Jodoh Rajawali - Mempelai Liang Kubur
SATU
DUA tokoh tua itu sama-sama berdiri di atas sebatang pohon keiapa yang melintang sebagai jembatan sungai kecil. Tak jauh dari jembatan tersebut terdapat tonggak-tonggak bambu bagai bermunculan dari kedalaman sungai. Jumlah tonggak bambu itu lebih dari dua puluh batang.
> Letaknya satu dengan yang lain berjarak sekitar satu langkah, ada yang berjarak dua sampai tiga langkah. Ujung tonggak-tonggak bambu itu tidak berbentuk datar namun runcing. Seseorang yang jatuh dari jembatan batang kelapa itu bisa jadi akan tertancap tonggak bambu yang juga terdapat di bagian bawahnya.Lelaki tua yang badannya berbulu abu-abu itu mengenakan jubah hitam dengan pakaian putih lusuh. Gerakannya cukup gesit ketika melakukan pukulan beruntun ke tubuh perempuan tua berambut putih dan mengenakan jubah hijau. Kecepatan pukuian lelaki itu menimbulkan suara berdesau bagai hembusan angin kencang, sedangkan gerakan tangan perempuan tua yang menangkis pukulan beberapa kaii itu menimbulkan suara gemuruh, bagai seribu kipas mengibas bersamaan.
Plak, plak, Plak... deb! Plok...! Dug, dug...!
Dua pasang tangan mereka saling adu, berkelit, menangkis, dan menghantam. Begitu cepatnya kedua pasang tangan mereka saling berkelebat, hingga wajah masing-masing tak bisa terlihat jelas oleh orang lain yang memandang dari tepian sungai. Orang yang memandang itu berpakaian hitam dengan ikat kepala kuning. Tubuhnya kurus, rambutnya pendek. Matanya sesekali berkaca-kaca karena genangan air mata. Orang inilah yang bernama Bujang Lola dan dijuluki sebagai Manusia Cengeng.
"Cepat lagi! Cepat lagi, Guru! Awas, jangan mendekat! Mundur sedikit!" Bujang Lola berceloteh dengan badan bergerak ke sana-kemari, bingung sendiri. Antara girang dan tegang Bujang Lola memperhatikan gerakan-gerakan jurus maut kedua tokoh itu, sambil mencucurkan air mata bagai merasakan kebanggaan yang tinggi atau terharu melihat kedua tokoh tua itu beradu ilmu sama kuat.
"Awaaas...!" teriak Bujang Lola merasa ngeri dan kian mencucurkan air mata.
Pada saat itu ia meiihat perempuan tua berjubah hijau berhasil menghantam dada si jubah hitam dengan satu sentakan tangan kirinya Duug...! Wuuut...i Lelaki berjubah hitam itu terpental dan jatuh dari pematang kayu yang merupakan jembatan sungai kecil itu. Tubuh lelakl itu segera bergerak memutar dan dalam kejap berikutnya kedua kakinya sudah berdiri merenggang di atas dua pucuk bambu runcing yang ada di bawah jembatan tersebut. Tangannya yang kanan merentang ke atas, yang kiri teriipat di dada.
"Hiaaat...!" perempuan tua berjubah hijau segera melompat dan melepaskan endangan terbangnya ke arah lelaki tua itu.
Tetapi dengan cepat tubuh lelaki tua itu melenting ke arah samping dan satu kakinya berpindah pijakan di atas bambu pendek yang ujungnya juga runcing. Sedangkan perempuan tua yang tendangannya tidak mengenai sasaran itu mendarat dengan kaki berpijak di atas bambu runcing dalam jarak empat langkah dari lelaki tua itu. la pun berdiri dengan satu kaki.
Jika keduanya bukan orang berilmu tinggi serta tidak mempunyai iimu peringan tubuh, sudah pasti ujung-ujung bambu itu akan menembus telapak kaki mereka. Tetapi kenyataannya mereka bagaikan berdiri di atas tonggak bambu datar, bahkan seolah-olah telapak kaki mereka terbuat dari baja, sehingga ujung bambu yang runcing itu pun sempat patah karena terinjak.
"Pertahananmu masih rapuh, Leak Parangi" kata nenek berjubah hijau sambil tersenyum sinis. "Kau belum bisa merapatkan seranganmu menjadi benteng pertahanan sekaligus!"
"Heh," Leak Parang tersenyum pula. "Kau anggap aku masih rapuh karena terkena pukulan 'Jalak Gentar' mu, Kubang Darah. Tapi lihatlah telapak tangan yang kau gunakan memukul dadaku tadi!"
Pandangan mata Nyai Kubang Darah sedikit menyipit, kemudian pelan-pelan ia balikkan telapak tangannya dan matanya pun segera tersentak lebar setelah mengetahui, bahwa telapak tangan itu membiru samar-samar. Kejap berikutnya ia merasakan tangan tersebut bagaikan mengalami kesemutan, disusul kemudian persendian jari terasa ngilu.
Perempuan tua yang ternyata adalah Nyai Kubang Darah, kekasih Leak Parang itu, kini menjadi tertawa terkekeh-kekeh sambii manggut-manggut memandangi Leak Parang yang punya nama asli Sangga Buana.
"Boleh, boleh...," katanya disela tawa. "Rupanya kau telah menguasai iimu 'Perisai Mayat' milik Ki Gebrak Jagat itu! Tapi cobalah kau tahan jurus 'Mulut Seribu Naga' yang kumiliki ini! Heaaah...!"
Wuuut..! Tubuh Nyai Kubang Darah melesat cepat ke arah Leak Parang bagaikan singa hendak menerkam. Tiba-tiba tangannya bergerak dengan kecepatan tinggi dalam keadaan masing-masing tangan mempunyai dua jari diluruskan. Jari-jari tersebut menyerang dada Leak Parang dengan beruntun dan sangat cepat. Sekalipun ditangkis namun masih bisa menerobos tangkisan lawan.
Tab, tab, tab, tab, tab...!
Tusukan-tusukan jari Nyai Kubang Darah membuat tubuh Leak Parang terdorong melayang dan terdesak terus. Kaki Nyai Kubang Darah menjejak satu kali iagi di ujung bambu dan serangan tersebut datang kembali, sampai akhirnya tubuh Leak Parang bagaikan melayang-iayang bergerak ke belakang dalam keadaan melengkung ke depan.
Bruuuk..! Tubuh Leak Parang akhirnya jatuh di tanah tanggul sungai, kaki Nyai Kubang Darah pun mendarat di tanah itu pula. Serangan jurus 'Mulut Seribu Naga' berhenti. Leak Parang terengah-engah dalam keadaan duduk di tanah dengan kedua tangan menopang ke belakang. Matanya dikejap-kejapkan, kepalanya dikibas-kibaskan, karena ia merasakan pusing tujuh keliling dan pandangannya menjadi buram.
Nyai Kubang Darah menertawakannya dari Jarak tiga langkah. Sedangkan Bujang Lola memandang bengong dengan air mata mengalir dan mulut bergerak-gerak bagaikan mau menangis keras.
"Jurus edan! Sejak kapan kau dapatkan jurus itu, Punding Ayu?!" tanya Leak Parang dengan menyebutkan nama asli Nyai Kubang Darah.
"Itu jurus temuanku sendiri! Kau ingin mempelajarinya, Sayang? Bangkitlah, kuajarkan jurus itu padamu!"
"Tunggu dulu!" Leak Parang yang sudah berdiri agak sempoyongan itu merentangkan satu tangannya. Matanya memandang ke tanah dengan berkerut dahi. Kemudian wajahnya menjadi tegak dalam keadaan terpejam dan membisu. Nyai Kubang Darah masih memandang dengan senyum kemenangan. Kejap berikutnya Leak Parang berkata, "Tiba-tiba perasaanku jadi tak enak, Punding Ayu!"
"Itu karena jurus 'Mulut Seribu Naga'-ku tadi."
"Bukan. Maksudku... aku berfirasat buruk terhadap bunga Teratai Hitam yang dibawa Yoga!"
Nyai Kubang Darah berkerut dahi sambil mendekati kekasihnya, lalu bertanya dengan nada mirip orang menggumam, "Ada apa?"
"Entahlah. Tapi rasa-rasanya aku jadi ingin ke kadipaten untuk melihat apakah bunga itu telah diberikan kepada sang Adipati atau belum. Aku jadi gelisah sekali memikirkan nasib Pendekar Rajawali Merah itu. Nyai!"
"Sial! Ternyata jurus 'Mulut Seribu Naga' ku justru telah membuka selaput indera keenammu, Leak Parang! Seharusnya membuat dadamu memar selama berhari-hari, tapi karena kau gunakan ilmu 'Perisai Mayat' maka santakan jariku tadi justru membuka selaput indera keenammu!"
"Mungkin... ya, mungkin saja begitu. Aku seperti melihat Yoga sedang digiring ke penjara kadipaten!" Leak Parang kembaii memejamkan matanya dan berkata, "Agaknya dia dalam kesulitan yang cukup pelik. Aku harus segera menolongnya, Punding Ayu! Dan... dan... oh, aku melihat ada kesalahpahaman antara Pendekar Rajawali Merah dengan pihak kadipaten! Kalau tidak kucegah bisa terjadi banjir darah di kadipaten!"
"Aku sudah tidak mau tahu lagi dengan bunga itu. Leak Parang!"
'Kalau begitu, biar aku sendiri yang menyelesaikan masalah di kadipaten. Kau tetap tinggal di pondok bersama Bujang Lola. Aku tak akan iama di sana, Runding Ayu!"
"Terserah. Berangkatlah sana, aku tetap akan menunggumu dan tak akan pergi ke mana-mana, kecuali aku punya firasat jelek tentang dirimu, Sangga Buana!"
Sebenarnya Nyai Kubang Darah tidak ingin ditinggal oleh kekasihnya. Maklum, mereka pengantin baru. Sejak dulu mereka saling bercinta, tapi terpisah karena beda aliran, dan sekarang di masa tua mereka kembali akur dan mempertemukan cinta mereka dalam wujud perkawinan sejati.
Leak Parang sempat panik ketika Nyai Kubang Darah terluka. Untung ia berbasa menyembuhkannya. Lalu mereka bertekad untuk hidup bersama sampai ajal tiba. Tapi sebagai pengisi waktu menunggu ajal tiba, mereka saling berlatih jurus-jurus baru, saling bertukar ilmu, sehingga keduanya hampir memiliki ilmu serupa.
Agaknya indera keenam Leak Parang makin tajam setelah mendapat serangan jurus 'Mulut Seribu Naga' milik Nyai Kubang Darah, ia bisa melihat bayang Yoga dimasukkan dalam penjara. Sebab, kenyataannya memang demikian. Terjadi kesalahpahaman antara Yoga dengan pihak kadipaten.
Sesuai sayembara yang berlaku, siapa pun orangnya yang bisa sembuhkan sakit sang Adipati, jika lelaki akan dikawinkan dengan Putri Galuh Ajeng, anak sang Adipati itu. Karena Yoga yang berhasil membawa bunga Teratai Hitam sebagai obat sang Adipati, maka Yoga akan dikawinkan dengan Putri Galuh Ajeng.
Tapi Yoga menolak, dan penolakan itu dianggap suatu penghinaan terhadap keluarga Adipati. Akibatnya, Pendekar Rajawaii Merah pun ditawan dan siap untuk diadiii menurut undang-undang yang berlaku di kadipaten itu (Baca episode: "Bunga Penyebar Maut").
Sebenarnya, bukan hal yang sulit buat Yoga untuk memberontak menggunakan kekerasan, la masih merasa mampu membuat orang-orang kadipaten menjadi mayat yang berserakan. Tapi Yoga tidak ingin iakukan hal itu, karena ia merasa masih bisa menyelesaikan masalah tersebut melalui jalan damai, la yakin akan bisa mengatasi masalahnya melalui perundingan, sehingga tidak perlu timbui pertarungan yang harus membuat darah menggenang di mana-mana.
Di luar dugaan Yoga, pada saat itu Kencana Ratih, yang juga keponakan dari Leak Parang, mengetahui saat penangkapan diri Yoga. la segera mengadukan hal itu kepada Pendekar Rajawali Putih dalam satu pertemuan di perjalanan. Sebenarnya Kencana Ratih ingin mengadukan hal itu kepada Leak Parang, pamannya. Tetapi Lili mengajaknya menyerbu ke kadipaten untuk membebaskan Pendekar Rajawali Merah.
Pada saat mereka bergerak menuju ke kadipaten, di perbatasan mereka terpaksa terlibat bentrokan dengan dua orang kadipaten yang memang ditugaskan di perbatasan. Mereka adalah Waduk Songo dan Cakar Hantu. Tugas menjaga perbatasan itu diberikan sejak ditangkapnya Yoga, karena Putri Galuh Ajeng yang menjadi otak penangkapan tersebut, sempat khawatir jika ada pihak yang mengetahui penangkapan diri Yoga dan ingin melakukan perlawanan. Firasat itu dimiiiki oleh Galuh Ajeng karena selain ia orang berilmu tinggi, juga mempunyai otak yang cerdas.
"Pemuda setampan dia tak mungkin tidak mempunyai pengikut. Jika ada yang mengetahui dirinya kupenjarakan, pasti pengikutnya akan datang menuntut pembebasan," pikir Galuh Ajeng ketika itu, sehingga dikirimlah prajurit kadipaten yang termasuk Orang berilmu itu untuk menjaga perbatasan.
Melihat dua wajah wanita cantik itu menjadi tagang dalam perjalanannya. Waduk Songo dan Cakar Hantu mulai menaruh curiga. Mereka sengaja menghadang di tengah jalan setelah Waduk Songo yang berbadan besar itu berbisik kepada Cakar Hantu yang kurus,
"Dua orang asing itu melangkah dengan terburuburu dan tampak tegang. Pasti mereka menyimpan amarah, dan pasti mereka ingin menuju ke istana."
"Menurut dugaanku juga begitu! Kita harus hadapi mereka. Usir mereka, bila melawan... bunuh!"
"Tapi keduanya tampak cantik, Cakar Hantu! Mengapa harus dibunuh! Bagaimana kalau kita perdaya lebih dulu, kita gunakan dia sebagai teman kencan di baiik pohon rindang sana? Tak akan ada yang mengetahuinya, Cakar Hantu!"
Plaak...!
"Kerjakan tugas dengan baik!" hardik Cakar Hantu sambil menampar pipi Waduk Songo. Orang bertubuh besar dan berkumis lebat itu menjadi ciut nyali. Rupanya ilmunya lebih rendah dibanding ilmu yang dimiliki Cakar Hantu, sehingga ia tak berani meiawan ataupun membalas sikap kasar Cakar Hantu yang bermata cekung itu.
Kencana Ratih dan Lili si Pendekar Rajawali Putih itu, mulai memperlambat langkah mereka. Kencana Ratih yang berjalan disebelah kiri Lili segera berbisik, "Agaknya mereka orang kadipaten yang siap menghadang kita!"
Lili tidak berkata apa-apa kecuali menggumam, langkahnya masih tetap tegak dan penuh keberanian. Kencana Ratih segera berbisik untuk yang kedua kalinya,
"Biar kutangani mereka!"
Tetap saja tak ada jawaban dari Lili, karena ia sibuk memendam murkanya yang ingin meledak demi mendengar Yoga ditawan pihak kadipaten. Matanya pun memandang tajam ketika berhenti di depan kedua penjaga perbatasan tersebut.
"Jangan menghalangi langkah kami!" hardik Kencana Ratih kepada kedua orang kadipaten itu.
Waduk Songo menyahut. "Mau ke mana kalian, Nona-nona cantik?"
"Ke kadipateni" jawab Kencana Ratih dengan ketus.
"Perlunya?"
"Akan membawa pulang Yoga!"
Waduk Songo tertawa sambii mengusap-usap kumisnya yang lebat. Lalu ia berkata dengan sikap meremehkan, "Sebaiknya pulang saja. Pemuda yang sombong dan menolak perkawinannya dengan Putri Galuh Ajeng itu akan diadili karena dianggap menghina kadipateni Pemuda itu tidak akan bisa ditebus dengan apa pun, bahkan dengan kedua nyawa kalian juga tetap tak akan bisa sebelum menjalani hukuman!"
Lili sejak tadi masih diam. Matanya lebih tajam memandang ke arah Cakar Hantu, sedangkan Cakar Hantu pun sejak tadi juga hanya diam dengan wajah dingin dan sorot mata sedikit menyipit ketika menatap Lili.
Kencana Ratih kembali berkata kepada Waduk Songo, "Kaiian belum tahu siapa kami. Wajarlah kalau kalian bicara seenak perut kalian. Barangkali kalian perlu tahu, bahwa aku adalah Kencana Ratih, keponakan dari Paman Leak Parang. Dan yang di sampingku ini Pendekar Rajawaii Putih, teman seperguruan Pendekar Rajawali Merah, pemuda yang kalian tangkap itul"
"Kami tidak butuh mengetahui siapa kalian," kata Waduk Songo. "Kami hanya inginkan kalian segera pulang dan Jangan Coba-coba melawan kami. Sayangilah nyawa cantik kalian berdua!"
"Hmm...! Kami tidak mempan dengan gertakan seperti itu, Manusia Gentong! Jangankan menyentuh nyawa kami, menyentuh pakaian kami pun kau tak akan mampu!"
"O, ya...?!" Waduk Songo tersenyum-senyum. "Apa susahnya hanya menyentuh pakaianmu, Nona Cantik?!"
Tangan Waduk Songo berkelebat ingin menyambar lengan Kencana Ratih. Sebenarnya Kencana Ratih ingin bergerak mundur menghindari raihan tangan tersebut. Namun di luar dugaan, tangan Lili sudah lebih dulu berkelebat dengan cepat. Begitu cepatnya hingga yang dapat dirasakan oleh Waduk Songo hanya kibasan angin belaka, la tidak tahu bahwa tangan itu bergerak mematuk seluruh lengannya sampai terakhir mematuk pertengahan lehernya dengan cepat.
Duub...!
Dua jari tangan Lili menyentak kuat, dan pertengahan leher Waduk Songo pun menjadi bolong seketika. "Hggrr...!" Waduk Songo mendelik, mulutnya ternganga. Darah pun menyembur keluar dari pertengahan leher yang berlubang itu. Kejap berikutnya, Waduk Songo terhempas rubuh ke belakang dan berkelojotan beberapa saat. Setelah itu diam tak bergerak untuk selama-iamanya dengan mata masih mendelik.
Pendekar Rajawali Putih kembali dalam posisinya. Kencana Ratih dan Cakar Hantu sama-sama tertegun bengong lupa berkedip. Mereka sama-sama merasa seperti mimpi melihat gerakan secepat itu. Sulit sekali diingat bagaimana tadi kedua tangan Lili mematuk-matuk sampai akhirnya melubangi leher Waduk Songo. Bahkan Cakar Hantu masih tidak percaya kalau temannya itu telah tewas dalam keadaan terkapar.
Cakar Hantu segera memariksa mayat Waduk Songo. Setelah yakin bahwa Waduk Songo sudah tidak bernapas iagi, barulah Cakar Hantu timbul kegeraman dan wajahnya menjadi merah karena luapan amarah, la memandang Lili dalam keadaan masih jongkok di samping mayat temannya, sedangkan yang dipandang hanya diam saja dengan sorot pandangan mata sedingin salju.
"Jurusnya mirip jurus setan! Berbahaya sekali orang ini!" pikir Cakar Hantu. "Tapi belum tentu ia bisa menumbangkan aku semudah menumbangkan Waduk Songo!"
Cakar Hantu berdiri dengan gigi menggelutuk dan tangan mengeras membentuk cakar. Tangan itu belum terangkat, masih di kanan-kiri.
Kencana Ratih maju ke depan Lili. Sedikit pun Lili tidak bergeser dari tempatnya berdiri, ia biarkan Kencana Ratih berkata kepada Cakar Hantu,"Jangan nekat melawan temanku inil Kau bisa menyusul manusia gentong itu ke akhirat jika kau coba-coba melawannya!"
"Kalian harus menebus nyawa Waduk Songo!" geram Cakar Hantu pelan. Lalu tiba-tiba tangan kanannya berkelebat menyambar wajah Kencana Ratih dengan cakarannya.
Wuuut...!
Raak...! Kencana Ratih menangkis. Tapi tubuhnya segera terpental ke samping dan terpelanting jatuh. Rupanya tenaga cakaran itu sangat besar, sehingga ketika ditangkis lengan Kencana Ratih terasa mau patah dan tubuhnya bagal didorong oleh kekuatan yang cukup besar.
Cakar Hantu menggeram sambil melompat hendak menerkam Kencana Ratih. Namun dengan gerakan yang sulit diikuti pandangan mata, Pendekar Rajawali Putih berkelit menendang dengan ujung kakinya.
Duugh...!
Krak...! Terdengar seperti suara tulang patah. Tubuh Cakar Hantu terlempar jauh dan terguiing-guiing. Lili bersikap diam kembali dan memandangi lawannya menggeliat kesakitan sambil memegangi tulang rusuknya yang patah itu. Bahkan ketika Cakar Hantu berhasil berdiri dan segera melarikan diri, Pendekar Rajawali Putih tetap diam memandang tajam tak berkedip. Kencana Ratih sendiri sampai merasa takut untuk menegurnya. Akhirnya Kencana Ratih juga ikut-ikutan diam dan hanya memandangi pelarian Cakar Hantu.
Kejap berikutnya terdengar suara Lili berkata datar, "Serang mereka!" Dan ia mendahului bergerak maju, lalu Kencana Ratih mengikutinya.
"Tahan...!" terdengar suara dari belakang.
Mereka berdua sama-sama berpaling ke belakang. Kencana Ratih berseru, "Paman Leak Parang...?!"
Pendekar Rajawali Putih menatap lelaki tua yang dipanggil oleh Kencana Ratih sebagai paman. Leak Parang sendiri menatap Lili beberapa saat dengan dahi berkerut. Lalu, Kancana Ratih ucapkan kata,
"Paman, dia Pendekar Rajawali Putih, teman seperguruan Yoga!"
"Kalian ingin ke kadipaten?"
"Benar, Paman Yoga ditawan oleh mereka karena menolak dikawinkan dengan Putri Galuh Ajeng!"
"Hhmm... sudah kuduga begitu," gumam Leak Parang.
"Kalau mereka tidak mau lepaskan Yoga, kami berdua akan mengobrak-abrik kadipaten!" kata Kencana Ratih dengan berapi-api.
"Jangan. Biar aku yang menangani masalah itu! Kalian tunggu saja di sini. Tak lama Paman akan kembali membawa Yoga. ini hanya kesalahpahaman saja."
Kencana Ratih bingung memberi keputusan. la memandang Pendekar Rajawaii Putih yang tetap membisu. Leak Parang memahami kebingungan keponakannya itu, maka ia segera mendekati Lili dan bicara kepada si gadis cantik berilmu tinggi itu,
"Biar aku yang mengambil Yoga! Tunggulah beberapa saat di sini, atau kau bisa beristirahat di bawah pohon rindang, di kaki bukit itu! Aku pasti akan datang membawa Pendekar Rajawali Merah."
"Jika gagal, apa taruhannya?"
"Penggallah kepalaku!" kata Leak Parang.
Keduanya saling pandang beberapa saat iamanya. Kencana Ratih tak berani mengusik kebisuan mereka berdua, karena Kancana Ratih tahu, bahwa Lili sedang meyakinkan diri untuk serahkan tugas mengambil Yoga kepada Leak Parang.
Beberapa saat kemudian, barulah terdengar suara Lili berkata, "Baik. Aku setuju!"
* * *
DUA
SEKELEBAT bayangan berpakaian kuning melesat mencapai seberang sungai dengan satu sentakan kaki di atas batu besar. Sosok berpakaian kuning itu ternyata sedang dikejar oleh seseorang bertubuh tinggi-besar mirip raksasa, namun berwajah tampan dan rapi.
Orang besar itulah yang bernama Gandaloka, utusan dari Pulau Kana atau Pulau Keramat yang bertugas membawa Yoga ke pulau itu untuk dikawinkan dengan ratunya, yaitu Kembang Mayat. Sedangkan orang yang dikejarnya itu tak lain adalah si Dewa Tampan; Wisnu Patra.
Ksatria dari Pulau Kana itu memang tidak mau banyak cakap dalam pertarungannya. Wajahnya tetap dingin dan memendam dendam atas kematian dua sahabatnya yang dibunuh oleh Wisnu Patra yang bersenjatakan pedang perunggu. Langkah lebar Gandaloka dan gerakan lincahnya mampu mengejar kecepatan gerak Wisnu Patra, sehingga dalam sekejap saja Wisnu Patra sudah terhadang oleh tubuh tinggi besar itu.
"Kalau kau seorang ksatria, mengapa harus lari menghadapi lawanmu?" kata Gandaloka dengan tenang namun tampak membahayakan. Kalau ia bukan orang berilmu tinggi, pastilah sudah mati seperti kedua temannya dimakan jurus apinya Wisnu Patra.
Dengan tetap memegang pedang perunggu, Wisnu Patra berkata, "Aku lari bukan menghindari perlawananmu! Aku hanya memberi kesempatan padamu untuk berpikir apakah kau harus melawanku atau tidak sama sekaii. Kalau ternyata kau ingin membela kematian dua temanmu itu, aku pun terpaksa melayanimu, Gandaloka!"
"Bagus! Aku senang mendengar kesanggupanmu, Buaya Gila!"
Raksasa ganteng itu sunggingkan senyumnya yang tipis, membuat Wisnu Patra sempat cemas melihat ketenangan lawannya. ia segera memainkan pedangnya ke kanan-kiri, lalu tiba-tiba tubuhnya melesat bagaikan anak panah. Lurus dan cepat ke arah perut Gandaloka dengan pedang siap menghujam. Gandaloka tidak menghindar, melainkan menyentakkan tangannya ke depan dan keluarlah sinar pelangi berbentuk cakram.
Wuuut...!
Sinar itu sebenarnya akan menghantam kepala Wisnu Patra, tetapi pedang perunggu itu segera dikibaskan dua kali, wess... wess...!
Blaaar...!
Ledakan besar terjadi akibat pedang perunggu itu keluarkan asap Jingga tipis yang segera membungkus sinar warna-warni seperti pelangi dari Gandaloka. Ledakan itu hadirkan gelombang sentakan yang sangat kuat, sehingga tubuh Wisnu Patra terlempar ke samping dan membentur pohon. Hidungnya jadi keluarkan darah segar dan kuiit wajahnya terasa panas. Sedangkan Gandaloka hanya mundur satu tindakdan tetaptegak berdiri memandangi lawannya.
Sebelum Wisnu Patra berhasil berdiri dengan tegak, Gandaloka sudah lebih dulu melemparkan logam kuning emas berbentuk bintang segi enam yang lebarnya satu telapak tangan manusia dewasa. Wuuuss...! Logam Itu melesat cepat ke arah Wisnu Patra, jika terlambat menangkisnya sudah pasti akan memotong leher Wisnu Patra.
Traaang...!
Pedang perunggu Itu berhasil menebas logam emas itu dan membuat logam tersebut terpotong menjadi dua bagian. Satu bagian tertancap di batang pohon, bagian yang satunya lagi melesat entah ke mana. Pohon yang terkena logam tersebut menjadi kering seketika dan dalam waktu kurang dari tiga helaan napas sudah menjadi keropos, seperti pohon kering yang usianya sudah ratusan tahun.
"Lidah Neraka!" seru Wisnu Patra, ia segera tancapkan pedangnya ke tanah. Jruub...! Dari tanah yang tertancap pedang itu keluar kilatan cahaya Jingga yang menyebar ke arah kepala Gandaloka.
Zlaap...!
Gandaloka tidak berkelit menghindar, tapi tangannya segera berkelebat menangkap kilatan cahaya Jingga itu.
Zuuul..! Jreb...!
Sinar Jingga ada dalam genggamannya, kemudian ia melemparkannya kepada lawan dengan kaki kanan menghentak ke tanah.
Jleeg...! Wuuut...!
Hentakan kaki itu membuat tubuh Wisnu Patra terpental naik dan Gandaloka segera melemparkan sinar Jingga dalam genggamannya itu. Wus! Wisnu Patra kelabakan melihat sinar jlngga yang disebutnya jurus 'Lidah Neraka' itu telah menjadi gumpalan sebesar bola tangan dan kini sedang melesat ke arahnya.
Untung saja pedang perunggu masih tetap tergenggam di tangannya. Pedang itu dikibaskan dengan gerakan cepat beberapa kali, dan salah satu kibasannya ada yang mengenai bola Jingga berbahaya itu.
Duaaar...! Gusrak...!
Wisnu Patra terpental dan jatuh di semak-semak, la terengah-engah sambil berkata dalam hatinya, "Kurang ajari Jurus 'Lidah Neraka'-ku dengan mudahnya ditangkap dan dilemparkan balik ke arahku. Tinggi sekali Ilmu raksasa yang satu Ini! Agaknya aku tak akan mampu melawannya dalam keadaan beradu muka begini! Aku harus mencari siasat dan kabur untuk sementara!"
Plaaas...!
Wisnu Patra secepatnya melarikan diri dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang tergolong tinggi, sehingga dalam satu sentakan kaki saja tubuh besarnya sudah bisa melesat pergi dengan cepat, menerabas semak belukar, dan meninggalkan bekas seperti jalan tembus di antara semak-semak tersebut Rupanya Gandaloka tidak mau kehilangan lawannya, sehingga ke mana pun larinya, Wisnu Patra ia selalu memburunya.
"Keparat! Orang bertubuh besar itu punya ilmu peringan tubuh juga, hingga bisa bergerak cepat dalam mengejarku. Aku harus lakukan gerakan lari berbelok-belok biar dia kehilangan jejakku!" pikir Wisnu Patra sambil berlari terus.
Tanpa disengaja pelarian Wisnu Patra menuju ke arah perbatasan tanah kadipaten. Pada saat itu, di bawah pohon rindang sedang terjadi percakapan dua gadis yang sebenarnya sama-sama menaruh hati kepada Pendekar Rajawali Merah. Mereka adalah Kencana Ratih dan Lili.
"Kudengar yang bernama Galuh Ajeng itu berilmu tinggi. Aku takut Yoga terpikat kepada kecantikan putri Adipati itu," kata kencana Ratih sambil menatap Lili, tapi yang ditatap hanya memandang ke arah perbatasan, tempat mayat Waduk Songo masih terkapar di sana.
"Apa menurutmu. Yoga mudah terpikat dengan wanita cantik?" tanya Kencana Ratih lagi.
Kali ini Lili menjawab dengan tanpa memandang orang yang diajak bicara, "Menurutku dia memang mata keranjang! Buktinya dia bisa terpikat padamu!"
Jawaban itu ketus, tapi Kencana Ratih justru tertawa pendek dan merasa bangga mendengarnya, la bahkan bertanya, "Apakah kau yakin Yoga tartarlk padaku?"
"Mungkin hanya sebatas mengagumi saja. Tapi untuk jatuh cinta padamu, aku belum yakin betul!"
"Kurasa dia memang menyimpan cinta padaku!"
Kali ini Lili tetap menatap Kencana Ratih dengan wajah masih berkesan ketus. Matanya pun memandang dengan dingin. Ia berkata, "Kalau memang dia menyimpan cinta padamu, akan kucungkil cinta itu dengan pedangku!"
Kencana Ratih mencibir, "Kau tak akan mampu mengalahkan dia!"
Hati Lili mulai tersinggung mendengar ucapan itu. la cepat berdiri dan berkata lebih katus lagi, "Yoga adalah muridku!"
"Omong kosong! Kalian hanya teman satu perguruan!"
"Tapi ilmuku lebih tinggi darinya, dan dia banyak belajar dariku! Itulah sebabnya dia memanggilku dengan sebutan: Guru!"
"Dia menyebutmu guru tidak dengan sepenuh hati! Hanya Ingin melegakan hatimu saja!"
"Persetan dengan niatnya itu, tapi yang jelas akulah yang mengajarkan beberapa jurus pedang tangan satu kepadanya! Jangan kau bilang aku tak bisa mengalahkan dia! Dalam satu jurus saja aku bisa membuatnya tak bernyawa!"
"Aku tak percaya kau sanggup membunuhnya," kata Kencana Ratih dengan nada rendah, bersikap meremehkan kemampuan Lili.
Hati gadis berpedang perak itu semakin panas. Akhirnya ia berkata, "Kalau aku tak sanggup membunuhnya, itu lantaran aku menyimpan cintanya dan dia menyimpan cintaku."
Kencana Ratih cepat menatap tajam kepada Lili. Lama la membungkam mulut dalam beradu pandang. Dadanya tampak naik akibat menghela napas dan menahannya beberapa kejap. Dada itu bergemuruh karena ingin melepaskan amarahnya.
Pendekar Rajawali Putih tersenyum sinis, lalu berjalan memunggungi Kencana Ratih sambil berucap kata, "Dia muridku, juga kekasihku!'
Sreet...!
Kencana Ratih tiba-tiba mencabut pedangnya. Tapi tiba-tiba kaki Lili berkelebat memutar dan menendang tepat di pergelangan tangan Kencana Ratih.
Plaak...!
Pedang itu terlempar naik, Lili sentakkan kaki dan melesat ke atas menangkap pedang itu, kemudian dengan cepat menodongkan ke leher Kencana Ratih.
Wuuut...!
Kencana Ratih mundur hingga merapat di pohon. Pedang di tangan LILI makin merapat pada bagian lehernya Ujungnya siap menghujam leher sewaktu-waktu. Tak akan mungkin bisa dihindari lagi oleh Kencana Ratih. Gadis berlesung pipit itu baru sadar dari rasa kagetnya setelah Lili berkata,
"Jangan coba-coba menyerangku dari belakang! Itu sama saja mempercepat kematianmu!"
"Bunuhlah aku kalau kau memang berani membunuh kekasihnya Yoga."
Kata-kata itu mendidihkan darah Pendekar Rajawali Putih. Hampir saja pedang itu benar-benar dihujamkan ke leher Kencana Ratih. Tapi niat itu tertunda, karena Lili segera mendengar suara orang berlari menerabas semak-semak dari arah belakang Kencana Ratih. Pedang itu justru dijauhkan dari leher Kencana Ratih, dan mata Lili segera memandang ke arah datangnya suara gemerusuk itu. Kencana Ratih pun segera berpaling mengikuti arah pandangan mata Lili.
Kejap berikutnya, muncul Wisnu Patra dari balik semak-semak dan hampir saja menabrak Kencana Ratih dan Lili karena kecepatan larinya la tak menduga ada orang di situ, dan dua orang tersebut pernah ditemuinya pada saat la Ingin mendapatkan bunga Teratai Hitam itu.
"Dewa Tampan...!" sentak Lili terkejut, demikian pula Wisnu Patra.
"Lili...?! Kau berada di sini?!"
"Ya. Mengapa kau lari kemari? Apakah masih dalam pengejaran Gandaloka?!"
"Benar!" jawab Wisnu Patra dengan terengah-engah. "Rupanya dia berilmu tinggi, melebihi kedua temannya yang sudah berhasil kubunuh itu, Lili!"
"Sudah kuduga sejak semula!" jawab Uli dengan senyum kaku karena habis marah kepada Kencana Ratih. "Sekarang di mana dia? Apakah dia tahu kau lari kemari?"
"Entahlah! Tapi kurasa dia akan menemukan diriku walau aku lari ke mana saja! Dia berlarian menggunakan naluri. Aku sudah membelok-belokkan arah ke mana saja, ia masih bisa mengikutiku!"
Kencana Ratih sejak tadi diam saja, tapi matanya tak berkedip memandangi Wisnu Patra yang punya ketampanan hampir senilai dengan Yoga. Diam-diam Kencana Ratih menyimpan rasa kagum terhadap wajah Wisnu Patra, juga kagum terhadap bentuk tubuhnya yang tegap, gagah, dan berbadan kekar. Hanya sayangnya, pemuda tampan itu melarikan diri dari pertarungan. Kencana Ratih paling benci melihat pemuda gagah lari dari pertarungan. Itu menandakan jiwa ksatrianya sangat kecil.
Lili melemparkan pedang ke arah Kencana Ratih. Pedang itu segera ditangkap oleh Kencana Ratih. la tahu. Lili mengembalikan pedang yang berbasil dirampasnya. Tapi Lili tidak segera bicara kepada Kencana Ratih, melainkan justru bicara kepada Wisnu Patra,
"Apakah kau masih sanggup menghadapi Gandaloka?l"
"Sepertinya aku harus menggunakan siasat dalam melawannya. Jika adu muka dengannya, aku merasa kalah ilmu!"
"Kalau begitu...." Kata-kata terhenti seketika, karena tiba-tiba seberkas sinar pelangi melesat dari balik semak-semak.
Wuuurrs...!
Sinar pelangi itu menyerang Wisnu Patra dari arah samping. Sasarannya leher Wisnu Patra. Tapi Lili melihat kelebatan sinar pelangi yang sangat cepat dalam bergerak Itu. Maka serta-merta Lili mengangkat kaki kanannya dan berkelebat menjejak dada Wisnu Patra dengan gerakan amat cepat.
Duugh...! Bruusk...!
Wisnu Patra terlempar dan jatuh terkapar di rerumputan. Tapi sinar merah itu lolos, tak jadi mengenal leher Wisnu Patra. Sinar merah itu melesat dan menghantam gugusan batu di kejauhan. Batu itu meledak dengan kuatnya. Bahkan serpihan debunya sampai memercik mengenal tubuh Kencana Ratih dan Lili. Tangan mereka pun saling menebas-nebas pakaian untuk menghilangkan debu tersebut.
"Keluarlah Gandaloka! Jangan bersembunyi terus di sana!" seru Lili tanpa memandang ke arah persembunyian Gandaloka. Kejap berikutnya, Gandaloka benar-benar muncul dengan satu lompatan melewati tinggi semak-semak tersebut.
Jleeg...! Bumi terasa bergetar ketika sepasang kaki besar itu menapak di tanah. Gandaloka segera memandang Wisnu Patra, dan yang dipandang cepat-cepat bangkit dengan kembali mencabut pedangnya. Tetapi sebelum Gandaloka bergerak, Lili sudah lebih dulu berkata,
"Dia bukan lawanmu, Gandaloka!"
Orang besar Itu berpaling memandang Pendekar Rajawali Putih. Sikapnya masih tenang, tidak berkesan sedang bermusuhan, la berkata, "Apakah kau ingin memihaknya, Pendekar Rajawali Putih?"
Lili belum sempat menjawab, tahu-tahu Wisnu Patra telah menyerang Gandaloka dengan kibasan pedangnya dari arah belakang orang besar itu. Wuuut..! Gandaloka tanpa berpaling sedikit pun segera menyantakkan kakinya ke belakang, plaak...! Tepat menendang siku tangan Wisnu Patra yang memegangi pedang itu. Tendangan tersebut membuat pedang tak jadi terayun membelah punggung Gandaloka, melainkan justru tersentak ke atas. Gandaloka cepat memutar badan dan kakinya melayang dengan cepat.
Buggh...!
Dengan telak tendangan putar itu mengenai dada Wisnu Patra.
"Heegh...!"
Wuuus...! Tubuh si Dewa Tampan itu terlempar cukup jauh, dan terbanting membentur batang pohon. Di sana ia memuntahkan darah segar dari mulut, hidung, dan telinganya. Rupanya tendangan yang dilepaskan Gandaloka itu bukan sekadar tendangan bertenaga kuat saja, melainkan juga dibarengi tenaga dalam yang disalurkan melalui kakinya. Wisnu Patra akhirnya terkapar di sana. Gandaloka segera melompat untuk menyerangnya dengan nafsu ingin membunuh.
"Gandalokal" seru Lili. Seruan itu tidak dihiraukan. Lili segera berjumpalitan di tanah dengan menggunakan kedua tangannya.
Wuuut, wuuut, wuuut..!
Yang terakhir tubuhnya melayang dan melewati kepada Gandaloka.
Weeess...! Jleegg...!
Tahu-tahu la sudah berdiri di depan Gandaloka. Seketika Itu kedua tangannya bergerak cepat melancarkan dua pukulan beruntun.
Beehg, beehg, beehg...!
Gandaloka tersentak mundur beberapa tindak walau tak sampai tumbang. Tubuhnya sempat limbung dan wajahnya tampak menahan sakit. Lili segera menengok ke belakang, ia menjadi cemas melihat Wisnu Patra berwajah pucat pasi dan tak bisa bergerak lagi. Pada saat LILI menengok ke belakang Itulah, Gandaloka melepaskan pukuian jarak jauhnya. Satu gelombang bertenaga kuat melesat dari tengah telapak tangannya.
Z!aaap...!
"Awaaas...!" teriak Kencana Ratih secara tak sadar.
Teriakan 'itu membuat Lili cepat berpaling. Begitu merasakan satu gelombang melesat ke arahnya, Lili buru-buru bentangkan telapak tangannya dan digunakan menahan gelombang itu.
Debb...!
Kini di antara Gandaloka dan Lili membentang gelombang bagaikan besi lurus yang membara terang. Mereka saling dorong, saling tahan hingga keduanya sama-sama bertubuh gemetar. Tapi tiba-tiba tangan Lili bergerak memutar dan menyentak ke depan, membuat gelombang itu bagai berbalik arah dan melesat masuk ke telapak tangan Gandaloka kembali.
Zlaaap...! Wuuut...!
Tubuh besar ituterlempar bagaikan kapas terhembus angin, la jatuh berdebum di tanah datar berjarak sepuluh tombak dari tempatnya berdiri semula.
"Uhhgg...!" terdengar Gandaloka memekik tertahan di sana, lalu ia sontakkan darah hitam dari mulutnya, la menyeringai kesakitan sambil mendekap dada, sementara Lili hanya memandanginya dengan bertolak pinggang. Kencana Ratih pun memandang dengan terbengong, karena diam-diam ia mengagumi kehebatan ilmu yang dimiliki Lili.
"Sekarang aku kalah, Lilil Tapi suatu saat aku pasti kembali lagi untuk mencarimu!" terdengar suara Gandaloka bagai orang tua menekan napasnya di tenggorokan. Setelah berkata begitu, Gandaloka pun segera larikan diri dengan cepat.
Llii membiarkannya karena ia lebih penting menolong Wisnu Patra yang agaknya semakin parah itu. “Wisnu...! Kuatkan dirimu, Wisnul Aku akan menolongmu! Bertahanlah!" Lili segera membawa tubuh Wisnu Patra ke bawah pohon rindang, la tampak cemas sekali.
Kencana Ratih memperhatikan dengan menyunggingkan senyum sinis. Akhirnya ia berkata, "Aku akan menyusul Paman Leak Parang! Aku khawatir terjadi apa-apa di sana!"
Lili tidak menyahut sedikit pun. ia sibuk mendong Wisnu Patra yang semakin biru wajahnya itu.
* * *
TIGA
RUPANYA perintah menangkap Yoga yang datang dari Galuh Ajeng itu berhasil diambil alih oleh sang Adipati. Dalam perundingannya dengan Leak Parang, sang Adipati memutuskan bahwa Yoga pantas untuk dibebaskan. Sang Adipati justru meminta maaf kepada Pendekar Rajawali Merah dan Leak Parang atas sikap putrinya itu.
Tetapi ketika Leak Parang dan Yoga baru sampai di dekat pintu gerbang, tiba-tiba Galuh Ajeng melompat dari sisi kiri dan menghadang di depan mereka berdua. Gadis berusia dua puluh tiga tahun dan gemar mengenakan pakaian ungu itu segera menegur Leak Parang dengan nada ketus,
"Seharusnya Paman Leak Parang tidak Ikut campur dalam urusan Ini. Saya kecewa sekali dengan sikap Paman kali Ini!"
"Galuh Ajeng, kedatangan Yoga kemari membawa bunga Teratai Hitam atas suruhanku. Jadi aku bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada diri Pendekar Rajawali Merah Ini!"
"Tapi tidak benar jika Paman langsung berunding dengan ayahku. Semestinya Paman bicara padaku tentang penangkapan pemuda itu!"
"Kurasa yang berkuasa di kadipaten ini adalah ayahmu, Galuh Ajeng. Jadi aku berunding dengan penguasa setempat, bukan dengan orang yang tidak punya kekuasaan."
Galuh Ajeng mendengus benci. "Agaknya aku perlu memberi pelajaran kepada Paman! Heaah...!"
Galuh Ajeng langsung melompat dengan mengibaskan tangannya ke arah Leak Parang. Kibasan memanjang itu menimbulkan perclkan bunga api yang menyebar. Leak Parang segera kibaskan jubahnya ke depan dan menimbulkan hembusan angin kencang.
Wuuuss...! Kalau saja Galuh Ajeng tidak segera melenting ke udara, maka ia akan terkena balik percikan bunga api warna merah itu. Pada saat Galuh Ajeng melesat di udara dan berjungkir balik satu kali, tangannya melemparkan sesuatu ke arah Yoga.
Pendekar bertangan buntung sebelah yang mengenakan selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya segera berkelit dengan satu lompatan ke samping.
Crab...!
Tangan Yoga cepat berkelebat bagai menyambar sesuatu dengan tubuh bergerak memutar.
Siap, slap...!
Tahu-tahu di sela-sela jari tangan Yoga telah terselip dua jarum kecil berwarna hitam. Galuh Ajeng terkesiap melihat Yoga mampu menangkap lemparan jarumnya menggunakan sela-sela jemarinya. Jika bukan gerakan orang berilmu tinggi, tak mungkin jarum itu bisa ditangkap dengan selipan jari.
"Galuh Ajeng...!" seru sebuah suara. Rupanya sang Adipati segera mengetahui perselisihan di depan pintu gerbang bagian dalam itu.
Galuh Ajeng menjadi takut, lalu cepat-cepat pergi tinggalkan Yoga dan Leak Parang. Pada saat itu, Yoga sempat mengibaskan tangannya, membuang jarum-jarum yang berbasil ditangkapnya itu. Jarum-jarum tersebut melesat ke atas, dan menancap pada dahan pohon beringin. Ternyata hanya jarum biasa yang tak mampu membuat satu daun pun rontok ke bumi.
"Maafkan kelakuan putriku tadi," kata sang Adipati.
"Biasa. Anak muda," jawab Leak Parang sambil tersenyum Wibawa.
"Selamat jalan, Leak Parang! Selamat jalan, Yoga!"
Leak Parang dan Yoga sedikit bungkukkan badan, setelah itu melangkah keluar melewati pintu gerbang. Mereka pun bebas meninggalkan kadipaten.
"Jahat sekali Galuh Ajeng itu. Sudah ditolong malah memukul?!" kata Yoga sambil melangkah seiring dengan Leak Parang.
"Bukan jahat, cuma nakal!" Leak Parang membetulkan anggapan Yoga "Anak-anak sang Adipati yang nakal cuma Galuh Ajeng. Tapi yang tercantik dan berimu lumayan tinggi itu, ya cuma Galuh Ajeng."
"Kalau dia menjadi penguasa, pasti akan semena-mena terhadap rakyatnya."
"Benar," Leak Parang mengangguk. "Tapi kalau boleh kutahu, mengapa kau menolak untuk dikawinkan dengan Galuh Ajeng? Bukankah menjadi menantu sang Adipati lebih terhormat daripada menjadi menantu rakyat biasa? Galuh Ajeng pun cantik. Apa tidak sesuai dengan seleramu? Bukankah dia punya bentuk tubuh yang menggairahkan?"
Pendekar Rajawali Merah tertawa peian, lalu menjawab dengan seenaknya, "Saya sedang patah hati."
Leak Parang tertawa bersama Yoga Leak Parang tahu, bahwa itu bukan jawaban yang sebenarnya. Tapi agaknya Leak Parang juga tidak terlalu menuntut untuk mendapat jawaban yang sebenarnya, ia bahkan berkata kepada Yoga, "Dua gadis cantik-cantik sedang menunggumu di perbatasan."
"O, ya? Siapa maksud Paman?"
"Kencana Ratih dan Pendekar Rajawali Putih."
"Oh...?!" Yoga berhenti melangkah karena terkejut, la memandang Leak Parang yang juga ikut berhenti melangkah.
"Mulanya mereka berdua mau menyerang kadipaten untuk membebaskan kamu. Aku yakin, pasti akan terjadi banjir darah di kadipaten jika kedua perempuan itu menyerang ke sana. Sebab itulah aku segera turun tangan untuk mengambilmu. Mulanya Pendekar Rajawali Putih ragu-ragu, tapi setelah aku bertaruh nyawa, jika gagal mengambilmu kepalaku sanggup dipenggal oleh Pendekar Rajawali Putih, maka ia izinkan aku ke kadipaten menangani masalah Ini!"
Leak Parang geleng-geleng kepala sambil tersenyum. "Luar biasa pembelaan mereka," tambahnya.
Mereka kembali melangkah. Tiba di perbatasan, langkah mereka berhenti. Mata mereka memandang ke sana-sini. Leak Parang berkata kepada Yoga, "Mungkin mereka menunggu di bawah bukit sebelah sana. Carilah sendiri. Aku akan segera kembali ke pondokku."
"Baiklah, Paman. Terima kasih atas pertolongan Paman!"
"Jaga dirimu baik-baik, Yo!"
Dengan sedikit membungkuk memberi hormat, Yoga menjawab dengan kalem, "Baik, Paman!"
Setelah hlu, Leak Parang segera melesat pergi, sepertinya terburu-buru ingin lekas sampai ke pondoknya. Mungkin karena di sana ada sang Kekasih masa lalu, sehingga ia Ingin capat bertemu.
Sebenarnya Kencana Ratih berpapasan dengan Yoga pada saat bersama Leak Parang. Tetapi Kencana Ratih sengaja bersembunyi begitu melihat Yoga berjalan dengan pamannya. Kencana Ratih takut kena marah pamannya karena melanggar perintah untuk menunggu di luar halaman wilayah kadipaten. Itulah sebabnya ia buru-buru bersembunyi dan mengikuti langkah mereka dari kejauhan.
Ketika pamannya telah berpisah dari Yoga, Kencana Ratih tersenyum dan merasa lega. Dalam hatinya ia berkata, "Syukurlah Yoga selamat! Dia pasti mencari aku dan Lili. Hmm... sebaiknya aku harus cepat-cepat menemuinya dan mengalihkan perhatiannya agar tak jadi menemui Lili. Aku harus membelokkan arahnya supaya semakin jauh dari Lili. Sedikit berbohong padanya tak apalah, yang penting aku akan selalu bersamanya!"
Kencana Ratih tertawa kecil membayangkan rencananya sendiri, la akan arahkan Yoga ke tempat lain dengan alasan Liil bertarung melawan Gandaloka dan sekarang sedang dalam pengejaran ke utara Dengan begitu, maka Yoga pasti berlari ke utara, sementara Lili sendiri sebenarnya menunggu di selatan.
Tetapi baru saja Kencana Ratih ingin bergerak, tiba-tiba gerakannya tertahan karena melihat dua sosok tubuh mengendap-endap di seberang sana. Rupanya ada dua orang yang mengikuti Yoga dari tempat tersembunyi dan tidak disadari oleh Yoga sendiri.
"Siapa mereka?" pikir Kencana Ratih. "Hmmm... ternyata mereka dua orang perempuan. Yang satu cantik, berpakaian ungu, yang satunya iag gemuk seperti kerbau, wajahnya lebari Haruskah kuserang sekarang juga? Firasatku mengatakan, mereka bermaksud jahat kepada Yoga. Apakah... apakah yang berpakaian ungu itu putri sang Adipati? Melihat dandanannya, perhiasannya, kecantikannya, sepertinya dia memang orang dari dalam istana. Mungkin masih ada hubungan keluarga dengan sang Adipati jika ia bukan Galuh Ajeng itu. Sedangkan perempuan bundar mirip kerbau bengkak itu lebih layak menjadi pelayannya."
Kencana Ratih tidak jadi menyerang mereka, karena ia ingin tahu lebih dulu apa rencana mereka dan siapa sebenarnya mereka itu. Karenanya, Kencana Ratih hanya mengikuti mereka dari belakang dan berusaha mencuri dengar percakapan kedua gadis itu.
Yang gendut berbisik dengan suara serak, "Dia masih tangguh. Gusti Ayu. Jangan-jangan usaha Gusti Ayu Galuh Ajeng tidak berhasil?!"
"Tak mungkin, Cemplon! Kita Ikuti saja, sebentar lagi dia pasti mulai lemah."
Dugaan Kencana Ratih memang benar, mereka adalah Galuh Ajeng dan pelayan setianya yang bernama Cemplon Sari. Tetapi Kencana Ratih masih belum tahu, perbuatan apa yang mereka lakukan terhadap diri Pendekar Rajawali Merah itu. Kelihatannya mereka sedang menunggu saat-saat datangnya kelemahan pada diri Yoga.
Sadangkan menurut penglihatan Kencana Ratih, Yoga masih kelihatan tegar, tegap, dan gagah. Hal itu justru membuat Kencana Ratih menjadi lebih penasaran, la semakin rapat bersembunyi, namun perhatiannya tak lepas dari Yoga dan kedua gadis itu secara berganti-gantian.
Langkah Yoga terhenti, tangannya memegangi pelipis, la berkata dalam hati, "Hei, ada apa ini? Mengapa badanku jadi ringan sekali?" Yoga mencoba melangkah tapi tubuhnya menjadi limbung. Akhirnya ia jatuh berlutut dengan kepala tertunduk.
Kencana Ratih memandang dengan tegang, tapi rasa ingin tahunya kian bertambah kuat, karena la sempat mendengar suara bisikan Galuh Ajeng kepada Cemplon Sari,
"Berhasil...! Lihat, dia sudah mulai lemah, Cemplon Sari!"
"Benar, Gusti Ayu. Oh, syukurlah kalau begitu. Saya pikir dia orang kuat yang tidak akan mempan terkena senjata andalan Gusti Ayu!"
"Orang kuat mana yang tidak akan mampu kukuasai jika sudah terkena Jarum Jinak Jiwa? Tidak ada! Tidak ada satu pun orang yang bisa lolos dari kekuasaanku jika sudah terkena Jarum Jinak Jiwa!" Galuh Ajeng segera berdiri sambil tersenyum berseri-seri. Rupanya mereka berdua merasa sudah tidak perlu bersembunyi lagi. Bahkan dengan terang-terangan mereka segera hamplri Yoga yang masih berlutut dengan kepala tertunduk lemas.
Rupanya ketika Galuh Ajeng melemparkan jarum ke arah Yoga, bukan hanya dua jarum yang terlepas, melainkan tiga jarum Dua tertangkap oleh Yoga, satu lagi lolos dan mengenai kepala Yoga. Jarum itu menancap dengan cepatnya di belakang telinga kiri Yoga tanpa terasa.
Jarum tersebut adalah Jarum Jinak Jiwa, pemberian dari gurunya Galuh Ajeng yang bernama Nini Sambang. Jarum itu mempunyai kadar racun yang mampu menguasai jiwa seseorang. Jarum 'itu bisa melesat keluar dari ujung jari pemiliknya jika telah terjadi penyatuan kendali batin dan sukma. Dengan begitu, orang yang terkena Jarum Jinak Jiwa akan lupa kepada dirinya sendiri, juga lupa kepada orang yang pernah dikenalnya, dan yang masih bisa diingat hanya orang yang menjadi pemilik jarum tersebut.
Orang yang terkena Jarum Jinak Jiwa juga bisa berubah menjadi ganas, galak, dan kejam. Dalam melakukan tindakan tak banyak pertimbangan. Tetapi ia hanya bisa tunduk dengan segala perintah si pemilik jarum tersebut, karena jiwa dan sukmanya telah dikuasai sepenurnya oleh si pemilik Jarum itu.
Lebih parah lagi, jarum itu mempunyai kekuatan asmara yang tinggi. Sebab itu, biasanya jarum tersebut dilepaskan untuk orang yang berlawanan jenis dengan pemiliknya. Biasanya juga dilepaskan dengan maksud Ingin mendapatkan cinta lawan jenisnya itu.
Itulah yang dilakukan Galuh Ajeng setelah ia merasa gagal menguasai Yoga karena kedatangan Leak Parang. Hati Galuh Ajeng menjadi terpikat begitu melihat kedatangan Yoga yang pertama kali. Hatinya bersorak girang ketika tahu orang yang berhasil membawa bunga Teratai Hitam adalah seorang pendekar tampan dan menggairahkan baginya.
Tapi hati Galuh Ajeng menjadi kecewa ketika Yoga menolak hadiah yang sudah disayembarakan itu, yaitu dikawinkan dengannya. Rasa terpikatnya kepada Yoga tak bisa dihindari, sehingga Galuh Ajeng terpaksa menggunakan jarum tersebut Pendekar Rajawali Merah masih tertunduk beberapa saat ketika Galuh Ajeng dan si gendut Cemplon Sari sudah berada di depannya.
Beberapa saat kemudian, barulah kepala yang tertunduk itu pelan-pelan terangkat naik, mata yang terpejam terbuka dan berkejap-kejap sebentar. Lalu, Yoga terperanjat memandang kearah depan, menatap Galuh Ajeng yang sudah berdiri di depannya itu.
"Galuh... Ajeng...," ucap Yoga pelan, hampir tak terdengar.
Galuh Ajeng hanya tersenyum, memandang Cemplon Sari yang juga tersenyum mengikik girang. Kedua perempuan itu membiarkan Yoga bangkit berdiri dengan mata memandang sekeliling. Bahkan memperhatikan tubuhnya sendiri, menatap ke atas, seolah-olah berusaha mengenali alam sekitarnya. Yoga tampak bingung pada dirinya sendiri dan merasa asing dengan alam disekitarnya.
Cemplon Sari berkata lirih kepada Galuh Ajeng, "Apakah dia benar-benar sudah terkuasai oleh kita. Gusti Ayu?"
"Ya. Dia tidak akan ingat siapa dirinya Kalau tak percaya, mari kita coba dengan beberapa pertanyaan...," kemudian Galuh Ajeng maju satu langkah dan menatap Yoga dalam senyum yang menggoda.
"Siapa kau, Pemuda Tampan?!" tanya Galuh Ajeng.
"Aku...?!" Yoga berkerut dahi, diam beberapa saat seperti sedang mengingat-ingat siapa dirinya, la memegang-megang dadanya, memandangi kedua tangannya, dan barucap kata seperti bicara pada diri sendiri, "Aku... aku siapa? Ya. siapa aku ini...? Kenapa aku ada disini? Di mana aku sekarang? Di tempat apa? Dan... dan...."
Galuh Ajeng berlagak ketus, "Hei, yang kutanyakan, siapa dirimu?!"
Yoga memandangi Galuh Ajeng beberapa kejap, lalu menggelengkan kepalanya pelan-pelan. Mulutnya terbengong melompong. Galuh Ajeng menatap Cemplon Sari sambil tersenyum bangga, penuh kemenangan. Terdengar Yoga berkata, "Aku tidak tahu siapa diriku. Aku lupa siapa namaku. Yang kuingat... yang kuingat hanya kau! Kau adalah Galuh Ajeng, gadis cantik tiada duanya."
Berdebar bangga hati Galuh Ajeng mendengar ucapan Itu. Kemudian ia berkata, "Dari mana asalmu, apakah kau juga tidak tahu?"
"Aku... aku lupa. Kalau kau bisa bantu aku mengingatkan, tolong ingatkan aku."
Galuh Ajeng makin mendekat. Kini jaraknya kurang dari satu langkah. Bahkan tangannya berani menyingkapkan rambut yang bergerai di kening Yoga sambil berkata, "Kau adalah calon mempelaiku. Kita akan kawin dan hidup bersama dengan penuh kebahagiaan."
"O, jadi aku calon suamimu?"
"Ya," Galuh Ajeng meraba bibir Yoga dengan telunjuknya. "Apakah kau keberatan menjadi suamiku?"
"Tidak," jawab Yoga lirih sambil sunggingkan senyum. "Hatiku berharap akan dapat memelukmu setiap hari."
"Aku pun merasa senang jika barada di dalam pelukanmu." Kemudian, tangan kanan Yoga meraih tubuh Galuh Ajeng dan memeluknya. Kepala Galuh Ajeng bersandar di dada Yoga dengan tangan mengusap-usap lembut pipi pendekar tampan tersebut. Mata Galuh Ajeng terpejam bagai menikmati hangatnya pelukan Yoga. Sementara itu, Cemplon Sari hanya tersipu-sipu sendiri, memeluk tubuhnya sendiri dengan suara cekikikannya.
"Tapi apakah kau tahu siapa namaku? Aku lupa sama sekali. Galuh Ajeng Sayangku...!"
"Namamu...? Hmm... namamu adalah Yoga, gelarmu Pangeran Cinta!" jawab Galuh Ajeng sengaja mengacaukan pikiran Yoga.
"O. namaku Yoga? Yoga...? Ya, sepertinya aku pernah dengar nama itu. Tapi... gelarku Pangeran Cinta? Aku... aku merasa baru ingat kalau punya gelar Pangeran Cinta."
"Kau tadi jatuh, kepalamu membentur batu, sehingga kau lupa siapa dirimu," kata Galuh Ajeng.
"Jatuh?!" Yoga tertegun sejenak, lalu manggut-manggut.
Tapi tangannya masih mendekap Galuh Ajeng, la bertanya lagi, “lantas, mengapa tangan kiriku buntung? Siapa yang membuntungi?"
Galuh Ajeng bingung menjawab. Tapi ia punya akal untuk menangguhkan jawaban itu dengan berkata, "Aku tidak tahu nama orang itu. Tapi kalau kita jumpa dia. aku bisa kasih tahu padamu orangnya. Sudahlah, lupakan dulu tentang putusnya tanganmu itu, yang penting biar tanganmu buntung satu aku masih tetap punya cinta padamu, Yoga!"
"Ya. Tapi aku ingin membalas orang yang membuntungi tanganku!"
"Nanti jika kita jumpa orang itu, kuberitahukan padamu dan lepaskan dendammu padanya! Kau memang harus membalasnya jika kau tidak ingin mengecewakan aku. Yoga!"
"Aku memang tidak Ingin mengecewakan dirimu, Istriku Sayang!"
Panas sekali hati Kencana Ratih mendengarkan percakapan itu dari atas pohon, la tak kuat menahan kemarahannya, maka serta-merta ia segera lompat turun dari atas pohon sambii melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Galuh Ajeng.
Wuuut...! Zlaaap...!
Sinar merah berkelebat lepas dari telapak tangan Kencana Ratih. Sinar merah itu segera dihantam dengan kelebatan tangan Cemplon Sari yang memancarkan sinar putih perak.
Blaaar...!
Benturan kedua sinar tersebut membuat ledakan besar yang mengguncangkan tanah sekeliling mereka. Rupanya si gendut Cemplon Sari itu punya Ilmu simpanan yang lumayan hingga bisa mematahkan serangan Kencana Ratih.
Melihat kemunculan Kencana Ratih, Galuh Ajeng segera lepaskan diri dari pelukan Yoga. Tetapi Cemplon Sari maju dekati Kencana Ratih dengan bertolak pinggang, la seakan bersikap menjadi benteng bagi keselamatan Galuh Ajeng dan Yoga.
"Minggir kau, Kerbau Gendut!" sentak Kencana Ratih yang sudah tak sanggup menahan kemarahan. "Kulumat tubuh busukmu kalau tak mau menyingkir dari hadapanku!"
"Kuntilanak dari mana kau, datang-datang menyerang kami, hah?!" kedua mata Cemplon Sari membelalak bundar dan besar.
Rupanya Kencana Ratih tak mau banyak bicara dengan pelayan Galuh Ajeng itu. Maka dengan cepat ia sentakkan kedua tangannya, dan terlepaslah pukulan tenaga dalam cukup besar tanpa cahaya itu.
Wuuuk...! Cemplon Sari berusaha menangkis dengan pukulan sejenis. Tapi terlambat, tubuh besarnya sudah lebih dulu terhantam pukulan tenaga dalam Kencana Ratih. Tubuh besar itu terlempar jauh ke belakang dan menggelinding bagaikan gentong tertiup badai.
Buukk...! Wuuurrss...!
"Biadab kau! Siapa kau, hah?!" bentak Yoga sambil melangkah maju setelah dapat bisikan dari Galuh Ajeng agar melawan Kencana Ratih.
Kencana Ratih diam sejenak memandangi Yoga. Dalam hatinya berkata, "Dia benar-benar tidak ingat pada diriku? Pasti pengaruh dari Jarum Jinak Jiwa itu! Benar-benar keparat si Galuh Ajeng itu!"
Terdengar seruan Galuh Ajeng dari belakang Yoga, "Serang dia! Bunuh! Karena dialah orangnya yang membuntungi tanganmu, Yoga!"
Kencana Ratih melihat mulut Yoga terkatup dengan giginya menggeletuk. Matanya sedikit menyipit memancarkan dendam dan nafsu untuk membunuh. Maka dengan cepat Kencana Ratih berseru, "Yoga, aku Kencana Ratih, kekasihmu! Aku...."
Zlaaap...!
Tiba-tiba dari tangan kanan Yoga keluar selarik sinar merah menghantam dada Kencana Ratih. Untung sinar merah itu bisa cepat dihindari dengan berguling ke tanah satu kali dan bangkit kembali dalam satu sentakan tubuh. Sinar merah itu menghantam pohon, dan pohon itu pun hancur berkeping-keping. Rupanya saat itu Yoga benar-benar ingin membunuh Kencana Ratih karena dianggap sebagai orang yang membuat tangan kirinya buntung.
"Yoga! Sadarlah! Kau terkena pengaruh perempuan jalang itu!" Kencana Ratih mencoba menyadarkan Yoga. "Bukan aku yang memenggal tanganmu, tapi dia sendiri! Galuh Ajeng itu yang memenggalnya!"
"Jaga mulut busukmu, Setan!" bentak Yoga dengan kasar.
Tak pernah Kencana Ratih melihat Yoga sekasar itu. Bahkan baru kali ini ia melihat Yoga menjadi buas dan berwajah kejam. Yoga segera mencabut pedang pusaka di punggungnya. Blaaar...! Petir di angkasa menggelegar sebagai tanda tercabutnya Pedang Lidah Guntur dari sarungnya. Kencana Ratih menjadi tegang dan ketakutan, akhirnya ia lekas-lekas melarikan diri. Ia merasa tak akan mampu melawan Yoga yang menggunakan pedang pusaka sehebat itu.
"Jangan lari kau, Setan Betinal" teriak Yoga dengan kasar, lalu segera mengejar Kencana Ratih.
Namun, Galuh Ajeng cepat berseru, "Tahan, Yoga! Biarkan dia kabur untuk sementara waktu, sebaiknya kita...."
Rupanya Kencana Ratih hanya berlari memutar arah. Ucapan Galuh Ajeng itu terhenti karena tiba-tiba seberkas sinar ungu berkelebat melesat menghantam punggung Galuh Ajeng. Kencana Ratih berhasil menyerang Galuh Ajeng dari belakang dengan jurus simpanannya yang cukup berbahaya.
Sinar ungu itu keluar dari ujung telunjuk Kencana Ratih, dan ketika menghantam mengenai punggung lawannya, tubuh lawan menjadi kaku dan bening dengan warna ungu seperti beling, itulah yang dinamakan jurus 'Candera Wungu". Hanya Kencana Ratih dan gurunya yang mempunyai jurus tersebut.
Setelah berhasil menyerang dengan jurus 'Candera Wungu', Kencana Ratih cepat-cepat lari ke arah Lili berada, la akan melaporkan kejadian tersebut agar Lili ikut membantu menyelamatkan Yoga dari cengkeraman kasih Galuh Ajeng. Yoga dan Cemplon Sari tertegun melihat tubuh Galuh Ajeng menjadi beling ungu. Bagian persendiannya tetap bisa ditekuk, tapi kulit dan dagingnya menjadi sebening kaca ungu.
Galuh Ajeng menjadi seperti boneka yang mudah pecah bila terbentur benda keras, la tidak bisa bicara dan bergerak sedikit pun. Hanya saja, bagian dalam tubuhnya tidak Ikut berubah menjadi kristal ungu. Jantung, paru-paru, iimpa, dan sebagainya tetap utuh dan dapat terlihat dari luar karena kebeningan tubuh tersebut.
Keadaan yang menakjubkan itu membuat Yoga dan Cemplon Sari menjadi lupa mengejar Kencana Ratih. Ketika mereka sadar, Kencana Ratih sudah jauh dari mereka dan menghilang entah ke mana.
"Galuh...," ucap Yoga dengan nada sedih, ia berlutut setelah memasukkan pedangnya ke tempatnya, ia tampak bingung dengan gerakan-gerakan serba salah. Cemplon Sari menangis dengan suara rintihan kecil, la ingin memeluk tubuh Galuh Ajeng, tapi tubuhnya segera ditahan oleh Yoga.
"Jangan sentuh dia! Nanti tubuhnya pecah!" suara Yoga sedikit membentak. Napasnya tampak terengah-engah karena panik.
"Apakah Gusti Ayu telah tewas?" tanya Cemplon Sari sambil merintih dalam tangisnya.
"Kurasa... kurasa belum tewas. Lihat, jantungnya masih bergerak-gerak, itu menandakan dia masih bernapas. Tapi jika tubuhnya pecah, kurasa ia akan tewas jugal Sebab itu kita harus menjaganya supaya jangan sampai pecah!"
"Oh, Gusti Ayu..., mengapa Gusti Ayu sampai lengah dan terkena pukulan aneh seperti ini?!" ratap Cemplon Sari sambil terisak-isak.
"Jangan menangis!" bentak Yoga. "Air matamu yang menetes ke lengan Galuh Ajeng bisa bikin pecah lengan itu!"
Cemplon Sari pun mundur dan berusaha menahan tangisnya. Yoga tampak kebingungan dalam mengatasi masalah Ku. Ia mencoba menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Galuh Ajeng, tapi niat itu dibatalkan karena khawatir akan membuat tubuh Galuh Ajeng menjadi pecah. Tiba-tiba Cemplon Sari berkata, "Bawa saja ke tempat gurunya Gusti Ayu, biar disembuhkan!"
"Siapa gurunya dia?"
"Nini Sambang! Tinggalnya di Candi Langu!"
"Kau tahu tempatnya?"
"Ya, tahui Aku tahu tempatnya!"
'Tapi bagaimana cara membawanya ke sana, tanganku hanya satu?!"
"Biar aku yang membawanya, kau menjagaku supaya jangan sampai ada benda yang menjatuhi tubuh Gusti Ayu...!"
"Baik! Kita berangkat sekarang. Lekas angkat dia!" bentak Yoga dengan nada galak. Cemplon Sari mengangkat tubuh yang mengkristal itu dengan sangat hati-hati.
EMPAT
SECARA kebetulan ketika Kencana Ratih pergi, di sekitar situ muncul seorang gadis berpakaian kuning. Gadis itu baru saja tiba dari suatu perjalanan panjangnya memburu seseorang. Dan orang yang diburu itu ternyata ia temukan sedang kebingungan menghadapi masalah mengkristalnya tubuh Galuh Ajeng.
Gadis itu tidak langsung menampakkan diri, namun menyadap pembicaraan Yoga dengan Cemplon Sari. Dangan begitu, maka ia tahu apa yang akan dilakukan oleh Pendekar Rajawali Merah itu.
Pada saat Yoga dan Cemplon Sari hendak membawa Galuh Ajeng ke Candi Langu, tempat gurunya Galuh Ajeng bermukim, maka gadis ramping berwajah cantik yang mengenakan ikat pinggang dari kain selendang biru itu segera menampakkan diri. Ia langsung menghadang langkah Yoga dengan seulas senyum kerinduan yang mengembang di bibir mungilnya.
Kemunculan gadis berambut panjang yang diikat dengan kain merah itu membuat Yoga dan Cempion Sari berhenti melangkah. Kadua orang itu sama-sama merasa asing dengan wajah gadis cantik itu. Maka, Yoga pun segera menegur dengan nada menghardik, "Siapa kau?"
Dengan sikap kalem dan senyum menawan, gadis itu justru balik bertanya, "Apakah kau lupa padaku, Yoga?"
"Aku tidak mengenali dirimu! Kita belum pernah jumpa sama sekali!"
"Ah, kau berpura-pura begitu, Yo. Kau Ingin menggodaku supaya aku penasaran?!" sambil menjawab begitu, gadis tersebut mendekati Yoga.
Cemplon Sari yang menggotong tubuh kristal Galuh Ajeng itu segera berkata dengan bersungut-sungut, "Jangan layani dia. Tinggalkan saja. Aku capek menahan tubuh Gusti Ayu ini, Pangeran Cinta!"
Gadis berbaju kuning itu tertawa mendengar Cemplon Sari menyebut Yoga dengan nama Pangeran Cinta, ia tertawa geli, hingga Yoga membentaknya,
"Kenapa tertawa, hah?! Diam!"
Tapi gadis itu masih tenang dan berkata dengan santainya, "Sejak kapan julukanmu diganti dengan nama Pangeran Cinta? Jelek sekali! Kau adalah Pendekar Rajawali Merah. Pakailah nama itu. Lebih gagah ketimbang julukan Pangeran Cinta!"
Gadis itu mendekat semakin rapat. Matanya yang bulat memandang penuh curahan rindu. Tangannya mengusap pundak kanan Yoga. Tapi tiba-tiba tangan Yoga berkelebat menamparnya.
Plaaak...!
Pipi gadis itu menjadi sasaran. Panas sekali tamparan itu, dan membuat pipinya yang putih menjadi merah. Gadis itu sendiri tersentak mundur ke belakang dengan sangat terkejut. "Yo, kau tega bersikap kasar begini kepadaku?"
"Aku tak kenal dirimu! Aku tidak sudi dijamah orang yang tidak kukenal!"
"Aku Mahligai, Ya..! Mahligai!" sentak gadis itu dengan rasa ingin menangis.
"Mahligai...?!" Yoga berkerut dahi mengingat-ingat, lalu berkata, "Masa bodoh! Aku tidak kenal nama Mahligai dan belum pernah punya teman bernama Mahligai!"
"Yooo..., kau melupakan aku?! Akulah orang pertama yang kau jumpai sejak kau selesaikan pelajaranmu dari Gunung Tiang Awan! Akulah yang hadir dalam pemakaman gurumu yang berjuluk Dewa Geledek Ku, Yo! Tidakkah kau ingat padaku, pada gurumu si Dewa Geledek, dan pada bibiku, Tabib Perawan yang bernama Sendang Suci? Akulah yang dulu gila dan kau sembuhkan dengan bunga Teratai Hitam itu!"
"Persetan dengan omonganmu semua! Aku tidak kenal siapa itu Dewa Geledekl Aku belum pernah dengar nama Tabib Perawan atau Sendang Suci, Kau mengada-ada! Kau memang orang gila yang menghambat perjalananku ke Candi Langu!"
"Yo...," Mahligai memandang dengan air mata meleleh di pipi.
"Cemplon Sari, kita jalan lagi. Tak perlu menghiraukan orang gila yang satu ini!" kata Yoga, dan ia pun melangkah setelah Cempion Sari berjalan lebih dulu.
"Yoo...!" Mahligai mengikuti dengan berlari-lari kecil. "Yo, aku Mahligai, keponakan dari Sendang Suci! Aku yang membawamu mengenal bibiku, dan membuatmu mengetahui arah di mana burung rajawali putih itu terbang. Aku orang yang menyimpan kasih padamu, Yo...! Aku rindu padamu...!" sambil berlari-lari kecil Mahligai mengikuti langkah kaki Yoga.
Tetapi Yoga bersikap tuli, seakan tak mendengar segala ucapan Mahligai tak mau tahu tangis gadis itu. Akhirnya Mahligai berhenti karena tak kuat menahan tangisnya, la menangis di bawah sebatang pohon hingga terisak-isak. Sekian lama ia terkena Racun Edan dari lawannya dan menjadi gila, lalu dipasung oleh bibinya. Pada waktu itu, Yoga-lah yang menolong mencarikan obat untuk sembuhkan sakit gilanya itu dengan bunga Teratai Hitam.
Ketika ia sadar, rasa rindu kepada Yoga kian menggoda hati, akhirnya ia pergi mencari Pendekar Rajawali Merah. Dialah gadis pertama yang menemukan Yoga dan yang dikenal Yoga sejak kematian Dewa Geledek (Baca episode: "Wasiat Dewa Geledek").
Tentu saja Mahligai bukan hanya heran menghadapi sikap Yoga, melainkan juga merasa sakit hati. Lebih sakit rasanya dari tamparan tadi. Bayangan indah dapat bertemu dengan Yoga menjadi hancur lebur setelah melihat sikap Yoga berubah sama sekali.
"Kenapa dia lupa padaku? Kenapa dia tidak mau mengakui sebagai murid Dewa Geledek, dan merasa tidak mengenal Bibi Sendang Suci?" pikir Mahligai.
Mahligai tidak terkejut dan tidak terpukul jiwanya ketika melihat tangan Yoga buntung sebelah kiri, sebab sebalum pergi ia sudah mendapat cerita tentang peristiwa yang membuat tangan Yoga menjadi buntung. Tapi menghadapi sikap Yoga seperti itu, jiwa Mahligai menjadi sangat terpukul. Napasnya pun terasa sesak, sehingga ia terpaksa diam di bawah pohon itu sampai beberapa saat lamanya untuk menenangkan guncangan jiwa dan rasa sakit hatinya.
"Aku harus melaporkan hal ini kepada Bibi! Aku harus mendesak Bibi agar bisa mengembalikan ingatan Yoga!"
Akhirnya Mahligai bergegas pergi untuk menemui bibinya; Sendang Suci yang berjuluk Tabib Perawan. Tetapi baru saja ia hendak bergerak pergi, tiba-tiba datang tiga manusia yang tidak dikenalnya, yaitu Kencana Ratih, Lili, dan Wisnu Patra.
Mahligai memang pernah bertemu dengan Lili, namun pada waktu itu ia dalam keadaan gila dan tidak ingat lagi siapa gadis cantik yang kecantikannya melebihi bidadari itu. Mahligai memandangi Lili karena merasa kagum melihat kecantikan Lili.
Tapi agaknya Lili yang sudah telanjur berang karena mendapat pengaduan dari Kencana Ratih tentang Yoga dan Galuh Ajeng itu, merasa tersinggung dipandangi oleh Mahligai. Maka langkah tiga orang itu pun berhenti dan Lili menghampiri Mahligai dengan sikap bermusuhan.
"Kenapa kau memandangiku terus, hah?!"
"Oh, eh... anu... tidak. Tidak apa-apa!" jawab Mahligai menjadi gugup karena la sadar bahwa di wajahnya masih banyak air mata yang belum terusap. Maka. ia pun segera mengusapnya.
"Siapa kau?" tanya Lili ketus.
"Mahligai!" jawab gadis berbaju kuning itu.
"Ooo... jadi kaulah si gila yang bernama Mahligai itu?!" sahut Kencana Ratih. "Aku ingat percakapan Yoga dengan perempuan di dalam gua yang menyebut-nyebut nama Mahligai!"
"Aku juga ingat, Yoga sering menyebut-nyebut nama Mahligai!" timpal Lili. "Kalau tak salah bunga Teratai Hitam itu untuk menyembuhkan gadis ini!" Kemudian, Lili bertanya kepada Mahligai, "Kau melihat Yoga di sekitar sini?"
"Dia telah pergi."
"Ke mana?"
"Ke Candi Langu, menemui seseorang yang bernama Nini Sambang!"
Tiba-tiba Wisnu Patra yang sudah disembuhkan oleh Lili itu berkata, "Candi Langu ada di Lereng Seroja! Di sana memang ada seorang tokoh sakti yang bernama Nini Sambang."
"Kalau begitu, kita harus cepat bergerak mengejar Yoga! Aku harus bisa mencegah dia agar tak perlu ke sana!" kata Lili.
"Sia-sia saja," sahut Mahligai. "Yoga tidak akan mengenali kalian! Dia telah lupa segala-galanya."
"itu urusanku dengan dia!" ketus Lili. "Kau tak perlu mengingatkan kami tentang keadaannya sekarang!"
"Jika kalian mau menyusulnya ke Candi Langu, aku akan ikut!" kata Mahligai dengan tegas.
Kencana Ratih menyahut, "Kami tidak menerima anggota jalang seperti dirimu!"
Mahligai menatap Kencana Ratih dengan mata memandang tajam, la berjalan mendekati Kencana Ratih, lalu dengan ketusnya berkata, "Kalau kau tak bisa menjaga mulutmu, nyawamu akan lepas dari raga dalam waktu kurang dari tiga helaan napas!"
"Hi, hi, hi...! Orang gla ini bicaranya semakin ngaco!"
Kencana Ratih mendekat, sangat dekat, hingga ia bisa mendorong dada kiri Mahligai dengan satu jari disentakkan, sambil berkata, "Jaga mulutmu sendiri!"
Wuuut...! Plaaak...!
Mahligai menggerakkan tangannya dengan cepat, berkelebat menampar wajah Kencana Ratih. Di luar dugaan tamparan itu datang, sehingga Kencana Ratih tak sempat menghindar, maka pipinya pun terkena tamparan keras itu dengan telaknya.
Tubuh Kencana Ratih sempat terpelanting ke kanan. Hampir saja jatuh, karena tamparan itu diiringi sentakan tenaga dalam yang selain mendorong tubuh juga membuat sekujur wajah terasa panas. Bukan hanya pipi kanan saja yang menjadi merah, melainkan seluruh wajah Kencana Ratih tampak merah matang.
"Edan! Punya bobot juga tangan si gila ini!" pikir Kencana Ratih. "Aku tak boleh meremehkan dia. Perlu kuberi pelajaran secukupnya saja, biar dia tahu siapa Kencana Ratih ini!"
Wisnu Patra ingin bergegas melerai, namun pundaknya ditahan oleh Lili yang memandang dingin ke arah Mahligai dan Kencana Ratih. Wisnu Patra pun segera bersikap sebagai penonton yang berdiri dalam jarak dekat di samping Lili.
Sementara itu, pertarungan antara Mahligai dan Kencana Ratih tak dapat dihindari lagi. Mereka saiing serang dan saling bertahan dengan jurus-jurus tangan kosong. Pada waktu itu, Wisnu Patra berkata pelan kepada Lili.
"Gadis yang bernama Mahligai itu agaknya kecewa terhadap Yoga."
"Dari mana kau tahu?"
"Dia masih menangis saat bertemu kita. Dia tahu ke mana arah tujuan Yoga pergi. Pasti sebelumnya dia sudah pernah bertemu, lalu dilupakan oleh Yoga dan kecewa berat hatinya."
"Kalau begitu, aku harus segera menyusul Yoga dan ingin tahu, apakah Yoga berani melupakan diriku sebagai guru angkatnyal"
"Nanti saja. Tunggu pertarungan mereka selesai dulu!"
"Persetan dengan mereka!" Lili pun segera sentakkan kaki dan melesat pergi. Wisnu Patra merasa sayang jika harus kehilangan Lili, maka ia pun segera menyusul Pendekar Rajawali Putih itu dan tidak mau peduli lagi dengan pertarungan Kencana Ratih melawan Mahligai.
"Lili...! Tunggu...!" perasaan tak rela jika Lili disakiti orang masih ada di hati Wisnu Patra, sehingga ia merasa perlu mendampingi Lili, yang menurut ramalan ibunya gadis itu adalah jodohnya.
Kencana Ratih sebenarnya ingin keluar dari pertarungan itu, karena ia tahu Lili dan Wisnu Patra meninggalkannya. Tapi usaha meninggalkan pertarungan tak bisa dilakukan, karena Mahligai melancarkan serangan secara bertubi-tubi. Kencana Ratih sempat terdesak ke pohon besar. Hampir saja ia hancur karena pukulan berbahaya dari tangan Mahligai. Pukulan itu berhasil dihindari dan membuat pohon tersebut hancur sebagian batangnya.
"Hiaah...!" Kencana Ratih berhasil sentakkan kaki ke depan dan telak mengenai perut Mahligai.
Buuhg...l
"Uuhg...!" Mahligai menyeringai sambil membungkuk. Kencana Ratih tidak terus menyerangnya, melainkan melarikan diri untuk mengejar Lili dan Wisnu Patra. Tetapi gerakannya itu tiba-tiba tertahan, dan tubuhnya terpental ke samping, karena Mahligai segera menghantamnya dengan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi tanpa sinar.
Wuuk!
Kencana Ratih terguling-guling di tanah. Mahligai segera datang dan melepaskan serangannya kembali. Akibatnya Kencana Ratih terdesak sehingga timbul pertanyaan dalam batinnya, "Perlukah kugunakan jurus 'Candera Wungu' untuk gadis gila itu?!"
* * *
LIMA
CANDI Langu merupakan reruntuhan kuil peninggalan masa seratus tahun yang lalu. Letaknya di Lereng Seroja yang tidak mudah dijangkau oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa tahu dengan persis jalan aman menuju Candi Langu. Seseorang yang belum pernah datang ke sana, dapat mengalami celaka karena semak duri beracun, atau gas berupa kabut yang mematikan. Bahkan salah-salah orang yang belum pernah ke Candi Langu bisa terjebak masuk ke sarang ular berbisa.
Berkat bantuan Cemplon Sari yang sudah berulang kali mendampingi Galuh Ajeng ke Candi Langu, Yoga pun akhirnya sampai ke tempat keramat yang dikenal angker oleh beberapa tokoh di rimba persilatan itu. Kedatangan Yoga dan Cemplon Sari disambut oleh seorang nenek bungkuk berjubah hitam.
Mulanya nenek bungkuk itu melepaskan serangan dari belakang ke arah Yoga. Tetapi, Pendekar Rajawali Merah itu mempunyai jurus 'Sandi Indera', yaitu tak bisa diserang dari belakang. Sehingga dua keping logam terbentuk tusuk kondek yang dilemparkan nenek bungkuk itu dengan tangkas dan cepat disambar oleh Yoga.
Sambil bergerak membalik, tangan Yoga berkelebat dan kedua tusuk konde Itu tahu-tahu telah terselip di kadua jarinya. Melihat sosok bungkuk berdiri di atas batu tinggi. Yoga segera kembalikan dua logam berbentuk tusuk konde tajam itu ke arah nenek bungkuk tersebut.
Wuuusst...!
Kedua logam tersebut melesat bersamaan. Nenek bungkuk cepat-cepat kibaskan tongkatnya ke depan.
Craab...! Kedua tusuk konde itu menempel di ujung tongkat bagai terjerat oleh perekat yang ada di tongkat tersebut.
Wuuut... wuuut...!
Nenek bungkuk itu sentakkan kakinya di batu itu dengan pelan, tapi tubuhnya mampu melesat cepat dan bersalto di udara dua kali. Dalam kejap berikutnya, kedua kaki itu telah mendarat di tanah yang berjarak tiga langkah dari depan Yoga.
Cemplon Sari cepat menyapa, "Nini Sambang...!" ia sedikit menunduk sebagai tanda menghormat.
Yoga segera paham bahwa nenek bungkuk itu adalah Nini Sambang, guru dari Galuh Ajeng. Mata cekung Nini Sambang memperhatikan tubuh kristal ungu yang ditopang oleh dua tangan Cemplon Sari. Mata tua itu segera berkesip di antara alis tebai berwarna putih rata itu. Rambut putih halus itu meriap-riap disapu angin. Kemudian bibir keriput itu mulai bergerak-gerak dan mengucap kata,
"Galuh Ajeng...?! Apa yang terjadi dengan muridku ini, hah?"
Cemplon Sari yang menjawab. "Terkena pukulan sinar ungu, Nini!"
Nini Sambang mendekat dan memperhatikan tubuh muridnya, ia menggeram dan berkata, "Jurus 'Candera Wungu'...! Pasti dia terkena jurus 'Candera Wungu'! Dan jurus itu hanya dimiliki oleh si Jubah Peri, yang mempunyai satu murid bernama Kencana Ratih!"
"Benar. Gadis yang menyerang Galuh Ajeng itu mengaku bernama Kencana Ratih," kata Yoga kepada Nini Sambang.
Lalu, ia ditatap oleh nenek bungkuk berbadan kurus itu "Siapa kau?"
Cemplon Sari yang menjawab, "Namanya Yoga, kekasih dari Galuh Ajeng, Nini."
"Ooa..!" Nini Sambang manggut-manggut. Sedikit demi sedikit bibir keriput itu sunggingkan senyum. "Pintar juga muridku memilih calon suami. Tapi... apakah kau mencintai muridku ini, Yoga?"
"Sangat mencintai. Guru!"
"Bagus, bagus...! Baiklah, bawa muridku ke dalam! Aku akan pulihkan keadaannya. Untung kau cepat membawanya kemari, kalau tidak ia akan mati begitu ada yang retak sedikit saja bagian tubuhnya ini!"
Sebuah ruangan batu berwarna hitam merupakan tempat tinggal Nini Sambang. Ruangan batu yang lebar itu dulu bekas tempat pemujaan. Atapnya yang juga terbuat dari batu lempengan itu belum rusak sedikit pun, hanya berlumut dan berjamur. Ruangan itu mempunyai dua pintu, sebelah utara dan sebelah selatan. Di dalam ruangan tersebut tubuh kristal Galuh Ajeng dibaringkan di atas alas jerami, yang menjadi ranjang bagi sang Guru.
"Selama aku mengobati muridku, jangan ada yang masuk ke kamar ini, dan jangan ada yang tidur! Berjagalah supaya tidak ada orang yang bermaksud menggagalkan penyembuhan ini! Paham?"
"Saya paham, Guru!" jawab Yoga dengan menghormat.
Cemplon Sari pun menganggukkan kepala dengan sikap patuh. Penyembuhan Itu ternyata tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sampai malam tiba, penyembuhan masih dilakukan oleh Nini Sambang. Pada malam itu, cahaya langit menjadi terang karena rembulan mengintip separo bagian dari balik mega. Belum bulan purnama, tapi sinarnya sudah cukup menerangi bumi, menclptakan suasana Indah bagi sepasang muda-mudi yang bermaksud memadu kasih.
Sayang sekali malam itu Yoga hanya ditemani oleh gadis gemuk berbentuk nyaris bulat. Sebenarnya Yoga malas bicara dengan pelayannya Galuh Ajeng itu. Tapi Cemplon Sari mengajaknya bicara terus, sehingga Yoga pun akhirnya mau juga bicara dengan gadis bulat berwajah lebar itu. Padahal Yoga sudah sering bersikap ketus dalam memberikan jawabannya, tetapi Cemplon Sari seakan tidak peduli, tidak merasa tersinggung dan semakin merasa bangga karena bisa bicara dengan pemuda setampan Yoga itu.
"Kalau kau sudah menjadi suami Gusti Ayu, jangan lupa padaku. Jelek-jelek begini, aku adalah teman Gusti Ayu sejak kecil. Karena itu, aku sangat sayang kepada Gusti Ayu. Jika aku sayang kepada beliau, tantunya aku juga boleh sayang kepadamu, bukan?"
"Tanyakan pada Gusti Ayumu itu" jawab Yoga agak kesal hati.
Malam berjalan terus dan semakin larut, menghadirkan hawa dingin dan mencipta embun di ujung-ujung dedaunan. Pada saat itu, Nini Sambang sudah berhasil sembuhkan muridnya. Tubuh Galuh Ajeng sudah kembali seperti manusia seutuhnya. Kesadaran Galuh Ajeng pun telah diperolehnya. Tetapi ia segera menahan gurunya ketika mau memanggil Yoga.
"Jangan dulu, Guru! Aku masih ingin bicara sesuatu kepada Guru!"
"Soal apa?"
"Soal pemuda itu," jawab Galuh Ajeng. "Pemuda Itu tampan. Serasi dengan kecantikanmu. Muridku!"
'Ya, aku pun sependapat dengan Guru. Tapi ada satu hal yang Guru belum ketahui."
"Sudah," jawab Nini Sambang. "Aku sudah mengetahui semuanya. Dia adalah Pendekar Rajawali Merah. Pasti dia muridnya Dewa Geledek yang bersemayam di Gunung Tiang Awan."
"Dari rnana Guru tahu hal itu?"
"Bentuk pedang di punggungnya adalah pedang pusaka milik Dewa Geledek! Tak mungkin orang lain bisa memegang pedang itu jika bukan murid Dewa Geledek!"
Galuh Ajeng diam sebentar. Padahal semula dia punya niat juga untuk kuasai pedang milik Yoga itu, terutama sejak ia melihat kehebatan pedang tersebut ketika hendak dipakai melawan Kencana Ratih. "Kalau aku ingin memiliki pedang itu, apakah tidak bisa, Guru?"
"Tidak bisa!" Nini Sambang bersungut-sungut. "Siapa memegang pedang itu dia akan mati bunuh diri dengan menusukkan pedang tersebut ke tubuhnya sendiri! Kecuali orang berilmu tinggi yang sejajar dengan ilmunya Dewa Geledek."
Terdengar suara gumam lirih dari mulut Galuh Ajeng yang mengangguk-anggukkan kepala. Nini Sambang berkata iagi, "Batalkan niatmu untuk menguasai pedang itu. Aku sendiri tak berani mempunyai niat seperti itu," sambil Nini Sambang mengambil beberapa lembar daun dan mengunyah-ngunyahnya.
"Guru, aku telah menanamkan Jarum Jinak Jiwa kepadanya"
Gerakan mulut mengunyah itu terhenti, pertanda Nini Sambang terperanjat mendengar ucapan muridnya, ia menatap muridnya dengan mata tak berkedip. Lalu, terdengar suaranya pelan bertanya. "Mengapa kau lakukan?"
"Aku sangat menginginkannya, Guru. Dia berhasil mendapatkan bunga Teratai Hitam, dan menyembuhkan Ayah. Tapi dia tidak mau dikawinkan denganku sebagai hadiah yang sudah disayembarakan itu. Padahal begitu aku melihatnya, hatiku sudah terpikat olehnya, Guru. Aku sangat ingin berdampingan dengannya."
Nini Sambang kembali mengunyah pelan-pelan, ia merenung, dan dalam renungannya itu ia berkata, "Kau tidak akan berhasil."
Galuh Ajeng terperanjat kaget dan mulai kecewa. "Kenapa, Guru?"
"Ilmunya sangat tinggi. Jarum Jinak Jiwa hanya mampu bertahan mempengaruhi jiwanya selama satu purnama. Setelah itu, dia akan kembali memperoleh jati dirinya, dan membencimu. Jika kau tanamkan lagi jarum Itu kepadanya, sudah tak akan mempan."
Wajah bulat telur yang punya kecantikan tersendiri itu mulai tampak murung. Hatinya berdebar-debar cemas, jiwanya gelisah. Lalu beberapa saat setelah diam, la bertanya pelan, "Bagaimana jika kami segera menikah. Guru?!"
"Itu lebih bagus. Setidaknya jika kau segera menikah dengannya, lalu kau mulai hamil, maka ia akan berat meninggalkanmu karena terjerat oleh anak dalam kandunganmu."
Wajah cantik Itu kembali cerah. "Kalau begitu, nikahkanlah kami, Guru! Jadilah penghulu kami! Guru bersedia, bukan?!"
Nini Sambang menatap muridnya, kemudian berkata, "Mengapa kau tidak menikah di kadipaten saja?"
"Ayah tidak setuju jika tahu aku memperdaya pendekar tampan itu dengan jarum tersebut. Sekalipun aku tidak katakan, tapi Ayah pasti tahu bahwa aku menggunakan jarum itu. Ayah pasti melarang perkawinanku dengan dia. Aku takut Ayah akan murka kepadaku, Guru!"
Nini Sambang diam kembali, mempertimbangkan keinginan muridnya. Kejap berikutnya la kembali berkata, "Galuh Ajeng, kurasakan ada getaran aneh pada diri pemuda itu. Esok siang pasti ada perubahan pada jiwanya."
"Maksudnya perubahan bagaimana, Guru"
"Dia akan menggunakan otak dalam bertindak, bukan mengandaikan perasaan lagi. Aku khawatir dia akan menolakmu jika kau mengajaknya menikah di sini."
"Apakah Guru tidak punya cara untuk menghadang kemungkinan itu bila memang terjadi?"
"Aku punya cara. Tapi kau harus berjanji untuk mau menuntut ilmu satu lagi dariku, yaitu ilmu 'Mahkota Naga."
"Aduuh.... Guru, aku ingin kawin dengannya. Bukan ingin mendapatkan ilmu lagi. Mungkin kalau aku sudah kawin dengannya, aku bisa memperdalam ilmu 'Mahkota Naga'."
"Tidak bisa, Muridku...l" Nini Sambang mengusap-usap rambut Galuh Ajeng yang panjang dan diletakkan di dada. "Ilmu 'Mahkota Naga' harus kau peroleh sabelum kau menikah. Hanya gadis yang masih perawan yang bisa mendapatkan ilmu 'Mahkota Naga'. Setelah Ilmu itu menyatu dengan dirimu, kau bebas untuk menikah beberapa kali pun."
"Terlalu lamakah menuntut ilmu 'Mahkota Naga' itu. Guru?"
"Kalau kau tekuni, tidak akan lama. Kau bisa mengambil waktu hanya selama tiga hari tiga malam tanpa beristirahat sedikit pun. Nanti aku yang membimbingmu. Kau tidak boleh makan, minum, tidur, dan harus tetap memusatkan pikiranmu pada ilmu itu. Tidak boleh bergeser sedikit pun."
"Nanti dia sudah telanjur banyak menggunakan otak dalam bertindak, bukan menuruti perintahku lagi, Guru!"
"Ada cara untuk mengikatnya, Muridku! Akan kukatakan kepadanya, bahwa kau dalam beberapa waktu akan mati karena racun dari ilmu 'Candera Wungu' itu. Kau bisa selamat selamanya jika segera menikah dengan seseorang. Dan seseorang itu harus yang berilmu tinggi, yaitu dia sendiri. Aku berani bertaruh, dia pasti akan bersedia menikah denganmu kapan saja. Karena walau segala tindakannya memakai otak, namun rasa cintanya kepadamu tetap akan melekat dan tak akan berubah."
"Baiklah. Aku menurut dengan rencana Guru saja."
"Nanti setelah ilmu 'Mahkota Naga' berhasil kau kuasai, kau akan kunikahkan secara resmi melalui upacara adat. O, ya., aku masih menyimpan gaun pengantinku semasa muda dulu. Kurasa cocok untuk ukuran tubuhmu. Muridku!"
"Terima kasih, Guru! Terima kasih...!" Galuh Ajeng tampak girang sekali. Sementara itu, Yoga yang tidak tahu tipu muslihat itu segera menyetujui dan menyanggupi untuk menjadi mempelai pria demi menyelamatkan nyawa Galuh Ajeng.
"Tunggu sampai hari keempat, baru kalian kunikahkan. Sebelumnya, biarkan Galuh Ajeng bersemadi dulu di ruang bawah tanah ini, supaya perkawinan kalian abadi!" kata Nini Sambang kepada Yoga.
"Baik. Demi keselamatan Galuh Ajeng, saya bersedia menunggu di sini sampai empat hari, Guru!" kata Yoga dengan tegas.
Rupanya di bawah reruntuhan candi itu terdapat ruang rahasia, yaitu ruang bawah tanah yang dulu digunakan sebagai tempat bertapa beberapa tokoh sakti. Ruangan itu kini digunakan oleh Galuh Ajeng untuk mempelajari jurus andalan milik Nini Sambang, yaitu jurus 'Mahkota Naga".
Begitu sayangnya Nini Sambang terhadap muridnya itu, sampai-sampai ia memberikan jurus andalannya yang jarang digunakan Jika tidak dalam bahaya. Jurus 'Mahkota Naga' itu tidak bisa dimiliki oleh dua orang. Jadi jika jurus itu sudah diberikan kepada Galuh Ajeng, maka Nini Sambang tidak lagi memiliki jurus maut tersebut.
* * *
Sementara itu, sebelum malam tiba dan berganti pagi, partarungan antara Kencana Ratih dengan Mahligai ternyata sama kuatnya. Mereka sama-sama terluka, sama-sama terkena pukulan, dan sama-sama lemas. Akhirnya, keduanya pun menghentikan pertarungan tersebut dengan napas terengah-engah. Kencana Ratih sendiri tidak mau menggunakan jurus 'Candera Wungu', karena suatu pertimbangan yang akhirnya dlkemukakan pada saat mereka sama-sama hentikan serangan.
"Untuk apa kita bertarung sampai mati kalau Yoga tetap jatuh ke tangan Galuh Ajeng," katanya kepada Mahligai.
"Apakah menurutmu pertarungan kita ini pertarungan yang sia-sia?"
'Ya. Sangat, sia-sia. Sebab yang terpenting adalah membebaskan Yoga dari pengaruh Jarum Jinak Jiwa! Jarum itulah yang membuat Yoga tidak mengenal kita lagi. Ia bagaikan baru lahir. Bahkan namanya sendiri tak dikenalinya."
"Lalu apa rencanamu? Mau menghentikan pertarungan ini selamanya?"
"Tidakl" Jawab Kencana Ratih dengan mulut masih berdarah, la berkata lagi di sela deru napas memburu, "Aku harus bebaskan Yoga dulu dari pengaruh Jarum Jinak Jiwa itu. Kemenanganku bertarung denganmu akan sia-sia jika Yoga masih di bawah pengaruh kekuatan Putri Galuh Ajeng itu!"
"O, kau mencintai dia rupanya?!"
"Apakah kau tidak?"
Mahligai diam, mengendalikan napasnya sebentar, lalu berkata, 'Ya. Kita punya perasaan yang sama. Aku setuju dengan rencanamu, bebaskan Yoga dulu, baru kita perebutkan dia sampai mati!"
"Bagus! Sekarang aku mau mengejarnya ke Candi Langu!"
"Aku akan pulang dan mengadukan hal Ini kepada bibiku!"
kata Mahligai sambil bergegas bangun, la sempoyongan dan berpegangan pada batang pohon. Sedangkan Kencana Ratih pun demikian, namun agaknya Kencana Ratih masih mampu sentakkan kakinya untuk melesat dan meninggalkan Mahligai.
Rupanya kepergian Galuh Ajeng dari kadipaten membuat sang Adipati marah, ia segera mengutus Cakar Hantu untuk mencari Galuh Ajeng. Sang Adipati hanya menugaskan Cakar Hantu sendirian, sehingga Cakar Hantu terpaksa pergi mencari Galuh Ajeng sendirian.
Di luar dugaan, ia justru bertemu dengan Kencana Ratih di awal senja. Pada waktu itu. Kencana Ratih masih dalam keadaan lemah akibat pertarungannya dengan Mahligai. Melihat sosok Cakar Hantu, hati Kancana Ratih sempat ciut nyali.
"Celaka, aku harus berhadapan dengan orang itu lagi. Pasti orang itu menuntut balas kematian temannya yang dilubangi lehernya oleh Lili. Karena tidak ada Lili di sini, pasti dia melampiaskan dendamnya kepadaku! Padahal... keadaanku cukup lemah. Aku harus segera ambil tindakan supaya tidak terkuras tenagaku!" pikir Kencana Ratih ketika ia sudah berhadap-hadapan dengan Cakar Hantu.
"Masih Ingatkah kau padaku? Sekarang saatnya kita tentukan siapa yang mati di antara kita berdua!" kata Cakar Hantu yang bersuara besar walau tubuhnya kurus.
"Kalau kau mau menuntut kematian temanmu, tuntutlah si Pendekar Rajawali Putih itu! Karena dialah yang membunuh temanmu!"
"Kau takut menghadapiku, hah? 0, kau kelihatannya habis melakukan pertarungan hebat. Darahmu masih membekas di dagu dan pundak! Pantas kau berusaha menghindari pertarungan denganku!"
"Jangan sangka aku takut padamu, Setan Busuk! Aku hanya ingatkan tentang siapa yang berhak kau tuntut balas!"
"Kau pikir siapa? Tentunya kau dan gadis cantik temanmu itu! Karena sekarang yang ada hanya kau sendirian, maka kau dulu yang harus kubunuh!"
"Majulah kalau kau ingin mampus sekarang juga!"
Cakar Hantu mulai mengeraskan otot-otot tangannya. Jarinya mengembang membentuk cakar yang keras dan berbahaya. Tetapi Kencana Ratih hanya diam saja. Kejap berikutnya, ia baru mengangkat kedua tangannya ke depan dada. Tangan kiri menggenggam tangan kanan. Tangan kanan itu mempunyai telunjuk yang tegak dan keras.
Setelah menarik napas panjang-panjang, napas itu ditahannya. Lalu ketika Cakar Hantu bergerak maju menyerang bagaikan seekor singa menerkam mangsanya, tiba-tiba Kencana Ratih sentakkan tangannya ke depan. Dari ujung jari telunjuknya keluar selarik sinar ungu. Sinar itu menghantam tepat di kening Cakar Hantu.
Blaab...!
Dalam sekejap Cakar Hantu pun tumbang ke belakang dengan mulut ternganga, seakan sulit keluarkan suara. Tubuh Cakar Hantu pun segera memancarkan sinar ungu yang menyilaukan. Lalu sinar itu padam. Tubuh Cakar Hantu telah berubah menjadi kristal ungu yang bening.
"Terpaksa kugunakan lagi jurus ini, karena keadaanku sangat lemah. Sekarang mampuslah kau, Setan Busuk!" Kencana Ratih memungut sebatang dahan kering, kemudian dahan itu dilemparkan ke tubuh Cakar Hantu yang mengkristal.
Praaak...!
Tubuh kristal itu pecah. Asap ungu menyembur ke atas dalam sekejap. Wuuss! Setelah itu, sinar ungu tidak iagi membungkus tubuh Cakar Hantu. Tubuh itu tidak iagi mengkristal, melainkan berbentuk tubuh manusia biasa, namun rusak pada bagian perutnya. Terkuak lebar akibat tadi dilempar dahan pada waktu mengkristal. Maka matilah Cakar Hantu, dan Kencana Ratih pun segera tinggalkan tempat, ia harus bisa menyusul Lili dan Wisnu Patra sebelum hari menjadi gelap.
* * *
ENAM
SEANDAINYA Lili dan Wisnu Patra tidak tersesat, maka mereka berdua pasti tersusul Kencana Ratih. Tetapi karena Lili dan Wisnu Patra salah arah, tentu saja Kencana Ratih menjadi kehilangan jejak mereka.
Keadaan yang remang-remang karena hampir petang itulah yang membuat Wisnu Patra salah memberikan arah jalan menuju Candi Langu. Lili sempat jengkel dan cemberut terus sejak tadi. Gerutuannya sesekali terdengar di seia-sela bayangan hitam pepohonan.
"Mampuslah kita! Sejak tadi rasa-rasanya hanya berputar disini-sini saja! Kalau tahu begini aku tadi pergi sendiri tak perlu mengikuti petunjukmu!" gerutu Lili melangkah sambil menyingkapkan semak-semak ilalang.
"Seingatku arahnya ke matahari tenggelam, Lili!"
"Seingatku, seingatku...!" gertak Lili. "Apa kau pernah ke Candi Langu?!"
"Memang belum. Tapi aku sering mendengar percakapan para tokoh tua dari kedai ke kedai!" jawab Wisnu Patra dengan perasaan bersalah.
"Kurasa kita melangkah ke arah yang salah. Kita sudah tiga kali melewati pohon bercabang rendah itu!"
Wisnu Patra memandang pohon bercabang rendah yang ditunjuk Lili. Dalam hatinya ia mengakui kebenaran kata-kata Lili, dan mulutnya pun menggumam, "Kelihatannya memang begitu. Pohon itu pernah kita lewati tadi!"
"Kita balik arah saja!" Lili bersungut-sungut.
Tiba-tiba mereka sama-sama mendengar suara gemuruh. Lili berhenti melangkah tepat di tanah tak bersemak. Sedikit lega karena jauh dari pepohonan. Langit kelihatan jeias tanpa terhalang dedaunan. Tapi keadaan langit bersih tanpa mendung.
"Suara gemuruh apa itu?"
"Mungkin mau hujan," jawab Wisnu Patra.
"Maksudmu, suara gemuruh tadi adalah suara guntur?"
"Menurut pendengaranku memang suara guntur."
"Bukan!" Lili menyanggah pelan. "Hei. rasakan... rasakan...!" Wajah Lili menegang sementara Wisnu Patra hanya berkerut dahi sambil memahami maksud kata-kata Lili. Jaraknya hanya satu jangkauan dari Pendekar Rajawali Putih. Bahkan sekarang semakin merapat dan ia pun berkata iirih,
"Apanya yang dirasakan?"
"Bodoh! Tidakkah kau merasa tanah yang kita pijak ini bergetar?"
"Ya. Aku merasakan getarannya. Tapi itu karena rumput-rumputnya terkena angin. Bukan karena tanahnya yang bergerak."
Lili mencibir, "Tampan-tampan tapi tolol kau ini! Mana ada angin berhembus? Dedaunan di sebelah sana pasti akan bergoyang jika ada angin berhembus kencang. Rasakanlah... tanah yang kita pijak ini bergetar dan...."
Kata-kata Lili terhenti karena ia memandang ke bawah, ternyata tanah yang mereka pijak itu memancarkan cahaya merah pijar. Wisnu Patra terbelalak kaget, ia segera menarik tangan Lili sambil berseru.
"Cepat lompat! Kita berada di atas Sumur Perut Setan!" Tapi gerakan yang diharapkan Wisnu Patra itu terlambat. Tiba-tiba tarah terbelah menjadi dua bagian.
Zraaak...!
Cahaya merah bara memancar terang menyilaukan dari kedalaman tanah. Satu kaki Wisnu Patra masih berada di belahan tanah sebelah kiri. la berusaha menahan tangan Lili yang sudah telanjur terperosok masuk ke dalam liang memerah itu.
"Pegang tanganku kuat-kuat!"
"Wisnu...! Oooh...!"
Zraaakkk...! Tanah semakin terbelah lebar. Akhirnya keduanya sama-sama terperosok, bagai tertelan bumi.
"Aaa...!" suara jerit mereka menggema panjang. Tubuh mereka melayang-layang dalam lubang yang amat besar. Dan yang lebih mengherankan lagi, tanah yang tadi terbelah itu menjadi rapat kembali dengan menimbulkan bunyi gemuruh mengerikan.
Zraaoookk...!
Cahaya merah bagai nyala magma gunung berapi itu semakin terang. Tapi hawa panas tak ada. Justru sebaliknya, yang ada hanyalah hawa dingin, walau tidak seperti berada di antara salju-salju. Kabut tipis yang ada di dasar lubang besar itu bagaikan uap embun yang bergerak mencari tempat berlabuh. Hal aneh yang dirasakan oleh Lili adalah lambannya gerakan tubuh pada saat mendekati dasar lubang besar itu.
Lili masih bisa merasakan kecepatan gerak tubuhnya ketika jatuh terperosok dari atas tadi. Namun semakin mendekati dasar lubang, semakin lamban gerakannya. Pada waktu kakinya menapak di tanah dasar lubang, tak terasa terhempas keras bagai orang jatuh dari atas pohon, melainkan seperti kapas jatuh dari sebuah ketinggian. Hal seperti itu dirasakan pula oleh Wisnu Patra, si Dewa Tampan itu.
Tentu saja pada saat mereka berdua mencapai dasar lubang besar itu, mereka tidak merasakan sakit sedikit pun. Bahkan mereka bisa mendaratkan kedua kakinya dengan tegap dan sigap. Tak ada limbung dan oleng sedikit pun. Namun mereka terkesima sebentar menyadari keadaannya. Napas mereka ditarik panjang-panjang, kemudian saling beradu pandang. Mulut mereka masih sama-sama bungkam, hanya hati mereka yang masih saling bertanya-tanya.
Kejap berikutnya, mata mereka saling memandang sekeliling. Mereka baru menyadari bahwa sinar merah membara itu bukan datang dari cairan lahar magma gunung berapi, melainkan terpancar dari dinding lubang besar tersebut. Lili mendekati dinding yang memancarkan cahaya merah itu. Tangannya ingin menjamah, tapi buru-buru ditarik oleh Wisnu Patra.
Wuuut...!
Lili tersentak kaget dan segera menatap Wisnu Patra yang tubuhnya rapat dengan punggungnya "Lepaskan aku!" Lili merasa risi karena merasa seperti dipeluk.
"Jangan sentuh dinding itu!" kata Wisnu Patra dengan pelan.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku cuma khawatir kalau-kalau dinding itu berbahaya bagi kulit tubuh manusia. Kita jangan bertindak gegabah di sini. Salah-salah nyawa kita bisa mati karena halhal aneh yang ada."
Mata gadis cantik itu kembali menyusuri tiap dinding. Ternyata dinding berbentuk batuan cadas itu mengandung semacam fosfor yang memancarkan cahaya bara. Bentuk dinding tidak beraturan, seperti layaknya dinding gua, namun jenis tanah dan bebatuannya mempunyai daya pancar sinar.
"Ada lorong di sebelah kanan kita," bisik Wisnu Patra. Lili pun memandang arah yang dimaksud. Ternyata memang benar; ada iorong besar beratap tinggi yang mempunyai kedalaman tak terukur. Lorong Itu pun mempunyai dinding yang memancarkan cahaya bara; merah kekuning-kuningan.
Lili sempat mendongak ke atas. Oh, terlalu tinggi atap lubang tempat ia jatuh tadi. Tanahnya sudah kembali merapat dan sulit didaki. Tak ada kemungkinan untuk lolos dari lubang tersebut dengan cara mendaki ke tempat jatuhnya tadi.
"Kita berada di mana sebenarnya, Dewa Tampan?!"
"Di alam dongengl" jawab Wisnu Patra.
"Jangan ngacau jawabanmu!" sentak Lili bersungut-sungut.
"Memang di alam dongeng. Sebab, Sumur Perut Setan kusangka dulu hanya ada dalam dongeng. Guruku, juga ibuku sendiri, sering mendongeng tentang adanya Sumur Perut Setan. Ternyata Sumur Perut Setan itu memang ada. Dan sekarang ini kita ada di dalamnya!"
Lili menggumam antara percaya dan tidak, "Sumur Perut Setan...?" Matanya kembali memandang sekeliling, berhenti di arah lorong lebar itu. Merinding bulu kuduknya setelah mendengar ada suara gemuruh yang samar-samar, la dapat merasakan adanya detak jantung yang lebih besar dari detak jantungnya sendiri dan jantung Wisnu Patra.
Pada saat itu, Wisnu Patra terdengar berkata, "Ciri-ciri tanah yang memancarkan warna merah tadi sempat membuatku ingat tentang cerita Sumur Perut Setan. Lalu terbelahnya tanah mengingatkan aku pada cerita nenek semasa aku masih kecil, tentang sumur pemakan manusia. Dan dinding yang memancarkan sinar merah ini juga pernah kudengar dari mulut ibuku sendiri tentang Sumur Perut Setan. Konon, orang yang sudah terperangkap masuk ke dalam Sumur Perut Setan tidak akan bisa lolos lagi, karena tidak ada jalan keluarnya."
"Siapa penghuni Sumur Perut Setan ini? Atau... tidak ada makhluk yang menghuninya?" pancing Lili untuk menutupi kecemasannya tentang detak jantung yang lebih besar dari detakan jantungnya sendiri itu.
"Dalam dongeng nenekku, Sumur Perut Setan ini dihuni oleh raksasa merah yang bernama Betara Kala."
Lili mengulang dalam suara desah bernada aneh, "Betara Kala?"
"Makhluk pemakan manusia. Menurut dongeng. Betara Kala berbadan tinggi besar, mulutnya lebar, matanya pun besar."
"Apakah benar begitu?"
"Entah. Aku tak berani memastikan kenyataan yang ada. Yang jelas. kabarnya orang-orang Pulau Kana, seperti Gandaloka itu, adalah keturunan dari Betara Kala yang bersemayam di Sumur Perut Setan ini!"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh mengguncangkan tanah. Pelan, tapi jelas terasa di sekujur tubuh guncangan itu. Lili hampir terjatuh, sementara Wisnu Patra cepat berpegangan pada lengan Lili. Setelah guncangan itu terhenti dan suara gemuruh hilang, Lili berkata,
"Kita buktikan dongeng itu. Kita susuri lorong ini dan kita lihat apa yang ada d! kedalaman sana!"
Wisnu Patra diam, tidak berani memberikan jawaban apaapa. Kalau saja pada waktu itu Lili terperosok bersama Yoga, sudah pasti Yoga akan menjawab tegas menyetujui usul Lili untuk menyelidiki lorong besar itu. Sayang sekali Yoga dalam keadaan di bawah pengaruh Jarum Jinak Jiwa, sehingga ia tidak tahu bahwa guru angkatnya dalam bahaya.
* * *
Jarum Jinak Jiwa memang berbahaya. Sedang Suci, bibinya Mahligai yang juga termasuk gurunya itu, sempat terkejut dan menjadi pucat wajahnya ketika mendengar pengaduan dari Mahligai. Bahkan Sendang Suci yang dikenal dengan nama Tabib Perawan itu sempat tidak percaya dengan apa yang dituturkan oleh keponakannya sendiri.
"Mungkin bukan Jarum Jinak Jiwa. Kau salah dengar, Mahligai. Mungkin yang dimaksud adalah Jarum Merak Jiwa"
"Bukan, Bibi Guru! Mereka menyebutnya Jarum Jinak Jiwa!"
Mahilgai agak ngotot untuk meyakinkan bibinya. "Celaka! Kalau benar Yoga terkena Jarum Jinak Jiwa, dia pasti tidak akan mengenali kita lagi."
"Memang benar!" sergah Mahligai bersemangat. "Dia tidak mengenaliku lagi, Guru! Bahkan ketika kusebutkan nama Bibi Guru dan nama Dewa Geledek, dia merasa tidak pernah mengenal nama-nama itu. Aku... aku dilupakannya Guru!"
Mata Mahligai mulai berkaca-kaca. "Jauh-jauh aku mencarinya, menahan rindu sepanjang perjalanan, begitu bertemu dengannya, dia tidak mau mengenaliku lagi! Sakit hatiku. Guru. Sakit sekali...!" Mahligai mengisak dalam tangisnya Kepalanya diraih dan dipeluk oleh bibinya.
Perempuan setengah baya yang masih tampak cantik dan muda itu terharu mendengar pengaduan keponakannya. Padahal Sendang Suci sendiri sebenarnya menyimpan cinta yang tak kuasa diburu karena menyadari keberadaan dirinya yang sudah lanjut usia dan memandang perasaan keponakannya yang terpikat oleh ketampanan Yoga. Sendang Suci sudah bertekad untuk memendam raca cintanya kepada Yoga dan tidak menuntut balasan, asal dia diizinkan untuk menyayangi pemuda itu.
Mendengar Yoga terkena Jarum Jinak Jiwa, hati Sendang Suci menjadi sangat cemas dan ketakutan. Di samping cemas, timbul juga kemarahan yang membara dan mendidihkan aliran darahnya. Namun, sebagai tokoh sakti yang cukup dikenal di kalangan para tokoh tua, Sendang Suci mencoba meredam amarahnya sendiri dengan menarik napas beberapa kali dan menenangkan diri.
Di depan Mahligai, Sendang Suci berucap kata, "Aku tahu siapa pemilik Jarum Jinak Jiwa itu. Hanya satu orang, yaitu Nini Sambang! Dia tokoh sakti beraliran hitam yang sampai sekarang masih menjadi bahan buruan Malaikat Gelang Emas."
'Tapi pada waktu aku jumpa Yoga, dia sedang membawa manusia beling berwarna ungu, Guru."
"Manusia beling?!" Sendang Suci berkerut dahi karena heran.
"Tubuh manusia itu seperti beling dan berwarna ungu bening. Bagian dalam tubuhnya dapat terlihat dari luar."
"Manusia beling...? Tubuhnya ungu...?' Sendang Suci berkerut dahi semakin tajam. "Setahuku, keadaan seseorang menjadi seperti itu jika orang tersebut terkena jurus 'Candera Wungu' milik si Jubah Peri. Aku jadi bingung sendiri jadinya."
"Agaknya Yoga sangat membela manusia beling itu. Guru. Dia berusaha membawanya ke Candi Langu!"
"Candi Langu adalah tempat kediaman Nini Sambang. Tapi mengapa ia membawa manusia bening ungu itu kepada Nini Sambang? Apakah orang itu adalah muridnya Nini Sambang? Jika benar begitu, berarti murid Nini Sambang itulah yang menancapkan Jarum Jinak Jiwa kepada Yoga!"
Mahligai berhenti mengisak, tapi sesekali masih tersisa senggukan tangisnya yang menyesak dada. Gadis itu berkata dengan nada manja, "Aku tidak mau kehilangan Yoga, Bibi!"
"Aku mengerti," jawab Sendang Suci dengan tenang. "Tapi aku masih belum tahu, siapa orang bertubuh beling ungu itu?"
"Seingatku dia disebut-sebut sebagai Gusti Ayu oleh gadis gemuk, dan aku pernah mendengar Yoga menyebutnya Galuh Ajeng."
"Gusti Ayu...?! Galuh Ajeng...?!" Tabib Perawan menggumam sambil mengingat-ingat nama itu. Lalu, ia pun segera berkata setelah berhasil mengingatnya, "Galuh Ajeng adalah nama putri sang Adipati! Dan seingatku, Yoga datang ke kadipaten untuk serahkan bunga Teratai Hitam. Pihak kadipaten mengeluarkan sayembara, siapa bisa membawa bunga Teratai Hitam akan dikawinkan dengan Putri Galuh Ajeng. Mungkin pada waktu itu Yoga menolak, sedangkan sang Putri sudah telanjur terpikat lalu ia gunakan jarum keparat itu! Berarti... berarti Galuh Ajeng itu murid dari Nini Sambang?! Jika Yoga sampai melupakanmu dan membela manusia beling ungu itu, berarti manusia beling ungu itu adalah Galuh Ajeng, orang yang menancapkan Jarum Jinak Jiwa. Sebab siapa yang terkena jarum keparat itu, akan tunduk dengan segala perintah pemilik jarum tersebut. Yang diingat hanya pemilik jarum itu saja!"
Gadis yang berwajah imut-imut itu tertegun dalam kemurungan dan duka. la memandangi bibi gurunya, yang saat itu sedang manggut-manggut dan berjalan mondar-mandir di depannya, la berharap bibinya dapat memberikan jalan keluar untuk bisa membebaskan Yoga dari pengaruh jarum tersebut.
"Aku tahu sekarang. Seseorang telah melukai Galuh Ajeng, lalu Galuh Ajeng dibawa ke Candi Langu untuk disembuhkan. Apa yang terjadi jika Galuh Ajeng sembuh. Sudah pasti akan menguasai Yoga, dan Yoga akan menurut sekalipun diajak kawin oleh Galuh Ajeng!"
Mahligai berdebar-debar. "Bibi Guru, sebaiknya bunuh aku saja jika sampai Yoga kawin dengan Galuh Ajeng! Bunuh aku sekarang juga. Bibi...!"
"Mahligai! Sabarlah...!" Sendang Suci menangkap tangan Mahligai yang hendak mencabut pedangnya sendiri itu.
"Aku tak mau hidup tanpa Yoga, Guru!" Mahligai menangis lagi.
"Aku tidak bisa mengetahui kelemahan orang yang terkena pengaruh Jarum Jinak Jiwa. Tapi aku tahu ada seseorang yang bisa meneropong kelemahan ilmu apa pun! Orang itu adalah tokoh tua yang tinggal di Tebing Tengkorak, dikenal dengan nama Siluman Ilmu. Aku akan ke sana untuk menanyakan kelemahan Jarum Jinak Jiwa!"
"Aku ikut!"
"Tidak. Kau harus tetap di rumah."
"Aku ingin ikut membebaskan Yoga, Bibi!"
"Kalau kau tidak mau menurut perintahku, aku tidak akan mau ikut campur dalam urusan ini!"
Mahligai tak bisa mendesak lagi. la merasa, tanpa ikut campurnya Sendang Suci, ia tidak akan mampu membebaskan Yoga dari pengaruh Jarum Jinak Jiwa itu. Karenanya, ia lebih baik mengalah dan menuruti perintah bibi gurunya Itu.
Tebing Tengkorak ditempuh perjalanan setengah hari. Ketika tiba di sana, Sendang Suci hampir kehilangan cahaya sore. Jika ia kehilangan cahaya, maka ia tak dapat menuju ke tempat kediaman Siluman Ilmu yang letaknya di dinding tebing berbahaya. Salah langkah bisa terpeleset dan jatuh masuk ke jurang yang teramat dalam itu.
Siluman Ilmu seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun lebih, rambutnya sudah beruban, tapi tubuhnya masih segar. Masih lincah dalam bergerak, dan masih tegap walau tidak tampak kekar. Ketika kedatangan tamu Sendang Suci. Siluman Ilmu sedang melatih ilmu barunya yang dapat memindahkan raga dalam keadaan duduk di satu tempat ke tempat lain.
"He, he, he...! Mimpi apa aku semalam sehingga sore ini kedatangan tamu cantik?" kata Siluman Ilmu menyambut kedatangan Sendang Suci. "Kalau tak salah lihat, kau adalah si Tabib Perawan yang bernama Sendang Suci dari Bukit Berhala itu!"
"Benar. Syukurlah kalau kau masih mengenaliku, Siluman Ilmu!"
"Tentu. Karena kau pernah tolong aku dengan ramuan saktimu, sehingga aku lolos dari penyakit maut itu! He, he, he.! Ada perlu apa kau menemuiku, Sayang...?!"
Siluman ilmu ingin meraih dagu Sendang Suci, namun tubuh Sendang Suci mundur setindak dan tangannya menepis, menampar tangan Siluman Ilmu yang memang jalang itu. Siluman ilmu hanya terkekeh dan membuat hati Sendang Suci muak. Kalau bukan demi keponakannya. Sendang Suci malas bertemu dan minta bantuan kepada Siluman Ilmu, karena dia tahu keusilan tangan lelaki tua itu sungguh memuakkan.
Sendang Suci diajak masuk ke gua yang ada di tebing curam itu. Sampai di sana, Sendang Suci mengutarakan maksudnya dengan menceritakan hubungan batin antara Mahligai dengan Yoga. Tak lupa Sendang Suci juga menceritakan apa yang dialami Yoga dan Galuh Ajeng. Lalu, pada akhirnya Sendang Suci berkata,
"Aku mau minta bantuanmu untuk meneropong di mana kelemahan Jarum Jinak Jiwa itu! Bagaimana cara mengalahkan kekuatan pengaruh iblis yang ada pada jarum keparat itu, Siluman Ilmu?"
Siluman Ilmu diam sebentar. Matanya terpejam, kepalanya tertunduk lemas. Beberapa saat kemudian ia kembali tegak dan tertawa terkekeh-kekeh. Sendang Suci hanya memandanginya dengan penuh harap, setelah itu ia mendengar Siluman Ilmu berkata, "Aku bisa kasih unjuk padamu di mana letak kelemahan Jarum Jinak Jiwa itu. Tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya?"
Siluman Ilmu memandang dengan tersenyum-senyum. Mata tuanya masih tetap nakal dan menyebalkan. Lalu, ia berkata dengan pelan, "Kalau kau bersedia melayaniku, aku bersedia memberitahukan kelemahan Jarum Jinak Ilmu Ku. He, he, he...!"
"Melayani bagimana maksudmu?!" Tabib Perawan berkerut dahi.
"Ah, masa' kau tak tahu maksudku?! Melayani... melayani biasalah! Satu malam saja, itu sudah cukup sebagai upah!"
"Gila! Kau menghendaki tidur denganku?!"
"Hanya satu malam!" Siluman Ilmu menyeringai. "Kalau kau tidak mau, aku pun tak akan berikan kelemahan jarum itu! Terserah pilihanmu!"
Sendang Suci tertegun, dadanya bergemuruh, wajahnya merah padam.
* * *
TUJUH
GALUH Ajeng ternyata berhasil kuasai Ilmu 'Mahkota Naga'. Selama tiga hari ia pelajari jurus itu tanpa beristirahat sedikit pun. Tentu saja ia dibantu kekuatan oleh gurunya, jika tidak ia tak akan bisa berhasil kuasai ilmu berbahaya itu dalam waktu tiga hari.
Yoga tersenyum ketika Galuh Ajeng telah keluar dari ruang bawah tanah. Wajah Galuh Ajeng pun sangat ceria, la berkata kepada Yoga yang segera menyambutnya dengan hangat, "Sudah selesai semadiku. Tinggal melangsungkan perkawinan kita yang akan disahkan oleh Guru."
"Nini Sambang yang akan menjadi penghulu kita?"
"Benar. Tidakkah kau gembira, Yoga?"
"Sangat gembira," jawab Yoga sambil meraih tubuh Galuh Ajeng dan memeluknya erat-erat. "Aku sudah rindu padamu selama tiga hari tidak bertemu, Galuh Ajeng."
"Aku pun rindu sekali. Yoga!" bisik Galuh Ajeng dengan mesranya.
Cemplon Sari terbatuk-batuk, sengaja mendehem beberapa kali untuk memancing perhatian Yoga dan Galuh Ajeng. Keduanya sama-sama tersenyum memandang ke arah Cemplon Sari. Kemudian Galuh Ajeng berkata, "Apa maksudmu memaksakan diri batuk-batuk begitu, Cemplon?!"
"Hanya ingin menanyakan kapan saat perkawinan dilaksanakan, Gusti Ayu!" jawab Cemplon Sari.
"Secepatnya!"
"Hari ini juga?"
"Ya," jawab Galuh Ajeng.
Tapi Yoga segera menyahut, "Kau perlu istirahat sehari saja, Sayang. Aku tahu kau letih sekali! Aku tak mau kau dalam kelelahan pada saat malam pertama kita nanti, Galuh Ajeng."
Galuh Ajeng tersenyum malu "Baiklah kalau kau bisa tahan menunggu satu hari lagi!"
"Aku harus bisa menahan hasratku demi kesehatanmu!"
"Aku senang mendengar kesetiaanmu, Yoga!" Galuh Ajeng semakin merapatkan tubuh, kepalanya disandarkan di dada bidang pendekar bertangan buntung yang punya daya pikat tinggi itu. Yoga mendekapnya lebih erat lagi. Galuh Ajeng sengaja menggerakkan kepalanya biar keningnya tersentuh dan terclum hidung Yoga Maka, diclumlah kening itu oleh Yoga, dan pada saat itu dua pasang mata memperhatikan dari balik kerimbunan semak di luar batas tanah candi tersebut.
Dua pasang mata itu milik seorang wanita cantik dan seorang pemuda yang punya ketampanan cukup lumayan. Sayangnya mereka habis mengalami musibah, sehingga di wajah pemuda itu terdapat luka yang membuat separo wajahnya cacat. Sedangkan perempuan cantik itu hanya mempunyai bekas luka yang sudah mengering pada bagian dagunya.
"Candi ini harus kita kuasai sebagai tempat bermukim kita selama-lamanya!" kata si perempuan cantik berjubah ungu yang sudah robek di beberapa bagian.
"Tapi pemuda bertangan buntung itu ada di sana! Dialah yang menghancurkan kita tempo hari! Apakah mungkin kita bisa kalahkan dia?!"
"Kenapa tidak?! Aku akan hadapi dia dan penguasa candi ini yang kukenal dengan nama Nini Sambang!"
"Apakah kau sanggup kalahkan mereka dengan hanya sendirian?"
"Jangan rendahkan ilmuku, Tolol!" sentaknya dengan nada bisik, tapi tangannya sambil mencekik leher pemuda tersebut.
"Bba... baik! Baik, aku... aku akan ikut membantumu! Jangan marah dulu! Nanti rencana kita gagal!" kata pemuda itu dengan takut, la tahu, perempuan cantik yang bersamanya itu sangat ganas dan keji.
Pada saat itu, Nini Sambang sedang bicara kepada Cemplon Sari di samping Galuh Ajeng dan Yoga, "Cari tujuh macam bunga sebagai pelengkap upacara perkawinan besok, Cemplon Sari!"
"Baik, Nini Guru! Saya akan mencarinya!"
"Cari juga sedikit getah damar di hutan sebelah barat sana. Sedikit saja, asal yang sudah kering."
"Biar saya yang mencari semua keperluan itu, Guru." kata Yoga.
"Jangan!" sela Galuh Ajeng. "Biarkan si Cemplon saja! Kau tak boleh ke mana-mana. Kau harus tetap bersamaku, Yoga!"
Nini Sambang terkekeh dan ingin bicara namun tak jadi. La bahkan terkejut saat melihat seberkas sinar hijau berbentuk seperti bola kecil itu melesat menghantam ke arah kepala Yoga. Tetapi dengan cepat Yoga mengibaskan tangannya yang kanan bagai sayap rajawali mengibas. Kibasan itu keluarkan angin besar yang membuat laju sinar hijau itu berbelok arah, akhirnya menghantam dinding candi yang tinggal separo bagian itu.
Blaaar...!
Susunan batu dinding itu menjadi berantakan. Batu-batu tersebut berubah menjadi serbuk hitam yang lembut akibat terhantam sinar hijau tadi. Empat orang itu segera menyebar, merenggang jarak. Tetapi Galuh Ajeng masih tetap berada di samping Yoga, tak jauh dari jangkauannya. Mereka sama-sama memandang munculnya dua sosok manusia yang melompat dari balik kerimbunan semak.
"Setan alas!" geram Nini Sambang setelah menge tahui siapa penyerangnya. "Rupanya kau datang kemari untuk mencari mati, Bidadari Manja!"
Dua orang itu adalah Bidadari Manja dan Tamtama. Mereka lolos dari peristiwa hancurnya Gua Bidadari. Dan Yogalah yang menghancurkan gua tersebut bersama Kencana Ratih dan Lili (Baca episode: "Gerombolan Bidadari Sadis"). Tetapi saat itu Yoga tidak kenali siapa kedua orang itu, sehingga ia segera melangkah maju dan berseru, "Siapa kalian sebenarnya?! Mau apa kemari?!"
"Kau lupa padaku. Yoga?!" sahut Tamtama dengan senyum sinis.
"Aku tidak mengenal siapa dirimu, Jahanam!" sentak Yoga kasar.
Tamtama makin tertawa sumbang. "Kau berlagak lupa padaku karena kau takut aku bersama Bidadari Manja! Akalmu sungguh busuk, Yoga!"
Bidadari Manja pun menyahut, "Aku datang untuk menagih nyawa-nyawa anak buahku yang kau hancurkan bersama gua tempat tinggal kami! Kau sangka aku tak bisa lolos dari peristiwa itu, hah?! Sekaranglah saatnya kita bikin perhitungan, Pendekar Tampan!"
Yoga masih diam saja dan merasa bingung dengan tuduhan itu. la memandang Tamtama dan Bidadari Manja secara bergantian. Sikapnya tetap tegap dan penuh siaga untuk siap bertarung.
Bidadari Manja yang memandangi Yoga itu akhirnya berkata, "Kau sungguh tampan dan menggairahkan! Rasa-rasanya aku layak memaafkan perbuatanmu jika kau mau ikut bersamaku dan menjadi pendamping kesepianku, Pendekar Tampan!"
Tamtama cemberut memandang Bidadari Manja. Sedangkan Galuh Ajeng mulai panas hatinya mendengar ucapan tersebut. Kini ia maju beberapa tindak dan berkata dengan penuh keberanian, "Kau ingin merebut calon mempelai priaku? Langkahi dulu bangkaiku kalau kau memang punya nyali besar, Perempuan Lacur!"
"Bocah ingusan!" geram Bidadari Manja. "Jangankan kau, gurumu suruh maju melawanku! Akan kucincang dia di depan muridnya!"
Nini Sambang berteriak, "Bacot lancang! Heaaah...!"
Wuuut...!
Tubuh bungkuk itu melesat dengan tongkat siap dihujamkan ke tubuh Bidadari Manja. Tapi dengan satu sentilan tangan ke udara, tubuh bungkuk itu menjadi mental dan jatuh menindih bongkahan batu. Sentilan jari itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Melihat lawannya terpental dan jatuh, Bidadari Manja sunggingkan senyum sinis, sebagai senyum kemenangan.
Melihat gurunya jatuh, Galuh Ajeng semakin terbakar darahnya, la bergegas maju, namun gerakannya tertahan oleh kata-kata Bidadari Manja yang berseru,
"Tunggu dulu! Kalau kau nekat maju kau akan mati sia-sia! Kau belum tahu seberapa tinggi ilmuku, Bocah Ingusan! Kutawarkan perdamaian pada kalian; tinggalkan tempat ini dan kalian akan selamat, atau biarkan pendekar tampan itu ikut bersamaku, lalu ambillah Tamtama sebagai gantinya. Atau, kalian mati semua di sini secara bersamaan?!"
Tamtama semakin bersungut-sungut dan merasa kurang suka dengan tawaran kedua itu. Tapi ia tak berani membantah karena ia tahu akan mati sia-sia jika membantah perkataan Bidadari Manja itu.
Sedangkan Nini Sambang yang telah berdiri kembali itu menjadi semakin geram mendengar kata-kata tersebut. Lalu, ia berseru kepada muridnya, "Galuh Ajeng, bunuh mereka berdua!"
Tetapi sebelum Galuh Ajeng bergerak, Yoga telah lebih dulu gunakan jurus 'Petir Selaksa', melompat dengan sangat cepatnya dan tahu-tahu kedua kakinya menendang ke samping kanan-kiri mengenai kepala Tamtama dan Bidadari Manja.
Praaak...!
Gubraass...! Keduanya sama-sama terpental terpisah arah dan jatuh berguling-guling di atas bebatuan candi. Melihat Bidadari Manja jatuh tunggang langgang, Galuh Ajeng segera melompat dengan satu serangan tendang bertenaga dalam.
Wuut...! Plaak...!
Kaki Galuh Ajeng berhasil ditendang oleh kaki Bidadari Manja. Tendangan Bidadari Manja ternyata punya tenaga lebih tinggi, sehingga Galuh Ajeng terpekik karena rasakan sakit di sekujur tubuhnya yang terpental berguling satu kali di udara itu.
"Alih...!"
Buuhg...! ia jatuh bersimpuh sambil menyeringai. Sedangkan saat itu Tamtama yang hendak menyerang Yoga, segera terpental jauh ke belakang karena tendangan kaki Yoga yang melepaskan tenaga bergelombang panas dan berkekuatan besar. Pakaian Tamtama sempat terbakar sekejap, untung bisa lekas dipadamkan dengan berguling-guling di rerumputan.
Melihat Galuh Ajeng kesakitan, Yoga kian naik pitam, la melompat dan bersalto dua kali ke arah Bidadari Manja Tapi perempuan itu cepat kibaskan tangannya bagaikan memercikkan air ke arah Yoga Ternyata kibasan itulah yang dinamakan jurus 'Karang Jantan', di mana semua anggota tubuhnya dapat mengeluarkan tenaga dalam walau dengan gerakan selamban apa pun.
Wuuhg...! Buuhg...!
Tubuh Yoga jatuh terbanting dalam posisi miring. Tangan buntungnya tertindih tubuh dan merasakan sakit yang membuatnya menyeringai. Hanya percikan jari pelan saja bisa timbulkan kekuatan yang mampu membanting sekeras itu, apalagi jika percikan itu diperkeras, sudah pasti dapat membuat luka di bagian dalam tubuh Yoga. Tapi agaknya Bidadari Manja tak mau lukai Yoga terlalu dalam, karena dia merasa sayang jika nantinya pemuda tampan itu jatuh ke tangannya dan ia akan mengalami kerugian oleh sebab luka berbahayanya Yoga itu.
"Galuh Ajeng!" sentak Nini Sambang yang sengaja tidak ikut campur dan memberi kesempatan kepada kedua calon mempelai itu. "Gunakan 'Mahkota Naga'! Sekarang juga. Galuh Ajeng!"
Mendengar seruan gurunya, melihat Yoga menyeringai kesakitan, Galuh Ajeng cepat bangkit dan berusaha berdiri dengan tegak. Pada saat itu, Bidadari Manja bermaksud menyerang Nini Sambang dengan pukulan berbahayanya. Tetapi tiba-tiba kedua jari tangan kanan Galuh Ajeng menjadi tegak dan keras, lalu jari itu ditempelkan pada dahinya, dan serta-merta disentakkan ke depan bagai melemparkan pisau.
Wuuut..! Claaap...!
Sinar merah panjang terlepas dari ujung jari itu. Sinar tersebut melesat ke arah Bidadari Manja Perempuan berjubah ungu robek-robek itu berusaha lari menghindar dengan beberapa kali lompatan, tapi sinar merah itu mengejar ke mana saja arah larinya.
"He, he, he, he, heh...! Lawanlah 'Mahkota Naga' itu, Bidadari Manja! Lawanlah kalau kau mampui He, he, he...!" Nini Sambang terkekeh kegirangan.
"Edan! Sinar itu mengejarku terus?!" Bidadari Manja menggerutu sambil berusaha menghindar, tapi tetap saja dikejar oleh sinar merah sebesar jari telunjuknya Itu, panjangnya kurang dari sehasta. Akhirnya Bidadari Manja berhenti dan siap-siap melawannya dengan jurus lain. Tetapi pada saat dia berhenti, sinar merah itu seakan menjadi semakin cepat mengejar.
Wuuut...!
Sinar itu berhasil membentuk lingkaran dan menjerat kepala Bidadari Manja.
Zraaap...! Jeratan bagaikan diperkencang. Tiba-tiba terdengar suara, praak...!
Tak ada suara yang sempat keluar dari mulut Bidadari Manja karena kepala itu serta-merta menjadi hancur, remuk seketika. Darahnya memercik ke mana-mana dengan keadaan sangat mengerikan. Tamtama yang melihat dengan jelas kejadian itu menjadi tertegun bengong, matanya terbelalak lebar-lebar, la pun tak mampu lontarkan kata apa pun karena terkesima melihat peristiwa mengerikan tersebut.
"Satu lagi ada di sana!" seru Nini Sambang sambil menuding ke arah Tamtama.
Pada saat Galuh Ajeng berpaling ke arah Tamtama, pemuda itu tak punya pilihan kecuali sentakkan kakinya dan melesat pergi meninggalkan tempat itu. Galuh Ajeng bermaksud mengejarnya, tapi Nini Sambang melarang sambil ia lontarkan tawa terkekeh-kekeh,
"Tak perlu...! Tak perlu dikejar orang itu! Biarkan dia hidup dan menemukan ajalnya sendiri. Kurasa tendangan Yoga tadi sudah cukup melukai bagian dalamnya!"
Galuh Ajeng cepat hampiri Yoga dan memandang dengan cemas. "Kau sakit, Sayang...?! Kau terluka?!"
"Tidak! Hanya terasa nyeri sedikit pada bagian tanganku yang buntung ini. Sayang sekali tangan ini buntung, jika tidak pasti sudah kuhabisi nyawa perempuan itu sejak tadi, tanpa kau turut campur!"
"Sudahlah, lupakan dia. Dia telah menjadi bangkai. Tapi, apakah benar kau pernah menyerang Gua Bidadari yang terkenal berpenghunl ganas-ganas itu?!"
"Entahlah. Rasanya aku belum pernah jumpa mereka berdua, tapi mereka menuduhku yang bukan-bukan!"
Nini Sambang datang mendekati Galuh Ajeng dan menepuk-nepuk punggung muridnya dengan perasaan bangga, "Hebat, hebat...! itu baru namanya murid dari Nini Sambang! He, he, he...! Kini kau tahu sendiri betapa dahsyatnya jurus 'Mahkota Naga' itu, bukan?"
"Ya, Guru! Sungguh dahsyat dan sukar dilawan."
"Bukan sukar dilawan, tapi tak akan ada yang bisa melawannya!" tegas Nini Sambang sambil tersenyum berkesan congkak.
Cemplon Sari diperintahkan untuk membuang bangkai Bidadari Manja ke jurang sebelah timur candi, la menyeret-nyeret mayat tanpa kepala itu dengan menggunakan serat pelepah daun pisang.
"Tugasku tak pernah ada yang enak! Membuang bangkai, mencari bunga tujuh rupa, mencari damar, kapan aku ditugaskan menghabiskan makanan?!" gerutu Cemplon Sari setelah selesai membuang mayat itu.
Tiba-tiba tubuh gemuknya itu terjungkal ke depan dan menggelinding bagaikan gentong kosong. Seseorang telah menendangnya dari belakang dan punggungnya menjadi sasaran teiak tendangan tersebut. Cemplon Sari yang mempunyai ilmu tak seberapa tinggi itu menyeringai kesakitan karena tubuhnya banyak tergores duri-duri semak. Tentu saja ia memaki-maki sendiri sambil berusaha bangkit dan memandang ke arah belakangnya.
"Setan kurap! Rupanya kau yang menyerangku dari belakang, hah?!"
Kencana Ratih tersenyum sinis, la merasa senang dapat membuat si gendut terjungkal beberapa kali. Tapi kepuasan itu hanya sebentar, karena Cemplon Sari lontarkan tantangan yang memerahkan telinga,
"Pengecut seperti kau jelas tak akan berani berhadapan langsung denganku! Larilah sekarang juga sebelum kupatahkan tulang-tulangmu!"
"Kurajang tubuh gentongmu sekarang juga. Jahanam! Hiaaah...!"
Kencana Ratih maju menyerang dengan pukulan bertubi-tubi. Tapi gadis gendut itu mampu menangkisnya beberapa kali.
Taab...!
Bahkan kali ini ia berhasil mencekai lengan Kencana Ratih lalu meremasnya dalam satu genggaman. Kencana Ratih menyeringai kesakitan, karena tulang lengannya bagaikan sedang dlremuk dengan genggaman keras.
"Tak akan tertolong lagi tulangmu ini, Setan Kurap! Hiiihh...!"
Dengan cepat kaki Kencana Ratih menjejak telapak kaki Cemplon Sari dalam satu sentakan keras.
Jraak.,.!
"Uaaow...!" Cemplon Sari kesakitan. Seketika itu kakinya dinaikkan dan dipegangi dengan dua tangan.
Kesempatan Itu digunakan oleh Kencana Ratih untuk menghajar habis wajah Cemplon Sari. Pukulannya datang secara beruntun, membuat wajah lebar itu dalam waktu singkat menjadi bonyok, penuh luka memar dan berdarah pada bagian mulutnya.
"Bawa aku ke Candi Langu! Akan kuhabisi nyawa Gusti Ayumu yang tidak ada ayunya sedikit pun itu!" bentak Kencana Ratih.
Tetapi, tiba-tiba tangan Cemplon Sari menghentak ke depan keduanya. Rupanya ia lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke arah lawannya. Dengan telak dada Kencana Ratih menjadi sasaran pukulan tersebut.
Buuhg...!
Dan tubuh sekar Kencana Ratih pun terbuang ke belakang dan terpelanting berguling-guling. Dadanya menjadi sakit, napasnya sesak, sehingga ia butuh waktu untuk mengisi udara segar untuk dadanya itu. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Cemplon Sari untuk melarikan diri. Melihat Cemplon Sari melarikan diri, Kencana Ratih pun bergegas mengejarnya dengan tenaga dipaksakan, la tak mau kehilangan mangsanya, karena ia tahu gadis bulat itu pasti menuju ke Candi Langu.
"Gusti...! Gusti Ayu...! Saya mau dibunuh orang! Gustiii...!" Cemplon Sari berteriak-teriak ketakutan setelah ia tahu lawannya mengejar dengan gerakan lari lebih cepat darinya.
"Cemplon! Ada apa...?!" seru Galuh Ajeng, la berlari ke pintu gerbang candi yang telah runtuh itu.
Cemplon Sari jatuh tersungkur di depan Galuh Ajeng, la segera ditolong, dan pada waktu itu Yoga pun melompat dari dalam candi, lalu berdiri di samping Galuh Ajeng, ia dan Galuh Ajeng sama-sama memandang ke arah depan. Kejap berikutnya, Kencana Ratih telah berdiri di depan mereka.
Nini Sambang pun muncul kembali dengan membawa bawa tongkatnya, la menatap ke arah Kencana Ratih dengan mata sedikit menyipit, lalu terdengar suaranya berseru kepada Kencana Ratih, "Kalau tak salah kau keponakan dari Leak Parang?!"
"Betul!" jawab Kencana Ratih. "Aku memang keponakan Leak Parang!"
"Mau apa kau datang kemari dengan menyakiti Cemplon?!"
"Yoga adalah kekasihku! Aku harus bisa membawa pulang Yoga"
Dengan lantang Yoga menyahut, "Siapa yang jadi kekasihmu? Aku tidak merasa punya kekasih macam kau! Orang yang kucintai hanyalah Galuh Ajeng, calon mempelaiku!"
'Yoga! Kau terkena pengaruh Jarum Jinak Jiwa! Sadarlah, Yo!" bentak Kencana Ratih dengan jengkel.
Wuuut...!
Buuhg...! Dengan gerakan cepat Galuh Ajeng menyerang Kencana Ratih. Telapak tangannya berhasil menghantam ulu hati lawan, membuat lawan menjadi pucat seketika dan mulutnya menyemburkan darah segar. Tapi Kencana Ratih masih berusaha berdiri dan ingin menyerang Galuh Ajeng. Hanya saja, pukulan tenaga dalam Yoga segera dilepaskan dan menghantam tubuh Kencana Ratih dengan lebih parah lagi.
Blaab...! Wuuus...!
Tubuh Kencana Ratih terpental dan wajahnya menjadi memar membiru sampai bagian lehernya.
"Cukup" kata Nini Sambang menahan gerakan Yoga dan Galuh Ajeng yang ingin melenyapkan nyawa Kencana Ratih. Nini Sambang berkata, "Jangan bunuh dia! Aku tak enak dengan pamannya karena pernah menyelamatkan nyawaku! Biar dia pergi dalam keadaan terluka begitu!"
Nini Sambang dekati Kencana Ratih dan berkata, "Cepat pergi dari sini dan jangan ganggu Yoga lagi. Esok dia sudah menjadi mempelai yang akan kunikahkan dengan muridku; Galuh Ajeng! Mengerti!"
Kencana Ratih pun pergi, merasa tak mampu melawan Yoga.
* * *
DELAPAN
SILUMAN Ilmu paksa Tabib Perawan melalui bujukan agar Tabib Perawan mau serahkan kesuciannya kepadanya Siluman Ilmu sudah siap-siap untuk mengatakan di mana letak kelemahan Jarum Jinak Jiwa. Hal itu membuat Sendang Suci atau Tabib Perawan dicekam kebimbangan antara membiarkan Yoga dikuasai oleh Galuh Ajeng, atau serahkan kesuciannya demi menolong Yoga?
"Bagaimana kalau kutukar dengan ilmu andalanku?" tawar Sendang Suci ketika datang yang kedua kalinya. Waktu itu, ia datang bersama Mahligai, tapi Mahligai menunggu di bibir tebing.
"Tidak bisa!" kata Siluman Ilmu. "Kelemahan Jarum Jinak Jiwa sangat mahal, sepantasnya kau membayar dengan kehangatan tubuhmu. Toh hanya satu kali? Jika kau tidak mau, maka pemuda yang bernama Yoga itu akan menjadi suami Galuh Ajeng hari ini juga! Aku melihat rencana perkawinan mereka sudah disiapkan oleh gurunya. Aku juga melihat rencana hati Galuh Ajeng dan Yoga, bahwa mereka akan berbulan madu di tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun! Yoga seorang pemuda yang benar-benar gagah perkasa dan mempunyai bibit yang subur. Dalam waktu singkat, Galuh Ajeng akan hamil dan Yoga tak akan mau melepaskan perempuan itu jika ia merasa sudah menanamkan keturunannya di rahim Galuh Ajeng! Sekaranglah saatmu untuk menolong dia. Tapi... he, he, he... bayarannya tinggi. Satu kali saja kau layani aku, maka pemuda itu akan selamat dari cengkeraman Galuh Ajeng!"
Hati Sendang Suci berdebar-debar memilih langkahnya, la sangat gelisah saat menentukan pilihan. Tapi pada akhirnya ia bangkit berdiri, lalu melangkah keluar dari gua tempat tinggal Siluman ilmu.
"Sendang Suci, pikiranmu sedikit kacau! Duduklah dulu dengan tenang dan putuskanlah langkahmu! Mau ke mana kau, Sendang Suci?!"
Tiba-tiba dari luar gua Sendang Suci menggerakkan kedua tangannya dari tengah ke samping kanan-kiri, bagaikan menaburkan sesuatu dengan gemulainya. Tanpa ada sentakan keras, namun tiba-tiba mulut gua itu dilapisi cahaya ungu berpijar-pijar. Siluman ilmu yang ada di dalam gua itu terperanjat melihat sinar ungu mengelilingi pintu gua sampai pada bagian lantainya, bagai seutas tali yang mengelilingi mulut gua itu dengan memancarkan sinar ungu pijar.
"Hei, apa yang kau lakukan, Sendang Suci!" seru Siluman Ilmu.
"'Racun Surya Lebur'!" ucap Sendang Suci dengan sunggingkan senyum sinis di bibirnya yang indah itu. "Kalau kau melewati sinar ungu ini, racun sinar ini akan menyergapmu, dan tubuhmu akan hancur dalam waktu kurang dari setengah helaan napas! Kau tak akan bisa meneropong kelemahan 'Racun Surya Lebur' ini, karena kelemahan itu ada pada nyawaku sendiri. Kalau aku mati, maka sinar itu akan padam!"
"Ap... ap... apa maksudmu, Sendang Suci?! Hei, tunggu...! Jangan pergi dulu! Aku tak bisa keluar dari gua ini!"
"Aku tak sanggup membayar jasamu! Aku tak akan sudi menyerahkan kesucianku padamu. Dan aku tak akan cabut sinar ini sebelum kau katakan di mana letak kelemahan Jarum Jinak Jiwa itu!"
"Jahanam! Kau mengurungku di sini! Terimalah pembalasanku, Sendang Suci! Heah...!" Siluman Ilmu lepaskan pukulan tenaga dalamnya bercahaya merah. Melesat dari pangkal pergelangan tangannya.
Wuuut...!
Arah sasaran ke tubuh Sendang Suci yang berdiri di depan mulut gua itu. Tetapi Sendang Suci diam saja dan hanya tersenyum tipis. Sinar merah itu tiba-tiba padam bagai bara api masuk ke dalam air.
Zruub...!
Tiga kali Siluman Ilmu mencoba melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang memancarkan sinar, tapi selalu gagal jika melewati lingkaran sinar ungu itu. Akhirnya Siluman Ilmu merasa kewalahan sendiri. "Baiklah! Aku menyerah kalah!"
"Kalau begitu aku harus segera pergi!" kata Sendang Suci.
"Hei, tunggu dulu! Lepaskan aku dari sinar beracunmu ini!"
"Kau tidak mau menolongku, maka aku pun tidak mau menolongmu!"
"Baik, baik...!" teriak Siluman Ilmu dengan jengkel, la bersungut-sungut dan membatin kata, "Daripada aku terkurung selamanya di dalam gua ini, lebih baik kukatakan saja kelemahan jarum itu!"
Sendang Suci tetap berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang. Di belakangnya jurang. Kalau dia tersentak sedikit, dia akan jatuh masuk ke jurang. Tapi agaknya Sendang Suci tak khawatir sedikit pun akan hal itu. Ia menunggu jawaban dari Siluman Hmu. Beberapa saat setelah bersungut-sungut, orang tua itu berkata,
"Cari benda hitam dalam tubuh pemuda itu. Cabut benda hitam itu. Karena benda itulah jarum keparat tersebut. Jika pemuda itu terlepas dari jarum yang tertanam di tubuhnya, maka pengaruh jarum itu akan sirna dan akan kembali temukan jati dirinya!"
"Di mana letak jarum itu tertanam?"
"Aku tidak tahu!" jawab Siluman Ilmu sambil cemberut.
"Kalau begitu, aku tak bisa melepaskan sinar ungu ini!"
'Keparat kau! Aku tidak tahu di mana jarum itu tertanam!"
"Baiklah. Aku akan coba mencarinya sendiri!" Sendang Suci bergegas pergi tanpa memadamkan sinar beracun Itu.
Siluman ilmu berteriak dengan jengkel sekali, "Setan kau! Baiklah akan kukatakan!"
Sendang Suci tersenyum makin lebar dan tak jadi bergerak pergi, la memandang geli melihat wajah Siluman Ilmu bersungut-sungut di dalam guanya sendiri.
Kejap berikutnya, terdengar Siluman Ilmu berkata dengan nada menggeram jengkel, "Cari jarum itu di belakang telinganya!"
"Yang kiri atau yang kanan?!"
Geram Siluman Ilmu terdengar jelas, "Hhhrr...! Kau benar-benar memuakkan, Sendang Suci! Kau peras ilmuku dengan ancaman seperti ini! Padahal kau telah dapatkan semua yang...."
"Yang kiri atau yang kanan!" seru Sendang Suci sengaja mengulang pertanyaannya, menandakan ia tidak mau bertele-tele.
Siluman Ilmu menghempaskan napas, kesal sekali hatinya. "Yang kiri!" jawabnya sambil menghentakkan kaki.
"Terima kasih! Akan kubuktikan dulu ucapanmu ini! Baru aku akan kembali membebaskanmu!"
Wuuut...!
"He!, Sendang Suci...! Curang kau, Setan! Bebaskan aku!"
Sendang Suci hanya tertawa dalam hati mendengar teriakan Siluman Ilmu. la sengaja tidak melepaskan jeratan Itu, karena ia khawatir kalau-kalau keterangan Siluman Ilmu itu hanya bualan belaka. Tapi dalam hati Sendang Suci punya rencana, jika ia sudah berhasil membebaskan Yoga dari pengaruh jarum itu, sesuai dengan keterangan Siluman Ilmu, maka ia akan kembali ke Tebing Tengkorak dan mencabut 'Racun Surya Lebur" yang mengurung Siluman Ilmu itu.
"Bagaimana, Guru? Sudah berhasil?" tanya Mahligai yang sejak tadi menunggu dengan cemas di atas tebing.
"Sudah! Kita harus bisa mencabut jarum yang tertanam di tubuh Yoga. Letaknya di belakang telinga kiri."
Mahligai memandang curiga kepada bibi gurunya. Yang dipandang jadi tak enak hati karena mengetahui kecurigaan sang keponakan. "Kenapa kau memandangku begitu, Mahligai?"
"Guru..., mengapa sekarang Siluman Ilmu memberikan keterangan itu. Apakah Guru telah...."
"Tidak! Aku bukan orang bodoh yang mau menyerahkan kesucianku kepada lelaki macam dia! Sekarang dia ganti terperangkap oleh 'Racun Surya Lebur'-ku! Percayalah, Mahligai.... Bibi masih suci!"
Mahligai tersenyum, memeluk bibi gurunya sebentar dengan hati lega. Kemudian mereka berdua segera melesat pergi ke Candi Langu.
* * *
DI sana, segala macam keperluan perkawinan sudah disiapkan. Galuh Ajeng berseri-seri mengenakan gaun pengantin yang dulu dikenakan oleh Nini Sambang semasa mudanya. Pakaian pengantin itu sederhana, namun bentuknya yang bersusun-susun itu menampakkan betul sebagal pakaian mempelai wanita. Warnanya putih kusam karena lama tersimpan.
"Kau tampak lebih cantik jika mengenakan pakaian itu, Galuh Ajeng!" kata Yoga yang sejak kemarin sering memuji calon mempelai wanitanya.
"Betulkah begitu?" Galuh Ajeng semakin berdesir indah melihat Yoga anggukkan kepala. Senyumnya semakin lebar.
"Aku semakin bergairah melihatmu dalam pakaian itu."
"Ah, Yo...! Jangan menggodaku begitu, aku bisa gelisah nanti!"
"Aku sudah gelisah sejak tadi."
Galuh Ajeng mencubit lengan Yoga. Kemudian ia berkata, "Aku punya tempat yang nyaman dan aman untuk berbulan madu."
"Di mana?"
"DI tepi pantai. Di sana ada relung karang yang menyerupai gua. Tak ada orang yang tahu tempat itu. Kita bisa puaskan diri bersuka ria di sana nanti."
"Oh, aku semakin tak tahan menunggu kemunculan sang Penghulu kita!" sambil Yoga tertawa kedi. Galuh Ajeng semakin ceria lagi dalam tawanya. Kemudian, tawa itu berhenti karena kemunculan Nini Sambang yang diiringi oleh Cemplon Sari.
Nini Sambang kenakan jubah putih dan pakaian serba putih. Cemplon Sari yang wajahnya masih bonyok itu membawa tempat pedupaan yang mengepulkan asap bau wangi kemenyan. Mereka berdua menuju altar yang dibuat dari susunan batu candi.
Di sana sudah ada sesaji yang dibutuhkan untuk upacara perkawinan, termasuk mangkok tanah yang berisi air, di dalamnya berisi bunga tujuh rupa. Air bunga itu nantinya akan dipakai untuk memandikan kedua mempelai sebagal tanda berakhirnya upacara perkawinan mereka, dan resmilah Yoga menjadi suami Galuh Ajeng.
"Mendekatlah kemari kalian berdua!" seru Nini Sambang dengan terbungkuk-bungkuk di balik altar.
Maka kedua mempelai itu pun mulai mendekat dengan hati berdebar-debar. Mereka berlutut di depan altar, menghadap beberapa sesaji yang disiapkan di sana. Nini Sambang berkomat-kamit sebentar sambil menlupasap pedupaan yang larinya ke arah kedua mempelai itu. Lalu terdengar suaranya di sela keheningan hutan candi tersebut,
"Hari ini...," Nini Sambang diam sejenak, la berpikir beberapa saat, kemudian bertanya peian kepada Cemplon Sari, "Hari ini hari apa namanya? Aku lupa!"
"Hariii... hariii...." Cemplon Sari berpikir juga. "Kalau tidak salah hari ini adalah hari Anggara, Nini Guru!"
Anggara adalah hari selasa. Tapi Nini Sambang agak ragu. lalu bertanya, "Hari Anggara apa hari Soma?"
Hari Soma adalah hari Senin. Dan kali ini Galuh Ajeng menyanggah, "Bukan hari Soma. Guru! Hari ini jatuh hari Tumpak!"
Hari Tumpak adalah hari Sabtu, dan Nini Sambang mengangguk sambil berkata, "Ooo... iya, benar! Hari ini hari Tumpak."
Nini Sambang kembali komat-kamit bagaikan mengulang mantera yang tadi. Setelah menlupkan asap dari pedupaan, Nini Sambang berkata dengan penuh wibawa kembali, "Hari ini, hari Tumpak Pahing, Hyang Jagat Dewa pemayung bumi, mohon restumu atas...."
Blaaar...!
Tiba-tiba altar itu pecah berantakan karena datangnya sinar hijau kemilau yang menyambar bagaikan lidah petir. Sinar itu datang dari arah barat, menghantam altar, membuat pecah bebatuan altar itu. Pecahannya menghantam mereka, termasuk melukai Galuh Ajeng hingga kepalanya berdarah.
Yoga sendiri terkena pecahan batu tersebut yang mengakibatkan dagunya tergores robek dan berdarah. Sedangkan Nini Sambang jatuh terkapar dengan dada legam, pakaian putihnya membekas hangus pada bagian dadanya.
Seseorang telah menyerang mereka dengan maksud membatalkan perkawinan tersebut. Cemplon Sari yang mengucurkan darah dari bibirnya akibat terkena pecahan batu itulah yang pertama kali melihat sosok orang berdiri di sebelah barat candi. Tetapi ia tidak berani berteriak karena kaget dan sempat terjengkang tertimbun batu-batu lainnya.
Yoga tampak panik melihat Galuh Ajeng berlumur darah. Kemarahan Yoga memuncak pada saat la menatap seseorang berdiri di sebelah barat dengan wajah cantiknya yang menjadi angker. Orang itu tak lain adalah Tabib Perawan, yang rupanya ingin tampil sendirian mengatasi hal ini, dan menyuruh Mahligai, keponakannya, untuk bersembunyi.
Hal itu ia lakukan karena orang-orang yang akan dihadapi mempunyai ilmu cukup tinggi dan tidak sebanding dengan ilmu yang dimiliki Mahligai. Demi keselamatan gadis itu, Sendang Suci menyuruhnya bersembunyi, sementara ia tampil untuk menggagalkan upacara perkawinan Yoga dengan Galuh Ajeng.
Dengan sempoyongan dan keadaannya lemah, Nini Sambang bangkit lalu berjalan mendekati Sendang Suci. Ia berhenti dalam jarak tujuh langkah di depan Sendang Suci. Yoga dan Galuh Ajeng juga mendekat, tapi mereka sudah berhenti dalam jarak sekitar delapan langkah dari tempat Sendang Suci berdiri. Nini Sambang memberi isyarat agar mereka jangan mendekat, dan agaknya akan menghadapi sendiri tamunya yang telah berani menggagalkan upacara perkawinan itu.
"Seingatku, kau yang bernama Sendang Suci, Tabib Perawan itu!"
"Ingatanmu masih tajam, Nini Sambang!" jawab Sendang Suci dengan tegar. "Aku datang sengaja untuk menggagalkan perkawinan Yoga, karena kau dan muridmu berlaku curang!"
"Itu urusanku! Apa hakmu ikut campur urusanku. Sendang Suci?"
"Perkawinan itu membuat keponakanku mau bunuh diri! Kalau memang muridmu itu menawan hati Yoga, cabutlah jarum keparat itu dari tubuhnya, dan suruh dia memilih dalam kesadarannya; memilih muridmu atau memilih keponakanku?!"
"Keparat kau, Perempuan Hutan! Heaah...!"
Percakapan belum selesai, tapi Galuh Ajeng merasa ditantang mendengar kata-kata tersebut, la segera melepaskan pukulan tenaga dalam dari tangannya sambil melompat menyerang Sendang Suci. Saat itu, Sendang Suci membawa senjata kipasnya. Dengan cepat la cabut kipasnya dari selipan pinggang dan ia kembangkan dalam satu sentakan tangan.
Jlaab...! Wuuut...!
Kipas itu diayunkan dari kiri ke kanan, lalu datanglah angin kencang bagaikan badai mengamuk di siang hari. Pukulan tenaga dalam Galuh Ajeng tersingkirkan. Bahkan tubuh Nini Sambang sendiri terlempar dihempas angin kipas maut itu. Mempelai wanita jatuh tunggang-langgang menghantam tubuh Cemplon Sari. Sedangkan Yoga juga terhempas ke belakang, lalu jatuh terjungkal.
Sasaran utama Sendang Suci adalah Galuh Ajeng, sebagai mempelai wanita yang membahayakan Yoga itu. Maka, serta-merta kaki Sendang Suci menyentak ke tanah dengan pelan, tapi menghentakkan tubuhnya melayang menuju Galuh Ajeng. Pada waktu itu ia sampai di sana, Galuh Ajeng baru saja bangkit berdiri dari atas tubuh Cemplon Sari.
Sraap...!
Kipas ditutupkan, kemudian dalam satu sentakan cepat ujung kipas mengeluarkan mata pisau tajam.
Wuuut...!
Kipas itu dikibaskan ke arah leher Galuh Ajeng. Craas...! Kipas beracun itu berhasil merobek leher Galuh Ajeng. Racun ganas menyerang Galuh Ajeng dengan sangat cepatnya.
"Galuuuh...!" teriak Yoga melihat leher mempelai wanita koyak lebar dan mata gadis itu terbeliak-beliak dengan suara serak. Kemudian mempelai wanita itu jatuh ke samping, membuat Cemplon Sari menjerit kaget dengan mata mendelik.
Nini Sambang baru saja sadar. Kepalanya dikibas-kibaskan membuang rasa pusing dan pandang buram. Ketika ia memperoleh kesadarannya kembali, matanya pun menjadi terbelalak melihat muridnya terkapar. Tubuh sang murid menyentak satu kali, kemudian terkulai lemas tak bernyawa lagi.
Sendang Suci yang mengamuk itu segera bersalto ke belakang satu kali, lalu dengan cepatnya ia lepaskan kipas itu dalam keadaan terbuka dan ujung-ujungnya bermata pisau tajam. Kipas itu terbang membentuk gerakan melingkar. Pada waktu itu, Nini Sambang sedang berseru,
"Jahanaaam...! Kau telah bunuh muridku. Sendang Suci! Kau...."
Wuuusss...!
Kipas menyambar kepala Nini Sambang. Tapi dengan cepat nenek bungkuk itu merundukkan kepala sehingga lolos dari ancaman kipas terbang. Kipas itu kembali ke arah pemiliknya dan ditangkap dengan satu tangan.
Taaab...!
"Kau harus menebus kematian itu, Keparat! Heaaah.,." Nini Sambang bagaikan terbang dengan tongkat terarah ke wajah Sendang Suci. Tongkat itu tiba-tiba menjadi merah menyala bagaikan logam besi yang terpanggang api.
Sendang Suci tidak menghindar, melainkan segera menangkis ujung tongkat itu dengan kipas dibentangkan.
Deeb...! Duaar...!
Benturan dua benda bertenaga delam tinggi itu timbulkan ledakan. Ledakan itu mempunyai gelombang panas yang menyentak kuat, sehingga keduanya sama-sama terjungkal ke belakang. Tapi agaknya keduanya sama-sama bernafsu untuk saling membunuh, sehingga dalam kejap selanjutnya mereka sudah sama-sama berdiri.
"Modar kau sekarang juga! Heaaah...!" Nini Sambang melemparkan tongkatnya dengan kuat. Tongkat itu meluncur cepat dan tiba-tiba berubah menjadi Seekor ular hitam berkepala merah. Ular itu melesat bagaikan terbang dengan mulut mulai ternganga.
Sendang Suci cepat berkelit dengan satu sentakan kaki menjejak tanah dan tubuhnya melayang ke atas. la bersalto pada saat ular Itu lewat di bawahnya. Dalam keadaan berjungkir balik begitu, ujung kipasnya keluarkan mata pisau lagi, lalu digunakan menebas punggung ular tersebut.
Cras, crass...!
Dua kali tebasan dalam satu kali jungkir balik dapat dilakukan Sendang Suci. Ular itu jatuh ke tanah dalam keadaan terpotong menjadi tiga bagian. Tentu saja hal itu membuat Nini Sambang terbelalak kaget. Kemarahannya semakin bertambah besar.
"Benar-benar iblis kau, Sendang Suci! Hiaaah...l" tubuh tua itu kembali melayang bagaikan terbang. Tapi Sendang Suci cepat-cepat kibaskan kipasnya dalam keadaan tertutup. Kibasan itu membuat dua mata pisau meluncur dari ujung kipas tersebut.
Ziing... ziiing.!
Crap, Jraab...!
"Ahhg...!" Nini Sambang terbelalak. Kedua pisau itu menembus dada dan lehernya. la jatuh dalam keadaan roboh. Menggelepar sebentar dengan keluarkan asap pada bagian yang tertancap pisau itu. Kejap berikutnya, tubuhnya telah diam tanpa nyawa lagi.
Melihat Nini Sambang mati, Sendang Suci tidak mau buang-buang waktu lagi. la melihat Yoga telah berdiri dari samping jenazah mempelai wanita. Sendang Suci mulai takut, dan cepat-cepat pergi tinggalkan tempat itu dalam gerakan yang amat cepat.
Wuuut...!
Kini yang terdengar hanyalah suara tangis Cemplon Sari. la menangisi mayat Galuh Ajeng dengan suara keras meraung-raung. Yoga masih bingung mencari Sendang Suci, membiarkan semua tangis itu semakin keras, la mulai memegang gagang pedang pusakanya yang siap dicabut begitu melihat gerakan lawan. Tapi ditunggu-tunggu, tak ada gerakan yang terlihat di sekelilingnya. Yoga menjadi merah wajahnya karena menahan murka.
SEMBILAN
DENGAN dibantu Cemplon Sari, Yoga menggali dua liang kubur untuk dua mayat. Wajah duka membentang jelas di paras tampan pendekar bertangan buntung itu. Kadang jika duka itu memuncak, membuat mata menjadi merah dan napas menjadi sesak. Yoga cepat berhenti dari perbuatan apa pun jika duka datang memuncak, la tarik napasnya panjang-panjang untuk menekan duka yang ada.
Berbeda dengan Cemplon Sari yang sepanjang penggalian menangis terus tiada hentinya. Kadang diiringi dengan suara ratapan lirih, kadang hanya berupa cucuran air mata saja. Ketika jenazah Nini Sambang dimasukkan ke liang kubur, tangis Cemplon Sari bertambah keras didengar. Tangis itu semakin mengiris hati Yoga dan membuat Yoga akhirnya membentaknya, menyuruh gadis gemuk itu untuk berhenti dari tangisnya.
Cemplon Sari yang punya rasa takut kepada Yoga terpaksa menekan tangisnya hingga tubuh gemuknya itu terguncang-guncang. Lalu, ia membantu Yoga menimbun liang kubur milik almarhumah Nini Sambang. Ketika tiba giliran memasukkan jenazah Galuh Ajeng, tangis Cemplon Sari bertambah keras kembali. Bahkan ia tidak sanggup membantu Yoga mengangkat mayat tersebut untuk dimasukkan ke dalam liang kubur.
Hati Yoga terasa semakin tercabik-cabik. Mayat Galuh Ajeng dipeluknya beberapa saat sebelum diturunkan ke liang kubur. Yoga hampir-hampir tak sanggup menguburkan Galuh Ajeng, sebab saat itu hati Yoga masih dalam pengaruh Jarum Jinak Jiwa, sehingga rasa cintanya yang ada masih membara dalam kedukaan yang besar.
Cemplon Sari kian meraung dalam tangisnya ketika melihat Yoga mencium pipi mayat Galuh Ajeng, kemudian dengan sangat terpaksa membawanya masuk ke liang kubur. Jerit tangis Cemplon Sari itu diam-diam ada yang menertawakan dari baiik persembunyian. Namun orang yang bersembunyi itu tetap membiarkan segalanya berlangsung hingga tuntas.
"Gusti Ayu...! Gusti Ayu saya Ikut, Gusti Ayuuu...!" ratap Cemplon Sari sambil menggelesot di tanah seperti anak kecil.
Yoga membawa masuk mayat Galuh Ajeng yang masih berpakaian pengantin itu. Kemudian meninggalkan di dasar liang kubur tersebut.
"Saya ikut, Gusti Ayuuu...! Ikuuut..!"
Yoga menahan duka dan kejengkelan, la dekati Cemplon Sari dan menghardiknya, "Kalau mau ikut, lekas masuk! Akan kutimbun sekalian kau dengannya! Masuk sana!"
"Tidak mauuu..." Cemplon Sari geleng-geleng kepala dan mengurangi raung tangisnya.
Kesedihan yang amat mencekam itu memang menghadirkan kemarahan bagi Yoga. Tetapi kemarahan tersebut tak mampu terlepas seluruhnya karena tak memiliki sasaran yang pasti. Sebagai pelampiasan sementara, ia membentak Cemplon Sari seperti tadi. Namun kini, ketika liang kubur telah ditimbun dengan tanah hingga menggunduk, Yoga tak mampu melepaskan suara keras ataupun bentakan seperti tadi.
la berlutut di samping makam Galuh Ajeng dengan kepala tertunduk menahan duka yang hampir-hampir menghadirkan tangis. Sebegitu besar kesedihan itu, sebegitu lembut kehancuran hati itu, tapi Yoga tetap bertahan untuk tidak menitikkan air mata. Usaha menahan tangis itulah yang membuat sekujur tubuhnya bergetar dan napasnya sesak sekali untuk dihela.
Tangannya merapikan gundukan tanah makam, seolah-olah ia mengusap-usap jasad Galuh Ajeng dengan cinta dan kepedihan. Pada waktu itu, Cemplon Sari bersimpuh di seberang Yoga dengan menahan isakan tangisnya agar tak meraung seperti tadi. Lalu, terdengar Yoga berkata dengan suara bergetar yang lirih sekali,
"Cemplon, nikahkan aku dengan Galuh Ajeng...."
Gadis gemuk bermuka lebar itu terkejut mendengar ucapan Yoga. la memandang Yoga dengan tanpa bicara kecuali isak tangis yang mengguncang badannya. Yoga mengulang! maksudnya agar Cemplon Sari jelas apa yang dikehendaki Yoga,
"Jadilah penghuluku, nikahkan aku dengan Galuh Ajeng."
Cemplon Sari diam sesaat, kemudian geleng-geleng kepala sambil berkata di sela isak tangis, "Aku tidak bisa jadi penghulu! Aku tidak mengerti bagaimana caranya. Jangan paksa aku. Yoga!"
"Ucapkan akad nikah sebisamu! Aku Ingin menjadi suami Galuh Ajeng. Lakukanlah sekarang juga, Cemplon!"
Beberapa kali Cemplon Sari menelan ludahnya sendiri untuk mengendalikan tangisnya. !a bingung harus berkata apa pada saat itu. Yoga segera berucap kembali,
"Lekas, Cemplon...! Nikahkan aku dengan kuburan itu"
"Memm... memm... mempelainya?"
"Mempelainya aku dan Galuh Ajeng di dalam kuburan Ini!"
Sambil terguncang-guncang tubuhnya, Cemplon Sari mengangguk. "Akan... akan kunikahkan kau dengan mempelai di dalam liang kubur ini, tapi... tapi aku tak tahu apakah akan berlaku atau tidak."
"Ya. lekas ucapkan akad nikah untuk kami!"
"Baik. Dengan... hegh!" Cemplon Sari mendadak tersentak dengan mata mendelik dan tubuh terdongak. Seseorang telah melemparkan senjata rahasia berupa mata pisau kecil yang berpita benang merah panjang. Senjata itu tepat mengenai punggung Cemplon Sari.
Yoga sangat terkejut melihat kejadian itu. la cepat-cepat bangkit berdiri sambil memandang ke semak-semak tempat datangnya benda tajam berpita benang merah itu. la pun berseru bagai Ingin melepas murkanya,
"Jahanaaamm...!"
Wuuut...! Bruuusss.,.!
Yoga melesat dengan cepat menerabas semak-semak tersebut la mengejar orang yang melemparkan senjata rahasia itu. Orang tersebut tak lain adalah Mahligai, yang sejak tadi diam dalam persembunyiannya, memperhatikan apa saja yang terjadi dan yang dilakukan oleh Yoga menghadapi kematian Galuh Ajeng.
Ternyata Yoga benar-benar bagaikan tidak mengenali jiwanya sendiri. Ia masih tetap terpengaruh oleh Jarum Jinak Jiwa yang membuat hatinya menaruh cinta begitu besar kepada Galuh Ajeng, sampai-sampai memaksa Cemplon Sari untuk menjadi penghulunya dan menikahkan dirinya dengan mempelai di elam kubur itu. Jelas perbuatan gila itu tidak akan dilakukan jika Yoga bardiri sebagai sosok Pendekar Rajawali Merah yang sejati.
Mahligai lari secepat mungkin, karena ia tahu Yoga kali ini benar-benar mengamuk dan tidak akan ragu untuk membunuhnya. Jika Mahligai berlari dalam keadaan mengambil jalan lurus, maka ia akan terkejar oleh Yoga, sebab ia tahu Yoga punya gerakan secepat panah dilepas dari busurnya. Sebab itu, Mahligai berlari dengan berbelok ke sana-kemari untuk mengacaukan pengejaran Yoga.
Rupanya pada saat itu Sendang Suci yang sudah sejak tadi melarikan diri, kini berbalik arah lagi sebab ia ingat Mahligai tidak ikut lari dengannya. Hati Sendang Suci cemas dan sangat mengkhawatirkan tindakan nekat akan dilakukan oleh Mahligai yang belum bisa mengendalikan jiwa mudanya itu.
Sebab itulah Sendang Suci kembali ke Candi Langu untuk menjemput Mahligai dan menyuruhnya lari. Menurutnya, melawan Yoga dalam keadaan murka sama saja melawan seribu El Maut yang siap merajang nyawa mereka. Sendang Suci punya rencana untuk membiarkan kemarahan Yoga reda dahulu untuk dua-tiga hari, setelah itu baru berusaha mencabut jarum tersebut dari belakang telinga kirinya.
Pada saat Sendang Suci kembali arah itulah ia berpapasan dengan Mahligai yang berwajah tegang dan kebingungan. Melihat sosok bibinya ada di depan jalan, Mahligai segera menghampirinya dengan hati sedikit lega. Setidaknya jika Yoga berhasil mengejarnya, ia punya perisai yang dapat diandalkan, yaitu bibi gurunya.
"Mahligai! Mengapa tak segera ikut lari?! Tidakkah kau tahu bahwa kemarahan Pendekar Rajawali Merah bukan hanya bisa menghancurkan tubuhmu, namun juga bisa menghancurkan bukit dan gunung sebesar apa pun?! Apa yang kau lakukan di sana?!" sentak Sendang Suci memarahi murid yang sekaligus keponakannya sendiri itu.
"Guru, Yoga sedang mengejarku dengan amarah yang tinggi!"
"Celaka! Tahukah kau bahwa aku sendiri merasa tidak mampu untuk mengalahkan dia secara terang-terangan?! Apalagi jika la mencabut pedang pusakanya, habislah kita berdua dalam satu gerakan saja!"
"Jadi bagaimana caranya menyadarkan Yoga dari pengaruh Jarum Jinak Jiwa itu. Bibi Guru?! Aku melihat Yoga sudah tidak waras lagi!"
"Tidak waras bagaimana?"
"Dia memaksa gadis gemuk itu untuk menjadi penghulunya, la minta dinikahkan dengan mempelai di dalam kubur itu! Sungguh tak waras lagi apa yang diinginkannya itu, Guru!"
"Memang. Tapi... lalu apa yang kau lakukan di sana hingga la mengejarmu?"
"Aku membunuh gadis gemuk itu saat mau berlagak menjadi penghulu! Yoga marah, dan mengejarku dengan menggunakan tenaga peringan tubuhnya yang mampu bergerak secepat anak panah itu, Guru!"
Sendang Suci kelihatan cemas, sesekali matanya memandang ke arah tempat datangnya Mahligai, la segera menarik tubuh Mahligai untuk bersembunyi di balik pohon besar berakar pipih bagaikan bilik-bilik serambi itu. Mereka berlindung di balik akar tersebut sambil membicarakan jalan keluarnya.
Sementara itu, pengejaran Yoga sendiri sudah mendekati tempat tersebut. Namun ia belum mencabut pedang pusakanya. Matanya masih memandang liar mencari Mahligai yang ingin dibunuhnya itu.
"Kurasakan dia ada di sekitar sini, Mahligai," bisik Sendang Suci yang membuat Mahligai bertambah cemas.
"Lalu bagaimana cara menghadapinya, Guru?"
"Barangkali... barangkali aku terpaksa bertarung dengannya!"
"Guru sanggup mengalahkan dia?"
"Aku tak yakin!" jawab Sendang Suci terang-terangan. "Tapi akan kucoba untuk menyerangnya dengan menggunakan 'Racun Mayat Semu'."
"Dia akan mati jika terkena racun itu, Guru. Lantas apa gunanya kita bersusah payah begini?!"
"Dia tidak mati. 'Racun Mayat Semu' hanya membuat jantungnya berhenti selama setengah hari. Jika cepat diobati, ia akan pulih kembali. Tapi jika kita terlambat mengobatinya, dia akan mati selama-lamanya! Aku masih ingat, kita masih menyimpan sisa bunga Teratai Hitam yang bekas untuk mengobatimu tempo hari. Kurasa masih cukup untuk mengobatinya nanti...."
Tiba-tiba percakapan itu terhenti, Mahligai tak jadi bicara. Di depan mereka telah berdiri sesosok pemuda tampan tanpa lengan kiri. Matanya garang dan napasnya memburu. Yogatelah siap menyerang mereka berdua dengan tangan kanan telah memegangi gagang pedang pusakanya. Mereka berdua sama-sama terkejut bukan kepalang.
Mahligai sempat menggigil melihat Yoga siap mencabut pedangnya. Sendang Suci segera menguasai jiwanya, lalu ia bisa sedikit tenang dan segera melangkah maju dengan berkata.
"Kalau kau memang seorang pendekar berjiwa ksatria, kita selesaikan urusan ini secara ksatria juga! Aku siap bertarung denganmu tanpa senjata! Apakah kau sanggup mengalahkan aku tanpa senjata pula?"
"Kau harus mati menebus nyawa calon istriku, Keparat!"
"Kau pun harus mati. Tapi mampukah kau membunuhku tanpa senjata? Aku merasa mampu membunuhmu tanpa senjata!"
Berani betul Sendang Suci berkata begitu. Mahligai sampai merinding sendiri mendengar ucapan bibinya, ia tidak tahu, bahwa Sendang Suci sengaja memancing tantangan demikian, agar Yoga tidak jad! mencabut senjatanya. Sendang Suci masih merasa punya sedikit peluang jika Yoga tidak menggunakan Pedang Lidah Guntur-nya.
Pemuda itu sendiri merasa ditantang untuk bersikap lebih ksatria lagi. Maka dengan melepas gagang pedangnya, ia berkata penuh geram, "Baik! Kutunjukkan padamu bagaimana mudahnya aku mencabut nyawamu tanpa senjataku! Bersiaplah, Perempuan Liar...!"
"Bibi...!" bisik Mahligai dengan cemas sekali.
"Tenang, Mahligai! Berdoalah supaya siasatku berhasil. Mudah-mudahan aku bisa menahan jurus-jurus mautnya!"
"Tapi, Bibi... ada yang ingin kukatakan dulu padamu...." Sendang Suci sudah telanjur melompat mencari tempat untuk lakukan pertarungan dengan Pendekar Rajawali Merah itu. Agaknya Yoga sendiri juga sudah siap betul melepaskan pukulan-pukulan dahsyatnya untuk membunuh Sendang Suci.
Andai saja Yoga tidak terpengaruh jarum setan itu, dan dalam keadaan sadar, ia tidak akan mau melawan Sendang Suci. Sebab hatinya pun menyimpan kasih sayang yang agung untuk perempuan itu. ia sangat menghormati dan menghargai si Tabib Perawan itu seperti ia menghargai gurunya sendiri. Tetapi karena jiwanya terpengaruh jarum tersebut, ia tak ragu-ragu lagi untuk melepaskan pukulan 'Rajawali Lebur Jagat', yaitu seberkas sinar merah terang yang melesat dari teiapak tangannya.
Wuuut...!
Kelebatan sinar merah terang itu membuat Sendang Suci melompat ke samping dengan berguling satu kali di tanah, lalu tegak berdiri kembali. Sementara itu, sinar merah terang menghantam gugusan batu di belakang Sendang Suci dan batu itu lenyap menjadi serbuk lembut.
Mahligai terbelalak tegang. "Edan! Kalau Guru terkena pukulan itu tadi, habis sudah riwayatnya; menjadi bubur atau menjadi serbuk seperti batu itu?!" pikir Mahligai dengan Jantung berdetak cepat sekali, la ingin membantu menyerang, tapi takut mengacaukan gerakan jurus gurunya, sehingga yang dapat ia lakukan hanya sebagai penonton yang berdebar-debar.
"Hiaaat...!" Yoga berkelebat menyerang Sendang Suci dengan tendangan berputar bagaikan kipas kecepatannya.
Wut, wut, wut, plaak!
Sendang Suci berhasil hindari tendangan itu, namun yang terakhir justru ia tertipu dengan gerakan kaki Yoga. Wajahnya menjadi sasaran telak tendangan bertenaga dalam itu, hingga ia terpelanting jatuh dalam keadaan pipinya memar membiru. Pandangan mata Sendang Suci menjadi gelap, la berusaha bangkit dengan meraba-raba.
"Celaka! Guru menjadi buta?!" sentak hati Mahligai.
Sendang Suci berusaha mengibas-ngibaskan kepala untuk membuang kegelapan matanya itu. Yoga memanfaatkan kesempatan baik untuk melepaskan serangan yang mematikan, yaitu dengan menggunakan jurus 'Tapak Geledek'-nya. Jurus pukulan dua telapak tangan itu sulit dihindari lawan. Jika terkena dada, maka dada lawan tersebut akan terbakar dari dalam dan darahnya tersembur keluar melalui mulut. Lawan pun akan mati. Melihat keadaan gurunya berbahaya, Mahligai memberanikan diri melesat dari tempatnya dan menerjang Yoga dari arah samping.
Wuuut...! Bruuus...! Buuhg...!
Pada saat itu. Yoga cepat rubah Jurusnya dengan menyentakkan tangan kanan ke samping, sehingga dada Mahligai terkena pukulan punggung tangan Yoga yang bergerak bagai sayap rajawali membentak kuat. Yoga sendiri Jatuh terkena tendangan Mahligai, sedangkan Mahligai terkapar sambil mengerang dan terbatuk-batuk. Ada darah yang keluar dari mulutnya namun tak seberapa banyak, ia masih bisa bangkit kembali dan segera melangkah mundur ketika Yoga aiihkan serangan ke arahnya.
"Kau mau main curang, hah?!" geram Yoga sambil siap-siap memainkan Jurus mautnya lagi dengan gunakan satu tangan. Lalu, dari jari tangannya itu melesatlah selarik sinar merah bening yang tertuju ke arah Mahligai.
Zlaaap...! Dengan cepat Mahligai sentakkan kedua tangannya yang menghasilkan dua sinar biru bertemu di pertengahan.
Wuuut...! Sinar biru itu beradu dengan sinar merah Yoga.
Blaaar...! Ledakan dahsyat pun terjadi. Dedaunan sekitar tempat itu rontok seketika. Tubuh Mahligai bukan hanya terlempar jauh, namun juga terbanting-banting bagaikan bola dilemparkan. Kepalanya sempat terbentur akar runcing dan robek di bagian pelipis. Darah meleleh dari luka itu. Mahligai tak sadar karena pandangan matanya menjadi remang-remang, la tak mampu berdiri untuk sementara.
Sedangkan Yoga hanya tersentak mundur tiga tindak saat terhempas gelombang ledakan tadi. Gerakan mundurnya itu tak sadar telah mendekatkan diri kepada Sendang Suci. Waktu itu, pandangan mata Sendang Suci sudah kembali terang.
Ternyata ia hanya mengalami kebutaan sejenak tadi. Kini ia dapat melihat keadaan Yoga yang lengah, sehingga kesempatan emas itu dipergunakan sebaik mungkin. Kipasnya dicabut, lalu dari gagang kipas keluar pisau kecil dan pendek setelah kipas itu disentakkan ke bawah. Dengan cepat Sendang Suci kibaskan gagang kipas itu ke arah pinggang kiri Yoga.
Sreet...!
"Auhg...!" Yoga memekik seketika. Badannya terasa panas bagai diguyur dengan air mendidih, la limbung dalam berdiri.
Sendang Suci membiarkannya, karena ia sudah berhasil melukai Yoga dengan pisau yang mengandung 'Racun Mayat Semu'.
"Kau... kau... curang...!" Yoga menuding Sendang Suci dengan sempoyongan, la mau meraih gagang pedangnya, tapi kekuatannya semakin menipis. Akhirnya Yoga pun roboh ke tanah, terkapar dengan tubuh tersentak-sentak. Berikutnya, tubuh itu diam tak bergerak lagi. Wajahnya pucat bagai mayat dan tubuhnya menjadi dingin.
"Bibi Guru...!" Mahligai masih bisa berseru walau pelan, la berjalan terhuyung-huyung, lalu memandang cemas ke arah Yoga. Melihat Yoga telah pucat bagaikan mayat. Mahligai segera mendekat dan memeluknya dalam tangis.
"Tenanglah, Mahligai... 'Racun Mayat Semu' hanya akan membuatnya mati setengah hari! Setelah kita obati dengan Teratai Hitam, jantungnya akan bekerja kembali dan ia akan hidup kembali!" kata Sendang Suci sambil menyingkapkan daun telinga Yoga yang kiri, lalu ia temukan titik hitam di sana. la mencabutnya.
Plaaas...!
Jarum Jinak Jiwa yang berwarna hitam itu telah berhasil dilepas dari belakang telinga Yoga. Jarum itu segera dibuang dan menancap masuk ke dalam sebatang pohon.
Zrraak...! Pohon itu menjadi hitam seluruhnya sampai pada daunnya pun berwarna hitam.
"Sudah selesai, Mahligai! Ayo, jangan menangis begitu! Cepat bawa Yoga pulang, kita obati dengan bunga Teratai Hitam yang masih tersisa itu!"
"Bibi Guru...," ucap Mahligai dalam tangisnya. "Sebenarnya tadi ada yang ingin kukatakan, tapi Bibi sudah telanjur masuk dalam pertarungan...!"
"Apa yang ingin kau katakan?"
"Bukankah Bibi menaruh serbuk bunga Teratai Hitam itu di dalam guci putih itu?"
"Benar! Kenapa?"
"Aku telah memecahkannya saat Bibi pergi ke Tebing Tengkorak! Guci itu tersentuh tanganku dan jatuh, pecah isinya beterbangan ke mana-mana!"
"Celaka!" Sendang Suci terbengong. "Ada dua guci putih, yang berisi bubuk bunga matahari atau yang berisi bubuk akar Sonokeling?"
"Aku... aku tak tahu yang mana yang kupecahkan itu!"
Sendang Suci memejamkan mata menahan kecemasan. Benarkah bubuk bunga Teratai Hitam itu sudah hilang? Lalu bagaimana nasib Lili yang terjebak di dalam Sumur Perut Setan itu? Ikuti kisah selanjutnya.
SELESAI
Selanjutnya,