Mestika Burung Hong Kemala Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Jilid 01 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Mestika Burung Hong Kemala Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
GADIS itu duduk di seberang barat Sungai Kuning yang merupakan lembah yang subur dan datar, ia duduk seperti arca, mungkin sedang dibuai lamunan sendiri, atau mungkin juga terpesona oleh keindahan alam di pagi hari itu.

Memang indah, keindahan yang tumbuh dari kewajaran, keindahan yang jarang dirasakan orang karena hati akal pikiran ini selalu disibukkan oleh urusan bermacam-macam yang menimbulkan banyak masalah. Matahari masih rendah di ufuk timur, nampak kemerahan seperti bola api yang belum membakar mata. Matahari itu membentuk garis emas dipermukaan air sungai yang pagi hari itupun nampak tenang.

Arus air hanya menurut keadaan tanahnya. Di bagian pegunungan, Sungai Kuning dapat meluncur deras bukan main sehingga tidak ada perahu berani menyeberanginya, akan tetapi di bagian yang landai seperti tempat itu, tanahnya datar dan airnya tidak deras. Namun di musim hujan, airnya meluap sampai jauh kedua tepinya, menimbulkan banjir yang merupakan bencana bagi kaum petani.

Namun pagi itu, semua nampak demikian indah, tenang dan tenteram penuh damai. Burung-burung telah selesai bercengkerama sebelum berangkat ke tugas kerja, kini sudah beterbangan, berkelom pok-kelompok, menuju ke tempat mereka dapat memperoleh makan untuk sehari itu. Ayam jantan tidak berkeruyuk lagi, dan jeng kerik belalang tidak mengerik lagi. Di kejauhan terdengar domba mengembik, babi menguik dan teriakan kanak-kanak.

Namun, semua suara itu tidak mendatangkan kebisingan, bahkan nampak akrab dengan keheningan yang menghanyutkan batin gadis itu. Keheningan yang begitu lembut, begitu mesra menghanyutkan perasaan, membuat seseorang ingin menang is bukan karena sedih, bukan pula karena gembira, melainkan karena merasa bahwa dia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam sementara itu, dia lah keheningan itu.

Gadis itu sendiri merupakan pemandangan yang amat indah, setidaknya bagi mata manusia, terutama mata manusia pria. Karena mahluk lain belum tentu akan menganggap gadis itu cantik dan menyenangkan untuk dilihat, bahkan mungkin menakutkan.

Seperti ikan-ikan yang berenang di tepi sungai, tak jauh dari tempat ia duduk, seperti burung burung yang tadi berloncatan di pohon dekat situ, mereka terkejut ketakutan dan menjauhkan diri setelah tahu akan kehadiran gadis itu dekat mereka.

Bagi kita, baik wanita maupun terutama pria pasti akan memuji dan mengagumi gadis itu. ia masih amat muda, paling banyak tujuh belas tahun usianya, dan duduk termenung seorang diri pada pagi hari itu di tepi sungai, di tengah alam yang indah, ia seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar, segar dan jelita, seolah tiada cacat-celanya.

Tubuhnya ramping padat, belum sempurna benar lekuk-lengkungnya karena memang sedang mekar menjelang dewasa, namun wajahnya sudah memiliki daya tarik yang amat kuat karena wajah itu cantikjelita, manis melebihi madu.

Rambutnya hitam tebal, agak keriting berombak, panjang sekali yang dapat dilihat dari sepasang kuncir yang digelung. Kalau dibiarkan rambut itu terurai, kiranya akan sampai kebelakang pinggulnya. Anak rambut seperti hiasan lembut di dahinya yang halus, anak rambut yang melingkar dan halus sekali, dan rambut yang melingkar di pelipis, di depan sepasang telinganya, seperti menantang.

Alisnya hitam kecil dan melengkung panjang, menjadi pelindung sepasang mata yang aduhai! Sukar menggambarkan keindahan sepasang mata itu. Tidak sipit seperti kebanyakan wanita, melainkan agak lebar dengan kedua ujung di tepi mencuat ke atas, seperti sepasang mata seekor burung Hong.

Bulu matanya panjang lentik, putih matanya putih sekali dan hitam matanya hitam sekali. Akan tetapi bukan itu yang mempesonakan, melainkan sesuatu pada mata itu, sinarnya, atau yang tersembunyi dalam kerlingnya. Pendeknya, mempesona! Hidungnya kecil mancung namun ada sesuatu yang menggemaskan pada hidung itu, entah karena ada tonjolan sedikit di punggung bukit hidung itu, atau karena ujungnya nampak seperti berdongak ke atas itu, atau mungkin karena cuping hidung yang tipis itu kadang dapat kembang kempis.

Lalu mulutnya! Sukar dikatakan mana yang lebih menarik antara matanya dan mulutnya! Memang na mpaknya wajar dan normal saja, nampaknya biasa saja mulut itu, akan tetapi sungguh sebuah mulut biasa yang luar biasa! Bibir itu! Lesung pipit di sebelah kiri mulut itu!

Deretan gigi itu. Sukar mencari sesuatu yang dapat disebut kurang atau buruk pada mulut itu. Wajah itu bentuknya bulat telur, dengan dagu yang bentuknya meruncing, menambah kemanisan wajah itu. Kulit muka dan leher yang nampak demikian putih. mulus dan halus.

Demikian kira-kira penggambaran seseorang, terutama pria, yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita, bahkan mungkin lebih dari gambaran tadi. Memang, kalau orang sedang jatuh cinta apapun yang ada pada wanita yang dicintanya, selalu nampak hebat, tiada tara, bahkan kalau sedang cemberut nampak semakin man is, kalau marah-marah nampak semakin menggemaskan.

Kalau kita mengamati gadis itu lebih teliti, akan nampak jelas bahwa ia bukanlah gadis pribumi, bukan gadis bangsa Han. Memang kulitnya putih mulus, akan tetapi tidak kekuningan seperti kulit gadis pribumi, dan terutama sekali matanya jelas menunjukkan bahwa mata itu bukan mata pribumi. Juga rambutnya yang berombak, ia tentulah seorang gadis berdarah campuran, seperti yang banyak terdapat di perbatasan utara dan barat, hasil pernikahan antara orang pribumi dan suku bangsa lain.

Biarpun ia mengenakan pakaian yang biasa dipakai seorang gadis Han, namun cara ia menguncir rambutnya merupakan pertanda bahwa ia sebetulnya masih berdarah suku Khitan, suku yang berada di sekitar perbatasan utara, suku yang merupakan golongan nomad, yaitu golongan yang hidup dari peternakan dan yang berpindah-pindah mencari tanah subur yang penuh dengan rumput dan daun hijau untuk ternak mereka.

"Hong-moi......!"

Panggilan itu mengejutkan dan menyadarkannya dari lamunan, ia menoleh dan seperti sudah diduganya, yang menegurnya adalah seorang pemuda yang tinggi besar dan tampar. Pemuda itu tampan dan gagah, dengan pakaian suku Khitan dan wajahnya juga wajah seorang Khitan aseli, dengan tulang pipi menonjol dan kumis melintang. Usianya sekitar dua puluh lima tahun dan sepasang matanya tajam seperti mata seekor burung rajawali.

Gadis yang disebut Hong-moi (adik Hong) itu bangkit dan setelah ia berdiri, baru nampak betapa ramping tubuhnya, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang ramping, dada dan pinggul yang padat, berdirinya tegak dengan dada terbuka dan kedua pundak lurus, tidak menurun seperti pundak kebanyakan wanita Han. Dan setelah ia berdiri tegak seperti itu, makin jelas bahwa ia bukan seorang gadis pribumi. Alisnya berkerut dan matanya memandang tak senang kepada pemuda itu.

"Suheng, mau apa kau mengganggu ketenanganku dan sudah berapa kali kukatakan bahwa tidak sepatutnya engkau menyebut aku Hong-moi? Aku adalah sumoimu (adik seperguruanmu),"

Gadis itu memang merasa terganggu dan tidak senang. Hal ini adalah karena selama beberapa bulan ini, pemuda yang menjadi suhengnya ini mulai berubah sikapnya terhadap dirinya. Pandang mata itu pun berubah penuh gairah, senyumnya juga membujuk dan memikat, dan beberapa kali ucapannya menyinggung masalah hubungan kasih sayang yang tidak semestinya.

Biasanya ia sayang kepada suhengnya ini, yang dikenalnya sejak ia kecil, sejak ia menjadi murid suhunya (Gurunya) yaitu ayah kandung pemuda itu. Akan tetapi sejak pemuda itu berubah sikap, iapun merasa tidak senang dan perubahan itu pula yang membuat ia tadi melamun sedih.

"Sumoi, kenapa engkau ribut soal panggilan itu?" pemuda itu tertawa dan nampak deretan giginya yang kuat dan terpelihara. "Apa bedanya antara sebutan adik Hong dan adik seperguruan? Kurasa sebutan Hong-moi lebih mesra dan aku memang menghendaki agar hubungan kita lebih mesra dari pada hubungan kakak beradik seperguruan. Nanti dulu, Hong-moi...." dia mengangkat tangan mencegah gadis itu mengeluarkan ucapan membantah, "kebetulan sekali kita bertemu di sini, di tempat sunyi di mana tidak akan ada orang lain yang mengganggu dan mendengarkan percakapan kita. Hong-moi, sudah berulang kali aku memperlihatkan sikapku, akan tetapi agaknya engkau belum mengerti benar. Sekarang, aku sudah mengambil keputusan untuk berterus terang saja kepadamu. Hong-moi, aku cinta padamu dan aku ingin engkau untuk menjadi isteriku."

Sepasang pipi yang putih mu lus tanpa bedak itu mendadak berubah kemerahan, dan sepasang mata yang indah seperti mata burung Hong itu mendadak kini mencorong seperti harimau betina di usik.

"Suheng! Tidak sepantasnya engkau bicara seperti itu! Memang aku sudah merasa akan perubahan sikapmu dan terus terang saja, aku tidak suka dengan perubahan itu. Sekarang engkau berterus te rang, akupun ingin berterus terang padamu sebagai jawabannya. Aku tidak mungkin dapat menerima cintamu seperti itu. Ingat, suheng, aku adalah murid yang sudah diaku sebagai anak angkat oleh su hu, sehingga kita ini dapat dibilang masih kakak beradik sendiri. Jangan sekali lagi kau ulangi ucapan mu yang tidak pantas itu."

"Sumoi, kau sendiri mengatakan bahwa engkau diaku sebagai anak angkat oleh ayah. Anak angkat, berarti orang lain, bukan kakak beradik dan tidak ada hubungan darah di antara kita. Karena itu, tidak ada halangan apapun bagi kita untuk menjadi suami isteri."

"Tidak, aku tidak sudi!" Kini gadis itu membusungkan dada menegakkan kepala dan pandang matanya penuh tantangan.

"Sumoi, kenapa engkau menolak. Ingat, sejak kecil engkau menerima budi berlimpah dari ayah, dari keluarga kami. Kami semua menyayangmu seperti keluarga sendiri, dan sekarang, setelah aku dengan sungguh hati menyatakan cintaku kepadamu, engkau menolak dengan kasar. Apakah engkau tidak mengenal budi?"

"Suheng, aku tidak pernah minta dipungut oleh suhu dan dijadikan murid atau diaku anak. Ketika itu aku masih kecil dan aku menurut saja. Memang keluargamu baik kepadaku, akan tetapi akupun bu kan seorang yang duduk diam saja. Aku bekerja di sana, melakukan segala pekerjaan, membantu para pelayan, akupun menaati semua perintah suhu. Akan tetapi soal perjodohan, itu adalah urusanu pribadi, tidak boleh dicampuri oleh siapapun, bahkan keluarga mupun tidak boleh memaksaku berjo doh dengan siapa saja tanpa persetujuanku. Dan terus terang saja, aku tidak ingin menjadi isterimu."

"Kau.... kau.... anak sombong! Kau banyak lagak!" pemuda itu nampak marah dan tersinggung.

"Kau yang sombong, suheng! Kau kira, setelah aku diambil murid oleh ayahmu, lalu aku harus menurut apa saja yang kalian kehendaki terhadap diriku? Pula, suheng, bagaimana mungkin perasaan cinta dapat dipaksakan? Pernikahan tanpa cinta hanya akan mendatangkan derita sengsara. Tidak, aku tidak mau menjadi isterimu."

Perasaan kecewa, penasaran, dan marah membuat pemuda itu melotot dan sikapnya seolah hendak menyerang. Akan tetapi dia melihat betapa sumoinya itu pun marah dan siap untuk melawannya. Dia tahu benar bahwa kalau mereka sampai bertanding, dia tidak akan menang melawan sumoinya. Menurut keterangan ayahnya sendiri, bakat yang dimiliki sumoinya dalam ilmu silat amatlah besarnya dan di dalam latihan bersamapun dia sudah merasa bahwa dia tidak akan mampu menandingi sumoinya.

"Aku akan memberitahu ayah tentang sikapmu yang sombong ini!" katanya dan diapun membalikkan tubuh lalu pergi dengan cepat meninggalkan gadis itu.

Gadis itu termangu, lalu menghela napas panjang dan duduk kembali seperti tadi, melamun. Akan tetapi sekali ini keadaan batinnya berbeda jauh dari pada tadi. Kalau tadi batinnya tenteram dan hening karena hati akal pikiran tidak bekerja, sekarang hati akal pikirannya bekerja keras. Kenangan lama terbayang dan teringat akan keadaan dirinya, kedukaannya timbul.

Gadis jelita ini bernama Can Kim Hong. ia tidak pernah mengenal ayahnya. Bahkan wajah ibunyapun hanya nampak samar dalam kenangannya, karena ibunya meninggal dunia ketika ia berusia lima tahun. Ibunya seorang wanita suku Khitan, puteri seorang kepala suku. Menurut cerita Ibunya, seperti yang masih diingatnya dengan baik, yaitu cerita yang didengar dari ibunya ketika ia berusia lima tahun, sebelum ibunya meninggal dunia, ia hanya mengetahui bahwa ayahnya seorang bangsa Han yang bernama Can Bu.

"Dia seorang di antara para panglima perang dari pasukan Han," demikian kata ibunya.

Kemudian ibunya menceritakan bahwa Can Bu tertawan oleh suku Khitan ketika bersama para panglima lain, memimpin pasukan menyerbu daerah utara. Karena sikapnya yang baik dan gagah, Can Bu tidak dibunuh, bahkan diperlakukan sebagai seorang tamu agung. Kemudian, terjalin cinta asmara antara Can Bu dan Khitan, mendiang ibunya. Atas persetujuan kepala suku, merekapun menikah. Akan tetapi, ketika ibunya mengandung tua dan ayahnya itu memperoleh kesempatan, ayahnya meloloskan diri.

"Ayahmu seorang pahlawan, tentu saja tidak mau tinggal untuk selamanya di sini," demikian ibunya bercerita. "Tadinya dia hendak mengajakku ikut melarikan diri, akan tetapi karena aku dalam keadaan mengandung tua, aku menolak. Dia pergi sendiri dan sampai sekarang tidak ada berita darinya."

Hanya itu yang ia ketahui dari mendiang ibunya. Ayahnya seorang bangsa Han, bernama Can Bu dari meninggalkan nama pribumi untuk anak yang akan dilahirkan ibunya, nama pria dan nama wanita. Ketika terlahir wanita, ia diberi nama Can Kim Hong karena menurut ibunya, ketika ibunya mengandung, ia pernah bermimpi melihat seekor burung Hong emas (Kim Hong).

Can Kim Hong melanjutkan lamunan dan kenangannya. Setelah ibunya meninggal dunia, kakeknya, kepala suku itu, menjadi sedih dan mengundurkan diri. Jabatan kepala suku dipegang oleh seorang Khitan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang yang kuat dan pandai ilmu silat berbagai aliran. Kakeknya menitipkan ia kepada kepala suku baru itu dan sejak itu, iapun menjadi murid bahkan menjadi anak angkat dari kepala suku baru yang bernama Bouw Hun, yaitu ayah kandung suhengnya tadi yang bernama Bouw Ki.

Dan sekarang, Bouw Ki .yang sejak beberapa bulan terakhir ini memperlihatkan sikap yang berlainan sekali, telah menyatakan cintanya dan ingin mengambilnya sebagai isteri. ia menolak, dan ia tahu bahwa penolakannya tentu akan menimbulkan perubahan besar dalam sikap keluarga Bouw itu. Bouw Ki tentu akan mengadu, dan gurunya tentu akan merasa tidak senang pula, demikian ibu guru nya dan para paman. ia akan menghadapi keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan.

"Lebih baik aku meninggalkan semua itu," akhirnya ia mengambil keputusan dan merenung ke arah selatan. "Aku harus mencari ayah seperti yang pernah dipesankan mendiang ibu!"

Ketika tenggelam dalam pikiran, Kim Hong memiringkan kepalanya, meraba raba dan menjiwir-jiwir ujung telinga kirinya dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, seperti kebiasaannya sejak kecil kalau ia sedang berpikir. Kini ia bangkit berdiri, sudah mengambil keputusan dan teringat akan sikap Bouw Ki dan membayangkan sikap keluarga Bouw kepadanya, ia merasa penasaran dan gemas.

Aku akan menghadapi mereka dan menghadapi apapun yang akan terjadi! Berpikir demikian, Kim Hong menghentakkan kaki kanannya beberapa kali ke atas tanah. Kebiasaan tanpa disadari ini menandakan bahwa ia sedang marah. Kemudian ia melangkah dengan tegap meninggalkan tempat itu, menuju sebuah tebing yang tinggi di mana tinggal keluarga gurunya.

"Tidak, kami tidak setuju kalau engkau hendak memperisteri Kim Hong!" kata Bouw Hun yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok clan berkulit hitam itu.

Kepala suku Khitan yang berusia lima puluh tahun ini duduk didampingi isterinya yang berkulit putih dan masih cantik dalam usianya yang empat puluh lima tahun, menghadapi puteranya, Bouw Ki yang baru saja menyatakan keinginan hatinya untuk memperisteri Kim Hong.

"Akan tetapi kenapa ayah?" Bouw Ki membantah. "Bukankah sumoi seorang gaclis yang baik, bahkan murid ayah dan juga anak angkat ayah yang bertubuh sehat, berwajah cantik dan berotak cerdas?" Kemudian dia menyambung sambil memanclang kepada ibunya. "Dan aku amat mencintanya, ayah."

"Tidak, sekali lagi aku tidak setuju kalau ia menjadi isterimu! Memang ia cantik dan cerdik, akan tetapi ingat, ia seorang keturunan Han! Dan engkau tahu betapa liciknya orang-orang Han yang selalu menjadi musuh kita."

"Tapi mendiang ibunya adalah wanita Khitan, ayah."

"Hemm, engkau tentu ingat apa yang telah terjadi? Karena wanita Khitan itu mau menjadi isteri seorang bangsa Han, maka kehidupannya menjadi celaka. Dalam keadaan mengandung tua, ia ditinggalkan suaminya! Huh, dan engkau ingin memperisteri puteri seorang Han yang macam itu? Tidak, aku tidak setuju!"

"Anakku, ayahmu berkata benar. Ingat, engkau putera seorang kepala suku yang dihormati. Kalau engkau ingin menikah, carilah seorang gadis Khitan. Gadis yang terbaik sekalipun akan dengan senang menjadi isterimu. Kim Hong seorang gadis keturunan Han, tidak aseli, tentu kelak tidak dapat menjadi isteri yang baik," kata pula ibu pemuda itu.

Bouw Ki mengerutkan alisnya. Dia akan berani membantah ibunya, akan tetapi dia takut kepada ayahnya yang juga menjadi gurunya itu. Ayahnya berwatak keras.

"Akan tetapi, ayah dan ibu. Aku sungguh amat mencinta sumoi, aku tergila-gila padanya dan kalau ia tidak menjadi milikku, aku akan merasa sengsara sekali."

"Hemm, berulang kali engkau mengatakan cinta padanya. Apakah anak itu berani mengaku cinta kepada mu, suhengnya sendiri?" tanya Bouw Hun dengan suara bernada marah.

Bouw Ki mengenal watak ayahnya. Orang tua itu selalu memandang tinggi derajat keluarganya sebagai kepala suku Khitan. Diapun tahu bahwa kalau dia ingin mencapai idaman hatinya, dia harus membakar hati ayahnya. Bujukan tidak akan ada hasilnya.

"Itulah yang merisaukan hatiku dan yang membuat aku penasaran dan bertekad untuk memilikinya. Sumoi secara kurang ajar dan memandang rendah telah berani menolak cintaku! Ia menganggap dirinya terlalu tinggi untuk menjadi isteriku! Justeru penolakannya ini yang membulatkan tekadku untuk mendapatkannya, ayah!"

Wajah yang berkulit hitam itu menjadi semakin gelap. "Apa? Anak itu berani... berani menolakmu? Huh, sombong sekali! Itulah kesombongan seorang peranakan Han! Akan kita buktikan bahwa bukan engkau yang tidak pantas menjadi suaminya, akan tetapi ia yang tidak pantas menjadi mantuku!"

"Akan tetapi aku menginginkannya ayah!"

"Baik, aku akan memaksanya untuk menjadi milikmu, bukan sebagai isteri, melainkan sebagai seorang selir saja!" kata kepala suku itu dengan hati geram karena merasa diremehkan oleh gadis yang sejak kecil dipelihara dan dididiknya itu.

Siapa sih anak itu berani memandang rendah puteranya dan berani menolak cintanya? Justeru karena penolakan itu, ia harus menjadi milik puteranya, bukan sebagai isteri melainkan sebagai selir, isteri yang tidak sah agar kelak kalau mempunyai anak tidak berhak untuk menjadi kepala suku!

Ayah, ibu dan anak itu sama sekali tidak tahu bahwa selagi mereka berunding membicarakan Kim Hong, gadis yang mereka bicarakan itu berada di luar ruangan, di balik daun pintu dan sempat mendengarkan bagian terakhir dari percakapan mereka. Wajah gadis itu menjadi pucat, lalu merah sekali ketika ia mendengar kalimat terakhir yang diucapkan gurunya tadi.

"Baik, aku akan memaksanya untuk menjadi milikmu, bukan sebagai isteri, melainkan sebagai seorang selir saja!"

Kim Hong dengan hati-hati menyelinap pergi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemara han. Gurunya sendiri yang berniat memaksanya menjadi selir Bouw Ki. Menjadi selir! Sedangkan menjadi isteri yang sah saja ia tidak sudi, apa lagi menjadi selir!

Maklum bahwa tidak mungkin ia dapat menentang gurunya yang hendak memaksanya, Kim Hong sudah mengambil keputusan bulat, ia harus pergi dari situ, sekarang juga sebelum terlambat, ia me mang sudah agak lama me mpunyai niat untuk merantau ke selatan, mencari ayah kandungnya.

Dan peristiwa dengan suhengnya itu membuat ia bertekad untuk pergi sekarang juga.Tergesa-gesa Kim Hong mengumpulkan pakaian, memasukkan dalam buntalan kain kuning, tidak lupa membawa pedangnya dan perhiasan untuk biaya dalam perjalanan, kemudian melalui pintu belakang, ia meninggalkan rumah itu.

Ia bertemu dengan orang-orang Khitan yang membuat pondok-pondok darurat di sekitar tebing itu, akan tetapi tidak seorang di antara mereka yang bertanya, hanya menegur dan memberi salam saja kepada murid dan juga anak angkat kepala suku. Kelompok orang Khitan yang di pimpin Bouw Hun ini baru tiga bulan tiba di situ dan tinggal di lembah Sungai Kuning, memilih tempat yang tinggi agar tidak diserang banjir.

Setelah meninggalkan perkampungan suku Khitan, Kim Hong lalu mempercepat perjalanannya dengan berlari menuju ke bawah untuk mencapai tepi sungai yang landai di mana ia akan dapat membeli atau menyewa sebuah perahu untuk melanjutkan perjalanannya ke selatan.

Kini ia sudah tiba di bawah tebing karang yang menjadi perkampungan suku Khitan. Hatinya merasa lega karena ia tidak melihat adanya pengejaran yang amat dikhawatirkan, dan begitu tiba di tanah datar, iapun cepat berlari menuju ke tepi Sungai Kuning. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan yang amat mengejutkan hatinya.

"Sumoi....!"

"Kim Hong, berhenti dulu...!"

Suhengnya dan suhunya! Celaka, pikirnya. Pasti mereka itu melakukan pengejaran dan sudah tahu akan rencananya untuk minggat. Biasanya, ia bebas untuk bermain di mana saja, tanpa pengawasan. Kalau sekali ini mereka mengejarnya, tentu mereka sudah menduga akan niatnya dan mungkin tadi ada seorang Khitan yang melaporkan kepada kepala suku itu bahwa ia pergi meninggalkan perkampungan.

Dilihatnya sebuah perahu kecil meluncur tenang di dekat pantai, sebuah perahu kecil didayung oleh seorang pria berusia enam puluhan tahun yang mengenakan sebuah camping lebar dan pakaiannya yang serba hitam itu amat sederhana. Melihat perahu itu, timbul harap an di hati Kim Hong.

"Heiiiii! Tukang perahu, ke sinilah, aku ingin bicara!" teriaknya ke arah tukang perahu yang mendayung perahunya lambat-lambat. Tukang perahu menoleh dan Kim Hong melihat bahwa wajah pria itu terang dan penuh senyum, wajah yang membayangkan kesabaran dan kelembutan hati.

"Paman yang baik, pinggirkan perahumu. Aku ingin menyewanya, atau membelinya, atau menumpang saja. Cepatlah, aku membutuhkan pertolonganmu!"

Kim Hong menoleh ke belakang dan kini sudah nampak bayangan ayah dan anak itu yang berlari cepat dan kembali terdengar teriakan-teriakan mereka.

"Kim Hong, aku perintahkan engkau untuk berhenti!" terdengar jelas teriakan gurunya.

"Paman tukang perahu, tolonglah!" Kim Hong berseru kembali melihat tukang perahu itu masih belum mendayung perahunya ke tepi. Untuk meloncat ke perahu itu, jaraknya masih terlalu jauh. "Ke sinilah, aku ingin menumpang perahumu, berapapun sewanya akan kubayar!"

Akan tetapi, orang bercamping itu hanya menahan lajunya perahu dengan dayungnya, dan hanya memandang seperti orang yang tidak mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.

Kim Hong yang tadinya berteriak dalam bahasa Khitan, kini berseru lagi, menggunakan bahasa Han yang dikuasainya dengan baik karena mendiang ibunya yang mengajarkannya Namun, tetap saja tukang perahu itu diam seperti patung. Sementara itu, Bouw Hun dan Bouw Ki tiba di situ!

"Kim Hong, apa yang kaulakukan ini? Engkau hendak pergi ke mana?" terdengar suara Bouw Hun yang dala m dan parau, dengan nada yang marah penuh teguran.

Terpaksa Kim Hong memutar tubuh menghadapi ayah dan anak itu. Karena sejak kecil ia menganggap Bouw Hun sebagai guru dan juga pengganti orang tuanya, maka ia bersikap lembut walaupun dalam hati ia masih marah mengingat akan ucapan guru ini tadi yang hendak memaksanya menjadi selir Bouw Ki.

"Suhu, aku sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat ini, hendak mencari ayah sampai dapat bertemu. Harap suhu sudi memberi ijin dan tidak menghalangiku."

"Apa? Engkau ini anak tak mengenal budi! Sejak kecil engkau kami rawat, kami pelihara, kami didik, dan sekarang setelah menjelang dewasa, engkau akan minggat begitu saja tanpa pamit?" bentak kepala suku Khitan itu.

Kim Hong yang tadinya menundukkan muka, kini mengangkat mukanya dan menentang pandang mata gurunya dengan berani. Memang kalau menurut ucapan gurunya tadi, seolah ia yang tidak mengenal budi. Ma ka, iapun menjawab dengan lantang,

"Suhu, sesungguhnya suhu sendiri yang memaksa aku pergi tanpa pamit. Kalau saja suhu tidak mengeluarkan ucapan itu, tentu aku akan minta ijin dan restu. Suhu yang memaksaku untuk pergi minggat seperti ini."

Bouw Hun mengerutkan alisnya. "Ucapanku yang mana? Jangan mencoba mencari alasan yang bukan-bukan!"

"Aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri bahwa suhu akan memaksaku untuk menjadi selir suheng. Aku tidak sudi dan aku mengambil keputusan untuk minggat."

Ayah dan anak itu saling pandang, terkejut karena sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu telah mendengarkan percakapan mereka tadi. Mereka tadi memang mendapat laporan dari seorang Khitan yang melihat Kim Hong meninggalkan perkampungan membawa buntalan pakaian maka mereka cepat melakukan pengejaran. Karena gadis itu sudah mengetahui, Bouw Hun tidak mau berpura-pura lagi.

"Memang benar, dan engkau tidak boleh menolak kehendak kami. Sejak dahulu engkau sudah seper ti anggauta keluarga kami sendiri, kalau sekarang engkau menjadi selir suhengmu, apa salahnya?"

"Tidak, suhu. Aku tidak mau menjadi isteri suheng, apa lagi menjadi selirnya! Harap suhu membiar kan aku pergi mencari ayah. Aku tidak akan melupakan semua budi sekeluarga dan semoga kelak aku akan dapat membalas budi itu," kata gadis itu dengan suara yang tegas, akan tetapi pandang matanya penuh permohonan.

"Hemm, tidak perlu kelak, sekarangpun engkau dapat membalas budi itu dengan menaati perintahku. Jangan pergi dan engkau menjadi selir Bouw Ki."

"Maaf, suhu. Kalau aku harus membalas budi dengan itu, aku tetap menolak."

"Kim Hong, berani engkau membantah perintah gurumu dan juga ayah angkatmu!" Bouw Hun membentak, kini matanya mendelik dan mukanya yang penuh berewok dan kul itnya menghitam itu ke lihatan bengis sekali.

"Sumoi, jangan membuat ayah menjadi marah. Taatilah perintah ayah, dan engkau akan hidup berbahagia. Aku amat mencintamu, sumoi," kata Bouw Ki membujuk.

Kim Hong memandang kepada Bouw Ki dengan mata bersinar-sinar, lalu ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda gagah ta mpan itu. "Suheng, ini semua gara-gara engkau! Kalau engkau tidak mempunyai niat kotor terhadap diriku, tidak akan terjadi keributan ini dan aku tentu akan pergi dengan baik-baik, dibekali ijin dan restu dari suhu. Pendeknya, aku tidak mau menjadi isterimu atau selirmu...."

"Kim Hong! Engkau harus menaati perintahku!" bentak pula Bouw Hun yang suclah marah sekali.

"Maaf, aku ticlak dapat menaati perintah yang ini, suhu."

"Engkau berani menentangku? Kau tahu apa hukuman orang yang berani menentangku?"

Kim Hong melepaskan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan berdiri tegak. "Aku tidak menentang, suhu, akan tetapi kalau aku dipaksa, aku akan membela diri, dan aku lebih baik mati dari pada harus melakukan hal yang berlawanan dengan suara hatiku."

"Anak jahanam! Anak durhaka, murid murtad!" Bouw Hun marah bukan main dan dia sudah menerjang ke depan, menyerang Kim Hong.

"Ayah, jangan bunuh dia..." Bouw Ki berseru, khawatir kalau-kalau ayahnya yang marah itu membunuh gacl is yang membuatnya tergila-gila itu.

"Teriakan puteranya ini menyadarkan Bouw Hun dan ketika Kim Hong mengelak ke kiri, tangannya cepat bergerak menyambar dan karena Kim Hong memang tidak berniat melawan orang yang selama ini menjadi guru dan pengganti orang tuanya, maka tanpa dapat dihindarkan lagi, jari tangan Bouw Hun yang lihai itu telah menotoknya dan membuatnya roboh terkulai lemas.

"Nah, bawalah dan kau tundukkan gadis liar itu!" kata Bouw Hun kepada puteranya.

Sambil menyeringai puas Bouw Ki menghampiri tubuh Kim Hong yang rebah miring dengan lemas. Akan tetapi pada saat dia membungkuk untuk memonolong tubuh itu, tiba-tiba ada angin berdesing menyambar, seperti angin berpusing dan Bouw Ki merasa dirinya terdorong oleh tenaga yang amat kuat sehingga dia terhuyung ke belakang dan hampir jatuh terjengkang.

Ayah dan anak itu memandang dengan kaget dan heran. Seorang pria telah berdiri di situ, menghadang dan melindungi tubuh Kim Hong. Dia berusia enam puluh tahun, berpakaian serba hitam sederhana, kepalanya tertutup sebuah camping hitam yang lebar pula. Wajah orang itu ramah dan penuh senyum, akan tetapi matanya mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng! Ketika ayah dan anak itu memandang kepadanya, dia balas memandang dengan senyum lembut dan mata mencorong.

Bouw Hun terkejut.Dia sendiri adalah seorang yang sudah banyak pengalaman dan sudah mendalam pengetahuanya tentang ilmu silat dan dia tahu bahwa di daerah selatan terdapat banyak sekali pendekar silat yang amat lihai. Melihat betapa munculnya orang yang serba hitam pakaiannya ini membuat puteranya terhuyung, diapun dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka kepala suku ini tidak berani bersikap lancang.

Sebaliknya, dia bahkan melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada. Karena pakaian orang itu berpotongan pakaian orang Han, Bouw Hun lalu bicara dalam bahasa Han yang juga dikuasainya baik-baik.

"Maafkan kami, sobat. Aku adalah Bouw Hun, kepala suku Khitan yang hidup mencari makan di daerah ini, dan dia adalah Bouw Ki, puteraku. Gadis ini adalah muridku sendiri yang hendak minggat sehingga terpaksa aku menangkapnya dan hendak membawanya pulang. Harap engkau tidak mencampuri urusan keluarga kami."

Akan tetapi, orang bercamping dan berpakaian hitam itu kini membuat gerak-gerakan dengan tangan nya. Dia menuding ayah dan anak itu, lalu menuding ke arah tubuh Kim Hong, dan mengangkat tangan ke atas depan dan menggoyang-goyangnya, kemudian menuding kembali kepada tubuh Kim Hong, lalu ke dadanya sendiri, kemudian menuding ke perahu yang berada di tepi sungai.

Mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun seperti biasanya orang gagu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan itu dia seperti orang gagu yang hendak menerangkan maksudnya. Biarpun ayah dan anak itu tidak mengerti benar apa yang dia maksudkan dengan gerakan-gerakan itu, setidaknya mereka dapat menangkap bahwa si gagu itu melarang mereka menangkap Kim Hong, dan bahwa si gagu hendak membawa Kim Hong ke perahunya. Tentu saja Bouw Hun dan Bouw Ki menjadi marah.

"Singgg....!!" Bouw Hun mencabut sebatang pedang bengkok yang amat tajam. "Singg!" Bouw Ki juga mencabut pedang berbentuk golok panjang.

"Sobat, sudah kukatakan bahwa lebih baik kalau engkau tidak mencampuri urusan keluarga kami, atau terpaksa kami tidak akan menganggapmu sebagai sobat, melainkan sebagai musuh," kata Bouw Hun yang masih ragu-ragu untuk memusuhi orang yang tidak diketahui siapa itu.

Akan tetapi si gagu menggoyang tangan kirinya seperti menyatakan bahwa mereka tidak boleh membawa Kim Hong.

"Kalau begitu, engkau memang sengaja hendak memusuhi kami! Lihat senjataku!" bentak Bouw Hun dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, disusul oleh puteranya yang juga menyerang dari sa mping dengan dahsyat.

Si gagu menggerakkan tubuhnya tanpa mengeluarkan suara dan tubuh itu lenyap, yang nampak hanyalah bayangan hitam saja berkelebatan ke sana sini, menyelinap di antara dua gulungan sinar pedang, gerakannya ringan sekali dan cepat bukan main sehingga ayah dan anak itu menjadi bingung karena mereka merasa seperti melawan bayangan atau melawan setan.

Ke manapun golok mereka menyambar, selalu mengenai tempat kosong. Kecepatan gerakan orang itu membuat mereka berdua bergidik. Mereka, seperti orang-orang Khitan yang masih sederhana, masih amat percaya akan tahyul, maka kini melawan seorang yang seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, mereka merasa ngeri dan mengira bahwa mungkin yang mereka lawan bukan manusia biasa, melainkan sebangsa siluman! Tiba-tiba si gagu menggerakkan kedua tangannya, menangkis atau menoleh ke arah dua lengan yang memegang pedang.

"Plak! Tuk!!"

Ayah dan anak itu berteriak dan pedang mereka terlepas dari pegangan. Ketika mereka me ma ndang, lawan mereka telah berdiri tegak dan kedua batang pedang itu telah berada ditangannya.

Kemudian, bagaikan orang mematahkan ranting kering saja, Si gagu itu menekuk kedua batang pedang dengan kedua tangannya, terdengar suara nyaring dan dua batang pedang itu telah patah di bagian tengahnya. Si gagu melemparkan patahan pedang itu ke atas tanah dan memandang kepada ayah dan anak itu dengan wajah tetap tersenyum akan tetapi matanya mencorong.

Bouw Hun dan Bouw Ki terbelalak. Maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi si gagu, Bouw Hun lalu berkata kepada puteranya, "Mari kita pergi. Biar murid murtad itu menjadi mangsa siluman hitam ini!"

Ayah dan anak itu lalu melompat dan melarikan diri pergi walaupun dua kali Bouw Ki menoleh ke belakang karena bagaimanapun juga hatinya masih merasa sayang bahwa dia tidak jadi dapat memiliki gadis yang amat diinginkannya itu.

Kim Hong dapat menyaksikan semua, walaupun ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya tertotok lemas. Dia diam-diam ia kagum bukan main. Si pakaian dan camping hitam itu adalah tukang perahu yang tadi di panggilnya.

Sama sekali ia tidak pernah menyangka bahwa tukang perahu yang tadi dipanggil-panggil adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu sehingga dengan kedua tangan kosong mampu mengalahkan suhu dan suhengnya dalam waktu singkat!

Akan tetapi karena tidak mampu bergerak ia hanya memandang saja, dan timbu l juga perasaan ngerinya. ia sama sekali tidak mengenal orang ini, tidak mengenal dia orang macam apa. Seorang pendekar sakti yang budimankah? Atau seorang manusia iblis? Kalau penolongnya itu seorang manusia iblis, tentu dia akan mengalami malapetaka yang lebih mengerikan lagi!

Si gagu itu sejenak mengamati Kim Hong, kemudian tangannya bergerak cepat. Tak dapat Kim Hong melihat jelas bagaimana tangan itu bergerak. ia hanya merasa ada sesuatu yang menotok kedua pundaknya dan iapun sudah dapat bergerak kembali. Cepat Kim Hong bangkit duduk, kemudian ia berlutut di depan orang itu.

"Aku Can Kim Hong menghaturkan terima kasih kepada locianpwe (orang tua gagah) yang telah menyela matkan aku dari malapetaka," katanya.

Orang Itu diam saja, hanya memandang dengan wajah cerah karena mulutnya selalu tersenyum, akan tetapi tidak ada sepatahpun kata ke luar dari mulutnya, bahkan tidak ada suara yang keluar. Lalu ia teringat akan sikap si gagu hitam itu tadi terhadap suhu dan suhengnya. orang itu sama sekali tidak pernah mengeluarkan suara, dan membuat gerakan-gerakan seperti orang gagu! Orang ini tidak dapat bicara alias gagu!

"Maafkan aku, locianpwe," katanya hati-hati sambil menatap wajah yang cerah itu, "Apakah.... apakah locianpwe......?" ia tidak mampu melanjutkan karena merasa sungkan sekali untuk menegaskan apakah orang itu benar-benar gagu, takut kalau-kalau menyingung perasaan penolongnya.

Agaknya si gagu mengerti akan apa yang diinginkannya. Dia mengangguk-angguk, kemudian menudingkan telunjuknya ke arah mulutnya, lalu menggeleng-geleng kepala seolah mengatakan bahwa dia tidak dapat mempergunakan mulutnya untuk bicara.

"Ah, jadi benar dugaanku bahwa locianpwe tidak dapat bicara?"

Si gagu mengangguk-angguk dan Kim Hong berpikir. Biasanya, orang gagu itu tuli, akan tetapi orang ini jelas tidak tuli, bukan hanya tidak itu, bahkan dapat mendengar dan mengerti kata-kata orang.

Kemudian si gagu menjulurkan kedua tangan menyentuh kedua pundak Kim Hong. Gadis itu terkejut, menyangka buruk, akan tetapi ternyata kedua tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, akan tetapi ada kekuatan dahsyat yang memaksanya untuk bangkit berdiri!

Setelah ia bangkit berdiri, si gagu mengangguk-angguk dan nampak gembira. Kim Hong mulai mengerti. Orang ini luar biasa sekali. Selain sakti, juga berhati sederhana, tidak mau menerima penghormatan berlebihan.

"Locianpwe, harap jangan kepalang menolongku. Aku harus pergi dari tempat ini karena mereka ingin memaksaku untuk menjadi selir suhengku Bouw Ki itu. Aku mohon kepada locianpwe agar menerima aku menumpang perahumu pergi ke selatan. Sudikah locianpwe menolongku?"

Si gagu mengangguk-angguk, kemudian menghampiri perahunya, diikuti oleh Kim Hong yang sudah mengambil kembali buntalan pakaiannya. Mereka lalu menurunkan perahu kecil itu kembali ke sungai. Kim Hong menggunakan pedang bengkoknya untuk membuat sebatang dayung dan kini ia membantu kakek gagu itu mendayung perahu kecil yang meluncur cepat mengikuti arus air menuju ke selatan.
* * *

Pada waktu itu, Kerajaan Tang di pimpin oleh Kaisar Hsuan Tsung atau terkenal pula dengan sebutan Kaisar Beng Ong (712 - 755). Akan tetapi, sejak Kaisar Beng Ong tergila-gila kepada seorang wanita yang bernama Yang Kui Hui, maka timbullah banyak kekacauan.

Para menteri yang setia merasa gelisah melihat betapa kaisar yang tua itu dipermainkan oleh selirnya yang tersayang itu. Baru peristiwa ditariknya Yang kui Hui ke dalam istana sebagai selir kaisar saja sudah merupakan peristiwa yang membuat para menteri setia mengerutkan kening dan merasa tidak setuju sama sekali.

Peristiwa itu terjadi tujuh tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 1175 Pada waktu itu, Kaisar Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih dan Kerajaan Tang mengalami kemajuan pesat, terutama di bidang kebudayaan dan Agama Buddha yang terbukti dari perkembangan kesenian dan kesusas teraan yang pada masa itu tidak lepas dari agama.

Kaisar Beng Ong sebetulnya bukan seorang yang mata keranjang, bukan seorang pria yang selalu diperbuda k oleh nafsu berahinya. Akan tetapi, ketika pada suatu hari kebetulan dia melihat isteri dari seorang di antara puteranya, yaitu Pangeran Shouw, dia terpesona dan terpikat oleh kecantikan mantunya sendiri.

Isteri Pangeran Shouw itu, bernama Yang Kui Hui, memang merupakan seorang wanita yang amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang amat kuat, bukan saja karena kecantikannya, akan tetapi juga oleh pembawaan dirinya yang pandai menga mbil hati. lapun seorang wanita yang bukan aseli Han, melainkan seorang berdarah campuran.

Memang suku atau bangsa yang berdarah campuran, selalu memiliki gadis-gadis yang cantik mena rik. Bahkan dikabarkan orang bahwa selain cantik jelita, juga dari tubuh wanita ini keluar keringat yang berbau harum!

Dalam tahun 745 itu, setelah Kaisar Beng Ong terpesona oleh kecantikan Yang Kui Hui, terjadilah ketidakwajaran yang pertama, yaitu sang kaisar memaksa puteranya untuk menceraikan isterinya dan memberikan seorang gadis lain sebagai pengganti isteri Pangeran Shouw. Kemudian, kaisar menarikYang Kui Hui yang dicerai secara paksa oleh suaminya itu ke dalam istana dan menjadilah ia selir terkasih dari Kaisar Beng Ong!

Mantu sendiri dipaksa menjadi selirnya. Hal ini, biarpun tidak ada yang berani menentang, sudah menimbulkan perasaan tidak senang di hati para menteri setia, kecuali tentu saja, para menteri penjilat yang membenarkan tindakan kaisar untuk menyenangkan hati kaisar!

Kemudian, apa yang dikhawatirkan oleh para menteri setiapun terjadilah. Kaisar Beng Ong benar-benar mabok dalam pelukan selir baru Yang Kui Hui. Dan sang selir yang cantik inipun seorang yang haus akan kekuasaan dan amat cerdik. Mulailah ia mempengaruhi kaisar dan mulailah pula ia men campuri urusan pemerintahan sehingga banyak keputusan yang diambil kaisar sesuai dengan yang dikehendaki Yang Kui Hui!

Tidaklah mengherankan apa bila seorang kakak laki-laki dari selir itu, yang bernama Yang Kok Tiong, berkat bujukan Yang Kui Hui, diangkat sebagai seorang pejabat tinggi oleh Kaisar Beng Ong. Dan berkat kekuasaan Yang Kui Hui, sebentar saja Yang Kok Tiong mempunyai pengaruh yang besar di antara para menteri, dan para menteri segan terhadap dia hanya karena dia adalah kakak Yang Kui Hui dan disayang oleh kaisar!

Biarpun usia Yang Kui Hui sudah tidak begitu muda lagi, sudah empat puluh tahun, namun ia masih cantik jelita dan nampak muda, bukan hanya muda di tubuh, akan tetapi juga muda di hati. Maka, setelah ia mendapat kekuasaan yang besar dan memperma inkan kaisar seperti anak-anak mempermainkan tanah liat, mulailah selir yang cantik ini merasa tidak puas dengan suaminya yang jauh lebih tua, kini sudah hampir tujuh puluh tahun! Mulailah matanya mengerling ke sana sini dan iapun tertarik kepada seorang perwira yang muda dan gagah perkasa.

Perwira itu bernama An Lu Shan yang sebetulnya bukan seorang Han. An Lu Shan adalah keturunan Turki dari suku Khitan yang dilahirkan di luar Tembok Besar, yaitu di Liao-tung atau Mancuria Selatan. Ketika remaja, dia bahkan menjadi budak belian, dan akhirnya sebagai budak belian dia jatuh ke tangan seorang perwira Han. Karena dia seorang yang cerdik dan berambisi, maka dia bekerja dengan rajin dan belajar segala macam ilmu, terutama ilmu silat dan ilmu perang.

Akhirnya, dia mendapat kesempatan untuk memperlihatkan keberanian dalam pertempuran di mana dia menjadi perajurit sehingga sebentar saja dia mendapat kepercayaan dan menjadi perwira. Karena jasa-jasanya membasmi atau memadamkan api pemberontakan yang terjadi di perbatasan utara, akhirnya dia dihadapkan kepada kaisar.

Ketika Yang Kui Hui melihat perwira muda ini, ia membisikkan rayuannya kepada kaisar agar An Lu Shan diangkat menjadi seorang perwira istana. Kaisar menurut saja dan demikianlah, An Lu Shan menjadi seorang kepercayaan di istana, dekat dengan kaisar!

Dengan sendirinya, perwira muda inipun dekat dengan Yang Kui Hui dan segera tersiar desas-desus bahwa terjadi hubungan tidak senonoh antara An Lu Shan dan selir kaisar itu. Namun, dengan amat cerdiknya Yang Kui Hui dapat mengatur siasat untuk menghadapi desas-desus itu.

Berkat rayuannya, ia berhasil membujuk kaisar untuk mengangkat An Lu Shan sebagai seorang panglima besar yang memimpin pasukan besar di darah utara, yaitu daerah Liao-tung tempat kelahirannya. Dengan menyingkirkan panglima itu ke luar istana, dengan sendirinya desas-desus itupun lenyap.

Dan sebagai seorang panglima besar, apa lagi dia telah diangkat anak oleh Yang Kui Hui dan diberi gelar Pangeran bebaslah bagi panglima ini untuk sewaktu-waktu berkunjung ke kota raja, memasuki istana dan mengaclakan hubungan clengan Yang Ku i Hui setiap terbuka kesempatan bagi mereka.

Demikianlah sekelumit tentang keadaan Kerajaan Tang pada waktu kisah ini terjadi. Pada suatu malam, Yang Kok Tiong, kakak dari selir kaisar yang berkuasa itu, duduk termenung didalam ka marnya seperti orang yang bersedih. Isterinya datang menghampirinya dan dengan khawatir isterinya bertanya mengapa suaminya nampak demikian muram.

"Suamiku, kenapa engkau nampak murung? Bukankah kini engkau telah memperoleh kecluclukan tertinggi sebagai Menteri Utama? Semestinya kita bersyukur clan bergembira, bukan termenung dengan wajah murung."

Menteri Yang Kok Tiong, pria berusia lima puluh tahun itu, menghela napas panjang. "Acla clua hal yang membuat hatiku risau dan tidak pernah merasa puas. Yang pertama adalah anakmu, putera kita."

"Ehh? Kenapa dengan anak kita?" tanya isterinya, mengerutkan alisnya. "Dia anak tunggal yang amat baik, tampan, pandai dan cerdik, apa lagi kecurangannya?"

"Hemm, apa gunanya semua ketampanan, kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) dan kecerdikannya itu kalau dia tidak pernah mau memegang jabatan? Sampai lelah dan jengkel aku membujuknya untuk suka kuberi kedudukan agar dapat menanjak dan kelak menjadi orang penting akan tetapi dia selalu menolak. Dia lebih senang berkeliaran. Huh semua ini karena engkau terlalu memanjakannya!"

"Suamiku, kenapa engkau marah-marah? Cin Han terlalu muda, baru sembilan belas tahun usianya, tentu clia masih suka bermain-main clengan kawan-kawan sebayanya dan...."

"Itulah, engkau selalu membelanya dan memanjakannya! Sudahi ah, jangan bicara tentang dia, menjengkelkan saja. Ada hal lain lagi yang membuat hatiku risau bukan main dan semua ini gara-gara adikku Yang Kui Hui yang tidak tahu malu itu!"

Kembali isteri menteri itu terbelalak heran. "Aih, aih.... suamiku, bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Untung di kamar ini hanya ada kita berdua. Kalau sampai terdengar orang lain! Bagaimana engkau dapat memaki adikmu? Padahal, engkau mendapatkan kedudukan sampai sekarang menjadi Menteri Utama, semua berkat jasa adikmu itu yang membujuk Kaisar, bukan?"

"Semua itu benar, akan tetapi sekarang dia membuat aku merasa malu, juga khawatir sekali akan keselamatan Sribaginda Kaisar dan Kerajaan Tang."

"Ehhh......?" Isterinya memandang dengan muda berubah pucat. "Apa.. apa yang telah terjadi......?"

"An Lu Shan itu! Karena kegantengannya, dia berhasil mempengaruhi Yang Kui Hui!"

"Akan tetapi, itu hanya desas-desus dan fitnah, bukan? Panglima An Lu Shan itu bahkan telah diangkat menjadi anak oleh adikmu, dan bukankah hal itu pantas mengingat jasa-jasa panglima itu dan mengingat pula bahwa diapun masih mempunyai darah Khitan seperti juga engkau dan adikmu?"

"Kalau itu saja aku masih dapat menerima. Aku mengenal adikku, dan desas-desus itu bukan kosong. Akupun tidak mau mencampuri. Yang membuat hati ku kesal adalah melihat betapa An Lu Shan kini mendapatkan kedudukan yang amat penting. Dia diangkat menjadi panglima besar yang memimpin pasukan besar di Liao-tung, juga dia mendapat kekuasaan untuk ke luar masuk istana seenak perutnya sendiri!"

"Akan tetapi, suamiku. Apa salahnya dengan itu? Dia mendapatkan kekuasaan di bidang ketentaraan, sedangkan engkau juga mendapatkan kekuasaan besar di bidang pemerintahan, semua ini jasa adikmu. Apakah engkau..... iri seperti terhadap An Lu Shan?"

Disentuh kelemahannya, wajah menteri utama itu menjadi merah. "Engkau tahu apa? Dengan kedudukan itu, aku khawatir suatu saat An Lu Shan akan memberontak. Bahkan aku sudah menyebar para penyelidik dan ada gejala-gejala bahwa dia mempersiapkan kekuatan untuk melakukan pemberontakan."

"Ahhh.....?" Isterinya menjadi pucat dan tidak berani membantah lagi pada keesokan harinya, Menteri Utara Yang Kok Tiong segera mengutarakan kecurigaannya terhadap An Lu Shan kepada Sribaginda Kaisar.

"Hamba mohon agar paduka berhati-hati. Menghadapi An Lu Shan yang menguasai pasukan besar sekali di utara, seyogianya kalau paduka mengadakan pengawasan yang ketat. Hamba mendengar bahwa An Lu Shan menyusun kekuatan besar di utara, bahkan menerima perajuit-perajurit baru dari kalangan ra kyat. Hamba khawatir kalau-kalau dia mempunyai itikad buruk terhadap Kerajaan paduka."

Menerima nasihat menteri utamanya itu, Kaisar Beng Ong merasa curiga juga. "Akan kami panggil dia, dan kalau benar dia hendak melakukan pemberontakan tentu akan kami hukum berat. Kalau dia tidak datang memenuhi panggilan kami, berarti memang dia hendak memberontak dan kita serbu dan hancurkan pasukannya."

Biarpun di dalam kamarnya kaisar dihibur dan dibujuk Yang Kui Hui agar jangan mencurigai An Lu Shan, namun kaisar tetap memanggil datang An Lu Shan dari markasnya di perbatasan utara. Kecurigaan Yang Kok Tiong memang tidak tanpa dasar. Di utara, An Lu Shan menyusun kekuatan dan memperbesar pasukannya dengan menerima pasukan bayaran dari rakyat berbagai suku di utara.

Ketika dia menerima panggilan Kaisar dan dari mata-matanya dia mendengar bahwa dia dicurigai, dia menjadi bimbang. Akan tetapi, pada saat itu, dia merasa belum kuat benar untuk memulai pemberontakan, maka dia bertekad untuk memenuhi panggilan karena hal inipun merupakan bukti akan kesetiaannya terhadap kaisar. Demikianlah, ketika An Lu Shan menghadap kaisar, para menteri, termasuk menteri utama Yang Kok Tiong, terengang dan merekapun merasa bimbang.

"An Lu Shan, kami mendengar bahwa engkau hendak melakukan pemberontakan terhadap kami. Benarkah itu?"

An Lu Shan memperlihatkan sikap kaget, mukanya berubah kemerahan dan dia cepat memberi hormat sambil berlutut dan membentur-benturkan dahinya di lantai. "Ampun, Sribaginda, ampun beri bu ampun. Hamba sungguh terkejut mendengar sabda paduka tadi. Hamba.... memberontaki Hamba yang telah menerima anugerah yang berlimpah-limpah dari paduka, hamba yang bersumpah setia sampai mati, rela mengorban kan nyawa hamba in i untuk membela paduka, hamba dituduh merencanakan pemberontakan? Sungguh hamba dapat mati penasaran, Sribaginda, dan hamba mohon penjelasan, mohon bukti dan saksi."

"An Lu Shan, kalau engkau tidak hendak memberontak, kenapa engkau menyusun kekuatan di utara, menambah besarnya pasukan dengan menerima perajurit-perajurit baru dari rakyat berbagai suku di perbatasan? Hayo jawab!"

"Ampunkan hamba, Sri baginda. Buktinya hamba datang menghadap paduka memenuhi panggilan saja sudah menyatakan bahwa hamba adalah seorang hamba yang setia kepada paduka. Dan tentang penyusunan kekuatan di utara itupun hamba lakukan demi kesetiaan hamba kepada paduka dan kerajaan paduka. Ancaman musuh yang terutama datang dari utara! Kalau hamba tidak menghimpun tenaga sampai hamba dapat memperoleh pasukan yang amat kuat, bagaimana kerajaan paduka dapat membendung datangnya ancaman musuh dari utara? Pula, hamba sengaja menerima para pemuda berbagai suku di utara, hal itu untuk menjinakkan para suku liar itu agar mereka tidak ikut-ikutan menentang kerajaan paduka, melainkan membantu. Ahh, Sribaginda, kalau paduka masih mengang gap hamba bersalah dan hendak memberontak, hamba hanya dapat menyerahkan jiwa raga hamba kepada padu ka. Hamba siap dihukum mati walaupun arwah hamba akan menjadi arwah penasaran yang kelak akan selalu mengejar mereka yang melakukan fitnah atas diri hamba."

Setelah kata demikian, sambil membenturkan bahu di lantai, panglima itu mencucurkan air mata. Bukan hanya Kaisar, juga para menteri terkesan dan terharu oleh pembantahan diri An Lu Shan. Dan Sribaginda kaisar juga menghapus semua tuduhan kecurigaan, bahkan menjadi semakin percaya kepada An Lu Shan.

Panglima itu kembali ke utara dengan wajah berseri karena kemenangan itu, membawa pula hadiah dari kaisar yang merasa menyesal telah mencurigai An Lu Shan. Serta selirnya tersayang kembali telah buktikan kebenarannya!

Sepulangnya dari menghadap kaisar dan melihat gagalnya rencananya menjatuhkan An Lu Shan, Menteri Yang Tiong pulang dengan wajah murung, dia sendiri merasa bimbang apakah benar An Lu Shan hendak memberontak seperti yang dikhawatirkannya berdasarkan laporan para mata-matanya. Alasan An Lu Shan demikian kuatnya.

Setibanya di rumah, dia disambut oleh isterinya dan oleh puteranya. Begitu melihat puteranya, hati menteri yang sedang risau dan kecewa itu, menjadi terbakar oleh kemarahan. "Cin Han, ke sini kau, aku ingin bicara!" bentaknya sambil memasuki ruangan sebelah dalam.

Cin Han memandang kepada ibunya yang mengangguk dan dia pun mengikuti ayahnya, maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dan maklum pula bahwa ayahnya sedang marah kepadanya. Ibunya sudah memberi tahu kepadanya tentang semua itu. Nyonya Yang tidak tega melihat puteranya akan dimarahi suaminya, maka iapun ikut pula masuk dengan sikapnya yang tenang.

Yang Cin Han berusia sembilan belas tahun, bertubuh sedang dengan dada bidang dan tubuh yang tegak, sikapnya jantan namun lembut seperti ibunya. Wajahnya tampan, berbentuk bulat dan bersih, alisnya hitam tebal, hidungnya mancung diapit sepasang mata yang bersinar-sinar. Mulutnya yang selalu tersenyum itu amat menyenangkan orang lain yang berhadapan dengannya. Dahinya yang lebar menunjukkan bahwa dia seorang pemuda yang suka berpikir.

Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, akan tetapi Cin Han sudah menguasai ilmu kesusasteraan yang cukup mendalam, sudah menghafal semua kitab Agama Buddha, banyak pula pengetahuannya tentang filsafat Agama To, dan pandai pula bermain yang-kim (siter) dan meniup suling. Selain ilmu kesusasteraan dan agama, juga pemuda ini sejak kecil oleh ayahnya dipanggilkan guru-guru silat yang pandai.

Kedudukan ayahnya memungkinkan pemuda ini untuk memperoleh guru-guru yang menjadi jagoan-jagoan istana sehingga setelah berusia sembilan belas tahun, Cin Han memiliki ilmu silat yang tangguh. Namun, sikap dan pakaiannya tidak pernah menonjolkan kepandaian silatnya itu, dan dia lebih nampak sebagai seorang pelajar.

Kini mereka duduk berhadapan, ayah dan anak itu. Cin Han duduk di pinggir, hanya menyaksikan saja, tidak ingin mencampuri kalau saja suaminya tidak memarahi anaknya secara keterlaluan. Ruangan itu besar dan sunyi. Tidak akan ada seorangpun pelayan berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.

Setelah mereka saling berhadapan, duduk di kursi dan saling tatap pandang beberapa lamanya, akhirnya Cin Han merasa tidak enak karena agaknya ayahnya yang sedang marah itu menunggu dia bicara lebih dahulu.

"Ayah, keperluan apakah yang hendak ayah bicarakan denganku?"

"Cin Han, tahukah engkau berapa usia mu sekarang?"

"Kalau tidak keliru, bulan dua tahun depan usiaku sudah duapuluh tahun, jadi sekarang sembilan belas tahun lebih, ayah," jawab pemuda itu dengan sikap tenang dan wajah cerah, bibir terhias senyum.

"Jelas engkau bukan anak kecil lagi. Lalu kalau tidak sekarang, kapan lagi engkau akan bertindak dewasa? Engkau adalah anakku, anak seorang Menteri Utama dari Kerajaan besar! Apakah engkau hendak menjadi seorang pemuda pengangguran saja? Lihat, siapa itu An Lu Shan! Dahulu dia seorang budak belian, sekarang? Dia menjadi panglima besar yang mengepalai pasukan besar di perbatasan, dan dia mendapat kepercayaan penuh oleh Sribaginda! Kalau engkau tidak cepat dari sekarang mencari kedudukan, kelak engkau akan menjadi apa? Apakah engkau tidak akan menjunjung tinggi nama keluarga Yang? Ingat, ayahmu ini hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu engkau!"

"Aih, harap jangan main-main! Bukankah ada kedua adik Yang kui Lan dan Yang Kui Bi?" Cin Han berkelakar, pura-pura tidak tahu apa yang dimaksudkan ayahnya. Memang ayahnya mempunyai tiga orang anak. Dia adalah anak tunggal Isteri pertama, sedangkan Kui Lan dan Kui Bi anak dari dua orang ibu tirinya atau selir-selir ayahnya, dua orang adiknya itu yang kini sudah berusia tujuh belas dan enam belas tahun.

"Siapa main-main? Maksudku, engkau adalah putera tunggalku yang kelak melanjutkan keturunan Yang! Mulai besok, engkau harus mengikuti ujian negara dan aku akan mengatur agar engkau memperoleh kedudukan yang sepadan dengan kemampuan mu...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.