Mestika Burung Hong Kemala Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Jilid 10 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Mestika Burung Hong Kemala Jilid 10

Cerita silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
"ITU mudah saja, kongcu. Akan saya minta keterangan dari kawan-kawan kita yang bertugas di sana."

"Paman, di mana adik Kui Bi?" tanya Kui Lan.

Ji Sok lalu menceritakan perbuatan gadis itu yang nekat minta diselundupkan ke istana sebagai seorang dayang.

"Ahhh......! Itu berbahaya sekali, paman!" kata Cin Han. "Kenapa paman memperbolehkan ia mengambil tindakan senekat itu?"

"Sudah, kongcu. Saya sudah mencegah dan menahannya, akan tetapi ia memaksa dan akhirnya saya tidak berani melarangnya."

"Jadi sekarang ini adik Kui Bi tinggal di dalam istana sebagai seorang dayang?" tanya Kui Lan.

"Benar nona. Menurut berita yang kami peroleh, nona Kui Bi telah diterima dan menjadi dayang permaisuri. Bahkan ada berita bahwa ia diperebutkan oleh Kaisar An Lu Shan dan puteranya, An Kong."

"Apa sih maksud sesungguhnya dari adik Kui Bi menyelundup ke dalam istana?" tanya pula Kui Lan.

"Aih, Lan-moi, apa engkau tidak mengenal watak Bi-moi? Tentu ia ingin langsung saja dapat membunuh An Lu Shan."

"Itu berbahaya sekali!" seru Kui Lan. "Andaikata ia berhasil membunuhnya, tentu ia akan dikepung dan dikeroyok, tidak mungkin dapat meloloskan diri dari istana!"

"Tenanglah, Lan-moi. Aku percaya bahwa Paman Ji akan dapat mengaturnya agar hal itu tidak akan teriadi," kata Cin Han.

"Memang sebenarnyalah harap kongcu dan siocia tenang, karena kami telah mendapat hubungan dengan seorang panglima yang diam-diam berpihak kepada Kerajaan Tang dan bahkan diam-diam dia sudah mempersiapkan diri,menghimpun pasukan yang setia kepada Kerajaan Tang dan sewak tu - waktu dia akan membasmi keluarga pemberontak An Lu Shan dan Penguasa istana. Menurut berita yang kuperoleh dari pembantu kami di istana, panglima itu sudah mengetahui akan rencana Nona Kui Bi yang hendak membunuh An Lu Shan, dan diapun sudah siap untuk melindungi nona Kui Bi."

"Bagus sekali kalau begitu!" kata Cin Han gembira. "Siapakah panglima Itu? Aku ingin mengenalnya, paman."

"Dia adalah seorang panglima yang sejak dahulu bertugas di utara menjadi bawahan Jenderal An Lu shan. Akan tetapi,dia tidak setuju dengan t indakan An Lu Shan yang berkhianat dan membe rontak. Hanya karena dia menjadi bawahan maka dia tidak berdaya untuk mencegahnya. Kini, dia diam-diam menghimpun pasukan untuk kelak melawan An Lu Shan......"

"Bukankah dia bernama Sia Su Beng?" tiba-tiba Kui Lan memotong dan hartawan Ji terbelalak.

"Ahh....., jadi nona sudah mengenalnya?" katanya heran.

"Lan-moi, benarkah engkau mengenal panglima itu?" tanya pula Cin Han sambil mengamati wajah adiknya penuh selidik.

"Peristiwa itu terjadi di kota Liu-ba," kata Kui Lan. "Dalam sebuah rumah makan aku diganggu tiga orang perwira yang kurang ajar. Kemudian, diluar kota itu, aku dihadang oleh tiga orang perwira itu bersama anak buahnya. Kami berkelahi dan aku dikeroyok kemudian muncul seorang perwira tinggi yang menghajar dan memarahi mereka. Orang itu berpakaian preman, akan tetapi para perwira mengenalnya dan dia bernama Sia Su Beng, seorang panglima muda yang ternyata mempunyai semangat dan tujuan yang sama dengan kita, yaitu mengusir An Lu Shan dan membantu kerajaan Tang berkuasa kembali."

"Kalau begitu bagus sekali, Paman Ji!" kata Cin Han. "Akan baik sekali kalau kami dapat, bertemu dengan panglima Sia, untuk membicarakan semua usaha perjuangan kita bersama. Tentang keadaan Sribaginda di barat, tentang Mestika Burung Hong Kemala yang terjatuh ke tangan Bouw-koksu."

"Benar, paman. Kami harus dapat bertemu dan bicara dengan panglima Sia Su Beng. Akupun ingin bicara dengan ia tentang adikku Kui Bi."

"Itu dapat diatur. Kongcu dan siocia. Kami juga sedang menanti datangnya kawan-kawan yang bertugas melindungi Sribaginda di Se-cuan. Setelah mereka tiba, kita mengadakan rapat pertemuan dengan Panglima Sia agar lebih lengkap dan sekaligus kita mengatur rencana siasat yang akan kita ambil dalam perjuangan membantu Kerajaan ini, kalau saatnya tiba untuk merebut kembali kekuasaan."

Ucapan Ji Sok itu melegakan hati Cin Han dan Kui Lan. Malam itu diantar oleh kakaknya, Kui Lan berkunjung ke tanah pekuburan di mana jenazah ibunya dikubur. Gadis ini menangis di depan makam ibunya dan dihibur oleh Cin Hari Setelah keduanya bersembahyang di depan makam ibu mereka, Cin Han mengaja adiknya untuk kembali ke rumah Jiwangwe,akan tetapi Kui Lan menolaknya.

"Engkau kembalilah dulu, Han-ko Aku ingin berdiam lebih lama di depan makam ibu. Nanti aku akan menyusul kembali kesana."

"Baiklah, memang tidak menguntungkan kalau kita berdua berada di sini, akan lebih mudah dilihat orang. Akan tetapi berhati-hatilah engkau dan jangan terlalu lama di sini."

Cin Han lalu meninggalkan Kui Lan yang masih berlutut di depan kuburan ibunya yang amat sederhana itu. Setelah Cin Han pergi, kembali Kui ia menangis, meratapi ibunya yang tewas dalam keadaan amat menyedihkan dan kini dikubur secara sederhana seperti itu, seolah tidak terawat sama sekali.

Bulan sudah naik tinggi dan cuaca cukup terang, bahkan sinar bulan yang sejuk mendatangkan suasana yang lndah sekali. Dengan bantuan sinar bulan, Kui Lan dapat membersihkan makam Ibunya dan mencabuti alang-alang liar yang tumbuh di situ. la mengerjakan ini sambil masih terisak menangis.

"Malam-malam menangis seorang diri di sini sungguh menarik perhatian orang dan mencuriga kan."

Kui Lan terkejut bukan main dan ketika dara ini memutar tubuh dan melihat sesosok tubuh seorang pria berdiri tidak jauh di belakangnya, iapun menerjang dengan dahsyat, menggunakan ginkangnya yang sudah tinggi tingkatnya tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia telah meloncat bagaikan terbang, tangannya mendorong ke arah dada orang itu.

"Plakk!" Orang itu menangkis dan mereka berdua tergetar dan terdorong mundur.

"Lan-moi, tahan dulu..... ini a...." kata pria itu ketika Kui Lan hendak menyerang lagi.

"Ahh.....! Kau Sia-twako!" kata Kui Lan dan wajahnya berubah kemerahan. Kini ia mengenal pemuda itu yang berpakaian seperti seorang panglima, gagah dan tampan di bawah sinar bulan. Mereka berdiri saling pandang dan akhirnya Sia Su Beng yang berkata dengan lirih.

"Lan-moi, sungguh berbahaya sekali engkau berani muncul di sini. Sejak tadi aku melihat dan mengintaimu dari jauh dan sekarang baru aku tahu bahwa engkau sesungguhnyalah adalah Yang Kii Lan dan pemuda tadi tentu kakakmu Yang Cin Han, bukan?"

Kui Lan melangkah menghampiri. "Twako, engkau sudah tahu?"

Panglima itu mengangguk, "Aku dah mendengar dari rekan kita, yaitu Ji-wan-gwe. Aku semakin kagum bahwa putera puteri mendiang Menteri Yang ternyata menjadi orang-orang muda yang gagah perkasa dan setia kepada Kerajaan Tang."

"Twako, apakah engkau telah bertemu dengan adikku di istana?"

"Ah, maksudmu adikmu Yang Ku Bi? Tentu saja sudah, bahkan tadi iapun mengaku bernama Kui Bi dan mengaku sebagai adikmu. Aku tadinya mengira bahwa kalian kakak beradik bermarga Kui, akan tetapi setelah aku teringat betapa wajah kalian mirip sekali dengan wajah mendiang selir Sribaginda Yang Kui Hui, dan akupun mendengar bahwa mendiang Menteri Yang Kok Tiong mempunyai dua orang anak perempuan, akupun dapat menduganya. Aku semakin yakin setelah aku mendapat keterangan dari Ji-wangwe."

"Bagaimana keadaan adikku, twako? Aku khawatir sekali mendengar ia begitu nekat."

"Adikmu seorang pemberani yang amat mengagumkan, Lan-moi, dan aku yakin ia akan berhasil. Akan tetapi, harap engkau tidak khawatir karena ia tak akan bertindak gegabah, dan aku akan selalu melindunginya. Sudah kupesan kepada anak buahku yang bertugas istana agar selalu mengamati dan melindunginya kalau perlu."

"Terima kasih, twako. Aih, hati ku menjadi lega sekali mendengar ucapanmu itu. Aku bersama Han-koko tinggal di rumah Ji-wangwe dan bukankah engkau akan mengadakan pertemuan dengan para rekan disana?"

"Ssstt, Lan-moi. Sebaiknya kalau engkau sekarang segera pulang ke sana. Tidak baik terlihat orang di sini, apa lagi dengan aku, akan menimbulkan kecurigaan. Kita akan saling jumpa nanti dalam pertemuan itu. Nah, selamat malam, Lan moi, cepat kau pulang" Setelah berkata demikian, panglima itu menyelinap lenyap di dalam bayang-bayang pohon yang gelap.

Kui Lan berdiri termenung, jantungnya masih berdebar keras. Ah, ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Apa lagi setelah kini yakin bahwa pemuda yang mengagumkan hatinya itu ternyata adalah seorang tokoh yang akan berperan penting untuk menumbangkan kekuasaan An Lu Shan dan membangkitkan kembali kejayaan Kerajaan Tang.

Ia pun tesenyum-senyum bahagia ketika melangkah meninggalkan tanah kuburan, kembali ke rumah Ji Sok. Dalam keadaan segembira itu karena pertemuannya dengan Sia Su Jeng,lupalah sudah ia akan kedukaannya yang tadi di depan makam ibunya.

Pikiran kita memang tiada henti-hentinya dipermainkan gelombang pertentangan antara suka dan duka, gembira dan sedih, puas dan kecewa, setiap saat berubah-ubah dipengaruhi keadaan yang kita nilai sebagai menguntungkan atau merugikan, menyenangkan atau menyusahkan.

Tadi ketika ia menangis terisak-isak di depan makam ibunya, pikiran Kui Lan sepenuhnya membayangkan betapa dirinya ditinggal mati ibunya, betapa ia merasa kehilangan orang yang disayangnya, betapa orang yang disayangnya itu meninggal dunia dalam keadaan yang tidak menyenangkan dan sekarang dikubur dalam cara yang tidak menyenangkan pula.

Kemudian, pemunculan Sia Su Beng bagaikan datangnya gelombang dari arah lain yang menelan gelombang pertama, membuat ia lupa akan keadaannya yang tadi, terganti oleh perasaan gembira karena munculnya pemuda yang dicintanya itu dirasakan amat menyenangkan. Setiap hari kitapun berada dalam keadaan yang sama dengan apa yang dialami Kui Lan.

Kita lupa sudah bahwa benda apapun, orang manapun, peristiwa apapun yang terjadi, semua hanya selewat saja, hanya sementara saja, sama sekali tidak kekal. Karena itu, benda atau orang atau peristiwa yang hari ini mendatangkan perasaan suka, di lain hari mungkin akan menimbulkan perasaan duka, yang kemarin mendatangkan duka, mungkin hari ini mendatangkan rasa duka. Semua itu diukur dengan bagaimana kita menerimanya. Kalau kita merasa diuntungkan, kita senang, sebaliknya kalau dirugikan, kita susah!

Yang menjadi biang keladi semua kesengsaraan, semua permainan suka duka, bukan lain adalah nafsu yang telah menguasai hati akal pikiran kita. Nafsu yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan, dan sekali dikejar, maka takkan ada batasnya, takkan ada habis nya bahkan makin dituruti nafsu yang menguasai diri, semakin murka dan tamak.

Nafsu bagaikan api, kalau terkendali, merupakan alat yang paling penting bagi kita. Sebaliknya, kalau tidak terkendali dan nafsu yang menguasai kita, bagaikan api yang liar, maka nafsu akan menelan segalanya, makin banyak yang dimakan, semakin laparlah dia. Namun, di samping merupakan pengoda terbesar yang akan menyeret kita lembah kesengsaraan, nafsu juga merupakan peserta yang mutlak perlu bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan menjadi manusia seperti sekarang ini.

Nafsu adalah pemberian Tuhan yang diikutsertakan kita sejak kita lahir. Nafsu yang mendatangkan kenikmatan, melalui penglihatan, penciuman, pendengaran dan semua alat atau anggauta tubuh kita. Nafsu yang mendorong otak dan akal budi kita untuk membuat apa saja demi kenikmatan hidup di dunia ini, nafsu yang menimbulkan gairah dan semangat hidup, bahkan yang mendatangkan kemajuan-kemajuan seperti yang kita alami sekarang.

Tanpa adanya nafsu, mungkin manusia masih hidup seperti binatang, tidak mengenal kenikmatan hidup melalui panca indera. Jelas bahwa kita tidak dapat meninggalkan nafsu. Nafsu adalah kawan terbaik, akan tetapi juga lawan terjahat. Lalu bagaimana ini? Dibuang t idak mungkin, dirangkul berbahaya. Pikiran hanya merupakan gudang berisi pengalaman-pengalaman masa lalu seperti pita yang penuh rekaman, yang kita namakan pengetahuan.

Bagaimana mungkin pengetahuan dapat meredakan bersimarajalelanya nafsu? Pikiran dan hati akal pikiran, batin ini sudah bergelimang nafsu, lalu bagaimana mungkin hati akal pikiran itu menguasai diri sendiri? Tidak mungkin sama sekali, dan kalaupun diusahakan, hasilnya hanyalah semu dan palsu. Nafsu yang mendatangkan amarah di dalam hati, mendorong kita untuk marah marah, melakukan pemukulan atau caci maki.

Pikiran, pengetahuan dalam pikiran kita tahu belaka bahwa amarah itu tidak baik, namun, apakah pengetahuan Ini dapat meredakan amarah itu sendiri? Mungkin menekan dapat, namun, amarah yang ditekan dan disabar-sabarkan, bagaikan api yang ditutup sekam, nampaknya saja padam namun ternyata di sebeah dalam masih membara dan sedikit saja ada angin bertiup, akan bernyala lebih besar lagi dari pada sebelum ditutup sekam.

Pertanyaan abadi kita selalu bergema di sepanjang masa. Apa yang harus kita lakukan? Nafsu tak dapat dibuang, menyebabkan kematian. Nafsu tak boleh dibiarkan meliar, menyebabkan kesesatan. Juga hati akal pikiran tidak dapat mengen dalikannya. Lalu bagaimana? Seperrti buah simalakama, dimakan ibu mati tak dimakan bapak mati. Lalu bagaimana kita harus menghadapi nafsu kita sendiri yang oleh para bijak dinamakan musuh yang paling berbahaya?

Seperti segala apapun di dunia ini, yang nampak ataupun tidak, segala sesuatu ini ada karena diadakan oleh kekuasaan Tuhan! Kalau kita sudah yakin akan hal ini, maka mengapa kita bingung menghadapi nafsu kita sendiri Kita serahkan saja kepada penciptanya Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan mampu menanggulangi nafsu, hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur nafsu, seperti kekuasaan itu ia yang mengatur denyut jantung kita mengatur pergerakan bintang-bintang di langit, mengatur segala sesuatu, dari yang terkecil sampai yang terbesar!

Kalau kita sudah menyerah kepada Tuhan dengan segala kepasrahan,kesabaran, keikhlasan, ketawakalan, secara mutlak, lahir batin, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja dan tidak ada hal yang tidak mungkin kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja! Hanya kekuasaan Tuhan saja jalan yang akan dapat mengembalikan nafsu dalam kedudukannya semula, dari fungsinya semula, yaitu sebagai peserta dan alat dari kita untuk melayani kebutuhan hidup kita ini, menjadi abdi kita, bukan majikan kita.


* * *

Cin Han meninggalkan kuburan ibu dan dengan hati-hati dia melangkah, hendak kembali ke rumah Ji Siok, melalui jalan yang sunyi agar tidak di kenal orang yang berlalu-lalang di jalan. Malam itu bulan hampir penuh, udara cerah dan hawanya sejuk, cuaca yang remang terang itu mendatangkan suasana yang romantis sekali. Cahaya bulan nampak kuning kehijauan, dan pohon-pohon nampak seperti raksasa di tepitepi jalan.

Banyak orang keluar dari rumah malam itu untuk menikmati malam terang bulan. Kalau sang surya di siang hari bagi kebanyakan orang melambangkan kejantanan dan kegagahan, keperkasaan dan kekuasaan, bulan sebaliknya melambangkan kelembutan, keayuan dan keindahan. Surya selalu melotot marah, sebaliknya bulan selalu tersenyum ramah.

Cin Han menyelinap ke jalan kecil di persimpangan, mengambil jalan agak memutar menuju rumah Ji Siok. Jalan kecil ini di kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon sehingga jalan itu sendiri lebih banyak digelapkan bayangan pohonpohon. Dia merasa lebih aman melalui jalan ini. Ketika dia berjalan dengan hati hati, mendadak dia menahan langkahnya dan tangan kanan yang memegang sebatang ranting pohon menggenggam ranting itu erat-erat.

Sesosok bayangan berkelebat di arah kirinya. Akan tetapi karena tidak ada serangan atau gerakan lain, diapun melanjutkan langkahnya dengan penuh kewaspadaan. Mungkin dia salah lihat, pikirnya. Akan tetapi tiba tiba di sebelah kanannya ada pula bayangan berkelebat. Tempat itu sunyi tidak nampak seorangpun pejalan kaki maka dia tidak khawatir menunjukkan ketajaman matanya dan diapun berseru,

"Sobat manakah yang hendak bermain-main dengan aku?"

"Seorang sobat lama," terdengar suara lirih dan lembut, suara seorang wanita dan muncullah seorang gadis yang bertubuh ramping.

Di bawah sinar bulan yang lembut, wajah itu nampak seperti wajah bidadari, karena kebetulan sekali sinar bulan tepat menimpa wajah yang berbentuk buiat telur. Rambut lebat berombak, matanya lebar dengan kedua ujungnya menjulang, mata itu sendiri nampak indah menantang dan mempunyai daya tarik yang amat kuat. Mulutnya tersenyum manis, dengan bibir yang merah sehat dan lesung pipit di belah kiri mulutnya. Senyum dan sinar matanya jelas membayangkan bahwa seorang gadis yang ramah, lincah Jenaka. Usianya sekitar sembilan belas tahun lebih.

Begitu melihat wajah gadis itu, seketika Cin Han teringat, wajah itu bahkan selama ini tidak pernah meninggalkan benaknya, selalu terbayang. Wajah gadis cantik yang amat lihai, yang ikut dalam rombongan Bouw-cingkun yang mengambil Mestika Burung Hong Kemala tempo hari.

Baru tadi diantar kepada Ji Siok untuk menyelidiki tentang gadis lihai yang tidak menyerangnya dengan sungguh-sungguh itu, dan kini dia sudah berhadapan dengan Jelas bahwa gadis inilah yang sengaja menghadangnya, berarti gadis ini yang mempunyai keperluan untuk bertemu dengan dia.

"Ah, kiranya engkau, nona Can Kim Hong yang terhormat!" kata Cin Han sambil tersenyum.

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan Cin Han merasa betapa hatinya jungkir balik! "Eh, bagaimana engkau dapat mengetahui namaku?" tanya gadis itu yang bukan lain adalah Can Kim Hong.

Cin Han masih tersenyum dan ada kebanggaan dalam senyumnya itu karena keheranan gadis itu sama dengan kekaguman. "Nona, siapa yang tidak tahu akan keadaan diri nona yang amat lihai, bahkan merupakan pembantu utama dari pasukan istana? Nona telah membuat jasa besar kepada Bouw Koksu!"

Akan tetapi, Kim Hong mengerutkan alisnya. "Tidak perlu menyindir!" katanya galak. "Ketahuilah bahwa Bouw Koksu itu adalah bekas guruku, juga keluarganya yang merawatku sejak aku kecil. Sudah sepatutnya kalau aku membantu Panglima Bouw Ki yang terhitung kakak seperguruanku sendiri. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak membantu An Lu Shan."

"Aku sudah dapat menduganya, nona. Karena kalau engkau benar-benar membantu An Lu Shan, tentu saat ini aku sudah tidak ada lagi, sudah tewas ditanganmu. Akan tetapi apa bedanya. Biarpun engkau mengatakan bahwa engkau tidak membantu An Lu Shan, akan tetapi engkau sudah membantu dia mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala itu telah merupakan bantuan yang amat besar pula."

"Hemm, engkau menyindir lagi, betapa sombongnya engkau. Apa kau kira di dunia ini hanya engkau saja yang setia pada Kerajaan Tang, Yang Cin Han?"

Kini Cin Han yang terkejut bukan main, terbelalak memandang kepada gadis itu. "Ehh.... dari mana kau tahu..."

Gadis itu tersenyum dan untuk kedua kalinya hati Cin Han jungkir balik dibuat salto beberapa kali dan jatuh terbalik di tempatnya. "Hemm, kau kira hanya engkau saja yang pandai menyelidiki orang? Apakah setelah engkau muncul sebagai pengemis tempo hari, aku percaya begitu saja. Pakaianmu memang seperti pengemis, akan tetapi muka dan kulit lehermu, juga tanganmu terlampau bersih bagi seorang pengemis. Dan ilmu silatmu lihai sekali. Tadinya aku hanya menduga bahwa engkau tentulah seorang pendekar yang menyamar. Akan tetapi setelah aku melihat engkau dan adikmu bersembahyang di depan makam tadi, mudah saja mengetahui siapa engkau karena aku tahu bahwa makam itu adalah kuburan mendiang Nyonya Menteri Yang Kok Tiong."

"Bukan main! Celakalah aku kalau engkau benar-benar antek pemberontak An Lu Shan!" kata Cin Han, tidak main main lagi dan telah siap menghadapi serangan. "Tentu engkau akan menangkap ku, bukan?"

"Salah! Aku hanya ingin memberi tahu kepadamu bahwa kalian anak-anak mendiang Menteri Yang Kok Tiong bermain dengan api yang amat berbahaya. Bukankah seorang lagi adikmu menyusup kedalam istana sebagai seorang dayang?"

"Nona, engkau tahu juga akan hal Itu? Sudahlah, aku takluk akan kecerdikanmu. Sekarang, apa kehendakmu menghadangku? Menangkapku, atau membunuhku?"

"Kalau itu yang kukehendaki, sudah sejak tadi aku menyerangmu, bukan? Atau kulaporkan saja kepada suhengku, Bouw-ciangkun dan engkau bersama dua orang adik perempuanmu dan juga Ji-Wangwe dan semua temannya akan ditangkap!"

"Ahh..... kau... kau agaknya mengetahui segalanya!"

"Kau kira kalian saja yang pandai? Kalian saja yang berhak membela Kerajaan Tang? Akupun menerima tugas dari guruku untuk membela Kerajaan Tang dan menentang An Lu Shan."

Bukan main girangnya hati Cin Han mendengar ucapan ini. "Sungguhkah? Aih, betapa lega dan girang hatiku mendapatkan seorang teman seperjuangan sepertimu, nona Can Kim Hong! Akan tetapi...." Dia meragu, "kalau benar seperti yang kau katakan bahwa engkau juga membela Kerajaan Tang, kenapa engkau malah membantu mereka mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala, lambang kekuasaan kaisar?"

"Yang Cin Han, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau dan adikmu itulah yang sudah mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala yang aseli dan menukar dengan yang palsu sehingga kini Bouw-koksu menemukan yang palsu, bukan? Engkau memang cerdik. Diam-diam aku kasihan sekali melihat mereka tidak menyadari bahwa mereka menemukan pusaka yang palsu."

"Sungguh, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, nona. Kami tidak tahu menahu tentang pusaka itu, kami hanya mendengar bahwa peta penyimpanan pusaka itu terjatuh ketangan Bouw-koksu dan aku bertugas untuk membayangi dan menyelidiki pengambilan pusaka itu. Dalam tugas itu, aku bertemu adikku Yang Kui Lan dan bentrok dengan rombonganmu. Apa yang terjadi? Jadi rombongan Bouw-ciangkun mendapatkan pusaka yang palsu? Lalu, siapa yang mengambil pusaka aselinya?"

Kini Kim Hong yang tertegun. Ada beberapa orang lewat dan Kim Hong memberi tanda kepada Cin Han agar mengikutinya. Mereka meninggalkan jalan kecil itu dan menyelinap ke dalam tanah kuburan yang sepi, diikuti oleh Cin lan. Mereka duduk di bangku yang berasa di luar sebuah makam yang mewah, dan bercakap-cakap.

"Sekarang kita dapat bicara leluasa disini, nona......"

"Kita adalah orang segolongan, tidak perlu engkau bernona-nona kepada. Atau engkau ingin kusebut tuan?" Kim Hong memotong sambil cemberut.

Cin Han tersenyum. "Baiklah, Kim Hong, memang tidak ada gunanya berbasa-basi. Engkau tentu sudah tahu akan keadaan kami. Ayahku mengikuti Sribaginda Kaisar mengungsi ke barat. Ibuku tidak mau ikut dan menanti kami pulang akan tetapi ibu menjadi korban penyerbuan gerombolan An lu Shan. Ibu membunuh diri. Kami bertiga sedang pergi berguru, kedua orang adikku terpisah dariku dan baru sekarang kami saling jumpa kembali. Aku menjadi murid Sin-tung Kai-ong. sedangkan kedua orang adikku menjadi murid Kong Hwi Hosiang. Sekarang aku dan adikku Kui Lan tinggal di rumah Hartawan Ji, sedangkan Kui Bi, seperti telah kau ketahui, di luar pengetahuanku, telah menyusup ke dalam istana. Nah, semua sudah jelas, bukan? Sekarang aku ingin sekali mengetahui tentang dirimu agar tidak timbul kesalah-pahaman lagi di antara kita."

Gadis itu menghela napas panjang. "Aku bukan keturunan bangsawan seperti engkau. Aku hanya orang biasa...."

"lhh! Kenapa kata-katamu begitu cengeng?" Cin Han mencela. "Aku bosan mendengar tentang bangsawan, dan aku dan kedua orang adikku sudah lama muak dengan kebangsawanan itu. Kami melihat segala macam kepalsuan di istana dan itulah yang mendorong kami untuk pergi merantau dan berguru. Bahkan aku dahulu sering ribut mulut dengan, mendiang ayah karena aku tidak suka dijadikan pejabat. Kami bahkan lebih senang memilih menjadi rakyat biasa, tidak terlalu banyak peraturan, tidak hidup dengan banyak adat istiadat palsu. Nah, lanjutkan keterangan tentang dirimu, Hong-moi (adik Hong). Aku tentu lebih tua darimu, maka aku akan menyebutmu Hong-moi."

"Engkau seorang pemuda luar biasa Han-ko. Engkau keturunan menteri besar, bangsawan tinggi akan tetapi lebih suka menjadi rakyat biasa, engkau lihai dan pandai bicara.Tidak ada yang istimewa dalam hidupku. Sejak kecil, aku dirawat dan dididik oleh guru, yaitu Bouw-koksu sekarang ini. Ibuku seorang suku bangsa Khitan..."

Gadis itu berhenti dan mencoba untuk mengamati wajah pemuda itu dengan teliti dibawah sinar bulan yang tidak terhalang terang.

"Kenapa berhenti, Hong-moi? Lanjutkan..."

"Engkau tidak terkejut? Ataukah tidak jelas mendengar ucapanku tadi Ibuku seorang wanita Khitan....."

"Habis, kenapa? Kenapa aku harus terkejut? Wanita Khitan itu seorang manusia, bukan? Kalau kau ceritakan bahwa ibumu seekor naga atau seekor burung Hong, barulah aku akan terkejut,'" kata Cin Han sambil tertawa.

Kim Hong tertawa juga, akan tetapi tawanya mengadung kepahitan. "Han-ko, bukankah kaum bangsawan bangsa Han selalu memandang rendah kepada suku bangsa lain yang dianggap sebagai bangsa liar? Engkau tidak memandang rendah kepadaku karena ibu seorang Khitan?"

"Wah, kalau begitu engkau keliru menilai diriku, Hong-moi. Bagiku, bangsa apapun di dunia ini, asal dia manusia, maka dia sama saja dengan kita. Baik buruknya seseorang bukan dinilai dari kebangsaannya, atau kepintarannya, kedudukannya atau kekayaannya, melainkan dari perbuatannya. Tidak Hong moi, aku tidak memandang rendah kepadamu atau ibumu!"

"Terima kasih, Han-ko. Ibuku telah meninggal dunia dan ketika ibu masih hidup, ia pernah berpesan agar aku mencari ayah kandungku, seorang Han. . ayahku seorang perwira pasukan Tang yang pernah menyerbu ke daerah Khitan dan tertawan oleh bangsa Khitan. Ayah kemudian menikah dengan ibu dan lahir aku. Akan tetapi, ketika mendapat kesempatan, ayah kandungku itu melarikan diri dan kembali ke timur. Nah ibu memesan agar aku mencari ayah kandungku. Aku lalu meninggalkan Khitan dengan diam-diam. Akan tetapi guruku, dulu yang sekarang menjadi Bouw Koksu dan puteranya, suheng Bouw Ki mengejar. Aku tentu telah ditangkap dan dipaksa pulang kalau saja tidak ditolong seorang sakti yang kemudian menjadi guruku."

"Siapakah penolong yang kemudian jadi gurumu itu, Hong-moi?"

"Sebetulnya dia tidak ingin namanya kusebut, akan tetapi karena engkau sudah berterus terang mengenai dirimu, dan entah mengapa aku percaya kepadamu, maka biarlah kau ketahui. Guruku itu berjuluk Si Naga Hitam bernama Kwan Bhok Cu...."

"Hebat! Aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut suhu-ku. Bukankah gurumu itu mengasingkan diri di Bukit Nelayan?"

"Benar, Han-ko. Setelah selesai mengajarkan ilmu kepadaku, suhu memberi tugas kepadaku untuk membantu Kerajaan Tang, dan terutama sekali mencari Mestika Burung Hong Kemala untuk diserahkan kepada Sribaginda Kaisar Beng Ong. Aku menyelidiki ke kota raja dan bertemu dengan suhengku, Bouw Ki yang kini telah menjadi seorang panglima. Karena kuanggap dengan mendekati istana aku bahkan lebih dapat banyak membantu gerakan pendukung Kerajaan Tang maka aku mau diminta tinggal di rumah mereka."

"Dan engkau ikut rombongan mengambil pusaka itu dengan maksud untuk merampasnya?"

"Kalau ada kesempatan, mengapa tidak? Suhu menugaskan aku untuk mencari pusaka itu dan mengembalikannya kepada Sribaginda Kaisar."

"Dan apa maksudmu dengan mengatakan bahwa Mestika Burung Hong Kemala. Yang didapatkan rombongan itu palsu?"

"Aku sendiri selama hidupku belum pernah melihat pusaka itu, akan tetapi melihat peti kecil dan tanda-tanda yang kutemukan, aku yakin bahwa ada orang mendahului rombongan, mengambil barang aseli dan menukar dengan yang palsu. Hanya aku yang melihat adanya bekas tapak kaki di dalam guha, dan peti Itupun bersih, tidak berdebu dan tidak basah seperti yang seharusnya, tanda bahwa peti itu baru saja diletakkan orang di sana. Akan tetapi rahasia ini kusimpan sendiri dan tadinya kukira engkau yang telah mendahului rombongan."

"Sama sekali tidak, hong-moi. Ah, kalau begitu ada orang lain yang telah menguasai pusaka aselinya. Ini jauh lebih sukar daripada kalau pusaka itu berada di tangan Bouw Koksu, karena setidaknya kita mengetahui di mana adanya pusaka itu. Sekarang, kita tidak tahu siapa yang memilikinya dan bagaimana mungkin kita dapat mencarinya?" Dalam suara Cin Han terkandung penyesalan.

"Aku mendapat petunjuk, Han-ko. Ini hanya dugaan, akan tetapi tidak ada orang lain yang patut dicurigai." ia lalu menceritakan tentang pemuda berotak miring yang muncul ketika rombongan Bouw Ki mengepung Kui Lan.

"Baru setelah rombongan menemukan pusaka palsu, aku mengenang kembali pemuda itu dan sekarang aku mengerti. Kenapa seorang pemuda sinting berkeliaran di tempat kering kerontang seperti itu? Apa yang dicarinya? Dan ketika dia bicara ngacau tentang Kaisar Li Si Bin yang sakti, tentang Tat-mo Couwsu, sekarang aku mengerti bahwa dia sengaja mempermankan rombongan Aku yakin bahwa dia seorang yang menentang An Lu Shan dan berpihak kepada adikmu Kui Lan itu. Akan tetapi dia hendak merahasiakan dirinya maka bersembunyi. Andaikata engkau dan adikmu terancam bahaya, aku yakin si gila itu akan muncul. Juga aku teringat sekarang. Wajahnya tampan dan sinar matanya mencorong.Siapa lagi kalau bukan dia yang telah mengambil pusaka aseli dan menggantikannya dengan yang palsu?"

"Memang mencurigakan sekali dia. Apakah dia memiliki ilmu silat yang tinggi?"

Kim Hong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala penuh keraguan. "Aku sudah memeriksa buntalan pakaiannya, tidak menemukan benda pusaka. Aku sudah mengujinya dengan serangan, ternyata dia tidak dapat bersilat. Ketika aku mengembalikan pedangnya, aku sengaja melemparkan pedang itu sehingga pedang mengenai kepalanya dan dia tidak mampu mengelak, bahkan dahinya benjol."'

"Pedang? Orang gila yang tidak pandai silat membawa pedang? Sungguh aneh."

"Sekarang barulah hal itu nampak aneh. Betapa bodohnya aku! Kami semua memang curiga dan dia berkata bahwa pedang itu milik kakeknya yang katanya merupakan seorang tokoh besar dunai persilatan. Dia bilang kalau aku tidak mengembalikan pedangnya, dia akan menyiarkan di seluruh dunia persilatan bahwa pedangnya dicuri seorang gadis.... eh, jelita dengan lesung pipit di pipi kiri...." Kim Hong agak tersipu.

"Dia memang benar!" tiba-tiba Cin Han terkejut sendiri karena suara hatinya itu begitu saja tercetus keluar.

"Apa maksudmu?" Kim Hong membelalakkan mata bertanya.

"Maksudku.... eh, bahwa dia tdak bohong... eh, dia benar karena engkau memang jelita dan lesung itu..... eh, maksudku dia memang benar aneh.” Cin Han benar-benar gagap dan salah tingkah menyadari kata-katanya yang seharusnya disimpan di hati saja menerobos keluar.

Kim Hong merasa betapa wajahnya panas. Warna kemerahan naik memenuh leher dan mukanya. Dara ini merasa heran sendiri. Kenapa mendengar pujian kacau balau itu ia tidak merasa marah bahkan menjadi tersipu malu? Padahal biasanya, kalau ada pria memuji kecantikkannya, akan dianggapnya kurang ajar lala akan marah-marah.

"Hemmm, apakah orang sintingnya sekarang menjadi dua?" katanya mengejek dan Cin Han menjadi semakin gugup.

"Ehh... ohhh..., maafkan, eh, maksudku, harap teruskan ceritamu, Hong-moi."

"Sudah kuceritakan semua keadaan diriku, Han-ko.Sekarang, sebaiknya kita membagi tugas. Aku yang berada didalam, akan siap mengawasi adikmu Kui Bi dan kalau perlu membantunya, sedangkan engkau yang berada di luar menyebar kawan-kawan untuk menyelidiki tentang pemuda sinting itu. Kita harus menemukan pusakanya yang aseli dan membiarkan Bouw Koksu mempunyai suatu rencana gelap bersama Pangeran An Kong. Aku ingin melihat mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia."

"Itu baik sekali, Hong-moi. Aku mendengar bahwa di antara Pangeran An Kong dan ayahnya, An Lu Shan, terdapat ketegangan. Dan engkau sendiri, bagaimana mungkin engkau menentang orang yang pernah menjadi gurumu, yang memelihara dan mendidikmu sejak kecil? Maafkan kalau aku tanyakan hal ini karena aku yakin seorang gadis yang gagah perkasa seperti engkau tentu tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar kebenaran dan keadilan."

Gadis itu menghela napas panjang. "Dahulu memang Bouw Koksu memang guruku yang amat sayang kepadaku sehingga akupun sayang dan taat kepadanya. Juga dahulu Bouw Ki merupakan suhengku dan kawan bermain. Akan tetapi semenjak aku meninggalkan mereka semua kesan baik atas diri mereka terhapus. Mereka hendak memaksa aku untuk menjadi selir Bouw Ki. Itulah sebabnya aku meninggalkan mereka dan mereka hendak memaksaku kembali, akan tetapi muncul suhu Hek-liong Kwan Bhok Cu yang menolongku. Sejak itu, aku tidak mengakui mereka sebagai guru dan suheng. Akan tetapi ketika aku bertemu Bouw Ki, sikapnya berubah dan mereka nampaknya tidak berani memaksaku, bahkan membantuku sehingga aku dapat bertemu dengan ayah kandungku."

"Ahhh! Ayah kandungmu yang melarikan diri dari Khitan itu?"

"Benar, ayahku bernama Can Bu dia adalah seorang perwira yang... ah, hal inilah yang meresahkan aku. Ayahku menjadi anak buah Bouw Koksu dan agaknya dia setia pada bekas guru ku itu."

"Apakah engkau tidak dapat menyadarkannya, Hong-moi? Bukankah dahulu dia seorang perwira kerajaan Tang. Apakah dia tidak dapat melihat bahwa Bouw Koksu dan An Lu Shan hanya pemberontak yang merampas tahta kerajaan?"

"Sudah kucoba, akan tetapi agaknya tidak ada hasilnya. Sungguh hal ini sangat membingungkan hatiku. Aku harus menaati perintah suhu, yaitu membantu kerajaan Tang, akan tetapi ayah kandungku sendiri berpihak kepada An Lu Shan." Gadis itu menghela napas panjang, nampaknya bingung dan kecewa sekali.

Cin Han dapat memaklumi hatinya. Kalau gadis itu menaati gurunya, membela kerajaan Tang, hal itu berarti bahwa ia akan bertentangan dengan ayah kandung sendiri. Cin Han ikut merasa penasaran dan ingin rasanya dia bertemu dengan ayah kandung gadis ini, untuk mencoba ikut menyadarkannya.

"Hong-moi, bagaimana engkau dapat bertemu dengan ayah kandungmu sedemikian mudahnya?"

Gadis itu memandang kawan barunya dengan wajah muram. "Justeru Bouw Koksu, dan puteranya yang mencarikan ayahku itu dan menemukannya. Dia ternyata seorang perwira yang berada dalam pasukan yang dipimpin suheng Bouw Ki ”

"Hemm.... maafkan aku, Hong-moi bukan maksudku untuk menyinggung hatimu, akan tetapi bagaimana engkau mengetahui dengan pasti bahwa dia itu ayahmu, ayah kandungmu yang sedang kau cari?"

Mendengar pertanyaan ini, Hong nampak terkejut. "Wah, Han-ko engkau menyentuh hal yang selalu mengganggu hatiku! Aku sendiri, sejak bertemu ayah dan dia merangkulku, merasa seperti orang asing bagiku. Sering aku termenung dan menduga-duga apakah dia benar ayah kandungku, akan tetapi pikiranku membantah dan mengatakan bahwa tentu dia ayah kandungku karena hanya Bouw Koksu yang mengenalnya"

"Jadi engkau hanya percaya akan keterangan Bouw Koksu dan pengakuan orang itu? Sama sekali tidak yakin karena tidak ada bukti?"

"Tidak ada bukti memang, akan tetapi ada saksinya, yaitu bekas guruku, Bouw Hun atau Bouw Koksu."

"Hemmm...." Cin Han meraba-raba dagunya, berpikir. "Engkau dipertemukan dengan ayah kandungmu oleh Bouw koksu, dan kebetulan ayah kandungmu itu menjadi anak buah Bouw-ciangkun. Hemm, sungguh suatu kebetulan yang luar biasa...."

Kembali dia menundukkan kepala, berpikir dan tanpa disadarinya meraba-raba dagu yang telah menjadi kebiasaannya. Pada saat yang sama, Kim Hong juga menundukkan muka dengan alis berkerut dan gadis ini meraba-raba dan menarik-narik telinga kirinya, suatu kebiasaan kalau ia sedang berpikir keras.

Tiba-tiba Cin Han mengangkat muka dan berseru, "Ahh...!" dan pada saat yang sama gadis itupun mengangkat muka dan mengeluarkan seruan yang sama. Agaknya mereka berdua mendapatkan gagasan yang sama pada saat yang bersamaan pula. Mereka saling pandang dan Cin Han berkata,

"Hong-moi, agaknya keadakan ayahmu itu meragukan sekali, belum tentu ia itu ayah kandungmu yang sebenarnya."

"Mungkin sekali, akupun berpikir begitu. Coba katakan, Han-ko, apakah alasan keraguanmu sama dengan alasan dugaanku."

"Menurut ceritamu tadi, ayah kandungmu menjadi tawanan di Khitan sampai bertahun-tahun, dan tentu saja telah mengenal baik Bouw Koksu yang dahulunya menjadi kepada suku. Akan tetapi kenapa Bouw Koksu dan Bouw-ciangkun tidak tahu bahwa ayah kandungmu menjadi perwira bawahan Bouw-kongcu? Mereka baru menemukan ayahmu setelah engkau datang mencarinya. Tentu mereka mengenal ayah kandungmu, sebaliknya ayahmu juga mengenal mereka."

"Tepat sekali, Han-ko. Akupun berpikir demikian. Dahulu menurut ibu kandungku, ayahku itu seorang gagah yang tidak mau tunduk, bahkan berhasil melarikan diri dari Khitan. Kalau benar, yang diperkenalkan kepadaku itu ayah, tentu dia tidak akan sudi menjadi anak buah mereka."

Kim Hong teringat akan sikapnya yang manis dan manja terhadap ayah yang telah ditemukannya itu. Kalau orang itu bukan ayahnya yang sebetulnya, berarti ia dipermainkan orang. "Hemm, kalau benar begitu, akan kuhajar orang yang berani mempermainkan aku itu!"

"Sabarlah, Hong-moi. Sebaiknya kalau engkau pura-pura tidak mencurigainya. Pula, semua ini baru dugaan kita, belum jelas dan kita belum yakin benar. Dengan pura-pura tidak curiga engkau akan dapat melakukan penyelidikan lebih seksama. Aku akan minta kepada Ji Siok untuk melakukan penyelidikan, dalam waktu beberapa hari ini tentu kita sudah tahu dengan pasti siapa orang yang sekarang mengaku sebagai ayahmu itu."

Kim Hong mengangguk setuju. "Sekarang aku harus pulang dulu, Han-ko. Kalau terlalu malam, tentu mereka akan mencurigai aku. Apa lagi kalau orang yang kuanggap sebagai ayahku itu adalah palsu. Tentu dia merupakan mata-mata mereka yang memata-mataiku"

"Wah, kalau benar dugaan kita bahwa dia itu palsu, dan dia bersamamu serumah, sungguh berbahaya bagi Hong-moi."

"Akan kuperhatikan dia aku akan berhati-hati. Untung bahwa selama ini aku masih merasa asing padanya sehingga aku tidak menceritakan isi hatiku. Dia tentu menganggap bahwa aku benar-benar membantu Pangeran An Kong membantu bekas guruku Bouw Koksu."

"Bagus, tetaplah bersikap wajar sebagai anak yang baik, Hong-moi, sehingga bukan engkau yang membuka rahasia, bahkan dia sendiri yang akan terbuka kedoknya."

Mereka lalu berpisah, masing-masing merasakan sesuatu yang aneh terjadi dalam hatinya. Terutama sekali Cin Han. Jantungnya berdebar penuh keriangan kalau dia teringat bahwa gadis yang sejak pertemuan pertama, ketika mereka bertanding, sudah amat menarik hatinya, akan tetapi yang membuatnya kecewa karena gadis itu menjadi pembantu Bouw Koksu, kini ternyata bahwa gadis itu sama sekali tidak membantu Bouw Koksu, bahkan menentangnya, menentang An Lu Shan, dan setia kepada kerajaan Tang.

* * *
Berkat usaha Gui-thaikam, kepala dayang sahabat Ji Siok yang banyak makan suapan dari hartawan itu sehingga Kui Bi dapat menyusup sebagai dayang istana, maka dapatlah Kui Bi memenuhi panggilan Pangeran An Kong untuk mengadakan pembicaraan penting di pondok kecil dalam taman istana.

Percakapan rahasia itu terjadi di malam hari, antara Kui Bi yang menghadap Pangeran An Kong, dan ditemani Bouw Koksu. Hanya singkat saja percakapan mereka.

"Kui Bi, katakan terus terang bersediakah engkau kalau kusuruh mengerjakan suatu tugas penting untukku?"

"Ampun, Pangeran. Harap paduka katakan dulu, tugas apakah itu dan apapula imbalannya." kata Kui Bi dengan cerdk.

Pangeran An Kong tersenyum dan saling pandang dengan Bouw Koksu. "Sudah kukatakan padamu, aku cinta pada mu, Kui Bi, dan kalau engkau berhasil melaksanakan tugas yang kuperintahkan padamu, aku akan mengambilmu sebagai isteri."

"Akan tetapi, pernah paduka mengatakan bahwa paduka akan mengangkat hamba menjadi permaisuri kalau paduka kelak menjadi kaisar, Pangeran."

Bouw Koksu mengerutkan alisnya dan matanya bersinar marah, akan tetapi pangeran itu memberi isyarat dengan kedipan mata sehingga Guru Negara ini tidak jadi memperlihatkan kemarahan hatinya.

"Menjadi isteri berarti menjadi permaisuri, Kui Bi. Karena sekarang aku belum menjadi kaisar, maka tentu saja engkau belum dapat menjadi permaisuri."

"Hamba akan melakukan perintah apapun dari paduka kalau paduka berjanji kelak setelah paduka menjadi kaisar, hamba diangkat menjadi permaisuri.”

"Bagus! Aku berjanji, Kui Bi. Paman Bouw ini yang menjadi saksi."

"Terima kasih, Pangeran. Akan tetapi sebelum paduka menjadi Kaisar, hamba tetap menjadi dayang istana, hamba tidak berani meninggalkan tempat pekerjaan hamba. Sekarang, harap paduka jelaskan, tugas apakah yang harus hamba lakukan?"

"Tugasmu adalah membunuh Sribaginda Kaisar."

"Ihh....!" Kui Bi pura-pura terkejut dan membelalakkkan matanya. "Bagaimana... bagaimana mungkin Hamba hanya seorang dayang lemah... tak mungkin hamba dapat melaksanakan...!"

"Kamipun tidak bodoh, Kui Bi. Bukan membunuh dengan kasar, engkau tidak harus menyerangnya, melainkan dengan cara halus. Engkau menyelundup ke dapur, mencampurkan bubuk merah ke dalam masakan kegemaran Sribaginda dan ketika engkau ikut melayani Sribaginda dahar, usahakan agar sayur itu dimakan olehnya. Mudah saja, bukan?"

"Akan tetapi, bagaimana mungkin Pangeran?! Pertama, hamba tidak pernah mendapat tugas melayani Sribaginda makan. Ke dua, hamba tidak akan diperbolehkan memasuki dapur sehingga tidak akan ada kesempatan untuk mencampur racun dalam makanan, dan ke tiga, hamba takut karena hamba tentu akan di tangkap dan dijatuhi hukuman berat.”

Kui Bi berkata dengan meratap. Tentu saja tugas Itu malah menyenangkan hatinya karena tanpa diperintahpun ia ingin membunuh Kaisar baru yang tadinya berpangkat panglima itu. Kalau saja tidak ada Sia-ciangkun yang melarangnya, mungkin ia sudah mengambil jalan pintas, dengan nekat mendekati dan mencoba membunuh kaisar.

Kalau sekarang ia berpura-pura ketakutan, hal itu dilakukan hanya untuk melihat apakah benar-benar pangeran ini merencanakan pembunuhan terhadap ayahnya sendiri, dan apa rencana mereka, ia harus yakin bahwa ia sendiri tidak terancam bahaya dalam pelaksanaan tugas itu.

"Semua kesulitanmu itu dapat diatasi dengan mudah. Kami akan mengatur agar engkau dapat diperbantukan ke dapur, kemudian ke ruangan makan melayani Kaisar, dan tentang kekhawatiranmu ditangkap, jangan khawatir. Kami yang bertanggung jawab, karena kalau Kaisar tewas, akulah yang menggantikannya dan engkau dapat kuangkat menjadi permaisuri."

"Aih, benarkah itu, Pangeran? Kalau begitu, harap berikan racun itu kepada hamba dan hamba akan melaksanakan sebaik mungkin!" katanya dengan girang.

Tiba-tiba Bouw Koksu berkata, suaranya garang penuh ancaman. "Akan tetapi ingat baik-baik, dayang. Kalau engkau membocorkan rahasia ini kepada siapa pun juga, kami berbalik akan menuduhmu sebagai mata-mata pemberontak yang akan membunuh kaisar dan engkau akan dihukum berat!'"

Kui Bi memandang ketakutan dan sambil menerima bungkusan kecil dari pangeran An Kong, dengan gemetaran ia berkata lirih, "Hamba mengerti.... hamba akan melaksanakan perintah....."

Setelah Kui Bi mengundurkan diri, Pangeran An Kong dan Bouw Koksu saling pandang. Wajah mereka berseri. "Hamba kira rencana ini akan berhasil baik, Pangeran," kata Bouw Koksu. "Selelah Kaisar tewas, paduka dapat mengangkat diri menjadi kaisar baru."

"Akan tetapi bagaimana kalau gadis tadi gagal dan perbuatan itu ketahuan?"

"Aih, itu perkara kecil. Kita tuduh ia mata-mata seperti yang hamba ancamkan tadi. Takkan ada orang yang lebih mempercayai omongan seorang dayang dari pada keterangan paduka dan hamba."

"Bagaimana kalau para pejabat tinggi menolak aku menggantikan ayah?”

"Ada Giok-hong-cu di tangan paduka, Pangeran. Mestika Burung Hong Kemala itu yang akan menentukan sebagai lambang kekuasaan seorang kaisar. Mereka pasti tidak akan ada yang berani menentang paduka kalau paduka memperlihatkan pusaka itu."

Sang pangeran mengangguk-angguk dan sambil tertawa keduanya meninggalkan taman itu. Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi, sepasang mata yang tajam mengintai tak jauh dari pondok itu di balik semak bunga. Mata itu adalah mata Sia Su Beng, panglima muda yang tampan dan cerdik itu. Di sudut taman itu, mereka bertemu. Sia Su Beng dan Kui Bi. Mereka bicara berbisik-bisik. Kui Bi menceritakan semua pembicaraan yang dilakukan dengan Pangeran An Kong dan Bouw koksu.

"Ah, sungguh kebetulan sekali kalau begitu!" kata Sia Su Beng.

"Ini merupakan kesempatan baik sekali untuk membunuh An Lu Shan dengan aman. Sebaiknya kau laksanakan semua perintahnya membantu di dapur sampai di ruangan makan kaisar. Akan tetapi setelah engkau melihat kaisar makan sayur-beracun itu dan roboh, engkau harus cepat pergi dan memasuk taman ini."

"Kenapa begitu?"

"Bi-moi, apakah kau kira Bouw koksu demikian bodoh dan Pangeran An Kong benar-benar hendak mengangkatmu menjadi permaisuri kalau dia menjadi kaisar? Tidak, Bi-moi.Setelah engkau berhasil membantu mereka membunuh kaisar, engkau merupakan bahaya besar bagi mereka karena hanya engkau yang mengetahui rahasia mereka."

Kui Bi mengangguk. "Tentu mereka lalu akan berusaha menyingkirkan aku, bukan? Engkau benar, twako. Akupun tidak sudi menjadi isteri pangeran yang begitu jahat hendak membunuh ayah kandungnya sendiri. Kalau sudah berhasil aku akan cepat datang ke sini."

"Begitulah sebaiknya. Aku bakal menyembunyikanmu di antara pasukan mempersiapkan pakaian seragam untuk kau pakai agar engkau tidak dapat mereka temukan."

Mereka tidak lama mengadakan pertemuan itu. Mereka harus bersikap hati hati dan waspada. Lenyapnya seorang thai-kam yang tempo hari dibunuh dan dibawa keluar dari taman oleh Sia SuBeng menimbulkan kecurigaan para pewira istana, akan tetapi karena thaikam itu tidak meninggalkan bekas, mereka menduga bahwa diam-diam thai-kam itu melarikan diri dan minggat dari istana, mungkin melarikan barang-barang berharga dari istana.

00 Di dalam rumah Hartawan Ji, mereka mengadakan pembicaraan yang serius malam itu. Mula-mula Cin Han menceritakan tentang pertemuannya dengan Can Kim Hong yang ternyata bukan menjadi lawan yang berbahaya, bukan pembantu Bouw Koksu yang lihai, melainkan juga sorang pendekar wanita yang setia kepada Kerajaan Tang dan ditugaskan gurunya untuk membantu Kerajaan Tang, terutama mencari Mestika Burung Hong Kemala dan menyerahkan pusaka itu kepada baginda Kaisar Beng Ong.

"Kalau benar demikian, sungguh menyenangkan dan menguntungkan perjuangan kita," kata Hartawan Ji dengan sikap ragu. "Akan tetapi kalau ia hendak melaksanakan perintah gurunya itu, kenapa ia membiarkan saja Mestika Bung Hong Kemala terjatuh ke tangan Bouw Koksu? Kenapa tidak dirampasnya ketika mereka menemukannya?"

"Akupun tadinya meragu dan menanyakan langsung kepadanya dan aku mendapatkan keterangan yang sama sekali tidak kita sangka, paman. Menurut Kim Hong, pusaka yang ditemukan Bouw-ciangkun itu adalah Mestika Burung Hong Kemala yang palsu."

"Ahh....!!"' kata Kui Lan dan Hartawan Ji berseru kaget.

"Ketika menemukan peti berisi pusaka itu, Kim Hong melihat bahwa peti kecil itu bersih tanpa debu dan tidak basah, tanda bahwa kotak itu baru saja ditaruh orang di sana,dan ketika memasuki guha sebagai orang terdepan ia melihat tapak kaki. Maka ia mengambil kesimpulan bahwa telah ada orang yang mendahului mereka memasuki guha mengambil pusaka aselinya dan menukarnya dengan pusaka yang palsu."

"Aih, kalau begitu semakin sukar untuk mendapatkan benda itu, karena kita tidak tahu lagi siapa yang mengambilnya...." kata Kui Lan kecewa.

"Ada petunjuk dari Kim Hong. Gadis itu memang luar biasa sekali, cantik jelita, lihai sekali ilmu silatnya, cerdik bukan main, dan baik budinya, gagah perkasa...."

"Aih, aihh..... kiranya kakak sedang dimabok asmara rupanya!" kata Kui Lan sambil tersenyum.

Cin Han menyeringai. "Mungkin... mungkin sekali, Lan-moi."

"Kongcu, petunjuk apakah yang diberikan gadis itu?"

"Ketika rombongan hendak mengambil pusaka, di tengah jalan mereka bertemu Lan-moi dan hendak menangkapnya, muncul seorang pemuda yang seperti sinting. Orang itulah yang dicurigai keras oleh Kim Hong, karena hanya dia yang nampak ketika itu dan diapun seorang yang aneh dan mencurigakan."

"Ah, benar juga! Aku sendiri pun terheran-heran melihat betapa pemuda sinting itu mempermainkan rombongan dengan sikapnya yang gila-gilaan. Yang aneh adalah ketika buntalan pakaiannya digeledah, terdapat sebatang pedang yang baik. Bagaimana mungkin seorang gila membawa-bawa pedang? Akan tetapi ia kelihatan begitu lemah."

"Pendapatmu itu tepat sekali demikian pendapat Kim Hong, Lan-moi. Akan tetapi ia tetap curiga dan ia menduga bahwa tentu pemuda itu berpura-pura saja. Apakah engkau tidak melihat sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, Lan moi?"

Gadis itu menggigit-gigit bibir dan memejamkan mata, mengingat-ingat dan membayangkan kembali peristiwa ketika ia dikeroyok oleh rombongan Bouw-ciangkun itu. "Seorang pria yang masih muda, dan sinar matanya tajam mencorong, hemm....wajahnya tampan, dan memang dia tidak pantas menjadi seorang gila."

"Nah, demikianlah, paman Ji. Sebaiknya kalau paman menyebar teman-teman kita untuk mencari pemuda yang berpura-pura gila itu. Lan-moi, engkau yang pernah melihatnya, coba gambarkan bagaimana wajah dan bentuk badannya."

"Bentuk tubuhnya sedang dan tegap mirip tubuhmu, Han-ko. Dan wajahnya.... eh, bulat cerah dan tampan, matanya mencorong dan mulutnya selalu mengarah senyum. Tidak nampak kegilaan pada wajahnya, hanya sikapnya yang membuat orang menganggapnya sinting. Suaranya lantang."

Ji wan-gwe mengangguk-angguk. "Tidak begitu jelas gambar itu, akan tetapi kami akan coba mencarinya."

"Aku mempunyai berita yang lebih penting lagi, Han-ko dan Paman Ji. Tadi ketika menuju ke sini, aku bertemu lembali dengan Sia Su Beng!"

Cin Han nampak kaget, "Kau maksudkan panglima yang diam-diam berpihak kepada Sribaginda Kaisar Beng Ong itu?"

"Benar, dan dia sudah tahu tentang Kui Bi di istana, dan dia berjanji akan mengamati dan melindungi Kui Bi.”

Ji Wangwe tersenyum. "Maafkan, kongcu dan nona, aku belum memberi tahu kepada kalian tentang dia, karena memang persoalan ini harus dirahasiakan benar, jangan sampai bocor. Panglima Sia Su Beng merupakan harapan kita semua karena pada saatnya yang tepat, dlialah yang akan dapat membantu Sribaginda merebut kembali tahta kerajaan karena kedudukannya yang penting. Dia seorang panglima yang dipercaya oleh An Lu Shan, dan mengepalai pasukan besar. Karena itu, pada saatnya yang tepat, dia dapat bergerak dari dalam dan dengan pasukannya dia dapat menguasa istana. Sukurlah kalau nona sudah mendapat penjelasan dari dia sendiri."

"Sekarang aku minta agar Paman Ji suka membantu nona Can Kim Hong gadis itu sejak kecil ditinggalkan ayah kandungnya, dan sekarang ia dipertemukan dengan ayah kandungnya oleh Bouw Koksu. Akan tetapi, ia merasa curiga dan sangsi apakah Can Bu yang menjadi perwira di bawah perintah Panglima Bouw Koksu.”

"Apa yang dapat kami bantu, kongcu?”

"Coba selidiki siapa sebenarnya orang yang mengaku bernama Can Bu perwira yang kini tinggal bersama nona Can Kim Hong itu."

Ji Wangwe mengangguk-angguk. Cin Han lalu berpamit kepada adiknya dan Hartawan Ji. "Lan-moi, engkau tinggal saja di sini membantu Paman Ji dan siap membantu kawan-kawan yang bergerak di kota raja. Aku sendiri akan pergi menemui Sribaginda Kasar di barat, menceritakan semua persiapan kita di sini agar pasukan beliau dapat dikerahkan untuk menyerbu dan merampas kembali tahta kerajaan."

Pada hari itu juga, pergilah Cin Han meninggalkan kota raja, menunggang kuda dan melakukan perjalanan cepat kearah Barat. Beberapa hari kemudian, Hartawan Ji mendapat keterangan dari pembantu tentang orang yang bernama Can Bu kini tinggal bersama nona Can Kim yang membantu Bouw Koksu. Dia segera mengundang Kui Lan ke dalam ruangan tutup.

"Nona, sayang sekali Yang-kongcu telah pergi. Kami telah mendengar berita tentang orang yang mengaku sebagai ayah kandung nona Kim Hong. Benar kecurigaannya, orang itu sama sekali bukan Can Bu, bukan ayah kandung gadis itu. Namanya Ciang Kui, seorang perwira yang tadinya merupakan seorang perampok tunggal dan ditarik oleh Bouw Koksu menjadi pembantunya."

"Ah, kasihan Kim Hong...." kata Kui Lan. "Memang sayang sekali Han-ko telah pergi. Sebaiknya aku yang menggantikannya untuk memberitahu kepada Kim Hong."

"Tapi, itu berbahaya sekali, nona."

Kui Lan tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak ada bahayanya, paman. Kim Hong sudah mengenal aku, pula setelah aku mendengar tentang dari Han-koko, jelas bahwa ia ada teman seperjuangan kita, bukan lagi musuh."

"Maksudku, berbahaya sekali kalau sampai ketahuan Bouw Koksu, Bouw ciangkun atau anak-buah mereka."

"Aku akan berhati-hati, paman. Pula, Bouw Koksu dan Bouw-ciangkun pun tidak tahu siapa aku. Kalau aku tidak melakukan sesuatu yang merupakan pelanggaran, tentu merekapun tidak akan mengganggu aku."

Pergilah Kui Lan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali meninggalkan rumah Hartawan Ji dan berjalan-jalan di jalan raya menuju ke rumah gedung yang menjadi tempat tinggal Bouw koksu. Tentu saja ia tahu benar di mana rumah itu, karena rumah itu adalah bekas rumah orang tuanya! Di rumah itulah Ia dilahirkan dan dibesarkan!

Akan tetapi, ketika ia melewati jalan raya di depan rumah gedung itu, melihat betapa rumah itu dijaga ketat. Seperti penjagaan di depan istana saja. lapun mengambil jalan memutar, melalui jalan kecil di samping gedung dan mendapat kenyataan bahwa di empat sudut tempat itu terdapat sebuah gardu tinggi di mana nampak para penjaga melakukan penjagaan. Bukan main! Akan sukarlah memasuki gedung itu di siang hari.

Kui Lan berjalan-jalan mondar-mandir di depan gedung itu, mengharap Kim Hong akan keluar dari gedung dapat ia jumpai. Akan tetapi harapannya sia-sia dan terpaksa ia meninggalkan tempat itu, kembali ke rumah Hartawan Ji, mengambil keputusan untuk memasuki gedung bekas tempat tinggalnya itu malam hari untuk menemui Kim Hong...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.