Mestika Burung Hong Kemala Jilid 06
"AKAN TETAPI, suhu. Teccu hanya ingin melihat keadaan ayah dan ibu. Siapa tahu, mereka membutuhkan bantuan teccu."
"Baik, engkau boleh meninggalkanku, akan tetapi engkau harus lebih dahulu menyempurnakan ilmu tongkat yang terakhir kuajarkan kepadamu."
"Tai-hong-pang (Tongkat Angin Ribut)? Wah, sukar sekali, suhu...."
"Tidak ada kata sukar bagi orang yang penuh semangat. Kalau engkau sudah menyempurnakan ilmu tongkat itu sehingga mampu menandingiku selama lima puluh jurus dan tidak sampai roboh olehku, baru engkau boleh pergi. Kalau engkau diam-diam meninggalkan aku, aku akan mencarimu dan membunuhmu! Nah, aku sudah bicara, laksanakan!"
Melihat sikap gurunya, Cin Han tidak berani membantah. Dan saat itu juga, dia pergi ke belakang kuil tua dan berlatih ilmu silat tongkat yang baru dipelajarinya itu dengan tekun. Ilmu tongkat itu sukar bukan main, akan tetapi hasilnya juga luar biasa. Kalau gurunya yang memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Angin Ribut itu, maka angin menyambar-nyambar seperti badai menyerang! Dia sudah dapat membuat tongkatnya bergerak mendatangkan angin kuat, akan tetapi belum dapat sambung menyam bung seperti kalau suhunya yang bersilat.
Siang malam Cin Han berlatih ilmu tongkat itu, hanya berhenti untuk makan kalau sudah lapar sekali dan tidur kalau sudah mengantuk sekali. Diapun tiada hentinya minta petunjuk gurunya. Dengan ketekunan yang luar biasa, semangat yang bernyala-nyala, akhirnya dalam waktu sebulan saja, Cin Han sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga ketika Sin-tung Kai-ong mengujinya, dia mampu menahan tongkat suhunya selama lima puluh jurus!
"Bagus! Sekarang aku tidak khawatir lagi melepasmu, Cin Han Ketahuilah bahwa sebulan yang lalu aku sengaja menahanmu dan lihat hasilnya. Engkau berlatih dengan tekun sekali sehingga dalam waktu sebulan engkau sudah dapat menguasai Tai-hong-pang dengan baik. Sebulan yang lalu, terus terang saja, aku masih merasa khawatir membiarkan engkau pergi karena kalau bertemu lawan tangguh, engkau masih belum memiliki suatu ilmu yang benar-benar dapat diandalkan. Akan tetapi sekarang, dengan Tai-hong-tung, engkau akan dapat menjaga dirimu lebih baik. Nah, sekarang engkau boleh pergi, Cin Han."
Kalau sebulan yang lalu dia ingin sekali pergi meninggalkan gurunya untuk melihat keadaan orang tuanya di kota raja, sekarang begitu gurunya menyuruh dia pergi, Cin Han tertegun. Selama dua tahun ini, dia sudah akrab sekali dengan pengemis tua itu yang menjadi gurunya, juga pengganti orang tuanya, dan juga sahabat baiknya. Dan kini dia di suruh pergi!
"Tapi.... setelah urusan teecu selesai, ke mana teecu harus mencari suhu?"
Mendengar pertanyaan ini, Sin-tung Kai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, mau apa engkau mencariku? Apakah engkau akan hidup terus sebagai seorang pengemis? Tidak, Cin Han. Sudah cukup aku memberikan semua ilmuku kepadamu. Aku mempunyai tugas yang harus kau laksanakan dengan baik."
"Katakanlah, suhu. Perintah apa yang harus teecu kerjakan? Pasti akan teecu laksanakan sekuat dan semampu teecu!" kata Cin Han penuh semangat.
"Bagus! Aku tidak rela mendengar Kerajaan Tang dirobohkan oleh pemberontak An Lu Shan, seorang keturunan Khitan Turki! Aku ingin engkau menyusul kaisar yang melarikan diri ke barat, membantu kaisar menghadapi pemberontak!"
"Baik, suhu. Akan teecu laksanakan dengan taruhan nyawa!" jawab Cin Han yang menganggap bahwa tugas itu memang sudah sepantasnya. Andaikata tidak diperintah gurunya sekalipun, dia tentu akan membela kaisar dan menentang pemberontak.
"Akan tetapi ingat! Aku tidak ingin melihat engkau terperosok seperti ayahmu, tidak ingin engkau terseret ke dalam kelompok penjilat di istana yang saling memperebutkan kedudukan. Engkau membantu kaisar menentang pemberontakanya karena engkau berkewajiban untuk membela kebenaran dan keadilan, meredakan kekacauan demi ketenteraman dan mencegah penindasan yang dilakukan oleh pemberontak Khitan itu."
"Teecu mengerti, suhu. Teecu juga sudah muak melihat kepalsuan yang memenuhi istana, kemunafikan dan perebutan kekuasaan."
Pada hari itu juga, Cin Han meninggalkan gurunya. Karena muridnya bukan anggauta kai-pang (perkum pulan pengemis), maka Sin-tung Kai-ong mengijinkan muridnya berganti pakaian seperti biasa. Akan tetapi, rasanya sudah keenakan bagi Cin Han mengenakan pakaian tambal-tambalan itu, apa lagi, dia akan memasuki kota raja dan dia harus menyamar.
Kalau sampai memerintah pemberontak tahu bahwa dia adalah putera Menteri Yang Kok Tiong, tentu dia akan ditangkap dan dibunuh. Demikianlah, dia masih mengenakan pakaian tambal-tambalan seperti biasa, bahkan kini melengkapi dirinya dengan sebatang tongkat yang nampaknya saja buntut, namun kalau dia memainkan tongkat itu dengan ilmu tongkat Angin Ribut, akibatnya tentu akan hebat bagi lawannya.
Semua tamu yang sedang makan minum dalam rumah makan itu tidak ada yang menoleh dan memandang gadis yang baru saja memasuki rumah makan dengan mata terbelalak penuh kekaguman dan keheranan.
Gadis itu demikian cantik jelita dan gagah, dan pakaiannya yang serba hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin putih mulus. Dan gerak gerik gadis itu demikian lincah. Seorang gadis muda, baru sembilan belas tahun usianya, memasuki rumah makan besar seorang diri dengan sikap demikian santai dan bebasnya, tidak kelihatan rikuh sama sekali walaupun puluhan pasang mata seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Rumah makan itu merupakan rumah makan terbesar di kora raja Tiang-an. Semenjak kota raja itu diduduki pemberontak An Lu Shan yang mengangkat diri sendiri menjadi kaisar, rumah makan itu masih tetap buka karena mendapatkan dukungan dari seorang pembesar yang berkuasa dalam pemerintahan baru itu, dan harga makanannya amat mahal karena selain tidak ada rumah makan lain sebesar dan selengkap itu, juga masakannya serba mewah.
Hanya orang-orang yang memiliki banyak uang saja berani masuk ke rumah makan itu dan makan minum. Pada siang hari itu, tidak kurang dari tiga puluh orang makan di situ, terdiri dari para pedagang dan pejabat. Ada juga wanita yang ikut makan, akan tetapi mereka itu terdiri dari keluarga bangsawan yang lembut atau gadis-gadis penghibur yang genit, yang diajak oleh para pria yang hendak bersenang¬senang.
Maka, muncullah gadis berpakaian serba hitam itu amat menonjol, bukan hanya karena kecantikannya, akan tetapi juga karena ia sungguh berbeda dengan para wanita yang berada di situ. Ia sama sekali tidak nampak lembut, bahkan nampak gagah dan sinar matanya mencorong berani, juga sama sekali tidak genit, bahkan pada senyum di bibirnya terkandung sesuatu yang dingin dan galak.
Karena para pelayan sedang sibuk melayani banyak tamu, gadis berpakaian hitam itu menoleh ke sana sini mencari tempat kosong dan akhirnya ia menghampiri sebuah meja kosong yang berada di sudut kanan, Ia tidak perduli akan pandang mata semua orang yang ditujukan kepadanya, Ia sudah tahu betapa mata laki-laki sebagian besar berminyak kalau melihat gadis cantik, Ia tidak lagi merasa bangga, bahkan muak karena maklum bahwa kekaguman mereka itu mengandung berahi dan kenakalan, Ia hanya memandang ke kanan kiri, matanya mencari-cari dan akhirnya ia melihat seorang pelayan terdekat.
"Heii, bung pelayan, ke sinilah, aku hendak memesan makanan!" teriaknya dan suaranya yang merdu namun nyaring itu membuat orang-orang semakin tertarik, ia memang cantik jelita dan gagah, terutama sekali mata dan mulutnya.
Pada mata dan mulutnyalah terletak daya tarik yang paling kuat dan ke cantikannya nampak agak asing, seperti yang terdapat pada wanita-wanita peranakan. Seorang pelayan tergopoh menghampiri dan pelayan yang usianya sekitar tiga puluh tahun ini juga terheran melihat gadis itu duduk sendirian saja tanpa teman, tanpa pengawal pria.
"Nona hendak memesan apakah?" tanyanya sambil membungkuk, dengan kain lap di pundak.
"Berikan saja nasi putih dan tiga macam masakan yang paling lezat di restoran ini, dan anggur manis, juga air teh. Cepatan sedikit!" kata gadis itu.
Pelayan itu nampak tertegun. "Tiga macam masakan? Apakah nona menanti kawan?"
Gadis itu menoleh dan sinar matanya yang mencorong membuat pelayan itu undur selangkah. "Kawan? Apa maksud mu?"
"Tiga macam masakan itu banyak sekali, nona. Juga harganya amat mahal, apa lagi nona menghendaki yang paling lezat. Nona makan sendiri tidak akan habis dan membayarnya...."
"Tukk!" Gadis itu memukul meja dengan tangannya dan nampak sepotong emas di atas meja itu. "Apakah harganya lebih dari ini?"
Pelayan itu terbelalak, lalu tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. "Tentu saja tidak, nona.... maafkan saya, akan saya sediakan secepatnya." Diapun mundur untuk memenuhi pesanan gadis itu.
Sejak tadi, empat orang yang duduk menghadapi sebuah meja yang penuh masakan dan guci arak, memperhatikan gadis itu dan seorang di antara mereka, pria berusia lima puluhan tahun yang matanya sipit dan sejak tadi mengelus jenggot panjangnya dengan mata seperti hendak menelan gadis itu bulat bulat, segera berbisik kepada seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya.
Ada dua orang laki-laki tinggi besar yang berdiri di belakang pria ini dan melihat pakaian mereka berdua, jelas dapat diketahui bahwa mereka adalah sebangsa tukang pukul atau pengawal pria itu yang melihat pakaiannya tentu seorang pejabat. Tiga orang lainnya juga berpakaian pejabat, akan tetapi melihat sikap mereka terhadap pria berjenggot panjang, dapat diduga bahwa mereka merupakan orang-orang bawahan.
Agaknya pejabat itu makan minum ditemani tiga orang pejabat rendahan, dan dijaga oleh dua orang pengawal atau tukang pukul. Seorang bawahan yang tubuhnya kurus dan mukanya penuh jerawat, usianya sekitar tiga puluh tahun, mendengar pula bisikan itu dan diapun tersenyum.
"Biarkan saya yang membujuknya, tai-jin," katanya.
Pejabat itu mengangguk-angguk senang dan bawahannya itu la lu bangkit berdiri, menghampiri meja gadis berpakaian hitam itu dan menyeringai lalu berbisik. "Nona, engkau memperoleh kehormatan besar sekali. Hari ini engkau seperti kejatuhan bulan dan aku mengucapkan selamat atas keberuntungan mu, nona."
Gadis itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong. "Hemm, apakah engkau ini mabok! Atau memang miring otakmu? Pergilah, aku tidak mengerti apa yang kau ocehkan!"
Mendapat tanggapan seketus itu, si kurus kering menjadi merah mukanya, akan tetapi diapun memandang marah. "Ihh, tak tahu diuntung! Kau lihat dia itu, nona. Dia adalah Wong¬taijin (Pembesar Wong), kedudukannya tinggi, berkuasa dan kaya raya. Dia tertarik kepadamu dan dia mengundangmu untuk duduk semeja dengan dia."
Gadis itu mengerling ke arah meja yang ditunjuk dan melihat si jenggot tersenyum menyeringai, memperlihatkan gigi yang hitam karena tembakau dan mengangguk-angguk kepala dengan sikap angkuh akan tetapi genit.
"Katakan padanya bahwa melihat mukanya saja aku sudah muak, kalau makan bersamanya aku dapat muntah. Pergilah!" kata gadis itu kepada si kurus kering, suaranya tidak lirih lagi sehingga dengan mudah dapat terdengar oleh mereka yang duduk di meja lain sehingga banyak di antara mereka yang memandang khawatir. Gadis itu berani menghina Wong-Taijin!
Si kurus kering muka jerawat yang mendengar usiran itu, terbelalak akan tetapi dasar dia seorang penakut, diapun melangkah kembali ke meja atasannya, sikapnya seperti seekor anjing pergi ketakutan menekuk ekornya.
"Kalian bawa dia ke sini!" kata pembesar Wong dengan muka kemerahan ke pada dua orang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar.
Mereka adalah kakak beradik, jagoan-jagoan yang diangkat sebagai pengawal oleh Wong Taijin, seorang yang menjabat kedudukan jaksa, jabatan yang memiliki kekuasaan besar dan ditakuti dalam pemerintahan baru itu.
Dua orang jagoan itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya memiliki tubuh yang tinggi besar berotot, yang seorang berkepala botak yang kedua brewok menakutkan, dan di pinggang mereka tergantung golok besar. Baru melihat saja orang tentu akan merasa gentar, apa lagi kalau mereka memandang dengan mata melotot dan wajah beringas.
Dengan langkah lebar, dua orang jagoan itu menghampiri meja gadis berpakaian hitam. Si brewok berkata, "Nona, majikan kami minta agar nona duduk semeja dengan beliau!"
Gadis itu hanya mengerling dan mendengus sambil membuang muka. "Huh, kalian menyebalkan. Pergilah!"
Tentu saja si brewok menjadi marah. Kalau saja majikannya tidak menyuruh dia membawa gadis itu ke meja majikannya, tentu telah dijambak rambut gadis itu dan diseretnya. Dia tahu bahwa majikannya tertarik kepada gadis ini, maka dia tidak berani bersikap kasar, apa lagi menyakitinya.
"Nona, kalau engkau tidak mau, terpaksa akan kuangkat bersama kursi yang nona duduki," berkata demikian, dia memegang sandaran kursi itu.
"Hemm, macam kamu ini kuat mengangkatku?" gadis itu mengejek.
Si brewok menjadi marah dan dia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan mengangkat kursi itu. Dia merasa yakin akan mampu mengangkat kursi itu bersama gadis yang duduk di atasnya. Apa lagi baru gadis mungil yang tentu amat ringan itu, biar ditambah dua orang lagipun dia akan mampu mengangkatnya.
Akan tetapi, terjadi keanehan yang bukan saja mengejutkan si brewok, melainkan juga mengherankan temannya yang botak dan empat orang pembesar yang duduk di meja sebelah. Biarpun dia mengerahkan tenaga sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, namun kursi itu tidak dapat terangkat! Sedikitpun tidak bergerak, apa lagi terangkat!
Melihat keanehan itu, Jaksa Wong segera berkata kepada si botak. "Bantu dia!"
Kini si botak, walaupun agak sungkan dan malu harus menggunakan tenaga dua orang untuk mengangkat seorang gadis mungil saja, melangkah maju dan ikut memegang kursi itu lalu mengerahkan tenaga bersama temannya. Mereka mengerahkan tenaga dalam waktu yang sama, mencoba untuk mengangkat kursi itu.
"Aughhhh krekkkk!!"
Keduanya terhuyung dan hampir terpelanting ketika sandaran kursi itu patah, akan tetapi gadis itu masih tetap duduk dengan santai sambil memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. Kini semua orang terkejut dan heran. Baru kemunculannya seorang diri di rumah makan itu saja sudah menimbulkan keheranan, dan kini ditambah lagi gadis itu berani menghina Jaksa Wong, dan lebih-lebih lagi kini gadis itu mampu bertahan di kursinya dan dua orang tukang pukulnya itu tidak mampu meng angkatnya!
Hal ini tidak akan mengherankan bagi siapa yang mengenal gadis itu karena ia bukan lain adalah Can Kim Hong, murid tersayang dari Hek liong Kwan Bhok Cu! Gurunya memang sudah memesan agar ia berhati-hati dan tidak menonjolkan kepandaiannya di kota raja. Dan Kim Hong pun tadinya tidak ingin memamerkan kepandaiannya, hanya ingin makan di restoran besar itu karena dari luar saja bau masakannya sudah semerbak keluar dan membuat perutnya terasa lapar. Akan tetapi, kalau ada orang-orang bersikap keterlaluan kepadanya, hendak menghinanya, tentu saja gadis yang berwatakkeras initidak mungkin tinggal diam saja.
"Hemm, kalian dua ekor monyet busuk. Pergilah kalian bersama majikan kalian si kambing bandot jenggot panjang itu. Kalian semua memualkan perut ku, dan aku lapar hendak makan. Jangan ganggu aku!" kata Kim Hong dan iapun berpindah ke kursi yang tidak rusak, duduk menghadapi meja dan membelakangi mereka seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Semua orang menjadi pucat dan yang nyalinya kecil sudah cepat-cepat membayar harga makanan dan meninggalkan restoran itu. Gadis itu telah berani memaki Jaksa Wong sebagai kambing bandot jenggot panjang! Bukan main! Pasti akan hebat akibatnya.
Bukan hanya dua orang tukang pukul itu saja jagoan si jaksa, bahkan dia mampu mengerahkan pasukan untuk menangkap gadis itu! Para tamu tidak ingin terbawa-bawa dalam urusan gawat itu, maka dalam waktu singkat restoran itu telah ditinggalkan para tamu. Yang berada di situ hanya tinggal Kim Hong, empat orang bersama dua orang tukang pukul itu. Bahkan para pelayan dan pengurus rumah makan sudah pergi entah ke mana!
Jaksa Wong baru pertama kali ini mengalami hal yang amat memalukan dan menghinanya. Biasanya, gadis manapun tidak akan ada yang berani menolaknya. Hampir semua gadis cantik yang tidak sempat melarikan diri ketika pemberontak menyerbu, menjadi korban keganasan para pemenang.
Sebagian besar, yang tercantik, menjadi rebutan di antara para pejabat, dipaksa menjadi selir mereka, dan sebagian pula dijadikan perebutan antara para perajurit sehingga mereka itu bukan saja mengalami penghinaan yang tak terbayangkan ngerinya, bahkan juga akhirnya mereka tewas secara menyedihkan.
Hanya para puteri pihak pemenang dan hartawan yang dapat menyogok sajalah yang selamat dari penghinaan dan perkosaan. Kini, Jaksa Wong ditolak, bahkan dihina, dimaki oleh seorang gadis biasa. Tentu saja darah naik ke kepalanya, dan dengan mata melotot dia menudingkan telunjuk kanannya kepada Kim Hong.
"Perempuan rendah, berani engkau menghina kami? Tidak tahukah engkau bahwa engkau berhadapan dengan Jaksa Wong? Cepat berlutut dan minta ampun, atau aku akan menyuruh orang-orangku menelan jantungmu dan menyeretmu sepanjang jalan, kemudian kuberikan engkau kepada mereka untuk dikeroyok sampai mampus!"
Ancaman ini sungguh mengerikan, akan tetapi membuat Kim Hong menjadi semakin marah. Makian, itu saja sudah menunjukkan macam apa orang yang dihadapinya itu. "Biar engkau jaksa atau dewa sekalipun, aku tidak perduli. Yang kulawan bukan kedudukanmu, melainkan orangnya. Engkau orang yang jahat, kasar, suka menghina wanita, dan pantas dihajar. Andaikata engkau seorang pengemis sekalipun, kalau baik hati, tentu akan kuhormati!" Kim Hong juga menudingkan telunjuknya ke arah muka pejabat itu.
"Keparat! Tangkap dia!" teriak Jaksa Wong kepada dua orang pengawalnya.
Dua orang laki-laki tinggi besar itu memang sudah merasa penasaran sekali dan ingin menebus kekalahannya tadi. Mereka tetap tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap gadis itu yang ditaksir majikan mereka. Akan tetapi kini, majikan mereka telah memerintahkan mereka untuk menangkap gadis itu! Keduanya menyeringai dan dengan langkah perlahan seperti dua ekor binatang marah, mereka menghampiri Kim Hong dari belakang dengan kedua lengan di kembangkan, siap untuk menubruk dan mendekap gadis cantik mungil itu!
Kim Hong pura-pura tidak melihat mereka, ia sedang jengkel karena sejak tadi, pesanannya belum juga dihidangkan. "Heiii, bung pelayan! Di mana kamu? Mana pesananku? Kurang ajar, kenapa tidak ada orang sama sekali? Aku akan mengambil dan memasak sendiri hidangan itu didapur kalau kalian tidak cepat mengeluarkannya. Perutku sudah lapar!" ia berteriak-teriak lantang, tidak memperdulikan dua orang tinggi besar yang menghampirinya dari kanan kiri itu.
Akan tetapi, begitu kedua orang itu bergerak hendak menubruknya, tangannya cepat menyambar dua batang sumpit dan sekali kedua tangan itu bergerak, sumpit-sumpit itu menyambar ke arah dua orang yang menubruknya. Harus diingat bahwa keistimewaan gadis ini adalah mempergunakan Hui-kiam (Pedang terbang), maka sambitan sumpitnya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Dan dua orang tukang pukul itu roboh terjengkang, mengaduh-aduh memegangi paha kanan mereka yang ditembusi sumpit dan terasa nyeri bukan main. Mereka tidak dapat bangkit berdiri dan hanya mengaduh-aduh, tidak berani mencabut sumpit yang masih menembus paha mereka, takut kalau-kalau akan menjadi semakin nyeri!
Tentu saja Jaksa Wong terkejut bukan main, demikian pula tiga orang bawahannya. Mereka berempat serentak bangkit berdiri dan dengan muka pucat hendak berlari keluar. Akan tetapi, sekali menggerakkan kedua kakinya, Kim Hong sudah berkelebat dan yang nampak hanya bayangan hitam dan tahu-tahu ia telah berdiri menghadang empat orang itu. ia tersenyum mengejek, akan tetapi matanya mencorong.
"Kambing bandot, engkau tidak boleh lari begitu saja!" katanya dan sekali tangannya bergerak, Kim Hong sudah menyambar jenggot panjang itu dan membetotnya. Jaksa Wong berteriak kesakitan dan tubuhnya tertarik ke depan akan tetapi Kim Hong menyambut dengan tendangan ke dada sambil menarik jenggot itu kuat-kuat.
"Dukk! Prett.....!"
Tubuh Jaksa Wong terjengkang dan jenggotnya jebol tertinggal di tangan Kim Hong. Tentu saja kulit dagunya terkelupas dan berdarah, dan dadanya terasa sesak. Jaksa Wong menangis! Tangan kiri meraba dagu, tangan kanan menekan dada dan dia menangis karena kesakitan dan ketaku tan. Tiga orang bawahannya hendak melarikan diri, akan tetapi tiga kali kaki Kim Hong menendang dan merekapun terlempar dan menimpa meja kursi!
Kim Hong berteriak lagi memanggil pelayann dan ketika tidak ada pelayan muncul, iapun dengan seenaknya memasuki dapur. Dilihatnya koki gendut bersembunyi di balik gentong dan dibentaknya orang itu. "Hayo cepat bikinkan masakan yang enak untukku atau engkau yang akan kusembelih dan dagingmu kupangang!"
Koki itu tentu saja ketakutan dan dengan tubuh menggigil dan kedua tangan gemetar dia melaksanakan perintah Kim Hong. Gadis ini marah dan jengkel sekali. Perutnya amat lapar dan orang-orang telah mengganggunya, ia tidak perduli lagi ketika dua orang tulang pukul menyeret kaki mereka keluar dari rumah makan mengikuti majikan mereka yang juga terhuyung-huyung keluar bersama tiga orang bawahannya.
Juga Kim Hong tidak perduli betapa rumah makan yang sekarang kosong menjadi pusat perhatian orang yang berkerumun di luar rumah makan. Setelah hidangan matang, iapun makan minum seorang diri, tidak memperdulikan keadaan di luar yang semakin ribut karena berita tentang seorang gadis yang memukul Jaksa Wong dan kaki tangannya di rumah makan itu telah telah tersiar dengan cepat, menarik perhatian banyak orang karena berita itu sungguh luar biasa sekali.
Baru saja Kim Hong selesai makan, muncul belasan orang perajurit di pimpin oleh Wong Taijin sendiri yang kelihatan marah-marah. Pembesar ini masih kesakitan, jenggotnya lenyap dan dagunya yang tadi terluka kini sudah dibalut sehingga dia nampak lucu sekali. Telunjuknya menuding-nuding ke dalam rumah makan dan suaranya terdengar pelo karena dagunya dibalut.
"Tangkap perempuan itu! Tangkaaaap..., telanjangi ia, seret sepanjang jalan agar semua orang melihat pemberontak itu!"
Tujuhbelas orang yang dipimpin seorang perwira memasuki rumah makan. Ketika mereka melihat bahwa di dalan rumah makan itu hanya ada seorang gadis cantik sedang duduk dengan sikap tenang, mereka menjadi ragu. Haruskah mereka, tujuhbelas orang perajurit pilihan, mengeroyok seorang gadis?
Perwira pasukan keamanan itu bagaimanapun juga masih memiliki keangkuhan dan harga diri. Dengan pedang melintang depan dada, diapun berkata kepada Kim Hong yang masih duduk dengan tenang, "Nona, sebaiknya kalau nona menyerah saja dengan baik-baik agar kami tidak harus mempergunakan kekerasan terhadap seorang gadis."
Kim Hong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang dan ia lebih sabar karena perutnya sudah kenyang dan masakan tadi memang lezat sekali. "Sungguh mati, aku merasa heran sekali. Kalian ini orang-orang gagah kenapa diperintah oleh kambing bandot jenggot buntung yang menjemukan itu? Tidak malukah kalian?"
"Tangkap, seret dan telanjangi perempuan itu!" Wong Taijin mencak-mencak saking marahnya mendengar penghinaan itu.
"Hemm, kalau ada yang berani majulah! Aku akan menghajar kalian orang orang yang suka menghina wanita, dan sekali ini aku tidak mau bersikap lunak lagi. Heii, bandot keparat, majulah dan aku akan mengirim nyawamu ke neraka jahanam!"
Akan tetapi sebelum para perajurit yang ragu-ragu itu sempat bergerak, tiba-tiba dari luar masuk seorang pria yang gagah perkasa. Seorang pria bertubuh tinggi besar, kulitnya hitam mukanya brewok dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pejabat tinggi.
"Apa yang terjadi di sini?" Suaranya nyaring dan parau, akan tetapi semua perajurit cepat memberi jalan dan memberi hormat kepada si tinggi besar ini. Bahkan Wong Taijin sendiri terkejut melihat orang itu dan cepat memberi hormat dengan membungkukkan tubuh seperti pisau lipat.
"Jaksa Wong, kau di sini? Kenapa itu muka mu? Mana jenggotmu yang panjang itu? Apa sih yang terjadi di sini?"
"Maaf, Yang Mulia... eh.,... kami sedang hendak menangkap seorang wanita pemberontak! Ia telah melukai saya dan pengawal saya, dan ia bahkan masih berani menghina kami. ia harus ditangkap dan dihukum berat!" kata jaksa itu.
Pria tinggi besar itu terbelalak "Ehh? Ada yang begitu berani? Wanita malah? Bukan main! Mana ia?"
"Itu orangnya, Yang Mulia, gadis setan itulah pemberontaknya."' Jaksa Wong menuding ke arah Kim Hong yang berdiri bengong memandang pria tinggi besar berkulit hitam yang disebut Yang Mulia oleh Jaksa itu.
Pria itu memutar tubuh memandang ke dalam dan bertemulah dua pasang mata itu, dan pria itu mengeluarkan seruan heran. "Kau... Kim Hong...!"
"Suhu...!"
Kim Hong cepat memberi hormat dan hatinya merasa terharu bercampur heran. Terharu karena bagaimanapun juga, orang tua ini pernah memelihara dan mendidiknya penuh kasih sayang sehingga ia pernah menganggap kepala suku Khitan ini sebagai pengganti orang tuanya sendiri, dan ia merasa heran bagaimana sekarang gurunya itu disebut Yang Mulia oleh seorang pejabat tinggi!
"Apakah suhu dalam keadaan sehat saja?" akhirnya ia bertanya.
"Kim Hong, aihh, kiranya engkau...! Betapa rindu kami kepadamu." lalu Bouw Hun, laki-laki tinggi besar itu, membalik dan menghadapi jaksa Wong yang terbelalak dan mukanya berubah pucat.
"Jaksa Wong! Apa-apaan ini? Gadis ini adalah muridku yang tersayang, dan engkau berani mengatakan bahwa ia pemberontak! Gilakah engkau?"
"Ampun, Yang Mulia.... saya..... saya tidak tahu dan ia ia memukul dan menghina saya....." tubuh jaksa itu gemetar ketakutan.
Siapa yang tidak akan takut berhadapan dengan Kok Su (guru negara atau penasihat Kaisar) yang amat ditakuti karena berjasa dan berkuasa besar itu? Jangankan baru Wong Taijin, seorang jaksa, bahkan para menteri sekalipun segan dan takut kepada Bouw Kok-su ini.
"Kenapa ia memukul mu? Hayo jawab! Pasti gadis ini belum gila, memukul tanpa sebab. Nah, katakan, apa sebabnya ia memukul itu?"
Wong Taijin semakin ketakutan. "Saya... saya.... tidak apa-apa, Yang Mulia... saya hanya.... mengundang ia untuk makan minum bersama kami...."
"Hemm, aku tahu orang macam apa engkau ini!" Bouw Hun membentak marah. "Sudah kudengar bahwa engkau sering mempermainkan wanita. Engkau tentu mengganggunya, maka muridku menjadi marah. Kim Hong, apa yang dia lakukan kepadamu?"
Kim Hong tersenyum. "Tidak apa, suhu, aku sudah menghajarnya cukup setimpal. Dia hendak memaksaku makan minum dengan dia, aku menghajar dia dan kaki tangannya, akan tetapi dia datang lagi membawa pasukan."
"Jahanam kau, berani mengganggu muridku?" Bouw Hun membentak.
Wong Taijin hampir terkencing-kencing saking takutnya. "Ampunkan saya.... saya tidak tahu.... ampunkan..."
"Hayo berlutut dan minta ampun kepada murid ku," bentak Bouw Hun.
Pembesar itu tanpa malu-malu lagi menjatuhkan diri berlutut menghadap Kim Hong dan mengangguk-angguk. "Ampunkan saya, nona, ampunkan saya...."
Akan tetapi Kim Hong tidak memperdulikannya. "Suhu, bagaimana suhu dapat berada di sini dan agaknya menjadi pembesar?" tanyanya kepada Bouw Hun membiarkan saja Wong Taijin yang masih berlutut dan mengangguk-angguk.
"Mari ikut pulang, Kim Hong. Kita bicara di rumah," kata Bouw Hun dan dia menggandeng tangan muridnya lalu mengajak muridnya meninggalkan rumah makan itu.
Wong Taijin yang masih berlutut, menjadi merah sekali mukanya. Dia bangkit berdiri, mengepal tinju, merasa malu bukan main dan diam-diam diapun mengutuk di dalam hatinya, menyumpah-nyumpah dan berjanji bahwa sekali waktu dia akan membalas dendam ini kepada Bouw Kok-su, betapa mustahilnya hal itu nampaknya.
Lalu diapun pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, membuat perwira yang memimpin pasukan menjadi bengong, tak tahu harus berbuat apa dan akhirnya mengajak pasukannya pergi meninggalkan rumah makan itu. Barulah keadaan menjadi normal kembali dan rumah makan itu mulai dikunjungi tamu lagi, dan peristiwa tadi hanya tinggal menjadi kenangan dan gunjingan orang saja.
Banyak orang merasa senang melihat betapa Wong Taijin mengalami hajaran yang cukup hebat, bukan saja jenggotnya dicabut sehingga dagunya robek, juga menerima penghinaan, dipaksa berlutut minta ampun kepada seorang gadis di depan banyak orang. Banyak orang merasa tidak suka kepada pembesar ini yang terkenal galak, sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya sebagai jaksa.
Sedikit-sedikit menuntut orang. Diminta anak gadisnya tidak diberikan saja dituntut dengan bermacam alasan, sebagai pemberontak, penjahat dan sebagainya. Dia terkenal menerima sogokan dari para hartawan, dan tidak segan dia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah dalam urusan pengadilan, semua itu karena kekuasaan uang sogokan.
Banyak sekali bukti bahwa orang yang suka menjilat keatas, tentu suka menginjak ke bawah. Orang yang mencari muka dan amat takut kepada atasannya, bukan taat melainkan takut dan menjilat, orang seperti itu biasanya menginjak dan menindas bawahannya.
Orang seperti ini pada hakekatnya seorang pengecut dan mudah menjadi besar kepala dan sewenang-wenang kalau memperoleh kedudukan yang memberinya sedikit kekuasaan. Dan demikian pula Jaksa Wong. Dia merasa malu dan terhina sekali, dan diam-diam dia menanam dendam di dalam hatinya.
Maklu m bahwa pangkatnya jauh kalah tinggi dibandingkan Bouw Koksu, dia tahu bahwa hanya dengan cara yang licik dan licin, yang teratur rapi dan terdapat kesempatan baik saja lah, maka dia akan ma mpu membalas dendamnya. Dan dia bersabar hati, seperti sabarnya seekor musang yang menanti munculnya ayam keluar dari dalam kandangnya.
Bagaimana Bouw Hun, kepala suku Khitan, dapat menjadi Kok-su (guru negara) di kota raja? Hal ini tidaklah mengherankan karena sejak pertama kali An Lu Shan memberontak, dia telah menjadi pembantu utama panglima pemberontak itu. An Lu Shan sendiri adalah seorang peranakan Khitan Turki, dan dari darah ibunya, dia masih terhitung sanak dengan Bouw Hun.
Oleh karena itulah, dia menarik Bouw Hun dan anak buah kepala suku Khitan itu menjadi sekutu dan karena jasa Bouw Hun dan Bouw Ki besar ketika pasukan mengadakan penyerbuan ke kota raja, maka ketika An Lu Shan mengangkat diri menjadi kaisar, dia mengangkat Bouw Hun menjadi kok-su, dan Bouw Ki diangkat menjadi seorang panglima muda!
Kim Hong terkagum-kagum ketika diajak masuk ke dalam sebuah gedung besar kuno yang amat indah. Hal ini tidak mengherankan karena gedung yang kini menjadi tempat tinggal Bouw Kok-su adalah bekas tempat tinggal Menteri Utama Yang Kok Tiong! Gedung kuno yang besar, megah dan masih lengkap prabot rumahnya yang serba mewah.
Nyonya Bouw Hun, seorang wanita Khitan yang sudah berusia empatpuluh tujuh tahun akan tapi berkulit putih dan masih cantik menyambut Kim Hong dengan rangkulan mesra. Wanita ini memang amat menyayang Kim Hong seperti anak sendiri. Sejak masih kecil sekali, belum juga berusia lima tahun, Kim Hong telah dirawat dan di didik suaminya, hidup dalam keluarga itu sebagai murid, akan tetapi seperti anak sendiri bagi Bouw Hun dan isterinya.
Kepergian Kim Hong secara diam-diam itu sempat membuat Nyonya Bouw Hun berhari-hari menangis sedih dan kini melihat suaminya kembali bersama serang gadis cantik berpakaian serba hitam, ia segera mengenal Kim Hong dan merangkulnya, dan Kim Hong juga sempat meneteskan air mata ketika dirangkul oleh nyonya itu dengan mesranya.
"Kim Hong... ah, ke mana saja engkau pergi selama ini, anakku?" nyonya itu menciumi pipi gadis itu yang menjadi terharu sekali. ia merasa seolah bertemu dengan ibunya sendiri.
"Aku... aku merantau dan mencari pengalaman, bibi," katanya, la memang selalu menyebut bibi kepada isteri gurunya itu.
"Kau sekarang bertambah dewasa, bertambah cantik!" wanita itu memuji. "Kakakmu tentu akan gembira sekali melihat mu!"
Kim Hong teringat kepada Bouw Ki dan jantungnya berdebar. Bouw Ki yang membuat ia terpaksa minggat karena suhengnya itu hendak memaksanya menjadi selirnya!
Pada saat itu terdengar suara langkah kaki dari luar disusul seruan yang lantang, "Eh, ibu, siapakah gadis cantik itu? Perkenalkan kepadaku, ibu!"
Bouw Ki! Masih periang dan masih mata keranjang seperti biasa, pikir Kim Hong. Dan pemuda itupun muncul. Usia Bouw Ki sudah duapuluh tujuh tahun. Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak semakin gagah dengan pakaian panglimanya yang gemerlapan! Dan wajah yang tampan dengan kumis melintang terpelihara rapi, dan matanya tajam seperti mata burung rajawali. Mata itu terbelalak, lalu berkilat-kilat ketika menjelajahi wajah gadis berpakaian hitam itu.
"Kim Hong....? Haiiii! Engkau benar Kim Hong....! Engkau semakin cantik saja, adik Hong!" katanya dan seolah-olah dia ingin menubruk dan merangkul gadis itu.
Akan tetapi Kim Hong sudah mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat. "Kakak Bouw Ki, bagaimana keadaanmu? Sehat-sehat saja, bukan?"
"Sehat? Aku? Lihatlah sendiri!" Dia mengembangkan kedua lengannya, memamerkan keadaan diri dan pakaiannya. "Bukan hanya sehat, aku telah menjadi seorang panglima, Kim Hong! Dan ayah telah menjadi Kok-su! Kami menjadi keluarga bangsawan tinggi, dekat dengan kaisar! Aha, tentu engkau girang sekali, bukan?"
"Tentu saja, suheng," kata Kim Hong sejujurnya.
"Aih, dahulu engkau melarikan diri dan menolakku, sekarang, sudah tiba saatnya engkau menjadi anggauta keluarga kami, menjadi isteri ku! Tentu ayah sekarang menyetujui Kim Hong menjadi isteriku, bukan begitu, ayah?"
Kim Hong terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. "Suheng, harap jangan berkata seperti itu. Aku tadi bertemu ayahmu dan aku ikut suhu ke sini karena akupun sudah rindu kepada keluarga suhu. Aku hanya singgah saja, bukan untuk menetap di sini."
"Tapi , sumoi......"
"Aihh, Bouw Ki! Engkau ini apa-apaan sih?" Tegur ibunya. "Adikmu baru saja tiba, dan engkau sudah bicara yang bukan-bukan tentang pernikahan. Mengapa engkau begitu tergesa-gesa seperti dikejar setan?"
"Bouw Ki, jangan membuat adikmu menjadi resah. Baru saja ia mengalami urusan yang membuatnya marah, dan kalau aku tidak cepat muncul, tentu ia membuat geger dan akan menjadi pusat perhatian orang di kota raja."
Kini pemuda yang gagah itu membelalakan matanya. "Wah, jadi engkaukah gadis di rumah makan yang telah memukul dan menghina Jaksa Wong itu, sumoi? Engkaukah orangnya?"
Kim Hong mengangguk. "Ha-ha-ha, alangkah lucunya! Si kura-kura itu memang pantas menerima hajaran den engkau yang melakukannya. Ha-ha, aku puas! Dan engkau mengagumkan sekali, Kim Hong, membuat aku semakin jatuh cinta. Katakanlah bahwa engkau sengaja datang ke kota raja untuk mencariku, dan menerima pinanganku."
"Bouw Ki, engkau sudah mempunyai lima orang selir, masihkah begitu kehausan? Biarkan Kim Hong beristirahat dulu, bahkan ia belum menceritakan pengalamannya selama dua tahun Ini," kata Bouw Hun dengan suara datar, seolah berita tentang puteranya memiliki lima orang selir itu merupakan hal biasa bagi para pendengarnya.
Dia tidak tahu betapa Kim Hong muak mendengar ucapan itu. Memang pada jaman itu, kaum pria amat meremehkan martabat wanita sehingga wanita disa ma kan dengan benda-benda berharga saja, seperti benda yang indah dan mahal, atau seperti peliharaan yang langka, seekor burung dewata misalnya, atau seekor kucing dari negara barat! Sukar bagi mereka membayangkan bahwa wanita juga memiliki harga diri, memiliki perasaan dan matabat.
"Kim Hong, sekarang ceritakanlah pengalamanmu, kami ingin sekali mendengarnya," kata Nyonya Bouw Hun.
Mereka berempat duduk di ruangan dalam, dan Kim Hong lalu menceritakan pengalamannya dengan singkat bahwa ia menjadi murid seorang sakti, yaitu Hek-liong Kwan Bhok Cu dan selama dua tahun ini belajar ilmu silat dari gurunya. Setelah selesai belajar, ia mendengar tentang keributan di kota raja dan ingin melihat-lihat keadaan setelah perang selesai.
"Hemm, jadi tukang perahu berpakaian hitam bercaping lebar itukah yang menjadi gurumu?" tanya Bouw Hun kepada muridnya dengan alis berkerut, teringat betapa dia dan puteranya sama sekali tidak mampu menandingi orang sakti itu.
"Benar, suhu, dan beliau seorang pendekar gagu yang amat baik kepadaku."
"Aih, kalau begitu engkau sekarang tentu telah menjadi lihai bukan main, sumoi!" kata Bouw Ki sambil tersenyum. "Akan tetapi selama dua tahun ini, kalau engkau belajar silat, aku bahkan mempraktekkan dalam pertempuran dan perang, dan akupun memperoleh kemajuan pesat!"
"Suhu, kalau boleh aku mengetahui, bagaimana suhu sekeluarga dapat berada di sini dan tiba-tiba menjadi pejabat tinggi?" Kim Hong ingin sekali mengetahui.
Bouw Hun bangkit dan berkata. "Kim Hong, biar Bouw Ki saja yang menceritakan semua itu kepada mu. Aku harus pergi ke istana sekarang menghadap Kaisar." Lalu kepada isterinya dia berkata, "Suruh pelayan mempersiapkan pesta kecil untuk keluarga kita, menyambut pulangnya Kim Hong."
Setelah berkata demikian, Bouw Hun dengan sikap agungnya seorang pejabat tinggi, meninggalkan rumahnya. Nyonya Bouw juga pergi ke belakang untuk memerintahkan para pelayan menyiapkan pesta untuk menyambut Kim Hong.
"Sumoi, mari kita pergi ke taman dan di sana akan kuceritakan pada mu tentang semua pengalaman kami yang hebat," ajak Bouw Ki.
Kim Hong mengangguk dan merekapun keluar dan memasuki taman bunga luas indah yang berada di sebelah kiri bangunan besar itu. Kim Hong mengagumi taman itu yang memang amat indah, apa lagi pada waktu itu, musim semi belum habis dan bunga-bunga di taman sedang saling bersaing keindahan dengan bunga-bunga yang bermekaran.
Setelah berjalan-jalan mengagumi bunga-bunga dalam taman, Bouw Ki mengajak sumoinya duduk di bangku tepi kolam ikan emas, dan diapun menceritakan pengalaman dia dan ayahnya. Ayahnya di ajak bersekutu oleh Panglima An Lu Shan dan merekapun menyerbu ke barat.
Dia sendiri menjadi seorang komandan pasukan yang terdiri dari orang-orang Khitan dan dia sudah memperlihatkan kegagahannya dan membuat banyak jasa sehingga setelah gerakan pemberontakan itu berhasil, ayahnya diangkat menjadi kok-su dan dia sendiri diangkat menjadi panglima muda oleh An Lu Shan.
Kim Hong mendengarkan dengan kagum. "Kalau begitu, suhu telah menjadi seorang bangsawan besar, dan engkaupun telah menjadi seorang panglima muda yang mulia. Tentu senang sekali hidupmu, suheng, mulia dan mewah, dihormat orang dan memiliki kekuasaan besar.”
Bouw Ki menghela napas panjang dan berkata, wajahnya muram. "Enak bagaimana, sumoi? Aku lebih senang kalau saat ini, ayah masih menjadi kepala suku di Lembah Huang-ho, dan aku berada di sana bersamamu. Hidup rasanya lebih bebas dan tak banyak pusing seperti sekarang."
"Eh? Kenapa banyak pusing dan kenapa pula tidak bebas?"
"Aku diikat oleh kedudukan ku," Pemuda Khitan itu memandang pakaiannya yang dalam bulan-bulan pertama amat dibanggakan akan tetapi yang kini terasa seperti membelenggu dirinya itu. "Waktuku sudah disita oleh tugas pekerjaan, dan tentu saja pusing karena Kerajaan baru ini masih menghadapi banyak tantangan. Pertama, Kaisar Kerajaan Tang masih ada, dan kini di barat sedang menyusun kekuatan. Mereka pasti tidak akan menerima begitu saja dan selama kaisar dan keluarganya itu belum terbunuh, ancaman masih akan terus membayangi kota raja ini. Selain itu, yang lebih memusingkan lagi, adanya persaingan dan permusuhan yang secara diam-diam telah timbul di antara keluarga dan para pimpinan kerajaan baru ini."
"Eh, kenapa begitu? Bukankah Panglima Besar An Lu Shan telah menjadi kaisar dan semua pembantunya, termasuk engkau dan suhu, telah diberi kedudukan?"
"Banyak yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan kepada mereka. Ada yang merasa dirinya lebih berjasa dan timbul saling iri. Aku khawatir persaingan ini akan menghancurkan kita dari dalam. Aku... aku sungguh tidak puas dan tidak senang biarpun kini aku menjadi seorang panglima dari kerajaan besar. Masa depanku tidak begitu cerah, banyak tugas berat dan bahaya."
Kim Hong tersenyum. Suhengnya ini memang pernah menyakitkan hatinya karena hendak memaksanya menjacli selir, akan tetapi harus diakui bahwa suhengnya ini biarpun berhati keras, namun jujur, tidak seperti suhunya.
"Aih, suheng. Mungkin hanya mulutmu saja yang mengeluh, akan tetapi hatimu kegirangan. Bukankah kini engkau telah menjadi seorang bangsawan muda yang mulia, bahkan telah memiliki lima orang selir? Tidak hebatkah itu?" ia mengejek.
"Hemm, itu hanya usaha ayah dan ibu untuk menghiburku, untuk mengurangi kerinduanku kepadamu, sumoi. Akan tetapi, biar aku diberi seratus orang selir yang bagaimana cantikpun, hatiku tidak akan tenteram dan bahagia selama engkau belum mau menjadi isteriku."
Kim Hong mengerutkan alisnya, lalu tersenyum mengejek. "Aih, jadi engkau masih terus bertekad untuk memperisteri aku, biarpun aku sudah berulang kali menyatakan tidak mencintamu, melainkan suka kepadamu sebagai suheng, sebagai kakak. Apakah engkau dan ayah juga masih ingin melanjutkan usaha kalian memaksaku agar suka menjadi isteriku?"
Bouw Ki menghela napas panjang. "Sebetulnya, cara itu sama sekali tidak kusukai, sumoi. Aku ingin engkau menerima aku menjadi suamimu dengan suka rela, ingin kita menjadi suami isteri yang saling mencinta, bukan paksaan. Akan tetapi, engkau terlalu keras hati dan keras kepala. Jangan memaksa kami melakukan hal yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku itu, Kim Hong."
Gadis itu diam-diam merasa mendongkol, ia datang ke rumah suhunya secara suka rela, akan tetapi ia datang seperti seekor harimau memasuki perangkap, atau lebih lagi, seperti seekor domba memasuki rumah jagal! Biarpun tidak dijelaskan, namun ia tahu bahwa agaknya suhunya dan suhengnya sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan ia pergi lagi dari situ!
Suhengnya ini benar-benar telah tergila-gila kepadanya, bertekad ingin memperisterinya, bahkan sejak dua tahun yang lalu, suhengnya tidak pernah melupakan dirinya! Dan sekarang, keadaannya bahka lebih terjepit dari pada dahulu. Biar pun kini ilmu kepandaiannya sudah demikian tingginya sehingga ia tidak takut menghadapi suhunya dan suhengnya, akan tetapi di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang terdiri dari puluhan ribu orang banyaknya. Bagaimana mungkin ia akan dapat meloloskan diri?
Akan tetapi, Kim Hong tidak merasa gelisah, bersikap tenang saja. seolah-olah ia belum melihat kenyataan pahit itu. "Suheng, karena selama ini engkau telah banyak bertempur, tentu ilmu kepandaianmu maju pesat. Bagaimana kalau kita berlatih untuk saling melihat sampai di mana kemajuan yang kita capai?"
"Bagus, aku senang sekali, sumoi! Engkau tentu kini telah memperoleh kemajuan pesat. Dahulupun aku tidak dapat mengalahkanmu, apa lagi sekarang!"
"Ah, belum tentu, suheng. Bagaimanapun juga, aku belum mempunyai pengalaman bertanding, sedangkan engkau sudah mengalami perang dan pertempuran besar.”
"Mari kita berlatih dengan tangan kosong saja, jangan sampai kita salah tangan saling melukai. Memang aku sering kali berlatih silat di petak rumput itu, sumoi."
Mereka pergi ke petak rumput tak jauh dari kolam ikan dan di situ memang nyaman dan luas. Kim Hong hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian suhengnya itu agar kalau sewaktu-waktu ia harus melawannya, ia akan dapat mengetahui lebih dulu keadaan lawan. Dengan gaya yang menarik, setelah melepaskan baju kebesarannya Bouw Ki memasang kuda-kuda. Kim Hong melihat bahwa ilmu silat suhengnya masih serupa dengan dahulu, maka iapun memasang kuda-kuda yang sama.
"Aku sudah siap, suheng. Mulailah!"
"Sumoi, awas seranganku!" bentak Bouw Ki yang merasa girang karena dalam latihan bertanding tangan kosong ini, setidaknya dia mendapat kesempatan untuk saling beradu tangan dengan gadis yang dirindukannya itu! Dia menyerang, bukan dengan pukulan melainkan dengan cengkeraman-cengkeraman, karena sesuai dengan dorongan perasaan hatinya, ingin dia dapat menangkap lengan sumoinya, atau setidaknya merabai tubuhnya untuk melepaskan kerinduannya.
Tingkat kepandaian Kim Hong sekarang sama sekali tidak dapat disamakan dengan dua tahun yang lalu. Gemblengan Si Naga Hitam selama dua tahun ini meningkatkan tingkat kepandaiannya, juga tenaga sinkang dan kepekaan perasaannya. Terutama sekali, ia telah minum racun darah ular hitam kepala merah. Sekali melihat saja tahulah ia bahwa kepandaian suhengnya masih biasa saja, hanya memang bertambah mantap karena pengalaman bertanding. Kalau ia menghendaki, dengan mudah saja ia akan dapat mengalahkan suhengnya.
Akan tetapi, Kim Hong ticlak mau melakukan ini dan iapun sengaja mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat lama seperti yang pernah ia pelajari dari ayah suhengnya ini. Maka terjadilah pertandingan latihan yang seru dan nampaknya mereka sama kuat. Akan tetapi tiba-tiba datang seorang pemuda mendekati tempat kedua orang muda itu berlatih. Baik Kim Hong maupun Bouw Ki melihat kedatangannya dan dengan sendirinya mereka mengakhiri latihan itu.
Pemuda itu bertepuk tangan. "Bagus, bagus sekali! Bouw-ciangkun, siapakah nona yang hebat ilmunya itu? Perkenalkan aku dengannya!"
Bouw Ki maju dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki sambil berkata, "Harap paduka memaafkan saya, Pangeran, karena tidak tahu paduka akan datang, saya tidak mengadakan penyambutan."
Tentu saja Kim Hong tertarik sekali melihat suhengnya memberi hormat dan menyebut pemuda itu pangeran, ia memperhatikan. Seorang pemuda yang usianya mungkin baru delapanbelas tahun, tampan dan lembut, akan tetapi pandang matanya liar dan penuh nafsu, juga senyumnya dingin dan membuat ketampanan wajahnya nampak aneh. Pakaiannya mewah dan pemuda itu seorang pesolek. Baru melihat dan bertemu pandang saja Kim Hong sudah merasa tidak suka kepada pria muda itu.
"Pangeran, ini adalah sumoi saya, bernama Can Kim Hong. Sumoi, beliau ini adalah Pangeran An Kong yang suka sekali akan ilmu silat dan biarpun masih muda, ilmu silatnya tinggi, jauh melebihi tingkatku sendiri, sumoi."
Akan tetapi Kim Hong menerima perkenalan itu dengan sikap tenang dan biasa saja, hanya mengangkat kedua tangan dengan dada sebagai penghormatan.
Pangeran muda itu tertawa, "Ha ha-ha, sahabatku Bouw Ki, tidak tahukah engkau bahwa nona ini tadi telah banyak mengalah kepadamu? Kalau ia bersungguh-sungguh, sudah sejak tadi engkau dikalahkannya. Ha-ha-ha!"
Wajah Bouw Ki berubah kemerahan. Dia sama sekali tidak beranggapan demikian, karena dia merasa bahwa dirinya telah memperoleh kemajuan. Biarpun belum tentu dia akan mampu mengalahkan sumoinya yang sejak dahulu memang lebih lihai darinya, akan tetapi tidak mungkin sumoinya dapat mengalahkannya dengan mudah dan tadi sengaja banyak mengalah. Akan tetapi tentu saja kepada sang pangeran dia tidak berani membantah.
"Pangeran, memang sejak kecil sumoi saya ini lebih cekatan dibandingkan saya."
Akan tetapi, diam-diam Kim Hon terkejut dan memandang pangeran muda ini lebih teliti. Ketika tadi suhengnya mengatakan bahwa kepandaian silat pangeran ini jauh lebih tinggi dari tingkat suhengnya, ia mengira suhengnya hanya mencari muka saja. Akan tetapi sekarang, pangeran itu telah dapat melihat bahwa ia sengaja mengalah, dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini memang lihai dan berpemandangan tajam sekali.
"Nona Can, akupun ingin sekali mengujimu. Nah, sambutlah ini!" tiba-tiba saja pangeran muda itu meloncat ke depan Kim Hong dari kedua tangannya didorongkan ke arah dada gadis itu.
Muka Kim Hong menjadi merah karena serangan itu mengandung ketidak-sopanan, seolah pangeran itu hendak memegang sepasang buah dadanya. Maka, iapun menyambut dengan dorong kedua tanganya, apa lagi ketika merasa betapa dari kedua telapak tangan pangeran itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahyat.
"Plakk!"
Tak dapat dihindarkan lagi, dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pangeran itu terpental ke belakang sampai dua meter, sedangkan Kim Hong masih berdiri tegak dan matanya memandang marah walaupun sikapnya tetap tenang. Pangeran An Kong tidak jatuh, hanya terhuyung dan diapun berseru kagum.
"Hebat....! Nona Can, ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian hebat, melebihi dugaanku. Bouw-ciangkun, aku merasa heran sekali bagaimana seorang sumoimu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat ini?"
"Pangeran terlalu memujiku," kata Kim Hong sederhana, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar penuh kewaspadaan.
Pangeran muda itu menghela napas panjang. "Sudahlah, maafkan aku kalau aku mengganggu kalian berlatih. Aku ingin sekali bertemu dengan Bouw-koksu. Di manakah dia, Bouw-ciangkun?"
"Baru saja ayah mengatakan hendak menghadap Sri baginda, pangeran. Dia berangkat ke istana."
"Kalau begitu, biar aku menyusulnya ke sana." Pangeran muda itu sekali lagi memandang kepada Kim Hong dengan penuh perhatian, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Setelah pangeran itu pergi Bouw Ki mendekati Kim Hong. "Sumoi, benarkah yang dia katakan tadi? Kau tahu, dia adalah pangeran An Kong yang terkenal lihai, murid orang-orang pandai di utara. Benarkah engkau memiliki ilmu yang dahsyat melebihi dia sehingga tadi dia terpental ke belakang?"
”Hemm, mungkin dia berpura-pura saja, dia mengatakan itu untuk memuji ku. Siapa sih dia?"
Bouw Ki tersenyum dan mengangguk angguk. "Mungkin juga. Dia memang amat lihai, bahkan ayah mengatakan ilmu silat pangeran itu setingkat ilmu ayah! Akan tetapi diapun terkenal sebagai pangeran mata keranjang. Agaknya dia tertarik kepadamu dan sengaja memujimu untuk menyanjung. Engkau harus berhati-hati menghadapi perayu seperti dia. Dia adalah pangeran tertua, putera Sri baginda dan agaknya diapun tidak rukun dengan Sri baginda."
"Ehh? Kenapa begitu?"
Kim Hong tertarik walaupun ia tahu bahwa kaisar yang baru, yaitu Panglima An Lu Shan, adalah musuh kaisar Kerajaan Tang, yang menurut pesan suhunya, harus di tentangnya. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Bouw Ki dan suhunya menjadi orang-orang penting dalam kerajaan baru para pemberontak itu, ia dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyelidiki keadaan para pimpinan pemberontak yang tentu dapat ia kumpulkan sebagai laporan penting kalau ia sudah menghadap Kaisar Beng Ong kelak.
Bouw Ki mengajaknya kembali duduk di bangku dekat kolam ikan dan dia pun menceritakan keadaan ke luarga kepala pemberontak An Lu Shan yang kini telah mengangkat diri sendiri menjadi kaisar itu. An Lu Shan pernah berselisih dengan puteranya, An Kong, karena urusan wanita! Memang sesungguhnya amat memalukan dan tidak pantas.
Mereka memperebutkan seorang gadis istana yang tak sempat melarikan diri dan menjadi tawanan. Akhirnya, gadis yang diperebutkan itu tewas membunuh diri dan terjadilah suatu perasaan tak senang antara ayah dan puteranya itu.
Perasaan tidak senang itu ditambah lagi ketika Pangeran An Kong yang didukung oleh beberapa orang pejabat tinggi, terutama sekali oleh Bouw-koksu, mengusulkan agar dia diangkat menjadi pangeran mahkota. Kaisar menolak usul itu, mengatakan bahwa dia masih muda, belum saatnya dia mengangkat seorang calon penggantinya. Apa lagi, baru saja dia menjadi kaisar!
"Demikianlah, sumoi. Biarpun pada lahirnya tidak nampak sesuatu, akan tetapi sebetulnya, terdapat perasaan tidak puas di hati Pangeran An Kong terhadap ayahnya, dan perasaan curiga dan kecewa di hati kaisar terhadap puteranya itu. Aku sendiri tidak senang dengan adanya kenyataan ini, akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanya seorang panglima, bahkan ayahku agaknya menjadi pendukung Pangeran An Kong. Ah, aku menjadi bingung, dan karena itulah maka tadi kukatakan kepada mu bahwa aku lebih senang tetap berada di Khitan."
Percakapan mereka terhenti ketika muncul Nyonya Bouw Hun yang mengajak Kim Hong, untuk mengobrol dengannya didalam rumah. Sementara itu, Pangeran An Kong yang menyusul Bouw Koksu, bertemu dengan pembesar itu diluar istana.
Bouw Koksu baru saja meninggalkan istana dan Pangeran An Kong segera mengajaknya bicara di istana pangeran itu. Kini mereka duduk di dalam kamar rahasia, di mana mereka dapat bicara tanpa khawatir didengar atau diliihat orang lain.
"Saya menghaturkan selamat, Pangeran. Memang agaknya para dewata membantu Pangeran dan paduka memang sudah ditakdirkan untuk menjadi kaisar yang akan diakui oleh seluruh rakyat. Pusaka itu telah saya dapatkan, Pangeran!" kata Bouw Hun yang kini lebih dikenal dengan sebutan Bouw Koksu (Guru Negara Bouw).
Pangeran itu tersenyum dan wajah nya berseri. "Benarkah engkau sudah berhasil mendapatkan Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala), tanda kekuasaan kasar itu, pa man Bouw?"
"Bendanya sendiri belum, Pangeran, akan tetapi peta tempat penyimpanan benda itu telah saya peroleh, walaupun dengan harga mahal sekali. Sepuluh ribu tail harus saya keluarkan untuk membeli peta itu."
"Uang tidak menjadi persoalan. Ceritakan bagaimana pusaka tanda kekuasaan kaisar itu dapat kau peroleh?"
Bouw Hun lalu menceritakan bahwa semula mestika burung hong kemala itu oleh kaisar Beng Ong diserahkan kepada Menteri Yang Kok Tiong untuk disimpan. Kemudian, di pos penjagaan Ma-wei, para perajurit yang marah membunuh menteri itu. Kaisar sudah menyuruh Panglima Kok Cu mencari pusaka itu, namun tdak pernah dapat ditemukan. Ternyata pusaka itu oleh Menteri Yang Kok Tiong, diam-diam disembunyikan, ditanam di sebuah tempat rahasia ketika rombongan kaisar yang lari mengungsi itu lewat di sebuah bukit.
Yang Kok Tiong menyerahkan sebuah peta dari tempat rahasia itu kepada seorang pelayan yang disuruhnya kembali ke kota raja dan menyerahkan peta itu kepada puteranya, yaitu Yang Cin Han kalau puteranya itu kelak kembali ke kota raja.
"Souw Lok, pelayan Menteri Yan Kok Tiong itu tahu bahwa peta itu amat berharga, maka dia menjualnya kepada saya dengan harga selaksa tail."
"Bagaimana kalau ternyata peta itu palsu dan pusakanya tidak dapat ditemukan? Orang itu mungkin hanya seorang penipu....."
"Baik, engkau boleh meninggalkanku, akan tetapi engkau harus lebih dahulu menyempurnakan ilmu tongkat yang terakhir kuajarkan kepadamu."
"Tai-hong-pang (Tongkat Angin Ribut)? Wah, sukar sekali, suhu...."
"Tidak ada kata sukar bagi orang yang penuh semangat. Kalau engkau sudah menyempurnakan ilmu tongkat itu sehingga mampu menandingiku selama lima puluh jurus dan tidak sampai roboh olehku, baru engkau boleh pergi. Kalau engkau diam-diam meninggalkan aku, aku akan mencarimu dan membunuhmu! Nah, aku sudah bicara, laksanakan!"
Melihat sikap gurunya, Cin Han tidak berani membantah. Dan saat itu juga, dia pergi ke belakang kuil tua dan berlatih ilmu silat tongkat yang baru dipelajarinya itu dengan tekun. Ilmu tongkat itu sukar bukan main, akan tetapi hasilnya juga luar biasa. Kalau gurunya yang memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Angin Ribut itu, maka angin menyambar-nyambar seperti badai menyerang! Dia sudah dapat membuat tongkatnya bergerak mendatangkan angin kuat, akan tetapi belum dapat sambung menyam bung seperti kalau suhunya yang bersilat.
Siang malam Cin Han berlatih ilmu tongkat itu, hanya berhenti untuk makan kalau sudah lapar sekali dan tidur kalau sudah mengantuk sekali. Diapun tiada hentinya minta petunjuk gurunya. Dengan ketekunan yang luar biasa, semangat yang bernyala-nyala, akhirnya dalam waktu sebulan saja, Cin Han sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga ketika Sin-tung Kai-ong mengujinya, dia mampu menahan tongkat suhunya selama lima puluh jurus!
"Bagus! Sekarang aku tidak khawatir lagi melepasmu, Cin Han Ketahuilah bahwa sebulan yang lalu aku sengaja menahanmu dan lihat hasilnya. Engkau berlatih dengan tekun sekali sehingga dalam waktu sebulan engkau sudah dapat menguasai Tai-hong-pang dengan baik. Sebulan yang lalu, terus terang saja, aku masih merasa khawatir membiarkan engkau pergi karena kalau bertemu lawan tangguh, engkau masih belum memiliki suatu ilmu yang benar-benar dapat diandalkan. Akan tetapi sekarang, dengan Tai-hong-tung, engkau akan dapat menjaga dirimu lebih baik. Nah, sekarang engkau boleh pergi, Cin Han."
Kalau sebulan yang lalu dia ingin sekali pergi meninggalkan gurunya untuk melihat keadaan orang tuanya di kota raja, sekarang begitu gurunya menyuruh dia pergi, Cin Han tertegun. Selama dua tahun ini, dia sudah akrab sekali dengan pengemis tua itu yang menjadi gurunya, juga pengganti orang tuanya, dan juga sahabat baiknya. Dan kini dia di suruh pergi!
"Tapi.... setelah urusan teecu selesai, ke mana teecu harus mencari suhu?"
Mendengar pertanyaan ini, Sin-tung Kai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, mau apa engkau mencariku? Apakah engkau akan hidup terus sebagai seorang pengemis? Tidak, Cin Han. Sudah cukup aku memberikan semua ilmuku kepadamu. Aku mempunyai tugas yang harus kau laksanakan dengan baik."
"Katakanlah, suhu. Perintah apa yang harus teecu kerjakan? Pasti akan teecu laksanakan sekuat dan semampu teecu!" kata Cin Han penuh semangat.
"Bagus! Aku tidak rela mendengar Kerajaan Tang dirobohkan oleh pemberontak An Lu Shan, seorang keturunan Khitan Turki! Aku ingin engkau menyusul kaisar yang melarikan diri ke barat, membantu kaisar menghadapi pemberontak!"
"Baik, suhu. Akan teecu laksanakan dengan taruhan nyawa!" jawab Cin Han yang menganggap bahwa tugas itu memang sudah sepantasnya. Andaikata tidak diperintah gurunya sekalipun, dia tentu akan membela kaisar dan menentang pemberontak.
"Akan tetapi ingat! Aku tidak ingin melihat engkau terperosok seperti ayahmu, tidak ingin engkau terseret ke dalam kelompok penjilat di istana yang saling memperebutkan kedudukan. Engkau membantu kaisar menentang pemberontakanya karena engkau berkewajiban untuk membela kebenaran dan keadilan, meredakan kekacauan demi ketenteraman dan mencegah penindasan yang dilakukan oleh pemberontak Khitan itu."
"Teecu mengerti, suhu. Teecu juga sudah muak melihat kepalsuan yang memenuhi istana, kemunafikan dan perebutan kekuasaan."
Pada hari itu juga, Cin Han meninggalkan gurunya. Karena muridnya bukan anggauta kai-pang (perkum pulan pengemis), maka Sin-tung Kai-ong mengijinkan muridnya berganti pakaian seperti biasa. Akan tetapi, rasanya sudah keenakan bagi Cin Han mengenakan pakaian tambal-tambalan itu, apa lagi, dia akan memasuki kota raja dan dia harus menyamar.
Kalau sampai memerintah pemberontak tahu bahwa dia adalah putera Menteri Yang Kok Tiong, tentu dia akan ditangkap dan dibunuh. Demikianlah, dia masih mengenakan pakaian tambal-tambalan seperti biasa, bahkan kini melengkapi dirinya dengan sebatang tongkat yang nampaknya saja buntut, namun kalau dia memainkan tongkat itu dengan ilmu tongkat Angin Ribut, akibatnya tentu akan hebat bagi lawannya.
* * *
Semua tamu yang sedang makan minum dalam rumah makan itu tidak ada yang menoleh dan memandang gadis yang baru saja memasuki rumah makan dengan mata terbelalak penuh kekaguman dan keheranan.
Gadis itu demikian cantik jelita dan gagah, dan pakaiannya yang serba hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin putih mulus. Dan gerak gerik gadis itu demikian lincah. Seorang gadis muda, baru sembilan belas tahun usianya, memasuki rumah makan besar seorang diri dengan sikap demikian santai dan bebasnya, tidak kelihatan rikuh sama sekali walaupun puluhan pasang mata seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Rumah makan itu merupakan rumah makan terbesar di kora raja Tiang-an. Semenjak kota raja itu diduduki pemberontak An Lu Shan yang mengangkat diri sendiri menjadi kaisar, rumah makan itu masih tetap buka karena mendapatkan dukungan dari seorang pembesar yang berkuasa dalam pemerintahan baru itu, dan harga makanannya amat mahal karena selain tidak ada rumah makan lain sebesar dan selengkap itu, juga masakannya serba mewah.
Hanya orang-orang yang memiliki banyak uang saja berani masuk ke rumah makan itu dan makan minum. Pada siang hari itu, tidak kurang dari tiga puluh orang makan di situ, terdiri dari para pedagang dan pejabat. Ada juga wanita yang ikut makan, akan tetapi mereka itu terdiri dari keluarga bangsawan yang lembut atau gadis-gadis penghibur yang genit, yang diajak oleh para pria yang hendak bersenang¬senang.
Maka, muncullah gadis berpakaian serba hitam itu amat menonjol, bukan hanya karena kecantikannya, akan tetapi juga karena ia sungguh berbeda dengan para wanita yang berada di situ. Ia sama sekali tidak nampak lembut, bahkan nampak gagah dan sinar matanya mencorong berani, juga sama sekali tidak genit, bahkan pada senyum di bibirnya terkandung sesuatu yang dingin dan galak.
Karena para pelayan sedang sibuk melayani banyak tamu, gadis berpakaian hitam itu menoleh ke sana sini mencari tempat kosong dan akhirnya ia menghampiri sebuah meja kosong yang berada di sudut kanan, Ia tidak perduli akan pandang mata semua orang yang ditujukan kepadanya, Ia sudah tahu betapa mata laki-laki sebagian besar berminyak kalau melihat gadis cantik, Ia tidak lagi merasa bangga, bahkan muak karena maklum bahwa kekaguman mereka itu mengandung berahi dan kenakalan, Ia hanya memandang ke kanan kiri, matanya mencari-cari dan akhirnya ia melihat seorang pelayan terdekat.
"Heii, bung pelayan, ke sinilah, aku hendak memesan makanan!" teriaknya dan suaranya yang merdu namun nyaring itu membuat orang-orang semakin tertarik, ia memang cantik jelita dan gagah, terutama sekali mata dan mulutnya.
Pada mata dan mulutnyalah terletak daya tarik yang paling kuat dan ke cantikannya nampak agak asing, seperti yang terdapat pada wanita-wanita peranakan. Seorang pelayan tergopoh menghampiri dan pelayan yang usianya sekitar tiga puluh tahun ini juga terheran melihat gadis itu duduk sendirian saja tanpa teman, tanpa pengawal pria.
"Nona hendak memesan apakah?" tanyanya sambil membungkuk, dengan kain lap di pundak.
"Berikan saja nasi putih dan tiga macam masakan yang paling lezat di restoran ini, dan anggur manis, juga air teh. Cepatan sedikit!" kata gadis itu.
Pelayan itu nampak tertegun. "Tiga macam masakan? Apakah nona menanti kawan?"
Gadis itu menoleh dan sinar matanya yang mencorong membuat pelayan itu undur selangkah. "Kawan? Apa maksud mu?"
"Tiga macam masakan itu banyak sekali, nona. Juga harganya amat mahal, apa lagi nona menghendaki yang paling lezat. Nona makan sendiri tidak akan habis dan membayarnya...."
"Tukk!" Gadis itu memukul meja dengan tangannya dan nampak sepotong emas di atas meja itu. "Apakah harganya lebih dari ini?"
Pelayan itu terbelalak, lalu tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. "Tentu saja tidak, nona.... maafkan saya, akan saya sediakan secepatnya." Diapun mundur untuk memenuhi pesanan gadis itu.
Sejak tadi, empat orang yang duduk menghadapi sebuah meja yang penuh masakan dan guci arak, memperhatikan gadis itu dan seorang di antara mereka, pria berusia lima puluhan tahun yang matanya sipit dan sejak tadi mengelus jenggot panjangnya dengan mata seperti hendak menelan gadis itu bulat bulat, segera berbisik kepada seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya.
Ada dua orang laki-laki tinggi besar yang berdiri di belakang pria ini dan melihat pakaian mereka berdua, jelas dapat diketahui bahwa mereka adalah sebangsa tukang pukul atau pengawal pria itu yang melihat pakaiannya tentu seorang pejabat. Tiga orang lainnya juga berpakaian pejabat, akan tetapi melihat sikap mereka terhadap pria berjenggot panjang, dapat diduga bahwa mereka merupakan orang-orang bawahan.
Agaknya pejabat itu makan minum ditemani tiga orang pejabat rendahan, dan dijaga oleh dua orang pengawal atau tukang pukul. Seorang bawahan yang tubuhnya kurus dan mukanya penuh jerawat, usianya sekitar tiga puluh tahun, mendengar pula bisikan itu dan diapun tersenyum.
"Biarkan saya yang membujuknya, tai-jin," katanya.
Pejabat itu mengangguk-angguk senang dan bawahannya itu la lu bangkit berdiri, menghampiri meja gadis berpakaian hitam itu dan menyeringai lalu berbisik. "Nona, engkau memperoleh kehormatan besar sekali. Hari ini engkau seperti kejatuhan bulan dan aku mengucapkan selamat atas keberuntungan mu, nona."
Gadis itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong. "Hemm, apakah engkau ini mabok! Atau memang miring otakmu? Pergilah, aku tidak mengerti apa yang kau ocehkan!"
Mendapat tanggapan seketus itu, si kurus kering menjadi merah mukanya, akan tetapi diapun memandang marah. "Ihh, tak tahu diuntung! Kau lihat dia itu, nona. Dia adalah Wong¬taijin (Pembesar Wong), kedudukannya tinggi, berkuasa dan kaya raya. Dia tertarik kepadamu dan dia mengundangmu untuk duduk semeja dengan dia."
Gadis itu mengerling ke arah meja yang ditunjuk dan melihat si jenggot tersenyum menyeringai, memperlihatkan gigi yang hitam karena tembakau dan mengangguk-angguk kepala dengan sikap angkuh akan tetapi genit.
"Katakan padanya bahwa melihat mukanya saja aku sudah muak, kalau makan bersamanya aku dapat muntah. Pergilah!" kata gadis itu kepada si kurus kering, suaranya tidak lirih lagi sehingga dengan mudah dapat terdengar oleh mereka yang duduk di meja lain sehingga banyak di antara mereka yang memandang khawatir. Gadis itu berani menghina Wong-Taijin!
Si kurus kering muka jerawat yang mendengar usiran itu, terbelalak akan tetapi dasar dia seorang penakut, diapun melangkah kembali ke meja atasannya, sikapnya seperti seekor anjing pergi ketakutan menekuk ekornya.
"Kalian bawa dia ke sini!" kata pembesar Wong dengan muka kemerahan ke pada dua orang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar.
Mereka adalah kakak beradik, jagoan-jagoan yang diangkat sebagai pengawal oleh Wong Taijin, seorang yang menjabat kedudukan jaksa, jabatan yang memiliki kekuasaan besar dan ditakuti dalam pemerintahan baru itu.
Dua orang jagoan itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya memiliki tubuh yang tinggi besar berotot, yang seorang berkepala botak yang kedua brewok menakutkan, dan di pinggang mereka tergantung golok besar. Baru melihat saja orang tentu akan merasa gentar, apa lagi kalau mereka memandang dengan mata melotot dan wajah beringas.
Dengan langkah lebar, dua orang jagoan itu menghampiri meja gadis berpakaian hitam. Si brewok berkata, "Nona, majikan kami minta agar nona duduk semeja dengan beliau!"
Gadis itu hanya mengerling dan mendengus sambil membuang muka. "Huh, kalian menyebalkan. Pergilah!"
Tentu saja si brewok menjadi marah. Kalau saja majikannya tidak menyuruh dia membawa gadis itu ke meja majikannya, tentu telah dijambak rambut gadis itu dan diseretnya. Dia tahu bahwa majikannya tertarik kepada gadis ini, maka dia tidak berani bersikap kasar, apa lagi menyakitinya.
"Nona, kalau engkau tidak mau, terpaksa akan kuangkat bersama kursi yang nona duduki," berkata demikian, dia memegang sandaran kursi itu.
"Hemm, macam kamu ini kuat mengangkatku?" gadis itu mengejek.
Si brewok menjadi marah dan dia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan mengangkat kursi itu. Dia merasa yakin akan mampu mengangkat kursi itu bersama gadis yang duduk di atasnya. Apa lagi baru gadis mungil yang tentu amat ringan itu, biar ditambah dua orang lagipun dia akan mampu mengangkatnya.
Akan tetapi, terjadi keanehan yang bukan saja mengejutkan si brewok, melainkan juga mengherankan temannya yang botak dan empat orang pembesar yang duduk di meja sebelah. Biarpun dia mengerahkan tenaga sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, namun kursi itu tidak dapat terangkat! Sedikitpun tidak bergerak, apa lagi terangkat!
Melihat keanehan itu, Jaksa Wong segera berkata kepada si botak. "Bantu dia!"
Kini si botak, walaupun agak sungkan dan malu harus menggunakan tenaga dua orang untuk mengangkat seorang gadis mungil saja, melangkah maju dan ikut memegang kursi itu lalu mengerahkan tenaga bersama temannya. Mereka mengerahkan tenaga dalam waktu yang sama, mencoba untuk mengangkat kursi itu.
"Aughhhh krekkkk!!"
Keduanya terhuyung dan hampir terpelanting ketika sandaran kursi itu patah, akan tetapi gadis itu masih tetap duduk dengan santai sambil memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. Kini semua orang terkejut dan heran. Baru kemunculannya seorang diri di rumah makan itu saja sudah menimbulkan keheranan, dan kini ditambah lagi gadis itu berani menghina Jaksa Wong, dan lebih-lebih lagi kini gadis itu mampu bertahan di kursinya dan dua orang tukang pukulnya itu tidak mampu meng angkatnya!
Hal ini tidak akan mengherankan bagi siapa yang mengenal gadis itu karena ia bukan lain adalah Can Kim Hong, murid tersayang dari Hek liong Kwan Bhok Cu! Gurunya memang sudah memesan agar ia berhati-hati dan tidak menonjolkan kepandaiannya di kota raja. Dan Kim Hong pun tadinya tidak ingin memamerkan kepandaiannya, hanya ingin makan di restoran besar itu karena dari luar saja bau masakannya sudah semerbak keluar dan membuat perutnya terasa lapar. Akan tetapi, kalau ada orang-orang bersikap keterlaluan kepadanya, hendak menghinanya, tentu saja gadis yang berwatakkeras initidak mungkin tinggal diam saja.
"Hemm, kalian dua ekor monyet busuk. Pergilah kalian bersama majikan kalian si kambing bandot jenggot panjang itu. Kalian semua memualkan perut ku, dan aku lapar hendak makan. Jangan ganggu aku!" kata Kim Hong dan iapun berpindah ke kursi yang tidak rusak, duduk menghadapi meja dan membelakangi mereka seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Semua orang menjadi pucat dan yang nyalinya kecil sudah cepat-cepat membayar harga makanan dan meninggalkan restoran itu. Gadis itu telah berani memaki Jaksa Wong sebagai kambing bandot jenggot panjang! Bukan main! Pasti akan hebat akibatnya.
Bukan hanya dua orang tukang pukul itu saja jagoan si jaksa, bahkan dia mampu mengerahkan pasukan untuk menangkap gadis itu! Para tamu tidak ingin terbawa-bawa dalam urusan gawat itu, maka dalam waktu singkat restoran itu telah ditinggalkan para tamu. Yang berada di situ hanya tinggal Kim Hong, empat orang bersama dua orang tukang pukul itu. Bahkan para pelayan dan pengurus rumah makan sudah pergi entah ke mana!
Jaksa Wong baru pertama kali ini mengalami hal yang amat memalukan dan menghinanya. Biasanya, gadis manapun tidak akan ada yang berani menolaknya. Hampir semua gadis cantik yang tidak sempat melarikan diri ketika pemberontak menyerbu, menjadi korban keganasan para pemenang.
Sebagian besar, yang tercantik, menjadi rebutan di antara para pejabat, dipaksa menjadi selir mereka, dan sebagian pula dijadikan perebutan antara para perajurit sehingga mereka itu bukan saja mengalami penghinaan yang tak terbayangkan ngerinya, bahkan juga akhirnya mereka tewas secara menyedihkan.
Hanya para puteri pihak pemenang dan hartawan yang dapat menyogok sajalah yang selamat dari penghinaan dan perkosaan. Kini, Jaksa Wong ditolak, bahkan dihina, dimaki oleh seorang gadis biasa. Tentu saja darah naik ke kepalanya, dan dengan mata melotot dia menudingkan telunjuk kanannya kepada Kim Hong.
"Perempuan rendah, berani engkau menghina kami? Tidak tahukah engkau bahwa engkau berhadapan dengan Jaksa Wong? Cepat berlutut dan minta ampun, atau aku akan menyuruh orang-orangku menelan jantungmu dan menyeretmu sepanjang jalan, kemudian kuberikan engkau kepada mereka untuk dikeroyok sampai mampus!"
Ancaman ini sungguh mengerikan, akan tetapi membuat Kim Hong menjadi semakin marah. Makian, itu saja sudah menunjukkan macam apa orang yang dihadapinya itu. "Biar engkau jaksa atau dewa sekalipun, aku tidak perduli. Yang kulawan bukan kedudukanmu, melainkan orangnya. Engkau orang yang jahat, kasar, suka menghina wanita, dan pantas dihajar. Andaikata engkau seorang pengemis sekalipun, kalau baik hati, tentu akan kuhormati!" Kim Hong juga menudingkan telunjuknya ke arah muka pejabat itu.
"Keparat! Tangkap dia!" teriak Jaksa Wong kepada dua orang pengawalnya.
Dua orang laki-laki tinggi besar itu memang sudah merasa penasaran sekali dan ingin menebus kekalahannya tadi. Mereka tetap tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap gadis itu yang ditaksir majikan mereka. Akan tetapi kini, majikan mereka telah memerintahkan mereka untuk menangkap gadis itu! Keduanya menyeringai dan dengan langkah perlahan seperti dua ekor binatang marah, mereka menghampiri Kim Hong dari belakang dengan kedua lengan di kembangkan, siap untuk menubruk dan mendekap gadis cantik mungil itu!
Kim Hong pura-pura tidak melihat mereka, ia sedang jengkel karena sejak tadi, pesanannya belum juga dihidangkan. "Heiii, bung pelayan! Di mana kamu? Mana pesananku? Kurang ajar, kenapa tidak ada orang sama sekali? Aku akan mengambil dan memasak sendiri hidangan itu didapur kalau kalian tidak cepat mengeluarkannya. Perutku sudah lapar!" ia berteriak-teriak lantang, tidak memperdulikan dua orang tinggi besar yang menghampirinya dari kanan kiri itu.
Akan tetapi, begitu kedua orang itu bergerak hendak menubruknya, tangannya cepat menyambar dua batang sumpit dan sekali kedua tangan itu bergerak, sumpit-sumpit itu menyambar ke arah dua orang yang menubruknya. Harus diingat bahwa keistimewaan gadis ini adalah mempergunakan Hui-kiam (Pedang terbang), maka sambitan sumpitnya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Dan dua orang tukang pukul itu roboh terjengkang, mengaduh-aduh memegangi paha kanan mereka yang ditembusi sumpit dan terasa nyeri bukan main. Mereka tidak dapat bangkit berdiri dan hanya mengaduh-aduh, tidak berani mencabut sumpit yang masih menembus paha mereka, takut kalau-kalau akan menjadi semakin nyeri!
Tentu saja Jaksa Wong terkejut bukan main, demikian pula tiga orang bawahannya. Mereka berempat serentak bangkit berdiri dan dengan muka pucat hendak berlari keluar. Akan tetapi, sekali menggerakkan kedua kakinya, Kim Hong sudah berkelebat dan yang nampak hanya bayangan hitam dan tahu-tahu ia telah berdiri menghadang empat orang itu. ia tersenyum mengejek, akan tetapi matanya mencorong.
"Kambing bandot, engkau tidak boleh lari begitu saja!" katanya dan sekali tangannya bergerak, Kim Hong sudah menyambar jenggot panjang itu dan membetotnya. Jaksa Wong berteriak kesakitan dan tubuhnya tertarik ke depan akan tetapi Kim Hong menyambut dengan tendangan ke dada sambil menarik jenggot itu kuat-kuat.
"Dukk! Prett.....!"
Tubuh Jaksa Wong terjengkang dan jenggotnya jebol tertinggal di tangan Kim Hong. Tentu saja kulit dagunya terkelupas dan berdarah, dan dadanya terasa sesak. Jaksa Wong menangis! Tangan kiri meraba dagu, tangan kanan menekan dada dan dia menangis karena kesakitan dan ketaku tan. Tiga orang bawahannya hendak melarikan diri, akan tetapi tiga kali kaki Kim Hong menendang dan merekapun terlempar dan menimpa meja kursi!
Kim Hong berteriak lagi memanggil pelayann dan ketika tidak ada pelayan muncul, iapun dengan seenaknya memasuki dapur. Dilihatnya koki gendut bersembunyi di balik gentong dan dibentaknya orang itu. "Hayo cepat bikinkan masakan yang enak untukku atau engkau yang akan kusembelih dan dagingmu kupangang!"
Koki itu tentu saja ketakutan dan dengan tubuh menggigil dan kedua tangan gemetar dia melaksanakan perintah Kim Hong. Gadis ini marah dan jengkel sekali. Perutnya amat lapar dan orang-orang telah mengganggunya, ia tidak perduli lagi ketika dua orang tulang pukul menyeret kaki mereka keluar dari rumah makan mengikuti majikan mereka yang juga terhuyung-huyung keluar bersama tiga orang bawahannya.
Juga Kim Hong tidak perduli betapa rumah makan yang sekarang kosong menjadi pusat perhatian orang yang berkerumun di luar rumah makan. Setelah hidangan matang, iapun makan minum seorang diri, tidak memperdulikan keadaan di luar yang semakin ribut karena berita tentang seorang gadis yang memukul Jaksa Wong dan kaki tangannya di rumah makan itu telah telah tersiar dengan cepat, menarik perhatian banyak orang karena berita itu sungguh luar biasa sekali.
Baru saja Kim Hong selesai makan, muncul belasan orang perajurit di pimpin oleh Wong Taijin sendiri yang kelihatan marah-marah. Pembesar ini masih kesakitan, jenggotnya lenyap dan dagunya yang tadi terluka kini sudah dibalut sehingga dia nampak lucu sekali. Telunjuknya menuding-nuding ke dalam rumah makan dan suaranya terdengar pelo karena dagunya dibalut.
"Tangkap perempuan itu! Tangkaaaap..., telanjangi ia, seret sepanjang jalan agar semua orang melihat pemberontak itu!"
Tujuhbelas orang yang dipimpin seorang perwira memasuki rumah makan. Ketika mereka melihat bahwa di dalan rumah makan itu hanya ada seorang gadis cantik sedang duduk dengan sikap tenang, mereka menjadi ragu. Haruskah mereka, tujuhbelas orang perajurit pilihan, mengeroyok seorang gadis?
Perwira pasukan keamanan itu bagaimanapun juga masih memiliki keangkuhan dan harga diri. Dengan pedang melintang depan dada, diapun berkata kepada Kim Hong yang masih duduk dengan tenang, "Nona, sebaiknya kalau nona menyerah saja dengan baik-baik agar kami tidak harus mempergunakan kekerasan terhadap seorang gadis."
Kim Hong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang dan ia lebih sabar karena perutnya sudah kenyang dan masakan tadi memang lezat sekali. "Sungguh mati, aku merasa heran sekali. Kalian ini orang-orang gagah kenapa diperintah oleh kambing bandot jenggot buntung yang menjemukan itu? Tidak malukah kalian?"
"Tangkap, seret dan telanjangi perempuan itu!" Wong Taijin mencak-mencak saking marahnya mendengar penghinaan itu.
"Hemm, kalau ada yang berani majulah! Aku akan menghajar kalian orang orang yang suka menghina wanita, dan sekali ini aku tidak mau bersikap lunak lagi. Heii, bandot keparat, majulah dan aku akan mengirim nyawamu ke neraka jahanam!"
Akan tetapi sebelum para perajurit yang ragu-ragu itu sempat bergerak, tiba-tiba dari luar masuk seorang pria yang gagah perkasa. Seorang pria bertubuh tinggi besar, kulitnya hitam mukanya brewok dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pejabat tinggi.
"Apa yang terjadi di sini?" Suaranya nyaring dan parau, akan tetapi semua perajurit cepat memberi jalan dan memberi hormat kepada si tinggi besar ini. Bahkan Wong Taijin sendiri terkejut melihat orang itu dan cepat memberi hormat dengan membungkukkan tubuh seperti pisau lipat.
"Jaksa Wong, kau di sini? Kenapa itu muka mu? Mana jenggotmu yang panjang itu? Apa sih yang terjadi di sini?"
"Maaf, Yang Mulia... eh.,... kami sedang hendak menangkap seorang wanita pemberontak! Ia telah melukai saya dan pengawal saya, dan ia bahkan masih berani menghina kami. ia harus ditangkap dan dihukum berat!" kata jaksa itu.
Pria tinggi besar itu terbelalak "Ehh? Ada yang begitu berani? Wanita malah? Bukan main! Mana ia?"
"Itu orangnya, Yang Mulia, gadis setan itulah pemberontaknya."' Jaksa Wong menuding ke arah Kim Hong yang berdiri bengong memandang pria tinggi besar berkulit hitam yang disebut Yang Mulia oleh Jaksa itu.
Pria itu memutar tubuh memandang ke dalam dan bertemulah dua pasang mata itu, dan pria itu mengeluarkan seruan heran. "Kau... Kim Hong...!"
"Suhu...!"
Kim Hong cepat memberi hormat dan hatinya merasa terharu bercampur heran. Terharu karena bagaimanapun juga, orang tua ini pernah memelihara dan mendidiknya penuh kasih sayang sehingga ia pernah menganggap kepala suku Khitan ini sebagai pengganti orang tuanya sendiri, dan ia merasa heran bagaimana sekarang gurunya itu disebut Yang Mulia oleh seorang pejabat tinggi!
"Apakah suhu dalam keadaan sehat saja?" akhirnya ia bertanya.
"Kim Hong, aihh, kiranya engkau...! Betapa rindu kami kepadamu." lalu Bouw Hun, laki-laki tinggi besar itu, membalik dan menghadapi jaksa Wong yang terbelalak dan mukanya berubah pucat.
"Jaksa Wong! Apa-apaan ini? Gadis ini adalah muridku yang tersayang, dan engkau berani mengatakan bahwa ia pemberontak! Gilakah engkau?"
"Ampun, Yang Mulia.... saya..... saya tidak tahu dan ia ia memukul dan menghina saya....." tubuh jaksa itu gemetar ketakutan.
Siapa yang tidak akan takut berhadapan dengan Kok Su (guru negara atau penasihat Kaisar) yang amat ditakuti karena berjasa dan berkuasa besar itu? Jangankan baru Wong Taijin, seorang jaksa, bahkan para menteri sekalipun segan dan takut kepada Bouw Kok-su ini.
"Kenapa ia memukul mu? Hayo jawab! Pasti gadis ini belum gila, memukul tanpa sebab. Nah, katakan, apa sebabnya ia memukul itu?"
Wong Taijin semakin ketakutan. "Saya... saya.... tidak apa-apa, Yang Mulia... saya hanya.... mengundang ia untuk makan minum bersama kami...."
"Hemm, aku tahu orang macam apa engkau ini!" Bouw Hun membentak marah. "Sudah kudengar bahwa engkau sering mempermainkan wanita. Engkau tentu mengganggunya, maka muridku menjadi marah. Kim Hong, apa yang dia lakukan kepadamu?"
Kim Hong tersenyum. "Tidak apa, suhu, aku sudah menghajarnya cukup setimpal. Dia hendak memaksaku makan minum dengan dia, aku menghajar dia dan kaki tangannya, akan tetapi dia datang lagi membawa pasukan."
"Jahanam kau, berani mengganggu muridku?" Bouw Hun membentak.
Wong Taijin hampir terkencing-kencing saking takutnya. "Ampunkan saya.... saya tidak tahu.... ampunkan..."
"Hayo berlutut dan minta ampun kepada murid ku," bentak Bouw Hun.
Pembesar itu tanpa malu-malu lagi menjatuhkan diri berlutut menghadap Kim Hong dan mengangguk-angguk. "Ampunkan saya, nona, ampunkan saya...."
Akan tetapi Kim Hong tidak memperdulikannya. "Suhu, bagaimana suhu dapat berada di sini dan agaknya menjadi pembesar?" tanyanya kepada Bouw Hun membiarkan saja Wong Taijin yang masih berlutut dan mengangguk-angguk.
"Mari ikut pulang, Kim Hong. Kita bicara di rumah," kata Bouw Hun dan dia menggandeng tangan muridnya lalu mengajak muridnya meninggalkan rumah makan itu.
Wong Taijin yang masih berlutut, menjadi merah sekali mukanya. Dia bangkit berdiri, mengepal tinju, merasa malu bukan main dan diam-diam diapun mengutuk di dalam hatinya, menyumpah-nyumpah dan berjanji bahwa sekali waktu dia akan membalas dendam ini kepada Bouw Kok-su, betapa mustahilnya hal itu nampaknya.
Lalu diapun pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, membuat perwira yang memimpin pasukan menjadi bengong, tak tahu harus berbuat apa dan akhirnya mengajak pasukannya pergi meninggalkan rumah makan itu. Barulah keadaan menjadi normal kembali dan rumah makan itu mulai dikunjungi tamu lagi, dan peristiwa tadi hanya tinggal menjadi kenangan dan gunjingan orang saja.
Banyak orang merasa senang melihat betapa Wong Taijin mengalami hajaran yang cukup hebat, bukan saja jenggotnya dicabut sehingga dagunya robek, juga menerima penghinaan, dipaksa berlutut minta ampun kepada seorang gadis di depan banyak orang. Banyak orang merasa tidak suka kepada pembesar ini yang terkenal galak, sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya sebagai jaksa.
Sedikit-sedikit menuntut orang. Diminta anak gadisnya tidak diberikan saja dituntut dengan bermacam alasan, sebagai pemberontak, penjahat dan sebagainya. Dia terkenal menerima sogokan dari para hartawan, dan tidak segan dia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah dalam urusan pengadilan, semua itu karena kekuasaan uang sogokan.
Banyak sekali bukti bahwa orang yang suka menjilat keatas, tentu suka menginjak ke bawah. Orang yang mencari muka dan amat takut kepada atasannya, bukan taat melainkan takut dan menjilat, orang seperti itu biasanya menginjak dan menindas bawahannya.
Orang seperti ini pada hakekatnya seorang pengecut dan mudah menjadi besar kepala dan sewenang-wenang kalau memperoleh kedudukan yang memberinya sedikit kekuasaan. Dan demikian pula Jaksa Wong. Dia merasa malu dan terhina sekali, dan diam-diam dia menanam dendam di dalam hatinya.
Maklu m bahwa pangkatnya jauh kalah tinggi dibandingkan Bouw Koksu, dia tahu bahwa hanya dengan cara yang licik dan licin, yang teratur rapi dan terdapat kesempatan baik saja lah, maka dia akan ma mpu membalas dendamnya. Dan dia bersabar hati, seperti sabarnya seekor musang yang menanti munculnya ayam keluar dari dalam kandangnya.
Bagaimana Bouw Hun, kepala suku Khitan, dapat menjadi Kok-su (guru negara) di kota raja? Hal ini tidaklah mengherankan karena sejak pertama kali An Lu Shan memberontak, dia telah menjadi pembantu utama panglima pemberontak itu. An Lu Shan sendiri adalah seorang peranakan Khitan Turki, dan dari darah ibunya, dia masih terhitung sanak dengan Bouw Hun.
Oleh karena itulah, dia menarik Bouw Hun dan anak buah kepala suku Khitan itu menjadi sekutu dan karena jasa Bouw Hun dan Bouw Ki besar ketika pasukan mengadakan penyerbuan ke kota raja, maka ketika An Lu Shan mengangkat diri menjadi kaisar, dia mengangkat Bouw Hun menjadi kok-su, dan Bouw Ki diangkat menjadi seorang panglima muda!
Kim Hong terkagum-kagum ketika diajak masuk ke dalam sebuah gedung besar kuno yang amat indah. Hal ini tidak mengherankan karena gedung yang kini menjadi tempat tinggal Bouw Kok-su adalah bekas tempat tinggal Menteri Utama Yang Kok Tiong! Gedung kuno yang besar, megah dan masih lengkap prabot rumahnya yang serba mewah.
Nyonya Bouw Hun, seorang wanita Khitan yang sudah berusia empatpuluh tujuh tahun akan tapi berkulit putih dan masih cantik menyambut Kim Hong dengan rangkulan mesra. Wanita ini memang amat menyayang Kim Hong seperti anak sendiri. Sejak masih kecil sekali, belum juga berusia lima tahun, Kim Hong telah dirawat dan di didik suaminya, hidup dalam keluarga itu sebagai murid, akan tetapi seperti anak sendiri bagi Bouw Hun dan isterinya.
Kepergian Kim Hong secara diam-diam itu sempat membuat Nyonya Bouw Hun berhari-hari menangis sedih dan kini melihat suaminya kembali bersama serang gadis cantik berpakaian serba hitam, ia segera mengenal Kim Hong dan merangkulnya, dan Kim Hong juga sempat meneteskan air mata ketika dirangkul oleh nyonya itu dengan mesranya.
"Kim Hong... ah, ke mana saja engkau pergi selama ini, anakku?" nyonya itu menciumi pipi gadis itu yang menjadi terharu sekali. ia merasa seolah bertemu dengan ibunya sendiri.
"Aku... aku merantau dan mencari pengalaman, bibi," katanya, la memang selalu menyebut bibi kepada isteri gurunya itu.
"Kau sekarang bertambah dewasa, bertambah cantik!" wanita itu memuji. "Kakakmu tentu akan gembira sekali melihat mu!"
Kim Hong teringat kepada Bouw Ki dan jantungnya berdebar. Bouw Ki yang membuat ia terpaksa minggat karena suhengnya itu hendak memaksanya menjadi selirnya!
Pada saat itu terdengar suara langkah kaki dari luar disusul seruan yang lantang, "Eh, ibu, siapakah gadis cantik itu? Perkenalkan kepadaku, ibu!"
Bouw Ki! Masih periang dan masih mata keranjang seperti biasa, pikir Kim Hong. Dan pemuda itupun muncul. Usia Bouw Ki sudah duapuluh tujuh tahun. Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak semakin gagah dengan pakaian panglimanya yang gemerlapan! Dan wajah yang tampan dengan kumis melintang terpelihara rapi, dan matanya tajam seperti mata burung rajawali. Mata itu terbelalak, lalu berkilat-kilat ketika menjelajahi wajah gadis berpakaian hitam itu.
"Kim Hong....? Haiiii! Engkau benar Kim Hong....! Engkau semakin cantik saja, adik Hong!" katanya dan seolah-olah dia ingin menubruk dan merangkul gadis itu.
Akan tetapi Kim Hong sudah mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat. "Kakak Bouw Ki, bagaimana keadaanmu? Sehat-sehat saja, bukan?"
"Sehat? Aku? Lihatlah sendiri!" Dia mengembangkan kedua lengannya, memamerkan keadaan diri dan pakaiannya. "Bukan hanya sehat, aku telah menjadi seorang panglima, Kim Hong! Dan ayah telah menjadi Kok-su! Kami menjadi keluarga bangsawan tinggi, dekat dengan kaisar! Aha, tentu engkau girang sekali, bukan?"
"Tentu saja, suheng," kata Kim Hong sejujurnya.
"Aih, dahulu engkau melarikan diri dan menolakku, sekarang, sudah tiba saatnya engkau menjadi anggauta keluarga kami, menjadi isteri ku! Tentu ayah sekarang menyetujui Kim Hong menjadi isteriku, bukan begitu, ayah?"
Kim Hong terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. "Suheng, harap jangan berkata seperti itu. Aku tadi bertemu ayahmu dan aku ikut suhu ke sini karena akupun sudah rindu kepada keluarga suhu. Aku hanya singgah saja, bukan untuk menetap di sini."
"Tapi , sumoi......"
"Aihh, Bouw Ki! Engkau ini apa-apaan sih?" Tegur ibunya. "Adikmu baru saja tiba, dan engkau sudah bicara yang bukan-bukan tentang pernikahan. Mengapa engkau begitu tergesa-gesa seperti dikejar setan?"
"Bouw Ki, jangan membuat adikmu menjadi resah. Baru saja ia mengalami urusan yang membuatnya marah, dan kalau aku tidak cepat muncul, tentu ia membuat geger dan akan menjadi pusat perhatian orang di kota raja."
Kini pemuda yang gagah itu membelalakan matanya. "Wah, jadi engkaukah gadis di rumah makan yang telah memukul dan menghina Jaksa Wong itu, sumoi? Engkaukah orangnya?"
Kim Hong mengangguk. "Ha-ha-ha, alangkah lucunya! Si kura-kura itu memang pantas menerima hajaran den engkau yang melakukannya. Ha-ha, aku puas! Dan engkau mengagumkan sekali, Kim Hong, membuat aku semakin jatuh cinta. Katakanlah bahwa engkau sengaja datang ke kota raja untuk mencariku, dan menerima pinanganku."
"Bouw Ki, engkau sudah mempunyai lima orang selir, masihkah begitu kehausan? Biarkan Kim Hong beristirahat dulu, bahkan ia belum menceritakan pengalamannya selama dua tahun Ini," kata Bouw Hun dengan suara datar, seolah berita tentang puteranya memiliki lima orang selir itu merupakan hal biasa bagi para pendengarnya.
Dia tidak tahu betapa Kim Hong muak mendengar ucapan itu. Memang pada jaman itu, kaum pria amat meremehkan martabat wanita sehingga wanita disa ma kan dengan benda-benda berharga saja, seperti benda yang indah dan mahal, atau seperti peliharaan yang langka, seekor burung dewata misalnya, atau seekor kucing dari negara barat! Sukar bagi mereka membayangkan bahwa wanita juga memiliki harga diri, memiliki perasaan dan matabat.
"Kim Hong, sekarang ceritakanlah pengalamanmu, kami ingin sekali mendengarnya," kata Nyonya Bouw Hun.
Mereka berempat duduk di ruangan dalam, dan Kim Hong lalu menceritakan pengalamannya dengan singkat bahwa ia menjadi murid seorang sakti, yaitu Hek-liong Kwan Bhok Cu dan selama dua tahun ini belajar ilmu silat dari gurunya. Setelah selesai belajar, ia mendengar tentang keributan di kota raja dan ingin melihat-lihat keadaan setelah perang selesai.
"Hemm, jadi tukang perahu berpakaian hitam bercaping lebar itukah yang menjadi gurumu?" tanya Bouw Hun kepada muridnya dengan alis berkerut, teringat betapa dia dan puteranya sama sekali tidak mampu menandingi orang sakti itu.
"Benar, suhu, dan beliau seorang pendekar gagu yang amat baik kepadaku."
"Aih, kalau begitu engkau sekarang tentu telah menjadi lihai bukan main, sumoi!" kata Bouw Ki sambil tersenyum. "Akan tetapi selama dua tahun ini, kalau engkau belajar silat, aku bahkan mempraktekkan dalam pertempuran dan perang, dan akupun memperoleh kemajuan pesat!"
"Suhu, kalau boleh aku mengetahui, bagaimana suhu sekeluarga dapat berada di sini dan tiba-tiba menjadi pejabat tinggi?" Kim Hong ingin sekali mengetahui.
Bouw Hun bangkit dan berkata. "Kim Hong, biar Bouw Ki saja yang menceritakan semua itu kepada mu. Aku harus pergi ke istana sekarang menghadap Kaisar." Lalu kepada isterinya dia berkata, "Suruh pelayan mempersiapkan pesta kecil untuk keluarga kita, menyambut pulangnya Kim Hong."
Setelah berkata demikian, Bouw Hun dengan sikap agungnya seorang pejabat tinggi, meninggalkan rumahnya. Nyonya Bouw juga pergi ke belakang untuk memerintahkan para pelayan menyiapkan pesta untuk menyambut Kim Hong.
"Sumoi, mari kita pergi ke taman dan di sana akan kuceritakan pada mu tentang semua pengalaman kami yang hebat," ajak Bouw Ki.
Kim Hong mengangguk dan merekapun keluar dan memasuki taman bunga luas indah yang berada di sebelah kiri bangunan besar itu. Kim Hong mengagumi taman itu yang memang amat indah, apa lagi pada waktu itu, musim semi belum habis dan bunga-bunga di taman sedang saling bersaing keindahan dengan bunga-bunga yang bermekaran.
Setelah berjalan-jalan mengagumi bunga-bunga dalam taman, Bouw Ki mengajak sumoinya duduk di bangku tepi kolam ikan emas, dan diapun menceritakan pengalaman dia dan ayahnya. Ayahnya di ajak bersekutu oleh Panglima An Lu Shan dan merekapun menyerbu ke barat.
Dia sendiri menjadi seorang komandan pasukan yang terdiri dari orang-orang Khitan dan dia sudah memperlihatkan kegagahannya dan membuat banyak jasa sehingga setelah gerakan pemberontakan itu berhasil, ayahnya diangkat menjadi kok-su dan dia sendiri diangkat menjadi panglima muda oleh An Lu Shan.
Kim Hong mendengarkan dengan kagum. "Kalau begitu, suhu telah menjadi seorang bangsawan besar, dan engkaupun telah menjadi seorang panglima muda yang mulia. Tentu senang sekali hidupmu, suheng, mulia dan mewah, dihormat orang dan memiliki kekuasaan besar.”
Bouw Ki menghela napas panjang dan berkata, wajahnya muram. "Enak bagaimana, sumoi? Aku lebih senang kalau saat ini, ayah masih menjadi kepala suku di Lembah Huang-ho, dan aku berada di sana bersamamu. Hidup rasanya lebih bebas dan tak banyak pusing seperti sekarang."
"Eh? Kenapa banyak pusing dan kenapa pula tidak bebas?"
"Aku diikat oleh kedudukan ku," Pemuda Khitan itu memandang pakaiannya yang dalam bulan-bulan pertama amat dibanggakan akan tetapi yang kini terasa seperti membelenggu dirinya itu. "Waktuku sudah disita oleh tugas pekerjaan, dan tentu saja pusing karena Kerajaan baru ini masih menghadapi banyak tantangan. Pertama, Kaisar Kerajaan Tang masih ada, dan kini di barat sedang menyusun kekuatan. Mereka pasti tidak akan menerima begitu saja dan selama kaisar dan keluarganya itu belum terbunuh, ancaman masih akan terus membayangi kota raja ini. Selain itu, yang lebih memusingkan lagi, adanya persaingan dan permusuhan yang secara diam-diam telah timbul di antara keluarga dan para pimpinan kerajaan baru ini."
"Eh, kenapa begitu? Bukankah Panglima Besar An Lu Shan telah menjadi kaisar dan semua pembantunya, termasuk engkau dan suhu, telah diberi kedudukan?"
"Banyak yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan kepada mereka. Ada yang merasa dirinya lebih berjasa dan timbul saling iri. Aku khawatir persaingan ini akan menghancurkan kita dari dalam. Aku... aku sungguh tidak puas dan tidak senang biarpun kini aku menjadi seorang panglima dari kerajaan besar. Masa depanku tidak begitu cerah, banyak tugas berat dan bahaya."
Kim Hong tersenyum. Suhengnya ini memang pernah menyakitkan hatinya karena hendak memaksanya menjacli selir, akan tetapi harus diakui bahwa suhengnya ini biarpun berhati keras, namun jujur, tidak seperti suhunya.
"Aih, suheng. Mungkin hanya mulutmu saja yang mengeluh, akan tetapi hatimu kegirangan. Bukankah kini engkau telah menjadi seorang bangsawan muda yang mulia, bahkan telah memiliki lima orang selir? Tidak hebatkah itu?" ia mengejek.
"Hemm, itu hanya usaha ayah dan ibu untuk menghiburku, untuk mengurangi kerinduanku kepadamu, sumoi. Akan tetapi, biar aku diberi seratus orang selir yang bagaimana cantikpun, hatiku tidak akan tenteram dan bahagia selama engkau belum mau menjadi isteriku."
Kim Hong mengerutkan alisnya, lalu tersenyum mengejek. "Aih, jadi engkau masih terus bertekad untuk memperisteri aku, biarpun aku sudah berulang kali menyatakan tidak mencintamu, melainkan suka kepadamu sebagai suheng, sebagai kakak. Apakah engkau dan ayah juga masih ingin melanjutkan usaha kalian memaksaku agar suka menjadi isteriku?"
Bouw Ki menghela napas panjang. "Sebetulnya, cara itu sama sekali tidak kusukai, sumoi. Aku ingin engkau menerima aku menjadi suamimu dengan suka rela, ingin kita menjadi suami isteri yang saling mencinta, bukan paksaan. Akan tetapi, engkau terlalu keras hati dan keras kepala. Jangan memaksa kami melakukan hal yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku itu, Kim Hong."
Gadis itu diam-diam merasa mendongkol, ia datang ke rumah suhunya secara suka rela, akan tetapi ia datang seperti seekor harimau memasuki perangkap, atau lebih lagi, seperti seekor domba memasuki rumah jagal! Biarpun tidak dijelaskan, namun ia tahu bahwa agaknya suhunya dan suhengnya sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan ia pergi lagi dari situ!
Suhengnya ini benar-benar telah tergila-gila kepadanya, bertekad ingin memperisterinya, bahkan sejak dua tahun yang lalu, suhengnya tidak pernah melupakan dirinya! Dan sekarang, keadaannya bahka lebih terjepit dari pada dahulu. Biar pun kini ilmu kepandaiannya sudah demikian tingginya sehingga ia tidak takut menghadapi suhunya dan suhengnya, akan tetapi di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang terdiri dari puluhan ribu orang banyaknya. Bagaimana mungkin ia akan dapat meloloskan diri?
Akan tetapi, Kim Hong tidak merasa gelisah, bersikap tenang saja. seolah-olah ia belum melihat kenyataan pahit itu. "Suheng, karena selama ini engkau telah banyak bertempur, tentu ilmu kepandaianmu maju pesat. Bagaimana kalau kita berlatih untuk saling melihat sampai di mana kemajuan yang kita capai?"
"Bagus, aku senang sekali, sumoi! Engkau tentu kini telah memperoleh kemajuan pesat. Dahulupun aku tidak dapat mengalahkanmu, apa lagi sekarang!"
"Ah, belum tentu, suheng. Bagaimanapun juga, aku belum mempunyai pengalaman bertanding, sedangkan engkau sudah mengalami perang dan pertempuran besar.”
"Mari kita berlatih dengan tangan kosong saja, jangan sampai kita salah tangan saling melukai. Memang aku sering kali berlatih silat di petak rumput itu, sumoi."
Mereka pergi ke petak rumput tak jauh dari kolam ikan dan di situ memang nyaman dan luas. Kim Hong hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian suhengnya itu agar kalau sewaktu-waktu ia harus melawannya, ia akan dapat mengetahui lebih dulu keadaan lawan. Dengan gaya yang menarik, setelah melepaskan baju kebesarannya Bouw Ki memasang kuda-kuda. Kim Hong melihat bahwa ilmu silat suhengnya masih serupa dengan dahulu, maka iapun memasang kuda-kuda yang sama.
"Aku sudah siap, suheng. Mulailah!"
"Sumoi, awas seranganku!" bentak Bouw Ki yang merasa girang karena dalam latihan bertanding tangan kosong ini, setidaknya dia mendapat kesempatan untuk saling beradu tangan dengan gadis yang dirindukannya itu! Dia menyerang, bukan dengan pukulan melainkan dengan cengkeraman-cengkeraman, karena sesuai dengan dorongan perasaan hatinya, ingin dia dapat menangkap lengan sumoinya, atau setidaknya merabai tubuhnya untuk melepaskan kerinduannya.
Tingkat kepandaian Kim Hong sekarang sama sekali tidak dapat disamakan dengan dua tahun yang lalu. Gemblengan Si Naga Hitam selama dua tahun ini meningkatkan tingkat kepandaiannya, juga tenaga sinkang dan kepekaan perasaannya. Terutama sekali, ia telah minum racun darah ular hitam kepala merah. Sekali melihat saja tahulah ia bahwa kepandaian suhengnya masih biasa saja, hanya memang bertambah mantap karena pengalaman bertanding. Kalau ia menghendaki, dengan mudah saja ia akan dapat mengalahkan suhengnya.
Akan tetapi, Kim Hong ticlak mau melakukan ini dan iapun sengaja mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat lama seperti yang pernah ia pelajari dari ayah suhengnya ini. Maka terjadilah pertandingan latihan yang seru dan nampaknya mereka sama kuat. Akan tetapi tiba-tiba datang seorang pemuda mendekati tempat kedua orang muda itu berlatih. Baik Kim Hong maupun Bouw Ki melihat kedatangannya dan dengan sendirinya mereka mengakhiri latihan itu.
Pemuda itu bertepuk tangan. "Bagus, bagus sekali! Bouw-ciangkun, siapakah nona yang hebat ilmunya itu? Perkenalkan aku dengannya!"
Bouw Ki maju dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki sambil berkata, "Harap paduka memaafkan saya, Pangeran, karena tidak tahu paduka akan datang, saya tidak mengadakan penyambutan."
Tentu saja Kim Hong tertarik sekali melihat suhengnya memberi hormat dan menyebut pemuda itu pangeran, ia memperhatikan. Seorang pemuda yang usianya mungkin baru delapanbelas tahun, tampan dan lembut, akan tetapi pandang matanya liar dan penuh nafsu, juga senyumnya dingin dan membuat ketampanan wajahnya nampak aneh. Pakaiannya mewah dan pemuda itu seorang pesolek. Baru melihat dan bertemu pandang saja Kim Hong sudah merasa tidak suka kepada pria muda itu.
"Pangeran, ini adalah sumoi saya, bernama Can Kim Hong. Sumoi, beliau ini adalah Pangeran An Kong yang suka sekali akan ilmu silat dan biarpun masih muda, ilmu silatnya tinggi, jauh melebihi tingkatku sendiri, sumoi."
Akan tetapi Kim Hong menerima perkenalan itu dengan sikap tenang dan biasa saja, hanya mengangkat kedua tangan dengan dada sebagai penghormatan.
Pangeran muda itu tertawa, "Ha ha-ha, sahabatku Bouw Ki, tidak tahukah engkau bahwa nona ini tadi telah banyak mengalah kepadamu? Kalau ia bersungguh-sungguh, sudah sejak tadi engkau dikalahkannya. Ha-ha-ha!"
Wajah Bouw Ki berubah kemerahan. Dia sama sekali tidak beranggapan demikian, karena dia merasa bahwa dirinya telah memperoleh kemajuan. Biarpun belum tentu dia akan mampu mengalahkan sumoinya yang sejak dahulu memang lebih lihai darinya, akan tetapi tidak mungkin sumoinya dapat mengalahkannya dengan mudah dan tadi sengaja banyak mengalah. Akan tetapi tentu saja kepada sang pangeran dia tidak berani membantah.
"Pangeran, memang sejak kecil sumoi saya ini lebih cekatan dibandingkan saya."
Akan tetapi, diam-diam Kim Hon terkejut dan memandang pangeran muda ini lebih teliti. Ketika tadi suhengnya mengatakan bahwa kepandaian silat pangeran ini jauh lebih tinggi dari tingkat suhengnya, ia mengira suhengnya hanya mencari muka saja. Akan tetapi sekarang, pangeran itu telah dapat melihat bahwa ia sengaja mengalah, dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini memang lihai dan berpemandangan tajam sekali.
"Nona Can, akupun ingin sekali mengujimu. Nah, sambutlah ini!" tiba-tiba saja pangeran muda itu meloncat ke depan Kim Hong dari kedua tangannya didorongkan ke arah dada gadis itu.
Muka Kim Hong menjadi merah karena serangan itu mengandung ketidak-sopanan, seolah pangeran itu hendak memegang sepasang buah dadanya. Maka, iapun menyambut dengan dorong kedua tanganya, apa lagi ketika merasa betapa dari kedua telapak tangan pangeran itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahyat.
"Plakk!"
Tak dapat dihindarkan lagi, dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pangeran itu terpental ke belakang sampai dua meter, sedangkan Kim Hong masih berdiri tegak dan matanya memandang marah walaupun sikapnya tetap tenang. Pangeran An Kong tidak jatuh, hanya terhuyung dan diapun berseru kagum.
"Hebat....! Nona Can, ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian hebat, melebihi dugaanku. Bouw-ciangkun, aku merasa heran sekali bagaimana seorang sumoimu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat ini?"
"Pangeran terlalu memujiku," kata Kim Hong sederhana, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar penuh kewaspadaan.
Pangeran muda itu menghela napas panjang. "Sudahlah, maafkan aku kalau aku mengganggu kalian berlatih. Aku ingin sekali bertemu dengan Bouw-koksu. Di manakah dia, Bouw-ciangkun?"
"Baru saja ayah mengatakan hendak menghadap Sri baginda, pangeran. Dia berangkat ke istana."
"Kalau begitu, biar aku menyusulnya ke sana." Pangeran muda itu sekali lagi memandang kepada Kim Hong dengan penuh perhatian, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Setelah pangeran itu pergi Bouw Ki mendekati Kim Hong. "Sumoi, benarkah yang dia katakan tadi? Kau tahu, dia adalah pangeran An Kong yang terkenal lihai, murid orang-orang pandai di utara. Benarkah engkau memiliki ilmu yang dahsyat melebihi dia sehingga tadi dia terpental ke belakang?"
”Hemm, mungkin dia berpura-pura saja, dia mengatakan itu untuk memuji ku. Siapa sih dia?"
Bouw Ki tersenyum dan mengangguk angguk. "Mungkin juga. Dia memang amat lihai, bahkan ayah mengatakan ilmu silat pangeran itu setingkat ilmu ayah! Akan tetapi diapun terkenal sebagai pangeran mata keranjang. Agaknya dia tertarik kepadamu dan sengaja memujimu untuk menyanjung. Engkau harus berhati-hati menghadapi perayu seperti dia. Dia adalah pangeran tertua, putera Sri baginda dan agaknya diapun tidak rukun dengan Sri baginda."
"Ehh? Kenapa begitu?"
Kim Hong tertarik walaupun ia tahu bahwa kaisar yang baru, yaitu Panglima An Lu Shan, adalah musuh kaisar Kerajaan Tang, yang menurut pesan suhunya, harus di tentangnya. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Bouw Ki dan suhunya menjadi orang-orang penting dalam kerajaan baru para pemberontak itu, ia dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyelidiki keadaan para pimpinan pemberontak yang tentu dapat ia kumpulkan sebagai laporan penting kalau ia sudah menghadap Kaisar Beng Ong kelak.
Bouw Ki mengajaknya kembali duduk di bangku dekat kolam ikan dan dia pun menceritakan keadaan ke luarga kepala pemberontak An Lu Shan yang kini telah mengangkat diri sendiri menjadi kaisar itu. An Lu Shan pernah berselisih dengan puteranya, An Kong, karena urusan wanita! Memang sesungguhnya amat memalukan dan tidak pantas.
Mereka memperebutkan seorang gadis istana yang tak sempat melarikan diri dan menjadi tawanan. Akhirnya, gadis yang diperebutkan itu tewas membunuh diri dan terjadilah suatu perasaan tak senang antara ayah dan puteranya itu.
Perasaan tidak senang itu ditambah lagi ketika Pangeran An Kong yang didukung oleh beberapa orang pejabat tinggi, terutama sekali oleh Bouw-koksu, mengusulkan agar dia diangkat menjadi pangeran mahkota. Kaisar menolak usul itu, mengatakan bahwa dia masih muda, belum saatnya dia mengangkat seorang calon penggantinya. Apa lagi, baru saja dia menjadi kaisar!
"Demikianlah, sumoi. Biarpun pada lahirnya tidak nampak sesuatu, akan tetapi sebetulnya, terdapat perasaan tidak puas di hati Pangeran An Kong terhadap ayahnya, dan perasaan curiga dan kecewa di hati kaisar terhadap puteranya itu. Aku sendiri tidak senang dengan adanya kenyataan ini, akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanya seorang panglima, bahkan ayahku agaknya menjadi pendukung Pangeran An Kong. Ah, aku menjadi bingung, dan karena itulah maka tadi kukatakan kepada mu bahwa aku lebih senang tetap berada di Khitan."
Percakapan mereka terhenti ketika muncul Nyonya Bouw Hun yang mengajak Kim Hong, untuk mengobrol dengannya didalam rumah. Sementara itu, Pangeran An Kong yang menyusul Bouw Koksu, bertemu dengan pembesar itu diluar istana.
Bouw Koksu baru saja meninggalkan istana dan Pangeran An Kong segera mengajaknya bicara di istana pangeran itu. Kini mereka duduk di dalam kamar rahasia, di mana mereka dapat bicara tanpa khawatir didengar atau diliihat orang lain.
"Saya menghaturkan selamat, Pangeran. Memang agaknya para dewata membantu Pangeran dan paduka memang sudah ditakdirkan untuk menjadi kaisar yang akan diakui oleh seluruh rakyat. Pusaka itu telah saya dapatkan, Pangeran!" kata Bouw Hun yang kini lebih dikenal dengan sebutan Bouw Koksu (Guru Negara Bouw).
Pangeran itu tersenyum dan wajah nya berseri. "Benarkah engkau sudah berhasil mendapatkan Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala), tanda kekuasaan kasar itu, pa man Bouw?"
"Bendanya sendiri belum, Pangeran, akan tetapi peta tempat penyimpanan benda itu telah saya peroleh, walaupun dengan harga mahal sekali. Sepuluh ribu tail harus saya keluarkan untuk membeli peta itu."
"Uang tidak menjadi persoalan. Ceritakan bagaimana pusaka tanda kekuasaan kaisar itu dapat kau peroleh?"
Bouw Hun lalu menceritakan bahwa semula mestika burung hong kemala itu oleh kaisar Beng Ong diserahkan kepada Menteri Yang Kok Tiong untuk disimpan. Kemudian, di pos penjagaan Ma-wei, para perajurit yang marah membunuh menteri itu. Kaisar sudah menyuruh Panglima Kok Cu mencari pusaka itu, namun tdak pernah dapat ditemukan. Ternyata pusaka itu oleh Menteri Yang Kok Tiong, diam-diam disembunyikan, ditanam di sebuah tempat rahasia ketika rombongan kaisar yang lari mengungsi itu lewat di sebuah bukit.
Yang Kok Tiong menyerahkan sebuah peta dari tempat rahasia itu kepada seorang pelayan yang disuruhnya kembali ke kota raja dan menyerahkan peta itu kepada puteranya, yaitu Yang Cin Han kalau puteranya itu kelak kembali ke kota raja.
"Souw Lok, pelayan Menteri Yan Kok Tiong itu tahu bahwa peta itu amat berharga, maka dia menjualnya kepada saya dengan harga selaksa tail."
"Bagaimana kalau ternyata peta itu palsu dan pusakanya tidak dapat ditemukan? Orang itu mungkin hanya seorang penipu....."
Selanjutnya,