Pedang Awan Merah
Jilid 07
“SEBELUM engkau katakan di mana Ang-in Po-kiam, aku tidak akan melepaskanmu!” bentak Cu Leng Si dan ia sudah melompat turun dari atas kudanya dan langsung saja sepasang pedang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Han Lin.
Pemuda inipun sudah kehilangan kesabarannya. Dia pernah diseret-seret dan disiksa wanita ini, bahkan kalau Kwan Im Sian-li tidak muncul, mungkin dia sudah dibunuh mati. Bagaimanapun juga, perempuan kejam ini harus diberi hajaran!
“Bagus, engkau memang jahat dan kejam!” bentaknya dan Han Lin sudah menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan tenaga, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Sekarang Cu Leng Si tidak dibantu oleh anak buah Liong-li-pang. Dahulupun biar dibantu anak buah Liong-li-pang, ia tidak akan mampu mengalahkan Han Lin kalau saja mereka tidak menggunakan jalan.
Kini, Han Lin yang memang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi, dengan mudah mendesaknya dan ketika Leng Si agak terlambat menangkis, ujung tongkat di tangan Han Lin sudah berhasil menotok dengan cepat bertubi-tubi ke arah tiga jalan darahnya, membuat wanita itu terkulai lemas.
Karena Han Lin tidak ingin membunuh wanita itu, dan tidak pula ingin melukainya, dia menangkap tubuh yang terkulai itu agar tidak terluka pedangnya sendiri. Dia mengambil sepasang pedang, menyarungkan kembali ke punggung Cu Leng Si. Kemudian dia membawa tubuh wanita itu menuju ke kuda yang sedang makan rumput. Diletakkan tubuh itu menelungkup di atas punggung kuda, melintang.
Dia sendiri lalu melompat ke atas kudanya dan menjalankan kudanya perlahan meninggalkan tempat itu. Dia menawan Cu Leng Si untuk membujuknya agar suka mengatakan di mana adanya Sam Mo-ong atau mengaku apakah wanita itu memang terlibat dalam pencurian pedang. Setidaknya dia akan dapat membalas perlakuan Leng Si ketika menawannya walaupun tentu saja dia tidak akan menyiksa wanita itu.
“Nah, kau rasakan sekarang. Kau pernah menawan aku dan menyiksaku, sekarang kau menjadi tawananku!” kata Han Lin dengan hati penuh bangga rasa kemenangan.
Dia terkejut ketika mendengar wanita itu terisak menangis! “Eh? Kenapa menangis? Aku belum menyentuhmu, belum menyiksamu. Dahulu engkau menyeret aku di belakang kudamu, bahkan menggantungku. Sekarang engkau hanya kubawa di atas kuda, kenapa menangis?”
Han Lin memang memiliki kelemahan. Dia tidak mendengar wanita menangis. Diapun menghentikan kudanya dan melompat turun agar dapat melihat wajah Leng Si yang menelungkup melintang di atas punggung kuda. Wanita itu benar-benar menangis. Air matanya bercucuran menuruni ke pipinya.
“Eh, Cu Leng Si, engkau kenapakah? Aku tidak mengganggumu sama sekali, kenapa menangis?” tanya Han Lin.
“Han Lin, engkau bunuh saja aku. Tidak ada gunanya lagi hidup ini bagiku. Daripada engkau hina seperti ini, bunuh saja!” Dan tangisnya semakin mengguguk.
Lemas rasa hati Han Lin dan diapun menepuk pundak wanita itu, membebaskan totokannya. “Wah, engkau tidak adil!” seru Han Lin. “Dulu, ketika engkau menawanku, apa yang kaulakukan padaku? Sudah lupakah engkau? Engkau menyeret-nyeretku dengan kuda, engkau menggantungku dan entah perbuatan apa lagi yang kau lakukan kepadaku kalau saja Kwan Im Sian-li tidak muncul. Sekarang, aku hanya menelungkupkanmu di atas kuda dan engkau sudah menangis begitu sedih.”
Leng Si duduk di atas tanah dan mengusap air matanya. “Aku sudah putus harapan. Kalau aku menyiksamu, karena aku memang membutuhkan sekali pedang itu. Kenapa engkau tidak berterus terang mengatakan di mana Ang-in Po-kiam? Kalau aku tidak mendapatkan pedang itu, ah, celaka....!”
“Engkau ini bagaimana sih? Sudah kukatakan berulang kali, pedang itu dicuri orang, dan pencurinya mungkin Sam Mo-ong. Akan tetapi, engkau tidak percaya kepadaku! Dan pula, kenapa engkau mati-matian hendak mendapatkan pedang pusaka itu? Untuk apa bagimu?”
“Untuk kukembalikan kepada Sribaginda Kaisar agar ayahku dibebaskan.” “Ehhh? Ayahmu ditangkap? Kenapa? Apa yang terjadi? Enci yang baik, ceritakan kepadaku, siapa tahu akan dapat aku menolongmu.”
Cu Leng Si menghela napas panjang dan menghapus air matanya. “Ayahku adalah seorang pejabat di kota raja. Karena ayah berani menentang kekuasaan Kui-thaikam yang menguasai istana, bahkan mempengaruhi Kaisar, maka Kui-thaikam lalu menjatuhkan fitnah kepadanya dan kini ayah menjadi tahanan atas perintah kaisar yang telah dihasut oleh Kui-thaikam. Nah, kalau aku mengembalikan pedang Awan Merah, aku dapat minta kepada Kaisar agar ayahku dimaafkan dan dibebaskan akan tetapi engkau tidak mau menyerahkan pedang itu.”
“Aku berani sumpah, enci. Pedang itu dicuri orang.” Dia lalu menceritakan tentang penyergapan atas dirinya di dalam kuil. “Agaknya Sam Mo-ong yang melakukannya dan pedang itu kini tentu berada di tangan mereka. Kalau pedang itu dapat kurampas kembali dan kuhaturkan kepada Sribaginda Kaisar tentu akan mohon kepada beliau untuk membebaskan ayahmu. Siapakah nama ayahmu, enci?”
“Namanya Cu Kiat Hin, pejabat bagian perpustakaan istana,” jawab Leng Si. “Han Lin, kau maafkan aku atas kekasaranku kepadamu. Kiranya engkau baik sekali. Aku berjanji akan membantumu untuk mendapatkan kembali Ang-in Po-kiam dan kita bersama nanti menghadap kaisar. Kau mau maafkan aku, bukan?”
“Sebelum ini sudah kumaafkan, enci. Kwan Im Sian-li juga sudah memintakan maaf untukmu kepadaku.”
“Terima kasih. Ternyata engkau memang seorang pendekar sejati. Kalau saja aku mempunyai seorang adik sepertimu ini, tentu akan dapat bantu memikirkan keadaan ayahku.”
“Mengapa tidak, enci? Aku yatim piatu dan sebatang kara, biarlah aku menjadi adikmu, dan engkau menjadi enciku.”
“Terima kasih! Adik Han Lin, terima kasih. Sekarang agak ringan rasa hatiku. Agaknya timbul keyakinanku bahwa dengan bantuanmu, tentu ayahku akan dapat dibebaskan kembali. Aku akan membantu mencari keterangan tentang Sam Mo-ong.”
“Baik, enci. Kita masing-masing mencari dan kalau sudah berhasil, kita saling jumpa di Souw-ciu. Di taman bunga umum.”
“Baik, nah, selamat berpisah adikku!” “Selamat berpisah, enciku yang baik!”
Mereka pergi, Leng Si menunggang lagi kudanya dan Han Lin berjalan kaki. Hatinya terasa senang dan kakinya terasa ringan. Pertemuannya dengan Leng Si yang akhirnya mengakuinya sebagai adik itu mendatangkan perasaan haru dan senang. Tahulah ia bahwa Cu Leng Si bukan wanita jahat. Kalau dulu dia bersikap kejam dan keras adalah karena ia dihimpit perasaan khawatir tentang ayahnya yang ditangkap atas fitnah Kui-thaikam.
Dalam perjalanannya mengejar dan mencari Sam Mo-ong, Han Lin pada suatu hari tiba di tepi Huang-ho (Sungai Kuning), di dekat kota Lan-chouw. Dia lalu membeli sebuah perahu kecil dan mendayung perahu itu untuk menuju ke Yin-coan yang terletak di daerah Mongolia Dalam.
Dua hari dua malam sudah dia berperahu. Hanya berhenti untuk membeli makanan di dusun-dusun para nelayan di tepi sungai. Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali perahunya sudah meluncur cepat. Kota Yin-coan tidak terlalu jauh lagi. Paling lambat pada besok pagi dia sudah akan sampai. Maksudnya kalau di Yin-coan dia tidak mendapatkan keterangan, dia akan terus mengejar sampai ke utara!
Tiba-tiba nampak banyak perahu hitam di depan. Tadinya Han Lin mengira bahwa mereka adalah para nelayan yang mencari ikan. Akan tetapi ketika mereka membentuk formasi menghadangnya, dia mulai merasa curiga dan bersiap siaga. Setelah mereka dekat, dia terkejut dan heran. Ada tujuh buah perahu, masing-masing ditumpangi lima orang dan mereka semua adalah wanita! Yang berada paling depan dan berdiri di kepala perahu adalah seorang wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, cantik manis dan gagah sekali, dengan senjata golok telanjang terselip di pinggang!
”Heii, kenapa kalian menghadang di tengah? Minggirlah dan biarkan aku lewat!” teriak Han Lin.
Wanita cantik itu bertanya kepada anak buahnya yang berada di perahunya. “Benarkah dia? Kalian tidak salah lihat?”
“Tidak, pangcu (ketua). Benar dia pemuda yang mempunyai Ang-in Po-kiam dan dulu pernah ditawan Jeng I Sianli Cu Leng Si!” jawab seorang anak buahnya.
Wanita itu lalu menudingkan golok yang sudah dicabut dari pinggangnya ke arah Han Lin. “Cepat kau serahkan Ang-in Po-kiam kepadaku kalau kau ingin lewat dengan selamat!”
Han Lin menjadi marah. Dia sudah kehilangan pedang dan sedang dicari-carinya, ada saja orang yang hendak merampas pedang yang belum ditemukan kembali itu. “Aku tidak punya Ang-in Po-kiam,” katanya terus terang.
“Bohong! Kalau begitu, engkau harus menyerah untuk menjadi tawanan kami sampai pedang itu dapat kami temukan!”
“Kau ini orang-orang perempuan macam apa? Tidak hujan tidak angin hendak menawan orang!” Han Lin berseru marah dan dia sudah melintangkan tongkatnya di depan dada.
“Awas, pangcu. Dia lihai sekali. Bahkan Jeng I Sian-li tidak akan mampu mengalahkannya kalau tidak kami bantu dengan jala,” kata seorang anak buah dan tahulah kini Han Lin bahwa anak-buah ini adalah mereka yang dulu membantu Cu Leng Si menangkapnya dengan jala.
“Semua perahu mundur, menjauhkan diri!”
Tiba-tiba wanita cantik itu memberi aba-aba dan Han Lin menjadi lega melihat mereka semua mendayung perahu menjauhkan diri. Diapun hendak melanjutkan perjalanan ketika tiba-tiba dia melihat dengan kaget bahwa para wanita itu melompat ke dalam air dan menyelam. Kini mengertilah dia dengan terlambat bahwa perahu-perahu itu menjauhkan diri dari perahunya agar dia tidak dapat melompat ke perahu mereka!
Han Lin segera maklum apa yang akan mereka lakukan, maka diapun mulai mendayung perahunya untuk minggir dan mendarat. Akan tetapi usahanya terlambat sudah. Agaknya para wanita itu memang ahli renang yang pandai, karena sebentar saja dia sudah merasa perahunya terguncang-guncang ke kanan-kiri. Tentu diguncang dari bawah. Tidak dapat dia menyerang mereka karena tidak nampak dan dia hanya berdiri mengatur keseimbangan badannya.
Akan tetapi, tiba-tiba perahunya miring dan terbalik dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya juga terjun ke dalam air. Kalau hanya berenang biasa saja, Han Lin juga dapat. Akan tetapi dibandingkan para wanita itu yang rata-rata dapat bergerak seperti ikan di dalam air, gerakannya tidak ada artinya. Tak lama kemudian dia sudah meronta-ronta karena kakinya ada yang memegangi dan menarik.
Dia menendang-nendang akan tetapi yang memegangi kakinya banyak sekali tangan dan tubuhnya sudah diseret masuk ke dalam air. Han Lin gelagapan, mencoba menahan napas, namun akhirnya dia terpaksa minum air dan menjadi lemas. Dia sudah tak sadarkan diri ketika ditarik ke atas perahu, tubuhnya dijungkirkan agar air dari dalam perutnya keluar dari mulut.
Ketika dia sadar kembali, ternyata dia sudah berada di dalam sebuah rumah, rebah telentang di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu erat-erat. Han Lin maklum bahwa selain dibelenggu kaki tangannya, tubuhnya juga ditotok secara lihai sekali sehingga biarpun tidak lumpuh, namun dia merasa lemas dan kalau dia mencoba untuk mengerahkan sin-kangnya, lambungnya terasa nyeri.
“Bagus, engkau sudah bangun tampan?” terdengar suara wanita dan ketika Han Lin menengok keluar, seorang wanita telah memasuki kamar itu. Ia adalah wanita yang tadi dilihatnya di kepala perahu wanita yang memimpin para wanita tadi. Wanita cantik itu sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang putih bersih, duduk di tepi pembaringan dan tangannya membelai rambut di kepala Han Lin.
Pemuda itu terkejut sekali melihat kelancangan tangan wanita muda itu. Akan tetapi, ternyata kelancangan itu bukan hanya sampai di situ. Wanita itu membungkuk dan mencium pipi Han Lin dengan kecupan mesra. “Eh, apa yang kau lakukan ini, nona?” tegur Han Lin kaget dan marah.
“Yang kulakukan? Menciummu, apa lagi? Ini artinya bahwa aku cinta kepadamu. Menurut anak buahku yang dahulu membantu Enci Leng Si, namamu Sia Han Lin, bukan? Nah, perkenalkan, namaku Poa Siok Cin, aku ketua dari Liong-lio pang. Dan engkau... engkau telah kupilih menjadi calon suamiku!”
“Tidak, aku tidak mau!” kata Han Lin dengan perasaan ngeri. Wanita itu agaknya gila, atau tidak tahu malu?”
“Hi-hik, makin keras kau menolak, semakin menggairahkan. Aku tidak suka laki-laki yang mata keranjang, kalau diajak kawin, segera mau begitu saja. Engkau keras hati dan gagah, aku cinta sekali padamu, Han Lin! Pendeknya, mau atau tidak mau, engkau harus menjadi suamiku dan kalau engkau terus menolak, engkau akan tetap terbelenggu selama engkau dapat bertahan!”
Wanita itu membungkuk, mencium lagi dan Han Lin sengaja membuang muka untuk menghindarkan ciuman, lalu wanita itu pergi sambil tertawa-tawa gembira. Ketika ada anggota wanita datang membawa makanan dan minuman, dan menawarkan untuk menyuapinya, Han Lin menutup mulutnya dan menolak.
Dua hari dua malam lewat dan Han Lin hampir tidak kuat lagi. Dia pikir kalau begini terus, kalau dia tidak mau menerima makanan dan minuman, tentu dia akan semakin lemah sehingga tidak ada kemungkinan sama sekali untuk melawan. Juga dia dapat jatuh sakit dan malah mati kelaparan. Pada hari ketiga, ketika anggota wanita itu mengantarkan makanan dan minuman, dia berkata, “Aku mau makan kalau kedua tanganku dilepaskan ikatannya. Aku tidak mau disuapi.”
Petugas wanita itu lalu pergi memberitahu ketuanya dan Poa Siok Cin segera datang sendiri. “Kekasihku yang ganteng, engkau mau makan dan minta dibebaskan kedua tanganmu? Bukan hanya kedua tanganmu, juga kedua kakimu kubebaskan kalau engkau menyatakan bersedia menikah denganku.”
Han Lin tidak menjawab dan Siok Cin segera menotok beberapa jalan dara di tubuh belakangnya yang membuat Han Lin merasa lemas tak berdaya. Lalu kedua tangannya dibebaskan dari ikatan. Biarpun kedua tangannya sudah bebas, tentu saja Han Lin tidak mampu berbuat sesuatu untuk memberontak, karena kalau dia mengerahkan sin-kangnya lambungnya terasa nyeri sekali.
Diapun tidak mau memberontak. Dia akan menanti saatnya yang baik. Han Lin lalu makan minum dengan lahapnya untuk memulihkan tenaga, tidak memperdulikan wanita cantik itu menungguinya dan bahkan melayaninya, mengucapkan bujuk rayu yang manis menarik.
Karena Han Lin nampak tidak banyak membantah lagi, bahkan diam saja ketika dibelai dan dicium, kakinyapun dibebaskan. Namun, tetap saja dia tidak berdaya. Kamar dijaga ketat oleh beberapa orang wanita di luar kamar, dan tenaganya sama sekali tak dapat dipergunakan.
Malam itu, Han Lin merasa kegerahan. Tubuhnya terasa panas dan kepalanya agak pening. Dalam benaknya terbayang wajah wanita-wanita cantik. Wajah Mulani, wajah Can Bi Lan, lalu wajah Kiok Hwi bergantian bermunculan di depan matanya. Kemudian nampak pula wajah Yang Mei Li yang sudah lama dia rindukan, lalu terganti wajah Cu Leng Si dan wajah Kwan Im Sian-li Lie Cien Mei. Bahkan yang terakhir wajah Poa Siok Cin!
Teringat dia betapa Siok Cin menciuminya penuh gairah dan teringat akan ini, jantung Han Lin berdebar penuh gairah. Dia terkejut. Rangsangan yang hebat bergelombang menghantam perasaannya. Cepat dia lalu duduk bersila di atas pembaringan dan mengerahkan tenaga sin-kangnya. Akan tetapi lambungnya seperti ditusuk rasanya. Dia lalu menghentikan pengerahan tenaga saktinya dan memusatkan seluruh ingatannya kepada Lojin dan mengingat-ingat semua petuahnya tentang kehidupan. Dengan cara demikian, dia dapat mengaburkan serangan gairah yang amat kuat itu.
Akan tetapi tak lama kemudian muncul Siok Cin. “Kekasihku, engkau belum tidur? Menanti aku? Kekasihku, besok kita melangsungkan pernikahan, aku sudah mengirim undangan ke mana-mana. Aih, kita akan berbahagia sekali.” Wanita itu naik ke pembaringan dan merangkul tubuh Han Lin.
Dirangkulnya tubuh yang lunak dan hangat itu, rangsangan birahi semakin berkobar di dada Han Lin. Dia samar-samar teringat bahwa perasaan ini timbul setelah tadi dia makan minum, berarti bahwa dalam makanan atau minuman itu tentu mengandung obat perangsang. Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia kini terangsang begitu hebatnya.
Dirangkul, dibelai dan dicium Siok Cin, Han Lin semakin rapat memejamkan matanya dan berulang kali menyebut nama Lojin, seolah-olah dia mohon kekuatan dari gurunya itu. Dan sungguh aneh, dia dapat melawan gelombang gairah yang amat kurat itu setelah dia mengulang-ngulang sebutan Lojin!
Hal ini lambat laun menjengkelkan hati Siok Cin. Wanita ini tadinya sudah mengharapkan bahwa malam itu Han Lin pasti akan pasrah dan melayaninya dengan penuh gairah. Tidak tahunya, pemuda itu tetap saja bersikap dingin walaupun seluruh tubuhnya terasa panas!
“Gila kau! Engkau memilih mati, barangkali?” Akhirnya didorongnya tubuh Han Lin dan iapun melompat turun, wajahnya kemerahan karena nafsu birahi sudah sampai ke ubun-ubun kepalanya namun tidak mendapat sambutan. “Kalau sampai besok engkau berkeras menolakku, besok engkau akan kusiksa sampai mati!”
Setelah berkata demikian, Siok Cin meninggalkan kamar itu. Han Lin menjatuhkan diri rebah sambil terengah-engah. Untung wanita itu tidak mengetahui betapa nyaris dia menyerah tadi! Betapa hatinya sudah menyentak-nyentaknya ingin merangkul, ingin menciumi dan menyatakan cintanya kepada wanita itu. Hampir saja perisai pertahanannya jebol. “Terima kasih, suhu....!”
Berulang kali dia berbisik karena sesungguhnya, nama Lojin yang telah menyelamatkannya. Nama itu menjadi pegangan terakhir yang digantunginya sehingga dia tidak sampai hanyut. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pelayan sudah datang mengantar sarapan pagi yang lezat, penuh sayur dan daging. Han Lin yang tidak perduli lagi, hanya mengingat bahwa dia harus menjaga kesehatan dan kekuatan tubuhnya, lalu makan dengan lahapnya. Akan tetapi ketika orang membawakan pakaian pengantin dan menyuruh dia memakainya, dia tidak mau.
“Aku tidak mau menikah dengan siapapun juga. Bawa pergi pakaian ini dan suruh saja pakai pria mana yang mau dipersuami ketuamu!”
Biarpun dibujuk dan diancam. Tetap saja Han Lin menolak dan akhirnya Poa Siok Cin sendiri datang membawa cambuk! “Orang tak tahu diuntung! Tak mengenal budi. Engkau berani menolak memakai pakaian pengantin? Hayo pakai atau aku akan mencambukimu sampai mati!”
Han Lin tidak perduli. “Lebih baik mati dari pada menjadi suamimu, pangcu,” katanya dingin.
“Buka bajunya, telanjangi punggungnya!” bentak Poa Siok Cin dengan muka merah dan mata melotot. Ini sudah keterlaluan, pikirnya. Masa segala bujukan, ancaman, bahkan obat perangsang tidak mampu menundukkan pemuda ini? dia memang suka kepada pemuda yang tahan uji dan keras hati, akan tetapi kalau ditolak terus akhirnya ia menjadi kehabisan kesabaran.
Sebentar lagi para tamu, penduduk dusun sekitarnya akan berdatangan, dan pengantin pria tetap tidak mau memakai pakaian pengantin. Lalu mau ditaruh ke mana mukanya? Beberapa orang anak buahnya lalu menelanjangi baju atas Han Lin sampai pemuda itu telanjang dari pinggang ke atas. Kedua tangannya dibelenggu ke belakang dan ia diikat pada tihang pembaringan.
“Hayo katakan, apakah engkau juga masih tidak mau memenuhi kehendakku, menikah denganku?”
“Tidak sudi!” jawab Han Lin. “Tar-tar-tar....!” Pecut di tangan Siok Cin meledak-ledak sampai lima kali dan punggung yang putih itu terobek kulitnya, berdarah-darah.
“Sudah cukupkah? Atau mau minta lagi? Akan kuhancurkan punggungmu!” bentak Siok Cin.
“Orang muda, sebaiknya engkau menurut,” bujuk seorang anggota Liong-li-pang yang berusia empat puluhan tahun. “Pangcu amat sayang kepadamu dan kalau engkau menikah dengan pangcu, engkau akan menjadi orang terhormat dan apapun yang kau kehendaki tentu akan dipenuhi oleh pangcu. Belum pernah pangcu mencinta seorang pria seperti kepadamu ini, orang muda.”
“Poa Siok Cin, engkau wanita iblis. Engkau perempuan tak tahu malu. Lebih baik aku Sia Han Lin mati daripada harus menjadi suami seorang siluman jahat sepertimu!” Han Lin yang sudah tidak melihat jalan keluar memaki-maki. Lebih baik mati sebagai seekor harimau daripada mati sebagai seekor domba yang mengembik minta dkasihani.
“Jahanam busuk!” Kembali cambuk itu melecut dengan lebih keras lagi, sebanyak sepuluh kali dan kini punggung Han Lin telah merah semua.
Dia tidak dapat mengerahkan sin-kang untuk membuat kulitnya kebal karena dia tertotok secara istimewa oleh Siok Cin sehingga tiap kali mengerahkan sinkang, lambungnya terasa seperti ditusuk. Dia tahu bahwa dia adalah akibat totokan beracun amat lihai. Rasa nyeri membuat Han Lin hampir pingsan. Kekuatannya untuk menahan rasa nyeri sudah hampir melewati batas kemampuannya, namun sedikitpun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.
Melihat kekerasan hati ini, Siok Cin semakin kagum dan sayang. Ia berhenti memukul dan memeluk punggung yang berdarah itu sehingga mukanya menjadi berlepotan darah dari punggung Han Lin.
“Han Lin, ahhh, Han Lin. Aku tidak kuat lagi. Kalau engkau tetap menolak, terpaksa aku akan membunuhmu!” berkata demikian ia meloncat ke belakang dan “singggg...!” golok itu sudah dicabutnya.
“Hemm, siluman perempuan. Mau bunuh lekas bunuh. Siapa takut mati?” suara Han Lin dingin sekali dan dia sudah siap untuk mati.
“Keparat! Laki-laki tak berperasaan, laki-laki kejam tak tahu disayang orang. Kalau engkau memilih mati, nah matilah!” Golok itu diangkat lalu menyambar ke arah leher Han Lin.
“Trangggg....!”
Bayangan yang berkelebat masuk melalui jendela dan menangkis golok itu seperti burung garuda terbang saja dan Siok Cin tentu saja terkejut ketika goloknya ditangkis orang dan terpental. Ketika ia melihat, ternyata yang berdiri di situ adalah Jeng I Sian-li Cu Leng Si!
Leng Si marah sekali ketika melihat keadaan Han Lin yang punggungnya berdarah-darah itu. “Siok Cin engkau iblis betina keparat! Berani engkau berlaku begini kejam terhadap adikku?”
Wajah Siok Cin agak pucat, akan tetapi perlahan-lahan menjadi merah kembali. Ia memang jerih kepada sahabatnya ini, akan tetapi gairahnya yang sudah memuncak kalau bertemu halangan membuat dia menjadi marah dan nekat. “Enci Leng Si, sekali ini aku minta engkau jangan mencampuri. Ini adalah urusan aku dan calon suamiku!” bentaknya.
“Apa? Calon suamimu? Adik Han Lin, benarkah engkau calon suami Siok Cin?”
“Bohong, enci. Ia menawanku dengan menenggelamkan perahuku, kemudian ia memberi racun sehingga aku menjadi lemah dan tidak dapat melawan. Akan tetapi aku menolak menikah dengan siluman ini dan ia hendak membunuhku!”
“Keparat engkau, Siok Cin! Kalau memang Han Lin suka menjadi suamimu, aku tidak akan mencampuri. Akan tetapi, engkau memaksa, dan dia adalah adikku, mengerti? Engkau harus bertanggung jawab atas kekejamanmu ini!”
“Leng Si, kau kira aku takut kepadamu?” Bentak Siok Cin dan ia sudah menyerang dengan goloknya.
Leng Si juga marah sekali dan menangkis, lalu balas menyerang. Dua orang wanita itu saling serang seperti dua ekor singa betina berebutan anak. Akan tetapi segera dapat diketahui bahwa Siok Cin masih kalah tingkat. Setelah lewat dua puluh lima jurus, Siok Cin hanya mampu menangkis saja dan tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawannya.
Para anak-anak Liong-li-pang berdiri bingung, tidak berani mencampuri. Mereka mengenal siapa Jeng I Sianli. Biasanya Leng Si diterima sebagai tamu agung karena Leng Si sudah seringkali membantu kalau Liong-li-pang menghadapi musuh. Ketua mereka sudah menganggap Leng Si sebagai kakak sendiri. Akan tetapi kini keduanya berkelahi memperebutkan seorang pria. Mereka tidak berani mencampuri, apa lagi mereka maklum bahwa mencampuri berarti akan mati konyol.
Siok Cin benar-benar sudah nekat. Kekecewaan dan kemarahannya karena ditolak Han Lin kini ditumpahkan kepada Leng Si yang dianggapnya sebagai penghalang. Bahkan timbul dugaannya bahwa Leng Si membela pemuda itu karena hendak memilikinya sendiri!
Akan tetapi bagaimana hebatpun dan nekatnya pun ia mengamuk, tetap saja ia kewalahan dalam pada suatu ketika, sebuah tendangan Leng Si membuat goloknya terpental. Sebetulnya Leng Si masih suka memaafkannya dan tidak hendak membunuhnya. Namun Siok Cin yang sudah kebakaran api kemarahan itu, biarpun goloknya sudah terlepas, masih maju menubruk dan menggunakan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah Leng Si.
“Kau gila....!” kata Leng Si dan sepasang pedangnya berkelebat. Darah muncrat dari leher Siok Cin dan ketua Liong-li-pang itupun roboh tak bergerak lagi, tewas seketika karena lehernya hampir terpenggal pedang Leng Si.
Semua anak buah terbelalak kaget, akan tetapi dengan tenang Leng Si berseru dengan lantang. “Urus jenazah ketua kalian. Kelak, kalau aku singgah di sini, semua harus sudah beres dan jangan sampai Liong-li-pang dibawa menyeleweng!”
Setelah berkata demikian, wanita ini membebaskan totokannya dan memapahnya ke pembaringan, mengenakan lagi pakaiannya. Setelah mengumpulkan pakaian Han Lin dan tidak lupa membawa tongkat bututnya, Leng Si lalu menaikkan Han Lin ke atas kudanya dan menuntun kudanya itu meninggalkan Liong-li-pang.
“Adikku yang malang....!”
Han Lin kini merintih, tidak menahan keluhannya karena punggungnya terasa perih ketika diobati oleh Leng Si. Mereka berada di kamar sebuah rumah penginapan di Yin-coan. Dan di kamar itu, Leng Si mencuci luka di punggung Han Lin dan memberinya obat luka yang manjur.
“Aduh, perih sekali, enci...!”
“Tahanlah, adikku yang baik. Aduh, kasihan sekali engkau...! Siok Cin itu memang agak gila. Kejam bukan main ia...!”
“Tapi engkau sudah membunuhnya, enci.”
“Tentu saja karena ia nekat terus dan tidak mau sudah. Kalau tidak kubunuh, tentu ia akan terus mengejarmu. Agaknya ia sudah tergila-gila kepadamu, adikku. Ahh, kasihan punggungmu.”
Tiba-tiba Han Lin terkejut bukan main ketika ia merasakan betapa bibir yang hangat dari Leng Si itu mengecup punggungnya yang berdarah. “Enci, kau... kau....”
Dan tiba-tiba Leng Si merangkul leher Han Lin dari belakang, merebahkan mukanya di punggung yang sudah diobatinya itu. “Ahh...Han Lin..., terus terang saja, selama hidupku aku belum pernah jatuh cinta kepada pria. Dan sekarang...bertemu denganmu... sejak pertama kali itu, aku telah....jatuh cinta kepadamu. Ah, sungguh memalukan sekali jatuh cinta kepada pria yang jauh lebih muda... aku... aku memang malang.....”
“Aihh, enci Leng Si. Aku juga sayang kepadamu. Kita ini kakak dan adik, ingatkah? Seorang kakak tentu saja mencinta adiknya, dan si adik juga menyayang kakaknya, bukankah begitu. Ingatlah, enci, dan jangan merusak hubungan kita yang seperti kakak dan adik sendiri ini. Kumohon padamu, jangan dirusak, enci...”
Leng Si menangis. Menangis terisak-isak di atas pundak dan punggung Han Lin. Han Lin membiarkannya saja. Akhirnya tangis itupun mereda dan berhenti. Leng Si menyusut mata dan hidungnya dengan sapu tangan, lalu tertawa, akan tetapi suara tawanya demikian menyedihkan dan mengharukan.
“Aihhhh, Han Lin, ini namanya orang gila teriak orang lain gila. Aku mengatakan Siok Cin gila, dan aku sendiri tidak lebih baik. Aku tergila-gila kepadamu sampai lupa bahwa engkau adalah adikku. Benar engkau, engkau adalah adikku, adikku tercinta!”
Han Lin merasa begitu terharu sampai kedua matanya basah. “Dan engkau enciku tersayang, enci Leng Si.”
“Sudah, jangan kita bicara lagi tentang Siok Cin. Mari kuselesaikan pengobatan punggungmu.”
Setelah selesai pengobatan itu, mereka lalu bicara tentang Sam Mo-ong. “Aku sudah mendapatkan jejak mereka, Han Lin. Kita sudah mengambil jalan yang benar. Mereka itu pergi ke utara dan mereka tentu akan menyerahkan pedang itu kepada Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang mereka bantu. Kita ikuti saja mereka ke utara.”
“Akan tetapi di sana mereka itu kuat sekali, enci. Kita akan menghadapi pasukan Mongol.”
“Kita mencari jalan kalau sudah berada di sana, Han Lin. Tentu saja kita tidak dapat terang-terangan minta kembali pedang, harus menggunakan siasat.”
“Baiklah, enci...”
“Engkau harus beristirahat dulu, besok kita lanjutkan perjalanan kita ke utara. Aku akan membelikan seekor kuda untukmu.”
Han Lin merasa terharu. Wanita itu benar-benar bersikap seperti seorang kakak baginya. Pada keesokan harinya, setelah mendapatkan seekor kuda untuk Han Lin, mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, baru saja keluar dari kota Yin-coan, mereka melihat tiga orang berjalan kaki dengan langkah cepat sekali. Dan setelah tiga orang itu dekat, Han Lin mengeluarkan seruan nyaring karena tiga orang itu ternyata adalah Sam Mo-ong yang dicari-cari! Juga Leng Si sudah melompat turun dari atas kudanya. Han Lin juga melompat turun.
“Sam Mo-ong, tiga manusia curang!” bentak Han Lin marah. “Kembalikan Ang-in Po-kiam yang kalian curi dariku!”
Sam Mo-ong juga terkejut sekali. Tak mereka sangkah bahwa Han Lin akan bertemu dengan mereka di tempat itu. Mereka tidak dapat menghindar lagi dan mereka mengambil keputusan bahwa sekali ini mereka harus dapat membunuh pemuda itu kalau mereka tidak ingin di kemudian hari mendapat banyak tentangan darinya.
“Ha-ha-ha-ha, Sia Han Lin. Engkau masih juga belum mampus? Sekarang kebetulan sekali, kita bertemu di tempat sunyi ini. sekarang kami akan membunuhmu, tidak akan bekerja kepalang tanggung lagi!” kata Kwi Jiauw Lo-mo sambil tertawa. Kwi-jiauw Lo-mo yang dibantuk Pek-bin Mo-ong telah gagal membalas dendam kepada ketua Beng-kauw atas kematian cucunya dan hal itu membuatnya marah dan dongkol sekali, maka kini kemarahannya itu hendak ditumpahkan kepada Han Lin, musuh besarnya.
Tubuhnya yang pendek gendut itu memasang kuda-kuda dengan kaki mekangkah lebar, seperti katak, dan mukanya yang kekuningan itu agak merah. Sepasang cakar setan sudah tersambung pada kedua tangannya, agaknya dia sudah mengambil keputusan untuk sekali ini benar-benar dapat membunuh Han Lin.
Pek-bin Mo-ong juga maju di samping Kwi-jiauw Lo-mo. “Sia Han Lin bocah setan. Beberapa kali engkau luput dari maut di tangan kami, sekali ini kami tidak akan salah lagi!” kata Pek-bin Mo-ong yang tinggi kurus itu.
Mukanya yang putih seperti kapur, menjadi lebih putih lagi karena dia mengerahkan sin-kangnya yang hebat, yang menimbulkan hawa panas beracun. Matanya yang sipit menjadi hanya dua garis seperti menangis. Mantelnya berkibar dan jari tangannya berubah merah.
Maklum bahwa kedua lawan itu agaknya hendak bertanding mati-matian, Han Lin juga sudah siap dengan tongkatnya, berdiri tegak dengan tongkat melintang di dada, matanya mencorong tajam mengamati gerak-gerik lawan. Adapun Hek-bin Mo-ong yang pendek gendut bermuka hitam itu sudah menghampiri Leng Si. Dia tersenyum menyeringai lebar, matanya berkedip-kedip.
“Ha-ha-he-he-he, Sia Han Lin. Kiranya engkau datang bersama seorang perempuan yang begini cantik, begini bahenol, begini jelita. Bagus, biar aku yang menangkap perempuang menggairahkan ini!”
Memang kakek pendek ini mata keranjang. Leng Si memandang dengan muka merah. “Hek-bin Mo-ong, iblis busuk. Buka matamu yang berminyak-minyak itu lebar-lebar dan lihat baik-baik dengan siapa engkau berhadapan. Sekali ini, aku Jeng I Sian-li akan mengirim engkau ke neraka!”
“Jeng I Sian-li? Wah-wah, pantas saja engkau berpakaian hijau, kiranya Jeng I Sian-li (Dewi Baju Hijau). Ha-ha-ha, sebentar lagi aku akan membikin engkau menjadi Dewi Tanpa Baju, ha-ha-ha!”
“Jahanam busuk!” bentak Leng Si yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan iapun menyerang dengan dahsyatnya.
Wanita ini bukan seorang lemah, maka Hek I Mo-ong tidak berani memandang rendah. Dari sambaran sepasang pedang itu saja maklumlah dia bahwa wanita itu memliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Bajunya yang selalu terbuka itu ujungnya menyambar ke depan dan itulah senjatanya, ujung lengan baju dan ujung baju itu sendiri yang berkibar cukup kuat untuk menangkis senjata tajam lawan, sedangkan tangannya menyambar mengeluarkan hawa yang amat dingin beracun.
Ketika tangannya menyambar dan hawa dingin menerjang Leng Si, wanita itu tidak kaget. Dia sudah mendengar dari Han Lin tentang kehebatan tiga orang datuk itu, maka ia tidak membiarkan dirinya terkena pukulan dingin beracun. Dengan melompat ke sana-sini, ia dapat menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dingin, dengan membalas dengan sepasang pedangnya yang tidak kalah ampuhnya.
Han Lin dikeroyok dua oleh Pek-bin Mo-ong dan Kwi-jiauw Lo-mo. Biarpun dia sudah kehilangan pedang Ang-in Po-kiam, namun dengan tongkat hitam butut pemberian gurunya, Han Lin masih hebat sekali. Tongkat itu pendek saja, sepanjang pedang dan dapat ia mainkan sebagai pedang. Maka diapun menggerakkan tongkatnya dengan ilmu pedang Ang-in Kiam-sut yang digubahnya dari inti ilmu Lui-tay-hong-tung dan ilmu Khong khi-ciang.
Hebat bukan main gerakan tongkatnya itu. Biarpun dikeroyok dua, namun Han Lin sama sekali tidak terdesak, bahkan dia mampu mengimbangi kedua orang pengeroyoknya dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Namun, dia juga tidak mampu mendesak kedua orang datuk itu yang memang sudah tergolong sakti.
Kalau Han Lin hanya seimbang saja dengan kedua orang datuk itu, maka Leng Si mulai kewalahan menghadapi Hek-bin Mo-ong. Setelah lewat tiga puluh jurus, ia mulai terdesak. Sambaran angin pukulan yang dingin itu kadang membuatnya menggigil. Namun, dengan penuh semangat Leng Si melawan. Sepasang pedangnya membentuk dua gulungan sinar yang sukar ditembus oleh Hek-bin Mo-ong.
Han Lin yang kadang mengerling ke arah Leng Si, merasa khawatir bukan main melihat encinya itu kerepotan menandingi Hek-bin Mo-ong yang lihai sehingga karena perhatiannya terpecah, dia sendiripun mulai terdesak. Selagi kedua orang itu terdesak, tiba-tiba muncul banyak orang dan betapa kaget hati Han Lin ketika mengenal bahwa yang muncul itu adalah Thian Te Siang-kui yang juga lihai sekali! Bukan mereka berdua saja, bahkan masih ada belasan orang anak buah mereka!
Celaka, pikir Han Lin. Thian Te Siang-kui sudah membantu Kwi-jiauw Lo-mo dan Pek-bin, sambil mengeluarkan ucapan-ucapan cabul. Sementara itu, belasan orang mengepung tempat itu sehingga mereka berdua tidak mempunyai jalan keluar untuk melarikan diri. Leng Si memang yang memang sudah kewalahan menghadapi Hek-bin Mo-ong, ketika kini ditambah lagi dengan Tee-kui, tentu saja ia menjadi semakin repot.
Sepasang golok Tee-kui menyambut sepasang pedangnya sehingga kini mudah bagi Hek Bin Mo-ong untuk turun tangan. Akan tetapi agaknya Hek-bin Mo-ong tidak ingin membunuhnya, hanya merobohkannya saja dengan jarinya yang hitam. Leng Si mengeluh karena totokan itu mengandung hawa beracun yang melumpuhkan.
Melihat Leng Si roboh, Han Lin marah sekali. Dengan teriakan melengking Han Lin seperti terbang melompat ke arah Hek-bin Mo-ong. Orang pendek gendut ini terkejut bukan main dan menyambut dengan dorongan kedua tangannya. Akan tetapi, Han Lin sudah menggunakan Khong-khi-ciang sehingga tak dapat dicegah lagi tangan Hek-bin Mo-ong bertemu dengan ujung tongkat.
“Tukkk...!” Hek bin Mo-ong mengeluarkan teriakan aneh, mulutnya muntahkan darah segar dan tiba-tiba dia tertawa dan lari tunggang langgang!
Akan tetapi pada saat Han Lin menyerang Hek-bin Mo-ong, Kwi-jiauw Lo-mo telah menghantam dengan cakar setannya yang mengenai pundak Han Lin dan pemuda inipun terpelanting roboh, lalu disusul totokan oleh Pek-bin Mo-ong. Leng Si dan Han Lin dibelenggu.
“Ke mana Hek-bin Mo-ong?” tanya Kwi-jiauw Lo-mo. “Wah, sudahlah. Susah diurus orang itu. Entah ke mana dan entah mengapa dia lari,” kata Pek-bin Mo-ong bersungut-sungut.
“Sudahlah,” kata Kwi-jiauw Lo-mo. “Pemuda ini kalau tidak dibunuh, tentu di kemudian hari akan membikin repot saja. Biar aku yang akan membunuhnya. Akan tetapi terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Akan kurusakkan seluruh jaringan ototnya dan tulangnya sehingga dia akan mati tidak hiduppun bukan.”
“Lo-mo, serahkan gadis ini kepadaku sebelum dibunuh. Sudah banyak aku membantu Sam Mo-ong dan baru sekali ini aku minta hadiah. Boleh, kan?” kata Tee-kui yang cabul itu sambil memondong tubuh Leng Si yang sudah ditelikung tak berdaya itu.
“Hemm, bawalah. Akan tetapi jangan lupa, setelah puas bunuh saja. Iapun akan membikin repot kelak.”
“Baik, Lo-mo. Terima kasih banyak!” Tee-kui bersorak girang dan hendak membawa pergi tubuh Leng Si.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua orang terkejut melihat bahwa yang membentak adalah Mulani!
Tee-kui yang sudah kegirangan itu tidak jadi pergi dan Mulani mengerutkan alisnya memandang kepadanya. “Tee-kui, lepaskan wanita itu!”
“Tapi, puteri...Kwi-jiauw Lo-mo telah memberikan...”
“Tutup mulut dan lepaskan wanita itu kataku!”
Tee-kui masih belum mau melepaskan wanita yang dipondongnya dan matanya mencari dan memandang kepada Kwi-jiauw Lo-mo. Kakek ini menghela napas panjang dan berkata kepadanya. “Lepaskan ia!”
Dengan kecewa dan marah Tee-kui melepaskan pondongannya sehingga Leng Si jatuh berdebuk di atas tanah, lalu Thian Te Siang-kui dan anak buahnya pergi dari situ dengan alis berkerut akan tetapi tidak berani membantah.
“Akan tetapi Mulani...” bantah Kwi-jiauw Lo-mo. “Mereka ini berbahaya sekali kalau dibiarkan hidup!”
“Suhu, sudah lupakan suhu akan pembicaraan kita dengan ayah? Apakah suhu hendak melanggar perintah ayah? Suhu, bebaskan Han Lin dari totokannya dan tinggalkan kami pergi,” dengan suara lembut namun berada memerintah Mulani dan berkata dan Kwi-jiauw Lo-mo tidak berani membangkang.
Dia tahu betapa besar rasa sayang Ku Ma Khan kepada puterinya ini dan pula, memang dia sudah mendengar akan siasat yang hendak dijalankan Mulani terhadap pemuda itu. Dia lalu membebaskan totokan dari tubuh Han Lin.
Begitu terbebas dari totokan, Han Lin lalu melompat ke dekat Leng Si dan membebaskan gadis itu dari totokan. Setelah Leng Si bebas, Mulani berkata kepadanya, “Sekarang engkau telah bebas dan baru saja kuhindarkan engkau dari malapetaka yang lebih hebat dari pada maut. Nah, kuminta engkau segera pergi meninggalkan kami berdua.”
Leng Si mengerutkan alisnya hendak membantah. Akan tetapi ketika ia memandang kepada Han Lin, pemuda ini mengangguk dan berkata, “Enci, harap engkau suka pergi lebih dahulu, nanti aku menyusul,” kata-kata ini terdengar tegas dan tahulah Leng Si bahwa tidak ada pilihan lain kecuali menurut kata-kata Han Lin. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa baru saja gadis Mongol itu telah menolongnya dari bahaya yang mengerikan di tangan Tee-kui.
“Hemm, aku akan pergi, akan tetapi aku bersumpah kelak akan membalas kejahatan Thian-se Siang-kui dan antek-anteknya!” Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi dari tempat itu.
Setelah semua orang pergi, tinggal mereka berdua yang berada di situ, Mulani mendekati Han Lin dan berkata, “Han Lin, kalau aku tidak datang menyelamatkanmu, tentu gadis itu sudah diperkosa oleh Tee-kui dan engkau dibunuh oleh Kwe-jiauw Lo-mo. Apa katamu setelah kuselamatkan?” Mulani tersenyum dan mendekati pemuda itu.
Han Lin memandang gadis itu dengan ramah dan tersenyum pula. “Mulani, bukan hanya sekali ini aku menerima pertolonganmu. Ketika aku dikeroyok oleh Sam Mo-ong dahulu, engkaupun telah menyelamatkanku. Sehingga aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa engkau menentang guru-gurumu sendiri dan menyelamatkan aku?”
“Han Lin, apakah engkau masih juga belum tahu akan isi hatiku? Sejak dahulu, aku merasa kagum dan suka kepadamu, dan sekarang aku bahkan jatuh cinta kepadamu. Han Lin, maukah engkau menjadi suamiku?”
Han Lin terbelalak, akan tetapi lalu teringat bahwa Mulani adalah suku Mongol. Dia pernah mendengar bahwa sudah menjadi kebiasaan suku Mongol kalau ada seorang wanita meminang pria. “Mulani, sekarang bukan saatnya aku bicara tentang perjodohan. Aku sedang mencari pedangku yang hilang dan sekali ini aku yakin bahwa hilangnya pedang tentu ada hubungannya dengan perbuatan Sam Mo-ong. Kalau benar engkau beritikad baik padaku, tentu engkau tahu juga siapa yang mengambil pedang itu dan mengembalikannya kepadaku.”
“Han Lin, pedang itu pasti akan kukembalikan kepadamu, akan tetapi dengan syarat bahwa engkau suka menjadi suamiku. Pedang itu sudah ada di tangan ayah, dan aku hendak menggunakannya sebagai hadiah pernikahan kita. Bagaimana, Han Lin? Kau tentu tahu bahwa berulang aku menolongmu tentu ada sebabnya dan sebab itu adalah bahwa aku mencinta engkau.”
Han Lin terkejut. Jadi untuk itukah Mulani mengerahkan guru-gurunya mencuri pedangnya. Untuk memaksanya menikah dengannya? Dia menghela napas panjang. “Mulani, aku kagum dan suka kepadamu. Engkau seorang yang cantik dan sama sekali tidak jahat. Akan tetapi sayang berguru kepada tiga orang datuk sesat maka ikut-ikutan menjadi sesat. Pernikahan haruslah dilakukan dengan sukarela, atas dasar rasa cinta kedua pihak. Engkau tidak dapat memaksakan pernikahan, Mulani.”
“Akan tetapi aku cinta kepadamu, Han Lin. Dan kalau engkau suka menikah denganku, Ang-in Po-Kiam akan kuberikan kepadamu!”
“Mulani, kalau engkau hendak memaksa seorang pria untuk menikah denganmu, pada hal pria itu tidak mencintamu, maka engkau akan menjadi seorang wanita yang tidak tahu malu, Mulani.”
“Plakkk...!” tamparan Mulani itu keras sekali dan Han Lin memang sengaja tidak mau menangkis atau mengelak. Ujung bibirnya pecah berdarah terkena tamparan Mulani. Kalau Han Lin tenang saja, adalah Mulani yang terbelalak dengan muka pucat, menatap wajah Han Lin yang bibirnya berdarah dan tiba-tiba ia menangis, merangkul leher Han Lin dan menciumi mulut berdara itu, mengisap darah dari bibir Han Lin sambil menangis.
“Han Lin...ahh, tega benar engkau menolakku, menyakiti hatiku dengan kata-katamu...padahal aku amat mencintamu, Han Lin...!” Mulani menangis dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar sandiwara untuk mempergunakan Han Lin seperti yang diceritakannya kepada ayahnya.
Han Lin mengelus rambut Mulani. Dia tidak marah. Bahkan dia merasa iba kepada gadis ini, dapat merasakan betapa rasa cinta gadis Mongol ini kepadanya. Namun, tidak ada rasa cinta kepada gadis ini dalam hatinya. Dia tahu bahwa kalau dia menerima berdasarkan iba, maka berarti dia akan merusak hidup mereka berdua.
“Mulani, maafkanlah aku, Mulani. Seperti kukatakan tadi, aku kagum dan suka kepadamu, akan tetapi rasa cinta tidak dapat dipaksakan, Mulani!”
Han Lin dan Mulani begitu tenggelam ke dalam perasaan masing-masing sehingga mereka tidak tahu beta ada sepasang mata yang menintai mereka dari jarak dekat. Pemilik sepasang mata ini adalah Can Kok Han. Seperti kita ketahui, Can Kok Han masih merasa penasaran sekali melihat pedang di tangan Han Lin. Putera ketua Pek-eng Bu-koan ini ingin sekali mendapatkan pedang itu, maka diapun mencari jejak Han Lin.
Ketika melihat Han Lin dan Leng Si dikeroyok, dia menonton sambil bersembunyi dan hatinya yang sudah diracuni kebencian terhadap Han Lin itu merasa girang melihat Han Lindan Leng Si tertawan Sam Mo-ong. Akan tetapi alangkah kecewanya melihat Mulani datang menolong Han Lin dan terutama sekali melihat Mulani merayu Han Lin, hatinya seperti dibakar rasanya. Perasaan iri hati dan cemburu membakar dirinya, membuat kebenciannya terhadap Han Lin semakin menghebat.
Seorang bijaksana selalu harus waspada terhadap diri sendiri dan selalu ingat bahwa nafsu adalah bisikan setan yang hanya dapat dikalahkan oleh kekuasaan Tuhan. Musuh terbesar berada di dalam hati akal pikiran sendiri yang bergelimang nafsu. Sekali saja pencuri-pencuri berupa bermacam nafsu itu dibiarkan masuk, maka celakalah kita.
Kok Han adalah putera ketua Pek-eng Bu-koan yang selalu menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi sekali nafsu kebencian sudah merasuk hatinya, maka segala macam nilai dan norma kegagahanpun ditinggalkan demi tercapainya balas dendam kebenciannya.
Melihat betapa Mulani menyatakan cintanya kepada Han Lin, dia merasa iri hati sekali karena sejak pertama dia sudah tergila-gila kepada gadis Mongol ini. Melihat kini Mulani menciumi Han Lin dan merayunya, merengek minta dinikahi, hampir dia tidak kuat menahan kemarahan dan kebenciannya terhadap Han Lin. Dia memiliki semacam obat peledak buatan ayahnya. Obat peledak ini mengandung bius dan menurut pesan ayahnya hanya boleh dipergunakan untuk menyelamatkan diri saja kalau sudah terdesak.
Ketika dia berkelahi melawan Tee-kui dan hampir celaka dulu, dia tidak membawa obat peledak ini dan sejak pengalaman itu, dia selalu membekali diri dengan obat peledak itu untuk berjaga diri. Kini, melihat betapa Mulani merangkul Han Lin sambil menangis, tanpa disadarinya lagi tangannya mengambil dua buah obat peledak itu dan dengan cepat dia membanting dua buah bola peledak itu dekat Han Lin dan Mulani.
Terdengar dua kali suara ledakan dan nampak asap mengepul tebal menyelimuti tubuh Han Lin dan Mulani. Kok Han yakin akan hasil senjata rahasianya, maka dia mendekat sambil menutupi hidungnya dengan sapu tangan dan melihat tubuh Mulani menggeletak telentang dalam keadaan pingsan, dia lalu menodong tubuh itu dibawa keluar dari gumpalan asap pembius.
Dia merebahkan tubuh Mulani di atas rumput di dalam hutan kecil seberang jalan itu dan melihat tubuh itu, merasa betapa lembut dan hangat tubuh itu tadi dalam gendongannya, kemudian teringat betapa gadis yang membuatnya tergila-gila ini jatuh cinta kepada Han Lin, pemuda yang dibencinya, maka setan dan iblis merasuki hati Kok Han. Gairah berahi mengguulungnya dan dia tidak mampu bertahan lagi.
Tidak memperdulikan lagi segala akibatnya, dia lalu menanggalkan pakaian Mulani. Terjadilah perbuatan keji yang terkutuk. Kok Han dengan sepenuh hatinya, dengan kasih sayang yang memuncak, menggauli dan memperkosa gadis yang masih dalam keadaan terbius itu. Setelah semuanya berakhir barulah dia sadar akan kejinya perbuatannya dan dia merasa menyesal bukan main. Akan tetapi sesal itu hanya melahirkan pemutaran otak bagaimana agar dia terhindar dari akibatnya.
Segera dia memondong tubuh yang telanjang dari Mulani, kembali ke tempat di mana Han Lin juga rebah dalam keadaan pingsan. Kemudian, dia mengambil pakaian Mulani dan ditaruh berserakan di tempat itu dan diapun menelanjangi Han Lin. Setelah menghapus semua tanda-tanda peledakan dua buah bola peledaknya, Kok Han lalu pergi dengan diam-diam.
Dia telah mengauli Mulani. Biarpun akhirnya Mulani akan menikah dengan Han Lin, namun dia telah mendahului pemuda itu, telah memerawani Mulani. Iblis dalam benaknya tertawa-tawa penuh kegembiraan, menertawakan pemuda yang dibencinya, dan menertawakan gadis yang dicintanya akan tetapi malah mencinta pemuda yang dibencinya itu.
Pengaruh obat bius itu memang hebat. Tidak kurang dari empat jam Mulani dan Han Lin menggeletak pingsan dalam keadaan telanjang bulat. Tadi, sebelum dia pergi, dengan cerdik Kok Han telah menciumkan obat penawar dari sebuah botol kecil dan inilah yang membuat gadis itu lebih dulu siuman, seperti dikehendakinya.
Ketika Mulani sadar, ia menggigil kedinginan akan tetapi ia lalu terbelalak memandang tubuhnya sendiri yang telanjang bulat dan pakaiannya berserakan di sekelilingnya. Kemudian dia menjerit ketika melihat Han Lin menggeletak tak jauh dari situ dalam keadaan telanjang bulat pula.
Mendengar jerit tangis Mulani menyadarkan Han Lin. Dia membuka matanya dan diapun terkejut setengah mati melihat dirinya telanjang bulat, demikian pula diri Mulani menangis sesenggukan. Dia cepat mengenakan pakaiannya kembali dan sambil membelakangi Mulani dia berkata, “Mulani, kenakan pakaianmu, baru kita bicara.”
Suaranya gemetar penuh kegelisahan. Apa yang dilihatnya tadi membuatnya mengingat-ingat. Bagaimana mungkin dia dapat bertelanjang bulat bersama Mulani di tempat itu? Dia teringat betapa tadinya Mulani menangis di pundaknya, minta diambil sebagai isteri, kemudian terdengar ledakan, asap tebal dan diapun tidak ingat apa-apa lagi. Bagaimana tahu-tahu mereka bertelanjang bulat bersama?
Mulani masih terisak ketika ia mengenakan pakaiannya, kemudian berkata, “Han Lin, tidak kusangka engkau akan sekejam itu kepadaku. Yang kukehendaki bukan begini, akan tetapi kita menikah dengan resmi, baru kita menjadi suami isteri....” Gadis itu menangis lagi. “Akan tetapi aku... kau... ahh, kau telah menodaiku...”
Han Lin terbelalak. “Mulani! Apa kau kata? Aku... aku tidak melakukan kekejian itu. Aku pingsan dan baru saja aku siuman!”
“Han Lin, apakah salah dugaanku bahwa engkau seorang jantan yang suka mempertanggungjawabkan perbuatanmu? Apakah engkau hanya seorang pengecut yang mempergunakan kesempatan kemudian tidak mau mengakui?”
“Tapi... tapi... aku tidak mengerti, Mulani.”
“Han Lin, aku siuman dan mendapatkan diriku telanjang bulat dan sudah ternoda. Dan engkau... engkau rebah di sini, juga telanjang bulat. Harus lebih kujelaskan lagikah? Engkau tidak mau bertanggung-jawab? Bagaimana kalau seluruh dunia kangouw mendengar akan perbuatanmu ini?”
Mulani masih menangis dan Han Lin tertegun. Dia percaya kepada Mulani. Jelas bahwa Mulani diperkosoa orang selagi pingsan seperti dia, akan tetapi siapa yang melakukannya, di luar kesadarannya? Rasanya tak mungkin. Akan tetapi siapa mau percaya kalau mendengar keadaan mereka berdua bertelanjang di tempat itu? Apakah pembius itu mengandung obat perangsang yang membuat dia lupa diri dan menggauli Mulani?
Melihat pemuda itu terlongong saja, Mulani menjerit dan menangis tersedu-sedu. “Han Lin... engkau.. engkau tidak mau bertanggung jawab? Aku lebih baik mati, biar kubunuh diri di depanmu?” Gadis itu lalu menyambar pedangnya. Han Lin melompat dan merampas pedang itu.
“Mulani, jangan berbuat bodoh. Tentu saja aku bertanggung jawab, kalau memang aku yang melakukan perbuatan itu.”
“Kalau benar melakukan perbuatan itu? Habis siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini dan orang-orang pembantu ayahku tidak mungkin berani melakukannya. Engkaulah pelakunya, kau sadari atau tidak. Engkaulah!”
“Baiklah, Mulani. Aku seorang laki-laki, kalau memang demikian halnya, tentu saja aku berani bertanggung jawab. Aku akan menikahimu.”
“Sekarang juga, Han Lin. Mari kuhadapkan engkau kepada ayahku agar pernikahan kita dapat segera dilangsungkan.”
Karena tidak berdaya dan tidak dapat menuduh siapa yang melakukan perbuatan itu selain dia sendiri, terpaksa Han Lin menurut dan bersama Mulani dia melakukan perjalanan cepat ke utara, menunggang kuda.
Ku Ma Khan tentu saja girang sekali menerima kedatangan puterinya yang menggandeng seorang pemuda tampan gagah yang diperkenalkannya sebagai Han Lin, kekasihnya yang sudah dipilihnya untuk menjadi suaminya. Seluruh keluarga itu bergembira, terutama Ku Ma Khan yang mengira bahwa puterinya telah berhasil dengan siasat mereka yang mereka rencanakan, yaitu membujuk Han Lin agar menjadi suami Mulani dan kemudian orang muda itu dapat dijadikan mata-mata setelah memperoleh hadia kedudukan di kota raja.
Atas desakan Mulani dan juga atas persetujuan Han Lin yang tidak dapat berbuat atau bicara banyak, pernikahan itu dilangsungkan, tanpa menanti kembalinya Sam Mo-ong yang sedang melaksanakan tugas lain, yaitu menghubungi Kiu Thai-kam di istana Kerajaan Tang. Mulani yang mendesak agar tidak usah menanti mereka...
Pemuda inipun sudah kehilangan kesabarannya. Dia pernah diseret-seret dan disiksa wanita ini, bahkan kalau Kwan Im Sian-li tidak muncul, mungkin dia sudah dibunuh mati. Bagaimanapun juga, perempuan kejam ini harus diberi hajaran!
“Bagus, engkau memang jahat dan kejam!” bentaknya dan Han Lin sudah menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan tenaga, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Sekarang Cu Leng Si tidak dibantu oleh anak buah Liong-li-pang. Dahulupun biar dibantu anak buah Liong-li-pang, ia tidak akan mampu mengalahkan Han Lin kalau saja mereka tidak menggunakan jalan.
Kini, Han Lin yang memang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi, dengan mudah mendesaknya dan ketika Leng Si agak terlambat menangkis, ujung tongkat di tangan Han Lin sudah berhasil menotok dengan cepat bertubi-tubi ke arah tiga jalan darahnya, membuat wanita itu terkulai lemas.
Karena Han Lin tidak ingin membunuh wanita itu, dan tidak pula ingin melukainya, dia menangkap tubuh yang terkulai itu agar tidak terluka pedangnya sendiri. Dia mengambil sepasang pedang, menyarungkan kembali ke punggung Cu Leng Si. Kemudian dia membawa tubuh wanita itu menuju ke kuda yang sedang makan rumput. Diletakkan tubuh itu menelungkup di atas punggung kuda, melintang.
Dia sendiri lalu melompat ke atas kudanya dan menjalankan kudanya perlahan meninggalkan tempat itu. Dia menawan Cu Leng Si untuk membujuknya agar suka mengatakan di mana adanya Sam Mo-ong atau mengaku apakah wanita itu memang terlibat dalam pencurian pedang. Setidaknya dia akan dapat membalas perlakuan Leng Si ketika menawannya walaupun tentu saja dia tidak akan menyiksa wanita itu.
“Nah, kau rasakan sekarang. Kau pernah menawan aku dan menyiksaku, sekarang kau menjadi tawananku!” kata Han Lin dengan hati penuh bangga rasa kemenangan.
Dia terkejut ketika mendengar wanita itu terisak menangis! “Eh? Kenapa menangis? Aku belum menyentuhmu, belum menyiksamu. Dahulu engkau menyeret aku di belakang kudamu, bahkan menggantungku. Sekarang engkau hanya kubawa di atas kuda, kenapa menangis?”
Han Lin memang memiliki kelemahan. Dia tidak mendengar wanita menangis. Diapun menghentikan kudanya dan melompat turun agar dapat melihat wajah Leng Si yang menelungkup melintang di atas punggung kuda. Wanita itu benar-benar menangis. Air matanya bercucuran menuruni ke pipinya.
“Eh, Cu Leng Si, engkau kenapakah? Aku tidak mengganggumu sama sekali, kenapa menangis?” tanya Han Lin.
“Han Lin, engkau bunuh saja aku. Tidak ada gunanya lagi hidup ini bagiku. Daripada engkau hina seperti ini, bunuh saja!” Dan tangisnya semakin mengguguk.
Lemas rasa hati Han Lin dan diapun menepuk pundak wanita itu, membebaskan totokannya. “Wah, engkau tidak adil!” seru Han Lin. “Dulu, ketika engkau menawanku, apa yang kaulakukan padaku? Sudah lupakah engkau? Engkau menyeret-nyeretku dengan kuda, engkau menggantungku dan entah perbuatan apa lagi yang kau lakukan kepadaku kalau saja Kwan Im Sian-li tidak muncul. Sekarang, aku hanya menelungkupkanmu di atas kuda dan engkau sudah menangis begitu sedih.”
Leng Si duduk di atas tanah dan mengusap air matanya. “Aku sudah putus harapan. Kalau aku menyiksamu, karena aku memang membutuhkan sekali pedang itu. Kenapa engkau tidak berterus terang mengatakan di mana Ang-in Po-kiam? Kalau aku tidak mendapatkan pedang itu, ah, celaka....!”
“Engkau ini bagaimana sih? Sudah kukatakan berulang kali, pedang itu dicuri orang, dan pencurinya mungkin Sam Mo-ong. Akan tetapi, engkau tidak percaya kepadaku! Dan pula, kenapa engkau mati-matian hendak mendapatkan pedang pusaka itu? Untuk apa bagimu?”
“Untuk kukembalikan kepada Sribaginda Kaisar agar ayahku dibebaskan.” “Ehhh? Ayahmu ditangkap? Kenapa? Apa yang terjadi? Enci yang baik, ceritakan kepadaku, siapa tahu akan dapat aku menolongmu.”
Cu Leng Si menghela napas panjang dan menghapus air matanya. “Ayahku adalah seorang pejabat di kota raja. Karena ayah berani menentang kekuasaan Kui-thaikam yang menguasai istana, bahkan mempengaruhi Kaisar, maka Kui-thaikam lalu menjatuhkan fitnah kepadanya dan kini ayah menjadi tahanan atas perintah kaisar yang telah dihasut oleh Kui-thaikam. Nah, kalau aku mengembalikan pedang Awan Merah, aku dapat minta kepada Kaisar agar ayahku dimaafkan dan dibebaskan akan tetapi engkau tidak mau menyerahkan pedang itu.”
“Aku berani sumpah, enci. Pedang itu dicuri orang.” Dia lalu menceritakan tentang penyergapan atas dirinya di dalam kuil. “Agaknya Sam Mo-ong yang melakukannya dan pedang itu kini tentu berada di tangan mereka. Kalau pedang itu dapat kurampas kembali dan kuhaturkan kepada Sribaginda Kaisar tentu akan mohon kepada beliau untuk membebaskan ayahmu. Siapakah nama ayahmu, enci?”
“Namanya Cu Kiat Hin, pejabat bagian perpustakaan istana,” jawab Leng Si. “Han Lin, kau maafkan aku atas kekasaranku kepadamu. Kiranya engkau baik sekali. Aku berjanji akan membantumu untuk mendapatkan kembali Ang-in Po-kiam dan kita bersama nanti menghadap kaisar. Kau mau maafkan aku, bukan?”
“Sebelum ini sudah kumaafkan, enci. Kwan Im Sian-li juga sudah memintakan maaf untukmu kepadaku.”
“Terima kasih. Ternyata engkau memang seorang pendekar sejati. Kalau saja aku mempunyai seorang adik sepertimu ini, tentu akan dapat bantu memikirkan keadaan ayahku.”
“Mengapa tidak, enci? Aku yatim piatu dan sebatang kara, biarlah aku menjadi adikmu, dan engkau menjadi enciku.”
“Terima kasih! Adik Han Lin, terima kasih. Sekarang agak ringan rasa hatiku. Agaknya timbul keyakinanku bahwa dengan bantuanmu, tentu ayahku akan dapat dibebaskan kembali. Aku akan membantu mencari keterangan tentang Sam Mo-ong.”
“Baik, enci. Kita masing-masing mencari dan kalau sudah berhasil, kita saling jumpa di Souw-ciu. Di taman bunga umum.”
“Baik, nah, selamat berpisah adikku!” “Selamat berpisah, enciku yang baik!”
Mereka pergi, Leng Si menunggang lagi kudanya dan Han Lin berjalan kaki. Hatinya terasa senang dan kakinya terasa ringan. Pertemuannya dengan Leng Si yang akhirnya mengakuinya sebagai adik itu mendatangkan perasaan haru dan senang. Tahulah ia bahwa Cu Leng Si bukan wanita jahat. Kalau dulu dia bersikap kejam dan keras adalah karena ia dihimpit perasaan khawatir tentang ayahnya yang ditangkap atas fitnah Kui-thaikam.
Dalam perjalanannya mengejar dan mencari Sam Mo-ong, Han Lin pada suatu hari tiba di tepi Huang-ho (Sungai Kuning), di dekat kota Lan-chouw. Dia lalu membeli sebuah perahu kecil dan mendayung perahu itu untuk menuju ke Yin-coan yang terletak di daerah Mongolia Dalam.
Dua hari dua malam sudah dia berperahu. Hanya berhenti untuk membeli makanan di dusun-dusun para nelayan di tepi sungai. Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali perahunya sudah meluncur cepat. Kota Yin-coan tidak terlalu jauh lagi. Paling lambat pada besok pagi dia sudah akan sampai. Maksudnya kalau di Yin-coan dia tidak mendapatkan keterangan, dia akan terus mengejar sampai ke utara!
Tiba-tiba nampak banyak perahu hitam di depan. Tadinya Han Lin mengira bahwa mereka adalah para nelayan yang mencari ikan. Akan tetapi ketika mereka membentuk formasi menghadangnya, dia mulai merasa curiga dan bersiap siaga. Setelah mereka dekat, dia terkejut dan heran. Ada tujuh buah perahu, masing-masing ditumpangi lima orang dan mereka semua adalah wanita! Yang berada paling depan dan berdiri di kepala perahu adalah seorang wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, cantik manis dan gagah sekali, dengan senjata golok telanjang terselip di pinggang!
”Heii, kenapa kalian menghadang di tengah? Minggirlah dan biarkan aku lewat!” teriak Han Lin.
Wanita cantik itu bertanya kepada anak buahnya yang berada di perahunya. “Benarkah dia? Kalian tidak salah lihat?”
“Tidak, pangcu (ketua). Benar dia pemuda yang mempunyai Ang-in Po-kiam dan dulu pernah ditawan Jeng I Sianli Cu Leng Si!” jawab seorang anak buahnya.
Wanita itu lalu menudingkan golok yang sudah dicabut dari pinggangnya ke arah Han Lin. “Cepat kau serahkan Ang-in Po-kiam kepadaku kalau kau ingin lewat dengan selamat!”
Han Lin menjadi marah. Dia sudah kehilangan pedang dan sedang dicari-carinya, ada saja orang yang hendak merampas pedang yang belum ditemukan kembali itu. “Aku tidak punya Ang-in Po-kiam,” katanya terus terang.
“Bohong! Kalau begitu, engkau harus menyerah untuk menjadi tawanan kami sampai pedang itu dapat kami temukan!”
“Kau ini orang-orang perempuan macam apa? Tidak hujan tidak angin hendak menawan orang!” Han Lin berseru marah dan dia sudah melintangkan tongkatnya di depan dada.
“Awas, pangcu. Dia lihai sekali. Bahkan Jeng I Sian-li tidak akan mampu mengalahkannya kalau tidak kami bantu dengan jala,” kata seorang anak buah dan tahulah kini Han Lin bahwa anak-buah ini adalah mereka yang dulu membantu Cu Leng Si menangkapnya dengan jala.
“Semua perahu mundur, menjauhkan diri!”
Tiba-tiba wanita cantik itu memberi aba-aba dan Han Lin menjadi lega melihat mereka semua mendayung perahu menjauhkan diri. Diapun hendak melanjutkan perjalanan ketika tiba-tiba dia melihat dengan kaget bahwa para wanita itu melompat ke dalam air dan menyelam. Kini mengertilah dia dengan terlambat bahwa perahu-perahu itu menjauhkan diri dari perahunya agar dia tidak dapat melompat ke perahu mereka!
Han Lin segera maklum apa yang akan mereka lakukan, maka diapun mulai mendayung perahunya untuk minggir dan mendarat. Akan tetapi usahanya terlambat sudah. Agaknya para wanita itu memang ahli renang yang pandai, karena sebentar saja dia sudah merasa perahunya terguncang-guncang ke kanan-kiri. Tentu diguncang dari bawah. Tidak dapat dia menyerang mereka karena tidak nampak dan dia hanya berdiri mengatur keseimbangan badannya.
Akan tetapi, tiba-tiba perahunya miring dan terbalik dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya juga terjun ke dalam air. Kalau hanya berenang biasa saja, Han Lin juga dapat. Akan tetapi dibandingkan para wanita itu yang rata-rata dapat bergerak seperti ikan di dalam air, gerakannya tidak ada artinya. Tak lama kemudian dia sudah meronta-ronta karena kakinya ada yang memegangi dan menarik.
Dia menendang-nendang akan tetapi yang memegangi kakinya banyak sekali tangan dan tubuhnya sudah diseret masuk ke dalam air. Han Lin gelagapan, mencoba menahan napas, namun akhirnya dia terpaksa minum air dan menjadi lemas. Dia sudah tak sadarkan diri ketika ditarik ke atas perahu, tubuhnya dijungkirkan agar air dari dalam perutnya keluar dari mulut.
Ketika dia sadar kembali, ternyata dia sudah berada di dalam sebuah rumah, rebah telentang di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu erat-erat. Han Lin maklum bahwa selain dibelenggu kaki tangannya, tubuhnya juga ditotok secara lihai sekali sehingga biarpun tidak lumpuh, namun dia merasa lemas dan kalau dia mencoba untuk mengerahkan sin-kangnya, lambungnya terasa nyeri.
“Bagus, engkau sudah bangun tampan?” terdengar suara wanita dan ketika Han Lin menengok keluar, seorang wanita telah memasuki kamar itu. Ia adalah wanita yang tadi dilihatnya di kepala perahu wanita yang memimpin para wanita tadi. Wanita cantik itu sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang putih bersih, duduk di tepi pembaringan dan tangannya membelai rambut di kepala Han Lin.
Pemuda itu terkejut sekali melihat kelancangan tangan wanita muda itu. Akan tetapi, ternyata kelancangan itu bukan hanya sampai di situ. Wanita itu membungkuk dan mencium pipi Han Lin dengan kecupan mesra. “Eh, apa yang kau lakukan ini, nona?” tegur Han Lin kaget dan marah.
“Yang kulakukan? Menciummu, apa lagi? Ini artinya bahwa aku cinta kepadamu. Menurut anak buahku yang dahulu membantu Enci Leng Si, namamu Sia Han Lin, bukan? Nah, perkenalkan, namaku Poa Siok Cin, aku ketua dari Liong-lio pang. Dan engkau... engkau telah kupilih menjadi calon suamiku!”
“Tidak, aku tidak mau!” kata Han Lin dengan perasaan ngeri. Wanita itu agaknya gila, atau tidak tahu malu?”
“Hi-hik, makin keras kau menolak, semakin menggairahkan. Aku tidak suka laki-laki yang mata keranjang, kalau diajak kawin, segera mau begitu saja. Engkau keras hati dan gagah, aku cinta sekali padamu, Han Lin! Pendeknya, mau atau tidak mau, engkau harus menjadi suamiku dan kalau engkau terus menolak, engkau akan tetap terbelenggu selama engkau dapat bertahan!”
Wanita itu membungkuk, mencium lagi dan Han Lin sengaja membuang muka untuk menghindarkan ciuman, lalu wanita itu pergi sambil tertawa-tawa gembira. Ketika ada anggota wanita datang membawa makanan dan minuman, dan menawarkan untuk menyuapinya, Han Lin menutup mulutnya dan menolak.
Dua hari dua malam lewat dan Han Lin hampir tidak kuat lagi. Dia pikir kalau begini terus, kalau dia tidak mau menerima makanan dan minuman, tentu dia akan semakin lemah sehingga tidak ada kemungkinan sama sekali untuk melawan. Juga dia dapat jatuh sakit dan malah mati kelaparan. Pada hari ketiga, ketika anggota wanita itu mengantarkan makanan dan minuman, dia berkata, “Aku mau makan kalau kedua tanganku dilepaskan ikatannya. Aku tidak mau disuapi.”
Petugas wanita itu lalu pergi memberitahu ketuanya dan Poa Siok Cin segera datang sendiri. “Kekasihku yang ganteng, engkau mau makan dan minta dibebaskan kedua tanganmu? Bukan hanya kedua tanganmu, juga kedua kakimu kubebaskan kalau engkau menyatakan bersedia menikah denganku.”
Han Lin tidak menjawab dan Siok Cin segera menotok beberapa jalan dara di tubuh belakangnya yang membuat Han Lin merasa lemas tak berdaya. Lalu kedua tangannya dibebaskan dari ikatan. Biarpun kedua tangannya sudah bebas, tentu saja Han Lin tidak mampu berbuat sesuatu untuk memberontak, karena kalau dia mengerahkan sin-kangnya lambungnya terasa nyeri sekali.
Diapun tidak mau memberontak. Dia akan menanti saatnya yang baik. Han Lin lalu makan minum dengan lahapnya untuk memulihkan tenaga, tidak memperdulikan wanita cantik itu menungguinya dan bahkan melayaninya, mengucapkan bujuk rayu yang manis menarik.
Karena Han Lin nampak tidak banyak membantah lagi, bahkan diam saja ketika dibelai dan dicium, kakinyapun dibebaskan. Namun, tetap saja dia tidak berdaya. Kamar dijaga ketat oleh beberapa orang wanita di luar kamar, dan tenaganya sama sekali tak dapat dipergunakan.
Malam itu, Han Lin merasa kegerahan. Tubuhnya terasa panas dan kepalanya agak pening. Dalam benaknya terbayang wajah wanita-wanita cantik. Wajah Mulani, wajah Can Bi Lan, lalu wajah Kiok Hwi bergantian bermunculan di depan matanya. Kemudian nampak pula wajah Yang Mei Li yang sudah lama dia rindukan, lalu terganti wajah Cu Leng Si dan wajah Kwan Im Sian-li Lie Cien Mei. Bahkan yang terakhir wajah Poa Siok Cin!
Teringat dia betapa Siok Cin menciuminya penuh gairah dan teringat akan ini, jantung Han Lin berdebar penuh gairah. Dia terkejut. Rangsangan yang hebat bergelombang menghantam perasaannya. Cepat dia lalu duduk bersila di atas pembaringan dan mengerahkan tenaga sin-kangnya. Akan tetapi lambungnya seperti ditusuk rasanya. Dia lalu menghentikan pengerahan tenaga saktinya dan memusatkan seluruh ingatannya kepada Lojin dan mengingat-ingat semua petuahnya tentang kehidupan. Dengan cara demikian, dia dapat mengaburkan serangan gairah yang amat kuat itu.
Akan tetapi tak lama kemudian muncul Siok Cin. “Kekasihku, engkau belum tidur? Menanti aku? Kekasihku, besok kita melangsungkan pernikahan, aku sudah mengirim undangan ke mana-mana. Aih, kita akan berbahagia sekali.” Wanita itu naik ke pembaringan dan merangkul tubuh Han Lin.
Dirangkulnya tubuh yang lunak dan hangat itu, rangsangan birahi semakin berkobar di dada Han Lin. Dia samar-samar teringat bahwa perasaan ini timbul setelah tadi dia makan minum, berarti bahwa dalam makanan atau minuman itu tentu mengandung obat perangsang. Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia kini terangsang begitu hebatnya.
Dirangkul, dibelai dan dicium Siok Cin, Han Lin semakin rapat memejamkan matanya dan berulang kali menyebut nama Lojin, seolah-olah dia mohon kekuatan dari gurunya itu. Dan sungguh aneh, dia dapat melawan gelombang gairah yang amat kurat itu setelah dia mengulang-ngulang sebutan Lojin!
Hal ini lambat laun menjengkelkan hati Siok Cin. Wanita ini tadinya sudah mengharapkan bahwa malam itu Han Lin pasti akan pasrah dan melayaninya dengan penuh gairah. Tidak tahunya, pemuda itu tetap saja bersikap dingin walaupun seluruh tubuhnya terasa panas!
“Gila kau! Engkau memilih mati, barangkali?” Akhirnya didorongnya tubuh Han Lin dan iapun melompat turun, wajahnya kemerahan karena nafsu birahi sudah sampai ke ubun-ubun kepalanya namun tidak mendapat sambutan. “Kalau sampai besok engkau berkeras menolakku, besok engkau akan kusiksa sampai mati!”
Setelah berkata demikian, Siok Cin meninggalkan kamar itu. Han Lin menjatuhkan diri rebah sambil terengah-engah. Untung wanita itu tidak mengetahui betapa nyaris dia menyerah tadi! Betapa hatinya sudah menyentak-nyentaknya ingin merangkul, ingin menciumi dan menyatakan cintanya kepada wanita itu. Hampir saja perisai pertahanannya jebol. “Terima kasih, suhu....!”
Berulang kali dia berbisik karena sesungguhnya, nama Lojin yang telah menyelamatkannya. Nama itu menjadi pegangan terakhir yang digantunginya sehingga dia tidak sampai hanyut. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pelayan sudah datang mengantar sarapan pagi yang lezat, penuh sayur dan daging. Han Lin yang tidak perduli lagi, hanya mengingat bahwa dia harus menjaga kesehatan dan kekuatan tubuhnya, lalu makan dengan lahapnya. Akan tetapi ketika orang membawakan pakaian pengantin dan menyuruh dia memakainya, dia tidak mau.
“Aku tidak mau menikah dengan siapapun juga. Bawa pergi pakaian ini dan suruh saja pakai pria mana yang mau dipersuami ketuamu!”
Biarpun dibujuk dan diancam. Tetap saja Han Lin menolak dan akhirnya Poa Siok Cin sendiri datang membawa cambuk! “Orang tak tahu diuntung! Tak mengenal budi. Engkau berani menolak memakai pakaian pengantin? Hayo pakai atau aku akan mencambukimu sampai mati!”
Han Lin tidak perduli. “Lebih baik mati dari pada menjadi suamimu, pangcu,” katanya dingin.
“Buka bajunya, telanjangi punggungnya!” bentak Poa Siok Cin dengan muka merah dan mata melotot. Ini sudah keterlaluan, pikirnya. Masa segala bujukan, ancaman, bahkan obat perangsang tidak mampu menundukkan pemuda ini? dia memang suka kepada pemuda yang tahan uji dan keras hati, akan tetapi kalau ditolak terus akhirnya ia menjadi kehabisan kesabaran.
Sebentar lagi para tamu, penduduk dusun sekitarnya akan berdatangan, dan pengantin pria tetap tidak mau memakai pakaian pengantin. Lalu mau ditaruh ke mana mukanya? Beberapa orang anak buahnya lalu menelanjangi baju atas Han Lin sampai pemuda itu telanjang dari pinggang ke atas. Kedua tangannya dibelenggu ke belakang dan ia diikat pada tihang pembaringan.
“Hayo katakan, apakah engkau juga masih tidak mau memenuhi kehendakku, menikah denganku?”
“Tidak sudi!” jawab Han Lin. “Tar-tar-tar....!” Pecut di tangan Siok Cin meledak-ledak sampai lima kali dan punggung yang putih itu terobek kulitnya, berdarah-darah.
“Sudah cukupkah? Atau mau minta lagi? Akan kuhancurkan punggungmu!” bentak Siok Cin.
“Orang muda, sebaiknya engkau menurut,” bujuk seorang anggota Liong-li-pang yang berusia empat puluhan tahun. “Pangcu amat sayang kepadamu dan kalau engkau menikah dengan pangcu, engkau akan menjadi orang terhormat dan apapun yang kau kehendaki tentu akan dipenuhi oleh pangcu. Belum pernah pangcu mencinta seorang pria seperti kepadamu ini, orang muda.”
“Poa Siok Cin, engkau wanita iblis. Engkau perempuan tak tahu malu. Lebih baik aku Sia Han Lin mati daripada harus menjadi suami seorang siluman jahat sepertimu!” Han Lin yang sudah tidak melihat jalan keluar memaki-maki. Lebih baik mati sebagai seekor harimau daripada mati sebagai seekor domba yang mengembik minta dkasihani.
“Jahanam busuk!” Kembali cambuk itu melecut dengan lebih keras lagi, sebanyak sepuluh kali dan kini punggung Han Lin telah merah semua.
Dia tidak dapat mengerahkan sin-kang untuk membuat kulitnya kebal karena dia tertotok secara istimewa oleh Siok Cin sehingga tiap kali mengerahkan sinkang, lambungnya terasa seperti ditusuk. Dia tahu bahwa dia adalah akibat totokan beracun amat lihai. Rasa nyeri membuat Han Lin hampir pingsan. Kekuatannya untuk menahan rasa nyeri sudah hampir melewati batas kemampuannya, namun sedikitpun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.
Melihat kekerasan hati ini, Siok Cin semakin kagum dan sayang. Ia berhenti memukul dan memeluk punggung yang berdarah itu sehingga mukanya menjadi berlepotan darah dari punggung Han Lin.
“Han Lin, ahhh, Han Lin. Aku tidak kuat lagi. Kalau engkau tetap menolak, terpaksa aku akan membunuhmu!” berkata demikian ia meloncat ke belakang dan “singggg...!” golok itu sudah dicabutnya.
“Hemm, siluman perempuan. Mau bunuh lekas bunuh. Siapa takut mati?” suara Han Lin dingin sekali dan dia sudah siap untuk mati.
“Keparat! Laki-laki tak berperasaan, laki-laki kejam tak tahu disayang orang. Kalau engkau memilih mati, nah matilah!” Golok itu diangkat lalu menyambar ke arah leher Han Lin.
“Trangggg....!”
Bayangan yang berkelebat masuk melalui jendela dan menangkis golok itu seperti burung garuda terbang saja dan Siok Cin tentu saja terkejut ketika goloknya ditangkis orang dan terpental. Ketika ia melihat, ternyata yang berdiri di situ adalah Jeng I Sian-li Cu Leng Si!
Leng Si marah sekali ketika melihat keadaan Han Lin yang punggungnya berdarah-darah itu. “Siok Cin engkau iblis betina keparat! Berani engkau berlaku begini kejam terhadap adikku?”
Wajah Siok Cin agak pucat, akan tetapi perlahan-lahan menjadi merah kembali. Ia memang jerih kepada sahabatnya ini, akan tetapi gairahnya yang sudah memuncak kalau bertemu halangan membuat dia menjadi marah dan nekat. “Enci Leng Si, sekali ini aku minta engkau jangan mencampuri. Ini adalah urusan aku dan calon suamiku!” bentaknya.
“Apa? Calon suamimu? Adik Han Lin, benarkah engkau calon suami Siok Cin?”
“Bohong, enci. Ia menawanku dengan menenggelamkan perahuku, kemudian ia memberi racun sehingga aku menjadi lemah dan tidak dapat melawan. Akan tetapi aku menolak menikah dengan siluman ini dan ia hendak membunuhku!”
“Keparat engkau, Siok Cin! Kalau memang Han Lin suka menjadi suamimu, aku tidak akan mencampuri. Akan tetapi, engkau memaksa, dan dia adalah adikku, mengerti? Engkau harus bertanggung jawab atas kekejamanmu ini!”
“Leng Si, kau kira aku takut kepadamu?” Bentak Siok Cin dan ia sudah menyerang dengan goloknya.
Leng Si juga marah sekali dan menangkis, lalu balas menyerang. Dua orang wanita itu saling serang seperti dua ekor singa betina berebutan anak. Akan tetapi segera dapat diketahui bahwa Siok Cin masih kalah tingkat. Setelah lewat dua puluh lima jurus, Siok Cin hanya mampu menangkis saja dan tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawannya.
Para anak-anak Liong-li-pang berdiri bingung, tidak berani mencampuri. Mereka mengenal siapa Jeng I Sianli. Biasanya Leng Si diterima sebagai tamu agung karena Leng Si sudah seringkali membantu kalau Liong-li-pang menghadapi musuh. Ketua mereka sudah menganggap Leng Si sebagai kakak sendiri. Akan tetapi kini keduanya berkelahi memperebutkan seorang pria. Mereka tidak berani mencampuri, apa lagi mereka maklum bahwa mencampuri berarti akan mati konyol.
Siok Cin benar-benar sudah nekat. Kekecewaan dan kemarahannya karena ditolak Han Lin kini ditumpahkan kepada Leng Si yang dianggapnya sebagai penghalang. Bahkan timbul dugaannya bahwa Leng Si membela pemuda itu karena hendak memilikinya sendiri!
Akan tetapi bagaimana hebatpun dan nekatnya pun ia mengamuk, tetap saja ia kewalahan dalam pada suatu ketika, sebuah tendangan Leng Si membuat goloknya terpental. Sebetulnya Leng Si masih suka memaafkannya dan tidak hendak membunuhnya. Namun Siok Cin yang sudah kebakaran api kemarahan itu, biarpun goloknya sudah terlepas, masih maju menubruk dan menggunakan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah Leng Si.
“Kau gila....!” kata Leng Si dan sepasang pedangnya berkelebat. Darah muncrat dari leher Siok Cin dan ketua Liong-li-pang itupun roboh tak bergerak lagi, tewas seketika karena lehernya hampir terpenggal pedang Leng Si.
Semua anak buah terbelalak kaget, akan tetapi dengan tenang Leng Si berseru dengan lantang. “Urus jenazah ketua kalian. Kelak, kalau aku singgah di sini, semua harus sudah beres dan jangan sampai Liong-li-pang dibawa menyeleweng!”
Setelah berkata demikian, wanita ini membebaskan totokannya dan memapahnya ke pembaringan, mengenakan lagi pakaiannya. Setelah mengumpulkan pakaian Han Lin dan tidak lupa membawa tongkat bututnya, Leng Si lalu menaikkan Han Lin ke atas kudanya dan menuntun kudanya itu meninggalkan Liong-li-pang.
“Adikku yang malang....!”
Han Lin kini merintih, tidak menahan keluhannya karena punggungnya terasa perih ketika diobati oleh Leng Si. Mereka berada di kamar sebuah rumah penginapan di Yin-coan. Dan di kamar itu, Leng Si mencuci luka di punggung Han Lin dan memberinya obat luka yang manjur.
“Aduh, perih sekali, enci...!”
“Tahanlah, adikku yang baik. Aduh, kasihan sekali engkau...! Siok Cin itu memang agak gila. Kejam bukan main ia...!”
“Tapi engkau sudah membunuhnya, enci.”
“Tentu saja karena ia nekat terus dan tidak mau sudah. Kalau tidak kubunuh, tentu ia akan terus mengejarmu. Agaknya ia sudah tergila-gila kepadamu, adikku. Ahh, kasihan punggungmu.”
Tiba-tiba Han Lin terkejut bukan main ketika ia merasakan betapa bibir yang hangat dari Leng Si itu mengecup punggungnya yang berdarah. “Enci, kau... kau....”
Dan tiba-tiba Leng Si merangkul leher Han Lin dari belakang, merebahkan mukanya di punggung yang sudah diobatinya itu. “Ahh...Han Lin..., terus terang saja, selama hidupku aku belum pernah jatuh cinta kepada pria. Dan sekarang...bertemu denganmu... sejak pertama kali itu, aku telah....jatuh cinta kepadamu. Ah, sungguh memalukan sekali jatuh cinta kepada pria yang jauh lebih muda... aku... aku memang malang.....”
“Aihh, enci Leng Si. Aku juga sayang kepadamu. Kita ini kakak dan adik, ingatkah? Seorang kakak tentu saja mencinta adiknya, dan si adik juga menyayang kakaknya, bukankah begitu. Ingatlah, enci, dan jangan merusak hubungan kita yang seperti kakak dan adik sendiri ini. Kumohon padamu, jangan dirusak, enci...”
Leng Si menangis. Menangis terisak-isak di atas pundak dan punggung Han Lin. Han Lin membiarkannya saja. Akhirnya tangis itupun mereda dan berhenti. Leng Si menyusut mata dan hidungnya dengan sapu tangan, lalu tertawa, akan tetapi suara tawanya demikian menyedihkan dan mengharukan.
“Aihhhh, Han Lin, ini namanya orang gila teriak orang lain gila. Aku mengatakan Siok Cin gila, dan aku sendiri tidak lebih baik. Aku tergila-gila kepadamu sampai lupa bahwa engkau adalah adikku. Benar engkau, engkau adalah adikku, adikku tercinta!”
Han Lin merasa begitu terharu sampai kedua matanya basah. “Dan engkau enciku tersayang, enci Leng Si.”
“Sudah, jangan kita bicara lagi tentang Siok Cin. Mari kuselesaikan pengobatan punggungmu.”
Setelah selesai pengobatan itu, mereka lalu bicara tentang Sam Mo-ong. “Aku sudah mendapatkan jejak mereka, Han Lin. Kita sudah mengambil jalan yang benar. Mereka itu pergi ke utara dan mereka tentu akan menyerahkan pedang itu kepada Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang mereka bantu. Kita ikuti saja mereka ke utara.”
“Akan tetapi di sana mereka itu kuat sekali, enci. Kita akan menghadapi pasukan Mongol.”
“Kita mencari jalan kalau sudah berada di sana, Han Lin. Tentu saja kita tidak dapat terang-terangan minta kembali pedang, harus menggunakan siasat.”
“Baiklah, enci...”
“Engkau harus beristirahat dulu, besok kita lanjutkan perjalanan kita ke utara. Aku akan membelikan seekor kuda untukmu.”
Han Lin merasa terharu. Wanita itu benar-benar bersikap seperti seorang kakak baginya. Pada keesokan harinya, setelah mendapatkan seekor kuda untuk Han Lin, mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, baru saja keluar dari kota Yin-coan, mereka melihat tiga orang berjalan kaki dengan langkah cepat sekali. Dan setelah tiga orang itu dekat, Han Lin mengeluarkan seruan nyaring karena tiga orang itu ternyata adalah Sam Mo-ong yang dicari-cari! Juga Leng Si sudah melompat turun dari atas kudanya. Han Lin juga melompat turun.
“Sam Mo-ong, tiga manusia curang!” bentak Han Lin marah. “Kembalikan Ang-in Po-kiam yang kalian curi dariku!”
Sam Mo-ong juga terkejut sekali. Tak mereka sangkah bahwa Han Lin akan bertemu dengan mereka di tempat itu. Mereka tidak dapat menghindar lagi dan mereka mengambil keputusan bahwa sekali ini mereka harus dapat membunuh pemuda itu kalau mereka tidak ingin di kemudian hari mendapat banyak tentangan darinya.
“Ha-ha-ha-ha, Sia Han Lin. Engkau masih juga belum mampus? Sekarang kebetulan sekali, kita bertemu di tempat sunyi ini. sekarang kami akan membunuhmu, tidak akan bekerja kepalang tanggung lagi!” kata Kwi Jiauw Lo-mo sambil tertawa. Kwi-jiauw Lo-mo yang dibantuk Pek-bin Mo-ong telah gagal membalas dendam kepada ketua Beng-kauw atas kematian cucunya dan hal itu membuatnya marah dan dongkol sekali, maka kini kemarahannya itu hendak ditumpahkan kepada Han Lin, musuh besarnya.
Tubuhnya yang pendek gendut itu memasang kuda-kuda dengan kaki mekangkah lebar, seperti katak, dan mukanya yang kekuningan itu agak merah. Sepasang cakar setan sudah tersambung pada kedua tangannya, agaknya dia sudah mengambil keputusan untuk sekali ini benar-benar dapat membunuh Han Lin.
Pek-bin Mo-ong juga maju di samping Kwi-jiauw Lo-mo. “Sia Han Lin bocah setan. Beberapa kali engkau luput dari maut di tangan kami, sekali ini kami tidak akan salah lagi!” kata Pek-bin Mo-ong yang tinggi kurus itu.
Mukanya yang putih seperti kapur, menjadi lebih putih lagi karena dia mengerahkan sin-kangnya yang hebat, yang menimbulkan hawa panas beracun. Matanya yang sipit menjadi hanya dua garis seperti menangis. Mantelnya berkibar dan jari tangannya berubah merah.
Maklum bahwa kedua lawan itu agaknya hendak bertanding mati-matian, Han Lin juga sudah siap dengan tongkatnya, berdiri tegak dengan tongkat melintang di dada, matanya mencorong tajam mengamati gerak-gerik lawan. Adapun Hek-bin Mo-ong yang pendek gendut bermuka hitam itu sudah menghampiri Leng Si. Dia tersenyum menyeringai lebar, matanya berkedip-kedip.
“Ha-ha-he-he-he, Sia Han Lin. Kiranya engkau datang bersama seorang perempuan yang begini cantik, begini bahenol, begini jelita. Bagus, biar aku yang menangkap perempuang menggairahkan ini!”
Memang kakek pendek ini mata keranjang. Leng Si memandang dengan muka merah. “Hek-bin Mo-ong, iblis busuk. Buka matamu yang berminyak-minyak itu lebar-lebar dan lihat baik-baik dengan siapa engkau berhadapan. Sekali ini, aku Jeng I Sian-li akan mengirim engkau ke neraka!”
“Jeng I Sian-li? Wah-wah, pantas saja engkau berpakaian hijau, kiranya Jeng I Sian-li (Dewi Baju Hijau). Ha-ha-ha, sebentar lagi aku akan membikin engkau menjadi Dewi Tanpa Baju, ha-ha-ha!”
“Jahanam busuk!” bentak Leng Si yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan iapun menyerang dengan dahsyatnya.
Wanita ini bukan seorang lemah, maka Hek I Mo-ong tidak berani memandang rendah. Dari sambaran sepasang pedang itu saja maklumlah dia bahwa wanita itu memliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Bajunya yang selalu terbuka itu ujungnya menyambar ke depan dan itulah senjatanya, ujung lengan baju dan ujung baju itu sendiri yang berkibar cukup kuat untuk menangkis senjata tajam lawan, sedangkan tangannya menyambar mengeluarkan hawa yang amat dingin beracun.
Ketika tangannya menyambar dan hawa dingin menerjang Leng Si, wanita itu tidak kaget. Dia sudah mendengar dari Han Lin tentang kehebatan tiga orang datuk itu, maka ia tidak membiarkan dirinya terkena pukulan dingin beracun. Dengan melompat ke sana-sini, ia dapat menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dingin, dengan membalas dengan sepasang pedangnya yang tidak kalah ampuhnya.
Han Lin dikeroyok dua oleh Pek-bin Mo-ong dan Kwi-jiauw Lo-mo. Biarpun dia sudah kehilangan pedang Ang-in Po-kiam, namun dengan tongkat hitam butut pemberian gurunya, Han Lin masih hebat sekali. Tongkat itu pendek saja, sepanjang pedang dan dapat ia mainkan sebagai pedang. Maka diapun menggerakkan tongkatnya dengan ilmu pedang Ang-in Kiam-sut yang digubahnya dari inti ilmu Lui-tay-hong-tung dan ilmu Khong khi-ciang.
Hebat bukan main gerakan tongkatnya itu. Biarpun dikeroyok dua, namun Han Lin sama sekali tidak terdesak, bahkan dia mampu mengimbangi kedua orang pengeroyoknya dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Namun, dia juga tidak mampu mendesak kedua orang datuk itu yang memang sudah tergolong sakti.
Kalau Han Lin hanya seimbang saja dengan kedua orang datuk itu, maka Leng Si mulai kewalahan menghadapi Hek-bin Mo-ong. Setelah lewat tiga puluh jurus, ia mulai terdesak. Sambaran angin pukulan yang dingin itu kadang membuatnya menggigil. Namun, dengan penuh semangat Leng Si melawan. Sepasang pedangnya membentuk dua gulungan sinar yang sukar ditembus oleh Hek-bin Mo-ong.
Han Lin yang kadang mengerling ke arah Leng Si, merasa khawatir bukan main melihat encinya itu kerepotan menandingi Hek-bin Mo-ong yang lihai sehingga karena perhatiannya terpecah, dia sendiripun mulai terdesak. Selagi kedua orang itu terdesak, tiba-tiba muncul banyak orang dan betapa kaget hati Han Lin ketika mengenal bahwa yang muncul itu adalah Thian Te Siang-kui yang juga lihai sekali! Bukan mereka berdua saja, bahkan masih ada belasan orang anak buah mereka!
Celaka, pikir Han Lin. Thian Te Siang-kui sudah membantu Kwi-jiauw Lo-mo dan Pek-bin, sambil mengeluarkan ucapan-ucapan cabul. Sementara itu, belasan orang mengepung tempat itu sehingga mereka berdua tidak mempunyai jalan keluar untuk melarikan diri. Leng Si memang yang memang sudah kewalahan menghadapi Hek-bin Mo-ong, ketika kini ditambah lagi dengan Tee-kui, tentu saja ia menjadi semakin repot.
Sepasang golok Tee-kui menyambut sepasang pedangnya sehingga kini mudah bagi Hek Bin Mo-ong untuk turun tangan. Akan tetapi agaknya Hek-bin Mo-ong tidak ingin membunuhnya, hanya merobohkannya saja dengan jarinya yang hitam. Leng Si mengeluh karena totokan itu mengandung hawa beracun yang melumpuhkan.
Melihat Leng Si roboh, Han Lin marah sekali. Dengan teriakan melengking Han Lin seperti terbang melompat ke arah Hek-bin Mo-ong. Orang pendek gendut ini terkejut bukan main dan menyambut dengan dorongan kedua tangannya. Akan tetapi, Han Lin sudah menggunakan Khong-khi-ciang sehingga tak dapat dicegah lagi tangan Hek-bin Mo-ong bertemu dengan ujung tongkat.
“Tukkk...!” Hek bin Mo-ong mengeluarkan teriakan aneh, mulutnya muntahkan darah segar dan tiba-tiba dia tertawa dan lari tunggang langgang!
Akan tetapi pada saat Han Lin menyerang Hek-bin Mo-ong, Kwi-jiauw Lo-mo telah menghantam dengan cakar setannya yang mengenai pundak Han Lin dan pemuda inipun terpelanting roboh, lalu disusul totokan oleh Pek-bin Mo-ong. Leng Si dan Han Lin dibelenggu.
“Ke mana Hek-bin Mo-ong?” tanya Kwi-jiauw Lo-mo. “Wah, sudahlah. Susah diurus orang itu. Entah ke mana dan entah mengapa dia lari,” kata Pek-bin Mo-ong bersungut-sungut.
“Sudahlah,” kata Kwi-jiauw Lo-mo. “Pemuda ini kalau tidak dibunuh, tentu di kemudian hari akan membikin repot saja. Biar aku yang akan membunuhnya. Akan tetapi terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Akan kurusakkan seluruh jaringan ototnya dan tulangnya sehingga dia akan mati tidak hiduppun bukan.”
“Lo-mo, serahkan gadis ini kepadaku sebelum dibunuh. Sudah banyak aku membantu Sam Mo-ong dan baru sekali ini aku minta hadiah. Boleh, kan?” kata Tee-kui yang cabul itu sambil memondong tubuh Leng Si yang sudah ditelikung tak berdaya itu.
“Hemm, bawalah. Akan tetapi jangan lupa, setelah puas bunuh saja. Iapun akan membikin repot kelak.”
“Baik, Lo-mo. Terima kasih banyak!” Tee-kui bersorak girang dan hendak membawa pergi tubuh Leng Si.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua orang terkejut melihat bahwa yang membentak adalah Mulani!
Tee-kui yang sudah kegirangan itu tidak jadi pergi dan Mulani mengerutkan alisnya memandang kepadanya. “Tee-kui, lepaskan wanita itu!”
“Tapi, puteri...Kwi-jiauw Lo-mo telah memberikan...”
“Tutup mulut dan lepaskan wanita itu kataku!”
Tee-kui masih belum mau melepaskan wanita yang dipondongnya dan matanya mencari dan memandang kepada Kwi-jiauw Lo-mo. Kakek ini menghela napas panjang dan berkata kepadanya. “Lepaskan ia!”
Dengan kecewa dan marah Tee-kui melepaskan pondongannya sehingga Leng Si jatuh berdebuk di atas tanah, lalu Thian Te Siang-kui dan anak buahnya pergi dari situ dengan alis berkerut akan tetapi tidak berani membantah.
“Akan tetapi Mulani...” bantah Kwi-jiauw Lo-mo. “Mereka ini berbahaya sekali kalau dibiarkan hidup!”
“Suhu, sudah lupakan suhu akan pembicaraan kita dengan ayah? Apakah suhu hendak melanggar perintah ayah? Suhu, bebaskan Han Lin dari totokannya dan tinggalkan kami pergi,” dengan suara lembut namun berada memerintah Mulani dan berkata dan Kwi-jiauw Lo-mo tidak berani membangkang.
Dia tahu betapa besar rasa sayang Ku Ma Khan kepada puterinya ini dan pula, memang dia sudah mendengar akan siasat yang hendak dijalankan Mulani terhadap pemuda itu. Dia lalu membebaskan totokan dari tubuh Han Lin.
Begitu terbebas dari totokan, Han Lin lalu melompat ke dekat Leng Si dan membebaskan gadis itu dari totokan. Setelah Leng Si bebas, Mulani berkata kepadanya, “Sekarang engkau telah bebas dan baru saja kuhindarkan engkau dari malapetaka yang lebih hebat dari pada maut. Nah, kuminta engkau segera pergi meninggalkan kami berdua.”
Leng Si mengerutkan alisnya hendak membantah. Akan tetapi ketika ia memandang kepada Han Lin, pemuda ini mengangguk dan berkata, “Enci, harap engkau suka pergi lebih dahulu, nanti aku menyusul,” kata-kata ini terdengar tegas dan tahulah Leng Si bahwa tidak ada pilihan lain kecuali menurut kata-kata Han Lin. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa baru saja gadis Mongol itu telah menolongnya dari bahaya yang mengerikan di tangan Tee-kui.
“Hemm, aku akan pergi, akan tetapi aku bersumpah kelak akan membalas kejahatan Thian-se Siang-kui dan antek-anteknya!” Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi dari tempat itu.
Setelah semua orang pergi, tinggal mereka berdua yang berada di situ, Mulani mendekati Han Lin dan berkata, “Han Lin, kalau aku tidak datang menyelamatkanmu, tentu gadis itu sudah diperkosa oleh Tee-kui dan engkau dibunuh oleh Kwe-jiauw Lo-mo. Apa katamu setelah kuselamatkan?” Mulani tersenyum dan mendekati pemuda itu.
Han Lin memandang gadis itu dengan ramah dan tersenyum pula. “Mulani, bukan hanya sekali ini aku menerima pertolonganmu. Ketika aku dikeroyok oleh Sam Mo-ong dahulu, engkaupun telah menyelamatkanku. Sehingga aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa engkau menentang guru-gurumu sendiri dan menyelamatkan aku?”
“Han Lin, apakah engkau masih juga belum tahu akan isi hatiku? Sejak dahulu, aku merasa kagum dan suka kepadamu, dan sekarang aku bahkan jatuh cinta kepadamu. Han Lin, maukah engkau menjadi suamiku?”
Han Lin terbelalak, akan tetapi lalu teringat bahwa Mulani adalah suku Mongol. Dia pernah mendengar bahwa sudah menjadi kebiasaan suku Mongol kalau ada seorang wanita meminang pria. “Mulani, sekarang bukan saatnya aku bicara tentang perjodohan. Aku sedang mencari pedangku yang hilang dan sekali ini aku yakin bahwa hilangnya pedang tentu ada hubungannya dengan perbuatan Sam Mo-ong. Kalau benar engkau beritikad baik padaku, tentu engkau tahu juga siapa yang mengambil pedang itu dan mengembalikannya kepadaku.”
“Han Lin, pedang itu pasti akan kukembalikan kepadamu, akan tetapi dengan syarat bahwa engkau suka menjadi suamiku. Pedang itu sudah ada di tangan ayah, dan aku hendak menggunakannya sebagai hadiah pernikahan kita. Bagaimana, Han Lin? Kau tentu tahu bahwa berulang aku menolongmu tentu ada sebabnya dan sebab itu adalah bahwa aku mencinta engkau.”
Han Lin terkejut. Jadi untuk itukah Mulani mengerahkan guru-gurunya mencuri pedangnya. Untuk memaksanya menikah dengannya? Dia menghela napas panjang. “Mulani, aku kagum dan suka kepadamu. Engkau seorang yang cantik dan sama sekali tidak jahat. Akan tetapi sayang berguru kepada tiga orang datuk sesat maka ikut-ikutan menjadi sesat. Pernikahan haruslah dilakukan dengan sukarela, atas dasar rasa cinta kedua pihak. Engkau tidak dapat memaksakan pernikahan, Mulani.”
“Akan tetapi aku cinta kepadamu, Han Lin. Dan kalau engkau suka menikah denganku, Ang-in Po-Kiam akan kuberikan kepadamu!”
“Mulani, kalau engkau hendak memaksa seorang pria untuk menikah denganmu, pada hal pria itu tidak mencintamu, maka engkau akan menjadi seorang wanita yang tidak tahu malu, Mulani.”
“Plakkk...!” tamparan Mulani itu keras sekali dan Han Lin memang sengaja tidak mau menangkis atau mengelak. Ujung bibirnya pecah berdarah terkena tamparan Mulani. Kalau Han Lin tenang saja, adalah Mulani yang terbelalak dengan muka pucat, menatap wajah Han Lin yang bibirnya berdarah dan tiba-tiba ia menangis, merangkul leher Han Lin dan menciumi mulut berdara itu, mengisap darah dari bibir Han Lin sambil menangis.
“Han Lin...ahh, tega benar engkau menolakku, menyakiti hatiku dengan kata-katamu...padahal aku amat mencintamu, Han Lin...!” Mulani menangis dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar sandiwara untuk mempergunakan Han Lin seperti yang diceritakannya kepada ayahnya.
Han Lin mengelus rambut Mulani. Dia tidak marah. Bahkan dia merasa iba kepada gadis ini, dapat merasakan betapa rasa cinta gadis Mongol ini kepadanya. Namun, tidak ada rasa cinta kepada gadis ini dalam hatinya. Dia tahu bahwa kalau dia menerima berdasarkan iba, maka berarti dia akan merusak hidup mereka berdua.
“Mulani, maafkanlah aku, Mulani. Seperti kukatakan tadi, aku kagum dan suka kepadamu, akan tetapi rasa cinta tidak dapat dipaksakan, Mulani!”
Han Lin dan Mulani begitu tenggelam ke dalam perasaan masing-masing sehingga mereka tidak tahu beta ada sepasang mata yang menintai mereka dari jarak dekat. Pemilik sepasang mata ini adalah Can Kok Han. Seperti kita ketahui, Can Kok Han masih merasa penasaran sekali melihat pedang di tangan Han Lin. Putera ketua Pek-eng Bu-koan ini ingin sekali mendapatkan pedang itu, maka diapun mencari jejak Han Lin.
Ketika melihat Han Lin dan Leng Si dikeroyok, dia menonton sambil bersembunyi dan hatinya yang sudah diracuni kebencian terhadap Han Lin itu merasa girang melihat Han Lindan Leng Si tertawan Sam Mo-ong. Akan tetapi alangkah kecewanya melihat Mulani datang menolong Han Lin dan terutama sekali melihat Mulani merayu Han Lin, hatinya seperti dibakar rasanya. Perasaan iri hati dan cemburu membakar dirinya, membuat kebenciannya terhadap Han Lin semakin menghebat.
Seorang bijaksana selalu harus waspada terhadap diri sendiri dan selalu ingat bahwa nafsu adalah bisikan setan yang hanya dapat dikalahkan oleh kekuasaan Tuhan. Musuh terbesar berada di dalam hati akal pikiran sendiri yang bergelimang nafsu. Sekali saja pencuri-pencuri berupa bermacam nafsu itu dibiarkan masuk, maka celakalah kita.
Kok Han adalah putera ketua Pek-eng Bu-koan yang selalu menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi sekali nafsu kebencian sudah merasuk hatinya, maka segala macam nilai dan norma kegagahanpun ditinggalkan demi tercapainya balas dendam kebenciannya.
Melihat betapa Mulani menyatakan cintanya kepada Han Lin, dia merasa iri hati sekali karena sejak pertama dia sudah tergila-gila kepada gadis Mongol ini. Melihat kini Mulani menciumi Han Lin dan merayunya, merengek minta dinikahi, hampir dia tidak kuat menahan kemarahan dan kebenciannya terhadap Han Lin. Dia memiliki semacam obat peledak buatan ayahnya. Obat peledak ini mengandung bius dan menurut pesan ayahnya hanya boleh dipergunakan untuk menyelamatkan diri saja kalau sudah terdesak.
Ketika dia berkelahi melawan Tee-kui dan hampir celaka dulu, dia tidak membawa obat peledak ini dan sejak pengalaman itu, dia selalu membekali diri dengan obat peledak itu untuk berjaga diri. Kini, melihat betapa Mulani merangkul Han Lin sambil menangis, tanpa disadarinya lagi tangannya mengambil dua buah obat peledak itu dan dengan cepat dia membanting dua buah bola peledak itu dekat Han Lin dan Mulani.
Terdengar dua kali suara ledakan dan nampak asap mengepul tebal menyelimuti tubuh Han Lin dan Mulani. Kok Han yakin akan hasil senjata rahasianya, maka dia mendekat sambil menutupi hidungnya dengan sapu tangan dan melihat tubuh Mulani menggeletak telentang dalam keadaan pingsan, dia lalu menodong tubuh itu dibawa keluar dari gumpalan asap pembius.
Dia merebahkan tubuh Mulani di atas rumput di dalam hutan kecil seberang jalan itu dan melihat tubuh itu, merasa betapa lembut dan hangat tubuh itu tadi dalam gendongannya, kemudian teringat betapa gadis yang membuatnya tergila-gila ini jatuh cinta kepada Han Lin, pemuda yang dibencinya, maka setan dan iblis merasuki hati Kok Han. Gairah berahi mengguulungnya dan dia tidak mampu bertahan lagi.
Tidak memperdulikan lagi segala akibatnya, dia lalu menanggalkan pakaian Mulani. Terjadilah perbuatan keji yang terkutuk. Kok Han dengan sepenuh hatinya, dengan kasih sayang yang memuncak, menggauli dan memperkosa gadis yang masih dalam keadaan terbius itu. Setelah semuanya berakhir barulah dia sadar akan kejinya perbuatannya dan dia merasa menyesal bukan main. Akan tetapi sesal itu hanya melahirkan pemutaran otak bagaimana agar dia terhindar dari akibatnya.
Segera dia memondong tubuh yang telanjang dari Mulani, kembali ke tempat di mana Han Lin juga rebah dalam keadaan pingsan. Kemudian, dia mengambil pakaian Mulani dan ditaruh berserakan di tempat itu dan diapun menelanjangi Han Lin. Setelah menghapus semua tanda-tanda peledakan dua buah bola peledaknya, Kok Han lalu pergi dengan diam-diam.
Dia telah mengauli Mulani. Biarpun akhirnya Mulani akan menikah dengan Han Lin, namun dia telah mendahului pemuda itu, telah memerawani Mulani. Iblis dalam benaknya tertawa-tawa penuh kegembiraan, menertawakan pemuda yang dibencinya, dan menertawakan gadis yang dicintanya akan tetapi malah mencinta pemuda yang dibencinya itu.
Pengaruh obat bius itu memang hebat. Tidak kurang dari empat jam Mulani dan Han Lin menggeletak pingsan dalam keadaan telanjang bulat. Tadi, sebelum dia pergi, dengan cerdik Kok Han telah menciumkan obat penawar dari sebuah botol kecil dan inilah yang membuat gadis itu lebih dulu siuman, seperti dikehendakinya.
Ketika Mulani sadar, ia menggigil kedinginan akan tetapi ia lalu terbelalak memandang tubuhnya sendiri yang telanjang bulat dan pakaiannya berserakan di sekelilingnya. Kemudian dia menjerit ketika melihat Han Lin menggeletak tak jauh dari situ dalam keadaan telanjang bulat pula.
Mendengar jerit tangis Mulani menyadarkan Han Lin. Dia membuka matanya dan diapun terkejut setengah mati melihat dirinya telanjang bulat, demikian pula diri Mulani menangis sesenggukan. Dia cepat mengenakan pakaiannya kembali dan sambil membelakangi Mulani dia berkata, “Mulani, kenakan pakaianmu, baru kita bicara.”
Suaranya gemetar penuh kegelisahan. Apa yang dilihatnya tadi membuatnya mengingat-ingat. Bagaimana mungkin dia dapat bertelanjang bulat bersama Mulani di tempat itu? Dia teringat betapa tadinya Mulani menangis di pundaknya, minta diambil sebagai isteri, kemudian terdengar ledakan, asap tebal dan diapun tidak ingat apa-apa lagi. Bagaimana tahu-tahu mereka bertelanjang bulat bersama?
Mulani masih terisak ketika ia mengenakan pakaiannya, kemudian berkata, “Han Lin, tidak kusangka engkau akan sekejam itu kepadaku. Yang kukehendaki bukan begini, akan tetapi kita menikah dengan resmi, baru kita menjadi suami isteri....” Gadis itu menangis lagi. “Akan tetapi aku... kau... ahh, kau telah menodaiku...”
Han Lin terbelalak. “Mulani! Apa kau kata? Aku... aku tidak melakukan kekejian itu. Aku pingsan dan baru saja aku siuman!”
“Han Lin, apakah salah dugaanku bahwa engkau seorang jantan yang suka mempertanggungjawabkan perbuatanmu? Apakah engkau hanya seorang pengecut yang mempergunakan kesempatan kemudian tidak mau mengakui?”
“Tapi... tapi... aku tidak mengerti, Mulani.”
“Han Lin, aku siuman dan mendapatkan diriku telanjang bulat dan sudah ternoda. Dan engkau... engkau rebah di sini, juga telanjang bulat. Harus lebih kujelaskan lagikah? Engkau tidak mau bertanggung-jawab? Bagaimana kalau seluruh dunia kangouw mendengar akan perbuatanmu ini?”
Mulani masih menangis dan Han Lin tertegun. Dia percaya kepada Mulani. Jelas bahwa Mulani diperkosoa orang selagi pingsan seperti dia, akan tetapi siapa yang melakukannya, di luar kesadarannya? Rasanya tak mungkin. Akan tetapi siapa mau percaya kalau mendengar keadaan mereka berdua bertelanjang di tempat itu? Apakah pembius itu mengandung obat perangsang yang membuat dia lupa diri dan menggauli Mulani?
Melihat pemuda itu terlongong saja, Mulani menjerit dan menangis tersedu-sedu. “Han Lin... engkau.. engkau tidak mau bertanggung jawab? Aku lebih baik mati, biar kubunuh diri di depanmu?” Gadis itu lalu menyambar pedangnya. Han Lin melompat dan merampas pedang itu.
“Mulani, jangan berbuat bodoh. Tentu saja aku bertanggung jawab, kalau memang aku yang melakukan perbuatan itu.”
“Kalau benar melakukan perbuatan itu? Habis siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini dan orang-orang pembantu ayahku tidak mungkin berani melakukannya. Engkaulah pelakunya, kau sadari atau tidak. Engkaulah!”
“Baiklah, Mulani. Aku seorang laki-laki, kalau memang demikian halnya, tentu saja aku berani bertanggung jawab. Aku akan menikahimu.”
“Sekarang juga, Han Lin. Mari kuhadapkan engkau kepada ayahku agar pernikahan kita dapat segera dilangsungkan.”
Karena tidak berdaya dan tidak dapat menuduh siapa yang melakukan perbuatan itu selain dia sendiri, terpaksa Han Lin menurut dan bersama Mulani dia melakukan perjalanan cepat ke utara, menunggang kuda.
* * * * * * *
Ku Ma Khan tentu saja girang sekali menerima kedatangan puterinya yang menggandeng seorang pemuda tampan gagah yang diperkenalkannya sebagai Han Lin, kekasihnya yang sudah dipilihnya untuk menjadi suaminya. Seluruh keluarga itu bergembira, terutama Ku Ma Khan yang mengira bahwa puterinya telah berhasil dengan siasat mereka yang mereka rencanakan, yaitu membujuk Han Lin agar menjadi suami Mulani dan kemudian orang muda itu dapat dijadikan mata-mata setelah memperoleh hadia kedudukan di kota raja.
Atas desakan Mulani dan juga atas persetujuan Han Lin yang tidak dapat berbuat atau bicara banyak, pernikahan itu dilangsungkan, tanpa menanti kembalinya Sam Mo-ong yang sedang melaksanakan tugas lain, yaitu menghubungi Kiu Thai-kam di istana Kerajaan Tang. Mulani yang mendesak agar tidak usah menanti mereka...
Selanjutnya,