ARUS sungai deras gemuruh karena mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Bebatuan yang tergeletak berserakan di sungai itu bagaikan gundukan benda angker di awal petang. Agaknya sebentar lagi sang petang akan tiba, karena matahari senja semakin menampakkan diri di langit barat.
Tetapi cuaca dan cahaya remang belum membuat dua sosok itu berhenti berlatih di atas bebatuan sungai. Seorang pemuda tampan mengenakan baju se-lempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya, masih terus lakukan gerakan-gerakan cepat. Pemuda bercelana merah dengan ikat pinggang hitam itu melenting di udara ketika sebatang balok menghantam kakinya.Wuuttt...!
Kemudian balok itu disodokkan ke atas oleh seorang gadis cantik berpakaian merah jambu. Sodokkan itu membuat tubuh si pemuda tampan nyaris menjadi sasaran ujung kayu balok itu kalau saja tangannya yang buntung sebatas siku itu tidak segera menahan ujung balok tersebut. Ujung tangan yang buntung itu bagal menyentak menghantam ujung balok dengan kuatnya. Kraak...! Kayu balok jati itu pecah memanjang menjadi empat bagian.
Kejap berikutnya ketika pemuda bertangan buntung satu itu berdiri dengan tegak, empat pecahan kayu balok itu dilemparkan lurus ke arah dadanya. Keempat patahan kayu balok Itu dilemparkan lurus ke arah dadanya. Keempat pecahan kayu balok itu segera dihantam dengan tangan buntungnya dalam satu ge-rakkan berkelebat cepat.
Wuuttt...! Praassk...!
Keempat belahan kayu itu hancur remuk menjadi seratan-seratan tipis. Pemuda bertangan buntung tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah itu segera bersalto ke belakang, karena gadis cantik itu lemparkan sebongkah batu besar memakai ayunan kakinya.
Wuuttt!
Tangan buntungnya diangkat ke depan dan da-lam satu sentakkan otot yang kuat, ujung tangan buntung itu keluarkan selarik sinar merah. Zlaap...! Sinar merah itu menghantam batu besar dan batu itu pun pecah seketika menjadi serbuk hitam yang bertaburan.
Blaaarr...!
Gadis yang cantiknya seperti bidadari itu hentikan serangannya. Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu sunggingkan senyum bangga dan berkata, "Jurus 'Sinar Buntung' ku sudah dapat diandalkan! Jadi sekarang jangan coba-coba menyerangku dengan gunakan batu!"
"Tapi 'Rajawali Sangkal' yang kau gunakan tadi belum cukup bagus, Yoga! Kayu balok itu mestinya pecah menjadi sepuluh belahan, tapi mengapa hanya menjadi empat?! itu tandanya kau kurang bisa kendalikan napas kirimu dengan baik! Harus kau latih lagi itu, Yo!"
"Ya. Baik, Guru Li! Akan ku latih lagi pengendalian napas kiriku!"
"Besok pagi kuharap kau sudah bisa pecahkan kayu balok itu menjadi sepuluh belahan!"
"Besok?! Tapi, Guru Li...."
Wuusss...! Guru Li, yang sebenarnya adalah Lili, Pendekar Rajawali Putih itu segera melesat pergi tinggalkan Yoga sendirian. Yoga pun bergegas ingin mengejar Lili untuk lanjutkan kata-katanya, tapi ia menjadi ragu dan batalkan niat, sebab ia tahu apa maksud kata-kata Lili, bahwa ia harus berlatih sampai esok pagi untuk bisa kendalikan penggunaan napas kirinya.
Guru angkatnya itu cukup keras dalam melatih ilmu kanuragan Yoga, ia bukan saja gadis yang kecantikannya melebihi bidadari, melainkan juga gadis yang cerdas dan berwatak keras. Jurus 'Rajawali Sangkal' dan jurus 'Sinar Buntung' itu adalah ciptaannya. Jurus itu di ciptakan oleh Pendekar Rajawali Putih, karena ia tak ingin pemuda tampan bertangan buntung sebelah kiri itu menderita kekalahan jika menghadapi lawannya.
Selain jurus-jurus tersebut, ada beberapa jurus lagi yang diberikan oleh Lili kepada Yoga, di mana Lili memperoleh dari Kitab Jagat Sakti milik raksasa Betara Kala itu, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Sumur Perut Setan").
Lili menduga bahwa Yoga bisa membaca tulisan Sangkala yang ada dalam kitab tersebut. Ternyata Yoga tidak belajar tulisan Sangkala dari gurunya, yaitu Dewa Geledek yang punya nama asli Empu Dirgantara Itu. Akibatnya, Yoga tidak bisa pelajari sendiri Kitab Jagat Sakti tersebut. Ia hanya menerima pelajaran itu dari guru angkatnya yang juga satu-satunya gadis di dalam hati Yoga.
"Gadis Itu memang punya watak keras dan tegas. Tapi justru karena wataknya itulah aku menjadi sulit melupakan dirinya walau hanya dalam sekejap," pikir Yoga sambil kembali teruskan latihannya.
Sebetulnya antara Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih punya ketinggian ilmu yang sama. Tetapi ada beberapa ilmu yang tidak dimiliki Yoga, namun ada pada Lili. Dan ada pula ilmu yang tidak dimiliki Lili, namun ada pada Yoga. Jika dua pendekar itu bertemu dan lakukan serangan bersama, lawan setangguh apa pun akan tumbang dibuatnya.
Apalagi sekarang Lili sudah kuasai sebagian jurus-jurus maut yang ada di dalam Kitab Jagat Sakti, dan Yoga mendapat tambahan kekuatan dari arwah gurunya saat di dalam kapal yang membawanya ke Pulau Kana itu, sehingga keduanya pun sebenarnya punya kehebatan ilmu yang sukar di tandingi.
Sekalipun demikian, Yoga sering mengalah jika dianggap ilmunya rendah oleh Lili. Gadis itu selalu ingin merasa lebih unggul di depan Yoga. Karena cinta ada di dalam hati Yoga, maka Yoga pun tidak segan-segan menganggap Lili sebagai guru angkatnya. Sementara itu, beberapa ilmu yang pernah diberikan oleh Yoga kepada Lili, tidak pernah membuat Lili merasa menjadi murid Yoga. Hal itu pun membuat Yoga tetap menyukai gadis murid Dewi Langit Perak itu.
Ketika matahari mulai membakar bumi, gadis yang menyandang pedang perak di punggungnya itu datang ke sungai berbatu-batu dan berhenti tak jauh dari tubuh yang terjungkir. Lili geleng-gelengkan kepala melihat Yoga dalam keadaan kaki di atas dan kepala di bawah. Tangan kirinya yang buntung itu digunakan sebagai alat bertumpu di atas batu, sedangkan tangan kanannya yang utuh itu justru merapat lurus di pinggang kanan. Tubuh itu tegak dalam keadaan terjungkir begitu, tanpa gerak sedikit pun.
Hal yang membuat Lili geleng-geleng kepala adalah, bahwa ternyata Yoga pada saat itu tertidur dengan nyenyak. Mungkin karena kecapekan berlatih mengendalikan napas kirinya, sehingga Yoga tidur dalam keadaan berjungkir balik begitu dengan tangan buntungnya yang dipakai menyangga tubuhnya. Tentu saja jika bukan berilmu tinggi, tak mungkin tidur dalam keadaan seperti itu bisa dilakukan.
Untuk membangunkan Pendekar Rajawali Merah yang tertidur, Lili segera lemparkan sebongkah batu sebesar gentong ke arah Yoga. Batu itu tidak diangkatnya, melainkan dihempaskan dengan gerakan tangan menghentak yang mengeluarkan tenaga angin cukup kuat. Wuuttt...! Batu itu pun melayang dengan cepat ke arah Yoga.
Tiga langkah sebelum batu itu menyentuh tubuh Yoga, pemuda tampan itu terbangun karena rasakan hembusan angin yang datang ke arahnya. Begitu melihat sebongkah batu melayang hendak menghancurkan tubuhnya, tangan buntung itu menyentak pelan dan tubuh Yoga cepat bersalto, lalu dengan kaki kanan bertumpu pada tanah dan kaki kirinya masih menapak, batu itu di sodoknya dengan tangan buntungnya itu.
Dess...! Proosss...!
Batu sebesar gentong pecah menjadi serpihan kecil. Kekuatan sodok itu cukup besar menurut penilaian Lili. Tetapi gadis itu segera melemparkan sebatang pohon kelapa yang telah tumbang. Ia melemparkannya dengan kaki kanan, dan batang kelapa itu meluncur cepat hendak menghantam Yoga. Namun kembali tangan buntung Yoga menyodok ujung batang kelapa tersebut.
Duub...! Braass...!
Batang kelapa itu pecah terbelah menjadi dua puluh bagian. Yoga tersenyum kepada guru angkatnya. Rupanya sang guru angkat masih belum puas. Ketika ia temukan kayu gelondongan dari pohon jati yang tumbang, ia kembali lemparkan kayu balok jati itu. Namun Yoga berhasil sodok kembali ujung kayu itu, sehingga menjadi pecah terbelah. Jumlah belahannya ada dua puluh tiga belahan.
"Bagaimana menurutmu, Guru Li? Apakah aku belum cukup mampu kendalikan napas kiriku untuk jurus 'Rajawali Sangkal'?"
"Seharusnya kau buat kayu jati itu menjadi serpihan lembut dalam satu kali sodok!" kata Lili sambil melangkah tenang mendekati murid angkatnya.
Yoga menghempaskan napas dan geleng-geleng kepala. "Dia memang tidak pernah mau memujiku. Selalu saja aku dianggapnya kurang hebat! Ah, dasar perempuan keras kepala, tak mungkin ia mau akui kelebihan dan kehebatanku! Kalau bukan karena ia menyimpan cinta lebih besar padaku, tak mungkin ia mau meremehkan kehebatanku!" pikir Yoga sambil pandangi gadis itu bergerak mendekat.
"Istirahatlah," kata Lili, kali ini memandang dengan lembut. "Pertengahan siang nanti kita berangkat menemui Resi Gumarang."
Yoga sempat menjadi sedikit heran dan bertanya, "Untuk apa menemui Resi Gumarang? Kau tidak kenal dengannya. Aku yang pernah bertemu dengan sahabat Eyang Guru Dewa Geledek itu!"
"Kau pernah cerita padaku tentang beliau. Bukankah kau pernah bilang bahwa beliau bisa meramal nasib seseorang?"
"Lantas apa maumu?"
"Aku ingin kita sama-sama tahu tentang masa depan kita, apakah aku layak menjadi istrimu atau tidak?"
Yoga tertawa kecil. "Tanyakan saja padaku, dan akan kujawab; terlalu amat layak, Guru Li!"
Gadis itu berlagak kesal, namun menahan keindahan di dalam hatinya. Ia ingin katakan sesuatu, tapi tiba-tiba terdengar suara denting pedang beradu tak jauh dari tempat mereka berada. Pendekar Rajawali Putih kerutkan dahi dan pasang pendengaran tajam, hal itu pun dilakukan oleh Yoga. Lalu keduanya saling pandang dan Lili cepat ucapkan kata seperti bergumam,
"Suara pertarungan?!"
"Ya. Tapi siapa yang bertarung itu?! Sepertinya ada suara pekikan perempuan."
"Memang. Sebaiknya biar kuperiksa siapa yang bertarung itu."
"Aku ikut, Guru!"
"Tidak. Kau cepat kembali ke pondok dan beristirahatlah di sana."
"Mengapa aku tak boleh ikut?"
"Ada perempuan di pertarungan itu," jawabnya ketus yang membuat Yoga hanya tertawa mendengar nada cemburunya Lili. Gadis itu cepat melesat pergi menuju ke arah datangnya suara pertarungan.
Yoga nekad mengikutinya dari belakang. Ia tak mau kembali ke pondok, yang merupakan tempat istirahat sementara bagi mereka itu. Pondok tersebut hanyalah sebuah gubuk reot yang ditemukan mereka dua hari yang lalu, milik pencari kayu hutan yang tak diketahui ke mana perginya.
Suara pertarungan itu hilang ketika mereka sedang berusaha melacaknya. Lili yang melihat Yoga akhirnya mengikutinya tak jadi marah karena ia telanjur dibuat penasaran oleh suara pertarungan yang hilang itu. Mereka mencari hingga menerobos semak-semak, sampai akhirnya ia temukan sesosok tubuh terbujur di bawah pohon.
Mereka sama-sama terkejut melihat sesosok tubuh itu ternyata sudah tidak bernyawa. Bagian perut sampai leher terbelah oleh senjata tajam. Hal yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah wajah mayat itu segera dikenali sebagai wajah orang yang selama ini dekat dengan mereka.
"Lembayung Senja...?!" sentak suara Lili dengan mata dan mulut terperangah.
Lembayung Senja adalah gadis yang beberapa waktu lalu mengikuti Lili ke mana pun Lili pergi. Lembayung Senja bekas murid perguruan Belalang Liar yang sudah hancur itu, dan ia amat mengagumi jurus-jurusnya Lili, sehingga berteman baik dengan Lili dengan harapan dapat mempelajari jurus-jurus Lili. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Misteri Topeng Merah" dan "Ratu Kembang Mayat").
Tentu saja hati Pendekar Rajawali Putih menjadi panas melihat teman dekatnya mati terbunuh dalam keadaan mengerikan begitu. Yoga pun menahan kemarahan sebab Yoga juga teman baik Lembayung Senja.
"Siapa pembunuhnya?!" geram Lili dengan napas tertahan dan mata menyipit dendam memandang ke arah sekeliling.
"Seharusnya ia ada di pondoknya si Tua Usil!" tambah Yoga.
Sorot mata Lili yang memancarkan dendam kemarahan itu menemukan sesosok tubuh bersembunyi di balik pohon. Bayangannya terlihat jatuh di tanah datar. Serta-merta Lili sentakkan tangannya dan menghancurkan pohon itu dengan sinar putih kepera-kan yang melesat dari telapak kirinya.
Claap...! Blaarrr...!
Yoga kaget melihat apa yang dilakukan Lili. Lebih terkejut lagi melihat sesosok tubuh terpental keluar dari balik pohon tersebut. Wuuttt...! Brusss...! Orang itu jatuh di semak-semak dalam keadaan terbanting menyedihkan. Lili segera mengejar kesemak-semak, lalu meraih lengan orang itu dan melempar-kannya seperti melemparkan boneka saja.
Wrrr...! Buuuhg...!
"Aauuh...!" orang itu menyeringai kesakitan, jatuh dl depan kaki Yoga. Kalau Yoga mau, sekali injak orang itu past! mati. Tapi Yoga punya firasat lain, sehingga ia tak mau lakukan apa-apa kepada orang bertubuh sedikit kurus itu.
"Bangun!" sentak Lili yang menghampiri lelaki bercelana abu-abu dengan rompi merah kumal.
"Iyy... iya... saya akan bangun! Tap... tapi jangan lemparkan saya lagi seperti tadi. Jangan sakiti saya, Tuan dan Nyonya?!"
Rupanya lelaki itu sudah cukup umur. Usianya sekitar lima puluh tahun. Mungkin juga lebih. Sebab rambutnya sudah tumbuh uban dan membuat rambut itu menjadi abu-abu, campuran uban dengan rambut hitam. Potongan rambutnya lucu, seperti tempurung separo lingkaran, berponi rata sebatas dahi sampai ke bagian belakangnya.
Lelaki itu punya mata bundar dan wajah tolol. Hidungnya sedikit bulat, tanpa kumis dan jenggot. Kulitnya cenderung hitam dengan kulit wajah tampak bekas jerawat masa mudanya. Ukuran tubuhnya pun tak seberapa tinggi, tapi juga tidak termasuk cebol. Ia kenakan ikat pinggang dari kain hitam, namun tidak terlihat membawa senjata apa pun.
Ketika ia dipandangi oleh Yoga dan Lili, ia tampak ketakutan, namun mencoba untuk tersenyum ramah, sehingga wajah itu menjadi tak beraturan rautnya. Ketika Yoga dan Lili mengelilinginya pelan-pelan, lelaki itu ikut memutar tubuh pelan-pelan dengan kaki gemetaran.
"Siapa kau?" tanya Yoga dengan suara tidak terlalu membentak.
"Nam...nam... nam...."
Plook...! Lili menamparnya karena jengkel dan tak sabar. Lelaki yang lebih pendek dari Lili itu tersentak ke samping. Kemudian ia melintangkan tangannya ke depan, menghadang agar tak ditampar lagi sambil berkata penuh rasa takut,
"Ja... ja... jangan tampar saya. Saya tidak bersalah...!"
"Sebutkan namamu! Jangan hanya bisa nam-nam saja!"
"liy... iya saya sebutkan nama saya, Bibi."
Yoga segera dekati Lili dan berbisik, "Jangan kasar-kasar kepadanya. Kasihan."
"Dia yang membunuh Lembayung Senja!" geram Lili.
Lelaki tua itu mendengarnya dan segera menyahut, "Bukan saya! Sangat bukan. Berani sumpah disambar petir atau bidadari, saya tidak membunuhnya, Nyai! Saya bukan pembunuh!"
"Tadi bilang Nyonya, lalu Bibi, sekarang Nyai...! Kalau bicara di depanku yang benar!" gertak Lili kembali sambil cemberut marah.
"Iya. Yang benar," kata orang itu. Mengangguk-angguk penuh rasa takut. Ia tak berani memandang Lili ataupun Yoga, sehingga hanya bisa tundukkan kepala saja. Tangannya memainkan ujung rompi kumalnya seperti anak kecil yang dimarahi oleh orang tuanya.
"Siapa namamu tadi?" tanya Yoga agak kalem.
"Nama saya... Cola Colo."
"Apa itu Cola Colo?!"
"Nama saya," orang itu menepuk dadanya, "Itu nama saya, Paman!" Wajahnya tampak melompong bodoh saat berkata demikian.
"Agaknya kita berhadapan dengan orang gila, Guru."
"Dia hanya pura-pura gila!"
"Tidak. Tidak pura-pura kok!" sahut Cola Colo. "Saya memang tidak pura-pura gila, karena saya memang bukan orang gila, Nona!"
Sikapnya yang seperti bocah dan bodoh itu membuat Lili menjadi geram dan segera mencengkeram rompi Cola Colo kuat-kuat dan menarik tubuh itu dengan mata mendelik dan menghardik, "Jangan berpura-pura, Bocah Bodoh! Kau telah membunuh temanku yang bernama Lembayung Senja itu!"
"Iya," jawab Cola Colo. Maka, wajahnya pun segera dihantam dengan pangkal telapak tangan Lili.
Deeuh...! Brruk...!
"Auuh...!" Cola Colo mengerang kesakitan den-gan wajah menyeringai. Matanya terpejam kuat sambil pegangi mulutnya yang sakit.
"Jadi benar kau yang membunuh Lembayung Senja?" tanya Yoga.
"Bukan, Paman. Sumpah...!" sambil duduk ia angkat kedua tangannya dengan kedua jempol ditegakkan. "Sumpah sekali. Bukan saya yang membunuh perempuan itu."
"Mengapa kau tadi menjawab: Iya kepadaku?" bentak Lili.
"Maksud saya, iya... memang benar saya suka dipanggil Bocah Bodoh oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab itu."
Yoga segera menarik lengan Lili, membawanya agak jauh dari Bocah Bodoh itu. Di samping mayat Lembayung Senja, Yoga berbisik kepada Lili, "Kurasa bukan dia pelakunya."
"Tak ada orang lain di sini kecuali dia."
"Tapi dia kelihatan bodoh. Saat kau pukul tadi, ia terhempas sebegitu jauh. Kalau dia berilmu, dia pasti tidak akan terlempar. Kalau dia tidak berilmu, dia tidak mungkin bisa kalahkan Lembayung Senja! Kulihat dia juga tidak membawa senjata apa-apa."
"Lantas siapa lagi orangnya kalau bukan dia yang membunuh Lembayung Senja?! Untuk apa dia ada di sini jika memang dia tidak bertarung melawan Lembayung Senja?"'
"Mungkin dia punya teman, dan temannya itu yang melakukannya!"
"Kalau begitu, akan ku paksa dia supaya mulutnya berkata jujur!"
"Jangan, Guru. Biar aku saja yang mengorek keterangan darinya. Kau terlalu mengumbar kemarahan. Kalau dia tidak bersalah, kasihan dia sudah kau buat kesakitan terus!'
“Hah!" Lili menghempaskan napas kesal. "Bicaralah sana!"
Akhirnya Lili mengalah sambil wajahnya masih cemberut bercampur sedih. Ia kembali memeriksa mayat Lembayung Senja, sementara itu Yoga mendekati Bocah Bodoh yang masih diam di situ tak mau larikan diri. Bocah Bodoh itu ketakutan ketika Yoga mendekat. Ia merapatkan tubuh dengan pohon berakar pipih se-tinggi pundaknya.
"Kemari kau!" perintah Yoga dengan tegas.
Bocah Bodoh geleng-gelengkan kepala. Bahkan berkata, "Takut."
"Aku tak akan menyakitimu! Kemarilah...!"
Akhirnya Bocah Bodoh itu mendekat dengan masih pandangi Yoga penuh rasa takut, kalau tiba-tiba dihantam oleh. Yoga. Yoga pun segera bersikap kalem dan bertanya,
"Benarkah bukan kamu yang membunuh teman kami itu?"
Cola Colo, si Bocah Bodoh itu, kembali gelengkan kepala dengan mulut melongo.
"Pasti temanmu yang melakukannya!"
Bocah Bodoh geleng kepala lagi.
"Lalu siapa kalau bukan kau dan bukan temanmu?"
"Tidak tahu."
"Apa kerjamu di balik pohon tadi?"
"Saya takut melihat mayat itu. Lalu saya sembunyi. Lalu kalian datang. Setelah itu saya diserang. Saya sedih, mengapa saya disakiti orang. Padahal Ibu berpesan saya tak boleh sakiti orang, tapi mengapa orang sakiti saya?!" Bocah Bodoh tundukkan kepala dengan wajah menyedihkan.
"Sudah lama kau sembunyi di balik pohon itu?"
"Belum. Saya dengar suara orang berteriak. Jalan saya jadi belok kemari. Saya lihat mayat itu sudah tergeletak. Saya takut mayat itu bangkit dan menyerang saya. Saya sembunyi di...."
"Ya, ya, ya... aku sudah dengar penjelasan mu yang itu."
"Terima kasih," kata Bocah Bodoh sambil kembali tundukkan wajah.
Yoga memperhatikan beberapa saat, Lili pun memandanginya dari tempat mayat Lembayung Senja tergeletak. Kemudian Yoga bertanya kepada Bocah Bodoh, "Siapa ibumu?"
"Nyai Sembur Maut," jawab Bocah Bodoh.
"Tokoh sakti yang pernah kudengar namanya dalam percakapan di sebuah kedai," sahut Lili dengan jelas.
Bocah Bodoh menimpali, "Iya. Benar. Ibu adalah tokoh sakti. Saya ditugaskan oleh Ibu untuk mencari Prasasti Tonggak Keramat di Lembah Maut. Tapi saya bingung di mana letak Lembah Maut itu. Lalu, dalam perjalanan saya mendengar suara orang bertarung, saya belok kemari, saya melihat ada mayat, saya sembunyi di pohon karena saya...."
"Cukup, cukup...!" potong Yoga yang merasa bosan mendengar penjelasan yang diulang-ulang itu.
"Apa itu Prasasti Tonggak Keramat?" tanya Lili, kini ia dekati Bocah Bodoh yang sebenarnya sudah cukup umur itu.
"Prasasti Tonggak Keramat adalah tugu dari batu berukuran sebatas perut saya. Tugu itu ada telapak tangan guru ibu saya, dan tugu itu namanya Tonggak. Tonggak itu adalah prasasti peninggalan mendiang gurunya ibu dan...."
"Cukup!" sentak Lili. Bicaramu melingkar-lingkar tak karuan, memusingkan kepala!"
"Iya. Pusing juga saya jadinya. Aduh...." Bocah Bodoh geleng-geleng kepala, seakan ikut bingung sendiri memikirkan perkataannya.
Pada waktu itu, sekelebat bayangan datang menerabas semak. Bayang itu tak lain milik seorang lelaki tua, gigi kanannya ompong satu, rambutnya putih tipis, kumisnya juga putih tipis, pakaiannya coklat muda. Orang tua itu terengah-engah, dan ketika melihat mayat Lembayung Senja, ia terperanjat kaget dan berseru,
"Lembayung Senja...?! Oh, kenapa dia? Kenapa?"
"Mati," jawab Bocah Bodoh yang belum tahu siapa orang itu.
"Kau yang membunuhnya?!" bentak orang tersebut yang tak lain adalah si Tua Usil.
"Kamu tua-tua bisanya cuma menuduh orang! Tanyakan sama Paman dan Bibi itu!" sentak Bocah Bodoh.
"Siapa pembunuhnya, Nona Li?!" wajah Tua Usil, si Manusia, Kabut itu menjadi sedih.
Yoga menjelaskan perkara sebenarnya, lalu Tua Usil bercerita tentang kerinduan Lembayung Senja yang lama ditinggalkan oleh Lili dan Yoga. Lembayung Senja bermaksud mencari dua pendekar rajawali itu. Tapi tak disangka nasibnya menjadi seperti itu. Tua Usil hampir menangis memandangi mayat Lembayung Senja.
Pada saat Yoga dan Lili mendengarkan cerita Tua Usil itulah, diam-diam Bocah Bodoh pergi dari mereka. Ketika mereka temukan Bocah Bodoh sudah hilang dari tempatnya, mereka terkejut.
Tua Usil segera berkata, "Aku yakin, dialah pembunuhnya, Nona Li!"
"Tidak. Bukan dia pembunuhnya!" kata Yoga sambil termenung. "Dia hanya bocah tua yang bodoh dan ditugaskan mencari Prasasti Tonggak Keramat."
"Apa itu Prasasti Tonggak Keramat?" tanya si Tua Usil.
"Itulah yang perlu kita ketahui. Aku lebih tertarik dengan prasasti tersebut!" kata Yoga.
"Lantas, bagaimana dengan mayat Lembayung Senja?" tanya Tua Usil dengan nada bingung.
"Kuburkan dia." kata Lili. "Setelah itu, ikutlah mengejar Bocah Bodoh itu! Aku masih curiga padanya!"
"Sayakah yang harus menguburkan mayat Lembayung Senja ini, Nona Li?''
"Ya. Kamu!" jawab Lili dengan tegas dan ma-tanya memandang tajam karena masih menahan ma-rah atas kematian temannya itu.
"Kuburkanlah, jangan banyak tanya. Nona Li sedang marah," kata Yoga kepada Tua Usil.
"Baiklah," kata Tua Usil. "Yang penting habis ini aku benar-benar bisa dapat pelajaran bagaimana caranya berdiri di atas ilalang."
* * *
DUA
SINAR matahari semakin merayap menuju ke pertengahannya. Sinar matahari itu yang membuat silau mata lelaki berpakaian hitam, sehingga tak sempat melihat kelebatan kaki berbetis mulus yang menendang ke arah punggung kanannya. Buuuhg...! Tendangan itu cukup kuat, sehingga lelaki berambut pendek dengan ikat kepala putih itu terjungkal ke depan dan berguling-guling tiga kali. Dalam sekejap ia sudah berdiri lagi, menghadap ke arah penyerangnya.
Lelaki berkumis lebat melengkung ke bawah de-ngan dagu bersih tanpa jenggot itu, sedikit terkejut melihat penyerangnya adalah seorang dara jelita yang berwajah imut-imut. Dara jelita itu berpakaian biru muda dengan kain jubah longgarnya berwarna kuning tipis dari bahan sejenis sutera. Di pinggang dara jelita itu terselip sebilah pedang yang dililit kain merah rata pada sarungnya.
Ciri-ciri pedang itulah yang membuat lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu teringat pada suatu peristiwa yang pernah dialaminya tiga tahun yang lalu. Karenanya, lelaki itu segera menegur dengan geram kemarahan kepada dara jelita tersebut,
"Jahanam busuk! Rupanya kau orang Perguruan Camar Sakti itu?!"
"Camar Sakti?!" dara jelita itu berkerut dahi, berpikir sebentar dengan kendurkan urat tangan yang siap memukul, setelah itu baru berkata kembali, "O, ya! Benar. Aku dari Perguruan Camar Sakti."
"Mengapa kau menyerangku, hah?!"
Gadis, itu berkerut dahi lagi, berpikir sebentar, lalu berkata, "Iya. Benar. Aku menyerangmu karena aku ingat kau yang membunuh Sanca Wiba. Aku ingat, kau membunuhnya sekitar tiga tahun yang lalu. Aku ingat, kau yang bernama Jalak Hutan. Aku ingat... semua yang aku ingat!"
"Persetan dengan ingatanmu! Heaah...!" Jalak Hutan segera melompat dalam satu serangan kaki yang siap menghancurkan kepala dara jelita itu. Tetapi, tangan halus berkulit putih bersih itu menangkisnya dengan telapak tangan terbuka. Plak...! Lalu telapak kaki yang membentur telapak tangannya itu didorong dengan gerakan tak terlalu keras.
Weesss...!
Tetapi hasilnya sangat di luar dugaan. Jalak Hutan yang pantasnya menjadi ayah gadis itu segera terpental kuat. ia bagaikan dilemparkan oleh tenaga raksasa. Tubuhnya melayang dengan cepat dan mem-bentur sebatang pohon berdahan pendek.
Buuhg...!
Gadis berambut poni dengan dua pita merah di kanan kiri itu tertawa cekikikan. Ia segera bersembunyi di balik pohon sambil melongok-longok lawannya yang sedang menggeliat untuk bangkit dengan wajah menyeringai menahan rasa sakit. Dara jelita itu berkata di sela tawa kecilnya dari balik pohon.
"Hi hi hi...! Malu, ah! Orang tua kok jatuh dengan hanya disentakkan oleh tangan gadis kecil seperti aku? Ih, memalukan!"
Jalak Hutan menahan kemarahan, kendati sudah bisa berdiri dengan masih menahan rasa sakit di tulang belakang. Ia membatin, "Bocah sinting dia itu! Menganggap memalukan tapi mengapa dia sendiri yang bersembunyi di balik pohon, sepertinya dia yang merasa malu? Uuh. Setan alas! Jangan-jangan tulang punggungku patah? Sentakkan tangannya sangat hebat. Aku seperti diterjang badai secara tiba-tiba. Jelas ilmu si centil itu cukup tinggi, tapi aku harus bisa membalas kekalahan ku ini!"
Wuuttt...! Jalak Hutan sentakkan dua tangannya. Gelombang angin besar menghantam pohon yang dipakai untuk mengintip dara jelita itu. Kraaakkkk... brukkik! Pohon itu pun tumbang.
"Modar kau, Kuntilanak!" teriak Jalak Hutan, sambil matanya memandang ke arah pohon yang tum-bang, mencari-cari gerakan tubuh yang terhimpit po-hon tersebut.
"Siapa yang modar? Hi hi hi hi...!"
Jalak Hutan terkejut, karena dara jelita itu tahu-tahu sudah ada di belakangnya dalam jarak hanya dua tindak. Ketika Jalak Hutan berpaling ke belakang, tahu-tahu pandangan matanya menjadi gelap seketika karena telapak tangan dara jelita itu menghantam tepat di wajahnya. Plookkk...!
"Kena lagi. Hi hi hi...!" dara jelita itu melonjak kegirangan. Tawanya yang kecil itu berkepanjangan.
Jalak Hutan sadar setelah kepalanya dikibas-kibaskan, pandangan matanya mulai terang. Tampak kaget si Jalak Hutan melihat keadaan dirinya ternyata sudah terkapar di tanah dekat pohon yang ditumbangkannya tadi. Ia pun membatin dalam hatinya,
"Setan belang! Ternyata aku tadi terpental jauh sampai di sini?! Wuuhhh... panas sekali wajahku seperti habis terbakar. Jangan-jangan wajahku menjadi hangus. Wajah Jalak Hutan tidak hangus, hanya memerah dengan bentuk telapak tangan membekas dari mulut sampai pertengahan keningnya. Itulah bekas telapak tangan dara jelita tersebut.
"Jalak Hutan," sapa dara jelita itu. "Aku suka mempermainkan lawanku lebih dulu sebelum kubunuh. Ku harap kau sudi menerima permainan ku ini. Hi hi hi...!"
"Urungkan niatmu membunuhku, Setan betina! Kau akan menyesal karena kau akan kehilangan nyawa sendiri jika berusaha membunuhku!"
"Tidak mungkin ku urungkan. Kau telah membunuh saudara perguruanku; Sanca Wiba itu. Kau tahu, Sanca Wiba hampir menjadi kekasihku. Dia sedang menunggu saat yang tepat untuk utarakan cintanya padaku. Tapi ia telanjur kau bunuh, sehingga kata-kata yang keluar hanya, aaah...! Dan ia pun mati di tanganmu!" dara itu menirukan pekik orang yang mau mati. Ia berjalan dengan lompatan kecil dua kali.
Kemudian ia berkata lagi dengan gayanya yang genit, "Aku sekarang sudah perdalam ilmu. Sebab itu aku berani menuntut balas pada pembunuh calon kekasihku dulu, yaitu kau! Kau harus kubunuh, supaya arwahnya Sanca Wiba merasa puas dalam kematiannya."
"Baiklah kalau itu maumu. Akan kubuat kau menyusul Sanca Wiba secepatnya, Landak Kurap!"
"O, namaku bukan Landak Kurap, Pak Tua! Namaku adalah Gadis Linglung. Eh, itu nama julukan saja. Kalau nama aslinya, tak akan kuberitahukan kepada lelaki peot macam kamu, Jalak Dungu! Hi hi hi...!"
Gadis Linglung tertawa-tawa sambil meraih ranting hijau dan dipermainkan dengan lenggak-lenggok manjanya. Jalak Hutan semakin muak melihat gaya Gadis Linglung itu, lalu ia segera berseru,
"Terimalah jurus 'Alam Kubur'-ku ini, Gadis Linglung! Heaaah...!"
Jalak Hutan menyodokkan telapak tangannya ke depan dengan gerakan dari bawah. Sodokan itu membuat selarik sinar melesat dari telapak tangan kanan-kiri. Dua sinar hijau itu melesat cepat menghantam perut Gadis Linglung. Jruub...! Grussakkk...! Gadis Linglung terlempar ke belakang dan jatuh di semak-semak.
"Mampus kau!" geram Jalak Hutan.
"Mampus apanya?" ucap suara di belakang Jalak Hutan.
Jalak Hutan berpaling cepat karena kaget. Ternyata Gadis Linglung sudah ada di belakangnya. Padahal tadi Jalak Hutan melihat Gadis Linglung terlempar di semak-semak. Belum sempat mata Jalak Hutan berkedip melihatnya, tapi ternyata gadis itu sudah ada di belakangnya.
Untung Jalak Hutan segera ingat peristiwa tadi, begitu ia berpaling dengan cepat tangannya pun berkelebat menangkis pukulan telapak tangan dara jelita Itu. Plak...! Wuuttt...! Jalak Hutan kirimkan tendangan miringnya ke arah wajah. Gadis Linglung, tapi hanya dihindari dengan kepala miring, kaki itu meleset dari sasarannya.
Trakkk...!
"Aoow...!" Jalak Hutan lompat ke belakang dengan gerakan bersalto. Tulang kakinya dihantam dengan tebasan tangan yang kerasnya menyamai sebatang besi itu. Jalak Hutan meringis lagi kesakitan. Wajah-nya menjadi merah karena menahan rasa sakit yang luar biasa.
"Perempuan gembul! Perawan kesurupan! Wanita kadas!" sumpah serapah meluncur dari mulut Ja-lak Hutan. Makian beruntun itu ditertawakan Gadis Linglung. Jalak Hutan makin panas hati dan mulai timbul niatnya untuk benar-benar membunuh Gadis Linglung. Maka, ia pun segera mencabut goloknya.
Sreet...!
"Sudah waktunya aku membunuhmu!" geram Jalak Hutan. Maka, dengan satu sentakan kaki ringan, tubuhnya telah melesat bagaikan terbang ke arah Ga-dis Linglung. Wuuttt...! Goloknya ditebaskan dari atas ke bawah.
Gadis Linglung hanya melompat ke sana kemari dan tidak mau menyerang atau menangkis. Jalak Hutan tambah penasaran sehingga tebasan jurus goloknya kian ditingkatkan. Permainan golok itu sangat cepat, kadang bagaikan melilit di tubuhnya sendiri, lalu tahu-tahu mengibas ke kiri, arah sasaran leher lawan.
Pada satu kesempatan, Jalak Hutan berhasil mengecohkan gerakan hindar Gadis Linglung. Pada saat itu, tubuh Gadis Linglung yang menghindar ke kanan disambut pukulan telapak tangan kiri Jalak Hu-tan dengan telak.
Buuuhg...!
Wuutt, brruk...! Gadis Linglung terpental ketika rusuk kanannya dihantam lawan. Tubuhnya menjadi tersandar di kaki pohon. Ia meringis kecil, dan tiba-tiba Jalak Hutan datang melayang dengan golok siap ditebaskan.
"Tahan...!" teriak sebuah suara yang membuat Jalak Hutan jadi hentikan niat membelah tubuh Gadis Linglung. Ia segera memandang ke arah suara yang berseru itu. Pada saat ia memandang ke arah lain itulah, kaki Gadis Linglung menendang dalam satu lompatan kecil.
Duuhg...! Dagu Jalak Hutan terkena tendangan. Bukan hanya kepalanya saja yang terdongak, tapi tubuhnya terpental ke belakang. Sreet...! Gadis Linglung mencabut pedangnya. Ketika tangannya bergerak naik untuk menebaskan pedang ke arah Jalak Hutan, tahu-tahu sebutir batu melesat menghantam punggung tangannya.
Teesss...!
"Auh!" Gadis Linglung terpekik, pedangnya sempat jatuh dan terlepas dari tangannya itu, namun segera di sambar memakai tangan kiri. Clap...! Pedang kembali tergenggam olehnya. Matanya segera memandang ke arah melesatnya batu kecil akibat tendangan kaki lembut tadi.
Di sana telah berdiri pemuda tampan yang mengejutkan hati Gadis Linglung, dan seorang dara ayu seusia dengannya. Mereka tak lain adalah Yoga dan Lili, sementara di belakangnya berdiri si Tua Usil.
"Maaf, aku bukan ingin mencampuri urusanmu, Jalak Hutan. Aku hanya ingin tanyakan seseorang yang berambut abu-abu. Apakah kau melihat dia lewat kemari?!" tanya Pendekar Rajawali Merah.
"Tidak," jawab Jalak Hutan. "Sebaiknya segeralah pergi, aku ingin bunuh gadis itu!"
"Tunggu! Jangan pergi dulu!" ucap Gadis Linglung tiba-tiba dengan mata tak berkedip memandangi Yoga.
Hal itu membuat Lili menjadi cemburu dan segera dekati gadis itu sambil berkata, "Apa yang kau lihat, hah?!"
"Dewa turun ke bumi!" jawab Gadis Linglung.
Yoga hanya tersenyum geli mendengar jawaban itu. Gadis Linglung yang namanya sempat didengar oleh Yoga dan Lili saat terjadi percakapan dengan Jalak Hutan, kini sedang terbengong dengan mulut sedikit melompong dan mata tetap tak berkedip ke arah Yoga.
Plaakk...! Lili segera menamparnya sambil berkata, "Aku tak suka lihat gadis bermata nakal begitu!"
Gadis Linglung menggeragap dan baru menyadari dirinya. Ia bahkan bertanya, "Apa yang menyambar pipi ku tadi? Seekor lalatkah?!"
Tua Usil yang sudah bergerak ke belakang Gadis Linglung mencolek pundak gadis itu hingga menengok ke arahnya. Tua Usil pun berkata, "Bukan lalat yang menyambar pipimu, Gadis Linglung, melainkan kau habis ditampar oleh Nona Lili di depanmu itu!"
"Kurang ajar!" geram Gadis Linglung kepada Lili. Kemudian ia ganti menampar Lili, tapi Lili segera merundukkan kepala. Wuuttt...! Tamparan itu meleset dan terus ke belakang mengenai pipi Tua Usil.
Plokkk...!
Tua Usil pejamkan mata kuat-kuat menahan tamparan tersebut. Lalu melangkah menyingkir sambil menggerutu kesakitan, "Apes amat aku ini...."
Yoga tertawa geli, lalu segera dekati Lili dan menarik pelan lengan Lili sambil berkata, "Sudahlah. Kita pergi saja. Jangan terlibat terlalu dalam."
Lili menuruti ajakan itu sambil bersungut-sungut. Jalak Hutan segera berkata, "Yoga, aku sendiri sedang mencari keponakanku; si Mutiara Naga! Sudah empat hari aku memburunya. Dia lari dari rumah untuk mencarimu! Sebab dia rindu sekali padamu."
Lili segera berkata menyahut, "Eh, jaga bicaramu, Jalak Hutan! Jangan sebut-sebut rindu bagi perempuan lain!"
"Aku bicara yang sebenarnya, Lili!"
"Tak perlu kau bicara soal kerinduan keponakanmu itu kepada Yoga. Dia tidak berhak merindukan Yoga! Kalau kau mau cari dia, pergilah sana. Cari dia sampai ketemu dan kasih tahu agar jangan punya rindu pada Yoga!"
"Guru, sudahlah...!" bujuk Yoga pelan.
"Hih hi hi hi...!" Gadis Linglung tertawa. "Dewa Tampan itu memanggilmu Guru?! Apa tak salah?"
Wuttt...! Kaki Lili menendang miring. Hampir saja kenai kepala gadis itu karena kecepatannya nyaris tak tertangkap mata Gadis Linglung. Beruntung gerakkan kepala yang miring pun cepat dilakukan oleh Gadis Linglung, sehingga tendangan itu tidak kenai sasaran.
"Gadis Linglung," kata Jalak Hutan. "Terpaksa urusan kita ditunda dulu sampai di sini! Aku harus kerjakan sesuatu yang lebih penting lagi. Kalau kau masih penasaran padaku, datanglah ke pondokku! Akan kulayani dendammu!"
Wuuttt...! Tanpa menunggu jawaban dari Gadis Linglung atau dari siapa pun, Jalak Hutan sentakkan kaki dan melompat pergi tinggalkan tempat tersebut.
"Kau tak ingin mengejarnya?!" pancing Lili supaya mata Gadis Linglung tidak tertuju pada Yoga lagi.
"Kupikir ada benarnya kata-kata Jalak Hutan. Aku sendiri punya urusan yang lebih penting sebelum membunuhnya!"
"Kita pergi sekarang juga, Yo!" Lili dan Yoga segera bergerak, Tua Usil mengikutinya sambil masih usap-usap pipinya yang panas akibat kena tamparan Gadis Linglung tadi.
Namun, tiba-tiba Gadis Linglung berseru, "Tunggu sebentar! Aku ingin tanya kepada kalian, tahukah kalian jalan menuju Lembah Maut?!"
Lili dan Yoga saling pandang, karena mereka ingat kata-kata Bocah Bodoh tentang prasasti di Lembah Maut itu. Lalu, Yoga segera ajukan tanya kepada Gadis Linglung, "Untuk apa kau mau ke sana?"
"Untuk... untuk...?" Gadis Linglung tertegun bengong, memikirkan sesuatu yang lupa diingatnya. "Iya, ya...? Untuk apa aku ke sana? Ya, ampuuun... kenapa aku jadi lupa tujuanku semula? Setan! Ini pasti gara-gara bertemu dengan Jalak Hutan itu, rencanaku jadi lupa sekali."
Ucapan itu membuat Yoga dan Lili saling berkerut dahi, demikian pula si Tua Usil. Bahkan si Tua Usil sempat berkata, "Mungkin kau ke sana mau gantung diri?"
"Ooo, iya! Benar! Aku ke sana mau cari Prasasti Tonggak Keramat!" kata Gadis Linglung yang membuat si Tua Usil bersungut-sungut dan menggerutu,
“Apa hubungannya kata-kata gantung diri dengan Prasasti Tonggak Keramat?! Uuh... dasar gadis edan!"
Yoga segera berkata, "Gadis Linglung, sayang sekali kami sendiri tidak tahu di mana letaknya Lembah Maut itu. Kami sendiri sedang mencari seseorang yang sedang menuju ke Lembah Maut! Tapi kalau boleh kami ingin tahu, ada apa dengan Prasasti Tonggak Keramat di sana? Mengapa kau ingin mencari prasasti itu?"
Gadis itu manggut-manggut sambil berjalan mondar-mandir memikirkan sesuatu, setelah itu berhenti melangkah dan berkata, "Entahlah. Aku lupa apa yang akan kucari di sana. Tapi nanti pasti aku akan ingat kembali kalau sudah ku temukan prasasti itu! Selamat tinggal, Dewa Tampan Yoga...!"
Claap...!
"Setan kucir!" geram Lili. "Dia pikir hanya dirinya yang bisa hilang dalam sekejap begitu?!"
"Tak usah hiraukan dia, Guru!"
"Aku tidak suka dengan gadis itu!" gerutu Lili.
"Aku pun juga!" kata Yoga tapi matanya mengedip kepada si Tua Usil. Manusia kabut itu hanya menyeringai geli dengan disembunyikan. Mendadak mereka dikejutkan oleh pekikan kecil di kejauhan. Sekali pun letaknya jauh, namun mereka mendengarnya dengan jelas.
"Suara lelaki menjerit!" kata Tua Usil kepada Yoga.
Lili menyahut, "Jangan-jangan si Bocah Bodoh; Cola Colo itu?!"
"Aku ingin memeriksanya, Guru!" Yoga segera pergi lebih dulu, Lili pun akhirnya mengikuti Yoga bersama si Tua Usil.
Mereka terkejut setelah mengetahui siapa yang menjerit tadi. Ternyata Jalak Hutan yang menjerit. Tapi sekarang ia sudah tak dapat menjerit lagi, karena sudah terkapar tak bernyawa dengan luka robek dari perut sampai ke lehernya. Tentu saja darah mengalir banjir di sekitar mayat Jalak Hutan.
Mereka merasa aneh melihat kematian Jalak Hutan. Luka robek sama dengan luka robek yang ada di mayat Lembayung Senja. Lebih aneh lagi, mereka melihat Bocah Bodoh itu ada di dekat mayat tersebut, memperhatikan dengan mata tegang. Ketika Yoga da-tang bersama Lili dan Tua Usil, Bocah Bodoh itu segera gemetar ketakutan, wajah tuanya tampak pucat.
"Pasti kau yang melakukannya, Cola Colo!" geram Lili.
"Buk... bukan saya, Nona! Sumpah seribu kata, saya tidak membunuh orang ini! Saya dengar suara jeritan, lalu saya datangi tempat ini karena ingin tahu apa yang terjadi. Belum lama saya tiba di sini, belum puas saya pandangi mayat itu, Nona datang bersama rombongan. Saya... saya tak sempat lari bersembunyi!"
"Omong kosong!" bentak Lili. "Yang ku tuntut bukan kematian orang ini, tapi kematian Lembayung Senja. Dua kali kematian seperti ini selalu kulihat dirimu ada di sini, Bocah Bodoh!" Lili melangkah dengan mata memandang tajam.
Bocah Bodoh ketakutan sekali. Ia melangkah mundur, geleng-geleng kepala sambil berkata dengan suara gemetar. "Bukan saya, Nona! Sungguh...! Sumpah disambar perawan saya berani, Nona! Bukan saya yang membunuhnya...! Ibu saya wanti-wanti tidak boleh saya membunuh siapa pun, kecuali kepepet. Tadi saya tidak kepepet, jadi saya tidak membunuh siapa pun! Demi langit dan bumi, jangan sampai bertemu biar kita tidak hancur binasa, Nona!"
"Guru...!" panggil Yoga mengingatkan. Tapi Lili menjadi semakin dongkol karena menganggap Bocah Bodoh itu hanya berpura-pura. Maka dengan cepat Lili menendang tubuh Bocah Bodong itu.
Duuhg...! Wuusss...!
Bocah Bodoh terlempar jauh dan terguling-guling tak karuan. Ia menjerit kesakitan. Namun segera bangun dan cepat larikan diri dengan rasa ketakutan. "Aku akan kejar dia. Penasaran sekali aku padanya!" kata Lili. “Tua Usil, kau ikut aku! Yoga, pergilah ke Lembah Maut dan cari tahu ada apa di Prasasti Tonggak Keramat itu!"
TIGA
TETAPI Yoga memilih mengejar Bocah Bodoh. Karena ia berpendapat, Bocah Bodoh itu belum tentu bersalah. Jika Lili marah sampai kehilangan kendali, Bocah Bodoh itu bisa dibunuhnya atau setidaknya dilukai. Karenanya, Lili dan Tua Usil menuju ke Lembah Maut, sebab Tua Usil konon pernah melewati daerah tersebut, sedangkan Yoga memburu Bocah Bodoh, yang saat itu belum tentu lari ke arah Lembah Maut. Bocah Bodoh lari tanpa arah, karena hanya semata-mata ingin hindari amukan Lili saja.
Dalam perjalanannya, Yoga sempat berkata dalam hatinya, "Tak kulihat dia membawa senjata apa pun. Sedangkan kematian Lembayung Senja dan Jalak Hutan itu mempunyai luka panjang yang sepertinya bekas tebasan pedang. Rasa-rasanya tak mungkin Bocah Bodoh yang lakukan hal itu. Tapi mengapa dia selalu ada di tempat kejadian? Benarkah hanya sesuatu yang bersifat kebetulan saja? Atau barangkali memang dia yang membunuh Lembayung Senja dan Jalak Hutan? Jika benar dia yang melakukan, lantas dia lakukan dengan cara bagaimana? Sedangkan tubuhnya kuperhatikan selalu bersih tanpa setitik darah pun. Jika misalnya ia lakukan dengan tangannya, setidaknya tangannya pasti berlumur darah. Hmm...! Orang tua yang sikapnya seperti bocah itu sangat mencuriga-kan dan aneh. Jangan-jangan di balik kebodohannya itu ia sembunyikan kekejian yang melebihi binatang?!"
Cukup lama Yoga berlari mengejar Bocah Bodoh itu, tapi ia tidak temukan seseorang pun di perjalanan. Mungkinkah gerakan lari Yoga terlalu cepat sehingga mendahului Bocah Bodoh? Karena berpikiran begitu, maka Yoga pun segera hentikan langkah. Ia mencoba menunggu kedatangan Bocah Bodoh di bawah gugusan tanah cadas yang menggunung bagaikan bukit kecil itu.
Namun baru saja ia mempertimbangkan kemungkinan lain tentang Bocah Bodoh itu, tiba-tiba ada seberkas sinar berkelebat menghantam dadanya. Wuuttt...! Yoga cepat menahan kelebatan sinar kuning menyilaukan itu dengan satu tangannya yang menyala merah bara.
Blaarrr...!
Yoga terpental ke belakang dan jatuh terkapar. Secepatnya ia bangkit dan pandangi sekeliling tempat. Ia sama sekali tak menyangka kalau sinar putih menyilaukan itu mempunyai kekuatan yang cukup tinggi, sehingga ia tak kuat menahan dengan kerahan tenaga dalam melalui telapak tangan kanannya.
"Mungkinkah Bocah Bodoh mempunyai kekuatan sehebat tadi?!" pikir Pendekar Rajawali Merah. Matanya masih memandang tegang sekeliling. Tak ada orang, tak ada gerakkan, kecuali daun ditiup angin siang.
Tetapi tiba-tiba Yoga merasakan gelombang panas mendekatinya dari belakang. Ia pun cepat sentakkan kaki dan melompat ke samping kiri. Sambil melompat ia berbalik dan melepaskan pukulan jarak jauh melalui kibasan dua jari tangan kanannya. Zlaap...! Sinar merah menghantam kelebatan sinar kuning bergelang-gelang. Blaarrr...! Ledakan cukup dahsyat kembali terjadi akibat tabrakan dua sinar tersebut.
Ledakan itu bukan saja membuat beberapa daun gugur, namun juga membuat bayang-bayang di depan mata Yoga menjadi semakin jelas. Bayang-bayang itu membentuk sesosok tubuh tinggi besar, berperut gendut. Mata lebar di wajah angker itu segera dikenali oleh Yoga. Orang yang kini tampakkan diri dari alam siluman itu tak lain adalah Malaikat Gelang Emas, musuh utamanya yang juga menjadi musuh mendiang gurunya, si Dewa Geledek.
Malaikat Gelang Emas, tokoh sesat yang paling ditakuti untuk masa itu. Dengan baju abu-abu dan jubah hitam dilapisi kain merah satin pada tepiannya, sosok kesesatan hidupnya terlihat nyata. Rambutnya botak separo, sisanya terurai panjang diikat dengan ikat kepala merah mempunyai simbol swastika di ten-gahnya. Orang beralis mata tebal ke atas itu menggeram penuh nafsu membunuh kepada Pendekar Rajawali Merah. Ia berkata tak bersahabat.
"Sekarang kau tak akan bisa lolos dari tanganku, Kerbau Buntung!"
Yoga bersikap tenang, walau hatinya sedikit cemas karena ia tahu kesaktian orang itu lebih tinggi darinya. Namun hati kecil Yoga segera berkata, bahwa dia belum tentu kalah melawan Malaikat Gelang Emas, karena dia pun mempunyai ilmu yang bertambah tinggi dibandingkan masa-masa pertama turun gunung. Dengan tegar Yoga berkata, "Apa maumu, Manusia Sesat?!"
"Menumbuk mu sampai menjadi abu!" jawabnya dalam geraman. "Kecuali kau mau serahkan Pedang Lidah Guntur itu, maka akan kubebaskan kau dari ancaman mati tanganku, Kerbau Buntung!"
"Pusaka Pedang Lidah Guntur ini adalah nyawaku! Kalau kau bisa ambil nyawaku, maka kau bisa ambil pedang ini!"
"Keparat! Berani betul kau bicara menantang di depanku! Heaah...!"
Malaikat Gelang Emas hantamkan pukulan ke depan, Dalam jarak empat tindak di depan Yoga, puku-lan itu mengeluarkan cahaya kuning emas yang me-lingkar. Gelang-gelang emas yang sangat ampuh itu melesat menghantam tubuh Yoga. Tetapi dengan cepat, Yoga segera cabut pedangnya dan petir pun menggelegar di angkasa sebagai tanpa tercabutnya Pedang Lidah Guntur dari sarungnya.
Claappp...! Pedang Lidah Guntur yang membara merah Itu keluarkan sinar merah dari ujungnya. Si-nar merah itu menghantam sinar kuning yang berben-tuk gelang-gelang. Blegaarrr...! Ledakan amat dahsyat terjadi dan membuat tubuh Yoga terpental ke belakang. Namun ia masih bisa jaga keseimbangan dan mendarat dengan kedua kaki tegak di tanah.
Malaikat Gelang Emas hanya mundur setindak waktu terjadi ledakan amat dahsyat itu. Untuk mempercepat kerjanya, Malaikat Gelang Emas segera tebarkan sesuatu dengan tangan bergerak menebar. Wuusss! Sinar hijau berbentuk rajutan jala menebar lebar, keluar dari telapak tangan kanannya. Sinar hijau itu segera menyergap tubuh Yoga.
Tetapi Yoga segera kibaskan pedangnya ke udara dengan gerakan cepat dan berulang-ulang. Kilatan cahaya merahnya membentuk jaring-jaring bersinar yang segera melayang cepat ke depan. Jaring-jaring sinar merah bertemu dengan jala hijau.
Zroobb...! Blaarrr...!
Wuusss...! Angin badai berhembus sangat kencang, menyebar dari hasil ledakan tadi. Tubuh Yoga semakin terlempar karena hembusan yang luar biasa kuatnya, hingga menumbangkan dua pohon besar jauh di belakang Pendekar Rajawali Merah. Beberapa bongkah batu cadas pun hancur remuk menjadi pasir putih kecoklatan. Sedangkan Malaikat Gelang Emas terhuyung-huyung ke belakang hampir jatuh tumbang.
Ketika keduanya sama-sama berdiri, Malaikat Gelang Emas yang bertubuh seperti seekor gajah itu melesat bagaikan terbang ke arah Yoga. Kini ia keluarkan senjata yang terselip di pinggang belakangnya, berupa gelang-gelang dari logam emas yang bergerigi dengan lebar garis tengah dua jengkal.
Pada waktu itu, Yoga pun segera gunakan jurus 'Petir Selaksa' yang mampu bergerak menyerang lawan dengan cepatnya. Zlaappp...! Pedangnya diarahkan ke tubuh lawan. Tetapi ketika tiba di pertengahan jarak, mereka beradu senjata beberapa kali. Gelang-gelang emas dua buah itu digunakan untuk menangkis kibasan pedang Yoga yang selalu memancarkan sinar merah itu.
Trang! trang! trang...! Bluusss...!
Pedang Pendekar Rajawali Merah berhasil menghujam di perut Malaikat Gelang Emas, tapi ia seperti menghujam angin. Tak ada rasa yang bisa dira-sakan, tak ada sentuhan yang bisa disentuh. Tetapi sebaliknya, gelang-gelang emas itu berhasil dihantamkan ke tubuh Yoga. Hanya saja, Yoga cepat merundukkan kepala. Wuursss...! Gelang-gelang itu meleset dari sasaran. Namun kaki Malaikat Gelang Emas segera menghentak ke depan dan telak sekali dada Yoga terkena tendangan kaki besar tersebut.
Buuhg...!
Wuusst...! Tubuh Yoga terpental jauh dan terguling-guling. Ia lekas bangkit karena Malaikat Gelang Emas bagaikan angin yang sedang mengejarnya. Dada Yoga terasa sangat panas, namun ditahannya. Ia menebaskan pedang ke depan. Wuuttt...! Bias sinar merah yang melesat itu akan merobek lawan tanpa tersentuh ujung pedang. Tapi, kali ini sinar merah itu bagaikan merobek angin tanpa arti. Tubuh Malaikat Gelang Emas masih menyerbu dalam gerakan seperti angin menghembus.
Trang...! Brraasss...!
Yoga menghindari gelang bergerigi yang memercikkan sinar kuning pada waktu ditebaskan. Lalu, menangkis gelang yang satu dengan pedangnya. Benturan dua senjata pusaka itu menimbulkan ledakan yang mementalkan tubuh Yoga.
Blarrr...!
Pendekar Rajawali Merah terbentur dinding teb-ing bukit cadas kecil itu. Cukup keras benturan tersebut, sehingga membuat kepala Yoga terasa amat pusing.
"Celaka! Aku sama saja bertarung melawan bayangan?!" pikir Yoga sebelum Malaikat Gelang Emas menyerangnya kembali. "Sebaiknya kugunakan jurus baruku dari Lili; jurus 'Sinar Buntung'!"
Tangan kiri Yoga yang buntung sebatas sikut disentakkan ke depan dengan tubuh sedikit meliuk ke kiri. Claappp...! Selarik sinar merah melesat menghantam tubuh Malaikat Gelang Emas yang sedang bersiap melepaskan lemparan gelang-gelang emasnya.
Blarrr...!
Tubuh Malaikat Gelang Emas terhempas ke belakang tiga tindak, tapi tak terluka sedikit pun. Bahkan sekarang ia bersiap untuk lemparkan senjata gelang bergerigi tersebut.
"Hentikan!" tiba-tiba sebuah suara berseru dari atas bukit kecil.
Wuuttt...! Pemilik suara itu melompat dari atas bukit dan bersalto dua kali. Kemudian dengan sigap kakinya menapak tanah di depan Yoga, tepat menghadap Malaikat Gelang Emas yang membuat tokoh sesat sulit dilukai itu urung lemparkan senjatanya.
"Kencana Ratih...?!" desis Yoga dengan rasa kaget melihat gadis keponakan Leak Parang itu sudah ada di depannya.
Malaikat Gelang Emas segera kendurkan murkanya dan pandangi Kencana Ratih. Gadis berbaju merah longgar yang bertubuh sekal itu juga menatap mata Malaikat Gelang Emas. Tatapan mata itu membuat Malaikat Gelang Emas menjadi bermata redup. Kian lama wajahnya kian menyimpan kesedihan, lalu mu-lutnya berucap kata,
“Asmarani...?! Kaukah itu...?!"
"Dia menyebut nama itu lagi?" pikir Yoga. "Dulu juga dia pernah menjadi takut kepada Kencana Ratih dan menyebut nama Asmarani." (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Gerombolan Bidadari Sadis").
Cepat-cepat senjata gelang-gelangnya disembunyikan di pinggang belakang. Malaikat Gelang Emas undurkan langkah tiga tindak sambil masih memandang iba kepada Kencana Ratih, dan Kencana Ratih memandang penuh tantangan. Kejap berikutnya, Malaikat Gelang Emas terlihat balikkan badan dan pergi, lalu menghilang dengan ilmu 'Bayang Siluman'-nya itu.
"Sekali lagi kau mengganggunya, kubunuh kau!" teriak Kencana Ratih seakan ia yakin betul bahwa Malaikat Gelang Emas mendengar suaranya.
Kencana Ratih segera menghembuskan napas lega setelah Malaikat Gelang Emas pergi. Kemudian, ia segera balikkan badan dan memandang Yoga yang sedang memasukkan pedang pusaka ke sarungnya. Srekkk...!
"Yo...," ucap gadis berlesung pipi itu dengan lembut. Ia segera hampiri Yoga, lalu memeluk pendekar tampan pemikat hati wanita itu. "Aku rindu padamu, Yo...!" bisikan Kencana Ratih semakin lembut.
Yoga segera alihkan percakapan dengan bertanya, "Dia menyebut mu Asmarani? Siapa sebenarnya Asmarani itu? Apakah itu nama aslimu?"
"Bukan," jawab Kencana Ratih sambil melepaskan pelukannya. Ia pandangi Yoga beberapa saat, sepertinya sedang melepas rindunya yang selama ini tertahan dan tak mampu lagi disembunyikan.
Yoga sendiri menjadi kikuk menerima pelukan itu, dan kembali mengalihkan suasana dengan bertanya, "Benarkah namamu bukan Asmarani?"
"Sungguh, nama itu bukan namaku. Aku pernah ceritakan pengalaman pertemuanku dengan Ma-laikat Gelang Emas kepada Paman Leak Parang. Kuse-butkan pula nama Asmarani yang diucapkan Malaikat Gelang Emas itu Lalu, Paman Leak Parang menjelaskan padaku, bahwa Asmarani adalah nama anaknya Malaikat Gelang Emas."
"Dan kau anaknya Malaikat Gelang Emas?"
Gadis itu sunggingkan senyum berlesung pipit yang amat digemari oleh hati Yoga. Namun Yoga menahan keindahan yang mendebarkan itu dengan tarikan napas lembutnya.
"Asmarani sudah meninggal," kata Kencana Ratih. "Menurut Paman, wajah Asmarani memang serupa sekali dengan wajahku, potongan tubuhnya juga sama dengan potongan tubuhku. Tapi dia punya tahi lalat kecil di sudut mata kirinya. Anak itu mati akibat salah sasaran, terkena senjata ayahnya sendiri. Padahal Malaikat Gelang Emas sangat sayang kepada Asmarani, sehingga kematian Asmarani itu membuatnya menyesal sepanjang masa. Sekarang anak itu dimakamkan di bawah kerimbunan pohon jambu, di kaki bukit Seruling."
"Ooo...," Yoga manggut-manggut. "Jadi, dia bukan takut kepadamu, namun tak tega jika dia harus menyerangmu?"
"Begitulah kira-kira. Tapi menurut dugaan paman, Malaikat Gelang Emas selalu dihantui oleh roh anaknya sendiri yang seolah-olah ingin menuntut balas atas kematiannya."
"Kasihan dia sebenarnya," gumam Yoga lirih.
Tapi karena Kencana Ratih mendengarnya, maka ia menyahut, "Lebih kasihan diriku."
"Kenapa?"
"Tersiksa rindu," jawab Kencana Ratih dengan pelan.
"Sahabat yang baik, wajar jika punya rindu kepada sahabat yang jauh," kata Yoga di sela senyumannya yang amat dikagumi oleh Kencana Ratih serta beberapa gadis cantik lainnya itu.
"Aku tak mau lagi jauh darimu, Yo! Aku tak sanggup menahan rindu yang amat menyiksa itu. Aku harus selalu dekat denganmu, ke mana pun kau pergi, aku harus ikut, Yo!"
"Urusanmu berbeda dengan urusanku, Kencana Ratih."
"Aku tidak peduli. Pokoknya aku harus selalu bersamamu. Aku tidak mau berpisah darimu, Yo!"
"Kau tak boleh begitu. Kau tahu siapa aku, tentu kau akan sering merasa dongkol dan lebih tersiksa jika ke mana-mana selalu bersamaku, Kencana Ratih."
"Kenapa kau menolak kehadiranku dl hatimu, Yo? Kau... kau sepertinya benar-benar tak mau hiraukan diriku yang mencintaimu, Yo!"
"Karena... di hatiku sudah ada Lili, guru angkatku itu!"
"Hmmm. Lili!" ketus Kencana Ratih dengan cemberut, ia diam sambil membelakangi Yoga. Pemuda tampan itu melangkah ke batu dan segera duduk di sana sambil tersenyum melihat kecemberutan Kencana Ratih.
Lalu, gadis itu berpaling memandang Yoga dan berkata, "Kalau kau mencintai Lili, kenapa kau tidak selalu bersamanya?"
"Dia punya tugas lain; pergi ke Lembah Maut untuk selidiki ada apa dengan sebuah prasasti di sana yang bernama Prasasti Tonggak Keramat!"
"Lembah Maut...?!" gumam Kencana Ratih. "Kalau begitu aku harus segera menyusulnya ke sana!"
"Untuk apa?!" Yoga agak tegang.
"Akan ku tantang ia bertarung sampai mati. Ingin ku buktikan, siapa yang berhak mencintai kau; dia atau aku!"
Kencana Ratih pergi pada saat Yoga terperanjat kaget. Sebenarnya Yoga ingin mencegah, tapi ia lebih tertarik melihat sekelebat bayangan yang melintas di semak seberang. Yoga pun segera mengejar bayangan itu.
EMPAT
BAYANGAN yang dikejar Yoga menghilang dengan cepatnya. Yoga kehilangan jejak. Tapi firasatnya yang sering menjadi tajam itu, mengatakan bahwa ia harus ke arah barat. Pendekar Rajawali Merah sering merasa heran pada dirinya. Sejak ia dalam keadaan tak sadar bagaikan mimpi ditemui bayangan gurunya, firasatnya menjadi tajam terhadap hal-hal yang dl luar dugaannya.
Kadang ia ingin menentang kata batin atau perintah hati nuraninya itu, tapi ia selalu tidak bisa melakukan tantangan itu. Dan yang repot lagi, ia selalu menjadi penasaran oleh firasatnya sendiri. Sebab itulah, Yoga menuruti apa kata hati nuraninya itu, bahwa ia harus melangkah ke arah barat.
Padahal menurut perhitungan otaknya, tak mungkin bayangan yang tadi dilihatnya itu bergerak menuju ke barat, sebab arah barat merupakan hutan rimbun, sukar dijangkau kedalamannya, sedangkan arah utara maupun timur punya jalan yang lebih cepat untuk dilalui. Banyak gugusan batu yang bisa dipakai untuk bersembunyi.
Ternyata firasatnya itu ingin menunjukkan sesuatu yang di luar dugaan Yoga. Di balik semak-semak mata Yoga melihat sebuah pedang tergeletak di tanah, bagian yang tajam berkerlip karena pantulan sinar matahari. Mata Pendekar Rajawali Merah segera mengikuti arah pedang itu sampai ia temukan tangan seseorang yang terkulai tanpa gerak sedikit pun. Tangan itu agaknya tangan seorang perempuan, karena mempunyai jari yang lentik. Yoga semakin bergegas mendekatinya.
Luar biasa terkejutnya Yoga setelah ia melihat seorang gadis tergeletak tanpa nyawa di balik semak-semak tersebut. Gadis itu mengenakan pita merah dalam ikatan rambutnya yang menjadi satu. Wajahnya lonjong, cantik, berhidung mancung. Ia mengenakan baju merah rompi rapat warna biru muda dengan sabuk putih.
Gadis itu mati dalam keadaan luka panjang, dari perut sampai ke leher. Agaknya ia dibunuh dengan senjata tajam yang sama dengan nasib Lembayung Senja dan Jalak Hutan. Jurus yang digunakan pembunuhnya juga sama dengan jurus yang digunakan untuk menghabisi nyawa Lembayung Senja dan Jalak Hutan. Yoga tertegun tak berkedip melihat mayat gadis yang cukup akrab dikenalnya itu. Karenanya, Yoga segera mengucap pelan dengan hati duka yang tertahan.
"Mutiara Naga...?!" Yoga menarik nafasnya. "Oh, malang nian nasibmu. Pamanmu, Jalak Hutan, juga dibunuh seperti keadaanmu sekarang. Tapi entah siapa yang lebih dulu dibunuh, kau atau pamanmu? Yang jelas, darahmu masih basah, ini pertanda belum terlalu lama kau dibunuh oleh seseorang. Siapakah orang itu, Mutiara Naga? Bisakah kau mengatakannya lewat bisikan batin ku?"
Tak ada bisikan yang didengar oleh telinga batin Yoga pada saat itu. Hanya saja, beberapa saat ia mendengar suara rumput diinjak kaki yang makin lama makin menjauh dan dilakukan dengan pelan-pelan. Suara itu datang dari arah belakangnya. Mata Yoga melirik ke arah samping dan menyimak betul-betul suara itu. Agaknya ada seseorang yang hendak tinggalkan tempat tersebut secara diam-diam.
Dengan cepat Yoga berbalik badan sambil tangan buntungnya menyentak ke depan. Zlaappp...! Sinar merah terlepas bagai selarik besi panjang ke arah langkah kaki tersebut. Jurus Sinar Buntungnya itu mengenai sebatang pohon, dan seseorang yang ada di dekat pohon itu menjerit ketakutan sambil berlari menjauhinya.
Blarrr...!
"Aaauww...! Ampuun...! Ampun, Kaang...!"
Pohon yang pecah menjadi serpihan kecil itu tidak dihiraukan lagi oleh Yoga, Ia segera lari mengejar orang yang berteriak ketakutan itu. Orang tersebut tak lain adalah Cola Colo, si Bocah Bodoh. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya menggigil ketakutan sewaktu tangan Yoga mencengkeram rompinya dari belakang dan membuatnya tak bisa melarikan diri lagi.
Yoga menyeret Bocah Bodoh itu sampai di samping mayat Mutiara Naga. Wajah Bocah Bodoh dipalingkan dengan mata sedikit terpejam karena merasa ngeri melihat keadaan mayat tersebut.
"Jangan, Tuan! Jangan saya disuruh menghidupkan mayat itu. Saya tak bisa, Tuan! Sumpah serapah pun berani, saya tak bisa menghidupkan mayat, Tuan!"
Tangan Yoga segera mencomot wajah Bocah Bodoh, meremas pelan kedua pipinya dengan dihadapkan ke arahnya, lalu berkata dongkol, "Aku tidak menyuruhmu menghidupkan mayat itu, Bodoh!"
Mulut yang teremas dengan bibir monyong itu menjawab, "Fukur, fukur... Feliwa kawin!"
"Terima kasih apanya?! Kau harus mengaku siapa dirimu sebenarnya!" gertak Yoga dengan mata sengaja dibuat tajam dalam memandang. Remasan pa-da wajah itu dilepas oleh Yoga. Bocah Bodoh menelan ludah menenangkan dirinya yang ketakutan. Matanya melirik ngeri ke arah mayat.
"Jangan... jangan saya lagi yang dituduh, Tuan. Saya sudah bosan dituduh jadi pembunuh oleh Tuan dan teman-teman Tuan.
"Namaku Yoga, temanku yang wanita tadi bernama Lili, dan yang tua hampir sebaya denganmu itu bernama Tua Usil," kata Yoga mencoba mengakrabkan diri supaya Bocah Bodoh itu tidak merasa takut. Menurut Yoga, barangkali jika Cola Colo tidak merasa ketakutan, ia berani jelaskan apa yang ia lihat dan apa yang ia lakukan.
"Sekarang kau menjadi sahabatku, Cola Colo! Sekarang mengakulah apa yang kau lakukan di sini tadi dan apa yang kau lihat!"
"Yang saya lakukan... saya mau lari, lalu Tuan keluarkan sinar merah menghantam pohon, saya takut, lalu saya semakin lari dan...."
"Sebelum aku datang!" sentak Yoga dengan jengkel. "Sebelum aku datang kemari, apa yang kau lihat dan kau lakukan?!"
"Jalan," jawabnya dengan pendek dan polos.
"Jalan ke mana?"
"Jalan ke sana, mau mencari Lembah Maut. Sebab di sana ada prasasti, dan saya ditugaskan oleh Ibu untuk...."
"Yang itu aku sudah tahu! Jangan jelaskan lagi!" bentak Yoga dengan jengkel.
Bocah Bodoh memejam-mejamkan mata ketika dibentak beruntun. Ia jadi ketakutan kembali. Yoga sadar hal itu tidak akan membuat Bocah Bodoh berani berkata jujur. Oleh sebab itu, Yoga segera menarik napas, menenangkan kejengkelannya sesaat, lalu berkata lagi,
"Begini, ia merangkul pundak Bocah Bodoh. Tadi, sebelum aku datang kemari, kau sedang jalan. Lalu kau bertemu dengan seseorang dan orang itu kau bunuh. Begitu?!"
"Ya. Tapi saya tidak membunuh seseorang, sebab seseorang yang saya temui itu adalah Tuan Yoga sendiri."
"Aku...?!"
"Ya. Saya lihat tuan berdiri di situ, lalu saya semakin curiga dengan apa yang dilihat Tuan. Saya dekati, dan saya lihat ada mayat. Saya takut, lalu saya mundur, lalu tuan lepaskan sinar merah, lalu pohon itu hancur, saya lari, tuan tangkap saya, saya diseret kemari dan tuan paksa saya mengaku sebagai pembu-nuhnya, kemudian...."
"Cukup!" potong Yoga. "Jadi kau datang kemari setelah lihat aku ada di sini?!"
"Nah, itu yang betul, Tuan!" Bocah Bodoh tersenyum girang. Wajah tuanya yang kebocahan itu menggelikan hati Yoga, namun Yoga menahan diri untuk tidak tertawa. Ia hanya tersenyum dan segera berkata,
"Kau kenal dengan mayat itu?"
“Tidak, Tuan. Sekarang pun seandainya saya diajak kenalan oleh dia, saya tidak mau, Tuan. Sebab dia sudah menjadi mayat," jawabnya seakan dengan sungguh-sungguh mengutarakan isi hatinya.
"Kau melihat sekelebat orang dari sini?"
"Tidak, Tuan. Tapi kalau di balik gundukan tanah di sebelah sana, saya tadi melihat seseorang berkelebat pergi. Saya lebih tertarik menghampiri Tuan daripada memperhatikan orang tersebut, maka saya segera datang kemari, Tuan. Saya yakin, pasti di sini ada mayat yang mengherankan Tuan."
"Dari mana kau yakin kalau di sini ada mayat?"
"Dari sebelah sana tadi, Tuan."
"Maksudku, bagaimana kau bisa tahu kalau di sini ada mayat?"
"Jantung saya selalu berdebar-debar kalau ada mayat tak jauh dari tempat saya berjalan, Tuan."
"Selalu begitu?"
"Ya. Selalu begitu. Kalau tidak ada mayat, jantung saya tidak berdebar-debar, Tuan. Tapi kalau selagi saya berjalan, lalu tiba-tiba jantung saya berdebar-debar, berarti tak jauh dari tempat saya berjalan, pasti ada mayat tergeletak. Saya segera hampiri untuk melihat mayat itu, barangkali mayat orang yang saya kenal."
Yoga manggut-manggut sambil menekan rasa sedih melihat mayat Mutiara Naga. Kemudian untuk meyakinkan jawab Bocah Bodoh, Yoga bertanya lagi, "Mengapa jantungmu berdebar-debar jika ada mayat di sekitarmu?"
"Saya punya ilmu 'Getar Jantung', Tuan."
"Dari siapa ilmu itu kau peroleh?"
"Dari Ibu saya, Tuan."
"Ibumu orang sakti?"
"Bukan, Tuan. Ibu saya orang berilmu tinggi. Saya tak boleh menyombongkan diri dengan mengatakan Ibu orang sakti, Tuan."
Hening tercipta beberapa saat, karena Yoga tidak ajukan pertanyaan lagi kepada Bocah Bodoh, dan Bocah Bodoh itu tidak berani bicara sebelum ditanya. Ia masih merasa takut kepada Yoga. Saat itu, Yoga berlutut sambil memeriksa lebih teliti luka panjang yang diderita mayat Mutiara Naga itu. Hatinya sempat berkecamuk.
"Firasat ku mengatakan, Bocah Bodoh berkata sejujurnya. Jadi, jika bukan dia, lantas siapa pembunuh Mutiara Naga itu? Mungkinkah Gadis Linglung itu? Kulihat dia mempunyai pedang di pinggangnya. Jika benar yang membunuh Gadis Linglung, lalu persoalan apa yang dihadapi Gadis Linglung terhadap Mutiara Naga, Jalak Hutan, dan Lembayung Senja? Jelas, jika terhadap Jalak Hutan dia punya dendam karena kematian saudara seperguruannya. Tapi haruskah dia juga membunuh Mutiara Naga? Haruskah dia membu-nuh Lembayung Senja?"
Dengan dada terasa sesak, Yoga menarik napas panjang-panjang sambil masih jongkok berlutut di samping mayat gadis yang sering merindukannya itu. Yoga terngiang kata-kata Jalak Hutan saat terakhir bertemu dengannya tadi, bahwa Mutiara Naga mencari-cari dirinya karena sangat rindu kepadanya. Alangkah menyedihkan nasib Mutiara Naga, mencari orang yang dirindukan, tapi yang ia temukan adalah kematian.
"Maafkan aku, Mutiara Naga," ucap batin Yoga kembali. "Aku tidak bisa menerima cinta mu, walau aku tahu kau mencintai ku, sama seperti Kencana Ratih, Mahligai, Sendang Suci, Lili, dan gadis-gadis lainnya. Kalau saja hatiku bisa menjelma menjadi seribu hati, mungkin aku rela memberikannya satu untukmu. Sayang sekali hatiku hanya satu dan sudah telanjur memiliki dan dimiliki oleh Pendekar Rajawali Putih itu. Jadi, mau tak mau aku harus menghindari kasih mu, daripada aku harus membalas dengan kepalsuan cin-ta. Namun sejujurnya ku katakan, bahwa aku senang bersahabat denganmu...."
Untuk memakamkan mayat Mutiara Naga, Yoga harus minta bantuan Bocah Bodoh. Ia segera bangkit dan menemui Bocah Bodoh. Tapi orang berusia banyak itu ternyata sudah tidak ada di tempatnya. Ia telah pergi entah ke arah mana.
Mata Pendekar Rajawali Merah segera terpejam, ia ingin mengikuti kata firasatnya. Lalu ia temukan firasatnya berkata, bahwa ia harus melangkah ke utara. Maka ia pun melangkah ke sana, karena firasatnya berkata bahwa ke arah utara itulah Bocah Bodoh pergi meninggalkan dirinya.
Sekali lagi apa yang ada dalam firasatnya itu memang terbukti benar. Bocah Bodoh ada di sana, tapi kali ini ia sedang berhadapan dengan Gadis Linglung. Yoga menjadi tertarik untuk mengintai percakapan dan pertemuan mereka. Karena Yoga ingin tahu, ada hubungan apa antara Bocah Bodoh dengan Gadis Linglung yang cantik jelita itu?
Gadis Linglung mendekati Bocah Bodoh dengan mulut lancip, pertanda menahan kegemasan dalam hatinya. Bocah Bodoh melangkah mundur pelan-pelan, tampak cemas dan ketakutan.
"Kalau kau tak menunjukkan tempat itu, kau akan ku siksa di sini, Bocah Bodoh!"
"Janganlah! Aku pasti sakit kalau kau siksa, Gadis Linglung!" Bocah Bodoh tampak memohon.
"Kalau tak mau ku siksa, lekas tunjukkan di mana prasasti itu berada! Lekas katakan arah mana yang harus ku tuju?!"
"Sumpah gancet berani aku! Sudah kukatakan, aku tidak tahu secara pasti, Gadis Linglung. Aku hanya tahu kalau Prasasti Tonggak Keramat itu ada di Lembah Maut. Tapi aku tidak tahu di mana arah dan tempatnya!"
"Kau bohong!"
"Betul!" Bocah Bodoh meyakinkan jawabannya sampai tertunduk-tunduk. "Ibuku berpesan aku tak boleh bohong, kalau tidak kepepet!"
"Hmm...!" Gadis Linglung mendengus kesal dan diam sesaat untuk mempertimbangkan keputusan hatinya. Bocah Bodoh berkata, "Kalau kau tak percaya, tanyakanlah kepada Ibuku sendiri! Dia pasti akan bilang, bahwa aku belum tahu letak lembah Itu dan ditugaskan untuk mencari tahu tempat tersebut!"
"Tak sudi aku bertanya pada ibumu, karena ibumu sudah tidak mau bersahabat denganku!"
"Karena kau setiap datang kepadanya selalu bicara tentang lelaki. Ibuku tak suka bicara soal cinta dan lelaki. Dia sudah bosan!"
"Jangan alihkan percakapan kita, Bocah Bodoh!" bentak Gadis Linglung dengan mulut mungil semakin runcing. "Sekarang juga bawa aku ke Lembah Maut!"
"Baik. Tapi kalau kita tersesat, jangan salahkan aku, ya?!"
"Kupenggal kepalamu kalau sengaja menyesatkan aku!"
Bocah Bodoh terkejut dan pegangi lehernya sambil berkata takut, "Janganlah...! Jangan penggal kepalaku."
"Sebab itu, bawa aku dengan benar ke Lembah Maut! Kudengar percakapan terakhir antara kau dan ibumu itu, bahwa kau harus selalu ingat ciri-cirinya. Itu berarti ibumu memberitahukan arah dan letak Prasasti Tonggak Keramat bersama ciri-cirinya."
"Memang," jawab Bocah Bodoh sambil menunduk, "Memang ibu memberikan ciri-ciri tempat tersebut. Tapi...."
"Apa ciri-cirinya?! Katakan!"
"Tapi aku dilarang sebutkan ciri-ciri itu kepada siapa pun, kecuali kepepet!" jawab Bocah Bodoh dengan polosnya.
"Kalau begitu kau harus ku pepetkan dulu!" geram Gadis Linglung.
"Jangan! Ibuku berpesan agar aku tidak boleh saling berpepet-pepetan dengan perempuan yang bukan istriku."
"Dasar bodoh! Begini caraku memepetkan dirimu! Hiih...!"
Buuhg...! Gadis Linglung kirimkan tendangan dan terkena telak di dada Bocah Bodoh. Tubuh tua itu terlempar ke belakang dengan suara pekik yang tertahan. Ia menyeringai ketika jatuh di tanah, tubuhnya menggeliat dengan mulut ternganga karena sukar bernapas. Dadanya dipegangi dan diurut-urutnya sendiri. Tapi Gadis Linglung segera hampiri dia dan menendang wajahnya dengan kaki.
Plakkk...!
"Ampun, Gadis Ling...! Ampun...!"
"Katakan ciri-cirinya!" bentak Gadis Linglung.
"Ibu melarangku untuk tidak...."
Gadis Linglung mengangkat tubuh Bocah Bodoh, membuat ucapannya terhenti seketika dan ia berteriak, "Wuaaaa...!"
Bruukkk...!
Tubuhnya dibanting oleh Gadis Linglung, dilemparkan begitu saja bagaikan melempar nangka busuk. Bocah Bodoh mengaduh kesakitan, sikunya nyeri bagai terkilir. Gadis Linglung mendekatinya sambil membentak, "Katakan atau tidak! Kalau tidak, kulemparkan tubuhmu lebih tinggi lagi!"
"Jangan...! Jangan lemparkan aku lagi! Kuadukan kepada Ibu kau, biar Ibu melemparkan kau dengan semburannya, seperti kau melemparkan aku!"
"Aku tidak takut pada ibumu! Semburannya bisa kutangkis dan ku balikkan hingga dia sendiri yang akan terlempar! Ayo, katakan! Katakan ciri-ciri di sekitar Prasasti Tonggak Keramat itu!"
"Aku tidak mau," Bocah Bodoh geleng-geleng kepala sambil mau menangis. Tapi Gadis Linglung tidak punya rasa kasihan kepada Bocah Bodoh. Ia kembali menendang rusuk Bocah Bodoh, tanpa tenaga dalam pun sudah cukup membuat Bocah Bodoh kesakitan.
"Katakan! Lekas...!"
Tiba-tiba sebuah suara berseru dari belakang Gadis Linglung, "Jangan paksa dia!"
Gadis Linglung berbalik arah dan terperanjat hatinya melihat wajah tampan milik Pendekar Rajawali Merah sudah ada di sana.
Bocah Bodoh cepat berusaha bangkit dan berseru, "Tuan Yoga, tolong aku! Aku disiksa oleh Gadis Linglung ini! Aku dipaksa untuk...!"
Plok...! Kaki Gadis Linglung menendang ke belakang sambil tersenyum kaku kepada Yoga. Tendangan itu mengenai mulut Bocah Bodoh, sehingga kata-katanya terhenti. Bocah Bodoh mengaduh sambil tersentak ke belakang.
"Sekali lagi kau menyakiti dia, aku bertindak!" kata Yoga dengan penuh wibawa.
Gadis Linglung senyum-senyum dan membiarkan Yoga mendekatinya. Ternyata yang didekati Bocah Bodoh. Gadis Linglung tak jadi berdebar hati, karena ia menyangka akan dipandang lebih dekat oleh Yoga, dan berharap dipegang tubuhnya.
"Mulutku sakit, Tuan Yoga!" orang tua itu mengadu seperti bocah.
"Mulai sekarang jangan jauh-jauh dariku, biar kau tak disakiti oleh siapa pun! Mengerti?!"
Bocah Bodoh hanya mengangguk, seperti seorang bocah yang menahan tangis karena malu. Yoga segera berpaling memandang Gadis Linglung dan berkata, "Jangan menyakiti dia lagi. Kasihan dia."
"Aku tidak menyakiti. Aku hanya bermain-main dengannya," kata Gadis Linglung sambil bersungut-sungut tampakkan manjanya. Lalu, ia berkata dengan membuang muka, "Kalau kau tak ingin aku bermain-main seperti tadi, kau juga jangan jauh-jauh dariku!"
Yoga tersenyum dan berkata, "Aku tak berani dekat-dekat denganmu. Takut kau menyakiti ku seperti kau menyakiti Bocah Bodoh tadi."
"Aku tak akan menyakitimu, kecuali kau menolak untuk dekat denganku!"
"Aku menolak untuk dekat denganmu!" kata Yoga.
"Kalau begitu aku harus menyakitimu."
"Kalau itu maumu, lakukanlah!" kata Yoga, karena dia berpikir ingin memberi pelajaran buat Gadis Linglung.
Dengan cepat dan secara tiba-tiba, Gadis Linglung memutar tubuh dan menendang dalam sentakan lurus ke arah kepala Yoga. Wuuttt! Yoga menghindar dengan rendahkan kepala. Tak disangka ternyata Bocah Bodoh ada di belakang Yoga, maka wajah Bocah Bodoh itulah yang menjadi sasaran kaki Gadis Linglung.
Plookkk...!
"Uuuf...! Kena lagi saya, Tuan...!" rengek Bocah Bodoh sambil menutup mulutnya.
Dengan cepat Yoga semakin merendah dan menyambar kaki Gadis Linglung. Wuutttt...! Gadis Linglung cukup gesit, ia melompat ke atas hindari sambaran kaki Yoga. Tapi ia tak tahu bahwa Yoga segera menggunakan tangan buntungnya untuk bertumpu pada tanah, dan tubuhnya melesat dalam keadaan jungkir balik, lalu kakinya menendang tiga kali berturut-turut ke perut Gadis Linglung.
Buk buk buk!
"Uhg...?!" Gadis Linglung sempat mendelik dan sesak nafasnya. Lalu lempar tiga tombak ke belakang. Tangannya menahan perut yang merasa mual seketika dengan rasa nyeri pada ulu hatinya.
"Gila! Tenaga dalamnya sangat tinggi!" pikir Gadis Linglung. "Kalau aku tak siap lapisi diri dengan napas dalam, pasti semua isi perutku tersontak keluar?! Hmrn...! Pendekar Tampan ini tak boleh dianggap enteng rupanya. Sebaiknya aku berpura-pura kabur, tapi menguntit Bocah Bodoh! Pasti dia pergi ke arah Lembah Maut! Ah, kurasa itu gagasan yang ba-gus. Bersembunyi dan mengikuti Bocah Bodoh itu dari belakang. Setelah tiba di sana, baru aku bertindak!"
Terdengar Yoga berkata, "Masih mau main-main denganku?"
Gadis Linglung berdiri dan berkata, "Ya. Tapi tidak sekarang. Karena aku menghendaki permainan lembut. Bukan kasar seperti tadi. Maafkan aku!"
Zlaapp...! Gadis Linglung seperti menghilang, padahal bergerak lompat dengan tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi. Yoga membiarkan dengan senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Lalu, Yoga berkata kepada Bocah Bodoh, "Kalau kau tak keberatan, aku akan mendampingimu pergi ke Lembah Maut."
"Sebenarnya saya keberatan, karena saya bisa jaga diri sendiri. Tapi kalau Tuan ingin ikut saya, silakan jalan di belakang saya!"
Yoga muak mendengar ucapan itu. Tapi rasa ingin tahu tentang teka-teki di dalam diri Bocah Bodoh dan prasasti itulah yang membuat Yoga menahan kemuakkannya dan mengikuti langkah Bocah Bodoh.
LIMA
SETIDAKNYA dengan mengikuti Cola Colo dari jarak dekat, Yoga dapat yakinkan diri bahwa Bocah Bodoh itu bukan pembunuh Lembayung Senja, Jalak Hutan, dan Mutiara Naga. Jika sampai ia menemukan mayat yang punya luka sama dengan mayat yang sudah-sudah, maka Yoga akan tahu, apakah Bocah Bodoh yang membunuhnya atau orang lain.
Tetapi, Bocah Bodoh agaknya kurang suka berjalan ditemani Yoga. Terbukti ia berjalan lebih cepat dan tak mau seiring dengan Yoga. Ketika Yoga menyusulnya dan bertanya, "Mengapa kau tidak mau ku dampingi, Bocah Bodoh?"
Maka, Cola Colo pun menjawab, "Ibu berpesan kepada saya, kalau tidak kepepet jangan minta bantuan orang lain, nanti saya tidak bisa mandiri. Jadi, sekarang saya merasa tidak terpepet, Tuan. Maka saya tidak ingin mendapat bantuan apa-apa dari Tuan Yoga!"
"Ajaran ibumu itu baik. Tapi bukan berarti ibumu menyuruhmu menolak persahabatan!"
"Saya tahu. Tapi saya juga tahu, karena Ibu berpesan, bahwa saya harus berhati-hati dengan kebaikan orang. Kalau ada orang baik pada saya, berlagak mau menolong, saya harus curiga. Sebab adakalanya kebaikan seseorang itu hanya kedok untuk menutupi maksud jahatnya. Jadi, saya curigai Tuan Yo, karena Tuan Yo bermaksud baik kepada saya!"
Mendengar kepolosan itu, Yoga hanya tertawa pelan. Merasa geli dengan cara berpikir Bocah Bodoh yang sungguh bodoh menurut Yoga. Tapi Yoga menghargai kejujuran Bocah Bodoh itu, sehingga ia tidak merasa sakit hati sedikit pun mendengar ucapan tersebut. "Apakah kau sudah merasa mampu hidup tanpa bantuan orang lain?"
"Saya harus mampu!" jawab Bocah Bodoh. Seolah-olah ia menjawab dengan yakin dan bersungguh-sungguh, membuat Yoga tersenyum tipis. Senyum Yoga berubah seketika, ia terperanjat melihat Bocah Bodoh tersentak tubuhnya dan terlempar ke samping. Bocah Bodoh jatuh berguling-guling dan kepalanya membentur batu. Kepala itu tak sempat bocor, namun jelas benjol dan memar di belakang telinga.
"Seseorang telah memukulnya dari jarak jauh," pikir Yoga, Ia melirik ke arah kanan, karena firasatnya mengatakan bahwa dikerimbunan pohon sebelah kanan ada orang yang bersembunyi. Orang itu lebih dari satu. Firasatnya pun mengatakan, bukan Gadis Linglung yang ada di sana, tapi orang yang belum pernah dilihatnya.
Bocah Bodoh bangkit dan berjalan sedikit limbung ke arah Yoga, ia segera berkata dengan wajahnya yang pucat, "Kenapa tuan menendang saya?"
"Bukan aku yang menyerangmu, tapi seseorang yang ada di semak-semak pohon di sebelah sana!"
"Mana mungkin? Kalau ada orang di sana, mana bisa menendang saya yang ada di sini? Apakah dia punya kaki sepanjang pohon bambu?"
"Kau ingin buktikan?"
Bocah Bodoh tidak menjawab, hanya mendesis sambil menyeringai merasakan sakit di kepalanya. Tapi ia melihat Yoga segera membungkuk mengambil sebutir batu, seukuran biji salak. Batu itu segera di sentilkan dengan jempol tangannya ke belakang. Batu itu melesat ke arah semak-semak diikuti oleh pandangan mata Bocah Bodoh.
Blaarrr...!
Bocah Bodoh menjadi sangat terkejut. Matanya terbuka lebar-lebar melihat batu itu mampu meledak dahsyat ketika membentur batang pohon, dan batang pohon itu segera tumbang dalam keadaan koyak-koyak. Lalu, dua orang melompat keluar dari tempat jatuhnya pohon tersebut. Mereka menghindari rubuhan pohon itu.
Bocah Bodoh makin terbengong dan berkata, "Oh, benar! Ada dua orang yang bersembunyi di sana, Tuan Yo!"
Orang-orang itu segera datang mendekati Bocah Bodoh dengan langkah tegas dan berkesan ganas. Bocah Bodoh sempat mengambil tempat di belakang Yoga karena rasa takutnya. Tetapi Yoga segera lompat ke satu arah yang menjauh. Bocah Bodoh kebingungan dalam gerakkannya, karena seolah-olah ia merasa tidak punya tempat untuk bersembunyi. Kedua orang berwajah sangar itu semakin mendekatinya.
Bocah Bodoh memandang ke arah Yoga dengan tatapan mata seakan memohon perlindungan. Tapi Yoga hanya tersenyum dan berdiri dengan santainya di bawah sebuah pohon.
"Cola Colo..,!" sapa orang yang berpakaian merah dengan suara keras dan kasar. "Katakan kepada temanmu itu agar jangan ikut campur urusan kita jika ia mau selamat!" sambil orang itu menuding Yoga.
Cola Colo mengangguk dan berkata, "Iiy... iya. iya...!" Kemudian ia cepat berlari dengan gerakan seperti seekor bebek keberatan pantat, menemui Yoga dan berkata dengan gugup, "Diiiaa... dia bilang, Tuan jangan ikut campur urusan kami kalau Tuan mau selamat...!"
"Siapa mereka berdua itu?"
"Yang baju merah... Hantu Tamak Getih, yang... yang baju hitam itu bernama Sabuk Geni! Dia, eh... mereka berdua dari Perguruan Lereng Lawu. Mereka... mereka jahat kepada Ibu, dan...."
"Bocah Bodoh!" teriak Sabuk Geni.
"Iyaaa...!" jawab Bocah Bodoh dengan cepat, dan segera berlari menghadap Sabuk Geni yang sejak tadi memegangi gagang goloknya. Sedangkan Yoga masih tetap tenang di tempatnya. Sabuk Geni yang berbadan sedikit lebih besar dari Hantu Tamak Getih itu, berkata dengan suara menggertak Bocah Bodoh.
"Mana pusaka itu?! Cepat serahkan pada kami!"
Bocah Bodoh gugup dan bingung, sehingga ia sebentar-sebentar memandang Yoga dan garuk-garuk kepala. Hal itu membuat Sabuk Geni merasa jengkel, lalu dengan seenaknya mencengkeram rambut abu-abunya Bocah Bodoh itu.
"Mana pusaka itu, hah?!" suaranya lebih keras, matanya mendelik, wajahnya mendekat. Bocah Bodoh menyapu wajah karena kehujanan ludah Sabuk Geni.
"Pus... pus... pus...."
"Pus meong?!" bentak Sabuk Geni makin geram.
Bocah Bodoh menyeringai dengan kaki berjingkat dalam berdiri karena rambutnya terasa bagai mau dicopot dari kulit kepalanya. "Mmm... meong? Oh, aak... aku tidak membawa kucing, Sabuk Geni!"
Plaakkk...! Dengan seenaknya tangan Sabuk Geni yang berukuran besar itu menampar Bocah Bodoh. Terpelantinglah orang tua berjiwa anak-anak itu. Ia jatuh di tanah dan mengerang kesakitan sambil mengusap-usap pipinya yang habis kena tampar.
"Bangun!" Sabuk Geni kembali menjambak rambut Bocah Bodoh, sehingga Bocah Bodoh itu berdiri mengikuti gerakan tangan yang menjambak rambutnya itu.
"Mana pusaka itu? Lekas serahkan pada kami, atau kau kubunuh!"
"Pu... pus... pusaka apa?"
Hantu Tamak Getih yang sejak tadi hanya bertolak pinggang sambil matanya sebentar-sebentar melirik Yoga itu, kini mendekati Bocah Bodoh dan berkata dengan lebih berwibawa dari Sabuk Geni,
"Jangan berpura-pura tidak tahu, Bocah Bodoh! Kau ditugaskan oleh ibumu yang lumpuh itu untuk mengambil Pusaka Pedang Jimat Lanang dari prasasti tersebut! Kami tahu hal itu, karena kami dengar saat ibumu memberikan tentang Pusaka Pedang Jimat Lanang itu kepadamu! Sekarang juga, serahkan pedang itu!"
"Ak... aku tidak membawa pusaka itu, Hantu Tamak Getih," kata Bocah Bodoh dengan mata memohon belas kasihan.
"Bohong!" bentak Sabuk Geni. "Kau pasti sudah sampai di Lembah Maut, dan menemukan Prasasti Tonggak Keramat, lalu mengambil Pedang Jimat Lanang itu."
"Be... belum... belum sampai kok. Sumpah!"
Hantu Tamak Getih melirik Yoga sebentar, kemudian berkata kepada temannya, "Bocah ini harus di buntungi tangannya biar mau serahkan pedang itu!"
"Ja... jangan...! Jangan buntungi tanganku! Tanganku hanya dua dan tak ada gantinya lagi di rumah. Jangan buntungi aku, Sabuk Geni, jangan buntungi tanganku, Hantu Tamak Getih!"
"Kalau kau tak mau ku buntungi, serahkan pedang pusaka itu!"
"Aku tidak membawanya."
"Mungkin kau titipkan pada seseorang?!" kata Hantu Tamak Getih sambil melirik Yoga sekejap.
Yoga sendiri tahu, dirinya disindir-sindir sejak tadi. Tapi Yoga tetap tenang memperhatikan mereka dengan senyum tipis tetap mekar di bibirnya.
"Aku benar-benar belum memiliki pedang itu! Sumpah disambar kerupuk satu kaleng, aku berani! Tak ada pusaka padaku, Teman!"
"Mulutmu belakangan ini sukar dipercaya!" geram Sabuk Geni. "Kau memang harus dihajar dulu biar tidak jadi pendusta! Huuh...!"
Bhuugh...!
"Uhg...!" tubuh Bocah Bodoh terpental karena pukulan telapak tangan Sabuk Geni. Pukulan itu cukup keras dan membuat tubuh Bocah Bodoh jatuh terkapar di depan Yoga. Mulutnya keluarkan darah dengan mata terbeliak-beliak.
Rupanya tindakan itu merupakan tantangan bagi Yoga. Kedua orang berwajah bengis itu sengaja memancing kemarahan Yoga supaya bertindak, sebab mereka sama-sama menduga bahwa pusaka yang bernama Pedang Jimat Lanang itu ada di punggung Yoga. Mereka pun merasa sirik melihat ketampanan Yoga yang jauh lebih tinggi dari wajah bengis mereka.
Tetapi Yoga tetap tidak bertindak apa, pun. Ia hanya memandangi jatuhnya Bocah Bodoh dengan tenang. Bocah Bodoh berusaha bangkit dengan seringai kesakitan. Ia meludah dan darah keluar dari mulut.
"Tuan Yo..., mengapa diam saja!? Mengapa tak tolong saya, Tuan? Katanya Tuan mau bersahabat dengan saya?"
Yoga menjawab, "Menurut pesan ibumu, kau tak boleh meminta tolong kepada siapa pun dan harus bisa mandiri?!"
"Iya. Tapi... tapi... tapi ibu saya kan di rumah. Ibu tidak melihatnya. Uuh...! Tolonglah saya, Tuan. Mereka jahat kepada saya."
“Nanti kau curiga kalau aku punya maksud baik padamu?"
"Tid... tidak...! Saat ini saya tidak akan curiga apa-apa. Uuh... dada saya panas, Tuan...!"
Tak tega hati Yoga mendengar ratapan Bocah Bodoh. Nafasnya segera ditarik kuat-kuat. Pada saat itu, terdengar Sabuk Geni menyapa Yoga dengan kasar,
"Hei, buntung! Suruh Bocah Bodoh itu kemari!"
Dengan tenang Yoga menjawab, "Ini bukan urusanku. Suruh saja dia datang sendiri padamu!"
Hantu Tamak Getih menggeram gemas kepada Yoga. Namun yang dijadikan sasaran adalah Cola Colo, ia melangkah hampiri Cola Colo dan menjambak rambut Bocah Bodoh itu. Dan pada saat Hantu Tamak Getih membungkuk untuk meraih rambut Bocah Bodoh, Yoga segera berkata,
"Menginjak cacing adalah hal yang mudah, tapi menginjak naga belum tentu bisa!"
Hantu Tamak Getih merasa ucapan itu ditujukan kepadanya dengan maksud meremehkannya. Maka, niatnya menarik rambut poni Bocah Bodoh itu dibatalkan. Kini Hantu Tamak Getih berdiri tegak memandang Yoga dan berkata dalam geram, "Kau meremehkan aku, Bangsat?! Kau menghina Hantu Tamak Getih, hah? Terimalah ini, salam perkenalan ku! Heaah...!"
Hantu Tamak Getih segera melompat untuk berikan satu tendangan terbang kepada Yoga. Tendangan yang bermaksud menjejak dada itu segera ditangkis dengan tangan buntungnya Yoga. Tangan itu disodokkan tepat di telapak kaki Hantu Tamak Getih.
Deesss...!
"Ohg...!" Hantu Tamak Getih mendelik bagai mendapat hantaman begitu beratnya di sekujur tubuh. Sodokan itu pun membuat tubuh Hantu Tamak Getih hilang keseimbangannya dan jatuh menimpa tubuh Bocah Bodoh yang sedang berusaha bangkit itu.
Brusss...!
"Heeehg....?!" Bocah Bodoh terkapar, perut dan dadanya tertindih tubuh Hantu Tamak Getih. Matanya mendelik, mulutnya ternganga. Dan ketika Hantu Tamak Getih sentakkan pinggulnya untuk melenting bangkit, Bocah Bodoh yang perutnya dipakai tumpuan pinggang tadi kembali memekik dengan suara tertahan dan kian mendelik kelojotan.
"Mati aku...!" keluhnya setelah tubuh yang me-nindih pergi dari atasnya. Bocah Bodoh menggeliat bangkit dengan merayap menjauh dulu. Karena pada saat itu, Hantu Tamak Getih menyerang Yoga dengan pukulan cakarnya.
Wuuttt...! Arah sasaran adalah wajah Yoga. Maka dengan cepat Yoga menarik kepalanya ke belakang, kemudian tubuhnya meliuk miring ke kiri depan, dan tangan yang mencakar itu lewat di depan wajahnya, tangan buntung Yoga menyodok rusuk Hantu Tamak Getih.
Duuhg...! Krak...!
Terdengar suara bunyi patah yang pelan. Hantu Tamak Getih tersentak mundur dengan langkah terhuyung-huyung. Ia menyeringai sebentar merasakan sakit di bagian tulang rusuknya. Ia berkata dalam hatinya,
"Celaka! Setidaknya ada satu tulang rusuk ku yang patah karena tangan buntungnya itu! Ternyata tangan buntungnya lebih berbahaya dari tangannya yang sehat itu!"
Terdengar suara Sabuk Geni berseru, "Mundurlah, Hantu Tamak Getih! Biar ku hadapi kecoa satu itu!"
Niat untuk menggantikan Hantu Tamak Getih itu terpaksa batal, karena Sabuk Geni melihat Bocah Bodoh larikan diri dengan gerakan membabi buta. Maka, Sabuk Geni pun berteriak, "Bocah Bodoh, berhenti kau! Hoi...! Berhenti!"
Bocah Bodoh tetap berlari secepat-cepatnya dengan tujuan tak pasti. Sabuk Geni takut kehilangan Bocah Bodoh, maka segera mengejarnya sambil melepaskan sabuk besarnya dari kulit ular kuning.
Yoga mengkhawatirkan keselamatan Bocah Bodoh. Tapi ketika ia ingin menyusul mengejar Sabuk Geni, tahu-tahu sebuah pukulan bersinar putih seperti gumpalan kapas melesat cepat mengarah ke punggungnya. Yoga terpaksa cepat berbalik dan sentakkan telapak tangannya hingga keluarkan sinar merah. Sinar itu menghantam cahaya putih dari tangan Hantu Tamak Getih.
Blaarrr!
Hantu Tamak Getih terpental sekitar tujuh tombak ke belakang karena gelombang ledakan itu, sedangkan Yoga terhuyung-huyung hingga berpegangan pohon. Tapi ia kembali berdiri sigap ketika Hantu Tamak Getih mulai berdiri lagi dengan erangan kemarahan.
"Ku rajang habis tubuhmu, Buntung busuk! Heaaah...!" Hantu Tamak Getih keluarkan dua sabit kembar dari samping kanan-kiri. Dua sabit itu digerakkan dengan cepat bersimpang siur di depannya sambil ia berlari menyerang dengan ganasnya.
Wuuttt, wuuttt, wuuttt! traakk...!
Yoga dihujani tebasan dua sabit. Pendekar Rajawali Merah hanya menghindar dan mundur beberapa tindak. Ketika dua sabit itu hendak menyerangnya secara bersamaan, Yoga melompat dan kedua kakinya menendang secara bersamaan ke depan dengan gerakkan tendang ke atas.
Dhhaak, dhaak...! Wuusss...!
Tendangan itu mengenai kedua siku secara bersamaan, sabit itu ter-pental lepas dari genggaman pemiliknya. Keduanya melayang ke atas. Dan pada saat kedua tangan tersentak naik, Yoga cepat kirimkan pukulan telapak tan-gannya tepat di tengah dada Hantu Tamak Getih.
Bhaahg...!
"Heegh...?!" Hantu Tamak Getih terpental dengan mata mendelik. Dari hidung, mulut, dan telinganya, mengalir darah segar yang tak terhindari lagi itu. Dada tersebut membekas telapak tangan warna hitam. Baju yang tak dikancingkan membuat jelas warna dada yang merah memar dengan noda hitam membekas telapak tangan Pendekar Rajawali Merah. Sudah pasti dada itu sakitnya bukan kepalang dan panasnya melebihi di bakar api.
Hantu Tamak Getih berkata dalam hati, "Tak mungkin aku bisa mengalahkan dia jika sudah terluka begini! Ku sembuhkan dulu lukaku, baru nanti mencarinya untuk bikin perhitungan baru!"
Wuuttt...! Hantu Tamak Getih lekas pergi tinggalkan arena pertarungan itu. Yoga membiarkannya dan merasa tak perlu memburu, sebab ia lebih mengkhawatirkan keselamatan Bocah Bodoh itu. Maka, ia pun segera berlari mengejar ke arah kepergian Bocah Bodoh yang diburu oleh Sabuk Geni tadi.
Gerakan Yoga tertahan ketika ia hampir menerobos celah dedaunan rambat yang ada di hutan itu. Gerakan itu terhenti karena Yoga melihat sesuatu yang tak disangka-sangka. Sabuk Geni lecutkan sabuknya yang menghadirkan cahaya hitam berkelok-kelok jumlahnya lima baris. Sasarannya adalah tubuh Bocah Bodoh yang sudah bercucuran darah hidungnya dan sekarang dalam keadaan terdesak. Di belakang Bocah Bodoh ada pohon yang membuatnya sulit menghindar. Tapi ternyata buat Bocah Bodoh itu bukan hal yang sulit.
Ketika sinar hitam lima baris menyerangnya, Bocah Bodoh melompat ke atas, dan kedua kakinya segera menyentak ke belakang. Batang pohon dipakainya untuk tempat sentakkan dua kaki, lalu tubuh melesat ke arah lawan, bersalto satu kali di udara, dan tepat di atas kepala Sabuk Geni, Bocah Bodoh hantamkan pukulannya ke kepala itu dengan sentakkan ujung telapak tangannya.
Duuhg...! Craak...!
Retak kepala Sabuk Geni seketika itu. Suara jeritannya menggema keras ke mana-mana. Bukan hanya dari mulut, hidung, dan telinga saja ia keluarkan darah, melainkan dari mata dan keretakkan di bagian belakang kepala juga keluarkan darah segar.
Bocah Bodoh menapakkan kedua kakinya di tanah dengan sigap. Tapi agaknya ia menangis karena amukan marah di dalam hatinya. Ia biarkan tubuh lawannya oleng sebentar. Kemudian, ia melangkah maju dengan satu hujaman telapak tangan ke arah pertengahan pangkal leher, dekat dada.
Craab...! Separo telapak tangannya masuk ke leher lawan. Membuat lawan semakin mendelik dan tak bisa keluarkan suara. Ketika Bocah Bodoh cabut kembali tangannya, Sabuk Geni yang bertubuh jauh lebih besar darinya itu tumbang tanpa ampun lagi.
Erangan tangis Bocah Bodoh terdengar seperti anak kecil habis berantem. Bahkan di sela tangisnya ia mengomel, "Biar! Biar mati kau! Bilang dan adukan sama ibuku tidak takut! Aku kau desak terus hampir mati! Jadi terpaksa aku melawanmu! Matilah sana, tak perlu ajak-ajak aku!"
Sabuk Geni memang mati. Bocah Bodoh membersihkan darah dengan dedaunan. Tapi dalam keadaan belum bersih, terutama di bagian tangannya, Bocah Bodoh sudah lari tinggalkan mayat lawannya. Ia tak tahu ada sepasang mata yang mengintainya.
Dari balik persembunyiannya, Yoga hanya bisa diam membatin, "Ternyata dia berilmu cukup lumayan?! Gerakan jurus-jurusnya menarik perhatianku. Kurasa dia memiliki jurus yang lebih dahsyat lagi. Hmmm...! Dia bukan Bocah Bodoh sebenarnya. Hanya karena patuh terhadap nasihat dan pesan ibunya, dia telah salah artikan pesan itu sehingga tak pernah membalas jika diserang, kecuali kepepet! Rupanya dia tadi sudah terpepet, sehingga lakukan perlawanan terhadap Sabuk Geni. Jurus-jurus berbahaya dikeluarkan, dan nyatanya ia bisa membunuh Sabuk Geni yang memiliki senjata maut itu! Tapi... aku harus tetap mengikutinya. Jika melihat kepandaiannya mengalahkan lawan tangguh, ada kemungkinan memang dialah pembunuh Lembayung Senja, Jalak Hutan, dan Mutiara Naga! Mungkin ia gunakan jurus dahsyat yang tanpa pedang bisa merobek tubuh lawan?!" Yoga pun segera lari mengikuti Bocah Bodoh secara diam-diam.
ENAM
TERNYATA Bocah Bodoh mampu bergerak dengan cepat. Karena kali ini Yoga kembali kehilangan jejak orang tua yang bersifat kebocahan itu. Yoga menduga, Bocah Bodoh lari dengan menggunakan tenaga peringan tubuh. Mungkin ia punya jurus seperti yang dimiliki Yoga dan Lili, yaitu jurus 'Langkah Bayu', yang mampu berlari melebihi melesatnya anak panah."Tapi tak mungkin dia mempunyai jurus yang menyamai jurusku dengan Lili," bantah hati kecil Yoga. "Memang dia punya gerakan lari yang cukup cepat, namun tidak sama dengan jurus 'Langkah Bayu'?! Barangkali dia mengambil arah lain dan aku mengambil arah lain, sehingga pelariannya tak terkejar oleh ku, walaupun aku gunakan jurus 'Langkah Bayu'."
Yoga berhenti di atas sebuah batu besar, duduk sebentar di sana sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tempat itu tinggi, sehingga Yoga bisa lihat gerakan Bocah Bodoh yang lari ke jalanan hutan di sebelah bawahnya. Tapi gerakan itu tidak ditemukan oleh mata Yoga. Barangkali karena Yoga kurang curahkan perhatian kepada pandangan matanya, sehingga ia tak melihat gerakan Bocah Bodoh. Ia sibuk dengan kecamuk di hatinya sendiri,
"Rupanya bukan Prasasti Tonggak Keramat yang diinginkan oleh Bocah Bodoh, Gadis Linglung, dan yang lainnya. Prasasti Tonggak Keramat hanya merupakan tempat saja. Tempat menyimpan pedang pusaka. Dan pedang pusaka itulah yang dikehendaki oleh mereka! Kalau tak salah ingat, Sabuk Geni tadi mengatakan pedang tersebut bernama Pedang Jimat Lanang. Seperti apa kehebatan pedang itu sebenarnya?"
Ada sesuatu yang menyentak Yoga dalam hatinya. Sesuatu itu dirasakannya betul, ternyata sebuah firasat lagi yang seolah-olah menyuruh Yoga turun ke hutan bawah sana. Tak jelas ada apa di hutan bawah sana, yang pasti hati kecil Yoga ingin sekali turun ke sana dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Maka, Pendekar Rajawali Merah yang baru sebentar beristirahat itu segera bergegas kembali lewat jalan semula, dan membelok turun ke hutan yang banyak di tumbuhi pohon cemara liar itu.
"Ada apa ini? Mengapa perasaanku jadi tak enak?" pikir Yoga sambil menerabas masuk ke hutan cemara liar itu. "Hatiku tiba-tiba berdebar-debar dan sangat gelisah. Apakah Malaikat Gelang Emas sedang mengikutiku dengan tidak menampakkan diri? Oh, kalau begitu aku harus lebih waspada lagi. Tapi... bagaimana mengalahkan dia, sedangkan dia orang yang seperti bayangan dan sukar ditebas dengan pedang, tak bisa dipukul ataupun disentuh?! Guru tidak bekali aku ilmu memukul bayangan! Apakah Lili mempunyai ilmu itu untuk bisa kalahkan Malaikat Gelang Emas?"
Bau amis darah tercium oleh Yoga dan membuat langkah pendekar tampan menjadi pelan. Sengaja Yoga melangkah lamban sambil hidungnya mengendus-endus bau amis darah itu yang dirasakan semakin tajam. Semakin membelok ke kiri, semakin tajamlah bau amis darah itu. Yoga memasuki semak-semak se-tinggi tubuhnya, menerabas dengan pelan-pelan sampai ia temukan tanah datar yang berumput pendek.
"Hahh...?!" Yoga terpekik dengan mata mendelik melihat sesosok tubuh terkapar bermandikan darah. Tubuh itu jelas sudah tak bernyawa lagi. Hal itu membuat jantung Yoga berdetak semakin keras dengan tangan dan kaki gemetaran.
Yoga ingin berteriak keras-keras, namun lidahnya bagaikan kelu dan tenggorokannya seperti tersumbat oleh gumpalan asap padat yang di namakan murka itu. Akibatnya, mulut Yoga hanya bisa melontarkan sepotong nama mayat yang mati dalam keadaan tersayat robek dari perut sampai ke bagian leher itu,
"Ratiiih...?!" Lebih dari sepotong nama itu, Yoga tak sanggup mengucapkannya. Bahkan ia jatuh berlutut dengan lemas dan napas terasa sesak memandangi mayat Kencana Ratih yang agaknya mati karena suatu pertarungan. Pedangnya masih ditangan, dan lengannya terdapat sayatan bekas tergores benda tajam, tentunya senjata lawan yang telah melukainya. Entah pedang, entah sabit, entah kapak, atau apa saja. Mungkin juga sebuah tombak maut yang sulit dikalahkan.
Tetapi kejap berikutnya Yoga mempunyai firasat yang membuat hatinya berkata, "Pasti pedang! Ya. pedang tajam yang dimainkan oleh seseorang yang mahir bermain jurus-jurus pedang. Jurus yang digunakan adalah jurus yang sama dengan saat orang itu melawan Mutiara Naga ataupun Lembayung Senja dan Jalak Hutan."
Mata Yoga sempat berkaca-kaca menahan kesedihan yang amat dalam melihat kematian Kencana Ratih. Bayangan masa lalu, saat berkenalan dengan Kencana Ratih, saat menghancurkan Gua Bidadari, saat mempertahankan bunga Teratai Hitam, semua terbayang jelas di pelupuk mata Pendekar Rajawali Merah. Bahkan ketika ia pernah menghantam kencana Ratih dengan pukulan maut ketika ia terkena pengaruh Jarum Jinak Jiwa, juga terbayang di pelupuk mata Yoga. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Mempelai Liang Kubur").
Hal yang paling jelas dalam ingatan Yoga adalah saat pertarungan dengan Malaikat Gelang Emas. Kencana Ratih seolah-olah selalu menjadi dewa penyelamat baginya. Belum lama peristiwa penyelamatan Kencana Ratih dirasakan oleh Yoga, sekarang tahu-tahu gadis yang jika tersenyum mempunyai lesung pipi seperti Lili itu, mati dalam keadaan yang mengenaskan.
Kemarahan Yoga sudah mencapai ulu hati, lalu naik terus sampai ke tenggorokan. Yoga tak tahan, akhirnya bangkit dan melepaskan pukulan membabi buta ke segala penjuru.
Blaarrr...! Glegarr...! Blaarrr...!
"Kubunuh kau, Pengecuuut...! Hadapilah aku!" teriaknya keras-keras sambil menghantam beberapa pohon yang menjadi porak-poranda.
Bukan cinta yang ada di hati Yoga, melainkan rasa sayang dan senang bersahabat dengan Kencana Ratih itulah yang membuat Yoga sangat berang menghadapi kematian gadis itu. Kenangan masa menempuh bahaya bersama, juga membuat mendidih darah Yoga melihat nasib sahabatnya seperti binatang.
Sampai ia terengah-engah dan akhirnya jatuh duduk terkulai di samping mayat Kencana Ratih, kemarahan itu sepertinya belum surut dari dada Yoga. Masih menyesak dan membuat nafasnya berat dihela. Karena Yoga tahu, gadis itu sangat mencintainya. Yoga kasihan, karena tak bisa membalas cintanya. Sekarang lebih kasihan lagi, karena melihat gadis itu mati dengan amat menyedihkan. Yoga meremas tangan kanannya sambil berucap dalam hati,
"Akan kubalas! Akan kubalas kematianmu, Kencana Ratih! Persahabatan ku denganmu melebihi rasa persaudaraan seseorang. Saat kulihat kematianmu di depan mata Ini, aku merasa kehilangan seorang adik kandung yang amat ku sayangi! Oh, Kencana Ratih... mengapa tadi kau pergi begitu saja tanpa memperhitungkan bahaya yang mengancam mu?! Benarkah Lili, guruku dan kekasihku itu, yang telah membelah tubuhmu sekejam ini?! Bicaralah lewat sentuhan hati kecilku, Kencana Ratih! Bicaralah, siapa pembunuh keji yang telah menewaskan dirimu?!"
Di dalam benak duka Yoga sempat terbayang Pendekar Rajawali Putih. Karena Yoga ingat, ketika Kencana Ratih tadi pergi meninggalkan dirinya, ia berujar akan menantang pertarungan dengan Lili, karena rasa cemburunya. Kencana Ratih ingin tentukan siapa yang berhak mencintai Yoga; dia atau Lili.
Ketentuan itu diambil dari suatu pertarungan sampai mati. Mungkinkah Kencana Ratih sudah bertemu dengan Li-li, kemudian mereka bertarung dan Lili membunuh Kencana Ratih dengan pedangnya?
"Mengapa harus sama dengan jurus yang digunakan membunuh Lembayung Senja, Mutiara Naga, dan Jalak Hutan?!" hati Yoga bertanya-tanya. Kata hati kecilnya lagi, "Setega inikah Lili membunuh Kencana Ratih? Atau... mungkin justru si Gadis Linglung itu yang melakukan? Bisa juga si Bocah Bodoh yang punya ilmu tinggi secara diam-diam dan mampu membunuh den-gan tangan kosong bagai membunuh dengan pedang? Tapi apa alasannya mereka membunuh Kencana Ratih? Setan! Kenapa aku tak bisa menemukan pembu-nuh orang-orang yang menjadi sahabatku ini?! Aku harus segera menemui mereka; Gadis Linglung, Bocah Bodoh, dan Lili! Pasti salah satu dari mereka, dan me-reka harus mengaku untuk memperhitungkan tindakannya di depanku!"
Setelah memakamkan Kencana Ratih dengan sebuah tanda khusus yang akan dikenalinya sebagai makam Kencana Ratih, Yoga pun bergegas pergi dengan menggenggam bara murka di dalam hatinya. Ia akan memaksa Gadis Linglung, Bocah Bodoh, dan Lili agar mengakui perbuatannya. Siapa nanti yang akan mengakui perbuatannya, Yoga akan bikin perhitungan sendiri dengan orang tersebut.
* * *
Yoga tak tahu bahwa Lili pada saat itu sudah berada di Lembah Maut. Tua Usil yang menunjukkan jalan ke Lembah Maut, sehingga tanpa susah-susah harus mencarinya, Lili sudah bisa sampai ke lembah tersebut. Tetapi, di mana letak Prasasti Tonggak Keramat itu? Lili dan Tua Usil belum menemukannya.
"Menurut keterangan Bocah Bodoh," kata Lili. "Prasasti Itu sebuah tugu dari batu, tingginya sebatas perut dan punya bekas telapak tangan guru ibunya! Sekarang cari batu yang tingginya sebatas perut, Tua Usil!"
Tua Usil garuk-garuk kepala sambil memandang sekelilingnya. Ia berkata dengan nada seperti orang menggumam, "Di sini cukup banyak batu! Batu yang tingginya sebatas perut juga banyak. Apakah... apakah enaknya setiap batu setinggi perut kita anggap prasasti saja, Nona Li?!"
"Gagasan mu tak pernah waras, Tua Usil!" kecam Lili. Tua Usil hanya nyengir.
Sekejap berikutnya, Tua Usil berkata, Kalau Nona Li mau ajarkan saya berdiri di atas ilalang sekarang juga, maka saya akan periksa semua batu yang ada di lembah ini! Itu janji saya, Nona Li!"
"Dan kalau aku mencabut pedangku untuk merobek lehermu, apakah kau tetap tak akan mau mencari prasasti itu? Tak akan mau?!"
Dengan rasa takut, Tua Usil menjawab, "Yaaah... tetap mau!" Mata Tua Usil melirik dan bersungut-sungut.
Lili berlagak tidak mengetahui sikap Tua Usil itu. "Tua Usil, kita berpencar saja, kau ke mari, aku ke..."
"Ssst...! Saya mendengar langkah orang berlari menuju kemari, Nona Li? Apakah Nona tidak mendengarnya?"
Lili kerutkan dahi, telengkan telinga, lalu ia menjawab dengan nada berbisik, "Ya, benar! Kita bersembunyi di balik batu besar itu. Lekas!"
Maka keduanya bergegas bersembunyi di balik batu besar yang tingginya melebihi ukuran tubuh mereka. Tak berapa lama kemudian, seseorang memang sedang berlari menuju ke tanah depan batu tersebut. Tua Usil semakin merapatkan tubuh ke badan Lili. Tapi Lili menyentakkan tubuh itu hingga Tua Usil jatuh terduduk.
"Kenapa Nona mendorong saya?"
"Jangan menggunakan kesempatan untuk merapatkan tubuh ke badanku, Setan! Badanku hanya boleh disentuh oleh Yoga!"
"Iya, iya...! Saya tahu! Tapi sekarang kita kan sedang bersembunyi. Kalau lengan saya menyentuh lengan Nona Li, sah-sah saja!"
"Ssst...!" Lili segera kembali ke perhatian semula. Seseorang dilihatnya melintas dalam pelarian yang disertai wajah ketakutan. Orang tersebut adalah Cola Colo; si Bocah Bodoh itu.
"Itu dia Bocah Bodoh, Nona Li! Kita ikuti saja langkahnya, pasti menuju ke Prasasti Tonggak Keramat."
"Belum tentu. Siapa tahu dia mencari sungai karena perutnya mulas? Untuk apa kita ikuti?!"
"He he he... kalau itu, ya memang tidak perlu kita...."
"Ssst...!" Lili kembali memberi isyarat supaya Tua Usil diam.
"Ada yang mengejar Bocah Bodoh!" tambah Lili dalam bisikan.
Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Putih itu memang benar. Bocah Bodoh ternyata sedang dike-jar-kejar oleh Gadis Linglung. Lili sempat berkerut dahi sebentar, merasa heran melihat Gadis Linglung memburu Bocah Bodoh. Tapi setelah Lili temukan jawabannya, bahwa Gadis Linglung pasti tidak tahu arah menuju Prasasti Tonggak Keramat itu, maka tak heran dan bukan hal aneh jika Gadis Linglung mengikutinya, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan.
Dengan cepat dan tanpa pamit lagi, Lili pun segera mengikuti pelarian kedua orang tersebut. Hal itu membuat Tua Usil sempat kebingungan mencari Nona Li yang pergi bagai menghilang itu. Tapi ketika ia melihat Lili sudah ada di belakang Gadis Linglung, Tua Usil pun segera mengikutinya.
"Bocah Bodoh!" teriak Gadis Linglung. "Berhenti kau! Kalau tidak akan kulempar senjata dari sini!"
Mendengar ancaman begitu, Bocah Bodoh segera hentikan langkahnya. Ia terengah-engah dengan mata tuanya memandang penuh rasa takut. Ia merapat ke celah sebuah batu dengan wajah tegang. Sementara itu, Gadis Linglung segera mendekatinya dengan memaksakan dirinya untuk bisa kelihatan menyeramkan di mata Bocah Bodoh.
"Kau benar-benar manusia terbodoh di dunia!" kata Gadis Linglung. "Kau sama sekali manusia yang tidak sayang kepada nyawa sendiri! Sudah kubilang, kau akan kubunuh dan tubuhmu ku potong menjadi enam puluh bagian kalau kau tidak tunjukkan di ma-na Lembah Maut itu berada!"
Pada waktu itu, Tua Usil tiba di tempat perhentian Lili. Tangan Lili memberikan isyarat agar Tua Usil berhenti di situ saja. Mendengar suara keras Gadis Linglung, Tua Usil hampir tertawa. Ia berbisik kepada Lili,
"Gadis itu benar-benar linglung. Sudah berada di Lembah Maut, eeh... masih tanya di mana lembah itu?!"
"Barangkali mereka berdua tak sadar kalau pelarian mereka sudah sampai di Lembah Maut," bisik Lili juga. "Sebaiknya kita jadi penonton saja, tak perlu ikut campur urusan mereka."
'Tapi mereka akan tahu kalau kita ada di sini, Nona. Kita dapat terlihat oleh mereka! Kita sembunyi lagi saja, seperti tadi!"
"Malas. Nanti kamu gunakan kesempatan lagi. Biar mereka melihat kita. Aku ingin tahu apa tindakan Gadis Linglung itu jika melihatku ada di sini! Kalau masih menyebut-nyebut nama Yoga akan ku sikat habis dia!"
Tua Usil bersungut-sungut menggumam, "Besar amat cemburunya...?"
Lili hanya melirik, Tua Usil segera diam dan bersikap biasa-biasa saja, karena dia paling takut ka-lau lihat Lili marah. Sementara itu, di depan mereka tampak Gadis Linglung sedang memaksa Bocah Bodoh untuk tun-jukkan di mana Lembah Maut itu, dan ciri-ciri apa yang digunakan sebagai tanda tempat tersebut. Tetapi agaknya Bocah Bodoh tetap ingin menjaga rahasia itu, sehingga biar pun dibanting-banting beberapa kali, namun ia tetap tidak mau menjawab pertanyaan Gadis Linglung.
"Kalau kau tak mau sebutkan, kupecahkan kepalamu sekarang juga!" ancam Gadis Linglung kepada Bocah Bodoh. Waktu itu Bocah Bodoh terkapar sambil mengerang merasakan tulang-tulangnya sekujur tu-buh bagaikan patah karena dibanting-banting oleh Gadis Linglung. Sedangkan Gadis Linglung sudah kembali mengangkat batu besar dan siap menghan-tamkan batu itu ke kepala Bocah Bodoh.
"Nona, kasihan si Bocah Bodoh itu! Dia tidak berdaya, karena dia tidak punya ilmu silat sedikit pun!" kata Tua Usil. Rupanya ucapan Tua Usil yang membisik itu menyentuh hati Lili, hingga timbul rasa kasihan kepada Bocah Bodoh.
Terdengar lagi suara Gadis Linglung membentak, "Ku hitung sampai tiga kali, kalau kau tak mau jawab pertanyaanku, kujatuhkan batu ini ke kepala-mu! Kalau tak remuk, jangan panggil aku Gadis Linglung! Satu...!" Gadis Linglung menghitung, "Dua...!"
Pendekar Rajawali Putih segera memetik selembar daun kecil yang ada dalam satu jangkauan tangannya. Dan... kecil itu dilemparkan ke depan. Zuirttt...! Daun kecil itu menghantam batu besar yang diangkat dengan dua tangan oleh Gadis Linglung.
Braasssh!
Batu itu pecah tanpa timbulkan bunyi ledakan. Pecahannya menjadi serpihan kerikil yang kecil sekali, sekecil sebutir merica. Tentu saja hal itu membuat Gadis Linglung terkejut bukan kepalang. Ia segera menatap ke arah datangnya selembar daun kecil itu, lalu ia temukan wajah cantik Pendekar Rajawali Putih yang berdiri dengan tenangnya bersama Tua Usil.
Gadis Linglung geram dan bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Putih. Sementara itu, Cola Colo merasa punya kesempatan untuk segera bangkit dan lanjutkan pelariannya. Tetapi, Tua Usil segera menghadang dalam satu lompatan dan berkata,
"Jangan lari dulu! Selesaikan dulu perkara mu ini!"
"O, iya, ya...! Aku hampir lupa," kata Bocah Bodoh, kemudian tak jadi pergi, namun segera hampiri Lili dan Gadis Linglung yang sedang saling berhadap-hadapan dalam jarak empat langkah itu.
"Siapa kau?!" hardik Gadis Linglung.
"Tidakkah kau mengenaliku?" kata Lili.
Gadis Linglung kerutkan dahi sebentar, kemu-dian mengangguk-angguk, "O, ya...! Aku ingat, kau perempuan galak yang bersama pendekar tampan memikat hatiku itu!"
Wuuttt..! Plaakkk...!
Lili bergerak sangat cepat dan di luar dugaan. Tangannya menghantam wajah Gadis Linglung dengan telapak tangan. Begitu Gadis Linglung terhantam dan terpental jatuh, Lili masih diam dengan gerakan tangan bekas menghantam masih terangkat naik.
Gadis Linglung segera bangkit dengan gerutu dan makian tajam. "Kadal buntung! Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa galak dan menampar wajah? Aku juga bisa...!"
Pada waktu itu, Bocah Bodoh berkata, "Sudah, sudah... aku tidak apa-apa kok. Jangan berantem!" sambil ia mendekati Gadis Linglung.
Tangan Gadis Linglung berkelebat menampar pipi Pendekar Rajawali Putih. Tapi tiba-tiba Lili melompat ke samping bagaikan lenyap. Tangan yang menampar luput dari wajah Lili, tapi kena telak di wajah Bocah Bodoh.
Plookkk...!
Wuurrrr...! Tubuh Bocah Bodoh berputar secepat gangsing akibat tamparan keras itu. Ia jatuh terkulai karena pusing. Ketika berusaha bangkit, tubuhnya menggeloyor, matanya sayu, mulutnya bengong, suaranya sedikit serak, "Aku di mana ini..,?!"
Gadis Linglung tidak pedulikan Bocah Bodoh. Ia masih penasaran dengan tamparan dari Lili tadi. Maka, dengan cepat ia pun melompat dan menendang Lili dalam gerakkan putar di udara.
Wuk wukkk...!
Zlappp...! Lili tahu-tahu sudah berada di belakang Bocah Bodoh. Bocah Bodoh kaget dan cepat-cepat jongkok sambil tutupi kepalanya dengan dua tangan karena takut menjadi salah sasaran lagi.
Zlaapp...! Gadis Linglung pun sudah ada di depan Lili dalam jarak satu tindak. Kemudian, sebelum Lili sempat terkesiap kaget, tangan Gadis Linglung menghantam dagu Lili memakai pangkal telapak tangan.
Duuhg...! Lili kena pukul, tersentak mundur tiga tindak, ia segera tegak kembali dan siap lepaskan pukulan. Tapi pukulan itu tertahan oleh gerakan cepat seberkas sinar merah terang yang melesat di depan Lili dan Gadis Linglung.
Claapp...! Blaarrr...!
Batu di seberang sana yang menjadi sasaran, meledak dan berkeping-keping jadinya. Lili dan Gadis Linglung segera memandang arah datangnya sinar tadi, demikian pula Tua Usil dan Bocah Bodoh yang masih jongkok.
Yoga berdiri di sana, menjadi pusat pandangan mata. Di wajah tampan Pendekar Rajawali Merah itu, tak ada senyum dan ketenangan sedikit pun. Wajah tersebut kelihatan berkesan angker dan garang. Lili segera tanggap, pasti Yoga sedang dilanda kemarahan besar. Tapi kemarahan sebab apa, Lili tak bisa menduganya, sehingga Lili pun segera bertanya dari tempatnya,
"Apa yang terjadi, Yo...?!"
Mulut pemuda tampan itu masih rapat membungkam. Matanya memandang tajam pada Lili, Gadis Linglung, Bocah Bodoh, dan Tua Usil. Ia memandangi wajah itu secara bergantian. Bocah Bodoh menjadi takut. Ia segera berdiri, lalu melangkah mundur dengan tegang. Tanpa sengaja ia menginjak kaki Tua Usil yang berdiri di belakangnya.
Jleg...!
Plaakkk...! Tua Usil menahan sakit sambil menepak kepala Bocah Bodoh. Yang ditepak cepat berpaling cemberut sambil mengusap-usap kepalanya. Tua Usil mendelik, Bocah Bodoh cepat palingkan wajah memandang Yoga kembali.
"Yo, katakan, apa yang terjadi pada dirimu?!" tanya Lili, sementara itu Gadis Linglung tersenyum-senyum menikmati ketampanan yang membuat ha-tinya berdesir-desir itu.
Tak lama kemudian terdengar suara Yoga bernada tegas dan datar, "Siapa yang telah membunuh Kencana Ratih?!"
Lili berkerut dahi dengan heran, walau ia segera tahu permasalahannya dan bisa menebak apa yang telah terjadi. Tapi Gadis Linglung berkerut dahi karena merasa asing dengan nama itu, sehingga ia bertanya kepada Yoga,
"Kencana Ratih itu nama seekor burung atau nama seekor kucing?!"
Yoga melangkah cepat, lalu menendang tulang kaki Gadis Linglung. Duugh...! Gadis Linglung mengaduh, ia menyangka akan ditampar dan sudah siapkan tangkisan, namun ternyata ditendang tulang kakinya.
"Jaga bicaramu!" kata Yoga dengan dingin, kemudian melangkah menjauhi mereka tiga tindak, setelah Itu kembali berpaling dan bertanya lagi dengan nada tetap dingin, "Mengakulah kalian, siapa di antara kalian yang membunuh Kencana Ratih?!"
Gadis Linglung berseru, "Bukan aku, Setan! Kenapa kau tendang kakiku, hah?!"
Plakkk...! Wajah Gadis Linglung ditampar Lili dengan keras. Lili pun menghardik. "Jangan berani-berani membentaknya, tahu?! Aku memang tidak membunuh... siapa itu tadi?"
"Kalau tidak membunuh ya bilang saja tidak membunuh! Tak perlu membentak-bentak dia!" Lili melotot. Gadis Linglung menggerutu tak jelas sambil bersungut-sungut.
Terdengar Yoga berseru memanggil, "Bocah Bodoh!"
"Ya, Tuan...!" Bocah Bodoh maju. "Kau yang membunuh dia?!"
"Betul, Tuan!" jawabnya dengan mantap. "Saya terpaksa, Tuan. Saya sudah mengalah, sampai hidung saya bercucuran darah, tapi dia tetap menghajar saya dan meminta pedang pusaka itu. Mau tak mau, karena saya terpepet, saya bunuh si Sabuk Geni itu, Tuan. Soalnya...."
"Yang ku maksud Kencana Ratih! Bukan Sabuk Geni!" bentak Yoga.
"O, Kencana Ratih...?! Wah, maaf, Tuan... saya belum kenal dengan perempuan itu, dan tidak ada masalah apa-apa. Jadi saya tidak membunuhnya. Kalau Sabuk Geni, memang. Saya sudah mengalah, sampai hidung saya berdarah, tapi...."
"Cukup!" sentak Yoga.
"Betul, Tuan. Saya sudah cukup. Cukup puas bisa membunuh Sabuk Geni," jawab Bocah Bodoh polos saja, tanpa menyadari bahwa jawaban itu salah pengertian dan tidak digubris lagi oleh Yoga.
Kini mata Yoga menatap Lili dan berkata, "Kau, Guru?!"
"Jangan menuduhku. Aku tak suka."
"Kencana Ratih tewas seperti halnya Lembayung Senja, Jalak Hutan, dan Mutiara Naga!"
Lili tersentak, karena ia kenal dengan Mutiara Naga dan pernah ikut sembuhkan Mutiara Naga saat gadis itu sakit. Yoga menjelaskan ciri-ciri yang sama itu, dan sedikit ungkapkan rasa persahabatannya dengan mereka, sehingga membuatnya menjadi berang.
"Kalau kau mencurigai aku, kau salah besar, Yo! Selama ini aku bersama Tua Usil sampai tiba di sini! Kau boleh tanyakan pada...."
Zing, zing, zing, zing, zing...!
Tiba-tiba sejumlah senjata rahasia datang beruntun, melesat ke tubuh Lili. Gerakannya sangat cepat. Datang dari arah samping kiri dan dengan cekatan Lili menangkap serangan senjata rahasia tersebut. Lima senjata bisa ditangkap melalui sela-sela jari Pendekar Rajawali Putih, tapi karena datangnya lebih dari lima dan secara beruntun, maka dua diantaranya menancap di lengan kiri dan dada kanan, sedikit di bawah pundak.
Jreb, jrreb...!
"Ahg...!" Lili terpekik, sedangkan Yoga segera berseru cemas, "Guru...?!"
"Yo, kejar dia...!" suara Lili memberat.
Yoga berpaling ke belakang, sekelebat bayangan melesat melarikan diri. Yoga cepat kejar bayangan orang yang menyerang Lili dengan senjata rahasia itu. Jelas orang tersebut akan membunuh Lili tanpa mau dilihat siapa pun. Pada saat Yoga mengejar si penyerang gelap, tubuh Lili menjadi lemas, dan ia jatuh terkulai. Untung segera ditangkap oleh kedua tangan Tua Usil yang berseru,
"Nona, Li...?!"
Keadaan menjadi tegang. Tua Usil bingung melihat Lili menjadi pucat pasi. Dua senjata rahasia berbentuk lempengan bunga masih menancap di tubuh Lili. Tubuh itu menjadi dingin dan mulai bengkak memerah pada bagian yang tertancap senjata rahasia itu. Bocah Bodoh segera berseru, "Senjata itu jahat! Dia punya racun ganas!"
"Celaka! Bagaimana aku harus mengatasinya?" Tua Usil makin tegang.
"Tunggu sebentar. Tadi kulihat ada daun Sekar Balak di sana!" Bocah Bodoh bergegas pergi mengambil daun Sekar Balak yang bisa dipakai melenyapkan racun ganas. Tapi bisakah untuk racun yang itu?
TUJUH
DAUN Sekar Balak hampir sama khasiatnya dengan bunga Teratai Hitam. Daun Sekar Balak bisa untuk sembuhkan luka karena racun ganas. Tapi ada tiga racun yang tak bisa disembuhkan memakai daun Sekar Balak, dan hanya bisa disembuhkan oleh bunga Teratai Hitam. Dan beruntung sekali racun yang menyerang tubuh Pendekar Rajawali Putih itu bukan termasuk racun yang harus membutuhkan Bunga Teratai Hitam.
Berkat kecekatan Bocah Bodoh dalam mendapatkan daun tersebut, maka nyawa Lili bisa lolos dari ancaman maut racun yang ada di senjata rahasia tersebut. Pada waktu Bocah Bodoh tiba dari mencari daun Sekar Balak, Gadis Linglung sudah meninggalkan tempat tanpa mau peduli tentang lukanya Lili. Tua Usil dan Bocah Bodoh tidak hiraukan kepergian Gadis Linglung itu.
"Makan daun ini!" kata Bocah Bodoh kepada Tua Usil. Ia disodori beberapa lembar daun Sekar Balak. "Makanlah...!"
Tua Usil membentak karena tegang, "Yang kena racun Nona Li, bukan aku! Masa' yang harus makan daun ini aku?!"
"Jangan ditelan, Tolol! Dikunyah-kunyah saja sampai lembut, nanti ditempelkan pada lukanya!"
"Ooo...!" Tua Usil segera menarik napas lega. Lalu ia mulai memakan daun tersebut. Katanya, "Semuanya dimakan?!"
"Kamu itu kambing apa manusia? Masa' mau makan daun sebanyak itu sekaligus?! Satu-satu saja!" Bocah Bodoh saat itu berlagak pintar. Ia tahu persis tentang hal itu karena belajar dari ibunya.
Tua Usil mengunyah-ngunyah selembar daun Sekar Balak, Bocah Bodoh juga mengunyahnya, tapi dengan gerakan cepat. Sambil mengunyah daun, ia berkata kepada Tua Usil, "Buka pakaian Nona Li!"
"Hah...?! Kau sudah gila? Mau telanjangi Nona Li?!" Tua Usil mendelik kaget.
Tapi Bocah Bodoh bersungut-sungut, dan berkata, "Habis, bagaimana kita mau tempelkan daun yang sudah kita kunyah ini kalau lukanya tertutup pakaian?!"
Tua Usil tertegun, "Iya, ya...?! Kalau luka di lengan masih bisa tanpa membuka pakaian, tapi luka di dada, bagaimana?!"
"Yaaaah...!" Bocah Bodoh terbengong melompong.
"Ada apa?"
"Daun yang ku kunyah tertelan semua! Habis dipakai sambil berdebat, aku jadi lupa kalau yang ku makan adalah daun penawar racun!"
"Dasar rakus! Lantas bagaimana? Apakah kau akan mati?"
"Memang tidak membuat mati. Tapi... berarti aku akan mengalami sukar buang air besar!"
"Ya, sudahlah... air kecil saja yang dibuang. Ayo, kunyah lagi!"
Kalau saja Lili dalam keadaan sadar, pasti dia akan jijik dan menolak keras tubuhnya ditempeli daun yang sudah dikunyah Tua Usil dan Bocah Bodoh. Untung Lili dalam keadaan tak sadar, sehingga kedua orang itu dapat dengan bebas menempelkan daun yang dikunyahnya berkali-kali. Sebab setiap daun yang habis dikunyah lalu ditempelkan, dalam waktu cepat akan kering dan terlepas, sehingga hal itu harus dilakukan secara berulang-ulang.
Tetapi hasilnya cukup hebat. Dalam waktu singkat luka yang membengkak itu cepat kempes. Darah dan racun tersedot oleh kunyahan daun Sekar Balak itu. Lili pun segera sadar dan nafasnya kembali lancar, darahnya pun lancar. Yang ia tanyakan hanya dua hal,
"Siapa yang mencabut senjata rahasia itu? Siapa yang mencarikan daun penawar racun itu?"
Tua Usil menjawab, "Yang mencabut senjata saya, Nona Li. Tapi yang mencarikan daun penawar racun itu Bocah Bodoh! Yang mengunyah daun, kami berdua!"
"Mengunyah?! Jadi... kunyahan daun itu ditempelkan di kulitku?"
Tua Usil dan Bocah Bodoh tak ada yang berani menjawab. Keduanya sama-sama diam. Lalu Bocah Bodoh pun segera berkata, "Maaf, Nona Li... saya harus segera pergi menuju Prasasti Tonggak Keramat itu."
"Kudengar kau tadi menyebutkan tentang pusaka. Maksudmu pusaka apa?" tanya Lili.
"Pusaka Pedang Jimat Lanang. Pusaka itu milik gurunya ibu saya, dan pusaka itu diwariskan kepada Ibu oleh sang Guru. Tetapi karena Ibu lumpuh, maka Ibu mengutus saya untuk mencarinya."
"Jadi, pedang itu nantinya menjadi milikmu?" tanya Tua Usil.
"Kalau menurut pesan Ibu memang begitu. Tapi, terserah nanti bagaimana keputusan Ibu; apakah mau diserahkan kepadaku, atau digunakan sendiri, atau diserahkan kepada orang lain, aku tak berani mendului keputusan Ibu!"
"Anak yang patuh kau sebenarnya, Bocah Bodoh!" kata Lili. Lalu dia bertanya kepada Cola Colo, "Apa kehebatan pedang itu menurut ibumu?"
"Pedang itu bisa untuk memotong baja, tapi tidak bisa untuk memotong kuku," jawab Bocah Bodoh. "Pedang itu, katanya bisa menjadi panjang kalau disentakkan dengan tenaga dalam kecil. Pedang itu juga bisa bergerak sendiri dan pemegangnya hanya ikuti saja gerakkan itu. Kata Ibu juga, pedang itu bisa lukai lawan lewat bayangan lawan. Yang jelas, pedang itu sangat tajam, dan bisa untuk memotong pohon sebesar itu dengan satu kali tebas," sambil Bocah Bodoh menuding pohon besar di depannya.
"Hebat sekali pedang itu?" gumam Tua Usil dengan kagum.
'Ya. Memang hebat. Padahal, kata Ibu, pedang itu berukuran pendek, tidak sepanjang pedangnya No-na Li itu!" Bocah Bodoh berapi-api menceritakannya.
Hati Lili pun memuji kehebatan pedang itu, batinnya berkata, "Pedang itu cukup hebat. Kalau sampai jatuh di tangan orang sesat, oh... sangat berbahaya! Padahal Bocah Bodoh ini belum tentu bisa pertahankan pedang tersebut. Dia terlalu polos dan jujur dan mudah kena tipu orang sesat. Agaknya aku perlu berikan perlindungan terhadap Bocah Bodoh ini, biar pedang itu tidak jatuh ke tangan orang sesat!"
Lili memandang sekeliling, menunggu kedatangan Yoga. Tapi hatinya yakin, bahwa Yoga pasti bisa mengatasi musuh yang menyerang secara gelap tadi. Karenanya, Lili pun berkata kepada Bocah Bodoh,
"Bocah Bodoh, ibumu yang bernama Nyai Sembur Maut itu adalah teman guruku! Aku ingin bertemu dengan ibumu, karena aku belum pernah jumpa dengan beliau. Aku hanya dengar cerita tentang orang sakti yang bernama Nyai Sembur Maut, dan guruku itulah yang menceritakannya."
"O, ya? Kalau begitu, Nona Li nanti ikut pulang bersama saya saja! Ibu pasti senang kalau saya pulang dengan membawa murid dari temannya!"
"Baiklah. Tapi sekarang kau kubantu mencari pedang yang menjadi hak waris mu itu! Aku hanya akan melindungimu dari gangguan orang jahat yang ingin memiliki pedang tersebut. Soal tempatnya dan bagaimana cara mengambilnya kuserahkan kepadamu."
"Baiklah, kalau begitu sebaiknya kita lekas ke Prasasti Tonggak Keramat itu, Nona Li!"
"Masih jauhkan dari sini?"
"Saya rasa sudah dekat. Karena menurut Ibu, ciri-ciri tanah di dekat Pusaka Tonggak Keramat ada-lah terdapatnya tanaman Sekar Balak, banyak beba-tuan dl sekitarnya, dan...."
"Dan ini adalah Lembah Maut!" sahut Tua Usil.
"Dari tadi aku juga membatin begitu. Tapi aku tidak tahu Prasasti Tonggak Keramat ada di sebelah mana?"
"Bagaimana kalau kita cari di sebelah barat dulu secara bersama-sama?" usul Tua Usil.
"Ciri-cirinya bagaimana?"
"Ada telapak tangan Eyang Guru, letak tonggak batu itu agak miring, tinggi batu sebatas perut, eh... tinggi batu sebatas perut atau tinggi perut sebatas batu, ya? Aku agak lupa untuk yang itu!" kata Bocah Bodoh. 'Yang jelas, menurut cerita Ibu, tonggak batu itu merupakan tonggak sejarah, sebagai peringatan bahwa dulu, Eyang Guru pertama kali mendapatkan ilmunya di tanah Lembah Maut. Persisnya ya di Prasasti Tong-gak Keramat itu berada."
"Baiklah. Mari kubantu mencari di sebelah barat dulu," kata Tua Usil, kedua lelaki itu segera bangkit, tapi Lili masih duduk dengan melepas lelah, kaki melonjor punggung bersandar pada sebongkah batu.
"Nona Li tidak ikut?"
"Sebentar. Aku masih butuh beberapa waktu untuk menyegarkan tubuh. Kalian pergilah ke barat, aku awasi dari sini!"
Mata Lili memandang sekeliling, mengawasi Tua Usil dan Bocah Bodoh mencari prasasti tersebut. Sambil memperhatikan mereka dan menjaganya, hati Lili berucap kata sendiri, "Cola Colo... orang yang amat menyedihkan. Sudah setua itu tapi cara berpikir dan bersikapnya masih seperti bocah. Kalau sekarang ibunya masih hidup, berarti usia Ibunya sudah cukup banyak. Seingatku, dulu Guru pernah cerita bahwa Nyai Sembur Maut itu tokoh sakti yang lumpuh dan tidak dapat disembuhkan akibat bertarung dengan Malaikat Gelang Emas. Suaminya terbunuh oleh Malaikat Gelang Emas, dia sendiri menderita kelumpuhan seumur hidupnya. Rupanya sejak suaminya meninggal, Nyai Sembur Maut tidak pernah mau menikah lagi, sehingga ia hanya mempunyai seorang anak, yaitu Cola Colo. Melihat sikap kekanak-kanakan si Bocah Bodoh itu, aku yakin Bocah Bodoh anak tunggal yang terlalu disayang oleh ibunya, dan selalu dicemaskan oleh sang Ibu, sehingga segala sesuatunya selalu diawasi oleh sang ibu. Akibatnya, Cola Colo sampai setua itu m3asih seperti anak kecil yang diperhatikan dan dijaga baik-baik oleh sang Ibu. Cola Colo tidak akan menjadi dewasa jika sang Ibu tidak memberinya kepercayaan untuk hidup mandiri. Barangkali baru sekaranglah Cola Colo diberi kepercayaan untuk selesaikan tugas sendiri, sedang-kan sebelumnya ia selalu dikhawatirkan oleh sang Ibu jika pergi ke mana-mana. Hmm...! Kasihan si Bocah Bodoh itu...!"
Sampai menjelang sore, Tua Usil dan Bocah Bodoh belum temukan pula tugu atau batu yang menjadi prasasti tersebut. Dan Lili walaupun malas membantu mencari, tetapi juga sebenarnya ikut meman-dang ke sekeliling, sampai akhirnya ia terkejut,
"Hai, gila...! Bukankah batu yang dipakai bersandar sejak tadi ini berukuran setinggi perut dan agak miring? Dan juga... dan juga... nah, benar dugaanku! Batu yang ku sandari ini ada bekas telapak tangan?!" Lili memperhatikan bekas telapak tangan kanan-kiri yang ada di batu tersebut. Jika sejak tadi tidak terlihat oleh mereka, itu karena bekas telapak tangan pada batu tersebut tertutup punggung Lili. Menyadari hal itu, jantung Lili menjadi berdetak-detak dan merasa gembira.
Pada waktu mereka sudah merasa menyerah mencari di sebelah barat, mereka bergegas untuk mencari di sebelah timur. Tetapi mereka dipanggil Lili pada saat melintas di depan Lili.
"Belum ketemu juga, Nona!" kata Tua Usil. "Saya rasa batu itu sudah hilang, menggelinding kare-na diterpa badai atau hujan atau tanah longsor."
Lili hanya tersenyum dan berkata, "Untuk apa kalian susah-susah mencarinya? Bukankah sejak tadi aku duduk dan bersandar pada Prasasti Tonggak Keramat?"
"Mak... maksud Nona Lili... batu ini yang kami cari dari tadi?" tanya Bocah Bodoh setengah tidak per-caya-Lili segera bangkit berdiri, lalu menunjuk pada bekas telapak tangan di batu tersebut,
"Lihatlah...! Bukan itu bekas telapak tangan yang usianya sudah mencapai puluhan tahun?! Mung-kin mencapai seratus tahun lebih!"
Bocah Bodoh berapiapi memandangi telapak tangan yang membentuk cekungan sendiri pada batu tersebut. Ia mulai berseri-seri dan tersenyum gembira sambil menatap si Tua Usil. Katanya kemudian, "Benar, Tua Usil! Batu inilah prasasti yang kita cari!"
"Ya, ampuuun...! Mengapa kita tadi repot-repot mencarinya di sebelah barat?!" Tua Usil terkekeh-kekeh sendiri.
"Menurut Ibu," kata Bocah Bodoh. "Pedang itu ada di sekitar prasasti ini?! Kalau begitu, ada di sebelah mana, ya?" Bocah Bodoh garuk-garuk kepala sambil memandang sekeliling, Lili dan Tua Usil juga ikut memperhatikan sekeliling. Tanpa sadar mereka pun menyebar.
Tempat itu nyaris dikelilingi oleh tebing yang tak terlalu tinggi. Bukit yang ada di atas mereka mempunyai tebing datar dan tak bisa didaki. Dinding tebing banyak ditanami oleh rumput liar dan tanaman jalar.
Namun tiba-tiba tampak seseorang memandang dari atas tebing, muncul bagaikan sudah sejak tadi ada di balik pohon di atas bukit. Orang tersebut mengincar Bocah Bodoh. Terbukti ke mana pun perginya Bocah Bodoh selalu diperhatikan, tak lepas dari pandangan matanya.
Orang berwajah angker itu tak lain adalah Hantu Tamak Getih. Rupanya ia sudah sempat atasi luka-lukanya di bagian rusuk walau belum sembuh betul. Rupanya ia pun sudah tak sabar dan ingin menda-patkan pedang pusaka itu. Seperti tadi, sekarang pun Hantu Tamak Getih menyangka bahwa pedang pusaka itu ada di pundak Lili. Dengan gerakan bersalto tiga kali, Hantu Tamak Getih melompat dari atas bukit sambil lepaskan suara liarnya,
"Heaaah...!"
Seketika itu Lili dan Tua Usil berpaling memandang ke arah datangnya suara teriakan itu. Tetapi mereka telah terlambat. Hantu Tamak Getih sudah lebih dulu menyandera Bocah Bodoh dengan keadaan kepala Bocah Bodoh siap dipatahkan dalam satu sentakan putar.
"Serahkan pedang pusaka itu kepadaku, atau kupatahkan kepala Bocah Bodoh temanmu ini?!" katanya kepada Pendekar Rajawali Putih.
"Kami sedang mencari pusaka itu. Kalau kau mau ikut mencari, silakan saja!" jawab Lili dengan tenang.
"Aku tahu, pedang itu sudah kalian temukan. Sekarang ada di punggungmu, Nona Cantik? Aku si Hantu Tamak Getih, orang yang tak bisa ditipu! Serahkan pedang itu. Lekas!"
Bocah Bodoh menyeringai kesakitan, ia berusaha merintih dan berkata kepada Lili, "Nona Lili... tolong... tolong serahkan saja pedang itu, kepala saya sakit sekali, Nona Li. Aaauuh...!" Bocah Bodoh memekik keras karena Hantu Tamak Getih kian memelintir kepalanya.
Lili segera melepaskan pedangnya sebagai jaminan keselamatan Bocah Bodoh itu. Tapi di luar dugaan Hantu Tamak Getih yang tersenyum-senyum kegirangan, karena mau dapatkan pedang pusaka, tiba-tiba Pendekar Rajawali Putih kibaskan tangannya, dan dari ujung dua jari tangan itu melesat selarik sinar putih berkilauan yang segera menghantam dada kiri Hantu Tamak Getih. Sinar itu hanya berjarak satu jari dari leher Bocah Bodoh. Jika Bocah Bodoh bergerak, maka sinar putih itu akan kenai leher Bocah Bodoh.
Tapi untunglah Bocah Bodoh tidak bergerak walau menahan sakit, sehingga sinar itu tepat kenai dada kiri dekat pundak orang yang siap memelintir kepalanya. Zlaap...! Duub...! Hantu Tamak Getih terpental dengan tangan mengembang karena menahan rasa sakit dan panas yang tiada bandingnya itu. Mengembangnya jemari tangan Hantu Tamak Getih membuat pegangan pada kepala Bocah Bodoh terlepas dan orang itu tersentak mundur sambil memekik.
Cola Colo justru diam saja, terbengong melompong memandangi Hantu Tamak Getih terpental dan jatuh duduk di bawah sebongkah batu.
Tua Usil segera berteriak, "Bocah Bodoh...! Lekas kemari! Jangan di situ terus! Huhh...! Memang dasar manusia bodoh!" omel Tua Usil, merasa jengkel oleh kebodohan Cola Colo. Tapi ketika Bocah Bodoh mendengar seruan Tua Usil, ia segera sadar dan cepat lari bersembunyi di salah satu gugusan batu.
Hantu Tamak Getih menggerang liar. Matanya memandang dengan buas dan angker. Ketika itu, ia segera kerahkan kekuatan tenaga dalamnya dengan mengangkat dua tangan dalam keadaan kaki berdiri merenggang, lalu dari tangan yang disentakkan pendek itu keluarlah sinar putih dari ujung kesepuluh jarinya itu.
"Heaaah...!"
Zraab...! Kesepuluh sinar putih tertuju semuanya ke tubuh Lili. Pendekar Rajawali Putih tahu-tahu seperti menghilang, padahal bergerak dengan sentak-kan jempol kaki ke tanah cukup pelan. Zlaapp...!
Tahu-tahu Pendekar Rajawali Putih sudah berada di belakang Hantu Tamak Getih. Orang berwajah angker itu sempat kebingungan mencari ke mana perginya gadis cantik yang membawa pedang pusaka tersebut. Ketika ia clingak-clinguk begitu, Lili mencolek pundaknya dari belakang. Hantu Tamak Getih menoleh.
Plookkk...!
Gerakkan kepala yang menoleh ke belakang itu dibarengi dengan hantaman tangan yang berkekuatan tenaga dalam tinggi. Pukulan itu membuat wajah Hantu Tamak Getih bagai dihantam dengan batu sebesar kepala kerbau. Tubuhnya terpental tanpa ampun lagi. Kepalanya membentur batu besar dalam jarak tiga tombak di belakangnya.
Prak!
Tubuh yang tersandar berlutut di batu itu segera dihantam oleh Lili dengan pukulan yang meman-carkan sinar putih keperakan dari tangan kanannya. Claap...! Deesss...! Selarik sinar putih keperakan itu membuat tubuh Hantu Tamak Getih terlempar ke atas tinggi-tinggi dengan dada mengepulkan asap. Ia tak mampu memperoleh keseimbangan tubuh, sehingga ketika bergerak turun, tubuhnya bagai dibanting den-gan sangat kuat.
Bruuhg...! Prak...!
"Aaauh...!" erang Hantu Tamak Getih, matanya terpejam rapat-rapat. Mulutnya semburkan ludah darah yang kental dan segar. Lalu dia segera bangkit, dan dengan sisa tenaganya ia melarikan diri.
DELAPAN
PENGEJARAN Yoga kali ini berhasil. Ia memotong jalan dan menghadang di balik gundukan tanah cadas. Ketika seseorang lewat di depan gundukan tanah cadas itu, Yoga segera lepaskan pukulan 'Cakar Gersang' yaitu sinar merah berkerlip dari ujung jari telunjuk yang mampu melesat cepat dan tak akan mungkin bisa ditangkis.
Claap...!
"Ahhg...!" terdengar suara pekik seseorang. Tubuh berbaju kuning yang sedang larikan diri itu rubuh terjungkal. Pendekar Rajawali Merah segera melompat dan mencabut pedangnya dengan berang.
Blaarrr...!
Petir menggelegar ketika pedang dicabut Orang berbaju kuning itu segera sentakkan sikunya sebagai alat penghentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara satu kali dalam gerakan bersalto. Yoga sempat kaget, karena seharusnya orang yang terkena pukulan Cakar Gersang' akan menjadi lemas, pusing, berat kepalanya, dan mual. Jurus itu bukan jurus mematikan, namun melumpuhkan lawan. Jika orang berbaju kuning itu masih mampu melenting ke udara berarti dia punya lapisan tenaga dalam cukup tinggi.
Jleeg...!
Orang itu mendaratkan kakinya ke tanah bersamaan dengan kedua kaki Yoga berpijak di tanah dari lompatannya tadi. Pedang Yoga masih terangkat ke samping dengan nyala biru pijar yang memercikkan bunga api berkelok-kelok mengelilingi tepian pedang.
Mereka saling pandang dan Yoga baru menyadari siapa yang ia hadapi kala itu. Detak jantungnya semakin keras, pikirannya pun menjadi sangat kacau. Tangannya gemetar memegangi pedang, dadanya gemuruh karena tak dapat menentukan perasaan, serta tak bisa memutuskan langkahnya.
Orang yang dikejarnya adalah gadis cantik berambut panjang dengan ikat kepala merah. Ia mengenakan ikat pinggang biru dari kain selendang yang bisa digunakan sebagai senjata maut. Ia juga mempu-nyai pedang pendek warna hitam. Gadis berusia sekitar dua puluh tahun itu adalah gadis yang hadir dalam pemakaman Dewa Geledek, gurunya Yoga. Hanya Yoga dan gadis Itulah yang ada pada saat sang Guru dimakamkan.
Dengan suara bergetar Yoga menyebut namanya lirih, "Mahligai...!"
Gadis itu masih menatap Yoga dengan mata tajam, tapi pedangnya segera dimasukkan. Mata itu tak berkedip, seakan menembus masuk ke dalam hati Pendekar Rajawali Merah. Hal itu membuat seluruh tulang Yoga bagaikan patah, urat-urat tubuh bagaikan putus semua. Yoga menjadi lemas, karena ia merasa tidak bisa bertindak apa-apa.
Mahligai adalah gadis yang pertama kali mencintainya, karena memang dia gadis yang pertama kali ditemukan Yoga setelah turun gunung, setelah berhasil selesaikan pelajaran dari gurunya itu. Mahligai gadis yang membuat sejarah bagi kehidupan Yoga, mempertemukan Yoga dengan Bibi gurunya; Sendang Suci, membuat Yoga bisa temukan Lili, membuat Yoga bisa bertemu Kencana Ratih, karena harus mencari bunga Teratai Hitam untuk mengobati sakit gila yang diderita Mahligai kala itu.
Sementara itu, Yoga juga ingat bahwa antara dirinya dengan diri Sendang Suci; bibinya Mahligai, terjalin hubungan yang baik, akrab, damai dan saling memiliki kasih sayang terpendam dalam keagungan. Yoga tahu, bibi gurunya Mahligai sangat mencintainya.
Tapi perempuan yang dijuluki Tabib Perawan itu punya pertimbangan lain, sehingga ia mundur secara damai dari harapan mencintai Yoga, sebab ia tahu keponakannya sendiri juga mencintai Yoga, dan Mahligai itulah gadis pertama yang jatuh cinta kepada Yoga.
Kasih sayang Yoga sendiri kepada Mahligai sungguh besar, sekalipun bukan dalam bentuk kasih sayang seorang kekasih. Karenanya, saat-saat seperti ini Yoga diguncang jiwanya oleh suatu penentuan yang membe-ratkan hati.
Dalam hati, Yoga mempunyai suatu pengharapan yang tipis, namun tetap ia coba untuk bertanya, "Kaukah yang membunuh Kencana Ratih, Lembayung Senja, Jalak Hutan, dan Mutiara Naga?"
“Ya. Aku yang membunuh mereka!" jawab Mahligai dengan tegas.
Harapan tipis itu lenyap dari hati Yoga. Padahal semula ia berharap semoga bukan Mahligai orang yang membunuh mereka. Semoga hanya melukai Lili saja yang dilakukan oleh Mahligai. Tapi gadis itu telah mengaku dengan tegas-tegas di depan Yoga, yang membuat Yoga terasa sulit menelan ludahnya sendiri.
"Kupelajari jurus pedang milik Bibi Sendang Suci secara diam-diam. Setelah ku kuasai, saat ku merebut dirimu dari tangan-tangan mereka telah tiba. Sayang sekali aku belum bisa berhadapan muka dengan Lili, sehingga aku tidak bisa membunuhnya. Tapi kurasa racun di dalam senjataku yang tertancap di tubuh Pendekar Rajawali Putih telah cukup membuat gadis itu akan mati dalam beberapa saat nanti."
Yoga memasukkan pedangnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Sementara itu, Mahligai mulai kelihatan merah matanya, berkaca-kaca bagai menahan luapan kemarahan yang bercampur kesedihan. Gadis itu masih bicara walau tidak memandang Yoga.
“Tak kubiarkan orang lain menguasai hatimu! Selama ini aku sudah bersabar untuk tidak menyerang mereka, tapi mereka terasa semakin menjerat hatimu. Maka, satu persatu mereka harus kulenyapkan. Jalak Hutan pun ikut kulenyapkan karena dia ingin membela keponakannya. Siapa pun yang mencintai kamu, harus kubunuh! Aku tak ingin ada musuh dalam memeluk hatimu."
"Kau kejam, Mahligai!"
"Cinta adalah sebuah kasih sayang yang bisa menghadirkan sejuta kekejaman," ucap Mahligai dengan tekanan tandas, "Kadang untuk mendapatkan kasih sayang, kita perlu unjuk kekejaman di depan mereka yang ingin merebut kasih sayang itu!"
Dengan memandang dingin, Yoga berkata, "Aku tidak suka dengan gadis berdarah dingin seperti dirimu! Aku tidak suka gadis yang lakukan kekejaman demi cintanya. Kuanggap cinta itu sendiri adalah segumpal kekejaman yang tak layak ada di dalam hatiku!"
Dengan gerakan cepat Mahligai berpaling dan memandang tajam kepada Yoga. "Kulakukan hal itu demi menunjukkan kesu-cian cintaku padamu, Yo. Mengapa sekarang kau berkata begitu?!"
"Karena aku kecewa dengan tindakanmu, Mahligai. Kau merusak hubungan kita, merusak persahabatan kita, menghancurkan kasih sayang ku kepadamu, yang sudah kuanggap melebihi adik kandungku sendiri! Kau telah merusak segala keindahan yang ada pada diriku. Keindahan itu semula terpancar timbul dari sikapmu yang menyenangkan hatiku. Tapi sekarang sikapmu tidak lagi menyenangkan, namun membuatku kecewa. Ku banggakan dirimu di dalam hatiku, tapi sekarang kebanggaan itu pun kau buang dan kau injak-injak dengan kekejianmu ini!"
Wajah kuning langsat itu menjadi merah, malu, menyesal, benci, marah, dan duka. Semua berkumpul menjadi satu di hati Mahligai pada saat itu. Semua tercermin melalui wajahnya hingga merah karena tak mampu membendung perasaan-perasaan tersebut. Air mata Mahligai pun mulai menggenang di kedua bola matanya yang indah itu. Kian menunduk, kian meleleh air mata itu. Ia sengaja melangkah dengan tegakkan badan kembali, menjauhi Yoga, namun tak berani lari darinya.
Pendekar Rajawali Merah mengusap rambutnya sendiri yang panjang sebatas punggung. Rambut yang meriap dikebelakangkan sambil menarik napas untuk kendalikan perasaannya. Ia melangkah mendekati Mahligai, kemudian dengan suara tegas ia berkata,
"Jangan harap kau memperoleh apa-apa dariku, karena kau telah berbuat seperti itu! Kusarankan, lupakan tentang hubungan kita. Anggap kita tak pernah saling jumpa sebelumnya!"
Makin deras air mata itu mengalir. Makin kuat bibir itu digigitnya. Tubuh pun terguncang karena tangis yang meratap dalam hatinya.
"Selamat tinggal, Mahligai!" Tiba-tiba Yoga mengucap kata lirih yang seperti petir menyambar di telinga Mahligai. Wajah yang dibanjiri air mata itu terangkat. Yoga telah mundur dua langkah walau masih tetap memandangnya. Beberapa saat mereka saling pandang, tangis Mahligai kian deras, guncangannya semakin menghentak-hentak.
Pelan-pelan Yoga melangkah mundur lagi, lalu berbalik arah dan cepat melangkah tinggalkan Mahligai. Gadis itu kian terdengar suara ratapannya. Bahkan kini ia memanggil dengan suara parau, "Yogaaa...!"
Pendekar Rajawali Merah tetap melangkah tinggalkan gadis itu. Dalam hatinya ia hanya berkata, "Tepat seperti apa kata Resi Gumarang ketika aku susah payah mencarikan obat untuk sembuhkan Mahligai, bahwa gadis itu akan menjadi malapetaka bagi orang-orang yang mencintai ku. Dan ternyata ramalan Resi Gumarang itu tidak meleset sedikit pun. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Bunga Penyebar Maut").
Bagaimana perasaan Mahligai saat itu, tak lagi dipedulikan oleh Yoga. Sekali pun ada dugaan, bahwa Mahligai akan mengadu kepada bibinya; Sendang Suci, tentang sikap Yoga yang menyakitkan hatinya itu, Yoga sudah siap hadapi Sendang Suci kapan saja.
Karena, pikiran dan hati Yoga saat itu tertuju kepada Lili; si Pendekar Rajawali Putih. Ada kecemasan besar di hati Yoga setelah tahu bahwa senjata itu milik Mahligai, tentu saja mempunyai racun ganas yang amat berbahaya, karena Mahligai mempunyai bibi yang termasuk ahli racun juga.
Yoga tidak tahu, bahwa Lili saat itu justru sedang bertarung dengan seorang tokoh sakti yang bernama Nyai Rajang Demit. Perempuan kurus berambut putih rata dengan tinggi badan sedikit jangkung, namun mempunyai mata cekung yang memancarkan kebengisan itu, muncul setelah Hantu Tamak Getih melarikan diri.
Dengan sebatang tongkat bergagang tiga mata pisau seperti garpu, nenek berjubah ungu itu melompat dari suatu tempat, dan tahu-tahu sudah berada di antara mereka. Bocah Bodoh kaget dan menjadi takut. Mulutnya mengucap kata dalam kekagetannya yang tidak sadar itu,
"Bibi...?!"
Tapi Tua Usil mengetahui tokoh tua yang punya kesaktian tinggi itu, Tua Usil pun menyebutkan sepotong nama, "Nyai Rajang Demit?"
"Ya. Aku yang datang, Pancasona!" kata Nyai Rajang Demit, rupanya ia kenal dengan Tua Usil, sehingga menyebutkan nama asli si Tua Usil.
"Siapa dia?" bisik Lili kepada Tua Usil dan Bocah Bodoh.
Cola Colo yang menjawab, "Dia bibi saya, Nona Li. Dia adik tiri Ibu saya. Namanya Nyai Rajang Demit."
"Apa maksudnya datang kemari?"
"Entah, Nona. Saya tak berani menanyakan, sebab Bibi galak kepada saya dan sering memusuhi Ibu saya."
"Cola Colo...!" panggil Nyai Rajang Demit dengan suara keras.
"Eh, hmm... iya...! Iya, Bibi!" Bocah Bodoh agak maju dua tindak.
"Ku perintahkan padamu, dan kepada dua temanmu itu, pergi dari Lembah Maut ini! Kalau tidak, nyawa kalian tak akan ku sisakan walau separo pun!"
"Eh, hmmm... eeh... anu... eeh...."
"Cepat!" bentaknya. Bocah Bodoh terlonjak kaget.
"Iyyaa... iya... iya...!" Bocah Bodoh segera temui Tua Usil dan Pendekar Rajawali Putih. Ia berkata kepada mereka berdua, "Kita disuruh pergi, Nona. Mari pergi sekarang juga."
"Jangan mau!" bisik Lili dengan mata tetap memandang Nyai Rajang Demit. "Kita harus tetap di sini, dan biar dia yang pergi!"
"Saya tidak berani mengusirnya, Nona Li! Lebih baik saya mengusir si Tua Usil saja daripada harus mengusirnya. Dia lebih galak dari pada si Tua Usil, Nona Li!"
"Biar aku yang mengusirnya!" bisik Lili sambil menggapai tubuh Bocah Bodoh, menyingkirkan tubuh itu, lalu Lili maju tiga tindak.
"Kami tidak ingin tinggalkan tempat ini!" kata Lili dengan lantang dan berani. Nyai Rajang Demit sunggingkan senyum sinis dan berkata dengan nada dingin, "Siapa dirimu, sehingga ikut campur dalam masalah Prasasti Tonggak Keramat?! Apakah kau tahu banyak tentang prasasti itu?!"
"Aku ada di pihak Bocah Bodoh yang ingin di-perdaya oleh bibinya sendiri!" kata Lili tegas-tegas, seakan ia sudah bisa mengetahui apa yang ingin dilakukan oleh Nyai Rajang Demit itu.
"Agaknya kau juga ingin memiliki pusaka itu, Gadis Dungu?! Hmm...! Jangan mimpi kau bisa ambil bagian dalam perkara prasasti ini! Gurunya Sembur Maut adalah guruku juga. Hanya aku dan Sembur Maut yang punya hak atas prasasti ini. Apa pun yang ada di dalam prasasti adalah hak kami, karena itu merupakan peninggalan guru kami!"
"Sudah ku tahu sebelumnya, bahwa hanya Nyai Sembur Maut yang punya hak untuk memegang pedang pusaka itu! Pedang itu akan diturunkan kepada anaknya, yaitu Bocah Bodoh! Sudah kuduga sebelumnya, pasti akan ada pihak yang ingin menguasai pusaka itu dengan mengaku-aku sebagai pewaris yang ber-hak memiliki pusaka tersebut. Jika kau bicara dengan Bocah Bodoh, maka kau akan berhasil memperdayainya.
Tapi jika kau bicara denganku, kau tak akan bisa berhasil menguasai pusaka yang ada dalam Pra-sasti Tonggak Keramat itu!"
Ucapan Lili membuat panas hati Nyai Rajang Demit. Mata cekung itu memandang semakin tajam. Senyum sinisnya hilang, berganti rona wajah yang memancarkan kebencian dan permusuhan Kemudian, Nyai Rajang Demit berkata dengan suara berat,
"Siapa dirimu agaknya tak perlu ku pedulikan! Kalau kau tak mau menyingkir, berarti kau harus siap menghadapi amukan ku!"
"Aku sudah menunggu amukan mu sejak tadi, Nyai Rajang Demit! Kau yang terlalu lamban untuk mengamuk!" tantang Lili tak tanggung-tanggung. Maka, Nyai Rajang Demit pun menggeram angker.
"Bangsat cantik kau rupanya! Heaah...!" Nyai Rajang Demit sentakkan ujung tongkatnya ke depan. Dari tiga mata pisau itu melesat sinar hitam berkelok-kelok tiga larik. Pendekar Rajawali Putih segera ambil sikap menempelkan dua jari tangannya yang kanan ke kening dalam posisi tegak, tangan kirinya menyangga siku kanan, kaki kanannya terlipat ke samping.
Tubuh Pendekar Rajawali Putih itu memancarkan cahaya melingkar-lingkar bersusun seperti obat nyamuk. Cahaya tersebut berwarna putih berpijar-pijar. Ketika sinar hitam berkelok-kelok itu menghantamnya, sinar itu berhenti bagai tak mampu menembus ke dalam tubuh Pendekar Rajawali Putih.
"Heaaah...!" Nyai Rajang Demit kian kerahkan tenaganya sampai tubuhnya bergetar. Kini tangan kirinya ikut diangkat dan kedua kakinya sedikit merendah. Tangan kirinya itu memancarkan selarik sinar kuning yang juga menghantam lingkaran-lingkaran sinar putihnya Pendekar Rajawali Putih. Sinar tersebut juga tidak mampu menyentuh tubuh Lili, namun tetap terpancar bagai selarik besi lurus mendesak benteng baja.
Zruub...!
Sinar hitam dari tiga mata pisau itu padam. Sinar kuning juga padam. Sinar putihnya Lili juga lenyap. Nyai Rajang Demit terengah-engah, sedangkan Lili hanya memandanginya dengan dingin, seakan menunggu serangan berikutnya.
Nyai Rajang Demit berkata dalam hatinya, "Kunyuk sinting! Gadis ingusan ini ternyata punya ilmu tinggi juga? Murid siapa dia itu? Jurus maut ku tidak mempan menembus dirinya. Mengguncang tubuhnya saja tak mampu. Dua jurus telah kulepaskan, tapi ia masih tetap tidak bergeming sedikit pun. Bahkan tubuhku yang terasa sakit semua bagaikan memar karena hantaman kuat! Benar-benar monyet dia itu!"
Tua Usil dan Bocah Bodoh bersembunyi di balik batu prasasti. Mereka sama-sama tegang dan berdebar-debar, namun juga merasa kagum melihat Lili tak mampu ditembus oleh sinar mautnya Nyai Rajang Demit.
Lili berkata, "Kusarankan sebaiknya jangan kau usik hak milik Bocah Bodoh dan ibunya, Nyai Rajang Demit! Kau akan menyesal kalau memaksakan diri untuk mengusik mereka, karena aku ada di depan mereka, Nyai!"
"Tutup bacotmu, Gadis Tolol! Jangan menggurui ku karena kau masih ingusan! Rupanya kau memang perlu kuhajar dengan jurus 'Cengkeram Nyawa'-ku ini! Heaah,..!"
Duugh...! Tongkat disentakkan di tanah, tepat di depan tubuh Nyai Rajang Demit. Seketika itu tubuh Nyai Rajang Demit menjadi merah bagaikan besi membara. Warna merah kekuning-kuningan itu, membuat rumput yang diinjaknya maupun yang ada di sekitarnya menjadi terbakar hangus. Batu kerikil yang diinjaknya menjadi bara.
Dalam keadaan seperti itu, Nyai Rajang Demit melompat menyerang Pendekar Rajawali Putih. Jelas jika tubuh Lili tersentuh tubuh Nyai Rajang Demit sedikit saja, maka akan terbakar hangus bagai disentuh oleh bara api. Karena itu, ketika Nyai Rajang Demit melompat maju, Pendekar Rajawali Putih bersalto ke belakang dua kali.
Plak, plak...!
Kemudian kedua tangan Lili berkelebat bagai menari, menuju ke dada sambil satu kakinya berlutut, kemudian kedua tangan itu menyentak ke depan bersamaan. Wuuttt...! Dan segumpal asap putih menyembur dari kedua telapak Lili.
Wuurrrsss...! Semburan itu mengenai Nyai Rajang Demit dan mengurungnya seketika. Jraass...! Terdengar suara mengagetkan bagaikan bara api dimasukkan ke dalam air dingin. Rupanya asap itu adalah salju maut yang berguna untuk memadamkan bara di tubuh Nyai Rajang Demit.
"Aahg...!" Nyai Rajang Demit justru kelojotan bagaikan dibakar api, sementara asap uap salju itu masih tersembur tiada hentinya dari kedua tangan Pendekar Rajawali Putih. Itulah yang dinamakan jurus 'Salju Neraka'.
Uap salju itu makin lama semakin menebal membungkus tubuh Nyai Rajang Demit. Perempuan tua itu menjerit-jerit kesakitan, karena salju itu sendiri mempunyai ratusan jarum yang menyerang sekujur tubuh lawan. Gerakan Nyai Rajang Demit menjadi kian pontang-panting. Lalu, dengan tanpa hentikan teriakan-teriakannya, Nyai Rajang Demit pun segera melarikan diri dari tanah prasasti tersebut. Ia melompat pergi dengan cepat, menerabas apa saja yang dilaluinya.
Tua Usil dan Bocah Bodoh masih berdiri terbengong melompong memandangi kepergian Nyai Rajang Demit. Lili segera menegur, dan mereka pun buru-buru terlepas dari keterpakuan diri.
"Aku punya dugaan, pedang itu ada di bawah batu itu!" kata Lili segera mengalihkan pikiran kedua orang itu agar tidak hanyut dalam kekagumannya.
"Kalau begitu, kita gali tanah di bawah tugu prasasti itu untuk mencari pedang pusaka tersebut," kata Tua Usil.
"Baik. Mari kita gali, Tua Usil!" kata Bocah Bodoh.
Mendadak Lili berkerut dahi dan melirikkan matanya penuh curiga. Kemudian ia berkata kepada Tua Usil dan Bocah Bodoh. "Tahan dulu! Jangan lakukan sekarang! Sepertinya ada langkah orang mendekati tempat kita!"
"Lekas sembunyi!" kata Bocah Bodoh sambil berlari mencari batu besar untuk dipakainya bersembunyi. Tua Usil terpengaruh oleh ketakutan Bocah Bodoh dan segera ikut bersembunyi. Namun Pendekar Rajawali Putih tetap berdiri di tempat terbuka, seakan menunggu kedatangan orang yang dicurigai. Tanpa disadari keadaannya di tempat terbuka itu memudahkan lawan menyerangnya dari berbagai arah.
SEMBILAN
TERNYATA sejak tadi segala gerak-gerik mereka diperhatikan oleh sepasang mata indah. Sepasang mata itu ada di atas pohon, duduk bersandar di sebuah dahan pohon rapat, tampak santai dan sangat menikmati pertarungan dan ketegangan yang terjadi di bawahnya. Sepasang mata konyol itu tak lain milik seorang dara jelita yang punya julukan Gadis Linglung.
Sebenarnya, kala Lili bertarung melawan Nyai Rajang Demit, Gadis Linglung sempat dibuat sedikit tegang, karena ia tahu kehebatan ilmu yang dimiliki tokoh tua yang tergolong sesat itu. Gadis Linglung menyangka Lili akan tumbang melawan Nyai Rajang Demit. Namun ia segera terperangah kagum dan terpaku melihat Lili berhasil kalahkan Nyai Rajang Demit dengan jurus 'Salju Neraka' yang jarang digunakan itu.
Tetapi hal yang membuat Lili curiga bukan kehadiran Gadis Linglung, sebab gadis itu tetap berada di atas pohon sambil senyum-senyum, menunggu saatnya untuk turun. Sebuah langkah tergesa-gesa didengar oleh telinga Lili, dan langkah itu makin dekat, lalu semakin tampak siapa pemiliknya. Ternyata orang yang membekas di hati Lili selama ini, yaitu Yoga.
Pendekar Rajawali Merah itu semakin mempercepat langkah melihat Lili berdiri bagai menunggu kedatangannya. Hatinya sedikit merasa lega melihat Lili sehat dan masih tegar berdiri di depannya. Yoga pun segera sunggingkan senyum menawan yang sebenar-nya sangat disukai oleh guru angkatnya itu.
"Bagaimana luka Guru?" tanya Yoga sambil memandang bagian pakaian Lili yang robek itu.
"Mereka berdua menyelamatkan aku!" jawab Lili sambil melirik Tua Usil dan Bocah Bodoh yang muncul dari persembunyiannya. Kemudian, Lili bertanya kepada Yoga, "Bagaimana dengan penyerang gelap Itu? Berhasil kau kejar?"
"Aku gagal karena mencemaskan dirimu, Guru!"
"Bodoh!"
"Ada apa Nona Li?" Bocah Bodoh maju merasa dipanggil.
"Aku tidak memanggilmu!" sentak Lili. "Aku mengatakan, orang ganteng itu ternyata sama dengan kamu...!"
"Terima kasih," jawab Bocah Bodoh, lalu berkata kepada Tua Usil, "Aku dianggap sama gantengnya dengan Tuan Yo!"
Kepala Bocah Bodoh didorong oleh tangan Tua Usil sambil berkata, "Yang sama itu bodohnya, bukan gantengnya!"
"Ooo...," Bocah Bodoh manggut-manggut, hilang senyumnya.
Raut wajah lucu Bocah Bodoh membuat Lili sembunyikan senyum. Demikian halnya Yoga. Tetapi, Pendekar Rajawali Merah itu segera kehilangan senyum dan menjadi tegang ketika ia melihat sekelebat pisau terlepas melesat menuju punggung Lili. Dengan cepat tangan Lili ditariknya. Wuuttt...! Lalu tangan yang habis menarik itu berkelebat ke punggung Lili. Teeb...! Pisau itu berhasil ditangkap dan terselip di sela jari.
"Seseorang ingin membunuhku lagi?!" gumam Lili dengan mulai naik kemarahannya. Yoga segera melemparkan kembali pisau itu ke arah semak tempat datangnya pisau tersebut.
Wuuzzt...! Jebb...!
"Aaahg...!" terdengar suara orang memekik. Setelah suara lelaki yang memekik itu, terdengar tubuh jatuh berdebam di tanah. Bluhg...! Kejap berikutnya dari semak itu berlompatan sosok-sosok tubuh yang tak dikenal oleh Lili dan Yoga. Tiga manusia angker berdiri di depan mereka, dua di belakang, satu di depan. Yang di depan kenakan pakaian hijau dengan kain jubah longgar hitam dan rambutnya putih beruban.
"Wali Kubur...?!" ucap Bocah Bodoh.
Yoga berbisik dalam tanya, "Siapa mereka?"
"Orang perguruan Lereng Lawu. Ketuanya yang berdiri di depan itu, Tuan. Namanya Wali Kubur! Jahat sekali dia kepada Ibu dan saya!"
Terdengar suara orang berusia sekitar enam puluh tahun itu berkata kepada Bocah Bodoh, "Bocah Bodoh, mana hasil kerjamu, Nak? Ibumu meminta ku menjemput kamu dan menjaga pusaka itu!"
Bocah Bodoh menjawab dengan takut, "Belum digali, Paman Wali Kubur! Kami... kami baru akan menggalinya. Tunggu sebentar!"
Pendekar Rajawali Merah berkata, "Tidak ada pusaka di sini!"
"Hei, jangan turut campur urusanku! Apakah kau belum kenal siapa aku, hah?! Kuremukkan mulutmu sekarang juga baru tahu rasa kau!"
"Cobalah!" tantang Yoga. Senyum sinis dipamerkan sebagai ejekan.
Ternyata Wali Kubur menjadi terpancing amarahnya. Kedua muridnya ingin maju menyerang, tapi ditahannya. Ia sendiri yang segera melangkah maju dan tahu-tahu kakinya menyentak, tubuhnya melayang bagaikan terbang, seperti harimau menerkam mangsa.
"Hiaaah...!"
Wuuttt...!
Sebenarnya Yoga ingin menghadapinya sendiri, tapi tiba-tiba Lili segera maju dan sentakkan kedua tangannya yang membentuk cakar dari samping telinga kanan-kiri. Satu sentakan pendek telah hasilkan cahaya putih keperakan. Cahaya itu menghantam kepala Wali Kubur, zlaap...! Kemudian tubuh Wali Kubur itu jatuh bagaikan tak mampu bergerak dalam lompatannya. Sedangkan dua larik sinar putih keperakan tadi meresap masuk ke telapak tangan Lili.
"Guru...!" teriak kedua muridnya di belakang. Kedua orang itu maju menyerang bersamaan. Tapi Yoga segera sentakkan kaki dan melesat lompat ke depan, dua kakinya menendang secara bersamaan. Draagh...! Tendangan itu sama-sama kenai dada dua murid Wali Kubur, dan keduanya sama-sama terjungkal kembali ke tempat semula.
Wali Kubur cepat berdiri dan segera sentakkan kedua tangannya ke arah Lili. Tetapi ia terkejut dan menjadi tegang. Tangan itu tidak keluarkan sinar tenaga dalam sedikit pun. Ia ulangi beberapa kali, tapi ia tidak melihat ada sinar keluar. Bahkan beberapa jurus maut dan jurus yang paling andal digunakan. Tapi semuanya tak bisa digunakan lagi. Wali Kubur menjadi takut dan segera mundur dengan mata mendelik,
"Celaka!" gumamnya lirih.
Lili tersenyum dan berkata, "Tak akan ada yang bisa kau pakai! Semua jurusmu lenyap dan hilang tanpa bekas sedikit pun, karena kau telah terkena pukulan 'Sirna Jati' dariku!"
Bukan hanya Wali Kubur dan kedua muridnya yang terkejut, tapi Yoga juga ikut terkejut, karena ia tahu bahwa jurus pukulan 'Sirna Jati' yang bisa melenyapkan seluruh ilmu seseorang itu hanya ada di dalam Kitab Jagat Sakti. Yoga tidak menduga kalau Lili telah kuasai ilmu tersebut.
Gadis Linglung di atas pohon hanya mencibir. Ia membatin, "Wali Kubur sudah tua masih bisa dibohongi oleh gadis itu! Hmmm...! Mau-maunya dia percaya dengan omongan Lili! Hi hi hi...! Wali Kubur malahan lari?! Ya ampuun... goblok amat Ketua Perguruan Lereng Lawu itu?! Baru digertak begitu sudah kabur?! Amit-amit!"
Gadis Linglung boleh tak percaya, tapi Yoga tahu persis tentang adanya jurus 'Sirna Jati' itu. Yoga ingin menanyakan tentang hal itu, tapi Lili segera alihkan percakapan setelah Wali Kubur dan kedua muridnya itu lari terbirit-birit dalam satu gebrakan saja.
"Sebaiknya cepat gali tanah di bawah tonggak batu itu. Sebentar lagi akan datang masa petang, kita harus cepat tinggalkan tempat ini! Setidaknya kita cari gua untuk bermalam!"
Maka, penggalian itu pun dilakukan mereka be-rempat. Dengan gunakan alat apa saja yang bisa digu-nakan dan yang ditemukan, mereka menggali tanah sekeliling Prasasti Tonggak Keramat itu. Dan ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Sebuah bumbung bambu berwarna hitam ditemukan oleh mereka. Bumbung bambu hitam itu agaknya dilapisi bahan pengawet sehingga tidak mudah dimakan rayap walau sudah tahunan dipendam dalam tanah.
Bocah Bodoh menerima bumbung bambu itu dari Yoga. Lalu, dia sendiri yang membuka penutupnya. Dari dalam bumbung bambu itu keluarlah sebilah pedang pendek lengkap dengan sarungnya yang terbuat dari ukir-ukiran kayu berwarna putih, mirip tulang ikan besar.
"Akhirnya kudapatkan juga pedang pusaka ini...?!" Bocah Bodoh tersenyum girang, yang lain pun hanya ikut memandang dengan rasa lega dan senang.
Tetapi tiba-tiba Gadis Linglung meluncur dari atas pohon. Jleeg! Kemudian ia melompat dengan gerakan cepat dan menyambar pedang itu dari tangan Cola Colo.
Wuuttt...!
"Hai...!" sentak Lili melihat pedang itu dibawa lari oleh Gadis Linglung. Dengan cepat sinar merah dari tangan buntung Yoga keluar melesat menghantam punggung Gadis Linglung.
Desss...!
"Uuhg...!" Gadis Linglung tersentak ke depan. Pedangnya terlepas, ia pun rubuh di tempat. Yoga segera melompat dan berguling di tanah satu kali, lalu menyambar pedang yang jatuh di tanah itu.
Wussstt...!
Semua yang memandang menjadi lega. Tapi Gadis Linglung menatap dengan sorot mata menjadi berang. Ia ingin menyerang Yoga, tapi ia rasakan ada luka di dalam tubuhnya yang amat berbahaya. Maka, ia hanya bisa memandang dengan sikap mengancam, lalu segera melesat pergi sambil memendam rasa malu, marah, dan jengkel sendiri.
"Sungguh tinggi lapisan tenaga dalamnya. Mestinya dia hancur terkena jurus 'Sinar Buntung'-ku, tapi ternyata masih bisa lari!" kata Yoga, lalu Lili menyahut sambil memandang kepergian Gadis Linglung.
"Tapi bagian dalamnya akan hancur kalau tak segera mendapat hawa murni yang berkekuatan tinggi! Dia bisa mati hari ini juga!"
Pedang tersebut segera diserahkan kepada Bocah Bodoh. Lalu, dengan senyum gembira, Bocah Bodoh mencabut pedang dari sarungnya. Srettt...! Pedang pendek itu bergagang pendek. Bocah Bodoh terlalu gembira sehingga mencoba menebaskan pedang tersebut ke ranting-ranting pohon terdekat. Breet... breet,.. breettt...!
Tetapi alangkah terkejutnya mereka, karena setelah dilakukan berbagai percobaan, ternyata pedang itu hanyalah pedang biasa yang tidak memiliki ketajaman seperti yang diceritakan oleh ibunya Cola Colo. Untuk menebang pohon kecil saja bagian tepiannya menjadi geripis.
"Kok begini...?! Katanya ini pedang sakti?!" Bocah Bodoh tampak kecewa sekali. Pedang itu dilemparkan ke tanah dengan wajah cemberut.
Yoga dan Lili hanya saling pandang. Mereka memungut pedang itu dan memperhatikannya. Lili berbisik, "Ku rasakan tak ada getaran dalam nadi ku! Agaknya pedang ini pedang biasa yang tidak punya kekuatan apa-apa."
"Kelihatannya memang begitu," jawab Yoga. "Bahkan untuk membelah kayu saja tidak mampu!"
Bocah Bodoh termenung sedih sambil duduk di atas batu. Matanya berkaca-kaca mau menangis. Lili mendekatinya saat Tua Usil membujuk Bocah Bodoh dengan berkata, "Mungkin terlalu lama disimpan di dalam tanah, jadi tumpul. Kau harus mempertajam pedang itu. Diasah setiap hari biar tajam!"
"Percuma! Susah payah aku memburu pedang itu, ternyata hanya pedang tumpul tak mempunyai kesaktian apa-apa. Ibu bohong! Ibu bohong!" Bocah Bodoh menangis, Lili jadi ikut menghibur dengan rasa iba. Tetapi Yoga menemukan sesuatu pada pedang tersebut. Jauh dari mereka, Yoga melihat ada tutup di ujung gagang pedang. Ia memutar tutup tersebut dan,...
zrakkk...!
"Gila...?!" ucap Yoga dengan pelan dan mata mendelik. Mereka bertiga tidak mengetahui apa yang ditemukan Yoga. Bahkan ternyata gagang pedang itu berisi permata penuh. Butiran intan, berlian, dan batuan permata lainnya menjadi satu di dalam gagang pedang tersebut. Tak terdengar suaranya gemericik karena padat memenuhi gagang pedang yang rupanya merupakan sebuah tabung penyimpan perhiasan.
"Pantas gagang pedang ini panjang, rupanya gagangnya inilah yang berharga daripada mata pedangnya?! Banyak sekali?! Sudah pasti orang yang memiliki pedang ini akan menjadi kaya raya dan kekayaannya cukup dimakan tujuh turunan?! Tapi..., kalau Bocah Bodoh itu kuberitahu, pasti dia tak bisa simpan rahasia karena kepolosan dan kejujurannya. Bisa-bisa pedang ini direbut oleh orang yang tidak berhak memilikinya! Hmmm...! Sebaiknya tak kukatakan kepadanya tentang pedang ini. Tapi aku yakin, Nyai Sembur Maut, ibu dari Bocah Bodoh itu pasti mengetahui rahasia pedang ini...!"
Yoga kembali menutup gagang pedang itu dengan rapat dan rapi. Tak satu pun permata yang tercecer. Semuanya dimasukkan ke dalam gagang pedang, kemudian pedang diserahkan kembali kepada Cola Colo. Tapi dengan cemberut kesal Cola Colo berkata,
"Buang saja pedang itu, Tuan! Saya dibohongi Ibu! Pedang itu bukan pedang sakti seperti yang pernah diceritakannya pada saya..."
Bocah Bodoh tak mau melirik pedang itu. Yoga berkata dengan pelan, "Tunjukkan hasil kerjamu kepada Ibu. Serahkan pedang ini kepada beliau, supaya beliau tahu bahwa kau anak yang berbakti kepadanya dan mau menjalankan tugas dengan baik."
"Saya malu membawa pedang seperti itu! Di rumah saya banyak!"
"Huss! Tak boleh begitu. Pokoknya bawa dan serahkan pedang ini kepada ibumu. Aku yakin ibumu lebih tahu rahasia pedang ini!"
Karena didesak Yoga terus, akhirnya Bocah Bodoh mau membawa pulang pedang tersebut. Tapi dalam perjalanan pulangnya yang sendirian itu, Bocah Bodoh masih memendam kekecewaan besar, sehingga dalam hatinya ia mempertimbangkan rencana,
Pedang tak ada gunanya pakai dibawa-bawa pulang segala! Enaknya, pedang ini ku buang saja, atau tetap ku serahkan pada Ibu?!"
SELESAI
Kisah selanjutnya,