Pedang Awan Merah Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala episode Pedang Awan Merah Jilid 12 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Awan Merah

Jilid 12
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
“Pada saat itu terdengar ledakan lain dan muncullah seorang gadis yang kemudian kuketahui bernama Can Bi Lan, adik dari Can Kok Han itu dan ketika Mulani terpengaruh peledak yang membius, Bi Lan menyerangnya dengan tusukan pedang.”

“Ahhh..., jadi Bi Lan yang membunuhnya!”

“Tenang, Lin-ko. Menurut aku, Can Bi Lan itu tidak dapat disalahkan. Ia tidak tahu duduknya perkara dan melihat kakaknya dibunuh orang, wajar kalau ia membalas kematian kakaknya itu. Setelah Mulani menceritakan semuanya, barulah Bi Lan sadar dan ia merasa menyesal sekali telah membunuh Mulani, apa lagi ketika kakaknya sendiri yang mengaku telah memperkosa Mulani dan menjatuhkan fitnah kepadamu.”

“Ahh, Mulani...”

“Ketika itu Mulani masih sempat berpesan kepadaku bahwa ia minta maaf telah memaksamu menikahinya dan ia mengatakan bahwa engkau telah bebas, tidak lagi menjadi suaminya karena bukan engkau yang melakukan perbuatan terkutuk itu.”

“Ahhh, Mulani...”

Melihat Han Lin seperti orang yang menyesal sekali, Kwan Im Sianli Lie Cin Mei berkata, “Lin-koko, tidak perlu disesalkan. Bagaimanapun juga, mereka meninggal dunia setelah mengetahui semua persoalannya. Engkau tidak bersalah, dan yang bersalah sudah tewas. Adapun kematian Mulani, kurasa hal itu baik bahkan sebaliknya jika ia masih hidup dan mengetahui aib yang menimpa dirinya itu, tentu hidupnya akan penuh dengan kegetiran dan kedukaan. Semua telah terjadi, koko, dan yang terpenting, engkau tidak melakukan suatu kesalahan.”

“Adik ini berkata tepat sekali, toako. Dan kiranya tidak bijaksana kalau engkau mendendam kepada Can Bi Lan.”

“Aku tidak mendendam kepada siapapun, Bu-te, hanya aku kasihan sekali kepada Mulani. Biarpun ia puteri kepala suku Mongol, harus diakui bahwa ia memiliki watak yang baik.”

Pada saat itu, asyik-asyiknya mereka membicarakan soal kematian Mulani, mereka tidak tahu bahwa ada seseorang laki-laki memasuki taman itu dan dia berseru, “Souw Kian Bu, aku hendak bicara denganmu!”

Semua orang menengok dan ketika Kian Bu mengenal siapa orangnya yang memanggilnya, dia meloncat berdiri dan mukanya berubah merah sekali. matanya melotot memandang pemuda yang datang itu dan suaranya membentak nyaring. “Engkau...? Berani benar engkau datang ke sini! Apa maumu?”

Pemuda itu bukan lain adalah Gu San Ki, suheng isterinya yang dicemburuinya itu. San Ki tidak gentar menghadapi bentakan ini. “Souw Kian Bu, aku datang ke sini untuk membawamu pulang ke Kim-kok-pang, sekarang juga!”

“Apa? Beraninya engkau berkata begitu? Dasar manusia kurang ajar, pengkhianat cabul, kembalilah engkau kepada kekasihmu itu, jahanam!”

Han Lin dan Cin Mei sampai kaget setengah mati melihat sikap Kian Bu. Pemuda yang periang dan bersikap ramah dan sopan itu saat ini nampak seperti setan, begitu marahnya sampai memaki-maki orang yang baru datang.

Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring. “Aihh, inikah orangnya yang bernama Souw Kian Bu? Pantas, sikapnya begini tengik dan tidak tahu diri!” dan di situ muncullah Jeng I Sianli Cu Leng Si.

“Enci Leng Si...!” seru Han Lin.

“Suci...!” teriak Cin Mei.

“Han Lin, Cin Mei, jangan kalian berani ikut-ikutan. Aku harus membereskan laki-laki sombong, suami yang tidak tahu diri ini!” bentak Leng Si dan iapun sudah menghampiri Kian Bu yang menjadi semakin marah.

“Siapa engkau, wanita, yang datang-datang memaki orang?” bentaknya marah.

“Dan kau kira engkau ini siapa begitu San Ki muncul lalu kau maki-maki seenak perutmu sendiri? Engkau suami pencemburu yang sudah tidak ketolongan lagi. Engkau berpikiran kotor, buruk, membyangkan yang bukan-bukan, dan mengukur baju orang lain dengan tubuh sendiri, mengira semua laki-laki sebusuk engkau! Engkau mencumburui Gu San Ki dengan isterimu, bukan?”

Kian Bu demikian marahnya sehingga hampir dia tidak mampu menahan diri lagi. “Kalau memang benar demikian, engkau mau apa? Aku mempunyai alasanku sendiri mencemburui dia! Engkau ini siapakah hendak mencampuri urusan kami?”

“Ketahuilah olehmu, Souw Kian Bu. Gu San Ki tidak perlu kau cemburui karena dia adalah tunanganku! Dan aku tidak rela tunanganku kau cemburui!”

Kian Bu terkejut. Gu San Ki sudah mempunyai tunangan dan agaknya wanita galak ini dikenal baik oleh Han Lin dan bahkan disebut suci oleh Cin Mei?

“Enci Leng Si, harap bersabar dulu!” kata Han Lin. “Souw Kian Bu ini adalah adik misanku, mengapa engkau caci maki seperti itu?”

“Sia Han Lin, kau dengar tadi atau tidak? Dia yang lebih dulu memaki-maki Gu San Ki yang datang dengan baik-baik hendak mengajaknya pulang kepada isterinya.”

Souw Kian Bu yang biasanya pandai bicara, sekali ini merasa tidak berdaya menghadapi Leng Si yang galak seperti kucing beranak itu. Dan pada saat itu, ramai-ramai itu terdengar dari luar taman dan muncullah Souw Hui San dan Yang Kui Lan.

“Kian Bu, ada apakah ramai-ramai ini? Heii, bukankah itu Sia Han Lin? Kapan kau datang?” tegur Yang Kui Lan.

Han Lin segera memberi hormat kepada paman dan bibinya. “Maafkan, paman dan bibi kalau saya belum sempat menghadap paman dan bibi, dan lebih dulu bercakap-cakap dengan Bu-te.”

“Tidak apa, Han Lin. Dan mereka semua ini siapakah? Dan ada apa ramai-ramai tadi? Kami masih sempat mendengar nona ini memaki-maki, siapa yang dimakinya?” tanya Souw Hui San.

“Apakah paman dan bibi ini orang tua Souw Kian Bu? Kalau begitu, harap paman dan bibi dapat mengatur putera paman dan bibi ini yang telah bertindak keterlaluan!” kata Leng Si, kini mengatur kata-katanya dengan sopan.

Yang Kui Lan yang berwatak lembut itu mengerutkan alisnya. “Apa sebetulnya yang telah terjadi? Kian Bu, kenapa engkau diam saja? Katakan, apa yang telah terjadi?”

Han Lin segera berkata, “Bibi, agaknya persoalan ini membutuhkan keterangan kedua pihak, dan kurasa amat tidak baik kalau kita bicara di tempat terbuka seperti ini. Bagaimana kalau kita semua bicara di dalam rumah?”

“Tepat sekali,” kata Souw Hui San. “Marilah, mari kalian semua ikut kami masuk ke dalam rumah dan bicara baik-baik seperti orang sopan.”

Mereka semua lalu ikut masuk ke dalam rumah dan memasuki ruangan belakang yang luas dan tertutup pintu dan jendelanya. Setelah duduk mengelilingi meja besar, barulah Souw Hui San berkata, “Nah, sekarang harap kalian jelaskan, apa sesungguhnya yang telah terjadi.”

“Semua ini terjadi karena gara-gara kehadiran saya, oleh karena itu, kalau Souw Kian Bu membolehkan, biarlah saya yang akan menceritakan semua. Kalau saya bicara salah, nanti Kian Bu boleh saja menyanggahnya. Apakah ini disetujui?” kata Gu San Ki.

Kian Bu mengerutkan alisnya dan tidak membantah. Kemudian Gu San Ki mulai bercerita. “Nama saya Gu San Ki dan saya masih terhitung suheng dari isteri Souw Kian Bu karena saya adalah murid subo Pek Mau Siankouw.”

“Ah, kalau begitu masih terhitung suhengku sendiri!” kata Cin Mei. “Sekarang aku ingat, engkau murid bibi guru Pek Mau Siankouw yang pernah datang berkunjung ke rumah kami!”

“Benar, sumoi,” kata San Ki. “Selama lima tahun saya tinggal di rumah subo bersama sumoi Ji Kiang Bwe dan sejak sumoi meninggalkan perguruan, kami tidak pernah saling jumpa lagi. Sumoi Ji Kiang Bwe dan saya sudah seperti kakak beradik sendiri saja. Nah, beberapa bulan yang lalu, saya yang mendengar bahwa sumoi sudah menjadi ketua Kim-kok-pang dan sudah menikah, datang berkunjung. Pertemuan antara sumoi dan saya terjadi penuh kegembiraan kedua pihak dan sumoi yang sudah menganggap saya sebagai kakak sendiri begitu gembira sampai sumoi memegang kedua tangan saya. Pada saat itu muncul suaminya ini yang kemudian menjadi marah-marah, menyangka yang bukan-bukan lalu dia malah lari meninggalkan isterinya. Sumoi menangis dengan sedih dan yang merasa bersalah adalah saya. Oleh karena itu, saya lalu berjanji kepada sumoi untuk mencari Souw Kian Bu sampai dapat dan membawanya pulang kepada isterinya!”

“Akan tetapi begitu Ki-koko muncul, disambut oleh Souw Kian Bu dengan maki-maki, maka saya menjadi marah dan membalas memaki-maki dia. Saya sebagai tunangan Ki-koko tidak terima mendengar tunangan saya dicemburui dan dimaki-maki,” sambung Leng Si.

Han Lin dan Cin Mei memandang kepadanya dengan terheran-heran. Leng Si sudah bertunangan? Luar biasa sekali dan yang merasa paling gembira adalah Han Lin. Pemuda ini tahu bahwa kakak angkatnya itu pernah menyatakan cinta kepadanya, maka kini dia gembira bahwa kakak angkatnya itu telah mendapatkan seorang kekasih yang demikian gagah.

“Han Lin, benarkah engkau menyaksikan bahwa Kian Bu memaki-maki Gu San Ki ini, sehingga dia dibalas makian oleh nona ini?” demikian Souw Hui San bertanya, dia bersikap seadilnya.

“Benar sekali, paman. Hendaknya paman ketahui bahwa enci ini adalah kakak angkat saya sendiri, ia adalah Jeng I Sianli Cu Leng Si, murid dari Wi Wi Siankouw, dan adik ini adalah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei, puteri dari Wi Wi Siankouw. Enci Leng Si tidak berbohong, demikian pula tunangannya.”

“Kian Bu, apa artinya semua ini? Benarkah engkau mencemburui Gu San Ki ini dengan isterimu, dan benarkah engkau lari dari rumah meninggalkan isterimu dan menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?”

Kian Bu menundukkan mukanya, merasa malu sekali dan baru sekarang dia melihat bahwa sikapnya memang keterlaluan. Cemburunya memang tidak beralasan dan sekarang dia melihat dengan jelas bahwa cemburunya terhadap Gu San Ki itu hanyalah merupakan perkembangan atau kelanjutan saja dari rasa cemburunya pada malam pertama! Dia kini dapat membayangkan betapa duka dan sengsara rasa hati isterinya yang tercinta. Padahal, di lubuk hatinya dia percaya penuh akan kesetiaan isterinya dan percaya penuh bahwa isterinya dahulu belum pernah melakukan perbuatan yang mendatangkan aib.

“Aku memang bersalah, ibu. Aku terburu nafsu menuduh isteriku berbuat yang bukan-bukan. Gu-toako, di sini aku mohon maaf kepadamu. Aku telah menuduhmu berbuat yang tidak benar, padahal semua itu hanya terdorong nafsu cemburuku semata.”

Gu San Ki menjadi berseri wajahnya. “Souw-te, sungguh bahagia rasanya hatiku. Ketahuilah bahwa isterimu berduka sekali dan kuharap engkau segera pulang dan minta maaf kepadanya.”

“Akan kulakukan itu, ayah dan ibu, aku akan mengajak Bwe-moi datang ke sini, harap ibu suka menambahkan permintaan maafku kepadanya.”

“Bagus, kalau begitu semuanya beres. Kiranya kita berada di antara orang-orang sendiri dan hanya terjadi sedikit kesalah pahaman. Han Lin, ternyata sahabatmu ini, nona Lie Cin Mei, nona Cu Leng Si dan Gu San Ki masih terhitung saudara-saudara seperguruan dari mantuku. Maka, pertemuan ini patut dirayakan!” kata Yang Kui Lan dengan gembira dan ia menahan orang-orang muda itu agar suka makan bersama.

Pesta kecil-kecilan ini bagi Souw Kian Bu juga terasa menggembirakan karena ganjalan hatinya karena cemburu itu telah lenyap sama sekali dan dia berjanji pada diri sendiri tidak akan lagi mencurigai atau mencemburukan isterinya yang tercinta.

Setelah selesai makan, empat orang muda itu berpamit untuk melanjutkan perjalanan. Mereka diantar oleh Kian Bu sampai di luar kota Wu-han dan setelah mereka melanjutkan perjalanan, Leng Si bertanya, “Han Lin dan sumoi, kalian sebetulnya hendak pergi ke manakah?”

“Kami hendak pergi ke kota raja, enci Leng Si,” kata Han Lin.

“Ah, pedang pusaka itu belum juga kau kembalikan kepada Kaisar?”

“Belum, enci. Kami baru saja harus menolong dulu guru adik Cin Mei yang dipaksa Kwan-ciangkun di Lok-yang untuk mengobati puteranya.”

“Guru sumoi?”

Cin Mei lalu menceritakan tentang gurunya, yaitu Thian-te Yok-sian, yang kini telah diamankan dan kembali ke kampung halamannya di lembah Huang-ho. “Dan engkau sendiri hendak pergi ke mana, suci?”

“Kami berdua hendak pergi ke kota raja juga. Kami telah bekerja kepada Gubernur Coan di Nan-yang.”

“Ehhh? Sungguh aneh kalau engkau bekerja pada gubernur di Nan-yang, enci Leng Si.”

“Kami hanya berpura-pura saja, sebetulnya kami hendak menyelidiki karena Gubernur itu telah menjadi anggauta persekutuan yang hendak memberontak, dipimpin oleh Kui-thaikam.”

“Ahhh...!”

“Bahkan Sam Mo-ong juga sudah menyusup ke sana, sebagai utusan Ku Ma Khan. Persekutuan itu bekerja sama pula dengan orang Mongol.”

“Wah, gawat kalau begitu,” kata Han Lin.

“Kebetulan kita dapat bekerja sama. Sebaiknya engkau pergi menghadap Kaisar, menyerahkan pusaka dan mintalah kedudukan seperti yang dijanjikan, karena hanya dengan memiliki kedudukan engkau akan dapat melindungi Kaisar. Sebaiknya kalau kalian mendapatkan jabatan di dalam istana. Kami yang akan menyelidiki perkembangan persekutuan itu dengan pura-pura menjadi anak buah Gubernur Coan,” kata Leng Si.

“Baik sekali kalau begitu. Kami setuju,” kata Han Lin.

“Sebaiknya kita jangan masuk bersama-sama. Orang lain tidak boleh tahu bahwa kita saling mengenal, hal itu dapat membuka rahasia kami,” kata pula Leng Si.

Sebelum mereka berpisah, Cin Mei menggandeng tangan sucinya dan diajak bicara menjauh dari Han Lin dan San Ki. “Eh, eh, engkau kenapa, sumoi. Mau bicara saja pakai menarik orang pergi menjauh. Ada rahasia apa sih?”

“Tidak apa apa, suci. Aku hanya ingin menyampaikan terima kasihku atas usahamu mendekatkan aku dan Lin-koko.”

Leng Si tertawa dan mencubit lengan adiknya. “Aku juga ingin melihat kalian berbahagia, sumoi. Engkau memang merupakan satu-satunya wanita yang pantas untuk menjadi isteri adikku Han Lin dan aku pujikan semoga engkau berbahagia.”

“Terima kasih, suci. Dan aku juga menghaturkan selamat kepadamu atas pertunanganmu dengan kakak Gu San Ki yang gagah itu.”

Wajah Leng Si menjadi agak kemerahan. “Ah, itu tadi kukatakan hanya untuk memperkuat kedudukannya yang dituduh oleh Souw Kian Bu saja.”

“Tidak sungguh-sungguh? Tidak mungkin, kalau berpura-pura engkau tentu tidak akan sudi mengakui menjadi tunangannya. Dan agaknya Gu-toako juga tenang-tenang saja. Tidak, kalian tentu telah bersepakat untuk berjodoh. Kionghi (selamat), suci yang baik!”

Kembali Leng Si mencubit lengan sumoinya. “Sudahlah, engkau mau menggoda orang tua?”

Dua pasang orang muda itu lalu melakukan perjalanan terpisah. Mereka tidak mau ada orang yang melihat mereka melakukan perjalanan bersama karena hal ini berbahaya sekali. Terutama bagi Leng Si dan San Ki yang telah diterima menjadi “orang kepercayaan” Gubernur Coan.

* * * * * * *

Yap Kiok Hwi berjalan-jalan di kota Lok-yang. Sudah seminggu ia tinggal di rumah pamannya, dan baru hari ini ia keluar dari rumah pamannya pergi berjalan-jalan. Sebetulnya, ia bermaksud mencari Ting Bun, karena sehari kemarin pemuda itu tidak datang berkunjung ke rumah pamannya seperti biasa. Baru sehari tidak dikunjungi ia merasa tidak enak, merasa rindu! Maka, pagi itu iapun berpamit kepada paman dan bibinya untuk pergi berjalan-jalan, tentu saja tidak bilang bahwa ia hendak mencari sahabatnya itu.

Setelah berputar-putar sejak pagi, menjelang tengah hari ia sudah merasa lelah, haus dan lapar. Dimasukinya sebuah rumah makan besar untuk memesan makanan. Hatinya berdebar tegang ketika dia melihat Ting Bun. Pemuda itu tidak melihatnya karena duduknya membelakanginya, akan tetapi ia segera mengenalnya. Ia sudah begitu hafal akan pemuda itu sehingga melihat dari jauh saja, biarpun dari belakang atau samping, ia akan dapat mengenalnya.

Yang membuat hatinya merasa tegang dan berdebar adalah ketika melihat seorang gadis cantik duduk berhadapan dengan Ting Bun. Ia memandang penuh perhatian. Gadis itu usianya sebaya dengannya, berpakaian merah muda dan cantik sekali. Sepasang matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terenyum manis. Sebatang pedang berada di punggungnya. Dan mereka berdua itu bercakap-cakap dengan demikian mesranya, berbisik-bisik dan diseling senyum manis.

Hatinya terasa panas bukan main, seperti dibakar! Akan tetapi, ia tentu saja tidak berani menegur, malu, karena ia tidak berhak melarang Ting Bun yang hanya sahabat biasa itu bergaul dengan siapapun. Ia hanya memperkeras suaranya ketika memesan makanan dan minuman untuk menarik perhatian. Usahanya berhasil.

Ting Bun menoleh dan memandang kepadanya. Jelas Ting Bun orang itu, akan tetapi hanya sebentar saja memandang kepadanya lalu membuang muka lagi, pura-pura tidak mengenalnya! Hal ini yang membuat Kiok Hwi semakin panas. Kenapa harus pura-pura tidak melihatnya?

Hidangan itu menjadi tidak enak rasanya dan ia hanya makan sedikit saja. Setelah minum tehnya, Kiok Hwi mengambil keputusan untuk pergi mendahului mereka. Akan tetapi ia sengaja berjalan memutari meja mereka sehingga mau tidak mau Ting Bun pasti melihatnya. Dan benar saja, pemuda itu mengangkat muka memandangnya akan tetapi masih tetap berpura-pura tidak mengenalnya! Bahkan ia mendengar pemuda itu berbisik kepada temannya.

“Lan-moi, engkau sungguh lucu... ha-ha!” dan keduanya tertawa, seolah menertawainya. Ingin Kiok Hwi menendang meja mereka, akan tetapi ia masih mampu menguasai dirinya, bahkan dapat menggigit bibir menahan tangisnya yang sudah akan meledak-ledak. Ia segera kembali ke rumah pamannya, mengurung diri di dalam kamar untuk menangis sepuasnya. Ia merasa terhina sekali.

Kalau Ting Bun mencinta gadis lain, iapun tidak dapat berbuat apa-apa, karena antara ia dan Ting Bun, walaupun ada tanda-tanda saling jatuh hati, namun masih belum saling menyatakan cinta. Kalau Ting Bun memperkenalkan gadis itu kepadanya, hal itu masih wajar. Akan tetapi Ting Bun tidak menghiraukannya, seolah tidak mengenalnya, bahkan menertawainya bersama gadis cantik berpakaian merah muda itu! Hati siapa tidak menjadi kesal dan mengkal?

Sore itu Ting Bun datang berkunjung. Ketika ia diberitahu bahwa pemuda itu datang, tadinya ia ingin menolak untuk menemuinya. Akan tetapi lalu timbul penasaran di hatinya. Setidaknya ia akan membalas penghinaannya itu atau menegurnya dengan keras. Tidak tahu diri dan tidak tahu malu, baru siang itu menghinanya, sorenya sudah berani muncul! Dengan dada seperti terisi api membara ia membedaki mukanya yang pucat, kemudian membusungkan dada dan melangkah keluar seperti seorang yang hendak menghadapi musuh besarnya!

Menurutkan kata hatinya, ingin ia menangis, ingin ia berteriak, akan tetapi semua itu ditahannya karena pada dasarnya Kiok Hwi memiliki watak pendiam. Ia harus menjaga kewibawaannya dan dengan pandang mata dingin ia memandang kepada pemuda yang segera bangkit berdiri ketika melihat gadis itu keluar.

“Hwi-moi, baru sekarang aku datang dan... eh, Hwi-moi, kenapa kedua matamu kemerahan? Apakah engkau habis menangis dan ada terjadi apakah, Hwi-moi?”

Betapa palsunya! Masih berpura-pura lagi. Pemuda itu agaknya sudah nekat dan tidak tahu malu sama sekali. Baik, iapun akan bersandiwara dan pura-pura tidak tahu saja. “Aku tidak apa-apa, Bun-koko. Engkau dari manakah, dan kenapa kemarin sehari tidak datang ke sini?” suaranya terdengar kering, walaupun telah diusahakan agar terdengar biasa.

“Aku mencari adikku sampai ke luar kota, Hwi-moi. Di luar kota aku mendapat petunjuk, akan tetapi setelah kuikuti dan kususul, aku gagal mendapatkannya.”

Hati Kiok Hwi terasa semakin panas. Betapa enak saja orang ini berbohong, pikirnya. “Dan siang tadi engkau berada di manakah?”

“Aku masih berada di luar kota, baru saja aku masuk kota dan langsung saja ke sini karena tentu engkau bertanya-tanya kenapa aku tidak datang menjengukmu.”

“Siang ini engkau tidak pergi ke rumah makan?”

“Rumah makan? Tidak, apa maksudmu, Hwi-moi?”

Kiok Hwi tidak dapat menahan kemarahannya. “Bun-ko, selama ini kuanggap engkau seorang sahabat yang baik dan jujur, akan tetapi tidak kusangka engkau seorang pembohong besar dan seorang yang sombong dan pengecut. Aku melihat sendiri engkau bersama seorang gadis berpakaian merah muda di rumah makan, bahkan aku lewat di depanmu dan engkau melihatku, akan tetapi engkau pura-pura tidak melihat. Dan sekarang engkau malah menyangkal pergi ke rumah makan! Begitukah sikap baik seorang sahabat? Kalau engkau sudah tidak ingin menjadi sahabatku, katakan saja terus terang!”

Ting Bun terbelalak, tidak marah bahkan nampak gembira. “Engkau melihatku di rumah makan bersama seorang gadis berpakaian merah? Cocok! Akupun mendengar tentang gadis berpakaian merah muda itu. Hwi-moi, mari, mari bawa aku ke rumah makan itu. Cepat, atau aku akan kehilangan jejaknya lagi!”

Ting Bun memegang tangan gadis itu dan ditariknya keluar, diajaknya berlari pergi ke rumah makan yang dimaksudkan Kiok Hwi tadi. Gadis ini merasa bingung, akan tetapi ia terpaksa mengikuti.

“Apa artinya ini, Bun-ko?”

“Yang kau lihat itu adikku!”

Jawaban singkat ini membuka semua kegelapan. Akan tetapi, kalau benar adiknya, mengapa begitu persis? Mereka berlari ke rumah makan itu, akan tetapi tentu saja yang dicari sudah tidak ada karena peristiwa pertemuan itu terjadi siang hari tadi, dan sekarang sudah sore. Akan tetapi Ting Bun tidak kehilangan akal. Dia menemui seorang pelayan dan bertanya,

“Paman, apakah paman tadi melihat seorang yang seperti aku datang berbelanja di sini bersama seorang nona berpakaian merah muda?”

Pelayan itu terbelalak. “Eh, apakah bukan tuan sendiri yang datang tadi? Tadi memang ada, siang tadi, tapi... kukira tuan.”

“Tahukah engkau ke mana mereka pergi?”

“Aku tidak tahu, tuan. Hanya tadi mereka menanyakan rumah penginapan yang baik kepadaku, dan aku tunjukkan rumah penginapan Lok-an.”

Ting Bun segera mengajak Kiok Hwi pergi untuk mencari ke rumah penginapan Lok-an. Kiok Hwi semakin yakin kini bahwa Ting Bun tidak berbohong. Dari keterangan pelayan rumah makan itu tadi saja menunjukkan bahwa siang tadi memang ada seorang pemuda yang persis Ting Bun datang ke situ bersama seorang gadis berpakaian merah muda.

Ketika mereka memasuki halaman rumah penginapan itu, kebetulan sekali dari dalam keluar seorang pemuda yang persis Ting Bun, hanya warna pakaiannya saja yang berbeda, sehingga membuat Kiok Hwi bengong terlongong. Begitu persis Ting Bun orang itu, seperti pinang dibelah dua. Dan di samping berjalan seorang gadis berpakaian merah muda, seperti yang dilihatnya di rumah makan tadi.

Ting Bun girang bukan main. “Bu-te...!” teriaknya.

“Bun-ko! Kau baru datang?”

“Wah, sudah kucari ke mana-mana baru sekarang bertemu. Kenapa engkau terlambat? Ke mana saja engkau dan siapa nona ini?”

“Mari kita masuk dan bicara di dalam, Bun-ko. Ada peristiwa penting yang ingin kubicarakan denganmu.”

Mereka lalu memasuki rumah penginapan itu dan pemuda yang diaku adik oleh Ting Bun itu mengajak mereka semua memasuki kamarnya di mana mereka duduk mengelilingi meja setelah pintu dan jendela ditutup rapat-rapat.

“Bun-ko, ini adalah nona Can Bi Lan, puteri ketua Pek-eng Bu-koan, sahabat baikku. Lan-moi, inilah kakak kembarku seperti yang kuceritakan kepadamu.”

“Bu-te, dan ini adalah nona Yap Kiok Hwi, puteri ketua Cin-ling-pai. Kami juga kebetulan saja bertemu saling bantu menghadapi penjahat dan menjadi sahabat baik.”

Mereka yang diperkenalkan saling memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap depan dada. Dengan singkat Ting Bun bercerita kepada adiknya tentang pertemuannya dengan Kiok Hwi yang kini menjadi sahabat baiknya.

“Dan bagaimana denganmu, Bu-te? Di mana engkau bertemu dengan nona Can Bi Lan ini dan peristiwa penting apakah yang hendak kau bicarakan?”

Ting Bu lalu bercerita. Dia adalah adik kembar dari Ting Bun dan memang kedua orang ini mempunyai wajah dan bentuk tubuh yang mirip sekali sehingga kalau orang tidak mengenal mereka dengan akrab sekali tentu tidak akna dapat memperbedakan mereka. Kedua kakak beradik kembar ini menjadi murid Bu-tong-pai dan setelah mereka tamat belajar, kedua orang muda yang berusia dua puluh tiga tahun ini meninggalkan Bu-tong-pai dan pulang ke rumah.

Kemudian mereka mengambil keputusan untuk memanfaatkan ilmu silat yang mereka kuasai, untuk mencari pekerjaan di kota raja, mengabdi kepada kerajaan. Untuk itulah mereka pergi ke Lok-yang dan kemudian kalau di tempat ini tidak berhasil, mereka akan melanjutkan ke ibukota Tiang-an.

Untuk menghindari agar tidak selalu menjadi perhatian orang karena persamaan mereka, juga karena ingin menikmati perjalanan seorang diri, Ting Bu meninggalkan kakaknya dan mereka melakukan perjalanan berpisah dengan janji akan bertemu di Lok-yang. Kalau Ting Bun mengambil jalan raya biasa, sebaliknya Ting Bu mengambil jalan pintas melalui gunung-gunung.

Pada suatu hari ketika tiba di luar kota Lok-yang, Ting Bu melihat seorang gadis berpakaian merah muda yang lihai sekali dikeroyok belasan orang yang berpakaian seperti orang Mongol. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu golok yang hebat juga sehingga gadis yang mengamuk dengan pedangnya itu terdesak. Melihat ini, Ting Bu tanpa diminta segera mencabut pedangnya dan membantu gadis itu.

Bagaimanapun juga, yang dikeroyok itu seorang gadis Han sedangkan para pengeroyoknya adalah orang-orang Mongol, maka tanpa ragu lagi dia membantu gadis itu. Andaikata para pengeroyoknya bukan orang Mongol, tetap saja dia akan membantu si gadis. Tidak pantas belasan orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda.

Majunya Ting Bu membuat gadis itu mendapat semangat baru dan mereka berdua dapat membuat para pengeroyok kocar-kacir. Mereka melarikan diri, dan ada dua orang yang melarikan diri menuju ke kota Lok-yang karena mereka sudah salah mengambil langkah dan jurusan. Melihat ini, Ting Bu dan gadis itu melakukan pengejaran. Mereka ingin menangkap dua orang itu dan menguras keterangan dari mereka.

Mereka merasa heran sekali bagaimana kedua orang itu dapat memasuki Lok-yang tanpa menimbulkan kecurigaan kepada para perajurit penjaga di pintu gerbang. Mereka mengejar terus dan melihat dalam keremangan senja kedua orang itu bahkan lari memasuki benteng pasukan! Tentu saja mereka tidak dapat masuk, terhalang oleh pasukan jaga.

“Sungguh luar biasa! Mereka memasuki benteng!” seru Ting Bu kepada gadis berpakaian merah itu ketika mereka meninggalkan benteng itu. “Mungkinkah mereka itu pasukan yang menyamar?”

“Tidak, mereka memang orang Mongol aseli, akan tetapi anehnya, mereka seolah mempunyai hubungan baik dengan pasukan di benteng itu.”

“Nona, engkau siapakah dan bagaimana sampai dikeroyok mereka? Perkenalkan, namaku Ting Bu dan aku adalah murid Bu-tong-pai yang kebetulan lewat dan melihat engkau dikeroyok tadi.”

Gadis itu memberi hormat. “Saudara Ting Bu, terima kasih atas bantuanmu tadi. Pantas engkau lihai, kiranya engkau adalah murid Bu-tong-pai yang besar. Aku sendiri hanya puteri seorang guru silat Pek-eng Bu-koan di kota raja, namaku Can Bi Lan.”

“Nona Bi Lan, atau boleh aku menyebut adik saja?”

“Tentu saja boleh, Bu-ko, bukankah kita ini sebetulnya masih segolongan dan orang-orang yang menjunjung tinggi dan membela kebenaran dan keadilan?”

“Lan-moi, kenapa engkau sampai dikeroyok oleh orang-orang Mongol itu?”

Bi Lan menarik napas panjang. “Panjang ceritanya, Bu-ko, akan tetapi biarlah kupersingkat saja. Aku mempunyai seorang kakak bernama Can Kok Han. Aku melihat kakakku itu terbunuh oleh seorang puteri Mongol. Nah, aku membalaskan kematiannya dan aku bunuh puteri Mongol itu. Dan orang-orang Mongol itu tentulah utusan raja Mongol untuk membalas kematian puterinya. Tadi mereka menghadangku dan setelah tahu aku bernama Can Bi Lan, tanpa banyak cakap lagi mereka hendak menangkapku. Aku melawan dan terjadilah pertempuran itu.”

“Ah, begitukah kiranya? Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka itu memasuki Lok-yang tanpa dicurigai, bahkan menghilang di dalam benteng?”

“Ini memang aneh sekali, Bu-ko, karena itu, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan di Lok-yang ini. Agaknya aku mencium bau yang tidak enak, siapa tahu panglimanya mempunyai hubungan dengan orang Mongol?”

Demikianlah pengalaman Ting Bu yang bertemu dan berkenalan dengan Bi Lan, seperti yang dia ceritakan kepada kakaknya.

“Dan siang tadi engkau bersama nona Bi Lan ini makan di rumah makan, Bu-te?”

“Benar, Bun-ko, bagaimana engkau dapat tahu?”

“Bukan aku yang melihatnya, melainkan Hwi-moi inilah dan ia mengira engkau ini aku sehingga ia merasa penasaran karena engkau tidak mengenalnya, seolah-olah aku pura-pura tidak mengenalnya.”

Kakak beradik itu tertawa, juga Bi Lan ikut tertawa, sedangkan Kiok Hwi menjadi kemerahan kedua pipinya. Untuk menghilangkan rasa malu dan rikuh, ia lalu berkata, “Sudahlah, kita sekarang perlu sekali membicarakan tentang orang-orang Mongol yang menghilang ke dalam benteng pasukan kerajaan itu. Mungkin saja di sana dijadikan tempat rahasia untuk mereka dan perlu sekali kita menyelidiki panglimanya. Aku menjadi curiga sekali kepada panglima yang mengepalai benteng itu.”

“Engkau benar, enci Kiok Hwi. Kalau tidak diselidiki dan hal ini dibiarkan saja, tentu akan berbahaya. Siapa tahu, panglima di sini mempunyai hubungan dengan orang Mongol dan hendak melakukan pemberontakan,” kata Bi Lan.

“Sebaiknya malam ini kita berempat melakukan penyelidikan, tentu saja tidak mungkin menyelidiki benteng yang terjaga ketat dan di mana berdiam ribuan orang pasukan. Kita sekarang menyelidiki di mana rumah gedung panglimanya dan kita selidiki rumah panglima itu.”

Bi Lan dan Ting Bu menyuruh Kiok Hwi dan Ting Bun bermalam saja di rumah penginapan itu, tidak perlu menambar kamar karena Ting Bun dapat tinggal bersama adiknya, sedangkan Kiok Hwi tinggal bersama Bi Lan. Tentu saja karena sekamar, kedua orang gadis itu menjadi akrab sekali.

Ketika Ting Bun kembali dari penyelidikannya, dia memberi tahu bahwa rumah panglima itu berada di luar benteng dan bahwa yang menjadi komandan benteng adalah Kwan-ciangkun. Malam hari itu mereka mengenakan pakaian hitam dan begitu mereka bertemu di luar, Bi Lan dan Kiok Hwi terkejut sekali karena sepasang saudara kembar itu kini mengenakan pakaian yang sama benar sehingga mereka tidak tahu lagi mana Ting Bun dan mana Ting Bu.

“Yang mana Bu-koko?” tanya Bi Lan.

Seorang di antara mereka tertawa dan menjawab. “Akulah, Lan-moi.”

“Ah, Bu-ko, engkau harus memakai tanda khusus kalau tidak aku dan enci Kiok Hwi menjadi bingung tidak dapat memperbedakan kalian karena kalian persis sama.”

Ting Bun tertawa. “Begini saja, Bu-te. Engkau memakai kain yang dilibatkan di lengan kananmu.”

Ting Bu lalu mengambil saputangan hitam dan mengikatkan saputangan itu di lengannya, pada pergelangan dan sekarang kedua orang gadis itu merasa lega karena dapat membedakan dan mengenal mana kakaknya dan yang mana adiknya. Setelah itu, mereka lalu menggunakan kepandaian mereka berkelebatan lenyap ditelan kegelapan malam dan melakukan perjalanan cepat menuju ke rumah Kwan-ciangkun.

Rumah gedung besar itu sepi karena malam sudah larut. Empat sosok bayangan orang berada di atas genteng dan berindap-indap merayap menuju ke belakang. Setelah jelas tidak ada orang di sana, mereka berlompatan, melayang masuk dan tiba di taman kecil di bagian belakang. Dari ruangan di belakang itu mereka melihat ada sinar terang mencuat dari jendela ruangan itu. Mereka saling memberi tanda dan menyelinap mengintai dari balik jendela karena mendengar orang bercakap-cakap.

Ketika mereka mengintai ke dalam, nampak ada belasan orang Mongol di sana, dan juga seorang berpakaian panglima berada di situ. Mereka menduga bahwa panglima itu tentu Kwan-ciangkun. Akan tetapi yang membuat Bi Lan terkejut bukan main adalah ketika ia melihat Sam Mo-ong berada di situ pula.

“Itu Sam Mo-ong...!” bisiknya kepada Ting Bu yang berada di dekatnya. Ting Bu membisikkan pula kepada kakaknya dan Kiok Hwi. Tentu saja mereka terkejut bukan main mendengar disebutnya nama tiga datuk yang sakti itu. Dan karena kaget mereka membuat sedikit gerakan dan ini sudah cukup bagi Sam Mo-ong untuk mendengarnya.

“Siapa di sana?” bentak Kwi-jiauw Lo-mo dan tubuhnya sudah melayang keluar jendela, diikuti Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong. Juga semua orang Mongol dan Kwan-ciangkun beramai-ramai keluar dari ruangan itu, bahkan Kwan-ciangkun segera membunyikan peluit dan dari luar berlarian masuk pasukan pengawal!

Empat orang itu terkejut sekali. Bi Lan yang maklum betapa lihainya Sam Mo-ong, apa lagi di situ terdapat belasan orang Mongol dan pasukan pengawal, sudah berteriak. “Kita lari...!”

“Kejar...!” teriak Kwi-jiauw Lo-mo akan tetapi pada saat itu Bi Lan sudah melemparkan bahan peledaknya yang mengeluarkan asap tebal. Ketika para pengejarnya menyingkir dan memutari asap, empat orang itu sudah lenyap dari situ.

“Wah, berbahaya sekali...!” kata Bi Lan kepada tiga orang kawannya setelah mereka tiba kembali ke kamar rumah penginapan. “Sam Mo-ong itu luar biasa saktinya dan aku pernah hampir tewas oleh seorang di antara mereka, yaitu Hek-bin Mo-ong. Pukulannya beracun ampuh bukan main. Untung aku masih mempunyai sebuah alat peledak itu, kalau tidak, sukar bagi kita untuk menyelamatkan diri.”

“Ah, kalau begitu, jelas bahwa Kwan-ciangkun bersekongkol dengan orang-orang Mongol,” kata Ting Bu.

“Itu jelas karena Sam Mo-ong adalah pembantu utama Ku Ma Khan, raja bangsa Mongol. Akan tetapi kita berempat saja tidak akan dapat berbuat apa-apa,” kata Bi Lan.

“Bagaimana kalau kita lapor kepada pemerintah?” tanya Ting Bun.

“Lapor kepada siapa? Kwan-ciangkun adalah komandan di sini, siapa yang lebih berkuasa darinya?” bantah Bi Lan.

“Bagaimana kalau kita lapor ke kkota raja?” kata Yap Kiok Hwi.

“Satu-satunya jalan tentu demikian. Akan tetapi karena kita tidak mempunyai bukti, maka kita harus mencari pembesar tinggi yang kiranya akan dapat mempercayai laporan kita untuk disampaikan kepada Kaisar,” kata Bi Lan. “Ayahku sebagai guru silat Pek-eng Bu-koan memiliki banyak kenalan pejabat yang berguru kepadanya. Mungkin ayahku dapat memberi jalan.”

“Bagus, kalau begitu kita minta bantuan ayahmu, Lan-moi,” kata Ting Bu. “Aku akan menemanimu ke kota raja.”

“Dan aku akan melapor kepada ayah. Kurasa Cin-ling-pai dapat membantu pemerintah dalam menghalau orang-orang Mongol yang hendak membikin kacau,” kata Yap Kiok Hwi. “Kekuatan mereka terlampau besar kalau hanya kita yang menentangnya.”

“Engkau benar, Hwi-moi, dan aku akan menemanimu ke Cin-ling-pai,” kata Ting Bun dengan cepat.

Demikianlah, dua pasang orang muda itu pada keesokan paginya, cepat meninggalkan Lok-yang karena mereka maklum bahwa peristiwa semalam tentu akan berekor dan Kwan-ciangkun tentu akan menyebar anak buah untuk mencari mereka.

* * * * * * *

Langit dan bumi itu abadi, sebabnya Langit dan Bumi abadi adalah karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri karena itu abadi! Inilah sebabnya orang bijaksana Membelakangi dirinya.

Karena itu dirinya tampil terdepan ia tidak menghiraukan dirinya. Karenanya dirinya menjadi seutuhnya. Orang bijaksana tidak mempunyai keinginan pribadi. Maka dia dapat menyempurnakan dirinya.


Han Lin dan Cin Mei yang sedang melakukan perjalanan ke kota raja dan tiba di bukit itu, berhenti melangkah. Han Lin tertarik sekali. Memang ayat yang dibacakan orang itu adalah ayat yang dikenalnya, dari kitab To-tek-keng agama To. Ujar-ujar itu sendiri tidak aneh, akan tetapi cara membacakan yang mengagumkan hatinya.

Bukan saja dibacakan dengan suara mantap dan meyakinkan, namun juga pada waktu itu memang tepat sekali dengan keadaan di dalam negeri. Saat ini, tidak semua orang hendak menonjolkan diri, memperebutkan kekuasaan sehingga terjadilah persaingan. Para gubernur juga hendak memperebutkan kekuasaan dan mereka itupun jatuh bangun.

Memang manusia akan mengalami pasang surut, jatuh bangun, akhirnya lenyap. Langit dan Bumi dikatakan abadi karena Langit dan Bumi tidak berkehendak, akan tetapi selaras dengan To, selaras dengan kehendak Tuhan, karena itu abadi. Jadi merusak itu adalah “keinginan pribadi” karena keinginan pribadi ini adalah keinginan jasmani berupa nafsu-nafsu indera.

Ingin senang sendiri, ingin berkuasa sendiri, ingin baik sendiri, ingin ini ingin itu semua untuk memuaskan nafsu daya rendah. Hanya manusia bijaksana yang dapat menyesuaikan diri dengan alam, tidak mementingkan diri, tidak menonjolkan diri. Justeru inilah yang membuatnya menjadi seorang bijaksana, seorang manusia seutuhnya!

“Cin Mei, mari kita lihat siapa yang membaca sajak sepagi ini!” kata Han Lin.

Cin Mei tersenyum, mengangguk dan merekapun menyimpang ke kiri, ke arah suara itu. Setelah melalui dua tikungan, tibalah mereka di bawah rumpun bambu yang teduh dan di situ, di bawah rumpun bambu itulah nampak seorang setengah tua duduk seorang diri dan dialah yang membaca sajak dari ujar-ujar dalam To-tek-keng itu.

Pria itu berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya, jelas bahwa dia seorang sasterawan. Dia duduk di atas tanah berlandaskan daun-daun bambu kering dan di depannya terdapat sebuah tempat arak. Agaknya dia bersajak sambil meminum araknya.

“Selamat pagi, paman,” kata Han Lin dan Cin Mei sambil menghampiri orang itu.

Sasterawan itu menoleh dan tersenyum. “Aih, dua orang muda yang gagah perkasa, selamat pagi dan apakah yang dapat kulakukan untuk kalian maka kalian menghampiri aku?” Sungguh teratur dan sopan ucapan itu.

“Kami hanya kebetulan lewat dan mendengar paman membaca sajak tadi. Kami tertarik sekali paman, bukan karena sajaknya dari ujar-ujar dalam To-tek-keng itu, melainkan apa yang menjadi maknanya. Dapatkah paman memberi penjelasan kepada kami mengapa paman sepagi ini membawa ujar-ujar itu?”

“Ha-ha-ha, luar biasa sekali. Engkau dapat menemukan bahwa dalam ujar-ujar itu terdapat sesuatu yang bermakna? Orang muda, siapakah engkau dan siapa pula nona ini?”

“Paman, aku bernama Sia Han Li dan nona ini adalah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei.”

“Wah-wah, aku sudah mendengar nama besar Kwan Im Sianli. Bukankah nona yang pandai mengobati orang sakit?”

“Ah, paman terlalu memuji, kepandaianku mengobati masih rendah sekali, paman.”

“Ha-ha-ha, sungguh bagus. Masih muda sudah pandai merendahkan hatinya. Duduklah, kalian dan mari kita bercakap-cakap. Udaranya cerah sekali pagi ini dan kalau kalian mau menemani aku minum arak.”

“Maaf, paman. Kami berdua tidak biasa minum arak,” kata Han Lin yang segera duduk di atas tanah bertilamkan daun bambu kering, diturut pula oleh Cin Mei.

“Bagus! Arak adalah obat penyegar badan yang baik, juga kawan yang baik untuk melupakan sesuatu yang mendatangkan duka, akan tetapi kalau terlampau banyak diminum, akan menjadi musuh yang membahayakan kesehatan. Nah, sekarang, apakah yang hendak kau tanyakan mengenai sajak itu?”

“Maaf, paman. Bukankah sajak itu ada hubungannya dengan keadaan negara di saat ini? Bahwa para pejabat berebutan untuk menonjolkan diri, memperebutkan kekuasaan sehingga mereka semua akan mengalami kehancuran sendiri-sendiri?”

“Orang muda, engkau memiliki pandangan yang luas. Sebetulnya keadaan seperti ini patut disesalkan. Karena semua sumber terletak kepada orang yang memegang tampuk kerajaan. Di waktu Kaisar Beng Ong masih memegang kekuasaan, aku sempat menikmati keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang ini. Akan tetapi, hanya karena semua orang menuruti kehendak pribadi, maka akhirnya semua kebesaran itu hancur. Aku hanya merindukan keadaan yang aman sejahtera bagi rakyat jelata, murah sandang, pangan, papan, hidup damai aman tanpa kekerasan dan permusuhan. Betapa akan indahnya hidup ini kalau keadaannya seperti itu.”

“Akan tetapi maaf, paman,” kata Lie Cin Mei, “Keadaan seperti itu tidak akan jatuh begitu saja dari langit, tanpa adanya usaha dari manusia sendiri.”

“Engkau benar, nona. Akan tetapi sayangnya, setiap usaha manusia selain didasari kepentingan pribadi sehingga hasilnyapun kesenangan pribadi. Terjadilah bentrokan keinginan, bentrokan kepentingan dan usaha untuk mencapai keadaan damai sejahtera menjadi sia-sia, bahkan keadaan menjadi semakin kacau dengan adanya persaingan untuk mencari kesejahteraan itu. Terpecah-pecah antara golongan yang saling gontok-gontokan.”

“Maaf, paman. Paman dan para sasterawan yang mengetahui keadaan ini, apakah hanya cukup dengan melupakan semua itu tenggelam ke dalam uap arak sambil membaca sajak atau menuliskan syair? Masalah ini perlu dihadapi dengan penanganan langsung. Kejahatan perlu ditentang dan kita harus turun tangan, bukan hanya merengek yang tidak akan ada gunanya.”

“Ha-ha-ha-ha, itulah perbedaan antara golongan Bu (silat) dan golongan Bun (sastera). Golongan Bu hanya mengerti kekerasan saja seolah dengan kekerasan akan dapat meniadakan kejahatan dan penyelewengan. Ketahuilah, orang muda, biarpun andaikata engkau membunuhi semua penjahat yang ada, kejahatan tidak akan lenyap selama manusia masih belum menyadari kemanusiaannya. Dan untuk menyadarkan manusia akan kemanusiaannya adalah tugas kami golongan Bun, dengan cara menulis syair membaca sajak dan sebagainya.”

“Paman, orang jahat perlu dihajar barulah jera. Kalau hanya dinasihati saja, tidak akan dapat memasuki telinga mereka,” bantah Han Lin.

“Lin-koko, ucapan paman ini benar. Bukan hanya kekerasan saja yang mampu menghilangkan kejahatan. Keduanya harus jalan bersama. Di satu pihak kita menentang kejahatan dengan Bu di lain pihak kita menyadarkan mereka dengan Bun. Tidakkah begitu, pmaan?”

“Ha-ha-ha, nona ini sungguh bijaksana. Memang selama ini terjadi pertentangan pendapat di antara kami sendiri. Ada yang mengandalkan usaha manusia seperti yang dikehendaki oleh Nabi Khong Cu, ada pula yang menyerahkan kepada Tuhan untuk memperoleh perubahan dan perbaikan. Dan nona mengajukan kerja sama antara keduanya. Bagus sekali!”

“Pada hakekatnya manusia hidup di dunia haruslah melaksanakan kedua kodrat ini, paman,” kata pula Han Lin. “Pertama, melaksanakan tugas kewajiban kit adengan semestinya. Kaisar tahu kewajiban sebagai Kaisar, bawahan tahu kewajibannya sebagai bawahan, orang tua tahu kewajibannya sebagai orang tahu, anak tahu kewajibannya sebagai anak. Kalau semua orang melaksanakan kewajibannya dan tahu bahwa tugas kewajiban haruslah dilaksanakan dengan sebaiknya, kemudian kedua menyerahkan segalanya kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan dan kepasrahan kepada Tuhan haruslah dibarengi dengan usaha dan ikhtiar. Ikhtiar saja tanpa ingat kepada Tuhan akan menimbulkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, sebaliknya ingat saja kepada Tuhan tanpa melakukan apa-apa juga tidak akan menolong dirinya.”

“Benar, paman. Kita berusaha sebaik mungkin dilandasi kepasrahan yang selaras dengan kehendak dna kekuasaan Tuhan, maka hidup seperti itu sudah memenuhi syarat untuk menjadi manusia seutuhnya,” sambung Cin Mei.

“Ha-ha-ha-ha, sungguh beruntung sekali aku Wang Wei hari ini bertemu dengan dua orang muda yang bijaksana.”

Bukan main kagetnya hati Han Lin dan Cin Mei ketika mendengar orang itu menyebutkan namanya. Nama Wang Wei adalah nama seorang pujangga, penyair dan pelukis yang amat terkenal di masa itu, sejajar dengan nama pujangga Li Tai Po, Tu Fu dan yang lain-lain. Cepat Han Lin dan Cin Mei bangkit dan memberi hormat kepada sasterawan itu.

“Kiranya paman adalah Pujangga Wang Wei yang mulia, maafkan kalau kami bersikap kurang hormat!” kedua orang muda itu merasa malu sekali tadi telah bicara “besar” terhadap seorang pujangga yang terkenal! Akan tetapi tiba-tiba wajah pujangga itu berkerut.

“Nah-nah, akhirnya kalian juga tidak lepas dari pada penyakit yang sudah mendarah daging pada manusia. Begitu mendengar bahwa aku bernama Wang Wei, kalian telah memberi hormat secara berlebihan. Andaikata aku ini seorang pengemis, agaknya kalian tentu tidak akan pandang sebelah mata.”

“Ah, tidak..., tidak..., paman.” Kata Han Lin terkejut.

Akan tetapi pujangga itu telah bangkit membawa tempat araknya dan melangkah pergi sambil bernyanyi-nyanyi! Mereka berdua hanya dapat memandang kakek itu pergi dan keduanya terkesan sekali. Akan tetapi karena maklum bahwa para pujangga besar itu, seperti juga para datuk persilatan, memiliki watak yang amat aneh, maka merekapun tidak berani mengejar.

Han Lin menarik napas panjang, “Dia berkata benar, Cin Mei. Kita sudah ketularan kebiasaan umum. Kita menghormati nama, kedudukan, kepandaian, atau harta benda. Penghormatan seperti itu palsu adanya. Kita harus menghormati seseorang demi pribadinya, bukan nama, kedudukan, kepandaian dan harta yang bukan lain hanyalah pakaian belaka. Semua pakaian itu akan lenyap bersama kematian, akan tetapi budi kebaikan tidak akan pernah mati.”

“Engkau benar, Lin-ko. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.” Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.

* * * * * * *

Pemuda dan gadis itu memasuki pintu gerbang kota raja sebelah barat. Kehadiran mereka di kota raja menarik perhatian orang, terutama gadis itu. Ia amat cantik, berusia kurang dari dua puluh lima tahun, seorang gadis yang telah matang. Wajahnya berbentuk bulat telur dan kulit muka putih kemerahan. Matanya indah seperti mata burung Hong. Rambutnya panjang hitam dibiarkan terurai dan diikat sebuah pita kuning.

Hidungnya mancung dan mulutnya amat menggaraihkan. Dagunya runcing terhias tahi lalat di samping kiri, alis matanya kecil panjang melengkung. Di punggungnya nampak siang-kiam (pedang pasangan) membuat tubuh yang ramping berpinggul dan berdada besar itu nampak gagah. Pemudanya tinggi tegap dan tampan gagah.

Mereka itu bukan lain adalah Jeng I Sianli Cu Leng Si yang seperti biasa berpakaian serba hijau, dan Gu San Ki yang juga membawa sebatang pedang di punggungnya. Mereka melaksanakan tugas yang mereka terima dari Gubernur Coan untuk menghubungi Liu Taijin, yaitu pembesar tinggi yang menjabat Menteri Keuangan di Kerajaan Tang. Antara Gubernur Coan dan Menteri Liu memang masih terdapat tali persaudaraan, maka mereka berhubungan akrab.

Tidak sukar bagi Gu San Ki dan Cu Leng Si untuk mencari keterangan di mana rumah Menteri Liu itu dan karena hari masih siang, mereka langsung saja datang berkunjung. Sebetulnya tidaklah begitu mudah untuk berkunjung kepada seorang menteri, apa lagi dilakukan oleh orang biasa. Akan tetapi ketika San Ki mengatakan bahwa mereka berdua adalah utusan dari Gubernur Coan di Nan-yang, Liu-Taijin segera menerima mereka di ruangan tamu yang tertutup.

“Kalian diutus oleh Gubernur Coan dari Nan-yang?” tanyanya sambil memandang tajam.

San Ki dan Leng Si melihat bahwa ruangan itu tertutup dan tak seorangpun pengawal mendampingi menteri itu. “Benar, taijin. Kami datang membawa surat dari beliau,” kata Leng Si dan gadis ini mengeluarkan sepucuk surat, menyerahkannya kepada pembesar itu.

Pembesar yang bertubuh gendut pendek itu menerima surat dan langsung membuka dan membacanya. Dia membaca dengan bibir bergerak-gerak, lalu wajahnya berubah berseri dan kepalanya mengangguk-angguk. Sehabis membaca, dia lalu merobek-robek surat itu menjadi potongan kecil-kecil....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.