, keagungan dan keindahan alam hanya dapat dirasakan dan dinikmati apa bila kita berada di daerah pegunungan, hutan-hutan atau di pantai lautan yang sepi dari manusia dan belum dikotori oleh ulah manusia yang hanya mendatangkan kerusakan dan noda pada lingkungan.
Kalau kita berada seorang diri di dataran tinggi yang jauh dari manusia lain, jauh dari pemukiman manusia, menghirup udara segar yang mengalir melimpah ke dalam dada kita, terasa sesuatu yang sukar digambarkan.
Dalam keadaan seperti itu, untuk beberapa saat lamanya sadarlah kita bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang rindu akan segala ini, yang bukan dari dunia ramai, bukan kesenangan jasmani, bukan pemuasan nafsu, bukan pengejaran cita-cita. Kita rindu dan haus akan kedamaian alami, rindu kepada Sumber Segala sumber, dari mana kita datang dan kemana kita kelak pergi.
Manusia dan Alam, tak terpisahkan karena tercipta oleh Tangan Yang Satu, terbimbing oleh Tanqan Yang Satu, namun sungguh sayang kita lebih terseret oleh kesenangan duniawi, pemuasan nafsu badani yang kita perebutkan, kalau perlu dengan saling hantam, pada hal yang kita dapatkan hanyalah kesenangan hampa yang hanya sementara, lewat begitu saja seperti angin lalu untuk memberi giliran kepada saudara kembarnya, yaitu kesusahan, kedukaan dan kekecewaan.
Mei Li sadar dari lamunannya ketika kudanya meringkik. Kudanya memang kuda yang terlatih dan baik dan kalau kuda itu meringkik, itu tandanya bahwa kudanya merasakan, melihat atau mendengar sesuatu yang asing dan tidak wajar. Apakah ada binatang buas? Harimau? Mei Li tidak merasa gentar dan ia pun kini sudah siap siaga kalau-kalau di tempat itu muncul bahaya.
Ternyata yang muncul dari dalam hutan di depan adalah serombongan orang. Ada limabelas orang pria yang keadaannya amat menyedihkan. Mereka menggotong tiga buah mayat, dan lima orang yang agaknya terluka parah. Lima belas orang itu sendiri keadaannya juga tidak utuh, banyak di antara mereka yang terluka walaupun tidak seberat luka lima orang itu.
Melihat bahwa belasan orang pria itu kelihatan kuat, bahkan mereka itu membawa senjata pedang atau golok yang tergantung di pinggang, akan tetapi kini nampak ketakutan, tentu saja Mei Li merasa heran sekali. la sudah meloncat turun dari atas kudanya dan menghadang di tengah jalan.
Sementara itu, ketika rombongan itu melihat seorang gadis muda cantik jelita menuntun seekor kuda putih besar kini menghadang di tengah jalan, mereka nampak kaget dan seorang di anta mereka, seorang laki-laki tinggi besar berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, mendahului rombongan itu nenghampiri Mei Li.
"Apakah nona hendak melakukan perjalanan melalui' hutan itu?" tanyanya sambil memandang Mei Li penuh perhatian.
Sebetulnya, Mei Li yang tertarik melihat keadaan mereka dan ingin mengetahui apa yang telah terjadi, akan tetapi karena didahului orang, iapun mengangguk. "Benar, paman."
"Jangan, nona! Sebaiknya nona cepat menunggang kuda nona itu dan cepat meninggalkan tempat ini, kembali ke sana!" Dia menuding ke arah dari mana Mei Li datang.
"Kenapa, paman? Dan kenapa pula paman serombongan seperti orang yang habis kalah perang? Ada pula yang tewas dan luka-luka? Apa yang telah terjadi?" kini Mei Li bertanya dan rombongan itu telah berada di depannya.
"Sudahlah, harap jangan banyak bertanya, nona. Selagi masih ada kesempatan, pergilah cepat. Kalau melihat nona membawa kuda sebagus ini, tentu mereka tidak akan mau melepaskanmu, apa lagi nona masih muda dan cantik jelita. Percayalah kepadaku, nona cepat pergilah!." orang tinggi besar itu mendesak.
Sikap orang tinggi besar ini saja sudah membuat Mei Li makin tertarik. Bagaimanapun juga, orang yang belum dikenalnya ini telah bersikap dan berniat baik kepadanya, memperingatkanya akan adanya bahaya dan orang itu tidak ingin melihat ia tertimpa bencana. Sikap ini membuat ia semakin penasaran. Orang-orang ini jelas bukan penjahat, bahkan agaknya sebaliknya, menjadi korban kejahatan, karena itu harus ditolongnya!
"Terima kasih atas peringatan dan nasihatmu, paman. Akan tetapi, aku tidak akan melarikan diri, bahkan aku ingin sekali mengetahui, apa yang telah terjadi dengan rombongan paman. Kalau terdapat bahaya di depan sana, aku tidak takut!" katanya gagah.
Orang tinggi besar itu mengerutkan alisnya. "Nona, engkau masih amat muda, mungkin pernah belajar sedikit ilmu silat, akan tetapi tidak baik kalau tekebur. Di hutan itu terdapat gerombolan iblis yang amat jahat dan lihai!"
Akan tetapi, dara jelita itu tetap tenang, bahkan tersenyum. "Maksud paman tentu gerombolan perampok? Hemm, aku tidak takut, bahhkan aku harus membasmi mereka kalau mereka itu menjadi pengganggu rakyat yang berlalu lalang di daerah ini."
Mendengar ucapan lantang itu, si tinggi besar dan beberapa orang kawannya tersenyum getir, agaknya merasa geli, seperti mendengar seekor ayam betina muda berkuruyuk seperti lagak seekor jago!
"Hemm, ketahuilah, nona muda yang bernyali naga! Aku dikenal sebagai Si Golok Setan, kepala Pek-houw-piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Putih) yang sudah terkenal di seluruh daerah Lok-yang! Engkau lihat sendiri, kami para pengawal Pek-houw-pia-uw-kiok sebanyak duapuluh tiga orang, mengawal sepasang pengantin hartawan melewati hutan itu dan kami dihadang gerombolan itu. Kau lihat sendiri akibatnya. Tiga orang kawan kami tewas, lima orang terluka berat, sepasang mempelai itu ditawan dan semua barang berharga dirampas! Nah, apakah engkau akan begitu gila untuk melanjutkan perjalanan melewati hutan itu? Gerombolan itu agaknya baru saja mendiami hutan itu karena biasanya di sana aman, Pergilah, nona, dan bersukurlah bahwa nona telah bertemu dengan kami sehingga tidak menjadi korban."
Mei Li memperlebar senyumnya sehingga wajahnya nampak cantik manis bukan main, membuat rombongan pria itu tertegun dan tenpesona. "Kalian yang sepatutnya bersukur, paman, karena bertemu dengan aku. Aku yang akan membantu kalian mendapatkan kembali barang-barang yang mereka rampok, dan menolong sepasang mempelai itu. Ceritakan bagaimana keadaan kawanan perampok itu dan di mana mereka."
"Tapi tapi kami merasa ngeri, tidak ingin melihat nona yang begini muda dan jelita terjatuh ke tangan mereka...." si tinggi besar berkata ragu, juga teman-temannya agaknya tidak setuju.
Mereka itu tentu sudah merasa takut bukan main terhadap gerombolan perampok itu, pikir Mei Li. Perlu dibangkitkan semangat mereka. Ia memandang ke kiri di mana terdapat sebuah pohon setinggi hampir tiga meter dengan daun yang lebat.
"Agaknya kalian belum percaya ke padaku, ya? Nah, lihatlah baik-baik!" Mei Li menggerakkan kedua tangan ke arah punggungnya dan begitu cepat gerakannya mencabut sepasang pedangnya sehingga para anggauta piauw-kiok itu tidak melihat ia mencabut pedang dan tiba-tiba saja pandang mata mereka menjadi silau ketika nampak dua sinar terang bergulung-gulung dan terbang mengitari pohon itu bagaikan dua ekor naga yang sedang berkejaran.
Dan yang membuat mereka menahan napas adalah ketika melihat daun-daun dan ranting potion jatuh berhamburan, terbabat kedua gulungan sinar dan ketika dua sinar itu membalik ke arah Mei Li dan gadis itu sudah menangkap kembali sepasang pedangnya dan memasukkan ke dalam sarung pedang, semua orang melihat betapa pohon itu telah menjadi rata bagian atasnya, seperti kepala seorang anak-anak yang tadi ditumbuhi banyak rambut dan sekarang dicukur hampir gundul di sekitar pohon nampak daun dan ranting berserakan.
"Pedang terbang?" Si tinggi besar dan para kawannya berseru heran, takjub dan kagum. Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian sehebat itu. Kalau orang bersilat pedang, tentu saja mereka sudah sering melihatnya, bahkan mereka sendiri ahli bersilat pedang atau golok.
Akan tetapi tadi mereka melihat Mei Li tetap berdiri di dekat kudanya, hanya menggerak-gerakkan kedua tangan ke arah pohon dan sepasang pedang itu berubah menjadi dua sinar bergulung-gulung yang seolah bergerak sendiri, beterbangan menggunduli pohon itu.
Setelah hening sejenak karena mereka tertegun, lalu meledaklah kekaguman dan kegembiraan mereka. Terdengar mereka bertepuk tangan memuji dan si tinggi besar lalu melangkah maju menghadapi Mei Li dan memberi hormat dengan membungkuk dalam.
"Mohon maaf kepada lihiap (Pendekar wanita) bahwa kami seperti buta, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Li-hiap, saya Couw Sam menyatakan taluk dan mengharapkan bantuan lihiap agar kami dapat menyelamatkan sepasang pengantin itu berikut barang-barang mereka yang kami kawal."
Mei Li tersenyum. "Ceritakan dulu keadaan mereka dan apa yang telah terjadi," katanya tenang.
"Kami Pek-houw-piauw-kiok mengawal sepasang mempelai berikut barang-barang mereka dari Lok-yang menuju ke Kwi-yang di barat, ketika kami melewati hutan di lereng depan itu, kami dihadang oleh duabelas orang yang berpakaian serba hitam. Mereka mengaku sebagai gerombolan Hek-i-kwi-pang, (Perkumpulan Iblis Pakaian Hitam) dan mereka hendak merampok semua barang dan menyandera sepasang mempelai. Tentu saja kami melawan karena jumlah kami duapuluh tiga orang, dan biasanya di daerah ini tidak ada penjahat yang berani mengganggu perusahaan pengawal kami. Akan tetapi, ternyata pimpinan gerombolan itu luar biasa lihainya. Pertempuran yang terjadi ternyata berat sebelah dan kami dihajar habis-habisan dan terpaksa melarikan diri, tidak dapat melindungi sepasang mempelai itu yang ditawan dan semua barang terpaksa kami tinggalkan. Kami harus mencari bala bantuan yang lebih kuat lagi, akan tetapi kami bertemu dengan lihiap yang sakti seperti dewi . Mohon bantuan lihiap!"
"Hemm, kalau begitu, siapa di antara kalian yang memiliki keberanian, mari ikut denganku. Aku akan membasmi gerombolan iblis itu!"
Limabelas orang itu, dipimpin oleh Si Golok Setan Couw Sam, dengan gembira mengangkat tangan menyatakan siap untuk ikut dengan dara perkasa itu. "Kami semua siap untuk ikut menyerbu Hek I Kwi-pang kalau dipimpin oleh Hui-kiam Sian-li” kata Couw Sam dengan gembira dan penuh semangat.
"Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang)?" tanya Mei Li "Siapa itu?"
"Maaf, mulai sekarang kami menyebut nona dengan julukan Hui-kiam Sian-li!" kata Couw Sam dan semua anak buah nya mengangguk setuju.
Wajah Mei Li menjadi kemerahan. "Ihh! Jangan terlalu pagi memuji orang. Belum apa-apa kalian sudah mengangkat aku terlalu tinggi. Lihat saja nanti hasilnya. Mari kita berangkat!"
Mei Li meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya, tidak terlalu cepat karena limabelas orang itu mengikutinya dari belakang. Lima orang yang terluka ditinggalkan di situ, bersama tiga jenazah, dengan janji nanti akan dijemput kalau mereka sudah selesai menyerbu gerombolan penjahat di dalam hutan.
Limabelas orang itu, termasuk Couw Sam, nampak gelisah. Jantung mereka berdebar tegang, mulut terasa kering sampai ke kerongkongan karena sebetulnya mereka merasa gentar harus berhadapan lagi dengan gerombolan berpakaian hitam itu. Anak buah gerombolan itu masih dapat mereka lawan, akan tetapi kalau mereka membayangkan kehebatan pemimpinnya, sungguh membuat mereka bergidik ngeri.
Akan tetapi Mei Li yang melihat betapa para piauwsu (pengawal barang) itu diam dan gelisah, duduk di atas punggung kudanya dengan sikap tenang sekali, bahkan ia lalu bersenandung lirih. Suaranya memang merdu dan ia pandai bernyanyi, akan tetapi hanya ia sendiri yang mengetahui bahwa senandung itu disuarakannya untuk menutupi degup jantungnya yang tegang. Sikap limabelas orang itulah yang mendatangkan ketegangan di hatinya.
Biarpun ia puteri suami isteri pendekar sakti, juga telah menguasai ilmu silat yang tinggi, namun selamanya ia belum pernah bertanding sungguh-sungguh melawan musuh. Ia hanya bertanding melawan ayahnya atau ibunya dalam latihan saja. Dan sekarang, tiba-tiba saja ia dihadapkan gerombolan perampok yang agaknya amat kejam, jahat dan lihai sehingga rombongan piauwsu itupun menjadi ketakutan!
Kini rombongan itu tiba di tepi hutan. Melihat wajah Couw Sam dan anak buahnya kini loyo dan pucat, yang tentu saja mempengaruhi hatinya, Mei Li mengerutkan alisnya, menghentikan kudanya dan menoleh kepada mereka.
"Kalau kalian merasa takut, sebaiknya tidak usah ikut denganku!" Ucapannya bernada keras karena hatinya memang mengkal melihat para piauwsu yang dianggapnya pengecut itu.
Mendengar teguran itu, Couw Sam cepat mendekatinya. "Harap nona memaafkan kami. Kami siap membantu karena sebenarnya ini adalah tugas kami. Harap nona berhati-hati."
Mei Li mengangguk dan memasuki hutan menurut petunjuk Couw Sam yang berjalan di dekat kudanya. Dan di tengah hutan itu nampak beberapa buah pondok yang nampaknya masih baru. Couw Sam menunjuk ke arah pondok-pondok itu dan membisikkan bahwa agaknya itulah sarang gerombolan iblis itu. Mei Li menjalankan kudanya menghampiri tempat itu. Ternyata merupakan tempat terbuka dan banyak pohon di situ ditebang sehingga terdapat lapangan terbuka yang cukup luas, di mana didirikan empat buah pondok kayu.
"Tantang mereka keluar!" kata Mei Li kepada Couw Sam.
Karena melihat sikap Mei Li yang demikian tenang dan gagah, Couw Sam menjadi berani. "Haiili, gerombolan iblis Hek I Kwi-pang! Keluarlah kalian untuk menerima hukuman!!"
Teriakan lantang itu segera mendapat sambutan dari dalam empat buah pondok. Nampak bayangan hitam berkelebatan keluar dari dalam pondok. Mereka semua berjumlah duabelas orang, dan yang berada di depan adalah seorang pria yang amat menyeramkan. Mei Li sendiri merasa ngeri. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang laki-laki seperti kepala gerombolan itu. Usianya tentu ada empat puluhan tahun, akan tetapi bentuk tubuhnya sungguh menyeramkan.
Couw Sam yang tinggi besar itu akan nampak kecil jika berdiri di sebelahnya! Sungguh seorang raksasa yang kulitnya hitam seperti hangus, matanya besar-besar, hidungnya, mulutnya, semuanva nampak besar pada rakasa itu. Kulitnya sedemikian hitamnya sehingga kalau dia berada di tempat gelap, tentu hanya putih matanya dan giginya saja yang akan nampak. Sudah kulitnya hitam hangus, pakaiannya juga berwarna hitam. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji, bergigi runcing tajam!
Ketika raksasa hitam itu melihat Mei Li yang meloncat turun dari kuda putihnya dan menambatkan kuda itu di pangkal batang pohon yang bekas ditebang dan masih menonjol di permukaan tanah, dia terbelalak.
"Ha-ha-ha-ha, kalian kembali untuk menebus pengantin? Bagus sekali! Kalau tidak kalian tebus cepat-cepat, pengantin perempuan itu menjadi milikku. Akan tetapi ini wah, betapa cantik jelitanya! Kalian boleh bawa sepasang pengantin sialan itu kalau si jelita ini bersama kudanya ditinggal di sini!"
Mendengar ucapan raksasa hitam itu, anak buahnya yang sebelas orang juga menyeringai dan mereka semua memandang kepada Mei Li dengan mata buas, membuat gadis itu diam-diam bergidik. Akan tetapi, Couw Sam yang kini sudah bersemangat kembali, menjadi marah.
"Gerombolan Hek I Kwi-pang, jangan bicara sembarangan! Kami datang untuk mengambil kembali semua barang dan sepasang pengantin yang kalian rampas!”
Raksasa hitam itu memandang ke sekeliling dan melihat bahwa Couw Sam hanya datang bersama empatbelas orang anak buahnya yang sudah luka-luka. sisa dari mereka yang roboh tewas dan luka berat, bersama si gadis jelita, dia tertawa bergelak.
"Apakah engkau gila dan mengantar nyawa untuk menemui kawan-kawanmu yang sudah mampus tadi? Ha-ha-ha, kalau begitu lebih bagus lagi. Si jelita ini bersama kudanya, juga pengantin perempuan itu untuk aku dan kalian semua akan mati di sini dan bangkai kalian menjadi pupuk hutan, ha-ha-ha!"
"Raksasa hitam, jangan sombong dulu engkau! Kami datang kembali ke si ni untuk menantangmu. Jagoan kami adalah Hui-kiam, Sian-li ini!" kata Couw Sam dengan suara lantang.
Si raksasa hitam itu berjuluk Tiat-ciang Hek-mo (Iblis Hitam Tangan Besi). Sejenak dia mengerutkan alis memandang kepada Mei Li, kemudian dia tertawa bergelak. "Nona jelita ini? Ha-ha-ha, jangan bergurau!"
Mei Li kini berkata dengan suaranya yang merdu halus namun mengandung kelincahan, "Engkaukah kepala gerombolan Hek I Kwi-pang ini, dan siapakah na mamu?"
Si raksasa hitam masih menyeringai, "Engkau ingin mengenalku, nona manis? Aku disebut orang Tiat-ciang Hek-mo dan akulah pemimpin Hek I Kwi-pang."
"Bagus, engkau tadi mengatakan akan membebaskan sepasang pengantin itu kalau aku dan kudaku menjadi pengantinya, Nah, aku terima usulmu itu. Bebaskan sepasang pengantin itu dan aku akan menemanimu di sini."
Tentu saja Couw Sam dan anak buahnya terkejut mendengar ucapan Mei Li ini. Tak mereka sangka bahwa gadis jelita yang lihai itu kini mau saja ditukar dengan sepasang pengantin untuk menjadi permainan si raksasa hitam.
"Ha-ha-ha, boleh-boleh sekali!" kata Tiat-ciang Hek-mo sambil memberi isyarat kepada seorang pembantunya.
"Keluarkan mereka dan bawa ke sini!"
Anak buahnya itu sambil tersenyum menyeringai, memasuki sebuah di antara pondok-pondok itu dan tak lama kemudian diapun keluar lagi mendorong sepasang orang muda yang masih berpakaian pengantin. Pengantin pria dan pengantin wanita itu diikat kedua tangan mereka ke belakang, dan baju pengantin wanita itu robek di bagian dada. Untung, pikir Couw Sam. Kedatangan mereka belum terlambat, dan pengantin wanita itu agaknya hanya baru mengalami gangguan kecil saja, belum ternoda oleh kebuasan iblis-iblis itu.
"Paman Couw, sambut dan bebaskan mereka," kata Mei Li. Couw Sam yang tadinya meragu dan bingung, menaati perintah itu. Dia menerima sepasang pengantin itu dan segera membuka ikatan tangan mereka. Pengantin wanita itu menangis di dada suaminya. Mereka masih nampak ketakutan.
"Ha-ha-ha-ha!" Hek-mo tertawa bergelak. "Mulai detik ini, engkau menjadi milikku, nona jelita, Kesinilah!" Dia mengembangkan kedua lengannya ke arah Mei Li dan memerintahkan seorang anak buahnya untuk menuntun ku dan putih itu.
"Nanti dulu, Hek-mo! Engkau ini iblis hitam sudah biasa mengambil sesuatu dengan menggunakan kekerasan. Karena itu, untuk memiliki diriku, engkau harus menggunakan kekerasan pula. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana mungkin aku sudi menaatimu?"
Mendengar ucapan yang biarpun lembut bernada menantang itu, Hek-mo tertawa bergelak. Bajunya yang terbuka kancingnya memperlihatkan perut besar yang bergelombang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha-ha, aku bertanding denganmu? Wah, sayang kalau sampai kulit mu yang halus mulus itu lecet, manis. Kalau engkau masih meragukan kekuatanku, nah, engkau boleh memukulku dan aku tidak akan mengelak atau menangkis. Pukul bagian mana sesukamu, akan tetapi hati-hati, jangan terlalu keras karena tanganmu dapat terluka dan kalau hal itu terjadi wah, sungguh sayang sekali.... ha-ha-ha!" Raksasa hitam itu tertawa dan anak buahnya ikut pula tertawa ha-ha-he-he.
Mereka semua maklum bahwa akhirnya, pengantin wanita itu tidak akan dilepas begitu saja oleh kepala gerombolan itu, dan mereka lah yang beruntung karena setelah mendapatkan pengganti yang jauh lebih cantik, tentu pengantin wanita itu akan diberikan kepada mereka!
Mei Li menghampiri raksasa hitam itu yang kini sudah melepas bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Nampaklah dada yang bidang dan penuh bulu hitam, di bawah kulit hitam itu nampak tonjolan otot-otot besar, dan perutnya yang gendut itupun nampak keras dan tebal kulitnya. Kemudian, dara itu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kepada anak buah Hek I Kwi-pang dan anak buah Pek-houw Piauw-kiok dan berkata lantang.
"Kalian semua mendengar sendiri bahwa Hek-mo menantang aku untuk memukulnya tanpa dia mengelak atau menangkis. Kalian menjadi saksi, kalau satu kalau pukulanku membuat dia mampus, arwahnya tidak boleh menyalahkan aku!"
Ucapan itu dianggap main-main oleh Tiat-ciang Hek-mo dan anak buahnya, juga Couw Sam dan anak buahnya merasa khawatir karena mereka tidak percaya kalau dara itu akan mampu meroboh kan Hek-mo yang kebal dan kuat itu dengan sekali pukul. Mungkin saja gadis itu pandai bermain pedang, akan tetapi pukulan tangan kosong dari tangan yang kecil lembut itu, mana mampu membuat roboh raksasa hitam itu?
"Ha-ha-ha, pukullah pukullah mungkin setiap malam engkau harus memukuli tubuhku karena pukulanmu tentu akan terasa hangat dan nyaman seperti dipijati, heh-heh!" kata Hek-mo dan kembali semua anak buah tertawa.
Mei Li melangkah maju lagi dan diam-diam ia mengerahkan sinkang pada tangan kirinya dan berseru, "Hek-mo, terimalah pijatan ini!"
Tangan kirinya menyambar dengan jari tangan terbuka ke arah dada. Raksasa hitam itu menerima dengan dada dibusungkan dan mulut menyeringai, diam-diam dia mengerahkan tenaganya untuk membuat dadanya kebal. Akan tetapi, ternyata jari-jari tangan tidak menghantam atau menampar dada, melainkan mencuat ke atas dan dua buah jari tangan yang kecil mungil, yaitu telunjuk dan jari tengah kiri Mei Li telah menotok tenggorokannya.
"Tukkk....!!"
Semua orang melihat betapa wajah Hek-mo tertawa lebar, akan tetapi mulut yang terbuka lebar itu tidak menutup kembali bahkan dilengkapi kedua matanya yang juga terbelalak lebar menyaingi mulutnya dan dari mulut itu tidak keluar suara tawa melainkan suara seperti orang tercekik.
"Kek... kek.... kekkkk... aughh...." Dia memegangi leher dengan kedua tangan, matanya mendelik dan diapun roboh bergulingan seperti ayam disembelih, berkelojotan dengan mata mendelik! Dia tidak dapat bernapas!
Semua anak buahnya terkejut bukan main, sedangkan Couw Sam dan kawan-kawannya memandang dengan terheran-heran, belum sempat bergembira karena belum tahu benar apa yang telah terjadi dengan Hek-mo yang mereka takuti itu.
Mei Li adalah puteri suami isteri pendekar besar yang telah menanamkan watak pendekar kepada dara itu, maka iapun tidak ingin melihat lawannya tewas dan ia mengambil keuntungan karena diperbolehkan memukul tanpa ditangkis atau dielakkan. Maka, setelah totokannya pada kerongkongan itu berhasil menyumbat jalan pernapasan Hek-mo iapun melangkah maju dan kaki kanannya meluncur cepat menendang ke arah kanan kiri kerongkongan itu.
"Dukk! Dukkk!"
Dua kali terkena sambaran ujung sepatu dara itu. Hek-mo dapat bernapas lagi. Wajahnya berubah semakin hitam, matanya melotot dan dia pun meloncat berdiri dengan kemarahan memuncak ke ubun-ubun kepalanya. Tahulah dia bahwa dia telah bersikap ceroboh, terlalu memandang rendah dara itu yang ternyata benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Pantas saja para piauwsu mengajukan dara ini sebagai jagoan mereka! Biarpun kerongkongannya masih terasa agak nyeri, akan tetapi pernapasannya telah lancar kembali dan Hek-mo memandang kepada dara itu dengan mata mencorong marah.
"Keparat, kiranya engkau memiliki ilmu totok yang cukup kuat. Aku akan membalasmu, dan sebelum aku hancurkan semua tulang di tubuhmu, katakan dulu siapa namamu, murid dari perguruan mana agar engkau tidak mati penasaran!"
Kini lenyaplah nada mengejek dan memandang rendah sehingga anak buah Hek-mo sendiri merasa heran dan menjadi tegang karena sikap pimpinan mereka menunjukkan bahwa dara jelita yang masih muda itu merupakan musuh yang tidak boleh dipandang ringan.
Mei Li teringat akan julukan yang diberikan Couw Sam kepadanya dan iapun tersenyum. Mengapa tidak? Julukan itu, tanpa diketahui oleh Couw Sam dan kawan-kawannya, merupakan julukan yang amat tepat. Oleh ayah ibunya ia dibantu untuk menggabungkan ilmu pedang Siang-hui-kiamsut (Ilmu Sepasang Pedang Terbang); dan Sian-li Kiamsut (Ilmu Pedang Dewi). la telah menguasai ilmu-ilmu pedang gabungan itu, maka kalau ia dijuluki Hui-kiam Sian-li, julukan itu tepat sekali sebagai gabungan Hui-kiam (Pedang Terbang) dan Sian-li (Dewi)!
"Hek-mo, sudah tulikah telingamu? Tadi Couw-piauwsu sudah memperkenalkan namaku kepadamu. Aku adalah Hui kiam Sian-li dan sekali ini Dewi akan membasmi Iblis Hitam, sudah wajar sekali!"
Mendengar ini, dan kini mengerti bahwa jagoan mereka tadi telah membuat Hek-mo terkapar, para piauwsu tersenyum, bahkan ada yang menertawakan Hek mo.
"Bocah sombong! Kau kira dengan sedikit ilmu totok itu engkau sudah merasa menang? Engkau memakai julukan Pedang Terbang! Nah, ingin kulihat bagaimana pedangmu terbang kecuali diterbangkan oleh golokku ini!"
"Srattt...!" Nampak sinar berkilat ketika raksasa hitam itu mencabut goloknya. Golok besar dan berat itu juga mengerikan seperti pemegangnya. Selain lebar, panjang dan berkilauan saking tajamnya, juga punggung golok yang berbentuk gergaji itu dapat membuat lawan belum apa-apa sudah menjadi gentar.
Agaknya raksasa hitam ini diam-diam merasa jerih juga terhadap ilmu totok atau ilmu tangan kosong dara itu, maka dia sengaja menantang untuk bertanding dengan senjata. Dianggapnya julukan Si Pedang Terbang itu kosong belaka. Mana ada pedang dapat terbang, kecuali dalam dongeng kuno?
Sementara itu, Mei Li merasa mendapat hati. Tak disangkanya bahwa hanya dengan totokannya saja tadi ia sudah dapat membuat raksasa hitam itu roboh. Timbullah kepercayaan besar kepada dirinya sendiri. Dan ia merasa bersukur bahwa ayah ibunya telah menggemblengnya secara keras dan tekun, juga kakek gurunya telah memberi bimbingan selama dua tahun dengan keras.
Kini timbul keyakinan dalam hatinya bahwa semua ilmu yang dipelajarinya benar-benar dapat dipraktekkan dan dimanfaatkan. Ayah dan ibunya selalu menasihatinya bahwa ia pantang untuk membiarkan perasaan benci menguasai hatinya. Kalaupun ia harus menentang kejahatan, maka perbuatannyalah yang harus ditentang, bukan karena kebencian terhadap orangnya.
"Jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk menguasai orang lain, untuk memaksakan kehendak, untuk melampiaskan dendam kebencian. Kalau engkau terpaksa harus membunuh orang, maka lakukanlah itu seperti engkau membasmi ular berbisa atau binatang buas lain yang mengancam keselamatan manusia, tanpa perasaan benci sehingga engkau tidak akan melakukannya dengan cara yang kejam Dan berpantang lah selalu menghadapi lawan dengan cara yang curang dan licik karena perbuatan seperti itu tidak pantas dilakukan seorang pendekar."
Demikianlah ucapan ayah ibunya yang tak pernah dapat ia lupakan. Karena itu maka tadi melihat raksasa hitam itu menjadi korban totokan jari tangannya dan terancam mati lemas karena tidak dapat bernapas, ia sudah membebaskan totokannya dengan tendangan kaki. Melihat Tiat-ciang Hek-mo sudah mencabut golok besar gergajinya, Mei Li yang sudah merasa berbesar hati dan yakin akan kemampuannya sendiri, segera mencabut sepasang pedang yang berada di punggungnya.
Dan dengan pasangan kuda-kuda Dewi-pedang-menari, ia berdiri dengan kedua kaki bersilang, lutut agak ditekuk, pedang kiri diangkat ke atas kepala dan melintang, sedangkan pedang kanan melintang di depan dada, mulutnya tersenyum manis dan matanya memandang tajam ke arah lawan.
Karena Couw Sam dan anak buah ingin sekali melihat bagaimana Dewi Pedang Terbang melawan raksasa hitam itu, juga anak buah Hek-mo ingin menyaksikan pemimpin mereka menundukkan gadis jelita itu, maka kedua pihak hanya menjadi penonton karena memang tidak ada yang memberi aba-aba kepada mereka untuk saling serang.
Tiat-ciang Hek-mo mengeluarkan gerengan seperti auman harimau dan goloknya menyambar dahsyat. Golok berat itu digerakkan tenaga otot yang kuat maka golok itu menyambar dengan cepat, mengeluarkan suara mengaung dan nampak sinar golok menyambar ke arah kepala Mei Li ketika Hek-mo menyerang dengan bacokan.
"Wuuuuttt...!"
Namun, dengan mudah saja Mei Li mengelak ke samping karena bagi penglihatannya, sambaran golok itu lamban dan mudah baginya untuk menghindarkan diri dengan elakan. Sambil mengelak, iapun membalas dan pedang kanannya sudah menusuk ke arah lambung lawan.
"Trangg....!!" Bunga api berpijar ketika golok itu cepat membalik dan menangkis tusukan itu. Mei Li terkejut karena tenaga otot lawan sedemikian kuatnya sehingga pedang kanan yang terkena tangkisan golok itu terpental, namun tidak sampai lepas dari genggamannya.
Tahulah ia bahwa ia tidak boleh mengadu tenaga dengan raksasa ini dan iapun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat dan menghindarkan benturan senjata. Setiap kali lawan hendak mengadu senjata dengan tangkisan yang kuat, ia menarik kembali pedang yang menyerang itu dan disusul serangan dengan pedang lain.
Kekuatan melawan kecepatan dan tentu saja Tiat-ciang Hek-mo menjadi repot sekali. Kecepatan gerakan gadis itu sungguh di luar dugaan dan tahu-tahu saja ujung sebatang pedang sudah mengancamnya. Terpaksa dia memutar goloknya untuk membentuk perisai sinar golok, akan tetapi kalau hal ini dia lakukan terus menerus, berarti dia hanya melindungi diri dan tidak sempat membalas serangan. Bagaimana mungkin dia akan dapat menang kalau tak dapat membalas dan hanya melindungi diri saja!
Mei Li yang biarpun kurang pengalaman namun memiliki kecerdikan itu segera dapat menemukan kelebihan dan kekurangan lawan. Harus ia akui bahwa lawannya itu memiliki tenaga gajah yang kuat sekali, akan tetapi sebagai imbangannya, lawannya itu baginya termasuk lamban. Karena itu, ia pun mempergunakan kelebihannya dalam hal kecepatan untuk mendesak lawan.
Sepasang pedangnya bergerak cepat sekali, membentuk dua gulungan sinar pedang yang makin lama semakin melebar. Dari dua gulungan sinar pedang ini kadang mencuat sinar seperti kilat menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-mo yang dilindungi perisai sinar golok yang diputar cepat ke sekitar tubuhnya.
Tiat-ciang Hek-mo terkejut bukan main dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara gerengan marah dan memaki-maki. Tak disangkanya hari ini dia akan bertemu dan bertanding melawan seorang dara yang demikian lihainya. Gerakan dara itu sedemikian cepatnya sehingga sukar baginya untuk mengimbangi, bahkan untuk mengikuti gerakan sepasang pedang itu saja dia sudah merasa pening, maka satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanyalah melindungi tubuhnya tanpa sempat membalas satu kali pun!
Kecepatan gerakan pedang Mei Li tidak mengherankan kalau orang mengerti bahwa ia adalah puteri Can Kim Hong murid Si Naga Hitam Kwan Bhok Cu. Datuk besar ini adalah seorang yang gagu, dan dia mengadakan hubungan dengan orang lain melalui tulisan yang dibuatnya dengan tongkat, dicorat-coret di atas tanah dan bagi Can Kim Hong, ia sudah biasa melihat gerakan coretan tongkat gurunya itu dan setiap gerakan langsung dikenalnya sebagai suatu huruf tertentu.
Karena kebiasaan menulis di udara ini, maka Si Naga Hitam memiliki kecepatan gerakan tangan yang diwariskan kepada muridnya itu, dan selanjutnya, Can Kim Hong juga mengajarkan kepada puterinya. Bahkan kemudian selama dua tahun, ilmu kepandaian dara ini diperdalam oleh gemblengan Si Naga Hitam sendiri.
Kini gulungan dua sinar pedang itu sudah mengurung ketat dan membuat ruangan gerak golok di tangan Hek-mo makin menyempit. Ketika Mei Li mengeluarkan suara melengking nyaring, pedang kirinya sengaja dibiarkan tertangkis golok, akan tetapi dara ini mengerahkan sinkangnya sehingga pedang kirinya menempel golok. Pedang kanannya menusuk dada lawan.
Hek-mo yang melihat keadaan berbahaya ini segera mengerahkan seluruh tenaga menarik goloknya dan membuang diri ke belakang. Dia berhasil lolos, akan tetapi gerakan cepat Mei Li membuat dara ini sudah dapat mengejar dan sebuah tendangan kaki mengenai perutnya.
"Dukk!" Memang perut yang penuh lemak itu keras dan kebal, namun tendangan Mei Li juga mengandung tenaga sakti sehingga tubuh Hek-mo terjengkang!
Anak buahnya yang melihat ini se gera berteriak-teriak dan dengan senjata di tangan mereka maju hendak mengeroyok Mei Li, akan tetapi gerakan mereka itu seperti aba-aba saja bagi Couw Sam dan kawan-kawannya untuk menerjang maju. Terjadilah pertempuran antara sebelas orang anak buah Hek-mo melawan limabelas orang anggauta piauw-kok yang dipimpin Couw Sam.
Hek-mo sendiri menjadi semakin marah. Dia adalah seorang tokoh sesat yang jarang bertemu tanding dan dia sudah amat percaya kepada diri sendiri, mengagungkan diri sebagai jagoan tak terkalahkan. Dia sudah terbiasa menang, maka kini menghadapi seorang dara yang mampu membuatnya roboh sampai dua kali, kemarahannya memuncak.
Orang seperti dia tak pernah dapat atau mau mengakui kekurangan dan kelemahannya sendiri. Begitu bangkit kembali karena nemang tendangan tadi hanya membuat dia terjengkang dan tidak melukainya, dia menjadi semakin geram.
"Bunuh mereka semua! Bunuh....!" teriaknya kepada anak buahnya yang sudah mulai bertempur melawan para piauwsu dan dia sendiri lalu menerjang Mei Li dengan goloknya.
Akan tetapi kini Mei Li yang melihat betapa para piawsu sudah bertempur melawan anak buah Hek I Kui-pang, merasa khawatir kalau-kalau para piauwsu tidak akan marpu menandingi mereka, maka dara ini mengambil keputusan untuk dapat secepatnya merobohkan Hek-mo agar ia dapat membantu para piauwsu.
"Haiiittt....!!" Mei Li mengeluarkan teriakan melengking dan ketika tangan kirinya bergerak, pedang di tangan kirinya meluncur seperti anak panah menyambar ke arah kepala Hek-mo.
Hek-mo mengira bahwa dara itu menyambitnya dengan pedang, maka dia menggerakkan goloknya untuk memukul pedang yang terbang ke arahnya itu. Akan tetapi tiba-tiba saja pedang itu melengkung dan membalik ke arah pemiliknya dan pedang ke dua datang menyambar, lebih cepat lagi. Hek-mo terkejut, tidak mengerti bagaimana pedang itu dapat terbang dan kembali kepada pemiliknya seolah hidup, dan ketika pedang ke dua menyambar, dia mengelak dengan loncatan ke samping dan seperti pedang pertama, ketika pedang ke dua ini luput mengenai dirinya, pedang itu meliuk dan terbang kembali kepada dara itu.
Benar-benar sepasang Hui-kiam (pedang terbang), pikir Hek-mo dengan gentar dan kini sepasang pedang itu sudah menyambar-nyambar bagaikan dua ekor burung garuda memperebutkan korban. Betapapun Hek-mo mengelak dan berusaha memukul pedang terbang dengan golok, tetap saja tidak berhasil dan pundak kirinya terluka oleh sebatang pedang, merobek kulit pundak sehingga berdarah. Raksasa hitam itu mulai panik. Dia tidak tahu bahwa kalau Mei Li menghendaki, kalau dara ini memilki hati kejam dan ganas, tentu sejak tadi dia sudah roboh!
Mei Li masih sangsi dan merasa ngeri sendiri membayangkan bahwa ia harus membunuh orang. Ia hanya ingin menyelamatkan sepasang pengantin dan merampas kembali harta benda mereka yang dirampok. Kalau sudah berhasil melakukan itu dan sekedar menghajar para perampok, cukuplah sudah baginya.
Kini Hek-mo benar-benar terkejut dan gentar. Tahulah dia bahwa dara itu benar-benar amat lihai, dan julukan Hui-kiam Sian-li bukanlah kosong belaka. Belum pernah dia bertanding dengan lawan selihai ini. Hek-mo mulai panik. Biarpun anak buahnya masih bertempur seru dan ramai menghadapi Iimabelas orang piauw-su itu, namun hatinya sudah merasa gentar sekali dan diapun melompat jauh ke belakang dengan maksud mengajak anak buah melarikan diri saja.
"Heii, monyet hitam, engkau hendak lari ke mana?" Tiba-tiba saja terdengar bentakan orang dan tahu-tahu di depan Tiat-ciang hek-mo telah berdiri seorang pemuda.
Mei Li memandang dan melihat seorang pemuda berpakaian sasterawan yang serba putih, dari sutera putih yanq halus berdiri dengan sikap lembut dan santai di depan raksasa hitam itu. Pakaian dari sutera putih ini nampak bersih sekali, dan sepatunya dari kulit hitam juga mengkilap bersih dan baru. Pemuda itu tampan dengan muka putih bundar, hidungnya mancung besar dan matanya lebar, mulutnya selalu tersenyum condong mengejek, rambutnya tersisir rapi dan mengkilap pula karena diminyaki.
Seorang pemuda sastrawan yang tampan dan pesolek. Tangan kanannya memegang sebatang suling dari perak. Melihat ada seorang pemuda yang nampaknya lemah berani menghalangnya, bahkan memakinya monyet hitam, tentu saja Tiat-ciang Hek-mo menjadi marah dan tanpa banyak cakap lagi dia menubruk ke depan menggerakkan goloknya untuk membunuh pemuda lancang itu.
Mei Li sudah merasa terkejut dan khawatir sekali. Jaraknya terlalu jauh baginya untuk melindungi pemuda itu, maka ia hanya menyambit dengan pedang pendek yang ia cabut dari pinggangnya, dituju kan ke arah pundak kanan Hek-mo. Hek-mo memacokkan goloknya ke arah kepala pemuda berpakaian putih itu.
Pemuda itu dengan senyum dingin menggeser kaki ke kiri sehingga bacokan itu luput dan sulingnya bergerak ke depan, ke arah pundak kanan Hek-mo, bukan untuk menyerang pundak Hek-mo, melainkan untuk menangkis pedang yang di lontarkan Mei Li tadi untuk menolongnya.
"Cringgg...!" Pedang pendek itu tertangkis dan terpental kembali kepada Mei Li! Dara itu terkejut. Pedang pendeknya itu merupakan pedang terbang yang tidak untuk kembali, maka tidak dipasangi tali, diperuntukkan sasaran yang jaraknya jauh dan tidak terjangkau oleh sepasang pedang terbangnya yang diikat tali sutera.
Akan tetapi pedang itu tertangkis suling dan kembali kepadanya. Ia menerima pedangnya dan menyimpannya kembali, sambil menonton pertandingan yang terjadi antara Hek-mo dan pemuda bersenjatakan suling perak itu. Dan iapun kagum.
Pemuda itu ternyata lihai bukan main. Suling perak di tangannya menyambar-nyambar cepat dan berubah menjadi gulungan. sinar perak yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara, melengking-lengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Tiat-ciang Hek-mo diam-diam mengeluh. Kenapa dia menjadi amat sial hari ini?
Tadi bertanding dengan dara jelita yang luar biasa lihainya sehingga dia selalu terdesak bahkan beberapa kali roboh, juga pundaknya terluka pedang terbang, dan sekarang, kembali dia harus bertanding melawan seorang pemuda yang juga amat lihai. Apa lagi pundaknya telah terluka dan terasa perih, juga nyalinya sudah menyempit karena dia merasa tidak mampu menandingi Hui-kiam Sian-li. Kini, pemuda sastrawan bersuling perak itu ternyata juga memiliki gerakan yang amat cepat.
Pemuda itu ternyata memang hebat. Berbeda dengan Mei Li yang tadi hanya bermaksud memberi hajaran kepada Hek-mo, kini pemuda itu membalas dengan serangan yang mematikan. Setiap kali sulingnya bergerak, maka serangan itu merupakan cengkeraman maut. Kembali Hek-mo harus melindungi dirinya dengan putaran goloknya yang membentuk benteng sinar golok dan kenekatannya untuk menyelamatkan diri ini membuat suling pemuda itu berkali-kali tertangkis.
Karena maklum bahwa kalau dara jelita dengan pedang terbangnya itu membantu si pemuda dia tentu akan celaka, Hek-mo mencari kesempatan dan ketika tangkisan goloknya yang dilakukan sekuat tenaga membuat suling perak itu terpental, diapun meloncat ke belakang untuk melarikan diri....
Setitik tahi lalat di dagu kiri nya menambah kemanisan wanita yang sudah separuh baya ini. la merupakan isteri yang cocok sekali bagi Souw Hui San. Kalau suaminya seorang yang lincah jenaka suka bergurau, sang isteri pendiam dan agung sehingga keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi.
Seperti juga kakaknya, Yang Cin Han, Kui Lan bersama suaminya juga merasa gelisah ketika mendengar tentang gugurnya adiknya, Yang Kui Bi. la pun berusaha mencari keponakannya, putera adiknya itu yang bernama Sia Han Lin, namun tidak berhasil menemukan jejak anak yang hilang dalam keributan ketika kota raja diserbu pasukan Tang. Atas persetujuan kedua pihak, Souw Hui San dan Yang Kui Lan mengikat tali perjodohan putera mereka dengan puteri kakaknya. Ketika dua pasang suami Isteri ini mengikat tali perjodohan anak mereka, Kian Bu berusia dua tahun dan Mei Li berusia satu tahun.
Sedikitnya setahun sekali, kedua keluarga itu saling datang berkunjung sehingga Kian Bu dan Mei Li mulai berkenalan dan bersahabat karena setiap kali datang berkunjung, tentu keluarga yang berkunjung itu bermalam sampai seminggu lamanya. Ketika mereka berusia lima enam tahunan, mereka diperkenalkan sebagai saudara misan. Baru setelah mereka mencapai usia belasan tahun, orang tua mereka memberitahu bahwa mereka sudah saling dijodohkan.
Di luar pengetahuan kedua orang tua masing-masing, ketika tiga tahun yang lalu Kian Bu bersama orang tuanya datang berkunjung, diam-diam Kian Bu dan Mei Li mengadakan pertemuan empat mata dan sambil berbisik-bisik mereka berdua menyatakan ketidakpuasan hati mereka bahwa mereka itu sejak kecil saling dijodohkan. Keduanya memiliki perasaan yang sama, yaitu bahwa mereka saling menyayang sebagai kakak dan adik misan, dan merekapun keduanya merasa tidak bebas dan terikat oleh perjodohan yang dipaksakan di luar kehendak mereka itu.
Dan sejak tiga tahun yang lalu itu, keduanya selalu menolak kalau diajak berkunjung. Baik orang tua Kian Bu maupun orang tua Mei Li tidak memaksa dan mengira bahwa keduanya sudah mulai dewasa dan agaknya mulai merasa malu untuk berkunjung ke rumah tunangan mereka! Souw Hui San dan isterinya, Yang Kui Lan, sudah mendengar bahwa Mei Li telah mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silatnya berkat bimbingan langsung dari kakek gurunya, yaitu Si Naga Hitam.
Oleh karena itu, suami isteri ini berusaha keras untuk menggembleng putera mereka agar dapat mengimbangi tingkat kepandaian Mei Li, karena sebagai seorang calon suami, sebaiknya kalau tingkat kepandaiannya tidak tertinggal jauh oleh calon isterinya. Maka, selama tiga tahun ini mereka mewariskan semua ilmu mereka kepada Kian Bu, bahkan menggabungkan iImu silat Gobi-pai dengan ilmu silat yang dikuasai Yang Kui Lan yang bersumber dari aliran Siauw-limpai.
Pada hari itu, pagi-pagi sekali, setelah mereka mengamati putera mereka berlatih silat pedang, Souw Hui San dan Yang Kui Lan mengajak Kian Bu untuk bicara di dalam. Toko mereka belum dibuka karena selain hari masih terlalu pagi, juga dua orang pembantu penjaga toko mereka belum datang.
"Kian Bu, bersiap-siaplah engkau seminggu lagi kita bertiga akan pergi berkunjung ke Lok-yang," kata Souw Hui San. Souw Kian Bu. mengangkat muke memandang ayahnya, lalu ibunya. Akan tetapi wajah ayah dan ibunya itu tidak berbeda, keduanya memandang dengan sinar mata tajam dan sikap mereka meyakinkan, tanda bahwa mereka berdua serius.
Kian Bu berpura-pura dan bersikap tenang dan biasa. "Kalau ayah dan ibu merasa rindu kepada keluarga pek-hu (uwa) Yang Cin Han, silakan ayah dan ibu yang pergi berkunjung ke Lok-yang. Aku akan tinggal di rumah saja, mengurus toko."
"Tidak bisa, Kian Bu," kata Yang Kui Lan dengan lembut. "Sekali ini engkau harus ikut karena ada urusan yang amat penting."
Pemuda itu memandang ibunya. "Urusan amat penting apakah, ibu?"
"Kita harus memenuhi janji, Kian Bu," kata pula ibunya. "Janji? Aku tidak merasa berjanji kepada siapapun, ibu."
"Kian Bu, seminggu lagi, Yang Mei Li tepat berusia delapanbelas tahun dan tibalah saatnya bagi kita untuk memenuhi janji, yaitu membicarakan dan menentukan hari pernikahanmu dengan Mei Li. Karena yang akan dibicarakan mengenai pernikahanmu, maka tentu saja engkau harus ikut," kata ayahnya.
Sejenak Kian Bu mengangkat muka memandang ayahnya. Dua pasang mata yang sama tajamnya beradu pandang, akan tetapi Kian Bu segera menundukkan muka, tidak ingin ayahnya meiihat perlawanan dalam sinar matanya. Agaknya Yang Kui Lan dapat merasakan isi hati puteranya, maka ia berkata dengan suara menghibur dan penuh kesayangan.
"Kian Bu, ingatlah bahwa sejak engkau berusia dua tahun, engkau telah kami tunangkan dengan Mei Li yang ketika itu berusia satu tahun. Sekarang, ia telah berusia delapan belas tahun dan engkau sembilanbelas tahun, sudah tiba saatnya memenuhi janji kita kepada pekhumu. Dan engkau sendiri melihat bahwa pilihan kami tidak keliru. Mei Li seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa. sungguh cocok sekali menjadi isterimu. Kiranya akan sulit ditemukan seorang gadis yang lebih sepadan untuk menjadi jodohmu, Kian Bu!"
Kian Bu menghela napas panjang, lalu dia memandang kepada ayah dan ibunya, bergantian, kemudian dia memberanikan diri bertanya, "Ayah dan ibu, dahulu tentu ayah dan ibu pernah juga muda seperti aku, bukan?"
Ayah dan ibunya menjawab berbareng. "Tentu saja!"dan ayahnya menambahkan sambil tertawa. "Bukan hanya pernah muda seusiamu, Kian Bu, juga aku pernah menjadi bayi, ha-ha-ha!"
"Bukan begitu maksudku, ayah. Akan tetapi apakah ayah dan ibu dahulu juga eh, sudah dijodohkan sejak masih kecil?"
Suami isteri itu terkejut dan saling pandang, tidak menyangka putera mereka akan bertanya demikian. Keduanya menggeleng tanpa menjawab.
"Atau apakah dahulu ibu adalah pilihan kakek dan nenek Yang, dan ayah adalah pilihan kakek dan nenek Souw?" pemuda itu mengejar dan sekarang. mengertilah ayah dan ibu itu ke mana arah pertanyaan Kian Bu.
"Kian Bu, kami mengerti apa yang kaupikirkan dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu," kata Souw Hui San, kini wajahnya yang biasanya periang itu nampak serius. "Akan tetapi, keadaanku dan keadaanmu sungguh jauh berbeda. Ibumu dan aku memang berjodoh karena pilihan sendiri, akan tetapi ketika kami saling berjumpa dan saling jatuh cinta, kami berdua adalah yatim piatu."
"Kian Bu, kami dan pek-humu Yang Cin Han bersama isterinya menjodohkan engkau dan Mei Li dengan niat yang baik sekali. Kami tidak memaksamu, akan tetapi, bukankah pilihan kami itu, amat tepat? Apakah apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain?" Kini pandang mata suami isteri itu menatap.wajah putera mereka penuh selidik.
"Tidak, ibu. Hanya aku merasa... eh, ganjil dan lucu kalau memikirkan bahwa aku harus berjodoh dengan adik Mei Li. Aku selalu merasa bahwa ia seperti adikku sendiri sehingga janggallah membayangkan ia menjadi jodohku."
Pada saat itu, pembantu toko datang dan melaporkan bahwa di luar ada seorang tamu ingin bertemu dengan tuan rumah dan katanya bahwa tamu itu datang dari Lok-yang. Mendengar ini, Souw Hui San segera keluar, diikuti isterinya yang ingin sekali tahu berita apa yang dibawa utusan dari Lok-yang itu, karena sudah pasti berita itu datang dari kakaknya. Dugaannya benar. Orang itu adalah utusan Yang Cin Han yang mengantar kan surat.
Setelah memberi upah tambahan kepada utusan itu, Souw Hui San dan isterinya membawa surat itu ke dalam. Utusan tadi mengatakan bahwa pengirim surat tidak minta balasan, maka dia lalu pergi lagi, tidak menanti jawaban. Dan setelah mereka membaca isi surat, memang tidak diperlukan balasan. Surat itu menyatakan bahwa dengan minta maaf keluarga di Lok-yang, itu minta agar ketentuan hari pernikahan diundur antara satu sampai dua tahun!
Alasan yang dikemukakan Yang Cin Han mengenai pengunduran itu adalah karena Mei Li berkeras ingin pergi merantau mencari pengalaman sebelum menikah dan bahwa mereka tidak dapat menahan keinginan hati puteri mereka itu. Suami isteri itu saling pandang dan mereka berdua dapat memaklumi. Mei Li adalah puteri suami isteri pendekar, maka kalau timbul hasrat ingin merantau dan mencari pengalaman, maka hal itu wajar saja.
Ketika Kian Bu diberitahu akan pengunduran itu, wajahnya berseri dan dia tidak menyembunyikan kegembiraannya. "Ha-ha-ha, sudah kuduga Li-moi akan melakukan hal itu!" katanya gembira.
"Ehhh? Bagaimana engkau dapat menduga?" tanya ibunya.
"Kian Bu, apa yang terjadi dengan kalian?" tanya pula ayahnya.
Kian Bu masih tersenyum. "Tidak apa-apa, ayah. Hanya aku dapat menduga bahwa iapun tentu tidak suka dengan ikatan jodoh yang sudah ditentukan sejak kecil itu. Kukira perasaan kami tidak jauh berbeda, dan akupun ingin pergi mencari pengalaman."
"Apa? Hendak ke mana engkau?" tanya ayahnya. Kian Bu tersenyum memandang ayahnya.
"Dari ayah dan dari ibu aku seringkali mendengar betapa ketika muda dahulu, baik ayah maupun ibu banyak melakukan petualangan di dunia kangouw. Apakah sekarang ayah dan ibu merasa heran kalau akupun ingin mencari pengalaman dan meluaskan pandangan dengan merantau barang setahun dua tahun? Aku ingin sekali mencari jejak kakak Sia Han Lin, puteri Kui Bi yang hilang tanpa meninggalkan jejak itu. Juga aku ingin mencari dan bertemu dengan sukong (kakek guru) Kong Hwi Hosiang, dan berkunjung ke Gobi-pai, bertemu dengan para suhu di Gobi-pai."
Souw Hui San dan Yang Kui Lan tidak mampu mencegah putera mereka yang hendak pergi merantau. Mereka hanya dapat memberi banyak nasihat kepada putera mereka agar berhati-hati dan tidak menanam bibit permusuhan di dunia kangouw.
Dua hari kemudian, berangkatlah pemuda yang kini nampak bergembira itu, meninggalkan Wu-han dan membawa buntalan pakaian yang digendongnya di punggung, membawa sebatang pedang dan dengan wajah berseri-seri dia pergi menuju ke Tiang-an, kota raja di mana dia ingin mencari jejak kakak misannya, yaitu Sia Han Lin, putera mendiang bibinya, Yang Kui Bi.
* * * *
Apa yang terjadi dengan Mei Li dan mengapa pula gadis itu tiba-tiba saja pergi merantau seperti yang diceritakan Yang Cin Han dalam suratnya ke pada Souw Hui San dan Yang Kui Lan? Seperti juga yang terjadi dengan Kian Bu, ketika Mei Li mendengar dari ayah ibunya bahwa waktu yanq dijanjikan oleh dua keluarga itu tiba, yaitu untuk menentukan hari pernikahan, Mei Li mengerutkan alisnya dan membantah dengan keras.
"Tidak, ayah dan ibu. Aku belum ingin menikah!" katanya memrotes.
"Akan tetapi, urusan ini telah ditentukan dan telah dijanjikan Dalam waktu sebulan ini, keluarga Souw akan datang dan kita semua akan membicarakan penentuan hari pernikahan," kata ibunya.
"Benar, Mei Li, janji haruslah ditepati, kalau tidak, bagaimana kita akan dapat menghadapi keluarga bibimu itu?" sambung ayahnya.
"Tidak, ayah. Batalkan saja...!" Mei Li hampir menangis, akan tetapi di tahannya karena anak ini sejak kecil memang digembleng agar menjadi seorang pendekar wanita yang tidak cengeng.
"Batalkan? Sepihak? Tidak mungkin!"
"Kalau begitu tangguhkan saja, setahun dua tahun. Aku ingin pergi merantau, ayah, aku belum ingin menikah."
"Mei Li, jangan engkau membuat kacau urusan dan menyusahkan ayah ibumu!" Can Kim Hong menegur puterinya.
"Ibu, apakah ibu dahulu juga dipaksa menikah dengan ayah?" Mei Li bertanya dengan suara lantang. "Ayah dan ibu bersusah payah mengajarkan ilmu silat kepadaku dan sejak kecil aku rajin berlatih setiap hari. Bahkan sukong juga sudah ikut bersusah-payah mengajarku selama dua tahun. Dan semua itu tidak boleh kupergunakan, semua itu akan lenyap terbakar api dapur di mana aku harus melayani suami? Tidak, ibu, urusan perjodohan itu harus ditangguhkan barang setahun dua tahun. Aku ingin merantau, ingin berkunjung ke Tiang-an, aku ingin mencari sukong!"
Demikianlah, terpaksa Yang Cin Han dan Can Kim Hong mengalah dan memberi ijin kepada puteri mereka untuk mencari pengalaman di dunia kangouw. Bagaimanapun juga, puterinya itu tidak perlu dikhawatirkan lagi karena telah memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih lihai dibandingkan mereka. Dan mereka lalu mengirim surat kepada keluarga Souw Hui San untuk minta agar urusan pernikahan itu ditangguhkan satu atau dua tahun.
Mei Li berangkat meninggalkan Lok-yang menunggang seekor kuda putih yang baik. Kuda pilihan yang tinggi dan kuat, tentu saja berharga mahal. Akan tetapi ayah ibunya berkeras agar puterinya melakukan perjalanan dengan berkuda dan memang sejak kecil Mei Li sudah berlatih menunggang kuda sehingga ia kuat berkuda sampai berjam-jam lamanya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, setelah berpamit dan mohon doa restu ayah ibunya, dara itu menunggang kuda putihnya keluar dari pintu gerbang barat kota Lok-yang. Sebuah buntalan kain kuning berada di punggungnya dan di bawah buntalan itu nampak tergantung sepasang pedangnya yang gagangnya diberi tali sutera panjang. Di pinggangnya kanan kiri masih tergantung pula dua batang pedang pendek. Tidak lupa ia membawa bekal uang perak dan emas dalam buntalan pakaiannya, untuk bekal dalam perjalanan.
Tujuan pertama dari perjalanannya itu adalah ke kota raja Tiang-an. Ia belum pernah pergi ke kota raja itu. Ketika ayahnya pergi ke kota raja untuk mencari putera bibinya yang tewas dalam pertempuran, ia baru berusia tiga tahun dan ditinggal di rumah bersama ibunya. la memang banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang kota raja Tiang-an dan tentang pergolakan selama ini dan ia tahu pula bahwa kakak misannya, putera bibinya Yang Ku i Bi telah lenyap dari kota raja ketika terjadi perang. Nama kakak misannya itu Sia Han Lin, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengannya.
Wajah dara perkasa itu nampak berseri. Rambutnya yang hitam halus panjang, yang disanggul tinggi dan dihias tusuk sanggul dari perak dan hiasan merak dari batu kemala, nampak agak kusut karena hembusan angin yang bermain-main dengan rambut hitam halus itu.
Matanya yang lebar, yang jelas membayangkan bahwa ia seorang gadis peranakan yang masih ada darah Khitan mengalir dalam tubuhnya, mata yang indah dan jeli itu kini berbinar-binar, penuh kegembiraan ketika memandang ke depan dan kanan kiri di sepanjang jalan. Mulutnya yang mungil itupun selalu terhias senyum.
Hati Mei Li memang mengalami kebahagiaan yang luar biasa yang belum pernah ia rasakan. Ada ketegangan yang menggairahkan, ada semangat baru dalam kehidupannya, merasa bebas merdeka seperti seekor burung rajawali melayang-layang di angkasa. Perasaan seperti yang dialami Mei Li itu akan terasa oleh siapa saja yang dalam kehidupan sehari-harinya se lalu disibukkan oleh pekerjaan, keramaian, kebisingan dan segala macam masalah kehidupan dalam masyarakat yang tinggal di kota besar.
Kehidupan dalam kota selalu berkisar kepada soal-soal duniawi, mengejar uang, harga diri, ke hormatan dan kesenangan jasmani, mencari jalan pemuasan nafsu, persaingan dalam segala bidang. Semua itu ditambah oleh banyaknya manusia yang berdesakan di kota besar, segala macam kotoran sampah, udara yang tidak murni lagi, membuat dada rasanya tidak longgar untuk bernapas, pikiranpun tiada hentinya mengalami guncangan dan tantangan, dan kesehatanpun mengalami kemunduran dan gangguan.
Oleh karena itu, apabila terdapat kesempatan penghuni kota yang selalu sibuk itu dapat berada di luar kota, di tempat terbuka yang jauh dari perumahan, jauh dari keramaian manusia, dia akan dapat merasakan seperti yang dialami Mei Li pa da saat ia menjalankan kudanya perlahan-lahan itu.
Kebesaran, keagungan dan keindahan alam hanya dapat dirasakan dan dinikmati apa bila kita berada di daerah pegunungan, hutan-hutan atau di pantai lautan yang sepi dari manusia dan belum dikotori oleh ulah manusia yang hanya mendatangkan kerusakan dan noda pada lingkungan.
Kalau kita berada seorang diri di dataran tinggi yang jauh dari manusia lain, jauh dari pemukiman manusia, menghirup udara segar yang mengalir melimpah ke dalam dada kita, terasa sesuatu yang sukar digambarkan.
Dalam keadaan seperti itu, untuk beberapa saat lamanya sadarlah kita bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang rindu akan segala ini, yang bukan dari dunia ramai, bukan kesenangan jasmani, bukan pemuasan nafsu, bukan pengejaran cita-cita. Kita rindu dan haus akan kedamaian alami, rindu kepada Sumber Segala sumber, dari mana kita datang dan kemana kita kelak pergi.
Manusia dan Alam, tak terpisahkan karena tercipta oleh Tangan Yang Satu, terbimbing oleh Tanqan Yang Satu, namun sungguh sayang kita lebih terseret oleh kesenangan duniawi, pemuasan nafsu badani yang kita perebutkan, kalau perlu dengan saling hantam, pada hal yang kita dapatkan hanyalah kesenangan hampa yang hanya sementara, lewat begitu saja seperti angin lalu untuk memberi giliran kepada saudara kembarnya, yaitu kesusahan, kedukaan dan kekecewaan.
* * * *
Mei Li sadar dari lamunannya ketika kudanya meringkik. Kudanya memang kuda yang terlatih dan baik dan kalau kuda itu meringkik, itu tandanya bahwa kudanya merasakan, melihat atau mendengar sesuatu yang asing dan tidak wajar. Apakah ada binatang buas? Harimau? Mei Li tidak merasa gentar dan ia pun kini sudah siap siaga kalau-kalau di tempat itu muncul bahaya.
Ternyata yang muncul dari dalam hutan di depan adalah serombongan orang. Ada limabelas orang pria yang keadaannya amat menyedihkan. Mereka menggotong tiga buah mayat, dan lima orang yang agaknya terluka parah. Lima belas orang itu sendiri keadaannya juga tidak utuh, banyak di antara mereka yang terluka walaupun tidak seberat luka lima orang itu.
Melihat bahwa belasan orang pria itu kelihatan kuat, bahkan mereka itu membawa senjata pedang atau golok yang tergantung di pinggang, akan tetapi kini nampak ketakutan, tentu saja Mei Li merasa heran sekali. la sudah meloncat turun dari atas kudanya dan menghadang di tengah jalan.
Sementara itu, ketika rombongan itu melihat seorang gadis muda cantik jelita menuntun seekor kuda putih besar kini menghadang di tengah jalan, mereka nampak kaget dan seorang di anta mereka, seorang laki-laki tinggi besar berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, mendahului rombongan itu nenghampiri Mei Li.
"Apakah nona hendak melakukan perjalanan melalui' hutan itu?" tanyanya sambil memandang Mei Li penuh perhatian.
Sebetulnya, Mei Li yang tertarik melihat keadaan mereka dan ingin mengetahui apa yang telah terjadi, akan tetapi karena didahului orang, iapun mengangguk. "Benar, paman."
"Jangan, nona! Sebaiknya nona cepat menunggang kuda nona itu dan cepat meninggalkan tempat ini, kembali ke sana!" Dia menuding ke arah dari mana Mei Li datang.
"Kenapa, paman? Dan kenapa pula paman serombongan seperti orang yang habis kalah perang? Ada pula yang tewas dan luka-luka? Apa yang telah terjadi?" kini Mei Li bertanya dan rombongan itu telah berada di depannya.
"Sudahlah, harap jangan banyak bertanya, nona. Selagi masih ada kesempatan, pergilah cepat. Kalau melihat nona membawa kuda sebagus ini, tentu mereka tidak akan mau melepaskanmu, apa lagi nona masih muda dan cantik jelita. Percayalah kepadaku, nona cepat pergilah!." orang tinggi besar itu mendesak.
Sikap orang tinggi besar ini saja sudah membuat Mei Li makin tertarik. Bagaimanapun juga, orang yang belum dikenalnya ini telah bersikap dan berniat baik kepadanya, memperingatkanya akan adanya bahaya dan orang itu tidak ingin melihat ia tertimpa bencana. Sikap ini membuat ia semakin penasaran. Orang-orang ini jelas bukan penjahat, bahkan agaknya sebaliknya, menjadi korban kejahatan, karena itu harus ditolongnya!
"Terima kasih atas peringatan dan nasihatmu, paman. Akan tetapi, aku tidak akan melarikan diri, bahkan aku ingin sekali mengetahui, apa yang telah terjadi dengan rombongan paman. Kalau terdapat bahaya di depan sana, aku tidak takut!" katanya gagah.
Orang tinggi besar itu mengerutkan alisnya. "Nona, engkau masih amat muda, mungkin pernah belajar sedikit ilmu silat, akan tetapi tidak baik kalau tekebur. Di hutan itu terdapat gerombolan iblis yang amat jahat dan lihai!"
Akan tetapi, dara jelita itu tetap tenang, bahkan tersenyum. "Maksud paman tentu gerombolan perampok? Hemm, aku tidak takut, bahhkan aku harus membasmi mereka kalau mereka itu menjadi pengganggu rakyat yang berlalu lalang di daerah ini."
Mendengar ucapan lantang itu, si tinggi besar dan beberapa orang kawannya tersenyum getir, agaknya merasa geli, seperti mendengar seekor ayam betina muda berkuruyuk seperti lagak seekor jago!
"Hemm, ketahuilah, nona muda yang bernyali naga! Aku dikenal sebagai Si Golok Setan, kepala Pek-houw-piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Putih) yang sudah terkenal di seluruh daerah Lok-yang! Engkau lihat sendiri, kami para pengawal Pek-houw-pia-uw-kiok sebanyak duapuluh tiga orang, mengawal sepasang pengantin hartawan melewati hutan itu dan kami dihadang gerombolan itu. Kau lihat sendiri akibatnya. Tiga orang kawan kami tewas, lima orang terluka berat, sepasang mempelai itu ditawan dan semua barang berharga dirampas! Nah, apakah engkau akan begitu gila untuk melanjutkan perjalanan melewati hutan itu? Gerombolan itu agaknya baru saja mendiami hutan itu karena biasanya di sana aman, Pergilah, nona, dan bersukurlah bahwa nona telah bertemu dengan kami sehingga tidak menjadi korban."
Mei Li memperlebar senyumnya sehingga wajahnya nampak cantik manis bukan main, membuat rombongan pria itu tertegun dan tenpesona. "Kalian yang sepatutnya bersukur, paman, karena bertemu dengan aku. Aku yang akan membantu kalian mendapatkan kembali barang-barang yang mereka rampok, dan menolong sepasang mempelai itu. Ceritakan bagaimana keadaan kawanan perampok itu dan di mana mereka."
"Tapi tapi kami merasa ngeri, tidak ingin melihat nona yang begini muda dan jelita terjatuh ke tangan mereka...." si tinggi besar berkata ragu, juga teman-temannya agaknya tidak setuju.
Mereka itu tentu sudah merasa takut bukan main terhadap gerombolan perampok itu, pikir Mei Li. Perlu dibangkitkan semangat mereka. Ia memandang ke kiri di mana terdapat sebuah pohon setinggi hampir tiga meter dengan daun yang lebat.
"Agaknya kalian belum percaya ke padaku, ya? Nah, lihatlah baik-baik!" Mei Li menggerakkan kedua tangan ke arah punggungnya dan begitu cepat gerakannya mencabut sepasang pedangnya sehingga para anggauta piauw-kiok itu tidak melihat ia mencabut pedang dan tiba-tiba saja pandang mata mereka menjadi silau ketika nampak dua sinar terang bergulung-gulung dan terbang mengitari pohon itu bagaikan dua ekor naga yang sedang berkejaran.
Dan yang membuat mereka menahan napas adalah ketika melihat daun-daun dan ranting potion jatuh berhamburan, terbabat kedua gulungan sinar dan ketika dua sinar itu membalik ke arah Mei Li dan gadis itu sudah menangkap kembali sepasang pedangnya dan memasukkan ke dalam sarung pedang, semua orang melihat betapa pohon itu telah menjadi rata bagian atasnya, seperti kepala seorang anak-anak yang tadi ditumbuhi banyak rambut dan sekarang dicukur hampir gundul di sekitar pohon nampak daun dan ranting berserakan.
"Pedang terbang?" Si tinggi besar dan para kawannya berseru heran, takjub dan kagum. Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian sehebat itu. Kalau orang bersilat pedang, tentu saja mereka sudah sering melihatnya, bahkan mereka sendiri ahli bersilat pedang atau golok.
Akan tetapi tadi mereka melihat Mei Li tetap berdiri di dekat kudanya, hanya menggerak-gerakkan kedua tangan ke arah pohon dan sepasang pedang itu berubah menjadi dua sinar bergulung-gulung yang seolah bergerak sendiri, beterbangan menggunduli pohon itu.
Setelah hening sejenak karena mereka tertegun, lalu meledaklah kekaguman dan kegembiraan mereka. Terdengar mereka bertepuk tangan memuji dan si tinggi besar lalu melangkah maju menghadapi Mei Li dan memberi hormat dengan membungkuk dalam.
"Mohon maaf kepada lihiap (Pendekar wanita) bahwa kami seperti buta, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Li-hiap, saya Couw Sam menyatakan taluk dan mengharapkan bantuan lihiap agar kami dapat menyelamatkan sepasang pengantin itu berikut barang-barang mereka yang kami kawal."
Mei Li tersenyum. "Ceritakan dulu keadaan mereka dan apa yang telah terjadi," katanya tenang.
"Kami Pek-houw-piauw-kiok mengawal sepasang mempelai berikut barang-barang mereka dari Lok-yang menuju ke Kwi-yang di barat, ketika kami melewati hutan di lereng depan itu, kami dihadang oleh duabelas orang yang berpakaian serba hitam. Mereka mengaku sebagai gerombolan Hek-i-kwi-pang, (Perkumpulan Iblis Pakaian Hitam) dan mereka hendak merampok semua barang dan menyandera sepasang mempelai. Tentu saja kami melawan karena jumlah kami duapuluh tiga orang, dan biasanya di daerah ini tidak ada penjahat yang berani mengganggu perusahaan pengawal kami. Akan tetapi, ternyata pimpinan gerombolan itu luar biasa lihainya. Pertempuran yang terjadi ternyata berat sebelah dan kami dihajar habis-habisan dan terpaksa melarikan diri, tidak dapat melindungi sepasang mempelai itu yang ditawan dan semua barang terpaksa kami tinggalkan. Kami harus mencari bala bantuan yang lebih kuat lagi, akan tetapi kami bertemu dengan lihiap yang sakti seperti dewi . Mohon bantuan lihiap!"
"Hemm, kalau begitu, siapa di antara kalian yang memiliki keberanian, mari ikut denganku. Aku akan membasmi gerombolan iblis itu!"
Limabelas orang itu, dipimpin oleh Si Golok Setan Couw Sam, dengan gembira mengangkat tangan menyatakan siap untuk ikut dengan dara perkasa itu. "Kami semua siap untuk ikut menyerbu Hek I Kwi-pang kalau dipimpin oleh Hui-kiam Sian-li” kata Couw Sam dengan gembira dan penuh semangat.
"Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang)?" tanya Mei Li "Siapa itu?"
"Maaf, mulai sekarang kami menyebut nona dengan julukan Hui-kiam Sian-li!" kata Couw Sam dan semua anak buah nya mengangguk setuju.
Wajah Mei Li menjadi kemerahan. "Ihh! Jangan terlalu pagi memuji orang. Belum apa-apa kalian sudah mengangkat aku terlalu tinggi. Lihat saja nanti hasilnya. Mari kita berangkat!"
Mei Li meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya, tidak terlalu cepat karena limabelas orang itu mengikutinya dari belakang. Lima orang yang terluka ditinggalkan di situ, bersama tiga jenazah, dengan janji nanti akan dijemput kalau mereka sudah selesai menyerbu gerombolan penjahat di dalam hutan.
Limabelas orang itu, termasuk Couw Sam, nampak gelisah. Jantung mereka berdebar tegang, mulut terasa kering sampai ke kerongkongan karena sebetulnya mereka merasa gentar harus berhadapan lagi dengan gerombolan berpakaian hitam itu. Anak buah gerombolan itu masih dapat mereka lawan, akan tetapi kalau mereka membayangkan kehebatan pemimpinnya, sungguh membuat mereka bergidik ngeri.
Akan tetapi Mei Li yang melihat betapa para piauwsu (pengawal barang) itu diam dan gelisah, duduk di atas punggung kudanya dengan sikap tenang sekali, bahkan ia lalu bersenandung lirih. Suaranya memang merdu dan ia pandai bernyanyi, akan tetapi hanya ia sendiri yang mengetahui bahwa senandung itu disuarakannya untuk menutupi degup jantungnya yang tegang. Sikap limabelas orang itulah yang mendatangkan ketegangan di hatinya.
Biarpun ia puteri suami isteri pendekar sakti, juga telah menguasai ilmu silat yang tinggi, namun selamanya ia belum pernah bertanding sungguh-sungguh melawan musuh. Ia hanya bertanding melawan ayahnya atau ibunya dalam latihan saja. Dan sekarang, tiba-tiba saja ia dihadapkan gerombolan perampok yang agaknya amat kejam, jahat dan lihai sehingga rombongan piauwsu itupun menjadi ketakutan!
Kini rombongan itu tiba di tepi hutan. Melihat wajah Couw Sam dan anak buahnya kini loyo dan pucat, yang tentu saja mempengaruhi hatinya, Mei Li mengerutkan alisnya, menghentikan kudanya dan menoleh kepada mereka.
"Kalau kalian merasa takut, sebaiknya tidak usah ikut denganku!" Ucapannya bernada keras karena hatinya memang mengkal melihat para piauwsu yang dianggapnya pengecut itu.
Mendengar teguran itu, Couw Sam cepat mendekatinya. "Harap nona memaafkan kami. Kami siap membantu karena sebenarnya ini adalah tugas kami. Harap nona berhati-hati."
Mei Li mengangguk dan memasuki hutan menurut petunjuk Couw Sam yang berjalan di dekat kudanya. Dan di tengah hutan itu nampak beberapa buah pondok yang nampaknya masih baru. Couw Sam menunjuk ke arah pondok-pondok itu dan membisikkan bahwa agaknya itulah sarang gerombolan iblis itu. Mei Li menjalankan kudanya menghampiri tempat itu. Ternyata merupakan tempat terbuka dan banyak pohon di situ ditebang sehingga terdapat lapangan terbuka yang cukup luas, di mana didirikan empat buah pondok kayu.
"Tantang mereka keluar!" kata Mei Li kepada Couw Sam.
Karena melihat sikap Mei Li yang demikian tenang dan gagah, Couw Sam menjadi berani. "Haiili, gerombolan iblis Hek I Kwi-pang! Keluarlah kalian untuk menerima hukuman!!"
Teriakan lantang itu segera mendapat sambutan dari dalam empat buah pondok. Nampak bayangan hitam berkelebatan keluar dari dalam pondok. Mereka semua berjumlah duabelas orang, dan yang berada di depan adalah seorang pria yang amat menyeramkan. Mei Li sendiri merasa ngeri. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang laki-laki seperti kepala gerombolan itu. Usianya tentu ada empat puluhan tahun, akan tetapi bentuk tubuhnya sungguh menyeramkan.
Couw Sam yang tinggi besar itu akan nampak kecil jika berdiri di sebelahnya! Sungguh seorang raksasa yang kulitnya hitam seperti hangus, matanya besar-besar, hidungnya, mulutnya, semuanva nampak besar pada rakasa itu. Kulitnya sedemikian hitamnya sehingga kalau dia berada di tempat gelap, tentu hanya putih matanya dan giginya saja yang akan nampak. Sudah kulitnya hitam hangus, pakaiannya juga berwarna hitam. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji, bergigi runcing tajam!
Ketika raksasa hitam itu melihat Mei Li yang meloncat turun dari kuda putihnya dan menambatkan kuda itu di pangkal batang pohon yang bekas ditebang dan masih menonjol di permukaan tanah, dia terbelalak.
"Ha-ha-ha-ha, kalian kembali untuk menebus pengantin? Bagus sekali! Kalau tidak kalian tebus cepat-cepat, pengantin perempuan itu menjadi milikku. Akan tetapi ini wah, betapa cantik jelitanya! Kalian boleh bawa sepasang pengantin sialan itu kalau si jelita ini bersama kudanya ditinggal di sini!"
Mendengar ucapan raksasa hitam itu, anak buahnya yang sebelas orang juga menyeringai dan mereka semua memandang kepada Mei Li dengan mata buas, membuat gadis itu diam-diam bergidik. Akan tetapi, Couw Sam yang kini sudah bersemangat kembali, menjadi marah.
"Gerombolan Hek I Kwi-pang, jangan bicara sembarangan! Kami datang untuk mengambil kembali semua barang dan sepasang pengantin yang kalian rampas!”
Raksasa hitam itu memandang ke sekeliling dan melihat bahwa Couw Sam hanya datang bersama empatbelas orang anak buahnya yang sudah luka-luka. sisa dari mereka yang roboh tewas dan luka berat, bersama si gadis jelita, dia tertawa bergelak.
"Apakah engkau gila dan mengantar nyawa untuk menemui kawan-kawanmu yang sudah mampus tadi? Ha-ha-ha, kalau begitu lebih bagus lagi. Si jelita ini bersama kudanya, juga pengantin perempuan itu untuk aku dan kalian semua akan mati di sini dan bangkai kalian menjadi pupuk hutan, ha-ha-ha!"
"Raksasa hitam, jangan sombong dulu engkau! Kami datang kembali ke si ni untuk menantangmu. Jagoan kami adalah Hui-kiam, Sian-li ini!" kata Couw Sam dengan suara lantang.
Si raksasa hitam itu berjuluk Tiat-ciang Hek-mo (Iblis Hitam Tangan Besi). Sejenak dia mengerutkan alis memandang kepada Mei Li, kemudian dia tertawa bergelak. "Nona jelita ini? Ha-ha-ha, jangan bergurau!"
Mei Li kini berkata dengan suaranya yang merdu halus namun mengandung kelincahan, "Engkaukah kepala gerombolan Hek I Kwi-pang ini, dan siapakah na mamu?"
Si raksasa hitam masih menyeringai, "Engkau ingin mengenalku, nona manis? Aku disebut orang Tiat-ciang Hek-mo dan akulah pemimpin Hek I Kwi-pang."
"Bagus, engkau tadi mengatakan akan membebaskan sepasang pengantin itu kalau aku dan kudaku menjadi pengantinya, Nah, aku terima usulmu itu. Bebaskan sepasang pengantin itu dan aku akan menemanimu di sini."
Tentu saja Couw Sam dan anak buahnya terkejut mendengar ucapan Mei Li ini. Tak mereka sangka bahwa gadis jelita yang lihai itu kini mau saja ditukar dengan sepasang pengantin untuk menjadi permainan si raksasa hitam.
"Ha-ha-ha, boleh-boleh sekali!" kata Tiat-ciang Hek-mo sambil memberi isyarat kepada seorang pembantunya.
"Keluarkan mereka dan bawa ke sini!"
Anak buahnya itu sambil tersenyum menyeringai, memasuki sebuah di antara pondok-pondok itu dan tak lama kemudian diapun keluar lagi mendorong sepasang orang muda yang masih berpakaian pengantin. Pengantin pria dan pengantin wanita itu diikat kedua tangan mereka ke belakang, dan baju pengantin wanita itu robek di bagian dada. Untung, pikir Couw Sam. Kedatangan mereka belum terlambat, dan pengantin wanita itu agaknya hanya baru mengalami gangguan kecil saja, belum ternoda oleh kebuasan iblis-iblis itu.
"Paman Couw, sambut dan bebaskan mereka," kata Mei Li. Couw Sam yang tadinya meragu dan bingung, menaati perintah itu. Dia menerima sepasang pengantin itu dan segera membuka ikatan tangan mereka. Pengantin wanita itu menangis di dada suaminya. Mereka masih nampak ketakutan.
"Ha-ha-ha-ha!" Hek-mo tertawa bergelak. "Mulai detik ini, engkau menjadi milikku, nona jelita, Kesinilah!" Dia mengembangkan kedua lengannya ke arah Mei Li dan memerintahkan seorang anak buahnya untuk menuntun ku dan putih itu.
"Nanti dulu, Hek-mo! Engkau ini iblis hitam sudah biasa mengambil sesuatu dengan menggunakan kekerasan. Karena itu, untuk memiliki diriku, engkau harus menggunakan kekerasan pula. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana mungkin aku sudi menaatimu?"
Mendengar ucapan yang biarpun lembut bernada menantang itu, Hek-mo tertawa bergelak. Bajunya yang terbuka kancingnya memperlihatkan perut besar yang bergelombang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha-ha, aku bertanding denganmu? Wah, sayang kalau sampai kulit mu yang halus mulus itu lecet, manis. Kalau engkau masih meragukan kekuatanku, nah, engkau boleh memukulku dan aku tidak akan mengelak atau menangkis. Pukul bagian mana sesukamu, akan tetapi hati-hati, jangan terlalu keras karena tanganmu dapat terluka dan kalau hal itu terjadi wah, sungguh sayang sekali.... ha-ha-ha!" Raksasa hitam itu tertawa dan anak buahnya ikut pula tertawa ha-ha-he-he.
Mereka semua maklum bahwa akhirnya, pengantin wanita itu tidak akan dilepas begitu saja oleh kepala gerombolan itu, dan mereka lah yang beruntung karena setelah mendapatkan pengganti yang jauh lebih cantik, tentu pengantin wanita itu akan diberikan kepada mereka!
Mei Li menghampiri raksasa hitam itu yang kini sudah melepas bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Nampaklah dada yang bidang dan penuh bulu hitam, di bawah kulit hitam itu nampak tonjolan otot-otot besar, dan perutnya yang gendut itupun nampak keras dan tebal kulitnya. Kemudian, dara itu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kepada anak buah Hek I Kwi-pang dan anak buah Pek-houw Piauw-kiok dan berkata lantang.
"Kalian semua mendengar sendiri bahwa Hek-mo menantang aku untuk memukulnya tanpa dia mengelak atau menangkis. Kalian menjadi saksi, kalau satu kalau pukulanku membuat dia mampus, arwahnya tidak boleh menyalahkan aku!"
Ucapan itu dianggap main-main oleh Tiat-ciang Hek-mo dan anak buahnya, juga Couw Sam dan anak buahnya merasa khawatir karena mereka tidak percaya kalau dara itu akan mampu meroboh kan Hek-mo yang kebal dan kuat itu dengan sekali pukul. Mungkin saja gadis itu pandai bermain pedang, akan tetapi pukulan tangan kosong dari tangan yang kecil lembut itu, mana mampu membuat roboh raksasa hitam itu?
"Ha-ha-ha, pukullah pukullah mungkin setiap malam engkau harus memukuli tubuhku karena pukulanmu tentu akan terasa hangat dan nyaman seperti dipijati, heh-heh!" kata Hek-mo dan kembali semua anak buah tertawa.
Mei Li melangkah maju lagi dan diam-diam ia mengerahkan sinkang pada tangan kirinya dan berseru, "Hek-mo, terimalah pijatan ini!"
Tangan kirinya menyambar dengan jari tangan terbuka ke arah dada. Raksasa hitam itu menerima dengan dada dibusungkan dan mulut menyeringai, diam-diam dia mengerahkan tenaganya untuk membuat dadanya kebal. Akan tetapi, ternyata jari-jari tangan tidak menghantam atau menampar dada, melainkan mencuat ke atas dan dua buah jari tangan yang kecil mungil, yaitu telunjuk dan jari tengah kiri Mei Li telah menotok tenggorokannya.
"Tukkk....!!"
Semua orang melihat betapa wajah Hek-mo tertawa lebar, akan tetapi mulut yang terbuka lebar itu tidak menutup kembali bahkan dilengkapi kedua matanya yang juga terbelalak lebar menyaingi mulutnya dan dari mulut itu tidak keluar suara tawa melainkan suara seperti orang tercekik.
"Kek... kek.... kekkkk... aughh...." Dia memegangi leher dengan kedua tangan, matanya mendelik dan diapun roboh bergulingan seperti ayam disembelih, berkelojotan dengan mata mendelik! Dia tidak dapat bernapas!
Semua anak buahnya terkejut bukan main, sedangkan Couw Sam dan kawan-kawannya memandang dengan terheran-heran, belum sempat bergembira karena belum tahu benar apa yang telah terjadi dengan Hek-mo yang mereka takuti itu.
Mei Li adalah puteri suami isteri pendekar besar yang telah menanamkan watak pendekar kepada dara itu, maka iapun tidak ingin melihat lawannya tewas dan ia mengambil keuntungan karena diperbolehkan memukul tanpa ditangkis atau dielakkan. Maka, setelah totokannya pada kerongkongan itu berhasil menyumbat jalan pernapasan Hek-mo iapun melangkah maju dan kaki kanannya meluncur cepat menendang ke arah kanan kiri kerongkongan itu.
"Dukk! Dukkk!"
Dua kali terkena sambaran ujung sepatu dara itu. Hek-mo dapat bernapas lagi. Wajahnya berubah semakin hitam, matanya melotot dan dia pun meloncat berdiri dengan kemarahan memuncak ke ubun-ubun kepalanya. Tahulah dia bahwa dia telah bersikap ceroboh, terlalu memandang rendah dara itu yang ternyata benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Pantas saja para piauwsu mengajukan dara ini sebagai jagoan mereka! Biarpun kerongkongannya masih terasa agak nyeri, akan tetapi pernapasannya telah lancar kembali dan Hek-mo memandang kepada dara itu dengan mata mencorong marah.
"Keparat, kiranya engkau memiliki ilmu totok yang cukup kuat. Aku akan membalasmu, dan sebelum aku hancurkan semua tulang di tubuhmu, katakan dulu siapa namamu, murid dari perguruan mana agar engkau tidak mati penasaran!"
Kini lenyaplah nada mengejek dan memandang rendah sehingga anak buah Hek-mo sendiri merasa heran dan menjadi tegang karena sikap pimpinan mereka menunjukkan bahwa dara jelita yang masih muda itu merupakan musuh yang tidak boleh dipandang ringan.
Mei Li teringat akan julukan yang diberikan Couw Sam kepadanya dan iapun tersenyum. Mengapa tidak? Julukan itu, tanpa diketahui oleh Couw Sam dan kawan-kawannya, merupakan julukan yang amat tepat. Oleh ayah ibunya ia dibantu untuk menggabungkan ilmu pedang Siang-hui-kiamsut (Ilmu Sepasang Pedang Terbang); dan Sian-li Kiamsut (Ilmu Pedang Dewi). la telah menguasai ilmu-ilmu pedang gabungan itu, maka kalau ia dijuluki Hui-kiam Sian-li, julukan itu tepat sekali sebagai gabungan Hui-kiam (Pedang Terbang) dan Sian-li (Dewi)!
"Hek-mo, sudah tulikah telingamu? Tadi Couw-piauwsu sudah memperkenalkan namaku kepadamu. Aku adalah Hui kiam Sian-li dan sekali ini Dewi akan membasmi Iblis Hitam, sudah wajar sekali!"
Mendengar ini, dan kini mengerti bahwa jagoan mereka tadi telah membuat Hek-mo terkapar, para piauwsu tersenyum, bahkan ada yang menertawakan Hek mo.
"Bocah sombong! Kau kira dengan sedikit ilmu totok itu engkau sudah merasa menang? Engkau memakai julukan Pedang Terbang! Nah, ingin kulihat bagaimana pedangmu terbang kecuali diterbangkan oleh golokku ini!"
"Srattt...!" Nampak sinar berkilat ketika raksasa hitam itu mencabut goloknya. Golok besar dan berat itu juga mengerikan seperti pemegangnya. Selain lebar, panjang dan berkilauan saking tajamnya, juga punggung golok yang berbentuk gergaji itu dapat membuat lawan belum apa-apa sudah menjadi gentar.
Agaknya raksasa hitam ini diam-diam merasa jerih juga terhadap ilmu totok atau ilmu tangan kosong dara itu, maka dia sengaja menantang untuk bertanding dengan senjata. Dianggapnya julukan Si Pedang Terbang itu kosong belaka. Mana ada pedang dapat terbang, kecuali dalam dongeng kuno?
Sementara itu, Mei Li merasa mendapat hati. Tak disangkanya bahwa hanya dengan totokannya saja tadi ia sudah dapat membuat raksasa hitam itu roboh. Timbullah kepercayaan besar kepada dirinya sendiri. Dan ia merasa bersukur bahwa ayah ibunya telah menggemblengnya secara keras dan tekun, juga kakek gurunya telah memberi bimbingan selama dua tahun dengan keras.
Kini timbul keyakinan dalam hatinya bahwa semua ilmu yang dipelajarinya benar-benar dapat dipraktekkan dan dimanfaatkan. Ayah dan ibunya selalu menasihatinya bahwa ia pantang untuk membiarkan perasaan benci menguasai hatinya. Kalaupun ia harus menentang kejahatan, maka perbuatannyalah yang harus ditentang, bukan karena kebencian terhadap orangnya.
"Jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk menguasai orang lain, untuk memaksakan kehendak, untuk melampiaskan dendam kebencian. Kalau engkau terpaksa harus membunuh orang, maka lakukanlah itu seperti engkau membasmi ular berbisa atau binatang buas lain yang mengancam keselamatan manusia, tanpa perasaan benci sehingga engkau tidak akan melakukannya dengan cara yang kejam Dan berpantang lah selalu menghadapi lawan dengan cara yang curang dan licik karena perbuatan seperti itu tidak pantas dilakukan seorang pendekar."
Demikianlah ucapan ayah ibunya yang tak pernah dapat ia lupakan. Karena itu maka tadi melihat raksasa hitam itu menjadi korban totokan jari tangannya dan terancam mati lemas karena tidak dapat bernapas, ia sudah membebaskan totokannya dengan tendangan kaki. Melihat Tiat-ciang Hek-mo sudah mencabut golok besar gergajinya, Mei Li yang sudah merasa berbesar hati dan yakin akan kemampuannya sendiri, segera mencabut sepasang pedang yang berada di punggungnya.
Dan dengan pasangan kuda-kuda Dewi-pedang-menari, ia berdiri dengan kedua kaki bersilang, lutut agak ditekuk, pedang kiri diangkat ke atas kepala dan melintang, sedangkan pedang kanan melintang di depan dada, mulutnya tersenyum manis dan matanya memandang tajam ke arah lawan.
Karena Couw Sam dan anak buah ingin sekali melihat bagaimana Dewi Pedang Terbang melawan raksasa hitam itu, juga anak buah Hek-mo ingin menyaksikan pemimpin mereka menundukkan gadis jelita itu, maka kedua pihak hanya menjadi penonton karena memang tidak ada yang memberi aba-aba kepada mereka untuk saling serang.
Tiat-ciang Hek-mo mengeluarkan gerengan seperti auman harimau dan goloknya menyambar dahsyat. Golok berat itu digerakkan tenaga otot yang kuat maka golok itu menyambar dengan cepat, mengeluarkan suara mengaung dan nampak sinar golok menyambar ke arah kepala Mei Li ketika Hek-mo menyerang dengan bacokan.
"Wuuuuttt...!"
Namun, dengan mudah saja Mei Li mengelak ke samping karena bagi penglihatannya, sambaran golok itu lamban dan mudah baginya untuk menghindarkan diri dengan elakan. Sambil mengelak, iapun membalas dan pedang kanannya sudah menusuk ke arah lambung lawan.
"Trangg....!!" Bunga api berpijar ketika golok itu cepat membalik dan menangkis tusukan itu. Mei Li terkejut karena tenaga otot lawan sedemikian kuatnya sehingga pedang kanan yang terkena tangkisan golok itu terpental, namun tidak sampai lepas dari genggamannya.
Tahulah ia bahwa ia tidak boleh mengadu tenaga dengan raksasa ini dan iapun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat dan menghindarkan benturan senjata. Setiap kali lawan hendak mengadu senjata dengan tangkisan yang kuat, ia menarik kembali pedang yang menyerang itu dan disusul serangan dengan pedang lain.
Kekuatan melawan kecepatan dan tentu saja Tiat-ciang Hek-mo menjadi repot sekali. Kecepatan gerakan gadis itu sungguh di luar dugaan dan tahu-tahu saja ujung sebatang pedang sudah mengancamnya. Terpaksa dia memutar goloknya untuk membentuk perisai sinar golok, akan tetapi kalau hal ini dia lakukan terus menerus, berarti dia hanya melindungi diri dan tidak sempat membalas serangan. Bagaimana mungkin dia akan dapat menang kalau tak dapat membalas dan hanya melindungi diri saja!
Mei Li yang biarpun kurang pengalaman namun memiliki kecerdikan itu segera dapat menemukan kelebihan dan kekurangan lawan. Harus ia akui bahwa lawannya itu memiliki tenaga gajah yang kuat sekali, akan tetapi sebagai imbangannya, lawannya itu baginya termasuk lamban. Karena itu, ia pun mempergunakan kelebihannya dalam hal kecepatan untuk mendesak lawan.
Sepasang pedangnya bergerak cepat sekali, membentuk dua gulungan sinar pedang yang makin lama semakin melebar. Dari dua gulungan sinar pedang ini kadang mencuat sinar seperti kilat menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-mo yang dilindungi perisai sinar golok yang diputar cepat ke sekitar tubuhnya.
Tiat-ciang Hek-mo terkejut bukan main dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara gerengan marah dan memaki-maki. Tak disangkanya hari ini dia akan bertemu dan bertanding melawan seorang dara yang demikian lihainya. Gerakan dara itu sedemikian cepatnya sehingga sukar baginya untuk mengimbangi, bahkan untuk mengikuti gerakan sepasang pedang itu saja dia sudah merasa pening, maka satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanyalah melindungi tubuhnya tanpa sempat membalas satu kali pun!
Kecepatan gerakan pedang Mei Li tidak mengherankan kalau orang mengerti bahwa ia adalah puteri Can Kim Hong murid Si Naga Hitam Kwan Bhok Cu. Datuk besar ini adalah seorang yang gagu, dan dia mengadakan hubungan dengan orang lain melalui tulisan yang dibuatnya dengan tongkat, dicorat-coret di atas tanah dan bagi Can Kim Hong, ia sudah biasa melihat gerakan coretan tongkat gurunya itu dan setiap gerakan langsung dikenalnya sebagai suatu huruf tertentu.
Karena kebiasaan menulis di udara ini, maka Si Naga Hitam memiliki kecepatan gerakan tangan yang diwariskan kepada muridnya itu, dan selanjutnya, Can Kim Hong juga mengajarkan kepada puterinya. Bahkan kemudian selama dua tahun, ilmu kepandaian dara ini diperdalam oleh gemblengan Si Naga Hitam sendiri.
Kini gulungan dua sinar pedang itu sudah mengurung ketat dan membuat ruangan gerak golok di tangan Hek-mo makin menyempit. Ketika Mei Li mengeluarkan suara melengking nyaring, pedang kirinya sengaja dibiarkan tertangkis golok, akan tetapi dara ini mengerahkan sinkangnya sehingga pedang kirinya menempel golok. Pedang kanannya menusuk dada lawan.
Hek-mo yang melihat keadaan berbahaya ini segera mengerahkan seluruh tenaga menarik goloknya dan membuang diri ke belakang. Dia berhasil lolos, akan tetapi gerakan cepat Mei Li membuat dara ini sudah dapat mengejar dan sebuah tendangan kaki mengenai perutnya.
"Dukk!" Memang perut yang penuh lemak itu keras dan kebal, namun tendangan Mei Li juga mengandung tenaga sakti sehingga tubuh Hek-mo terjengkang!
Anak buahnya yang melihat ini se gera berteriak-teriak dan dengan senjata di tangan mereka maju hendak mengeroyok Mei Li, akan tetapi gerakan mereka itu seperti aba-aba saja bagi Couw Sam dan kawan-kawannya untuk menerjang maju. Terjadilah pertempuran antara sebelas orang anak buah Hek-mo melawan limabelas orang anggauta piauw-kok yang dipimpin Couw Sam.
Hek-mo sendiri menjadi semakin marah. Dia adalah seorang tokoh sesat yang jarang bertemu tanding dan dia sudah amat percaya kepada diri sendiri, mengagungkan diri sebagai jagoan tak terkalahkan. Dia sudah terbiasa menang, maka kini menghadapi seorang dara yang mampu membuatnya roboh sampai dua kali, kemarahannya memuncak.
Orang seperti dia tak pernah dapat atau mau mengakui kekurangan dan kelemahannya sendiri. Begitu bangkit kembali karena nemang tendangan tadi hanya membuat dia terjengkang dan tidak melukainya, dia menjadi semakin geram.
"Bunuh mereka semua! Bunuh....!" teriaknya kepada anak buahnya yang sudah mulai bertempur melawan para piauwsu dan dia sendiri lalu menerjang Mei Li dengan goloknya.
Akan tetapi kini Mei Li yang melihat betapa para piawsu sudah bertempur melawan anak buah Hek I Kui-pang, merasa khawatir kalau-kalau para piauwsu tidak akan marpu menandingi mereka, maka dara ini mengambil keputusan untuk dapat secepatnya merobohkan Hek-mo agar ia dapat membantu para piauwsu.
"Haiiittt....!!" Mei Li mengeluarkan teriakan melengking dan ketika tangan kirinya bergerak, pedang di tangan kirinya meluncur seperti anak panah menyambar ke arah kepala Hek-mo.
Hek-mo mengira bahwa dara itu menyambitnya dengan pedang, maka dia menggerakkan goloknya untuk memukul pedang yang terbang ke arahnya itu. Akan tetapi tiba-tiba saja pedang itu melengkung dan membalik ke arah pemiliknya dan pedang ke dua datang menyambar, lebih cepat lagi. Hek-mo terkejut, tidak mengerti bagaimana pedang itu dapat terbang dan kembali kepada pemiliknya seolah hidup, dan ketika pedang ke dua menyambar, dia mengelak dengan loncatan ke samping dan seperti pedang pertama, ketika pedang ke dua ini luput mengenai dirinya, pedang itu meliuk dan terbang kembali kepada dara itu.
Benar-benar sepasang Hui-kiam (pedang terbang), pikir Hek-mo dengan gentar dan kini sepasang pedang itu sudah menyambar-nyambar bagaikan dua ekor burung garuda memperebutkan korban. Betapapun Hek-mo mengelak dan berusaha memukul pedang terbang dengan golok, tetap saja tidak berhasil dan pundak kirinya terluka oleh sebatang pedang, merobek kulit pundak sehingga berdarah. Raksasa hitam itu mulai panik. Dia tidak tahu bahwa kalau Mei Li menghendaki, kalau dara ini memilki hati kejam dan ganas, tentu sejak tadi dia sudah roboh!
Mei Li masih sangsi dan merasa ngeri sendiri membayangkan bahwa ia harus membunuh orang. Ia hanya ingin menyelamatkan sepasang pengantin dan merampas kembali harta benda mereka yang dirampok. Kalau sudah berhasil melakukan itu dan sekedar menghajar para perampok, cukuplah sudah baginya.
Kini Hek-mo benar-benar terkejut dan gentar. Tahulah dia bahwa dara itu benar-benar amat lihai, dan julukan Hui-kiam Sian-li bukanlah kosong belaka. Belum pernah dia bertanding dengan lawan selihai ini. Hek-mo mulai panik. Biarpun anak buahnya masih bertempur seru dan ramai menghadapi Iimabelas orang piauw-su itu, namun hatinya sudah merasa gentar sekali dan diapun melompat jauh ke belakang dengan maksud mengajak anak buah melarikan diri saja.
"Heii, monyet hitam, engkau hendak lari ke mana?" Tiba-tiba saja terdengar bentakan orang dan tahu-tahu di depan Tiat-ciang hek-mo telah berdiri seorang pemuda.
Mei Li memandang dan melihat seorang pemuda berpakaian sasterawan yang serba putih, dari sutera putih yanq halus berdiri dengan sikap lembut dan santai di depan raksasa hitam itu. Pakaian dari sutera putih ini nampak bersih sekali, dan sepatunya dari kulit hitam juga mengkilap bersih dan baru. Pemuda itu tampan dengan muka putih bundar, hidungnya mancung besar dan matanya lebar, mulutnya selalu tersenyum condong mengejek, rambutnya tersisir rapi dan mengkilap pula karena diminyaki.
Seorang pemuda sastrawan yang tampan dan pesolek. Tangan kanannya memegang sebatang suling dari perak. Melihat ada seorang pemuda yang nampaknya lemah berani menghalangnya, bahkan memakinya monyet hitam, tentu saja Tiat-ciang Hek-mo menjadi marah dan tanpa banyak cakap lagi dia menubruk ke depan menggerakkan goloknya untuk membunuh pemuda lancang itu.
Mei Li sudah merasa terkejut dan khawatir sekali. Jaraknya terlalu jauh baginya untuk melindungi pemuda itu, maka ia hanya menyambit dengan pedang pendek yang ia cabut dari pinggangnya, dituju kan ke arah pundak kanan Hek-mo. Hek-mo memacokkan goloknya ke arah kepala pemuda berpakaian putih itu.
Pemuda itu dengan senyum dingin menggeser kaki ke kiri sehingga bacokan itu luput dan sulingnya bergerak ke depan, ke arah pundak kanan Hek-mo, bukan untuk menyerang pundak Hek-mo, melainkan untuk menangkis pedang yang di lontarkan Mei Li tadi untuk menolongnya.
"Cringgg...!" Pedang pendek itu tertangkis dan terpental kembali kepada Mei Li! Dara itu terkejut. Pedang pendeknya itu merupakan pedang terbang yang tidak untuk kembali, maka tidak dipasangi tali, diperuntukkan sasaran yang jaraknya jauh dan tidak terjangkau oleh sepasang pedang terbangnya yang diikat tali sutera.
Akan tetapi pedang itu tertangkis suling dan kembali kepadanya. Ia menerima pedangnya dan menyimpannya kembali, sambil menonton pertandingan yang terjadi antara Hek-mo dan pemuda bersenjatakan suling perak itu. Dan iapun kagum.
Pemuda itu ternyata lihai bukan main. Suling perak di tangannya menyambar-nyambar cepat dan berubah menjadi gulungan. sinar perak yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara, melengking-lengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Tiat-ciang Hek-mo diam-diam mengeluh. Kenapa dia menjadi amat sial hari ini?
Tadi bertanding dengan dara jelita yang luar biasa lihainya sehingga dia selalu terdesak bahkan beberapa kali roboh, juga pundaknya terluka pedang terbang, dan sekarang, kembali dia harus bertanding melawan seorang pemuda yang juga amat lihai. Apa lagi pundaknya telah terluka dan terasa perih, juga nyalinya sudah menyempit karena dia merasa tidak mampu menandingi Hui-kiam Sian-li. Kini, pemuda sastrawan bersuling perak itu ternyata juga memiliki gerakan yang amat cepat.
Pemuda itu ternyata memang hebat. Berbeda dengan Mei Li yang tadi hanya bermaksud memberi hajaran kepada Hek-mo, kini pemuda itu membalas dengan serangan yang mematikan. Setiap kali sulingnya bergerak, maka serangan itu merupakan cengkeraman maut. Kembali Hek-mo harus melindungi dirinya dengan putaran goloknya yang membentuk benteng sinar golok dan kenekatannya untuk menyelamatkan diri ini membuat suling pemuda itu berkali-kali tertangkis.
Karena maklum bahwa kalau dara jelita dengan pedang terbangnya itu membantu si pemuda dia tentu akan celaka, Hek-mo mencari kesempatan dan ketika tangkisan goloknya yang dilakukan sekuat tenaga membuat suling perak itu terpental, diapun meloncat ke belakang untuk melarikan diri....
Selanjutnya,