Mestika Burung Hong Kemala Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Jilid 12 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Mestika Burung Hong Kemala Jilid 12

Cerita silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo
"CIANGKUN,.." kata Kui Lan, sengaja kini menyebut ciangkun kepada panglima itu. ia tidak dapat lagi bersikap akrab kepada panglima yang pernah dikaguminya itu setelah mengetahui bahwa panglima itu akrab sekali dengan adiknya. "Engkau telah menyelamatkan adikku, juga berhasil membawa kami bertiga keluar dari kota raja dengan selamat."

"Tidak, aku tidak mau pergi!" tiba-tiba Kui Bi berkata sambil mendekati Sia Su Beng. "Twako, bagaimana mungkin aku pergi kalau engkau masih tinggal di kota raja? Tidak, aku bukan pengecut yang meninggalkan begitu saja. Aku tidak mau pergi. Kalau engkau kembali ke kota raja, akupun harus kembali ke sana!"

"Bi-moi, jangan bicara begitu” kata encinya. "Kita bukan pengecut kalau pergi dari kota raja. Kita bukan sekedar melarikan diri karena takut akan tetapi kita akan bergabung dengan kakak Cin Han di sana. Sia-ciangkun harus kembali ke kotaraja di mana dia bertugas dan kita membagi pekerjaan yaitu kita membantu pasukan Sribaginda dan Sia-ciangkun membantu dari dalam.”

"Benar, Bi-moi. Jasamu sudah cukup besar dengan membunuh An Lu Shan dan sementara ini engkau harus meninggalkan kota raja."

"Sekali lagi tidak, twako. Aku harus ikut engkau kembali ke kota raja untuk membantumu. Bahaya kita tempuh bersama. Kalau engkau tidak mau menyelundupkan aku ke dalam kota raja, aku dapat menyusup sendiri," kata Kui Bi dengan nekat.

Gadis yang keras hati ini tahu benar bahwa kalau ia harus berpisah dari pria yang dikasihinya, hati nya akan selalu merasa sengsara karena pria itu berada di kota raja, tempat yang amat berbahaya dengan segala pergolakannya.

Sia Su Beng menghela napas panjang, bukan karena penyesalan, melainkan karena lega dan senang. Dia sendiri sudah jatuh cinta kepada Kui Bi dan ia sedang merencanakan cita-cita besar. Akan lebih mantap hatinya kalau dia dekat dengan gadis yang dikasihinya, apa lagi dia membutuhkan tenaga orang gadis perkasa seperti Kui Bi. "Baiklah, Bi-moi. Kalau itu kehendakmu, engkau boleh ikut aku kembali ke kota raja dengan menyamar sebagai perajurit."

Bukan main girangnya hati Kui Bi sambil memegangi kedua tangan panglima itu, ia berseru, "Koko, terima kasih! Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku!" kemudian ia mengha mp iri dan merang kul encinya.

"Enci Lan, kalau engkau bertemu kakak Cin Han, ceritakan semuanya dan bahwa aku berada di kota raja membantu perjuangan dari da la m bersa ma Sia-koko." Kemudian ia menambahkan bisikan di dekat telinga encinya, "Enci, aku cinta padanya."

Kui Lan mencium pipi adiknya dan matanya menjadi basah, ia terharu dan juga berbahagia bahwa adiknya telah menemukan cintanya, ia mengenal adiknya orang yang berhati keras dan sekali jatuh cinta, ia akan mempertahankannya mati-matian.

"Pergilah, adikku. Kita akan berkumpul kembali dalam keadaan yang lebih baik."

Sia Su Beng lalu membawa pasukannya kembali. Pasukan itu kini berkurang dua orang, tinggal duapuluh dua orang. Akan tetapi, Sia Su Beng tidak membawa pasukannya langsung pulang ke kota raja, melainkan mengajak mereka menyerbu sebuah bukit kecil penuh hutan yang dia tahu benar merupakan sarang gerombolan perampok.

Gerombolan perampok itu diserbu dengan tiba-tiba, menjadi panik dan mencoba melakukan perlawanan. Akan tetapi, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi mengamuk sehingga para perampok terdesak, banyak yang tewas atau terluka dan sisanya melarikan diri. Sia Su Beng menawan empat orang anggauta perampok yang terluka dan bersama Kui Bi dia mengajak empat orang ini ke pinggir.

"Sekarang terserah kalian, masih ingin hidup ataukah memilih mati. Kalau ingin hidup, kalian harus menaati perintahku setelah tiba di kota raja," kata Sia Su Beng.

Empat orang perampok yang luka-luka ringan itu tentu sudah menganggap bahwa mereka akan dibunuh, kini mendengar bahwa ada harapan bagi mereka untuk tinggal hidup, tentu saja mereka cepat menyambar harapan itu, betapapun kecilnya.

"Kami minta hidup, ciangkun!" kata mereka.

"Baik, mulai sekarang kalau ada orang bertanya, siapa saja dia, kalian harus mengakui bahwa kalian adalah kaki tangan Bouw Koksu dan kalian mendapat perintah dan tugas Bouw Koksu untuk membunuh kaisar."

"Wah, kalau begitu kami tentu akan dihukum berat!"

"Tidak, kami yang akan melindungimu dan membebaskan kalian dari hukuman. Akan tetapi kalau kalian tidak mau, sekarang juga kalian akan kami bunuh. Bagaimana?"

Terpaksa empat orang itu menyanggupi dan Sia Su Beng memberi tahu apa yang harus mereka jawab kalau datang pertanyaan-pertanyaan tentang usaha pembunuhan kaisar An Lu Shan. Mereka di beri tahu nama-nama kaki tangan Bok Koksu yang bekerja di dapur dan yang menjadi dayang sampai yang menjadi thai-kam. Mereka harus menghafalkan semua jawaban itu.

Dalam perjalanan menuju ke kota raja, Sia Su Beng diam-diam menyuruh beberapa orang perajuritnya menguji empat orang itu, mengajukan pertanyaan di luar tahu Sia Su Beng. Ada yang bertanya sambil menggertak dan mengancam, ada pula yang bertanya dengan bujukan dan janji hadiah dan kebebasan.

Dan di antara empat orang itu, ternyata yang tetap mengatakan bahwa mereka adalah kaki tangan Bouw Koksu hanya dua orang. Yang dua orang lagi ragu-ragu dan tanpa banyak cakap lagi, di depan dua orang yang lain, Sia Su Beng membunuh mereka dengan pedangnya! Hal ini tentu saja membuat dua orang anggauta perampok menjadi semakin ketakutan dan mereka bertekad untuk menaati perintah panglima Itu, apapun yang terjadi nanti pada diri mereka.

Kui Bi dapat memaklumi kekejaman Sia Su Beng membunuh dua orang perampok itu karena kalau mereka dibebaskan, mereka tentu akan membocorkan rahasia siasat yang sedang dilakukan Sia Beng.

Pasukan yang membawa dua tawanan itu memasuki pintu gerbang pada sore harinya dan Sia Su Beng segera mengundang para panglima ke markasnya. Dia mengadakan pertemuan rahasia dengan para panglima, baik para panglima yang mendukung An Lu Shan maupun para panglima yang diam-diam secara rahasia mendukung Kerajaan Tang. Hanya para panglima yang menjadi kaki tangan Bouw koksu dan Pangeran An Kong saja yang tidak diundang dalam rapat rahasia itu.

Karena semua orang masih dalam keadaan tegang dan panik dengan kematian An Lu Shan, para panglima itu bergegas datang karena mereka maklum bahwa tentu ada berita penting yang akan di sampaikan Panglima Sia Su Beng yang selain menjadi kepercayaan An Lu Shan juga agaknya dekat dengan Bouw Koksu itu.

"Para rekan panglima yang terhomat, saya mengundang anda sekalian berkumpul untuk menyampaikan berita yang teramat penting dan juga tentu akan mengejutkan hati cu-wi (anda) sekalian. Berita itu ada hubungannya dengan kematian Sribaginda yang keracunan."

Dia sengaja berhenti sebentar untuk memberi tekanan kepada kata-katanya tadi. Semua panglima yang jumlahnya tujuh orang itu benar saja amat tertarik dengan gaduh mereka bertanya apa yang telah terjadi dan apakah berita itu.

"Ketika terjadi peristiwa kematian Sribaginda kemarin malam itu, saya mendapat keterangan dari penyelidik saya bahwa pelaku pembunuhan dapat melarikan diri keluar kota raja. Mereka bergabung dengan kawan-kawan mereka, itu gerombolan perampok di Bukit Bambu Kuning.

Saya cepat membawa dua losin perajurit melakukan pengejaran malam tadi juga, dan tadi kami berhasil menyerbu, menewaskan beberapa orang dan menawan dua orang. Dua orang perajurit kami gugur. Dan dari pengakuan dua orang tawanan kami itu, ternyata bahwa mereka adalah kaki tangan Bouw Koksu dan Pangeran An Kong. Mereka hanya menerima perintah dari kedua orang itu yang mengatur semua rencana untuk meracuni kaisar."

"Ahhh!!" Para panglima itu mengeluarkan seruan kaget dan juga heran.

"Bagaimana mungkin itu? Bouw Koksu adalah seorang kepala suku Khitan yang berjasa dan mendapat anugerah Kaisar dengan pangkat tertinggi, sebagai Guru Negara. Dan Pangeran An Kong, untuk apa harus membunuh ayahnya sendiri? Bagaimanapun, kelak dia yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya," beberapa orang meragu.

"Kami sendiri kalau tidak mendengarkan tawanan anak buah gerombolan itupun tentu tidak akan percaya," kata Panglima Sia Su Beng. "Akan tetapi hendaknya diingat bahwa memang terjadi ketegangan antara Kaisar dan Pangeran An Kong. Pertama, urusan perebutan selir itu, dan kedua, permintaan pangeran yang tergesa-gesa ingin diangkat menjadi Pangeran Mahkota. Bagaimanapun juga, sebaiknya kalau kita bersama mendengarkan sendiri keterangan dua orang tawanan itu."

Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyeret kedua orang tawanan itu ke dala m ruangan rapat. Tak lama kemudian, dua orang tawanan itu didorong masuk dan mereka menjatuhkan diri berlutut dengan wajah pucat ketakutan melihat para panglima memandang kepada mereka dengan sinar mata penuh selidik.

"Heii, sekarang di depan panglima, kalian berdua harus menjawab dengan benar, kalau tidak, kalian akan disiksa sampai mati!" bentak Sia-ciangkun.

"Coa-ciangkun, harap suka mengajukan pertanyaan kepada mereka," katanya kepada seorang panglima tinggi besar yang terkenal setia kepada An Lu Shan dan yang paling meragukan keterangannya tadi.

Coa-ciangkun adalah panglima tinggi besar yang berwatak keras. Dia duduk menghadapi dua orang yang berlutut itu dan membentak, "Angkat muka kalian dan pandang padaku!"

Dua orang anak buah gerombolan perampok itu mengangkat muka mereka memandang dan wajah mereka ketakutan, terbayang pada mata mereka yang terbelalak liar. Padahal, biasanya mereka adalah para perampok yang ganas, mudah menyiksa dan membunuh orang sambil tertawa.

Kini nampaklah bahwa orang-orang yang suka berbuat kejam itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang pengecut dan penakut kalau berhadapan denggan kekuasaan yang lebih besar, kalau berada dala m ancaman maut.

"Ampun, ampunkan kami, thai-ciangkun...." mereka meratap.

"Ceritakan, apa yang telah kalian lakukan sehubungan dengan kematian Kaisar! Jawab sejujurnya atau kupatahkan kaki tanganmu!"

Dua orang anggauta perampok itu gemetar. Mereka memandang kepada panglima Sia Su Beng dan panglima ini membentak, "Hayo cepat jawab dan ceritakan seperti yang kalian ceritakan kepadaku!"

"Ampun, ciangkun kami.... kami hanya diperintah. Kami diperintah untuk menghubungi rekan-rekan kami di dapur istana, menyerahkan sebungkus racun dan menaruhnya di masakan khas kegemaran Sribaginda .... ampun ka mi hanya melaksanakan perintah."

"Perintah siapa?" bentak Coa-ciangkun.

"Perintah... perintah Bouw Koksu dan Pangeran."

"Siapa saja rekan-rekan kalian yang menjadi anak buah Bouw Kokso yang bekerja di dekat Sribaginda? Jawab?" Kini Sia Su Beng yang membentak.

Dua orang itu dengan bergantian menyebutkan nama beberapa orang dayang, thai-kam dan juru masak yang menjadi kaki tangan Bouw Koksu dan diselundupkan ke dalam istana, seperti yang telah mereka hafalkan dari pemberitahuan Sia Su Beng.

Para panglima menjadi marah sekali, dan keraguan mereka menipis. "Jahanam busuk! Kalian telah berani melaksanakan perintah Bouw Koksu dan Pangeran Untuk meracuni Sribaginda!" Sia Su Beng membentak, dan marah sekali.

"Ampun.... hamba berdua hanya melaksanakan perintah.... hamba mohon ampun...”

"Keparat!" Tiba-tiba tangan Sia Su Beng bergerak dan dua orang itu terpelanting roboh dan tewas seketika karena kepala mereka menerima pukulan maut panglima itu. Semua panglima terkejut.

"Ah, kenapa engkau membunuh mereka, Sia-ciangkun? Bukankah mereka itu menjadi saksi dan bukti bahwa pembunuhan itu direncanakan oleh Bouw Kok dan Pangeran?" Para panglima menegur.

"Hemm, untuk apa menyiarkan rahasia busuk ini kepada orang luar? Bukankah itu hanya akan memalukan saja? Pangeran yang kita anggap sebagai pengganti Kaisar kelak, ternyata adalah seorang anak yang tega membunuh ayah sendiri! Dan Bouw Koksu ternyata seorang hamba yang pengkhianat dan tidak setia. Bagaimana kita dapat membiarkan berita busuk ini terdengar orang?"

"Akan tetapi besok pagi Pangeran An Kong akan mengumumkan bahwa dia menggantikan Sri baginda yang wafat menjadi Kaisar baru!" kata Coa-ciankun.

"Coa-ciangkun, haruskah kita biarkan saja hal itu terjadi? Bagaimana mungkin kita membela seorang kaisar yang tega membunuh ayah kandung sendiri? Kalau dia tega terhadap ayah kandung sendiri, apa lagi terhadap kita orang-orang lain. Selama kita dapat dipergunakan, dia bersikap baik, akan tetapi setelah kita tidak dibutuhkan tentu kitapun akan dibunuh dengan kejam seperti yang dia lakukan terhadap ayahnya."

Mendengar ucapan Sia Su Beng itu, semua panglima tertegun. Mereke melihat betapa masa depan mereka suram kalau pangeran An Kong dibiarkan menjadi kaisar. Apa lagi di antara para panglima itu banyak yang berdarah Han. kalau pendukung utama Pangeran An Kong adalah Bouw Koksu, tentu orang Khitan ini yang akan memegang peranan penting dan mereka semua hanya akan menjadi bawahannya saja.

"Kita tidak boleh membiarkan Pangeran durhaka itu menjadi kaisar!" akhirnya Coa-ciangkun berkata.

Semua panglima setuju. "Lalu apa yang harus kita lakukan, Sia-ciangkun?"

"Kalau cu-wi ciangkun percaya kepadaku, serahkan saja urusan ini kepadaku. Aku yang akan bertindak mencegah pangeran menjadi kaisar."

"Tentu saja kami percaya kepadamu, Sia-ciangkun. Akan tetapi kalau pasukan pendukung pangeran menggunakan kekerasan?"

"Kita hadapi mereka. Kita harus mempersiapkan pasukan kita secara diam diam, membuat barisan mengepung istana, menjaga kalau mereka menggunakan kekerasan," kata Sia-ciangkun dan semua orang setuju.

Demikianlah, Sia Su Beng dengan cerdik seka li telah berhasil membuat para panglima menentang pangeran dan Bouw Koksu, dan menunjuk dia sebagai panglima pimpinan.

* * *

"Ehh? Kenapa melamun dan terima saja memandang ke arah perginya Sia ciangkun dengan pasukannya? Wah, kau agaknya kehilangan setelah ditinggalkan panglima yang gagah itu, ya?" Hui San menggoda.

Kui Lan membalik dan memandang pemuda itu dengan alis berkerut dan mata marah. "Souw-twako, aku tahu engkau main-main, akan tetapi jangan keterlaluan kalau main-main. Engkau tahu sendiri betapa adikku Kui Bi saling mencinta dengan Sia-ciangkun, bagaimana engkau sekarang berani menggoda ku seperti itu?"

"Maaf, seribu kali maaf, Lan-moi.. Aku aku hanya main-main. Habis, engkau nampak melamun seperti itu, tidak cepat-cepat kita mulai melakukan perjalanan kita yang amat jauh ke barat!"

Karena pemuda itu minta maaf dengan wajah yang sungguh-sungguh menyatakan penyesalannya, Kui Lan yang lembut hati sudah melupakan singgungan itu. "Twako, aku tidak akan pergi ke barat."

"Ehh?" Wajah yang tadinya penuh senyum itu kini terbelalak dan melongo. "Apa maksudmu? Kenapa,. Lan-moi?"

Dalam sinar mata pemuda itu timbul sesuatu yang membuat hati Kui Lan mengkal lagi. Pandang mata cemburu! "Kenapa kau tanya? Twako, bagaimana mungkin aku pergi dan membiarkan adikku sendirian saja kembali ke kota raja?"

"Aihh, bukankah kita semua sudah membagi tugas, Lan-moi? Dan adikmu tidak kembali kesana sendirian, melainkan bersama Sia-ciangkun yang dicintanya. Sia-ciangkun akan melindunginya kukira engkau tidak perlu khawatir."

"Bukan hanya karena adikku Kui Bi saja, twako. Juga kita tidak mungkin pergi ke barat dengan meninggalkan sesuatu yang teramat penting. Lupakah engkau bahwa Mestika Burung Hong Kemala masih berada di kebun rumah yang kini ditempati Bouw Koksu? Dan hanya kita berdua yang mengetahui tempat itu. Bagaimana mungkin kita berdua pergi meninggalkan pusaka itu di sana? Tidak twako. Sebaiknya kita membagi tugas lagi. Engkau saja ke barat dan melapor kepada kakakku Cin Han dan kepada Sri baginda, sedangkan aku akan kembali ke kota raja. Kalau ada kesempatan, aku akan mengambil Mestika Burung Hong Kemala itu dan setelah aku mendapatkan pusaka itu, barulah aku akan menyusul ke barat. Apa artinya kita menghadap Sribaginda di barat kalau tanpa membawa pusaka itu?"

Hui San mengerutkan alisnya, wajahnya yang tampan kehilangan kecerahnya, kemudian dia mengangguk-angguk, "engkau memang seorang gadis yang hebat, Lan-moi. Engkau cantik jelita, lembut, lihai dan juga cerdik bukan main. Aku salut! Mari kita kembali ke kota raja. Engkau benar sekali!"

"Kita? Maksud ku, kita membagi tugas, engkau melanjutkan perjalanan ke barat dan aku kembali ke kota raja..."

"Tidak mungkin, Lan-moi. Aku membiarkan engkau kembali seorang diri ke kota raja? Aku belum sinting! Kemanapun engkau pergi, aku harus menemani, Lan-moi.... yaitu... kalau engkau suka tentu saja. Aku tidak ingin engkau terancam bahaya, hidupku tidak akan beres lagi kalau kita berpisah dan aku selalu mengkhawatirkan keselamatan mu."

Kui Lan menatap wajah pemuda itu. Wajah yang tampan dan selalu nampak riang, dengan senyum yang sukar meninggalkan bibir itu, dan mata yang lalu memandang jenaka, wajah yang nampaknya tidak dapat susah, tidak dapat marah dan tidak dapat serius. Baru sekarang, atau semenjak hatinya melepaskan Sia Su Beng karena perwira itu mencinta dan dicinta adiknya, ia memperhatikan pemuda ini.

"Souw-twako, kita baru saja berkenalan, kenapa engkau begini memperhatikan aku?"

"Baru berkenalan? Aih, Lan-moi semenjak aku berpura-pura sinting menganggu dahulu itu, aku sudah mulai mengenalmu dengan baik, dan biarpun akhirnya kita belum berkenalan, namun dalam bathinku, engkau telah menjadi seorang sahabatku terbaik."

"Tapi, kenapa engkau begini memperdulikan aku, mengkhawatirkan keselamatanku? Kita tidak mempunyai kaitan apapun, orang lain dan ticlak ada hubungan apa-apa..."

"Lan-moi, bukankah kita sama-sama memperjuangkan bangkitnya kembali kerajaan Tang? Kita seperjuangan! Dan biarpun bagimu di antara kita tidak ada kaitan apapun, bagiku ada kaitannya yang erat sekali. Lan-moi, maafkan aku kalau aku berterus-terang kepadamu. Sejak aku melihatmu, aku... aku tahu bahwa hidupku tidak ada artinya lagi tanpa adanya engkau di dekatku. Aku...... agaknya seperti inilah rasanya cinta seperti yang pernah kubaca dalam dongeng, yakni kalau boleh aku lancang mulut mengaku cinta padamu..."

Pemuda yang biasanya lincah jenaka dan pandai bicara itu, kini mendadak saja menjadi gagap gugup dan salah tingkah, bahkan tidak berani memandang langsung kepada gadis itu!

Melihat ini, Kui Lan tersenyum geli. Betapa mudahnya untuk menyukai pemuda ini, pikirnya. Memang tidak seperti Sia Su beng yang gagah dan berwibawa, juga memiliki kekuasaan. Akan tetapi Souw Hui San ini tidak kalah tampan walau nampak ugal-ugalan dan sederhana, dan juga ia merasa yakin bahwa dalam hal ilmu silat, pemuda murid Gobi-pai ini tidak kalah lihai dibandngkan Sia Su Beng. Akan tetapi baru saja ia seperti kehilangan Sia Su Beng, mengalah terhadap adiknya, bagaimana ia dapat begitu cepat membalas cinta seorang pemuda ini?

"Souw-twako, engkau seorang yang gagah dan baik sekali, bahkan telah berulangkali menolongku. Terima kasih atas perhatianmu kepadaku, akan tetapi, twako, dalam keadaan seperti seorang ini, di mana tugas menanti kita bagaimana kita dapat bicara tentang perasaan hati pribadi kita? Maafkan kalau aku belum dapat menanggapi dan jawabmu sekarang. Akan tetapi aku suka sekali bekerja sama denganmu twako dan kalau memang engkau menghedaki kita kembali bersama ke kota raja, demi adikku, demi pusaka itu, akupun akan merasa senang sekali."

Wajah itu menjadi segar kembali, matanya berkilat dan bersinar-sinar, mulutnya dihiasi senyumnya yang gembira. "Wah, apa lagi yang kuinginkan? Kalau engkau tidak marah oleh ucapanku tadi, kalau engkau membiarkan aku menemanimu, hal itu sudah merupakan berkah yang membahagiakan hatiku, Lan-moi. Engkau benar, aku yang lancang mulut, belum tiba saatnya kita bicara tentang.... eh, itu...! Mari kita kembali ke kota raja!"

Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan percakapan dan memandang arah barat. Telinga mereka menangkap derap kaki kuda yang datangnya dari arah barat. Tak lama kemudian, jauh di depan, muncul dari baliktikungan, tampak dua orang penunggang kuda membalapkan kuda mereka. Debu mengepul tinggi ketika dua ekor kuda besar itu semakin mendekat.

"Heiii.. Itu Han-koko!" kata Kui Lan.

"Benar, dan bukankah itu nona Can Kim Hong??" teriak pula Hui San. Karena tadinya mereka sengaja bersembunyi ke balik pohon karena curiga dan belum tahu siapa yang datang, kini mereka keluar dan berteriak-teriak memanggil.

"Han-koko ! Heii, Han-koko...!!

"Nona Kim Hong...!" Dua orang penunggang kuda yang tadinya sudah lewat itu, mendengar panggilan mereka dan menahan kuda yang sedang membalap. Kuda berhenti dengan mengangkat kedua kaki depan keatas sambil meringkik karena penunggangnya menahan kendali. Mereka membalik dan melihat Kui Lan dan Hui San.

"Lan-moi...! Saudara Hui San....!!" Cin Han berseru gembira melihat mereka berdua. Dia dan Kim Hong segera berlompatan turun dari atas kuda, menambatkan kuda di pohon dan mereka lalu disambut oleh Hui Lan dan Hui San dengan gembira sekali. Lalu keempatnya duduk di atas batu di tepi jalan itu.

"Eh, kenapa kalian berdua berada di sini? Dan mana Kui Bi? Apa saja yang terjadi di kota raja?" Cin Han bertanya.

Dihujani pertanyaan itu, Kui Lan tersenyum. "Wah, banyak sekali yang terjadi di sana, koko. Kini Bi-moi baru saja tadi ikut pasukan Sia-ciangkun kembali ke kota raja dan kamipun hendak kembali ke sana. Kau tahu, Han-ko, Bi-moi telah berhasil membunuh An Lu Shan!"

"Ahhh ...!!" Kim Hong dan Cin Han berseru hampir berbareng karena mereka terkejut dan juga gembira mendengar berita itu.

"Bukan main adik kita itu! ia memang penuh keberanian. Ceritakan, bagaimana terjadinya, Lan-moi?" tanya Cin Han.

Kui Lan dan Hui San lalu menceritakan tentang semua yang terjadi, betapa Kui Bi berhasil menyusup sebagai dayang, kemudian ia malah dipergunakan oleh Pangeran An Kong dan Bouw Koksu untuk meracuni An Lu Shan. Kemudian mereka menceritakan betapa mereka semua dapat diselundupkan keluar dari kota raja dengan menyamar sebagai perajurit-perajurit dalam pasukan Sia Su Beng.

"Ah, bagus sekali kalau begitu! Dan sekarang, di mana Bi-moi? Aku ingin memberi selamat atas keberhasilannya!" kata Cin Han gembira dan bangga bahwa adiknya berhasil membunuh An Lu Shan, hal ini merupakan suatu jasa yang amat besar.

"Setelah pasukan yang dipimpin Sia Su Beng sampai di sini dan kami di anjurkan pergi ke barat, Bi-moi tidak mau ikut dengan kami dan memaksa ikut Sia Su Beng kembali ke kotaraja. Kau tahu, koko, adik kita itu tidak dapat berpisah dari Sia Su Beng, mereka saling mencinta.”

Cin Han mengangguk-angguk. Dia tidak merasa heran. Sia Su Beng adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah juga seorang pendekar dan seorang pejuang yang setia kepada Kerajaan Tang. Sudah sepatutnya kalau pemuda seperti itu mendapatkan kasih sayang Kui Bi.

"Dan kalian hendak melakukan jalan ke barat?'" tanyanya sambil memandang kepada Hui San.

Kui Lan memandang kepada Hui San dan pemuda ini yang menjawab sambil tersenyum. "Tadinya memang kami akan menyusul ke barat, akan tetapi kami berdua mengambil keputusan untuk kembali saja ke kota raja setelah keadaan aman. Pertama, adik Kui Lan tidak tega meninggalkan adiknya di kota raja yang masih berbahaya, dan ke dua, kami juga tidak mungkin dapat meninggalkan Mestika Burung Hong Kemala yang kami sembunyikan itu. Kami harus mengambilnya dulu dan mengeluarkannya dari kota raja."

"Kalau begitu, bagus sekali. Kami juga hendak ke kota raja. Kita haus membantu Sia-ciangkun dan juga adik Kui Bi," kata Cin Han.

"Koko, bagaimana sih engkau dan enci Kim Hong dapat cepat kembali ke sini? Bagaimana keadaan di barat sana?" tanya Kui Lan dan kini giliran Cin Han dan Kim Hong yang menceritakan pengalaman mereka.

"Di sana juga telah terjadi banyak hal, dan yang terpenting adalah bahwa sekarang Sri baginda Hsuan Tsung telah menyerahkan mahkota kepada Pangeran Mahkota, sehingga yang menjadi kaisar adalah Kaisar Su Tsung. Kami telah menghadap kaisar dan bertemu dengan Panglima Kok Cu It. Kami melaporkan semua yang telah terjadi di kota raja. Biarpun Panglima Kok Cu It juga sudah banyak mendengar laporan dari para mata-mata yang dikirim ke sana, namun laporan kami banyak gunanya, terutama tentang usaha Bi-moi menyusup ke istana untuk membunuh An Lu Shan. Kaisar dan panglima Kok menghargai sekali bantuan kita."

"Bagaimana dngan kekuatan pasukan kerajaan Tang di barat?" tanya Hu San.

"Baik sekali, Panglima Kok Cu It dan Kaisar telah berhasil menghimpun kekuatan disana. Dengan memperlihatkan Mestika Burung Hong Kemala, yang kita ketahui adalah palsu akan tetap tidak diketahui oleh para kepala suku di barat, mereka berhasil mendapatkan bantuan rakyat berbagai suku. Baik pribumi Han sendiri, maupun suku-suku lain, dibantu pula oleh bangsa Turki bahkan ada pasukan yang dikirim oleh kepala bangsa itu, yaitu Caliph yang mengirimkan sepasukan bangsa Arab untuk membantu gerakan pasukan Kerajaan Tang yang hendak merebut kembali tahta kerajaan yang telah dirampas An Lu Shan."

"Ah, bagus sekali kalau begitu, kapan mereka bergerak?" tanya Hui San.

"Mereka sudah siap bergerak, karena itu kami diperintahkan untuk mendahului dan mempersiapkan bantuan bersama Sia-ciangkun.”

"Enci Hong, bagaimana dengan usahamu mencari ayah kandungmu? Apakah berhasil?" tanya Kui Lan.

Kim Hong tersenyum manis dan mengerling kepada Cin Han. "Berkat bantuan kakakmu, aku berhasil bertemu dengan ayah kandungku yang aseli. Ayahku memang bernama Can Bu dan sampai kini ia masih seorang perwira kepercayaan Panglima Kok Cu It."

"Wah, ayahnya seorang perwira yang gagah perkasa, sama sekali tidak seperti Ciang Kui yang mengaku-aku ayahnya itu!" kata Cin Han tertawa. "Ayahnya seorang perwira yang lihai, juga setia kepada kerajaan. Aku ikut merasa bangga dan kagum bertemu dan berkenalan dengan ayahnya."

"Maksumu dengan calon ayah mertuamu, koko?" Kui Lan menggoda.

"Ihhh, Kui Lan!" Kim Ho mendengus dan mukanya berubah kemerahan.

Cin Han hanya tersenyum dan mengeling ke arah Hui San. Biarpun dia belum jelas, namun dia dapat menduga bahwa adiknya inipun agaknya akrab dengan pendekar muda Gobi-pai ini. Namun, dia tahu bahwa watak Kui Lan halus dan pendiam, tidak seperti Kui Bi, maka tidak baik menggoda adiknya yang satu ini.

"Sudahlah, sekarang kita berempat ke kota raja, akan tetapi harus diatur bagaimana baiknya karena setelah terjadi peristiwa pembunuhan An Lu Shan, tentu geger di sana dan kota raja tentu dijaga ketat," kata Cin Han.

"Memang sebaiknya kita berhati-hati," kata Hui San. "Kita bersembunyi di luar kota raja saja dan mencoba untuk menghubungi Sia-ciangkun. Hanya dia yang akan dapat mengatur apa yang harus kita lakukan untuk me mbantunya kota raja."

"Benar, tanpa petunjuk Sia-ciangkun, sukar bagi kita untuk memasuki kotaraja," kata Kui Lan.

Demikianlah, empat orang muda itu lalu menunggang kuda mereka, menuju kota raja. Akan tetapi mereka tidak langsung memasuki kota raja yang terjaga ketat seperti yang mereka sangka, melainkan berhenti di dusun yang berada sekitar duapuluh li dari kota raja.

* * *

Laki-laki petani berusia Limapuluhan tahun itu tidak diganggu oleh para penjaga di pintu gerbang ketika dia memasuki pintu gerbang sambil memikul dagangannya, yaitu sepikul buah apel yang besar-besar dan menyiarkan bau harum.

Para penjaga itu hanya memungut berapa butir buah apel sambil tertawa-tawa. Petani itu tidak perduli. Dia sudah biasa membawa barang dagangan buah-buahan atau sayuran ke dalam kota dan sudah biasa pula kalau ada anggauta penjaga yang mengambil beberapa butir buah atau beberapa ikat sayuran. Akan tetapi dia tidak diganggu dan pada pagi hari ini, hal itu amatlah di harapkan.

Tidak seperti biasanya, sekali ini diam-diam jantungnya berdebar keras karena tegangnya. Pagi ini si petani tidak seperti biasanya menjual buah-buahan, melainkan membawa tugas yang amat penting, tugas rahasia yang kalau sampai ketahuan penjaga di pintu gerbang kota raja, pasti akan mengakibatkan dia dihukum siksa sampai mati!

Dia adalah seorang petani dusun di luar kota raja yang biasa berjualan sayur dan buah ke kota, akan tetapi biarpun dia hanya seorang petani biasa, namun dalam hatinya dia setia kepada Kerajaan Tang. Hal ini diketahui oleh Cin Han, Hui San, Kui Lan dan Kim Hong setelah empat orang muda ini tinggal agak lama beberapa hari di dusun itu.

Setelah yakin bahwa A-cauw, petani itu, dapat dipercaya dan setia kepada Kerajaan Tang, Cin Han lalu menitipkan sepucuk surat kepada A-cauw dengan pesan agar surat itu dapat disampaikan kepada Panglima Sia Su Beng. Dia harus mengunjungi benteng dan minta bertemu dengan panglima itu, dengan alasan bahwa diaa mempunyai laporan penting yang harus disampaikan kepada panglima itu sendiri, mengenai keamanan kota raja, dan setelah berhadapan, menyerahkan surat titipan Cin Han itu.

Biarpun beberapa kali ada orang hendak membeli buah¬buahan yang berada dalam keranjang pikulannya, A-cauw tidak menjualnya. Dengan pikulan keranjang penuh buah, tidak akan ada yang mencurigainya walaupun dia berjalan sampai ke depan benteng yang dimaksudkan. Dia sengaja menghampiri penjaga gardu depan pintu benteng dan menurunkan pikulannya.

"Heii, penjual buah! Jangan menawarkan buah-buahanmu di sini, dan jangan berhenti di sini. Di larang!"' kata seorang penjaga kepadanya.

A-cauw mengipasi tubuhnya yang berkeringat dengan capingnya yang lebar dan diapun berkata dengan sikap takut¬takut akan tetapi hormat, "Saya mohon menghadap Panglima Sia Su Beng. Harap suka memperkenankan saya menghadap beliau."

Para penjaga memandangnya dengan alis berkerut. "Hemm, engkau ini petani penjual buah, mau minta bertemu dengan Panglima Sia? Apakah hendak menghadiahkan dua keranjang buah itu? Jangan macam-macam engkau, atau kau akan di tangkap!"

"Saya tidak berniat jahat, saya mohon menghadap karena saya ingin melaporkan sesuatu yang teramat penting dan yang boleh didengar hanya oleh beliau sendiri."

"Hemm, jangan mengigau kau! Seorang petani seperti engkau ini bagaimana dapat menghadap Panglima? Kalau ada urusan, laporkan saja kepada kami dan kami yang akan meneruskan kepada beliau. Jangan kurang ajar kau!"

Dibantah seperti itu, A-cauw tidak menjadi gugup karena sebelumnya dia sudah diperingatkan Cin Han kalau kalau dibentak seperti itu. "Harap saudara sekalian ketahui bahwa dahulu, Panglima Sia Su Beng adalah langganan saya, sering membeli sayur dan buah-buahan dari saya. Saya mengenal baik beliau dan apa yang akan saya sampaikan ini mengenai urusan keamanan di kota raja. Kalau kalian tidak mau menghadapkan saya kepada beliau dan kelak beliau mengetahui, tentu kalian akan mendapat kesalahan besar sekali."

Digertak malah berbalik menggertak! Tentu saja kalau tidak mendapat pelajaran dari Cin Han, seorang petani seperti A-cauw mana berani menggertak para perajurit penjaga? Mendengar ucapan itu, para perajurit saling pandang dan merasa gentar juga.

Mereka semua tahu betapa kerasnya Panglima Sia Su Beng terhadap ketertiban, dan panglima itu memang selalu menghargai rakyat jelata, tidak pernah congkak seperti para panglima lainnya. Oleh karena itu, dengan kasar mereka minta A-cauw menanti sebentar.

Setelah ada yang melapor, A-cauw diperkenankan masuk. Petani itu dengan berterima kasih berkata, "Terima kasih atas kebaikan kalian dan untuk membalas kebaikan itu, silakan kalau ada yang mau mencicipi buah apel saya. Dihabiskan boleh!"

Dia meninggalkan keranjangnya dan tanpa diminta untuk ke dua kalinya, para penjaga yang sedang keisengan itu lalu menyerbu dua keranjang apel. Kawan-kawan mereka yang berada di dalam ikut-ikutan keluar dan sebentar saja isi dua keranjang sudah habis!

Panglima Sia Su Beng merasa heran bukan main menerima laporan bahwa ada seorang petani penjual apel bernama A-cauw yang mohon menghadap. Akan tetapi karena dia memang mempunyai hubungan dengan para pejuang, para pendukung kerajaan Tang dan menduga bahwa yang datang tentulah seorang kurir dari para pejuang yang berada di luar kota raja, maka dia bersikap biasa saja.

"Suruh dia masuk ke sini."

Ketika A-cauw memasuki ruang tertutup itu, A-cauw berkata lirih sekali, setelah melihat di situ tidak ada orang lain kecuali Panglima Sia Su Beng yang dikenalnya dari penggambaran Cin Han kepadanya. "Saya datang disuruh Yang-kongcu."

Sia Su Beng terkejut, melihat ke sekeliling, lalu memberi isyarat kepada A-cauw untuk memasuki sebuah kamar samping di mana mereka dapat bicara dengan lebih bebas dan tidak khawatir di ketahui orang lain.

A-cauw menyerahkan surat dari Cin Han yang disimpan dengan hati-hati di balik bajunya, Sia Su Beng membaca surat yang tidak ditandatangi itu. Hanya ditulis bahwa Han, Lan, San, dan Hong ingin dijemput. Hanya itu. Andai kata surat itu terjatuh ke tangan orang lainpun, tentu tidak akan tahu maksudnya karena tanpa tanda tangan juga tidak ditujukan kepada siapapun.

"Di mana mereka?" tanya Sia Su Beng.

"Di dusun sebelah timur kota ciangkun. Duapuluh li dari sini."

"Baik, katakan aku akan segera datang." Ketika A-cauw hendak keluar, Sia Su Beng menahannya. "Kalau ada yang tanya, katakan saja bahwa engkau melapor adanya gerombolan mencurigakan di sebelah selatan kota."

A-cauw mengangguk, kemudian ke luar. Dia disambut seorang petugas jaga di luar dan penjaga ini mengantarkannya kembali ke pintu gerbang benteng.

"Heii, A-cauw, buah-buahan dalam keranjang itu telah habis kami makan!" kata kepala jaga.

"Tidak apa, ciangkun. Memang itu untuk kalian. Terima kasih, saya hendak pulang."

"A-cauw, apa sih yang kau laporkan kepada komandan kami? Nampaknya rahasia benar!"

"Ahh, sebetulnya bukan rahasia, hanya aku takut kepada gerombolan itu. Aku melihat gerakan mencurigakan dari segerombolan orang di selatan kota raja. Karena aku tahu bahwa langgananku Sia-ciangkun adalah seorang panglima, maka aku melaporkan hal Itu kepadanya. Aku takut kalau gerombolan tahu aku melaporkan, aku akan dibunuh. Sudah, aku ingin cepat pulang. Aku sudah mendapat hadiah dari Sia-ciangkun ," katanya dan diapun memikul keranjang kosongnya meninggal kan tempat itu.

Tak lama kemudian, para penjaga pintu gerbang benteng melihat Sia-ciangkun memimpin kurang lebih limapuluh orang perajuritnya berserabutan naik kuda keluar dari benteng. Tanpa diberi tahu sekalipun, para penjaga itu dapat menduga bahwa ini tentu ada hubungannya dengan laporan A-cauw tadi dan agaknya sang panglima hendak memimpin sendiri pasukannya untuk menumpas gerombolan.

Di pintu gerbang kota rajapun, para penjaga memberi hormat kepada Sia Su Beng yang bersama pasukannya keluar dari pintu gerbang. Kurang lebih limapuluh orang perajurit itu berkuda secara tidak teratur, bukan merupakan barisan rapi. Agaknya mereka tergesa-gesa dan tidak membentuk barisan sehingga sukarlah andaikata ada yang hendak menghitung berapa jumlah regu perajurit itu.

Sia Su Beng sengaja keluar dari pintu gerbang selatan, akan tetapi setelah regunya meninggalkan pintu gerbang sejauh beberapa li, dia membelokkan pasukannya ke kanan, ke arah timur kota raja! Setelah tiba di luar dusun, empat orang muda itu sudah menghadang di tempat sepi.

Sia Su Beng bersama seorang perajurit yang bertubuh kecil ramping melompat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka. Kui Bi yang berpakaian perajurit itu langsung merangkul kedua orang kakaknya bergantian saking girangnya dapat bertemu kembali.

"Bi-moi, kau hebat!" kata Cin Han gembira. Kemudian kepada Sia Su Beng dia berkata, "Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu terhadap kedua adikku, terutama kepada Bi-moi."

Pasukan itu adalah orang-orang kepercayaan Sia Su Beng, dan mereka semua adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan Tang. Mereka semua mengetahui tentang rahasia Sia Su Beng, tahu siapa empat orang muda itu, maka mereka sengaja menjauhkan diri, membiarka pimpinan mereka bicara dengan para muda yang dijemput itu.

Sia Su Beng mengeluarkan empat perangkat pakaian perajurit untuk dipakai oleh Cin Han, Kui Lan, Hui San dan Kim Hong. Satu-satunya cara menyelundupkan mereka ke kota raja hanyalah dengan menyamar sebagai perajurit dan membaur dengan pasukannya. Dan satu-satunya tempat aman bagi mereka untuk tinggal di kota raja adalah di dalam benteng pasukannya pula. Ji-wangwe sudah menutup rumahnya karena dia selalu diawasi oleh anak buah Bouw Koksu yang mencurigainya namun tidak menangkapnya karena tidak terdapat bukti.

"Sebaiknya kita cepat kembali ke kota raja, di sana kita dapat bicara lebih leluasa. Di sini tidak enak kalau sampai terlihat orang lain," kata Sia-ciangkun.

Mereka berempat segera mengenakan pakaian perajurit di luar pakaian yang menutupi tubuh mereka, kemudian sebagai anggauta pasukan mereka pun menunggang kuda mereka, sengaja mereka membaur di tengah dan pasukan itu kembali ke kota raja melalui pintu gerbang selatan dengan mengambil jalan memutar.

Jauh lewat tengah hari mereka tiba kota raja dan Sia Su Beng sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyebar berita bahwa mereka tidak berhasil menangkap gerombolan pengacau karena mereka telah melarikan diri. Mereka memasuki benteng dan tak lama kemudian Sia Su Beng sudah mengadakan pembicaraan dengan Cin Han, Hui San, Kim Hong, Kui Lan dan Kui Bi di dalam ruangan tertutup yang merupakan ruangan rahasia di mana mereka boleh sebebasnya tanpa khawatir diketahui orang lain karena tempat itu dijaga oleh para perajurit yang setia.

Empat orang muda itu menceritakan pengalaman mereka masing-masing yang didengarkan penuh perhatian oleh Sia Su Beng dan Kui Bi. Ketika mendegar penjelasan Cin Han bahwa Kaisar Beng Ong telah menyerahkan mahkota kepada pangeran mahkota yang kin i menjadi Ka isar Su Tsu ng, Sia Su Beng berkata,

"Hemm, kenapa Sri baginda begitu tergesa-gesa menyerahkan mahkota kepada Pangeran? Kenapa tidak menanti sampai beliau kembali ke sini?"

"Menurut keterangan Panglima Ko Cu It, Sri baginda Beng Ong merasa amat terpukul dan selalu berduka, merasa sudah tua dan kehilangan semangat untuk memimpin pasukan merampas kembali tahta kerajaan. Beliau sudah berusia tujuhpuluh tahun lebih, karena itu beliau menyerahkan tahta kerajaan kepada Pangeran dan hal ini didukung pula oleh Panglima Kok Cu It," kata Cin Han.

"Perubahan apakah yang telah terjadi di sini setelah An Lu Shan tewas?" tanya Cin Han sambil memandang kepada Kui Bi dengan kagum dan bangga seolah pertanyaan itu diajukan kepada adiknya. Akan tetapi Kui Bi memandang kepada Sia Su Beng, menyerahkan jawabannya kepada panglima itu.

"Banyak sekali perubahannya. Kini para panglima sudah sepakat untuk menolak kalau Pangeran An Kong hendak mengangkat dirinya menjadi kaisar menggantikan ayahnya yang tewas. Semua panglima menyetujui pendapatku bahwa seorang pangeran yang telah membunuh ayahnya sendiri tidak pantas menjadi kaisar. Tentu saja hal ini hanya kujadikan alasan agar dia tidak naik tahta, agar di sini kehilangan pimpinan dan aku yang berkuasa di sini, mempersiapkan kembalinya Kerajaan Tang."

"Bagus sekali kalau begitu! Panglima Kok Cu It juga sudah memperhitungkan siasat ini dan mengharapkan bantuanmu, Sia-ciangkun," kata Cin Han.

"Akan tetapi, agaknya Pangeran An Kong hendak nekat. Dengan mendapat dukungan Bouw Koksu, dia sudah menentukan harinya, yaitu tiga hari lagi setelah seratus hari wafatnya ayahnya, dia hendak mengangkat diri menjadi ka isar atas nasihat dari Koksu."

"Apakah pengangkatan macam itu dapat dianggap sah?" tanya Cin Han.

"Kalau Bouw Koksu masih dianggap sebagai Penasihat atau Guru Negara secara sah, tentu saja pengangkatan dapat disahkan, akan tetapi kami para panglima sudah siap untuk menolak. Bahkan para panglima sudah menyerahkan padaku untuk menjadi pemimpin dan wakil pembicara mereka."

'Kenapa tidak pergi membunuh saja Bouw Koksu? Aku sanggup melaksanakan tugas itu. Dia amat jahat, apa lagi mengingat apa yang dia lakukan terhadap pamanku Souw Lok dan terhadap nona Kim Hong."

"Benar apa yang dikatakan Souw twako itu," kata Kim Hong. "Aku sanggup melaksanakan tugas membunuh Bouw Ki kalau hal itu ada manfaatnya bagi perjuangan."

"Usaha itu memang baik, akan tetapi tidak boleh sembrono. Bouw Koksu adalah seorang yang cerdik dan tentu dia tahu bahwa dirinya mempunyai banyak musuh, maka tentu dia sudah memelihara pengawal-pengawal tangguh, disamping dia sendiri juga lihai. Kalau memang akan diambil tindakan itu, biarlah kita beramai yang pergi, akan tetapi juga menanti saat yang baik. Setidaknya kita harus mencari kesempatan. Tidak boleh tergesa-gesa."

"Benar apa yang dikatakan oleh Yang-kongcu itu," kata Sia Su Beng sambil mengangguk-angguk.

"Juga tidak boleh dilakukan sebelum ada pengumuman pengangkatan diri An Kong sebagai kaisar, karena kalau didahului, tentu keadaan akan berubah dan siapa tahu para panglima berbalik dan berpihak Kepada An Kong untuk mencari kedudukan tinggi."

"Sebaiknya kita berempat menyamar, aku, enci Hong, Han¬koko dan Souw twako mengintai keadaan di rumah Bouw Koksu mencari kesempatan sambil menanti sampai selesai dan lewatnya urusan dalam istana," kata Kui Lan.

"Bagaimana dengan Kui Bi?" tanya Kim Hong. "Bukankah dengan berlima, kita menjadi lebih kuat?"'

Pertanyaan Kim Hong ini hanya untuk menghilangkan perasaan tidak enak seolah Kui Bi seorang yang ditinggalkan, tidak diajak.

"Tidak, Bi-moi sudah terlalu lama di sini, oleh orang luar, kecuali oleh anggauta pasukan yang setia kepadaku, ia sudah dianggap sebagai seorang perajurit pengawalku. Kalau ia muncul di luar akan menimbulkan kecurigaan, apa lagi kalau tidak kelihatan bersamaku."

"Benar, sebaiknya kalau adikku ini tinggal di sini saja, membantu Sia-ciangkun. Pula, jasanya sudah terlalu besar karena keberaniannya menyusup ke istana dan membunuh An Lu Shan."

"Aih, Han-ko jangan terlalu memuji dan mengulang-ulang hal itu. Aku sendiri masih merasa malu membunuhnya tidak dengan tangan dan pedang, melainkan dengan racun dan sebagai kaki tangan Bouw Koksu," kata Kui Bi.

"Selain itu, Yang-kongcu, dalam kesempatan ini, disaksikan pula oleh rekan seperjuangan, Bi-moi dan aku hendak membuat pengakuan yaitu bahwa kami berdua telah bersepakat untuk menjadi suami isteri dan dengan resmi, aku mohon persetujuan Yang-kongcu dan juga Nona Yang Kui Lan sebagai saudara-saudara tuanya."

Sikap Sia Su Beng sungguh gagah dan jujur ketika mengucapkan kata-kata itu. Bahkan Kui Bi sendiri yang biasanya bersikap terbuka dan keras, merasa tersipu dan kedua pip inya ke merahan mendengar lamaran yang dilakukan secara terbuka itu. Hui San yang juga memiliki watak ugal-ugalan dan terbuka, tertawa gembira dan dia segera berkata,

"Bagus, bagus! Dan sebelumnya aku mengucapkan kiong-hi (selamat) kepada calon sepasang mempelai yang berbahagia!"

Ucapan ini membuat Kui Bi menjadi semakin tersipu. "Aih, Souw-twako. Pihak yang dilamar saja belum memberi jawaban, engkau sudah tergesa-gesa memberi selamat!" Kui Lan mencela sambil tersenyum melihat ulah pria yang diam-diam semakin menarik hatinya itu.

"Jawaban apa lagi yang dapat kami berikan kecuali menerima pinangan itu dengan hati dan tangan terbuka!" kata Cin Han tersenyum.

"Aku dan adik Kui Lan sudah tahu akan hubungan antara Bi-moi dan Sia-ciangkun, dan Kami tentu saja merasa bersukur dan setuju sepenuhnya. Kami berdua mewakili mendiang orang tua kami menerima pinangan Sia-ciangkun dan biarlah ciangkun yang menentukan hari dilangsungkannya pernikahan antara kalian."

"Ah, aku tidak akan mau melangsungkan pernikahan sebelum Han-Koko dan Lan-cici menikah lebih dulu atau setidaknya berbareng dengan aku, tentu saja kalau Lan-cici sudah mempunyai calon. Kalau Han-koko, aku tahu telah mempunyai calon, yaitu enci Kim Hong.”

Mendengar ini, semua orang tersenyum dan Hui San segera berkata dengan lantang, "Kalau aku tidak dianggap terlalu lancang dan terlalu rendah, aku mengajukan diri sebagai calon, untuk mendampingi adik Kui Lan dalam menempuh kehidupan ini. Aku cinta padanya dan kalau ia sudi menerima, aku siap untuk meminangnya."

Kembali semua orang, kecuali Kui Lan, tersenyum mendengar pengakuan yang jujur ini. Mereka merasa berada antara dunia orang-orang gagah yang tidak membutuhkan lagi kepura-puraan.

"Bagaimana, Lan-moi? Jawablah, agar kita semua merasa lega dan yakin. Kalau benar engkau dapat menerima cinta kasih saudara Souw Hui San, biarlah kita semua, ke tiga pasangan melangsungkan pernikahan di sini setelah semua urusan kenegaraan ini beres dengan berhasil baik."

Kui Lan adalah seorang wanita yang halus perasaannya, tidak seperti Kui Bi dan Kim Hong yang menghadapi pembicaraan terang-terangan tentang perjodohan mereka itu dengan tenang saja, bahkan dapat tersenyum gembira dan geli. Kui Lan tersipu dan tanpa berani mengangkat mukanya ia menjawab kakaknya.

"Ah, urusan itu bagaimana nanti sajalah kalau sudah tiba saatnya. Bukankah kita semua mempunyai tugas lain yang teramat penting dan belum di laksanakan?"

Mereka semua segera mengatur siasat dan membuat persiapan untuk menyamar dan melakukan penyelidikan dilingkungan rumah Bouw Koksu. Adapun Sia Su Beng juga membuat persiapan dengan semua panglima yang mendukungnya, mengatur siasat apa yang akan mereka lakukan nanti kalau Pangeran An Kong dan Bouw Koksu henclak melaksanakan pengangkatan pangeran itu menjadi kaisar baru.

Istana berada dalam suasana meriah akan tetapi juga menegangkan. Semua orang mengetahui belaka bahwa akan terjadi hal-hal yang menegangkan, karena hari itu akan ada pengumuman dari Bouw Koksu tentang pengangkatan Pangeran An Kong menjadi kaisar, menggantikan An Lu Shan yang tewas keracunan. Setelah lewat seratus hari kematian kaisar, barulah Bouw Koksu berani mengunclang semua menteri dan panglima untuk berkumpul diruang balairung, tempat yang biasa dipergunakan kaisar untuk persidangan.

Sejak pagi, berdatanganlah para pembesar tinggi, para menteri dan panglima, dengan pakaian lengkap sehingga nampak suasana yang megah karena pakaian lengkap para pembesar itu berkilauan dan gemerlapan. Bouw-ciangkun secara sengaja dan angkuh, datang bersama para perwiranya, semua nampak gagah dan berwibawa, seolah dia merasa bahwa di antara semua panglima, dialah yang paling berkuasa.

Hal ini juga tidak mengherankan karena dia merasa bahwa ayahnya adalah Guru Negara dan bahwa ayahnya dan dia merupakan orang-orang paling dekat dengan Pangeran An Kong, calon kaisar! Kedudukan tertinggi di dalam pemerintahan jelas akan terjatuh ke tangan ayahnya, dan pangkat panglima tertinggi sudah pasti akan jatuh ke padanya!

Sia Su Beng dan para panglima yang menjadi sekutunya nampak tenang-tenang saja dan merekapun tidak bergerombol, melainkan berdiri di tempat masing-masing seperti biasa sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa mereka telah bersekutu.

Akan tetapi diam-diam Sia Su Beng telah memerintahkan pasukannya untuk mengadakan pengepungan baik di istana maupun di markas pasukan Bouw-ciangkun dan pasukan yang jadi kaki tangan Pangeran An Kong dan Bouw Koksu. Semua telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya dan karena jumlah pasukan Sia Su Beng digabung dengan para panglima lain merupakan lebih tiga perempat jumlah seluruh pasukan, maka dengan sendirinya kekuatan pasukan mereka yang menentang pengangkatan pangeran menjadi kaisar ini amat besar kuat.

Agaknya Bouw Koksu juga sudah membuat persiapan, tidak menduga sama sekali bahwa para panglima sudah bersekutu dan mempersiapkan pasukan, menghimpun semua anak buahnya untuk siap siaga di istana, karena dia memperhitungkan bahwa kalau ada menteri dan panglima yang menentang pengangkatan pangeran menjadi kaisar, dia akan memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penangkapan seketika itu juga. Dia mengerahkan semua tenaga sehingga rumahnya menjadi kosong, tidak ada perajurit menjaga rumah itu karena memang di anggap tidak perlu dijaga.

Keadaan ini justeru membuat empat orang muda yang setiap hari sudah melakukan pengintaian itu menjadi girang bukan main. Dengan amat mudah Kui Lan yang mengenal seluruh keadaan rumah bekas tempat tinggalnya sejak ia masih kecil menjadi penunjuk jalan dan mereka berempat akhirnya berhasil memasuki taman di belakang gedung itu.

Tidak nampak seorangpun penjaga sehingga dengan mudahnya mereka melaksanakan pekerjaan mereka. Souw Hui San dan Yang Kui Lan berdua yang melakukan penggalian di bawah pohon itu, sedangkan Yang Cin Han dan Can Kim Hong melakukan penjagaan kalau-kalau ada orang lain yang melihat perbuatan mereka.

Karena dia sendiri yang menyimpan kotak kecil berisi Mestika Burung Hong Kemala itu, dengan mudah dan sebentar saja Hui San telah dapat menggali dan menemukan kembali pusaka itu. Dia memang sudah mempersiapkan sebelumnya, maka kotak itu lalu di bungkus kain kuning dan diikatkan pada tubuhnya di sebelah dalam baju, sehingga tidak nampak dari luar, hanya agak menonjol di bagian perutnya.

Sementara itu, di istana suasana menjadi semakin tegang ketika Pangeran An Kong memasuki ruangan balairung di ikuti Bouw Koksu dan beberapa orang panglima pendukungnya. Pangeran itu mengenakan pakaian yang amat mewah gemerlapan, sedangkan Bouw Koksu berjalan dengan langkah tegap dan di depannya berjalan seorang pejabat tinggi tua kurus, yaitu pejabat yang tugasnya menyimpan pakaian kebesaran kaisar. Pembesar ini membawa sebuah peti yang mudah diduga isinya, yaitu pakaian kebesaran dan mahkota kaisar!

Semua orang memberi hormat selayaknya kepada Pangeran An Kong, dan dengan sikap angkuh sang pangeran mempersilakan semua orang berdiri, sedangkan dia sendiri duduk di atas kursi gading. Kemudian dia menoleh dan mengangguk kepada Bouw Koksu yang membuka gulungan surat pengumunan dari kain sutera kuning, lalu membacanya dengan suara lantang.

"Mengingat betapa akan lemahnya sebuah pemerintah tanpa kaisar, dan mengingat pula bahwa Sri baginda Kaisar An Lu Shan telah wafat seratus hari yang lalu, maka kami, Bou Hun, sebagai Koksu yang telah diberi wewenang oleh mendiang kaisar, menimbang bahwa tidak ada yang lebih tepat untuk diangkat menjadi Kaisar baru kecuali Pangeran An Kong. Oleh karena itu, hari ini di umumkan oleh kami, disetujui pula oleh Pangeran Mahkota An Kong dan para panglima, bahwa Pangeran An Kong dinobatkan menjadi Kaisar yang baru, menggantikan mendiang Kaisar yang wafat, dengan julukan Kaisar Su Tsung. Tertanda kami, Bouw Hun, Koksu dan para panglima yang namanya tersebut di bawah ini!" Koksu lalu membacakan nama semua panglima yang hadir.

"Tidak benar dan kami tidak setuju!" terdengar suara lantang yang mengejutkan Pangeran An Kong, Bouw Koksu dan kaki tangan mereka.

Semua orang menengok dan memandang kepada Panglima Sia Su Beng yang berdiri dengan tegap dan gagah, matanya mencorong memandang kepada Bouw Koksu.

”Sia-ciangkun, engkau berani membantah keputusan yang telah di setuju Pangeran Mahkota dan para panglima?"

"Kami berani membantah karena beberapa hal bertentangan dengan kenyataan. Keterangan Bouw Koksu banyak yang palsu."

"Apa? Berani engkau menuduhku sekeji itu? Katakan, mana yang palsu dan mana yang bertentangan dengan kenyataan? Katakan!" Bouw Koksu membentak.

"Dalam pengumuman tadi, Bouw Koksu mengatakan bahwa para panglima yang namanya disebutkan semua telah menyetujui pengangkatan kaisar itu. Pernyataan ini adalah bohong karena sebagian besar panglima, termasuk saya sendiri tidak menyetujui. Para rekan panglima yang tidak setuju, harap berani mengangkat tangan!"

Ucapan Sia Su Beng ini disambut para panglima yang mengangkat tangan kanan mereka. Wajah Bouw Koksu dan wajah Pangeran An Kong berubah agak pucat, lalu wajah Bouw Koksu menjadi merah karena marah. Matanya melotot memandang kepada Sia Su Beng.

"Sia-ciangkun! Apa artinya ini? Engkau menggerakkan para panglima untuk menentang pengangkatan Pangeran Mahkota menjadi kaisar? Apakah ini berarti bahwa engkau hendak memberontak?”

"Sia-ciangkun, benarkah engkau hendak memberontak terhadap kami!" Pangeran An Kong juga berseru untuk menaikkan wibawanya.

Sia Su Beng tersenyum. "Maafkan hamba, Pangeran. Dan dengarlah engkau Bouw Koksu. Kami sama sekali tidak hendak memberontak, juga tidak hendak menentang Pangeran dinobatkan menjadi kaisar. Kami hanya ingin menunda pengangkatan atau penobatan itu, karena ada suatu hal yang membuat kami merasa penasaran. Seperti kita semua mengetahu mendiang Sri baginda Kaisar tewas karena keracunan makanan. Jelas bahwa di dalam masakan beliau, ada orang menaruhkan racun. Dan kami telah mendapat keterangan bahwa dalam hal kejahatan meracuni Sri baginda. Kaisar itu, ada dua orang dalam terdekat Sri baginda Kaisar yang terlibat!" Berkata demikian, Sia-ciangkun menatap wajah Pangeran dan Bouw Koksu yang nampak kaget dan mereka saling pandang.

Jelas bahwa Pangeran menjadi pucat sekali wajahnya, dan Bouw Koksu nampak tertegun dan memandang seperti orang tidak percaya Bouw-ciangkun juga berdiri gelisah, jelas nampak dari gerakan kedua kakinya yang tidak mau diam, seolah-olah dia sudah siap untuk lari.

"Sia-ciangkun, apa yang kau katakan ini? Kami juga sudah melakukan penyelidikan dan kami tahu siapa orangnya yang melakukan perbuatan jahat meracuni Sribaginda itu!"

Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata menantang, seolah dua ekor ayam jago yang hendak berlaga.

Sia Su Beng tersenyum. "Begitukah, Bouw Koksu? Kalau benar engkau sudah mengetahui siapa orangnya yang melakukan perbuatan jahat meracuni Sri baginda, kenapa tidak kau katakan itu. Nah, katakan siapa orangnya? Asal engkau jangan menuduh aku atau para panglima ini saja!"

Terdengar suara tawa mengejek di sana sini.

"Pelakunya adalah seorang dayang baru yang menaruh racun di dalam masakan kaki biruang, kemudian ia pula yang menghidangkan masakan itu kepada Sri baginda. Kalau kalian mau tahu siapa dayang itu, ia adalah Yang Kui Bi, puteri kedua dari Mendiang Menteri Yang Kok Tiong, kakak mendiang selir Yang Kui Hui si iblis betina...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.