Rahasia Kitab Ular

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Rahasia Kitab Ular Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Rahasia Kitab Ular

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
SATU
TIGA orang gadis itu masih berjongkok di sisi sebuah kuburan yang masih baru. Keadaan di tempat itu kembali sunyi hening mencekam. Tukang-tukang gali kubur sudah berangkat pulang dengan membawa cangkulnya masing-masing, dengan girang karena persenannya hari itu cukup besar.

"Gadis yang baju merah itu royal sekali... Upah untuk kita bertiga ini cukup untuk kita makan dua pekan." Salah seorang berkata.

"Ha ha ha... Benar Kang, agaknya ia membawa banyak uang!" Menyahut kawannya yang berhidung melengkung bagai paruh burung betet. Sementara yang seorang lagi agaknya sudah tidak sabar untuk menerima pembagian upahnya. "Sudahlah kita bagi di sini saja, aku mau terus pulang menemui anak istriku...!"

Yang memegang uang hasil upah  mereka bertiga itu tiba-tiba palingkan kepalanya pada kawannya, sambil tersenyum. "Aha... Rupanya si Jasiman sudah kangen betul pada maknya si Blotong di rumahnya...!" Katanya sambil picingkan mata pada si hidung betet di sebelahnya yang jadi tertawa ngakak.

Keruan saja muka Jasiman yang bertubuh kurus itu jadi merah padam dan terasa panas mendengar dirinya ditertawakan. "Sudahlah cepat Gento, kau berikan jatahnya... kasihankan, nanti kalau memble di sini kan bisa gawat! Ha ha ha... ha ha..."

Si hidung betet kembali menggoda. Tampaknya si pemegang uang yang bernama Gento itu pun tidak mau menggoda lebih jauh. Segera ia berikan jatah buat kawannya itu.

"Nah, ini bagianmu  Jasiman, cepatlah pulang, dan... eh tunggu dulu..." Tiba-tiba Gento sudah berteriak lagi ketika Jasiman dengan cepat menyambar uang upahnya itu, dan sudah mau ngeloyor pergi. "Kencangkan dulu tali celanamu jangan sampai kedodoran di jalan, nanti di rumah baru pelan-pelan kau lepaskan! Ha ha ha... ha ha..."

Jasiman tampak mendongkol sekali, segera tanpa perdulikan ejekan itu ia sudah putar tubuh dan bergegas pergi tanpa menoleh lagi, diikuti suara tertawa kedua kawannya itu yang terbahak-bahak.

Seekor kuda berjalan  dengan perlahan meniti jalan setapak itu... dengan penunggangnya seorang laki-laki tampan dan gagah, namun wajahnya menampilkan kemurungan. Pakaiannya berwarna putih dan terbuat dari bahan yang kasar. Ketika melihat kedua orang dihadapannya, ia segera percepat jalan kudanya. Sementara kedua tukang gali kubur yang belum beranjak pergi dari situ, jadi arahkan mata untuk melihat kedatangannya.

"Maaf pak. Apakah jalan ini bisa terus tembus ke Makam...?" Ia segera bertanya setelah memberhentikan langkah kudanya.

"Oh, benar Den,...! Berjalanlah terus. Nanti di ujung jalan ini membeloklah ke kanan. Makam itu segera akan terlihat...!" Menyahuti si hidung betet, dan segera minggir untuk memberi jalan.

"Terima kasih, pak.... tapi..." Laki-laki ini tidak terus langkahkan kudanya, karena sambil berkata ia telah melompat turun dari kudanya. "Namaku Sentanu...!" Ternyata ia telah perkenalkan dirinya pada kedua orang itu, yang segera menyambuti uluran tangannya.

"Apakah Raden masih sanak famili yang meninggal?" Bertanya lagi si hidung betet.

"Oh, bukan... aku hanya sahabatnya!" Kata laki-laki itu, yang segera sudah menyambung kata-katanya lagi. "Maaf, pak. Harap tidak memanggilku Raden. Aku orang biasa saja seperti juga bapak-bapak."

Si hidung betet mengangguk-angguk, diikuti oleh Gento ketika mata Sentanu singgah pada wajahnya.

"Apakah bapak-bapak baru saja selesai menggali kubur...?" Bertanya lagi si penunggang kuda itu. Kedua orang itu dengan berbareng sama-sama anggukkan kepala. "Oh, ya ... maaf! Masih adakah orang di sana...?" Bertanya lagi ia, yang segera disahuti oleh Gento cepat.

"Masih ki sanak! Ada tiga orang wanita lagi di sana. Sedang yang dua orang sudah berangkat pergi...!"

"Apakah kedua orang yang pergi itu wanita juga?" Tanyanya lagi.

"Rasanya sih laki-laki dan wanita. Kata orang yang wanita itu adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang bernama Roro Centil..." Menjelaskan Gento.

Laki-laki bernama Sentanu  ini tampak kerenyitkan alisnya, sementara bibirnya menggumam perlahan... "Pendekar Wanita Pantai Selatan?" Namun ia sudah cepat-cepat bertanya. "Dari manakah bapak-bapak mengetahuinya?"

Gento agak aneh juga didesak dengan pertanyaan-pertanyaan itu, namun ia tak mau mengecewakan orang muda di hadapannya itu. Segera ia menyahuti. "Aku mendengarnya secara kebetulan saja dari dua orang yang sedang bercakap-cakap ketika lewat di sebelah kami...! Mereka berbisik-bisik membicarakan gadis yang di sebelah pemuda itu, ketika keduanya tengah mengantar jenazah untuk dibawa ke Makam...!"

Kini berbalik Sentanu yang manggut-manggut sambil berkata: "Baiklah...! Terimakasih atas penjelasan bapak-bapak berdua!" Laki-laki itupun meminta diri dan segera melompat ke atas punggung kudanya yang segera mencongklang cepat dari situ. Si kedua tukang gali kubur itu tampak berbisik-bisik dan tak lama kemudian menyelinap pergi.

"Gagal...!" Terdengar samar-samar suara Gento dari kejauhan.

Ketika mendengar suara kaki kuda memasuki makam itu, ketiga gadis yang berada di sisi kuburan yang masih baru tersebut menoleh, dan mengarahkan pandangan matanya pada Sentanu. Laki-laki ini segera tinggalkan kudanya di sisi makam, dan menghampiri mereka. Yang dua orang segera berdiri menyambut. Sedangkan yang seorang lagi masih berjongkok di sisi gundukan tanah itu. Tampak sepasang matanya masih merembeskan air mata.

Si laki-laki ini tampak menjura terlebih dulu sambil berkata; "Maafkan aku datang terlambat sehingga tak sempat menghadiri pemakaman nya!" Dan kata-katanya itu telah disambungnya lagi dengan memperkenalkan diri pada kedua gadis itu, yang dibalas dengan anggukan kepala oleh si baju merah.

Dan lantas katanya; "Kami memang tengah menanti kedatangan anda sobat Sentanu..."

Terkejut juga laki-laki tampan ini, namun si gadis baju merah itu telah menyambung kata-katanya sambil melirik pada gadis yang masih berjongkok di situ seperti tengah terhanyut dengan kesedihannya.

"Tentu saja kami mendengar pesan almarhum itu... semoga anda dapat menjaganya dengan baik. Kami yakin anda pasti tidak ingin almarhum kecewa di alam baka bukan...?"

Ucapan itu sudah dibarengi dengan deheman yang membuat Marni gadis itu segera menoleh, dan wajah yang baru dilanda kesedihan itu jadi berubah merah. Ia memang sudah mengetahui kedatangan laki-laki itu, namun mana ia tahu pesan kakaknya Mandra almarhum sebelum ajal tiba, kecuali kedua gadis itu yang merahasiakannya. Tentu saja kata-kata itu telah membuatnya mengerti.

Marni memang telah mengenal Sentanu yang pernah berdiam di desa Karang Sembung, selama beberapa bulan. Laki-laki yang pernah difitnah oleh ayah angkatnya bahwa telah menodai dirinya ... Padahal ayah angkatnya sendirilah yang telah mengumpankannya pada Bupati Daeng Panuluh dengan imbalan uang.

Kini ia hidup sebatang kara. Kakak kandungnya Mandra telah tewas oleh ketiga paderi cabul yang mengaku dari Gunung Wilis. Dari kata-kata si gadis baju merah ia segera mengetahui bahwa kakaknya telah berpesan untuk menjaga dirinya, entah sebagai adik atau sebagai istri. Apakah kedatangan Sentanu adalah untuk mewujudkan pesan kakaknya Mandra almarhum? Berfikir Marni, sementara kesedihannya belum lagi sirna.

Tiba-tiba terbersit di hatinya perasaan malu pada laki-laki bernama Sentanu. Marni merasakan dirinya bukanlah seorang gadis lagi. Ia takut bila Sentanu mau mengambilnya sebagai seorang istri hanya karena terpaksa. Apakah mungkin Sentanu dapat merasa puas beristrikannya? Rasa malu itu bergelut dalam jiwanya, dan sekonyong-konyong ia merasa rendah diri. Tiba-tiba Marni bangkit berdiri, dan tanpa berpaling lagi ia telah berlari cepat dari tempat itu sambil menutup wajahnya.

Hal demikian yang tiba-tiba itu telah membuat mereka bertiga jadi terpaku. Lebih-lebih Sentanu yang jadi tak mengerti apa sebabnya. Tiba-tiba ia sudah bergerak mau mengejarnya. Namun si gadis baju merah telah berkata: "Rasanya tak perlu anda mengejarnya sobat Sentanu, itu akan menambah luka di hatinya."

Selanjutnya si gadis baju merah menjelaskan akan sifat seorang wanita yang bila telah bersikap demikian, berarti ia merasa rendah diri untuk berhadapan dengan seorang laki-laki yang telah berniat untuk menjaganya. Kata-kata menjaga itu tentu saja mempunyai arti yang amat dalam.

Sejurus Sentanu jadi termenung dan serba salah. Tiba-tiba pada saat itu adik seperguruan si gadis baju merah yang bernama Surti ini berkata; "Kak Roro Dampit, biarlah aku menyusulnya, kasihan ia. Aku akan menemaninya atau mungkin juga menjaganya sebagai adikku sendiri. Karena nasibnya adalah tidak berbeda dengan nasibku sendiri."

Si gadis baju merah yang ternyata bernama Roro Dampit ini tercenung sejenak, tapi kemudian; "Pergilah Surti! Agaknya kita pun harus berpisah. Aku tak dapat menemanimu karena aku punya urusan sendiri seperti kau juga. Guru kita telah tiada, dan kaupun cuma saudara seperguruan denganku. Mulai hari ini kita ambil jalan sendiri-sendiri... Setujukah kau?"

Tentu saja ucapan itu membuat Surti jadi terhenyak. Namun ia segera dapat membaca fikiran orang. "Hm, baiklah kalau kau menginginkan demikian, kak Roro Dampit. Asal saja kau tak melupakanku kalau berjumpa di jalan..." Jawab Surti sambil sudut matanya bergerak sekilas melirik pada Sentanu yang masih tercenung di situ mendengarkan pembicaraan orang.

Si gadis baju merah ini tiba-tiba tertawa hambar dan katanya; "Aih adik Surti, siapa yang mau melupakan orang...? Walau bagaimanapun kita masih satu saudara seperguruan...!" Dan sambungnya lagi;  "Pergilah susul dia, nanti kau kehilangan jejak."

Surti anggukkan kepalanya,  dan tatap wajah kakak seperguruannya, kemudian mengalihkannya pada Sentanu yang cuma anggukkan kepala. Dan selanjutnya ia sudah balikkan tubuh, lalu tubuhnya berkelebat cepat menyusul ke arah mana Marni berlari. Kini tinggal mereka berdua di tempat itu.

Hening kembali mencekam... Si gadis baju merah dan Sentanu sama-sama membisu. Sentanu sendiri seperti bingung akan apa yang akan ia lakukan. Tiba-tiba Roro Dampit terdengar berkata memecah keheningan; "Kemanakah tujuan anda sobat Sentanu...?"

Laki-laki ini seperti baru tersadar dari lamunannya, ia cepat-cepat menjawab. "Entahlah... mungkin juga aku akan pergi jauh...!"

"Mengembara...?" Si gadis bertanya lagi sambil kerutkan alisnya.

Sentanu anggukkan kepalanya, dan terdengar ia menghela napas. "Apakah anda telah tak punya sanak famili lagi...?"

"Ada! Seorang paman." Sahutnya.

"Siapa...? Tinggal di mana? Mengapa anda tak ke sana saja...?" Tanya gadis itu beruntun.

Tiba-tiba Sentanu angkat wajahnya menatap gadis baju merah itu "Kuharap janganlah membicarakannya!" Katanya dengan nada agak ketus.

Tentu saja hal itu membuat Roro Dampit jadi terhenyak, dan tundukkan muka ke tanah. "Maafkan kalau hal itu menyinggung perasaanmu. Aku tak tahu ada ganjalan apa anda dengannya. Dan akupun tak akan menanyakan lagi..."

Tiba-tiba kini Sentanu yang balik bertanya; "Dan anda akan ke mana...?"

"Entahlah, aku sendiri tak tahu!"  Si gadis menjawab seenaknya.

Selang sejenak tiba-tiba Sentanu berkata "Baiklah, maaf aku pergi dulu..."

Dan ia sudah melangkahkan kakinya menuju ke tempat kudanya menunggu. "Bolehkah aku ikut dengan anda...? Akupun ingin merantau. Alangkah senangnya kalau ada teman seperjalanan."

Laki-laki ini tak menjawab, dan ia sudah segera melompat ke atas punggung kudanya. Tampak ia seperti sedang mempertimbangkan. Tapi belum lagi ia mengambil keputusan, si gadis tiba-tiba telah melompat ke atas punggung kuda dan enak saja telah duduk di belakangnya.

Terkesiap juga ia akan keberanian gadis baju merah itu yang belum mendapat jawaban sudah berani taruh pantat seenaknya di belakang punggungnya. Belum lagi ia tarik kendali kudanya untuk memutar, si gadis telah hentakkan kakinya pada perut kuda sambil berteriak;

"Heaaa! Ayoh cepat kak Sentanu, aku sudah ingin segera meninggalkan tempat seram ini...!"

Keruan saja sang kuda jadi terkejut dan angkat kedua kakinya tinggi-tinggi sambil perdengarkan suara ringkikan panjang. Kalau Roro Dampit tak cepat memeluk tubuh laki-laki itu tentu ia sudah terlempar dari punggung kuda. Segera Sentanu dapat menguasai binatang tunggangannya itu, yang segera diputar arah. Dan sang kuda sudah mencongklang cepat meninggalkan makam itu melalui jalan setapak.

Sentanu geleng-gelengkan kepalanya. Agak mendongkol juga ia atas kenakalan gadis baju merah itu. Namun hatinya jadi berdebar karena merasakan dua benda lembut menempel pada punggungnya. Ternyata gadis itu telah memeluknya erat sekali.

DUA

Senja sebentar lagi akan lewat dan berganti dengan malam. Telaga yang berair  jernih itu menampakkan dua bayangan sosok tubuh, namun tidak jelas karena air telaga bergoyang-goyang terkena hembusan angin. Ternyata sang angin terus menghembus ke darat dan menyibak segerumbul rumput alang-alang yang segera terdengar bunyi berkeresekan. Kedua sosok tubuh itu  ternyata berada di tempat itu, terlindung semak lebat yang banyak tumbuh di sisi telaga. Keduanya dalam jarak yang dekat sekali, sehingga saling menempel tubuh yang satu dengan lainnya.

"Ayolah, buka pakaianmu..." Salah seorang berbisik.

"Tunggu dulu sampai agak gelap, aku takut ada orang melihat kita. Menyahut yang seorang.

"Aih... Percayalah, tempat ini tersembunyi. Takkan ada orang yang melihat kita!" Yang seorang agaknya sudah tak sabar lagi menunggu, dan segera membukai pakaiannya. Terpaksa ia pun menuruti membuka pakaiannya satu persatu. Dan tak lama kemudian kedua sosok tubuh itu sudah dalam keadaan bugil. Sementara cuaca semakin gelap. Rembulan sisa kemarin malam belum lagi muncul. Terdengar yang seorang mendesah.

"Oh, dinginnya!"

"Hmm... nanti setelah kita berenang pasti akan menjadi hangat, percayalah!" Berkata sosok tubuh yang disebelahnya. Dan sebelum kata-kata itu disahuti, sosok tubuh yang berada di sebelahnya telah berkata; "Lihatlah...!"

Sebuah benda hitam panjang meluncur ke luar dari balik semak! Bergerak-gerak dedaunan yang kena tersenggol benda tersebut. Mata sosok tubuh yang melihat keluarnya benda itu jadi menatap tak berkedip. Dan tak lama kemudian.

"Ayo... doronglah sedikit lagi, tekan agak kuat...! Nah, begitu... !" Terdengar suara. Dan terlihatlah dengan jelas sebuah rakit melaju ke tengah telaga yang dikemudikan oleh seorang wanita setengah umur dengan mempergunakan sebatang bambu panjang untuk pengayuhnya.

Dari seberang telaga itu terdengar lagi suara seorang wanita; "Cepat kau tarik rakit itu ke pinggir, dan ikatkan yang kuat dengan rakitmu!"

Si wanita itu tak menyahuti karena sibuk menancapkan batang bambu panjang itu ke dalam air. Bila telah menyentuh dasar, segera menekannya dan mendorong rakitnya yang diarahkan pada rakit yang terapung di tengah telaga itu.

Sebentar kemudian kedua rakit itu telah merapat. Segera si wanita itu mengikatnya kuat-kuat pada ujung kedua rakit itu dengan tali yang telah disediakan. Dan selanjutnya ia sudah mengayuh lagi rakitnya untuk kembali lagi ke seberang telaga. Terdengar si wanita itu menggumam sendiri.

"Heran?! Entah rakit siapa yang hanyut sampai ke mari...!"

Sementara kedua sosok tubuh yang telah membugil itu jadi saling pandang dan garuk-garuk kepala. "Huh!? Pembantu-pembantu tua itu telah menggagalkan rencana kita!" Berkata yang seorang.

"Ini semua adalah gara-garamu, yang tidak mengikat rakit dengan kencang, hingga hanyut ke tengah...!" Kata yang seorang lagi mendesis.

Ternyata kedua orang itu adalah si tukang gali kuburan, yaitu Gento dan si hidung betet. Yang sudah mengatur rencana untuk menyeberang dengan rakit yang telah disembunyikan di balik semak, namun ikatannya terlepas dan hanyut ke tengah telaga.

Si hidung betet tak bisa menjawab, namun hatinya diam-diam memikir; Rasanya sudah ku ikat cukup kuat... tapi entahlah! Karena waktu itu aku tergesa-gesa takut dilihat orang. Dan entah galah bambunya itu hanyut ke mana. Berfikir lagi ia. Rasa sakit pada pangkal pahanya dan gatal-gatal pada punggungnya membuat si hidung betet berteriak tertahan;

"Aduh!" Dan terdengarlah suara Plak! Plok! ketika lengannya bergerak ke sana-kemari memukuli tubuhnya. Ternyata nyamuk-nyamuk rawa telah menggigit tubuhnya yang telanjang bulat. Dan mulai menyerbu menyantap darah yang dihidangkan untuknya.

Segera saja cepat-cepat ia mengenakan pakaiannya lagi dengan terburu-buru. Begitu juga Gento yang mulai diserbu binatang-binatang penghisap darah itu, segera sambar pakaiannya. Sementara mulutnya terus menggerutu mempersalahkan kawannya. Belum lagi dua pekan kedua sahabat itu yang kerjanya cuma sebagai kuli suruhan orang, telah tidak mempunyai uang lagi.

Rupanya Gento mempunyai kelakuan yang tidak baik, yang telah menyeret si hidung betet untuk mencuri pada salah sebuah rumah gedung di seberang telaga itu. Rakit bambu sudah sejak siang-siang mereka sediakan untuk menyeberang. Rencana sudah diatur matang sejak tadi siang. Gedung itu memang di samping letaknya agak terpencil, juga bagian belakangnya sudah bolong-bolong. Hingga mengundang orang untuk berniat jahat.

Mereka sengaja menyeberang tidak terlalu malam, karena di belakang gedung itu ada tempat untuk bersembunyi, sambil melihat situasi untuk segera mereka melaksanakan niatnya nanti malam. Tapi apa lacur sang rakit telah hanyut ke tengah. Mereka sudah membukai pakaiannya untuk dibawa berenang ke sana, ternyata telah keduluan munculnya pembantu-pembantu rumah gedung itu yang kini tengah menarik rakitnya dibawa langsung ke seberang. Gagallah rencana jahatnya. Tak berapa lama kemudian keduanya sudah kembali menyuruk ke semak-semak untuk segera meninggalkan tepian telaga tersebut.

Ketika kedua bayangan sosok tubuh kedua tukang gali kubur itu sudah lenyap di kejauhan, sesosok tubuh muncul dari balik pohon di tempat yang agak ketinggian itu. Ternyata dia Roro Centil. Terlihat senyumnya yang menawan tatkala sang gadis Pendekar Pantai Selatan itu menatap rakit terapung yang sudah ditarik sampai ke seberang. Dan terdengar gumamnya puas.

"Heh! Biar kau rasakan kegagalanmu maling-maling picisan..."

Ternyata yang melepaskan rakit kedua tukang gali kubur itu adalah hasil perbuatan Roro, yang rencananya telah ia ketahui. Ternyata pertemuannya dengan Ginanjar telah menambah pengalamannya. Roro makin teliti dengan keadaan lingkungannya. Beberapa keping uang pemberian Pak Ronggo Alit cukup untuk makan tidur beberapa pekan, dan membeli satu setel pakaian laki-laki bekas di pasar loak. Entah akan dipergunakan untuk apa.

Roro Centil baru saja kembali dari Kota Raja entah mengapa ia ingin sekali mengetahui di mana tempat tinggal pemuda itu yang masih terhitung saudara seperguruannya. Ternyata orang yang bernama Ronggo Alit itu, seorang yang amat ramah tamah. Berumur kira-kira lima puluh tahun. Di rumah pak Ronggo Alit itulah Ginanjar tinggal selama ini.

Usaha pak Ronggo Alit ternyata amat maju pesat sebagai penjual obat-obatan. Toko nya yang besar itu dilengkapi dengan beberapa orang pembantu. Menurut penuturannya baru setahun inilah usaha itu dikembangkan. Gadis bernama Kasmini itu yang pernah ditolongnya, ternyata berada di sana. Juga bekerja sebagai pelayan di toko itu.

Banyak kisah menarik yang Roro dengar dari tokoh bekas pejuang dari Partai Pengemis, yang bersahabat baik dengan Ki Bayu Seta atau si Pendekar Bayangan almarhum. Dan tentu saja iapun menceritakan tentang kematian Pendekar Besar itu, yang masih termasuk Guru Roro, karena iapun mewarisi beberapa jurus ilmu kepandaiannya.

Hampir dua pekan ia berada di  gedung sederhana tempat tinggal pak Ronggo Alit itu selama berada di sana banyak berita baik yang didengarnya. Yaitu ditumpasnya Partai Pengemis Baru yang telah muncul dan mengacau oleh pihak Kerajaan. Partai Pengemis lama pun telah dibubarkan agar tidak terjadi lagi hal-hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan kericuhan.

Kini orang-orang Partai Pengemis lama yang pernah bersatu padu dengan pihak Kerajaan Medang dalam menumpas pemberontak, dapat bernapas lega. Sekembalinya dari Kota Raja, Roro menginap pada sebuah penginapan sederhana di dekat pasar. Malam baru saja merayap. Ketika Roro kembali ke tempatnya. Udara panas, seperti mau turun hujan. Rembulan pun terlihat dari selasela jendela agak meredup tertutup awan. Begitu tiba di kamarnya ia sudah lemparkan tubuhnya ke pembaringan empuk itu, yang segera berderit mengusik kelengangan.

Seperti biasa ia tak lupa untuk berserah diri pada Tuhan dan segera pejamkan mata. Rasa panas mulai berkurang ketika ada angin bertiup di luar. Kamar bagian atas tepat Roro bermalam itu cuma ada tiga kamar. Dan kebetulan malam itu tak ada lagi tamu yang menginap selain Roro. Dapat dilihat olehnya tadi sewaktu melewati kedua kamar itu yang terlihat kosong. Iapun dapat bernafas lega, karena sebagai seorang wanita selalu ada saja rasa khawatir terhadap keselamatan dirinya.

Suara burung Perkutut yang telah dikerek persis dekat jendela kamarnya itu membuat ia segera mendusin. Ternyata hari sudah agak siang. Karena jelas terlihat sorot panas matahari yang menyemprot dari sela-sela jendela. Bergegas ia bangun dan gerakkan tubuh untuk memulihkan lagi otot-otot yang kendur, dan melancarkan darah serta pernafasannya melalui beberapa gerakan khusus, mirip sebuah tarian yang diajarkan oleh si manusia banci Gurunya.

Selesai itu ia pun bergegas turun untuk mandi, setelah membuka terlebih dahulu jendela kamarnya, serta melirik sekejap pada seekor Perkutut yang sedang asyik manggung. Namun tersentak dan terhenti sejenak, karena terkejut melihat jendela yang sekonyong-konyong terbuka.

TIGA

Makam yang berada di sebelah barat daerah Karang Sembung adalah makam yang paling lama, dan paling jauh. Sehingga karena lamanya orang kadang-kadang tidak ingat lagi kalau di sana ada terdapat sebuah makam kuno. Kuburan di makam itu tidak banyak. Cuma aja beberapa belasan gunduk tanah, yang nisannya terlihat sudah banyak yang lapuk dimakan usia dan rayap. Namun bila diperhatikan dan disengaja untuk menghitung, maka akan terlihat ada tujuh buah kuburan yang sungkup dan nisannya terbuat dari batu.

Bentuk ketujuh kuburan itu hampir mirip satu sama lain baik sungkup dan batu nisannya. Sayang, karena lamanya dan sudah tidak  dirawat lagi, banyak semak belukar yang tumbuh rapat hingga sukar bila orang datang mau berziarah ke makam tersebut. Ternyata makam tua yang hampir sudah tak di ingat orang lagi itu, masih ada juga yang mau mengunjunginya.

Dua sosok tubuh tampak mendatangi  ke arah makam. Gerakannya ringan sekali. Yang seorang bertubuh langsing berbaju dan berpakaian serba hitam. Ternyata ia seorang wanita, yang dari kerut dan potongannya ia bekas seorang yang cantik. Berkulit sawo matang, dengan usia sekitar empat puluh tahun. Namun tidaklah mengurangi kecantikannya, yang memang dapat dilihat bahwa ia seorang wanita yang pandai merawat tubuh dan merias diri.

Yang seorang lagi adalah laki-laki dengan perawakan sedang, tinggi tidak, pendekpun tidak. Usianya sudah dapat dipastikan adalah lebih muda si laki-laki itu, yang kelihatannya dari golongan bangsawan atau orang-orang berada. Ketika tiba di ujung makam, si wanita baju hitam sudah hentikan langkahnya yang ringan dan cepat. Tak berapa lama disusul oleh si laki-laki bangsawan itu yang tertinggal jauh di belakang.

Begitu si laki-laki bangsawan itu tiba di belakang si wanita kira-kira sepuluh langkah lagi, ia sudah jatuhkan pantatnya ke tanah; dengan napas yang memburu dan wajah penuh keringat. Si wanita cuma melirik saja sambil tersenyum, sedangkan ia tampaknya tak merasa lelah sama sekali. Akan tetapi tiba-tiba si laki-laki bangsawan itu telah perdengarkan seruan tertahan;

"Hah!? Apa-apaan kau istriku masakan mengajak aku jalan-jalan ke kuburan!?"

Dan seketika saja wajahnya telah berubah menampilkan perasaan takut. Memang suasana makam tua itu terlihat agak menyeramkan. Namun si wanita baju hitam cuma tertawa saja. Sengaja suara tertawanya ia bikin keras yang mengikik panjang.

Keruan saja bulu tengkuk si laki-laki bangsawan yang memang pengecut itu jadi terbangun semua. Tubuhnya terasa berubah jadi panas dingin, karena suara tertawa sang istri persis suara Kuntilanak. Hingga bukannya takut terhadap setan, tapi takut pada istrinya sendiri, yang memang kebetulan berpakaian serba hitam, dan rambutnya beriapan kusut. Sedangkan berdirinya di pojokan dekat sebuah batu nisan yang sudah doyong di bawah pohon. Persis Hantu kuburan!

Tiba-tiba si wanita menghentikan tertawanya dan berkata, "Katanya kau cinta banget padaku. Cinta yang dulu kau katakan sangat ngebet! Kau berkata bahwa akan sehidup semati. Tapi nyatanya baru dibawa jalan-jalan ke kuburan aja, kau sudah ketakutan setengah mati, suamiku...! Hi hi hi... hi hi..." Kembali disambung dengan suara mengikik yang tertahan.

"Sudahlah, jangan kau tertawa lagi, aku benar-benar takut mendengar suara tertawamu itu!" Sang suami berkata dengan hati amat mendongkol pada istrinya.

"Oooo, jadi kau takut padaku ya, bukan pada setan penunggu makam tua ini!?" Bertanya sang istri dengan ketus.

Tentu saja suaminya jadi kelabakan untuk menjawabnya. "Bu... bukan! Yang kutakutkan suaramu, mirip..."

"Mirip setan, begitu!?" Sang istri sudah menyambung kata-kata gagap suaminya yang dirasa terlalu lambat bicara.

Tampak sang suami mengangguk-angguk, agaknya penyakit gagapnya sudah mau kumat lagi, hingga mulutnya saja yang menganga tapi yang menjawab adalah anggukan kepala.

Tiba-tiba istrinya telah berdiri bertolak pinggang di hadapannya dengan wajah cemberut, dan berkata; "Jadi jelasnya kau takut aku apakah takut setan...?!"

"Ya takut setan...?" Jawabnya dengan lancar.

"Apa? Buktinya kau takut aku!" Berkata lagi ia dengan ketus. "A... aku... a... a... a..."

"Hm, kumat lagi...!" Gerutu si wanita baju hitam kesal. Akhirnya ia berkata. "Sudahlah, tak usah kita teruskan debat. Menunggu bicaramu selesai saja kesabaranku rasanya sudah mau naik sampai kepala...! Saking kesalnya menunggu bisa-bisa aku benar-benar jadi setan karena pegalnya hatiku!"

Si wanita sudah lanjutkan lagi bicara; "Dengarlah suamiku. Makam tua ini dulunya adalah bekas istana raja-raja pulau seberang yang berkuasa di tanah Jawa. Kerajaan-kerajaan kecilnya banyak tersebar di seluruh Jawa, kecuali Madura. Tapi tetap berdaulat pada kerajaan besar yaitu Kerajaan Medang, yang pernah dikuasai berpuluh tahun..."

Sang suami manggut-manggut mendengar penuturan itu. Diam-diam hatinya memuji kepintaran pengetahuan sang istri, yang mengerti sejarah.

"Aku mengetahui dari ayahku, karena ayahku adalah orang tanah seberang. Namun ayah tidak terlibat dengan urusan kerajaan. Di waktu terjadi peperangan besarpun ayah tetap berdiam di sini. Karena kedatangannya ke tanah Jawa adalah karena ingin merantau."

Demikianlah, tanpa dipinta sang istri telah bercerita mengenai keluarganya. Kalau ditinjau dari katakatanya dan juga gerak-gerik suaminya yang lebih muda, tampaknya mereka belum lama menjadi suami istri, dan terbukti dengan kata-katanya,

"Suamiku, aku ingin kau adalah suami yang terakhir. Kalau kau sudah janji padaku janji sehidup semati, ya sudah. Dan kau harus benar-benar buktikan kata-katamu itu!" Sejurus si wanita baju hitam itu berhenti bicara dan menatap wajah suaminya yang mirip adik atau bahkan anak sendiri.

Yang ditatap jadi cengar-cengir dan manggut-manggut sambil berkata; "Baiklah istriku sayang... aku kini tidak takut setan lagi. Walaupun kau ajak aku untuk masuk ke lubang kuburan sekalipun aku akan turuti kau demi cintaku padamu...!"

Mendengar kata-kata suaminya itu bukan main girangnya si wanita baju hitam. Segera ia tarik lengan suaminya dan kepit dengan ketiaknya sebelah kiri, sehingga mirip tengah dirangkul dari belakang. Sementara lengannya sendiri pun menyeruak mencari jalan dari belakang baju sang suami, dan berhenti di pinggang kanannya. Dengan saling berangkulan begitu mereka memasuki makan tua tersebut. Sudah tentu sang suami menurut saja ke mana ia "diseret" sang istri.

Makin ke dalam dan makin ke dalam lagi. Kini rangkulannya telah mereka lepaskan karena jalanan sempit dan penuh semak belukar. Namun cekalan tangan sang suami tak mau lepas dari tangan istrinya. Bahkan mencekal makin kuat. Sementara hatinya berdebar-debar. Namun rasa takut itu tak ditampakkan pada istrinya. Bahkan ia berkata;

"Wah, kalau kita membangun gedung di tengah makam ini orang pasti akan memuji keberanian kita...!"

"Hm, itu sih belum seberapa. Aku maunya membangun di dalam kuburan...!"

"Hah...?" Tentu saja jawaban sang istri membuat ia mati kutu tak bisa bicara lagi. Untung saja ia tak bicara. Kalau ia berani teruskan, niscaya penyakit gagapnya akan kumat lagi.

"Eh, ngomong-ngomong kau mau ajak ke mana aku...?" Berkata ia sambil menahan perasaan takutnya yang sudah sedari tadi menggelutinya. "Mengajakku untuk masuk ke dalam kuburan...!"

Dengan tenang saja si wanita baju hitam menyahuti. Namun sudah membuat hati si bangsawan itu jadi kebat-kebit, dan tubuhnya sudah mulai panas dingin. Istrinya kalau becanda keterlaluan? Pikirnya.

"Kau tunggu di sini...!" Tiba-tiba ia kibaskan lengannya dari pegangan tangan sang suami. Dan segera enjot tubuhnya ke tengah makam. Lalu dengan berhati-hati ia meneliti setiap gunduk kuburan yang mempunyai sungkup atau tutup lubang serta nisannya dari batu. Tiba-tiba ia telah berkelebat lagi ke sisi makam. Di sana ia berhenti. Setelah meneliti tempat sekitarnya, ia segera melangkah menuju semak.

Dengan menyingkap semak sebuah batu berbentuk kerucut yang tertutup semak belukar itu segera terlihat olehnya. Sementara si laki-laki bangsawan masih berdiri di sana. Di hadapan sebuah kuburan tua yang batu-batunya penuh berlumut. Ia benarbenar tak mengerti apa yang tengah dilakukannya istrinya. Ketika tiba-tiba kuburan yang berada di hadapannya bergerak tergetar.

"Hah!?... To... to... tto... ttttto..." Gagapnya langsung saja kumat lagi. Ketika bersamaan dengan menjeblosnya kuburan batu itu ke bawah, terdengar bunyi Blug!

Ketika si wanita baju hitam menoleh, ternyata sang suami telah jatuh pingsan, karena takutnya melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Kiranya ketika batu berbentuk kerucut itu diputar, justru yang bergerak adalah kuburan batu yang berada di hadapan suaminya. Segera saja ia berkelebat ke sana. Ia jadi garuk-garuk kepala yang tidak gatal melihat sang suami yang terkapar di sisi kuburan.

Namun ia segera sudah alihkan matanya memandang ke lubang kuburan yang sudah menganga itu. Tadinya ia sudah mau melompat ke lubang, kalau saja ia tidak kasihan pada sang suami. Namun ia segera urungkan niatnya. Segera ia sudah melompat lagi ke sisi makam. Langsung masuk ke semak, dan menyingkap batu kerucut itu serta memutarnya lagi. Maka segera saja batu sungkup kuburan itupun mumbul lagi ke atas.

Segera ia kembali lagi. Ia pandang sejenak suaminya dengan diam-diam ia membatin. Seandainya ia tidak pingsan tentu ia sudah ketakutan setengah mati kalau tahu ia benar-benar mau dibawa masuk ke dalam kuburan! Memikir demikian ia benar-benar bersyukur dengan kejadian itu.

Segera ia seret sang suami dan letakkan di atas batu kuburan. Dengan tubuh menyender pada batu nisan yang cukup besar itu. Dan dengan cepat ia melesat kembali ke sisi makam. Memutar batu kerucut itu. Dan perlahan-lahan tubuh si laki-laki bangsawan itu turut amblas ke dalam lubang. Sementara ia sudah segera kembali ke tempat itu.

Tak berapa lama iapun melesat masuk ke dalam ... Saat selanjutnya kira-kira sepeminuman teh, tiba-tiba sungkup batu kuburan itu telah naik ke atas, dan kembali seperti sedia kala. Suasana makam tua itu kembali sunyi lengang dan misterius.

EMPAT

Roro Centil kembali ke kamarnya. Ia sudah merencanakan untuk mengurus kotak perhiasannya yang dicuri di jongos tua Tonga, yang bersembunyi di kuburan misterius di makan tua itu. Kalau dibiarkan terlalu lama ia khawatir benda-benda warisan Gurunya itu akan lenyap. Hal itu akan membuatnya kecewa, disamping rasa jengkelnya pada si pencuri. Berfikir demikian ia segera berkemas-kemas. Namun alangkah terkejutnya ia ketika di atas meja ada tergeletak sebuah kertas yang dilipat. Sebuah suratkah...? Siapa yang meletakkannya. Pikir Roro. Segera ia menyambarnya lalu membuka lipatannya, dan membacanya.

Ternyata surat itu ditujukan padanya, yang tulisannya berbunyi: "Nona Pendekar! Sudilah anda datang ke lereng Gunung Wilis. Kedatangan anda sangat kami harapkan. Kami menanti di biara Welas Asih". Dan pada bagian bawahnya ada tertulis kata-kata: Ketua biara; Paderi Jayeng Rana.

Tercenung seketika Roro membaca surat itu. Siapakah yang telah menaruhnya di sini? Berfikir ia. Namun segera ia lipat kembali kertas itu dan selipkan pada BH-nya yang baru saja dipakainya. Tiba-tiba terdengar suara orang naik ke atas, dan berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Suara ketukan segera terdengar, dibarengi dengan satu suara;

"Kakak, tadi ada seorang laki-laki di bawah yang telah memberikan sepucuk surat, dan suruh aku mengantarkan pada kakak. Karena kuketahui kakak sedang mandi, aku telah menaruhnya di atas meja...!"

Segera Roro mengetahui ia anak si pemilik penginapan ini. Cepat ia menyahuti dari dalam; "Oh, ya... sudah kutemukan... ng... Terimakasih dik!"

Terdengar lagi suara mengiyakan, lalu suara langkah kaki pun terdengar melangkah turun dari atas loteng itu. Dan Roro Centil meneruskan berkemas. Cepat benar sang waktu. Sebentar saja hari sudah menjelang tengah hari. Pak Wiro si pemilik penginapan itu merasa agak aneh pada tamunya, karena sampai siang begini tak keluar dari kamarnya. Juga tak terdengar suara apa-apa di loteng kamarnya. Padahal hanya ia seorang yang berada di atas. Apakah tidur lagi sehabis mandi...?

Berfikir ia. Apakah ia tidak lapar  dan memesan makanan? Kembali ia memikir. Karena biasanya setiap tamunya pasti makan atau minum di tempatnya, karena selain menyewakan tempat bermalam ia juga menyediakan makanan. Sebab di bawah dipergunakan juga untuk berjualan nasi serta lauk-pauknya.

Segera ia panggil anak gadisnya untuk melihat. "Coba nduk, lihat tetamu kita...! Tampaknya kok aneh. Tak ada kedengaran suaranya. Apakah ia tidur, atau mungkin sakit...!"

"Tapi tadi pagi habis mandi, dan tampaknya segar bugar..." Menyahut sang anak.

Segera sang anak bergegas naik ke loteng. Namun tak lama kemudian sudah kembali lagi, dan mengatakan bahwa tamunya sudah tak ada di kamarnya. Dan di atas meja ditemukan beberapa keping uang receh sebagai pembayaran uang sewa menginap. Segera ia berikan uang itu pada ayahnya.

Pak Wiro jadi geleng-geleng kepala karena baru sekali ini mendapat tamu yang aneh. Dari mana ia keluarnya...? Demikian pikirnya. Apakah ia melompat dari jendela kamar yang setinggi itu ...? Membatin ia. Namun ia tak dapat untuk terus memikirkannya karena beberapa orang telah datang ke warungnya. Ia segera cepatcepat melayani para langganannya.

* * * * * * *

Suara kecapi yang dimainkan oleh seorang kakek berkulit hitam di bawah pohon di sisi jalan itu amat enak sekali kedengarannya. Berdenting-denting mengalunkan irama tembang yang mengasyikkan, membuat orang yang lewat pasti akan menoleh dan kagum. Karena belum pernah didengarnya irama kecapi yang seindah itu, yang dimainkan dengan enak saja oleh si kakek. Jari-jarinya yang lincah itu bergerak kesana-kemari seperti sudah punya mata saja, karena memainkannya tanpa dilihat lagi.

Tiba-tiba empat orang laki-laki berpakaian putih hitam muncul di tikungan jalan. Agaknya suara kecapi yang enak didengar itu telah membuat mereka pergi mencari dari mana sumber suara itu. Segera terlihat oleh mereka adanya seorang kakek yang berumur kira-kira enam puluhan tahun. Berwajah seperti orang yang mengantuk. Dengan rambut separuh putih, namun amat tipis, bahkan pada bagian atasnya sudah boleh dikatakan botak. Kumisnya pun tipis terjuntai bagai ekor tikus. Tulang pelipisnya menonjol keluar, dengan kulit muka yang kasar.

Dialah yang dijuluki si "Kecapi Maut". Seorang tokoh persilatan dari Pantai Utara. Entah angin apa yang telah meniupnya hingga ia datang jauh-jauh ke daerah yang hampir dekat ke Pantai Selatan ini. Keempat laki-laki itu tampaknya dari satu perguruan, karena warna dan potongan-potongan pakaiannya sama. Sebentar saja mereka telah sampai ke bawah pohon, di mana sang kakek tengah asyik memainkan kecapinya. Melihat yang memainkannya seorang kakek kumal dengan pakaian rombeng yang bertambal di sana-sini itu, salah seorang sudah buka suara.

"Eh, kakek.... coba perdengarkan padaku lagu dengan irama yang lain. Lagu itu membuat mataku jadi mengantuk...!" Katanya, sambil segera merogoh sakunya mengeluarkan sekeping uang receh, dan dilemparkan ke hadapan si kakek. Kepingan uang logam itu persis jatuh di papan Kecapi yang tengah asyik dimainkan. Suara Klotak pun terdengar. Dan sekonyong-konyong suara dentingan tali kecapi itu terhenti.

Namun mata si kakek kumal itu masih tetap seperti tadi, terbuka pun tidak. Melihat orang tetap berdiam, yang seorang berkata; "Eh, kakek tua! Bukalah matamu. Apakah uang sedekah itu kurang...? Mainkanlah dulu. Nanti kalau lagunya enak didengar aku yang tambahi...!"

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari kedua temannya. "Ha ha ha... he he he... Kau mau tambahi pakai batu...? Macam kau mana pernah pegang uang...! Ha ha ha..."

Salah seorang berkata, dan ditimpali suara tertawa yang memperolok-olokkannya. Tiba-tiba si kakek telah membuka matanya yang memang sipit, hingga masih mirip orang meram saja. Terdengar suaranya yang serak;  "Siapakah kalian ini...?"

Yang melempar uang itu segera berkata dengan membusungkan dadanya; "Hmm... Agaknya kau belum tahu? Kami adalah murid-murid dari perguruan Gelap Ngampar! Yang di daerah ini punya nama disegani orang...! Nah, petiklah kecapimu, kakek!"

Si kakek tampak manggut-manggut dan tersenyum, tapi senyumnya adalah senyum sinis. Terdengar ia bertanya lagi; "Siapakah Guru kalian?"

Si laki-laki yang melempar uang tadi tiba-tiba jadi plototkan matanya. "Apakah kami harus memperkenalkan juga pada seorang pengamen tua macam kau...!" Berkata ia.

"Baiklah, akupun tak begitu ingin untuk mengetahuinya...! Nih! Ambil lagi uangmu!" Si kakek pemetik Kecapi ini tiba-tiba goyangkan peti Kecapinya.

Hebat akibatnya. Uang logam receh di atas peti itu sekonyong-konyong melesat ke arah laki-laki itu, yang jadi terkejut. Untung ia bermata awas. Sekali lengannya bergerak ia telah dapat menangkap kembali uang logam recehnya. Seketika keempat murid-murid perguruan "Gelap Ngampar" itu jadi terkesiap. Sadarlah mereka bahwa si kakek pemetik Kecapi itu bukanlah orang sembarangan.

Belum sempat mereka buka suara, si kakek berkulit hitam itu telah perdengarkan suara kata-katanya; "Baiklah! Akan kuperdengarkan pada kalian sebuah lagu yang lain dari pada yang lain!" Dan selanjutnya suara dentingan tali-tali Kecapi telah berkumandang di telinga mereka.

Iramanya memang terdengar lain, ketika jari-jari sang kakek kembali menari-nari di atas tali Kecapinya. Nada itu terkadang rendah dan tiba-tiba berubah meninggi dengan suara yang makin keras... Tapi tahu-tahu merendah lagi dengan suara yang hampir tak terdengar. Lalu sekonyong-konyong beralih lagi dengan nada tinggi yang keras. Tiba-tiba nadanya berubah makin cepat dan semakin cepat, tapi suaranya sudah tak beraturan lagi. Keempat laki-laki itu tampak kerutkan alisnya. Suara itu tidak enak didengar bahkan membuat telinga terasa sakit.

Salah seorang tampak sudah menutup telinganya, sementara yang tiga orang lagi berteriak-teriak agar si kakek segera menghentikan permainannya. Jari-jari si kakek berhenti menari. Namun akibatnya ternyata lebih fatal, karena suara dentingan yang kacau tadi seperti berdengung-dengung di telinga mereka. Tahu-tahu tubuh mereka telah sempoyongan limbung. Dan alangkah terkejutnya keempat murid-murid perguruan Gelap Ngampar itu karena mengetahui masing-masing telinganya telah mengeluarkan darah.

"Kurang ajar kau....!" Salah seorang segera melangkah maju, siap mengirim tendangan pada si pemetik Kecapi.

Tapi pada saat itu terdengar suara Tingngng...! Satu petikan bernada keras telah terdengar. Apakah akibatnya? Keempat laki-laki itu tiba-tiba berteriak keras, dan terjungkal roboh. Setelah meregang nyawa, beberapa saat kemudian tubuh keempat murid perguruan Gelap Ngampar itu telah tergeletak tak bergeming lagi. Kematian yang dialaminya ternyata amat aneh dan menggiriskan, karena dari telinga, mata dan hidungnya telah mengalirkan darah segar.

Kejadian itu ternyata tidak luput dari mata seorang laki-laki bertudung yang menyandang buntalan di punggungnya, dengan tali buntalan yang diikatkan erat pada dadanya melalui pundak dan bawah ketiaknya. Diam-diam laki-laki ini jadi terkesiap mengetahui ilmu permainan kecapi yang mengandung maut itu. Dalam jarak satu lemparan tombak ia dapat mengetahui kalau si pemetik Kecapi itu seorang kakek berpakaian kumal yang penuh tambalan di sana-sini, dengan kepala yang hampir tidak berambut.

Dalam jarak sejauh itu ternyata suara dentingan tali-tali Kecapi itu telah membuat ia terkesiap, karena mengandung tenaga dalam yang hebat, yang dikirimkan melalui suara petikan Kecapinya. Segera ia satukan panca indranya, hingga suara Kecapi itu seperti tak terdengar olehnya.

Namun alangkah terkejutnya ia melihat kejadian yang dialami keempat orang itu. Siapakah kakek pemetik Kecapi itu? Pikirnya. Namun tampaknya ia tak mau berurusan dengan orang. Segera ia berkelebat pergi, angkat kaki dari situ.

LIMA

Beberapa saat kemudian ia telah memasuki sebuah desa. Laki-laki bertudung yang wajahnya hampir tak terlihat karena seperti terbenam oleh tudungnya yang lebar itu tampak celingukan ke beberapa arah. Dan pandangan matanya terhenti pada sebuah kedai di tengah desa. Segera ia melangkah ke sana. Kiranya sebuah kedai nasi yang ditujunya. Terdengar suaranya yang serak ketika ia memesan makanan.

"Dibungkus nang...?" Terdengar suara tukang warung berkata dengan nada heran. Yang segera disahutinya pendek. "Tampaknya anak mau melakukan perjalanan jauh...?" Berkata lagi ia sambil membungkus nasi dan lauk pauk pesanan itu dengan rapi, serta sekalian mengikatnya.

"Benar mbok...!" Menyahut si laki-laki bertudung itu.

"Kemanakah tujuan anak...?"

"Ke Gunung Wilis! Apakah simbok dapat menunjukkan aku ke mana arah yang menuju ke sana?"

Jawaban itu tentu saja membuat si tukang warung jadi terkejut, dan tatap wajah orang seperti tak percaya. "Anak mau Ke sana....?" Tanyanya lagi mengulang seperti ingin jelas.

"Ya.... Apakah jalan ke sana jauh, mbok?" Sambungnya lagi.

Perempuan tua itu tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata; "Oalaaaah nang...! Bukannya jauh lagi, tapi terlalu jauuuuh sekali! Ada keperluan apa anak jauh-jauh mau ke sana...?" Tanyanya lagi, sambil memberikan bungkusan nasi yang telah rapi diikatnya.

"Ke tempat famili...!" Sahut laki-laki itu pendek. Dan balikkan tubuh untuk segera berjongkok, dan buka ikatan ujung buntalannya di dada. Selanjutnya meraih bungkusan nasi itu dan selipkan pada buntalannya. Tak berapa lama kemudian ia sudah keluar lagi dari kedai nasi itu. Tiba-tiba ia merandek karena mendengar suara di belakangnya;

"Berjalanlah lurus sampai ke ujung desa ini. Lalu membelok ke kiri. Itulah arah timur. Bila mau ke Gunung Wilis teruslah menghadap ke timur. Setelah melewati dua buah gunung, maka Gunung ketiga itulah gunung Wilis yang berdekatan dengan sebuah gunung, yang bernama Gunung Liman. Tapi jangan salah... karena Gunung Wilis tidaklah setinggi Gunung Liman, dan berada di sebelah selatan Gunung Liman...!"

Ternyata yang berkata adalah seorang laki-laki setengah tua tanpa membalikkan tubuhnya. Dan tanpa menoleh lagi ia telah bergegas pergi dengan langkah lebar menuju ujung desa. Sebentar saja ia telah tiba di sana. Ketika membelok ke kiri tiba-tiba ia hentikan langkahnya merandek sejenak. Karena di hadapannya telah berdiri seekor kuda putih yang kekar, lengkap dengan pelana dan tali kendalinya.

"Aneh...!? Kuda siapakah?" Terdengar ia bergumam. Tampak ia palingkan kepalanya ke perbagai arah. Ternyata di situ tak ada sepotong manusia dan sebuah pondok pun. Tersentaklah hatinya. Apakah kuda itu diperuntukkan buat dirinya...?

Tiba-tiba terdengar suara yang mendesis dari bibirnya. "Setan alas! Aku sudah menyamar, toh masih ketahuan...!" Dan sekonyong-konyong ia telah lemparkan topi tudungnya. Segera saja terurai rambutnya yang panjang. Dan ketika lengannya bergerak ke arah wajahnya, ia telah menarik selembar kulit tipis yang melekat pada wajahnya.

Terlihatlah wajah aslinya. Sepasang mata yang bulat indah dengan bulu matanya yang lentik panjang. Hidung yang tidak terlalu mancung dengan bibir tipis bagaikan busur panah yang melengkung kemerahan. Wajah yang amat cantik dari seorang gadis muda yang baru meningkat dewasa. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Segera ia simpan kedok kulit muka itu, dan terdengar suara tertawanya yang merdu. Tiba-tiba sekali berkelebat ia telah melesat ke dekat kuda putih itu berdiri. Setelah lepaskan tali kendali yang mengikat binatang itu pada sebatang pohon kecil, ia sudah enjot tubuhnya melayang ke atas punggung kuda.

Ternyata kuda putih itu seekor kuda yang jinak. Binatang itu perdengarkan ringkikan perlahan dan berputar-putar di situ. Roro baru sadar kalau ia baru sekali ini naik kuda. Dengan hati-hati ia mencoba tarik dan kendurkan tali kendalinya. Biarlah! Hitung-hitung sambil belajar naik kuda. Pikirnya.

"Hus! Hus! Heaaaaaa...!" Ia coba berteriak sambil hentakkan kakinya pada perut kuda, dan keprakkan tali kendali ketika sang kuda telah menghadap ke arah timur. Dan dengan segera binatang itu bergerak lari ke arah itu. Tapi tiba-tiba Roro telah tarik kendalinya. Sekonyong-konyong binatang itu segera tahan larinya, dan terdengar ringkikannya. Ketika berhenti, sepasang kaki depannya tiba-tiba terangkat ke atas. Nyaris Roro terjungkal ke belakang. Untung tubuhnya tertahan oleh tali kendali yang menyangkut pada mulut binatang itu.

Setelah berputar-putar beberapa kali mengelilingi pohon kecil itu dengan berulang-ulang menarik ke kiri dan ke kanan. Roro pun fahamlah caranya untuk mengendalikan kuda dengan baik. Selanjutnya ia telah keprak tali kendalinya sambil berteriak; "Heaaaaaaaa!"

Dan sang kuda dengan patuh segera mencongklang dengan cepat ke arah timur. Tubuh Roro Centil tampak terangguk-angguk di atas punggung si Putih yang mencongklang dengan cepat. Tapi tampaknya Roro sudah lengket pantatnya di atas pelana. Ia tinggal mengikuti saja gerakan-gerakan punggung binatang itu tanpa kikuk lagi. Debu mengepul yang ditinggalkannya makin menipis dan akhirnya punggung Roro sudah tak kelihatan lagi karena sudah semakin jauh.

* * * * * * *

Di tepi sebuah sungai tampak terlihat seekor kuda hitam yang bulunya berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari sore yang cerah, tertambat pada sebatang pohon tua yang tumbuh di tepi sungai yang berair jernih. Seonggok pakaian berwarna merah tampak tidak jauh dari kaki kuda itu, berada di atas sebuah batu di tepi sungai.

Sepasang kaki tersembul dari permukaan air, bersamaan dengan terlihatnya sepasang betis yang berkulit halus, terdengar suara air menyibak muncrat.

"Kang Sentanuuuu...! Apakah kau tidak ingin mandi? Oh, segar sekali rasanya...!" Satu suara merdu segera terdengar dari tengah sungai yang berair tidak terlalu dalam itu. Ternyata itu adalah suara Roro Dampit yang tengah berkecimpung di air sungai mempertunjukkan kebolehannya berenang, pada seorang laki-laki tampan yang tampak menuruni tepi sungai yang berbatu-batu.

Namun ia tidaklah menoleh pada suara itu, melainkan terus membasuh wajah serta tangan dan kakinya ketika tiba di tepi air. Tiba-tiba persis di hadapannya sebuah kepala tersembul di permukaan air. Diselingi suara tertawa dan sebagian tubuhnya segera tersembul semua.

"Idiiih, nggak mandi! Malu ah..." Demikian kata Roro Dampit sambil menutupi sebagian tubuhnya yang entah disengaja entah tidak, ujung dua bukit kembar itu sedikit terlihat. Membuat mata Sentanu mau tak mau merayap ke sana.

Seketika laki-laki ini cepat-cepat palingkan wajahnya, sementara jantungnya kembali berdegup cepat. Ia akui memang akan kecantikan orang, namun justru ingatannya bahkan tertumpu pada Ratu Laut Nyai Roro Kidul. Yang pernah digandrungi setengah mati.

"Puaskanlah mandimu, sebentar lagi setelah istirahat kita lanjutkan perjalanan!" Berkata ia sambil balikkan tubuh, dan melangkah pergi dari situ. Ternyata yang ditujunya adalah ke bawah sebatang pohon rindang. Di sana ia menjatuhkan pantatnya untuk duduk di akar pohon.

Sementara pandangan matanya tertuju lagi pada tempat di mana gadis itu mandi berkecimpung. Terdengar suara helaan napasnya yang berat seperti ia tengah berusaha melepaskan tekanan perasaan dalam dadanya.

Bukannya wajah Roro Dampit yang berkelebatan pada wajahnya. Tapi wajah si Pendekar Wanita Pantai Selatan, yaitu Roro Centil. Yang akhirnya barulah disadari bahwa Ratu Dongeng Nyai Roro Kidul itu bukanlah seorang Dewi lautan, melainkan seorang wanita Pendekar yang berilmu tinggi. Hingga sampai-sampai ia tak percaya bahwa seorang manusia dapat bermain di atas ombak dengan gelombang yang besar-besar itu. Betapa tingginya ilmu pendekar wanita yang menamakan dirinya Roro Centil itu. Membatin hatinya.

Pantas kalau ketika paderi cabul Gunung Wilis itu berhasil ditumpasnya. Demikianlah sambil duduk di akar pohon itu, sebentar pikirannya tertumpu pada si gadis pendekar itu, namun sebentar tertuju pada gadis yang asyik mandi di hadapannya yang sama-sama mempunyai nama depan yang sama yaitu RORO. Cuma berbeda pada ujungnya saja.

Sesaat ia teringat akan  dirinya yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, cuma sekedar ilmu yang boleh dikatakan tak berarti bila dibandingkan dengan para pendekar yang pernah didengar namanya, seperti; si Maling Sakti atau Pendekar Bayangan. Memikir demikian ia merasa menyesali kebodohannya selama ini.

Saking jauhnya ia melamun, sampai-sampai ia tak menyadari kalau si gadis teman seperjalanannya itu telah selesai mandi. Dan telah pula selesai mengenakan pakaiannya kembali. Bahkan langkah-langkah tindakan kaki di belakangnya ia tak mendengarnya karena memang si gadis baju merah itu dengan berjalan memutar, telah berada di belakang Sentanu.

Dan dengan langkah hati-hati ia menghampiri laki-laki itu. Sentanu yang tak menyadari tiba-tiba jadi terkejut karena sepasang lengan yang dingin telah merangkul lehernya dari belakang. Dibarengi terdengarnya suara "Kak Sentanu, kau melamun saja... apa sih yang dilamunkan...?"

Tentu saja ia jadi gelagapan. Untuk meronta adalah hal yang sulit rasanya karena tak sesuai dengan hatinya yang lembut dan mengerti perasaan orang. Terpaksa ia mandah saja ketika sepasang benda lunak yang lembut menindih pada punggungnya, dan ketika benda yang menimbulkan rangsangan itu menggeser ke atas, pipi yang terasa dingin namun hangat itu telah menempel pada pipinya. Terdengarlah bisikan lembut pada telinganya.

"Kak Sentanu... aku... aku cinta padamu..."

Suara yang mendesis pada telinganya itu benar-benar membuat hatinya tergetar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Rangsangan yang kuat itu mulai mempengaruhi jiwanya. Apa lagi di goda terus menerus selama beberapa hari dalam perjalanan yang tak menentu itu, yang Sentanu tak mengetahui arahnya. Bahkan si gadis baju merah itulah yang menunjuki arah ke mana ia membawa kudanya.

Alhasil ia cuma pegang tali kendali, namun urusan berhenti, belok kiri atau belok kanan adalah atas perintah dan keinginan si gadis di belakang punggungnya, yang ia tinggal menuruti saja ke mana yang dimauinya!

Rasa benci pada pamannya Senapati Wira Pati itu, dan rasa sedih dengan kematian ibunya membuat ia ingin pergi sejauh-jauhnya entah ke mana ia tak tahu. Memang selama ini ia  selalu berusaha menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan hati kecilnya. Ia menyadari betapa tidak baiknya berjalan dengan seorang gadis. Apalagi teman seperjalanannya berada pada satu kuda. Di samping menarik perhatian orang, juga kurang leluasa baginya karena walaupun bagaimana ia mengkhawatirkan hal-hal yang tak diingininya.

Pernah ia hampir berniat meninggalkan gadis baju merah itu dengan diamdiam, di saat malam menjelang, dan mereka bermalam pada sebuah pondok petani. Roro Dampit dengan berani telah mengatakan bahwa mereka berdua adalah suami istri yang kemalaman di jalan. Tentu saja ia jadi melengak. Seandainya ia tidak diserobot lebih dulu untuk memberikan penjelasan, tentu tak akan terjadi mereka berdua menginap dalam satu kamar.

Untunglah malam demi malam selama dalam perjalanan itu Sentanu selalu dapat menguasai diri. Namun tindakan Roro Dampit semakin berani dan yang terakhir ini lebih berani lagi, dengan membisikkan kata-kata cinta yang sudah dikatakannya dengan terang-terangan, tanpa malu-malu lagi. Bahkan kali ini sang gadis telah jatuhkan tubuhnya pada pangkuan Sentanu.

Laki-laki ini cuma bisa pejamkan mata menahan gejolak hatinya yang memburu. Tiba-tiba saja ia sudah tak bisa berfikir jernih lagi, ketika lengan-lengan halus Roro Dampit mulai merayapi wajahnya lalu turun ke bawah mengusap lehernya ke bawah lagi mengusap dadanya. Bukan itu saja bahkan mulai membukai kancing-kancing bajunya.

Bagaikan seekor ular saja lengan yang halus dan jari-jari yang lembut itu merayapi hampir sekujur tubuhnya. Tubuh Sentanu bagian atasnya entah bagaimana telah terbuka seluruhnya. Entah cara apa yang dilakukan ular-ular lembut itu, hingga pakaian atas si laki-laki itu bisa merosot ke bawah. Kelanjutannya ular-ular lembut itu merayap lagi ke atas. Dan berhenti menggantung pada lehernya. Bagai seekor kerbau yang dicocok hidungnya dengan tali, ia merendah saja akan apa yang dilakukan gadis itu padanya.

Sentanu tak dapat menahan kepalanya untuk menunduk dalam-dalam, karena sepasang ular lembut itu telah mengganduli lehernya dengan berat. Tahu-tahu ia merasa bibirnya telah dipagut oleh seekor ular yang mendesis-desis bagaikan mau menyantap bibirnya dan menelannya bulat-bulat hingga ia rasakan napasnya sesak, karena hidungnya tertindih benda lunak yang mengeluarkan angin mendesah-desah. Dan rasa hangat segera merayapi sekujur tubuhnya ketika sepasang benda lunak yang lembut itu menempel erat menindih dadanya, seperti mau menutup bunyi degup jantungnya yang semakin cepat berdetak.

Dua ekor anak anjing yang terpisah dari induknya yang berada di seberang sungai itu tiba-tiba tampak saling terkam dan saling gigit dengan seru ... bahkan ketika salah seekor jatuh terguling, kaki-kaki yang sigap dari salah satu anjing itu telah kembali menerkam. Dan moncongnya telah dipergunakan menggigit leher kawannya yang meronta-ronta manja dengan keluarkan keluhan-keluhan. Tak lama gigitannya pun terlepas dan keduanya bergumul semakin seru. Saling tindih dan saling terkam.

Selang beberapa saat tampak seekor kupu-kupu yang hinggap pada ranting kayu telanjang telah keluarkan telurnya yang melekat pada ranting yang d hinggapinya. Dengan harapan atau memang tak begitu dirisaukannya si telur mau menetas atau tidak. Sementara kedua anjing di seberang sungai itu rupanya tergeletak saling tindih, dengan napas yang terendah engah. Namun "perkelahian" itu benar-benar mencapai kepuasan bagi keduanya.

ENAM

Matahari makin condong ke arah barat. Ketika seekor kuda putih mencongklang cepat, namun terkadang harus berhenti untuk membelok atau memutar, dikarenakan jalan yang dilaluinya banyak rintangan. Tiga sungai telah dilintasi, yang terpaksa harus mencari air yang agak dangkal untuk melintasinya. Sementara cuaca semakin meredup, karena sang mentari seolah tertutup rimbunnya pepohonan.

Si punggung kuda putih itu tak lain dari Roro Centil. Yang dalam perjalanannya menuju ke Gunung Wilis. Surat yang dikirim padanya dengan melalui seseorang yang tak diketahuinya itu, telah membuat ia harus menempuh perjalanan yang teramat jauh itu. Semata-mata karena terdorong rasa kewajiban untuk datang karena undangan aneh yang tak diketahui maksudnya itu. Disamping rasa ingin tahu pada si pengundangnya, yang menurut yang tertera di surat adalah dari ketua Biara "Welas Asih". Di lereng Gunung Wilis, yang bernama; Paderi Jayeng Rana.

Siapakah paderi Jayeng Rana itu, dan apakah hubungannya dengan si Tiga paderi Gunung Wilis yang telah ditumpasnya itu? Serta satu hal yang membuat ia ingin tahu adalah ada permusuhan dan persoalan apakah paderi-paderi Gunung Wilis itu dengan Gurunya, yang menurut penuturan sang Guru adalah beliau terluka terkena pukulan beracun dari Paderi-Paderi Gunung Wilis.

Namun apakah sebabnya ia tak boleh membalas dendam itulah yang ia ingin ketahui. Sedangkan tiga paderi Gunung Wilis itu nyata-nyata telah ditumpasnya. Mengapa masih ada lagi paderi Gunung Wilis yang lain? Manakah yang benar? Itulah yang membuat Roro terpaksa menunda pengejarannya pada si jongos tua yang telah melarikan atau mencuri kotak perhiasannya. Namun telah diketahui tempat persembunyiannya.

Di hadapannya kini telah melintang lagi sebuah sungai... entah sungai yang keberapa kali yang harus dilintasi. Namun sebentar lagi hari akan gelap, maka Roro urungkan niatnya untuk menyeberang. Dan mencari saja tempat bermalam, sambil bersantap. Karena khawatir nasi yang telah dibelinya itu jadi mubazir tak termakan. Segera ia putar kudanya untuk mencari jalan ke arah desa terdekat yang ia yakin pasti ada di sekitar situ.

Benarlah, tak berapa lamanya  setelah menempuh jarak kurang lebih dua lemparan tombak. Dari jauh, dilihatnya ada asap mengepul. Pasti sebuah pondok. Pikir Roro. Dan bergegas ia ke sana. Dan yang tampak ternyata benar-benar di luar dugaan, karena di situ, hanya terdapat sebuah gubuk tanpa dinding.

Sedangkan di bawah atap itu terlihat dua sosok tubuh, laki-laki dan wanita tengah asyik memanggang sesuatu entah daging apa... yang baunya sedap dan wangi sekali. Sedangkan pada tiang gubuk itu tertambat seekor kuda hitam yang tengah asyik makan rumput.

Segera Roro dapat mengetahui kalau yang wanita itu adalah murid si Naga Seribu Racun. Sedangkan yang laki-laki ia dapat mengenalinya yaitu laki-laki yang telah menemukan kalungnya. Benda itu sudah tergantung di lehernya, namun dengan orangnya baru hari ini dapat ia jumpai lagi.

Melihat si gadis baju merah cuma sendiri, tanpa adiknya dan kini di tempat sunyi begini telah berdua-dua dengan laki-laki. Segeralah Roro mengerti pasti ada apa-apa dengan kedua orang itu. Mendengar langkah-langkah kuda mendekati, tentu saja kedua orang yang tengah asyik dengan panggangannya itu jadi menoleh, dan terkejut melihat siapa. Orang yang menunggangnya.

"Nona Pendekar Roro Centil...? Oh, angin apa yang telah membawa anda sampai kemari...?" Berseru si wanita baju merah itu, sambil bangkit berdiri, dan menghampiri lebih dulu.

Sentanu pun cepat-cepat bangkit segera ia tatap wajah orang, yang ternyata dua pasang mata telah bentrok, karena saat itupun Roro tengah menatap padanya. Adegan sekilas itu tak luput dari mata Roro Dampit. Walaupun cuma sekilas, namun mempunyai arti yang mendalam bagi pandangan hatinya. Memang bisa dimaklumi bagi seorang wanita yang sedang dimabuk cinta seperti dirinya. Namun ia tak perdulikan semua itu, dan cepat menyalami Roro yang baru saja melompat turun dari kudanya.

Sentanu pun segera keluar dari gubuk, dan menjura hormat pada si pendatang yang pernah digandrungi dan disangka Peri atau Dewi laut Pantai Selatan. Tak dikisahkan obrolan mereka bertiga, yang sama-sama terkejut karena dapat berjumpa dengan tidak sengaja di tempat itu. Selanjutnya terlihat mereka asyik bersantap dengan nikmatnya daging kelinci yang baru saja ditangkap oleh Roro Dampit. Dan disaat daging matang, muncul Roro yang memang membawa bekal nasi yang cukup banyak beserta lauknya.

Tentu saja suatu kebetulan yang jarang ada. Maka ketiganya terus saja bersantap. Tak dikisahkan malamnya, dan obrolan-obrolan Roro Centil dan Roro Dampit, yang tidur satu selimut berdua. Kedua Roro itu dapat tidur pulas, cuma Sentanu yang jadi serba kikuk. Hingga semalam-malaman ia tak dapat memicingkan matanya. Kegelisahan membuat ia cuma duduk menghadap api unggun sampai menjelang pagi.

Roro Dampit dapat tidur nyenyak karena ia telah mengetahui jelas tentang hubungan Roro Centil pada Sentanu. Yang tenyata tak ada hubungan apa-apa. Cuma mengenai seuntai kalung yang telah ditemukan Sentanu sepuluh tahun yang lalu. Yang ternyata adalah milik Roro Centil. Dan Roro cuma ingin bertemu muka saja pada orang yang telah menemukannya, tanpa ada embel-embel yang lainnya, apalagi kisah asmara. Karena ucapan terimakasih akan terasa lebih akrab bila dengan menjumpai orangnya.

Bila dilihat usia, agaknya Roro Centil lebih muda dibandingkan dengan umur Roro Dampit. Namun Roro Centil ternyata mempunyai kelebihan kecerdasan dibanding Roro Dampit. Dan perbedaan watak kedua wanita itu adalah; Roro Dampit lebih mementingkan diri sendiri. Sedangkan Roro Centil lebih cenderung mementingkan urusan orang lain ketimbang dirinya.

Roro Centil tahu diri orang sedang dimabuk cinta, makanya pagi-pagi sekali ia sudah berkemas untuk segera meneruskan perjalanan. Namun Roro Dampit dengan memelas memohon agar jangan berangkat dulu. Heran juga Roro Centil, mengapa si gadis baju merah begitu berkeras untuk menahannya...?

Pada sat itu Sentanu muncul. Rupanya ia baru saja selesai mandi di sungai yang memang tidak berapa jauh. Melihat munculnya Sentanu, tibatiba lengan Roro Centil segera ia tarik untuk menjauh dari gubuk itu. Tentu saja membuat si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini jadi makin keheranan. Ia cuma bisa mandah saja tanpa bicara apa-apa. Sekalian ingin tahu ada rahasia apakah di antara mereka berdua yang tak boleh diketahui Sentanu...?

Roro Dampit mengajaknya duduk di bawah sebatang pohon. Dan selanjutnya ia sudah berbicara dengan suara perlahan. Sementara Sentanu cuma melirik kelakuan kedua wanita itu, seolah tak memperdulikan atau juga berpura-pura tak mengetahui. Ia melangkah mendekat kudanya yang bernama Antasena itu. Dan membersihkan bulu-bulu binatang kesayangannya itu dengan tangannya.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa Roro Centil yang agak keras. Suara merdu yang membuat Sentanu menoleh. Lapat-lapat di dengarnya suara si Pendekar Wanita itu. Sementara Sentanu pasang telinga baik-baik sambil pura-pura membersihkan sepatu kaki kudanya.

"Jadi aku mau kalian jadikan Penghulu untuk menikahkan kalian? Hihihi... alangkah lucunya!"

Sentanu terkejut juga mendengar kata-kata yang didengarnya lapat-lapat itu. Telinganya segera ia pasang lagi baik-baik. "Aku tak tahu caranya menikahkan orang. Sebaiknya kalian cari saja orang yang mengerti..." Terdengar lagi suara Roro Centil.

"Tidak...! Aku ingin kau yang menjadi Penghulunya nona Pendekar...! Aku sudah yatim piatu, dan dia... dia juga sama halnya denganku. Kurasa tak ada halangannya kau menikahkan kami nona Pendekar. Kasihanilah aku!" Terdengar Roro Dampit menyahuti dan berkata seperti meratap.

Trenyuh juga hati Sentanu mendengarnya. Ia telah merasa berbuat kekhilafan, dan ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Cuma saja ia masih teringat akan pesan Mandra, sahabatnya yang telah memohon padanya untuk menjaga adiknya, Marni. Yang kini tak diketahuinya di mana, karena memang bukan kesalahannya untuk tidak menepati janji atau pesan terakhir itu, melainkan Marni yang telah mendahului pergi karena tak mau berjumpa dengannya. Kini semua itu bukanlah masalah. Ia harus tunjukkan dirinya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab! Demikian pikirnya dengan matang.

Memikir demikian, tiba-tiba ia bangkit berdiri, pandangan matanya ia arahkan pada kedua wanita yang tengah bersitegang itu. Yang satu mohon dengan memaksa, sedangkan yang satu menolak dengan mengarahkan pada jalur yang benar. Sentanu merasa ia harus berpihak pada Roro Dampit yang dilihatnya begitu memelas mengharapkan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu untuk menikahkan mereka. Segera ia langkahkan kaki ke sana dengan cepat.

Melihat kedatangan Sentanu Roro Dampit sudah tutup mulutnya berhenti bicara. Roro Centil cepat bangkit berdiri, diikuti Roro Dampit, yang memandang wajah Sontanu segera menunduk. Sentanu segera menjura dan berkata; "Maafkan, aku telah mengganggu pembicaraan kalian berdua...!"

"Oh, tidak mengapa, kami hanya membicarakan..."

"Aku sudah dengar apa yang kalian bicarakan." Sentanu memotong pembicaraan orang. Agaknya ia sudah tak sabar untuk memulai berkata.

Roro Centil yang memang sengaja agak mengeraskan suara tadi, cuma tersenyum. Ia memang sudah menyangka pasti Sentanu akan mendengar pembicaraannya.

"Maaf aku telah memotong kata-katamu, nona Pendekar...."

Kembali Roro Centil tersenyum dan lirikan matanya pada Roro Dampit yang masih tundukkan wajahnya. "Ah, tak mengapa. Silahkan anda bicara, biarlah aku dan kak Roro Dampit yang ganti mendengarkan". Sela Roro Centil, dengan kata-kata yang menghargai orang.

Segera Sentanu ungkapkan perasaan hatinya yang ada bersamaan dengan keinginan Roro Dampit, yang ia bersedia menyuntingnya, serta tak lupa mengemukakan alasan-alasannya. Tentu saja pernyataan itu kembali membuat Roro Centil jadi geleng-gelengkan kepala, dan berkata;

"Aiiiii... Kalian ini agaknya telah sepakat untuk mengangkatku menjadi wali, juga penghulu kalian berdua. Entah kapan berundingnya...?"

Lain halnya dengan Roro Dampit, yang begitu mendengar kata-kata Sentanu yang ternyata di luar dugaan adalah laki-laki yang berani bertanggung jawab. Ia telah menjadi kegirangan setengah mati. Tadinya ia mengira Sentanu pasti tidak akan menghiraukannya kalau ada terjadi apa-apa terhadap dirinya.

Kecemburuannya pada Marni sudah pasti ada, karena ia menduga Sentanu kelak akan mencari juga di mana adanya Marni, demi menunaikan janjinya pada Mandra disaat pesan terakhirnya sebelum tewas. Ketika mendengar penjelasan bahwa ia kelak cuma akan menjaga Marni sesuai dengan janjinya, namun tidak sebagai istri melainkan sebagai adik angkatnya.

Tentu saja ia girang bukan main, karena ia benar-benar amat mencintai Sentanu. Itulah sebabnya tadi ia sengaja diam-diam minta dinikahkan cepat-cepat pada sang Pendekar Wanita. Dengan harapan Sentanu tidak akan menyeleweng lagi bila telah menikah. Apa lagi dinikahkannya oleh Pendekar Wanita Pantai Selatan, sudah pasti Sentanu akan mati kutu.

Kini segalanya telah menjadi terang. Sentanu pun justru ingin cepat-cepat menikah demi menghindari dosa yang ditakutkan akan berkelanjutan. Mendengar Sentanu pun menginginkan si wanita Pendekar itu menjadi wali mereka sekaligus menikahkannya, Roro Dampit segera bergerak memeluk Sentanu, yang balas memeluknya sambil mengusap-usap rambutnya.

Sekonyong-konyong keduanya telah berjongkok memberikan penghormatan pada Roro Centil. Bahkan Roro Dampit telah bersujud mencium kakinya. Keruan saja si Pendekar Wanita ini jadi terkesiap. Buru-buru ia angkat bahu orang dengan satu hentakan tenaga dalam, karena ia yakin keduanya pasti akan susah untuk dibangunkan.

"Bangunlah, tak layak kalian berbuat begitu...! Usiaku masih sangat muda, bahkan kalian berdua justru lebih tua. Kita bicaralah yang baik. Marilah..." Satu kekuatan tenaga dalam telah membuat keduanya unjuk rasa kaget, karena bagai disedot oleh besi sembrani mereka tahu-tahu telah bangkit berdiri. Segera Roro Centil bimbing mereka ke dalam gubuk.

"Seperti telah kukatakan tadi, aku tetap tak bisa menikahkan kalian, karena aku tak tahu cara menikahkan orang. Biarlah aku menjadi saksi saja atas pernikahan kalian nanti. Sedangkan untuk mengesyahkan kalian menjadi suami istri, aku akan carikan orang yang memang kerjanya menikahkan orang..." Dan lanjutnya lagi; "Kalian tunggulah di sini. Aku akan cari di beberapa desa, dan bawa kemari untuk menikahkan kalian dengan resmi. Bagaimanakah... Apakah kalian setuju?"

Kedua sejoli itu tak keluarkan sepatah kata selain mengangguk-angguk. Sementara Roro Dampit sudah basahi pelupuk matanya dengan genangan air mata. Entah air mata sedih atau bahagia... Roro Centil segera berdiri dan beranjak keluar gubuk. Akan tetapi pada saat itu terdengar satu suara...

"Kalau cuma untuk menikahkan saja mengapa harus cari orang jauh-jauh? Aku pun sanggup...!"

Tentu saja suara itu membuat ketiganya jadi terkejut. Roro Centil segera pasang mata, dan pusatkan panca indra untuk mengetahui di mana adanya sumber suara itu. Sedangkan Roro Dampit tiba-tiba bangkit berdiri sambil menghapus air matanya, dan melompat keluar gubuk sambil palingkan kepalanya ke sana kemari dengan mata liar menatap ke beberapa arah.

Sementara Roro Centil telah mengetahui di mana adanya orang yang bersuara itu, dan tentu saja ia jadi terkesiap karena yang terlihat adalah ujung sebuah peti kayu. "Hah!? Si pemetik Kecapi Maut...!" Roro keluarkan desisan dari bibirnya.

Dan pada saat itu juga telah berkumandang suara petikan tali-tali kecapi dengan lagu yang enak sekali bernada lembut membuat orang akan segera terkenang masa yang silam. Wajah Roro Dampit tampilkan senyum girang, segera ia sudah melompat ke arah mana suara Kecapi itu. Roro Centil tak dapat mencegah karena orang sudah cepat sekali memburu ke balik pohon di belakang gubuk itu.

Sementara Roro Dampit telah berada di hadapan si pemetik kecapi itu yang segera telah menghentikan permainannya. Melihat seorang kakek berkulit hitam yang entah dari mana datangnya dan tahu-tahu sudah berada di situ, Roro Dampit terkejut juga. Namun mengetahui orang bisa menjadi penghulu untuk menikahkannya, Roro Dampit sudah cepat-cepat buka suara;

"Oh... Benarkah kakek bisa menikahkan kami...?"

Si kakek pemetik kecapi itu dengan terkekeh-kekeh tertawa segera menjawab; "Jangankan untuk menikahkan manusia di dunia, menikahkan manusia untuk di Akhirat pun aku bisa...!"

Roro Dampit melengak juga mendengar kata-kata itu, namun ia tak begitu memperdulikan ucapan yang seperti bernada sombong itu. Karena pikirannya sudah tertuju pada resminya pernikahan mereka berdua, ia sudah sambung kata-kata si kakek;

"Aku yang akan menikah Kek, kami memang tengah mencari orang yang pandai dan mengerti akan hal itu. Saksinya pun sudah ada. Beliau adalah Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil..."

Ketika mengucapkan demikian Roro Dampi bicara dengan nada bangga, dan palingkan kepala melirik pada Roro Centil yang masih berdiri di samping gubuk dengan hati kebat-kebit. Ia agak menyesal kesembronoan Roro Dampit yang telah memperkenalkan dirinya dengan nama sanjungan itu.

Sementara Sentanu sudah mau bergerak menyusul ke sana... namun Roro segera menahannya karena sudah terdengar lagi suara Roro Dampit "Mari kek, kupersilahkan anda ke gubuk. Di sana enak kita dapat duduk bercakap-cakap..." Segera Roro Dampit melangkah lebih dulu.

Dan tampak sang kakek sudah angkat peti kecapinya dan sangkutkan di pundaknya. Namun alangkah terkejutnya ketiganya ketika mengetahui si pemetik kecapi tidak berdiri, melainkan berjalan dengan menggunakan kedua lengannya untuk melompat dari balik pohon itu.

Ternyata kedua kakinya buntung sebatas paha, yang tertutup oleh jubahnya yang berwarna abu-abu. Roro Centil kerutkan kening, dan dalam hati ia diamdiam berdoa agar tak terjadi sesuatu, betapa ia amat memikirkan nasib kedua sejoli itu.

Tak dikisahkan lagi bagaimana upacara berlangsung. Akhirnya resmilah pernikahan kedua sejoli itu, dengan disaksikan oleh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Tampak Roro Dampit kucurkan air mata bahagia. Segera Sentanu peluk istrinya dengan terharu. Roro Centil menundukkan wajahnya. Entah apa yang terasa di hatinya... tapi yang jelas iapun turut merasakan kebahagiaan mereka berdua.

Sementara si pemetik kecapi sudah lantas buka suara, dan palingkan kepalanya pada Roro Centil, yang segera angkat wajahnya. "Upacara sudah selesai... Kini suruhlah sepasang pengantin ini cepat-cepat pergi, karena kini tinggal lagi urusan "Kita" yang belum lagi diselesaikan...!"

Terkesiap seketika Roro Centil mendengar kata-kata itu. Urusan apakah? sentak hatinya. Ia merasa tak punya urusan apa-apa dengan kakek pemetik kecapi ini? Demikian hatinya bertanya-tanya. Namun dalam saat-saat suasana bahagia seperti itu, Roro tak mau mengusik kebahagiaan sepasang sejoli yang sedang bertangisan itu. Ia pun diam-diam memuji kebaikan hati sang kakek yang tidak mau melibatkan sepasang sejoli yang baru jadi pengantin itu. Segera ia bangkit berdiri, dan berkata;

"Sobat Sentanu, dan Roro Dampit... maaf, bukannya aku mengusir kalian, tapi kumohon dengan sangat karena sudah selesainya urusan pernikahan kalian; segeralah kalian teruskan perjalanan seperti rencana tujuan kalian semula..."

Roro hentikan bicaranya sebentar, dan melangkah keluar dari gubuk... itulah isyarat agar kedua mempelai mengikutinya. Segera sepasang sejoli ini turut bangkit berdiri sejenak keduanya saling tatap. Namun segera melangkah keluar gubuk mengikuti sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.

Roro Centil telah berdiri disamping kuda putihnya. Dan saat kedua mempelai itu tiba, segera ia angkat bicara lagi; "Aku tak dapat memberikan apa-apa untuk tanda mata atau kado buat kalian berdua... tapi harap kalian tak menolak jika kuberikan kudaku ini sebagai hadiah untuk kalian...!"

Roro Dampit sudah lantas peluk Roro Centi dengan tiba-tiba, sambil berkata "Oh, terimakasih... terima kasih...! Kami merasa senang sekali adik Pendekar. Aku akan rawat kuda pemberian ini baik-baik, dan akan selalu ingat akan kebaikan budi adik pendekar...!"

Roro Centil berusaha tekan perasaannya, dan berkata sambil lepaskan pelukan si wanita murid Naga Seribu Racun yang telah tewas itu. "Pergilah berangkat...! Ucapkan terimakasih pada kakek yang telah berjasa menikahkan kalian..." Sambil berkata Roro juga menatap Sentanu, yang segera anggukkan kepala dengan hormat. Segera ia bimbing lengan istrinya...

Tak dikisahkan lagi kelanjutannya. Sepasang pengantin baru itu tampak telah meninggalkan gubuk itu dengan langkah kuda perlahan. Betapa serasinya pasangan pengantin baru itu dengan menunggang kuda, yang satu berwarna hitam pekat, sedang yang satu lagi putih bersih dengan penunggangnya seorang wanita muda yang cantik berbaju merah. Didampingi seorang laki-laki yang gagah dan tampan.

Roro Dampit putarkan tubuhnya, dan sebelah lengannya telah diangkat tinggi-tinggi melambaikan tangan pada sang Pendekar Wanita Pantai Selatan yang menatap dengan terharu. Tak berapa lama kemudian kedua kuda itu telah mencongklang dengan cepat dan lenyap di balik tikungan jalan; sementara derapnya masih saja terdengar dari kejauhan namun kemudian suasana kembali sunyi. Tak terasa setitik air bening tersembul di pelupuk mata Roro Centil. Air mata terharu juga bahagia, melihat kebahagiaan sepasang pengantin itu...

TUJUH

Tingngng...! Satu suara membuat ia tersentak, dan sadar akan dirinya yang belum ketahuan nasibnya. Roro Centil lihat si kakek pemetik Kecapi masih duduk menyender pada tiang gubuk. Di hadapan papan kecapinya sementara sebelah lengannya tampak asyik mengelus-elus jenggotnya yang cuma beberapa lembar.

Segera ia tatap wajah orang tajamtajam seraya berkata Roro Centil. "Maaf kakek yang terhormat, sebelumnya akupun berterima kasih atas pertolonganmu menikahkan kedua sahabatku tadi. Kini ingin sekali aku mengetahui ada urusan apakah anda denganku...? Sedangkan aku pikir, aku merasa tak punya permasalahan apa-apa dengan anda...! Dan bolehkah kiranya aku yang rendah mengetahui siapa anda?"

Tingngng...! Terdengar lagi suara dentingan tali kecapi. Roro Centil yang bersikap waspada sejak tadi mengetahui betapa kehebatan irama Kecapi mautnya si kakek berkulit hitam ini. Dan terdengarlah suaranya  yang serak parau, suara yang amat berbeda dengan yang tadi;

"Hmm. Nama Roro Centil, Pendekar Wanita Pantai Selatan itulah yang membuat aku jauh-jauh datang dari pantai Utara untuk mencarimu. Kematian Empat Iblis Kali Progo dengan cara yang amat mengerikan itu, beritanya telah bertiup sampai ke Pantai Utara. Tentu saja aku si Kecapi Maut ingin sekali berkenalan dengan Pendekar Wanita yang hebat dan keji itu. Tapi tak dinyana, ternyata yang aku jumpai adalah seorang bocah perempuan yang baru melek, dan baru lepas susu dari ibunya... Huh! Benar-benar membuat aku jadi kesal...!"

Terkejutlah Roro Centil, ia tak menyangka akan hal yang sudah berlangsung lewat setahun yang lalu itu, akan berbuntut panjang. Si kakek pemetik kecapi sudah lanjutkan lagi bicaranya;

"Bukan kematiannya yang aku sesalkan, karena siapa pun bisa saja mati. Entah dia seorang penjahat atau bukan. Tapi cara kematiannya itu yang sampai ke telingaku, sehingga aku perlu mengetahui dan hubungan apakah kau dengan si Dewa Tengkorak. Itulah yang perlu kutanyakan. Dan apakah si iblis keji itu masih hidup? Apakah kau adalah muridnya...?!" Pertanyaan itu sudah tentu dengan nada yang ditekan, karena dapat dilihat dari wajahnya, betapa ia amat membencinya.

Roro Centil menarik napas dalam-dalam... segera ia teringat akan kejadian setahun yang lalu, di mana di saat pertarungan dengan si Empat Iblis Kali Progo ia telah mempergunakan jurus keji dari si Dewa Tengkorak, yang dipelajari dari Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan yaitu salah satu dari "10 Jurus Pukulan Kematian", yang cuma dikuasainya tujuh jurus pukulan saja.

Segera ia menjawab dengan suara datar seadanya; "Baiklah kakek, akan kujelaskan... Si Dewa Tengkorak telah mati sejak tiga tahun yang lalu. Kematiannya adalah dengan sebab akibat dari 10 jurus Pukulan Kematian yang ia lontarkan sendiri disaat bertarung dengan Pendekar Bayangan...! Aku bukanlah muridnya, walau aku telah menguasai beberapa jurus ilmunya...!" Demikian jelas Roro polos.

Namun tiba-tiba terdengarlah suara si kakek pemetik kecapi. "Bagus...! Bagiku sama saja. Langsung atau tidak langsung kau adalah tetap murid si iblis tua itu...! Karena kau telah mewarisi ilmu-ilmu kejinya! Karena dengan ilmu kejinya itulah aku sampai kehilangan kedua belah kakiku ini...!"

"Tapi tapi..." Belum habis Roro berkata satu sambaran angin keras telah menyerangnya dengan bersyiur dahsyat.

Ternyata si kakek telah mengibaskan jubahnya yang lebar itu. Terkejut Roro bukan main ketika rasakan sambaran dahsyat yang mau menghantam dada... segera ia keluarkan teriakan keras tertahan, dan tubuhnya melesat ke atas menghindari serangan yang datang. Dan dengan beberapa kali berjumpalitan di udara ia kembali turun kira-kira jarak beberapa tombak.

Namun hebat akibat dari kibasan lengan jubah itu. Karena baru saja Roro turun menjejakkan kakinya ke tanah, terdengarlah suara bergedebukan. Ternyata gubuk itu telah ambruk terkena hempasan angin dari kibasan jubah si pemetik Kecapi, yang telah melesat keluar dengan melompat cepat. Dan dengan sekali enjot ia telah tiba di hadapan Roro dalam jarak tidak terlalu jauh. Belum sempat Roro buka suara untuk bicara lagi, telah terdengar petikan tali kecapi dengan nada nyaring yang menembus kesunyian di tempat itu.

Roro terkesiap, dan cepat salurkan tenaga dalamnya pada telapak tangan. Ia tahu orang mau membunuhnya. Maka dengan berteriak keras ia telah mengirim satu pukulan ke arah si kakek kulit hitam itu. Terdengar suara tertawa menghindar dari si kakek dan sebelah lengannya ia pergunakan menangkis serangan itu.

Dess...! Dua tenaga dalam yang hebat telah saling beradu. Roro terhuyung  tiga-empat langkah... sedangkan si kakek hampir terjengkang.... namun sambil berdiri dengan dengkulnya ia telah kibaskan lagi kedua lengan jubahnya.

Syiuut Syiuuut...!

Angin keras yang mengandung tenaga dalam yang hebat menerjang ke arah Roro. Terasa bersyiur angin panas. Cepat ia pergunakan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor, dan memapaki kedua serangan itu dengan tenaga dalam Inti Es... Hebat akibatnya. Sambaran angin panas yang dahsyat itu tiba-tiba berbalik menerjang ke arah si pemetik Kecapi.

Terkejut si kakek ini bukan kepalang. Segera ia sambar peti Kecapinya untuk menangkis, namun tiba-tiba ia urungkan, dan jatuhkan tubuh bergulingan sambil memeluk peti Kecapinya. Terasa angin panas dan dingin lewat bersyiur.

Braakkk..! Terdengar suara keras. Ternyata pohon besar di belakangnya telah hancur lumat kena hantaman angin tenaganya sendiri.

Keringat dingin terasa mengalir di sekujur tubuh si pemetik kecapi. Ia tahu tenaganya sendiri yang hebat, seandainya ia tangkis dengan peti kecapinya sudah pasti akan hancur. Karena saat itu ia belum lagi menghimpun tenaga dalam. Roro Centil sudah cepat buka suara;

"Kakek Kecapi maut! Urusanmu dengan si Dewa Tengkorak adalah urusan yang tak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan aku. Mengapa kau jadi berbalik mau membunuh ku...?"

Jawabannya adalah Tingng! Tringng! Tingng! Dan seterusnya telah terdengar nada santar yang membawa maut, berkumandang dengan irama yang keras tinggi, lalu merendah dengan cepat, lalu meninggi lagi. Dan akhirnya yang terdengar adalah nada-nada yang kacau. Roro tersentak. Segera ia tutup indra pendengarannya, ketika rasakan darahnya terasa bergolak mendengar irama yang mengandung tenaga dalam, yang menyerang melalui pendengaran yang mengacau sirkuit otaknya itu.

Sementara ia telah keluarkan senjatanya sepasang "Rantai Genit". Ia berfikir lawan tidaklah enteng, sedangkan perjalanannya jadi tertunda gara-gara mengurusi si Kecapi Maut ini. Yang bisa-bisa membuat ia cuma tinggal nama saja di dunia ini.

Sementara si kakek pemetik Kecapi terus membunyikan senjata ampuhnya, dengan nada-nada keras, rendah dan tinggi, namun sudah tentu irama yang kacau dan tak enak untuk didengar.

Tahu orang masih asik menarinarikan jari tangannya pada tali-tali kecapinya, Roro Centil segera goyangkan pinggulnya dan gerak-gerakkan tubuhnya meliuk-liuk dengan cepat, terkadang gemulai... seolah tengah mengikuti irama yang kacau ini dengan tarian yang disuguhkannya.

Sementara sepasang senjatanya ia putar-putar sehingga terdengar suara mendengung mirip suara ratusan lebah. Jika saja Roro mengetahui akibat dari putaran si sepasang Rantai Genitnya, tentu ia akan kagum. Karena sesungguhnya suara berdengung itu telah membuat serangan tenaga dalam, melalui petikan tali kecapi itu menjadi buyar, tersapu angin putaran kedua benda itu.

Hal itu telah membuat si  Kecapi Maut jadi melengak. Matanya yang sipit itu jadi melotot agak lebar, melihat di hadapannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan tengah menari-nari dengan tubuh meliuk-liuk sambil memutar-mutar kedua benda di kedua lengannya.

Tingng! Tingng! Tringng!

Ia pentil tali kecapinya dengan keras, dan kemudian tiba-tiba berhenti. Segera ia tunggu reaksinya. Namun tunggu punya tunggu, Roro Centil masih terus menari-nari dengan lincah, dan terkadang gemulai... membuat ia jadi terheran-heran. Akhirnya tahulah ia bahwa serangan mautnya itu ibarat batu yang kecemplung ke laut.

Tiba-tiba terdengar ia berseru keras dan tubuhnya yang tinggal tiga perempat bagian itu telah melesat ke arah Roro. Peti kecapi mautnya telah di pakai menerjang menghantam orang. Namun bagai tidak melihat serangan orang Roro telah berhasil membuat serangan itu lewat ke tempat kosong. Makin gusar si kecapi maut. Beberapa serangan ia lancarkan menyerang leher, dada dan perut. Tapi itu pun lolos, cuma dengan melangkah melenggang-lenggok meliuk ke sana-kemari, atau ke atas dan ke bawah.

"Bocah Keparat...!" Teriaknya. Dan ia sudah menerjang dengan serangan-serangan hebat yang mematikan. Roro terkejut juga lihat serangan-serangan yang berbahaya itu. Ternyata kecapi telah sedari tadi berhenti bermain. Segera ia buka indra pendengarannya sambil tetap pergunakan jurus istimewa ciptaan Gurunya itu, yang diberinya nama jurus "Bidadari Mabuk Kepayang".

Hasilnya memang mengagumkan, karena serangan-serangan si kakek selalu saja lolos. Karena yang diperhatikan Si pemetik kecapi itu adalah tubuh lawannya saja ia tak mengetahui ketika tahu-tahu senjata si Rantai Genit tiba-tiba meluncur deras ke kepalanya. Terkesiap seketika si kakek ini. Ia segera pergunakan peti kecapinya menangkis melindungi kepalanya. Inilah yang diinginkan Roro Centil. Brak! Terdengar suara keras dari peti Kecapi Maut si kakek yang hancur.

Belum sempat si kakek melompat, sudah menyambar lagi bandulan "Genit" itu... Brak! Nyaris bandulan itu menembus peti yang bisa langsung mengenai kepala kalau tidak cepat-cepat ia lepaskan peti kecapinya, yang somplak dan hancur tak terpakai lagi itu.

Dengan berteriak tertahanlah ia cepat menggelinding menjauh, tatkala satu sambaran lagi kembali menyusul menyerang punggungnya. Rantai Genitnya Roro Centil seperti punya mata saja yang terus bergerak meluncur saling susul. Brukk! Kecapi Mautnya sudah terlempar dalam keadaan rusak berat, dengan tali-tali senarnya yang sudah kusut hampir putus semua.

Tiba-tiba terdengar teriakan Roro yang nyaring merdu, dan yang terlihat oleh si kakek berkulit hitam itu adalah berkelebatnya bayangan putih yang kemudian lenyap.

"Hah!?" Tersentak hatinya. Karena tubuh sang gadis itu benar-benar lenyap tak berbekas. Ketika tiba-tiba... Rrrrt! Secercah sinar kuning telah berkelebat di bawah hidungnya, dan terasa ada benda yang menjerat lehernya.

Terkesiap ia bukan buatan, ketika mengetahui itulah senjata aneh si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sementara di atas kepalanya terdengar suara mendengungnya ratusan tawon. Kiranya Roro Centil telah berada di belakang si pemetik Kecapi Maut, dengan sepasang senjatanya yang siap mencabut nyawa.

Terasa terbang sukma si kakek tatkala ia mengetahui dirinya sudah dibawah kekuasaan lawannya. Dan pada saat itu juga terdengarlah suara yang merdu namun dengan nada menggertak...

"Hai kakek yang sudah mau masuk liang kubur! Apakah kau masih juga mau menjatuhkan kesalahan padaku...?! Betapa tadinya aku amat mengagumi kepandaianmu memetik Kecapi, tapi alangkah kecewanya ternyata irama kecapimu adalah untuk membunuh orang...! Sungguh amat disayangkan, anda yang telah setua ini masih memperturutkan nafsu. Padahal nafsu itulah yang akan menghancurkan dirimu...! Bukankah tadi kau katakan siapapun dapat saja mati. Tapi kalau mau mati, maka matilah yang baik! Bukan mati konyol karena memperturutkan hawa nafsu..."

Tampak tubuh si kakek Kecapi Maut itu tergetar hebat. Tubuhnya sekonyongkonyong jadi lemah lunglai, dan jatuh terduduk. Terlihat ada air bening menetes turun membasahi jubahnya. Getaran tubuhnya makin terlihat tatkala sepasang lengan si kakek itu tiba-tiba bergerak menggeletar dengan jari-jari yang terbuka.

Tiba-tiba sepuluh jari tangan itu dipertemukan seperti orang mau memberi hormat. Namun apakah kelanjutannya sepasang lengan yang tergetar itu tiba-tiba bergerak, dan... Krakk! Krrakk! Terdengar suara tulang yang berklotakan. Roro Centil terkejut bukan main... kiranya si pemetik Kecapi Maut telah meremas hancur kesepuluh jari-jari tangannya.

Segera ia kendurkan dan lepaskan Rantai genitnya pada leher si kakek dan melangkah ke samping dua tindak. Tampak keadaan kedua telapak tangan sang kakek yang dalam keadaan yang mengerikan karena serpihan tulang-tulang yang hancur itu bersimbah darah, dan air mata yang seperti membanjir deras dari kelopak matanya.

"Kakek!? Kau... kau..."  Hanya itu yang keluar dari kerongkongan Roro, tatkala terdengar suara si kakek yang parau terputus-putus menahan gejolak perasaan dan rasa sakit yang tak terhingga.

"Inilah... yang patut kulakukan. Jari-jari tanganku ini telah banyak membunuh orang!" Tampak si pemetik Kecapi Maut berhenti berkata sebentar untuk menyeka air matanya. Dengan mengangkat pangkal lengannya, dan dengan mempergunakan kain jubah yang dipakainya ia menyapu wajahnya.

Sebentar kemudian ia telah meneruskan kata-katanya... "Bocah Pendekar, betapa aku orang tua merasa malu... malu karena harus dinasihati oleh seorang bocah yang pantas menjadi cucuku namun telah membuka mata hatiku untuk menyadari akan kekeliruanku. Benar, bocah Pendekar, menurutkan hawa nafsu adalah takkan ada habisnya selama manusia belum masuk ke liang kubur. Kecuali orang-orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya. Dia takkan terbawa arus gelombang nafsu yang melandanya, karena pada jiwanya telah tertanam benih-benih kesadaran dan iman yang teguh..." Kembali ia berhenti sejenak untuk mengangkat kedua lengannya yang terasa nyeri. Dan ia sudah meneruskan kata-katanya;

"Kini aku serahkan segalanya pada nasib...! Kalau kau mau bunuh aku silahkan bunuh! Kalau kau mau mengampuni aku, aku sungguh-sungguh bersyukur pada Tuhan. Biarlah penderitaan ini aku jalani, dan kurasakan sebagai penebus atas segala dosaku. Aku telah merasa bersalah telah berniat membalas dendam pada orang yang justru tak ada sangkutpautnya dengan urusan dendamku. Dan aku harus menyadari bahwa dendam itu adalah sesuatu yang harus dihilangkan pada diri manusia..."

Sampai di sini si kakek pemetik Kecapi Maut berdiam menutup mulut dan mengatupkan kelopak matanya, menunggu tindakan apa yang akan diambil gadis Pendekar yang ada di hadapannya. Selang sesaat terdengar Roro Centil menghela napas. Dan terdengar kata-kata seperti terharu.

"Kakek...! Aku bukanlah orang telengas yang kejam. Memang aku pernah gunakan jurus telengas si Dewa Tengkorak itu ketika menumpas ke empat Iblis Kali Progo. Tapi percayalah...! Hal itu di luar kesadaranku. Aku masih terlalu hijau untuk berkecimpung di dunia persilatan, dalam meneruskan perjuangan Guru-Guruku menegakkan keadilan di atas bumi ini. Baiklah, aku berjanji tak akan mempergunakan jurus keji itu lagi dan tentu saja aku hargai kesadaran yang telah kau temukan itu, kakek. Nah... rasanya aku tak dapat berlama-lama di sini, karena aku tengah dalam perjalanan memenuhi undangan orang dan perjalanan yang kutempuh amat jauh sekali... Selamat menempuh duniamu yang baru... kakek, dan selamat tinggal...!"

Setelah berkata demikian Roro Centil berkelebat pergi... tapi ketika itu juga ia teringat akan buntalan pakaiannya. Segera ia melesat ke gubuk yang sudah roboh itu. Tak terlalu sukar ia sudah menemukan kembali buntalannya, dan selanjutnya tanpa menoleh lagi ia sudah enjot tubuhnya, dan berlalu dari tempat itu.

DELAPAN

Biara "Welas Asih" di lereng Gunung Wilis adalah sebuah biara yang tidak begitu dikenal orang. Namun penduduk sekitar Gunung Wilis mengetahui kalau di biara itu terdapat tiga orang paderi yang bersaudara yang dikenal sebagai para tabib yang pandai mengobati orang. Namun sepandai-pandainya manusia ada saja kelemahannya. Oleh sebab itulah tak semua orang yang datang dapat disembuhkan penyakitnya.

Manusia hidup memang tak luput dari pelbagai masalah, juga tak dapat menghindari yang namanya takdir. Juga mati hidupnya manusia, adalah sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sudah hampir 9 tahun paderi Jayeng Rana meninggalkan kuil atau biara Welas asih, yang sudah berpuluh tahun dibinanya, kini telah berada kembali di biara Welas Asih, di lereng Gunung Wilis.

Ia memang seorang  paderi yang berasal dari Nepal. Entah mengapa ia amat senang mengembara di masa mudanya. Hingga ia tiba di suatu daerah yang amat subur dengan tumbuh-tumbuhannya. Terutama kelapa. Akhirnya ia menganggap bahwa daerah atau pulau yang diinjaknya itu adalah pulau Kelapa.

Di Lereng Gunung Wilis itulah ia mendirikan sebuah kuil atau biara yang diberinya nama Welas Asih, yang berarti; kasih sayang. Memang sebenarnya watak dan pribadi dari paderi Jayeng Rana adalah watak yang tiada cela. Peramah, baik hati, rendah hati juga kasih sayang terhadap siapa saja. Pribadinya menarik, membuat orang akan merasa segan bila berbicara atau bertatap muka dengannya.

Sedikit kepandaian yang ia miliki ternyata dapat berguna bagi masyarakat. Menolong yang sakit, atau memberi bantuan pada yang susah adalah dasar dari kehidupan yang ditujunya. Jarang orang menemui manusia  semacam paderi Jayeng Rana ini, karena kebanyakan manusia pada kenyataannya adalah menitik beratkan pada kepentingan pribadinya saja, tanpa mau mengetahui keadaan orang lain.

Apakah susah...? Apakah perlu dibantu...? Apakah perlu ditolong...? Dan lain sebagainya. Padahal bagi orang yang mengerti apa arti dan maknanya kehidupan; pasti menyadari betapa Tuhan menciptakan manusia ini tak lain dan tak bukan adalah untuk dapat hidup saling berkasih sayang dengan sesamanya, dan hidup saling tolong menolong. Demikianlah berpuluh tahun paderi Jayeng Rana bermukim di biara Welas Asih, di Lereng Gunung Wilis, ia memang membawa tiga orang murid, yang telah mewarisi ilmu kepandaiannya.

Sejak ia kembali ke Nepal 9 tahun yang lalu, biara Welas Asih diserahkan pada ketiga orang muridnya. Yang telah dapat dipercaya untuk meneruskan citacitanya yaitu beramal bakti pada masyarakat, disamping harus bekerja keras untuk hidup. Karena manusia yang baik ialah, yang hidup tanpa harus mengandalkan belas kasih orang lain, Atau mengharap-harap hujan emas yang jatuh dari langit.

Tuhan takkan merobah nasib setiap manusia, kalau tidak manusia itu sendiri yang merobahnya... Demikian ia selalu camkan pada murid-muridnya. Demikian juga dengan akhlak dan budi pekerti manusia... apakah Tuhan akan merobah watak manusia yang sesat sekonyong-konyong menjadi orang baik yang berakhlak mulia? Tidak! Karena watak jahat akan tetap saja jahat, tak akan berubah menjadi baik apa bila tidak manusia itu sendiri yang berusaha merobahnya.

Juga watak yang baik, tentu saja tidak akan selamanya baik. Kalau manusia itu tidak terus memupuknya; ibarat kita memelihara tanaman... kalau tidak dirawat dan disirami setiap hari akan layulah tanaman itu. Bermacam nasihat telah  ditanamkan di hati ketiga paderi muridnya itu oleh paderi Jayeng Rana si pendiri biara Welas Asih.

Ternyata kembalinya ke Nepal adalah untuk memperdalam ilmu ketabibannya di sana. Dalam waktu beberapa tahun ia berhasil menambah ilmu kepandaiannya dalam hal ilmu pengobatan itu, yang memang sudah menjadi cita-citanya. Hingga paderi Jayeng Rana berhasil membuat sebuah kitab, yang berisikan ilmu-ilmu tersebut. Tentu saja dibuatnya kitab itu adalah untuk dapat diamalkan dan dipelajari kelak oleh ketiga orang murid-muridnya.

Demikianlah setelah selang beberapa tahun kemudian, paderi Jayeng Raya berangkat kembali ke pulau Kelapa dengan membawa kitab yang telah diciptakannya itu. Namun karena satu dan lain hal ia terpaksa tidak bisa langsung ke gunung Wilis. Perjalanan jauh yang ditempuhnya itu amatlah melelahkannya.

Dan ia memang tidak berniat lagi tinggal di pulau Kelapa itu, karena ingin menghabiskan sisa umur menjelang hari tuannya itu di tanah kelahirannya. Ia menitipkan Kitab Pusaka itu pada seorang bekas pembantunya yang setia di pesisir pantai Pulau Kelapa (Pulau Jawa).

Pembantu yang setia itu tak lain dari seorang laki-laki berkebangsaan India. Dialah yang bernama Gurnam Singh. Yang sejak kedatangannya dari Nepal sampai ke Pulau Kelapa dan mendirikan biara Welas Asih, selalu turut bersamanya. Gurnam Singh menikah dengan seorang gadis dari lereng Gunung Merapi. Dan menetap di pesisir pantai Pulau Kelapa.

Setelah menitipkan Kitab Pusaka tersebut untuk diberikan pada ketiga muridnya di biara Welas Asih. Paderi Jayeng Rana kembali ke Nepal. Niat yang baik itu ternyata banyak sekali rintangannya; karena kitab yang sedianya akan segera diantarkan itu telah dicuri oleh seorang sahabat Gurnam Singh. Tentu saja betapa kecewanya sang pembantu yang setia itu.

Berbulan-bulan ia mencari, dan mencari... ke mana perginya sahabat licik yang pandai berpura-pura itu. Yang bersifat bagaikan musang yang berbulu ayam. Tak dapat dibayangkan betapa masygulnya hati Gurnam Singh. Hilangnya Kitab Pusaka itu adalah tanggung jawabnya untuk dapat menemukannya kembali. Sahabat Gurnam Singh itulah yang bernama Tonga.

Tonga memang seorang yang berwatak licik. Bila orang melihat perawakannya tentu akan timbul rasa iba. Wajah yang memelas, serta tubuh kecil yang kurus dan bentuk muka yang lancip... Rasanya akan sulitlah orang untuk menebak atau menyangka Tonga orang bejat. Karena penampilannya bagaikan seorang yang berakhlak amat baik. Inilah salah satu dari keanehan manusia di dunia.

Tonga telah membawa kitab itu pada Gurunya, yang juga berakhlak sama bejatnya dengan muridnya. Sang Guru ternyata orang dari Nepal juga. Yang berilmu tinggi namun sesat. Kitab curian itu ternyata tidaklah menarik perhatiannya. Bahkan telah timbul suatu ilham bejat setelah membaca isi Kitab yang menerangkan tentang ilmu-ilmu ketabiban itu.

Dengan ilham yang didapat dari Kitab Pusaka itu ia telah berhasil menciptakan suatu ilmu sesat yang hebat. Yang bila dipelajari dan dikuasai orang... maka akan rusaklah akhlak orang itu, walaupun ilmu kedigjayaannya tinggi. Ilmu-ilmu sesat hasil gubahannya dari Kitab Pusaka ilmu ketabiban itu telah dituangkannya dalam sebuah kitab ciptaannya.

Sang Guru si laki-laki bernama Tonga itu benar-benar merasa puas telah berhasil menciptakan sebuah kitab yang luar biasa sesatnya itu. Bahkan saking gilanya, kulit luar dari kitab itu dibuat serupa dengan kitab ilmu ketabiban tersebut. Yaitu terbuat dari kulit ular.

Sayang... manusia berakhlak rendah itu tak menyadari bahwa hakekatnya umur manusia Tuhanlah yang menentukan. Manusia boleh sakti tapi janganlah lari dari kenyataan. Karena sesakti-saktinya manusia sakti di dunia ini yang kesemuanya pun akhirnya MATI! Karena hakekatnya manusia hidup itu adalah untuk mati!

Itulah sebabnya bagi orang yang memahami akan arti hidup; ia akan berusaha sebaik-baiknya mencari bekal orang yang memahami akan arti hidup; ia akan berusaha sebaik-baiknya mencari bekal untuk mati. Karena setelah kematian, akan ada lagi kehidupan yang lebih sempurna dan kekal untuk selamalamanya. Yaitu kehidupan Akhirat. Sayang sang Guru si laki-laki bernama Tonga itu meninggal dunia sebelum sempat bertobat dan menanam amal dalam kehidupannya.

Kini Tonga yang menguasai kedua Kitab Ular itu. Kematian Gurunya dianggap wajar saja. Dan ia berniat untuk mempelajari kedua kitab itu. Ia tidaklah seperti gurunya yang fanatik. Karena ia berpendapat lebih banyak ilmu adalah lebih baik. Tanpa mau tahu apakah ilmu itu sesat atau ilmu yang bermanfaat.

Sayang... belum lagi ia sempat mempelajari, telah muncul Gurnam Singh yang telah mencarinya sekian lama itu akhirnya dapat mengetahui jejak tempat persembunyiannya. Dan merampas kembali kitab yang telah dicurinya. Bahkan kedua Kitab Ular itu berhasil dibawa kabur. Tentu saja Tonga dapat mengetahui kemana Gurnam Singh membawanya... yang tentu saja ke biara Welas Asih di lereng gunung Wilis.

Dugaan Tonga tidak salah. Gurnam Singh si pembantu paderi Jayeng Rana yang setia itu memang membawanya ke kuil atau biara Welas Asih. Di sana ia berikan kedua kitab itu yang ia tak tahu mana yang asli pada si ketiga paderi dan juga menceritakan kejadian yang dialaminya, hingga ia terlambat memberikan Kitab Pusaka titipan paderi Jayeng Rana guru mereka.

Setelah meneliti kedua kitab itu segera mereka dapat mengetahui mana yang asli... Namun alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui kitab yang satu lagi adalah kitab yang berisikan ilmu-ilmu kedigjayaan yang sesat, dan amat jahat. Mereka segera kembalikan  pada Gurnam Singh, namun ditolaknya dan mengatakan agar kitab itu sementara dititipkannya di biara tersebut. Lalu iapun kembali ke pesisir pantai pulau Kelapa.

Tonga menyusul ke biara Welas Asih. Dan dengan segala macam akal, ia berhasil tinggal di biara itu sebagai seorang pembantu atau jongos. Tentu saja ia berpura-pura dirinya adalah seorang yang berakhlak baik. Padahal diam-diam ia berniat mencuri lagi kitabnya yang segera dapat diketahui berada di ruangan tempat kitab.

Tak disangka telah terjadi peristiwa... yaitu munculnya tiga orang yang berkepandaian tinggi yang mau merebut kitab pusaka paderi Jayeng Rana, yang disangkanya adalah kitab ilmu kedigjayaan yang amat tinggi. Ternyata khabar Gurnam Singh  mencari seorang pencuri kitab telah tersiar ke setiap tempat... Dan ketiga penjahat itu mencium jejak Gurnam Singh, yang telah berhasil menemukan kitab titipan paderi Jayeng Rana itu kembali.

Ketiga penjahat tak dikenal itu merusak biara dan mengobrak-abriknya, karena sudah tentu mereka tak dapat memberikan kitab warisan guru mereka. Pertarungan terjadi. Namun ketiga Paderi tak ada daya untuk dapat menang dalam pertarungan itu. Ketiganya terjungkal mandi darah.

Tonga yang cari kesempatan baik dalam kekeruhan itu, berhasil masuk ke ruangan kitab. Namun ia harus sembunyi di belakang lemari mengetahui ketiga penjahat itu memasuki ruangan. Ketika keadaan sudah sepi, Kitab Ular yang tengah diincarnya itu telah lenyap. Dengan segala daya upaya, Tonga akhirnya dapat mengetahui di mana adanya si ketiga penjahat itu, yang telah mencukur gundul kepalanya.

Mereka adalah Kuti, Kebo Ireng dan Lembu Alas. Ternyata Kuti pun orang Nepal, yang sudah lama berdiam di tanah Jawa ini. Ketika mengetahui ketiga paderi palsu itu ada berhubungan dengan Bupati Daeng Panuluh di daerah Karang Sembung; dengan modal wajahnya yang memelaskan hati, ia berhasil mendekati Bupati Daeng Panuluh untuk dapat bekerja di Gedung kuno tempat kediaman si tiga paderi Gunung Wilis yang palsu itu.

Permohonannya dikabulkan. Dan  ia pun berhasil menjadi jongos di sana. Demikianlah hingga akhirnya ia berhasil lagi merebut Kitab Ular yang berisikan ilmu-ilmu sesat dari Gurunya itu, dari tangan Roro Centil. Rusaknya biara "Welas Asih" membuat terkejut paderi Jayeng Rana, yang tidak disangka-sangka muncul lagi di Lereng Gunung Wilis bersama Gurnam Singh. Betapa trenyuh hatinya menyaksikan keadaan yang menyedihkan itu.

Dijumpainya cuma tinggal seorang muridnya yang masih tersisa... Itupun dalam keadaan cacat jasmani akibat dari ketelengasan dari si ketiga penjahat, yang juga diketahui salah seorangnya berasal dari Nepal. Sudah beberapa hari ia berada di biara itu lagi. Datangnya seorang tetamu yang tak diundang, telah membuat paderi yang sudah lanjut usia ini telah menitahkan Gurnam Singh untuk membawa sepucuk surat undangan, untuk diberikan pada seorang Pendekar Wanita agar segera datang ke biara Welas Asih, di lereng gunung Wilis.

Sementara yang  ditunggu-tunggu masih dalam perjalanan. Dialah Pendekar Wanita Pantai Selatan alias Roro Centil. Tujuh buah sungai dan dua buah Gunung telah ia lewati. Yang satu adalah gunung Merapi yang di sebelah utaranya terdapat juga sebuah gunung yang tidak terlalu jauh yaitu Gunung Merbabu, sedang yang kedua adalah Gunung Lawu.

Ternyata tanpa memakai kuda perjalanan Roro lebih cepat beberapa kali lipat. Karena dengan ilmu lari yang mengandalkan tenaga dalam yang tinggi itu lebih mudah ketimbang naik kuda, yang harus mencari jalan lebih dulu, karena sukarnya perjalanan yang harus ditempuh. Kedua puncak Gunung Wilis dan Gunung Liman telah kelihatan.

Hati Roro Centil berdebar girang. Segera ia enjot tubuh untuk segera tiba di sana. "Gunung Wilis adalah yang berada di sebelah selatan Gunung Liman. Aku akan segera tiba di sana sebelum tengah hari...!" Guman Roro dengan suara mendesis dari bibirnya.

Sementara uap putih tampak keluar dari hidung dan mulut si Pendekar Wanita ini. Hawa memang teramat dingin. Apa lagi dengan mempergunakan ilmu lari cepat itu Roro telah pergunakan sepenuh tenaganya.

Lewat tengah hari ia telah tiba di lereng Gunung Wilis. Roro kendurkan larinya untuk mengatur napas. Perjalanan sejauh ini baru pertama kali ia alami entah mungkin saat-saat dimuka mungkin akan lebih jauh lagi. Pikir Roro Centil, yang segera hentikan larinya ketika ia telah menemukan sebuah desa. Ternyata tidaklah sukar untuk menanyakan di mana adanya biara "Welas Asih", karena hampir semua penduduk desa itu mengetahuinya.

Alangkah girang hatinya setelah mendaki agak lebih ke atas lagi, ia telah melihat ada sebuah bangunan yang bentuk dan potongannya lain dari pada yang lain. Itukah biara Welas Asih...?. Desis Roro dalam hati. Baru saja ia menginjakkan kakinya di halaman biara, ia sudah terkejut mendengar satu suara yang bernada lemah, namun terdengar jelas di telinganya.

"Omitohud...! Ah... Selamat datang di biara kami yang rusak nona pendekar Pantai Selatan...! Selamat datang di lereng Gunung Wilis! Ternyata Tuhan meramahmati kedatangan anda dengan selamat...!"

Segera Roro gerakkan tubuhnya melesat ke arah pintu biara yang lebar dengan temboknya yang banyak terdapat ukiran-ukiran. Dan terlihatlah seorang kakek berjubah putih. Kepalanya licin plontos dengan kumis yang terjuntai hampir menyatu dengan jenggotnya yang putih, yang panjangnya sebatas dada. Roro segera balas penghormatan orang, sementara matanya yang tajam dapat segera melihat adanya dua orang paderi yang tengah berduduk di lantai di atas sehelai tikar permadani.

Segera ia sudah berkata; "Andakah yang bernama Paderi Jayeng Rana. Ketua biara Welas Asih ini...?"

Kakek berjubah putih yang berkepala licin plontos itu kembali menjura sambil menyahuti; "Omitohud...! Benar nona Pendekar... silahkan masuk...!" Sambil berkata demikian ia telah membuka pintu biara lebar-lebar.

Roro langkahkan kaki  untuk bertindak masuk dan duduk di atas tikar permadani. Di hadapannya adalah dua orang paderi yang usianya di bawah paderi Jayeng Rana. Bahkan tampak jauh lebih muda lagi dibanding keadaan paderi ketua biara itu. Keduanya terlihat menjura, dan Roro segera balas dengan anggukkan kepala. Namun sekilas Roro sudah perhatikan keadaan orang.

Yang seoran adalah paderi yang  cacad jasmani, bahkan bekas luka masih tampak belum sembuh benar pada bagian leher yang menggurat panjang. Sementara matanya tertutup oleh sehelai kain pembalut berwarna putih bernoda darah yang sudah mengering. Sedang sebelah lengannya putus sebatas siku. Tubuhnya berperawakan kekar.

Berbeda jauh dengan paderi di sebelahnya yang kecil kurus dengan muka yang lancip, dan tulang pelipis menonjol. Kepalanya licin plontos sekali seperti baru habis dicukur. Pelupuk matanya separuh tertutup, seperti agak enggan memandang wajah tetamunya. Terkejut juga Roro, ia seperti pernah melihat wajah itu.

Sementara itu paderi Jayeng Rana tampak terus masuk ke dalam setelah mempersilahkan tetamunya untuk duduk. Dan tak lama kemudian telah keluar lagi sambil membawa sesuatu yang terbungkus kain. Apa yang akan dilakukan paderi ini...? Pikir Roro. Sementara ia sudah kembali meneliti wajah si paderi kurus itu. Roro jadi terkesiap bukan main ketika akhirnya ia mengenali siapa paderi kurus itu.

"Pencuri keparat! Kiranya kau sembunyi di sini?" Teriak Roro dalam hati. Karena ia segera mengetahui paderi itu adalah si jongos tua Tonga yang telah mencuri kitab dalam buntalannya berikut kotak perhiasannya. Akan tetapi ia segera tahan diri ketika paderi Jayeng Rana buka suara;

"Nona Pendekar Pantai Selatan... harap anda maafkan aku yang telah jauh-jauh mengundang anda datang ke biaraku ini. Tak lain dan tak bukan adalah untuk..." Paderi Jayeng Rana tak meneruskan kata-katanya karena segera buka buntalan di hadapannya.

Terkejutlah Roro melihat isi buntalan kain itu tak lain adalah sebuah kitab yang bersampul dengan kulit Ular berikut sebuah kotak kecil terbuat dari perak. Itulah kitab yang dicuri oleh si jongos tua Tonga juga termasuk benda miliknya itu. Ketika ia pandang paderi kurus itu ternyata paderi itu makin menundukkan mukanya dalam-dalam.

Paderi Jayeng Rana tahu keadaan orang. Segera cepat-cepat ia perkenalkan paderi kurus itu pada Roro; "Oh, ya... ini adalah seorang paderi baru di sini, mungkin nona Pendekar telah mengetahuinya. Namun kumohon sudilah nona Pendekar mendengar penuturanku...!"

SEMBILAN

Terpaksa Roro Centil manggutmanggut sambil kerutkan alis tak mengerti. Paderi Jayeng Rana segera menuturkan bahwa tujuannya mengundang Roro Centil datang, tak lain adalah untuk mengambil kembali benda miliknya, yang telah dicuri oleh paderi baru bernama Tonga itu.

Dituturkannya bahwa beberapa hari yang lalu, ketika ia baru saja mengasoh sejak tiba dari Nepal, telah kedatangan tamu. Yaitu seorang laki-laki yang datang sambil bercucuran air mata. Ia telah mengaku terus terang akan segala dosanya. Dan ingin bertobat untuk kembali ke jalan yang benar.

Lalu dituturkannya semua riwayat asal kejadian tentang musibah yang telah menimpa biara "Welas Asih". Hingga sampai akhirnya diungkapkan tentang tiga orang paderi palsu yang telah mengaku dari gunung Wilis yang telah membawa lari Kitab Ular. Yang sebenarnya paderi-paderi itu adalah penjahat-penjahat terkutuk, yang telah merusak kewibawaan biara Welas Asih yang telah puluhan tahun dibinanya. Kitab Ular yang dirampas ketiga penjahat itu adalah kitab Ular yang palsu. Yang berisi ilmu-ilmu sesat, ciptaan seorang tokoh jahat yang bergelar si Setan Arak.

Paderi Jayeng Rana telah lama mengenal tokoh asal Nepal itu, yang menjadi guru si paderi baru Tonga. Beruntunglah Tonga dapat sadar dan cepatcepat datang ke biara Welas Asih untuk memberikan kitab ini, berikut sekalian mengembalikan kotak perhiasan milik si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Tujuannya paderi Jayeng Rana adalah memohon bantuan akan keselamatan biaranya juga keselamatan si paderi Tonga dari kejaran orang-orang yang telah mengetahui ia mewarisi kitab sesat itu dari si Setan Arak gurunya.

"Nah, oleh sebab itu aku mengundang anda untuk datang kemari..." Demikian keterangan paderi Jayeng Rana. Dan sambungnya lagi; "Inilah kotak perhiasan milik anda, terimalah...!" Roro segera menerima benda itu, dan periksa isinya.

Ternyata tak ada yang kurang. Segera ia masukkan benda itu ke dalam buntalannya, seraya berkata; "Terimakasih kakek Paderi Jayeng Rana...!" Dan ia pun palingkan kepala menatap paderi Tonga, lalu palingkan lagi wajahnya menatap Paderi Jayeng Rana. "Hm, apakah anda percaya penuh bahwa dia benar-benar akan bertobat... ?" Berkata Roro dengan wajah sinis.

Terlihat air muka Tonga dijalari rona merah. Belum sempat si ketua kuil biara Welas Asih menjawab, paderi baru itu telah mendahului biara. "Jika aku berdusta biarlah aku tak diberi hidup lagi...!" Katanya tegas.

Namun Roro cuma perdengarkan suara di hidung. "Heh! Kebanyakan orang baru sadar setelah dirinya kepepet. Dan di saat sudah longgar biasanya lalu berbalik melawan arus seperti Klambang! Apakah di balik dinding bisa diketahui ada cecaknya, kalau tak ada bunyi...!" Sengaja Roro ingin tahu isi hati orang sebenarnya.

Wajah Tonga kian memerah... tapi pada saat itu paderi Jayeng Rana telah berkata "Sudahlah hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di dalam dada... Paderi baru Tonga telah membawa kitab pusaka warisan gurunya ini adalah untuk dimusnahkan di hadapanku juga di hadapan nona pendekar. Maka sudilah nona Pendekar menjadi saksi akan kebenaran dan ketulusan hati paderi Tonga untuk benar-benar bertobat. Karena dengan musnahnya kitab Ular yang sesat ini, maka akan tertolonglah bahaya pada masyarakat khususnya dan pada umat manusia umumnya...!"

"Kalau untuk menjadi saksi saja sih aku tak keberatan...!" Berkata Roro Centil. "Omitohud...! Terimakasih...! Terimakasih...!" Wajah paderi Jayeng Rana menampilkan kegembiraan; ia sudah segera mau menyuruh paderi baru Tonga untuk segera memusnahkan kitab yang berada di hadapannya.

Namun sekonyong-konyong ia teringat pada Gurnam Singh yang belum menampakkan batang hidungnya. Ia segera berkata; "Maaf, mungkin upacara peleburan Kitab Ular yang sesat ini harus ditunda dulu, karena menunggu seorang pembantuku Gurnam Singh yang belum datang."

"Apakah dia yang mengirim undangan padaku...?" Bertanya Roro Centil.

"Benar!" menyahut paderi Jayeng Rana. "Apakah anda tak memakai kuda tunggangan?" ia balik bertanya. Roro tersenyum dan menjawab; "Aku memang ada disediakan kuda, tapi kudanya telah kuhadiahkan pada sahabatku yang baru melangsungkan pernikahannya...!"

"Oooh...!?" Terdengar suara paderi Jayeng Rana. Keningnya tampak dikerutkan dan kemudian terlihat ia manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. "Apakah anda mendapat petunjuk jalan...? Tiba-tiba paderi Jayeng Rana bertanya lagi.

"Cuma di sebuah desa... seseorang telah memberitahukan arah ke lereng gunung Wilis ini! Eh, ya apakah orang, yang memberi petunjuk itu adalah Gurnam Singh...?" Roro berbalik tanya lagi pada paderi itu.

"Benar, tidak salah...! Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia dan bertanggung jawab!" Menyahut paderi Jayeng Rana.

Sekonyong-konyong Roro Centil teringat akan Gurunya (si Manusia Aneh Pantai Selatan) yang pernah menceritakan bahwa ia telah terkena pukulan beracun oleh ketiga paderi gunung Wilis. Segera ia menanyakan tentang itu, juga apa persoalannya.

"Omitohud...! Itu bukan pukulan! Apakah sampai sekarang guru nona masih menderita keracunan? Di manakah dia adanya...?"

Roro Centil segera tuturkan keadaan Gurunya, dengan panjang lebar. Terkejutlah paderi Jayeng Rana, mendengar si Manusia Aneh itu telah menjadi seorang tuna rungu dan menutup diri di Pantai Selatan. Segera ia ceritakan persoalannya. Bahwa kira-kira dua belas tahun yang silam telah datang seseorang dari Pantai Selatan. Memang susah menerka orang itu... dikatakan laki-laki bukan, perempuan pun bukan.

Kedatangannya adalah untuk meminta tolong mengobati penyakitnya, yaitu ia mengalami keracunan hebat, akibat telah salah makan ramuan dari bermacam rumput, yang ternyata mengandung racun. Kisah yang dituturkan paderi Jayeng Rana itu adalah kisah dari ketiga orang paderi muridnya, yang telah menceritakan padanya.

Sementara si paderi berlengan buntung itu manggut-manggut mendengarkan kisah yang akan diceritakan itu. Si ketiga paderi dengan suka rela telah menolong mengobatinya dengan segala usaha. Ternyata racun amat ganas, yang rasanya sulit untuk dibrantas dalam waktu cepat. Menurut pengamatan si ketiga paderi muridnya, racun itu akan cepat bisa terberantas seandainya ia disamping mengobati racun juga mengobati jiwanya.

Maksudnya mengobati jiwanya adalah menyadari akan takdir yang telah dialaminya sebagai manusia yang tidak normal. Karena ia telah membeberkan isi hatinya pada ketiga paderi tentang keinginannya yang menggebu-gebu untuk menjadi seorang wanita tulen. Hal itu telah merusak jiwanya. Sehingga racun merembes ke hati. Tidak dinyana katakata si ketiga paderi telah "Memukul" perasaannya.

Karena rasa cintanya yang telah berurat berakar pada si Dewa Tengkorak, tak dapat dihilangkan begitu saja. Bahkan semakin ia berusaha untuk menghilangkannya, semakin menggebu-gebu menyerang dirinya. Sehingga ambisinya untuk menjadi seorang wanita tulen telah membuat ia mempergunakan cara-cara aneh.

Pernah suatu kali ia datang lagi ke biara Welas Asih dengan memperlihatkan bentuk tubuh kewanitaannya. Hal itu membuat si tiga paderi berucap bahwa perbuatan semacam itu justru akan lebih mempercepat kematiannya. Itulah satu "Pukulan" hebat yang telah mengena di jiwa si manusia aneh Pantai Selatan, yang telah menganggapnya sebagai satu "pukulan beracun".

Demikianlah, paderi Jayeng Rana mengutarakan kisah yang diceritakan muridnya beberapa tahun yang silam. Di mana belum terjadi musibah yang menyedihkan ini, dan ketiga paderi Gunung Wilis masih komplit. Kini ketiga paderi gunung Wilis sudah hancur... cuma tinggal seorang, itu pun sudah cacad, akibat perbuatan penjahat-penjahat keji yang merusak biara, merusak penghuninya, juga merusak nama baiknya.

Roro Centil manggut-manggut mengerti dan terdengar ia menghela napas lega. Lega karena teka-teki kata-kata Gurunya telah terpecahkan. "Pantas Guru telah pesan wanti-wanti padaku agar aku tak membalaskan dendam pada ke Tiga Paderi Gunung Wilis, yang telah mencelakainya dengan pukulan beracun. Ternyata pukulan beracun itu adalah "Pukulan" kata-kata, yang telah mengena pada jiwanya dan telah melukai perasaannya". Menggumam Roro dalam hati.

Dapat dimakluminya bahwa sang Guru sampai setua itu usianya masih saja tergila-gila pada si Dewa Tengkorak. Dan di saat orang yang dicintainya itu tewas di depan matanya, barulah reda api asmara yang menggebu-gebu dalam dadanya. "Oh... Guruku yang malang..." Desis hatinya dengan haru.

Tiba-tiba Roro menatap wajah paderi Jayeng Rana dan berkata; "Terima kasih atas penuturan itu kakek paderi Jayeng Rana. Baru aku mengerti akan arti makna kata-kata Guruku..." Roro berhenti berkata sebentar untuk melirik si paderi Tonga. Dan lanjutnya kata-katanya. "Soal itu sudah kuanggap selesai, tinggal kini kita kembali kepada soal peleburan kitab Ular ini. Rasanya bisa dilaksanakan sekarang saja, tanpa harus menunggu kedatangan Gurnam Singh, yang mungkin akan terlambat datang... dapat dimaklumi karena dalam perjalanan yang jauh tidaklah mungkin terhindar dari adanya rintangan di tengah jalan. Sehingga membuat ia terlambat datang. Dan bukankah paderi Tonga hanya ingin agar aku dapat menyaksikan...?"

Tampak paderi Tonga manggut-manggut dengan wajah berseri. Sedang paderi cacad di sebelahnya tak memberi reaksi apa-apa selain menundukkan kepala. Lain halnya dengan paderi Jayeng Rana, yang mengelus-elus jenggotnya sambil berkata;

"Omitohud...! Aku yang tua dan tak berpengalaman hanya menuruti saja apa yang dirasa baik bagi nona Pendekar. Walau anda berusia muda sungguh aku menghargai usul itu...!"

"Terimakasih kakek paderi Jayeng Rana, namun..." Roro sudah berkata lagi. Dan setelah berhenti sebentar untuk menatap Kitab Ular, ia teruskan katakatanya; "Alangkah baiknya kalau aku melihatnya terlebih dulu sebelum dimusnahkan...!" Sayang aku tak mengenal huruf-huruf yang seperti cakar ayam itu dan sayang kitab yang berkulit sebagus itu ternyata isinya adalah amat sesat...!"

Kata Roro lanjutkan ucapannya. Paderi Jayeng Rana tak menjawab melainkan menatap paderi Tonga yang sudah lantas mengangguk dan ucapnya; "Aku yang memiliki kitab itu, tentu saja aku yang memberi izin... Silahkanlah periksa kitab itu. Atau aku yang hina ini akan sangat berterimakasih kalau  nona  Pendekar yang memusnahkannya...!"

Kata-kata paderi Tonga terdengar tandas dan amat terasa akan keikhlasannya. Paderi Jayeng Rana manggut-manggut mendengarnya, dan terdengar kata-katanya yang lirih; "Omitohud....! Sungguh keikhlasan hati itu adalah mutiara dalam kehidupan manusia..." Setelah ucapan kata-katanya paderi Jayeng Rana segera berikan Kitab Ular pada Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Roro balik-balik dan buka lembaranlembaran kitab yang tak tahu apa isi dan arti tulisannya. Selang sesaat ia berkata; "Hmm... baiklah kalau aku yang diberi izin untuk memusnahkannya..."

Dan begitu selesai kata-katanya, tiba-tiba kedua telapak tangannya bergerak meremas Kitab Ular, yang sekejap saja terdengar suara... Krrrssssss! Dan di lain kejap Kitab Ular itu telah hancur jadi serpihan kecil-kecil yang meluruk jatuh dari tangannya. Terdengar paderi Tonga menghela napas, seperti merasa lega, dengan lenyapnya kitab sesat warisan dari Gurunya si Setan Arak.

Akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara bergedubrakan di bagian belakang gedung kuil. Semua yang berada di dalam ruangan jadi terkejut. Roro Centil sudah sangkutkan  kembali buntalannya dan ikatkan di punggung. Segera berdiri pasang indranya. Diikuti paderi Jayeng Rana dan paderi Tonga.

Cuma paderi cacad yang kedua matanya terbalut kain itu masih tetap duduk, walau ia kelihatan gelisah karena tak dapat mengetahui apa yang terjadi. Dalam keadaan mereka tengah terkesima itu, paderi Tonga mendahului melompat ke arah suara yang bergedubrakkan di belakang Gedung.

Namun saat paderi Jayeng Rana dan Roro Centil segera akan bergerak juga ke sana, tiba-tiba terdengar satu ledakkan keras di ruangan itu, hampir bersamaan dengan satu teriakan keras yang memperingati, namun terlambat sudah. Ruangan biara itu telah ambrol dengan suara yang bergemuruh. Puing-puing beterbangan disertai runtuhnya tembok dan atap ruangan yang meluruk ambruk ke bawah.

Pada saat itu terlihat  tubuh seorang laki-laki di luar Biara berdiri dengan kedua lututnya, menatap ke arah ruangan depan biara yang baru saja hancur, dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar mandi darah. Ternyata dialah Gurnam Singh adanya.

"Keparraaat! Jangan lari kau iblis keji..." Tiba-tiba terdengar ia berteriak keras ketika melihat sesosok tubuh berkelebat dari samping tembok reruntuhan. Dan tubuhnya dengan sempoyongan mengejar sosok tubuh itu.

"Perempuan iblis busuk...! Pengecut jahanam, berhenti kau...!" Teriak Gurnam Singh. Kira-kira sejauh dua lemparan tombak sosok tubuh berpakaian serba hitam itu tiba-tiba menghentikan larinya. Gurnam Singh sudah lantas enjot tubuh dan tiba di hadapannya.

Si wanita berpakaian serba  hitam itu ternyata adalah, wanita yang beberapa hari di belakang berada di Makam Tua bersama suaminya si bangsawan yang berpenyakit gagap itu. Ia telah perdengarkan suara tertawanya yang merdu. Tatapan matanya yang genit memandang pada Gurnam Singh.

"Sudahlah... mengapa kau masih juga mengejarku...? Segalanya sudah terlambat. Mereka semua sudah pada mampus... kukira tak ada lagi persoalan. Kitab Ular musnah, berikut semua orang-orang yang berada di dalam gedung itu. Tapi "Peta Rahasia" Harta karun si Setan Arak ada bersamaku...! Hi hi hi. Aku amat memimpikan punya seorang suami berkebangsaan India, yang khabarnya... Hi hi hi... hi hi..."

Wanita yang boleh dikatakan sudah hampir menjelang usia tua itu tidak meneruskan kata-katanya, karena telah tertawa geli mengikik sambil menutupi mulutnya. Wajah Gurnam Singh bersemu merah. Tiba-tiba ia sudah berteriak keras dan menerjang dengan melancarkan pukulan dan tendangan-tendangan, menjejak tubuh si wanita baju hitam. Yang segera bekelebatan menghindari. Plak! Ia menangkis satu tendangan kilat yang mengarah leher, dengan sepasang lengannya. Tampak tubuh si wanita terhuyung dua tindak, sementara dengan berjumpalitan di udara Gurnam Singh kembali menjejakkan kakinya ke tanah.

Ia sudah bersiap akan melancarkan serangan lagi, tatkala si wanita angkat sebelah tangannya dan berkata "Tunggu dulu...! Harap kau berfikir dulu baik-baik. Untuk membunuhmu bagiku adalah tidak terlalu sukar. Tapi aku sangat menyayangkan nyawamu kalau mati siang-siang. Lebih baik kau bersatu padu denganku. Peta harta karun si Setan Arak ini kita selidiki bersama" Katanya sambil mengeluarkan selembar kulit yang tipis dari balik bajunya. Dan segera lanjutkan ucapannya;

"Terus terang, aku amat mendambakan pelukan dan belaian tanganmu, Gurnam Singh. Kita akan bahagia, kita akan kaya kelak dengan harta yang tak akan habis sampai tujuh turunan...!"

Demikian kata-kata rayuan yang terdengarnya amat muluk itu. Namun dengan kata-kata yang serius penuh harapan agar Gurnam Singh benar-benar kepincut hatinya. Namanya saja manusia... siapa yang tak inginkan harta? Kalau wanita masih bisa dicari dengan mudah tapi kalau harta... sungguhlah amat sulit untuk mencarinya.

Tampak Gurham Singh laki-laki kekar dan tegap asal India itu terdiam sejenak. Walaupun boleh dikata iapun sudah hampir memasuki usia tua, namun dari wajah dan perawakann tubuhnya masih boleh ditaksir oleh wanita-wanita pencari suami. Karena di samping tampan wajahnya, penampilannya pun tidak mengecewakan.

Hidungnya yang mancung, dengan jambang bauknya yang selalu tercukur bersih itu tampak menambah ganteng wajahnya. Apa lagi melihat bulu-bulu dada yang tumbuh lebat yang terlihat dari celah bajunya yang terbuka... ck ck ck... amat menggairahkan bagi perawan-perawan tua yang genit yang sudah tujuh puluh kali bulan purnama belum laku-laku.

Namun apakah jawaban Gurnam Singh? "Iblis perempuan Bejat! Siapa sudi jadi piaraanmu...?! Aku tak inginkan harta karun apa pun. Yang aku inginkan adalah nyawa iblismu, jahanam! Kau telah bunuh semua orang-orang yang aku hormati...! Kuhancurkan kau...!!"

Dan ia sudah kembali menerjang dengan beringas. Sambaran-sambaran kaki Gurnam Singh menyambar deras menghujani tubuh si wanita baju hitam yang agak repot juga menangkis dan mengelakkannya. Tampak terlihat betapa geramnya si wanita telengas ini, terhadap laki-laki yang telah membuyarkan impian dan hasrat kewanitaannya.

SEPULUH

Dari menangkis dan mengelak, kini telah berubah untuk balas menyerang dengan bertubi-tubi. Hantaman tangan kiri dan kanan si wanita itu tak dapat dianggap main-main, karena mengandung tenaga dalam hebat. Angin pukulannya membersit mengarah ulu hati dan kepala, disertai suara desisan dari mulutnya bagaikan seekor ular yang mau memagut mangsanya...

Plak! Plak! Terdengar suara beradunya tangan dan kaki yang setiap beradu selalu kepulkan uap hitam. Terkejutlah Gurnam Singh... karena ia segera menyadari dirinya dalam bahaya. Ia lihat telapak tangan wanita itu telah berubah jadi hitam. Ketika sebuah pukulan beruntun dilancarkan ke arahnya, segera menyambar uap hitam. Terpaksa dengan berteriak tertahan dan gulingkan tubuh ia selamatkan diri tanpa berani menangkis.

"Heh! Segeralah kau menyusul mereka ke alam baka...!" Teriak wanita itu, yang segera memburu ke arah Gurnam Singh. Hssssss! Hussssss...!

Terdengar suara mendesis ke arahnya. Tampak kedua lengan si wanita meluncur bagaikan ular sendok mengarah leher disertai keluarnya uap hitam yang keluar dari  telapak tangannya. Terkesiap Gurnam Singh seketika. Karena kedua kakinya yang telah beberapa kali beradu dengan lengan wanita itu telah keracunan dan menggeletar tak bisa digerakkan. Ia sudah nekat untuk menangkis serangan maut itu.

Akan tetapi pada saat itu juga sebuah bayangan berkelebat, dan... Plakk! terdengar satu jeritan panjang dari mulut wanita itu. Tubuhnya terlempar beberapa tombak dan jatuh ke tanah dengan suara berdebuk. Sementara sesosok bayangan telah memburu berkelebat ke arah wanita itu, dan sekejap kemudian sudah jejakkan kaki di hadapan wanita itu lagi.

Tampak si wanita baju hitam berusaha bangkit, namun ketika baru saja ia angkat kepalanya, sudah terdengar suara. "Bangunlah isteriku yang setia!"

Terkesiap seketika hati si wanita itu mendengar suara dan melihat orangnya. Ternyata dihadapannya telah berdiri seorang laki-laki muda berpakaian mewah. Siapa lagi kalau bukan si laki-laki bangsawan yang punya penyakit gagap itu, alias suaminya sendiri.

Entah bagaimana asalnya sampai sang suami telah dapat menyusulnya sampai ke gunung Wilis. Terbeliak mata si wanita yang kelopak matanya penuh dengan pulasan berwarna biru tua itu. Dan terjungkit alisnya yang hitam legam karena ditambahi dengan langes pantat dandang.

"Hah...! Kau... kau..." Teriak wanita itu seperti tak percaya pada penglihatannya.

Tiba-tiba si pemuda bangsawan yang punya penyakit gagap itu jadi tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha ha... ha ha... ha ha ha..." Baru saja ia berhenti tertawa, eh nambah lagi; "Ha ha ha... ha ha ha... nana... ha ha". Dan "Ha ha ha... nana... nana... ha ha ha..."

Tentu saja membuat si wanita terheran-heran. Bahkan seribu heran berada di benaknya. "Apakah yang terjadi?" Menggumam si wanita istri si laki-laki bangsawan itu.

Baru saja ia mau bangkit berdiri sebuah bayangan hijau tiba-tiba berkelebat di hadapannya. Tahu-tahu telah berdiri sesosok tubuh yang padat gempal dan berpinggang langsing, dengan buntalan kecil yang menggemblok di punggungnya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil adanya.

Sekali gerakkan tangan pada tubuh laki-laki itu, segera saja suara tertawanya berhenti. Dan tubuhnya jatuh menggelosor ke tanah. Ternyata urat ketawanya telah ditotok orang, hingga si laki-laki itu tertawa tak henti-hentinya. Kalau dibiarkan terus bisa putus nyawanya. Saat itu si wanita baju hitam telah bangkit berdiri. Dan sekali enjot tubuh ia sudah bergerak untuk melarikan diri.

Namun pada saat itu Roro sudah berkelebat menghadang. "Mau kabur ke mana kau siluman licik...!" Teriak Roro. Betapa gemasnya ia pada perempuan ini. Kalau saja ia tak cepat menyelamatkan diri, tentu tubuhnya telah hancur lumat oleh ledakan dahsyat yang meruntuhkan ruangan biara tadi.

Kiranya sebelum mendengar suara bergedubrakkan di belakang gedung kuil, Roro sudah waspada sejak jauh-jauh karena indranya yang peka dapat menangkap adanya suara ledakan yang jauh di bawah lereng. Selang beberapa saat terdengar lebih jelas suara orang berlari saling kejar. Dan ketika terjadi suara bergedubrakan di belakang gudang, ia semakin waspada. Pada saat itulah ia lihat Tonga beranjak cepat untuk melihat ke belakang.

Sekelebat ia lihat sekilas adanya bayangan yang berkelebat ke sebelah kanan tembok, yang terlihat bayangannya dari atas langit-langit ruangan. Tiba-tiba dari lobang angin yang terdapat di sisi tembok itu telah meluncur sebuah benda yang mendesis mengeluarkan asap.

Terkesiap Roro melihat benda yang jatuh menggelinding tepat di sebelah paderi cacad itu, yang mengeluarkan asap makin banyak. Sekelebat hatinya menduga itu adalah asap racun. Tak sempat ia berfikir lagi, bahkan untuk mengingat paderi cacad itu pun tak sempat. Hanya saja sekilas ia ingat akan bunyi ledakan dikejauhan tadi yang didengarnya lapat-lapat.

Nalurinya mengatakan akan terjadi bahaya... Dan bersamaan dengan terjadinya ledakan itu, ia telah melompat cepat dari ruangan itu sambil lengannya menyambar jubah paderi Jayeng Rana... Dan jatuh kan diri bergulingan sambil peluk tubuh paderi Jayeng Rana, hingga sampai ke kolong meja di ruangan dapur.

Hebat akibat ledakan itu. Separuh gedung biara itu telah hancur. Ambruk. Sedangkan ruangan depan biara sudah tak berbentuk lagi, karena tertutup oleh reruntuhan puing-puing. Dapat dibayangkan bagaimana nasib si paderi cacad itu yang masih berada di ruangan depan itu...?

Selang sesaat Roro  melihat bayangan tubuh orang dari arah ruangan belakang yang terhalang oleh selarik tembok memanjang. Segera ia beri isyarat pada paderi Jayeng Rana agar jangan bergerak. Bersyukur Roro karena tempat mereka menyelamatkan diri, terlindung di bawah meja hingga tidaklah nampak oleh sosok tubuh itu. Yang ternyata adalah paderi Tonga. Kecurigaan Roro pada orang ini makin besar, karena dengan langkah tenang seperti tak pernah terjadi apa-apa ia melangkah terus melewati ruangan dapur.

Dan di tengah ruangan yang sudah hancur itu, ia berhenti menatap reruntuhan tembok yang telah menguruk ruangan biara bagian depan yang tampak masih mengepulkan debu. Terdengar suara mendesis dari mulutnya;

"Heh! Mampuslah kalian semuanya! Pekerjaan si Ular Beracun berhasil dengan baik namun hampir saja nyawaku ikut melayang... He he he... he he..."

Belum habis suara tertawanya, tahu-tahu tubuh si paderi Tonga sudah terjungkal roboh, dengan keluarkan teriakan parau yang cuma sesaat saja dibarengi dengan muncratnya darah segar merah putih. Ternyata kepalanya telah hancur bonyok, hingga sampai otaknya berhamburan keluar. Kiranya saking kesalnya pada si jongos licik itu, Roro Centil telah rasakan kepalanya berdenyutan.

Entah mengapa tiba-tiba di luar kesadarannya ia telah berkelebat cepat dari kolong meja. Dan sekali lengannya bergerak, ia telah hantam batok kepala orang dengan telapak tangannya sepenuh tenaga. Tamatlah riwayat manusia licik yang pandai berpura-pura itu.

Segera Roro lap tangannya, bersihkan darah di jubah Tonga yang matinya menelungkup itu. Rasa penasaran membuat ia merogohi jubah dalam si paderi bohong itu setelah balikkan mayatnya. Ternyata telah ditemukan lembaran-lembaran kulit tipis, yang bertuliskan tak terbaca oleh Roro. Saat itu paderi Jayeng Rana telah menghampiri di belakangnya. Cepat Roro berdiri dan pandang wajah paderi itu seraya berkata;

"Coba kakek paderi periksa, apakah ini bukan lembaran-lembaran isi Kitab Ular?"

Paderi Jayeng Rana raih lembaran-lembaran kulit tipis itu dari tangan Roro sesaat antaranya ia berucap dengan wajah menampilkan kemarahan. "Omi tohud...! Benar!... Heh!? Orang ini sungguh licik...! Ia telah mengelabui kita dengan menukar isi kitab itu terlebih dulu, sedangkan isinya telah ia copot dan selipkan pada jubahnya. Pembunuhan ini telah ia rencanakan terlebih dulu dengan orang yang berjulukan si Ular Beracun itu...! Omiitohud...! Sungguh hati manusia sukar diduga...!"

Bukan main geramnya hati Roro. Ia raih kembali lembaran-lembaran kitab ular ciptaan si Setan Arak itu, dan remas hancur sampai jadi bubuk. Kemudian dengan sekali  berkelebat ia telah keluar dari ruangan itu. Akan halnya paderi Jayeng Rana pada saat itu juga teringat akan seorang sisa muridnya, yang tadi tak sempat menyelamatkan diri.

Seketika wajahnya berubah pucat. Serta merta ia sudah memburu ke arah tumpukan puing-puing reruntuhan itu, dan membongkarnya. Namun ia hanya dapatkan keadaan tubuh sang murid yang telah hancur luluh. "Omiitohud...!"

Segera ia angkatkan kedua lengannya, dan panjatkan do'a untuk arwahnya pada Tuhan. Sementara dua tetes air bening mengalir turun membasahi kedua pipinya yang telah keriput dimakan usia. Begitulah di saat ia keluar dari sisa reruntuhan biara itu, dikejauhan ia telah dengar suara orang bertempur. Kembali ia berkelebat ke sana. Sebentar saja telah melihat seorang wanita berbaju hitam tengah melancarkan pukulannya, pada seorang laki-laki yang segera dapat mengetahui yaitu Gurnam Singh.

Baru saja ia mau gerakkan tubuh, sekonyong-konyong telah berkelebat sesosok tubuh yang memapaki serangan itu, hingga ia batalkan niatnya. Dari ucapan si laki-laki berpakaian mewah itu, segeralah ia tahu kalau kedua orang itu suami istri. Ia lihat keadaan Gurnam Singh yang tampak parah. Segera ia berikan pertolongan. Yang ternyata kedua kakinya telah keracunan.

Terkejut Roro... dalam keadaan bingung karena tak tahu cara mengobati orang, tanpa pikir panjang ia telah robek celana orang hingga sampai sebatas paha. Segera ia lihat kakinya yang matang biru kehitam-hitaman. Roro memang belum banyak pengalaman, namun otaknya cerdik. Memikir orang keracunan ia berpendapat harus mengeluarkan darah orang yang terkenal racun itu. Tiba-tiba saja tanpa pikir panjang ia telah gigit kedua jempol kaki Gurnam Singh yang tampaknya sudah tak dapat rasakan rasa nyeri lagi.

Begitu darah mengucur ia segera pencet kaki orang dan urut ke bawah dengan salurkan hawa dingin melalui telapak tangannya. Segera saja darah membeku, karena kemudian yang terlihat keluar melalui luka yang digigitnya itu adalah darah kental yang kehitam-hitaman.

Melihat usahanya berhasil, segera ia lakukan seperti tadi pada kaki Gurnam Singh yang sebelah lagi. Maka selesailah pertolongan pertama itu. Racun tidak akan terus mengalir naik, karena sudah membeku di kaki. Kalau tak dikeluarkan paling-paling cuma kakinya yang busuk. Namun jiwa orang sudah dapat tertolong.

Baru saja Roro menarik napas lega sudah terdengar suara tertawa yang tak henti-hentinya itu, ternyata si laki-laki berpakaian mewah itulah yang tertawa tak putus-putus. Segera Roro mengetahui orang telah menotok urat ketawanya. Namun di situ cuma ada dua orang suami istri itu. Siapakah orang ketiga memikir Roro. Tak banyak ayal lagi ia telah berkelebat membebaskan totokan pada tubuh laki-laki bangsawan itu. Demikianlah di saat si wanita berbaju serba hitam itu mau melarikan diri, Roro Centil sudah menghadangnya.

"Kaulah pasti yang berjulukan si Ular Beracun...! Hmm, jangan harap kau dapat lolos setelah kau gunakan kekejianmu untuk membinasakan kami di biara...!"

Si Ular Beracun tatap wajah orang dengan wajah pucat... tiba-tiba ia telah keluarkan selembar kulit tipis dari balik bajunya sambil mundur dua tindak ia berkata dengan tergagap, "Ja... janganlah kau bunuh aku no... nona Pendekar. Biarlah kuberikan peta harta karun ini padamu...! Namun berjanjilah kau akan mengampuni nyawaku..."

Terkejut juga Roro Centil. Peta harta karun siapakah? pikir Roro. Namun dengan suara keren ia sudah membentak dengan sinis. "Heh! Kau mau tukar nyawamu dengan harta karun orang lain... ? Bagus sekali...!"

"Tidak! Harta Karun itu adalah milik paman angkatku sendiri, si Setan Arak. Aku... aku terpaksa melakukan perbuatan jahat itu karena... karena suruhan orang. Percayalah nona Pendekar...!" Kembali dengan terbata-bata si Ular Beracun berkata menjelaskan.

"Hmmm..." Roro kerutkan alisnya. "Benarkah demikian...?" Bertanya Roro.

"Percayalah nona Pendekar... aku berani bersumpah! Aku tidak berdusta...!" Menyahuti si Ular Beracun dengan wajah kusut seperti mau menangis.

"Darimana kau dapatkan peta itu dan siapa yang telah menyuruhmu untuk membunuhku bersama paderi-paderi kuil Welas Asih...! " Tanya lagi Roro dengan serius.

"Peta ini ada di dalam Kitab Ular... Aku telah menyobeknya lebih dulu, karena khawatir dikuasai murid paman angkatku, yaitu yang bernama..."

"Lalu siapakah yang telah  menyuruhmu melakukan perbuatan keji itu...?" Bertanya lagi Roro dengan tidak sabar. Sementara otak Roro yang cerdas sudah memikir akan adanya satu kejanggalan.

Tampak si Ular Beracun tidak cepat cepat menyahuti... tiba-tiba ia berkata dengan cepat; "Itulah orangnya yang berada di belakang nona Pendekar...!"

Roro cepat balikkan tubuh untuk melihat ke belakang. Namun pada saat itu dengan cepat si Ular Beracun telah meroboh "sesuatu" dari balik bajunya, dan dengan cepat menggigit tali yang tergantung pada benda itu. Detik berikutnya ia telah lemparkan benda itu ke arah Roro Centil sambil gulingkan tubuh menjauh.Terdengarlah suara berdentum keras. Tanah dan batu-batu berhamburan bercampur serpihan tubuh manusia yang hancur lumat menjadi serpihan-serpihan yang menyemburat ke udara.

Pada saat itu juga terdengar suara teriakan paderi Jayeng Rana yang memburu ke arah di mana terjadi ledakan dahsyat itu, dan berucap; "Omiitohud...!"

Dan dari arah lain juga berkelebat sesosok tubuh yang keluar dari tempat persembunyiannya, dan berdiri terpaku memandang ke tempat ledakan dahsyat itu. Debu mengepul membumbung ke udara, sementara di dekat lubang yang hitam bekas terjadinya ledakan tampak serpihan-serpihan serta potongan tubuh manusia yang telah hancur, berserakan bercampur dengan cairan-cairan darah yang sudah menghitam.

SEBELAS

Paderi Jayeng Rana terpaku memandang apa yang terlihat di depan matanya. Pandangan matanya adalah pandangan yang hampa. Sementara Gurhan Singh yang berada tidak jauh dari ledakan itu tampak perlahan-lahan bangkit dengan terhuyung-huyung mendekati paderi Jayeng Rana yang segera memburunya untuk memeluknya.

Tampak paderi yang telah berusia lanjut itu linangkan air mata seraya berucap; "Gurnam... kau selamat...? Omiitohud... Syukurlah."

Dan pandangan paderi tua itu kembali pada bekas ledakan yang asap hitamnya mulai menipis, diikuti oleh Gurhan Singh yang melihat semua yang terlihat di hadapannya itu, terasa bagi bayangan fatamorgana yang menghunjam ke ulu hatinya.

Mengapa ini harus terjadi...? Mengapa... Mengapa?!... Pekik hatinya. Tiba-tiba laki-laki setia yang perkasa inipun titikkan air mata. Sekonyong-konyong hatinya menjerit; "Tidaaaak...!"

Entah mengapa ia merasakan adanya satu ketidak-adilan yang terasa menghimpit dada. Ia merasa takdir itu bukanlah suatu keharusan. Haruskah...?! Tapi akhirnya ia sadar. Inilah kehidupan. Inilah alam Fana...!

Wajahnya pun tertunduk. Hatinya kembali cair. Dan gemuruh yang membludak dalam dadanya pun sirna. Batin bersihnya pun membisik. "Tuhan berkuasa atas segalanya...!"

Senyap yang mencekam itu berlangsung beberapa saat. Ketika tiba-tiba satu suara merdu menyibak kesenyapan yang mencekam. "Kakek paderi, paman Gurnam Singh... janganlah kalian khawatirkan diriku. Aku tak apa-apa...!"

Terkejut bukan main kedua orang ini ketika melihat si Pendekar Wanita Pantai Selatan dengan tersenyum-senyum keluar dari balik sebongkah batu besar, dan dengan berjalan santai mendekati keduanya. Yang bagaikan melihat seorang Dewi yang baru turun dari langit, menatap tak berkedip dengan mulut ternganga keheranan. Bahkan sesosok tubuh yang tadi keluar dari balik semak itu pun tengah menatap padanya. Siapakah gerangan dia...?

Gerakan sosok tubuh yang mendekati ke arah mereka bertiga itu membuat ketiganya berpaling. Kalau tadi yang terkejut adalah paderi Jayeng Rana dan Gurnam Singh ketika melihat kemunculan Roro Centil, tapi kini Roro Centil lah yang terkejut melihat kemunculan sosok tubuh itu, yang tak lain adalah si laki-laki berpakaian mewah yang berpenyakit gagap itu.

Tentu saja Roro tak mengetahui akan penyakitnya. Yang ia ketahui adalah laki-laki itu suami si Ular Beracun yang telah tewas termakan oleh senjatanya sendiri. Kiranya sewaktu Roro Centil menengok ke belakang untuk melihat siapa orang yang di belakangnya. Ia telah waspada akan gerak-gerik si Ular beracun yang kata-kata dan penjelasannya jelas ngawur. Namun ia pura-pura tak begitu memperhatikan.

Begitulah ketika si Ular Beracun melempar granat tangannya ia sudah waspada. Ketika terasa sesuatu bergerak melayang ke arahnya, dengan gerakkan lengan ke belakang ia sudah menghantam balik benda itu dengan angin pukulannya. Dan tentu saja sebelum si Ular beracun sempat jauh bergulingan untuk menghindari ledakan, benda itu telah lebih dahulu mengenai tubuhnya dan meledak.

Sedang Roro Centil begitu habis menghantam balik benda pembawa maut itu telah berkelebat cepat ke balik sebuah batu besar. Karena begitu cepatnya sampai-sampai paderi Jayeng Rana yang melihat dari kejauhan, juga Gurnam Singh, tak dapat melihat gerakan tubuhnya. Karena bersamaan dengan terjadinya ledakan dahsyat itu.

Adapun si laki-laki bangsawan itu ternyata hanya berpura-pura saja tertawa sampai terpingkal-pingkal, yang disangka Roro adalah terkena totokan orang. Padahal dengan tertawa sedemikian gelinya itu adalah untuk menyalurkan tenaga dalam, untuk mencegah menjalarnya racun pada kedua tangannya. Akibat benturan keras dengan lengan si Ular Beracun yang di papaknya di saat menyelamatkan nyawa Gurnam Singh.

Adapun di saat terjadi ledakan dahsyat itu, tentu saja sebelumnya ia sudah mengetahui karena membaui asap mesiu. Segera ia berkelebat ke semak-semak bersamaan dengan berkelebatnya tubuh Roro ke balik batu. Hingga keduanya sama-sama tak melihat gerakan orang karena tengah berupaya menyelamatkan nyawa masing-masing pada detik yang kritis itu.

Penjelasan dari si laki-laki bangsawan itu diungkapkan dalam perjalanan meninggalkan lereng gunung Wilis. Tampak keduanya dengan mempergunakan ilmu lari cepat, bercakap-cakap sepanjang jalan yang dilaluinya. Tentu saja yang bertindak sebagai penunjuk jalan adalah si laki-laki bangsawan itu, karena entah mengapa Roro agak simpati pada laki-laki yang masih boleh disebut pemuda itu, karena usianya baru sekitar dua puluh limaan tahun.

Dibanding dengan Roro Centil hanya berbeda atau berselisih sekitar tujuhdelapan tahun saja. Roro yang memang ingin menambah pengalamannya, makanya ketika si laki-laki itu mengajaknya pergi ke suatu tempat, ia tak menolaknya. Ternyata laki-laki bangsawan itu bernama Joko Sangit. Sebuah nama yang aneh pikir Roro. Karena nama itu kalau diterjemahkan berarti Pemuda Bau.

Joko adalah jejaka atau pemuda, sedang sangit artinya gosong atau hangus. Jadi namanya mengartikan; seorang pemuda atau jejaka yang sudah hangus. Roro adalah Roro yang selama ia masih penasaran, ia tak akan berhenti menyelidiki. Tentu saja ia ingin mengetahui riwayat dan asal-usul si Joko Sangit, yang telah menempur istrinya sendiri yaitu si Ular Beracun, dengan menyelamatkan nyawa Gurnam Singh, si pembantu paderi Jayeng Rana yang setia itu.

Bahkan kematian istrinya yang tragis itu membuat ia senang setengah mati. Melihat orang mempunyai ilmu aneh, yaitu mengusir racun dengan suara tertawa agar racun tak menjalar ke tempat yang berbahaya Roro memikir untuk mengenalnya lebih dekat. Juga untuk menambah pengalamannya di dunia persilatan.

Keanehan-keanehan telah banyak ia alami dengan mengenal gurunya yang juga aneh luar biasa. Lalu tokoh hitam si Dewa Tengkorak, yang wataknya pun aneh. Kini ia dapat berkenalan dengan seorang yang menamakan dirinya Joko Sangit, yang menurut pengamatannya juga seorang yang mempunyai keanehan.

"Ilmu lari cepatmu hebat juga Til..!" Bertanya Joko Sangit sambil mengimbangi kecepatan lari Roro Centil.

"Hus!? Panggil namaku Roro saja...! Aku tak biasa dipanggil orang dengan sebutan demikian..." Berkata Roro dengan kerutkan alisnya.

"Oh, begitu. Kalau aku sih sebenarnya cari panggilan yang gampang saja. Kalau kau senang dipanggil Roro, baiklah aku akan memanggilmu Roro."

"Masih jauhkah perjalanan kita...?" Bertanya Roro, menyambung pembicaraan Joko Sangit.

"Rasanya tidak...!" Menyahut Joko Sangit.

"Apakah sekarang ini kita sedang menuju ke Tuban?" Tanya Roro lagi.

"Oh, tidak... aku belum ingin kembali ke sana. Nantilah, pasti kau akan kuajak ke Tuban setelah selesai urusanku..." Sahut Joko Sangit berikan penjelasan. Selesai berkata, Joko sangit tambah kecepatan larinya.

Tentu saja Roro segera berkelebat menyusul. Dan bayangan tubuh kedua orang muda-mudi itu melesat cepat bagai anak-anak lepas dari busurnya. Hingga dalam waktu setengah hari, sejak keberangkatannya pada pagi hari dari biara Welas Asih di lereng Gunung Wilis; keduanya telah tiba di dataran yang berbukit-bukit.

Beberapa saat kemudian Joko Sangit menghentikan larinya seraya berteriak; "Stop! Kita berhenti di sini...!"

Segera Roro pun menghentikan larinya. Setelah teliti daerah sekitarnya, tampak Joko Singit mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya. Yang ternyata adalah selembar kulit tipis. Tersentak hati Roro, ketika melihat benda yang tengah diteliti oleh Joko Sangit adalah selembar peta, yang mirip dengan peta si Ular Beracun. Yaitu peta harta karun milik si Setan Arak. Roro tak banyak bertanya, cuma berfikir akan satu keanehan. Bukankah peta di tangan si Ular Beracun itu telah turut hancur berikut tubuh wanita itu...? Pikirnya.

"Inilah pegunungan Kendeng...!" Berkata Joko Sangit. Dan lanjutnya; "Kalau aku yang lebih dulu menemukan harta Karun si Setan Arak itu, sudah pasti kaupun akan kebagian, Roro... Ha ha ha. "Mari ikuti aku!" Lanjutnya lagi. Agaknya ia telah dapat mengetahui tanda-tanda pada peta itu.

Berkelebat tubuh Joko Sangit  diikuti Roro yang bagaikan bayangannya mengintil terus di belakang Joko Sangit. Setelah mendaki, menurun, membelok ke kanan dan ke kiri serta seterusnya. Tiba-tiba Joko Sangit angkat lengannya untuk berhenti. Di bawah sana tampak ada satu dataran yang curam di bawah lereng-lereng batu bukit yang terjal. Untuk menuruni bukit terjal itu kalau tidak orang yang berkepandaian cukup tinggi, akanlah kesulitan untuk mencapai ke bawah.

Mengerti Joko Sangit akan menuruni lembah yang curam itu, Roro Centil sudah berkata; "Kita bersusah payah turun ke bawah, apakah sudah dipastikan harta itu masih ada...? Karena kulihat peta itu bukan hanya berada di tanganmu saja, tapi istrimu si Ular Beracun itu pun memilikinya. Namun tentu saja sudah hancur lumat!"

Joko Sangit hanya mendengus. "Perduli...! Apakah peta harta itu ada seratus pun aku tetap akan menyelidiki...!" Berkata ia dengan ketus. Mengingat ia tak mungkin membatalkan niat karena sebentar lagi mereka dapat lihat buktinya, siapa yang lebih cepat dialah yang dapat. Begitu pendapat Joko Sangit.

Dan segera ia bergerak untuk menuruni lereng terjal yang curam itu. Sedikit tergelincir, akan tamatlah riwayatnya sebagai manusia, karena di bawah sana menunggu batu-batu lancip yang bisa menembus tubuh mereka. Namun bagi kedua orang muda yang berkepandaian tinggi itu tidak berarti apa-apa. Karena dalam beberapa saat saja keduanya telah tiba dengan selamat sampai di bawah sana.

Namun alangkah terkejutnya Roro Centil maupun Joko Sangit mengetahui di bawah dataran yang diinjaknya, di sekitar tempat itu banyak bergelimpangan mayat-mayat. Apakah yang telah terjadi...? Berfikir Roro. Ia segera bertindak lebih ke dalam. Di mana di sebelah dalam ada terdapat goa.

Di sini bangkai-bangkai manusia bercampur dengan bangkai srigala. Yang terlihat berpuluh-puluh banyaknya. Dalam keadaan terpukau itu tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh. Yang membuatnya terkejut tentu saja karena sosok tubuh itu tak lain dari paderi Jayeng Rana.

Melengak seketika Roro maupun Joko Sangit. Akhirnya sadarlah Joko Sangit, bahwa paderi Jayeng Rana ternyata berilmu tinggi. Begitupun Roro Centil. Karena iapun seperti tak menduga kalau ternyata paderi Jayeng Rana lebih maklum akan kelicikan orang yang menjadi tamunya.

Rahasia Tonga telah diketahui sang paderi Jayeng Rana dari Gurnam Singh. Bahkan peta rahasia itu adalah akal licik yang sudah dipersiapkannya untuk membunuh para jago-jago Persilatan dengan menjerumuskannya ke dalam lembah yang akan membuat mereka tak dapat kembali pulang dengan masih bernyawa. Sekejap ketiganya saling berpandang-pandangan.

Dan tiba-tiba Roro Centil berteriak sambil menyebut Guru pada kakek tua paderi Jayeng Rana. Dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di hadapannya. "Kakek paderi Jayeng Rana... Terimalah aku sebagai murid...!"

Paderi Jayeng Rana tersenyum sendu sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang, seraya berkata, "Omiitohud...! Siapa yang dapat menolak keberuntungan untuk dapat memariskan ilmunya pada seorang pendekar wanita yang berbudi dan cantik di depan mata...?"

Dan paderi Jayeng Rana segera bimbing lengan kedua orang muda itu untuk dibawa melesat ke atas bukit, keluar dari lembah maut yang cuma menjadi kuburan bagi orang yang rakus dan tamak akan harta duniawi.

Betapapun harta dan benda tidaklah dapat membuat orang berbahagia, selama manusia belum terlepas dari hawa nafsu. Hanya orang-orang yang berhasil mengendalikan hawa nafsunya sajalah yang akan merasakan kebahagiaan dalam keadaan bagaimanapun juga.
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.