Kisah Si Pedang Terbang Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala episode Kisah Si Pedang Terbang Jilid 11 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Kisah Si Pedang Terbang

Jilid 11
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
DEMIKIANLAH, dengan hati gembira mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu setelah Seng Gun berkata, "Kalau suheng mampus, itu baik sekali. Andaikata dia dapat lolos, lebih baik lagi. Kita dapat menyebar fitnah bahwa dia memang tidak bersungguh-sungguh memusuhi Bengkauw, buktinya dia dapat meloloskan diri, berarti orang Bengkauw sengaja melepaskannya!" Merekapun pergi dengan hati gembira, tidak tahu bahwa percakapan mereka itu ada yang mendengarkannya!

Ketika tubuh Pek Kong Sengjin melayang jatuh ke dalam jurang, dan nyaris menimpa batu-batu di dasar jurang, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan dua buah lengan menyambar tubuh itu sehingga tidak sampai terbanting. Pek Kong Sengjin terbelalak ketika melihat tubuhnya selamat dalam pondongan seorang, pemuda.

Pemuda Itu tersenyum kepadanya dan berbisik. "Harap totiang tunggu sebentar, ingin aku melihat apa yang terjadi di sana!"

Bagaikan seekor kera saja pemuda itu lalu memanjat tebing jurang dan tidak lama kemudian dia sudah mengintai di tepi jurang, dari baiik sebuah batu sehingga dia dapat mendengarkan percakapan yang terjadi antara Seng Gun, Yu Kiat dan Lai Cin. Setelah tiga orang itu pergi, barulah dia merayap turun-kembali dengan cepat sekali.

Setelah tiba di bawah, dia melihat Pek Kong Sengjin sudah duduk bersila dan mengumpulkan tenaga sakti untuk mengobati lukanya. Tanpa diminta pemuda itu lalu duduk bersila di belakangnya dan menempelkan tangan kanannya di punggung Pek Kong Sengjin. Hawa yang panas mengalir dari telapak tangan itu dan sebentar saja kesehatan pendeta itu sudah pulih kembali.

Pek Kong Sengjin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. "Engkau telah menyelamatkan aku untuk kedua kalinya dalam waktu singkat, sobat muda. Entah bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu."

Pemuda itu tersenyum dan Pek Kong Sengjin kagum. Pemuda itu masih muda, paling banyak duapuluh satu tahun usianya. Tubuhnya tinggi tegap wajahnya tampan dan jantan, dengan rahang dan dagu yang membayangkan kekerasan. Rambutnya hitam lebat, matanya tajam seperti mata naga dan mulut itu selalu tersenyum, pakaiannya amat sederhana.

"Totiang, kenapa harus berterima kasih? Kita sama-sama memberi bantuan, aku membantumu mencegah terbanting dan engkau membantu memberi kesempatkan kepadaku untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan. Nah, kita sudah sama-sama memberikan sesuatu, bukan?"

"Siancai..., engkau pemuda aneh. Bolehkah aku mengetahui namamu, taihiap (pendekar besar)?"

"Aduh, harap jangan memanggil taihiap kepadaku, totiang. Cukup kalau totiang memanggil namaku, yaitu Han Lin." Pemuda itu memang Han Lin dan kini dia sudah tidak ragu lagi menggunakan nama keluarga aselinya, yaitu Sia. "Dan paman tentulah Pek Kong Sengjin, aku telah mendengar dari percakapan mereka di atas sana."

"Benar, Han Lin," kata pendeta itu dan diapun kini menyebut nama pemuda itu dengan akrab sekali. "Pinto sendiri tidak mengira bahwa orang itu akan berbuat seaneh dan sejahat itu." Dia lalu menceritakan tentang semua yang terjadi. Sejak penyerbuan mereka terhadap Bengkauw dan sampai mereka terpaksa melarikan diri dari sana.

Hati Han Lin tertarik sekali. "Sudah banyak aku mendengar betapa Bengkauw dimusuhi orang, totiang. Sebaiknya sekarang totiang segera pulang, aku ingin melihat bagaimana nasib pemuda bernama Ciu Kang Hin yang tertinggal seorang diri menghadapi orang-orang Bengkauw yang lihai itu." Pemuda itu berkelebat dan lenyap.

"Heii, nanti dulu! Siapa gurumu, Han Lin?"

Dari atas terdengar suara yang jelas. "Guruku langit dan bumi!" Ini adalah kata-kata pesanan Lojin kepadanya. Lojin berpesan agar kalau ada yang menanyakan siapa gurunya, dijawab bahwa gurunya adalah langit dan bumi.

"Jawaban ini bukan 'ngawur," demikian kata gurunya. "Segala macam ilmu kepandaian didapat dari anugerah Tuhan melalui pengalaman, dan pengalaman manusia baru terjadi setelah manusia berada di antara Langit dan Bumi. Jadi, guru kita adalah Langit dan Bumi, yang memberi kita segala macam pengalaman hidup."

Pek Kong Sengjin tertegun dan akhirnya dia menarik napas panjang, mengukir nama Sia Han Lin di dalam lubuk hatinya. Dia dapat menduga bahwa dia telah bertemu dengan seorang pemuda murid orang sakti dan mengharapkan dapat bertemu kembali. Juga dia harus berhati-hati, karena sikap Tong Seng Gun amat mencurigakan. Dia belum dapat menduga apa yang menyebabkan pemuda itu berbuat seperti itu kepadanya. Dan dia harus segera melapor kepada para pimpinan Kong-thong-pai tentang pengalamannya itu. Dengan hati-hati dia lalu mencari jalan keluar dari dasar jurang itu.

Ciu Kang Hin berjalan menuruni puncak Tanduk Rusa dengan merenung dan muka ditundukkan. Dia merasa gelisah sekali teringat akan ucapan terakhir ketua Bengkauw. Di antara ketua Beng-kauw dan mendiang ayahnya terdapat hubungan yang amat dekat Ketua Bengkauw itu adalah adik angkat ayahnya, jadi masih pamannya sendiri! Dan dia mendapat tugas dari gurunya untuk membasmi Bengkauw.

Bahkan tadi dia melihat sendiri betapa.ketua Bengkauw tinggal menanti saat ajal datang menjemput sampai saat ketua itu tewas dalam keadaan yang menyedihkan. Dan ketua itu memesan untuk menjodohkan puterinya dengannya! Lalu apa yang akan dikatakan kepada gurunya nanti? Mampukah dia melanjutkan tugas membasmi orang Bengkauw? Agaknya tidak mungkin lagi!

Apa yang disaksikan di puncak bukit Tanduk Rusa itu sudah mencapai puncaknya. Ini keliru, pikirnya. Nam-kiang-pang. sedang menyusuri jalan yang keliru Menentang kejahatan, darimanapun datangnya dan oleh siapapun dilakukannya, adalah tugas murid Nam-kiang-pang. Akan tetapi membasmi sekelompok orang tanpa pandang bulu, tanpa alasan, sungguh merupakan penyelewengan ke jalan sesat.

Tiba-tiba telinganya yang tajam nendengar suara orang dan ketika dia mengangkat mukanya, dia menjadi lega. Kiranya Seng Gun, Ang-sin-liong Yu Ki-at dan Tiat-sin-liong Lai Cin yang muncul dan menghadang di depannya.

"Ah, sute!" katanya girang. "Engkau dapat meloloskan diri, sukurlah! Tapi, di mana Pek Kong Sengjin?"

"Suheng, tidak perlu lagi engkau berpura-pura!"

Mendengar ucapan sutenya itu, Kang Hin memandang dan alangkah kagetnya melihat wajah tiga orang itu berbeda dari pada biasanya. Wajah itu keruh, murung dan jelas kelihatan marah. "Sute, apa maksud kata-katamu itu?" tanyanya.

"Hemm, ternyata selama ini engkau pandai bersandiwara, berpura-pura. Pantas saja hanya lahirnya engkau disebut pembasmi nomor satu bagi Bengkauw, padahal sesungguhnya, engkau tidak dapat memusuhi mereka, bahkan engkau menyayang mereka."

Kang Hin terkejut. Apakah sutenya sudah tahu akan peristiwa tadi? "Sute, aku akui bahwa aku tidak pernah membunuh orang yang tidak bersalah, baik dia orang Bengkauw ataupun bukan. Dan bukan aku yang mengaku sebagai pembasmi Bengkauw nomor satu. Akan tetapi, apa hubungannya itu dengan sikapmu ini? Mana Pek Kong Sengjin?"

"Engkau tentu sudah mengetahuinya. Ketika kami lari dan engkau berpura-pura menahan mereka, ternyata mereka masih dapat mengejar kami dan kami melawan mati-matian, akan tetapi Pek Kok Sengjin terbunuh, terlempar ke dalam jurang."

"Ahhh..!"

"Tidak perlu berpura-pura, engkau malah yang mengatur agar mereka dapat mengejar kami!"

"Sute, omongan apa itu? Aku bertempur melawan mereka dan tertawan!"

Seng Gun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau boleh menjual omongan itu kepada anak kecil. Kalau engkau sampai tertawan oleh mereka, bagaimana mungkin engkau dapat meloloskan diri dan tidak terbunuh? Kecuali kalau memang engkau diam-diam bersekongkol dengan mereka!"

Kang Hin menghela napas panjang. Dia maklum bahwa kalau dia menceritakan yang sesungguhnya, sutenya dan dua orang Hoat-kauw itu tentu tidak akan percaya, bahkan semakin mencurigainya. "Terserah kepadamu, sute. Percaya atau tidak, akan tetapi aku benar-benar telah bertempur dengan mereka dan tertawan, akan tetapi dilepaskan kembali. Biarlah aku akan melapor kepada suhu dan terserah kepada suhu, kalau hendak menghukum aku, terserah kepada suhu."

"Enak saja! Kau kira akan dapat mengelabui kami lagi, pura-pura hendak melapor kepada suhu, akan tetapi diam-diam bersekongkol dengan Beng-kauw!"

"Sute, tutup mulutmu! Kau kira boleh sembarangan engkau menuduh aku?" kini Kang Hin hilang kesabarannya.

"Hemm, Ciu Kang Hin, kita sama-sama murid Nam-kiang-pang, hanya bedanya aku seorang murid yang setia, sebaliknya engkau murid berkhianat. Engkau belum menjadi ketua, tidak perlu kuhormati murid yang mengkhianati Nam-kiang pang. Hayo kita tangkap pengkhianat ini!"

Dia mengamangkan goloknya. Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin tentu saja sudah maklum mengapa Seng Gun bersikap seperti itu. Yu Kiat segera menggerakkan golok gergajinya, sedangkan Lai Cin memainkan tombak cagaknya. Seng Gun sendiri sudah menerjang maju menyerang dengan goloknya dengan ilmu golok Thian-te To-hoat.

"Trang-trang-trangg...!!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika Kang Hin menangkis tiga senjata lawan itu dengan goloknya, dan diapun membalas. Terjadi pertempuran yang seru. Akan tetapi tentu saja Kang Hin terdesak karena ilmu kepandaiannya hampir setingkat dengan tingkat Seng Gun, bahkan mungkin Seng Gun lebih unggul karena Seng Gun menguasai pula ilmu yang dipelajarinya dari Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui.

Apa lagi di situ ada dua orang tokoh utama dari Bu-tek Ngo Sin-liong, dengan sendirinya dia merasa si buk harus menghadapi permainan senjata mereka. Namun, berkat tubuhnya yang kuat karena hidupnya bersih, maka dia masih dapat melindungi dirinya dengan baik sehingga tidak mudah bagi tiga orang itu untuk merobohkannya.

Seng Gun menjadi penasaran. Dia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu golok Thian-te To-hoat, dia masih kalah sedikit dibandingkan suhengnya itu. ini adalah karena Kang Hin menjadi murid Nam-kiang-pang sejak kecil, sedangkan dia baru empat tahun ini. Maka karena dia ingin membunuh saingannya ini, dia mengeluarkan senjata andalannya sebelum dia menjadi murid Nam-kiang-pang, yaitu suling peraknya yang gandung racun!

Suling itu dipegang-dengan tangan kiri dan begitu suing menyambar, terdengar suara melengking yang mengejutkan hati Kang Hin. Pemuda ini mengelak dan melihat bahwa sutenya yang menggunakan senjata suling itu dengan amat mahirnya, dia terkejut dan heran. Akan tetapi dia tidak sempat menegur atau bertanya karena Seng Gun sudah menggerakkan golok dan sulingnya, dan dua orang rekannya juga dengan gencar mengeroyok.

Ketika Kang Hin menangkis suling Seng Gun dengan pengerahan tenaga untuk mematahkan suling itu, dari dalam suling itu menyambar jarum-jarum hitam. Kang Hin yang sedang sibuk menghadapi senjata para pengeroyoknya, tidak sempat mengelak lagi dan dua batang jarum mengenai dahinya! Dia terhuyung dan terguling roboh.

Tiga orang lawannya dengan gembira menubruk untuk menghabisinya, namun tiba-tiba datang angin bertiup, bagaikan ada badai, dan ketika tiga orang itu terkejut melihat pohon-pohon meliuk keras, ada bayangan berkelebat menyambar tubuh Kang Hin. Ketika tiga orang itu melihat, ternyata Kang Hin sudah lenyap dari situ.

"Celaka, dia melarikan diri. Kejar!" teriak Ang-sin-liong Yu Kiat.

"Ha-ha-ha," Seng Gun tertawa dengan sombongnya. "Apa sih yang perlu dikhawatirkan? Paman sendiri tadi melihat bahwa dahinya telah terkena jarum sulingku. Dan akibatnya hebat, paman. Racun jarumku akan membuat dia mati atau gila. Ingat, yang terkena adalah dahinya!" Pemuda itu tertawa-tawa dan dua orang rekannya menjadi lega.

"Akan tetapi, apakah yang terjadi? Kenapa dia bisa melarikan diri dan angin topan tadi... apakah artinya itu?" tanya Lai Cin.

"Paman, mengapa khawatir? Orang bengkauw memang memiliki ilmu sihir maka tidak aneh kalau tadi mereka dapat melarikan Kang Hin. Akan tetapi jangan harap kalau mereka mampu menyelamatkan Kang Hin dari racun jarumku!"

Akan tetapi bagaimanapun juga, peristiwa lenyapnya tubuh Kang Hin tadi mendatangkan perasaan tidak nyaman dihati mereka, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu meninggalkan tempat itu. Mereka saling berpisah, kedua ang tokoh Hoat-kauw kembali (ke pusat hoat-kauw yang akan mengadakan perayaan di Bukit Harimau sedangkan Seng Gun akan melapor dulu ke Nam-kiang-pang. Dengan dilengkapi segala macam bumbu dan minyak, Seng Gun menghidangkan ceritanya tentang "pengkhianatan" Kang Hin sehingga semua tokoh Nam-kiang-pang menjadi marah bukan main.

"Anak tak tahu diuntung! Tak mengenal budi!" kata beberapa orang tokoh tua. "Sejak kecil ketua telah memelihara dan mendidiknya, begitukah balasnya?"

Akan tetapi Tio Hui Po sendiri berdiam diri, dan sepasang alisnya bekerut. Dia lebih merasa terpukul dan kecewa dari pada marah, juga merasa amat heran. Sukar dia dapat percaya bahwa muridnya itu, yang sejak kecil merupakan anak yang patuh sekali, kini dapat bersekutu dengan Bengkauw! "Seng Gun, yakin benarkah engkau bahwa suhengmu bersekorigkol dengan Bengkauw dan mengkhianati kita?"

"Suhu, tidak ada yang lebih penasaran dari pada teecu. Teecu paling sayang dan paling hormat kepada suheng, akan tetapi tak dinyana sama sekali suheng tega sekali, sampai hati dia berkhianat. Hampir saja teecu menjadi korban dari pengkhianatannya. Untung teecu bersama dua orang rekan dari Ho-at-kauw sempat melarikan diri. Akan tetapi Ho Jin Hwesio, Pek Kok Sengjin, dan Kiang Cu Tojin… Ahh…."

"Mengapa mereka? Hayo ceritakan, apa yang terjadi dengan tokoh-tokoh siauw-lim-pai, Butong-pai, dan Kong-thong-pai itu?"

"Mereka telah tewas oleh Ciu Kang Hin dan orang-orang Bengkauw...."

"Jahanam!!" Kini Tio Hui Po marah sekali.

"Akan tetapi harap suhu tenangkan diri. Pengkhianat itu telah terluka oleh senjata rahasia beracun dari tokoh Hoat-kauw jarum beracun telah memasuki dahinya, pasti dia akan tewas atau gila!"

"Mati atau hidup, kita harus dapat yakin agar kalau ada aliran yang menuntut kita dapat memperlihatkan bukti kematiannya," kata Tio Hui Po.

Agaknya Tio Hui Po menjadi patah semangatnya mendengar akan pengkhianat Ciu Kang Hin itu. Dia lalu mengumpulkan semua tokoh Nam-kiang-pang, dan mengadakan rapat besar.

"Perkumpulan kita menghadapi hal-hal penting dan besar. Permusuhan Bengkauw dengan kita belum selesai kini muncul pengkhianatan murid yang tadinya kuangkat menjadi calon ketua. Dan aku sudah lelah, agaknya aku sudah terlalu tua untuk memimpin kalian. Oleh karena itu, hari ini aku mengumpulkan kalian di sini untuk menjadi saksi. Aku menetapkan Tong Seng Gun menjadi ketua Nam-kiang-pang!"

Di antara para tokoh Nam-kiang-pang, jarang yang tidak setuju, karena mereka maklurn bahwa pemuda yang pandai membawa diri ini memang merupakan orang kedua yang telah menguasai Thian-te To-hoat. Akan tetapi serta merta Seng Gun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya sambil menangis.

Tentu saja gurunya terkejut dan bertanya, "Seng Gun kenapa engkau menangis?"

Setelah menyusut air matanya, Seng Gun menjawab, "Suhu, teecu menangis karena haru atas budi kebaikan suhu kepada teecu, dan mengingatkan teecu kepada bibi teecu. Akan tetapi suhu, di Nam-kiang-pang ini terdapat banyak murid yang lebih tua dan lebih pandai dari teecu, kenapa suhu memilih teecu? Tugas itu terlalu berat bagi teecu yang bodoh."

"Seng Gun, jangan berkata begitu. Semua anggauta Nam-kiang-pang juga sudah tahu bahwa engkau adalah calon ketua. Karena itu aku mengajarkan Thian-te To-hoat kepada engkau dan suhengmu yang keparat itu. Tidak perlu ditunda-tunda lagi, aku akan mengundang semua wakil partai dunia persilatan untuk menjadi saksi dan untuk merayakan pengangkatanmu."

Seng Gun kelihatan terharu dan sama sekali tidak nampak bergembira, pada hal di dalam hatinya dia bersorak karena tujuannya telah tercapai dengan baik. Sesuai dengan rencana yang diatur oleh Sam Mo-ong yang dipimpin oleh kakeknya atau ayahnya, dia berhasil menyusup Nam-kiang-pang dan berhasil pula menguasai partai itu. Juga dia berhasil menghasut semua partai persilatan untuk memusuhi Bengkauw. Di samping semua hasil itu, dia berhasil pula mewarisi ilmu golok Thian-te To-hoat yang merupakan satu di antara ilmu langka di waktu itu.

Mulailah para anggauta Nam-kiang pang sibuk. Ada yang membersihkan bangunan-bangunan dan halaman untuk menyambut pesta, dan ada yang mengantar undangan ke segala penjuru. Hari sudah ditetapkan dan semua orang sudah siap menerima datangnya para tamu di pagi hari itu.

Setelah matahari naik tinggi, mulai berdatanganlah para tamu. Tidak kurang dari duaratus orang hadir dan pestapun dimulai. Pertama-tama upacara pengangkatan ketua dilakukan. Dari dalam, seperti pengantin saja, keluar ketua Nam-kiang-pang yang tua, yaitu Tio Hui Po, dengan baju kebesarannya, diiringkan tujuh tokoh tua Nam-kiang pang, dan kemudian muncul calon ketua, Tong Seng Gun dan di belakangnya berjalan sutenya, Tio Ki Bhok putera Tio Hui Po yang diaku keponakannya.

Para tamu bangkit berdiri untuk menghormati ronbongan ketua ini dan musik dimain perlahan-lahan. Mereka menghampiri meja sembahyang yang sudah dipersiapkan di tengah ruangan. Ketika rombongan lewat di depan butek Ngo Sin-liong yang juga hadir, terdengar suara cekikikan dari Bi-sin-liong Kwa-lian yang pernah menjadi kekasih Seng Gun, dibalas dengan senyum oleh pemuda itu.

Akan tetapi Tio ki Bhok yang ketololan, mengira bahwa wanita cantik itu tertawa kepadanya, maka diapun mengangguk sambil menyerigai lebar. Hal ini dilihat banyak tamu yang segera tertawa geli, dan melihat keadaan ini, wajah Seng Gun berubah merah. Akan tetapi Tio Hui Po tidak melihatnya.

Upacara sembahyang dilakukan dan Seng Gun disuruh bersumpah di depan meja sembahyang para leluhur pimpinan Nam-kiang-pang bahwa dia mulai hari itu akan memimpin Nam-kiang-pang dengan kesungguhan hati, dengan setia dan akan mengangkat nama perkumpulan itu.

Setelah upacara selesai, Tio Hui Po lalu melepas sabuk emas yang menjadi lambang ketua, mengenakan sabuk emas itu ke pinggang Seng Gun dan sabuk emas itu mempunyai sebatang golok yang gagangnya terukir indah. Setelah begitu, Tio Hui Po memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada.

"Pangcu, mulai hari ini kita semua anggauta Nam-kiang-pang menaati semua perintahmu."

Dengan tersipu Seng Gun lalu menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, harap suhu tidak berkata demikian."

"Hushh, ini merupakan upacara yang tidak boleh dilanggar," dan setelah itu, satu demi satu para tokoh Nam kiang-pang memberi hormat kepada ketua muda itu. Setelah semua orang memberi hormat, barulah tiba giliran para tamu, seorang demi. seorang maju memberi ucapan selamat.

Seorang hwesio Siauw-lim-pai maju bersama dua orang tosu, yaitu seorang tosu dari Butong-pai dan seorang lagi dari Kong-thong-pai. Hwesio Siauw lim-pai itu agaknya menjadi juru bicara kedua orang rekannya,

"Omitohud, pinceng bersama dua orang totiang ini juga ingin mengucapkan selamat kepada ketua Baru Nam-kiang-pang, Semoga dengan pangcu yang duduk memimpin Nam-kiang-pang, hubungan dan kerja sama antara kita menjadi semakin baik. dan kami yakin pangcu akan bersikap jujur terhadap kami sebagai kawan."

Seng Gun cepat membalas penghormatan itu dengan mengangkat kedua tagan depan dada. "Terima kasih, suhu, dan ji-wi totiang. Tentu saja kami akan meningkatkan kerja sama di antara kita. Dan bukankah selama ini kami bersikap jujur terhadap sam-wi?"

"Omitohud, pinceng mendengar berita buruk sekali. Bukankah dahulu yang menjadi calon ketua Nam-kiang-pang adalah Ciu Kang Hin! Di mana dia sekarang? Kenapa tidak ikut hadir?"

”Saudara-saudara, hendaknya diketahui bahwa Ciu Kang Hin yang pernah dicalonkan menjadi ketua Nam-kiang-pang itu telah bersekutu dengan Beng-kauw dan dia telah membunuh seorang tokoh Siauw-lim-pai, seorang tosu Butong-pai dan seorang tokoh Kong-thong-pai!"

Segera berita ini disambut dengan suara berisik dari para tamu karena hal itu memang merupakan berita yang mengejutkan sekali. Mereka semua sudah mengetahui siapa Ciu Kang Hin yang tadinya disohorkan sebagai pembasmi Beng-kauw nomor satu. Mendengar ucapan ini dan melihat semua orang ribut-ribut, dengan tenang Seng Gun mengangkat kedua tangan ke atas sehingga keributan itu mereda. Dengan suara lantang dia bertanya kepada hwesio itu.

"Maaf, losuhu. Berita itu memang benar dan baru saja kami hendak mengumumkannya. Akan tetapi dari siapakah losuhu mendengarnya! Kami tidak ingin ada berita yang simpang siur."

"Kami mendengar dari saksi mata yang hidup, yaitu dua orang tokoh dari Bu-tek Ngo Sin-liong!"

Ang-sin-liong Yu Kiat dan Tiat-sin-liong Lai Cin melangkah maju dengan gagah dan keduanya mengangkat tangan, "Benar, kami melihatnya sendiri, karena kami juga melawan Bengkauw bersama sama Tong-pangcu."

"Saudara-saudara sekalian, harap tenang dan dengarkan penjelasanku," kata Seng Gun dengan sikap berwibawa. "Seperti dikatakan dua orang locian-pwe dari Bu-tek Ngo Sin-liong tadi, memang benar kami bertujuh menyerang Beng-kauw di Bukit Tanduk Rusa. Kita bertujuh adalah aku sendiri, suheng Ciu Kang Hin, kedua locian-pwe dari Bu-tek Ngo Sin-liong, Ho Jin Hwesio dari Siauw-lim-pai, Kiang Cu Tojin dari Butong-pai dan Pek Kong Sengjin dari kong-thong-pai. Ketika kami sedang bertanding, dikeroyok banyak orang Bengkaw, dan kami sudah merobohkan banyak lawan, tiba-tiba suheng Ciu Kang Hin, sekarang bukan suhengku lagi, membalik membantu Beng-kauw menyerang kami cara mendadak sehingga tiga orang tokoh yang disebutkan tadi tewas! Kami bertiga nyaris celaka, akan tetapi beruntung dapat meloloskan diri, akan tetapi dua orang lo-cianpwe dari Bu-tek Ngo Sin-liong ini berhasil melukai Ciu Kang Hin sehingga kami kira dia tidak akan dapat hidup lagi."

"Omitohud! Kami juga mendengar akan hal itu, akan tetapi kami tidak puas hanya mendengar Ciu Kang Hin terluka saja. Kami menuntut kepada Nam-kiang-pang untuk menghadapkan Ciu Kang Hin kepada kami, hidup atau mati, agar arwah saudara kami yang tewas tidak menjadi penasaran!"

Terdengar teriakan di sana sini tanda setuju. Kembali Seng Gun mengangkat kedua tangannya. "Baik, baik, kami berjanji dalam waktu satu bulan kami akan menghadapkan Ciu Kang Hin, hidup atau mati kepada cuwi untuk diadili. Nah, marilah kita mulai dengan perayaan ini untuk menghormati cuwi yang terhormat."

Pesta dimulai dan para tamu rata rata merasa senang dan puas dengan sikap ketua baru yang tegas. Pesta itu bubaran setelah senja hari dan banyak tamu yang pulang dalam keadaan puas dan mabok. Hanya ada beberapa orang tamu dekat yang tinggal untuk bermalam semalam, di antara mereka tentu saja Bu-tek Ngo Sin-liong!

Seng Gun sendiri sudah setengah mabok dan dalam keadaan seperti itu dia tidak begitu ingat lagi dan berani bercanda dengan Bi-sin-liong Kwan Lian main tebak jari dengan taruhan minum sehingga kedua orang ini menjadi mabok dan tertawa cekikikan, ditonton oleh Bu-tek Ngo Sin-liong yang lain.

Melihat ulah muridnya yang kini menjadi ketua baru itu, Nam-kiang-pangcu yang lama, Tio Hui Po, mengerutkan alisnya dan pergi ke dalam kamarnya. Dia merasa kecewa sekali dan di dalam kamarnya dia termenung dan mulai meragukan kebijaksanaannya. Murid utamanya telah hilang, bahkan menjadi pengkhianat, puteranya sendiri tidak becus dan yang diangkatnya sebagai ketua sekarang sesungguhnya seorang yang baru dia kenal empat lima tahun yang lalu.

Timbul perasaan sedih dan khawatir di hatinya. Terbayang sikap Ciu Kang Hin yang lembut dan taat, yang sopan dan pandang matanya yang jujur, kemudian terbayanglah dia betapa Seng Gun secara tidak tahu malu bercanda dengan si cantik Bi-sin-liong Kwa Lian di depan banyak orang.

Sementara itu, para tamu telah memasuki kamar mereka masing-masing yang dipersiapkan untuk mereka. Jumlah para tamu yang menginap hanya ada belasan orang. Seng Gun dengan sempoyongan juga memasuki kamarnya, akan tetapi tidak sendirian, melainkan berama Kwa Lian. Dia tidak menyadari bahwa Tio Ki Bhok dengan bersungut-sungut mengikutinya dan pemuda ini mengintai dari jendela kamarnya ketika mendengar suara cekikikan dari dalam kamar itu. Ternyata pemuda tolol itu jatuh cinta kepada Kwa Lian!

Ketika Tio Ki Bhok mengintai ke dalam dan melihat betapa Seng Gun bermesraan dengan Kwa Lian, dia terbelalak dan mukanya menjadi merah. Tanpa pikir panjang lagi ditolaknya daun jendela dan dia melompat masuk. Tentu saja Seng Gun dan Kwa Lian terkejut sekali dan Seng Gun segera melompat turun dari pembaringan dan membentak,

"Sute, mau apa engkau memasuki kamarku seperti ini?"'

"Suheng, nona ini adalah kekasih ku, aku cinta padanya, aku akan minta ayah melamarnya."

"Sute, pergi dan jangan ganggu aku!"

"Ahh, suheng, engkau sudah banyak mempunyai kekasih. Kalau engkau tidak memberikan kepadaku, akan kulaporkan kepada ayah!"

"Bocah tolol! Mau lapor apa kau!"

"Akan kulaporkan bahwa dulu kau pernah menangkap enci ini, dijadikan tawanan akan tetapi kau bebaskan diwaktu malam hari. Malah topengnya kau lempar di luar kamar Ciu Suheng. Hayo.... aku melihat sendiri, kalian tidak dapat menyangkal. Nona ini melepaskan topeng dan melepaskan penyamarannya, aku mengenalnya benar!"

Seng Gun dan Kwa Lian terbelalak, dan muka Seng Gun berubah pucat. Akan tetapi Kwa Lian yang mempunyai banyak pengalaman, tidak membuang waktu. la melihat adanya bahaya terbukanya rahasia mereka, maka secepat kilat, wanita cantik jelita ini sudah menggerakkan kepalanya. Rambutnya tadi memang terlepas dan terurai panjang ketika ia bermesraan dengan Seng Gun. Kini, rambut panjang itu meluncur ke arah tubuh Tio Ki Bhok. Kasihan sekali pemuda tolol ini.

Dia memang memiliki ilmu silat yang dapat dikatakan amat tangguh bagi orang awam, akan tetapi menghadapi seorang datuk sesat seperti Bi-sin-liong (Naga Sakti Cantik) Kwa Lian, dia bukan apa-apa. Dia bingung melihat lembaran rambut halus itu menyambar dan bagaikan ular saja, rambut harum itu telah membelit lehernya! Dia berusaha untuk melepaskan, akan tetapi tidak mungkin lagi. Rambut itu seperti menembus kulitnya dan membuat dia tidak dapat bernapas. Akhirnya dia berkelojotan dan pingsan.

"Jangan bunuh dia!" kata Seng Gun.

Kwa Lian melepaskan rambutnya, dan menyanggulnya. Manisnya bukan main gerakan Kwa Lian ketika menyanggul rambutnya. Entah mengapa, gerakan wanita yang menyanggul rambutnya selalu menda tangkan gairah tersendiri dalam hati pria! Kwa Lian memandang kekasihnya. "Kenapa, Seng Gun? Orang ini berbahaya sekali, kalau dia bicara dan orang lain mendengarkan omongannya, bisa celaka semua rencana kita."

"Justeru itu tidak boleh dibunuh. Akan tetapi kalau dia dibuat tidak mampu bicara dan tidak mampu mendengar, tidak mampu melihat, tidak akan ada yang percaya kepadanya."

"Maksudmu?" Kwa Lian memandang, lalu maklum dan iapun menubruk dan merangkul, lalu mencium pemuda itu dengan girang. "Ah, engkau memang cerdik bukan main!"

Seng Gun hanya tertawa ha-ha-he-he, lalu menghampiri Tio Ki Bhok. Pemuda tolol ini agaknya dapat menduga bahaya apa yang mengancam dirinya karena ketika itu dia sudah siuman kembali. Dia menjadi pucat, terbelalak dan menggeleng-geleng kepala. Akan tetapi sekali tangan Seng Gun bergerak, jari-jari tangannya sudah menusuk ke arah tenggorokan. Hanya terdengar bunyi "krok" dan tulang tenggorokan menjadi remuk, membuat pemuda itu tidak dapat mengeluarkan suara lagi.

Dia membuka mulut lebar-lebar untuk menjerit, akan tetapi tidak mengeluarkan suara. Seng Gun mengelebatkan golok sambil menangkap lidah Tio Ki Bhok dan lidah itupun putus! Dua kali lagi tangannya bergerak, sekali ke arah mata dan sekali lagi ke arah bawah telinga dan pemuda itu sudah menjadi seorang tapadaksa yang paling tidak berguna didunia. Dia tidak mampu lagi bicara, tidak dapat mendengarkan dan tidak dapat melihat. Darah membasahi mulut, mata yang berlubang, dan telinga, dan diapun pingsan.

Pada saat itu, hati Tio Hui Po merasa tidak enak. Tadi dia teringat akan puteranya. Satu-satunya orang di dunia ini yang dekat dengannya, biarpun bodoh. Dia lalu keluar dari kamarnya dan memanggil-manggil. Ketika tiba di dekat kamar Seng Gun, pintu kamar itu terbuka dan Seng Gun muncul. Cepat dia memberi hormat kepada gurunya.

"Suhu, suhu mencari siapakah?"

"Pangcu, kau melihat Tio Ki Bhok?"

"Sute? Ada teecu melihatnya, suhu. Mari teecu antar, kalau tidak salah dia berada di bangunan bawah tanah."

"Kenapa berada di sana?!"

"Entahlah, suhu. Akhir-akhir ini dia sering termenung di ruang tahanan kosong di bawah tanah itu."

"Aneh...." kata Tio Hui Po akan tetapi dia mengikuti Seng Gun menuju ke bangunan bawah tanah. Bangunan ini berada di belakang, dan biasanya dipergunakan untuk mengeram tawanan yang berbahaya, Akan tetapi sudah lama tidak ada tawanan yang dikeram di tempat itu.

Mereka menuruni lorong yang menurun ke bawah tanah. Tempat itu menyeramkan, diterangi dengan obor-obor" yang dipasang di dinding, dan dinding batu itu lembab dan dingin. Setelah tiba di ruangan paling dalam, Seng Gun berjalan di belakang membiarkan gurunya berjalan di depan.

Tio Hui Po melihat puteranya berada di ruangan tahanan, bersandar pada dinding dan keadaannya amat menyedihkan. Mukanya penuh darah yang keluar dari hidung mulut mata dan telinga! Dan puteranya itu agaknya pingsan.

"Ki Bhok!" Tio Hui Po masuk ke ruangan itu dan menghampiri puteranya.

"Klikk!" Daun pintu besi ruangan yang luas itu tertutup. Tio Hui Po menengok dan melihat Seng Gun sudah berdiri di dalam bersama seorang wanita yang dikenalnya sebagai Bi-sin-li-ong Kwa Lian, orang termuda dari Bu-tek Ngo Sin-liong, Mereka berdiri sam-bil tersenyum mengejek.

"Seng Gun, apa artinya ini! Kenapa Ki Bhok menjadi luka begini?"'

"Tanyakan saja kepadanya sendiri!" kata Seng Gun dengan suara mengejek.

Tio Hui Po mengguncang pundak puteranya. "Ki Bhok, kau kenapa? Siapa yang melukaimu?"

Pemuda itu menggerakkan tubuhnya, matanya sudah buta, mulutnya tak dapat bicara dan telinganya tuli. Dia hanya bisa menggerakkan telunjuknya, menuding ke arah Seng Gun. Tio Hui Po memeriksa keadaan puteranya dan ia mengeluarkan jerit ngeri ketika melihat keadaan puteranya yang sebenarnya. Puteranya lebih baik mati dari pada hidup! Dia meloncat ganas dan memandang kepada Seng Gun dengan mata memancarkan api kemarahan.

"Seng Gun, apa yang terjadi dengan keponakanku?"

"Ha-ha-ha, keponakan? Tio Hui Po Ki Bhok itu bukan keponakanmu, melainkan anak gelapmu dengan Ang-lian-pangcu yang bernama Siang-cu Sian-li...."

"Tapi ia bibimu?"

"Bibi kakiku! la mati karena kami yang membunuhnya dan kami sudah mengetahui rahasia busukmu dengannya."

Tio Hui Po terbelalak, marahnya sudah sampai ke ubun-ubun, akan tetap diapun penasaran dan ingin tahu. "Tapi tapi.... kau menyusup ke Nam-kiang-pang, malah engkau menerima warisan Thian-te To-hoat dan engkaulah, kalau begitu, Ciu Kang Hin juga hanya menjadi korban fitnahmu!"

"Ha-ha-ha, engkau pintar, akan tetapi terlambat, Tio Hui Po. Sekarang aku yang menjadi ketua Nam-kiang-pang, dan kau boleh tinggal di sini selamanya dengan anakmu , ha-ha!"

"Tapi... tapi... kenapa? Siapakah sebenarnya engkau?"

"Ha-ha, sekarang tidak ada persoalan kalau engkau mengenalku, Tio Hui Po. Aku adalah putera An Lu Shan, namaku An Seng Gun. Aku cucu Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui. Aku ingin mendirikan kembali kejayaan ayahku yang sudah runtuh. Dan karena aku membutuhkan nama Nam-kiang-pang maka aku ingin menguasainya Ang-lian-pang kami basmi karena tidak mau tunduk kepada kami. Hoat-kauw adalah sekutu kami. Juga kami akan mempergunakan Nam-kiang-pang untuk membasmi Beng-kauw dan mengadu-domba semua perkumpulan yang tidak mau bekerja sama dengan kami!"

"Jahanam keparat....! Kau iblis!" Tio Hui Po mencabut goloknya dan menyerang bekas murid itu dengan jurus dari Thian-te To-hoat.

Akan tetapi Seng Gun yang baru saja menamatkan ilmu golok itu, tentu saja mampu menangkis, apa lagi di tangannya terdapat golok pusaka yang turun temurun dimiliki para ketua Nam-kiang-pang. Biarpun demikian, andaikata Seng Gun tidak sudah mempelajari ilmu dari kakeknya, dan di situ tidak terdapat Kwa Lian, belum tentu dia akan berani menandingi gurunya yang sudah banyak pengalaman dan terkenal sebagai seorang gagah di dunia kangouw.

Tio Hui Po mengamuk dengan golok nya, kini dikeroyok dua oleh Seng Gun dan Bi-sin-liong Kwa Lian. Baru tingkat kepandaian Kwa Lian saja sudah sebanding dengan tingkatnya, apa lagi di situ ada Seng Gun yang mengenal semua jurus gerakan goloknya, maka setelah mengamuk selama tigapuluh jurus, akhirnya Tio Hui Po terkena sabetan pedang beronce merah dari Bi-sin-liong Kwa Lian.

Sabetan pedang itu tepat mengenal pergelangan tangan kanannya, membuat lengan itu buntung dan goloknya terlepas! Serangan susulan dari suling dan golok di tangan Seng Gun membuat bekas ketua Nam-kiang-pang ini terjungkal dengan luka di pundak oleh bacokan golok dan tusukan suling perak pada lambungnya. Dia tidak mampu bangkit lagi.

Seng Gun tertawa. "Ha-ha-ha, tinggallah kau di sini menemani putera mu, Tio Hui Po. Jangan khawatir, setiap hari akan kusuruh orang mengantar makanan untukmu!" Setelah berkata demikian dia menggandeng Kwa Lian keluar dari ruangan itu dan menguncikan pintunya dari luar.

Dapat dibayangkan hebatnya penderitaan Tio Hui Po, derita yang d ialami itu amat berat, bukan hanya derita lahir melainkan derita batin. Nyeri badan dapat ditanggung oleh laki-laki yang gagah perkasa ini, akan tetapi nyeri di hatinya membuat dia hampir putus asa. Akan tetapi dia mempunyai semangat besar. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mengobati luka-lukanya, kemudian melihat keadaan puteranya, dia tahu bahwa jalan satu-satunya bagi puteranya hanyalah kematian.

Dia menyambar goloknya dengan tangan kiri dan memejamkan mata ketika goloknya menyambar ke depan dan menembus jantung puteranya. Setelah puteranya roboh tak bernyawa lagi, barulah dia berlutut dan menangis sambil menciumi muka yang masih berlumuran darah itu. Dia duduk bersila. Terbayang olehnya semua sikapnya yang keliru selama ini terhadap Ciu Kang Hin. Ah, betapa buta dia! Percaya sepenuhnya kepada Seng Gun dan sebaliknya malah mencurigai Kang Hin! Dia merasa menyesal bukan main.

Penyesalan yang selalu kasep datangnya. Penyesalan menyusul setiap kali perbuatan mendatangkan akibat yang buruk. Kalau tidak berakibat buruk, betapapun jeleknya perbuatan itu tidak akan mendatangkan penyesalan. Asal tidak ada gunanya, karena sesal hanya menunjukkan kekecewaan dari tidak tercapainya keinginan. Penyesalan tidak mendidik dan tidak menyadarkan.

Apakah artinya kesadaran setelah perbuatan dilakukan? Perbuatan itu akan terulang kembali dan penyesalannyapun akan terulang kembali. Akan tetapi bagi orang yang waspada akan tindakannya sendiri setiap saat, bagi orang yang selalu bersandar kepada kekuasaan Tuhan, kesadaran akan datang sebelum dia berbuat, sehingga tidak menimbulkan penyesalan yang sudah terlambat.


Dan semenjak hari itu, Seng Gun sepenuhnya berkuasa atas Nam-kiang-pang. Dia bahkan membasmi orang-orang yang tidak mau tunduk dan yang masih terus menanyakan tentang Tio Hui-po sehingga akhirnya Nam-kiang-pang tinggal orang-orang yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan Seng Gun. Dan tentu saja hubungan dengan Hoat-kauw menjadi semakin erat, bahkan Hoat-kauw yang tadinya berpusat di Bukit Ayam dekat dusun Li-bun, yang sudah diobrak-abrik pasukan, kini dipindahkan ke Nam-kiang-pang!

* * * *

Ciu Kang Hin merasa bagaikan dalam mimpi. Kepalanya berdenyut-denyut nyeri dan panas dan tadi ketika dia roboh, tiba-tiba saja tubuhnya terangkat tanpa dia berdaya untuk melawan, dan tubuh itu diterbangkan orang tanpa dia dapat melihat jelas bagaimana caranya dan siapa orang itu. Dia sudah pingsan dalam pondongan dan tidak tahu bahwa dia di bawa pergi jauh sekali dari tempat itu dan baru orang yang memondongnya berhenti ketika mereka tiba di atas sebuah bukit bambu yang sunyi. Pemondongnya menurunkan tubuhnya di. atas petak rumput yang bersih tebal dan memeriksa dirinya.

Ketika mendapat kenyataan bahwa ada dua bintik kecil berwarna hitam di dahi pemuda itu, si penolong lalu membungkuk, menggunakan mulutnya untuk mengecup bintik di dahi, menggunakan kekuatan saktinya untuk menyedot. Setelah beberapa lamanya, berhasil juga dia menyedot keluar dua batang jarum hitam halus. Dia masih terus menyedot sampai darah yang keluar dari dahi itu berwarna merah. Lalu dia menggunakan dua telapak tangannya, ditempelkan di dada Kang Hin dan menggunakan sin-kang disalurkan ke dalam dada untuk membantu pemuda itu membersihkan diri nya dari hawa beracun.

Matahari telah mulai tenggelam ketika akhirnya Kang Hin tersadar. Dia mendapatkan dirinya tergantung di pohon bambu besar, tergantung pada kedua kakinya dengan kepala di bawah! Kang Hin terkejut, masih nanar sehingga belum ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. Kepalanya masih pening. Perlahan-lahan dia membuka kedua matanya. Tak salah lagi. Dia digantung orang di pohon itu dengan kedua kaki di atas dan kedua tangannya diikat!

Ketika dia melihat ke bawah, dia melihat seorang pemuda duduk dekat api unggun dan sedang makan paha ayam hutan bakar! Lezatnya baunya ayam panggang itu. Biarpun tubuhnya terasa sakit-sakit, mengilar juga Kang Hin mencium bau kesedapan itu. Kang Hin seorang pemuda yang cerdik. Biarpun dia masih pening, dia mampu mempergunakan otaknya mempertimbangkan keadaan dan mengambil kesimpulan.

Pemuda itu tidak dikenalnya, bukan seorang di antara para pengeroyoknya tadi, pakaian sederhana dan bersih. Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya jantan, rahang dan dagunya keras akan tetapi matanya lembut dan kocak, mulutnya selalu terhias senyum. Bukan wajah seorang jahat. Dan dia tadi mestinya mati, karena sudah terluka oleh senjata rahasia, dan kenyataan bahwa dia berada di sini, biarpun tergantung tapi belum mati membuktikan bahwa dia tentu sudah ditolong orang.

Siapa lagi orangnya kalau bukan pemuda itu? Kalau pemuda itu orang jahat yang memusuhinya, perlu apa bersusah payah lagi? Membunuh dia akan mudah sekali. Tidak, dia bukan orang jahat dan tidak bermaksud membunuhnya. Kang Hin yakin akan hal ini.

"Sobat, ayammu gurih sekali baunya. Boleh aku minta sedikit?"

Pemuda itu nampak terkejut. "Hen ? Hah? Apa... apa kau kata?" Dia menoleh ke kanan kiri seperti orang bingung.

Kini pemuda itu menengadah, lalu bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya tegap sekali, dadanya bidang dan matanya mencorong. Pemuda itu adalah Sia Han Lin. Dia sedang menuju ke Bukit Harimau untuk menyelidiki Hoat-kauw yang mengadakan pertemuan dan pesta ketika dia lewat di tempat itu dan secara kebetulan sekali melihat Kang Hin terancam maut di tangan tiga orang yang lihai bukan main.

Biarpun dia belum mengenal Kang Hin, namun tidak mungkin dia dapat membiarkan saja orang dikeroyok dan dibunuh apa lagi orang yang memiliki kepandaian hebat seperti pemuda itu. Dia menggunakan ilmu sihirnya mendatangkan angin, lalu menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menyambar dan melarikan tubuh Kang Hin yang setengah pingsan.

Han Lin memang terkejut bukan main. Tak disangkanya pemuda yang ditolongnya itu akan menegur minta ayam panggang! Betapa lucunya. Dan diapun tertawa. Tadi, setelah menyedot keluar dua batang jarum beracun, dia melihat betapa kuatnya racun itu dan kalau dibiarkan akan dapat mengganggu kewarasan otak pemuda itu.

Maka, dia lalu menggantung Kang Hin dengan kepala di bawah untuk memberi kesempatan kepada darah di tubuh Kang Hin mengalir sebanyaknya ke kepala dan darah itu akan dengan sendirinya melawan pengaruh racun yang dapat merusak jaringan otak. Siapa kira, pemuda itu siuman dan minta bagian daging ayam karena lapar! Sesungguhnya seorang pemuda yang menyenangkan, pikir Han Lin, dan jelas bukan orang jahat.

"Sobat, sayang sekali. Engkau terpaksa berpuasa semalam ini. Tahukah kau, kalau aku memberimu paha ayam ini sama saja aku membunuhmu? Engkau keracunan hebat, dan bergantung terbalik itulah satu-satunya jalan untuk menyembuhkanmu. Engkau tidak boleh banyak bergerak, apalagi makan. Besok pagi setelah matahari terbit baru engkau boleh turun dan engkau akan sama sekali sembuh. Aku akan membuatkan sarapan yang lezat untukmu. Nah, sekarang kau boleh tidur!"

Kang Hin tertegun. Ah, jadi ini kah cara pengobatan itu. "Kawan, siapa namamu?"

"Heii, untuk banyak bicarapun kau dilarang. Tentang nama, besok pagi kita berkenalan juga belum terlambat, bukan? Nah, istirahatlah, bungkus pikiranmu dalam keheningan malam."

Kang Hin dapat merasakan kesungguhan di balik kata-kata yang seperti kelakar itu, dan diapun mematuhinya. Dia segera menenteramkan hatinya, membenamkan diri dalam keheningan.

Keruyuk ayam jago membangunkan Kang Hin dari tidurnya. Kepalanya berdenyut-denyut akan tetapi tidak nyeri lagi dan begitu dia sadar hidungnya mencium bau yang amat sedap sehingga dia membuka matanya. Matahari telah mulai nampak cahayanya dan dia melihat pemuda tadi sedang memanggang seekor rusa kecil yang ditusuk dari mulut ke ekornya. Panggang rusa itulah agaknya yang mengeluarkan bau sedap tadi, yang membangunkannya bersama keruyuk ayam jantan.

Han Lin mendongak dan memandang, lalu tertawa. "Ha-ha, kiranya engkau sudah bangun. Alangkah tajam ciuman hidungmu!"

"Dan kau! Alangkah kejamnya hatimu. Orang yang sejahat-jahatnya engkau!" terdengar bentak nyaring dan lembut. Dan bagaikan seekor garuda menyambar, seorang wanita telah menerjang dan menempiling kepala Han Lin.

"Wan....!' Han Lin menjatuhkan diri dan bergulingan di atas rumput, menghindarkan diri dari serangan itu. "Jangan galak-galak, nona."

Akan tetapi gadis itu yang ternyata seorang gadis cantik jelita, berusia tidak lebih dari sembilanbelas tahun, menjadi penasaran ketika tamparannya tadi luput. la membalik dan kini menyerang lagi dengan tendangan kaki. Han Lin dapat merasakan betapa tendangan itu mengandung tenaga sinkang yang amat dahsyat. Maka, diapun mengerahkan tenaga dalamnya dan menangkis.

"Dukk....!" Akibatnya, keduanya terdorong kebelakang dan merasa tubuh mereka tergetar hebat. Keduanya tertegun dan baru maklum bahwa lawan adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

Maka, gadis itu yang bukan lain adalah Yang Mei Li, menjadi penasaran dan mencabut sepasang pedang terbangnya. "Eh, nanti dulu, aku tidak ingin berkelahi!" kata Han Lin sambil duduk kembali ke depan panggang rusanya.

Akan tetapi hal ini dianggap sebagai sikap memandang rendah oleh Mei Li, maka ia mengelebatkan pedangnya. "Hayo bangkit dan lawanlah, atau aku akan menggunduli kepalamu!"

Mendengar ini, Han Lin terbelalak. Suasananya saat itu setelah gadis tadi mengeluarkan ancaman, terasa begitu lucu oleh Han Lin sehingga dia tertawa. Mana ada lawan mengancam musuh dengan penggundulan rambut? "Ha-ha, engkau hendak menggunduli rambutku? Berapa biayanya? Apakah engkau tukang cukur?"

Sejenak Mei Li terbelalak, lalu mukanya menjadi merah. la menganggap pemuda itu mempermainkannya, maka ia menggerakkan pedangnya yang kiri. Pedang menyambar, Han Lin mengelak, pedang mengejar dan benar-benar mengancam kepalanya. Terpaksa dia berloncatan.

"Eh! Oh! Nanti dulu, rusa panggangku ah, wah celaka, bisa hangus..."

Akan tetapi kini Mei Li sudah marah dan terus mendesak. Karena Mei Li bukan ahli silat biasa, betapapun lihainya tentu saja Han Lin tidak bisa hanya main mengelak saja. Terpaksa dia menyambar tongkat yang tadinya dia letakkan di atas tanah. Akan tetapi dia tidak ingin memamerkan iImu tongkat Lui-tai-hong-tung yang dia pelajari dari Lojin. IImu tongkat itu terlalu dahsyat. Maka dia lalu menggerakkan tongkatnya memainkan ilmu Hong-in Sing-pang untuk menangkis sepasang pedang yang mengaung-ngaung dan menyambar-nyambar seperti dua ekor burung garuda itu.

Namun, semua gerakan tongkatnya itu seperti terkepung dan terdesak oleh sepasang pedang, maka diapun mengubah lagi permainan tongkatnya. Biarpun tahu bahwa lawan amat hebat, dia masih belum mau mengeluarkan Lui-tai-hong-tung, melainkan kini memainkan tongkatnya seperti memainkan pedang saja, dengan ilmu pedang Sian-li Kiam-sut.

Setelah dia main beberapa jurus, Mei Li meloncat ke belakang dan berseru, "Tahan...!"

Mei Li memandang heran, akan tetapi Han Lin tidak perduli. Dia segera membuang tongkatnya dan lari menghampiri panggang rusa, memutarnya agar tidak hangus dan tersenyum puas.

"Dari mana engkau mempelajari Sian-li Kiam sut?" bentak Mei Li sambil memandang tajam.

Han Lin tersenyum dan menjawab, "Nona, apakah nona ini seorang puteri kaisar, atau puteri raja di hutan ini?"

"Eh! Kenapa?"

"Nona bersikap seperti puteri yang memerintah, menuntut dan memeriksa pesakitan. Nona puteri dari mana?" tanya Han Lin sambil tetap melanjutkan pekerjaannya memutar-mutar daging rusa sehingga dapat terpanggang rata.

Karena perhatian Han Lin sepenuhnya tertuju kepada panggang rusa, mau tidak mau Mei Li juga memandang kepada panggung rusa itu dan ia menalan ludah. Sungguh pemandangan yang menimbulkan selera! Daging itu meneteskan minyak lemak, dan baunya membuat perutnya mendadak terasa lapar sekali. la merasa betapa sayangnya kalau panggang rusa itu sampai hangus, maka ia menahan diri dan membiarkan pemuda itu menyelesaikan pekerjaannya.

"Ditanya belum menjawab balas bertanya. Engkau selain kejam juga cerewet, dan pengecut!"

Han Lin membelalakkan matanya dan tersenyum kepada panggang rusa di depannya. "Eh, rusa yang baik, apakah memang wanita cantik itu selalu galak? Nona, kau datang-datang memaki aku sebagai orang yang sekejam-kejamnya, apa sih kesalahanku kepadamu sehingga nona menganggap aku kejam? Apakah karena aku menyembelih dan memanggang rusa ini?"

"Kau masih pura-pura bertanya?" Mei Li menoleh dan memandang kepada Kang Hin yang masih tergantung di pohon dengan kepala di bawah. "Kau menyiksa orang seperti itu dan masih bertanya mengapa kau kumaki kejam?"

Han Lin menoleh dan merasa geli. Kiranya itu yang menyebabkan gadis ini marah-marah dan menyerangnya kalang kabut. Hal ini mendatangkan kesan baik di hatinya. Seorang gadis yang memiliki watak gagah dan suka membela orang yang tertindas, pikirnya. Karena mendapatkan kesan baik, maka timbul ke inginan hatinya untuk menguji kepandaian gadis itu.

Kebetulan panggang rusanya juga sudah matang, tinggal makan dan tunggu agak mendingin saja. Dia menaruh panggang rusa itu di atas tonggak kayu, kemudian dia menghadapi Mei Li, memandang penuh perhatian dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu memang cantik jelita luar biasa, dan bertanya dengan nada suara menantang.

"Wahai paduka puteri yang mulia, apakah gerangan dosa hamba maka paduka semarah ini? Datang-datang menyerang hamba, hendak menggunduli kepala hamba. Kalau hamba menggantung orang ini, apa sangkut pautnya dengan paduka?"

"Kurang ajar! Engkau jahat, engkau perlu dihajar!" Dan sekali ini Mei Li marah bukan main dan mencabut sepasang pedang terbangnya. Nampak kilat menyambar ketika dara ini mencabut senjatanya.

"Hemm, hendak kulihat, aku atau engkau yang perlu dihajar," kata Han Lin, sengaja untuk membuat gadis itu semakin marah. Dan memang usahanya berhasil.

Mei Li menjadi merah mukanya dan berseru melengking nyaring, sambil menggerakkan pedang kirinya. "Sambut pedangku!"

Han Lin tidak berani main-main. Diapun menyambar tongkat wasiatnya yang dia peroleh dari gurunya, menangkis dan balas menyerang. Namun, karena dia tidak bermaksud buruk, dia masih belum mau memainkan Liu-tai-hong-tung melainkan memainkan Sian-li Kiam-sut yang pernah dia pelajari ketika dia masih kecil, dari mendiang ibunya.

Biarpun Mei Li menjadi semakin heran dan penasaran bagaimana pemuda ini dapat memainkan Sian-li Kiam-sut, ilmu pedang dari ayahnya, namun ia tidak mau bertanya lagi. Ia harus mengalahkan dulu pemuda jahat ini dan nanti belum terlambat untuk memaksanya mengaku dari mana dia mempelajari ilmu pedang itu.

Akan tetapi, ternyata pemuda itu lihai sekali dan ia bahkan menduga bahwa ayahnya sendiri tidak akan mampu memainkan Sian-li Kiam-sut dengan sebatang tongkat sebaik pemuda itu! Maka, iapun mendesak dan mengerahkan tenaganya untuk meraih kemenangan.

Sementara itu, sejak tadi Kang Hin hanya menjadi penonton. Girang sekali hatinya melihat gadis perkasa itu membelanya mati-matian, akan tetapi diapun khawatir melihat mereka berkelahi amat seru, makin lama semakin hebat. Seorang di antara mereka dapat saja terluka parah dalam perkelahian seperti itu.

"Nona, hentikan seranganmu. Dia bukan orang yang jahat, dia malah menolongku!" teriaknya.

Setelah dua tiga kali berteriak, barulah Mei Li menghentikan serangannya dan meloncat ke belakang. Tadi ia sudah mulai mempergunakan ilmu pedang terbangnya sehingga sepasang pedangnya itu bagaikan sepasang garuda menyambar-nyambar membuat Han Lin terkejut dan kagum sekali. Kini, melihat gadis itu melompat mundur, dia pun memuji.

Maaf ada halaman hilang...

"Kiranya engkau anak bibi Can Kim Hong dan paman Yang Cin Han? Kata orang wajah ibuku sama benar dengan wajah ayahmu!"

Mei Li terbelalak, mukanya juga berubah pucat, lalu merah dan seperti didorong oleh sesuatu, entah siapa yang lebih dahulu bergerak, kedua orang muda itu lalu saling tubruk dan saling rangkul. Dan Mei Li menangis saking terharu dan girang. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ia akan bertemu dengan kakak misannya!

"Sia Han Lin! Engkau tentu kakak Sia Han Lin! Ah, Lin-koko betapa kami semua memikirkan dan mengkhawatirkan dirimu!"

Han Lin dapat menguasai perasaan hatinya dan dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya ke depan untuk dilihat lebih jelas. Kedua matanya sendiri menjadi basah, akan tetapi mulutnya tersenyum.

"Terima kasih, adikku Mei Li, terima kasih. Tak kusangka bahwa paman sekeluarga mengkhawatirkan dan memikirkan diriku, dan dipikirkan seorang gadis sehebat engkau sungguh amat menyenangkan hati. Akan tetapi, kebetulan sekali, mari kita bertiga makan bersama. Rusa ini sudah masak benar, masih muda, tentu dagingnya lunak dan gurih."

"Koko, engkau hebat. Perutku memang lapar sekali."

"Ha-ha, jadi agaknya engkau membuat ulah dan ribut-ribut tadi untuk merampas daging rusaku, ya?" Han Lin mengamangkan telunjuknya sambil tertawa....

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.