Mestika Burung Hong Kemala Jilid 08
"Heh,heh, makin marah semakin manis!" kata si kumis melintang dan tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak ke depan, ke arah dada Kui Lan!
Gadis ini tidak mampu menahan kesabarannya lagi. ia melangkah mundur dengan gerakan seringan burung dan begitu ka-kinya meluncur kebawah,sepatunya telah menyambar dagu si kumis panjang dengan tenaga dahsyat.
"Krekk....!!" Bagaikan disambar petir, si kumis melintang, terjengkang dan terbanting, roboh terlentang dengan mata terbelalak dan mulut berdarah, tulang rahangnya patah! Dia hanya mampu merintih-rintih.
"Gadis pemberontak!" bentak dua orang rekannya.
"Tangkap pemberontak ini!"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Kalian manusia tak tahu malu!" dan sesosok tubuh berkelebat, menerjang orang-orang di sekeliling Kui Lan dan empat orang telah roboh terpelanting.
Si tinggi besar dan si muka kuning memandang dan mereka melihat seorang pemuda berdiri di depan mereka. Kui Lan juga mengenal pemuda itu. Bukan lain adalah pemuda yang tadi duduk di rumah makan, yang berbeda dengan orang lain,sama sekali tidak mengacuhkannya, bahkan ketika bertemu pandang, segera mengalihkan pandang matanya.
"Siapa kau? Pemberontak pula?!” bentak si tinggi besar.
Akan tetapi si muka kuning terbelalak memandang pemuda itu. "Engkau.... bukankah engkau... Sia-ciangkun....??"
Si tinggi besar terkejut mendengar ucapan rekannya dan kini diapun mengenal pemuda itu. Kalau tadi dia mengenalnya adalah karena pemuda itu berpakaian biasa, sedangkan dia mengenalnya sebagai seorang panglima yang selalu berpakaian seragam.
"Sia-ciangkun... ga... gadis ini... ia seorang pemberontak...." katanya dan sikapnya seperti orang ketakutan.
"Tutup mulutmu!" bentak pemuda itu dan sikapnya sungguh amat berwibawa, seperti sikap seorang atasan terhadap anak buahnya. "Kalian kira aku tidak mengetahuinya? Sejak di rumah makan aku sudah melihat dan mendengar kalian mengganggu nona ini dan sekarang kau katakan ia pemberontak. Ulah kalian tidak seperti perwira, sepantasnya menjadi buaya-buaya darat rendahan!"
Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali tubuhnya bergerak. Si tinggi besar dan si muka kuning mengaduh dan terpelanting, dan semua perajurit yang tadi mengepung Kui Lan juga seorang demi seorang terpelanting keras dihajar oleh pemuda itu.
Kui Lan berdiri dengan pandang mata penuh kagum. Pemuda itu memang hebat, pikirnya. Wajahnya tampan, sikapnya gagah perkasa, juga jelas baik budi dan adil, dan melihat gerakannya tadi, tentu memiliki ilmu silat yang tangguh.
Pemuda itu memandang marah kepada belasan orang yang sudah dirobohkan semua. "Nah, sekarang pergilah kalian. Kalau sekali lagi aku memergoki kaliai berbuat jahat, tentu takkan kuampun lagi. Pergi!"
Bagaikan sekawanan anjing ketakutan, belasan orang itu merangkak pergi.
"Nona, maafkanlah mereka. Memang mereka itu orang orang kasar yang sudah sepantasnya menerima hajaran keras," kata pemuda itu, kini berhadapan dengan Kui Lan dan memberi hormat.
Kui Lan cepat membalas penghormatan itu. "Terima kasih," gadis ini merasa rikuh dan salah tingkah, kedua pipinya kemerahan. Akan tetapi, diam diam ia merasa penasaran karena tadi mendengar betapa si tinggi besar menyebut pemuda ini Sia-ciangkun, berarti bahwa pemuda ini juga seorang perwira pasukan pemberontak An Lu Shan yang telah menduduki kota raja!
"Apakah mereka itu anak buahmu dan kau... seorang perwira?" Gadis itu mengangkat muka memandang dan dua pasang mata bertemu panjang.
Menghadapi pandang mata yang lembut namun tajam penuh selidik itu, si pemuda nampak gugup juga. Pemuda perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, kini menjadi gugup begitu pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang amat jeli dan lembut, amat indah namun juga begitu tajam sinarnya. Kembali pemuda ini mengangkat ke dua tangan memberi hormat dan berkata,
"Dugaanmu memang benar, nona. Namaku Sia Su Beng dan aku memang seorang.... panglima kerajaan...."
"Ahhh.....!" Tentu saja Kui Lan merasa tidak senang dan mengerutkan alisnya, akan tetapi ada sesuatu yang menarik dalam ucapan pemuda itu. Ketika mengaku dirinya sebagai panglima kerajaan, pemuda itu kelihatan ragu dan juga sungkan atau malu-malu!
"Nona, harap jangan salah sangka!" katanya cepat. "Biarpun aku seorang panglima, namun sesungguhnya aku menentang pemberontakan An Lu Shan..”
"Ssttt.....!" Kui Lan merasa khawatir kalau-kalau ucapan itu terdengar orang lain dan ia memandang ke sekeliling.
"Nona, begitu engkau melawan tiga orang perwira dan pasukannya tadi aku sudah menduga bahwa engkau tentulah seorang yang menentang pemerintah baru."
"Ciangkun...."
"Aih, nona, jangan sebut aku ciangkun."
"Mari kita bicara di tempat lain, di sini merupakan jalan raya," kata Kui Lan dan Sia Su Beng mengerti akan maksud gadis itu.
Dia mengangguk lalu mengajak gadis itu meninggalkan jalan raya dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di atas batu, di sawah ladang yang sunyi dan dari tempat itu mereka dapat melihat kesekeliling yang terbuka sehingga mereka tidak perlu takut diintai dan didengar orang lain.
"Nona, aku telah memperkenalkan diri. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona? Kulihat nona memiliki ilmu silat yang tangguh."
Kui Lan sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka berdua tidak akan mengganti nama, akan tetapi akan menanggalkan nama keluarga mereka agar tidak dikenal orang. "Nama keluargaku Kui dan namaku Lan," jawabnya.
"Nona Kui Lan, nama yang indah sekali!" kata pemuda itu sambil tersenyum dan Kui Lan mencatat lagi sifat yang menarik pemuda itu di samping ketampanan dan kegagahannya, yaitu pemuda ini pandai bicara dan pandai pula merayu!
"Kalau boleh aku mengetahui, nona dari perguruan manakah?"
Kui Lan tersenyum dan Sia Su Beng merasa jantungnya seperti akan copot. Senyum itu demikian manisnya! "Maaf , ciangkun...."
"Aduh, nona Kui Lan , jangan sebut aku dengan pangkat yang menyakitkan hati itu."
"Akan tetapi kau seorang panglima."
"Itu hanya demi perjuangan menentang pemberontak An Lu Shan, harap sebut saja namaku atau cukup dengan toako (kakak) saja”
"Tapi engkaupun menyebutku nona," kata Kui Lan, diam diam merasa heran mengapa ia dapat begini akrab dengan cepatnya.
"Baiklah, aku siauw-moi (adik) dan engkau menyebutku toako. Nah, lanjutkan ceritamu, siapakah gurumu dan engkau dari perguruan mana Lan-moi (adik Lan)?"
Kui Lan merasa berdebar mendengar sebutan itu, entah mengapa, sebutan itu biasa saja tetapi keluar dari mulut pemuda itu terdengar demikian mesra dan indah! "Maaf,... toako. Aku bukan dari perguruan manapun, dan terus terang saja, suhuku melarang aku memperkenalkan namanya, harap engkau maklum." Tentu saja Kui Lan mengatakan demikian hanya untuk menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ah, tidak mengapa, Lan-moi. Memang, sebagai seorang gadis sepertimu ini, tentu saja tidak semestinya kalau baru saja bertemu lalu menceritakan segala sesuatu mengenai dirimu. Baiklah aku yang akan lebih dulu memperkenalkan keadaanku. Sejak muda sekali aku telah menjadi perwira dan aku ditugaskan di utara, dibawah perintah komandanku, yaitu panglima An Lu Shan. Aku mengikuti setiap perkembangan dan mengetahui semua gerakannya, dan sebetulnya aku sama sekali tidak setuju ketika dia menggerakan pasukan untuk memberontak dan menggulingkan Kerajaan Tang.”
"Akan tetapi kenyataannya, sekarang An Lu Shan telah menggulingkan Kerajaan Tang dan engkau tetap....."
"Kenapa tidak kau lanjutkan, Lan-moi? Katakan saja bahwa kenapa aku tetap menjadi panglimanya, berarti aku membantu pemberontakannya? Memang aku akui hal itu. Habis, apa yang dapat di lakukan seorang bawahan seperti aku? Terpaksa aku membiarkan dia melakukan pemberontakan. Akan tetapi, diam-diam aku selalu mencari kesempatan untuk mengguling kannya, bahkan kalau mungkin membunuhnya. Diam-diam aku mulai menghimpun tenaga untuk menguasai pasukan, dan mengadakan pendekatan dengan para perwira yang diam-diam masih setia kepada Kerajaan Tang. Nah, aku sudah membuka semua rahasiaku kepadamu, nona eh, adik Lan."
Kui Lan merasa senang bukan main. Pemuda ini jelas tidak berbohong, dan mengapa begitu percaya kepadanya sehingga membuka rahasia yang dapat membahayakan nyawanya itu? Kalau sampai rahasia itu ketanuan, tentu pemuda akan celaka! Ia merasa girang telah di percaya sedemikian rupa.
"Terima kasih atas kepercayaan-toako, dan maafkan keraguanku tadi.Sekarang aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku kagum sekali akan usahamu menghancurkan pemberontak. Engkau seorang gagah yang setia kepada kerajaan."
"Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Lan-moi? Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Hendak kemana dan dari manakah? Tentu saja kalau aku boleh mengetahui...."
Kui Lan menghela napas panjang. Biarpun ia sudah percaya kepada pemuda yang menarik perhatiannya ini, yang amat dikaguminya, akan tetapi ia sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka harus merahasiakan keluarga mereka dari siapapun juga. Bukan saja karena ayah mereka adalah Menteri Yang Kok Tiong yang terkenal, akan tetapi lebih dari itu, bibinya adalah selir yang Kui Hui yang lebih terkenal lagi! Ia bahkan merasa malu untuk mengakui bahwa ia adalah keponakan dari Yang Kui Hu!
"Aku hendak menyusul ayah ke barat."
"Aih, di manakah ayahmu itu, Lan moi?"
"Ayahku mengawal Sri baginda mengungsi ke barat." Lega rasa hati Kui Lan karena bagaimanapun juga, ia tida lah sama sekali berbohong. Ayahnya memang mengikuti kaisar mengungsi, ia tidak berbohong, yang dirahasiakannya hanyalah keluarganya.
Pemuda itu nampak terkejut. "Ah, kiranya ayahmu seorang pengawal Sribaginda! Kiranya keluargamu juga keluarga yang setia kepada Kerajaan Tang. Aku girang dan bangga sekali dapat berkenalan denganmu, Lan-moi. Kalau begitu, jalan yang kita tempuh mempunyai tujuan yang sama, yaitu menentang pemberontak An Lu Shan dan menegakkan kembali Kerajaan Tang. Hanya kita berbeda cara dan jalan. Aku yakin kelak kita akan dapat saling bantu dalam perjuangan kita."
"Mudah-mudahan begitu, toako. Sekarang malam hampir tiba, aku harus melanjutkan perjalanan." Gadis itu bangkit berdiri.
Sia Su Beng termenung dan menghela ia napas. "Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa kehilangan dan berduka, Lan-moi, seolah aku akan berpisah dengan seorang sahabat yang sudah lama kukenal. Sayang sekali bahwa jalan kita bersimpang, engkau ke barat dan aku kembali ke kota raja. Akan tetapi, aku selamanya tidak akan melupakanmu, Lan-moi."
"Terima kasih, engkau baik sekali, toako. Akupun.... tidak akan lupa kepadamu."
"Jaga dirimu baik-baik, Lan-moi ."
Setelah sejenak saling pandang dengan sinar mata yang membawa serta seribu satu macam perasaan, kedua orang muda itupun saling memberi hormat dan berpisah. Namun,keduanya melangkah seperti orang yang lesu dan kehilangan, saling membayangkan wajah masing-masing. Tanpa mereka sadari, kedua insan itu telah saling jatuh cinta!
Malam Itu gelap dan dingin, apa lagi hujan rintik-rintik sejak senja tadi membuat orang enggan keluar dari dalam rumah. Kota raja nampak sunyi dan hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja memaksa diri ke luar rumah, mengenakan baju tebal dan melindungi kepala dengan payung.
Di tempat yang biasanya ramai di kunjungi orang saja, seperti di rumah makan, di toko-toko, malam itu sepi sekali. Apa lagi di tanah kuburan umum itu. Sunyi dan bahkan menyeramkan. Pada malam terang bulan saja, jarang ada orang berani memasuki tanah kuburan yang hanya ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu saja, itupun di siang hari di mana keluarga si mati datang untuk bersembahyang. Akan tetapi pada malam gelap dingin dan gerimis itu, tak seorangpun yang sehat akalnya akan mau masuk ke dalam tanah kuburan.
Akan tetapi, pada malam yang menyeramkan itu, Yang Kui Bi berlutut d depan sebuah kuburan dan menangis terisakisak. ia mencoba untuk menahan agar t idak mengeluarkan suara terlalu keras, akan tetapi tetap saja ia memanggilmanggil ibunya sambil menangis.
Membayangkan ibunya membunuh diri ketika rumah mereka diserbu pemberontak dan ibunya terancam oleh para penyerbu untuk diperkosa! Siang tadi, setelah beberapa hari berada di kota raja, ia berhasil menemukan seorang wanita tua bekas seorang di antara pelayan keluarga mereka dan dari pelayan inilah ia mendengar segalanya. Ayahnya pergi mengikuti kaisar mengungsi, akan tetapi ibunya tidak mau meninggalkan rumah karena menanti kembalinya kakaknya, Yang Cin Han, ia sendiri dan enci nya.
Dan ibunya berada di rumah ketika kota raja diserbu dan rumah merekapun diserbu pemberontak .la harus menahan hatinya siang tadi, menanti sampai malam tiba baru ia datang ke tanah kuburan umum dan mengunjungi makam ibunya. Sebuah makam biasa saja, seperti kuburan penduduk biasa! Pada hal ibunya adalah seorang nyonya menteri!
"Ibu..... maafkan aku, ibu....." ia tersedu. Tiba-tiba, pendengarannya yang tajam menangkap gerakan tajam menangkap gerakan orang di belakangnya. Cepat sekali, tubuh yang tadinya berlutut di atas tanah yang becek oleh air hujan itu melompat, memutar tubuh dan ia sempat melihat sesosok bayangan menyelinap pergi. Kedukaan yang mendalam membuat Kui Bi mendendam dan marah sekali kepada pemberontak yang telah menghancurkan keluarga orang tuanya dan membuat ibunya membunuh diri. ia menduga bahwa yang melihat dan mendengarnya tadi tentulah orangnya pemberontak atau pemerintah yang baru.
Maka, kemarahannya ditimpakan kepada bayangan itu dan dengan gerakan bagaikan seekor burung walet keluar diri dalam guha, iapun melompat ke arah bayangan tadi dan langsung saja menyergap dengan tamparan ke arah pelipis orang itu.
"Wuuuttt.... plakkk!"
Tamparan itu tertangkis dan ternyata bayangan itu memiliki tenaga yang cukup kuat sehingga tangan Kui Bi yang menampar tadi tertangkis dan terpental. Gadis itu menjadi semakin marah. Begitu kedua kakinya turun ke atas tanah, iapun sudah mencabut pedangnya dan menyerang bayangan hitam itu.
Terjadilah perkelahian seru ketika bayangan itu menggunakan sebuah tongkat melakukan perlawanan dan ternyata lawan yang diserang Kui Bi itupun lihai bukan main. Malam itu gelap sekali dan hanya sekali-kali ada cahaya kilat di angkasa. Perkelahian itu lebih dikendalikan oleh ketajaman pendengaran mereka.
Bayangan itu menangkis dan mengelak, juga balas menyerang sambil mundur sehingga tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di mana terdapat sebuah lampu gantung yang memberi penerangan yang redup dan lemah sekali, namun cukup bagi mereka untuk dapat melihat bayangan masing-masing. Kui Bi tidak dapat melihat wajah orang itu, akan tetapi dari bentuk tubuhnya, ia dapat menduga bahwa lawannya seorang laki-laki yang tubuhnya sedang.
Akan tetapi yang membuatnya ia penasaran adalah kecepatan gerakan orang itu yang ternyata biarpun tidak seringan gerakannya sendiri, orang itu dapat menghalau setiap erangannya. Seolah lawan yang amat lihai! Dan ilmu tongkat orang itupun aneh dan berbahaya sekali, maka ia harus mengubah gerakan pedangnya, tidak sepenuhnya mengandalkan ilmu pedang Sian-li Kiam-sut, melainkan dicampur dengan gerakan Hong-in Sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan) yang seharusnya dimainkan dengan toya, akan tetapi terpaksa ia mainkan dengan pedangnya, dan berulang-ulang terdengar suara kaget dan kagum dari lawannya.
Tiba-tiba di angkasa terdengar ledakan keras menyusul cahaya kilat yang amat terang. Biarpun hanya beberapa detik, namun cukup bagi kedua orang itu untuk saling melihat muka dan Kui Bi cepat menahan serangannya dan berseru, "Hankoko....?!"
Pemuda itu tertawa dan suara tawa ini meyakinkan hati Kui Bi bahwa ong yang diserangnya tadi memang kakaknya, Yang Cin Han! "Bi-moi, ilmu silatmu sekarang hebat!"
"Han-koko.... ah, Han-koko. ibu kita....." Gadis itu menubruk menangis tersedu-sedu dalam rangkulan kakaknya.
Cin Han mencoba untuk menahan hatinya, akan tetapi tetap saja dua matanya menjadi basah. Dia membiar kan adiknya menangis di dadanya dan air mata adiknya itu turun seperti hujan rintik-rintik. Kemudian, setelah membiarkan Kui Bi menangis beberpa saat lamanya, dia mngusap kepala adiknya dan suaranya terdengar gembira.
"Adikku yang manis, di mana kegagahanmu? Engkau sudah demikian tangguh sekarang, akan tetapi malah bertambah cengeng! Ibu memang sudah meninggal dunia, akan tetapi itu sudah takdir Tuhan, tidak ada gunanya ditangisi! Hentikan tangismu!"
Kui Bimemang memiliki hati keras, maka ia segera dapat memulih hatinya dan kini mereka berdua mencari perlindungandi bawah atap seng makamyng lebih terawat. Pertemuan itu setidaknya merupakan hiburan bagi Kui Bi, dan mereka saling bertanya, lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Kui Bi girang mendengar bahwa kakaknya ini telah menjadi murid Sin-tung Kai-ong, pengemis sakti yang pernah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada ia dan encinya, dan sebaliknya, Cin Han kagum mendengar bahwa kedua orang adiknya menjadi murid seorang hwesio sakti.
"Akan tetapi, di mana Lan-moi? kenapa tidak bersamamu di sini?" tanya Cin Han.
"Kami memutuskan untuk membagi tugas dan berpisah, koko. Enci Lan pergi ke barat menyusul rombongan Kaisar ketika kami mendengar bahwa ayah ikut Kaisar mengungsi ke barat, sedangkan aku ke kota raja ini untuk melihat keadaan keluarga kita. Sungguh menyedihkan mendengar bahwa ibu telah meninggal dunia, membunuh diri ketika rumah kita diserbu pemberontak. Mudah-mudahan saja ayah yang mengikuti kaisar kebarat dalam keadaan selamat dan... kenapa, Han-ko?" Kui Bi bertanya ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh jari-jari tangan kakaknya dengan kuat.
"Adikku, apakah engkau ini masih adikku Kui Bi yang tabah dan pemberani, tidak cengeng dan periang, lincah jenaka dahulu itu?"
"Ihhh! Engkau ini aneh saja, Han ko. Tentu saja aku masih seperti dulu!"
"Kalau begitu, kuatkan hatimu dan dengar baik-baik," kata Cin Han masih tetap memegang lengan adiknya. "Ayah kita telah.... tewas pula dalam perjalanan ke barat...."
"Ayah....!!"
"Bi-moi, ah, Bi-moi.....!" Cin Han cepat memeluk adiknya karena tiba tiba tubuh adiknya itu menjadi lemah dan terkulai dalam pelukannya. Pingsan. Sekuat-kuatnya hati Kui Bi, baru saja ia menangisi kematian ibunya depan makam yang tak terawat, sekarang tiba-tiba saja mendengar bahwa ayahnya juga telah tewas, maka ia tidak kuat dan roboh pingsan. Cin Han menolong adiknya dan setelah menotok beberapa jalan darah gadis itu siuman kembali dan mereka berdua kembali menangis. Akan tetapi hanya sebentar Kui Bi menangis.
"Koko, ceritakan bagaimana ayah tewas...." katanya lirih,
"Aihhh, sejak dulu aku telah mengkhawatirkan kedudukan ayah yang tdak wajar, hanya karena pengaruh bibi Yang Kui Hui," katanya.
Kemudian dia menceritakan seperti apa yang didengarnya tentang ayahnya dan bibinya. Bahwa pasukan yang mengawal kaisar melarikan diri semakin tidak senang dan curiga kepada Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap biang keladi keruntuhan Kerajaan Tang, kemudian mengeroyok menteri itu sampai tewas. Cin Han tau bahwa bibi mereka, Yang Kui Hui, juga mati menggantung diri di depan orang banyak sebagai hukuman yang dipaksakan pasukan kepada kaisar mereka.
Setelah Cin Han berhenti bercerita, keduanya berdiam diri sampai lama. Hanya kadang terdengar tarikan napas panjang mereka berdua karena mereka merasa berduka, menyesal dan juga menyadari bahwa semua peristiwa itu memang bersumber dari bibi mereka, Yang Kui Hui. Andaikata bibi mereka itu dahulu tidak melindungi An Lu Shan ketika dilaporkan ayah mereka kepada kaisar, tentu tidak akan terjadi pemberontakan itu.
"Semua ini gara-gara si jahanam An Lu Shan! Aku akan membunuhnya, koko!" tiba-tiba Kui Bi berkata dengan penuh semangat.
"Hushhh, kau kira begitu mudah membunuh dia? Dia sekarang telah menjadi seperti seorang kaisar, tinggal di istana, dijaga oleh pasukan pengawal. Jangan bertindak sembarangan dan mencelakai diri sendiri, adikku."
"Han-koko, lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan berdiam diri saja menangisi malapetaka yang menimpa keluarga kita dan Kerajaan Tang, tanpa melakukan apa-apa karena kita takut celaka?"
"Bukan begitu maksudku, Bi-moi. Tentu saja kita harus melakukan sesuatu, yaitu kita harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali. Kita harus membantu untuk menentang An Lu Shan dan menghancurkannya. Tentu saja kita tidak dapat bertindak sendiri menghadapi pasukannya yang ratusan ribu orang banyaknya. Aku mendengar bahwa Gok-hong-cu hilang. Itu hanya desas-desus, akan tetapi aku ingin membantu Kerajaan Tang untuk mendapatkan kembali Mestika Burung Hong Kemala itu. Kabarnya, Sri baginda menitipkan kepada ayah, akan tetapi ketika ayah meninggal, tidak ada yang tahu di mana mestika itu disembunyikan. Lalu, aku mendengar desas-desus bahwa Bouw Koksu hendak mengirim pasukan khusus untuk mencari pusaka itu. Agaknya dia telah mengetahui tempatnya, maka aku akan membayangi pasukan itu dan kalau mungkin aku akan merampas mestika itu dari tangan mereka!"
Kui Byang sejak tadi termenung memikirkan sesuatu,mengangguk. "Baiklah, kita sama-sama membantu Kerajaan Tang dengan cara kita sendiri, koko. Apakah di kota raja ini terdapat orang yang bisa dipercaya dan masih setia kepada Kerajaan Tang?"
"Banyak, Bi-moi. Banyak kawan-kawan kita dan mereka itu diam-diam juga sudah siap untuk bergerak menentang An Lu Shan kalau saatnya tiba."
"Bagus! Kalau begitu, antarkan aku kepada mereka, koko. Aku ingin bergabung dengan mereka menentang si jahanam An Lu Shan!"
"Baik, Bi-moi, akan tetapi hati-hati, jangan engkau bertindak sembrono dan berusaha membunuh sendiri An Lu Shan. Itu berbahaya sekali dan engkau takkan berhasl."
"Aihh, Han-ko, apakah kau kira adikmu ini masih kanak kanak. Aku bukan anak kecil lagi, Han-ko. Aku dapat menjaga diri dan akan berlaku hati-hati."
Malam itu juga, Cin Han mengajak adiknya ke sebuah rumah besar milik Ji Siok, seorang hartawan yang karena pandai mempergunakan hartanya, maka dia sekeluarga dapat hidup aman dan selamat dari serbuan pasukan pemberontak. Bahkan dengan hartanya, Ji Siok yang disebut Ji-wangwe (Hartawan Ji) kini dapat bergaul dengan para pejabat tinggi yang baru.
Tidak ada seorangpun dapat mengetahui isi hatinya bahwa dia sebetulnya merupakan seorang yang setia kepada Kerajaan Tang! Ji-wangwe ini pula yang diam-diam membiayai para pendukung Kerajaan Tang yang diam-diam mempersiapkan diri untuk bergerak apabila saatnya tiba, yaitu apa bila pasukan Kerajaan Tang datang menyerbu Tiang-an untuk merampas kembali tahta kerajaan yang direbut oleh An Lu Shan.
Ji-wangwe yang tidak mempunyai anak, bersama isterinya menyambut kunjungan Cin Han malam itu dengan gembira. Mula-mula, ketika Cin Han datang beberapa pekan yang lalu, Ji-wangwe menyambutnya dengan alis berkerut.
Mengetahui bahwa Cin Han adalah putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap melemahkan Kerajaan Tang, mendatangkan rasa tidak senang dan kecurigaan. Akan tetapi setelah Cin Han, menjelaskan bahwa dia sendiri bersama para adiknya tidak senang dengan kedudukan ayah mereka, tidak suka pula kepada sepak terjang bibinya yang mempergunakan kecantikan mempengaruhi kaisar dan mengadakan hubungan dengan An Lu Shan Ji-wangwe dapat menerimanya. Maka, ketika Cin Han malam itu muncul dan memperkenalkan Yang Kui Bi, adiknya, gadis itupun diterima dengan ramah oleh Jiwangwe.
"Jangan khawatir, kongcu," kata hartawan itu kepada Cin Han. "Biarkan adikmu tinggal di sini, akan kami perkenalkan sebagai keponakan kami dari selatan, ia memakai she Kui dan bernama Bi, Baik, akan kami katakan bahwa ia anak dari seorang adik piauw (misan) kami di selatan."
Hartawan Ji senang sekali ketika mendengar bahwa Ku Bi adalah seorang gadis yang juga memliki ilmu silat tinggi, bahkan yang bertekad untuk membantu perjuangan menentang An Lu Shan yang amat dibencinya.
"Dan bagaimana dengan rombongan Bouw Koksu, paman Ji? Apakah sudah-ada berita tentang keberangkatan mereka?" tanya Cin Han.
Dari pertanyaan ini saja, tahulah Kui Bi bahwa agaknya hartawan ini memegang kedudukan penting di kalangan mereka yang mendukung kerajaan Tang sehingga merupakan sumber percarian berita.
"Sudah ada ketentuan. Mereka akan berangkat besok pagi-pagi. Bouw Koksu sendiri tidak pergi, akan tetapi puteranya, Bouw-ciangkun yang akan pergi bersama dua losin pasukan khusus yang pilihan, dan kabarnya dia akan di ditemani oleh seorang gadis yang memiliki ilmu silat lihai sekali. Karena itu, engkau harus berhati-hati, kongcu."
Cin Han mengangguk-angguk. Dia sudah tahu siapa Bouw-ciangkun, seorang perwira muda bangsa Khitan yang berhati keras. Malam itu, kakak beradik itu melanjutkan percakapan mereka, membicarakan segala pengalaman mereka, dan sekali ini, Ji-wangwe ikut dalam percakapan mereka sehingga hartawan ini semakin yakin bahwa para putera dan puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong ternyata merupakan orang-orang muda yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan juga setia kepada Kerajaan Tang. Mereka berdua ini saja dapat merupakan pembantu yang boleh diandalkan, pikirnya girang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Cin Han sudah meninggalkan rumah itu dalam pakaian seperti seorang pengemis muda. Tak lama kemudian, dia sudah membayangi rombongan pasukan yang dipimpin oleh Bouw Ki yang ditemani oleh Can Kim Hong. Rombongan ini menunggang kuda, akan tetapi tidak sukar bagi Cin Han untuk dapat terus membayangi mereka dengan mempergunakan ilmu berlari cepat.
Ketika rombongan berkuda itu menyusuri tepi sungai Yang-ce, lebih mudah lagi baginya untuk membayangi. Dia menggunakan sebuah perahu kecil yang dibelinya dari seorang nelayan. Kini dia dapat membayangi rombongan itu dengan seenaknya, diatas perahu sehingga dia tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
Souw Hui San berdiri menghadapi tebing gunung karang dan memandang dengan kagum ke arah guha-guha yang berjajar seperti sumur miring itu. Betapa hebat dan megahnya alam, pikirnya. Betapa sakti dan mahakuasanya Sang Pencipta semua ini! Dan diapun kagum akan kecerdikan mendiang Menteri Yang Kok Tiong, yang telah menyembunyikan benda pusaka Kerajaan Tang itu di salah satu di antara guha-guha itu.
Guha ke tiga memang merupakan guha paling kecil dan paling tidak mengesankan, tidak menarik perhatian orang untuk mendekatinya. Selain jalan menuju ke guha ke tiga itu harus memaniat batu karang licin, juga banyak batu terlepas sehingga berbahaya. Hui San adalah seorang pendekar Gobi-pai yang cerdik dan biarpun dia memiliki watak yang nakal dan ugal-ugalan, akan tetapi dia cermat dan waspada.
Setelah menemukan tempat itu, dengan cara yang tidak menyolok seperti seorang pelancong yang tersesat ke tempat ini, dia menemukan guha-guha itu. Akan tetapi, walaupun sejak tadi dia tidak bertemu orang di daerah pegunungan itu, juga tidak melihat adanya orang yang membayanginya, dia tidak tergesa-gesa menghampiri guha. Kegirangan telah bertemu dengan tempat itu tidak membuatnya lengah.
Dia lalu menyelinap ke balik sebuah batu karang, lalu dengan gerakan cepat sekali dia mendaki puncak bukit dari arah belakang. Tak lama kemudian,dia telah mengintai dari puncak, memandang ke sekeliling. Barulah hatinya lega setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada seorangpun nampak di sekitar tempat itu.
Dia lalu cepat turun dari puncak, menghampiri tebing dan berhadapan dengan guha-guha tadi lagi. Dia masih menoleh ke kanan kiri dan belakang sebelum dia mendaki tebing menuju ke arah guha ke tiga. Guha itu kecil dan dia harus membungkuk untuk merangkak masuk. Dan di sudut guha itu, tertutup tumpukan batu-batu karang berkapur, dia menemukan benda yang dicarinya.
Sebuah kotak berukir indah berwarna hitam! Ketika tutup kotak itu dibukanya, di dalamnya terdapat benda pusaka itu. Mestika Burung Hong Kemala yang aseli! Bentuknya tidak berbeda jauh dari yang dibawa dalam buntalannya, yaitu bentuk seekor burung Hong. Akan tetapi benda pusaka ini mengeluarkan cahaya cemerlang, dan batu gioknya memiliki warna-warni yang aneh, ada warna kemerahan, kehijauan, biru dan coklat kuning! Dan u-kiran burung Hong-nya juga amat indah. Sebuah hasil seni yang menakjubkan dan amat langka!
Hui San memasukkan kotak kecil itu ke dalam buntalan pakaiannya, kemudian dia keluar dari dalam guha. Keluarnya juga bukan begitu saja. Dia mengintai dulu dari dalam guha sampai lama, sampai dia merasa yakin tidak ada mata manusia lain melihatnya, baru dia meloncat keluar dari dalam guha itu Seperti tadi, diapun berhati-hati dan setelah yakin tidak ada orang melihatnya, baru dia memasuki guha ke tujuh yang lebih besar. Dia memasuki guha itu, lalu menukar isi kotak hitam dengan burung Hong Kemala yang dibawanya dari Tiang-an.
Yang palsu dia masukkan ke dalam kotak hitam dan meletakkannya ke dalam guha, di sudut yang gelap, sedangkan yang aselinya dengan aman berada dalam buntalan pakaiannya! Kemudian, diapun keluar dari dalam guha setelah mengintai lebih dahulu dan dengan hati ringan karena gembra telah berhasil melaksanakan tugas nya, diapun meninggalkan tebing itu Akan tetapi dia tidak segera turun begitu saja dari tebing itu, melainkan mendaki naik ke puncak.
Dengan demikian, andaikata ada orang melihatnya tentu orang itu mengira bahwa dia mendaki puncak da hanya kebetulan saja lewat di depan tebing itu, bukan bermaksud pergi ke tebing. Setelah tiba di puncak, dia berist irahat, duduk di balik batu kasar untuk berlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah naik tinggi, lalu mengeluarkan tempat minuman.
Setelah meneguk minuman dia bangkit berdiri, mengikatkan kembali buntalan pakaiannya di punggung, dan menuruni bukit itu dari lereng yang berlawanan di mana terdapat pohon-pohon besar di sepanjang lereng yang penuh hutan, walaupun tidak begitu lebat pohonnya, namun karena usianya sudah tua maka pohon-pohon itu tinggi dan besar batangnya.
Setelah tiba di hutan pertama, diapun memanjat pohon tertinggi dan me mandang ke sekeliling. Tiba-tiba dia nampak mengerutkan alisnya. Dari arah puncak, dari mana dia turun tadi, dia seperti melihat bayangan orang berkelebat cepat lalu lenyap, dan ketika dia melihat ke bawah, dia melihat debu mengepul dan serombongan orang berkuda sedang mendaki bukit!
Tak lama kemudian, Hui San sudah menyelinap di balik semak-semak dan mengintai ketika seorang gadis menuruni puncak dan lewat di dekat semak itu. Dan diapun menahan napas. Bukan main! Belum pernah dia melihat gadis secantik ini! Dan inipun tidak aneh karena sejak kecil dia tinggal di pegunungan Gobi-san yang sunyi dan kalaupun pernah dia bertemu wanita, maka yang di jumpainya hanyalah gadis-gadis pegunungan di Gobi-san yang sederhana sekali.
Akan tetapi gadis yang lewat di dekatnya itu demikian cantik jelita seperti bidadari! Bidadari yang lembut, namun gagang pedang di punggungnya itu menunjukkan bahwa gadis itu tidak selembut seperti nampaknya. Dan gadis itu memegang sebatang tongkat yang mungkin ditemukannya di bawah pohon karena tongkat itu hanyalah sebatang ranting pohon yang masih ada beberapa helai daunnya.
Timbul kekhawatiran di hati Hui San. Gadis jelita itu menuruni bukit dan pasti akan bertemu dengan rombongan orang berkuda itu! Dia mendapatkan perasaan tidak enak, seolah merasakan bahwa gadis yang seperti bidadari itu akan terancam bahaya, maka diam-diam dia lalu membayangi gadis itu. Dari langkahnya saja dia dapat menduga bahwa gadis itu membawa pedang bukan sekedar untuk memasang aksi, melainkan ia seorang gadis yang sungguh memiliki kepandaian.
Kini derap kaki kuda itu sudah terdengar dari situ. Rombongan orang berkuda dari bawah itu sudah dekat, akan tetapi gadis cantik itu masih tetap berjalan dengan santai! Hui San menjadi semakin khawatir. Ingin dia meneriaki gadis itu agar bersembunyi atau menyingkir saja. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, gadis itu tidak akan percaya, dan bagaimana kalau rombongan orang itu memang tidak merupakan rombongan orang jahat?
Rombongan orang berkuda itu kini muncul di tikungan jalan dan mereka tidak lagi dapat membalapkan kuda mereka karena jalan itu mendaki dan kasar. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan. Sekali pandang saja tahulah Hui San bahwa rombongan orang berkuda itu adalah rombongan pasukan pemerintah pemberontak! Tentu saja dia merasa khawatir sekali. Dari tempat persembunyiannya, dia melihat betapa gadis cantik itu berhenti melangkah dan agak menepi untuk membiarkan rombongan orang berkuda itu lewat melalui jalan yang sempit itu.
Gadis itu Kui Lan yang melakukan perjalanan ke barat untuk menyusul rombongan kaisar yang melarikan diri mengungsi, ia masih terkenang dengan hati penuh kagum kepada Sia Su Beng, pemuda perkasa yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Ketika ia tiba di pegunungan yang sepi itu, ia mengambil jalan pintas, mendaki puncak bukit dan kini tiba-tiba di tempat sunyi itu ia berpapasan dengan serombongan orang berkuda yang berada di depan adalah seorang perwira muda yang gagah dan tampan, berpakaian perwira.
Tentu Sia Su Beng akan nampak lebih gagah dari pada orang ini kalau dia berpakaian perwira, Kui Lan membayangkan. Dan di samping pemuda perwira itu duduk seorang gadis cantik dan gagah di atas seekor kuda putih. Kemudian di belakang mereka nampak duapuluh lebih perajurit berkuda, kesemuanya kelihatan gagah dan garang. Bertemu dengan serombongan perajurit yang tentu merupakan perajurit anak buah pemberontak An Lu Shan.
Kui Lan merasa sebal dan tidak senang. Akan tetapi, iapun tahu bahwa tidak semestinya ia mencari keributan menghadapi demikian banyak orang. Apa lagi perwira itu kelihatan bukan orang lemah. Maka, iapun sengaja menepi untuk memberi jalan agar rombongan berkuda itu lewat.
Perwira itu adalah Bouw Ki dan gadis di sampingnya adalah Kim Hong. Rombongan itu adalah rombongan pasukan yang ditugaskan oleh Bouw Koksu untuk pergi ke pegunungan itu dan mengambil Mestika Burung Hong Kemala seperti yang digambarkan pada peta yang dibeli oleh Bouw Koksu dari Souw Lok. Ketika Bouw Ki melihat seorang gadis cantik jelita di pegunungan yang sunyi itu, tentu saja dia merasa curiga dan dia mengangkat tangan kiri ke atas sebagai isyarat agar pasukannya berhenti.
Kim Hong menoleh dan memandang kepada suhengnya, kemudian kepada gadis cantik yang berdiri di tepi jalan, ia sendiripun merasa heran melihat di tempat sunyi dan sulit seperti itu terdapat seorang gadis cantik melakukan perjalanan seorang diri, akan tetapi melihat gagang pedang di punggung gadis itu, iapun dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki kepandaian untuk menjaga dan membela diri. Dan karena gadis itu tidak dikenal, maka sebetulnya tidak ada perlunya suhengnya menyuruh berhenti pasukannya.
Akan tetapi Bouw Ki sudah mengerutkan alisnya dan memandang Kui Lan dengan alis berkerut dan penuh kecurigaan. "Siapakah engkau dan ada keperluan apa berkeliaran di sini? Hayo cepat jawab sejujurnya!" tanya Bouw Ki yang diam-diam mengagumi kecantikan gadis yang berdiri di depannya itu. Jelas gadis gunung, bukan gadis dusun kenyataan ini menambah kecurigaannya.
Akan tetapi diam-diam Kim Hong tidak senang dengan sikap dan pertanyaan kasar yang dilontarkan suhengnya kepada gadis itu. Akan tetapi ia diam saja dan hanya memandang.
Mendengar pertanyaan orang yang nadanya memerintah dan memaksa itu. Kui Lan juga mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena ia tidak biasa bersikap kasar, iapun hanya membuang muka, lalu berkata lembut namun cukup ketus. "Aku tidak ingin mengenal kalian dan tidak ingin memperkenalkan diri. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!"
Setelah berkata demikian, Kui Lan menggerakkan kakinya melangkah hendak melanjutkan perjalanan. Hampir Kim Hong tertawa geli melihat roman muka suhengnya. Rasakan kamu, pikirnya. Akan tetapi Bouw Ki meloncat turun dari atas pelana kudanya dan menghadang di depan Kui Lan.
"Kurang ajar! Nona, apakah engkau tidak dapat memberi jawaban yang baik. Aku tanya kepadamu, siapa engkau dan apa urusanmu di tempat ini!"
Kini mengertilah Kim Hong akan sikap suhengnya. Tentu suhengnya merasa curiga melihat seorang gadis di tempat ini, tempat penyimpanan pusaka itu! Dan ia tidak dapat terlalu menyalahkan suhengnya, karena memang kehadiran gadis itu di tempat ini menimbulkan kecurigaan kalau-kalau gadis itu mempunyai hubungan dengan benda pusaka kerajaan itu. Akan tetapi tentu saja Kui Lan tidak tahu tentang hal itu, dan hatinya mendongkol bukan main.
"Aku melihat engkau seorang ciangkun," katanya, suaranya tetap lembut namun nadanya mencela, "kurasa engkau lebih tahu tentang peraturan dan sopan santun. Aku berada di tempat umum, apapun yang kulakukan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali denganmu. Biarpun engkau seorang perwira, engkau tidak berhak.”
"Saat ini, daerah ini merupakan kekuasaan kami dan siapapun juga wajib melaporkan kepada kami apa yang dilakukannya di sini!" kata Bouw Ki.
"Kalau aku tidak mau memberi tahu?"
"Terpaksa engkau kami curigai dan kami tawan!"
Sesabar-sabarnya, Kui Lan menjadi marah. Tiada hujan tidak angin, tanpa sebab tertentu, hanya karena ia kebetulan lewat di situ dan t idak mau memperkenalkan diri, ia hendak ditawan! Akan tetapi ia memang berwatak halus dan sabar, maka ia masih dapat menahan kemarahannya. "Baiklah, namaku Kui Lan dan aku kebetulan lewat di sini. Salahkah itu?"
Akan tetapi Bouw Ki sudah terlanjur marah dan curiga, juga dia merasa sayang kalau gadis secantik itu dibiarkan lolos begitu saja! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan haus wanta, akan tetapi gadis secantik itu amat sukar didapat, biar di kota raja sekalipun! "Kami tidak percaya. Terpaksa engkau kami tawan dulu!"
"Suheng, apa gunanya itu?” tiba-tiba Kim Hong bertanya.
"Sumoi, kita harus menahannya sampai selesai urusan kita, kalau ia memang tidak merupakan gangguan, kita lepaskan kembali," kata Bouw Ki dan kembali Kim Hong dapat mengerti maksud suhengnya.
Memang gadis ini bagaimana pun juga, mencurigakan. Siapa tahu ia datang ada hubungannya dengan Mestika Burung Hong Kemala. Memang sebaiknya ditahan dulu dan kalau ternyata nanti bahwa mereka dapat menemukan pusaka itu dan gadis ini tidak ada hubungannya sama sekali, mudah dilepas kembali. Maka iapun mengangguk membenarkan.
"Nona Kui Lan, menyerahlah. Kami tidak ingin menggunakan kekerasan, hanya ingin menawan nona untuk sementara. Lucuti nona ini dari senjatanya!" perintah Bouw Ki kepada orang-orang yang berada di belakangnya.
Dua orang perajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka dan dengan penuh gairah mereka menghampiri Kui Lan sambil menyeringai kurang ajar seperti biasanya sikap laki-laki tidak sopan kalau berhadapan dengan gadis cantik. "Nona, serahkan pedang dan buntalanmu kepada kami, dan mari membonceng di kudaku bersamaku," kata yang tinggi kurus.
"Membonceng saja di kudaku, nona, kudaku lebih kuat," kata yang pendek gemuk.
Kui Lan mengerutkan alisnya, akan tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara tawa dan muncullah seorang pemuda yang pakaiannya kedodoran, kepalanya tertutup caping lebar. Pemuda itu pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik dengan lengan baju digulung sampai siku, Wajahnya yang dilindungi caping itu bulat dan nampak periang, mulutnya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
"Ha-ha-ha, harap engkau jangan berat sebelah dan tidak adil, ciangkun!" kata pemuda yang bukan lain adalah Souw Hui San itu.
Melihat kemunculan pemuda ini secara tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar, semua orang memandang dan Bouw Ki menjadi semakin curiga, bahkan Kim Hong juga merasa curiga sekali.
"Orang gila jangan bicara sembarangan!" Bouw Ki membentak. "Siapa engkau dan apa pula keperluanmu di sini?"
Pemuda itu memandang ke kanan kiri, ke arah pohon-pohon besar dan sambil tersenyum lebar dia berkata, seperti kepada batang-batang pohon itu, "Ha ha, kalian dengar? Dia bertanya apa keperluanku di sini? Heii, kakek-kakek pohon, apa pula keperluan kalian berada di sini sampai ratusan tahun? Ciangkun, aku bernama Souw Hui San, dan aku seorang perantau, menjelajahi mana saja tanpa tujuan. Aku kebetulan saja berada di sini dan engkau tidak adil kalau mengundang nona itu untuk diajak makan sedangkan aku tidak diundang!"
Dia menghampir Bouw Ki sambil tersenyum. "Berilah aku seekor kuda, boncengan juga boleh dan aku akan mengikut kalian, ikut pula makan minum gratis, heh-heh-heh!"
"Hemm, orang sinting!" bentak Bouw Ki, akan tetapi karena dia merasa curiga, tangannya menyambar dan tangan itu telah mencengkeram pundak Hui San. Pemuda itu berteriak kesakitan dan pedang serta buntalannya telah dirampas oleh Bouw Ki.
"Sumoi, periksa ini buntalannya!" kata Bouw Ki sambil melemparkan buntalan itu kepada Kim Hong. Gadis itu menerima buntalan dan melompat turun dari atas kudanya.
Hui San yang sudah dilepas pundaknya, menyeringai dan mengaduh-aduh kesakitan sambil memandang kepada Kim Hong yang melepaskan ikatan buntalan pakaiannya.
"Aih, nona, awas jangan sampai jari-jari tanganmu terbakar!" teriaknya dan teriakannya itu demikan bersungguh-sungguh sehingga mengejutkan banyak orang yang menyangka bahwa ada rahasia atau racunnya dalam buntalan itu.
Akan tetapi Kim Hong adalah seorang yang waspada, ia hanya tersenyum mengejek dan tetap membuka buntalan itu.Tidak terjadi kebakaran atau bahaya apapun menimpa tangan gadis itu. Isinya hanya pakaian dan tempat makanan dan minuman, tidak ada apa-apanya yang aneh.
"Hemm, kenapa kau tadi katakan jari-jari sumoiku dapat terbakar?" bentak Bouw Ki marah.
"Heh-heh, ada pakaianku, celana dan baju yang belum kucuci, bekas kupakai... maka aku katakan agar jangan sampai tangan nona itu terbakar....... eh, maksudku kotor."
Beberapa orang perajurit tertawa mendengar ini dan wajah Kim Hong berubah merah sekali mendengar bahwa baru saja ia memegang celana yang bekas dipakai dan belum di cuci, dapat dikatakan masih "hangat" maka pemuda itu tadi memperingatkan agar tangannya jangan sampai terbakar, ia membuang buntalan itu ke arah pemiliknya.
"Ihh, jorok!" katanya. Akan tetapi ketika ia memandang wajah pemuda itu, kemarahannya lenyap bahkan ia menahan perasaan geli hatinya. Pemuda itu sama sekali tidak memilki tampang orang jahat, juga sinar matanya tidak menunjukkan bahwa dia sinting atau setengah gila, bahkan kelihatan cerdik sekali. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. ia mengambil pedang pemuda itu dari tangan suhengnya dan mencabutnya. Semua orang berseru kagum melihat sinar terang menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut dari sarungnya yang nampak butut.
"Hem, pedang bagus!" kata Bouw Ki. "Bagaimana pedang sebaik ini dapat berada di tangan orang tak percuma ini?"
Kim Hong merasa curiga dan mengelebatkan pedangnya. Gerakannya cepat bukan main sehingga nampak sinar menyambar. Kui Lan terkejut dan hampir saja digerakkan tongkat di tangannya untuk melindungi pemuda itu. Akan tetapi ia menahan diri dan nampak pemuda itu berteriak ketakutan dan melindungi kepala dengan kedua tangannya. Sinar pedang itu membabat ujung bajunya sehingga terputus.
"Aduhhhh... celaka aduh, buntung.....!" teriak Hui San yang berjingkrak seperti orang kesakitan. Gayanya demikian menyakinkan sehingga Kim Hong sendiri merasa terkejut, mengira bahwa sabetan pedangnya yang dilakukan untuk menguji kepandaian pemuda itu benar-benar telah melukainya.
"Apanya yang buntung?" bentak Bouw Ki.
"Ini.... bajuku...." kata Hui San dan kembali para perajurit tertawa. Beberapa orang di antara mereka mengatakan bahwa pemuda itu tentu miring otaknya.
"Siapa bilang otakku miring?" Hui San yang mendengar ucapan itu menoleh, sikapnya marah. "Jangan sembarangan bicara, ya? Pedangku ini pemberian kakekku dan para pendekar besar di dunia ini adalah sahabat baiknya! Apa kalian tidak tahu siapa itu Pangeran Li Si Bin yang sakti?"
Sikap Hui San demi kian congkak seolah-olah pangeran yang kemudian menjadi Kaisar Tang, yaitu Kaisar Tang Thai Cung pendiri Kerajaan Tang itu adalah kakeknya! "Dan apa kalian tidak tahu siapa itu guru besar Tat Mo Couw-su?"
Semua orang terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama pangeran sakti itu dan pendeta Siauw-lim-pai yang juga amat terkenal sebagai pendiri pertama dari ilmu silat Siuaw-lim-pai yang amat terkenal, seolah pangeran sakti itu kakeknya dan pendeta sakti itu gurunya saja.
Kim Hong juga terkejut. Apakah pemuda ini masih mempunyai darah bangsawan dari para kaisar Tang keturunan marga Li? Dan apakah pemuda ini seorang tokoh Siauw-limpai yang begitu berani menyebut-nyebut nama Tat Mo Coauwsu?
"Hemm, memangnya siapa itu Pangeran Li Si Bin dan pendeta Tat Mo Couw-su? Apamu mereka itu?" Tanya Kim Hong ingin tahu sekali.
"Aihh, nona! Engkau tidak tahu? Pangeran Li Si Bin adalah pendiri Kerajaan Tang yang kemudian menjadi kaisar ke dua berjuluk Tang Thai Sung, sedangkan Tat Mo Couwsu adalah pendiri aliran Siauw-lim-pai! Tentu saja mereka bukan apa-apaku, aku hanya bertanya siapa mereka!"
Semua perajurit tertawa. Lagak pemuda itu demikian congkak, dan ucapannya seperti yang sungguh-sungguh ternyata hanya berkelakar saja.
"Sinting!" Bouw Ki memaki. "Tangkap dia!"
"Suheng, untuk apa menawan orang sinting ini? Menjadi beban saja bahkan dia akan selalu menimbulkan keributan di jalan. Biarkan dia pergi," kata Kim Hong.
Bouw Ki membenarkan pendapat sumoinya. Memang orang sinting ini tidak ada gunanya ditahan, tidak seperti nona cantik itu. "Nah, pergilah!" bentaknya.
Hui San memandang kepada pedang di tangan Kim Hong. "Apakah nona hendak merampas pedang pemberian kakekku? Aku akan kabarkan di seluruh penjuru dunia kangouw bahwa ada seorang nona muda yang cantik jelita, yang ada lesung pipit di pipi kirinya, dengan semena-mena telah merampas pedang pemberian kakekku, pedang keluarga yang turun temurun. Seorang nona yang cantik jelita dan gagah perkasa ternyata telah bertindak curang, tidak sesuai dengan watak para pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan, pembela kebenaran dan keadilan."
"Nih pedangmu! Siapa sih yang ingin merampok pedangmu? Menyebalkan!" kata Kim Hong dan ia melemparkan pedang yang sudah berada dalam sarungnya itu kepada pemiliknya.
"Tokk!"
Oleh karena pemuda itu tidak mampu mengelak atau menyambut pedangnya, maka gagang pedang itu menimpa dahinya, mengeluarkan bunyi dan di dahi yang terketuk gagang pedang itu mendadak saja muncul sebutir telur ayam! Kembali para perajurit tertawa dan dengan bersungut-sungut Hui San meninggalkan tempat itu, membawa buntalan dan pedangnya.
"Pendekar sinting!" Para perajurit berteriak mengejek.
Hui San berhen melangkah, memutar tubuh dan mengamangkan tinju ke arah mereka. "Huh, orang gila itu tidak perlu dilayani!" kata Bouw Ki. "Lucuti nona itu, cepat!"
Dua orang perajurit yang tadi tertunda perbuatannya melucuti Kui Lan karena munculnya Hui San yang dianggap orang gila, kini melanjutkan lagak mereka. "Berikan buntalanmu, nona!"
"Kesinikan pedangmu itu, nona!"
Mereka berdua menjulurkan tangan hendak merampas buntalan dan pedang. "Pergilah!" bentak Kui Lan dan sekali tongkatnya bergerak, entah bagaimana kedua orang perajurit itu terlempar jauh ke belakang dan jatuh berdebuk dengan keras, membuat mereka meringis kesakitan karena pinggul mereka menimpa tanah dengan kuatnya.
Tentu saja semua orang terkejut. Para perajurit itu merupakan perajurit pilihan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Bagaimana mungkin ketika gadis jelita itu menggerakkan ranting di tangannya, kedua orang perajurit itu terlempar begitu saja? Melihat betapa gadis cantik itu ternyata lihai, kecurigaan Bouw Ki semakin meningkat. Kalau gadis ini seorang yang lihai, jelas ada hubungannya dengan pusaka kerajaan itu, pikirnya.
"Kepung, tangkap gadis mata-mata ini!" bentaknya sambil mencabut pedangnya. Para perajurit bergerak dan mengepung.
"Sungguh tidak malu, begini banyaknya laki-laki mengeroyok seorang gadis!" terdengar bentakan nyaring dan muncul seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis dan memegang sebatang tongkat butut.
Melihat pemuda yang wajahnya tampan, sikapnya gagah dan matanya mencorong ini, Kim Hong dapat menduga bahwa pemuda jembel yang pakaiannya tambal-tambalan ini pun seorang yang mencurigakan dan agaknya, tidak seperti pemuda sinting tadi, pemuda jembel ini bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, seperti gadis cantik itu.
Dan iapun menduga bahwa tentu munculnya pemuda ini ada hubungannya dengan perebutan Mestika Burung Hong Kemala, maka sekali melompat ia sudah berada di depan pemuda itu. Kui Lan tentu saja mengenal suara kakaknya. Ketika ia menoleh, ia mengenal kakaknya walaupun kakaknya mengenakan pakaian tambal-tambalan. Tentu saja ia menjadi girang bukan main, akan tetapi ia bersikap pura-pura tidak mengenalnya karena ia maklum bahwa mereka harus merahasiakan keadaan keluarga mereka.
Bouw Ki terkejut bukan main ketika dia menerjang maju dengan pedangnya. Gadis itu menggerakkan tongkatnya dan ketika pedangnya bertemu dengan tongkat, seperti ada getaran yang aneh dan amat kuat membuat telapak tangannya seperti lumpuh dan hampir saja pedangnya terlepas. Cepat dia menarik pedangnya, meloncat ke belakang dan membiarkan anak buahnya mengeroyok.
Gadis itu memainkan ranting kayu secara dahsyat dan itulah Hong-in Sin-pang. yang disertai gin-kang yang membuat tubuh gadis itu seperti seekor burung walet beterbangan dengan amat gesitnya. Sementara itu, ketika Yang Cin Han dihadang oleh gadis cantik itu, dia mengira bahwa gadis itu hanya gadis biasa saja.
Maka, ketika gadis itu menerjang maju, Cin Han sudah menggerakkan tongkat bututnya untuk menotok dan membuat gadis itu tidak berdaya. Tadinya, Cin Han hanya ingin membayangi rombongan itu, untuk membiarkan mereka menemukan Mestika Burung Hong Kemala, kemudian dia akan mencoba untuk merampasnya. Akan tetapi melihat betapa rombongan itu bertemu dengan seorang gadis yang ternyata adalah adiknya, Yang Kui Lan, tentu saja dia tidak dapat membiarkan adiknya diganggu mereka.
Dia sudah mendengar dari Ji-wangwe bahwa Bouw-ciangkun membawa seorang gadis yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu gadis yang menghadangnya itu yang dimaksudkan, akan tetapi dalam hatinya, Cin Han tidak yakin bahwa gadis yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena itu, dia menggerakkan tongkatnya sekedar untuk menotok gadis itu tanpa menyakitinya agar gadis itu menjadi lumpuh dan menghentikan perlawanannya.
"Wuuuut, plak-plak-plak....!"
Cin Han terkejut bukan main. Bukan saja gadis itu mampu menghindarkan diri dari totokannya, bahkan tiga kali berturut-turut dia harus memutar tongkat menangkis ketika gadis itu, dengan gerakan aneh sekali, menyerang dengan tamparan bertubi-tubi dan setiap tamparan membawa angin pukulan yang amat dahsyat! Tentu saja kini Cin Han tidak berani memandang ringan. Dia lalu memutar tongkat bututnya dan memainkan Tai-hong-pang.
Kini berbalk Kim Hong yang terkejut bukan main karena tongkat butut itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, seperti naga bermain di angkasa mengeluarkan angin badai yang amat dahsyat! Kim Hong menjadi kagum bukan main. Tak pernah disangkanya akan berhadapan dengan seorang lawan setangguh itu. Juga diakuinya bahwa melihat sepak terjang gadis cantik itu, ternyata gadis itupun lihai sekali.
Suhengnya sama sekali bukan tandingan si gadis cantik, bahkan dikeroyok oleh demikian banyaknya lawan, gadis itu masih mampu membela diri dengan baik, walapun tentu saja ia terkurung rapat, ia sendiri harus mampu menandingi pemuda berpakaian pengemis itu kalau tidak ingin pihak rombongan suhengnya kalah.
"Singg.....!"
Nampak dua gulungan sinar berkelebat ketika ia mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang kecil bertali. Itulah Hui-siang-kiam (Sepasang pedang terbang) yang ia mainkan dengan hati-hati untuk mengimbangi permainan tongkat yang aneh dari lawannya.
Cin Han terkejut dan kagum bukan main. Sepasang pedang kecil itu seperti hidup, menyambar-nyambar dahsyat seperti dua ekor burung rajawali beterbangan dan menyerangnya. Hanya dengan putaran tongkatnya seperti kitiran dia dapat melindungi dirinya. Kiranya benar apa yang dia dengar dari Jiwang we. Gadis itu memang lihai bukan main!
Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, Cin Han segera mendapat kenyataan bahwa seperti juga dia sendiri, lawannya itu tidak mempunyai niat untuk membunuhnya. Biarpun sepasang pedang itu menyambar-nyambar dahsyat, akan tetapi yang menjadi sasaran utama adalah lengan tangannya yang memegang tongkat sehingga gadis itu agaknya hanya ingin membuat dia melepaskan tongkatnya, seperti juga dia selalu berusaha untuk menotok gadis itu, bukan untuk melukainya apa lagi membunuhnya.
Entah mengapa, mendapatkan kenyataan ini, hatinya merasa girang bukan main. Dugaan Cin Han memang benar. Kim Hong sama sekali tidak bermaksud membunuhnya, apa lagi gadis yang lihai inipun dapat mengetahui bahwa pemuda bertongkat itu tidak berniat melukainya, hanya ingin membuat ia tak berdaya dengan totokan. Kim Hong tidak percaya bahwa pemuda tampan gagah ini seorang tokoh kangouw yang ingin memperebutkan Mestika Burung Hong Kemala untuk keuntungan dan kepentingan pribadi.
Melihat pakaiannya, tentu dia seorang tokoh kaipang (perkumpulan pengemis) dan sangat boleh jadi pemuda ini seorang yang setia kepada Kerajaan Tang dan ingin merampas pusaka untuk dikembalikan kepada Kerajaan Tang. Kalau demikian halnya, maka pemuda ini merupakan orang segolongan dengannya, karena iapun menerima tugas dari suhunya untuk membantu Kerajaan Tang.
Cin Han maklum bahwa kalau dia hanya dapat mengimbangi saja lawannya, sedangkan adiknya yang dikeroyok banyak orang itu nampak kewalahan juga dan dia tidak dapat membantunya, maka tiba-tiba dia meloncat jauh meninggalkan lawannya dan terjun ke dalam kepungan para pengeroyok. Kepungan itu membuyar dan Bouw Ki yang menyambut pemuda pengemis Itu terhuyung ketika ujung tongkat menotok pahanya.
"Lan-moi, mari kita pergi!" kata Cin Han.
Adiknya maklum bahwa melawan terus tidak ada gunanya. Iapun sudah ingin sekali bertemu dan bercakap-cakap dengan kakaknya, maka iapun memutar ranting di tangannya sedemikian rupa sehingga empat orang pengeroyok terpaksa mundur. Di lain saat, kakak beradik itu sudah berlompatan jauh dan melarikan diri.
"Kejar mereka!" bentak Bouw Ki.
"Tahan!" Kim Hong berseru dan para perajurit yang memang sudah gentar menghadapi dua orang yang lihai tadi, meragu...
Gadis ini tidak mampu menahan kesabarannya lagi. ia melangkah mundur dengan gerakan seringan burung dan begitu ka-kinya meluncur kebawah,sepatunya telah menyambar dagu si kumis panjang dengan tenaga dahsyat.
"Krekk....!!" Bagaikan disambar petir, si kumis melintang, terjengkang dan terbanting, roboh terlentang dengan mata terbelalak dan mulut berdarah, tulang rahangnya patah! Dia hanya mampu merintih-rintih.
"Gadis pemberontak!" bentak dua orang rekannya.
"Tangkap pemberontak ini!"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Kalian manusia tak tahu malu!" dan sesosok tubuh berkelebat, menerjang orang-orang di sekeliling Kui Lan dan empat orang telah roboh terpelanting.
Si tinggi besar dan si muka kuning memandang dan mereka melihat seorang pemuda berdiri di depan mereka. Kui Lan juga mengenal pemuda itu. Bukan lain adalah pemuda yang tadi duduk di rumah makan, yang berbeda dengan orang lain,sama sekali tidak mengacuhkannya, bahkan ketika bertemu pandang, segera mengalihkan pandang matanya.
"Siapa kau? Pemberontak pula?!” bentak si tinggi besar.
Akan tetapi si muka kuning terbelalak memandang pemuda itu. "Engkau.... bukankah engkau... Sia-ciangkun....??"
Si tinggi besar terkejut mendengar ucapan rekannya dan kini diapun mengenal pemuda itu. Kalau tadi dia mengenalnya adalah karena pemuda itu berpakaian biasa, sedangkan dia mengenalnya sebagai seorang panglima yang selalu berpakaian seragam.
"Sia-ciangkun... ga... gadis ini... ia seorang pemberontak...." katanya dan sikapnya seperti orang ketakutan.
"Tutup mulutmu!" bentak pemuda itu dan sikapnya sungguh amat berwibawa, seperti sikap seorang atasan terhadap anak buahnya. "Kalian kira aku tidak mengetahuinya? Sejak di rumah makan aku sudah melihat dan mendengar kalian mengganggu nona ini dan sekarang kau katakan ia pemberontak. Ulah kalian tidak seperti perwira, sepantasnya menjadi buaya-buaya darat rendahan!"
Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali tubuhnya bergerak. Si tinggi besar dan si muka kuning mengaduh dan terpelanting, dan semua perajurit yang tadi mengepung Kui Lan juga seorang demi seorang terpelanting keras dihajar oleh pemuda itu.
Kui Lan berdiri dengan pandang mata penuh kagum. Pemuda itu memang hebat, pikirnya. Wajahnya tampan, sikapnya gagah perkasa, juga jelas baik budi dan adil, dan melihat gerakannya tadi, tentu memiliki ilmu silat yang tangguh.
Pemuda itu memandang marah kepada belasan orang yang sudah dirobohkan semua. "Nah, sekarang pergilah kalian. Kalau sekali lagi aku memergoki kaliai berbuat jahat, tentu takkan kuampun lagi. Pergi!"
Bagaikan sekawanan anjing ketakutan, belasan orang itu merangkak pergi.
"Nona, maafkanlah mereka. Memang mereka itu orang orang kasar yang sudah sepantasnya menerima hajaran keras," kata pemuda itu, kini berhadapan dengan Kui Lan dan memberi hormat.
Kui Lan cepat membalas penghormatan itu. "Terima kasih," gadis ini merasa rikuh dan salah tingkah, kedua pipinya kemerahan. Akan tetapi, diam diam ia merasa penasaran karena tadi mendengar betapa si tinggi besar menyebut pemuda ini Sia-ciangkun, berarti bahwa pemuda ini juga seorang perwira pasukan pemberontak An Lu Shan yang telah menduduki kota raja!
"Apakah mereka itu anak buahmu dan kau... seorang perwira?" Gadis itu mengangkat muka memandang dan dua pasang mata bertemu panjang.
Menghadapi pandang mata yang lembut namun tajam penuh selidik itu, si pemuda nampak gugup juga. Pemuda perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, kini menjadi gugup begitu pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang amat jeli dan lembut, amat indah namun juga begitu tajam sinarnya. Kembali pemuda ini mengangkat ke dua tangan memberi hormat dan berkata,
"Dugaanmu memang benar, nona. Namaku Sia Su Beng dan aku memang seorang.... panglima kerajaan...."
"Ahhh.....!" Tentu saja Kui Lan merasa tidak senang dan mengerutkan alisnya, akan tetapi ada sesuatu yang menarik dalam ucapan pemuda itu. Ketika mengaku dirinya sebagai panglima kerajaan, pemuda itu kelihatan ragu dan juga sungkan atau malu-malu!
"Nona, harap jangan salah sangka!" katanya cepat. "Biarpun aku seorang panglima, namun sesungguhnya aku menentang pemberontakan An Lu Shan..”
"Ssttt.....!" Kui Lan merasa khawatir kalau-kalau ucapan itu terdengar orang lain dan ia memandang ke sekeliling.
"Nona, begitu engkau melawan tiga orang perwira dan pasukannya tadi aku sudah menduga bahwa engkau tentulah seorang yang menentang pemerintah baru."
"Ciangkun...."
"Aih, nona, jangan sebut aku ciangkun."
"Mari kita bicara di tempat lain, di sini merupakan jalan raya," kata Kui Lan dan Sia Su Beng mengerti akan maksud gadis itu.
Dia mengangguk lalu mengajak gadis itu meninggalkan jalan raya dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di atas batu, di sawah ladang yang sunyi dan dari tempat itu mereka dapat melihat kesekeliling yang terbuka sehingga mereka tidak perlu takut diintai dan didengar orang lain.
"Nona, aku telah memperkenalkan diri. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona? Kulihat nona memiliki ilmu silat yang tangguh."
Kui Lan sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka berdua tidak akan mengganti nama, akan tetapi akan menanggalkan nama keluarga mereka agar tidak dikenal orang. "Nama keluargaku Kui dan namaku Lan," jawabnya.
"Nona Kui Lan, nama yang indah sekali!" kata pemuda itu sambil tersenyum dan Kui Lan mencatat lagi sifat yang menarik pemuda itu di samping ketampanan dan kegagahannya, yaitu pemuda ini pandai bicara dan pandai pula merayu!
"Kalau boleh aku mengetahui, nona dari perguruan manakah?"
Kui Lan tersenyum dan Sia Su Beng merasa jantungnya seperti akan copot. Senyum itu demikian manisnya! "Maaf , ciangkun...."
"Aduh, nona Kui Lan , jangan sebut aku dengan pangkat yang menyakitkan hati itu."
"Akan tetapi kau seorang panglima."
"Itu hanya demi perjuangan menentang pemberontak An Lu Shan, harap sebut saja namaku atau cukup dengan toako (kakak) saja”
"Tapi engkaupun menyebutku nona," kata Kui Lan, diam diam merasa heran mengapa ia dapat begini akrab dengan cepatnya.
"Baiklah, aku siauw-moi (adik) dan engkau menyebutku toako. Nah, lanjutkan ceritamu, siapakah gurumu dan engkau dari perguruan mana Lan-moi (adik Lan)?"
Kui Lan merasa berdebar mendengar sebutan itu, entah mengapa, sebutan itu biasa saja tetapi keluar dari mulut pemuda itu terdengar demikian mesra dan indah! "Maaf,... toako. Aku bukan dari perguruan manapun, dan terus terang saja, suhuku melarang aku memperkenalkan namanya, harap engkau maklum." Tentu saja Kui Lan mengatakan demikian hanya untuk menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ah, tidak mengapa, Lan-moi. Memang, sebagai seorang gadis sepertimu ini, tentu saja tidak semestinya kalau baru saja bertemu lalu menceritakan segala sesuatu mengenai dirimu. Baiklah aku yang akan lebih dulu memperkenalkan keadaanku. Sejak muda sekali aku telah menjadi perwira dan aku ditugaskan di utara, dibawah perintah komandanku, yaitu panglima An Lu Shan. Aku mengikuti setiap perkembangan dan mengetahui semua gerakannya, dan sebetulnya aku sama sekali tidak setuju ketika dia menggerakan pasukan untuk memberontak dan menggulingkan Kerajaan Tang.”
"Akan tetapi kenyataannya, sekarang An Lu Shan telah menggulingkan Kerajaan Tang dan engkau tetap....."
"Kenapa tidak kau lanjutkan, Lan-moi? Katakan saja bahwa kenapa aku tetap menjadi panglimanya, berarti aku membantu pemberontakannya? Memang aku akui hal itu. Habis, apa yang dapat di lakukan seorang bawahan seperti aku? Terpaksa aku membiarkan dia melakukan pemberontakan. Akan tetapi, diam-diam aku selalu mencari kesempatan untuk mengguling kannya, bahkan kalau mungkin membunuhnya. Diam-diam aku mulai menghimpun tenaga untuk menguasai pasukan, dan mengadakan pendekatan dengan para perwira yang diam-diam masih setia kepada Kerajaan Tang. Nah, aku sudah membuka semua rahasiaku kepadamu, nona eh, adik Lan."
Kui Lan merasa senang bukan main. Pemuda ini jelas tidak berbohong, dan mengapa begitu percaya kepadanya sehingga membuka rahasia yang dapat membahayakan nyawanya itu? Kalau sampai rahasia itu ketanuan, tentu pemuda akan celaka! Ia merasa girang telah di percaya sedemikian rupa.
"Terima kasih atas kepercayaan-toako, dan maafkan keraguanku tadi.Sekarang aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku kagum sekali akan usahamu menghancurkan pemberontak. Engkau seorang gagah yang setia kepada kerajaan."
"Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Lan-moi? Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Hendak kemana dan dari manakah? Tentu saja kalau aku boleh mengetahui...."
Kui Lan menghela napas panjang. Biarpun ia sudah percaya kepada pemuda yang menarik perhatiannya ini, yang amat dikaguminya, akan tetapi ia sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka harus merahasiakan keluarga mereka dari siapapun juga. Bukan saja karena ayah mereka adalah Menteri Yang Kok Tiong yang terkenal, akan tetapi lebih dari itu, bibinya adalah selir yang Kui Hui yang lebih terkenal lagi! Ia bahkan merasa malu untuk mengakui bahwa ia adalah keponakan dari Yang Kui Hu!
"Aku hendak menyusul ayah ke barat."
"Aih, di manakah ayahmu itu, Lan moi?"
"Ayahku mengawal Sri baginda mengungsi ke barat." Lega rasa hati Kui Lan karena bagaimanapun juga, ia tida lah sama sekali berbohong. Ayahnya memang mengikuti kaisar mengungsi, ia tidak berbohong, yang dirahasiakannya hanyalah keluarganya.
Pemuda itu nampak terkejut. "Ah, kiranya ayahmu seorang pengawal Sribaginda! Kiranya keluargamu juga keluarga yang setia kepada Kerajaan Tang. Aku girang dan bangga sekali dapat berkenalan denganmu, Lan-moi. Kalau begitu, jalan yang kita tempuh mempunyai tujuan yang sama, yaitu menentang pemberontak An Lu Shan dan menegakkan kembali Kerajaan Tang. Hanya kita berbeda cara dan jalan. Aku yakin kelak kita akan dapat saling bantu dalam perjuangan kita."
"Mudah-mudahan begitu, toako. Sekarang malam hampir tiba, aku harus melanjutkan perjalanan." Gadis itu bangkit berdiri.
Sia Su Beng termenung dan menghela ia napas. "Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa kehilangan dan berduka, Lan-moi, seolah aku akan berpisah dengan seorang sahabat yang sudah lama kukenal. Sayang sekali bahwa jalan kita bersimpang, engkau ke barat dan aku kembali ke kota raja. Akan tetapi, aku selamanya tidak akan melupakanmu, Lan-moi."
"Terima kasih, engkau baik sekali, toako. Akupun.... tidak akan lupa kepadamu."
"Jaga dirimu baik-baik, Lan-moi ."
Setelah sejenak saling pandang dengan sinar mata yang membawa serta seribu satu macam perasaan, kedua orang muda itupun saling memberi hormat dan berpisah. Namun,keduanya melangkah seperti orang yang lesu dan kehilangan, saling membayangkan wajah masing-masing. Tanpa mereka sadari, kedua insan itu telah saling jatuh cinta!
* * *
Malam Itu gelap dan dingin, apa lagi hujan rintik-rintik sejak senja tadi membuat orang enggan keluar dari dalam rumah. Kota raja nampak sunyi dan hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja memaksa diri ke luar rumah, mengenakan baju tebal dan melindungi kepala dengan payung.
Di tempat yang biasanya ramai di kunjungi orang saja, seperti di rumah makan, di toko-toko, malam itu sepi sekali. Apa lagi di tanah kuburan umum itu. Sunyi dan bahkan menyeramkan. Pada malam terang bulan saja, jarang ada orang berani memasuki tanah kuburan yang hanya ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu saja, itupun di siang hari di mana keluarga si mati datang untuk bersembahyang. Akan tetapi pada malam gelap dingin dan gerimis itu, tak seorangpun yang sehat akalnya akan mau masuk ke dalam tanah kuburan.
Akan tetapi, pada malam yang menyeramkan itu, Yang Kui Bi berlutut d depan sebuah kuburan dan menangis terisakisak. ia mencoba untuk menahan agar t idak mengeluarkan suara terlalu keras, akan tetapi tetap saja ia memanggilmanggil ibunya sambil menangis.
Membayangkan ibunya membunuh diri ketika rumah mereka diserbu pemberontak dan ibunya terancam oleh para penyerbu untuk diperkosa! Siang tadi, setelah beberapa hari berada di kota raja, ia berhasil menemukan seorang wanita tua bekas seorang di antara pelayan keluarga mereka dan dari pelayan inilah ia mendengar segalanya. Ayahnya pergi mengikuti kaisar mengungsi, akan tetapi ibunya tidak mau meninggalkan rumah karena menanti kembalinya kakaknya, Yang Cin Han, ia sendiri dan enci nya.
Dan ibunya berada di rumah ketika kota raja diserbu dan rumah merekapun diserbu pemberontak .la harus menahan hatinya siang tadi, menanti sampai malam tiba baru ia datang ke tanah kuburan umum dan mengunjungi makam ibunya. Sebuah makam biasa saja, seperti kuburan penduduk biasa! Pada hal ibunya adalah seorang nyonya menteri!
"Ibu..... maafkan aku, ibu....." ia tersedu. Tiba-tiba, pendengarannya yang tajam menangkap gerakan tajam menangkap gerakan orang di belakangnya. Cepat sekali, tubuh yang tadinya berlutut di atas tanah yang becek oleh air hujan itu melompat, memutar tubuh dan ia sempat melihat sesosok bayangan menyelinap pergi. Kedukaan yang mendalam membuat Kui Bi mendendam dan marah sekali kepada pemberontak yang telah menghancurkan keluarga orang tuanya dan membuat ibunya membunuh diri. ia menduga bahwa yang melihat dan mendengarnya tadi tentulah orangnya pemberontak atau pemerintah yang baru.
Maka, kemarahannya ditimpakan kepada bayangan itu dan dengan gerakan bagaikan seekor burung walet keluar diri dalam guha, iapun melompat ke arah bayangan tadi dan langsung saja menyergap dengan tamparan ke arah pelipis orang itu.
"Wuuuttt.... plakkk!"
Tamparan itu tertangkis dan ternyata bayangan itu memiliki tenaga yang cukup kuat sehingga tangan Kui Bi yang menampar tadi tertangkis dan terpental. Gadis itu menjadi semakin marah. Begitu kedua kakinya turun ke atas tanah, iapun sudah mencabut pedangnya dan menyerang bayangan hitam itu.
Terjadilah perkelahian seru ketika bayangan itu menggunakan sebuah tongkat melakukan perlawanan dan ternyata lawan yang diserang Kui Bi itupun lihai bukan main. Malam itu gelap sekali dan hanya sekali-kali ada cahaya kilat di angkasa. Perkelahian itu lebih dikendalikan oleh ketajaman pendengaran mereka.
Bayangan itu menangkis dan mengelak, juga balas menyerang sambil mundur sehingga tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di mana terdapat sebuah lampu gantung yang memberi penerangan yang redup dan lemah sekali, namun cukup bagi mereka untuk dapat melihat bayangan masing-masing. Kui Bi tidak dapat melihat wajah orang itu, akan tetapi dari bentuk tubuhnya, ia dapat menduga bahwa lawannya seorang laki-laki yang tubuhnya sedang.
Akan tetapi yang membuatnya ia penasaran adalah kecepatan gerakan orang itu yang ternyata biarpun tidak seringan gerakannya sendiri, orang itu dapat menghalau setiap erangannya. Seolah lawan yang amat lihai! Dan ilmu tongkat orang itupun aneh dan berbahaya sekali, maka ia harus mengubah gerakan pedangnya, tidak sepenuhnya mengandalkan ilmu pedang Sian-li Kiam-sut, melainkan dicampur dengan gerakan Hong-in Sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan) yang seharusnya dimainkan dengan toya, akan tetapi terpaksa ia mainkan dengan pedangnya, dan berulang-ulang terdengar suara kaget dan kagum dari lawannya.
Tiba-tiba di angkasa terdengar ledakan keras menyusul cahaya kilat yang amat terang. Biarpun hanya beberapa detik, namun cukup bagi kedua orang itu untuk saling melihat muka dan Kui Bi cepat menahan serangannya dan berseru, "Hankoko....?!"
Pemuda itu tertawa dan suara tawa ini meyakinkan hati Kui Bi bahwa ong yang diserangnya tadi memang kakaknya, Yang Cin Han! "Bi-moi, ilmu silatmu sekarang hebat!"
"Han-koko.... ah, Han-koko. ibu kita....." Gadis itu menubruk menangis tersedu-sedu dalam rangkulan kakaknya.
Cin Han mencoba untuk menahan hatinya, akan tetapi tetap saja dua matanya menjadi basah. Dia membiar kan adiknya menangis di dadanya dan air mata adiknya itu turun seperti hujan rintik-rintik. Kemudian, setelah membiarkan Kui Bi menangis beberpa saat lamanya, dia mngusap kepala adiknya dan suaranya terdengar gembira.
"Adikku yang manis, di mana kegagahanmu? Engkau sudah demikian tangguh sekarang, akan tetapi malah bertambah cengeng! Ibu memang sudah meninggal dunia, akan tetapi itu sudah takdir Tuhan, tidak ada gunanya ditangisi! Hentikan tangismu!"
Kui Bimemang memiliki hati keras, maka ia segera dapat memulih hatinya dan kini mereka berdua mencari perlindungandi bawah atap seng makamyng lebih terawat. Pertemuan itu setidaknya merupakan hiburan bagi Kui Bi, dan mereka saling bertanya, lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Kui Bi girang mendengar bahwa kakaknya ini telah menjadi murid Sin-tung Kai-ong, pengemis sakti yang pernah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada ia dan encinya, dan sebaliknya, Cin Han kagum mendengar bahwa kedua orang adiknya menjadi murid seorang hwesio sakti.
"Akan tetapi, di mana Lan-moi? kenapa tidak bersamamu di sini?" tanya Cin Han.
"Kami memutuskan untuk membagi tugas dan berpisah, koko. Enci Lan pergi ke barat menyusul rombongan Kaisar ketika kami mendengar bahwa ayah ikut Kaisar mengungsi ke barat, sedangkan aku ke kota raja ini untuk melihat keadaan keluarga kita. Sungguh menyedihkan mendengar bahwa ibu telah meninggal dunia, membunuh diri ketika rumah kita diserbu pemberontak. Mudah-mudahan saja ayah yang mengikuti kaisar kebarat dalam keadaan selamat dan... kenapa, Han-ko?" Kui Bi bertanya ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh jari-jari tangan kakaknya dengan kuat.
"Adikku, apakah engkau ini masih adikku Kui Bi yang tabah dan pemberani, tidak cengeng dan periang, lincah jenaka dahulu itu?"
"Ihhh! Engkau ini aneh saja, Han ko. Tentu saja aku masih seperti dulu!"
"Kalau begitu, kuatkan hatimu dan dengar baik-baik," kata Cin Han masih tetap memegang lengan adiknya. "Ayah kita telah.... tewas pula dalam perjalanan ke barat...."
"Ayah....!!"
"Bi-moi, ah, Bi-moi.....!" Cin Han cepat memeluk adiknya karena tiba tiba tubuh adiknya itu menjadi lemah dan terkulai dalam pelukannya. Pingsan. Sekuat-kuatnya hati Kui Bi, baru saja ia menangisi kematian ibunya depan makam yang tak terawat, sekarang tiba-tiba saja mendengar bahwa ayahnya juga telah tewas, maka ia tidak kuat dan roboh pingsan. Cin Han menolong adiknya dan setelah menotok beberapa jalan darah gadis itu siuman kembali dan mereka berdua kembali menangis. Akan tetapi hanya sebentar Kui Bi menangis.
"Koko, ceritakan bagaimana ayah tewas...." katanya lirih,
"Aihhh, sejak dulu aku telah mengkhawatirkan kedudukan ayah yang tdak wajar, hanya karena pengaruh bibi Yang Kui Hui," katanya.
Kemudian dia menceritakan seperti apa yang didengarnya tentang ayahnya dan bibinya. Bahwa pasukan yang mengawal kaisar melarikan diri semakin tidak senang dan curiga kepada Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap biang keladi keruntuhan Kerajaan Tang, kemudian mengeroyok menteri itu sampai tewas. Cin Han tau bahwa bibi mereka, Yang Kui Hui, juga mati menggantung diri di depan orang banyak sebagai hukuman yang dipaksakan pasukan kepada kaisar mereka.
Setelah Cin Han berhenti bercerita, keduanya berdiam diri sampai lama. Hanya kadang terdengar tarikan napas panjang mereka berdua karena mereka merasa berduka, menyesal dan juga menyadari bahwa semua peristiwa itu memang bersumber dari bibi mereka, Yang Kui Hui. Andaikata bibi mereka itu dahulu tidak melindungi An Lu Shan ketika dilaporkan ayah mereka kepada kaisar, tentu tidak akan terjadi pemberontakan itu.
"Semua ini gara-gara si jahanam An Lu Shan! Aku akan membunuhnya, koko!" tiba-tiba Kui Bi berkata dengan penuh semangat.
"Hushhh, kau kira begitu mudah membunuh dia? Dia sekarang telah menjadi seperti seorang kaisar, tinggal di istana, dijaga oleh pasukan pengawal. Jangan bertindak sembarangan dan mencelakai diri sendiri, adikku."
"Han-koko, lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan berdiam diri saja menangisi malapetaka yang menimpa keluarga kita dan Kerajaan Tang, tanpa melakukan apa-apa karena kita takut celaka?"
"Bukan begitu maksudku, Bi-moi. Tentu saja kita harus melakukan sesuatu, yaitu kita harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali. Kita harus membantu untuk menentang An Lu Shan dan menghancurkannya. Tentu saja kita tidak dapat bertindak sendiri menghadapi pasukannya yang ratusan ribu orang banyaknya. Aku mendengar bahwa Gok-hong-cu hilang. Itu hanya desas-desus, akan tetapi aku ingin membantu Kerajaan Tang untuk mendapatkan kembali Mestika Burung Hong Kemala itu. Kabarnya, Sri baginda menitipkan kepada ayah, akan tetapi ketika ayah meninggal, tidak ada yang tahu di mana mestika itu disembunyikan. Lalu, aku mendengar desas-desus bahwa Bouw Koksu hendak mengirim pasukan khusus untuk mencari pusaka itu. Agaknya dia telah mengetahui tempatnya, maka aku akan membayangi pasukan itu dan kalau mungkin aku akan merampas mestika itu dari tangan mereka!"
Kui Byang sejak tadi termenung memikirkan sesuatu,mengangguk. "Baiklah, kita sama-sama membantu Kerajaan Tang dengan cara kita sendiri, koko. Apakah di kota raja ini terdapat orang yang bisa dipercaya dan masih setia kepada Kerajaan Tang?"
"Banyak, Bi-moi. Banyak kawan-kawan kita dan mereka itu diam-diam juga sudah siap untuk bergerak menentang An Lu Shan kalau saatnya tiba."
"Bagus! Kalau begitu, antarkan aku kepada mereka, koko. Aku ingin bergabung dengan mereka menentang si jahanam An Lu Shan!"
"Baik, Bi-moi, akan tetapi hati-hati, jangan engkau bertindak sembrono dan berusaha membunuh sendiri An Lu Shan. Itu berbahaya sekali dan engkau takkan berhasl."
"Aihh, Han-ko, apakah kau kira adikmu ini masih kanak kanak. Aku bukan anak kecil lagi, Han-ko. Aku dapat menjaga diri dan akan berlaku hati-hati."
Malam itu juga, Cin Han mengajak adiknya ke sebuah rumah besar milik Ji Siok, seorang hartawan yang karena pandai mempergunakan hartanya, maka dia sekeluarga dapat hidup aman dan selamat dari serbuan pasukan pemberontak. Bahkan dengan hartanya, Ji Siok yang disebut Ji-wangwe (Hartawan Ji) kini dapat bergaul dengan para pejabat tinggi yang baru.
Tidak ada seorangpun dapat mengetahui isi hatinya bahwa dia sebetulnya merupakan seorang yang setia kepada Kerajaan Tang! Ji-wangwe ini pula yang diam-diam membiayai para pendukung Kerajaan Tang yang diam-diam mempersiapkan diri untuk bergerak apabila saatnya tiba, yaitu apa bila pasukan Kerajaan Tang datang menyerbu Tiang-an untuk merampas kembali tahta kerajaan yang direbut oleh An Lu Shan.
Ji-wangwe yang tidak mempunyai anak, bersama isterinya menyambut kunjungan Cin Han malam itu dengan gembira. Mula-mula, ketika Cin Han datang beberapa pekan yang lalu, Ji-wangwe menyambutnya dengan alis berkerut.
Mengetahui bahwa Cin Han adalah putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap melemahkan Kerajaan Tang, mendatangkan rasa tidak senang dan kecurigaan. Akan tetapi setelah Cin Han, menjelaskan bahwa dia sendiri bersama para adiknya tidak senang dengan kedudukan ayah mereka, tidak suka pula kepada sepak terjang bibinya yang mempergunakan kecantikan mempengaruhi kaisar dan mengadakan hubungan dengan An Lu Shan Ji-wangwe dapat menerimanya. Maka, ketika Cin Han malam itu muncul dan memperkenalkan Yang Kui Bi, adiknya, gadis itupun diterima dengan ramah oleh Jiwangwe.
"Jangan khawatir, kongcu," kata hartawan itu kepada Cin Han. "Biarkan adikmu tinggal di sini, akan kami perkenalkan sebagai keponakan kami dari selatan, ia memakai she Kui dan bernama Bi, Baik, akan kami katakan bahwa ia anak dari seorang adik piauw (misan) kami di selatan."
Hartawan Ji senang sekali ketika mendengar bahwa Ku Bi adalah seorang gadis yang juga memliki ilmu silat tinggi, bahkan yang bertekad untuk membantu perjuangan menentang An Lu Shan yang amat dibencinya.
"Dan bagaimana dengan rombongan Bouw Koksu, paman Ji? Apakah sudah-ada berita tentang keberangkatan mereka?" tanya Cin Han.
Dari pertanyaan ini saja, tahulah Kui Bi bahwa agaknya hartawan ini memegang kedudukan penting di kalangan mereka yang mendukung kerajaan Tang sehingga merupakan sumber percarian berita.
"Sudah ada ketentuan. Mereka akan berangkat besok pagi-pagi. Bouw Koksu sendiri tidak pergi, akan tetapi puteranya, Bouw-ciangkun yang akan pergi bersama dua losin pasukan khusus yang pilihan, dan kabarnya dia akan di ditemani oleh seorang gadis yang memiliki ilmu silat lihai sekali. Karena itu, engkau harus berhati-hati, kongcu."
Cin Han mengangguk-angguk. Dia sudah tahu siapa Bouw-ciangkun, seorang perwira muda bangsa Khitan yang berhati keras. Malam itu, kakak beradik itu melanjutkan percakapan mereka, membicarakan segala pengalaman mereka, dan sekali ini, Ji-wangwe ikut dalam percakapan mereka sehingga hartawan ini semakin yakin bahwa para putera dan puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong ternyata merupakan orang-orang muda yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan juga setia kepada Kerajaan Tang. Mereka berdua ini saja dapat merupakan pembantu yang boleh diandalkan, pikirnya girang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Cin Han sudah meninggalkan rumah itu dalam pakaian seperti seorang pengemis muda. Tak lama kemudian, dia sudah membayangi rombongan pasukan yang dipimpin oleh Bouw Ki yang ditemani oleh Can Kim Hong. Rombongan ini menunggang kuda, akan tetapi tidak sukar bagi Cin Han untuk dapat terus membayangi mereka dengan mempergunakan ilmu berlari cepat.
Ketika rombongan berkuda itu menyusuri tepi sungai Yang-ce, lebih mudah lagi baginya untuk membayangi. Dia menggunakan sebuah perahu kecil yang dibelinya dari seorang nelayan. Kini dia dapat membayangi rombongan itu dengan seenaknya, diatas perahu sehingga dia tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
* * *
Souw Hui San berdiri menghadapi tebing gunung karang dan memandang dengan kagum ke arah guha-guha yang berjajar seperti sumur miring itu. Betapa hebat dan megahnya alam, pikirnya. Betapa sakti dan mahakuasanya Sang Pencipta semua ini! Dan diapun kagum akan kecerdikan mendiang Menteri Yang Kok Tiong, yang telah menyembunyikan benda pusaka Kerajaan Tang itu di salah satu di antara guha-guha itu.
Guha ke tiga memang merupakan guha paling kecil dan paling tidak mengesankan, tidak menarik perhatian orang untuk mendekatinya. Selain jalan menuju ke guha ke tiga itu harus memaniat batu karang licin, juga banyak batu terlepas sehingga berbahaya. Hui San adalah seorang pendekar Gobi-pai yang cerdik dan biarpun dia memiliki watak yang nakal dan ugal-ugalan, akan tetapi dia cermat dan waspada.
Setelah menemukan tempat itu, dengan cara yang tidak menyolok seperti seorang pelancong yang tersesat ke tempat ini, dia menemukan guha-guha itu. Akan tetapi, walaupun sejak tadi dia tidak bertemu orang di daerah pegunungan itu, juga tidak melihat adanya orang yang membayanginya, dia tidak tergesa-gesa menghampiri guha. Kegirangan telah bertemu dengan tempat itu tidak membuatnya lengah.
Dia lalu menyelinap ke balik sebuah batu karang, lalu dengan gerakan cepat sekali dia mendaki puncak bukit dari arah belakang. Tak lama kemudian,dia telah mengintai dari puncak, memandang ke sekeliling. Barulah hatinya lega setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada seorangpun nampak di sekitar tempat itu.
Dia lalu cepat turun dari puncak, menghampiri tebing dan berhadapan dengan guha-guha tadi lagi. Dia masih menoleh ke kanan kiri dan belakang sebelum dia mendaki tebing menuju ke arah guha ke tiga. Guha itu kecil dan dia harus membungkuk untuk merangkak masuk. Dan di sudut guha itu, tertutup tumpukan batu-batu karang berkapur, dia menemukan benda yang dicarinya.
Sebuah kotak berukir indah berwarna hitam! Ketika tutup kotak itu dibukanya, di dalamnya terdapat benda pusaka itu. Mestika Burung Hong Kemala yang aseli! Bentuknya tidak berbeda jauh dari yang dibawa dalam buntalannya, yaitu bentuk seekor burung Hong. Akan tetapi benda pusaka ini mengeluarkan cahaya cemerlang, dan batu gioknya memiliki warna-warni yang aneh, ada warna kemerahan, kehijauan, biru dan coklat kuning! Dan u-kiran burung Hong-nya juga amat indah. Sebuah hasil seni yang menakjubkan dan amat langka!
Hui San memasukkan kotak kecil itu ke dalam buntalan pakaiannya, kemudian dia keluar dari dalam guha. Keluarnya juga bukan begitu saja. Dia mengintai dulu dari dalam guha sampai lama, sampai dia merasa yakin tidak ada mata manusia lain melihatnya, baru dia meloncat keluar dari dalam guha itu Seperti tadi, diapun berhati-hati dan setelah yakin tidak ada orang melihatnya, baru dia memasuki guha ke tujuh yang lebih besar. Dia memasuki guha itu, lalu menukar isi kotak hitam dengan burung Hong Kemala yang dibawanya dari Tiang-an.
Yang palsu dia masukkan ke dalam kotak hitam dan meletakkannya ke dalam guha, di sudut yang gelap, sedangkan yang aselinya dengan aman berada dalam buntalan pakaiannya! Kemudian, diapun keluar dari dalam guha setelah mengintai lebih dahulu dan dengan hati ringan karena gembra telah berhasil melaksanakan tugas nya, diapun meninggalkan tebing itu Akan tetapi dia tidak segera turun begitu saja dari tebing itu, melainkan mendaki naik ke puncak.
Dengan demikian, andaikata ada orang melihatnya tentu orang itu mengira bahwa dia mendaki puncak da hanya kebetulan saja lewat di depan tebing itu, bukan bermaksud pergi ke tebing. Setelah tiba di puncak, dia berist irahat, duduk di balik batu kasar untuk berlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah naik tinggi, lalu mengeluarkan tempat minuman.
Setelah meneguk minuman dia bangkit berdiri, mengikatkan kembali buntalan pakaiannya di punggung, dan menuruni bukit itu dari lereng yang berlawanan di mana terdapat pohon-pohon besar di sepanjang lereng yang penuh hutan, walaupun tidak begitu lebat pohonnya, namun karena usianya sudah tua maka pohon-pohon itu tinggi dan besar batangnya.
Setelah tiba di hutan pertama, diapun memanjat pohon tertinggi dan me mandang ke sekeliling. Tiba-tiba dia nampak mengerutkan alisnya. Dari arah puncak, dari mana dia turun tadi, dia seperti melihat bayangan orang berkelebat cepat lalu lenyap, dan ketika dia melihat ke bawah, dia melihat debu mengepul dan serombongan orang berkuda sedang mendaki bukit!
Tak lama kemudian, Hui San sudah menyelinap di balik semak-semak dan mengintai ketika seorang gadis menuruni puncak dan lewat di dekat semak itu. Dan diapun menahan napas. Bukan main! Belum pernah dia melihat gadis secantik ini! Dan inipun tidak aneh karena sejak kecil dia tinggal di pegunungan Gobi-san yang sunyi dan kalaupun pernah dia bertemu wanita, maka yang di jumpainya hanyalah gadis-gadis pegunungan di Gobi-san yang sederhana sekali.
Akan tetapi gadis yang lewat di dekatnya itu demikian cantik jelita seperti bidadari! Bidadari yang lembut, namun gagang pedang di punggungnya itu menunjukkan bahwa gadis itu tidak selembut seperti nampaknya. Dan gadis itu memegang sebatang tongkat yang mungkin ditemukannya di bawah pohon karena tongkat itu hanyalah sebatang ranting pohon yang masih ada beberapa helai daunnya.
Timbul kekhawatiran di hati Hui San. Gadis jelita itu menuruni bukit dan pasti akan bertemu dengan rombongan orang berkuda itu! Dia mendapatkan perasaan tidak enak, seolah merasakan bahwa gadis yang seperti bidadari itu akan terancam bahaya, maka diam-diam dia lalu membayangi gadis itu. Dari langkahnya saja dia dapat menduga bahwa gadis itu membawa pedang bukan sekedar untuk memasang aksi, melainkan ia seorang gadis yang sungguh memiliki kepandaian.
Kini derap kaki kuda itu sudah terdengar dari situ. Rombongan orang berkuda dari bawah itu sudah dekat, akan tetapi gadis cantik itu masih tetap berjalan dengan santai! Hui San menjadi semakin khawatir. Ingin dia meneriaki gadis itu agar bersembunyi atau menyingkir saja. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, gadis itu tidak akan percaya, dan bagaimana kalau rombongan orang itu memang tidak merupakan rombongan orang jahat?
Rombongan orang berkuda itu kini muncul di tikungan jalan dan mereka tidak lagi dapat membalapkan kuda mereka karena jalan itu mendaki dan kasar. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan. Sekali pandang saja tahulah Hui San bahwa rombongan orang berkuda itu adalah rombongan pasukan pemerintah pemberontak! Tentu saja dia merasa khawatir sekali. Dari tempat persembunyiannya, dia melihat betapa gadis cantik itu berhenti melangkah dan agak menepi untuk membiarkan rombongan orang berkuda itu lewat melalui jalan yang sempit itu.
Gadis itu Kui Lan yang melakukan perjalanan ke barat untuk menyusul rombongan kaisar yang melarikan diri mengungsi, ia masih terkenang dengan hati penuh kagum kepada Sia Su Beng, pemuda perkasa yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Ketika ia tiba di pegunungan yang sepi itu, ia mengambil jalan pintas, mendaki puncak bukit dan kini tiba-tiba di tempat sunyi itu ia berpapasan dengan serombongan orang berkuda yang berada di depan adalah seorang perwira muda yang gagah dan tampan, berpakaian perwira.
Tentu Sia Su Beng akan nampak lebih gagah dari pada orang ini kalau dia berpakaian perwira, Kui Lan membayangkan. Dan di samping pemuda perwira itu duduk seorang gadis cantik dan gagah di atas seekor kuda putih. Kemudian di belakang mereka nampak duapuluh lebih perajurit berkuda, kesemuanya kelihatan gagah dan garang. Bertemu dengan serombongan perajurit yang tentu merupakan perajurit anak buah pemberontak An Lu Shan.
Kui Lan merasa sebal dan tidak senang. Akan tetapi, iapun tahu bahwa tidak semestinya ia mencari keributan menghadapi demikian banyak orang. Apa lagi perwira itu kelihatan bukan orang lemah. Maka, iapun sengaja menepi untuk memberi jalan agar rombongan berkuda itu lewat.
Perwira itu adalah Bouw Ki dan gadis di sampingnya adalah Kim Hong. Rombongan itu adalah rombongan pasukan yang ditugaskan oleh Bouw Koksu untuk pergi ke pegunungan itu dan mengambil Mestika Burung Hong Kemala seperti yang digambarkan pada peta yang dibeli oleh Bouw Koksu dari Souw Lok. Ketika Bouw Ki melihat seorang gadis cantik jelita di pegunungan yang sunyi itu, tentu saja dia merasa curiga dan dia mengangkat tangan kiri ke atas sebagai isyarat agar pasukannya berhenti.
Kim Hong menoleh dan memandang kepada suhengnya, kemudian kepada gadis cantik yang berdiri di tepi jalan, ia sendiripun merasa heran melihat di tempat sunyi dan sulit seperti itu terdapat seorang gadis cantik melakukan perjalanan seorang diri, akan tetapi melihat gagang pedang di punggung gadis itu, iapun dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki kepandaian untuk menjaga dan membela diri. Dan karena gadis itu tidak dikenal, maka sebetulnya tidak ada perlunya suhengnya menyuruh berhenti pasukannya.
Akan tetapi Bouw Ki sudah mengerutkan alisnya dan memandang Kui Lan dengan alis berkerut dan penuh kecurigaan. "Siapakah engkau dan ada keperluan apa berkeliaran di sini? Hayo cepat jawab sejujurnya!" tanya Bouw Ki yang diam-diam mengagumi kecantikan gadis yang berdiri di depannya itu. Jelas gadis gunung, bukan gadis dusun kenyataan ini menambah kecurigaannya.
Akan tetapi diam-diam Kim Hong tidak senang dengan sikap dan pertanyaan kasar yang dilontarkan suhengnya kepada gadis itu. Akan tetapi ia diam saja dan hanya memandang.
Mendengar pertanyaan orang yang nadanya memerintah dan memaksa itu. Kui Lan juga mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena ia tidak biasa bersikap kasar, iapun hanya membuang muka, lalu berkata lembut namun cukup ketus. "Aku tidak ingin mengenal kalian dan tidak ingin memperkenalkan diri. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!"
Setelah berkata demikian, Kui Lan menggerakkan kakinya melangkah hendak melanjutkan perjalanan. Hampir Kim Hong tertawa geli melihat roman muka suhengnya. Rasakan kamu, pikirnya. Akan tetapi Bouw Ki meloncat turun dari atas pelana kudanya dan menghadang di depan Kui Lan.
"Kurang ajar! Nona, apakah engkau tidak dapat memberi jawaban yang baik. Aku tanya kepadamu, siapa engkau dan apa urusanmu di tempat ini!"
Kini mengertilah Kim Hong akan sikap suhengnya. Tentu suhengnya merasa curiga melihat seorang gadis di tempat ini, tempat penyimpanan pusaka itu! Dan ia tidak dapat terlalu menyalahkan suhengnya, karena memang kehadiran gadis itu di tempat ini menimbulkan kecurigaan kalau-kalau gadis itu mempunyai hubungan dengan benda pusaka kerajaan itu. Akan tetapi tentu saja Kui Lan tidak tahu tentang hal itu, dan hatinya mendongkol bukan main.
"Aku melihat engkau seorang ciangkun," katanya, suaranya tetap lembut namun nadanya mencela, "kurasa engkau lebih tahu tentang peraturan dan sopan santun. Aku berada di tempat umum, apapun yang kulakukan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali denganmu. Biarpun engkau seorang perwira, engkau tidak berhak.”
"Saat ini, daerah ini merupakan kekuasaan kami dan siapapun juga wajib melaporkan kepada kami apa yang dilakukannya di sini!" kata Bouw Ki.
"Kalau aku tidak mau memberi tahu?"
"Terpaksa engkau kami curigai dan kami tawan!"
Sesabar-sabarnya, Kui Lan menjadi marah. Tiada hujan tidak angin, tanpa sebab tertentu, hanya karena ia kebetulan lewat di situ dan t idak mau memperkenalkan diri, ia hendak ditawan! Akan tetapi ia memang berwatak halus dan sabar, maka ia masih dapat menahan kemarahannya. "Baiklah, namaku Kui Lan dan aku kebetulan lewat di sini. Salahkah itu?"
Akan tetapi Bouw Ki sudah terlanjur marah dan curiga, juga dia merasa sayang kalau gadis secantik itu dibiarkan lolos begitu saja! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan haus wanta, akan tetapi gadis secantik itu amat sukar didapat, biar di kota raja sekalipun! "Kami tidak percaya. Terpaksa engkau kami tawan dulu!"
"Suheng, apa gunanya itu?” tiba-tiba Kim Hong bertanya.
"Sumoi, kita harus menahannya sampai selesai urusan kita, kalau ia memang tidak merupakan gangguan, kita lepaskan kembali," kata Bouw Ki dan kembali Kim Hong dapat mengerti maksud suhengnya.
Memang gadis ini bagaimana pun juga, mencurigakan. Siapa tahu ia datang ada hubungannya dengan Mestika Burung Hong Kemala. Memang sebaiknya ditahan dulu dan kalau ternyata nanti bahwa mereka dapat menemukan pusaka itu dan gadis ini tidak ada hubungannya sama sekali, mudah dilepas kembali. Maka iapun mengangguk membenarkan.
"Nona Kui Lan, menyerahlah. Kami tidak ingin menggunakan kekerasan, hanya ingin menawan nona untuk sementara. Lucuti nona ini dari senjatanya!" perintah Bouw Ki kepada orang-orang yang berada di belakangnya.
Dua orang perajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka dan dengan penuh gairah mereka menghampiri Kui Lan sambil menyeringai kurang ajar seperti biasanya sikap laki-laki tidak sopan kalau berhadapan dengan gadis cantik. "Nona, serahkan pedang dan buntalanmu kepada kami, dan mari membonceng di kudaku bersamaku," kata yang tinggi kurus.
"Membonceng saja di kudaku, nona, kudaku lebih kuat," kata yang pendek gemuk.
Kui Lan mengerutkan alisnya, akan tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara tawa dan muncullah seorang pemuda yang pakaiannya kedodoran, kepalanya tertutup caping lebar. Pemuda itu pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik dengan lengan baju digulung sampai siku, Wajahnya yang dilindungi caping itu bulat dan nampak periang, mulutnya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
"Ha-ha-ha, harap engkau jangan berat sebelah dan tidak adil, ciangkun!" kata pemuda yang bukan lain adalah Souw Hui San itu.
Melihat kemunculan pemuda ini secara tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar, semua orang memandang dan Bouw Ki menjadi semakin curiga, bahkan Kim Hong juga merasa curiga sekali.
"Orang gila jangan bicara sembarangan!" Bouw Ki membentak. "Siapa engkau dan apa pula keperluanmu di sini?"
Pemuda itu memandang ke kanan kiri, ke arah pohon-pohon besar dan sambil tersenyum lebar dia berkata, seperti kepada batang-batang pohon itu, "Ha ha, kalian dengar? Dia bertanya apa keperluanku di sini? Heii, kakek-kakek pohon, apa pula keperluan kalian berada di sini sampai ratusan tahun? Ciangkun, aku bernama Souw Hui San, dan aku seorang perantau, menjelajahi mana saja tanpa tujuan. Aku kebetulan saja berada di sini dan engkau tidak adil kalau mengundang nona itu untuk diajak makan sedangkan aku tidak diundang!"
Dia menghampir Bouw Ki sambil tersenyum. "Berilah aku seekor kuda, boncengan juga boleh dan aku akan mengikut kalian, ikut pula makan minum gratis, heh-heh-heh!"
"Hemm, orang sinting!" bentak Bouw Ki, akan tetapi karena dia merasa curiga, tangannya menyambar dan tangan itu telah mencengkeram pundak Hui San. Pemuda itu berteriak kesakitan dan pedang serta buntalannya telah dirampas oleh Bouw Ki.
"Sumoi, periksa ini buntalannya!" kata Bouw Ki sambil melemparkan buntalan itu kepada Kim Hong. Gadis itu menerima buntalan dan melompat turun dari atas kudanya.
Hui San yang sudah dilepas pundaknya, menyeringai dan mengaduh-aduh kesakitan sambil memandang kepada Kim Hong yang melepaskan ikatan buntalan pakaiannya.
"Aih, nona, awas jangan sampai jari-jari tanganmu terbakar!" teriaknya dan teriakannya itu demikan bersungguh-sungguh sehingga mengejutkan banyak orang yang menyangka bahwa ada rahasia atau racunnya dalam buntalan itu.
Akan tetapi Kim Hong adalah seorang yang waspada, ia hanya tersenyum mengejek dan tetap membuka buntalan itu.Tidak terjadi kebakaran atau bahaya apapun menimpa tangan gadis itu. Isinya hanya pakaian dan tempat makanan dan minuman, tidak ada apa-apanya yang aneh.
"Hemm, kenapa kau tadi katakan jari-jari sumoiku dapat terbakar?" bentak Bouw Ki marah.
"Heh-heh, ada pakaianku, celana dan baju yang belum kucuci, bekas kupakai... maka aku katakan agar jangan sampai tangan nona itu terbakar....... eh, maksudku kotor."
Beberapa orang perajurit tertawa mendengar ini dan wajah Kim Hong berubah merah sekali mendengar bahwa baru saja ia memegang celana yang bekas dipakai dan belum di cuci, dapat dikatakan masih "hangat" maka pemuda itu tadi memperingatkan agar tangannya jangan sampai terbakar, ia membuang buntalan itu ke arah pemiliknya.
"Ihh, jorok!" katanya. Akan tetapi ketika ia memandang wajah pemuda itu, kemarahannya lenyap bahkan ia menahan perasaan geli hatinya. Pemuda itu sama sekali tidak memilki tampang orang jahat, juga sinar matanya tidak menunjukkan bahwa dia sinting atau setengah gila, bahkan kelihatan cerdik sekali. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. ia mengambil pedang pemuda itu dari tangan suhengnya dan mencabutnya. Semua orang berseru kagum melihat sinar terang menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut dari sarungnya yang nampak butut.
"Hem, pedang bagus!" kata Bouw Ki. "Bagaimana pedang sebaik ini dapat berada di tangan orang tak percuma ini?"
Kim Hong merasa curiga dan mengelebatkan pedangnya. Gerakannya cepat bukan main sehingga nampak sinar menyambar. Kui Lan terkejut dan hampir saja digerakkan tongkat di tangannya untuk melindungi pemuda itu. Akan tetapi ia menahan diri dan nampak pemuda itu berteriak ketakutan dan melindungi kepala dengan kedua tangannya. Sinar pedang itu membabat ujung bajunya sehingga terputus.
"Aduhhhh... celaka aduh, buntung.....!" teriak Hui San yang berjingkrak seperti orang kesakitan. Gayanya demikian menyakinkan sehingga Kim Hong sendiri merasa terkejut, mengira bahwa sabetan pedangnya yang dilakukan untuk menguji kepandaian pemuda itu benar-benar telah melukainya.
"Apanya yang buntung?" bentak Bouw Ki.
"Ini.... bajuku...." kata Hui San dan kembali para perajurit tertawa. Beberapa orang di antara mereka mengatakan bahwa pemuda itu tentu miring otaknya.
"Siapa bilang otakku miring?" Hui San yang mendengar ucapan itu menoleh, sikapnya marah. "Jangan sembarangan bicara, ya? Pedangku ini pemberian kakekku dan para pendekar besar di dunia ini adalah sahabat baiknya! Apa kalian tidak tahu siapa itu Pangeran Li Si Bin yang sakti?"
Sikap Hui San demi kian congkak seolah-olah pangeran yang kemudian menjadi Kaisar Tang, yaitu Kaisar Tang Thai Cung pendiri Kerajaan Tang itu adalah kakeknya! "Dan apa kalian tidak tahu siapa itu guru besar Tat Mo Couw-su?"
Semua orang terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama pangeran sakti itu dan pendeta Siauw-lim-pai yang juga amat terkenal sebagai pendiri pertama dari ilmu silat Siuaw-lim-pai yang amat terkenal, seolah pangeran sakti itu kakeknya dan pendeta sakti itu gurunya saja.
Kim Hong juga terkejut. Apakah pemuda ini masih mempunyai darah bangsawan dari para kaisar Tang keturunan marga Li? Dan apakah pemuda ini seorang tokoh Siauw-limpai yang begitu berani menyebut-nyebut nama Tat Mo Coauwsu?
"Hemm, memangnya siapa itu Pangeran Li Si Bin dan pendeta Tat Mo Couw-su? Apamu mereka itu?" Tanya Kim Hong ingin tahu sekali.
"Aihh, nona! Engkau tidak tahu? Pangeran Li Si Bin adalah pendiri Kerajaan Tang yang kemudian menjadi kaisar ke dua berjuluk Tang Thai Sung, sedangkan Tat Mo Couwsu adalah pendiri aliran Siauw-lim-pai! Tentu saja mereka bukan apa-apaku, aku hanya bertanya siapa mereka!"
Semua perajurit tertawa. Lagak pemuda itu demikian congkak, dan ucapannya seperti yang sungguh-sungguh ternyata hanya berkelakar saja.
"Sinting!" Bouw Ki memaki. "Tangkap dia!"
"Suheng, untuk apa menawan orang sinting ini? Menjadi beban saja bahkan dia akan selalu menimbulkan keributan di jalan. Biarkan dia pergi," kata Kim Hong.
Bouw Ki membenarkan pendapat sumoinya. Memang orang sinting ini tidak ada gunanya ditahan, tidak seperti nona cantik itu. "Nah, pergilah!" bentaknya.
Hui San memandang kepada pedang di tangan Kim Hong. "Apakah nona hendak merampas pedang pemberian kakekku? Aku akan kabarkan di seluruh penjuru dunia kangouw bahwa ada seorang nona muda yang cantik jelita, yang ada lesung pipit di pipi kirinya, dengan semena-mena telah merampas pedang pemberian kakekku, pedang keluarga yang turun temurun. Seorang nona yang cantik jelita dan gagah perkasa ternyata telah bertindak curang, tidak sesuai dengan watak para pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan, pembela kebenaran dan keadilan."
"Nih pedangmu! Siapa sih yang ingin merampok pedangmu? Menyebalkan!" kata Kim Hong dan ia melemparkan pedang yang sudah berada dalam sarungnya itu kepada pemiliknya.
"Tokk!"
Oleh karena pemuda itu tidak mampu mengelak atau menyambut pedangnya, maka gagang pedang itu menimpa dahinya, mengeluarkan bunyi dan di dahi yang terketuk gagang pedang itu mendadak saja muncul sebutir telur ayam! Kembali para perajurit tertawa dan dengan bersungut-sungut Hui San meninggalkan tempat itu, membawa buntalan dan pedangnya.
"Pendekar sinting!" Para perajurit berteriak mengejek.
Hui San berhen melangkah, memutar tubuh dan mengamangkan tinju ke arah mereka. "Huh, orang gila itu tidak perlu dilayani!" kata Bouw Ki. "Lucuti nona itu, cepat!"
Dua orang perajurit yang tadi tertunda perbuatannya melucuti Kui Lan karena munculnya Hui San yang dianggap orang gila, kini melanjutkan lagak mereka. "Berikan buntalanmu, nona!"
"Kesinikan pedangmu itu, nona!"
Mereka berdua menjulurkan tangan hendak merampas buntalan dan pedang. "Pergilah!" bentak Kui Lan dan sekali tongkatnya bergerak, entah bagaimana kedua orang perajurit itu terlempar jauh ke belakang dan jatuh berdebuk dengan keras, membuat mereka meringis kesakitan karena pinggul mereka menimpa tanah dengan kuatnya.
Tentu saja semua orang terkejut. Para perajurit itu merupakan perajurit pilihan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Bagaimana mungkin ketika gadis jelita itu menggerakkan ranting di tangannya, kedua orang perajurit itu terlempar begitu saja? Melihat betapa gadis cantik itu ternyata lihai, kecurigaan Bouw Ki semakin meningkat. Kalau gadis ini seorang yang lihai, jelas ada hubungannya dengan pusaka kerajaan itu, pikirnya.
"Kepung, tangkap gadis mata-mata ini!" bentaknya sambil mencabut pedangnya. Para perajurit bergerak dan mengepung.
"Sungguh tidak malu, begini banyaknya laki-laki mengeroyok seorang gadis!" terdengar bentakan nyaring dan muncul seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis dan memegang sebatang tongkat butut.
Melihat pemuda yang wajahnya tampan, sikapnya gagah dan matanya mencorong ini, Kim Hong dapat menduga bahwa pemuda jembel yang pakaiannya tambal-tambalan ini pun seorang yang mencurigakan dan agaknya, tidak seperti pemuda sinting tadi, pemuda jembel ini bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, seperti gadis cantik itu.
Dan iapun menduga bahwa tentu munculnya pemuda ini ada hubungannya dengan perebutan Mestika Burung Hong Kemala, maka sekali melompat ia sudah berada di depan pemuda itu. Kui Lan tentu saja mengenal suara kakaknya. Ketika ia menoleh, ia mengenal kakaknya walaupun kakaknya mengenakan pakaian tambal-tambalan. Tentu saja ia menjadi girang bukan main, akan tetapi ia bersikap pura-pura tidak mengenalnya karena ia maklum bahwa mereka harus merahasiakan keadaan keluarga mereka.
Bouw Ki terkejut bukan main ketika dia menerjang maju dengan pedangnya. Gadis itu menggerakkan tongkatnya dan ketika pedangnya bertemu dengan tongkat, seperti ada getaran yang aneh dan amat kuat membuat telapak tangannya seperti lumpuh dan hampir saja pedangnya terlepas. Cepat dia menarik pedangnya, meloncat ke belakang dan membiarkan anak buahnya mengeroyok.
Gadis itu memainkan ranting kayu secara dahsyat dan itulah Hong-in Sin-pang. yang disertai gin-kang yang membuat tubuh gadis itu seperti seekor burung walet beterbangan dengan amat gesitnya. Sementara itu, ketika Yang Cin Han dihadang oleh gadis cantik itu, dia mengira bahwa gadis itu hanya gadis biasa saja.
Maka, ketika gadis itu menerjang maju, Cin Han sudah menggerakkan tongkat bututnya untuk menotok dan membuat gadis itu tidak berdaya. Tadinya, Cin Han hanya ingin membayangi rombongan itu, untuk membiarkan mereka menemukan Mestika Burung Hong Kemala, kemudian dia akan mencoba untuk merampasnya. Akan tetapi melihat betapa rombongan itu bertemu dengan seorang gadis yang ternyata adalah adiknya, Yang Kui Lan, tentu saja dia tidak dapat membiarkan adiknya diganggu mereka.
Dia sudah mendengar dari Ji-wangwe bahwa Bouw-ciangkun membawa seorang gadis yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu gadis yang menghadangnya itu yang dimaksudkan, akan tetapi dalam hatinya, Cin Han tidak yakin bahwa gadis yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena itu, dia menggerakkan tongkatnya sekedar untuk menotok gadis itu tanpa menyakitinya agar gadis itu menjadi lumpuh dan menghentikan perlawanannya.
"Wuuuut, plak-plak-plak....!"
Cin Han terkejut bukan main. Bukan saja gadis itu mampu menghindarkan diri dari totokannya, bahkan tiga kali berturut-turut dia harus memutar tongkat menangkis ketika gadis itu, dengan gerakan aneh sekali, menyerang dengan tamparan bertubi-tubi dan setiap tamparan membawa angin pukulan yang amat dahsyat! Tentu saja kini Cin Han tidak berani memandang ringan. Dia lalu memutar tongkat bututnya dan memainkan Tai-hong-pang.
Kini berbalk Kim Hong yang terkejut bukan main karena tongkat butut itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, seperti naga bermain di angkasa mengeluarkan angin badai yang amat dahsyat! Kim Hong menjadi kagum bukan main. Tak pernah disangkanya akan berhadapan dengan seorang lawan setangguh itu. Juga diakuinya bahwa melihat sepak terjang gadis cantik itu, ternyata gadis itupun lihai sekali.
Suhengnya sama sekali bukan tandingan si gadis cantik, bahkan dikeroyok oleh demikian banyaknya lawan, gadis itu masih mampu membela diri dengan baik, walapun tentu saja ia terkurung rapat, ia sendiri harus mampu menandingi pemuda berpakaian pengemis itu kalau tidak ingin pihak rombongan suhengnya kalah.
"Singg.....!"
Nampak dua gulungan sinar berkelebat ketika ia mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang kecil bertali. Itulah Hui-siang-kiam (Sepasang pedang terbang) yang ia mainkan dengan hati-hati untuk mengimbangi permainan tongkat yang aneh dari lawannya.
Cin Han terkejut dan kagum bukan main. Sepasang pedang kecil itu seperti hidup, menyambar-nyambar dahsyat seperti dua ekor burung rajawali beterbangan dan menyerangnya. Hanya dengan putaran tongkatnya seperti kitiran dia dapat melindungi dirinya. Kiranya benar apa yang dia dengar dari Jiwang we. Gadis itu memang lihai bukan main!
Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, Cin Han segera mendapat kenyataan bahwa seperti juga dia sendiri, lawannya itu tidak mempunyai niat untuk membunuhnya. Biarpun sepasang pedang itu menyambar-nyambar dahsyat, akan tetapi yang menjadi sasaran utama adalah lengan tangannya yang memegang tongkat sehingga gadis itu agaknya hanya ingin membuat dia melepaskan tongkatnya, seperti juga dia selalu berusaha untuk menotok gadis itu, bukan untuk melukainya apa lagi membunuhnya.
Entah mengapa, mendapatkan kenyataan ini, hatinya merasa girang bukan main. Dugaan Cin Han memang benar. Kim Hong sama sekali tidak bermaksud membunuhnya, apa lagi gadis yang lihai inipun dapat mengetahui bahwa pemuda bertongkat itu tidak berniat melukainya, hanya ingin membuat ia tak berdaya dengan totokan. Kim Hong tidak percaya bahwa pemuda tampan gagah ini seorang tokoh kangouw yang ingin memperebutkan Mestika Burung Hong Kemala untuk keuntungan dan kepentingan pribadi.
Melihat pakaiannya, tentu dia seorang tokoh kaipang (perkumpulan pengemis) dan sangat boleh jadi pemuda ini seorang yang setia kepada Kerajaan Tang dan ingin merampas pusaka untuk dikembalikan kepada Kerajaan Tang. Kalau demikian halnya, maka pemuda ini merupakan orang segolongan dengannya, karena iapun menerima tugas dari suhunya untuk membantu Kerajaan Tang.
Cin Han maklum bahwa kalau dia hanya dapat mengimbangi saja lawannya, sedangkan adiknya yang dikeroyok banyak orang itu nampak kewalahan juga dan dia tidak dapat membantunya, maka tiba-tiba dia meloncat jauh meninggalkan lawannya dan terjun ke dalam kepungan para pengeroyok. Kepungan itu membuyar dan Bouw Ki yang menyambut pemuda pengemis Itu terhuyung ketika ujung tongkat menotok pahanya.
"Lan-moi, mari kita pergi!" kata Cin Han.
Adiknya maklum bahwa melawan terus tidak ada gunanya. Iapun sudah ingin sekali bertemu dan bercakap-cakap dengan kakaknya, maka iapun memutar ranting di tangannya sedemikian rupa sehingga empat orang pengeroyok terpaksa mundur. Di lain saat, kakak beradik itu sudah berlompatan jauh dan melarikan diri.
"Kejar mereka!" bentak Bouw Ki.
"Tahan!" Kim Hong berseru dan para perajurit yang memang sudah gentar menghadapi dua orang yang lihai tadi, meragu...
Selanjutnya,