Roro Centil - Lima Wajah Seribu Dendam
Karya : Mario GembalaSATU
PELANGI di ujung bukit itu seperti melukis langit setengah lingkaran. Mega-mega telanjang memandang terpukau akan keindahannya. Mentari mengorak senyum di lereng gunung, dengan sinarnya yang mulai melemah. Sesaat lagi ia akan kembali keperaduannya.
Sementara lenguh kerbau-kerbau pak tani terdengar di kejauhan. Beriring-iringan menuju pulang ke kandang. Untuk esok kembali bekerja membajak sawah. Kerja keras yang hanya berupa seonggok rumput, namun cukup membuat mereka senang. Dan bekerja giat membantu sang majikan.
Gembala-gembala kecil itu dengan tubuh lesu dan penat tiduran di atas punggung kerbaunya. Sekali-kali masih terdengar canda dan tawanya. Sementara jauh di belakang, orang-orang tua mereka menyandang pacul, dan alat bajak, melangkah lunglai. Namun dengan semangat terpencang di dada. Esok atau lusa kelak berharap panen akan lebih baik lagi.
Sebuah telaga kecil berair jernih di sisi sungai yang berbatu-batu itu masih terdengar suara beberapa gadis bersenda gurau. seperti enggan untuk beranjak dari tempat mandi yang berair sejuk itu.
"Aku sudah ah, nanti kemalaman sampai di rumah. Bisa-bisa aku kena marah..!" Berkata salah seorang dari kelima gadis itu. Dan serta merta beranjak untuk menyambar pakaiannya. Gadis itu bernama Sekar Tanjung. Gadis yang paling cantik di antara mereka. Melihat itu, yang lainnya pun bergegas naik ke darat.
"Benar..! Terlalu asyik kita mandi sampai tak sadar hari hampir gelap..!" Berkata salah seorang yang terlihat lebih tua diantara mereka. Yang dua orang ternyata masih juga bercanda, hingga salah seorang berteriak, "Awas, siapa yang paling belakang tentu akan digondol hantu Sendang. Siapa yang dapat menolong?"
Terkejutlah keduanya, dan dengan berteriak sambil silih pegangan mereka cepat-cepat beranjak ke darat. Sampai-sampai salah seorang lupa dimana menaruh pakaiannya. Tentu saja gadis-gadis lainnya jadi tertawa cekikikan saking lucunya melihat sang kawan yang bertelanjang bulat, sibuk kesana-kemari mencari bajunya.
"Wah...! Pasti bajumu disembunyikan hantu Sendang..!" Teriak kawannya.
"Ah, jangan main-main kau. Aku takut! Siapa yang sembunyikan? Awas nanti kuhajar pantatnya..!" Teriaknya sambil berjongkok kedinginan.
"Aku tidak tahu...!" Menyahut salah seorang.
"Aku juga tidak..! Berani sumpah, aku tidak menyembunyikan! Berkata kawannya yang seorang lagi.
Dan berturut-turut semuanya tak ada yang mengetahui dimana kawannya ini meletakkan pakaiannya. Sekar Tanjung ternyata telah bergegas berangkat lebih dulu setelah mengenakan pakaiannya. Empat pasang mata segera beralih padanya.
"Eh... Sekar! Tunggu dulu. Apakah kau tahu dimana Serandil meletakkan pakaiannya. Atau kau telah menyembunyikannya..?!" Teriak Siti Jenang, gadis yang paling tua itu.
Sekar Tanjung menoleh, dan hentikan tindakan kakinya. "Aiii! Kalian jangan sembarangan menuduh orang. Apa tidak terhanyut terbawa air..?" Menyahut Sekar Tanjung. "Aku benar-benar tak menyembunyikannya..!" Tambahnya lagi.
Sementara itu Serandil sudah mau menangis. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan. Pada saat itulah terdengar suara benda tercebur ke dalam air telaga atau Sendang. Semuanya jadi terkesiap. Dan salah seorang berbisik,
"Celaka..!? Jangan-jangan hantu Sendang yang mengganggu..!" Dan ia sudah mendahului lari dengan wajah pucat bagai kertas.
Tentu saja yang lainpun berlari bubar ketakutan, tanpa menghiraukan lagi pada si gadis yang masih bertelanjang bulat itu. Serandil berteriak-teriak sambil menangis, berlari kesana kemari kebingungan. Sementara kawan-kawannya sudah tak kelihatan lagi. Akhirnya Serandil cuma bisa menelungkup menutup wajahnya dengan terisak-isak. Tak tahu akan apa yang harus diperbuatnya.
Senja terus merayap. Cuaca berangsur-angsur menjadi gelap. Beberapa orang laki-laki termasuk seorang lelaki tua yang berada di bagian paling depan, tampak berjalan dengan tubuh layu. Wajahnya menampilkan kebingungan. Lelaki tua itu membawa seperangkat pakaian wanita. Tampaknya ia ayah dari si gadis bernama Serandil itu.
"Aku bukan mengkhawatirkan akan adanya hantu Sendang itu." Berkata laki-laki tua bernama Kebo Pawon itu. Dan lanjutnya. "Tapi yang ku khawatirkan adalah ulah perbuatan pemuda atau laki-laki iseng. Siapa tahu ia memang bermaksud buruk terhadap anakku..!"
"Siapa kira-kira orang yang bapak curigai..! Jangan khawatir, pasti akan kuberi hajaran dia.." Berkata salah seorang bertubuh tegap. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Dialah yang bernama Telo Moyo. Boleh dikatakan juga seorang jagoan di desa Blimbing Wuluh itu.
Namun laki-laki tua itu hanya terdiam. Pikirannya telah terbenam dalam keruwetan. Serandil tak dapat dijumpai di sisi telaga. Bahkan sudah sekeliling tempat itu diperiksa. Setiap semak lebat di singkap dan dibabat, oleh keempat laki-laki muda yang turut serta bersamanya.
Namun sosok tubuh Serandil tak kelihatan. Ada dugaan ia tenggelam di telaga, namun tak ada yang berani untuk menyelam. Ditambah hari sudah gelap, dan suasana di tepi Sendang itu memang agak seram. Akhirnya mereka pulang dengan tangan hampa. Serandil lenyap tak berbekas...
Sepekan sudah berita tentang lenyapnya seorang gadis di tepi telaga itu sudah menyebar ke pelbagai pelosok desa Blimbing Wuluh. Bahkan sampai pula ke desa-desa lainnya. Serandil memang hilang secara misterius. Bahkan mayatnya pun tak kelihatan. seandainya ia tenggelam ke dalam Sendang. Dugaan sementara orang adalah pada seorang pemuda bernama Jembawan. Karena berbareng dengan lenyapnya Serandil.
Pemuda bernama Jembawan, yang berasal dari desa Nongko Jajar, yang tak berapa jauh dari desa Blimbing Wuluh itupun ternyata lenyap. Beritanya baru diketahui oleh penduduk Blimbing Wuluh dua hari kemudian. Telo Moyo beranggapan bahwa Jembawanlah yang telah membawa lari si gadis bernama Serandil itu. Rasa simpatinya pada Kebo Pawon, membuat ia bersama tiga orang kawannya segera melacak ke berbagai tempat. Mencari jejak Jembawan dan Serandil.
Hampir setiap desa yang di jumpai mereka. tentu ditanyakan akan adanya sepasang sejoli yang menghilang itu. Namun hampir semua yang ditanyai menggelengkan kepala. Ketiga orang kawannya mengusulkan untuk kembali saja. Terpaksa Telo Moyo tak dapat menolak keputusan itu walaupun hatinya masih penasaran. Namun ketika kembali ke desa Belimbing Wuluh. Berita baru membuat mereka terkejut. Yaitu lenyapnya Sekar Tanjung, seorang gadis anak seorang Kuwu kembali lenyap dengan misterius.
Gemparlah keadaan desa Belimbing Wuluh. Beberapa pemuda desa dikerahkan untuk melacak ke pelbagai tempat. Pak Kuwu sendiri memimpin pelacakan itu. Pertama-tama yang dituju adalah desa Nongko Jajar. Karena disana diketahui seorang laki-laki bernama Jembawan, yang juga telah menghilang tak berbekas. Tentu saja kedatangan pak Kuwu yang bernama Bendoro Kelud itu, mendapat sambutan yang kurang baik dari orang tua Jembawan. Walaupun Jembawan adalah anak angkat, namun tetap sudah menjadi bagian dari kehidupannya.
"Maaf... pak Kuwu..! Aku sendiri tak mengetahui kemana anak itu pergi. Akupun tak mengetahui tentang hubungannya dengan gadis-gadis dari desa Belimbing Wuluh. Apakah ada hubungannya peristiwa hilangnya dua gadis itu dengan anakku..?"
"Aku sendiri tak mengetahui..! Tapi janganlah asal menuduh saja pada anak orang. Karena biarpun aku orang miskin, aku punya harga diri. Aku mengenal betul watak anakku. Kalau dia bersalah pasti aku yang akan menghajarnya. Aku sendiri telah mengirim orang untuk melacak kemana perginya si Jembawan itu..!" Demikianlah ujar Sugita. Tampak wajah laki-laki tua yang berumur lima puluhan tahun itu merah padam.
Bendoro Kelud tak dapat berbuat apa-apa. Memang ia tak mempunyai tuduhan kuat untuk dapat menyangka Jembawanlah yang telah melarikan kedua gadis dari desa Belimbing Wuluh itu. Dengan agak malu, segera Bendoro Kelud meninggalkan desa Nongko Jajar di ikuti pemuda-pemuda desanya. Disaksikan beberapa penduduk dengan bibir mencibir.
"Enak saja menuduh anak orang. Memangnya anak orang apaan...?" Berkata salah seorang tetua di desa itu sepeninggal pak Kuwu.
Sementara Sugita sendiri tercenung dengan wajah murung. Ia sendiri sedang memikirkan nasib Jembawan. Kemanakah gerangan perginya anak itu..? Gumamnya dalam hati.
Tiga pekan sudah berlalu. Dan pencarian ketiga orang itupun menemui jalan buntu. Tak seorangpun yang mengetahui kemana lenyapnya satu pemuda dan dua gadis dari dua desa itu.
Puncak Mahameru yang tersembul dibalik awan itu bagaikan kepala raksasa yang tegak menjulang dengan megahnya. Mentari pagi masih merah di ufuk timur. Pancarkan sinarnya yang masih lemah. Namun sesaat demi sesaat terus menggelinding ke atas dengan sinarnya yang kuning keemasan. Kicau burung-burung tampak semarak menyambut munculnya si Raja Siang itu.
Petani mulai kembali berangkat ke sawah memanggul paculnya. Walaupun kekalutan itu masih menghantui desa itu. namun mereka tetap harus bekerja demi hidupnya. Di kejauhan tampak seorang gadis berjalan seenaknya. Pakaiannya berbeda dengan pakaian gadis-gadis desa umumnya. Karena tidak umum dikenakan oleh seorang gadis biasa.
Baju atasannya berwarna merah jambu berlengan panjang. Dengan ikat kepala yang juga berwarna merah jambu melambai-lambai ditiup angin pegunungan. Sedangkan bagian bawahnya memakai celana pangsi berwarna hitam. Dengan sabuk terbuat dari kulit ular. Pada kedua belah pinggangnya tampak tergantung dua buah benda berbentuk aneh. Yaitu bentuknya seperti payudara, yang tergantung pada seutas rantai pada kedua belah pinggangnya.
Sepasang kakinya memakai sepatu rumput yang terbelit dengan seutas tali menjalin betisnya hingga sampai ke ujung celana pangs hitam itu. Yang juga dibeliti oleh tali dari sepatu rumput itu. Sepintas saja orang dapat mengenalnya, kalau gadis itu adalah orang dari kalangan Rimba Persilatan. Wajah gadis itu ternyata amat cantik. Walaupun tanpa dipulas oleh pupur atau gincu. Alisnya lentik menjulang ke atas. Melengkung bagai bulan sabit. Wajahnya bulat telur, dengan sepasang mata yang bening. Hidung yang tak terlalu mancung.
Sedangkan sepasang bibirnya bagaikan gondawa. Dan seperti menampakkan senyuman menawan. Wajahnya menampilkan seperti seorang gadis yang lugu. Namun ayu, dan luwes. Sepintas saja orang memandang pasti tak akan puas untuk memperhatikan lagi. Rambutnya panjang terurai berwarna hitam legam. dan ikal bak mayang terurai.
Ternyata dialah RORO CENTIL si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Yang telah menginjakkan kakinya didaerah itu. Langkahnya tidak terlalu cepat. Bahkan kadang-kadang berhenti untuk melihat dan mengagumi pemandangan alam disekitarnya. Angin gunung yang lembut itu sesekali menyibak rambutnya, membuat ikat kepala dan ujung bajunya melambailambai diterpa angin.
"Roroooo..!" Sebuah suara telah memanggilnya dari kejauhan.
Segera ia palingkan wajahnya ke arah suara itu. Tampak alisnya agak menyatu melihat sesosok tubuh dikejauhan yang bergerak mendatangi. Dalam beberapa kejap saja orang itu telah tiba dihadapan Roro Centil. Dan sudah lantas berkata lagi.
"Roro,! Kau ada disini...? Ujarnya dengan wajah berseri-seri. Pemuda itu berwajah tidak terlalu tampan. Memakai pakaian warna putih, tapi berperawakan gagah. Sepasang matanya membersit tajam menatap Roro Centil.
"Haii..! Kau rupanya Ginanjar..! Angin apa yang meniupmu sampai kemari..?" Bertanya Roro dengan menampilkan wajah terkejut, juga kelihatan senang sekali.
"Kaupun angin apa yang meniupmu sampai kemari...?" Balik bertanya pemuda murid mendiang si Pendekar Bayangan Bayu Seta itu, dengan mata tak lepas menatap wajah ayu dihadapannya. Seperti ingin rasanya ia untuk membelainya.
Roro cuma tersenyum. Diam-diam iapun menatap dan memperhatikan wajah orang. Hingga dua pasang mata beradu saling tatap. Ternyata sepasang mata si pemuda bernama Ginanjar itu kalah dalam hal tatap-menatap. Karena sekonyong-konyong hatinya jadi berdebaran tak keruan rasa. Tenggorokannya entah mengapa, tahu-tahu terasa seperti kering. Ia cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain seraya alihkan pembicaraan.
"Pemandangan disini indah-indah, tentu saja telah menarik perhatianmu untuk datang kemari, bukankah begitu Roro? Karena akupun amat mengagumi keindahan, makanya juga datang kemari.." Ujar Ginanjar, memancing pembicaraan. Karena ia tiba-tiba juga kaku untuk bicara apa.
Roro Centil kembali menampakkan senyumnya. Tapi kali ini bibirnya terbuka lebar hingga menampakkan sederetan gigi yang putih bersih bak sederet mutiara. Roro Centil tertawa kecil sambil manggut-manggut dan berkata: "Benar! Aku memang tertarik melihat pemandangan indah didaerah ini. Tapi juga tertarik dengan kisah aneh yang beritanya terdengar dari desa sekitar Gunung Slamet ini..!"
Ginanjar palingkan kepalanya menatap lagi pada si cantik. "Kisah apakah itu..?" Berkata si pemuda dengan wajah serius.
"Kisah hilangnya dua orang gadis dan seorang pemuda secara misterius dari kedua desa..!" Ujar Roro. Sementara sepasang matanya memandang sekitarnya. "Nah..! Itu ada sebuah dangau tempat meneduh. Mari kita kesana untuk mengobrol..!" Kata-katanya sudah dibarengi dengan gerakkan tubuhnya yang melesat ke arah bawah.
Ginanjar segera mengikutinya dengan rasa ingin tahu. Sebenarnya ia baru saja tiba setelah berjalan semalam suntuk dari Lebak Barang mencari obat-obatan. Karena susahnya penginapan dan desa. Ia terpaksa menginap diperjalanan. Namun karena ingin cepat-cepat tiba di tempat yang dituju, ia telah melakukan perjalanan semalam suntuk.
Pagi subuh baru ia tiba di desa Baturaden. Beruntung ada orang yang baik hingga ia bisa menumpang tidur dalam beberapa kejap. Dan di saat ia keluar, matahari baru menggelincir dari lereng Gunung Slamet. Saat ia keluar untuk menghirup udara segar itulah, ia menjumpai Roro Centil.
Sebentar saja. kedua orang muda-mudi itu telah duduk berhadapan di bawah gubuk kecil tempat beristirahat para petani atau peladang itu. Segera Roro Centil menuturkan apa yang telah didengarnya dari seorang penduduk di sebuah desa, mengenai peristiwa aneh itu.
"Aku beranggapan hal itu adalah bukan perbuatan pemuda bernama Jembawan itu. Pasti ada orang lain yang memang sengaja memancing kekeruhan..!" Tutur Roro Centil dengan pasti.
Sementara Ginanjar manggut-manggut dengan penuh perhatian. Tampaknya ia serius benar untuk mendengarkan penuturan Roro itu namun sesungguhnya fikirannya entah menerawang kemana. Karena bukan cerita itu yang ia dalami, namun ia cuma memperhatikan gerak-gerik gadis ayu dihadapannya.
Dan bibir mungil itu yang terbuka dan terkatup mempesonakan. Bahkan sekali-sekali Ginanjar menelan ludah saking terpesonanya. Entah dari mana tahu-tahu seekor lalat telah mampir ke mulut pemuda itu, yang agak setengah terbuka.
"Ahk! Ahk!... Kurang ajar..!? Setan alas..!" Memaki Ginanjar sambil terbatuk-batuk. Namun rupanya sang lalat telah masuk tertelan kedalam tenggorokannya.
Karuan saja Roro Centil jadi mengikik geli, hingga terpingkal-pingkal saking lucunya. Wajah Ginanjar jadi tampak merah karena malunya. Dan tiba-tiba saja ia telah muntah-muntah karena tak tahan menahan rasa mual diperutnya.
"Hi hi hi... hi hi.. Lucu sekali..! Makanya jangan terlalu lebar buka mulutnya, jadi... jadi... Hi hi hi... hi hi...." Kembali Roro terpingkal-pingkal. Hingga gubuk kecil itu bergoyang-goyang. Dasar memangnya dangau itu sudah tua, maka tiba-tiba saja terdengar suara berkreotan. Dan...
Brruaaak..! Robohlah dangau tua itu dengan seketika. Roro Centil sudah melompat keluar. Namun Ginanjar yang sedang mengurut-ngurut perutnya itu, tak sempat lagi untuk memikirkan akan kejadian mendadak itu. Hingga tak ampun lagi ia sudah tertindih oleh tiang-tiang bambu dan atap alang-alang.
"Celaka..!?" Terpekik pemuda itu. Namun sudah terlambat. Tubuhnya sudah teruruk oleh alang-alang. Ketika muncul lagi wajahnya hampir tak terlihat karena penuh dengan jerami.
Karuan saja Roro Centil terpingkal-pingkal saking lucunya. Menyadari akan kebodohannya. tiba-tiba Ginanjar melesat cepat dari tempat itu. Hingga sebentar saja ia sudah tak kelihatan. Roro Centil segera hentikan tertawanya. Mendadak kelucuan itu segera sirna, melihat kepergian laki-laki dihadapannya.
"Aih. Roro..! Kau terlalu sekali sih menertawakannya..!" Gumam Ginanjar.
"Habis lucu sekali..! Aku terpaksa tak dapat menahan tertawa..!" Bantah hatinya. Akhirnya Roro cuma bisa menatap ke arah mana kepergian pemuda yang masih saudara seperguruannya itu ketika di lereng Rogojembangan. Roro Centil menduga bahwa Ginanjar pasti akan marah atau malu untuk menjumpai dia lagi, karena ditertawakan sampai keterlaluan. Sampai nasib sial pagi-pagi sudah menyambangi. Sudah tertelan lalat, kerobohan atap gubuk lagi.
"Biarlah, nanti aku akan cari dimana ia menginap. Aku yakin ia tidak pergi buru-buru dari sekitar daerah ini. Dan aku akan minta maaf...!" Berfikir Roro Centil. Memikir demikian Roro segera beranjak dari tempat itu.
Hari sudah menjelang tengah hari ketika Roro tiba disebuah pasar. Sengaja ia berputar-putar di sekitar daerah itu untuk menyelidiki keadaan. Entah beberapa desa ia masuki. Untuk mencari dengar adanya tanda-tanda yang dapat memberi petunjuk tentang hilangnya ketiga orang desa yang misterius itu. Ketika menampak adanya sebuah rumah makan. Ia segera memasuki.
Rumah makan itu cukup besar. Dan agaknya hari itu banyak pengunjungnya. Sepasang mata Roro mencari-cari tempat yang masih kosong. Tampak ia tersenyum, karena disudut ruangan itu, masih ada sebuah meja dengan dua kursi yang masih kosong. Segera ia sudah beranjak kesana.
Menampak adanya pengunjung yang berwajah ayu ini, beberapa pasang mata sudah lantas melotot kagum. Sampai-sampai terdengar suara orang batuk-batuk, karena terselak oleh sayur pedas yang masuk hidung. Keruan saja beberapa lelaki jadi berceloteh dengan kata-kata yang tak enak.
"Hati-hati bung..! Makanya mata jangan terlalu lebar kalau melihat orang..!" Dan bermacam kata-kata lainnya lagi, yang diselingi gelak tawa. Sedangkan Roro Centil sudah menggeser bangku untuk duduk, dengan diiringi seorang pelayan yang segera mendatangi mejanya.
"Mau pesan apa nona..?" Berkata sang pelayan.
Tapi belum lagi Roro menyahut telah terdengar suara dari meja sebelah depan. "Eh, pelayan, kau keterlaluan... Coba kesini dulu..!"
Pelayan tua itu cepat menoleh. Ternyata seorang laki-laki brewok tengah menggapainya. Karena yang menggapainya itu tampak melotot, tentu saja ia buru-buru meninggalkan meja tamunya, untuk segera terburu-buru beranjak. Namun masih sempat juga berkata, "Maaf, nona... Sebentar aku datang lagi...!"
"Coba kau lihat meja ini! Masak kotornya bukan main. Apa begini caranya kau melayani tamu... ?" Berkata si brewok dengan keras, sambil menunjuk pada mejanya.
Tentu saja tiga lelaki disekelilingnya jadi senyum-senyum ditahan. Karena mereka tahu, si brewok sengaja menumpahkan nasi dan sedikit sayur yang diacak-acak di atas meja.
"Apakah tadi kau tak mengelap mejanya? Kalau aku tidak merasa lapar sekali sejak tadi aku tak mau duduk disini..!" Sambungnya lagi.
"Oh, maaf... Dan, aku tak melihatnya..!" Berkata si pelayan, dan cepat-cepat mengambil kain untuk mengelapnya. Tapi diam-diam hatinya memikir: Rasanya ada sesuatu yang aneh? Sementara si brewok sudah lantas beranjak dari bangkunya.
"Biarlah aku pindah saja ke tempat yang lebih baik..!" Berkata si brewok seraya berpesan untuk membawakan minuman baru lagi ke pada sang pelayan. Tentu saja kata-kata itu dengan bisikan perlahan.
Roro tak palingkan wajahnya sedikitpun. Tapi diam-diam ia tersenyum. la sudah mengetahui akal orang. Dan benar saja ternyata saat itu si brewok tampak mendatangi mejanya. Menyeret kursi dan duduk dibangku kosong dihadapan Roro Centil.
"Boleh aku duduk disini, ngng... nona..?" Berkata si brewok sambil tersenyum-senyum. Sementara sepasang matanya merayapi wajah orang dihadapannya.
Roro anggukkan kepala sambil matanya menatap tajam pada si brewok. "Laki-laki ini walaupun tampangnya kasar, tapi cukup hormat juga dan tidak kurang ajar.” Berfikir Roro.
"Pesan apa..?" Bertanya lagi si brewok setelah berfikir sebentar.
"Belum sempat..!"
"Ooooh..!?" Laki-laki brewok itu menyongkan mulutnya, hingga kumisnya yang berbulu kasar itu jadi ikut terbawa kedepan. Roro sengaja menahan dari rasa gelinya, karena ia melihat orang itu agak lucu.
"Pelayan..!" Ia sudah keluarkan bentakannya dengan suara keras. Hingga semua orang jadi menoleh padanya.
Tergopoh-gopoh sang pelayan yang memang tengah melangkah kesana, jadi mempercepat jalannya seperti setengah berlari. Namun kembali memperlambat jalannya, kalau tak ingin gelas yang berisi kopi panas itu menjadi tumpah.
Tampak si brewok geleng-gelengkan kepala. seraya berkata, "Kalau jadi jongos harus kerja dengan cepat dan gesit. Jadi pengunjung tak kecewa..!"
Si pelayan tua itu hanya angguk anggukkan kepala. "Non... nona pesan apa..?" Berkata si pelayan setelah meletakkan segelas kopi yang dibawanya itu dihadapan si lelaki brewok.
"Pesanlah apa saja yang kau mau, nona. Biar nanti aku yang bayar..!" Si brewok sudah mendahului berkata.
Sementara tiga orang kawannya dimeja depan terdengar tertawa geli tertahan. Tiba-tiba entah dari mana telah terdengar suara suitan. Si brewok ini agak melengak dan wajahnya berubah merah. Belum lagi ia berbuat sesuatu telah terdengar tepukan ramai dari meja disudut kanan, disertai teriakan.
"Hidup, Warok Brengos, si Pisau Terbang dari Madura...!" Dan suara riuh tepukan tangan pun kembali terdengar.
"Sayang pisaunya cuma tinggal satu..! Tumpul lagi..!"
Terdengar suara teriakan santar dengan suara nyaring, dibarengi dengan suara mengikik tawa dari dua orang wanita yang baru turun dari ruang atas. Keruan saja semua mata tertuju pada kedua wanita itu. Mata Warok Brengos seperti mau melompat keluar melihat siapa adanya kedua wanita itu.
"Perempuan-perempuan tengik itu selalu cari gara-gara..." Menggumam si brewok, tapi ia kembali duduk. Walaupun banyak orang tertawa mendengar kata-kata yang agak kurang sopan itu.
"Maaf, nona... Rupanya disini banyak kecoa-kecoanya yang mengganggu aku. Nanti selesai minum akan kuberi pelajaran orang yang telah kurang ajar itu..! Eh.. Mana pelayan itu..? Apakah kau sudah pesan makanan, nona..?" Bertanya Warok Brengos dengan terkejut. Karena ia tak melihat ada pelayan disitu.
"Sudah..! Aku sudah pesan sejak tadi!" Menyahut Roro. Rupanya di saat suara teriakan den tepukan macam-macam itu. Roro sudah bisiki ditelinga si pelayan untuk membawakan pesanannya. Dan sang pelayan segera pergi. Namun karena merasa mendongkol pada para pengunjung di dalam kedai itu, ia sampai tak melihat lagi kalau si pelayan sudah ngeloyor lewat dihadapannya.
Sementara itu, begitu dua wanita itu turun. Segera saja dua buah kursi dikosongkan orang. Dan seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah, tampak mengajaknya bercakap-cakap. Diselingi gelak tawa cekikikan kedua wanita itu. Dua orang yang ternyata adalah murid laki-laki itu segera beranjak keluar.
Diam-diam Roro Centil terkejut juga. Sekilas saja ia sudah dapat perhatikan bahwa para pengunjung restoran atau boleh dibilang kedai besar itu, adalah kebanyakan dari orang-orang kaum Rimba Persilatan. Ada apakah mereka bisa berkumpul di tempat ini..? Membatin Roro Centil.
Sambil menunggu hidangan, Warok Brengos sengaja mengajak bercakap-cakap pada Roro dengan suara agak keras. Dan lagak si laki-laki brewok ini mendadak berubah seperti tak perduli pada semua orang yang berada di situ. "Nona pesan apa? Ko' lama sekali...?" Berkata Warok Brengos.
"Tentu saja, aku pesan seratus tusuk sate... Satu gelas kopi susu, dan dua piring nasi putih...!"
"Ha...?" Seratus tusuk...?! Apakah kau bisa habiskan sebanyak itu... atau kau mau bawa pulang, nona..?" Berkata Warok Brengos dengan kaget, hingga sampai terlonjak dari kursinya. Diam-diam ia menghitung uang dalam saku di benaknya. Mati aku..! Uangku tak cukup untuk membayar sebanyak itu..! Berkata ia dalam hati. Roro agaknya telah memaklumi akan kegelisahan orang. Maka ia sudah lantas mau berkata... tapi sudah terdengar suara orang yang berkata,
"Jangan khawatir nona..! Aku yang bayar semua termasuk kawanmu itu. Ha ha ha... baru seratus tusuk sate sih bukan apa-apa..!" Dan terdengar gemerincing bunyi uang dalam kantung yang diguncang-guncang. Ternyata yang berkata adalah laki-laki berpakaian mewah disudut dekat tangga itu. Yang duduk bertiga dengan dua wanita tadi.
Wajah Warok Brengos merah padam. Ia merasa terhina sekali. Apalagi didengarnya suara dua orang wanita yang tertawa cekikikan. Membuat telinga si brewok jadi panas. Saat itu si pelayan telah datang dengan tergopoh-gopoh membawa pesanannya. Dan dengan cepat segala pesanan Roro sudah terhidang di atas meja. Warok Brengos menelan ludahnya. Bau sate kambing yang sedap itu telah merangsang hidungnya, hingga terlihat kembang-kempis.
Roro meneguk sedikit kopi susunya. Lalu berkata berbisik pada si brewok: "Eh, sobat Warok..! Ayo kau santap makanan gratis ini. Aku memang sengaja memesan sebanyak ini untuk kita berdua..."
Tentu saja suara Roro tak terdengar oleh siapa-siapa, karena Roro telah mempergunakan tenaga dalamnya, hingga cuma si brewok itu yang mendengarnya. Mata si brewok jadi mendelik kaget, karena hal itu di luar dugaannya. Tapi Roro sudah kedipkan mata untuk jangan sungkan-sungkan.
Tampaknya si brewok ini mengerti dengan tanda itu. Dan tanpa komentar lagi ia sudah seret kursinya lebih dekat. Mencuci tangannya. Mengelapnya dengan serbet. Dan tak ayal lagi langsung mengganyang santapan itu tanpa malu-malu. Terdengarlah suara riuh tepuk tangan, dan teriakan-teriakan disertai oleh gelak tawa terpingkal-pingkal dari sekelilingnya. Namun Warok Brengos sudah tak perduli lagi. Setelah kenyang sampai beberapa kali bertahak. Warok Brengos mengurut-urut perutnya yang buncit, terdengar ia berkata keras:
"He he he... Terimakasih sobat Guriswara..! Kalau tidak karena nona ini, tak nantinya kau mentraktir aku. Ha ha he he he..!"
Terdengar beberapa orang memuji pada sikap si Brewok itu yang tanpa malu-malu menyantap makanan yang justru tadinya ia yang mau mentraktir orang... malah kini berbalik di traktir oleh si laki-laki berpakaian mewah itu. Sementara ketiga kawan si Brewok yang tadi semeja dengannya, tampak seperti mengiri akan nasib orang. Yang sebentar saja tampak sudah akrab dengan gadis cantik yang lugu itu.
"Eh, terimakasih atas jasamu itu, nona..! Ngng... kau sudah tahu namaku, tapi aku sendiri belum mengenalmu. Kalau boleh tahu siapakah nona ini? Dan akan kemana tujuannya?" Berbisik Warok Brengos.
"Ah, namaku sangat jelek. Apa perlu diberitahu..?" Berkata Roro. Sementara suara teriakan yang hingar bingar itu sudah lenyap lagi. Dan beberapa orang sudah tampak keluar dari kedai besar itu.
"Memangnya kenapa?" Apa khawatir aku mengkambing hitamkan namamu? Aku tak ada bermaksud jahat padamu nona. Percayalah! Aku orang baik-baik..!" Berbisik si Brewok. Sementara sudut matanya menatap ke arah laki-laki bernama Guriswara. yang mentraktir sate itu.
"Tapi kau harus hati-hati pada orang yang membayarkan makananmu. Dia sudah kesohor hidung belang terhadap wanita cantik..!" Bisik lagi Warok Brengos.
Roro cuma mengangguk-anggukkan kepala sambil leletkan lidah. Dan basahkan bibirnya dengan beberapa teguk air putih. Lalu keluarkan sapu tangannya, untuk mengelap sepasang bibir mungil itu.
"Namaku Roro Centil...!" Segera Roro perkenalkan namanya dengan singkat. "Tujuanku adalah mencari tahu tentang peristiwa lenyapnya dua orang gadis dan satu pemuda bernama Jembawan. Ketiga orang itu telah hilang secara misterius..." Sambung Roro dengan perlahan.
Tampak wajah Warok Brengos berubah kaget, dan tampaknya ia terkejut sekali. "Hah? Ja... jadi nona adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu...? Oh... Maafkan aku yang bodoh ini, nona Pendekar. Tak tahu kalau Gunung Mahameru berada didepan mata..!" Berkata Warok Brengos sambil menjura hormat.
"Aih... sobat Warok, mengapa kau terlalu menyanjung namaku? Aku jadi malu hati menerima hormatmu..! Tukas Roro dengan wajah tersenyum, namun diam-diam ia terkejut juga karena nama Roro Centil ternyata telah dikenal disetiap pelosok.
Pada saat itu ketiga dari kawan Warok Brengos telah menghampiri. Sambil cenger-cengir merubung di kiri kanan dan belakang si Brewok. "He...Warok! Bagi-bagi aku kalau dapat rejeki, jangan dimakan sendiri..!" Berbisik yang dibelakang.
Sementara yang dua orang tampak melihat Roro dengan kagum, seperti memandang sebuah boneka saja. Tiba-tiba saja si Brewok bangkit dari kursinya, seraya memberi isyarat untuk segera mengikutinya. Tentu saja ketiganya jadi terheran, dan dengan cepat mengikutinya. Ketika tiba-tiba diluar...
"Hm, dengarlah kalian sobat-sobatku. Bicaramu jangan terlalu kurang ajar. Apakah kau tak mengetahui kalau nona yang ada didekatku itu adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil..?!" Ternyata Warok Brengos telah bicara dengan suara keras. "Hayo, segera kau minta maaf padanya...! Berkata Warok lagi.
Adapun ketiga orang kawannya jadi terkejut bukan main mendengar penjelasan itu. Dan tak lama kemudian mereka segera kembali ketempat duduk Roro. Akan tetapi mereka jadi terkejut, karena tahu-tahu bangku disudut itu telah tak ada orangnya. Alias kosong. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu ternyata telah lenyap tak berbekas.
"Heh..?! Kemana nona Pendekar itu..? Wah! Wah! Tentu sudah pergi dengan diam-diam. Agaknya tak ingin banyak orang melakukan penghormatan padanya. Enam orang yang berada dimeja sebelah kanan, juga telah menghampiri. Ternyata keenamnya juga termasuk kawan-kawan Warok Brengos.
"Apa kalian tak lihat kemana perginya Pendekar Roro Centil, yang tadi duduk bersamaku...?" Bertanya si Brewok.
"Entahlah... Tadi begitu kau keluar kami semua melihat kearahmu. Ketika kami berpaling lagi, nona itu telah lenyap..!" Menuturkan salah seorang.
"Hah...? Jadi dia Pendekar Wanita yang kesohor aneh dan berkepandaian tinggi itu..? Menyesal tak sedari tadi kami tahu..." Berkata kedua dari enam orang kawan si Warok Brengos.
Gemparlah semua orang yang berada direstoran. Masing-masing membicarakan nona pengunjung yang telah lenyap itu. Bahkan ada juga yang bercerita sempai berlebih-lebihan mengenai kehebatan si Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil. Kemanakah perginya Roro Centil..?
Ternyata di saat Warok Brengos meninggalkan mejanya. Sebuah benda melayang cepat sekali ke arah Roro Centil, dari arah jendela. Dengan terkejut Roro menyambar cepat dengan gerakan tangannya. Ternyata benda itu adalah segulung kertas kecil yang bertulisan. Roro belum membuka seluruhnya, tapi tubuhnya telah bergerak melesat keluar dari jendela. Masih terlihat siapa yang telah melemparkan benda itu.
Yaitu sesosok tubuh yang berkelebat cepat ke ujung pasar. Dan membaur dengan simpang siurnya manusia yang berbelanja. Roro agak susah untuk menyusulnya. Dan ia benar-benar telah kehilangan jejak. ketika lorong-lorong buntu membuatnya kikuk untuk mengambil arah. Akhirnya ia melompat ke atas genting sebuah bangunan. Dari sana ia dapat memandang ke sekelilingnya. Namun tak ada tanda-tanda mencurigakan.
Segera ia melompat lagi kebawah. Dan berkelebat ketempat yang agak sunyi. Disana ia perhatikan dulu keadaan sekitarnya. Baru ia membuka kertas kecil bertulisan itu. Dan apa yang tertulis dikertas itu membuat ia terkejut.
RORO...!
Aku telah menemui jejak tiga orang aneh yang mencurigakan. Pergilah ke arah sebelah barat. Disana dapat kau jumpai sebuah kuburan kuno yang besar. Dihadapannya ada terdapat patung katak raksasa. Hati-hatilah...!
GINANJAR
Demikianlah isi surat dikertas kecil itu. Roro kerutkan keningnya. Dan segera remas surat kecil itu. Hatinya membatin: "Hm... Kiranya Ginanjar masih mau juga turut membantuku. walaupun tak mau bertemu muka." Tampak wajah Roro menampilkan senyumannya. Dan tiba-tiba ia sudah berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Kuburan kuno di lereng Mahameru itu memang sebuah tempat yang tersembunyi. Rimba belantara dan bukit terjal terdapat disekelilingnya. Pelataran kuburan kuno itu ternyata amat luas. Berlantai putih. Namun agak kotor tak terawat. Sedang pada sisi sebelah kanan terdapat patung seekor katak besar yang tengah mengangakan mulutnya. Tiga sosok tubuh tampak duduk bersila dihadapan patung katak yang tampak menyeramkan itu.
Dua orang wanita, yang satu adalah seperti seorang gadis yang sudah kadaluwarsa, alias perawan tua. Sedang yang seorang lagi adalah seorang gadis yang berwajah pucat. Sedangkan orang ketiga adalah seorang pemuda yang cukup tampan, umurnya sekitar dua puluh lima tahun. Ketiganya tampak tengah bersemadi dengan khusuknya.
Sementara itu dari kejauhan tampak terlihat dua orang telah berkelebat mendatangi kuburan kuno itu. Hebat..! Ternyata kedua orang itu adalah orang cacad. Yang seorang sebelah kakinya putus sebatas paha. Dan pergunakan sebuah tongkat kayu untuk menyangga tubuhnya. Namun ternyata dapat berlari dengan cepat seperti itu adalah luar biasa. Sedangkan yang seorang lagi kedua belah lengannya yang buntung.
Tapi gerakan larinya tidak merasa menjadi hambatan baginya. Sebentar saja kedua sosok tubuh itu telah tiba di pelataran makam yang luas itu. Ternyata kedua manusia itu berwajah amat buruk, seperti bekas terluka, Atau terkena goresan goresan senjata tajam. Bahkan yang seorang lebih menyeramkan lagi. Karena lubang hidungnya sudah growong dan bibirnya terbelah dua.
Mendengar ada orang mendatangi, ketiga orang yang tengah bersemadi itu segera membuka matanya. Si gadis kadaluwarsa itu terlebih dulu berdiri dan menjura hormat pada kedua pendatang itu. Serta beranjak menghampiri seraya berkata,
"Ah! Kakang Kala Munget dan Kala Wesi...! Bagaimana dengan pengintai si pencari rumput itu? Apakah kalian berhasil membunuhnya?"
Salah seorang tampilkan wajah kecewa, dan berkata dengan kesal. "Bocah keparat itu berhasil lolos! Dia telah menerjunkan dirinya ke sungai, hingga kami yang tak dapat berenang, terpaksa membiarkan ia melarikan diri keseberang. Huh! Setan alas..!"
Tampak si gadis kedaluwarsa itu naikkan alisnya, dan menghela napas. "Sayang..! Aku khawatir dia dapat membocorkan tempat rahasia kita... sebelum waktunya!" Berkata si gadis kedaluwarsa itu.
"Hm, kapan kau bisa dapatkan kulit yang cocok dengan kami? Rasanya aku sudah tak sabar lagi..!" Berkata si bibir terbelah alias Kala Wesi.
Tampak si gadis kedaluwarsa itu tersenyum, dan sahutnya. "Sabarlah, kakang! Tidak terlalu mudah mencari ukuran wajah, dan darah yang sama seperti yang di inginkan! Hari ini aku akan pergi mencarinya. Tapi aku harus menunggu perintah ketua dulu..!"
"Aku harus segera menghadap beliau. Hal ini harus kulaporkan dengan segera!" Berkata Kala Munget yang berwajah seperti dicakar kuku-kuku tajam tak keruan rupa.
"Ah!...? Jangan dulu, kakang Kala Munget..! Beliau sedang... sedang..." Si gadis kadaluwarsa ini tak teruskan kata-katanya, karena sekonyong-konyong wajahnya berubah merah.
"Sedang apa..?" Bertanya Kala Munget.
Sementara si bibir terbelah Kala Wesi tampak menyeringai mulutnya. dan berkata. "Sudahlah! Aku tahu..! Pokoknya sedang "Bersemadi", begitu! Iya kan..?"
Si gadis kadaluwarsa ini manggut-manggut dan menjelaskan lebih jauh bahwa sang Ketua tidak mau diganggu. Pada saat itu kedua laki-laki dan wanita yang duduk bersemadi itu telah melompat menghampiri. Keduanya memang cukup tampan dan cantik. Membuat Kala Munget dan Kala Wesi jadi mengiri.
"Hm! Siti Jenang..! Kau harus dapatkan wajah yang tampan untuk aku, dan adik Kala Wesi ini..!" Berkata Kala Munget.
"Hi hi hi... Jangan khawatir. Pasti tak lama lagi akan kudapatkan. Asal kalian mau bersabar menunggu..!" Menyahuti si gadis kadaluwarsa, yang bernama Siti Jenang.
Selanjutnya mereka duduk bercakap-cakap dengan suara perlahan. Entah apa yang dibicarakan. Namun sekali sekali Siti Jenang selalu merah mukanya. Dan ketiga orang itu tertawa. Sementara itu dibalik semak, enam sosok tubuh tengah mengintai keempat orang yang sedang duduk bercakap-cakap itu. Ternyata tak lain dari Telo Moyo. Jagoan dari desa Belimbing Wuluh, bersama lima orang lainnya.
Tapi yang kedua orang tampaknya bukan orang sembarangan. Karena kedua laki-laki itu memang dua tokoh persilatan yang cukup punya nama dikalangan Rimba persilatan. Sedangkan yang tiga orang lagi adalah Bendoro Kelud alias pak Kuwu desa Belimbing Wuluh. Kebo Pawon. Dan Sugita, dari desa Nongko Jajar. Ternyata pelacakan tentang lenyapnya tiga orang penduduk desa Belimbing Wuluh dan desa Nongko Jajar terus dilakukan.
Dua tokoh persilatan yang berilmu tinggi itu adalah sahabat baik Telo Moyo. Yang sengaja disambangi untuk mencari jejak ketiga orang yang hilang secara misterius itu. Karena adanya berita baru dari seorang penduduk yang membuka dua mayat terapung disungai. Sayang mayat itu kulit mukanya telah terkelupas mengerikan. Hingga tak dapat dipastikan siapa adanya.
Telo Moyo yang penasaran segera mengajak tiga orang yang kehilangan anak itu untuk membuktikan siapa kedua mayat tersebut. Tapi dengan terlebih dulu menghubungi kedua tokoh persilatan itu. Sayang, mereka tak dapat menemukan kedua mayat tersebut, yang mungkin telah terhanyut. Namun pelacakan terus dilakukan hingga ke hulu sungai, di lereng Gunung.
Kedua laki-laki tokoh Rimba Persilatan itu ternyata mempunyai pendengaran yang hebat. Ia dapat mengetahui adanya orang yang tengah berlari tak jauh dihadapannya. Ternyata benarlah. Ketika ia berkelebat untuk melihat. Ternyata seorang laki-laki dengan pakaian basah kuyup tengah berlari tidak terlalu cepat mendatangi.
Orang itu ternyata Ginanjar adanya. Yang baru saja berhasil meloloskan diri dari kejaran Kala Munget dan Kala Wesi. Mengetahui orang-orang itu adalah hendak mencari jejak tiga orang penduduk desa yang hilang misterius, Ginanjar jadi terkejut. Karena ia memang telah melihat ciri-ciri yang diberitahukan Roro mengenai ketiga orang yang hilang itu. Dan dua diantaranya ia dapat mengenali. Sayang pengintaiannya telah diketahui oleh Kala Munget dan Kala Wesi.
Ginanjar yang memang tengah mencari rumput-rumput obat-obatan di lereng Gunung itu. secara tak sengaja telah menemukan sebuah kuburan kuno di tempat tersembunyi itu. Kedua tokoh persilatan itu yang ternyata berjulukan Pendekar Kembar, jadi terkejut mendengar penuturan Ginanjar. Dan tanpa dapat dicegah lagi. mereka berniat menyelidiki.
Sedangkan Ginanjar yang memang berniat menghapus malu terhadap Roro Centil, menemukan jalan yang bagus. Ia segera mencari si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan berhasil menjumpainya. Dan melalui jendela rumah makan itu, ia melemparkan surat petunjuk padanya.
Demikianlah... Hingga keenam orang itu berhasil menemukan kuburan kuno di tempat yang tersembunyi itu. Dan beberapa pasang mata segera meneliti wajah-wajah kelima orang yang tengah duduk bercakap-cakap dipelataran makam kuno itu, dekat sebuah patung seekor katak besar. Yang terlebih dulu bicara adalah Kebo Pawon. Sepasang matanya tak lepas dari wajah seorang wanita yang duduk dekat si gadis kadaluwarsa itu.
"Ah...! ? Benar, tak salah. Gadis itu wajahnya mirip benar dengan Serandil anak gadisku yang hilang itu. Tapi, apakah benar dia..?" Desis Kebo Pawon perlahan.
Sedangkan Sugita yang dari desa Nongko Jajar, ternganga mulutnya karena ia telah melihat adanya Jembawan. Anak laki-lakinya yang duduk bercakap-cakap. Adapun Telo Moyo terkejut bukan main, karena melihat adanya Siti Jenang, si gadis kadaluwarsa alias perawan tua. Yang ternyata juga berada diantara mereka.
Dan pak Kuwu alias Bendoro Kelud tampak kecewa, karena tak dapat melihat adanya anak gadisnya yang bernama Sekar Tanjung, di antara kelima orang itu. Pendekar Dewa Kembar memberi isyarat pada keempat orang kawannya agar hati-hati berbisik dan tidak terlalu gaduh.
Akan tetapi Kebo Pawon sudah tak dapat menahan sabarnya lagi. Tiba-tiba ia telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya seraya berteriak: "Serandiiiil! Oh! Serandil anakku..!"
Dan dengan berlari-lari jatuh bangun ia merosot turun dari tempat ketinggian itu untuk mendatangi kelima orang itu. Pendekar Dewa Kembar dan yang lainnya jadi terkejut. Namun sudah terlambat. Kebo Pawon telah tiba di pelataran Kuburan Kuno itu. Tentu saja kelima wajah yang sedang bercakap-cakap itu jadi terkesiap. Dan serentak sudah melompat bangun.
"He!? Orang tua dari mana kau bisa datang ke tempat ini?!" Bentak Kala Wesi.
Namun Kebo Pawon tak menghiraukan bentakan itu. Ia sudah berlari untuk menubruk gadis disebelahnya Siti Jenang, berteriak dengan air mata bercucuran. "Serandil..! Kau ada disini anakku..?" Tapi tiba-tiba laki-laki tua itu jadi terhenyak. Dan menahan langkahnya. Wajahnya menampakkan keraguan.
"Tubuhmu tampak berbeda anakku..? Dan muka mu agak pucat! Apakah kau bukan Serandil? Tapi.. tapi..." Kebo Pawon tak dapat meneruskan kata-katanya. karena satu tendangan keras membuat tubuhnya terjungkal keluar pelataran. dengan teriakan ngeri.
"Kurang ajar! Kau harus dibunuh mampus, berani menginjakkan kaki ketempat ini..!" Bentak Kala Wesi Ternyata ia telah mengayunkan kakinya ke arah dada laki-laki tua itu.
Akibatnya ternyata amat mengerikan. Kebo Pawon terkapar ditanah dengan darah menyembur dari mulutnya. Namun ia masih berusaha bangkit. Bibirnya menyeringai menahan sakit sepasang matanya mendelik menatap kelima orang di hadapannya. Namun tak berapa lama ia sudah roboh kembali ke bumi, untuk melepaskan nyawanya.
Terkejutlah si Pendekar Kembar dan ketiga orang di tempat persembunyiannya. Perbuatan keji yang berlangsung didepan mata itu, benar-benar membuat mereka tersentak kaget. Tentu saja hal demikian membuat kelima orang di pelataran makam itu segera mengetahui adanya beberapa orang yang mengintai. Terdengarlah bentakan dari Kala Munget. Tubuhnya sudah berkelebat cepat ke arah tempat persembunyian mereka. Tidak itu saja. Keempat orang kawannya sudah berkelebatan ketempat itu.
Kini lima pasang mata dari penghuni Kuburan Kuno itu telah menatap dan menyapu wajah wajah orang dihadapannya. Melihat Kala Munget dan Kala Wesi yang bertubuh cacad, dan bertampang buruk itu, terkejutlah si Pendekar Kembar. Sedari tadi iapun tengah mengingat-ingat akan siapa adanya kedua orang bertampang buruk yang menyeramkan itu. Adapun Sugita, laki-laki tua berbaju putih dari desa Nongko Jajar segera terpekik melihat adanya Jembawan ditempat itu.
"Jembawan..! Apakah kau tidak mengenali ayah mu lagi, anakku...?" Teriaknya, walaupun sepintas ia agak aneh menatap sikap anak laki-lakinya yang tampak pucat itu. Lengannya menunjuk pada laki-laki berbaju hitam yang tampan itu. Yang ditanya tersenyum kaku. Terdengar dengusan dari hidungnya. Agaknya ia tak mau memberikan jawaban. Tapi palingkan wajahnya pada Siti Jenang disebelahnya.
"Hi hi hi... Agaknya kau orang tuanya laki-laki yang bernama Jembawan..!" Berkata Siti Jenang. Dan sambungnya lagi. "Wajah kawanku ini memang mirip dan sama dengan Jembawan anakmu, orang tua. Tapi sayang... dia bukan Jembawan!"
Telo Moyo melompat kedepan dengan menghunus golok besar yang dibawanya. Wajahnya menampilkan kemarahan Dan ia sudah membentak dengan suara keras. "Siti Jenang..! Jangan kau main sandiwara. Apa artinya semua ini..? Kau kira aku tak dapat mengenalimu! Aku memang agak curiga dengan tindak tandukmu..! Bukankah kau anak angkatnya Manguni? Asal-usulmu tidak jelas. Kau pernah akrab dengan para gadis remaja. Dan sering mengajak mandi di Sendang, di desa Belimbing Wuluh. Aku yakin kau pasti terlibat dengan hilangnya tiga orang penduduk dari kedua desa. Kini dua diantara orang yang hilang itu ada disini..! Tapi adalah aneh kalau sampai keduanya tak mengenali lagi kedua orang tuanya. Apakah artinya semua ini...?"
Mulut Telo Moyo nyerocos tak terbendung. Memang orangnya berwatak kasar, dan bekas seorang penjahat yang sudah kembali sadar. Siti Jenang tampak perlihatkan wajah tenang. Namun Kala Wesi sudah membentak dan melangkah tiga tindak. Clik! Clik! Dua buah pisau berkilatan telah tersembul dari masing-masing ujung sepatunya, yang terbuat dari besi. Tapi Siti Jenang telah cepat-cepat berkata,
"Biarlah kuberikan penjelasan pada manusia manusia yang bakal mampus ini, Kala Wesi..." Kala Wesi palingkan kepala pada Siti Jenang. Terdengar ia mendengus, namun segera melangkah lagi mundur dua tindak.
"Hm, baik...! Aku akan jelaskan kalau kalian ingin mengetahui..! Aku memang telah menculik ketiga orang dari dua desa di bawah bukit itu. Dua diantaranya telah ku kuliti mukanya. Dan seperti kalian lihat. Kulit-kulit wajah kedua laki-laki dan wanita itu telah terpasang pada orang-orang disebelahku.! Hi hi hi..." Tutur Siti Jenang dengan suara tegas.
Penjelasan itu membuat semua orang dari pihak pelacak itu jadi terkesiap. Adapun Sugita, orang tua Jembawan dari desa Nongko Jajar itu seketika jadi mendeprok lemas. Lututnya gemetaran. Sepasang matanya memancar berapi-api. Dan tampak air bening mengalir turun dari sepasang matanya yang sudah mulai menggayut kebawah. Bendoro Kelud alias pak Kuwu tiba-tiba berteriak,
"Perempuan iblis..! Kau.. kau apakan anakku Sekar Tanjung..?! Kau juga telah menguliti wajahnya..?!" Tubuh laki-laki yang masih tampak keker ini tergetar hebat. Ia sudah melangkah dua tindak menatap Siti Jenang.
"Hi hi hi... Sekar Tanjung tak akan dikuliti. Karena ia teramat cantik, dan diingini Ketua kami! kini selama beliau masih menyukai, akan tetap hidup. Entah kalau sudah bosan. Mungkin segera menyusul yang lainnya ke Akhirat...!"
"Keparat..! Jadi dua mayat yang mengambang di sungai itu adalah mayat dari Jembawan dan Serandil..?!" Teriak si Pendekar Kembar hampir serentak.
"Hm..! Sudah kuduga. Aku memang mencurigai asal-usulmu Siti Jenang. Entah kau ini sebangsa manusia ataukah iblis, dapat berbuat sekeji itu..!" Berkata Telo Moyo. Dan ia sudah memberi isyarat pada si Pendekar Kembar untuk menerjang.
"Hi hi hi... Aku hanya menjalankan perintah..! Kami memang para iblis yang sebentar lagi akan mencabut nyawa kalian..!" Ujar Siti Jenang dengan wajah sinis.
Telo Moyo tak dapat menahan kemarahannya, Dengan menggerung bagai harimau ia telah menerjang si gadis kedaluwarsa itu. Disertai teriakannya. "Kucincang tubuhmu perempuan setan..!" Dan golok besarnya berkelebat membabat pinggang Siti Jenang. Namun sepasang tangan dari laki-laki berwajah Jembawan itu telah bergerak menangkap. Terdengarlah suara berdenting keras.
Trang..! Golok besar Telo Moyo bagai menghantam benda keras. Hingga pada bagian yang tajamnya telah gompal alias somplak lebar.
"Hah!?" Telo Moyo tersentak kaget. Dan mundur dua tindakan. Sepasang matanya berganti-ganti menatap senjatanya dan sepasang tangan laki-laki berwajah Jembawan itu. Segera dapat diketahui kalau sepasang tangan lawan, sebatas sikunya terbuat dari besi. Yang memang mirip dengan tangan manusia, namun agak kaku.
"He he he... Aku dijuluki si Kelelawar Besi! Dulu kedua lenganku ini telah dihancurkan orang dari golongan putih. Aku tak dibunuh, tapi telah disiksa setengah mati, yang menjadikan aku orang cacad seumur hidup...! Dendamku takkan pernah habis sebelum melenyapkan setiap golongan kaum putih. Dan orang pertama akan kubunuh adalah kau Telo Moyo. Aku mengenalmu dulu sebagai seorang perampok. Tapi nyatanya kau telah berpindah golongan. Bagus.! Aku akan buat kau menderita terlebih dulu seperti aku, yang telah kehilangan kedua lenganku, dan rusaknya wajahku..! He he he.." Berkata si laki-laki berwajah Jembawan.
Adapun Telo Moyo jadi terperanjat. Seketika wajahnya berubah pias. "Hah!?" Apakah kau Sawunggeni..?" Teriak Telo Moyo dengan suara tertahan.
"He he he... Benar! Nah! Bersiaplah kau untuk segera merasakan saat sekaratmu!" Dan kali ini si kelelawar Besi telah mendahului menerjang Telo Moyo dengan terjangan ganas. Kakinya menjejak tanah, dan tubuhnya melesat dengan lengan terpentang menyambar tubuh laki-laki bekas perampok itu.
Trang! Trang!
Telo Moyo melompat kesisi sambil hantamkan dua serangan goloknya sekaligus Namun lagi-lagi goloknya terpental balik. Dan kembali bertambah gompalnya. Saat ia gugup itu, tiba-tiba sebuah kepalan tinju besi telah menghantam dadanya. Terbeliak Telo Moyo bagaikan tak percaya, karena lengan si Kelelawar Besi itu dapat mulur satu setengah depa. Ia tak sempat berkelit lagi. Dan roboh terjungkal. Telo Moyo perdengarkan keluhannya. Namun sekejap ia telah bangkit lagi dengan terhuyung-huyung. Dan otot-ototnya kembali tegang. Ia telah dapat menahan dan memulihkan lagi kekuatannya. Walau terasa dadanya agak nyeri sedikit.
"He he he... Telo Moyo! Lebih baik kau serahkan saja sepasang lenganmu itu untuk kuhancurkan..!" Kelelawar Besi mengejek dengan senyum iblis.
"Keparraaat!" Teriak Telo Moyo. Dan kembali ia menerjang bagai kemasukan setan. Goloknya membabat kiri dan kanan menabas pinggang lawan. Namun kemana saja senjatanya berkelebat, selalu dapat tertangkis oleh sepasang lengan besi si Kelelawar.
Sementara itu Pendekar Kembar telah mencabut pedangnya dengan serentak. Dua sinar hijau segera terlihat dari kedua benda ditangan si Pendekar Kembar. Kedua manusia cacad berwajah buruk itu melompat mundur tiga tumbak. Sepasang matanya menatap kedua pedang bersinar hijau ditangan laki-laki berwajah hampir serupa itu.
"Heh! Pedang Mustika Hijau..!" Desis Kala Munget yang berkaki satu.
"Benar..! Sepasang pedang itulah yang telah membuat cacad kaki dan tangan kita..!" Desis Kala Wesi yang kedua tangannya buntung.
"He he he... bagus! Kalian pasti murid si Sepasang Rajawali Putih. Pucuk di cinta ulam tiba..! Kami tak jauh-jauh lagi mencari musuh yang telah membuat kami cacad seumur hidup!" Teriak Kala Wesi dengan wajah semakin seram.
Saat itu terdengar desisan suara Siti Jenang dibarengi dengan gerakan tubuhnya yang melompat mendekati kedua orang cacad itu. "Awas hati-hati dengan lawanmu, kakang Kala Munget dan Kala Wesi. Aku dapat lihat sepintas. Tampaknya kedua wajah pendekar ini cocok dengan ukuran wajah kalian. Hati-hati jangan sampai rusak. Dan jangan sampai terbunuh. Siapa tahu darahnya cocok dengan darah kalian. Hi hi hi... Aku jadi tak payah-payah mencarinya...!"
Kala Munget dan Kala Wesi manggut-manggut, dan tampak tersenyum menyeringai. "Ha ha ha... Boleh juga! Cukup tampan dan kelihatan gagah!" Bisik Kala Munget pada saudaranya.
"Dan sepasang Padang Mustika Hijau itu bisa jatuh ketangan kita..!" Bisik Kala Munget lagi. Wajahnya berseri girang.
"Betul! Hayo kita menangkapnya hidup-hidup!" Berkata Kala Wesi. Dan ia sudah tarik keluar kedua lengan jubahnya, yang terbelit dipinggang. Sementara si Pendekar Kembar telah melompat dua tombak kehadapannya.
"Dua Siluman buntung..! Kiranya kalianlah yang telah membantai habis orang-orang perguruan Rajawali di Gunung Suket. Kami Gambir Anom dan Gambir Sepuh memang murid dari Sepasang Rajawali putih. Sayang kau terlalu pengecut. Dan bertindak keji selagi tak ada kedua Guruku. Bagus..! Hari ini jangan harap kau berdua dapat meloloskan diri...!"
Akan tetapi kata-kata si Pendekar Kembar tersebut telah disambut dengan gelak tawa terpingkal-pingkal oleh Kala Munget dan Kala Wesi. Sementara itu telah terdengar teriakan dari Telo Moyo disebelah sana. Keadaan amat mengerikan. Karena kedua lengannya telah hancur terkena cekalan telapak tangan besi si Kelelawar Besi.
"He he he... Kini biji matamu akan kukorek keluar. Biar kau rasakan sakitnya..!" Teriak Sawunggeni yang berwajah Jembawan itu. Dan kedua lengan besinya terjulur ke arah Telo Moyo yang terkapar mengerang kesakitan. Tapi pada saat itu, telah berkelebat sinar hijau menyambar sepasang lengan keji itu.
Whusss!
Sambaran pedang salah seorang dari si Pendekar kembar itu menemui tempat kosong. Karena si Kelelawar Besi telah menarik lagi sepasang lengannya. Di lain pihak, Kala Wesi dan Kala Munget masingmasing telah bergerak ke arah Pendekar Kembar. Mendengar bersyiurnya angin dibelakang punggung, Gambir Anom yang baru saja menggagalkan niat keji si Kelelawar Besi itu, segera balikkan tubuh. Ternyata Kala Wesi telah pergunakan lengan jubahnya menyambar pinggang. Dengan berteriak keras ia menghantam dengan pedang Hijaunya.
"Wesss!
Kilatan sinar hijau berkelebat bagai bayangan kilat. Namun lengan jubah Kala Wesi telah berubah arah menyambar kaki. Kembali Gambir Anom sambarkan pedangnya, sambil melompat tiga tombak. Sebelah lengannya telah ia arahkan ke kepala Kale Wesi. Segera menyambar angin keras yang disertai tenaga dalam hebat. Kala Wesi cuma perdengarkan dengusan di hidung. Dan gunakan lengan jubahnya mengebut ke arah serangan pukulan lawan.
Akibatnya terdengar teriak tertahan Gambir Anom. Tenaga dalamnya ternyata jauh di bawah Kala Wesi dua tingkat. Tak ampun lagi tubuhnya terlempar beberapa tombak. Namun dengan berjumpalitan di udara, ia berhasil menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Sementara itu Gambir Sepuh telah menyambuti serangan tongkat bercagak Kala Munget. Hebat serangan Kala Munget. Karena nyaris saja kedua kaki Gambir Sepuh terbabat putus, kalau ia tak cepat menyelamatkan diri.
Demikianlah... sebentar saja suasana pertarungan berjalan dengan seru dan tegang. Akan halnya Sugita dan Bendoro Kelud, mengetahui keadaan gawat. Segera diamdiam menyelinap untuk menyelamatkan diri. Tak ada keberanian dari kedua penduduk desa itu untuk maju turut menempur. Karena tanpa kepandaian yang berarti, samalah dengan mengantarkan nyawa saja.
Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh kurus langsing ke arah mereka. Dan kedua laki-laki tua itu perdengarkan teriakan ngeri. Tubuhnya terjungkal dua tombak. Dan saat berikutnya kedua orang yang malang itu telah tewas seketika. Dengan kulit punggung hangus bergambar telapak tangan. Ternyata si gadis berwajah Serandil itu yang telah menghantamnya dari belakang.
"Bagus adik Rimba Wengi.! Hi hi hi... Kalau tak dibinasakan akan bertambah wabah ditempat kita ini." Berkata Siti Jenang, yang juga telah kelebatkan tubuhnya ke tempat itu.
Sementara itu di dalam sebuah ruangan yang remang-remang. Tampak dua sosok tubuh manusia bergerak-gerak di atas sebuah batu persegi, beralas tikar pandan. Yang berada di bagian atas ternyata adalah sesosok tubuh wanita, berambut panjang. Walaupun keadaannya tidak begitu terang. Namun dapat terlihat kalau wanita itu bertubuh padat dan berparas cantik. Rambutnya terjuntai ke bawah. Ketika menggerek-gerakkan kepala dan tubuhnya.
Sementara yang berada di bagian bawah adalah sesosok tubuh laki-laki yang boleh dikatakan seperti orang tak berdaya. Karena hanya tampak menggeliat geliat saja bagai merasakan sesuatu. Sementara keluhan-keluhan terlontar dari mulutnya dengan suara yang samar tidak begitu jelas. Akan tetapi anehnya wanita di atasnya itu terisak-isak hingga air matanya sampai bercucuran menetes deras.
Selang beberapa saat tampak gerakan tubuhnya semakin perlahan. Dan jatuhlah ia terjerembab disertai keluhannya. Sekonyong-konyong sepasang lengan telah mendekapnya erat, hingga ia terasa sukar bernapas. Dan detik selanjutnya kedua tubuh itu telah sama-sama terdiam. Hanya desah menggebu itu yang terdengar kian melirih.
Semilir angin dari lubang dinding ruangan yang agak pengap itu menyeruak masuk. Hawa pengap itu berubah agak sejuk. Perlahan-lahan wanita itu merosot dari tubuh yang tergolek seperti mati itu. Seonggok pakaian yang berada disudut batu persegi itu telah disambarnya. Dan dengan cepat telah dikenakannya kembali.
"He he he... Hebat! Jarang aku menjumpai kehebatan semacam ini..! Kau cukup memuaskan hatiku bocah ayu..!"
Terdengar suara serak bercampur tawa terkekeh. Dan laki-laki berkumis serta berjanggut yang hampir semuanya memutih itu. bangkit dari batu persegi. Ternyata sepasang kakinya buntung sebatas lutut. Tapi lebih aneh lagi adalah sepasang matanya mirip mata Serigala. Dengan pinggiran yang cekung menyipit. Melihat laki-laki itu telah bangun duduk. Si wanita cepat mendekati. Tampak ia sempat menyeka air matanya, dengan lengan bajunya.
"Sudahlah... Jangan menangis! Aku tak akan membunuhmu selama kau mau melayaniku. Kelak kau boleh tinggalkan tempat ini kalau aku sudah tak membutuhkanmu lagi..!" Berkata laki-laki itu dengan suara dingin.
Sementara dengan menahan isaknya si wanita memakaikan jubah si laki-laki itu, yang seperti manja saja. Suara teriakan dan bentakan dari orang yang bertarung diluar ruangan seperti tak dihiraukannya. Kiranya mereka berada didalam ruangan bawah tanah di Kuburan Kuno itu. Laki-laki ini adalah yang berjulukan si Mata Iblis. Ketua dari kelima orang yang tengah bertarung diluar itu.
"Heh heh heh... Murid-muridku dalam beberapa gebrakan saja akan dapat menumpas tikus-tikus busuk yang coba menyatroni kemari..!" Terdengar gumamnya seorang diri.
Beralih sejenak pada perjalanan Roro Centil, yang setelah mendapat petunjuk dari Ginanjar telah berkelebat pergi dengan cepat. Namun baru antara tiga puluhan kali kakinya menyentuh tanah. Pada sebuah tempat yang datar. sesosok tubuh telah berkelebat menghadang. Terpaksa Roro Centil hentikan tindakannya. Dan segera dapat melihat siapa yang menghadang.
Ternyata tak lain dari si orang yang berpakaian mewah, yang telah mentraktirnya makan sate bersama Warok Brengos. Dari kata-kata si Brewok tadi ia dapat mengetahui orang ini bernama Guriswara. Baru ia dapat menegasi wajahnya. Yang ternyata ia seorang laki-laki seusia 40 tahun. Berkulit putih. Wajahnya licin tanpa cambang bauk. Namun alisnya hitam tebal. Dengan sepasang mata yang agak kemerahan menyorot tajam. Bibirnya agak lebar. Dan wajahnya hampir persegi empat.
Anehnya laki-laki ini memakai kalung mutiara seperti wanita. Bahkan juga sebelah anting anting di telinganya. Ketika membuka ,segera tampak barisan giginya yang besar-besar. Walau usianya sudah cukup larut. namun ia kelihatan masih sangat muda.
"Ha ha ha... Kita belum sempat berkenalan, mengapa anda terburu-buru untuk pergi nona Pendekar Pantai Selatan..?" Berkata Guriswara. "Aku Guriswara..! Kaum persilatan memberiku gelar si Pemabuk Dermawan..!" Boleh aku mengenalmu lebih dekat, nona.. ngng... Roro Centil?" Berkata Guriswara dengan kata-kata yang terdengarnya amat memikat hati.
"Mengapa tidak boleh..? Julukanmu si Pemabuk, apakah kau tukang mabuk?" Bertanya Roro. Tampaknya Roro sengaja meladeni apa maunya orang.
Guriswara tertawa terbahak-bahak dan menyahuti: "Ah..! Itu hanya julukan saja. Eh agaknya nona Roro Terburu-buru. Apakah ada yang memang penting harus ditemui..?" Bertanya Guriswara.
"Cukup penting juga. Tapi boleh aku menanyakan sesuatu pada anda, sobat Pemabuk?"
Tampak si Pemabuk Dermawan kerutkan alisnya. Sejenak benaknya memikir. Pertanyaan apakah yang akan diajukan oleh nona Pendekar ini? Tapi ia sudah lantas berkata: "Silahkan! Silahkan! Tanya apapun boleh..! Pasti kujawab...!"
"Baiklah! Yang akan kutanyakan adalah masalah sederhana? Yaitu.. Aku telah melihat di rumah makan tadi banyak tokoh-tokoh persilatan. Entah dari golongan mana saja? Dan ada apakah maka sampai bisa berkumpul di tempat itu..?" Tanya Roro Centil.
Mendengar pertanyaan itu si Pemabuk Dermawan tertawa agak hambar. "Hm... Sebenarnya pertemuannya itu masih lama. Masih kira-kira satu bulan lagi. Namun beberapa tokoh hitam maupun putih, telah berdatangan. Karena hal yang menarik itu tentu saja mengundang perhatian kaum persilatan..!"
"Pertemuan apakah..? Dan apanya yang menarik..?" Tanya Roro dengan penasaran.
"Di puncak Gunung Mahameru akan diadakan pertandingan adu kekuatan. Menurut berita yang sampai ke telingaku. Pertandingan itu adalah untuk menentukan siapa di antara kaum persilatan yang paling kuat. Dialah yang akan dijadikan pemimpin dari kaum persilatan. Dengan tak mengecualikan golongan apa saja. Hal semacam ini memang selalu diadakan setiap dua puluh tahun sekali. Ketua dari kaum rimba persilatan yang lama adalah Ki Dharma Tungga. Seorang dari golongan kaum putih. Namun tak ada lagi kabar beritanya sama sekali. Bahkan tak seorangpun dari kaum rimba persilatan yang mengetahui dimana dan kemana adanya Tokoh Sakti yang pernah menjadi ketua kaum Rimba Persilatan itu. Sebagian orang mengatakan Ki Dharma Tungga telah wafat."
Roro manggut-manggut mendengar penuturan si Pemabuk Dermawan. "Apakah masa jabatan Ketua Ki Dharma Tungga telah habis, hingga diadakan lagi pertemuan untuk pemilihan Ketua yang Baru..? Dan siapakah yang menyelenggarakan untuk mengadakan pertemuan kaum rimba Persilatan ini..?" Tanya Roro.
"Mengenai hal itu, aku tak mengetahui sama sekali. Undangan itu disebarkan secara misterius disertai ancaman. Seandainya tidak hadir, tidak akan diakui sebagai orang Rimba Persilatan serta dianggap pengecut! Dan bila tidak ada yang datang, maka si penyelenggara akan mengangkat dirinya menjadi ketua Rimba Persilatan yang baru..!" Tutur Guriswara. Dan selama memberikan penjelasan itu sepasang matanya dengan rajin menatap setiap lekuk liku pada tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Roro Centil terpukau mendengar berita aneh itu, yang benar-benar ia baru mendengarnya. Diam-diam ia membathin. "Gila..! Hal itu benar-benar bukan pertemuan resmi, karena merupakan tantangan serta penghinaan terhadap kaum Rimba Persilatan. Apa lagi si penyelenggara tak mau memperkenalkan namanya... Pantas saja banyak orang yang jadi penasaran untuk berdatangan kemari..!?" Pikir Roro.
"Baiklah. Terima kasih atas penjelasan anda sahabat Pemabuk Dermawan..." Roro sudah akan melanjutkan kata-katanya, namun Guriswara telah cepat cepat memotong.
"Ngng... Nona Pendekar Pantai Selatan. Nama besar anda telah membuat aku yang rendah ini menjadi kagum. Ternyata lebih kagum lagi memandang orangnya!"
Mendengar kata-kata itu Roro tersenyum. Ia sudah menduga akan hal itu. Dan sudah mengetahui siapa adanya Guriswara, dari peringatan yang telah dibisikkan oleh Warok Brengos. "Aih, sahabat Guriswara..! Anda terlalu merendah. Apalah artinya kepandaianku? Orang terlalu melebih-lebihkan diriku. Padahal aku sendiri merasa tak enak hati..." Roro Centil menyahuti dengan suara datar.
Akan tetapi baru saja putus bicaranya sudah berkelebat dua sosok tubuh ramping kehadapannya. Ternyata yang datang adalah dua orang wanita. Yang satu berbaju hijau dengan rambut dikepang dua. Sedang yang seorang lagi bersanggul, dengan tusuk konde yang berbentuk kipas. Berbaju ungu. Anehnya kedua orang wanita itu menatap Roro seperti wajah orang cemburu.
"Hm, inikah gerangan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu..? Ternyata cukup cantik juga..! Tapi sayangnya bermata keranjang!" Begitu muncul sudah berkata tajam si wanita berbaju ungu itu. Sepasang matanya bersinar tajam, dengan bibir tersenyum sinis.
Sedangkan yang berambut dikepang terus saja menimpali. "Baru saja kenalan sama si brewok Brengos. eh! sekarang sudah mau menggaet lagi orang lain...!"
Sementara Guriswara tampaknya jadi serba salah, dan menggaruk-garuk kepala. Adapun Roro Centil melihat gelagat tidak baik itu bukannya membela diri. bahkan tertawa mengikik geli.
"Hi hi hi... hi hi... Siapakah yang melarang orang jatuh cinta..? Apakah kalian ini istri-istrinya si Pemabuk Dermawan..?" Bertanya Roro.
Hampir berbareng keduanya menyahuti, "Kalau benar, mengapa kau tak lekas-lekas menyingkir..?" Tukas si baju ungu.
"Apakah mengandalkan nama besar yang cuma digembar-gemborkan pada cecunguk itu, telah membuat kau besar kepala..?! Dan lantas dengan seenaknya saja sambar kiri sambar kanan..? Huh! Benar-benar tak ada muka..!" Sambar si baju hijau yang rambutnya dikepang dua.
Roro terdiam sejenak seperti berfikir, sementara ia lihat Guriswara tengah menatap padanya. Tiba-tiba Roro Centil tersenyum dan kedipkan matanya pada si laki-laki berbaju mewah itu. Keruan saja kedua wanita itu jadi jengkel setengah mati.
"Heh! Sekarang aku tahu. Rupanya bukan gayung yang mendekati gentong air, tapi gentong air yang mendekati gayung. Pantas ia sampai melupakan kami berdua. Rupanya kau telah memeletnya..!" Berkata si baju hijau berkepang dua, dengan wajah semakin memerah.
Namun pada saat itu Roro Centil sudah berujar: "Sudahlah, kalau kalian menginginkan aku menyingkir. Akupun secepatnya akan pergi..!" Sambil berkata demikian Roro sudah langkahkan kaki untuk beranjak dari situ. Tak dikira kedua wanita itu telah membentak dengan garang.
"Tunggu..! Enak saja kau bicara! Sudah bertemu dan main mata pada laki orang mana bisa urusan bisa habis sampai disini..?!" Dan sekejap kedua wanita itu telah melorot senjatanya dari pinggang.
"Kami si Dua Dewi Kenari ingin mencoba kelihayan senjata si Rantai Genit, yang katanya kesohor itu..! Hi hi hi... Melihat dari sepasang senjatamu yang menggiurkan mata laki-laki itu, sudah dapat dipastikan kau seorang wanita kotor..!" Teriak si baju ungu yang telah putarkan senjatanya. Yaitu tiga buah roda bergigi sebesar piring yang amat tipis. Terbuat dari baja putih yang berkilat-kilat. Akan tetapi pada saat kata-kata si Dewi Kenari baru saja habis, telah terdengar makian dengan suara keras.
"Hai! Dewi Kenari! Apakah kalian berdua menganggap diri sendiri orang baik-baik, dan bukan orang kotor..?!" Teriakan itu dibarengi dengan munculnya sesosok tubuh yang berkelebat ketempat itu.
Kedua wanita ini melengak. dan palingkan kepala. Segera terlihat Warok Brengos, laki-laki brewok yang tadi berada di rumah makan. Ternyata ia telah juga menyusul sampai ketempat itu. Namun yang dipandang bahkan membuang muka, dan tampak terlihat tampilkan wajah girang melihat Roro Centil. seraya menjura dan ucapkan kata...
"Nona Pendekar Roro, sebaiknya tak usah mengotorkan tangan, meladeni manusia-manusia macam begini..!"
"Monyet sebrang pulau! Menyingkirlah kau...!" Teriak salah seorang dari Dewi Kenari. Dan bersamaan dengan bentakannya, sebuah kilatan menyambar kepala. Ternyata roda baja itu telah menyerangnya.
Trinngg...! Lengan Warok Brengos bergerak. Ia telah menangis dengan gagang pisau yang telah di cabutnya, seraya miringkan kepala ke samping. Senjata itu terhantam balik. Dan sekejap telah disambut kembali oleh si Dewi Kenari. Pada saat itu Roro Centil telah berkelebat sepuluh tumbak. Begitu akhirnya menginjak tanah, telah terdengar bentakan si Dewi Kenari, yang telah juga melesat untuk menyusul.
"Mau kemana kau Roro Centil! Hayo mengadu kekuatan denganku..!"
"Baik! Kalau kau memang menginginkan. Mana kawanmu? Bertarung melawan sebelah Dewi mana enak..! Bukankah kalian berjuluk Dua Dewi Kenari..?" Ujar Roro.
Seorang dari Dewi Kenari yang berkepang itu ternyata tengah menerjang pada Warok Brengos. Senjata yang dipergunakan adalah sebuah kipas baja, berujung runcing. Namun agaknya si Brewok enggan melayaninya. Hingga yang terlihat laki-laki itu cuma mengelak saja kesana-kemari. Hal demikian ternyata membuat si kepang dua yang bernama Sawur Seri itu jadi membentak keras. Gerakan kipasnya jadi semakin gencar.
Terpaksa Warok gunakan pisaunya untuk menangkis setiap serangan. Sementara Guriswara telah lenyap entah kemana. Pada saat itu si Dewi Kenari berbaju ungu yang bernama Kili Cantrik sudah menyerang Roro Centil dengan roda-roda bajanya. "Awas serangan..!" Bentaknya. Dan dua buah roda bergigi itu meluncur deras menyambar leher dan pinggang.
Wessss! Wessss!
Bersyiur angin tatkala kedua benda itu dapat dielakkan Roro, dengan sedikit mengegos miringkan tubuh. Tapi tak urung beberapa lembar rambut Roro terbabat putus. Terkejut juga si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Ia memang tak menyangka kalau roda-roda baja itu dapat terhalau. Adapun pukulan-pukulan tangan kosong si Dewi Kenari, sengaja ia papaki dengan mempergunakan sepertiga tenaga dalamnya untuk memapaki. Namun hal itu ternyata diluar dugaan membuat Roro terhuyung beberapa tindak.
"Hi hi hi... Baru sebelah Dewi saja kau sudah sempoyongan. Apalagi kalau kami maju bersama!" Berkata Kili Cantrik dengan jumawa. Sementara serangan-serangannya semakin gencar mengurung Roro.
Tapi diam-diam si Dewi Kenari ini terkejut dan kagum juga, karena tampaknya Roro Centil dengan mudah saja dapat mengelakkan serangan ganasnya. Tapi ia bergirang hati juga, karena tenaga dalam lawan berada dibawahnya. Berfikir Dewi Kenari.
"Ayo tunjukkan senjata Rantai Genit mu yang lucu itu. Apakah kau mampu menghalau seranganku..?" teriak Kili Cantrik.
Tiba-tiba Roro Centil melompat mundur tiga tombak. Sepasang matanya menatap tajam pada si Dewi Kenari. Otaknya bekerja cepat saat itu. Hm, jangan-jangan kejadian ini sudah diatur agar memperlambat tujuan ke Kuburan Kuno itu. Berfikir Roro. Karena sedari tadi tak menampak adanya Guriswara. Kalau ia berniat menyudahi pertarungan, dengan meninggalkannya... bisa saja ia perbuat. Tapi ia akan mencoba sampai dimana kesombongan si Dewi Kenari ini, dengan senjata Roda Bajanya. Saat itu Roro sudah berkata keras:
"Baik! Agar kau tidak menyesal dan penasaran, akan kupergunakan senjata si Rantai Genitku. Tapi dengarlah kata-kataku Dewi Kenari..! Aku bukan dari jenis manusia kotor seperti kalian!" Roro sudah meloloskan sebuah Rantai Genitnya, seraya berteriak: "Lihat serangan..!"
Dan tubuhnya telah berkelebat ke arah si Dewi Kenari. Sedang senjatanya diputar keras. hingga menimbulkan suara berdengung seperti ratusan tawon. Dewi Kenari agak terkesiap. Tapi segera lancarkan serangan kilat ke arah pinggang dan leher. Sedang satu lagi ia pakai menerjang maju. Sebelah lengan menghantam, sebelah lagi menyerang dengan senjatanya. Aneh akibatnya. Dua roda Baja itu seperti sehelai kertas melayang ke samping semua seperti berkejaran.
Dan terjangan Dewi Kenari menemui tempat kosong, karena dengan berteriak ke arah Roro kelebatkan tubuh. mengejar kedua roda. Dengan melangkahi kepala Dewi Kenari setinggi tiga tombak. Ternyata roda baja bergerak memutar kebelakang sang majikan. Namun sebelum si Dewi Kenari balikkan tubuh untuk menangkap. Roro Centil telah menghantam kedua benda itu dari atas.
Tiing! Tiing..! dan Bles!
Hampir berbareng kedua roda itu telah meluncur kebawah. Dan amblas kedalam tanah. Dewi Kenari balikkan tubuh, dan terkejutlah melihat senjatanya lenyap. Tiba-tiba ia melompat mundur lima tombak. Begitu menjejakkan kaki, ia segera berteriak:
"Sawur Sari..! Hayo kita pergi dari sini..!" Dan ia sudah mendahului berkelebat. Sawur Sari yang tengah menerjang Warok Brengos segera hentikan serangan. Dan berkelebat menyusul kakaknya.
Warok Brengos tatap kedua wanita itu yang berkelebat pergi. "Nona Roro...! Aiiih..!?" Teriak Warok Brengos terkejut. Karena batu saja ia menoleh. Ketika melihat ke arah Roro Centil, ternyata sudah tak ada ditempatnya lagi.
"ROROOOOOOO...!" Suara itu terdengar dikejauhan lapat-lapat.
Roro kertak gigi untuk segera mempercepat larinya bagai terbang. Namun tetap saja ia tak mampu menyusul sosok tubuh itu, yang berkelebat cepat bagaikan melebihi kecepatan angin. Namun tetap Roro Centil semakin penasaran untuk menyusul. Aku tak boleh sampai kehilangan jejak..! Gumamnya mendesis. Beruntung ia telah mewarisi ilmu lari si Pendekar Bayangan Bayu Seta. Hingga tanpa rasa lelah, tubuhnya terus meluncur bagai enak panah mengejar sosok tubuh dihadapannya.
Ternyata dikala si Dewi Kenari melarikan diri, Roro Centil tak mau berlama-lama untuk segera meneruskan perjalanannya ke lereng Gunung. Mencari kuburan Kuno, seperti yang dikatakan Ginanjar dalam surat. Akan tetapi betapa terkejutnya Roro, ketika melihat pemuda itu tengah bertarung seru melawan seorang kakek tua renta, yang berpakaian mirip pengemis.
Roro tadinya berniat membantu pemuda itu, tapi segera ia urungkan. Karena sudah sejak lama sekali ia tak mengetahui, sampai dimana kemajuan ilmu kedigjayaan saudara seperguruannya itu. Sang kakek pengemis tua renta itu memakai jubah putih yang sudah bertambalan di sana-sini. Bahkan dibeberapa bagian telah sobek saking tuanya. Kelihatannya bagai orang yang tak bertenaga sama sekali.
Tapi ternyata mampu mengelakkan setiap serangan pedang Ginanjar. Bahkan jenggotnya yang putih memanjang terjuntai didagunya, dapat dibuat sebagai senjata. Karena sekonyong-konyong dapat menegang. Serta mampu menghantam balik pedang pemuda itu. Hebat! Memuji Roro dalam hati dari tempat persembunyiannya. Kini terlihatlah kehebatan permainan pedang Pendekar lereng Rogojembangan itu.
Roro menahan napas ketika melihat segulung sinar perak membungkus tubuh Ginanjar menjaga serangan si kakek pengemis yang telah pergunakan tiga batang lidi aren untuk menyerang lawan. Suara bersiutan terdengar semrawut mengacaukan telinga. Terlihat Ginanjar mulai terpengaruh oleh suara yang mengganggu itu. Tiba-tiba ia berteriak keras. Sebelah lengannya menghantam dada sang kakek. Dapat dipastikan dada yang tipis, dengan seketika akan remuk dihantam lengan kekar pemuda Ginanjar.
Namun aneh. Begitu menghantam dada, terdengar Ginanjar keluarkan keluhan. Sedang pedangnya yang telah siap membelah kepala lawan itu jadi berhenti ditengah jalan. Apa yang terjadi..? Kiranya tubuh Ginanjar telah berubah jadi kaku dengan posisi menyerang. Segera saja tubuh itu limbung untuk ambruk ke bumi. Roro Centil keluarkan teriakan tertahan dan melompat keluar. Namun bersamaan dengan bergeraknya tubuh Roro. Sang kakek telah menyambar tubuh pemuda itu. Dan sekejap telah berada di atas bahunya.
"Hm, kau pasti si Roro Centil, bocah Pantai Selatan itu...! Mengapa tak sedari tadi kau bantu kawanmu ini..?" Bertanya sang kakek tanpa palingkan kepalanya.
Terkejut Roro, belum melihat orangnya, tapi telah mengetahui siapa dirinya. Aneh..!? Menggumam Roro. Tapi ia sudah melompat untuk menghadang dihadapan pengemis itu. "Kakek pengemis..! Apakah kesalahannya maka ia kau totok sedemikian rupa ? Dan akan kau bawa ke mana dia..?!" Bentak Roro. Melihat sang kakek itu sudah mau angkat kaki.
Tapi sang kakek itu dengan wajah tak berubah telah menyahuti. "Huh! Apa perdulimu dengan segala urusanku? Apakah dia kekasihmu...? Mengapa kau begitu mengkhawatirkan sekali padanya..?" Tanya si kakek pengemis.
Seketika wajah Roro jadi berubah merah. "Dia... dia.. saudara seperguruanku! Mengapa kau harus melarangku, kalau aku mau mencegah mu untuk membawanya!?" Ujar Roro dengan wajah mengkal.
"He he he... Dia mau ku kawinkan dengan cucu perempuanku..! Nah! Kalau dia bukan kekasihmu, minggirlah! Beri aku jalan..!" Berkata si pengemis tua renta.
"Tidaaak! Aku tak mau kau kawinkan dengan cucu perempuanmu!! Lepaskan aku..!" Tiba-tiba Ginanjar berteriak. Namun tetap saja ia tak dapat bergeming sedikitpun.
Terkejut Roro Centil mendengarnya. Entah mengapa hatinya jadi seperti orang kehilangan. Dan detak jantungnya terasa berdegup lebih keras. Mau dikawinkan..? Sentak Roro dalam hati. Disamping agak lucu. tapi juga aneh. Pikirnya... Mengapa mau mengawinkan cucu orang harus memaksa orang untuk jadi menantunya..? Gila! Maki Roro di bathin.
"Roroooo..! Tolonglah kau bunuh pengemis bau ini! Aku tak mau kawin dengan cucu perempuannya. Bisa-bisa aku ketularan bau..!" Teriak Ginanjar lagi.
Dalam hati Roro agak geli juga mendengar ucapan Ginanjar. Tapi tampaknya pemuda itu benar-benar ketakutan sekali. Sang kakek tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh geli sekali. Hingga sampai tubuhnya terguncang guncang.
"He he he... he he... Cucu perempuanku cantik sekali. Dibanding dengan gadis didepanmu masih sebelas kali lebih cantik. Kalau masalah bau sih sudah umum. Pokoknya kau tak akan penasaran..!" Berkata sang kakek sambil kembali terkekeh-kekeh.
Panes hati Roro Centil. Wajahnya tampak semakin merah hingga melebihi merah bajunya. Tiba-tiba Roro gerakkan tangan bertolak pinggang seraya berkata keras dengan nada pedas. "He! Kakek tua renta yang sudah mau masuk liang kubur..! Apakah kau tidak dengar kalau dia tidak mau? Walau cucu perempuanmu cantiknya 212 kali lebih cantik dari diriku, kalau dia tetap tidak mau apakah harus kau paksa..?!"
Mendengar kata-kata Roro, Ginanjar berteriak lagi. "Bagus Roro, dia memang tidak tahu malu. Memaksa orang untuk kawin seenaknya. Aku tak akan pernah jatuh cinta pada gadis lain Roro..! Karena aku.. aku hanya mencintaimu..!"
"Hah..! ?" Tersentak Roro Centil mendengar kata-kata Ginanjar. Seketika wajahnya menjadi dingin bagai disiram air es. Tapi hatinya mendadak jadi bergemuruh tak keruan rasa. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sang kakek.
"Kurang ajar..! Kalau kau membandel akan ku biarkan tubuhmu kaku sampai 100 tahun. Nah minggirlah bocah Centil..! Aku tak dapat merobah keputusanku..!"
Sebelah lengan si kakek pengemis itu bergerak perlahan mendorong tubuh Roro. Tapi hebat akibatnya. Karena terdengar Roro Centil berseru kaget. Tubuhnya telah terdorong mental sampai sepuluh tombak. Dan bersamaan dengan itu, sang kakek telah berkelebat pergi dengan cepat sekali.
"Roroooooooo..!" Teriak Ginanjar, dalam dukungan si kakek pengemis. Namun tubuhnya telah di bawa berkelebat bagai anak panah, melesat semakin jauh. Terkesiap bukan main Roro melihat kejadian itu. Serta merta tanpa harus berfikir lagi, Roro Centil mengejar sang kakek berjenggot panjang itu.
Demikianlah! Hingga sampai Matahari condong ke sebelah barat, Roro tetap tak dapat menyusul si kakek pengemis itu. Yang jaraknya antara lima puluh tombak dihadapannya. Entah berapa bukit dan lereng Gunung telah terlewati. Namun sang kakek tidak juga memperlambat larinya. Dan Roro Centil tetap mengejar dibelakang. Tetapi pada sebuah lereng curam, di mana dibawahnya mengalir sungai yang lebar. Kakek pengemis itu menghentikan larinya. Bagus! Teriak Roro dalam hati. Dan menambah kecepatan, Roro berkelebat menyusul. Seraya berteriak.
"Kakek tua renta, akhirnya kau menyerah juga..!" Roro yang memang telah dapat menduga, pasti sang kakek pengemis itu berhenti. Karena sungai lebar telah berada didepan mata, dengan tepiannya yang curam. Sungai dihadapan itu adalah terusan sungai yang tadi telah dilewati.
Akan tetapi betapa terkejutnya Roro. Karena tahu-tahu bagaikan terbang tubuh si kakek kurus itu melayang dari atas tebing curam itu bagaikan seekor burung saja. Ringan bagaikan sehelai bulu. Dan hinggap diseberang dengan selamat. Begitu tubuh Roro melesat ketempat itu. Ia hanya dapati tempat yang kosong.
"Heh heh heh... Ayo susul kemari! Masa murid si Manusia Aneh Pantai Selatan tak mampu untuk terbang...?" Ejek si kakek pengemis, di sisi seberang tebing.
Wajah Roro tampak merah padam. Dipandangnya kebawah, dimana air sungai deras mengalir. Dan tak jauh dari kakinya terdengar suara bergemuruh tak hentinya. Kiranya air sungai itu meluncur deras kebawah ketempat yang makin curam. Air terjun..!? Desis Roro terkejut. Ketika ia pandang ke seberang, ternyata tubuh sang kakek telah tak kelihatan lagi.
"Mampukah aku "terbang" kesana...?" Berkata Roro pada dirinya sendiri. Murid si manusia Banci dari Pantai Selatan ini sejenak tercenung. Tapi tiba-tiba tertawa mengikik geli sekali. "Hi hi hi... dasar bocah tolol...!" Roro memaki dirinya sendiri.
Dan tiba-tiba tubuh Roro Centil telah melayang "terbang" keseberang sungai yang bergaris tengah kurang lebih delapan puluh tombak itu. Akan tetapi baru sampai sepertiganya, atau kira-kira 50 tombak. tenaga lompatan Roro mengendur. Dan tak ampun lagi melayanglah tubuh sang Pendekar Wanita ini kebawah, yang berkedalaman 100 kaki dari atas tebing. Dalam beberapa kali putaran tubuh di udara itu segera sesaat lagi tubuh Roro yang meluncur deras itu akan terbenam menghantam ke permukaan air sungai.
Byuuuuurrr...! Air menyemburat keras ke atas. Menyibak permukaan dengan menimbulkan gelombang dahsyat. Tubuh Roro terdorong balik ke atas. Pada saat itulah Roro gunakan tenaga letikan tubuhnya untuk mengarah keseberang. Dengan beberapa kali berjumpalitan diudara, ia akan segera tiba diseberang dengan selamat. Akan tetapi tiba-tiba angin dahsyat telah menghantam tubuhnya hingga kembali ke tengah dan meluncur kebawah dengan deras.
Hantaman itu telah membuat seketika tulang persendian tubuhnya menjadi lemas. Apa lagi ia telah mengeluarkan hampir seluruh tenaga dalamnya menghantam permukaan air. Hingga Roro tak tahu lagi ia melayang kemana. Tahu-tahu terasa tubuhnya sudah amblas kedalam air. Dan suara mengguruh itu sekonyong-konyong lenyap. Air sungai yang deras itu sekejap saja telah menyeret tubuhnya masuk ke dalam air terjun tanpa dapat di cegah lagi.
Sekejap saja tubuh sang Pendekar Pantai Selatan itu sudah tak kelihatan muncul lagi dipermukaan air di bawah sana. Sementara gemuruh air terjun tak putus-putusnya mengguruh bagai suara angin Saloka. Dan diantara suara gemuruh air terjun itu lapat-lapat terdengar suara tertawa melengking tinggi. Tertawa puas atas kemenangannya.
"Hi hi hi... hi hi... Mampuslah kau Roro Centil! Kini julukan Pendekar Wanita Pantai Selatan telah lenyap..! Tak ada lagi wanita yang akan menyaingi diriku..! Hi hi hi..."
Dan sesosok tubuh tersembul dari balik batu di atas tebing. Seorang wanita berbaju hitam dengan simbul tengkorak didada, melihat kebawah tebing dimana air terjun mengalir deras di bawahnya. Sebuah Tombak berwarna hitam tergenggam ditangannya. Kembali si wanita tertawa gelak-gelak diiringi katakata, mendesis dari mulutnya.
"Hihi.. hihi.. hi hi... Dengan tombak Ratu Sima di tanganku ini, aku pasti akan dapat menjadi Ketua Kaum Rimba Persilatan. Benda ini memang lebih cocok berada ditangan wanita seperti aku. Dan nama besar Dewi Tengkorak akan menjulang tinggi di mata kaum rimba hijau..!"
Selesai berkata ia telah tancapkan benda itu di sisinya. Sementara tangannya bertolak pinggang menatap air terjun yang mengguruh dibawahnya. Seperti juga masih belum puas untuk melihat tempat kematian sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Terdengar ia menggumam perlahan.
"Hm. jurus pukulan yang telah kupergunakan adalah jurus ke sembilan dari 10 Jurus Pukulan Kematian si Dewa Tengkorak bekas suamiku..! Walaupun ilmunya setinggi langit, tak nantinya ia dapat lolos dari kematian..!" Terdengar si wanita menghela napas lega. Tapi baru saja ia mau beranjak untuk meninggalkan tempat itu.
"Oh... Saraswati..! Kucari-cari kemana saja kau istriku..? Sebulan penuh aku rindu setengah mati. Sampai tidur susah, karena belum mengantuk. Dan makanpun tidak kepingin, karena belum lapar...! Kau baik-baik saja istriku...?"
Suara itu munculnya dari sesosok tubuh yang muncul dibelakang si Dewi Tengkorak. Secepat kilat si wanita telah balikkan tubuhnya. Dan segera terlihat seorang laki-laki ganteng berusia antara dua puluh enam tahun. Tengah mendatangi dengan langkah lebar. Di bibirnya yang terbuka itu tampak sebaris gigi yang putih rata. Ah...? Benar-benar seorang laki-laki yang tampan. Membisik dihati si Dewi Tengkorak. Tapi aneh sekali, mengapa ia memanggilku Saraswati dan menganggapku istrinya???
Aneh! Apakah wajahku mirip dengan istrinya itu..? Pikir si wanita. Tapi dengan sekali bergerak, ia telah tiba dihadapan pemuda itu. terdengar bentakan dari mulutnya, "Pemuda sinting..! Aku bukan istrimu..!"
Tombaknya meluncur deras ke arah leher pemuda itu. Akan tetapi sedikitpun pemuda itu tak menggerakkan tubuhnya untuk mengelak. Membuat si Dewi Tengkorak terkesiap. Dan sebelum ujung tombak itu menembus kulit leher orang, tiba-tiba ia telah menahannya kembali. Tampak si Dewi Tengkorak kerutkan keningnya. Sedangkan si pemuda dihadapannya cuma tertawa.
"Ha ha ha... Adatmu masih saja tak berubah Saraswati. Walau tubuhku hancur luluhpun aku akan tetap mencintaimu sampai dilobang kubur. Tapi aku sudah tahu isi hatimu. Tak mungkin kau tega membunuhku. Kau hanya pura-pura saja!" Berkata si pemuda.
Makin terngangalah mulut si Dewi Tengkorak. Yang memang sejak tadi telah terbuka bibirnya. "Eh, pemuda gagah..! Siapakah namamu? Bukalah kedua matamu lebar-lebar. Aku bukan istrimu. Aku si Dewi Tengkorak, bukan Saraswati..!" Teriak si wanita dengan dada agak tergetar. Tatapan mata pemuda dihadapannya itu benar-benar menaklukan hatinya. Akan tetapi jawabannya benar-benar membuat ia tak bisa bicara apa-apa.
"Ha ha ha... Saraswati! Walau seribu kali kau berganti nama, dan seribu kali kau mau menipuku, kau tetaplah Saraswati. Sudahlah sayang... Lupakan peristiwa lalu. Wajahmu yang ayu itu tak akan dapat menipuku. Mana bisa kau katakan kau Dewi Tengkorak, atau peri marakahyangan segala..?Aku sudah tak kuat menanggung rindu..."
Dan tiba-tiba sebelum Dewi Tengkorak menyadari akan apa yang bakal terjadi, lengan pemuda itu telah menyambar tubuhnya. Dan sebentar saja telah berada dalam pondongan pemuda aneh itu. Tadinya si Dewi Tengkorak mau berontak, tapi getaran hatinya telah mengalahkan semuanya. Apa lagi tahu-tahu sepasang bibirnya telah disergap cepat oleh si pemuda. Dan dilumat sampai ia megap-megap. Hawa rangsangan yang sudah terpendam sejak tadi itu segera saja ia salurkan. Dan iapun kembali balas melumat sampai terpejam matanya karena nikmat.
Mengguruhnya suara air terjun yang tak hentinya itu menimbulkan gelombang besar di bawah sana. Dimana tubuh Roro Centil terjerumus dalam keadaan mengkhawatirkan. Karena hantaman angin pukulan yang dilancarkan si Dewi Tengkorak, telah membuat tubuhnya lemas. Seluruh persendian tubuhnya lemah tak bertenaga. Hingga tanpa ampun ia terbenam dalam air yang bergulung-gulung. Dalam keadaan dibawa pusaran air itu, Roro benar-benar tak berdaya.
Saat kematian telah terpampang di depan matanya. Pada saat itulah Roro teringat pada kisah yang ia alami empat tahun yang lalu. Dimana ia juga mengalami hal yang serupa. Yaitu megap-megap di dalam air. Dihempas gelombang dahsyat, di pantai Laut Kidul. Dimana ombak Pantai Selatan telah menggulung tubuhnya, saat ia terjatuh dari atas tebing karang.
Seketika membersit di hatinya, untuk berpantang mati sebelum ajal. Ia harus berusaha menentang renggutan maut sebelum kasip. Segera ia salurkan tenaga dalamnya dengan seksama keseluruh anggota tubuh. Walau tiga-empat teguk air telah masuk ketenggorokannya. Sedapat mungkin ia menahan pernapasannya agar tidak menghirup air. Hingga dadanya terasa mau meledak. Gelembung-gelembung air mulai keluar dari mulutnya. Terpaksa ia menelan lagi dua teguk air.
Tapi ia telah berhasil memulihkan lagi kekuatan tubuhnya. Dan dengan semangat baja ia telah enjot tubuhnya untuk melambung ke atas permukaan. Akhirnya tersembul juga Roro ke atas permukaan air bergelombang itu. Segera ia tarik napas dalam-dalam. Lega nian perasaannya. Kesegaran kembali timbul. Dadanya yang sasak itu telah lenyap seketika. Dan berenanglah Roro Centil menepi, terbawa hanyut agak ke hilir. Disana ia menemukan tempat yang dangkal. Segera ia tiba ke darat.
Tampak Roro Centil duduk bersila di atas batu. Menyempurnakan kekuatannya dengan bantuan tenaga dalam. Hingga selang beberapa saat seluruh kekuatannya telah kembali pulih seperti sedia kala. Roro bangkit berdiri. Dan tatap sekelilingnya. Gemuruh air terjun itu masih terdengar. Dan memang tidak begitu jauh. Terpaan angin dari arah bukit itu membuat bajunya berkibaran. Ternyata pakaiannya juga telah kembali kering. Bersamaan dengan kepulihan kekuatan tubuhnya.
Roro pandang air dihadapannya yang mengalir deras. Seolah-olah terbayanglah kembali air gelombang Pantai Selatan dihadapannya. Tiba-tiba bibirnya tampakkan senyumannya. Wajahnya berubah cerah, bagaikan sekuntum bunga mawar dipagi hari. Dan saat itu juga ia telah melesat ke tengah sungai, diiringi suara tertawa geli. Yang selanjutnya bagaikan seorang Peri, Roro berlari-lari di atas air. Kembali menuju ke hulu sungai.
Sepasang kakinya cuma sekali sekali menginjak permukaan air dibarengi dengan berkelebatnya tubuh sang dara, yang melompat-lompat dengan gerakan ringan bagai sehelai daun. Ketika tiba dekat air terjun itu. Roro Centil membelok kesisi. Dari sana ia segera meniti tebing batu untuk naik ke atas. Dan selang beberapa saat antaranya ia telah kembali tiba di atas tebing. Suasana tampak lengang. Hanya gemuruh air terjun itu saja yang terdengar dibawahnya.
"Heh! Siapakah yang telah membokongku itu...? Apakah si kakek pengemis? Tapi suara tertawa seorang wanita ada kudengar. Apakah yang menyerangku itu cucu perempuannya si kakek pengemis itu..." Menggumam Roro. Sementara pandangan matanya menatap ke beberapa arah. Dan dilain kejap, ia telah gerakkan tubuhnya untuk melesat kesatu arah dihadapannya.
Saat itu senja menyelimuti alam sekitarnya. Desah angin semilir yang menerjang daun-daun beringin yang tak begitu tinggi, membuat hawa sejuk menyentuh kulit. Sementara sang Mentari, tampak malu-malu mengintip dari celah-celah dedaunan. Dikejauhan terdengar suara Tekukur, yang sekali sekali menyibak kelengangan.
Namun semua itu tak mengusik kedua insan berlainan jenis yang tengah menikmati indahnya alam. Gemuruh air terjun cuma samar-samar terdengar di kejauhan. Yang sesekali tersamar dengan keluhan seekor kerbau milik petani, di lereng bukit.
Sementara si empunya kebun, tengah menancapkan sebuah tonggak kayu yang roboh itu. Serta menekannya perlahan-lahan. Kembali terdengar lenguh sang kerbau. Lalu miringkan tubuhnya. Kemudian diam untuk tidur meram. Dengan dengus napasnya seperti saling sahut-sahutan.
Roro Centil berdiri bertolak pinggang. Sebentar-sebentar ia palingkan kepala, tapi tatapannya tak pernah lepas dari hadapannya. Walaupun wajahnya sebentar merah sebentar kembali memutih. Tempat itu memang tak berapa jauh dari tebing. Dari telapak kaki yang masih ada bekas-bekasnya, ia dapat mengetahui. kalau tak jauh dari situ ada dua manusia yang menyembunyikan diri dibalik semak. Dibawah pohon yang rindang.
" Aku harus tahu siapa kedua kunyuk yang berada di bawah pohon itu..!" Berfikir Roro Walaupun yang tampak hanyalah dua pasang kaki yang saling tumpang tindih. Namun cukup untuk membuat wajahnya jadi terasa panas, seperti dipanggang matahari sore. Tapi sepasang matanya jadi terbeliak lebar, karena sebuah benda hitam panjang itu seperti mengingatkannya pada Pantai Selatan.
"Ah. itukah Tombak Pusaka Ratu Sima milik si Dewa Tengkorak...?" Mendesis keluar suara dari mulutnya tanpa disadari.
Saat itulah kedua manusia dibalik semak itu saling berlompatan keluar. Masing-masing bergerak untuk menyambar pakaiannya. Tapi Roro memanglah Roro yang berwatak aneh. Sekali lengannya bergerak maka melayanglah tumpukan pakaian itu untuk terbang jauh. Dan menyangsang dibeberapa ranting pohon yang tinggi. Kedua manusia itu saling tatap. Dan alihkan pandangan pada Roro Centil yang cuma senyum sinis menatap mereka. Bahkan begitu lihat tampang si laki-laki, segera terdengar suara tertawanya yang mengikik geli.
"Hi hi hi... Kiranya sobat Joko Sangit! Apakah kau juga akan mengatakan wanita itu istrimu..?" Bertanya Roro Centil. Adapun matanya tak lepas dari tombak hitam yang tertancap itu.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa si laki-laki. begitu lihat siapa dihadapannya. Dan sekonyong-konyong tubuhnya meluncur "terbang" keudara. Dengan sekali berjumpalitan, ia telah tiba didahan pohon. Dan selanjutnya telah menyambar kembali pakaiannya. Sekejap ia telah melayang turun, dan lenyap dibalik semak.
Diam-diam Roro memuji kehebatan ilmu lompat Joko Sangit. Tapi ketika ia berpaling ke arah si Dewi Tengkorak, ternyata wanita itu telah berkelebat pergi menyelinap kebalik pohon dengan menyambar cepat tombak hitamnya. Roro keluarkan dengusan dihidung. Dan gerakkan tubuh untuk menyusulnya.
"He! Pencuri..! Kembalikan tombak Pusaka itu..! Dan kau harus ceritakan darimana kau perolehnya..!" Bentak Roro sambil berkelebat.
Akan tetapi jawabannya adalah sebuah hantaman itu amat serupa dengan hantaman yang membuat tubuhnya terlempar ke air terjun. Ia segera bergerak untuk mengelak. Dua batang pohon sebesar paha dibelakangnya, roboh kena hantaman angin pukulan dahsyat itu. Tak pelak lagi, pastilah wanita ini yang telah mencelakaiku! Sentak Roro dihati. Kasihan wanita itu.
Tampaknya ia serba salah karena tak dapat berdiri bebas dihadapan sang lawan. Karena harus menutupi bagian-bagian tubuh tertentunya. Akan tetapi Roro Centil mana mau perduli? Pendekar aneh ini lebih mengkhawatirkan nasib gurunya, Si Manusia Aneh Pantai Selatan. Yang telah menutup diri di ruang Gua didasar tebing karang, Tiba-tiba ia telah membentak,
"Hei! Manusia tengik! Apa yang kau lakukan terhadap Guruku. Dan dari mana kau peroleh benda itu..? Hmm... Kau rupanya yang telah membokongku, ya..? Bagus! Kini dapat kau rasakan pembalasan dari ku! Namun aku takkan membunuhmu sebelum kau terangkan dulu apa yang telah terjadi..!"
Setelah berfikir sejenak, rupanya si Dewi Tengkorak mulai berani untuk berdiri bebas tanpa harus malu-malu lagi. Keselamatan jiwanya adalah lebih penting...! Dan dihadapan manusia sejenis, mengapa harus ragu-ragu atau malu segala, pikirnya. Segera ia lintangkan tombak hitam di depan dada. Wajahnya tampilkan rasa benci yang mendalam pada Roro. Dan ia sudah berkata dengan lantang.
"Huh! Roro Centil...! Mengapa kau tuduh aku pencuri..? Benda ini adalah milik suamiku si Dewa Tengkorak. Yang kudengar dari sementara orang, adalah kematiannya ditangan Gurumu si Manusia Aneh Pantai Selatan. Karena manusia banci itu memang tergila-gila pada lelaki milikku itu. Tapi tak mendapat sambutan si Dewa Tengkorak! Apakah dapat disalahkan kalau aku membalas dendam..? Dan kau murid si banci tak tahu malu itu memang telah lama aku mencarimu, untuk melenyapkannya dari dunia ini. Dan nama Dewi Tengkorak yang akan kembali tegak di permukaan bumi ini. Menghapus nama besarmu selama ini...! Sambungnya lagi.
Sampai disini Roro tak dapat menahan getaran hatinya untuk bertanya dengan wajah pucat pias. "Jadi... Kau telah membunuhnya...?" Teriak Roro.
"Hihi..hihi... hi hi.. Bukan saja kubunuh mampus orangnya. Tapi juga telah kurampas lagi benda pusaka ini! Dan perlu kau ketahui... Ilmu-ilmu sakti dari dalam tombak hitam inipun telah berhasil kupelajari dan ku kuasai sepenuhnya..!"
Terkesiap Roro Centil. Entah mengapa sekonyong-konyong terdengar jeritan melengking tinggi, mengumandang ke udara keluar dari mulutnya. Lengkingan dari pedihnya hati yang tiada terkira. Karena Gurunya yang amat dicintainya itu, didengarnya telah tewas oleh manusia dihadapannya. Hebat teriakan melengking panjang itu. karena si Dewi Tengkorak harus menutup telinga kalau tak mau pecah gendang telinga yang dimilikinya.
Suasana kembali lengang. Dan tampak sang Pendekar Wanita tertunduk layu menatap bumi. Beberapa tetes air bening meluncur turun mengenai ujung jari kakinya. Akan tetapi pada saat itu. bersyiur angin deras menyambar kepalanya. Ternyata si Dewi Tengkorak telah lancarkan serangan ganas. Tombak hitamnya hanya beberapa senti lagi di atas kepala.
Plak...! Roro Centil telah menghantamkan telapak tangannya dengan tenaga dalam yang hampir separuh ia salurkan. Hebat akibatnya. Karena tampak si Dewi Tengkorak berteriak tertahan. Tubuhnya terbawa memutar beberapa kali. Walaupun benda itu tak terlepas dari tangannya, namun telapak tangannya telah mengeluarkan darah.
"Kurang ajar...!" Teriak si Dewi Tengkorak. Namun ia jadi terkejut karena sang lawan tak berada lagi di hadapannya.
Tiba-tiba terdengar suara mengikik seram di sekelilingnya. Terlihat bayangan merah jambu berkelebatan mengelilinginya. Namun sama sekali ia tak dapat melihat bentuk tubuhnya. Sedangkan suara tertawa mengikik menyeramkan itu bagai mendesingdesing di daun telinganya. Entah mengapa tiba-tiba terasa gentar hati si Dewi Tengkorak.
Detak jantungnya semakin cepat. Seirama dengan putaran kelebatan bayangan merah jambu yang juga semakin lama semakin cepat. Dalam keadaan panik itu, ia telah lancarkan serangan semuanya. Berserabutan, menghajar si bayangan. Hingga bertumbangan pohon-pohon sebesar betis dan paha di sekelilingnya. Ketika tiba-tiba.
Plak...! Lengannya tergetar hebat. Dan tombak pusaka itu telah terpental jauh menancap di sebatang pohon. Terkejut bukan main Dewi Tengkorak. Baru saja ia gerakkan tubuh untuk menyambarnya. sekelebat bayangan merah jambu itu telah mendahului menyambar benda pusaka itu. Segera ia hantamkan telapak tangannya. Namun cuma mengenai tempat kosong. Dan terdengar suara sesaat antaranya, ketika dengan gerakan ringan Roro Centil jejakkan kaki tak jauh di hadapannya.
"Hi hi hi.. Benda ini tak boleh jatuh ke tangan siapa-siapa...! Ia milik Guruku.!" Berkata Roro. Yang tampak wajahnya seperti orang bangun tidur. Rambutnya telah awut awutan. Sepasang matanya tampak sayu. Dan senyumnya adalah senyum yang menggiriskan hati. Karena ternyata Roro tampak seperti orang yang kurang waras. Pipinya bersimbah air mata. Namun bibirnya tersenyum.
Tampak aneh dan membuat orang akan takut, karena mirip orang yang kesurupan. Dewi Tengkorak mundur dua tindak, ketika dengan tubuh terhuyung sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu melangkah ke depan. Angin senja bersyiur agak keras, membuat rambut Roro menyibak berseliweran didahinya. Roro memang tidak dapat dikatakan gadis yang lugu dan ayu lagi saat itu. Karena ia memang amat mirip dengan hantu perempuan yang cantik. Namun amat menyeramkan.
Bahkan ketika melangkah lagi untuk mendekati si Dewi Tengkorak, tubuhnya bergoyang-goyang bagai hantu arwah. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh si wanita itu. Entah mengapa ia jadi gentar. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangannya saja, terasa kaku bagai terbelenggu. Pada saat itulah berkelebat bayangan putih. Yang segera jejakkan kaki tiga tombak di sebelah kiri Roro. Ternyata Joko Sangit. Kiranya sejak tadi ia telah mengikuti jalannya pertarungan. Tampaknya ia amat mengkhawatirkan keadaan Roro Centil.
"Roro... Kau telah terluka dalam! Berikanlah tombak pusaka itu padaku. Benda itu memang tak boleh jatuh ketangan siapa-siapa. Aku akan memberikannya pada Baginda Raja Kerajaan Medang. Karena Sudah sepatutnya benda bersejarah itu menjadi milik Kerajaan...! Percayalah! Walau kelakuan ku jelek, yang suka main perempuan. Tapi aku tak dapat untuk berbuat kejahatan lain. Aku selalu menghormatimu sampai kapanpun. Berikanlah padaku Roro... Kelak bila sudah beres urusan di puncak Mahameru, aku punya banyak kisah yang menarik untuk kau dengarkan..!" Berkata Joko Sangit dengan lemah lembut.
Tampak Roro Centil mengerutkan alisnya. Lalu tertawa. "Apakah kau akan berikan lagi pada istrimu? Atau untuk kau kangkangi sendiri benda ini.." Bertanya Roro tanpa palingkan kepala.
"Ha ha ha... Joko Sangit tidak kemaruk pada segala macam pusaka! Mengenai istriku ini. terserahlah kalau kau mau bikin mampus! Mana aku sudi menolonginya." Berkata Joko Sangit, sambil tersenyum pada si Dewi Tengkorak, yang tampak plototkan mata saking gusarnya.
Ternyata ia benar-benar telah kena dikibuli si laki-laki ganteng bernama Joko Sangit itu. Hingga ia mau menyerahkan tubuhnya bulat-bulat. Tapi siapa mau salahkan? Karena ia juga mau. Mendengar kata-kata itu Roro Centil tertawa mengikik, hingga sampai tubuhnya terguncang-guncang. Bahkan sampai-sampai Joko Sangit mundur beberapa langkah. Gentar juga hatinya melihat Roro, yang seperti setan perempuan dengan wajah beku bagai es. Dan rambut yang beriapan.
Roro memang telah bagaikan seorang yang tidak waras. Tiba-tiba Sang Pendekar Wanita ini perdengarkan. teriakan melengking panjang. Membuat si Dewi Tengkorak terperangah. Tubuhnya yang tanpa busana itu tergetar hebat. Tapi ia tak berusaha menutupi telinganya. Karana getaran suara itu telah menggetarkan jantungnya. Hingga serasa hilang sukmanya tanpa ia tahu harus berbuat apa.
Dan pada saat itulah Roro Centil telah pentangkan sepuluh jari tangannya. Menghantam ke depan. Bagai dihempas angin taufan yang amat dahsyat. terdengar teriakan tertahan si Dewi Tengkorak ketika tahu-tahu tubuhnya terpental ke belakang lima tombak.
"Buk...! Tubuh bugil itu meluncur deras menghantam batang pohon di belakangnya, dengan kaki terpentang ke atas. Dan pada detik itu juga. Meluncur deras sebuah benda hitam panjang ke arah si Dewi Tengkorak.
Jrot...! Terdengar pekik panjang mengerikan, ketika tombak pusaka Ratu Sima yang meluncur deras itu, telah menancap tepat di pangkal paha si Dewi Tengkorak.
Joko Sangit cuma bisa menatap dengan mulut ternganga. Kejadian itu begitu cepat. Dan di luar dugaan sama sekali. Ketika ia berpaling ke arah Roro Centil, ia hanya dapat melihat berkelebatnya bayangan merah jambu. Yang dalam beberapa kejap saja telah lenyap di kesamaran senja yang temaram.. Namun lapat-lapat masih terdengar suara di telinganya yang dibarengi dengan gelak tertawa cekikikan yang membangunkan bulu roma.
"Hi hi hi... hi hi... Silahkan kau bawa tombak Pusaka itu. Joko Sangit! Tapi kalau kau coba-coba mendustaiku, jangan harap aku akan membiarkan dirimu bergentayangan lagi di muka bumi ini..! Dan jangan anggap lagi aku sahabatmu..."
Joko Sangit terpaku tak bergeming ditempatnya. Sukmanya seolah terbawa, dengan kepergian si Pendekar Wanita Roro Centil. Yang tak dapat dipastikan apakah ia sudah menjadi orang yang tidak waras lagi. Selang sesaat terdengar laki-laki itu menarik napas panjang. Seolah baru saja terlepas dari amukan prahara badai taufan yang menyesakkan dada.
Ketika ia palingkan wajah ke arah si Dewi Tengkorak, seketika bergidik tubuhnya. Karena tubuh wanita bugil itu masih tergantung menempel dibatang pohon, disangga tombak pusaka yang telah memakunya di situ. Sedangkan posisi tubuhnya masih tetap seperti tadi, yaitu dengan keadaan kaki terentang.
Sementara darah kental merembes turun dari sela-sela yang telah tertutup rapat oleh batang tombak hitam. Walaupun seketika wajah Joko Sangit agak memerah, dan terasa panas, namun diam-diam ia ngeri juga dibuatnya. Di samping ia agak bingung dengan cara bagaimana ia mencabut benda pusaka yang menancap begitu..?
"ROROOOOOOOOO..! Tolonglah aku... Bebaskan aku. Bunuh si kakek pengemis bau ini! Aku tak mau kawin dengan anak gadisnya. Aku tak akan mau kawin dengan siapapun kalau tidak denganmu, Roro..! Aku telah lama mencintaimu..." Ginanjar berteriak-teriak kalap. Tangan dan kakinya bergerak-gerak menghantam kiri dan kanan.
Akan tetapi amat kasihan bila melihatnya. Karena ia cuma bisa gerakkan ibu jari kaki dan tangannya saja. Sedangkan dalam bayangannya, ia telah mengamuk dan meronta dengan hebat. Pemuda itu terbaring pada sebuah pembaringan dari batu beralas rumput kering dan jerami. Di atas sehelai tikar yang sudah lusuh. Matahari yang tersembul dari balik bukit itu cuma mampu pancarkan sinar menembus langit-langit kamar. Dan menerangi sedikit bagian dalam ruangan Goa yang tersembunyi itu.
Mulut Goa yang cuma sedikit menganga itu agaknya pintu masuk dari luar. Tapi di bagian sebelah dalam, setelah melewati lorong yang hanya muat untuk satu tubuh manusia, terdapat ruangan yang luas. Bahkan disini udara masuk cukup banyak. Karena tiga buah lubang agak besar, menganga di setiap dindingnya. Kalau kita coba melongok keluar lubang, akan ngeri melihatnya. Karena di bawah sana adalah jurang yang amat dalam sekali.
Goa itu ternyata terletak di lereng tebing curam. Untuk mendatangi Goa itu, tentu saja amat sulit bagi manusia biasa. Atau bahkan orang yang ilmunya belum mencapai tingkat tinggi, tak akan mampu merayap kesana. Namun aneh... si pemuda Ginanjar itu ternyata telah berada di dalam Goa misterius tersebut. Siapa lagi yang membawanya kalau bukan si kakek pengemis aneh itu.
Tebing terjal itu memang amat curam, dengan di kiri dan kanannya jurang luas yang dalam terbentang luas. Burung-burung walet tampak berbondong-bondong keluar dari lubang-lubang batu tebing. Suaranya riuh bercicitan. Sedang di lubang lain binatangbinatang ini berseliweran keluar masuk lubang dengan suara berisik. Ketika mendengar suara teriakan pemuda itu, sesosok tubuh julurkan kepalanya dari sebuah. Dan terdengar suaranya,
"Eh, bocah bandel! Kalau kau mau bersabar, aku akan lepaskan kau..! Tapi kalau kau sanggup menerima syaratnya!"
Ginanjar berhenti berteriak. Katakata itu terdengar bagai mendengung di telinganya. Ketika ia membuka matanya, ia bagaikan orang linglung. Karena sama sekali ia tak mengetahui ada di mana. Ternyata ia telah mengigau. Karana barusan saja ia terbangun dari tidurnya setelah semalam suntuk ia terbaring di pembaringan itu. Keringatnya mengucur deras dari dahinya. Setelah memulihkan ingatannya, Ginanjar menyahuti,
"Berikan syaratnya kakek pengemis. Aku pasti akan laksanakan, asal tak kau kawinkan aku dengan cucu perempuanmu!" Teriak Ginanjar.
Akan tetapi terdengar suara tertawa si kakek geli sekali, terkekeh-kekeh. "He he heh heh heh. he he... Siapa yang punya cucu perempuan? Kalaupun ada tak nantinya ku kawinkan denganmu. Tapi kau tetap takkan kubebaskan sebelum kau penuhi janjimu..! Berkata si kakek.
Mendengar kata-kata itu terbeliak sepasang mata Ginanjar. Karena ternyata sang kakek aneh itu cuma bergurau saja. Siapakah gerangan kakek aneh yang berilmu tinggi itu..? Berfikir Ginanjar dengan sejuta pertanyaan di benaknya. Tetapi diam-diam ia berdoa semoga si kakek itu bukan tokoh dari golongan jahat.
Beberapa pekan berlalu sudah... Puncak Mahameru telah banyak didatangi tokoh-tokoh persilatan dari berbagai pelosok. Mereka belum berkumpul semua di atas puncak yang terasa berhawa panas itu. Yang ditimbulkan dari hawa kawah itu Beberapa kelompok tampak membuat tenda-tenda atau tempat bermalam, di lereng-lereng gunung. Tentu saja tidak semua dari mereka itu datang hanya untuk menonton jalannya pertandingan. Apalagi undangan itu datangnya tidak resmi. Dan tak diketahui siapa yang telah mengundangnya.
Akan tetapi. tetap saja banyak yang datang, karena disamping ingin mengetahui siapa gerangan manusia yang telah bermulut besar itu. Yang dengan berani, telah menyelenggarakan pertemuan besar yang aneh itu. Juga kedatangan mereka adalah mencari tahu tentang Ketua Rimba Hijau Ki Dharma Tungga. Yang tak ada kabar beritanya sejak beberapa tahun belakangan ini.
Bahkan menurut perkiraan beberapa tokoh tua kaum persilatan yang sudah mengundurkan diri dari dunia Rimba Hijau, bahwa masa jabatan Ketua Ki Dharma Tungga masih belum habis. Dan segala sesuatunya haruslah seizin, atau sepengetahuan sang Ketua atau wakil darinya. Yang tentunya akan diadakan pertemuan diantara para tokoh penting, bilamana ada sesuatu perubahan mengenai hal-hal memilih ketua baru sebelumnya.
Tapi hal seperti ini adalah benar-benar keterlaluan. Bahkan mengenai siapa yang telah menyelenggarakan upacara saja, tak diketahui. Sebenarnya untuk tidak datangpun tak ada persoalan. Karena siapa tahu kalau hal itu adalah untuk memancing kekacauan belaka. Namun sebagai kaum Rimba Hijau, yang amat peka dengan segala sesuatu kejadian aneh. Membuat banyak juga yang berdatangan ke puncak Mahameru.
Ternyata pada puncak gunung itu, di lereng kawah ada terdapat tanah rata. Dimana di sekelilingnya telah tertancap tonggaktonggak kayu yang berbentuk melingkar. Walaupun tak ada tanda-tanda bendera atau lambang. Namun mereka dapat memastikan akan terbukti juga bahwa si pengundang itu tidak main-main. Karena telah menyediakan tempatnya. Atau arena untuk suatu pertarungan.
Perhitungan waktu yang ditetapkan adalah dengan melihat bulan. Dimana di saat munculnya selarik garis dilangit. Menandakan itulah waktunya diadakan pertandingan untuk menentukan calon Ketua. Dan sebelum masa bulan muncul itu, mereka harus sudah berkumpul. Pertarungan cuma diadakan satu pekan. Bila lewat waktu yang ditentukan, maka pemilihan ketua telah berakhir.
Saat waktu yang ditentukan tinggal tiga hari lagi. Semua kaum persilatan yang datang, menanti dengan hati berdebar. Ingin sekali mereka melihat siapa gerangan tokoh Rimba Hijau. yang telah berani sembrono untuk mengadakan penyelenggaraan pertemuan besar-besaran yang misterius itu.
Namun dihari berikut, di saat waktu tinggal dua hari lagi. Menjelang pagi, telah tertancap disekeliling tanah rata itu berpuluh-puluh bendera MERAH dengan simbol lima ekor Serigala. Kelima ekor Serigala-Serigala itu cuma bergambar kepalanya saja. Dan berwarna putih. Berbaris sepanjang bendera. namun di atas dasar warna hitam. yang berbentuk Serigala utuh dengan tubuhnya.
Dan menjelang satu hari lagi. Di tengah tanah rata itu telah terbentang sebuah kemah tertutup. Berwarna hitam. Sedangkan di atas kemah itu telah berdiri tiang yang tinggi. Dengan bendera yang terlihat sepuluh kali lebih besar, dari bendera-bendera yang terdapat disekeliling tanah rata. Tak ada seorangpun dari para pengunjung yang berani mengganggu atau memasuki tenda hitam itu.
Bahkan kapan berdirinya kemah itu saja tak ada yang tahu. Seandainya mungkin ada, sudah pasti akan tutup mulut. Karena disamping harus waspada akan setiap keributan. Karena disekeliling mereka bukan dari golongan lurus saja. Tokoh-tokoh kaum hitam pun banyak yang berdatangan. Khawatir salah-salah sebelum di adakannya pertandingan, nyawa sudah melayang siang-siang.
Menjelang malam, di hari esok yang bakal dipastikan di adakannya pertarungan untuk pemilihan Ketua. Hampir semua dari pengunjung, tak ada yang berani tidur. Bahkan tak bisa tidur. Karena mereka mengkhawatirkan akan hal-hal yang bisa saja terjadi setiap saat. Menjelang tengah malam sekonyong-konyong terdengar suara melengking tinggi. Berkumandang di udara. Seperti suara jeritan arwah yang mati penasaran. Atau mirip raungan serigala. Membuat beberapa kelompok dari para pengunjung, terperangah.
Dengan puluhan pasang mata melotot tak berkedip, menatap ke arena yang sunyi lengang itu. Bahkan gelapnya malam membuat mereka tak dapat melihat apa-apa di hadapannya. Sesosok tubuh telah berkelebat cepat sekali memasuki tenda hitam, tanpa menimbulkan suara. Dan selang sesaat, telah disusul oleh lima sosok bayangan lainnya.
Namun gelap pekatnya malam, membuat tak seorangpun yang melihat. Suasana tetap sepi lengang tak berubah. Hanya kepak sayap kelelawar, sekali sekali terdengar. Membuatnya terkesiap. dengan jantung berdetak keras. Tapi mereka cuma bisa terdiam dan memaki dalam hati.
Fajar pun menyingsing... Seakan-akan lama sekali malam itu berlalu. Namun yang dinanti sebentar lagi akan tiba. Tampak beberapa kelompok yang terpisah-pisah itu mulai bergeser beringsut lebih dekat lagi, ke sisi tanah datar yang dikelilingi bendera merah kecil-kecil itu. Seperti tak sabar untuk segera melihat siapa yang bakal muncul ditengah arena.
Tenda hitam itu masih tetap tertutup rapat. Tanpa seorangpun tahu apa dan siapa didalamnya. Hingga Matahari mulai menggelincir naik, suasana masih belum berubah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan salah seorang dari pengunjung yang agaknya sudah tak sabar lagi.
"Hoooiiiiii...! Yang berada di dalam tenda hitam! Tampakkanlah siapa dirimu...! Agar kami tahu siapa gerangan yang telah menyelenggarakan pertemuan gila ini...!"
Demikian teriakannya. Dan disambut dengan gemuruh suara-suara di sekelilingnya. Seperti menyetujui tindakan berani yang telah diperbuatnya. Tapi tampaknya tak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara.
Selang sesaat, tiba-tiba kain tenda hitam tersingkap. Dan dua sosok tubuh melompat keluar. Kedua orang itu mengenakan jubah berwarna hijau. Wajahnya tampak gagah dan masih muda-muda. Keduanya menjura ketiga jurusan. Ternyata kedua orang itu masing-masing bertubuh cacad. Yang seorang putus sebelah kakinya. Dan yang seorang lagi putus kedua tangannya.
Salah seorang sudah buka suara. "Saudara-saudara kaum Rimba Persilatan. Kami menghaturkan terima kasih atas kedatangan kalian kemari. Hehe hehe... he he...! Mengenai hal pemilihan Ketua, yang memang dirahasiakan ini, kami sanggup menunjukkan bukti. Bahwa pertemuan yang kami adakan bukanlah pertemuan gila...!"
Selesai berkata, kedua tubuh itu kembali melompat ke belakang. Dan berdiri tegak di kiri kanan tenda. Detik berikutnya melompat lagi dua sosok tubuh, laki-laki dan wanita. Dan setelah menjura ketiga jurusan, kedua orang muda inipun melompat mundur. Dan berdiri berjajar di kirikanan tenda. Beberapa puluh pasang mata menatap wajah-wajah keempat orang itu dengan tak berkedip.
Selang sesaat, telah melompat lagi keluar tenda. Kali ini hanya seorang. Dia seorang wanita yang menyandang dua pedang di belakang punggungnya. Dan setelah menjura ketiga jurusan, wanita ini berkata lantang: "Nah...! Adakah diantara kalian yang akan mengatakan bahwa pertemuan ini adalah pertemuan gila...?"
Tampak ia palingkan kepala ketiga penjuru. Tapi tampaknya tak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara. Selang sesaat si wanita sudah berkata lagi: "Nah! Kalau begitu pertandingan akan segera di mulai...! Silahkan siapa yang berani maju terlebih dulu! Kami adalah terdiri dari lima orang. Bila diantara kalian ada yang ingin maju seorang demi seorang. Akan kami layani. Tetapi haruslah dapat mengalahkan kami satu persatu. Yaitu dengan menembus pertahanan barisan kelompok dari "Lima Serigala Malaikat". Seandainya tak ada yang berani maju dengan seorang diri, silahkan maju dengan sekelompok. Tapi tidak boleh lebih dari sepuluh orang. Nah, waktu telah tiba...!"
Teriak si wanita berpedang dua itu. Dan tiba-tiba ia telah keluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu disulut dengan api. Setelah mundur lima tindak. Terlihat benda itu berbunyi mendesis, serta mengeluarkan asap. Dan beberapa detik kemudian...
Whusssss...! Benda yang panjangnya sejengkal itu meluncur keudara menimbulkan percikan api dan asap tebal. Kira-kira 100 tombak terdengar bunyi ledakan keras.
Dhuuuaarrr...! Benda itu telah meledak di angkasa. Menimbulkan cahaya berwarna-warni sebesar lingkaran tanah datar di bawahnya. Kemudian si wanita itupun melompat mundur. Dan berdiri berjajar di sebelah keempat kawannya. Beberapa saat mereka menunggu orang pertama yang akan maju ke tengah arena. Masing-masing para pengunjung tampak terdengar bersuara riuh. Kepala-kepala mereka bergerak kekiri-kekanan seperti ingin melihat siapa yang berani maju.
Tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh ke tengah arena. Ternyata seorang laki-laki tua bertubuh gemuk. Dengan perutnya yang buncit menggembung. Laki-laki ini memakai jubah berwarna putih. Pada lehernya tergantung seuntai tasbih dari perak. Dia lantas menjura ke hadapan kelima wajah di hadapannya seraya berkata,
"Maaf, kami datang mewakilkan diri dari partai kami yaitu Partai Giri Manuk. Aku sendiri bergelar si Tasbih Perak. Kedatanganku adalah ingin menanyakan, apakah dalam pertandingan ini tak disediakan beberapa orang juri..? Karena mana mungkin suatu pertandingan diadakan, tanpa adanya juri. Jadi siapa yang dapat menentukan kalah menangnya..?"
Suara si gendut Tasbih Perak ini terdengar lantang, walau tampaknya ia berkata biasa saja. Pertanda ia bukan seorang tokoh sembarangan. Apa lagi Partai Giri Manuk sudah tersyiar keharuman namanya di Rimba Hijau.
Mendengar kata-kata si gendut itu, serentak terdengar suara teriakan ramai, yang membenarkan ucapan atau sanggahan itu. Akan tetapi kelima orang di hadapannya telah melompat berbareng ke depan. Dan sekaligus membentuk barisan pertahanan. Berbentuk kerucut. Dengan paling depan adalah si wanita berpedang dua. Terdengar ia berkata,
"Heh! Tasbih Perak! Penentuan juri adalah oleh pihak kami sendiri. Tak usah pakai macam-macam urusan rumit. Kalau kau sanggup menembus barisan kami, dan menumbangkan kami satu persatu. Kau boleh angkat dirimu menjadi Ketua..!"
Si Tasbih Perak tampak kerutkan kening. Sepasang alis lebat yang hampir memutih semua itu mencuat ke atas. Ia sudah lantas berkata: "Mana bisa ada peraturan begitu...? Bagaimana kalau kalian berlaku curang...? Hal semacam ini tak bisa dibenarkan!"
Akan tetapi Siti Jenang telah membentak. "Segala keputusan adalah di tangan kami. Semua pengunjung dapat dijadikan saksi. Kalau ada hal kecurangan. kalian boleh memprotes..!"
"Huh! Benar-benar peraturan gila..!" Memaki si Tasbih Perak. Dan ia sudah akan bergerak untuk melompat keluar arena.
Akan tetapi, sekali lompat si wanita telah melompat menghadang. Seraya pentang kedua tangannya, diiringi bentakan keras. "Tunggu Tasbih Perak! Kau sudah masuk ke dalam arena. Berarti kau harus menghadapi kami. Bila kau mau keluar, silahkan tinggalkan nyawamu..!"
Dan keempat kawan dari Lima Serigala Malaikat segera telah mengurungnya. Melengak si Tasbih Perak. Sepasang matanya jadi mendelik gusar. Memandang sekeliling ia dapati wajah wajah kaku yang menatap tajam padanya. Dan ketika menatap si dua manusia cacad itu, hati si Tasbih Perak jadi tersentak. Wajah itu ia mengenalnya. Dan ia sudah lantas berkata,
"He..!? Bukankah anda berdua si Pendekar Kembar adanya..?" Terdengar suara tertawa sinis.
Si kaki buntung sebelah menyahuti. "Wajah kami memang wajah si Pendekar Kembar. Akan tetapi kami adalah Dua Siluman Gunung Kawi, yang akan menumpas seluruh golongan kaum putih. Kami telah menguliti kulit muka si pendekar kembar tolol itu..!" Mendesis suara Kala Munget.
Terbeliak mata si Tasbih Perak. Wajahnya menampilkan kemarahan hebat. "Kalau begitu kalian si Kala Munget dan Kala Wesi adanya. Sungguh perbuatan biadab yang kalian lakukan!" Dan ia sudah mencabut keluar Tasbih Peraknya. Namun ia sudah membentak lagi dengan suara lantang. "Baik. Lima Serigala Malaikat! Bentuklah barisan kalian! Aku orang pertama yang akan mewakili perguruan dari Partai Giri Manuk. Tapi bukan untuk menduduki jabatan Ketua, melainkan untuk menumpas lima iblis tengik yang gila pangkat..!"
Tadinya Kala Wesi sudah mau menerjang karena sudah tak sabar untuk menghabisi orang. Akan tetapi telah diberi isyarat oleh Siti Jeneng. Karena hal itu akan di anggap para pengunjung sebagai tindakan tak beraturan. Segera saja telah berlompatan kelima Serigala Malaikat untuk membentuk barisan.
Kali ini susunan berubah. Kelelawar Besi berada didepan. Bagian belakang dua orang, yaitu Kala Munget dan Kala Wesi. Dan dua orang lagi agak melebar di belakang, adalah Siti Jenang dan Rimba Wengi. Siti Jenang telah mencabut keluar sepasang pedang hijaunya, milik si Pendekar Kembar Gambir Anom dan Gambir Sepuh.
Kini semua mata terpantang lebar di luar arena, untuk menyaksikan pertarungan seru. Dengan hati berdebar. Si gendut Tasbih Perak telah mundur dua tindak. Sepasang matanya tampak merah bagai biji saga, ia sebagai seorang tokoh tua kaum putih, benar-benar merasa terhina kalau tak turun tangan menumpas kelima wajah iblis di hadapannya.
Segera saja ia berteriak keras, seraya menerjang dengan gerakan kilat. Tasbihnya berkelebat menghantam. Sedangkan sebelah lengannya bergerak memukul si Kelelawar Besi terdengar mendengus. Sepasang lengannya meluncur ke arah dada. Sedang pukulan tasbihnya ia elakkan dengan miringkan kepala. Sementara pukulan sebelah lengannya ia tak mengurusi, karena di belakang ada Kala Munget.
Terkejut bukan main si Tasbih Perak. Segera ia gerakkan tubuh menghindar ke samping. Kakinya bergerak menyambut pukulan kedua lengan si Kelelawar. Adapun hantaman Tasbih Peraknya mengenai tempat kosong. Namun pukulan lengannya telah disambut oleh Kala Munget dengan gubatan ujung lengan jubahnya. Kala Munget memang tak mempunyai lagi kedua lengan. Yang sudah putus sebatas siku. Namun dengan ujung lengan jubahnya, ia telah mampu menahan serangan lawan bahkan dapat menggubat lengan lawan.
Pada saat itulah si Kelelawar yang serangannya lolos, mendapat sambutan terjangan kaki. Maka cepat bagai kilat. Sepasang lengan besi itu telah berhasil mencengkeram kaki lawan. Terdengar teriakan parau si Tasbih Perak. Dan di saat teriakannya belum lagi habis. Tubuhnya telah terlempar ke belakang barisan. Dalam keadaan kaki hancur, tubuh si Tasbih Perak meluncur deras, terbawa oleh sentakan lengan jubah Kala Munget.
Dibawah Siti Jenang telah menanti dengan sepasang pedang hijaunya. Dan Rimba Wengi sudah siap menghantam dengan telapak tangannya. Perlu diketahui Rimba Wengi adalah yang dijuluki Siluman Telapak Darah. Bila pukulannya mengenai dada atau punggung, maka jangan harap manusia dapat bertahan hidup. Karena sebelah lengannya telah mengandung racun yang amat hebat. Dan juga bukan lengan asli. Yaitu sebuah lengan palsu terbuat dari perunggu, yang telah terendam dengan air racun selama beberapa tahun.
Dalam keadaan luka parah. karena sebelah tulang kakinya hancur, si Tasbih Perak dapat melihat berkelebatnya dua pedang hijau mengarah perut. Dan di sebelah kiri telah siap sebuah lengan dengan telapaknya berwarna hitam untuk menghantam dada. Terperangah ia seketika. Tiba-tiba ia gunakan tubuhnya untuk bersalto di udara. Kedua lengannya segera ia gerakkan untuk menghantam. Terpaksa Rimba Wengi berkelit menghindar. Dan Siti Jenang melompat dua tindak.
Detik berikutnya, dengan menggelindingkan tubuhnya berjungkir balik... ia telah berhasil lolos dari serangan kelima Serigala Malaikat. Walaupun Kala Wesi tak punya kesempatan untuk menyerang. Dengan berdiri pada kedua lutut, si Tasbih Perak sudah siap menanti serangan-serangan selanjutnya.
Akan tetapi sudah terdengar suara teriakan dari para pengunjung diluar arena yang menyatakan kemenangan si Paderi Tasbih Perak. Belum lagi reda suara riuh itu tahu-tahu Tasbih Perak telah roboh terjungkal, untuk tidak berkutik lagi. Seketika suara riuh itu terhenti. Terdengarlah suara Siti Jenang dengan lantang diiringi suara tertawanya.
"Hi hi hi... Apakah kalian mau mengangkat orang mati untuk menjadi Ketua..!?"
Dan serentak lima orang dari luar arena masuk ke tengah, dengan berlompatan. Kelima Serigala Malaikat menyingkir ke tepi. Dan biarkan mereka menghampiri si Tasbih Perak yang masih tertelungkup dengan sebelah kaki hancur. Segera mereka memeriksa tubuh si paderi gendut itu. Dan tampak seketika wajah mereka berubah pias.
Ternyata si Tasbih Perak benar-benar telah tewas. Tak berayal lagi segera mereka menggotongnya cepat keluar arena. Suara riuh kembali terdengar. ketika beberapa orang diluar arena mengerumuni mayat si Tasbih Perak. Namun kelima orang yang mengangkutnya, segera menggotong untuk meninggalkan arena.
Berturut-turut berkelebat delapan orang tokoh persilatan maju ketengah arena, rata-rata mereka menyandang pedang. Tanpa ayal lagi segera si Lima Serigala kembali membentuk barisan. Dan saat berikutnya kembali terjadi pertarungan seru. Delapan orang itu adalah dari Partai Rajawali. Tentu saja mereka datang bukan atas keinginan merebut kursi Ketua Rimba Hijau. Karena mereka datang untuk membalas dendam.
Mereka adalah orang-orang atau murid utama dari Partai Rajawali. Yang diutus oleh kedua gurunya si Sepasang Rajawali Putih. Untuk mengecek kebenaran adanya pertemuan besar itu. Semua orang menahan napas, ketika kelima Serigala Malaikat menerjang dengan ganas. Melancarkan serangan-serangan keji. Dua orang menjerit tatkala lengan si Kelelawar Besi mencengkeram hancur sebelah kaki, dan sebelah lengan dari kedelapan peserta.
Di lain tempat, satu orang berteriak ngeri, karena dadanya tertembus tongkat bercagak Kala Wesi. Dan seorang terjungkal dengan kepala remuk, oleh Rimba Wengi, dengan dada terpanggang oleh dua bilah pedang hijau. Hanya dalam waktu tak berapa lama, kedelapan murid utama Partai Rajawali telah roboh.
Serentak kelima Serigala Malaikat melompat kedua sisi. Berarti telah mempersilahkan orang untuk mengambil mayatnya. Segera beberapa orang maju melompat, tapi bukan untuk mengambil mayat. Melainkan menggempur kelima Serigala Malaikat.
"Iblis-iblis keji...! Bukan begini caranya untuk pemilihan Ketua..!" Berteriak salah seorang. Ternyata Warok Brengos yang telah maju melompat, diikuti sembilan orang kawannya. Segera terjadi pertarungan hebat. Mereka menerjang tanpa mau perduli lagi dengan segala macam aturan.
Tapi hanya sekejap. Karena telah terdengar teriakan-teriakan ngeri. Beberapa tubuh telah terjungkal untuk tidak berkutik lagi. Hanya tinggal Warok Brengos dan dua kawannya. Kematian beberapa kawannya itu memang aneh. karena kelima Serigala belum melakukan pukulan, dan cuma berkelebatan saja melompat untuk menyingkir. Hal mana membuat Warok Brengos agak curiga dengan keadaan di dalam tenda.
Tiba-tiba si Pisau Terbang dari Madura itu telah kelebatkan tiga buah pisaunya. Membersit tiga benda halus menyambar tiga buah pisau. Yang segera ketiga benda itu meluncur balik dengan cepat ke arah tiga orang itu. Dua dari kawan Warok Brengos terjungkal roboh. Namun si Brewok berhasil menangkap kembali senjatanya. Wajahnya seketika berubah pucat. Dan ia telah keluarkan teriakannya.
"Iblis-iblis licik..! Kalian sembunyikan orang di dalam tenda untuk main bokong!" Akan tetapi sebelum ia melompat keluar arena, si Brewok telah keluarkan jeritan ngeri. Karana dua buah pedang hijau telah menembus punggungnya. Seketika tubuhnya roboh terguling. Dan berkelebatlah Siti Jenang. untuk kembali mencabut senjatanya yang telah tertancap amblas itu. Dan ia sudah berkata lantang.
"Saudara-saudara..! Manusia ini telah berani memfitnah. Dan bertarung dengan tak beraturan! Sudah selayaknya kami membunuhnya mampus..!" Dan teriaknya lagi. "Nah..! Silahkan kalau ada yang mau maju lagi..!"
Akan tetapi belasan orang tampak telah bergerak meninggalkan arena. Bahkan juga diiringi dengan teriakan caci maki. Wajah-wajah mereka menampakkan kegusaran. Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua sosok tubuh. Kedua orang itu berpakaian putih putih. Ternyata kedua orang itu laki-laki dan wanita. Melihat kemunculan kedua orang ini, Siti Jenang berkelebat melesat tiga tombak di hadapannya. Seraya berkata dengan nada dingin,
"Bagus..! Kiranya Sepasang Rajawali Putih berkenan juga datang kemari! Hi hi hi... Apakah kalian mengenali sepasang Pedang Mustika Hijau ini..?!" Berkata Siti Jenang, seraya menunjukkan kedua bilah pedang di kedua lengannya.
Terkesiap sepasang Rajawali Putih. Ia segera mengetahui benda itu milik siapa. "Keparat..! Apa yang telah terjadi dengan kedua murid kembar ku itu..?" Teriak si wanita. Sedang si laki-laki tertegun menatap sepasang pedang hijau itu.
"Hihi... hihi... hi hi... Kedua murid kembar mu si Pendekar Kembar itu telah kami kuliti kulit wajahnya. Dan orangnya telah kami bunuh mampus!" Teriak Siti Jenang. Dan kembali melompat ke belakang.
"Setan laknat..!" Teriak si wanita. Dan ia sudah hendak melompat menerjang. Akan tetapi telah dihalangi oleh si laki-laki.
"Sabarlah istriku..! Jangan bertindak gegabah! Mereka telah membentuk kelompok dari lima orang yang berkepandaian tinggi!" Berkata si laki-laki. Akan tetapi telah terdengar teriakan Siti Jenang kembali, sementara kelima manusia berjulukan si Lima Serigala Malaikat itu semakin maju mendekati.
"Hi hi hi... sepasang Rajawali Putih ternyata ragu-ragu. Lebih baik serahkan saja jiwa kalian! Pendekar-pendekar macam kalian hanya menjadi perintang saja bagi kami..!"
"Setan-setan laknat..! Majulah..!" Teriak si wanita. Dan ia telah keluarkan senjatanya sepasang cakar basi berbentuk kaki burung Rajawali. Adapun si laki-laki mencabut keluar sebuah pedang tipis, berujung melengkung bagai paruh burung.
"Hm... Hati-hatilah istriku..! Didalam tenda ada manusia yang dapat pergunakan senjata rahasia untuk membokong kita. Jangan kau sampai terpancing olehnya..!"
Wanita ini anggukkan kepala. Ia tidak langsung menerjang, namun bersuit keras. Tiba-tiba muncul seekor burung Rajawali raksasa, yang besarnya tiga kali tubuh manusia. Ia sudah lantas memberi perintah. "Putih..! Kau hancurkan tenda itu. Dan kacau barisannya..!"
SESOSOK tubuh berlari cepat sekali bagaikan anak panah lepas dari busurnya... beberapa anak sungai telah dilompatinya. Bahkan lereng terjal dan lembah ngarai ia turuni, untuk kembali mendaki. Seperti tak ada rasa lelah sama sekali tampaknya. Sosok tubuh itu susah dilihat bentuknya. Karena hanya bayangan putih saja yang terlihat meluncur pesat.
Ketika tiba di lereng Mahameru, tampak ia berhenti. Ternyata ia tengah mengatur pernapasan sejenak. Dengan bertolak pinggang ia menatap ke arah puncak Mahameru. Ternyata ia seorang pemuda gagah. Menyandang pedang di pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan Ginanjar, si pemuda murid mendiang Pendekar Bayangan Bayu Seta..
"Aku harus tiba di puncak sebelum terlambat, dan banyak korban berjatuhan!"
Mendesis keluar suara dari mulutnya. Tiba-tiba ia menyibak bajunya. Segera terlihat memancar sinar kemilau berwarna pelangi dari sebuah benda yang tergantung di dadanya. Ternyata benda itu adalah sebuah Medali Bentuknya bulat sebesar piring kecil. Dengan ukiran indah dari emas murni. Bertatahkan intan berlian di sekelilingnya. Sedang pada bagian tengahnya adalah batu pualam berwarna putih.
Yang berkilatan terkena cahaya sinar matahari. Ginanjar perhatikan benda di tangannya. Setelah menghela napas sejenak, segera ia tutup lagi bajunya. Kembali ditatapnya puncak Mahameru. Walaupun tampak keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. tampak semangat tetap menyala di sinar matanya. Dan kembali ia menggenjot tubuh untuk berlari lagi mendaki lereng. Tapi baru tujuh-delapan kali kakinya menindak, telah terdengar bentakan. Dan tiga sosok tubuh telah muncul di hadapannya.
"Berikan benda itu pada kami, sobat muda..! Dan silahkan kau teruskan perjalananmu..! Kami yang akan mengantarkannya pada wakil Ketua Rimba Hijau!"
Ginanjar hentikan tindakannya. Sepasang matanya menyapu wajah tiga manusia dihadapannya. Ternyata yang mencegat adalah si Dua Dewi dan Guriswara si Pemabuk Dermawan. Tentu saja Ginanjar jadi melengak. Menyesal ia telah mengeluarkan benda itu dari balik bajunya. hanya untuk memandang akan keindahannya.
"Hm. siapakah wakil dari Ketua Rimba Hijau..?" Balik bertanya Ginanjar. Setelah terdiam sejenak, Guriswara menyahuti.
"Kau akan dapat mengetahuinya nanti. Benda itu tak boleh sampai orang dari lain golongan mengetahui, karena amat berbahaya. Aku mengkhawatirkan keselamatannya. hingga akan mencemarkan nama wakil dari Ketua Rimba persilatan lama..!"
Ginanjar kerutkan alisnya. Kata-kata itu sama juga dengan batu yang tercebur ke laut, karena Ginanjar telah mengetahui persoalan mengenai urusan pemilihan Ketua kaum Rimba Hijau sampai ke akar-akarnya. Ia sudah lantas berkata, "Heh..! Begitukah..? Justru akulah wakil dari Ketua kaum Rimba Hijau. Dan benda di tanganku ini sebagai tandanya..!"
Melengak seketika ketiga wajah dihadapannya. Akan tetapi si Dewi Kenari telah membentak. "Bagus..! Kalau begitu kau harus mampus terlebih dulu..! Dan kami yang akan menggantikan sebagai wakilnya..!" Kata-katanya telah dibarengi dengan terjangan dua Roda Baja yang meluncur deras ke arah Ginanjar.
Terkesiap pemuda ini, namun ia telah waspada. Sebelum kedua benda itu menyentuh tubuhnya, ia telah berkelebat menghindar. Namun Sawur Sari telah menerjang dengan pedangnya. Ginanjar gertak giginya. Alisnya naik ke atas. Wajahnya menampilkan kemendongkolan hatinya. Namun sekejap ia telah cabut pedang pusakanya dari pinggang. Berkelebat sinar perak.
Trang...! Terdengar teriakan tertahan si wanita. Dan melompat mundur tiga tombak. Sambaran pedang Ginanjar yang telah dibarengi dengan tenaga dalam itu, ternyata telah membuat pedangnya terlempar putus.
Pada saat itu juga telah melompat Guriswara. Ternyata ia telah pergunakan dua kapak tipis, yang ia keluarkan dari belakang punggung. Dua sinar berkelebat menyilang kearahnya, dengan suara bersiutan. Terkejut juga Ginanjar. Dan gunakan pedang untuk menangkis.
Trang..! Ginanjar terhuyung tiga langkah. Sedang Guriswara terpental tiga tombak. Ternyata kedua senjata sama-sama senjata pusaka. Dan tenaga dalam keduanya berbeda satu tingkat.
Terkejut Guriswara, karena tak menyangka tenaga dalam lawan berada diatasnya. Tak berayal lagi segera ia isyaratkan kedua wanita untuk bantu mengurung. Ginanjar curahkan perhatiannya. Selama satu bulan ia sudah mendapat gemblengan dari si kakek pengemis, ternyata telah membuat ilmu kepandaiannya maju pesat. Bahkan tenaga dalamnya bertambah dua kali lipat. Ketiga manusia itupun telah menerjang dengan berbareng. Dua roda baja meluncur deras ke arah tenggorokan dan dada. Dibarengi berkelebatnya dua kapak menyambar kaki.
Sawur Sari melompat tiga tombak seraya lepaskan segenggam jarum beracun. Keringat dingin seketika merembes keluar dari tengkuk si pemuda. Tubuhnya berputar bagai gasing menimbulkan angin dahsyat. Seperti juga sekonyong-konyong di hadapan ketiga penyerang itu telah terjadi angin puyuh, yang membuat serangan senjata rahasia Sawur Sari buyar. Kedua roda baja Kili Cantrik terpental balik.
Adapun serangan kedua kapak Guriswara menemui kegagalan, karena tubuhnya jadi terhuyung kebelakang. Dan terpaksa ia meramkan sepasang matanya, karena debu dan pasir yang bergulung-gulung itu menyambar muka. Ketiganya bergulingan mundur dua tiga tombak. Ketiganya sudah berdiri lagi untuk kembali menerjang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritannya. Tahu-tahu ketiga tubuh itu telah terjungkal roboh.
Ginanjar masih berdiri terpaku ditempatnya dengan memandang heran. Tampak tiga tubuh itu berkelojotan bagai ayam di sembelih. Lalu terdiam untuk melepaskan nyawa. Pemuda ini putar kepala dan tubuh ke beberapa arah. Akan tetapi ia tak melihat siapa-siapa.
Ketika ia coba memeriksa ketiga tubuh itu, ternyata tiga buah lidi aren telah tertancap dimasing-masing tenggorokannya. Tahulah ia bahwa orang yang telah menolongnya adalah si kakek pengemis. Alias Ki Dharma Tungga. Yang ternyata tiada lain dari si Ketua Kaum Rimba Hijau.
"Guru..!" Teriak Ginanjar.
Akan tetapi tak ada sahutan disekelilingnya. Namun lapat-lapat terdengar suara yang menitahkan agar cepat naik ke puncak Mahameru. Pemuda ini tampilkan wajah girang. Dan tak berayal lagi segera ia enjot tubuh dan segera berkelebat naik meniti lereng untuk selanjutnya lenyap dikerimbunan pepohonan.
Prak..! Prak..! Terdengar suara hantaman keras, seperti suara segenggam sapu lidi yang dihantamkan ke pohon. Tampak berkelebat sebuah bayangan merah jambu berseliweran di hutan pinus itu. Yang sebentar-sebentar diiringi dengan bunyi keprekkan keras menghantam batang-batang pohon. Terdengar tertawa cekikikan dimana bayangan merah jambu itu berkelebatan.
Sesosok tubuh itu tak terlihat jelas. Tapi gerakannya cepat sekali. Hingga yang terlihat hanya bayangan pakaiannya saja, berseliweran bagaikan hantu siluman. Suara tertawanya membuat orang bergidik seram, dan membangunkan bulu roma. Selang sesaat tampak bayangan merah jambu itu keluar dari rimbunnya pohon-pohon pinus. Dan melesat cepat ke atas sebuah batu besar. Berbarengan dengan keluarnya sang tubuh itu, terdengarlah suara berkeriutan.
Disusul dengan gemuruh pepohonan yang tumbang. Ternyata hutan pinus itu hampir separuhnya bertumbangan roboh. Suaranya bergemuruh. Tempat itu bagaikan tengah dilanda gempa. Hanya beberapa kejap saja tempat yang rimbun itu telah menjadi terang separuhnya. Batang-batang pohon telah menjadi rebah. bertumpangan saling tindih. Bagaikan baru saja diamuk oleh tangan raksasa. Ternyata pada setiap pohon, akan terlihat batang bagian tengahnya hancur.
Sosok tubuh di atas batu besar itu berdiri menatap dengan tampilkan senyum aneh. Angin keras yang membersit dari atas perbukitan, membuat rambutnya yang panjang berkibaran tertiup angin. Tampaknya wajah itu belum juga merasakan kepuasan. Dan tiba-tiba saja ia telah melompat turun dari batu besar itu.
Tubuhnya membungkuk. Sepasang lengannya tiba-tiba bergerak untuk mengangkat batu besar itu. Luar biasa. Dan hampir tak masuk di akal. Karena gadis bertubuh agak kurus, dengan pinggang yang ramping itu, ternyata mampu mengangkat batu yang besarnya hampir sebesar kerbau.
Terdengar suara teriakan melengking panjang. Dan tahu-tahu batu besar itu telah melayang ke atas, kira-kira sepuluh kali tinggi manusia. Saat selanjutnya di luar dugaan tubuh si gadis telah meluncur pula, di saat batu besar itu berhenti sesaat di udara... Berkelebat bayangan merah jambu cepat sekali. Dan tiba-tiba...
Praakk...! Ia telah gerakkan kepalanya untuk menghantam batu besar itu dengan rambutnya. Selanjutnya melesat turun bagai anak panah. Begitu ia jejakkan kaki lagi, batu besar itu meluncur turun. Akan tetapi telah menjadi hancur begitu jatuh kembali ke tempat semula. Berubah menjadi serpihan serbuk kecil-kecil. Barulah terdengar suara tertawa panjang yang nyaring. Melengking tinggi membuat getarangetaran hebat. Hingga tampak bergoyang-goyang berjatuhan.
Ternyata gadis itu tak lain dari Roro Centil. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tingkah lakunya memang aneh. Akan sukar orang menjajaki jiwanya. Terkadang tampak wajahnya tampilkan kegembiraan. Tapi terkadang juga menampilkan kesedihan yang amat luar biasa. Agaknya Roro telah mengalami goncangan jiwa yang amat hebat. Dan memang demikianlah adanya.
Sejak ia berlalu dari lereng tebing dekat air terjun itu. Roro Centil bagaikan kesurupan berlari cepat menuju Pantai Selatan. Meninggalkan Joko Sangit yang kebingungan untuk mencabut Tombak Pusaka Ratu Sima yang menempel di tubuh si wanita Dewi Tengkorak. Ia berlari dan berlari dengan kecepatan bagai melebihi kecepatannya angin. Siang berganti malam tanpa kenal istirahat. Dan tatkala deburan ombak Pantai Selatan itu telah samar-samar terdengar di telinganya, barulah ia perlambat langkahnya.
Pagi itu cuaca tak begitu bagus. Sedari pagi angin keras dari laut, tak berhenti meniup. Ia singgah di sebuah desa, untuk menangsal perut. Masih tersisa beberapa keping uang di sakunya. Adapun selebihnya adalah tinggal sebuah Cincin berbatu merah delima dan sepuluh buah gelang emas bertatahkan intan permata. Dua cincin dan beberapa untai kalung lainnya peninggalan Gurunya itu, telah tak bersisa. Ia cuma periksa sejenak kotak perhiasannya, lalu kembali menyimpannya kebalik pakaian.
Warung kecil dihampiri. Dan menangsal perut seadanya. Pantai Selatan memang sudah dekat. Namun semakin dekat, semakin perlahan langkah Roro. Seolah ia merasa tak kuasa untuk melangkah. Karena sudah terbayang jenazah sang Guru yang sudah hampir setahun itu ia tinggalkan. Jenazah wanita yang sudah berusia lanjut. namun masih tampak muda.
Wanita itulah yang telah menggemblengnya dengan segala keanehannya. Walaupun sang Guru adalah manusia aneh. Karena ia bukan laki-laki dan bukan juga perempuan, namun Roro amat menghormati dan menyayanginya. Apa lagi sejak ditinggalkan, sang Guru telah berniat menutup diri di dalam ruang Goa di dasar tebing pantai selatan itu. Dan dalam keadaan yang mengenaskan.
Karena si manusia aneh itu telah mencocok kedua lubang telinganya, dengan kedua jari tangannya sendiri. Dan telah keluar ucapan dari mulutnya untuk tidak mau mendengar, dan mencampuri lagi urusan Dunia Rimba Hijau. Sang Guru cuma berteman dengan sebuah benda, yaitu sebuah tombak hitam. Tombak Pusaka Ratu Sima. Tapi benda itu telah ia lihat sendiri berada di tangan si Dewi Tengkorak. Dan menurut keterangan wanita yang telah dibunuhnya itu, sang Guru telah dibunuhnya.
Hancur luluh seketika perasaannya. Remuk redam hatinya. Hingga dalam keadaan seperti kurang waras, Roro berlari dan berlari. Namun semakin dekat nyatanya semakin lamban ia melangkah. Masih terngiang kata-kata sang Guru yang mengatakan agar tidak usah kembali lagi ke Pantai Selatan. Empat tahun yang lalu sejak ia menutup lubang rahasia yang menuju ke Ruangan Goa di bawah tebing karang itu. Roro pun telah berniat untuk tak kembali lagi. Walau kepergiannya juga dengan hati remuk redam.
Roro Centil memang bukan laki-laki. Sebagai seorang wanita, tentu saja lebih peka dengan perasaannya. Hal itulah yang membuat ia kembali berhenti melangkah. Dan termangu-mangu menatap ke arah tebing pantai Selatan. Akhirnya jatuh terduduk di atas batu. Lama ia termangu di situ. Sementara air matanya tak hentinya menetes, mengalir di kedua pipinya. Ternyata ia telah terhanyut oleh kesedihan yang luar biasa. Tapi seketika ia jadi tersentak dari lamunannya. Ketika lapat-lapat terdengar suara memanggilnya.
"Roro..!" Dan tampak sesosok tubuh berlari mendatangi. Makin lama sosok tubuh itu semakin dekat. Dan beberapa kejap kemudian telah berada di hadapannya. Ternyata yang datang tak lain dari Joko Sangit adanya. Laki-laki itu menatap Roro dengan wajah memelas. Terlihat ia memegang tombak hitam itu di lengannya. Roro masih tetap membisu. Seperti tak perduli akan kedatangan sahabatnya itu.
"Roro..! Sudah kuduga pasti kau akan ke Pantai Selatan. Aku telah sejak pagi berkeliling di setiap tebing pantai. Untuk mencarimu..! Ternyata kau berada disini..." Berkata lirih Joko Sangit. Akan tetapi Roro masih membisu, tak bergeming. Pandangannya menatap kosong ke arah depan. Joko Sangit tahu orang sedang terpukul hatinya, segera mendekati lebih dekat. Kembali ia berucap lirih...
"Roro, aku memang mencarimu untuk membawa pesan dari Gurumu, si Manusia Aneh itu...!"
Mendengar kata-kata itu barulah Roro menoleh, dan tatap wajah orang dalam-dalam. "Pesan dari Guruku..?" Bertanya Roro dengan kerutkan alisnya. Suaranya lirih agak serak. Namun membersitkan rasa terkejut.
Joko Sangit mengangguk. Dan seraya berkata melanjutkan. "Beliau aku temui dalam keadaan luka dalam yang parah tiga bulan yang lalu. Sudah ku coba usahakan menolong jiwanya. Namun sia-sia... Beliau tewas dengan keadaan yang menyedihkan. Perlu kau ketahui Roro. Beliau adalah adik seperguruan Guruku. Guruku bernama Ki Jagur Wedha yang bergelar Pendekar Gentayangan...!"
Kembali Roro Centil melengak. Baru sekarang Joko Sangit membuka riwayat dirinya. Tentu saja penuturan itu membuat Roro berhasrat sekali mendengarnya. Joko Sangit meneruskan ceritanya.
"Menurut penuturan beliau, yang telah mengeroyoknya adalah tiga orang wanita. Yang kesemuanya adalah istri-istri si Dewa Tengkorak. Yang menurut kabar telah tak ada di dunia ini lagi. Aku memang tengah mencari Gurumu, karena mendapat tugas dari Guruku. Yaitu mengundang beliau untuk menghadiri perjamuan sederhana. Yaitu genap 100 tahun usia Guruku Ki Jagur Wedha, di Gunung Kumbang. Walaupun bergelar si Pendekar Gentayangan, ternyata guruku sudah lebih dari sepuluh tahun tak pernah berjumpa dengan gurumu si Manusia Aneh Pantai Selatan. Hingga tak mengetahui kalau beliau telah mengangkat seorang murid wanita, sejak empat tahun belakangan ini. Yaitu kau sendiri. Aku pun baru mengetahui tentang kau setahun yang lalu..." Tampak Joko Sangit menyeka peluhnya sebentar dan kembali meneruskan.
"Sayang aku terlambat datang dan hanya menjumpai beliau dalam keadaan tak berdaya. Namun ia masih bisa memberi penjelasan tentang siapa yang telah mengeroyoknya. Yaitu diantaranya si Dewi Tengkorak, yang telah berhasil kau bunuh..! Aku sendiri memang tengah menyelidiki kemana perginya tiga wanita itu. Dan kebetulan dapat menjumpai si Dewi Tengkorak. Memang akupun berniat untuk melenyapkan wanita keji itu... namun, aku memang tak dapat terburu-buru.." Sampai disini wajah Joko Sangit berubah merah. Dan Roro cuma tersenyum sambil mencibirkan bibir. Cepat-cepat Joko Sengit teruskan ceritanya...
"Gurumu wafat setelah memberikan pesan pada mu..!" Sampai disini Joko Sangit tatap wajah Roro dalam-dalam. Hingga yang ditatap jadi kikuk.
"Apakah pesannya..?” Bentak Roro tiba-tiba. Wajahnya membersitkan rasa ingin tahu. Akan tetapi Joko Sangit telah menelan lagi kata-katanya. Terlalu sukar ia untuk mengatakan. Dan cepat-cepat ia berkata,
"Pesan itu tak dapat kukatakan sekarang..! Masih banyak waktu lain untuk aku mengatakannya pada mu! Tapi dia ada memberikan sesuatu padamu!" Berkata Joko Sangit. Dan keluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain sutera hitam.
"Aku tak tahu apa isinya...!" Katanya lagi, seraya memberikan benda itu pada Roro Centil.
Segera Roro sambuti benda itu. Dan buka isinya. Ternyata adalah seikat daun lontar kering yang panjangnya sejengkal. Roro Centil tak mengerti apa artinya dengan seikat daun lontar yang polos tanpa ada tanda-tanda benda itu mengandung tulisan. Joko Sangit pun kerutkan keningnya. Tapi ia telah tersenyum sambil berkata,
"Gurumu adalah orang aneh....! Lain orang mana bisa tahu akan keanehan Gurunya kalau bukan muridnya sendiri..!" Dan ia sudah bangkit berdiri. Serta lanjutkan kata-katanya. "Baiklah Roro, selesai sudah tugasku untuk memberitahukan hal ini! Jenazah Gurumu telah ku kebumikan di lubang dasar tebing karang itu juga..! Silahkan kalau kau mau menengoknya. Tapi kulihat tadi air laut telah pasang. Mungkin tempat itu terendam air..! Nah, aku tak dapat berlama-lama. Karena harus cepat-cepat mengantarkan benda pusaka ini ke Kerajaan Medang..!" Selesai berkata Joko Sangit segera beranjak meninggalkan Roro Centil. Akan tetapi tiba-tiba sudah terdengar suara gadis itu,
"Tunggu..! Kau belum beritahukan padaku, siapa kedua orang lagi istri-istri si Dewa Tengkorak...!" Teriak Roro. Terhenyak Joko Sangit. Tapi sudah lantas menyahuti.
"Keduanya bukan orang tanah Jawa! Mereka orang dari seberang pulau. Kalau tak salah berjuluk si Kupu-kupu Emas, dan seorang lagi adalah Peri Gunung Dempo. Keduanya adalah orang-orang dari Pulau Andalas...!" Selesai berkata, Joko Sangit telah berkelebat. Dan sekejap kemudian telah tak kelihatan lagi.
Roro termangu-mangu memandang ke depan. Kedua nama itu akan selalu diingatnya. Untuk kelak suatu saat ia akan pergi mencarinya. Kini ia termangu-mangu memandangi setumpuk daun lontar itu. Dan membolak-baliknya berulang-ulang. Namun tetap ia tak dapat menemukan rahasia apa didalamnya. Kepingan daun lontar itu terdiri dari tujuh belas ruas, Yang kesemuanya polos. Lama ia termangu untuk memecahkan rahasia tujuh belas daun lontar itu. Akhirnya tiba-tiba ia teringat akan kata-kata Gurunya. Seolah-olah kembali terngiang di telinganya...
"Roro... kau memang seorang bocah tolol, tapi cerdik..!" Kata-kata sang Guru itu membuat Roro tersenyum. Tapi juga menampilkan wajah sedih. Karena sejak saat itu ia sudah kehilangan orang yang amat dicintainya. Benda itu digenggamnya kuat-kuat. Seolah menggenggam lengan Gurunya. Setetes air mata kembali jatuh berderai. Membasahi daun lontar yang digenggamnya. Dipandanginya daun-daun itu dengan air mata bercucuran. Akan tetapi tiba-tiba ia jadi terkejut. Ketika melihat pada lembar teratas dari daun lontar yang basah oleh air matanya, telah tersembul huruf-huruf kecil.
"Ah..!?" Tersentak Roro Centil. Dan tiba-tiba ia telah berteriak kegirangan. "Sekarang aku tahu..! Sekarang aku tahu..!" Dan berkelebatlah tubuhnya meninggalkan tempat itu. Diiringi suara tertawa aneh yang membangunkan bulu roma.
Itulah kisah satu bulan belakangan ini. Dan ketika sang Pendekar Wanita Roro Centil muncul lagi. Ternyata ia telah menguasai satu ilmu hebat, dari salah satu jurus kepretan rambut yang luar biasa. Tentu saja dari hasil mempelajari tulisan kecil-kecil, pada ke tujuh belas daun lontar warisan gurunya itu. Yang dititipkan Joko Sangit padanya.
Memandang pada batu sebesar kerbau yang hancur berantakan itu Roro telah tertawa dengan suara nyaring. Suara tertawa yang telah menggetarkan daun-daun hingga berjatuhan meluruk kebawah. Tapi tiba-tiba ia telah hentikan tertawanya. Kembali tampak ia tersenyum hambar.
Karena telah timbul kesadaran dihatinya, bahwa di atas langit, masih ada langit. Untuk mencari kedua orang musuh besarnya di seberang pulau tak dapat dilakukan terburu-buru. Karena ia belum menamatkan pelajaran dari ke tujuh belas daun lontar itu. Masih memerlukan beberapa waktu lagi untuk mempelajarinya.
Demikian pikir Roro Centil. Dan segera saja ia teringat akan adanya pertemuan kaum Rimba Hijau di puncak Mahameru. Sekelebat ia teringat dengan pemuda Ginanjar. Akan tetapi ia merasa yakin si kakek aneh itu bukanlah orang jahat. la merasa yakin akan hal itu. Dan mengenai akan dikawinkannya si pemuda dengan cucu perempuannya, ia berharap bukan bersungguh-sungguh.
Saat selanjutnya tubuh Roro Centil telah berkelebat cepat sekali, meninggalkan tempat itu. Hingga yang tampak hanya bayangan merah jambu saja yang berkelebatan. Memang Roro baru saja beristirahat, setelah menempuh jarak jauh beberapa hari dari pantai Selatan. Puncak Mahameru telah kelihatan dari kejauhan. Dan tampak mengepulkan asap tipis yang membumbung ke langit.
Kembali pada keadaan di puncak Mahameru. Di mana seekor burung Rajawali telah menerjang ke arah tanda hitam. Bersiyur angin deras laksana taufan. Hingga kemah hitam itu roboh. Dan barisan kelima Serigala Malaikat itu porak poranda. Sesosok tubuh wanita menyeruak keluar dari belakang tenda.
Ternyata seorang gadis cantik yang tadi membawa nampan berisikan Medali. Wanita itu tak lain dari Sekar Tanjung. Yaitu gadis yang telah ditawan oleh si Ketua misterius alias di Mata Iblis. Ketua dari si Lima Serigala Malaikat. Yang belum juga menampakkan diri. Wanita ini lari jatuh bangun.
Sementara beberapa pasang mata telah memperhatikannya. Empat orang berbaju coklat tiba-tiba telah menyergapnya. Dan membawanya keluar dari belakang arena, dengan cepat. Gadis itu dilemparkan ke semak belukar. Dan sekejap saja empat bilah pedang telah dicabut keluar dari kerangkanya.
Wanita itu ternganga. Dan ia jadi terperangah ketika keempat bilah pedang itu telah meluncur deras ke arahnya... akan tetapi empat butir batu kecil telah membuat pedang keempat orang berbaju coklat itu terpental. Sebuah bayangan merah jambu berkelebat. Dan telah berada di hadapan keempat lakilaki itu.
"Kurang ajar..! Mengapa kau tak membiarkan kami membunuh manusia licik ini?"
"Dialah yang telah berbuat curang, membokong para peserta dari dalam tenda...!" Dua bentakan terdengar dari kedua orang berbaju coklat itu. Yang ternyata adalah Empat Pendekar Kali Serayu.
Akan tetapi sosok tubuh di hadapannya cuma tersenyum, dan berkata. "Gadis ini bukanlah orang persilatan. Mana mungkin ia dapat melepaskan bokongan segala macam...?" Dan sambungnya lagi. "Boleh kalian periksa, apakah dia menyimpan senjata rahasia..?" Ternyata sosok tubuh berbaju merah jambu itu tak lain dari Roro Centil.
Adapun si gadis itu tiba-tiba telah bangkit berdiri dan berkata sambil terisak... "Aku telah diculik dijadikan tawanan si manusia buntung itu..! Oh, tolonglah aku, kakak..! Aku takut dibunuhnya..!" Gadis ini segera berlutut dihadapan Roro, sambil menciumi kakinya.
Roro cepat angkat tubuh si wanita, seraya berkata. "Tenanglah, adik! Bukankah kau yang bernama Sekar Tanjung, yang telah lenyap dua bulan yang lalu dari desa Belimbing Wuluh..?" Wanita itu mengangguk. "Kemana dua kawanmu lainnya?" Tanya Roro lagi.
Wajah gadis ini seketika jadi berubah pucat, dan menyahuti. "Keduanya telah... telah dikuliti wajahnya..! Dan telah dibunuh oleh mereka. Hanya aku saja yang tak dibunuh, karena aku dipaksa melayani nafsu iblis si manusia buntung di dalam tenda itu..!" Suara gadis itu terdengar gemetaran.
Terkesiaplah wajah keempat laki-laki pendekar Kali Serayu itu. Juga Roro Centil. Pada saat itu terdengar suara teriakan di belakangnya.
"Roro.... Syukurlah kalau Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil juga telah datang kemari. Oh, gembira betul hatiku..!"
Seorang pemuda baju putih melompat ke tempat itu. Ternyata Ginanjar. Adapun mendengar kata-kata Ginanjar yang baru tiba itu, seketika wajah keempat Pendekar Kali Serayu jadi pucat. Dan serentak saja mereka menjura dalam-dalam pada Roro. Seraya salah seorang berkata,
"Mohon maaf sebesar-besarnya, nona Pendekar! Kami empat Pendekar Kali Serayu menghaturkan hormat. Kami sungguh-sungguh bermata buta, tak dapat melihat kalau anda adalah nona Roro Centil, Mutiara dari Pantai Selatan..!" Roro segera balas menjura. Akan tetapi sesaat kemudian telah berkata,
"Empat Pendekar Kali Serayu, kalau kalian bersedia. Tolonglah antarkan gadis ini pada orang tuanya, di desa Belimbing Wuluh. Di kaki bukit di bawah lereng Gunung ini..!"
Segera saja keempat Pendekar Kali Serayu mengangguk hormat. Mereka tampak gembira, karena dengan datangnya Pendekar Wanita Pantai Selatan ini, kericuhan pasti akan diakhiri. Dan segera saja mereka mohon diri, untuk segera membawa sang gadis menuruni puncak Mahameru.
Setelah membuat roboh tenda, sang burung Rajawali kembali menjauh. Sementara itu kedua orang yang bergelar si Sepasang Rajawali Putih, segera menempur kelima Serigala Malaikat. Terjadilah pertarungan hebat. Ternyata keduanya juga mendapat bantuan dari beberapa orang pendekar, untuk menerjang kelima wajah seribu dendam itu. Akan tetapi tiba-tiba meluruk ratusan jarum berbisa ke arah para penerjang itu. Tak ampun lagi beberapa batang tubuh roboh terjungkal dengan teriakan ngeri.
"Keparat..! Awas! Hati-hati istriku..!" teriak laki-laki pasangan si Rajawali Putih.
Sang istri segera melompat mundur. Dan kelima Serigala Malaikat kembali membentuk barisan. Segera melesat sesosok tubuh bertongkat aneh. Dengan ujung tongkatnya terdapat berbentuk telapak Serigala sebesar piring. Dengan enak saja ia telah hinggap di depan barisan kelima Serigala Malaikat.
Dialah si Mata Iblis. Ketua dari lima wajah yang punya seribu dendam itu. Dengan enak saja ia duduk di atas telapak kaki Serigala di ujung tongkatnya. Sebelah lengannya mengeluarkan sebuah benda bersinar. Itulah sebuah Medali merah. Lambang atas kekuasaan Ketua Rimba Hijau. Ia sudah keluarkan bentakan keras.
"Kurang ajar..! Kalian mengapa tak mematuhi peraturan...? Apakah mata kalian telah buta untuk tidak menghargai lagi Lambang Ketua Rimba Hijau ini...?!"
Si Sepasang Rajawali Putih tersentak, dan mundur ke belakang tiga tindak. Beberapa pendekar lainnya dari tokoh putih yang berada dibelakang kedua Tokoh Gunung Suket ini juga terperangah melihat benda itu. Adapun sedari tadi sepasang mata si Sepasang Pendekar selalu memperhatikan dua orang yang bercacad kaki dan tangannya. Wajahnya amat mirip dengan kedua orang muridnya. Yaitu Gambir Anom dan Gambir Sepuh. Dan sepasang pedang Mustika Hijaunya ada ditangan wanita tadi.
Saat mereka terperangah itulah. Kala Wesi dan Kala Munget telah menerjang kedua orang dihadapannya. Dan ketiga kawan lainnya melompat dari kiri dan kanan. Kala itu juga mendesir angin merah jambu, dan bayangan putih. Kelima Serigala Malaikat terpental mundur tiga tombak. Dan tongkat aneh si Mata Iblis bergoyang-goyang mau roboh.
Segera si Mata Iblis bergerak melompat mundur satu tombak. Dengan tetap duduk di atas tongkatnya. Semua mata segera dapat melihat siapa adanya kedua sosok tubuh yang telah berada disitu. Tak lain, dan tak bukan adalah Ginanjar dan Roro Centil.
"Pendekar Roro Centil dari Pantai Selatan..!?" Terdengar suara dari beberapa orang dibelakang si Sepasang Rajawali Putih.
Tentu saja hal itu membuat si Mata Iblis dan Kelima Serigala Malaikat jadi terkesiap. Lebih-lebih si Mata Iblis. Karena pendekar wanita di hadapannya inilah yang telah membunuh si Setan Cebol muridnya. "Bagus..! Sudah kuduga semua pentolan golongan putih akan datang. Biarlah kelima orang murid ku itu menumpas mu Sepasang Rajawali Putih! Aku akan meremukkan kepala si bocah keparat ini..!"
Whusss...! Ia telah menerjang Roro dengan tongkat telapak Serigala. Sang Pendekar Wanita hanya tertawa sinis dan lompat ke samping delapan tombak. Si Mata Iblis sudah menggerakkan tubuh untuk mengejar. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Ginanjar.
"Mata Iblis..! Ketua lama Rimba Hijau telah memberi surat perintah kepada seluruh golongan kaum putih untuk menangkapmu, beserta kelima Serigala Malaikat..!"
Melotot mata si Mata Iblis. Namun Ginanjar telah lemparkan segulung kain bertulisan kehadapan si Mata Iblis. Sekali lengannya berkelebat, benda itu telah disambarnya. Dan cepat dibaca. Selang sesaat tampak kulit wajahnya jadi berubah merah.
"Kurang ajar..!" Jari tangan si Mata Iblis meremas kain bertulisan itu, hingga hancur jadi bubuk.
Tapi belum lagi ia membentak Ginanjar, pemuda itu telah keluarkan sebuah benda yang berkilauan. Itulah Medali lambang kekuasaan Ketua Rimba Hijau yang asli. Kini semua mata kembali terperangah melihat ke arah benda yang dicekal pemuda itu.
Tiga tokoh tua tak dikenal berkelebat kedepan, seraya berkata: "Kalau lambang ini aku kenal. Inilah lambang yang asli. Tak sembarangan Ki Dharma mencari wakil dirinya...!"
Akan tetapi si Mata Iblis malah membentak, seraya keluarkan Medalinya. "Tidak..! Inilah lambang yang asli..!"
Akan tetapi pada saat itu meluncur deras sebuah lidi aren, tanpa ada seorangpun yang mengetahui. dan... Prak...! Medali di tangan si Mata Iblis hancur berantakan. Dan satu suara terdengar berkumandang.
"Mata Iblis..! Aku telah mengangkat bocah itu jadi wakil ku! Apakah kau masih mau coba mengelabui mata kaum Rimba Hijau dengan Medali Palsu mu..?"
Terkesiap si Mata Iblis dan kelima Serigala Malaikat. Seketika masing-masing putarkan kepala dan tubuh untuk melihat ke beberapa arah. Suara itu tak salah lagi adalah suara Ki Dharma Tungga, Ketua Rimba Hijau. Bukan itu saja, karena semua yang berada di tempat itu juga terkesiap. Karena tak menyangka kalau Ki Dharma Tungga masih hidup.
"Persetan..! Aku tak perduli siapa wakilmu Dharma Tungga! Keluarlah! Aku akan adu jiwa dengan mu..!" Teriak si Mata Iblis.
Akan tetapi telah terdengar suara tertawa nyaring, berkumandang, membuat telinga jadi terngiang-ngiang. Suara yang mengandung tenaga dalam hebat. Hingga beberapa orang sudah menutup telinganya. Dan terdengarlah suara lantang Roro Centil,
"Mata Iblis..! Hayo hadapi aku. Bukankah kau ingin remukkan kepalaku..?"
Sepasang mata serigala si Mata Iblis jadi menatap bersinar kearahnya. Sinar yang mengandung kebencian hebat. Dan tubuhnya telah berkelebat ke arah Roro. "Bagus..! Aku hampir melupakanmu setan betina..! Kau telah membunuh muridku si Setan Cebol! Maka jangan harap kau dapat meloloskan diri lagi dari tanganku!" Dan ia sudah menerjang Roro dengan menggeram bagai serigala.
Adapun si Lima Serigala Malaikat telah buyar barisannya, karena Ginanjar dan sepasang Rajawali putih telah menerjang. Kala Wesi dan Kala Munget berhadapan dengan sepasang pendekar Gunung Suket itu.
"He he he... Sepasang Rajawali...! Mengapa kau menempur muridmu sendiri?" Teriak Kala Munget, seraya kibaskan lengan jubahnya menyambar kepala lawan.
"Iblis terkutuk...! Kuhancurkan kepalamu. Bukalah wajah muridku itu. Agar kami puas untuk menghancurkan mukamu..!" Teriak si wanita Rajawali Putih. Segera ia miringkan kepalanya, dan senjata Cakar Rajawalinya meluncur mengarah jantung lawan. Akan tetapi Kala Wesi dan Kala Munget telah menghantamkan tongkat bercagaknya.
Trang..! Kedua senjata beradu. Dan keduanya sama-sama terhuyung dua langkah kebelakang. Kala Wesi segera berkata: "Baiknya kau melawanku saja nyonya Rajawali Putih. Aku ingin sekali membuntungi paha kakimu. Siapa tahu bisa dibuat menyambung lagi sebelah kakiku yang putus ini... He he he..!"
Merah padam wajah si wanita. Namun ia sudah harus menghadapi serangan serangan Kala Wesi. Adapun Kala Munget segera menerjang si laki-laki Rajawali Putih. Dan bersamaan dengan itu berkelebat dua sinar hijau yang turut nimbrung untuk membabat dari arah samping. Kiranya Siti Jenang telah sambarkan dua bilah pedang hijaunya.
Namun Rajawali Putih bukan tokoh sembarangan. Ia sudah putar tubuh untuk menghantam dengan angin pukulan tangannya. Terpentalah kedua pedang itu. Terkejut Siti Jenang. Segera ia berkelebat melompat untuk menyambar kembali kedua senjatanya. Akan tetapi saat itu telah meluncur sebuah lidi aren yang menyambar leher si wanita itu.
Tak ada daya untuk dapat mengelak lagi. Karena datangnya tak mengeluarkan suara. Dan teramat cepat. Terdengarlah jeritan Siti Jenang. Suaranya melengking seperti mau menembus langit. Dan jatuhlah ia ke bumi, dengan berkelojotan. Dan hanya sesaat. Karena tak berapa lama ia sudah tak dapat mempertahankan nyawanya lagi. Tewaslah si wanita keji itu.
Melihat kematian mendadak itu Kala Munget dan Kala Wesi jadi menggerung keras, dan mempergencar lagi serangannya. Terjadilah pertarungan yang amat seru. Sementara itu Ginanjar melayani si Kelelawar Besi alias Sawung Geni. Dan seorang lagi adalah Rimba Wengi alias Siluman Telapak Darah. Sebelah tangan palsunya yang terbuat dari perunggu mengandung racun itu. menghantam ubun-ubun Ginanjar.
Sedang si Kelelawar Basi merentang sepasang lengannya. Hebat, Sepasang lengan Kelelawar Besi bagaikan terlepas, meluncur satu setengah depa. Serangan ditujukan pada sepasang kakinya. Lengah sedikit saja, akan hancurlah tulang kaki pemuda itu. Akan tetapi Ginanjar telah sampok kedua lengan itu hingga terpental balik. Sementara lengan perunggu Rimba Wengi, dapat dielakkan dengan miringkan kepalanya. Dan sebelah kakinya bantu menyampok serangan lengan ganas itu, dengan pedangnya.
Agaknya Rimba Wengi tak mau adakan benturan. Segera ia tarik kembali serangannya. Sementara Ginanjar segera membungkus tubuhnya dengan putaran pedangnya. Hingga yang tampak hanyalah kilatan-kilatan sinar pedangnya saja. Namun dengan serempak keduanya terus mengurung mencari kelengahan lawan.
Kita beralih pada Roro Centil, yang tengah bertarung dengan si Mata Iblis. Roro Centil telah keluarkan sepasang senjatanya si Rantai Genit. Mendelik mata si Mata Iblis. Senjata yang berbentuk payudara itu, tentu saja membuat sepasang mata laki-laki hidung belang akan tertarik untuk memperhatikan. Beberapa terjangan dengan tongkat telapak Serigalanya telah berhasil dihindari sang lawan yang masih berusia muda itu.
Walau di hatinya agak malu untuk menghadapi seorang gadis. Apa lagi seorang gadis yang tampaknya seperti orang mengantuk itu. Namun setiap mengelakkan serangan dibarengi ejekan, atau tertawa cekikikan. Benar-benar membuat darahnya jadi bergolak saking jengkelnya. Tiba-tiba tampak sepasang mata si Mata Iblis mengeluarkan sinar merah. Dan tubuhnya melangkah kebelakang dua tindak.
Roro memang belum melakukan serangan selain mengelakkan setiap serangan yang datang. Kini melihat si Mata Iblis menatap padanya dengan sinar mata memancar merah. Terkesiap juga Roro Centil. Ia agak terpengaruh, dan terpaku menatap sang lawan. Mata Iblis gunakan kesempatan itu untuk membentak.
"Bocah tengik Roro Centil, berikan kedua senjata itu padaku. He he he... Benda sebagus itu tak patut di tanganmu. Itu senjata untuk permainan laki-laki..!"
Aneh... Tampaknya Roro tak berdaya. Sepasang matanya menatap tak berkedip pada si Mata Iblis. Tapi ia tak julurkan kedua senjatanya, melainkan dijatuhkan dekat kaki di hadapannya. Seraya berkata,
"Ambillah..! itu senjata palsu. Seperti juga Medali yang kau tunjukkan tadi. Apakah kau tak ingin sepasang senjata yang asli..?" Bertanya Roro. Dan sambil tertawa mengikik ia telah buka belahan baju bagian depannya.
Segera saja terlihat dua buah bukit kembar dengan tonjolan kedua putik pada ujungnya. Itulah B.H. warisan gurunya, yang memang mirip dengan payudara asli. Ternganga mulut si Mata Iblis. Dan tak terasa ia telah maju melompat tiga tindak.
"Kau mau yang ini..?" Nah..! Majulah lebih dekat..!" Berkata Roro Centil. Sementara sepasang matanya tetap menentang tatapan si Mata Iblis.
Ternyata diam-diam keduanya tengah mengadu ilmu bathin. Dengan masing-masing saling tatap. Tampaknya si Mata Iblis berusaha menahan pengaruh yang luar biasa, yang tanpa disadari jantungnya berdetak keras. Dan tampak ia berusaha untuk tidak melangkah maju. Diam-diam sebelah lengannya telah ia siapkan untuk menyerang dengan jarum-jarum beracunnya.
Tiba-tiba.. ia telah gerakkan tangannya merogoh saku bajunya. Dan detik berikutnya ia telah lepaskan ratusan jarum berbisa ke arah Roro. Meluruk seketika benda-benda halus itu bagaikan hujan ke arah tubuh Roro yang bagian dadanya terbuka. Akan tetapi tiba-tiba Roro telah gerakkan kepalanya. Segera menyambar rambut Roro menghantam buyar jarum-jarum berbisa itu, yang meluruk kembali ke arah si Mata Iblis.
Terkesiap bukan main si Mata Iblis Tentu saja ia tak menyangkanya sama sekali. Dengan berteriak keras ia telah kibaskan lengan jubahnya. Ratusan benda itu seketika buyar. Tapi tak urung beberapa batang jarum telah menembus sebelah lengannya. Terpekik si Mata Iblis. Ia sudah melompat mundur tiga tombak. Tampak tubuhnya tergetar hebat.
Sekejap saja sebelah lengannya telah menjadi terkulai tak dapat dipergunakan lagi. Wajahnya tampak menyeringai pucat. Akan tetapi ia telah segera berteriak keras laksana guntur. Tongkat telapak Serigalanya meluncur deras mengarah dada lawan yang terbuka.
Roro cepat mengambil tindakan. Segera ia miringkan tubuh ke samping sampai melengkung ke belakang. Loloskan sambaran itu. Akan tetapi sebelah kakinya telah bergerak menyambar ke bawah pangkal paha lawan.
Des..! Terdengar teriakan tertahan si Mata Iblis, tubuhnya terlempar ke udara tiga tombak. Saat itulah Roro telah sambar lagi sepasang senjatanya. Dan... Swing..! Swing..! Kedua Rantai Genit telah bergerak menyambar tubuh si Mata Iblis. Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua bayangan menerpa.
Trang! Trang!
Serangan Roro berhasil digagalkan. Kiranya sepasang lengan si Kelelawar Besi yang telah menyambar dengan cepat. Terkejut Roro Centil. Ia rasakan benturan keras itu menggetarkan lengannya. Segera ia melompat mundur dua tombak. Sepasang lengannya telah selipkan kembali senjatanya kesisi pinggang.
Begitu tubuh si Mata Iblis hinggap di tanah, ia telah gerakkan kedua telapak tangan menghantam dengan pukulan tenaga dalam. Terlemparlah tubuh si Mata Iblis ke depan. Menyambar deras ke arah si Kelelawar, yang tengah bentangkan sepasang lengannya. Saat itulah Roro berteriak.
"Tangkap..!"
Aneh..! Getaran suara Roro telah membuat Kelelawar Besi jadi terpengaruh. Dan secepat kilat gunakan lengannya yang terbentang itu menangkap pinggang si Mata Iblis. Tapi bukannya menangkap. melainkan mencengkeram. Terdengarlah saat itu juga teriakan parau si Mata Iblis. Darah segar tampak muncrat dari tubuhnya. Dalam keadaan tubuh setengah terangkat, si Mata Iblis berkelojotan. Karena kedua belah pinggangnya telah dicengkeram hancur.
Tentu saja tanpa sadar karena rasa sakit yang amat sangat, senjata si Mata Iblis bergerak bagai kilat menghantam kepala si Kelelawar Besi. Hingga tanpa ampun lagi remuklah kepala manusia itu. Namun sepasang lengan besinya justru semakin kuat mencengkram kaku. Hingga menembus robek pada bagian tengah perut si Mata Iblis. Terpekik si Mata Iblis dengan suara bagaikan raungan serigala. Pekikkan itu dibarengi dengan robohnya kedua tubuh itu saling tindih.
Namun pekik itu adalah pekik untuk yang terakhir. Karena seketika tubuh si Mata Iblis terkulai. Dan menghembuskan napas yang penghabisan. Menyusul si Kelelawar Besi yang telah berangkat ke Akhirat terlebih dahulu. Terdengar suara Roro Centil berteriak melengking tinggi. Sementara di lain pihak, Kala Wesi telah terkapar tak berkutik lagi. Dengan isi parut terburai, termakan senjata Cakar Rajawali si wanita dari Sepasang Rajawali Putih. Sedang Kala Munget menggeletak dengan leher hampir putus.
Adapun Ginanjar baru saja menancapkan Pedang Pusakanya di leher Rimba Wengi. Wanita itu berkelojotan sejenak lalu tewas. Keadaan jadi sunyi sejenak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan bergemuruh. Ternyata puluhan pengunjung telah bersorak gegap gempita. Bahkan ada yang tengah menari-nari kegirangan. Dan beberapa orang telah membukai pakaiannya. Kemudian dilempar-lemparkan ke udara. sambil berteriak-teriak gembira.
"Hidup Ki Dharma Tungga. Ketua Besar Kaum Rimba Hijau..!"
"Hidup sepasang Rajawali Putih..!"
Sedang pada kelompok lain terdengar... "Hidup Roro Centil Pendekar Wanita Pantai Selatan..!"
Saat itu juga angin bersyiur keras. Dan seekor burung Rajawali telah turun menukik. Burung besar ini mendarat di hadapan sepasang Rajawali Putih. Bersamaan dengan berkelebatnya sesosok tubuh kurus kering. Yang tak lain dari si kakek Pengemis.
Ginanjar segera berteriak... "Guru..!" Dan ia sudah melompat cepat kehadapan sang kakek.
Semua orang jadi melengak. Karena tak menyangka kalau pemuda wakil Ki Dharma Tungga itu adalah murid dari si Kakek pengemis yang selipkan segenggam sapu lidi aren di punggung. Bahkan Roro pun jadi kerutkan alisnya. Tiga orang kakek hampir seusia pengemis itu berlompatan seraya menjura hormat padanya.
"Maafkan kami yang tak mengetahui kedatangan Ketua Rimba Hijau Ki Dharma Tungga ke tempat ini..! Walau kami telah mengundurkan diri, namun terimalah hormat kami..!" Berkata salah seorang.
Tentu saja semua yang hadir pun segera berlompatan menghampiri, dan saling berebut menjura. Apa lagi bagi generasi baru, yang belum pernah melihat wajah sang Ketua Rimba Hijau itu. Seperti tak percaya dan tak akan menyangka kalau orangnya adalah yang seperti pengemis itu. Si Sepasang Rajawali Putih pun tak ketinggalan untuk menghaturkan hormat. Namun Roro Centil tetap tak beranjak dari tempatnya. Ternyata sepasang mata si kakek ini amat jeli. Ia sudah menyapa Roro dengan tertawa.
"Heheheh... heh heh..heh... Bocah Centil..! Hayo kita teruskan adu lari kita tempo hari! Aku berani bertaruh, sampai hari Kiamat pun kau tak akan dapat mengejar untuk menyusulku..!"
Dan tiba-tiba saja ia telah totok tubuh Ginanjar. Keruan saja pemuda yang tak menduganya itu jadi terkejut. Namun apa daya, seketika saja tubuhnya telah berubah jadi kaku. Tahu-tahu sepasang lengan telah menyambar tubuhnya, dan dilarikan dengan cepat menuruti lereng Gunung.
"Tolooong..! Toloooong..! Roro! Tolonglah aku..! Aku tak mau dikawinkan dengan cucu perempuannya..!" Ginanjar telah berteriak-teriak. Roro sudah beranjak akan mengejar. Akan tetapi tiba-tiba munculah Joko Sangit, yang sudah lantas berkata,
"Roro..! Apakah kau sudah siap untuk mendengarkan pesan mendiang Gurumu..?"
Roro Centil menoleh sejenak pada Joko Sangit. Akan tetapi xuma sejenak, karena tubuhnya sudah berkelebat menyusul si kakek pengemis, yang membawa lari Ginanjar. Joko Sangit jadi seperti terkesima. Dengan mulut ternganga menatap ke arah berkelebatnya tubuh Roro Centil, yang sebentar saja sudah lenyap. Akan tetapi lapat-lapat masih terdengar di telinganya.
"Joko Sangit..! Simpanlah dulu pesan Guruku itu. Aku belum siap untuk mendengarkannya...!"
Pemuda ini jadi garuk-garuk kepala, dengan wajah tampak bersemu merah. Tapi disudut bibirnya tersungging senyuman. Ia pun segera menyelinap pergi. Semua yang hadir cuma bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seorang kakek sudah lantas berkata,
"Haiiih..! Ternyata Dunia Persilatan adalah tempatnya segala macam manusia, dengan pelbagai watak yang aneh aneh..!"
Senja pun tiba. Prahara telah berlalu. Tampak seekor burung Rajawali meluncur pesat meninggalkan puncak Mahameru. Dengan sepasang penunggangnya, yang tampak arahkan pandangan ke bawah.
Puncak Mahameru masih tetap kepulkan asap tipis yang menjulur naik ke langit. Namun agaknya sang Raksasa ini dapat bernapas lega. Karena manusia-manusia yang telah mengganggu tidurnya itu berangsur angsur pergi meninggalkannya. Ia memang tampak amat lelah. Dan ia akan tidur lagi sampai 1000 tahun...
Sementara lenguh kerbau-kerbau pak tani terdengar di kejauhan. Beriring-iringan menuju pulang ke kandang. Untuk esok kembali bekerja membajak sawah. Kerja keras yang hanya berupa seonggok rumput, namun cukup membuat mereka senang. Dan bekerja giat membantu sang majikan.
Gembala-gembala kecil itu dengan tubuh lesu dan penat tiduran di atas punggung kerbaunya. Sekali-kali masih terdengar canda dan tawanya. Sementara jauh di belakang, orang-orang tua mereka menyandang pacul, dan alat bajak, melangkah lunglai. Namun dengan semangat terpencang di dada. Esok atau lusa kelak berharap panen akan lebih baik lagi.
Sebuah telaga kecil berair jernih di sisi sungai yang berbatu-batu itu masih terdengar suara beberapa gadis bersenda gurau. seperti enggan untuk beranjak dari tempat mandi yang berair sejuk itu.
"Aku sudah ah, nanti kemalaman sampai di rumah. Bisa-bisa aku kena marah..!" Berkata salah seorang dari kelima gadis itu. Dan serta merta beranjak untuk menyambar pakaiannya. Gadis itu bernama Sekar Tanjung. Gadis yang paling cantik di antara mereka. Melihat itu, yang lainnya pun bergegas naik ke darat.
"Benar..! Terlalu asyik kita mandi sampai tak sadar hari hampir gelap..!" Berkata salah seorang yang terlihat lebih tua diantara mereka. Yang dua orang ternyata masih juga bercanda, hingga salah seorang berteriak, "Awas, siapa yang paling belakang tentu akan digondol hantu Sendang. Siapa yang dapat menolong?"
Terkejutlah keduanya, dan dengan berteriak sambil silih pegangan mereka cepat-cepat beranjak ke darat. Sampai-sampai salah seorang lupa dimana menaruh pakaiannya. Tentu saja gadis-gadis lainnya jadi tertawa cekikikan saking lucunya melihat sang kawan yang bertelanjang bulat, sibuk kesana-kemari mencari bajunya.
"Wah...! Pasti bajumu disembunyikan hantu Sendang..!" Teriak kawannya.
"Ah, jangan main-main kau. Aku takut! Siapa yang sembunyikan? Awas nanti kuhajar pantatnya..!" Teriaknya sambil berjongkok kedinginan.
"Aku tidak tahu...!" Menyahut salah seorang.
"Aku juga tidak..! Berani sumpah, aku tidak menyembunyikan! Berkata kawannya yang seorang lagi.
Dan berturut-turut semuanya tak ada yang mengetahui dimana kawannya ini meletakkan pakaiannya. Sekar Tanjung ternyata telah bergegas berangkat lebih dulu setelah mengenakan pakaiannya. Empat pasang mata segera beralih padanya.
"Eh... Sekar! Tunggu dulu. Apakah kau tahu dimana Serandil meletakkan pakaiannya. Atau kau telah menyembunyikannya..?!" Teriak Siti Jenang, gadis yang paling tua itu.
Sekar Tanjung menoleh, dan hentikan tindakan kakinya. "Aiii! Kalian jangan sembarangan menuduh orang. Apa tidak terhanyut terbawa air..?" Menyahut Sekar Tanjung. "Aku benar-benar tak menyembunyikannya..!" Tambahnya lagi.
Sementara itu Serandil sudah mau menangis. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan. Pada saat itulah terdengar suara benda tercebur ke dalam air telaga atau Sendang. Semuanya jadi terkesiap. Dan salah seorang berbisik,
"Celaka..!? Jangan-jangan hantu Sendang yang mengganggu..!" Dan ia sudah mendahului lari dengan wajah pucat bagai kertas.
Tentu saja yang lainpun berlari bubar ketakutan, tanpa menghiraukan lagi pada si gadis yang masih bertelanjang bulat itu. Serandil berteriak-teriak sambil menangis, berlari kesana kemari kebingungan. Sementara kawan-kawannya sudah tak kelihatan lagi. Akhirnya Serandil cuma bisa menelungkup menutup wajahnya dengan terisak-isak. Tak tahu akan apa yang harus diperbuatnya.
Senja terus merayap. Cuaca berangsur-angsur menjadi gelap. Beberapa orang laki-laki termasuk seorang lelaki tua yang berada di bagian paling depan, tampak berjalan dengan tubuh layu. Wajahnya menampilkan kebingungan. Lelaki tua itu membawa seperangkat pakaian wanita. Tampaknya ia ayah dari si gadis bernama Serandil itu.
"Aku bukan mengkhawatirkan akan adanya hantu Sendang itu." Berkata laki-laki tua bernama Kebo Pawon itu. Dan lanjutnya. "Tapi yang ku khawatirkan adalah ulah perbuatan pemuda atau laki-laki iseng. Siapa tahu ia memang bermaksud buruk terhadap anakku..!"
"Siapa kira-kira orang yang bapak curigai..! Jangan khawatir, pasti akan kuberi hajaran dia.." Berkata salah seorang bertubuh tegap. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Dialah yang bernama Telo Moyo. Boleh dikatakan juga seorang jagoan di desa Blimbing Wuluh itu.
Namun laki-laki tua itu hanya terdiam. Pikirannya telah terbenam dalam keruwetan. Serandil tak dapat dijumpai di sisi telaga. Bahkan sudah sekeliling tempat itu diperiksa. Setiap semak lebat di singkap dan dibabat, oleh keempat laki-laki muda yang turut serta bersamanya.
Namun sosok tubuh Serandil tak kelihatan. Ada dugaan ia tenggelam di telaga, namun tak ada yang berani untuk menyelam. Ditambah hari sudah gelap, dan suasana di tepi Sendang itu memang agak seram. Akhirnya mereka pulang dengan tangan hampa. Serandil lenyap tak berbekas...
Sepekan sudah berita tentang lenyapnya seorang gadis di tepi telaga itu sudah menyebar ke pelbagai pelosok desa Blimbing Wuluh. Bahkan sampai pula ke desa-desa lainnya. Serandil memang hilang secara misterius. Bahkan mayatnya pun tak kelihatan. seandainya ia tenggelam ke dalam Sendang. Dugaan sementara orang adalah pada seorang pemuda bernama Jembawan. Karena berbareng dengan lenyapnya Serandil.
Pemuda bernama Jembawan, yang berasal dari desa Nongko Jajar, yang tak berapa jauh dari desa Blimbing Wuluh itupun ternyata lenyap. Beritanya baru diketahui oleh penduduk Blimbing Wuluh dua hari kemudian. Telo Moyo beranggapan bahwa Jembawanlah yang telah membawa lari si gadis bernama Serandil itu. Rasa simpatinya pada Kebo Pawon, membuat ia bersama tiga orang kawannya segera melacak ke berbagai tempat. Mencari jejak Jembawan dan Serandil.
Hampir setiap desa yang di jumpai mereka. tentu ditanyakan akan adanya sepasang sejoli yang menghilang itu. Namun hampir semua yang ditanyai menggelengkan kepala. Ketiga orang kawannya mengusulkan untuk kembali saja. Terpaksa Telo Moyo tak dapat menolak keputusan itu walaupun hatinya masih penasaran. Namun ketika kembali ke desa Belimbing Wuluh. Berita baru membuat mereka terkejut. Yaitu lenyapnya Sekar Tanjung, seorang gadis anak seorang Kuwu kembali lenyap dengan misterius.
Gemparlah keadaan desa Belimbing Wuluh. Beberapa pemuda desa dikerahkan untuk melacak ke pelbagai tempat. Pak Kuwu sendiri memimpin pelacakan itu. Pertama-tama yang dituju adalah desa Nongko Jajar. Karena disana diketahui seorang laki-laki bernama Jembawan, yang juga telah menghilang tak berbekas. Tentu saja kedatangan pak Kuwu yang bernama Bendoro Kelud itu, mendapat sambutan yang kurang baik dari orang tua Jembawan. Walaupun Jembawan adalah anak angkat, namun tetap sudah menjadi bagian dari kehidupannya.
"Maaf... pak Kuwu..! Aku sendiri tak mengetahui kemana anak itu pergi. Akupun tak mengetahui tentang hubungannya dengan gadis-gadis dari desa Belimbing Wuluh. Apakah ada hubungannya peristiwa hilangnya dua gadis itu dengan anakku..?"
"Aku sendiri tak mengetahui..! Tapi janganlah asal menuduh saja pada anak orang. Karena biarpun aku orang miskin, aku punya harga diri. Aku mengenal betul watak anakku. Kalau dia bersalah pasti aku yang akan menghajarnya. Aku sendiri telah mengirim orang untuk melacak kemana perginya si Jembawan itu..!" Demikianlah ujar Sugita. Tampak wajah laki-laki tua yang berumur lima puluhan tahun itu merah padam.
Bendoro Kelud tak dapat berbuat apa-apa. Memang ia tak mempunyai tuduhan kuat untuk dapat menyangka Jembawanlah yang telah melarikan kedua gadis dari desa Belimbing Wuluh itu. Dengan agak malu, segera Bendoro Kelud meninggalkan desa Nongko Jajar di ikuti pemuda-pemuda desanya. Disaksikan beberapa penduduk dengan bibir mencibir.
"Enak saja menuduh anak orang. Memangnya anak orang apaan...?" Berkata salah seorang tetua di desa itu sepeninggal pak Kuwu.
Sementara Sugita sendiri tercenung dengan wajah murung. Ia sendiri sedang memikirkan nasib Jembawan. Kemanakah gerangan perginya anak itu..? Gumamnya dalam hati.
* * * * * * *
Tiga pekan sudah berlalu. Dan pencarian ketiga orang itupun menemui jalan buntu. Tak seorangpun yang mengetahui kemana lenyapnya satu pemuda dan dua gadis dari dua desa itu.
Puncak Mahameru yang tersembul dibalik awan itu bagaikan kepala raksasa yang tegak menjulang dengan megahnya. Mentari pagi masih merah di ufuk timur. Pancarkan sinarnya yang masih lemah. Namun sesaat demi sesaat terus menggelinding ke atas dengan sinarnya yang kuning keemasan. Kicau burung-burung tampak semarak menyambut munculnya si Raja Siang itu.
Petani mulai kembali berangkat ke sawah memanggul paculnya. Walaupun kekalutan itu masih menghantui desa itu. namun mereka tetap harus bekerja demi hidupnya. Di kejauhan tampak seorang gadis berjalan seenaknya. Pakaiannya berbeda dengan pakaian gadis-gadis desa umumnya. Karena tidak umum dikenakan oleh seorang gadis biasa.
Baju atasannya berwarna merah jambu berlengan panjang. Dengan ikat kepala yang juga berwarna merah jambu melambai-lambai ditiup angin pegunungan. Sedangkan bagian bawahnya memakai celana pangsi berwarna hitam. Dengan sabuk terbuat dari kulit ular. Pada kedua belah pinggangnya tampak tergantung dua buah benda berbentuk aneh. Yaitu bentuknya seperti payudara, yang tergantung pada seutas rantai pada kedua belah pinggangnya.
Sepasang kakinya memakai sepatu rumput yang terbelit dengan seutas tali menjalin betisnya hingga sampai ke ujung celana pangs hitam itu. Yang juga dibeliti oleh tali dari sepatu rumput itu. Sepintas saja orang dapat mengenalnya, kalau gadis itu adalah orang dari kalangan Rimba Persilatan. Wajah gadis itu ternyata amat cantik. Walaupun tanpa dipulas oleh pupur atau gincu. Alisnya lentik menjulang ke atas. Melengkung bagai bulan sabit. Wajahnya bulat telur, dengan sepasang mata yang bening. Hidung yang tak terlalu mancung.
Sedangkan sepasang bibirnya bagaikan gondawa. Dan seperti menampakkan senyuman menawan. Wajahnya menampilkan seperti seorang gadis yang lugu. Namun ayu, dan luwes. Sepintas saja orang memandang pasti tak akan puas untuk memperhatikan lagi. Rambutnya panjang terurai berwarna hitam legam. dan ikal bak mayang terurai.
Ternyata dialah RORO CENTIL si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Yang telah menginjakkan kakinya didaerah itu. Langkahnya tidak terlalu cepat. Bahkan kadang-kadang berhenti untuk melihat dan mengagumi pemandangan alam disekitarnya. Angin gunung yang lembut itu sesekali menyibak rambutnya, membuat ikat kepala dan ujung bajunya melambailambai diterpa angin.
"Roroooo..!" Sebuah suara telah memanggilnya dari kejauhan.
Segera ia palingkan wajahnya ke arah suara itu. Tampak alisnya agak menyatu melihat sesosok tubuh dikejauhan yang bergerak mendatangi. Dalam beberapa kejap saja orang itu telah tiba dihadapan Roro Centil. Dan sudah lantas berkata lagi.
"Roro,! Kau ada disini...? Ujarnya dengan wajah berseri-seri. Pemuda itu berwajah tidak terlalu tampan. Memakai pakaian warna putih, tapi berperawakan gagah. Sepasang matanya membersit tajam menatap Roro Centil.
"Haii..! Kau rupanya Ginanjar..! Angin apa yang meniupmu sampai kemari..?" Bertanya Roro dengan menampilkan wajah terkejut, juga kelihatan senang sekali.
"Kaupun angin apa yang meniupmu sampai kemari...?" Balik bertanya pemuda murid mendiang si Pendekar Bayangan Bayu Seta itu, dengan mata tak lepas menatap wajah ayu dihadapannya. Seperti ingin rasanya ia untuk membelainya.
Roro cuma tersenyum. Diam-diam iapun menatap dan memperhatikan wajah orang. Hingga dua pasang mata beradu saling tatap. Ternyata sepasang mata si pemuda bernama Ginanjar itu kalah dalam hal tatap-menatap. Karena sekonyong-konyong hatinya jadi berdebaran tak keruan rasa. Tenggorokannya entah mengapa, tahu-tahu terasa seperti kering. Ia cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain seraya alihkan pembicaraan.
"Pemandangan disini indah-indah, tentu saja telah menarik perhatianmu untuk datang kemari, bukankah begitu Roro? Karena akupun amat mengagumi keindahan, makanya juga datang kemari.." Ujar Ginanjar, memancing pembicaraan. Karena ia tiba-tiba juga kaku untuk bicara apa.
Roro Centil kembali menampakkan senyumnya. Tapi kali ini bibirnya terbuka lebar hingga menampakkan sederetan gigi yang putih bersih bak sederet mutiara. Roro Centil tertawa kecil sambil manggut-manggut dan berkata: "Benar! Aku memang tertarik melihat pemandangan indah didaerah ini. Tapi juga tertarik dengan kisah aneh yang beritanya terdengar dari desa sekitar Gunung Slamet ini..!"
Ginanjar palingkan kepalanya menatap lagi pada si cantik. "Kisah apakah itu..?" Berkata si pemuda dengan wajah serius.
"Kisah hilangnya dua orang gadis dan seorang pemuda secara misterius dari kedua desa..!" Ujar Roro. Sementara sepasang matanya memandang sekitarnya. "Nah..! Itu ada sebuah dangau tempat meneduh. Mari kita kesana untuk mengobrol..!" Kata-katanya sudah dibarengi dengan gerakkan tubuhnya yang melesat ke arah bawah.
Ginanjar segera mengikutinya dengan rasa ingin tahu. Sebenarnya ia baru saja tiba setelah berjalan semalam suntuk dari Lebak Barang mencari obat-obatan. Karena susahnya penginapan dan desa. Ia terpaksa menginap diperjalanan. Namun karena ingin cepat-cepat tiba di tempat yang dituju, ia telah melakukan perjalanan semalam suntuk.
Pagi subuh baru ia tiba di desa Baturaden. Beruntung ada orang yang baik hingga ia bisa menumpang tidur dalam beberapa kejap. Dan di saat ia keluar, matahari baru menggelincir dari lereng Gunung Slamet. Saat ia keluar untuk menghirup udara segar itulah, ia menjumpai Roro Centil.
Sebentar saja. kedua orang muda-mudi itu telah duduk berhadapan di bawah gubuk kecil tempat beristirahat para petani atau peladang itu. Segera Roro Centil menuturkan apa yang telah didengarnya dari seorang penduduk di sebuah desa, mengenai peristiwa aneh itu.
"Aku beranggapan hal itu adalah bukan perbuatan pemuda bernama Jembawan itu. Pasti ada orang lain yang memang sengaja memancing kekeruhan..!" Tutur Roro Centil dengan pasti.
Sementara Ginanjar manggut-manggut dengan penuh perhatian. Tampaknya ia serius benar untuk mendengarkan penuturan Roro itu namun sesungguhnya fikirannya entah menerawang kemana. Karena bukan cerita itu yang ia dalami, namun ia cuma memperhatikan gerak-gerik gadis ayu dihadapannya.
Dan bibir mungil itu yang terbuka dan terkatup mempesonakan. Bahkan sekali-sekali Ginanjar menelan ludah saking terpesonanya. Entah dari mana tahu-tahu seekor lalat telah mampir ke mulut pemuda itu, yang agak setengah terbuka.
DUA
"Ahk! Ahk!... Kurang ajar..!? Setan alas..!" Memaki Ginanjar sambil terbatuk-batuk. Namun rupanya sang lalat telah masuk tertelan kedalam tenggorokannya.
Karuan saja Roro Centil jadi mengikik geli, hingga terpingkal-pingkal saking lucunya. Wajah Ginanjar jadi tampak merah karena malunya. Dan tiba-tiba saja ia telah muntah-muntah karena tak tahan menahan rasa mual diperutnya.
"Hi hi hi... hi hi.. Lucu sekali..! Makanya jangan terlalu lebar buka mulutnya, jadi... jadi... Hi hi hi... hi hi...." Kembali Roro terpingkal-pingkal. Hingga gubuk kecil itu bergoyang-goyang. Dasar memangnya dangau itu sudah tua, maka tiba-tiba saja terdengar suara berkreotan. Dan...
Brruaaak..! Robohlah dangau tua itu dengan seketika. Roro Centil sudah melompat keluar. Namun Ginanjar yang sedang mengurut-ngurut perutnya itu, tak sempat lagi untuk memikirkan akan kejadian mendadak itu. Hingga tak ampun lagi ia sudah tertindih oleh tiang-tiang bambu dan atap alang-alang.
"Celaka..!?" Terpekik pemuda itu. Namun sudah terlambat. Tubuhnya sudah teruruk oleh alang-alang. Ketika muncul lagi wajahnya hampir tak terlihat karena penuh dengan jerami.
Karuan saja Roro Centil terpingkal-pingkal saking lucunya. Menyadari akan kebodohannya. tiba-tiba Ginanjar melesat cepat dari tempat itu. Hingga sebentar saja ia sudah tak kelihatan. Roro Centil segera hentikan tertawanya. Mendadak kelucuan itu segera sirna, melihat kepergian laki-laki dihadapannya.
"Aih. Roro..! Kau terlalu sekali sih menertawakannya..!" Gumam Ginanjar.
"Habis lucu sekali..! Aku terpaksa tak dapat menahan tertawa..!" Bantah hatinya. Akhirnya Roro cuma bisa menatap ke arah mana kepergian pemuda yang masih saudara seperguruannya itu ketika di lereng Rogojembangan. Roro Centil menduga bahwa Ginanjar pasti akan marah atau malu untuk menjumpai dia lagi, karena ditertawakan sampai keterlaluan. Sampai nasib sial pagi-pagi sudah menyambangi. Sudah tertelan lalat, kerobohan atap gubuk lagi.
"Biarlah, nanti aku akan cari dimana ia menginap. Aku yakin ia tidak pergi buru-buru dari sekitar daerah ini. Dan aku akan minta maaf...!" Berfikir Roro Centil. Memikir demikian Roro segera beranjak dari tempat itu.
Hari sudah menjelang tengah hari ketika Roro tiba disebuah pasar. Sengaja ia berputar-putar di sekitar daerah itu untuk menyelidiki keadaan. Entah beberapa desa ia masuki. Untuk mencari dengar adanya tanda-tanda yang dapat memberi petunjuk tentang hilangnya ketiga orang desa yang misterius itu. Ketika menampak adanya sebuah rumah makan. Ia segera memasuki.
Rumah makan itu cukup besar. Dan agaknya hari itu banyak pengunjungnya. Sepasang mata Roro mencari-cari tempat yang masih kosong. Tampak ia tersenyum, karena disudut ruangan itu, masih ada sebuah meja dengan dua kursi yang masih kosong. Segera ia sudah beranjak kesana.
Menampak adanya pengunjung yang berwajah ayu ini, beberapa pasang mata sudah lantas melotot kagum. Sampai-sampai terdengar suara orang batuk-batuk, karena terselak oleh sayur pedas yang masuk hidung. Keruan saja beberapa lelaki jadi berceloteh dengan kata-kata yang tak enak.
"Hati-hati bung..! Makanya mata jangan terlalu lebar kalau melihat orang..!" Dan bermacam kata-kata lainnya lagi, yang diselingi gelak tawa. Sedangkan Roro Centil sudah menggeser bangku untuk duduk, dengan diiringi seorang pelayan yang segera mendatangi mejanya.
"Mau pesan apa nona..?" Berkata sang pelayan.
Tapi belum lagi Roro menyahut telah terdengar suara dari meja sebelah depan. "Eh, pelayan, kau keterlaluan... Coba kesini dulu..!"
Pelayan tua itu cepat menoleh. Ternyata seorang laki-laki brewok tengah menggapainya. Karena yang menggapainya itu tampak melotot, tentu saja ia buru-buru meninggalkan meja tamunya, untuk segera terburu-buru beranjak. Namun masih sempat juga berkata, "Maaf, nona... Sebentar aku datang lagi...!"
"Coba kau lihat meja ini! Masak kotornya bukan main. Apa begini caranya kau melayani tamu... ?" Berkata si brewok dengan keras, sambil menunjuk pada mejanya.
Tentu saja tiga lelaki disekelilingnya jadi senyum-senyum ditahan. Karena mereka tahu, si brewok sengaja menumpahkan nasi dan sedikit sayur yang diacak-acak di atas meja.
"Apakah tadi kau tak mengelap mejanya? Kalau aku tidak merasa lapar sekali sejak tadi aku tak mau duduk disini..!" Sambungnya lagi.
"Oh, maaf... Dan, aku tak melihatnya..!" Berkata si pelayan, dan cepat-cepat mengambil kain untuk mengelapnya. Tapi diam-diam hatinya memikir: Rasanya ada sesuatu yang aneh? Sementara si brewok sudah lantas beranjak dari bangkunya.
"Biarlah aku pindah saja ke tempat yang lebih baik..!" Berkata si brewok seraya berpesan untuk membawakan minuman baru lagi ke pada sang pelayan. Tentu saja kata-kata itu dengan bisikan perlahan.
Roro tak palingkan wajahnya sedikitpun. Tapi diam-diam ia tersenyum. la sudah mengetahui akal orang. Dan benar saja ternyata saat itu si brewok tampak mendatangi mejanya. Menyeret kursi dan duduk dibangku kosong dihadapan Roro Centil.
"Boleh aku duduk disini, ngng... nona..?" Berkata si brewok sambil tersenyum-senyum. Sementara sepasang matanya merayapi wajah orang dihadapannya.
Roro anggukkan kepala sambil matanya menatap tajam pada si brewok. "Laki-laki ini walaupun tampangnya kasar, tapi cukup hormat juga dan tidak kurang ajar.” Berfikir Roro.
"Pesan apa..?" Bertanya lagi si brewok setelah berfikir sebentar.
"Belum sempat..!"
"Ooooh..!?" Laki-laki brewok itu menyongkan mulutnya, hingga kumisnya yang berbulu kasar itu jadi ikut terbawa kedepan. Roro sengaja menahan dari rasa gelinya, karena ia melihat orang itu agak lucu.
"Pelayan..!" Ia sudah keluarkan bentakannya dengan suara keras. Hingga semua orang jadi menoleh padanya.
Tergopoh-gopoh sang pelayan yang memang tengah melangkah kesana, jadi mempercepat jalannya seperti setengah berlari. Namun kembali memperlambat jalannya, kalau tak ingin gelas yang berisi kopi panas itu menjadi tumpah.
Tampak si brewok geleng-gelengkan kepala. seraya berkata, "Kalau jadi jongos harus kerja dengan cepat dan gesit. Jadi pengunjung tak kecewa..!"
Si pelayan tua itu hanya angguk anggukkan kepala. "Non... nona pesan apa..?" Berkata si pelayan setelah meletakkan segelas kopi yang dibawanya itu dihadapan si lelaki brewok.
"Pesanlah apa saja yang kau mau, nona. Biar nanti aku yang bayar..!" Si brewok sudah mendahului berkata.
Sementara tiga orang kawannya dimeja depan terdengar tertawa geli tertahan. Tiba-tiba entah dari mana telah terdengar suara suitan. Si brewok ini agak melengak dan wajahnya berubah merah. Belum lagi ia berbuat sesuatu telah terdengar tepukan ramai dari meja disudut kanan, disertai teriakan.
"Hidup, Warok Brengos, si Pisau Terbang dari Madura...!" Dan suara riuh tepukan tangan pun kembali terdengar.
"Sayang pisaunya cuma tinggal satu..! Tumpul lagi..!"
Terdengar suara teriakan santar dengan suara nyaring, dibarengi dengan suara mengikik tawa dari dua orang wanita yang baru turun dari ruang atas. Keruan saja semua mata tertuju pada kedua wanita itu. Mata Warok Brengos seperti mau melompat keluar melihat siapa adanya kedua wanita itu.
"Perempuan-perempuan tengik itu selalu cari gara-gara..." Menggumam si brewok, tapi ia kembali duduk. Walaupun banyak orang tertawa mendengar kata-kata yang agak kurang sopan itu.
"Maaf, nona... Rupanya disini banyak kecoa-kecoanya yang mengganggu aku. Nanti selesai minum akan kuberi pelajaran orang yang telah kurang ajar itu..! Eh.. Mana pelayan itu..? Apakah kau sudah pesan makanan, nona..?" Bertanya Warok Brengos dengan terkejut. Karena ia tak melihat ada pelayan disitu.
"Sudah..! Aku sudah pesan sejak tadi!" Menyahut Roro. Rupanya di saat suara teriakan den tepukan macam-macam itu. Roro sudah bisiki ditelinga si pelayan untuk membawakan pesanannya. Dan sang pelayan segera pergi. Namun karena merasa mendongkol pada para pengunjung di dalam kedai itu, ia sampai tak melihat lagi kalau si pelayan sudah ngeloyor lewat dihadapannya.
Sementara itu, begitu dua wanita itu turun. Segera saja dua buah kursi dikosongkan orang. Dan seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah, tampak mengajaknya bercakap-cakap. Diselingi gelak tawa cekikikan kedua wanita itu. Dua orang yang ternyata adalah murid laki-laki itu segera beranjak keluar.
Diam-diam Roro Centil terkejut juga. Sekilas saja ia sudah dapat perhatikan bahwa para pengunjung restoran atau boleh dibilang kedai besar itu, adalah kebanyakan dari orang-orang kaum Rimba Persilatan. Ada apakah mereka bisa berkumpul di tempat ini..? Membatin Roro Centil.
Sambil menunggu hidangan, Warok Brengos sengaja mengajak bercakap-cakap pada Roro dengan suara agak keras. Dan lagak si laki-laki brewok ini mendadak berubah seperti tak perduli pada semua orang yang berada di situ. "Nona pesan apa? Ko' lama sekali...?" Berkata Warok Brengos.
"Tentu saja, aku pesan seratus tusuk sate... Satu gelas kopi susu, dan dua piring nasi putih...!"
"Ha...?" Seratus tusuk...?! Apakah kau bisa habiskan sebanyak itu... atau kau mau bawa pulang, nona..?" Berkata Warok Brengos dengan kaget, hingga sampai terlonjak dari kursinya. Diam-diam ia menghitung uang dalam saku di benaknya. Mati aku..! Uangku tak cukup untuk membayar sebanyak itu..! Berkata ia dalam hati. Roro agaknya telah memaklumi akan kegelisahan orang. Maka ia sudah lantas mau berkata... tapi sudah terdengar suara orang yang berkata,
"Jangan khawatir nona..! Aku yang bayar semua termasuk kawanmu itu. Ha ha ha... baru seratus tusuk sate sih bukan apa-apa..!" Dan terdengar gemerincing bunyi uang dalam kantung yang diguncang-guncang. Ternyata yang berkata adalah laki-laki berpakaian mewah disudut dekat tangga itu. Yang duduk bertiga dengan dua wanita tadi.
Wajah Warok Brengos merah padam. Ia merasa terhina sekali. Apalagi didengarnya suara dua orang wanita yang tertawa cekikikan. Membuat telinga si brewok jadi panas. Saat itu si pelayan telah datang dengan tergopoh-gopoh membawa pesanannya. Dan dengan cepat segala pesanan Roro sudah terhidang di atas meja. Warok Brengos menelan ludahnya. Bau sate kambing yang sedap itu telah merangsang hidungnya, hingga terlihat kembang-kempis.
Roro meneguk sedikit kopi susunya. Lalu berkata berbisik pada si brewok: "Eh, sobat Warok..! Ayo kau santap makanan gratis ini. Aku memang sengaja memesan sebanyak ini untuk kita berdua..."
Tentu saja suara Roro tak terdengar oleh siapa-siapa, karena Roro telah mempergunakan tenaga dalamnya, hingga cuma si brewok itu yang mendengarnya. Mata si brewok jadi mendelik kaget, karena hal itu di luar dugaannya. Tapi Roro sudah kedipkan mata untuk jangan sungkan-sungkan.
Tampaknya si brewok ini mengerti dengan tanda itu. Dan tanpa komentar lagi ia sudah seret kursinya lebih dekat. Mencuci tangannya. Mengelapnya dengan serbet. Dan tak ayal lagi langsung mengganyang santapan itu tanpa malu-malu. Terdengarlah suara riuh tepuk tangan, dan teriakan-teriakan disertai oleh gelak tawa terpingkal-pingkal dari sekelilingnya. Namun Warok Brengos sudah tak perduli lagi. Setelah kenyang sampai beberapa kali bertahak. Warok Brengos mengurut-urut perutnya yang buncit, terdengar ia berkata keras:
"He he he... Terimakasih sobat Guriswara..! Kalau tidak karena nona ini, tak nantinya kau mentraktir aku. Ha ha he he he..!"
Terdengar beberapa orang memuji pada sikap si Brewok itu yang tanpa malu-malu menyantap makanan yang justru tadinya ia yang mau mentraktir orang... malah kini berbalik di traktir oleh si laki-laki berpakaian mewah itu. Sementara ketiga kawan si Brewok yang tadi semeja dengannya, tampak seperti mengiri akan nasib orang. Yang sebentar saja tampak sudah akrab dengan gadis cantik yang lugu itu.
"Eh, terimakasih atas jasamu itu, nona..! Ngng... kau sudah tahu namaku, tapi aku sendiri belum mengenalmu. Kalau boleh tahu siapakah nona ini? Dan akan kemana tujuannya?" Berbisik Warok Brengos.
"Ah, namaku sangat jelek. Apa perlu diberitahu..?" Berkata Roro. Sementara suara teriakan yang hingar bingar itu sudah lenyap lagi. Dan beberapa orang sudah tampak keluar dari kedai besar itu.
"Memangnya kenapa?" Apa khawatir aku mengkambing hitamkan namamu? Aku tak ada bermaksud jahat padamu nona. Percayalah! Aku orang baik-baik..!" Berbisik si Brewok. Sementara sudut matanya menatap ke arah laki-laki bernama Guriswara. yang mentraktir sate itu.
"Tapi kau harus hati-hati pada orang yang membayarkan makananmu. Dia sudah kesohor hidung belang terhadap wanita cantik..!" Bisik lagi Warok Brengos.
Roro cuma mengangguk-anggukkan kepala sambil leletkan lidah. Dan basahkan bibirnya dengan beberapa teguk air putih. Lalu keluarkan sapu tangannya, untuk mengelap sepasang bibir mungil itu.
"Namaku Roro Centil...!" Segera Roro perkenalkan namanya dengan singkat. "Tujuanku adalah mencari tahu tentang peristiwa lenyapnya dua orang gadis dan satu pemuda bernama Jembawan. Ketiga orang itu telah hilang secara misterius..." Sambung Roro dengan perlahan.
Tampak wajah Warok Brengos berubah kaget, dan tampaknya ia terkejut sekali. "Hah? Ja... jadi nona adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu...? Oh... Maafkan aku yang bodoh ini, nona Pendekar. Tak tahu kalau Gunung Mahameru berada didepan mata..!" Berkata Warok Brengos sambil menjura hormat.
"Aih... sobat Warok, mengapa kau terlalu menyanjung namaku? Aku jadi malu hati menerima hormatmu..! Tukas Roro dengan wajah tersenyum, namun diam-diam ia terkejut juga karena nama Roro Centil ternyata telah dikenal disetiap pelosok.
Pada saat itu ketiga dari kawan Warok Brengos telah menghampiri. Sambil cenger-cengir merubung di kiri kanan dan belakang si Brewok. "He...Warok! Bagi-bagi aku kalau dapat rejeki, jangan dimakan sendiri..!" Berbisik yang dibelakang.
Sementara yang dua orang tampak melihat Roro dengan kagum, seperti memandang sebuah boneka saja. Tiba-tiba saja si Brewok bangkit dari kursinya, seraya memberi isyarat untuk segera mengikutinya. Tentu saja ketiganya jadi terheran, dan dengan cepat mengikutinya. Ketika tiba-tiba diluar...
"Hm, dengarlah kalian sobat-sobatku. Bicaramu jangan terlalu kurang ajar. Apakah kau tak mengetahui kalau nona yang ada didekatku itu adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil..?!" Ternyata Warok Brengos telah bicara dengan suara keras. "Hayo, segera kau minta maaf padanya...! Berkata Warok lagi.
Adapun ketiga orang kawannya jadi terkejut bukan main mendengar penjelasan itu. Dan tak lama kemudian mereka segera kembali ketempat duduk Roro. Akan tetapi mereka jadi terkejut, karena tahu-tahu bangku disudut itu telah tak ada orangnya. Alias kosong. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu ternyata telah lenyap tak berbekas.
"Heh..?! Kemana nona Pendekar itu..? Wah! Wah! Tentu sudah pergi dengan diam-diam. Agaknya tak ingin banyak orang melakukan penghormatan padanya. Enam orang yang berada dimeja sebelah kanan, juga telah menghampiri. Ternyata keenamnya juga termasuk kawan-kawan Warok Brengos.
"Apa kalian tak lihat kemana perginya Pendekar Roro Centil, yang tadi duduk bersamaku...?" Bertanya si Brewok.
"Entahlah... Tadi begitu kau keluar kami semua melihat kearahmu. Ketika kami berpaling lagi, nona itu telah lenyap..!" Menuturkan salah seorang.
"Hah...? Jadi dia Pendekar Wanita yang kesohor aneh dan berkepandaian tinggi itu..? Menyesal tak sedari tadi kami tahu..." Berkata kedua dari enam orang kawan si Warok Brengos.
Gemparlah semua orang yang berada direstoran. Masing-masing membicarakan nona pengunjung yang telah lenyap itu. Bahkan ada juga yang bercerita sempai berlebih-lebihan mengenai kehebatan si Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil. Kemanakah perginya Roro Centil..?
Ternyata di saat Warok Brengos meninggalkan mejanya. Sebuah benda melayang cepat sekali ke arah Roro Centil, dari arah jendela. Dengan terkejut Roro menyambar cepat dengan gerakan tangannya. Ternyata benda itu adalah segulung kertas kecil yang bertulisan. Roro belum membuka seluruhnya, tapi tubuhnya telah bergerak melesat keluar dari jendela. Masih terlihat siapa yang telah melemparkan benda itu.
Yaitu sesosok tubuh yang berkelebat cepat ke ujung pasar. Dan membaur dengan simpang siurnya manusia yang berbelanja. Roro agak susah untuk menyusulnya. Dan ia benar-benar telah kehilangan jejak. ketika lorong-lorong buntu membuatnya kikuk untuk mengambil arah. Akhirnya ia melompat ke atas genting sebuah bangunan. Dari sana ia dapat memandang ke sekelilingnya. Namun tak ada tanda-tanda mencurigakan.
Segera ia melompat lagi kebawah. Dan berkelebat ketempat yang agak sunyi. Disana ia perhatikan dulu keadaan sekitarnya. Baru ia membuka kertas kecil bertulisan itu. Dan apa yang tertulis dikertas itu membuat ia terkejut.
TIGA
RORO...!
Aku telah menemui jejak tiga orang aneh yang mencurigakan. Pergilah ke arah sebelah barat. Disana dapat kau jumpai sebuah kuburan kuno yang besar. Dihadapannya ada terdapat patung katak raksasa. Hati-hatilah...!
GINANJAR
Demikianlah isi surat dikertas kecil itu. Roro kerutkan keningnya. Dan segera remas surat kecil itu. Hatinya membatin: "Hm... Kiranya Ginanjar masih mau juga turut membantuku. walaupun tak mau bertemu muka." Tampak wajah Roro menampilkan senyumannya. Dan tiba-tiba ia sudah berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Kuburan kuno di lereng Mahameru itu memang sebuah tempat yang tersembunyi. Rimba belantara dan bukit terjal terdapat disekelilingnya. Pelataran kuburan kuno itu ternyata amat luas. Berlantai putih. Namun agak kotor tak terawat. Sedang pada sisi sebelah kanan terdapat patung seekor katak besar yang tengah mengangakan mulutnya. Tiga sosok tubuh tampak duduk bersila dihadapan patung katak yang tampak menyeramkan itu.
Dua orang wanita, yang satu adalah seperti seorang gadis yang sudah kadaluwarsa, alias perawan tua. Sedang yang seorang lagi adalah seorang gadis yang berwajah pucat. Sedangkan orang ketiga adalah seorang pemuda yang cukup tampan, umurnya sekitar dua puluh lima tahun. Ketiganya tampak tengah bersemadi dengan khusuknya.
Sementara itu dari kejauhan tampak terlihat dua orang telah berkelebat mendatangi kuburan kuno itu. Hebat..! Ternyata kedua orang itu adalah orang cacad. Yang seorang sebelah kakinya putus sebatas paha. Dan pergunakan sebuah tongkat kayu untuk menyangga tubuhnya. Namun ternyata dapat berlari dengan cepat seperti itu adalah luar biasa. Sedangkan yang seorang lagi kedua belah lengannya yang buntung.
Tapi gerakan larinya tidak merasa menjadi hambatan baginya. Sebentar saja kedua sosok tubuh itu telah tiba di pelataran makam yang luas itu. Ternyata kedua manusia itu berwajah amat buruk, seperti bekas terluka, Atau terkena goresan goresan senjata tajam. Bahkan yang seorang lebih menyeramkan lagi. Karena lubang hidungnya sudah growong dan bibirnya terbelah dua.
Mendengar ada orang mendatangi, ketiga orang yang tengah bersemadi itu segera membuka matanya. Si gadis kadaluwarsa itu terlebih dulu berdiri dan menjura hormat pada kedua pendatang itu. Serta beranjak menghampiri seraya berkata,
"Ah! Kakang Kala Munget dan Kala Wesi...! Bagaimana dengan pengintai si pencari rumput itu? Apakah kalian berhasil membunuhnya?"
Salah seorang tampilkan wajah kecewa, dan berkata dengan kesal. "Bocah keparat itu berhasil lolos! Dia telah menerjunkan dirinya ke sungai, hingga kami yang tak dapat berenang, terpaksa membiarkan ia melarikan diri keseberang. Huh! Setan alas..!"
Tampak si gadis kedaluwarsa itu naikkan alisnya, dan menghela napas. "Sayang..! Aku khawatir dia dapat membocorkan tempat rahasia kita... sebelum waktunya!" Berkata si gadis kedaluwarsa itu.
"Hm, kapan kau bisa dapatkan kulit yang cocok dengan kami? Rasanya aku sudah tak sabar lagi..!" Berkata si bibir terbelah alias Kala Wesi.
Tampak si gadis kedaluwarsa itu tersenyum, dan sahutnya. "Sabarlah, kakang! Tidak terlalu mudah mencari ukuran wajah, dan darah yang sama seperti yang di inginkan! Hari ini aku akan pergi mencarinya. Tapi aku harus menunggu perintah ketua dulu..!"
"Aku harus segera menghadap beliau. Hal ini harus kulaporkan dengan segera!" Berkata Kala Munget yang berwajah seperti dicakar kuku-kuku tajam tak keruan rupa.
"Ah!...? Jangan dulu, kakang Kala Munget..! Beliau sedang... sedang..." Si gadis kadaluwarsa ini tak teruskan kata-katanya, karena sekonyong-konyong wajahnya berubah merah.
"Sedang apa..?" Bertanya Kala Munget.
Sementara si bibir terbelah Kala Wesi tampak menyeringai mulutnya. dan berkata. "Sudahlah! Aku tahu..! Pokoknya sedang "Bersemadi", begitu! Iya kan..?"
Si gadis kadaluwarsa ini manggut-manggut dan menjelaskan lebih jauh bahwa sang Ketua tidak mau diganggu. Pada saat itu kedua laki-laki dan wanita yang duduk bersemadi itu telah melompat menghampiri. Keduanya memang cukup tampan dan cantik. Membuat Kala Munget dan Kala Wesi jadi mengiri.
"Hm! Siti Jenang..! Kau harus dapatkan wajah yang tampan untuk aku, dan adik Kala Wesi ini..!" Berkata Kala Munget.
"Hi hi hi... Jangan khawatir. Pasti tak lama lagi akan kudapatkan. Asal kalian mau bersabar menunggu..!" Menyahuti si gadis kadaluwarsa, yang bernama Siti Jenang.
Selanjutnya mereka duduk bercakap-cakap dengan suara perlahan. Entah apa yang dibicarakan. Namun sekali sekali Siti Jenang selalu merah mukanya. Dan ketiga orang itu tertawa. Sementara itu dibalik semak, enam sosok tubuh tengah mengintai keempat orang yang sedang duduk bercakap-cakap itu. Ternyata tak lain dari Telo Moyo. Jagoan dari desa Belimbing Wuluh, bersama lima orang lainnya.
Tapi yang kedua orang tampaknya bukan orang sembarangan. Karena kedua laki-laki itu memang dua tokoh persilatan yang cukup punya nama dikalangan Rimba persilatan. Sedangkan yang tiga orang lagi adalah Bendoro Kelud alias pak Kuwu desa Belimbing Wuluh. Kebo Pawon. Dan Sugita, dari desa Nongko Jajar. Ternyata pelacakan tentang lenyapnya tiga orang penduduk desa Belimbing Wuluh dan desa Nongko Jajar terus dilakukan.
Dua tokoh persilatan yang berilmu tinggi itu adalah sahabat baik Telo Moyo. Yang sengaja disambangi untuk mencari jejak ketiga orang yang hilang secara misterius itu. Karena adanya berita baru dari seorang penduduk yang membuka dua mayat terapung disungai. Sayang mayat itu kulit mukanya telah terkelupas mengerikan. Hingga tak dapat dipastikan siapa adanya.
Telo Moyo yang penasaran segera mengajak tiga orang yang kehilangan anak itu untuk membuktikan siapa kedua mayat tersebut. Tapi dengan terlebih dulu menghubungi kedua tokoh persilatan itu. Sayang, mereka tak dapat menemukan kedua mayat tersebut, yang mungkin telah terhanyut. Namun pelacakan terus dilakukan hingga ke hulu sungai, di lereng Gunung.
Kedua laki-laki tokoh Rimba Persilatan itu ternyata mempunyai pendengaran yang hebat. Ia dapat mengetahui adanya orang yang tengah berlari tak jauh dihadapannya. Ternyata benarlah. Ketika ia berkelebat untuk melihat. Ternyata seorang laki-laki dengan pakaian basah kuyup tengah berlari tidak terlalu cepat mendatangi.
Orang itu ternyata Ginanjar adanya. Yang baru saja berhasil meloloskan diri dari kejaran Kala Munget dan Kala Wesi. Mengetahui orang-orang itu adalah hendak mencari jejak tiga orang penduduk desa yang hilang misterius, Ginanjar jadi terkejut. Karena ia memang telah melihat ciri-ciri yang diberitahukan Roro mengenai ketiga orang yang hilang itu. Dan dua diantaranya ia dapat mengenali. Sayang pengintaiannya telah diketahui oleh Kala Munget dan Kala Wesi.
Ginanjar yang memang tengah mencari rumput-rumput obat-obatan di lereng Gunung itu. secara tak sengaja telah menemukan sebuah kuburan kuno di tempat tersembunyi itu. Kedua tokoh persilatan itu yang ternyata berjulukan Pendekar Kembar, jadi terkejut mendengar penuturan Ginanjar. Dan tanpa dapat dicegah lagi. mereka berniat menyelidiki.
Sedangkan Ginanjar yang memang berniat menghapus malu terhadap Roro Centil, menemukan jalan yang bagus. Ia segera mencari si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan berhasil menjumpainya. Dan melalui jendela rumah makan itu, ia melemparkan surat petunjuk padanya.
Demikianlah... Hingga keenam orang itu berhasil menemukan kuburan kuno di tempat yang tersembunyi itu. Dan beberapa pasang mata segera meneliti wajah-wajah kelima orang yang tengah duduk bercakap-cakap dipelataran makam kuno itu, dekat sebuah patung seekor katak besar. Yang terlebih dulu bicara adalah Kebo Pawon. Sepasang matanya tak lepas dari wajah seorang wanita yang duduk dekat si gadis kadaluwarsa itu.
"Ah...! ? Benar, tak salah. Gadis itu wajahnya mirip benar dengan Serandil anak gadisku yang hilang itu. Tapi, apakah benar dia..?" Desis Kebo Pawon perlahan.
Sedangkan Sugita yang dari desa Nongko Jajar, ternganga mulutnya karena ia telah melihat adanya Jembawan. Anak laki-lakinya yang duduk bercakap-cakap. Adapun Telo Moyo terkejut bukan main, karena melihat adanya Siti Jenang, si gadis kadaluwarsa alias perawan tua. Yang ternyata juga berada diantara mereka.
Dan pak Kuwu alias Bendoro Kelud tampak kecewa, karena tak dapat melihat adanya anak gadisnya yang bernama Sekar Tanjung, di antara kelima orang itu. Pendekar Dewa Kembar memberi isyarat pada keempat orang kawannya agar hati-hati berbisik dan tidak terlalu gaduh.
Akan tetapi Kebo Pawon sudah tak dapat menahan sabarnya lagi. Tiba-tiba ia telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya seraya berteriak: "Serandiiiil! Oh! Serandil anakku..!"
Dan dengan berlari-lari jatuh bangun ia merosot turun dari tempat ketinggian itu untuk mendatangi kelima orang itu. Pendekar Dewa Kembar dan yang lainnya jadi terkejut. Namun sudah terlambat. Kebo Pawon telah tiba di pelataran Kuburan Kuno itu. Tentu saja kelima wajah yang sedang bercakap-cakap itu jadi terkesiap. Dan serentak sudah melompat bangun.
"He!? Orang tua dari mana kau bisa datang ke tempat ini?!" Bentak Kala Wesi.
Namun Kebo Pawon tak menghiraukan bentakan itu. Ia sudah berlari untuk menubruk gadis disebelahnya Siti Jenang, berteriak dengan air mata bercucuran. "Serandil..! Kau ada disini anakku..?" Tapi tiba-tiba laki-laki tua itu jadi terhenyak. Dan menahan langkahnya. Wajahnya menampakkan keraguan.
"Tubuhmu tampak berbeda anakku..? Dan muka mu agak pucat! Apakah kau bukan Serandil? Tapi.. tapi..." Kebo Pawon tak dapat meneruskan kata-katanya. karena satu tendangan keras membuat tubuhnya terjungkal keluar pelataran. dengan teriakan ngeri.
"Kurang ajar! Kau harus dibunuh mampus, berani menginjakkan kaki ketempat ini..!" Bentak Kala Wesi Ternyata ia telah mengayunkan kakinya ke arah dada laki-laki tua itu.
Akibatnya ternyata amat mengerikan. Kebo Pawon terkapar ditanah dengan darah menyembur dari mulutnya. Namun ia masih berusaha bangkit. Bibirnya menyeringai menahan sakit sepasang matanya mendelik menatap kelima orang di hadapannya. Namun tak berapa lama ia sudah roboh kembali ke bumi, untuk melepaskan nyawanya.
Terkejutlah si Pendekar Kembar dan ketiga orang di tempat persembunyiannya. Perbuatan keji yang berlangsung didepan mata itu, benar-benar membuat mereka tersentak kaget. Tentu saja hal demikian membuat kelima orang di pelataran makam itu segera mengetahui adanya beberapa orang yang mengintai. Terdengarlah bentakan dari Kala Munget. Tubuhnya sudah berkelebat cepat ke arah tempat persembunyian mereka. Tidak itu saja. Keempat orang kawannya sudah berkelebatan ketempat itu.
Kini lima pasang mata dari penghuni Kuburan Kuno itu telah menatap dan menyapu wajah wajah orang dihadapannya. Melihat Kala Munget dan Kala Wesi yang bertubuh cacad, dan bertampang buruk itu, terkejutlah si Pendekar Kembar. Sedari tadi iapun tengah mengingat-ingat akan siapa adanya kedua orang bertampang buruk yang menyeramkan itu. Adapun Sugita, laki-laki tua berbaju putih dari desa Nongko Jajar segera terpekik melihat adanya Jembawan ditempat itu.
"Jembawan..! Apakah kau tidak mengenali ayah mu lagi, anakku...?" Teriaknya, walaupun sepintas ia agak aneh menatap sikap anak laki-lakinya yang tampak pucat itu. Lengannya menunjuk pada laki-laki berbaju hitam yang tampan itu. Yang ditanya tersenyum kaku. Terdengar dengusan dari hidungnya. Agaknya ia tak mau memberikan jawaban. Tapi palingkan wajahnya pada Siti Jenang disebelahnya.
"Hi hi hi... Agaknya kau orang tuanya laki-laki yang bernama Jembawan..!" Berkata Siti Jenang. Dan sambungnya lagi. "Wajah kawanku ini memang mirip dan sama dengan Jembawan anakmu, orang tua. Tapi sayang... dia bukan Jembawan!"
Telo Moyo melompat kedepan dengan menghunus golok besar yang dibawanya. Wajahnya menampilkan kemarahan Dan ia sudah membentak dengan suara keras. "Siti Jenang..! Jangan kau main sandiwara. Apa artinya semua ini..? Kau kira aku tak dapat mengenalimu! Aku memang agak curiga dengan tindak tandukmu..! Bukankah kau anak angkatnya Manguni? Asal-usulmu tidak jelas. Kau pernah akrab dengan para gadis remaja. Dan sering mengajak mandi di Sendang, di desa Belimbing Wuluh. Aku yakin kau pasti terlibat dengan hilangnya tiga orang penduduk dari kedua desa. Kini dua diantara orang yang hilang itu ada disini..! Tapi adalah aneh kalau sampai keduanya tak mengenali lagi kedua orang tuanya. Apakah artinya semua ini...?"
Mulut Telo Moyo nyerocos tak terbendung. Memang orangnya berwatak kasar, dan bekas seorang penjahat yang sudah kembali sadar. Siti Jenang tampak perlihatkan wajah tenang. Namun Kala Wesi sudah membentak dan melangkah tiga tindak. Clik! Clik! Dua buah pisau berkilatan telah tersembul dari masing-masing ujung sepatunya, yang terbuat dari besi. Tapi Siti Jenang telah cepat-cepat berkata,
"Biarlah kuberikan penjelasan pada manusia manusia yang bakal mampus ini, Kala Wesi..." Kala Wesi palingkan kepala pada Siti Jenang. Terdengar ia mendengus, namun segera melangkah lagi mundur dua tindak.
"Hm, baik...! Aku akan jelaskan kalau kalian ingin mengetahui..! Aku memang telah menculik ketiga orang dari dua desa di bawah bukit itu. Dua diantaranya telah ku kuliti mukanya. Dan seperti kalian lihat. Kulit-kulit wajah kedua laki-laki dan wanita itu telah terpasang pada orang-orang disebelahku.! Hi hi hi..." Tutur Siti Jenang dengan suara tegas.
Penjelasan itu membuat semua orang dari pihak pelacak itu jadi terkesiap. Adapun Sugita, orang tua Jembawan dari desa Nongko Jajar itu seketika jadi mendeprok lemas. Lututnya gemetaran. Sepasang matanya memancar berapi-api. Dan tampak air bening mengalir turun dari sepasang matanya yang sudah mulai menggayut kebawah. Bendoro Kelud alias pak Kuwu tiba-tiba berteriak,
"Perempuan iblis..! Kau.. kau apakan anakku Sekar Tanjung..?! Kau juga telah menguliti wajahnya..?!" Tubuh laki-laki yang masih tampak keker ini tergetar hebat. Ia sudah melangkah dua tindak menatap Siti Jenang.
"Hi hi hi... Sekar Tanjung tak akan dikuliti. Karena ia teramat cantik, dan diingini Ketua kami! kini selama beliau masih menyukai, akan tetap hidup. Entah kalau sudah bosan. Mungkin segera menyusul yang lainnya ke Akhirat...!"
"Keparat..! Jadi dua mayat yang mengambang di sungai itu adalah mayat dari Jembawan dan Serandil..?!" Teriak si Pendekar Kembar hampir serentak.
"Hm..! Sudah kuduga. Aku memang mencurigai asal-usulmu Siti Jenang. Entah kau ini sebangsa manusia ataukah iblis, dapat berbuat sekeji itu..!" Berkata Telo Moyo. Dan ia sudah memberi isyarat pada si Pendekar Kembar untuk menerjang.
"Hi hi hi... Aku hanya menjalankan perintah..! Kami memang para iblis yang sebentar lagi akan mencabut nyawa kalian..!" Ujar Siti Jenang dengan wajah sinis.
Telo Moyo tak dapat menahan kemarahannya, Dengan menggerung bagai harimau ia telah menerjang si gadis kedaluwarsa itu. Disertai teriakannya. "Kucincang tubuhmu perempuan setan..!" Dan golok besarnya berkelebat membabat pinggang Siti Jenang. Namun sepasang tangan dari laki-laki berwajah Jembawan itu telah bergerak menangkap. Terdengarlah suara berdenting keras.
Trang..! Golok besar Telo Moyo bagai menghantam benda keras. Hingga pada bagian yang tajamnya telah gompal alias somplak lebar.
"Hah!?" Telo Moyo tersentak kaget. Dan mundur dua tindakan. Sepasang matanya berganti-ganti menatap senjatanya dan sepasang tangan laki-laki berwajah Jembawan itu. Segera dapat diketahui kalau sepasang tangan lawan, sebatas sikunya terbuat dari besi. Yang memang mirip dengan tangan manusia, namun agak kaku.
"He he he... Aku dijuluki si Kelelawar Besi! Dulu kedua lenganku ini telah dihancurkan orang dari golongan putih. Aku tak dibunuh, tapi telah disiksa setengah mati, yang menjadikan aku orang cacad seumur hidup...! Dendamku takkan pernah habis sebelum melenyapkan setiap golongan kaum putih. Dan orang pertama akan kubunuh adalah kau Telo Moyo. Aku mengenalmu dulu sebagai seorang perampok. Tapi nyatanya kau telah berpindah golongan. Bagus.! Aku akan buat kau menderita terlebih dulu seperti aku, yang telah kehilangan kedua lenganku, dan rusaknya wajahku..! He he he.." Berkata si laki-laki berwajah Jembawan.
Adapun Telo Moyo jadi terperanjat. Seketika wajahnya berubah pias. "Hah!?" Apakah kau Sawunggeni..?" Teriak Telo Moyo dengan suara tertahan.
"He he he... Benar! Nah! Bersiaplah kau untuk segera merasakan saat sekaratmu!" Dan kali ini si kelelawar Besi telah mendahului menerjang Telo Moyo dengan terjangan ganas. Kakinya menjejak tanah, dan tubuhnya melesat dengan lengan terpentang menyambar tubuh laki-laki bekas perampok itu.
Trang! Trang!
Telo Moyo melompat kesisi sambil hantamkan dua serangan goloknya sekaligus Namun lagi-lagi goloknya terpental balik. Dan kembali bertambah gompalnya. Saat ia gugup itu, tiba-tiba sebuah kepalan tinju besi telah menghantam dadanya. Terbeliak Telo Moyo bagaikan tak percaya, karena lengan si Kelelawar Besi itu dapat mulur satu setengah depa. Ia tak sempat berkelit lagi. Dan roboh terjungkal. Telo Moyo perdengarkan keluhannya. Namun sekejap ia telah bangkit lagi dengan terhuyung-huyung. Dan otot-ototnya kembali tegang. Ia telah dapat menahan dan memulihkan lagi kekuatannya. Walau terasa dadanya agak nyeri sedikit.
"He he he... Telo Moyo! Lebih baik kau serahkan saja sepasang lenganmu itu untuk kuhancurkan..!" Kelelawar Besi mengejek dengan senyum iblis.
"Keparraaat!" Teriak Telo Moyo. Dan kembali ia menerjang bagai kemasukan setan. Goloknya membabat kiri dan kanan menabas pinggang lawan. Namun kemana saja senjatanya berkelebat, selalu dapat tertangkis oleh sepasang lengan besi si Kelelawar.
Sementara itu Pendekar Kembar telah mencabut pedangnya dengan serentak. Dua sinar hijau segera terlihat dari kedua benda ditangan si Pendekar Kembar. Kedua manusia cacad berwajah buruk itu melompat mundur tiga tumbak. Sepasang matanya menatap kedua pedang bersinar hijau ditangan laki-laki berwajah hampir serupa itu.
"Heh! Pedang Mustika Hijau..!" Desis Kala Munget yang berkaki satu.
"Benar..! Sepasang pedang itulah yang telah membuat cacad kaki dan tangan kita..!" Desis Kala Wesi yang kedua tangannya buntung.
"He he he... bagus! Kalian pasti murid si Sepasang Rajawali Putih. Pucuk di cinta ulam tiba..! Kami tak jauh-jauh lagi mencari musuh yang telah membuat kami cacad seumur hidup!" Teriak Kala Wesi dengan wajah semakin seram.
Saat itu terdengar desisan suara Siti Jenang dibarengi dengan gerakan tubuhnya yang melompat mendekati kedua orang cacad itu. "Awas hati-hati dengan lawanmu, kakang Kala Munget dan Kala Wesi. Aku dapat lihat sepintas. Tampaknya kedua wajah pendekar ini cocok dengan ukuran wajah kalian. Hati-hati jangan sampai rusak. Dan jangan sampai terbunuh. Siapa tahu darahnya cocok dengan darah kalian. Hi hi hi... Aku jadi tak payah-payah mencarinya...!"
Kala Munget dan Kala Wesi manggut-manggut, dan tampak tersenyum menyeringai. "Ha ha ha... Boleh juga! Cukup tampan dan kelihatan gagah!" Bisik Kala Munget pada saudaranya.
"Dan sepasang Padang Mustika Hijau itu bisa jatuh ketangan kita..!" Bisik Kala Munget lagi. Wajahnya berseri girang.
"Betul! Hayo kita menangkapnya hidup-hidup!" Berkata Kala Wesi. Dan ia sudah tarik keluar kedua lengan jubahnya, yang terbelit dipinggang. Sementara si Pendekar Kembar telah melompat dua tombak kehadapannya.
"Dua Siluman buntung..! Kiranya kalianlah yang telah membantai habis orang-orang perguruan Rajawali di Gunung Suket. Kami Gambir Anom dan Gambir Sepuh memang murid dari Sepasang Rajawali putih. Sayang kau terlalu pengecut. Dan bertindak keji selagi tak ada kedua Guruku. Bagus..! Hari ini jangan harap kau berdua dapat meloloskan diri...!"
Akan tetapi kata-kata si Pendekar Kembar tersebut telah disambut dengan gelak tawa terpingkal-pingkal oleh Kala Munget dan Kala Wesi. Sementara itu telah terdengar teriakan dari Telo Moyo disebelah sana. Keadaan amat mengerikan. Karena kedua lengannya telah hancur terkena cekalan telapak tangan besi si Kelelawar Besi.
"He he he... Kini biji matamu akan kukorek keluar. Biar kau rasakan sakitnya..!" Teriak Sawunggeni yang berwajah Jembawan itu. Dan kedua lengan besinya terjulur ke arah Telo Moyo yang terkapar mengerang kesakitan. Tapi pada saat itu, telah berkelebat sinar hijau menyambar sepasang lengan keji itu.
Whusss!
Sambaran pedang salah seorang dari si Pendekar kembar itu menemui tempat kosong. Karena si Kelelawar Besi telah menarik lagi sepasang lengannya. Di lain pihak, Kala Wesi dan Kala Munget masingmasing telah bergerak ke arah Pendekar Kembar. Mendengar bersyiurnya angin dibelakang punggung, Gambir Anom yang baru saja menggagalkan niat keji si Kelelawar Besi itu, segera balikkan tubuh. Ternyata Kala Wesi telah pergunakan lengan jubahnya menyambar pinggang. Dengan berteriak keras ia menghantam dengan pedang Hijaunya.
"Wesss!
Kilatan sinar hijau berkelebat bagai bayangan kilat. Namun lengan jubah Kala Wesi telah berubah arah menyambar kaki. Kembali Gambir Anom sambarkan pedangnya, sambil melompat tiga tombak. Sebelah lengannya telah ia arahkan ke kepala Kale Wesi. Segera menyambar angin keras yang disertai tenaga dalam hebat. Kala Wesi cuma perdengarkan dengusan di hidung. Dan gunakan lengan jubahnya mengebut ke arah serangan pukulan lawan.
Akibatnya terdengar teriak tertahan Gambir Anom. Tenaga dalamnya ternyata jauh di bawah Kala Wesi dua tingkat. Tak ampun lagi tubuhnya terlempar beberapa tombak. Namun dengan berjumpalitan di udara, ia berhasil menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Sementara itu Gambir Sepuh telah menyambuti serangan tongkat bercagak Kala Munget. Hebat serangan Kala Munget. Karena nyaris saja kedua kaki Gambir Sepuh terbabat putus, kalau ia tak cepat menyelamatkan diri.
Demikianlah... sebentar saja suasana pertarungan berjalan dengan seru dan tegang. Akan halnya Sugita dan Bendoro Kelud, mengetahui keadaan gawat. Segera diamdiam menyelinap untuk menyelamatkan diri. Tak ada keberanian dari kedua penduduk desa itu untuk maju turut menempur. Karena tanpa kepandaian yang berarti, samalah dengan mengantarkan nyawa saja.
Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh kurus langsing ke arah mereka. Dan kedua laki-laki tua itu perdengarkan teriakan ngeri. Tubuhnya terjungkal dua tombak. Dan saat berikutnya kedua orang yang malang itu telah tewas seketika. Dengan kulit punggung hangus bergambar telapak tangan. Ternyata si gadis berwajah Serandil itu yang telah menghantamnya dari belakang.
"Bagus adik Rimba Wengi.! Hi hi hi... Kalau tak dibinasakan akan bertambah wabah ditempat kita ini." Berkata Siti Jenang, yang juga telah kelebatkan tubuhnya ke tempat itu.
Sementara itu di dalam sebuah ruangan yang remang-remang. Tampak dua sosok tubuh manusia bergerak-gerak di atas sebuah batu persegi, beralas tikar pandan. Yang berada di bagian atas ternyata adalah sesosok tubuh wanita, berambut panjang. Walaupun keadaannya tidak begitu terang. Namun dapat terlihat kalau wanita itu bertubuh padat dan berparas cantik. Rambutnya terjuntai ke bawah. Ketika menggerek-gerakkan kepala dan tubuhnya.
Sementara yang berada di bagian bawah adalah sesosok tubuh laki-laki yang boleh dikatakan seperti orang tak berdaya. Karena hanya tampak menggeliat geliat saja bagai merasakan sesuatu. Sementara keluhan-keluhan terlontar dari mulutnya dengan suara yang samar tidak begitu jelas. Akan tetapi anehnya wanita di atasnya itu terisak-isak hingga air matanya sampai bercucuran menetes deras.
Selang beberapa saat tampak gerakan tubuhnya semakin perlahan. Dan jatuhlah ia terjerembab disertai keluhannya. Sekonyong-konyong sepasang lengan telah mendekapnya erat, hingga ia terasa sukar bernapas. Dan detik selanjutnya kedua tubuh itu telah sama-sama terdiam. Hanya desah menggebu itu yang terdengar kian melirih.
Semilir angin dari lubang dinding ruangan yang agak pengap itu menyeruak masuk. Hawa pengap itu berubah agak sejuk. Perlahan-lahan wanita itu merosot dari tubuh yang tergolek seperti mati itu. Seonggok pakaian yang berada disudut batu persegi itu telah disambarnya. Dan dengan cepat telah dikenakannya kembali.
"He he he... Hebat! Jarang aku menjumpai kehebatan semacam ini..! Kau cukup memuaskan hatiku bocah ayu..!"
Terdengar suara serak bercampur tawa terkekeh. Dan laki-laki berkumis serta berjanggut yang hampir semuanya memutih itu. bangkit dari batu persegi. Ternyata sepasang kakinya buntung sebatas lutut. Tapi lebih aneh lagi adalah sepasang matanya mirip mata Serigala. Dengan pinggiran yang cekung menyipit. Melihat laki-laki itu telah bangun duduk. Si wanita cepat mendekati. Tampak ia sempat menyeka air matanya, dengan lengan bajunya.
"Sudahlah... Jangan menangis! Aku tak akan membunuhmu selama kau mau melayaniku. Kelak kau boleh tinggalkan tempat ini kalau aku sudah tak membutuhkanmu lagi..!" Berkata laki-laki itu dengan suara dingin.
Sementara dengan menahan isaknya si wanita memakaikan jubah si laki-laki itu, yang seperti manja saja. Suara teriakan dan bentakan dari orang yang bertarung diluar ruangan seperti tak dihiraukannya. Kiranya mereka berada didalam ruangan bawah tanah di Kuburan Kuno itu. Laki-laki ini adalah yang berjulukan si Mata Iblis. Ketua dari kelima orang yang tengah bertarung diluar itu.
"Heh heh heh... Murid-muridku dalam beberapa gebrakan saja akan dapat menumpas tikus-tikus busuk yang coba menyatroni kemari..!" Terdengar gumamnya seorang diri.
EMPAT
Beralih sejenak pada perjalanan Roro Centil, yang setelah mendapat petunjuk dari Ginanjar telah berkelebat pergi dengan cepat. Namun baru antara tiga puluhan kali kakinya menyentuh tanah. Pada sebuah tempat yang datar. sesosok tubuh telah berkelebat menghadang. Terpaksa Roro Centil hentikan tindakannya. Dan segera dapat melihat siapa yang menghadang.
Ternyata tak lain dari si orang yang berpakaian mewah, yang telah mentraktirnya makan sate bersama Warok Brengos. Dari kata-kata si Brewok tadi ia dapat mengetahui orang ini bernama Guriswara. Baru ia dapat menegasi wajahnya. Yang ternyata ia seorang laki-laki seusia 40 tahun. Berkulit putih. Wajahnya licin tanpa cambang bauk. Namun alisnya hitam tebal. Dengan sepasang mata yang agak kemerahan menyorot tajam. Bibirnya agak lebar. Dan wajahnya hampir persegi empat.
Anehnya laki-laki ini memakai kalung mutiara seperti wanita. Bahkan juga sebelah anting anting di telinganya. Ketika membuka ,segera tampak barisan giginya yang besar-besar. Walau usianya sudah cukup larut. namun ia kelihatan masih sangat muda.
"Ha ha ha... Kita belum sempat berkenalan, mengapa anda terburu-buru untuk pergi nona Pendekar Pantai Selatan..?" Berkata Guriswara. "Aku Guriswara..! Kaum persilatan memberiku gelar si Pemabuk Dermawan..!" Boleh aku mengenalmu lebih dekat, nona.. ngng... Roro Centil?" Berkata Guriswara dengan kata-kata yang terdengarnya amat memikat hati.
"Mengapa tidak boleh..? Julukanmu si Pemabuk, apakah kau tukang mabuk?" Bertanya Roro. Tampaknya Roro sengaja meladeni apa maunya orang.
Guriswara tertawa terbahak-bahak dan menyahuti: "Ah..! Itu hanya julukan saja. Eh agaknya nona Roro Terburu-buru. Apakah ada yang memang penting harus ditemui..?" Bertanya Guriswara.
"Cukup penting juga. Tapi boleh aku menanyakan sesuatu pada anda, sobat Pemabuk?"
Tampak si Pemabuk Dermawan kerutkan alisnya. Sejenak benaknya memikir. Pertanyaan apakah yang akan diajukan oleh nona Pendekar ini? Tapi ia sudah lantas berkata: "Silahkan! Silahkan! Tanya apapun boleh..! Pasti kujawab...!"
"Baiklah! Yang akan kutanyakan adalah masalah sederhana? Yaitu.. Aku telah melihat di rumah makan tadi banyak tokoh-tokoh persilatan. Entah dari golongan mana saja? Dan ada apakah maka sampai bisa berkumpul di tempat itu..?" Tanya Roro Centil.
Mendengar pertanyaan itu si Pemabuk Dermawan tertawa agak hambar. "Hm... Sebenarnya pertemuannya itu masih lama. Masih kira-kira satu bulan lagi. Namun beberapa tokoh hitam maupun putih, telah berdatangan. Karena hal yang menarik itu tentu saja mengundang perhatian kaum persilatan..!"
"Pertemuan apakah..? Dan apanya yang menarik..?" Tanya Roro dengan penasaran.
"Di puncak Gunung Mahameru akan diadakan pertandingan adu kekuatan. Menurut berita yang sampai ke telingaku. Pertandingan itu adalah untuk menentukan siapa di antara kaum persilatan yang paling kuat. Dialah yang akan dijadikan pemimpin dari kaum persilatan. Dengan tak mengecualikan golongan apa saja. Hal semacam ini memang selalu diadakan setiap dua puluh tahun sekali. Ketua dari kaum rimba persilatan yang lama adalah Ki Dharma Tungga. Seorang dari golongan kaum putih. Namun tak ada lagi kabar beritanya sama sekali. Bahkan tak seorangpun dari kaum rimba persilatan yang mengetahui dimana dan kemana adanya Tokoh Sakti yang pernah menjadi ketua kaum Rimba Persilatan itu. Sebagian orang mengatakan Ki Dharma Tungga telah wafat."
Roro manggut-manggut mendengar penuturan si Pemabuk Dermawan. "Apakah masa jabatan Ketua Ki Dharma Tungga telah habis, hingga diadakan lagi pertemuan untuk pemilihan Ketua yang Baru..? Dan siapakah yang menyelenggarakan untuk mengadakan pertemuan kaum rimba Persilatan ini..?" Tanya Roro.
"Mengenai hal itu, aku tak mengetahui sama sekali. Undangan itu disebarkan secara misterius disertai ancaman. Seandainya tidak hadir, tidak akan diakui sebagai orang Rimba Persilatan serta dianggap pengecut! Dan bila tidak ada yang datang, maka si penyelenggara akan mengangkat dirinya menjadi ketua Rimba Persilatan yang baru..!" Tutur Guriswara. Dan selama memberikan penjelasan itu sepasang matanya dengan rajin menatap setiap lekuk liku pada tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Roro Centil terpukau mendengar berita aneh itu, yang benar-benar ia baru mendengarnya. Diam-diam ia membathin. "Gila..! Hal itu benar-benar bukan pertemuan resmi, karena merupakan tantangan serta penghinaan terhadap kaum Rimba Persilatan. Apa lagi si penyelenggara tak mau memperkenalkan namanya... Pantas saja banyak orang yang jadi penasaran untuk berdatangan kemari..!?" Pikir Roro.
"Baiklah. Terima kasih atas penjelasan anda sahabat Pemabuk Dermawan..." Roro sudah akan melanjutkan kata-katanya, namun Guriswara telah cepat cepat memotong.
"Ngng... Nona Pendekar Pantai Selatan. Nama besar anda telah membuat aku yang rendah ini menjadi kagum. Ternyata lebih kagum lagi memandang orangnya!"
Mendengar kata-kata itu Roro tersenyum. Ia sudah menduga akan hal itu. Dan sudah mengetahui siapa adanya Guriswara, dari peringatan yang telah dibisikkan oleh Warok Brengos. "Aih, sahabat Guriswara..! Anda terlalu merendah. Apalah artinya kepandaianku? Orang terlalu melebih-lebihkan diriku. Padahal aku sendiri merasa tak enak hati..." Roro Centil menyahuti dengan suara datar.
Akan tetapi baru saja putus bicaranya sudah berkelebat dua sosok tubuh ramping kehadapannya. Ternyata yang datang adalah dua orang wanita. Yang satu berbaju hijau dengan rambut dikepang dua. Sedang yang seorang lagi bersanggul, dengan tusuk konde yang berbentuk kipas. Berbaju ungu. Anehnya kedua orang wanita itu menatap Roro seperti wajah orang cemburu.
"Hm, inikah gerangan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu..? Ternyata cukup cantik juga..! Tapi sayangnya bermata keranjang!" Begitu muncul sudah berkata tajam si wanita berbaju ungu itu. Sepasang matanya bersinar tajam, dengan bibir tersenyum sinis.
Sedangkan yang berambut dikepang terus saja menimpali. "Baru saja kenalan sama si brewok Brengos. eh! sekarang sudah mau menggaet lagi orang lain...!"
Sementara Guriswara tampaknya jadi serba salah, dan menggaruk-garuk kepala. Adapun Roro Centil melihat gelagat tidak baik itu bukannya membela diri. bahkan tertawa mengikik geli.
"Hi hi hi... hi hi... Siapakah yang melarang orang jatuh cinta..? Apakah kalian ini istri-istrinya si Pemabuk Dermawan..?" Bertanya Roro.
Hampir berbareng keduanya menyahuti, "Kalau benar, mengapa kau tak lekas-lekas menyingkir..?" Tukas si baju ungu.
"Apakah mengandalkan nama besar yang cuma digembar-gemborkan pada cecunguk itu, telah membuat kau besar kepala..?! Dan lantas dengan seenaknya saja sambar kiri sambar kanan..? Huh! Benar-benar tak ada muka..!" Sambar si baju hijau yang rambutnya dikepang dua.
Roro terdiam sejenak seperti berfikir, sementara ia lihat Guriswara tengah menatap padanya. Tiba-tiba Roro Centil tersenyum dan kedipkan matanya pada si laki-laki berbaju mewah itu. Keruan saja kedua wanita itu jadi jengkel setengah mati.
"Heh! Sekarang aku tahu. Rupanya bukan gayung yang mendekati gentong air, tapi gentong air yang mendekati gayung. Pantas ia sampai melupakan kami berdua. Rupanya kau telah memeletnya..!" Berkata si baju hijau berkepang dua, dengan wajah semakin memerah.
Namun pada saat itu Roro Centil sudah berujar: "Sudahlah, kalau kalian menginginkan aku menyingkir. Akupun secepatnya akan pergi..!" Sambil berkata demikian Roro sudah langkahkan kaki untuk beranjak dari situ. Tak dikira kedua wanita itu telah membentak dengan garang.
"Tunggu..! Enak saja kau bicara! Sudah bertemu dan main mata pada laki orang mana bisa urusan bisa habis sampai disini..?!" Dan sekejap kedua wanita itu telah melorot senjatanya dari pinggang.
"Kami si Dua Dewi Kenari ingin mencoba kelihayan senjata si Rantai Genit, yang katanya kesohor itu..! Hi hi hi... Melihat dari sepasang senjatamu yang menggiurkan mata laki-laki itu, sudah dapat dipastikan kau seorang wanita kotor..!" Teriak si baju ungu yang telah putarkan senjatanya. Yaitu tiga buah roda bergigi sebesar piring yang amat tipis. Terbuat dari baja putih yang berkilat-kilat. Akan tetapi pada saat kata-kata si Dewi Kenari baru saja habis, telah terdengar makian dengan suara keras.
"Hai! Dewi Kenari! Apakah kalian berdua menganggap diri sendiri orang baik-baik, dan bukan orang kotor..?!" Teriakan itu dibarengi dengan munculnya sesosok tubuh yang berkelebat ketempat itu.
Kedua wanita ini melengak. dan palingkan kepala. Segera terlihat Warok Brengos, laki-laki brewok yang tadi berada di rumah makan. Ternyata ia telah juga menyusul sampai ketempat itu. Namun yang dipandang bahkan membuang muka, dan tampak terlihat tampilkan wajah girang melihat Roro Centil. seraya menjura dan ucapkan kata...
"Nona Pendekar Roro, sebaiknya tak usah mengotorkan tangan, meladeni manusia-manusia macam begini..!"
"Monyet sebrang pulau! Menyingkirlah kau...!" Teriak salah seorang dari Dewi Kenari. Dan bersamaan dengan bentakannya, sebuah kilatan menyambar kepala. Ternyata roda baja itu telah menyerangnya.
Trinngg...! Lengan Warok Brengos bergerak. Ia telah menangis dengan gagang pisau yang telah di cabutnya, seraya miringkan kepala ke samping. Senjata itu terhantam balik. Dan sekejap telah disambut kembali oleh si Dewi Kenari. Pada saat itu Roro Centil telah berkelebat sepuluh tumbak. Begitu akhirnya menginjak tanah, telah terdengar bentakan si Dewi Kenari, yang telah juga melesat untuk menyusul.
"Mau kemana kau Roro Centil! Hayo mengadu kekuatan denganku..!"
"Baik! Kalau kau memang menginginkan. Mana kawanmu? Bertarung melawan sebelah Dewi mana enak..! Bukankah kalian berjuluk Dua Dewi Kenari..?" Ujar Roro.
Seorang dari Dewi Kenari yang berkepang itu ternyata tengah menerjang pada Warok Brengos. Senjata yang dipergunakan adalah sebuah kipas baja, berujung runcing. Namun agaknya si Brewok enggan melayaninya. Hingga yang terlihat laki-laki itu cuma mengelak saja kesana-kemari. Hal demikian ternyata membuat si kepang dua yang bernama Sawur Seri itu jadi membentak keras. Gerakan kipasnya jadi semakin gencar.
Terpaksa Warok gunakan pisaunya untuk menangkis setiap serangan. Sementara Guriswara telah lenyap entah kemana. Pada saat itu si Dewi Kenari berbaju ungu yang bernama Kili Cantrik sudah menyerang Roro Centil dengan roda-roda bajanya. "Awas serangan..!" Bentaknya. Dan dua buah roda bergigi itu meluncur deras menyambar leher dan pinggang.
Wessss! Wessss!
Bersyiur angin tatkala kedua benda itu dapat dielakkan Roro, dengan sedikit mengegos miringkan tubuh. Tapi tak urung beberapa lembar rambut Roro terbabat putus. Terkejut juga si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Ia memang tak menyangka kalau roda-roda baja itu dapat terhalau. Adapun pukulan-pukulan tangan kosong si Dewi Kenari, sengaja ia papaki dengan mempergunakan sepertiga tenaga dalamnya untuk memapaki. Namun hal itu ternyata diluar dugaan membuat Roro terhuyung beberapa tindak.
"Hi hi hi... Baru sebelah Dewi saja kau sudah sempoyongan. Apalagi kalau kami maju bersama!" Berkata Kili Cantrik dengan jumawa. Sementara serangan-serangannya semakin gencar mengurung Roro.
Tapi diam-diam si Dewi Kenari ini terkejut dan kagum juga, karena tampaknya Roro Centil dengan mudah saja dapat mengelakkan serangan ganasnya. Tapi ia bergirang hati juga, karena tenaga dalam lawan berada dibawahnya. Berfikir Dewi Kenari.
"Ayo tunjukkan senjata Rantai Genit mu yang lucu itu. Apakah kau mampu menghalau seranganku..?" teriak Kili Cantrik.
Tiba-tiba Roro Centil melompat mundur tiga tombak. Sepasang matanya menatap tajam pada si Dewi Kenari. Otaknya bekerja cepat saat itu. Hm, jangan-jangan kejadian ini sudah diatur agar memperlambat tujuan ke Kuburan Kuno itu. Berfikir Roro. Karena sedari tadi tak menampak adanya Guriswara. Kalau ia berniat menyudahi pertarungan, dengan meninggalkannya... bisa saja ia perbuat. Tapi ia akan mencoba sampai dimana kesombongan si Dewi Kenari ini, dengan senjata Roda Bajanya. Saat itu Roro sudah berkata keras:
"Baik! Agar kau tidak menyesal dan penasaran, akan kupergunakan senjata si Rantai Genitku. Tapi dengarlah kata-kataku Dewi Kenari..! Aku bukan dari jenis manusia kotor seperti kalian!" Roro sudah meloloskan sebuah Rantai Genitnya, seraya berteriak: "Lihat serangan..!"
Dan tubuhnya telah berkelebat ke arah si Dewi Kenari. Sedang senjatanya diputar keras. hingga menimbulkan suara berdengung seperti ratusan tawon. Dewi Kenari agak terkesiap. Tapi segera lancarkan serangan kilat ke arah pinggang dan leher. Sedang satu lagi ia pakai menerjang maju. Sebelah lengan menghantam, sebelah lagi menyerang dengan senjatanya. Aneh akibatnya. Dua roda Baja itu seperti sehelai kertas melayang ke samping semua seperti berkejaran.
Dan terjangan Dewi Kenari menemui tempat kosong, karena dengan berteriak ke arah Roro kelebatkan tubuh. mengejar kedua roda. Dengan melangkahi kepala Dewi Kenari setinggi tiga tombak. Ternyata roda baja bergerak memutar kebelakang sang majikan. Namun sebelum si Dewi Kenari balikkan tubuh untuk menangkap. Roro Centil telah menghantam kedua benda itu dari atas.
Tiing! Tiing..! dan Bles!
Hampir berbareng kedua roda itu telah meluncur kebawah. Dan amblas kedalam tanah. Dewi Kenari balikkan tubuh, dan terkejutlah melihat senjatanya lenyap. Tiba-tiba ia melompat mundur lima tombak. Begitu menjejakkan kaki, ia segera berteriak:
"Sawur Sari..! Hayo kita pergi dari sini..!" Dan ia sudah mendahului berkelebat. Sawur Sari yang tengah menerjang Warok Brengos segera hentikan serangan. Dan berkelebat menyusul kakaknya.
Warok Brengos tatap kedua wanita itu yang berkelebat pergi. "Nona Roro...! Aiiih..!?" Teriak Warok Brengos terkejut. Karena batu saja ia menoleh. Ketika melihat ke arah Roro Centil, ternyata sudah tak ada ditempatnya lagi.
LIMA
"ROROOOOOOO...!" Suara itu terdengar dikejauhan lapat-lapat.
Roro kertak gigi untuk segera mempercepat larinya bagai terbang. Namun tetap saja ia tak mampu menyusul sosok tubuh itu, yang berkelebat cepat bagaikan melebihi kecepatan angin. Namun tetap Roro Centil semakin penasaran untuk menyusul. Aku tak boleh sampai kehilangan jejak..! Gumamnya mendesis. Beruntung ia telah mewarisi ilmu lari si Pendekar Bayangan Bayu Seta. Hingga tanpa rasa lelah, tubuhnya terus meluncur bagai enak panah mengejar sosok tubuh dihadapannya.
Ternyata dikala si Dewi Kenari melarikan diri, Roro Centil tak mau berlama-lama untuk segera meneruskan perjalanannya ke lereng Gunung. Mencari kuburan Kuno, seperti yang dikatakan Ginanjar dalam surat. Akan tetapi betapa terkejutnya Roro, ketika melihat pemuda itu tengah bertarung seru melawan seorang kakek tua renta, yang berpakaian mirip pengemis.
Roro tadinya berniat membantu pemuda itu, tapi segera ia urungkan. Karena sudah sejak lama sekali ia tak mengetahui, sampai dimana kemajuan ilmu kedigjayaan saudara seperguruannya itu. Sang kakek pengemis tua renta itu memakai jubah putih yang sudah bertambalan di sana-sini. Bahkan dibeberapa bagian telah sobek saking tuanya. Kelihatannya bagai orang yang tak bertenaga sama sekali.
Tapi ternyata mampu mengelakkan setiap serangan pedang Ginanjar. Bahkan jenggotnya yang putih memanjang terjuntai didagunya, dapat dibuat sebagai senjata. Karena sekonyong-konyong dapat menegang. Serta mampu menghantam balik pedang pemuda itu. Hebat! Memuji Roro dalam hati dari tempat persembunyiannya. Kini terlihatlah kehebatan permainan pedang Pendekar lereng Rogojembangan itu.
Roro menahan napas ketika melihat segulung sinar perak membungkus tubuh Ginanjar menjaga serangan si kakek pengemis yang telah pergunakan tiga batang lidi aren untuk menyerang lawan. Suara bersiutan terdengar semrawut mengacaukan telinga. Terlihat Ginanjar mulai terpengaruh oleh suara yang mengganggu itu. Tiba-tiba ia berteriak keras. Sebelah lengannya menghantam dada sang kakek. Dapat dipastikan dada yang tipis, dengan seketika akan remuk dihantam lengan kekar pemuda Ginanjar.
Namun aneh. Begitu menghantam dada, terdengar Ginanjar keluarkan keluhan. Sedang pedangnya yang telah siap membelah kepala lawan itu jadi berhenti ditengah jalan. Apa yang terjadi..? Kiranya tubuh Ginanjar telah berubah jadi kaku dengan posisi menyerang. Segera saja tubuh itu limbung untuk ambruk ke bumi. Roro Centil keluarkan teriakan tertahan dan melompat keluar. Namun bersamaan dengan bergeraknya tubuh Roro. Sang kakek telah menyambar tubuh pemuda itu. Dan sekejap telah berada di atas bahunya.
"Hm, kau pasti si Roro Centil, bocah Pantai Selatan itu...! Mengapa tak sedari tadi kau bantu kawanmu ini..?" Bertanya sang kakek tanpa palingkan kepalanya.
Terkejut Roro, belum melihat orangnya, tapi telah mengetahui siapa dirinya. Aneh..!? Menggumam Roro. Tapi ia sudah melompat untuk menghadang dihadapan pengemis itu. "Kakek pengemis..! Apakah kesalahannya maka ia kau totok sedemikian rupa ? Dan akan kau bawa ke mana dia..?!" Bentak Roro. Melihat sang kakek itu sudah mau angkat kaki.
Tapi sang kakek itu dengan wajah tak berubah telah menyahuti. "Huh! Apa perdulimu dengan segala urusanku? Apakah dia kekasihmu...? Mengapa kau begitu mengkhawatirkan sekali padanya..?" Tanya si kakek pengemis.
Seketika wajah Roro jadi berubah merah. "Dia... dia.. saudara seperguruanku! Mengapa kau harus melarangku, kalau aku mau mencegah mu untuk membawanya!?" Ujar Roro dengan wajah mengkal.
"He he he... Dia mau ku kawinkan dengan cucu perempuanku..! Nah! Kalau dia bukan kekasihmu, minggirlah! Beri aku jalan..!" Berkata si pengemis tua renta.
"Tidaaak! Aku tak mau kau kawinkan dengan cucu perempuanmu!! Lepaskan aku..!" Tiba-tiba Ginanjar berteriak. Namun tetap saja ia tak dapat bergeming sedikitpun.
Terkejut Roro Centil mendengarnya. Entah mengapa hatinya jadi seperti orang kehilangan. Dan detak jantungnya terasa berdegup lebih keras. Mau dikawinkan..? Sentak Roro dalam hati. Disamping agak lucu. tapi juga aneh. Pikirnya... Mengapa mau mengawinkan cucu orang harus memaksa orang untuk jadi menantunya..? Gila! Maki Roro di bathin.
"Roroooo..! Tolonglah kau bunuh pengemis bau ini! Aku tak mau kawin dengan cucu perempuannya. Bisa-bisa aku ketularan bau..!" Teriak Ginanjar lagi.
Dalam hati Roro agak geli juga mendengar ucapan Ginanjar. Tapi tampaknya pemuda itu benar-benar ketakutan sekali. Sang kakek tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh geli sekali. Hingga sampai tubuhnya terguncang guncang.
"He he he... he he... Cucu perempuanku cantik sekali. Dibanding dengan gadis didepanmu masih sebelas kali lebih cantik. Kalau masalah bau sih sudah umum. Pokoknya kau tak akan penasaran..!" Berkata sang kakek sambil kembali terkekeh-kekeh.
Panes hati Roro Centil. Wajahnya tampak semakin merah hingga melebihi merah bajunya. Tiba-tiba Roro gerakkan tangan bertolak pinggang seraya berkata keras dengan nada pedas. "He! Kakek tua renta yang sudah mau masuk liang kubur..! Apakah kau tidak dengar kalau dia tidak mau? Walau cucu perempuanmu cantiknya 212 kali lebih cantik dari diriku, kalau dia tetap tidak mau apakah harus kau paksa..?!"
Mendengar kata-kata Roro, Ginanjar berteriak lagi. "Bagus Roro, dia memang tidak tahu malu. Memaksa orang untuk kawin seenaknya. Aku tak akan pernah jatuh cinta pada gadis lain Roro..! Karena aku.. aku hanya mencintaimu..!"
"Hah..! ?" Tersentak Roro Centil mendengar kata-kata Ginanjar. Seketika wajahnya menjadi dingin bagai disiram air es. Tapi hatinya mendadak jadi bergemuruh tak keruan rasa. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sang kakek.
"Kurang ajar..! Kalau kau membandel akan ku biarkan tubuhmu kaku sampai 100 tahun. Nah minggirlah bocah Centil..! Aku tak dapat merobah keputusanku..!"
Sebelah lengan si kakek pengemis itu bergerak perlahan mendorong tubuh Roro. Tapi hebat akibatnya. Karena terdengar Roro Centil berseru kaget. Tubuhnya telah terdorong mental sampai sepuluh tombak. Dan bersamaan dengan itu, sang kakek telah berkelebat pergi dengan cepat sekali.
"Roroooooooo..!" Teriak Ginanjar, dalam dukungan si kakek pengemis. Namun tubuhnya telah di bawa berkelebat bagai anak panah, melesat semakin jauh. Terkesiap bukan main Roro melihat kejadian itu. Serta merta tanpa harus berfikir lagi, Roro Centil mengejar sang kakek berjenggot panjang itu.
Demikianlah! Hingga sampai Matahari condong ke sebelah barat, Roro tetap tak dapat menyusul si kakek pengemis itu. Yang jaraknya antara lima puluh tombak dihadapannya. Entah berapa bukit dan lereng Gunung telah terlewati. Namun sang kakek tidak juga memperlambat larinya. Dan Roro Centil tetap mengejar dibelakang. Tetapi pada sebuah lereng curam, di mana dibawahnya mengalir sungai yang lebar. Kakek pengemis itu menghentikan larinya. Bagus! Teriak Roro dalam hati. Dan menambah kecepatan, Roro berkelebat menyusul. Seraya berteriak.
"Kakek tua renta, akhirnya kau menyerah juga..!" Roro yang memang telah dapat menduga, pasti sang kakek pengemis itu berhenti. Karena sungai lebar telah berada didepan mata, dengan tepiannya yang curam. Sungai dihadapan itu adalah terusan sungai yang tadi telah dilewati.
Akan tetapi betapa terkejutnya Roro. Karena tahu-tahu bagaikan terbang tubuh si kakek kurus itu melayang dari atas tebing curam itu bagaikan seekor burung saja. Ringan bagaikan sehelai bulu. Dan hinggap diseberang dengan selamat. Begitu tubuh Roro melesat ketempat itu. Ia hanya dapati tempat yang kosong.
"Heh heh heh... Ayo susul kemari! Masa murid si Manusia Aneh Pantai Selatan tak mampu untuk terbang...?" Ejek si kakek pengemis, di sisi seberang tebing.
Wajah Roro tampak merah padam. Dipandangnya kebawah, dimana air sungai deras mengalir. Dan tak jauh dari kakinya terdengar suara bergemuruh tak hentinya. Kiranya air sungai itu meluncur deras kebawah ketempat yang makin curam. Air terjun..!? Desis Roro terkejut. Ketika ia pandang ke seberang, ternyata tubuh sang kakek telah tak kelihatan lagi.
"Mampukah aku "terbang" kesana...?" Berkata Roro pada dirinya sendiri. Murid si manusia Banci dari Pantai Selatan ini sejenak tercenung. Tapi tiba-tiba tertawa mengikik geli sekali. "Hi hi hi... dasar bocah tolol...!" Roro memaki dirinya sendiri.
Dan tiba-tiba tubuh Roro Centil telah melayang "terbang" keseberang sungai yang bergaris tengah kurang lebih delapan puluh tombak itu. Akan tetapi baru sampai sepertiganya, atau kira-kira 50 tombak. tenaga lompatan Roro mengendur. Dan tak ampun lagi melayanglah tubuh sang Pendekar Wanita ini kebawah, yang berkedalaman 100 kaki dari atas tebing. Dalam beberapa kali putaran tubuh di udara itu segera sesaat lagi tubuh Roro yang meluncur deras itu akan terbenam menghantam ke permukaan air sungai.
Byuuuuurrr...! Air menyemburat keras ke atas. Menyibak permukaan dengan menimbulkan gelombang dahsyat. Tubuh Roro terdorong balik ke atas. Pada saat itulah Roro gunakan tenaga letikan tubuhnya untuk mengarah keseberang. Dengan beberapa kali berjumpalitan diudara, ia akan segera tiba diseberang dengan selamat. Akan tetapi tiba-tiba angin dahsyat telah menghantam tubuhnya hingga kembali ke tengah dan meluncur kebawah dengan deras.
Hantaman itu telah membuat seketika tulang persendian tubuhnya menjadi lemas. Apa lagi ia telah mengeluarkan hampir seluruh tenaga dalamnya menghantam permukaan air. Hingga Roro tak tahu lagi ia melayang kemana. Tahu-tahu terasa tubuhnya sudah amblas kedalam air. Dan suara mengguruh itu sekonyong-konyong lenyap. Air sungai yang deras itu sekejap saja telah menyeret tubuhnya masuk ke dalam air terjun tanpa dapat di cegah lagi.
Sekejap saja tubuh sang Pendekar Pantai Selatan itu sudah tak kelihatan muncul lagi dipermukaan air di bawah sana. Sementara gemuruh air terjun tak putus-putusnya mengguruh bagai suara angin Saloka. Dan diantara suara gemuruh air terjun itu lapat-lapat terdengar suara tertawa melengking tinggi. Tertawa puas atas kemenangannya.
"Hi hi hi... hi hi... Mampuslah kau Roro Centil! Kini julukan Pendekar Wanita Pantai Selatan telah lenyap..! Tak ada lagi wanita yang akan menyaingi diriku..! Hi hi hi..."
Dan sesosok tubuh tersembul dari balik batu di atas tebing. Seorang wanita berbaju hitam dengan simbul tengkorak didada, melihat kebawah tebing dimana air terjun mengalir deras di bawahnya. Sebuah Tombak berwarna hitam tergenggam ditangannya. Kembali si wanita tertawa gelak-gelak diiringi katakata, mendesis dari mulutnya.
"Hihi.. hihi.. hi hi... Dengan tombak Ratu Sima di tanganku ini, aku pasti akan dapat menjadi Ketua Kaum Rimba Persilatan. Benda ini memang lebih cocok berada ditangan wanita seperti aku. Dan nama besar Dewi Tengkorak akan menjulang tinggi di mata kaum rimba hijau..!"
Selesai berkata ia telah tancapkan benda itu di sisinya. Sementara tangannya bertolak pinggang menatap air terjun yang mengguruh dibawahnya. Seperti juga masih belum puas untuk melihat tempat kematian sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Terdengar ia menggumam perlahan.
"Hm. jurus pukulan yang telah kupergunakan adalah jurus ke sembilan dari 10 Jurus Pukulan Kematian si Dewa Tengkorak bekas suamiku..! Walaupun ilmunya setinggi langit, tak nantinya ia dapat lolos dari kematian..!" Terdengar si wanita menghela napas lega. Tapi baru saja ia mau beranjak untuk meninggalkan tempat itu.
"Oh... Saraswati..! Kucari-cari kemana saja kau istriku..? Sebulan penuh aku rindu setengah mati. Sampai tidur susah, karena belum mengantuk. Dan makanpun tidak kepingin, karena belum lapar...! Kau baik-baik saja istriku...?"
Suara itu munculnya dari sesosok tubuh yang muncul dibelakang si Dewi Tengkorak. Secepat kilat si wanita telah balikkan tubuhnya. Dan segera terlihat seorang laki-laki ganteng berusia antara dua puluh enam tahun. Tengah mendatangi dengan langkah lebar. Di bibirnya yang terbuka itu tampak sebaris gigi yang putih rata. Ah...? Benar-benar seorang laki-laki yang tampan. Membisik dihati si Dewi Tengkorak. Tapi aneh sekali, mengapa ia memanggilku Saraswati dan menganggapku istrinya???
Aneh! Apakah wajahku mirip dengan istrinya itu..? Pikir si wanita. Tapi dengan sekali bergerak, ia telah tiba dihadapan pemuda itu. terdengar bentakan dari mulutnya, "Pemuda sinting..! Aku bukan istrimu..!"
Tombaknya meluncur deras ke arah leher pemuda itu. Akan tetapi sedikitpun pemuda itu tak menggerakkan tubuhnya untuk mengelak. Membuat si Dewi Tengkorak terkesiap. Dan sebelum ujung tombak itu menembus kulit leher orang, tiba-tiba ia telah menahannya kembali. Tampak si Dewi Tengkorak kerutkan keningnya. Sedangkan si pemuda dihadapannya cuma tertawa.
"Ha ha ha... Adatmu masih saja tak berubah Saraswati. Walau tubuhku hancur luluhpun aku akan tetap mencintaimu sampai dilobang kubur. Tapi aku sudah tahu isi hatimu. Tak mungkin kau tega membunuhku. Kau hanya pura-pura saja!" Berkata si pemuda.
Makin terngangalah mulut si Dewi Tengkorak. Yang memang sejak tadi telah terbuka bibirnya. "Eh, pemuda gagah..! Siapakah namamu? Bukalah kedua matamu lebar-lebar. Aku bukan istrimu. Aku si Dewi Tengkorak, bukan Saraswati..!" Teriak si wanita dengan dada agak tergetar. Tatapan mata pemuda dihadapannya itu benar-benar menaklukan hatinya. Akan tetapi jawabannya benar-benar membuat ia tak bisa bicara apa-apa.
"Ha ha ha... Saraswati! Walau seribu kali kau berganti nama, dan seribu kali kau mau menipuku, kau tetaplah Saraswati. Sudahlah sayang... Lupakan peristiwa lalu. Wajahmu yang ayu itu tak akan dapat menipuku. Mana bisa kau katakan kau Dewi Tengkorak, atau peri marakahyangan segala..?Aku sudah tak kuat menanggung rindu..."
Dan tiba-tiba sebelum Dewi Tengkorak menyadari akan apa yang bakal terjadi, lengan pemuda itu telah menyambar tubuhnya. Dan sebentar saja telah berada dalam pondongan pemuda aneh itu. Tadinya si Dewi Tengkorak mau berontak, tapi getaran hatinya telah mengalahkan semuanya. Apa lagi tahu-tahu sepasang bibirnya telah disergap cepat oleh si pemuda. Dan dilumat sampai ia megap-megap. Hawa rangsangan yang sudah terpendam sejak tadi itu segera saja ia salurkan. Dan iapun kembali balas melumat sampai terpejam matanya karena nikmat.
ENAM
Mengguruhnya suara air terjun yang tak hentinya itu menimbulkan gelombang besar di bawah sana. Dimana tubuh Roro Centil terjerumus dalam keadaan mengkhawatirkan. Karena hantaman angin pukulan yang dilancarkan si Dewi Tengkorak, telah membuat tubuhnya lemas. Seluruh persendian tubuhnya lemah tak bertenaga. Hingga tanpa ampun ia terbenam dalam air yang bergulung-gulung. Dalam keadaan dibawa pusaran air itu, Roro benar-benar tak berdaya.
Saat kematian telah terpampang di depan matanya. Pada saat itulah Roro teringat pada kisah yang ia alami empat tahun yang lalu. Dimana ia juga mengalami hal yang serupa. Yaitu megap-megap di dalam air. Dihempas gelombang dahsyat, di pantai Laut Kidul. Dimana ombak Pantai Selatan telah menggulung tubuhnya, saat ia terjatuh dari atas tebing karang.
Seketika membersit di hatinya, untuk berpantang mati sebelum ajal. Ia harus berusaha menentang renggutan maut sebelum kasip. Segera ia salurkan tenaga dalamnya dengan seksama keseluruh anggota tubuh. Walau tiga-empat teguk air telah masuk ketenggorokannya. Sedapat mungkin ia menahan pernapasannya agar tidak menghirup air. Hingga dadanya terasa mau meledak. Gelembung-gelembung air mulai keluar dari mulutnya. Terpaksa ia menelan lagi dua teguk air.
Tapi ia telah berhasil memulihkan lagi kekuatan tubuhnya. Dan dengan semangat baja ia telah enjot tubuhnya untuk melambung ke atas permukaan. Akhirnya tersembul juga Roro ke atas permukaan air bergelombang itu. Segera ia tarik napas dalam-dalam. Lega nian perasaannya. Kesegaran kembali timbul. Dadanya yang sasak itu telah lenyap seketika. Dan berenanglah Roro Centil menepi, terbawa hanyut agak ke hilir. Disana ia menemukan tempat yang dangkal. Segera ia tiba ke darat.
Tampak Roro Centil duduk bersila di atas batu. Menyempurnakan kekuatannya dengan bantuan tenaga dalam. Hingga selang beberapa saat seluruh kekuatannya telah kembali pulih seperti sedia kala. Roro bangkit berdiri. Dan tatap sekelilingnya. Gemuruh air terjun itu masih terdengar. Dan memang tidak begitu jauh. Terpaan angin dari arah bukit itu membuat bajunya berkibaran. Ternyata pakaiannya juga telah kembali kering. Bersamaan dengan kepulihan kekuatan tubuhnya.
Roro pandang air dihadapannya yang mengalir deras. Seolah-olah terbayanglah kembali air gelombang Pantai Selatan dihadapannya. Tiba-tiba bibirnya tampakkan senyumannya. Wajahnya berubah cerah, bagaikan sekuntum bunga mawar dipagi hari. Dan saat itu juga ia telah melesat ke tengah sungai, diiringi suara tertawa geli. Yang selanjutnya bagaikan seorang Peri, Roro berlari-lari di atas air. Kembali menuju ke hulu sungai.
Sepasang kakinya cuma sekali sekali menginjak permukaan air dibarengi dengan berkelebatnya tubuh sang dara, yang melompat-lompat dengan gerakan ringan bagai sehelai daun. Ketika tiba dekat air terjun itu. Roro Centil membelok kesisi. Dari sana ia segera meniti tebing batu untuk naik ke atas. Dan selang beberapa saat antaranya ia telah kembali tiba di atas tebing. Suasana tampak lengang. Hanya gemuruh air terjun itu saja yang terdengar dibawahnya.
"Heh! Siapakah yang telah membokongku itu...? Apakah si kakek pengemis? Tapi suara tertawa seorang wanita ada kudengar. Apakah yang menyerangku itu cucu perempuannya si kakek pengemis itu..." Menggumam Roro. Sementara pandangan matanya menatap ke beberapa arah. Dan dilain kejap, ia telah gerakkan tubuhnya untuk melesat kesatu arah dihadapannya.
Saat itu senja menyelimuti alam sekitarnya. Desah angin semilir yang menerjang daun-daun beringin yang tak begitu tinggi, membuat hawa sejuk menyentuh kulit. Sementara sang Mentari, tampak malu-malu mengintip dari celah-celah dedaunan. Dikejauhan terdengar suara Tekukur, yang sekali sekali menyibak kelengangan.
Namun semua itu tak mengusik kedua insan berlainan jenis yang tengah menikmati indahnya alam. Gemuruh air terjun cuma samar-samar terdengar di kejauhan. Yang sesekali tersamar dengan keluhan seekor kerbau milik petani, di lereng bukit.
Sementara si empunya kebun, tengah menancapkan sebuah tonggak kayu yang roboh itu. Serta menekannya perlahan-lahan. Kembali terdengar lenguh sang kerbau. Lalu miringkan tubuhnya. Kemudian diam untuk tidur meram. Dengan dengus napasnya seperti saling sahut-sahutan.
Roro Centil berdiri bertolak pinggang. Sebentar-sebentar ia palingkan kepala, tapi tatapannya tak pernah lepas dari hadapannya. Walaupun wajahnya sebentar merah sebentar kembali memutih. Tempat itu memang tak berapa jauh dari tebing. Dari telapak kaki yang masih ada bekas-bekasnya, ia dapat mengetahui. kalau tak jauh dari situ ada dua manusia yang menyembunyikan diri dibalik semak. Dibawah pohon yang rindang.
" Aku harus tahu siapa kedua kunyuk yang berada di bawah pohon itu..!" Berfikir Roro Walaupun yang tampak hanyalah dua pasang kaki yang saling tumpang tindih. Namun cukup untuk membuat wajahnya jadi terasa panas, seperti dipanggang matahari sore. Tapi sepasang matanya jadi terbeliak lebar, karena sebuah benda hitam panjang itu seperti mengingatkannya pada Pantai Selatan.
"Ah. itukah Tombak Pusaka Ratu Sima milik si Dewa Tengkorak...?" Mendesis keluar suara dari mulutnya tanpa disadari.
Saat itulah kedua manusia dibalik semak itu saling berlompatan keluar. Masing-masing bergerak untuk menyambar pakaiannya. Tapi Roro memanglah Roro yang berwatak aneh. Sekali lengannya bergerak maka melayanglah tumpukan pakaian itu untuk terbang jauh. Dan menyangsang dibeberapa ranting pohon yang tinggi. Kedua manusia itu saling tatap. Dan alihkan pandangan pada Roro Centil yang cuma senyum sinis menatap mereka. Bahkan begitu lihat tampang si laki-laki, segera terdengar suara tertawanya yang mengikik geli.
"Hi hi hi... Kiranya sobat Joko Sangit! Apakah kau juga akan mengatakan wanita itu istrimu..?" Bertanya Roro Centil. Adapun matanya tak lepas dari tombak hitam yang tertancap itu.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa si laki-laki. begitu lihat siapa dihadapannya. Dan sekonyong-konyong tubuhnya meluncur "terbang" keudara. Dengan sekali berjumpalitan, ia telah tiba didahan pohon. Dan selanjutnya telah menyambar kembali pakaiannya. Sekejap ia telah melayang turun, dan lenyap dibalik semak.
Diam-diam Roro memuji kehebatan ilmu lompat Joko Sangit. Tapi ketika ia berpaling ke arah si Dewi Tengkorak, ternyata wanita itu telah berkelebat pergi menyelinap kebalik pohon dengan menyambar cepat tombak hitamnya. Roro keluarkan dengusan dihidung. Dan gerakkan tubuh untuk menyusulnya.
"He! Pencuri..! Kembalikan tombak Pusaka itu..! Dan kau harus ceritakan darimana kau perolehnya..!" Bentak Roro sambil berkelebat.
Akan tetapi jawabannya adalah sebuah hantaman itu amat serupa dengan hantaman yang membuat tubuhnya terlempar ke air terjun. Ia segera bergerak untuk mengelak. Dua batang pohon sebesar paha dibelakangnya, roboh kena hantaman angin pukulan dahsyat itu. Tak pelak lagi, pastilah wanita ini yang telah mencelakaiku! Sentak Roro dihati. Kasihan wanita itu.
Tampaknya ia serba salah karena tak dapat berdiri bebas dihadapan sang lawan. Karena harus menutupi bagian-bagian tubuh tertentunya. Akan tetapi Roro Centil mana mau perduli? Pendekar aneh ini lebih mengkhawatirkan nasib gurunya, Si Manusia Aneh Pantai Selatan. Yang telah menutup diri di ruang Gua didasar tebing karang, Tiba-tiba ia telah membentak,
"Hei! Manusia tengik! Apa yang kau lakukan terhadap Guruku. Dan dari mana kau peroleh benda itu..? Hmm... Kau rupanya yang telah membokongku, ya..? Bagus! Kini dapat kau rasakan pembalasan dari ku! Namun aku takkan membunuhmu sebelum kau terangkan dulu apa yang telah terjadi..!"
Setelah berfikir sejenak, rupanya si Dewi Tengkorak mulai berani untuk berdiri bebas tanpa harus malu-malu lagi. Keselamatan jiwanya adalah lebih penting...! Dan dihadapan manusia sejenis, mengapa harus ragu-ragu atau malu segala, pikirnya. Segera ia lintangkan tombak hitam di depan dada. Wajahnya tampilkan rasa benci yang mendalam pada Roro. Dan ia sudah berkata dengan lantang.
"Huh! Roro Centil...! Mengapa kau tuduh aku pencuri..? Benda ini adalah milik suamiku si Dewa Tengkorak. Yang kudengar dari sementara orang, adalah kematiannya ditangan Gurumu si Manusia Aneh Pantai Selatan. Karena manusia banci itu memang tergila-gila pada lelaki milikku itu. Tapi tak mendapat sambutan si Dewa Tengkorak! Apakah dapat disalahkan kalau aku membalas dendam..? Dan kau murid si banci tak tahu malu itu memang telah lama aku mencarimu, untuk melenyapkannya dari dunia ini. Dan nama Dewi Tengkorak yang akan kembali tegak di permukaan bumi ini. Menghapus nama besarmu selama ini...! Sambungnya lagi.
Sampai disini Roro tak dapat menahan getaran hatinya untuk bertanya dengan wajah pucat pias. "Jadi... Kau telah membunuhnya...?" Teriak Roro.
"Hihi..hihi... hi hi.. Bukan saja kubunuh mampus orangnya. Tapi juga telah kurampas lagi benda pusaka ini! Dan perlu kau ketahui... Ilmu-ilmu sakti dari dalam tombak hitam inipun telah berhasil kupelajari dan ku kuasai sepenuhnya..!"
Terkesiap Roro Centil. Entah mengapa sekonyong-konyong terdengar jeritan melengking tinggi, mengumandang ke udara keluar dari mulutnya. Lengkingan dari pedihnya hati yang tiada terkira. Karena Gurunya yang amat dicintainya itu, didengarnya telah tewas oleh manusia dihadapannya. Hebat teriakan melengking panjang itu. karena si Dewi Tengkorak harus menutup telinga kalau tak mau pecah gendang telinga yang dimilikinya.
Suasana kembali lengang. Dan tampak sang Pendekar Wanita tertunduk layu menatap bumi. Beberapa tetes air bening meluncur turun mengenai ujung jari kakinya. Akan tetapi pada saat itu. bersyiur angin deras menyambar kepalanya. Ternyata si Dewi Tengkorak telah lancarkan serangan ganas. Tombak hitamnya hanya beberapa senti lagi di atas kepala.
Plak...! Roro Centil telah menghantamkan telapak tangannya dengan tenaga dalam yang hampir separuh ia salurkan. Hebat akibatnya. Karena tampak si Dewi Tengkorak berteriak tertahan. Tubuhnya terbawa memutar beberapa kali. Walaupun benda itu tak terlepas dari tangannya, namun telapak tangannya telah mengeluarkan darah.
"Kurang ajar...!" Teriak si Dewi Tengkorak. Namun ia jadi terkejut karena sang lawan tak berada lagi di hadapannya.
Tiba-tiba terdengar suara mengikik seram di sekelilingnya. Terlihat bayangan merah jambu berkelebatan mengelilinginya. Namun sama sekali ia tak dapat melihat bentuk tubuhnya. Sedangkan suara tertawa mengikik menyeramkan itu bagai mendesingdesing di daun telinganya. Entah mengapa tiba-tiba terasa gentar hati si Dewi Tengkorak.
Detak jantungnya semakin cepat. Seirama dengan putaran kelebatan bayangan merah jambu yang juga semakin lama semakin cepat. Dalam keadaan panik itu, ia telah lancarkan serangan semuanya. Berserabutan, menghajar si bayangan. Hingga bertumbangan pohon-pohon sebesar betis dan paha di sekelilingnya. Ketika tiba-tiba.
Plak...! Lengannya tergetar hebat. Dan tombak pusaka itu telah terpental jauh menancap di sebatang pohon. Terkejut bukan main Dewi Tengkorak. Baru saja ia gerakkan tubuh untuk menyambarnya. sekelebat bayangan merah jambu itu telah mendahului menyambar benda pusaka itu. Segera ia hantamkan telapak tangannya. Namun cuma mengenai tempat kosong. Dan terdengar suara sesaat antaranya, ketika dengan gerakan ringan Roro Centil jejakkan kaki tak jauh di hadapannya.
"Hi hi hi.. Benda ini tak boleh jatuh ke tangan siapa-siapa...! Ia milik Guruku.!" Berkata Roro. Yang tampak wajahnya seperti orang bangun tidur. Rambutnya telah awut awutan. Sepasang matanya tampak sayu. Dan senyumnya adalah senyum yang menggiriskan hati. Karena ternyata Roro tampak seperti orang yang kurang waras. Pipinya bersimbah air mata. Namun bibirnya tersenyum.
Tampak aneh dan membuat orang akan takut, karena mirip orang yang kesurupan. Dewi Tengkorak mundur dua tindak, ketika dengan tubuh terhuyung sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu melangkah ke depan. Angin senja bersyiur agak keras, membuat rambut Roro menyibak berseliweran didahinya. Roro memang tidak dapat dikatakan gadis yang lugu dan ayu lagi saat itu. Karena ia memang amat mirip dengan hantu perempuan yang cantik. Namun amat menyeramkan.
Bahkan ketika melangkah lagi untuk mendekati si Dewi Tengkorak, tubuhnya bergoyang-goyang bagai hantu arwah. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh si wanita itu. Entah mengapa ia jadi gentar. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangannya saja, terasa kaku bagai terbelenggu. Pada saat itulah berkelebat bayangan putih. Yang segera jejakkan kaki tiga tombak di sebelah kiri Roro. Ternyata Joko Sangit. Kiranya sejak tadi ia telah mengikuti jalannya pertarungan. Tampaknya ia amat mengkhawatirkan keadaan Roro Centil.
"Roro... Kau telah terluka dalam! Berikanlah tombak pusaka itu padaku. Benda itu memang tak boleh jatuh ketangan siapa-siapa. Aku akan memberikannya pada Baginda Raja Kerajaan Medang. Karena Sudah sepatutnya benda bersejarah itu menjadi milik Kerajaan...! Percayalah! Walau kelakuan ku jelek, yang suka main perempuan. Tapi aku tak dapat untuk berbuat kejahatan lain. Aku selalu menghormatimu sampai kapanpun. Berikanlah padaku Roro... Kelak bila sudah beres urusan di puncak Mahameru, aku punya banyak kisah yang menarik untuk kau dengarkan..!" Berkata Joko Sangit dengan lemah lembut.
Tampak Roro Centil mengerutkan alisnya. Lalu tertawa. "Apakah kau akan berikan lagi pada istrimu? Atau untuk kau kangkangi sendiri benda ini.." Bertanya Roro tanpa palingkan kepala.
"Ha ha ha... Joko Sangit tidak kemaruk pada segala macam pusaka! Mengenai istriku ini. terserahlah kalau kau mau bikin mampus! Mana aku sudi menolonginya." Berkata Joko Sangit, sambil tersenyum pada si Dewi Tengkorak, yang tampak plototkan mata saking gusarnya.
Ternyata ia benar-benar telah kena dikibuli si laki-laki ganteng bernama Joko Sangit itu. Hingga ia mau menyerahkan tubuhnya bulat-bulat. Tapi siapa mau salahkan? Karena ia juga mau. Mendengar kata-kata itu Roro Centil tertawa mengikik, hingga sampai tubuhnya terguncang-guncang. Bahkan sampai-sampai Joko Sangit mundur beberapa langkah. Gentar juga hatinya melihat Roro, yang seperti setan perempuan dengan wajah beku bagai es. Dan rambut yang beriapan.
Roro memang telah bagaikan seorang yang tidak waras. Tiba-tiba Sang Pendekar Wanita ini perdengarkan. teriakan melengking panjang. Membuat si Dewi Tengkorak terperangah. Tubuhnya yang tanpa busana itu tergetar hebat. Tapi ia tak berusaha menutupi telinganya. Karana getaran suara itu telah menggetarkan jantungnya. Hingga serasa hilang sukmanya tanpa ia tahu harus berbuat apa.
Dan pada saat itulah Roro Centil telah pentangkan sepuluh jari tangannya. Menghantam ke depan. Bagai dihempas angin taufan yang amat dahsyat. terdengar teriakan tertahan si Dewi Tengkorak ketika tahu-tahu tubuhnya terpental ke belakang lima tombak.
"Buk...! Tubuh bugil itu meluncur deras menghantam batang pohon di belakangnya, dengan kaki terpentang ke atas. Dan pada detik itu juga. Meluncur deras sebuah benda hitam panjang ke arah si Dewi Tengkorak.
Jrot...! Terdengar pekik panjang mengerikan, ketika tombak pusaka Ratu Sima yang meluncur deras itu, telah menancap tepat di pangkal paha si Dewi Tengkorak.
Joko Sangit cuma bisa menatap dengan mulut ternganga. Kejadian itu begitu cepat. Dan di luar dugaan sama sekali. Ketika ia berpaling ke arah Roro Centil, ia hanya dapat melihat berkelebatnya bayangan merah jambu. Yang dalam beberapa kejap saja telah lenyap di kesamaran senja yang temaram.. Namun lapat-lapat masih terdengar suara di telinganya yang dibarengi dengan gelak tertawa cekikikan yang membangunkan bulu roma.
"Hi hi hi... hi hi... Silahkan kau bawa tombak Pusaka itu. Joko Sangit! Tapi kalau kau coba-coba mendustaiku, jangan harap aku akan membiarkan dirimu bergentayangan lagi di muka bumi ini..! Dan jangan anggap lagi aku sahabatmu..."
Joko Sangit terpaku tak bergeming ditempatnya. Sukmanya seolah terbawa, dengan kepergian si Pendekar Wanita Roro Centil. Yang tak dapat dipastikan apakah ia sudah menjadi orang yang tidak waras lagi. Selang sesaat terdengar laki-laki itu menarik napas panjang. Seolah baru saja terlepas dari amukan prahara badai taufan yang menyesakkan dada.
Ketika ia palingkan wajah ke arah si Dewi Tengkorak, seketika bergidik tubuhnya. Karena tubuh wanita bugil itu masih tergantung menempel dibatang pohon, disangga tombak pusaka yang telah memakunya di situ. Sedangkan posisi tubuhnya masih tetap seperti tadi, yaitu dengan keadaan kaki terentang.
Sementara darah kental merembes turun dari sela-sela yang telah tertutup rapat oleh batang tombak hitam. Walaupun seketika wajah Joko Sangit agak memerah, dan terasa panas, namun diam-diam ia ngeri juga dibuatnya. Di samping ia agak bingung dengan cara bagaimana ia mencabut benda pusaka yang menancap begitu..?
TUJUH
"ROROOOOOOOOO..! Tolonglah aku... Bebaskan aku. Bunuh si kakek pengemis bau ini! Aku tak mau kawin dengan anak gadisnya. Aku tak akan mau kawin dengan siapapun kalau tidak denganmu, Roro..! Aku telah lama mencintaimu..." Ginanjar berteriak-teriak kalap. Tangan dan kakinya bergerak-gerak menghantam kiri dan kanan.
Akan tetapi amat kasihan bila melihatnya. Karena ia cuma bisa gerakkan ibu jari kaki dan tangannya saja. Sedangkan dalam bayangannya, ia telah mengamuk dan meronta dengan hebat. Pemuda itu terbaring pada sebuah pembaringan dari batu beralas rumput kering dan jerami. Di atas sehelai tikar yang sudah lusuh. Matahari yang tersembul dari balik bukit itu cuma mampu pancarkan sinar menembus langit-langit kamar. Dan menerangi sedikit bagian dalam ruangan Goa yang tersembunyi itu.
Mulut Goa yang cuma sedikit menganga itu agaknya pintu masuk dari luar. Tapi di bagian sebelah dalam, setelah melewati lorong yang hanya muat untuk satu tubuh manusia, terdapat ruangan yang luas. Bahkan disini udara masuk cukup banyak. Karena tiga buah lubang agak besar, menganga di setiap dindingnya. Kalau kita coba melongok keluar lubang, akan ngeri melihatnya. Karena di bawah sana adalah jurang yang amat dalam sekali.
Goa itu ternyata terletak di lereng tebing curam. Untuk mendatangi Goa itu, tentu saja amat sulit bagi manusia biasa. Atau bahkan orang yang ilmunya belum mencapai tingkat tinggi, tak akan mampu merayap kesana. Namun aneh... si pemuda Ginanjar itu ternyata telah berada di dalam Goa misterius tersebut. Siapa lagi yang membawanya kalau bukan si kakek pengemis aneh itu.
Tebing terjal itu memang amat curam, dengan di kiri dan kanannya jurang luas yang dalam terbentang luas. Burung-burung walet tampak berbondong-bondong keluar dari lubang-lubang batu tebing. Suaranya riuh bercicitan. Sedang di lubang lain binatangbinatang ini berseliweran keluar masuk lubang dengan suara berisik. Ketika mendengar suara teriakan pemuda itu, sesosok tubuh julurkan kepalanya dari sebuah. Dan terdengar suaranya,
"Eh, bocah bandel! Kalau kau mau bersabar, aku akan lepaskan kau..! Tapi kalau kau sanggup menerima syaratnya!"
Ginanjar berhenti berteriak. Katakata itu terdengar bagai mendengung di telinganya. Ketika ia membuka matanya, ia bagaikan orang linglung. Karena sama sekali ia tak mengetahui ada di mana. Ternyata ia telah mengigau. Karana barusan saja ia terbangun dari tidurnya setelah semalam suntuk ia terbaring di pembaringan itu. Keringatnya mengucur deras dari dahinya. Setelah memulihkan ingatannya, Ginanjar menyahuti,
"Berikan syaratnya kakek pengemis. Aku pasti akan laksanakan, asal tak kau kawinkan aku dengan cucu perempuanmu!" Teriak Ginanjar.
Akan tetapi terdengar suara tertawa si kakek geli sekali, terkekeh-kekeh. "He he heh heh heh. he he... Siapa yang punya cucu perempuan? Kalaupun ada tak nantinya ku kawinkan denganmu. Tapi kau tetap takkan kubebaskan sebelum kau penuhi janjimu..! Berkata si kakek.
Mendengar kata-kata itu terbeliak sepasang mata Ginanjar. Karena ternyata sang kakek aneh itu cuma bergurau saja. Siapakah gerangan kakek aneh yang berilmu tinggi itu..? Berfikir Ginanjar dengan sejuta pertanyaan di benaknya. Tetapi diam-diam ia berdoa semoga si kakek itu bukan tokoh dari golongan jahat.
* * * * * * *
Beberapa pekan berlalu sudah... Puncak Mahameru telah banyak didatangi tokoh-tokoh persilatan dari berbagai pelosok. Mereka belum berkumpul semua di atas puncak yang terasa berhawa panas itu. Yang ditimbulkan dari hawa kawah itu Beberapa kelompok tampak membuat tenda-tenda atau tempat bermalam, di lereng-lereng gunung. Tentu saja tidak semua dari mereka itu datang hanya untuk menonton jalannya pertandingan. Apalagi undangan itu datangnya tidak resmi. Dan tak diketahui siapa yang telah mengundangnya.
Akan tetapi. tetap saja banyak yang datang, karena disamping ingin mengetahui siapa gerangan manusia yang telah bermulut besar itu. Yang dengan berani, telah menyelenggarakan pertemuan besar yang aneh itu. Juga kedatangan mereka adalah mencari tahu tentang Ketua Rimba Hijau Ki Dharma Tungga. Yang tak ada kabar beritanya sejak beberapa tahun belakangan ini.
Bahkan menurut perkiraan beberapa tokoh tua kaum persilatan yang sudah mengundurkan diri dari dunia Rimba Hijau, bahwa masa jabatan Ketua Ki Dharma Tungga masih belum habis. Dan segala sesuatunya haruslah seizin, atau sepengetahuan sang Ketua atau wakil darinya. Yang tentunya akan diadakan pertemuan diantara para tokoh penting, bilamana ada sesuatu perubahan mengenai hal-hal memilih ketua baru sebelumnya.
Tapi hal seperti ini adalah benar-benar keterlaluan. Bahkan mengenai siapa yang telah menyelenggarakan upacara saja, tak diketahui. Sebenarnya untuk tidak datangpun tak ada persoalan. Karena siapa tahu kalau hal itu adalah untuk memancing kekacauan belaka. Namun sebagai kaum Rimba Hijau, yang amat peka dengan segala sesuatu kejadian aneh. Membuat banyak juga yang berdatangan ke puncak Mahameru.
Ternyata pada puncak gunung itu, di lereng kawah ada terdapat tanah rata. Dimana di sekelilingnya telah tertancap tonggaktonggak kayu yang berbentuk melingkar. Walaupun tak ada tanda-tanda bendera atau lambang. Namun mereka dapat memastikan akan terbukti juga bahwa si pengundang itu tidak main-main. Karena telah menyediakan tempatnya. Atau arena untuk suatu pertarungan.
Perhitungan waktu yang ditetapkan adalah dengan melihat bulan. Dimana di saat munculnya selarik garis dilangit. Menandakan itulah waktunya diadakan pertandingan untuk menentukan calon Ketua. Dan sebelum masa bulan muncul itu, mereka harus sudah berkumpul. Pertarungan cuma diadakan satu pekan. Bila lewat waktu yang ditentukan, maka pemilihan ketua telah berakhir.
Saat waktu yang ditentukan tinggal tiga hari lagi. Semua kaum persilatan yang datang, menanti dengan hati berdebar. Ingin sekali mereka melihat siapa gerangan tokoh Rimba Hijau. yang telah berani sembrono untuk mengadakan penyelenggaraan pertemuan besar-besaran yang misterius itu.
Namun dihari berikut, di saat waktu tinggal dua hari lagi. Menjelang pagi, telah tertancap disekeliling tanah rata itu berpuluh-puluh bendera MERAH dengan simbol lima ekor Serigala. Kelima ekor Serigala-Serigala itu cuma bergambar kepalanya saja. Dan berwarna putih. Berbaris sepanjang bendera. namun di atas dasar warna hitam. yang berbentuk Serigala utuh dengan tubuhnya.
Dan menjelang satu hari lagi. Di tengah tanah rata itu telah terbentang sebuah kemah tertutup. Berwarna hitam. Sedangkan di atas kemah itu telah berdiri tiang yang tinggi. Dengan bendera yang terlihat sepuluh kali lebih besar, dari bendera-bendera yang terdapat disekeliling tanah rata. Tak ada seorangpun dari para pengunjung yang berani mengganggu atau memasuki tenda hitam itu.
Bahkan kapan berdirinya kemah itu saja tak ada yang tahu. Seandainya mungkin ada, sudah pasti akan tutup mulut. Karena disamping harus waspada akan setiap keributan. Karena disekeliling mereka bukan dari golongan lurus saja. Tokoh-tokoh kaum hitam pun banyak yang berdatangan. Khawatir salah-salah sebelum di adakannya pertandingan, nyawa sudah melayang siang-siang.
Menjelang malam, di hari esok yang bakal dipastikan di adakannya pertarungan untuk pemilihan Ketua. Hampir semua dari pengunjung, tak ada yang berani tidur. Bahkan tak bisa tidur. Karena mereka mengkhawatirkan akan hal-hal yang bisa saja terjadi setiap saat. Menjelang tengah malam sekonyong-konyong terdengar suara melengking tinggi. Berkumandang di udara. Seperti suara jeritan arwah yang mati penasaran. Atau mirip raungan serigala. Membuat beberapa kelompok dari para pengunjung, terperangah.
Dengan puluhan pasang mata melotot tak berkedip, menatap ke arena yang sunyi lengang itu. Bahkan gelapnya malam membuat mereka tak dapat melihat apa-apa di hadapannya. Sesosok tubuh telah berkelebat cepat sekali memasuki tenda hitam, tanpa menimbulkan suara. Dan selang sesaat, telah disusul oleh lima sosok bayangan lainnya.
Namun gelap pekatnya malam, membuat tak seorangpun yang melihat. Suasana tetap sepi lengang tak berubah. Hanya kepak sayap kelelawar, sekali sekali terdengar. Membuatnya terkesiap. dengan jantung berdetak keras. Tapi mereka cuma bisa terdiam dan memaki dalam hati.
Fajar pun menyingsing... Seakan-akan lama sekali malam itu berlalu. Namun yang dinanti sebentar lagi akan tiba. Tampak beberapa kelompok yang terpisah-pisah itu mulai bergeser beringsut lebih dekat lagi, ke sisi tanah datar yang dikelilingi bendera merah kecil-kecil itu. Seperti tak sabar untuk segera melihat siapa yang bakal muncul ditengah arena.
Tenda hitam itu masih tetap tertutup rapat. Tanpa seorangpun tahu apa dan siapa didalamnya. Hingga Matahari mulai menggelincir naik, suasana masih belum berubah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan salah seorang dari pengunjung yang agaknya sudah tak sabar lagi.
"Hoooiiiiii...! Yang berada di dalam tenda hitam! Tampakkanlah siapa dirimu...! Agar kami tahu siapa gerangan yang telah menyelenggarakan pertemuan gila ini...!"
Demikian teriakannya. Dan disambut dengan gemuruh suara-suara di sekelilingnya. Seperti menyetujui tindakan berani yang telah diperbuatnya. Tapi tampaknya tak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara.
Selang sesaat, tiba-tiba kain tenda hitam tersingkap. Dan dua sosok tubuh melompat keluar. Kedua orang itu mengenakan jubah berwarna hijau. Wajahnya tampak gagah dan masih muda-muda. Keduanya menjura ketiga jurusan. Ternyata kedua orang itu masing-masing bertubuh cacad. Yang seorang putus sebelah kakinya. Dan yang seorang lagi putus kedua tangannya.
Salah seorang sudah buka suara. "Saudara-saudara kaum Rimba Persilatan. Kami menghaturkan terima kasih atas kedatangan kalian kemari. Hehe hehe... he he...! Mengenai hal pemilihan Ketua, yang memang dirahasiakan ini, kami sanggup menunjukkan bukti. Bahwa pertemuan yang kami adakan bukanlah pertemuan gila...!"
Selesai berkata, kedua tubuh itu kembali melompat ke belakang. Dan berdiri tegak di kiri kanan tenda. Detik berikutnya melompat lagi dua sosok tubuh, laki-laki dan wanita. Dan setelah menjura ketiga jurusan, kedua orang muda inipun melompat mundur. Dan berdiri berjajar di kirikanan tenda. Beberapa puluh pasang mata menatap wajah-wajah keempat orang itu dengan tak berkedip.
Selang sesaat, telah melompat lagi keluar tenda. Kali ini hanya seorang. Dia seorang wanita yang menyandang dua pedang di belakang punggungnya. Dan setelah menjura ketiga jurusan, wanita ini berkata lantang: "Nah...! Adakah diantara kalian yang akan mengatakan bahwa pertemuan ini adalah pertemuan gila...?"
Tampak ia palingkan kepala ketiga penjuru. Tapi tampaknya tak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara. Selang sesaat si wanita sudah berkata lagi: "Nah! Kalau begitu pertandingan akan segera di mulai...! Silahkan siapa yang berani maju terlebih dulu! Kami adalah terdiri dari lima orang. Bila diantara kalian ada yang ingin maju seorang demi seorang. Akan kami layani. Tetapi haruslah dapat mengalahkan kami satu persatu. Yaitu dengan menembus pertahanan barisan kelompok dari "Lima Serigala Malaikat". Seandainya tak ada yang berani maju dengan seorang diri, silahkan maju dengan sekelompok. Tapi tidak boleh lebih dari sepuluh orang. Nah, waktu telah tiba...!"
Teriak si wanita berpedang dua itu. Dan tiba-tiba ia telah keluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu disulut dengan api. Setelah mundur lima tindak. Terlihat benda itu berbunyi mendesis, serta mengeluarkan asap. Dan beberapa detik kemudian...
Whusssss...! Benda yang panjangnya sejengkal itu meluncur keudara menimbulkan percikan api dan asap tebal. Kira-kira 100 tombak terdengar bunyi ledakan keras.
Dhuuuaarrr...! Benda itu telah meledak di angkasa. Menimbulkan cahaya berwarna-warni sebesar lingkaran tanah datar di bawahnya. Kemudian si wanita itupun melompat mundur. Dan berdiri berjajar di sebelah keempat kawannya. Beberapa saat mereka menunggu orang pertama yang akan maju ke tengah arena. Masing-masing para pengunjung tampak terdengar bersuara riuh. Kepala-kepala mereka bergerak kekiri-kekanan seperti ingin melihat siapa yang berani maju.
Tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh ke tengah arena. Ternyata seorang laki-laki tua bertubuh gemuk. Dengan perutnya yang buncit menggembung. Laki-laki ini memakai jubah berwarna putih. Pada lehernya tergantung seuntai tasbih dari perak. Dia lantas menjura ke hadapan kelima wajah di hadapannya seraya berkata,
"Maaf, kami datang mewakilkan diri dari partai kami yaitu Partai Giri Manuk. Aku sendiri bergelar si Tasbih Perak. Kedatanganku adalah ingin menanyakan, apakah dalam pertandingan ini tak disediakan beberapa orang juri..? Karena mana mungkin suatu pertandingan diadakan, tanpa adanya juri. Jadi siapa yang dapat menentukan kalah menangnya..?"
Suara si gendut Tasbih Perak ini terdengar lantang, walau tampaknya ia berkata biasa saja. Pertanda ia bukan seorang tokoh sembarangan. Apa lagi Partai Giri Manuk sudah tersyiar keharuman namanya di Rimba Hijau.
Mendengar kata-kata si gendut itu, serentak terdengar suara teriakan ramai, yang membenarkan ucapan atau sanggahan itu. Akan tetapi kelima orang di hadapannya telah melompat berbareng ke depan. Dan sekaligus membentuk barisan pertahanan. Berbentuk kerucut. Dengan paling depan adalah si wanita berpedang dua. Terdengar ia berkata,
"Heh! Tasbih Perak! Penentuan juri adalah oleh pihak kami sendiri. Tak usah pakai macam-macam urusan rumit. Kalau kau sanggup menembus barisan kami, dan menumbangkan kami satu persatu. Kau boleh angkat dirimu menjadi Ketua..!"
Si Tasbih Perak tampak kerutkan kening. Sepasang alis lebat yang hampir memutih semua itu mencuat ke atas. Ia sudah lantas berkata: "Mana bisa ada peraturan begitu...? Bagaimana kalau kalian berlaku curang...? Hal semacam ini tak bisa dibenarkan!"
Akan tetapi Siti Jenang telah membentak. "Segala keputusan adalah di tangan kami. Semua pengunjung dapat dijadikan saksi. Kalau ada hal kecurangan. kalian boleh memprotes..!"
"Huh! Benar-benar peraturan gila..!" Memaki si Tasbih Perak. Dan ia sudah akan bergerak untuk melompat keluar arena.
Akan tetapi, sekali lompat si wanita telah melompat menghadang. Seraya pentang kedua tangannya, diiringi bentakan keras. "Tunggu Tasbih Perak! Kau sudah masuk ke dalam arena. Berarti kau harus menghadapi kami. Bila kau mau keluar, silahkan tinggalkan nyawamu..!"
Dan keempat kawan dari Lima Serigala Malaikat segera telah mengurungnya. Melengak si Tasbih Perak. Sepasang matanya jadi mendelik gusar. Memandang sekeliling ia dapati wajah wajah kaku yang menatap tajam padanya. Dan ketika menatap si dua manusia cacad itu, hati si Tasbih Perak jadi tersentak. Wajah itu ia mengenalnya. Dan ia sudah lantas berkata,
"He..!? Bukankah anda berdua si Pendekar Kembar adanya..?" Terdengar suara tertawa sinis.
Si kaki buntung sebelah menyahuti. "Wajah kami memang wajah si Pendekar Kembar. Akan tetapi kami adalah Dua Siluman Gunung Kawi, yang akan menumpas seluruh golongan kaum putih. Kami telah menguliti kulit muka si pendekar kembar tolol itu..!" Mendesis suara Kala Munget.
Terbeliak mata si Tasbih Perak. Wajahnya menampilkan kemarahan hebat. "Kalau begitu kalian si Kala Munget dan Kala Wesi adanya. Sungguh perbuatan biadab yang kalian lakukan!" Dan ia sudah mencabut keluar Tasbih Peraknya. Namun ia sudah membentak lagi dengan suara lantang. "Baik. Lima Serigala Malaikat! Bentuklah barisan kalian! Aku orang pertama yang akan mewakili perguruan dari Partai Giri Manuk. Tapi bukan untuk menduduki jabatan Ketua, melainkan untuk menumpas lima iblis tengik yang gila pangkat..!"
Tadinya Kala Wesi sudah mau menerjang karena sudah tak sabar untuk menghabisi orang. Akan tetapi telah diberi isyarat oleh Siti Jeneng. Karena hal itu akan di anggap para pengunjung sebagai tindakan tak beraturan. Segera saja telah berlompatan kelima Serigala Malaikat untuk membentuk barisan.
Kali ini susunan berubah. Kelelawar Besi berada didepan. Bagian belakang dua orang, yaitu Kala Munget dan Kala Wesi. Dan dua orang lagi agak melebar di belakang, adalah Siti Jenang dan Rimba Wengi. Siti Jenang telah mencabut keluar sepasang pedang hijaunya, milik si Pendekar Kembar Gambir Anom dan Gambir Sepuh.
Kini semua mata terpantang lebar di luar arena, untuk menyaksikan pertarungan seru. Dengan hati berdebar. Si gendut Tasbih Perak telah mundur dua tindak. Sepasang matanya tampak merah bagai biji saga, ia sebagai seorang tokoh tua kaum putih, benar-benar merasa terhina kalau tak turun tangan menumpas kelima wajah iblis di hadapannya.
Segera saja ia berteriak keras, seraya menerjang dengan gerakan kilat. Tasbihnya berkelebat menghantam. Sedangkan sebelah lengannya bergerak memukul si Kelelawar Besi terdengar mendengus. Sepasang lengannya meluncur ke arah dada. Sedang pukulan tasbihnya ia elakkan dengan miringkan kepala. Sementara pukulan sebelah lengannya ia tak mengurusi, karena di belakang ada Kala Munget.
Terkejut bukan main si Tasbih Perak. Segera ia gerakkan tubuh menghindar ke samping. Kakinya bergerak menyambut pukulan kedua lengan si Kelelawar. Adapun hantaman Tasbih Peraknya mengenai tempat kosong. Namun pukulan lengannya telah disambut oleh Kala Munget dengan gubatan ujung lengan jubahnya. Kala Munget memang tak mempunyai lagi kedua lengan. Yang sudah putus sebatas siku. Namun dengan ujung lengan jubahnya, ia telah mampu menahan serangan lawan bahkan dapat menggubat lengan lawan.
Pada saat itulah si Kelelawar yang serangannya lolos, mendapat sambutan terjangan kaki. Maka cepat bagai kilat. Sepasang lengan besi itu telah berhasil mencengkeram kaki lawan. Terdengar teriakan parau si Tasbih Perak. Dan di saat teriakannya belum lagi habis. Tubuhnya telah terlempar ke belakang barisan. Dalam keadaan kaki hancur, tubuh si Tasbih Perak meluncur deras, terbawa oleh sentakan lengan jubah Kala Munget.
Dibawah Siti Jenang telah menanti dengan sepasang pedang hijaunya. Dan Rimba Wengi sudah siap menghantam dengan telapak tangannya. Perlu diketahui Rimba Wengi adalah yang dijuluki Siluman Telapak Darah. Bila pukulannya mengenai dada atau punggung, maka jangan harap manusia dapat bertahan hidup. Karena sebelah lengannya telah mengandung racun yang amat hebat. Dan juga bukan lengan asli. Yaitu sebuah lengan palsu terbuat dari perunggu, yang telah terendam dengan air racun selama beberapa tahun.
Dalam keadaan luka parah. karena sebelah tulang kakinya hancur, si Tasbih Perak dapat melihat berkelebatnya dua pedang hijau mengarah perut. Dan di sebelah kiri telah siap sebuah lengan dengan telapaknya berwarna hitam untuk menghantam dada. Terperangah ia seketika. Tiba-tiba ia gunakan tubuhnya untuk bersalto di udara. Kedua lengannya segera ia gerakkan untuk menghantam. Terpaksa Rimba Wengi berkelit menghindar. Dan Siti Jenang melompat dua tindak.
Detik berikutnya, dengan menggelindingkan tubuhnya berjungkir balik... ia telah berhasil lolos dari serangan kelima Serigala Malaikat. Walaupun Kala Wesi tak punya kesempatan untuk menyerang. Dengan berdiri pada kedua lutut, si Tasbih Perak sudah siap menanti serangan-serangan selanjutnya.
Akan tetapi sudah terdengar suara teriakan dari para pengunjung diluar arena yang menyatakan kemenangan si Paderi Tasbih Perak. Belum lagi reda suara riuh itu tahu-tahu Tasbih Perak telah roboh terjungkal, untuk tidak berkutik lagi. Seketika suara riuh itu terhenti. Terdengarlah suara Siti Jenang dengan lantang diiringi suara tertawanya.
"Hi hi hi... Apakah kalian mau mengangkat orang mati untuk menjadi Ketua..!?"
Dan serentak lima orang dari luar arena masuk ke tengah, dengan berlompatan. Kelima Serigala Malaikat menyingkir ke tepi. Dan biarkan mereka menghampiri si Tasbih Perak yang masih tertelungkup dengan sebelah kaki hancur. Segera mereka memeriksa tubuh si paderi gendut itu. Dan tampak seketika wajah mereka berubah pias.
Ternyata si Tasbih Perak benar-benar telah tewas. Tak berayal lagi segera mereka menggotongnya cepat keluar arena. Suara riuh kembali terdengar. ketika beberapa orang diluar arena mengerumuni mayat si Tasbih Perak. Namun kelima orang yang mengangkutnya, segera menggotong untuk meninggalkan arena.
Berturut-turut berkelebat delapan orang tokoh persilatan maju ketengah arena, rata-rata mereka menyandang pedang. Tanpa ayal lagi segera si Lima Serigala kembali membentuk barisan. Dan saat berikutnya kembali terjadi pertarungan seru. Delapan orang itu adalah dari Partai Rajawali. Tentu saja mereka datang bukan atas keinginan merebut kursi Ketua Rimba Hijau. Karena mereka datang untuk membalas dendam.
Mereka adalah orang-orang atau murid utama dari Partai Rajawali. Yang diutus oleh kedua gurunya si Sepasang Rajawali Putih. Untuk mengecek kebenaran adanya pertemuan besar itu. Semua orang menahan napas, ketika kelima Serigala Malaikat menerjang dengan ganas. Melancarkan serangan-serangan keji. Dua orang menjerit tatkala lengan si Kelelawar Besi mencengkeram hancur sebelah kaki, dan sebelah lengan dari kedelapan peserta.
Di lain tempat, satu orang berteriak ngeri, karena dadanya tertembus tongkat bercagak Kala Wesi. Dan seorang terjungkal dengan kepala remuk, oleh Rimba Wengi, dengan dada terpanggang oleh dua bilah pedang hijau. Hanya dalam waktu tak berapa lama, kedelapan murid utama Partai Rajawali telah roboh.
Serentak kelima Serigala Malaikat melompat kedua sisi. Berarti telah mempersilahkan orang untuk mengambil mayatnya. Segera beberapa orang maju melompat, tapi bukan untuk mengambil mayat. Melainkan menggempur kelima Serigala Malaikat.
"Iblis-iblis keji...! Bukan begini caranya untuk pemilihan Ketua..!" Berteriak salah seorang. Ternyata Warok Brengos yang telah maju melompat, diikuti sembilan orang kawannya. Segera terjadi pertarungan hebat. Mereka menerjang tanpa mau perduli lagi dengan segala macam aturan.
Tapi hanya sekejap. Karena telah terdengar teriakan-teriakan ngeri. Beberapa tubuh telah terjungkal untuk tidak berkutik lagi. Hanya tinggal Warok Brengos dan dua kawannya. Kematian beberapa kawannya itu memang aneh. karena kelima Serigala belum melakukan pukulan, dan cuma berkelebatan saja melompat untuk menyingkir. Hal mana membuat Warok Brengos agak curiga dengan keadaan di dalam tenda.
Tiba-tiba si Pisau Terbang dari Madura itu telah kelebatkan tiga buah pisaunya. Membersit tiga benda halus menyambar tiga buah pisau. Yang segera ketiga benda itu meluncur balik dengan cepat ke arah tiga orang itu. Dua dari kawan Warok Brengos terjungkal roboh. Namun si Brewok berhasil menangkap kembali senjatanya. Wajahnya seketika berubah pucat. Dan ia telah keluarkan teriakannya.
"Iblis-iblis licik..! Kalian sembunyikan orang di dalam tenda untuk main bokong!" Akan tetapi sebelum ia melompat keluar arena, si Brewok telah keluarkan jeritan ngeri. Karana dua buah pedang hijau telah menembus punggungnya. Seketika tubuhnya roboh terguling. Dan berkelebatlah Siti Jenang. untuk kembali mencabut senjatanya yang telah tertancap amblas itu. Dan ia sudah berkata lantang.
"Saudara-saudara..! Manusia ini telah berani memfitnah. Dan bertarung dengan tak beraturan! Sudah selayaknya kami membunuhnya mampus..!" Dan teriaknya lagi. "Nah..! Silahkan kalau ada yang mau maju lagi..!"
Akan tetapi belasan orang tampak telah bergerak meninggalkan arena. Bahkan juga diiringi dengan teriakan caci maki. Wajah-wajah mereka menampakkan kegusaran. Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua sosok tubuh. Kedua orang itu berpakaian putih putih. Ternyata kedua orang itu laki-laki dan wanita. Melihat kemunculan kedua orang ini, Siti Jenang berkelebat melesat tiga tombak di hadapannya. Seraya berkata dengan nada dingin,
"Bagus..! Kiranya Sepasang Rajawali Putih berkenan juga datang kemari! Hi hi hi... Apakah kalian mengenali sepasang Pedang Mustika Hijau ini..?!" Berkata Siti Jenang, seraya menunjukkan kedua bilah pedang di kedua lengannya.
Terkesiap sepasang Rajawali Putih. Ia segera mengetahui benda itu milik siapa. "Keparat..! Apa yang telah terjadi dengan kedua murid kembar ku itu..?" Teriak si wanita. Sedang si laki-laki tertegun menatap sepasang pedang hijau itu.
"Hihi... hihi... hi hi... Kedua murid kembar mu si Pendekar Kembar itu telah kami kuliti kulit wajahnya. Dan orangnya telah kami bunuh mampus!" Teriak Siti Jenang. Dan kembali melompat ke belakang.
"Setan laknat..!" Teriak si wanita. Dan ia sudah hendak melompat menerjang. Akan tetapi telah dihalangi oleh si laki-laki.
"Sabarlah istriku..! Jangan bertindak gegabah! Mereka telah membentuk kelompok dari lima orang yang berkepandaian tinggi!" Berkata si laki-laki. Akan tetapi telah terdengar teriakan Siti Jenang kembali, sementara kelima manusia berjulukan si Lima Serigala Malaikat itu semakin maju mendekati.
"Hi hi hi... sepasang Rajawali Putih ternyata ragu-ragu. Lebih baik serahkan saja jiwa kalian! Pendekar-pendekar macam kalian hanya menjadi perintang saja bagi kami..!"
"Setan-setan laknat..! Majulah..!" Teriak si wanita. Dan ia telah keluarkan senjatanya sepasang cakar basi berbentuk kaki burung Rajawali. Adapun si laki-laki mencabut keluar sebuah pedang tipis, berujung melengkung bagai paruh burung.
"Hm... Hati-hatilah istriku..! Didalam tenda ada manusia yang dapat pergunakan senjata rahasia untuk membokong kita. Jangan kau sampai terpancing olehnya..!"
Wanita ini anggukkan kepala. Ia tidak langsung menerjang, namun bersuit keras. Tiba-tiba muncul seekor burung Rajawali raksasa, yang besarnya tiga kali tubuh manusia. Ia sudah lantas memberi perintah. "Putih..! Kau hancurkan tenda itu. Dan kacau barisannya..!"
DELAPAN
SESOSOK tubuh berlari cepat sekali bagaikan anak panah lepas dari busurnya... beberapa anak sungai telah dilompatinya. Bahkan lereng terjal dan lembah ngarai ia turuni, untuk kembali mendaki. Seperti tak ada rasa lelah sama sekali tampaknya. Sosok tubuh itu susah dilihat bentuknya. Karena hanya bayangan putih saja yang terlihat meluncur pesat.
Ketika tiba di lereng Mahameru, tampak ia berhenti. Ternyata ia tengah mengatur pernapasan sejenak. Dengan bertolak pinggang ia menatap ke arah puncak Mahameru. Ternyata ia seorang pemuda gagah. Menyandang pedang di pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan Ginanjar, si pemuda murid mendiang Pendekar Bayangan Bayu Seta..
"Aku harus tiba di puncak sebelum terlambat, dan banyak korban berjatuhan!"
Mendesis keluar suara dari mulutnya. Tiba-tiba ia menyibak bajunya. Segera terlihat memancar sinar kemilau berwarna pelangi dari sebuah benda yang tergantung di dadanya. Ternyata benda itu adalah sebuah Medali Bentuknya bulat sebesar piring kecil. Dengan ukiran indah dari emas murni. Bertatahkan intan berlian di sekelilingnya. Sedang pada bagian tengahnya adalah batu pualam berwarna putih.
Yang berkilatan terkena cahaya sinar matahari. Ginanjar perhatikan benda di tangannya. Setelah menghela napas sejenak, segera ia tutup lagi bajunya. Kembali ditatapnya puncak Mahameru. Walaupun tampak keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. tampak semangat tetap menyala di sinar matanya. Dan kembali ia menggenjot tubuh untuk berlari lagi mendaki lereng. Tapi baru tujuh-delapan kali kakinya menindak, telah terdengar bentakan. Dan tiga sosok tubuh telah muncul di hadapannya.
"Berikan benda itu pada kami, sobat muda..! Dan silahkan kau teruskan perjalananmu..! Kami yang akan mengantarkannya pada wakil Ketua Rimba Hijau!"
Ginanjar hentikan tindakannya. Sepasang matanya menyapu wajah tiga manusia dihadapannya. Ternyata yang mencegat adalah si Dua Dewi dan Guriswara si Pemabuk Dermawan. Tentu saja Ginanjar jadi melengak. Menyesal ia telah mengeluarkan benda itu dari balik bajunya. hanya untuk memandang akan keindahannya.
"Hm. siapakah wakil dari Ketua Rimba Hijau..?" Balik bertanya Ginanjar. Setelah terdiam sejenak, Guriswara menyahuti.
"Kau akan dapat mengetahuinya nanti. Benda itu tak boleh sampai orang dari lain golongan mengetahui, karena amat berbahaya. Aku mengkhawatirkan keselamatannya. hingga akan mencemarkan nama wakil dari Ketua Rimba persilatan lama..!"
Ginanjar kerutkan alisnya. Kata-kata itu sama juga dengan batu yang tercebur ke laut, karena Ginanjar telah mengetahui persoalan mengenai urusan pemilihan Ketua kaum Rimba Hijau sampai ke akar-akarnya. Ia sudah lantas berkata, "Heh..! Begitukah..? Justru akulah wakil dari Ketua kaum Rimba Hijau. Dan benda di tanganku ini sebagai tandanya..!"
Melengak seketika ketiga wajah dihadapannya. Akan tetapi si Dewi Kenari telah membentak. "Bagus..! Kalau begitu kau harus mampus terlebih dulu..! Dan kami yang akan menggantikan sebagai wakilnya..!" Kata-katanya telah dibarengi dengan terjangan dua Roda Baja yang meluncur deras ke arah Ginanjar.
Terkesiap pemuda ini, namun ia telah waspada. Sebelum kedua benda itu menyentuh tubuhnya, ia telah berkelebat menghindar. Namun Sawur Sari telah menerjang dengan pedangnya. Ginanjar gertak giginya. Alisnya naik ke atas. Wajahnya menampilkan kemendongkolan hatinya. Namun sekejap ia telah cabut pedang pusakanya dari pinggang. Berkelebat sinar perak.
Trang...! Terdengar teriakan tertahan si wanita. Dan melompat mundur tiga tombak. Sambaran pedang Ginanjar yang telah dibarengi dengan tenaga dalam itu, ternyata telah membuat pedangnya terlempar putus.
Pada saat itu juga telah melompat Guriswara. Ternyata ia telah pergunakan dua kapak tipis, yang ia keluarkan dari belakang punggung. Dua sinar berkelebat menyilang kearahnya, dengan suara bersiutan. Terkejut juga Ginanjar. Dan gunakan pedang untuk menangkis.
Trang..! Ginanjar terhuyung tiga langkah. Sedang Guriswara terpental tiga tombak. Ternyata kedua senjata sama-sama senjata pusaka. Dan tenaga dalam keduanya berbeda satu tingkat.
Terkejut Guriswara, karena tak menyangka tenaga dalam lawan berada diatasnya. Tak berayal lagi segera ia isyaratkan kedua wanita untuk bantu mengurung. Ginanjar curahkan perhatiannya. Selama satu bulan ia sudah mendapat gemblengan dari si kakek pengemis, ternyata telah membuat ilmu kepandaiannya maju pesat. Bahkan tenaga dalamnya bertambah dua kali lipat. Ketiga manusia itupun telah menerjang dengan berbareng. Dua roda baja meluncur deras ke arah tenggorokan dan dada. Dibarengi berkelebatnya dua kapak menyambar kaki.
Sawur Sari melompat tiga tombak seraya lepaskan segenggam jarum beracun. Keringat dingin seketika merembes keluar dari tengkuk si pemuda. Tubuhnya berputar bagai gasing menimbulkan angin dahsyat. Seperti juga sekonyong-konyong di hadapan ketiga penyerang itu telah terjadi angin puyuh, yang membuat serangan senjata rahasia Sawur Sari buyar. Kedua roda baja Kili Cantrik terpental balik.
Adapun serangan kedua kapak Guriswara menemui kegagalan, karena tubuhnya jadi terhuyung kebelakang. Dan terpaksa ia meramkan sepasang matanya, karena debu dan pasir yang bergulung-gulung itu menyambar muka. Ketiganya bergulingan mundur dua tiga tombak. Ketiganya sudah berdiri lagi untuk kembali menerjang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritannya. Tahu-tahu ketiga tubuh itu telah terjungkal roboh.
Ginanjar masih berdiri terpaku ditempatnya dengan memandang heran. Tampak tiga tubuh itu berkelojotan bagai ayam di sembelih. Lalu terdiam untuk melepaskan nyawa. Pemuda ini putar kepala dan tubuh ke beberapa arah. Akan tetapi ia tak melihat siapa-siapa.
Ketika ia coba memeriksa ketiga tubuh itu, ternyata tiga buah lidi aren telah tertancap dimasing-masing tenggorokannya. Tahulah ia bahwa orang yang telah menolongnya adalah si kakek pengemis. Alias Ki Dharma Tungga. Yang ternyata tiada lain dari si Ketua Kaum Rimba Hijau.
"Guru..!" Teriak Ginanjar.
Akan tetapi tak ada sahutan disekelilingnya. Namun lapat-lapat terdengar suara yang menitahkan agar cepat naik ke puncak Mahameru. Pemuda ini tampilkan wajah girang. Dan tak berayal lagi segera ia enjot tubuh dan segera berkelebat naik meniti lereng untuk selanjutnya lenyap dikerimbunan pepohonan.
SEMBILAN
Prak..! Prak..! Terdengar suara hantaman keras, seperti suara segenggam sapu lidi yang dihantamkan ke pohon. Tampak berkelebat sebuah bayangan merah jambu berseliweran di hutan pinus itu. Yang sebentar-sebentar diiringi dengan bunyi keprekkan keras menghantam batang-batang pohon. Terdengar tertawa cekikikan dimana bayangan merah jambu itu berkelebatan.
Sesosok tubuh itu tak terlihat jelas. Tapi gerakannya cepat sekali. Hingga yang terlihat hanya bayangan pakaiannya saja, berseliweran bagaikan hantu siluman. Suara tertawanya membuat orang bergidik seram, dan membangunkan bulu roma. Selang sesaat tampak bayangan merah jambu itu keluar dari rimbunnya pohon-pohon pinus. Dan melesat cepat ke atas sebuah batu besar. Berbarengan dengan keluarnya sang tubuh itu, terdengarlah suara berkeriutan.
Disusul dengan gemuruh pepohonan yang tumbang. Ternyata hutan pinus itu hampir separuhnya bertumbangan roboh. Suaranya bergemuruh. Tempat itu bagaikan tengah dilanda gempa. Hanya beberapa kejap saja tempat yang rimbun itu telah menjadi terang separuhnya. Batang-batang pohon telah menjadi rebah. bertumpangan saling tindih. Bagaikan baru saja diamuk oleh tangan raksasa. Ternyata pada setiap pohon, akan terlihat batang bagian tengahnya hancur.
Sosok tubuh di atas batu besar itu berdiri menatap dengan tampilkan senyum aneh. Angin keras yang membersit dari atas perbukitan, membuat rambutnya yang panjang berkibaran tertiup angin. Tampaknya wajah itu belum juga merasakan kepuasan. Dan tiba-tiba saja ia telah melompat turun dari batu besar itu.
Tubuhnya membungkuk. Sepasang lengannya tiba-tiba bergerak untuk mengangkat batu besar itu. Luar biasa. Dan hampir tak masuk di akal. Karena gadis bertubuh agak kurus, dengan pinggang yang ramping itu, ternyata mampu mengangkat batu yang besarnya hampir sebesar kerbau.
Terdengar suara teriakan melengking panjang. Dan tahu-tahu batu besar itu telah melayang ke atas, kira-kira sepuluh kali tinggi manusia. Saat selanjutnya di luar dugaan tubuh si gadis telah meluncur pula, di saat batu besar itu berhenti sesaat di udara... Berkelebat bayangan merah jambu cepat sekali. Dan tiba-tiba...
Praakk...! Ia telah gerakkan kepalanya untuk menghantam batu besar itu dengan rambutnya. Selanjutnya melesat turun bagai anak panah. Begitu ia jejakkan kaki lagi, batu besar itu meluncur turun. Akan tetapi telah menjadi hancur begitu jatuh kembali ke tempat semula. Berubah menjadi serpihan serbuk kecil-kecil. Barulah terdengar suara tertawa panjang yang nyaring. Melengking tinggi membuat getarangetaran hebat. Hingga tampak bergoyang-goyang berjatuhan.
Ternyata gadis itu tak lain dari Roro Centil. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tingkah lakunya memang aneh. Akan sukar orang menjajaki jiwanya. Terkadang tampak wajahnya tampilkan kegembiraan. Tapi terkadang juga menampilkan kesedihan yang amat luar biasa. Agaknya Roro telah mengalami goncangan jiwa yang amat hebat. Dan memang demikianlah adanya.
Sejak ia berlalu dari lereng tebing dekat air terjun itu. Roro Centil bagaikan kesurupan berlari cepat menuju Pantai Selatan. Meninggalkan Joko Sangit yang kebingungan untuk mencabut Tombak Pusaka Ratu Sima yang menempel di tubuh si wanita Dewi Tengkorak. Ia berlari dan berlari dengan kecepatan bagai melebihi kecepatannya angin. Siang berganti malam tanpa kenal istirahat. Dan tatkala deburan ombak Pantai Selatan itu telah samar-samar terdengar di telinganya, barulah ia perlambat langkahnya.
Pagi itu cuaca tak begitu bagus. Sedari pagi angin keras dari laut, tak berhenti meniup. Ia singgah di sebuah desa, untuk menangsal perut. Masih tersisa beberapa keping uang di sakunya. Adapun selebihnya adalah tinggal sebuah Cincin berbatu merah delima dan sepuluh buah gelang emas bertatahkan intan permata. Dua cincin dan beberapa untai kalung lainnya peninggalan Gurunya itu, telah tak bersisa. Ia cuma periksa sejenak kotak perhiasannya, lalu kembali menyimpannya kebalik pakaian.
Warung kecil dihampiri. Dan menangsal perut seadanya. Pantai Selatan memang sudah dekat. Namun semakin dekat, semakin perlahan langkah Roro. Seolah ia merasa tak kuasa untuk melangkah. Karena sudah terbayang jenazah sang Guru yang sudah hampir setahun itu ia tinggalkan. Jenazah wanita yang sudah berusia lanjut. namun masih tampak muda.
Wanita itulah yang telah menggemblengnya dengan segala keanehannya. Walaupun sang Guru adalah manusia aneh. Karena ia bukan laki-laki dan bukan juga perempuan, namun Roro amat menghormati dan menyayanginya. Apa lagi sejak ditinggalkan, sang Guru telah berniat menutup diri di dalam ruang Goa di dasar tebing pantai selatan itu. Dan dalam keadaan yang mengenaskan.
Karena si manusia aneh itu telah mencocok kedua lubang telinganya, dengan kedua jari tangannya sendiri. Dan telah keluar ucapan dari mulutnya untuk tidak mau mendengar, dan mencampuri lagi urusan Dunia Rimba Hijau. Sang Guru cuma berteman dengan sebuah benda, yaitu sebuah tombak hitam. Tombak Pusaka Ratu Sima. Tapi benda itu telah ia lihat sendiri berada di tangan si Dewi Tengkorak. Dan menurut keterangan wanita yang telah dibunuhnya itu, sang Guru telah dibunuhnya.
Hancur luluh seketika perasaannya. Remuk redam hatinya. Hingga dalam keadaan seperti kurang waras, Roro berlari dan berlari. Namun semakin dekat nyatanya semakin lamban ia melangkah. Masih terngiang kata-kata sang Guru yang mengatakan agar tidak usah kembali lagi ke Pantai Selatan. Empat tahun yang lalu sejak ia menutup lubang rahasia yang menuju ke Ruangan Goa di bawah tebing karang itu. Roro pun telah berniat untuk tak kembali lagi. Walau kepergiannya juga dengan hati remuk redam.
Roro Centil memang bukan laki-laki. Sebagai seorang wanita, tentu saja lebih peka dengan perasaannya. Hal itulah yang membuat ia kembali berhenti melangkah. Dan termangu-mangu menatap ke arah tebing pantai Selatan. Akhirnya jatuh terduduk di atas batu. Lama ia termangu di situ. Sementara air matanya tak hentinya menetes, mengalir di kedua pipinya. Ternyata ia telah terhanyut oleh kesedihan yang luar biasa. Tapi seketika ia jadi tersentak dari lamunannya. Ketika lapat-lapat terdengar suara memanggilnya.
"Roro..!" Dan tampak sesosok tubuh berlari mendatangi. Makin lama sosok tubuh itu semakin dekat. Dan beberapa kejap kemudian telah berada di hadapannya. Ternyata yang datang tak lain dari Joko Sangit adanya. Laki-laki itu menatap Roro dengan wajah memelas. Terlihat ia memegang tombak hitam itu di lengannya. Roro masih tetap membisu. Seperti tak perduli akan kedatangan sahabatnya itu.
"Roro..! Sudah kuduga pasti kau akan ke Pantai Selatan. Aku telah sejak pagi berkeliling di setiap tebing pantai. Untuk mencarimu..! Ternyata kau berada disini..." Berkata lirih Joko Sangit. Akan tetapi Roro masih membisu, tak bergeming. Pandangannya menatap kosong ke arah depan. Joko Sangit tahu orang sedang terpukul hatinya, segera mendekati lebih dekat. Kembali ia berucap lirih...
"Roro, aku memang mencarimu untuk membawa pesan dari Gurumu, si Manusia Aneh itu...!"
Mendengar kata-kata itu barulah Roro menoleh, dan tatap wajah orang dalam-dalam. "Pesan dari Guruku..?" Bertanya Roro dengan kerutkan alisnya. Suaranya lirih agak serak. Namun membersitkan rasa terkejut.
Joko Sangit mengangguk. Dan seraya berkata melanjutkan. "Beliau aku temui dalam keadaan luka dalam yang parah tiga bulan yang lalu. Sudah ku coba usahakan menolong jiwanya. Namun sia-sia... Beliau tewas dengan keadaan yang menyedihkan. Perlu kau ketahui Roro. Beliau adalah adik seperguruan Guruku. Guruku bernama Ki Jagur Wedha yang bergelar Pendekar Gentayangan...!"
Kembali Roro Centil melengak. Baru sekarang Joko Sangit membuka riwayat dirinya. Tentu saja penuturan itu membuat Roro berhasrat sekali mendengarnya. Joko Sangit meneruskan ceritanya.
"Menurut penuturan beliau, yang telah mengeroyoknya adalah tiga orang wanita. Yang kesemuanya adalah istri-istri si Dewa Tengkorak. Yang menurut kabar telah tak ada di dunia ini lagi. Aku memang tengah mencari Gurumu, karena mendapat tugas dari Guruku. Yaitu mengundang beliau untuk menghadiri perjamuan sederhana. Yaitu genap 100 tahun usia Guruku Ki Jagur Wedha, di Gunung Kumbang. Walaupun bergelar si Pendekar Gentayangan, ternyata guruku sudah lebih dari sepuluh tahun tak pernah berjumpa dengan gurumu si Manusia Aneh Pantai Selatan. Hingga tak mengetahui kalau beliau telah mengangkat seorang murid wanita, sejak empat tahun belakangan ini. Yaitu kau sendiri. Aku pun baru mengetahui tentang kau setahun yang lalu..." Tampak Joko Sangit menyeka peluhnya sebentar dan kembali meneruskan.
"Sayang aku terlambat datang dan hanya menjumpai beliau dalam keadaan tak berdaya. Namun ia masih bisa memberi penjelasan tentang siapa yang telah mengeroyoknya. Yaitu diantaranya si Dewi Tengkorak, yang telah berhasil kau bunuh..! Aku sendiri memang tengah menyelidiki kemana perginya tiga wanita itu. Dan kebetulan dapat menjumpai si Dewi Tengkorak. Memang akupun berniat untuk melenyapkan wanita keji itu... namun, aku memang tak dapat terburu-buru.." Sampai disini wajah Joko Sangit berubah merah. Dan Roro cuma tersenyum sambil mencibirkan bibir. Cepat-cepat Joko Sengit teruskan ceritanya...
"Gurumu wafat setelah memberikan pesan pada mu..!" Sampai disini Joko Sangit tatap wajah Roro dalam-dalam. Hingga yang ditatap jadi kikuk.
"Apakah pesannya..?” Bentak Roro tiba-tiba. Wajahnya membersitkan rasa ingin tahu. Akan tetapi Joko Sangit telah menelan lagi kata-katanya. Terlalu sukar ia untuk mengatakan. Dan cepat-cepat ia berkata,
"Pesan itu tak dapat kukatakan sekarang..! Masih banyak waktu lain untuk aku mengatakannya pada mu! Tapi dia ada memberikan sesuatu padamu!" Berkata Joko Sangit. Dan keluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain sutera hitam.
"Aku tak tahu apa isinya...!" Katanya lagi, seraya memberikan benda itu pada Roro Centil.
Segera Roro sambuti benda itu. Dan buka isinya. Ternyata adalah seikat daun lontar kering yang panjangnya sejengkal. Roro Centil tak mengerti apa artinya dengan seikat daun lontar yang polos tanpa ada tanda-tanda benda itu mengandung tulisan. Joko Sangit pun kerutkan keningnya. Tapi ia telah tersenyum sambil berkata,
"Gurumu adalah orang aneh....! Lain orang mana bisa tahu akan keanehan Gurunya kalau bukan muridnya sendiri..!" Dan ia sudah bangkit berdiri. Serta lanjutkan kata-katanya. "Baiklah Roro, selesai sudah tugasku untuk memberitahukan hal ini! Jenazah Gurumu telah ku kebumikan di lubang dasar tebing karang itu juga..! Silahkan kalau kau mau menengoknya. Tapi kulihat tadi air laut telah pasang. Mungkin tempat itu terendam air..! Nah, aku tak dapat berlama-lama. Karena harus cepat-cepat mengantarkan benda pusaka ini ke Kerajaan Medang..!" Selesai berkata Joko Sangit segera beranjak meninggalkan Roro Centil. Akan tetapi tiba-tiba sudah terdengar suara gadis itu,
"Tunggu..! Kau belum beritahukan padaku, siapa kedua orang lagi istri-istri si Dewa Tengkorak...!" Teriak Roro. Terhenyak Joko Sangit. Tapi sudah lantas menyahuti.
"Keduanya bukan orang tanah Jawa! Mereka orang dari seberang pulau. Kalau tak salah berjuluk si Kupu-kupu Emas, dan seorang lagi adalah Peri Gunung Dempo. Keduanya adalah orang-orang dari Pulau Andalas...!" Selesai berkata, Joko Sangit telah berkelebat. Dan sekejap kemudian telah tak kelihatan lagi.
Roro termangu-mangu memandang ke depan. Kedua nama itu akan selalu diingatnya. Untuk kelak suatu saat ia akan pergi mencarinya. Kini ia termangu-mangu memandangi setumpuk daun lontar itu. Dan membolak-baliknya berulang-ulang. Namun tetap ia tak dapat menemukan rahasia apa didalamnya. Kepingan daun lontar itu terdiri dari tujuh belas ruas, Yang kesemuanya polos. Lama ia termangu untuk memecahkan rahasia tujuh belas daun lontar itu. Akhirnya tiba-tiba ia teringat akan kata-kata Gurunya. Seolah-olah kembali terngiang di telinganya...
"Roro... kau memang seorang bocah tolol, tapi cerdik..!" Kata-kata sang Guru itu membuat Roro tersenyum. Tapi juga menampilkan wajah sedih. Karena sejak saat itu ia sudah kehilangan orang yang amat dicintainya. Benda itu digenggamnya kuat-kuat. Seolah menggenggam lengan Gurunya. Setetes air mata kembali jatuh berderai. Membasahi daun lontar yang digenggamnya. Dipandanginya daun-daun itu dengan air mata bercucuran. Akan tetapi tiba-tiba ia jadi terkejut. Ketika melihat pada lembar teratas dari daun lontar yang basah oleh air matanya, telah tersembul huruf-huruf kecil.
"Ah..!?" Tersentak Roro Centil. Dan tiba-tiba ia telah berteriak kegirangan. "Sekarang aku tahu..! Sekarang aku tahu..!" Dan berkelebatlah tubuhnya meninggalkan tempat itu. Diiringi suara tertawa aneh yang membangunkan bulu roma.
Itulah kisah satu bulan belakangan ini. Dan ketika sang Pendekar Wanita Roro Centil muncul lagi. Ternyata ia telah menguasai satu ilmu hebat, dari salah satu jurus kepretan rambut yang luar biasa. Tentu saja dari hasil mempelajari tulisan kecil-kecil, pada ke tujuh belas daun lontar warisan gurunya itu. Yang dititipkan Joko Sangit padanya.
Memandang pada batu sebesar kerbau yang hancur berantakan itu Roro telah tertawa dengan suara nyaring. Suara tertawa yang telah menggetarkan daun-daun hingga berjatuhan meluruk kebawah. Tapi tiba-tiba ia telah hentikan tertawanya. Kembali tampak ia tersenyum hambar.
Karena telah timbul kesadaran dihatinya, bahwa di atas langit, masih ada langit. Untuk mencari kedua orang musuh besarnya di seberang pulau tak dapat dilakukan terburu-buru. Karena ia belum menamatkan pelajaran dari ke tujuh belas daun lontar itu. Masih memerlukan beberapa waktu lagi untuk mempelajarinya.
Demikian pikir Roro Centil. Dan segera saja ia teringat akan adanya pertemuan kaum Rimba Hijau di puncak Mahameru. Sekelebat ia teringat dengan pemuda Ginanjar. Akan tetapi ia merasa yakin si kakek aneh itu bukanlah orang jahat. la merasa yakin akan hal itu. Dan mengenai akan dikawinkannya si pemuda dengan cucu perempuannya, ia berharap bukan bersungguh-sungguh.
Saat selanjutnya tubuh Roro Centil telah berkelebat cepat sekali, meninggalkan tempat itu. Hingga yang tampak hanya bayangan merah jambu saja yang berkelebatan. Memang Roro baru saja beristirahat, setelah menempuh jarak jauh beberapa hari dari pantai Selatan. Puncak Mahameru telah kelihatan dari kejauhan. Dan tampak mengepulkan asap tipis yang membumbung ke langit.
SEPULUH
Kembali pada keadaan di puncak Mahameru. Di mana seekor burung Rajawali telah menerjang ke arah tanda hitam. Bersiyur angin deras laksana taufan. Hingga kemah hitam itu roboh. Dan barisan kelima Serigala Malaikat itu porak poranda. Sesosok tubuh wanita menyeruak keluar dari belakang tenda.
Ternyata seorang gadis cantik yang tadi membawa nampan berisikan Medali. Wanita itu tak lain dari Sekar Tanjung. Yaitu gadis yang telah ditawan oleh si Ketua misterius alias di Mata Iblis. Ketua dari si Lima Serigala Malaikat. Yang belum juga menampakkan diri. Wanita ini lari jatuh bangun.
Sementara beberapa pasang mata telah memperhatikannya. Empat orang berbaju coklat tiba-tiba telah menyergapnya. Dan membawanya keluar dari belakang arena, dengan cepat. Gadis itu dilemparkan ke semak belukar. Dan sekejap saja empat bilah pedang telah dicabut keluar dari kerangkanya.
Wanita itu ternganga. Dan ia jadi terperangah ketika keempat bilah pedang itu telah meluncur deras ke arahnya... akan tetapi empat butir batu kecil telah membuat pedang keempat orang berbaju coklat itu terpental. Sebuah bayangan merah jambu berkelebat. Dan telah berada di hadapan keempat lakilaki itu.
"Kurang ajar..! Mengapa kau tak membiarkan kami membunuh manusia licik ini?"
"Dialah yang telah berbuat curang, membokong para peserta dari dalam tenda...!" Dua bentakan terdengar dari kedua orang berbaju coklat itu. Yang ternyata adalah Empat Pendekar Kali Serayu.
Akan tetapi sosok tubuh di hadapannya cuma tersenyum, dan berkata. "Gadis ini bukanlah orang persilatan. Mana mungkin ia dapat melepaskan bokongan segala macam...?" Dan sambungnya lagi. "Boleh kalian periksa, apakah dia menyimpan senjata rahasia..?" Ternyata sosok tubuh berbaju merah jambu itu tak lain dari Roro Centil.
Adapun si gadis itu tiba-tiba telah bangkit berdiri dan berkata sambil terisak... "Aku telah diculik dijadikan tawanan si manusia buntung itu..! Oh, tolonglah aku, kakak..! Aku takut dibunuhnya..!" Gadis ini segera berlutut dihadapan Roro, sambil menciumi kakinya.
Roro cepat angkat tubuh si wanita, seraya berkata. "Tenanglah, adik! Bukankah kau yang bernama Sekar Tanjung, yang telah lenyap dua bulan yang lalu dari desa Belimbing Wuluh..?" Wanita itu mengangguk. "Kemana dua kawanmu lainnya?" Tanya Roro lagi.
Wajah gadis ini seketika jadi berubah pucat, dan menyahuti. "Keduanya telah... telah dikuliti wajahnya..! Dan telah dibunuh oleh mereka. Hanya aku saja yang tak dibunuh, karena aku dipaksa melayani nafsu iblis si manusia buntung di dalam tenda itu..!" Suara gadis itu terdengar gemetaran.
Terkesiaplah wajah keempat laki-laki pendekar Kali Serayu itu. Juga Roro Centil. Pada saat itu terdengar suara teriakan di belakangnya.
"Roro.... Syukurlah kalau Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil juga telah datang kemari. Oh, gembira betul hatiku..!"
Seorang pemuda baju putih melompat ke tempat itu. Ternyata Ginanjar. Adapun mendengar kata-kata Ginanjar yang baru tiba itu, seketika wajah keempat Pendekar Kali Serayu jadi pucat. Dan serentak saja mereka menjura dalam-dalam pada Roro. Seraya salah seorang berkata,
"Mohon maaf sebesar-besarnya, nona Pendekar! Kami empat Pendekar Kali Serayu menghaturkan hormat. Kami sungguh-sungguh bermata buta, tak dapat melihat kalau anda adalah nona Roro Centil, Mutiara dari Pantai Selatan..!" Roro segera balas menjura. Akan tetapi sesaat kemudian telah berkata,
"Empat Pendekar Kali Serayu, kalau kalian bersedia. Tolonglah antarkan gadis ini pada orang tuanya, di desa Belimbing Wuluh. Di kaki bukit di bawah lereng Gunung ini..!"
Segera saja keempat Pendekar Kali Serayu mengangguk hormat. Mereka tampak gembira, karena dengan datangnya Pendekar Wanita Pantai Selatan ini, kericuhan pasti akan diakhiri. Dan segera saja mereka mohon diri, untuk segera membawa sang gadis menuruni puncak Mahameru.
Setelah membuat roboh tenda, sang burung Rajawali kembali menjauh. Sementara itu kedua orang yang bergelar si Sepasang Rajawali Putih, segera menempur kelima Serigala Malaikat. Terjadilah pertarungan hebat. Ternyata keduanya juga mendapat bantuan dari beberapa orang pendekar, untuk menerjang kelima wajah seribu dendam itu. Akan tetapi tiba-tiba meluruk ratusan jarum berbisa ke arah para penerjang itu. Tak ampun lagi beberapa batang tubuh roboh terjungkal dengan teriakan ngeri.
"Keparat..! Awas! Hati-hati istriku..!" teriak laki-laki pasangan si Rajawali Putih.
Sang istri segera melompat mundur. Dan kelima Serigala Malaikat kembali membentuk barisan. Segera melesat sesosok tubuh bertongkat aneh. Dengan ujung tongkatnya terdapat berbentuk telapak Serigala sebesar piring. Dengan enak saja ia telah hinggap di depan barisan kelima Serigala Malaikat.
Dialah si Mata Iblis. Ketua dari lima wajah yang punya seribu dendam itu. Dengan enak saja ia duduk di atas telapak kaki Serigala di ujung tongkatnya. Sebelah lengannya mengeluarkan sebuah benda bersinar. Itulah sebuah Medali merah. Lambang atas kekuasaan Ketua Rimba Hijau. Ia sudah keluarkan bentakan keras.
"Kurang ajar..! Kalian mengapa tak mematuhi peraturan...? Apakah mata kalian telah buta untuk tidak menghargai lagi Lambang Ketua Rimba Hijau ini...?!"
Si Sepasang Rajawali Putih tersentak, dan mundur ke belakang tiga tindak. Beberapa pendekar lainnya dari tokoh putih yang berada dibelakang kedua Tokoh Gunung Suket ini juga terperangah melihat benda itu. Adapun sedari tadi sepasang mata si Sepasang Pendekar selalu memperhatikan dua orang yang bercacad kaki dan tangannya. Wajahnya amat mirip dengan kedua orang muridnya. Yaitu Gambir Anom dan Gambir Sepuh. Dan sepasang pedang Mustika Hijaunya ada ditangan wanita tadi.
Saat mereka terperangah itulah. Kala Wesi dan Kala Munget telah menerjang kedua orang dihadapannya. Dan ketiga kawan lainnya melompat dari kiri dan kanan. Kala itu juga mendesir angin merah jambu, dan bayangan putih. Kelima Serigala Malaikat terpental mundur tiga tombak. Dan tongkat aneh si Mata Iblis bergoyang-goyang mau roboh.
Segera si Mata Iblis bergerak melompat mundur satu tombak. Dengan tetap duduk di atas tongkatnya. Semua mata segera dapat melihat siapa adanya kedua sosok tubuh yang telah berada disitu. Tak lain, dan tak bukan adalah Ginanjar dan Roro Centil.
"Pendekar Roro Centil dari Pantai Selatan..!?" Terdengar suara dari beberapa orang dibelakang si Sepasang Rajawali Putih.
Tentu saja hal itu membuat si Mata Iblis dan Kelima Serigala Malaikat jadi terkesiap. Lebih-lebih si Mata Iblis. Karena pendekar wanita di hadapannya inilah yang telah membunuh si Setan Cebol muridnya. "Bagus..! Sudah kuduga semua pentolan golongan putih akan datang. Biarlah kelima orang murid ku itu menumpas mu Sepasang Rajawali Putih! Aku akan meremukkan kepala si bocah keparat ini..!"
Whusss...! Ia telah menerjang Roro dengan tongkat telapak Serigala. Sang Pendekar Wanita hanya tertawa sinis dan lompat ke samping delapan tombak. Si Mata Iblis sudah menggerakkan tubuh untuk mengejar. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Ginanjar.
"Mata Iblis..! Ketua lama Rimba Hijau telah memberi surat perintah kepada seluruh golongan kaum putih untuk menangkapmu, beserta kelima Serigala Malaikat..!"
Melotot mata si Mata Iblis. Namun Ginanjar telah lemparkan segulung kain bertulisan kehadapan si Mata Iblis. Sekali lengannya berkelebat, benda itu telah disambarnya. Dan cepat dibaca. Selang sesaat tampak kulit wajahnya jadi berubah merah.
"Kurang ajar..!" Jari tangan si Mata Iblis meremas kain bertulisan itu, hingga hancur jadi bubuk.
Tapi belum lagi ia membentak Ginanjar, pemuda itu telah keluarkan sebuah benda yang berkilauan. Itulah Medali lambang kekuasaan Ketua Rimba Hijau yang asli. Kini semua mata kembali terperangah melihat ke arah benda yang dicekal pemuda itu.
Tiga tokoh tua tak dikenal berkelebat kedepan, seraya berkata: "Kalau lambang ini aku kenal. Inilah lambang yang asli. Tak sembarangan Ki Dharma mencari wakil dirinya...!"
Akan tetapi si Mata Iblis malah membentak, seraya keluarkan Medalinya. "Tidak..! Inilah lambang yang asli..!"
Akan tetapi pada saat itu meluncur deras sebuah lidi aren, tanpa ada seorangpun yang mengetahui. dan... Prak...! Medali di tangan si Mata Iblis hancur berantakan. Dan satu suara terdengar berkumandang.
"Mata Iblis..! Aku telah mengangkat bocah itu jadi wakil ku! Apakah kau masih mau coba mengelabui mata kaum Rimba Hijau dengan Medali Palsu mu..?"
Terkesiap si Mata Iblis dan kelima Serigala Malaikat. Seketika masing-masing putarkan kepala dan tubuh untuk melihat ke beberapa arah. Suara itu tak salah lagi adalah suara Ki Dharma Tungga, Ketua Rimba Hijau. Bukan itu saja, karena semua yang berada di tempat itu juga terkesiap. Karena tak menyangka kalau Ki Dharma Tungga masih hidup.
"Persetan..! Aku tak perduli siapa wakilmu Dharma Tungga! Keluarlah! Aku akan adu jiwa dengan mu..!" Teriak si Mata Iblis.
Akan tetapi telah terdengar suara tertawa nyaring, berkumandang, membuat telinga jadi terngiang-ngiang. Suara yang mengandung tenaga dalam hebat. Hingga beberapa orang sudah menutup telinganya. Dan terdengarlah suara lantang Roro Centil,
"Mata Iblis..! Hayo hadapi aku. Bukankah kau ingin remukkan kepalaku..?"
Sepasang mata serigala si Mata Iblis jadi menatap bersinar kearahnya. Sinar yang mengandung kebencian hebat. Dan tubuhnya telah berkelebat ke arah Roro. "Bagus..! Aku hampir melupakanmu setan betina..! Kau telah membunuh muridku si Setan Cebol! Maka jangan harap kau dapat meloloskan diri lagi dari tanganku!" Dan ia sudah menerjang Roro dengan menggeram bagai serigala.
Adapun si Lima Serigala Malaikat telah buyar barisannya, karena Ginanjar dan sepasang Rajawali putih telah menerjang. Kala Wesi dan Kala Munget berhadapan dengan sepasang pendekar Gunung Suket itu.
"He he he... Sepasang Rajawali...! Mengapa kau menempur muridmu sendiri?" Teriak Kala Munget, seraya kibaskan lengan jubahnya menyambar kepala lawan.
"Iblis terkutuk...! Kuhancurkan kepalamu. Bukalah wajah muridku itu. Agar kami puas untuk menghancurkan mukamu..!" Teriak si wanita Rajawali Putih. Segera ia miringkan kepalanya, dan senjata Cakar Rajawalinya meluncur mengarah jantung lawan. Akan tetapi Kala Wesi dan Kala Munget telah menghantamkan tongkat bercagaknya.
Trang..! Kedua senjata beradu. Dan keduanya sama-sama terhuyung dua langkah kebelakang. Kala Wesi segera berkata: "Baiknya kau melawanku saja nyonya Rajawali Putih. Aku ingin sekali membuntungi paha kakimu. Siapa tahu bisa dibuat menyambung lagi sebelah kakiku yang putus ini... He he he..!"
Merah padam wajah si wanita. Namun ia sudah harus menghadapi serangan serangan Kala Wesi. Adapun Kala Munget segera menerjang si laki-laki Rajawali Putih. Dan bersamaan dengan itu berkelebat dua sinar hijau yang turut nimbrung untuk membabat dari arah samping. Kiranya Siti Jenang telah sambarkan dua bilah pedang hijaunya.
Namun Rajawali Putih bukan tokoh sembarangan. Ia sudah putar tubuh untuk menghantam dengan angin pukulan tangannya. Terpentalah kedua pedang itu. Terkejut Siti Jenang. Segera ia berkelebat melompat untuk menyambar kembali kedua senjatanya. Akan tetapi saat itu telah meluncur sebuah lidi aren yang menyambar leher si wanita itu.
Tak ada daya untuk dapat mengelak lagi. Karena datangnya tak mengeluarkan suara. Dan teramat cepat. Terdengarlah jeritan Siti Jenang. Suaranya melengking seperti mau menembus langit. Dan jatuhlah ia ke bumi, dengan berkelojotan. Dan hanya sesaat. Karena tak berapa lama ia sudah tak dapat mempertahankan nyawanya lagi. Tewaslah si wanita keji itu.
Melihat kematian mendadak itu Kala Munget dan Kala Wesi jadi menggerung keras, dan mempergencar lagi serangannya. Terjadilah pertarungan yang amat seru. Sementara itu Ginanjar melayani si Kelelawar Besi alias Sawung Geni. Dan seorang lagi adalah Rimba Wengi alias Siluman Telapak Darah. Sebelah tangan palsunya yang terbuat dari perunggu mengandung racun itu. menghantam ubun-ubun Ginanjar.
Sedang si Kelelawar Basi merentang sepasang lengannya. Hebat, Sepasang lengan Kelelawar Besi bagaikan terlepas, meluncur satu setengah depa. Serangan ditujukan pada sepasang kakinya. Lengah sedikit saja, akan hancurlah tulang kaki pemuda itu. Akan tetapi Ginanjar telah sampok kedua lengan itu hingga terpental balik. Sementara lengan perunggu Rimba Wengi, dapat dielakkan dengan miringkan kepalanya. Dan sebelah kakinya bantu menyampok serangan lengan ganas itu, dengan pedangnya.
Agaknya Rimba Wengi tak mau adakan benturan. Segera ia tarik kembali serangannya. Sementara Ginanjar segera membungkus tubuhnya dengan putaran pedangnya. Hingga yang tampak hanyalah kilatan-kilatan sinar pedangnya saja. Namun dengan serempak keduanya terus mengurung mencari kelengahan lawan.
Kita beralih pada Roro Centil, yang tengah bertarung dengan si Mata Iblis. Roro Centil telah keluarkan sepasang senjatanya si Rantai Genit. Mendelik mata si Mata Iblis. Senjata yang berbentuk payudara itu, tentu saja membuat sepasang mata laki-laki hidung belang akan tertarik untuk memperhatikan. Beberapa terjangan dengan tongkat telapak Serigalanya telah berhasil dihindari sang lawan yang masih berusia muda itu.
Walau di hatinya agak malu untuk menghadapi seorang gadis. Apa lagi seorang gadis yang tampaknya seperti orang mengantuk itu. Namun setiap mengelakkan serangan dibarengi ejekan, atau tertawa cekikikan. Benar-benar membuat darahnya jadi bergolak saking jengkelnya. Tiba-tiba tampak sepasang mata si Mata Iblis mengeluarkan sinar merah. Dan tubuhnya melangkah kebelakang dua tindak.
Roro memang belum melakukan serangan selain mengelakkan setiap serangan yang datang. Kini melihat si Mata Iblis menatap padanya dengan sinar mata memancar merah. Terkesiap juga Roro Centil. Ia agak terpengaruh, dan terpaku menatap sang lawan. Mata Iblis gunakan kesempatan itu untuk membentak.
"Bocah tengik Roro Centil, berikan kedua senjata itu padaku. He he he... Benda sebagus itu tak patut di tanganmu. Itu senjata untuk permainan laki-laki..!"
Aneh... Tampaknya Roro tak berdaya. Sepasang matanya menatap tak berkedip pada si Mata Iblis. Tapi ia tak julurkan kedua senjatanya, melainkan dijatuhkan dekat kaki di hadapannya. Seraya berkata,
"Ambillah..! itu senjata palsu. Seperti juga Medali yang kau tunjukkan tadi. Apakah kau tak ingin sepasang senjata yang asli..?" Bertanya Roro. Dan sambil tertawa mengikik ia telah buka belahan baju bagian depannya.
Segera saja terlihat dua buah bukit kembar dengan tonjolan kedua putik pada ujungnya. Itulah B.H. warisan gurunya, yang memang mirip dengan payudara asli. Ternganga mulut si Mata Iblis. Dan tak terasa ia telah maju melompat tiga tindak.
"Kau mau yang ini..?" Nah..! Majulah lebih dekat..!" Berkata Roro Centil. Sementara sepasang matanya tetap menentang tatapan si Mata Iblis.
Ternyata diam-diam keduanya tengah mengadu ilmu bathin. Dengan masing-masing saling tatap. Tampaknya si Mata Iblis berusaha menahan pengaruh yang luar biasa, yang tanpa disadari jantungnya berdetak keras. Dan tampak ia berusaha untuk tidak melangkah maju. Diam-diam sebelah lengannya telah ia siapkan untuk menyerang dengan jarum-jarum beracunnya.
Tiba-tiba.. ia telah gerakkan tangannya merogoh saku bajunya. Dan detik berikutnya ia telah lepaskan ratusan jarum berbisa ke arah Roro. Meluruk seketika benda-benda halus itu bagaikan hujan ke arah tubuh Roro yang bagian dadanya terbuka. Akan tetapi tiba-tiba Roro telah gerakkan kepalanya. Segera menyambar rambut Roro menghantam buyar jarum-jarum berbisa itu, yang meluruk kembali ke arah si Mata Iblis.
Terkesiap bukan main si Mata Iblis Tentu saja ia tak menyangkanya sama sekali. Dengan berteriak keras ia telah kibaskan lengan jubahnya. Ratusan benda itu seketika buyar. Tapi tak urung beberapa batang jarum telah menembus sebelah lengannya. Terpekik si Mata Iblis. Ia sudah melompat mundur tiga tombak. Tampak tubuhnya tergetar hebat.
Sekejap saja sebelah lengannya telah menjadi terkulai tak dapat dipergunakan lagi. Wajahnya tampak menyeringai pucat. Akan tetapi ia telah segera berteriak keras laksana guntur. Tongkat telapak Serigalanya meluncur deras mengarah dada lawan yang terbuka.
Roro cepat mengambil tindakan. Segera ia miringkan tubuh ke samping sampai melengkung ke belakang. Loloskan sambaran itu. Akan tetapi sebelah kakinya telah bergerak menyambar ke bawah pangkal paha lawan.
Des..! Terdengar teriakan tertahan si Mata Iblis, tubuhnya terlempar ke udara tiga tombak. Saat itulah Roro telah sambar lagi sepasang senjatanya. Dan... Swing..! Swing..! Kedua Rantai Genit telah bergerak menyambar tubuh si Mata Iblis. Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua bayangan menerpa.
Trang! Trang!
Serangan Roro berhasil digagalkan. Kiranya sepasang lengan si Kelelawar Besi yang telah menyambar dengan cepat. Terkejut Roro Centil. Ia rasakan benturan keras itu menggetarkan lengannya. Segera ia melompat mundur dua tombak. Sepasang lengannya telah selipkan kembali senjatanya kesisi pinggang.
Begitu tubuh si Mata Iblis hinggap di tanah, ia telah gerakkan kedua telapak tangan menghantam dengan pukulan tenaga dalam. Terlemparlah tubuh si Mata Iblis ke depan. Menyambar deras ke arah si Kelelawar, yang tengah bentangkan sepasang lengannya. Saat itulah Roro berteriak.
"Tangkap..!"
Aneh..! Getaran suara Roro telah membuat Kelelawar Besi jadi terpengaruh. Dan secepat kilat gunakan lengannya yang terbentang itu menangkap pinggang si Mata Iblis. Tapi bukannya menangkap. melainkan mencengkeram. Terdengarlah saat itu juga teriakan parau si Mata Iblis. Darah segar tampak muncrat dari tubuhnya. Dalam keadaan tubuh setengah terangkat, si Mata Iblis berkelojotan. Karena kedua belah pinggangnya telah dicengkeram hancur.
Tentu saja tanpa sadar karena rasa sakit yang amat sangat, senjata si Mata Iblis bergerak bagai kilat menghantam kepala si Kelelawar Besi. Hingga tanpa ampun lagi remuklah kepala manusia itu. Namun sepasang lengan besinya justru semakin kuat mencengkram kaku. Hingga menembus robek pada bagian tengah perut si Mata Iblis. Terpekik si Mata Iblis dengan suara bagaikan raungan serigala. Pekikkan itu dibarengi dengan robohnya kedua tubuh itu saling tindih.
Namun pekik itu adalah pekik untuk yang terakhir. Karena seketika tubuh si Mata Iblis terkulai. Dan menghembuskan napas yang penghabisan. Menyusul si Kelelawar Besi yang telah berangkat ke Akhirat terlebih dahulu. Terdengar suara Roro Centil berteriak melengking tinggi. Sementara di lain pihak, Kala Wesi telah terkapar tak berkutik lagi. Dengan isi parut terburai, termakan senjata Cakar Rajawali si wanita dari Sepasang Rajawali Putih. Sedang Kala Munget menggeletak dengan leher hampir putus.
Adapun Ginanjar baru saja menancapkan Pedang Pusakanya di leher Rimba Wengi. Wanita itu berkelojotan sejenak lalu tewas. Keadaan jadi sunyi sejenak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan bergemuruh. Ternyata puluhan pengunjung telah bersorak gegap gempita. Bahkan ada yang tengah menari-nari kegirangan. Dan beberapa orang telah membukai pakaiannya. Kemudian dilempar-lemparkan ke udara. sambil berteriak-teriak gembira.
"Hidup Ki Dharma Tungga. Ketua Besar Kaum Rimba Hijau..!"
"Hidup sepasang Rajawali Putih..!"
Sedang pada kelompok lain terdengar... "Hidup Roro Centil Pendekar Wanita Pantai Selatan..!"
Saat itu juga angin bersyiur keras. Dan seekor burung Rajawali telah turun menukik. Burung besar ini mendarat di hadapan sepasang Rajawali Putih. Bersamaan dengan berkelebatnya sesosok tubuh kurus kering. Yang tak lain dari si kakek Pengemis.
Ginanjar segera berteriak... "Guru..!" Dan ia sudah melompat cepat kehadapan sang kakek.
Semua orang jadi melengak. Karena tak menyangka kalau pemuda wakil Ki Dharma Tungga itu adalah murid dari si Kakek pengemis yang selipkan segenggam sapu lidi aren di punggung. Bahkan Roro pun jadi kerutkan alisnya. Tiga orang kakek hampir seusia pengemis itu berlompatan seraya menjura hormat padanya.
"Maafkan kami yang tak mengetahui kedatangan Ketua Rimba Hijau Ki Dharma Tungga ke tempat ini..! Walau kami telah mengundurkan diri, namun terimalah hormat kami..!" Berkata salah seorang.
Tentu saja semua yang hadir pun segera berlompatan menghampiri, dan saling berebut menjura. Apa lagi bagi generasi baru, yang belum pernah melihat wajah sang Ketua Rimba Hijau itu. Seperti tak percaya dan tak akan menyangka kalau orangnya adalah yang seperti pengemis itu. Si Sepasang Rajawali Putih pun tak ketinggalan untuk menghaturkan hormat. Namun Roro Centil tetap tak beranjak dari tempatnya. Ternyata sepasang mata si kakek ini amat jeli. Ia sudah menyapa Roro dengan tertawa.
"Heheheh... heh heh..heh... Bocah Centil..! Hayo kita teruskan adu lari kita tempo hari! Aku berani bertaruh, sampai hari Kiamat pun kau tak akan dapat mengejar untuk menyusulku..!"
Dan tiba-tiba saja ia telah totok tubuh Ginanjar. Keruan saja pemuda yang tak menduganya itu jadi terkejut. Namun apa daya, seketika saja tubuhnya telah berubah jadi kaku. Tahu-tahu sepasang lengan telah menyambar tubuhnya, dan dilarikan dengan cepat menuruti lereng Gunung.
"Tolooong..! Toloooong..! Roro! Tolonglah aku..! Aku tak mau dikawinkan dengan cucu perempuannya..!" Ginanjar telah berteriak-teriak. Roro sudah beranjak akan mengejar. Akan tetapi tiba-tiba munculah Joko Sangit, yang sudah lantas berkata,
"Roro..! Apakah kau sudah siap untuk mendengarkan pesan mendiang Gurumu..?"
Roro Centil menoleh sejenak pada Joko Sangit. Akan tetapi xuma sejenak, karena tubuhnya sudah berkelebat menyusul si kakek pengemis, yang membawa lari Ginanjar. Joko Sangit jadi seperti terkesima. Dengan mulut ternganga menatap ke arah berkelebatnya tubuh Roro Centil, yang sebentar saja sudah lenyap. Akan tetapi lapat-lapat masih terdengar di telinganya.
"Joko Sangit..! Simpanlah dulu pesan Guruku itu. Aku belum siap untuk mendengarkannya...!"
Pemuda ini jadi garuk-garuk kepala, dengan wajah tampak bersemu merah. Tapi disudut bibirnya tersungging senyuman. Ia pun segera menyelinap pergi. Semua yang hadir cuma bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seorang kakek sudah lantas berkata,
"Haiiih..! Ternyata Dunia Persilatan adalah tempatnya segala macam manusia, dengan pelbagai watak yang aneh aneh..!"
Senja pun tiba. Prahara telah berlalu. Tampak seekor burung Rajawali meluncur pesat meninggalkan puncak Mahameru. Dengan sepasang penunggangnya, yang tampak arahkan pandangan ke bawah.
Puncak Mahameru masih tetap kepulkan asap tipis yang menjulur naik ke langit. Namun agaknya sang Raksasa ini dapat bernapas lega. Karena manusia-manusia yang telah mengganggu tidurnya itu berangsur angsur pergi meninggalkannya. Ia memang tampak amat lelah. Dan ia akan tidur lagi sampai 1000 tahun...
Selanjutnya,