Penobatan Di Bukit Tulang Iblis

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Karya A. Rahman
Sonny Ogawa

SEHARUSNYA hujan turun siang itu. Mendungnya sudah menebal sejak tadi. Tetapi entah siapa yang telah menahan hujan di hari itu. Se-dangkan di sebelah timur dan selatan hujan telah turun dengan lebatnya. Hanya di daerah barat, di mana terdapat Bukit Tulang Iblis berada, hujan tak turun di sana. Mendung tetap menggantung dan semakin lama semakin tebal. Angin bertiup bagai saling berlomba dalam menghempaskan daun-daun hutan.

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman
Di kaki sebuah lembah berpohon renggang, tampak seorang lelaki berpakaian serba hitam terdorong mundur oleh sebuah pukulan tapak tangan yang belum menyentuh dadanya. Pukulan tapak tangan berkekuatan gelombang tenaga dalam itu ternyata milik seorang gadis yang mengenakan pakaian hijau muda dirangkap rompi ungu tua yang terkancing rapat, membentuk tonjolan nyata pada permukaan dada atasnya, sehingga tampak menantang selera seorang lelaki. Namun gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun itu tak terlihat jalang, justru tampak kalem dan lembut.

"Keparat kau, Sri Tanding! Rupanya kau menghendaki pertarungan kita mencapai titik kematian!" geram lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu. Ia baru saja tegak dari tubuh limbungnya yang terkena gelombang pukulan tapak tangan kiri Sri Tanding tadi.

"Sumo Loda, sebenarnya aku tidak menghendaki pertarungan ini! Tapi kau memaksaku berbuat seperti ini, Sumo Loda. Padahal aku merasa tidak mempunyai perkara denganmu!" ucap gadis itu dengan tegas.

"Siapa bilang kau tidak punya perkara denganku?! Niatmu untuk datang ke Bukit Tulang Iblis sudah merupakan perkara besar bagiku!"

"Aku datang ke Bukit Tulang Iblis karena mewakili guruku!"

"Aku tidak inginkan hal itu!" sergah Sumo Loda. "Pihak perguruanmu tak boleh ada yang hadir dalam pertemuan para tokoh sakti di Bukit Tulang Iblis ini! Aku bersumpah untuk menghalangi siapa pun dari pihak perguruanmu yang ingin datang ke sana!"

"Apa alasannya, Sumo Loda?" tanya gadis berambut poni sepanjang lewat pundak itu.

"Hmmm...!" Sumo Loda sunggingkan senyum sinis. "Aku masih menyimpan sakit hati kepada gurumu; Ratu Candra Wulan itu! Lima belas tahun yang lalu, dia telah mengusirku dari Perguruan Elang Betina dengan seenaknya sendiri. Kupendam sakit hatiku kala itu, dan aku bersumpah untuk selalu menggagalkan rencana orang-orang Perguruan Elang Betina yang punya maksud apa pun di dunia persilatan ini!"

Sri Tanding tetap tenang. Berdiri dengan kedua kaki tegak berjarak, kedua tangan bersidekap di dadanya, kepalanya sedikit mendongak sehingga tampak keangkuhan sikapnya. Sumo Loda melangkah mondar-mandir di depan Sri Tanding. Dadanya selalu membusung maju dengan kedua tangan sedikit ditarik ke belakang. Itulah ciri kebiasaan Sumo Loda jika berjalan.

Dengan sesekali mengusap kumis tebalnya, lelaki bermata angker itu berkata, "Seharusnya aku berharap Ratu Candra Wulan sendiri yang keluar dari perguruan dan menghadiri pertemuan nanti. Dengan begitu aku bisa berhadapan dengan perempuan jahat itu!"

"Guruku bukan perempuan jahat! Kalau kau dulu dipecat dan diusir dari pesanggrahan itu lantaran kau mau berniat kurang ajar dengan Nyai Guru! Sebuah sikap rendah yang amat memalukan, jika seorang murid ingin berniat kurang ajar terhadap gurunya! Layak jika kau diusir dari perguruan. Masih beruntung kau tidak dijatuhi hukuman yang lebih berat lagi, Sumo Loda!"

"Kau tidak bisa menuduhku begitu saja, Sri Tanding. Jika dulu aku berniat kurang ajar kepada Ratu Candra Wulan, itu lantaran dia menggoda gairah ku terus-menerus!"

"Omong kosong! Kau hanya mencari alasan buat pembelaan dirimu!" sentak Sri Tanding yang mulai tersinggung dengan ucapan Sumo Loda yang bersifat merendahkan gurunya.

Sri Tanding pun berkata tegas, "Sekarang akulah wakil dari Guru untuk hadiri pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu! Sekarang apa maumu. Sumo Loda?!"

"Menggagalkan niatmu untuk datang ke sana! Bila perlu harus dengan cara membunuhmu!" Sumo Loda berkata dengan nada menggeram.

"Kalau kau ingin menjajal ilmuku, aku tak keberatan memamerkannya di depanmu, Sumo Loda. Supaya lain waktu kau tidak menganggap ringan murid Nyai Guru Ratu Candra Wulan!"

"Sesumbarmu membakar darahku dan makin menantang hasratku untuk membunuhmu, Sri Tanding! Jika begitu, terimalah jurus mautku ini!" Sumo Loda memainkan jurus mautnya dengan tiga jari mengeras pada kedua tangannya. Kaki merendah, satu ditarik ke belakang, mata melirik tajam, urat lengan menjadi keras, dan ia pun cepat melompat dalam satu gerakan yang sangat tiba-tiba.

"Heaaah...!" Sri Tanding yang sejak tadi hanya bersidekap tangan di dada itu, kali ini melepaskan lipatan tangannya itu, dan menahan sodokan tiga jari yang mengancam leher kanan-kirinya.

Taabb... taabb...!

Dengan telapak tangan membuka, sodokan tiga jari di tangan kanan-kiri lawan itu tertahan kuat. Memercikkan bunga api yang membara kecil. Lalu, kaki Sumo Loda menendang, tapi di-tangkis dengan kaki Sri Tanding, sehingga mereka akhirnya perang kaki dengan tangan masih saling menahan dan menekan.

Plak, plak, plak, dugg, duug, plak, duug...! Buuaaggh...!

Sumo Loda berhasil kecurian jurus. Kaki lawannya dengan kuat menendang ulu hatinya. Tendangan itu membuat tubuh besar Sumo Loda terangkat terbang ke atas dan kehilangan ke-seimbangan. Sedangkan Sri Tanding yang jari-jari di kedua tangannya masih mengeras dan merapat itu segera membalikkan tapak tangan tersebut, lalu menyodokkan ke arah depan.

Zaapp...! Wuuttt...!

Dua tenaga dalam terlepas dari ujung-ujung telapak tangan tersebut. Tenaga ber-gelombang panas itu menghantam tubuh Sumo Loda yang sedang melayang. Bhaag...! Wuuss...! Tubuh itu kian terlempar bagaikan seonggok daun kering dihempas badai.

Braagg...!

Sumo Loda jatuh di atas reruntuhan pohon kering. Walaupun ia berhasil melenting lagi ke udara untuk lakukan lompatan ke samping, tapi ia sudah tak mampu menapakkan kakinya dengan mantap. Ia limbung dan jatuh kembali dengan mulut keluarkan darah kental. Wajah angker Sumo Loda menjadi pucat pasi.

Sri Tanding tak mau mengejar dan menyerang lagi. Ia biarkan dulu lawannya yang jelas terluka berat di bagian dalam tubuhnya. Ia berharap lawannya mau diajak berdamai dan tidak mengganggunya lagi. Tapi agaknya Sumo Loda tidak mau kenal kata berdamai dengan orang-orang Perguruan Elang Betina itu. Terbukti dari sikapnya memandang masih menampakkan sikap permusuhan. Bahkan mungkin lebih sengit lagi.

"Tak ada perlunya melanjutkan pertarungan ini, Sumo Loda! Aku terpaksa harus meninggalkanmu!" kata gadis yang kelihatan lebih berwibawa daripada lawannya.

"Tunggu!" sentak Sumo Loda sambil bersikap tegak di depan gadis itu. Lalu, ia mencabut senjatanya berupa kipas tiga keping. Hanya ada tiga logam bertepian tajam yang dapat dibuka-tutupkan seperti kipas itu. Jari-jari Sumo Loda menyelinap di sela-sela logam tajam itu, lalu menggenggamnya kuat-kuat.

"Tak perlu terburu-buru merasa menang, Sri Tanding! Aku masih menggunakan satu jurus maut yang rupanya bisa kau lawan. Tapi beberapa jurus maut ku tak akan bisa ditandingi oleh jurus-jurus dari Perguruan Elang Betina. Terimalah jurus 'Kipas Tigo' ini! Hiaaat...!"

Sumo Loda menyerang dengan satu lompatan ke arah lain. Tapi kipasnya yang berkerilap terkena pantulan sinar matahari itu mengibas dan menimbulkan hawa panas yang cukup tinggi. Sri Tanding kaget dan cepat menghindar dengan lompatan salto tiga kali ke arah belakangnya.

Wus, wus, wus...!

"Edan! Kalau aku tidak menghindar secepatnya, meleleh seluruh tubuhku seperti pohon besar itu!" kata Sri Tanding dalam hatinya. Matanya masih memandangi pohon yang batangnya bagai melepuh dan mengelupas akibat terkena hawa panas jurus 'Kipas Tigo' itu. Bahkan dua pohon di belakang pohon pertama pun kulit batangnya ikut mengelupas, namun tak sampai membuat kayunya retak dan melintir, seperti pohon pertama. Daun-daun pohon pun cepat layu dan akhirnya saling berguguran.

"Rupanya Sumo Loda benar-benar unjuk kesaktian di depanku. Ia pamerkan jurus yang diperolehnya selama ia menjadi anggota Perguruan Lawa Murka. Hmm...! Aku terpaksa keluarkan jurus-jurus simpanan kalau begini caranya!" pikir Sri Tanding.

Sumo Loda segera lakukan serangan lagi dengan melompat ke arah lain, "Heaaahh...!"

Wuuttt...! Kipas Tigo berkelebat mengibas dengan cepat. Hawa panas berupa serbuk putih menebar bagaikan tepung dibuang ke satu arah. Sri Tanding cepat tanggap, serbuk putih itu pasti racun yang membahayakan. Maka dengan cepat ia berdiri dengan satu kaki, ujung jempol kakinya yang menapak di tanah, lalu tubuhnya berputar dengan cepat bagai gangsing.

Wuuusstt...!

Hanya sekejap hal itu dilakukan. Tepung-tepung putih bertebaran ke berbagai arah. Angin yang ditimbulkan dari putaran tubuh itu cukup kuat hingga membuat Sumo Loda terpelanting ja-tuh bagaikan dihempas badai besar. Tetapi di luar dugaannya, dari putaran tubuh itu Sri Tanding berhasil lepaskan senjata rahasia berupa logam putih berkilat seperti ujung anak panah yang pipih. Runcing di berbagai sudutnya. Logam itu me-lesat begitu cepat dan sukar dilihat dengan mata telanjang.

Zlaapp...! Juubb...!

"Auw...!" Sumo Loda terpekik, lengan kirinya terkena senjata kecil itu. Menancap dengan cepat dan tak mampu dihindari lagi.

"Ouh... badanku seperti ditusuk ratusan jarum dari segala arah!" pikir Sumo Loda. "Ooh... lemas sekali. Urat-uratku bagaikan putus!"

Sumo Loda tak mampu menggerakkan tubuhnya. Bahkan mengangkat kepalanya pun tak bisa. Ia terkulai lemas di tanah seperti seonggok karung basah lupa di jemur. Wajahnya kian pu-cat, matanya semakin sayu. Pada saat itu, Sri Tanding bermaksud pergi meninggalkan Sumo Loda.

Namun tiba-tiba dari mata Sumo Loda yang menjadi sayu itu keluar dua larik sinar hijau bening mengarah ke tubuh Sri Tanding. Rupanya itulah kekuatan terakhir Sumo Loda yang bisa dilakukan dengan menggerakkan batinnya.

Claapp...!

Sri Tanding berbalik dan cepat lepaskan pukulan sinar kuningnya dari dua jari tangannya yang ditotokkan ke udara. Claap...! Sinar kuning dua larik itu menghantam tepat dua larik sinar hijau.

Biaarr...!

Sebuah ledakan terjadi timbulkan gelombang hentak yang amat kuat. Tubuh Sri Tanding terhuyung-huyung ke belakang dan membentur batang pohon. Sedangkan tubuh Sumo Loda yang mirip karung basah lupa dijemur itu terguling-guling tak beraturan lagi gerakannya.

Kalau tidak ada pohon berjajar yang menghalangi gerakan tubuhnya, mungkin Sumo Loda sudah jatuh ke jurang yang tak seberapa dalam itu. Untung ada dua pohon berjajar, hingga tubuhnya tersangkut di sana.

"Rupanya kau betul-betul belum puas jika di antara kita belum ada yang mati, Sumo Loda! Baiklah. Dengan sangat terpaksa aku harus menuruti kehendak hatimu! Terimalah Jurus terakhir ku ini! Hiaaah!"

Sri Tanding sentakkan tangan kirinya dalam keadaan semua jari mekar keras. Dari telapak tangannya keluar seberkas sinar merah yang membentuk bulatan seperti bola. Sinar merah itu mempunyai lidah api yang berkelebat jelas dalam gerakan layangnya yang cepat.

Blaarr...!

Seberkas sinar biru bagai sepenggal besi tiba-tiba saja menghantam sinar bola berapi. Akibatnya pecah dan hancurlah kekuatan tenaga dalam Sri Tanding di pertengahan jarak antara dirinya dengan Sumo Loda. Tentu saja Sri Tanding menjadi kaget dengan munculnya sinar biru itu. Maka ia segera memandang ke arah datangnya sinar biru tersebut.

Seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun berdiri dengan tenangnya di atas sebuah pohon. Setelah ia dipandang oleh Sri Tanding, ia pun lekas-lekas melompat turun. Wuuttt...! Gerakan turunnya cukup lamban. Pakaiannya tidak sampai tersingkap ke atas. Bahkan ketika menapakkan kaki di tanah, tak terdengar bunyi rumput dipijaknya. Rupanya ia bisa kendalikan gerakan tubuh yang turun dari atas pohon dengan mengendalikan daya tank bumi.

Buat Sri Tanding, tidak heran jika perempuan berpakaian kuning dengan berkalung selendang merah di lehernya itu bisa lakukan hal se-perti itu. Karena Sri Tanding tahu, siapa perempuan itu dan seberapa tinggi ilmunya. Maka, dengan cepat Sri Tanding segera menegur.

"Rupanya kau ingin ikut campur dalam perkara ini, Nyai Selendang Badai?! Kau membela Sumo Loda karena ingin mendapatkan kemesraannya yang menggugah semangat mu, Nyai?!"

"Jaga bicaramu, Gadis Setan! Bisa kurobek tujuh cabik mulut mungilmu itu!" ucap Nyai Selendang Badai dengan nada dingin. Ia dipanggil dengan sebutan Nyai oleh Sri Tanding, sebab ia berusia sedikit lebih muda dari guru Sri Tanding.

Tapi para tokoh lainnya memanggilnya dengan sebutan Nyai, itu berarti Sri Tanding masih mau memberi hormat kepada orang yang lebih tua da-rinya itu. Tetapi jika sikap Selendang Badai tetap memusuhinya, maka Sri Tanding pun siap melupakan sebutan Nyai kepada Selendang Badai.

"Apa maksudmu membela Sumo Loda, Nyai? Setahuku dia bukan kekasihmu, juga bukan orang perguruanmu! Setahuku kau bermusuhan dengan Sumo Loda, Nyai!"

"Benar. Tapi aku punya persoalan sendiri dengan orang Perguruan Elang Betina. Dan karena kudengar kau tadi tampil sebagai wakil gurumu; si Ratu Candra Wulan, maka terpaksa aku melibatkan urusan dengan mu, Sri Tanding!"

"Apakah yang kau maksudkan adalah urusan masa lalumu dengan Nyai Guruku?!" tanya Sri Tanding karena ingat cerita gurunya tentang seorang musuh yang bernama Selendang Badai, yang punya ciri khas berkalung selendang merah di lehernya itu. Kali ini selendang merah tersebut dikalungkan dengan kedua ujungnya ada di punggung.

"Rupanya gurumu punya cerita sendiri tentang permusuhan kami!"

"Tapi aku tidak tertarik dengan cerita itu, Nyai!" kata Sri Tanding dengan tetap bersikap tegas.

"Tertarik ataupun tidak, tapi aku tetap harus bikin perhitungan dengan pihak Elang Betina! Kekasihku, Panji Timur, telah dibunuh oleh gurumu! Sampai sekarang aku belum bisa membalasnya karena kesibukan ku dengan urusan lain. Tapi sekarang aku sudah punya waktu untuk me-lampiaskan dendam ku kepada gurumu. Karena kau yang menjadi wakil dari gurumu untuk tampil di Bukit Tulang Iblis nanti, maka aku terpaksa melampiaskan dendam ku kepadamu, Sri Tanding!"

"Demi kepercayaan dan tugas yang diberikan oleh guru kepadaku, apa pun yang terjadi akan kuhadapi, Nyai!"

"Baik. Itu murid yang terpuji. Rela mati demi guru, adalah jiwa seorang murid yang patut dibanggakan. Tetapi ketahuilah Sri Tanding, aku punya dua pilihan untuk mu sebagai sikap bijak ku sebagai orang berilmu tinggi. Kau akan kubebaskan dari dendam, jika kau mau batalkan niatmu untuk hadir di pemilihan hakim dan raja dunia persilatan di Bukit Tulang Iblis nanti. Atau kau mati melawanku sebelum sampai ke Bukit Tulang Iblis?!"

Perempuan berusia banyak yang masih punya sisa kecantikan masa lalunya itu bicara dengan mata memandang dingin, wajah tanpa kesan apa pun kecuali kesan datar dan dingin. Giwang berliannya berkerilap terkena pantulan sinar matahari dan sesekali menyilaukan pandangan mata Sri Tanding. Selain mengenakan kain kuning sebagai baju, ia juga mengenakan jubah tanpa lengan warna biru tua. Rambutnya disanggul ke atas dengan rapi, sisanya hanya sedikit yang meriap di samping kanan kirinya.

"Bagaimana, Sri Tanding? Kau pilih yang mana dari dua tawaranku tadi, Gadis Bodoh?!"

"Apa pun yang terjadi, aku harus tetap tampil di Bukit Tulang Iblis mewakili guru, sekaligus mewakili orang Perguruan Elang Betina! Jika kau Ingin bertindak sesuai dengan tawaranmu tadi, aku siap menghadapimu, Selendang Badai!" Sri Tanding sudah tidak bersikap hormat lagi dengan calon musuhnya itu.

"Benar dugaanku. Kau memang gadis bodoh! Apa boleh buat jika memang itu pilihan mu...!"

Wuuutt!

Tiba-tiba tubuh Selendang Badai bergerak cepat bagaikan tanpa menjejakkan kakinya dulu ke tanah. Begitu cepat gerakannya sehingga sempat mengejutkan Sri Tanding dan membuatnya kelabakan. Karena tiba-tiba sebuah pukulan telak mendarat di rahang kanan Sri Tanding.

Deesss...!

Pukulan itu berhasil membuat tubuh Sri Tanding terpental terbang. Selain terbang ke atas cukup tinggi, juga cukup jauh dari jarak tempat berdirinya semula. Rupanya pukulan itu bukan saja pukulan yang mengejutkan, namun juga disertai pengerahan tenaga dalam yang mampu hadirkan sentakan kuat.

Bruuhg...!

Tubuh Sri Tanding jatuh tersungkur. Rahangnya terasa pecah. Namun ia masih bisa berdiri dengan mengibaskan kepalanya, membuang bintik-bintik dalam pandangan matanya. Kini ketika pandangan matanya cukup jelas, ia pun segera lepaskan serangan balasan dengan melompat dan bersalto dua kali ke depan. Kakinya cepat menjejak kepala Selendang Badai.

Wuuttt...! Plaakk...!

Tendangan itu ditangkis oleh Selendang Badai dengan menghadangkan lengan kirinya. Dan itu membuat Sri Tanding justru terjungkal sendiri. Kekuatan tenaga dalam yang telah dikerahkan membalik menghantam dirinya sendiri, sehingga Sri Tanding terpental sejauh tujuh langkah dari tepat Sri Tanding berdiri.

Tenaga dalam yang membalik itu membuat Sri Tanding memuntahkan darah dari mulutnya dalam keadaan setengah merangkak di tanah. Tubuhnya terasa sakit semua. Dan kesempatan itu rupanya digunakan oleh Selendang Badai untuk mengakhiri riwayat Sri Tanding. ia Segera menarik selendangnya, lalu dikibaskan ke arah tubuh Sri Tanding.

Blaarrr...!

Selendang tipis membayang berwarna merah itu ternyata mempunyai kekuatan dahsyat. Ketika dikibaskan, seberkas sinar biru memancar terang dalam sekejap. Sinar biru itu menghantam tubuh Sri Tanding yang sedang berusaha untuk bangkit. Akibatnya tubuh tersebut terlempar ja-tuh dengan kulit-kulitnya retak dan mengucurkan darah bagaikan disambar petir.

"Cukup tinggi dia punya ilmu tenaga dalam. Buktinya ia tak sampai pecah terkena sabetan selendang ku?!" pikir Selendang Badai. Ia ingin mengakhiri hidup gadis cantik itu secepatnya. Maka, ia kibaskan kembali selendang merahnya itu.

Tetapi, tiba-tiba ada angin kencang berhembus dan membuat tubuhnya sempat oleng. Ternyata angin itu timbul karena kepak sayap seekor rajawali besar warna merah. Rajawali itu ditunggangi oleh seorang pria tampan yang masih muda, berpakaian putih dengan selempang dada kain bulu coklat dari kulit beruang. Pemuda itu menyandang pedang merah tembaga di pung-gungnya dengan gagang berujung kepala dua rajawali yang saling bertolak belakang.

Melihat ciri-ciri itu, Selendang Badai mengenal tokoh tampan tersebut. Dialah Pendekar Rajawali Merah yang bernama Yoga. Selendang Badai memang belum pernah jumpa, namun na-ma Yoga sudah tidak asing lagi di dunia persilatan. Nama itu menjadi bahan bicaraan para tokoh dunia persilatan bersama-sama nama Lili, yang menyandang gelar Pendekar Rajawali Putih.

Selendang Badai sempat terkesiap matanya ketika melihat burung besar itu menyambar tubuh Sri Tanding yang terluka parah. Ia sempat berseru kepada Pendekar Rajawali Merah, "Lepaskan gadis itu! Jangan ikut campur urusan ku!"

Tetapi Yoga tidak memberikan jawaban. Burung Rajawali Merah itu tetap membawa pergi tubuh Sri Tanding. Selendang Badai marah, ia segera menyabetkan selendangnya ke angkasa.

Blegaarr...!

Angin bergelombang besar menghempas ke seluruh penjuru. Hawa panas yang ditimbulkan oleh ledakan bercahaya putih kebiruan dari selendang tersebut membuat burung Rajawali Merah memekikkan suaranya keras-keras,

"Keaaak...! Keaaak...!" sambil ia terbang semakin cepat. Sayapnya yang lebar menghembuskan angin kibasan yang kuat juga, sehingga gelombang hawa panas itu tidak sampai menerpa tubuhnya. Hanya sedikit yang menerpa tubuh dan membuat udara lebih panas dari matahari, namun tidak membuat melepuh kulit tubuh atau merontokkan bulu-bulunya.

Yoga hanya berkata kepada burung rajawalinya, "Jalan terus dan jangan hiraukan orang itu, Merah! Gadis inilah yang kita butuhkan untuk menjadi penunjuk Jalan tentang tempat tinggal Wong Sakti yang menyekap Bocah Bodoh itu!"

"Keaak...! Keaaak...!"

Rupanya dalam perkara penculikan Bocah Bodoh yang dilakukan oleh Wong Sakti itu, Yoga telah kehilangan jejak pelarian Wong Sakti. Dan menurut seseorang yang bicara dl kedai bersama temannya, Wong Sakti mempunyai sahabat baik yang bernama Sri Tanding.

Konon di masa lalu Sri Tanding ingin diangkat sebagai murid oleh Wong Sakti, tapi Wong Sakti tidak suka murid perempuan, jadi mereka hanya bersahabat sebatas pergaulan balk saja. Kemudian pada usia empat belas tahun, Sri Tanding diangkat menjadi murid oleh Ratu Candra Wulan. Sejak itu mereka pun jarang bertemu lagi.

Tapi jelas Sri Tanding masih ingat di mana Wong Sakti bertempat tinggal. Itulah sebabnya Yoga menyelamatkan Sri Tanding yang mempu-nyai ciri-ciri pada pakaian hijau berompi rapat warna ungu tua, wajah cantik mungil berambut poni.

"Semoga ia tidak tertolong dengan lukanya separah itu!" kata Selendang Badai yang kehilan-gan lawannya. Ia segera mendekati Sumo Loda. Sekalipun Selendang Badai tak menyukai sifat Sumo Loda yang angkuh dan sombong dengan kesaktian ilmunya, tapi ia merasa kasihan juga melihat Sumo Loda antara mati tidak, hidup pun tidak. Selendang Badai lakukan pengobatan sebentar untuk Sumo Loda, lalu ditinggalkan pergi begitu saja.

* * *

DUA

MENJELANG pertemuan para tokoh sakti di Bukit Tulang Iblis itu, memang banyak terjadi pertarungan di sana-sini. Pertemuan di Bukit Tulang Iblis untuk memilih dan menobatkan siapa orang yang berhak menyandang gelar Pendekar Maha Sakti, yang berarti menjadi orang tertinggi di rimba persilatan.

Dengan gelar tersebut, ia sudah menjadi raja di rimba persilatan, di mana segala aturan dan perintahnya harus di taati oleh semua tokoh persilatan. Selain itu ia juga akan dinobatkan sebagai hakim yang akan mengadili perkara-perkara di dunia persilatan yang tidak bisa terselesaikan.

Dari mulut ke mulut berita itu menyebar dan menarik minat para pendengarnya, terutama yang merasa berilmu tinggi. Entah dari mana datangnya berita tersebut, tahu-tahu sudah banyak orang yang mengetahui dan berminat menghadirinya.

Salah satu pertarungan yang mengawal pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu terjadi di pantai hutan karang. Pantai itu mempunyai banyak gugusan batu karang, ada yang tingginya melebi-hi pohon kelapa, ada yang hanya sebatas ukuran manusia biasa. Yang jelas karang-karang itu menjulang tinggi di sana-sini menyerupai pilar dan bentuk-bentuk aneh lainnya. Pantai hutan karang itu dikenal dengan nama Pantai Karang Liar.

Di pantai itulah, sebuah pertarungan seru terjadi antara Resi Panuluh dengan seseorang berbadan kurus ceking dengan rambut putih panjang sampai pantat, mirip seorang perempuan, dan dialah yang berjuluk Ki Tenung Jagat. Pakaiannya abu-abu, rambutnya tak pernah digulung dan dibiarkan meriap begitu saja.

Kumisnya putih rata tapi tidak memiliki jenggot atau cambang. Usianya sekitar tujuh puluh tahun ke atas. Sejajar dengan usia Resi Panuluh yang bertubuh gemuk, mengenakan pakaian model biksu warna coklat tua.

Rupanya mereka bertarung sudah sejak tadi, sehingga keduanya sama-sama sudah terluka. Resi Panuluh mengalami luka ujung pundaknya akibat tongkat putih lawannya, sedangkan Ki Tenung Jagat terluka di bagian dadanya, yang membekas telapak tangan merah kebiruan akibat pukulan.

Saat ini mereka sedang berhadapan sambil mengatur napas. Mereka saling pandang penuh permusuhan dalam jarak sekitar lima langkah. Keduanya tampaknya tak ada yang mau mundur sedikit pun. Keduanya sama-sama bernafsu untuk menumbangkan lawannya, mungkin bila perlu sampai lawan kehilangan nyawanya. Padahal keduanya dulu hidup bersama satu panji-panji perguruan.

Ketika guru mereka wafat, mereka mulai membentuk aliran masing-masing. Resi Panuluh membentuk aliran Partai Petapa Gunung, sedangkan KI Tenung Jagat membentuk aliran Partai Petapa Laut. Mereka bersaing, dan akhirnya persaingan itu menjadi permusuhan besar, hingga banyak korban yang timbul akibat permusuhan tersebut. Banyak anggota Partai Petapa Gunung yang tewas di tangan Partai Petapa Laut, namun juga banyak anggota Partai Petapa Laut yang tewas dirobohkan oleh orang-orang Petapa Gunung.

Kini anggota mereka tinggal beberapa gelintir orang. Sebenarnya kedua tokoh sakti itu tidak ingin lanjutkan permusuhan mereka demi menjaga kelanjutan berdirinya aliran mereka. Tetapi agaknya pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu me-mancing hati mereka untuk saling bertemu dan saling menyingkirkan.

Ki Tenung Jagat tidak ingin Resi Panuluh yang nantinya terpilih sebagai hakim di rimba persilatan. Sedangkan Resi Panuluh sendiri menjaga agar gelar Pendekar Maha Sakti tidak sampai jatuh ke tangan orang dari aliran Petapa Laut Karena itulah akhirnya mereka bertemu dan saling menjatuhkan sebelum tiba saat pemilihan dilaksanakan. Tapi agaknya sampai saat terakhir mereka mengatur napas, mereka masih sama-sama kuat dan belum ada yang mempunyai niat untuk mengalah.

"Kau tidak akan unggul melawanku, Tenung Jagat! Kusarankan mundur saja dan tak perlu hadir di Bukit Tulang Iblis!"

Ki Tenung Jagat diam memandang dengan tajam. Pandangan matanya lebih berkesan dingin. Sedingin salju dari kutub utara. Setelah diam beberapa saat, Ki Tenung Jagat berkata dengan datar,

"Dari dulu aku tidak pernah gentar melawanmu, Panuluh! Tapi kulihat sinar matamu menampakkan kegentaran hatimu. Kalau kau merasa akan lebih unggul dari ku, tunjukkan ke depan para tokoh nantinya di Bukit Tulang Iblis. Kita bertarung di sana sampai ada yang mati!"

"Tantanganmu hanya ingin menunda waktu. Aku tahu kau mencari kesempatan untuk mencari kelengahan ku, Tenung Jagat! Kurasa kita tidak perlu menunda waktu lagi; sekarang tinggal menentukan siapa yang unggul di antara kita. Aliran Petapa Gunung tak pernah mau menunda waktu untuk tentukan kepastian! Kalau kau takut, sekali lagi kusarankan untuk mundur dan perpanjang nyawamu beberapa saat lagi!"

"Aliran Petapa Laut tak mengenal kata mundur!"

"Jika begitu, kita teruskan pertarungan kita dan jangan berhenti sebelum ada yang mati!"

"Aku setuju!" jawab Ki Tenung Jagat dengan datar, sepertinya tidak berperasaan sama sekali.

Resi Panuluh melemparkan sesuatu dari tangannya. Ternyata keluar seekor ular yang berkelebat menyambar Ki Tenung Jagat. Orang berjubah abu-abu itu masih tetap tenang, hanya ma-tanya memandang ke arah ular hitam itu dengan tidak berkedip. Kemudian ular itu lenyap begitu saja ketika berjarak dua langkah dari tempatnya berdiri.

Wuusss...!

Asap hitam menggantikan ular tersebut dan asap itu pun sirna secepatnya karena hembusan angin pantai. Ki Tenung Jagat memandang tajam ke arah Resi Panuluh. Pandangan mata itu disambut dengan tajam pula oleh Resi Panuluh. Kejap berikutnya terjadi suatu keanehan, tanah tempat berpijak Resi Panuluh menjadi amblas, tubuh gendut itu melesat masuk ke dalam tanah sebatas mata kaki lebih sedikit.

Resi Panuluh masih diam dan membiarkan tubuhnya bagai ada yang menyedot dari dalam tanah. Namun tiba-tiba Ki Tenung Jagat pun merasakan ada yang menyedotnya ke dalam tubuh. Suuttt...! Kini kaki orang kurus itu tenggelam ke dalam tanah sebatas betis. Namun dalam waktu cepat ia kembali naik ke permukaan lagi dengan menekan tongkatnya yang digenggam dan sedikit dihentakkan pada tanah.

Wuuttt...! Ki Tenung Jagat berdiri dengan tegak di permukaan tanah, namun Resi Panuluh Justru semakin melesak masuk.

Suuttt...!

Kini Resi Panuluh terpendam sampai sebatas lutut. Lelaki berambut putih digulung ke atas itu masih tetap tenang. Kedua tangannya tetap saling merapatkan telapaknya di dada. Matanya masih belum mau berkedip. Dan tiba-tiba telapak kaki Ki Tenung Jagat mulai berasap. Semakin lama semakin banyak asap yang keluar dari tempat berpijak Ki Tenung Jagat. Bahkan lama-lama terlihat warna cahaya merah membara pada tanah tempat berpijak Ki Tenung Jagat. Tanah itu pasti sepanas bara api batu lahar.

Suuttt...!

Resi Panuluh semakin tersedot masuk ke dalam tanah. Kini tubuhnya yang tertanam di dalam tanah mencapai seluruh pahanya. Sedangkan tanah tempat berpijak Ki Tenung Jagat semakin membara lebar. Bau hangus tercium searah dengan hembusan angin saat itu. Toh hal itu tidak membuat Ki Tenung Jagat ber-geming sedikit pun.

Hanya saja, makin lama makin terlihat jelas bahwa telapak kaki orang itu tidak menapak di tanah membara tersebut. Seakan tubuhnya terangkat karena tangannya bertumpu pada tongkat putihnya. Tongkat itulah yang menjadi penyangga tubuh Ki Tenung Jagat.

Ssuuttt...! Brruusss...!

Tubuh orang gemuk itu semakin lebih dalam lagi tersedot ke tanah. Kini mencapai batas perutnya yang tertanam. Sedangkan pandangan mereka masih saling beradu dengan tajam dan tak berkedip. Tiba-tiba tubuh Ki Tenung Jagat berkelebat memutar seperti hendak bersalto.

Wuuttt...! Jleggg...!

Tahu-tahu ia sudah berdiri di atas tongkatnya dengan satu kaki. Tongkat itu berdiri tegak tak tenggelam sedikit pun bagian ujung bawah. Bertepatan dengan gerakan pindah tubuh Ki Tenung Jagat itu, tubuh Resi Panuluh pun tersentak lompat keluar dari tanah yang membenamnya.

Wuuttt...! Bruusss...!

Jleegg...! Resi Panuluh bersalto satu kali di udara. Dan mendarat di atas gundukan karang runcing menyerupai mata tombak. Ia berdiri di sana tanpa tembus kakinya. Kedudukannya men-jadi sama tinggi dibanding Ki Tenung Jagat yang berdiri di atas tongkatnya.

Lalu, pelan-pelan Resi Panuluh membuka telapak tangannya yang sejak tadi merapat di dada. Telapak tangan dibuka pelan, mengarah ke depan. Kejap berikutnya angin berhembus sangat kencang. Arah angin menuju ke timur, sehingga tubuh Ki Tenung Jagat mulai di terpa angin. Semakin lama semakin kencang, sehingga rambut putih meriap itu melambai-lambai dengan jubahnya yang mirip bendera kapal karam itu.

Kraakkk...!

Terdengar bunyi berderak dari seonggok batu karang yang menjulang menyerupai pilar. Batu karang itu akhirnya pecah bagai terpotong di pertigaan bagiannya. Angin kencang itulah yang memotong batu karang tersebut. Tapi tak mampu menumbangkan tubuh Ki Tenung Jagat yang masih tetap diam tanpa goyah di atas tongkatnya.

Kejap berikutnya angin kencang menjadi diam secara mendadak sekali. Sllupp...! Sepi dan hening. Debur ombak tidak sekuat tadi. Sepertinya hembusan angin itu diredam oleh ilmunya Ki Tenung Jagat. Kini justru datang angin beliung yang memutar-mutar dengan cepat. Angin puting beliung itu sempat membuat ombak lautan memuncak tinggi dan bergerak ke arah pantai. Air laut bagaikan disingkapkan ke atas. Air laut itu bergerak dengan sangat cepat dan akhirnya meraup tubuh Resi Panuluh dengan buasnya.

Byuuhhr...! Wuuttt...!

Ombak laut yang bergelombang tinggi itu menyambar tubuh di atas karang runc-ing. Namun ketika ombak itu kembali ke perten-gahan laut, ternyata tubuh gemuk itu tidak ikut terbawa. Hebatnya lagi, tubuh Resi Panuluh tidak basah sedikit pun. Padahal ia habis digulung ombak sebegitu besarnya.

"Heaaah...!" akhirnya Resi Panuluh tak sabar lagi. Ia melompat ke arah Ki Tenung Jagat. Sedangkan Ki Tenung Jagat sendiri juga melompat menyambut serangan lawannya. Wuuuttt...! Di pertengahan jarak mereka bertemu dan saling beradu telapak tangan.

Plaakk...! Blaarrr...!

Cahaya merah terang menyala cukup besar dari peraduan kedua tangan tersebut. Ledakan dahsyat terjadi, begitu mengguncangkan tanah di sekitarnya, sehingga beberapa tonjolan batu karang ada yang roboh karena tanahnya bagai ingin dijungkir balikkan dengan gelombang ledakan dahsyat tersebut.

Tubuh kedua orang itu sama-sama terpental. Ki Tenung Jagat terpental mundur dan kembali berdiri di atas tongkatnya, sedangkan Resi Panuluh terhuyung-huyung ke belakang saat ia menapakkan kakinya di pasir pantai. Guncangan bumi mulai reda dan lenyap tak bergeming lagi. Namun akibat guncangan tadi masih berpengaruh pada beberapa pohon di sekitar hutan sebelah barat, sehingga lebih dari lima pohon tumbang dengan sendirinya, menimbulkan suara gemuruh yang menggema.

"Kurang ajar!" geram Resi Panuluh setelah melihat telapak tangannya menjadi biru memar. Matanya kembali menatap Ki Tenung Jagat. Orang itu tetap tenang dan dingin, walaupun dia tadi juga memaki di dalam hati begitu melihat telapak tangannya merah, bagaikan daging setengah matang.

"Heaaah...!" Resi Panuluh kembali melompat. Tapi sebelum hal itu ia lakukan, seseorang telah melepaskan pukulan jarak jauh bersinar warna-warni.

Selarik sinar pelangi itu melesat di pertengahan jarak antara Ki Tenung Jagat dengan Resi Panuluh. Orang tersebut agaknya hanya bermaksud menahan serangan Resi Panuluh, dan tidak bermaksud melukai keduanya. Sinar itu memang menghentikan gerakan Resi Panuluh, memancing kedua orang itu saling memandang ke selatan. Sedangkan sinar pelangi itu dibiarkan menghantam gugusan karang yang menjulang tinggi bagaikan menara. Karang tersebut lenyap tak berbekas sedikit pun begitu terhantam sinar pelangi tersebut.

Rupanya mereka kedatangan tamu yang memaksa pertarungan dihentikan. Tamu tersebut berjalan dengan santai, seakan tidak pernah melepaskan sinar apa pun dari tangan kirinya yang berjari-jari pendek. Ia hanya mempunyai dua ruas untuk tiap jarinya, seperti ibu jari manusia biasa. Sedangkan ibu jari orang tersebut justru tidak mempunyai ruas lebih dari satu.

Orang tersebut datang bersama seorang sahabatnya yang bermata sipit. Rambutnya dikuncir ke atas dan ujungnya melengkung seperti ekor kuda. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun berkesan tegap. Wajahnya kaku dan dingin. Men-genakan pakaian longgar berwarna hitam bergaris-garis merah. Membawa sebilah pedang hitam panjang yang pantas disebut samurai.

"Hentikan pertikaian kalian sebentar. Ada yang perlu dibicarakan," kata orang berjari pendek yang kenakan pakaian putih berkembang-kembang merah dan biru itu.

Orang tersebut usianya sebanding dengan Ki Tenung Jagat maupun Resi Panuluh. Badannya tidak terlalu kurus, rambutnya panjang warna abu-abu diikat kain merah. Ia mempunyai jenggot sepanjang lewat leher warnanya biru. Sebab itu ia dijuluki dengan nama si Jenggot Biru. Jenggot itu menjadi biru manakala dulu ia pernah terkena racun berbahaya yang hampir merenggut nyawanya.

"Mengapa kau menghentikan pertarungan kami, Jenggot Biru?!" tegur Ki Tenung Jagat.

Jenggot Biru yang selalu sedikit angkat dagu ke atas jika sedang bicara itu, segera berkata dengan suaranya yang sedikit serak, "Aku ingin memperkenalkan sahabat baruku dari Negeri Matahari Terbit. Dia bernama Shogun Kogawa!"

"Untuk apa kau kenalkan pada kami?" tanya Resi Panuluh.

"Supaya kalian tahu saja, ini sahabat baruku dan ingin hadir dalam pertemuan di Bukit Tulang iblis, besok siang!"

"Jika terjadi pertarungan, apakah dia sudah siap korbankan nyawanya di Bukit Tulang iblis nanti?!"

"Kurasa setiap orang yang datang ke sana, selalu siap untuk korbankan nyawanya!"

"Yang kutanyakan, apakah dia mampu?" kata Resi Panuluh.

"Cobalah sendiri!" ujar Jenggot Biru.

Resi Panuluh memandang Shogun Kogawa tak berkedip. Tiba-tiba kaki Resi Panuluh menendang sebongkah batu karang sebesar kepala bayi ke arah Shogun Kogawa. Wuuttt...! Deeg...! Mendadak batu itu berhenti di udara, tepat satu langkah sebelum kenai Shogun Kogawa.

Dengan cepat orang bermata kecil itu mencabut samurainya. Srrt! Lalu Samurai itu mene-bas batu karang tersebut beberapa kali tanpa timbulkan suara sentuhan benda keras, selain suara desing pedang panjang itu.

Zing, zing, zing...!

Srrt...! Samurai kembali masuk ke sarungnya. Shogun Kogawa memandang dingin kepada Resi Panuluh. Batu itu masih utuh, berhenti di udara. Tetapi kejap berikutnya batu itu retak dan pecah menjadi beberapa potong dan saling berjatuhan. Pruk, pruk, pruk, pruk...! Potongan itu lebih dari sepuluh keping.

"Boleh juga ilmu orang ini?" pikir Resi Panuluh. Claapp...! Tiba-tiba batu yang tadi terpotong-potong itu lenyap dan berganti dalam wujud serupa dan letak yang sama, yaitu di depan kaki Resi Panuluh.

Seketika itu Jenggot Biru dan Resi Panuluh memandang ke arah Ki Tenung Jagat. Karena mereka tahu, pasti Ki Tenung Jagat yang mengembalikan batu dalam wujud, bentuk dan tempat seperti semula. Tapi Ki Tenung Jagat tetap tenang dan memandangi Shogun Kogawa, seakan menantangnya adu kesaktian.

Ketika Resi Panuluh dan Jenggot Biru memandang Shogun Kogawa, orang itu sedang dituntut untuk membalas pelecehan ilmu yang dilakukan oleh Ki Tenung Jagat itu. Maka, Shogun Kogawa pandangi batu karang tersebut. Kejap berikutnya, batu karang itu pecah lagi menjadi selembut tepung.

Praass...!

Ki Tenung Jagat hanya manggut-manggut tipis tanpa memberikan sanjungan atau ucapan apa pun. Namun dalam hatinya ia mengakui kehebatan ilmu Shogun Kogawa.

Kini terdengar suara Jenggot Biru berkata, "Secara jujur, dan kesatria, kita harus akui kehebatan ilmu Shogun Kogawa. Tentang apakah dia nanti akan terpilih sebagai Pendekar Maha Sakti atau tidak, itu urusan nanti! Yang jelas, aku ingin ajak kalian untuk bersatu dalam melumpuhkan satu aliran yang cukup berbahaya!"

Jenggot Biru baru bicara sampai di situ. Tiba-tiba, sekelebat sinar warna kuning bagaikan piringan kecil, berkelebat menghantam punggung Shogun Kogawa. Dengan cepat dan tanpa berpaling, Shogun Kogawa jatuhkan tubuh dalam keadaan kaki merentang panjang ke depan dan ke belakang.

Slaap...! Pleek...!

Sinar kuning itu lewat di atas kepalanya. Hampir saja kenai Resi Panuluh. Untung orang itu sigap dan segera menghantamnya dengan pukulan tak bersinar. Sedangkan sinar kuning tersebut segera pecah bersama bunyi ledakan yang menggelegar.

Duuaarr...!

Gelombang ledakan sebenarnya cukup dahsyat, terbukti air laut sempat berlonjak tinggi dan bergolak bagai murka. Namun getaran gelombang ledak itu membuat para tokoh sakti tersebut tidak bergeming sedikit pun dan membiarkan angin ledakan lewat menerabas tubuh mereka masing-masing.

Shogun Kogawa segera palingkan wajah ke arah datangnya sinar kuning tadi. Ternyata di sana sudah berdiri seorang wanita cantik yang berpakaian merah menyala, memegang kipas yang sedang digunakan untuk kipasan. Wanita cantik yang usianya sebenarnya sudah banyak, yaitu mencapai tujuh puluh dua, namun masih seperti berusia dua puluh tujuh itu, cukup dikenal oleh para tokoh sakti tersebut.

Ia tak lain adalah Putri Kumbang, Ketua Perguruan Biara Sita, yang tempo hari pernah babak belur dihajar oleh murid-muridnya sendiri karena salah paham. Namun dengan cepat ia mampu pulihkan luka dan menjadi cantik seperti semula. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode Setan Dari Biara).

Shogun Kogawa tidak peduli apakah orang itu cantik atau jelek. Yang jelas penyerangan tadi harus dibalasnya. Karena itu, Shogun Kogawa ce-pat sentakkan tubuh dalam keadaan duduk dengan kaki lurus. Sentakan tubuh itu membuat ia terayun naik dan melenting ke atas dengan bersalto satu kali ke arah Putri Kumbang.

Jleeg...!

Begitu tiba di depan Putri Kumbang, lelaki berkulit kuning itu segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya menggunakan dua jari yang dihantamkan ke arah dada Putri Kumbang. Dua jari itu keluarkan semacam pisau kecil bersinar biru. Claapp...! Putri Kumbang sempat terperanjat sekejap, namun dengan cekatan ia kelebatkan tangannya dan menangkap sinar biru tersebut.

Blaarrr...!

Tiba-tiba sinar itu meledak begitu terjepit dua jemari Putri Kumbang. Ledakannya cukup kuat, membuat Putri Kumbang terlempar ke samping dan berguling-guling. Namun secepatnya ia bangkit berdiri dan memandang ke arah Shogun Kogawa. Tubuhnya tetap utuh tanpa luka. Itu berarti Putri Kumbang mempunyai ilmu semacam kebal terhadap kekuatan tenaga dalam.

Tubuh tak tergores luka sedikit pun, padahal orang lain akan hancur jika menangkap sinar biru berbentuk pisau dari Shogun Kogawa. Keadaan Putri Kumbang yang utuh tanpa luka itu membuat Shogun Kogawa terperanjat sedikit, dan mengakui kehebatan ilmu Putri Kumbang itu dalam hatinya.

Ketika Putri Kumbang mau menyerang kembali, Jenggot Biru segera menghadang dan menengahi perkara tersebut. Ia berkata, "Tahan...!"

"Tidak. Aku harus balas kematian anak buahku beberapa waktu yang lalu, yang dipancung seenaknya oleh orang itu!"

"Ada yang lebih penting dari masalah mu itu, Putri Kumbang!"

"Tidak bisa! Harus kuselesaikan dulu pembalasanku terhadap Shogun Kogawa! Dia harus kupancung juga dengan kipas ku ini!" geram Putri Kumbang. Lalu, ia pun melompat dan melintasi kepala Jenggot Biru dalam gerakan saltonya.

Wuuttt...!

Tiba di depan Shogun Kogawa, kipas itu segera disabetkan dalam gerakan memenggal kepala dari samping. Wuungng...! Shogun Kogawa lompat mundur satu langkah, kemudian segera cabut samurainya kembali. Srrt...! Wuuttt...! Sa-murai langsung berkelebat membelah kepala Putri Kumbang. Tetapi dengan sigap Putri Kumbang menangkis dengan kipas dikembangkan.

Trakk...! Samurai tajam itu beradu dengan tepian kipas. Seharusnya dapat membelah kipas dengan sangat mudah. Tapi rupanya kipas itu bukan sekadar kipas dari kayu cendana saja, melainkan kipas berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Akibatnya kipas itu tidak lecet sedikit pun.

Kaki Shogun Kogawa segera menendang, tapi kaki Putri Kumbang juga balas menendang. Akibatnya tulang kaki bertemu dengan tulang kaki dan hasilnya suara keras seperti besi beradu dengan besi. Trak! Keduanya sama-sama terhem-pas mundur karena tendangan itu sama-sama berkekuatan tenaga dalam besar. Keduanya sa-ma-sama terhuyung-huyung sambil membatin,

"Kurang ajar! Semakin linu seluruh tulangku. Luka ledakan yang seakan meremukkan tulangku belum selesai ku atasi, sudah ditambah dengan getaran ini lagi. Uuh...! Kalau tak cepat ku atasi bisa hancur tubuhku! Sebaiknya aku mundur dulu."

"Perempuan ini punya ilmu lumayan hebat. Kakiku terasa hilang satu sejak beradu dengan kakinya," kata Shogun Kogawa dalam hatinya.

"Percuma kalian saling beradu kekuatan!" kata Jenggot Biru. "Yang paling berbahaya adalah aliran rajawali!"

Semua orang memandang Jenggot Biru. Kemudian, orang beralis putih sedikit kebiru-biruan itu berkata lagi, "Jurus aliran rajawali diramalkan oleh banyak ahli nujum akan menguasai dunia persilatan. Itu berarti dalam pemilihan dan penobatan Pendekar Maha Sakti nanti, aliran rajawali akan unggul dan menguasai kita!"

"Mengapa kita harus takut?!" potong Resi Panuluh. "Aliran rajawali hanya dimiliki oleh dua orang, yaitu Pendekar Rajawali Putih dan Pendekar Rajawali Merah!"

"Justru karena hanya dua orang itulah, maka mereka pasti akan pertahankan aliran itu agar berada di tempat teratas dari seluruh aliran yang ada, dan mereka akan merajai, menguasai, dan memerintah kita! Maka aku punya gagasan jika kalian setuju!"

"Apa gagasan mu, Jenggot Biru!" celetuk Putri Kumbang.

"Kita bergabung. Serang kedua pendekar rajawali itu! Kita tumbangkan mereka lebih dulu sebelum masuk dalam arena pemilihan nanti! Dengan begitu, kita tidak akan dianggap curang jika kedua pendekar itu berhasil kita lumpuhkan."

Putri Kumbang berkata dalam hati, "Wah, ini kesempatan untuk memperalat mereka. Jika Lili bisa dilumpuhkan oleh mereka, maka aku tinggal mendesaknya secara diam-diam untuk dapatkan Kitab Jagat Sakti! Ini kesempatan baik!"

Maka, di sela keheningan mereka, Putri Kumbang berkata lebih dulu, "Baik. Aku sangat setuju dengan gagasan Jenggot Biru!"

"Apakah gagasan seperti itu harus kita la-kukan? Apa perlu?!" tanya Resi Panuluh, dan Jenggot Biru menjawab, "Apakah kau belum dengar kehebatan mereka berdua? Alangkah tulinya telingamu, Panuluh! Malaikat Gelang Emas saja dibuat lari terbi-rit-birit jika melawan mereka berdua!"

Ki Tenung Jagat tiba-tiba berkata, "Aku setuju usul mu!"

"Baiklah, aku juga setuju!" Resi Panuluh mengimbangi. Shogun Kogawa menyahut, "Aku juga setuju!"

"Kalau begitu, sekarang juga, sebelum terlambat, kita cari mereka dan kita lumpuhkan agar tak hadir dalam pertemuan nanti!" kata Jenggot Biru memberi perintah, seakan dialah yang menjadi ketua penyerangan terhadap aliran rajawali, yaitu Yoga dan Lili.

* * *

TIGA

SEMENTARA orang-orang sibuk mencari Lili dan Yoga, sesosok bayangan berkelebat sibuk dengan sendirinya. Orang yang sibuk dengan sendirinya itu tak lain adalah Wong Sakti, tokoh tua di rimba persilatan yang usianya mencapai seratus tahun lebih.

Orang ini sibuk memindahkan ilmunya ke tubuh muridnya, hingga segala macam cara ditempuhnya. Ia ingin seluruh ilmunya menjadi milik sang murid secepatnya, karena ia sudah bosan hidup dan ingin istirahat di alam baka secepatnya pula. Orang tersebut tak lain adalah Wong Sakti, yang dulu dikenal dengan julukan Dewa Nujum.

Untuk mempercepat pemindahan ilmu, Wong Sakti yang sudah lupa mantera dan jurus pemindahan ilmu itu, ingin meminjam pisau pusaka milik Tua Usil. Pisau itu akan dipegang oleh sang murid yang baru berusia sepuluh tahun itu, lalu sang murid disuruhnya menikam diri sang Guru. Dengan bantuan pisau pusaka yang ditikamkan itu, seluruh ilmu Wong Sakti akan menjadi milik Kukilo, si murid bocah itu. (Untuk lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam episode Setan Dari Biara).

Tetapi sampai saat itu, Wong Sakti belum berhasil temukan si Tua Usil. Sedangkan Yoga yang sudah ditemuinya tidak mau menyebutkan di mana Tua Usil berada, sebab pada dasarnya Yoga tidak menyetujui cara seperti itu. Dianggapnya cara seperti itu sama saja mendidik sang murid untuk menjadi seorang pembunuh tanpa alasan kuat.

Menurut Yoga, hal itu akan membahayakan jika Kukilo, yang diperkirakan bisa menjadi orang berilmu tinggi namun berprilaku keji dan sewenang-wenang terhadap sesama. Karena jengkel, Wong Sakti punya cara untuk memancing Tua Usil dengan menculik Bocah Bodoh. Tua Usil pasti akan mengejarnya untuk membebaskan sesama pelayan dua pendekar rajawali itu.

Setidaknya Yoga atau Lili pasti akan memburu Wong Sakti dan memohon agar Bocah Bodoh dibebaskan. Jika keadaan begitu, maka Wong Sakti punya kesempatan untuk menukar Bocah Bodoh dengan pisau Pusaka Hantu Jagal yang ada di tangan Tua Usil itu, walaupun hanya bersifat meminjami saja. Bukan memiliki pisau tersebut.

Untuk itu, Wong Sakti terpaksa menotok Bocah Bodoh dan membawanya lari ke suatu tempat. Bocah Bodoh menjadi lemas, bagaikan kehilangan seluruh tulang-tulangnya. Namun ia masih bisa bernapas, bicara dan memandang. Ketika ia ditaruh di atas sebongkah batu datar, seperti seonggok makanan kuda, ia masih bisa mendengar percakapan yang terjadi antara Wong Sakti dan Kukilo.

"Sebetulnya aku ingin kau jadikan muridmu, atau hanya menjadi penonton ilmu-ilmu kehebatanmu, guru?" kata Kukilo yang memang berlagak tua dan sering mengomel kepada gurunya itu. Rupanya ia tak sabar ingin segera mendapat ilmu turunan dari sang Guru, sehingga ia menjadi jengkel sendiri mengikuti sang Guru selama satu tahun namun tidak mempunyai jurus apa-apa.

"Sabar, Muridku sayang! Sebentar lagi seluruh ilmu ku akan menjadi milikmu. Jika mereka datang untuk membebaskan Bocah Bodoh ini, maka aku akan menukarnya dengan pisau itu. Kau tinggal tancapkan pisau itu ke dadaku, dan seluruh ilmuku akan mengalir dan menjadi milikmu. Kau akan menjadi sakti, sesakti diriku. He he he he...!"

"Tapi bagaimana jika mereka tidak ada yang peduli dengan Bocah Bodoh ini, Guru?! Boro-boro mau menukarnya dengan pisau itu, yang mau mengejar kita untuk membebaskan dia pun tak ada. Bagaimana jika begitu, Guru? Pasti aku tak jadi mendapatkan warisan ilmu darimu!"

"Itu tak mungkin, Nak. Tak mungkin! Aku tahu bahwa dua pendekar rajawali itu punya rasa persahabatan dan persaudaraan yang tinggi terhadap orang yang telah menanam kebaikan kepada mereka. Itu sifat dari guru mereka. Baik Yoga atau Lili, pasti akan mengejar kita untuk membebaskan Bocah Bodoh ini!"

Mendengar percakapan itu, Bocah Bodoh yang hanya terpuruk bagaimana makanan kuda itu segera menyahut, "Wong Sakti, aku bisa membantumu jika hanya itu maksudmu menculik diriku! Aku bisa menolongmu, Wong Sakti."

Dengan tertatih-tatih Wong Sakti mendekati Bocah Bodoh dan berkata di sela senyum kempotnya, "Apa maksudmu bisa menolongku? Apakah kau bisa memindahkan ilmuku ke dalam tubuh muridku?"

"Memang tak bisa. Tapi aku bisa bantu mencurikan pisau itu dari tangan Tua Usil."

"Ah, yang benar sajalah kau...!" Wong Sakti melirik girang dengan senyum tua bagaikan memamerkan gusinya.

"Bebaskanlah aku. Nanti akan kubicarakan rencanaku. Bebaskan dulu aku dari pengaruh totokanmu ini, Wong Sakti."

"Tapi kau janji akan menolongku?"

"Benar, Wong Sakti!"

"Baiklah! He he he he...!"

Wong Sakti segera menyentil telinga Bocah Bodoh. Taakkk...! Tubuh Bocah Bodoh tersentak kaget sekejap, kemudian ia rasakan seluruh urat dan tulangnya kembali bisa bekerja seperti bi-asanya. Bocah Bodoh pun segera bangkit dan melompat turun dari atas batu datar.

"Nah, sekarang kau sudah kubebaskan dari pengaruh totokanku. Mana janji mu, Bocah Bodoh?!" tagih Wong Sakti. Perbuatan itu hanya dipandangi oleh Kukilo dari bawah pohon. Bocah itu tenang-tenang saja, seakan ia merasa sebagai orang yang sudah berilmu tinggi.

Bocah Bodoh sedikit menjauh, lalu berkata, "Sebenarnya aku bisa saja membujuk Tua Usil untuk meminjam pisau pusakanya, tapi aku tidak mau melakukannya, sebab tampaknya muridmu itu kelak akan menjadi orang sombong dan bertindak kejam jika sudah berilmu tinggi!"

"Hajar dia, Guru!" seru Kukilo. "Dia telah kelabui kita!"

Wong Sakti hanya cengar-cengir. "Eeh, heh, heh, heh, heh...! Kau benar-benar cari penyakit jika berani mengelabuiku, Bocah Bodoh!"

"Aku berani begitu, karena aku berani bertarung denganmu, Wong Sakti! Aku tidak takut denganmu!"

"Apa kau cukup sakti untuk melawanku, Bocah Bodoh?" sambil Wong Sakti garuk-garuk kepala.

"Aku tidak merasa cukup sakti, tapi merasa mampu mengalahkan dirimu, Wong Sakti. Perlu kau ketahui, aku memiliki pedang pusaka ini!"

Seett...! Bocah Bodoh mengambil pedang bersama sarungnya dari pinggang. Pedang pendek yang tidak pernah dihiraukan keberadaannya oleh Wong Sakti itu kini menjadi pusat pandangan mata orang berjubah ungu kusam.

"Sepertinya aku pernah melihat pusaka itu?" gumamnya pelan.

"Majulah, Wong Sakti! Kalau kau memang benar-benar sakti, hadapilah pusaka Pedang Jimat Lanang ini!"

Seett,..! Bocah Bodoh mencabut pedang tersebut dari sarungnya. Wong Sakti terkejut dan mundur satu tindak. Senyum ompongnya hilang begitu saja setelah ia mengetahui tentang pedang tersebut. Ia bahkan berkata dengan sedikit gemetar, "Bukankah... bukankah itu yang namanya Pedang Jimat Lanang?"

"Tentu saja kau tahu karena aku tadi sudah menyebutkannya!"

"Bukankah...pedang itu milik Tapak Gempur?"

Sekarang Bocah Bodoh terperangah sebentar, "Dari mana kau mengenali eyang guruku itu?"

"Tapak Gempur adalah adik bungsuku! Dan hanya Tapak Gempur yang mendapat warisan pedang Jimat Lanang itu! Kenapa bisa ada di tangan orang sepertimu, Bocah Bodoh?"

Kukilo berseru, "Hajar, Guru! Hajar dia!"

"Nanti dulu!" sentak Wong Sakti dengan jengkel kepada Kukilo. "Dia ternyata memegang pedang pusaka milik adikku! Kami sangat menghormati Tapak Gempur. Kami tak berani main-main dengan pemegang Pedang Pusaka Jimat Lanang, Kukilo! Jangan main hajar sembarangan begitu!"

Bocah Bodoh segera memotong kata, "Wong Sakti, ketahuilah, aku adalah anak dari Nyai Sembur Maut. Dan Nyai Sembur Maut, atau ibuku itu, adalah murid kesayangan Eyang Tapak Gempur, sehingga pedang ini di wariskan kepada ibu, lalu ibu mewariskan kepadaku!"

"Ooo...!" Wong Sakti manggut-manggut dengan mulut melongo.

"Sekarang kalau kau mau melawanku, majulah! Pedang ini yang akan menandingi kesaktianmu!"

"Wah...!" orang berjubah lusuh itu garuk-garuk kepalanya yang berambut tipis itu. Ia menimbang-nimbang sambil cengar-cengir pamerkan gusinya lagi. Kejap berikutnya ia perdengarkan kembali suaranya, "Kalau ternyata kau pemegang pusaka Pedang Jimat Lanang, aku tak mau melawanmu, Bocah Bodoh. Itu sama saja aku melawan roh adikku yang ada di dalam pedang tersebut."

"Jadi, apa yang kau inginkan dariku sekarang ini, Wong Sakti?" Bocah Bodoh menampakkan sikap bangganya dapat membuat Wong Sakti merasa takut melawannya.

"Begini sajalah...," kata Wong Sakti dengan pasrah. "Ku urungkan niatku menculik mu, Bocah Bodoh. Tolong masukkan dulu pedang itu ke sarungnya. Nanti ku jelaskan segalanya."

Bocah Bodoh memasukkan pedang ke dalam sarung tersebut. Setelah itu, pedang diselipkan kembali ke pinggangnya. Lalu, terdengar Wong Sakti perdengarkan suaranya,

"Kalau aku sadar bahwa pedangmu itu Pedang Jimat Lanang, aku tak berani menculik mu. Tapak Gempur punya tiga kakak, termasuk aku. Dan kami semua hormat kepadanya, sayang kepadanya, karena memang dia anak yang paling disayang oleh keluarga kami. Roh adikku itu selalu ada di dalam pedang tersebut. Jadi, tolong mintakan maaf kepadanya. Bicaralah melalui batin mu, Bocah Bodoh. Dan, aku akan membebaskan mu, tapi... kalau bisa tolong benar-benar bantu aku untuk memindahkan ilmuku ke dalam diri Kukilo itu. Tolong bujuk Tua Usil supaya mau meminjamkan pisaunya. Hanya kupinjam saja kok. Tidak akan kumiliki selamanya!"

Bocah Bodoh menarik napas. Ia merasa bahwa Wong Sakti bersungguh-sungguh dalam meminta bantuannya. Maka Bocah Bodoh pun berkata, "Akan ku usahakan bicara dengan Tua Usil. Tapi kalau Tua Usil tidak mau meminjamkan pisaunya, aku tidak bersedia menculiknya."

"Tolonglah, entah bagaimana caranya, rayulah dia supaya mau meminjamkan pisaunya. Dan sekarang... sebaiknya kau kuantarkan pulang, supaya tidak tersesat di dalam hutan ini!"

Maka, Wong Sakti pun akhirnya mengantarkan Bocah Bodoh keluar dari hutan tersebut, Kukilo tampak cemberut melihat Bocah Bodoh dibebaskan, karena ia merasakan akan lebih lama lagi menerima ilmu-ilmu Wong Sakti jika Wong Sakti tidak punya sandera untuk memancing pemilik pisau Pusaka Hantu Jagal itu.

Di dalam hati Bocah Bodoh sendiri terpetik serangkaian kata yang merupakan pendapat hatinya sendiri, "Wong Sakti ini sebenarnya bukan orang jahat. Tapi karena usianya sudah banyak, ia menjadi linglung dan cara berpikirnya seperti anak-anak. Mungkin cara berpikir ku. Juga seperti anak-anak, tapi tidak sebodoh dia. Wong Sakti ternyata hanya kebingungan mencari cara memindahkan ilmunya ke diri sang murid. Kasihan amat dia! Kalau memang aku bisa, aku akan membujuk Tua Usil agar mau meminjamkan pisau itu. Setidaknya bisa membuat hati Wong Sakti lega. Sebab, biar bagaimanapun, ternyata Wong Sakti ini masih termasuk eyang guruku, yaitu paman guru dari mendiang ibuku. Aku tak boleh kurang ajar kepada beliau. Tapi... aku kurang setuju kalau Wong Sakti ambil murid seperti Kukilo. Kurang sopan bocah itu jika bicara dan bersikap kepada Wong Sakti. Enaknya kuberi pelajaran bocah itu biar tahu sopan. Tapi... jangan-jangan nanti Wong Sakti marah padaku?"

Sampai di sebuah lembah, Wong Sakti lepaskan Bocah Bodoh dan hanya bisa mengantarnya sampai di situ. Wong Sakti berkata, "Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini, Bocah Bodoh. Silakan kau jalan sendiri, aku akan pergi ke Bukit Tulang Iblis untuk menghadiri suatu pertemuan besar yang dihadiri oleh para tokoh sakti di dunia persilatan ini!"

Kukilo menyahut, "Lho, kita tidak jadi memburu Tua Usil, Guru?!"

"Akan kuserahkan kepada Bocah Bodoh. Kita tunggu kabar dari dia saja. Sementara itu, kita hadiri pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu, Kukilo. Aku ingin tahu, siapa yang bakal menjadi hakim dan penguasa rimba persilatan nantinya!"

Bocah Bodoh pun berkata, "Baiklah, Eyang Wong Sakti...," ia menghormat dan mengakui Wong Sakti adalah eyang gurunya. "Aku akan coba merayu Tua Usil. Seandainya kau tidak berha-sil, aku akan berterus terang pada Eyang Wong Sakti. Seandainya aku berhasil, bagaimana caraku menghubungi Eyang Wong Sakti?"

"Bocah Bodoh, jika kau ingin memanggilku, panggillah dalam hatimu tiga kali, dan tepuklah pohon apa saja tiga kali, gedukkan kakimu ke tanah tiga kali, menganggukkan kepala tiga kali, bertepuk tangan tiga kali dan bersiullah tiga kali sambil melompat tiga kali dan akhirnya sebutkan kata 'datang' sampai tiga kali. Maka aku pun akan muncul di hadapanmu baik tanpa Kukilo maupun bersama Kukilo!"

Bocah Bodoh garuk-garuk kepala. "Rumit sekali itu, Eyang Wong Sakti. Belum tentu aku bisa mengingatnya tiga kali!"

Wong Sakti tertawa, lalu menepuk-nepuk punggung Bocah Bodoh. Entah apa artinya, Bocah Bodoh sendiri akhirnya meninggalkannya.

EMPAT

PEDANG Jimat Lanang rupanya membawa keberuntungan sendiri bagi Bocah Bodoh. Seandainya Bocah Bodoh tidak mengeluarkan pedang tersebut dan mencabutnya, mungkin ia masih menjadi tawanan Wong Sakti. Padahal Bocah Bodoh sendiri pada saat mencabut pedang punya keragu-raguan, bahwa ia belum tentu bisa mengalahkan Wong Sakti. Sebab melihat cara membebaskan totokan dengan Jalan menyentil daun telinga saja sudah menunjukkan bahwa Wong Sakti berilmu tinggi.

Penculikan atas diri Bocah Bodoh tidak membawa petaka bagi siapa pun. Bocah Bodoh merasa lega, namun Juga merasa ragu kembali, karena secara tidak langsung ia mempunyai tugas membujuk Tua Usil untuk dapatkan pisau tersebut. Sekalipun hanya meminjam, tapi belum tentu Tua Usil mau meminjamkan pisau itu begitu saja.

Bocah Bodoh yang melangkah dengan melamun itu tiba-tiba terkejut melihat dua orang telah berdiri di depannya. Tapi rasa kagetnya itu segera lenyap setelah ia mengetahui bahwa yang berdiri di depannya itu tak lain adalah Pandu Tawa dan Lintang Ayu.

Mereka memang bertugas mencari Bocah Bodoh dan menyelamatkannya dari tangan Wong Sakti. Namun begitu melihat Bocah Bodoh berjalan dengan santai, tanpa wajah takut atau tegang, kedua orang itu pun menjadi heran. Lalu, Pandu Tawa segera ajukan tanya,

"Kau tidak apa-apa Bocah Bodoh?"

"Tidak," jawab Bocah Bodoh. "Ada apa, Pandu Tawa?"

"Bukankah kau diculik oleh Wong Sakti?"

"Ya. Benar. Tapi dia ciut nyali padaku. Dia lari setelah lepaskan diriku. Dia menuju ke Bukit Tulang Iblis."

"Kami baru saja ingin membebaskan kamu, Bocah Bodoh. Yoga yang menyuruh kami membebaskan mu!" Lintang Ayu berkata dengan tenang.

"O, jadi kalian mau membebaskan aku? Kalau begitu aku harus panggil Wong Sakti agar dia menculik ku lagi, lalu kalian datang membebaskan aku! Begitu saja. Setuju?"

Lintang Ayu melirik ke arah Pandu Tawa dengan rasa dongkol atas kebodohan yang dilakukan dengan polos itu. Pandu Tawa hanya tersenyum masam. Kemudian Pandu Tawa berkata kepada Lintang Ayu,

"Aku tak tahu apa maksud penculikan ini. Tapi aku sudah tak mau tahu lagi. Sekarang...."

Lintang Ayu menyahut, "Sekarang sebaiknya aku harus kembali mencari Yoga untuk tanyakan tempat tinggal Tabib Perawan itu!"

Tiba-tiba Bocah Bodoh menyahut, "O, kau membutuhkan Tabib Perawan, Lintang Ayu? Hmm...! Mengapa harus susah-susah mencari Tuan Yo. Aku saja tahu tempat tinggal Tabib Perawan yang bernama Sendang Suci itu!" sambil Bocah Bodoh banggakan diri, dadanya membusung. mulutnya sedikit mencibir.

"Apa kau benar-benar tahu tempat tinggal Tabib Perawan itu?" Pandu Tawa menampakkan keraguannya.

"Kenapa tidak? Aku pernah diajak Tuan Yo pergi ke rumah Tabib Perawan itu. Ia tinggal di Bukit Berhala. Dan aku masih ingat jalan menuju ke sana."

Lintang Ayu berkata, "Bisakah kau mengantarku ke sana?"

"Siapa yang tidak bisa? Mengantar gadis cantik mana pun dan ke mana pun, aku pasti bisa! Di depan gadis cantik, Bocah Bodoh bisa menjadi Bocah Pintar!" katanya dengan tengil.

Pandu Tawa menyodok kepala Bocah Bodoh sambil tertawa pendek. "Baiklah. Kau antarkan Lintang Ayu ke Bukit Berhala. Dan ingat pesanku, jaga dia baik-baik!" kata Pandu Tawa.

"Kau sendiri akan ke mana, Pandu Tawa?" tanya Bocah Bodoh.

"Aku akan menuju ke Bukit Tulang iblis!"

Lintang Ayu menyahut kata, "Hati-hatilah, Pandu! Jangan terlibat urusan seperti itu terlalu dalam."

"Kau mencemaskan diriku? Oh, terima kasih, Lintang Ayu! Kecemasanmu membuat hatiku terhibur." Pandu Tawa sunggingkan senyum menawan.

Lintang Ayu sempat salah tingkah, kemudian segera pergi tanpa pamit lagi. Bocah Bodoh hanya memandang kepergian Lintang Ayu dengan geleng-geleng kepala dan tersenyum. "Gadis itu memang cantik dan tegas.... ck ck ck ck...!"

"Katanya kau mau mengantarnya! Sudah sana berangkat!"

"Ya ampun! Hampir saja aku lupa!" Bocah Bodoh terkejut, menepak jidatnya sendiri, lalu segera berlari menyusul Lintang Ayu.

Sementara itu Pandu Tawa masih memandanginya dengan senyum membekas dan hati pun berkata, "Semoga dia masih menyimpan cinta untuk ku. Seandainya tidak, moga-moga saja ia menyimpan persaudaraan denganku di hatinya."

* * *

Burung rajawali besar berbulu merah itu melesat terbang ke angkasa. Ia pergi setelah Yoga berkata, "Tinggalkan kami untuk sementara. Pergilah dan cari kekasihmu; si Rajawali Putih itu!"

"Keaaak...!" jawab Rajawali Merah sambil angguk-anggukkan kepala.

Saat itu, Yoga sudah selesai lakukan penyembuhan terhadap diri Sri Tanding. Luka gadis itu cukup parah. Untung saja Yoga mempunyai jurus penyembuhan yang cukup hebat, sehingga jiwa gadis itu bisa diselamatkan. Dan yang lebih ajaib lagi, luka-luka pada tubuh gadis itu dapat disembuhkan dalam waktu amat cepat.

Sekarang tubuh Sri Tanding merasa berangsur-angsur segar kembali. Ia sempat terkejut sewaktu menyadari bahwa yang menolong dan menyembuhkannya ternyata seorang tabib tampan. Hati Sri Tanding bukan saja senang, namun juga mempunyai rasa bangga dan damai.

"Kaukah yang bernama Pendekar Rajawali Merah itu?" tanya Sri Tanding pada awalnya.

"Benar. Dari mana kau tahu namaku?"

"Sebelum aku berangkat tunaikan tugas Guru, aku banyak mendengar cerita dari Guru tentang seorang pendekar tampan bernama Yoga dengan gelar Pendekar Rajawali Merah; berpedang tembaga dengan gagang dua kepala burung rajawali, dengan pakaian putih berselempang kulit bulu warna coklat, dengan senyum yang menawan dan... dan...."

"Gurumu terlalu memujiku. Siapa gurumu itu?"

"Ratu Candra Wulan," jawab Sri Tanding, seakan menyebut nama gurunya dengan rasa bangga.

"O, aku pernah dengar nama itu. Tapi aku belum pernah bertemu dengan beliau."

"Guru berpesan jika aku bertemu dengan Pendekar Rajawali Merah harus berhati-hati."

"Dalam hal apa?"

"Menjaga kesopanan. Aku tak boleh kurang ajar padamu, karena guruku tahu bahwa kau sudah mempunyai seorang kekasih yang bernama Lili, dengan gelar Pendekar Rajawali Putih. Betulkah itu?"

Yoga tersenyum, membuat hati Sri Tanding berdesir indah tak terlukiskan lagi. Kemudian Yoga alihkan pembicaraan dengan bertanya, "Kau masih mengenal seseorang yang bernama Wong Sakti?"

Sri Tanding surutkan senyumannya, pandangi Yoga dengan dahi sedikit berkerut. Lalu, ia perdengarkan suaranya bernada heran, "Rupanya kau kenal dengan nama Wong Sakti?!"

"Apa pernah bertemu dengannya. Sekarang aku ingin mencari tempat kediaman Wong Sakti. Tahukah kau di mana ia tinggal?"

"Ada keperluan apa kau ingin menemuinya?" Sri Tanding balas bertanya.

Dan Yoga menjawab secara apa adanya. "Wong Sakti telah menculik pelayanku yang bernama Bocah Bodoh!"

"Dia menculik pelayanmu?" Sri Tanding bernada kaget.

Yoga menjelaskan maksud Wong Sakti dalam menculik Bocah Bodoh. Kemudian ditambahkan pula kata-kata, "Aku hanya ingin mengingatkan beliau, agar tidak lakukan langkah salah seperti itu! Aku harus menemuinya."

Sri Tanding manggut-manggut. Matanya masih sesekali mencuri pandang ke arah Yoga dengan jantung berdebar-debar. "Baiklah. Akan kutunjukkan arahnya saja, tapi aku tak bisa mengantarmu ke sana!"

"Apakah kau takut kepada Wong Sakti?"

"Sama sekali tidak. Tapi aku punya tugas yang harus kukerjakan. Aku tak berani menunda tugas itu, karena Guru selalu wanti-wanti agar aku tidak boleh menunda tugas tersebut."

"Apakah aku boleh tahu apa tugasmu itu? Maksud ku, barangkali aku bisa membantumu setelah kau membantuku tunjukkan tempat Wong Sakti!"

"Kurasa kau sudah bisa meraba...."

"Sumpah, aku belum meraba mu!" sahut Yoga dengan sungguh-sungguh.

"Maksudku, kau sudah meraba tugasku. Artinya menerka-nerka!"

"Ooo...!" Yoga tertawa geli, malu sendiri dengan salah duganya itu. Karena sejak ia membawa Sri Tanding pergi dari pertarungannya, ia selalu menjaga diri agar tidak disangka bersikap kurang ajar dan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Itulah sebabnya ia sempat salah duga dengan apa yang dimaksud kata-kata Sri Tanding tadi.

Salah duga itu pun membuat Sri Tanding jadi malu. Gadis cantik itu sedikit merah wajahnya dan tak berani menatap Yoga. Tapi ia pun tetap lanjutkan jawabannya, "Aku tunjuk sebagai orang yang mewakili Guru untuk hadir di Bukit Tulang Iblis! Tugas ini merupakan suatu penghormatan dan rasa percaya Guru kepadaku. Tentunya kau tahu apa yang akan terjadi di Bukit Tulang Iblis itu, Yoga!"

"Ya, aku memang tahu," kata Yoga tanpa senyum, namun masih kelihatan punya daya pesona dalam bicaranya. Katanya lagi, "Di sana akan ada pemilihan dan penobatan seorang yang berhak menyandar gelar Pendekar Maha Sakti, secara tak langsung dialah yang akan menjadi raja dan hakim dalam dunia persilatan kita. Itu berarti akan ada pertarungan adu kesaktian, adu ilmu dan adu debat. Kusarankan, kau jangan datang ke sana! Tentunya kau tahu, mereka yang akan datang adalah orang-orang sakti yang tentu saja ilmunya tinggi-tinggi. Mereka tidak segan-segan menyingkirkan saingannya dengan cara membunuh atau melukai separah mungkin. Dan...."

"Dan kau takut kalau aku terluka, begitu?" sahut Sri Tanding.

Yoga diam sejenak, memandangi gadis cantik berwajah mungil manis itu. Kemudian kepala Yoga tampak mengangguk sambil menjawab, "Ya. Memang aku takut kalau kau terluka."

Gadis itu tampak sedikit kecewa. "Kau meremehkan ilmuku. Yoga!"

"Bukan meremehkan. Aku hanya memperbandingkan ketika kau melawan orang berselendang merah tadi. Kau sudah terdesak sedemikian rupa, dan hampir-hampir kehilangan nyawa. Jika kau tampil di sana dan bertemu dengan wanita berselendang merah itu, sudah tentu ia tidak segan-segan menggunakan jurus mautnya.

"Apa pun yang terjadi, aku harus hadir. Karena itu perintah langsung dari Nyai Guru Ratu Candra Wulan!"

"Barangkali kalau boleh aku sarankan kembali, hadir tetap saja hadir, tapi jangan masuk ke arena pertarungan! Wanita berselendang merah itu sendiri akan temukan lawan tangguhnya dan bisa-bisa jiwanya pun melayang di arena pertarungan nanti. Sekali lagi kusarankan, jangan masuk ke arena pertarungan!"

"Kau benar-benar mengecilkan diriku. Yoga!" Sri Tanding tampak semakin tersinggung, pandangan matanya sedikit menyipit.

Yoga menjadi tak enak hati, dan akhirnya berkata, "Aku hanya menyarankan. Bukan menganggapmu tak mampu. Saran itu boleh saja kau tolak dan kau abaikan, walau hatiku kecewa jika sampai melihatmu celaka di sana."

"Barangkali kau takut kalau akhirnya kau akan bertemu denganku di arena pertarungan itu."

"Tidak," jawab Yoga sambil tersenyum tenang dan teduh. "Kau tidak akan bertemu denganku di arena itu, karena aku tak akan turun ke pertarungan!"

"Kau tak akan turun ke pertarungan?!" Sri Tanding merasa heran. "Kau seorang pendekar yang sedang banyak dibicarakan oleh para tokoh dunia persilatan, Yoga. Kau pendekar yang diramalkan oleh mereka akan unggul dalam pertarungan nanti. Mengapa kau tidak akan hadir da-lam pertarungan tersebut?"

Yoga menarik napas, karena baru tahu bahwa dirinya banyak dibicarakan dan dijagokan oleh beberapa tokoh. Ia sendiri tak menyangka kalau para tokoh mempunyai perkiraan setinggi itu terhadap kesaktiannya. Namun hal itu tidak membuat Yoga besar kepala atau berbusung dada. Yoga bahkan berkata,

"Kalau toh aku hadir, aku hanya sebagai penonton saja. Aku tidak mau diadu oleh siapa pun hanya untuk memperebutkan gelar dan kedudukan. Aku bukan orang yang gila kedudukan dan gelar. Terserah saja siapa nanti yang akan unggul, aku tidak akan mau peduli. Selama mereka tidak mengusik aliran rajawali, aku tidak akan ikut campur dalam acara tersebut, Sri Tanding. Jadi kalau aku sarankan dirimu agar jangan hadir, itu lantaran aku tak ingin melihat kau kecewa dan terluka. Sayang sekali wajah secantik kau harus menderita kekecewaan dan luka parah seperti tadi!"

Sri Tanding tak bisa berkata apa-apa. Hatinya sibuk memeluk rasa bangga mendengar pujian pendekar tampan tersebut. Ia terdiam hingga beberapa saat, membiarkan angin lembah menerpa rambut poninya. Angin yang bertiup sepoi-sepoi itu makin terasa kencang. Dahi Pendekar Rajawali Merah itu berkerut, dan ia lekas-lekas dekati Sri Tanding. Ia berbisik dalam jarak sekitar dua jengkal dari pundak Sri Tanding.

"Selekasnya kita tinggalkan tempat ini!"

Sri Tanding memandang dengan mata menyipit menahan hembusan angin. Dari alls yang berkerenyit, Yoga tahu gadis itu heran mendengar bisikannya. Yoga pun segera menjelaskan, "Firasat ku mengatakan ada bahaya yang sedang mengintai kita."

Sri Tanding masih belum percaya. Tapi ia tidak menyanggah ucapan Yoga, juga tidak mengatakan apa-apa. Matanya sempat melirik kanan-kiri, dan ia merasakan keadaan aman-aman saja. Angin semakin kencang. Yoga kian berbisik sambil menarik pelan lengan Sri Tanding, mengajaknya jalan.

"Angin ini terasa perih di mata, dan menyengat kulit. Tidakkah kau rasakan hal itu?"

Sri Tanding melangkah pelan, seperti sepasang kekasih yang sedang bermesraan di taman. Tapi sebenarnya gadis itu merasakan apa yang dikatakan Yoga tadi. Lama-lama ia mengakui kebenaran kata-kata Yoga, sehingga ia pun berbisik,

"Aku sekarang merasakan apa yang kau katakan tadi; mata perih dan kulit bagai tersengat. Tapi siapa orang yang menyerang kita dengan angin seperti ini?"

"Bukan angin, melainkan tenaga dalam. Hawa panas yang ia lepaskan sengaja membuat kita tak sadari hal itu. Bersiaplah, siapa tahu ada kejutan di depan kita! Aku akan melawannya dengan hawa dingin ku!"

Tangan Yoga yang memegangi lengan Sri Tanding itu dilepaskan. Tangan itu segera menggenggam. Wajah Yoga tampak biasa-biasa saja, dengan senyum tipis yang masih menawan. Namun sebenarnya saat itu Yoga sedang menahan napas dan keluarkan hawa dingin dari pori-pori kulitnya yang bersih itu. Hawa dingin semakin terasa meresap di kulit tubuh Sri Tanding. Hawa dingin itu menyebar ke mana-mana, sehingga rasa sengatan di kulit gadis itu berganti rasa beku yang makin lama semakin hampir menggigilkan badan.

Sri Tanding mencoba bertahan untuk tidak menggigil. Supaya tidak kentara, ia sesekali menunduk, sesekali memandang tegak, sambil mengucapkan kata pelan yang sebenarnya tak perlu diucapkan. Sehingga kesan yang ada pada dirinya adalah kesan seorang gadis yang dengan malu-malu mengutarakan perasaan hatinya.

Daun-daun hijau mulai berbintik putih. Bintik-bintik putih itu adalah busa salju yang timbul dari udara dingin di sekelilingnya. Ranting-ranting kering pun menjadi basah. Di sana-sini mulai tampak embun yang segera berubah menjadi busa salju. Setiap pori-pori tubuh Yoga dapat keluarkan hawa dingin secara terus menerus, sehingga Sri Tanding sempat gelisah karena menahan tubuh agar tak menggigil.

Orang yang menyerang mereka dengan hawa panas itu terkejut. Maka ia segera hentikan serangannya. Angin tidak lagi berhembus, dan Yoga pun segera hentikan semburan hawa dinginnya. Tetapi dengan menggunakan jurus 'Sandi Indera', Yoga dapat mengetahui ada orang yang mengikuti langkahnya. Sengaja pemuda itu diam saja dan berlagak tidak mengetahuinya, namun ia berbisik kepada Sri Tanding dengan sangat pelan,

"Ada yang mengikuti langkah kita!"

Sri Tanding tersenyum manis, hentikan langkah. Tapi bicaranya bernada tegang dan sangat pelan, "Mungkinkah Selendang Badai yang mengikuti kita? Orang yang melawanku berselendang merah itulah yang ku maksud Selendang Badai."

Yoga tersenyum menawan. Persis sekali orang berkasih-kasihan. Ia memegangi pundak Sri Tanding dan berkata. "Kurasa bukan. Langkahnya adalah langkah berat. Pasti seorang lelaki yang mengikuti kita itu."

"Haruskah kita serang?"

"Jangan. Biarkan dia muncul dan kita mengetahui maksudnya!"

Sri Tanding sengaja tertawa agak keras dan mengikik. Hal itu ia lakukan supaya orang tak akan menyangka bahwa dirinya sedang membicarakan suatu bahaya yang sedang mengancamnya.

"Kurasa aku tak sabar untuk melawan orang itu, Yoga," katanya bernada bisik dengan wajah tetap ceria.

"Sabarlah. Ku rasakan ada yang mengikuti kita lebih dari satu orang. Langkah kaki mereka beruntun, mungkin dua atau tiga orang."

"Di mana saja mereka berada?"

"Mengitari kita dari berbagai arah," jawab Yoga sambil mencubit dagu Sri Tanding.

Gadis itu tertawa kecil, antara senang dan tegang. Tapi mereka pandai menipu wajah sehingga tak sesuai dengan isi hatinya. Terbukti Yoga pun kembali berkata sambil menggenggam tangan Sri Tanding yang terangkat di dada, "Jika terpaksa aku harus menyerang, kau segera bersiap untuk lari selamatkan diri."

Sri Tanding menggelengkan kepala di sela senyum manisnya, lalu berkata dalam nada desah, "Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu, Yoga. Aku harus menghadapi mereka juga. Kita hadapi bersama, Yoga!"

Yoga tarik napas. "Kau memang gadis bandel, Sri Tanding."

Tapi pada saat itu tangan yang meremas jemari Sri Tanding itu semakin kuat. Lalu, dengan bisikan lembut Yoga pun berkata, "Mereka menyerangku dengan satu kekuatan yang tak terlihat. Aku merasakan panas pada bagian punggungku. Makin panas sekarang."

"Lawan mereka! Jangan biarkan melukaimu!" bisik Sri Tanding.

Lalu, Yoga pun diam. Memusatkan kekuatan tenaga dalamnya ke bagian punggung sebagai pelapis serangan halus itu. Sri Tanding sempat menjadi cemas, karena ia melihat wajah Yoga mulai pias dan keringat dinginnya pun tersumbul keluar, membersit di kening dan leher. Sri Tanding bingung, apa yang harus dilakukannya saat itu.

LIMA

SEKELEBAT bayangan melesat menerjang Pendekar Rajawali Merah. Kecepatan gerak orang tersebut membuat dirinya terlihat hanya seperti kabut hitam yang terhempas badai. Wuuuttt...! Tetapi mata tajam Pendekar Rajawali Merah masih mampu menangkap gerakan cepat tersebut, sehingga ia terpaksa merendahkan tubuhnya dengan menyilangkan tangan ke atas kepala.

Daahg...!

Yoga sempat terguling jatuh di tanah karena merasa seperti menahan gerakan seekor banteng sedang mengamuk. Tapi yang ditahan gerakannya itu pun terpental mundur dan jatuh pula berguling-guling. Keduanya cepat berdiri untuk hindari serangan berikutnya.

Rupanya orang yang menyerang Pendekar Rajawali Merah itu berpakaian hitam bergaris-garis merah dan bersenjata samurai. Siapa lagi kalau bukan pendekar dari negeri Matahari Terbit yang bernama Shogun Kogawa yang berwajah kaku dan dingin. Begitu wujud penyerang Yoga itu tampak jelas, Sri Tanding cepat-cepat lepaskan pukulan jarak jauh bergelombang besar.

Wuuttt.... Buhg!

Shogun Kogawa menahan pukulan berat itu dengan kedua telapak tangan dihadangkan ke depan dada, lalu sedikit bergerak ke kiri, sehingga arah pukulan bagaikan dipantulkan dan mengenai sebongkah batu besar di sebelah kirinya. Bruussh...! Batu itu pun hancur berkeping-keping, tanpa memercik ke mana-mana.

"Tulang-tulangku terasa patah semua," pikir Yoga saat itu. "Rupanya orang berambut kuncir ini punya tenaga dalam yang cukup tinggi dan tadi ia kerahkan sepenuhnya. Berarti dia tidak main-main dan benar-benar ingin membunuhku. Tapi, siapa dia itu?!"

Shogun Kogawa memandang tajam ke arah Pendekar Rajawali Merah. Sementara itu, Sri Tanding juga memandang kearah yang sama dengan wajah cemas. Lalu terdengar suaranya berbisik dalam jarak tiga langkah di samping Yoga,

"Bagaimana keadaanmu?"

"Tidak apa-apa! Mundurlah, Sri Tanding. Biar kuhadapi sendiri orang aneh ini!"

Sri Tanding mundur sambil berkata lirih, "Hati-hati, aku kenal dia. Namanya Shogun Kogawa, ilmu pedangnya tinggi, juga tenaga dalamnya tinggi. Tanyakan dulu, apa maksudnya menyerang kita!"

Ketika Sri Tanding bergerak ke belakang Yoga itulah, ia merasakan datangnya gelombang padat berkekuatan besar yang menerjang tubuhnya dan tubuh Yoga.

Wuuttt...!

"Awas!" sentak Sri Tanding secara tak sadar. Ia sentakkan pula kakinya ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas, bersamaan dengan itu melenting pula tubuh Yoga dan bersalto satu kali untuk pindah tempat. Gelombang padat yang besar itu hampir saja mengenai Shogun Kogawa pula. Untung orang bermata sipit itu segera melompat menghindar ke arah yang sama dengan Yoga.

Seorang lelaki tua berjubah abu-abu muncul dengan tongkat putihnya. Rambutnya panjang sebatas pantat meriap tak diikat. Sri Tanding berkerut dahi dengan heran karena ia mengenali orang tersebut. Ia cepat dekati Yoga dan berkata,

"Ki Tenung Jagat, namanya! Dari kelompok aliran Petapa Laut!"

"Apa maksudnya datang dan menyerang kita?"

"Entahlah!"

Ki Tenung Jagat diam tanpa senyum dan kata. Ia berdiri di sebelah barat, sedangkan Shogun Kogawa berdiri di sebelah timur dari Yoga dan Sri Tanding. Kehadiran mereka yang tampak berkomplot itu baru saja ingin ditanyakan oleh Pendekar Rajawali Merah, namun seberkas sinar kuning melingkar-lingkar sedang menuju ke arah Yoga dan Sri Tanding. Hal itu membuat Yoga berseru mengingatkan Sri Tanding.

"Lompat...!"

Wuuttt...! Keduanya melompat tinggi-tinggi sehingga gelombang sinar kuning bergulung-gulung itu lolos dari sasaran sebenarnya, dan sebagai sasaran berikut adalah sebatang pohon yang terletak lebih dari lima belas tombak dari tempat Yoga dan Sri Tanding berada.

Pohon yang terhantam sinar kuning melingkar-lingkar itu segera kepulkan asap tanpa suara ledak, tahu-tahu berubah kecil dan hidup. Ukurannya menjadi lebih tinggi dari betis Yoga. Hampir saja Yoga dan Sri Tanding berubah menjadi sekerdil itu jika mereka tidak segera menghindar.

Seorang berpakaian model biksu warna coklat berperawakan gendut muncul di sela-sela pohon yang ada di sebelah utara. Sri Tanding terperanjat, dan segera berkata kepada Yoga dengan suara pelan,

"Edan! Ketua aliran Petapa Gunung juga hadir di sini. Dia yang bernama Resi Panuluh!"

"Kurasa ada sesuatu yang tak beres yang membuat mereka memusuhi kita, Sri Tanding. Atau... barangkali kau punya persoalan dengan mereka bertiga?"

"Tak ada! Sama sekali tak ada!" jawab Sri Tanding tanpa memandang Yoga, melainkan menatap antara Resi Panuluh dan Ki Tenung Jagat secara berganti-gantian.

Merasa dirinya dikepung, Yoga segera lontarkan tanya kepada Resi Panuluh, "Mengapa kalian mengepung dan menyerang kami?"

Ketiga orang itu tidak ada yang memberi jawaban. Tetapi mata mereka tetap memandang tajam dan tak bersahabat. Sebelum Yoga kembali melontarkan tanya, tiba-tiba sebongkah batu hitam sebesar gentong melayang di udara dan melesat ke arah Yoga dan Sri Tanding. Kecepatan batu itu hampir saja tak terlihat. Tapi tangan Yoga secara dengan sendirinya berkelebat menyentak bagai melepaskan sesuatu dari genggamannya, dan ternyata yang terlepas adalah asap merah tipis.

Wuusss...! Asap merah tipis menghantam batu tersebut. Blaarrr...! Ledakan dahsyat membuat batu itu hancur menjadi serbuk lembut.

Dari arah selatan, tempat datangnya batu besar tadi, muncul seorang wanita cantik yang pernah dilihat oleh Yoga di suatu tempat, namun pada waktu itu perempuan tersebut merubah di-rinya dalam wujud persis Tua Usil. Akibatnya, saat itu Yoga tidak mengenali siapa perempuan tersebut, sehingga ia bertanya kepada Sri Tanding dalam bisikan lirih.

"Yang ini siapa?"

"Kalau tidak salah... Ketua Perguruan Biara Sita, bernama Putri Kumbang!"

"Ooo... dia?!" Yoga manggut-manggut samar.

"Ya. Dialah orangnya. Kenapa? Cantik?!"

Yoga tersenyum sinis. "Dia pernah menyamar menjadi wujud diriku dan merubah diri menjadi pelayanku, tapi aku tidak mengenali wajah aslinya. Baru sekarang aku melihat wajah asli Putri Kumbang!" (Untuk lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam episode Setan Dari Biara).

"Mereka para tokoh sakti, Yoga. Mereka agaknya ingin membunuh kita. Kita bisa kewalahan melawan mereka."

"Tenang saja. Akan ku coba mengatasinya dengan tegur sapa yang baik. Siapa tahu semua ini karena kesalahpahaman saja."

Clapp...! Sesuatu tampak melesat ke langit. Sinar biru bagaikan titik kecil itu terlepas dari suatu tempat dan berhenti di atas kepala Yoga dalam jarak sekitar lima tombak tingginya. Sinar biru itu menyorot ke bawah, membentuk lingkaran bercahaya biru dan mengurung diri Yoga serta Sri Tanding.

Slaappp...! Wuusss...!

"Ahg...!" Sri Tanding mengejangkan tubuh, kepalanya sedikit mendongok dengan mulut ternganga. Ia seperti sedang diremas oleh tangan raksasa.

Sementara itu. Yoga pun merasakan hal yang sama, namun ia hanya mengeraskan semua urat tubuhnya. Dan tiba-tiba tangannya yang menggenggam dengan bergetar itu menyentak ke atas dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuutt...! Claappp...! Melesat sinar merah kecil dari telapak tangan itu, menghantam pusat sinar biru di atas sana.

Blegaarrr...!

Bumi terasa berguncang akibat gelombang ledakan dahsyat tersebut. Sri Tanding sempat jatuh berlutut, lalu cepat bangkit dengan napas terengah-engah. Mereka sudah tidak dikurung sinar biru lagi, tetapi mereka terpaksa harus berpegangan karena tanah di mana mereka berpijak berguncang kuat seakan ingin retak membentuk celah yang berbahaya. Tanah tersebut juga mengepulkan uap biru tipis sebatas lingkaran tempat cahaya biru tadi mengurung mereka.

"Hebat sekali ilmu orang yang menyerang kita. Siapa dia?"

"Seingatku, jurus seperti ini hanya dimiliki oleh tokoh sakti yang berjuluk si Jenggot Biru."

Suara Sri Tanding itu sebenarnya sangat pelan, tapi ternyata bisa didengar dari jarak enam tombak jauhnya, sehingga orang berpakaian putih kembang-kembang merah-biru dengan jenggot berwarna biru segera muncul dari arah selatan, dan berkata jelas,

"Ya. Memang akulah si Jenggot Biru, Sri Tanding!"

Cepat-cepat Sri Tanding menoleh ke arah Jenggot Biru, sementara Yoga telah memandang ke arah selatan sejak tadi. Sri Tanding segera berseru kepada Jenggot Biru, "Eyang Jenggot Biru, apa maksud Eyang menyerang kami dengan jurus berbahaya itu?!"

"Supaya kau menyingkir dari samping Pendekar Rajawali Merah. Karena ketahuilah, kami ingin lumpuhkan dia sebelum dia hadir di Bukit Tulang Iblis!" jawab Jenggot Biru, lalu ia bergerak maju tiga tindak. Yang lainnya pun bergerak maju tiga tindak, sehingga kepungan mereka semakin sempit. Masing-masing berjarak sekitar empat-lima tindak dari tempat Yoga berada.

Yoga pun segera berseru kepada Jenggot Biru, yang dianggap sebagai pemimpin orang-orang sakti itu, "Mengapa kalian tidak menghendaki aku hadir ke Bukit Tulang Iblis itu?! Aku tidak punya masalah apa-apa dengan kalian! Kecuali Putri Kumbang, yang dengan licik hampir saja mencelakai kekasihku!"

Putri Kumbang segera perdengarkan suaranya, "Semua ini terlepas dari masalah kita yang lalu. Yoga! Kami punya kesepakatan untuk membenci aliran rajawali!"

"Itu bukan alasan yang tepat, Putri Kumbang. Kami tidak pernah menyerang kalian jika kalian tidak menyerang lebih dulu! Kami tidak pernah berbuat kejahatan bagi siapa pun! Kalau kami menyerangmu itu karena kau lebih dulu menyerang kami dengan kelicikanmu!"

Resi Panuluh segera berkata, dan membuat Yoga dan Sri Tanding berpaling ke arahnya, "Jika kau sayang pada nyawamu, kusarankan untuk tidak menghadiri pertemuan itu! Kami tidak setuju jika aliran rajawali hadir dalam pertemuan tersebut, karena aliran rajawali tidak memenuhi syarat sebagai kelompok aliran silat. Sedikitnya lima orang yang menjadi anggota sebuah aliran silat. Sedangkan aliran rajawali hanya terdiri dari dua orang, dan itu tidak memenuhi syarat!"

"Ketentuan dari mana itu?" sanggah Sri Tanding membela Yoga.

"Ketentuan dari kami," jawab Resi Panuluh.

Yoga segera berkata, "Dua atau satu orang yang ada, aliran rajawali tetap akan ada di muka bumi ini! Kami tidak peduli dengan pengakuan kalian, yang jelas kami tidak mengganggu kalian dan jangan memusuhi kami!"

"Kami tidak akan memusuhi mu jika aliran rajawali tidak hadir dalam pertemuan nanti!" sahut Putri Kumbang dengan wajah angkuhnya.

"Tak ada yang berhak melarang kami!" kata Yoga dengan pandangan tajam menantang.

Jenggot Biru berkata, "Jika begitu, sebelum kalian tampil di Bukit Tulang Iblis, sebaiknya kami hancurkan di sini lebih dulu!"

Yoga menyahut, "Jika itu kehendak kalian, aku terpaksa melakukan pembelaan diri demi mempertahankan harga diri aliran rajawali!"

Resi Panuluh berseru, "Sri Tanding! Menyingkirlah bila tidak ingin menjadi korban salah sasaran jurus-jurus maut kami!"

"Tidak! Aku tetap akan lindungi Yoga. Jika kalian melukai ku, berarti kalian berurusan den-gan perguruanku!"

"Gadis bandel!" geram Ki Tenung Jagat. Kemudian, ia gedukkan tongkatnya ke tanah.

Duuuhg...! Claapp...!

Seberkas sinar hijau bagaikan lidah petir melesat dari tanah yang disentak ujung tongkat. Sinar hijau itu melesat ke arah Sri Tanding. Cepat sekali gerakannya itu. Namun buru-buru Yoga mematahkan serangan tersebut dengan kibasan tangan yang berkelebat dan mengeluarkan gelombang tenaga dalam cukup besar.

Wuuttt...! Trattt... tar... duaaar...!

Melihat serangan ringan Ki Tenung Jagat dapat dilawan oleh Pendekar Rajawali Merah, maka Shogun Kogawa pun tidak hanya tinggal diam saja. Ia segera melompat dan mencabut samurainya. Seett...! Samurai itu dikibaskan berkelebat dari bawah ke atas. Arahnya dada serta wajah Yoga yang akan ditebasnya.

Tetapi dengan cepat pula Sri Tanding mencabut pedangnya dan berkelebat menangkis samurai tersebut. Trangng...! Kemudian tubuh Sri Tanding memutar cepat dan melepas tendangan kaki kanannya.

Wuuttt! Plak...!

Tendangan itu ditangkis dengan lengan kiri Shogun Kogawa. Tangkisan itu mem-buat Sri Tanding terpelanting jatuh karena selu-ruh tulangnya bagaikan membentur benteng be-ton dan remuk seketika. Pada waktu Sri Tanding jatuh itulah, Shogun Kogawa segera menebaskan samurainya dari atas ke bawah dengan kecepatan menyamai kilat.

Wuuttt...! Zlaappp...! Bruugh...!

Yoga segera gunakan jurus 'Petir Selaksa' yang mampu menyerang dengan kecepatan tinggi, melebihi kecepatan kilatan sinar petir. Sasaran utama jelas tubuh Shogun Kogawa dari samping kiri. Dan ternyata jurus tersebut membuat Shogun Kogawa terlempar jauh dengan samurai menebas tak tentu arah. Tendangan lompat yang amat cepat itu membuat lawan sempat mengejang sebentar di tempatnya jatuh, namun segera berhasil kuasai rasa sakitnya dan ia berdiri kembali.

Sri Tanding segera bangkit setelah Yoga ulurkan tangan dan ia menyambutnya, lalu menariknya hingga berdiri. Sebaris kata diucapkan dalam bisik, "Terima kasih atas penyelamatan mu...."

Yoga tidak menjawab, karena ia harus cepat-cepat meraih tubuh Sri Tanding dan membawanya melompat ke arah lain. Hanya ada satu cara seperti itu yang bisa dilakukan Yoga untuk menghindari pisau-pisau sinar yang berwarna putih itu. Pisau-pisau sinar putih redup terlepas dari sentakan tangan kiri Resi Panuluh yang telapak tangannya tengadah menghadap ke langit.

Clap, clap, clap, clap...!

Seandainya Yoga tidak menyambar tubuh Sri Tanding dan membawanya lompat ke arah lain, maka tubuh Sri Tanding akan menjadi sasaran berikutnya, setelah pisau sinar putih redup itu gagal kenai tubuh Pendekar Rajawali Merah.

Duuurrbbb...!

Pisau-pisau itu akhirnya diredam oleh Ki Tenung Jagat dengan ujung tongkat yang diacungkan dan bagai mempunyai daya sedot cukup tinggi. Jika tidak begitu, maka tubuh Ki Tenung Jagatlah yang akan menjadi sasaran pisau-pisau aneh tersebut.

Syyuuurrpp...!

Jenggot Biru lepaskan jurusnya berupa sinar kuning keputih-putihan yang tahu-tahu menyergap kedua tubuh anak muda itu. Jiaabb...! Dan tubuh Yoga serta Sri Tanding terperangkap dalam sebuah kotak besar. Kotak tersebut bukan terbuat dari kayu, melainkan dari gumpalan batu es yang membeku keras. Tubuh mereka bagaikan ada di dalam bongkahan batu es bercahaya putih menyilaukan.

Pendekar Rajawali Merah berusaha bergerak, namun tak dapat. Tubuhnya bagaikan membeku menjadi satu dengan gumpalan es besar itu, merapat kuat dengan tubuh Sri Tanding. Tak ada ruang gerak sedikit pun, sehingga mereka yang bisa terlihat dari luar itu, kelihatan sedang kebingungan mengambil napas.

"Heh, heh, heh, heh...!" Jenggot Biru tertawa pelan, terkekeh dengan suara tuanya melihat Sri Tanding dan Pendekar Rajawali Putih tak bisa berkutik. Ia pun berkata kepada Putri Kumbang, "Pendekar Rajawali Merah tak akan bisa lepaskan diri, karena tak ada ruang dan kesempatan bagi jantungnya untuk berdetak. Ia akan mati membeku di sana bersama gadis malang itu."

Putri Kumbang tersenyum girang sambil berkata, "Kurasa tak lebih dari dua puluh hitungan mereka sudah tidak bernyawa lagi!"

"Tindakan yang tepat, Jenggot Biru!" kata Resi Panuluh, sementara Putri Kumbang berjalan dekati balok es besar tersebut.

Tapi tiba-tiba ketika Putri Kumbang berada dalam jarak dua langkah dari balok es besar tersebut, tiba-tiba balok es itu pecah dalam satu sentakan yang amat kuat. Praakkk...! Serpihan balok es Itu memercik mengenai wajah Putri Kumbang.

"Auuuh...!" Putri Kumbang menjerit. Pecahan balok es itu runcing-runcing dan sebagian menembus wajah Putri Kumbang, bagaikan pecahan kaca yang amat tajam. Pecahnya balok es itu membuat Jenggot Biru tersentak kaget dengan mata mendelik. Yang lainnya pun terkesiap dan menjadi tegang seketika itu juga. Langkah mereka sempat mundur setindak dan masing-masing siap dengan kuda-kuda mereka.

Yoga dan Sri Tanding masih berpelukan, tapi kaki mereka lemas bagaikan tak bertulang. Bagi Yoga hal itu hanya dirasakan sekejap saja. Setelah napasnya banyak menghirup udara segar, ia kembali berdiri, dan Sri Tanding masih terpuruk pegangi kaki Yoga dengan napas megap-megap.

Putri Kumbang sibuk melepasi pecahan balok es yang menghunjam kulit wajahnya dan membuat darahnya membasahi wajah cantik itu. Sedangkan Jenggot Biru hanya membatin,

"Mampu juga ia memecahkannya?! Padahal tak ada ruang sedikit pun yang bisa digunakan untuk bergerak? Atau... mungkin ada pihak lain yang turut campur dalam masalah ku ini?"

Wuuuttt...! Sekelebat bayangan biru melesat masuk ke lingkaran kepung mereka. Kehadiran seorang pemuda tampan membuat mereka saling terperanjat dan kian waspada lagi.

"Pandu...!" cetus Yoga sedikit kaget melihat kedatangan Pandu Tawa yang sedang dalam perjalanan ke Bukit Tulang Iblis itu.

"Bersiaplah untuk lari. Yoga! Kau akan terdesak melawan mereka jika tidak larikan diri. Kekuatan mereka jika sedang bergabung begini akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Mereka bukan orang-orang berilmu rendah!" kata Pandu Tawa dengan suara pelan dan mata memandang penuh waspada kepada orang-orang yang mengepungnya.

Sri Tanding sudah pulih dan bisa berdiri kembali walau tetap berpegangan lengan Yoga. Sementara itu, terdengar suara Jenggot Biru berseru kepada Pandu Tawa, "Anak muda! Menyingkirlah agar kau tak menjadi korban kami!"

Pandu Tawa tidak hiraukan seruan itu, sebab ia mendengar Yoga ajukan tanya bersuara lirih, "Bagaimana dengan Lintang Ayu?"

"Sudah pergi ke Bukit Berhala bersama Bocah Bodoh." "Bocah Bodoh sudah bebas?"

"Sudah! Lekas tinggalkan tempat ini begitu aku melepaskan 'Racun Tawa' ku, Yoga!"

Ki Tenung Jagat lebih dulu melepaskan pukulan bergelombang tanpa warna. Gelombang panas yang mampu melelehkan baja itu dihadapi oleh Pendekar Rajawali Merah dengan pukulan gelombang dinginnya.

Wuuttt...! Wuusss...! Blaarrr...!

"Hah, hah, hah, hah, hah, hah...!" Pandu Tawa tertawa keras dan terbahak-bahak. 'Racun Tawa' disebarkan, membuat Jenggot Biru tersenyum-senyum, Putri Kumbang terkikik geli. Resi Panuluh terkekeh-kekeh, sedangkan Shogun Kogawa dan Ki Tenung Jagat tetap diam membisu.

Ketika Yoga dan Sri Tanding punya kesempatan melarikan diri, Pandu Tawa mengikutinya dari belakang, membiarkan lawan mereka tertawa-tawa. Tapi Ki Tenung Jagat dan Shogun Kogawa mengejar mereka.

ENAM
KEDUA pengejar itu menggunakan jurus peringan tubuh yang cukup tinggi. Shogun Kogawa berkelebat di atas pohon. Dari dahan ke dahan ia mampu berlari sangat cepat bahkan menyerupai seekor burung gagak terbang di sela-sela dahan pohon. Setiap pohon yang digunakan berpijak oleh kakinya, tidak pernah timbulkan suara ataupun gerakan yang mencurigakan.

Bahkan suara getar pohon yang dipakai berlari itu pun nyaris tidak terlihat atau terdengar oleh siapa pun. Jika bukan orang yang menguasai ilmu peringan tubuh, tak mungkin dapat lakukan kehebatan seperti itu. Sedangkan Ki Tenung Jagat justru tidak kelihatan lewat mana ia mengejar Yoga dan Sri Tanding.

Sementara itu, Pandu Tawa yang mengikuti arah pelarian Yoga pun tidak melihat gerakan Ki Tenung Jagat. Hanya saja, ketika mereka tiba di kaki bukit cadas, tahu-tahu orang bertongkat putih dengan rambut uban panjang meriap itu sudah berdiri menghadang langkah mereka. Mau tak mau Yoga pun hentikan langkahnya.

Sri Tanding sempat terkesiap sejenak dan Pandu Tawa terperangah, namun sudah tidak terlalu merasa heran melihat orang berambut panjang sudah berada di depannya. Pandu Tawa sudah dapat mengukur tingginya ilmu Ki Tenung Jagat yang dikenalnya beberapa waktu yang lalu itu. Pantas jika Ki Tenung Jagat mampu bergerak secepat itu. Karena dulu Pandu Tawa pernah kehilangan jejak waktu mengejar Ki Tenung Jagat untuk suatu keperluan sendiri.

"Gila! Orang itu seperti setan. Tahu-tahu sudah muncul di depan kita!" geram Sri Tanding dengan menyimpan rasa kagum terhadap kecepatan bergeraknya Ki Tenung Jagat.

Shogun Kogawa muncul jauh di belakang Ki Tenung Jagat. Rupanya ia hampir saja meninggalkan buruannya karena kecepatan bergeraknya dari pohon ke pohon. Ia segera kembali dan bergabung dengan Ki Tenung Jagat.

"Pandu Tawa, apakah kita harus melawan orang-orang itu dan menimbulkan bencana bagi mereka?" tanya Yoga sambil tetap memandang kedua lawannya dalam jarak sekitar sepuluh langkah itu.

"Kurasa demi mempertahankan diri, jika mereka bermaksud mencelakai kita, tak ada salahnya jika kita lakukan pembelaan diri, walau untuk itu terpaksa mengorbankan diri mereka," jawab Pandu Tawa. "Tapi sebaiknya kucoba dulu untuk membujuk mereka agar tidak menyerang kita, Yoga. Kau tetaplah di tempat bersama gadismu itu dan berjaga-jagalah setiap saat!"

"Sri Tanding bukan gadisku, Pandu Tawa. Ia sahabat kita!"

Pandu Tawa tersenyum sekejap, lalu tampil ke depan dan berseru kepada kedua lawannya itu, "Ki Tenung Jagat, kusarankan agar di antara kita tidak perlu saling bermusuhan lagi!"

"Terpaksa harus bermusuhan, Pandu Tawa! Karena kami tidak menghendaki aliran rajawali ikut hadir dalam pemilihan nanti!"

"Aku memang tidak akan mencalonkan diri!" sahut Yoga yang maju hingga berdiri berjajar dengan Pandu Tawa. "Aku tidak akan terpilih sebagai hakim dan Pendekar Maha Sakti, karena aku kurang setuju dengan acara seperti itu, Ki Tenung Jagat!"

"Untuk meyakinkan kami, kau harus kami lumpuhkan lebih dulu!" kata Ki Tenung Jagat bagaikan sukar diajak berembuk lagi.

"Agaknya kita tak punya pilihan lain. Yoga!"

Sri Tanding menimpali, "Serang saja mereka daripada mereka yang serang kita!"

"Tunggu dulu, biar aku yang bicara pada kedua orang itu," cegah Yoga, lalu ia berkata kepada Ki Tenung Jagat, yang mewakili mereka.

Tetapi belum sempat Yoga bicara, tiba-tiba dari arah belakang muncul tiga orang yang telah berhasil atasi Racun Tawanya Pandu Tawa. Mereka adalah Jenggot Biru, Putri Kumbang, dan Resi Panuluh. Putri Kumbang segera berseru dengan nada marah,

"Pandu Tawa! Terimalah pembalasan atas pelecehan mu kepada kami!"

Baru saja Pandu Tawa ingin lakukan sesuatu, tapi tiba-tiba dari mata Putri Kumbang telah keluarkan sinar ungu yang menghantam ke dada Pandu Tawa.

Claappp...!

Selarik sinar ungu itu segera disambar oleh tangan Yoga yang tepat berada di samping Pandu Tawa itu. Telapak tangan yang membara merah, dengan bagian jarinya tidak ikut membara, segera menangkap sinar ungu tersebut. Zruubbb...! Lalu menggenggamnya sesaat dan melemparkan sinar yang telah tergenggam itu ke arah bukit cadas.

Blegaarrr...!

Dengan gunakan jurus Tolak Guntur'-nya. Yoga berhasil selamatkan jiwa Pandu Tawa. Tetapi akibatnya, ledakan dahsyat itu bukan saja memecahkan bukit cadas saja, melainkan juga mengguncangkan bumi begitu hebat, sehingga tak satu pun dari mereka ada yang tegak berdiri. Gemuruh ledakan itu bagaikan membahana sampai ke mana-mana dan menimbulkan angin kencang mirip badai.

Sri Tanding jatuh menindih Pandu Tawa, sementara itu Yoga terlempar empat tindak dari samping Pandu Tawa. Di sisi lain, Shogun Kogawa terkapar karena tanah yang dipijaknya bagaikan mencuat naik dan melemparkannya. Ki Tenung Jagat tersungkur roboh tak bisa bertahan tegak. Jenggot Biru terhempas agak jauh dari tempatnya semula, dan Putri Kumbang jatuh terkapar dengan tertindih badan gemuknya Resi Panuluh.

Mereka hampir saja tergencet sebatang pohon yang tumbang dalam jarak satu langkah dari tempat mereka saling bertumpuk. Sedangkan pohon-pohon lainnya pun tumbang tak beraturan lagi. Bukit cadas itu hancur seperempat bagian. Debunya menyebar ke mana-mana. Bahkan sempat membungkus tubuh Shogun Kogawa.

Ketika gemuruh dan guncangan bumi reda. Mereka mulai bangkit satu persatu. Shogun Kogawa menggerutu tak jelas sambil menepis-nepiskan debu dari pakaiannya. Rambut kuncirnya menjadi coklat keputihan karena dibungkus debu cadas itu.

Putri Kumbang tampak berdarah mulutnya, dan Resi Panuluh segera membantunya berdiri. Jenggot Biru tidak mengalami cedera apa pun, demikian pula Yoga, Sri Tanding, dan Pandu Tawa. Namun Ki Tenung Jagat berdarah dagunya karena tersungkur ke tanah sangat keras.

Hal yang membuat mereka terkejut begitu guncangan itu berlalu adalah kemunculan seseorang yang sudah berdiri di sisa pecahan bukit cadas yang tak seberapa tinggi itu. Seseorang yang berdiri di sana tampak memperhatikan keadaan sekitar mereka dengan wajah lembut, tanpa kesan bermusuhan. Bahkan ada seulas senyum yang mekar di bibirnya dengan tipis.

Orang tersebut adalah perempuan berjubah kuning gading, berwajah cantik seperti berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, tapi sebenarnya usianya lebih dari enam puluh tahun. Bahkan menurut Jenggot Biru yang mengenal perempuan itu, usia tersebut mencapai tujuh puluh tahunan. Perempuan itu cantik dan berbadan sekal dengan pakaian dalam jubah berwarna coklat muda.

Perempuan cantik berwajah lonjong dengan hidung mancung dan bibir sedikit tebal bagian bawahnya itu mempunyai rambut hitam yang digelung. Dan pada gelungannya dililit logam kuning emas berhiaskan bebatuan warna-warni. Putri Kumbang, Ki Tenung Jagat dan Resi Panuluh cukup kenal dengan perempuan tersebut, tetapi Shogun Kogawa belum mengenalnya. Tetapi ketika Ki Tenung Jagat membisikkan nama perempuan itu, Shogun Kogawa segera manggut-manggut pertanda memahami siapa perempuan itu.

Sri Tanding terkejut saat melihat perempuan tersebut, dan segera berseru, "Nyai Guru...?!"

Maka Yoga pun tahu bahwa orang tersebut ternyata adalah Ratu Candra Wulan, guru dari Sri Tanding. Pandu Tawa sempat terpana sesaat memandangi kecantikan Ratu Candra Wulan itu. Shogun Kogawa tiba-tiba melesat tinggi dan menerjang Ratu Candra Wulan. Tetapi perempuan itu melompat ke arah lain dan turun dari tanah tinggi.

Shogun Kogawa bagaikan kecele menerjang tempat kosong yang membuatnya clingak-clinguk mencari lawan yang ingin diserangnya tadi. Terpaksa Shogun Kogawa kembali turun dan lepaskan satu serangan tenaga dalam bergelombang besar melalui kibasan tangan kanannya.

Tetapi Ratu Candra Wulan tidak mau membiarkan serangan itu menghantamnya. Ia lekas-lekas menyentakkan tangan kanannya ke kiri sambil tubuhnya meliuk ke belakang, dan seberkas sinar kuning pecah menyergap Shogun Kogawa.

Blaarrr...!

Sinar itu beradu dengan pukulan bergelombang besar dari Shogun Kogawa yang membuat lelaki bersenjata samurai itu terhempas ke belakang dengan sangat kuatnya. Tubuh itu membentur dinding bukit cadas dan membuat tubuh itu terbenam ke dalam dinding cadas karena kuatnya benturan tersebut.

Shogun Kogawa bagaikan terkubur di sana, namun mampu keluar setelah menjebol dinding kanan-kirinya. Ia tampak marah besar kepada Ratu Candra Wulan, namun gerakannya segera dicegah oleh Ki Tenung Jagat dengan menghadangkan tongkatnya.

"Tahan dulu!" katanya dengan suara datar.

Sri Tanding segera dekati gurunya dan berkata, "Mereka mengepung kami dan mengincar Pendekar Rajawali Merah, Nyai Guru!"

"Larilah kalian. Kuhadapi sendiri mereka!" ucap Ratu Candra Wulan dengan wajah tetap ramah dan tak ada kesan marah.

"Candra Wulan!" seru Jenggot Biru, "Perkara kita yang dulu sudah berakhir. Jangan lagi kau bikin perkara baru denganku!"

"Aku hanya melindungi muridku, Jenggot Biru!" kata Ratu Candra Wulan.

"Muridmu tidak akan kami ganggu semasa dia tidak berada di dekat Pendekar Rajawali Merah!"

"Itu urusan mereka, mau berdekatan atau berjauhan, yang jelas aku hanya akan melindungi muridku!" kata-katanya tegas tapi wajahnya selalu berkesan lembut dan ramah.

"Secara tidak langsung kau ingin melindungi Pendekar Rajawali Merah juga, Candra Wulan!" sahut Resi Panuluh. "Dan pemuda tampan yang satunya pun akan kau lindungi juga? itu sama saja kau ingin melawan kami, Candra Wulan!"

"Resi Panuluh yang sakti, kalau kesimpulanmu begitu aku tak pernah menghindar dari tantangan siapa pun!"

Putri Kumbang berseru, "Wajah manis pembawa racun dendam! Kau akan berurusan denganku setelah kau bunuh dua muridku tiga tahun yang lalu. Hiiaatt...!"

Tangan Putri Kumbang menyentak cepat ke depan, lalu bersikap biasa-biasa lagi. Tapi sentakan tangan itu telah menghamburkan puluhan jarum yang menyerang ke tubuh Ratu Candra Wulan. Sayang sekali puluhan jarum itu tiba-tiba jatuh tertumpuk di depan kaki Ratu Candra Wulan ketika dipandanginya tak berkedip beberapa kejap. Ratu Candra Wulan lumpuhkan serangan jarum hitam berpuluh-puluh jumlahnya, dan membuat Putri Kumbang menjadi geram. Matanya menatap tajam penuh amarah.

Lalu kedua jari telunjuk dipertemukan di depan mulut, dan jari-jari itu ditiupnya. Tiupan itu timbulkan suara denging tipis. Beberapa saat kemudian, datanglah segerombolan lebah dari berbagai arah. Lebah-lebah itu menggaung bagaikan suara setan dan jumlahnya mencapai seratus lebah dari berbagai arah.

Sri Tanding, Yoga, dan Pandu Tawa terkejut melihat pasukan lebah menyerang mereka. Tapi Ratu Candra Wulan tetap tenang dan tidak menampakkan ketegangan dalam wajahnya. Ia bahkan berkata dengan suara pelan tapi didengar oleh Yoga, Sri Tanding, dan Pandu Tawa.

"Akan ku halau lebah-lebah itu, dan kalian cepat larikan diri ke arah timur. Angin berhembus dari timur dan lebah-lebah itu tak akan mengejar kalian ke sana!"

Pasukan lebah atau kumbang penghisap madu itu mulai menyergap mereka dan membuat Shogun Kogawa undurkan langkah beberapa tindak dengan rasa cemas. Tapi Ki Tenung Jagat tetap tenang pandangi binatang-binatang yang nyaris menutup cahaya langit itu.

Ratu Candra Wulan rapatkan kedua telapak tangannya di dada, kemudian disentakkan ke atas secara bersamaan. Dari telapak tangan itu berhamburan warna-warni dari asap yang menyebarkan bau bangkai. Kumbang atau lebah-lebah hutan itu pun mulai beterbangan tak tentu arah bagai terhempas kekuatan angin berasap bangkai.

Mereka ada yang terbang melintasi kepala Shogun Kogawa, bahkan ada yang singgah di tubuh orang bersamurai itu. Akibatnya Shogun Kogawa repot menepiskan lebah-lebah itu. Bahkan pasukan lebah yang menyebar ternyata hinggap di tubuh-tubuh mereka, sementara Sri Tanding, Yoga, dan Pandu Tawa cepat-cepat larikan diri.

Ratu Candra Wulan berhasil membuat mereka sibuk menghalau lebah yang ingin menyengat tubuh mereka, sehingga tak satu pun ada yang perhatikan pelarian ketiga orang tersebut. Ketika lebah-lebah itu berhasil dihalau oleh mereka, dan pergi beterbangan ke mana-mana, mereka baru sadar bahwa Yoga telah hilang dari pandangan mata mereka.

"Dia telah mengecohkan kita!" teriak Resi Panuluh. "Kejar pemuda bertangan buntung tadi!"

Jenggot Biru yang berkelebat lebih dulu mengejar Yoga. Tetapi Ratu Candra Wulan segera gunakan ilmu tenaga ringannya untuk berlari lebih cepat dari Jenggot Biru. Ia tiba di jalanan depan Jenggot Biru dan menghadang di sana.

"Kuingatkan padamu, Candra Wulan... menyingkirlah dari hadapanku, supaya aku tidak melukaimu!"

"Kau tak akan mampu melukaiku, Jenggot Biru."

"Kau ingin mencobanya? Baik! Heaah...!"

Jenggot Biru menghentakkan satu kakinya ke tanah, dan tubuh Ratu Candra Wulan terlempar ke atas. Untung ia cepat kuasai keseimbangan tubuhnya, sehingga mampu bersalto dan menendang ke arah Jenggot Biru. Tetapi telapak tangan Jenggot Biru segera menghantam telapak kaki Ratu Candra Wulan, sehingga perempuan itu terpental dengan kerasnya.

Hantaman telapak tangan tersebut mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, membuat Ratu Candra Wulan sempat keluarkan darah dari mulutnya. Padahal yang di hantam adalah telapak tangannya, namun kekuatan itu agaknya tembus sampai ke dada Ratu Candra Wulan.

"Peringatan pertama kuberikan padamu, Candra Wulan. Kalau kau masih nekat mau halangi kami, kau akan kehilangan hidup selamanya!" gertak Jenggot Biru dengan mata dinginnya.

"Aku tak peduli," jawab Ratu Candra Wulan yang tetap tanpa wajah marah.

Hal itu membuat Jenggot Biru menjadi sangat jengkel. Sementara itu, mereka yang memihak Jenggot Biru segera mengepung Ratu Candra Wulan yang menurutnya perlu disingkirkan lebih dulu sebelum menyingkirkan Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih nantinya.

Rupanya perempuan berjubah kuning gading itu tidak merasa gentar mengetahui dirinya terkurung oleh tokoh-tokoh sakti itu. Wajahnya pun tidak terlihat cemas ataupun tegang. Hanya matanya yang memandang penuh waspada terhadap orang-orang yang mengitarinya.

"Jika kau memang ingin mengadu kesaktian denganku, datanglah ke Bukit Tulang Iblis. Kita bertarung di arena sana!" kata Jenggot Biru.

"Sudah ku wakilkan kepada muridku Sri Tanding sebagai bekal pengalamannya kelak di masa mendatang," jawab Ratu Candra Wulan. "Aku tak punya waktu untuk menghadiri pertemuan tersebut. Tapi aku selalu punya waktu jika ada yang mengusik orang-orangku."

Resi Panuluh melompat bagaikan seekor harimau ingin menerkam mangsanya. Ratu Candra Wulan hanya berpaling, kemudian kepalanya bergerak menyentak ke kiri, dan tubuh Resi Panuluh terlempar ke kiri dengan sangat kuatnya.

Demikian pula Ki Tenung Jagat yang melemparkan tongkatnya dan tongkat itu membara merah bahkan mempunyai semburan api di bagian depannya. Ratu Candra Wulan mengibaskan kepalanya, dan tongkat itu terbang ke arah lain, nyaris mengenai Putri Kumbang.

Wuuttt...!

"Heaaah...!" Shogun Kogawa kembali menyerang dengan mencabut samurainya. Tapi Ratu Candra Wulan gerakkan kepala dari menunduk menjadi menyentak naik, dan tubuh Shogun Kogawa terjungkal ke belakang beberapa kali putaran. Akhirnya jatuh dengan leher terlipat.

Putri Kumbang yang ingin sentakkan tangan untuk lepaskan tenaga dalamnya lagi itu, sudah lebih dulu terpental ke kiri karena Ratu Candra Wulan memandanginya dan menggerakkan kepalanya ke kanan dalam satu sentakan pendek. Bruuss...! Putri Kumbang mencium tanah sejadi-jadinya. Hal itu membuat Jenggot Biru kian bertambah panas hatinya.

"Heaah...!" Ia melompat dan melayang di udara bagaikan terbang. Tangannya tersentak ke depan lepaskan pukulan berkekuatan tinggi, dan pukulan tersebut disambut oleh Ratu Candra Wulan dengan telapak tangan membuka dan menyentak ke depan. Pukulan beradu dan menimbulkan suara gemuruh.

Tapi pada saat itu tubuh Ratu Candra Wulan juga melesat naik ke atas hingga melebihi pucuk-pucuk pepohonan. Jenggot Biru dan Ratu Candra Wulan beradu tangan di angkasa. Mereka saling pukul dan saling tangkis dengan gerakan yang luar biasa cepatnya dalam keadaan tubuh turun ke bumi.

Plak, plak, plak, plak...! Baaahg...! Duaaar...!

Brrrukkk...! Napas perempuan itu tersendat. Ia jatuh tergolek di tanah dalam keadaan wajah membiru dan dadanya kepulkan asap putih. Sedangkan Jenggot Biru masih tetap tegak berdiri dengan telapak tangan kepulkan asap putih juga.

Rupanya Ratu Candra Wulan telah terkena dua kali pukulan dahsyat dari Jenggot Biru. Ia terluka parah bagian dalamnya dan tak bisa berdiri lagi. Pada saat itu, Jenggot Biru sudah berada di puncak kemarahannya. Maka, ia pun bermaksud menghancurkan tubuh Ratu Candra Wulan. Kedua tangannya dari telapak ke ketiak membara merah bagaikan tangan-tangan lahar.

Ratu Candra Wulan mengetahui adanya bahaya maut yang akan menyerangnya, namun ia tak kuasa kerahkan tenaga perlawanan. Ketika Jenggot Biru ingin lampiaskan kemarahannya dengan pukulan ganda bertangan membara itu, tiba-tiba sekelebat bayangan menyambar tubuh Ratu Candra Wulan.

Wuuttt...! Zlaappp...!

"Siapa itu tadi?!" teriak Resi Panuluh dengan kaget.

"Tak jelas!" jawab Putri Kumbang.

Bayangan yang menyambar tubuh Ratu Candra Wulan itu dalam sekejap tak terlihat lagi wujudnya. Bahkan warna bayangannya pun tak terlihat. Angin kelebatannya pun tak terasa lagi. Cepat sekali orang itu menghilang dari pandan-gan mereka, dan itu menunjukkan bahwa orang yang menyambar Ratu Candra Wulan bukan orang sembarangan. Setidaknya mempunyai ilmu sejajar tingginya dengan mereka, atau mungkin lebih tinggi dari mereka.

Ratu Candra Wulan seperti baru saja berkedip, tahu-tahu sudah berada di suatu tempat yang berbeda dengan tempat di mana ia dikurung oleh orang-orang berilmu tinggi itu. Perempuan tersebut merasa ada seseorang yang menyela-matkan dirinya. Bahkan ia juga merasakan luka parah yang diduga akan menewaskan dirinya itu, ternyata sudah lenyap dengan gaibnya.

Tubuh Ratu Candra Wulan kembali segar, seakan tak pernah menerima luka parah dari lawannya. Ia berdiri, memandang sekeliling, menyapu seluruh tempat dengan sorot matanya yang lembut, menemukan sepi yang membentang luas di sana. Akhirnya Ratu Candra Wulan berkata sedikit keras.

"Siapa pun dirimu, kuucapkan terima kasih banyak atas penyelamatan mu. Tapi izinkan aku mengenali diri mu, Dewa Penolong!"

Beberapa saat kemudian terdengar suara, "Aku hanya mencari cucuku dan ingin menemuinya. Tapi yang kutemukan adalah dirimu dalam bahaya!"

"Tak bolehkah aku menemui, Sobatku?!"

Beberapa kejap berikut, muncul seorang lelaki berjenggot dan berkumis putih, tubuhnya kurus, rambutnya digulung ke atas warna putih rata. Usianya lebih dari delapan puluh tahun, mungkin mencapai seratus tahun lebih. Ratu Candra Wulan kaget melihat lelaki berjubah putih itu.

"Oh, rupanya kaulah orangnya, Ki Wejang Keramat?!"

* * *

TUJUH

PERTARUNGAN menjelang saat pertemuan di Bukit Tulang Iblis bukan hanya terjadi di kaki bukit cadas, tapi juga di tepi sebuah sungai berair bening. Pertarungan itu jelas bersumber dari masalah pertemuan di Bukit Tulang Iblis. Hanya saja, dilihat sepintas pertarungan itu sepertinya tidak seimbang, yaitu antara Selendang Badai dengan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, mengenakan pakaian coklat dan ikat kepala hitam pada rambut tipisnya berwarna putih itu. Orang tersebut tak lain adalah Si Tua Usil, pelayan dari Yoga dan Pendekar Rajawali Putih.

Persoalannya cukup sepele, namun gawat juga bagi dunia persilatan. Selendang Badai menyempatkan diri untuk membasuh wajahnya dengan air sungai yang jernih segar itu. Pada saat ia membasuh wajah, ia melihat bayangan seorang lelaki di atas pohon rindang. Ia menyangka lelaki itu sedang mengintainya, padahal ia sedang beristirahat menikmati hembusan angin semilir yang mengantukkan itu.

Selendang Badai yang salah duga itu segera melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan gerakan cepat membalik badannya. Wuuttt...! Braasss...! Pukulan bergelombang panas menyen-gat itu menerpa dedaunan, mematahkan dahan dan ranting. Tetapi orang yang disangka mengintai dirinya itu tidak ada di tempat. Selendang Badai semakin curiga. Ketika ia berbalik arah, ternyata orang tersebut sudah berdiri di atas sebuah batu sambil bersunggut-sungut.

"Kau ini jahat sekali! Ada orang sedang istirahat dan hampir tertidur kau ganggu dengan pamer ilmu macam begitu?!"

"Siapa kau, hah?!" bentak Selendang Badai sambil mendekat sampai berjarak sekitar tiga tombak.

"Aku orang baik-baik. Aku sering dipanggil dengan nama Tua Usil! Tapi aku sudah tak pernah usil lagi sejak jadi pelayan Nona Li!"

"Tua Usil...?" Selendang Badai berkerut dahi tajam sekali, ia sempat sedikit tundukkan kepala karena berpikir keras. Beberapa saat kemudian ia melihat Tua Usil melompat dekati dirinya sambil berkata,

"Apakah kau pernah mendengar namaku, Nona cantik?"

"Hmmm...! Kalau tak salah, kaulah orang yang dikenal sebagai pemilik Pusaka Hantu Jagal?!"

"O, ya! Betul itu! Aku yang memilikinya!"

Selendang Badai manggut-manggut, hatinya berkata, "Sangat kebetulan sekali aku bertemu dengan orang ini dalam keadaan sepi. Aku akan merebut pisau pusaka itu, dan akan kugunakan di pertarungan nanti! Dengan bermodalkan pusaka itu, setidaknya aku bisa menyerap ilmu para tokoh sakti yang akan kuhadapi di pertarungan nanti!"

Tua Usil yang memandang dengan mata sedikit menyipit, karena ingin menikmati sebentuk wajah yang menurutnya sangat cantik itu, segera tersenyum bagai seringai kuda. Lalu ia perdengarkan suara, "Nona cantik, kenapa kau termenung melamun diri? Apakah kau terkesan dengan ketampanan ku?"

Selendang Badai yang sebenarnya berwajah setengah tua itu memaksakan diri untuk tersenyum. Ia berkata, "Ya, aku memang terkesan dengan ketampanan mu. Hmmm... apakah kau sudah beristri, Tua Usil?"

"O, belum! Belum sekali!" jawab Tua Usil mulai bersemangat dan hatinya berdebar-debar. Rupanya ia punya minat terhadap Selendang Badai. Usia setengah tua seperti itulah yang mem-bangkitkan selera hidup Tua Usil. Ia semakin mendekati Selendang Badai. Dan perempuan itu semakin melebarkan senyum pemikat hati Tua Usil.

"Aku juga sudah tidak bersuami lagi. Namaku Selendang Badai!"

"Wow...! Nama yang bagus dan enak didengar. Suatu kebetulan jika kita bertemu tanpa suami dan tanpa istri."

"Memang benar," kata Selendang Badai sambil berpaling ke arah lain dan jauhi Tua Usil dua tindak. Ia berlagak malu-malu kucing. Sedangkan Tua Usil memang kucing yang malu-malu mau. Maka perempuan itu pun semakin didekatinya. Ia mendengar Selendang Badai berkata,

"Sudah lama aku merindukan seorang suami sebagai teman hidupku. Tapi tak pernah ada yang cocok di hatiku. Baru sekarang aku menemukan seorang lelaki yang langsung menyentuh hatiku."

"Akukah orang yang kau maksud, Selendang Badai?"

"Benar," sambil Selendang Badai berpaling memandang Tua Usil. "Kau memang orang yang ku maksud. Tapi...," Selendang Badai berpura-pura sedih, membuat Tua Usil menjadi ingin tahu.

"Tapi kenapa, Selendang Badai?"

"Tapi aku punya persoalan yang tak bisa ku atasi!"

"Persoalan apa, katakan saja padaku. Aku siap membantumu!"

"Aku mempunyai musuh terberat dalam hidupku. Dia selalu mengejar-ngejar ku dan memaksa aku untuk menjadi istrinya. Aku sudah melawannya, tapi tak pernah menang, karena dia cukup sakti. Dia hanya bisa dibunuh ataupun dilukai dengan Pusaka Hantu Jagal."

"Hah...?!" Tua Usil kaget.

"Iya. Hanya dengan pusaka itu dia bisa kukalahkan. Padahal aku tidak mempunyai pusaka tersebut. Aku harus mencarinya, tapi ke mana akan kucari pusaka itu? Aku tidak tahu, Tua Usil!"

"Lho, akulah pemilik pusaka itu!"

"O, ya...?!" Selendang Badai berlagak kaget dan girang.

"Akulah orang yang mempunyai Pusaka Hantu Jagal dan sampai sekarang masih ada padaku! Bagaimana kalau kau pertemukan aku dengan lawanmu itu, biar kuhabisi dia agar tak mengganggumu lagi."

"O, jangan. Nanti kau terluka dan aku sedih kalau kau terluka. Sebaiknya, pinjamkan pusaka itu padaku Tua Usil. Biar kuhadapi sendiri lawanku itu!"

"Pinjamkan...?" Tua Usil mulai bimbang.

"Sebentar saja, Tua Usil. Nanti akan kukembalikan!" bujuknya dengan berlagak murung.

Tua Usil diam menimbang-nimbang keputusannya. Setelah itu ia memandang Selendang Badai. Perempuan berwajah murung itu membuat hati Tua Usil iba. Karena ia berharap dapat melanjutkan hubungan dengan perempuan yang se-suai dengan seleranya itu, maka. Tua Usil pun berkata kepada Selendang Badai,

"Tapi... tapi nanti akan kau kembalikan pisau itu?"

"Benar. Tua Usil! Akan kukembalikan bersama hati ku untukmu!"

"Ooh...?!" Tua Usil tersenyum, hatinya berdebar-debar. Ia mendekap dadanya sendiri dalam keceriaan yang penuh khayalan.

Maka, Tua Usil pun segera mengeluarkan pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik baju coklatnya. Pisau itu di pandangi sesaat, seperti masih ada keraguan di hati Tua Usil untuk menyerahkannya.

Mata Selendang Badai berbinar-binar melihat pisau yang sarung dan gagangnya berlapis emas berukir itu. Tak sabar rasanya untuk segera merampas. Tapi Selendang Badai menahan hasratnya, karena ia takut akan gagal jika dengan cara merampasnya. Maka, ia pun menunggu dengan hati berdebar-debar. Ia sempat berkata dengan suara dibuat sedih.

"Ayah dan ibuku sudah dibunuh oleh orang itu, sedangkan aku ingin dikawininya. Aku sakit hati sekali dan tak akan bisa tenang jika be-lum bisa membalas dendam kepadanya. Percuma aku hidup berdampingan dengan seorang suami tercinta, segudang harta dan kemewahan, jika aku belum bisa melampiaskan dendam ku kepada Raja Badik itu!"

"Raja Badik?" gumam Tua Usil dengan heran, merasa belum pernah mendengar nama tersebut di rimba persilatan. Padahal Selendang Badai hanya mengarang nama tersebut asal-asalan saja.

"Iya. Raja Badik itu memang jahat dan tubuhnya kebal senjata!"

Tua Usil menarik napas, lalu berkata, "Baiklah, kuserahkan pisau pusaka ini. Ku pinjamkan kepadamu dan lampiaskan dendammu pada orang jahat itu! Pisau ini memang khusus kugunakan untuk melawan kejahatan."

"Oh, kau benar-benar menyenangkan hatiku, Tua Usil," katanya ketika menerima pisau Pusaka Hantu Jagal dari tangan Tua Usil.

"Kuharap kau pun dapat menyenangkan hatiku, Selendang Badai."

"O, ya. Ku usahakan sebisaku. Tapi kalau tidak bisa, jangan kecewa, Tua Usil. Karena sesungguhnya aku membenci pria yang bodoh seperti kamu, yang mau menyerahkan pusaka kepada wanita dengan sedikit rayuan saja. Hi hi hi hi...!"

Tua Usil terbengong dengan mata tak bisa berkedip. "Apa... apa... apa maksudmu, Selendang Badai?!"

"Pisau pusaka ini dulu ku idam-idamkan, tapi baru sekarang bisa berada di tanganku. Kalau saja pemilik pisau pusaka ini bukan orang bodoh, tentunya dia tidak akan melepaskan pisau ini ke tangan orang mana pun. Beruntung sekali nasibku hari ini, selain bisa mengelabuhi seorang lelaki, juga bisa mendapat pisau Pusaka Hantu Jagal!"

Tua Usil bingung bercampur curiga melihat Selendang Badai tertawa terkikik-kikik mirip kuntilanak. Maka, Tua Usil pun berkata, "Karena kau mau hidup bersamaku dan suka punya suami aku, maka kuserahkan pisau itu kepadamu, Selendang Badai!"

"Siapa yang mau hidup bersamamu? Siapa yang sudi punya suami macam kau, Tua Usil Hemm! Tak sudi aku menjadi istrimu! Aku hanya menyerangmu dengan rayuan agar pisau ini menjadi milikku! Hi hi hi!"

"Kuntilanak kempot!' bentak Tua Usil setelah sadar bahwa dirinya telah tertipu mentah-mentah oleh perempuan berpakaian jubah tanpa lengan warna biru dan mengalungkan selendang merah di lehernya.

"Kembalikan pisau itu!" Tua Usil semakin marah. Lebih geram lagi melihat Selendang Badai hendak melarikan diri. Langsung saja Tua Usil melompat dan mencegat di depan langkah Selendang Badai dengan lompatan bersalto melewati atas kepala perempuan tersebut.

"Kau ingin pisau ini memakan nyawamu sendiri, rupanya!" kata Selendang Badai kepada Tua Usil.

Maka, serta-merta Tua Usil melepaskan pukulan tenaga dalamnya lewat kelebatan lima jari berkuku hitam warisan ilmu dari Nyai Kuku Setan itu. Zlaapp...! Sinar hijau memencar ke lima arah, menghantam tubuh Selendang Badai, membuat tangan Selendang Badai tak jadi mencabut gagang pisau itu.

Sinar hijau itu hampir saja melukai tubuh Selendang Badai jika ia tidak segera lepaskan sinar penangkisnya melalui telapak tangan yang ingin mencabut pisau tersebut. Telapak tangan itu memancarkan sinar terang warna biru dan membuat serangan Tua Usil dapat dilumpuhkan.

Blaarrr...!

Ledakan menghentak kuat terjadi akibat benturan dua sinar tersebut. Tubuh Selendang Badai terhempas ke belakang dan berguling-guling. Pisaunya terlepas dari tangan, sedangkan Tua Usil hanya mundur beberapa tindak dari tempatnya semula. Melihat pisau itu jatuh ke tanah, Tua Usil segera melompat dengan cepatnya dan menyambar pisau tersebut.

Wuuttt...!

Pisau kembali berada di tangan Tua Usil. Selendang Badai menjadi berang dan segera berseru, "Serahkan pisau itu atau kuhancurkan tubuhmu, Tua Usil!"

Wanita berselendang merah itu segera menarik selendangnya dari lingkaran leher. Tua Usil melarikan diri karena tak mau melawan perempuan yang sempat menimbulkan kesan indah di hatinya walau hanya sekejap itu. Pelarian Tua Usil membuat Selendang Badai menjadi semakin berang. Maka, ia pun segera melecutkan selendangnya ke arah Tua Usil yang berjarak tujuh tombak darinya.

Wuuttt...! Blegaarrr...!

Cahaya biru melesat pecah bagaikan petir membelah bumi. Tua Usil jatuh tersungkur, karena lecutan selendang itu hadirkan angin badai yang menghembus sangat kuat dan cepat, bahkan sempat merobohkan dua pohon tak jauh dari Tua Usil berada.

Pada saat Tua Usil jatuh, pisaunya sudah disembunyikan di balik baju dan Selendang Badai melihat tempat penyimpanan tersebut. Maka Selendang Badai pun mengejarnya dengan cepat. Hanya saja langkahnya menjadi berat dan semakin berat karena ada angin kencang datang dari arah depannya.

"Keaak...! Keaaak...!"

Rupanya angin besar itu datang dari kepak sayap seekor burung Rajawali Putih berukuran besar. Tentu saja kepak sayap itu mempunyai kekuatan tenaga dalam sehingga dapat hasilkan angin kencang yang menahan gerakan tubuh Selen-dang Badai, seakan menentang hembusan badai yang amat kuat.

Seorang gadis berpakaian merah jambu dengan pedang perak yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua burung rajawali saling bertolak belakang itu, tampak menunggang burung tersebut dengan anggunnya. Pendekar Rajawali Putih itulah penunggang burung tersebut, yang segera turun begitu melihat Tua Usil dikejar oleh Selendang Badai.

"Burung keparat!" teriak Selendang Badai dengan geram. Maka ia pun segera mengibaskan selendang merahnya lagi di udara. Wuukkk...! Angin badai datang bersama ledakan guntur berkali-kali. Burung putih itu oleng ke kiri karena hembusannya. Lili segera melompat turun dari punggung burung yang terbang rendah seukuran pohon jati.

"Menjauhlah, Putih!" teriak Lili begitu tiba di darat. "Keaak...! Keaakk...!" burung itu pun terbang menjauh dengan sedikit oleng karena mengimbangi hembusan badai yang mengamuk.

"Tua Usil...! Lekas berlindung!" teriak Lili disela deru badai yang masih datang mengamuk karena selendang merah itu dikibas-kibaskan di udara. Suara angin badai itu bergemuruh bagai suara gunung meletus. Tua Usil tidak mendengar seruan Lili, namun melihat tangan Lili bergerak-gerak memberikan isyarat untuk berlindung. Maka Tua Usil merangkak dengan susah payah untuk berlindung di balik pohon besar berakar lebar.

Rupanya burung putih besar itu sengaja terbang belum sejauh dugaan mereka. Burung itu hanya terbang memutar arah. Kemudian dari atas belakang Selendang Badai yang sedang mengibas-ngibaskan selendangnya itu, mata burung tersebut keluarkan sinar putih perak yang menghantam pohon dl samping Selendang Badai.

Claapp...! Blegarr...!

Kreaakk...! Bruukkk...! Pohon itu hampir saja tumbang menggencet tubuh Selendang Ba-dai. Mau tak mau Selendang Badai melompat dengan menghentikan kibasan selendangnya. Badai pun reda, dan Lili pun punya kesempatan untuk segera lakukan serangan pembalasan.

Jurus 'Salju Neraka' digunakan oleh Lili. Tangan pendekar cantik itu menyemburkan busa-busa salju putih ke arah lawan. Tetapi dalam sekejap lawan sudah mampu kelebatkan kembali selendang merahnya. Buuttt...! Dan salju-salju yang ingin menyerangnya terbang ke mana-mana tak tentu arah. Bahkan kali ini Lili melihat sinar biru sedang melesat hendak menghantam Tua Usil akibat dari kibasan selendang merah tersebut. Ujung selendang yang menebarkan sinar biru itu tak di sadari oleh Tua Usil sehingga Lili berseru,

"Tua Usil, awaaas...!"

Lili sendiri berkelebat menghadang sinar tersebut dengan lepaskan pukulan berwarna pu-tih perak dari tangannya.

Blegaarr...!

Ternyata kekuatan sinar biru dari selendang merah darah itu cukup kuat, sehingga timbulkan ledakan yang mampu menghempaskan tubuh Lili dengan berjungkir balik dan membentur pohon besar. Duug...! Sedangkan Selendang Badai hanya terjengkang ke belakang akibat sentakan daya ledak tersebut. Tua Usil sendiri terpelanting ke arah kiri dan jaraknya menjadi jauh dengan Pendekar Rajawali Putih.

Rupanya ledakan itu mempunyai gelombang berbahaya yang mampu jebolkan dada la-wan. Kalau saja Lili tidak mempunyai lapisan te-naga dalam yang amat besar, maka dadanya akan jebol sebagai orang yang berada dalam jarak amat dekat dengan ledakan tadi. Lili memuntahkan da-rah merah dari mulutnya. Wajahnya pun menjadi pucat pasi.

"Nona Liliii...!" Tua Usil menjerit karena kaget dan cemas akan keselamatan Pendekar Rajawali Putih itu. Maka, serta merta Tua Usil menghampiri Lili dengan gerakan peringan tubuh yang cukup tinggi. Wuuttt...! Kurang dari satu kedipan, Tua Usil telah berhasil tiba dl samping Lili. la segera menolong Lili dengan kata kecemasan yang terlontar keras.

"Nona, Li...! Nona...! Sadar, Nona...!"

Pada waktu itu, Selendang Badai berteriak keras dalam kemarahannya yang ingin dilepaskan seluruhnya, "Habis sudah riwayat kalian! Heaaahhh...!" Selendang itu dikibaskan di atas kepala lalu dilepas dari tangannya.

Wuuuk...!

Selendang merah terbentang lurus dan kaku bagaikan lempengan baja yang meluncur cepat ke arah Lili dan Tua Usil. Keadaan itu sempat membuat Tua Usil kaget, lalu segera berdiri untuk menghadang serangan selendang yang berubah menjadi lempengan baja siap memenggal kepala.

Selendang itu menjadi amat tajam, terbukti sebatang pohon dilewatinya begitu saja dengan tanpa menimbulkan suara saat memotongnya. Namun beberapa kejap berikutnya pohon itu terpotong rata dan tumbang.

Pada saat selendang maut itu sudah mendekati Tua Usil, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kurus berjenggot panjang putih dan berkepala gundul, berdiri menghadang lajunya selendang tersebut. Lalu ketika selendang itu hendak menembus tubuhnya, dengan gerakan lunak orang tersebut menyentakkan tangannya ke depan. Wuuttt...! Selendang yang berubah menjadi baja maut itu berhasil ditahan dengan telapak tangan, lalu disentakkan ke depan dan kembali kepada pemiliknya.

Wuungng...! Clakk...!

Selendang itu menancap pada sebatang pohon setelah dua kali memotong pohon lainnya. Selendang Badai segera melompat menghindari gerakan balik selendang itu, karenanya selendang tersebut menancap di pohon belakangnya, lalu ditarik dan dikibaskan sebagai kain selendang setipis sutera itu.

"Resi Gumarang...?!" ucap Selendang Badai dengan geram. "Kau selalu ikut campur dalam masalah ku. Resi Gumarang?"

"Tidak selalu, Selendang Badai. Hanya jika kau bertindak kelewat batas, aku terpaksa ikut campur. Itu pun baru sekarang setelah aku turun kembali ke dunia persilatan ini, Selendang Badai!"

"Orang ini berbahaya. Tahu persis kelemahan ku. Sebaiknya ku tinggalkan saja dan segera menuju ke Bukit Tulang Iblis!" pikir Selendang Badai. Maka, setelah mendengus kesal, ia pun pergi tinggalkan tempat.

Resi Gumarang, calon penghulu dalam perkawinan Lili dan Yoga nantinya, ternyata datang tepat pada waktunya. Ia berhasil menghalau Selendang Badai, dan cepat sembuhkan Lili. Dalam waktu kurang dari lima helaan napas, keadaan luka Lili menjadi sembuh hanya dengan cara menatap mata Lili satu helaan napas.

"Kau harus bergabung dengan Yoga," kata Resi Gumarang.

"Apa yang saya lakukan tadi hanya membela si Tua Usil, Resi Gumarang," kata Lili.

"Memang. Aku tahu. Aku juga tahu bahwa kau dan Yoga sedang dicari-cari oleh para tokoh sakti. Kalian dari aliran rajawali akan disingkirkan sebelum acara di Bukit Tulang Iblis itu dilaksanakan!"

"Mengapa begitu, Resi Gumarang?" Lili terperanjat heran.

"Aliran rajawali dikhawatirkan akan menjadi raja dalam persilatan kita ini. Kau dan Yoga dianggap orang paling berbahaya dan banyak yang meramalkan bahwa kalianlah yang akan unggul dalam pemilihan dan penobatan nanti. Jadi, banyak tokoh sakti yang berusaha menyingkirkan kalian berdua sebelum acara dimulai. Mereka bermaksud agar kalian tidak hadir dalam pertemuan di Bukit Tulang Iblis nanti!"

Tua Usil dan Lili diam, menyimak segala apa yang dikatakan oleh tokoh tua yang berilmu tinggi dan pernah menjadi sahabat karib guru Lili dan Yoga itu. Ketika Lili ingin bicara, tiba-tiba orang kurus berpakaian putih itu lenyap dari pandangan mata. Tua Usil kaget dan segera mencari-carinya, namun tidak ditemukan di mana-mana. Lili sempat dibuat bingung sebentar, setelah itu termenung mengingat-ingat pesan dari Resi Gumarang tadi.

DELAPAN

PERCAKAPAN yang terjadi antara Ratu Candra Wulan dengan Ki Wejang Keramat, kakek dari Pandu Tawa, ternyata ada yang mencuri dengar dari kejauhan sana. Mereka tak tahu, karena jaraknya amat jauh. Si pencuri dengar itu pun tidak bermaksud mengganggu, hanya diam di atas sebuah batu, duduk termenung sambil beristirahat dari perjalanannya yang melelahkan.

Ki Wejang Keramat berkata kepada Ratu Candra Wulan, "Pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu memang membawa bencana sendiri bagi para tokoh rimba persilatan. Di situlah nanti akan tampak, siapa-siapa orang yang serakah dan ingin berkuasa di atas manusia lainnya!"

Cahaya berseri di wajah Ratu Candra Wulan itu membuat Ki Wejang Keramat rasakan kedamaiannya dalam bicara. Saat itu, Ratu Candra Wulan sebenarnya sedikit heran mendengar kata-katanya Ki Wejang Keramat, karena ia menyangka Ki Wejang Keramat yang mempunyai prakarsa pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu. Karenanya, Ratu Candra Wulan berkata kepada tokoh sakti yang sudah cukup tua itu,

"Jika pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu membawa bencana bagi para tokoh, mengapa Ki Wejang Keramat mengadakannya?"

"Bukan aku yang mengadakan pertemuan itu, Candra Wulan!" sanggahnya dengan tenang dan bijaksana. "Barangkali Resi Gumaranglah yang mengadakan pertemuan dan pemilihan seperti itu! Mungkin Resi Gumarang punya maksud-maksud tertentu, tetapi di salah artikan oleh para tokoh lainnya, sehingga pertemuan tersebut menjadi sebuah bencana kecil bagi kita bersama, Candra Wulan."

"Jadi menurut Ki Wejang Keramat, bagaimana langkah yang baik mengatasi pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu?"

"Menurutku, tak usah diadakan acara seperti itu! Bubarkan saja. Kecuali memang pertemuan itu bisa membawa damai bagi siapa pun juga orangnya!"

"Kalau begitu, Ki Wejang Keramat sebaiknya bicara dengan Resi Gumarang, supaya beliau mau membubarkan atau membatalkan acara itu!" usul Ratu Candra Wulan dengan tutur kata yang lembut dan sopan.

"Ya, aku akan bicara dengan Gumarang! Mungkin sekarang juga aku harus temui dia di tempat pengasingannya, supaya...."

Tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa, "Tak perlu ke sana, Kakang Wejang Keramat!"

Ratu Candra Wulan terperanjat, ia mencari-cari si pemilik suara. Tiba-tiba dari balik pohon muncul orang kurus berkepala gundul yang tak lain adalah Resi Gumarang.

"Tak perlu kau menemuiku, Kakang Wejang Keramat, aku sendiri sudah ingin menemuimu!" kata Resi Gumarang.

Ratu Candra Wulan memberi hormat dengan sedikit bungkukkan badannya, karena ia merasa lebih muda usianya dan lebih rendah ilmunya dibanding kedua tokoh sakti itu. Ki Wejang Keramat berkata, "Untuk apa kau ingin menemuiku, Adi Gumarang?"

"Untuk apa lagi jika bukan untuk mendesak Kakang Wejang Keramat agar membatalkan acara di Bukit Tulang Iblis itu!" jawab Resi Gumarang dengan sikap bersahaja.

Didekatinya Resi Gumarang dengan langkah pelan, lalu Ki Wejang Keramat berkata, "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya bukan aku yang mengadakan pertemuan tersebut. Aku tidak punya gagasan seperti itu, Adi Gumarang."

Resi Gumarang yang merasa lebih muda dan menganggap Ki Wejang Keramat sebagai kakak perguruannya di masa lalu, sempat mempercayai pengakuan tersebut. Sebab Resi Gumarang tahu, bahwa Ki Wejang Keramat seumur hidupnya tidak pernah menipu siapa pun, dan berkata dusta merupakan pantangan bagi hidupnya.

"Jika bukan Kakang dan bukan aku yang mengadakan pertemuan itu, lantas siapa orangnya menurut perkiraan Kakang Wejang Keramat?"

"Tentunya kau lebih tahu dariku, karena kau mempunyai ilmu teropong batin yang terkuat di antara kita, Adi Gumarang."

"Sudah ku coba, Kakang. Tapi ilmu teropong batin ku tak mampu menembus sesosok tubuh yang mengaku sebagai pencetus gagasan tersebut. Ia hanya berbentuk seperti cahaya putih menyilaukan tak bisa kulihat dan kutembus dengan mata batin ku, Kakang Wejang Keramat. Dan setahuku, hanya terhadap dirimu saja aku tidak bisa menembuskan mata batin ku untuk mengetahui keberadaanmu, Kakang Wejang Keramat."

Resi Gumarang bicara dengan hati-hati dan penuh hormat. Sementara kedua tokoh tua itu sama-sama bungkam, Ratu Candra Wulan memberanikan diri bicara kepada mereka,

"Resi Gumarang dan Ki Wejang Keramat, kalau boleh saya simpulkan, pasti ada pihak lain yang bermaksud mengacaukan dunia persilatan kita dengan menyebar berita bohong itu. Tujuannya hanya semata-mata untuk mengacaukan dunia persilatan kita, supaya setiap orang saling bunuh dan saling berebut kekuasaan dalam bayangan itu!"

"Sekalipun memang demikian," kata Ki Wejang Keramat, "Setidaknya kita harus tahu siapa pengacaunya, supaya kita bisa menegurnya dengan cara kita sendiri."

"Kakang Wejang Keramat," Resi Gumarang menyela pembicaraan pada saat ia seperti menemukan sesuatu dalam benaknya. "Menurut dugaanku, orang yang tak bisa kutembus dengan teropong batin adalah Dewa Nujum, yang sekarang berubah julukan dan dikenal dengan nama Wong Sakti!"

Ki Wejang Keramat manggut-manggut dalam keadaan diam tak bicara. Gumam kecil pun tak terdengar. Ratu Candra Wulan perhatikan wajah Ki Wejang Keramat, seolah-olah menunggu jawaban dari orang tersebut. Setelah beberapa saat mereka terbungkam, Ki Wejang Keramat berkata,

"Ya. Dugaanmu mendekati kebenaran. Hati kecilku condong menduga Wong Sakti itulah yang membuat acara pertemuan di Bukit Tulang Iblis!"

"Kalau begitu, kita cari dia Kakang Wejang Keramat! Kita desak dia supaya membatalkan pertemuan tersebut!"

"Barangkali saja dia sudah berada di Bukit Tulang Iblis! Bagaimana jika kita ke sana, Adi Gumarang?!"

"Aku sangat setuju, Kakang Wejang Keramat!"

Wuusss...! Angin berhembus ketika mereka hendak melangkah. Hembusan angin itu terasa aneh bagi Ki Wejang Keramat. Itulah sebabnya ia batalkan langkah kakinya, ia sempatkan memandang ke sana-sini dan sampai akhirnya ia temukan seseorang berjubah abu-abu dengan rambut putih tipis dan tubuh bersisik.

"Oh, kau hadir juga di sini, Wong Sakti?!" tegur Ki Wejang Keramat kepada pendatang baru yang ternyata adalah Wong Sakti.

Kali ini Wong Sakti datang sendirian, tanpa membawa murid tunggalnya yang bernama Kukilo itu. Belum-belum Wong Sakti sudah garuk-garuk kepala dengan meringis.

"Aku terpaksa datang menemui kalian, karena aku tak tahan dijadikan bahan pembicaraan kalian. Kutinggalkan tempatku duduk termenung di atas batu, hanya untuk meluruskan masalah ini!"

"Masalah tentang apa yang ingin kau luruskan Wong Sakti?!" tanya Resi Gumarang.

"Dugaanmu sudah berubah menjadi tuduhan, Gumarang!" kata Wong Sakti yang merasa berusia lebih tua dari Resi Gumarang dan juga masih merasa lebih tua dari Ki Wejang Keramat. Itulah sebabnya Wong Sakti sedikit seenaknya dalam bersikap di depan kedua tokoh tua dan satu wanita cantik yang sebenarnya juga sudah berusia tua itu.

"Kalau kalian menuduhku sebagai pencetus gagasan tersebut, itu adalah salah besar!" kata Wong Sakti. "Aku bukan pencetusnya, tapi aku tahu siapa pelaku utama dalam pertemuan di Bukit Tulang Iblis yang akan terjadi itu."

"Siapa orangnya menurutmu, Wong Sakti?" tanya Ki Wejang Keramat.

"Menurut hasil ramalan sakti ku, orang yang mengadakan pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu adalah Nyai Mantera Dewi, dari perguruan Camar Sakti!"

"Bisa juga!" jawab Ki Wejang Keramat. "Tetapi apa alasan Nyai Mantera Dewi mengadakan pertemuan itu?"

"Sebaiknya kita tanyakan langsung kepada yang bersangkutan! Kalau kita main terka-menerka, nanti kita malahan cekcok sendiri. Padahal aku sudah bosan cekcok dari dulu sampai setua ini!" kata Wong Sakti dengan seenaknya bicara, tapi bisa dimaklumi oleh mereka.

Maka, mereka pun sepakat temui Nyai Mantera Dewi di Perguruan Camar Sakti. Nyai Mantera Dewi itu adalah guru dari Gadis Linglung, yang mempunyai ciri-ciri berjubah merah darah dengan giwang warna ungu dari batuan berkerilap. Rambutnya putih, disanggul sebagian, usianya sekitar tujuh puluh tahun ke atas.

Kedatangan para tokoh sakti itu membuat heran Nyai Mantera Dewi, namun ia tetap menyambutnya dengan baik. Ia hanya bertanya, "Apa gerangan yang membuat kalian datang kemari?"

"Tentang pertemuan di Bukit Tulang Iblis. Mantera Dewi," kata Wong Sakti dengan mengu-sap-usap kepalanya sendiri.

"Aku akan hadir di sana sebentar lagi. Silakan kalian berangkat lebih dulu ke Bukit Tulang Iblis!"

"Bukan soal keberangkatan mu yang ingin kutanyakan, tapi keberadaanmu di dalam acara pertemuan tokoh-tokoh dunia kelas berat itu, Mantera Dewi," kata Resi Gumarang. "Apa perlumu mengadakan pertemuan yang hanya bisa memancing perselisihan di antara sesama?"

Nyai Mantera Dewi berkerut dahi, kemudian berkata, "Siapa bilang aku perintis pertemuan itu? Siapa bilang itu gagasan ku?"

Wong Sakti berkata, "Akulah yang menuduh mu begitu."

"Atas dasar apa?"

"Kira-kira saja!"

Nyai Mantera Dewi berkata, "Bukan aku pencetus gagasan. Bukan aku yang adakan pertemuan tersebut. Kalian jangan salah duga!"

"Kami hanya kehendaki supaya pertemuan itu dibatalkan saja, karena mengundang permusuhan satu dengan yang lain, Mantera Dewi," kata Ki Wejang Keramat.

"Aku setuju. Tapi bagaimana aku bisa membatalkan jika rencana itu bukan rencanaku, Ki Wejang Keramat?"

Mereka sama-sama diam, Ki Wejang Keramat termenung, Ki Wejang Keramat saling pandang dengan Resi Gumarang. Nyai Mantera Dewi memandangi wajah tamu-tamunya satu persatu. Kejap berikut terdengar suara Wong Sakti berkata kepada Ki Wejang Keramat.

"Kecurigaan ku jatuh pada seseorang yang pandai meneropong kelemahan ilmu apa pun!"

Kini semua memandang Wong Sakti. Resi Gumarang bertanya, "Siapa orang yang kau mak-sudkan itu, Wong Sakti.

"Siluman Ilmu!"

Mereka saling bergumam, "Siluman Ilmu...?"

Nyai Mantera Dewi segera berkata, "Apakah yang kau maksud adalah Siluman Ilmu yang tinggal di Tebing Tengkorak itu?"

"Tepat," jawab Wong Sakti lalu terkekeh sendiri sambil garuk-garuk kepalanya. "Ada baiknya kalau kita pergi ke Tebing Tengkorak sekarang juga!"

"Tunggu dulu," kata Ratu Candra Wulan yang sejak tadi hanya diam saja itu. "Jika kita ke sana, dan jika benar Siluman Ilmu orang yang punya gagasan pertemuan di Bukit Tulang Iblis, maka sudah pasti dia sekarang ada di Bukit Tulang Iblis. Sekarang sudah waktunya pertemuan itu diadakan, karena sudah lewat tengah hari!"

"Benar," gumam Nyai Mantera Dewi. "Ku usulkan agar kita lekas-lekas ke Bukit Tulang Iblis saja!"

Ki Wejang Keramat dan Resi Gumarang manggut-manggut. Tak ada yang memberi gagasan lain, karenanya mereka segera berangkat ke Bukit Tulang Iblis.

* * *

Bukit itu tak seberapa tinggi. Bagian atasnya datar dan luas, ada beberapa tanaman yang berjarak renggang, seakan menjadi peneduh puncak bukit tersebut. Dari kaki bukit dapat dilihat keadaan di puncak bukit, karena lereng bukit itu gundul, hanya ada tanaman rumput pendek. Tanpa pohon besar yang tumbuh di lerengnya.

Bukit itu sekarang ramai dikunjungi para tokoh rimba persilatan yang rata-rata berilmu tinggi. Rombongan Ki Wejang Keramat ketika tiba di kaki bukit sempat bertemu dengan orang yang disebut Siluman Ilmu. Orang itu berpakaian abu-abu dan usianya sekitar enam puluh tahun ke atas, (Lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam episode Mempelai Liang Kubur).

Ketika Resi Gumarang menegur Siluman Ilmu, orang itu membantah tuduhan tentang pencetus gagasan pertemuan di Bukit Tulang Iblis tersebut. Ia berkata, "Untuk apa aku mempunyai gagasan edan seperti ini? Tak ada untungnya bagiku, Resi Gumarang! Justru aku datang kemari untuk melihat siapa yang akan dinobatkan sebagai hakim dan mendapat gelar Pendekar Maha Sakti!"

Setelah sama-sama bungkam, setelah berulangkali mengelak tuduhan tersebut, akhirnya Wong Sakti berkata, "Daripada susah-susah mencari siapa pengacau yang membuat kita pusing sendiri, lebih baik hadir saja ke sana, dan lihat sendiri siapa pencetus pertemuan itu!"

"Itu usul yang bagus!" kata Ki Wejang Keramat.

Maka, mereka pun segera naik ke puncak bukit. Tidak ada satu pun dari rombongan Ki Wejang Keramat yang naik ke puncak bukit dengan berjalan mendaki. Mereka melangkah dengan ilmu tenaga peringan tubuh yang dapat mencapai bukit dalam waktu singkat.

Wuuttt... wuuttt.... wuutt... wuuttt...!

Dalam sekejap mereka sudah berada di puncak bukit yang bertanah datar cukup luas. Mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri, saling berbincang-bincang dengan sahabat lama ataupun sahabat baru yang sudah pasti sama-sama berilmu tinggi.

Di situ tampak hadir pula Paku Juling, ketua Partai Pengemis Liar, Sumo Loda sedang berbincang-bincang dengan seorang tokoh bermata satu yang dikenal dengan nama Demit Satu Mata, di sisi lain pun tampak Selendang Badai bersama Leak Parang dan Nyai Kubang Darah. Juga Dewi Gita Dara tampil bersama Pendeta Agung Ganesha dari Pulau Kana.

Kelompok yang sedikit sibuk adalah kelompoknya Rangkasok dan si Setan Sibuk dari Perguruan Tengkorak Emas, karena si Setan Sibuk jika bicara menggunakan isyarat tangan dan diterjemahkan oleh Rangkasok. Mereka sedang berhadapan dengan dua tokoh tua wanita yang masing-masing berambut putih dan berwajah sama, yaitu yang dikenal dengan nama Peri Kembar.

Di tempat itu, terdapat batu besar yang tingginya sebatas lutut. Resi Gumarang naik ke atas batu besar itu mewakili rombongannya, sementara itu Shogun Kogawa memerintahkan Resi Gumarang untuk turun dengan satu seruan.

"Turun...!"

Tapi Resi Gumarang hanya tersenyum tenang. Shogun Kogawa segera dibujuk oleh Jenggot Biru agar mundur dan membiarkan Resi Gumarang di atas batu. Karena Jenggot Biru menyangka bahwa Resi Gumarang itulah orang yang mempunyai gagasan mempertemukan mereka di bukit tersebut. Terlihat pula Putri Kumbang sedang bicara dengan Resi Panuluh dan Ki Tenung Jagat.

Sebelum Resi Gumarang bicara, ia sempat melihat kehadiran Pandu Tawa bersama Sri Tanding. Tapi Yoga dan Lili tidak kelihatan. Pandu Tawa segera temui kakeknya, Ki Wejang Keramat yang juga sebagai gurunya itu. Mereka terlibat pembicaraan kasak-kusuk sendiri, sedangkan Sri Tanding pun segera berkasak-kusuk dengan gurunya; Ratu Candra Wulan yang berdiri di samping Nyai Mantera Dewi.

Beberapa saat kemudian, Resi Gumarang berseru, "Saudara-saudaraku sebumi persilatan!"

Suara tersebut mempunyai getaran tenaga dalam yang membuat semua orang diam dari percakapannya dan memandang ke arah Resi Gumarang. Hening tercipta sejenak di bukit itu, kemudian suara Resi Gumarang terdengar lagi berseru,

"Sebenarnya, siapa yang mempunyai gagasan mempertemukan kita di Bukit Tulang Iblis ini?! Siapa yang mempunyai gagasan memilih seorang Pendekar Maha Sakti dan menobatkan sebagai hakim di rimba persilatan kita ini?! Siapa?!"

Suara gemuruh bergaung mirip ratusan lebah. Mereka saling membicarakan siapa pencetus acara tersebut. Siapa yang akan menentukan aturan mainnya dalam pemilihan dan penobatan Pendekar Maha Sakti, ternyata tak ada yang mengetahuinya.

"Jika tidak ada yang mengaku siapa yang membuat acara ini, maka untuk apa kita berkumpul di sini?" kata Resi Gumarang yang disahut oleh Resi Panuluh dengan seruan,

"Pasti ada!"

"Kaukah orangnya, Panuluh?"

"Bukan!"

"Lalu siapa?!"

"Akuuu...!" tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan bergema. Semua orang memandang ke arah selatan. Dari kerumunan orang yang ada di selatan itu, muncul seorang lelaki tua berpakaian kuning model biksu, berkepala botak tengah, rambut yang tumbuh di tepiannya sangat tipis. Nyaris bisa dihitung dengan tangan. Usia lelaki itu sangat tua, terlihat dari kulit tubuhnya yang sebagian masih tampak mengelupas, sebagian lagi kelihatan kencang tanpa keriput, pertanda ia telah mengalami ganti kulit dalam ketuaannya.

Lelaki itu beralis, kumis dan jenggot serba putih, tubuhnya kurus dan matanya cekung. Bahkan bulu matanya pun tampak putih, menandakan usianya jauh lebih tua dari Wong Sakti, dan jauh lebih tua pula dari Ki Wejang Keramat.

Sementara itu, di sisi lain tampak Malaikat Gelang Emas berdiri dengan mata lebar memandangi orang kurus berpakaian kuning itu. Kejap berikutnya terdengar suara Malaikat Gelang Emas berseru kepada orang yang kini sudah ada di tengah-tengah arena itu.

"Begawan Prana Syiwa...! Rupanya kau masih hidup, Begawan?!"

Orang tersebut ternyata bernama Begawan Prana Syiwa. Tak banyak yang mengetahuinya, kecuali Malaikat Gelang Emas, Ki Wejang Keramat, Resi Gumarang, dan Jenggot Biru. Rupanya orang bernama Begawan Prana Syiwa adalah tokoh sakti yang sudah lama dilupakan oleh mereka dan sudah dianggap mati oleh Ki Wejang Keramat maupun mereka yang mengenai tokoh tersebut.

Begawan Prana Syiwa mengebutkan kain pakaiannya yang tersisa di pinggang. Wuuttt...! Dan terpancarlah sinar ungu menyilaukan dalam beberapa kejap, lalu sinar ungu hilang dan mata mereka menjadi terperanjat melihat sesuatu telah tertancap di tanah. Benda yang tertancap di tanah itu tak lain adalah sebuah pedang yang memukau mata tiap orang, mengejutkan bagi yang mengetahuinya.

Pedang itu tertancap di tanah separo bagian. Gagangnya terbuat dari batu giok warna hijau kecoklatan. Mata pedangnya terbuat dari batu warna ungu bening. Di antara mata pedang yang ungu dengan gagang yang hijau terdapat batu pemisah berwarna merah delima. Pedang itu samar-samar memancarkan warna ungu, dan tanah yang digunakan untuk menancapkan pedang itu tampak berwarna ungu selebar dua jengkal sekelilingnya.

Ki Wejang Keramat menggumam, "Pedang Pusaka Suralaya?!"

Pandu Tawa bertanya pelan, "Pedang pusakanya siapa itu, Eyang?"

"Pedang Pusaka Suralaya adalah pedang pusaka Dewa Penjaga Suralaya! Suralaya adalah tempat para dewa bersemayam."

"Saya tahu," kata Pandu Tawa. "Tapi saya tidak tahu apa kehebatan Pedang Pusaka Suralaya itu?!"

"Kita dengarkan saja kata-kata Begawan Prana Syiwa itu!"

Terdengar Begawan Prana Syiwa berseru dengan suaranya yang masih lantang dan tegar, setelah ia dipersilakan oleh Resi Gumarang untuk naik ke atas batu yang tadi digunakan berdiri Resi Gumarang itu.

"Pedang ini adalah pedang pusaka para dewa! Dulu aku yang memegang pedang pusaka ini. Sekarang waktuku telah tiba untuk kembali ke alam kelanggengan, sebuah alam abadi yang dipersiapkan untukku! Aku harus mewariskan pedang ini kepada manusia di bumi, yang kelak akan menjadi hakim atas segala perkara, dan berhak menyandang gelar Pendekar Maha Sakti. Tetapi kepada siapa kuberikan pedang ini? Aku tidak tahu dengan pasti. Karena dewata tidak menunjukkan padaku siapa pewaris pedang ini. Karenanya pula aku menghendaki kalian berkumpul di sini untuk menentukan siapa di antara kalian yang berhak mewarisi pedang pusaka ini! Caranya, barang siapa bisa mencabut pedang pusaka ini, maka dialah orang yang berhak mewarisi Pedang Pusaka Suralaya dan menyandang gelar Pendekar Maha Sakti!"

"Aku bisa!" seru Malaikat Gelang Emas.

"Silakan mencabutnya! Tapi aku yakin, kau tak akan bisa menyentuh pedang ini, sebab gurumu dulu pernah mencobanya tadi tidak berhasil. Padahal aku adalah eyang gurumu, Malaikat Gelang Emas!"

"Wooow...!" banyak mulut yang melongo kagum. Mereka dapat membayangkan jika Begawan Prana Syiwa adalah eyang dari gurunya Malaikat Gelang Emas, lantas berapa usia orang itu sekarang ini?! Barangkali karena memegang Pedang Pusaka Suralaya itulah maka Begawan Prana Syiwa dikarunia umur panjang.

Apa yang diduga oleh Begawan Prana Syiwa itu memang benar. Malaikat Gelang Emas terpental bahkan sampai terguling-guling menuruni lereng bukit karena mendekati pedang yang tertancap di tanah itu. Demikian pula orang lain, begitu mendekati pedang tersebut dalam jarak satu jangkauan, tahu-tahu terpental keras bahkan sampai ada yang terbang menyangkut di dahan pohon.

Secara ramai-ramai mereka menyergap pedang tersebut. Jumlah yang menyergap lebih dari sepuluh orang. Tapi mereka terpental bersama, buyar seketika dan terguling-guling tak tentu arah. Ada juga yang mati karena tubuhnya terhempas dan tertancap potongan dahan hingga tembus dari dada sampai ke punggung.

Segala tenaga dalam dikerahkan dengan niat untuk menghancurkan pedang tersebut. Tetapi tenaga dalam apa pun dan milik siapa pun akan memantul balik dan menyerang pelakunya. Salah satu korban yang sampai tewas karena terkena tenaga dalamnya sendiri adalah Sumo Loda, dari Perguruan Lawa Murka.

Pihak rombongan Jenggot Biru juga terlempar begitu kerasnya dan tak ada yang mampu menyentuh pedang tersebut. Jika menyentuh saja sangat sulit, apalagi mencabut pedang tersebut, jelas lebih sulit. Ki Wejang Keramat menahan tangan Pandu Tawa ketika Pandu Tawa ingin tampil untuk mencoba mendekati pedang itu.

"Jangan lakukan. Aku yakin ada orang tersendiri yang mampu menyentuhnya, yaitu orang yang menjadi jodoh dari pedang tersebut dan berkenan di hati para dewa di Suralaya."

Resi Gumarang pun tak berani mendekatinya. Juga Nyai Mantera Dewi, Ratu Candra Wulan dan yang lainnya. Jumlah pengunjung yang hadir di bukit itu menjadi sedikit karena yang lain bagai dilempar-lemparkan ke berbagai arah hingga jatuh terkapar di kaki bukit.

Pada saat itu, dua ekor burung rajawali terbang rendah di atas Bukit Tulang Iblis. Suara kedua burung berbulu putih dan merah itu saling bersahutan.

"Keaaak...! Keaaak...!"

"Kaaaakk...! Kaaakkk...!"

Semua mata memandang ke atas. Semua kepala mendongak perhatikan dua burung rajawali tersebut. Penunggangnya sudah tak asing lagi bagi mereka, yaitu Yoga dan Lili. Tetapi mereka mencibir dan sebagian tidak memiliki kepastian, mampukah salah satu dari kedua pendekar rajawali itu mencabut Pedang Pusaka Suralaya?

Kedua pendekar rajawali turun dari punggung burung besar. Tak berapa lama muncul si Tua Usil yang lebih baik berlari mengikuti burung besar itu ketimbang ikut membonceng salah satu dari mereka.

Lili dan Yoga sama-sama terperangah melihat pedang tersebut, lalu ia berlutut satu kaki dan memberi hormat kepada Begawan Prana Syiwa. Terdengar ucapan Begawan Prana Syiwa menyapanya.

"Selamat datang murid Dewa Geledek dan Dewi Langit Perak! Apakah kalian berminat untuk mencoba mencabut Pedang Pusaka Suralaya ini?!"

Yoga yang menjawab, "Tidak, Eyang! Kami datang hanya ingin menyaksikan penobatan tersebut dan mengetahui siapa orang yang mendapat gelar Pendekar Maha Sakti itu."

"Belum ada!" kata Begawan Prana Syiwa. "Jika kalian ingin mencobanya, masih ada waktu tersisa cukup banyak untuk kalian!"

"Terima kasih, Eyang. Kami hanya ingin menjadi penonton saja!"

Lili berkata, "Kami serahkan kepada yang lain saja, Eyang! Dan kami mohon mundur di tempat penonton!"

Tiba-tiba, ketika Lili berdiri, sebuah serangan bergelombang panas menghantam punggung Lili dengan kuatnya. Pukulan itu menyemburkan asap kuning dan datang dari Malaikat Gelang Emas. Wuuuttt...! Pendekar Rajawali Putih berbalik dengan cepat dan sentakkan kedua tangannya untuk menahan serangan tersebut.

Duuubh...! Blaaarrr...!

Dentuman hebat terjadi mengguncang bukit tersebut. Pendekar Rajawali Putih terpental dan jatuh berguling-guling di tanah. Sementara itu, Malaikat Gelang Emas yang menaruh dendam besar kepada kedua pendekar itu segera menghantamkan pukulan dahsyatnya dari jarak tujuh langkah dari Yoga. Pukulan itu tak bisa dihindari Yoga sehingga Yoga pun terpental jatuh berguling-guling hampir menindih tubuh Lili.

Tentu saja semua orang terkejut dan Begawan Prana Syiwa berseru, "Ini bukan arena pertarungan dan balas dendam! Tahan amarah mu, Malaikat Gelang Emas!"

Rupanya Malaikat Gelang Emas tidak hiraukan seruan tersebut. Ia segera melompat dan maju menyerang kedua pendekar yang jatuh di tengah arena. Lili dan Yoga jatuh tepat di samping kanan kiri Pedang Pusaka Suralaya. Dengan gerakan di luar kesadaran karena terancam bahaya, keduanya sama-sama mencabut Pedang Pusaka Suralaya dan diacungkan ke depan bagaikan berebut pedang.

Zlaasss...! Wuuttt...!

Kini pedang digenggam oleh dua tangan, yaitu tangan Lili dan tangan Yoga. Pada saat itu, mata pedang yang berwarna ungu itu memancarkan cahaya ungu bagai selarik sinar satu jurusan.

Zlaapp...!

"Heaaat...!" Malaikat Gelang Emas melompat sejauh-jauhnya, sinar ungu itu menghantam pohon dan pohon itu menyala ungu, untuk kemudian lenyap tak berbekas, bahkan enam pohon yang sejajar dengan pohon tersebut ikut lenyap tanpa bekas. Sungguh mengagumkan kedahsyatan pedang tersebut.

Sementara itu, Wong Sakti berseru, "Mereka berhasil mencabut Pedang Pusaka Suralaya! Berarti merekalah yang berhak menyandang gelar Pendekar Maha Sakti!"

Semua orang terkejut menyadari hal itu, termasuk Ki Wejang Keramat, Resi Gumarang, bahkan Begawan Prana Syiwa sendiri. Seruan Wong Sakti disambut oleh seruan Begawan Prana Syiwa,

"Benar! Ternyata mereka berdua yang menjadi pewaris Pedang Pusaka Suralaya!"

Mendengar ucapan itu, Malaikat Gelang Emas menjadi tegang, lalu cepat-cepat larikan diri dengan gunakan jurus 'Bayang Siluman'-nya, yang bisa menembus pohon dan batu. Sedangkan Yoga dan Lili sama-sama saling pandang, tertegun bengong dengan masih tak sadar memegangi pedang bergagang batu giok hijau itu.

"Kalian berhak menjadi hakim dan raja di dunia persilatan!" kata Begawan Prana Syiwa.

"Terima kasih, Eyang! Kami kembalikan pedang ini, karena kami tak sadar telah mencabutnya dalam keadaan terdesak!" kata Lili sambil berlutut dan menyerahkan pedang itu dengan dua tangan yang diangkat ke atas kepala.

Sedangkan Pendekar Rajawali Merah berlutut di samping, agak ke belakang dari tempat berlutut Pendekar Rajawali Putih. Sikap mereka kembali mencengangkan orang-orang sakti yang hadir di sekeliling tempat itu, Pedang yang diserahkan Lili belum diambil oleh Begawan Prana Syiwa.

Sang begawan justru berkata, "Pertahankan pusaka itu, dan rawatlah baik-baik. Aku tak berani mengambilnya kembali...."

Bllaabb...! Wuusss...!

Begawan Prana Syiwa lenyap bagaikan moksa. Hanya ada sisa asap tipis yang mengepul di udara lalu sirna dihembus angin bukit. Lili dan Yoga sama-sama tertegun bengong dan tak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap Pedang Pusaka Suralaya itu. Haruskah mereka menyandang gelar tersebut dan menerima jabatan sebagai hakim dan raja di rimba persilatan?

Sementara itu, diam-diam Putri Kumbang memutar otak, mengatur siasat untuk merebut Pedang Pusaka Suralaya itu.

SELESAI
Kisah selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.