Pusaka Hantu Jagal

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Pusaka Hantu Jagal Karya A. Rahman
Sonny Ogawa

ANGIN di Lembah Biara berhembus membawa suara denting aneh ke arah perbukitan. Suara denting itu membuat dedaunan berguguran dan ranting-ranting kering saling patah dengan sendirinya. Gelombang suara denting itu ternyata mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga memekakkan gendang telinga manusia maupun hewan yang ada di sekitar Lembah Biara.

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman
Denting yang mengiang-ngiang itu timbul dari perpaduan dua senjata rencong milik seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Lelaki itu mengenakan pakaian serba putih, berkumis lebat, dan bercambang rata sampai di bagian jenggotnya yang pendek itu. Sekalipun ia mengenakan pakaian serba putih, namun dilihat dari raut wajahnya yang bertulang keras bertonjolan dengan bentuk mata sedikit besar dan liar, maka orang dapat menyimpulkan bahwa lelaki itu bukanlah lelaki berjiwa kesatria.

Namanya Rencong Geni. Dari mana asal lelaki itu, hanya gadis berpakaian merah darah itulah yang mengetahuinya. Gadis itu kini sedang menghadapi serangan Rencong Geni dengan menggunakan senjata trisulanya dari logam merah tembaga. Dengan gesitnya gadis itu berulang kali menghindari serangan lawannya sambil sesekali melepaskan pukulan jarak jauh melalui tangan kirinya yang tidak menggenggam trisula tersebut.

Rambutnya yang panjang berkepang dua sering digunakan sebagai senjata cambuk melalui ki-basan kepalanya. Dari ujung rambut yang masing-masing mempunyai logam putih runcing itu, sering terlihat sinar merah melesat ke arah Rencong Geni.

Pada satu kesempatan, Rencong Geni sengaja hentikan serangannya. Ia berdiri dengan tetap sigap, matanya memandang tajam kepada gadis berhidung mancung dan bermata bundar indah itu. Suaranya terdengar menghardik dengan lantang,

"Kuberi kesempatan sekali lagi untuk mempertimbangkan keputusanmu, Manis Madu! Jika kau tetap tak mau serahkan pusaka tersebut padaku, maka akan ku habisi nyawamu dilembah ini juga!"

"Aku tidak tahu menahu soal pusaka itu, Paman Rencong Geni! Kalau Paman sengaja ingin cari perkara denganku, kulayani sampai kapan pun kekuatan Paman mampu bertahan!"

"Ha, ha, ha, ha...! Ibumu pun tunduk padaku, Manis Madu! Mengapa kau mau coba-coba melawanku, Anak Manis?"

"Ibu tunduk pada Paman Rencong Geni, karena Ibu merasa lebih muda dan pernah diasuh oleh Paman. Tetapi aku tidak seperti ibu. Aku adalah Manis Madu yang dibesarkan dan dididik oleh guruku sendiri! Tak perlu aku tunduk kepadamu, Paman Rencong Geni!"

"Keparat! Gadis tak tahu sopan sama sekali!" geram Rencong Geni semakin jengkel hatinya. Lalu ia berseru lagi dengan sedikit mengendurkan urat-uratnya.

"Ketahuilah, Manis Madu... Siapa pun yang memegang Pusaka Hantu Jagal, dia adalah musuhku. Karena aku harus merebut pusaka itu dari tangannya sebagai mas kawinku untuk melamar Dewi Gita Dara!"

"Kalau begitu Paman salah musuh. Bukan aku musuhmu, Paman. Karena aku tidak pernah memegang Pusaka Hantu Jagal. Bahkan melihat bentuknya pun belum pernah!"

"Omong kosong! Gurumu mempunyai pusaka itu dan pasti diwariskan kepada salah satu muridnya. Menurut kabar yang kudengar, murid kesayangan gurumu adalah kau sendiri. Jadi aku yakin, pusaka itu pasti diwariskan kepadamu, Manis Madu."

"Keyakinan yang ngawur itu, Paman!" bantah gadis yang bernama Manis Madu itu. "Guru tidak pernah bicara tentang Pusaka Hantu Jagal!"

"Itu lebih omong kosong lagi!" sergah Rencong Geni sambil melangkah satu tindak. Semakin tampak kemarahannya akibat rasa tidak percayanya itu. Tapi Manis Madu tetap tenang dan sigap dengan senjata trisulanya di tangan kanan yang tetap terangkat ke atas.

Rencong Geni tambahkan kata, "Seorang guru pasti akan ceritakan tentang pusaka-pusaka maut yang ada di rimba persilatan. Jika gurumu tidak ceritakan tentang Pusaka Hantu Jagal, dan tidak tahu menahu tentang pusaka itu, jelas itu suatu kebohongan besar yang dimiliki oleh gurumu! Mungkinkah gurumu itu bekas seorang penipu?!"

"Jangan merendahkan nama Guru seenaknya saja, Paman! Sekarang apa mau Paman akan ku turuti!"

"Aha...?! Kau makin tampakkan keberanianmu untuk menutupi kebohonganmu, Manis Madu. Baiklah, akan ku paksa kau bicara tentang pusaka itu dengan kedua rencong saktiku ini! Heaaah...!"

Rencong Geni berkelebat mainkan jurus barunya dengan tetap menggenggam kedua rencong di tangan kanan-kirinya. Manis Madu sendiri cepat pasang kuda-kuda lebih tangguh lagi, sebab ia tahu paman angkatnya itu tidak akan main-main lagi dalam menyerangnya.

Ternyata dugaan Manis Madu memang benar. Rencong Geni tidak main-main lagi dalam menyerangnya. Dua rencongnya saling digesekkan dengan cepat, sriiing...! Suara denting itu lebih tajam lagi menusuk gendang telinga. Manis Madu sempat tersentak kaget dan menyeringai karena merasa sakit di kedua telin-ganya. Pada saat itulah, Rencong Geni melompat da-lam satu tendangan berputar.

Wuuut...! Plak!

Pipi berkulit kuning langsat itu bagaikan ditampar dengan balok kayu cukup keras. Manis Madu terpental memutar dan jatuh di bawah sebatang pohon. Dengan ganasnya Rencong Geni menerjang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu. Dua ren-congnya ditebaskan membuka dari tengah ke samping kanan-kiri. Sasarannya adalah dada gadis itu.

Wuuussstt...! Trakk, plaaak...!

Manis Madu berhasil menangkis rencong kiri dengan trisulanya, sedangkan rencong di tangan kanan berhasil ditendangnya kuat-kuat mengenai pergelangan tangan lawan. Akibatnya, satu rencong itu lepas dari tangan lawan yang merasa kesemutan dan sukar dipakai menggenggam kuat-kuat.

Weees...!

"Keparat!" teriak Rencong Geni lalu berusaha menghantamkan telapak tangannya yang kiri. Telapak tangan itu keluarkan sinar biru yang tak dapat dihindari oleh Manis Madu. Wuuusst...! Duub...! Tepat kenai dada Manis Madu yang segera mengejang dan tubuhnya terlempar ke samping.

Bruuussh...! Manis Madu bagai dibuang ke semak-semak berjarak tujuh langkah dari tempatnya semula. Rencong Geni segera melompat dan berguling di tanah sambil menyambar rencongnya yang terlempar jatuh itu.

Tubuh Manis Madu menjadi merah bagai habis terpanggang api. Matanya terbeliak-beliak karena mengalami sukar bernapas. Rencong Geni menyeringai dari tempatnya, lalu senjata rencongnya digesrekkan kembali.

Sriiing...! Srrringng...!

"Aahg...!" Manis Madu memekik tertahan sambil berguling-guling. Telinganya mulai keluarkan darah kental berwarna merah kehitaman.

"Ha, ha, ha, ha...! Kau tak akan bisa mengalahkan aku, Manis Madu! Jika kau tak mau serahkan Pusaka Hantu Jagal, kupecahkan kepalamu dengan jurus 'Gema Kubur' ini! Heeh...!"

Sriiing...! Kedua rencong itu saling beradu. Dentingannya hadirkan gelombang lebih kuat lagi, membuat gadis tersebut semakin memekik kesakitan. Trisulanya di lepaskan begitu saja, kedua tangannya mendekap telinga dengan kuat-kuat. Kini nafasnya mampu dihela walau berat dan tersendat-sendat.

Srriiinggg! Sekali lagi kedua rencong itu digesrekkan. Manis Madu keluarkan darah dari mulutnya, walau tak seberapa banyak, namun membuat wajah merahnya memucat bagaikan mayat.

Rencong Geni tak mengetahui ada sepasang mata yang memperhatikan pertarungannya dari atas bukit. Sepasang mata itu milik seorang pemuda tampan yang mengenakan baju selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus pakaian putih lengan panjang di dalamnya. Pemuda itu menyandang pedang di punggungnya, membiarkan rambutnya yang pan-jang sebatas punggung itu tergetar dipermainkan angin bukit.

Di samping pemuda tampan berwajah mengagumkan itu, terdapat seekor burung rajawali besar berbulu merah. Melihat keberadaan burung rajawali merah yang tampak kekar dan tegar itu ada di samping si pemuda, maka orang akan dapat mengenali bahwa pemuda itu tak lain adalah Yoga, yang bergelar Pendekar Rajawali Merah.

Rupanya sudah sejak tadi Yoga berdiri memandangi pertarungan Rencong Geni dengan Manis Madu dari atas bukit tersebut. Dalam hatinya Yoga berkata,

"Agaknya gadis itu benar-benar tidak tahu menahu tentang pusaka yang disebut-sebutkan oleh si lelaki berwajah angker tersebut. Ia sudah hampir mati, tapi tetap tak mau bicara tentang pusaka itu. Hmm...! Lelaki yang kudengar tadi dipanggil sebagai Paman Rencong Geni itu semakin ganas mengumbar kemarahannya. Manis Madu bisa binasa oleh kekuatan tenaga dalam yang di salurkan melalui gelombang suara dentingan dua rencong tersebut. Manis Madu agaknya tak mempunyai lapisan tenaga dalam tinggi, sehingga gen-dang telinganya bisa ditembus oleh dentingan suara tadi. Atau, barangkali karena jaraknya yang terlalu dekat, sehingga Manis Madu sampai separah itu, se-dangkan aku dan Merah dalam keadaan jauh, sehing-ga tak mampu ditembus suara denting itu? Hmmm... sebaiknya kuselamatkan dulu gadis yang terancam maut itu!"

Kemudian Pendekar Rajawali Merah memerintahkan kepada burung rajawalinya dengan berkata, "Merah! Selamatkan gadis itu!"

"Keaaak...!" burung itu berkeak satu kali, kemudian segera terbang menuruni bukit dengan gagahnya. Ke dua sayapnya terbentang bagaikan ksatria yang hendak maju ke medan perang. Kibasan sayap itu membuat daun-daun yang tadi berguguran karena suara denting rencong, kini semakin berhamburan ke mana-mana. Angin besar menghempas di sekitar tempat pertarungan tersebut.

Gemuruh suara angin yang datang membuat Rencong Geni yang hendak membunuh Manis Madu menjadi terhenti. Kepalanya segera berpaling ke belakang, memandang datangnya seekor burung besar berkecepatan tinggi. Rencong Geni terkejut sesaat, namun cepat putar badan dan siap hadapi terjangan Rajawali Merah. Kedua rencongnya semakin keras diadu dan suara dentingannya semakin kuat melepaskan tenaga dalam penghancur gendang telinga.

"Keaaak...!" sayap burung itu menebas ke depan. Angin yang timbul semakin kuat dan membuat tubuh Rencong Geni terhempas ke belakang.

Wuutt...! Bruuus...!

Rencong Geni terlempar jatuh di semak-semak kering. Tapi ia segera bangkit dan hendak menyerang burung rajawali itu. Namun, tiba-tiba sayap kanan sang rajawali bergerak membuka dalam satu hempasan kuat. Sayap itu mengenai tubuh Rencong Geni. Baahg...! Rencong Geni kembali terpental bagai mendapat hantaman yang luar biasa kerasnya. Tulang terasa linu sekali, Kain bajunya sempat robek akibat terkena hempasan sayap kanan sang rajawali.

Pada kesempatan itu, sang rajawali bergerak cepat menyambar tubuh Manis Madu dengan kedua cakarnya yang kekar perkasa itu. Wuuut...! Tubuh yang sudah tak berdaya itu dibawanya terbang menuju ke atas bukit. Sementara itu, Rencong Geni bangkit dan berteriak garang,

"Lepaskan gadis itu, Burung Setan! Lepaskan dia!"

"Keaaak...! Keaaak...!" rajawali serukan suara, seakan sebuah tantangan untuk mengejarnya.

Melihat seorang pemuda tampan berdiri di atas bukit dan dihampiri oleh sang rajawali, Rencong Geni segera kerutkan dahinya tajam-tajam seraya hatinya berkata, "Siapa pemuda itu? Apakah dia yang bergelar Rajawali Merah?! Hmmm...! Keparat betul dia! Rupanya dia mau ikut campur urusanku! Kubunuh juga dia bersama burung iblisnya itu!"

Rajawali Merah melepaskan cengkeraman cakarnya. Manis Madu tergeletak di dekat kaki Yoga. Keadaannya sudah sangat parah. Yoga segera mengangkat gadis itu, lalu dinaikkan ke punggung Rajawali merah. Matanya memandang ke arah lembah, di sana Rencong Geni tengah berlari cepat ke arahnya, ingin merebut Manis Madu dari tangan Yoga.

"Berhenti kau, Bangsat! Jangan bawa gadis itu jika mau selamat!" teriak Rencong Geni keluarkan ancaman liarnya.

Yoga sudah berada di atas punggung sang rajawali, lalu berkata, "Cepat tinggalkan dia, Merah!"

"Keaaak...!"

"Haai...! Berhenti!" teriak Rencong Geni melihat Yoga bersiap ingin membawa terbang Manis Madu. Maka serta-merta Rencong Geni mempertemukan ujung kedua rencongnya yang diacungkan ke depan, lalu dari pertemuan ujung rencong itu menyemburlah nyala api yang membentuk garis lurus ke arah burung tersebut.

Wuuussst...!

"Keaaak...!" burung itu membentangkan sayapnya, matanya memandang tajam, lalu dari matanya keluar sinar merah bagaikan tambang besi yang bergerak cepat, lurus menghantam nyala api dari rencong lawan.

Blaaar...!

Pertemuan kedua gelombang itu menimbulkan ledakan dahsyat dan membuat Rencong Geni terpental berguling-guling menuruni lereng hingga sampai ke tempat pertempurannya tadi. Pada saat itu, rajawali merah tersebut segera terbang meninggalkan puncak bukit dan membawa Yoga serta Manis Madu yang tak sadarkan diri itu.

Burung rajawali berbulu besar merah itu terbang bagaikan ingin melanglang buana. Namun sebenarnya ia mengikuti perintah majikan mudanya yang merupakan murid majikan tuanya berjuluk Dewa Geledek itu. Maka ketika Yoga memerintahkan sang rajawali untuk merendah, burung itu pun terbang merendah. Dan ketika Yoga berkata,

"Aku perlu sembuhkan luka-luka gadis ini dulu, Merah. Carilah tempat yang aman!"

"Keaaak...!" burung itu bagaikan memberi jawaban patuh, lalu segera mendarat setelah ia temukan tempat yang menurutnya aman.

Burung besar berbulu merah itu berada tak jauh dari Yoga. Burung itu memperhatikan tuan mudanya mengobati gadis itu dengan kepala manggut-manggut, seakan sedang mempelajari bagaimana tuan mudanya menyembuhkan luka parah pada sang gadis.

"Keaaak...! Kaaak, kaak, keaak....!"

Yoga paham dengan bahasa burung itu, maka ia pun menjawab, "Nanti kalau sudah tiba saatnya, kuajarkan kepadamu bagaimana cara melakukan penyembuhan seperti ini, Merah!"

"Keaaakk..!"

"Tak perlu khawatir. Dia akan sembuh. Roh Eyang Guru Dewa Geledek yang memberitahukan padaku bagaimana cara melakukan penyembuhan secara singkat seperti yang kulakukan tadi."

"Keak, keak, keak, keak...!"

"Sudah, jangan tertawa! Nanti kalau gadis itu siuman dan melihatmu, dia bisa menjerit ketakutan!"

"Kkuuuk... kkuuuk...!" burung itu seperti sedang bersungut-sungut, dan Yoga tertawa pelan sambil berkata,

"Bukan takut karena wajahmu jelek, tapi takut karena bentuk mu yang besar! Dia pasti kaget. Tapi kalau sudah ku jelaskan, tentunya dia tak akan takut padamu!"

"Keak, keak, keak...!" burung itu tertawa sambil di usap-usap paruhnya oleh Yoga, ia mendekam, sehingga tampak pendek.

Manis Madu mulai menggeliat siuman. Kulitnya yang merah bagai terbakar dari dalam itu mulai menguning kembali. Wajah pucatnya kian segar. Kemudian mata bundarnya yang indah itu mulai mengerjap-ngerjap dengan pernapasan yang tampak teratur.

Kepala gadis itu tergolek ke kiri. Lalu, serentak ia bangkit karena terkejut melihat seekor burung besar mendekam ke tanah dalam jarak hanya tiga langkah dari tempatnya tergeletak. Manis Madu melompat mundur dengan tangan menggeragap mencari senjatanya yang tertinggal di tempat pertarungannya tadi. Ketika ia berjalan mundur sambil memperhatikan burung besar itu dengan tegang, tiba-tiba punggungnya menabrak sesosok manusia yang sengaja diam dan sengaja biar ditabrak itu.

"Aauh....!" Manis Madu terpekik kaget sambil berbalik dan kedua tangannya siap pasang jurus penangkis. Matanya memandang tajam pada seraut wajah pemuda tampan, dan mata tajam itu tiba-tiba menjadi redup berubah kagum manakala pemuda itu sunggingkan senyum yang sungguh menawan hati. Kepala Manis Madu memandang bolak-balik antara burung besar dan pemuda tampan, ia tampak bingung sekali, terlebih setelah menyadari dirinya ada di tempat asing yang bukan tempat pertarungannya tadi.

"Siapa kau?" Manis Madu mencoba menghardik Yoga.

Tapi dengan kalem dan penuh daya pikat, Yoga menjawabnya, "Namaku Yoga. Dia itu si Merah, burung rajawali tunggangan ku!"

Makin tajam kerut di dahi Manis Madu. Matanya melirik bolak-balik antara rajawali dan Yoga. Lalu, ia berucap kata, seperti bicara pada dirinya sendiri, "Pendekar Rajawali Merah...?"

"Betul!" jawab Yoga tetap kalem. Ia melangkah dekati rajawalinya. "Si Merah ini yang membawamu pergi dari pertarungan mu dengan Rencong Geni! Jika tidak disambar si Merah, kau pasti mati di tangan pamanmu!"

"Kau tahu nama paman angkatku itu rupanya?"

"Kudengarkan percakapan kalian, kuperhatikan pertarungan kalian, lalu ku simpulkan, bahwa kau bukanlah tandingan dari Rencong Geni!"

Manis Madu menarik napas dan menghempaskannya. Ia sedang memendam rasa heran setelah menyadari keadaan tubuhnya terasa segar dan tak mengalami nyeri sedikit pun. Lalu, ia pandangi pemu-da tampan itu, ia perhatikan kain lengan bajunya yang kiri terhempas angin itu, dan keraguannya pun hilang.

Ia yakin betul bahwa ia telah bertemu dengan seorang pendekar tampan pemikat hati wanita yang amat dikenal di rimba persilatan itu. Ia yakin betul telah bertemu dengan Pendekar Rajawali Merah, karena ia tahu tangan kiri pendekar tampan itu buntung. Maka, hati Manis Madu pun semakin berdebar-debar antara girang dan tegang.

"Kaukah yang mengobati luka-lukaku?" tanyanya sekadar iseng daripada suasana mati karena kegugupannya menghadapi pendekar tampan yang sering didengar ceritanya dari mulut para wanita itu.

"Ya, aku yang melakukannya. Tapi percayalah, hal itu kulakukan hanya sebatas rasa persahabatan yang manusiawi. Tanpa ada niat untuk memiliki Pusaka Hantu Jagal itu."

Manis Madu menghempas napas lagi. Lalu, ia berkata, "Kau tahu juga tentang pusaka tersebut rupanya?"

"Sudah kubilang tadi, aku mendengar percakapanmu dengan Rencong Geni yang amat bernafsu memiliki Pusaka Hantu Jagal itu."

"Ya. Dia memang sangat bernafsu, karena rupanya dia ingin hadiahkan Pusaka Hantu Jagal kepada Dewi Gita Dara sebagai mas kawin lamarannya."

"Siapa Dewi Gita Dara itu?"

"Penguasa Teluk Gangga!"

"Dan kenapa kau pertahankan pusaka itu?"

"Sumpah mati aku tak memiliki pusaka itu dan tak pernah dengar sebelumnya. Bahkan aku sangsi, apakah benar guruku memiliki Pusaka Hantu Jagal, lalu... seperti apa, berupa apa pusaka itu dan... ah, sangat membingungkan bagiku. Aku ingin segera temui guruku untuk menanyakan kebenarannya!"

DUA

MEREKA sepakat menemui gurunya Manis Madu. Diam-diam Yoga sendiri ternyata menyimpan rasa penasaran dan ingin tahu apa sebenarnya yang dinamakan Pusaka Hantu Jagal itu? Sebuah pedang atau sebuah keris? Karena dengan wajah polos dan jujur Manis Madu benar-benar tidak mengetahui seluk-beluk tentang Pusaka Hantu Jagal.

"Kita naik rajawali saja!" kata Yoga.

"Tidak. Aku tidak mau!" Manis Madu menolak dengan wajah cemas.

"Tidak apa-apa! Kalau kau takut, kau bisa berpegangan tubuh ku!"

"Berpegangan...?!" gumam Manis Madu, lalu hatinya menyambung kata, "Oh, alangkah senangnya bisa berpegangan tubuhnya? Aku memeluknya dari belakang, semakin lama semakin erat dan... oh, tidak! Aku tidak berani lakukan hal itu. Aku gugup, gemetar, dan bisa-bisa malah pegangan ku lemas, lalu aku jatuh dari punggung burung itu. Oh, ngeri!"

Manis Madu bergidik sendiri. Tersenyum menahan geli sambil tundukkan kepala, menyembunyikan senyum tersipunya. Ia tetap menolak dengan alasan yang dibuat-buat, "Guru berpesan, aku tak boleh naik kendaraan apa pun jika pergi ke mana saja!"

"Aneh sekali?"

"Memang aneh. Tapi aku harus patuh dengan nasihat Guru."

"Baiklah kalau begitu." Yoga berpaling kepada si Merah dan berkata, "Tinggalkan kami, setelah urusan ini beres kau kupanggil lagi, Merah."

"Keaaak...! Kuuuk... kuuuk...!"

"Husy, jangan ngledek kau!" sambil Yoga tersenyum pada si Merah.

"Ngomong apa burung mu itu?" tanya Manis Madu.

"Dia sangka kita mau berkasih-kasihan," jawab Yoga pelan, dan wajah Manis Madu menjadi merah dadu menahan malu.

"Burungmu nakal."

"Yang mana?" tanya Yoga, "Eh... maksudku, yang merah ini atau yang putih?"

"Yang itu!" sambil Manis Madu melirik si Merah yang memiring-miringkan kepala memandangi Manis Madu.

Yoga hanya tertawa. "Dia gemar bercanda."

"Kau punya berapa burung, sehingga kau tanya yang mana?"

"Ada dua! Yang satu rajawali putih. Tapi dia... dia...."

"Keaaak...!" si Merah berseru panjang sambil bentangkan sayap. Ucapan Yoga menjadi terhenti, lalu burung itu terbang sambil ditertawakan tuan mudanya.

"Tapi kenapa?" desak Manis Madu.

"Tapi si Merahlah yang sering menjadi tunggangan ku! Dan sekarang ia terburu-buru mencari si Putih. Ia baru ingat kalau sudah lama meninggalkan si Putih. Maka ia terbang secepatnya."

Sambil melangkah Manis Madu berkata, "Kudengar burung rajawali putih milik seorang gadis cantik yang bergelar Pendekar Rajawali Putih."

"Benar."

"Apa hubungannya denganmu? Murid seperguruan?"

"Selain itu juga dia adalah guru angkatku."

"Guru angkat?"

"Ilmunya lebih tinggi dariku, karena ia banyak pelajari ilmu-ilmu dari mendiang guru kami, ditambah lagi dia punya ilmu dari sebuah kitab kuno yang kini tekun dipelajari semua, dan aku banyak mendapatkan ilmu baru darinya, sehingga aku menyebutnya guru angkat!"

"Kusangka kau adalah kekasih si Pendekar Rajawali Putih itu?"

Yoga hanya tertawa kecil, membiarkan dirinya dilirik Manis Madu secara mencuri-curi. Dan tiba-tiba tangan Manis Madu digenggamnya. Manis Madu berdesir, ingin meronta namun tak kuasa dicekam keindahan. Yoga berhenti melangkah, Manis Madu bingung walau akhirnya berhenti juga dengan jantung berdebar-debar gugup karena girang.

"Apakah kau punya teman?" tanya Yoga pelan, matanya memandang lembut kepada Manis Madu, membuat Manis Madu menjadi salah tingkah.

"Maksudmu... maksudmu... teman di hatiku?"

"Teman yang selalu mengikutimu?"

"Mmm... mmm... kekasih, maksudmu?"

"Terserah apa sebutannya, tapi adakah orang yang selalu mengikutimu?" suara Yoga makin pelan.

Manis Madu menunduk, bimbang menjawab, namun akhirnya berkata lirih, "Tidak. Ti... tidak punya. Percayalah."

"Kalau begitu, segeralah menepi ke pohon itu dan bersembunyi di sana," sambil Yoga melirik ke arah pohon besar berakar gantung.

"Kenapa?"

"Seseorang sedang mengikuti kita. Ku rasakan dalam firasat ku, dia ingin berbuat jahat, dan kaulah sasarannya."

"Oh...?!" Manis Madu terpekik tertahan. Wajahnya menjadi merah dadu kembali karena malu pada diri sendiri. Ia telah salah duga atas pertanyaan Yoga tadi. Ternyata Yoga tidak bermaksud mengutarakan isi hatinya, melainkan ingin menyelidiki siapa orang yang mengikuti mereka sejak tadi.

Yoga mengantar Manis Madu ke bawah pohon besar. Ketika Manis Madu sudah berada di balik ba-tang pohon tersebut, serta-merta Yoga menyentakkan tangan kanannya dalam gerakan memutar arah.

Wuuut...! Bruuuss...!

Pukulan jarak jauh tanpa sinar telah dilepaskan oleh Yoga ke arah semak-semak. Kerimbunan semak itu buyar seketika bagai diterjang sabit raksasa, terpotong habis dan menyebar ke mana-mana potongan dedaunannya. Bersamaan dengan itu, melompatlah sekelebat bayangan biru yang segera melenting ke udara dan bersalto satu kali, kemudian mendarat di tempat bebas.

Jleeg...!

"Landak Gamping?!" cetus Manis Madu sambil bergegas dekati Yoga.

"Hak, hak, hak, hak. Syukurlah kalau kau masih ingat aku, Manis Madu! Rupanya namaku terukir lekat dalam hatimu, Bocah Manis. Hak, hak, hak, hak...!"

Pria itu tertawa jelek. Tak enak didengar tawanya itu. Tapi Yoga tidak perhatikan tawanya melainkan memperhatikan sosok penampilannya. Pria itu berusia sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit, berbadan kurus, berpakaian biru muda dengan celana hitam sebatas betis. Tubuhnya yang kurus itu mempunyai kulit putih seperti kapur, rambutnya berpotongan pendek tapi berdiri tegak lurus semua. Barangkali ka-rena keadaan tubuh yang aneh itulah maka ia berjuluk Landak Gamping. Rambutnya kaku dan lurus seperti bulu seekor landak, dan tubuhnya putih seperti kapur alias damping.

"Siapa orang itu, Manis Madu?" bisik Yoga.

"Landak Gamping, anak buah Rampok Gunung!" bisik Manis Madu juga.

"Punya urusan apa denganmu?"

"Rampok Gunung ingin memperistri aku. Tiga anak buahnya sudah kubunuh karena ingin menangkapku. Sekarang Rampok Gunung mengutus Landak Gamping dengan tujuan yang sama!"

"Kau mau menjadi istri Rampok Gunung?"

"Tidak!" jawabnya dengan geram bernada benci.

"Kalau begitu, biar ku tangani dia."

"Ini urusanku. Biar aku saja yang tangani dia."

"Baiklah. Urus dia, aku mundur di belakang mu!" kata Yoga sambil melangkah mundur tak jauh dari Manis Madu berdiri.

Dengan suara ketus dan lantang Manis Madu menyapa Landak Gamping, "Apakah kau bermaksud sama dengan tiga teman mu yang sudah kubunuh di Sungai Gantang itu, Landak Gamping?!"

"Tidak. Aku tidak punya maksud yang sama. Kalau tiga temanku itu bermaksud menculik mu dan membawanya ke Gua Prahara, tapi aku tidak. Aku hanya ingin menyadarkan dirimu, bahwa jika kau masih bersikeras menolak lamaran ketuaku, maka aku diberi wewenang untuk membunuhmu! Hak, hak, hak, hak...!"

Landak Gamping terguncang-guncang tubuhnya ketika tertawa. Matanya yang cekung sedikit terpejam jika ia sedang tertawa. Wajahnya semakin memu-akkan buat Manis Madu. Maka dengan beraninya Manis Madu berkata lantang juga,

"Mengapa hanya kau yang datang untuk membunuhku? Mengapa bukan ketuamu sendiri? Apakah dia takut berhadapan denganku? Apakah ketuamu si Rampok Gunung itu banci yang takut ulat daun?!"

"Hei, Manis Madu..., bicaramu jangan sembrono! Kalau ada anak buah yang lain mendengar ucapanmu itu, dia bisa berang padamu dan tak ada ampun lagi bagi siapa pun yang berani merendahkan sang Ketua kami. Untung aku hanya sendirian, jadi aku masih bisa timbang rasa dan memaafkan ucapanmu. Sebagai balasan kebaikan ku yang telah memaafkan kamu, ku mohon kau mau ikut denganku menghadang sang Ketua. Tak akan kukatakan kepada beliau tentang penghinaanmu tadi. Percayalah!"

"Aku tak bersedia ikut denganmu. Tapi aku bersedia memenggal kepala ketuamu biar cepat terkirim ke neraka!"

Landak Gamping diam. Tak ada senyum, tak ada tawa. Wajahnya mulai tegang, matanya meman-dang tajam. Sepi terjadi di sekitar hutan itu. Kejap berikutnya terdengar Landak Gamping ucapkan kata dingin sambil mulai mencabut gagang cambuk yang sejak tadi terselip di pinggang kanannya,

"Agaknya aku tak mau buang-buang waktu lagi untuk segera membunuhmu, Manis Madu. Kau sudah jelas-jelas merendahkan ketuaku dan menolak ajakan damainya. Perlu kau ketahui, Manis Madu, kalau kau mau menjadi istri sang Ketua, maka seluruh keluargamu akan dijamin kesejahteraan dan keselamatannya oleh kekuatan Partai Perampok Gua Prahara. Tetapi jika kau tetap menolak lamaran sang Ketua, seluruh keluargamu sampai tujuh turunan akan selalu diganggu oleh Partai Perampok Gua Prahara. Dibantai, disiksa dan diperlakukan seperti binatang. Pertimbangkanlah hal itu, Manis Madu!"

Manis Madu menjawab dengan sinis. "Untuk apa mempertimbangkan ancaman anak kemarin sore? Partai Perampok Gua Prahara tidak ubahnya seperti kelompok anak ingusan yang sedang bermain perang-perangan, yang masing-masing berlagak menjadi jagoan buncis!"

"Jahanam kau! Kau bukan saja menghina ketuaku, melainkan menghina Partai Perampok Gua Prahara! Kau sudah layak dihancurkan, Manis Madu. Hiaaah...!"

Landak Gamping menggerakkan tangannya memutar, dan cambuk hitam berduri itu melesat panjang ke arah kepala Manis Madu.

Wuuut...! Taaar...!

Manis Madu dengan lincah cepat gulingkan tubuh ke tanah. Wuuss! Sekejap kemudian sudah berdiri sedikit jongkok, lalu kedua tangannya disentakkan ke depan. Wuuut...! Dua sinar kuning melesat dari telapak tangan kanan-kiri.

Zlaaap...!

"Hiaah...!" tangan Landak Gamping yang kiri menyentak ke depan, menahan gerakan kedua sinar kuning sebesar telur bebek itu. Sinar kuning itu berhenti di udara bagai tak bisa bergerak. Lalu dengan satu lompatan cepat ke samping kiri, Landak Gamping melecutkan cambuknya. Taaar...! Satu kali lecutan hancur sudah dua sinar kuning secara bersamaan.

Duaaar...!

Manis Madu tak mau kehilangan kesempatan. Ketika Landak Gamping melecutkan cambuk ke arah dua sinar kuningnya itu, ia segera melompat bersalto dan kakinya berhasil menendang punggung lawannya dengan keras, hingga terdengar suara, duuhg...!

Landak Gamping terdorong ke depan, terhuyung-huyung hampir jatuh. Tetapi, lelaki berambut tegak itu segera putar badannya sambil kibaskan cambuk berdurinya dengan cepat.

Wuuut...! Brreet...!

"Auh...!" Manis Madu terpekik dengan suara tertahan. Mata kakinya robek terkena lecutan cambuk berduri. Bruuk...! Gadis cantik itu jatuh terduduk dan telapak kakinya yang terluka cepat menjadi biru legam.

"Celaka! Racun pada duri cambuk itu sangat ganas?" pikir Yoga yang mengetahui keadaan luka Manis Madu.

Landak Gamping tak mengenai ampun. Ia segera melecutkan cambuknya lagi ke punggung Manis Madu yang sedang berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit itu.

Taaar...!

Cambuk itu keluarkan sinar hijau dari ujungnya. Sinar itu seperti sepotong besi runcing yang menembus ke punggung Manis Madu. Claap...!

"Aaahg...!" Manis Madu terpekik keras. Kepalanya terdongak matanya terpejam, tubuhnya menjadi gemetar dan ia pun jatuh dengan keadaan menggelepar-gelepar bagai ayam disembelih.

Landak Gamping belum merasa puas. Kali ini ia akan membelah tubuh yang menggelepar itu dengan ujung cambuknya yang amat berbahaya. Namun ketika tangannya terangkat, tiba-tiba seberkas sinar merah bening melesat dari telapak tangan Yoga.

Zlaap...! Zuurb...!

Sinar merah bening itu kenai ulu hati Landak Gamping. Zraak...! Tubuh putih Landak Gamping menjadi merah memar, kulitnya mengalami retak-retak. Wajahnya menyeringai menahan sakit yang luar biasa hingga ia keraskan semua urat-urat pada tubuhnya. Darah mulai merembes dari retakan kulit tubuhnya. Sementara itu, Yoga hanya diam tertegun memandang lawannya yang masih bisa berdiri dengan limbung ke sana-sini itu.

"Gila! Rupanya dia berilmu cukup tinggi. Biasanya Jurus 'Rajawali Lebur Jagat' menghancurkan batu atau pepohonan, tapi kini jurus itu tak mampu menghancurkan tubuh Landak Gamping! Jika ia tidak berilmu cukup tinggi, tak mungkin ia bisa bertahan tetap utuh dan hanya mengalami keretakan pada sekujur kulit tubuhnya?" pikir Yoga dalam kebisuannya.

"Kubalas ikut campur mu! Kubalas bersama sang Ketua! Tunggu saatnya tiba, Bangsat! Aku tahu... kau Pendekar Rajawali Merah!" geram Landak Gamping, setelah itu cepat larikan diri dan tak mau menoleh lagi.

Keadaan Manis Madu sangat berbahaya. Yoga cepat-cepat bertindak menyelamatkan nyawa gadis yang menjadi penunjuk jalan rahasia Pusaka Hantu Jagal itu. Apalagi Yoga lupa tanyakan, siapa nama guru gadis itu. Jika sampai Manis Madu tewas, maka Yoga akan kehilangan penunjuk jalan untuk menuju jalan rahasia Pusaka Hantu Jagal yang telah mem-buatnya menjadi sangat ingin tahu itu.

Rupanya Landak Gamping telah melepaskan ilmunya yang cukup berbahaya dan tak mudah disembuhkan begitu saja. Yoga lakukan dengan gunakan jurus 'Tapak Serap' sebagai pengobatan luka luar. Bagian mata kaki yang robek dan mengandung racun ganas itu ditutup dengan telapak tangannya. Telapak tangan itu memancarkan sinar hijau bening, lalu berubah putih bening, berubah lagi biru bening, kemudian juga merah bening, dan hal ini belum pernah dialami oleh Yoga.

"Biasanya tak sampai berubah-ubah warna begini? Apakah ini pertanda luka racun yang mengenai kaki Manis Madu adalah sesuatu yang sulit disembuhkan?"

Pendekar Rajawali Merah masih tetap lakukan pengobatan dengan jurus 'Tapak Serap'-nya. Nafasnya tertahan beberapa saat, sampai akhirnya warna biru legam di kaki Manis Madu mulai pudar. Kian lama warna biru legam itu kian menipis, lalu kembali seperti warna kulit aslinya. Barulah Yoga melepaskan telapak tangan yang menempel pada luka di mata kaki tersebut.

Luka itu hilang lenyap tak berbekas, kecuali darah yang menetes di rerumputan. Tetapi keadaan tubuh Manis Madu masih berkelojot bagai ayam disembelih yang tinggal beberapa saat lagi mencapai ajalnya. Hal itu membuat Pendekar Rajawali Merah sedikit tegang. Ia mencoba lakukan pengobatan 'Tapak Serap' melalui punggung Manis Madu yang tadi ditembus sinar hijau. Tetapi sentakan-sentakan tubuh Manis Madu semakin kuat. Mata gadis itu telah berbalik memutih, mulutnya mulai semburkan busa.

Gawat! Tak cukup dengan jurus 'Tapak Serap' saja rupanya. Aku harus salurkan hawa murni ku ke dalam tubuh Manis Madu. Tapi... tapi ia harus buka pakaian. 'Tapak Serap' harus dilakukan bersama lepasnya hawa murni ku ke dalam tubuhnya. Jika tidak begitu, ia pasti mati! Hanya saja... kalau ia sembuh dari sadar, lalu ia dapatkan dirinya dalam keadaan tidak berpakaian, apakah dia tidak akan menuduhku seba-gai pemuda yang berniat kurang ajar kepadanya?"

Pendekar Rajawali Merah sempat bimbang sesaat. Ia yakin bahwa gadis itu akan berhasil diselamatkan dari maut yang telah mengancam jiwa dan menguasai separo nyawa itu. Namun, ia sangsi akan anggapan Manis Madu terhadap dirinya. Ia tak mau cemar karena salah duga itu.

"Ah, biarlah apa kata dia nanti. Kalau kujelaskan pelan-pelan dia pasti bisa memaklumi. Yang penting aku tidak berniat jahat dan usil kepadanya! Hanya saja... tak bisa dilakukan pengobatan di tempat terbuka begini. Hmmm... di mana ada gua di sekitar sini? Atau... sebaiknya kubawa dia ke tempat yang lebih layak untuk melakukan pengobatan itu!"

Yoga memandang sekelilingnya dengan masih tampak sedikit tegang, sebab ia harus berpacu dengan sang maut. Terlambat sedikit, maka nyawa gadis cantik itu akan melayang selamanya.

* * *

TIGA

MANUSIA Kabut yang dijuluki oleh pendekar Rajawali Putih dengan nama Tua Usil, siang itu dalam perjalanan pulang dari rumah Bocah Bodoh, anak Nyai Sembur Maut yang mewarisi Pedang Jimat Lanang itu. Lelaki yang berpakaian coklat muda dengan rambut putih tipis dan kumis putih tipis pula itu masih tetap bergigi ompong satu di sebelah kanan depan. Ia cengar-cengir sendiri membayangkan kebodohan Cola Colo yang disuruh ibunya memanjat pohon kelapa, dan hanya memanjat saja tanpa memetik buahnya.

Sampai sang ibu berteriak menyuruh memetik buah kelapa muda, barulah Cola Colo memetiknya. Itu pun masih harus dibawanya turun untuk diserahkan kepada sang ibu, bukan dijatuhkan untuk kemudian diambil setelah ia bisa turun dengan bebas. Akibat kebodohan Cola Colo itu, ia pun jatuh dan hampir saja menimpa tubuh Tua Usil. Rasa-rasanya memang pantas sekali Cola Colo dijuluki Bocah Bodoh, karena kebodohannya terkadang melampaui batas kebodohan bocah berusia lima tahun.

Langkah kaki Tua Usil terhenti ketika ia mendengar suara pekik pertarungan di balik bukit yang tak seberapa tinggi itu. Tua Usil berpikir, "Siapa yang bertarung? Jangan-jangan Nona Lili, majikanku yang bertarung dengan musuh-musuhnya? Kalau begitu, aku harus membantu Nona Lili secepatnya, supaya Nona Lili tidak menunda-nunda waktu lagi untuk mengajari ku berdiri di atas ilalang!"

Tua Usil dari dulu memang sangat ingin mempunyai ilmu yang bisa membuatnya berdiri di atas ilalang, seperti yang dilakukan Lili pada saat jumpa pertama dengannya. Tapi sampai akhirnya Tua Usil mengabdi menjadi pelayan Lili, si Pendekar Rajawali Putih, ilmu itu masih saja belum diberikan oleh Lili. Sebab Lili tidak ingin memberikan jika belum mengetahui seberapa tinggi ilmu si Tua Usil itu.

Sedangkan menurut anggapan Lili, Tua Usil masih menyembunyikan diri berlagak menjadi orang bodoh yang tidak berilmu. Padahal, Tua Usil memang tidak mempunyai ilmu apa-apa kecuali hanya jurus-jurus tangan kosong yang sangat rendah. Satu-satunya ilmu tinggi yang dimiliki hanyalah bisa merubah dirinya menjadi kabut, karena ilmu itu adalah ilmu warisan yang di berikan secara turun-temurun dari ayahnya.

Apa yang diduga Tua Usil ternyata keliru. Bukan Pendekar Rajawali Putih yang bertarung di balik bukit kecil itu, melainkan dua orang lelaki tua yang sama-sama berambut putih rata. Menurut dugaan Tua Usil kedua lelaki itu sama-sama berusia sekitar tujuh puluh tahun.

"Hei, ada apa mereka saling beradu ilmu dengan sungguh-sungguh?" pikir Tua Usil dari persembunyiannya. "Aku kenal dengan mereka. Yang berjubah putih lusuh itu pasti Ki Pamungkas dari Perguruan Gerbang Bumi. Dan yang mengenakan pakaian model biksu berwarna hijau tua itu pasti yang bernama Resi Gutama, dari Perguruan Kuil Dewa. Setahuku mereka dulunya bersahabat. Mengapa sekarang saling bunuh? Sejak kapan mereka bermusuhan?"

Mata si Tua Usil. terkesiap melihat tubuh Resi Gutama meluncur ke depan dengan berputar cepat bagai tonggak yang hendak menghunjam dada Ki Pamungkas. Dan pada saat itu, Ki Pamungkas hanya kibaskan jubah putihnya dalam keadaan berputar satu kali. Dari kibasan itu terpancar sinar putih menyilaukan membentang bagaikan dinding baja. Tubuh Resi Gutama yang meluncur itu menghantam sinar putih tersebut.

Blaaar...!

Sinar putih pecah dan pudar seketika, tapi tu-buh Resi Gutama terpental ke samping sekitar delapan tombak jauhnya. Lelaki berjenggot putih panjang dengan kepala bagian tengahnya botak itu segera bangkit dari kejatuhannya. Tiba-tiba tubuhnya bagaikan menghilang. Claap...! Tahu-tahu sudah berada di belakang Ki Pamungkas dan menghantamkan telapak tan-gannya ke punggung Ki Pamungkas. Baaahk...! Pukulan itu memancarkan sinar kuning dalam sekejap.

Pukulan tersebut membuat Ki Pamungkas terhempas ke depan bagaikan daun kering disapu badai. Lelaki berjubah putih yang mempunyai rambut pendek warna putih dan jenggot putih yang tak begitu panjang itu segera menggeliat bangkit dengan memuntahkan darah kental lebih dulu. Dalam keadaan kedua tangan masih di tanah dan kaki berlutut, Ki Pamungkas segera hentakkan telapak tangannya memukul tanah di depannya.

Buuhg...! Bruuuul...!

Tua Usil terperanjat kagum melihat tanah yang dipakai berpijak Resi Gutama itu tersembur ke atas bagai mengalami ledakan dahsyat dari dalam bumi, melemparkan tubuh Resi Gutama yang tergolong gemuk itu melambung ke atas hingga menerabas dahan, ranting, dan daun pepohonan.

Zrraaak...!

Dengan cepat Resi Gutama bersalto satu kali dalam keadaan turun, lalu dari ujung-ujung jari tan-gannya keluar sepuluh larik sinar biru yang menyergap tubuh Ki Pamungkas.

Zuuutt...! Jraaab...!

"Aaahg...!" Ki Pamungkas terpekik. Tubuhnya menggerinjal-gerinjal dililit sinar biru sepuluh larik itu. Dengan kepala mendongak dan mulut ternganga, Ki Pamungkas berkelojotan sambil berusaha melepaskan diri. Ia menyerukan suara erang yang memanjang, makin lama semakin tinggi.

"Aaaaa...! Heaaah...!"

Blaar...!

Sepuluh larik sinar biru pecah seketika saat kedua tangan Ki Pamungkas menyentak bersama-sama dengan memancarkan sinar merah membara. Sekalipun tubuhnya terjungkal, berguling-guling ke belakang, namun Ki Pamungkas merasa selamat dari ancaman maut jurus hebat lawannya. Nafasnya terengah-engah dan matanya melirik tajam pada Resi Gutama yang sedang berdiri dengan tegak dalam jarak sepuluh langkah di depannya.

"Kau memang keras kepala, Pamungkas! Ilmumu masih di bawah ilmuku! Lunakkan sedikit kekerasan hatimu, supaya aku tidak membunuhmu, Pamungkas!"

Dengan napas terengah-engah, Ki Pamungkas yang memang nyata-nyata kalah ilmu itu masih berani berkata, "Tak akan kubiarkan kau membunuhku, Gutama! Tak akan kubiarkan kau memilikinya!"

"Percayalah padaku, Pamungkas. Roh Guru hadir dalam mimpiku dan menyerahkannya padaku."

"Roh Guru pun hadir dalam mimpiku dan memberitahukannya padaku!"

"Baiklah kalau begitu. Terpaksa satu di antara kita harus mati!"

"Aku siap menghadapimu, Gutama! Sekalipun kau punya ilmu dari kakakmu sendiri, tapi aku pun punya ilmu dari nenekku sendiri! Kita sama-sama punya kelebihan ilmu dan kita selesaikan urusan ini dengan ilmu andalan kita masing-masing."

"Bersiaplah...," ucap Resi Gutama dengan kalem dan berwajah dingin.

Ki Pamungkaspun memandang dengan sorot mata dingin, lalu menggerakkan kedua tangannya pelan-pelan ke samping kanan-kiri. Tiba-tiba kedua tangan itu bergerak cepat patah-patah. Jurus aneh yang belum pernah dilihat Resi Gutama dipamerkan oleh Ki Pamungkas. Jurus itulah yang dinamakan Jurus 'Patah Garuda', yang menjadi Jurus andalan Ki Pamungkas. Dalam keadaan bergerak membungkuk maupun melangkah, tampak seperti gerakan patah-patah yang sulit diikuti oleh pandangan mata.

Resi Gutama pun segera keluarkan Jurus andalannya, yaitu mengeraskan kedua tangannya dalam gerakan lamban, terangkat ke depan, dan keluarlah kuku-kuku tajam dari setiap ujung jarinya. Jurus itulah yang dinamakan jurus 'Cakar Langit', pemberian dari kakaknya. Tubuh Resi Gutama bergetar karena kerasnya urat di sekujur tubuh itu. Matanya pun berubah menjadi merah ketika kesepuluh jari sudah berkuku hitam. Dari setiap kuku memercik bunga api warna biru saling berlompatan bagai tak sabar menunggu mangsanya.

"Heaaah...!" Resi Gutama mengerang panjang, lalu segera sentakkan kakinya dengan lembut ke tanah, tapi membuat tubuhnya terdorong cepat bagai melompat penuh nafsu untuk membunuh.

Sementara itu, Ki Pamungkas pun sentakkan kaki dan tubuhnya pun melayang bagaikan terbang ke arah lawannya dengan telapak tangan menyala hijau. "Eaaahh...!"

Braas...!

Mereka bertabrakan di pertengahan jarak dalam keadaan sama-sama melayang. Resi Gutama menghantamkan Jurus 'Cakar Langit'-nya beberapa kali ke tubuh Ki Pamungkas, sedangkan Ki Pamungkas melepaskan jurus 'Patah Garuda'-nya yang mengenai leher, dada, dan pinggang kiri lawannya.

Pada saat itu, mata si Tua Usil terbelalak tegang karena melihat kedua tubuh yang sama-sama bertabrakan di udara itu memancarkan cahaya api yang begitu besar. Beberapa daun di sekitarnya menjadi kering seketika dan pohon-pohon yang agak jauh dari mereka menjadi layu. Tua Usil sendiri sempat tersentak tubuhnya Ketika terkena hembusan angin panas dari perpaduan dua jurus maut tersebut.

Tua Usil segera lompat ke bongkahan batu besar. Berlindung di sana dari sengatan hawa panas yang menyebar ke berbagai penjuru. Ketika hawa panas itu dirasakan telah lenyap, ia pun mulai menongolkan kepalanya pelan-pelan dari samping batu besar.

"Hahh...?" Tua Usil berteriak keras-keras sambil melompat mundur, karena begitu ia menongolkan kepala dari samping batu, tiba-tiba di depannya persis terdapat moncong seekor babi hutan yang rupanya juga sedang mencari tempat perlindungan akibat hawa panas tadi.

"Huuik...!" Babi hutan itu pun kaget melihat Tua Usil, dan lari kembali arah dengan terbirit-birit.

Tua Usil ngos-ngosan sambil pegangi dadanya yang berdetak-detak keras karena kagetnya tadi. "Babi! Hampir saja aku menderita malu berciuman dengannya! Cuih!" Tua Usil meludah dengan jijik dan jengkel.

Alam menjadi sunyi, seakan lengang tanpa suara apa pun. Bahkan daun pun tak mau bergemerisik, angin enggan berhembus, babi hutan tadi entah ke mana mendekamnya. Tak terdengar lagi suara napas dan langkah kakinya. Alam menjadi mati dalam beberapa kejap, tapi Tua Usil tak mau hanyut dalam kematian itu.

Tua Usil segera dekati tempat pertarungan antara Ki Pamungkas dengan Resi Gutama tadi. Ia geleng-geleng kepala karena heran melihat tanah menjadi hitam, rerumputan hangus, beberapa batang pohon masih berdiri walau sudah menjadi arang. Semak-semak habis tersapu hawa panas yang membuatnya hitam keriting.

"Ilmu apa yang mereka adukan tadi?" gumam Tua Usil.

Di sebelah barat, pakaian biksu warna hijau yang dikenakan Resi Gutama telah menjadi abu. Tubuh Resi Gutama terbujur kaku, tanpa nyawa lagi dan kulitnya melepuh hitam. Sedangkan di sebelah timur tubuh Ki Pamungkas juga sudah dalam keadaan terbakar, Jubah putihnya menjadi hitam. Rambutnya putihnya keriting hitam. Wajahnya bengkak dengan luka-luka di sekujur tubuh bekas cakaran yang menghitam pula.

"Oooh...!" Terdengar suara keluh Tua Usil kaget dan memperhatikan tubuh Ki Pamungkas, ternyata masih bergerak-gerak dan sedang mendekati ajal. Tua Usil segera dekati tokoh sakti itu.

Mata Ki Pamungkas mulai terbuka pelan-pelan, mulutnya yang ternganga mulai, menggerakkan bibir, lidah, dan tenggorokannya bagai ingin menelan ludah yang telah punah dari mulutnya.

"Tahan sebentar, Ki. Aku akan carikan air untukmu!" kata Tua Usil.

"Tak... tak... perlu...," ucap Ki Pamungkas lirih sekali. "Dekatlah pada... ku...!"

Dengan bingung, Tua Usil merangkak mendekati mulut Ki Pamungkas. Ia mendengar Ki Pamungkas ucapkan kata pelan, "Pancasona...?"

"Ya, aku Pancasona, Ki. Syukurlah kalau kau masih mengenaliku!" Tua Usil merasa bangga mendengar nama aslinya disebutkan.

"Masuklah ke... sumur...."

Tua Usil berkerut dahi, menarik telinganya dari dekat mulut Ki Pamungkas. Ia bergumam dalam hatinya, "Ini orang sudah mau mati tapi masih mau celakai orang saja? Apa maksudnya?"

"Masuklah... ke Sumur Condong di.... seb... sebelah... barat sana!"

"Untuk apa kau suruh aku masuk ke Sumur Condong yang belum ku tahu letaknya itu, Ki?"

"Ad... ada... pusaka... yang... yang kuperebutkan dengan Gutama. Lekas... ambillah...!"

Tua Usil berpikir, "ini amanat orang mau mati. Kalau tidak ku turuti, arwahnya bisa mengejar-ngejarku. Baiklah, ku turuti saja!"

Tua Usil segera bergerak ke arah barat. Ia sempat ngeri melihat mayat Resi Gutama yang berjarak sekitar sepuluh tombak lebih dari tempat Ki Pamungkas berada. Mata Tua Usil mencari-cari sumur yang dimaksud sampai beberapa saat, akhirnya ia temukan juga setelah hampir patah semangat dan menganggap ditipu.

Ternyata dalam jarak lebih kurang delapan belas langkah dari tempat Resi Gutama terkapar menjadi mayat, ada lubang tanah berbentuk miring, seperti gua kecil yang tak seberapa dalam. Itulah yang dimaksud Sumur Condong oleh Ki Pamungkas tadi. Sumur itu kering, tanpa air setetes pun. Yang ada hanya bebatuan kecil dan sampah daun kering. Melihat keadaan di dalamnya cukup aman dan tak sukar untuk keluar kembali dari sumur itu, maka Tua Usil pun melompat turun ke dalam sumur tersebut.

"Mana pusaka yang dimaksud oleh Ki Pamungkas itu?!" gerutu Tua Usil sambil matanya mencari-cari di sekeliling tanah yang dipijaknya. Kerikil-kerikil disingkapkan, dedaunan kering disingkirkan. Tetap saja ia tidak temukan sebentuk pusaka di dalam sumur itu.

"Ah, benar-benar orang mau mati itu bikin kesal hatiku! Dia tipu aku untuk masuk sumur ini. Apa maksudnya menipuku begini? Sebaiknya aku segera keluar saja dari sumur ini!"

Dengan memanjat salah satu batu pada dinding sumur yang miring, Tua Usil dapat dengan mudah mencapai permukaan sumur. Tetapi tiba-tiba matanya menangkap sekilas sinar kuning berkerilap pada dinding sumur. Sinar itu terselip di antara susunan batu dinding sumur yang lebarnya satu langkah manusia dewasa.

"Sinar apa itu?" pikir Tua Usil. "Batu aneh...?! Mungkin batu bersinar inilah yang dimaksud pusaka oleh Ki Pamungkas." Tua Usil segera membongkar batu kanan-kirinya, lalu mengambil batu bersinar kuning itu.

Zraab...!

"Oh, ternyata bukan batu? Ini sebuah pisau bersarung emas?!" Tua Usil berdebar-debar memperhatikan pusaka tersebut. Rupanya yang tampak di permukaan dinding sumur tadi adalah ujung gagang pisau yang juga berlapis emas berukir seperti sarung pisaunya.

Pisau itu seluruhnya berukuran satu jengkal setengah. Gagangnya tak terlalu panjang. Ketika Tua Usil membawanya naik ke permukaan sumur dan mencabut pisau dari sarungnya, ternyata mata pisau itu berwarna hitam seperti perunggu, tapi dikelilingi sinar merah bening. Tua Usil gemetar sekujur tubuhnya. Matanya tak bisa berkedip memandangi mata pisau berukuran satu jengkal, berujung runcing, bersisi tumpul di kanan-kirinya.

Tapi sinar merah yang men-gelilingi mata pisau itu yang membuat Tua Usil yakin, bahwa pisau itu adalah pisau bertuah. Rasa takut membuat Tua Usil buru-buru menyarungkan pisau tersebut, kemudian cepat-cepat berlari menemui Ki Pamungkas yang sedang sekarat.

"Ki..., aku berhasil! Pisau inikah yang kau maksud pusaka?"

Mata Ki Pamungkas terbuka kecil, bibirnya bergerak-gerak ingin tersenyum, namun sulit karena banyak luka cabikan. Ia hanya menjawab dengan suara semakin pelan, "Benar... Itu yang... dinamakan... Pu... Pusaka Hantu Jagal!"

"Ada hantunya, Ki?"

"Tidak," jawab Ki Pamungkas dengan susah payah. "Hantu Jagal... adalah nama julukan... guruku, juga... gurunya Gutama."

Ki Pamungkas terbatuk-batuk sebentar sambil menyeringai menahan rasa sakit. Sementara itu, Tua Usil masih terbengong mendengarkan ucapan Ki Pamungkas dan menyimak suara batuknya. Sesaat kemudian, suara Ki Pamungkas terdengar menjadi serak dan lirih,

"Tikamlah aku dengan... pisau itu..."

"Bagaimana?" Tua Usil kaget dan setengah tidak percaya dengan pendengarannya.

Ki Pamungkas mengulangi, "Tikamlah aku dengan pisau Itu... sekarang juga...."

"Tid... tid... tidak mau!" Tua Usil melepaskan pisau itu, jatuh di samping lengan Ki Pamungkas yang sudah tidak bisa bergerak lagi. Tua Usil mundur dari jongkoknya dengan mata tegang.

"Aku bukan seorang pembunuh. Aku tidak tega memenuhi permintaanmu, Ki Pamungkas. Kau bukan musuhku."

"Laku... lakukanlah, Pancasona. Kkkau... yang beruntung rupanya. Tikamlah aku, lalu pisau itu menjadi pusaka milikmu. Pertahankan selamanya... jangan sampai jatuh ke tangan orang lain.... Apalagi orang sesat, jangan sam... pai...!"

Tua Usil tidak berucap kata apa-apa karena bingung menghadapi permintaan aneh tersebut. Matanya masih memandang tegang kepada Ki Pamungkas yang hanya mampu menatap dengan mata sipit. Lalu, terdengar kembali suaranya yang tampak dipaksakan keluar dari kerongkongannya,

"Pisau pusaka itu akan membuatmu... berilmu tinggi. Setiap kau tikamkan ke tubuh orang berilmu, maka... seluruh ilmu orang tersebut akan mengalir ke dalam tubuhmu, kekuatannya... tenaga dalamnya... jurus-jurusnya... semuanya akan... berpindah menjadi milikmu. Jika... diadu dengan pusaka lain berbentuk apa pun, bisa... bisa keluarkan ledakan gempa yang cukup hebat. Pisau itu... juga bisa sedot racun seganas apa pun dengan hanya... ditempelkan pada lukanya saja. Sebab itu, tikamlah aku, Pancasona. Selain aku bangga bisa mati karena pisau pusaka guruku, juga... ilmuku akan mengalir ke tubuhmu dan menjadi milikmu selamanya. Lakukanlah, Pancasona...."

Tua Usil yang bernama asli Pancasona itu masih diam dalam kebimbangannya. Jantungnya bertambah berdetak-detak karena tegang. Ki Pamungkas menunggu sampai beberapa saat, namun Tua Usil masih saja diam bagaikan patung bernyawa.

"Tolonglah, Pancasona... Bunuh aku dengan pisau pusaka milik guruku, agar kematianku bukan kematian yang sia-sia, dan... dan lebih terhormat daripada... kematian Gutama itu.... Ku mohon, tolonglah...! Lakukan perintahku di akhir hidupku ini...."

Suaranya semakin kecil, semakin tipis, berben-tuk bisikan-bisikan yang mengharukan hati. Tua Usil iba mendengar permohonan tersebut. Akhirnya, ia paksakan diri untuk mencabut pisau pusaka tersebut. Repotnya, ketika pisau ingin dihunjamkan, tangan Tua Usil sangat gemetar. Guncangannya cukup hebat karena rasa takut dan tegang di dalam hati.

"Lakukan...," suara itu hampir tak lagi terdengar.

"Diii... diii... di sebelah mana aku harus menusuknya? Dii... di... di betis saja, ya?"

"Jan... tung...!" jawab KI Pamungkas.

"Jan... jantung? Oh, jangan...! Kalau kutikam jantungmu, nanti kau mati, Ki Pamungkas. Apakah kau tak tahu bahwa jantung adalah...."

"Lekas... sebelum nafasku berakhir...! Lekas...!" Ki Pamungkas sangat memohon dan membuat hati Tua Usil kian terharu.

"Terserahlah. Kalau kau mati tanggung jawabmu sendiri, Ki! Hiaaah!"

Jruub...!

Dengan kedua tangan Tua Usil menghunjamkan pisau pusaka itu ke dada kiri Ki Pamungkas, tepat pada bagian jantungnya. Seketika itu pula tubuh Ki Pamungkas bercahaya merah bening, sedangkan pisau itu sendiri juga bercahaya merah bening sampai pada gagangnya. Bahkan kini kedua tangan Tua Usil pun menjadi bercahaya merah bening. Kian lama, tubuh Tua Usil menyala merah bening seluruhnya, sedangkan cahaya merah pada tubuh Ki Pamungkas pun redup.

Ki Pamungkas sudah tidak bernyawa lagi. Pisau pun dicabut oleh Tua Usil, tubuh Tua Usil tidak lagi bercahaya merah. Tapi benarkah Tua Usil sekarang berilmu sama tingginya dengan ilmunya Ki Pamungkas? Tua Usil tak yakin akan hal itu.

EMPAT

SETELAH tertegun beberapa saat lamanya, dan setelah dalam hatinya masih saja timbul rasa tidak percaya bahwa ilmu yang ada pada diri Ki Pamungkas telah berpindah rasa menjadi miliknya, maka Tua Usil pun memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.

"Yang penting keinginannya sudah ku penuhi. Bukan salahku jika Ki Pamungkas mati. Toh tanpa kubunuh pun dia akan mati dengan sendirinya karena luka parah dari pertarungannya dengan Resi Gutama! Sebaiknya, sekarang ku makamkan saja jenazah mereka berdua, siapa tahu punya keberuntungan tersendiri memakamkan kedua jenazah tokoh sakti ini...?!"

Tua Usil menyelipkan Pusaka Hantu Jagal ke balik bajunya hingga tak mudah terlihat siapa pun. Ia merasa ngeri dan takut pisau bersarung dan bergagang emas itu akan diincar oleh orang jahat sebagai perhiasan yang amat mahal harganya. Sebab itu harus disembunyikan di balik baju.

Pada saat ia bergegas ingin menggali tanah dengan menggunakan tonggak kayu runcing, tiba-tiba dari arah belakang terasa ada sepasang kaki yang menendangnya dengan sangat kuat.

Buuhg...!

"Aahg...!" Tua Usil terpekik, tubuhnya terlempar ke depan dan berguling-guling. Tapi dengan cepat kakinya mampu menyentak dan ia bangkit seketika itu juga, berdiri tegak sambil memandang ke arah orang yang menendangnya. Dalam hatinya Tua Usil sempat berkata, "Aneh. Kok aku tidak terlalu merasa sakit mendapat tendangan sekuat itu? Kok aku bisa cepat bangkit dan berdiri setegak ini? Dan... oh, rupanya perempuan cantik itu yang tadi menyerangku! Siapa dia?"

Perempuan cantik itu masih tergolong muda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Matanya sedikit lebar bertepian hitam, memandang tajam namun punya keindahan tersendiri dari bentuk bulu matanya yang lentik itu. Alisnya tebal, hidungnya mancung, rambutnya panjang di sanggul ke atas sebagian, Gadis itu kenakan pakaian serba kuning, dengan senjata pedang di pinggang dari gading, gagang dan sarung pedangnya nyata-nyata dari gading berukir. Di ujung gagang pedang ada hiasan bentuk burung walet.

Gadis itu segera menahan tangis mati-matian melihat ke arah mayat Ki Pamungkas. Ia sempat bersimpuh di samping jenazah tersebut dan mengucap kata duka, "Guru, maafkan aku...! Aku terlambat menolongmu. Guru...!"

Tua Usil berucap kata, "Ooo... gadis itu muridnya Ki Pamungkas! Pantas ia menendangku, mungkin maksudnya aku tak boleh menguburkan jenazah gurunya di sembarang tempat. Mungkin mau dibawanya ke Perguruan Gerbang Bumi."

Gadis itu tundukkan kepala dengan mata terpejam kuat dan kedua tangan mengepal kencang. Sesaat kemudian mata itu terbuka lagi, lalu pelan-pelan melirik ke arah Tua Usil. Lirikan tajam itu membuat Tua Usil ragu untuk menyapanya dengan ramah, akhirnya ia hanya bisa tersenyum tawar dan salah tingkah.

Tetapi hati Tua Usil menjadi cemas ketika gadis itu bangkit dan mulai melangkah pelan-pelan mendekatinya dengan sorot pandangan mata berkesan bermusuhan. Tua Usil diam saja dengan dahi berkerut menatap gadis cantik itu. Dalam jarak empat langkah di depan Tua Usil, gadis itu berhenti dan segera berkata dengan geram,

"Akan kubalas kematian Guru sekarang juga!"

"Hmmm..., eh... ya, balaslah! Tapi... siapa maksud mu yang akan kau balas itu?"

Makin sipit mata gadis itu memandang Tua Usil ketika berkata, "Jangan merasa bangga dulu jika kau bisa membunuh guru ku. Belum tentu kau bisa membunuhku: Walet Gading, murid kinasih Ki Pamungkas!"

"Tung... tung... tunggu dulu!" tangan si Tua Usil di hadangkan ke depan keduanya. Ia bergerak mundur dengan rasa takut. "Aku bukan... bukan...."

"Hiaaat...!" Walet Gading melompat dengan satu sentakan kaki ringan. Sentakan ringan itu hasilkan lompatan cepat dan dada Tua Usil menjadi sasaran telak dari tendangan Walet Gading.

Duuhg...!

"Uhg...!" Tua Usil terdorong mundur tiga tindak. Tapi ia tidak merasakan sesak napas ataupun nyeri pada dadanya. Sedangkan Walet Gading sendiri justru terpental ke belakang bagaikan mendapat serangan balik dari tenaga dalamnya yang dikerahkan melalui tendangan kaki kanannya tadi.

Bruuk...! Walet Gading rubuh tak sempat menjaga keseimbangannya. Namun ia cepat-cepat berdiri karena" takut diserang lawan. Ternyata lawannya justru sedang melarikan diri dengan ketakutan.

"Berhenti kau!" teriak Walet Gading yang segera berlari mengejar Tua Usil. Dalam hatinya, Walet Gading berkata, "Mengapa ia lari ketakutan? Padahal ia mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi. Terbukti tendangan ku dapat dipantul-balikkan dan hampir saja membuatku celaka?! Ah, persetan dengan ilmunya! Aku harus bisa menangkapnya dan membalas kematian Guru! Pasti dialah orangnya!"

Tua Usil tak menyadari bahwa larinya lebih cepat dari biasanya. Ia bagai mempunyai tenaga peringan tubuh yang mampu mempercepat gerakan larinya, jauh lebih cepat dari apa yang pernah dilakukan dalam pelarian sebelumnya. Sayangnya, Walet Gading pun mempunyai ilmu peringan tubuh dengan kecepatan seimbang.

Sehingga Tua Usil yang sesekali menengok ke belakang itu merasa jaraknya semakin dekat dengan lawan, dan merasa larinya sama saja dengan pelarian sebelumnya. Karena timbul rasa takut di dalam hatinya, maka Tua Usil berusaha mencari tempat untuk bersembunyi. Maksudnya biar tidak terlalu menguras tenaga dan membuat nafas terengah-engah.

Zaaap...! Tua Usil berbelok ke balik pohon besar yang berongga, ia bersembunyi di sana dengan hati berdebar-debar. Ia tidak menyadari bahwa gerakan berbelok itu dapat dilakukan dengan patah dan cepat. Ia hanya berpikir, "Mengapa nafas ku tidak terlalu ngos-ngosan? Padahal aku sudah lari sejauh ini?! Apakah sekarang nafas ku tambah panjang?"

Walet Gading menerabas semak ilalang di depan Tua Usil. Mata Tua Usil melihat jelas, dan hatinya sedikit tenang karena lawannya bisa terkecoh oleh gerakan sembunyinya.

"Gadis itu pasti sangka akulah pembunuh Ki Pamungkas! Aku tidak mau dituduh begitu. Aku menikamkan pisau ini hanya karena didesak oleh permohonannya sendiri. Bukan atas kemauanku. Kulakukan itu dengan cara sangat terpaksa! Aku tidak mau mengakui sebagai pembunuh Ki Pamungkas. Resi Gutama itulah pelakunya, sebab tanpa kutikam dengan pisau pusaka ini, toh Ki Pamungkas akan mati juga!"

Tua Usil bersungut-sungut sambil keluar dari rongga pohon. Ia segera lari ke arah lain agar tak bertemu dengan Walet Gading. Tetapi tiba-tiba sebuah serangan berupa pukulan tenaga dalam tanpa sinar dilepaskan dari arah belakangnya. Tenaga dalam itu bergerak cepat dan menghadirkan hawa panas.

Wuuut...!

Weees...! Tua Usil tiba-tiba sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas sambil bersalto ke belakang satu kali. Kemudian ia mendaratkan kedua kakinya dengan sigap di tanah tak jauh dari tempatnya menghindar tadi.

Jleeg...!

"Lho... kok bisa begin!?!" pikir Tua Usil. "Aku bisa menghindar dan berguling-guling di udara satu kali? Sejak kapan aku bisa melompat dengan gaya seperti Nona Lili?!"

Duaar...! Kriiieeett...! Brrruusk...!

Sebatang po-hon tumbang karena terkena pukulan tenaga dalam yang lolos dari tubuh Tua Usil. Mata lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu terbelalak heran.

"Edan! Kalau batang pohon sekokoh itu saja bisa patah dan tumbang terkena hawa panas tadi, apalagi tubuhku. Pasti akan lumer seperti bubur!" pikirnya dengan ngeri.

"Hadapilah aku, Pengecut!" bentak suara di belakangnya. Tua Usil terlonjak kaget dan segera ingat bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang. Ketika ia berbalik arah, ia makin kaget, karena ternyata yang menyerangnya tadi adalah Walet Gading.

"Wah, dia sudah mulai cabut pedang?!" pikir Tua Usil dengan cemas. Ia bergerak mundur pelan-pelan sambil berkata, "Bukan aku yang membunuh... yang membunuh Ki Pamungkas! Tadi dia bertarung sendiri dengan..."

"Tutup mulutmu! Tak perlu kau berdalih lagi!" bentak Walet Gading.

"Ceritanya begini,..."

"Heaaat...!"

Wuuus...! Walet Gading melompat dan cepat tebaskan pedangnya ke arah leher Tua Usil. Dengan rasa takut, Tua Usil berteriak, "Jangan...!" tapi di luar kesadaran tubuhnya berkelok turun ke bawah dan berputar satu kali, kaki kanannya terangkat sendiri dan menendang lengan Walet Gading.

Buuuhg...!

Tua Usil kaget melihat hasil tendangan kakinya dapat membuat tubuh gadis cantik itu terpental dan membentur pohon dengan keras. Pohon itu berguncang dan sebagian daunnya runtuh.

"Cepat sekali kakiku berkelebat. tadi? Hebat pula kekuatan tendangan ku, padahal itu kulakukan dengan tak sengaja. Pasti gadis itu semakin berang dan... dan tak akan segan-segan lagi membunuhku! Lari saja kalau mau cari selamat..!"

Setelah berpikir begitu, Tua Usil pun tak mau hiraukan lagi bagaimana hasib lawannya, ia segera melarikan diri dengan cepat di luar kemampuan biasanya. Sementara itu, Walet Gading bergegas mengejarnya kembali sambil berkata dalam hatinya,

"Tendangan putarnya seperti jurus 'Belalang Binal'! Hanya murid-murid Perguruan Gerbang Bumi yang mempunyai jurus 'Belalang Binal'. Tapi mengapa orang itu bisa memiliki jurus 'Belalang Binal'? Apakah dia bekas muridnya Ki Pamungkas juga? Aku jadi tambah penasaran! Bagaimanapun juga aku harus bisa menangkap dan mengorek keterangan darinya!"

Walet Gading menjadi sangat penasaran. Ia segera mengambil arah potong jalan. Sampai akhirnya ia berhasil menghadang langkah Tua Usil di tanah lapang yang dulunya bekas rawa-rawa namun sekarang su-dah kering dan memadat.

"Kau tak akan bisa lolos dari ancaman maut ku, Pengecut!" sentak Walet Gading dengan mata tajam memandang Tua Usil. Yang dipandang menjadi salah tingkah dan serba bingung.

"Ku mohon... ku mohon padamu...." Tua Usil gelagapan karena gugup. Bahkan untuk lanjutkan ucapannya sudah tak mampu, karena Walet Gading mendekatinya dengan pedang tetap terhunus dan siap tebas.

"Siapa kau sebenarnya! Mengakulah, Pengecut!" gertak Walet Gading.

"Ak... aku... aku Pancasona. Eh... anu... aku si Tua Usil, pelayannya Nona Lili. Ak... aku...! Ya, aku itu tadi yang kukatakan. Hmmm, kuharap... kuharap kau tidak marah padaku, Nona Cantik...!" Tua Usil mencoba tersenyum, namun karena disertai rasa takut hingga senyuman itu berkesan sinis, membuat Walet Gading makin merasa bermusuhan.

"Kau punya hubungan apa dengan guruku, Ki Pamungkas itu?! Katakan sejelasnya!" bentak Walet Gading.

'"Tid... tidak ada hubungan apa-apa. Ak... aku cuma kenal sama dia karena dia tokoh sakti di rimba persilatan. Ak... aku...."

"Kau murid lamanya?!"

"O, tidak! Sumpah, aku bukan muridnya! Sumpah serapah pun berani!" Tua Usil mencoba meyakinkan sampai angkat kedua jarinya ke atas.

"Dari mana kau kuasai jurus 'Belalang Binal' itu?!"

"Dari... eh, jurus apa kau bilang tadi?!" Tua Usil berkerut dahi dan merasa asing dengan nama jurus tersebut.

Walet Gading tak mau mengulang pertanyaannya, hanya sunggingkan senyum sinis sambil memba-tin, "Agaknya kalau tidak ku paksa orang itu tak mau sebutkan siapa dirinya! Sebaiknya ku coba untuk menyerangnya supaya aku tahu persis bagaimana seharusnya aku bersikap kepadanya!"

Walet Gading membuka jurus pedang yang baru dengan mengelebatkan pedang gadingnya itu. Tua Usil menjadi kebingungan dan takut. Ia melangkah mundur dan mencari tempat berlindung. Tapi pohon yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung itu cukup jauh dari tempatnya berdiri. Tua Usil pun hanya bisa berjaga-jaga untuk hindari serangan sebisa-bisanya sambil mulutnya menceracau tak karuan,

"Jangan bunuh aku...! Sungguh, aku belum kepingin mati, Nona. Kasihanilah aku. Tahan amarah mu...! Kau pasti salah duga...! Tolong, jangan bunuh aku! Setua ini aku belum pernah kawin, jangan dulu kau bunuh aku...! Tolong, Nona! Tolong...!"

"Hiaaat...!"

Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut...!

Walet Gading lepaskan jurus pedang yang menebas dengan cepat dan bertubi-tubi dari berbagai arah. Sulit diikuti oleh pandangan mata. Tetapi Tua Usil tiba-tiba menjatuhkan diri dan berguling maju, lalu dengan cepat ia mencakar kaki Walet Gading dengan gerakan cepat sekali.

Crak, crak, crak...!

Yang terakhir ia gunakan punggungnya untuk bertumpu di tanah, sehingga kakinya mampu menendang tinggi dengan sentakan kuat. Tepat mengenai siku Walet Gading.

Plaaak..!

Wees...! Pedang Walet Gading sempat terpental lepas. Namun segera ditangkap oleh gadis itu dengan bersalto mundur dua kali. Taab...! Pedang itu kembali di tangan Walet Gading, tapi gadis itu rasakan perih di bagian betisnya. Ketika dilihatnya, ternyata betis itu sudah berdarah akibat cakaran di beberapa tempat.

"Jurus 'Gagak Sekarat'!" gumamnya dalam geram. Ia segera menatap Tua Usil yang sudah berdiri tegak dan siap-siap melarikan diri kembali. Namun Walet Gading berseru, "Tunggu! Aku ingin tahu siapa yang ajarkan kamu jurus 'Gagak Sekarat" dan jurus 'Tendangan Topan' tadi?!"

"Aku tidak tahu!" jawab Tua Usil dengan cepat, lalu segera larikan diri lagi sambil berpikir, "Kenapa aku tadi bisa bergerak seperti itu? Padahal aku hanya bergerak ngawur saja untuk menutupi rasa takutku!"

Walet Gading tak hiraukan luka di betisnya. Ia masih tetap penasaran dan mengejar Tua Usil. Dalam hati Walet Gading sempat berkata,

"Hanya beberapa murid saja yang mendapat jurus 'Tendangan Topan' dan 'Gagak Sekarat'! Murid-murid terpilih itu hanya ada empat orang, dan jurus 'Gagak Sekarat' merupakan jurus ciri bagi murid-murid yang mempunyai tingkatan tinggi dan sejajar. Termasuk diriku, dan ketiga temanku itu. Tapi mengapa orang tua itu mempunyai jurus 'Gagak Sekarat'? Siapa dia sebenarnya?! Aku semakin curiga padanya!"

Usaha mengejar Tua Usil itu tiada habisnya, karena tingkat kepenasaran Walet Gading semakin tinggi. Tanpa disadari olehnya, pengejaran itu diketahui oleh seseorang yang sedang melayang terbang di angkasa bersama seekor burung rajawali putih.

Gadis cantik berpakaian merah jambu dengan jubah tipis warna putih menunggang seekor burung rajawali besar berbulu putih. Gadis cantik berselempang pedang perak di punggungnya itu tak lain adalah Lili; si Pendekar Rajawali Putih yang memang sedang mencari-cari Tua Usil untuk suatu keperluan. Maka begitu ia melihat Tua Usil berlari dalam pengejaran seorang gadis yang belum dikenalnya, mulut Lili pun segera keluarkan perintah kepada burung rajawali besar itu,

"Putih, hadang gadis yang mengejar Tua Usil itu!"

"Keakk." jawab burung betina itu dengan suara pelan, lalu ia segera bergerak menukik ke arah Walet Gading. Pada waktu itu, Walet Gading ingin lepaskan pukulan jarak jauhnya untuk menahan pelarian si Tua Usil. Tetapi, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara burung rajawali putih yang berteriak keras-keras memekakkan telinga.

"Keaaakkk...! Keaaak..!"

Wuuut...! Plook...!

Wajah Walet Gading bagaikan ditampar oleh kaki burung besar yang menguncup itu. Andai kaki itu tidak menguncup, wajah Walet Gading yang terperangah kaget itu pasti akan robek disambar cakar rajawali yang mirip mata pedang itu.

Pukulan itu membuat Walet Gading terpental dari jatuh dengan sangat kerasnya. Sementara itu, burung rajawali putih itu melayang rendah ke arah Tua Usil. Lelaki itu berhenti ketika mendengar suara teriakan burung yang cukup membuat telinganya budek itu. Tapi ia segera tersenyum lega melihat Lili ada di atas punggung burung betina itu.

"Nona Li...! Tolong saya...! Gadis itu mau bunuh saya, Nona Li!"

Burung besar berhenti dengan kedua sayapnya masih sedikit terentang walau tak lebar. Lili melompat turun dari punggung rajawali dan sebentar kemudian sudah bersama-sama Tua Usil. Sedangkan Walet Gading segera bangkit dan hendak menghamburkan pukulan jarak jauhnya secara bertubi-tubi ke arah Tua Usil dan Pendekar Rajawali Putih.

Namun tiba-tiba burung besar itu melompat di depan Lili, sayapnya dibentangkan kian lebar, lalu dikepakkan satu kali. Wuuut...! Angin besar timbul seketika itu bagaikan badai. Tubuh Walet Gading terhempas terpelanting ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali. Tiga pohon tumbang seketika karena hempasan kepak sayap burung yang mempunyai tenaga cukup kuat dan berbahaya itu.

"Putih...!" seru Lili. "Menyingkirlah, biar kuhadapi gadis itu!"

"Kaaakk...!" burung itu memekik bagai tak mau menyingkir dan ingin hadapi Walet Gading.

Lili menghardik dengan suara lebih keras lagi, "Putih...!"

Wuuuk, wuuuk, wuuuk...!

Burung itu terbang ke arah samping dan membiarkan Walet Gading bangkit, lalu menghampiri lawannya dengan pedang sudah sejak tadi dimasukkan ke sarungnya. Langkahnya cukup tegap dan tampak memar biru pada bagian tulang pipinya akibat hantaman kaki burung.

"Mengapa kau diburu olehnya?" tanya Lili kepada Tua Usil.

"Saya... saya disangka membunuh gurunya, Nona Li. Padahal saya tiba di situ, gurunya sudah sekarat akibat bertarung dengan lawannya. Lalu, gurunya minta supaya saya mempercepat kematiannya, agar tak terlalu menderita lama-lama. Saya menolak, tapi gurunya memaksa terus, akhirnya saya mengikuti sarannya, menusukkan pisau ke jantungnya!"

Tua Usil seperti anak kecil yang mengadukan peristiwa itu dan merasa dirinya tak bersalah. Lili tidak memandang Tua Usil, melainkan memperhatikan langkah Walet Gading yang tampak ingin berhadapan dengan Tua Usil untuk membalas dendam. Maka, dengan tenang Lili pun berkata kepada Tua Usil,

"Biar kutangani dia."

"Terima kasih, Nona Li!" Tua Usil semakin lega hatinya.

Dalam jarak lima langkah, Walet Gading berhenti di depan Lili. Matanya jelas memancarkan permusuhan, Lili sendiri tidak kalah tajam memandangnya, bahkan lebih berkesan dingin bagaikan gunung es.

"Apa urusanmu denganku sehingga kau berani mencampuri persoalanku dengan tua bangka itu, hah?!" Walet Gading menghardik, menampakkan keberaniannya.

Lili tetap tenang, tanpa senyum sedikit pun, dan berkata dengan nada dingin, "Kalau kau ingin membunuh pelayanku ini, kau harus berurusan dulu denganku!"

"Kau memang patut diberi pelajaran, Gadis Edan! Heiaaah...!"

Walet Gading melompat sambil kibaskan kaki menendang wajah Lili. Tetapi dengan tangkas tangan Lili bergerak cepat menghantam kaki itu dalam gerakan jari menguncup dan dilakukan secara berkali-kali.

Tub, tub, tub, tub...! Plook...!

Punggung tangan Lili menyentak bagai sayap burung rajawali mengibas. Pukulan itu mengenai dagu Walet Gading. Gadis itu kembali terpental dan jatuh dengan sekujur tubuh terasa lemas. Kaki yang dipakai menendang terasa remuk tulang keringnya. Dagunya terasa pecah, hingga giginya sempat merobek salah satu bibirnya. Bibir itu pun berdarah walau hanya sedikit.

"Edan! Jurus apa yang digunakannya tadi?" pikir Walet Gading. "Semua uratku terasa putus! Celaka! Tak mungkin aku bisa melawannya dalam keadaan seperti ini! Aku harus bisa melarikan diri!"

LIMA

SEKALIPUN sebenarnya Lili dapat kejar Walet Gading dengan mudah, tapi hal itu tidak mau di lakukannya. Ia biarkan Walet Gading pergi dengan terseok-seok kaki kanannya. Bahkan ketika Walet Gading lontarkan kata-kata ancaman,

"Suatu saat aku akan temui kau dan membalas luka-lukaku ini!"

Pendekar Rajawali Putih hanya tersenyum sinis. Tapi suara tawa Tua Usil yang terkekeh dalam kemenangannya membuat Walet Gading menjadi semakin jengkel. Hanya saja ia tak berani melampiaskan kemarahan yang sudah membara di dadanya. Ia berusaha pergi ke tempat di mana ia temukan jenazah gurunya; Ki Pamungkas.

"Lain kali jangan coba-coba menolong orang sekarat!" kata Lili kepada Tua Usil. "Kalau tak bisa sembuhkan, lebih baik doakan saja. Jangan mempercepat kematiannya!"

"Baik, Nona Li. Soalnya...."

"Ya sudah. Semuanya sudah telanjur. Yang penting sekarang cari Tuan Yo."

"Tuan Yo...?! Apakah Tuan Yo hilang?"

"Sejak pulang dari ziarah ke makam Eyang Guru Dewa Geledek, aku belum sempat jumpa dia! Mungkin... mungkin dia sedang mencari gadis lain buat bermesraan!" Lili mulai bersungut-sungut cemberut.

"He, he, he...! Itu tak mungkin, Nona Li! Tuan Yo tak mungkin bermesraan dengan gadis lain, sebab Tuan Yo sangat cinta sama Nona Li. Kalau tak percaya, tanyakan saja pada..."

"Kamu tak perlu membelanya!" sentak Lili. "Aku lebih tahu daripada kamu! Yang penting sekarang, cari dia sampai ketemu!"

"Baik, Nona Li!" jawab Tua Usil dengan sikap patuhnya.

"Suruh dia temu! aku di tempat kediaman Resi Gumarang. Kami ingin bicarakan tentang perkawinan kami dengan Resi Gumarang!"

"Naaah... itu lebih baik, Nona Li! Lebih cepat lebih dapat ikannya!"

"Kau pikir kami mau pergi memancing?!" sentak Lili dengan mata mendelik. Lalu, ia melangkah mendekati burung rajawalinya.

Tua Usil menyertainya dari belakang sambil berkata, "Apakah Tuan Yo sudah tahu tempat kediaman Resi Gumarang itu?"

"Dia sudah pernah ke sana bersama kekasih gelapnya; Kencana Ratih!" (Dalam episode: "Bunga Penyebar Maut'). Pada saat Lili berkata begitu, Tua Usil hanya cengar-cengir menahan geli, sebab dia tahu majikan cantiknya itu amat pencemburu. Ia sering merasa geli jika melihat Lili melontarkan kata-kata bernada cemburu, karena Tua Usil tahu di balik kecemburuan itu pasti tersimpan cinta yang begitu indah dan begitu dalam.

Ketika Lili sudah berada di punggung rajawali putih, Tua Usil sempat berseru, "Bagaimana kalau saya gagal temui Tuan Yo?"

"Aku tak akan pulang sebelum Yoga datang ke sana! Pokoknya cari dia sampai ketemu, karena aku sudah capek mencarinya sejak beberapa hari yang lalu!"

"Baik, akan saya lakukan tugas itu, Nona Li. Yang penting, jangan lupa... he, he, he, he...! Nona harus ajarkan kepada saya cara berdiri di atas ilalang!"

Dengan menuding tegas, Lili berkata, "Selesai perkawinan ku, kau kuangkat menjadi muridku!"

"Yihuuu...!" Tua Usil berteriak kegirangan. Ia melonjak-lonjak seperti anak kecil mendengar janji itu. Tanpa disadari burung besar itu segera berkelebat terbang. Sayapnya menghempas, dan anginnya membuat tubuh Tua Usil terpelanting serta jatuh berguling-guling. Nafasnya sempat gelagapan karena jaraknya dengan sayap cukup dekat.

Tua Usil meraup wajahnya sendiri sambil mendongak memandang kepergian Lili bersama rajawali betinanya itu. Ia menggerutu pelan, "Kurang ajar! Wajah orang tua dikipas pakai sayap sebesar itu! Untung lubang hidungku agak lebar, jadi tidak tersumbat angin sepenuhnya...!"

Langkah Tua Usil pun mulai santai, tidak merasa diburu oleh bahaya yang mengejarnya. Tua Usil tidak tahu bahwa segala gerak-geriknya sejak tadi diikuti oleh seseorang dari tempat persembunyian. Bahkan sejak Tua Usil bicara dengan Ki Pamungkas, yang kemudian menancapkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu, orang tersebut mencuri dengar segala macam pembicaraan tersebut dari tempat yang amat tersembunyi namun cukup dekat jaraknya.

Orang itu kehilangan arah sejak Tua Usil berlari dikejar oleh Walet Gading. Dan orang itu kembali temukan Tua Usil ketika Tua Usil bicara dengan Lili dan Walet Gading telah pergi. Kini orang itu sengaja membiarkan Tua Usil menjauhinya. Setelah beberapa saat, barulah ia berlari mengejar Tua Usil dengan napas terengah-engah.

"Tua Usil...!" teriak orang itu. "Tua Usil...! Hoi, tunggu!"

Mendengar seruan orang di kejauhan, Tua Usil hentikan langkah dan segera memandang ke belakang. Dahinya sedikit berkerut, matanya sedikit menyipit untuk menangkap pandangan jelas siapa orang yang berlari ke arahnya itu. Setelah orang itu lebih dekat lagi, Tua Usil pun segera mengenalinya dan berkata sendiri,

"Hmm...! Raja Tipu?! Mau apa dia memanggil dan mengejarku? Kelihatannya dia sangat terburu-buru. Ada hal penting apakah yang dibawanya?"

Tua Usil membiarkan lelaki berpakaian abu-abu berikat kepala kuning yang dikenal dengan julu-kan Raja Tipu. Lelaki itu berusia sekitar lima puluh tahun dengan badan sedikit gemuk dan tergolong pendek, (Untuk mengetahui siapa lelaki itu, baca serial Jodoh Rajawali dalam episode; "Pedang Jimat Lanang").

Wajah Raja Tipu tampak tegang, ini memang dibuat begitu supaya apa yang dikatakan nanti akan dipercaya oleh Tua Usil. Sementara itu, Tua Usil sendiri memandang dengan tenang walau dahinya tetap berkerut menyimpan keheranan.

"Ada perlu pentingkah kau, menemui ku, Raja Tipu?"

"Ya. Penting sekali!" jawab Raja Tipu di sela nafasnya yang masih ngos-ngosan itu. "Tuan Yo ditangkap oleh musuhnya!"

"Tuan Yo...?!"Tua Usil kaget dan mulai tegang, "Dari mana kau mengetahuinya?!"

"Aku melihat Tuan Yo mau disiksa di atas kawah Gunung Sinanjung! Dia ingin diceburkan ke dalam kawah itu jika dia tidak serahkan sebuah pusaka yang bernama Pusaka Hantu Jagal!"

"Hahhh...?!" Tua Usil semakin tegang, karena ia ingat tentang pisau yang dinamakan Pusaka Hantu Jagal. Secara tidak sadar tangannya lekas pegang pisau itu dari luar baju. Mata Raja Tipu melirik ke arah tangan tersebut, dan ia tahu ada pisau di balik baju Tua Usil itu.

"Aku mencoba mengikutinya terus, tapi akhirnya aku tertangkap dan aku dijadikan utusan! Aku harus menghubungi kau atau Pendekar Rajawali Putih dan memberitahukan, bahwa Tuan Yo diceburkan ke dalam kawah Gunung Sinanjung jika sampai esok pagi tidak ditebus dengan Pusaka Hantu Jagal itu!"

"Celaka! Kalau begitu aku harus ke puncak Gunung Sinanjung!"

"Kau tidak akan bisa menyelamatkan Tuan Yo!" kata Raja Tipu semakin berapi-api. "Kau tidak akan bisa membebaskannya, kecuali kau membawa Pusaka Hantu Jagal!"

"Aku membawanya! Aku mempunyai pusaka itu!" kata Tua Usil sedikit ngotot. Tapi ia ragu untuk menunjukkan pisau tersebut.

Raja Tipu segera berkata, "Jika benar kau mempunyai Pusaka Hantu Jagal, biarlah kubawa pusaka itu ke puncak Gunung Sinanjung! Karena akulah yang ditugaskan dan dipercaya membawa pusaka itu untuk membebaskan Tuan Yo!"

"Kau...?!" Tua Usil menjadi ragu dari semakin heran. "Apa hubunganmu dengan orang yang menangkap Tuan Yo itu?"

"Kami sama-sama tawanan. Hanya bedanya, aku dibebaskan dengan tugas membawa pusaka terse-but. Bisa saja aku melarikan diri dan tak mau muncul lagi, tapi esok pagi Tuan Yo pasti sudah diceburkan ke kawah Gunung Sinanjung! Aku kasihan padanya!"

"O, ya... terima kasih atas rasa kasihanmu itu. Tapi..." Tua Usil kembali diliputi kebimbangan dalam ketegangannya. Ia ingat pesan Ki Pamungkas, bahwa pisau Pusaka Hantu Jagal jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Apalagi orang sesat. Sedangkan lawan yang menangkap Tuan Yo itu, pastilah orang sesat yang ingin berkuasa dengan menggunakan senjata Pusaka Hantu Jagal. Tapi jika pusaka itu tidak diserahkan, Yoga akan mati mendidih di dalam kawah berapi itu.

"Sudahlah, jangan banyak pertimbangan! Nanti kedatanganku terlambat," kata Raja Tipu. "Kalau benar pisau pusaka itu ada padamu, biarlah kubawanya ke sana sekarang juga, supaya Tuan Yo tidak diceburkan ke dalam kawah yang mampu melelehkan baja itu!"

Tua Usil masih diam sampai beberapa saat sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis, hanya terdiri dari beberapa lembar rambut putih itu. Lalu, ia berkata kepada Raja Tipu, "Apakah orang itu menjamin keselamatan Tuan Yo jika pusaka ini kuserahkan padanya?"

"Sangat menjamin, karena semula ia menyangka Tuan Yo yang punya Pusaka Hantu Jagal. Orang itu hanya menghendaki pusaka itu saja!"

"Hmm...!"Tua Usil manggut-manggut. "Siapa orang yang menawan Tuan Yo sebenarnya? Aku jadi penasaran dan ingin tahu?"

"Siapa lagi kalau bukan bekas majikanku; Nyai Iblis Mata Genit! Orang satu itu memang jahatnya melebihi iblis! Sebenarnya Tuan Yo bisa kalahkan dia kalau saja pedang pusakanya tidak dicuri lebih dulu oleh anak buah Iblis Mata Genit!" Raja Tipu seakan menampakkan kebenciannya kepada iblis Mata Genit.

Mata Tua Usil pun menyipit benci karena teringat dirinya tersiksa dan nyaris menjadi santapan buaya piaraan iblis Mata Genit. Mulutnya pun serukan geram, "Orang itu memang pantas dirajang menjadi seratus potong!"

"Kurasa Tuan Yo mampu lakukan itu jika pedangnya sudah dikembalikan! Dengan menukarnya memakai Pusaka Hantu Jagal, maka pedang dan Tuan Yo akan di bebaskan. Dan saat itulah kita hancurkan Iblis Mata Genit bersama-sama! Aku pun ingin sekali memotong jari-jarinya!"

Pisau pusaka itu dikeluarkan dari balik baju, dipandangi dengan sorot mata penuh keragu-raguan. Raja Tipu tak sabar dan mendesaknya sambil berusaha mengambil pisau itu dari tangan Tua Usil,

"Cepatlah! Kasihan kekasih majikanmu itu, sebentar lagi mati menjadi bubur di dalam kawah Gunung Sinanjung!"

Tua Usil menarik tangannya, pisau itu tak sampai terjamah oleh tangan Raja Tipu. Tua Usil cepat berkata, "Tunggu dulu...! Katamu tadi, Iblis Mata Genit yang menawan Tuan Yoga...?!"

"Benar! Kau kan tahu sendiri kehebatan ilmu iblis Mata Genit dan keganasannya terhadap lawan! Dia sulit diajak damai!"

"Ya, ya... aku tahu," kata Tua Usil sambil memasukkan kembali pusaka itu di balik bajunya.

Raja Tipu berkerut dahi melihat pusaka tersebut kembali dimasukkan oleh Tua usil. Makin heran lagi setelah melihat Tua Usil tersenyum sinis sambil manggut-manggut memandanginya.

"Raja Tipu, hampir saja aku terpengaruh oleh tipuanmu!" katanya.

"Ini bukan tipuan. ini sungguh-sungguh, Tua Usil. Kalau kau tak percaya, mari datang sendiri ke Gunung Sinanjung dan melihat seperti apa Tuan Yo menderita siksaan dan ketegangan. Seluruh wajahnya telah hancur dihantam Iblis Mata Genit yang tak kenal kasihan sedikit pun!"

Makin lebar saja senyuman Tua Usil mendengar ucapan itu, sehingga Raja Tipu sedikit cemas jadinya.

Tua Usil berkata, "Iblis Mata Genit tidak akan bisa kalahkan Tuan Yo!"

"Siapa bilang? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri!" Raja Tipu tetap ngotot.

"Bahkan melawanmu pun sekarang ia tak akan mampu!" Tua Usil mencibir, merasa punya kemenangan.

"Itu anggapanmu! Tapi kenyataannya, ia bisa mencuri pedang pusaka Tuan Yo dan menghajarnya hingga babak belur begitu!"

"Omong kosong!" tukas Tua Usil. Ia melengos sambil mencibir sombong. Katanya lagi, "Pedang Tuan Yo tidak bisa dicuri oleh siapa pun. Siapa yang mencuri pedang itu, maka ia akan mati bunuh diri dengan pedang itu juga! Naaah... kau belum tahu rahasia pedang pusakanya Tuan Yo, bukan? He, he, he, he...! Kau tak akan bisa menipuku, Tamboyan!"

Raja Tipu yang bernama asli Tamboyan itu sedikit menggeragap. Ia baru mau berkata sesuatu, tapi Tua Usil sudah mendahuluinya bicara,

"Dan lagi, Iblis Mata Genit sudah tidak punya ilmu lagi! Ilmunya sudah disedot dan hilang dari raganya sejak ia bertarung melawan Nona Li di depan para tokoh berilmu tinggi beberapa waktu yang lalu! Makanya kukatakan tadi, Iblis Mata Genit tak akan menang jika melawanmu, karena dia sudah kehilangan semua ilmunya! He, he, he...!" (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Geger Perawan Siluman").

Semakin tajam kerutan dahi Raja Tipu, semakin jelas kecemasannya. Ia menggumam di luar kesadarannya, "Benarkah Iblis Mata Genit sudah kehilangan ilmunya?"

"Naaah... ketahuan sudah, kau hampir saja berhasil membohongiku! Untungnya aku ingat tentang dua hal tadi!"

"Bukan begitu. Aku merasa aneh dengan ucapan mu. Kalau benar Iblis Mata Genit sudah kehilangan ilmu, lantas siapa yang menghajar Tuan Yo sampai wajahnya sehancur itu?!"

"Sudahlah, kau tak perlu lagi berusaha menipuku! Kau adalah Raja Tipu, jadi kau kerjanya hanya menyebarkan tipuan dan kebohongan dengan cara bagaimanapun. Aku tak akan percaya dengan ucapanmu!"

Raja Tipu masih ngotot juga, "Ini bukan tipuan! Aku berani angkat sumpah apa saja! Tuan Yo benar-benar dalam bahaya dan bisa ditebus dengan hanya menukarnya memakai Pusaka Hantu Jagal!"

"Dan pisau yang kutunjukkan padamu itu tadi namanya Pusaka Setan Jagal, bukan Pusaka Hantu Jagal! Weee...!" Tua Usil mencibir lagi.

"Omong kosong! Ki Pamungkas menyebutnya Pusaka Hantu Jagal!"

"Naaah... ketahuan lagi kau berbohong! Dari mana kau tahu kalau pusaka ini milik Ki Pamungkas? Jika kau tahu pusaka ini milik Ki Pamungkas, mengapa kau mengejarku untuk mencari pisau ini? Tentunya kalau kau punya niat mau selamatkan Tuan Yo, kau akan ajak aku temui Ki Pamungkas dan meminta pusaka ini untuk menebus Tuan Yo?!"

Raja Tipu tertegun dengan memendam kedongkolan. Ia telah salah ucap dengan menyebutkan nama Ki Pamungkas. Seharusnya ia tak perlu sebutkan nama itu. Ia sendiri telah terpancing oleh tipuan Tua Usil dengan memelesetkan nama Pusaka Hantu Jagal menjadi Pusaka Setan Jagal. Ia benar-benar tak sadar dan sangat menyesal telah termakan pancingan Tua Usil itu. Akhirnya ia berkata terus terang,

"Baiklah. Semua itu memang tipuan ku! Sebenarnya aku hanya ingin meminjam Pusaka Hantu Jagal itu untuk mengobati saudaraku yang terkena racun berbahaya. Tak ada obat yang bisa menghilangkan racun itu, selain melalui pengobatan Pusaka Hantu Jagal."

"Apa pun alasanmu, aku tidak akan serahkan pusaka ini kepadamu!" kata Tua Usil dengan tegas.

"Kalau begitu kau membuka permusuhan dengan ku, Tua Usil!"

"Aku tidak membuka permusuhan. Aku hanya tidak akan serahkan pisau ini kepadamu! Kalau kau menganggapku membuka permusuhan, itu terserah tanggapanmu sendiri!"

"Kau bisa kehilangan nyawa jika mengajakku berselisih!"

"Sudah kubilang, aku tidak mengajak siapa pun berselisih. Aku hanya mempertahankan pusaka ini agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Mengerti?!"

"Aku tidak mengerti. Aku bisa mengerti setelah menghajarmu sampai kau mau serahkan pisau itu! Hiaaat...!"

Raja Tipu akhirnya lepaskan satu tendangan lurus ke depan, arahkan ke dada Tua Usil. Tapi karena Tua Usil sudah menyerap ilmu yang semula menjadi milik Ki Pamungkas, maka Tua Usil secara tak sengaja membiarkan tendangan itu menghantam dadanya dengan telak.

Deehg...! Wuuus...! Gusraaak...!

Tubuh orang yang menendangnya itu justru terpental tujuh langkah jauhnya, dan jatuh di semak-semak berduri.

Craas...!

"Aaaooh...!" Raja Tipu berteriak kesakitan. Tubuhnya tergores duri-duri tajam, bahkan banyak yang menusuk bagian pantat dan punggungnya. Ia mengerang kesakitan dengan tangan meraih-raih berusaha minta tolong untuk ditarik dari semak berduri itu. Tetapi Tua Usil justru sibuk merenungi keheranannya dan berkata dalam hati,

"Mengapa aku tadi tidak menghindar? Mengapa kudiamkan saja tendangan si Raja Tipu? Dan... anehnya dadaku hanya seperti diterpa sehelai daun kering tanpa timbul rasa sakit sedikit pun. Aneh sekali. Kenapa pula tubuh Raja Tipu terpental sendiri sampai sejauh itu? Apakah diam-diam ada orang yang menolongku dari tempat persembunyiannya? Wah, jangan-jangan orang itu Tuan Yoga sendiri? Atau mungkin seseorang yang ingin menghendaki pisau pusaka ini dengan cara berbuat baik dulu padaku?!"

"Hoooii...! Tolong akuuu...! Aku tak bisa berdiri...!" teriak Raja Tipu di sela-sela rintihan sakitnya.

Tua Usil segera sadar akan hal itu, lalu menertawakan hingga terkekeh-kekeh. Ia melangkah kira-kira empat langkah, lalu berhenti. Dari sana ia berseru, "Siapa yang suruh kamu bertelur di situ, hah?! He, he, he...!"

"Tua Usil... tolong aku. Aku tak bisa keluar dari semak-semak ini karena banyaknya duri! Tolonglah...! Aku minta maaf atas niat jahat ku tadi. Aku tak akan mengganggu mu dan tak akan mengincar pusaka itu lagi! Tolonglah, Tua Usil...!"

"Makanya, jadi orang jangan suka menipu dan bermaksud jahat, nanti terjerat dengan kejahatanmu sendiri!"

"Iya, iya... aku akan turuti nasihatmu itu, Tua Usil. Yang penting, cepatlah tolong aku! Semakin aku bergerak semakin banyak duri yang menghunjam tu-buhku! Aduuh... mataku hampir kecolok duri!"

"Lolos dari semak berduri saja tak mampu, kok mau melawanku! Begini caranya lolos dari semak berduri!"

Jiuug...! Tua Usil hentakkan kaki kanannya ke tanah, dan tiba-tiba tubuh Raja Tipu terlonjak terbang ke atas karena hentakan kaki tersebut. Cruuussr...!

"Aaaa,..!" Raja Tipu menjerit keras-keras bukan karena takut dalam keadaan terlempar ke atas, namun karena semakin banyak tubuhnya digores oleh duri-duri pada saat tubuh itu terlempar ke atas. Repotnya lagi, ia justru kembali jatuh ke dalam semak duri tersebut.

Braaas...!

"Woadoow...!" teriaknya semakin keras. Tubuhnya sudah berlumur darah karena dicabik-cabik mata duri yang rimbun itu. Tua Usil justru terbengong kaget melihat tubuh Raja Tipu jatuh kembali ke tempat yang sama dalam keadaan tengkurap.

"Kasihan dia! Malah semakin parah. Seharusnya begitu melompat, dia bersalto ke depan atau ke belakang biar tidak jatuh di semak berduri lagi!" gumam Tua Usil sendirian. Maka, ia kembali hentakkan kakinya ketanah.

Jleeg...! Wuuut...!

"Lho, kok malah tubuhku sendiri yang naik ke atas. Waaauw...!"

Biuug...! Tua Usil jatuh terduduk. Anehnya, ia tak rasakan sakit sedikit pun. Ia menyeringai bukan karena sakit tapi karena ngeri. Karena jengkelnya, Tua Usil menghantamkan telapak tangannya ke tanah. Buuhg...! Kini tubuh Raja Tipu yang terlempar naik seperti tadi.

Brrraast...!

"Aaaa,..!" Raja Tipu berteriak kesakitan karena menerabas duri lagi. Tapi pada saat itu, tangan Tua Usil menyentak ke depan, dan tubuh Raja Tipu terdorong hingga jatuhnya tidak di semak berduri lagi.

"Gila! Dari mana aku punya tenaga sehebat ini?!" pikir Tua Usil.

* * *
ENAM

GADIS itu tak bisa menahan air matanya ketika lihat jenazah Resi Gutama yang mulai menyebarkan bau busuk itu. Jenazah Resi Gutama ditemukan secara tidak disengaja. Pada awalnya Yoga-lah yang mencium bau busuk itu. Lalu, gadis itu yang tak lain adalah Manis Madu, mempunyai firasat tak enak dan ingin mencari bau busuk tersebut. Maka ditemuilah jenazah Resi Gutama yang membuat Manis Madu terpekik kaget lalu hamburkan tangisnya dalam pelukan Yoga. Gadis itu memeluk Yoga di luar kesadarannya.

"Manis Madu..., mengapa kau menangis melihat jenazah itu? Apakah itu jenazah ayahmu atau kakekmu?"

"Tidak. Itu adalah jenazah guruku! Resi Gutama! Oooh... keadaannya sungguh mengerikan! Aku tak tega mendekatinya. Yoga! Aku tak tega memandanginya!" ucap Manis Madu di sela tangisnya.

Selama dua hari dalam perjalanannya bersama Yoga, agaknya gadis itu menjadi semakin akrab. Terlebih setelah ia diselamatkan oleh Yoga dari luka parah akibat pertarungannya dengan Landak Gamping, hubungan itu terasa semakin cepat akrab. Ketika Manis Madu siuman, ia dapatkan dirinya hanya berlapis kain di bagian tertentu saja, sementara tangan kanan Yoga masih menempel di punggungnya menyalurkan hawa murni penolak racun pengering luka.

Manis Madu ketika itu hampir menjerit karena kaget mengetahui keadaan tubuhnya. Tapi Yoga segera jelaskan duduk perkaranya, sehingga Manis Madu tak jadi marah kepada pendekar tampan itu. Bahkan mereka beristirahat di dalam gua tersebut untuk satu malam. Namun tak sedikit pun Manis Madu menemukan sikap tak sopan dari Pendekar Rajawali Merah. Ia sendiri merasa heran, namun juga malu pada diri sendiri.

Kini, ketika ia menangis dalam pelukan Yoga, dianya cepat-cepat beringsut menjauh setelah ia sadari apa yang ia lakukan yaitu memeluk pria yang bukan kekasihnya, namun yang mendebarkan hatinya, Ketika Yoga menenangkan tangisnya, ketika pendekar tampan itu berhasil membujuk dukanya, Manis Madu pun segera ucapkan kata,

"Maafkan aku. Aku tak sengaja berbuat kurang ajar padamu."

"Dalam hal apa maksudmu?"

"Menangis dalam pelukan mu."

"Oh, tak perlu dijadikan masalah. Itu hal yang wajar saja."

"Aku tak tahan memendam rasa kaget dan duka ku melihat guru ku tewas dalam keadaan seperti itu!"

"Ya, aku bisa memaklumi. Hanya saja, kalau benar dia guru mu, berarti kita telah kehilangan jejak untuk melacak tentang Pusaka Hantu Jagal itu!"

Sambil sesekali memandang jenazah gurunya dari kejauhan, karena tak tahan bau busuk jika harus mendekat, Manis Madu akhirnya berkata lirih, "Ya. kita telah kehilangan jejak melacak pusaka itu!"

"Selain gurumu, siapa lagi orang yang tahu tentang Pusaka Hantu Jagal itu?"

"Aku tidak tahu! Karena Guru sendiri tidak pernah singgung-singgung tentang pusaka tersebut! Kurasa saudara-saudara seperguruanku juga tak ada yang tahu tentang Pusaka Hantu Jagal. Jadi...."

Manis Madu berhenti bicara karena dadanya masih sesekali disekap isak tangis yang tersisa. Pendekar Rajawali Merah mengawali bicara setelah mereka sama-sama diam,

"Jadi bagaimana maksudmu?"

"Kita lupakan saja tentang Pusaka Hantu Jagal itu! tak ada jalan lain untuk mendapatkan keterangan tentang pusaka itu. Yoga."

"Jika memang itu maumu, aku pun tidak keberatan! Namun sebaiknya kita urus dulu jenazah gurumu itu, setidaknya kita bawa pulang ke perguruanmu. Biar dimakamkan dengan penghormatan terakhir dari para muridnya!"

"Lalu, bagaimana jika mereka menanyakan siapa pembunuhnya? Kita tak bisa memberikan keterangan. Karena... kulihat di sini tak ada jejak yang bisa dipakai sebagai tanda atau ciri-ciri si pembunuhnya!"

Wajar jika mereka tidak tahu siapa pembunuhnya, karena mayat Ki Pamungkas rupanya sudah diusung pulang ke perguruannya oleh Walet Gading. Jika di situ masih ada mayat Ki Pamungkas, maka Manis Madu akan tahu bahwa gurunya tewas karena pertarungannya dengan rekan seperguruannya sendiri, yaitu Ki Pamungkas, yang kini menjadi ketua Perguruan Gerbang Bumi itu. Tapi karena tak ada mayat di sana, hanya ada bekas sisa benda-benda terbakar, maka Manis Madu hanya bisa menduga-duga,

"Lawannya jelas orang berilmu tinggi! Tak mungkin orang tak berilmu tinggi bisa kalahkan Guru dengan keadaan seperti itu!"

Yoga menimpali, "Tentunya memang begitu. Dari alam sekitarnya yang hangus dan berantakan begini, ini sudah menandakan gurumu bertarung melawan musuh yang berilmu setidaknya sejajar dengan ilmu yang dimilikinya. Bisa jadi lebih tinggi dari ilmunya."

Seseorang yang sebenarnya hanya bermaksud lewat di lereng tak jauh dari tempat itu, tiba-tiba membelokkan arahnya dan menghampiri tempat tergeletaknya mayat Resi Gutama. Orang itu berpakaian robek-robek dengan bekas luka tersayat-sayat atau tercabik-cabik. Luka itu belum kering sepenuhnya.

Masih ada yang tampak basah dan lembab oleh darah. Orang itu tak lain adalah si Raja Tipu, yang sebetulnya bermaksud menuju ke Gerojogan Gaib, sebuah air terjun yang mempunyai khasiat dapat sembuhkan luka dalam waktu singkat.

Melihat kehadiran Raja Tipu, Manis Madu tersentak bagai tergugah dendam dan kemarahannya. Ia segera melompat menyerang Raja Tipu dengan satu tendangan yang berbahaya. Wuuus...! Untung saja Raja Tipu tergelincir batu dan jatuh dengan sendirinya. Jika tidak, maka kepalanya akan menjadi sasaran tendangan kaki maut Manis Madu yang sudah disaluri tenaga dalam cukup tinggi itu.

"Kau yang membunuh Resi Gutama, guruku itu, bukan?" bentak Manis Madu yang segera didekati Yoga dan disadarkan dari kemarahannya. Pada saat itu Raja Tipu yang sudah menyeringai karena luka-lukanya terbentur bebatuan itu, berusaha bangkit dengan rasa takut yang menggetarkan hati.

"Buk.. bukan aku yang membunuhnya, Nona!" jawab Raja Tipu yang dipandang Manis Madu dengan sorot mata yang tajam penuh dendam.

"Pasti kau! Pasti kau orangnya! Tubuhmu sampai hancur begitu, pasti karena melawan guruku!"

"Sumpah, Nona! Bukan aku pelakunya!"

Yoga berbisik pelan kepada Manis Madu, "Aku yakin memang bukan dia. Aku kenal dia. Dia tidak berilmu tinggi, bahkan tidak punya ilmu apapun kecuali ilmu menipu!"

Pelan-pelan Manis Madu diajak menjauhi Raja Tipu. Yoga menjelaskan lagi, "Dia dikenal dengan nama Raja Tipu. Dia bekas pelayannya Iblis Mata Genit, tapi dia sama sekali bukan orang berarti di rimba persilatan ini! Percayalah, bukan dia pelakunya."

"Tapi dia terluka begitu, tersayat-sayat dan...."

"Bisa saja disebabkan karena orang lain. Jangan kau lakukan balas dendam kepada orang lain yang salah, Manis Madu."

Raja Tipu rupanya punya maksud tersendiri datang menemui Yoga di tempat itu. Mulanya ia bermaksud memberitahu Yoga, bahwa Tua Usil telah melukainya sedemikian rupa dan ia ingin menuntut ganti rugi berupa sejumlah uang untuk membayar seorang tabib yang telah dihubunginya. Tetapi mendengar gadis cantik itu hendak menuntut balas atas kematian gurunya, Raja Tipu segera berubah pikiran. Hatinya berkata,

"O, rupanya tokoh yang bertarung dengan Ki Pamungkas ini bernama Resi Gutama, guru dari gadis cantik itu! Hmmmm... sekarang saatnya aku membalaskan sakit hatiku kepada si tua Usil yang telah mempermainkan diriku di atas semak-semak berduri tempo hari! Kulihat tadi Tua Usil berjalan di Lembah Cadas Kuning, Aku tak berani mendekatinya karena aku tahu dia memegang pisau Pusaka Hantu Jagal."

Manis Madu akhirnya kembali tenang, ia mempercayai ucapan Yoga, karena ia yakin, Yoga tak akan tega membohonginya. Sikap Yoga selama dua hari bersamanya menunjukkan sikap seorang kesatria yang tak mau berbohong, kecuali kepada lawan yang patut dimusnahkan.

Pendekar Rajawali Merah melirik ke arah Raja Tipu, dan merasa heran melihat Raja Tipu masih berdiri ditempatnya. Kemudian, dari tempatnya Yoga berseru: "Kenapa kau tak segera pergi, Raja Tipu? Apakah kau ingin Manis Madu merubah pikirannya dan kembali menuduh mu sebagai pembunuh gurunya itu?"

Raja Tipu segera mendekat, dengan hati-hati dan penuh rasa takut yang dibuat-buat, ia pun berkata: "Jika nona Manis Madu itu ingin tahu siapa pembunuh Resi Gautama, aku bisa tunjukkan di mana orangnya sekarang berada!"

Terangkat wajah sendu itu menjadi beringas kembali. Manis Madu cepat hampir Raja Tipu, men-cengkeram bajunya yang sudah robek sambil berkata dalam geram, "Katakan, siapa pembunuhnya dan di mana dia berada saat ini! Lekas katakan!"

"Pem... pem... pembunuhnya...." Raja Tipu sesekali melirik Yoga dengan rasa takut.

Hal itu menimbulkan rasa ingin tahu begitu besar pada diri Pendekar Rajawali Merah, sehingga pendekar tampan itu segera ikut berkata, "Katakan saja, jangan takut!"

"Pembu... pembunuhnya adalah si Tua Usil...,"

"Hah...?!" Yoga terkejut.

Manis Madu heran dan membentak lagi, "Tua Usil siapa maksudmu?! Seperti apa ciri-cirinya, hah?!"

"Tuan Yoga lebih tahu, Nona. Dan sekarang Tua Usil ada di Lembah Cadas Kuning, sedang beristirahat di sana!"

"Omong kosong! Tua Usil tidak mungkin bisa membunuh Resi Gutama!" sentak Yoga dengan sikap pembelaan terhadap diri Tua Usil.

"Siapa bilang tidak bisa, Tuan Yo? Lihatlah tubuhku ini, penuh dengan luka sayat dan cabikan. Ini juga perbuatan dari Tua Usil," kata Raja Tipu dengan begitu meyakinkan sekali.

Mata gadis itu memandang Yoga yang mulai cemas dan menjadi salah tingkah sendiri. Kemudian, Yoga mendekati Raja Tipu dan berkata, "Kalau Tua Usil melukaimu seperti ini, mungkin saja benar. Sebab kau dan dia sama-sama tidak mempunyai ilmu! Tapi kalau Tua Usil membunuh Resi Gutama, jelas itu omong kosongmu saja! Bisa-bisa kurobek mulutmu yang suka mengumbar kebohongan, Raja Tipu!"

"Saya tidak berbohong, Tuan Yo! Luka-luka saya itu memang akibat ulah si Tua Usil!"

"Ya. Tapi bukan berarti Tua Usil membunuh Resi Gutama!" sentak Yoga hampir terpancing amarahnya.

"Kalau Tuan Yo dan Nona Manis Madu tak percaya, ya sudah! Saya akan pergi mencari tabib yang bisa obati luka-luka saya ini!"

Raja Tipu segera melangkah tinggalkan mereka. Dalam hatinya merasa cemas, takut kalau Yoga menjadi marah dan menghajarnya, sebab ia tahu setinggi apa ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Merah itu. Sekali gebrak, Raja Tipu merasa dapat mati dua kali.

Karena itu sebelum kemarahan Yoga tiba, ia harus sudah pergi. Setidaknya berita bohongnya sudah berpengaruh dalam otak Manis Madu. Ketika dalam jarak beberapa langkah, Raja Tipu sempat berhenti karena menemukan gagasan baru. Dari sana ia berseru,

"Nona...! Sejujurnya kukatakan padamu, Resi Gutama dibunuh oleh Tua Usil dengan menggunakan Pusaka Hantu Jagal!"

"Hahh...?!" Yoga dan Manis Madu sama-sama terperanjat tegang. Raja Tipu cepat lari tinggalkan mereka karena takut dikejar oleh Pendekar Rajawali Merah yang kelihatan semakin berang itu.

Kini tinggal Yoga dan Manis Madu saling bertatap pandang. Cukup lama mereka saling bungkam memikirkan kata-kata Raja Tipu yang menyinggung tentang Pusaka Hantu Jagal itu. Beberapa saat kemudian, Yoga lebih dulu berkata, "Jangan percaya dengan fitnah Raja Tipu itu! Memang begitulah kerjanya setiap hari, menipu dan menipu."

"Tapi dia sebutkan tentang Pusaka Hantu Jagal, Yoga?"

"Ya, itu yang ku herankan. Dia tahu tentang pusaka tersebut. Pasti dia tahu, sebab dia bisa sebutkan nama pusaka tersebut!"

"Kurasa dia tahu karena dia melihat Tua Usil membawa pusaka itu! Dia bisa sebutkan karena dia melihat Tua Usil membunuh guruku dengan Pusaka Hantu Jagal!"

"Tidak, itu tidak mungkin! Tua Usil hanya seorang pelayan yang tidak punya ilmu apa-apa selain ilmu merubah dirinya menjadi segumpal kabut. Dulu kerjanya mengganggu wanita cantik dengan membungkus tubuh wanita itu memakai ilmu kabutnya, yang juga berarti memeluk dan menggerayangi tubuh wanita tersebut. Karenanya kami menamakan dia Tua Usil. Tak mungkin ia sampai memiliki Pusaka Hantu Jagal, jika benar pusaka itu milik gurumu!"

Manis Madu tertegun dalam kegelisahan. Yoga sendiri menjadi semakin resah, karena ia tahu kata-kata Raja Tipu itu telah berpengaruh dalam otak Manis Madu dan dipercaya. Karenanya, Pendekar Rajawali Merah pun segera berkata,

"Manis Madu, percayalah padaku! Bukan Tua Usil yang membunuh gurumu. Bukan! Aku berani bertaruh, potong leherku kalau memang Tua Usil yang melakukan pembunuhan itu!"

"Aku ingin sekali percaya padamu, Yoga. Tapi kata-kata dan bukti luka di tubuh Raja Tipu itu lebih meyakinkan hatiku ketimbang bujukanmu. Kurasa kau sendiri mungkin sudah mengetahui apa dan bagaimana Pusaka Hantu Jagal tersebut!"

Pendekar Rajawali Merah geleng-geleng kepala. "Tidak, Manis Madu. Aku tidak tahu menahu tentang pusaka itu. Tapi aku memang ingin tahu. Karena aku mengajak mu memburu pusaka tersebut untuk membuktikan kebenarannya!"

"Maaf, Yoga. Aku harus pergi ke Lembah Cadas Kuning untuk temui orang yang bernama Tua Usil itu! Aku harus bikin perhitungan dengan pelayanmu itu. Yoga! Kalau kau ingin memihak dia, silakan!'

Tangan Yoga menyambar lengan Manis Madu, menahannya sambil berkata, "Jangan lakukan kebodohan, Manis Madu! Kalau memang benar dia yang membunuh gurumu, biar aku yang tangani masalahnya!"

"Tidak bisa. Yoga," jawab Manis Madu dengan kalem, tapi sebenarnya menahan ledakan amarah dan kekecewaan terhadap diri Yoga yang tampak berpihak membela Tua Usil. "Ini urusan perguruan, dan aku adalah murid Perguruan Kuil Dewa! Aku harus membalas kematian guruku kepada pelakunya!"

Wuuut...! Manis Madu sentakkan tangannya hingga lepas dari genggaman Yoga, ia segera pergi tinggalkan Yoga tanpa peduli seruan Yoga yang melarangnya menyerang Tua Usil.

"Manis Madu... dengar dulu penjelasanku! Manis Madu...!"

Manis Madu berlari cepat dengan hati bergolak tak menentu. Yoga menghembuskan napas kejengkelannya. Ia menggeram sendirian, "Kurang ajar! Ini semua gara-gara bualan si Raja Tipu! Kuhancurkan mulutnya jika lain kali aku bertemu dengannya! Seenaknya dia memfitnah Tua Usil. Kurasa ia punya masalah sendiri dengan Tua Usil, sehingga meminjam tangan orang lain untuk membalaskannya, seperti yang dilakukan pada diriku agar menyerang Perguruan Tengkorak Emas! Tapi... tapi dia bisa sebutkan tentang Pusaka Hantu Jagal. Apakah benar Tua Usil punya pusaka tersebut dan membunuh Resi Gutama! Setinggi apakah ilmu yang dimiliki Tua Usil sebenarnya? Jika benar dia mempunyai pusaka seperti itu, mengapa ketika ditawan Iblis Mata Genit, Tua Usil hanya bisa melarikan diri sambil menjerit-jerit minta tolong?! Oh, aku harus segera menyusul Manis Madu agar tak terjadi peristiwa berdarah sebelum se-galanya menjadi jelas betul!"

Dengan gunakan jurus 'Langkah Bayu', Pendekar Rajawali Merah berkelebat dengan cepat bagaikan menghilang lenyap dari tempatnya. Apa pun yang terjadi, ia harus mencegah tindakan Manis Madu yang bisa membabi buta karena dendam dan sakit hatinya melihat sang Guru tewas.

Padahal kala itu Tua Usil memang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang, di Lembah Cadas Kuning. Tetapi ia segera bergegas naik ke atas pohon tersebut begitu melihat seorang gadis dalam pengejaran seorang lelaki berpakaian serba putih, berkumis, dan bercambang lebat, bertubuh sedikit gemuk, dan mengenakan ikat kepala kain merah bergaris-garis hitam. Tua Usil mengenali perempuan yang dikejar oleh lelaki itu. Perempuan muda dan cantik itu tak lain adalah Walet Gading, tapi lelaki pengejarnya tak dikenal oleh Tua Usil.

Lelaki yang mengejar Walet Gading tak lain adalah Rencong Geni, yang masih tetap berusaha memburu Pusaka Hantu Jagal sebagai mas kawin untuk melamar Dewi Gita Dara. Setelah gagal memaksa Manis Madu, ia segera mengalihkan buruannya kepada Walet Gading, sebab Rencong Geni tahu, hanya ada dua orang yang bisa sebutkan di mana Pusaka Hantu Jagal itu berada, yaitu Resi Gutama dari Perguruan Kuil Dewa dan Ki Pamungkas dari Perguruan Gerbang Bumi.

Rupanya sudah beberapa hari ini, Rencong Geni tidak bisa temukan di mana Resi Gutama dan Ki Pamungkas. Akibatnya, murid-murid pilihan dari ke-dua tokoh sakti itu yang menjadi sasaran pencarian Rencong Geni. Sebab ia yakin, setiap guru akan menceritakan tentang pusaka-pusaka dahsyat kepada murid-murid andalannya, bilamana perlu disuruh merebutnya.

Pelarian Walet Gading menjadi tersendat, karena Rencong Geni melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru berbentuk lempengan bundar yang melesat dengan cepatnya ke arah punggung Walet Gading. Pukulan itu menghantam telak di punggung gadis itu.

Duub...!

"Ahhg...!" Walet Gading tersentak dan jatuh tersungkur dengan mata terbeliak-beliak dan tubuh menggeliat menahan rasa sakit sekujur badan. Hal itu membuat pengejaran Rencong Geni menjadi semakin dekat, dan akhirnya berhenti di depan Walet Gading dalam jarak tujuh langkah. Wajahnya menyeringai puas melihat buruannya jatuh, lalu ia segera berseru,

"Sekarang juga kalau aku mau membunuhmu, dengan mudah sekali kulakukan pekerjaan itu, Walet Gading! Tapi aku masih beri kesempatan padamu untuk menunjukkan di mana Pusaka Hantu Jagal itu disembunyikan oleh eyang gurumu!"

"Kalau kau ingin membunuhku, lakukanlah!" kata Walet Gading dengan mulut sudah berdarah sejak tadi. "Aku memang tidak tahu tentang pusaka itu, walau aku pernah mendengar ceritanya dari guruku; Ki Pamungkas! Tapi Guru tak pernah memberi tahu di mana letak penyimpanan pusaka itu!"

"Aku tak percaya!"

"Terserah! Sekarang apa maumu?!" tantang Walet Gading dalam keadaan lemah. Dan pada saat itu, Rencong Geni segera mencabut kedua senjatanya sambil berkata, "Aku terpaksa membunuhmu sebagai obat kecewaku, Walet Gading!"

Dari atas pohon, Tua Usil membatin! "Kasihan! Gadis itu memang tidak tahu di mana pusaka itu, tapi masih saja didesak dan diancam! Aku harus turun tangan membantunya!"

Wuuut...! Bruuus...!

Tua Usil segera melompat turun dari atas pohon dan bersalto dua kali. Jleeg...! Ia berdiri tepat di depan Rencong Geni, seakan melindungi niat Rencong Geni yang ingin menyerang Walet Gading dengan dua senjata kembarnya itu.

"Siapa kau?! Mau cari modar kau, hah?!" bentak Rencong Geni.

Tua Usil menjawab dengan kalem, "Jangan memaksa orang yang tak berdaya! Dia memang bukan tandingan mu! Akulah lawanmu!"

"Keparaaat...! Heaaah...!" Rencong Geni sudah tak kenal berunding lagi. Kemarahannya mulai meluap sampai ke ubun-ubun mendengar tantangan seperti itu. Maka dengan cepat ia melompat dan menyerang menggunakan dua rencongnya yang ditebaskan dengan cepat ke berbagai arah.

Tubuh Tua Usil hanya meliuk-liuk menghindari tiap tebasan senjata tersebut yang sesekali sengaja digesekkan hingga keluarkan bunyi denting yang memekakkan gendang telinga. Tapi Tua Usil tetap tenang.

Setiap ia berkelit, ia berhasil menendang atau memukul lawannya, walau tidak terlalu parah akibatnya. Tapi hal itu membuat lawan menjadi semakin penasaran. Gerakannya menjadi serba terburu nafsu, sehingga dalam satu kesempatan, Tua Usil berhasil menghentakkan kedua tangannya mengenai dada Rencong Geni dengan telak sekali.

Daaahhg...!

Bruuus...! Tersembur darah kental dari mulut Rencong Geni yang terhuyung-huyung mundur ke belakang. Pada saat itu, Walet Gading berkata dalam hatinya yang terkejut,

"Jurus 'Harimau Dendam'! Dari mana orang itu dapatkan jurus tersebut?! Aneh sekali?!"

Pada waktu itu, Rencong Geni cepat-cepat tegakkan badan dan menahan rasa sakit di dadanya. Kedua rencongnya segera dipertemukan, dan pertemuan ujung rencong itu keluarkan sinar api yang membentuk garis lurus mengarah ke dada Tua Usil. Namun dengan cepat Tua Usil pertemukan kedua telapak tangannya di dada, dan disodokkan ke depan sehingga dari ujung jemarinya itu meluncur sinar ungu bergelombang-gelombang yang meluncur menghantam sinar merah apinya lawan.

Zruuubb...! Sinar api itu bagai tertelan padam oleh gelombang sinar ungu. Sedangkan sinar ungu itu masih terus melesat dan akhirnya menghantam tubuh Rencong Geni.

Craaas...!

Terdengar suara seperti batang pisang ditebas dengan pedang. Tubuh Rencong Geni runtuh ke tanah menjadi potongan-potongan menurut persendian yang ada dalam susunan tubuhnya. Jelas, Rencong Geni tidak lagi bernapas. Tapi agaknya bukan hal itu yang mengherankan Walet Gading, melainkan jenis jurus yang digunakan Tua Usil itu.

"Jurus 'Gerhana Rajam'?! Hanya Guru yang mempunyai jurus 'Gerhana Rajam'. Tapi mengapa orang aneh itu bisa memilikinya?!"

Sementara itu, dalam hati Tua Usil pun terpetik keheranan yang tajam, membuat hatinya bertanya-tanya, "Apa yang telah kulakukan tadi? Dari mana kudapatkan jurus bercahaya ungu tadi? Jangan-jangan Walet Gading itulah yang menyerang lawan secara diam-diam?"

TUJUH

TERNYATA pertarungan Rencong Geni dengan Tua Usil bukan hanya ditonton oleh Walet Gading saja, melainkan ada dua pasang mata lain yang menyaksikannya, yaitu mata Pendekar Rajawali Merah dan Manis Madu. Keberhasilan Tua Usil membunuh Rencong Geni merupakan sesuatu yang amat memukau dan membuat kedua pengintai itu tertegun untuk sementara waktu. Yang dapat mereka lakukan saat itu hanya memandangi kematian Rencong Geni yang sedemikian hebatnya, jauh dari pikiran serta dugaan mereka berdua, terutama Pendekar Rajawali Merah.

Yoga nyaris tak bisa bicara melihat jurus-jurus yang digunakan Tua Usil. Semakin kelu lidahnya melihat Tua Usil pergunakan jurus 'Gerhana Rajam' tadi. Jika jurus itu dimiliki tokoh sakti seperti Resi Gutama atau Iblis Mata Genit atau yang lainnya. Yoga tak terlalu terpukau kagum. Tapi jurus itu ternyata dipergunakan oleh tokoh tua yang selalu mendesak Lili untuk diajarkan berdiri di atas ilalang sebagai tanda bahwa ia tidak memiliki ilmu apa-apa kecuali ilmu 'Halimun' saja.

Jelas hal itu sangat menyita seluruh perhatian dan perasaan Yoga, ia menjadi malu sendiri kepada Manis Madu, karena sepanjang perjalanan ia telah membujuk kemarahan Manis Madu dengan meyakinkan kata-katanya, bahwa Tua Usil bukan manusia berilmu tinggi. Kenyataannya, Tua Usil sempat membuat mata Manis Madu tak berkedip karena mengagumi kedahsyatan jurus itu.

"Orang seperti itu kau katakan tidak berilmu tinggi?" sindir Manis Madu dalam bisikan.

Yoga sempat diam terbungkam oleh rasa malu dan bingungnya. Kemudian ia berucap lirih, "Ini sangat di luar dugaan! Sungguh di luar dugaan!"

"Maksudmu, di luar dugaan kalau aku bisa memergoki ilmunya itu?"

Yoga semakin tak enak hati. Ia hanya berkata, "Maafkan kata-kataku tadi! Sejujurnya kukatakan padamu, cukup lama aku bergaul dengan Tua Usil, tapi tak pernah kulihat dia keluarkan jurus sedahsyat itu!" Kemudian Yoga sedikit bercerita tentang kehidupan sehari-hari yang di alami dengan si Tua Usil itu.

"Pantas saja kalau guruku tewas di tangannya!" gumam Manis Madu bernada geram.

"Mungkinkah memang dia pembunuh gurumu?"

"Siapa lagi kalau bukan dia? Lihat saja kesaktiannya begitu menakjubkan, sejajar dengan tingkat ketinggian ilmu guruku!"

Yoga terpojok dan tak punya alasan untuk membela Tua Usil. Tapi firasat yang ada pada diri Yoga mengatakan, bahwa bukan Tua Usil yang lakukan pembunuhan terhadap diri Resi Gutama. Entah mengapa firasat Yoga sangat kuat mengatakan begitu, se-hingga ia masih mencari cara untuk menghindari pertarungan antara Manis Madu dan Tua Usil.

Yoga sendiri dapat menakar, bahwa Tua Usil dapat menghancurkan tubuh Manis Madu dalam satu gebrakan saja jika memang Tua Usil-lah yang membunuh Resi Gutama. Sedangkan Yoga merasa sayang jika Manis Madu harus mati karena salah sasaran dendamnya.

"Begini saja, aku akan desak dia untuk mengaku. Jika benar dia yang membunuh gurumu, kuserahkan dia padamu. Terserah apa yang terjadi nanti. Yang jelas kau akan mati jika benar Tua Usil berilmu tinggi dan bisa membunuh gurumu. Jika memang Tua Usil tidak mengaku, maka kita akan cari bersama-sama siapa pelaku sebenarnya."

"Apakah itu tidak terlalu bertele-tele? Sekarang juga aku bisa menyerang dan membunuhnya!"

"Tahan nafsumu, Manis Madu. Aku tak ingin kau atau dia mati secara sia-sia, hanya karena fitnah si Raja Tipu!" ucap Yoga dalam nada bisiknya.

"Aku lebih baik mati, daripada membiarkan pembunuh guruku tetap hidup dan berkeliaran di alam bebas!" tegas Manis Madu dengan nada bisik pula.

"Ssst...! Kita selidiki dulu apa yang dilakukan Tua Usil itu! Apa yang dibicarakan dengan gadis bergaun kuning itu, kita simak baik-baik. Siapa tahu bisa menjadi petunjuk untuk menyimpulkan siapa pembunuh gurumu itu!"

Manis Madu cemberut kesal dan mendenguskan nafasnya, namun ia turuti keinginan pendekar tampan tersebut. Ketampanan Yoga itulah yang sejak tadi membuat hati Manis Madu selalu menunda kemarahannya, membuat sejuk gejolak darah yang mendidih.

Setelah Tua Usil merasa terheran-heran dengan apa yang dilakukannya, sampai ia pandangi, kedua tangannya dan ia pandangi mayat Rencong Geni secara berganti-gantian, maka ia pun segera mendekati Walet Gading yang wajahnya kian memucat dan bersandar di bawah pohon.

Rupanya sebelum tiba di tempat tersebut, Walet Gading telah lakukan pertarungan dengan Rencong Geni yang membuat tubuhnya terluka di beberapa tempat, termasuk luka pukulan tenaga dalam di punggungnya itu. Lengannya bengkak membiru karena racun di ujung rencong kembar tersebut. Dan Tua Usil memperhatikan keadaan Walet Gading dengan rasa iba hati. Walet Gading sendiri hanya bisa menatap bengong kepada orang yang pernah diburu karena dituduh membunuh gurunya itu.

Tua Usil bersimpuh dl depan Walet Gading yang sudah berkeringat dingin dengan bibir membiru. Sebentar lagi pasti gadis itu akan mati jika tidak segera ditolong. Karena itu, Tua Usil berkata, "Angkat kedua tanganmu ke depan, rapatkan dengan tanganku...!"

Walet Gading sepertinya tahu persis apa yang di maksud Tua Usil itu. Maka, ia pun mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Kedua telapak tangan itu segera merapat dengan kedua telapak tangan Tua Usil. Kemudian, wajah Tua Usil tertunduk sebentar, dan telapak tangan mereka berdua sama-sama menyala kuning bening.

Beberapa saat setelah mereka sama-sama pejamkan mata, Walet Gading rasakan tubuhnya mulai segar kembali. Luka-luka yang tampak koyak ataupun berlubang, mulai terasa cepat mengering walau tidak benar hilang lenyap seperti pengobatan yang dilakukan oleh Yoga. Namun, Walet Gading semakin memendam keheranan, sehingga ia pun akhirnya berkata,

"Aku tahu jurus pengobatan ini yang dinamakan jurus 'Tapak Batin'."

"Aku tidak tahu namanya. Tapi... entah mengapa aku bisa lakukan!"

"Siapa dirimu sebenarnya?"

"Sudah pernah kusebutkan, namaku Pancasona dan dikenal dengan julukan Tua Usil. Aku pelayannya Pendekar Rajawali Putih dan Pendekar Rajawali Merah."

"Apakah kedua pendekar aliran Rajawali itulah yang mengajarkan semua jurus-jurusmu, termasuk jurus 'Gerhana Rajam' tadi?"

"Jurus apa?"

"Jurus 'Gerhana Rajam'!" jelas Walet Gading yang kini bukan bersikap bermusuhan, namun bersikap curiga dan penasaran.

Tua Usil tertawa kecil sambil berdiri. "Jurus kok namanya aneh?! Aku malah baru kali ini mendengar nama jurus 'Gerhana Rajam'."

Sementara itu, di balik persembunyiannya, Yoga sendiri merasa semakin kagum melihat Tua Usil bisa lakukan pengobatan dengan cara seperti tadi. Sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya bahwa Tua Usil memiliki ilmu pengobatan yang cukup dinilai hebat olehnya.

Manis Madu bergegas bangkit, ingin keluar dari persembunyiannya, namun lagi-lagi tangan Yoga menahannya, membuat Manis Madu berbisik, "Biarkan aku menghadapinya!"

"Tunggu dulu! Dengarkan dulu percakapannya. Tua Usil kelihatannya tak sadar dengan segala tindakannya. Perhatikan setiap ucapannya!"

"Bisa saja dia berkata bohong!"

"Apakah kau tak bisa menilai kejujuran seseorang dari raut wajahnya?" Yoga bernada meremehkan, dan Manis Madu tak mau terang-terangan diremehkan, karena itu ia berkata,

"Bisa saja dia mainkan wajah sejujur mungkin, tapi hati orang siapa yang bisa tahu secara pasti!" sambil ia kembali jongkok di tempatnya semula.

Jarak mereka tak begitu jauh, namun juga tidak dibilang dekat dengan percakapan Tua Usil dan Walet Gading. Hanya saja, angin bertiup ke arah Yoga dan Manis Madu, sehingga percakapan itu terbawa oleh angin dan mudah diterima oleh telinga para pengintainya.

Walet Gading perdengarkan suaranya, "Setahuku, jurus 'Gerhana Rajam' hanya milik guruku; Ki Pamungkas. Tapi mengapa kau juga memilikinya? Apakah kau dulu teman seperguruan dengan Ki Pamungkas?"

"Bukan. Aku tak pernah punya guru dan tak pernah belajar ilmu silat. Satu-satunya ilmu yang kumiliki hanya ilmu 'Halimun', itu ilmu turunan dari leluhur ku!"

"Tapi... tapi mengapa kau memiliki semua jurus yang dimiliki oleh guruku?"

"Aku sendiri tak yakin, apakah benar aku melakukan gerakan jurus yang dimiliki oleh gurumu. Yang jelas, aku kenal gurumu hanya sebatas seorang sahabat saja. Tak terlalu akrab. Dulu aku pernah menolongnya membuatkan topeng yang menyerupai wajah Ki Pamungkas. Dari situlah aku kenal beliau. Aku diberi upah berupa uang, bukan berupa ilmu! Dan apa yang kulakukan tadi, sungguh di luar rencana pikiranku. Tangan dan kakiku seperti bergerak dengan sendirinya. Bahkan sentakan-sentakan nafas ku seperti bekerja dengan sendirinya."

"Aneh!" gumam Walet Gading dalam ketermenungannya.

"Memang aneh, dan di luar jangkauan otakku."

"Lalu, apa yang kau lakukan saat guruku tewas?"

"Apakah kau tetap menuduhku sebagai pembunuh Ki Pamungkas?"

Walet Gading menarik napas, dihempaskan lepas sambil berkata, "Saat aku kembali ke tempat jenazah guruku berada, dan membawanya pulang ke perguruan, aku sempat melihat mayat lain ada di sana. Mayat itu adalah mayat Resi Gutama, Ketua Perguruan Kuil Dewa!"

Manis Madu bergegas bangkit begitu mendengar nama almarhum gurunya disebutkan. Tapi tangannya kembali ditahan oleh Yoga. Mulut Yoga mendesis pelan, "Ssst...!"

Manis Madu kembali jongkok, melindungi dirinya dengan kerimbunan daun-daun semak yang ada di belakang Walet Gading. Ia kembali menyimak percakapan tersebut tanpa timbulkan suara sedikit pun.

Walet Gading berkata, "Ketika kutemukan Jenazah Resi Gutama, aku jadi berkesimpulan bahwa guruku tewas karena pertarungannya dengan Resi Gutama. Hati ku sempat menyesal, mengapa aku bersikeras menuduh mu sebagai pembunuh guruku. Aku minta maaf padamu, Tua Usil."

Senyum tipis Tua Usil mekar bagaikan orang memperoleh kemenangan sepenuhnya. Ia pun berkata, "Tak apa. Lupakan soal itu:"

"Menurutmu, apakah pendapatku itu benar?"

"Sangat benar!" jawab Tua Usil dengan tegas. "Aku melihat sendiri pertarungan Resi Gutama dengan Ki Pamungkas. Sangat seru dan menakjubkan. Keduanya sama-sama kuat. Tapi keduanya segera sama-sama gunakan jurus andalan yang tidak mereka peroleh ketika mereka dalam satu perguruan. Resi Gutama tewas lebih dulu, ketika aku datang Ki Pamungkas masih sempat bernapas beberapa saat. Lukanya sangat parah. Aku ingin mencarikan air buat minum, karena kulihat Ki Pamungkas kehausan. Tapi dia melarang, dan bahkan menyuruhku mengambil sebuah pusaka yang mereka perebutkan."

"O, jadi... guruku bertarung dengan Resi Gutama karena memperebutkan sebuah pusaka?"

"Ya. Pusaka itu ada di dalam Sumur Condong, tak jauh dari tempat pertarungan mereka. Aku disuruh mengambil pusaka itu, dan kukerjakan perintahnya. Ternyata pusaka itu bernama Pusaka Hantu Jagal!"

"Hahh...?!" Walet Gading terkejut dengan membelalakkan mata.

Di persembunyian, Manis Madu juga terkejut dan hampir terpekik, namun mulutnya buru-buru ditutup oleh tangan Yoga. Matanya melebar menatap mata Yoga yang memandangnya dengan sikap terperanjat juga itu.

"Aku pernah mendengar cerita tentang Pusaka Hantu Jagal itu dari guruku," kata Walet Gading. "Apakah... apakah pusaka itu berupa sebilah pisau bersarung dan bergagang emas berukir?"

"Benar!" jawab Tua Usil dengan jujur. Kemudian, Tua Usil menceritakan segala keterangan yang dituturkan oleh Ki Pamungkas menjelang ajalnya tiba. Sampai tentang kehebatan Pusaka Hantu Jagal itu, amanat mempercayakan pusaka itu menjadi milik Tua Usil, dan akhirnya permintaan Ki Pamungkas yang terakhir pun dituturkan kepada Walet Gading.

"Aku mencoba menolak permintaannya itu, tapi ia semakin meratap dan ingin mati lebih terhormat lagi dengan pisau pusaka itu. Dia memohon-mohon padaku, dan... aku tak tega. Lalu, kulakukan permintaan terakhirnya itu dengan sangat terpaksa!"

Walet Gading tertunduk sedih, Sementara itu, Manis Madu pun tertunduk dalam dukanya sendiri. Suasana menjadi hening beberapa kejap setelah itu, Walet Gading segera perdengarkan suaranya, "Kalau begitu, seluruh ilmu guruku telah menitis ke dalam ragamu! Ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmuku, karena kau adalah pengganti guruku!"

Setelah berkata begitu, Walet Gading segera berlutut dan tundukkan kepala, memberi hormat kepada Tua Usil yang dianggap sebagai titisan Ki Pamungkas.

Tua Usil menjadi kikuk ketika Walet Gading berkata, "Maafkan kebodohan saya tadi, Guru!"

Karena kikuk, Tua Usil jadi ikut-ikutan berlutut, lalu berkata, "Jangan berlebihan begitu dalam menganggap diriku. Aku bukan gurumu! Aku bahkan ingin serahkan Pusaka Hantu Jagal ini kepadamu, karena kau adalah muridnya yang kinasih!"

Tua Usil keluarkan pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik bajunya. Walet Gading memandangi pusaka itu, semakin percaya dengan apa yang diceritakan Tua Usil. Tapi ia segera menggeleng dan berkata,

"Aku tak berani melanggar wasiat almarhum Guru; Ki Pamungkas. Pisau pusaka itu adalah milikmu, karena Guru mempercayakannya kepadamu! Pisau pusaka itu juga sebagai lambang, bahwa kau telah menggantikan kedudukan mendiang Guru; Ki Pamungkas. Sebaiknya sekarang juga kita pulang ke perguruan, karena kaulah sekarang yang memegang tampuk kepemimpinan, sebagai Ketua dan Guru di Perguruan Gerbang Bumi!"

Tua Usil geleng-gelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak sanggup. Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi guru dan ketua di sebuah perguruan. Aku tak mau menerima jabatan itu."

"Tapi kaulah yang diserahi tugas tersebut! Kau yang dipercaya."

"Hanya secara kebetulan saja, akulah satu-satunya orang yang mendekati Ki Pamungkas saat menjelang ajalnya tiba."

"Itu pertanda kau yang mendapat anugerah dari dewata untuk menggantikan kepemimpinan mendiang Guru; Ki Pamungkas!"

"Begini saja!" kata Tua Usil sambil bangkit berdiri, berjalan dua langkah, lalu berbalik arah dan berkata, "Kalau memang aku yang dipercaya, diserahi tugas, mendapat anugerah atau apa lagi sebutannya. Sekarang tugas itu ku limpahkan kepadamu, Walet Gading! Kau saja yang menjadi ketua di Perguruan Gerbang Bumi, sekaligus menjadi guru!"

"Mana mungkin? Di Perguruan Gerbang Bumi ada empat orang yang ilmunya sejajar denganku! Mereka pasti akan memberontak dan tak mau patuh padaku," kata Walet Gading dengan sangsi.

"Kalau begitu, kau saja yang menjadi ketua. Soal guru, biarlah kau dan ketiga murid yang ilmunya sejajar denganmu itu yang bertindak sebagai guru."

Walet Gading berpikir sejenak, setelah itu berkata, "Bagaimana jika kau ajarkan padaku beberapa jurus tertinggi yang dimiliki Ki Pamungkas semasa hidupnya? Kau yang menjadi guruku."

"He, he, he, he...! Sudah kukatakan, aku tidak ada potongan menjadi guru! Aku tidak tahu harus bagaimana mengajar murid-murid ku! Dan aku tidak tahu nama jurus-jurus yang kumiliki ini!"

Sulit juga memutuskannya. Tua Usil terang-terangan menolak jabatan itu, karena merasa tidak mempunyai kemampuan yang sesuai. Sedangkan Walet Gading tidak mau melanggar wasiat mendiang gurunya yang diberikan kepada Tua Usil menjelang ajalnya tiba.

Sebenarnya saat itu Yoga ingin keluar dari persembunyiannya dan menengahi perdebatan itu. Tetapi pemuda tampan itu segera terkejut karena baru menyadari bahwa Manis Madu sudah tidak ada di sampingnya. Mata Yoga mencari sekeliling tempat itu, ternyata gadis tersebut sudah berada cukup jauh dalam pelariannya. Arah pelarian menuju ke tempat tergeletaknya jenazah Resi Gutama.

"Dia pasti kecewa karena tak berhasil temukan pembunuh gurunya yang sebenarnya! Atau, mungkin dia kecewa karena Pusaka Hantu Jagal jatuh ke tangan Tua Usil? Sebaiknya kususul dia agar tak guncang hatinya dengan peristiwa ini! Biarlah Tua Usil berembuk terus sampai ubannya bertambah. Mereka pasti akan temukan jalan keluar sendiri."

Dugaan Yoga itu memang benar. Ketika Yoga pergi menyusul Manis Madu, samar-samar terdengar suara Walet Gading berkata, "Ada baiknya masalah ini kita bicarakan bersama tiga murid yang lain, supaya semuanya sama-sama enak dan tak ada saling iri."

"Lalu, bagaimana dengan pisau pusaka ini?"

"Tetaplah kau pegang dan menjadi milik mu, karena memang begitulah wasiat mendiang Guru! Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain!"

"Apakah aku harus ikut berunding dengan ketiga murid yang ilmunya setingkat denganmu itu?"

"Ya. Sebab kaulah saksi hidup, dan pusaka itulah buktinya!"

"Baiklah," jawab Tua Usil dengan napas terhempas, seperti orang terpaksa. Lalu, dia berbisik, "Bisakah kau berdiri di atas ilalang yang sedang tumbuh?"

"Bisa. Kenapa?"

Bisikannya makin pelan, "Ajarkan aku, supaya bisa berdiri di atas ilalang, seperti Nona Lili itu!"

"Kau pasti sudah bisa. Sebab Ki Pamungkas bisa lakukan hal itu!"

"Ah, yang benar?!" Tua Usil terperangah girang bercampur ragu.

* * *

DELAPAN

LELAKI berkepala gundul dengan jenggot putihnya yang panjang itu mengenakan pakaian berkabung warna abu-abu. Biasanya ia mengenakan pakaian putih model biksu yang hanya diselempangkan dari pinggang ke pundak. Tapi agaknya kali ini ia sengaja mengenakan pakaian abu-abunya sebagai perasaan berkabung yang amat dalam. Lelaki berusia seki-tar delapan puluh tahun itu, sengaja berdiri di luar gua tempat tinggalnya, yang tepat berada di lereng sebuah jurang terjal yang cukup dalam.

Ketika seekor burung rajawali besar berwarna putih melintas di langit atas kepalanya, lelaki itu hanya diam saja, tidak memandangnya sedikit pun. Namun ia tahu, ada seseorang yang duduk bertengger di punggung sang rajawali tersebut. Orang yang duduk di punggung rajawali putih itu tak lain adalah Lili; Pendekar Rajawali Putih, murid dari mendiang Dewi Langit Perak; istri dari Dewa Geledek.

Lelaki berbadan kurus itu sangat kenal baik dengan kedua tokoh sakti tersebut, semasa pasangan suami-istri yang kondang kesaktiannya itu masih hidup. Sayang ia tak bisa menghadiri dalam pemakaman kedua tokoh sakti beraliran silat rajawali itu, karena tempatnya yang saling berjauhan dari kediamannya yang sengaja mengasing-kan diri itu.

Lelaki berpakaian abu-abu itu tak lain adalah Resi Gumarang, satu-satunya tokoh sakti yang sangat dihormati oleh Lili dan Yoga, itulah sebabnya ketika rajawali putih itu mendarat di bibir tebing, Lili segera turun dan memberinya hormat dengan berlutut satu kaki dan tundukkan kepala, sedang sang rajawali pun cepat mendekam serta merendahkan kepala sebagai tanda hormatnya kepada sang resi.

"Selamat datang di pengasingan ku, Pendekar Rajawali Putih," sambut Resi Gumarang dengan nada kurang ramah. Wajahnya pun dilapisi kemurungan akibat ungkapan jiwa dukanya.

Pendekar Rajawali Putih tidak tersinggung, namun justru merasa heran dan bertanya dengan sangat sopan, "Kalau boleh saya tahu, apa gerangan yang membuat Eyang Resi bermurung wajah hari ini?"

"Tidak apa-apa," jawab Resi Gumarang dengan senyum canggung. "Aku hanya merasa sedikit kurang enak badan."

"Mohon jangan dustai saya, Eyang Resi. Pakaian abu-abu yang Eyang Resi kenakan menandakan masa duka sedang menyelimuti hati Eyang Resi. Saya hanya ingin ikut berduka cita atas masa berkabung yang melanda hati Eyang Resi Gumarang. Namun izinkan saya mengetahui penyebabnya secara pasti, Eyang Resi."

Resi Gumarang melemparkan pandangan matanya ke tempat jauh. Ia melangkah menjauhi Lili sebentar, seakan ingin membuang rasa duka dan kemurungannya. Namun Lili mendekat dengan mendesak pertanyaan lebih halus lagi.

"Barangkali ada yang bisa saya bantu untuk meredakan duka di hati Eyang Resi saat ini?"

"Tidak ada," jawab Resi Gumarang. "Agaknya kau tahu persis bahwa aku sedang berkabung. Memang benar. Sekalipun aku tak hadir di tempatnya, tapi aku tahu bahwa adikku yang bernama Resi Gutama itu dua hari yang lalu sudah meninggal dunia akibat suatu pertarungan dengan rekan seperguruannya yang bernama Ki Pamungkas."

Hening tercipta sebentar, lalu suara Pendekar Rajawali Putih terdengar halus, "Saya turut berduka cita atas wafatnya adik Eyang Resi Gumarang itu."

"Terima kasih, Lili. Aku hanya menyesali langkah adikku yang keliru itu. Ia mati hanya untuk berebut pusaka milik mendiang gurunya yang bernama Hantu Jagal."

"Sepertinya saya pernah mendengar nama julukan Hantu Jagal itu, Eyang Resi. Kalau tidak salah, ia termasuk tokoh sakti yang berusia sampai ratusan tahun dan baru meninggal setelah dirinya mampu bertemu dengan sang kekasih, walau sudah dalam keadaan menjadi tulang belulang. Eyang Guru Dewi Langit Perak pernah ceritakan hal itu kepada saya, ketika kami sama-sama terdampar di dasar laut."

"Kisah cinta mereka memang kondang dan menjadi legenda sepanjang masa. Tapi ketika kisah cinta antara gurumu dengan Dewa Geledek hadir, legenda itu beralih ke kisah cinta Dewi Langit Perak dengan Dewa Geledek. Barangkali akan beralih lagi kepada kisah cinta Lili dan Yoga."

Senyum Pendekar Rajawali Putih mekar dalam sikap tersipu malu. Resi Gumarang pun menyunggingkan senyum tipis, seakan memaksakan diri untuk menghapus dukanya. Tapi ia segera kembali menuturkan kisah Hantu Jagal dengan mengatakan,

"Tokoh beraliran putih itu cukup ditakuti oleh para tokoh sesat, sehingga dijuluki mereka dengan nama Hantu Jagal. Sebutan itu lebih dikenal di rimba persilatan, sehingga julukannya sendiri tenggelam dan kalah kondang. Semasa kejayaannya mencapai puncak, tokoh sesat berjuluk Malaikat Gelang Emas itu belum hadir di permukaan bumi. Andai Hantu Jagal masih hidup di saat ini, maka Malaikat Gelang Emas pasti sudah lenyap sejak hari-hari kemarin, dikalahkan oleh Hantu Jagal. Sayang sekali tokoh sesat itu hadir di saat Hantu Jagal sudah tiada. Ketiga muridnya tidak ada yang sanggup mengalahkan Malaikat Gelang Emas."

"Berapa murid Hantu Jagal sebenarnya, Eyang?"

Tiga orang; Gutama, Pamungkas, dan Wicaksana. Ketiganya membuka perguruan sendiri-sendiri aliran silat Hantu Jagal, namun Wicaksana tak bisa sempurna turunkan seluruh ilmunya kepada murid-muridnya, karena ia sudah lebih dulu dibunuh oleh Malaikat Gelang Emas. Dan Hantu Jagal meninggalkan sebuah pusaka yang tak diketahui oleh para muridnya di mana letak penyimpanan pusaka tersebut. Dulu, pusaka itu sering diburu oleh beberapa tokoh sakti, termasuk murid Wicaksana yang bernama Nyai Kuku Setan. Tetapi segera reda akibat tak menemukan jejak peninggalan Pusaka Hantu Jagal. Beberapa kurun waktu kemudian, timbul kembali peristiwa perburuan Pusaka Hantu Jagal, namun seseorang telah menyebarkan berita palsu bahwa Pusaka Hantu Jagal telah berhasil ditemukan oleh Malaikat Gelang Emas. Maka perburuan itu pun berhenti dan lenyap dari peredaran bumi. Sekarang agaknya perburuan itu menjadi hangat kembali, terlebih setelah terbunuhnya Gutama, adikku, dan Pamungkas."

"Apakah keduanya dibunuh oleh seseorang yang haus Pusaka Hantu Jagal?" tanya Lili.

"Mereka justru saling bunuh sendiri untuk berebut pusaka tersebut. Sekalipun aku tidak pernah diajak bicara oleh mereka, sekalipun aku tidak melihatnya sendiri, tapi roh kawekasan ku meneropong jauh ke sana dan menyaksikan pertarungan itu. Aku tak bisa ikut campur karena itu urusan antara murid aliran Hantu Jagal."

"Apakah pusaka itu berhasil ditemukan oleh salah satu dari keduanya, Eyang?"

Resi Gumarang yang bermata lembut itu menggeleng pelan. "Pusaka itu memang telah berhasil ditemukan oleh seseorang, melainkan bukan murid aliran silat Hantu Jagal. Tetapi aku melihat sendiri dengan mata sukmaku, Pamungkas memohon-mohon agar dibunuh dengan pisau pusaka itu oleh si pemiliknya yang sekarang, dan pemilik pusaka itu dengan sangat terpaksa menuruti keinginan Pamungkas. Ia membenamkan pisau itu ke jantung Pamungkas. Padahal pisau pusaka itu mempunyai kekuatan dapat memindahkan seluruh ilmu dan kepandaian apa pun milik orang yang ditikamnya, menjadi milik orang yang menikamkan pisau itu. Maka, mata sukmaku telah melihat, seseorang yang semula tidak mempunyai ilmu, kini menjadi orang berilmu tinggi setara dengan ketinggian ilmu Pamungkas. Bahkan mungkin ia akan menjadi lebih sakti lagi jika pisaunya berulang kali digunakan untuk membunuh para tokoh sakti lainnya!"

Pendekar Rajawali Putih menunda niatnya untuk membicarakan masalah rencana perkawinannya dengan Yoga, karena ia lebih tertarik dengan cerita Pusaka Hantu Jagal itu. Setelah hatinya merasa kagum sesaat dengan kehebatan pusaka tersebut, maka ia pun ajukan tanya,

"Kalau boleh saya tahu, siapa tokoh yang memiliki Pusaka Hantu Jagal itu, Eyang? Apakah dia dari golongan putih atau golongan hitam?"

"Setahuku dia dari golongan putih, sebab memang tidak pernah punya golongan. Ia hanyalah seorang pelayan dari dua majikan yang berilmu tinggi dan beraliran putih."

Lili berkerut dahi memikirkan dan mencoba-coba menebak siapa orang yang dimaksud. Tetapi ia justru menjadi penasaran karena tak mempunyai kepastian dalam tebakannya, Sehingga ia mendesak dengan tanya, "Siapa nama orang itu, Eyang?"

"Pancasona!"

Terkesiap mata Pendekar Rajawali Putih yang punya kecantikan melebihi bidadari itu. Ia menggumamkan nama itu dengan sangat pelan, seakan tak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Pancasona...?!"

"Ya. Pancasona, alias si Tua Usil, pelayanmu!"

"Hahh...?!" kini mata indah itu membelalak kaget dengan bibir bak kuncup mawar merekah indah.

"Dia yang berhak memilikinya, karena dia yang menemukannya! Setelah ketiga murid Hantu Jagal itu tiada lagi, tak ada orang yang berhak mewarisi pusaka itu karena memang Hantu Jagal tidak mewariskan kepada siapa pun. Orang yang menemukan pusaka itu adalah orang yang berhak memilikinya. Sebab dengan meninggalnya ketiga murid Hantu Jagal, pusaka itu menjadi pusaka tanpa tuan. Namun sekarang sudah menjadi pusaka bertuan, yaitu Tua Usil itulah tuan dari pusaka tersebut. Kuharap kau dapat mengarahkan Tua Usil agar tidak menyalahgunakan pusaka itu dan membuatnya menjadi orang yang rakus ilmu. Katakan kepadanya, agar jangan menggunakan pusaka tersebut jika tidak dalam keadaan yang sangat berbahaya, dan jadikan dia tokoh pembela kebenaran."

"Baik. Akan saya bimbing dia agar tidak menjadi tokoh sesat dengan senjata pusakanya itu, Eyang!"

Resi Gumarang menganggukkan kepala dengan penuh wibawa. Ia memandangi wajah Lili yang termenung beberapa saat membayangkan Tua Usil dengan pusakanya. Lalu, Resi Gumarang menyunggingkan se-nyum tipis dan berkata, "Kau datang dengan maksud ingin menanyakan tentang perkawinanmu dengan Pendekar Rajawali Merah, bukan?"

"Benar, Eyang! Saya ingin kejelasan jodoh saya itu, karena setahu saya, banyak gadis yang jatuh cinta kepada Yoga dan...." kata-kata itu terhenti sesaat. Lili menatap Resi Gumarang dengan dahi sedikit berkerut, menampakkan kecurigaannya terhadap keadaan sekeliling.

Resi Gumarang sendiri tampak sedikit curiga, namun ia masih bisa bersikap tenang. "Rupanya kau menangkap gelagat tak beres di sekitar kita, Lili?"

"Benar, Eyang!"

"Kita memang sedang kedatangan tamu yang tak ramah."

"Kalau begitu, biar saya yang hadapi, Eyang!"

"Tunggu...!"

Lili sudah telanjur melesat dan hinggap di salah satu batu tebing, lalu dengan lincahnya ia melenting ke atas, bersalto dua kali dan kini berada di permukaan bibir tebing. Resi Gumarang merasa cemas, maka ia pun segera menyusui Lili naik ke bibir tebing, dan ternyata di sana mereka sudah berhadapan dengan lima orang berwajah tak ramah.

Burung rajawali putih itu segera terbang ke arah lain, seakan menghindar, namun sebenarnya mencari peluang untuk membantu majikannya jika terjadi sesuatu yang akan membahayakan sang majikan. Burung itu berputar-putar siap lakukan serangan sewaktu-waktu terhadap lima orang berwajah tak ramah itu.

Satu dari kelima orang itu adalah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun kurang, masih kelihatan cantik namun sudah tampak matang dalam hidupnya. Perempuan berjubah hijau itu menyandang senjata pedang di pinggangnya, dengan kesepuluh jarinya berkuku runcing bak mata pisau. Rambutnya disanggul sebagian dengan diberi tusuk konde berben-tuk seekor ular dari bahan logam putih mengkilat. Mungkin dapat digunakan sebagai senjata sewaktu-waktu.

"Siapa mereka, Eyang?" bisik Lili kepada Resi Gumarang.

"Orang-orang Perguruan Latar Jagat. Perempuan itu ketuanya, murid dari Wicaksana yang bergelar Nyai Kuku Setan!"

Pendekar Rajawali Putih segera paham, karena ia masih ingat cerita Resi Gumarang tentang Wicaksana, murid Hantu Jagal yang tewas di tangan Malaikat Gelang Emas itu. Tetapi apa maksud Nyai Kuku Setan datang ke pengasingan Resi Gumarang dengan membawa empat anak buahnya yang berwajah tak ramah itu?

Terdengar suara Nyai Kuku Setan berseru kepada Resi Gumarang, "Tentunya kau sudah mengetahui maksud kedatanganku, Resi Gumarang! Kita tak perlu berbasa-basi lagi, bukan?"

"Ya. Ucapan batinmu sudah kudengar, maksud hatimu sudah ku baca. Kau menghendaki Pusaka Hantu Jagal, bukan?"

"Benar!"

"Tapi mengapa kau datang kemari?"

"Karena Gutama adalah adikmu, dan pasti kau tahu di mana Gutama berada sekarang ini! Aku akan memaksanya untuk bicara tentang Pusaka Hantu Jagal itu. Karena menurut beberapa tokoh sakti, pusaka itu belum dimiliki oleh Malaikat Gelang Emas atau tokoh lainnya. Gutama pasti tahu di mana letak pusaka itu, atau justru dialah yang menyembunyikannya!"

"Atas dasar apa kau ingin menuntut pusaka itu, Nyai Kuku Setan?" tanya Resi Gumarang dengan kalem.

"Kami dari aliran silat Hantu Jagal merasa punya hak memiliki pusaka tersebut!"

"Ada tiga perguruan dari aliran Hantu Jagal. Apakah itu berarti ketiga perguruan mempunyai hak atas Pusaka Hantu Jagal itu?!"

"Persetan dengan dua perguruan milik Gutama dan Pamungkas! Yang penting, kami orang-orang Perguruan Latar Jagat punya hak lebih tinggi untuk memiliki pusaka tersebut, karena Eyang Guru Wicaksana adalah murid sulung dari Eyang Hantu Jagal!" kata Nyai Kuku Setan dengan suara lantang yang memuakkan bagi Lili.

Mata Lili sejak tadi menatap Nyai Kuku Setan dengan tajam dan berkesan dingin. Ia tak ingin bertindak lebih dulu sebelum mendapat izin dari Resi Gumarang. Terdengar suara Nyai Kuku Setan berseru lagi,

"Sebaiknya, beritahukan kepadaku di mana Gutama berada! Jangan kau ikut menyembunyikan adikmu itu, Resi Gumarang!"

"Aku tidak menyembunyikan dia. Mungkin kalau kau ingin temui dia, kau harus pergi ke alam kubur, karena Gutama sudah tewas bersama Pamungkas!"

"Hm...!" perempuan yang jauh lebih muda dari Resi Gumarang itu tersenyum sinis, tak ada sopan santunnya sedikit pun. Ia bahkan berkata dengan lebih kasar lagi, "Jangan harap kami mudah percaya dengan omonganmu, Gumarang! Aku tahu kau selalu berada di pihak perguruan adikmu! Dan jangan bikin kami hilang kesabaran, sehingga lakukan pemaksaan secara kasar padamu! Perguruan Kuil Dewa sudah kami obrak-abrik, tapi Gutama tak kami temukan di sana. Satu-satunya orang yang tahu di mana dia adalah kau, Gumarang!"

Pendekar Rajawali Putih tak sabar dan menco-ba berbisik pelan kepada Resi Gumarang, "Biar saya yang hadapi mereka, Eyang!"

"Jika kau mau, lakukanlah!" bisik Resi Gumarang. Tapi ia segera berkata kepada Nyai Kuku Setan, "Aku berkata yang sebenarnya, Nyai Kuku Setan. Gutama sudah tewas. Di mana kuburnya, aku belum sempat mengetahuinya!"

"Kalau begitu, pasti dia sudah titipkan pusaka itu padamu!"

"Tidak. Aku tidak mendapat titipan apa-apa dari adikku!"

"Barangkali dengan sedikit paksaan kau baru akan mengaku, Gumarang! Baiklah...!" Nyai Kuku Setan segera serukan perintah kepada keempat anak buahnya yang tentu saja orang-orang pilihan.

"Serang dia! Bikin dia mengaku!"

"Heaaat...!" keempat anak buah Nyai kuku Setan serempak dalam gerak mengurung Resi Gumarang dan Lili.

Namun Pendekar Rajawali Putih itu segera tampil di depan Resi Gumarang dan berkata lantang, "Kau berhadapan denganku, Nyai Kuku Setan!"

"Bocah ingusan! Mau cari mampus rupanya kau ini, hah?! Serang!"

"Heaah...!" Keempat anak buah Nyai Kuku Setan serempak lepaskan pukulan bersinar warna-warni ke arah Pendekar Rajawali Putih.

Zlaaap!

Namun dengan gerak sedikit merendah dan memutar cepat, Pendekar Rajawali Putih kibaskan tangannya bagai menabur sesuatu ke arah keempat pengepungnya itu. Ternyata sinar putih keperakan telah melingkari tubuhnya dan membuat sinar-sinar yang menyerangnya itu berbalik arah dan menerjang para pemiliknya.

Blaaar...!

Keempat penyerang itu terpental ke empat penjuru. Satu di antaranya nyaris terjungkal masuk jurang. Untung Nyai Kuku Setan cepat berkelebat bagaikan angin dan berhasil menangkap orang yang nyaris masuk ke jurang itu.

Wuuut...!

Tiga penyerangnya bangkit kembali dan lakukan serangan dengan jurus serupa. Tetapi, burung rajawali besar itu segera menukik dan menyambar dua dari ketiga penyerang itu.

Wuuuss...! Craaak...!

Cakar tajam sang rajawali berhasil menyambar tubuh mereka dan dibawanya terbang tinggi. Dua orang itu berteriak-teriak ketakutan. Satu orang lagi berusaha melepaskan serangan dengan sinar biru keluar dari ujung jari telunjuknya. Namun bertepatan dengan keluarnya sinar, tubuh itu telah dihantam lebih dulu oleh pukulan tenaga dalam Lili yang menggunakan tangan kiri.

Dees...!

"Uuuhg...!" Orang tersebut segera tumbang dalam satu sentakan yang membuat tubuhnya melayang membentur batu besar. Praak...! Kepala orang itu nyaris pecah, kini berlumur darah dan tak mampu lagi bangkit untuk lakukan penyerangan. Ia hanya mengerang-ngerang dengan tubuh menggeliat menahan sakit.

"Hentikan!" teriak Nyai Kuku Setan. "Atau ku ledakkan tubuh resi peot ini!"

Mendengar ancaman tersebut, Pendekar Rajawali Putih berpaling ke belakang, dan ia terkejut melihat Resi Gumarang telah dikurung sinar merah membara berpijar-pijar. Sinar itu bagaikan membungkus tubuh Resi Gumarang dalam jarak dua jengkal dan tubuhnya. Rupanya Nyai Kuku Setan telah berhasil melepaskan jurus 'Penjara Kubur'-nya di luar pengetahuan Lili, dan membuat Resi Gumarang tak berani banyak bergerak dari tempatnya sendiri.

"Sedikit saja kau sentuh sinar itu, tubuhmu akan hancur, Gumarang!" kata Nyai Kuku Setan. Kepada Lili ia berkata, "Cobalah hancurkan sinar 'Penjara Kubur'-ku itu kalau kau ingin melihat tubuh resi peot itu hancur berkeping-keping!"

Lili menggeram menahan jengkel. Firasatnya mengatakan, sinar merah itu tak boleh tersentuh oleh benda apa pun, dan jika dilawan dengan sinar lain akan timbulkan ledakan yang dapat hancurkan tubuh Resi Gumarang. Pendekar Rajawali Putih tak mau korbankan sang resi. Ia hanya menggeram penuh kejengkelan, "Licik!"

Di kejauhan terdengar suara bergema panjang, "Aaaa...!" Dua anak buah Nyai Kuku Setan yang disambar oleh si Putih saat itu sedang dilepaskan dari ketinggian yang melebihi pucuk pohon cemara. Mereka melayang-layang dan jatuh ke dalam jurang. Sudah pasti tak ada harapan untuk hidup lagi bagi mereka.

"Burung bangsat...!" teriak Nyai Kuku Setan, lalu ia sentakkan tangan kirinya, dan melesatlah lima larik sinar dari ujung kukunya.

Zraaap...!

Melihat rajawalinya hendak dibunuh dengan lima larik sinar hijau itu, Lili segera lepaskan pukulan bersinar putih yang semakin jauh semakin melebar cahayanya. Wuuuut...! Sinar putih itu menerjang lima larik sinar hijau dan menimbulkan suara ledakan yang cukup dahsyat dan membahana.

Glegaaar...!

Nyai Kuku Setan cepat berpaling ke arah Pendekar Rajawali Putih dengan wajah bengisnya semakin tajam. Sementara itu, si Putih segera bergerak menjauh dengan suaranya yang kian mengecil, bagaikan menertawakan serangan Nyai Kuku Setan.

"Kalau kau merasa berilmu tinggi, hadapilah aku! Jangan dengan cara licikmu itu!" kata Lili sambil siap-siap lakukan serangan.

Nyai Kuku Setan justru serukan tawa, lalu berkata, "Sia-sia aku melayani bocah ingusan sepertimu! Sinar 'Penjara Kubur' itu tidak akan kulepaskan jika Gumarang tidak mau serahkan Pusaka Hantu Jagal itu!"

Terdengar suara Resi Gumarang berkata, "Aku tidak tahu soal pusaka itu! Jangan libatkan aku dalam urusan perguruan kalian!"

"Omong kosong! Kau orang sakti, kau orang yang bisa meneropong isi hati seseorang, bisa mengetahui apa yang bakal terjadi, bisa melihat apa yang tersembunyi dari mata manusia, kau pasti tahu di mana pusaka itu disimpan oleh adikmu, Gumarang!"

Lili menggeram sambil hendak lepaskan pukulan mautnya, tapi Nyai Kuku Setan berseru seketika, "Kau akan menyesal kalau kau berhasil membunuhku, karena 'Penjara Kubur' itu tak ada yang bisa melepaskan selain diriku! Sebaiknya sekarang bujuk resi peot itu agar mau tunjukkan di mana Pusaka Hantu Jagal itu berada, agar aku bisa memilikinya!"

"Persetan dengan perintahmu, Perempuan iblis!" geram Lili dengan tajam dan ketus. Tapi ia tak berani menyerang Nyai Kuku Setan, karena jika perempuan itu mati di tangannya, lalu siapa yang akan lepaskan jurus 'Penjara Kubur' yang menawan dan mengancam keselamatan Resi Gumarang, si calon penghulunya kelak itu.

SEMBILAN

TANPA setahu Nyai Kuku Setan atau siapa pun, Resi Gumarang mengirimkan suara batinnya kepada Lili yang mengatakan, "ilmu 'Penjara Kubur' ini memang berbahaya. Tak ada yang bisa melepaskannya kecuali dia. Sebaiknya, bawa kemari Tua Usil dan lakukan siasat agar dia mau lepaskan sinar merah yang mengurungku ini! Tapi ingat, Pusaka Hantu Jagal jangan sampai jatuh ke tangan perempuan itu!"

Pendekar Rajawali Putih segera tanggap dengan suara aneh yang didengarnya itu. Ia melirik Resi Gumarang, dan sang resi anggukkan kepala secara samar-samar. Maka, Lili pun berkata kepada Nyai Kuku Setan dengan kemarahan terpendam kuat-kuat,

"Akan kucari pusaka itu secepatnya. Tapi jika kau berbuat curang, apa sangsinya?!"

"Hik, hik, hik, hik...! Bocah ingusan, dengar kata ku...! Aku hanya menghendaki pusaka itu saja. Aku tidak akan mengganggu kalian jika memang pusaka itu sudah ada di tanganku. Keperluan ku memiliki pusaka itu hanya untuk membalas dendam kepada Malaikat Gelang Emas yang telah menewaskan guruku itu! Demi dendam ku kepada Malaikat Gelang Emas, maka dengan terpaksa kulakukan cara seperti ini supaya aku dapatkan Pusaka Hantu Jagal itu. Nah, kalau kau sudah paham, lekas cari pusaka itu dan akan ku tukar dengan kebebasan resi peot itu!"

"Sekali lagi kau berani berbuat curang, kulenyapkan seluruh ilmumu dengan jurus 'Sirna Jati'-ku!"

Rupanya Nyai Kuku Setan tahu tentang ilmu 'Sirna Jati'. Ia membatin dalam kebisuan mulutnya, "Benarkah dia memiliki ilmu 'Sirna Jati'? Bukankah ilmu 'Sirna Jati' hanya ada dalam Kitab Jagat Sakti, milik leluhur orang-orang Pulau Kana yang keturunan raksasa itu? Oh, celaka kalau dia memang punya jurus 'Sirna Jati'. Bisa habis ilmuku dilenyapkan oleh jurus itu jika aku mengecewakan dia! Sebaiknya aku harus bertindak hati-hati kepada gadis ingusan ini!"

Pendekar Rajawali Putih segera mengepalkan kedua tangannya. Kepalan itu saling dipertemukan di dada, lalu dari tengah kepalan itu melesat selarik sinar putih keperakan berbentuk gelombang-gelombang lingkaran yang melesat ke angkasa. Sinar putih keperakan itu menimbulkan suara denging yang makin tinggi semakin menggema. Itulah isyarat untuk memanggil burung rajawali putih yang tadi menghilang setelah membuang mangsanya ke dalam jurang.

Suara denging itu hilang seketika setelah dua tangan yang mengepal di depan dada itu terpisahkan. Seekor burung rajawali putih berkelebat muncul dari balik kerimbunan pohon di kejauhan sana, terbang dengan cepatnya menuju ke arah majikannya. Kepakan sayap rajawali itu menjadi lamban setelah Lili berseru kepada burung yang hendak mendarat,

"Hati-hati sayap mu, Resi Gumarang dalam penjara sinar merah!"

"Keaaak...!" burung itu menjawab, seakan mengerti maksud majikannya. Dengan menunggang rajawali putih tersebut, Lili pun segera pergi tinggalkan tempat itu mencari ke mana perginya Tua Usil. Kepada si Putih pun, Lili serukan kata,

"Kita mencari Tua Usil, karena dialah yang memegang Pusaka Hantu Jagal itu!"

"Keak, keaaak...!" rajawali betina itu manggut-manggut, terbangnya tidak terlalu tinggi agar mata majikannya mampu memandang setiap orang yang dilintasinya. Dan orang-orang yang melihat burung besar terbang rendah itu saling ketakutan, ada yang bersembunyi di sembarang tempat hingga kepalanya terbentur benda keras, ada yang hanya mendongak bengong saking kagumnya.

Pencarian Lili sampai kepada kerumunan orang di tanah pemakaman. Rupanya sekelompok murid Perguruan Kuil Dewa yang habis diacak-acak oleh Nyai Kuku Setan itu masih sempat memakamkan jenazah gurunya. Dari antara mereka, Lili menangkap seraut wajah tampan yang tak lain adalah milik Pendekar Rajawali Merah.

"Lihat, Yoga ada bersama gadis cantik itu! Dia bahkan memeluk gadis yang sedang menangis itu, Putih! Panggil dia!" ucap Lili dengan hati panas karena cemburu.

"Keaaak...! Keaaaak...!"'

Semua orang yang baru saja selesai memakamkan Resi Gutama memandang ke atas, termasuk Yoga. Merasa terkejut, sempat bubar dari kerumunan. Tinggal Yoga yang tetap berdiri memandang burung rajawali besar itu dengan senyum indah di bibirnya. Yang ditatap adalah seraut wajah cantik si penunggang burung tersebut.

Manis Madu ingin pisahkan diri dari Yoga karena ada rasa tak enak melihat kedatangan burung putih dan gadis cantik penunggangnya. Tapi Yoga sempat menahan tangan Manis Madu sambil berkata,

"Jangan takut. Akan ku kenalkan kau kepada kekasihku itu!"

Ada luka perih saat hati Manis Madu mendengar ucapan Yoga. Tapi luka perih itu ditahannya dan ia berusaha untuk menjadi lebih dewasa dari sikap yang ada saat itu. Ia pun tak jadi pergi tinggalkan Yoga. Burung putih itu mendarat agak jauh dari tanah pema-kaman. Kemudian Yoga menghampirinya bersama Manis Madu. Lili turun dari punggung burung tersebut dengan wajah cemberut.

"Kebetulan kau datang. Guru! Ada berita penting yang harus kusampaikan kepadamu!"

"Kebetulan aku memergoki mu, bukan kebetulan aku datang!" ucap Lili dengan nada cemburu yang hanya bisa dicerna oleh Yoga.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum, nyengir, namun menawan hati. "O, ya... ini teman baruku; Manis Madu namanya. Dia murid Resi Gutama yang...."

Lili menyahut dengan ketus, "Yang tewas karena bertarung dengan Ki Pamungkas!"

"Dari mana kau tahu?"

"Resi Gumarang yang menceritakannya!"

Manis Madu menyela, "Resi Gumarang kakak dari guruku, Yoga!"

"Ooo...!" Yoga manggut-manggut dengan tenang.

"Sekarang Resi Gumarang dalam bahaya. Terkurung oleh jurus 'Penjara Kubur' dari Nyai Kuku Setan!"

"Nyai Kuku Setan?!" Manis Madu terkejut dan menjadi beringas wajahnya. "Dia yang telah memporakporandakan perguruanku!"

"Karena dia mencari gurumu!" kata Lili. "Kini dia menyandera Resi Gumarang, calon penghulu kita!" katanya kepada Yoga dengan menegaskan kata 'calon penghulu kita' untuk memukul hati Manis Madu. Dan memang, murid Resi Gutama itu menjadi terpukul duka, namun tetap bertahan untuk tidak menampakkan kekecewaan hatinya mendengar ucapan tersebut.

"Mengapa Resi Gumarang yang menjadi sasaran Nyai Kuku Setan?" tanya Yoga kepada Lili.

"Nyai Kuku Setan memanfaatkan kesaktian Resi Gumarang. Ia tahu persis, bahwa Resi Gumarang pasti tahu di mana Pusaka Hantu Jagal berada. Dia menghendaki pusaka itu untuk ditukar dengan kebebasan dan keselamatan Resi Gumarang!"

"Pusaka Hantu Jagal...?! Aku tahu. Aku tahu di mana pusaka itu sekarang berada!" kata Yoga.

Tapi Lili menjawabnya sendiri, "Di tangan pelayan kita; Tua Usil!"

"Oh, kau tahu juga hal itu rupanya?"

"Resi Gumarang sempat bicara padaku sebelum Nyai Kuku Setan menyergapnya! Sekarang, cari si Tua Usil dan bawa dia ke sana bersama Pusaka Hantu Jagal!"

"Apakah kita benar-benar akan menukar pusaka itu dengan nyawa Resi Gumarang?!" tanya Pendekar Rajawali Merah sedikit cemas.

"Akan kuserang dia begitu Resi Gumarang dibebaskan dari ilmu 'Penjara Kubur'-nya!"

"Tapi jika dia membawa Pusaka Hantu Jagal apakah...."

Lili memotong ucapan Yoga, "Kugunakan ilmu 'Sirna Jati', biar lenyap pula kekuatan dalam pusaka itu dan tidak lagi menjadi bahan rebutan!"

"Baiklah. Aku setuju dengan rencanamu. Guru."

"Sekarang kita cari si Tua Usil itu berada. Mungkin sedang dalam perjalanan menuju ke pondok kita!"

"Tidak. Tua Usil ada di Perguruan Gerbang Bumi," kata Yoga. "Dia ingin dinobatkan sebagai ketua dan guru disana!"

Lili tertawa kecil, geli mendengar berita itu. "Kita culik ketua dan guru mereka!" katanya dalam berseloroh.

"Aku setuju!" kata Yoga sambil mengangguk. "Aku ikut membebaskan Resi Gumarang!" kata Manis Madu.

"Tetaplah tinggal bersama saudara-saudara seperguruanmu. Benahi perguruanmu yang sudah diobrak-abrik oleh Nyai Kuku Setan itu. Biar urusan ini kuselesaikan dengan guru cantik ku ini, Manis Madu."

Sebenarnya hati Manis Madu kecewa, tapi sekali lagi ia harus menelan kekecewaan tersebut. Kehadiran Lili membuat Manis Madu menjadi rendah diri dan tak berani banyak berharap kepada Yoga. Sebab dalam hati ia mengakui, Lili memang lebih cantik dari dirinya.

Yoga segera memanggil burung rajawali merahnya. Tangan kanannya menggenggam dua jari, sementara jari kelingking, jari telunjuk, dan jempolnya berdiri tegak. Tangan itu dirapatkan ke dada sekejap, kemudian disentakkan naik dengan lurusnya. Maka melesatlah tiga sinar merah dari ujung jari-jari tersebut.

Tiga larik sinar merah itu bertemu di angkasa dan berdentum menimbulkan gema menggaung-gaung. Kejap berikutnya, terdengar suara teriakan burung rajawali merah di kejauhan, makin lama semakin dekat, teru-tama setelah burung rajawali putih pun memberi suara teriakan menyahut dari bawah.

Dengan mengendarai masing-masing burung raksasanya itu, Lili dan Yoga sama-sama pergi tinggalkan tanah sekitar kuburan Resi Gutama. Mereka menuju ke Perguruan Gerbang Bumi dan menemui Tua Usil di sana.

Kehadiran dua pendekar rajawali bersama sepasang burungnya itu menjadi pusat kerumunan murid-murid Perguruan Gerbang Bumi. Tua Usil semakin dikagumi oleh mereka, karena mereka tahu, dua pendekar yang mengendarai sepasang burung rajawali itu adalah dua pendekar sakti yang namanya banyak menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persilatan.

Maka ketika Tua Usil menyatakan ingin pergi membebaskan Resi Gumarang, Walet Gading beserta murid-murid lainnya tidak merasa keberatan, justru merasa bangga terhadap orang yang dianggapnya sebagai titisan Ki Pamungkas itu.

"Tapi saya tidak setuju kalau Nona Lili mau sirnakan kesaktian pisau Pusaka Hantu Jagal ini," kata Tua Usil sebelum naik ke punggung burung rajawali merah bersama Yoga.

"Kita tak punya cara lain, daripada pisau itu menjadi milik perempuan iblis itu!" kata Lili.

Setelah diam sebentar, Tua Usil berkata, "Kalau begitu, biar saya yang hadapi Nyai Kuku Setan, Nona Li!"

"Apakah kau sanggup mengalahkan dia?"

"Mudah-mudahan sanggup," jawab Tua Usil sambil cengar-cengir tak pantas sedikit pun untuk menjadi orang terhormat di sebuah perguruan.

Setelah ingat cerita Resi Gumarang tentang ilmu Ki Pamungkas yang telah berpindah menjadi milik Tua Usil, Lili pun hanya angkat bahu sebagai tanda menyerahkan masalah itu kepada si Manusia Kabut itu. Maka, mereka pun segera terbang bersama sepasang rajawali besar menuju puncak gunung, tempat pengasingan Resi Gumarang.

Sekalipun sudah mewarisi seluruh ilmunya Ki Pamungkas, namun Tua Usil masih saja berdebar-debar dan takut mengendarai burung besar yang membawanya terbang. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat kain baju Yoga di bagian pundak dengan tubuh gemetar. Yoga tertawa pelan berulang kali ketika Tua Usil dengan bergetar serukan kata,

"Pelan-pelan saja, Tuan Yo...! Jangan tinggi-tinggi...!"

Lili sendiri sempat terkikik geli melihat wajah Tua Usil pucat karena takut melakukan perjalanan angkasanya. Dalam hati, Lili membatin, "Jika terbang serendah ini saja dia ketakutan, apakah mungkin dia punya keberanian menghadapi Nyai Kuku Setan nanti?"

Dugaan Lili, Tua Usil akan gentar jika melihat kesepuluh kuku tajam lawannya nanti. Tapi setelah mereka tiba di tempat, ternyata Tua Usil tidak terlalu gentar. Hanya masih sedikit gemetar karena perjalanan angkasanya tadi.

Nyai Kuku Setan tertawa kegirangan melihat kehadiran Lili bersama Tua Usil dan Pendekar Rajawali Merah. Dengan lantang ia bertanya, "Siapa di antara kedua lelaki ini yang membawa Pusaka Hantu Jagal?"

"Aku!" Tua Usil berani menjawab dengan tegas. Lalu, ia keluarkan pisau pusaka itu dari balik bajunya, ia cabut dari sarung emasnya dan ia perlihatkan sinar merah yang mengelilingi pisau tersebut.

"Kau lihat sendiri, aku telah membawa pusaka yang kau cari, Nyai!" kata Tua Usil dengan berani. Yoga dan Lili menduga, keberanian itu pasti keberanian yang dimiliki Ki Pamungkas semasa hidupnya.

"Benar-benar tak disangka kaulah orangnya yang menyimpan pusaka milik eyang guruku itu! Coba kuperiksa benda itu!"

Tua Usil segera menarik mundur pisau yang sudah tak bersarung itu. Ia berkata, "Aku tak mau terkecoh oleh tipu daya mu itu, Nyai. Bebaskan dulu Resi Gumarang, baru akan kuserahkan pisau pusaka ini kepadamu!"

Nyai Kuku Setan menggeram jengkel. Nafasnya ditarik sebagai penahan luapan amarahnya, matanya memandang sedikit menyipit menandakan rasa curiga, yang membuat hatinya bimbang. Lalu, ia perdengarkan suara, "Apakah kau bisa kupercaya, Pak Tua?!"

"Kalau kau tak percaya padaku, aku pun akan pergi. Tentang nasib Resi Gumarang itu bukan urusanku!"

"Tunggu dulu!" Nyai Kuku Setan tampak khawatir. Hatinya berkata, "Orang ini agaknya memang tak punya hubungan apa-apa dengan Gumarang. Kalau dia pergi, semakin susah aku mengejar dan melawannya, karena ia memegang pusaka itu. Sebaiknya kubebaskan saja tawananku!"

Lalu, ia berkata kepada Tua Usil, "Kalau kau menipuku, kuhancurkan mereka semua yang ada di sini, termasuk kedua burung setan itu! Mengerti?!" Matanya melotot biar kelihatan lebih ganas dan lebih bersungguh-sungguh dengan ancamannya.

"Baik. Aku setuju dengan perjanjian itu, asal setelah kau memiliki pusaka ini, jangan ganggu kami lagi!"

"Aku pun setuju dengan perjanjian ini!" kata Nyai Kuku Setan.

Ia segera menghadap Resi Gumarang yang sejak tadi tak berani bergerak sedikit pun itu. Kedua tangannya terjulur ke depan. Tangan itu segera gemetar, dan sinar merah yang membungkus Resi Gumarang itu segera disedotnya hingga terhisap masuk ke dalam kedua telapak tangan berkuku runcing itu. Satu anak buahnya segera mencabut pedang dan menempelkan pedang itu ke leher Resi Gumarang sebagai sikap berjaga-jaga jika terjadi kelicikan yang dilakukan oleh Tua Usil.

Mata Tua Usil melirik Lili, kemudian melirik anak buah Nyai Kuku Setan yang tinggal tersisa satu orang dan sedang mengancam Resi Gumarang itu. Lili sepertinya bisa tanggap dengan lirikan mata Tua Usil. Tapi ia tetap diam saja tanpa menunjukkan sikap yang mencurigakan.

"Sudah kubebaskan resi peot itu! Sekarang serahkan Pusaka Hantu Jagal itu. Lekas!" bentak Nyai Kuku Setan.

"Ambillah...!" sambil berkata begitu, tiba-tiba tangan kiri Tua Usil yang memegangi sarung pisau tersebut segera menyentak ke depan. Dari dalam sarung pisau keluar cahaya biru yang melesat dengan cepatnya bagai cahaya petir.

Claaap...! Taaas...!

Cahaya biru itu menghantam perut Nyai Kuku Setan, membuat perempuan itu mendelik dan tak bisa bernapas dalam sesaat, tubuhnya sedikit membungkuk. Sementara itu, Lili cepat sentilkan jarinya ke arah pedang yang mengancam leher Resi Gumarang.

Tas...! Traaang...!

Pedang itu patah menjadi dua bagian. Serta merta Yoga lepaskan pukulan dari tangan kanannya berupa seberkas sinar merah terang yang menghantam pinggang orang bersenjata pedang patah itu. Desss...! Orang tersebut terdorong mundur, dan terlempar masuk ke dalam jurang.

"Aaaa...!" jerit kematian menggema sampai ke dasar jurang. Jerit kematian itu ternyata bersamaan dengan suara pekik tertahan dari mulut Nyai Kuku Setan.

Suara pekik itu membuat Yoga dan Lili sama-sama palingkan wajah memandang ke arah Tua Usil. Mereka terperanjat melihat Tua Usil telah berhasil menghunjamkan pisau pusaka itu ke lambung Nyai Kuku Setan. Tubuh perempuan itu bercahaya merah bening, dan lama-lama cahaya itu berpindah membungkus tubuh Tua Usil, kejap berikutnya padam. Pisau pun dicabut, Tua Usil menghembuskan napas lega.

Resi Gumarang yang sejak tadi tetap tenang itu segera berkata dengan senyum tipis, "Seluruh ilmu Nyai Kuku Setan telah berpindah ke dalam raga Tua Usil. Semakin hebat saja ilmu orang usil itu...!"

Tua Usil bagaikan baru sadar atas apa yang ia lakukan itu. Maka dengan wajah takut dan salah tingkah, Tua Usil berkata, "Saa... saya... saya tak sengaja, Nona Lili! Sungguh... saya tak sengaja membunuh perempuan ini.... Maafkan saya, Nona Lili. Maafkan saya, Tuan Yo...!" ia bergegas mendekati Resi Gumarang dan berkata, "Maafkan saya, Resi...!"

Yoga dan Lili hanya memandangi Tua Usil tanpa bisa bicara. Resi Gumarang menepuk-nepuk pundak Tua Usil. "Jaga dirimu untuk tetap berbuat baik dan melawan yang jahat!"

"Ba... baik. Baik, Resi...!"

Ia berpaling memandang Yoga dan Lili, namun kedua pendekar rajawali itu masih sama-sama tertegun bengong, membuat Tua Usil menjadi semakin salah tingkah. Tapi ia segera ikuti pandangan mata Lili dan Yoga ke arah tangannya.

Dan Tua Usil terkejut setelah melihat, ternyata di kesepuluh jari tangannya telah keluar kuku runcing bagaikan mata pedang, siap menjadi cakar maut bagi lawannya. Apakah itu pertanda ilmu hitam yang dimiliki Nyai Kuku Setan juga mengalir dalam diri Tua Usil?

SELESAI
Kisah selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.