Mestika Burung Hong Kemala Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Jilid 09 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Mestika Burung Hong Kemala Jilid 09

Cerita silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
”SUHENG, untuk apa mengejar mereka? Kita datang ke sini bukan untuk menangkap orang. Pula, mereka itu lihai sekali. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan."

Bouw Ki menyadari kebenaran ucapan sumoinya. Kalau tadi tidak ada sumoinya yang menahan pemuda berpakaian pengemis, agaknya dia dan anak buahnya akan menderita rugi besar. Tugas yang paling penting adalah mengambil benda pusaka itu. Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukannya dan mereka melanjutkan pendakian.

Setelah mereka iba di depan tebing yang terdapat banyak guhanya, Bouw Ki lalu memerintahkan anak buahnya untuk membentuk penjagaan rapat di depan guha ke tujuh. Setelah melihat tidak ada tanda-tanda adanya orang lain di sekitar tempat itu, dia dan Kim Hong memasuki guha. Bouw Ki yang tergesa-gesa dan ingin sekali menemukan benda pusaka itu, langsung saja masuk ke dalam guha.

Akan tetapi Kim Hong lebih waspada dan meneliti tempat itu. Karena itu, ia dapat melihat adanya beberapa buah bekas tapak kaki di lantai guha! Masih baru tapak kaki itu dan iapun tahu bahwa baru saja, paling lama kemarin atau kemarin dulu, ada orang lain memasuki guha ini!

"Ini dia!" terdengar suhengnya berseru girang. Suhengnya mengambil sebuah kotak hitam dari balik tumpukan batu-batu di sudut guha dan membawanya ke dekat sumoinya yang masih berada di mulut guha.

"Hati-hati, suheng. Periksa dulu kalau-kalau benda itu mengandung alat rahasia atau racun!"

Kim Hong mengingatkan. Mendengar ini, Bouw Ki terkejut dan meletakkan peti hitam itu ke atas lantai. Kim Hong segera mendekati nya dan memeriksa. Tak salah lagi tanda tapak kaki yang dilihatnya tadi. Ada orang yang mendahului mereka memasuki guha ini! Dan ketika ia memeriksa peti atau kotak hitam itu, terdapat bukti lain.

Kalau kotak itu sudah lama disembunyikan orang di dalam guha itu, tentu kotak itu basah karena kelembaban guha, dan tentu ada kotoran debu. Akan tetapi, kotak itu masih bersih sekali, dan inipun merupakan tanda bahwa kotak itu belum lama diletakkan orang di tempat itu. Akan tetapi, penemuannya ini tidak ia beritahukan kepada suhengnya. Ia juga mempunyai kepentingan dalam urusan ini ia harus dapat menemukan benda pusaka itu untuk dikembalikan ke pada Kerajaan Tang.

Dan melihat kenyataan betapa kotak ini baru saja diletakkan orang di tempat itu, pada hal menurut suhengnya, peta itu telah dibuat lama sebelum Menteri Yang Kok Tiong meninggal, maka ia hampir yakin bahwa semua ini merupakan tipuan belaka! Benda pusaka itu disangsikan keaseliannya. Mungkin yang aseli tadinya berada di situ.

Akan tetapi jelas bahwa sebelum peta itu terjatuh ke tangan Bouw Koksu, telah ada orang lain yang mengetahui tempat bersembunyian benda itu dan mendahuluinya. ia bahkan meragukan apakah kotak hitam itu ada isinya! Dengan hati-hati, menggunakan ujung pedangnya, Kim Hong mencokel kotak itu sehingga terbuka dan ternyata di dalamnya memang terdapat sebuah benda mengkilat.

"Mestika Burung Hong Kemala....!" kata Bouw Ki girang dan diapun mengeluarkan benda itu dari dalam kotak dan menelitinya. Sebuah benda yang amat indah, terbuat dari batu kemala dan di ukir seperti seekor burung Hong.

"Suheng, kita telah berhasil," katanya hambar.

Agaknya tidak mungkin kalau benda ini aseli, pikirnya. Dan iapun mencurigai gadis cantik dan pemuda tampan seperti pengemis yang amat lihai tadi, bahkan terbayang pula pemuda sinting dengan sikapnya yang aneh. Mengaku keturunan pendekar, membawa pedang yang baik, akan tetapi sama sekali tidak menguasailmu silat. Agaknya tidak mungkin!

Siapakah di antara mereka yang telah mendahului suhengnya masuk ke dalam guha ini? Hanya dia yang telah mendahului mereka itu saja yang akan dapat menceritakan apakah benda pusaka itu benar palsu, dan di mana adanya mestika yang aselinya.

"Sumoi, kita harus cepat membawa pusaka ini kepada ayah. Kita harus waspada, siapa tahu akan ada yang mengganggu kita," kata Bouw Ki dan diapun membawa kotak hitam itu yang dia sembunyikan di balik jubahnya.

"Mari, suheng. Jangan khawatir, kukira tidak ada yang akan mengganggu kita dalam perjalanan pulang."

Rombongan itu segera meninggalkan pegunungan dan dengan hati gembira sekali. Bouw Ki membawa benda pusaka itu dengan hati-hati. Dan memang benar dugaan Kim Hong. Tidak ada yang mengganggu mereka dalam perjalanan pulang itu. Rombongan itu sama sekali tidak tahu bahwa ada orang yang berdiri di puncak dan menertawakan mereka yang tergesa-gesa menuruni perbukitan.

0rang itu adalah Souw Hui San. Pamannya memang seorang yang cerdik luar bisa, juga lucu. Mau rasanya dia tertawa terpingkal-pingkal membayangkan betapa Bouw Koksu tertipu, bersenang-senang dengan mestika yang palsu! Dia lalu memanjat pohon terbesar dari mana tadi dia meneliti sekeliling, dan mengambil kembali buntalan kuning terisi Mestika Burung Hong Kemala yang aseli, yang tadi dia simpan di pucuk pohon besar itu sebelum dia sengaja mengacaukan rombongan perajurit ketika mereka hendak menangkap Kui Lan.

Setelah menyimpan benda pusaka itu ke dalam buntalan pakaiannya, Hui San lalu menuruni bukit dan kembali ke Tiang-an. Sekali ini dia tidak tergesa-gesa, karena dia tidak perlu lagi membayangi rombongan Bouw-ciangkun. Dia naik perahu dan perlahan-lahan membiarkan perahunya hanyut di Yang-ce-kiang.

* * *

"Han-ko......!" Kui Lan memegang kedua tangan kakaknya dengan wajah gembra sekali.

"Lan-moi," Cin Han merangkul adiknya, hatinya bangga.

"Aku telah bertemu Kui Bi di Tiang-an dan ia telah menceritakan tentang pengalaman kalian. Sungguh aku ikut merasa gembira dan bangga bahwa kalian telah menjadi murid pendeta sakti Hong Hwi Hosiang, dan tadi aku sudah melihat kelihaianmu ketika dikeroyok banyak perajurit, Lan mo."

"Engkau sendiri, ke mana saja se lama ini, Han-ko?" tanya Kui Lan dan ia memandang pakaian kakaknya dengan hati terharu. Kakaknya, dahulu putera Menteri Utama yang dihormati semua orang, sekarang berpakaian seperti seorang pengemis! Melihat pandang mata adiknya yang memperhatikan pakaiannya, Cin Han tertawa geli.

"Aih, jangan engkau mengira bahwa kakakmu ini sekarang telah menjadi seorang pengemis, Lan-moi. Ketahuilah, selama ini aku menjadi murid Sin-tung Kai-ong yang pernah melatihmu ilmu pedang itu. Karena kebiasaan merantau dengan suhu, aku sudah terbiasa memakai pakaian seperti ini. Apa lagi aku memasuki kota raja, harus menyamar dan dengan pakaian seperti ini tidak akan ada yang mengenalku."

Dia lalu menceritakan betapa dia telah bertemu dengan Kui Bi dan kini adiknya itu dia titipkan di rumah Ji-wangwe, seorang hartawan yang memimpin para pendukung Kerajaan Tang.

"Dari Ji-wangwe aku mendapat keterangan bahwa Bouw Kongcu tadi memimpin pasukan untuk mengambil Mestika Burung Hong Kemala yang disembunyikan di dadam guha di tebing gunung ini."

"Ah, kalau begitu sekarang mereka tentu sedang mengambilnya, dan kita harus mencegah hal itu, koko! Kita harus merampas pusaka itu untuk dikembalikan kepada Kerajaan Tang!"

"Tenanglah, Lan-moi. Gadis itu lihai sekali. Kalau kita menyerang mereka, sukar bagi kita untuk dapat memperoleh kemenangan. Yang penting, kita ketahui di tangan siapa Mestika Burung Hong Kemala itu berada. Agaknya seperti yang diduga Ji-wangwe, Bouw Koksu mungkin sekali hendak memiliki sendiri pusaka itu, entah apa maksudnya. Dia tidak melaporkan penemuan pusaka itu kepada An Lu Shan."

"Sekarang engkau hendak ke mana, koko?"

"Tentu saja kembali ke kota raja. Adik Bi juga di sana. Bukankah engkau juga akan bersamaku ke Tiang-an?"

Kui Lan menggeleng kepalanya. "Aku sudah membagi tugas dengan Bi-moi. Ia membantu perjuangan menentang pemberontak di kota raja, sedangkan aku akan menyusul ayah yang mengawal Sribaginda ke barat. Ah, ya, bagaimana dengan keadaan rumah kita di kota raja, Han-ko? Dan apakah ibu juga.... eh, kenapa, koko?" Kui Lan bertanya cepat melihat perubahan pada wajah kakaknya.

Sukar bagi Cin Han untuk menerangkan. Ketika adiknya yang bungsu, Kui Bi, mendengar tentang kematian ayahnya setelah mengetahui kematian ibunya, adiknya itu pingsan. Bagaimana nanti jadinya dengan Kui Lan kalau sekaligus mendengar bahwa ayahnya dan ibunya telah tewas?

"Lan-moi, aku percaya bahwa engkau adalah adikku yang tenang dan tabah, dapat memaklumi akan kekuasaan Tuhan yang Maha Pencipta, juga Maha Menentukan segalanya. Segala peristiwa yang menimpa diri kita, bahkan nyawa kita sekalipun, berada dalam kekuasaan Nya untuk menentukan. Bukankah engkau masih tetap adikku yang tenang itu, bahkan sekarang, setelah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tentu akan lebih mampu menguasai hati dan perasaan sendiri, bukan?"

Kui Lan menangkap lengan kakaknya. "Han-ko, tidak perlu berputar-putar. Aku bukan anak kecil lagi. Katakan, apa yang telah terjadi dengan ibu?"

"Ibu kita telah tiada, Lan-moi."

"Ibuu......!!" Kui Lan menahan jeritnya dan memejamkan kedua matanya untuk mencegah tangisnya, akan tetapi kedua mata yang dipejamkan itu tidak mampu menahan air matanya yang bercucuran. Cin Han merangkul adiknya dan Kui Lan menangis di dada kakaknya. Setelah mereda tangisnya, ia melepaskan diri dengan lembut. "Koko, ceritakan, apa yang telah terjadi dengan ibu kita."

Dengan hati-hati dan tenang Cin Han menceritakan betapa pemberontak menyerbu kota raja dan ada anggauta pemberontak yang menyerbu rumah mereka. Ibu mereka tidak ikut ayah mereka karena ingin menanti di rumah sampai mereka bertiga kembali. Karena terancam bahaya diperhina para pemberontak, ibu mereka mengambil jalan terhormat, membunuh diri.

"Ah, kasihan ibu!" bisik Kui Lan.

"Kita patut bangga, Lan-moi. Ibu kita telah tewas sebagai wanita terhormat dan dengan tidak menyerah kepada pemberontak, berarti ia tewas sebagai seorang pahlawan. Rumah kita dikuasai pemberontak dan sekarang menjadi tempat tinggal Bouw Koksu, yaitu ayah dari Bouw-ciangkun yang memimpin pasukan tadi."

Kui Lan sudah dapat menenangkan diri. "Engkau benar Han-ko. Ibu kita tewas tidak sia-sia, dan kita harus membantu bangkitnya kembali Kerajaan Tang. Dengan cara demikian, kita berarti sudah dapat membalaskan dendam penasaran hati mendiang ibu kita. Yang kusayangkan, ketika ayah mengawal Sribagiada Kaisar, kenapa ayah tidak memaksa ibu agar ikut saja? Aku ingin menyusul ayah, koko."

"Kuatkan hatimu, adikku. Ayah kita juga sudah tiada...."

"Ahh.....?" Wajah gadis itu berubah pucat, akan tetapi perasaannya tidak begitu tertikam pedih seperti ketika mendengar ibunya terkasih sudah tiada. "Apa yang terjadi? Bukankah ayah kita mengawal kaisar melarikan diri mengungsi ke barat?"

Dengan singkat Cin Han lalu menceritakan tentang pembunuhan terhadap ayah mereka yang dilakukan oleh para perajurit pengawal yang merasa tidak puas dan menganggap ayah mereka menjadi biang keladi kehancuran Kerajaan Tang.

"Juga bibi Yang Kui Hui tidak lepas dari hukuman, ia menggantung diri di depan kaisar dan semua pasukan pengawal."

Kui Lan menghela napas panjang. "Sudah kita khawatirkan semua hal ini akan terjadi juga. Kedudukan ayah yang tidak semestinya, karena pengaruh bibi Yang Kui Hui. Ah, sungguh kita harus merasa prihatin dan menyesal sekali, koko."

"Tidak ada yang perlu disesalkan, adikku. Bagaimanapun juga, ayah kita telah memperlihatkan kesetiaannya kepada Kerajaan Tang. Dan semua sikap yang tidak benar dari ayah dan bibi, dapat kita tebus dengan kesetiaan kita terhadap Kerajaan Tang. Kita bertiga telah mempelajari ilmu dan kita dapat menyumbangkan tenaga kita demi jayanya kembali Kerajaan Tang. Mari kita ke kota raja, adikku. Di sana kita bersama Bi-moi dapat lebih banyak bekerja menentang pemberontak dan mempersiapkan diri untuk membantu pasukan Tang kalau saatnya tiba."

Kui Lan mengepal tangannya. "Aku sudah siap untuk siap membantumu, koko." Kemudian ia bertanya, "Koko, apakah yang dilakukan rombongan tadi ke sini? Dan gadis itu sungguh lihai bukan main."

"Mereka adalah rombongan dari kota raja yang dipimpin oleh Panglima bernama Bouw Ki seorang bersuku bangsa Khitan, dan aku sendiri tidak tahu Siapa gadis itu, hanya mendengar bahwa ia memang membantu pasukan itu. Tak kusangka ia selihai itu."

"Apa yang mereka lakukan di sini?"

"Mereka akan mengambil tempat disembunyikannya Mestika Burung Hong Kemala."

"Ahh! Bukankah mestika itu merupakan pusaka kerajaan?"

"Benar, kabarnya pusaka itu lenyap dan menjadi rebutan. Terakhir kalinya, pusaka itu disimpan oleh mendiang ayah, entah bagaimana dapat terjatuh ketangan mereka. Aku membayangi mereka untuk melakukan penyelidikan, tidak mengira akan bertemu denganmu. Tentu saja bagiku lebih penting menolong dan menyelamatkanmu dari pada menyelidiki tentang pusaka itu."

"Ah, kalau begitu, tentu mereka sudah mengambil pusaka itu, koko! Sebetulnya, kita harus merampasnya."

"Agaknya tidak mungkin, Lan-moi. Mereka terlalu kuat, apa lagi gadis itu. Bagaimanapun juga, kita sudah mengetahui bahwa Mestika Burung Hong Kemala terjatuh ke tangan Bouw Koksu."

"Siapa itu Bouw Koksu?"

"Dia ayah dari panglima Bouw Ki tadi," dan Cin Han lalu menceritakan keadaan pemerintahan baru yang dibentuk An Lu Shan.

"Dan tahukah engkau siapa pemuda sinting tadi, koko? Apakah engkau melihatnya?"

Cin Han mengangguk. "Aku melihat dia akan tetapi aku tidak mengenalnya. Dia memang amat mencurigakan. Nampa knya tolol dan lemah, akan tetapi dia membawa sebatang pedang yang amat baik. Aku masih menduga-duga siapa gerangan pemuda itu dan sudah kuingat wajahnya. Akan kutanyakan kepada kawan-kawan kita di sana, mungkin ada yang mengenalnya. Kalau dia merupakan seorang pejuang yang setia kepada Kerajaan Tang, tentu kawan-kawan kita mengenalnya. Kalau tidak ada yang mengenal berarti dia bukan apa-apa dan memang eorang yang sint ing."

"Akan tetapi aku mempunyai perasaan bahwa perbuatannya tadi disengaja untuk menolongku, koko."

"Mungkin saja. Nah, mari kita kembali ke kota raja. Kita bekerja sama dengan Kui-moi dan dengan para pejuang. Di kota raja kita dapat mengikuti semua perkembangan dan mempersiapkan diri untuk membantu kalau pasukan Kerajaan Tang datang untuk merampas kembali kerajaan yang terjatuh ke tangan pemberontak An Lu Shan."

"Apakah ada harapan terjadi hal itu, koko?"

"Tentu saja. Jaringan mata-mata para pejuang yang bergerak di kota raja mempunyai hubungan dengan rombongan Sribaginda yang melarikan diri ke Se-cuan dan sudah diperoleh berita bahwa Sribaginda yang dibantu oleh Panglima Kok Cu yang setia, sedang menyusun kekuatan di barat untuk merampas kembali tahta kerajaan.Mari kita pergi, Lan-moi."

Kakak beradik itu lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja.

* * *

Souw Hui San mengelus-elus dahinya yang menjadi benjol sebesar telur ayam, tertimpa pedangnya sendiri yang tadi dilempar oleh Kim Hong. "Wah, gadis yang lihai, galak dan sadis!" dia mengomel, lalu mengeluarkan seguci kecil arak dan menggosok-gosok benjolan di dahinya dengan arak.

Tadi, ketika dia muncul dengan pura-pura menjadi seorang sinting, dia memang bermaksud untuk menolong gadis yang membuat jantungnya berdebar keras. Begitu melihat Kui Lan, seketika jantung di dalam dada Hui San jatuh bangun. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis seperti itu! Cantik jelita, lemah lembut, dan perkasa pula.

"Ku iLan, namanya Kui Lan...." dia bicara seorang diri dan kalau ada yang melihatnya saat itu, tentu akan menganggap dia benar-benar sinting, bukan pura-pura seperti tadi.

"Agaknya ia she Kui dan bernama Lan, nama yang indah, secantik orangnya. Akan tetapi, ia mengenal aku sebagai orang sinting....." Dia tersenyum pahit, lalu mengelus benjolan di dahinya sambil menyebut-nyebut nama gadis itu. "Ahhh... Kui Lan... Kui Lan..."

Hui San melamun sebentar, wajah Kui Lan terbayang-bayang dan akhirnya dia menarik napas panjang, mengikatkan buntalan pakaiannya di punggung, lalu mendaki bukit itu. Setelah berada di puncak bukit, dia melihat dari atas ke segenap penjuru.

Dia tersenyum ketika melihat rombongan Bouw Ki menuruni bukit, kembali dari tebing karang penuh guha. Senyumnya menjadi tawa geli membayangkan betapa rombongan itu, dengan rasa puas dan menang, kini kembali ke kota raja sambil membawa Mestika Burung Hong Kemala yang palsu!

Setelah merasa yakin bahwa di sekitar situ tidak terdapat orang lain, barulah Hui San memanjat pohon besar di mana tadi dia menelit i ke empat penjuru dan dia mengambil benda pusaka Gi ok-hong-cu itu dari puncak pohon.

Dia tadi memang menyembunyikan pusaka itu di sana. Kalau tidak demikian, tentu dia tidak akan berani muncul untuk menolong Kui Lan. Ketika buntalannya digeledah, diapun tenang-tenang saja karena pusaka itu telah lebih dulu dia amankan di puncakpohon. Andaikata rombongan itu tadi bertindak kasar hendak menawan atau membunuhnya, tentu dia akan melakukan perlawanan.

Dia tadi mengintai dan kagum melihat munculnya seorang pemuda menolong Kui Lan, bahkan dia membayangi ketika kedua orang itu menyelamatkan diri. Karena maklum bahwa mereka itu lihai, dia hanya mengintai dari jauh sehingga tidak dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas. Akan tetapi dia tahu bahwa pemuda itu ternyata kakak si gadis maka menguap dan lenyaplah perasaan tidak enak dan cemburu yang tadinya sudah mengusuk pe rasaannya.

Setelah menyimpan Mestika Burung Hong Kemala yang aseli, diapun menurun bukit itu dan menuju kembali ke kota raja. Dia merasa gembira melihat betapa kakak beradik itupun menuju ke kota raja karena dia mengharapkan sekali untuk dapat bertemu kembali dengan Kui Lan , gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.

* * *

Ji Siok atau Ji-wangwe (Hartawan Ji) membelalakkan matanya memandang kepada gadis yang duduk di depannya. Baru saja Cin Han meninggalkan mereka dan gadis ini, Kui Bi, menyatakan suatu keinginan yang membuat dia terkejut setengah mati dan terbelalak.

"Nona, keinginanmu itu tidak mungkin! Terlalu berbahaya itu!"

"Paman Ji," kata Kui Bi dengan sikapnya yang tenang. "Kenapa tidak mungkin? Bukankah paman juga mengetahui bahwa mendiang Bibi Yang Kui Hui dahulu pernah saling menjalin cinta dengan An Lu Shan? Dan paman tahu bahwa wajahku mirip mendiang Bibi Yang Kui Hui. Dengan sedikit hiasan, aku akan menjadi Yang Kui Hui muda dan aku yakin An Lu Shan seolah menemukan kembali kekasihnya."

"Akan tetapi itu berbahaya sekali! Bagaimana mungkin nona dapat membunuhnya lalu meloloskan diri? Nona akan ditangkap, dan andaikan berhasil membunuhnyapun, nona akan dihukum dan dibunuh pula."

"Paman, mana ada perjuangan yang tidak mengandung bahaya? Perang hanyalah menang atau kalah. Orang tuaku tewas karena ulah An Lu Shan, bahkan Kerajaan Tang jatuh oleh pengkhianat itu. Tidakkah sudah sepatutnya kalau aku membalas dendam? Dengan cara Itu, aku akan berhasil mendekatinya dan dapat membunuhnya. Kemudian, tentang aku akan berhasil meloloskan diri atau tidak merupakan masalah ke dua. Belum tentu aku tidak akan mampu meloloskan diri, paman!"

"Tapi... mengorbankan seorang gadis muda seperti nona...." kata hartawan itu meragu.

"Tidak ada kata pengorbanan bagi seorang pejuang, paman. Andaikata dianggap pengorbanan sekalipun, aku rela mengorbankan nyawa demi membalas kematian ayah ibuku dan demi Kerajaan Tang . Tidak perlu berpanjang kata, paman. Mau atau tidakkah paman membantuku agar aku dapat memasuki kalangan istana sehingga aku mendapat kesempatan untuk mendekati An Lu Shan?"

Hartawan itu menghela napas panjang. "Sebaiknya kita menanti sampai kakakmu datang...."

"Terlalu lama, paman. Dan Han-koko juga tidak akan dapat membantuku. Ini merupakan usaha pribadiku untuk bertindak.Kalau paman tidak mau membantu, biarlah aku mencari jalan lain."

Menghadapi gadis yang bersikap keras itu, Ji-wangwe hanya menghela napas dan mengangguk-angguk. "Baiklah,nona. Akan tetapi harus diatur sebaik mungkin. Kalau hendak mendekati An Lu Shan tanpa dicurigai, satu-satunya cara adalah menjadi seorang dayang istana. Dan kebetulan aku mempunyai hubungan dengan seorang thai-kam (sida-sida) yang menjadi kepala dayang. Kurasa dia akan dapat memasukkan nona ke istana sebagai dayang baru. Tentu saja kalau ada permintaan dayang baru dari istana."

Ternyata secara kebetulan sekali, memang ada permintaan dari istana agar Gui-thaikam memasukkan lagi tujuh orang dayang baru untuk istana, atas permintaan permaisuri. Dengan sendirinya, tiga hari kemudian, Kui Bi telah berhasil diselundupkan sebagai seorang dayang baru. Ketika tujuh orang dayang baru itu dihadapkan kepada Kaisar An Lu Shan, di situ hadir pula Pangeran An Kong di samping permaisuri dan para selir kaisar.

Juga ada beberapa orang panglima yang sedang menghadap untuk urusan tugas keamanan. Di antara para panglima itu terdapat Sia-ciangkun, yaitu Panglima Sia Su Beng yang pernah bertemu dengan Yang Kui Lan. Panglima inilah yang menjadi bengong dan jantungnya terasa berdebar-debar ketika ia ikut melihat masuknya tujuh orang calon dayang itu.

Yang membuat dia terkejut bukan main adalah melihat dayang yang berjalan dalam urutan nomor tiga. Hampir dia berteriak memanggil. Bagaimana dia tidak akan terkejut melihat Kui Lan berada di antara tujuh orang dayang itu! Kui Lan,gadis perkasa yang katanya hendak menyusul ayahnya dalam rombongan Kaisar yang melarikan diri ke barat, gadis yang menjadi pejuang membela Kerajaan Tang, berada di sini sebagai calon dayang!

Tentu saja ia merasa khawatir bukan main, maklum akan niat gadis itu. Gadis itu agaknya hendak nekat, hendak membunuh An Lu Shan dengan menyusup sebagai dayang! Dia harus mencegah ini, karena melakukan perbuatan itu sama saja dengan membunuh diri! Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan? Dia akan mencari jalan!

Bukan hanya Sia Su Beng yang menjadi bengong ketika melihat Kui Bi yang disangkanya Kui Lan karena memang enci adik itu memiliki wajah yang mirip sekali. Juga An Lu Shan dan Pangeran An Kong memandang dengan mata yang tak pernah berkedip. An Lu Shan memandang dan jantungnya berdebar keras. Dia seperti melihat Yang Kui Hui hidup kembali, dalam tubuh yang jauh lebih muda.

Namun tak salah lagi, wajah gadis dayang itu serupa benar dengan wajah mendiang Yang Kui Hui yang dahulu menjadi kekasihnya! Dia takkan pernah melupakan selir kaisar itu, karena harus diakuinya bahwa berkat bantuan Yang Kui Hui itulah dia mendapatkan kedudukan dan kepercayaan kaisar Kerajaan Tang dan akhirnya kini bahkan dapat merebut tahta Kerajaan Tang.

Sementara itu, Pangeran An Kong yang terkenal mata keranjang, juga terpesona oleh kecantikan Kui Bi. Apa lagi ketika dengan sikap malu-malu, dengan kerling mata tajam dan senyum manis sekali Kui Bi yang melakukan penghormatan sambil berlutut kepada keluarga An Lu Shan,mengerling ke arah An Lu Shan dan Pangeran An Kong.

Pangeran mata keranjang itu begitu tertarik oleh kerling mata dan senyuman Kui Bi sehingga dengan tak sabar dia lalu berkata kepada Permaisuri, "Ibunda, saya ingin agar calon dayang yang berbaju biru itu menjadi dayang saya!"

Mendengar ucapan yang terang-terangan menunjukkan betapa pangeran itu terpikat oleh dayang itu, semua orang tersenyum, maklum akan watak mata keranjang pangeran itu.

"Aih, engkau begitu tergesa-gesa! Akan tetapi bolehlah..."

"Tidak!" terdengar suara Kaisar menggeledek.

Memang sudah timbul perasaan tidak senang antara ayah dan anak ini, pertama ketika mereka berdua saling memperebutkan seorang wanita istana Kerajaan Tang yang kemudian membunuh diri, kemudian sekali karena dengan dukungan banyak pejabat tinggi, Pangeran An Kong minta kepada ayahnya agar dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota.

"Engkau ini anak macam apa, An Kong! Para calon dayang ini dipesan Permaisuri atas perintahku dan begitu mereka muncul, enak saja engkau hendak memilih seorang di antara mereka? Akulah yang memutuskan, dan aku memerintahkan agar para calon ini menjadi dayang istana dan tidak boleh kau ambil begitu saja!"

Wajah Pangeran An Kong menjadi merah sekali, matanya mencorong penuh kebencian kepada ayahnya. Hanya karena urusan seorang dayang saja, ayahnya tidak segan-segan menegurnya sedemikian kasarnya, di depan banyak orang pula. Ayahnya telah mempermalukan dia di depan orang banyak, seperti pernah dilakukannya ketika dia mohon diangkat menjadi pangeran mahkota.

Kebencian menyesak dadanya, akan tetapi dia tidak berani banyak cakap lagi, hanya menundukkan mukanya, dengan hati panas seperti dibakar. Apa lagi ketika dia bertemu pandang dengan Bouw Koksu, yang memberi isyarat kepadanya dengan pandang mata, maka diapun tidak berani membantah lagi.

Peristiwa kecil ini tidak luput dari pengamatan Kui Bi. Gadis yang cerdik ini segera dapat mengetahui bahwa terdapat ketegangan dan kebencian di antara An Lu Shan dan An Kong, maka ia harus dapat memanfaatkan keadaan ini. Iapun mengerling ke arah pangeran itu yang kebetulan mengangkat muka memandang kepadanya dan sebuah kedipan halus diisyaratkan olehKui Bi kepada sang pangeran, disusul senyum manis sekali.

Melihat keadaan yang tidak mengenakkan hati itu, sang permaisuri segera mengutus Gui-thaikam untuk menggiring tujuh orang dayang itu ke dalam istana. Semua yang terjadi itupun tidak luput dari perhatian mata Sia Su Beng. Bahkan dia melihat kedipan mata gadis yang disangkanya Kui Lan tadi. Dia merasa tidak enak sekali dan menduga-duga, apa yang akan dilakukan gadis itu.

Kemudian dia teringat akan tekad Kui Lan untuk membantu Kerajaan Tang dan diapun mulai dapat menduga bahwa agaknya gadis pejuang itu sengaja menimbulkan ketegangan yang lebih hebat antara An Lu Shan dan An Kong, untuk mengacaukan istana melalui rusaknya hubungan keluarga An Lu Shan. Dan dia merasa semakin tidak enak dan khawatir.

Kui Bi menjadi dayang permaisuri dan ia pandai membawa diri, sehingga permaisuri merasa sayang kepadanya. Akan tetapi, diam-diam permaisuri juga khawatir kalau-kalau dayang baru ini akan dipilih suaminya untuk menjadi selir, ia tidak perduli kalau suaminya mengangkat selir baru berapa banyakpun akan tetapi ia tidak rela kalau An Lu Shan menarik Kui Bi sebagai selir, karena ia tahu bahwa puteranya, Pangeran An Kong, menghendaki gadis cantik ini.

Maka, permaisuri sengaja memberi tugas pekerjaan kepada Kui Bi yang selalu menjauhkan dayang ini dari kaisar, bahkan sejak berada di istana, Kui Bi tidak pernah dapat bertemu dengan kaisar. Hal ini amat mengesalkan hatinya, karena kalau tidak dapat bertemu degan kaisar, tidak pernah dapat berdekatan, bagaimana mungkin ia mendapat kesempatan untuk membunuh An Lu Shan?

Beberapa hari kemudian, setelah ia tidak mempunyai tugas apapun pada malam hari itu dari permaisuri sudah memasuki kamarnya, tidak membutuhkan tenaganya, Kui Bi menyelinap keluar dan memasuki taman istana yang luas dan indah. Wajahnya agak murung karena ia sama sekali tidak melihat kesempatan untuk melaksanakan niat hatinya, yaitu membunuh An Lu Shan.

Untuk nekat saja mencari kamar kaisar baru itu dan mencoba membunuhnya, merupakan perbuatan yang nekat dan ia dapat mati konyol hasilnya belum tentu ada. Ia teringat kepada Pangeran An Kong. Pangeran itu jelas tertarik kepadanya. Kalau saja ia dapat mendekati pangeran itu, mungkin akan terbuka jalan baginya untuk melaksanakan niatnya.

Kui Bi melamun sambil berjalan-jalan di dalam taman yang hanya diterangi lampu-lampu gantung di sana sini. Malam itu langit gelap, dan penerangan seperti itu di taman membuat taman nampak semakin indah. Tiba-tiba pendengarannya menangkap gerakan orang, ia menahan langkah dan membalik ke kiri.

"Siapa.....?" tegurnya.

"Sssttt.... siauw-moi.... ini aku, Sia Su Beng," terdengar suara pria lirih dan orangnya muncul dari baik semak. Sinar lampu yang lemah menerangi muka pemuda yang tampan gagah itu dan melihat pakaiannya, teringatlah Kui Bi akan seorang di antara para panglima yang hadir ketika ia dan para dayang lain dihadapkan kaisar dan keluarganya. Tentu saja ia terheran-heran mendengar suara yang nampak akrab itu, yang menyebutnya siauw-moi.

"Kau.... siapakah dan ada apakah....?" tanyanya gagap.

"Aih, Lan-moi, lupakah engkau kepadaku? Aku Sia Su Beng dan kita pernah bertemu. Adik Kui Lan, sungguh aku amat mengkhawatirkan niatmu ini. Engkau hendak membunuh An Lu Shan, bukan? Jangan begitu gegabah, Lan-moi. Semua harus diperhitungkan baik-baik. Aku tidak ingin kehilangan engkau. Tunggulah saatnya sampai aku siap dengan pasukan ku. Aku sudah menghubungi para pejuang dan merekapun siap membantu. Kita akan serbu istana dan kita basmi keluarga An Lu Shan dan menguasai istana. Para pengikutnya akan kita buat tidak berdaya dengan kepungan pasukan.Percayalah, jangan sembarangan bertindak menyerangnya dan mengorbankan dirimu..."

Kini mengertilah Kui Bi. Panglima ini juga seorang pembela Kerajaan Tang yang entah bagaimana telah berhasil menyusup menjadi seorang panglima pengikut An Lu Shan, dan agaknya panglima yang bernama Sia Su Beng ini telah bertemu dan berkenalan dengan Kui Lan, kakaknya! Panglima muda ini tentu mengira ia kakaknya. Sebetulnya, terdapat perbedaan antara wajah encinya dan wajahnya. Encinya, Kui Lan, yang wajahnya mirip sekali dengan mendiang Yang Kui Hui. Akan tetapi berkat usahanya untuk membuat wajahnya mirip Yang Kui Hui, maka dengan sendirinya kini wajahnya serupa dengan wajah encinya.

"Maaf, ciangkun. Engkau keliru. Aku bukan Kui Lan..."

Di bawah penerangan lampu yang suram, sepasang mata panglima itu terbelalak, akan tetapi dia tersenyum. "Aih, adik Kui Lan, harap jangan main-main. Ketika dihadapkan di depan keluarga kaisar, aku telah mengamatimu. Dan aku tahu pula bahwa engkau sengaja bermain mata dengan Pangeran An Kong. Tentu untuk mengadu antara ayah dan anak itu, bukan? Engkau harus berhati-hati, Lan-moi. Aku tetap yakin engkau Lan-moi, wajahmu, sinar matamu, suaramu, tidak dapat membohongaku. Jangan bermain api sendiri, Lan-moi, apa lagi terhadap Pangeran An Kong. Dia mempunyai pendukung yang amat kuat. Bouw Koksu dan banyak orang mendukungnya, banyak orang lihai di sekelilingnya. Agaknya dia sudah siap untuk menjatuhkan ayahnya sendiri dan merebut tahta."

Kini Kui Bi tidak ragu-ragu lagi. Panglima ini bukan sedang menjeba nya, melainkan benar-benar seorang pejuang dan benar-benar telah mengenal baik encinya. "Kui Lan itu enciku, ciangkun. Dan ia sedang pergi ke barat untuk menyusul rombongan Sribaginda Kaisar. Namaku Kui Bi dan aku ini adiknya."

"Ahh....! Pantas saja kalau begitu. Lan-moi. Siang tadi berkata bahwa ia hendak menyusul ayahnya yang ikut rombongan Sribaginda. Maka aku merasa terkejut dan heran sekali melihat engkau di antara tujuh dayang itu, heran mengapa Lan-moi yang pergi ke barat tiba-tiba muncul sebagai dayang di istana. Kiranya engkau adiknya?"

"Aku senang sekali dapat bertemu denganmu, Siaciangkun....."

"Adik Ku Bi, Kui Lan selalu menyebutku toako."

"Baiklah, Sia-toako. Karena kita sepaham, maka aku merasa tenang dan tahu bahwa ada teman seperjuangan di dekatku. Aku tahu bahwa aku tidak boleh tergesa-gesa melaksanakan niatku. Aku harus menunggu kesempatan yang baik."

"Bagus, Bi-moi. Aku akan selalu mengamati dan melindungimu. Jangan bergerak sebelum ada tanda dariku.Kalau semua telah dipersiapkan, barulah kita bergerak, dan engkau sebagai pelaksana dari dalam istana karena engkau yang paling mudah melaksanakannya. Akan tetapi.....eh, maaf, apakah engkau juga selihai encimu?"

Kui Bi tersenyum, ia merasa suka sekali kepada panglima ini. Tampan, gagah dan tegas! "Jangan khawatir, toako. Enci Kui Lan itu juga kakak seperguruanku."

"Bagus kalau begitu....."

"Ssst......!"' Kui Bi memperingatkan dan Sia Su Beng cepat menyelinap di balik semak-semak tadi.

Seorang thai-kam muda muncul dan tangannya membawa sebatang pedang. Dia termasuk thai-kam yang ditugaskan melakukan penjagaan dan dengan sendirinya dia bukanlah seorang yang lemah. "Hemm, kiranya engkau dayang baru itu! Di mana tadi pria yang bicara denganmu! " bentak thaikam itu dengan nada bengis.

"Pria? Apa yang kau maksudkan?" Kui Bi berpura-pura dan sikapnya menjadi seperti orang ketakutan.

"Tidak perlu berpura-pura dan berdusta! Aku sendiri melihatnya tadi ada bayangan seorang pria bercakap-cakap denganmu di sini! Hayo katakan, siapa dia dan di mana dia sekarang? Kalau tidak mengaku, engkau akan kuseret dan kulaporkan kepada komandan pasukan keamanan dan engkau akan disiksa agar mau mengaku!"

Kui Bi merasa serba salah, akan tapi ia segera teringat bahwa Sia Sung merupakan seorang panglima yang tentu jauh lebih besar kekuasaannya di bandingkan seorang perajurit pengawal thai-kam biasa, maka iapun segera menjawab.

"Ah, kau maksudkan Sia-ciangku tadi? Memang benar aku tadi bertemu dengan Sia-ciangkun di sini. Dia bertanya apa yang kukerjakan di sini dan ku jawab bahwa aku mencari hawa sejuk Dia lalu pergi dan....

"Siapa Sia-ciangkun? Jangan bohong kau!" Pengawal itu melangkah dekat dengan sikap mengancam.

"Aku tidak berbohong, yang bicara denganku tadi adalah Sia-ciangkun." kata Kui Bi. "Sia-ciangkun adalah panglima yang terkenal.”

"Tidak mungkin. Engkau hanya seorang dayang baru, bagaimana mungkin panglima Sia bicara denganmu di taman Jangan melempar fitnah. Engkau harus kutangkap dan....."

Tangan kiri Kui Bi bergerak cepat sekali dan tangan itu sudah menyambar ke arah dada thai-kam itu. Thaikam itupun lihai dan cepat meloncat ke belakang sehingga walaupun pukulan itu mengenai dadanya, namun tidaklah kuat benar, hanya membuat dia terhuyung. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan dengan cepat sinar pedang berdesing menyambar, maka robohlah thai-kam itu dengan dada tertembus pedang. Penyerangnya adalah Sia Su Beng. Pada saat itu, terdengar teriakan Gui-thai-kam dari pintu taman.

"Nona Kui Bi, engkau di mana? Ke sinilah cepat, engkau dicari Yang Mulia Pangeran!"

Wajah Kui Bi berubah agak pucat karena kalau sampai ketahuan thai-kam itu tewas di dekatnya dengan berlumuran darah, tentu ia akan celaka.

"Tenang, kusembunyikan dia," terdengar Sia Su Beng berkata lirih. Panglima itu menyeret mayat thaikam itu ke balik semak-semak. Setelah panglima dan mayat itu tidak kelihatan lagi. Kui Bi menjawab dengan teriakan.

"Aku berada di sini.....!” Dan iapun menghampiri ke arah pintu taman.

Gui-thaikam nampak berlari-lari menghampiri. "Aih, apa saja yang kau lakukan malam hari di taman? Cepat, Yang Mulia Pangeran An Kong mencarimu, beliau akan marah kalau engkau tidak cepat menghadap."

Mendengar ini, Kui Bi mengerling sekali lagi ke arah semak-semak.

Tentu Sia Su Beng mendengar ucapan itu, pikirnya. Hatinya merasa agak lega karena ia tahu bahwa panglima itu tentu akan melindungi dan membantunya kalau ada bahaya mengancam, dan entah bagaimana, ia merasa bahwa bahaya itu datangnya dari sang pangeran yang secara berterang menyatakan terpikat olehnya dan menghendaki dirinya.

"Aku hanya mencari hawa segar di taman," katanya dan iapun mengikuti thai-kam yang menjadi kepala dayang itu keluar taman menuju ke gerbang taman.

Di sana telah menanti Pangeran An Kong bersama dua orang pengawal pribadinya. Kui Bi cepat maju dan meniru Gui-thaikam memberi hormat kepada sang pangeran yang tersenyum melihatnya. "Kui Bi, engkau memang cantik jelita," kata pangeran itu dengan kagum ketika dia memandang wajah manis itu di bawah sinar lampu gantung kemerahan.

"Terima kasih, Pangeran. Hamba hanya seorang gadis dusun yang bodoh," kata Kui Bi merendah.

"Aku mendengar engkau disia-siakan ayahanda kaisar, tidak pernah diperhatikan dan hanya mendapatkan tugas di luar kamar yang tidak penting. Hem, untuk apa ayahanda mempertahankan dari ku? Aku suka kepadamu, Kui Bi. Lebih baik engkau menjadi dayangku dan kalau engkau menyenangkan hatiku, engkau akan menjadi selirku."

Berdebar rasa jantung Kui Bi, berdebar karena marah, juga karena khawatir. Tentu saja ia tidak ingin menjadi selir pangeran itu atau selir kaisar sekalipun, ia bersedia mengorbankan nyawa dalam perjuangan, akan tetapi mengorbankan kehormatannya? Tidak! ia akan mempertahankan kehormatannya, dengan nyawanya!

"Ampun, Pangeran. Hamba tidak berani. Tanpa ijin Yang Mulia Sribaginda Kaisar, bagaimana hamba berani? Hamba akan menerima hukuman berat...." katanya dengan nada ketakutan.

Pangeran An Kong memberi isarat pada dua orang pengawalnya untuk meninggalkannya, demikian pula Gui thaikam karena ia ingin bicara berdua dengan Kui Bi dan tidak didengar orang lain. Dua orang pegawal itu meninggalkan mereka akan tetapi mengamati dari jauh untuk menjaga keselamatan sang pangeran, biarpun mereka maklum bahwa pangeran itu bukan orang lemah, bahkan ilmu silatnya lebih lihai dari pada mereka. Gui-thaikam juga meninggalkan tempat itu dengan taat, bahkan kembali memasuki bangunan belakang istana.

"Nah, sekarang kita hanya berdua, Kui Bi. Katakanlah, bukankah engkau lebih suka menjadi dayangku dari pada menjadi dayang Sribaginda? Aku melihat kerling dan senyummu ketika itu "

Kui Bi berlagak tersipu malu. ”Ah, Pangeran. Tentu saja, hamba akan lebih suka kalau dapat menjadi dayang paduka... akan tetap Sribaginda mengutuskan lain dan hamba tidak berani menentangnya."

"Tidak ada yang menentang, tetapi katakan dulu, apakah engkau akan senang kalau menjadi selirku, bahkan mungkin kelak menjadi isteriku berarti engkau menjadi permaisuri kalau aku menjadi kaisar?"

"Ahh..... tentu.... tentu saja Pangeran. Hamba akan..... senang sekali...." kata Kui Bi walaupun di dalam hatinya ia memaki pangeran mata keranjang yang merayunya itu.

"Dan engkau akan suka membantu melakukan apa saja untukku agar kelak engkau dapat menjadi permaisuriku?"

Kui Bi memutar otaknya. Kalau pangeran ini menghendaki tubuhnya, tentu tidak demikian pertanyaannya. Pangeran ini tentu merencanakan sesuatu dan membutuhkan bantuannya!

"Hamba akan berbahagia sekali, akan tetapi bagaimana mungkin hamba melayani paduka sebelum mendapatkan ijin Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri? Atau kalau...."

"Ya? Lanjutkan, jangan takut-takut."

"Atau kalau paduka sudah menjadi kaisar tentu tidak ada yang akan membantah kehendak paduka."

"Bagus, agaknya engkau cerdik seperti yang sudah kuduga. Kami membutuh bantuanmu, Kui Bi. Nanti pada saatnya akan kami beritahu, bantuan apa yang kami harapkan darimu. Tugas yang akann kami berikan itu teramat penting, kalau berhasil, sebagai imbalannya, kami berjanji engkau akan kami angkat jadi permaisuri kami."

"Hamba siap membantu paduka, Pangeran," kata Kui Bi, hatinya lega karena jelas bahwa pangeran itu tidak menginginkan, setidaknya saat itu, tubuhnya melainkan tenaganya untuk membantunya melakukan sesuatu yang masih dirahasiakan. "Bantuan apakah yang dapat hamba lakukan? Apa yang harus hamba kerjakan? Mohon paduka memerintahkan sekarang juga."

Pangeran itu tersenyum. "Tidak sekarang, Kui Bi. Aku hanya ingin mendengar kesanggupanmu dulu. Besok atau lusa, baru aku akan menjelaskan, apa yang harus kau kerjakan."

Setelah berkata demikian, sang pangeran meninggalkannya. Kembali Kui Bi menoleh ke arah semak di tengah taman yang berada agj jauh dari situ. ia mengharapkan Sia Sun Beng sudah menyingkirkan mayat thai-kam tadi.

Ketika Gui-tahikam bertanya kepadanya apa saja yang dikehendaki Pangeran An Kong, Kui Bi tidak berani berterus terang, ia maklum bahwa thaikam yang menjadi kepala dayang ini mempunyai hubungan dengan Ji-wangwe, dan mungkin juga pendukung gerakan para pejuang pembela Kerajaan Tang. Akan tetapi ia tidak merasa yakin dan ia harus menimbulkan kesan baik kepada pangeran yang sudah menaruh kepercayaan kepadanya.

"Ah, beliau tidak bermaksud apa apa, hanya karena memang sejak aku datang ke istana, beliau menaruh perhatian kepadaku, maka beliau bertanya apakah aku sudah senang tinggal di sini dan hanya itulah yang kami bicarakan dan pangeran An Kong itu baik sekali, beliau ramah dan sopan, sungguh aku amat terkesan dengan sikapnya."

"Sstt, berhati-hatilah dengan beliau," kata Gui-thaikam.

Kui Bi senang karena kepala dayang itu tidak mencurigainya, dan sejak malam itu, ia membicarakan dengan para dayang lain, juga dengan para thai-kam, memuji-muji keramahan sang sangeran. Tujuannya dengan puji-pujiannya ini ternyata berhasil karena di antara mereka yang mendengar pujiannya terdapat kaki tangan pangeran yang tentu saja menyampaikan hal itu kepada sang pangeran.

"Paman Bouw Hun, kurasa gadis itu memang tepat untuk kita pergunakan," kata sang pangeran dalam suatu pertemuan rahasianya dengan Bouw Hun atau Bouw Koksu.

"Kalau begitu, kita boleh melanjutkan rencana kita, pangeran. Kita hubungi pembantu kita di dapur istana, juga kepala pelayan di ruangan makan agar gadis itu dapat diperbantukan disana mulai sekarang. Setelah kesempatan tiba, kita suruh ia yang menaruh racun. Andaikata gagal dan ketahuan, gadis itulah yang dituduh dan kita boleh turun tangan membunuhnya karena ia berani mencoba meracuni Sribaginda."

Kedua orang itu berbisik-bisik mengatur siasat yang mereka rencanakan masak-masak. Kemudian Bouw Hun melihat pintu ruangan yang sudah tertutup, memeriksanya kembali dan setelah yakin bahwa tidak mungkin ada orang lain dapat mengintai atau mendengarkan, dia berkata dengan wajah gembira.

"Pangeran, kita telah berhasil. Bouw Ki telah berhasil mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala itu."

"Bagus! Mana pusaka itu paman?"

Bouw Koksu mengeluarkan sebuah bungkusan kain kuning dari balik jubah nya yang terisi sebuah kotak kecil berwarna hitam. Diletakkannya kota kecil itu di atas meja lalu dibukanya. "Inilah Mestika Burung Hong Kemala itu, pangeran."

Pangeran An Kong menghampiri meja, mengambil benda pusaka itu dari dalamm kotak, mengamatinya dan tertawa gembira. "Ha-ha-ha, lambang kekuasaan Kaisar telah berada di tanganku. Paman, kita akan berkuasa. Sekaranglah saatnya kita merebut kekuasaan dari tangan ayah yang tidak adil, dan dengan pusaka ini, semua pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada kita."

"Benar, Pangeran. Akan tetapi, akan lebih baik dan tidak mendatangkan kekacauan kalau Sribaginda tewas karena sakit dan paduka menggantikan beliau sebagai puteranya."

Kedua orang sekutu itu lalu mengatur siasat lagi. Akhirnya,pertemuan itu bubar ketika Bouw Koksu berpamit. "Sebaiknya kalau pusaka ini hamba yang menyimpan, Pangeran. Kalau paduka yang menyimpannya, amat berbahaya. Terlampau banyak orang di istana ini dan kalau ada yang tahu bahwa Giok-hong-cu berada di tangan paduka, tentu banyak yang ingin mencuri atau merampasnya. Kalau hamba yang menyimpan, takkan ada yang menduga dan akan lebih aman."

Pangeran An Kong mengangguk-angguk. "Paman Bouw, percayalah, aku tidak akan melupakan semua jasamu kalau sampai usaha kita berhasil."

"Hamba percaya-sepenuhnya kepada paduka, Pangeran. Dan sekarang, hamba sendiri yang akan membereskan urusan hamba dengan Souw Lok."

"Benar, dia harus dibereskan agar tidak membocorkan rahasia tentang Mestika Burung Hong Kemala."

Bouw Koksu memberi hormat lalu keluar dari kamar rahasia itu, meninggalkan Pangeran An Kong yang duduk termenung sambil tersenyum-senyum, membayangkan keberhasilan rencana siasatnya.

* * *

Souw Lok, pemilik toko Itu dengan tergopoh dan muka tersenyum cerah menyambut tamunya. Tamu agung yang turun dari keretanya itu adalah Bouw Koksu, guru negara yang tentu saja harus dihormatinya karena tokoh ini merupakan orang yang besar kekuasaannya, mungkin hanya di bawah kebesaran kekuasaan kaisar dan pangeran saja. Apa lagi Souw Lok maklum bahwa kunjungan orang penting ini mendatangkan rejeki kepadanya.

Bukankah Bouw Koksu sudah berjanji bahwa kalau pusaka itu sudah ditemukan, dia akan memenuhi harga peta yang ditentukan? Dia baru menerima lima ribu tail, tentu sekarang pembesar itu datang untuk membayar kekurangannya yang lima ribu lagi. Keponakannya Souw Hui San, sebelum pergi mengambil pusaka itu berulang kali membujuk agar dia segera meninggalkan kota raja dan puas dengan hasil yang lima ribu tail itu saja.

"Amat berbahaya berurusan dengan seorang seperti Bouw Koksu itu, paman," kata pemuda itu. "Bukankah sudah lumayan mendapatkan limaribu tail? Paman sudah berhasil meraih keuntungan karena kecerdikan paman, akan tetapi harap jangan terlalu murka untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi."

Dia menertawakan keponakannya itu. "Aih, Hui San, limaribu tail itu sudah berada di depan mata, seolah daging sudah berada di mulut, tinggal kunyah dan telan. Mengapa mesti ditinggalkan? Dia akan puas mendapatkan pusaka tiruan itu, dan akupun harus dapat menikmati hasilnya. Engkau saja yang berhati-hati dengan tugasmu, dan setelah berhasil, serahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera Menteri Yang Kok Tiong seperti yang dipesankan beliau kepadaku. Dengan demikian, aku tetap setia kepadanya, tidak melanggar sumpahku kepadanya, dan akupun dapat menikmati hari tuaku."

Hui San hanya menggeleng kepala saja lalu pergi. Ah, anak yang bodoh, pikirnya senang melihat Bouw Koksu turun dari keretanya. Kalau saja Hui San sudah pulang, dan melihat dia nanti menerima uang sebanyak limaribu tail dari Bouw Koksu, tentu dia akan dapat menggoda dan menertawakan keponakannya itu.

"Selamat siang dan selamat datang, Tai-jin. Mari silakan, silakan masuk dan silakan duduk." Sambil berbongkok-bongkok Souw Lok mempersilahkan Bouw Koksu memasuki,tokonya.

Bouw Koksu masuk lalu berkata, "Souw Lok, aku ingin bicara denganmu, di dalam saja agar tidak terdengar orang lain."

Souw Lok mengangguk-angguk mengerti. Tentu saja pembayaran uang sebanyak limaribu tail tidak boleh dilihat orang lain karena akan menimbulkan keheranan dan kecurigaan. "Saya mengerti, Taijin, saya mengerti. Mari, silakan masuk, di dalam rumah tidak ada orang lain kecuali saya." Dia lalu menyuruh pembantunya berjaga toko sendirian, dan dia mengiring kan pembesar itu memasuki ruangan dalam rumahnya.

"Souw Lok, engkau telah menipu kami!" setelah beraba di ruangan dalam rumah itu, Bouw Koksu berkata.

Seketika wajah Souw Lok berubah pucat karena dia mengira bahwa pembesar itu sudah tahu akan perbuatannya memalsukan Mestika Burung Hong Kemala. "Ehh? Apa... apa... maksud Taijin.....?" katanya gagap.

"Engkau telah memberikan peta yang palsu kepadaku!" Tentu saja Souw Lok menjadi semakin ketakutan.

"Mana saya berani, Taj-jin? Mana saya berani menipu Taijin? Kalau saya menipu, tentu sudah melarikan diri, tidak tetap tinggal di sini. Saya menerima peta itu dari mendiang Menteri Yang sendiri, dan peta itu tidak pernah terpisah dari badan saya. Bagaimana mungkin bisa palsu?"

"Hemm, benda pusaka itu tidak berada di tempat yang ditunjukkan peta! Engkau telah menipuku, karena itu, engkau harus mati di tanganku!"

"Tidak... ah, Taijin... saya tidak menipu, saya hanya menerima peta itu dan... dan Taijin boleh mengambil kembali semua milik saya..."

"Hemm, mampuslah!" Bouw Koksu menggerakkan tangan kirinya ke arah dada Souw Lok.

"Plakkk!!" Tubuh Souw Lok terjengkang dan dia tidak bergerak lagi, bahkan tidak sempat mengeluh. Pukulanlu merupakan pukulan beracun tangan kiri Bouw Hun. Dan sekali pukul saja dia yakin akan mampu menewaskan Souw Lok.

Dengan sikap tenang Bouw Koksu meninggalkan rumah itu. Dia tidak memperdulikan uang lima ribu tail yang sudah dipakai modal toko oleh Souw Lok. Dia membunuh Souw Lok untuk menutup mulut orang itu agar rahasia tentang Mestika Burung Hong Kemala tidak diketahui orang lain, bukan karena harus membayar lagi lima ribu tail.

Bouw Koksu pergi naik keretanya dan dia sama sekali tidak tahu bahwa tak lama setelah ia pergi, seorang pemuda tiba di toko Souw Lok itu. Pemuda itu, Souw Hui San, juga tidak tahu bahwa baru saja Bouw Koksu mengunjungi pamannya.

"Souw-kongcu, engkau baru pulang?" tanya pembantu yang berjaga toko.

"Di mana Paman Souw Lok" tanya Souw Hui San yang tidak melihat pamannya berjaga toko.

"Dia berada di dalam," kata penjaga itu dengan sikap dan suara wajar. Dia tadi melihat majikannya memasuki rumah bersama tamunya, dan melihat tamu itu baru saja pergi tadi. Tentu majikannya masih berada di dalam rumah karena dia tidak melihatnya keluar.

Dengan gembira, bersiul-siul, Souw Hui San memasuki rumah. Hatinya gembira karena tugas yang dilaksanakannya berhasil baik dan dia yang dalam perjalanan selalu mencari keterangan, mendengar keterangan bahwa Kui Lan dan pemuda itu juga pergi ke kota raja. Ada harapan baginya untuk bertemu lagi dengan Kui Lan, gadis yang telah mencuri dan membawa lari hatinya itu.

"Paman....! Di mana kau, paman?" Dia berseru memanggil dengan nada suara gembira. "Paman...!" Dia memasuki ruangan dalam dan tiba-tiba langkahnya tertahan dan matanya terbelalak memandang ke bawah. Di lantai ruangan itu nampak Souw Lok menggeletak, telentang dengan muka pucat.

"Paman..., kau kenapa, paman?" Dia cepat meloncat mendekat dan berjongkok, memeriksa keadaan pamannya. Bukan main kagetnya ketika melihat napas pamannya sudah empas-empis dan ketika dia memeriksa dan menyingkap bajunya, di dada pamannya itu jelas nampak tapak tangan membiru. Pamannya telah terkena pukulan ampuh dan jelas tak mungkin dapat ditolong lagi. Tentu isi dada itu sudah remuk.

"Paman, siapa yang melakukan ini?" pemuda itu mengguncang pundak pamannya dan menotok beberapa jalan darah untuk memungkinkan pamannya memperoleh aliran darah ke kepala dan dapat bicara.

"Bouw Koksu... dia... dia...." Souw Lok terkulai dan tewas. Souw Hui San menggunakan tangannya untuk menutup mulut dan mata jenazah pamannya, kemudian dia bangkit berdiri dan mengepal tinju. "Jahanam engkau, Bouw Koksu! Tenanglah, paman, aku pasti akan membalaskan kematianmu!"

Jenazah Souw Lok dimakamkan tanpa banyak ribut dan dikabarkan bahwa orang itu meninggal dunia secara mendadak karena penyakit berat yang menyerangnya secara tiba-tiba. Pada masa itu, orang yang meninggal secara mendadak seperti itu dikatakan masuk angin duduk.

Setelah pemakaman selesai, seluruh harta dan toko itu dijual oleh Souw Hui San dengan harga murah, kemudian tak ada orang melihatnya lagi. Padahal Hui San tidak pernah meninggalkan kota, bahkan dengan uang peninggalan pamannya, dia berhasil menyogok panglima pasukan istana dan masuk menjadi prajurit pasukan istana.

Tentu saja ini dia lakukan dengan dua maksud, pertama agar dia dapat memperoleh kesempatan mendekati Bouw Koksu dan membalaskan kematiannya pamannya, dan ke dua, agar dia dapat membantu dari dalam kalau Kerajaan Tang datang menyerbu untuk merebut kekuasaan kembali dari tangan An Lu Shan.

* * *

Yang Cin Han dan Yang Kui Lan masuki kota raja dengan menyamar. Kui Lan menyamar sebagai seorang pemuda dan mereka berdua mengenakan pakaian petani-petani muda yang sederhana. Untuk mengurangi ketampanan wajah Kui Lan, ia membuat sebuah tanda luka pipinya dengan campuran gandarukem dan malam sehingga wajah yang terlalu tampan itu kini berubah jelek.

Ji-wangwe menerima kedatangan Cin Han dan Kui Lan pada malam hati itu dengan girang. Apa lagi ketika dia diperkenalkan kepada Kui Lan yang ternyata adalah puteri mendiang Menteri Ya Kok Tiong, pemimpin jaringan mata-mata mereka yang mendukung Kerajaan Tang itu merasa gembira sekali.

Biarpun Menteri Yang Kok Tiong dahulu banyak musuhnya atau orang-orang yang tidak suka karena dia seorang penjilat kaisar namun pada akhirnya mereka semua harus mengakui bahwa Yang Kok Tiong adalah seorang menteri yang setia sampai mati kepada kaisarnya.

Dan kini, melihat betapa tiga orang putera menteri itu menjadi orang-orang yang gagah perkasa dan bertekad untuk membantu Kerajaan Tang merebut kembali kekuasaan, tentu saja dia gembira dan kagum.

"Bagaimana hasilnya dengan penyelidikanmu terhadap rombongan Bouw Ciangkun yang mengambil Mestika Burung Hong Kemala itu, kongcu?" tanya Ji-wangwe.

Cin Han menceritakan semua yang dialami, tentang pertemuannya dengan adiknya dan betapa mereka berdua lolos dari ancaman bahaya di tangan rombongan itu. "Paman, aku ingin sekali mendapat keterangan tentang gadis yang ikut mengawal rombongan Bouw-kongcu itu. Gadis itu penuh rahasia."

"Saya mendengar bahwa ia bernama Kim Hong dan ilmu silatnya lihai bukan main, kongcu. Benarkah itu?"

"Benar sekali. Tingkat ilmu silatnya hebat bukan main, bahkan aku sendiri merasa kewalahan menandinginya. Akan tetapi ada yang aneh, paman."

"Apa maksud kongcu?"

"Ketika kami bertanding, aku mendapat kesan bahwa ia tidak menyerangku dengan sungguh-sungguh. Hal ini sungguh mendatangkan perasaan aneh dan curiga dalam hatiku. Oleh karena itu aku ingin paman menyuruh kawan kita yang bertugas di dalam rombongan mereka untuk menyelidiki siapa sesungguhnya Can Kim Hong itu, keterangan yang selengkapnya kalau mungkin, Ia puteri siapa dan murid siapa...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.