Pedang Awan Merah Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala episode Pedang Awan Merah Jilid 11 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Awan Merah

Jilid 11
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Kwan-ciangkun mengerutkan alisnya. “Apa yang dimaksudkan oleh Kwi-jiauw Lo-mo? Apakah tidak percaya kepada kami? Dua orang pengikut kami adalah dua orang panglima bawahan kami yang terpercaya!”

“Maaf, ciangkun. Tentu saja bukan kedua ciangkun itu yang saya maksudkan.”

“Ahh, agaknya Sam Mo-ong tidak percaya kepada kedua orang pengikutku yang baru ini? Kalau kalian tidak percaya kepada mereka, sama saja hendak mengatakan bahwa kalian tidak percaya kepadaku!” kata Gubernur Coan dengan wajah berubah merah.

“Maafkan, taijin. Tentu saja saya tidak bermaksud demikian, akan tetapi sebaiknya kita berhati-hati karena kebetulan sekali saya mengenal wanita ini yang berjuluk Jeng I Sianli!”

Leng Si bangkit berdiri. “Kwi-jiauw Lo-mo, perlu apa mengusik dan menyebut-nyebut urusan pribadi? Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke dalam perundingan mengenai negara! Atau, apakah perlu aku membongkar semua rahasia pribadi Sam Mo-ong yang terkenal busuk jahat dan banyak melakukan hal-hal yang memuakkan di dunia kang-ouw dan persilatan? Kalau memang begitu kehendakmu, hayo kita saling membongkar rahasia pribadi. Aku hendak melihat kejahatan apa yang pernah dilakukan Jeng I Sianli dan kejahatan apa yang pernah dilakukan Sam Mo-ong!”

Mendengar ledakan ini, tentu saja Sam Mo-ong menjadi gentar. Bagaimanapun juga, tadinya mereka hanya ingin berhati-hati karena mereka tidak mempercayai Jeng I Sianli yang pernah membantu Sia Han Lin, musuh besar mereka. Dan mereka memang tidak dapat membongkar rahasia pribadi Leng Si karena memang belum pernah Jeng I Sianli melakukan kejahatan. Sedangkan mereka bertiga, memang mereka tidak pernah pantang melakukan apa saja.

Mendengar ucapan Leng Si yang demikian berkobar. Gubernur Coan menjadi tidak enak juga. “Sam Mo-ong, harap tidak membicarakan urusan pribadi. Nona Cu Leng Si adalah orang kepercayaanku, maka kalian boleh bicara secara terbuka, dan nona ini adalah tanggung jawabku!”

“Baiklah, kalau Coan-taijin berkata demikian. Kami pun tidak hendak menimbulkan urusan pribadi, hanya hendak bersikap hati-hati saja, demi kebaikan ciangkun dan taijin sendiri. Nah, seperti telah kami laporkan kepada Kui-taijin, kami datang diutus oleh raja kami Ku Ma Khan untuk mempererat hubungan kita. Raja kami telah mengirim beberapa puluh kati emas sebagai sumbangan agar pergerakan yang diatur cu-wi berjalan lancar. Juga raja kami telah mempersiapkan pasukan di perbatasan, supaya kalau sewaktu-waktu dibutuhkan dapat segera maju menolong lancarnya gerakan kalian. Raja kami juga menyatakan kagum dan penghargaan atas usaha kalian yang hendak membersihkan pemerintahan, agar dapat menjalin hubungan dengan bangsa kami dan tidak menimbulkan perang yang hanya akan meyengsarakan rakyat jelata.”

Kwan-ciangkun dan Coan-taijin mengangguk-angguk. Memang, bangsa Mongol yang dipimpin Ku Ma Khan itu mendatangkan kesulitan besar, dan penyerbuan mereka dari utara dan barat mengganggu sekali kesejahteraan pemerintahan. Andaikata Kaisar diganti sekalipun, kalau masih ada gangguan itu tentu tidak akan ada kedamaian.

Maka kalau dapat berdamai dengan bangsa Mongol, maka hal itu akan baik sekali. Dan usaha berdamai dengan bangsa Mongol ini memang telah dirintis oleh Kui-thaikam sejak lama dan baru sekarang ini, dengan perantaraan Sam Mo-ong, hubungan langsung dapat dilakukan.

“Benar, seperti yang dilaporkan Sam Mo-ong,” kata Kui-thaikam. “Bingkisan emas itu telah kami terima dan kami simpan untuk penambahan biaya persiapan gerakan kita. Dan tentang bantuan pasukan, mungkin saja kita perlukan kalau-kalau para panglima di Tiang-an dan perbatasan akan mengadakan perlawanan. Kami memang telah berhasil menghubungi para panglima, akan tetapi para panglima tua sukar sekali dibujuk dan masih tetap setia kepada Kaisar yang lemah itu.”

“Kalau para panglima di Lok-yang tidak perlu dikhawatirkan karena semua telah sepakat untuk membantu gerakan kita,” kata Kwan-ciangkun dengan tegas.

“Juga di Nan-yang ini dapat dikuasai dengan mudah karena pasukan di Nan-yang tidaklah begitu kuat dan kami akan mengunjungi dan membujuk para komandan pasukan di selatan. Setelah kami sekarang memiliki dua orang pembantu yang dapat diandalkan ini, kami merasa lebih leluasa bergerak dan merekahlah yang akan kami utus mengunjungi dan mengadakan kontak dengan para komandan pasukan di selatan.”

“Bagus, kalau begitu masing-masing membagi tugas. Sam Mo-ong harap kembali dan melapor kepada Ku Ma Khan tentang pertemuan ini, dan agar segera pasukan di perbatasan itu diperkuat dan dipersiapkan. Akan tetapi harap menanti datangnya utusan dan jangan sembarangan bergerak kalau belum ada pemintaan dari kami.”

“Baik, taijin, akan kami sampaikan kepada raja kami,” kata Kwi-jiauw Lo-mo.

“Dan Kwan-ciangkun harap memperkuat pasukan di Lok-yang sehingga kalau kami sudah memberi isyarat, dapat melakukan gerakan menuju ke kota raja.”

“Baik, jangan khawatir, taijin, kami memang sudah mempersiapkan segalanya.”

“Dan Coan-taijin, kami harap suka lebih banyak mengadakan hubungan dengan para pejabat, karena makin banyak yang mendukung usaha kita akan lebih lancar.”

“Siap, taijin. Akan tetapi bagaimana dengan gerakan di istana?”

“Hal ini adalah tugasku. Kita sudah membagi tugas dan urusan dengan Kaisar menjadi tugas utamaku. Serahkan saja kepadakuu dan kalau usaha itu berhasil, berarti kalian harus membuat gerakan serentak. Nah, kita sudah cukup bicara, sampai dalam pertemuan mendatang. Kalian akan menerima undangan dariku, untuk menentukan tempat pertemuan itu.”

Semua orang menyatakan setuku dan pertemuan itupun dibubarkan tanpa ada yang mengetahui bahwa di bagian dalam hotel itu baru saja diadakan pertemuan penting dan perundingan orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kaisar Thai Tsung. Setelah mengiringkan Gubernur Coan pulang ke rumah sendiri, tentu saja Leng Si dan San Ki segera mengadakan perundingan sendiri.

“Wah, gawat, suheng. Seperti yang kukhawatirkan, Gubernur Coan merencanakan pemberontakan bersama sekutunya. Bahkan yang menjadi pimpinan adalah Kui-thaikam yang menjebloskan ayah ke dalam penjara! Apa yang harus kita lakukan sekarang, suheng?”

“Tenanglah, sumoi. Kita tidak boleh gegabah, tidak boleh tergesa, harus menanti saatnya yang baik. Kalau kita sekarang tergesa, apa yang dapat kita lakukan? Melapor kepada Kaisar? Tidak ada buktinya dan bahkan kita yang dapat ditangkap Kaisar dan dituduh melakukan fitnah besar-besaran.”

“Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Sudah jelas sekali kehendak thaikam itu walaupun tidak dia jelaskan. Tindakan apa terhadap Kaisar yang akan dia lakukan? Tentu hendak membunuh Kaisar dan menggantikannya dengan calon lain, mungkin seorang di antara para pangeran yang diperalatnya!”

“Kurasa demikian, akan tetapi kita harus berhati-hati. Kurasa tidak ada jalan lain kecuali menghubungi pejabat atau panglima di kota raja yang masih setia kepada Kaisar. Kalau saja kita mengenal panglima yang masih setia dan yang menguasai pasukan...”

“Ah, aku ingat, suheng. Ayah mempunyai seorang sahabat baik, yaitu Panglima Lo. Menurut ayah, kini yang tidak pernah korupsi dan tetap setia kepada Kaisar tidaklah banyak, akan tetapi di antara mereka yang paling menonjol adalah Panglima Lo. Karena kesetiaannya dan kejujurannya itulah maka dia selalu tergeser dan kedudukannya menjadi tidak penting, tidak menguasai pasukan besar. Akan tetapi kukira dialah yang paling tepat untuk dipercaya akan mampu menolong Kaisar kalau sampai benar thaikam gendut itu berniat tidak baik terhadap Kaisar.”

“Baik, sumoi. Kau dengar bahwa kita akan diutus oleh Gubernur untuk menghubungi para pejabat. Bagaimana kalau kita mengusulkan agar kita mengunjungi para pejabat di kota raja dan membujuk mereka agar ikut dalam persekutuan busuk ini? Dengan demikian, kita akan mendapat kesempatan untuk mencari Lo-ciangkun.”

“Bagaimana kalau dia tidak setuju dan tidak mengirim kita ke sana?”

“Ke manapun dia mengirim kita, setuju atau tidak dia, kita dapat saja diam-diam pergi ke kota raja mencari Lo-ciangkun, bukan? Bagaimanapun juga, kita sudah mengetahui rahasia persekutuan busuk itu.”

“Baik, suheng.”

Dan ternyata cocok dengan yang mereka inginkan, pada esok harinya, Gubernur Coan mengutus mereka untuk mengunjungi seorang pejabat tinggi di kota raja menyampaikan suratnya memperkenalkan mereka dan minta agar pejabat itu mendengarkan apa yang dipesankannya kepada mereka. Kemudian, gubernur itu memesan agar San Ki dan Leng Si membujuk pejabat tinggi bagian keuangan itu agar suka masuk ke dalam persekutuan mereka.

Berangkatlah San Ki dan Leng Si dengan gembira ke kota raja. Mereka berdua melakukan perjalanan dengan hati senang, karena mendapatkan kesempatan untuk bergaul lebih akrab.

* * * * * * *

Sam Mo-ong pernah mencoba untuk mengacau dunia persilatan, mengadu domba antara partai-partai besar, akan tetapi semua usahanya gagal. Juga mereka gagal menyerang Beng-kauw, maka kini mereka melakukan usaha lain untuk membuat Kerajaan Tang menjadi semakin lemah.

Mereka menyebar orang-orang mereka untuk memimpin gerombolan orang-orang jahat melakukan perampokan atau lain kejahatan. Pendeknya untuk mengacaukan rakyat untuk membuat keadaan menjadi tidak aman sehingga kelak kalau tiba saatnya, rakyat akan setuju untuk mengganti Kaisarnya yang dianggap tidak becus mengatur pemerintahan.

Pada suatu pagi di luar kota Lok-yang. Seorang gadis cantik jelita berjalan seorang diri. Ia masih muda, tidak akan lebih dari sembilan belas tahun usianya. Tubuhnya langsing dengan pinggang kecil dan pinggul besar, langkahnya gontai seperti seekor harimau betina, wajahnya bundar dengan kulit putih mulus. Sikapnya gagah dan berwibawa. Gadis cantik manis ini bukan lain adalah Yap Kiok Hwi, puteri ketua Cin-ling-pai.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kiok Hwi yang cantik ini jatuh hati kepada Han Lin dan ketika pemuda itu pergi, ia memberikan kalungnya kepada Han Lin dengan dalih bahwa kalau pemuda itu kehabisan biaya di perjalanan, kalung itu dapat dijual untuk penambah biaya. Setelah Han Lin pergi, Kiok Hwi merasa kesepian. Seolah-olah semangatnya terbawa pergi oleh pemuda yang dikaguminya itu.

Ia dapat bertahan sampai setengah tahun, akan tetapi setelah selama itu tidak ada berita apa-apa dari pemuda yang dikasihinya, ia lalu mengambil keputusan untuk pergi merantau. Kepada ayahnya ia menyatakan hendak mengunjungi seorang pamannya yang tinggal di Lok-yang. Pamannya itu bernama Yap Gun dan membuka toko obat di sana karena Yap Gun selain ilmu silat, juga ahli pengobatan.

Demikianlah, ia meninggalkan Cin-ling-san melakukan perjalanan jauh seorang diri. Berkat ilmu silatnya yang tinggi, ia dapat mengatasi segala gangguan di dalam perjalanannya. Akan tetapi tentu saja ia tidak pernah berhenti bertanya-tanya kepada orang tentang Sia Han Lin karena sesungguhnya kepergiannya ini untuk mencari pria yang dirindukannya itu! Ia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pemuda yang dirindukannya itu telah mengalami berbagai macam pengalaman hebat, bahkan terpaksa menikah di utara dengan Mulani, puteri Ku Ma Khan, kepala suku bangsa Mongol!

Dan pada pagi hari itu, ia berjalan dengan santai menuju ke Lok-yang dengan hati lemas karena selama ini ia tidak pernah mendengar sesuatu tentang Han Lin. Ia memasuki daerah yang berhutan dan kota Lok-yang masih sekitar dua puluj li dari tempat itu. Ia tidak tahu bahwa di tempat itu bersembunyi segerombolan penjahat yang menjadi satu di antara gerombolan bentukan Sam Mo-ong! Dan kebetulan sekali yang dipimpin oleh Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui yang kini dapat ditarik oleh Sam Mo-ong untuk bekerja kepada mereka.

Ketika Kiok Hwi sedang berjalan dengan santainya, tiba-tiba dari balik pohon dan semak belukar berlompatan tiga belas orang yang kelihatan buas dan liar. Mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar kokoh, tanda bahwa mereka memiliki tenaga yang kuat, berpakaian ringkas dan di punggung mereka nampak gagang golok. Ketika tiga belas orang ini melihat bahwa yang mereka hadang adalah seorang gadis yang cantik jelita, mereka semua segera tertawa-tawa menyeringai dengan sikap yang kurang ajar dan menjemukan sekali.

“Aduh, cantiknya seperti bidadari!”

“Ah, toako tentu akan senang sekali melihatnya!”

“Wah, kalau sudah jatuh ke tangan toako, kita tidak mungkin kebagian!”

“Ha-ha, nona manis membawa pedang di punggung, sungguh berani sekali mengadakan perjalanan seorang diri. Jangan-jangan ia lihai sekali!”

“Ha-ha, makin lihai semakin menarik. Aku tidak suka dengan wanita yang lemah.”

“Kalau yang ini agaknya kuda liat, tentu toako akan gembira sekali.”

“Hayo tangkap gadis ini! Toako tentu akan memberi hadiah.”

Kiok Hwi mendiamkan saja mereka itu. Ia sudah terbiasa dengan godaan, dan tidak gentar menghadapi orang-orang kasar yang ia duga tentu segolongan perampok itu. Ia tidak tergesa-gesa menghajar mereka karena kelancangan mulut mereka yang tidak sopan, karena ia ingin mendengar kalau-kalau mereka itu mengetahui tentang Han Lin.

“Eh, sobat, perlahan dulu. Aku ingin bertanya kepada kalian, apakah kalian mengerti di mana adanya seorang pemuda bernama Sia Han Lin?”

“Heei, nona manis. Kenapa mencari yang namanya Sia Han Lin? Cari saja aku, namaku Bouw Mo Sin!” semua orang tertawa-tawa sampai bergelak.

Kiok Hwi mengerutkan alisnya. Orang-orang seperti ini tidak mungkin diajak bicara secara baik-baik. “Kalau tidak ada yang tahu, sudahlah. Kalian pergi, jangan menggangguku atau aku akan marah dan tidak mengampuni kalian lagi!”

Ucapan ini mengandung ancaman, akan tetapi tiga belas orang yang biasa menggunakan kekerasan terhadap siapapun juga itu, mana takut menghadapi ancaman seorang gadis jelita berusia sembilan belas tahun kurang? Mereka menganggap gadis itu membual dan bergurau saja, maka mereka terkekeh-kekeh.

“Aduh, bidadari manis. Kami minta ampun!” “Minta cium... ha-ha-ha!”

Marahlah Kiok Hwi. “Singgg...!” pedang telah terhunus di tangannya dan pedang yang terbuat dari baja yang baik itu berkilauan saking tajamnya.

“Wah-wah-wah, benar berani perempuan ini. Hendak melawan kita? Ha-ha-ha! Hayo kawan, kita berlumba menangkap dan serahkan kepada toako!”

Belasan orang itu mengepung dan karena melihat pedang gadis itu demikian tajam berkilauan, untuk berjaga diri, merekapun menghunus golok masing-masing dan mengepung dengan sikap mengancam sekali.

“Kalian mencari mampus!” tiba-tiba Kiok Hwi berseru dan ketika ia menggerakkan pedangnya, namapk sinar berkelebat. Ia membalik dan menyerang orang yang berada di belakangnya, yang tidak menyangka-nyangka bahwa dia yang akan lebih dulu diserang. Karena itu, tak dapat dihindarkan lagi pedang itu melukai pahanya. Dia mengaduh dan terjengkang, darah mengucur dari pahanya yang tersayat pedang!

Semua orang menghentikan tawa mereka dan memandang marah karena seorang kawan mereka dilukai. “Perempuan setan, berani engkau melukai teman kami?” bentak mereka dan kini dua belas orang itu menyerang dengan golok mereka. Agaknya, melihat darah membasahi paha seorang rekan telah membuat mereka lupa akan kecantikan gadis itu dan kini golok mereka menyambar-nyambar dahsyat seperti ekumpulan burung elang menyambari seekor kelinci yang diperebutkan.

Namun, ternyata Kiok Hwi bukan kelinci melainkan seekor harimau betina. Ia memainkan ilmu pedang Cin-ling-pai yang indah dan gerakannya amat lincahnya, tubuhnya bagaikan seekor burung walet beterbangan ke sana sini, pedangnya menyambar-nyambar dan setelah lewat belasan jurus, sudah ada tiga orang yang terluka oleh sabetan pedangnya dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan.

Sembilan orang penjahat itu menjadi marah dan juga berhati-hati. Rata-rata mereka memiliki ilmu silat lumayan, maka setelah mereka berhati-hati dan melakukan pengeroyokan dengan teratur, mulailah Kiok Hwi terdesak. Namun, gadis ini memutar pedangnya melindungi tubuh sehingga semua sambaran golok itu dapat tertangkis oleh sinar pedangnya.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Banyak orang laki-laki mengeroyok seorang gadis, sungguh tidak tahu malu!” dan melompatlah seorang pemuda bertubuh sedang, berpakaian serba biru dan begitu melompat, pemuda ini sudah menggerakkan sebatang pedang dan ternyata gerakannya mengandung tenaga yang cukup kuat.

Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu mengamuk dan membantu Kiok Hwi yang tentu saja menjadi tambah bersemangat. Mereka berdua mengamuk dan kembali tiga orang roboh oleh pedang Kiok Hwi dan pemuda itu. Enam orang yang masih dapat melanjutkan pengeroyokan mulai menjadi gentar karena kepandaian pemuda berbaju biru itu tidak kalah lihainya dibanding kepandaian si gadis cantik. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tawa yang mengandung gema keras dan muncullah seorang pendek kurus yang memegang sepasang golok.

“Mundurlah kalian dan biarkan aku menghadapi mereka berdua!” teriak si cebol ini yang bukan lain adalah Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui (Sepasang Iblis Langit Bumi). Tee-kui atau iblis bumi ini bertubuh pendek kurus, akan tetapi ilmu kepandaiannya cukup tinggi dan diapun seorang laki-laki yang cabul. Begitu melihat Kiok Hwi yang cantik jelita, mulutnya segera mengilar dan dia mengacungkan goloknya. “Nona manis, siapakah engkau dan siapa pula pemuda ini?”

Timbul pula harapan di hati Kiok Hwi untuk dapat memperoleh keterangan tentang Han Lin dari si katai ini. Kalau anak buahnya tidak pernah mendengar tentang Han Lin, barangkali si katai ini yang menjadi pimpinan mereka pernah mendengarnya.

“Paman, aku kebetulan saja lewat di sini dan diganggu oleh anak buahmu. Saudara ini juga kebetulan saja datang menolong karena kami tidak saling mengenal. Paman, aku hanya ingin mengetahui apakah engkau mengenal seorang bernama Sia Han Lin dan tahu di mana dia sekarang?”

Tentu saja Tee-kui tahu siapa Sia Han Lin, Pendekar Pedang Awan Merah. Akan tetapi dia tidak mau mengakui, karena diapun tidak tahu di mana adanya Han Lin. “Heh-heh-heh, Sia Han Lin sudah mampus. Kenapa mencari dia? Lebih baik ikut dengan aku dan menjadi isteriku, pasti senang!”

“Jahanam busuk!” bentak Kiok Hwi marah sekali bukan hanya karena ucapan kurang ajar itu, melainkan dikatakan bahwa Han Lin telah tewas. Dara itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang.

“Trangg...!” Tee-kui menangkis dan Kiok Hwi merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa si katai ini biarpun badannya kecil namun tenaganya besar sekali. Mereka lalu bertanding dan sepasang golok di tangan Tee-kui segera mengepung gadis itu.

Melihat ini, pemuda berpakaian biru itu sudah menggerakkan pedangnya pula membantu Kiok Hwi. Melihat Tee-kui dikeroyok dua, anak buahnya yang tinggal enam orang karena yang lain sudah terluka itu segera maju membantu Tee-kui sekarang berbalik Kiok Hwi dan pemuda baju biru itu yang dikeroyok. Kiok Hwi dan pemuda itu terdesak hebat. Baru menghadapi Tee-kui saja mereka sudah kalah tingkat, apa lagi Tee-kui dibantu oleh enam orang anak buahnya.

Akan tetapi Kiok Hwi dan pemuda itu mengamuk dengan hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Namun, tetap saja mereka terdesak dan keadaan mereka sudah gawat.

“Bunuh pemuda ini akan tetapi jangan lukai gadis ini. Aku membutuhkannya, ha-ha-ha!” Tee-kui sudah tertawa-tawa girang, membayangkan betapa akan senangnya dia nanti kalau mendapatkan gadis yang cantik jelita ini.

Akan tetapi pada saat itu muncul seorang pria muda bercaping lebar. “Setan katai di mana-mana membikin kacau saja!” bentaknya dan dia sudah mencabut pedangnya dan dia sudah mencabut pedangnya lalu menerjang ke arah Tee-kui.

Tee-kui terkejut bukan main mengenal Souw Kian Bu yang pernah membantu ketika dia menyerang Can Kok Han. Dengan masuknya Souw Kian Bu yang lihai, dia merasa gentar dan dengan sigapnya dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri. Anak buahnya tentu saja melarikan diri pontang panting ketika melihat pimpinan mereka sudah lebih dulu melarikan diri, termasuk mereka yang terluka, terseok-seok melarikan diri. Kian Bu dan Kiok Hwi juga tidak mengejar, demikian pula pemuda berpakaian biru.

Kiok Hwi mengangkat tangan memberi hormat kepada Kian Bu dan pemuda baju biru. “Ji-wi telah datang menolongku, sungguh merupakan budi besar sekali dan aku menghaturkan terima kasih.”

“Nona, tidak perlu berterima kasih. Sudah selayaknya kalau kita saling tolong menghadapi penjahat, bukan?” kata si baju biru. “Perkenalkan, nona, aku Ting Bun, secara kebetulan saja lewat di sini dan melihat nona dikeroyok banyak orang. Dan saudara ini, siapakah?”

“Aku juga kebetulan lewat saja dan dapat membantu kalian. Namaku Souw Kian Bu. Tidak tahu, siapakah nona yang kalau tidak salah, memiliki ilmu pedang yang mirip ilmu pedang Cin-ling-pai?”

“Aku memang murid Cin-ling-pai!” kata Kiok Hwi gembira. “Ketua Cin-ling-pai adalah ayahku.”

“Ah, jadi nona ini puteri Bu-eng-kiam-hiap? Pantas saja ilmu pedang nona demikian bagus!” kata Souw Kian Bu memuji.

“Harap Souw-taihiap tidak terlalu memujji. Kalau taihiap tidak keburu datang membantu, tentu aku dan Ting-taihiap ini akan kalah melawan si katai tadi. Entah siapa dia, begitu lihainya.”

“Dia? Dia adalah Tee-kui, orang kedua dari Thian Te Siang-kui,” kata Souw Kian Bu.

“Ahh, pantas ilmu kepadaiannya demikian hebat!” seru Kiok Hwi terkejut dan kini dia teringat kepada Han Lin, maka kepada kedua orang itu dia bertanya. “Sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan, barangkali ji-wi telah mengetahuinya. Aku sedang mencari seorang bernama Sia Han Lin, apakah ji-wi mengetahui dia berada di mana?”

Ting Bun menggeleng kepalanya. Pemuda yang berpakaian serba biru sederhana ini bertubuh sedang, berwajah tampan dan pendiam. Dia tak pernah mendengar nama Sia Han Lin, maka dia menggeleng kepala dengan hati kecewa karena dia ingin sekali dapat membantu nona yang sejak pertama kali melihatnya telah membuat hatinya jatuh bangun ini.

“Sia Han Lin? Kalau boleh aku bertanya, apakah hubunganmu dengan Sia Han Lin, nona?”

Kiok Hwi memandang tajam, jantungnya berdebar. Dari pertanyaan ini saja jelas bahwa pemuda bercaping ini sudah mengenal Han Lin. “Aku sahabatnya, taihiap. Apakah taihiap mengenalnya? Di mana dia sekarang?”

Kian Bu adalah seorang laki-laki yang sudah berpengalaman. Dari sikap dan pertanyaan itu saja dia sudah dapat menduga bahwa Kiok Hwi tentu telah jatuh cinta kepada saudara misannya itu. Dan diapun teringat kepada Can Bi Lan. Juga gadis puteri ketua Pek-eng Bu-koan itu jatuh cinta kepada Han Lin...!

“Tentu saja aku mengenalnya karena dia adalah kakak misanku sendiri.”

“Ahhh... ohhh...!” Kiok Hwi menjadi girang sekali sampai ber-ah-oh-oh, “dapatkah engkau mengatakan di mana dia berada sekarang?”

“Aku sendiri juga sedang mencarinya, nona. Aku hendak menyampaikan berita yang amat buruk baginya.”

Wajah Kiok Hwi berubah. “Berita buruk? Apakah itu, taihiap? Boleh aku mengetahui berita buruk apa yang hendak kausampaikan kepada Lin-koko?”

“Berita bahwa isterinya telah tewas,” kata Souw Kian Bu sambil memandang tajam. Wajah Kiok Hwi menjadi pucat seketika.

“Is... isterinya...? Sejak kapan dia menikah, taihiap?”

“Dia sudah menikah dengan seorang gadis Mongol.”

“Ah, dan isterinya itu... tewas...?” suara Kiok Hwi bercampur isak. “Kasihan sekali, Lin-ko...”

Souw Kian Bu menjadi lega. Bagaimanapun juga, gadis ini berhati baik. Tidak memperlihatkan cemburu, dan tidak marah, malah mengatakan kasihan. Tidak pencemburu, tidak seperti... dia!

“Nona, mati hidup seseorang telah ditentukan oleh Thian. Oleh karena itu, tidak perlu disesalkan,” kata Ting Bun dengan nada suara menghibur. “Harap nona tidak terlalu sedih mendengar nasib sahabatmu itu, nona.”

Mendengar ucapan itu, Kian Bu menghela napas panjang. “Benar yang dikatakan saudara Ting Bun ini. Segala sesuatu yang menimpa kehidupan seorang manusia sudah ditentukan sesuai dengan keadilan Thian, tidak perlu disesalkan. Akan tetapi betapa sukarnya... ah, sudahlah, aku harus melanjutkan perjalananku. Nona, kalau sekali waktu engkau bertemu dengan Han Lin, sampaikan pesanku kepadanya bahwa isterinya telah tewas dan kalau dia hendak mengetahui lebih banyak agar mencari aku di Wu-han.”

“Baiklah, taihiap.”

“Nona, karena engkau sahabat kakak misanku, engkau sahabatku pula dan tidak semestinya menyebut aku taihiap. Namaku Souw Kian Bu dan engkau dapat kuanggap seperti adikku.”

“Terima kasih, Bu-ko. Akan kusampaikan pesanmu kepada Lin-ko kelak, kalau saja aku dapat bertemu dengannya.”

“Nah, selamat tinggal, Hwi-moi dan selamat tinggal, saudara Ting Bun.”

“Selamat jalan,” kata mereka berdua.

Setelah Kian Bu pergi, barulah Kiok Hwi dan Ting Bun menyadari bahwa sejak tadi mereka berdua diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara. Akhirnya Kiok Hwi yang bicara, “Taihiap...”

“Sudah sepatutnya kalau engkau juga jangan menyebut taihiap kepadaku, nona. Kalau engkau menyebut koko (kakak) kepada saudara Souw Kian Bu, kenapa kepadaku tidak?”

Kiok Hwi tersenyum. “Aku tidak berani, akan tetapi kalau engkau menghendaki...”

“Tentu saja, moi-moi, karena bukankah kita telah menjadi sahabat setelah pertemuan yang kebetulan ini?”

“Baiklah, Bun-ko.”

“Hwi-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”

“Aku akan mencari paman ke Lok-yang.”

“Aih, kebetulan sekali, Hwi-moi. Akupun hendak pergi ke Lok-yang mencari saudaraku. Kalau begitu, jika engkau tidak berkeberatan, bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama ke Lok-yang?”

“Tentu saja tidak berkeberatan, Bun-ko. Malah aku girang sekali karena dengan melakukan perjalanan berdua, kita tidak perlu khawatir kalau seandainya Tee-kui tadi menghadang dan mengganggu lagi.”

“Tepat sekali ucapanmu, Hwi-moi. Mari kita berangkat.”

Mereka melakukan perjalanan bersama dan dalam kesempatan ini mereka saling mempererat persahabatan dengan menceritakan keadaan diri masing-masing. Kiok Hwi bercerita bahwa ia hendak mengunjungi pamannya yang sudah lama tidak dijumpainya, sekalian merantau untuk meluaskan pengalamannya.

“Pamanku bernama Yap Gun dan dia membuka toko obat di Lok-yang, dan sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengna paman dan bibi.”

Ting Bun juga menceritakan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu dan sejak kecil menjadi murid Bu-tong-pai bersama adiknya yang bernama Ting Bu. Adiknya itu pergi ke Lok-yang dia hendak menyusulnya.

“Kami berdua juga merantau untuk meluaskan pengalaman,” kata Ting Bun. “Dan adikku itu memang bandel, ingin berpisah agar dapat memperoleh pengalaman hebat.” Dia tersenyum. “Karena itu, dari Tiang-an dia lalu berangkat mendahului aku ke Lok-yang. Sekali ini kalau dia tersusul olehku, takkan kubiarkan dia meliar sendiri. Ternyata di daerah ini terdapat banyak penjahat yang lihai dan berbahaya sekali.”

“Kalau adikmu itu menjadi murid Bu-tong-pai seperti engkau sendiri, kurasa tidak perlu mengkhawatirkannya. Dia pasti mampu berjaga diri.”

“Benar juga katamu, Hwi-moi. Akan tetapi engkau melihat sendiri, gerombolan perampok yang mengganggu kita tadi berbahaya dan lihai.”

“Akupun heran, Bun-ko. Sekarang ini keadaan bertambah parah, dan di mana-mana bermunculan gerombolan perampok yang lihai.”

Ting Bun menghela napas panjang. “Demikianlah kalau pemerintah lemah. Para pejabat hanya berkorupsi tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat. Penjagaan keamanan amat kurang, maka para penjahat berani merajalela dan keamanan hidup rakyat tidak terjamin.”

Mereka memasuki kota Lok-yang dan berkunjung ke rumah Yap Gun, yaitu paman Kiok Hwi, adik dari Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sing. Yap Gun seorang laki-laki berusia empat puluh enam tahun, tinggal di Lok-yang berdua dengan isterinya karena dia tidak mempunyai keturunan. Tubuhnya tinggi tegap, akan tetapi ilmu silatnya tidaklah sehebat ilmu kakaknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, karena sejak muda ia lebih tekun mempelajari obat-obatan dan ilmu pengobatan dari pada ilmu silat. Yap Gun menerima kunjungan Kiok Hwi dan Ting Bun dengan alis terangkat karena dia merasa tidak mengenal dua orang muda itu.

“Gun-siok (paman Gun), lupakah paman kepadaku? Aku adalah Yap Kiok Hwi dari Cin-ling-pai!” seru Kiok Hwi yang geli melihat pamannya tidak mengenalnya.

Barulah laki-laki itu bangkit dan wajahnya berseri-seri. “Ahh, Kiok Hwi! Bagaimana aku dapat mengenalmu? Engkau sudah dewasa sekali sekarang!” lalu orang itu berteriak memanggil isterinya.

Seorang wanita setengah tua muncul dan berbeda dengan suaminya, wanita ini segera mengenal Kiok Hwi dan merangkulnya. “Kiok Hwi, ah, betapa kami merindukanmu!” kata bibi itu yang memang amat sayang kepada Kiok Hwi karena ia sendiri tidak mempunyai anak.

“Kiok Hwi, dan siapakah pemuda ini?”

“Ah, ya, paman. Ini adalah saudara Ting Bun, seorang sahabatku yang kebetulan bertemu di jalan, kami berdua menghadapi serombongan perampok. Dia murid Bu-tong-pai, paman.”

“Ah, bagus. Aku mendengar bahwa Bu-tong-pai banyak mempunyai murid yang menjadi pendekar yang pandai.”

“Paman terlalu memuji,” kata Ting Bun merendah.

Mereka berempat lalu masuk ke dalam. Yap Gun menyuruh para pegawainya untuk berjaga toko dan dia bersama isterinya lalu bercakap-cakap dengna Kiok Hwi dan Ting Bun di ruangan belakang. Setelah ditanya tentang perampokan itu dan Kiok Hwi menceritakan semua, gadis itu berbalik bertanya.

“Bagaimana keadaan di Lok-yang sendiri, paman? Di luar kota banyak perampok, bagaimana dengan di dalam kota?”

“Ah, di sini juga sekarang banyak sekali terjadi hal-hal yang menggelisahkan. Baru sepekan yang lalu terjadi geger di tempat tinggal Kwan-ciangkun, panglima yang paling berkuasa di Lok-yang.”

“Apa yang terjadi?”

“Putera Kwan-ciangkun sakit parah. Akupun pernah dipanggil, akan tetapi dengan terus terang aku mengatakan bahwa aku tidak dapat mengobatinya karena penyakitnya amat parah. Apa yang dilakukan Kwan-ciangkun? Menghukum aku dengan tiga puluh cambukan. Akhirnya terpaksa aku memberitahu bahwa di Nan-yang terdapat sahabatku yang ahli dalam hal pengobatan, yaitu Thian-te Yok-sian, dan agar puteranya dibawa ke sana untuk minta Thian-te Yok-sian mengobatinya. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Kwan-ciangkun? Dia mengirim pasukan memaksa dan menculik sahabatku itu dibawa ke sini dan disuruh mengobati, kalau gagal akan dibunuh!”

“Hemm, sungguh sewenang-wenang!” kata Kiok Hwi dan Ting Bun hampir berbareng.

“Seperti yang kuduga, Thian-te Yok-sian sendiri agaknya tidak sanggup mengobati penyakit yang parah itu, penyakit yang kotor menjijikkan. Dengan dikawal pasukan, Thian-te Yok-sian mengunjungi aku untuk mencari obat-obat yang paling manjur. Namun, itu hanya menolong sementara saja dan keselamatan nyawa Thian-te Yok-sian terancam. Akan tetapi, sepekan yang lalu muncullah muridnya bersama seorang pemuda yang kabarnya bernama Sia Han Lin...”

“Lin-ko...!” Kiok Hwi berseru girang.

“Engkau mengenalnya?”

“Tentu saja, paman. Dia pernah membersihkan nama baik Cin-ling-pai yang tercemar.”

“Karena kelihaian pemuda itu dan murid Thian-te Yok-sian maka dewa obat itu dapat disingkirkan, dilarikan oleh kedua orang itu. Menurut desas-desus, mereka bahkan mengancam Kwan-ciangkun dan akan membunuhnya kalau tidak membebaskan si dewa obat.”

“Hebat!” seru Kiok Hwi gembira. “Dan sekarang mereka berada di mana, paman?”

“Kukira mereka tidak akan berani kembali ke Nan-yang karena tentu Kwan-ciangkun tidak akan tinggal diam. Akan tetapi aku tahu bahwa Thian-te Yok-sian berasal dari daerah Huang-ho. Besar kemungkinan oleh murid dan penyelamatnya dia diantar ke Huang-ho.”

“Kalau begitu, aku mau menyusul ke Huang-ho, Bun-ko, maukah engkau menemani aku pergi ke Huang-ho untuk menyusul mereka? Aku ingin sekali bertemu dengan Lin-ko!”

Ting Bun menghela napas panjang. Dia teringat adiknya, akan tetapi diapun lebih berat kepada Kiok Hwi walaupun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan Kiok Hwi begitu ingin bertemu dengan Han Lin. “Kalau memang penting sekali pergi ke Huang-ho...”

“Bun-ko, apakah engkau lupa akan pesan Souw Kian Bu koko? Bukankah ada berita penting tentang kematian isterinya...”

Wajah pemuda itu mendadak berseri. Kalau itu kepentingannya, tentu saja dia senang untuk menemani. Dia khawatir kalau-kalau Kiok Hwi hendak menyusul Han Lin karena mencinta pemuda itu. Dia tidak tahu bahwa memang tadinya Kiok Hwi mencinta Han Lin, akan tetapi sejak mendengar bahwa Han Lin telah menikah dengan gadis Mongol yang kemudian terbunuh, cintanya juga sudah menghilang, bahkan perhatian hatinya kini beralih kepada Ting Bun.

Malam itu mereka bermalam di rumah Yap Gun dan semalam itu dimanfaatkan oleh Ting Bun untuk berkeliaran di Lok-yang mencari adiknya. Namun usahanya sia-sia, dia tidak dapat menemukan adiknya itu, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia dan Kiok Hwi pergi meninggalkan Lok-yang menuju ke daerah Huang-ho.

Kiranya tidak akan mungkin mencari seseorang yang tinggal di daerah Huang-ho kalau tidak diberitahu daerah mana dan apa nama dusunnya. Huang-ho (Sungai Kuning) beribu-ribu mil panjangnya dan daerahnya amat luas, meliputi beberapa propinsi. Akan tetapi Kiok Hwi sudah mendapat keterangan jelas dari pamannya. Thian-te Yok-sian berasal dari daerah Tong-beng, di lembah Huang-ho tak jauh dari Lok-yang, yaitu di sebelah timurnya. Maka merekapun melakukan perjalanan cepat menuju ke Tong-beng.

Baru saja mereka tiba kurang lebih sepuluh li dari Tong-beng, di sebelah barat, pada pagi hari itu selagi berjalan dengan Ting Bun, tiba-tiba Kiok Hwi berseru. “Lin-ko...”

Ting Bun mengangkat muka memandang dan melihat dua orang sedang berjalan mendatangi dari depan. Seorang pemuda dan seorang gadis.

“Lin-ko...! Lin-ko...!” Kiok Hwi berlari menyambut pemuda dan gadis itu. Terpaksa Ting Bun mengikuti dari belakang.

Pemuda dan gadis itu memang Han Lin dan Lie Cin Mei. Mereka baru saja mengantar guru Lie Cin Mei ke dusun kampung halamannya dan hendak melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Tentu saja Han Lin segera mengenal gadis yang berteriak-teriak memanggilnya itu dan dia terheran-heran melihat Kiok Hwi, puteri ketua Cin-ling-pai itu berada di situ, datang bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

“Hwi-moi...! Kau di sini? Hendak ke mana dan dari manakah engkau, Hwi-moi?”

“Aih, Lin-ko, susah payah aku mencarimu. Ada berita penting sekali yang harus kusampaikan kepadamu dan betapa girang hatiku dapat bertemu dengan engkau di sini...” akan tetapi Kiok Hwi memandang gadis jelita di samping Han Lin itu dengan penuh keraguan.

Han Lin menyadari akan kehadiran Cin Mei dan dia lalu memperkenalkan, “Hwi-moi, perkenalkan. Ini adalah adik Lie Cin Mei yang berjuluk Kwan Im Sianli, murid dari paman Thian-te Yok-sian. Dan adik Cin Mei, ini adalah Yap Kiok Hwi, puteri dari Bu-eng-kiam-hiap Yap Kong Sin, ketua Cin-ling-pai.”

Dua orang gadis yang sama cantik jelita itu saling memberi hormat, dan Kiok Hwi juga teringat akan kehadiran Ting Bun, maka diapun memperkenalkan. “Lin-ko, ini adalah saudara Ting Bun, murid Bu-tong-pai yang membantuku ketika aku diserang oleh Tee-kui dan anak buahnya. Bun-ko, inilah kakak Sia Han Lin yang kucari-cari.”

“Hwi-moi, berita penting apakah yang katanya hendak kausampaikan padaku?”

“Boleh aku bicara sekarang?” tanya Kiok Hwi sambil melirik ke arah Cin Mei.

Gadis yang halus perasaannya ini lalu berkata lirih. “Kalau ingin bicara penting, lebih baik aku menjauhkan dii dari sini...” dan ia hendak melangkah pergi akan tetapi Han Lin segera memegang tangannya.

“Siauw-moi, jangan begitu. Engkau tentu saja boleh mendengarkan apa saja yang akan disampaikan oleh Kiok Hwi. Hwi-moi, katakanlah apa yang akan kau bicarakan dengan aku.”

“Hal ini mengenai isterimu, Lin-ko,” kata Kiok Hwi lalu memandang tajam.

“Isteriku...?” Han Lin berseru heran karena dia sendiri merasa tidak pernah beristeri. Hampir lupa dia akan keadaan Mulani yang sudah menjadi isterinya.

“Perempuan Mongol itu!” kata Kiok Hwi memperingatkan.

“Perempuan Mongol? Engkau sudah tahu tentang itu? Ada apakah dengannya, Hwi-moi?”

“Ia... ia telah tewas, Lin-ko.”

Han Lin terkejut setengah mati. Biarpun dia tidak mencinta Mulani sebagai seorang suami, akan tetapi dia sayang kepada gadis Mongol itu dan bagaimanapun juga, gadis itu sudah menikah dengannya, walaupun hanya menikah upacara saja. “Apa...? Apa yang telah terjadi dan bagaimana engkau dapat mengetahuinya? Ia berada di utara dan kau...”

“Lin-ko, akupun hanya mendengar dari pemberitahuan orang. Bun-koko ini yang menjadi saksi. Lin-ko, kenalkah engkau dengan orang yang bernama Souw Kian Bu?”

“Souw Kian Bu? Dia adalah saudara misanku.”

“Nah, kalau begitu benar sudah. Souw Kian Bu yang menceritakan kepadaku, memesan bahwa apa bila aku bertemu denganmu, aku harus menyampaikan berita bahwa isterimu telah meninggal dunia, Lin-ko.”

Wajah Han Lin berubah layu. Kalau Souw Kian Bu yang menceritakan, tentu tidak dapat diragukan lagi. “Akan tetapi mengapa? Apa yang telah terjadi dengannya?”

Melihat ini, Kiok Hwi merasa kasihan sekali. Wajah Han Lin nampak terkejut dan juga sedih. “Maafkan kalau aku membawa berita yang begini buruk bagimu, Lin-ko. Aku sendiri tidak tahu mengapa, karena kakak Souw Kian Bu tidak memberitahu padaku. Dia hanya berpesan agar kalau bertemu Lin-ko, aku mengabarkan tentang kematian itu dan kalau Lin-ko ingin tahu lebih jelas lagi, katanya agar Lin-ko pergi menyusul dia ke Wu-han.”

“Wu-han?” Han Lin teringat bahwa orang tua Souw Kian Bu tinggal di Wu-han.

“Baik, dan terima kasih banyak, Hwi-moi, sekarang juga aku akan pergi menyusul ke Wu-han. Selamat berpisah, Hwi-moi, jaga dirimu baik-baik. Selamat tinggal, saudara Ting Bun.”

“Selamat jalan, Lin-ko, engkau juga jaga dirimu baik-baik!”

“Mari, siauw-moi,” ajak Han Lin kepada Cin Mei dan mereka bergegas pergi dari situ.

Kiok Hwi dan Ting Bun saling pandang. “Hwi-moi, engkau pernah sangat sayang kepada pemuda itu, bukan?” Ting Bun bertanya dengan jujur.

Melihat keterbukaan pemuda ini dalam mengajukan pertanyaan, Kiok Hwi mengangguk. “Dia pernah menyelamatkan nama Cin-ling-pai, menyelamatkan kehormatan dan nama baik Cin-ling-pai. Aku bersyukur dan berterima kasih sekali kepadanya, dan mengaguminya, akan tetapi sebelum aku mendengar bahwa dia telah menikah dengan wanita Mongol...”

“Aku girang sekali mendengar ini, Hwi-moi.”

“Eh, kenapa girang?”

“Entahlah, akan tetapi aku merasa girang sekali mendengar bahwa engkau tidak memikirkan dan mengharapkan dia lagi.”

Wajah Kiok Hwi menjadi merah sekali karena dia dapat merasakan apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu. “Bun-ko, sekarang engkau hendak pergi ke manakah? Mungkin kita harus berpisah di sini.”

“Ahh! Kenapa begitu? Engkau sendiri hendak ke mana, Hwi-moi?”

“Untuk sementara aku akan tinggal di rumah paman Yap Gun, untuk beberapa hari atau beberapa pekan.”

“Bagus, akupun hendak ke Lok-yang, aku belum dapat menemukan adikku. Pula, apakah engkau tidak tertarik akan halnya Kwan-ciangkun yang bertindak sewenang-wenang? Aku ingin melakukan penyelidikan dan kalau perlu menambah ancaman yang diberikan oleh saudara Sia Han Lin kepadanya. Orang macam itu harus diberi hajaran, kalau tidak dia akan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.”

“Aku setuju sekali, Bun-ko. Aku akan minta kepada paman Yap Gun agar membolehkan engkau sementara tinggal di rumahnya.”

“Ah, tidak, Hwi-moi. Hal itu akan amat mengganggu beliau, dan juga tidak pantas karena aku bukan sanak keluarganya. Biarlah aku mencari adikku lebih dulu dan mudah bagiku untuk mencari tempat penginapan bersama adikku.”

Mereka segera kembali ke Lok-yang dan tentu Yap Gun girang menerima keponakan yang tersayang itu, demikian pula isterinya. Ting Bun tidak tinggal di situ dan segera mencari adiknya. Hampir setiap hari dia datang berkunjung dan hubungan mereka semakin akrab. Biarpun keduanya tidak pernah menyatakan cinta, namun keduanya sudah maklum akan isi hati masing-masing karena segala kemesraan itu dapat mudah dilihat dari pandang mata mereka, dari suara mereka dan senyum mereka. Kalau dua hati sudah saling mencinta, bagi kedua orang itu mudah saja mengetahuinya, tidak dibutuhkan lagi kata-kata yang hanya pandai merayu.

* * * * * * *,

Souw Kian Bu sudah tiba di rumah orang tuanya. Souw Hui San dan isterinya, Yang Kui Lan tentu saja merasa girang akan tetapi juga heran melihat putera mereka datang berkunjung seorang diri saja.

“Kian Bu, mana isterimu? Kenapa tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini?” tanya ibunya heran.

“Ia sibuk dengan urusan Kim-kok-pang, ibu.”

“Ah, Kian Bu, seharusnya engkau datang berkunjung bersama isterimu. Bagaimana engkau tinggal ia begitu saja?” tanya ayahnya.

“Ayah, sudah kukatakan, ia sibuk sekali dan aku sudah rindu sekali kepada ayah dan ibu, maka aku datang seorang diri saja.”

Akan tetapi suami isteri itu saling pandang dan mereka merasa tidak enak hati. Mereka khawatir kalau ada apa-apa antara putera dan mantunya, setidaknya ada percekcokan. Walaupun hati mereka menduga demikian, namun mereka tidak bertanya apa-apa lagi. Dan kecurigaan mereka semakin mendalam ketika mereka melihat sikap putera mereka selama berhari-hari tinggal di situ.

Souw Kian Bu pada dasarnya adalah seorang muda yang periang, akan tetapi selama berada di situ nampak murung selalu dan kalau memperlihatkan wajah gembira, maka kegembiraan itu dibuat-buat. Kerut di antara alisnya tak pernah hilang dan sinar matanya juga muram.

Pada suatu pagi Kian Bu duduk termenung di halaman rumah yang berada di samping toko kain ayahnya. Dia tidak membantu toko, hanya termenung memandang ke pekarangan yang ditumbuhi bermacam bunga tanaman ibunya. Ayah dan ibunya sibuk melayani pembeli di toko kain mereka.

“Bu-te (Adik Bu)...!”

Kian Bu terkejut mendengar panggilan dan mengangkat mukanya. Di pekarangan itu telah masuk dua orang muda, yang seorang segera dikenalnya sebagai Sia Han Lin saudara misannya sedangkan yang kedua adalah seorang gadis yang cantik jelita dan sikapnya lemah lembut.

“Lin-toako...!” serunya girang dan diapun bangkit berdiri lalu berlari menyongsong mereka di pekarangan.

“Bu-te, perkenalkan, ini adalah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei, dan adik Cin Mei, ini adalah adik misanku Souw Kian Bu.”

Kedua orang yang diperkenalkan itu saling memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Akan tetapi mereka berdua itu segera sudah dicekam perasaan hati masing-masing.

“Lin-toako, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku berada di rumah orang tuaku?” tanya Kian Bu.

“Bu-te, aku telah bertemu dengan Kiok Hwi, ia yang mengatakan bahwa... Bu-te, apa yang telah terjadi?”

“Lin-ko, mari kita bicara di taman saja agar jangan ada orang lain mendengarnya. Nona, silakan nona duduk menanti di kamar tamu sementara aku dan Lin-toako...”

“Bu-te, tidak mengapa kalau adik Cin Mei mendengarnya. Ia sudah mengetahui semua. Ceritakan saja, aku tidak mempunyai rahasia apapun terhadap adik Cin Mei.”

Ucapan Han Lin ini saja sudah cukup jelas bagi Kian Bu akan perasaan hati Han Lin terhadap Kwan Im Sianli. “Baiklah, mari kita masuk ke taman.”

Dia mendahului mereka memasuki taman bunga yang berada di sebelah kiri rumah itu, sebuah taman yang cukup indah karena terawat oleh tangan Yang Kui Lan yang memang mencintai bunga. Mereka duduk di bangku panjang dekat kolam ikan emas di tengah taman.

“Peristiwanya terjadi di kota Souw-ciu,” Kian Bu mulai bercerita. “Ketika berada di rumah makan, aku melihat Thian-kui berkelahi dengan seorang pemuda yang kemudian kuketahui bernama Can Kok Han. Mereka bertanding akan tetapi keadaan mereka tidak seimbang.”

“Tentu saja, Can Kok Han tidak mungkin mampu menandingi Thian-kui yang lihai itu,” kata Han Lin.

“Tiba-tiba Kok Han melemparkan sesuatu yang meledak dan membuat Thian-kui roboh pingsan. Kok Han hendak membunuhnya akan tetapi muncul Tee-kui yang menyerangnya dengan hebat sehingga Kok Han tidak sempat lagi menggunakan bahan peledaknya yang lihai itu. Aku lalu muncul membantunya dan Tee-kui segera lari membawa tubuh Thian-kui yang pingsan. Dan kau tahu bagaimana sikap Can Kok Han? Dia malah marah dan tidak senang terhadap bantuanku. Pemuda itu sungguh angkuh luar biasa.”

“Hemm, memang pemuda itu memiliki watak sombong,” kata Han Lin, teringat akan pengalamannya dengan Bi Lan. “Lalu bagaimana, Bu-te?”

“Ketika aku hendak pergi, muncul seorang wanita Mongol...”

“Mulani...!”

“Benar, Lin-ko. Yang muncul adalah Mulani yang menegur Kok Han karena menggunakan obat pembius yang meledak itu dan menuduhnya dahulu juga melakukannya terhadap ia dan engkau. Kok Han mengaku dan pada saat itu, tanpa disangka-sangka, Mulani menghujamkan pedangnya ke dada Kok Han sehingga tewas seketika.”

“Ahh...! Kiranya Kok Han pelakunya itu...!” Han Lin mengepal tinju dan dapat membayangkan betapa Kok Han melempar bahan peledak yang membius, kemudian ketika dia dan Mulani pingsan, pemuda itu memperkosa Mulani dan menelanjangi dia dan Mulani untuk memberi kesan bahwa dialah yang memperkosa Mulani...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.