Pedang Awan Merah
HAN LIN merasa lega. Kalau yang melindungi rombongan Can-kauwsu tentu akan lebih mudah dari pada kalau dia mengerahkan tenaga para pengawal. Dia dan Cin Mei tidak boleh meninggalkan istana untuk melindungi Kaisar. Dia sudah tahu sampai di mana kelihaian Bi Lan, maka ayahnya tentu lebih lihai lagi.
Setelah Han Lin pergi, Can-kauwsu memuji-muji pemuda itu, bahkan Ting Bu juga memujinya. “Memang dia hebat sekali. Dia lebih mementingkan keselamatan negara dari pada urusan pribadi. Aku kagum sekali kepada sahabatmu itu, Lan-moi.”
Bi Lan diam saja. Ia tidak pernah menceritakan bahwa dahulu ia sangat mencinta Han Lin, akan tetapi cintanya itu menghilang ketika ia mendengar bahwa Han Lin telah menikah dengan Mulani, apa lagi kemudian ia yang membunuh Mulani. Dan terutama sekali setelah ia bertemu dengan Ting Bu, ia merasa telah menemukan pengganti Han Lin yang tidak mungkin dapat diharapkannya lagi.
Hari yang dinanti-nanti, baik oleh Kui-thaikam dan kawan-kawannya, maupun oleh Pangeran Mahkota dan para pelindungnya tiba. Kui-thaikam mengajak Pangeran Mahkota untuk berburu binatang di hutan buatan di luar kota raja. Pangeran Mahkota dengan tenangnya menerima ajakan itu karena maklum dan percaya sepenuhnya bahwa dia telah diam-diam dilindungi oleh Han Lin dan kawan-kawannya.
Kui-thaikam dan Pangeran Mahkota menunggang kuda dan dikawal oleh selosin orang pengawal berkuda pula. Mereka membawa perlengkapan berburu dan tak lama kemudian tibalah mereka di dalam hutan buatan yang cukup luas itu. Hutan itu adalah hutan buatan di mana dilepas banyak binatang hutan untuk dapat diburu oleh Kaisar dan keluarganya.
Han Lin segera memberi kabar kepada Can-kauwsu yang segera membawa lima puluh orang anak buahnya bersembunyi di hutan itu. Bi Lan dan Ting Bu tidak ketinggalan, ikut pula bersembunyi di hutan untuk melindungi Pangeran Mahkota. Segera nampak Pangeran itu dan Kui-thaikam diiringi selosin pasukan pengawal memasuki hutan. Pangeran Mahkota tidak memperlihatkan kekhawatiran dan dia berburu binatang seperti biasa dengan gembira.
Akan tetapi ketika mereka tiba di tengah hutan, tiba-tiba saja bermunculan kurang lebih tiga puluh orang yang mengenakan topeng dan mereka itu langsung saja menyerbu. Dan para pengawal itu sama sekali tidak melindungi Putera Mahkota! Melihat ini, sesuai dengan rencana yang sudah diatur sebagaimana diberitahu oleh Han Lin, Putera Mahkota membedal dan membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Kui-thaikam yang pura-pura kelihatan ketakutan.
Dan mendadak muncullah puluhan orang membiarkan Pangeran Mahkota lewat dan menghadang para pengejar itu. Tiga puluh orang perampok bertopeng dibantu selosin pengawal lalu saling serang dengan para anggauta Pek-eng Bu-koan yang dipimpin oleh Can-kauwsu, Bi Lan dan Ting Bu. Pertempuran hebat tak dapat dihindarkan lagi.
Akan tetapi para perampok yang ditugaskan membunuh Pangeran Mahkota itu menjadi bingung karena sama sekali tidak menduga akan menemui halangan seperti ini. Mereka menjadi kacau kehilangan pegangan, terutama sekali karena amukan Can-kauwsu dan Ting Bu, sedangkan Bi Lan sendiri cepat melakukan pengejaran kepada Pangeran Mahkota dan Kui-thaikam untuk melindunginya dari kemungkinan ancaman lain.
Melihat Kui-thaikam dengan pedang di tangan seolah melindungi Pangeran, Bi Lan diam-diam mengaguminya. Thaikam ini memang cerdik sekali. Melihat usaha pembunuhan itu gagal, cepat dia mengubah taktik dan pura-pura melindungi sehingga dia tidak terlibat dalam usaha pembunuhan Putera Mahkota itu. Akan tetapi Bi Lan tidak perduli. Sesuai dengan petunjuk Han Lin, ia menyambar tali kendali kuda sang Pangeran, menendang jatuh Kui-thaikam dari atas kudanya lalu mengajak Pangeran itu untuk melarikan diri.
Pangeran Mahkota memang sudah diberitahu oleh Han Lin bahwa dia harus mengikuti gadis berpakaian merah muda yang akan membawanya lari mengungsi. Setelah tiba di tepi hutan, Bi Lan lalu menyerahkan pakaian pengganti untuk Putera Mahkota.
“Paduka harus menyamar sebagai penduduk biasa dalam memasuki kota raja, Pangeran,” katanya dan Pangeran itu menurut saja.
Pakaian petani yang longgar itu dipakainya menutupi pakaiannya yang serba indah. Kemudian Bi Lan mencambuk kuda sang Pangeran sehingga kuda itu kabur kembali ke dalam hutan dan dara itu mengajak sang Pangeran melanjutkan perjalanan ke kota raja dengan jalan kaki. Mereka berhasil memasuki kota raja tanpa menarik perhatian dan Bi Lan mengajak Pangeran itu bersembunyi ke dalam rumah orang tuanya, yaitu di Pek-eng Bu-koan.
Sementara itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Biarpun di antara para perampok bertopeng itu terdapat Thian Te Siang-kui yang lihai, akan tetapi tugas mereka adalah membunuh Pangeran Mahkota, bukan bertempur. Mereka lalu meninggalkan gelanggang pertempuran dan melakukan pengejaran, akan tetapi mereka hanya menemukan Kui-thaikam dan kuda Pangeran Mahkota, sedang Pangeran itu sendiri tidak dapat mereka temukan.
Kui-thaikam menyumpah-nyumpah. Kepada para sekutunya, malam itu dia menceritakan bahwa Pangeran Mahkota diselamatkan seorang wanita yang tidak dikenalnya. “Kita harus cepat melaksanakan rencana selanjutnya. Putera Mahkota dilindungi orang-orang yang kalau rencana selanjutnya tidak segera dilaksanakan, kami khawatir semuanya akan menjadi gagal,” katanya.
Semua orang setuju dan Tabib Liang segera dihubungi agar besok segera melaksanakan rencana mereka untuk meracuni Kaisar! Para pengawal yang selosin orang itu memang anak buah Kui-thaikam dan sekembalinya dari hutan, Kui-thaikam melaporkan kepada Kaisar bahwa Pangeran telah memisahkan diri dari rombongan ketika berburu dan sekarang sedang dicari-cari oleh pasukan. Kaisar menerima berita ini dengan hati tenang saja karena dia sudah tahu dari Han Lin bahwa Pangeran telah diselamatkan dan untuk sementara disembunyikan.
Ketika hidangan makan siang sudah dipersiapkan, Cin Mei melihat sikap Liang Sinshe tidak seperti biasanya. Dia kelihatan gugup dan ketika ia melihat tabib itu menuangkan bubuk putih ke dalam guci emas yang menjadi guci arak Kaisar, ia tahu bahwa saatnya untuk meracuni Kaisar adalah saat itu. Dan racunnya berada di dalam guci emas itulah.
Kemudian ia melihat betapa Tabib Liang mengundang seorang thaikam dan menyuruh thaikam ini yang menghidangkan dan membawa guci emas itu kepada Kaisar untuk pelengkap makan siang. Dari ini saja Cin Mei tahu bahwa thaikam itu tentu anak buah Kui-thaikam. Tentu untuk membawa guci emas itu tidak boleh dipercayakan kepada orang lain. Ia pura-pura tidak tahu dan segera mendahului pergi ke kamar makan di mana Kaisar akan makan siang dilayani oleh para gadis pelayan dan thaikam.
Akan tetapi siang itu, Kaisar yang sudah mendapat bisikan dari Han Lin yang menerima kontak dari Cin Mei, menyuruh semua pelayan dan thaikam pergi. Setelah semua orang pergi dan di situ hanya terdapat Cin Mei, Kaisar memanggil thaikam yang membawa guci emas tadi masuk. Semua pintu ditutup dan tak seorangpun diperbolehkan masuk.
“Engkau yang tadi membawa guci arak itu?” tanya Kaisar kepada thaikam.
Karena pertanyaan itu tidak biasa, thaikam itu menjadi pucat wajahnya dan sambil berlutut dia menjawab, “Benar, Yang Mulia.”
“Apa isinya guci itu?”
“Tentu saja isinya arak, Yang Mulia. Hamba mengambilnya dari dapur.”
“Bagus, engkau telah bekerja dengan baik sekali. karena itu kami berkenan memberi hadiah secawan arak kepadamu. Majulah!”
Wajah thaikam itu menjadi semakin pucat. Dengan mata terbelalak dia melihat betapa Kaisar menuangkan arak dari guci emas ke dalam sebuah cawan dan menjulurkan tangan memberikan cawan itu kepadanya. Thaikam itu ketakutan dan hendak melarikan diri, akan tetapi sekali tangan Cin Mei bergerak, thaikam itu menjadi lemas dan tidak mampu bangkit kembali.
“Hayo minum!” kata Kaisar yang menghampirinya dan memaksanya minum secawan arak itu. Karena tidak bertenaga lagi dan tidak dapat melawan, akhirnya thaikam itu terpaksa menelan arak dari cawan itu dan sejenak kemudian ia pun roboh dan tewas seketika dengan mulut berubah menghitam!
Kaisar berseru lirih. “Jahanam keji...!”
Sesuai dengan rencana, Cin Mei lalu memanggil pengawal kepercayaan Han Lin, dan dengan bantuan pengawal ini, mereka lalu mengangkut jenazah itu dan merebahkan ke dalam pembaringan Kaisar, sedangkan Kaisar sendiri lalu menyembunyikan diri. Segera tersiar berita bahwa Kaisar menderita sakit keras, bahkan disusul berita bahwa Kaisar telah meninggal dunia! Tentu saja geger di dalam istana, kecuali keluarga istana yang telah diberitahu dulu dengan adanya usaha pemberontakan itu.
“Kita harus meneruskan rencana, sekarang juga! Sebelum Putera Mahkota muncul. Cepat! Sekarang juga harus diadakan persidangan besar. Dan jangan lupa memberi tanda kepada Kwan-ciangkun di Lok-yang dan kepada Ku Ma Khan dan para panglima lain di sini!” demikian perintah Kui-thaikam kepada para sekutunya. Mereka nampak sibuk sekali karena saat besar itu akan tiba. Pangeran Kim Seng juga sudah siap dengan pakaian kebesaran.
Persidangan darurat diadakan dan dihadiri oleh semua menteri, pejabat dan panglima. Menurut perhitungan pada saat persidangan darurat diadakan, istana sudah dikepung oleh pasukan yang memberontak, di bawah pimpinan para panglima yang sebelumnya sudah ditentukan.
Tak seorangpun pejabat tinggi yang hadir dalam persidangan darurat yang diadakan itu. Para pejabat tinggi yang tidak tersangkut, merasa heran sekali dan juga bingung mendengar berita bahwa Kaisar telah wafat. Mereka seolah tidak percaya karena sebelumnya tidak ada berita Kaisar menderita sakit. Juga berita bahwa Pangeran Mahkota lolos dari istana tanpa diketahui ke mana perginya membuat semua orang bertanya-tanya. Maka, ketika diadakan persidangan darurat, berbondong-bondong mereka mendatangi persidangan itu.
Singgasana itu kosong. Kui-thaikam berdiri di dekat singgasana, ditemani oleh Pangeran Kim Seng. Semua orang tahu bahwa pangeran sinting tukang pelesir ini adalah adik Kaisar dan karena Putera Mahkota tidak ada maka tentu saja Pangeran Kim Seng dapat dibilang sebagai anggauta tertua dari Kaisar dan merupakan anggauta keluarga yang penting.
“Cu-wi yang mulia,” Kui-thaikam mulai berkata. “Ada berita menyedihkan bahwa Yang Mulia Sribaginda Kaisar telah wafat karena terserang penyakit mendadak. Tabib Liang tidak mampu mengobatinya karena sudah parah sekali. Kata Tabib Liang, Yang Mulia menderita pendarahan di lambung yang amat parah. Dan di samping berita yang amat menyedihkan ini, ada lagi berita yang membingungkan, yaitu bahwa Putera Mahkota Tek Tsung telah lolos dari istana, entah ke mana tak seorangpun mengetahuimya. Kami masih berusaha mencari-cari akan tetapi sementara mencarinya, singgasana tidak baik dibiarkan kosong. Harus ada yang sementara menggantikan kedudukan Kaisar sebelum sang Pangeran dapat ditemukan, untuk mengatur pemakaman dan mengatur hal-hal yang terpenting. Dan mengingat bahwa pengganti Yang Mulia Kaisar, yaitu Pangeran Mahkota Tek Tsung tidak ada, maka satu-satunya pengganti yang tepat adalah Pangeran Kim Seng karena sebagai paman Putera Mahkota, beliau ini dapat dibilang menjadi walinya. Biarlah Pangeran Kim Seng untuk sementara menggantikan kedudukan Pangeran Mahkota yang lolos. Bagaimana pendapat cu-wi yang terhormat?”
Serta merta para pejabat yang sudah menjadi sekutu Kui-thaikam mengancungkan tangan menyatakan setuju dengan suara riuh rendah. Mereka yang setuju ini tentu saja setuju demi kepentingan sendiri karena mereka tentu mengharapkan kenaikan pangkat dari penguasa yang baru. Akan tetapi banyak di antara para menteri yang menyatakan tidak setuju.
“Jenazah Yang Mulia belum juga dimakamkan, mengapa ribut-ribut soal pengganti Kaisar?”
“Yang penting harus menemukan dulu Pangeran Mahkota, baru ditentukan pengganti Yang Mulia Kaisar.”
“Kematian Yang Mulia perlu diteliti karena mencurigakan sekali.”
Bermacam-macam suara yang memrotes keputusan yang hendak diambil oleh Kui-thaikam. Akan tetapi Kui-thaikam mengangkat tangannya dan nampak berwibawa sekali.
“Cu-wi tahu bahwa saya adalah orang yang menjadi kepercayaan Yang Mulia, dan Pangeran Kim Seng adalah adik dari Yang Mulia. Semua keputusan yang hendak dilaksanakan ini sudah benar dan merupakan satu-satunya jalan. Kalau ada yang tidak setuju itu berarti menghalangi kelancaran pemerintahan dan dianggap hendak mengacau dan memberontak. Untuk itu kami sudah siap siaga dengan pasukan dan kalau perlu, mereka yang tidak setuju dapat ditangkap. Istana ini sudah dikepung pasukan yang mendukung keputusan kami!”
Semua pejabat menjadi terkejut mendengar ini dan tahulah mereka semua bahwa sebetulnya Kui-thaikamlah yang memberontak dan hendak memaksakan kehendaknya dengan dukungan pasukan!
Pada saat itu terdengar suara nyaring, “Yang Mulia Sribaginda Kaisar telah tiba!”
Semua orang terkejut, terutama sekali Kui-thaikam, memandang terbelalak karena tidak mengerti maksudnya. Dia sudah melihat sendiri betapa jenazah Sribaginda Kaisar rebah di dalam kamarnya! Semua orang memandang dan benar saja. Sribaginda Kaisar Thai Tsung yang nampak sehat-sehat saja memasuki ruangan itu, diikuti oleh pasukan pengawal dan juga didampingi oleh Han Lin dan para thaikam yang setia.
“Kui-thaikam, engkau mau berkata apa lagi sekarang? Engkau yang bersekutu dengan pemberontak, engkau mengatur pemberontakan, hendak membunuh kami dan membunuh pula Putera Mahkota! Engkau tidak dapat menyangkal pula!”
Kui-thaikam memandang dengan wajah pucat. Akan tetapi dia melihat bahwa ada yang tidak beres dalam rencananya, maka dia hendak berlaku nekat karena sudah kepalang.
“Semua orang menyerah! Istana sudah dikepung dan kota raja sudah diduduki pasukan kami!” bentaknya sambil mengangkat kedua tangan untuk menyuruh pasukan yang sudah mengepung istana itu menyerbu masuk. Akan tetapi, pintu terbuka lebar dan masuklah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei masuk sambil mencengkeram leher baju di bagian tengkuk Tabib Liang.
“Inilah Tabib Liang yang hendak meracuni Yang Mulia Kaisar atas suruhan Kui-thaikam!” seru gadis itu dengan suaranya yang merdu dan lantang. Dan didorongnya Tabib Liang sehingga terjatuh berlutut di dekat Kui-thaikam.
Kemudian dari pintu yang terbuka lebar itu masuk panglima-panglima yang masih setia, dan mereka itu menggiring lima orang yang menjadi tawanan, yaitu Menteri Lai, Menteri Ciu, Panglima Bhe, Panglima Phoa dan Panglima The. Lima orang sekutu dari Kui-thaikam yang sedianya mengerahkan pasukan mengepung istana.
Ternyata mereka itu telah didahului oleh panglima-panglima yang dihubungi Lo-ciangkun, ditangkap lebih dulu di rumah masing-masing sehingga tidak sempat menggerakkan pasukan. Kini mereka semua didorong ke depan dan jatuh berlutut di dekat Kui-thaikam, di depan Kaisar.
Melihat ini, Pangeran Kim Seng juga menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. Dari luar masuk pula Pangeran Mahkota Tek Tsung diiringkan oleh Bi Lan dan Ting Bu! Maka bergembiralah para pejabat yang setia karena melihat Putera Mahkota itu ternyata dalam keadaan sehat.
“Cu-wi, kalau mau tahu siapa yang hendak membunuhku, maka Kui-thaikam inilah yang mengaturnya pula!”
Kini Kui-thaikam sudah tidak melihat jalan keluar lagi. Dia mencabut pedangnya dan sambil berteriak seperti seekor srigala gila dia menubruk ke depan untuk membunuh Kaisar! Akan tetapi, Han Lin yang berdiri di situ menyambutnya dengan sebuah tendangan yang membuat Kui-thaikam jatuh terjengkang.
Thaikam itu lalu menggerakkan pedang ke lehernya, akan tetapi banyak tangan merampas pedang itu dan dia lalu ditangkap dan diborgol. Kui-thaikam meronta-ronta, memaki-maki, menangis dan tertawa dan ternyata dia mendadak menjadi gila atau pura-pura gila. Kaisar memerintahkan untuk menyeret pergi semua yang terlibat pemberontakan.
Seluruh persekutuan pemberontakan itupun terbongkar. Pasukan pemerintah lalu mengadakan penyerbuan ke Lok-yang, menangkap Kwan-ciangkun. Juga pasukan dikirim ke Nan-yang untuk menangkap Gubernur Coan. Lengkaplah semua kaki tangan Kui-thaikam ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara menunggu keadilan.
Sementara itu, pasukan yang dipimpin Ku Ma Khan di perbatasan, diserbu pasukan yang dibantu oleh para pendekar. Pada hari itu juga pasukan besar dikirim ke perbatasan di utara di mana pasukan Ku Ma Khan masih menanti tanda dari Kui-thaikam untuk menyerbu.
Pertempuran itu berlangsung dengan seru. Ketika Sam Mo-ong yang memperkuat pasukan Mongol itu maju, banyak perajurit Kerajaan Tang roboh oleh tiga orang datuk sesat yang lihai itu. Akan tetapi, para pendekar yang melihat ini segera maju. Han Lin menghadapi Kwi-jiauw Lo-mo, adapun Hek-bin Mo-ong dihadapi Lie Cin Mei dan Cu Leng Si, dan Pek-bin Mo-ong dikeroyok oleh Gu San Ki dan Ting Bu yang lihai.
Dalam waktu singkat saja Sam Mo-ong yang sekali ini bertemu tanding, terdesak hebat. Terutama sekali Kwi-jiauw Lo-mo. Biarpun dia sudah mengamuk dengan sepasang cakar setannya, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi pedang Ang-in-po-kiam yang oleh Kaisar diberikan lagi kepada Han Lin itu.
Dengan ilmu pedang Ang-in-kiam-sut yang digubahnya sendiri, Han Lin mendesak dengan hebat dan pada kesempatan yang baik pedangnya itu mampu membabat putus kedua cakar setan itu. Kwi-jiauw Lo-mo terkejut sekali dan dia berusaha untuk mengamuk dengan pukulan jarak jauhnya, tubuhnya menggelinding ke sana sini seperti sebuah peluru, berputar-putar.
Namun Han Lin dapat mengimbanginya dengan Khong-khi-ciang yang juga memiliki hawa sin-kang yang amat kuat. Akhirnya, setelah mengadu sin-kang tetap tidak mampu mengatasi Han Lin, Kwi-jiauw Lo-mo menggelinding hendak melarikan diri. Namun Han Lin melempar Pedang Awan Merahnya yang meluncur bagaikan sinar kilat, menusuk punggung kakek itu menembus ke dadanya dan diapun roboh menelungkup dan tewas seketika. Han Lin meloncat datang dan mencabut pedangnya dari tubuh Kwi-jiauw Lo-mo.
Hek-bin Mo-ong yang dihadapi Cin Mei dan Leng Si juga sibuk sekali. dia mengerahkan sin-kangnya yang dingin beracun, jari-jari tangannya berubah menghitam, namun dua orang gadis itu lihai bukan main. Leng Si bersenjata siang-kiam dan Cin Mei menggunakan sebatang pedang. Bayangan mereka merupakan bayangan hijau dan putih dan pedang mereka membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata. Baru melawan seorang di antara mereka saja sudah tidak mudah bagi Hek-bin Mo-ong untuk menang, apa lagi dikeroyok dua. Akhirnya pedang Leng Si menembus dadanya dan diapun roboh dan tewas.
Demikian pula Pek-bin Mo-ong. Pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai, terutama sekali Gu San Ki. Murid Pek Mau Siankouw ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw, memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Leng Si atau Cin Mei. Dia sendiri saja sudah merupakan lawan tangguh sekali dari Pek-bin Mo-ong. Apa lagi dikeroyok bersama Ting Bu, murid Bu-tong-pai yang lihai itu. Pek-bin Mo-ong hanya sanggup bertahan selama lima puluh jurus dan akhirnya dia tewas oleh tusukan pedang Gu San Ki.
Para pendekar lain mengamuk. Leng Si yang mencari-cari akhirnya dapat menemukan Tee-kui yang amat dibencinya karena penjahat cabul ini hampir saja dulu dapat memperkosanya. Setelah bertemu, ia melarang yang lain untuk melawannya dan ia sendiri yang menyerang Tee-kui dengan siang-kiamnya.
Tee-kui dengan sepasang goloknya melawan mati-matian. Sepasang golok melawan sepasang pedang dan pertempuran ini disaksikan oleh yang lain-lain. Sebetulnya tidak mudah bagi Leng Si untuk mengalahkan Tee-kui karena tingkat mereka tidak banyak selisihnya. Akan tetapi karena Tee-kui sudah menjadi panik melihat Sam Mo-ong sudah roboh, juga Thian-kui telah tewas di tangan Kian Bu, maka permainan goloknya menjadi kacau.
Dia tahu bahwa untuk melarikan diripun sudah tidak ada jalan. Terlalu banyak pendekar berada di situ, maka diapun hanya dapat berkelahi dengan nekat. Karena memang sudah panik dan permainannya kacau, akhirnya pedang Leng Si membabat lehernya dan diapun roboh dengan leher hampir putus.
Ku Ma Khan akhirnya terpaksa menarik mundur pasukannya dan melarikan diri ke utara. Perangpun berakhir dengan kemenangan pasukan Tang. Kaisar amat berterima kasih kepada para pendekar dan biarpun Kaisar merasa menyesal bahwa Han Lin dan Cin Mei mengundurkan diri dan tidak lagi mau menjadi pengawal, namun Kaisar dapat memaklumi watak para pendekar yang tidak mau terikat itu. Dia hanya dapat membagi-bagikan hadiah kepada para pendekar yang sudah membantu pembasmian persekutuan jahat yang hendak menggulingkan pemerintahannya itu.
Keadaan menjadi aman kembali dan setelah mendapatkan pengalaman pahit itu, Kaisar bersikap hati-hati. Dan Kaisar menasihati Pangeran Mahkota agar dapat menarik pelajaran dari pengalaman itu, yaitu agar jangan terlalu menaruh kepercayaan tanpa batas kepada seorang punggawa, apa lagi kalau punggawa itu seorang yang suka bermuka-muka atau seorang penjilat. Harus mendengarkan nasihat semua pihak dan mempertimbangkan nasihat-nasihat mereka sehingga pemerintahannya akan dapat terkontrol dan semua kesalahan akan dapat diubah.
“Mei-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?” tanya Han Lin kepada Cin Mei. Mereka telah berada jauh dari kota raja, berpisah dari para pendekar lain yang mengambil jalan mereka masing-masing.
Cin Mei nampak terkejut dan bingung mendengar pertanyaan ini. Selama ini ia melakukan perjalanan bersama Han Lin, mengalami segala macam suka duka bersama pemuda itu dan tanpa terasa ia memasuki kehidupan yang lain sama sekali. Ia telah menganggap bahwa memang hidupnya di samping Han Lin, bekerja sama dengan pemuda itu dan agaknya mereka tidak akan saling berpisah lagi. Ia telah benar-benar jatuh cinta kepada pendekar ini.
Dan sekarang, secara tiba-tiba, pemuda itu bertanya ke mana ia hendak pergi dan seolah baru teringat olehnya bahwa akhirnya perpisahan akan tiba juga. Ia harus berpisah dari pemuda ini yang bukan apa-apanya! Dan tiba-tiba saja hatinya terasa sedih bukan main. Sepasang matanya yang lebar itu memandang kepada Han Lin seperti seorang anak kecil yang dimarahi dan tidak tahu harus berkata apa.
Dan perlahan-lahan, sepasang mata itu menjadi basah! Ia menahan perasaannya agar jangan sampai menangis di depan pemuda itu, akan tetapi hatinya terasa seperti diremas karena yang teringat olehnya hanyalah bahwa ia harus berpisah dari pemuda ini. Dan dunia rasanya kiamat kalau ia harus berpisah dari Han Lin.
“Eh, Mei-moi, kenapa engkau diam saja? Ke mana engkau hendak pergi sekarang?”
“Ke... ke mana, ya?”
“Aih, adik Cin Mei, engkau ini bagaimana sih? Ditanya balas bertanya! Apakah engkau akan pulang ke rumah ibumu?”
“Ya, pulang ke rumah ibuku...”
“Atau engkau akan merantau, meluaskan pengalaman?”
“Ya, benar! Aku akan merantau meluaskan pengalamanku!”
Han Lin memandang penuh perhatian. Heran dia melihat gadis yang biasanya tenang sekali menghadapi apa saja itu sekarang kelihatan seperti orang bingung, bahkan tidak tahu dengan pasti apa yang akan dilakukannya sekarang. “Mei-moi, engkau kelihatan bingung. Kenapakah?”
“Aku tidak tahu, Lin-ko. Aku... aku bahkan tidak tahu aku harus pergi ke mana sekarang. Aku... sudah terbiasa pergi mengikutimu saja...” gadis itu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
“Mei-moi, bagaimana mungkin kita pergi berdua? Ada waktu bertemu, ada waktu pula untuk berpisah. Engkau tidak mungkin terus bersamaku, Mei-moi.”
“Kenapa tidak bisa, koko?”
“Tentu saja tidak bisa, karena engkau... karena aku...”
“Eh, bicaramu seperti teka-teki. Kenapa kita tidak dapat melakukan perjalanan bersama, Lin-ko? Kenapa kita harus berpisah?”
“Mei-moi, engkau ini aneh. Engkau seorang gadis terhormat, tidak baik melakukan perjalanan terus menerus bersama aku...”
“Apakah engkau bukan seorang laki-laki terhormat?”
“Bukan begitu, akan tetapi apa kata orang kalau melihat kita selalu bersama?”
“Lin-ko, sekarang aku minta engkau bersikap dan menjawab dengan sejujurnya saja. Apakah engkau tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamaku? Jawablah, kalau engkau tidak suka, tentu saja aku tidak akan minta kepadamu untuk melakukan perajalanan bersama.”
“Tentu saja aku suka, Cin Mei, akan tetapi ini akan merugikan nama baikmu. Ingat, engkau seorang gadis, dan aku, aku adalah seorang duda!”
“Ah, aku tahu pernikahanmu dengan mendiang Mulani. Engkau tidak bersungguh-sungguh menikah dengannya, bahkan engkau tidak mencintanya, bukan?”
Han Lin menghela napas panjang. “Sesungguhnyalah, dan Mulani tentu akan dapat memaafkan aku. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku... aku merasa tidak pantas mendampingimu, Cin Mei.”
“Lin-ko, mengapa engkau berkata demikian? Aku... aku merasa bangga kalau aku boleh mendampingimu, Lin-ko.”
Han Lin memandang wajah gadis itu, dan Cin Mei juga memandangnya. Sepasang mata bertemu dan beradu, bertaut ketat seolah ada besi semberani yang menarik pandang mata mereka, lalu Han Lin melangkah dekat dan memegang kedua tangan gadis itu.
“Cin-moi, benarkah... benarkah apa yang kau katakan ini, bukan sekedar hendak menghiburku saja?”
“Koko, engkau yang mengetahui bahwa aku adalah seorang yang tidak suka berbohong.”
“Kalau begitu... ah, Mei-moi, sejak pertama kali berjumpa denganmu, hatiku mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi selama ini, mengingat bahwa aku telah menikah, aku tidak berani mengharapkan, tidak berani menyatakan. Sekarang, kalau engkau tidak memandang aku sebagai seorang duda, aku berani menyatakan. Aku memang mengharapkan engkau selamanya mendampingiku, Mei-moi, sebagai isteriku. Nah, sudah kuucapkan sekarang, kalau engkau tersinggung dan marah, engkau boleh memaki aku, Mei-moi!”
Cin Mei menggenggam jari-jari tangan pemuda itu, mengangkat mukanya dan tersenyum, akan tetapi matanya berlinang air mata. “Koko, apakah engkau tidak melihat perasaanku melalui pandang mataku, kata-kataku dan sikapku kepadamu? Engkau tidak bertepuk tangan sebelah, koko...”
“Cin Mei...!” Han Lin mendekap kepala itu ke dadanya dan kebahagiaan memenuhi perasaan hatinya. Selama ini dia belum pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sedalamnya, dan sekarang, dia telah menemui cintanya, seorang gadis yang hebat, bukan saja cantik lahirnya, juga batinnya cantik sekali.
Sampai lama meraka berpelukan seperti lupa akan segala sesuatu, lupa akan waktu dan sekelilingnya. Kemudian, setelah sadar Han Lin lalu berkata, “Mei-moi, kalau begitu mari kuantar engkau pulang. Aku ingin bertemu dengan ibumu dan bagaimanapun juga, harus ada persetujuan ibumu kalau kita hendak hidup bersama sebagai suami isteri. Kalau ibumu sudah setuju, baru aku akan minta kepada para bibi dan pamanku untuk mengatur perjodohan kita ini.”
“Baik, koko, dan aku yakin bahwa ibuku akan menyetujuinya, karena ibu amat menyayang kepadaku dan percaya kepadaku. Ia pun tentu akan percaya kepadaku. Ia pun tentu akan percaya bahwa pilihan hatiku adalah pria yang terbaik bagiku di dunia ini.”
Han Lin mencium bibir yang mengeluarkan kata-kata yang indah baginya itu dan mereka lalu melanjutkan perjalanan.
Wi Wi Siankouw, ibu Cin Mei, menjadi seorang pertapa di bukit Liong-san, dan hidup menyendiri sebagai seorang wanita petani dan pertapa. Dapat dibayangkan betapa girang dan gembira hati wanita tua ini ketika melihat puterinya kembali dalam keadaan sehat. Akan tetapi matanya menatap tajam pemuda yang mendampingi puterinya itu. Cin Mei segera memperkenalkan.
“Ibu, ini adalah kakak Sia Han Lin, seorang... sahabat baikku. Dia ikut ke sini untuk kuperkenalkan kepadamu, ibu.”
“Hemm, memperkenalkan seorang pemuda kepadaku berarti bahwa dia adalah pilihan hatimu, betulkah?”
Wajah Cin Mei menjadi kemerahan dan Han Lin merasa heran dan aneh sekali melihat kini Cin Mei berubah kekanak-kanakan yang manja. Gadis itu lari merangkul ibunya dan menyembunyikan mukanya di pundak ibunya. “Aihh, ibu...!”
Wi Wi Siankouw tertawa terkekeh dan nampaknya gembira sekali, akan tetapi ketika tawanya berhenti ia memandang kepada Han Lin dengan tajam. “Tidak boleh sembarangan laki-laki menikahi puteriku. Dia harus seorang yang berhati mulia dan bijaksana.”
“Ibu, Lin-ko adalah seorang yang paling bijaksana dan baik di seluruh dunia ini!” jawab Cin Mei manja.
“Dan dia harus memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi!”
“Ibu, aku sendiri tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan Lin-koko. Ilmu silatnya tinggi, juga dia pandai ilmu sastera.”
“Aihh, tentu saka engkau memujinya setinggi langit karena dia pilihan hatimu. Akan tetapi aku belum merasa puas kalau tidak membuktikannya sendiri. Orang muda, eh, siapa namamu tadi?”
“Nama saya Sia Han Lin, locianpwe.”
“Bagus! Sia Han Lin, apakah engkau mencinta puteriku Cin Mei? Jawab sejujurnya, aku tidak suka melihat orang berlika-liku.”
“Benar, locianpwe. Saya mencinta adik Lie Cin Mei.”
“Calon suami Cin Mei haruslah seorang yang berilmu tinggi sehingga kelak dia akan mampu melindungi Cin Mei dan anak-anaknya. Maka engkau harus dapat menandingiku sampai lebih dari tiga puluh jurus! Kalau kurang dari tiga puluh jurus engkau kalah, berarti pinanganmu kutolak. Beranikah engkau?”
“Ibu...!” Cin Mei memrotes ibunya akan tetapi ibunya memandang kepadanya sedemikian rupa sehingga berdiam diri, dan diam-diam ia gembira sekali. Ibunya tentu tidak akan mengalahkan Han Lin sebelum tiga pluh jurus karena dengan menantang calon mantunya itu saja berarti ibunya sudah menerima dan menyetujui. Ibunya hanya ingin menguji Han Lin.
“Saya tidak berani melawan locianpwe, akan tetapi kalau locianpwe menghendaki untuk menguji kepandaian saya yang masih rendah dan memberi petunjuk, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih.”
“Hemm, orang muda, engkau pandai bersopan santun dan merendahkan diri. Nah, aku akan mulai menyerangmu dengan kebutan, kau boleh menggunakan pedangmu untuk melindungi dirimu!”
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Wi Wi Siankouw mulai menyerang dengan kebutannya. Kebutan itu menyambar halus, akan tetapi di balik kelembutan dan kelemasan kebutan itu, tersembunyi tenaga yang dahsyat sekali. Han Lin mengelak dengan mudah dan menjaga jarak, kebutan menyambar lagi, kini berputar dan mengeluarkan sura bersiutan. Bertubi-tubi kebutan itu menyerangnya, kadang lemas dan lembut, kadang berubah kaku seperti bulu-bulunya terbuat dari kawat baja!
Namun, Han Lin menggunakan kegesitannya mengelak dengan berlompatan dan ketika dia terdesak, diapun mulai bersilat dengan Khong-khi-ciang. Ketika tusukan jari-jarinya membuat bulu kebutan rontok, Wi Wi Siankouw mengeluarkan seruan kaget sekali. Barulah dia tahu bahwa pemuda ini memang benar memiliki ilmu yang aneh dan hebat sekali. Tangan yang kelihatannya kosong tidak bertenaga itu ternyata mampu membuat bulu kebutannya rontok.
Ia menjadi gembira karena sudah lama tidak menemukan orang yang akan mampu menandinginya lebih dari tiga puluh jurus. Pemuda ini mampu menandinginya, bahkan sama sekali tidak pernah terdesak, padahal pemuda ini melawannya dengan tangan kosong saja! Saking gembiranya, Wi Wi Siankouw sampai lupa bahwa ia sudah menyerang lebih dari tiga puluh jurus dan terus melanjutkan serangannya yang kini menjadi amat dahsyat karena ia mengerahkan seluruh tenaganya!
“Haiiiitttt...!” kembali kebutannya menyambar, kini menotok ke arah kedua mata lawan. Han Lin terpaksa melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan itu dan ketika tubuhnya menukik ke bawah, dia menggunakan kedua tangannya untuk merampas kebutan. Wi Wi Siankouw terpekik dan cepat menarik kebutannya yang hampir saja terampas.
“Empat puluh satu... empat puluh dua... eh, ibu, sudah empat puluh dua jurus!” teriak Cin Mei berulang-ulang. Akan tetapi Wi Wi Siankouw yang sedang bergembira memperoleh teman latihan yang sepadan, tidak menghiraukannya, dan kebutannya kini menusuk ke arah dada Han Lin seperti sebuah tongkat atau tombak.
Han Lin dengan Khong-khi-ciangnya menyambut. Kedua telapak tangannya menjepit ujung kebutan itu dari kanan kiri dan kini kebutan itu terjepit telapak tangannya, tidak dapat dilepaskan kembali biarpun pemiliknya sudah mengerahkan tenaga untuk membetonya. Setelah berulang kali menarik tanpa hasil, barulah Han Lin melepaskan jepitan tangannya dan menjura, “Harap locianpwe suka maafkan saya dan terima kasih bahwa locianpwe bersikap lunak terhadap saya.”
Wi Wi Siabkouw terbelalak. Jangankan mengalahkan dalam tiga puluh jurus, bahkan kalau dilanjutkan, ia yang akan kalah melawan calon mantunya ini. Tentu saja ia girang bukan main. “Han Lin, ilmu ajaib apakah yang kau mainkan untuk melawanku tadi?”
Sekali ini Han Lin tidak berani berbohong. “Ilmu itu adalah ilmu Khong-khi-ciang (Tangan Udara Kosong), locianpwe!”
“Ahhhh? Itukah ilmu yang dinamakan Khong-khi-ciang? Pantas, pernah menggemparkan kolong langit. Bukankah ilmu itu hanya dikuasai oleh seorang manusia ajaib yang dulu dikenal sebagai Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)?”
“Lojin adalah guru saya, locianpwe. Akan tetapi sayapun hanya mengenalnya sebagai Lojin saja.”
“Engkau muridnya? Bagus sekali! Aih, Cin Mei, sejak kapan engkau begitu pandai memilih calon suami?”
“Aihhhh, ibu...!”
Mereka bertiga bergembira dan terutama sekali Han Lin merasa berbahagia bahwa Ibu Cin Mei sudah dapat menerimanya dengan rela hati. Kini ia tinggal minta bantuan bibinya dan pamannya untk mengajukan pinangan resmi. Ketika dia berpamit, Cin Mei berkeras untuk ikut dengannya dan tentu saja Han Lin setuju sepenuhnya.
“Ibu, calon mantumu sudah datang memperkenalkan diri kepadamu, tidakkah sudah sepatutnya kalau akupun memperkenalkan diri kepada calon paman dan bibi mertuaku?”
Ibunya hanya tertawa dan karena ia tahu bahwa puterinya sedang tergila-gila itu tidak mau berpisah lagi dari calon suaminya, maka iapun memberi persetujuannya. Berangkatlah sepasang kekasih itu dengan penuh kebahagiaan.
“Si-moi, sekarang semua telah beres dengan memuaskan. Semua pemberontak jahat itu telah terbasmi habis dan Kaisar sekeluarganya selamat.”
“Benar, Ki-ko, dan sekarang ini engkau hendak pergi ke mana?”
“Aku tidak pergi ke mana-mana, Si-moi, atau kalaupun aku pergi, aku akan pergi ke mana saja engkau pergi!”
“Heii, apa-apaan ini? Kenapa begitu?”
“Terus terang saja, Si-moi, setelah berkumpul beberapa lamanya denganmu, aku tidak bisa berpisah lagi darimu. Aku cinta padamu, Si-moi, dengarkah kau? Aku cinta padamu!”
“Ihh, suheng, eh... Ki-ko, kenapa tiba-tiba saja engkau berkata begitu? Bukankah dahulu engkau pernah mencinta sumoi Ji Kiang Bwe?”
Wajah yang gagah itu menjadi muram. “Aih, sumoi, Si-moi, jangan ungkit-ungkit lagi barang lama yang sudah dipendam. Memang, dahulu aku pernah mencintanya, akan tetapi setelah ia menikah, cintaku menjadi sayang seorang kakak terhadap adiknya. Apakah engkau... cemburu?”
Leng Si tertawa. “Kenapa cemburu? Bukan hanya engkau saja yang pernah mencinta orang akan tetapi gagal karena cintamu bertepuk tangan sebelah. Akupun pernah mencinta orang yang akhirnya kuanggap sebagai adikku karena dia tidak membalas cintaku.”
“Sia Han Lin, bukan?”
“Ehh, bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Ki-koko?”
“Mudah saja, aku seorang yang sudah berpengalaman. Melihat pertemuanmu dengan Han Lin, aku sudah menduganya. Kasihan engkau, Si-moi!”
“Dan engkau juga kasihan, Ki-ko. Tidak enak ya kalau cinta kita ditolak orang?”
“Dan bagaimana sekarang? Kita sama-sama menjadi manusia putus cinta. Apakah sisa cinta kita masih ada untuk kita masing-masing? Cinta yang masih ada di hatiku kuserahkan kepadamu, Si-moi, tentu saja kalau engkau sudi menerimanya. Aku ngeri kalau membayangkan bahwa aku harus gagal untuk kedua kalinya.”
“Katanya engkau sudah berpengalaman, apakah engkau tidak bisa menjenguk isi hatiku, koko?”
San Ki tersenyum dan dia melangkah maju dan merangkul Leng Si, yang tidka mengelak. “Karena sudah dapat menduga bahwa engkaupun mencintaku, atau setidaknya tertarik kepadaku, maka aku berani menyatakan cintaku. Kalau aku tidak menduganya begitu, sampai matipun mana aku berani mengaku cinta?”
“Ihh, engkau memang pandai, Ki-ko.”
Dua orang itu segera terlelap dalam keasyikan yang mesra. Mereka seperti tanah kering yang tertimpa hujan, atau seperti bunga layu yang diselimuti embun.
Cinta memang indah sekali. Bukan cinta kalau mendatangkan duka. Yang mendatangkan duka itu adalah nafsu yang suka menyelinap ke dalam cinta dan membuat cinta itu menjadi satang duka. Cinta menimbulkan kemesraan, menimbulkan kasih sayang, saling mengasihi, saling menyayangi, saling mengasihani.
Cinta kasih murni membuat orang selalu ingin melihat yang dikasihi itu bahagia. Akan tetapi begitu nafsu menyelonong masuk seperti pencuri yang ulung, maka timbullah cemburu, timbullah ingin menguasai, ingin memiliki, ingin disenangkan dan selanjutnya yang hanya menimbulkan duka.
Perjodohan antara Leng Si dan San Ki berjalan dengan mulus dan tidak mengalami hambatan. Keluarga Cu Kiat Hin yang kini memperoleh lagi kedudukannya sebagai pejabat tinggi bagian perpustakaan, tidak berkeberatan sama sekali, bahkan mereka beruntung sekali karena pemuda yang akan menjadi mantu mereka adalah seorang di antara para pendekar yang telah menyelamatkan kerajaan. Juga dari guru kedua pihak, tentu saja tidak banyak masalah lagi. Wi Wi Siankouw adalah suci Pek Mau Siankouw tentu saja keduanya setuju sekali kalau murid masing-masing saling berjodoh.
Kian Bu melakukan perjalanan cepat untuk kembali ke Kim-kok-pang. Dia sudah merasa rindu sekali kepada isterinya, apa lagi ditambah perasaan menyesal bahwa dia telah mencurigai isterinya karena cemburu yang amat besar. Dia seperti telah gila oleh cemburu dan baru sekarang dia sadar bahwa semua kecemburuannya itu tidak berdasar dan tidak benar. Isterinya adalah seorang wanita terhormat dan tidak pernah melakukan sesuatu yang menyeleweng seperti yang dengan tega hati dia tuduhkan.
Baru saja tiba di kaki Kim-kok-pang, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di depan dan ketika dia memandang, ternyata yang datang itu adalah isterinya! Isterinya yang baru saja pulang setelah tidak berhasil mencarinya!
“Bwe-moi...!” serunya memanggil.
Ji Kiang Bwe terkejut mendengar panggilan itu dan cepat ia berhenti melangkah dan menoleh. Kian Bu sudah tiba di depannya dan suaminya ini segera memeluknya.
“Bwe-moi...!”
“Kau...?” Kiang Bwe mendorong pundak suaminya sehingga rangkulannya terlepas. “Kau... datang hendak menghinaku lagi? Menuduhku yang bukan-bukan? Lebih baik engkau bunuh saka aku dari pada tuduhan yang keji itu kaulontarkan...!” Kiang Bwe sudah menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Souw Kian Bu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Ji Kiang Bwe. “Bwe-moi, kau makilah aku, pukullah aku. Aku memang bersalah... aku berdosa kepadamu... ah, betapa bodohku telah menuduhmu yang bukan-bukan. Bwe-moi, maukah engkau mengampuni aku...” suara Souw Kian Bu terendat-sendat karena terharu dan menyesal, juga kasihan sekali kepada isterinya yang tidak berdosa dan yang dituduhnya secara keji.
“Aku kau tuduh bertindak hina, aku... aku malah pergi mencarimu... sampai berbulan-bulan... tanpa hasil, aku pulang dengan hati kosong, dengan pikiran hampir gila... kau... kau...” tangisnya semakin menjadi karena hati yang sakit sekali.
Kian Bu memeluk kedua kaki isterinya. “Bwe-moi, ampunkan aku, Bwe-moi...”
Kiang Bwe lalu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul suaminya dengan penuh kasih sayang. “Suamiku, jangan begitu. Aku... aku tidak berharga untuk kau mintai ampun. Engkau... tidak bersalah, dan sudah semestinya engkau cemburu, aku yang bersalah...”
“Bwe-moi...”
“Bu-koko...!” keduanya berangkulan, bertangisan, berciuman karena sesungguhnya mereka saling mencinta.
Hanya cinta itu kecolongan dengan masuknya nafsu sebagai cemburu sehingga terjadilah hal-hal yang mendukakan hati. Cinta antara kedua pasangan baru terjadi kalau kedua pihak menhendaki. Cinta harus datang dari kedua pihak, dan tentu saja kedua pihak harus saling percaya. Karena cinta berarti pula setia. Cinta itu abadi, tidak dapat berubah, yang berubah itu nafsu karena nafsu itu membawa kebosanan.
Dan cinta bukan berarti sama dengan nafsu berahi, walaupun cinta antara suami isteri memang sudah semestinya mengandung berahi, demi keturunan mereka. Cinta menuntut kebahagiaan bukan untuk diri pribadi, melainkan untuk orang yang dicinta.
Pejodohan antara Ting Bun dan Yap Kiok Hwi, Ting Bu denga Can Bi Lan, juga berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Pernikahan dua saudara kembar ini bahkan dirayakan di Bu-tong-pai, dihadiri oleh semua murid Bu-tong-pai, juga oleh banyak tokoh dunia persilatan.
Akan tetapi, karena persamaan antara kedua orang pemuda itu sangat sukar dibedakan, maka isteri masing-masing menuntut agar mereka mengenakan pakaian dengan warna yang berbeda sehingga tidak akan ada bahaya “tertukar”.
Demikianlah, kisah ini ditutup dengan kebahagiaan semua pihak yang membela kebenaran, dan dengan kehancuran mereka yang melakukan penyelewengan dalam kehidupan dan bertindak jahat. Bagaimanapun juga, akhirnya kebenaran dan keadilan akan tetap unggul, hanya tinggal waktunya saja yang menentukan. Mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua.