Mestika Burung Hong Kemala Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Jilid 07 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Mestika Burung Hong Kemala Jilid 08

Cerita silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
BOUW HUN tersenyum dan mengelus jenggotnya yang lebat. "Apakah paduka kira saya begitu bodoh, Pangeran? Souw Lok itu baru saya beri lima ribu tail dan dia membuka sebuah toko dengan modalnya itu di kota raja. Setiap gerak geriknya saya suruh amati dan dia tidak boleh meninggalkan kota raja sebelum pusaka itu ditemukan, dengan janji yang lima ribu tail lagi saya bayarkan. Akan tetapi kalau dia menipu dan pusaka itu tidak dapat ditemukan di tempat yang ditunjukkan peta, dia akan dihukum mati dan semua hartanya dirampas."

Pangeran An Kong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus sekali kalau begitu, paman. Sebaiknya paman cepat pergi mengambil benda itu di tempat di sembunyikannya."

"Setelah melapor kepada paduka, besok juga saya akan mengirim sepasukan orang kepercayaan untuk pergi ke tempat itu dan mengambilnya, pangeran."

"Baik, aku percaya sepenuhnya kepadamu, paman. Setelah benda pusaka itu berada di tangan kita, baru kita laksanakan rencana kita yang ke dua. Dengan pusaka itu, tentu kedudukanku akan menjadi lebih kuat dan dapat menarik dukungan para pejabat lama yang masih menguasai beberapa daerah lain. Akan tetapi ada satu hal lagi yang kurasa patut kau perhatikan, paman. Yaitu mengenai murid paman yang bernama Can Kim Hong itu."

Bouw Koksu terkejut. "Eh? Paduka sudah mengenalnya? Ada apakah dengan gadis itu, pangeran? ia memang cantik, apakah paduka......"

"Ah, jangan salah sangka, paman. Memang ia cantik menarik dan aku akan suka sekali andaikata ia dapat menjadi milikku, akan tetapi saat ini, yang menarik hatiku bukanlah kecantikannya, melainkan ilmu silatnya, paman. Aku masih terheran-heran karena tadi aku melihat ia berlatih silat dengan putera mu, bahkan aku telah menguji tenaganya dan sungguh ia luar biasa sekali. Bagaimana mungkin paman dapat memiliki seorang murid wanita sehebat itu, yang tingkat kepandaiannya demikian tingginya. Aku sama sekali bukan tandingannya, paman!"

Tentu saja Bouw Hun terkejut mendengar ini, "Aih, saya sendiri juga baru saja bertemu dengan murid saya itu, pangeran. Selama dua tahun ia merantau dan berguru lagi dan mengingat bahwa ia menemukan seorang guru sakti, sangat boleh jadi kini tingkat kepandaiannya meningkat banyak. Akan tetapi mampu menandingi paduka? Sungguh tidak saya sangka....."

Bagaimana tidak akan heran perasaan hati Bouw Kok-su mendengar bahwa pangeran muda ini tidak mampu menandingi ilmu silat Kim Hong. Padahal, pangeran ini lihai sekali, tingkat kepandaiannya tidak berada disebelah bawahnya!

"Aku yakin akan kelihaiannya, paman. Karena itu, engkau harus dapat membujuk dan menariknya agar ia membantu kita. Kita membutuhkan tenaga orang orang lihai seperti muridmu itu."

Bouw Koksu tertawa gembira dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha, harap paduka tidak khawatir, pangeran. Tentu saya dapat membujuknya, karena bagaimana pun, ia sudah seperti anak kami sendiri, bahkan kami merencanakan untuk menjodohkan Bouw Ki dengan Can Kim Hong.

"Bagus, itu lebih baik lagi, paman. Nah, sekarang harap paman suka membuat persiapan untuk mengambil pusaka itu secepatnya."

Bouw Koksu lalu berpamit dan kembali ke rumah gedungnya, disambut isterinya yang sudah mempersiapkan pesta keluarga untuk menyambut pulangnya Kim Hong. Gadis itu merasakan keakraban mereka dan merasa terharu, juga gembira. Sedikit perasaan tidak enak sehubungan dengan peristiwa dua tahun ia ketika ia hendak dipaksa menjadi selir Bouw Ki, mulai menipis.

* * *

"Kim Hong, aku membawa berita yang amat baik dan menggembirakan sekali untukmu!" kata Bouw Ki begitu dia memasuki rumahnya dan melihat sumoinya itu. Kim Hong sedang duduk bercakap-cakap dengan Bouw Hun dan ternyata pada sore hari itu. "Coba terka, berita apa yang akan kusa mpaikan padamu?"

Kim Hong memandang suhengnya yang nampak berseri wajahnya itu, lalu dengan penuh harapan ia bertanya, "Suheng, apakah engkau membawa berita tentang ayahku?"

"Tepat sekali, sumoi. Aku telah menyebar penyelidik sejak engkau pulang sepekan lalu dan sekarang aku telah menemukan ayah kandungmu yang bernama Can Bu itu. Dan, ha-ha-ha, sungguh mengheran kan sekali, dia adalah seorang perwira dalam pasukan yang kupimpin!"

"Ah, luar biasa!" seru Bouw Hu sambil menepuk pahanya. "Kalau begitu kenapa aku tidak pernah melihat dia. Dahulu, duapuluh tahun yang lalu, dia pun seorang perwira pasukan ketika di tertawan oleh pasukan Khitan dan menjadi tawanan, lalu hidup di antara bangsa Khitan."

"Para opsir atau perwira memang hanya berada di benteng, ayah," Bouw Ki menjelaskan. "Dan dia sendiri tidak pernah bertemu ayah. Diapun sama sekali tidak menyangka bahwa aku adalah anak kecil yang pernah dikenalnya di Khitan. Dia termasuk seorang di antara para perwira Kerajaan Tang yang telah menyerahkan diri dan menakluk, dan seperti ayah mengetahui, kita menerima tenaga bantuan para anggauta pasukan yang telah menyatakan takluk dan suka bekerja kepada pemerintah baru."

"Suheng, di mana dia? Aku ingin bertemu dengan ayahku!" kata Kim Hong dan ia merasa betapa jantungnya berdebar dan perasaan aneh dan tegang menghubungi hatinya. Dara ini belum pernah melihat ayahnya dan ia hanya pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya bernama Can Bu, seorang perwira yang gagah dan tampan.

Sekarang, suhengnya mengatakan bahwa ayah kandungnya itu menyerah kepada ke kuasaan pemberontak, bahkan mengabdi kepada pemberontak. Di mana letak kegagahannya? Diam-diam ia merasa kecewa dan penasaran. Agaknya ia akan lebih merasa lega dan bangga andaikata mendengar bahwa ayahnya, sebagai seorang perwira, telah gugur ketika melawan pasukan pemberontak yang menyerbu kota raja!

Tentu saja ia akan lebih senang dapat bertemu dengan ayahnya, akan tetapi bukan sebagai seorang perwira yang mengkhianati Kerajaan Tang, melainkan umpamanya saja, seorang perwira yang melarikan diri karena kalah perang dan menjadi rakyat biasa.

"Tenanglah, sumoi. Paman Can Bu sendiri masih merasa tegang dan bingung mendengar bahwa puterinya berada disini. Bahkan dia sudah hampir tidak ingat lagi bahwa dia mempunyai seorang puteri di Khitan, maklum sudah duapuuh tahun lebih dia meninggalkan Khitan. Bahkan dia terkejut ketika kujelaskan bahwa ayah adalah orang yang di kenalnya sebagai Bouw Kok-su, yang dahulu menjadi kepala suku bangsa Khitan. Dia sudah ikut bersamaku ke sini, akan tetapi dia menanti di luar karena aku tidak ingin menimbulkan kekagetan dan agar engkau dapat menerimanya dengan tenang."

"Aku ingin bertemu dengan dia suheng. Terima kasih atas bantuanmu..."

"Bouw Ki, bawa dia masuk ke sini. Akupun ingin bertemu dengan Saudara Can Bu yang meninggal kan Khitan dua puluh tahun yang lalu!" kata Bouw Hu gembira.

Bouw Ki berlari keluar dan tak lama kemudian, dia masuk kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, disambut oleh Bouw Hun dan isterinya, juga oleh Kim Hong yang hanya berdiri bengong, mengamati pria yang kini menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat kepada Bouw Kok-su.

"Aha, saudara Can Bu! Ya, aku masih ingat kepadamu. Lupakah engkau siapa aku, ha-ha-ha!" Bouw Kok-su berseru sambil tertawa.

Pria itu mengangkat muka dan memandang dengan bingung dan bimbang. "Paduka... benarkah paduka adalah Kepala Suku Bouw Hun yang dahulu.....? Dan ciangkun ini putera paduka Bouw Ki yang dahulu masih kecil itu? Nyonya, maafkan saya dan terimalah hormat saya..." orang itu kembali memberi hormat.

"Bangkitlah, saudara Can Bu Hong dan duduklah. Kita adalah orang-orang sendiri, jangan terlalu sungkan dan sementara ini lupakan dulu segala kedudukan. Duduklah dan pandang baik-baik, siapa gadis ini?"

Can Bu bangkit berdiri dan memandang kepada gadis yang juga berdiri dan sedang mengamatinya itu. Kim Hong merasa lehernya seperti dicekik karena haru, akan tetapi juga ragu dan agak kecewa. Inikah orang yang selama ini dirindukannya? Inikah orang yang dahulu, ketika ia masih kecil, ibunya menceritakannya dengan penuh kerinduan dan kekaguman? Inikah orang yang dicari-carinya itu? Memang wajahnya tidak jelek, cukup tampan, dan bentuk tubuh nya juga tegap sebagai seorang perajurit.

Akan tetapi gagah perkasa? ia tidak melihat tanda-tanda itu pada tarikan muka dan pandang matanya, bahkan mata itu kelihatan sungkan dan bahkan malu-malu, agak gelisah malah, sama sekali bukan seperti mata seorang pendekar! Karena tegang dan terharu bercampur kecewa, Kim Hong diam saja, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

"Paman Can Bu, inilah sumoi Can Kim Hong, puterimu dan mendiang bibi Khilani seperti yang kuceritakan itu. ia adalah anakmu, paman!" kata Bouw Ki seperti hendak menarik ayah dan anak itu dari alam lamunan yang membuat mereka hanya saling pandang sejak tadi.

"Anakku..... Ah, siapa kira hari ini aku dapat bertemu dengan anak ku...." Akhirnya Can Bu berkata, biarpun masih ragu, dia mengembangkan kedua lengannya.

"Ayah..... Bertahun-tahun aku selalu memikirkan orang yang menjadi ayah kandungku. Jadi engkau... engkau ini ayahku....?" Kim Hong berkata lirih seperti kepada diri sendiri, dan iapun menghampiri pria itu.

Ketika Can Bu merangkulnya, Kim Hong merasa aneh dan tidak nyaman, karena pria ini sama sekali asing baginya. Akan tetapi ia membiarkan saja pria itu merangkul dan mengelus rambutnya. "Maafkan aku, anakku. Selama ini ayahmu tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencarimu, merawat dan mendidikmu," katanya dengan suara agak gemetar.

Dengan lembut Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan ayahnya, melangkah mundur dua kali dan memandang wajah ayahnya, bertanya, "Sekarang... dimana ayah tinggal dan dengan siapa ayah hidup?" Sukar baginya harus tinggal bersama seorang ibu tiri dan saudara-saudara tiri.

"Sumoi, Paman Can Bu hidup sebatang kara, tidak beristeri dan tidak mepunyai keluarga, tinggalnya di dalam benteng," kata Bouw Ki.

"Kalau begitu, biar dia tinggal saja di sini bersama Kim Hong!" kata Bouw Kok-su. "Bouw Ki, usahakan agar saudara Can Bu dipindah tugaskan, mulai sekarang bekerja sebagai kepala pengawal keluarga kita dan tinggal di sini, di rumah samping itu."

"Ah, itu baik sekali!" seru Bouw Ki. "Tentu paman Can setuju, bukan?"

Sebetulnya Kim Hong hendak menolak. Tidak senang ia kalau ayah kandungnya mondok di situ, yang berarti bahwa ia dan ayahnya menerima budi keluarga Bouw dan bahkan terikat dengan mereka. Akan tetapi ayahnya sudah cepat memberi hormat dan berkata dengan suara gembira sekali.

"Tentu saja saya setuju, ciangkun. Terima kasih banyak atas budi kebaikan Tai-jin dan Ciang-kun!"

Karena ayahnya telah menerimanya, tentu saja Kim Hong tak dapat berkata apa-apa lagi. Ia masih merasa asing dengan ayahnya, masih sungkan untuk menegurnya. Kelak saja, perlahan-lahan ia akan membujuk ayahnya agar tinggal di luar gedung itu, di rumah sendiri sehingga tidak tergantung kepada siapapun, juga lebih bebas.

Setelah mendapat kesempatan untuk berdua saja dalam ruangan rumah samping, Kim Hong duduk berhadapan dengan pria yang dinyatakan sebagai ayah kandungnya itu. Mereka saling berpandangan sejenak, dan akhirnya Can Bu yang menundukkan pandang matanya lebih dahulu. Sinar mata gadis itu terlalu tajam, bagaikan pisau yang runcing menusuk sampai keulu hati.

"Kim Hong, kenapa engkau memandangku seperti itu?" tanya Can Bu yang sudah menunduk.

Gadis itu tetap mengamati wajah pria di depannya dengan pandang mata penuh selidik. "Engkau.... benarkah engkau ini ayah kandungku?" tiba-tiba ia bertanya dan Can Bu mengangkat muka, alisnya berkerut dan pandang matanya penasaran, marah.

"Hemm, pertanyaan ini bisa kukembalikan kepadamu, Kim Hong. Benarkah engkau ini anak kandung ku? Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu itu? Kita tidak pernah saling berjumpa. Hanya ada satu hal yang pasti bagiku, yaitu aku pernah tinggal di Khitan duapuluh tahun lebih yang lalu, dan aku menikah dengan seorang wanita bernama Khilani. Nah. kalau benar engkau ini puteri Khilani, jelaslah bahwa engkau adalah anakku dan aku inilah ayah kandungmu. Kim Hong, kenapa engkau masih bertanya seperti itu, dan seolah meragukan bahwa aku ini ayah kandungmu?"

Kini pandang mata Can Bu yang penuh selidik mengamati wajah Kim Hong. Gadis itu menghela napas panjang. "Ayah, aku masih ingat betapa ibu menceritakan bahwa suaminya, ayah kandungku, adalah seorang perwira Kerajaan Tang yang gagah perkasa. Kini aku mendapatkan ayah memang seorang perwira, akan tetapi..... kenapa ayah membantu pemerintah yang didirikan pemberontak?"

Wajah pria itu berubah agak pucat, matanya memandang ke sekeliling seperti orang ketakutan. "Ssttt.... apa yang kau ucapkan ini, Kim Hong? Kalau terdengar orang lain, kita bisa celaka! Bukankah suhu dan suhengmu sendiripun menjadi orang-orang besar dalam pemerintahan ini?"

"Hemm, mereka lain lagi," kata Kim Hong, semakin kecewa melihat sikap ayahnya yang ketakutan itu. "Mereka adalah orang-orang Khitan yang sejak dahulu memang bermusuhan dengan Kerajaan Tang, bahkan suhu adalah kepala suku Khitan. Tidak mengherankan kalau mereka bergabung dengan pemberontak dan kini menduduki jabatan tinggi. Akan tetapi engkau, ayah! Menurut ibu, engkau seorang bangsa Han. Kenapa sekarang engkau bahkan mengkhianati kerajaan dan bangsa sendiri?"

Can Bu mengerutkan alisnya dan memandang tak senang. "Kim Hong, engkau lancang. Sribaginda sendiri, ketika masih menjadi Panglima besar, juga seorang pejabat Kerajaan Tang, dan biarpun beliau itu masih mempunyai darah Khitan, akan tetapi sebagian besar para perwira dan perajuritnya adalah bangsa Han! Pemberontakan itu dilakukan karena Kaisar Beng Ong amat lemah dipermainkan wanita, dan di istana terjadi perebutan kekuasaan yang memuakkan. Jangan kau salahkan ayahmu kalau sekarang aku mengabdi kepada pemerintah ini."

Kim Hong diam saja dan ia terngat akan cerita gurunya. Menurut gurunya, Kaisar Beng Ong memang di permainkan oleh seorang selir cantik yang bernama Yang Kui Hui, demikian cantiknya selir itu sehingga gurunya sendiri tergila-gila kepada selir itu. Gurunya juga berpesan agar ia membela Kerajaan Tang dan membantu kaisar untuk merampas kembali tahta kerajaan dari tangan An Lu Shan, dan menemukan Giok-hongcu. Gurunya, yang dahulu pernah berusaha membunuh Kaisar Beng Ong, kini bahkan menyuruh ia membela kaisar itu.

Kini ia mengerti mengapa. Kalau dahulu gurunya memusuhi kaisar, hal itu dilakukan karena dia se orang tokoh Beng-kauw yang menganggap kaisar lalim dan patut dilenyapkan agar kedudukan kaisar diganti oleh kaisar lain yang lebih bijaksana. Akan tetapi sekarang, lain lagi keadaannya. Tahta kerajaan direbut oleh pemberontak An Lu Shan, seorang peranakan Han, yang tentu dianggap berdarah asing oleh gurunya. Karena itu gurunya menyuruh ia berpihak kepada pemerintah Kerajaan Tang.

"Kim Hong, kenapa engkau diam saja? Sudah mengertikah engkau sekarang mengapa ayahmu bekerja kepada pemerintah yang baru? Bahkan sekarang aku menjadi kepala pengawal keluarga gurumu, bukan lagi menjadi perwira pasukan."

Kim Hong menghela napas panjang lagi, "Maafkan aku, ayah,. Terus terang saja, tadinya aku kecewa sekali melihat kenyataan ini. Ibu dahulu bercerita tentang ayah kandungku yang gagah perkasa, dan aku terlanjur membayangkan ayah sebagai seorang pendekar besar. Kiranya kini ayah terlibat dalam pemberontakan, atau membantu pemerintah pemberontak. Akan tetapi aku sekarang dapat mengerti dan tidak menyalahkan ayah."

Can Bu menujulurkan tangan dan memegang tangan puterinya dari seberang meja. "Bagus, aku senang sekali mendengar itu, anakku. Dan kuharap engkau suka membantu ayah, membantu suhumu dan suhengmu..."

"Maaf, ayah. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pemerintah kerajaan baru ini, tidak ingin pula membantu pekerjaan suhu dan suheng, walaupun tentu saja aku suka membantu pekerjaan ayah. Ayah hanya bertugas menjaga keselamatan keluarga suhu, bukan? Nah, aku akan membantu pekerjaan ayah."

"Akan tetapi, bagaimana kalau ayahmu menerima tugas yang lebih penting? Apakah engkau tetap mau membantu ku?"

"Tentu saja, aku akan membantu agar ayah melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil, akan tetapi aku sendiri tidak mau langsung menerima perintah dari orang lain."

"Bagus, aku mendengar dari suhengmu, Bouw-ciangkun, bahwa engkau memiliki ilmu silat yang amat hebat, bahkan Pangeran An Kong sendiri mengagumi. Kalau engkau mau membantuku, maka tugas penting yang harus kukerjakan dalam beberapa hari ini tentu akan dapat kulaksanakan dengan baik."

"Tugas apakah itu, ayah?" Kim Hong mengerutkan alisnya, tidak mengira sama sekali bahwa ayahnya telah menerima tugas penting lain.

"Tugas ini amat berbahaya, dan tanpa bantuanmu, tadinya aku merasa khawatir sekali kalau gagal. Aku ditugaskan mengikuti rombongan pasukan yang akan dipimpin Bouw¬ciangkun sendiri untuk mengambil sebuah pusaka kerajaan di tempat tersembunyi."

Kim Hong menatap wajah ayahnya dan jantungnya berdebar tegang. "Pusaka apakah itu, ayah? Dan mengapa berbahaya untuk mengambilnya? Di mana tempat pengambilannya?" Dalam hatinya, Kim Hong teringat pesan gurunya, Si Naga Hitam, tentang pusaka yang dinamakan Mestika Hong Kemala!

"Pusaka itu amat penting bagi kerajaan, karena merupakan lambang ke kuasaan kaisar. Pusaka itu hilang dan yang terakhir kalinya berada di tangan Menteri Yang Kok Tiong. Ketika menteri itu terbunuh, pusaka itu lenyap entah ke mana. Beruntung sekali gurumu, Bouw Kok-su yang cerdik dan bijaksana, dapat menemukan peta di mana pusaka itu disembunyikan dan besok pagi, suhengmu akan memimpin pasukan untuk mengambil pusaka itu. Akupun dikutsertakan, karena itu, aku mnta agar engkau suka turut pula memperkuat rombongan kita."

Kim Hong menelan kembali kata-kata "giok-hong-cu" yang sudah berada di ujung lidahnya dan ia pura-pura tidak tahu, akan tetapi dengan cepat ia meangguk. "Aku akan senang sekali membantu ayah dalam tugas penting itu, ayah." ia teringat akan pesan suhunya, dan ia akan melihat apakah benar yang akan diambil rombongan itu adalah giok-hong-cu. Dan kalau benar demikian setidaknya ia tahu di mana adanya mestika yang diperebutkan itu!

Malam itu Kim Hong tidur dengan hati tenang, bagaimanapun juga, ia telah bertemu bahkan berkumpul dengan ayah kandungnya, dan untuk tugas kedua yang diserahkan gurunya kepadanya, yaitu membantu kaisar Tang menemukan kembali giok-hong-cu dan menentang pemberontak, agaknya dapat ia mulai dari kota raja itu sendiri!

Tak seorangpun tahu akan isi hatinya dan akan tugasnya itu, dan ia dipercaya oleh pemerintah An Lu Shan! Memang ayahnya berada di pihak musuh, akan tetapi ia akan dapat membujuk dan menyadarkan ayahnya perlahan-lahan, kalau ia sudah akrab benar dengan ayah kandungnya itu.

* * *

"Bukan main! Paman sungguh seorang pemberani! Aku merasa kagum dan bangga sekali padamu, paman!" kata pemuda itu sambil memandang orang yang duduk di depannya dengan sinar mata penuh kagum.

Dia seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun, wajahnya tampan, sikapnya lincah, matanya bersinar-sinar penuh semangat dan kejenakaan, mulutnya tersenyum-senyum dan pakaiannya tidak teratur seenaknya sendiri. Pemuda ini adalah seorang pemuda yang lincah jenaka dan selalu gembira, akan tetapi di balik sikapnya yang bengal dan agak ugal-ugalan itu tersembunyi kepandaian yang hebat. Dia bernama Souw Hui San, dan dia sudah yatim piatu.

Di partai persilatan Gobi-pai, namanya terkenal sekali karena dialah murid utama Gobi-pai, murid yang masih muda akan tetapi berkat bakat dan ketekunannya sejak kecil hidup di partai itu sebagai kacung lalu murid, maka dia telah menguasai hampir seluruh ilmu silat Go b i-pai dan terkenal sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai.

Baru tga bulan dia tiba di Tiang-an, kota raja yang kini dikuasai kerajaan baru pemberontak An Lu Shan. Dia mempunyai seorang paman, yaitu adik mendiang ayahnya, yang kini membuka sebuah toko di kota raja itu dan pamannya ini bernama Souw Lok. Baru hari itu pamannya membuka rahasia kepada keponakannya, setelah dia merasa yakin benar bahwa keponakan nya kini telah menjadi seorang pendekar yang berilmu tinggi.

"Aku melakukan itu demi Kerajaan Tang, Hui San. Aku harus mencari jalan sebaiknya dan kebetulan sekali engkau datang. Hanya engkaulah yang dapat mebantuku."

"Paman Souw Lok, bagaimana sampai Menteri Yang mempercayakan pusaka itu kepada paman? Harap paman ceritakan sejelasnya agar aku mengerti persoalannya dan dapat bekerja sebaik mungkin. Para guruku di Gobi-pai, selain mengajarkan ilmu silat, juga mengajarkan bagaimana aku harus menjadi seorang warga negara yang baik dan setia kepada pemerintah. Karena itu, aku siap membantu paman demi kejayaan kembali Kerajaan Tang yang dijatuhkan pemberontak."

Souw Lok la lu bercerita. Dia adalah seorag pelayan dalam keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Sejak muda dia kerja pada keluarga itu dan menjadi seorang pelayan setia yang dipercaya penuh oleh keluarga itu. Ketika Menteri Yang Kok Tiong menemani Kaisar Hsua Tsung mengungsi ke barat, Souw Lok inilah satu satunya pelayan yang mengikuti majikannya.

Ketika kaisar yang mengkhawatirkan keselamatan pusakanya yang penting, yaitu Giok-hong-cu, dan menitipkannya kepada Menteri Yang Kok Tiong, menteri itu menjadi gelisah dan bingung. Dia tahu betapa pentingnya Mestika Burung Hong Kemala itu. Para pemberontak dan raja muda di daerah tentu akan berusaha memperebutkan pusaka itu, karena pusaka itu dianggap sebagai lambang kekuasaan seorang kaisar.

Kemudian, Menteri Yang Kok Tiong mempunyai akal. Para pemberontak tentu akan mencurigai dia kalau tidak menemukan mestika itu pada kaisar. Akan tetapi, tak seorangpun akan mencurigai Souw Lok, seorang pelayan. Karena itu, ada suatu malam, dalam perjalanan mengungsi itu, dia memanggil Souw Lok ke dalam kamarnya dan bicara empat mata dengan pelayan itu.

"Souw Lok, dapatkah aku mengharapkan kesetiaanmu kepadaku dan kepada Kerajaan Tang?" tanya Menteri Yang Kok Tiong.

"Tentu saja, Taijin. Hamba siap mengorbankan nyawa hamba demi Kerajaan Tang!"

"Aku percaya kepadamu, Souw Lok. Oleh karena itu maka kau kupanggil. Kuserahi tugas yang teramat penting, bahkan kejayaan kembali Kerajaan Tang kuserahkan ke dalam tanganmu."

Tentu saja Souw Lok terkejut bukan main dan sambil berlutut dia mendengarkan keterangan Menteri Yang Kok Tiong. Menteri itu menerima Mestika Burung Hong Kemala dari kaisar untuk diselamatkan. Menteri yang setia itu telah menyembunyikan benda pusaka itu di sebuah tempat rahasia, yaitu di dalam sebuah guha kecil yang mereka lalui dalam perjalanan mengungsi. Tak seorangpun melihatnya dan dia sudah membuat kan peta tempat itu agar kelak muda di cari kembali.

"Biar andainya aku tertawan musuh dan disiksa sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia benda pusaka itu," kata sang menteri, "Akan tetapi kalau mereka menemukan peta ini di tubuhku, berarti pusaka itu akan terjatuh ke tangan musuh. Oleh karena itu kutitipkan peta ini kepadamu, Souw Lok. Tidak akan ada orang mencurigaimu. Bawalah peta ini ke Tiang-an, usahakan agar engkau dapat menyerahkan peta ini kepada seorang di antara anak-anakku. Benda pusaka itu harus dipertahankan untuk membangkitkan kembali Kerajaan Tang."

Biarpun dia menggigil karena takut dan tegang, namun Souw Lok yang setia menerima juga peta itu. Lukisan yang kecil itu dapat dia sembunyikan dalam lipatan bajunya dan diapun meninggalkan rombongan kaisar yang melakukan perjalanan mengungsi, dan dia kembali ke Tiang-an yang sudah diduduki pemberontak An Lu Shan.

Dan tepat seperti perkiraan Menteri Yang Kok Ting, tiada seorangpun mencurigai bahwa bekas pelayan ini memiliki peta rahasia tempat disembunyikannya benda yang diperebutkan oleh semua raja muda dan gubernur, juga dicari oleh An Lu Shan sendiri.

Mendengar cerita itu, Souw Hui San mengerutkan alisnya. "Ternyata paman memegang rahasia yang demikian pentingnya. Akan tetapi tadi paman mengatakan bahwa paman telah menjual peta itu kepada Bouw Koksu dan paman menerima banyak uang, dapat membuka toko ini. Bagaimana pula ini, paman? Memang paman pemberani dan pintar, akan tetapi maafkan pertanyaanku, paman. Apakah paman hendak menjual negara...”

"Hushh, pamanmu bukan manusia serendah itu, Hui San! Ketahuilah bahwa dalam pengungsian mereka, Kaisar telah membicarakan urusan Mestika Burung Hong Kemala dengan Pangeran Mahkota dan Panglima Kok Cu Ketika Menteri Yang Kok Tiong terbunuh, mestika itu telah hilang dan tidak ada seorangpun mengetahui di mana mestika disimpan oleh mendiang Menteri Yang. Percakapan mereka itu diam-diam didengarkan seorang thai-kam (sida-sida) dan orang ini menyebar desas-desus tentang hilangnya Mestika Burung Hong Kemala di tangan mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Berita itu sampai pula ke sini dan tentu saja An Lu Shan memerintahkan semua pembantunya untuk ikut mencari dan memperebutkan pusaka itu. Usaha itu diserahkan kepada Bouw Koksu. Koksu ini segera menyelidiki siapa saja orang-orang yang dekat dengan Menteri Yan Kok Tiong ketika masih hidup. Selain ke tiga putera dan puterinya, juga semua bekas pembantu rumah tangga dan pelayan dicurigai. Karena tiga orang puteranya tidak dapat ditemukan, maka semua bekas pelayan keluarga Yang ditangkapi, termasuk aku. Seorang demi seorang dipaksa untuk mengaku di mana disembunyikannya pusaka itu dan setiap orang yang mengatakan tidak tahu, disiksa sampai mati..."

"Hemm, betapa kejamnya Bouw Koksu,” kata Hui San.

"Bekas kepala suku Khitan itu memang seorang yang kejam, lihai dan licik sekali. Karena melihat semua rekan tewas disiksa, tentu saja aku tidak mau mengalami siksaan sampai mati...."

"Dan paman lalu menyerahkan peta itu kepada Bouw Koksu dan menerima imbalan uang banyak....?"

"Hushh, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan buruk! Ketahuilah, kalau aku membiarkan diriku disiksa sampai mati, tentu pusaka itu untuk selamanya akan hilang dan tak akan dapat dikembalikan kepada Kerajaan Tang, karena hanya aku seoranglah yang mengetahui tempat persembunyiannya. Karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk tetap tinggal hidup akan tetapi juga menjaga agar pusaka itu tidak terjatuh ketangan pemberontak."

"Apa yang paman lakukan?"

"Diam-diam sebelumnya aku telah menghafalkan peta itu di luar kepala, dan aku sedikit mengubah peta itu. Kalau dalam peta aselinya tempat persembunyian pusaka itu berada diguha ke tiga, aku mengubahnya dengan tanda bawa benda itu disimpan di dalam guha ke tujuh. Ada sepuluh buah guha di bukit itu. Nah, karena aku tidak ingin mati dan benda itu hilang begitu saja, ketika jatuh giliranku diperiksa, aku mengaku terus terang bahwa Menteri Yang memang memberikan sebuah peta kepadaku. Dan aku minta imbalan kalau peta itu diminta oleh Bouw Koksu. Tentu saja Bouw Koksu memenuhi permintaanku dan memberiku lima ribu tail sebagai uang muka dan yang lima ribu tail lagi akan dia berikan setelah dia mendapatkan pusaka itu."

"Akan tetapi, paman. Kalau dia mengambil pusaka itu di guha seperti yang ditunjukkan oleh peta paman, tentu dia tidak akan menemukannya dan paman tentu akan dianggap menipu dan menerima hukuman!"

Orang tua itu tersenyum. "Paman mu tidak setolol itu, Hui San. Tadinya memang aku akan segera melarikan diri membawa sisa uang setelah kubelikan toko ini, akan tetapi setelah engkau muncul, aku mendapat pikiran lain. Mereka akan menemuka benda di guha itu, dan dia akan memberiku limaribu tail lagi akan tetapi pusaka itu tetap akan menjadi milik kita."

"Ehh? Bagaimana mungkin paman?"

"Hui San, selama ini aku diam-diam melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa sampai hari ini, Bouw Koksu belum mengirim orang untuk mengambil mestika itu. Hal ini menunjukkan bahwa ada maksud tertentu dalam hati Bouw Koksu. Agaknya dia tidak langsung melapor kepada kaisarnya, dan mungkin saja dia hendak memiliki sendiri pusaka itu. Lihat, aku telah mempersiapkan ini."

Souw Lok mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning dan ketika buntalan kain itu dibuka, Hui San melihat sebuah benda yang indah, terbuat dari batu giok dan berbentuk seekor burung Hong!

"Inikah Giok-hong-cu itu? Akan tetapi..... telah berada ditangan paman!" serunya heran.

Souw Lok menggeleng kepalanya. "Aku telah mengeluarkan uang seribu tail untuk membujuk seorang ahli ukir kemala yang tinggal di luar kota raja, dan menyuruh dia buatkan ukiran seekor burung hong kemala seperti ini. Aku menyamar seorang kakek sehingga dia tidak tahu siapa yang menyuruh dia membuatkan ukiran burung hong kemala."

"Jadi ini yang palsu? Untuk apa, paman? Ah, aku mengerti sekarang. Tentu paman hendak menipu Bouw Koksu dengan memberinya Giok-hong-cu yang palsu ini!"

"Engkau cerdik, Hui San. Akan tetapi hanya engkau yang akan mampu melakukan siasatku itu."

Hui San tersenyum. Pemuda yang lincah Jenaka ini memang memuliki kecerdikan dan dia sudah dapat menduga dan mengerti apa yang dikehendaki pamannya.

"Paman sungguh cerdik bukan main! Tentu paman menghendaki agar aku membawa benda ini ke tempat rahasia itu, meletakkannya ke dalam guha ke tujuh, kemudian aku mengambil yang aselinya yang berada di dalam guha ke tiga dan membawanya ke sini. Begitukah?"

Pamannya mengangguk-angguk. "Aku sendiri tidak berani melakukan itu karena kalau ketahuan orang lain, akan berbahaya. Akan tetapi engkau sudah mendemonstrasikan kepandaianmu dan aku yakin bahwa dengan kepandaianmu itu, engkau akan mampu melakukannya dengan baik. Biarkan Bouw Koksu mendapatkan Giok-hong-cu yang ini, dan yang aselinya tetap berada pada kita!"

"Lalu apa yang akan kita lakukan dengan Giok-hong-cu yang aseli itu, paman?" Pemuda itu memancing.

"Hemm, kita biarkan Bouw Koksu bergembira dengan Giok-hong-cu ini, dan aku menerima lagi limaribu tail. Setelah itu, baru aku meninggalkan kota raja dan hidup sejahtera di dalam dusun yang jauh dari sini, dan engkau kuserahi tugas untuk menyerahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong, atau dapat juga langsung kepada Sri baginda Kaisar sendiri yang kini mengungsi ke se-cuan.”

Pemuda itu mengangguk-angguk, ia tidak menyalahkan pamannya yang hendak menikmati hidup sebagai orang kaya di dusun. Bagaimanapun juga, pamannya telah berjasa menyelamatkan pusaka kerajaan Tang itu, dan yang ditipu oleh pamannya adalah pemberontak.

"Baiklah, paman. Cepat beri gambaran yang jelas tentang letak tempat yang dimaksudkan itu."

Paman dan keponakan itu lalu bercakap-cakap dengan berbisik-bisik dan Souw Lok memberi keterangan yang sejelasnya. Keponakannya Itu diminta agar melakukan perjalanan berat, menyusuri sepanjang pantai sungai Yang-ce.

"Setelah kurang lebih lima ratus dari sini, engkau akan melihat pegunungan dan yang nampak dari tepi sungai itu adalah tiga puncaknya yang runcing, yang paling tengah tinggi runcing dan di kanan kirinya terdapat dua buah puncak yang sama tingginya, akan tetapi hanya setengah tinggi yang tengah. Kau dakilah pegunungan itu sampai engkau tiba dibukit batu karang. Terus saja naik sampai ke puncaknya dan di sana engkau akan menemukan guha guha batu karang itu. Tak seorangpun akan mendatangi tempat yang kering kerontang itu, sama sekali tidak menarik karena tidak ada tumbuh-tumbuhan, hitung dari kiri ke kanan kalau berhadapan dengan tebing bukit karang akan ada sepuluh buah guha. Nah, hitung dari kiri, yang ke tiga dan ke tujuh. Jelas, bukan?"

Hui San mencatat semua itu di dalam hatinya dan malam itu juga dia berangkat membawa buntalan kuning ber Giok-hong-cu palsu yang dia masuk dalam buntalan besar pakaiannya. Sedang pedang tergantung di punggungnya. Pemuda ini memang gagah perkasa tampan. Usianya sudah duapuluh lima tahun, akan tetapi karena wajahnya selalu cerah gembira dengan senyum yang tak pernah meninggalkan bibirnya, nampak seperti baru berusia duapuluh tahun saja.

Pakaiannya agak nyentrik, seenaknya sendiri, bahkan celananya kedodoran atau kebesaran, akan tetapi agaknya dia tidak perduli. Juga rambutnya awut -awutan karena sehabis mandi tadi, sebelum berangkat, dia tidak menyisir rambutnya, hanya menyisir dengan jari-jari tangannya saja sehingga setelah kering menjadi awut-awutan dan acak-acakan. Sebuah camping bundar yang ujungnya runcing tergantung di punggung, di atas pedang dan buntalan.

Camping itu agak lebar dan baik sekali di pergunakan sebagai pelindung kepala dari panas hujan. Hui San melangkah santai ketika keluar dari pintu gerbang kota raja sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, bersama banyak orang yang keluar masuk pintu gerbang.

Akan tetapi setelah berada jauh di luar pintu gerbang, dia meninggaIkan jalan raya, kemudian menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Tubuhnya berkelebat seperti larinya seekor kijang muda saja, kadang melompat jauh.

* * *

Sungguh mengagumkan sekali kalau ada yang sempat menyaksikan dua orang gadis itu berlatih silat pedang. Mereka berdua mempergunakan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya dan gerakan mereka demikian ringan dan indah, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang sedang me mperebutkan sekuntum bunga untuk dihisap madunya.

Tubuh mereka kadang nampak dan kadang tidak, dan hanya dua gulungan sinar pedang mereka yang saling belit dan saling tekan, tiba-tiba saja dua gulungan sinar pedang itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang gadis sambil melintangkan pedang di depan dada.

Yang seorang berusia duapuluh tahun, wajahnya cantik jelita dan agung, dengan tahi lalat kecil di dagu kiri, menambah indah dan manis sekal wajah itu. Kulitnyapun putih kemerahan, lembut halus seperti kulit bayi Sungguh sukar dapat dibayangkan betapa seorang gadis secantik dan selembut itu dapat memainkan pedang sedahsyat tadi.

Gadis ke dua yang berdiri di depannya lebih muda, usianya sekitar delapan belas tahun. Gadis inipun cantik jelita dan manis, mungil dengan bentuk tubuh lebih kecil dan ramping. Kalau gadis pertama nampak lembut, gadis yang lebih muda ini nampak lincah, galak dan sepasang matanya berapi-api penuh semangat hidup. Kulitnya tidaklah seputih gadis pertama, agak gelap, namun tidak mengurangi daya tariknya.

Mereka itu bukan lain adalah Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi, kakak beradik puteri Menteri Yang Kong Tiong! Seperti telah kita ketahui, kakak beradik ini meninggalkan kota raja untuk mencari kakak mereka, Yang Cin Han dan mereka bertemu dengan Kong Hwi Ho-siang, seorang hwesio tua yang sakti dan menjadi muridnya. Dua orang dara ini tinggal dalam kuil Thian-bun-tang yang diketuai Pek-lian Ni-kouw, murid keponakan Kong Hwi Hosiang. Dua tahun lebih lamanya mereka tinggal di kuil itu.

Sekali waktu Kong Hwi Hosiang datang ke kuil dan mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Juga dari suci mereka, Pek-lian Ni-kouw, mereka diberi pelajaran gin-kang (ilmu meringank tubuh). Dari suhu mereka, kedua orang dara ini selain menerima latihan menghimpun tenaga sin-kang, juga semua ilmu yang telah mereka kuasai, dimatangkan sehingga kini ilmu pedang Sian-li Kiam-sut yang pernah mereka pelajari dari Sin-tung Kai-ong menjadi lebih dahsyat. Selain itu, juga dua orang gadis itu menerima pelajaran ilmu toya yang amat hebat dari Kong Hwi Hosiang, yaitu ilmu Hong Sin-pang (Toya Sakti Angin dan Awan).

"Enci Lan, sudah cukup kita berlatih pedang. Mari kita berlatih ilmu toya kita," kata Kui Bi yang selalu lincah dan gembira.

"Baik, Bi-moi," kata Kui Lan dan iapun mencabut sebatang toya yang tadi ia tancapkan di atas tanah di taman bunga belakang kuil itu. Adiknya juga rnencabut toyanya dan kini keduanya sudah saling berhadapan sambil memasang kuda-kuda dengan melintangkan toya didepan dada. Pedang mereka tadi mereka simpan kembali ke dalam sarung pedang yang berada di punggung.

"Silakan, enci Lan!" Kata Kui Bi. Kui Lan mengeluarkan bentakan halus dan iapun sudah menggerakkan toyanya menyerang. Adiknya menangkis dan membalas serangan encinya dan segera terdengar suara Tak-tok-tak-tok beradunya kedua batang toya itu.

Makin lama gerakan mereka semakin cepat sehingga nampak gulungan sinar putih seperti awan, dan angin menyambar-nyambar, merontokkan daun-daun kuning di atas pohon. Itulah kiranya nama ilmu toya itu.

Angin dan awan. Sinar toya itu seperti awan putih berarak, dan sambaran nya mendatangkan angin besar! Setelah merasa puas, keduanya menghentikan gerakan toya. Ada keringat tipis membasahi leher dan dahi ke dua orang gadis itu.

"Omitohud, tidak sia-sia jerih payah pinceng selama dua tahun ini. Kalian telah dapat menguasai Hong-in Sin pang dengan baik!"

Kedua orang gadis itu cepat menengok dan memberi hormat kepada hwesio bertubuh gemuk seperti Ji-lai-hud. Hwesio yang mulutnya sudah tidak bergigi lagi itu, yang tubuhnya gendut dan mukanya selalu tersenyum lebar, adalah Kong Hwi Hosiang, hwesio perantau yang sakti.

"Suhu......!" Dua orang gadis itu mengangkat kedua tangan depan dad memberi hormat.

"Omitohud! Kui Lan dan Kui Bi pinceng melihat bahwa kalian telah berhasil baik dan sekarang sudah tiba saatnya bagi kalian untuk meninggalkan kuil Thian-bun-tang, kecuali kalau kalian berdua ingin menjadi biarawati!"

Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Bi mewakili encinya berkata, "Suhu, teecu berdua tidak ingin menjadi biarawati!"

Hwesio itu tertawa bergelak. "Ha ha-ha-ha, siapa yang menyuruh kalian menjadi biarawati? Akan tetapi, menjadi biarawati hanyalah merupakan tanda lahiriah belaka karena sesungguhnya, baik pendeta ataupun orang biasa, memiliki kewajiban yang sa ma dala m hidup ini, yaitu menjadi manusia yang baik dan berguna bagi rakyat, bagi negara, dan bagi manusia sendiri. Nah, berkemaslah kalian dan hari ini juga kalian boleh meninggalkan kuil. Ingat, pergunakan semua kepandaian yang telah kalian pelajari dengan tekun untuk perbuatan yang baik dan benar. Nah, pinceng mau pergi lebih dulu!"

Setelah berkata demikian, sekali mengebutkan lengan bajunya, hwesio itu telah lenyap dari taman itu. Kui Lan dan Kui Bi cepat menjatuhkan diri berlutut ke arah perginya guru mereka.

"Terima kasih, suhu!" seru mereka berbareng dan sikap ini saja sudah menunjukkan betapa kedua orang gadis ini telah dapat menanggalkan semua ketinggian hati yang timbul dari lingkungan keluarga mereka.

Keduanya adalah puteri menteri yang berkuasa, dan sejak kecil hidup dalam ke muliaan, kemewahan dan penghormatan. Kini, mereka tidak ragu untuk menghormati guru mereka, seorang hwesio tua yang miskin, dengan berlutut di atas tanah, tidak perduli bahwa lutut celana mereka menjadi kotor karenanya. Ketika mereka menghadap Pek-lian Ni-kouw, sebelum mereka melapor tentang ucapan suhu mereka tadi, Pek-lian Ni-kouw sudah mendahului mereka.

"Omitohud......, supek (uwa guru) telah memberi tahu kepada pin-ni bahwa sumoi berdua akan meninggalkan kuil hari ini. Aih, betapa kuatnya ikatan batin mencengkeram perasaan manusia. Omitohud... pin-ni yang sudah belasan tahun mengasingkan diri di kuil, tetapi masih saja dapat dicengkeram sehingga di saat perpisahan dengan sumoi berdua, hati ini merasa sedih dan kehilangan!" Nikouw itu menghela napas panjang.

Kedua orang gadis bangsawan itu memegang tangan nikouw itu dari kanan kiri. "Suci, percayalah, kami berdua selamanya tidak akan dapat melupakan kebaikan suci dan kelak, kalau ada kesempatan, kami pasti akan datang berkunjung," kata Kui Lan dengan suara terharu.

Kui Bi tertawa. "Aih, suci. Di mana ada pertemuan tanpa perpisahan? Justeru pertemuan menjadi peristiwa yang membahagiakan kalau didahului dengan perpisahan, bukan? Kami berterima kasih sekali kepada suci yang selama ini bukan hanya bersikap amat manis budi kepada kami, bahkan telah mengajarkan gin-kang secara, sungguh-sungguh kepada kami."

Pek-lian Ni-kouw tersenyum dan hatinya terhibur oleh sikap lincah Kui Bi. "Omitohud, kenapa kita bertiga menjadi seperti tiga orang anak kecil? Hayo, kalian cepat berkemas dan berangkat selagi hari masih pagi!" Dengan lembut ia mendorong kedua orang sumoinya itu yang segera memasuki kamar mereka untuk berkemas.

Setelah dua orang gadis itu berganti pakaian, membawa buntalan pakaian di punggung, pedang di punggung dan muncul pula di ruangan depan, Pek-lian Ni-kouw merangkul mereka seorang demi seorang dan dengan suara agak gemetar ia berkata,

"Adik-adik seperguruan, akan tetapi aku merasa seolah kalian ini seperti anak-anakku atau kepona kanku sendiri. Kalian telah mempelajari banyak ilmu pembela diri yang cukup kuat, akan tetapi waspadalah selalu. Di dunia ini banyak terdapat orang jahat. Apa lagi kalian adalah dua orang gadis yang cantik jelita dan menarik. Pin-ni khawatir kalau dalam perjalanan kalian akan menemui banyak godaan dan gangguan."

"Harap suci tidak khawatir. Kiranya tidak percuma suhu mengajarkan ilmu kepada kami, juga suci telah mengajar kami bagaimana untuk dapat membela diri dengan baik. Kami pasti akan manipu menjaga diri, suci," kata Kui Bi.

"Kalian sudah mendengar bahwa kota raja Tiang-an telah diduduki pemberontak. Lalu ke mana sekarang kalia hendak pergi?" tanya pula Pek-lian Nikouw yang masih saja mengkhawatirkan keadaan dua orang sumoinya yang amat disayangnya itu.

"Kami sudah mendengar bahwa Sri-baginda Kaisar bersama ayah kami dan bibi mengungsi ke barat. Kami akan menyusul ayah ke sana, suci," kata Kui Lan.

"Sebaiknya begitu. Kita tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya mendengar bahwa kota raja diduduki pemberontak dan Sribaginda melarikan diri ke barat. Mudah-mudahan saja kalian akan dapat bertemu dengan keluarga kalian. Pin-ni hanya akan berdoa untuk kalian berdua sumoi."

"Terima kasih, suci."

Dua orang gadis itu lalu pergi meninggalkan kuil di mana selama lebih dua tahun mereka tinggal dan berlatih silat, diantar oleh Pek-lian Ni-kouw dan para nikouw lain sampai ke luar pekarangan kuil itu. Setelah jauh meninggalkan kuil, baru kedua orang gadis itu berhenti untuk menentukan arah ke mana mereka hendak pergi.

"Enci Lan, apakah tidak sebaiknya kalau kita lebih dahulu pergi ke Tiang-an?" kata Kui Bi ketika dua orang gadis itu duduk di tepi jalan gunung itu, di atas batu besar.

"Aih, kenapa kesana, Bi-moi? Bukankah kota raja telah diduduki musuh? Akan berbahaya sekali kalau kita ke sana. Dan menurut berita, ayah menemani Sribaginda Kaisar mengungsi ke barat. Sebaiknya kalau kita langsung saja menyusul ke barat."

"Akan tetapi aku ingin sekali mengetahui apa yang telah terjadi dengan keluarga kita, enci."

"Kalau begitu, mari kita mencari keterangan yang jelas lebih dulu, baru kita menentukan langkah apa yang akan kita ambil "

Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Tiang-an. Setelah tiba di beberapa dusun dan kota, mereka mencari keterangan dan mendengar berita simpang siur tentang keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Ada yang mengabarkan bahwa menteri itu tertawan pemberontak, ada yang mengabarkan bahwa keluarga orang tua mereka telah dibunuh pemberontak, ada pula yang mengabarkan bahwa keluarga mereka itu telah ikut mengungsi bersama kaisar.

Kedua orang gadis itu merasa bingung dan berduka. "Enci Lan, sebaiknya kalau kita membagi tugas. Seorang pergi menyusul ke barat, dan seorang lagi menyelidiki ke kota raja."

"Akan tetapi, amat berbahaya kalau memasuki Tiang-an, Bi-moi. Kalau ada yang tahu bahwa kita adalah puteri Menteri Yang, tentu pemerintah pemberontakakan menangkap kita."

"Begini saja, enci Lan. Biar aku yang memasuki Tiang-an dan menyelidik keadaan orang tua kita. Engkau berangkatlah dulu ke barat menyusul rombongan kaisar. Tentu tidak sukar mencari jejak rombongan itu. Setelah aku mendapat keterangan di kota raja, baru aku akan menyusul pula ke sana."

"Akan tetapi, berbahaya sekali ke Tiang-an!"

"Aku akan berhati-hati dan menyamar, enci Lan. Pula, andaikata ada terjadi sesuatu dengan diriku, masih ada engkau di sana! Asal jangan kita berdua yang tertimpa ma lapetaka, seorang di antara kita masih akan ma mpu berjuang untuk membela Kerajaan Tang!" kata Kui Bi penuh semangat.

"Pula, bukan hanya perjalananku ke Tiang-an yang berbahaya, juga tugasmu menyusul ke barat tidak kurang bahayanya. Bahkan perjalananmu lebih jauh dan sukar dibandingkan aku. Ke Tiang-an dekat saja, akan tetapi menyusul rombongan Sri baginda ke barat? Entah sampai dimana akhir perjalanan itu. Sudahlah, enci Lan, saat ini tidak perlu kita bimbang dengan ragu dan khawatir, mari kita membagi tugas ini. Ingat akan pesan dan nasihat suhu!"

Melihat gairah dan semangat adiknya, timbul pula semangat Kui Lan. Ia memang seorang gadis yang lembut, tidak sekeras adiknya, akan tetapi pengalaman pahit membuat ia maklum bahwa ia tidak boleh terlalu lemah menghadapi kehidupan yang penuh tantangan ini. Ia teringat akan nasihat sucinya, Pek-lian Ni-kouw yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan tantangan.

Baru dilahirkan saja seorang manusia sudah menangis, tanda bahwa dalam kehidupan dia akan menghadapi segala macam tantangan! Justeru di dalam tantangan-tantangan itulah letak seni kehidupan. Tanpa adanya tantangan, kehidupan tentu akan hambar dan tidak ada artinya Justeru dengan adanya kesukaran, kesulitan, kegagalan dan sebagainya itulah maka hidup ini terasa hidup, penuh gerak, penuh daya dan upaya. Seni hidup adalah menghadapi semua tantangan dan mengatasinya!

Orang yang putus asa, orang yang menyerah terhadap keadaan, adalah orang yang tidak menunaikan tugas kehidupan ini. Kita dilahirkan untuk berdaya upaya menghadapi semua tantangan hidup. Pergunakan segala anggauta jasmani, segala daya akal pikiran, untuk berikhtiar mengatasi semua kebutuhan dan kesulitan hidup, itulah tugas kewajiban setiap orang manusia. Dan semua usaha ini didasari kepercayaan, iman dan penyerahan kepada Yang Menciptakan segala yang ada, ya, Yang Maha Pencipta, Maka Kuasa dan Maha Pengasih.


"Baiklah, Bi-moi, mari kita membagi tugas!" katanya dengan semangat yang mulai bangkit. Adiknya memandang dengan wajah berseri.

"Nah, kita berpisah di sini, enci Lan. Semoga tak lama lagi kita akan dapat saling berjumpa. Kalau aku sudah mendapat tahu keadaan sebenarnya yang terjadi di kota raja, tentu aku akan segera menyusul ke barat. Entah siapa nanti yang lebih dulu dapat bertemu dengan Han-toako dan ayah ibu, aku atau engkau."

"Selamat berpisah, adikku." Mereka berangkulan dan berciuman, lalu mengambil jalan masing-masing. Kui Bi menuju ke kota raja Tiang-an sedangkan Kui Lan menuju ke barat.

* * *

Yang Kui Lan memasuki kota Liu-ba di pegunungan Cin¬lingsan. Kota ini cukup ramai dan hari telah menjelang senja ketika gadis itu memasuki kota ini. Di sepanjang penjalanan ia telah mendengar ke arah mana perginya rombongan pengungsi kaisar, ia merasa ia lapar dan memasuki sebuah rumah ma kan yang berada di sudut kota. ia menga mb il keputusan untuk makan dulu, kemudian mencari penginapan dan besokpagi pagi sekali melanjutkan perjalanan.

Rumah makan Itu tidak berapa besar, hanya ada belasan buah meja di situ, itupun tidak penuh, hanya setengah nya terisi tamu. Kui Lan memilih sebuah meja kosong, tidak memperdulikan pandang mata para tamu di tempat itu yang semua menoleh dan memandang kepadanya dengan penuh kagum.

Memang Kui Lan seorang gadis yang cantik jelita. Wajahnya mirip sekali dengan bibinya, mendiang Yang Kui Hui, selir kaisar yang kecantikannya membuat kaisar tergila-gila. Biarpun Kui Lan sama sekali tidak menghias mukanya, tanpa bedak tanpa gincu, juga rambutnya disanggul biasa tanpa hiasan, pakaiannya juga sederhana sesuai dengan nasihat sucinya, Pek-lian Ni-kouw, namun kecantikannya yang aseli bahkan membuat semua pria di rumah makan itu, termasuk para pelayan dan pemilik rumah makan, memandangnya penuh kagum.

Hanya ada satu orang saja di antara para tamu yang tidak memandang kepadanya, walaupun tamu itupun me lihat ia me masuki rumah makan. Tamu yang sikapnya berbeda dari yang lain ini adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana pula, namun wajah nya tampan dan gagah, sikapnya tenang dan pendiam.

Kebetulan sekali ketika Kui Lan mengambil tempat duduk, tanpa sengaja ia duduk menghadap ke arah pemuda itu. yang juga duduknya menghadap kepadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi mereka saling pandang. Akan tetapi pemuda itu dengan sopan segera mengalahkan pandang matanya. Hal ini justeru menarik perhatian Kui Lan.

Semua tamu menoleh dan memandang kepadanya dengan mata seperti srigala kelaparan, akan tetapi pemuda itu bahkan mengalihkan pandang mata! Iapun menunduk, akan tetapi kerlingnya dengan tajam kadang menyambar kearah meja di depan itu walaupun ia tidak secara langsung memandang kepada pemuda tadi.

Pelayan datang menghampiri dan iapun memesan nasi dani dua macam sayuran. Telah dua tahun lebih ia ting gal di kuil, setiap hari pantang makan daging seperti para nikouw, maka iapun memilih sayur yang tidak mengandung banyak dagingnya, ia bukan memantang daging, hanya sudah terbiasa makan sayuran.

Pelayan itu memandang heran. Seorang gadis yang cantik ini, memesan masakan yang begitu sederhana dan murah. Agaknya seorang gadis yang tidak membawa banyak uang, pikirnya. Karena Kui Lan tidak mau memperdulikan keadaan sekelilingnya, ia tidak tahu bahwa di meja sebelahnya, yang berada di belakangnya, duduk tiga orang yang dari pakaiannya dapat diketahui bahwa mereka adalah tiga orang perwira.

Usia mereka antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, dan dari wajah mereka mudah diketahui pula bahwa mereka bukanlah bangsa pribumi, melainkan suku bangsa utara karena wajah mereka seperti wajah orang Mancu atau Uigur. Juga logat bicara mereka, biarpun menggunakan bahasa Han, kedengaran asing.

Ketika pelayan datang mengantarkan nasi dan dua mangkok sayuran kepada Kui Lan, sebelum gadis itu mulai makan, tiba-tiba saja tiga orang perwira itu bangkit dan menghampiri meja Kui Lan. Gadis ini mengangkat muka melihat tiga orang perwira itu berdiri di depannya, terhalang meja. Kui Lan memandang mereka dengan sinar mata bertanya, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Gadis ini memang berwatak lembut, tidak seperti adiknya yang tentu akan segera membentak dalam keadaan seperti itu.

Melihat gadis jelita itu hanya memandang dan tidak kelihatan marah dengan kemunculan mereka, tiga orang perwira itu menganggap bahwa gadis itu merupakan makanan lunak bagi mereka. Seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang panjang kecil, menyeringai, memperlihatkan deretan gigi kuning yang tidak rata, lalu berkata dengan suara yang terdengar amat ramah.

"Nona, orang secantik nona tidak sepatutnya makan nasi dengan sayur saja tanpa daging. Marilah, nona, kami bertiga mengundang nona untuk makan di meja kami. Kami sediakan hidangan yang paling lezat untuk nona, juga anggur manis yang harum."

Di dala m hatinya, Kui Lan marah kepada tiga orang yang lancang berani menegur seorang gadis yang tidak mereka kenal, akan tetapi karena ucapan si kumis panjang itu ramah, iapun menggeleng kepala tanpa menjawab, lalu mengambil sepasang sumpit di tangan kanan, dan mengangkat mangkok nasi di tangan kiri, mulai akan makan tanpa memperdulikan mereka.

"Ah, agaknya nona ini malu-malu," kata perwira ke dua yang tubuhnya tinggi besar dan matanya melotot lebar.

"Kalau begitu, biarlah kami bertiga yang pindah ke meja mu, nona. Heiii pelayan! Pindah-pindahkan hidangan kami ke meja ini!"

Pelayan datang berlarian dan tiga orang perwira itu kini duduk di seputar meja Kui Lan, ketiganya menyeringai dan mata merekpun memandang wajah Kui Lan seperti hendak menelannya bulat-bulat. Kui Lan mulai marah, akan tetapi ia masih menahan sabar. Ia menyambar buntalan pakaiannya, dan membawa mangkok nasi dan mangkok sayurannya.

Lalu ia berjalan menuju ke meja lain yang kosong, dekat dengan meja pemuda yang tadi mengacuhkannya, lalu duduk dan mulai makan nasi dan sayurannya, tanpa memperdulikan tiga orang perwira itu. Perwira ke tiga, yang tinggi kurus dan mukanya kuning pucat seperti orang berpenyakitan, menjadi marah. Dengan langkah lebar dia menghampiri meja Kui Lan.

"Heii, nona sombong! Bu ka mata mu baik-baik. Kami adalah tiga orang perwira dari kerajaan baru! Berani engkau menolak undangan kami, bahkan tidak memperdulikan kami?"

Kui Lan bangkit berdiri, ia memang tidak pandai bicara, juga merasa segan untuk bertindak kasar, akan tetapi kemarahan membuat ia menekan sepasang sumpit dengan tangan kanannya sepasang sumpit itu amblas masuk kedalam meja sampai tembus!

"Aku tidak sudi dipaksa oleh apapun!" katanya dan ia mengeluar sepotong uang perak dari buntalannya dan sekali banting, potongan perakpun amblas masuk ke dalam meja yang tebal itu. Kemudian, ia menyambar buntalannya dan pergi meninggalkan rumah makan itu tanpa berkata apapun!

Tiga orang perwira itu menyaksikan demonstrasi tenaga sinkang gadis cantik itu. Akan tetapi, agaknya mereka masih merasa penasara apa lagi merasa malu melihat betapa depan umum seorang gadis Han berani menolak undangan mereka. Itu bagi mereka merupakan penghinaan yang besar!

Sebagai anggauta pemberontak yang merasa menang, tentu saja mereka merasa berkuasa dan setiap orang rakyat harus tunduk dan taat kepada mereka! Mereka lalu melangkah keluar, menggapai belasan orang perajurit anak buah mereka yang menanti di luar rumah makan, kemudian mereka memimpin belasan orang perajurit itu untuk melakukan pengejaran pada gadis yang nampak berjalan keluar dari pintu kota Liu-ba.

Kui Lan memang merasa jengkel sekali dan peristiwa di rumah makan tadi membuat ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perja lanan saja dan kalau perlu bermala m di luar kota karena ia merasa tidak senang lagi tinggal di kota itu. Akan tetapi belum lama dia keluar dari pintu gerbang kota itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berkuda mengepungnya. Mereka itu berloncatan turun dan ia melihat bahwa tiga orang perwira yang tadi, memimpin belasan orang perajurit, telah mengepungnya.

Tiga orang perwira itu menghadang Kui Lan yang bertanya dengan lembut, "Kalian ini mau apa menghadang dan mengepung ku?"

"Ha-ha-ha, nona manis. Engkaulah bersikap kurang ajar dan menghina kami. Mudah saja bagi kami untuk menuduh mu pemberontak dan membunuhmu sekarang juga. Akan tetapi kalau engkau suka minta maaf dan mau menemani bersenang-senang malam ini, engkau akan kami maafkan," kata si kumis panjang.

Kedua pipi yang putih halus menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah itu kini mencorong. "Engkau biadab dan jahat!" katanya.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.