Pedang Awan Merah Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Mestika Burung Hong Kemala episode Pedang Awan Merah Jilid 13 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pedang Awan Merah

Jilid 13
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
“Surat ini hanya memperkenalkan kalian sebagai orang-orang kepercayaan Gubernur Coan, dan dia mengatakan bahwa pesannya dibawa oleh kalian berdua, hendak disampaikan dengan mulut. Kalau pesan itu disampaikan tertulis, maka akan berbahayalah kalau sampai surat itu hilang dan terjatuh ke tangan orang lain. Benarkah demikian?”

“Benar sekali, taijin,” kata Leng Si yang selalu menjadi juru pembicara karena ia lebih pandai bicara dibandingkan Gu San Ki yang pendiam.

“Nah, cepat sampaikan pesan itu.”

“Apakah di sini aman untuk membicarakan urusan penting ini, taijin?” tanya pula Leng Si memancing kesan baik.

“Tentu saja aman. Tanpa seijinku tidak ada seorangpun berani mendekati tempat ini. Katakan saja dan jangan kalian khawatir.”

“Coan-taiji hendak menyampaikan berita bahwa kerja sama yang direncanakan itu telah berjalan dengan baik dan lancar, taijin. Beliau mengharapkan dukungan taijin agar rancananya berjalan dengan baik.”

“Ah, bagus sekali! ceritakan kapan itu diadakan dan siapa saja yang hadir, lalu apa saja yang dibicarakan?”

Dengan lancar Leng Si lalu menceritakan tentang pertemuan rahasia yang diadakan Gubernur Coan dan para sekutunya itu.

“Kui-thaikam yang memimpin gerakan itu,” demikian katanya sebagai penutup. “Dan pembagian tugas sudah dilakukan. Sam Mo-ong diutus melapor kepada Ku Ma Khan dan mempersiapkan pasukan di perbatasan, Kwan-ciangkun juga bertugas mempersiapkan pasukannya di Lok-yang, dan Coan-taijin bertugas menghubungi rekan-rekan pejabat untuk memperoleh dukungan. Adapun urusan di dalam istana sepenuhnya ditangani Kui-thaikam sendiri. Karena itu maka kmai diutus ke kota raja untuk menghubungi taijin, dan menurut Coan-taijin, taijinlah yang dapat menghubungi rekan-rekan pejabat di kota raja agar semua siap untuk bergerak apa bila saatnya tiba.”

Kembali pembesar yang gendut pendek itu mengangguk-angguk sambil meraba-raba jenggotnya yang hanay beberapa helai itu. “Katakan kepada Gubernur Coan, jangan khawatirkan tentang itu, karena aku sudah menghubungi banyak orang dan semuanya setuju. Pendeknya, di kota raja sudah ada lima orang pejabat tinggi yang dapat kita tarik dalam kerja sama kita ini. Katakan saja bahwa semua sudah beres dan siap.”

“Akan tetapi, taijin. Sebagai bukti bahwa kami benar-benar telah mendapat keterangan yang lengkap dari taijin, harap taijin suka sebutkan nama-nama para pejabat yang siap membantu agar kami dapat membuat laporan selengkapnya kepada Coan-taijin.”

“Boleh, boleh. Nah, dengarkan baik-baik dan jangan lupa. Mereka itu adalah Menteri Lai yang menjabat sebagai menteri bagian pertanian, lalu Ciu-taijin kepala para jaksa, Bhe-ciangkun komandan pasukan penjagaan di pintu gerbang kota raja, Phoa-ciangkun dan The-ciangkun yang menjadi perwira-perwira pasukan keamanan.”

“Baik, taijin, semua telah kami catat dan akan kami laporkan kepada Coan-taijin,” kata Leng Si. Selesai bicara dengan pembesar itu, keduanya lalu berpamit dan menerima hadiah sekantung emas dari pembesar gendut itu.

* * * * * * *

Han Lin dan Cin Mei juga sudah tiba di kota raja dan merekapun langsung mohon menghadap Kaisar. Tentu saja sulit sekali untuk dapat menghadap Kaisar, melalui peraturan yang berbelit-belit. Akan tetapi, ketika para pengawal itu mendengar bahwa Han Lin dan Cin Mei hendak menghadap Kaisar untuk menyerahkan Ang-in-po-kiam, mereka terkejut bukan main.

Pedang yang sudah lama dicari-cari dan dinanti-nantikan itu akhirnya dibawa pemuda dan gadis ini menghadap Kaisar. Maka, dengan pengawalan ketat akhirnya mereka diantar masuk setelah Kaisar mendengar laporan kepala pengawal dan mengijinkan mereka untuk menghadap.

Selama hidupnya baru sekali ini Han Lin dan Cin Mei memasuki sebuah istana dan keduanya merasa kagum bukan main. Di samping rasa kagum, didalam hatinya Han Lin merasa terharu sekali. Biarpun ketika lari mengungsi usianya baru lima tahun, akan tetapi setelah kini memasuki istana itu, dia teringat akan semuanya. Teringat akan ayah ibunya yang tewas mempertahankan istana ini, dan teringat pula dia betapa ketika masih kecil dia tinggal di istana ini!

Akan tetapi, sedikitpun tidak ada keinginan untuk merebut kekuasaan agar menjadi Kaisar seperti ayahnya. Dia telah mendengar riwayat ayahnya dari paman dan bibinya, mendengar bahwa ayahnya juga merebut kekuasaan sebagai Kaisar dari tangan orang lain, dari keturunan An Lu Shan, maka kalau kemudian Kaisar yang berwenang merampasnya kembali dari tangan ayahnya, hal itu sudahlah wajar. Dan dia tidak mau menjadi pemberontak seperti ayahnya. Bahkan kini dia sudah berjanji dengan San Ki dan Leng Si untuk melindungi Kaisar dari dalam, sementara San Ki dan Leng Si bergerak dari luar.

Kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar. Kaisar memandang kepada mereka dengan kaget dan hampir tidak percaya bahwa pemuda tampan dan gadis cantik itu yang datang mengembalikan pusaka istana yang lenyap dicuri orang itu.

“Hei, orang muda, benarkah kalian datang untuk mengembalikan Ang-in-po-kiam kepada kami?” tanya Kaisar dengan suara lantang. Di kanan kiri dan belakangnya terdapat sedikitnya dua losin pengawal menjaga keselamatannya dan Kui-thaikam bersama beberapa orang thaikam lain juga hadir di situ.

“Benar sekali, Yang Mulia,” kata Han Lin. “Hamba berdua menghadap paduka untuk menghaturkan pedang pusaka itu.”

“Siapakah nama kalian?”

“Hamba bernama Sia Han Lin dan nona ini bernama Lie Cin Mei, Yang Mulia.”

“Han Lin dan Cin Mei, coba keluarkan pedang itu dan berikan kepada pengawal kami.”

Han Lin menurunkan pedang dari punggungnya dan dengan sikap hormat, dengan kedua tangannya, dia menyerahkan pedang itu kepada seorang pengawal pribadi Kaisar yang mewakili Kaisar turun menerima pedang itu dari tangan Han Lin. Setelah Kaisar menerima pedang itu, dia menghunusnya dari sarungnya dan nampak sinar kemerahan.

“Ang-in-po-kiam...!” kata Kaisar gembira. “Akhirnya engkau kembali juga kepada kami!” dia menyarungkannya kembali, lalu menyerahkan kepada pengawalnya.

“Sia Han Lin, dari mana engkau mendapatkan pedang pusaka itu? Jangan katakan bahwa engkau yang mengambilnya dari gudang pusaka!”

“Yang Mulia, pencuri pedang itu adalah mendiang Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw yang hendak memberontak dan ditumpas oleh pasukan kerajaan. Hamba membantu pasukan dan hamba yang menemukan pusaka itu setelah Hoat Lan Siansu tewas.”

“Bagus kalau begitu. Nah, memenuhi janji kami kepada siapa yang dapat mengembalikan pedang pusaka itu, kami akan menghadiahkan harta kepadamu dan juga kedudukan. Katakan, apakah kepandaianmu yang kiranya sesuai dengan kedudukan yang hendak kami berikan?”

“Yang Mulia, hamba datang berdua dengan adik Lie Cin Mei, maka apabila paduka memperkenankan, kami berdua mohon agar kami dapat diangkat sebagai pengawal pribadi paduka.”

“Hemm, menjadi pengawal pribadi kami tidaklah mudah, orang muda. Dia harus memiliki ilmu silat yang tinggi. Apakah engkau memiliki ilmu itu dan bagaimana pula dengan nona ini? Apakah ia juga seorang ahli silat yang tangguh?”

“Hamba pernah mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun, Yang Mulia. Adapun adik Cin Mei ini telah mempelajari ilmu silat dan terutama ilmu pengobatan.”

“Begitukah? Pantas engkau minta dijadikan pengawal. Akan tetapi karena kami belum menyaksikan kemampuanmu, kami ingin menguji dulu kepandaianmu. Sanggupkah engkau kalau diuji?”

“Hamba siap melaksanakan segala perintah paduka.”

Tiba-tiba Kui-thaikam membari hormat kepada Kaisar. “Yang Mulia, maafkan kalau hamba mengemukakan pendapat hamba.”

“Bicaralah,” kata Kaisar yang memang amat sayang dan percaya kepada thaikam yang satu ini.

“Untuk menjadi pengawal pribadi paduka, bukan saja harus memiliki ilmu silat yang tangguh, akan tetapi juga harus diketahui benar siapa orang ini, karena sekali salah pilih akan membahayakan paduka. Oleh karena itu, sebelum dia diterima menjadi pengawal pribadi paduka, perkenankan hamba yang membawa dia ke rumah hamba dan hamba akan menguji kepandaian dan juga kesetiaannya.”

“Aah, itu baik sekali, Kui-thaikam. Han Lin, engkau pergilah bersama Kui-thaikam yang akan menguji kepandaianmu, sedangkan Cin Mei ini, biar kuperbantukan kepada tabib istana kalau memang ia pandai soal pengobatan.”

“Hamba siap menaati perintah paduka, Yang Mulia. Hanya ada satu lagi permintaan hamba, mudah-mudahan paduka akan meluluskannya.”

“Katakanlah, orang muda. Kalau permintaan itu pantas, tentu akan kupenuhi karena engkau telah berjasa besar terhadap kami.”

“Hamba mempunyai seorang kakak angkat bernama Cu Leng Si. Cu Leng Si itu adalah puteri dari Cu Kiat Hin, yang pernah menjabat sebagai petugas perpustakaan di istana paduka. Akan tetapi, menurut berita, Cu Kiat Hin telah ditangkap dan dipenjarakan. Oleh karena itu, hamba mohon agar Cu Kiat Hin itu dibebaskan dan kalau ada kesalahan agar dapat diampuni. Hanya itu permintaan hamba, Yang Mulia. Hamba berani memintakan, karena kakak hamba Cu Leng Si itupun berjasa dalam mendapatkan Pedang Awan Merah itu.”

“Cu Kiat Hin? Petugas perpustakaan? Yang manakah dia? Kui-thaikam, siapakah Cu Kiat Hin itu?”

“Ah, Yang Mulia. Cu Kiat Hin adalah pegawai rendahan di perpustakaan yang berani menghina hamba karena itu hamba memberi pelajaran kepadanya, hamba masukkan dia dalam tahanan agar tidak berani menghina hamba lagi. Hamba adalah pembantu dan kepercayaan paduka, kalau hamba dihina, berarti paduka juga ikut tersinggung kewibawaan paduka.”

“Ah, begitukah? Dia sudah kau hukum, tentu sudah jera. Atas permintaan yang layak ini, kami harus memenuhinya. Kau bebaskan Cu Kiat Hin itu, Kui-thaikam.”

“Baik, Yang Mulia.”

“Terima kasih, Yang Mulia,” kata Han Lin dengan girang sambil memberi hormat.

“Bolehkah hamba membawa Sia Han Lin sekarang untuk diuji, Yang Mulia?”

“Bawalah, dan laporkan hasilnya kepadaku besok.”

“Baik, hamba melaksanakan perintah paduka.”

Han Lin mengangguk kepada Cin Mei sebagai isarat perpisahan untuk sementara, sedangkan Kaisar lalu menyuruh pengawal memanggil Tabib Istana Liang. Han Lin pergi bersama Kui-thaikam setelah memberi hormat kepada Kaisar.

Ketika Tabib Istana Liang menghadap, Kaisar Thai Tsung berkata kepadanya, “Tabib Liang, ini ada seorang nona bernama Lie Cin Mei. Kami telah menerimanya sebagai pengawal pribadi dan juga ahli pengobatan. Harap engkau menguji kemampuannya dalam hal pengobatan dan kemudian memberi laporan kepada kami.”

“Baik, Yang Mulia.”

Cin Mei lalu mengikuti tabib yang tinggi kurus itu keluar dari tempat persidangan. Setelah kedua orang itu pergi, Kaisar minta lagi Pedang Awan Merah dari pengawalnya dan bermain pedang beberapa jurus dengan hati gembira. Pedang itu bukan hanya merupakan pusaka kerajaan, akan tetapi menjadi lambang kejayaan kerajaan, maak tentu saja dia merasa gembira sekali.

Betapa banyaknya manusia yang memuja-muja pusaka yang dikatakannya ampuh, bertuah, dapat mendatangkan rejeki, mendatangkan kebahagiaan, keselamatan dan sebagainya. Mereka itu lupa bahwa yang mereka namakan pusaka itu hanyalah sebuah benda mati buatan manusia juga. Sebatang pedang dapat disebut ampuh dan baik kalau pembuatannya memang baik, terbuat dari pada logam pilihan yang baik pula.

Akan tetapi kalau mengandung khasiat yang lebih dari pada semestinyya, ini merupakan tahyul belaka. Mereka itu lupa bahwa yang dapat berusaha mendatangkan rejeki keselamatan atau kebahagiaan adalah manusia sendiri, dan yang menentukan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kalau manusia sudah menyandarkan kepercayaannya kepada benda mati, maka berarti dia telah dipengaruhi dan dikuasai oleh daya rendah benda itu, seperti halnya kalau manusia dipermainkan harta dan uang. Senjata yang baik dan ampuh memang harus dipelihara baik-baik, dirawat baik-baik agar dapat bertahan kekuatan dan keampuhannya, akan tetapi sama sekali bukan untuk dipuja-puja.

Yang patut dan wajib dipuja hanyalah Sang Maha Pencipta, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekuasaan Tuhan itu meliputi segala sesuatu yang beradi di alam maya pada ini, akan teatpi kekuasaan Tuhan bersifat kodrati, wajar. Segala yang tidak wajar itu meragukan, mungkin bukan dari kekuasaaan Tuhan datangnya, melainkan dari kekuasaan gelap.

Kekuasaan daya rendah memang selalu membujuk manusia dengan hasil-hasil yang menguntungkan, yang menyenangkan, pada hal akhirnya akan menyeret manusia ke jalan kesesatan yang mendatangkan derita kesengsaraan lahir batin, dunia akherat.


Setelah tiba di rumah Kui-thaikam, Han Lin dipersilakan duduk di ruangan dalam oleh thaikam itu. Tidak ada orang lain di situ kecuali mereka berdua. “Selamat datang, Sia Han Lin. Sudah lama kunantikan kedatanganmu.”

“Eh, maksud taijin...?”

“Ha-ha-ha, tidak usah kaget, Han Lin. Apakah Ku Ma Khan atau Sam Mo-ong belum memberitahu kepadamu? Aku tahu bahwa engkau adalah mantu Ku Ma Khan yang diutus Ku Ma Khan untuk menyerahkan pedang kepada Kaisar dan kemudian minta kedudukan pengawal pribadi untuk memata-matai keadaan di istana, bukan?”

Han Lin tidak terkejut. Dia maklum bahwa agaknya thaikam ini sudah mendapat keterangan dari Sam Mo-ong yang menjadi sekutunya seperti yang didengarnya dari Leng Si dan San Ki. Akan tetapi dia pura-pura kaget dan memandang kepada thaikam itu dengan mata terbelalak.

“Jangan takut, Han Lin. Kita adalah orang-orang sendiri. Ku Ma Khan, mertuamu, itu adalah sekutu kami.”

“Akan tetapi... tidak ada yang memberitahu saya tentang hal ini...”

“Ha-ha-ha, tentu saja hal ini amat dirahasiakan. Akan tetapi setelah engkau kini diterima Kaisar, perlu engkau ketahui bahwa ayah mertuamu itu bersekutu dengan kami untuk menggulingkan Kaisar yang selalu menentang ayah mertuamu. Kebetulan sekali engkau berada di sini sebagai pengawal pribadi sehingga semua rencana kita menjadi lebih matang. Dari Sam Mo-ong kami sudah mengetahui tentang kepandaianmu, maka tidak perlu diuji lagi.”

“Taijin, tugas saya hanya untuk mendekati Kaisar, membujuknya agar dapat berhubungan baik dengan orang Mongol atau setidaknya agar aku mengetahui gerakan-gerakan yang hendak dilancarkan jika Kaisar menyerang bangsa Mongol.”

“Aku mengerti. Memang tadinya begitu, akan tetapi sekarang setelah ayah mertuamu bersekutu dengan kami, rencana kami lain lagi. Kami akan menyingkirkan Kaisar dan menggantikan dengan Kaisar baru.”

“Ah, begitukah, taijin? Ini berita penting sekali untuk saya. Dan siapa kiranya yang akan diangkat menjadi pengganti Kaisar? Saya perlu mengetahui karena kalau yang diangkat itu Kaisar yang juga memusuhi Mongol, lalu apa gunanya?”

“Ha-ha-ha, tentu saja tidak, Han Lin. Kami merencanakan, jika Kaisar telah disingkirkan, kami akan mengangkat Pangeran Kim Seng, adik Kaisar.”

“Akan tetapi, taijin, bukankah yang menjadi putera mahkota sekarang ini Pangeran Tek Tsung?”

“Benar, karena itu, pangeran itupun harus disingkirkan pula agar jangan menjadi penghalang.”

“Kenapa tidak membiarkan Pangeran Tek Tsung saja yang menjadi penggantinya, agar lebih mudah?”

“Ho-ho, kami tidak bodoh. Selain Pangeran Tek Tsung tidak mudah dipengaruhi, juga kami memilih Pangeran Kim Seng karena dia yang akan menjadi wali kalau Pangeran Tek Tsung meninggal. Pula kami sudah ada hubungan dengan Pangeran Kim Seng dan dia tentu akan menurut segala petunjukku kalau kami dapat mengangkatnya menjadi Kaisar.”

“Tapi, itu berbahaya, taijin. Bagaimana kalau pasukan keamanan mengetahuinya dan mereka menangkapi kita?”

“Jangan khawatir. Para panglima pasukan keamanan di kota raja sudah menjadi sekutu kami. Pendeknya segala hal telah diatur agar semua rencana berjalan mulus. Di timur ada pasukan sekutu kita yang bergerak di Lok-yang, dan di utara dan barat ada pasukan ayah mertuamu yang juga sudah siap untuk bergerak sewaktu-waktu dibutuhkan. Ha, belum apa-apa, dengan persiapan seperti itu, kita sudah menang!”

“Tapi, taijin, bagaimana caranya... menyingkirkan Kaisar dan putera mahkota?”

“Nah, ini yang belum kita tentukan dan sedang dicari cara terbaik. Ada beberapa jalan memang, akan tetapi kita harus mencari cara yang terbaik dan paling aman. Setelah engkau menjadi pengawal pribadi Kaisar, engkau tentu akan selalu dekat dengan Kaisar sehingga amat memudahkan untuk...”

“Ah, taijin, tidak... jangan mengutus hamba melakukan itu, hamba tidak berani!” kata Han Lin terkejut.

“Ha-ha, kami juga tidak begitu gegabah untuk mengutus engkau melakukan pembunuhan. Bagaimanapun juga, engkau adalah mantu raja Ku Ma Khan. Akan tetapi kalau engkau dekat dengan Kaisar, tentu engkau dapat menjaga agar jangan ada orang yang mendekati Kaisar dan mengetahui rahasia kita. Kami akan menggunakan pembunuhan melalui obat dan racun.”

Han Lin teringat kepada Cin Mei dan hatinya lega. Kalau cara itu yang akan dipakai, di sana ada Cin Mei yang tentu akan dapat mencegahnya. “Ahh, dan putera mahkota?”

“Dia akan tewas karena kecelakaan. Kami akan mengajaknya berburu dan dapat saja dia tewas karena kecelakaan. Hal itu mudah diatur dan engkau tidak usah mencampuri.”

Setelah menguras semua keterangan yang dibutuhkan dari Kui-thaikam, Han Lin lalu kembali bersama thaikam itu pada keesokan harinya menghadap Kaisar di mana thaikam gendut itu melaporkan bahwa dia telah menguji Han Lin dan merasa puas.

“Bagus, kalau begitu, sekarang juga engkau kuangkat menjadi kepala pengawal pribadi kami, Han Lin. Engkaulah yang mengatur penjagaan dan pengawalan, dan engkau mengepalai seluruh pengawal pribadi yang jumlah sepuluh losin orang.”

Han Lin cepat menghaturkan terima kasih kepada Kaisar. “Ampun, Yang Mulia. Bagaimana dengan sahabat hamba, adik Lie Cin Mei?”

“Ia sudah kami angkat menjadi pembantu Tabib Liang, tabib istana karena ternyata sahabatmu itu memang ahli dalam hal pengobatan.”

“Sekali lagi, Yang Mulia. Bagaimana dengan paman Cu Kiat Hin seperti yang paduka janjikan?”

Kaisar menoleh kepada Kui-thaikam. “Bagaimana, Kui-thaikam, sudahkah engkau membebaskan Cu Kiat Hin?”

“Sekarang juga akan hamba laksanakan, Yang Mulia,” kata thaikam itu cepat-cepat.

“Cepat laksanakan karena kami sudah menjanjikan kepada Han Lin,” perintah Kaisar.

Han Lin memang sengaja tidak membicarakan perkara Cu Kiat Hin itu dengan Kui-thaikam, karena dia ingin bahwa Kaisar yang menekan thaikam itu, bukan dia. Dia tidak ingin hubungannya dengan thaikam itu menjadi terganggu, karena dia membutuhkan kepercayaan Kui-thaikam agar dia dapat mengamati gerak-geriknya dan mengetahui rencana jahat yang akan dilakukan thaikam pemberontak itu.

“Terima kasih, Yang Mulia. Kalau paduka memperkenankan, hamba ingin mengantar Paman Cu Kiat Hin kembali ke rumahnya, baru hamba kana menghadapi lagi dan mulai melaksanakan tugas yang paduka berikan.”

“Boleh, boleh, Kui-thaikam, serahkan tawananmu yang bernama Cu Kiat Hin itu kepada Han Lin.”

Demikianlah, Kui-thaikam bersama Han Lin pergi ke tempat tahanan dan membebaskan Cu Kiat Hin. “Engkau beruntung sekali, Cu Kiat Hin. Sribaginda Kaisar telah mengampunimu dan mengutus kami membebaskanmu. Akan tetapi, lain kali jangan engkau berani mencampuri urusanku kalau engkau ingin selamat!” demikian tegur Kui-thaikam sebelum Cu Kiat Hin yang kurus dan lemah itu dipapah pergi oleh Han Lin.

Tentu saja kepulangan Cu Kiat Hin ini disambut oleh keluarganya dengan penuh kegembiraan. Dan yang membuat Cu Kiat Hin menjadi semakin gembira dan terharu adalah munculnya Cu Leng Si puterinya yang segera melakukan pembicaraan penting dengan Han Lin di ruangan sebelah dalam, dihadiri pula oleh San Ki. Mereka saling menceritakan pengalaman mereka, dan mendengar keterangan dari kedua pihak, mereka terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa Kui-thaikam telah mengatur rencana begitu jauh dan pelaksanaannya akan segera dilakukan.

“Kalau begitu, Kaisar akan diracuni, Pangeran Mahkota akan dibunuh dalam perburuan, dan kekuasaan akan diberikan kepada Pangeran Kim Seng. Dan untuk mendukungnya, para panglima pasukan keamanan telah siap, juga banyak pejabat telah dihubungi Menteri Keuangan akan memberi dukungan suara. Sementara itu, pasukan di Lok-yang akan menyerbu kota raja, sedangkan pasukan Mongol akan menyerbu dari utara dan barat dan di kota raja sendiri, pasukan keamanan yang bersekutu dengan mereka juga akan bergerak,” kata Han Lin.

“Memang bukan main siasat yang diatur oleh Kui-thaikam dan para sekutunya itu. Kita harus cepat bertindak untuk mencegah terjadinya malapetaka ini,” kata Leng Si.

“Kami akan mengunjungi Panglima Lo, dan sebaiknya kalau engkau minta surat perkenalan dari ayahmu untuk kita bawa menghadap Panglima Lo itu, sumoi,” kata San Ki.

Semua orang setuju dan segera mereka menghadap Cu Kiat Hin yang masih beristirahat di dalam kamarnya setelah menderita sengsara selama berbulan-bulan di penjara. Ketika orang tua ini mendengar laporan puterinya, dia bangkit duduk dan mengepal tinju, lalu menghela napas panjang berulang-ulang.

“Aihh, sudah kuduga. Thaikam gila itu akhirnya tentu akan membuang kedok dombanya dan memperlihatkan wajah aselinya. Kiranya dia mengatur pemberontakan! Pangeran Kim Seng adalah seorang pangeran yang sinting, pekerjaannya setiap hari hanya pelesir ke rumah-rumah pelacuran atau rumah-rumah perjudian. Pangeran itu tidak becus apa-apa, bagaimana akan diangkat menjadi Kaisar?”

“Tentu agar mudah dikuasai oleh Kui-thaikam, ayah. Kita tidak boleh tinggal diam dan aku bersama Ki-koko akan segera menghadap Lo-ciangkun. Harap ayah segera membuat surat pengantar atau perkenalan agar kami dipercaya, karena siapa tahu mungkin Lo-ciangkun tidak akan percaya kepada kami karena hal ini amat pelik, gawat dan rahasia.”

Cu Kiat Hin mengangguk-angguk. “Dengan surat pengantarku, dia akan percaya sepenuhnya kepada kalian. Yang membuat aku ragu, dia itu akan dapat berbuat apakah? Aku tahu benar bahwa kekuasaan Lo-ciangkun sudah dikurangi banyak dan dia sekarang mempunyai kedudukan yang lemah. Karena tidak mau menjadi antek Kui-thaikam, maka kekuasaannya dikurangi sedikit demi sedikit oleh Kaisar dan semua itu tentulah karena bujukan Kui-thaikam.”

“Biarpun demikian, ayah. Lo-ciangkun adalah seorang ahli siasat dan dia tentu dapat menilai pejabat atau panglima mana yang belum menjadi antek Kui-thaikam. Dia dapat menghubungi panglima-panglima yang masih setia untuk membantu dan menyelamatkan Kaisar,” kata Leng Si. “Yang jelas, menurut keterangan Liu Taijin itu, hanya ada beberapa pejabat dan panglima saja yang terlibat, masih banyak tentu saja yang masih setia kepada Kaisar.”

Cu Kiat Hin mengangguk-angguk, setuju dengan pendapat puterinya itu. “Baik, akan kubuatkan surat itu dan mudah-mudahan saja kalian semua akan dapat menyelamatkan kerajaan ini dari malapetaka.”

Dia lalu menuliskan surat dan menyerahkan surat itu kepada puterinya. Leng Si menyimpan surat itu karena ia sendirilah yang akan menghubungi Lo-ciangkun. Han Lin tentu saja tidak dapat karena dia yang kini berada dalam pengawasan Kui-thaikam tentu tidak dapat leluasa bergerak. Sebaliknya, Leng Si dalam pengawasan Gubernur Coan yang berada di Nan-yang, tentu saja lebih leluasa bergerak di kota raja.

Han Lin lalu kembali ke istana, karena tugasnyapun hanya mengantar Cu Kiat Hin pulang. Kalau terlalu lama tentu akan dicurigai. Sebagai pengawal pribadi Kaisar, tentu saja leluasa bagi Han Lin untuk keluar masuk. Dia melakukan penjagaan dengan sungguh-sungguh dan mulai mengatur para pengawal yang bertugas di situ, sepuluh losin orang banyaknya, agar pengawalan dan penjagaan dilakukan dengan ketat.

Kaisar senang melihat cara kerja pemuda itu. Dan dalam tugasnya keluar masuk istana ini tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi Han Lin untuk bertemu dengan Cin Mei yang juga tinggal di istana untuk membantu Tabib Liang yang tinggal di bagian samping istana. Tabib Liang juga tidak curiga kalau pembantunya itu mengadakan pertemuan dengan Han Lin, karena bukankah mereka itu datang bersama di istana, bahkan mengaku sebagai kakak beradik seperguruan?

Ketika mendengar dari Han Lin bahwa Cu Kiat Hin, ayah sucinya itu telah dapat dikeluarkan dari tahanan, hatinya merasa gembira sekali. Akan tetapi ia terkejut setengah mati mendengar dari Han Lin tentang rencana busuk Kui-thaikam yang hendak membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota, apa lagi ketika diceritakan oleh Han Lin bahwa pembunuhan terhadap Kaisar akan dipergunakan racun!

“Menurut pendapatku, Tabib Liang juga sudah dipengaruhi oleh Kui-thaikam. Buktinya, setelah dia mengujiku dalam ilmu pengobatan, diam-diam dia menyuruh seorang pembantunya untuk menyampaikan laporan kepada Kui-thaikam. Kalau memang pembunuhan itu akan dilakukan dengan racun, sudah tentu sekali tangan Tabib Liang yang akan dipergunakan untuk keperluan itu.”

“Aku khawatir sekali, Cin Mei. Karena engkau merupakan pembantunya yang baru, bukan tidak mungkin engkau akan diperalat agar kelak kalau sampai ketahuan bahwa Kaisar keracunan, mereka dapat melempar fitnah itu kepadamu. Karena itu, engkau harus waspada mengamati gerak-gerik tabib kurus itu.”

“Jangan khawatir, Lin-koko, aku akan waspada selalu dan kalau ada sesuatu yang mencurigakan, tentu akan kuberitahu kepadamu secepatnya.”

Demikianlah, mereka berdua bersepakat untuk bekerja sama menggagalkan rencana jahat dari Kui-thaikam, dan juga untuk saling memberi keterangan dengan Leng Si dan San Ki yang tentu saja akan dilakukan oleh Han Lin yang lebih leluasa bergerak keluar dari pada Cin Mei.

Han Lin sudah mengambil keputusan tetap untuk memberitahu kepada Kaisar dan Pangeran Mahkota tentang komplotan busuk itu. Maka, pada suatu saat setelah persidangan para menteri bubar dan dia mendapat kesempatan untul bicara berdua dengan Kaisar, dia berbisik tanpa terdengar oleh siapapun juga.

“Yang Mulia, hamba mempunyai berita penting sekali, menyangkut keselamatan paduka dan Pangeran Mahkota. Sedapat mungkin, hamba ingin bicara dengan paduka dan Pangeran Mahkota, bertiga saja tanpa diketahui orang lain.”

Kaisar mengerutkan alisnya, hampir marah karena permintaan ini dianggapnya melanggar aturan dan lancang sekali. Akan tetapi melihat sinar mata pemuda itu mencorong penuh kejujuran, diapun mengangguk dan meninggalkan ruangan sidang, segera dijemput oleh para thaikam dan pengawal.

Baru pada keesokan harinya, Han Lin dipanggil oleh Kaisar dan thaikam yang diperintah memanggil itu mengantar Han Lin masuk ke dalam sebuah ruangan tertutup di mana Kaisar dan Pangeran Mahkota telah menanti. Thaikam itu disuruh keluar dan menutupkan daun pintu, menjaga dengan ketat di luar pintu agar tidak ada orang ikut mendengarkan pembicaraan mereka bertiga.

“Nah, Sia Han Lin, sekarang kami berdua hanya bicara denganmu. Kita hanya bertiga, engkau boleh bicara dengan terus terang. Peristiwa penting apakah yang hendak kaulaporkan secara rahasia ini?”

“Ampun, Yang Mulia. Hamba khawatir Sribaginda Yang Mulia tidak akan percaya kepada laporan hamba, maka sebelumnya hamba mohon agar paduka berdua tidak keburu marah dan dapat menerima laporan ini dengan tenang.”

“Hemm, engkau penuh rahasia. Katakan, kami tidak akan marah kepadamu.”

“Sebelumnya hamba ingin menceritakan keadaan hamba yang sebenarnya agar kelak tidak akan menimbulkan kecurigaan dan keraguan di hati paduka. Ketika dahulu hamba mendapatkan Ang-in-po-kian, pedang itu kemudian terampas penjahat dan terjatuh ke tangan Ku Ma Khan, pemuka orang Mongol itu. Dan Ku Ma Khan memaksa hamba untuk menikah dengan puterinya, baru dia akan mengembalikan pedang kemudian dia hendak menjadikan hamba sebagai mata-mata di sini demi kepentingan orang Mongol.”

“Ahh...!” Kaisar dan Putera Mahkota menjadi terkejut bukan main wajah mereka menjadi pucat. Kaisar sudah hampir berteriak memanggil para pengawal, akan tetapi Han Lin cepat berkata.

“Yang Mulia, kalau hamba berniat jahat tidak perlu hamba menceritakan semua ini kepada paduka!”

“Benar juga. Lalu kenapa engkau menceritakan hal ini kepadaku dan apa kehendakmu?”

“Hamba menerima syarat Ku Ma Khan itu hanya dengan maksud agar pedang dikembalikan kepada hamba. Dan puteri yang dinikahkan kepada hamba itupun sekarang telah tewas, terbunuh oleh musuhnya sehingga hamba bukan lagi mantu Ku Ma Khan. Dan pedang pusaka itu hamba kembalikan kepada paduka atas kehendak hamba sendiri, karena hambalah yang menemukannya.”

“Hemm, setelah kau ceritakan semua ini, lalu apa kepentingannya?”

“Keadaan hamba ini justeru menguntungkan sekali, Yang Mulia. Karena hamba disangka masih mantu yang setia dari Ku Ma Khan, maka para sekutu Ku Ma Khan mempercayai hamba dan terbukalah semua rahasia mereka.”

“Apa? Sekutu Ku Ma Khan? Siapa dia?”

“Banyak, Yang Mulia. Akan tetapi terutama sekali, pemimpinnya adalah Kui-thaikam yang merencanakan pemberontakan.”

Ayah dan anak itu bangkit berdiri, wajah mereka memperlihatkan rasa kaget dan juga tidak percaya. “Kui-thaikam? Sia Han Lin, tahukah engkau bahwa fitnah ini dapat membuat engkau dihukum mati?”

“Hamba siap menerima hukuman mati kalau hamba melakukan fitnah. Akan tetapi hamba hanya bicara sebenarnya, Yang Mulia. Bahkan komplotan pemberontak ini melakukan rencana jahatnya untuk membunuh paduka dan Putera Mahkota untuk menggantikan paduka dengan Pangeran Kim Seng.”

Kedua orang bangsawan itu saling pandang, muka mereka pucat akan tetapi mereka masih belum percaya. “Ceritakan semua dengan jelas,” kata Kaisar sambil duduk kembali dan Pangeran Mahkota Tek Tsung menghapus keringatnya dengan saputangan.

Han Lin lalu menceritakan semuanya tentang usaha pemberontakan Kui-thaikam yang bersekongkol dengan Kwan-ciangkun di Lok-yang, dengan Gubernur Coan di Nan-yang dan dengan beberapa orang pembesar di kota raja seperti yang didengarnya dari penuturan Leng Si.

“Kalau rencana mereka berhasil, yaitu membunuh paduka dan Putera Mahkota, maka pasukan dari Kwan-ciangkun di Lok-yang akan menyerbu kota raja, dibantu oleh panglima-panglima yang menjadi sekutunya dari dalam, dan dari utara dan barat akan menyerbu pasukan dari Ku Ma Khan.” Han Lin menutup ceritanya yang diceritakan dengan jelas.

“Hemm, lalu bagaimana mereka hendak membunuh aku dan Pangeran Mahkota. Bukankah engkau sudah berada di sini sebagai pengawal pribadiku?”

“Justeru karena hamba yang dianggap mantu Ku Ma Khan menjadi pengawal, mereka mengira hal itu mudah dilakukan. Menurut Kui-thaikam, pembunuhan terhadap paduka akan dilakukan dengan menggunakan racun dari Tabib Liang...”

“Keparat!”

“Harap tenang, Yang Mulia. Jangan khawatir, adik hamba Cin Mei berada di sana dan selalu waspada menjaga agar hal itu tidak dapat dilakukan.”

“Dan bagaimana dengan aku? Bagaimana mereka akan membunuh aku?” tanya Pangeran Mahkota Tek Tsung dengan suara gemetar.

“Paduka akan diajak berburu binatang dan akan diatur agar terjadi kecelakaan dengan paduka.”

“Ahh... mengerikam...!” Pangeran itu menggigil.

“Kalau begitu, sekarang juga akan kusuruh tangkap semua pemberontak laknat itu, akan kujatuhi hukuman mati dengan seluruh keluarganya!” kata Kaisar sambil bangkit berdiri.

“Mohon paduka tenang dan bersabar, Yang Mulia. Kalau paduka melakukan itu, apa buktinya? Mereka bahkan akan menuntut hamba dan mengatakan bahwa hamba telah melakukan fitnah. Tanpa bukti paduka tidak akan dapat menuduh mereka. Karena itu, haruslah dibuktikan dulu.”

“Dan membiarkan diri kami dan Pangeran Mahkota terancam bahaya maut?”

“Harap paduka jangan khawatir. Masih banyak orang yang setia kepada paduka. Hamba dan kawan-kawan sudah mengatur agar paduka dan Pangeran Mahkota dilindungi dan hamba yakin bahwa kalau sudah tiba saatnya mereka turun tangan, hamba akan dapat menangkap mereka. Kalau sudah begitu, barulah ada bukti tentang pemberontakan mereka dan paduka dapat menjatuhkan hukuman berat kepada mereka.”

Kaisar termenung dan mempertimbangkan ucapan pemuda itu. Akhirnya dia berkata, “Kalau semua yang kau laporkan ini benar, Han Lin, maka nyawa kami berada di tangan engkau dan kawan-kawanmu. Baiklah, kami mempercayakan kepadamu untuk mengatasi semua kemulut ini sampai tuntas.”

“Harap paduka tidak khawatir. Kawan-kawan hamba sudah menghubungi para panglima yang masih setia kepada paduka untuk melucuti mereka yang akan memberontak dan mengusir pasukan Mongol yang sudah siap di perbatasan. Seperti hamba katakan tadi, hamba siap untuk menerima hukuman besar apabila hamba berbohong, akan tetapi hamba hanya minta agar paduka berdua pura-pura tidak tahu akan adanya rencan pemberontakan itu sehingga sikap paduka berdua tidak mencurigakan. Hamba khawatir mereka akan mengubah rencana dan siasat kalau melihat paduka mencurigakan.”

“Tapi, apa yang harus kami perbuat?” tanya pula Kaisar, masih merasa ngeri.

“Menurut rencana mereka, Pangeran Mahkota akan lebih dulu diajak berburu. Kalau ajakan itu datang, harap paduka terima saja tanpa curiga. Jangan paduka khawatir, pangeran, karena diam-diam kami mengawasi paduka dan melindungi paduka. Tidak akan ada bahaya. Dan kalau hal itu terjadi, paduka akan kami ungsikan dan singkirkan sementara waktu.”

Pangeran Mahkota mengangguk, walaupun anggukannya mengandung keraguan dan kekhawatiran.

“Dan bagaimana dengan kami?”

“Paduka tidak perlu khawatir. Semua hidangan yang akan diberikan kepada paduka, sudah diperiksa oleh adik Cin Mei, dan paduka tidak akan keracunan. Akan tetapi, kalau mereka sudah menaruh racun itu, walaupun paduka tidak keracunan, sebaiknya kalau paduka pura-pura keracunan dan jatuh sakit. Ini untuk memancing tindakan mereka selanjutnya. Harap paduka jangan khawatir, kami telah menyusun siasat sebaliknya untuk melawan siasat mereka.”

Akhirnya Kaisar dan Pangeran Mahkota dapat menerima usul-usul yang diajukan Han Lin dan menyerah saja karena merekapun tidak tahu harus berbuat apa menghadapi rencana siasat para pemberontak itu. Untuk bertindak menangkap mereka memang tidak mungkin selma belum ada bukti.

Setelah menghadap Kaisar dan Putera Mahkota, Han Lin lalu mengadakan kontak dengan Cin Mei di dalam istana, juga dengan Leng Si dan San Ki di luar istana. Mereka semua telah siap, dan San Ki beserta Leng Si bahkan telah menghubungi Lo-ciangkun yang mengadakan pembicaraan serius dengan para panglima yang masih setia kepada Kaisar dan merekapun telah mempersiapkan pasukan mereka. Mereka semua tinggal menanti saat pelaksanan rencana siasat para pemberontak dengan hati diliputi ketegangan.

Pada suatu hari ketika Han Lin sedang berjalan di dalam kota raja dengan maksud mengunjungi rumah Leng Si, tiba-tiba dia melihat Bi Lan berjalan dengan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

“Lan-moi...!” Han Lin memanggil dan segera menghampiri.

Bi Lan menoleh dan mukanya berubah pucat ketika ia melihat Han Lin. Teringatlah ia betapa ia telah membunuh Mulani, isteri Han Lin. “Lin-ko... kau... kau?” katanya gagap.

Melihat sikap gadis yang dicintanya, Ting Bu segera berkata. “Ah, inikah saudara Sia Han Lin yang seringkali kau ceritakan padaku itu, Lan-moi?” lalu Ting Bu menghadapi Han Lin, memberi hormat dan berkata, “Perkenalkan, saudara Sia Han Lin, saya bernama Ting Bu, sahabat baik nona Can Bi Lan.”

Akan tetapi Bi Lan masih tetap memandang Han Lin dengan sinar mata bingung. “Lin-ko, sudahkah engkau mendengar... tentang Mulani...?”

Han Lin mengangguk dan menghela napas panjang. “Sudah kudengar semua dari saudara misanku Souw Kian Bu. Aku tidak menyalahkanmu, Lan-moi. Engkau membela saudara, hal itu sudah sepatutnya.”

“Akan tetapi, aku tidak tahu betapa jahatnya mendiang kakakku itu, Lin-ko. Sungguh aku merasa menyesal sekali telah membunuh Mulani. Aku bersalah, Lin-ko, dan kalau engkau hendak membalas kematian isterimu itu, silakan. Aku siap menerima hukuman.”

“Sudahlah, Lan-moi. Sudah kukatakan bahwa aku tidak menyalahkanmu. Semua sudah terjadi dan sudah lewat. Sekarang kita bicarakan soal lain saja. Mari kita masuk ke rumah makan itu, agar kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Han Lin dan mereka semua memasuki rumah makan itu, memilih meja di sudut yang jauh dari tamu lain.

“Nah, sekarang ceritakan apa yang menyebabkan engkau datang ke kota raja ini, Lan-moi?”

Tanpa ragu lagi Bi Lan bercerita tentang Kwan-ciangkun, panglima Lok-yang itu yang bersekongkol dengan Sam Mo-ong. “Mereka tentu bermaksud melakukan pemberontakan dan aku sudah melapor kepada ayah. Dan aku datang ke kota raja ini karena memang tempat tinggalku di sini. Lupakah engkau, Lin-ko bahwa Pek-eng Bu-koan berada di sini. Ayahku tinggal di kota raja.”

“Ah, benar juga. Kebetulan sekali, Lan-moi, engkau dan ayahmu dapat membantu usahaku. Apa yang kau ceritakan tadi memang benar dan aku sudah mengetahui semuanya. Dengar, bahkan aku mengetahui lebih banyak dari itu.” Dengan bisik-bisik Han Lin lalu menceritakan tentang rencana pemberontakan yang dipimpin oleh Kui-thaikam.

Mendengar ini, Bi Lan terkejut bukan main, demikian pula Ting Bu. “Kalau begitu, kita tidak boleh tinggal diam,” kata Ting Bu, “kita harus berbuat sesuatu!”

“Benar, saudara Ting BU. Kita memang sudah siap siaga menghadapi semua ini. Kebetulan aku menjadi kepala pengawal pribadi Kaisar dan rencana pemberontakan itu sudah kuberitahukan kepada Kaisar dan Putera Mahkota. Sekarang kita hanya tinggal membagi tugas. Bi Lan, bagaimana kalau engkau dan saudara Ting Bu, menggunakan kekuatan para murid Bu-koan untuk melindungi Pangeran Mahkota?”

“Tentu kami siap, Lin-ko.”

“Kalau begitu, mari kita bicarakan dengan ayahmu,” ajak Han Lin. Mereka lalu membayar harga minuman dan meninggalkan rumah makan itu.

Can-kauwsu (guru silat) Can yang mendengar berita itu dari puterinya, menjadi terkejut setengah mati. “Tentu saja kami siap untuk membantu, Sia-taihiap,” katanya kepada Han Lin. “Dan puteriku sudah menceritakan semua tentang perbuatan mendiang puteraku terhadap engkau dan isterimu. Dalam kesempatan ini, aku sebagai ayahnya mintakan maaf kepadamu atas segala perbuatan jahat puteraku. Mengingat dia sudah tewas, harap engkau suka memaafkan dia.” Suara orang tua itu tergetar karena haru dan duka.

“Sudahlah, paman. Aku sudah melupakan lagi urusan itu.”

“Juga aku mintakan maaf bahwa anakku Bi Lan telah terburu nafsu menewaskan isterimu.”

“Aku tidak menyalahkan Lan-moi. Sekarang kita menghadapi urusan yang besar, maka sebaiknya kita melupakan urusan pribadi,” kata pula Han Lin.

“Sia-taihiap, aku sudah banyak mendengar tentang dirimu dari Bi Lan, akan tetapi setelah berhadapan, baru aku tahu bahwa engkau memang seorang pendekar besar yang bijaksana.”

“Paman tidak perlu memuji. Yang penting sekarang, apakah paman sanggup untuk melindungi dan menyelamatkan Pangeran Mahkota? Kalau dia pergi berburu, harap dibayangi dan kalau ada bahaya mengancam, harap paman melindunginya, kemudian diam-diam membawanya pergi dan mengungsi dulu ke rumah paman tanpa ada yang mengetahui. Sanggupkah paman?”

“Kami sanggup, dan akan kami lakukan dengan taruhan nyawa!” jawab Can-kauwsu...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.