Kisah Si Pedang Terbang
SENG GUN bangkit berdiri. "Nanti dulu!" katanya lantang. "Yang dimaksud sute dari Ciu Kang Hin adalah aku, dan aku yang membela Nam-kiang-pang mati-matian sehingga diangkat menjadi ketua. Ciu Kang Hin memang pengkhianat dan dia membela Beng-kauw, mungkin karena jatuh cinta kepada puteri ketua Beng-kauw ini!"
"Tong Seng Gun binatang berkaki dua!" Kwan Eng memaki. "Tidak usah banyak cakap, di sini aku menantangmu untuk bertanding, membuktikan siapa di antara kita yang benar!"Sebelum Seng Gun menjawab, Ang-sin-liong Yu Kiat yang sudah mendengar bahwa puteri ketua Beng-kauw itu telah berhasil menguasai ilmu pukulan Salju Putih, segera berkata, "Tidak perlu banyak berbantahan. Sekarang kita dengar saja pendapat para orang gagah yang hadir di sini. Apakah ada di antara para lo-cian-pwe dan para saudara yang gagah mendukung pendapat puteri ketua Beng-kauw itu? Ataukah semua menyangkal kebenarannya dan bahwa Hoat-kauw sama sekali tidak melempar fitnah?"
Tiba-tiba Ji Kiang Bwe bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas sambil berseru, "Kami mempunyai penilaian sendiri tentang Hoat-kauw! Kami dari Kim-kok-pang menuntut kepada Hoat-kauw yang telah membunuh ayah kami, ketua Kim-kok-pang! Biarpun pertandingan itu satu lawan satu, akan tetapi terjadi karena Hoat-kauw hendak memaksa Kim-kok-pang menjadi sekutunya dan ditolak oleh Kim-kok-pang. Aku sebagai puterinya menghendaki agar pembunuh ayah itu maju ke depan untuk menandingi aku!"
Mendengar ini, Ang-sin-liong Yu Kiat sebagai orang yang telah membunuh Yu-pangcu dari Kim-kok-pang, menjawab lantang, "Yu-pangcu dari Kim-kok-pang berselisih paham dengan kami dan tewas dalam pertandingan satu lawan satu. Kalau nona hendak membalas dendam, itu wajar dan nanti tentu nona akan dihadapkan dengan orang yang telah menewaskan ayahmu dalam pertandingan. Harap nona menunggu sampai urusan dengan Beng-kauw selesai."
Sebetulnya, Ang-sin-liong Yu Kiat mendatangi ketua Kim-kok-pang untuk membujuk agar Kim-kok-pang mau bersekutu dengan Hoat-kauw, apa lagi mengingat bahwa ketua Kim-kok-pang itu masih satu marga dengan dia. Akan tetapi Yu-pangcu berkeras menolak sehingga terjadi percekcokan yang dilanjutkan dengan pertandingan, sehingga mengakibatkan tewasnya ketua Kim-kok-pang itu.
Kiang Bwe duduk kembali akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membantu orang Beng-kauw karena ia yakin bahwa orang-orang Hoat-kauw bukanlah orang-orang yang baik dan boleh di percaya. Sebaliknya iapun tahu bahwa biarpun Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan aneh dan sesat, akan tetapi tidak pernah menanam permusuhan dengan perkumpulan lain.
"Kami ulangi, apakah di antara para tamu ada yang mendukung Beng-kauw?" Ang sin-liong Yu Kiat mengulang pertanyaannya dengan lantang dengan keyakinan bahwa tentu tidak akan ada orang yang mau membela atau mendukung Beng-kauw, perkumpulan sesat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring seorang wanita yang bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas, "Kami berdua mendukung kebenaran Beng-kauw karena kami yakin benar bahwa Beng-kauw telah difitnah!"
Semua orang terkejut dan memandang pern bicara itu yang bukan lain adalah Mei Li, dan Han Lin terpaksa ikut bangkit di samping adik misannya yang sudah menyatakan sikapnya itu. Sebetulnya dia tidak ingin bicara dulu, akan tetapi karena Mei Li yang sudah tidak sabar lagi itu sudah mendahului, terpaksa diapun bangkit berdiri untuk mendukung pernyataan gadis itu.
Seng Gun yang mengenal Mei Li segera berbisik kepada Hoat Lan Sian-su yang mengangguk-angguk. Dia memperkenalkan gadis itu sebagai Hui-kiam Sianli (Dewi Pedang Terbang) yang lihai sekali ilmu pedangnya. Dan diapun memandang kepada Han Lin dengan alis berkerut. Rasanya pernah dia bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi dia lupa lagi entah di mana.
Tiba-tiba Kwi-jiauw Lo-mo ayahnya atau sesungguhnya kakeknya, orang pertama dari Sam Mo-ong, berkata, "Ah, bukankah itu pemuda yang dari Li-bun, murid mendiang Kong Hwi Hosiang?"
Barulah Seng Gun teringat dan dia terheran-heran. Bocah itu sudah terjungkal kedalam jurang! Kiranya belum tewas dan kini muncul dan berani membela Beng-kauw.
"Apa buktinya bahwa Beng-kauw hanya difitnah?" Ang-sin-liong menantang karena dia yakin gadis itu tidak tahu rahasia di balik semua peristiwa itu.
"Aku tahu bahwa yang melakukan fitnah adalah Hoat-kauw sendiri, yang menyelundupkan orangnya, yaitu Tong Seng Gun sehingga pengkhianat itu berhasil menguasai Nam-kiang-pang. Dan melalui Nam-kiang-pang, mereka melakukan fitnah kepada Beng-kauw. Semua pembunuhan itu sebetulnya dilakukan oleh mereka yang menyelundup ke dalam Nam-kiang-pang!"
Semua orang terbelalak tidak percaya dan Yu Kiat tertawa bergelak. "Ha ha-ha, saudara sekalian dengarlah baik baik. Ini jelas akal busuk Beng-kauw memutar balikkan fakta . Jelas yang memimpin Nam-kiang-pang adalah Tio Hui Po dan muridnya, Ciu Kang Hin, yang memusuhi Beng-kauw karena Beng-kauw melakukan banyak kejahatan dan pembunuhan. Bahkan kemudian Beng-kauw berhasil membujuk Ciu Kang Hin sehingga murid Nam-kiang-pang itu menjadi pengkhianat. Kalau kita dapat menangkap Ciu Kang Hin, tentu dia menjadi saksi utama tentang kejahatan Beng-kauw!"
"Semua itu bohong, omong kosong!" terdengar bentakan nyaring dan semua orang makin terkejut lagi melihat munculnya Ciu Kang Hin yang sudah meloncat ke atas panggung itu!
Melihat pemuda itu berani muncul, Ang-sin-liong Yu Kiat terkejut akan tetapi juga girang. "Ini dia penjahat besar itu datang, kita tangkap dia!" Dia sudah siap untuk menyerang, akan tetapi Yang Mei Li dan Han Lin meloncat ke atas panggung dan Han Lin berseru keras dengan suara berpengaruh karena dia menggunakan kekuatan sihirnya.
"Jangan bergerak!"
Seketika Ang-sin-liong merasa kaki tangannya kaku dan tidak mampu bergerak. Biarpun hanya sesaat, peristiwa itu mengejutkan hatinya. "Biarkan Ciu Kang Hin memberi penjelasan agar didengar semua orang, baru mengambil keputusan. Apakah cuwi yang terhormat menganggap hal ini adil?"
Karena urusan itu ternyata amat berliku dan amat menarik, maka semua orang menyatakan setuju. Ang-sin-liong Yu Kiat menjadi bingung dan diapun kembali kerombongannya, sedangkan Han Lin mengajak Mei Li kembali ke tempat duduknya. Sengaja kedua orang muda ini melayang bagaikan dua ekor burung saja dan tahu-tahu telah berada di kursi mereka, melampaui kepala banyak orang. Tentu saja demonstrasi ginkang yang tinggi ini mengagumkan semua orang. Kini tinggal Ciu Kang Hin seorang diri yang berdiri di panggung.
Seng Gun berbisik-bisik dengan Sam Mo-ong dan ketua Hoat-kauw dan mereka diam-diam menyuruh para pembantu mempersiapkan pasukan mereka menjaga segala kemungkinan. Sedangkan Souw Kian Bu yang berada diantara para tamu, diam-diam kagum kepada adik misannya, juga tunangannya, Yang Mei Li, yang begitu berani membela Beng-kauw, Akan tetapi yang dijaganya tetap saja Ji Ki-ang Bwe!
Kini Ciu Kang Hin dengan sikap gagah berdiri menghadapi semua orang dan setelah mengangkat kedua tangan untuk memberi hormat, dia berkata, "Saya tidak tahu apakah semua ucapan saya akan ada gunanya, karena saya tahu bahwa para lo-cianpwe dan saudara yang gagah perkasa telah dipengaruhi oleh Tong Seng Gun. Dia adalah seorang penyelundup dan yang berhasil menipu suhu. Dialah yang mengatur segalanya sehingga semua pembunuhan seolah dilakukan orang Beng-kauw. Saya sendiri dapat dikelabui dan selama ini saya menentang Beng-kauw sebagai perkumpulan jahat. Akan tetapi saya belum pernah membunuh orang Beng-kauw yang tidak bersalah. Seng Gun yang meniupkan berita seolah saya pembunuh nomor satu dari Beng-kauw sehingga saya dimusuhi Beng-kauw. Akan tetapi semua itu akhirnya terungkap dia sendiri dan kaki tangannya yang membunuh para tokoh kang-ouw yang tidak menurut. Dia dan sekutunya yang membunuh Ho Jin Hwesio, Kiang Cu Tojin, dan Pek Kong Sengjin. Dia bersekutu dengan Hoat-kauw, dengan orang-orang yang menjadi antek Mongol untuk menjatuhkan pemerintah kerajaan Tang."
"Bohong! Pemutar-balikkan kenyataan! Mana buktinya bahwa aku membunuh para tokoh itu? Engkaulah yang membunuhnya dan banyak saksinya. Puluhan orang anggauta Nam-kiang-pang menjadi saksi."
Tiba-tiba terdengar suara orang, "Siancai semua itu tidak bohong!"
Dan Seng Gun menjadi pucat meilhat Pek Kong Sengjin sudah berada dipanggung, di dekat Ciu Kang Hin. "Yang mencoba untuk membunuh pinto adalah Tong Seng Gun, dilakukan secara curang, memukul pinto dari belakang ketika pinto berada di tepi jurang. Untung ada yang menolong pinto."
Wajah Seng Gun berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Bu-tek Ngo Sin-liong sudah berlompatan ke atas panggung, seolah hendak menangkap Kang Hin. Melihat ini Pek Kong Sengjin lalu meninggalkan panggung dan melompat ke bangku di antara para tamu. Pada saat yang sama, Mei Li dan Han Lin sudah melompat ke atas panggung, demikian pula Yu Kiang Bwe yang berseru nyaring,
"Sudah jelas sekarang kelicikan dan ke curangan Hoat-kauw!"
Kakak beradik Beng-kauw, Sie Kwan Lee dan Sie Kwan Eng yang tadi sudah mengundurkan diri juga berlompatan ke atas panggung sehingga kini Bu-tek Ngo Sin-liong berhadapan dengan enam orang muda mudi yang gagah perkasa!
Suasana menjadi gaduh dan ribut karena semua tamu tidak tahu harus berbuat apa. Di atas segala kegaduhan itu, tiba-tiba terdengar suara ketua Hoat-kauw, yaitu Hoat Lan Sian-su, "Cu wi, harap tenang. Kami akan mengatasi orang-orang Beng-kauw dengan semua anteknya ini. Harap cuwi jangan ada yang membela mereka, bahkan sepatutnya cuwi membantu kami untuk menangkap dan menghukum mereka!"
Di antara para tamu memang banyak yang merasa sakit hati kepada Beng-kauw, maka ada belasan orang yang sudah bangkit berdiri dan berteriak, "Basmi Beng-kauw!"
"Orang-orang Hoat-kauw pengecut, hayo suruh keluar orang yang telah membunuh ayahku!" tantang Yu Kiang Bwe dan dara perkasa ini sudah mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk rantai baja putih yang panjangnya satu meter dan ujungnya tajam dan runcing, Sabuk itu mengeluarkan cahaya berkilauan ketika ia menggerakkannya dengan sikap menantang.
"Ha-ha-ha, akulah yang membunuh Yu-pangcu. Dan kalau engkau hendak menyusul ayahmu, majulah!" kata Ang-sin-liong Yu Kiat sambil meloloskan golok gergajinya yang menyeramkan.
Pertempuran sudah hampir terjadi ketika ketua Hoat-kauw kembali berseru. "Harap semua tamu duduk tenang dan menjadi penonton saja. Siapa yang bergerak membantu Beng-kauw, terpaksa kami anggap musuh!"
Dan tiba-tiba muncullah kini pasukan Hoat-kauw dan orang-orang Mongol, yang jumlah seluruhnya tidak kurang dari tigaratus orang, mengepung tempat itu!
Han Lin dan kawan-kawannya terkejut. "Curang sekali!" kata Yu Kiang Bwe. "Aku sebagai ketua Kim-kok-pang, seorang diri saja datang tanpa anak buah seorangpun, dan kalian sudah mempersiapkan pasukan besar untuk mengeroyok!"
"Ha-ha-ha," ketua Hoat-kauw itu berseru. "Sebaiknya kalau kalian orang orang muda tahu diri, menyerah dan mau bekerja sama dengan kami. Kalau tidak, kalian akan dicincang hancur!"
"Omitohud, Hoat Lan Sian-su, pangcu dari Hoat-kauw, apa artinya semua ini? Kenapa banyak bermunculan orang Mongol di sini? Benarkah bahwa Hoat-kauw bersekutu dengan orang Mongol?" seorang hwesio wakil Siauw-lim-pai yang hadir di situ bertanya.
"Orang luar tidak perlu mencampuri urusan kami!" jawab Hoat Lan Sian su dengan tegas. "Yang penting, kami mengajak Siauw-lim-pai dan semua aliran untuk bekerja sama memakmurkan rakyat jelata. Siapa yang menentang, terpaksa kami anggap sebagai musuh."
Mendengar ini, semua orang menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka merasa tidak berdaya karena dikepung ratusan orang anak buah Hoat-kauw.
"Hayo tangkap orang-orang Beng-kauw dan pendukungnya itu!" Hoat Lan Sian-su memerintah.
Tiba-tiba terdengar bunyi tambur dan terompet. Semua orang terkejut dan memutar tubuh, dan muncullah ratusan orang anggauta Nam-kiang-pang dan pasukan pemerintah. Seorang panglima yang menunggang kuda, yaitu Bu-ciangkun, membentak.
"Semua orang Hoat-kauw dan orang Mongol menyerah atau akan kami basmi. Para tamu yang tidak terlibat harap mundur dan jangan ikut campur!"
Kini keadaan menjadi berbalik. orang-orang Hoat-kauw menjadi pucat karena pasukan yang mengepung itu bersenjata lengkap dan jumlahnya banyak sekali! Akan tetapi Hoat Lan Sian-su yang melihat betapa pihaknya terancam lawan yang banyak jumlahnya, segera tertawa. "Ha-ha-ha-ha, orang muda jaman sekarang ternyata curang dan sama sekali tidak gagah, lagi pengecut. Beraninya mengerahkan pasukan pemerintah!"
Sementara itu Seng Gun yang melihat anak buah Nam-kiang-pang ikut mengepung, segera menghardik mereka. "Kalian anak buah Nam-kiang-pang, siapa suruh kalian mengepung tempat ini. Kembalilah!"
Akan tetapi banyak orang Nam-kian ang-pang berseru, "Bunuh Tong Seng Gun...!!"
Mendengar ini, Tong Seng Gun menjadi pucat dan maklumlah dia bahwa Nam-kiang-pang telah dikuasai kembali oleh Kang Hin.
Akan tetapi Han Lin yang merasa tidak enak mendengar ejekan Hoat Lan Sian-su tadi, segera berbisik kepada Kang Hin karena dia dapat menduga bahwa tentu Kang Hin yang minta bantuan pasukan karena anak buah Nam-kiang-pang datang bersama pasukan itu. "Ciu twako, minta kepada komandan itu agar menunda gerakannya agar kita dapat melawan mereka satu lawan satu secara jantan."
Kang Hin mengangguk lalu dia berseru kepada Bu-ciangkun, "Bu-ciangkun, karena ini adalah urusan orang-orang dunia persilatan, maka selama mereka tidak melakukan pengeroyokan, biarkan kami melawan mereka dalam pertandingan satu lawan satu."
Bu Kim Thouw, panglima itu sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup tangguh, maka mendengar ini, dia dapat mengerti. Apa lagi diapun ingin menonton pertandingan silat dari orang orang tingkat tinggi. Maka dia mengangguk dan memberi aba-aba kepada semua pasukan untuk siap berjaga-jaga saja menanti perintah selanjutnya namun agar tidak membiarkan siapa saja keluar dari kepungan.
Setelah itu, Han Lin berkata kepa da Hoat Lan Sian-su, "Nah, pangcu dari Hoat-kauw, kini kami telah siap. Kita boleh bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa lebih gagah di antara kita. Ingat, kalau kalian bertindak curang, pasukan sudah siap untuk menghancurkan kalian!"
Hoat Lan Sian-su masih mempunyai harapan. Kalau orang-orang muda ini sudah dapat dibasmi, tentu mereka tidak akan mengalami kesulitan menggempur pasukan itu, walaupun jumlah mereka lebih banyak. "Baik!" dan dia menoleh kepada murid-murid keponakannya. "Kalian atur saja siapa yang akan maju melawan musuh."
Ang-sin-liong Yu Kiat memandang rendah mereka yang muda-muda itu, maka dia lalu berkata kepada Bin-sin-liong Kwa Lian. "Sumoi, engkau majulah dulu."
Bi-sin-liong Kwa Lian yang berusia duapuluh delapan tahun dan cantik jelita dan genit itu, tersenyum Ia pun tidak takut menghadapi lawan yang terdiri dari orang-orang muda itu. Setelah semua orang yang berada di atas panggung mengundurkan diri, ia mencabut pedang beronce merah dan memasang aksi yang menarik dan gagah. "Nah, siapa yang akan mengantarkan nyawa ke sini?"
Mei Li yang sejak tadi sudah gatal-gatal tangannya, tidak ingin didahului orang. Tubuhnya sudah melayang ke atas panggung dan ia telah berdiri di depan Kwa Lian. Berhadapan dengan Mei Li, kecantikan Kwa Lian memudar bagaikan bulan disaingi munculnya matahari. Mei Li nampak jauh lebih jelita, lebih segar dan lebih lincah.
"Hemm, katakan dulu siapa engkau karena dahulu ketika kita saling bertemu, aku mengenalmu sebagai orang Hoat-kauw yang hendak membunuhi orang-orang Beng-kauw yang tidak bersalah," tanya Mei Li, suaranya mengandung ejekan.
Kwan Lian terkejut mengenal Mei Li. "Hemm, kiranya Hui-kiam Sian-li yang sejak dahulu sudah membantu Beng-kauw? Bagus, ketahuilah, aku adalah orang termuda dari Bu-tek Ngo Sin-liong namaku Bi-sin-liong Kwa Lian. Kalau dulu aku belum sempat merobohkanmu, sekarang bersiaplah menerima kematianmu!"
Wanita mata keranjang dan cabul itu sudah menggerakkan pedangnya. Sinar pedang berkelebat dan Mei Li menggunakan pedang kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Trangg...!!"
Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua wanita perkasa yang cantik itu sudah saling terjang lagi. Bi-sin-liong Kwa Lian tidak percuma menjadi orang termuda dari Bu-tek Ngo Si-liong karena ilmu pedangnya tangguh sekali, tenaganya kuat dan gerakannya cepat. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding, bahkan seorang lawan yang jauh lebih lincah dan lebih kuat dibandingkan dengannya. Sepasang pedang yang beterbangan menyambar-nyambar bagaikan dua ekor burung hidup itu, membuat ia berkeringat dan repot harus mengelak dan menangkis. Ia merasa seolah-olah dikeroyok banyak orang.
Setelah pertandingan lewat tigapuluh jurus, tahulah Bi-sin-liong bahwa julukan lawannya bukan kosong belaka, Dewi Pedang Terbang itu memang benar-benar memiliki ilmu pedang terbang yang belum pernah ditemuinya selama ia malang melintang di dunia persilatan sehingga ia berani menjadi orang ke lima dari mereka yang menyebut diri Lima Naga Sakti Tanpa Tanding!
"Haiiiiittt...!" Mei Li berseru nyaring dan pedang kanannya menyambar dengan dahsyatnya, kali ini menukik dan menyambar ke arah perut lawan.
"Cringggg....!" Pedang di tangan Kwa Lian menangkis, akan tetapi pada saat itu, ujung pedang yang satu lagi dari Mei Li sudah datang menusuk dada. Kwa Lian membuang tubuh ke kanan, dan pedang itu masih sempat menyambar dan melukai pundaknya. Biarpun hanya merobek baju dan kulit pundak, namun cukup perih dan mengejutkan. Naga Sakti Cantik (Bi-sin-liong) mengeluarkan rintihan lirih dan melihat sepasang pedang itu masih terbang menyambar, ia lalu melempar tubuh ke atas tanah dan bergulingan menjauh. Terpaksa Mei Li menarik tali pedangnya dan memegang kembali sepasang pedang. Pada saat itu, Kwa Lian melompat turun.
"Hyaaaatt,...!" Kwa Lian menggerakkan tangan kirinya dan serangkum sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum beracun yang dilemparkan Kwa Lian untuk menyerang lawannya. Mei Li tidak menjadi gugup Pedang kirinya berkelebat dan jarum-jarum halus itupun runtuh ke atas papan panggung. Kwa Lian agaknya sudah nekat. Karena kini jarak di antara mereka sudah dekat, ia lalu menggerakkan kepalanya dan rambut yang disanggul itu terlepas dan gumpalan rambut yang hitam dan panjang menyambar bagaikan ular ke depan, menyerang ke arah leher Mei Li!
Mei Li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa lawannya dapat menggunakan rambut panjangnya sebagai senjata. Karena itu, tahu-tahu rambut itu sudah melibat lehernya dan untung bahwa ia tidak menjadi gugup. Pedang kanannya menyambar dan... "brett" rambut itu putus terbabat pedang.
"Ihhh...!" Kwa Lian menjerit! Biasanya, dengan kekuatan sinkangnya, rambutnya menjadi ulet dan kuat seperti tali sutera, siapa kira kini dapat dibabat buntung oleh pedang Mei Li. Kaget dan marah membuat ia kurang waspada dan ketika pedang kiri Mei Li menyambar, ia tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.
Begitu cepatnya pedang menyambar, bagaikan kilat saja dan orang tidak melihat tubuhnya tertusuk pedang, akan tetapi ia mengeluh, terkulai dan roboh dengan dada kiri bercucuran darah yang membasahi pakaiannya. Ia mendekap dada kiri yang sempat dimasuki pedang Mei Li yang melompat kebelakang dengan sikap tenang, lalu roboh, pedangnya terlepas dari tangannya.
Melihat kekasihnya roboh, Seng Gun marah sekali. Dia melompat ke atas panggung dan cepat berlutut memeriksa keadaan Kwa Lian. Terlambat, wanita cantik itu telah tewas. Seng Gun menahan geramnya dan memberi isarat kepada anak buahnya. Dua orang melompat ke atas panggung dan membawa tubuh yang masih hangat itu turun dari panggung dan Seng Gun sudah menghadapi Mei Li dengan muka merah saking marahnya.
"Hui-kiam Sian-li, engkau ternyata antek Beng-kauw yang jahat. Mari, akulah lawanmu!" tantangnya dan kini Seng Gun mencabut golok dengan tangan kanan dan suling perak dengan tangan kiri. Dia telah mahir menggunakan Thian-te To-hoat, satu di antara ilmu-ilmu ampuh di dunia persilatan yang dia pelajari dari Tio Hui Po, akan tetapi diapun hendak memanfaatkan ilmu sulingnya yang dia pelajari dari kakeknya sendiri, yaitu Kwi-jiauw Lo-mo.
Mei Li tersenyum dan sebelum ia menjawab, tiba-tiba Kang Hin meloncat ke atas panggung. "Manusia pengecut!" Dan dia menjura kepada Mei Li sambil berkata, "Siauw-moi, harap kau istirahat, biar akulah yang akan melayani jahanam busuk ini."
Mei Li mengerti bahwa Kang Hin adalah orang yang paling mendendam atas kejahatan Seng Gun, maka biarpun ia sendiri sebetulnya ingin turun tangan membunuhnya, ia harus mengalah. Sambil tersenyum ia mengangguk. "Hati-hati twako. Ular ini banyak akalnya dan waspadalah terhadap suling peraknya itu."
Kini dua orang lawan yang dahulunya menjadi suheng dan sute itu saling berhadapan, saling pandang dan mata mencorong penuh kebencian, akan tetapi mulut Seng Gun menyeringai penuh ejekan karena dia merasa yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan bekas suhengnya itu. Ilmu golok sakti sudah mereka kuasai dan dalam hal ilmu golok itu dia tidak akan kalah dibandingkan Kang Hin, sedangkan dia telah memiliki ilmu ilmu hebat dari Sam Mo-ong. Bahkan Tio Hui Po sendiri yang menjadi guru dapat dibunuhnya tanpa banyak kesukaran, apa lagi muridnya!
Kang Hin juga maklum bahwa Seng Gun lihai sekali, maka dia bersikap hati-hati, akan tetapi bukan berarti dia takut. Sama sekali tidak bahkan dia bertekad bulat untuk dapat membalaskan dendam sakit hatinya atas kematian suhunya. Dia sudah memalangkan goloknya di depan dada lalu mulai bergerak melakukan serangan. Seng Gun memperlebar seringainya karena tentu saja dia sudah hafal akan gerakan dari ilmu silat Thian-te To-hoat itu. Cepat dia menghindar dan membalas dengan serangan kilat suling peraknya.
Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Golok di tangan Kang Hin membentuk sinar yang lebar dan mengeluarkan suara mengaung-ngaung, akan tetapi karena Seng Gun sudah mengenal baik ilmu golok itu, dengan mudahnya dia menghindar sambil membalas dengan jurus serangan yang tidak dikenal Kang Hin. Oleh karena itu, perlahan-lahan mulailah Kang Hin terdesak hebat setelah lewat tigapuluh jurus.
Namun, Kang Hin menggigit bibirnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan memutar goloknya sedemikian rupa sehingga tidaklah mudah bagi Seng Gun untuk dapat mengenai tubuh lawan. Dia mulai penasaran dan ketika terdapat kesempatan baik, dia memukul punggung golok itu dari pinggir sehingga tubuh Kang Hin terhuyung karena memang arah goloknya telah diketahui lawan. Dan selagi dia terhuyung, Seng Gun meniup sulingnya, menyerang dengan jarum-jarum beracun!
Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Sie Kwan Eng, bagaikan seekor burung rajawali, telah meloncat ke atas dan sekali tangannya bergerak, terasa ada hawa dingin menyambar dan semua jarum itu runtuh ke atas tanah. Itulah pukulan jarak jauh dengan Ilmu Pukulan Salju Putih yang telah menyelamatkan nyawa Kang Hin walaupun ada sebatang jarum yang tetap melesat dan menancap di puncak pemuda Nam-kiang-pang itu.
Biarpun hanya sebatang, akan tetapi karena jarum itu mengandung racun yang ampuh, Kang Hin terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Sie Kwan Eng tidak cepat memapahnya. Kang Hin sudah pernah terkena racun dari jarum-jarum suling Seng Gun, dan ini adalah yang kedua kalinya dia terkena racun jarum hitam itu.
Melihat bahwa yang menyelamatkan Kang Hin adalah gadis Beng-kauw itu, Seng Gun tertawa dan berkata lantang, "Cuwi lihat sendiri betapa Kang Hin saling bantu dengan puteri ketua Beng-kauw. Kiranya ada hubungan di antara mereka!"
"Jahanam, tunggu, aku yang akan nenghadapimu!" kata Sie Kwan Eng yang masih memapah tubuh Kang Hin. Akan tetapi tahu-tahu Si Pedang Terbang Yang Mei Li sudah berada di sampingnya.
"Kau urus Ciu-twako yang terluka, biar aku yang menghadapi anjing licik dan curang ini!"
Melihat yang maju adalah Hui-kiam Sian-li, Kwan Eng lalu mundur dan memapah tubuh Kang Hin untuk dirawat dan diobati. Sebagai puteri ketua Beng-kauw yang tidak asing dengan bermacam racun, tentu saja ia memiliki obat pemunah yang manjur.
Kini Seng Gun berhadapan dengan Mei Li dan diam-diam pemuda ini merasa agak gentar karena dia sudah mengenal kelihaian si pedang terbang yang baru saja mengalahkan dan menewaskan kekasihnya, orang ke lima dari Bu-tek Ngo Sin-liong. Dia memegang goloknya dengan erat dan menyilangkan golok itu dengan suling peraknya, siap untuk melawan mati-matian.
Akan tetapi, sebelum kedua orang ini bergerak saling serang, kembali ada tubuh melayang naik ke atas panggung, dan ternyata sekarang yang berada di situ adalah Sie Kwan Lee. Pemuda ini berkata kepada Mei Li,
"Li-moi harap suka mundur dan biarkan aku menghadapi orang ini. Kami memiliki dendam yang bertumpuk-tumpuk terhadap orang ini karena dialah yang mendalangi semua pembunuhan atas diri ratusan orang Beng-kauw dan keluarga mereka yang tidak berdosa."
Sebetulnya bukan hanya karena itu Sie Kwan Lee naik ke panggung, melainkan karena khawatir akan keselamatan gadis yang dicintanya itu. Dia tadi sudah melihat kelihaian Seng Gun yang hampir membunuh Kang Hin, maka melihat Mei Li hendak melawan pemuda yang curang itu, dia merasa khawatir. Apa lagi tadi Mei Li sudah memenangkan sebuah pertandingan sehingga tidak adil kalau gadis itu maju melawan musuh untuk yang ke dua kalinya sedangkan dia masih belum maju.
Melihat munculnya pemuda itu, Mei Li tentu saja tidak dapat membantah karena alasan Kwan Lee kuat sekali. Memang, ia sendiri sebetulnya tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Seng Gun dan pemuda Beng-kauw ini yang lebih tepat untuk membalas dendamnya yang teramat besar. Beng-kauw difitnah oleh Seng Gun yang mengakibatkan kematian ratusan orang anggauta Beng-kauw dan keluarganya, bahkan ayahnya tewas pula.
"Baiklah, toako, akan tetapi hati hati menghadapi ular berbisa ini," katanya sambil mengundurkan diri. la kembali ke tempat kakaknya yang kini membantu Kwan Eng mengobati luka di pundak Kang Hin. Untung luka itu tidak berbahaya dan Kwan Eng mempunyai obat penawar racun yang amat manjur sehingga keadaan Kang Hin sudah pulih kembali dalam waktu singkat. Tergetar juga hati Kang Hin ketika merasakan jari-jari tangan yang lembut hangat dan sedikit gemetar dari Sie Kwan Eng menyentuh pundaknya ketika gadis itu merawat lukanya.
Sementara itu, melihat pemuda Beng-kauw yang maju menghadapinya, menjadi nekat. Dia tahu benar betapa lihainya pemuda ini yang sudah menguasai ilmu pukulan Matahari Merah. Maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang dengan goloknya, menggunakan jurus Thian-te To-hoat yang ampuh.
"Sing....!"
Kwan Lee meloncat ke belakang sehingga sambaran golok itu luput dan ketika tubuhnya turun, dia sudah memegang sebatang cambuk dari kulit yang amat ulet. Begitu dia menggerakkan cambuknya terdengar suara "tar-tar-tarr!" nyaring sekali. Perlu diketahui bahwa putera ketua Beng-kauw ini bukan saja menguasai ilmu pukulan ampuh Matahari Merah, akan tetapi diapun mahir memainkan delapanbelas macam senjata dan yang menjadi kesukaannya adalah ilmu cambuk itu.
Seng Gun menyerang dengan ganas Golok dan sulingnya bergantian menyerang dengan tusukan dan totokan amat berbahaya bagi lawan, namun Kwan Lee selalu dapat menghindar dengan gerakannya yang gesit, tubuhnya yang ringan seperti beterbangan kian kemari, sedangkan cambuknya juga tidak tinggal diam, membalas setiap ada kesempatan. Cambuk itu melecut, mencambuk dan kadang dapat menjadi kaku untuk menotok jalan darah, atau menjadi lentur untuk melilit tubuh lawan.
Han Lin dengan seksama mengamati jalannya pertandingan hebat ini dan semua tamu juga menonton sambil menahan napas karena pertandingan itu jauh lebih ramai ketimbang pertandingan pertama dan kedua tadi. Han Lin melihat bahwa Seng Gun menyimpan serangannya yang paling berbahaya, yaitu tiupan sulingnya yang mengeluarkan jarum beracun hitam. Kalau sampai dia sempat mempergunakannya dan Kwan Lee agak lengah, maka serangan itu dapat membahayakan Kwan Lee. Suling itu perlu dilumpuhkan dulu, agar bahaya jarum tidak mengancam.
"Libat sulingnya!" Ia berkata dengan pengerahan khikang yang hanya tendengar jelas oleh Kwan Lee. Ilmu mengirim suara ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat.
Kwan Lee yang mendengar ini berpikir apa sebabnya ada yang memberi nasihat kepadanya agar melibat suling musuhnya. Kemudian dia teringat bahwa suling itu dapat dipergunakan untuk melakukan penyerangan gelap, memuntahkan jarum-jarum hitam beracun. Maka, ketika untuk kesekian kalinya suling itu menyambar ke arah kepalanya, dia melompat ke belakang, menggerakkan cambuknya ke arah suling.
"Tarr!" Cambuk menangkis suling, akan tetapi bukan sekedar menangkis, melainkan menempel dan melibat. Seng Gun terkejut sekali ketika sulingnya dilibat cambuk. Dia menggerakkan goloknya untuk membabat putus cambuk itu. Akan tetapi pada saat itu Kwan Lee menggerakkan tangan kirinya, memukul dengan ilmu pukulan ampuh Matahari Merah!
Hawa yang amat panas terasa di sekeliling tempat itu dan golok di tangan Seng Gun terpental ke belakang, bahkan sulingnya juga dapat dirampas dan ditarik lepas dari tangan kirinya. Seng Gun terkejut setengah mati dan menjadi semakin nekat. Karena kini hanya golok yang masih berada di tangannya, dia lalu memainkan goloknya dengan ilmu golok Thian-te To-hoat yang ampuh.
Meskipun dia sudah dapat merampas suling perak yang kini dia lontarkan ke arah adiknya, namun Kwan Lee masih harus bersilat dengan hati-hati sekali. Lawannya telah menguasai Thian-te To-hoat yang ampuh, yang seolah pada saat itu menjadi ilmu golok yang sukar dicari tandingannya. Untung baginya bahwa dia memilih cambuk sebagai senjatanya. Cambuk ini dapat menghalau semua serangan golok karena lebih panjang.
Setelah lewat limapuluh jurus dan keduanya belum dapat saling merobohkan, Kwan Lee kembali teringat pengalamannya yang tadi. Kenapa dia tidak mencoba untuk merampas golok itu. Libatan cambuknya pada golok memang memungkinkan cambuknya terpotong, akan tetapi setidaknya memberi kesempatan baginya untuk melakukan pukulan Matahari Merah.
"Singgg... wuuuuttt... plakk!"
Golok itu terlibat cambuk dan agaknya ini yang dinanti-nanti pula oleh Seng Gun. Dia mengerahkan tenaga pada goloknya dan dengan menggunakan gerakan memutar dan menarik dia berusaha membikin putus cambuk yang melibat dengan goloknya yang tajam. Cambuk itu tidak dapat bertahan dan putus! Akan tetapi pada saat cambuk putus, Kwan Lee sudah mengerahkan tenaga Matahari Merah dan memukul ke arah kepala Seng Gun.
"Desss....!!" Biarpun sudah mengangkat tangan kiri untuk menangkis, tetap saja Seng Gun terdorong sampai terjengkang oleh pukulan itu. Dia berusaha merangkak bangkit, akan tetapi pukulan Matahari Merah kedua tiba dan diapun terkulai dengan tubuh hangus! Seng Gun tewas seketika. Terdengar sorak sorai dari anak buah Nam-kiang-pang ketika melihat Seng Gun yang mereka benci itu roboh dan tewas.
Melihat cucunya tewas, Kwi Jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Setan) Tong Lui mengeluarkan suara teriakan panjang yang parau dan menyeramkan, tubuhnya melayang ke atas panggung dan begitu tiba di atas panggung, tubuhnya yang pendek gendut seperti katak itu menggelinding seperti bola ke arah Kwan Lee dan dia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah pemuda itu.
Kwan Lee terkejut dan dengan tenaga Matahari Merah dia menangkis, namun tetap saja dia terdorong ke belakang walaupun tidak sampai terluka. Kwi-jiauw Lo-mo tidak mengejarnya, melainkan menghampiri mayat cucunya dan mengangkatnya, dipondongnya dan dibawa meloncat turun dari atas panggung dengan wajah diliputi kedukaan.
Hoat Lan Sian-su marah sekali dan dia yang kini maju melompat ke atas panggung. Dia tahu bahwa nama baik Hoat-kauw berada di ambang kehancuran, maka dia bertekad untuk mempertahankan kehormatannya. "Aku Hoat Lan Sian-su ketua Hoat-kauw siap menyambut lawan yang hendak memburukkan Hoat-kauw. Hayo, siapa berani melawanku?"
Orang-orang merasa segan karena maklum bahwa kakek berusia tujuhpuluh tahun ini lihai bukan main. Baru murid keponakannya saja, Bu-tek Ngo Sin-liong sudah amat lihai, apalagi dia sebagai paman gurunya. Akan tetapi ternyata ada yang berani menyambut dan orang itu adalah Han Lin. Pemuda ini maklum bahwa kakek itu terlalu berbahaya bagi teman-temannya dan dia tahu bahwa orang-orang seperti Mei Li, Kang Hin, Kwan Lee, Kwan Eng dan banyak lagi, walaupun tahu akan kelihaian kakek itu, tentu tidak akan mundur untuk menghadapinya. Maka sebelum seorang di antara mereka maju, dia yang mendahului maju.
Hoat Lan Sian-su memandang Han Lin dengan mata dipincingkan. "Siapa kau? Benarkah engkau berani melawan pinto?"
"Sian-su, engkau adalah seorang lo-cianpwe, aku tentu tidak akan berani melawanmu kalau saja Hoat-kauw tidak melakukan penyelewengan dan bersekutu dengan orang Mongol."
"Hemm, bocah sombong. Siapakah namamu dan siapa pula gurumu? Lebih baik gurumu saja yang maju melawanku, bukan engkau bocah ingusan."
Han Lin tetap tersenyum cerah Dia sudah digembleng oleh Lo-jin, tidak mungkin hatinya mudah dipengaruhi kemarahan, satu di antara nafsu perasaan yang amat merugikan, apalagi bagi orang yang sedang menghadapi lawan tangguh. Kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan. "Sudahlah, lo-cianpwe, aku sudah maju untuk melayanimu, apakah lo-cianpwe berani?"
Sepasang alis putih itu bergerak-gerak, "Bocah sombong, agaknya engkau memang sudah bosan hidup!" Katanya dan kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Lin sambil membentak dengan suara berwibawa, "Orang muda, aku adalah orang yang lebih tua dan kedudukanku jauh lebih tinggi, kau harus menghormatiku. Hayo cepat berlutut! Berlutut, kataku!"
Han Lin merasa betapa lututnya gemetar dan dia maklum bahwa kakek itu berusaha untuk memaksanya berlutut dengan kekuatan sihir yang diperkuat dengan tenaga sin-kang. Dia tersenyum dan mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang tajam dan menjawab dengan nyaring.
"Hoat Lan Sian-su, kita berhadapan sebagai lawan. Kalau aku berlutut, engkaupun harus berlutut, mari berlutut sama-sama!" Dan diapun menjatuhkan diri berlutut.
Aneh, sekali, seperti otomatis saja, kakek itupun menekuk lututnya dan berlutut. Sungguh merupakan suatu pemandangan yang lucu dan ganjil. Dua orang yang seharusnya saling serang dalam suatu pertandingan, kini keduanya saling berlutut seperti seorang murid menghormati gurunya!
Yang paling kaget adalah Hoat Lan Sian-su. Cepat dia bangkit berdiri, berbareng dengan Han Lin yang juga sudah berdiri dan sejenak kakek itu seperti bingung, tidak mengerti mengapa dia juga ikut berlutut, dan akhirnya dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan dan sudah mengimbangi kekuatan sihirnya. "Orang muda, siapa namamu?"
"Saya Sia Han Lin, Lo-cianpwe."
Mendengar disebutnya nama ini, Souw Kian Bu yang sejak tadi berdiri menonton, berseru girang, "Ah, kakak Sia Han Lin. Kiranya engkau berada di sini!" Dan pemuda inipun bangkit berdiri menghampiri panggung.
Han Lin menoleh dan melihat pemuda di bawah panggung itu, dia bertanya "Saudara siapakah?"
"Lin-koko, aku Souw Kian Bu, adik misanmu!"
Han Lin girang sekali. "Ah, Souw Kian Bu! Bu-te, kau tunggu dulu, biar aku menyelesaikan urusanku dengan kakek ini, baru nanti kita bicara."
"Baik, Lin-ko, kau berhati-hatilah."
Kini Souw Kian Bu tidak bersembunyi-sembunyi lagi lalu menghampiri Yang Mei Li yang duduk berdekatan dengan Kang Hin, Kwan Lee dan Kwan Eng. Bahkan kini Yu Kiang Bwe juga sudah duduk dekat mereka. Dengan sendirinya orang-orang muda ini berkelompok.
"Li-moi!" kata Kian Bu kepada Mei Li yang menyambutnya dengan gembira pula.
Pemuda ini adalah tunangannya, akan tetapi ia tidak pernah menganggap sebagai tunangan, melainkan sebagai kakak misannya. "Bu-ko, engkau juga berada di sini?" ia balas menegur.
Kian Bu memandang kepada Yu Kiang Bwe yang juga memandang kepadanya. Sepasang mata bertemu pandang dan Kian Bu berkata, "Bwe-moi akhirnya kita saling berjumpa juga di sini."
"Bu-twako, tak kusangka engkau juga hadir disini."
Akan tetapi percakapan mereka terbatas karena mereka semua kini memusatkan perhatian ke arah panggung di mana Hoat Lan Sian-su ketua Hoat-kauw itu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Dan begitu pedang dicabut semua orang terkejut. Pedang beronce kuning itu mengeluarkan cahaya kemerahan yang mengerikan, seolah pedang itu membayangkan akan tumpahnya darah!
Dan Hoat Lan Sian-su sebetulnya jarang sekali mencabut pedangnya. Dengan tangan kosong saja dia mampu mengalahkan lawan yang tangguh, akan tetapi sekali ini dia tidak berani memandang rendah kepada lawannya. Biarpun lawannya pantas menjadi cucunya, akan tetapi tadi lawannya itu telah berhasil mengimbangi kekuatan sihirnya!
Pula, pertandingan sekali ini bukan main-main melainkan nyawa taruhannya karena Hoat-kauw sudah terkepung dan ketahuan rahasianya sehingga pasukan kerajaan pasti akan membasminya. Dia harus mempertahankan nama dan kehormatan dan kelangsungan Hoat-kauw dengan taruhan nyawa, dan dia siap membunuh siapa saja yang mengancam dia dan Hoat-kauw.
Melihat kakek itu mengeluarkan pedang yang berkilauan dan nampaknya ampuh menggiriskan itu, Mei Li segera berseru dari bawah panggung, "Lin-ko, mari kau pergunakan siang-kiamku!"
"Golokku boleh kau pakai, siauw-te!" teriak pula Kang Hin.
"Lin-ko, pedangku ini juga cukup baik!" teriak Souw Kian Bu tak mau kalah.
Melihat mereka semua menawarkan senjata, Han Lin tersenyum kepada Mei Li, "Li-moi, tolong ambilkan saja tongkatku itu!"
Mei Li mengerutkan alisnya. Memang Han Lin membawa tongkat butut yang ditinggalkan di bangkunya. Akan tetapi ia tahu bahwa kakaknya itu memiliki ilmu kepandaian hebat dan mungkin tongkat butut itu bertuah. Maka ia memungut tongkat itu dan ternyata cukup berat, maju mendekati panggung dan melontarkan tongkat kepada Han Lin yang menyambutnya dengan girang. Memang Mei Li tidak keliru. Tongkat itu tentu saja tongkat bertuah karena tongkat itu pemberian Lojin kepada muridnya itu.
Akan tetapi, melihat lawannya yang muda akan menghadapi pedangnya dengan sebatang tongkat butut, wajah kakek ketua Hoat-kauw menjadi merah saking marahnya. Tentu saja dia merasa di pandang rendah sekali, karena pedang nya adalah pedang pusaka. Sedangkan pedang yang tajam sekalipun takkan mampu bertahan terhadap keampuhan pedangnya, apalagi hanya tongkat butut!
"Orang muda, jangan main-main dengan nyawamu. Pilihlah senjata yang baik dan tajam," katanya kepada Han Lin.
Akan tetapi Han Lin tersenyum dan melintangkan tongkatnya di depan dadanya. "Lo-cianpwe, tidak ada senjata yang lebih baik dari pada ini. Ketahuilah, tongkat ini adalah tongkat yang biasanya untuk mengusir setan dan hantu yang mengganggu manusia, jadi cocok sekali kalau sekarang kupakai menghadapimu." Secara tidak langsung Han Lin telah memaki kakek itu sebagai setan dan hantu pengganggu manusia!
"Baik, engkau mencari mampus sendiri, jangan salahkan aku orang tua yang dianggap menghina yang muda," katanya dan diapun sudah memutar sebatang pedang yang beronce kuning itu. Nampak sinar kemerahan bergulung-gulung dan terdengar suara berdesing-desing seperti gasing ketika gulungan sinar kemerahan itu menerjang ke arah Han Lin.
Semua orang yang berpihak kepada Han Lin tentu saja memandang dengan khawatir dan hati tegang. Hampir mereka ini tidak berani berkedip, karena tidak ingin melewatkan semua gerakan yang menegangkan itu. Mereka melihat Han Lin bersikap tenang sekali, akan tetapi ketika sinar merah bergulung-gulung itu menerjang ke arahnya, diapun menggerakkan tongkat bututnya menangkis berkali-kali.
Terdengarlah suara nyaring berdenting berulang kali ketika pedang itu tertangkis dan semua orang yang memandang kagum karena tongkat butut itu ternyata tidak menjadi patah bertemu dengan pedang yang tajam itu. Dan Han Lin juga tidak mau membuang waktu lagi, segera dia memainkan ilmu tongkat Lui Tai-hong-tung (Tongkat halilintar dan angin badai), dan semua orang terbelalak.
Kalau tadi yang nampak jelas hanyalah gulungan sinar pedang kemerahan yang seolah gelombang menerjang Han Lin, kini nampaklah sinar kehitaman yang lebih besar dari gulungannya, dan terdengar suara deru angin menyambar-nyambar yang terasa sampai di bawah panggung. Pakaian semua orang berkibar, bahkan rambut merekapun berkibar tertiup angin dan kini barulah Hoat Lan Sian-su maklum.
Kiranya pemuda itu memang hebat bukan main dan menghadapi tongkat itu, dia benar-benar tidak berdaya. Bukan saja pedangnya selalu terpental bertemu dengan gulungan sinar tongkat, akan tetapi juga dia merasa limbung diterpa angin badai yang dahsyat itu. Ada semacam kekuatan mujijat tersembunyi di dalam gulungan sinar hitam itu.
Belum juga limapuluh jurus kakek itu tiba-tiba mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya terlempar sampai dua meter ke belakang, jatuh berdebuk di atas papan panggung, sedangkan pedangnya masih dipegangnya.
Melihat ketua mereka kalah, para anggauta Hoat-kauw seolah tidak dapat percaya dan merekapun maklum bahwa harapan mereka sudah lenyap maka mereka menjadi nekat. Tiba-tiba saja mereka menyerbu ke panggung, bersama orang-orang Mongol yang diam-diam menerima perintah Sam Mo-ong untuk bergerak.
Akan tetapi melihat ini, pasukan kerajaan dan anak buah Nam-kiang-pang menyerbu masuk sehingga orang-orang Hoat-kauw dan Mongol itu terpaksa membalik dan terjadilah pertempuran hebat di tempat itu. Han Lin masih bertanding dengan Hoat Lan Sian-su yang bangkit lagi dan mengamuk. Juga Bu-tek Ngo Sin-liong yang kini tinggal empat orang itu, mengamuk dengan senjata mereka, dihadapi orang-orang muda yang gagah perkasa itu.
Lam-hai Sin-liong Kwa Him dilawan oleh Yu Kiang Bwe, akan tetapi Souw Kian Bu yang mengkhawatirkan gadis itu lalu membantunya sehingga Lam-hai Sin-liong (Naga Sakti Laut Selatan) Kwa Him, orang ke empat dari Bu-tek Ngo Sin-liong terpaksa menghadapi pengeroyokan Kian Bu dan Kiang Bwe.
Hwi Sin-liong Mo Hwa dilawan oleh Sie Kwan Eng dan orang ketiga Bu-tek Ngo Sin-liong yang cantik sadis dan galak ini segera repot menggerakkan siang-kiamnya dari desakan Puteri Beng-kauw yang sudah menguasai ilmu Pukulan Salju Putih itu. Tiat-sin-liong Lai Cin, orang kedua Bu-tek Ngo Sin-liong bertanding melawan Kang Hin yang telah pulih kembali kesehatannya, dan orang pertama Ngo Sin-liong, yaitu Ang-sin-liong Yu Kiat ditandingi oleh Sie Kwan Lee.
Kalau saja Sam Mo-ong terjun dalam arena pertandingan, tentu pihak para muda itu akan kalah kuat. Akan tetapi Sam Mo-ong ini rupanya orang-orang yang amat licik dan cerdik. Mereka sudah memperhitungkan bahwa kalau mereka bertanding akhirnya mereka akan celaka menghadapi pengeroyokan begitu banyaknya lawan.
Maka, menggunakan kesempatan selagi para pemuda yang lihai itu bertanding dengan lawan masing-masing, mereka bertiga lalu berlompatan menerjang para perajurit dan mencari jalan keluar. Tentu saja para perajurit itu tidak dapat bertahan terhadap amukan orang-orang seperti Hek-bin Mo-ong, Pek-bin Mo-ong dan Kwi-jiauw Lo-mo itu. Mereka jatuh bergelimpangan dan akhirnya tiga orang kakek itu dapat meloloskan diri dan lari pergi tanpa memperdulikan nasib anak buah mereka lagi.
Alangkah banyaknya watak orang-orang yang merasa diri menjadi pemimpin kelompok seperti mereka bertiga ini. Di waktu mereka itu mengejar kedudukan dan membutuhkan bantuan dan dukungan anak buah, mereka mengharapkan kesetiaan dan ketaatan mereka. Juga mereka memperlihatkan bahwa mereka itu memperhatikan kesejanteraan anak buah mereka. Akan tetapi, sekali mereka itu tersudut dan terancam bahaya, merekapun akan melarikan diri tanpa memperdulikan lagi nasib para anak buahnya.
Berbeda dengan sikap tiga orang iblis tua itu, empat orang dari Bu-tek Ngo Sin-liong membela nama Hoat-kauw. Mereka adalah tokoh-tokoh Hoat-kauw. Kini Hoat-kauw terancam bahaya dan ketua mereka, juga paman guru mereka, kakek yang tua itu telah maju sendiri bertanding melawan Han Lin. Merekapun maklum bahwa pasukan tentu tidak akan membiarkan mereka lolos. Oleh karena itu mereka menjadi nekat dan mereka menggerakkan senjata masing-masing untuk mengamuk.
Pertandingan antara Lam-hai Sin-liong Kwa Him melawan Yu Kiang Bwe yang dibantu oleh Souw Kian Bu, berlangsung berat sebelah. Kwa Him yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata siang-to (sepasang golok) itu mengamuk dengan tenaganya yang besar. Kalau dua orang pengeroyoknya maju satu demi satu, akan sukar dapat mengalahkannya. Tenaga orang ini seperti tenaga gajah dan goloknya yang menyambar itu mempunyai kekuatan dahsyat yang akan dapat merusak atau melepaskan senjata di tangan lawan.
Akan tetapi Yu Kiang Bwe yang bersenjata sabuk rantai baja putih itu cukup cerdik, tidak mau mengadu senjatanya dengan senjata lawan, melainkan menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan membalas dengan serangan rantai baja putihnya. Demikian pula Souw Kian Bu. Pemuda ini memainkan pedangnya dengan ilmu pedang Sian-li Kiam-sut dan tidak mau mengadu pedangnya dengan golok lawan.
Inilah yang membuat Kwa Him kerepotan. Dua orang pengeroyoknya tidak pernah menangkis goloknya dan tiap kali mereka menyerang diapun tidak pernah dapat memukul senjata mereka. Juga, biarpun tenaganya besar, namun dia tidak begitu lincah, gerakannya agak lamban sehingga dalam waktu tigapuluh jurus saja, sudah dua kali pundak dan pahanya keserempet pedang lawan sehingga kulitnya robek dan mengucurkan darah yang membuat dia semakin marah seperti harimau terluka.
Hwi-sin-liong (Naga Sakti Terbang) Mo Hwa yang bertanding melawan Sie Kwan Eng masih mending, karena ia dapat mengimbangi permainan pedang gadis Beng-kauw itu, bahkan dengan siang-kiamnya, ia dapat lebih banyak melakukan serangan dibandingkan lawannya yang hanya berpedang tunggal.
Akan tetapi, Sie Kwan Eng memiliki ilmu pukulan Salju Putih yang ampuhnya menggiriskan. Sudah dua kali Sie Kwan Eng menggerakkan tangan kirinya memukul, dan selalu Mo Hwa terhuyung dan menggigil walaupun pukulan itu dapat ia elakkan. Hal ini membuat ia jerih dan sepasang pedangnya tidak begitu mengurung lagi, karena ia agak menjauhkan diri, khawatir secara tiba-tiba diserang pukulan Salju Putih yang ampuh itu.
Tiat-sin-liong (Naga Sakti besi) Lai Cin didesak hebat oleh Kang Hin. Dengan permainan goloknya dalam ilmu Thian-te Sin-to, Kang Hin mendesak Lai Cin yang bersenjata tombak cagak ronce biru. Biarpun Lai Cin memiliki kekebalan, tubuhnya laksana besi, namun menghadapi ilmu golok Thian-te Sin-to, dia tidak berani mengandalkan kekebalannya. Diapun terdesak hebat oleh ketua Nam-kiang-pang yang baru ini.
Seperti juga tiga saudaranya yang lain, orang pertama dari Ngo Sin-liong yaitu Ang-sin-liong (Naga sakti merah) Yu Kiat yang dihadapi Sie Kwan Lee, terdesak hebat. Ang-sin-liong Yu Kiat bersenjata golok gergaji, akan tetapi betapapun hebatnya permainan goloknya, menghadapi pedang Kwan Lee yang diseling pukulan tangan kiri dengan ilmu Matahari Merah, dia kewalahan. Pukulan itu yang seringkali membuat dia terhuyung dan merasa seluruh tubuhnya panas, padahal pukulan itu tidak mengenainya dan dapat dielakkannya.
Hoat Lan Sian-su akhirnya tidak kuat menahan ilmu Lui-tai-hong-tung dari tongkat butut Han Lin dan akhirnya dia roboh ketika perutnya tertotok tongkat. Han Lin memang tidak berniat membunuhnya, hanya merobohkan untuk menangkap ketua Hoat-kauw itu. Akan tetapi, kakek itu tidak mau ditangkap. Dalam keadaan tertotok dan setengah lumpuh itu, dia menggunakan sisa tenaganya, membenamkan pedangnya di dalam dadanya sendiri menembus jantung dan dia tewas seketika.
Empat orang dari Bu-tek Ngo Sin-liong melihat tewasnya ketua atau paman guru mereka, menjadi semakln gentar dan satu demi satu merekapun roboh di tangan para pendekar muda itu. Pertempuran berakhir setelah terjadi selama dua jam. Hanya sedikit saja orang-orang Mongol dan anak-buah Hoat-kauw yang berhasil meloloskan diri dari kematian. Sebagian besar terbantai, mati atau terluka parah. Di pihak pasukan pemerintah dan orang-orang Nam-kiang-pang juga terdapat korban yang berjatuhan, namun jumlahnya tidaklah sebanyak pihak musuh.
Setelah mengumpulkan perajuritnya, Bu-ciangkun lalu memerintahkan mereka untuk menggali lubang dan menguburkan semua orang yang menjadi korban dalam pertempuran. Setelah itu dia membawa pasukannya untuk pulang ke benteng dan membuat laporan kepada Kaisar.
Mereka bertujuh duduk di bawah pohon, jauh dari tempat pertempuran tadi. Pedang merah milik Hoat Lan Sian-su tadi disimpan oleh Han Lin. "Pedang ini merupakan pusaka yang baik. Sayang kalau dibiarkan di sana dan kelak terjatuh ke tangan orang jahat. Kelak, kalau Hoat-kauw sudah kembali ke jalan benar, dipimpin oleh ketua yang baik, aku sendiri yang akan mengembalikan pedang ini kepadanya," demikian katanya kepada yang lain.
Ketika diperiksa dengan teliti, pedang itu diukir dengan tiga huruf yang berbunyi "Ang-in-kiam" (Pedang Awan Merah). Sebuah nama yang indah dan tepat, karena sinar merah yang dikeluarkan pedang itu adalah merahnya awan yang terbakar matahari di waktu senja.
Entah disengaja atau tidak ketika tujuh orang itu duduk di bawah pohon bercakap-cakap, Sie Kwan Lee mendekati Yang Mei Li. Sie Kwan Eng mendekati Ciu Kang Hin. Adapun Souw Kian Bu dengan sendirinya mendekati Yu Kiang Bwe yang dicintanya. Semua ini tak dapat lepas dari perhatian Han Lin.
Diam-diam dia merasa girang melihat Souw Kian Bu demikian akrab dengan Yu Kiang Bwe karena dia dapat melihat bahwa gadis ketua Kim-kok-pang ini memang cukup pantas untuk menjadi jodoh adik misannya itu. Juga dia melihat bahwa Kang Hin bertukar pandang dengan Sie Kwan Eng, atau setidaknya Sie Kwan Eng memandang kepada pemuda ketua Nam-kiang-pang itu dengan sinar mata berseri-seri yang mengandung perasaan kagum dan sayang.
Akan tetapi satu hal dirasakan seolah menusuk perasaannya, yaitu sikap Mei Li terhadap Sie Kwan Lee. Diantara kedua orang muda inipun jelas terdapat hubungan batin yang mesra. Dia cepat menekan perasaannya dan mengusir perasaan cemburu dan tidak senang yang menyesak di dada. Bodoh kau dia menegur diri sendiri. Gadis itu adalah adik misannya, bukan orang lain, jadi jangan mengharapkan yang bukan-bukan!
Tujuh orang muda itu saling menceritakan pengalaman masing-masing dan ketika tiba giliran Han Lin, dia hanya bercerita bahwa dia menjadi murid mendiang Kong Hwi Hosiang, kemudian memperdalam ilmu-ilmunya di dalam perantauannya. Sesuai dengan pesan Lo-jin, dia tidak berani bercerita tentang gurunya yang terakhir itu.
Ketika dengan alasan untuk membicarakan sesuatu, tiga pasang orang muda itu menjauhi tempat itu, meninggalkan Han Lin seorang diri, pemuda ini duduk melamun dan menghela napas panjang, di dalam batinnya dia memanjatkan doa agar dua orang saudara misannya itu tidak akan salah memilih calon jodoh mereka masing-masing.
Souw Kian Bu yang berjalan berdua Yu Kiang Bwe, berhenti di tempat sunyi dan Kian Bu berkata, "Bwe-moi.“
Kiang Bwe berhenti dan menoleh. "Ada apakah, Bu-ko? Apa yang hendak kau bicarakan denganku maka engkau me-ngajak aku memisahkan diri dari yang lain?"
"Bwe moi, terus terang saja, aku hendak membicarakan urusan kita berdua. Bagaimana pendapatmu kalau pada suatu hari aku minta ayah bundaku untuk datang ke tempat tinggalmu dan mengajukan pinangan terhadap dirimu kepada keluargamu, wakil dari ayahmu dan juga kepada ibumu!"
Kiang Bwe tidak menjadi terkejut karena iapun sudah menduga bahwa pemuda itu jatuh cinta kepadanya, hal yang diterimanya dengan bangga dan bahagia karena ia sendiripun amat tertarik kepada pemuda yang tampan, gagah perkasa dan sopan itu. Akan tetapi naluri kewanitaannya memaksa dia bermerah pipi mendengar ucapan yang terus terang itu.
"Sudahkah kau pikir baik-baik niatmu itu, Bu-koko? Dan apakah ayah ibumu akan menyetujuinya?"
"Sudan menjadi keputusan bulat hatiku, Bwe-moi. Tentang ayah ibuku...." tiba-tiba dia mengerutkan alisnya dan nampak gelisah, "Akan kubujuk mereka agar menyetujui. Mereka harus menyetujui!"
Mendengar ucapan ini yang nadanya keras, Kiang Bwe memandang kekasihnya. "Ada apakah, Bu-koko? Agaknya apakah engkau sangsi akan persetujuan orang tuamu?"
Kian Bu menghela napas beberapa kali sebelum menjawab. "Bwe-moi, aku tidak akan menyembunyikan apapun juga darimu. Aku akan berterus terang saja. Sebetulnya, ayah dan ibu telah menentukan jodohku sejak aku masih kanak-kanak. Tentu saja aku tidak setuju, bahkan gadis yang ditunangkan dengan aku pun tidak setuju karena sesungguhnya di antara kami masih ada hubungan keluarga dekat. Engkau tentu sudah dapat menduga siapa orangnya."
Kiang Bwe terbelalak. "Kau maksudkan... Dewi Pedang Terbang, Yang Mei Li?"
"Benar."
"Ahhh tapi ia... ia gadis yang hebat, cantik jelita dan lihai sekali!!"
"Bwe-moi, ingat, kami adalah saudara misan. Ayahnya adalah kakak dari ibuku. Sejak kami masih kecil kalau kami saling jumpa dan bicara, kami berdua sudah tidak setuju dengan ikatan pedjodohan itu. Dan engkau melihat sendiri, adik Mei Li nampak begitu akrab dengan Sie Kwan Lee, pemuda Beng-kauw itu! Bagaimana, moi-moi, kalau orang tuaku meminangmu, engkau tidak akan menolak, bukan?"
Sambil tersenyum dan tersipu Kiang Bwe memandang kekasihnya dan menggeleng kepala. "Aku hanya sangsi apakah orang tuamu akan setuju, koko."
"Terimakasih, moi-moi. Tentang orang tuaku, jangan khawatir, aku dan adik Mei Li akan berusaha keras meyakinkan mereka bahwa kami tidak berjodoh dan kami telah memiliki pilihan hati masing-masing."
Di lain bagian dari tempat itu, terpisah, Yang Mei Li juga bercakap-cakap dengan Sie Kwan Lee. Pemuda yang kulit mukanya gelap wajahnya tampan ganteng dan penuh kejantanan itu, berkata seperti biasanya, tegas dan jujur namun lembut, "Li-moi, kesempatan ini akan kupergunakan untuk menyatakan perasaan hatiku kepadamu Li-moi, kalau engkau berkenan menerimaku, aku cinta padamu dan aku ingin agar engkau menjadi isteri ku!"
Mei Li tersenyum. Satu di antara hal-hal yang menarik hatinya dari pemuda ini adalah keterbukaan dan kejujurannya. Seperti juga mendiang ayahnya, hanya kalau mendiang Sie Wan Cu keterbukaannya itu kasar sehingga berkesan kurang ajar, sebaliknya pemuda ini jujur dengan teratur dan membatasi diri sehingga menjaga kesopanan. "Aih, hal itu keputusannya tergantung kepada ayah ibuku, twako."
"Tentu saja, Li-moi. Akan tetapi sebelum mereka memutuskan, aku ingin lebih dahulu mendengar pendapatmu. Apakah engkau mau dan dapat menerima cintaku dan tidak keberatan kalau aku kelak meminangmu?"
"Aku.... aku tidak keberatan dan akan merasa berbahagia sekali twako."
Bukan main gembiranya Sie Kwan Lee mendengar ini, Dengan lembut dia memegang kedua tangan gadis itu, membawa tangan itu ke atas dan diciumnya dengan khidmat dan penuh perasaan. "Terima kasih, Li-moi. Ah, engkau tidak tahu betapa besar kebahagiaan yang kurasakan saat ini!"
Mei Li terharu. Pemuda itu tetap menghargainya dan bersikap sopan. "Twako, kalau tadi aku mengatakan tergantung dari ayah ibuku, hal itu adalah sebenarnya. Ketahuilah, sejak aku masih kecil sekali, aku telah ditunangkan dengan pemuda lain."
Mei Li melihat betapa wajah itu pucat, tangannya dilepas dan pemuda itu mundur tiga langkah. "Ah, maafkan aku,... maafkan kelancanganku."
"Jangan salah mengerti, twako. Biarpun kami sudah ditunangkan, akan tetapi kami tidak saling mencinta. Kami masih ada hubungan keluarga, dan sejak dahulu kami berdua sudah mengambil keputusan untuk menolak kehendak orang tua dan membatalkan perjodohan. Engkau tentu dapat menduga siapa orangnya. Ya, dia adalah kakak Souw Kian Bu."
Wajah itu menjadi merah lagi. "Akan tetapi, kenapa kalian tidak setuju Li-moi? Bukankah dia seorang pemuda yang hebat dan engkau seorang gadis yang hebat pula?"
"Twako, kami masih saudara misan dan sejak kecil kami sudah menganggap seperti saudara sendiri. Kasih di antara kami adalah kasih sayang antara kakak dan adik, bagaimana mungkin kita berjodoh?"
"Kalau begitu engkau... engkau menerima cintaku?"
Kini barulah wajah Mei Li menjadi kemerahan dan ia mengangguk. Lalu dia menundukkan mukanya karena tersipu malu. "Dan bagaimana dengar orang tuamu, Li-moi?"
"Akan kunyatakan terus terang bahwa aku tidak ingin berjodoh dengan Bu-koko, bahwa aku telah memiliki pilihan hati."
"Akulah orangnya?"
Mei Li mengangkat mukanya dan mengangguk.
Han Lin masih duduk melamun ketika dua pasang orang muda itu muncul, Han Lin tersenyum akan tetapi pura-pura tidak tahu saja, walaupun dari wajah empat orang muda itu yang berseri dan sinar mata mereka yang penuh kasih dia tahu apa yang telah terjadi di antara mereka. Tentu mereka telah menyatakan isi hati masing-masing.
"Lin-ko, kami datang untuk minta pertolonganmu!" kata Souw Kian Bu.
"Benar, Lin-koko. Hanya engkaulah yang akan dapat menolong kami," kata Mei Li. Gadis ini tadi sudah mengadakan pembicaraan serius dengan Souw Kian Bu, disaksikan oleh kekasih masing-masing, dan mereka mengambil keputusan untuk minta pertolongan Han Lin.
Han Lin mengangkat alisnya dan tersenyum. "Aih, ada urusan apakah? Pertolongan apakah yang akan dapat kuberikan kepada kalian?"
Mei Li saling pandang dengan Kian Bu dan akhirnya Mei Li yang menjadi juru bicara. "Lin-koko, maafkan kami. Baru saja bertemu denganmu, kami sudah membikin repot dan minta bantuanmu. Ketahuilah, koko, sejak kecil aku dan koko Kian Bu telah dijodohkan oleh orang tua kita."
Biarpun dia tahu bahwa di sini timbul keruwetan karena masing-masing agaknya telah memilih pasangan, Han Lin mengangguk-angguk tersenyum. "Wah, itu baik sekali!"
"Apanya yang baik!" kata Mei Li.
"Sama sekali tidak baik, Lin-koko."
"Lho? Kenapa?" tanya Han Lin sambil menoleh, memandang kepada Kian Bu.
Pemuda ini juga menggeleng kepala sambil menghela napas. "Memang tidak baik, Lin-ko," katanya.
"Ehh? Kalian ini bagaimana sih? Dijodohkan orang tua, kenapa bilang tidak baik? Apakah Bu-te kurang tampan dan gagah? Apakah Li-moi kurang cantik jelita dan perkasa?"
"Bukan begitu, Lin-koko. Engkau tahu sendiri bahwa kami adalah kakak beradik misan. Sejak kecil kami memang sudah tidak setuju karena kami berdua saling sayang sebagai kakak dan adik. Bagaimana mungkin kami menjadi suami isteri" kata Mei Li.
Han Lin mengangguk-angguk. "Aahh, begitukah? Nah, kenapa kalian minta pertolongan dariku. Apa yang dapat kulakukan untuk kalian dalam hal itu?"
Mei Li memandang Kian Bu. "Bu-koko engkau saja yang menjelaskan kepada Lin-ko."
Kian Bu berkata kepada Han Lin, "Begini, Lin-ko. Kami tidak dapat menerima perjodohan itu, dan terus terang saja, sekarang kami masing-masing telah menemukan pilihan hati. Aku dan adik Yu Kiang Bwe telah bersepakat untuk membina rumah tangga, sedangkan Li moi dan saudara Kwan Lee juga sudah saling mencinta untuk kemudian berjodoh."
Han Lin mengangguk-angguk. Dia tidak merasa heran karena memang sudah menduga demikian. "Kalau begitu, apa yang dapat kulakukah untuk kalian?"
"Begini, koko," kata Mei Li. "Kami tentu akan mendapat tantangan dan kesulitan dari orang tua kami. Oleh karena itu, kami mohon agar engkau suka menjadi pembicara membela dan membantu kami di depan orang tua kami, membujuk mereka agar menyetujui pilihan hati kami masing-masing dan tidak memaksa aku dan Bu-ko saling berjodoh."
"Wah, aku kalian angkat menjadi comblang?" tanya Han Lin sambil tertawa, lalu disambungnya dengan sungguh-sungguh. "Baiklah, aku akan membantu, dan mudah-mudahan saja bantuanku ada gunanya."
"Terima kasih, Lin-ko."
"Terima kasih, Lin-koko."
"Akan tetapi kurasa hal ini tidak mudah. Apa lagi bagi adik Mei Li. Terus terang saja, kalau Bu-te hendak berjodoh dengan nona Yu Kiang Bwe sebagai ketua Kim-kok-pang, hal itu tidak akan ada masalahnya bagi orang tuanya, akan tetapi engkau, Li-moi. Maafkan aku, saudara Sie Kwan Lee. Akan tetapi kalau orang tuamu mendengar bahwa engkau akan berjodoh dengan putera ketua Beng-kauw, aku sangsi apakah mereka akan menyetujuinya."
"Tidak apa, Sia-taihiap. Aku menyadari keadaanku. Memang Beng-kauw telah mempunyai nama yang tidak begitu baik bagi para pendekar, akan tetapi aku berani menghadapi kenyataan, bahkan andaikata aku ditampik sekalipun. Bagaimanapun, kalau sudah dicoba, aku tidak akan menjadi penasaran."
"Jangan khawatir, Lee-ko, ayah ibu bukanlah orang yang kukuh. Aku yakin Lin-koko pasti akan mampu mencairkan hati mereka, dan aku sendiri juga tidak mau dipaksa menikah dengan orang lain."
"Begitulah seharusnya sikap orang muda. Jangan lebih dahulu menyerah sebelum diusahakan. Karena dalam hal ini, pendapat Bu-te juga amat diperlukan untuk memperkuat bujukan terhadap Paman Yang Cin Han, maka aku mengusulkan agar kalian berempat bersama aku pergi menghadap beliau dan bibi. Sesudah berhasil barulah pergi menghadap bibi Yang Kui Lan dan suaminya. Bagaimana pendapat kalian?"
Mei Li dan Kian Bu tentu saja menyetujui. Dan pada saat itu muncullah Kang Hin dan Kwan Eng. Wajah kedua orang ini kemerahan ketika lima orang pemuda itu memandang kepada mereka. Kang Hin telah melihat keakraban antara Mei li dan Kwan Lee, maka dia maklum bahwa harapannya untuk berjodoh dengan Mei Li sia-sia belaka. Maka, ketika melihat Kwan Eng bersikap mesra kepadanya, dia menyambutnya karena dia pun tertarik sekali kepada puteri Beng kauw yang cantik manis itu.
Han Lin mendahului yang lain. "Saudara Ciu Kang Hin, dan juga nona Kwan Eng, aku mengucapkan selamat!"
Dua orang itu terbelalak, dan kedua pipi mereka menjadi semakin merah. "Eh, saudara Sia Han Lin, mengapa engkau mengucapkan selamat kepada kami berdua?"
Han Lin tidak menjawab melainkan tertawa, dan empat orang yang lain ikut pula tertawa. Melihat lima orang muda itu tertawa-tawa gembira, Kang Hin dan Kwan Eng saling pandang dan tersipu. Lalu Kang Hin bicara dengan sejujurnya.
"Baiklah, terimakasih atas ucapan selamat itu. Memang, aku dan nona Sie Kwan Eng telah bersepakat untuk menjadi suami isteri." Dia memandang kepada Mei Li dan gadis ini kelihatan paling gembira mendengar ucapan itu.
"Bagus dan selamat, Ciu-twako! Kalian memang merupakan jodoh yang cocok sekali!"
Kwan Lee yang memang tidak pernah menyimpan rahasia itu, lalu berkata kepada adiknya, "Adik Eng, engkau pulanglah dulu dan beritahukan kepada ibu bahwa aku akan pergi dulu kepada orang tua nona Yang Mei Li untuk membicarakan urusan perjodohan kami, bersama dengan saudara Sia Han Lin, saudara Souw Kian Bu dan nona Yu Kiang Bwe."
Kini Kang Hin yang menjadi gembira sekali. Tadinya dia merasa agak sungkan kepada Mei Li karena belum begitu lama dia mengaku cinta kepada gadis itu dan sekarang dia telah menyatakan hendak berjodoh dengan gadis lain!
"Ah, pilihan yang tepat sekali! Kiong-hi (selamat), kionghi!" katanya berulang-ulang.
Melihat mereka saling memberi selamat Han Lin tertawa. "Kalian lupa untuk memberi selamat kepada pasangan ketiga antara saudara Souw Kian Bu dan nona Yu Kiang Bwe."
Demikianlah, tiga pasang orang muda itu saling memberi selamat dalam suasana yang gembira dan tersipu malah. Dan selagi mereka berenam itu bergembira tertawa, Han Lin diam-diam merasa betapa sepinya hati ini.
Mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Yu Kiang Bwe bersama Souw Kian Bu, Mei Li bersama Kwan Lee, pergi bersama Han Lin. Sedangkan Ciu Kang Hin dan Sie Kwan Eng pergi berdua menuju ke pusat Beng-kauw untuk menghadap ibu Kwan Eng, minta doa restu atas pilihan hatinya. Bagi Sie Kwan Eng tidak ada halangan sesuatu karena sudah menjadi kebiasaan keluarganya di Beng-kauw untuk menentukan dan memilih sendiri calon jodohnya.
Dengan bantuan Han Lin yang diterima oleh suami isteri Yang Cin Han dan Can Kim Hong dengan gembira, akhirnya suami isteri itu dapat menerima pilihan hati puteri mereka. Memang tadinya mereka merasa tidak enak sekali kepada Souw Kian Bu. Akan tetapi setelah terdapat kenyataan bahwa Kian Bu juga mendapat pilihan hatinya sendiri, mereka tak dapat berkata apa-apa lagi. Kenyataan bahwa puteri mereka memilih putera Beng-kauw menjadi calon suami sempat membuat suami isteri itu mengerutkan alis, akan tetapi kesaksian dan pembelaan Han Lin akan kebaikan calon mantu itu membuat mereka akhirnya menyetujui pula.
Setelah orang tua Mei Li setuju, Han Lin mengantar mereka berlima menghadap Souw Hui San dan Yang Kui Lan. Juga di sini Han Lin memegang peran besar sebagai pembela dan pembujuk dan akhirnya suami isteri inipun menyetujui.
Demikianlah, dua pasang kekasih itu, seperti juga halnya pasangan Ciu Kang Hin dan Sie Kwan Eng, akhirnya menikah dengan penuh kebahagiaan. Pernikahan mereka, tiga pasangan itu, dihadiri oleh Sia Han Lin dan setelah selesai menghadiri undangan, Sia Han Lin lalu pergi seorang diri.
Sore itu dia tiba di puncak sebuah bukit yang amat indah pemandangannya. Senja hari yang cerah. Matahari senja menciptakan pemandangan menakjubkan di langit barat. Han Lin berdiri termenung. Hatinya terasa sunyi, sepi, menyendiri dan seolah hidup ini kosong tidak ada artinya sama sekali baginya.
Akan tetapi, ketika tangannya meraba pinggang, tangan itu bertemu dengan pedang yang tergantung di pinggang. Dia sadar dan mencabut pedangnya. Nampak sinar yang menyamai warna langit di barat. Han Lin memandang pedangnya, lalu menancapkan tongkat bututnya di atas tanah. Digerakkan pedang itu dan di lain saat dia telah bersilat pedang. Nampak sinar merah bergulung-gulung, terdengar suara angin menderu dan daun daun kering rontok seolah ditiup badai.
Han Lin terus bersilat memainkan pedangnya dan perlahan-lahan, sinar merah di barat makin layu dan kegelapan makin menyelimut! bumi sampai Han Lin yang bermain pedang ditelan kegelapan malam.
Sampai di sini berakhirlah sudah kisah Si Pedang Terbang ini yang melibatkan beberapa orang tokoh dunia persilatan, dengan harapan pengarang kisah ini dapat menghibur hari para pembacanya. Sampai jumpa di lain kisah.