Pedang Awan Merah Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala episode Pedang Awan Merah Jilid 03 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Awan Merah

Jilid 03
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
“Agaknya Mo-ong hendak mengunjungi pula Cin-ling-pai besok pagi?” tanya Tee-kui (Siluman Bumi) setelah memberi hormat. “Dan siapakah nona ini, Mo-ong?”

Mulani yang melihat betapa kedua orang aneh itu agaknya sudah berkenalan baik dengan gurunya, bertanya. “Suhu, siapakah mereka ini?”

Hek-bin Mo-ong menjawab pertanyaan muridnya lebih dulu, ini berarti bahwa dia lebih mementingkan muridnya dan tidak terlalu sungkan kepada dua orang itu. “Mereka inilah yang disebut Thian Te Siang-kui, dua orang datuk yang berkuasa di seluruh lembah sungai Han. Mereka adalah sekutu kita, Mulani.”

“Ah, begitukah. Bagus sekali kalau begitu,” kata gadis itu.

Hek-bin Mo-ong lalu menjawab pertanyaan kedua orang itu. “Aku dan muridku Mulani memang akan berkunjung dan menghadiri undangan Cin-ling-pai.”

“Akan tetapi seyogianya kalau Mo-ong menyamar karena para utusan dan wakil partai-partai akan hadir dan tentu akan terjadi keributan kalau melihat hadirnya Mo-ong di sana,” kata Thian-kui.

“Tentu saja, jangan khawatir. Akan tetapi kalian ini begitu tergesa-gesa hendak pergi ke manakah?” tanya Hek-bin Mo-ong. Dia teringat bahwa kedua orang ini amat lihai sehingga tidak mudah bagi dia dan Pek-bin Mo-ong menundukkan mereka dahulu ketika Sam Mo-ong bersekutu dengan Hoat-kauw untuk menguasai dunia kang-ouw. Tapi akhirnya Thian Te Siang-kui tunduk juga dan mau bersyukur dengan mereka. Kedua orang itu adalah kepala semua golongan hitam di semua kota dan dusun sekitar lembah sungai Han.

“Kami hendak memberi hajaran kepada dua orang yang mengaku tokoh Pek-eng Bu-koan karena mereka berani menghajar tiga orang kami. Juga dua orang, yaitu seorang kakek dan seorang nona...” Thian-kui berhenti bicara melihat Mulani memandang dengan marah dan dia teringat sekarang laporan kedua orang anak buahnya bahwa yang melukai tangan mereka adalah seorang gadis cantik yang berpakaian mewah dan seorang kakek pendek gendut! “Ah, kiranya Mo-ong dan nona yang telah memberi hajaran kepada dua orang anak buah kami yang bersikap kasar,” ia melanjutkan.

“Mereka bukan hanya kasar, mereka kurang ajar!” kata Mulani ketus.

“Sudahlah, salah pengertian di antara kita tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi kalau kalian hendak mencari muda-mudi itu di rumah makan, berhati-hatilah kalian terhadap seorang pemuda berpakaian sederhana yang membawa tongkat butut. Nah, sampai jumpa, Siang-kui!” Hek-bin Mo-ong melanjutkan perjalanannya, diikuti oleh Mulani.

Thian Te Siang-kui melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah makan itu dengan cepat. Melihat sepasang siluman ini memasuki kota bersama sepuluh orang anak buahnya dan wajah mereka nampak bengis, semua orang yang sudah tahu siapa mereka menjadi cemas. Sepasang siluman ini kalau muncul hanya akan mendatangkan kekacauan.

Bahkan petugas keamanan agaknya jerih terhadap mereka yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan biasa membunuh orang tanpa berkedip. Seluruh penjahat besar kecil di daerah itu, bahkan di sepanjang lembah sungai Han menjadi anak buah mereka, atau setidaknya menyatakan takluk dan selalu membagi rejeki yang mereka dapatkan.

Pemuda baju putih dan gadis baju merah muda yang tadi menghajar tiga orang pemuda berandal masih duduk di rumah makan. Agaknya mereka sengaja menanti kalau-kalau kepala berandal akan datang membuat perhitungan dan mereka sudah mengambil keputusan untuk membasmi mereka. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah, putera dan puteri ketua Pek-eng Bu-koan yang terkenal sekali sebagai perguruan silat yang besar di kota raja. Bahkan banyak putera pembesar tinggi sampai pangeran menjadi murid Bu-koan (perguruan silat) ini.

Pemuda itu bernama Can Kok Han, berusia dua puluh lima tahun. Dia tampan dan gagah, dan mungkin karena dia putera ketua Pek-eng Bu-koan, dan saudara-saudara seperguruannya adalah pangeran-pangeran dan pemuda-pemuda bangsawan, Can Kok Han memiliki watak yang angkuh dan tinggi hati di samping kegagahannya. Berbeda dengan kakaknya, gadis itu, Can Bi Lan berusia delapan belas tahun sama sekali tidak angkuh bahkan ia ramah sekali.

Gadis yang selalu berpakaian merah muda ini memang cantik jelita, dengan mata lebar seperti bintang, hidungnya kecil mancung dan mulutnya selalu dihias senyum manis. Yang menjadi daya tarik paling kuat adalah sepasang matanya, mata itu seolah selalu tersenyum memancarkan cahaya kehidupan yang gembira.

Kedatangan mereka di Han-cung adalah untuk mewakili Pek-eng Bu-koan menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Cin-ling-pai. Ketika di ru,ah makan bertemu dengan pemuda-pemuda berandalan, tentu saja mereka turun tangan memberi hajaran dan kini mereka masih menanti ancaman yang dilontarkan anak-anak berandal itu ketika mereka hendak pergi.

Tiba-tiba pemilik rumah makan tergopoh menghampiri mereka dan berkata, “Kongcu! Siocia! Celaka, mereka datang... harap ji-wi (kalian berdua) keluar dari sini agar rumah makan kami tidak hancur berantakan!”

Sepasang muda-mudi itu bangkit berdiri. “Baik, kami akan menyambut mereka di luar!” kata gadis itu dan bersama kakaknya mereka keluar rumah makan. Para tamu menjadi panik, akan tetapi mereka juga ingin menonton perkelahian maka dengan sembunyi-sembunyi mereka mengintai. Han Lin yang masih berada di situ juga tertarik sekali dan dia keluar sampai di ambang pintu depan, berdiri di situ dan memandang kagum kepada kakak beradik yang sudah berdiri tegak siap menanti datangnya lawan.

Tak lama kemudian nampaklah rombongan orang itu. Melihat dua orang aneh yang berada di depan, Han Lin dapat menduga bahwa tentu mereka itu pemimpinnya. Seorang yang amat tinggi kurus, dan seorang lagi yang kecil pendek, merupakan pasangan yang tidak seimbang. Di belakang mereka terdapat sepuluh orang laki-laki termasuk tiga orang yang dihajar oleh kakak beradik itu. Tiga orang inilah yang menuding-nuding ke arah kakak beradik itu untuk memberitahu kawan-kawannya dan dua orang pemimpinnya bahwa kakak beradik itu yang telah menghajar mereka tadi.

Si tinggi kurus dan si pendek kecil menggerakkan kakinya dan seperti terbang saja tahu-tahu mereka telah berhadapan dengan Can Kok Han dan Can Bi Lan. Dua orang muda ini melihat gerakan lawan ini bukanlah orang lemah, bahkan lihai sekali. Melihat perawakan dua orang itu dan gerakan mereka yang seperti terbang, teringatlah kakak beradik itu akan nama besar Thian Te Siang-kui sebagai datuk golongan hitam di seluruh lembah sungai Han.

Akan tetapi sepasang siluman itu kabarnya jarang sekali keluar sendiri kalau tidak menghadapi urusan besar. Mereka tidak tahu bahwa kebetulan saja sepasang siluman itu berada di Han-cung, yaitu ada hubungannya dengan undangan Cin-ling-pai kepada para tokoh kang-ouw. Dan karena mereka berdua kebetulan berada di Han-cung, maka mendengar ada anak buah mereka dihajar, mereka sendiri lalu berangkat untuk menegakkan wibawa.

Thian-kui si tinggi kurus itu menuding ke arah Kok Han dan Bi Lan. “Hei, orang-orang muda. Benarkah kalian yang telah memukul tiga orang anak buah kami ini? Siapakah kalian begitu berani berlagak jagoan di kota Han-cung ini?”

“Kalau tidak salah, kami berhadapan dengan Thian Te Siang-kui, benarkah?” tanya Can Kok Han dengan sikap tenang walaupun di dalam hatinya dia merasa tegang.

Dua orang datuk sesat itu tertawa. “Heh-heh-heh, kalau sudah tahu siapa kami, hayo cepat berlutut minta ampun karena kalian telah memukuli orang-orang kami. Barangkali saja kami akan memaafkan kalian!” kata Tee-kui yang katai.

Tersinggung rasa harga diri Kok Han mendengar dia dan adiknya disuruh berlutut minta ampun. “Hemm,” jawabnya dengan tegas. “Ketahuilah, aku bernama Can Kok Han dan ini adikku Can Bi Lan. Kami adalah putera-puteri ketua Pek-eng Bu-koan. Kami bukanlah orang-orang yang suka memukul orang lain tanpa sebab. Kalau tiga orang itu sampai bentrok dengan kami adalah karena mereka berani bersikap kurang ajar terhadap adikku.”

“Ahh, kalau laki-laki menegur wanita cantik, hal itu sudah biasa terjadi di dunia manapun. Kenapa kalian main pukul? Berarti kalian tidak memandang mata kepada kami?” kata Thian-kui yang tinggi.

“Thian Te Siang-kui!” kata Can Bi Lan sambil tersenyum mengejek. “Aku sudah banyak mendengar kalian sebagai datuk-datuk yang berkedudukan tinggi. Akan tetapi pandanganmu masih sempit. Kami tidak tahu bahwa pemuda-pemuda berandalan itu anak buah kalian, dan kalau mereka kurang ajar kepadaku, apakah aku harus diam saja? Bagaimana kalau puteri kalian dikurang ajari laki-laki? Sepatutnya kalian menegur anak buah sendiri yang bersalah, bukan menyalahkan kami!”

Diam-diam Han Lin kagum. Gadis itu bukan main. Berani dan pandai bicara sehingga dengan ucapannya itu, yang didengar banyak orang walaupun secara sembunyi, telah menyudutkan sepasang siluman itu. Tee-kui mengacungkan kepalan tangan dengan marah dan berkata, “Bocah-bocah sombong, kalau tidak lekas berlutut minta ampun, apakah kalian berani menentang kami?”

“Kami tidak menentang, akan tetapi kami tidak pernah menolak tantangan!” kembali Can Bi Lan yang menjawab dengan tak kalah sengitnya. Gadis ini memang pemberani dan sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi datuk-datuk yang tersohor itu.

“Baik, kalau begitu kami berdua menantang kalian! Hayo, kita main-main sebentar!” kata si katai sambil maju menghampiri Bi Lan sedangkan rekannya yang jangkung itu menghampiri Kok Han.

Kakak beradik ini maklum akan kelihaian dua orang datuk itu, maka sambil melangkah ke belakang mereka mencabut pedang yang tergantung di punggung untuk membela diri. “Thian Te Siang-kui, di antara Pek-eng Bu-koan dan kalian tidak pernah ada permusuhan, akan tetapi kalau sekarang yang muda-muda berani bersikap keras, ini adalah karena kalian yang tua mendesak dan menantang!” kata Kok Han yang bagaimanapun masih bimbang untuk melawan datuk tinggi kurus itu.

“Jangan banyak bicara, kalau ada kepandaian, majulah!” bentak Thian-kui dan diapun sudah melolos senjatanya, yaitu sabuk rantai baja yang panjangnya ada dua meter. Begitu diayun, sabuk rantai itu menyambar dan mengeluarkan suara mengaung nyaring.

Kok Han maklum betapa besar tenaga yang terkandung pada rantai itu, maka diapun tidak berani menangkis, khawatir kalau pedangnya rusak. Dia menggunakan gin-kangnya yang memang rata-rata dimiliki murid Pek-eng Bu-koan, bagaikan seekor burung garuda tubuhnya meloncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran rantai dan dia balas menyerang dengan pedangnya sambil berjungkir balik dan menukik ke arah lawan.

“Bagus!” kata Thian-kui, akan tetapi dengan mudahnya dia mengelak, kemudian memegangi rantai dengan kedua tangan sehingga merupakan sepasang senjata yang panjangnya seperti pedang. Terjadilah pertempuran yang seru di antara mereka.

Sementara itu, Tee-kui mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang golok dan ternyata si katai ini mempunyai gerak yang gesit sekali, dapat mengimbangi gerakan Bi Lan yang juga amat cepat. Pedang gadis itu bergerak membentuk gulungan sinar yang membungkus tubuhnya dan kadang dari gulungan sinar itu mencuat sinar pedang menyerang lawan.

Namun, lawannya lihai sekali dan setiap serangannya tentu bertemu dengan golok yang mengandung tenaga begitu kuat sehingga Bi Lan merasa pedangnya tergetar hebat. Dalam waktu belasan jurus saja gadis ini sudah terdesak hebat dan terpaksa memutar pedangnya melindungi dirinya. Demikianlah pula dengan Kok Han. Lewat belasan jurus dia hanya dapat memutar pedang menangkis sambil terus bergerak mundur karena desakan lawannya yang tinggi kurus.

Han Lin yang menonton pertandingan itu, mengerutkan alisnya dengan khawatir, karena dia tahu bahwa kakak beradik itu bukanlah lawan sepasang siluman yang ternyata lihai sekali! Tingkat kepandaian dua orang itu sudah mencapai tingkat para datuk, dan tak lama lagi dua orang muda Pek-eng Bu-koan itu pasti akan kalah.

Dugaan Han Lin itu terbukti ketika sebuah tendangan kaki si jangkung membuat Kok Han terlempar walaupun dia masih memegangi pedangnya. Dan si katai itu telah menangkis pedang Bi Lan ke samping lalu secepat kilat dia membalikkan gagang golok dan menotok tubuh Bi Lan sehingga tidak bergerak lagi.

“Heh-heh-heh, gadis nakal. Engkau harus menjadi tawanan kami sebelum kalian berdua mau berlutut minta ampun.” Si katai itu hendak menangkap gadis yang sudah tidak mampu bergerak. Melihat ini Kok Han yang sudah bangkit kembali, meloncat dengan pedang di tangan, hendak menolong adiknya yang akan ditangkap.

“Lepaskan adikku!” bentaknya dan pedangnya menyambar ke arah si katai. Tee-kui tertawa dan goloknya menangkis keras ekali, membuat pedang pemuda itu terpental dan orangnya terhuyung.

“Kau ingin mampus...?” bentak si katai dan dia mengejar untuk memberi bacokan kepada Kok Han. Dia mengayun golok kirinya.

“Tranggg...!” Tee-kui terkejut sekali melihat sinar hitam menangkis goloknya dan membuat tangannya tergetar hebat. Pemuda berpakaian sederhana dan memegang tongkat hitam, mengingatkan dia kepada pesan Hek-bin Mo-ong agar dia berhati-hati menghadapi pemuda itu.

“Hemm, dua orang tua menghina orang-orang muda. Sungguh tidak tahu malu!” kata Han Lin. “Yang salah adalah anak buah kalian, kenapa kalian membela anak buah yang berandalan menghina kaum wanita itu?”

Thian Te Siang-kui marah sekali. Walaupun mereka sudah mendapat peringatan dari Hek-bin Mo-ong agar berhati-hati menghadapi pemuda berpakaian sederhana yang membawa tongkat butut, namun mereka berdua sebagai datuk-datuk golongan hitam tentu saja memandang rendah seorang pemuda seperti Han Lin.

“Kurang ajar! Siapa engkau yang berani mencampuri urusan kami!” bentak Thian-kui.

Sementara itu, Kok Han cepat membebaskan totokan pada tubuh adiknya sehingga Bi Lan dapat bergerak kembali. Melihat seorang pemuda bertongkat menghadapi dua orang yang lihai itu, mereka lalu mundur sampai ke pinggiran dan berbalik menjadi penonton, akan tetapi mereka bersiap-siap untuk membantu pemuda yang membantu mereka.

“Siapa aku tidak penting dibicarakan,” kata Han Lin dengan tenang. “Yang penting dibahas adalah sikap kalian yang sungguh tidak sesuai dengan sikap datuk-datuk persilatan. Kalian hendak memaksa dua orang muda yang tidak bersalah untuk berlutut minta ampun, padahal sepatutnya kalian yang minta maaf kepada mereka, mintakan maaf untuk anak buah kalian yang sudah berbuat kurang ajar. Aku sendiri saksi akan kekurang ajaran anak buahmu yang berandalan itu.”

“Bocah sombong! Kalau begitu biarlah engkau mampus tanpa nama!” bentak Thian-kui sambil memutar rantainya yang panjang.

Karena sudah mendapat peringatan dari Hek-bin Mo-ong dan merasakan sendiri hebatnya tenaga yang membuat tangannya terpental hebat, Tee-kui juga tidak tinggal diam. Bagi kedua orang datuk golongan hitam ini, tidak ada suatupun yang dipantang. Biar mengeroyok seorang pemudapun mereka tidak malu melakukannya.

“Haiiittt...!” Thian-kuo menerjang dengan rantai bajanya yang menyambar ganas ke arah kepala Han Lin.

Pemuda ini meloncat ke samping untuk mengelak, akan tetapi sepasang golok Tee-kui menyambutnya sehingga terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan. Ketika dia bangkit kembali, dia maklum bahwa dilihat dari hebatnya serangan kedua orang itu, dia berhadapan dengan dua orang yang benar-benar lihai. Agaknya tingkat kepandaian mereka tidak kalah banyak dibandingkan dengan tingkat Sam Mo-ong!

Oleh karena itu, untuk menguji ilmu pedang yang baru saja dia rangkai dari sari ilmu-ilmunya, dia meloncat bangun sambil mencabut pedangnya itu. Pedang itu diambilnya dari buntalan pakaiannya, dan kini dia lemparkan buntalan pakaian ke samping, lalu meloncat ke atas dan dengan lengkingan panjang dia menukik dan pedangnya menyambar-nyambar ke arah kedua orang lawannya.

Dua orang itu terkejut karena gulungan sinar pedang kemerahan itu mengeluarkan bunyi mendesir dan mendatangkan angin seperti badai menerpa mereka. Keduanya cepat menggerakkan senjata menangkis dengan sekuat tenaga.

“Trang... trakkk...!”

Thian-kui melompat ke belakang ketika melihat rantai bajanya terputus sepotong, dan si katai itu menggelinding seperti bola ketika golok tangan kirinya patah disambar sinar merah. Han Lin turun dan kedua orang lawannya kini memandang dengan heran dan gentar.

“Ang-in-po-kiam...!” seru mereka hampir berbareng.

“Pedang Awan Merah...?” Kok Han dan Bi Lan juga berseru kaget dan heran. Akan tetapi, Thian Te Siang-kui sudah menerjang lagi dengan penasaran. Thian-kui memutar rantai bajanya yang sudah terpotong ujungnya dan Tee-kui memutar goloknya yang tinggal sebuah.

Han Lin menyambut serangan mereka dengan tenang dan kini kedua orang lawan dibuat terkejut oleh gerakan pedang itu. Kalau tadinya pedang bergerak dahsyat mengeluarkan angin dan suara berdesir, kini pedang itu menyambar-nyambar tanpa suara sama sekali, tidak pula mendatangkan angin akan tetapi walaupun nampka bergerak perlahan, kalau bertemu senjata mereka mengandung kekuatan yang menggetarkan tangan mereka!

Mereka mengeroyok dengan mengerahkan seluruh tenaga sin-kang dan juga menggunakan kecepatan gerakan mereka yang didukung gin-kang yang sudah tinggi tingkatnya. Namun, Han Lin bersilat dengan hati-hati dan ke manapun senjata lawan menyerang, selalu dapat dihindarkannya dengan elakan atau tangkisan. Dua orang itu sudah gentar sekali terhadap pedang bersinar merah, sehingga setiap kali mengadu senjata, mereka tidak berani menggunakan tenaga, khawatir senjata yang tinggal setengahnya itu akan rusak pula.

Karena ini, mereka berdualah yang terdesak dan setelah lewat dua puluh jurus, mereka berseru keras dan berloncatan pergi, diikuti oleh sepuluh orang anak buah mereka yang lari ketakutan. Han Lin maupun kedua kakak beradik itu tidak melakukan pengejaran. Han Lin menyarungkan kembali pedangnya dan mengambil buntalan pakaian dan tongkat bambunya, memasukkan pedang dengan sarungnya ke dalam buntalan.

Pada saat itu, Can Kok Han mendekatinya dan pemuda berpakaian putih itu menegur dengan alis berkerut. “Jadi engkaukah pencuri pedang pusaka dari istana itu?”

Han Lin merasa heran dan dia menalikan buntalan pakaiannya di punggung. “Apa yang kau maksudkan?”

“Engkau yang mencuri Pedang Awan Merah dari gudang pusaka kerajaan di kota raja!” kembali Can Kok Han menuduh.

Han Lin hanya tersenyum dan menoleh kepada Bi Lan yang juga menghampirinya. “Koko, jangan sembarangan menuduh!” cela Bi Lan kepada kakaknya, lalu ia menghadapi Han Lin dan mengangkat kedua tangan depan dada.

“Sobat, banyak terima kasih atas bantuanmu tadi. Aku Can Bi Lan dan kakakku Can Kok Han berhutang budi kepadamu.”

“Aih, nona, hutang pihutang budi hanya mendatangkan ikatan yang memusingkan. Dua orang datuk itu memang tidak pantas dan harus ditentang siapapun.”

“Akan tetapi, moi-moi, dia harus menerangkan dari mana dia mendapatkan Pedang Awan Merah yang dicuri dari gudang pusaka kerajaan itu!” bantah Kok Han dengan suara mengandung penasaran. “Kita harus setia kepada Kaisar dan berusaha mengembalikan pedang itu!”

Han Lin memandang kepada pemuda itu. Sungguh congkak, pikirnya. Akan tetapi adiknya begini ramah. Luar biasa sekali betapa kakak dan adiknya mempunyai watak yang jauh berbeda. “Lalu bagaimana engkau hendak mendapatkan pedang ini? Apakah kalian berdua akan merampasnya dariku dengan kekerasan?”

“Kalau perlu...!”

“Koko, engkau sungguh tidak adil! Setidaknya, biarkan dia menerangkan bagaimana pedang pusaka itu berada padanya, bukannya mendesak dan menuduhnya!” kata pula Bi Lan membela Han Lin.

“Siauw-moi, kita harus mendahulukan kepentingan kerajaan daripada kepentingan pribadi. Demi nama dan kehormatan kerajaan kita harus dapat merampas kembali pedang pusaka itu dan mengembalikan ke istana!” Can Kok Han berkata ketus.

Han Lin memandang kepada Bi Lan dengan sinar mata berterima kasih. “Aku tidak menghiraukan tuduhan siapapun juga, nona. Akan tetapi dengan senang hati aku akan menceritakan kepadamu tentang pedang ini, kalau nona menghendaki.”

“Terima kasih kalau engkau percaya kepadaku. Terus terang saja, akupun ingin sekali mengetahui, siapakah engkau yang sudah menolong kami dan bagaimana pula engkau dapat memiliki Pedang Awan Merah yang menghebohkan seluruh dunia kang-ouw dan menggegerkan kota raja karena kehilangannya itu?”

“Namaku Sia Han Lin, nona Can Bi Lan. Dan aku sama sekali tidak pernah mencuri pedang atau mencuri apapun...”

“Lalu bagaimana pedang yang lenyap dicuri orang berada di tanganmu kalau engkau bukan pencurinya?” tanya Kok Han dengan nada suara tidak percaya.

“Aku tidak memberi keterangan kepadamu dan tidak akan menjawab pertanyaanmu.” Kata Han Lin dan kemudian dia menghadapi Bi Lan kembali. “Nona, pedang ini kurampas dari mendiang ketua Hoat-kauw ketika aku membantu pasukan pemerintah menyerangnya. Kurasa orang-orang Hoat-kauw yang telah mencurinya dari gudang pusaka kerajaan dan aku hanya mengambil darinya setelah dia roboh dan tewas.”

“Dan memilikinya untuk dirimu sendiri? Itu sama saja dengan mencuri. Merampas dari pencuri lalu dimilikinya sendiri sama saja dengan tukang tadah!”

“Koko, engkau sungguh tak tahu malu! Saudara Sia Han Lin sudah mengatakan tidak bicara denganmu, akan tetapi engkau terus saja bicara ngaco tidak karuan. Di mana kehormatanmu?”

Wajah Can Kok Han berubah merah dan dia melotot kepada adiknya, mendengus marah lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan adiknya dan Han Lin memasuki rumah makan kembali. Adiknya tidak memperdulikan, dan bertanya kepada Han Lin,

“Saudara Sia Han Lin, bolehkah aku menyebutmu toako (kakak) saja. Aku berusia delapan belas tahun, tentu lebih muda darimu.”

“Tentu saja boleh, siauw-moi,” kata Han Lin sambil tersenyum.

“Toako, kami berdua datang ke Han-cung untuk menghadiri undangan Cin-ling-pai yang akan mengadakan pertemuan penting pada esok hari. Apakah engkau juga datang untuk menghadiri pertemuan itu?”

“Terus terang saja, aku akan ke kota raja, dan ketika lewat di sini aku mendengar akan pertemuan orang-orang kang-ouw itu. Aku tertarik dan ingin menonton pertemuan.”

Gadis itu memandang tajam. “Toako, apakah engkau tahu apa maksud Cin-ling-pai mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan?”

Han Lin menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu.”

Bi Lan berkata, “Aneh sekali. Engkau yang menguasai pedang itu, akan tetapi engkau tidak tahu apa yang akan dibicarakan. Ketua Cin-ling-pai yang melakukan pencurian Pedang Awan Merah itu sebagaimana didesas-desuskan dengan ramainya di dunia kang-ouw.”

“Ahhh...! Ternyata pedang ini telah mendatangkan kehebohan. Pantas saja kakakmu bersikap seperti itu.”

“Jangan hiraukan dia. Dia memang keras kepala. Toako, Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan pendekar yang terhormat, karena itu, tuduhan dan desas-desus bahwa Cin-ling-pai yang mencuri pedang, amat menjatuhkan nama besarnya. Oleh karena itu, besok pagi itu ketua Cin-ling-pai akan menyangkal semua tuduhan di depan para tokoh kang-ouw.”

“Hemm, kalau begitu kebetulan sekali aku singgah di kota ini. Tadinya aku bermaksud pergi ke kota raja untuk...”

“Mengembalikan pedang kepada Kaisar?” sambung Bi Lan.

“Benar sekali. Setelah aku mendengar dari beberapa orang kang-ouw bahwa pedang yang tadinya kukira milik ketua Hoat-kauw ini ternyata pedang pusaka kerajaan, aku mengambil keputusan untuk mengembalikan ke istana.”

“Wah, engkau akan menerima hadiah besar sekali, toako. Kaisar yang sekarang juga menjanjikan bahwa siapa yang dapat mengembalikan pedang itu, selain diberi harta benda yang banyak sekali, juga akan menerima kedudukan yang tinggi. Engkau beruntung sekali, toako!” kata Bi Lan gembira.

Kini mengertilah Han Lin mengapa pedang itu dijadikan perebutan di antara orang-orang kang-ouw. Kiranya ada hadiahnya yang amat besar. Agaknya Can Kok Han juga iri kepadanya dan ingin merampas pedang untuk mendapatkan hadiah itulah!

“Hemm, Lan-moi, kau kira aku terpikat hadiah-hadiah itu? Kalau aku mengembalikan pedang itu, adalah semata-mata karena aku merasa bahwa yang berhak memiliki adalah kerajaan. Jadi, bukan karena hadiah itu, sama sekali tidak, aku tidak mengharapkan itu.”

Gadis itu terbelalak. “Mengapa, toako? Bukankah itu suatu kesempatan yang baik sekali untuk menjadi pejabat tinggi yang kaya raya?”

“Tidak, menjadi pejabat tinggi haruslah disesuaikan dengan kepandaian dan kemampuannya, bukan dihadiahkan begitu saja. Dan untuk mendapatkan harta benda besar orang haruslah berusaha, bekerja, bukan menuntut dari sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya.”

“Wah, engkau orang aneh, toako. Akan tetapi pendapat dan pendirianmu ini menarik sekali, karena tidak lumrah, tidak biasa, tidak sama dengan pendirian orang lain.” Gadis itu memandang kagum.

Han Lin tersenyum. Apa anehnya dengan pendiriannya itu? Setiap orang seharusnya berpendirian begitu. “Sudahlah, Lan-moi, kita berpisah di sini, sampai jumpa pula, mudah-mudahan.”

“Sampai jumpa pula di tempat pertemuan Cin-ling-pai itu, toako,” kata gadis itu penuh harap. Ingin ia berbicara panjang lebar dengan pemuda yang menarik perhatiannya itu, akan tetapi tidaklah pantas kalau ia sebagai gadis yang baru saja berkenalan menahan pemuda itu. Setelah Han Lin pergi jauh sampai tidak kelihatan lagi, Bi Lan memasuki rumah makan mencari kakaknya. Kok Han yang duduk di atas kursi menyambutnya dengan pandang mata tak senang dan mulut cemberut.

“Koko, sikapmu sungguh tidak pantas sekali. Saudara Han Lin telah menolong bahkan menyelamatkan kita, engkau malah menghinanya. Dia merampas pedang itu dari pencurinya dan bermaksud mengembalikan kepada Kaisar, tidak seperti yang kau tuduhkan.”

Kok Han tersenyum mengejek. “Hemm, siapa percaya omongan seorang yang tidak jelas asal usulnya? Engkau saja yang mudah percaya obrolannya.”

“Koko, kau terlalu...!”

“Sudahlah, kita sudah cukup membuat ribut. Mari kita mencari penginapan untuk menanti sampai besok. Kita membawa berita baik untuk Cin-ling-pai dan para tokoh kang-ouw, yaitu kita telah mengetahui siapa pencuri pedang itu.”

Bi Lan memandang kakaknya dengan mata mengandung kemarahan, lalu tanpa menjawab ia membalikkan tubuhnya keluar dari rumah makan.

“Lan-moi...!” teriak Kok Han mengejar. Akan tetapi Bi Lan berjalan terus tanpa menjawab dan tidak mau menoleh. Ia sudah marah sekali. Ia mencari rumah penginapan, tanpa memperdulikan kakaknya yang terus mengikutinya. Setelah menemukan rumah penginapan yang cukup besar, ia memesan sebuah kamar dan seolah tidak mengenal kakaknya yang berada di belakangnya. Terpaksa Kok Han juga memesan kamar di sebelah kamar adiknya itu. Ia tahu akan kekerasan hati Bi Lan, kalau sudah mengambek begitu, adiknya tidak akan mau bicara dulu kalau tidak ditegur.

Sementara itu, Thian Te Siang-kui dan sepuluh orang anak buahnya yang melarikan diri segera mencari Hek-bin Mo-ong dan Mulani yang juga bermalam di sebuah rumah penginapan. Mudah bagi Thian Te Siang-kui untuk mengetahui di mana adanya Hek-bin Mo-ong.

Hek-bin Mo-ong menyambut mereka dengan heran melihat kedua orang itu datang dengan napas terengah-engah dan wajah membayangkan ketegangan. “Apa yang terjadi? Apakah kalian dikalahkan oleh pemuda yang memegang tongkat butut itu?” dia menduga, karena dia yang sudah tahu akan kelihaian Han Lin tidak akan merasa heran kalau Siang-kui dikalahkan pemuda itu.

“Pemuda itu memang lihai sekali, Mo-ong, akan tetapi kami belum sampai dia robohkan dan bukan karena itulah kami mencarimu untuk melapor. Ada hal yang jauh lebih penting pula.”

“Hemm, apa itu?” tanya kakek gendut itu, matanya memandang penuh selidik.

“Pedang Awan Merah...” kata Thian-kui.

“Ang-in-po-kiam? Kenapa? Katakanlah yang jelas!”

“Pedang pusaka itu ternyata ada pada pemuda yang memegang tongkat butut itu. Ketika kami mengeroyoknya, dia mengeluarkan pedang itu sehingga mengejutkan kami dan senjata kami rusak oleh pedang itu!”

“Hemm... sudah kuduga tentu bocah setan itu yang mengambil Ang-in-po-kiam,” kata Hek-bin Mo-ong lirih.

“Suhu, bagaimana pusaka itu dapat terjatuh ke tangan pemuda itu? Siapakah dia dan kenapa Ang-in-po-kiam dapat berada padanya? Bukankah kabarnya pedang pusaka kerjaan itu lenyap dicuri orang?”

Hek-bin Mo-ong mengangguk. “Tadinya akupun tidak tahu siap pencuri pedang pusaka dari istana. Kemudian ketika kami membantu Hoat-kauw menghadapi serbuan pasukan, baru diketahui bahwa yang mempunyai pedang pusaka itu adalah mendiang Hoat Lan Siansu, ketua Hoat-kauw. Kiranya dia yang telah mencuri pedang itu dan merahasiakan ini. Kalau tidak dirahasiakan, tentu sudah lama dia diserbu banyak tokoh kang-ouw. Ketika dia bertanding melawan Sia Han Lin, dia terpaksa menggunakan Pedang Awan Merah itu. Akan tetapi dia kalah dan tewas, Hoat-kauw dibasmi dan kami terpaksa menyelamatkan diri. Kemudian tidak ada kabarnya tentang pedang pusaka itu, dan aku sudah menduga bahwa pedang pusaka itu tentu diambil dan dibawa oleh bocah setan itu.”

“Akan tetapi suhu, kalau pedang itu diambil oleh... siapa nama pemuda itu?”

“Sia Han Lin,” kata gurunya.

“Kalau diambil olehnya, tentu Sia Han Lin sudah mengembalikan kepada Kaisar, karena seperti yang kudengar, bukankah kabarnya Kaisar Kerajaan Tang akan memberi hadiah besar dan kedudukan tinggi kepada siapa yang dapat mengembalikan pedang pusaka itu?”

“Pemuda itu memang aneh. Mungkin dia ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan dengan bantuan pedang itu,” kata Hek-bin Mo-ong.

“Aih, menarik sekali. Aku ingin sekali bertemu pemuda itu!”

“Tadi dia duduk di rumah makan...”

“Jadi itukah sebabnya suhu tergesa-gesa pergi dari rumah makan? Suhu jerih bertemu dia...”

“Hushh, bukan jerih. Aku takut kalau dia membuka mulut sehingga semua tahu bahwa aku sekutu Hoat-kauw yang dimusuhi pemerintah.”

“Aku ingin bertemu dengannya, suhu. Aku ingin merampas Pedang Awan Merah!” Mulani berkata penuh semangat.

“Hemm, jangan gegabah, Mulani. Pemuda itu lihai sekali. Pedang itu memang harus kita rampas, akan tetapi kita tunggu sampai kedua orang suhumu tiba di sini. Kalau kami bertiga maju bersama, kita tidak takut menghadapi Sia Han Lin itu. Kurasa, hari ini mereka akan tiba di sini seperti yang telah kita rencanakan.”

“Bagaimana sih macamnya pemuda yang bernama Sia Han Lin itu, Siang-kui?” tanya Mulani kepada sepasang siluman itu.

“Dia seorang pemuda tampan, tinggi tegap dan jantan, rambutnya hitam lebat, mata tajam dan wajahnya selalu tersenyum, pakaiannya seperti orang dusun biasa sederhana sekali. Akan tetapi dia tidak pernah meninggalkan tongkatnya, tongkat hitam butut.” Thian-kui menerangkan. “Usianya sekitar dua puluh satu tahun.” Dia menambahkan.

“Suhu, aku harus mencarinya, aku akan merampas Pedang Awan Merah.”

“Dia berbahaya sekali, Mulani.”

“Aih, suhu. Dia belum pernah melihatku, apa bahayanya? Aku dapat mendekatinya tanpa dia menyangka buruk karena dia tidak pernah mengenal aku.”

Biarpun Sam Mo-ong itu gurunya, namun tiga orang datuk ini tidak pernah dapat mengendalikan Mulani yang kalau sudah menghendaki sesuatu tak dapat dilarang lagi. Hek-bin Mo-ong juga tidak dapat melarang hanya berpesan agar muridnya itu berhati-hati. Mulani lalu meninggalkan suhunya, berjanji bahwa dia akan pergi mencari dan setelah hari mulai gelap dia tentu akan kembali.

Can Kok Han berjalan seorang diri meninggalkan rumah penginapan itu. Adiknya masih marah-marah dan tidak memperdulikan dia, maka dia juga marah dan kini dia hendak keluar dari kota dan mencari Sia Han Lin! Ingin ditumpahkan kemarahannya kepada pemuda itu dan dia tidak takut. Kalau perlu akan ditantangnya pemuda itu!

Dengan langkah lebar dia keluar dari pintu gerbang kota, tidak tahu bahwa mulai dari pintu gerbang itu sampai keluar kota, dia dibayangi orang, yang membayanginya adalah Mulani. Gadis ini segera mengenalnya sebagai pemuda yang bersama adik perempuannya telah menghajar pemuda berandalan anak buah Thian Te Siang-kui di rumah makan. Dia tertarik sekali. Bukankah Thian Te Siang-kui mencari hendak menghajar pemuda ini dan adiknya, kemudian mereka dibela oleh Sia Han Lin? Siapa tahu, pemuda baju putih ini hendak menemui Sia Han Lin. Maka, ia lalu mambayangi.

Kok Han yang penasaran dan marah itu tiba di tepi sebuah hutan. Tiba-tiba muncullah Thian Te Siang-kui yang berloncatan tiba di depannya. Thian Te Siang-kui yang tinggi besar itu tertawa girang melihat dan mengenal pemuda itu.

“Ha-ha-ha, ini namanya kelinci menyerahkan diri kepada harimau, ha-ha-ha!” kata Thian-kui.

“Orang muda, sekarang engkau tidak akan terlepas dari tangan kami. Engkau harus menebus perlakuanmu terhadap anak buah kami,” kata Tee-kui.

Kok Han terkejut sekali melihat mereka. Melawan seorang dari mereka saja dia kalah, apa lagi melawan keduanya. Akan tetapi, dia adalah pemuda yang tinggi hati, tidak pernah mau mengaku kalah, akan tetapi juga pemberani. “Thian Te Siang-kui, mau apa kalian menghadangku?” bentaknya, sedikitpun tidak kelihatan takut.

“Ha-ha-ha, kalau tadi aku menghendaki engkau dan adikmu berlutut minta ampun kepada kami,” kata Thian-kui, “Akan tetapi sekarang, selain menyerah dan minta ampun, juga engkau harus mengatakan, di mana kami dapat menemukan Sia Han Lin.”

“Persetan dengan Sia Han Lin! Aku tidak tahu dia berada di mana!” kata Kok Han yang masih mendongkol kepada Han Lin karena pemuda itulah yang membuat adiknya marah-marah kepadanya. Pula, andaikata dia tahu, dia tidak akan memberitahu, karena dia khawatir kalau-kalau Pedang Awan Merah akan dirampas oleh sepasang siluman ini.

“Hemm, lagakmu sombong sekali!” kata Tee-kui. “Hayo cepat engkau menyerah dan berlutut!” Tee-kui memegang gagang sepasang goloknya dengan sikap mengancam.

Akan tetapi mendengar bentakan ini, Kok Han membusungkan dadanya. “Menyerah? Aku tidak bersalah apapun juga terhadap kalian. Yang bersalah adalah anak buah kalian, mengapa aku harus berlutut dan menyerah? Selama nyawaku masih terkandung badan, aku tidak sudi menyerah!” berkata demikian, Kok Han juga memegang gagang pedangnya, siap melawan.

Mulani bersembunyi sambil mengintai dari balik semak-semak, memandang kagum. Boleh juga pemuda itu, pikirnya. Demikian gagah berani.

Thian Te Siang-kuo marah melihat sikap Kok Han. Tee-kui lalu mencabut goloknya dan berkata, “Orang muda sombong, engkau memang sudah bosan hidup!”

Melihat ini, Kok Han juga mencabut pedangnya. “Lebih baik mati sebagai harimau yang melawan sampai titik darah terakhir dari pada hidup seperti babi yang diperlakukan sesukanya olehmu!”

“Sombong...!” Thian-kui berteriak. “Tee-kui, tangkap dia, aku ingin memaksanya untuk berlutut dengan menyiksanya!”

Tee-kui lalu menyerang dengan goloknya. Kok Han menggerakkan pedangnya dan siap melawan mati-matian. Terjadilah pertandingan yang berat sebelah. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Kok Han masih jauh untuk dapat mengimbangi permainan golok lawannya. Bukan saja permainan pedangnya belum dapat mengimbangi, juga terutama sekali dalam adu kekuatan kalau senjata mereka bertemu, tenaganya jauh kalah kuat oleh si katai ini.

Belum sampai dua puluh jurus, pedangnya terpental lepas dari tangannya dan sebuah tendangan kaki kecil itu membuatnya jatuh terjengkang di dekat Thian-kui. Si jangkung ini lalu menyambutnya dengan totokan dan tubuh Kok Han lemas tak berdaya lagi. Dua orang itu tertawa bergelak. Akan tetapi Kok Han yang rebah terlentang memandang dengan mata terbelalak penuh keberanian.

“Hayo kau minta ampun, barangkali kami akan dapat mengampunimu!” kata Thian-kui sambil tertawa mengejek.

“Tidak sudi, lebih baik mati!” jawab Kok Han dengan nekat.

“Uh, orang sombong macam ini memang tidak ada gunanya dibiarkan hidup!” bentak Tee-kui dan dia mengangkat goloknya untuk membacok.

“Siang-kui, tahan dulu!” tiba-tiba Mulani muncul sambil berseru nyaring. Golok yang sudah diangkat itu, perlahan-lahan diturunkan kembali. Dua orang datuk itu tentu saja tidak takut kepada Mulani, akan tetapi karena gadis ini murid Sam Mo-ong, mau tidak mau mereka harus menghargainya.

“Nona, mengapa engkau menahan kami yang hendak membunuh si sombong ini?” tanya Tee-kui, nadanya memprotes.

“Thian Te Siang-kui, saudara ini seorang pendekar yang gagah berani. Habiskan saja kesalah pahaman di antara kalian, dan serahkan dia kepadaku. Biar aku yang menanganinya. Nah, tinggalkan kami!” nada suaranya memerintah.

Thian Te Siang-kui saling pandang. Kalau saja mereka tidak takut kepada Hek-bin Mo-ong yang mungkin berada tak jauh dari situ, tentu akan mereka lawan gadis ini. Akan tetapi akhirnya mereka pergi tanpa mengucapkan sepatah kata, menelan saja kedongkolan hati mereka.

Setelah mereka berdua pergi, Mulani menghampiri Kok Han dan menotok kedua pundak pemuda itu, membebaskannya. Kok Han bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Mulani.

“Nona, terima kasih atas pertolonganmu,” katanya dengan kagum karena dia melihat betapa gadis ini mengusir kedua orang datuk itu begitu saja!

“Ah, kongcu, harap jangan sungkan. Agaknya sudah ditakdirkan agar kita bekerja sama. Pertama kali kita juga sudah bekerja sama ketika menghadapi pemuda-pemuda berandalan di dalam rumah makan itu, bukan?”

Kok Han terbelalak dan pandang matanya semakin kagum. “Ah, kiranya engkaukah nona, yang menghajar kedua orang berandalan di rumah makan itu. Senang sekali dapat berkenalan dengan nona.” Kok Han memberi hormat lagi dan melanjutkan. “Namaku Can Kok Han, putera ketua Pek-eng Bu-koan di kota raja, nona. Bolehkah mengetahui namamu?”

“Aih, tidak enak bicara sambil berdiri saja. Mari kita duduk di sana,” ajak Mulani dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon.

“Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, nona. Siapakah namamu, dari mana engkau datang dan bagaimana dua orang datuk seperti Thian Te Siang-kui begitu tunduk kepadamu.”

Mulani menghela napas panjang. “Sebelum aku menjawab, katakan dulu apakah engkau seorang dari mereka yang memandang rendah suku bangsa lain? Kalau begitu halnya, lebih baik kita tidak saling berkenalan. Banyak orang memandang rendah sesamanya hanya karena ia memiliki suku bangsa lain.” Gadis itu nampak bersedih dan Kok Han yang sejak pertama kali tadi sudah merasa amat tertarik kepada Mulani, cepat menjawab.

“Tidak, nona. Aku memandang seseorang dari pribadinya, bukan dari suku bangsanya ataupun kedudukannya.”

“Ah, sudah kusangka. Engkau seorang pendekar budiman!” kata Mulani dengan girang. “Ketahuilah, kongcu, aku seorang peranakan Mongol dan namaku adalah Mulani,” ia berhenti sebentar untuk melihat wajah pemuda itu. “Engkau tidak memandang rendah suku bangsa Mongol?” ternyata wajah pemuda itu tidak membayangkan perubahan sama sekali.

“Ah, tidak, nona Mulani. Bukankah bangsa Mongol bahkan pernah membantu Kerajaan Tang mengusir pemberontak?” jawabnya tenang.

“Terima kasih! Ah, engkau memang baik sekali. Nah, setelah kita berkenalan, kau sebut saja namaku Mulani, jangan sungkan-sungkan.”

Kok Han memandang, kagum dan girang. Gadis ini sungguh ramah dan baik hati, pikirnya. “Baiklah, Mulani, kalau engkau mamang suka bersahabat denganku.”

“Tentu saja aku suka bersahabat denganmu, Kok Han. Nah, lebih enak dan akrab kalau memanggil nama masing-masing, bukan? Siapa tidak suka bersahabat dengan seorang pendekar budiman seperti engkau ini?”

“Ah, engkau terlalu memuji. Kalau tidak ada engkau, tentu aku sudah tewas di tangan Thian Te Siang-kui? Ini tentu sudah menunjukkan bahwa tingkat kepandaianmu lebih tinggi dari pada mereka.”

“Mereka itu orang-orang sakti, walaupun belum pernah aku bertanding melawan mereka, akan tetapi belum tentu aku dapat menandingi mereka.”

“Akan tetapi mereka begitu tunduk padamu, kau mengusir mereka begitu saja!”

“Hal ini adalah karena mereka itu sungkan dan takut kepada guruku. Kok Han, tadi aku mendengar mereka bertanya tentang Sia Han Lin kepadamu. Apakah engkau mengenal orang yang bernama Sia Han Lin itu?”

Kok Han mengerutkan alisnya. “Aku tidak bersahabat dengannya. Kami hanya kebetulan saja bertemu di rumah makan itu. Kenapa engkau menanyakan dia, Mulani?”

“Aku mendengar bahwa Sia Han Lin itu memiliki Ang-in-po-kiam, benarkah?”

“Itulah yang membuat aku benci kepadanya! Dia ternyata yang mencuri Ang-in-po-kiam dan aku memang sedang mencarinya untuk merampas pedang itu dari tangannya.”

“Hemm, kalau sudah dapat kau rampas, untuk apa?” Mulani memandang tajam.

“Tentu saja untuk dikembalikan kepada Sribaginda Kaisar yang berhak,” kata Kok Han.

“Kalau begitu, aku akan membantumu, Kok Han.”

“Benarkah?” Kok Han memandang gembira. Dia menduga bahwa tentu ilmu kepandaian gadis ini hebat dan kalau membantunya tentu dia akan dapat mengalahkan Han Lin. “Terima kasih, Mulani. Akan tetapi aku tidak tahu di mana si sombong itu berada.”

“Aku tahu, Kok Han. Aku mendengar bahwa dia berada di kuil tua dalam hutan di luar kota Han-cung sebelah barat.”

“Bagus! Kalau begitu, mari kita berangkat ke sana,” ajak Kok Han penuh semangat.

Mereka lalu berlari meninggalkan tempat itu. Kok Han sengaja mempergunakan ilmu berlari cepat. Para murid Pek-eng Bu-koan memang memiliki kepandaian khusus dalam ilmu meringankan tubuh sehingga Kok Han dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi, dengan kagum dan girang dia mendapatkan kenyataan bahwa gadis Mongol itu dapat mengimbangi kecepatan larinya dengan santai saja.

Tak salah dugaannya. Gadis ini lihai sekali dan tentu akan menjadi pembantu yang amat baik dalam mengalahkan Han Lin dan merampas Ang-in-po-kiam. Tak lama kemudian mereka sudah tiba di depan kuil tua itu. Mulani hendak memasuki kuil akan tetapi dicegah Kok Han yang sudah tahu akan kelihaian Han Lin. Dia lalu berteriak lantang.

“Sia Han Lin, keluarlah, kami ingin bicara denganmu!”

Mereka tidak menanti lama. Han Lin melangkah keluar dari dalam kuil itu, tongkat butut di tangannya dan dia tersenyum heran melihat pemuda berbaju putih itu sekali ini datang bersama gadis yang tadi dia lihat bersama Hek-bin Mo-ong. Adik perempuan pemuda itu malah tidak nampak.

“Hemm, kiranya saudara Can Kok Han,” kata Han Lin dengan sikap tenang. “Ada urusan apakah engkau memanggilku keluar? Apa yang hendak kau bicarakan, saudara Can Kok Han?”

“Sia Han Lin, serahkan Ang-in-po-kiam kepadaku!” bentak Kok Han dengan suara ketus.

“Hemm, ada urusan apakah engkau dengan pedang itu? Dan alasan apa yang kau pakai untuk minta pedang itu kuserahkan kepadamu?” Han Lin tetap tersenyum.

Wajah Can Kok Han berubah merah. Tentu saja dia tidak mau menceritakan sebab yang sebenarnya, tidak dapat dia berterus terang mengatakan bahwa dia ingin mengembalikan pedang itu kepada Kaisar agar mendapatkan pahala besar!

“Pedang itu milik Kaisar. Engkau telah mencurinya, maka aku harus merampasnya darimu untuk kukembalikan kepada Sribaginda Kaisar.” Jawabnya karena merasa tersudut oleh pertanyaan itu.

“Can Kok Han, aku yang menemukan pedang ini dan aku yang berhak untuk mengembalikannya kepada Kaisar. Aku akan mengembalikan sendiri.”

“Hemm, siapa percaya omonganmu? Kalau engkau memang hendak mengembalikannya, tentu sudah lama kaulakukan. Tidak, kau harus menyerahkan kepadaku, atau aku akan menggunakan kekerasan!”

Han Lin tersenyum. Orang tak tahu diri saking sombongnya, pikirnya. Kalau adik orang ini, Can Bi Lan, berada di situ, tentu gadis itu akan menegur kakaknya. “Hemm, lalu dengan apa engkau hendak memaksaku?”

“Dengan ini!” Kok Han menggerakkan tangannya dan dia sudah mencabut pedangnya.

“Bagus, silakan!” kata Han Lin menantang dan dia melintangkan tongkat bututnya di depan dada, pandang mata dan senyumnya seperti sikap seorang dewasa menghadapi seorang anak-anak yang nakal dan bandel.

Kok Han menoleh kepada Mulani dan berkata, “Serang...!” dan dia sendiri sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan sekuat tenaga. Mulani juga mencabut pedangnya pada saat Han Lin menangkis pedang Kok Han dengan tongkatnya yang membuat Kok Han terhuyung ke belakang.

“Lihat pedang...!!” Mulani membentak dan diapun menyerang dengan dahsyat.

Melihat gerakan gadis itu, tahulah Han Lin bahwa tingkat kepandaian gadis itu jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian Kok Han. Diapun mengelak dan kembali Kok Han menyerangnya dari belakang. Dengan mudah Han Lin mengelak pula. Ketika Mulani menghujankan serangan bertubi-tubi, diapun dapat menduga bahwa tentu gadis ini murid Hek-bin Mo-ong atau bahkan murid Sam Mo-ong karena ilmu silatnya tidak berselisih jauh dati tingkat para datuk sesat itu!

Sayang bahwa gadis begini cantik manis menjadi murid tiga orang datuk sesat yang amat jahat itu, pikirnya dan mulailah dia memutar tongkatnya dengan ilmu tongkat Badai dan Kilat. Begitu ilmu Liu-tay-hong-tung dimainkan, maka angin pukulan tongkat itu menyambar-nyambar bagaikan badai dan sinar tongkat kadang mencuat bagaikan kilat. Baru beberapa gebrakan saja pedang di tangan Kok Han terpental dan terlepas dari tangannya yang terasa panas dan pedih. Dia mundur untuk mengambil pedangnya yang terlempar jauh.

Mulani kagum bukan main. Belum pernah selamanya ia bertemu dengan lawan yang sehebat ini. Gerakan pedangnya seolah terserap oleh angin badai itu, dan iapun menjadi silau oleh sinar tongkat. Telinganya mendengar suara menderu keras dan matanya berkunang melihat tongkat itu seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya.

Akan tetapi tongkat itu tidak pernah menyerang dengan sungguh-sungguh, hanya mendesaknya maka tahulah ia bahwa pemuda di depannya yang bernama Sia Han Lin itu sama sekali tidak ingin melukainya. Mulailah ia merasa curiga akan keterangan Kok Han. Pemuda seperti ini mana mungkin menjadi pencuri?

Kembali Kok Han nekat membantu dan untuk kedua kalinya, pedangnya terlempar. Juga Mulani menerima tangkisan yang membuat pedangnya hampir terlepas dari tangannya yang terasa panas sekali. Ia terkejut dan meloncat jauh ke belakang, dekat Kok Han yang sudah memungut kembali pedangnya.

“Kita tidak mampu menandinginya!” kata Mulani dan gadis ini lalu meloncat jauh meninggalkan Han Lin, diikuti oleh Kok Han yang tahu benar bahwa kalau Mulani sudah mundur, diapun tidak mungkin akan berhasil menandingi Han Lin, bahkan dia hanya akan menderita malu kalau nekat melawannya sendiri.

Han Lin menghela napas panjang. Diam-diam dia merasa kagum. Gadis itu lihai sekali, bahkan jauh lebih lihai dibandingkan Can Bi Lan. Setelah melihat kedua orang itu menghilang di balik pohon-pohon di hutan itu, dia lalu masuk ke dalam kuil tua dan duduk di lantai, melamun.

Pertemuannya dengan gadis murid Sam Mo-ong itu membuatnya terkenang akan pertemuannya dengan Sam Mo-ong di masa lalu. Guru pertamanya, Kong Hwi Hosiang, tewas di tangan Sam Mo-ong. Juga pengasuh yang menjadi pengganti ibunya, Liu Ma, tewas akibat perbuatan Sam Mo-ong. Masih banyak perbuatan tiga datuk sesat itu yang menimbulkan sakit hati.

Mengenangkan segala kejahatan yang dilakukan Sam Mo-ong, perbuatan yang menyakitkan hatinya mendatangkan kebencian dan Han Lin mengepalkan tinjunya dan menggigit giginya dan api kemarahan mulai membakar hatinya...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.