Roro Centil - Misteri Sepasang Pedang Siluman
Karya : Mario GembalaMemanglah sebenarnya kuil itu amat besar dan luas, hingga menyerupai sebuah istana saja layaknya. Di sekeliling kuil itu dikelilingi oleh pagar tembok tebal, yang tampak luas. Bagian depannya terdapat pintu gapura dengan daun pintu dari terali besi. Sedangkan bangunan itu sendiri keseluruhannya bercat hijau. Kecuali atap gentingnya.
Cuaca yang remang-remang itupun berangsur-angsur terang. Sementara kabut sedikit demi sedikit mulai lenyap. Akan tetapi dalam hawa yang sebegitu dinginnya ternyata telah ada orang yang keluar rumah. Bahkan tanpa selimut menutupi tubuhnya. Dia sesosok tubuh yang berpinggang ramping, berambut panjang beriapan.
Dalam keremangan kabut yang semakin menipis, sudahlah dapat diterka kalau sosok tubuh itu adalah sosok tubuh seorang wanita. Angin yang bertiup sepoi di pagi remang itu telah membawa bau amisnya darah. Hingga menyebar sampai ke sebuah desa, yang terletak sejauh kurang lebih enam belas kali lemparan tombak dari kuil Istana Hijau.
Hal tersebutlah yang membuat wanita itu telah keluar dari rumah. Dan berlari cepat menuju arah angin bertiup. Tepat di saat keremangan mulai lenyap, sosok tubuh itu telah tiba di satu tempat berdataran tinggi. Di hadapannya adalah sebuah perbukitan yang memanjang. Dan tak jauh dari lereng perbukitan itulah terlihat berdiri dengan megahnya dari kejauhan bangunan kuil Istana Hijau. Siapakah gerangan Wanita itu? Dia ternyata tak lain dari si Pendekar Wanita Pantai Selatan, alias RORO CENTIL.
Baru saja ia menginap semalam di desa yang bernama Lubuk Batang itu, Kedatangannya adalah atas undangan seseorang dari kalangan Rimba Hijau, yang berjulukan si Bangau Putih. Roro sendiri heran, karena ia tidak mengenal akan nama itu. Namun mengingat dirinya sudah dikenal orang Persilatan, ia menduga si pengundang tentu membutuhkan bantuan.
Karena di samping si Pendekar Wanita ini seorang yang gemar berpetualang, juga undangan itu dianggap kesempatan baik untuk mengetahui ada hal apakah gerangan, maka ia telah diundang melalui surat rahasia, juga ia berkeinginan mengetahui siapa gerangan adanya si Bangau Putih itu. Sejak senja kemarin ia telah tiba di tempat tujuan.
Akan tetapi menunggu kedatangan si Bangau Putih di sebuah penginapan yang telah ditentukan, harus-nya menggunakan kesabaran. Kesempatan itu tidak di sia-siakan Roro Centil, untuk melihat-lihat keadaan desa yang ramai itu. Ternyata desa Lubuk Batang terletak di sisi sebuah sungai, di sisi bukit. Rumah-rumah penduduk berderet-deret memanjang di sisi sungai yang berair jernih itu.
Sampan dan jukung berseliweran di permukaan air. Ada yang sekedar bermain perahu. Ada juga yang memang mempunyai keperluan tertentu. Bahkan di antaranya ada yang menggunakan sampan untuk berdagang. Ternyata di samping rumah-rumah yang berdiri di daratan, ada juga rumah-rumah yang berdiri di atas air. Setelah puas melihat-lihat, Roro kembali ke penginapan.
Tempat yang digunakan untuk bermalam adalah sebuah rumah penginapan yang hanya satusatunya di tempat itu. Jendela kamarnya menghadap ke arah tepian sungai yang di belakangnya adalah barisan bukit yang memanjang. Pemandangan di tempat itu memang indah.
Hingga sampai malam ia mondar-mandir keluar kamar. Namun tak terlihat adanya orang yang mengundangnya. Diam-diam gadis pendekar ini tersenyum sendiri. Mengapa ia tak menanyakan saja pada si pemilik penginapan, barangkali saja ia mengenal si Bangau Putih.
Segera ia temui pemilik penginapan yang pada saat itu tengah duduk di belakang mejanya. Laki-laki tua ini tampak tengah asyik menikmati asap tembakaunya. Sambil duduk bertumpang kaki di kursi malas. Sementara sepasang matanya seperti mengantuk.
"Maaf paman....! Apakah paman mengenal seseorang yang menyebut dirinya si Bangau Putih...?" bertanya Roro.
Laki-laki ini membuka sepasang kelopak matanya. keningnya dikernyitkan. Segera kepalanya mendongak untuk menatap si penanya. "Apakah maksud nona si paderi Kuil Istana Hijau itu...?" Balik bertanya si pemilik penginapan.
Roro yang memang tak mengetahui, cepat-cepat saja menganggukkan kepala. Tapi diam-diam Roro terkejut, tapi juga bersyukur. Yang akhirnya mengetahui siapa adanya si Bangau Putih itu.
"Kalau dia yang nona tanyakan, sayang sekali orangnya sudah berangkat pergi. Memang sudah sejak tiga hari yang lalu, paderi itu menginap di sini. Tampaknya ia tengah menunggu seseorang. Apakah nona yang sedang ditunggunya?" Ujar laki-laki tua, seraya bertanya. Sementara kembali ia menghisap dalam-dalam pipanya. Dengan kelopak mata yang dikatupkan. Sikapnya seperti santai saja dalam berbicara.
Terpaksa Roro mengangguk. Walau sebenarnya ia tak ingin berterus terang, dan berkata: "Benar, paman Sejak kapan dia pergi? Dan dimanakah letaknya Kuil Istana Hijau itu?"
Tanya Roro. Si pemilik penginapan itu buka kembali kelopak matanya, dan hembuskan asap tembakaunya dengan mendesis. "Baru tadi pagi....! Sayang pertanyaan nona mengenai di mana adanya Kuil Istana Hijau itu aku tak mengetahui. Karena aku memang tak pernah ke mana-mana selain duduk di kursi kawan setia ku ini, ditemani pipa cangklong ku. Di rumah penginapan milikku ini memang banyak disinggahi para tetamu dari pelbagai kalangan Rimba Hijau. Aku dapat mengetahuinya tentu saja dari buku tamu !" Ujar laki-laki tua ini, seraya tepukkan tangannya memanggil seorang pegawainya yang duduk di belakang meja yang berada di sudut ruangan. Sang pegawai laki-laki itulah yang telah mencatat nama-nama setiap pendatang yang mau menginap, juga termasuk nama Roro Centil.
"Coba kulihat buku tamu itu sebentar...!" Berkata si pemilik penginapan, ketika si pegawainya telah bergegas datang. Laki-laki itu kembali beranjak pergi untuk segera mengambilnya. Dan tak lama kemudian telah menyerahkan buku catatan yang besar itu padanya.
Roro Centil cuma bisa berdiri diam berpeluk tangan. Si pemilik penginapan merogoh saku bajunya untuk mengeluarkan sebuah kaca mata. Setelah bersihkan kacamata bulatnya dengan ujung baju, segera ia mulai membuka lembaran buku tamu.
"Nah, kau lihat...! Di sini tertera nama si Bangau Sakti paderi Kuil Istana Hijau. Yang orangnya sudah berangkat pergi. Dan pada malam ini yang telah menginap adalah: Barong Segoro si Naga Hitam, Sito Resmi si Dewi Rembulan. Dan yang terakhir adalah nona sendiri .... Apakah nona bernama Sakuntala?" Ujar laki-laki tua itu seraya lakukan pertanyaan pada Roro.
Tentu saja Roro Centil mengangguk sambil tersenyum. Orang tua itu pun manggut-manggut seraya menutup lagi buku tamunya. Roro cepat-cepat menghaturkan terima kasih seraya berlalu untuk kembali ke kamarnya. Sementara diam-diam gadis ini tersenyum sendiri, karena ia memang sengaja memakai nama palsu yang ditulis di buku tamu penginapan itu.
Tapi telinga gadis ini telah menangkap suara bisikan si pegawai penerima tamu pada majikannya. Yang membisiki bahwa kedua tamunya si Naga Hitam dan Dewi Rembulan, juga telah berangkat pergi tadi siang. Roro Centil kerutkan alisnya, dan masuk kamar untuk segera menutupnya kembali dan sekaligus menguncinya.
Gadis ini jatuhkan tubuhnya di pembaringan. Sepasang matanya berkedap kedip, seperti tengah memikir serius. Akhirnya Roro mengambil keputusan untuk tidur. Dan esok pagi akan berangkat mencari di mana adanya Kuil Istana Hijau. Ia menduga si Bangau Sakti tentu telah kembali ke tempatnya. Karena menduga tamu undangannya tak datang.
Sayang aku terlambat datang kemari...! Ternyata sudah tiga hari si Bangau Putin menginap di tempat ini...! Menggumam Roro dalam hati. Tapi satu hal lagi membuat Roro harus merenung sebelum berangkat tidur. Yaitu memikirkan adanya dua orang tokoh Rimba Hijau yang juga telah menginap di sini.
Apakah si Naga Hitam dan Dewi Rembulan itu juga datang atas undangan si paderi Kuil Istana Hijau, si Bangau Putih itu? Pikir Roro Centil. Ia tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Dan karena merasa tak perlu memikirkan siapa orang-orang yang belum dikenalnya itu, juga telah berangkat pergi, Roro Centil segera pejamkan mata dan tarik selimutnya untuk tidur.
Tengah malam ketika si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu tengah pulas, sesosok tubuh berendap-endap mendekati pintu kamarnya. Dengan menggunakan kunci, bayangan sosok tubuh itu berhasil membuka pintu kamar Roro.
Akan tetapi mendengar suara menggeram seekor harimau, orang yang menggunakan topeng wajahnya itu kembali mundur. Dan cepat-cepat keluar lagi, seraya mengunci kembali pintu kamar itu. Serta bergegas menyelinap pergi. Dan menghilang di balik tembok rumah. Kiranya Roro Centil telah waspada. Ia telah menyuruh binatang siluman yang telah tunduk padanya itu yaitu si Macan Tutul untuk menjaganya di muka pintu kamar.
Kala menjelang pagi dinihari, Roro. Centil sudah terbangun. Setelah mencuci muka, ia kembali ke kamar untuk membuka jendela. Hidung si pendekar Wanita ini mencium bau amisnya darah yang terbawa angin. Di tengah hawa dingin yang menyeruak masuk ke dalam kamar. Udara masih remang-remang. Dan kabut terlihat menutupi pemandangan di seberang sungai.
Roro merasa perlu untuk menyelidiki dari mana sumber bau amis darah itu. Sebagai seorang pendekar gemblengan beberapa guru yang berilmu tinggi, Roro Centil semakin dewasa dalam berfikir. Nalurinya yang tajam mengatakan ada sesuatu telah terjadi. Segera, setelah membenahi buntalan pakaiannya yang disangkutkan rapi di belakang punggung. Ia sudah melompat dari jendela.
Namun tak lupa Roro Centil telah sediakan beberapa keping uang perak di atas meja, sebagai pembayaran sewa kamarnya. Melalui jalan kecil di sisi penginapan, Roro berindap-indap meninggalkan tempat penginapan itu. Selanjutnya ia telah pergunakan kelihaian ilmu meringankan tubuh untuk melompat ke atas genting. Dan seterusnya berlompatan dari satu wuwungan ke wuwungan lain. Sekejap antaranya Roro telah jauh tinggalkan penginapan itu.
Kini di hadapannya adalah hamparan hijau dari padang rumput, yang masih samar tertutup kabut Gadis pendekar ini pergunakan ilmu lari cepat untuk menyongsong arah angin. Bau amis darah itu semakin santar setelah lewat beberapa belas kali lemparan tombak dari rumah penginapan itu, kini terlihat sudah di hadapannya sebuah bangunan besar yang mirip istana.
Dengan membaca ukiran huruf pada pintu gapura bangunan itu, segera ia mengetahui kalau itulah bangunan Kuil Istana Hijau. Apa lagi kini terlihat nyata tiang-tiang dan Kuil serta keseluruhan bangunan itu yang berwarna hijau. Sementara saat itu kabut sudah menipis sekali.
"Hm, inilah kiranya Kuil Istana Hijau....! Bau amis darah agaknya berasal dari sini. Ada apakah gerangan yang telah terjadi...?" Desis suara Roro perlahan.
Sementara ia sudah melangkah masuk melalui pintu gapura. Dan tiba-tiba saja sepasang mata Roro telah melihat sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan, berserakan di sekitar halaman, dan tangga batu undakan kuil ini. Tercenung Roro seketika. Sang Pendekar Wanita ini telah berkelebat cepat untuk memeriksa dengan menghampiri sesosok mayat yang melintang di tangga batu undakan.
Ternyata mayat seorang paderi. Beberapa mayat ditelitinya. Ternyata juga paderi-paderi yang telah tewas dengan mengerikan, yaitu dengan dada terbelah robek, bagai disayat benda tajam. Keadaan di sekitar itu sunyi mencekam. Roro Centil kembali tercenung sejenak. Apakah gerangan yang telah terjadi...? Siapa yang telah membunuh paderi-paderi ini? Gumam Roro dalam hati.
Segera kemudian Roro melesat untuk memasuki ruangan demi ruangan di dalam kuil itu. Kembali ia melihat pemandangan yang mengharukan. Karena di dalam ruangan pun penuh dengan mayat yang bergelimpangan. Bau amis darah semakin santar pada ruangan dalam ini. Benar-benar membuat Roro bergidik. Ia menduga telah terjadi satu pertarungan di Kuil Istana Hijau ini. Akan tetapi yang amat di herankan, tak satupun ia menjumpai sosok tubuh yang bergeletakan itu dari orang lain, selain para paderi.
"Aku harus mencari salah seorang yang masih hidup, untuk bisa memberi keterangan mengenai peristiwa ini...!" Desis Roro.
"Heh! Jangan-jangan si Bangau Putih pun telah turut tewas! Kukira paderi itu sengaja mengundangku untuk aku membantunya. Namun aku terlambat datang! Entah siapa orangnya, dan dari kelompok mana gerangan yang telah membantai para paderi Kuil Istana Hijau ini...!" Gumam Roro dalam hati. Seraya ia sudah segera meneliti setiap ruangan. Dan memeriksanya, kalau-kalau ada terdapat orang yang masih hidup, untuk diajak bicara.
Saat itu juga Roro Centil kembali berkelebatan di dalam ruangan Kuil besar itu. Setiap ada tubuh yang menggeletak, tentu diperiksanya. Akan tetapi keadaan paderi itu sudah tidak bisa ditanya lagi. Karena orangnya telah tewas. Bahkan darah yang mengalir dari dada yang robek tersayat itu telah kental, hampir mengering. Menandakan kematian paderi-paderi itu sudah dalam waktu satu hari satu malam. Di tengah ruangan yang paling besar juga terdapat beberapa mayat yang tergeletak.
Gadis Pendekar ini layangkan pandangannya memeriksa sekitar ruangan. Ternyata di altar paling depan itu terdapat sebuah arca Budha yang telah hilang kepalanya. Berwarna kuning keemasan. Roro kelebatkan tubuhnya ke sana. Arca Budha ini tingginya hampir dua kaki. Ketika Roro memeriksanya, ternyata terbuat dari perunggu yang dilapisi emas.
"Aneh...!" Menggumam Roro. Kalau ada arca yang hilang kepalanya, sudah pasti ada yang merusak. Pikirnya. Dan Roro memang melihat jelas adanya bekas-bekas benda tajam yang masih baru pada bagian leher arca. Semakin yakin hati Roro, bahwa kepala arca itu telah copot orang dengan paksa. Tapi memikir bahwa arca itu terbuat dari perunggu yang dilapis emas, buat apa orang mencurinya? Demikian fikir gadis Pendekar ini.
Tersirat di hati Roro bahwa adanya mayatmayat di dalam dan di luar kuil itu adalah karena para paderi bertarung melawan pencuri arca Budha itu, dan berusaha mempertahankannya. Pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan hebat disusul berkelebatnya sebuah bayangan yang menghantamkan pukulan ke arah Roro.
"Pencuri busuk..! Pembunuh keparat! Mampuslah kau...!"
Gadis ini tak sempat untuk menoleh lagi, karena angin pukulan telah bersiur di belakangnya. Blak..! Terpaksa ia gunakan lengannya untuk serangan bokongan itu. Tampak tubuh Roro Centil terhuyung dua tindak ke belakang. Roro terkejut juga mengetahui tenaga dalam si penyerang begitu besar.
Ternyata si penyerangnya adalah sesosok tubuh dari seorang paderi yang memakai jubah kuning. Paderi inipun terkejut bukan main ketika merasakan lengannya seperti beradu dengan besi panas saja. Dan tenaga tolakan dari bantu ran lengan itu telah membuat tubuh laki-laki ini terjengkang dua tombak. Roro sudah balikkan tubuh dan melompat ke hadapan si penyerangnya. Dan menatap tajam paderi itu.
"Kau orang tua seharusnya bertanya dulu! Jangan main tuduh sembarangan...! Aku baru saja memasuki ruangan Kuil ini, dan lihat mayat-mayat bergelimpangan. Bagaimana mungkin aku kau anggap pencuri dan membunuh...?" Bentak Roro berang.
Paderi itu segera bangkit berdiri, dan mengusap-usap jubahnya yang kotor. Seraya menatap pada Roro. "Apakah omongan mu bisa dipercaya? Aku perlukan bukti, baru aku bisa mempercayaimu...!" Membentak lagi si paderi tua ini, yang usianya sekitar 50 tahun.
Wajahnya menampilkan ketidakpuasan. Kumis dan jenggotnya yang cuma sedikit itu bergerak-gerak kala berbicara. Sementara sepasang matanya yang masih tajam itu membersitkan hawa kemarahan pada Roro. Sejenak Roro Centil tercenung mendengar kata-kata si Paderi tua itu. Segera saja terpikir kalau ia menggembol buntalan. Pasti disangkanya kepala arca Budha yang disembunyikan.
"Hm! Baiklah kalau kau perlu bukti! Kau orang tua tentu mencurigai isi buntalan di belakang punggungku ini, bukan...?. Nah! Segera akan ku tunjukkan!" Berkata Roro seraya dengan cepat melepaskan buntalan di punggungnya, serta membukanya di hadapan si paderi berjubah kuning.
Sepasang mata paderi itu menatap isi buntalan itu dengan seksama. Tentu saja ia jadi melengak, karena isi buntalan itu adalah beberapa perangkat pakaian wanita. Juga sehelai selimut tebal. Selesai menunjukkan isi buntelannya, Roro Centil kembali merapikannya, dan sangkutkan lagi di belakang punggungnya. Seraya sebentar kemudian ia telah bangkit berdiri lagi. Tampaknya urusan sudah selesai.
Akan tetapi si paderi ternyata masih belum puas, terbukti dengan sepasang matanya melirik ke arah benda yang terbungkus kain sutera hitam, yang tergantung di pinggang Roro. "Apakah selain kepala Arca Budha yang kau curigai aku yang mencurinya, masih kau khawatir aku mencuri benda lain di kuil ini?" Bertanya Roro. Seraya tanpa menunggu jawaban ia telah lorot benda yang tergantung di pinggangnya. Dan keluarkan isinya.
Melengak si paderi jubah kuning seraya berucap; "Benda apakah gerangan itu?" Walau suaranya lirih, namun Roro cukup jelas mendengarnya.
"Inilah sepasang senjataku, orang tua..!' Senjata yang kunamakan si Rantai Genit! Apakah anda juga menyangka senjata ini barang curian...?" Tanya Roro lagi.
"Tentu tidak, nona...! Paderi-paderi Kuil Istana Hijau tak memiliki, atau menyimpan benda aneh semacam itu!" Berkata si paderi dengan suara datar. Namun tampaknya ia sudah tak mencurigai Roro lagi.
"Baiklah...! Aku percaya kau bukan si pembunuh dan pencuri kepala Arca Budha itu. Kau telah memeriksa semua ruangan, apakah menjumpai salah seorang paderi yang masih hidup? Aku perlukan keterangan siapa yang melakukan perbuatan keji ini...!" Berkata si paderi tua itu seraya menghela napas. Sementara lengannya bergerak untuk mengelus jenggotnya yang sudah berwarna dua.
Roro selipkan kedua senjata di pinggang, dan lepaskan bungkusan kain sutra hitam, yang segera diselipkan ke balik pakaiannya. Seraya kemudian ia menyahuti. "Sayang! Aku tak menjumpai seorang pun yang masih hidup. Bolehkah aku tahu siapa gerangan paman yang terhormat ini?" Ujar Roro.
"Aku bernama Sapta Dasa Griwa, yang menduduki tempat sebagai ketua dua di Kuil Istana Hijau ini. Kepergianku untuk suatu urusan tiga hari yang lalu, ternyata telah membawa bencana tanpa kuketahui di kuil ini. Benar-benar membuat aku menyesal setengah mati. Aku akan cari pembunuh keji dan pencuri itu untuk kucincang sampai lumat...!" Tutur si paderi tua itu yang diakhiri dengan rasa geram pada manusia yang telah merusak binasakan kuil, dan para penghuninya.
Roro Centil manggut-manggut, dan termenung sesaat seperti tengah berfikir. Lalu katanya: "Siapakah Ketua satunya, maksudku Ketua Utama di Kuil Istana Hijau ini?"
"Ketua Utama adalah Ki Dharma Setha...!" Menjawab Paderi Sapta Dasa Griwa. "Itulah yang aku sesalkan...! Ki Dharma Setha memang untuk sementara menyerahkan tampuk pimpinan padaku, sejak keberangkatannya ke pulau Kelapa. Berkenaan dengan kunjungannya ke beberapa Kuil di daerah tanah Jawa itu. Justru di saat beliau tidak ada telah terjadi musibah besar seperti ini...!"
Berkata paderi Ketua Dua ini dengan nada sedih, seraya tundukkan wajahnya menatap lantai. Genangan darah terlihat di mana-mana. Bau amis dari darah manusia menyebar menusuk hidung. Pada saat itu terdengar suara rintihan dari sesosok tubuh yang bergelimpangan itu dari sudut ruangan.
Terkejut Roro Centil. Tapi baru ia akan bergerak untuk melihat, paderi Sapta Dasa Griwa telah mencelat terlebih dulu ke sana. Terlihat seorang paderi berusaha bangkit dengan keadaan tubuhnya yang terluka parah. Paderi Ketua Dua itu telah segera menanyainya. Lengannya bergerak mencengkram jubah di bagian dada paderi itu.
"Katakan cepat...! Apa yang telah terjadi? Siapa yang melakukan pembunuhan keji dan pencurian kepala arca Budha?" Berkata Sapta Dasa Griwa dengan keras. Suaranya berkumandang ke seluruh ruangan yang sunyi mencekam itu.
Roro Centil cepat memburunya untuk melihat. Akan tetapi begitu ia tiba, paderi yang terluka parah itu justru telah terkulai kepalanya. Nafasnya telah putus. Dengan sepasang mata yang melotot seperti kematiannya penuh dengan kekecewaan.
"Dia sudah tak kuat hidup lagi...!" Berkata paderi berjubah kuning itu seraya melepaskan cekalan pada jubahnya. Dan iapun bangkit berdiri, menatap Roro dengan tatapan kosong. Terdengar suaranya menghela napas.
"Kita tak punya saksi hidup yang bisa ditanyai untuk menjelaskan kejadian ini. Apakah nona bersedia membantu kami untuk menyelidiki siapa gerangan manusia terkutuk yang telah melakukan pembantaian keji ini...?" Bertanya sang paderi Ketua Dua.
Roro cepat anggukkan kepala seraya berkata: "Tentu...! Ini adalah masalah kemanusiaan. Siapa pun akan tergerak hatinya untuk menangkap si pelakunya. Sebenarnya kedatanganku adalah atas undangan seorang paderi yang berjulukan si Bangau Putih. Yang menurut apa yang kudengar ternyata adalah paderi dari Kuil Istana Hijau ini. Apakah kau orang tua mengenal akan paderi itu?"
"Bangau Putih...? Hm...! Aku tak mengenalnya! Aku sebagai wakil pimpinan di Kuil ini tentu mengenali semua para paderi bawahanku. Akan tetapi paderi yang bergelar si Bangau Putih itu, baru aku mendengarnya?" Berkata Sapta Dasa Griwa.
Aneh...!? Desis Roro dalam hati. Tetapi si pemilik penginapan itu mengatakan si paderi Bangau Putih itu adalah paderi Kuil Istana Hijau...! Bahkan namanya pun tertulis di buku tamu! Demikian fikir si gadis Pendekar Pantai Selatan yang jadi kerutkan alisnya.
Seperti dapat membaca fikiran Roro saja, si paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau itu sudah berkata lagi. "Siapapun dapat mengaku dirinya sebagai seorang paderi. Nona belum mengenal siapa orangnya, mengapa mudah saja mempercayai? Siapa tahu manusia yang menamakan dirinya si Bangau Putih itu ada kaitannya dengan peristiwa ini...!"
Roro tak dapat menjawab. Akan tetapi masalah ini adalah masalah yang memang serius untuk diselidiki. Dan Roro Centil telah bertekad untuk menyelidikinya.
"Oh, ya...! Nona telah mengetahui siapa adanya aku, bolehkah aku orang tua mengetahui siapa nona...? Tentunya seorang Pendekar yang punya nama di Rimba Hijau...!" Bertanya paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa.
"Ah, anda bisa saja...! Namaku Roro Centil." Sahut Roro, tanpa menyebutkan julukan yang diberikan kaum Rimba Hijau padanya.
Akan tetapi ternyata si Paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau itu justru telah melengak. Dan serta merta telah segera menjura hormat pada Roro. "Ah...! Kiranya sang Pendekar Wanita Pantai Selatan yang punya nama harum semerbak. Maafkan aku orang tua yang tak mengetahuinya sama sekali. Aku memang sudah menduga sebelumnya, tapi ragu. Karena belum pernah bertatap muka. Sepak terjang anda terhadap kaum penjahat, dan golongan sesat yang merajalela, yang berhasil anda tumpas, membuat aku orang tua amat kagum. Pantas tenaga dalam nona Pendekar amat hebat. Jarang aku menjumpai gadis seusia nona mempunyai kehebatan tenaga dalam yang luar biasa. Ternyata di atas langit masih ada lagi langit...!" Berkata Sapta Dasa Griwa dengan tampakkan wajah berseri.
Roro Centil jadi tersipu melihat penghormatan orang, segera iapun merendahkan diri. Demikianlah. Akhirnya Roro Centil berjanji akan membantu untuk menyelidiki, atau membekuk siapa pelaku keji di Kuil Istana Hijau, yang juga telah mencuri kepala arca Budha itu. Kemudian si Pendekar Wanita Pantai Selatan segera mohon diri. Serta sebelumnya akan usahakan mencari orang untuk membantu penguburan para jenazah.
Roro Centil berkelebat meninggalkan Kuil Istana Hijau.... Sementara hati si Pendekar wanita itu diliputi bermacam pertanyaan. Siapakah gerangan adanya si Bangau Putih? Ada rahasia apakah pada kepala arca Budha yang dicuri orang itu? Namun Roro sudah injakkan kaki di satu perkampungan terdekat Segera ia sebarkan berita mengenai malapetaka di Kuil Istana Hijau. Yang sebentar saja penduduk berdatangan ke sana untuk melihat, serta membantu mengangkuti jenazah.
Sementara Roro Centil yang memang tak kuat mencium amisnya darah, segera berkelebat lagi menuju arah hutan rimba. Ternyata itulah arah ke sisi bukit. Kira-kira waktu sepenanak nasi, Roro hentikan langkahnya. Tempat itu cukup tenang. Dengan suasananya yang dapat menenangkan hati. Ada sungai berair jernih mengalir di bawah lereng bukit Roro sudah gerakkan kakinya melompat ke sana.
Sebentar kemudian ia telah berada di tepian sungai yang berbatu-batu. Suara gemericiknya air membangkitkan gairah sang gadis Pendekar ini untuk menyiram tubuhnya. Ia sudah lepaskan buntalan pakaiannya dari punggung, dan letakkan dekat kakinya.
"Tutul...! Adakah kau di sampingku...?" Berbisik Roro pada makhluk siluman yang telah tunduk padanya. Dan terdengar suara menggeram di belakangnya.
"Bagus...! Tolong kau jagai pakaianku...!" Ujar Roro dengan suara lirih.
Segera saja terlihat asap tipis mengepul, lalu menjelma seekor anak harimau tutul sebesar kucing. Yang segera mendekam di sela akar pohon. Roro tersenyum, seraya lepaskan pakaiannya satu persatu. Dan lemparkan ke atas akar pohon rindang di sisi sungai itu. Selanjutnya Roro segera melangkah turun dan melompat ke atas batu besar di tengah sungai.
Gadis yang ayu rupawan ini memang memiliki potongan tubuh yang semampai serta padat berisi. Terdengar suara berdebur, ketika Roro terjunkan tubuhnya ke permukaan air. Selanjutnya, ia sudah berkecimpung di air sungai yang jernih itu. Tampak ia lepaskan kedua benda dari logam tipis warisan Gurunya si Manusia Banci dari kedua tempat di tubuhnya. Dan letakkan kedua benda itu di atas batu. Selanjutnya ia telah kembali menyelam ke dalam air.
Dan tak lama kemudian sudah tersembul lagi. Air sungai tidak begitu dalam. Bahkan hanya sebatas dada. Sementara sepasang mata telah memperhatikan dari seberang sungai. Itulah sepasang mata dari seorang seorang laki-laki berperawakan kurus seperti kurang gizi. Wajahnya melengkung ke dalam. Hingga tampak dahinya lebih menonjol.
Tentu saja ia tak mengetahui adanya seekor anak harimau tutul yang menjaga pakaian Roro. Karena letak seberang sungai itu kira-kira dua puluh tombak. Namun untuk melihat kemulusan tubuh wanita muda di hadapannya kiranya tak luput dari sepasang matanya yang berbinar-binar.
"Luar biasa...!" Mendesis suara laki-laki itu perlahan, yang keluar tanpa disadari. Sementara kepalanya bergerak untuk terangkat lebih tinggi. Karena ada ranting pohon yang menghalangi pandangannya. Akan tetapi gerakan itu justru telah membuat Roro Centil mengetahui adanya orang yang bersembunyi mengintai di seberang sungai.
Tiba-tiba Roro Centil menyelam lagi. Kali ini lama timbulnya. Tapi sebenarnya, ia tengah berenang di dalam air untuk enjot tubuhnya ke seberang sungai. Lalu sembulkan kepala dengan pelahan ke sisi batu besar. Segera saja terlihat kepala seorang laki-laki yang berambut sudah dua warna, tengah pentang mata ke seberang. Inilah manusianya yang suka iseng terhadap wanita yang sedang mandi...! Menggumam Roro dalam hati.
Tiba-tiba lengan Roro sudah bergerak menangkap seekor kepiting di sela batu. Binatang itu ia lemparkan ke arah laki-laki yang mata keranjang itu. Terdengar suara mengaduh, tatkala sang kepiting yang meluncur deras itu memasuki celah bajunya. Yang rupanya langsung saja mencapit kulit yang tipis di antara tulang iga yang bersembulan itu. Segera ia sudah lompat berdiri. Dan tampak kelabakan membuka pakaiannya.
Binatang itu masih menempel di kulit dada. Lengannya sudah bergerak menyambar binatang itu, dan dengan menyeringai kesakitan ia melemparkannya entah ke mana. Binatangnya telah lenyap, tinggal capitnya yang masih menempel kuat. Karena saking kerasnya mencapit, ketika dicengkeram untuk segera dilemparkan, ternyata bahkan capitnya putus.
Kembali ia kiprat-kipratkan lengannya menampar dada. Hingga si capit kepiting itu pun terlepas. Namun kulit dadanya sudah terluka mengeluarkan darah. Melihat kejadian yang lucu itu, Roro tak dapat menahan gelinya. Sehingga ia sudah tertawa terpingkal-pingkal.
Adapun si laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun itu jadi melengak. Namun seketika wajahnya sudah berubah merah. Dilihatnya gadis yang sedang di intipnya itu justru berada di dekatnya. Keruan saja, sepasang matanya jadi melotot lebar menatap Roro. Merasa dipergoki, dan bahkan di jaili oleh si gadis, segera saja ia telah angkat langkah seribu melarikan diri. Roro Centil tambah terpingkal-pingkal menertawakan larinya yang lucu.
Selang sesaat, Roro sudah kembali beranjak naik, setelah kenakan kembali dua benda penutup tubuhnya. Dan dengan menggunakan ilmunya Roro Centil telah langsung melompat kembali ke darat. Roro memberi isyarat pada si anak harimau Tutul itu untuk melenyapkan diri. Yang segera tak lama kemudian makhluk jejadian itupun lenyap.
Segera Roro Centil membuka buntalannya, dan keluarkan isinya. Ditariknya keluar seperangkat pakaian yang berwarna kuning emas. Lalu dikenakannya. Pakaian ini mempunyai sobekan atau belahan panjang sebatas paha. Yaitu pakaian yang pernah dipergunakan menyamar menjadi si Kupu-kupu Emas. Yaitu si wanita istri Dewa Tengkorak yang telah tewas.
Dengan pakaian ini memang Roro tampak seperti seorang gadis genit yang nakal. Setelah selesai membenahi diri, Roro kembali rapikan buntalannya, dengan memasukkan pakaian kotor Roro ke dalamnya. Lalu sangkutkan lagi ke belakang punggungnya.
Sepasang senjata si Rantai Genit tergantung di sisi pinggang kirinya, dengan kedua bandulannya yang satu agak tinggi dan satu lagi lebih rendah. Lalu si sepasang Rantai Genit ini telah ditutupi lagi oleh secarik kain sutra hitam. Setelah merenung sejenak Roro sudah kelebatkan diri pergi dari tempat itu.
Sesosok tubuh berjubah putih tampak berjalan tergesa-gesa di tengah padang rumput yang menghijau. Sebentar bentar tampak ia menoleh ke belakang. Ternyata ia seorang laki-laki berusia setengah abad. Laki-laki ini memakai tudung lebar di kepalanya. Hingga sepintas ia memang mirip dengan petani desa. Wajahnya menampakkan rasa cemas, Seperti khawatir ada orang yang mengejarnya.
Sementara itu matahari telah jauh condong ke sebelah barat. Padang rumput itu telah dilaluinya hampir separuhnya. Tinggal separuh padang rumput lagi, ia akan tiba di hutan lebat. Tinggal kira-kira jarak sepuluh atau dua belas kali lemparan tombak yang harus ditempuhnya. Kini ia tengah melewati jalan setapak, yang di kiri kanannya tumbuh rumput alangalang setinggi dada.
Ketika baru beberapa belas tindak ia melangkah, tiba-tiba laki-laki ini merandek untuk hentikan langkahnya. Keningnya tampak berkerut, dengan sepasang alisnya yang segera menyatu. Tiba-tiba saja sesosok tubuh telah bersembul dari rumput alang-alang di hadapannya yang langsung saja menerjang laki-laki itu dengan sabetan padang yang menyambar ganas. Disertai bentakan keras.
Trang...! Satu benturan keras dari beradunya sepasang senjata segera terdengar di tengah kesunyian padang rumput. Ternyata si laki-laki bertudung telah mencabut keluar senjatanya. Dan berhasil menangkis serangan mendadak itu. Tubuhnya sudah melompat bersalto ke belakang. Kini di hadapannya bersembulan tiga sosok tubuh yang memakai topeng berwarna hijau, yang membungkus seluruh kepalanya.
"Kau tak dapat melarikan diri, Bangau Putih...! Kecuali kau tinggalkan nyawamu!" Membentak salah seorang. Segera saja ketiga sosok tubuh itu mengurung si laki-laki bertudung. Mengetahui penyamarannya sudah ketahuan, si laki-laki bertudung segera membuka tudung lebarnya. Dan lemparkan ke sisi. Kini terlihat wajah laki-laki itu lebih jelas. Kiranya ia seorang paderi yang berkumis dan berjenggot pendek.
Ketiga orang yang mengurungnya itu rata-rata menggunakan pedang. Sedangkan si laki-laki yang berjuluk si Bangau Putih itu terlihat memakai senjata yang berbentuk ruyung, dengan berujungkan kepala burung bangau yang berparuh tajam, Senjata itu terbuat dari baja putih. Yang memancarkan sinar berkilatan, terkena cahaya Matahari. Serentak ketiga laki-laki bertopeng hijau itu menerjang dengan berbareng. Pedang-pedang telanjang telah berkelebatan meluruk untuk memanggangnya, disertai bentakan-bentakan keras yang merobek keheningan.
Terpaksa si Bangau Putih berkelit ke sanakemari menyelamatkan nyawanya, Berkali-kali terdengar suara berdentingan ketika senjata-senjata saling beradu. Kemanapun si Bangau Putih melompat, tentu pedang-pedang telanjang itu akan memburunya. Rumput alang-alang setinggi dada itu sudah porak-poranda terkena tabasan dan injakan kaki.
"Bukalah topeng-topeng kalian, biar aku mengetahui siapa kalian...!" Berteriak si Bangau Putih, seraya pergunakan ruyungnya menangkis dua serangan berbahaya.
Trang...! Trang...! Kali ini laki-laki paderi itu mulai unjukkan tenaga dalamnya. Tampak dua orang bertopeng itu terkejut, karena nyaris saja pedang-pedangnya terlepas dari tangan mereka,
"Kalau kau sudah mampus, baru akan kubuka topeng wajah kami...!" Membentak salah seorang seraya mengirim dua serangan beruntun.
Pras! Prass..! Alang-alang tebal itu yang kena terbabat putus beterbangan, karena si Bangau Putih telah melompat tinggi tiga tombak. Begitu turun, telah gerakkan senjatanya menghantam kepala lawan.
Wuuttt...! Nyaris kepala si laki-laki bertopeng itu bonyok, bila ia tak segera jatuhkan diri bergulingan. Selanjutnya dua orang kawannya telah menerjang lagi dengan tabasan-tabasan ke arah kaki dan dada.
"Keparrrat...!" Memaki si Bangau Putih. Kali ini ia telah putarkan senjatanya, setelah berhasil loloskan diri dari dua serangan berbahaya.
Ketiga orang lainnya yang telah kembali mengurung itu, tampak renggangkan lagi kurungannya, karena mereka tampaknya agak jerih melihat senjata si Bangau Putih, yang berputar bagai baling-baling. Tibatiba tampak putaran senjata si Bangau Sakti, berubah. Kini berkelebatan dengan arah yang simpang siur. Hingga yang tampak adalah kepala bangau berparuh runcing itu berkelebatan mematuk, mencecar ketiga laki-laki bertopeng itu.
Tampaknya gerakan menyilang itu agak membingungkan lawan. Karena serangan-serangan si Bangau Putih seperti berserabutan. Tiba-tiba si Bangau Putih telah keluarkan bentakan keras. Hal itu digunakan untuk membuat gentar lawan. Benar saja! Di saat mereka tengah berfikir untuk menembus bentengan si Bangau Putih yang kuat itu, tahu-tahu patukan-patukan ruyung berkepala bangau itu telah membuat gerakan-gerakan menukik dengan cepat.
Cras! Cras! Praaakkk...! Dua patukan telak yang meluncur deras, serta satu hantaman yang terlalu cepat, sudah tak dapat mereka hindarkan lagi. Segera terdengar teriakan-teriakan ngeri. Disusul dengan robohnya ketiga pengeroyok itu. Darah segar bermuncratan membasahi rerumputan.
Si Bangau Putih ini sudah segera memburu tubuh salah seorang dari mereka. Dan membuka topeng laki-laki yang sudah tewas itu. Tampak terlihat paderi ini terkejut karena ternyata laki-laki bertopeng itupun seorang paderi dari Kuil Istana Hijau. Segera ia bergerak melompat untuk membuka topeng yang lainnya. Yang kemudian dapat diketahuinya ketiga manusia itu paderi-paderi Kuil Istana Hijau.
Sejenak tercenung si Bangau Putih. Keningnya terlihat semakin berkerut Lalu ia membungkuk untuk bersihkan ujung senjatanya. Dan selipkan lagi dibalik jubahnya. Selanjutnya ia telah teruskan langkahnya tinggalkan tempat itu. Kali ini ia pergunakan ilmu lari cepat. Hingga tak berapa lama kemudian telah tiba di ujung padang rumput Segera saja ia berkelebat untuk memasuki hutan. Tapi, lagi-lagi ia merandek, seraya mencabut keluar lagi senjatanya.
"Keluarlah! Kalau kalian mengingini jiwaku. Dan bertarung secara ksatria!" Membentak si Bangau Putih dengan sepasang matanya menatap lurus ke depan.
Terdengar suara tertawa gelak-gelak, yang disusul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh di hadapannya, dari balik semak belukar. Ternyata keduanya adalah seorang laki-laki dan wanita. Yang seorang memakai baju dari kulit Serigala. Berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh kekar, dengan wajah penuh dengan cambang bauk yang lebat.
Sedang seorang lagi ternyata seorang wanita yang berparas cukup cantik. Berusia sekitar 35 tahun. Rambutnya dililit oleh benang sutera warna keemasan. Wanita ini mengenakan pakaian berwarna ungu, dengan kembang-kembang berwarna putih. Sepasang matanya membersitkan sinar tajam menatap si paderi bergelar Bangau Putih. Tampak ia pun tertawa, memperlihatkan sebaris giginya yang tidak rata. Wanita inilah yang dijuluki si Dewi Rembulan di Rimba Hijau.
Sedang yang seorang lagi, yaitu laki-laki berbaju kulit Serigala adalah Barong Segoro, alias si Naga Hitam. Perlu diketahui kedua tokoh ini pernah menginap di penginapan di desa Lubuk Batang. Di mana Roro pernah menginap juga di sana.
"Hi hi hi... Kami hanya bertugas menawan mu! Kalau mau membunuhmu pun kami kira tidaklah sukar. Sebenarnya kalau kami tidak terlambat datang, sudah dapat membekuk mu di penginapan itu. Sayang kau sudah berangkat pergi! Sebaiknya kau serahkan dirimu saja Bangau Putih...! Agar cepat selesai tugas kami...!" Berkata Sito Resmi, alias si Dewi Rembulan.
"Benar...! Biar kami bisa segera mengaso, bukankah begitu Dewiku...?" Berkata si Naga Hitam. Seraya lirikkan matanya pada si wanita di sebelahnya, yang jadi tersenyum genit. Tapi sudah menyambar bicara lagi yang ditujukan pada si Naga Hitam.
"Hm...! Baru kenal dua hari sudah mulai ganjen kau Barong Segoro...! Siapa sudi mengaso bersamamu lagi? Ternyata kau bukan orang baik-baik...!"
Kata-kata itu membuat si laki-laki jambros ini tertawa berkakakan, seraya ujarnya; "Ha ha ha... Barong Segoro bukanlah si Naga Hitam, kalau tak berhasil menundukkan Rembulan...! Kau lihat saja nanti, apakah kau bisa betah tidur sendirian? Ha ha ha..." Kembali si Naga Hitam tertawa gelak-gelak. Akan tetapi sekejap telah berhenti. Sepasang matanya menatap pada si Bangau Putih, dan terdengar suaranya membentak keras.
"Bangau Putih...! Kalau kau membangkang untuk serahkan dirimu, terpaksa aku akan lakukan kekerasan padamu...!" Seraya berkata, Barong Segoro telah gerakkan lengannya ke atas dan ke bawah. Segera terlihat oto-ototnya yang bersembulan. Dan perdengarkan suara berkrotakan. Ternyata ia tengah menyalurkan tenaga dalamnya. Dengan segera sepasang lengannya berubah menghitam.
Kini dengan sepuluh jari yang sudah terentang, ia siap melakukan serangan. Adapun si Bangau Putih ternyata tak mau menyerahkan diri begitu saja, Diam-diam uap halus berwarna putih. Sementara si Dewi Rembulan cuma berpeluk tangan saja. Bahkan telah berkata;
"Hm, ku ingin lihat apakah kau mampu menangkapnya hidup-hidup, Barong Segoro! Biarlah sementara aku jadi penonton dulu. Hihi... hi... hi..." Ucapnya seraya tertawa.
"Sebelum aku kalian tangkap, bolehkah aku tahu siapa yang telah membayar kalian untuk pekerjaan ini?" Tiba-tiba si Bangau Putih ajukan pertanyaan.
"Heh! Kau akan lihat dan ketahui sendiri, nanti setelah kau kubawa menghadap padanya...!" Menyahut si Naga Hitam.
Tampak si paderi berusia 50 tahun ini, termenung sejenak, seperti tengah mempertimbangkan usul untuk menyerahkan diri. Tapi ia berfikir, toh akhirnya ia akan mati di hadapan orang yang telah diketahuinya. Hal tersebut adalah sia-sia belaka, Pikirnya lagi. Berfikir demikian, si Bangau Putih segera berkata; "Baik...! Kau boleh tawan aku kalau sudah tiada berdaya...!"
Tentu saja kata-kata itu membuat si Naga Hitam jadi plototkan matanya. "Bagus...! Kalau begitu bersiaplah untuk menghadapiku...!" Seraya berkata, Naga Hitam sudah lancarkan serangan dengan sepasang lengannya bergerak mencengkeram ke arah leher si Bangau Putih.
Tentu saja paderi ini sudah hantamkan senjatanya menghalau serangan. Sepasang lengan yang meluncur deras dengan sepuluh jari terbuka itu telah bergerak terentang. Akan tetapi tiba-tiba merubah serangan menjadi terpecah dua jurusan. Yang satu meluncur untuk menangkap senjata Ruyung, sedang satu lagi mengarah untuk menyambar dada. Terkejut si Bangau Putih. Cepat-cepat ia tarik kembali senjatanya. Dan secepat kilat telah mengenjot tubuh untuk melambung dua tombak.
Ruyung berkepala bangau itu kini digunakan menghantam ke arah kepala si Naga Hitam. Membersit suara senjatanya, disertai kilatan sinar perak meluncur deras ke arah kepala Naga Hitam perdengarkan suara di hidung. Tiba-tiba telah gunakan lengannya untuk menangkis serangan.
Tak...! Terdengar suara seperti menghantam benda keras. Tubuh si Bangau Putih terpental ke atas lagi satu tombak, Paderi ini terkejut bukan main, karena senjatanya seperti menghantam basi saja layaknya. Bahkan tenaga dalamnya terasa mental balik menghantam kembali ke tubuhnya, Sehingga ia terlempar ke atas. Namun dengan gesit, ia telah lakukan salto di udara, dan kembali jejakkan kaki ke tanah.
Melihat orang terkejut. Si Naga Hitam agaknya mengetahui. Tampak ia perlihatkan sikap angkuh. Seraya berkata; "Heh...! Kiranya si Bangau Putih mulai tahu siapa adanya si Naga Hitam! Sebaiknya kau lekas-lekas serahkan dirimu, sebelum kau jadi rusak cacat...!"
Tampak wajah si paderi jadi berubah merah. Tiba-tiba ia telah berteriak keras, seraya putarkan senjata Ruyungnya. Terdengar suara bersiutan. Sinar perak berkelebatan di hadapan si Naga Hitam. Sekejap kemudian telah menerjang ke arah laki-laki kekar itu. Tampaknya si Bangau Putih telah bertindak kepalang basah. Kini dialah yang merangsak hebat. Kepala bangau dari Ruyungnya berkelebatan mematuk, mengarah tempat-tempat yang berbahaya. Disertai hantaman-hantaman deras. Bahkan sebelah lengan si Bangau Putih pun turut pegang peranan menghantam dengan tenaga dalam yang telah dikeluarkan lebih dari separuhnya.
Naga Hitam terkejut juga. Dan terlihat mulai kewalahan. Tangkisan-tangkisan lengannya ternyata selalu dihindari oleh paderi itu. Hal mana membuat ia jadi memaklumi kelihayan lawan. Namun sukar bagi si Naga Hitam untuk menembus benteng lawan, yang lindungi tubuhnya dengan kelebatan sinar perak. Seolah benteng baja yang sukar ditembus. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara tertawa si Dewi Rembulan. Tubuhnya telah mencelat untuk sambarkan tali Jerat Suteranya ke arah kaki si Bangau Putih.
Rrrtt...! Bangau Putih tak menyangka sama sekali si Dewi Rembulan akan menyerang ke arah kaki. Karena saat itu ia tengah lancarkan serangan beruntun ke arah si Naga Hitam. Karena ia terpengaruh gerak luncuran Jerat Sutera si Dewi Rembulan, tentu saja serangan beruntunnya agak lamban. Saat itu dipergunakan oleh si Naga Hitam untuk menangkap senjata si paderi hingga terlepas ketika disentakan.
Belum lagi si Bangau Putih menyadari kelalaiannya, tali Jerat Sutera Sito Resmi telah membelit kakinya. Bahkan telah meluncur lagi tali Jerat Sutera yang dilepas oleh wanita itu. Tak ampun lagi sebelah lengannya pun telah kena terbelenggu. Hingga sekejap kemudian tahu-tahu tubuhnya telah meluncur deras ke arah depan, dibetot oleh si Dewi Rembulan, yang gunakan tenaga dalam untuk menariknya.
Pada saat itulah si Naga Hitam lakukan totokan telak. Hingga tubuh si Bangau Putih terjerembab ke tanah untuk tak bisa. berkutik. Dewi Rembulan ternyata telah bekerja cepat. Hingga sekejap, kaki dan tangan si Bangau Putih kena diringkus tali Jerat Suteranya.
"Bagus...! Kalau sejak tadi kau membantuku, tentu aku tak payah-payah keluarkan tenaga, Dewi ku...!"
"Huuu...! Naga Hitam ternyata terlalu lamban, membuat aku tak sabar meringkus bangau kurus ini! Orang macam kau mau taklukkan Rembulan? Hi hi hi..." Berkata si wanita, dengan tertawa mengejek lakilaki di sebelahnya.
Akan tetapi bukannya marah, si Naga Hitam, bahkan tertawa bergelak. Seraya berkata; "Ha ha ha.. ha ha... Aku akan taklukkan rembulan bukan dengan kekerasan dengan pertarungan seperti ini. Tapi akan kugunakan cara hebat, yang akan membuat kau kagum dan bertekuk lutut menyerah tanpa syarat...!"
"Hm, sudahlah...! Ayo kau panggul dia! Dan bawa pergi dari sini...!" Teriak si Dewi Rembulan, seraya sudah mendahului melangkah. Naga Hitam tak berayal lagi, segera ia sudah angkat tubuh si Bangau Putih, untuk seterusnya diletakkan di atas pundaknya yang lebar. Kemudian dibawanya berlari mengejar Sito Resmi, alias si Dewi Rembulan.
Saat itu satu bayangan kuning telah berkelebat mengikutinya. Gerakannya lincah sekali. Bagaikan seekor kijang saja, yang membuntuti kedua manusia di hadapannya. Ketika bayangan itu berhenti sejenak untuk melihat ke arah mana kedua orang yang dikuntitnya, segera diketahui siapa gerangan dia.
Kiranya tak lain dari Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tampak ketika berjongkok, belahan panjang putih mulus. Wajahnya tampilkan senyum di bibir. Pertanda hatinya senang. Karena Roro Centil mulai mengetahui siapa adanya si Bangau Putih. Pelacakan mencari jejak pelaku peristiwa di Kuil Istana Hijau mulai terungkap, sedikit demi sedikit.
Sengaja ia tadi tak turun tangan menolong si paderi yang telah mengundangnya itu. Karena Roro inginkan keterangan lebih jelas mengenai penyelidikannya. la mengambil kesimpulan, bahwa dari kedua orang yang berjulukan si Dewi Rembulan dan Naga Hitam itu akan banyak membantunya menyingkap tabir misteri pembantaian di Kuil Istana Hijau. Demikianlah sehingga Roro segera terus membuntutinya. Kini dilihatnya kedua orang di hadapannya membelok ke sisi kiri untuk mendaki bukit.
"He? Kau akan ke mana...? Kita harus menuju terus ke barat, bukan ke selatan." Terdengar si Dewi Rembulan berkata.
"Haha.. ha ha... Tenang sajalah Dewiku...! Aku ada cara lebih baik untuk mendapat keuntungan melebihi hadiah yang bakal kita terima. Paderi tolol ini akan membawa keberuntungan buat kita...!"
Dewi Rembulan tak bertanya lagi. Namun kakinya terus melangkah untuk mengikuti si Naga Hitam.
"Ikuti saja aku. Sebentar lagi kita sudah sampai...!" Menyahut si Naga Hitam. Yang sudah segera menuruni bukit. Di bawah terlihat ada air sungai mengalir berair jernih. Ternyata di situ ada terdapat sebuah terowongan. Yaitu pada kelokan sungai. Tak lama kemudian mereka sudah tiba di sebuah goa yang tersembunyi.
"Hm. Tempat ini masih belum berubah, seperti tiga tahun yang lalu. Agaknya memang tak pernah ada orang mengetahui kalau di sini ada tempat persembunyian yang aman...!"
"Kau pernah singgah kemari...?" Bertanya Sito Resmi.
"Sering...!"
"Sudah berapa kali...?" Tanya lagi si Dewi Rembulan.
"Yah...! Mungkin sudah belasan kali. Aku lupa lagi, tak sempat menghitungnya!" Menyahut si Naga Hitam seraya hentikan langkahnya. Dan lemparkan tubuh si Bangau Putih ke sudut goa. Sementara ia sudah mendongak untuk melihat cahaya merah di langit sebelah barat.
"Sebentar lagi malam tiba. Sengaja kubawa kau singgah di tempat kenangan ku ini. Kita bisa bermalam di sini. Menunggu besok, untuk mengambil keputusan. Apakah perlu kita antarkan si paderi tolol ini, atau kita bunuh mampus saja sekalian...!" Berkata si Naga Hitam. Sementara ia sudah segera jatuhkan pantatnya untuk duduk di atas batu.
Dewi Rembulan lagi-lagi melengak. Sepasang alisnya jadi bergegas menyatu. Akan tetapi ia sudah berkata; "Terserahlah! Kalau hal itu lebih baik dan menghasilkan keuntungan lebih besar, aku akan mandah saja...! Eh, ya... Kau sering kemari belasan kali, apakah keperluanmu? Tiba-tiba si Dewi Rembulan sudah bertanya lagi ingin tahu.
"Ah, aku hanya melatih diri untuk menggerakkan Otot-Otot tubuhku. Waktu itu baru bisa menguasai beberapa jurus silat yang ku peroleh dari mencuri."
"Mencuri...? Bagaimana caranya...?" Bertanya lagi si Dewi Rembulan.
"He hehe... Caranya ialah dengan mengintip orang bermain silat!" Menegaskan si Naga Hitam.
Tampak Sito Resmi manggut-manggut. "Apa kau tak punya guru?" Tanyanya lagi.
Akan tetapi si Naga Hitam sudah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal seraya ujarnya; "Wah, wah, wah...Pertanyaanmu tiada hentinya. Nantilah kita teruskan bercakap-cakap kalau mau tidur. Kini carilah persiapan untuk merebahkan diri. Tidur beralas tanah begini mana enak. Bisa gatal kulit tubuh!"
"Carilah sendiri untukmu, aku tak akan tidur...!" Berkata si Dewi Rembulan. Tampaknya ia seperti menggoda si Naga Hitam.
Laki-laki ini cuma tersenyum, tapi sudah beranjak melompat keluar goa seraya berkata; "Baiklah...! Tolong kau jaga si paderi tolol itu, jangan sampai ia bisa lepaskan diri...!"
Dewi Rembulan tak memberi sahutan. Menunggu tak berapa lama, si Naga Hitam sudah kembali lagi dengan membawa daun-daun asam di pundaknya. Sebentar kemudian ia telah jadikan dedaunan itu alas tubuh yang empuk.
Sementara cuaca pun berubah berangsur-angsur menjadi gelap. Untunglah ada cahaya rembulan yang sebentar lagi akan terlihat sinarnya yang memantul di air. Sementara si Bangau Putih cuma bisa berdiam diri tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan bersuarapun ia tak dapat. Dewi Rembulan melangkah ke sisi sungai. Dan bersihkan muka dan anggota tubuhnya dengan siraman air sejuk. Sebentar kemudian ia telah kembali duduk di atas batu.
"Eh, bagaimana caranya kau akan mengambil keuntungan pada si paderi tolol ini?" Tiba-tiba ia sudah bertanya lagi.
Naga Hitam segera menghampiri wanita ini, seraya berkata; "Caranya adalah soal yang gampang, dan bisa belakangan dilakukan, akan tetapi keuntungannya bisa dilakukan sekarang...?"
Tentu saja si Dewi Rembulan lagi-lagi melengak. "Bagaimana caranya...?" Tanyanya lagi secara tak sadar, karena lagi-lagi ia lakukan pertanyaan yang tak ada putusnya.
"Caranya adalah... begini...!" Si Naga Hitam telah menyahuti, seraya tiba-tiba gerakkan lengannya menotok tubuh si Dewi Rembulan.
Tentu saja gerakan tak terduga itu membuat ia tak bisa elakkan diri. Wanita ini mengeluh perlahan, dan sekejap ia sudah tak bisa berkutik lagi. Bahkan ketika lengan si Naga Hitam telah terjulur menelusuri setiap lekuk dibagian tubuhnya, ia cuma bisa mandah saja. Tapi sepasang matanya telah melotot gemas pada si Naga Hitam. Seraya bibirnya keluarkan suara perlahan tapi penuh kemendongkolan. Beruntung laki-laki itu tak menotok urat suaranya.
"Naga Hitam! Beginikah menundukkan ku...? Apakah tak ada cara lain yang lebih baik?"
"Segudang cara ada padaku...! Dan yang ini adalah salah satu cara untuk membuatmu berhenti bertanya...! Ha ha... Bukankah dengan sekejap aku telah dapat membuatmu tunduk padaku...!" Naga Hitam menyahut seenaknya, tanpa hentikan remasan Cakar Naganya di kedua bukit lunak berlapis kain sutera itu.
Karena merasa tak ada gunanya bertarung bicara dengan manusia yang mau menang sendiri, akhirnya si Dewi Rembulan sudah tak memperdulikannya lagi. Bahkan sudah katupkan kelopak matanya. Tahu-tahu si Dewi Rembulan sudah rasakan tubuhnya seperti melayang. Lalu meluncur turun perlahan, dan mendarat di atas hamparan dedaunan.
Terasa dengusan nafas yang membersit di telinganya. Sementara si Naga Hitam sudah singkirkan segala sesuatu yang menghalangi pandangan mata. Cuaca semakin remang di luar goa. Akan tetapi cahaya bulan sudah segera membersitkan pantulannya dari atas permukaan air.
"Setan alas...!" Memaki Roro Centil di tempat persembunyiannya. Lalu palingkan wajah untuk memandang ke lain arah. Roro Centil masih berada di tempat persembunyiannya, kesabaran seorang wanita memang berbeda dengan laki-laki. Demi mencari keterangan yang lebih lengkap, mengenai hal-ikhwal kejadian di Kuil Istana Hijau, terpaksa Roro tak meninggalkan tempat persembunyiannya.
Sementara si Bangau Putih, cuma bisa pejamkan mata, tanpa bisa menghalangi pendengarannya. Tentu saja segala desah angin dan gemericiknya air sungai yang mengalir tak luput dari pendengarannya. Secara diam-diam ia telah mencoba lepaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi selama sekian saat itu, usahanya sia-sia belaka.
Naga Hitam baringkan tubuhnya di samping si Dewi Rembulan. Sepasang matanya terlihat mengatup. Seperti ia enggan untuk bangun. Rasanya sudah mau terus tidur saja, karena terasa tubuhnya lelah sekali. Sementara si Dewi Rembulan bahkan bangkit berduduk. Tiba-tiba lengannya terjulur ke tubuh si Naga Hitam. Tapi secepat kilat, laki-laki itu sudah menangkap pergelangan tangannya. Seraya langsung menariknya dengan cepat, hingga sekejap si Dewi Rembulan sudah kembali berada dalam dekapannya. Naga Hitam tertawa menyeringai.
"Ha ha ha... kau mau balas menotok ku, bukan...? Sudahlah Dewiku... Naga Hitam sudah tundukkan Rembulan. Dia telah temukan pasangannya yang serasi. Rembulan dan Naga harus bersatu...! Kalau kelak sudah berhasil dengan tujuannya, pastilah akan merupakan pasangan yang hebat...!" Ujar si Naga Hitam seraya lengannya membelai sang Rembulan. Tampaknya Rembulan benar-benar telah tunduk pada si Naga Hitam. Ia memang harus mengakui kejantanan si Naga Hitam yang telah menunaikan janjinya.
Selanjutnya yang terdengar adalah bisikan-bisikan mesra saja, bagi kedua insan yang memadu kasih. Roro Centil tetap bersabar menunggu tersingkapnya tabir pembantaian dan pencurian kepala arca Budha di Kuil Istana Hijau. Selang beberapa saat si Naga Hitam sudah rapikan lagi baju kulit Serigala. Kini ia bangkit berdiri untuk segera menghampiri si Bangau Putih.
Sementara Sito Resmi beranjak menuju sungai. Ternyata di malam yang dingin itu, justru ia mandi keringat. Hingga ia merasa perlu membasuh tubuhnya dengan siraman air sejuk. Lengan si Naga Hitam sudah bergerak membuka totokan. Hingga si paderi ini keluarkan suara keluhannya. Sepasang matanya menatap pada si Naga Hitam.
"Apa yang kau inginkan dariku, Naga Hitam? Mengapa tak kau bawa aku menghadap Ketuamu...?" Bertanya si Bangau Putih.
"Hm...! Aku mau ajukan pertanyaan padamu. Siapakah orang yang kau undang untuk datang ke Penginapan? Dan apa hubunganmu dengan si Ketua Utama Kuil Istana Hijau?"
"Apakah aku perlu memberitahukannya padamu?" Tanya lagi si paderi.
"Jelas...! Kau jawablah dulu dua pertanyaanku!" Ucap si Naga Hitam, seraya gerakkan lengannya membuka totokan di tubuh si Bangau Putih.
Hingga tampak si paderi tua ini bisa beranjak duduk dengan menyandar di dinding batu goa. Sementara kaki dan tangannya masih tetap terikat dengan tali Jerat Sutera. "Baiklah...! Kuberikan atau tak kuberitahu toh sama saja. Akhirnya aku akan mati juga! Kalau tidak di tanganmu, tentu di tangan si manusia yang memperalat mu!" Berkata si Bangau Putih seraya menghela nafas.
Akan tetapi Naga Hitam jadi tertawa gelak-gelak, seraya berkata; "Heh! Aku merasa tak diperalat oleh siapapun. Aku bekerja sendiri demi untuk satu keuntungan. yaitu mencari SEPASANG PEDANG SILUMAN. Kabarnya senjata Pusaka itu disimpan di dalam arca Budha. Sayang aku datang terlambat. Karena cuma bisa menjumpai mayat-mayat yang berserakan dari para paderi Kuil Istana Hijau. Sepasang Pedang Siluman telah lenyap dicuri orang terlebih dulu, dengan memotong kepala arca. Bahkan potongan kepala area itu sendiripun lenyap entah kemana...!"
Bangau Sakti jadi kerutkan alisnya. Saat itu si Dewi Rembulan telah datang menghampiri dan berdiri bertolak pinggang di belakang si Naga Hitam. Paderi ini menatap wanita itu. Seraya berkata; "Lepaskan tali Jerat Sutera mu nona...! Aku berjanji tak akan mencoba melarikan diri. Seandainya kulakukan toh aku tak bisa lepas dari cengkeraman kalian!"
Tampak si wanita saling tatap dengan si Naga Hitam, yang sudah segera mengangguk. Selanjutnya si Dewi Rembulan segera saja membuka ikatan tali Jerat Suteranya. Hingga si Bangau Putih bisa menarik nafas lega. Kini ia dapat duduk dengan enak menyandar di dinding batu. Dengan sepasang lengan terjalin kesepuluh jarinya.
"Sebenarnya aku tak tahu-menahu dengan adanya Sepasang Pedang Pusaka itu, yang berada di dalam arca Budha. Ki Dharma Setha si Ketua Utama Kuil Istana Hijau meminta kesedian ku untuk bantu menjaga Kuil, sebulan yang lalu. Berkenaan dengan kepergiaannya ke Pulau Jawa. Ki Dharma Setha adalah saudara tuaku. Tentu saja aku membawa surat bukti dari Ketua Kuil Istana Hijau untuk bisa diterima para paderi di sana.
"Terutama pada paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa. Karena dia tak mengenaliku. Sapta Dasa Griwa baru menjabat di sana sekitar dua tahun yang lalu. Sedang aku sudah lebih dari lima tahun tinggalkan Kuil Istana Hijau. Dan membangun Kuil sendiri di pantai pesisir sebelah timur. Tepatnya di Tanjung Kait, dekat ibukota Kerajaan Sriwijaya.
"Diperjalanan aku mendengar berita adanya kekacauan di Kuil Istana Hijau. Dan desas-desus lolosnya seorang tawanan dari penjara besi. Tawanan itu adalah bekas seorang paderi, yang ketahuan berbuat kejahatan. Hingga Ki Dharma Sheta telah memenjarakannya. Bahkan dialah si pencipta, yang membuat arca Budha dari perunggu berlapis emas di Kuil Istana Hijau itu. Entah siapa yang telah melepaskannya.
"Aku menduga adanya kerjasama dengan orang dalam. Dalam perjalanan itu aku mendengar khabar adanya seorang gadis bernama Roro Centil yang bergelar Pendekar Wanita Pantai Selatan. Gadis Pendekar itu pernah menjadi sahabat baik Paderi Jayeng Rana, yaitu seorang paderi asal Nepal yang pernah mendirikan Kuil di Lereng Gunung Wilis. Bahkan pernah juga ia menjadi murid Paderi Sakti itu, dan menumpas tiga orang paderi cabul yang mencemarkan nama baik paderi-paderi Kuil Welas Asih di Lereng Gunung Wilis.
"Oleh sebab itulah aku mengundangnya, dengan melalui surat rahasia. Aku berangkat terlebih dulu, dan menunggunya di Penginapan desa Lubuk Batang. Tentu saja maksud undanganku kesatu; Aku ingin berkenalan dengan Pendekar Wanita yang terkenal itu yang sepak terjangnya adalah membasmi kaum penjahat. Kedua aku memerlukan bantuannya untuk mengatasi kerusuhan di Kuil Istana Hijau...!"
Demikian tutur si paderi Bangau Sakti Yang kemudian hentikan penuturannya untuk menyeka keringat di dahinya.
"Apakah kau mengetahui siapa pencuri arca Budha itu, dan juga pembantaian para paderi di Kuil istana Hijau...?" Bertanya Dewi Rembulan.
"Sama-sekali tidak! Dalam keadaan kacau demikian yang sudah kudengar, aku tak berani masuki Kuil. Cuma aku telah lakukan penyamaran sebagai petani desa, dan dari luar pintu sudah kulihat mayat-mayat bergelimpangan!" Menjelaskan si Bangau Putih. "Mengenai lenyapnya kepala arca Budha dan lenyapnya sepasang Pedang Siluman di dalam arca itu mana aku mengetahui...?" Sambungnya lagi, seraya mengusap-usap jenggotnya.
"Apakah kau mengetahui seluk-beluk Kuil Istana Hijau...?" Bertanya lagi Sito Resmi.
Pertanyaan itu telah membuat si Bangau Putih jadi menghela nafas. Tapi tetap menyahuti. Seraya ujarnya; "Memang pada lima tahun yang lalu di bawah Kuil ada ruangan rahasia. Akan tetapi telah ditutup oleh Ki Dharma Sheta. Bahkan melihatpun aku belum pernah. Karena aku cuma mendengarnya saja dari Ketua Utama Kuil Istana Hijau, Ki Dharma Sheta. Mengenai keadaan sekarang mana aku mengetahui? Karena walaupun aku masih ada pertalian saudara, akan tetapi aku sudah termasuk tidak mengurusi keadaan di dalam dan di luar kuil Istana Hijau. Boleh dibilang sekarang aku adalah termasuk orang yang tidak tahu apa-apa...!"
Tampak Dewi Rembulan seperti sudah tak ingin lakukan pertanyaan lagi. Sementara si Naga Hitam termenung sesaat, seperti berfikir. Bangau Putih ternyata telah menyambung bicara lagi.
"Sudahlah...!, Kukira tak ada gunanya kalian menawan ku lama-lama. Aku memang sedang bernasib sial. Mengundang orang untuk bisa membantu ku, ternyata orangnya pun tak kelihatan batang hidungnya. Sebaiknya kau bunuh saja sekarang. Toh sama saja...! Sekarang mati, nanti pun akan mati di tangan Ketua kalian yang tak kuketahui siapa!" Berkata si Bangau Putih seraya lagi-lagi mengusap dahinya yang berkeringat.
Akan tetapi si Naga Hitam telah tertawa, seraya berkata; "Heh! Justru aku tak akan membunuhmu. Karena kupikir kau bisa kuajak bekerja sama. Aku akan selidiki siapa gerangan si Topeng Perunggu, yang telah bersedia memberikan upah 100 tail perak untuk menawan mu. Aku menduga kuat kalau si Topeng Perunggu itu adalah si pencuri sepasang Pedang Siluman. Kukira nilai pedang pusaka itu lebih tinggi dari 100 tail perak...!"
"Apa rencanamu, Naga Hitam...?" Bertanya Dewi Rembulan.
"Ha ha ha... Kurasa dengan kekuatan kita bertiga, akan dapat merobohkan dan menawan si Topeng Perunggu. Aku percaya kau akan berhasil meringkusnya dengan Jerat Sutera mu?" Dengan memaksanya untuk bicara, kita akan tahu siapa gerangan dia. Dan kalau ternyata pedang pusaka itu ada padanya, bukankah satu keuntungan di depan mata? Dan... ha ha ha kita berdua akan menguasai Sepasang Pedang Siluman dengan mudah. Setelah itu adalah urusan si Bangau Putih untuk membekuknya. Kalau ternyata dia manusianya yang melakukan pembantaian, tinggal meringkusnya saja...! Adapun mengenai urusan di Kuil Istana Hijau selanjutnya, bukan urusan kita untuk mencampuri...!"
Tampak si Dewi Rembulan tersenyum, dan manggut-manggut. Tapi seperti penasaran atau memang tak mengerti, sudah bertanya lagi. "Jadi bagaimana caranya...?"
Naga Hitam jadi mendongkol, tapi segera menjawab. "Memang wanita di manapun selalu cerewet. Nah, dengarkan...! Si Bangau Putih ini pura-pura jadi tawanan kita. Lalu kita bawa menghadap pada si Topeng Perunggu. Bereslah urusannya...!"
Barulah si Dewi Rembulan manggut-manggut.
"Mau tanya lagi Rembulan.. ?" Naga Hitam sudah mendahului bicara.
"Cukuplah! Aku sudah benar-benar mengerti sekarang...!" Menyahut si wanita seraya beranjak untuk duduk di atas batu kira-kira lima-enam langkah dari situ. Akan tetapi pada saat itu telah terdengar suara tertawa berkakakan diiringi kata-kata bernada dingin.
"Hoa ha ha... ha ha... Bagus! Naga Hitam! Kau rupanya mau berkhianat! Hm! ketahuilah setiap perintang ku tak ada lain jalan, selain Kematian...!" Begitu suaranya habis, satu bayangan hitam telah berkelebat ke hadapan si Naga Hitam.
Kejadian itu terlalu cepat, karena belum lagi si Naga Hitam ini menyadari, serangkum senjata rahasia segera meluruk ke arahnya. Terkesiap laki-laki ini. Secepat kilat ia segera bergulingan menyelamatkan diri. Ia berhasil lolos dari serangan tiba-tiba itu, akan tetapi rangkuman jarum berbisa itu terus meluncur ke arah si Bangau Putih. Tampaknya paderi itu tak akan mampu menghindari.
Akan tetapi satu bayangan kilat telah menyambar tubuh paderi itu. Dan membawanya berkelebat dengan cepat. Entah bayangan siapa, karena Roro Centil pun ternyata masih berada di tempat persembunyiannya. Adapun sosok tubuh berjubah hitam ini, cuma bisa terpaku saja. Tapi ia tak segera mengejar karena sepasang matanya ditujukan pada si Naga Hitam. Terkejut laki-laki itu melihat sosok tubuh di hadapannya.
"Hah!?... To...Topeng Perunggu...!" Teriak si Naga Hitam dengan suara tertahan. Tiba-tiba lengannya sudah bergerak mencekal lengan si Dewi Rembulan, seraya berbisik; "Hayo, cepat kita kabur...!"
Akan tetapi sungguh di luar dugaan, justru si Dewi Rembulan secepat kilat telah ulurkan tangan menotoknya. Terkesiap si Naga Hitam. Namun tubuhnya sudah roboh terguling. Terdengar si Dewi Rembulan tertawa mengikik. Seraya beranjak mendekati si Topeng Perunggu, lalu sandarkan punggungnya pada si Jubah Hitam itu.
"Hi hi hi... Naga Hitam! Ternyata kau tak dapat tundukkan Rembulan. Kau adalah laki-laki yang paling bodoh di Dunia ini!" Seraya berkata, tiba-tiba ia telah luncurkan Jerat Sutranya, yang segera membelit kaki si Naga Hitam.
Detik berikutnya tubuh si laki-laki itu telah melayang ke udara. Terdengar suara tulang yang remuk, ketika tubuh si Naga Hitam beradu dengan langit-langit batu Goa. Diiringi suara jeritan ngeri, tubuh laki-laki itu jatuh berdebuk ke tanah. Tampak tubuhnya menggeliat sejenak, lalu mengejang untuk tidak bergerak lagi. Ternyata kepalanya telah remuk dengan darah bermuncratan dua warna.
"Hm, bagus...! Kau memang wanita yang cerdik dan hebat, bibi...!" Berkata si Topeng Perunggu dengan memuji.
"Hi hi hi... manusia macam begini memang sudah selayaknya mati! Bukankah demikian Tugangga...!" Berkata si Dewi Rembulan seraya menggamit lengan si Topeng Perunggu.
Topeng Perunggu hanya mendengus di hidung. Lalu pegang pinggang si Dewi Rembulan. Sekejap kemudian telah berangkat pergi dengan berkelebat. Masih terdengar suara cekikikan si wanita itu dari kejauhan.
"Wanita kejam!" maki Roro Centil perlahan. Betapa ia jadi mendongkol melihat si wanita itu yang ternyata seorang yang kejam dan telengas. Tiba-tiba iapun kelebatkan tubuhnya untuk cepat menguntit. Roro Centil merasa mempunyai kesempatan untuk mengetahui di mana sarang si Topeng Perunggu itu.
Ternyata si Topeng Perunggu telah memondong si wanita itu. Bahkan dalam perjalanan itu topengnya telah dilepaskan oleh si Dewi Rembulan. Tampak setelah beberapa kali berkelebat, si Topeng Perunggu hentikan langkah larinya. Dan dua buah kepala itu sudah saling pagut dalam keremangan sinar Rembulan.
Selang sesaat... si laki-laki yang telah tak mengenakan topeng itu telah turunkan tubuh si Dewi Rembulan dari pondongannya. Ternyata ia seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun. Bertubuh jangkung, dengan rambut lurus yang agak gondrong. Bermata lebar dan terlihat jalang. Hidungnya agak pilih melengkung. Mereka segera duduk di rumput saling berdekatan. Sinar bulan yang agak hampir bulat itu cukup menerangi sekitar tempat itu.
"'Aku cemburu dengan si Naga Hitam itu, bibi...! Aku menyangka bibi benar-benar mencintainya...." Berkata laki-laki bernama Tugangga itu, seraya sudah kembali mendekap wanita itu ke dadanya.
Terdengar si Dewi Rembulan tertawa kecil, seraya menggamit leher laki-laki itu dan menggelendot manja. "Hi hi... Sudahlah jangan ingat dia lagi. Toh orangnya sudah mampus! Kini apa rencanamu setelah kau berhasil keluar dari penjara si paderi tua Dharma Sheta" Berkata si Dewi Rembulan seraya jatuhkan kepalanya ke pangkuan si laki-laki Topeng Perunggu. Sementara lengannya bergayut di leher.
"Apakah kau akan menguasai Kuil Istana Hijau, atau akan malang melintang lagi di Rimba Hijau dengan Sepasang Pedang Siluman...?" Sambung si Dewi Rembulan dengan suara berbisik. Karena dilihatnya Tugangga tetap termenung belum menjawab.
Selang sesaat baru laki-laki itu tertawa seraya ujarnya, "Ha ha ha... Mungkin juga aku akan malang melintang lagi di Dunia Persilatan. Selama tiga tahun dipenjarakan di Penjara Besi oleh Ki Dharma Sheta, aku telah menciptakan Dua belas jurus ampuh dari Sepasang Pedang Siluman. Namun tanpa bantuan bibi mungkin aku belum bisa keluar dari Penjara Besi yang telah mengurung ku. Tentu saja sekali lagi aku menghaturkan terimakasih atas pertolongan itu..."
"Hi hi... Tanpa aku bekerja sama dengan si Paderi Sapta Dasa Griwa, mungkin aku tak tahu di mana kau dipenjarakan. Biarkan dia dengan kemelutnya sendiri. Cuma sangat kusesalkan lolosnya si Bangau Putih. Aku menduga orang yang telah menolongnya itu orang kosen yang berkepandaian tinggi. Atau jangan-jangan dia pula yang telah mengirim berita-berita pada si Bangau Putih. Apakah kau punya dugaan siapa gerangan dia...?" Bertanya si Dewi Rembulan.
"Heh! Kalau aku berniat mengejarnya, tentu sudah ku bekuk dia hidup-hidup. Akan tetapi waktu itu aku sedang cemburu padamu, bibi...! Mana aku berniat mengejarnya, selain untuk menguliti si Naga Hitam di depan matamu...!"
"Hi hi hi... lagi-lagi kau cemburu! Kau memang mirip pamanmu dulu sewaktu masih hidup. Sayang ia menemui kematiannya dengan cara yang menyakitkan! Aku telah bersumpah akan menuntut balas kematiannya. Cuma waktu itu aku harus bersabar menunggu waktu. Si Pendekar Gentayangan itu kini usianya telah mencapai 100 tahun. Kabarnya ia mempunyai seorang murid laki-laki yang usianya hampir seusia mu!" Ujar si Dewi Rembulan bernama Sito Resmi itu. Sepasang matanya memancarkan dendam yang tak pernah kunjung padam. Mendengar demikian Tugangga segera menghiburnya.
"Sabarlah bibi...! Waktunya untuk membalas dendam sudah dekat! Kita tinggal menunggu kabar tibanya si paderi Ketua Dharma Sheta. Sementara kita menetap dulu di Ruang Bawah tanah Kuil Istana Hijau. Biar si paderi Sapta Dasa Griwa menguasai Kuil dan berbuat seperti tak ada kejadian apa-apa. Paderi itu telah berjasa pada kita. Seandainya ia menjadi Pimpinan Utama Kuil itu kelak, tentu akan menjadi salah seorang dari rekan kita. Akan mudah bagi kita kelak bila sewaktu-waktu memerlukan pertolongan. Selain itu pula kita harus bertindak tak kepalang, untuk menghancurkan setiap perintang. Terutama membantu si paderi Sapta Dasa Griwa melenyapkan Ki Dharma Sheta...!" Ujar si Manusia Topeng Perunggu. Lalu lanjutkan lagi, setelah termenung sesaat.
"Sebenarnya menghilangnya aku dari Rimba Hijau, adalah karena menyelamatkan diriku dari kejaran musuh-musuhku. Dengan menyamar sebagai seorang yang tolol, aku diterima sebagai paderi di Kuil Istana Hijau oleh Ki Dharma Sheta. Dengan Kepala gundul plontos, aku tak akan dikenali lagi oleh setiap musuhku. Terutama oleh si Pewaris Sepasang Pedang Siluman. Karena mereka tetap memburu ku...!"
"Siapakah si Pewaris Sepasang Siluman itu...?" Tanya Sito Resmi.
"Dialah yang bernama GIRI MAYANG alias si Kelabang Kuning. Aku mencurinya dari ruang pusaka di Rumah Perguruan Tri Mukti. Ternyata adalah milik si Ketua Perguruan itu. Dan merupakan sepasang benda keramat yang berusia lebih dari 100 tahun. Ketua Perguruan itu bernama TUN PARERA, yaitu guru dari si Kelabang Kuning, alias Giri Mayang. Begitu aku jadi buronan, segera aku menyamar jadi paderi di Kuil Istana Hijau.
"Ternyata kepandaianku dalam membuat arca mendapat pujian dari Ki Dharma Sheta. Hingga ia telah meminta ku membuatkan sebuah Arca Budha dari Perunggu berlapis Emas. Pengganti arca lama yang telah rusak, yang terbuat dari batu. Tapi diam-diam telah ku sembunyikan Sepasang Pedang Siluman di dalam arca itu, dengan harapan suatu saat akan dapat kuambil lagi.
"Ternyata perbuatanku selama menjadi paderi yang kuperbuat dengan sembunyi-sembunyi, telah membuat murka Paderi Ketua Ki Dharma Sheta. Hingga aku dipenjarakan di Penjara Besi di ruang bawah tanah. Hal itu adalah sudah menjadi rencanaku. karena dengan demikian, aku dapat mempelajari 12 Jurus Ilmu Pedang, yang terdapat tulisannya pada dua gulung kertas kulit di dalam kedua gagang pedang.
"Dengan masing-masing enam jurus pada setiap gulungnya. Kini aku telah menguasai ke 12 Jurus Ilmu Pedang itu. Dan saatnya aku munculkan diri lagi di Rimba Hijau...!" Ujar Tugangga, seraya tertawa puas.
Sementara itu Roro Centil telah mendengarkan dari tempat persembunyiannya. Dan kini terungkaplah sudah misteri peristiwa di Kuil Istana Hijau. Ternyata hilangnya potongan kepala arca Budha itu memang benar ada hubungannya dengan Sepasang Pedang Siluman, seperti yang telah diungkapkan oleh si Naga Hitam. Saat itu si Dewi Rembulan telah mendekap tubuh si manusia bertopeng perunggu, yang topengnya telah dilepaskan dan tampak tergeletak di dekatnya. Terdengar wanita yang ternyata menggandrungi keponakannya sendiri itu berbisik dengan suara berdesis....
"Bagus Tugangga. Kau bisa balaskan sakit hatiku pada si Pendekar Gentayangan. Kau belum berikan jawabanmu mengenai siapa kira-kira yang telah menolong si Bangau Putih itu. Agaknya kita harus waspada setiap saat. Karena akan banyak para Pendekar yang membantu si Bangau Putih untuk mencari si pembantai para paderi di Kuil Istana Hijau!
"Kudengar si Bangau Putih itu meminta bantuan pada seorang yang bernama Roro Centil, yang bergelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Entah orangnya apakah yang pernah menginap di Penginapan desa Lubuk Batang...? Karena dari mata-mata yang kupasang di sana, gadis itu mencari si Bangau Putih.
"Sayang mata-mataku datang memberitahu setelah gadis itu berangkat pergi. Ia katakan gadis itu amat aneh, karena ketika pada malam hari, saat ia menggerayangi ke kamar, telah melihat seekor harimau Tutul yang amat besar yang menjaganya. Cepat-cepat ia mengunci lagi pintu kamar. Lalu bergegas untuk menyembunyikan diri....!" Tutur si Dewi Rembulan dengan serius.
Laki-laki ini termenung. Tapi segera keluarkan pendapatnya, "Mengenai si penolong paderi Bangau Putih itu, aku kurang bisa mengira-ngira siapa adanya dia. Tapi kalau gadis yang kau katakan tadi, aku mengambil kesimpulan adalah si Pendekar Wanita itu...!" Ujar Tugangga. "Mengenai harimau Tutul itu, aku mengira, gadis pendekar itu mempunyai semacam ilmu hitam!" Ujar Tugangga lagi.
"Mungkin juga! Justru itu kita harus lebih hati-hati lagi, karena bukan mustahil kita akan banyak menghadapi banyak musuh." Berkata si Dewi Rembulan.
"Sudahlah...! Itu urusanku nanti. Kini apa rencanamu? Apakah kita bermalam di ruang bawah tanah, ataukah akan bermalam di sini..,? Tampaknya bibi terlalu lelah setelah berpacu tadi!" Kata-kata Tugangga terdengar seperti menyindir.
Tentu saja membuat si Dewi Rembulan jadi merah wajahnya. Syukur tak kentara, karena cuaca memang tak begitu terang seperti pada siang hari. "Ih, laki-laki kau cemburu...! Seandainya si manusia tolol itu tak menotok ku, mana mungkin aku bisa mandah saja... Walau bagaimana aku tetap berada di urutan paling atas Tugangga. Aku masih sanggup untuk melayanimu sepuluh jurus!"
"Ha haha... bibi memang hebat! Aku akan membuktikannya!" Ujar Tugangga, seraya bersiap pasang kuda-kuda. Sementara jubahnya telah ia lemparkan ke rumput.
"Aku akan buktikan kehebatanku! Kau baru meyakini...!" Ujar si Dewi Rembulan, Seraya sibakkan perintang-perintang yang menghalangi pertarungan. Sepasang mata Tugangga cuma bisa berkilatan memandang daun-daun pohon penghalang yang berjatuhan.
"Bibi benar-benar masih mampu melayani beberapa jurusku?" Ujar Tugangga seraya tertawa menyeringai.
Sementara itu Roro Centil lagi-lagi harus membuang muka melihat pertarungan gila yang bakal terjadi. Akan tetapi pada saat itu gadis ini mengeluh, karena saat ia dalam keadaan tak waspada, sesosok tubuh telah berindap-indap mendekati. Gerakannya bagaikan kucing mengintai mangsanya. Dan tahu-tahu telah gerakkan tangan menotok. Hingga tak ampun lagi tubuh Roro terkulai. Selanjutnya satu bekapan sapu tangan, telah membuat ia tak mampu keluarkan suara.
Dan saat selanjutnya Roro cuma rasakan kepalanya pusing, karena bau harum dari saputangan yang menempel pada hidungnya. Hingga sekejap, gadis ini sudah terkulai tak sadarkan diri. Roro cuma rasakan tubuhnya seperti melayang... Dan ia tak mengetahui kalau ketika itu ia tengah dibawa berkelebat oleh sesosok tubuh, yang memondongnya.
Sementara itu pertarungan yang boleh dianggap "latihan" oleh kedua manusia di atas rumput di sisi bukit itu, segera akan berlangsung. "Keluarkan jurus-jurus yang kau pelajari selama ini, Tugangga! Aku akan melayani sepenuh hati, agar kau benar-benar tak kecewa...!"
"Ha ha ha... walau dua tahun aku disekap, tapi untuk jenis jurus-jurus selain 12 Jurus Ilmu Sepasang Pedang Siluman, aku mempunyai bermacam jurus, yang segera kau akan mengetahuinya...!" Berkata Tugangga, seraya sudah hantamkan pukulannya ke arah kaki.
Menghadapi permainan yang menarik ini, tampaknya si Dewi Rembulan begitu senang. Segera ia lompat ke udara tiga tombak. Gerakannya indah, mempertontonkan bentuk liukkan yang mempesona. Tugangga berseru kagum. Sepasang matanya berbinar. Tiba-tiba ia sudah melompat cepat di bawah si Dewi Rembulan. Sepasang lengannya terpentang. Terkejut si Dewi Rembulan, lihat Tugangga berada di bawahnya. Dan saat itu tubuhnya telah meluncur turun. Namun dengan segera ia telah merobah posisi dengan sepasang kaki terpentang untuk menjepit leher.
"Awas! Jaga leher mu, Tugangga...!" Teriak Dewi Rembulan. Tugangga menyeringai. Ternyata ia tak berusaha mengelak. Namun sepasang lengannya berhasil menangkap sepasang lengan si Dewi Rembulan. Jepitan sepasang kaki itu ternyata tak mampu membuat untuk melepaskan cekalan pada lengannya. Bahkan kini si Dewi Rembulan yang keluarkan Suara keluhan. Tubuhnya segera bergelinjangan.
Saat itu seekor kelelawar yang telah berhasil menggondol buah masak, telah melumat dan menyantapnya dengan rakus. Terlalu sulit untuk menikmati, segera ia bawa dan tempelkan ke batang pohon. Dan di sana ia menikmati kelezatannya.
Pada jurus pertama itu, setelah bergulat untuk mencoba lepaskan diri, akhirnya si Dewi Rembulan berhasil jejakkan kaki ke pundak Tugangga. Sementara lengannya telah berhasil menangkap dahan pohon. Laki-laki itu jatuh bergulingan. Namun dengan sebat sambil bergulingan di rumput, lengannya berhasil meraih Jerat Sutera si wanita itu.
Belum lagi si Dewi Rembulan sadar akan serangan selanjutnya dari si Manusia Topeng Perunggu, tahu-tahu jerat sutera itu telah menyambar kakinya. Mengeluh si Dewi Rembulan. Ia tak menyangka kalau keponakannya ini, ternyata berwatak kasar. Tapi ia memang ingin menguji sampai di mana kehebatan Tugangga. Ia segera lepaskan pegangan tangannya pada dahan. Akan tetapi justru tubuhnya roboh terguling, karena sebelah kakinya telah kena Jerat Suteranya sendiri.
Detik berikutnya, satu totokan telah membuat ia tak berkutik. Tahu-tahu ia rasakan tubuhnya telah melayang naik lagi. Ternyata Tugangga telah melompat ke atas dahan pohon, dan menarik Jerat Suteranya, hingga tubuhnya menggelantung di dahan pohon dengan kaki terikat. Detik selanjutnya kedua kakinya telah terikat kuat dengan terentang di dahan pohon. Dewi Rembulan cuma bisa ternganga... karena gerakan Tugangga begitu cepat. Tahu-tahu ia sudah tergantung di dahan pohon, dengan kepala berada di bawah.
"Tugangga! Apa yang kau mau lakukan? Kau mau menguliti aku?" Teriak si Dewi Rembulan. Diam-diam wanita ini ngeri juga. Karena Tugangga ternyata lebih buas dari si Naga Hitam. Khawatir juga ia kalau-kalau laki-laki itu berubah fikiran, dan membunuhnya. Karena sejak beberapa tahun ia baru berjumpa dengan keponakannya ini.
Akan tetapi wanita ini segera tersenyum, karena dari tingkah laku Tugangga dan sepasang matanya yang liar, ia mengetahui laki-laki keponakannya ini cuma melampiaskan kemendongkolan hatinya saja. Seolah-olah iapun sanggup menundukkannya. Seperti melebihi kesanggupan si Naga Hitam, yang telah tewas.
Cahaya purnama tampak semakin tinggi. Bersitkan sinar yang menyebar rata ke seluruh perbukitan. Tugangga berdiri bertolak pinggang dengan menatap pada si Dewi Rembulan yang tergantung jungkir balik. Sepasang matanya menelusuri perbukitan dan lembah-lembah ilalang di hadapannya Lalu tertawa menyeringai.
"Aku bukan akan menguliti mu, bibi...! Tapi akan tunjukkan satu jurus Kelelawar mencaplok Rembulan. Satu jurus istimewa dari jurus-jurus yang banyak aku pergunakan dulu. Kala aku masih jadi petualang dari lembah ke lembah...!"
Seraya berkata ia sudah segera beranjak menghampiri. Namun diam-diam Dewi Rembulan telah berhasil bebaskan diri dari pengaruh totokan. Saat itu seekor kelelawar kembali telah menyambar buah-buah yang bergelantungan. Buah buahan yang ranum di susuri dengan moncongnya. Angin malam berdesir agak keras mengguncang seekor kelelawar betina yang menggantung itu hingga bergelinjangan.
Tatkala moncong kelelawar yang susuri buah-buah ranum itu temukan buah yang masak, segera merengkuhnya dengan lahap. Dua ekor kelelawar itu bagai bergelut untuk saling merengkuh. Sementara desis angin malam bagai kan nafas yang mendesah desah menerpa. Kelelawar jantan ternyata mulai semakin bernafsu melihat buah-buah yang ranum itu. Segera terbang ke atas dahan yang lebih tinggi. Dan dengan menggelantung di dahan, lengannya sudah mencengkeram.
Sementara moncongnya merengkuh buah-buah yang ranum itu berganti-ganti. Kelelawar betina cuma bisa ngangakan moncongnya dengan suara cicitnya yang seperti mendesis. Seperti masih ingin ia melumat yang sudah terlepas dari moncongnya. Sementara kelelawar jantan telah keluarkan kepandaiannya melumat apa yang berada di depan moncongnya.
Sementara itu segera Tugangga telah keluarkan suara berdesis di telinga. "Inilah jurus-jurus dari Kelelawar mencaplok Rembulan...!". Satu pukulan perlahan itu ternyata telah membuat si Dewi Rembulan, menggelinjang dengan keluhan keluar dari bibirnya. Ia telah menangkis dengan sepenuh hati. Namun beberapa kali serangan beruntun itu, telah membuat ia seperti rasakan tubuhnya jadi bergetaran.
Kedua tubuh kelelawar yang bergantung itu terayun-ayun, kala angin bertiup mendesah-desah. Sepintas tampaknya seperti tengah bercanda. Karena sayap-sayapnya saling rangkul dengan kuat. Terdengar suara cicitnya di antara desah angin yang menerpa. Dan selang sesaat mereka sudah seperti tidur lelap, karena kekenyangan menyantap. Saat itu memang Tugangga telah mengakhiri jurus-jurus yang di pertunjukkannya pada si Dewi Rembulan.
"Jurus-jurusmu memang hebat Tugangga! Aku memang tak mampu mengungguli mu!" Berkata Sito Resmi seraya buka kelopak matanya.
Seraya tertawa, Tugangga letikkan tubuh untuk kembali melompat ke atas dahan. Lalu dengan cepat membuka kembali tali Jerat Sutera yang melilit kaki Sito Resmi. Lalu tarik tubuh si Dewi Rembulan ke atas. Selanjutnya sudah berada kembali disamping Tugangga dengan duduk di dahan menyandar di dada laki-laki itu.
"Kekuatan tenaga dalammu luar biasa Tugangga. Tenagaku sampai tersedot habis...!" Keluh si Dewi Rembulan, Tugangga hanya tertawa, lalu tempelkan telapak tangannya di punggung Sito Resmi. Hingga tak lama kemudian Sito Resmi sudah merasa segar lagi.
Rembulan semakin tinggi menggantung di langit. Malam terus merayap, kala dua sosok tubuh itu tinggalkan lereng bukit, untuk berlalu dari tempat yang telah menguras tenaga itu. Akan tetapi mereka tampak dalam kepuasan dalam pertarungan barusan Siapakah sosok tubuh yang telah menotok Roro Centil, dan membuat ia tak berdaya itu? Mari kita ikuti siapa gerangan dia...
Sosok tubuh itu mengenakan topeng hitam pada wajahnya. Bertubuh kekar, dengan rambut awut-awutan. Setelah beberapa saat lamanya berlari-lari dengan cepat. Sosok tubuh itupun hentikan larinya. Di hadapannya adalah sebuah rawa-rawa. Seandainya orang yang belum tahu jalan, sudah pasti akan terjerumus ke dalam rawa yang dalam itu.
Ternyata ia mengambil jalan memutar. Lalu temukan jalan lurus berbatu-batu. Seperti memang jalan yang sengaja dibuat untuk menyeberangi rawa itu. Meniti jalan lurus itu, segera sudah terlihat sebuah bangunan di tengah rawa. Di atas tanah ketinggian, kira-kira tiga kali lemparan tombak lagi.
Sementara Roro Centil masih terkulai dalam pondongan orang itu. Dengan keluar suara tertawa lirih, segera ia telah enjot tubuh untuk melompat. Hebat tenaga lompatan itu, karena dengan dua kali melompat, ia telah tiba di sisi tanah ketinggian di tengah rawa. Ternyata ia harus mengambil ancangancang lagi untuk melompat. Di hadapannya dalam jarak satu tombak lagi, terdapat kolam yang melingkari tanah bangunan mirip pendopo.
Segera ia telah enjot tubuhnya sekali lagi, dan mendarat di undak-undakan batu. Selanjutnya ia telah melangkah untuk naik. Dan sekejap kemudian telah tiba di muka pintu gedung pendopo. Tubuh Roro dalam pondongan telah dipindahkan ke atas bahu. Sementara sebelah tangannya membuka pintu dengan kunci yang ia keluarkan dari saku bajunya.
Tak lama si Pendekar Wanita itu sudah dibawa masuk ke dalam gedung pendopo itu. Dan lenyap ketika pintu kembali tertutup kembali. Di malam yang disinari rembulan itu ternyata telah banyak peristiwa telah terjadi. Ketika sadarkan diri, Roro Centil berada dalam sebuah ruangan yang luas.
Terkejut Pendekar wanita ini ketika dapatkan dirinya dalam keadaan berdiri terikat kaki dan tangannya oleh rantai. Dengan kaki serta tangan terpentang pada palang besi. Lebih-lebih terkejutnya Roro Centil, ketika mengetahui pakaiannya telah lenyap. Beruntung masih ada dua penghalang yang menutupi bagian-bagian terpenting di tubuhnya.
Saat itu matahari telah menyorot masuk dari jendela berdinding batu sebelah atas. Kepala Roro bergerak memutar untuk meneliti ruangan. Ia segera dapat menduga, ruangan itu berada di bawah tanah. Karena dindingnya tampak rembes oleh air. Dan terlihat ada beberapa tulang tengkorak manusia berserakan di lantai lembab. Tempat apakah ini...? Dan siapakah yang telah menotok ku...? Berkata Roro dalam hati.
Segera teringat kejadian semalam, tatkala ia tengah akan menyaksikan pertarungan gila si Dewi Rembulan dan Topeng Perunggu. Tahu-tahu tubuhnya telah ditotok orang, dalam keadaan lengah. Dan sebuah sapu tangan berbau harum telah menyumpal hidungnya. Selanjutnya ia sudah tak sadarkan diri. Ketika sadar tentu saja Roro jadi terkejut karena mengetahui ia dalam keadaan terikat sedemikian.
Diam-diam ia coba kerahkan tenaga dalamnya, untuk mencoba memutuskan rantai. Akan tetapi lagilagi ia terkesiap karena tenaganya telah punah. Hal tersebut ternyata membuat murid si manusia Banci ini mendongkol. Dan segera saja keluar adat anehnya. Tiba-tiba Roro Centil telah perdengarkan suara tertawa mengikik geli, hingga terpingkal-pingkal. Hingga seluruh ruangan itu seperti penuh suara tertawa yang berpantulan tak ada putusnya. Seolah di dalam ruangan itu ada sepuluh wanita yang sama-sama tertawa.
Tentu saja hal itu telah membuat sebuah pintu batu menjeblak terbuka dari atas. Dan sesosok tubuh telah melompat ke bawah. Ternyata seorang laki-laki yang mengenakan topeng di wajahnya. Yaitu laki-laki yang telah menotoknya, dan menawan Roro di tempat ini.
"Hentikan tertawamu Wanita Pendekar...!" Sentaknya, seraya berkelebat melompat ke hadapan Roro. Yang dibentak ini ternyata bukannya berhenti tertawa, bahkan semakin keras suara tertawanya. Kali ini dibarengi kata-kata....
"Hi hi hi... hi hi... Aku sudah tahu siapa kau, mengapa masih juga menutupi wajahmu. Lebih baik kau lekas-lekas minta ampun padaku, dan lepaskan aku! Kalau tidak, roh ku akan keluar untuk mencabut nyawamu...! Hi hi hi... hi hi...!"
Terkejut laki-laki bertopeng ini. Kata-kata itu tentu saja membuat ia ragu. Apakah benar orang yang di tawannya ini telah mengetahui dirinya? Agaknya mendengar gertakkan Roro itu, nyali si manusia bertopeng ini jadi kendur menyusut. Ia menduga gadis itu mempunyai ilmu hitam. Namun tiba-tiba wajahnya jadi berubah sinis. Dan bentakkan kata-kata;
"Huah...! Kau kira aku bisa kau gertak demikian? Walau kau sudah tahu siapa aku, tak menjadi persoalan. Apakah kau bisa lepaskan diri dari rantai belenggu itu!?" Selesai berkata ia telah lepaskan topeng wajahnya. Ternyata dia tak lain dari Paderi Ketua Dua, dari Kuil Istana Hijau. Yaitu Santa Dasa Griwa.
Diam-diam Roro Centil bergirang hati, karena usahanya untuk mengetahui manusia yang menawannya membawa hasil. Roro yang sudah mengetahui gerakan di bawah tanah paderi yang bekerja sama dengan si Topeng Perunggu itu, sudah tak heran lagi kalau manusia ini mau mencelakai.
"He! Paderi pengkhianat! Apakah kau memang inginkan roh ku mencabut nyawamu?" Teriak Roro tiba-tiba dengan nada suara tinggi yang diiringi tertawa mengikik.
"Ha ha ha... silahkan rohmu keluar untuk membunuhku...! Aku ingin lihat, apakah kau mampu pergunakan ilmu hitammu...!" Ujar paderi Sapta Dasa Griwa sinis.
"Kau memang tak pantas jadi seorang paderi. Perbuatanmu bisa mencemarkan nama paderi lainnya. Apa yang kau inginkan dengan menawan ku demikian rupa?"
"Memang aku tak berniat menjadi paderi, nona pendekar perkasa...! Aku justru ingin merobah Kuil Istana Hijau untuk menjadi Kerajaan kecil yang bernaung di bawah Kerajaan Sriwijaya! Tentu saja aku harus menyingkirkan setiap perintangnya, terutama kau sendiri, yang telah ikut campur dalam urusan ini...! Menyusul si Bangau Putih, dan yang terakhir adalah si Ketua Utama Ki Dharma Sheta...! Tempat ini memang sebuah ruang penyiksaan. Sebelum dibunuh mati setiap tawanan yang berada di ruangan ini harus menjalani siksaan lebih dulu. Tentu saja aku menawan mu, adalah untuk menyiksamu sampai setengah mati. Baru kubunuh dengan ini...!"
Seraya berkata, Dasa Sapta Griwa telah mengeluarkan sepasang pedang pendek yang melengkung dari balik jubahnya. Pedang itu berwarna hitam. Roro Centil jadi melengak dengan sepasang mata membelalak. Kini dilihatnya, paderi itu sudah mendekatinya dengan tersenyum sinis. Adapun Roro Centil segera lakukan pertanyaan.
"Hm... Apakah itu Sepasang Pedang Siluman...?" Tanya Roro tanpa rasa gentar ketika Sapta Dasa Griwa mendekatinya.
"Benar...! Sepasang pedang ini dapat membuat punah segala macam ilmu Hitam. Dan kau boleh keluarkan ilmu hitammu untuk membunuhku! He he he..." Seraya berkata lengannya telah bergerak, dan tempelkan ujung pedang di leher Roro.
Gadis ini cuma meliriknya dengan tersenyum. Agaknya Roro memang bersikap aneh. Dan hal itu adalah kelebihan Roro dari setiap orang. Karena ia seperti tak takut menghadapi kematian. Tapi yang membuat heran Roro, adalah sepasang pedang pusaka ini, mengapa bisa berada di tangan si paderi? Karena memang tidak mengetahui, dengan serampangan saja Roro telah berkata;
"Menurut yang kudengar, Sepasang pedang itu adalah milik TUN PARERA, Ketua Perguruan TRI MUKTI. Kalau benda ini ada di tanganmu sudah pasti kau pemiliknya yang asli...!"
Diterka demikian, wajah si paderi jadi berubah merah. Diam-diam ia membatin dalam hati. Gadis Centil ini apakah punya ilmu nujum, bisa segala tahu...? Terpaksa ia tak bisa sembunyikan lagi siapa dirinya. Apa lagi ia berpendapat si Pendekar Wanita itu sudah dalam kekuasaannya. Buat apa ia menyembunyikan rahasia lagi? Memikir demikian, ia sudah lantas berkata;
"Benar...! Akulah TUN PARERA, Ketua Perguruan Tri Mukti. Gerakanku adalah lebih awal dari si Tugangga manusia Topeng Perunggu itu. Karena dalam aku menguntit pencuri sepasang pedang pusaka leluhur ku itu, akupun telah menyamar menjadi paderi, dan diterima oleh Ki Dharma Sheta. Bahkan mendapat kepercayaan menjadi wakil, sebagai paderi Ketua Dua di Kuil Istana Hijau. Di samping ingin merebut kembali sepasang pedang pusaka leluhur ku, akupun ingin menguasai Kuil Istana Hijau. Ternyata kesempatan itupun berhasil. Aku bertindak tatkala sudah berhasil menghasut lebih dari sepertiga paderi. Bahkan hampir separuhnya. Mengenai Sepasang Pedang Siluman, memang sejak aku menyelidiki, baru kuketahui telah disembunyikan si Tugangga ke dalam arca Budha. Namun berkat banyaknya para paderi yang pro padaku dan membantu dengan sembunyi-sembunyi, melalui ruang bawah tanah, aku berhasil menjebol bawah arca. Dan mengambil sepasang senjata Pusaka itu."
"Mengapa harus bertindak dengan sembunyi-sembunyi?" Tanya Roro.
"Ha ha ha... Dengan demikian, si Paderi Ketua Dharma Sheta tak mencurigaiku. Waktu itu adalah di saat si Tugangga dipenjarakan karena ketahuan telah membawa wanita, dan memperkosanya di ruangan suci. Hukumannya amat berat Karena harus menjalani hukum penjara selama tiga tahun...!"
"Apakah kau telah menukarnya dengan yang palsu?" Tanya Roro lagi.
Tersenyum Tun Parera seraya menyontek dagu Roro untuk mendongak, oleh ujung pedang. "Otakmu cerdik, Roro Centil. Benar...! Aku telah membuat yang palsu. Dan memerlukan waktu cukup lama untuk membuatnya. Yaitu selama hampir satu tahun."
"Apakah ke Dua Belas jurus Ilmu Sepasang Pedang Siluman yang dipelajari Tugangga di penjara juga palsu?" Bertanya Roro dengan menatap tajam Tun Parera.
"Hm! Kalau ke Dua Belas jurus itu tetap yang asli. Karena manusia itu telah mengambilnya terlebih dulu gulungan kertas kulit yang berada di dalam gagang Pedang. Kau pasti dapat mengetahui tentang ke Dua Belas jurus ilmu pedang itu, dari hasil kau mencuri dengar saat kau mengintip mereka...!" Berkata Sapta Dasa Griwa alias Tun Parera dengan mendekatkan wajahnya pada Roro.
Roro tak sempat menjawab. Dan memang tak perlu menjawab. Terpaksa ia cuma mandah saja ketika hidung si paderi itu berkalikali mendarat di pipinya. Dalam hati Roro memaki kalang kabut. Akan tetapi ia memang harus bersabar untuk bisa lepaskan diri. Sementara otaknya mulai bekerja. Mencari jalan untuk bisa membebaskan diri.
"Tunggu dulu Tun Parera...! Mengapa tak kau ajak aku bekerja sama denganmu?" Desis Roro dengan tatapan mata mengandung daya tarik.
Sejenak si paderi hentikan ciumannya. Lalu putarkan tubuh membelakangi Roro. Tampaknya seperti sedang berfikir. Tak lama ia tengah masukkan kedua pedang ke dalam sarungnya di kedua sisi pinggang sebelah dalam jubah. Lalu balikkan lagi tubuhnya dengan sepasang mata menatap pada Roro.
"Aku belum bisa mempercayaimu nona Pendekar Roro Centil. Keadaan sudah mendesak. Dalam beberapa hari lagi aku dapat kabar dari mata-mataku, Ki Dharma Sheta akan segera tiba. Laporan dari mata-mataku, kapal yang ditumpangi paderi Ketua Utama telah merapat di bandar pelabuhan. Kalau kau tak ku sekap di tempat tawanan yang tersembunyi ini, aku khawatir akan lebih banyak perintang ku untuk melenyapkan Ki Dharma Sheta...!"
"Baiklah! Kini apa yang akan kau lakukan terhadap ku, segera lakukanlah...!" Roro justru menantang dengan suara mantap. Karena rasa ingin tahu apa yang akan dilakukannya terhadap dirinya yang sudah tak berdaya itu. Sepasang mata Tun Parera jadi terbeliak menatap Roro. Bahkan jadi geleng-geleng kan kepala melihat ketabahan gadis pendekar itu.
"Ha ha ha... gadis semacammu memang langka! Kau punya watak aneh...! Tadi menakut-nakutiku dengan roh mu yang akan membunuhku, dan suruh aku minta ampun padamu. Kini kau pasrahkan dirimu mentah-mentah...!" Seraya berkata ia telah beranjak ke sisi palang besi. Di situ tergantung sebuah cambuk dari kulit. Segera ia raih benda itu.
"Baiklah...! Aku memang punya kesenangan menyiksa wanita, sebelum aku mengingininya untuk menghangatkan tubuhku! Ingin kulihat tarianmu di ujung cambuk ini!"
Segera dengan sekali lompat ia telah menjauh, kira-kira lima tombak. Dan ulur tali cambuknya yang memanjang sampai ke tanah. Roro Centil kertakkan gigi. Kini baru diketahuinya kalau si paderi ini berhati binatang. Sepasang mata Tun Parera telah berbinar-binar merayapi sekujur tubuh Roro yang mulus terpentang itu. Sebenar lagi ia akan melihat tubuh gadis di hadapannya akan meliuk-liuk bagai ular. Dan rintihan yang menggairahkan itu sudah seperti terdengar di telinganya.
Dengan tertawa menyiringai buas. Tun Parera telah putar-putarkan cambuknya di udara. Roro Centil menatap tak berkedip. Bibirnya tampak seperti bergumam lirih. Ketika itu ujung cambukpun meluncur ke tubuh Roro untuk menyentuh kulit sang Pendekar Wanita yang putih mulus ini. Akan tetapi tiba-tiba Roro Centil telah gerakkan kepalanya ke bawah. Apa yang terjadi? Rambut telah berjuntai menyambar untuk mengeprak ujung cambuk. Hingga sebelum tubuhnya terkena hantaman. Ujung cambuk itu telah menjadi hancur luluh.
Terkejut Tun Parera. Betapa ia tak menyangka akan bisa terjadi hal itu. Tampak ia melompat ke depan satu tombak. Dan kini hantamkan lagi cambuknya. Lagi-lagi Roro keprakkan lagi rambutnya dengan menggerakkan kepalanya. Kembali ujung cambuk menjadi hancur berantakan. Dua kali paderi Sapta Dasa Griwa hantamkan cambuknya. Dan kali juga ujung cambuknya menjadi hancur. Hingga kini cambuk itu tinggal lagi dua depa.
Sepasang mata laki-laki berusia 50 tahun ini jadi membeliak melihat kehebatan serangan rambut Roro Centil. "Bagus...! Rupanya aku tak perlu menyiksamu lagi. Kini terimalah kematianmu, Pendekar wanita!" Ia sudah gerakkan lengannya melempar cambuknya. Dan sekejap telah mencabut keluar sepasang Pedang Siluman. Ketika itu Tun Parera sudah segera melabrak Roro dengan berteriak keras. Sepasang senjatanya berkelebat timbulkan hawa dingin yang merasuk ke jantung.
Berdebar Roro Centil. Seluruh indranya telah dipasang. Sayang Roro belum bisa lepaskan diri dari rantai belenggu. Dan detik itu kedua ujung pedang sudah meluncur ke arah dada dan leher. Akan tetapi pada detik berbahaya itu segumpal asap hitam telah melindungi Roro. Bahkan terus menerjang memapaki terjangan Tun Parera.
Terkesiap laki-laki ini, karena rasakan satu cengkeraman yang menerkam dadanya. Dan membuat tubuhnya jatuh bergulingan. Asap hitam itu terus meluruk ke arahnya diiringi suara menggeram seekor harimau. Seketika Tun Parera jadi terkesima. Sepasang pedangnya bergerak menabas ke arah depan. Buyarlah asap hitam, dan lenyap.
Namun suara menggeram itu tahu-tahu berada di belakangnya. Secepat kilat ia balikkan tubuh. Kini terlihatlah se ekor Harimau Tutul yang tubuhnya hampir sebesar kerbau tengah perlihatkan taringnya, dan sudah bersiap untuk menerkam.
"Gila...!? Makhluk ini dari mana munculnya...!?" Teriak Parera dalam hati. Namun sudah melangkah mundur tiga tindak. Sementara keringat dingin telah mengembun di kening dan lehernya. Bulu tengkuknya tiba-tiba meremang. Belum lagi ia menyadari, sang harimau Tutul telah melompat menerkam. Terpaksa ia pergunakan lagi sepasang pedangnya menabas beberapa kali. Tapi semua itu bagai menabas angin belaka. Karena tubuh si Harimau Tutul bagai bayang-bayang.
Wut! Wut! Wutt...!
Beberapa serangan beruntun telah ia sarangkan ke sasaran. Sang harimau Tutul keluarkan suara menggeram dahsyat. Dan lolos ke depan bagai segumpal asap. Tahu-tahu telah terjadi satu hal yang aneh. Karena tampak Tun Parera telah berkelojotan tubuhnya. Sepasang pedangnya telah terlepas. Kini ia seperti berusaha melepaskan terkaman yang mencengkeram leher. Sepasang lengannya meronta, dengan memegangi lehernya.
Dengan keadaan wajah yang mengerikan. Karena sepasang matanya mendelik dengan mulut ternganga, dan lidah terjulur keluar. Sedang air liurnya bersemburan bercampur darah. Tubuhnya bergetar hebat. Kakinya menyepak ke sana-kemari... Yang akhirnya roboh terguling. Selanjutnya ia seperti tengah meregang nyawa, dan keluarkan jeritan-jeritan parau yang menyayat hati.
Namun selang tak lama, tubuh Tun Parera alias si paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau telah terkulai untuk tak berkutik lagi. Saat itu Roro Centil telah kembali pulih tenaga dalamnya. Dan tengah kerahkan kekuatan lengannya memutuskan rantai belenggu. Terdengar suara mendesis dari mulutnya. Asap tipis tampak mengepul keluar dari setiap anggota tubuh yang terbelenggu rantai.
Sekejap kemudian terlihat rantai-rantai itu telah meleleh bagai terkena bara api yang panas membara. Seluruh tubuh Roro telah keluarkan keringat yang menetes. Inilah tenaga Inti Api yang luar biasa. Yang dipergunakan Roro untuk melepaskan belenggu. Tenaga dalam Roro yang telah diwarisi si Dewa Tengkorak secara penuh, ternyata dapat menghimpun hawa panas yang disalurkan ke tempat tertentu.
Kini dengan sekali sentakan berbareng, Roro Centil telah dapat melepaskan diri dari belenggu. Dan lompat menghampiri di mana tubuh Tun Parera menggeletak. Roro segera memeriksanya. Ternyata Tun Parera si Ketua Perguruan TRI MUKTI alias paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau yang bernama Sapta Dasa Griwa telah tewas secara mengerikan. Dari mulut, hidung dan telinganya tampak mengalirkan darah kental.
Dara ini menghela nafas. Dan bersyukur ia bisa terhindar dari ketelengasannya. Segera ia periksa jubah orang. Dan tarik keluar sepasang sarung pedang. Lalu sepasang matanya dialihkan mencari kedua Pedang Pusaka. Selanjutnya segera benahi lagi kedua pedang itu untuk dimasukkan dalam serangkanya. Si Tutul ternyata telah menjelmakan diri menjadi seekor anak harimau sebesar kucing.
Segera Roro beranjak berlari ke dekat ruang atas yang menjeblak tadi, setelah tatap sejenak si anak harimau Tutul dengan bibir tersenyum. Kemudian sekali enjot tubuh, Roro Centil sudah melompat naik. Kini ia berada di ruang atas. Sementara si Tutul pun sudah melompat mengikuti. Roro Centil selanjutnya memeriksa setiap ruangan. Dan temukan lagi pakaiannya, serta buntalan pakaian yang masih utuh isinya. Senjata Rantai Genitnya ternyata tergantung di sisi pembaringan Tun Parera.
Tak banyak ayal lagi, segera Roro Centil kenakan lagi pakaiannya. Serta rapikan buntalannya untuk disangkutkan lagi pada punggungnya. Selanjutnya sudah segera melompat untuk keluar gedung. Terpaksa Roro pergunakan lengannya menghantam daun pintu. Yang segera jebol berantakan. Sekali enjot tubuh, ia sudah melesat keluar gedung. Dan perhatikan sekitarnya. Ternyata memang tak ada penghuni lain, selain Tun Parera yang telah tewas.
Gadis ayu ini berdiri tegak untuk mencari arah, Sepasang senjata anehnya yaitu si Rantai Genit telah terselip lagi pada pinggangnya. Batu warna kuningnya berkilauan kena sorot cahaya Matahari. Tampaknya Roro agak bingung, Karena ia dibawa kemari dalam keadaan tak sadarkan diri. Roro tak mengetahui ia berada di daerah mana. Dan baru mengetahui kalau rumah pendopo yang dibuat sebagai tempat tawanan dirinya adalah sebuah gedung terpencil di tengah rawa.
Segera Roro beranjak untuk menuruni undakan batu. Kini di bawah kakinya adalah kolam air yang bergaris tengah sepertiga lemparan tombak. Terkejut juga RORO CENTIL mengetahui kolam yang memutari tempat ketinggian di bawah undakan, ternyata penuh dengan lintah. Begitu membaui darah manusia, segera merubung dekat kaki Roro.
"Gila...! Tempat ini sungguh tak menyenangkan! Mari kita tinggalkan tempat ini Tutul...!" Seraya berkata Roro sudah bergerak melompati kolam. Pandangan matanya segera dapat melihat adanya jalan lurus berbatu-batu yang menyeberang rawa-rawa. Sekejap antaranya Roro Centil sudah berkelebat tinggalkan tempat itu...
Siapa gerangan yang menolong si Bangau Putih...? Mari kita lihat di sebuah pondok tersembunyi di dalam hutan bambu. Tempat itu adalah tak jauh dari sebuah muara sungai. Yaitu diantara tiga sungai yang saling bertemu, Tempat ini sering disebut Lubuk Muara Seronok. Karena memang tempat yang diapit oleh dua bukit itu, merupakan tempat yang indah. Akan tetapi memang sebuah tempat yang hampir jarang dikunjungi orang.
Karena untuk dapat tiba di tempat ini, adalah melalui jalan yang sukar ditempuh. Pondok tersembunyi ini wuwungannya terbuat dari atap rumbia. Dengan dinding dari anyaman bambu. Tapi adalah sebuah pondok yang bersih. Serta tempat sekeliling yang teratur rapi. Ditutup hutan bambu yang rapat itu, seolah di alamnya tak terdapat pondok dan manusia.
Di ruang bagian depan itu ternyata telah ada dua orang lelaki tua yang tengah duduk bercakap-cakap. Kiranya mereka adalah si Bangau Putih. Dan yang seorang lagi ternyata seorang tua yang berjubah aneh. Yaitu jubahnya bertambalan dengan bermacam warna. Selain terbuat dari bahan yang mahal, tapi juga bersih. Sehingga tak menampilkan kemesuman.
Rambut orang tua itu memakai gelung terbungkus kain sutera warna hitam. Kedua ujung kain suteranya terjuntai sepanjang satu jengkal. Bertubuh jangkung, dan berkulit muka putih. Rambut dan jenggotnya pun sudah sama memutih.
Laki-laki ini tanpa kumis. Hanya jenggotnya saja yang ia pelihara sepanjang dua jengkal. Wajahnya menandakan seorang tua yang telah banyak makan asam garam di Dunia Rimba Hijau. Dialah kiranya si PENDEKAR GENTAYANGAN dari Gunung KUMBANG. Yang nama aslinya adalah Ki Jagur Wedha.
Perlu diketahui bahwa Gunung Kumbang adalah sebuah gunung di Pulau Jawa. Dengan adanya mereka di Pulau Andalas, dapat dipastikan ada sesuatu hal yang amat penting untuk datang ke tempat ini.
"Sekali lagi aku yang rendah si Bangau Putih mengucapkan terimakasih atas pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!" Berkata paderi itu. Ki Jagur Wedha tersenyum sambil mengelus jenggotnya yang panjang terjuntai.
"He he he... Sudahlah! Mengapa harus berkalikali menghaturkan terimakasih? Kita adalah sesama manusia, yang memang membutuhkan tolong menolong dengan sesamanya" Ujar Ki Jagur Wedha.
Bangau Putih pun tersenyum sambil manggut-manggut. "Sungguh aku menjadi malu, karena dalam usia anda yang sudah mencapai 100 tahun, ternyata masih punya kegesitan luar biasa. Entah ada urusan apakah gerangan hingga anda berkunjung ke Pulau Andalas ini?" Bertanya Bangau Putih.
"Hm! Anda terlalu memujiku paderi Kuil Tanjung Kait. Sebenarnya aku memang sudah pantas untuk pensiun dari Rimba Hijau, akan tetapi kiranya masih ada saja urusan yang harus ku benahi. Sebenarnya kedatanganku kemari bersama Ketua Kuil Istana Hijau. Yaitu Ki Dharma Sheta. Kami telah singgah ke Kuil anda di Tanjung Kait, untuk melihat keadaan di tempat anda. Karena sebagaimana Ki Dharma Sheta mengatakan, bahwa anda tengah dimohonkan bantuannya menjaga Kuil Istana Hijau...!"
"Bagaimanakah keadaan di Tanjung Kait?" Bertanya Bangau Putih memotong pembicaraan.
Ki Jagur Wedha tersenyum dan menjawab. "Tidak terjadi apa-apa. Bahkan para paderi menyambut dengan baik..."
"Apakah Ki Dharma Setha membatalkan kunjungannya ke beberapa kuil di tanah Jawa?"
Laki-laki berusia 100 tahun ini menjawab dengan menghela nafas. "Seorang paderi dari Kuil Istana Hijau telah menyusul Ki Dharma Sheta. Dia melaporkan ada hal-hal yang tidak beres di dalam Kuil. Kebetulan aku menjumpainya di sebuah penginapan. Dan mengajaknya untuk kembali secepatnya. Aku memang sudah lama tak gentayangan lagi di Rimba Hijau. Hal tersebut membuat aku ingin sekali turut mengatasi kemelut di dalam Kuil Istana Hijau.
"Karena kudengar paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa yang telah dipercayainya, melakukan gerakan bawah tanah. Menghasut para paderi hampir separuhnya. Satu hal lagi adalah kudengar tentang lolosnya seorang tahanan Ki Dharma Sheta dari Penjara Besi. Menurut Ki Dharma Sheta baru diketahui belakangan kalau paderi yang tengah menjalani hukumannya itu adalah seorang penjahat yang telah mencuri sepasang Pedang Siluman.
"Hal itu memang baru didengarnya beberapa pekan ini, karena berita itu belumlah bisa dipercaya. Akan tetapi begitu kami injakkan kaki di Pulau Andalas, sudah dengar berita yang lebih hebat. Yaitu pembantaian para paderi Kuil Istana Hijau. Bahkan nyaris kami temui kematian, karena serangan mata-mata yang memang telah dipasang si paderi Sapta Dasa Griwa.
"Dari mata-mata yang berhasil kutangkap, segera diketahui kalau si paderi Sapta Dasa Griwa mau berkhianat. Dan berniat menguasai Kuil. Karena ia memang bercita-cita menjadikan Kuil itu sebuah istana Kerajaan Kecil. Yang akan ia dirikan, dan bernaung di bawah panji Kerajaan Sriwijaya. Kami telah tiba dengan waktu yang lebih dipercepat.
"Dan kini Ki Dharma Sheta berada disatu tempat yang aman menunggu instruksi dariku. Dia memang menyerahkan urusan ini padaku. Karena menganggapku adalah seorang yang sudah berpengalaman untuk menumpas komplotan penjahat...!"
Demikian Ki Jagur Wedha akhiri penuturannya. Bangau Putih manggut-manggut mendengar penuturan itu. Dan iapun ceritakan pula pengalamannya sejak ia ditugaskan Ki Dharma Sheta untuk menjaga Kuil Istana Hijau. Di mana ia menemui kesulitan sehingga tertawan oleh si Naga Hitam dan Dewi Rembulan.
"He he he... si Dewi Rembulan itu istri mudanya si Petir Dahana. Tokoh keji kepala perampok itu telah kukirim nyawanya ke Neraka empat atau lima tahun yang lalu. Ketika aku menolongmu dari serangan si Topeng Perunggu yang akan membunuhmu sekaligus dengan si Naga Hitam, aku sekilas melihat seorang dara berbaju kuning tak jauh dari tempat itu. Apakah dia si Roro Centil itu...?" Tanya Ki Jagur Wedha.
Bangau Putih kerutkan alisnya, seraya menjawab; "Entahlah...! Aku tak mengetahuinya. Karena sejak aku mengundangnya, sekali pun aku belum pernah bertemu muka. Dan aku sama sekali tak mengetahui adanya orang di tempat itu...!"
"He he he... ternyata kita orang-orang tua sudah jauh ketinggalan dengan para pendekar muda. Cuma mereka belum begitu banyak pengalaman. Begitu menolongmu, aku segera kembali lagi kesana. Dan dapatkan si Naga Hitam telah tewas. Aku mencari-cari di sekitar tempat itu, ternyata si Dewi Rembulan tengah main gila dengan si Topeng Perunggu. Sedangkan dara berbaju kuning itu entah kemana, tak kulihat batang hidungnya! Tadinya aku mau turun tangan membekuk dua manusia itu. Akan tetapi sebagai seorang tua yang sudah menjauhi segala macam urusan orang-orang muda, aku lebih baik tinggalkan tempat itu. Masih banyak waktu untuk membekuknya!" Ujar Ki Jagur Wedha.
Bangau Putih terdengar menghela nafas. Dan berucap pula. "Memang...! Keadaan dunia telah semakin semrawut! Itulah sebabnya aku memilih menjadi seorang paderi. Tapi tak nyana, akhirnya masih juga aku harus jadi seekor kambing tua yang dungu. Karena kebodohanku!" Paderi ini teringat akan kelakuan gila si Naga Hitam dan Dewi Rembulan, yang enak saja mengumbar nafsu di hadapannya... "Apakah anda tahu siapa gerangan si Topeng Perunggu itu...?" Tanya si Bangau Putih.
"He he he... Dia tak lain dari si manusia yang telah lepaskan diri dari Penjara Besi di Kuil istana Hijau! Kiranya si Dewi Rembulan itulah yang telah menolongnya keluar dari tahanan. Dia bernama TUGANGGA. Yaitu keponakan dari si Petir Dahana yang telah mampus di tanganku...!" Menyahut Ki Jagur Wedha.
Akan tetapi tiba-tiba laki-laki berusia satu abad ini telah berteriak dengan suara keras... "Hooiiii...! Tetamu yang di luar. Mengapa tak segera masuk? Tak baik mendengarkan percakapan dengan sembunyi-sembunyi...!"
Melengak si Bangau Putih. Karena telinga Ki Jagur Wedha ternyata amat tajam pendengarannya. Ia sudah melongok keluar jendela. Dan pada saat itu juga berkelebat masuk sesosok tubuh ramping berbaju kuning emas, yang tak lain dari si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil.
"Aiii.... calon menantuku kiranya...! Silahkan duduk! Silahkan duduk...!" Berkata Ki Jagur Wedha dengan wajah berseri.
Adapun Roro Centil jadi melengak heran. Tahu-tahu disambut orang dengan memanggilnya calon menantu. Roro segera menjura pada kedua orang tua itu. Karena sudah dipersilahkan duduk segera Roro pun mengambil tempat duduk di tikar dekat pintu. "Siapakah adanya kakek? Mengapa menyebutku calon menantumu...?" Bertanya Roro Centil.
Ki Jagur Wedha langsung menjawab; "He he he...! Dari melihat sepasang senjatamu yang sudah terkenal itu, aku orang tua si Pendekar Gentayangan sudah mengetahui kalau kau adalah Roro Centil. Bukankah Gurumu si Manusia Aneh Pantai Selatan...?" Tanya Ki Jagur Wedha.
Roro Centil naikkan alisnya, tapi segera mengangguk. Aku memang muridnya. Dan kalau tak salah anda adalah saudara angkat Guruku. Juga guru si Joko Sangit, benarkah demikian...?" Roro Centil balik bertanya, karena dari nama julukan itu, Roro segera teringat akan penjelasan Joko Sangit, sahabatnya. Yang mengatakan ketika memberi kabar tentang kematian Gurunya si Manusia Banci telah tewas, kala Joko Sangit akan mengundangnya untuk menghadiri Ulang Tahun si Pendekar Gentayangan ini. Yaitu pada usia ke 100 tahun. Di mana akhirnya berkelanjutan Roro mencari kedua orang pembunuh Gurunya di Pulau Andalas ini.
Ki Jagur Wedha manggut-manggut seraya tertawa terkekeh-kekeh membenarkan. "He he he... Apakah kau belum berkenalan dengan paman ini? Beliau adalah paderi dari Tanjung Kait, yang bergelar si Bangau Putih!"
Roro Centil segera menjura pada laki-laki berusia 50 tahun itu, Seraya berkata; "Maafkan keterlambatan ku memenuhi undangan mu, paman Bangau Putih! Kiranya baru sekarang kita berjumpa muka..."
"Ha ha ha... tak mengapa nona Roro Centil. Aku sudah gembira akhirnya toh kita bisa berjumpa. Sungguh aku telah mendengar akan kehebatan sepak terjang mu selama ini. Dan aku orang tua cuma bisa geleng kepala melihat munculnya para generasi baru dari Kaum Muda, yang berjuang menegakkan panji-panji keadilan. Ternyata kami orang tua sudah tak mengenal lagi tingginya ilmu tingkatan masa kini...!"
"Ah, anda terlalu merendahkan diri paman Bangau Putih. Justru kepandaian yang ku peroleh adalah warisan dari para kaum tua....!" Berkata Roro Centil merendahkan diri. Selanjutnya mereka sudah tertawa dengan gembira. Tiba-tiba Roro Centil ajukan pertanyaan tadi. Yaitu mengenai panggilan sang kakek padanya yang mengatakan kata-kata "Calon Menantu" padanya.
Kembali Ki Jagur Wedha tertawa gelak-gelak, seraya ujarnya; "He he he... Muridku yang sudah tak betah di rumah itu tampaknya sering sekali membicarakan tentang dirimu, Roro Centil. Aku berpendapat ia telah jatuh cinta padamu. Kalau ada hubungan asmara diantara kalian berdua mana aku mengetahui...?"
Merah seketika wajah Roro karena malu, juga karena merasa tak punya soal-soal asmara dengannya. Dengan tersipu ia segera menjawab. "Kami memang pernah akrab. Akan tetapi sedikitpun aku tak mengetahui apa yang namanya asmara...!" Ujar Roro Polos. Tentu saja kata-kata itu membuat kedua tokoh tua itu jadi terpingkal-pingkal.
"Baiklah! Baiklah...! Mengenai urusan orang muda, aku tak akan mencampuri. Aku sendiri juga pernah muda. Sayangnya aku laki-laki, jadi tak mengetahui isi hati wanita...!" Berujar si Pendekar Gentayangan yang disambut oleh si Bangau Putih dengan manggut-manggut.
Karena diminta menceritakan riwayat hidupnya, terpaksa Roro menceritakannya. Bahkan juga tentang kematian Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan. Dan kedatangannya ke Pulau Andalas ini tak lain untuk mencari dan berhasil menumpas kedua musuhnya. Yaitu kedua istri si Dewa Tengkorak. Si Peri Gunung Dempo dan si Kupu-kupu Emas. Tampaknya si Pendekar Gentayangan terkejut mendengar kematian adik angkatnya itu. Wajahnya jadi kelihatan bersedih.
"Aiii...!? Aku tak menyangka kalau dia sudah mendahuluiku...! Benar-benar membuat aku seperti enggan hidup di atas jagat ini. Begitu banyak kemelut...! Tapi memang sudah menjadi suratan takdir. Semua yang hidup toh akan mati juga ...!" Kata-kata Ki Jagur Wedha akhirnya bernada biasa lagi, seraya menghela nafas. Karena sejauh manapun umur manusia, toh akan menemui ajalnya juga tanpa diharap-harap atau tanpa disadari...!
Mendengar Roro telah berhasil membalaskan sakit hatinya, si Pendekar Gentayangan cuma manggut-manggut Karena masalah Dunia Rimba Hijau memang tak pernah ada putusnya. "Sakit hati dan balas dendam adalah tidak terpuji kalau melakukan balas dendam...!"
Demikian sedikit pengarahan yang di utarakan Ki Jagur Wedha pada Roro Centil. Gadis Pendekar ini cuma manggut-manggut membenarkan. Selanjutnya Roro Centil pun ceritakan kejadian tadi malam dan barusan, sejak ia disekap dalam ruang tahanan. Dan berhasil menewaskan paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa, yang ternyata adalah bernama TUN PARERA, Kedua dari Perguruan Tri Mukti.
Ia juga memiliki Sepasang Pedang Siluman. Juga dikisahkan bagaimana Tun Parera mengelabui Ki Dharma Setha. Sehingga berhasil memalsukan sepasang pedang yang dicuri Tugangga. Kemudian berniat menguasai Kuil Istana Hijau. Lalu dengan tak melewatkan apa yang didengar dan dialaminya, Roro Centil segera beberkan kisahnya.
Ki Jagur Wedha jadi manggut-manggut mengerti. Dan ia sungguh tak menyangka kalau Paderi Sapta Dasa Griwa adalah Tun Parera. "Berarti si pencuri itu tak mengetahui kalau benda yang berada di tangannya adalah barang palsu...?" Berkata Ki Jagur Wedha sambil mengelus jenggotnya.
"Benar! Akan tetapi mereka tetap berbahaya. Karena Tugangga alias si Topeng Perunggu memiliki Dua Belas Jurus ampuh dari Sepasang Pedang Siluman yang telah dipelajarinya sejak ia disekap dalam Penjara Besi!" Ujar Roro Centil.
"Hm! Kini kita harus mengatur siasat untuk bisa menumpas si Tugangga dan Dewi Rembulan!" Berkata Ki Jagur Wedha seraya membuka bungkusan kain sutera hitam yang dipakai menyembunyikan Sepasang Pedang Siluman yang asli.
Akan tetapi pada saat itu sebuah benda menggelinding ke dalam ruangan. Terkejutlah mereka, karena benda itu mengeluarkan asap berbau mesiu. Serentak mereka sudah berlompatan menghindarkan diri. Pendekar Gentayangan berteriak memperingati "Awas...! Bahan Peledak. Selamatkan diri kalian...!"
Begitu mereka berlompatan, justru sebuah bayangan berkelebat masuk dari pintu belakang ke dalam ruangan itu. Dan secepat kilat telah menyambar sepasang pedang Pusaka yang baru dibuka pembungkusnya oleh Ki Jagur Wedha. Dan detik selanjutnya, sudah berkelebat lagi untuk sesaat kemudian lenyap dibalik rumpun bambu.
Tetapi Roro Centil telah bergerak cepat mengejarnya. Namun sayang ia kehilangan jejak. Sementara Bangau Putih dan si Pendekar Gentayangan setelah menunggu sekian saat, ternyata tak ada suara ledakan. Dengan menggerutu ia melompat kembali ke dalam. Ternyata benda itu cuma keluarkan asap saja tanpa meledak. Kedua tokoh tua ini jadi merasa tertipu. Pada saat itu Roro Centil sudah berkelebat kembali ke depan pondok.
"Manusianya tak berhasil kutemukan. Benda apakah itu tadi...?" Tanya Roro.
"Kita telah tertipu. Tak ada ledakan apa-apa. Bahkan asap itupun tak mengandung racun. Tentu ia memang tak bermaksud mencelakai kita, cuma mau merampas sepasang pedang itu saja rupanya...!" Berkata Ki Jagur Wedha dengan rasa mendongkol, karena dapat dipecundangi orang.
"Aku menduga dia si Giri Mayang alias si Kelabang Kuning. Yang kuketahui menurut pengakuan si manusia Topeng Perunggu. Dia adalah muridnya si Tun Parera, alias paderi tiruan Sapta Dasa Griwa. Kalau memang benar dia adanya. Memang ia yang berhak mewarisi Sepasang Pedang itu. Kita tak perlu mengejarnya. Kini kita alihkan pembicaraan pada cara mengatur rencana selanjutnya, sehingga Kuil Istana Hijau bisa kembali putih...!" Berkata Roro Centil.
"Akan tetapi kita tak bisa bicara di sini, kita perlu berembuk dengan Ki Dharma Sheta. Karena dia yang mengetahui seluk beluk Kuil Istana Hijau...!" Ujar si Bangau Putih.
"Benar! Sebaiknya kita berangkat ke sana sekarang! "Membenarkan Ki Jagur Wedha. Roro Centil tiba-tiba ajukan pertanyaan pada si Jagur Wedha.
"Maaf, Kakek Pendekar Gentayangan. Pondok ini milik siapakah...?" Ki Jagur Wedha kernyitkan keningnya menatap Roro.
"He he he... tempat ini aku tak mengetahui siapa pemiliknya. Tapi sudah dua hari aku berada di sini, tak pernah datang pemiliknya...!"
"Aneh...!? Kalau begitu marilah kita berangkat!" Berkata Roro Centil.
Dan selang beberapa saat, mereka segera tinggalkan tempat hutan bambu itu. Sementara dibenak Roro telah terlintas bahwa pondok itu tentu ada rahasianya. Karena kemunculan orang yang merampas pedang tak diketahuinya sama sekali.
Jangan-jangan pondok tempat sarang si Kelabang Kuning. Alias Giri Mayang. Fikir Roro, tapi Roro hanya dapat menduga saja. Sementara, ia terus mengikuti ke mana Ki Jagur Wedha kelebatkan tubuhnya. Dalam perjalanan itu mereka tak lagi bercakap-cakap.
Saat itu matahari semakin tinggi menggelincar. Burung-burung elang tampak beterbangan di udara. Sesekali perdengarkan suaranya ketika melintas di atas bukit. Tampaknya seperti memberi tanda akan adanya satu pertarungan yang bakal meminta banyak korban.
Siapakah gerangan yang telah menyambar kembali Sepasang Pedang Siluman...? Dugaan Roro Centil ternyata tidak salah! Karena begitu mereka berkelebat tinggalkan tempat itu. Sesosok tubuh yang berbaju mirip rahib wanita dan berwarna Kuning telah berkelebat lagi muncul dari balik rumpun bambu. Dan sekejap telah berada di depan pondok.
Ternyata seorang wanita yang berusia sekitar 25 tahun. Beralis lurus mirip laki-laki berwajah agak lonjong, dengan dagu agak panjang. Raut wajahnya cukup cantik. Akan tetapi sinar matanya tampak memancarkan dendam yang teramat hebat. Dialah GIRI MAYANG alias si Kelabang Kuning. Tampak ada bekas air mata yang telah mengering di pipinya. terlihat bibirnya bergetar menahan perasaan yang menggebu dalam dadanya. Terdengar suaranya lirih mendesis...
"Roro Centil! Tunggu saatnya aku akan adu jiwa denganmu...! Aku memang tak mencampuri urusan guruku, akan tetapi hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa...! Kau telah pergunakan ilmu siluman untuk membunuh Guruku TUN PARERA. Kelak sepasang Pedang Siluman ini akan mengorek jantung mu...!" Selesai berkata, iapun berkelebat dengan cepat menuju ke arah sebelah barat.
Dua hari berselang sejak kejadian-kejadian di luar Kuil Istana Hijau, tampak di pagi buta tiga sosok tubuh berkelebat melintas perbukitan. Kira-kira sepenanak nasi, mereka hentikan tindakan kakinya. Lalu bergerak untuk memecah menjadi tiga jurusan. ternyata di hadapan mereka telah terlihat Kuil Istana Hijau. Mereka adalah Roro Centil, si Bangau Putih dan si kakek berusia satu abad, Pendekar Gentayangan, alias Ki Jagur Wedha.
Kiranya Roro bertugas untuk masuk melalui lubang rahasia di belakang Gedung Kuil. Karena sudah mendapat penjelasan tentang tanda-tanda tempat menuju ke lubang rahasia di bawah tanah. Roro Centil segera temukan tempatnya. yaitu sebuah arca Budha dari batu dengan ukuran kecil di mana terdapat di ujung sebuah tugu, di belakang gedung Kuil.
Setelah meneliti keadaan sekitar, segera ia melompat mendekati. Dengan hati-hati ia putarkan arca itu menghadap ke timur. Tiba-tiba terdengar suara batu bergeser. Kiranya sebuah lantas persegi di dekatnya telah bergeser terbuka. Roro Centil melongok ke dalam, kiranya ada tangga batu yang menurun. Secepat itu juga Roro sudah bergerak melompat ke dalam ruang. Lalu tanpa ragu, segera meniti undakan untuk terus turun ke dalam.
Tangga batu yang memanjang itu membelok ke sebelah kiri. Terkejut Roro Centil, karena dapatkan satu ruangan luas di dalam lubang. Baru ia mau menindak, terdengar suara orang bercakap-cakap yang menuju di mana Roro berdiri dibalik dinding. Ternyata dua orang paderi. Saat mereka lewat, segera lengan Roro bekerja.
Dua kali lengannya berkelebat, paderi-paderi itu sudah keluarkan suara keluhan perlahan, dan roboh tak sadarkan diri. Tersenyum gadis Pendekar ini. Lalu dengan cepat ia sudah gotong kedua paderi untuk disembunyikan di tempat gelap disudut dinding. Selanjutnya ia telah berkelebat dengan hati-hati, dan kini masuki lagi satu ruangan kosong.
Di sini cuma terlihat mesin-mesin penggerak pintu-pintu rahasia. Saat itu Roro bekerja cepat. Sebuah besi lempengan yang berada di paling ujung, segera ia gerakkan ke bawah. Sementara itu, si Bangau Putih yang berada di satu ruangan depan Kuil Istana Hijau segera melihat adanya satu lubang terbuka.
"Bagus...! Roro Centil telah berhasil memasuki ruangan alat-alat rahasia!" Berkata dalam hati si paderi ini. Dan tanpa berayal ia telah bergerak melompat untuk memasuki lubang. Lalu tempelkan tubuh ke sisi dinding.
Sementara itu Ki Jagur di luar Kuil. Dengan sebelah lengan bertolak pinggang. Sedangkan sebelah lagi mencekal tongkat sebatang ranting bambu, tiba-tiba telah perdengarkan suaranya berteriak santar. Suaranya berkumandang ke seluruh ruangan.
"Hoooooiiiii...! Para pengkhianat di bawah tanah...! Kalian telah terkurung! jangan harap dapat meloloskan diri. Tugangga! Dewi Rembulan...! Keluarlah untuk menghadapiku. Atas nama paderi Ketua Utama Ki Dharma Sheta menyerahlah untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu! Para paderi yang berkhianat akan diberi ampun, kecuali bila kalian memang membandel, akan tahu rasa akibatnya...!"
Setelah menanti sejenak. Tampaknya tak ada tanda-tanda orang yang keluar dari dalam ruang bawah tanah. Ki Jagur Wedha berfikir sejenak. "Pintu rahasia cuma ada tiga. Keduanya telah di jaga oleh Roro Centil dan Bangau Putih. Kini tinggal satu pintu disudut ruangan yang pasti mereka akan keluar dari sana...!" berfikir demikian, kembali Ki Jagur Wedha berteriak keras-keras.
"Hoooiiiii...! Kalau ku hitung sampai tiga, tak ada yang keluar untuk serahkan diri segera ruangan bawah tanah akan ku ledakkan...!" Mengancam kakek tua ini. Lalu lanjutkan dengan berteriak. "Ketahuilah, pemimpin gerakan kalian si paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa sudah kami kirim jiwanya ke Akhirat!"
Agaknya kata-kata ini membawa pengaruh. Karena segera beberapa paderi berduyun-duyun bersembulan keluar dari satu lantai yang telah bergeser terbuka. Segera Ki Jagur Wedha sudah berkelebat ke sana. Sembilan orang paderi tampak masing-masing memegangi kepalanya, tanpa senjata keluar satu per satu. Begitu melihat Ki Jagur Wedha segera berjongkok di atas lantai.
"Semua berkumpul di sana!" Berkata Ki Jagur Wedha dengan nada membentak. Kesembilan itu cuma bisa menurut. Dan duduk berjajar dengan menekap kepalanya masing-masing. Saat itu kakek tua ini kibaskan lengan jubahnya. Segera bersyiur angin keras. Yang membuat kesembilan paderi itu keluarkan keluhan.
Tahu-tahu mereka jadi terkejut, karena seluruh tubuhnya telah tak bisa digerakkan lagi, karena telah terkena totokan dari syiuran angin yang melumpuhkan anggota tubuhnya. Mereka cuma bisa keluarkan keringat dingin dengan hati kebat-kebit.
Saat itu di pintu rahasia si Bangau Putih telah terjadi pertarungan. Karena lima orang paderi telah mengetahui adanya Bangau Putih didinding ruangan lorong rahasia. Mereka segera menerjang dengan serentak. Terpaksa Bangau Putih keluarkan jurus Bangau Mematuk. Walaupun ia sudah tak bersenjata lagi, akan tetapi jurus itu amat hebat. Karena tampak berkelebat bayangan putih berseliweran diantara kelima paderi di tingkat ketiga ini.
Tahu-tahu tubuh mereka telah terkena totokan lihai si Bangau Putih. Dan dengan perdengarkan keluhannya segera roboh terjungkal. Dengan tiga kali lompatan paderi ini tiba di ruang bagian bawah. Kembali ia menyelinap di sudut ruangan. Sepasang matanya mengawasi keadaan di dalam ruangan.
Saat itu Roro Centil telah berkelebat ke setiap ruangan. Tentu saja dengan gerakan hati-hati. Tampak tiga belas paderi yang rata-rata memakai ikat kepala pembungkus berwarna hitam. Mereka tengah berembuk di dalam ruangan, Keluar takut, berdiam di dalam pun tak ingin. Roro Centil sudah segera melompat ke hadapan mereka.
"Hihi hihi... Mengapa kalian tak segera keluar? Apakah mau mati terkubur di tempat ini...!" Berkata Roro Centil.
Melengok ketiga belas paderi itu. Menatap Roro yang memang berpakaian dengan paha tersembul dari belahan gaunnya. "Kau siapakah nona...?" Bertanya salah seorang.
Roro tersenyum. Lalu menjawab; "Aku bisa juga dewi penyelamat nyawa kalian. Akan tetapi bisa juga jadi malaikat pencabut nyawa." Berkata Roro seraya tarik keluar sepasang senjatanya si Rantai Genit dari pinggang.
Melihat sepasang senjata yang berbentuk lucu itu, mereka jadi melengak. Dan melototkan mata dengan senyum menyiringai. Sementara dua orang yang bertubuh jangkung saling bisik dengan kawannya. Lalu melompat maju ke hadapan Roro.
"Hm! Nona...! Baiklah kami akan keluar, asal kau dapat antarkan kami jalan keluar yang selamat. Aku tak mengetahui keadaan di atas. Bisa-bisa kami cuma temui kematian."
Roro kerutkan alisnya. "Baiklah! Bersamaku kalian akan aman. Ikutilah aku...!" Seraya berkata Roro Centil balikkan tubuhnya untuk segera keluar dari ruangan.
Akan tetapi pada saat itu keempat paderi itu telah menyergapnya dari belakang. Dua orang mencekal lengan di kanan. Dan dua orang mencekal di kiri. Terkejut Roro Centil. Kakinya sudah bergerak untuk lakukan tendangan. Akan tetapi tiba-tiba dua orang lagi telah melompat menubruk ke arah kaki. Dan segera saja lengan-lengan kekar telah berhasil meringkus sepasang kaki Roro.
"Bagus...!" Terdengar satu suara keras di ruangan itu. Dan sesosok tubuh berkelebat. Ternyata Dewi Rembulan. "Cepat bawa ke lorong rahasia!" Teriaknya. Ia sudah mendahului beranjak kesatu ruangan. Di sana ia gerakkan sebuah alat. Dan segera terbuka satu lubang besar di dinding.
Dalam keadaan tak berdaya, Roro Centil digotong beramai-ramai memasuki lubang rahasia itu. Ternyata adalah satu lorong di bawah tanah. Sementara si Dewi Rembulan bertindak cepat memberi isyarat pada para paderi pengikutnya untuk memasuki lorong itu. Beberapa belas paderi segera berlarian memasukinya.
"Kemanakah Tugangga...?" Bertanya Dewi Rembulan. Seraya lengannya bergerak menyambar jubah seorang paderi yang dengan terburu-buru masuk menyusul kawannya.
"Be... beliau ada di ruang wanita...!" Berkata gagap si paderi itu.
"Gila...! Bukannya lekas bertindak, mengapa masih enak-enak berada di sana?" Desisnya mendongkol. Benak wanita ini bekerja cepat. Lalu bertindak lekas menutup kembali ruangan rahasia itu.
"Hm. Ruangan ini adalah satu lorong yang menembus ke luar lereng bukit. Satu-satunya jalan untuk meloloskan diri! Wanita-wanita sekapan itu tak perlu diurusi. Mengapa dalam situasi seperti ini Tugangga tak bertindak cepat...?" Berkata Dewi Rembulan dalam hati. Tapi baru ia mau beranjak untuk berkelebat ke ruangan paling ujung, telah terdengar bentakkan di belakangnya.
"Dewi Rembulan ! Kau menyerahlah!" Ternyata yang membentak adalah paderi Bangau Putih.
Wanita ini segera balikkan tubuhnya. "Kunyuk tua, kiranya kau turut dalam penyerbuan ini? Bagus! Kau rasakanlah kematianmu!" Teriak Sito Resmi. Seraya kelebatkan Jala Suteranya menyambar si Bangau Putih. Paderi tua ini segera pergunakan kegesitannya menghindar. Lolos satu serangan, segera si Dewi Rembulan sambarkan lagi sebuah lagi jala sutera.
Wut! Wuttt...!
Dua serangan beruntun menyambar. Bangau Putih segera gerakkan tubuhnya bersalto dua kali di udara. Ia pernah kena dipecundangi wanita ini, akan tetapi mana mau dipecundangi kedua kalinya? Segera ia pergunakan jurus-jurus bangau Putih mematuk. Kedua lengannya ke tekuk sedemikian rupa menyerupai kepala bangau. Lalu bergerak menyambar tubuh si Dewi Rembulan. Tiga serangan berantai dapat dielakkan wanita itu. Dan segera lindungi tubuhnya dengan putarkan jala suteranya.
Ternyata ia bertarung sambil mundur. Akalnya yang cerdik telah membuat perangkap buat si Bangau Putih. Paderi tua ini terus mencecar dengan Patukan-patukan Bangaunya tanpa menyadari kalau akan masuk perangkap. Dalam beberapa jurus saja mereka bertarung, ternyata telah tiba pada ruangan paling ujung. Saat itulah si Dewi Rembulan berteriak.
"Tugangga...! Bantu aku membunuh Bangau Tua ini...!"
Terkejut Bangau Putih. Sepasang mata paderi ini melirik ke arah pintu kamar yang tertutup. Dugaannya benar, karena tiba-tiba pintu kamar terbuka. Dan melompat sesosok tubuh yang bertelanjang dada. Dialah Tugangga. Yang dalam sekejap telah berdiri tegak di depan pintu. Tampak pada wajahnya perasaan mendongkol pada kedatangan orang yang mengganggunya. Tiba-tiba ia telah cabut sepasang pedang pendek melengkung dari belakang punggungnya.
"Minggir bibi....!" Teriaknya. Dan berkelebatlah tubuh Tugangga menerjang ke arah si Bangau Putih. Sepasang pedang Hitamnya berkelebat tak terlihat.
Wuk! Wukk...!
Dua serangan kilat yang telah keluarkan syiuran angin dingin, membuat si Bangau Putih hams gulingkan tubuhnya ke lantai. Keringat dingin mengembun di tengkuk lakilaki tua ini. Tugangga telah beranjak lagi melangkah mendekati paderi ini.
"Heh! Kau telah berhasil lolos dari kematian! Kini kau hanya antarkan nyawa saja kambing tua...!" Akhir kata-katanya telah disusul dengan terjangan kilat menabas Sakti Pentang Sayap. Tubuhnya tiba-tiba melambung ke atas. Sepasang kakinya terpentang, sedang lengannya mengibas. Satu angin dahsyat segera menerjang si manusia Topeng Perunggu itu, yang sudah tak memakai lagi topengnya.
Tapi kedua pedang telah diputar bagai baling-baling untuk menangkis serangan balasan si Bangau Putih. Segera terjadi bentrokan angin santar. Bangau Putih terlempar keras ke belakang. Tubuhnya membentur tembok di belakangnya. Terdengar suara keras, ketika tembok itu jebol berantakan. Bangau Putih meringis menyeringai menahan, sakit pada punggungnya. Tampak darah segar menetes keluar dari sudut bibirnya. Kiranya tubuhnya telah menjebol ke satu ruangan lain yang tertutup. Segera terasa ada hawa segar masuk ke tempat itu.
Tugangga menatap pada Dewi Rembulan lalu berkata; "Bibi...! Kau bunuhlah dia...! Ia sudah tak berdaya!" Kemudian laki-laki itu melompat lagi ke dalam kamar. Dan menutup daun pintu dengan suara keras.
Sito Resmi kerutkan alisnya. Lagi-lagi tampak bibirnya cemberut. Namun ia sudah segera menerobos untuk menerjang si Bangau Putih. Dua serangan dari kedua Jala Sutera menerjang si Bangau Putih. Hebat terjangan itu, karena kedua Jala sutera itu sekonyong-konyong telah berubah kaku bagai dua batang tombak.
Crak...! Crakk...!
Bangau Putih perdengarkan teriakan tertahan. Namun ia masih sempat berguling-guling menghindari maut, lantai batu bekas kedua hantaman itu tampak hancur berkepingan. Bangau Putih rasakan tubuhnya lemah lunglai. Akan tetapi lengannya telah menapak pada batu undakan yang menuju ke ruangan atas. Kekuatannya timbul lagi. Ia harus menyelamatkan diri...! Pikirnya. Dan dengan kuatkan tubuh, segera ia bangkit berdiri.
Dan secepat itu juga tanpa berayal, segera mendaki undakkan batu ke atas. Saat itu si Dewi Rembulan yang memang sedang mendongkol pada Tugangga. Jadi kian bertambah mendongkol, karena buruannya telah angkat kaki melarikan diri. Segera ia enjot tubuh melompat untuk mengejar. Agaknya Bangau Putih sudah tak kuasa mendaki tangga batu undakan itu. Tubuhnya sudah beberapa kali tersuruk jatuh. Sedang si Dewi Rembulan sudah mengejar kian dekat. Kini jerat suteranya telah kembali meluncur ke arah tubuhnya. Tak ada tenaga bagi si Bangau Putih untuk menghindarkan diri lagi.
Namun pada saat itu telah bersyiur satu angin keras, yang menghantam balik kedua jala sutera. Loloslah si Bangau Putih dari maut. Sebuah ranting bambu telah menyambar jubahnya. Dan segera melayang ke atas. Ketika paderi ini buka matanya, ternyata si Pendekar Gentayangan yang telah menolongnya.
Melihat serangannya gagal, dan bahkan membuat tubuh si Dewi Rembulan ini terlempar ke belakang, segera wanita ini berbalik lagi menuruni tangga batu. Lalu berkelebat masuk lagi ke dalam jebolan tembok. Dari sebelah dalam ia mengintai siapa gerangan orang yang bertenaga besar, yang telah menggagalkan serangannya.
Segera terlihat sesosok tubuh jangkung, berjanggut putih, yang panjangnya dua jengkal. Tanpa kumis. Rambutnya digelung di atas kepala yang terbungkus kain sutera hitam. Berjubah bertambalan dengan bermacam warna. Seketika piaslah wajah si Dewi Rembulan. Akan tetapi sinar matanya memancarkan dendam yang berkobar-kobar pada Ki Jagur Wedha. Karena orang itulah yang telah membunuh suaminya.
Padahal bagi manusia yang berakal budi, tentulah mengetahui sebab-sebab kematian sang suami. Yang nyata-nyata ada di jalur jalan sesat. Kalau harus terbunuh adalah lumrah, karena kejahatan sang suami sudah melebihi takaran. Karena selain menjadi kepala perampok yang kejam. Entah berapa nyawa orang tak berdosa yang telah diambil hartanya dan dibunuh pemiliknya.
Tetapi wanita ini mana mau tahu urusan itu? Bahkan dendamnya telah ia simpan di dada laksana api dalam sekam. Kini ia cuma mengandalkan Tugangga, yang bisa ia mintai pertolongan. Bukankah PETIR DAHANA adalah paman Tugangga...? Pikir si Dewi Rembulan. Kalau mereka berdua bertarung dengan maju bersama, tak mungkin si Pendekar Gentayangan akan bisa mempertahankan nyawanya. Apa lagi Tugangga telah menguasai Dua Belas jurus Ilmu Pedang dari Sepasang Pedang Siluman...!
Demikian pikir si Dewi Rembulan dalam benaknya. Memikir demikian, ia telah berkelebat ke muka pintu kamar. Di mana Tugangga berada di dalam. Karena waktu mendesak, terpaksa ia terjang daun pintu hingga terbuka. Sekelebat ia melihat adegan yang membuat sepasang matanya membeliak. Akan tetapi cuma beberapa detik saja Karena tiba-tiba telah membersit serangkum jarum menyambar tubuhnya.
Serangan tak terduga itu mimpi pun tidak si Dewi Rembulan. Segera saja ia telah keluarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya terjengkang ke belakang. Dan berkelojotan. Sepasang matanya mendelik menatap Tugangga yang juga tengah menatap padanya dengan terkesiap.
"Kkka... kau... kau...?! Mmemm... bunuh... ku... Bbo... ddoh... h..hh..." Hanya kata-kata terputus itu yang ia dapat ucapkan. Karena sekejap kemudian, tubuhnya telah terkulai. Tapi sekejap kembali bergelinjangan sekarat. Lidahnya terjulur dengan sepasang mata membeliak putih. Setelah mengerang parau, barulah hembuskan nafas penghabisan. Sebentar saja tampak wajahnya telah berubah kehitaman. Dan belasan jarum beracun telah menancap di sekujur tubuhnya.
Adapun Tugangga seperti tak percaya pada penglihatannya. Karena disangkanya yang menerjang daun pintu adalah musuh yang memang sedang ia tunggu. Tak tahunya adalah bibinya sendiri, si Dewi Rembulan, alis Sito Resmi. Tentu saja wajah laki-laki ini jadi berubah pias karena terkejut. Tugangga memang seorang laki-laki yang berani. Dalam keadaan demikian gawat, ternyata masih sempat menggauli seorang gadis. Birahinya yang telah disimpan selama dua tahun dalam Penjara Besi, ternyata telah diumbar keluar semaunya.
Gadis di pembaringan itu adalah gadis tawanan yang baru didapatnya semalam. Dalam saat menjelang pagi ternyata Tugangga belum mampu menundukkan hati sang gadis. Karena Tugangga memang inginkan kewajaran. Bukan paksaan. Seandainya ia mau memaksa. Amatlah mudah baginya melakukan apa saja. Akan tetapi laki-laki berwatak aneh ini telah mulai hilang kesabarannya. Rasa jengkel pada sang gadis telah membuat ia segera menotoknya.
Akan tetapi keinginan yang belum kesampaian itu telah terganggu dengan teriakan-teriakan dari luar, dan kepanikan di dalam ruangan bawah tanah. Namun Tugangga tetap tak beranjak dari kamarnya. Ketika akhirnya terdengar suara pertarungan. Dan teriakan si Dewi Rembulan. Terpaksa ia buka daun pintu. Serta umbar amarahnya pada si Bangau Putih.
Akan tetapi Bangau Putih dapat mematahkan beberapa serangannya. Hingga terakhir beradunya dua angin keras bertenaga dalam. Dan paderi Bangau Putih terlempar tubuhnya menjebol dinding ruangan di sebelahnya. Melihat si Bangau Putih sudah terluka dalam, Tugangga perintahkan Dewi Rembulan membunuhnya. Tak dinyana, kalau si Bangau Putih justru dapat meloloskan diri dari maut. Dan ia memang tak menyangka kalau yang menerjang daun pintu kamar adalah sang bibi sendiri. Hingga berakhir dengan kematian si Dewi Rembulan.
Hal tersebut membuat Tugangga jadi menyesal setengah mati. Hingga saking kesalnya, ia telah tebas leher si gadis yang mau di nodainya itu dengan pedangnya. Darah segar muncrat berhamburan. Gadis tanpa busana itu tewas mengerikan, tanpa dapat berteriak lagi. Detik selanjutnya ia telah sambar jubahnya untuk dikenakan dengan cepat. Lalu melompat ke sudut ruangan. Telinganya telah mendengar ada seseorang mendekati tembok berlubang bekas tempat jebolnya si Bangau Putih.
Sementara itu rombongan para paderi yang menyusuri lorong dalam ruang bawah tanah, hampir tiba ke tempat tujuan. Roro Centil bagaikan boneka kayu saja di gotong beramai-ramai meniti lorong. Hampir tiga puluh paderi berbondong-bondong menyusuri lorong gelap yang panjang itu.
Sementara si gadis pendekar ini tetap seperti tak berdaya. Salah seorang yang berada paling depan telah berkata dengan suara agak keras. Tentu saja suaranya terdengar sampai ke belakang, berkumandang dalam lorong.
"He! Kawan-kawan...! Ujung lorong ini tinggal sedikit lagi. Kita akan segera bebas sampai di luar. Kita telah berbuat kesalahan. Dan kalian tahu, dengan kita menyerahkan diri pada Ketua, berarti akan mendapat hukuman berat. Jadi jalan sebaik-baiknya adalah kita melarikan diri....!" Selesai ucapannya telah terdengar riuh tanda mereka menyetujui.
"Bagaimana dengan gadis ini...? Apakah tidak sebaiknya kita manfaatkan saja di tempat ini? Sayang kalau kita tinggalkan. Atau kita bunuh saja setelah masing-masing mendapat bagian...! Setujukah...?"
"Setuju...! Setuju...!1" Teriak beberapa orang yang berada di belakang.
Akan tetapi ada juga yang menyahuti. "Aku tak setuju...! Kita sedang dalam keadaan gawat. Nyawa kita saja belum ketahuan. Mengapa harus mengumbar nafsu demikian? Ban aku jalan untuk pulang kembali!" Teriak seorang yang berada di tengah. Paderi ini masih berusia muda. Selesai berkata ia telah menyeruak ke belakang untuk kembali ke lorong semula.
"Bodoh....!" Teriak beberapa paderi. Akan tetapi tanpa menghiraukan teriakan, ia telah menyeruak untuk kembali kebagian belakang lorong.
"Tunggu...! Kami ikut...!" Berteriak salah seorang yang berada dibagian belakang. Dan segera enam orang telah buyar untuk menyusui paderi yang seorang ini.
"Bagus! Kita harus bersikap ksatria! Kita telah membuat kesalahan! Seandainya tidak di bunuhpun sudah bagus. Lebih baik kita menyerah! dan mengakui kesalahan...! Mengenai hukuman yang bakal dijatuhkan Ketua pada kita adalah urusan nanti. Walaupun berat, mengapa kita tak rela menerima...?" Berkata paderi muda itu dengan gagah.
Mendengar demikian tampak beberapa paderi mulai sangsi untuk terus melarikan diri. Akhirnya beberapa paderi kembali putar tubuh, untuk kembali ke arah belakang. "Kami ikut...! Kami akan menyerahkan diri!" Teriak salah seorang.
Dan lebih dari dua belas paderi segera berhamburan ke belakang menyusul yang lainnya. Hingga belakangan tinggal delapan paderi saja yang tetap berpendirian salah. Bahkan salah seorang telah berkata;
"Bagus...! Lebih sedikit, lebih baik! Kini siapa yang berani lebih dulu untuk menundukkan wanita ini...! Aku Durgala adalah orang pertama yang punya rencana ini, jadi aku yang berhak menjamah tubuh gadis ini terlebih dulu! Selainnya boleh belakangan...!"
Keempat orang yang mencekal anggota tubuh Roro Centil segera meletakkan tubuh itu ke bawah, tanpa melepaskan cekalannya. Sementara dua orang lagi coba melepaskan sepasang senjata Roro, dari kedua genggaman tangan. Akan tetapi kerasnya bukan main. Durgala melangkah ke depan, seraya menotok tubuh Roro pada dua tempat di pangkal lengan. Akan tetapi tetap saja senjata itu tak dapat terlepas dari genggaman tangan.
"Sudahlah biarkan saja. Kami akan mencekal kaki dan tangannya! Silahkan kau bekerja...!" Berkata seorang paderi yang mencekal kaki Roro.
Sepasang mata pendekar wanita ini masih terkatup kelopak matanya. Sementara Durgala telah lepaskan jubahnya. Sepasang matanya berbinar melihat paha yang tersingkap. Sepasang kaki yang terpentang, dan tubuh yang padat gempal membuat nafsu serigalanya seperti sudah tak tertahankan. Akan tetapi pada saat lengannya mau menjamah payudara gadis pendekar itu, tiba-tiba Roro buka kelopak matanya. Bibirnya tersenyum dan tiba-tiba tertawa mengikik. Sehingga Durgala urungkan niatnya.
"Hi hi hi... kau belum siap, mengapa sudah tak sabar? Sebaiknya kau siapkan dulu dirimu?" Berkata Roro.
Melengak paderi ini. Tapi segera tertawa menyeringai. "He he he... betul! Aku terburu-buru...!"
"Aiii...! Tak ku sangka aku akan mendapat pelayanan yang istimewa darimu, nona manis...!" Seraya berkata ia telah bangkit berdiri untuk meniadakan sesuatu yang menjadi penghalang.
Akan tetapi terkejut keempat orang yang mencekal kaki dan tangan Roro, karena tiba-tiba tubuhnya melambung ke atas bagai disentakkan satu tenaga kuat sekali. Dan terdengarlah empat jeritan menyayat, berbareng dengan suara berderaknya tulang yang remuk terhantam batu di atas lorong.
Prokk! Prokk...! Krakk! Krakk...!
Dan disusul dengan berjatuhannya keempat paderi itu kembali ke bawah. Namun detik itu Roro Centil telah gulingkan tubuhnya menyambar kaki Durgala yang segera terbanting ke tanah. Tentu saja jatuhnya tubuh Durgala berbarengan dengan jatuhnya keempat paderi tadi. Belum lagi Durgala sadar akan apa yang terjadi, tahu-tahu tengkuknya telah disambar lengan Gadis Pendekar ini.
Kini dilihatnya keempat kawannya yang tadi memegangi tangan dan kaki si gadis, tengah berkelojotan bagaikan ayam yang baru disembelih. Tak lama kemudian keempat paderi sial itupun tewas dengan tulang-tulang hancur. Termasuk batok kepala yang pecah berantakan. Melihat kejadian mengerikan yang sekejap mata itu, ketiga paderi yang lainnya segera balikkan tubuh melarikan diri.
Namun Roro Centil mana mau mengampuni mereka. Segera saja lengannya bergerak. Dan tubuh Durgala tiba-tiba meluncur dengan deras ke arah mereka. Tak ampun lagi bertumbanganlah ketiga paderi itu, dengan teriakan-teriakan mengerikan. Tenaga lemparan Roro Centil ternyata telah mempergunakan lebih dari separuh tenaga dalamnya. Hingga tubuh-tubuh ketiga paderi terlempar bergulingan. Dengan derak dari tulang-belulang yang patah. Dan jerit kesakitan yang menyayat hati.
"Hlhi hihi hi hi... Baru kalian rasa, manusia-manusia terkutuk...!" Roro beranjak tinggalkan mereka untuk kembali berlari dalam terowongan menyusul paderi-paderi lainnya yang akan menyerahkan diri.
Ternyata mereka tak dapat membuka pintu terowongan. Karena alat penggerak berada di dalam. Dan telah ditutupkan lagi oleh si Dewi Rembulan. Melihat kedatangan Roro, mereka terkejut karena gadis itu telah dapat melepaskan diri. Sadarlah mereka akan apa yang terjadi dengan nasib kawan-kawannya yang telah mengumbar nafsu hingga membuat celaka sendiri.
"Ampunkan nyawa kami, nona Pendekar...! Kami menyerah, dan akan serahkan diri pada Ketua Kuil untuk menerima hukuman...!" Berkata salah seorang dengan suara gemetar.
"Bagus...!! Minggirlah! Biar aku yang membuka pintu untuk kalian bisa keluar dari lorong ini...!" Segera Roro langkahkan kaki ke depan, para paderi menyingkir. Dan terdengarlah suara berderak keras. Dinding batu penutup lorong hancur berkepingan. Ketika lengan Roro bergerak menghantamnya.
Lebih dari dua puluh pasang mata paderi murid-murid Kuil Istana Hijau itu jadi terbeliak menatap kagum akan kehebatan tenaga dalam Roro. Serentak mereka berhamburan keluar. Pada saat itu di tempat ruangan ini tengah terjadi pertarungan hebat antara Ki Jagur Wedha dengan Tugangga. Roro Centil memandang sejenak pada pertarungan. Juga para paderi-paderi murid Kuil Istana Hijau ini jadi menonton pertarungan seru itu. Namun Roro Centil segera berkata;
"Kalian semua teruskan naik ke atas, berkumpul dengan yang lainnya...!"
Serentak para paderi itu dengan dipimpin paderi muda, berbaris menuju ke ruang atas, dengan meniti tangga batu undakan. Di belakang mereka adalah Roro Centil. Begitu kepala mereka bersembulan ke atas, segera telah melihat adanya sesosok tubuh berdiri di dekat lubang bawah tanah. Siapa lagi kalau bukan Ki Dharma Sheta. Ketua Kuil Istana Hijau. Serentak saja mereka jatuhkan diri berlutut, dengan memegangi kepalanya, seraya beberapa orang telah menangis tersedu.
"Guru...! Ampunilah kesalahan kami, yang telah kena bujukan iblis, hingga mau mengkhianati sumpah paderi...! Berikanlah hukuman pada kami...!" Berkata si paderi muda, mewakilkan yang lainnya.
Seorang paderi yang bertubuh jangkung telah menangis tersedu-sedu, dengan berlutut di hadapan paderi Ketua Kuil itu. "Benar, Guru...! Asalkan Guru ampuni nyawa kami, biar menerima hukuman seberat apapun... akan kami jalani!" Berkata paderi jangkung ini dengan wajah pucat pias. Akan tetapi wajahnya membersitkan jiwa ksatria, yang mau mengakui kesalahannya.
Ki Dharma Sheta mengelus jenggotnya, lalu menyapu dengan pandangan tajam pada semua paderi muridnya. Wajahnya membersitkan kemarahan yang luar biasa. Tubuhnya tergetar menahan gejolak darahnya yang mendidih. Betapa bimbingannya selama ini telah seperti tiada artinya. Akan tetapi selang sesaat, kemarahan hatinya mulai mereda. Terdengar ia menghela nafas, dan berkata,
"Semua manusia mempunyai kesalahan...!" Ujarnya dengan pandangan mata menatapi keluar Kuil. Dan lanjutkan lagi kata-katanya... "Akan tetapi kesalahan itu tidak boleh terulang lagi! Aku menghargai jiwa ksatria kalian yang mau mengakui kesalahannya! Berjanjilah untuk tidak mengulangi segala perbuatan yang tidak terpuji ini...!"
"Kami berjanji Guru...!" Serentak bersama-sama para paderi itu mengucapkan janji sumpahnya berulang ulang sampai tiga kali.
Saat itu Roro Centil sudah berkelebat lagi menuruni undakan batu. Hatinya tercekat melihat pertarungan hebat di ruangan bawah Kuil. Ia mengkhawatirkan nasib si Pendekar Gentayangan yang tengah bertarung dengan Tugangga.
Sementara itu pertarungan tengah berjalan seru. Tugangga tengah lancarkan jurus keenam dari 12 jurus andalannya, dari jurus istimewa Sepasang Pedang Siluman. Ternyata Ki Jagur Wedha menghadapinya cuma dengan sebuah ranting bambu kecil. Hal mana membuat Roro melengak. Karena saat ia menyaksikan, betapa ranting bambu itu mampu menangkis tajamnya mata pedang. Bahkan belum lagi menyentuh ranting, sepasang pedang di tangan Tugangga telah terpental balik. Akan tetapi Tugangga telah main kan jurus-jurus yang membingungkan lawan. Karena kilatan pedangnya hampir tak kelihatan saking cepatnya.
Tampak pada jurus kedelapan ini, Tugangga merubah gerakan sepasang pedang. Kini kedua mata pedang mengarah ke kaki. Berkali-kali Ki Jagur Wedha terpaksa gunakan rantingnya untuk menangkis. Disertai terkadang melompat menghindar. Akan tetapi dicecar sedemikian terus-menerus, tampaknya orang tua ini semakin lemah tenaganya. Ditambah usia yang sudah amat lanjut. Nafasnya terdengar menggeros. Walaupun ia mempunyai tenaga dalam yang hebat, namun lambat laun akan habis tenaganya.
Hingga kali ini ranting bambunya tak lagi mampu menangkis mata pedang. Segera ranting senjatanya putus. Melihat tenaga dalam lawan telah mengendur. Tugangga girang hatinya. Tiba-tiba ia membentak keras. Dan pergunakan jurus kesembilan. Jurus ini dinamakan jurus Setan Hitam Menyambar Mangsa. Kedua pedangnya sekonyong-konyong seperti lenyap terbungkus kabut hitam, yang berseliweran dengan mengeluarkan hawa dingin.
Sepasang mata Ki Jagur Wedha memang sudah kurang awas. Apa lagi bertarung dalam ruangan yang tidak begitu terang. Hingga ia cuma mengandalkan pendengaran dan nalurinya saja. Saat itu tiba-tiba ia berteriak tertahan, seraya lompat bergulingan. Akan tetapi tetap saja ujung sepasang pedang telah memapas putus ujung jubahnya. Sret! Sret! Melayang dua potong ujung jubahnya yang bertambalan bermacam warna itu, nyaris saja sebelah kaki dan sebelah lengannya terpapas putus.
"Hebat...! Jurus yang luar biasa...!" Teriak Ki Jagur Wedha. Secepat kilat ia telah melompat berdiri lagi.
Tugangga tertawa mengejek. Sebuah senjatanya dipakai menunjuk kakek tua itu. "Hei! Pendekar Gentayangan...! Kini saatnya kau benar-benar bergentayangan arwahmu di alam Akhirat! Kau telah menewaskan paman ku PETIR DAHANA. Dan kini saat hutang jiwa harus dibayar lagi dengan jiwa...! Aku adalah keponakannya yang akan membalaskan kematian paman ku...!" Berteriak Tugangga dengan sepasang mata menyorot tajam seolah mau menembus jantung Ki Jagus Wedha.
Akan tetapi sang kakek yang telah berusia 100 tahun ini cuma tertawa hambar. "Heh heh heh... Pamanmu seorang kepala perampok yang kejam, dan telah banyak membunuh orang tak berdosa! Kematiannya pun belum bisa menebus dosanya. Kini kau justru mau memberatkan dosa pamanmu pula. He he he... Kalau nyawaku sih memang sudah kujual murah. Asal kau sanggup membelinya! Tapi kau lihat di belakangmu. Apakah kalau aku dapat kau bunuh sebagai pelampiasan dendam mu, kau dapat selamatkan diri...? Dara cantik itu mana bisa mengampuni nyawamu...? He he he..." Ujar Ki Jagur Wedha seraya kembali tertawa terkekeh-kekeh.
Sementara Tugangga telah palingkan kepalanya untuk melihat ke belakang. Segera sepasang matanya beradu tatap dengan Roro Centil. Gadis Pendekar ini mengerling si Pendekar Gentayangan dengan tersenyum. Lalu berkata;
"Aiii...! Kakek Pendekar Gentayangan...! Siapa yang mau membiarkan kau mati dibunuh manusia tahanan ini...? Siang-siang pun aku akan sudah dapat membekuknya, untuk diserahkan pada paderi Ketua Kuil Istana Hijau. Demi mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Sepasang Pedang Siluman yang palsu itu rupanya belum kenyang menghirup darah para paderi. Kini sudah mau dipakai lagi membantai orang!"
Ki Jagur Wedha jadi tertawa lagi. "He he he...benar Roro Centil! Kalau aku mampus duluan, siapa nanti yang akan jadi mertua mu? Lebih baik kau ringkus saja dia cepat-cepat calon menantuku...!"
Wajah Roro Centil seketika jadi merah dadu. Akan tetapi ia sudah segera melompat ke hadapan Tugangga. Adapun laki-laki ini jadi melengak ketika Roro mengatakan bahwa sepasang Pedang Siluman yang ada padanya adalah yang palsu. Segera ia sudah ajukan pertanyaan.
"Eh, nona! Agaknya kau yang berjulukan si Pendekar Wanita Pantai Selatan! Bagus! Aku bisa kenal dengan orangnya. Ingin ku lihat kehebatan sepasang senjatamu yang aneh itu. Akan tetapi aku ada pertanyaan. Mengapa kau katakan Sepasang Pedang Siluman di tanganku adalah senjata yang palsu?"
Mendengar pertanyaan itu Roro cuma tersenyum. Lalu dengan sikap seperti tak memandang mata pada laki-laki itu, ia menyahuti. "Benar! Bisanya kukatakan demikian, karena yang asli ada di tanganku. Kudapatkan dari paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa, yang sebenarnya bernama TUN PARERA. Bukankah sepasang pedang itu miliknya? Tun Parera telah lama menguntit mu, sejak sepasang pedang pusaka itu kau curi dari Rumah Perguruan TRI MUKTI. Saat kau dipenjarakan, dia telah berhasil mengetahui di mana adanya sepasang pedang itu kau sembunyikan. Dan dengan tanpa kesukaran, ia berhasil mendapatkannya kembali dari dalam arca Budha yang telah dikorek bagian bawahnya dari ruang bawah tanah. Kemudian telah menggantinya dengan yang palsu. Benda itu sengaja dibuat seperti aslinya. Jadi bukankah yang kau miliki itu adalah Sepasang Pedang Siluman yang palsu...?" Ujar Roro Centil menjelaskan.
Akan tetapi penjelasan itu justru membuat Tugangga jadi tertawa terbahak-bahak saking gelinya. Tentu saja membuat Roro dan Ki Jagur Wedha jadi kerutkan alis tak mengerti. Dan disela tawanya itu, Tugangga telah berkata;
"Ha ha ha... Kalau begitu yang tolol adalah si Tun Parera. Ia sudah bisa menyaru menjadi paderi untuk mengambil kembali Sepasang Pedang Siluman. Lantas berniat lagi menguasai Kuil istana Hijau. Dia tak tahu kalau sebelumnya aku tidak bodoh. Justru yang ku sembunyikan di dalam arca Budha itulah yang palsu. Seandainya ia memalsukan lagi, dengan membuat duplikatnya, tentu di saat ini ada tiga pasang Pedang Siluman di Rimba Persilatan. Ha ha ha... Sepasang Pedangku ini justru yang aslinya! Kalau kau ingin kubuktikan, kau lihatlah...!"
Seraya berkata, Tugangga telah kerahkan tenaga dalamnya pada sepasang pedang. Diam-diam Tugangga telah mainkan pada jurus kesepuluh dan sebelas, dari 12 jurus Sakti Sepasang Pedang Siluman. Tampak sepasang lengannya bergetar hebat. Satu pedang ujungnya ditujukan ke langit-langit ruangan. Satu lagi ke arah samping, di mana terdapat tembok tebal pembagi ruangan. Getaran sepasang lengannya semakin keras. Ketika tiba-tiba kedua lengan Tugangga telah bergerak memutar, seperti membuat lingkaran. Satu di atas langit-langit. Satu lagi di samping kirinya.
Pendekar Gentayangan dan Roro Centil menatap tak berkedip. Selang sesaat, tiba-tiba terdengar bentakan keras Tugangga. Lingkaran pedang di samping kiranya secara mendadak diarahkan pada Ki Jagur Wedha. Disertai bentakan keras menggeledek. Segelombang tenaga yang tak kelihatan tiba-tiba telah menerjang kedua arah.
Terdengar suara tembok yang ambrol. Pendekar Gentayangan telah berlaku ayal, karena tak menduga. Cuma tahu-tahu ia rasakan goresan sinar yang membuat sepasang kakinya menjadi perih. Beruntung ia segera jatuhkan diri bergulingan. Akan tetapi laki-laki tua itu sudah berteriak ngeri, karena sepasang kakinya telah tertabas putus. Dan bersamaan dengan membersitnya sinar pedang Siluman yang telah menjebolkan tembok di belakangnya.
Adapun Roro Centil cuma ternganga melihat dinding langit-langit ruangan itu tiba-tiba ambrol berbentuk lingkaran. Pada saat itu pula tubuh si manusia Topeng Perunggu telah melesat ke atas lubang. Terkesiap Roro Centil. Segera ia sudah palingkan kepala melihat ke arah Ki Jagur Wedha. Laki-laki tua ini tengah bergulingan bersimbah darah. Dengan mengerang hebat. Kiranya sepasang kakinya telah putus sebatas lutut.
"Kakeeeek...!" Berteriak Roro Centil. Dan segera ia sudah memburu Pendekar Tua itu. Belum lagi Roro sempat berfikir, telah terdengar suara keras lagi. Kiranya tembok langit-langit kembali berhamburan ke bawah dengan berlubang besar di beberapa bagian di sekelilingnya.
"Cepat! Selamatkan dirimu.. ! Jangan hiraukan diriku...!" Teriak Ki Jagur Wedha dengan wajah pucat.
Akan tetapi mana Roro mau biarkan sang kakek terkubur di ruangan bawah tanah itu? Segera ia sambar tubuh si Pendekar Tua, dan sebelah lengannya menjebol dinding. Begitu ia melompat masuk. Ruangan tadi telah roboh bergemuruh.
"Ha ha ha... ha ha ha... Mampuslah kalian para Pendekar sombong!" Terdengar teriakan Tugangga diantara derak gemuruh tembok langit-langit yang jebol dengan suara gaduh. Debu mengepul membuat pandangan menjadi samar. Roro Centil mencari akal untuk dapat loloskan diri dari kurungan tembok di ruangan bawah tanah itu. Sementara Tugangga tak hentinya menyerang dari atas.
Dalam keadaan gawat itu, Roro Centil teringat akan si Tutul, Harimau setianya. Segera ia perintahkan untuk menampakkan diri, "Tutul! Tumpaslah manusia keji itu!" Teriak Roro Centil.
Menggeram si Harimau Tutul yang bertubuh hampir sebesar kerbau itu. Dan bagaikan angin telah melompat menerjang ke atas. Saat itu Tugangga tengah tertawa terbahak-bahak dengan sambarkan Sinar senjatanya. Ketika tiba-tiba terdengar geraman sang harimau di belakangnya. Tahu-tahu ia telah rasakan tengkuknya dicengkeram kuku-kuku yang tajam.
Meronta laki-laki ini dengan berteriak parau. Sepasang pedangnya menebas ganas ke tubuh sang harimau Tutul. Terdengar suara menggeram. Sang harimau Tutul ternyata telah lepaskan cengkeramannya. Merasa sepasang pedangnya amat bertuah, Tugangga pasang wajah sinis. Tiba-tiba berkelebat melompat untuk menjauh dengan beberapa kali lompatan hingga ia telah berada di halaman Kuil.
Saat itu sang Ketua Utama Kuil Istana Hijau telah melompat ke hadapannya Sedang paderi-paderi muridnya cuma bisa memandang dengan mata membeliak tak berkedip. "Penipu busuk...! Kau harus pertanggungjawabkan perbuatanmu!" Teriak Ki Dharma Sheta seraya menarik keluar tasbihnya.
Tugangga tertawa menyeringai. "Ha ha ha... Paderi Ketua! Sebenarnya aku tak mencampuri urusan tentang pengkhianatan para paderi, yang dipimpin oleh Sapta Griwa! Aku cuma numpang sembunyi di Kuil mu...!"
"Akan tetapi kau telah melakukan pembantaian pada para paderi...!" Teriak Ki Dharma Sheta. Wajahnya menampilkan kegusaran pada laki-laki di hadapannya.
Tiba-tiba Tugangga kembali tertawa berkakakan, seraya ujarnya; "Ha ha ha... Kemanakah gerangan si paderi Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa? Dialah yang telah meminjam tanganku untuk kepentingannya. Aku sendiri memang tak menyangka kalau dia adalah TUN PARERA, si Pemilik Sepasang Pedang Siluman yang telah ku curi!"
"Orangnya telah tewas! Walau bagaimana kau tetap bersalah besar! Karena secara utuh kaulah yang telah lakukan pembantaian itu...!" Berkata Ki Dharma Sheta dengan nada dingin.
Pada saat itu terdengarlah suara seorang wanita dibarengi dengan melompatnya sesosok tubuh ramping. Kiranya Roro Centil. "Akulah yang telah membunuhnya...!" Berkata Roro dengan menatap tajam pada laki-laki di hadapannya.
Sementara itu, Ki Jagur Wedha tengah dikerumuni oleh para paderi yang telah memberikan pertolongan pada laki-laki tua itu. Diantaranya terdapat juga si Bangau Putih. Kiranya Roro Centil berhasil keluar dari ruang rahasia di bawah tanah dengan memondong tubuh Ki Jagur Wedha. Yang muncul di lubang terbuka dekat para paderi murid-murid Kuil yang tengah berkumpul. Segera saja mereka memberi pertolongan, diantaranya terdapat juga si Bangau Putih.
Selanjutnya telah melompat ke hadapan si manusia Topeng Perunggu, alias TUGANGGA. Tentu saja mendengar pengakuan gadis itu, Tugangga jadi melengak. Akan tetapi kembali perdengarkan tertawanya.
"Ha ha ha... Bagus! Bagus...! Kalau orangnya sudah mampus, ya sudah! Aku sebenarnya enggan meneruskan pertarungan. Cuma gara-gara kalian yang datang menyerbu, aku telah kehilangan bibiku si Dewi Rembulan. Yang membuat aku terkecoh tak lain si pembunuh paman ku itu. Yaitu si Pendekar Gentayangan! Ha ha ha...Biarlah kelak kapan-kapan aku akan membunuhnya! Pelajaran dariku itu cukup menjadikan peringatan baginya...!" Seraya berkata Tugangga melirik pada Ki Jagur Wedha yang tengah meringis menahan sakit pada kedua kakinya yang putus, telah dibalut oleh para paderi.
Ki Dharma Sheta terkejut juga melihat keadaan sahabatnya itu. Tiba-tiba dengan mendengus geram ia berkata; "Tugangga...! Kau tak bisa meloloskan diri lagi. Hukumanmu kini adalah Kematian!" Seraya berkata paderi Ketua ini telah menerjangnya dengan hantaman telapak tangan bertenaga dalam. Sedang tasbihnya berkelebat menyambar leher.
Akan tetapi Tugangga telah keluarkan jurus ke 12 dari Sepasang Pedang Siluman. Sinar hitam berkelebat menyambar ke arah Ki Dharma Sheta. Terkejut paderi Ketua ini. Akan tetapi pada saat itu berkelebat Roro Centil menangkis dengan senjatanya si Rantai Genit.
Wukkk! Wuukkk...!
Asap hitam terpental balik menghantam ke arah si penyerangnya. Terkejut Tugangga. Untung ia cepat lompat bergulingan. Kiranya Roro pergunakan Jurus Ikan Hiu balikkan ekor. Selanjutnya Roro Centil sudah putarkan sepasang senjatanya untuk menerjang ke arah Tugangga. Laki-laki ini terkejut ketika rasakan hawa panas menerjangnya. Suara bagaikan ratusan bahkan seperti ribuan tawon yang mengamuk meluruk ke arahnya. Namun dengan gerakan kilat sepasang pedangnya telah menabas. Roro Centil terkejut. Beruntung ia segera tarik serangannya dengan pergunakan langkah Bidadari Mabuk Kepayang.
Seraya mengelakkan serangan pedang, Roro Centil telah pergunakan rambutnya memukul ke arah kepala Tugangga. Sambaran tak terduga itu membuat laki-laki tahanan itu terkesiap. Segera ia berjumpalitan di udara, dengan bersalto sejauh tiga tombak. Kini sepasang pedangnya bergerak melingkar. Roro Centil cukup faham. Sepasang matanya mengawasi kemana arah ujung pedang menghadap.
Sementara ia telah kerahkan tenaga dalamnya pada kedua lengan. Tampak tiba-tiba sepasang bandulan si Rantai Genit jadi memerah bagai bara api. Saat itu segulung sinar hitam tiba-tiba membersit ke arah Roro. Sedang segulung lagi dengan tak terduga telah meluncur ke arah Ki Dharma Sheta. Terkesiap paderi Ketua itu. Tasbihnya segera dipakai memapaki serangan. Akan tetapi seketika itu juga untaian tasbih hancur luluh.
Sinar hitam terus meluncur menghantam tiang penyangga ruangan depan Kuil, yang seketika patah berderak. Beruntung tidak menjadikan robohnya tiang panglari. Karena masih ada tiga tiang lagi yang menyangga. Adapun si Ketua Kuil Istana Hijau terpaksa jatuhkan diri bergulingan menghindari serangan dahsyat yang aneh itu.
Sedangkan Roro Centil begitu melihat serangan, segera memapaki dengan senjatanya. Tersenyum Tugangga, Karena itulah jurus terakhir dari 12 Jurus sinar hitam Sepasang Pedang Siluman yang luar biasa. Jangankan senjata terbuat dari besi. Walaupun dari baja sekalipun akan hancur luluh terkena sinar hitam yang dahsyat itu.
Akan tetapi Roro Centil memang bernasib baik, karena tiba-tiba telah membersit sebuah sinar merah yang menyala. Itulah sinar dari batu cincin Merah Delima, warisan Gurunya. Tanpa sengaja sinar dari batu itu telah menyala, akibat Roro salurkan tenaga dalam pada lengannya. Begitu kedua sinar beradu, terdengarlah suara keras bagaikan api tersiram air.
Bhuuusss...! Roro Centil terhuyung tiga tindak. Sedangkan Tugangga terhuyung lima tindak. Tubuhnya tampak bergetar bagai diserang kekuatan aneh, yang membuat tulang-tulang tubuhnya terasa lumpuh. Sedangkan sepasang pedang di kedua lengannya tiba-tiba lenyap jadi segumpal asap hitam yang membubung.
Terbeliak sepasang mata laki-laki ini. Juga Roro Centil menatap kejadian itu seperti tak masuk akal. Saat itu terdengar suara Harimau mengaum dahsyat. Dan sebuah bayangan kuning telah berkelebat bagaikan angin menyuruk ke arah tubuh Tugangga. Laki-laki ini kembali menggeliat dengan berteriak parau.
Namun pada saat itu berkelebat sesosok tubuh kurus kering ke arah Tugangga. Dengan sekali mengibaskan lengan, Harimau Tutul terjengkang ke belakang, lalu lenyap jadi segumpal asap. Tampak keadaan Tugangga seperti sebuah kain lapuk yang sudah tak bertenaga lagi. Dan jatuh menggeloso dengan bibir dan telinganya mengeluarkan tetesan darah.
Kakek tua renta bertubuh kurus kering itu berdiri di hadapan Tugangga. Sebelah lengannya tiba-tiba terjulur. Dengan jari-jari tangannya menyambar menjewer daun telinga laki-laki itu. Yang segera telah memaksanya untuk bangkit berdiri. Terdengar suara kata-kata kakek kurus kering itu seperti mengomel...
"Bocah...! Kau terlalu ugal-ugalan! Sepasang Pedang itu telah kembali lagi ke asalnya! Kau tak berhak memilikinya...!" Selesai berkata, sang kakek kurus kering itu telah menyeretnya pergi dari situ.
Roro Centil cuma bisa menatap kepergian kakek kurus itu dengan membeliak tak berkedip. Keadaan di tempat itu seperti dicekam keheningan. Semua menatap ke arah Tugangga yang seperti sudah tak punya tenaga lagi untuk melangkah. Hingga terseret-seret ia mengikuti kemana tubuh si kakek membawa, dengan menjewer telinganya. Hingga sampai kedua tubuh itu lenyap di balik kabut yang menghalangi lereng bukit, barulah terdengar suara Ki Dharma Sheta berkata perlahan.
"Siapakah orang tua kurus itu...?"
Roro Centil cuma menggeleng, seraya menarik nafas panjang. Dan memang nyatanya semua orang tak ada yang tahu. Termasuk si Bangau Putih dan Ki Jagur Wedha si Pendekar Gentayangan. Cuma diam-diam dibenak Roro Centil tersirat sedikit ingatan, melihat wajah dan perawakan kakek kurus itu. Tak lain adalah kakek tua renta yang pernah mengintipnya dari seberang sungai, ketika Roro mandi. Terbayang di mata gadis pendekar ini ketika ia menggodanya, dengan melemparkan seekor kepiting yang masuk ke celah baju kakek mata keranjang itu.
Tersenyum Roro Centil. Akan tetapi juga terkejut, karena kakek itu bukan orang sembarangan. Terbukti si Tutul telah dapat terlempar dengan sekali menggerakkan lengan. Roro dapat menduga kelak akan lebih banyak lagi perintang yang harus ia hadapi di hari mendatang. Karena mulai bermunculan tokoh-tokoh aneh, yang berilmu tinggi.
Sementara tanpa ada seorangpun yang mengetahui, seorang wanita muda sejak tadi telah memperhatikan jalannya pertarungan. Dialah GIRI MAYANG adanya. Pada lengannya tergenggam dua pasang pedang. Yang amat mirip dengan Sepasang Pedang Siluman. Kini melihat bahwa pedang Siluman yang asli telah lenyap, sirna tanpa bekas, ia jadi termangu-mangu menatap kedua pasang pedangnya. Ternyata kedua duanya adalah Dua pasang Pedang Siluman yang palsu!
Dengan kesal ia telah berkelebat pergi dari tempat itu. Ketika melewati sebuah danau, kedua pasang senjata itu sudah ia lemparkan ke tengah danau yang sekejap kemudian tenggelam untuk tak timbul lagi. Giri Mayang menatap pandangannya ke tengah danau, Sepasang matanya kembali terlihat meneteskan air bening. Di tengah isaknya itu terdengar suara kata-kata yang mendesis.
"Roro Centi!! Tunggulah pembalasan dendam ku kelak! GIRI MAYANG alias si Kelabang Kuning tak akan pernah membiarkan dirinya terhina! Suatu saat kita akan bertemu untuk bertarung. Pertarungan yang kelak akan menentukan siapakah yang masih berhak meneruskan kehidupan di Jagat Raya ini...!"
Desis suara kata katanya yang mengandung dendam sedalam lautan, seperti terbawa desahnya angin lalu. Yang menghempas hempas dedaunan menimbulkan suara gemerisik seperti suara para iblis yang tertawa. Mentertawakan akan kebodohan seorang gadis yang terjerumus, dalam kancah dendam yang menggelegak. Yang telah membius dirinya untuk memusuhi para pendekar pembela keadilan.
Sementara langit semakin suram. Angin keras kian menderu-deru. Hawa telah berubah menjadi dingin. Beberapa saat antaranya kilat pun saling menyambar. Membersitkan cahaya seperti hendak membelah langit! Suara petir pun segera terdengar menggelegar...! Bergemuruh sahut menyahut. Alam seperti amat murka, melihat manusia yang semakin bertindak semaunya.
Gadis ini berlari dan berlari dengan air mata bercucuran. Ia memang sudah tak perduli akan keganasan alam. Tujuannya telah menjadi satu dalam darah dan dagingnya. Tak akan bisa terpupus dengan apa pun kecuali dengan darah yang mengalir. Darah yang akan membuat ia akan merasa puas.
Akan tetapi manusia lupa bahwa takkan ada kepuasan di dunia ini, tanpa adanya dasar pada jalan lurus. Karena kesesatan selamanya akan tetap merajai hati sanubari. Jika manusia itu tak berusaha menghalaunya. Itulah sebabnya Rimba Hijau tetaplah sebuah Rimba yang di dalamnya penuh dengan dendam yang seperti tak pernah ada habisnya.
Walau seribu Pendekar menumpas, menentang kezaliman, namun sejuta kemelut akan tetap mereka hadapi! Yang tak jarang memerlukan pengorbanan jiwa, Akan tetapi semangat para pendekar penegak keadilan memang tak pernah lenyap terpupus oleh ganasnya Tirani. Walau sejuta kemelut mereka hadapi!
Namun semangat perjuangan menegakkan keadilan tetap berkobar di dada. Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas! Walau tahun dan abad terus menjelang. Namun sejarah perjuangan kaum pendekar, serta keharuman namanya, tetaplah abadi sepanjang masa.