Pedang Awan Merah
Jilid 10
SETELAH asap menghilang, Kian Bu melihat Thian-kui sudah roboh terlentang, dan Kok Han menghampirinya dengan pedang di tangan, agaknya siap untuk membunuhnya. Sebetulnya melihat ini, Kian Bu merasa tidak senang. Kemenangan pemuda itu adalah kemenangan curang, apa lagi kini pemuda itu hendak membunuh musuhnya yang sudah pingsan, perbuatan yang sama sekali tidak dapat dibilang gagah.
Akan tetapi pada saat itu, seorang yang pendek kurus, mengeluarkan teriakan melengking dan sudah menerjang kepada Kok Han dengan sepasang goloknya. Dia adalah Tee-kui yang hampir saja terlambat menolong kakaknya.
“Bocah sombong dan curang, rasakan tajamnya golokku!” Tee-kui menyerang dengan dahsyat sehingga repot Kok Han harus memutar pedangnya untuk menangkis.
Kini dia tidak sempat lagi untuk menyerang dengan bahan peledak karena Tee-kui sudah mengetahui akan kelihaian senjata rahasia itu, maka tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menjauhkan diri. Sepasang goloknya berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengurung Kok Han sehingga pemuda ini terdesak hebat.
Melihat keadaan itu, Kian Bu tidak dapat tinggall diam saja. Tidak bisa dia melihat pemuda baju putih itu terbunuh oleh Tee-kui yang demikian tangguh. Dia melompat cepat sambil mencabut pedangnya dan menyerang Tee-kui dari samping. Mendengar suara pedang berdesing menyerangnya, Tee-kui terkejut dan ketika dia menangkis dengan golok kirinya, dia merasa betapa tangan kirinya tergetar hebat, tanda bahwa penyerangnya memiliki tenaga sin-kang yang tangguh.
Hal ini membuat dia menjadi jerih karena harus menghadapi pengeroyokan dua orang, maka dia mengeluarkan gerengan dahsyat dan sepasang goloknya menyerang sedemikian hebatnya sehingga Kok Han dan Kian Bu terpaksa melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar golok. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tee-kui untuk meloncat ke dekat rekannya dan dia memondong tubuh Thian-kui yang masih pingsan itu, lalu meloncat jauh untuk melarikan diri.
Kok Han memandang kepada Kian Bu. Dasar dia seorang yang congkak, apa lagi setelah dia berhasil merobohkan Thian-kui, maka dia tidak merasa akan kelemahan diri sendiri, tidak maun mengerti bahwa sebenarnya dia tadi terancam bahaya di tangan Tee-kui. Dengan muka cemberut dia bukan berterima kasih kepada Kian Bu, malah menegur, “Siapa minta engkau membantuku?”
Tentu saja Kian Bu mendongkol bukan main. Kalau dia tidak menyabarkan hatinya, tentu sudah diserangnya pemuda baju putih itu. Melihat sikap congkak itu, dia memutar tubuh hendak meninggalkan begitu saja.
Pada saat itu terdengar seruan wanita, “Ah, engkau kiranya pemilik bahan peledak yang mengandung racun pembius itu, Kok Han?”
Kok Han menoleh dan melihat munculnya Mulani, dia terkejut bukan main. “Apa... apa maksudmu, Mulani?” tanyanya dan nampak olehnya betapa cantiknya gadis Mongol itu.
“Jadi, dahulu yang meledakkan racun pembius sehingga aku dan Sia Han Lin menjadi pingsan adalah engkau? Mengakulah, karena peledaknya sama benar dengan yang kau lepaskan untuk merobohkan Thian-kui tadi.”
Kok Han menggigit bibirnya. Dia tidak dapat mengelak lagi. “Benar, Mulani. Panas hatiku melihat engkau dengan Han Lin... karena aku cinta padamu...”
“Jadi engkau... engkau yang melakukan... terhadap diriku...”
Kok Han adalah seorang yang biasanya melakukan kegagahan, menganggap diri sebagai pendekar, hanya cinta dan cemburu telah meracuninya. Kini dia merasa bahwa dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Mulani. “Terus terang saja, Mulani, aku tidak ingin engkau menjadi isteri Sia Han Lin...”
Tiba-tiba Mulani tersenyum manis dan mendekati Kok Han. “Kalau begitu, engkaulah suamiku yang sesungguhnya. Apakah engkau cinta benar kepadaku, Kok Han?”
Bukan main girangnya hati Kok Han. “Kalau tidak mencinta padamu, untuk apa aku melakukan semua itu, Mulani? Aku cinta padamu, aku tergila-gila pada...”
Tiba-tiba saja ucapan Kok Han itu terhenti, matanya terbelalak, mulutnya terbuka lebar dan saat itu Mulani sudah melompat ke belakang.
“Mulani, kau... kau...!”
Pada saat itu, terdengar bentakan melengking, “Perempuan iblis, engkau bunuh kakakku?” dan sebuah benda meledak dekat Mulani yang tidak sempat menghindar sehingga ia terbatuk-batuk dan terhuyung-huyung dan pada saat itu, Bi Lan sudah menyerangnya dengan sebatang pedang. Ia tidak mampu menghindar lagi dan lambungnya tertembus pedang sehingga ia roboh mandi darah, tak jauh dari tubuh Kok Han yang dadanya tertembus pedang yang ditusukkan Mulani.
Setelah asap membuyar, Bi Lan berlutut dekat tubuh kakaknya. “Han-ko, Han-ko... engkau tidak apa-apa...?”
“Lan-moi, ah, kenapa engkau lakukan itu? Mulani... tidak... berdosa... aku yang bersalah... aku telah memperkosanya selagi ia pingsan... aku... ahh...” ia terkulai dan tewas.
Sementara itu, mendengar betapa tadi wanita itu menyebut nama Sia Han Lin, kakak misannya, Kian Bu juga sudah melompat dekat dan berlutut di dekat tubuh Mulani yang sekarat. “Nona, aku adalah anggauta keluarga dari Sia Han Lin. Ada urusan apa dengan dia dan di mana dia sekarang?”
Mulani membuka matanya, “...katakan kepada Han Lin, aku... aku minta maaf, dia tidak bersalah, dia bukan pelakunya, pelakunya adalah Can Kok Han... ahh, dia... dia boleh bebas sekarang... katakan aku... aku cinta padanya...” dan Mulani juga terkulai, tewas.
Kian Bu dan Bi Lan saling pandang, tidak saling mengenal, akan tetapi Bi Lan dapat mendengar percakapan antara Kian Bu dan Mulani.
“Aku... menyesal sekali telah membunuh Mulani... melihat kakakku dibunuhnya...”
Mendadak datang serombongan orang yang berpakaian seperti orang asing, jumlah mereka dua puluh orang lebih. Kian Bu sudah melompat bangun dan siap siaga menjaga segala kemungkinan, demikian pula Bi Lan. Akan tetapi orang-orang itu tidak menggangu mereka, hanya mengangkat jenazah Mulani dan pergi dengan cepat dari tempat itu dan terdengar suara mereka menangis.
Biarpun menjadi saksi utama dari serangkaian peristiwa tadi, Kian Bu dapat menduga bahwa Bi Lan bukanlah orang jahat. Kalau gadis ini tadi membunuh si wanita, adalah karena ia melihat kakaknya terbunuh dan dia tidak dapat menyalahkannya. Dia merasa kasihan juga melihat gadis itu menangis tanpa suara.
“Nona, mari kubantu engkau mengurus jenazah kakakmu ini,” katanya dan ketika dia mengangkat jenazah itu, si gadis tidak mencegah dan memandang kepadanya berterima kasih. Dara ini tadi juga mendengar pengakuan pemuda ini sebagai saudara misan Han Lin. Mereka berdua lalu pergi ke luat kota membawa jenazah itu.
Bi Lan menangis di depan makam yang baru itu. Makam yang sederhana sekali, di lereng sebuah bukit di luar kota Souw-ciu. Kian Bu juga berada di situ, dan orang muda itu membiarkan saja Bi Lan menangisi kematian kakaknya. Setelah tangis Bi Lan mereda, gaids itu meboleh dan agaknya baru teringat bahwa di situ ada orang lain.
“Maafkan aku. Betapa hatiku tidak akan sedih melihat kakak dibunuh orang dan bagaimana aku kelak harus memberitahukan ayah ibu?”
“Wajar saja kalau engkau bersedih, nona. Akupun ikut bersedih menyaksikan itu semua. Akan tetapi apa artinya semua ini? Bukan aku ingin mengetahui urusan orang lain, akan tetapi karena di sini agaknya tersangkut saudaraku Han Lin, aku jadi ingin sekali mengetahuinya.”
“Aku sendiri juga tidak tahu. Tadi melihat betapa kakakku dibunuh secara curang oleh wanita itu, tentu aku tidak dapat menerimanya dan aku menggunakan obat peledak untuk membunuhnya. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya mendengar pengakuan kakakku tadi, ahh, sungguh sukar untuk dipercaya bahwa dia telah memperkosa wanita itu. Sekarang tidak ada lagi yang dapat ditanya karena keduanya telah meninggal dunia, ahh, aku menyesal sekali...”
“Kurasa kita masih dapat menanyakan kepada seseorang...”
“Maksudmu, Lin-koko?”
“Eh, nona, apakah engkau juga mengenal Sia Han Lin?”
“Mengenal? Dia adalah seorang sahabat baikku!” kata BI Lan penuh semangat dan mukanya berubah kemerahan. “Tadi aku mendengar bahwa engkau adalah saudara...”
“Maksudku, bukan aku, melainkan ibuku yang masih enci dari ibu kakak Sia Han Lin.”
“Ah, begitukah? Kalau begitu aku harus memperkenalkan diri padamu. Aku bernama Can Bi Lan dan yang meninggal ini kakakkku bernama Can Kok Han. Kami adalah anak-anak dari ketua Pek-eng Bu-koan.”
“Nona Bi Lan, aku bernama Souw Kian Bu. Tahukah engkau di mana adanya kakak Sia Han Lin sekarang?”
“Aku tidak tahu, sudah beberapa pekan kami berpisah dan aku sedang hendak pulang ketika lewat di sini dan melihat peristiwa tadi. Aku sekarang harus cepat pulang untuk mengabarkan kepada ayah ibuku.” Ia memandang kepada gundukan tanah dan kembali matanya menjadi basah. “Ketika aku bertemu dengan Lin-koko, dia sedang hendak menuju ke Souw-ciu. Karena itu ketika aku tidak menemukan jejak kakakku di utara, akupun menuju ke Souw-ciu dengan harapan dapat bertemu dengan Lik-koko, tidak tahunya aku malah bertemu dengan kakakku. Pada waktu aku bertemu dengannya, dia melakukan perjalanan bersama Kwan Im Sianli Lie Cin Mei.”
Kian Bu melihat betapa ketika menyebutkan nama Kwan Im Sianli, wajah gadis itu menjadi muram dan pandang matanya membayangkan kekeruhan, tanda bahwa ia tidak senang dengan wanita itu. Cemburu! Apa lagi kalau bukan cemburu? Diapun sudah dapat mendengar nama Kwan Im Sianli yang kabarnya selain tinggi ilmu silatnya dan pandai mengobati orang, juga cantik jelita dan masih belum menikah.
“Ah, kalau begitu aku akan pergi ke Souw-ciu. Barangkali saja aku akan dapat bertemu dengan dia di sana,” kata Kian Bu.
“Baiklah, saudara Souw Kian Bu, selamat berpisah, aku hendak pulang melapor kepada orang tuaku. Tolong sampaikan salamku kepada Lin-koko kalau engkau bertemu dengan dia, dan sekali lagi aku mintakan maaf kalau mendiang kakakku bersalah kepadanya.”
Mereka berpisah dan Souw Kian Bu cepat-cepat pergi memasuki kota Souw-ciu lagi. Akan tetapi kalau saja dia datang lima hari yang lalu, tentu dia dapat bertemu dengan Han Lin. Dia sudah terlambat dan setelah selama beberapa hari menanti dan mencari-cari tanpa hasil, diapun meninggalkan kota itu. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Wu-han, ke rumah orang tuanya yang membuka toko kain di kota itu. Urusan dengan isterinya itu sebaiknya dia mintakan pendapat atau nasihat ayah ibunya agar hatinya tidak menderita seperti sekarang in.
Semenjak meninggalkan isterinya, hidupnya terasa hampa tidak ada artinya. Setiap saat yang dirasakan hanyalah kesepian, duka dan penyesalan. Akan tetapi bagaimana mungkia dia dapat pulang kepada isterinya? Bayangan Gu San Ki selalu nampak di depan matanya. Tidak, dia tidak akan kembali kepada isterinya. Biar dia menderita kalau perlu sampai mati. Dia tidak akan kembali kepada isterinya, seperti seorang pengemis, mengemis cinta.
Betapapun dia mencinta isterinya, kalau isterinya mencinta orang lain, untuk apa dia merendahkan diri? Pikiran ini, biarpun terasa menyedihkan, namun memberinya semangat untuk membusungkan dada, mendatangkan harga diri dan keangkuhan, dan mungkin menjadi penunjang hidupnya agar dia tidak putus asa.
Pemuda itu memang ganteng dan menarik perhatian orang ketika dia memasuki rumah makan itu. Akan tetapi pemuda yang tinggi tegap dan berpembawaan gagah itu tidak mempergulikan pandangan orang, dia melangkah dengan tegap dan mencari meja yang masih kosong. Akan tetapi semua meja sudah penuh, bahkan setiap meja sudah penuh, bahkan setiap meja sudah dikelilingi tiga atau empat orang. Kecuali sebuah meja di sudut yang hanya dihadapi seorang wanita saja. Wanita cantik berpakaian serba hijau.
Pemuda itu dengan langkah tegap menghampiri meja itu dan mengangkat kedua tangan di depan dada. “Mohon maaf, nona. Karena tempat ini sudah penuh sekali, kalau sekiranya nona tidak keberatan dan menaruh kasihan kepada seorang yang sudah hampir kelaparan, bolehkan aku menumpang duduk di sini untuk makan?”
Wanita itu mengangkat mukanya memandang. Mula-mula alisnya berkerut karena dianggapnya pria itu tidak sopan dan terlalu lancang berni minta menumpang duduk bersamanya satu meja, padahal sama sekali belum mengenalnya. Akan tetapi ketika melihat laki-laki yang gagah itu, yang wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kekurang ajaran, bahkan sepasang mata itu memandang jujur, ia tidak menjadi marah.
“Boleh saja, ini memang tempat untuk umum, bukan?” kata wanita itu dengan dingin dan ia tidak memandang lagi.
“Terima kasih. Nona ternyata bijaksana dan berbudi baik sekali,” kata pria itu yang lalu duduk di seberang. Seorang pelayan menghampiri dan pemuda itu berkata, “Aku memesan makanan dan minuman, dan karena kami semeja, maka pesananku sama dengan apa yang dipesan oleh nona ini.”
Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa ia memperhatikan atau mengambil perduli. Dan pemuda itupun tidak berani bicara lagi karena melihat sikap orang seolah tidak ingin diajak bicara. Dia hanya memandang dengan sopan, tidak langsung.
Ternyata wanita itu memang cantik jelita. Usianya nampak baru sekitar dua puluh tahun walaupun kalau melihat sikapnya tentu sudah lebih banyak lagi. Wajahnya bulat telur, dan kulit mukanya putih kemerahan. Sepasang matanya tajam dan indah seperti mata burung Hong. Rambutnya hitam panjang sampai ke pinggul diikat pita kuning. Hidungnya mancung, dan mulutnya menantang dengan bibir merah basah. Dagunya runcing, ada tahi lalat di dagu itu. Alisnya kecil panjang melengkung. Tubuhnya padat, ramping dengan lekuk lengkung sempurna.
Sungguh seorang wanita cantik sekali, dan pakaiannya juga dari sutera mahal. Ketika duduk di depan wanita itu, ada bau semerbak harum datang dari wanita itu. Diam-diam pemuda itu kagum, sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal sekali, yaitu Jeng I Sianli (Dewi Baju Hijau) Cu Leng Si! Pendekar wanita berhati baja yang menjadi murid pendeta wanita sakti Wi Wi Siankouw.
Sementara itu, dari sudut matanya, beberapa kali Leng Si memperhatikan pemuda itu. Tinggi tegap gagah. Usianya paling tidak tentu sudah dua puluh lima tahun. Wajahnya jantan, hidungnya besar mancung dan dagunya berlekuk. Mata itu tajam akan tetapi menyinarkan kejujuran dan pedang di punggungnya menunjukkan bahwa dia juga seorang ahli silat. Leng Si tidak pernah mimpi bahwa dia berhadapan dengan Gu San Ki, murid dari Pek Mau Siankouw bibi gurunya sendiri karena Pek Mau Siankouw adalah sumoi (adik seperguruan) Wi Wi Siankouw.
Mereka memang tidak pernah saling jumpa, seperti juga guru mereka yang tidak pernah saling jumpa atau berhubungan. Makanan yang dipesan Leng Si datang lebih dulu. Sebelum makan, ia hanya mengangguk kepada San Ki. Pemuda inipun hanya mengangguk dan membuang muka agar jangan kelihatan bahwa dia memandangi orang yang sedang makan.
Akan tetapi mendengar wanita itu makan, mau tidak mau jakunnya naik turun karena beberapa kali dia menelan ludah. Perutnya sudah lapar, tenggorokannya sudah haus. Dan Leng Si juga mengetahui hal ini, akan tetapi ia hanya melanjutkan makan sambil mulutnya mengembang ke arah senyum ditahan. Setelah makanan untuk San Ki datang, makanan yang sama, diapun mengangguk kepada Leng Si dan mulailah dia makan dengan lahapnya.
Melihat ini, Leng Si merasa geli. “Lahap benar makanmu,” tegurnya.
San Ki hampir tersedak. Dia cepat minum untuk mendorong makanan yang mengganjal di tenggorokannya dan mukanya berubah merah oleh teguran teman semeja yang tidak dikenalnya itu. “Ah, maafkan aku, nona. Sejak kemarin aku belum sempat makan.”
Mereka melanjutkan makan dan tidak bicara lagi. Akan tetapi keduanya maklmu bahwa di meja sebelah, seorang berpakaian sebagai opsir pasukan bersama tiga orang perajuritnya sedang makan minum pula. Dan mereka itu seperti orang berpesta saja. Makanan termahal dipesannya, dan mereka sudah banyak minum arak sehingga dari kepala yang bergoyang-goyang itu dapat diketahui bahwa mereka tentulah sudah setengah mabok.
Empat orang yang setengah mabok itu nampak berbisik-bisik, akan tetapi baik Leng Si maupun San Ki yang memiliki pendengaran terlatih dan tajam dapat menangkap perintah opsir itu kepada bawahannya untuk mengundang “gadis cantik berbaju hijau” itu untuk makan bersama di mejanya. Akan tetapi mereka berpura-pura tidak mendengar saja dan melanjutkan makan minum dengan tenang.
Seorang di antara perajurit itu kini bangkit berdiri dan dengan langkah yang gontai menghampiri meja Leng Si. “Nona, kapten kami minta kepada nona untuk makan bersamanya di meja sana, dan biarlah saya yang menemani saudara ini makan minum.”
Kalau menuruti wataknya, Leng Si tentu sudah mengamuk. Akan tetapi karena di mehannya duduk pemuda itu, ia menahan dirin dan cawan tehnya yang masih setengah itu tiba-tiba ia siramkan kepada perajurit itu. Biarpun hanya air teh, akan tetapi karena yang menyiramkan adalah Jeng I Sianli yang melakukannya dengan tenaga sin-kang, maka perajurit itu merasa seperti wajahnya ditusuk-tusuk jarum.
Dia berteriak dan terhuyung ke belakang sambil menutupi muka dengan kedua tanannya karena matanya tidak dapat dibukanya. Pedas dan perih rasanya. Kapten itu bangkit berdiri dan marah sekali. “Berani engkau memukul perajuritku?”
Leng Si sudah menyambar poci tehnya, akan tetapi sebuah tangan yang lembut namun kuat sekali telah menangkap tangannya dan ketika dengan marah ia memandang ke depannya, pemuda itu menggeleng kepala dan berkata lirih, “Nona, poci teh ini akan dapat membunuhnya. Tidak baik membunuh perajurit, apa lagi seorang kapten.”
Leng Su teringat, lalu tangannya memegang sumpit, dengan cepat disumpitnya sepotong bakso. Pada saat itu, sang perwira sdah memerintahkan dua orang perajuritnya yang lain.
“Tangkap wanita itu, Tang...” belum habis dia bicara, sepotong bakso meluncur bagaikan peluru dan tepat memasuki mulutnya yang sedang erbuka dan bakso itu terus menyelonong ke dalam kerongkongannya. Dua bakso lain menyambar ke arah muka dua orang perajurit. Yang seorang terkena mata kirinya sehingga mata itu menjadi hitam, dan seorang lagi terkena hidungnya dan bocorlah hidung itu keluar darahnya.
Biarpun mereka sendiri kesakitan, melihat atasan mereka terbatuk-batuk karena ada bakso mengganjal kerongkongan, dua orang itu menolongnya dan menepuk-nepuk punggungnya sampai akhirnya bakso itu dapat tertelan. Tentu saja perwira itu marah bukan main. Dia lari keluar diikuti tiga orang perajuritnya dan di luar dia berteriak-teriak memanggil pasukannya yang terdiri dari tiga losing orang yang segera berlari-lari menghampiri kapten mereka yang memanggil mereka.
“Tangkap perempuan setan itu! Tangkap! Cepat!”
“Nona, sebaiknya kita keluar. Tidak baik kalau ribut di sini merusakkan prabot rumah makan.” San Ki berkata lembut.
Dan sungguh aneh sekali, tidak biasanya Leng Si yang berhati baja itu mau menurut kata-kata orang. Akan tetapi sekarang, untuk kedua kalinya iapun mengangguk dan mereka berdua melangkah keluar dengan tenangnya. Sampai di luar, mereka dihadapi oleh puluhan orang perajurit yang sudah mencabut golok. Akan tetapi tiga losin perajurit itu tentu saja merasa ragu. Mereka disuruh mengeroyok seorang gadis yang demikian cantik?
“Tangkap perempuan setan itu!” kembali si perwira berseru sambil menundingkan telunjuknya ke arah leng Si. Kini tidak ragu lagi para perajurit itu dan mereka berbondong seperti hendak berlumba menghampiri Leng Si dengan golok di tangan untuk menakut-nakuti. Mereka lebih senang kalau disuruh menangkap hidup-hidup, ada kesempatan bagi mereka untuk memeluk dan menggerayangi tubuh yang denok itu.
Akan tetapi begitu mereka dekat, Leng Si menggerakkan kaki tangannya dan robohlah empat orang yang berada paling depan. Semua orang yang berada paling depan. Semua orang yang menjadi kaget dan marah, dan kini mereka menyerang dengan golok merka. Leng Si mengamuk, dengan tangan kosong saja karena ia memandang rendah pada pengeroyoknya.
Melihat gadis itu dikeroyok begitu banyak orang, San Ki memandang penuh perhatian dan terkejutlah dia. Tentu saja dia mengenal gerakan wanita itu. Itulah jurus kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) yang amat dikenalnya karena itu merupakan suatu jurus ampuh dari perguruannya untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang yang bersenjata golok atau pedang!
Karena wanita itu menggunakan jurus dari perguruannya ini, timbullah rasa akrab di hati San Ki dan diapun terjun ke dalam pertempuran, juga menggunakan jurus yang sama menghadapi para perajurit yang bergolok itu. Gerakan mereka persis sama. Bahkan cara memutar tubuh menendang dengan kedua kaki bergantian dan sekaligus merobohkan lima enam orang juga tidak berbeda.
Leng Si juga melihat ini dan iapun tertegun. Jelas bahwa pria itu menggunakan ilmu silat yang sama dengan ilmu silatnya. Ia sengaja mengubah jurus-jurusnya dan semua jurusnya ditiru oleh pria itu dengan sempurna! Leng Si bergerak mendekati pria itu. Para pengeroyok mulai jeri akan tetapi karena jumlah mereka banyak, mereka masih mengepung dengan mengamang-amankan golok. Kesempatan selagi mereka tidak menyerang itu dipergunakan Leng Si untuk bicara.
“Sobat, engkau tentu murid bibi guru Pek Mau Siankouw, bukan?”
“Dan engkau tentu murid bibi guru Wi Wi Siankouw!”
“Benar, mari kita hajar mereka ini!”
“Akan tetapi jangan membunuh perajurit, bisa gawat!” San Ki memperingatkan.
Mereka lalu mencabut senjata masing-masing. Biarpun tanpa senjata, mereka dapat menandingi pengeroyokan tiga puluh lebih orang itu, akan tetapi bagaimanapun juga menghadapi banyak orang yang memegang senjata dapat berbahaya bagi mereka. Setelah kini mereka memegang pedang, maka dengan mudah mereka dapat membabati golok mereka sehingga banyak golok beterbangan atau patah-patah.
Dua orang itu, setelah mengetahui keadaan masing-masing sebagai saudara seperguruan, menjadi semakin gembira dan bersemangat. Dalam waktu kurang dari seperempat jam, semua golok sudah dapat mereka patahkan atau terbangkan.
Mendadak sebuah kereta berhenti dekat situ dan terdengar suara dari dalam kereta, “Berhenti, jangan serang lagi!”
Semua perajurit menengok dan ketika melihat siapa orangnya yang memberi aba-aba, mereka lalu mundur dengan memegang golok buntung atau bahkan sudah tidak memegang senjata lagi. Mereka bahkan mereasa lega disuruh berhenti menyerang karena mereka memang sudah merasa jerih sekali terhadap kedua orang itu. Para penonton yang menyingkir jauh-jauh juga merasa kagum abhwa dua orang dapat memorak-porandakan tiga losin perajurit.
Leng Si dan San Ki sudah menyimpan kembali pedang mereka dan kini mereka memandang pria yang berdiri di ambang pintu keretanya itu. Seorang pembesar dengan pakaian kebesarannya yang gemerlapan, dijaga oleh selosin pengawal yang kelihatannya kuat dan angker. Pembesar itu tinggi kurus, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan nampak wajahnya cerah dan dia tersenyum sambil memandang kagum.
Dengan sikap bersahabat, pembesar itu mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Leng Si dan San Ki! Dua orang ini tentu saja merasa heran dan cepat merekapun balas memberi hormat. Aneh rasanya pembesar yang kelihatannya berkedudukan tinggi itu memberi hormat lebih dahulu kepada mereka.
“Taihiap dan lihiap, harap maafkan pasukan yang berlaku keras dan lancang terhadap ji-wi (kalian berdua). Sebetulnya, apakah yang menyebabkan dua orang pendekar seperti ji-wi sampai ribut dengan pasukan ini?”
Karena Leng Si nampaknya segan menjawab, San Ki yang mewakilinya menjawab, “Bukan kesalahan kami, taijin. Ketika kami sedang makan di rumah makan, ada seorang perwira hendak memaksa adik saya ini untuk menemaninya makan. Adik saya menolak dan terjadilah pengeroyokan ini.”
Pembesar itu kelihatan marah sekali dan dia menoleh ke arah pesukan. “Perwira mana yang melakukan kekurang ajaran itu? Hayo cepat maju ke sini!”
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar perwira yang dijejali bakso oleh Leng Si tadi maju, diikuti oleh tiga orang perajuritnya. Mereka menghadap pemberas itu dan sang perwira memberi hormat diikuti tiga anak buahnya.
“Harap maafkan kami berempat, taijin. Kami tadinya hanya bermaksud main-main saja.”
“Keparat! Main-main dengan seorang pendekar wanita? Hayo kalian minta maaf kepada mereka dan siap menerima hukuman cambuk masing-masing dua puluh kali!”
Perwira itu lalu menghampiri Leng Si dan San Ki, memberi hormat dan berkata, “Harap maafkan kami, taihiap dan lihiap, kami mengaku bersalah.”
Leng Si hanya mendengus saja dan San Ki berkata, “Sudahlah, harap saja lain kali jangan suka menggangu orang.”
Pembesar itu lalu berkata kepada pengawalnya. “Gusur mereka dan beri cambukan dua puluh kali!”
Empat orang itu lalu dibawa pergi oleh pasukan pengawal. Pembesar itu lalu berkata kepada San Ki dan Leng Si. “Harap ji-wi ketahui bahwa kami adalah Gubernur Coan dari Nan-yang. Kami sangat menghargai orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan melihat kegagahan ji-wi, kami merasa kagum bukan main. Oleh karena itu, kami mengundang ji-wi untuk naik kereta ini dan bersama kami datang berkunjung untuk bertukar pikiran.”
Sebetulnya kedua orang itu merasa tidak senang untuk berkenalan dengan seorang pembesar tinggi, akan tetapi karena Gubernur Coan itu dengan hormat mengundang mereka, maka merekapun merasa tidak enak kalau menolak. Kini Leng Si yang bicara, suaranya hormat akan tetapi tegas.
“Banyak terima kasih atas undangan taijin. Akan tetapi kami masih ada urusan, oleh karena itu harap paduka pulang dulu dan lain hari kamu berdua akan datang menghadap.”
Gubernur Coan menghela napas panjang, lalu mengangguk-angguk. Agaknya dia sudah mengenal watak yang aneh-aneh dari para pendekar. “Baiklah, lihiap. Kunjungan ji-wi selalu kunantikan.” Dia lalu memasuki kembali keretanya dan berjalanlah kereta itu meninggalkan Leng Si dan San Ki. Para penonton pada bubaran dan peristiwa itu menjadi bahan cerita mereka sampai berbulan-bulan.
“Sungguh pertemuan kita ini luar biasa sekali!” kata San Ki kepada Leng Si ketika mereka memasuki kembali rumah makan itu untuk bercakap-cakap tanpa gangguan.
Leng Si tersenyum memandang wajah yang jantan itu. “Gara-gara keceriwisanmu maka kita dapat bertemu dan bersama-sama menghadapi pengeroyokan pasukan dan bahkan menemukan kenyataan bahwa kita saudara seperguruan.” Berkata demikian itu Leng Si sambil tersenyum dan tidak nampak marah.
“Ceriwis? Aku ceriwis? Aih, kenapa? Karena semua meja penuh dan engkau makan seorang diri, dan akupun sudah minta ijin kepadamu dan engkau sudah memperbolehkan dan...”
“Sudahlah. Bagaimanapun juga, hal itu menguntungkan, bukan. Kalau tidak begitu, kita tidak akan saling mengenal. Akupun baru mendengar namanya saja gurumu yang bernama Pek Mau Siankouw itu, mendengar dari subo. Siapa sih namamu?”
“Ah, aku lupa belum memperkenalkan diri. Namaku Gu San Ki, yatim piatu dan sebatang kara maka aku diangkat murid oleh subo dan dianggap seperti anak sendiri. Dan siapakah namamu, sumoi?”
“Orang kang-ouw menyebut aku Jeng I Sianli, namaku Cu Leng Si.”
San Ki nampak terkejut. “Ahh, jadi yang disebut Jeng I Sianli itu adalah engkau? Pantas...! Namamu terkenal sekali, sumoi, dan aku sungguh kagum kepadamu.”
“Ki-suheng, sekarang engkau tinggal di mana, dan engkau datang dari mana hendak ke mana?”
“Aku masih tinggal bersama subo. Subo sudah tua dan tidak ada yang mengurusnya. Tadinya ada sumoi Ji Kiang Bwe yang mengurus subo, akan tetapi setelah sumoi kembali kepada orang tuanya, apa lagi sekarang telah menikah, maka terpaksa akulah yang menjaga dan merawat subo. Aku sedang dalam perjalanan mencari suami dari sumoi yang... pergi merantau.”
“Dan isterimu? Sudah berapa orang puteramu, suheng?”
San Ki menghela napas panjang. “Aku belum menikah, sumoi. Siapa sih yang mau menjadi isteri seorang melarat seperti aku ini? Oya, dan engkau sendiri, sumoi? Di mana engkau tinggal dan dengan siapa? Ke mana engkau hendak pergi?”
“Aku mempunyai tempat tinggal di lereng Taihang-san, tinggal seorang diri saja bersama beberapa orang pengikut dan pembantu rumah. Aku belum berkeluarga pula, suheng. Aku sedang merantau meluaskan pengalaman. Juga... aku sedang berusaha untuk membebaskan ayahku yang ditahan oleh Kaisar.”
“Ahh? Kenapa, dan di mana ayahmu?”
“Ayahku bernama Cu Kiat Hin dan dia menjadi pejabat bagian perpustakaan istana. Karena dia berani menentang seorang thaikam penjilat Kaisar yang korup, maka dia difitnah oleh thaikam itu dan ditangkap.”
“Hemm, kalau begitu mari kita berdua datangi thaikam itu dan memberi hajaran kepadanya, memaksa padanya untuk membebaskan ayahmu!” kata San Ki penuh semangat.
Hangat rasa hati Leng Si melihat sikap San Ki yang membela itu. “Terima kaish, suheng. Akan tetapi sekarang ada seseorang yang sedang pergi kepada Kaisar dan akan menyelamatkan ayahku.”
“Siapa dia?”
“Namanya Sia Han Lin. Dialah yang menemukan Ang-in-po-kiam dari istana dan dia akan menyerahkan kembali pedang itu kepada Kaisar yang sudah menjanjikan hadiah besar kepada siapa yang menemukan pedang itu. Nah, Sia Han Lin itu kini ditemani sumoiku untuk menghadap Kaisar dan mintakan ampun untuk ayahku.”
“Sumoimu?”
“Subo mempunyai seorang puteri yang bernama Lie Cin Mei, berjuluk Kwan Im Sianli. Ialah sumoiku.”
“Ah, aku sudah mendengar tentang Kwan Im Sianli. Bukankah yang memiliki kepandaian mengobati? Kiranya ia puteri bibi guru Wi Wi Siankouw? Subo pernah bercerita bahwa bibi guru mempunyai anak perempuan, akan tetapi subo sendiri tidak tahu namanya. Jadi ia bersama... siapa tadi, Sia Han Lin, kini pergi ke kota raja untuk menyerahkan pedang yang menghebohkan dunia kang-ouw itu dan mintakan agar ayahmu dibebaskan?”
“Benar, suheng.”
“Ah, aku ingat sekarang. Undangan Gubernur Coan itu mungkin berguna bagimu. Bukankah seorang gubernur itu dekat dengan Kaisar dan menjadi kepercayaan atau wakil Kaisar untuk memimpin dan menguasai daerah yang luas sekali? tidak ada buruknya kalau kita mengunjungi dia dan siapa tahu dia dapat pula menolong ayahmu.”
“Sebetulnya aku tidak suka berkenalan dengan segala macam pembesar, akan tetapi mengingat sikapnya yang baik, dan mengingat ucapanmu tadi, memang sebaiknya kalau kita pergi ke sana untuk mendengar apa yang akan dibicarakan.”
Keduanya lalu membayar makanan dan meninggalkan rumah makan itu, lalu melakukan perjalanan menuju ke Nan-yang. Mereka tidak saling berjanji, tidak saling bersepakat, akan tetapi pergi berdua begitu saja seolah-olah hal itu sudah semestinya. Baru sekali ini mereka saling menemukan kawan baru yang cocok. Mereka masih terhitung saudara seperguruan, keduanya belum menikah dan keduanya saling tertarik dan saling kagum.
Setelah perjamuan selesai dia mengajak mereka berdua untuk masuk ke ruangan dalam dan di dalam sebuah kamar baca, sang gubernur mengajak mereka berdua itu bicara bertiga saja, tidak dihadiri orang lain.
“Nah, di sini kita dapat bicara dengan santai dan bebas,” katanya kepada Leng Si dan San Ki yang merasa aneh akan sikap tuan rumah yang demikian ramah dan manisnya.
“Paduka telah mengundang kami dan menerima kami dengan baik sekali, taijin,” kata San Ki. “Sebetulnya apakah yang hendak taijin sampaikan kepada kami atau mungkin taijin menghendaki sesuatu dari kami?”
Gubernur Coan tertawa. “Ha-ha, kami memang suka bergaul dengan para pendekar dan kami kagum sekali atas kelihaian ji-wi. Sayang sekali kalau tenaga yang demikian hebat seperti ji-wi tidak dimanfaatkan untuk negara dan bangsa.”
“Hemm, apakah penguasa dapat menghargai tenaga rakyat jelata?” kata Leng Si penuh penasaran. “Penguasa lebih suka mendengarkan bujukan manis dan penjilatan para pembesar korup dari pada mendengarkan nasihat pejabat yang baik. Kaisar sekarangpun tidak adil terhadap pejabatnya yang baik.” Tiba-tiba Leng Si yang treingat akan ayahnya berkata, agak ketus.
Akan tetapi gubernur itu tidak marah. “Ahh, agaknya lihiap mempunyai penasaran. Kalau memang banyak terdapat penjilat dan pembesar korup, justeru ini merupakan tugas orang-orang gagah seperti lihiap untuk memberantasnya! Katakanlah, lihiap, penasaran apa yang lihiap rasakan? Apakah karena sikap kurang ajar dari perwira itu? Dia sudah minta maaf dan dia sudah dihukum cambuk.”
“Bukan dia, taijin. Dia itu merupakan urusan kecil yang tidak ada artinya. Akan tetapi Sribaginda Kaisar!”
Gubernur itu nampak terkejut atas keberanian wanita itu memburukkan nama Kaisar, di depan dia lagi. “Ada apakah, lihiap?”
“Kaisar lebih mendengarkan bujuk rayu manis dari para thaikam yang berhati palsu dari pada ucapan yang jujur dari pejabatnya yang setia.”
“Maksud lihiap, apakah yang telah terjadi?”
“Ayah saya adalah seorang pejabat perpustakaan istana, dan karena dia berani menentang kekuasaan thaikam penjilat yang lalim, thaikam itu melemparkan fitnah kepadanya dan Sribaginda Kaisar malah menyuruh tangkap ayah saya.”
“Ah, itu penasaran sekali!” kata gubernur dan suaranya terdengar penuh semangat. “Siapakah nama ayah nona itu?”
“Ayahku bernama Cu Kiat Hin!”
“Ah, kiranya Cu-taijin itu ayah lihiap? Saya juga pernah mendengar urusan yang penasaran itu dan sampai sekarang ayah nona menjadi tahanan di rumah Kiu Thaikam, akan tetapi jangan khawatir, semua itu mungkin hanya kesalah pahaman di pihak Kui-thaikam. Saya mengenal baik Kui-thaikam dan saya akan dapat minta kepadanya agar membebaskan ayah nona.”
“Terima kasih, taijin, kalau taijin dapat mengeluarkan ayahku dari tahanan, saya akan berterima kasih sekali.”
“Jangan khawatir, lihiap. Eh, ya, siapakah nama lihiap dan siapa pula nama taihiap?”
“Nama saya Cu Leng Si, taijin. Dan ini suhengku bernama Gu San Ki.”
“Gu-taihiap dan Cu-lihiap, urusan Cu-taijin itu serahkan saja kepadaku. Kami tanggung dalam waktu singkat ayah lihiap itu akan dapat dibebaskan. Memang Sribaginda Kaisar terlalu lemah dan menjadi kewajiban kita untuk mengubah keadaan ini.”
Dua orang muda itu terkejut. Ucapan itu berbau pemberontakan! “Apa yang taijin maksudkan?” tanya San Ki.
“Bukankah kalau sebuah pemerintahan itu tidak baik dan merugikan rakyat, sudah sepatutnya kalau diubah, dirombak dan diganti? Nah, itulah yang kami maksudkan, apakah ji-wi merasa tidak setuju?”
“Tentu saja kami setuju sekali!” jawab Leng Si dengan spontan karena dara ini memang merasa jengkel dan marah karena ayahnya ditangkap dan ditahan.
Jawaban yang keras in disambut Gubernur Coan dengan gembira dan dia mengajak mereka berdua mengangkat cawan arak untuk persamaan pendapat itu. “Bagaimana kalau untuk tujuan mulia ini ji-win bekerja kepadaku? Kami membutuhkan orang-orang gagah yang patriotik, yang suka membela rakyat seperti ji-wi ini, untuk menumpas pejabat yang menindas rakyat jelata. Bagaimana pendapat ji-wi?”
Leng Si dan San Ki saling pandang dan keduanya sangsi dan ragu-ragu. Kemudian, dengan cerdik Leng Si berkata, “Taijin, karena urusan ini gawat dan penting sekali, maukah taijin memberi kesempatan kepada kami berdua untuk berunding lebih dulu sebelum memberikan jawabannya?”
Gubernur Coan tertawa. “Tentu saja, bahkan bagus sekali. untuk memutuskan suatu urusan penting haruslah dirundingkan semasak-masaknya. Bagaimana kalau malam ini ji-wi bermalam di sini. Selama menginap di sini, ji-wi dapat berunding berdua dan baru pada keesokan harinya memberi keputusan kepada kami?”
“Baik, taijin.”
Gubernur itu lalu memanggil pelayang dan diperintahkan pelayan untuk mempersiapkan dua buah kamar untuk mereka. Kemudian dia memesan pula kepada pelayan agar dua orang tamu itu dilayani sebaik mungkin. “Nah, sampai besok, taihiap dan lihiap. Kami masih mempunyai banyak urusan yang harus diselesaikan.”
“Silakan, taijin. Sampai besok!” kata Leng Si dan San Ki.
Malam itu, setelah memeriksa dengan teliti bahwa ruangan di depan kamar mereka tidak ada orang lain dan percakapan mereka tidak dapat didengarkan oleh orang lain, San Ki dan Leng Si bercakap-cakap dan berunding.
“Bagaimana pendapatmu, Ki-suheng?” tanya Leng Si setelah mereka berada berdua saja.
“Hemm, aku mencium sesuatu yang busuk, berbau pemberontakan, sumoi.”
“Akupun demikian, suheng. Dan kita bukanlah keturunan pemberontak. Aku tidak sudi diperalat oleh pembesar yang agaknya menghendaki pemberontakan.”
“Benar, kita sependapat, sumoi. Menurut pembicaraannya, agaknya gubernur ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada Kaisar. Bahkan dia mengatakan bahwa dia mengenal baik thaikam Kui. Aku jadi curiga atas sikapnya yang ramah dan bersahabat itu. Jelas bahwa dia agaknya hendak mempergunakan kita, sumoi.”
“Aku sendiri tidak pernah mendendam kepada Kaisar, suheng, biarpun ayahku ditangkap. Aku mengerti bahwa ini adalah ulah Kui-thaikam. Kaisar memang lemah, bukan berarti Kaisar jahat. Lalu apa yang harus kita lakukan, suheng?”
“Hanya ada dua pilihan bagi kita, sumoi. Pertama, kita tolak mentah-mentah ajakannya untuk bekerja untuk dia dan kita pergi dari sini. Kedua, kita terima uluran tangannya, dan kita pura-pura bekerja untuknya, akan tetapi sesungguhnya itu untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya hendak diperbuat. Agar kalau benar dia merencanakan pemberontakan seperti yang kita duga, kita dapat melakukan sesuatu untuk membela kerajaan.”
Leng Si mengangguk-angguk kagum. “Engkau benar, dan aku setuju memilih yang kedua itu, hitung-hitung sebagai petualangan yang menarik. Bagaimana pendapatmu kalau kita terima saja uluran tangannya itu? Siapa tahu, kalau Han Lin dan sumoi sampai gagal membebaskan ayahku, dengan bantuan gubernur ini ayahku dapat dibebaskan.”
“Akan tetapi kalau begitu kita berhutang budi kepadanya, sumoi.”
“Benar, akan tetapi hutang budi bukanlah harus dibalas dengan membantu pemberontakan. Sudahlah, soal ayahku begaimana nanti sajalah. Yang penting, kita sudah sepakat unutk menerima uluran tangannya. Kita harus selalu waspada dan bekerja sama. Kita tolak kalau disuruh melakukan kejahatan atau yang sifatnya pemberontakan.”
“Baik, sumoi. Aku setuju dan aku girang sekali bertemu dengan engkau dan dapat bekerja sama seperti ini.”
“Aku juga girang sekali, suheng.”
Keduanya saling bertemu pandang dan keduanya merasa bahwa telah terjalin keakraban dan kecocokan satu sama lain. Akan tetapi San Ki teringat kepada Ji Kiang Bwe dan dia mengerutkan alisnya sambil menarik napas panjang.
Leng Si yang memperhatikannya melihat perubahan pandang mata itu. Pandang mata itu tadinya begitu mesra dan bahagia ketika memandangnya, dan tiba-tiba saja mata itu termenung dan alis itu berkerut ditambah tarikan napas panjang tanda bahwa hati pemuda itu terganggu sesuatu. “Ada apakah, Ki-suheng? Engkau kelihatan berduka.”
“Aku tiba-tiba saja teringat akan urusan yang menimpa diriku, yang sangat memusingkan hatiku, sumoi.”
“Ada urusan apakah, suheng? Atau merupakan rahasia pribadimu yang tidak boleh diungkapkan kepada orang lain?”
“Memang urusan pribadi yang tidak boleh dketahui orang lain, akan tetapi kepadamu aku tidak dapat merahasiakannya, sumoi. Entah mengapa, timbul kepercayaan besar dalam hatiku terhadapmu. Baiklah, kau dengarlah masalahku yang memusingkan hatiku.”
San Ki lalu bercerita tentang Ji Kiang Bwe dan suaminya, Souw Kian Bu. Betapa dia datang berkunjung kepada sumoinya yang seperti adiknya sendiri itu, dan ketika mereka bertemu dengan suasana akrab, suami sumoinya itu menjadi cemburu dan kini suami sumoinya itu lari pergi meninggalkan rumah dengan marah.
“Aih, mengapa dia begitu pencemburu? Terus terang saja, suheng, apakah ada apa-apa antara engkau dengan sumoimu itu?”
“Sumoi, sudah kukatakan tadi bahwa kepadamu aku tidak dapat menyimpan rahasia. Biarlah engkau ketahui semuanya walaupun hal ini merupakan rahasia pribadi, bahkan rahasia hatiku. Tidak kusangkal bahwa dahulu, ketika kami masih sama-sama menjadi murid subo Pek Mau Siankouw, aku telah jatuh cinta kepada sumoi Ji Kiang Bwe. Akan tetapi karena ia hanya menyayangiku sebagai kakak sendiri, akupun tidak berani menyatakan cintaku, sampai ia kembali ke Kim-kok-pang bahkan menjadi ketuanya. Sejak itu, tentu saja aku jauh darinya dan baru setelah berpisah bertahun-tahun, aku berkunjung kepadanya. Akan tetapi siapa mengira, hal itu bahkan menjadikan terjadinya malapetaka bagi sumoi. Suaminya merasa cemburu dan meninggalkannya pergi. Aku merasa bersalah, sumoi, karena itu aku pergi ini sebetulnya untuk mencari Souw Kian Bu, suami dari sumoi.”
Leng Si menghela napas panjang. Ia tidak kecewa mendengar masa lalu pemuda yang dikaguminya itu, karena bukankah ia sendiri juga pernah jatuh cinta kepada Han Lin? “Memang tidak enak sekali kalau kita bertepuk tangan sebelah dalam urusan cinta...” katanya.
San Ki segera berkta, “Walaupun dahulu aku pernah jatuh cinta kepada sumoiku, setelah ia menikah dengan sendirinya tidak ada sedikitpun pikiran yang bukan-bukan dalam hatiku. Aku bukanlah orang macam itu, Si-sumoi. Setelah suami sumoiku pergi, aku bersumpah kepadanya untuk mencari dan membawa pulang kepadanya suaminya itu.”
“Memang itu baik sekali, Ki-suheng. Setidaknya membuktikan bahwa engkau memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan sumoi Ji Kiang Bwe itu. Suaminya itu orang macam apakah, begitu pencemburu?”
“Dia seorang yang gagah perkasa, sumoi. Souw Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang telah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang gagah perkasa.”
“Akan tetapi dia pencemburu, tanda bahwa dia tidak mampu menguasai nafsunya sendiri. Aku akan membantumu, suheng. Kalau bertemu dengan dia, demi sumoi Ji Kiang Bwe, aku akan memaki-makinya dan mengingatkannya bahwa isterinya sama sekali tidak bersalah, bahwa cemburunya itu tidak berdasar dan bodoh sekali.”
Pada keesokan harinya, mereka berdua menghadap Gubernur Coan yang menyambut mereka dengan ramah dan memerintahkan orangnya untuk menghidangkan santapan apgi untuk mereka. Setelah makan pagi yang ditemani sendiri oleh Gubernur Coan bertanya.
“Bagaimana, ji-wi sudah mengambil keputusan mengenai tawaran kami kemarin?”
San Ki memang sudah menyerahkan kepada sumoinya untuk menjadi wakil pembicara, karena sumoinya itu memang lebih pandai bicara.
“Sudah, taijin. Kami telah membicarakan semalam. Setelah kami mempertimbangkannya masak-masak, maka kami anggap bahwa pendapat taijin itu benar dan kami bersedia unutk membantu taijin. Apakah tugas yang diberikan taijin kepada kami?”
“Untuk sementara, biarlah kalian menjadi pengawal pribadi kami. Kebetulan hari ini kami hendak mengunjungi rapat pertemuan yang teramat penting, yang sehubungan dengan niat kita untuk mengubah keadaan. Karena itu, kalain harap suka menjadi pengawalku dan ikut hadir pula dalam pertemuan agar kalian mengerti apa yang harus dilakukan.”
San Ki dan Leng Si saling lirik dan Leng Si berkata, “Baik, taijin kami gembira sekali dapat bekerja untuk taijin.”
Demikianlah, mulai hari itu kedua kakak beradik seperguruan itu bekerja pada Gubernur Coan, mendapatkan kamar untuk masing-masing di bagian belakang gedung gubernur itu. Dan pada hari itu juga, setelah hari menjadi malam, gubernur mengajak mereka pergi, akan tetapi kepergian gubernur ini tidak resmi. Buktinya dia berjalan kaki, tidak naik kereta dan juga mengenakan pakaian seperti penduduk biasa!
Gubernur Coan pergi dengan menyamar dan ketika San Ki dan Leng Si mengikutinya, mereka pergi ke sebuah rumah penginapan besar yang berada di kota Nan-yang, bahkan masuk dari pintu belakang. Penjaga pintu belakang hotel itu agaknya sudah tahu karena dia hanya membungkuk-bungkuk dengan hormat dan mempersilakan Gubernur Coan dan dua orang pengikutnya masuk ke dalam ruangan luas yang tertutup.
Dan ternyata di situ telah berkumpul beberapa orang yang tidak dikenal San Ki. Akan tetapi ketika Leng Si melihat tiga orang kakek yang juga berada di situ bersama orang-orang lain, ia terkejut. Mereka itu adalah Sam Mo-ong! Ada urusan apa tiga orang datuk sesat yang ia tahu bekerja untuk kepala suku Mongol itu hadir di tempat ini, di tengah kota Nan-yang dalam sebuah pertemuan rapat yang dihadiri Gubernur Coan?
Juga Sam Mo-ong mengenal Jeng I Sianli Cu Leng Si, maka mereka merasa tidak enak sekali. Akan tetapi Leng Si datang sebagai pengikut Gubernur Coan, merekapun diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Yang hadir di situ adalah Kwan-ciangkun, panglima berusia lima puluh tahun bermuka merah yang gagah, kepala pasukan di Lok-yang dan mengepalai pasukan yang kuat dan besar jumlahnya.
Dia hadir bersama dua orang panglima bawahannya yang juga menjadi semacam pengawalnya dan Sam Mo-ong ternyata datang sebagai pengikut seorang yang gendut pendek berusia lima puluh lima tahun, pakaiannya seperti seorang pembesar dalam istana dan dia ini bukan lain adalah Kui-thaikam, yang mengepalai seluruh thaikam di istana.
Kui-thaikam yang lebih dulu memperkenalkan tiga orang pengikutnya ini dengan bangga kepada Kwan-ciangkun dan Gubernur Coan. “Kwan-ciangkun dan Coan-taijin, perkenalkan tiga saudara ini. Mereka adalah Sam Mo-ong seperti yang pernah saya bicarakan. Yang ini adalah Hek-bin Mo-ong, dan yang ini Pek-bin Mo-ong. Yang di sana itu adalah Kwi-jiauw Lo-mo dan mereka sudah menunjukkan surat kepercayaan dari Ku Ma Khan.”
Sam Mo-ong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada semua orang. Kini tiba giliran Gubernur Coan memperkenalkan dua orang pengikutnya.
“Ini adalah dua orang pembantuku yang baru, harap dikenal baik karena mereka ini adalah orang-orang yang sudah kami percaya dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nona ini bernama Cu Leng Si dan ini adalah suhengnya bernama Gu San Ki. Mereka telah menyatakan hendak membantu kita semua memperbaiki keadaan negara yang kacau karena lemahnya pemerintahan ini.”
Seperti yang dilakukan oleh Sam Mo-ong, Gu San Ki dan Leng Si yang memandang kepada semua orang segera bangkit berdiri dan memberi hormat. Diam-diam Leng Si memperhatikan orang yang berpakaian thaikam gendut itu karena ia sudah dapat menduga bahwa orang gendut yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu tentulah thaikam yang terkenal berkuasa itu, yaitu orang yang menyebabkan ayahnya ditangkap! Gubernur Coan cukup cerdik untuk tidak membicarakan dulu tentang ayah Leng Si yang ditangkap itu, akan tetapi segera membicarakan persoalan yang lebih umum dan penting.
“Sekarang kita telah berkumpul, apa yang hendak kita bicarakan lebih dulu, Kui-taijin?”
“Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang terpenting dulu, agar kedatangan kita dari jauh tidak sia-sia dan dapat menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil,” kata Kwan-ciangkun yang datang dari Lok-yang.
Dari pertanyaan gubernur dan panglima itu saja mudah diketahui bahwa kendali persekutuan ini berada di tangan Kui-thaikam! Dialah yang akan memimpin rapat dan menentukan langkah. Dan hal ini tidak aneh karena dia yang berada di istana dan tahu akan segala keadaan di istana.
“Pertama-tama setelah memperkenalkan Sam Mo-ong kepada ji-wi, kita ingin membicarakan pesan dari Ku Ma Khan yang dibawa oleh mereka. Nah, Sam Mo-ong. Sekarang jelaskan untuk kedua kalinya pesan itu kepada Gubernur Coan dan Kwan-ciangkun, juga kepada yang lain-lain.”
Kwi-jiauw Lo-mo yang menjadi pemimpin dari Sam Mo-ong, segera melirik ke arah Leng Si dan berkata, “Harap maafkan kami, Kui-taijin, akan tetapi kami merasa tidak enak dan tidak aman kalau bicara di depan orang-orang yang kalau bukan benar-benar berada di pihak kita, kelak bahkan akan dapat mencelakakan kita sendiri....”
Akan tetapi pada saat itu, seorang yang pendek kurus, mengeluarkan teriakan melengking dan sudah menerjang kepada Kok Han dengan sepasang goloknya. Dia adalah Tee-kui yang hampir saja terlambat menolong kakaknya.
“Bocah sombong dan curang, rasakan tajamnya golokku!” Tee-kui menyerang dengan dahsyat sehingga repot Kok Han harus memutar pedangnya untuk menangkis.
Kini dia tidak sempat lagi untuk menyerang dengan bahan peledak karena Tee-kui sudah mengetahui akan kelihaian senjata rahasia itu, maka tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menjauhkan diri. Sepasang goloknya berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengurung Kok Han sehingga pemuda ini terdesak hebat.
Melihat keadaan itu, Kian Bu tidak dapat tinggall diam saja. Tidak bisa dia melihat pemuda baju putih itu terbunuh oleh Tee-kui yang demikian tangguh. Dia melompat cepat sambil mencabut pedangnya dan menyerang Tee-kui dari samping. Mendengar suara pedang berdesing menyerangnya, Tee-kui terkejut dan ketika dia menangkis dengan golok kirinya, dia merasa betapa tangan kirinya tergetar hebat, tanda bahwa penyerangnya memiliki tenaga sin-kang yang tangguh.
Hal ini membuat dia menjadi jerih karena harus menghadapi pengeroyokan dua orang, maka dia mengeluarkan gerengan dahsyat dan sepasang goloknya menyerang sedemikian hebatnya sehingga Kok Han dan Kian Bu terpaksa melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar golok. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tee-kui untuk meloncat ke dekat rekannya dan dia memondong tubuh Thian-kui yang masih pingsan itu, lalu meloncat jauh untuk melarikan diri.
Kok Han memandang kepada Kian Bu. Dasar dia seorang yang congkak, apa lagi setelah dia berhasil merobohkan Thian-kui, maka dia tidak merasa akan kelemahan diri sendiri, tidak maun mengerti bahwa sebenarnya dia tadi terancam bahaya di tangan Tee-kui. Dengan muka cemberut dia bukan berterima kasih kepada Kian Bu, malah menegur, “Siapa minta engkau membantuku?”
Tentu saja Kian Bu mendongkol bukan main. Kalau dia tidak menyabarkan hatinya, tentu sudah diserangnya pemuda baju putih itu. Melihat sikap congkak itu, dia memutar tubuh hendak meninggalkan begitu saja.
Pada saat itu terdengar seruan wanita, “Ah, engkau kiranya pemilik bahan peledak yang mengandung racun pembius itu, Kok Han?”
Kok Han menoleh dan melihat munculnya Mulani, dia terkejut bukan main. “Apa... apa maksudmu, Mulani?” tanyanya dan nampak olehnya betapa cantiknya gadis Mongol itu.
“Jadi, dahulu yang meledakkan racun pembius sehingga aku dan Sia Han Lin menjadi pingsan adalah engkau? Mengakulah, karena peledaknya sama benar dengan yang kau lepaskan untuk merobohkan Thian-kui tadi.”
Kok Han menggigit bibirnya. Dia tidak dapat mengelak lagi. “Benar, Mulani. Panas hatiku melihat engkau dengan Han Lin... karena aku cinta padamu...”
“Jadi engkau... engkau yang melakukan... terhadap diriku...”
Kok Han adalah seorang yang biasanya melakukan kegagahan, menganggap diri sebagai pendekar, hanya cinta dan cemburu telah meracuninya. Kini dia merasa bahwa dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Mulani. “Terus terang saja, Mulani, aku tidak ingin engkau menjadi isteri Sia Han Lin...”
Tiba-tiba Mulani tersenyum manis dan mendekati Kok Han. “Kalau begitu, engkaulah suamiku yang sesungguhnya. Apakah engkau cinta benar kepadaku, Kok Han?”
Bukan main girangnya hati Kok Han. “Kalau tidak mencinta padamu, untuk apa aku melakukan semua itu, Mulani? Aku cinta padamu, aku tergila-gila pada...”
Tiba-tiba saja ucapan Kok Han itu terhenti, matanya terbelalak, mulutnya terbuka lebar dan saat itu Mulani sudah melompat ke belakang.
“Mulani, kau... kau...!”
Pada saat itu, terdengar bentakan melengking, “Perempuan iblis, engkau bunuh kakakku?” dan sebuah benda meledak dekat Mulani yang tidak sempat menghindar sehingga ia terbatuk-batuk dan terhuyung-huyung dan pada saat itu, Bi Lan sudah menyerangnya dengan sebatang pedang. Ia tidak mampu menghindar lagi dan lambungnya tertembus pedang sehingga ia roboh mandi darah, tak jauh dari tubuh Kok Han yang dadanya tertembus pedang yang ditusukkan Mulani.
Setelah asap membuyar, Bi Lan berlutut dekat tubuh kakaknya. “Han-ko, Han-ko... engkau tidak apa-apa...?”
“Lan-moi, ah, kenapa engkau lakukan itu? Mulani... tidak... berdosa... aku yang bersalah... aku telah memperkosanya selagi ia pingsan... aku... ahh...” ia terkulai dan tewas.
Sementara itu, mendengar betapa tadi wanita itu menyebut nama Sia Han Lin, kakak misannya, Kian Bu juga sudah melompat dekat dan berlutut di dekat tubuh Mulani yang sekarat. “Nona, aku adalah anggauta keluarga dari Sia Han Lin. Ada urusan apa dengan dia dan di mana dia sekarang?”
Mulani membuka matanya, “...katakan kepada Han Lin, aku... aku minta maaf, dia tidak bersalah, dia bukan pelakunya, pelakunya adalah Can Kok Han... ahh, dia... dia boleh bebas sekarang... katakan aku... aku cinta padanya...” dan Mulani juga terkulai, tewas.
Kian Bu dan Bi Lan saling pandang, tidak saling mengenal, akan tetapi Bi Lan dapat mendengar percakapan antara Kian Bu dan Mulani.
“Aku... menyesal sekali telah membunuh Mulani... melihat kakakku dibunuhnya...”
Mendadak datang serombongan orang yang berpakaian seperti orang asing, jumlah mereka dua puluh orang lebih. Kian Bu sudah melompat bangun dan siap siaga menjaga segala kemungkinan, demikian pula Bi Lan. Akan tetapi orang-orang itu tidak menggangu mereka, hanya mengangkat jenazah Mulani dan pergi dengan cepat dari tempat itu dan terdengar suara mereka menangis.
Biarpun menjadi saksi utama dari serangkaian peristiwa tadi, Kian Bu dapat menduga bahwa Bi Lan bukanlah orang jahat. Kalau gadis ini tadi membunuh si wanita, adalah karena ia melihat kakaknya terbunuh dan dia tidak dapat menyalahkannya. Dia merasa kasihan juga melihat gadis itu menangis tanpa suara.
“Nona, mari kubantu engkau mengurus jenazah kakakmu ini,” katanya dan ketika dia mengangkat jenazah itu, si gadis tidak mencegah dan memandang kepadanya berterima kasih. Dara ini tadi juga mendengar pengakuan pemuda ini sebagai saudara misan Han Lin. Mereka berdua lalu pergi ke luat kota membawa jenazah itu.
Bi Lan menangis di depan makam yang baru itu. Makam yang sederhana sekali, di lereng sebuah bukit di luar kota Souw-ciu. Kian Bu juga berada di situ, dan orang muda itu membiarkan saja Bi Lan menangisi kematian kakaknya. Setelah tangis Bi Lan mereda, gaids itu meboleh dan agaknya baru teringat bahwa di situ ada orang lain.
“Maafkan aku. Betapa hatiku tidak akan sedih melihat kakak dibunuh orang dan bagaimana aku kelak harus memberitahukan ayah ibu?”
“Wajar saja kalau engkau bersedih, nona. Akupun ikut bersedih menyaksikan itu semua. Akan tetapi apa artinya semua ini? Bukan aku ingin mengetahui urusan orang lain, akan tetapi karena di sini agaknya tersangkut saudaraku Han Lin, aku jadi ingin sekali mengetahuinya.”
“Aku sendiri juga tidak tahu. Tadi melihat betapa kakakku dibunuh secara curang oleh wanita itu, tentu aku tidak dapat menerimanya dan aku menggunakan obat peledak untuk membunuhnya. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya mendengar pengakuan kakakku tadi, ahh, sungguh sukar untuk dipercaya bahwa dia telah memperkosa wanita itu. Sekarang tidak ada lagi yang dapat ditanya karena keduanya telah meninggal dunia, ahh, aku menyesal sekali...”
“Kurasa kita masih dapat menanyakan kepada seseorang...”
“Maksudmu, Lin-koko?”
“Eh, nona, apakah engkau juga mengenal Sia Han Lin?”
“Mengenal? Dia adalah seorang sahabat baikku!” kata BI Lan penuh semangat dan mukanya berubah kemerahan. “Tadi aku mendengar bahwa engkau adalah saudara...”
“Maksudku, bukan aku, melainkan ibuku yang masih enci dari ibu kakak Sia Han Lin.”
“Ah, begitukah? Kalau begitu aku harus memperkenalkan diri padamu. Aku bernama Can Bi Lan dan yang meninggal ini kakakkku bernama Can Kok Han. Kami adalah anak-anak dari ketua Pek-eng Bu-koan.”
“Nona Bi Lan, aku bernama Souw Kian Bu. Tahukah engkau di mana adanya kakak Sia Han Lin sekarang?”
“Aku tidak tahu, sudah beberapa pekan kami berpisah dan aku sedang hendak pulang ketika lewat di sini dan melihat peristiwa tadi. Aku sekarang harus cepat pulang untuk mengabarkan kepada ayah ibuku.” Ia memandang kepada gundukan tanah dan kembali matanya menjadi basah. “Ketika aku bertemu dengan Lin-koko, dia sedang hendak menuju ke Souw-ciu. Karena itu ketika aku tidak menemukan jejak kakakku di utara, akupun menuju ke Souw-ciu dengan harapan dapat bertemu dengan Lik-koko, tidak tahunya aku malah bertemu dengan kakakku. Pada waktu aku bertemu dengannya, dia melakukan perjalanan bersama Kwan Im Sianli Lie Cin Mei.”
Kian Bu melihat betapa ketika menyebutkan nama Kwan Im Sianli, wajah gadis itu menjadi muram dan pandang matanya membayangkan kekeruhan, tanda bahwa ia tidak senang dengan wanita itu. Cemburu! Apa lagi kalau bukan cemburu? Diapun sudah dapat mendengar nama Kwan Im Sianli yang kabarnya selain tinggi ilmu silatnya dan pandai mengobati orang, juga cantik jelita dan masih belum menikah.
“Ah, kalau begitu aku akan pergi ke Souw-ciu. Barangkali saja aku akan dapat bertemu dengan dia di sana,” kata Kian Bu.
“Baiklah, saudara Souw Kian Bu, selamat berpisah, aku hendak pulang melapor kepada orang tuaku. Tolong sampaikan salamku kepada Lin-koko kalau engkau bertemu dengan dia, dan sekali lagi aku mintakan maaf kalau mendiang kakakku bersalah kepadanya.”
Mereka berpisah dan Souw Kian Bu cepat-cepat pergi memasuki kota Souw-ciu lagi. Akan tetapi kalau saja dia datang lima hari yang lalu, tentu dia dapat bertemu dengan Han Lin. Dia sudah terlambat dan setelah selama beberapa hari menanti dan mencari-cari tanpa hasil, diapun meninggalkan kota itu. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Wu-han, ke rumah orang tuanya yang membuka toko kain di kota itu. Urusan dengan isterinya itu sebaiknya dia mintakan pendapat atau nasihat ayah ibunya agar hatinya tidak menderita seperti sekarang in.
Semenjak meninggalkan isterinya, hidupnya terasa hampa tidak ada artinya. Setiap saat yang dirasakan hanyalah kesepian, duka dan penyesalan. Akan tetapi bagaimana mungkia dia dapat pulang kepada isterinya? Bayangan Gu San Ki selalu nampak di depan matanya. Tidak, dia tidak akan kembali kepada isterinya. Biar dia menderita kalau perlu sampai mati. Dia tidak akan kembali kepada isterinya, seperti seorang pengemis, mengemis cinta.
Betapapun dia mencinta isterinya, kalau isterinya mencinta orang lain, untuk apa dia merendahkan diri? Pikiran ini, biarpun terasa menyedihkan, namun memberinya semangat untuk membusungkan dada, mendatangkan harga diri dan keangkuhan, dan mungkin menjadi penunjang hidupnya agar dia tidak putus asa.
Pemuda itu memang ganteng dan menarik perhatian orang ketika dia memasuki rumah makan itu. Akan tetapi pemuda yang tinggi tegap dan berpembawaan gagah itu tidak mempergulikan pandangan orang, dia melangkah dengan tegap dan mencari meja yang masih kosong. Akan tetapi semua meja sudah penuh, bahkan setiap meja sudah penuh, bahkan setiap meja sudah dikelilingi tiga atau empat orang. Kecuali sebuah meja di sudut yang hanya dihadapi seorang wanita saja. Wanita cantik berpakaian serba hijau.
Pemuda itu dengan langkah tegap menghampiri meja itu dan mengangkat kedua tangan di depan dada. “Mohon maaf, nona. Karena tempat ini sudah penuh sekali, kalau sekiranya nona tidak keberatan dan menaruh kasihan kepada seorang yang sudah hampir kelaparan, bolehkan aku menumpang duduk di sini untuk makan?”
Wanita itu mengangkat mukanya memandang. Mula-mula alisnya berkerut karena dianggapnya pria itu tidak sopan dan terlalu lancang berni minta menumpang duduk bersamanya satu meja, padahal sama sekali belum mengenalnya. Akan tetapi ketika melihat laki-laki yang gagah itu, yang wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kekurang ajaran, bahkan sepasang mata itu memandang jujur, ia tidak menjadi marah.
“Boleh saja, ini memang tempat untuk umum, bukan?” kata wanita itu dengan dingin dan ia tidak memandang lagi.
“Terima kasih. Nona ternyata bijaksana dan berbudi baik sekali,” kata pria itu yang lalu duduk di seberang. Seorang pelayan menghampiri dan pemuda itu berkata, “Aku memesan makanan dan minuman, dan karena kami semeja, maka pesananku sama dengan apa yang dipesan oleh nona ini.”
Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa ia memperhatikan atau mengambil perduli. Dan pemuda itupun tidak berani bicara lagi karena melihat sikap orang seolah tidak ingin diajak bicara. Dia hanya memandang dengan sopan, tidak langsung.
Ternyata wanita itu memang cantik jelita. Usianya nampak baru sekitar dua puluh tahun walaupun kalau melihat sikapnya tentu sudah lebih banyak lagi. Wajahnya bulat telur, dan kulit mukanya putih kemerahan. Sepasang matanya tajam dan indah seperti mata burung Hong. Rambutnya hitam panjang sampai ke pinggul diikat pita kuning. Hidungnya mancung, dan mulutnya menantang dengan bibir merah basah. Dagunya runcing, ada tahi lalat di dagu itu. Alisnya kecil panjang melengkung. Tubuhnya padat, ramping dengan lekuk lengkung sempurna.
Sungguh seorang wanita cantik sekali, dan pakaiannya juga dari sutera mahal. Ketika duduk di depan wanita itu, ada bau semerbak harum datang dari wanita itu. Diam-diam pemuda itu kagum, sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal sekali, yaitu Jeng I Sianli (Dewi Baju Hijau) Cu Leng Si! Pendekar wanita berhati baja yang menjadi murid pendeta wanita sakti Wi Wi Siankouw.
Sementara itu, dari sudut matanya, beberapa kali Leng Si memperhatikan pemuda itu. Tinggi tegap gagah. Usianya paling tidak tentu sudah dua puluh lima tahun. Wajahnya jantan, hidungnya besar mancung dan dagunya berlekuk. Mata itu tajam akan tetapi menyinarkan kejujuran dan pedang di punggungnya menunjukkan bahwa dia juga seorang ahli silat. Leng Si tidak pernah mimpi bahwa dia berhadapan dengan Gu San Ki, murid dari Pek Mau Siankouw bibi gurunya sendiri karena Pek Mau Siankouw adalah sumoi (adik seperguruan) Wi Wi Siankouw.
Mereka memang tidak pernah saling jumpa, seperti juga guru mereka yang tidak pernah saling jumpa atau berhubungan. Makanan yang dipesan Leng Si datang lebih dulu. Sebelum makan, ia hanya mengangguk kepada San Ki. Pemuda inipun hanya mengangguk dan membuang muka agar jangan kelihatan bahwa dia memandangi orang yang sedang makan.
Akan tetapi mendengar wanita itu makan, mau tidak mau jakunnya naik turun karena beberapa kali dia menelan ludah. Perutnya sudah lapar, tenggorokannya sudah haus. Dan Leng Si juga mengetahui hal ini, akan tetapi ia hanya melanjutkan makan sambil mulutnya mengembang ke arah senyum ditahan. Setelah makanan untuk San Ki datang, makanan yang sama, diapun mengangguk kepada Leng Si dan mulailah dia makan dengan lahapnya.
Melihat ini, Leng Si merasa geli. “Lahap benar makanmu,” tegurnya.
San Ki hampir tersedak. Dia cepat minum untuk mendorong makanan yang mengganjal di tenggorokannya dan mukanya berubah merah oleh teguran teman semeja yang tidak dikenalnya itu. “Ah, maafkan aku, nona. Sejak kemarin aku belum sempat makan.”
Mereka melanjutkan makan dan tidak bicara lagi. Akan tetapi keduanya maklmu bahwa di meja sebelah, seorang berpakaian sebagai opsir pasukan bersama tiga orang perajuritnya sedang makan minum pula. Dan mereka itu seperti orang berpesta saja. Makanan termahal dipesannya, dan mereka sudah banyak minum arak sehingga dari kepala yang bergoyang-goyang itu dapat diketahui bahwa mereka tentulah sudah setengah mabok.
Empat orang yang setengah mabok itu nampak berbisik-bisik, akan tetapi baik Leng Si maupun San Ki yang memiliki pendengaran terlatih dan tajam dapat menangkap perintah opsir itu kepada bawahannya untuk mengundang “gadis cantik berbaju hijau” itu untuk makan bersama di mejanya. Akan tetapi mereka berpura-pura tidak mendengar saja dan melanjutkan makan minum dengan tenang.
Seorang di antara perajurit itu kini bangkit berdiri dan dengan langkah yang gontai menghampiri meja Leng Si. “Nona, kapten kami minta kepada nona untuk makan bersamanya di meja sana, dan biarlah saya yang menemani saudara ini makan minum.”
Kalau menuruti wataknya, Leng Si tentu sudah mengamuk. Akan tetapi karena di mehannya duduk pemuda itu, ia menahan dirin dan cawan tehnya yang masih setengah itu tiba-tiba ia siramkan kepada perajurit itu. Biarpun hanya air teh, akan tetapi karena yang menyiramkan adalah Jeng I Sianli yang melakukannya dengan tenaga sin-kang, maka perajurit itu merasa seperti wajahnya ditusuk-tusuk jarum.
Dia berteriak dan terhuyung ke belakang sambil menutupi muka dengan kedua tanannya karena matanya tidak dapat dibukanya. Pedas dan perih rasanya. Kapten itu bangkit berdiri dan marah sekali. “Berani engkau memukul perajuritku?”
Leng Si sudah menyambar poci tehnya, akan tetapi sebuah tangan yang lembut namun kuat sekali telah menangkap tangannya dan ketika dengan marah ia memandang ke depannya, pemuda itu menggeleng kepala dan berkata lirih, “Nona, poci teh ini akan dapat membunuhnya. Tidak baik membunuh perajurit, apa lagi seorang kapten.”
Leng Su teringat, lalu tangannya memegang sumpit, dengan cepat disumpitnya sepotong bakso. Pada saat itu, sang perwira sdah memerintahkan dua orang perajuritnya yang lain.
“Tangkap wanita itu, Tang...” belum habis dia bicara, sepotong bakso meluncur bagaikan peluru dan tepat memasuki mulutnya yang sedang erbuka dan bakso itu terus menyelonong ke dalam kerongkongannya. Dua bakso lain menyambar ke arah muka dua orang perajurit. Yang seorang terkena mata kirinya sehingga mata itu menjadi hitam, dan seorang lagi terkena hidungnya dan bocorlah hidung itu keluar darahnya.
Biarpun mereka sendiri kesakitan, melihat atasan mereka terbatuk-batuk karena ada bakso mengganjal kerongkongan, dua orang itu menolongnya dan menepuk-nepuk punggungnya sampai akhirnya bakso itu dapat tertelan. Tentu saja perwira itu marah bukan main. Dia lari keluar diikuti tiga orang perajuritnya dan di luar dia berteriak-teriak memanggil pasukannya yang terdiri dari tiga losing orang yang segera berlari-lari menghampiri kapten mereka yang memanggil mereka.
“Tangkap perempuan setan itu! Tangkap! Cepat!”
“Nona, sebaiknya kita keluar. Tidak baik kalau ribut di sini merusakkan prabot rumah makan.” San Ki berkata lembut.
Dan sungguh aneh sekali, tidak biasanya Leng Si yang berhati baja itu mau menurut kata-kata orang. Akan tetapi sekarang, untuk kedua kalinya iapun mengangguk dan mereka berdua melangkah keluar dengan tenangnya. Sampai di luar, mereka dihadapi oleh puluhan orang perajurit yang sudah mencabut golok. Akan tetapi tiga losin perajurit itu tentu saja merasa ragu. Mereka disuruh mengeroyok seorang gadis yang demikian cantik?
“Tangkap perempuan setan itu!” kembali si perwira berseru sambil menundingkan telunjuknya ke arah leng Si. Kini tidak ragu lagi para perajurit itu dan mereka berbondong seperti hendak berlumba menghampiri Leng Si dengan golok di tangan untuk menakut-nakuti. Mereka lebih senang kalau disuruh menangkap hidup-hidup, ada kesempatan bagi mereka untuk memeluk dan menggerayangi tubuh yang denok itu.
Akan tetapi begitu mereka dekat, Leng Si menggerakkan kaki tangannya dan robohlah empat orang yang berada paling depan. Semua orang yang berada paling depan. Semua orang yang menjadi kaget dan marah, dan kini mereka menyerang dengan golok merka. Leng Si mengamuk, dengan tangan kosong saja karena ia memandang rendah pada pengeroyoknya.
Melihat gadis itu dikeroyok begitu banyak orang, San Ki memandang penuh perhatian dan terkejutlah dia. Tentu saja dia mengenal gerakan wanita itu. Itulah jurus kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) yang amat dikenalnya karena itu merupakan suatu jurus ampuh dari perguruannya untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang yang bersenjata golok atau pedang!
Karena wanita itu menggunakan jurus dari perguruannya ini, timbullah rasa akrab di hati San Ki dan diapun terjun ke dalam pertempuran, juga menggunakan jurus yang sama menghadapi para perajurit yang bergolok itu. Gerakan mereka persis sama. Bahkan cara memutar tubuh menendang dengan kedua kaki bergantian dan sekaligus merobohkan lima enam orang juga tidak berbeda.
Leng Si juga melihat ini dan iapun tertegun. Jelas bahwa pria itu menggunakan ilmu silat yang sama dengan ilmu silatnya. Ia sengaja mengubah jurus-jurusnya dan semua jurusnya ditiru oleh pria itu dengan sempurna! Leng Si bergerak mendekati pria itu. Para pengeroyok mulai jeri akan tetapi karena jumlah mereka banyak, mereka masih mengepung dengan mengamang-amankan golok. Kesempatan selagi mereka tidak menyerang itu dipergunakan Leng Si untuk bicara.
“Sobat, engkau tentu murid bibi guru Pek Mau Siankouw, bukan?”
“Dan engkau tentu murid bibi guru Wi Wi Siankouw!”
“Benar, mari kita hajar mereka ini!”
“Akan tetapi jangan membunuh perajurit, bisa gawat!” San Ki memperingatkan.
Mereka lalu mencabut senjata masing-masing. Biarpun tanpa senjata, mereka dapat menandingi pengeroyokan tiga puluh lebih orang itu, akan tetapi bagaimanapun juga menghadapi banyak orang yang memegang senjata dapat berbahaya bagi mereka. Setelah kini mereka memegang pedang, maka dengan mudah mereka dapat membabati golok mereka sehingga banyak golok beterbangan atau patah-patah.
Dua orang itu, setelah mengetahui keadaan masing-masing sebagai saudara seperguruan, menjadi semakin gembira dan bersemangat. Dalam waktu kurang dari seperempat jam, semua golok sudah dapat mereka patahkan atau terbangkan.
Mendadak sebuah kereta berhenti dekat situ dan terdengar suara dari dalam kereta, “Berhenti, jangan serang lagi!”
Semua perajurit menengok dan ketika melihat siapa orangnya yang memberi aba-aba, mereka lalu mundur dengan memegang golok buntung atau bahkan sudah tidak memegang senjata lagi. Mereka bahkan mereasa lega disuruh berhenti menyerang karena mereka memang sudah merasa jerih sekali terhadap kedua orang itu. Para penonton yang menyingkir jauh-jauh juga merasa kagum abhwa dua orang dapat memorak-porandakan tiga losin perajurit.
Leng Si dan San Ki sudah menyimpan kembali pedang mereka dan kini mereka memandang pria yang berdiri di ambang pintu keretanya itu. Seorang pembesar dengan pakaian kebesarannya yang gemerlapan, dijaga oleh selosin pengawal yang kelihatannya kuat dan angker. Pembesar itu tinggi kurus, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan nampak wajahnya cerah dan dia tersenyum sambil memandang kagum.
Dengan sikap bersahabat, pembesar itu mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Leng Si dan San Ki! Dua orang ini tentu saja merasa heran dan cepat merekapun balas memberi hormat. Aneh rasanya pembesar yang kelihatannya berkedudukan tinggi itu memberi hormat lebih dahulu kepada mereka.
“Taihiap dan lihiap, harap maafkan pasukan yang berlaku keras dan lancang terhadap ji-wi (kalian berdua). Sebetulnya, apakah yang menyebabkan dua orang pendekar seperti ji-wi sampai ribut dengan pasukan ini?”
Karena Leng Si nampaknya segan menjawab, San Ki yang mewakilinya menjawab, “Bukan kesalahan kami, taijin. Ketika kami sedang makan di rumah makan, ada seorang perwira hendak memaksa adik saya ini untuk menemaninya makan. Adik saya menolak dan terjadilah pengeroyokan ini.”
Pembesar itu kelihatan marah sekali dan dia menoleh ke arah pesukan. “Perwira mana yang melakukan kekurang ajaran itu? Hayo cepat maju ke sini!”
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar perwira yang dijejali bakso oleh Leng Si tadi maju, diikuti oleh tiga orang perajuritnya. Mereka menghadap pemberas itu dan sang perwira memberi hormat diikuti tiga anak buahnya.
“Harap maafkan kami berempat, taijin. Kami tadinya hanya bermaksud main-main saja.”
“Keparat! Main-main dengan seorang pendekar wanita? Hayo kalian minta maaf kepada mereka dan siap menerima hukuman cambuk masing-masing dua puluh kali!”
Perwira itu lalu menghampiri Leng Si dan San Ki, memberi hormat dan berkata, “Harap maafkan kami, taihiap dan lihiap, kami mengaku bersalah.”
Leng Si hanya mendengus saja dan San Ki berkata, “Sudahlah, harap saja lain kali jangan suka menggangu orang.”
Pembesar itu lalu berkata kepada pengawalnya. “Gusur mereka dan beri cambukan dua puluh kali!”
Empat orang itu lalu dibawa pergi oleh pasukan pengawal. Pembesar itu lalu berkata kepada San Ki dan Leng Si. “Harap ji-wi ketahui bahwa kami adalah Gubernur Coan dari Nan-yang. Kami sangat menghargai orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan melihat kegagahan ji-wi, kami merasa kagum bukan main. Oleh karena itu, kami mengundang ji-wi untuk naik kereta ini dan bersama kami datang berkunjung untuk bertukar pikiran.”
Sebetulnya kedua orang itu merasa tidak senang untuk berkenalan dengan seorang pembesar tinggi, akan tetapi karena Gubernur Coan itu dengan hormat mengundang mereka, maka merekapun merasa tidak enak kalau menolak. Kini Leng Si yang bicara, suaranya hormat akan tetapi tegas.
“Banyak terima kasih atas undangan taijin. Akan tetapi kami masih ada urusan, oleh karena itu harap paduka pulang dulu dan lain hari kamu berdua akan datang menghadap.”
Gubernur Coan menghela napas panjang, lalu mengangguk-angguk. Agaknya dia sudah mengenal watak yang aneh-aneh dari para pendekar. “Baiklah, lihiap. Kunjungan ji-wi selalu kunantikan.” Dia lalu memasuki kembali keretanya dan berjalanlah kereta itu meninggalkan Leng Si dan San Ki. Para penonton pada bubaran dan peristiwa itu menjadi bahan cerita mereka sampai berbulan-bulan.
“Sungguh pertemuan kita ini luar biasa sekali!” kata San Ki kepada Leng Si ketika mereka memasuki kembali rumah makan itu untuk bercakap-cakap tanpa gangguan.
Leng Si tersenyum memandang wajah yang jantan itu. “Gara-gara keceriwisanmu maka kita dapat bertemu dan bersama-sama menghadapi pengeroyokan pasukan dan bahkan menemukan kenyataan bahwa kita saudara seperguruan.” Berkata demikian itu Leng Si sambil tersenyum dan tidak nampak marah.
“Ceriwis? Aku ceriwis? Aih, kenapa? Karena semua meja penuh dan engkau makan seorang diri, dan akupun sudah minta ijin kepadamu dan engkau sudah memperbolehkan dan...”
“Sudahlah. Bagaimanapun juga, hal itu menguntungkan, bukan. Kalau tidak begitu, kita tidak akan saling mengenal. Akupun baru mendengar namanya saja gurumu yang bernama Pek Mau Siankouw itu, mendengar dari subo. Siapa sih namamu?”
“Ah, aku lupa belum memperkenalkan diri. Namaku Gu San Ki, yatim piatu dan sebatang kara maka aku diangkat murid oleh subo dan dianggap seperti anak sendiri. Dan siapakah namamu, sumoi?”
“Orang kang-ouw menyebut aku Jeng I Sianli, namaku Cu Leng Si.”
San Ki nampak terkejut. “Ahh, jadi yang disebut Jeng I Sianli itu adalah engkau? Pantas...! Namamu terkenal sekali, sumoi, dan aku sungguh kagum kepadamu.”
“Ki-suheng, sekarang engkau tinggal di mana, dan engkau datang dari mana hendak ke mana?”
“Aku masih tinggal bersama subo. Subo sudah tua dan tidak ada yang mengurusnya. Tadinya ada sumoi Ji Kiang Bwe yang mengurus subo, akan tetapi setelah sumoi kembali kepada orang tuanya, apa lagi sekarang telah menikah, maka terpaksa akulah yang menjaga dan merawat subo. Aku sedang dalam perjalanan mencari suami dari sumoi yang... pergi merantau.”
“Dan isterimu? Sudah berapa orang puteramu, suheng?”
San Ki menghela napas panjang. “Aku belum menikah, sumoi. Siapa sih yang mau menjadi isteri seorang melarat seperti aku ini? Oya, dan engkau sendiri, sumoi? Di mana engkau tinggal dan dengan siapa? Ke mana engkau hendak pergi?”
“Aku mempunyai tempat tinggal di lereng Taihang-san, tinggal seorang diri saja bersama beberapa orang pengikut dan pembantu rumah. Aku belum berkeluarga pula, suheng. Aku sedang merantau meluaskan pengalaman. Juga... aku sedang berusaha untuk membebaskan ayahku yang ditahan oleh Kaisar.”
“Ahh? Kenapa, dan di mana ayahmu?”
“Ayahku bernama Cu Kiat Hin dan dia menjadi pejabat bagian perpustakaan istana. Karena dia berani menentang seorang thaikam penjilat Kaisar yang korup, maka dia difitnah oleh thaikam itu dan ditangkap.”
“Hemm, kalau begitu mari kita berdua datangi thaikam itu dan memberi hajaran kepadanya, memaksa padanya untuk membebaskan ayahmu!” kata San Ki penuh semangat.
Hangat rasa hati Leng Si melihat sikap San Ki yang membela itu. “Terima kaish, suheng. Akan tetapi sekarang ada seseorang yang sedang pergi kepada Kaisar dan akan menyelamatkan ayahku.”
“Siapa dia?”
“Namanya Sia Han Lin. Dialah yang menemukan Ang-in-po-kiam dari istana dan dia akan menyerahkan kembali pedang itu kepada Kaisar yang sudah menjanjikan hadiah besar kepada siapa yang menemukan pedang itu. Nah, Sia Han Lin itu kini ditemani sumoiku untuk menghadap Kaisar dan mintakan ampun untuk ayahku.”
“Sumoimu?”
“Subo mempunyai seorang puteri yang bernama Lie Cin Mei, berjuluk Kwan Im Sianli. Ialah sumoiku.”
“Ah, aku sudah mendengar tentang Kwan Im Sianli. Bukankah yang memiliki kepandaian mengobati? Kiranya ia puteri bibi guru Wi Wi Siankouw? Subo pernah bercerita bahwa bibi guru mempunyai anak perempuan, akan tetapi subo sendiri tidak tahu namanya. Jadi ia bersama... siapa tadi, Sia Han Lin, kini pergi ke kota raja untuk menyerahkan pedang yang menghebohkan dunia kang-ouw itu dan mintakan agar ayahmu dibebaskan?”
“Benar, suheng.”
“Ah, aku ingat sekarang. Undangan Gubernur Coan itu mungkin berguna bagimu. Bukankah seorang gubernur itu dekat dengan Kaisar dan menjadi kepercayaan atau wakil Kaisar untuk memimpin dan menguasai daerah yang luas sekali? tidak ada buruknya kalau kita mengunjungi dia dan siapa tahu dia dapat pula menolong ayahmu.”
“Sebetulnya aku tidak suka berkenalan dengan segala macam pembesar, akan tetapi mengingat sikapnya yang baik, dan mengingat ucapanmu tadi, memang sebaiknya kalau kita pergi ke sana untuk mendengar apa yang akan dibicarakan.”
Keduanya lalu membayar makanan dan meninggalkan rumah makan itu, lalu melakukan perjalanan menuju ke Nan-yang. Mereka tidak saling berjanji, tidak saling bersepakat, akan tetapi pergi berdua begitu saja seolah-olah hal itu sudah semestinya. Baru sekali ini mereka saling menemukan kawan baru yang cocok. Mereka masih terhitung saudara seperguruan, keduanya belum menikah dan keduanya saling tertarik dan saling kagum.
* * * * * * *
Gubernur Coan menyambut dengan gembira dan juga dengan sikap menghormat. Mereka segera dipersilakan memasuki kamar tamu yang luas dan dijamu dengan hidangan mewah sedangkan semua pengawal diperintahkan keluar oleh sang gubernur. Bukan itu saja, bahkan Gubernur Coan memanggil isteri-isterinya dan tiga orang puteranya untuk ikut mendampinginya menjamu dua orang muda itu. Jelas bahwa dia amat menghormati tamunya dan menganggap mereka seperti tamu agung atau keluarga sendiri.Setelah perjamuan selesai dia mengajak mereka berdua untuk masuk ke ruangan dalam dan di dalam sebuah kamar baca, sang gubernur mengajak mereka berdua itu bicara bertiga saja, tidak dihadiri orang lain.
“Nah, di sini kita dapat bicara dengan santai dan bebas,” katanya kepada Leng Si dan San Ki yang merasa aneh akan sikap tuan rumah yang demikian ramah dan manisnya.
“Paduka telah mengundang kami dan menerima kami dengan baik sekali, taijin,” kata San Ki. “Sebetulnya apakah yang hendak taijin sampaikan kepada kami atau mungkin taijin menghendaki sesuatu dari kami?”
Gubernur Coan tertawa. “Ha-ha, kami memang suka bergaul dengan para pendekar dan kami kagum sekali atas kelihaian ji-wi. Sayang sekali kalau tenaga yang demikian hebat seperti ji-wi tidak dimanfaatkan untuk negara dan bangsa.”
“Hemm, apakah penguasa dapat menghargai tenaga rakyat jelata?” kata Leng Si penuh penasaran. “Penguasa lebih suka mendengarkan bujukan manis dan penjilatan para pembesar korup dari pada mendengarkan nasihat pejabat yang baik. Kaisar sekarangpun tidak adil terhadap pejabatnya yang baik.” Tiba-tiba Leng Si yang treingat akan ayahnya berkata, agak ketus.
Akan tetapi gubernur itu tidak marah. “Ahh, agaknya lihiap mempunyai penasaran. Kalau memang banyak terdapat penjilat dan pembesar korup, justeru ini merupakan tugas orang-orang gagah seperti lihiap untuk memberantasnya! Katakanlah, lihiap, penasaran apa yang lihiap rasakan? Apakah karena sikap kurang ajar dari perwira itu? Dia sudah minta maaf dan dia sudah dihukum cambuk.”
“Bukan dia, taijin. Dia itu merupakan urusan kecil yang tidak ada artinya. Akan tetapi Sribaginda Kaisar!”
Gubernur itu nampak terkejut atas keberanian wanita itu memburukkan nama Kaisar, di depan dia lagi. “Ada apakah, lihiap?”
“Kaisar lebih mendengarkan bujuk rayu manis dari para thaikam yang berhati palsu dari pada ucapan yang jujur dari pejabatnya yang setia.”
“Maksud lihiap, apakah yang telah terjadi?”
“Ayah saya adalah seorang pejabat perpustakaan istana, dan karena dia berani menentang kekuasaan thaikam penjilat yang lalim, thaikam itu melemparkan fitnah kepadanya dan Sribaginda Kaisar malah menyuruh tangkap ayah saya.”
“Ah, itu penasaran sekali!” kata gubernur dan suaranya terdengar penuh semangat. “Siapakah nama ayah nona itu?”
“Ayahku bernama Cu Kiat Hin!”
“Ah, kiranya Cu-taijin itu ayah lihiap? Saya juga pernah mendengar urusan yang penasaran itu dan sampai sekarang ayah nona menjadi tahanan di rumah Kiu Thaikam, akan tetapi jangan khawatir, semua itu mungkin hanya kesalah pahaman di pihak Kui-thaikam. Saya mengenal baik Kui-thaikam dan saya akan dapat minta kepadanya agar membebaskan ayah nona.”
“Terima kasih, taijin, kalau taijin dapat mengeluarkan ayahku dari tahanan, saya akan berterima kasih sekali.”
“Jangan khawatir, lihiap. Eh, ya, siapakah nama lihiap dan siapa pula nama taihiap?”
“Nama saya Cu Leng Si, taijin. Dan ini suhengku bernama Gu San Ki.”
“Gu-taihiap dan Cu-lihiap, urusan Cu-taijin itu serahkan saja kepadaku. Kami tanggung dalam waktu singkat ayah lihiap itu akan dapat dibebaskan. Memang Sribaginda Kaisar terlalu lemah dan menjadi kewajiban kita untuk mengubah keadaan ini.”
Dua orang muda itu terkejut. Ucapan itu berbau pemberontakan! “Apa yang taijin maksudkan?” tanya San Ki.
“Bukankah kalau sebuah pemerintahan itu tidak baik dan merugikan rakyat, sudah sepatutnya kalau diubah, dirombak dan diganti? Nah, itulah yang kami maksudkan, apakah ji-wi merasa tidak setuju?”
“Tentu saja kami setuju sekali!” jawab Leng Si dengan spontan karena dara ini memang merasa jengkel dan marah karena ayahnya ditangkap dan ditahan.
Jawaban yang keras in disambut Gubernur Coan dengan gembira dan dia mengajak mereka berdua mengangkat cawan arak untuk persamaan pendapat itu. “Bagaimana kalau untuk tujuan mulia ini ji-win bekerja kepadaku? Kami membutuhkan orang-orang gagah yang patriotik, yang suka membela rakyat seperti ji-wi ini, untuk menumpas pejabat yang menindas rakyat jelata. Bagaimana pendapat ji-wi?”
Leng Si dan San Ki saling pandang dan keduanya sangsi dan ragu-ragu. Kemudian, dengan cerdik Leng Si berkata, “Taijin, karena urusan ini gawat dan penting sekali, maukah taijin memberi kesempatan kepada kami berdua untuk berunding lebih dulu sebelum memberikan jawabannya?”
Gubernur Coan tertawa. “Tentu saja, bahkan bagus sekali. untuk memutuskan suatu urusan penting haruslah dirundingkan semasak-masaknya. Bagaimana kalau malam ini ji-wi bermalam di sini. Selama menginap di sini, ji-wi dapat berunding berdua dan baru pada keesokan harinya memberi keputusan kepada kami?”
“Baik, taijin.”
Gubernur itu lalu memanggil pelayang dan diperintahkan pelayan untuk mempersiapkan dua buah kamar untuk mereka. Kemudian dia memesan pula kepada pelayan agar dua orang tamu itu dilayani sebaik mungkin. “Nah, sampai besok, taihiap dan lihiap. Kami masih mempunyai banyak urusan yang harus diselesaikan.”
“Silakan, taijin. Sampai besok!” kata Leng Si dan San Ki.
Malam itu, setelah memeriksa dengan teliti bahwa ruangan di depan kamar mereka tidak ada orang lain dan percakapan mereka tidak dapat didengarkan oleh orang lain, San Ki dan Leng Si bercakap-cakap dan berunding.
“Bagaimana pendapatmu, Ki-suheng?” tanya Leng Si setelah mereka berada berdua saja.
“Hemm, aku mencium sesuatu yang busuk, berbau pemberontakan, sumoi.”
“Akupun demikian, suheng. Dan kita bukanlah keturunan pemberontak. Aku tidak sudi diperalat oleh pembesar yang agaknya menghendaki pemberontakan.”
“Benar, kita sependapat, sumoi. Menurut pembicaraannya, agaknya gubernur ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada Kaisar. Bahkan dia mengatakan bahwa dia mengenal baik thaikam Kui. Aku jadi curiga atas sikapnya yang ramah dan bersahabat itu. Jelas bahwa dia agaknya hendak mempergunakan kita, sumoi.”
“Aku sendiri tidak pernah mendendam kepada Kaisar, suheng, biarpun ayahku ditangkap. Aku mengerti bahwa ini adalah ulah Kui-thaikam. Kaisar memang lemah, bukan berarti Kaisar jahat. Lalu apa yang harus kita lakukan, suheng?”
“Hanya ada dua pilihan bagi kita, sumoi. Pertama, kita tolak mentah-mentah ajakannya untuk bekerja untuk dia dan kita pergi dari sini. Kedua, kita terima uluran tangannya, dan kita pura-pura bekerja untuknya, akan tetapi sesungguhnya itu untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya hendak diperbuat. Agar kalau benar dia merencanakan pemberontakan seperti yang kita duga, kita dapat melakukan sesuatu untuk membela kerajaan.”
Leng Si mengangguk-angguk kagum. “Engkau benar, dan aku setuju memilih yang kedua itu, hitung-hitung sebagai petualangan yang menarik. Bagaimana pendapatmu kalau kita terima saja uluran tangannya itu? Siapa tahu, kalau Han Lin dan sumoi sampai gagal membebaskan ayahku, dengan bantuan gubernur ini ayahku dapat dibebaskan.”
“Akan tetapi kalau begitu kita berhutang budi kepadanya, sumoi.”
“Benar, akan tetapi hutang budi bukanlah harus dibalas dengan membantu pemberontakan. Sudahlah, soal ayahku begaimana nanti sajalah. Yang penting, kita sudah sepakat unutk menerima uluran tangannya. Kita harus selalu waspada dan bekerja sama. Kita tolak kalau disuruh melakukan kejahatan atau yang sifatnya pemberontakan.”
“Baik, sumoi. Aku setuju dan aku girang sekali bertemu dengan engkau dan dapat bekerja sama seperti ini.”
“Aku juga girang sekali, suheng.”
Keduanya saling bertemu pandang dan keduanya merasa bahwa telah terjalin keakraban dan kecocokan satu sama lain. Akan tetapi San Ki teringat kepada Ji Kiang Bwe dan dia mengerutkan alisnya sambil menarik napas panjang.
Leng Si yang memperhatikannya melihat perubahan pandang mata itu. Pandang mata itu tadinya begitu mesra dan bahagia ketika memandangnya, dan tiba-tiba saja mata itu termenung dan alis itu berkerut ditambah tarikan napas panjang tanda bahwa hati pemuda itu terganggu sesuatu. “Ada apakah, Ki-suheng? Engkau kelihatan berduka.”
“Aku tiba-tiba saja teringat akan urusan yang menimpa diriku, yang sangat memusingkan hatiku, sumoi.”
“Ada urusan apakah, suheng? Atau merupakan rahasia pribadimu yang tidak boleh diungkapkan kepada orang lain?”
“Memang urusan pribadi yang tidak boleh dketahui orang lain, akan tetapi kepadamu aku tidak dapat merahasiakannya, sumoi. Entah mengapa, timbul kepercayaan besar dalam hatiku terhadapmu. Baiklah, kau dengarlah masalahku yang memusingkan hatiku.”
San Ki lalu bercerita tentang Ji Kiang Bwe dan suaminya, Souw Kian Bu. Betapa dia datang berkunjung kepada sumoinya yang seperti adiknya sendiri itu, dan ketika mereka bertemu dengan suasana akrab, suami sumoinya itu menjadi cemburu dan kini suami sumoinya itu lari pergi meninggalkan rumah dengan marah.
“Aih, mengapa dia begitu pencemburu? Terus terang saja, suheng, apakah ada apa-apa antara engkau dengan sumoimu itu?”
“Sumoi, sudah kukatakan tadi bahwa kepadamu aku tidak dapat menyimpan rahasia. Biarlah engkau ketahui semuanya walaupun hal ini merupakan rahasia pribadi, bahkan rahasia hatiku. Tidak kusangkal bahwa dahulu, ketika kami masih sama-sama menjadi murid subo Pek Mau Siankouw, aku telah jatuh cinta kepada sumoi Ji Kiang Bwe. Akan tetapi karena ia hanya menyayangiku sebagai kakak sendiri, akupun tidak berani menyatakan cintaku, sampai ia kembali ke Kim-kok-pang bahkan menjadi ketuanya. Sejak itu, tentu saja aku jauh darinya dan baru setelah berpisah bertahun-tahun, aku berkunjung kepadanya. Akan tetapi siapa mengira, hal itu bahkan menjadikan terjadinya malapetaka bagi sumoi. Suaminya merasa cemburu dan meninggalkannya pergi. Aku merasa bersalah, sumoi, karena itu aku pergi ini sebetulnya untuk mencari Souw Kian Bu, suami dari sumoi.”
Leng Si menghela napas panjang. Ia tidak kecewa mendengar masa lalu pemuda yang dikaguminya itu, karena bukankah ia sendiri juga pernah jatuh cinta kepada Han Lin? “Memang tidak enak sekali kalau kita bertepuk tangan sebelah dalam urusan cinta...” katanya.
San Ki segera berkta, “Walaupun dahulu aku pernah jatuh cinta kepada sumoiku, setelah ia menikah dengan sendirinya tidak ada sedikitpun pikiran yang bukan-bukan dalam hatiku. Aku bukanlah orang macam itu, Si-sumoi. Setelah suami sumoiku pergi, aku bersumpah kepadanya untuk mencari dan membawa pulang kepadanya suaminya itu.”
“Memang itu baik sekali, Ki-suheng. Setidaknya membuktikan bahwa engkau memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan sumoi Ji Kiang Bwe itu. Suaminya itu orang macam apakah, begitu pencemburu?”
“Dia seorang yang gagah perkasa, sumoi. Souw Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang telah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang gagah perkasa.”
“Akan tetapi dia pencemburu, tanda bahwa dia tidak mampu menguasai nafsunya sendiri. Aku akan membantumu, suheng. Kalau bertemu dengan dia, demi sumoi Ji Kiang Bwe, aku akan memaki-makinya dan mengingatkannya bahwa isterinya sama sekali tidak bersalah, bahwa cemburunya itu tidak berdasar dan bodoh sekali.”
Pada keesokan harinya, mereka berdua menghadap Gubernur Coan yang menyambut mereka dengan ramah dan memerintahkan orangnya untuk menghidangkan santapan apgi untuk mereka. Setelah makan pagi yang ditemani sendiri oleh Gubernur Coan bertanya.
“Bagaimana, ji-wi sudah mengambil keputusan mengenai tawaran kami kemarin?”
San Ki memang sudah menyerahkan kepada sumoinya untuk menjadi wakil pembicara, karena sumoinya itu memang lebih pandai bicara.
“Sudah, taijin. Kami telah membicarakan semalam. Setelah kami mempertimbangkannya masak-masak, maka kami anggap bahwa pendapat taijin itu benar dan kami bersedia unutk membantu taijin. Apakah tugas yang diberikan taijin kepada kami?”
“Untuk sementara, biarlah kalian menjadi pengawal pribadi kami. Kebetulan hari ini kami hendak mengunjungi rapat pertemuan yang teramat penting, yang sehubungan dengan niat kita untuk mengubah keadaan. Karena itu, kalain harap suka menjadi pengawalku dan ikut hadir pula dalam pertemuan agar kalian mengerti apa yang harus dilakukan.”
San Ki dan Leng Si saling lirik dan Leng Si berkata, “Baik, taijin kami gembira sekali dapat bekerja untuk taijin.”
Demikianlah, mulai hari itu kedua kakak beradik seperguruan itu bekerja pada Gubernur Coan, mendapatkan kamar untuk masing-masing di bagian belakang gedung gubernur itu. Dan pada hari itu juga, setelah hari menjadi malam, gubernur mengajak mereka pergi, akan tetapi kepergian gubernur ini tidak resmi. Buktinya dia berjalan kaki, tidak naik kereta dan juga mengenakan pakaian seperti penduduk biasa!
Gubernur Coan pergi dengan menyamar dan ketika San Ki dan Leng Si mengikutinya, mereka pergi ke sebuah rumah penginapan besar yang berada di kota Nan-yang, bahkan masuk dari pintu belakang. Penjaga pintu belakang hotel itu agaknya sudah tahu karena dia hanya membungkuk-bungkuk dengan hormat dan mempersilakan Gubernur Coan dan dua orang pengikutnya masuk ke dalam ruangan luas yang tertutup.
Dan ternyata di situ telah berkumpul beberapa orang yang tidak dikenal San Ki. Akan tetapi ketika Leng Si melihat tiga orang kakek yang juga berada di situ bersama orang-orang lain, ia terkejut. Mereka itu adalah Sam Mo-ong! Ada urusan apa tiga orang datuk sesat yang ia tahu bekerja untuk kepala suku Mongol itu hadir di tempat ini, di tengah kota Nan-yang dalam sebuah pertemuan rapat yang dihadiri Gubernur Coan?
Juga Sam Mo-ong mengenal Jeng I Sianli Cu Leng Si, maka mereka merasa tidak enak sekali. Akan tetapi Leng Si datang sebagai pengikut Gubernur Coan, merekapun diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Yang hadir di situ adalah Kwan-ciangkun, panglima berusia lima puluh tahun bermuka merah yang gagah, kepala pasukan di Lok-yang dan mengepalai pasukan yang kuat dan besar jumlahnya.
Dia hadir bersama dua orang panglima bawahannya yang juga menjadi semacam pengawalnya dan Sam Mo-ong ternyata datang sebagai pengikut seorang yang gendut pendek berusia lima puluh lima tahun, pakaiannya seperti seorang pembesar dalam istana dan dia ini bukan lain adalah Kui-thaikam, yang mengepalai seluruh thaikam di istana.
Kui-thaikam yang lebih dulu memperkenalkan tiga orang pengikutnya ini dengan bangga kepada Kwan-ciangkun dan Gubernur Coan. “Kwan-ciangkun dan Coan-taijin, perkenalkan tiga saudara ini. Mereka adalah Sam Mo-ong seperti yang pernah saya bicarakan. Yang ini adalah Hek-bin Mo-ong, dan yang ini Pek-bin Mo-ong. Yang di sana itu adalah Kwi-jiauw Lo-mo dan mereka sudah menunjukkan surat kepercayaan dari Ku Ma Khan.”
Sam Mo-ong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada semua orang. Kini tiba giliran Gubernur Coan memperkenalkan dua orang pengikutnya.
“Ini adalah dua orang pembantuku yang baru, harap dikenal baik karena mereka ini adalah orang-orang yang sudah kami percaya dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nona ini bernama Cu Leng Si dan ini adalah suhengnya bernama Gu San Ki. Mereka telah menyatakan hendak membantu kita semua memperbaiki keadaan negara yang kacau karena lemahnya pemerintahan ini.”
Seperti yang dilakukan oleh Sam Mo-ong, Gu San Ki dan Leng Si yang memandang kepada semua orang segera bangkit berdiri dan memberi hormat. Diam-diam Leng Si memperhatikan orang yang berpakaian thaikam gendut itu karena ia sudah dapat menduga bahwa orang gendut yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu tentulah thaikam yang terkenal berkuasa itu, yaitu orang yang menyebabkan ayahnya ditangkap! Gubernur Coan cukup cerdik untuk tidak membicarakan dulu tentang ayah Leng Si yang ditangkap itu, akan tetapi segera membicarakan persoalan yang lebih umum dan penting.
“Sekarang kita telah berkumpul, apa yang hendak kita bicarakan lebih dulu, Kui-taijin?”
“Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang terpenting dulu, agar kedatangan kita dari jauh tidak sia-sia dan dapat menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil,” kata Kwan-ciangkun yang datang dari Lok-yang.
Dari pertanyaan gubernur dan panglima itu saja mudah diketahui bahwa kendali persekutuan ini berada di tangan Kui-thaikam! Dialah yang akan memimpin rapat dan menentukan langkah. Dan hal ini tidak aneh karena dia yang berada di istana dan tahu akan segala keadaan di istana.
“Pertama-tama setelah memperkenalkan Sam Mo-ong kepada ji-wi, kita ingin membicarakan pesan dari Ku Ma Khan yang dibawa oleh mereka. Nah, Sam Mo-ong. Sekarang jelaskan untuk kedua kalinya pesan itu kepada Gubernur Coan dan Kwan-ciangkun, juga kepada yang lain-lain.”
Kwi-jiauw Lo-mo yang menjadi pemimpin dari Sam Mo-ong, segera melirik ke arah Leng Si dan berkata, “Harap maafkan kami, Kui-taijin, akan tetapi kami merasa tidak enak dan tidak aman kalau bicara di depan orang-orang yang kalau bukan benar-benar berada di pihak kita, kelak bahkan akan dapat mencelakakan kita sendiri....”
Selanjutnya,