Roro Centil - Orang-Orang Lembah Terkutuk
Karya : Mario GembalaSATU
LAKI-LAKI itu bekerja tekun sekali. Mata pahatnya menetak batu hitam membentuk patung aneh berbentuk manusia berbentuk kambing. Patung terbuat dari batu hitam itu adalah pesanan seseorang yang dikerjakan dengan upah cukup besar.
"Hehe... hampir selesai! Tak lama lagi aku akan menerima upah ku sebagian lagi!" Gumam Mangunto dengan bibir tersenyum-senyum. Tapi sambil lengan tak berhenti menetak batu membuat ukiran di bagian kepala arca, Mangunto berkata dalam hati.
"Hm, ada yang mau apa Raden Gayo memesan patung aneh itu....? Huh! tapi tak perduli untuk apa. Yang penting aku telah membuatnya, dan aku menerima upah yang cukup lumayan untuk menyambung seumur hidup..."
Mangunto terus bekerja dengan tekun. Dan dua hari kemudian, maka selesailah arca batu hitam aneh itu. Mangunto membungkus arca berbentuk manusia di depan kambing dalam sikap bersila itu dengan lembaran kain kasar berwarna hitam. Kain itu sudah lama disimpan dalam lemari pakaiannya. Kain kuno, tapi kuat. Sejenak Mangunto teringat akan siapa kain hitam itu.
"Haih! Melihat kain ini aku jadi teringat pada jaman aku masih muda..." desis Mangunto. Saat itu Mangunto memang telah berusia sekitar empat puluh tahun lebih.
Zaman dimana Mangunto masih muda adalah masa yang sangat mengesankan bagi hidupnya. Dia hidup sederhana disamping isterinya yang sangat dicintainya. Wanita itu bernama Pramita. Sebagai menantu seorang Tumenggung, tentu kehidupan mereka cukup layak. Mangunto sendiri bekerja sebagai petani yang rajin menggarap sawah. Sehingga hasilnya melimpah, disamping dia dan isterinya sangat hemat dan pandai menabung.
Mangunto dan isterinya dikaruniai seorang anak laki-laki. Kehadiran Praguno si kecil itu menambah kebahagiaan rumah tangga mereka. Bila sepulang dari sawah, Mangunto bergegas untuk melihat anak laki-lakinya itu. Praguno ditimang-timang dengan tertawa-tawa gembira. Terkadang dia menyanyikan lagu Kidung untuk anaknya.
Lagu Kidung itu berupa syair yang menguraikan tentang isi kehidupan. Juga rasa syukur pada Ilahi atas karuniaNYA yang telah dilimpahkan pada mereka. Bila Mangunto selesai menyanyikan lagu Kidung, maka tak lama si kecil Praguno akan tertidur lelap. Tampaknya dia senang sekali mendengar ayahnya menyanyikan senandung Kidung itu.
Perang memang kejam! Ketika terjadi pemberontakan, semua kebahagiaan itu lenyap. Isterinya tewas membunuh diri, karena mempertahankan kesucian dirinya. Dan anak laki-lakinya lenyap entah kemana. Desa-desa dibumihanguskan. Pemberontakan liar itu padam setelah memakan banyak korban. Tumenggung Brajananta tewas dalam pertarungan melawan pemberontak. Dan... dia hanya terpaku dengan mata membelalak, menemukan rumah tempat tinggalnya telah jadi puing.
Ketika terjadi peristiwa itu, Mangunto sedang pergi ke seberang lautan. Mangunto memang telah merencanakan untuk membuka hutan di tanah seberang. Tapi ketika kembali untuk membawa anak isterinya ke tanah seberang yang telah di tinjaunya, ternyata keadaan telah berubah!
Mangunto pergi meninggalkan desanya untuk mencari jejak Praguno, si kecil yang baru berusia tujuh-delapan tahun itu. Dalam pengembaraannya dia berjumpa dengan seorang pemahat batu, bernama Ki SONGGO BHUWONO. Mangunto tertarik untuk mempelajari cara memahat dan mengukir batu. Ternyata dia berbakat! Dan jadilah dia seorang pemahat patung. Walau hasilnya tak seberapa, tapi karya-karyanya banyak didapati di candi-candi sekitar tanah jawa.
Selama itu Mangunto tetap tak dapat menemukan jejak PRAGUNO. Laki-laki itu pasrah pada nasib! Dia tak lagi memikirkan anaknya yang hilang tak tentu rimbanya. Kini dengan bekal kepandaiannya dia bisa hidup untuk sekedar mengisi perut dan menyambung hidup, disamping bertambahnya pengalaman hidupnya.
Kain hitam itu adalah pemberian Ki Songgo Bhuwono. Orang tua itu memberikannya pada Mangunto sebagai kenang-kenangan. Sebelum dia pergi sempat berkata. "Mangunto! Simpanlah kain ini untuk kenang-kenangan dariku. Siapa tahu nanti ada gunanya!"
Mangunto mengucapkan terimakasih, seraya berkata. "Bapak Songgo Bhuwono...! Budi baikmu tak dapat kulupakan seumur hidupku. Dengan aku bisa memahat, membuat arca adalah karena bimbingan mu. Dengan kesibukan itu, aku dapat melupakan kesedihan ku selama ini. Entah bagaimana aku dapat membalasnya? Haih...! semoga Yang Maha Kuasa membalas budimu dan kau selama dalam perjalanan..."
"Sudahlah Mangunto... jangan pikirkan apaapa! Kau telah membalas budi ku dengan Kidung mu! Syair Kidung mu bagus, menggugah perasaan dan membangkitkan semangat hidup! Karena itulah aku senang mengajari kau cara memahat membuat arca. Tapi hanya itu yang bisa aku wariskan padamu. Nah, selamat tinggal, Mangunto! Semoga Tuhan Membimbing setiap langkahmu..."
Mangunto manggut-manggut dengan setitik air bening mengembang di sudut pelupuk mata. Dan... Ki Songgo Bhuwono tahu-tahu gaib. Lenyap dari pandangan mata. Tentu saja hal itu membuat Mangunto terbelalak, dan tertegun mematung seperti tak percaya pada penglihatannya.
"Aneh...!? Siapakah sebenarnya Ki Songgo Bhuwono itu? Apakah dia seorang Dewa yang turun ke bumi? Atau... ah, aku tak tahu... Tapi kain hitam ini akan kusimpan sebagai tanda kenang-kenangan seumur hidupku..." bergumam Mangunto. Diciuminya kain pemberian Ki Songgo Bhuwono itu dengan air mata haru dan bahagia.
Demikianlah, Mangunto menyimpan kain hitam itu hingga sampai saat ini. Dan baru hari ini dipergunakannya untuk membungkus patung aneh yang dibuatnya, untuk dibawa ke rumah si pemesan...
Mangunto tersadar dari lamunannya ketika melihat Matahari telah mulai condong ke arah barat. Bergegas dia merapikan buntalan kain hitam berisi patung manusia berkepala kambing itu. Kemudian menggembloknya di belakang punggung. Setelah menutup pintu rumah, dan menguncinya sekalian, Mangunto segera melangkah keluar halaman.
"Mudah-mudahan Raden Gayo tak sedang bepergian. Aku bisa terima bayaran malam ini juga...! Dan malam ini juga aku akan menginap di BALURAN. Haha... sudah lama aku tak mengecap dan mencium wanginya arak mak Gembrot!" Mangunto tersenyum-senyum membayangkan acara malam nanti. Lalu melangkah cepat ke arah timur menyusuri jalan setapak....
DUA
Sesuatu keanehan terjadi pada diri Mangunto. Karena mengejar waktu agar dapat tiba di Baluran tak terlalu malam, Mangunto mempercepat langkahnya. Akan tetapi aneh! Dia merasa langkahnya ringan. Bahkan beban berat yang menggemblok di punggungnya terasa ringan seperti memanggul sebuntalan kapas saja. Hal itu belum terasakan oleh Mangunto, karena benaknya terus memikir mengenai langkah-langkah selanjutnya.
Dia telah merasa bosan menetap di wilayah itu. Mendadak saja ketika melintasi sebuah belokan di sisi hutan, dua sosok tubuh berkelebat dari semak belukar, dan menghadang langkahnya.
"Berhenti!" Bentak salah seorang dengan menyilangkan sebatang golok besar bermata lebar. Laki-laki ini bertubuh gempal, berkumis tebal mengenakan baju dan celana warna gelap. Sedangkan yang seorang lagi bertubuh agak pendek, berkepala botak. Tubuhnya lebih kekar dari laki-laki kawannya.
"Siapa kalian?" tanya Mangunto dengan keheranan, karena tahu-tahu dua orang telah menghadangnya. Langkahnya terhenti, dan kakinya agak menyurut mundur.
Si laki-laki pendek berkepala gundul tertawa menyeringai sambil menggaruk-garuk kepalanya yang plontos. Dari bagian belakang punggungnya tersembul gagang senjata.
"Hehehe... tinggalkan buntalan yang kau bawa itu. Dan kau boleh pergi dengan aman!" menyahut laki-laki ini.
"Benar! tak usah banyak tanya-tanya segala! Turut kata-kata kawanku kalau kau sayang jiwamu!" timpal si kumis tebal dengan memutar-mutar golok besarnya.
Tentu saja Mangunto mendelikkan matanya, seraya membentak marah. "Huh! kalian ini rupanya tukang-tukang begal bermata buta! Barang dalam buntalan ini bukan barang berharga, dan tak ada gunanya buat kalian. Lebih baik kalian minggir dan beri aku jalan...!"
"Haha... barang apapun dalam buntalan kain hitam itu, bukan soal. Yang penting segera tinggalkan buntalan itu, dan kau boleh pergi dengan aman!" berkata si laki-laki kumis tebal dengan tertawa dingin.
"Gila orang-orang ini?" sentak Mangunto dalam hati. Melihat kilatan cahaya golok besar yang melintang di hadapannya hati Mangunto mencelos. "Apakah aku harus menunjukkan bahwa buntalan ini berisi patung yang tak berguna buat mereka?"
Sementara itu dua laki-laki itu mulai tak sabar, dan kembali membentak. "Cepat tinggalkan barang itu, atau golokku yang akan bicara?" bentak si kumis tebal.
"Biar aku yang memberi pelajaran pada manusia bandel ini!" kata si pendek kepala botak. Dan... dengan langkah lebar dia maju mendekati Mangunto yang berubah pucat wajahnya.
"Tunggu! Akan kubuka buntalan ini di hadapan kalian, agar kalian mengetahui apa isinya!" kata Mangunto.
Sesaat kedua laki-laki itu saling pandang. Tampaknya si laki-laki pendek kepala botak minta pendapat kawannya. Si kumis tebal melintang itu memberi isyarat dengan kedipan mata pada si pendek gundul. Laki-laki ini tersenyum, seraya berkata. "Baiklah! Kuberi kesempatan kau membuka buntalan kain itu. Apakah isinya benar-benar bukan barang berharga?"
Tanpa ayal segera Mangunto membuka kain buntalannya. Dua laki-laki pembegal itu tampak tertegun melihat sebuah arca terbuat dari batu hitam berbentuk aneh yang berada dalam buntalan kain tersebut.
"Hm, akan kau bawa kemana benda itu?" tanya si pendek heran.
"Aku akan mengantarnya ke rumah Raden Gayo!" sahut Mangunto sambil membungkus kembali patung batu hitam itu. Kemudian bangkit berdiri.
"Nah! berilah aku jalan! Kalian sudah melihat bahwa barang yang kubawa tak berguna buat kalian!" kata Mangunto dengan hati penuh kemenangan. Dua laki-laki pembegal itu tak berkata apa-apa. Mereka membiarkan Mangunto lewat dengan langkah lebar.
"Eh. DOKOH SIMBURU! Kau dengar tadi dia menyebut-nyebut nama Raden GAYO?" bertanya si kumis tebal pada si pendek kepala gundul.
"Ya! aku dengar! Bukankah Raden Gayo yang dimaksud adalah orang ternama yang tinggal di Baluran?" tukas si pendek.
"Kukira begitu..." menyahut si kumis baplang kawannya.
Si pendek kepala gundul berpikir sebentar. Lalu berkata dengan berbisik. "Hm, kalau patung itu barang pesanan Raden Gayo, tentu barang berharga. Dan kalau barang berharga tentu bukan sedikit imbalannya..." Keduanya kasak-kusuk beberapa saat.
Tak lama si kumis baplang tersenyum menyeringai. "Bagus! Barang itu tak boleh kita lewatkan begitu saja!"
"Benar! Mari kita kejar dia...!" tukas si pendek botak.
"Baik! langsung saja kita habisi dia. Dan kita yang mengantar benda itu ke rumah Raden Gayo!" kata si kumis tebal. Dan... berkelebatlah kedua pembegal ini mengejar Mangunto.
Saat itu Mangunto sedang tersenyum-senyum selepas lolos dari cengkeraman dua orang begal. Dia tak mengetahui kalau bahaya maut kembali mengejarnya. Tahu-tahu terdengar bentakan di belakangnya.
"Berhenti!"
Tentu saja bentakan itu membuat Mangunto terlonjak kaget. Seketika wajahnya berubah pucat pias, karena dua pembegal tadi tahu-tahu telah berada di belakangnya.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Mangunto dengan suara agak menggetar. Kedua laki-laki pembegal itu tertawa menyeringai.
"Haha!.. aku inginkan benda itu!" kata si pendek gundul.
"Hah!? bukankah..."
Tapi kata-kata Mangunto terputus, ketika dengan gerakan cepat si laki-laki pendek kepala gundul mencabut senjatanya dari balik punggung, dan kilatan mengandung maut menyambar ke arah lehernya.
Suatu hal yang aneh tiba-tiba saja dialami Mangunto. Tahu-tahu si pendek kepala gundul menjerit panjang. Tubuhnya terlempar bagaikan terdorong oleh suatu tenaga yang tak kelihatan. Hingga laki-laki itu terlempar berguling-guling. Tentu saja hal itu membuat Dokoh Simburu tersentak kaget. Laki-laki pendek kepala botak ini merasa satu tenaga dahsyat berhawa panas telah menyambar tubuhnya. Badik di tangannya nyaris terlepas dari genggaman tangannya.
Sebaliknya Mangunto sendiri terheran-heran. Karena di saat bahaya maut mengancam jiwanya, dia sudah pasrahkan dirinya pada nasib. Bagi orang yang tak berkepandaian apa-apa seperti dirinya, mana bisa mengelakkan serangan yang demikian tiba-tiba? Akan tetapi aneh! Mengapa tahu-tahu si pendek kepala gundul tahu-tahu terlempar bergulingan?
Lain halnya dengan si kumis tebal bernama BRONCO. Dia tertegun beberapa saat. Sungguh tak disangkanya sama sekali kalau Mangunto yang tampak tak punya kepandaian apa-apa itu memiliki tenaga dahsyat yang mampu membuat terlempar tubuh kawannya. Detik itu juga dia mencabut golok besarnya. Wajahnya berubah merah padam.
"Bagus! ternyata kau memiliki ilmu kepandaian? Tapi kau tak akan lolos dari kematian!" bentaknya menggeledek. Golok besarnya menyambar ke arah Mangunto. Mangunto terkesiap kaget. Tanpa disadari kakinya melangkah menghindar. Dan di luar kemauannya tahu-tahu kakinya menendang.
Plaakk...!
BRONCO terkejut. Sambaran kaki Mangunto meluncur seperti kilat. Tahu-tahu dia berteriak kesakitan. Pergelangannya. terasa dibentur oleh sebuah palu besi. Tubuhnya terhuyung ke belakang, dan golok terlempar mencelat ke udara.
Lagi-lagi Mangunto terkejut. Hatinya tersentak kaget. "Aneh...!? mengapa bisa terjadi begini?" berkata Mangunto dalam hati. Akan tetapi Mangunto tak berpikir lebih jauh lagi. Segera dia balikkan tubuh dan berjalan cepat meninggalkan dua orang itu yang dalam keadaan terlongong saling pandang, dengan wajah pucat.
"Sial benar nasib kita! Ternyata dia bukan makanan empuk!" berkata si kumis baplang dengan menyeringai sambil mengurut pergelangan tangannya yang bengkak dan tampak membiru.
"Sial apanya!" gerutu si pendek kepala botak. "Masih untung dia tak turunkan tangan membunuh kita!" Laki-laki ini kebutkan bajunya yang kotor. "Hayo, kita pergi dari sini?" katanya.
"Tunggu...!" sahut Bronco, seraya beranjak menjumput goloknya yang tertancap disela batu. Kemudian kedua begal apes itu segera lenyap dari tempat itu...
* * * * * * *
TIGA
RADEN GAYO TERSENYUM GIRANG.. Arca batu hitam berbentuk manusia berkepala kambing itu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Benda itu diletakkan di atas meja.
"Bagus! cocok dengan pesanan Guru...! Hm, besok segera kubawa ke tempat Guru. Ya! besok! Kukira sudah terlalu lama Guru memesannya, dan baru hari ini pesanan itu selesai dibuat...!" Raden Gayo menggumam sendiri, sementara matanya tak puas-puas mengamati arca batu berbentuk aneh itu.
Sesaat antaranya laki-laki muda berusia antara dua puluh lima tahun ini beranjak menuju kelemari kayu jati berukir disudut ruangan kamar. Dari dalam laci lemari dia menjumput sebuah buntalan kain kecil yang memperdengarkan bunyi gemerincing ketika lengannya menjumputnya.
"Aku telah menyediakan separuh lagi upah buat pak Mangunto. Dan dia akan menerima upah jerih payahnya...!" kata Raden Gayo dalam hati.
Tak lama dia beranjak melangkah keluar dari ruangan kamar. Dilihatnya Mangunto masih duduk menanti di teras depan gedung sambil menopang dagu. Lengannya memegang kain hitam bekas pembungkus patung yang telah dilipatnya. Melihat kemunculan Raden Gayo, laki-laki berusia lima puluhan tahun ini bangkit berdiri. Wajahnya menampilkan kecerahan. Dan seulas senyum tersungging disudut bibirnya.
Cringg...!
Raden Gayo meletakkan bungkusan kain kecil berisi uang logam itu di depan Mangunto, seraya berkata. "Terimalah sebagian lagi upah mu, pak Mangunto!"
"Ah, terimakasih, Raden..." sahut Mangunto seraya ulurkan tangannya menjumput uang dalam buntalan kecil di hadapannya. Mangunto masukkan kantong uang itu ke sela bajunya, berikut kain hitam bekas pembungkus patung. Kemudian bungkukkan tubuh menjura.
"Aku tak lama, Raden..." katanya mohon pamit.
"Hari sudah malam. Apakah kau tak sebaiknya menginap saja, pak Mangunto? Di belakang ada kamar kosong kalau kau mau menginap!" kata Raden Gayo.
"Terimakasih, Raden...! Aku ada sedikit keperluan. Biarlah aku puking saja!" sahut Mangunto menolak. Dia sudah berniat mengunjungi kedai Mak Gembrot di kota Baluran. Rasanya wangi arak telah tercium di ujung hidungnya, dan dia sudah merencanakan untuk menginap di kedai yang sekaligus juga tempat penginapan itu. Mangunto memang pernah tinggal di kota itu selama beberapa bulan.
Raden Gayo tak bisa menahan lagi. Dia mengangguk dan berkata. "Kalau begitu, baiklah...! Oh, ya! harap kau berhati-hati. Kalau ada apa-apa laporkan saja padaku!"
Mangunto mengucapkan terimakasih. Kemudian segera beranjak keluar gedung dan meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat. Raden Gayo menatap kepergian laki-laki tua itu hingga lenyap dari pandangan matanya. Lalu beranjak masuk ke ruang dalam...
* * * * * * *
NIAT MANGUNTO UNTUK menginap dan minum arak di kedai Mak Gembrot disudut kota Baluran diurungkan. Mangunto teringat kejadian siang tadi ketika dirinya dihadang oleh dua orang begal yang menginginkan patung yang dibawanya. Di kedai itu jelas bukan sedikit orang-orang yang berkunjung. Diantaranya tentu terdapat pula dua begal itu. Seperti diketahuinya, kedai Mak Gembrot memang terkenal dengan arak wanginya, dan menjadi tempat persinggahan pelbagai golongan manusia.
Mangunto melupakan Mak Gembrot dan kedainya. Dia bergegas melangkah menyusuri jalan untuk kembali pulang ke rumahnya. Di langit sepotong bulan mengambang. Cuaca agak remang, cukup lumayan untuk menerangi jalan yang dilaluinya. Sementara dalam melangkah benaknya memikir.
"Hm, aku khawatir dua begal itu berada disana. Kalau mereka melihatku tentu besar resikonya. Manusia seperti mereka banyak kawannya, dan... kalau terjadi keributan belum tentu aku bisa menolong diriku. Apakah kekuatan aneh yang telah menyelamatkan diriku itu bisa muncul lagi?"
Mangunto bingung memikirkan, dari mana asalnya kekuatan aneh yang mampu membuat kedua pembegal tadi terlempar. Dan suatu hal yang sangat aneh adalah tahu-tahu kakinya menendang tanpa dia sendiri berniat menggerakkan kaki.
Mendadak angin berhembus keras. Awan hitam bergulung-gulung di langit. Dalam beberapa saat saja cahaya bulan lenyap. Dan kegelapan merambah alam sekitar tempat itu. Langitpun gelap pekat! Mangunto bergegas setengah berlari mempercepat langkahnya. Ada perasaan aneh menyelinap di hati Mangunto. Hatinya berkata.
"Cuaca tiba-tiba berubah sedemikian cepat. Apakah akan turun hujan lebat?" Mangunto berlari-lari di jalan setapak menembus kegelapan...
* * * * * * *
SEMENTARA ITU keadaan di rumah kediaman Raden GAYO... Suatu kejadian aneh telah terjadi di kamar laki-laki muda anak seorang saudagar kaya yang masih famili orang Kerajaan itu. Ketika Raden Gayo tertidur pulas di kamarnya, sesuatu telah terjadi. Ketika Raden Gayo tengah asik memperhatikan patung batu hitam berbentuk aneh itu, tiba-tiba hati laki-laki ini tersentak. Cuaca buruk di luar telah menghempaskan daun jendela yang belum sempat ditutupnya.
"Ah, angin bertiup keras sekali...! Aku lupa menutup jendela!" desisnya, seraya beranjak cepat ke sisi ruangan. Lalu menutup jendela dan menguncinya. "Cuaca di luar gelap sekali. Apakah mau turun hujan?" berkata Raden Gayo dalam hati. Di saat lakilaki itu menutupkan jendela kamar, ada angin bersyiur yang menyusup masuk ke ruangan kamarnya.
Syiuran angin itu lenyap di sekitar meja, dimana Raden Gayo meletakkan patung aneh pesanan Gurunya. Sesuatu telah terjadi! Patung aneh itu tampak bergetar. Dan sebersit sinar tampak memancar pada mata arca. Tapi cuma sesaat. Cahaya aneh pada mata arca batu hitam itu lenyap, ketika Raden Gayo membalikkan tubuh setelah menutupkan daun jendela, dan beranjak lagi ke arah meja.
Karena besok akan pergi mengantarkan arca itu, Raden Gayo bersiap-siap untuk tidur. Dia mengambil selembar kain dari dalam lemari, kemudian dipergunakan untuk membungkus patung itu. Ada perasaan aneh menyelinap di hati Raden Gayo. Entah mengapa jantungnya berdebar ketika membungkus benda itu. Darahnya seperti mengalir lebih cepat. Sepertinya benda itu punya pengaruh hebat yang membuat darahnya bergolak. Raden Gayo tak menyadari hal itu. Dia cuma menyadari keadaan dirinya dalam ketegangan.
Karena besok harus mengantar benda itu pada gurunya. Peristiwa apa yang bakal dihadapi besok dia tak mengetahui. Yang jelas dengan patung itu gurunya telah merencanakan sesuatu untuk suatu kepentingan. Kepentingan apakah yang direncanakan gurunya itu hanya akan diketahui besok, setelah dia mengantarkan arca berbentuk aneh itu.
Raden Gayo lemparkan tubuhnya ke pembaringan. Hawa dingin menebar dalam ruangan kamar. Angin keras di luar masih menghempas-hempas. Pemuda ini tarik kain selimut dan membuntal tubuhnya. Tak berapa lama kemudian sudah terdengar dengkurnya...
* * * * * * *
EMPAT
SIANG ITU UDARA PANAS TERIK... ketika seorang penunggang kuda lewat di jalan desa dengan secepat terbang, meninggalkan debu mengepul di belakangnya. Siapa adanya si penunggang kuda itu adalah Raden Gayo adanya. Pemuda ini tampaknya tak mau berlama-lama untuk mengantar area aneh itu. Benda dalam buntalan kain warna kuning itu diikatkan di punggung kuda.
Tak berapa lama Raden Gayo sudah tiba di sisi perbukitan. Dia terus membedal kuda bagai di kejar setan, dan terus menuju ke arah timur... Seekor elang mendadak muncul dari balik tebing batu. Burung elang itu tiba-tiba menyambar Raden Gayo dengan memperdengarkan suara mengiyak.
Tentu saja hal itu membuat laki-laki ini terperanjat setengah mati. Secara tak sengaja dia telah menahan gerakan lari kudanya. Binatang tunggangannya meringkik panjang dengan mengangkat kedua kaki depan. Raden Gayo bungkukkan tubuhnya menghindari sambaran elang ganas yang menyerangnya secara tiba-tiba.
"Burung keparat!" maki Raden Gayo dengan wajah berubah merah. Detik itu juga dia telah melompat dari punggung kuda.
Burung elang itu terbang memutar. Kemudian kembali menukik, dan menyambar kepala Raden Gayo. Akan tetapi laki-laki ini telah siap. Sebelah lengannya bergerak menghantam dengan diiringi bentakan gusar. "Mampuslah kau keparat!"
Akan tetapi puku lannya mengenai tempat kosong, karena binatang itu telah melesat ke samping. Tahu-tahu menukik menyambar dari arah belakang. Sepasang kakinya siap mencengkeram ke leher. Raden Gayo terkesiap. Dia balikkan tubuh dengan cepat. Lagi dia hantamkan pukulannya dengan berteriak marah.
Untuk kedua kalinya serangannya luput...! Binatang itu terbang membumbung. Lalu terbang berputar-putar. Raden Gayo mengikuti putaran burung elang itu. Burung Elang itu cukup besar dan tampaknya melebihi besarnya elang biasa. Putaran elang semakin cepat, dan semakin dekat. Mendadak kembali burung elang meluncur menyambar. Gerakan sambaran yang begitu cepat itu dan secara tiba-tiba membuat Raden Gayo tersentak.
Kali ini Raden Gayo menyerang dengan beruntun. Dua sambaran keras meluruk ke arah burung Elang itu. Serangan pertama lolos, tapi serangan berikutnya tak mungkin kalau tak mengenai sasaran. Akan tetapi sebelum pukulan Raden Gayo menghantam elang itu, tahu-tahu ada hembusan angin yang menyambar, dan... selamatlah binatang itu dari kebinasaan. Karena pukulan tenaga dalam pemuda itu tersampok mental ke arah samping.
Terdengar suara suitan panjang dua kali. Burung Elang yang terbang membumbung itu menukik ke balik batu di atas tebing. Alangkah terkejutnya Raden Gayo ketika melihat seorang kakek berjubah merah berkepala botak berdiri di atas batu besar. Elang itu menukik dan hinggap di atas pundak kakek itu.
"Keparat! Siapa kau?" bentak Raden Gayo dengan marah. Segera dia mengetahui kalau elang itu milik orang itu.
Laki-laki tua jubah kelabu itu tak menjawab, tapi tertawa terkekeh, dan tubuhnya berkelebat melompat turun dari atas batu besar di atas tebing. Gerakan melompatnya sangat ringan, seperti sehelai suara. Jelas orang ini memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
Raden Gayo perhatikan wajah kakek ini. Ternyata orang itu walau tampak dari jauh berkepala gundul, tapi masih tampak sedikit rambut di bagian belakang kepala. Kumis dan jenggotnya lebat menyatu dengan cambang bauknya. Usianya tak lebih dari enam puluhan tahun. Lengannya mencekal tongkat berbentuk aneh, yaitu di bagian tengahnya ada kayu berbentuk bulat sebesar buah semangka.
"Heheh...heh... maafkan kekurangan ajaran binatang piaraan ku, anak muda...!"
Raden Gayo mendelikkan matanya dan membentak marah. "Huh! kalau kau tak menyuruh menyerangku, masakan dia berbuat seperti itu?"
Si kakek kembali tertawa mengekeh. Lalu berkata. "Aku tak menyuruh menyerangmu, anak muda! Tapi agaknya dia melihat kau seperti musuhnya. Tampaknya kau membawa sesuatu yang membuat dia menjadi marah. Apakah isi buntalan kain kuning di atas punggung kudamu?"
"Heh! alasanmu tak masuk akal! Kau cuma berdalih saja, dan maksudmu sebenarnya adalah hanya untuk menanyakan benda apa yang ku bawa!" kata Gayo dengan sikap tak senang. Lalu sambungnya dengan ketus. "Adapun yang berada dalam buntalan kain kuning itu, dan benda apa yang aku bawa bukanlah urusanmu! Yang jelas kau hampir saja mencelakai diriku! Katakanlah apa maksudmu sebenarnya!"
"Hehe... baik! baiklah aku akan mengatakan maksudku sebenarnya padamu, anak muda! Apakah kau yang bernama Raden Gayo?"
"Kalau kau sudah mengetahui, mengapa pura-pura bertanya?" sahut Raden Gayo ketus.
Si kakek lagi-lagi tertawa. Jawaban ketus Raden Gayo tak membuat dia marah, tapi malah tertawa geli mengekeh. "Heheh... aku memang telah mengetahui kau Raden Gayo, anak BARAMANTRA! Tapi mata ku sudah agak mulai lamur, hingga aku menanyakan padamu agar lebih jelas!" kata kakek ini.
Raden Gayo tak menyahut. Dia hanya perdengarkan suara di hidung. Tapi dalam hati diam-diam dia terkejut, karena dia tak pernah mengenal kakek itu. Tapi orang tua itu mengenali ayahnya. "Siapakah sebenarnya kakek ini...?" berkata dalam hati Raden Gayo.
"Aku memang sengaja menahanmu, dan menyuruh burung elang menyerangmu. Dengan demikian kau akan berhenti. Sejak kau masih di bawah bukit aku sudah melihatmu. Kau menjalankan kuda seperti tergesa-gesa. Dan kulihat di punggung kudamu ada buntalan kain kuning. Tentu saja aku ingin mengetahui apa isi buntalan kain yang kau bawa itu?" kata si kakek.
"Kau terlalu ikut campur urusan orang, tua bangka! Walaupun kau kenal ayahku, tapi apa hubungannya dengan barang yang aku bawa?"
Berubahlah paras muka kakek jubah merah. Dia mengetukkan tongkatnya ke tanah. Lalu berkata dengan suara dingin. "Hm, aku mendapat firasat benda yang kau bawa adalah benda pembawa malapetaka! Oleh karena itu aku telah menghadangmu di tempat ini untuk menghancurkan barang pesanan gurumu !"
Membelalak mata Raden Gayo. Dia membentak dengan marah. "Huah! lagi-lagi kau gunakan alasan! Kau orang tua mengenal ayahku, siapakah kau sebenarnya?"
"Hm, apakah ayahmu Baramantra tak menceritakan tentang aku? Heh... heh... he..., alangkah bodohnya ayahmu! Ternyata dia lebih mementingkan isteri-isterinya saja dan banyak bersenang-senang dengan harta-benda, tanpa menyadari kalau anak laki-lakinya terjerumus ke dalam jurang kesesatan! Akulah yang bernama Ki SEMBULUR! Dalam Rimba persilatan orang mengenal ku dengan gelar si Pendekar Usil!" sahut laki-laki tua ini.
"Pantas kau suka usil dengan urusan orang!" bentak Raden Gayo dengan marah, tapi juga terheran mendengar julukan aneh laki-laki tua itu. Ayahnya memang tak pernah menceritakan tentang orang di hadapannya itu. Dan nama serta gelarnya pun baru kali ini mendengarnya.
Ki Sembulur lanjutkan katakatanya. "Aku kenal ayahmu sejak dua puluh tahun yang silam. Sejak dia masih jadi gembel, hingga kini menjadi seorang Raja Kecil yang hidup dari sokongan seorang pembesar kerajaan!"
"Keparat! kau menghina ayah dan keluargaku?" bentak Raden Gayo dengan wajah merah padam. Dadanya terasa hampir meledak karena gusarnya. Tapi Ki Sembulur meneruskan kata-katanya.
"Aku juga kenal baik dengan gurumu! Dia tak lebih dari manusia setali tiga uang dengan ayahmu!"
Sampai disini Raden Gayo tak dapat menahan kemarahannya. Tubuhnya bergetar. Dan tiba-tiba dia menggembor keras dibarengi dengan gerakan tubuhnya menerjang kakek itu.
LIMA
DARI SISI LAMPING BUKIT tersebut terlihat dua sosok tubuh... Siapa adanya dua orang ini tak lain dari dua begal bernama Dokoh Simburu dan Bronco. Keduanya pentang mata lebar-lebar menyaksikan pertarungan seru antara seorang laki-laki muda melawan seorang kakek berjubah merah bersenjatakan tongkat aneh. Tapi pandangan mata mereka sebentar melihat ke arah pertarungan, sebentar melihat ke arah kuda.
Ternyata yang menjadi incaran dua orang begal adalah bungkusan kain kuning yang berada di atas punggung kuda. Si pendek Dokuh Simburu berikan isyarat pada Bronco kawannya yang berkumis baplang. Kemudian dengan berindap-indap menuruni tebing mendekati ke arah kuda yang berada di bawah bukit.
Sementara itu pertarungan dua orang itu masih berlangsung dengan Serunya. Raden Gayo telah mencabut senjatanya sepasang ruyung berujung runcing. Dengan kemarahan meluap dia menerjang. Dua batang ruyung di tangannya seolah-olah menjadi puluhan ruyung yang menempur lawannya dengan tusukantusukan mengandung maut. Akan tetapi si kakek jubah merah dengan tongkat anehnya menangkis sambaran-sambaran berbahaya itu.
Lewat tiga belas jurus tiba-tiba si kakek bernama Ki Sembulur itu perdengarkan bentakan keras. Tubuhnya tahu-tahu telah terbungkus oleh putaran tongkatnya. Syiuran angin dari putaran tongkat membuat setiap kali serangan ruyung Raden Gayo terpental balik. Bahkan tubuh pemuda itu terhuyung ke kanan dan ke kiri. Di saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan menggeledak. Dan sesosok bayangan berkelebat muncul diiringi sambaran angin keras ke arah punggung Ki Sembulur.
Kakek ini tersentak kaget merasai angin panas menyambar di belakang tubuhnya. Ki Sembulur hentikan putaran tongkatnya. Secepat kilat dia balikkan tubuh. Dengan telapak tangannya dia menghantam ke depan.
Dess...!
Angin pukulan terhantam dan mental balik. Tapi tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Namun dengan gerakan sebat dia telah mempergunakan aji Pasak Bumi. Hingga tubuhnya berdiri tegak lagi. Kini sepasang matanya melihat siapa adanya orang yang menyerang barusan.
"Bagus! kukira kau tak akan muncul, tua bangka KEBO DUWUNG!" berkata Ki Sembulur dengan suara dingin. Laki-laki tua berjubah kelabu berambut putih ikal dan tampak semrawut itu membentak marah.
"Ki Sembulur si Pendekar Usil! Kau boleh usil dengan lain orang, tapi jangan usil dengan urusanku!" bentaknya menggeledek.
"Hehe...he... belasan tahun tak bertemu ternyata kau telah banyak kemajuan! Muridmu cukup hebat! Aku hanya mengujinya saja! Ternyata kau mendidiknya cukup baik. Tapi apa yang akan kau buat dengan patung pesananmu? Aku punya firasat buruk, bahwa benda itu akan membawa malapetaka!" berkata Ki Sembulur dengan sikap tenang.
"Hm, arca itu pesanan seorang sahabatku yang saat ini menjadi tetamu ku. Dia datang dari kaki gunung Himalaya!" sahut Kebo Duwung dengan tak kalah dingin, Lalu menyambung kata-katanya. "Benda itu dibuat dari batu hitam yang langka! Yang dibawa dari seberang samudera! Aku mendapat penjelasan, bahwa benda itu kelak akan dijadikan sebagai patung pemujaan, atau sebagai lambang Dewa yang dianutnya! Mengenai urusan itu, bukanlah urusan kita orang. Kalau kau turut usil mencampuri urusan, bukankah sama dengan kau mencari permusuhan?"
Sejenak Ki Sembulur tertegun. Akan tetapi segera dia berkata. "Baik! hal itu memang bukan urusanku. Tapi... aku mendapat firasat benda itu akan membawa malapetaka! Itulah sebabnya aku menahan murid mu, dan dengan sangat menyesal sekali terpaksa aku harus menghancurkan benda itu!"
Berubahlah seketika wajah Kebo Duwung. Matanya membeliak lebar. Gigi gerahamnya gemerutuk. Kumis dan jenggotnya bergetar. "Firasat gila ! Bilang saja kau mengingini benda itu! Kalau begitu aku si tua Kebo Duwung akan mempertahankannya dengan taruhan nyawaku!" bentak laki-laki tua ini dengan menggeram.
Akan tetapi ketika mereka siap untuk baku hantam, mendadak terdengar suara teriakan Raden Gayo. "Celaka! patung itu dicuri orang!"
Tentu saja teriakan itu membuat kedua kakek ini jadi terkesiap kaget. Serentak mereka berkelebat memburu ke arah Raden Gayo yang telah berada di dekat kuda tunggangannya. Bungkusan kain kuning di atas pelana kuda memang telah lenyap!
"Bodoh! apakah kau tak melihat ada orang berada di sekitar tempat ini?" bentak Kebo Duwung dengan suara tinggi parau.
"Aku... aku tak melihatnya...!" sahut Raden Gayo. Untuk pertama kalinya dia dimarahi oleh sang Guru. Hal itu telah membuat wajahnya berubah merah, dan terasa panas. Apalagi kata-kata "bodoh" itu diucapkan dengan suara kasar dan keras. Entah mengapa timbul satu keanehan pada diri dan jiwa laki-laki muda itu. Darahnya bergolak dan aliran darahnya serasa deras. Urat lehernya menggembung, juga urat yang berada di bagian kening berubah memerah dan menggaris kening dengan nyata.
"Siapakah yang bodoh, Guru? Aku atau kau? Huh! seenaknya saja kau memakiku! Aku sudah berusaha, membawa patung pesananmu untuk kuberikan padamu! Setelah hilang kau menyalahkan aku! Heh! Selama ini apakah yang kudapatkan darimu? Cuma ilmu memainkan sepasang ruyung yang tak ada artinya. Kalau aku tak memberikan imbalan yang terlalu layak buatmu, atas permintaanmu... Hm, mungkin kau tak menghiraukan aku! Selama ini aku cuma diperas saja olehmu. Nyatanya kau berani memakiku. Padahal ayahku sendiri belum pernah memakiku!"
Tentu saja kata-kata Raden Gayo yang nyerocos itu membuat Kebo Duwung melengak. Dia tak menyangka kalau pemuda muridnya itu akan tersinggung hatinya karena dia telah membentaknya dengan kasar. "Muridku... mengapa kau...?" berkata Kebo Duwung dengan heran.
Akan tetapi jawabannya adalah pemuda itu menerjangnya dengan beringas. Sepasang ruyung menyambar ke arah jantung dan leher kakek itu. Tentu saja membuat Kebo Duwung terperanjat kaget. Serangan tak terduga itu begitu cepatnya. Kebo Duwung berteriak tertahan. Walau dia berhasil mengelakkan serangan, tapi tak urung salah satu ujung ruyung telah menancap di dada kirinya.
Membelalak mata kakek ini melihat darah memancur dari luka di dadanya yang membasahi kain jubahnya. Dengan menyeringai menahan rasa perih karena lukanya, Kebo Duwung rentangkan tangan. Menyambarlah angin pukulan ke arah Raden Gayo. Pukulan tenaga dalam mengandung maut itu luput, karena pemuda itu dengan gerakan sebat telah gulingkan tubuhnya menghindari serangan.
Di saat pertarungan itu terjadi, Ki Sembulur yang sejenak terpana melihat pertarungan antara guru dan murid itu, segera berkelebat pergi dari tempat itu. Beberapa kali dia gerakan tubuh melompat, memeriksa sekitar perbukitan. Matanya jelalatan memperhatikan kalau-kalau dia dapat melihat ada bayangan manusia di sekitar tempat itu.
"Gila! siapa yang telah mencuri patung itu?" berkata Ki Sembulur dalam hati. Di saat dia tengah menyelidiki sekitar tempat itu, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan merobek udara di kejauhan. Hatinya tersentak. "Edan! Apa yang telah terjadi dengan pertarungan guru dan murid itu?" sentak Ki Sembulur. Tubuhnyapun berkelebat kembali kea rah dimana kedua orang itu tengah Saling baku hantam.
Tampak suatu pemandangan yang menyayat hati terpampang di matanya. Raden Gayo dalam keadaan terkapar dengan kepala remuk. Sedangkan kakek jubah kelabu Kebo Duwung terhuyung-huyung dengan wajah pucat pias. Sebuah ruyung muridnya menancap di dadanya hingga menembus ke punggung.
"Murid setan... ke... pa... rrat...!" memaki Kebo Duwung. Bersamaan dengan makian itu, tubuh Kebo Duwung terjungkal roboh. Darah menyembur dari lukanya, ketika dia mencabut ruyung yang tertancap di dada. Nyawa laki-laki tua itupun melayang. Menyusul arwah Raden Gayo yang telah berangkat lebih dulu akibat terkena hantaman pukulan pada batok kepalanya.
Ki Sembulur terpaku menatap tak bergeming. Tak lama terdengar dia menghela napas, seraya berkata lirih. "Benarlah seperti firasat ku, benda itu akan membawa malapetaka! Nyatanya saat ini sudah dua orang yang menjadi korban malapetaka itu!" Ki Sembulur balikkan tubuhnya, lalu berkelebat pergi meninggalkan perbukitan itu.
Seekor elang terbang melayang dari atas batu tebing. Itulah elang peliharaan Ki Sembulur yang sejak tadi cuma mengikuti kemana laki-laki itu pergi. Melihat Ki Sembulur berkelebat, binatang itu melayang cepat mengejar, dan mengikuti laki-laki itu dengan terbang di atasnya.
* * * * * * *
ENAM
BEBERAPA BULAN TELAH LEWAT... bahkan telah hampir setahun sejak lenyapnya arca batu hitam berbentuk aneh itu, dan kematian Raden Gayo serta gurunya Kebo Duwung telah hampir dilupakan orang. Seorang gadis menunggang kuda dengan langkah perlahan menuruni bukit.
Dia seorang wanita berparas cantik. Rambutnya tergerai di belakang punggung. Mengenakan baju dari sutera kuning. Wajah gadis yang menampakkan keluguan itu sangat sedap dipandang. Siapa adanya gadis ini? Dialah RORO CENTIL, si gadis aneh yang dikenal dengan julukan si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Roro alunkan satu tembang dari mulutnya. Suara tembang yang mensyairkan kata-kata memuji keindahan alam, serta kehidupan manusia yang tenteram dan damai. Ketika tiba di bawah bukit, mendadak Roro hentikan senandung tembangnya. Matanya menatap ke arah depan. Tampak puluhan orang muncul dari sela tebing dimana di sebelah belakangnya adalah sebuah perkampungan.
Puluhan orang itu berjalan beriring-iringan. Hampir rata-rata mereka mengenakan pakaian selembar kain putih yang dibelitkan ke tubuh, dan di bagian ujungnya disampirkan ke bahu. Yang membuat aneh Roro adalah di bagian depan tampak empat orang menggotong sebuah tandu yang dihiasi dengan bunga-bunga beraneka warna.
"Siapakah orang dalam tandu itu... dan akan dibawa kemana?" berkata Roro dalam hati. Rasa ingin tahu segera menyelinap dalam hatinya. Roro bedal kudanya untuk menyusul iringiringan itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara memanggil di belakangnya.
"Nona RORO...!"
Roro menahan kendali kudanya, dan menoleh ke belakang. Tampak seekor kuda putih berpenunggang seorang laki-laki yang juga berpakaian putih dengan ikat kepala kain hitam membedal cepat menyusulnya. Setelah dekat segera dia mengenali siapa penunggang kuda itu.
"Nona Roro! tunggu dulu...!" kata laki-laki itu.
"Ah, kiranya kau sobat JABO LALENGGA! Ada apa kau menyusul ku...?"
Laki-laki baju putih itu menjura, lalu menyahut. "Aku baru saja dari Lamongan, menjenguk ayah angkatku. Ada berita beliau sakit keras. Salah seorang saudara angkatku telah menyusulmu memberi khabar mengenai keadaan ayah angkatku. Dan... sekembalinya dari sana secara tak sengaja aku melihatmu ketika melintasi lembah Dewa Suci ini!"
"Lembah Dewa Suci...?" sentak Roro terkejut. "Jadi lembah ini bernama demikian?" berkata Roro dengan kening mengerenyit.
"Benar ! Lembah ini merupakan tempat suci bagi penduduk sekitarnya. Kebetulan saat ini tengah ada acara pengorbanan! Kalau kau masuk kesana dengan mengendarai kuda, tentu akan dimaki orang. Atau bisa juga kau akan dilempari batu, karena dianggap mengotori tempat suci!" kata Jabo Lalengga.
"Oh...!? aku memang mau melihat siapakah orang dalam tandu itu, dan apakah yang tengah mereka lakukan !" Roro ternganga mendengar keterangan pemuda itu.
"Hm, mari kita tinggalkan tempat ini. Akan kuceritakan nanti mengenai lembah Dewa Suci ini. Mungkin kau belum pernah mendengarnya...!" kata Jabo Lalengga. Roro manggutkan kepala. Tapi masih menatapkan pandangan ke arah iring-iringan orang pembawa tandu itu yang menuju ke tengah lembah. Pemuda itu putar kuda tunggangannya, lalu membedalnya terlebih dulu. Roro menggumam perlahan.
"Lembah aneh...!" Kemudian putarkan kudanya, dan membedalnya dengan cepat menyusul pemuda itu.
Jabo Lalengga ternyata banyak mengetahui jalan di tempat itu. Kudanya memutar ke arah barat, lalu mendaki sebuah bukit. Dalam waktu singkat mereka telah berada di atas lembah. Pemuda itu hentikan kudanya. Lalu melompat turun. Roro Centil menuruti pemuda itu melompat turun dari punggung kuda.
"Tempat yang bagus!" kata Roro sambil layangkan pandangannya ke bawah. Dari sini masih kelihatan iring-iringan orang pembawa tandu itu, dan nampak kecil dari kejauhan. Tapi cukup jelas.
"Bagaimana kau bisa tahu lembah itu tempat suci?" bertanya Roro.
Jabo Lalengga jatuhkan pantatnya ke atas batu. Sesaat matanya menatap Roro, kemudian menyahut. "Sebulan yang lalu aku pernah menghadiri upacara pengorbanan di lembah itu, diajak oleh salah seorang sahabatku di desa sekitar lembah ini. Sayang, aku tak dapat menunjukkan tempatnya. Dia tinggal di kaki bukit itu!" kata Jabo Lalengga sambil menunjuk.
Roro melihat ke arah yang ditunjuk pemuda itu. "Apa yang kau ketahui di lembah itu? Dan binatang apakah yang dikorbankan?" tanya Roro. Pemuda itu tertawa.
"Binatang...?" katanya menukas. "Haha... bukan binatang yang dijadikan korbannya, akan tetapi manusia!" sahutnya.
"Manusia...?" sentak Roro. Terkejut dan heran Roro menatap pemuda di hadapannya dengan mata membelalak.
"Benar! Dewa Suci yang menjadi sesembahan orang-orang di sekitar lembah itu membutuhkan darah seorang gadis yang masih suci!" Lagi-lagi Roro Centil terpana mendengar keterangan Jabo Lalengga.
"Edan! benar-benar gila! Masakan ada persembahan kepada Dewa dengan cara semacam itu?" kata Roro dengan wajah berubah.
"Tapi kenyataannya memang demikian! Setiap satu bulan pasti ada acara pengorbanan. Dan seperti yang kau lihat, hari ini adalah bulan yang keenam seperti yang diketahui dari sahabatku, acara pengorbanan segera akan dilaksanakan...!"
"Kapankah akan dimulai upacara itu?" tanya Roro. Hatinya tersentak, dan wajahnya berubah agak pucat. Roro melihat di dasar lembah puluhan orang pembawa tandu telah berkumpul di depan sebuah goa.
"Upacara akan dimulai setelah hari gelap. Kira-kira sepenanak nasi, akan terdengar suara gong dipalu. Dan tandu akan digotong ke dalam oleh beberapa orang berpakaian seperti pendeta. Di bagian sebelah atas di luar goa ada pancuran tempat mengucurkan darah gadis yang dikorbankan. Darah itu ditampung dalam kuali. Kemudian akan dicampur oleh air kelapa yang telah direndam dengan bermacam kembang. Air itulah yang dibagi-bagikan pada setiap orang yang menginginkan keselamatan dan lain-lain, terserah keinginan apa yang dimaui oleh orang turut nadir dalam upacara itu!" tutur Jabo Lalengga.
"Darah itu untuk diminum?" sentak Roro.
Pemuda itu mengangguk. Roro belalakkan matanya. "Kau... kau juga meminumnya?" tanya Roro setengah berteriak.
Tapi Jabo Lalengga menggelengkan kepala, seraya menyahut dengan mimik wajah bersungguh-sungguh. "Syukurlah aku tak meminumnya. Cairan darah bercampur air kelapa itu aku buang secara diam-diam..."
Roro jumput sebuah batu sebesar kelapa. Tiba-tiba dia melemparkan batu itu hingga melesak ke dalam tanah. "Gila! apa yang telah dilakukan di dasar lembah itu tak dapat dibenarkan! Itu suatu perbuatan terkutuk! Lembah itu bukanlah lembah suci, tapi lembah terkutuk!" maki Roro dengan napas tersengal dan tampak dadanya turun naik.
Sebagai seorang wanita yang juga masih gadis, apa yang diutarakan mengenai upacara pengorbanan di lembah Dewa Suci itu tentu saja membuat kengerian pada hati Roro. Roro merasa kaumnya telah diperbuat sesuka hati oleh sekelompok manusia yang mengadakan persembahan pada sang Dewa Suci yang mereka puja-puja.
Entah macam apakah Dewa yang mereka sembah dan haus darah gadis-gadis yang masih suci itu? Roro merasa kepalanya berdenyutan memikirkan upacara aneh yang malam nanti bakal berlangsung di dasar lembah itu.
* * * * * * *
TUJUH
CUACA TELAH BERUBAH GELAP! Keadaan didasar lembah tampak terang benderang karena belasan orang berpakaian mirip paderi telah berdiri mengelilingi para pembawa korban persembahan dengan memasang obor-obor. Selang tak berapa lama terdengar suara gong dipukul dari dalam goa.
Empat orang laki-laki berkepala gundul berjubah kuning keluar dari dalam goa. Dan kelompok pengantar dan pembawa tandu segera menyingkir memberi jalan. Tak lama tandu segera digotong masuk ke dalam goa. Di saat itulah di kejauhan, kira-kira sepuluh tombak dari tempat itu terdengar suara teriakan seorang laki-laki tua. Dia berlari-lari jatuh bangun dengan sangat mengenaskan sekali.
"Tidaaak! cucuku jangan dijadikan korban! Lepaskan cucuku...!" teriaknya dengan suara parau menghiba. Para penggotong tandu sesaat menghentikan langkahnya. Tapi segera terdengar bentakan dari dalam goa.
"Jangan hiraukan siapa pun. Cepat bawa ke dalam. Tak ada calon korban yang harus dibatalkan!" suara bernada besar itu sangat berpengaruh, hingga tak ayal keempat paderi itu cepat menggotongnya masuk. Sesaat antaranya laki-laki tua telah tiba di depan mulut goa, dimana puluhan manusia berkerumun.
Belasan paderi membawa obor tak satupun yang berani bergerak tanpa ada perintah. Di saat itulah dua orang paderi berjubah abuabu keluar dari dalam goa. Dengan langkah lebar keduanya mendekati laki-laki itu.
"Tua bangka! kau telah berani melanggar peraturan. Tahukah kau apa hukumannya?" bentak salah seorang.
"Dia... dia cucuku.... Mengapa dia harus dijadikan korban persembahan?" berkata laki-laki tua ini dengan wajah pucat dan suara gemetar.
"Seret dia ke depan altar!" satu suara berpengaruh terdengar tanpa terlihat orangnya yang bicara. Sekali gerakkan lengan, salah seorang paderi jubah kuning menjambak rambutnya.
Laki-laki tua itu menjerit kesakitan. Tapi kedua pengawal tempat pemujaan itu tak memperdulikan. Mereka menyeret orang itu ke depan altar. Ternyata di depan goa ada tangga undakan yang pada bagian ujungnya terdapat asap pedupaan yang mengepulkan asap kerbau harum menusuk hidung. Keduanya menyeretnya ke depan tangga undakan.
Satu totokan yang dilakukan salah seorang paderi jubah kuning telah membuat laki-laki tua itu terpaku diam dalam keadaan menekuk lutut di tangga batu. Terdengar suara tanpa rupa yang bersuara besar seperti tadi.
"Kau telah melanggar aturan di tempat suci. Maka hukumannya adalah potong lengan!" Mendengar kata-kata itu laki-laki tua ini pucat wajahnya. Tapi dia segera berkata. "Potonglah lengan atau kakiku, atau bunuhlah aku. Asalkan cucuku dibebaskan!"
"Kau benar-benar telah mengotori tempat suci. Maka hukumannya adalah penggal kepala!" Terdengar lagi suara dari dalam goa.
Laki-laki tua itu berteriak kalap. "Kalian semua manusia-manusia biadab! Kalian benar-benar iblis! Kelak kalian akan mendapat balasan setimpal dengan perbuatan gila ini!"
Akan tetapi teriakan laki-laki tua itu terputus. Mendadak tubuhnya terlempar dari depan altar. Para pengantar korban menjerit kaget dengan wajah pucat. Ketika tubuh laki-laki tua itu menyentuh tanah di depan goa ternyata lehernya telah putus! Di saat itulah tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat diiringi bentakan nyaring.
"Manusia-manusia terkutuk! Sungguh perbuatan biadab!"
Dua paderi jubah kuning yang berdiri di kiri kanan altar tiba-tiba menjerit dan terjungkal roboh. Gemparlah seketika puluhan orang di depan goa itu. Ternyata dua pengawal upacara itu telah tewas seketika. Dua belas paderi pembawa obor terkejut melihat kejadian itu. Dilihatnya seorang wanita berbaju kuning telah berdiri di depan altar.
Siapa adanya wanita ini tiada lain dari Roro Centil. Ternyata dengan diam-diam pendekar wanita itu telah menyusup masuk ke tempat di adakannya upacara di mulut goa, di dasar lembah itu. Puluhan penduduk yang melihat munculnya seorang gadis berambut panjang mengurai di tempat itu cuma bisa ternganga dengan menelan ludah. Siapa lagi yang telah membunuh dua orang pengawal upacara kalau bukan dara itu?
Sementara Roro dengan langkah lebar melangkah masuk ke mulut goa. Keberanian yang ugal-ugalan itu membuat terkesiap seseorang yang berada disudut celah tebing batu. Dengan mata membelalak dia melihat kejadian di depan mata.
"Ah, gadis pendekar itu terlalu berani...! Ilmu kepandaiannya memang hebat. Tapi dengan mencari gara-gara di tempat yang dianggap tempat suci oleh segolongan manusia-manusia di lembah itu, justru akan menyulitkan dirinya...!" mendesis pemuda ini yang tak lain dari Jabo Lalengga. "Apakah yang harus kuperbuat...?" berkata Jabo Lalengga dalam hati.
Di saat pemuda itu tengah kebingungan mengambil keputusan, karena walaupun dia punya keberanian cukup, tapi untuk mengambil resiko turut mendampingi gadis pendekar yang bersikap ugal-ugalan itu terlalu berat baginya. Setidak-tidaknya dia toh masih sayang nyawanya. Di saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan melengking merobek udara berbareng dengan terlemparnya tubuh dara ugal-ugalan itu dari dalam goa.
"Nona Roro...!" teriaknya secara tak sadar. Dan tubuhnya telah berkelebat melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Akan tetapi baru saja dia akan memburu tubuh yang tergeletak di tangga undakan altar, tahu-tahu berkelebat bayangan putih. Sebelum Jabo Lalengga sadar apa yang terjadi, tahu-tahu kepalanya seperti dihantam benda keras. Tubuh pemuda itu roboh terguling, dan selanjutnya dia sudah tak ingat apa-apa lagi...
* * * * * * *
DELAPAN
RORO CENTIL terheran-heran... Tahu-tahu dia telah berada di sebuah tempat asing. Ketika memandang ke sekeliling Roro tersentak melihat ratusan ular berbisa besar dan kecil mengelilingi dirinya pada jarak dua-tiga tombak. Sedangkan dia sendiri berdiri dengan pakaian sudah tidak utuh lagi.
"Oh, dimana aku...?" sentaknya dengan wajah pucat. Keadaan di sekelilingnya gelap pekat, tak terlihat cahaya secuil pun. Ketika dia mencoba menggerakkan kaki dan tangan, terasa sukar. Aneh! dia merasa tenaganya lenyap sama sekali.
Di saat itulah dari arah kegelapan di sekitarnya bermunculan sosoksosok tubuh yang membuat kaki Roro menyurut mundur. Itulah sosok-sosok tubuh laki-laki bertubuh kekar setengah telanjang. Wajahwajah kasar dengan mulut menyeringai dan mata membinar-binar melangkah mendekatinya.
Roro tersentak kaget. Sekujur pembuluh darahnya terasa tersumbat. Roro merasa tubuhnya lemah tak bertenaga sama sekali. Ketika dibalikkan tubuh belakang terlebih dahulu lagi terkejutnya. Ternyata belasan manusia menyeramkan itu telah mengurungnya. Sadarlah Roro kalau dirinya tak mungkin lagi menghindarkan bahaya di depan matanya lagi.
Sementara dilihatnya manusia-manusia bermata jalang dengan mulut menyeringai itu melangkah semakin dekat. Kini lengan-lengan kasar penuh urat bertonjolan itu berjuluran untuk menjamah tubuhnya. Wajah Roro pucat pias bagai tak berdarah. Kengerian terbayang di depan matanya. Apakah yang akan diperbuat manusia-manusia lembah itu terhadap dirinya?
"Gila! Edan....! tempat apa ini? Dimana aku...? Apa yang akan mereka lakukan terhadap diri ku...?" sentak Roro dengan wajah semakin pias. Rasa takut yang luar biasa agaknya baru pertama kali inilah yang di rasakan Roro. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuh, dan otak Roro serasa kacau. Ketika Roro merasa lengan-lengan kasar itu menjamah sekujur tubuhnya, menjeritlah Roro sekuatkuatnya....
"Tidaaak!" Dan di detik itulah Roro Centil terlonjak kaget, karena ketika membuka matanya bayang-bayang sosok manusia yang menyeramkan itu lenyap sirna.
Roro terheran karena dapatkan dirinya terbaring di balai-balai bambu bertilam sehelai tikar pandan. Ketika memandang ke arah sebelah kiri, tampak seorang laki-laki tua berjubah hitam yang ujungnya disampirkan di pundak, menatapnya dengan tersenyum.
"Si...siapa kau...?" sentak Roro dengan suara parau. Tapi mendadak kepalanya terasa berat. Berat sekali. Dan ketika dia berteriak tadi ada rasa nyeri pada dadanya di sebelah dalam.
"Haih... sukurlah, kau sudah sadar dari pingsan mu, cah ayu...!"
Suara itu begitu lembut, membuat Roro kembali bertanya heran. "Kau... kau siapakah orang tua? Dan di manakah aku? Apa yang telah terjadi dengan diriku...?"
Yang ditanya tersenyum, lalu menyahut. "Keberanianmu sungguh luar biasa, cah ayu! Tapi kau telah bertindak sembrono! Untunglah aku berhasil menyelamatkan dirimu dari orang-orang lembah terkutuk itu...! Namaku SEMBULUR. Panggillah aku Ki SEMBULUR!"
Roro belalakkan matanya. "Jadi aku tadi bermimpi...?" berkata Roro dengan suara menggumam.
"Hm, kau mimpi apakah cah ayu? Kudengar tadi kau menjerit keras sekali ketika aku menyelimuti tubuhmu. Hampir sehari semalam kau tak sadarkan diri. Tubuhmu panas sekali. Tapi aku telah meminumkan kau akar obat. Kesehatanmu dalam waktu tak lama akan pulih kembali. Untunglah tenaga dalammu sangat tinggi, hingga kau tak sampai tewas! Orang-orang lembah terkutuk itu sangat tinggi ilmunya. Kau pasti terluka dalam. Tapi kalau kau mau membantunya dengan menyalurkan hawa murni dari bagian pusar, maka luka dalam itu akan cepat sembuh kembali...!"
Tak sampai menunggu lagi, Roro melompat bangkit dari pembaringan. Dan dia telah jatuhkan tubuhnya berlutut di depan orang tua itu, seraya berkata. "Ki Sembulur...! terimakasih atas pertolonganmu. Aku yang bodoh dan kurang pengalaman ini berhutang budi padamu..."
"Ah... bangunlah, cah ayu...! Jangan banyak peradatan. Cepat ikuti petunjuk ku. Kau harus segera menyembuhkan luka dalammu! Gunakan cara seperti yang kukatakan tadi!" kata Ki Sembulur. Laki-laki tua itu mengangkat bangun Roro Centil.
Roro yang memang saat itu merasa ada rasa nyeri. Di bagian dalam dadanya, segera duduk bersila, dan pusatkan kekuatan batinnya untuk menyalurkan hawa murni dari pusar dan menyebarkan ke segenap saluran darah. Lalu mengurut beberapa kali pada bagian yang sakit. Tampak keringat dingin membasahi punggung dan keningnya. Selang tak lama gadis itu melompat bangun berdiri.
"Sekali lagi aku ucapkan terimakasih padamu Ki Sembulur...!" kata Roro. Kemudian melanjutkan kata-katanya. "Kau tentu telah mengetahui siapakah adanya manusia-manusia gila yang bercokol di lembah itu?" tanya Roro, yang telah merasa agak enakan, karena rasa nyeri pada dadanya sebelah dalam sudah agak berkurang.
Ki Sembulur menghela napas, lalu menyuruh Roro duduk kembali. Sedangkan dia sendiri menyeret sebuah bangku beralas kulit binatang, dan duduk disudut ruangan pondok itu.
"Sebenarnya aku sudah mendapat firasat buruk akan adanya malapetaka pada hampir setahun yang lalu..." katanya membuka kisah lama. Roro tercekat hatinya. Telinganya dipasang untuk mendengarkan penuturan Ki Sembulur.
"Apakah kau mengetahuinya sebelum lembah itu dihuni orang-orang edan itu, Ki Sembulur...?"
Laki-laki tua itu mengangguk. Kemudian diapun menuturkan peristiwa lama itu, yaitu sejak kemunculan sebuah arca batu hitam yang membawa maut. Seperti dituturkan di bagian depan, arca batu pesanan Kebo Duwung lenyap entah kemana, dan Ki Sembulur mencari-cari ke seluruh pelosok perbukitan tapi tak menjumpai ada manusia di sekitar tempat itu. Akhirnya diapun pergi dengan hati penuh kemasygulan, bersama elang peliharaannya.
Firasat laki-laki tua itu memang benar. Kenyataannya dua orang telah menjadi korban gara-gara arca aneh itu. Bagaimana sampai Ki Sembulur mengetahui adanya pesanan membuat patung demikian yang dipesan oleh Kebo Duwung? Ternyata jauh sebelum itu dia telah mendengar berita adanya seseorang dari seberang lautan Hindia yang mengakui dari kaki gunung Himalaya, telah membawa sebongkah batu hitam untuk dijadikan sebuah arca.
Belakangan baru dia mengetahui kalau orang itu telah menjadi tetamu Kebo Duwung. Ki Sembulur tahu siapa Kebo Duwung dan orang macam apa manusia itu. Dalam dunia Rimba Persilatan Kebo Duwung adalah manusia yang rakus akan kesenangan duniawi. Tak pandang bulu kalau bertindak. Boleh dibilang dia seorang tokoh yang disebut putih bukan putih, disebut hitam bukan hitam. Asal kesenangan terpenuhi maka pekerjaan apapun dia mau melakukannya.
Ternyata atas bantuan Raden Gayo muridnya, telah berhasil diketemukan seorang pemahat bernama MANGUNTO. Dan terciptalah patung batu hitam yang rupanya sampai saat ini dia tak mengetahui. Sayang dia datang terlambat, dan muncul setelah arca itu selesai dibuat. Jauh sebelum arca pembawa maut itu muncul, dia telah mendapat firasat dari hasil semadhinya. Bahwa kelak akan muncul huru-hara yang disebabkan dengan munculnya sebuah arca. Wangsit itu membisik di telinganya di saat dia hampir tertidur dalam semadi yang dilakukan di saat dia menyepi diri.
Patung itu lenyap dengan memakan korban dua manusia, yaitu Kebo Duwung sendiri dan muridnya Raden Gayo yang saling bunuh karena persoalan yang sebenarnya sangat sepele. Tapi dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa suatu keanehan telah terjadi, dimana Raden Gayo tak mampu menahan dorongan gejolak hawa nafsu amarah, hingga dia menyerang gurunya sendiri.
Sejak dia pergi meninggalkan bukit dimana terjadinya pertumpahan darah itu, tak ada berita lagi didengarnya dimana adanya arca batu hitam itu. Tapi beberapa bulan kemudian dia mendengar ada seorang begal picisan bernama BRONCO yang mengatakan bahwa kawan sejalannya telah berubah menjadi sakti setelah terkena sorotan cahaya aneh yang keluar dari mata patung batu hitam. Ternyata patung batu hitam itu telah dicuri oleh dua orang begal picisan itu. Kawan begal yang terkena sorotan cahaya aneh itu bernama DOKOH SIMBURU.
"Aku menduga Dewa suci yang dipuja-puja dan setiap bulan selalu meminta korban darah seorang gadis yang masih suci di lembah terkutuk itu, adalah arca batu hitam itu!" kata Ki Sembulur mengakhiri penuturannya.
Sesaat lamanya Roro tercenung. Kisah yang dituturkan Ki Sembulur kedengarannya sangat aneh. Tapi tentu saja hal itu membuat Roro penasaran kalau tak membuktikannya.
"Apakah rencanamu Ki Sembulur? Apakah kita akan membiarkan perbuatan gila itu terus berlanjut? Sebagai orang yang telah banyak pengalaman dan cukup usia kukira kau bisa menyusun rencana untuk menumpas manusia-manusia lembah edan itu!" kata Roro.
Cetusan kata-kata Roro yang polos dan lugu sesuai dengan pembawaannya itu membuat Ki Sembulur tersenyum. "Aku memang telah lama mencari jalan untuk menyelidiki. Akan tetapi aku butuh bantuan seorang yang berani. Ternyata kau cocok untuk turut membantuku!" kata laki-laki tua ini.
"Baiklah! kukira tak perlu tergesa-gesa. Sekarang istirahatlah dulu. Hm, dan kau tak usah khawatir. Tempat ini aman. Kita berada di lereng gunung. Pondok ini sudah hampir sebulan ku diami. Kau beristirahatlah, aku akan membuatkan makanan untukmu..."
Sebelum melangkah ke ruang belakang pondok, sesaat dia menoleh dan berkata. "Senjatamu sepasang benda yang berbentuk aneh. Kau tentu Roro Centil, si Pendekar wanita Pantai Selatan itu...!"
"Ah...? kau telah..." sentak Roro. Tapi Ki Sembulur telah lenyap di pintu dapur...
SEMBILAN
SATU BENTAKAN MENGGELEDEK merubah senyum Roro Centil menjadi ternganga terkejut. Karena berbarengan dengan bentakan itu terdengar suara bergedubrakan. Ruangan belakang pondok itu hancur berantakan seperti dihantam petir. Roro terlompat dari duduknya. Dan berkelebat melompat keluar dari jendela.
Tubuh Ki Sembulur terlempar keluar pondok bercampur kepingan kayu. Laki-laki ini cepat bangkit dengan terhuyung. Lalu berkelebat masuk ke dalam pondok. Tak lama telah melompat lagi dengan mencekal tongkatnya yang sejak tadi disandarkan disudut ruangan.
Keadaan Ki Sembulur tampak sangat mengenaskan. Hampir seluruh jubahnya robek-robek dan tampak hangus. Di saat itulah dua sosok tubuh berkelebat dari balik tumpukan kayu. Yang seorang adalah laki-laki tua berjubah putih dengan garis hitam. Bertubuh kurus jangkung, berkumis bagai misai. Melihat laki-laki tua ini Ki Sembulur terkejut, karena dia mengenali orang itu.
"Baramantra...!" sentaknya dengan suara berdesis. Ketika melihat laki-laki yang satunya, sorot mata laki-laki berjubah kelabu berkepala botak dengan seutas tasbih dibelitkan pada kepala itu seperti menghunjam jantung. Siapa adanya laki-laki pendek itu dia tak mengenali.
Tapi seketika hatinya menyentak. "Ah, apakah dia DOKOH S1MBURU? salah seorang begal yang telah mencuri patung batu hitam belasan bulan yang lalu?" Saat itu si kakek jangkung kurus berkumis bagai misai itu telah membentak dengan suara dingin.
"Bagus! setelah menyelamatkan gadis kurang ajar yang telah berani mengotori tempat suci kami di lembah Dewa Suci, apakah kau bisa menyelamatkan jiwamu sendiri, Ki Sembulur?"
"Baramantra! Sejak kapan jadi pengikut orang-orang lembah terkutuk?" Balas membentak Ki Sembulur. Walaupun keadaan tubuhnya tampak sangat mengenaskan, karena di beberapa tempat pada tubuhnya mengeluarkan darah, tapi laki-laki tua ini bernyali macan. Bahaya yang sudah di depan mata itu tampaknya sudah tak diacuhkan lagi karena sudah kepalang tanggung, dan dia tak mau dianggap manusia pengecut.
"Mulutmu terlalu lancang, tua bangka rudin!" bentak Baramantra dengan mata mendelik. Akan tetapi dia segera menyambung kata-katanya dengan tertawa. "Haha...haha... tapi biarlah! Toh tak lama lagi kau bakal mampus! Sebelum kau menemui kematian baiklah kukatakan tentang diriku. Aku memang telah bergabung dengan orang-orang Lembah Dewa Suci, sejak aku membenci orang-orang Kerajaan! Karena partai yang akan kami dirikan kelak akan menghancurkan pihak Kerajaan. Dan tentu saja aku bakal mempunyai kedudukan yang lebih lumayan setelah kekuasaan Kerajaan jatuh ke tangan partai kami!"
Hampir meledak rasanya dada Ki Sembulur mendengar keterangan Baramantra yang membongkar rahasia pribadi orang itu sendiri. Akan tetapi laki-laki ini justru tertawa tergelak-gelak. Suara tertawa yang terdengar sangat menggiriskan hati. Karena Ki Sembulur tertawa tak sewajarnya. Itulah suara tertawa cetusan dari kemarahan hatinya.
"Haha...haha...haha... sudah kuduga hatimu tak lebih busuk dari bangkai yang paling busuk! Ketika kau memorot uang kas Kerajaan dari seorang pembesar Kerajaan yang menjadi kaki tanganmu, dan kau banyak menikmati kesenangan, kau sering memuji dan menyanjung Raja. Memuji tata pemerintahannya. Mengatakan rakyat hidup makmur dan lain sebagainya. Tapi setelah kelicikan dan kebusukan itu terbongkar, dan pembesar kaki tanganmu ditangkap dan dihukum, kini kau membenci orang-orang Kerajaan. Dan kau bergabung dengan manusia-manusia pengkhianat yang mau menghancurkan Kerajaan. Menindas, menipu dan menganiaya penduduk, dengan Dewa palsunya! Sudah lama aku mencium kebiadaban itu, ternyata kau termasuk diantara manusia-manusia biadab itu! Kau benar-benar manusia terkutuk!"
Berubahlah paras muka Baramantra. Akan tetapi ketika dia mau menerjang, laki-laki berjubah kelabu di sebelahnya berkata dengan suara dingin. "Serahkan manusia tengik ini padaku! Biar aku yang mengantar nyawanya ke Akhirat! Dan... kau tangkaplah gadis kurang ajar itu. Tapi jangan sampai kau lukai. Aku menginginkannya!"
Baramantra mengangguk. Tubuhnya berkelebat dari samping laki-laki pendek jubah kelabu itu. Saat itu Roro yang tengah memperhatikan mereka dan pasang telinga serta waspada untuk menghadapi segala kemungkinan, sejak tadi sudah tak sabar untuk menerjang kedua manusia itu.
Akan tetapi dengan menyabarkan hati, justru dia dapat mengetahui siapa adanya manusia bernama Baramantra itu. Walau hatinya tercekat dan lebih banyak memperhatikan si laki-laki pendek jubah kelabu. Sinar matanya tampak aneh, seperti ada kekuatan yang membuat jantung berdebar bila beradu tatap dengannya. Kini melihat si laki-laki jangkung Baramantra berkelebat ke arahnya, Roro segera siap untuk menghadapinya.
"Haha... nona cantik! Nyalimu sungguh luar biasa berani memasuki tempat suci kami di lembah Dewa Suci. Ternyata kau punya cukup kepandaian dari tidak mengecewakan! Dua orang kami telah tewas, maka sebagai gantinya ikutlah padaku secara baik-baik. Mudah-mudahan ketua partai kami mau mengampuni perbuatanmu!" berkata Baramantra dengan tertawa menyeringai.
Laki-laki tua hidung belang ini sambil berkata, matanya menjuluri sekujur lekuk-lekuk tubuh gadis di hadapannya. Ketika melihat sepasang senjata aneh yang tergantung di pinggang Roro, sesaat dia tertegun.
"Cuih...!" Roro meludah. Matanya menatap Baramantra dengan sorot tajam. Mendadak sorot mata Roro berubah lunak. Hal ini disebabkan karena Roro merencanakan suatu siasat, karena mendadak dia teringat sesuatu. Yaitu mengenai diri kawannya Jabo Lalengga.
"Hm, di saat aku terkena hantaman keras dan terlempar keluar goa di lembah itu, sebelum aku tak sadarkan diri, aku mendengar suara teriakan Jabo Lalengga yang memburu ke arahku. Tapi kemudian suara itu berganti dengan suara keluhan, kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Aku menduga pemuda itu telah ditawan oleh orang-orang lembah itu. Kalau aku berpura-pura menyerah, maka aku bisa mengetahui keadaan pemuda itu. Dan aku bisa mengetahui kelemahan mereka. Juga siapa-siapa yang telah terlibat komplotan ini. Di samping itu jalan untuk menumpas bisa lebih sempurna..."
Di saat dalam keadaan terdesak begitu, Roro memang tak punya jalan lain. Akan tetapi dia tak bisa membiarkan Ki Sembulur bertarung sendirian. Tekadnya sudah bulat untuk menghancurkan komplotan itu. Dan satu hal akan dilakukannya adalah memusnahkan arca batu hitam yang di dewa-dewakan di lembah Dewa Suci, yang disebut olehnya sebagai lembah terkutuk.
Melihat gadis itu diam terpaku, Baramantra kembali maju selangkah. "Bagaimana, nona? apakah telah kau pertimbangkan usulku?" katanya dengan suara besar.
Tapi jawabannya adalah suara tertawa Roro yang terkikik, membuat laki-laki ini melengak heran. Saat itu Ki Sembulur telah menyilangkan tongkatnya di depan dada. Wajahnya tampak membesi. Lawannya si laki-laki jubah kelabu itu tersenyum sinis.
"Kau masih kuberi kesempatan untuk satu penawaran yang bagus. Kalau kau bisa memilih mana yang terbaik, tentu usiamu bisa panjang. Tapi kalau kau salah memilih, maka haha... silahkan berdo'a sebelum kau mampus!" berkata laki-laki kepala gundul berjubah kelabu itu.
"Huh! katakan siapa sebenarnya kau? Apakah kau yang bernama DOKOH SIMBURU?" bentak Ki Sembulur tanpa menghiraukan ucapan laki-laki itu dengan segala macam penawaran.
"Bagus! aku memang Dokoh Simburu! Dan kalau kau mau lebih jelas, akulah yang telah mencuri arca batu hitam pada belasan bulan yang silam. Arca itu kini menjadi Dewa yang kami puja, karena dengan perantaraannya-lah aku bisa memiliki ilmu dan kesaktian. Dan kalau kau mau mengetahui, akulah ketua Partai Dewa Suci yang akan menumbangkan kekuasaan Raja. Lebih dari dua puluh tokoh Rimba. persilatan telah bergabung dengan kami di lembah Dewa Suci!"
Tentu saja keterangan laki-laki pendek itu membuat Ki Sembulur tertegun. Jantungnya melonjak keras. "Gila! Jadi firasat ku benar! Wangsit yang kudengar dalam semadi ku itu hampir mendekati kenyataan. Arca batu hitam itu benar-benar pembawa malapetaka!" berkata Ki Sembulur dalam hati. Saat itu Dokoh Simburu, laki-laki bekas begal picisan itu telah meneruskan kata-katanya.
"Nah! kesempatanmu untuk memperpanjang hidupmu masih terbuka. kalau kau mau bergabung dengan kami, maka ku ampuni kesalahanmu!"
Akan tetapi Ki Sembulur telah menggembor keras dengan kemarahan meluap... Sebelah lengannya merentang menghamburkan angin pukulan berhawa dingin. Dan tongkatnya menyambar dengan dahsyat...
"Kau lebih mengingini kematian rupanya!" membentak dingin Dokoh Simburu. Tubuhnya melesat dua tombak menghindari sambaran pukulan lawan. Jubahnya mengibaskan menghantam tongkat Ki Sembulur.
Plak!
Laki-laki tua itu terhuyung ketika sambaran lengan jubah Dokoh Simburu mengenai tongkatnya. Nyaris saja senjatanya terlepas dari genggaman tangan. Akan tetapi dengan menggeram, dia melompat kebelakang. Kini senjatanya digunakan untuk menusuk ke arah leher. Gerakan selanjutnya yang dilakukan lawan adalah miringkan tubuhnya ke samping. Seraya membentak sebelah kaki paderi itu menghantam keselangkangan Ki Sembulur. Tersentak kaget Ki Sembulur.
Dia merasai sambaran berhawa panas menyambar ke arah bagian bawah tubuhnya. Namun dengan gesit dia jatuhkan tubuhnya berguling ke arah kanan. Sementara tongkatnya digunakan menusuk ke arah lambung lawan. Di luar dugaan si paderi justru memapaki dengan sambaran ujung lengan jubahnya. Terkejut Ki Sembulur. Sambaran keras itu membuat dia menarik serangan, dan berguling ke samping. Di saat yang sama sebelah lengan Dokoh Simburu menghantam dengan pukulan maut. Cahaya biru meluncur deras merambas udara.
Dhesss...!
Mau tak mau Ki Sembulur segera menangkis serangan dengan kedua lengan. Hampir separuh tenaga dalamnya digunakan untuk memapaki serangan maut itu.
Bummm...!
Uap putih dan ungu merambah udara. Ki Sembulur perdengarkan jeritan panjang. Tubuhnya terlempar berjungkalan. Tongkatnya terlepas dari tangannya. Sebat sekali Dokoh Simburu berkelebat menyambar senjata yang melayang itu. Dan dengan kecepatan tak terduga, begitu tongkat itu berada dalam cekalan tangannya, melesatlah benda itu ke arah Ki Sembulur dengan kecepatan kilat!
Roro tersentak kaget. Tubuhnya berkelebat dari tempatnya berdiri. Ternyata diam-diam dia telah memperhatikan jalannya pertarungan. Hatinya mencelos melihat tongkat di tangan paderi itu melesat ke arah Ki Sembulur yang tampak dalam keadaan terlentang...
Roro sempat hamburkan pukulan jarak jauh hingga membuat tongkat maut itu terhantam, dan luputlah laki-laki tua itu dari maut. Akan tetapi detik itu pula Baramantra melihat kesempatan baik yang tak disia-siakan. Dengan kecepatan kilat lengannya menotok tubuh dara pantai selatan itu. Roro tersentak kaget, tapi terlambat! Tubuhnya jatuh terguling dengan sekujur tubuh menjadi kaku.
Dara ini mengeluh. "Celaka..."
Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, lengan Baramantra dengan cepat telah terulur menangkap pinggangnya. "Haha... ternyata menangkap gadis pendekar gagah ini sangat mudah." kata Baramantra dengan wajah girang.
Ketika menoleh ke arah pertarungan, dia melihat sang ketua tengah hantamkan pukulan susulan yang mengakhiri pertarungan. Ki Sembulur tak sempat untuk berteriak lagi. Kepalanya rengkah terkena hantaman pukulan maut yang menghabisi jiwanya.
"Ketua! aku telah berhasil menawan gadis ini tanpa cidera, sesuai dengan keinginan mu!"
"Haha... bagus! Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Kedua sosok tubuh itu berkelebat bagaikan bayangan meninggalkan lereng gunung.
* * * * * * *
SEPULUH
JABO LALENGGA pentang mata lebar-lebar ketika sadar dari pingsannya. Dia tersentak kaget melihat dirinya berada dalam sebuah ruangan pengap berdinding batu. Sadarlah dia dimana dia kini berada.
"Celaka! aku tertawan di sarang manusia-manusia lembah...!" keluh pemuda ini sambil meraba kepalanya yang terasa sakit berdenyutan.
Jabo Lalengga teringat, ketika dia melompat memburu gadis bernama Roro yang dilihatnya terkapar di depan altar, tahu-tahu kepalanya seperti dihantam benda keras, dan dia tak ingat apa-apa lagi. Jabo Lalengga merangkak mendekati jeruji besi di bagian depan ruangan tahanan. Dia melihat banyak sekali lorong-lorong di dalam goa.
Tahulah pemuda ini kalau dirinya berada dalam goa dimana tempat itu dijadikan markas segolongan orang-orang lembah yang dinamakan lembah Dewa Suci itu. Sesaat dia tercenung ketika memikirkan nasib gadis kawannya itu.
"Di manakah saat ini dia? Apakah dia dalam keadaan hidup atau tewas...?" berkata pemuda ini dalam hati.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bercakap-cakap dan suara langkah mendekat. Cepatcepat dia melompat ke sudut ruangan dimana dia tadi menggeletak. Lalu baringkan tubuhnya seperti semula seolah-olah dia belum sadar dari pingsannya. Suara bercakap-cakap itu semakin mendekat.
"Haha... gadis pendekar itu menurut dugaanku tak salah lagi, dialah Roro Centil yang digelari si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Belakangan ini berita mengenai kemunculan gadis gagah itu telah santar. Pantaslah kalau dalam segebrakan saja dia telah menewaskan dua orang kita!"
Yang bicara ternyata Baramantra, sedangkan kawan bicaranya tak lain dari Dokoh Simburu, si paderi pendek jubah kelabu. "Bagus! Dengan demikian orang-orang partai kita telah bertambah lagi satu orang! Hm, apakah totokanmu cukup kuat, Baramantra? Aku khawatir dia bisa melepaskan diri sebelum aku membawanya ke kamar suci!"
"Jangan khawatir, ketua! ilmu totokanku dapat bertahan selama dua hari! Malam ini juga ketua bisa membawanya!" sahut Baramantra. Pembicaraan mereka terhenti ketika tiba di depan ruang tahanan tempat menyekap Jabo Lalengga.
"Bagaimana dengan pemuda ini, ketua? Apakah dia bisa dijadikan pembantu perjuangan kita?" kata Baramantra. Matanya menatap ke arah Jabo Lalengga yang terlentang disudut ruang tahanan.
"Hm, biarkan dulu! Aku akan melihat gadis pendekar gagah itu lebih dulu...!" sahut Dokoh Simburu. Kedua orang itupun lewat dan lenyap di lorong gelap dalam ruangan goa itu.
Ternyata Roro disekap di ruangan tersendiri, yaitu pada ruangan bawah tanah. Dari sebuah lubang persegi sebesar satu jengkal tangan di atas ruangan tahanan itu, mereka melihat gadis itu masih tertelungkup tak bergerak.
"Berikan kunci kamar tahanan itu padaku, dan tinggalkan aku sendiri!" kata Dokoh Simburu pada Baramantra.
"Baik ketua!" sahut laki-laki ini. Setelah memberikan serenceng anak kunci, Baramantra segera meninggalkan lorong itu.
Dokoh Simburu beranjak menuruni anak tangga batu. Tak lama dia telah berada di depan ruang tempat menyekap Roro. Setelah membuka gembok laki-laki ini beranjak masuk, lalu melangkah mendekati Roro. Kira-kira tiga langkah di dekat tubuh Roro tertelungkup, dia hentikan tindakan kakinya. Sepasang matanya menatap tubuh wanita itu menjalari dengan tatapan mata membinar dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Bagus! alangkah beruntungnya aku dapat mencicipi kehangatan tubuh seorang dara perkasa yang punya nama besar, dan semulus ini. Haha... Dokoh Simburu kini dapat berbuat semaunya. Sang JUTYA KALAMANDHU telah memberikan segala-galanya padaku. Aku harus segera membawa ke kamar suci!" berdesis Dokoh Simburu dengan air liur menetes melihat kepadatan tubuh si dara pantai selatan, dan kemulusan tubuh gadis itu, hingga dia tak sabar untuk menanti datangnya malam.
Roro mengutuk dalam hati karena beberapa kali dia berusaha membuka totokan pada tubuhnya, tetap saja dia tak mampu membukanya. Tentu saja dia mendengar suara desis Dokoh Simburu. Tanpa diketahuinya laki-laki jubah kelabu bertubuh pendek kekar itu telah membaca mantera-mantera. Entah mantera apa. Yang jelas, tahu-tahu Roro merasakan tubuhnya bagai dihembus hawa aneh yang membuat tubuhnya menggigil.
Dokoh Simburu rentangkan kedua lengannya dengan kedua telapak tangan terbuka ke arah Roro. Dari kedua telapak tangannya muncul uap biru yang membungkus tubuh dara perkasa pantai selatan itu. Ternyata hawa dingin itu timbul dari akibat merambasnya uap biru tersebut yang membungkus tubuhnya.
Selanjutnya Roro merasa sekujur tubuhnya lemah tak bertenaga sama sekali. Dia tersentak kaget, tapi dia cuma mampu mengeluh dalam hati. Karena sesaat kemudian tubuhnya telah di pondong oleh laki-laki itu.
SEBELAS
GADIS INI TELAH BEBERAPA KALI SADAR, dan beberapa kali pula pingsan karena mengingat keadaan dirinya. Kini untuk yang keempat kalinya dia kembali siuman. Sepasang matanya basah bersimbah air mata. Dia mendekapkan kedua lengannya menutupi bagian terlarang tubuhnya dengan terisak-isak.
Dalam benaknya masih teringat ketika laki-laki berkepala gundul bertubuh pendek kekar itu membuka pakaiannya dengan paksa. Dan... dia tak berdaya ketika tubuh yang berat itu menghimpitnya. Dia cuma mampu menjerit dalam hati, betapa dia harus dinodai laki-laki yang menjijikkan itu?
Mengapa dia tak dikorbankan dan dibunuh sekalian untuk persembahan Dewa berkepala kambing itu? Dia sudah rela untuk memasrahkan jiwanya, demi lenyapnya wabah penyakit di desa sekitar lembah Dewa Suci itu. Dan karena tak kuasa menentang keputusan pak KUWU yang menetapkan dirinya sebagai calon korban pada bulan ini.
Pembangkang keputusan hanya akan menambah korban sia-sia. Karena seluruh keluarga calon korban yang telah ditetapkan akan tewas secara aneh dan mengerikan. Seolah-olah kematian itu direnggut oleh para iblis, yang mencabut nyawanya dengan menjadi gila terlebih dulu, lalu membentur-benturkan kepala hingga tewas.
Hal itu sudah diketahuinya dengan mata kepala sendiri. Dia sudah berniat meninggalkan tempat kediamannya bersama keluarganya. Tapi terlambat! Pak Kuwu telah menentukan dirinya sebagai calon korban berikutnya. Selama hampir satu bulan dia disekap di tempat tahanan dalam goa tersembunyi dengan dijaga ketat oleh orang-orang lembah.
Dia tak mengetahui lagi nasib ayah dan ibunya. Ketika dia dibawa ke dalam lembah dengan di usung dalam tandu, dia sudah pasrahkan nasibnya karena tiada daya yang bisa diperbuatnya. Akan tetapi ketika tandu digotong masuk dia masih sempat mendengar suara seorang laki-laki yang dikenalnya. Yaitu suara kakeknya. Dengan mengintip dari tirai tandu dia melihat kakeknya tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya.
Dia cuma melihat satu bayangan berkelebat, dan sang kakek terlempar dengan leher terpotong putus. Mengingat kejadian itu dia kembali menangis terisak-isak. Kini dia disekap dalam kamar sempit berdinding batu. Entah apa lagi yang bakal terjadi pada dirinya? Tapi tangisan sedihnya segera lenyap. Toh semua itu tak ada artinya..!
Sementara itu di satu ruangan lain yang lebih besar, diterangi dua buah obor di kiri kanan ruangan, tampak enam orang gadis dalam keadaan mengenaskan. Wajah-wajah pucat dan sepasang mata yang hampir setiap saat selalu basah itu memandang keluar jeruji besi di depan ruangan dengan pandangan hampa. Baru tadi malam seorang kawan mereka dibawa keluar kamar tahanan untuk dikorbankan pada Dewa sesembahan orang-orang lembah.
Biasanya beberapa hari kemudian penghuni ruang tahanan itu akan bertambah seorang gadis lagi sebagai pengganti gadis yang telah dikorbankan. Demikianlah, mereka tak ubahnya bagaikan sekawan hewan yang dikurung dan diberi makan, tapi suatu ketika akan datang saat mereka untuk menerima giliran dipotong, atau dibunuh untuk persembahan sang Dewa sesembahan orang-orang lembah itu.
Di saat itulah mereka mendengarkan suara aneh dari dinding ruang tahanan. Suara seperti itu berulang-ulang, sepertinya dinding itu dipalu dari sebelah luar. Apa yang menjadi keheranan para gadis itu ternyata adalah di ruangan sebelahnya Jabo Lalengga tengah menghantamkan lengannya untuk menjebol tembok yang terlihat retak di sebelah belakang tempat dia berbaring.
Dua tiga kali menghantam dia berhenti untuk melihat apakah ada penjaga yang muncul. Akan tetapi lorong itu tetap sunyi setelah dua orang yang lewat tadi lenyap entah kemana. Kembali dia menghantam dengan pergunakan kekuatan tenaga dalamnya. Dan...
Brakkk....!
Tembok ruangan itu ambrol. Terdengar suara jeritan tertahan dari dalam ruangan di sebelahnya. Alangkah terperanjatnya Jabo Lalengga ketika menerobos keluar dari rongga tembok yang ambrol itu, melihat beberapa orang wanita disekap pula dalam ruangan tersebut.
"Ah, kiranya ruangan tahanan bersebelahan dengan ruangan tempat tahanan para gadis ini?" sentak pemuda ini dengan melengak. Niatnya untuk kabur dari tempat terkutuk itu jadi lumer, karena tetap saja dia masih terkurung di dalam ruangan tahanan lain. Cepat-cepat dia memberi isyarat pada gadis-gadis itu dengan jari telunjuknya.
"Sssst! tenanglah! Aku orang sendiri...! Aku ditawan di ruangan sebelah. Kita harus mencari jalan untuk meloloskan diri dari tempat gila ini!"
"Namaku...Jabo...!" kata Jabo Lalengga memperkenalkan diri dengan nama singkat. Mata pemuda ini menatap keenam gadis itu. Dia mencari-cari Roro. Tapi tak ada diantara mereka.
Saat itu terdengar ada langkah mendekat, seketika pucatlah wajah keenam gadis itu. Mereka saling tatap, dan tatapan terakhir ditujukan pada Jabo Lalengga.
"Cepat kau sembunyi diantara kami!" kata gadis yang tadi memberi keterangan, dengan berbisik pada pemuda itu. Jabo Lalengga cepat berjongkok menutupi lubang. Keenam gadis itu cepat menutupi tubuh pemuda itu dengan sikap masing-masing, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Yang muncul ternyata Baramantra.
"Aku mendengar suara gaduh, dan kalian berteriak... ada apakah?" tanya laki-laki tua itu dengan menatap tajam.
"Tak ada apa-apa, Gusti..." sahut salah seorang. Untunglah cahaya dalam goa itu tak seberapa terang. Lampu obor memang sudah mengecil. Cahaya lampu itu tak cukup untuk melihat jelas dari jarak yang cukup jauh. Apalagi mata Baramantra memang sudah mulai agak mengabur.
"Heh! jangan bikin gaduh! Nanti akan kuperintahkan pada penjaga untuk mengawasi kalian!" ancam Baramantra dengan bersungut. Lalu beranjak pergi.
Jabo Lalengga menghela napas. "Untunglah dia tak memeriksa ruangan tempat menyekapku." berkata dia dalam hati. Keenam gadis itu sama menghela napas lega. Akan tetapi ancaman Baramantra membuat mereka gelisah. Karena tak lama lagi bakal ada penjaga muncul yang diperintahkan laki-laki tua itu untuk mengawasi mereka.
* * * * * * *
SEMENTARA ITU.... Dokoh Simburu dengan napas memburu dan hawa nafsu menggelegak, memondong tubuh Roro Centil memasuki sebuah ruangan khusus. Itulah ruangan yang disebut sebagai tempat suci baginya. Tempat ini bersebelahan dengan tempat menaruh arca batu hitam yang pada bagian depannya tampak sebuah pedupaan mengepulkan asap harum.
Dokoh Simburu letakkan tubuh Roro dipembaringan yang ada disudut ruangan. Sesaat dia menatap wajah dan sekujur tubuh si dara pantai selatan yang dalam keadaan tak berdaya. Dengan dengus napas memburu laki-laki pendek kepala gundul ini lepaskan jubahnya. Tampak tubuhnya yang berkulit hitam penuh otot.
"Haha...hehe...he... nona cantik! Kau tenanglah...! Aku akan membuat sesuatu yang menyenangkan hatimu...!" berkata laki-laki ini dengan suara berdesis. Dan lengannya mulai menjulur untuk merabai sekujur tubuh Roro.
Di saat itu Roro pejamkan matanya. Saat yang menentukan bagi nasibnya hanya terletak pada pemusatan pikiran pada satu titik. Yaitu menyatukan kekuatan batin untuk memusnahkan kekuatan gaib yang telah membuat sekujur tubuhnya lemah tak berdaya. Selain itu pula Roro masih belum bisa melepaskan diri dari pengaruh totokan Baramantra.
Brett...!
Dokoh Simburu telah mencabik pakaian atas Roro. Sepasang benda kuning langsat tersembul di hadapannya. Laki-laki ini tersenyum menyeringai. Matanya membinar. Dan lengannya yang kasar segera merabanya.
Tubuh Roro tergetar... "Keparat...! Paderi palsu terkutuk!" makinya dalam hati. Ketegangan dalam diri Roro telah membuat dia buyar menyatukan kekuatan batinnya.
Akan tetapi wajah Dokoh Simburu berubah. Benda yang dirabanya ternyata begitu kerasnya seperti dia memegang besi. Tahulah dia kalau gadis itu mengenakan pembungkus payudara yang sangat mirip dengan bentuk aslinya.
"Sial! kau benar-benar pendekar wanita aneh! Tapi membuat aku semakin geregetan padamu wong ayu..!" desis Dokoh Simburu. Sekali lengannya bergerak, dia telah membalikkan tubuh gadis pendekar itu. Lengannya mencengkeram rantai pengikat benda itu. Roro sudah hampir putus asa. Akan tetapi di detik itulah dia teringat pada sahabat gaibnya si Harimau tutul. Batinnya cepat membisik,
"TutulL..! aku dalam bahaya..! Bantulah aku..!"
Baru saja Dokoh Simburu akan menyentakkan rantai pengikat BH Roro. Laki-laki itu terperanjat ketika mendengar suara menggeram di belakang punggung. Secepat kilat dia balikkan tubuhnya. Alangkah terperanjatnya Dokoh Simburu ketika melihat seekor harimau tutul tahu-tahu telah berada di hadapannya. Sebelum sempat dia sadar akan bahaya, harimau yang luar biasa besarnya melebihi harimau biasa itu telah menerkamnya.
"Grrrrr....!"
Crapp...! Dokoh Simburu memekik panjang. Dia tak sempat lagi mengelakkan terkaman sang harimau itu. Braakkk...! Pintu kamar hancur berkeping diterjangnya, ketika dengan laki-laki itu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman binatang itu. Cengkeraman lepas. Akan tetapi tengkuknya bersimbah darah, dan punggungnya terluka mengeluarkan darah terkena guratan dalam dari kuku-kuku si harimau tutul. Terperangah Dokoh Simburu. Terkejutnya tak alang kepalang. Ketika harimau itu menerkam lagi, cepat dia guling tubuhnya ke samping. Lengannya menghantam dengan pukulan bertenaga dalam penuh.
Bruusss...!
Harimau itu lenyap berubah jadi segumpal asap. Mata Dokoh Simburu terbelalak lebar. Bulu tengkuk laki-laki ini meremang. Dia melompat mendekati arca batu hitam, sang Dewa Suci yang di pujanya. Akan tetapi tahu-tahu suara geraman telah berada di belakangnya. Lagi-lagi harimau itu menjelma, dan tahu-tahu telah menerkam punggung. Berteriak Dokoh Simburu dengan wajah pucat. Tubuhnya terguling ke tangga batu, tepat di depan arca.
Di saat itulah cahaya aneh berwarna ungu menyorot dari mata arca. Harimau tutul meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar bagai dihempas oleh suatu kekuatan gaib yang amat hebat. Binatang itupun melenyapkan diri menjadi gumpalan asap. Napas Dokoh Simburu terengah-engah. Rasa takut setengah mati nampak jelas terlihat pada wajahnya yang pias. Barulah selama hidup dia melihat ada makhluk menyerupai harimau yang demikian ganas menyerangnya.
"Harimau siluman...?" sentaknya dalam hati. Dengan tubuh luka-luka bersimbah darah dia melompat ke depan arca berbentuk manusia berkepala kambing itu, lalu menyembah dengan bersimpuh di depan arca.
"Dewa Suci...! tolonglah aku!" katanya dengan suara bergetar.
"Kau telah melanggar aturan dan pantangan, Dokoh Simburu! Aku telah mencabut kesaktian yang kau miliki!" terdengar suara tanpa rupa. Dan tampak patung batu hitam itu bergetar. Dari bagian mulutnya keluar uap putih. Sepasang matanya memancarkan cahaya merah menyala. Sebentar terang sebentar padam.
Membelalak mata Dokoh Simburu mendengar kata-kata tanpa ujud itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Jantungnya melonjak keras. Tahulah dia kalau Dewa Suci yang di pujanya telah murka. Sebelum dia sempat mengetahui bahaya maut yang mengancam jiwanya. Tiba-tiba dari mata arca batu itu menyembur cahaya merah merambas tubuh Dokoh Simburu.
Laki-laki menjerit panjang mengerikan. Tubuhnya berkelojotan di tangga altar. Dalam waktu tak lama tampak si paderi palsu yang memang berasal dari seorang begal picisan itu terkapar tak bergeming lagi, dengan kulit tubuh mengelupas menyembulkan tulang belulangnya.
DUA BELAS
RORO CENTTL membelalakkan mata melihat kejadian di depan mata itu. Ternyata Roro telah berhasil menyatukan kekuatan batin dan melepaskan diri dari semua pengaruh yang meluluhkan segenap kekuatan tubuhnya. Bergidik hati Roro melihat keadaan tubuh laki-laki pendek kepala gundul itu yang nyaris memperkosanya. Ada perasaan aneh, mengapa sang Dewa yang dipuja orang-orang lembah itu malah membunuh ketua itu sendiri?
Namun walau bagaimanapun arca batu itulah yang telah menimbulkan bencana dan malapetaka. Roro salurkan segenap kekuatan tenaga dalamnya pada sepasang lengannya. Dan dengan memperdengarkan suara teriakan melengking panjang, dara pantai selatan ini menghantam arca batu hitam itu.
Glaarrr...!
Arca aneh berkepala kambing bertubuh manusia itu seketika hancur lumat menjadi serpihan batu kecil, dan sebagian menjadi bubuk halus yang bertebaran dalam ruangan goa itu. Saat itulah terjadi getaran pada dinding-dinding batu dalam goa itu, seakan-akan telah terjadi gempa. Roro tersentak kaget. Segera dia teringat akan nasib Jabo Lalengga yang telah diketahuinya ditawan di dalam goa itu. Cepat dia berkelebat memasuki lorong.
Sementara itu di dalam lorong dalam goa... Jabo Lalengga tersentak merasai getaran pada dinding ruangan tahanan. Batu-batu kecil tampak meluruk berjatuhan dari langit-langit. Para gadis ini tersentak kaget. Wajah-wajah mereka pucat pias dan tampak mereka sangat ketakutan.
"Apakah yang terjadi! Apakah terjadi gempa?" sentak pemuda ini.
Sementara goncangan-goncangan semakin keras. Enam gadis dalam kamar tahanan itu mulai menjerit dan menangis. Jabo Lalengga melompat ke terali besi. Matanya melihat kesana-kemari khawatir ada penjaga yang datang. Apa yang dilihatnya ternyata beberapa orang di dalam lorong justru berlari-lari menerobos keluar dari lorong dengan serabutan. Sadarlah dia bahwa terjadi gempa.
"Celaka! kita bisa mati tertimbun! Goa batu ini akan runtuh!" Tanpa sadar Jabo Lalengga berteriak. Makin ramailah para gadis itu menjerit dan menangis.
Jabo Lalengga berkali-kali menghantam gembok dan membetot memutus rantai, akan tetapi tak berhasil. Dicobanya merenggangkan jeruji besi. Tapi besi tebal itu bergemingpun tidak. Di saat dia hampir putus asa itu, seseorang berkelebat di depan ruangan penjara. Apa yang dilakukannya begitu cepat. Sebelah lengannya menghantam berturut-turut. Lalu sekali mendorong, robohlah jeruji besi penutup ruangan itu.
"Cepat ikut..!" teriaknya. Orang itu tak kelihatan wajahnya, karena tertutup kain hitam.
Jabo Lalengga cepat ucapkan terimakasih. Lalu dengan cepat membantu gadis-gadis itu agar cepat keluar dari ruangan itu. Dengan mengikuti orang bertopeng itu sebentar saja mereka telah menerobos keluar dari dalam goa. Menghirup udara segar di dasar lembah membuat mereka menarik napas lega. Gadis-gadis itu berlarian dengan wajah girang. Akan tetapi si penolongnya telah lenyap entah kemana....
Jabo Lalengga segera membawa keenam gadis itu ke tempat yang aman. Sementara guncangan pada dinding batu cadas di dasar lembah itu semakin menghebat. Beberapa paderi telah berlompatan keluar tanpa menghiraukan apapun, asalkan dirinya selamat...
* * * * * * *
BARAMANTRA terperanjat ketika baru saja mau melampiaskan nafsu bejatnya pada gadis berada di ruangan terpisah itu, tiba-tiba mendengar suara bergemuruh. Dinding ruangan bergetar. Dia terlonjak kaget. Di saat itulah pintu ruangan yang tak terkunci itu menjeblak terbuka. Dan sesosok tubuh yang menutupi wajahnya dengan selembar kain hitam telah melompat ke dalam ruangan itu.
"Siapa kau?" bentaknya, seraya melompat dari pembaringan, dan menyambar pakaiannya.
Orang yang dibentak tertawa dingin. Melihat benda aneh yang tergantung di pinggang orang itu, segera dia mengenali siapa adanya orang di hadapannya. "Kau... kau...?" sentaknya dengan wajah pias. Akan tetapi terlambat.
Si orang bercadar itu telah melepas pukulan maut dengan tenaga dalam penuh. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri. Menjerit setinggi langit Baramantra. Tubuhnya terlempar membentur dinding ruangan. Terdengar suara tulang berderak. Dan tubuh itu meluruk jatuh ke lantai batu dengan tulang remuk, dan nyawa melayang.
Gadis tanpa busana itu membelalakkan matanya. Roro cepat balikkan tubuh. "Lekas tutupi tubuhmu..! Dan cepat ikut aku keluar dari neraka ini kalau kau tak mau tertimbun reruntuhan batu!" kata Roro.
Gadis itu adalah gadis yang disekap Dokoh Simburu. Tak berayal lagi dia segera menyambar pakaian seadanya. Lalu berlari mengikuti orang yang telah menolongnya. Lurukan batu di bagian depan membuat langkah mereka terhambat, karena jalan lorong dalam gua itu tertimbun. Orang ini hantamkan lengannya ke dinding sebelah kanan.
Braakkk...!
Segera terbuka sebuah lubang akibat hancurnya dinding tersebut. Orang ini tampaknya melihat situasi kian gawat. Sekali sambar, dia telah meraih pinggang gadis itu. Lalu cepat memondongnya dan membawanya melompat keluar dari lubang itu....
Tebing batu itu runtuh bagaikan digoncang oleh tangan raksasa. Puluhan paderi yang tak sempat melarikan diri lenyap ditelan reruntuhan. Tanah sebelah timur retak, dan hampir sebagian tebing itu melesak ke dalam tanah.
Di dalam lorong, belasan tokoh persilatan yang dikurung dalam ruang bawah tanah nyaris teruruk. Untunglah mereka menemukan sebuah terowongan rahasia. Ketika gempa dahsyat itu sudah berlalu, mereka bersembulan dari sebuah lubang, dua puluh tombak dari tanah yang rengkah dan tumpukan batu yang menggunung.
Tak urung beberapa orang mengalami luka-luka, dan dua orang tewas teruruk reruntuhan. Orang bercadar hitam berkelebat kesana kemari mencari kalau-kalau ada orang yang bisa ditolong. Di saat itulah sesosok bayangan putih berkelebat bagaikan angin dan muncul di hadapan orang bercadar itu.
"Siapa kau?" bentak orang bercadar hitam dengan sikap waspada.
Yang berdiri di hadapannya ternyata seorang laki-laki berjilbab besar. Jenggot dan kumisnya menyatu dengan cambang bauknya yang lebat. Laki-laki ini berkulit hitam, hingga tampak jelas antara kulit dan jubahnya yang putih.
"Akulah yang bernama FAKIH AL GHAULAM! Asalku dari kaki gunung Himalaya! Aku penganut ilmu gaib yang datang ke wilayah ini untuk mencari seorang yang menamakan dirinya KI SONGGO BHUWONO! Akulah pembawa batu hitam yang pada belasan bulan yang lalu dipahat menjadi sebuah arca! Kemudian arca itu dijadikan sebagai sesembahan oleh seorang yang bernama Dokoh Simburu, bekas seorang begal karena dia terkena sorotan cahaya aneh dari mata arca. Hingga tiba-tiba dia menjadi seorang yang sakti. Akan tetapi dengan kesaktiannya dia telah menawan banyak kaum pendekar, dan melakukan hal yang sesungguhnya bukan atas kehendak arca yang di dewa-dewakan itu..! Semua itu dilakukan untuk melampiaskan hawa nafsunya belaka!"
"Tunggu!" orang bercadar itu membentak nyaring. Sekali lengannya menarik, maka lepaslah cadar penutup wajahnya. Orang bercadar ini sudah dapat diterka dari suara maupun sepasang benda aneh yang tergantung di pinggangnya. Dia tak lain dari si dara perkasa pantai selatan Roro Centil. Sementara itu belasan pendekar telah berlompatan ke tempat itu. Diantaranya terdapat pula Jabo Lalengga si pemuda sahabat Roro.
"Kalau kau orang yang membawa batu hitam itu, berarti kaulah manusia yang telah membawa bibit malapetaka! Siapa lagi orangnya yang telah memberi kekuatan gaib pada manusia bejat bernama Dokoh Simburu itu kalau bukan kau! Karena dengan ilmu gaib mu, bisa saja kau berbuat sekehendakmu, memberi kegaiban pada arca batu hitam itu!"
Kata-kata Roro yang tandas itu telah membuat wajah laki-laki brewok berkulit hitam, bertubuh tinggi besar itu mendelikkan mata. Dengan pandangan matanya yang tajam dia memang telah mengetahui siapa orang bertopeng itu. Untuk itulah dia munculkan diri di depan gadis itu. Akan tetapi sesaat kemudian Fakih Al Ghaulam tertawa terbahak-bahak.
"Haha... haha... pantaslah kau menjadi murid si Manusia Banci, si nenek Pantai Selatan! Watak mu tak sabaran, ugal-ugalan dan centil!"
Diam-diam Roro terkejut karena orang itu mengetahui gurunya. Dia menjawab dengan ketus. "Mau ugal-ugalan atau centil, itu bukan urusan mu! Apakah dengan kau mengenal guruku, lalu kau bisa mencuci dosa, melepaskan diri dari kesalahan? Hm, menghancurkan kejahatan harus sampai ke akar-akarnya. Kau tak akan kubiarkan lolos lagi. Dan kami..." kata Roro seraya menoleh pada belasan para pendekar yang selamat dari bencana. "Kami siap mempertaruhkan jiwa untuk menumpas kejahatan!"
Kata-kata Roro itu disambut dengan seruan kaum pendekar. Dan sekejap kemudian mereka telah berlompatan mengurung laki-laki itu.
"Tahan dulu! Jangan menambah korban! Aku belum habis berbicara!" bentak Fakih Al Ghaulam. Kemudian dengan suara dingin dan tampak tenang, dia meneruskan kata-katanya. "Aku memang penganut ilmu gaib, tapi bukan untuk kejahatan! Hal ini di luar keinginanku. Ada roh jahat yang telah memasuki arca batu hitam itu! Roh jahat itu telah kukalahkan! Itulah sebabnya Dokoh Simburu kubunuh. Dan aku menggunakan arca yang di dewa-dewakan itu untuk membunuh manusia penyembahnya sendiri!"
Sebagai seorang gadis yang berotak cerdas, Roro dapat menarik kesimpulan dengan kata-kata itu. Mau tak mau dia membenarkan hal itu. Suatu hal, yang tak mungkin kalau tiba-tiba arca yang menjadi sesembahannya itu bukannya menolong dirinya, tapi justru melenyapkan jiwanya.
"Nah! seperti kataku, tujuanku adalah untuk mencari seseorang yang bernama Ki Songgo Bhuwono. Orang itu telah meminjam benda gaib yang tak dapat ku jelaskan pada kalian. Karena mencari orang hingga aku tak mengetahui kalau batu hitam yang kutitipkan pada seseorang yang bernama Kebo Duwung, telah salah dipergunakan. Dan dibentuk sebuah arca tanpa sepengetahuanku! Kebo Duwung tak kutemui di tempat tinggalnya, dan kudengar berita dia telah tewas bertarung dengan muridnya sendiri karena saling menyalahkan karena lenyapnya arca batu hitam itu. Akhirnya aku mendengar berita adanya sebuah arca aneh yang di dewa-dewakan di lembah Dewa Suci. Hingga akhirnya aku mengetahui apa yang telah terjadi. Dan aku bersyukur padamu gadis pantai selatan, karena kau telah menghancurkan penyebab malapetaka itu...!"
Sampai disini lenyaplah keraguan para pendekar, juga Roro pada laki-laki bernama Fakih Al Ghaulam itu. Selagi semua terpaku, tahu-tahu tubuh laki-laki yang mengaku dari kaki gunung Himalaya itu berkelebat lenyap dari hadapan mereka. Roro terperangah. Dia hanya dapat melihat sosok bayangan putih yang melayang ke atas tebing.
Sedangkan jauh di arah sana tampak sesosok tubuh berjubah ungu berdiri di atas batu tebing. Roro gunakan kekuatan matanya untuk melihat dari jarak jauh. Segera terlihat siapa adanya orang berjubah ungu itu. Dan diam-diam gadis ini segera berkelebat menyusul.
"Nona Roro! Tunggu..!" Teriakan di belakangnya membuat Roro berhenti.
"Jabo Lalengga! Mari ikut aku! kata Roro. Tak berayal lagi pemuda itu segera berlari menyusul dara pantai selatan yang meneruskan gerakan tubuhnya berlari cepat mendaki tebing.
" Ki Songgo Bhuwono...!" Suara Fakih Al Ghaulam terdengar berat menyibak udara. Sekejap dia telah berada di hadapan laki-laki tua berjubah ungu itu.
"Sobat Fakih Al Ghaulam...! kau mencari-cari ku?" menyahut kakek tua renta itu dengan suara datar.
"Haih! kau telah menyusahkan aku, Songgo Bhuwono! Aku mau meminta kain sutera hitam yang kau pinjam. Jauh-jauh aku datang kemari untuk mencarimu. Mengapa tak kau antarkan kembali setelah lewat waktunya? Benda itu harus kukembalikan ke asalnya, karena aku khawatir akan membuat malapetaka! Apakah kau telah mengetahui kalau diriku nyaris jadi korban gara-gara orang-orang lembah terkutuk itu?" Laki-laki tinggi besar ini menggerutu.
"Maafkan aku, sobat Fakih! Usiaku sudah terlalu tua. Mungkin juga sifat pikun telah mulai muncul pada diriku. Aku melupakan barang itu kalau aku telah meminjamnya padamu, dan juga harus mengembalikannya. Sekali lagi harap kau memaafkan ku..." Ki Songgo Bhuwono adalah si kakek pemahat yang telah mengajari Mangunto memahat batu membuat arca. Kakek ini tampaknya menerima akan kesalahannya.
Fakih Al Ghaulam geleng-gelengkan kepala menyesali dirinya sendiri, juga keteledoran sahabatnya. Tapi apakah dia bisa menyalahkan? "Sudahlah ! Mana benda itu!" katanya memutus.
Ki Songgo Bhuwono menoleh ke belakang. Lalu berkata. "Mangunto! keluarlah kau dari situ!"
Seorang laki-laki melompat keluar dari balik batu besar di belakang kakek itu. Dialah si pemahat patung batu hitam.
"Berikan padaku kain sutera hitam yang kutitipkan padamu!" ujarnya pada Mangunto.
Laki-laki ini segera mengeluarkan lipatan kecil kain sutera hitam itu pada Ki Songgo Bhuwono.
"Apakah sampai saat ini kau telah mengetahui kegunaan kain yang kutitipkan ini padamu?" tanya Ki Songgo Bhuwono.
Mangunto tertegun tak mengerti, dan menggelengkan kepala. "Aku selalu membawanya kemana pergi sejak aku pergi mengembara. Dan sampai saat ini aku tak mengetahui apakah kegunaannya? Aku tak berani mengganggunya karena benda ini adalah kenang-kenangan yang kau berikan padaku!" sahut Mangunto. Wajah laki-laki tua itu tampak lugu dan polos.
Ki Songgo Bhuwono tersenyum. Dia menghela napas. "Tak apalah..! Kau memang tak perlu mengetahui..!" ujar kakek ini. Kemudian mengambil benda itu dari tangan Mangunto, dan menyerahkannya pada Fakih Al Ghaulam.
Laki-laki dari kaki gunung Himalaya itu geleng-gelengkan kepala. Tapi bibirnya tersenyum. Begitu kain hitam itu diterimanya, maka tubuh laki-laki itupun gaib, sirna dari pandangan mata. Ki Songgo Bhuwono menoleh pada Mangunto yang membelalakkan mata melihat orang tinggi besar berkulit hitam itu lenyap dari hadapannya.
"Nah! Mangunto..! kukira akupun harus segera pergi. Terimakasih atas kesetiaanmu menjaga barang titipan itu. Untunglah kau tidak pikun seperti aku. Aku punya firasat kau akan menemukan kebahagiaan. Nah, selamat tinggal Mangunto..."
Selesai berkata, tubuh Ki Songgo Bhuwono gaib untuk kedua kalinya sejak gaib pertama kali setelah memberikan kain sutera hitam belasan tahun yang lalu. Mangunto termangu-mangu. Kata-kata Ki Songgo Bhuwono terngiang di telinganya yang diucapkan sebelum lenyap dari hadapannya tadi.
"Aku akan menemukan kebahagiaan! Aneh! Ah, Gusti Allah! Seandainya benar, betapa senangnya hatiku. Kebahagiaan macam apakah yang akan ku jumpai?" berdesis laki-laki ini.
Di saat itulah Roro melompat keluar dari balik sebongkah batu diikuti oleh Jabo Lalengga. Mangunto baru saja melangkahkan kaki untuk menuruni lereng tebing. Ketika tiba-tiba dia mendengar suara orang memanggil.
"Bapak tua...tunggu dulu!" teriak Roro.
"Siapakah kalian cah ayu dan anak muda gagah?" tanya Mangunto seraya menatap Roro dan Jabo Lalengga dengan terheran.
"Aku Roro, dan ini kawanku Jabo Lalengga!" sahut Roro memperkenalkan diri, kemudian mengenalkan pemuda sahabatnya.
"Bolehkah aku mengetahui apa hubunganmu dengan kakek sakti bernama Ki Songgo Bhuwono itu?" Roro langsung mengajukan pertanyaan.
Laki-laki tua yang lugu ini menjawab setelah sesaat menatap dara itu. "Dialah seorang yang baik hati, dan orang yang telah menghidupkan hatiku sejak aku bagaikan gila dan hampir putus asa mencari anakku yang hilang tak tentu rimbanya belasan tahun yang lalu. Dia telah mengajari aku cara memahat batu membuat arca. Dengan memiliki kepandaian memahat akhirnya terhibur hatiku, hingga aku melupakan kesedihan hatiku. Di bulan Suro pada kurang lebih empat tahun yang lalu sebelum pergi, Ki Songgo Bhuwono memberikan sehelai kain sutera hitam padaku. Kain itu kusimpan dengan baik, tanpa aku berani menggunakannya...! Kini kain sutera hitam yang dititipkan padaku itu telah dipinta kembali oleh pemilik yang sebenarnya..." tuturnya seraya menghela napas.
Roro manggut-manggut, kemudian sambil berkata dengan tersenyum. "Marilah kita bercakap-cakap sambil berjalan, pak tua...!"
Mangunto mengangguk. Wajahnya tampak berseri gembira. Kepergian Ki Songgo Bhuwono membuat dia merasa kesepian lagi. Tentu saja munculnya dua orang muda itu membuat dia gembira dan agak terhibur hatinya dari kesedihan hati yang kembali menggerogoti perasaan dan jiwanya. Demikianlah, sambil menuruni tebing mereka bercakap-cakap.
Mendadak Jabo Lalengga bertanya. "Kudengar bapak tadi menceritakan tentang kehilangan seorang anak. Siapakah nama anakmu, dan berapa usianya?"
Mangunto menghela napas. "Dia hilang ketika berusia tujuh tahun. Anakku bernama Praguno! Seorang bocah laki-laki yang lucu dan nakal..! Ah, kalau anakku saat ini masih hidup tentu sudah sebesar kau, anak muda...!" sahut Mangunto seraya menatap pemuda itu dengan pandangan tajam.
Sebaliknya Jabo Lalengga pun menatap lekat-lekat wajah laki-laki tua itu. "Benarkah nama anakmu itu PRAGUNO, pak tua?" tanya pemuda ini.
"Ya! Nama itu kuberikan padanya agar dia bisa menjadi orang yang berguna di kelak kemudian hari...! Ada apakah dengan nama itu, anak muda?" selesai menjawab, Mangunto balik bertanya.
"Praguno adalah namaku, pak tua! Itulah nama yang diberikan seorang laki-laki ayahku, yang lenyap tak ada beritanya. Ketika terjadi peperangan, ibuku kudapatkan tewas... Dan aku pergi tak tentu arah tujuan. Kemudian aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang sampai saat ini kuanggap sebagai ayahku. Saat itu aku masih berusia kurang lebih tujuh tahun. Kemudian namaku diganti dengan JABO LALENGGA..!"
Tentu saja penuturan pemuda itu membuat Mangunto tersentak kaget. "Siapa nama ayahmu, anak muda?" tanyanya dengan wajah agak memucat.
"Beliau bernama Mangunto..." sahut Jabo Lalengga.
"Kalau begitu..?" sentak Mangunto dengan wajah berubah kaget. Akan tetapi dia segera berkata. "Apakah kau memiliki tanda goresan bekas luka sepanjang satu jari di atas pusar?" tanya Mangunto dengan tatapan tak lepas merayapi sekujur tubuh dan wajah pemuda itu.
Tak menunggu dua kali, Jabo Lalengga segera sibakkan bajunya. Mata Mangunto membelalak lebar hampir tak percaya melihat tanda guratan bekas luka itu memang benar berada di atas pusar pada bagian tubuh Jabo Lalengga.
"Tak salah lagi...! kaulah anakku...! Kaulah PRAGUNO, anakku yang hilang itu...!" teriak Mangunto dengan wajah berubah girang. Seketika air matanya mengembang di pelupuk mata.
Jabo Lalengga menatap wajah laki-laki itu dengan mata berkaca-kaca, dan bibir bergetar mengeluarkan kata-kata. "Ayah...!"
Dan keduanya segera saling rangkul berpelukan dengan erat dan dengan terisak-isak. Mangunto menciumi wajah pemuda itu dengan air mata mengucur deras. Tapi air mata adalah air mata kebahagiaan.
"Anakku...! Benarlah seperti yang dikatakan Ki Songgo Bhuwono. Aku benar-benar menemukan kebahagiaan seperti firasatnya..."
"Ayah..! kita tak akan berpisah lagi, bukan?"
Mangunto mengangguk dengan terharu, dan dipeluknya lagi pemuda itu dengan air mata bersimbah di pipinya yang mulai keriput. Di saat pertemuan yang mengharukan itu terjadi, Roro Centil telah berkelebat meninggalkan tempat itu.
Episode selanjutnya,