Rembulan Berdarah

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Rembulan Berdarah Karya A. Rahman
Sonny Ogawa

GEMURUH suara dentuman terdengar bukan berasal dari sebuah gunung yang meletus. Gemuruh suara dentuman itu justru datang dari sebuah lembah tandus yang jarang ditumbuhi pepohonan. Rumput pun hanya sebagian kecil saja yang tumbuh di lembah tersebut. Mungkin karena pengaruh tanahnya yang ti-dak begitu subur itu, sehingga tanaman tak banyak tumbuh di sana.

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman
Gemuruh tersebut adalah dentuman yang ditimbulkan akibat benturan dua tenaga dalam berbeda sinar. Sinar putih perak dan sinar merah bara beradu di pertengahan jarak dua orang yang sedang bertanding ilmu kanuragan. Mereka adalah Ketua Partai Bajak Samudera yang dikenal dengan nama Raga Dewa, dan si Manusia Kabut yang dikenal dengan nama Tua Usil.

Sinar putih perak itu meluncur cepat dari tangan kiri Tua Usil ketika ia terpojok dan diserang dengan sinar merah bara yang keluar dari ujung tanduk di topi besi Raga Dewa. Kalau saja Tua Usil terlambat lepaskan jurus mautnya itu, maka tubuhnya akan hancur berkeping-keping dan mungkin tak bisa dipungut lagi. Sinar merah dari tanduk topi besi itu merupakan jurus andalan Raga Dewa dari delapan jurus maut yang dimilikinya.

Akibat dentuman yang membahana itu, Raga Dewa terpelanting jatuh dengan tubuh telentang, sedangkan Tua Usil terhempas membentur gugusan batu cadas yang amat keras. Ia sempat menyeringai karena rasakan sakit di bagian punggungnya.

Sambil menahan rasa sakit di tubuh, keduanya sama-sama berusaha bangkit dan menampakkan ketegarannya. Jarak mereka menjadi sekitar sepuluh langkah jauhnya. Tapi wajah mereka masih terlihat jelas memendam kemarahan yang belum semuanya tercurahkan.

Dari tempatnya jatuh tadi, Raga Dewa masih serukan kata dengan suara kerasnya, "Menyerahlah, Tua Usil! Berikan pisau Pusaka Hantu Jagal itu kepadaku, dan aku tidak akan mengganggu mu lagi! Kau akan kuanggap saudara yang selalu akan ku bela dalam perkara apa pun! Tapi jika kau tetap bersikeras untuk tidak serahkan pusaka itu, maka sampai kapan pun aku tetap akan memburu nyawamu, Tua Usil!"

"Bagaimana kau akan membelaku kalau kau sendiri tak bisa membela dirimu dalam melawanku?" kata Tua Usil sambil maju dua tindak.

"Gggrrhh...!" Raga Dewa menggeram. Beberapa pohon yang ada dalam jarak saling berjauhan itu men-jadi bergetar, daun-daunnya rontok akibat suara geram Raga Dewa.

Seperti telah dikisahkan dalam episode Jejak Tapak Biru, Raga Dewa sengaja datang ke tempat itu untuk mencari Tua Usil. Ia membutuhkan pisau Pusaka Hantu Jagal yang ada di tangan Tua Usil untuk membalas sakit hatinya kepada Dewi Gita Dara. Tiga kali lamarannya ditolak oleh Dewi Gita Dara, dan itu sangat menyakitkan hati Raga Dewa.

Padahal Dewi Gita Dara sudah keluarkan sayembara, barang siapa bisa serahkan kepadanya sebuah pisau Pusaka Hantu Jagal, sang penguasa Teluk Gangga yang cantik itu akan bersedia menjadi istri si pembawa pisau tersebut. Atau barang siapa bisa membunuh seekor naga titisan Ratu Gaib yang selalu mengganggu ketenteraman rakyat Teluk Gangga, Dewi Gita Dara bersedia menjadi istri orang tersebut.

Perempuan cantik itu memang mempunyai sumpah tidak akan mau menikah dengan siapa pun sebelum Naga Bara yang selalu mengganggu kedamaian penduduk Teluk Gangga itu mati ataupun lenyap untuk sela-manya. Itulah sebabnya Dewi Gita Dara menolak tiap lamaran seorang lelaki, termasuk Raga Dewa. Setiap pelamar selalu ditantang untuk lakukan dua hal tersebut; pisau Pusaka Hantu Jagal atau bunuh Naga Bara.

Tetapi Raga Dewa bersemangat sekali untuk dapatkan pisau pusaka itu bukan untuk mengawini Dewi Gita Dara, bukan pula untuk membunuh Naga Bara. Ia justru ingin mainkan wanita cantik itu hingga sakit hatinya terbalas, dan tetap membiarkan Naga Bara hidup di Teluk Gangga.

Sayangnya ia tak mudah merebut pisau pusaka itu dari tangan Tua Usil. Andai saja Tua Usil belum mendapat pindahan ilmu dari Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan, mungkin Raga Dewa dapat dengan mudah kalahkan Tua Usil dan rebut pisau itu. Tapi karena Tua Usil yang sekarang adalah Tua Usil yang sudah mendapat ilmu kesaktian tiban.

Maka siapa pun tak mudah merebut pisau Pusaka Hantu Jagal dari tan-gannya. Terbukti, kedua anak buah Raga Dewa yang semula berjumlah delapan orang, baru saja mati di tangan Tua Usil karena jurus maut milik Nyai Kuku Setan yang mengalir ke dalam raganya.

Kini Raga Dewa hanya sendirian, tanpa mempunyai anak buah lagi. Sekalipun demikian, hal itu tidak membuat Raga Dewa urungkan niat. Ia bahkan lebih heran lagi, lebih ganas lagi, dan sangat berkeinginan untuk membunuh Tua Usil sekejam mungkin. Itulah sebabnya kali ini Raga Dewa cabut senjatanya berupa kapak dua mata dengan ujungnya berbentuk runcing tombak.

Ketika Tua Usil berkata dengan tegas, "Apa pun yang terjadi, aku tak akan serahkan pusaka ini padamu!"

Maka Raga Dewa pun segera melompat setelah berlari pendek, lalu gagang kapak itu ditariknya turun dan menjadi rantai panjang, kapak itu segera disabetkan ke arah tubuh Tua Usil. Wuuung...! Kapak be-sar itu ternyata lolos dari sasaran, karena Tua Usil sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya terlempar naik ke atas dalam gerakan bersalto satu kali.

Namun alangkah kagetnya Tua Usil setelah kembali mendaratkan kaki ke atas tanah gersang itu, karena ia segera sadari bahwa ujung kain bajunya telah terbakar. Buru-buru ia padamkan api tersebut dengan satu genggaman tangan. Api yang digenggamnya itu segera padam. Tangan yang digunakan menggenggam tidak terasa panas. Tua Usil segera berkata dalam hatinya,

"Cukup hebat jurus kapak terbangnya itu. Sekalipun tidak mengenai tubuhku, tapi hawa panasnya mampu membuat bajuku hampir saja terbakar habis. Tapi anehnya kenapa tubuhku tidak rasakan panas sedikit pun? Mungkinkah ada ilmu penolak hawa panas yang dimiliki oleh mendiang Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan itu?!"

Di lain pihak, Raga Dewa juga membatin kata, "Manusia yang satu ini kurang ajar sekali ilmunya! Gelombang hawa panas dari kapakku tidak membuatnya tersengat api sedikit pun. Kulit tubuhnya tetap utuh. Hanya saja, bajunya hampir-hampir terbakar. Biasanya orang yang menghindari kapak maut ku dalam jarak sedekat itu, tubuhnya akan mengalami melepuh sebagian karena hawa panas yang terpancar dari kapakku, apalagi sampai terkena kapakku tadi, pasti tubuhnya bukan hanya terpotong menjadi dua bagian, namun juga akan meleleh lumer bagai cairan lahar gunung berapi! Rupanya orang ini cukup alot untuk dikalahkan. Terpaksa aku gunakan jurus andalan yang satunya lagi!"

Namun sebelum jurus andalannya yang lain dilepaskan. Raga Dewa masih berusaha bujuk Tua Usil kembali dengan berkata, "Tak ada gunanya kau melawanku, Tua Usil! Aku bukan tandingan mu! Jadi sebaiknya kita berdamai saja."

"Tak ada waktu untuk berdamai bagi orang yang mau rebut Pusaka Hantu Jagal Ini! Akulah yang mendapat wewenang untuk memegang pusaka tersebut, Raga Dewa!"

"Baiklah kalau begitu! Tak ada pilihan lain bagi ku. Terimalah jurus 'Tombak Murka' ini! Heaaah...!"

Tua Usil terkejut ketika Raga Dewa sentakkan kapaknya bagai disodokkan ke depan. Dari ujung kapak yang berbentuk runcing itu, keluar mata tombak berturut-turut jumlahnya puluhan buah. Semuanya menyerang Tua Usil dengan ganasnya.

Dalam keadaan bingung dan terkejut itu, tiba-tiba tangan Tua Usil bergerak di luar kemauan hatinya. Kedua tangan berkuku runcing itu berkelebat dari pertengahan dada melebar ke samping kanan-kiri. Pada saat itulah keluar sepuluh larik sinar merah seperti kawat-kawat pagar betis.

Tombak-tombak putih mengkilap itu akhirnya menghantam sinar-sinar merah tersebut, dan memantul balik saling berbenturan dengan mata tombak yang sedang menuju ke arah lawan. Perbenturan mata tombak yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu timbulkan ledakan beruntun dan saling sambung-menyambung.

Ledakan itu menyerupai gemuruh gunung meletus yang juga mengguncangkan tanah di sekitar tempat itu. Semakin lama semakin kuat guncangan tersebut, sehingga keretakan terjadi dl permukaan tanah di beberapa tempat. Tubuh Raga Dewa sendiri terombang-ambing bagai dipermainkan oleh gempa bumi, membuat serangannya terhenti dan sibuk menjaga keseimbangan badannya. Matanya yang lebar memandang sekelilingnya dengan tegang.

Ketika kesepuluh jari berkuku tajam itu pelan-pelan bergerak ke arah depan, sinar-sinar merahnya yang seperti bentangan kawat-kawat itu menghantam kapak yang masih digenggam oleh Raga Dewa.

Praaang...!

Kapak itu pecah menjadi serpihan-serpihan. Raga Dewa kian kaget dan cepat lompatkan diri ke arah lain. Karena jika ia tidak melompat, maka tubuhnya akan menjadi sasaran kesepuluh larik sinar merah dari kuku runcing Tua Usil itu.

Jurus 'Kuku Iblis' telah dikeluarkan oleh Tua Usil dan membuat Tua Usil heran sendiri melihatnya. Sebab apa yang dilakukan sangat di luar kesadaran hatinya. Ia tak sangka dapat keluarkan jurus sehebat itu. Namun ia segera tahu, jurus tersebut pasti milik mendiang Nyai Kuku Setan. Bukan milik Ki Pamungkas.

Rupanya Raga Dewa tak mau kalah, ia sentakkan kedua tangannya ke depan dengan masing-masing jempol terlipat dan kedelapan jari tangan itu lurus ke depan. Dari ujung jari tangan itu keluar delapan larik sinar kuning lurus yang menghantam ke arah Tua Usil dari arah samping.

Zzzraaap...!

Jraaab...!

Tua Usil terkena pukulan delapan larik sinar kuning. Tubuhnya menjadi tegak, kaku, dan matanya mendelik. Mulutnya yang ternganga keluarkan asap kehitam-hitaman. Raga Dewa hentikan serangannya dan tertawa bagai orang menggumam. Ia merasa lega dapat kenai jurus mautnya ke tubuh Tua Usil. Ia yakin Tua Usil sebentar lagi akan roboh dan sekujur tubuhnya akan pecah-pecah menjijikkan.

Tua Usil bagaikan tak sadar atas musibah yang menimpanya. Bahkan ia tak sadar telah gerakkan kedua tangannya bagaikan menari. Gerakan tangan itu sangat pelan, dari bawah ke depan dan berputar balik, kemudian kedua telapak tangannya merapat di dada bagaikan orang semadi.

Asap yang keluar dari mulutnya semakin hitam. Tubuhnya bergetar, keluarkan peluh, Dalam sekejap peluh itu menjadi sangat banyak, dan akhirnya asap itu hilang. Napasnya terasa ringan untuk dihela. Sedangkan Raga Dewa terheran-heran memperhatikannya.

"Manusia apa dia sebenarnya? Jurus 'Hasta Sukma'-ku tak bisa membuatnya mati? Rangkap berapakah nyawa orang itu? Atau... sebenarnya dia telah mati dalam keadaan berdiri? Mengapa tidak bergerak-gerak lagi?" sambil membatin begitu, Raga Dewa mendekati Tua Usil dengan pelan-pelan dan sangat hati-hati sekali.

Tua Usil masih tetap diam, tak bergerak dan tak berkedip, kedua tangannya saling rapat di dada. Padahal waktu itu Raga Dewa sudah mencapai jarak tiga langkah dari tempatnya berdiri. Tua Usil memang seperti orang mati berdiri.

Tetapi dengan sangat tiba-tiba sekali dan mengejutkan Raga Dewa, kaki kanan Tua Usil berkelebat menendang dalam setengah lingkaran. Tendangan itu tepat kenai dada Raga Dewa. Buuhg...! Raga Dewa terhuyung-huyung mundur bagai hilang kesadaran dalam sekejap.

Pada saat itulah, tangan Tua Usil bergerak sendiri mengeluarkan pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik bajunya, lalu la melompat menyerang Raga Dewa sambil cabut pisau itu. Dan dengan gerakan yang sangat cepat, tahu-tahu pisau tersebut telah menghunjam masuk ke dada Raga Dewa. tepat di bagian jantung-nya.

Juuub...!

"Ggggrrrhh...!" Raga Dewa mendelik sambil menggeram, tangannya berusaha mencabut tangan Tua Usil dari dadanya. Geraman itu timbulkan getaran hebat pada tanah, daun-daun semakin berguguran.

Lalu, tubuh Raga Dewa mulai menyala merah bening. Lama-lama cahaya yang membungkus tubuh Raga Dewa itu mengalir dan berpindah ke tangan Tua Usil, Kejap berikutnya tubuh Tua Usil yang bercahaya merah bening, sedangkan tubuh Raga Dewa tidak bercahaya lagi.

Perpindahan cahaya tersebut menandakan perpindahan ilmu Raga Dewa yang masuk ke tubuh Tua Usil. Ketika cahaya merah bening itu padam, maka berarti seluruh ilmu Raga, Dewa telah tersedot habis dan menjadi satu dengan ilmu-ilmu lainnya di dalam tubuh Tua Usil.

Pisau pun dicabut, tanpa darah dan tanpa basah. Tubuh Raga Dewa masih berdiri dengan mata mendelik putih tak bergerak dan tak bernapas lagi. Beberapa saat kemudian, ketika datang angin kencang tubuh itu pun tumbang terkapar di tanah yang tak sempat retak itu.

Tua Usil terkejut pandangi kematian Raga Dewa. Ia hanya membatin, "Rupanya aku telah membunuhnya dengan pisau ini?!" sambil ia pandangi pisau Pusaka Hantu Jagal itu. Segera ia masukkan pisau itu dalam sarungnya dan ia selipkan di balik baju coklatnya.

Rupanya Tua Usil juga tak sadari apa yang telah ia lakukan terhadap Raga Dewa. Ada satu kekuatan tersendiri yang menggerakkan tangan, kaki, pikiran, dan sebagainya, yang semuanya itu bukanlah kekuatan asli milik Tua Usil. Mungkin saja kekuatan dari ilmu Nyai Kuku Setan, atau kekuatan dari ilmunya Ki Pamungkas, atau pula kekuatan yang ada di dalam pisau keramat tersebut. Tua Usil tak bisa memastikan jawabannya.

Yang jelas angin berhembus semakin lama semakin kencang. Rambut tipis Tua Usil meriap-riap di-hempas angin. Ia segera memandang ke atas, langit sebelah barat, ternyata seekor burung rajawali putih sedang menghampirinya. Rupanya angin yang berhembus itu datang dari kibasan sayap burung rajawali besar yang ditunggangi oleh seorang gadis cantik berpakaian merah jambu dengan jubah putih tipis.

Siapa lagi gadis itu jika bukan Lili, si Pendekar Rajawali Putih yang menyandang pedang perak di punggungnya di mana pada ujung gagang miliknya terdapat ukiran dua kepala burung saling bertolak belakang.

"Kaaakk...! Keaaak...!" burung rajawali putih berjenis betina itu sepertinya memberi ucapan selamat atas keberhasilan Tua Usil membunuh Raga Dewa. Tetapi ucapan selamat itu tidak terlontar dari mulut Lili, yang segera melompat turun begitu sang rajawali merendahkan kakinya, menunggu penerbangan selanjutnya.

Wajah gadis itu tampak bersungut-sungut memandangi mayat-mayat yang tergeletak di sana-sini. Tua Usil tahu, gadis itu pasti sedang marah, dan ia tak berani mengajaknya bicara lebih dulu. Tua Usil hanya salah tingkah menghadapi Lili, apalagi setelah ia dipandang oleh majikan perempuannya itu dengan mata tajam, Tua Usil menjadi semakin tak mengerti harus bersikap bagaimana.

Dengan nada marah Lili berkata, "Sudah berapa kali ku ingatkan padamu; jangan membunuh! Lukai saja lawanmu dan biarkan dia melarikan diri! Kalau kau selalu membunuh, maka kau akan menjadi seo-rang pembantai berdarah dingin!"

"Maaf, Nona Li...." ucap Tua Usil dengan takut dan bersikap sedikit membungkuk karena menghormat.

"Jadi manusia jangan serakah! Memang kau bisa memperoleh banyak ilmu dari orang yang kau bunuh dengan pisau pusaka itu, tapi tugasmu bukan menjadi penjagal manusia! Pisau itu hanya boleh kau gunakan dalam keadaan yang sangat terpaksa. Aku sudah ingatkan hal itu berkali-kali. Tapi mengapa kau masih lakukan juga?!"

Suara Tua Usil agak lirih, "Maaf, Nona Li. Saya lakukan dengan sangat terpaksa. Raga Dewa menyerang saya terus dan menghendaki pisau pusaka ini. Saya bertahan agar pisau ini tidak jatuh ke tangan orang sesat seperti dia. Tapi dia mendesak saya terus dan saya hampir mati oleh jurus-jurus mautnya, Nona Li. Jadi, mau tak mau saya lakukan hal ini. Saya sudahi masa hidupnya yang sesat dengan pisau ini!"

"Apakah kau tak bisa lari menghindar?"

"Sudah saya coba lari, Nona Li. Tapi saya dikejar-kejar oleh mereka, seperti seekor babi hutan yang sedang diburu. Saya capek lari terus, Nona Li. Maka saya coba lawan mereka. Saya ingin lumpuhkan mereka tanpa harus membunuhnya, tapi mereka sepertinya memaksa saya harus bertindak lebih. Daripada saya mati di tangan mereka dan pusaka ini jatuh ke tangan Raga Dewa, lebih baik saya yang bunuh mereka demi keselamatan nyawa saya sendiri, Nona."

Pendekar Rajawali Putih tarik napas dalam-dalam. Ketika dihempaskan, bersamaan dengan kata, "Ya sudah...! Tapi lain kali usahakan hindari tindakan seperti ini! Tak baik bagi jiwamu sendiri jika kau harus selalu bertindak seperti ini. Paham?"

Tua Usil anggukkan kepala. "Paham, Nona Li."

Alasan itu cukup kuat menurut Lili. Mempertahankan diri, mempertahankan nyawa, mempertahankan pusaka agar tidak jatuh ke tangan orang sesat, terkadang membutuhkan tindakan yang lebih keras lagi dari sekadar mengusir atau menghindar. Lili hanya takut, jika keberadaan Tua Usil bersama pisau pusakanya itu akan membuat jiwa Tua Usil menjadi ganas dan selalu mencari korban untuk pisaunya. Tapi setelah mendengar alasan Tua Usil tadi, hati Lili merasa lega dan kemarahannya sedikit demi sedikit menjadi berkurang.

"Mengapa tuanmu Yoga belum sampai rumah juga? Ke mana dia?"

"Wah, saya tidak tahu, Nona Li."

"Mengapa sampai tidak tahu? Bukankah kau, Bocah Bodoh, dan Yoga yang antarkan Nini Bungkuk Renta ke Bukit Kematian untuk diserahkan kepada muridnya, si Iblis Mata Genit itu?!"

"Memang benar, Nona Li. Tapi Tuan Yo dan Bocah Bodoh memisahkan diri setelah mereka melihat serombongan tandu Nona Dewi Gita Dara melintasi pantai. Saya sendiri segera pulang. karena saya butuh pertimbangan masak-masak tentang niat Dewi Gita Dara yang ingin meminjam pisau pusaka ini, Nona Li. Jadi saya tidak tahu ke mana mereka berdua sebenarnya. Apakah ikut mengantar kepulangan Dewi Gita Dara, atau ke suatu tempat dengan keperluan lain. Dan waktu saya menuju pulang inilah, saya dicegat oleh Raga Dewa."

Pendekar Rajawali Putih berwajah cemberut. Ia menahan kekesalan hati. Gerutunya terdengar di telinga Tua Usil, "Mengantar Dewi Gita Dara...?! Untuk apa mengantar ke sana? Ke Teluk Gangga? Ih, seperti lelaki tak punya harga diri saja dia itu!"

Tua Usil diam, ia tahu Nona Lili-nya sedang dilanda rasa cemburu. Tua Usil tak berani ganggu dengan canda apa pun. Ia biarkan Lili berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Akhirnya Tua Usil dengar suara Pendekar Rajawali Putih itu berkata,

"Di mana kau lihat kapal mereka bersandar?"

"Saya tidak lihat kapal, Nona Li. Saya hanya ikut rombongan tandu Dewi Gita Dara menyusuri pantai, kemudian Tuan Yo dan Bocah Bodoh bergegas menghampiri mereka!"

"Dasar laki-laki mata keranjang!" gerutu Lili dengan gemas. "Aku akan mencarinya di sepanjang pantai! Kalau kau mau pulang, pulanglah dengan segera!" Lili melangkah hampiri burung rajawalinya.

"Baik, Nona Li!" Tapi dalam hati Tua Usil sempat cemas dan berkata, "Bagaimana kalau ternyata Tuan Yo ikut mengantar sampai Teluk Gangga? Repotnya lagi, bagaimana kalau ternyata Dewi Gita Dara jatuh cinta pada Tuan Yo dan tak izinkan Tuan Yo pulang? Wah, bisa geger besar!"

DUA

SEPANJANG pantai utara disusuri lewat atas oleh Pendekar Rajawali Putih. Beberapa nelayan yang melihat seekor burung besar terbang ditunggangi gadis cantik segera bersujud di tempatnya masing-masing, karena mereka anggap Lili adalah bidadari yang turun dari kayangan. Lili tidak hiraukan mereka, karena pikirannya terpusat pada kekasihnya yang juga murid angkatnya itu.

Lili tak ingin Yoga ikut ke Teluk Gangga. Sejujurnya hati Lili tak dapat ditipu, bahwa ia punya kecemasan begitu melihat kecantikan Dewi Gita Dara. Gadis yang hampir tergolong perawan tua itu mempunyai daya pikat tersendiri bagi lawan jenisnya. Lili khawatir jika Yoga sampai terpikat oleh kecantikan Dewi Gita Dara.

Sebab dalam hati Lili mengakui, bahwa kecantikannya dengan kecantikan Dewi Gita Dara terpaut tak begitu banyak. Lili hanya merasa unggul sedikit, itu pun mungkin karena pengaruh usianya yang lebih muda dari usia Dewi Gita Dara. Kecemasan itulah yang membuat Lili tak sabar ingin segera temukan Yoga.

"Jangan-jangan ia benar-benar ikut ke Teluk Gangga?!" kekhawatiran seperti itu berulang kali muncul dalam benak Lili, membuatnya semakin resah dan tersiksa batinnya.

Ketika menjelang senja tiba, hati Lili mulai merasa tenang karena ia melihat sesosok tubuh berpakaian selempang coklat membungkus baju putih lengan panjang yang menyandang pedang merah tembaga di punggungnya. Siapa lagi pria tampan itu kalau bukan Pendekar Rajawali Merah.

Hanya saja, hati Lili menjadi sedikit berdebar ketika melihat Yoga ternyata sedang bertarung dengan seseorang di pantai luas itu. Semakin dekat semakin jelas, bahwa orang yang bertarung melawan Yoga itu tak lain adalah Malaikat Gelang Emas. Serta-merta Lili perintahkan kepada burung rajawali putih itu untuk menukik ke arah pertarungan tersebut.

Malaikat Gelang Emas adalah tokoh sakti beraliran hitam yang menjadi musuh bebuyutan dari sejak kedua guru Yoga dan Lili masih hidup. Malaikat Gelang Emas selalu mengincar dua pedang pusaka yang sekarang menjadi milik Lili dan Yoga itu. Tokoh yang satu ini memang sulit ditumbangkan. Ia adalah kakak seperguruan Nini Bungkuk Renta dan punya ilmu 'Bayang Siluman', yaitu bisa tembus tembok dan tak bisa disakiti. Lili dan Yoga selalu terdesak dalam bahaya jika melawan Malaikat Gelang Emas.

Seperti kali ini, Lili lihat sendiri Pendekar Rajawali Merah yang hanya mempunyai satu tangan itu terdesak oleh serangan jurus gelang-gelang maut dari lawannya. Sinar kuning melingkar-lingkar itu menghantam Yoga berulang kali, dan hanya ditangkis oleh kibasan pedang pusaka Pendekar Rajawali Merah.

Bunyi ledakan terdengar berulang kali setiap pedang Yoga berhasil tebas sinar gelang kuning tersebut. Dalam keadaan terdesak oleh serangan beruntun, tiba-tiba Malaikat Gelang Emas yang bertubuh gemuk dan besar itu keluarkan semburan serbuk merah dari mulutnya.

Bruuus!

Lili mengetahui serbuk merah itu adalah Racun Kematian. Siapa pun yang tersiram serbuk merah itu gelembung-gelembung darah merahnya akan pecah dan detak jantungnya akan berhenti. Sebab itu, Lili cepat sentakkan telapak tangannya dan keluarlah asap putih berangin kencang yang menghempas ke arah pertarungan.

Wooosss...!

Angin kencang itu membuat serbuk merah bertebaran ke arah balik, membuat Malaikat Gelang Emas terkejut dan melompat menghindarinya. Tepat pada saat itu burung rajawali putih turun merendah dengan kibasan sayapnya yang mempunyai hembusan angin badai.

"Biar kuhadapi sendiri dia!" kata Yoga kepada Lili begitu Lili turun dari burungnya.

"Tak mungkin bisa, Yo! Gabungkan jurus kita!"

Saat itu, Malaikat Gelang Emas kerahkan tenaga pukulannya yang berupa gumpalan kabut merah keluar dari dua tangan yang pergelangannya saling beradu, telapak tangan keduanya terbuka.

Wooosss!

Lili cepat berseru. "Pedang Bintang!" sambil ia mencabut pedangnya sendiri yang menimbulkan suara gelegar di angkasa, Seketika itu Yoga melakukan jurus 'Pedang Bintang' bersama-sama dengan gerakan jurus 'Pedang Bintang'-nya Lili.

Clap, claap...!

Dari ujung pedang mereka masing-masing keluar sinar lurus sebesar kelingking, panjang menghantam gumpalan kabut merah yang menyerang ke arah mereka. Sinar Pedang Bintang itu berwarna putih berkerilap sedikit kekuning-kuningan. Keadaan Yoga dan Lili ada dalam jarak kurang dari satu langkah. Dua sinar putih berkerilap itu menghantam gumpalan kabut merah secara bersamaan. Akibatnya timbul ledakan yang maha dahsyat saat itu.

Bleggaaarrrr...!

Bumi bagai dilanda bencana alam. Tanah tersumbul keluar dan berdentum semburkan pasir-pasirnya. Pepohonan roboh lebih dari sepuluh pohon di sekitar tempat itu. Bebatuan yang ada tak jauh dari situ terlempar ke segala penjuru akibat gelombang ledakan tersebut. Air laut pun bergolak melambung tinggi dalam bentuk gelombang besar. Hujan turun se-ketika itu juga, deras dan berangin badai.

Malaikat Gelang Emas terpental jauh ke lautan dan digulung ombak. Burung rajawali putih langsung lari terbang ketakutan. Tetapi Yoga dan Lili tetap berdiri di tempat membiarkan dirinya disiram hujan. Membiarkan pula petir menyambar-nyambar dan tanah pantai merekah di beberapa tempat. Kejadian mengerikan itu sungguh menyerupai kiamat kecil yang terjadi di sekitar pantai. Bahkan seekor ikan besar tampak melambung tinggi dan jatuh bergemuruh ditelan ombak.

Perkampungan nelayan yang tadi dilintasi Lili bersama rajawali putihnya itu menjadi heboh. Karena di sana terjadi bencana kecil, rumah-rumah rusak, atapnya menyingkap terbuka, benda-benda beterban-gan, bahkan perahu-perahu yang ditambatkan di pantai pun terlempar terbawa ombak dan badai.

Para penduduk kampung nelayan yang letaknya cukup jauh itu menyangka saat itu terjadi kiamat yang akan merobohkan langit. Sebab warna langit bukan biru atau pu-tih, melainkan merah membara disertai lintasan petir biru yang menggelegar ke sana-sini. Mereka berlarian kalang kabut disertai teriakan-teriakan yang penuh kepanikan.

Air hujan masih mengguyur tubuh mereka. Cukup lama dua pendekar rajawali itu diam terpaku memandangi akibat penggunaan jurus 'Pedang Bintang' secara bersamaan. Lili dan Yoga sama-sama menduga tidak akan sedahsyat itu hasilnya. Karena jika jurus 'Pedang Bintang' hanya dilakukan oleh satu orang dan satu pedang, guncangan yang terjadi tidak sampai menyerupai kiamat kecil.

"Dahsyat sekali...?!" gumam Yoga seperti bicara pada diri sendiri.

"Inilah akibatnya kalau jurus kita digabungkan," kata Lili pelan.

"Apakah kau yakin Malaikat Gelang Emas telah mati?"

"Kurasa belum. Dia hanya luka parah dan terlempar oleh gelombang ledakan tadi. Suatu saat dia pasti akan muncul lagi menyerang kita dengan jurus andalan. Ia pasti sedang mencari lawan jurus 'Pedang Bintang' kita. Sebaiknya, lekas tinggalkan tempat ini!"

Deru hujan membuat Yoga masih diam di tempat walaupun Lili sudah bergegas hendak pergi. Lili memandang heran kepada Yoga.

"Ada apa?" tanya Lili curiga.

Yoga bagai sadar dari ketermenungannya. "Tak apa," jawabnya sedikit gugup, kemudian segera berlari mencari tempat berteduh bersama kekasih yang menjadi gurunya itu. Agar cepat mencapai pondok, mereka terpaksa gunakan jurus 'Langkah Bayu'. yang dapat bergerak cepat melebihi melesatnya anak panah dari busurnya.

Malam dibiarkan lewat. Ada kegelisahan di hati Pendekar Rajawali Merah. Mulanya kegelisahan itu disimpannya dalam hati. Tapi ketika Tua Usil datang menjelang tengah malam, kegelisahan itu tak bisa disembunyikan lagi, karena Tua Usil bertanya,

"Mana si Bocah Bodoh itu, Tuan Yo?"

"Itulah yang ku pikirkan sejak tadi."

"Ada apa dengan dia, Tuan," suara Tua Usil membisik takut didengar oleh Lili yang sedang tidur.

"Bocah Bodoh ikut pergi ke Teluk Gangga."

"Bersama Nona Dewi Gita Dara?"

"Ya. Dia nekat mau kalahkan kerusuhan di sana. Dia mau bunuh seekor naga titisan Ratu Gaib itu!"

"Bocah itu bukan bodoh saja, tapi juga edan, Tuan!"

"Ku coba untuk mencegahnya, tapi ia nekat naik ke kapalnya Dewi Gita Dara. Repotnya lagi, Dewi Gita Dara memohon padaku untuk membiarkan Bocah Bodoh ikut dengannya. Aku tak bisa membantah kalau si cantik itu yang memohon begitu!"

Tua Usir manggut-manggut dan merenung. Malam menjadi sepi. Kasak-kusuk mereka hilang untuk sementara waktu. Yoga pun diam dalam ketermenungannya. Lili masih tetap tidur dengan nyenyak di sebuah kamar khusus yang hanya diperuntukkan dirinya. Yoga melangkah mondar-mandir mencoba meredakan kegelisahannya.

Ia kembali dekati Tua Usil dan berkata dalam bisik, "Bocah itu bergerak tanpa perhitungan. Dia tak pikirkan keselamatan dirinya. Yang penting dia ingin berbuat sesuatu untuk Dewi Gita Dara. Padahal Naga Bara itu bukan sembarang ular naga yang sekali bacok bisa luka. Tentunya Naga Bara itu punya kesaktian tersendiri, apa lagi dalam siraman cahaya bulan purnama, kekuatannya tentu sangat tinggi."

"Menurut saya, Bocah Bodoh pergi ke Teluk Gangga untuk bunuh diri!"

"Kira-kira memang begitulah kesimpulannya."

Setelah menarik napas sebentar, Tua Usil berkata ajukan usul, "Bagaimana kalau kita menyusulnya ke sana, Tuan? Culik dia dan paksa bawa pulang kemari!"

"Aku takut menyinggung perasaan Dewi Gita Dara."

"Setidaknya kita ingatkan dia, bahwa jangan melawan ular naga jelmaan Ratu Gaib itu. Kita bujuk dia. Dia itu bodoh dan mudah dibujuk dengan sedikit tipuan, Tuan!"

Yoga merenung sambil manggut-manggut. Kemudian berkata lagi masih tetap dengan suara berbisik, "Baiklah. Besok kita susul dia ke Teluk Gangga. Kau mau ikut?"

"Ya. Tentu saya ikut, Tuan. Saya bisa membujuk si Bocah Bodoh!"

"Tapi aku ke sana dengan naik rajawali merah, kau bersedia?"

"Yaaah... kalau bukan naik rajawali bagaimana? Saya sering mual kalau habis terbang, Tuan. Kalau bisa, naik perahu saja!"

"Terlalu banyak makan waktu, Tua Usil. Nanti kita tiba di tempat, si Bocah Bodoh sudah tak bernyawa karena melawan naga siluman itu."

Tua Usil tak bisa kasih pendapat lagi. Wajahnya murung sedih membayangkan akan mual jika terbang menunggang rajawali. Dia masih belum bisa membiasakan diri untuk pergi ke mana-mana melalui udara. Tapi agaknya memang tak ada pilihan lain, karena memang mereka harus berpacu dengan waktu.

Menurut perhitungan Tua Usil, empat hari lagi akan tiba saat bulan purnama. Mungkin malah kurang dari empat hari. Jika perjalanan ke Teluk Gangga ditempuh dengan perahu, bisa memakan waktu lebih dari empat hari. Belum lagi jika harus hadapi gangguan ombak besar di tengah lautan, pasti akan lebih lama lagi perjalanan yang ditempuh dengan perahu.

Pagi itu, ternyata Yoga sudah memanggil burung rajawali merahnya. Lili yang ada di dalam pondok terkejut mendengar suara burung memekik-mekik. Ia pun bergegas keluar dan melihat rajawali merah sudah ada di depan rumah. Burung itu sedang diusap-usap oleh Yoga. Lili memandang dengan heran. Ia tahu keadaan seperti itu biasanya merupakan tanda bahwa Yoga akan lakukan perjalanan jauh.

Lili pun segera menegur dalam tanya, "Mau ke mana kau? Mengapa sepagi ini sudah memanggil si Merah?"

"Aku mau ke Teluk Gangga."

"Apa?! Ke tempat perempuan cantik itu? Tidak! Aku tidak izinkan!" Lili cemberut seketika itu juga.

"Aku harus ke sana. Guru!"

"Kau suka sama perempuan itu?!"

"Ini soal nyawa Bocah Bodoh, Guru!"

Wajah yang melengos itu segera berbalik menatap Yoga dengan dahi berkerut dan mata memandang dengan tajam. "Ada apa dengan Bocah Bodoh?!"

"Kemarin lusa ia ikut berangkat ke Teluk Gangga bersama kapal Gita Dara. Dia nekat mau membunuh Naga Bara. Padahal dia tidak mempunyai pusaka Hantu Jagal yang merupakan satu-satunya senjata yang bisa untuk membunuh naga titisan Ratu Gaib itu! Dia hanya mempunyai Pedang Jimat Lanang, dan aku khawatir pedang itu tak bisa dipakai untuk mengalahkan naga tersebut!"

Lili diam sejenak, setelah itu berkata, "Jangan remehkan pedang pusaka Itu. Aku yakin pedang itu bisa untuk membunuh Naga Bara! Kau tak perlu susul dia ke sana. Dia akan selamat!"

"Dia tidak akan selamat!" bantah Yoga. "Kita yang harus selamatkan dia dengan membujuknya, agar dia mau urungkan niatnya itu!"

"Kalau begitu, cukup kau mengutus Tua Usil saja!"

"Tua Usil tidak bisa naik rajawali sendirian, Guru!"

"Suruh dia naik perahu atau carikan kapal sewaan!"

"Waktu perjalanan tak cukup. Sebentar lagi malam bulan purnama akan tiba. Bocah Bodoh pasti sudah siap menghadang keluarnya naga siluman itu. Tua Usil akan terlambat tiba di sana jika menggunakan perahu atau kapal. Satu-satunya sarana yang bisa ditempuh dalam waktu singkat adalah menunggang rajawali, Guru! Coba pikir baik-baik!"

Tua Usil diam di bawah pohon, tak berani ikut campur perdebatan sepasang kekasih itu. Salah-salah dia kena damprat atau kena tampar tangan Lili jika ikut membela pendapat Yoga. Apalagi Lili sudah cemberut memasang wajah curiga penuh kecemburuan itu, Tua Usil benar-benar tak berani ikut campur dalam perdebatan itu.

"Bocah Bodoh cari penyakit saja dia!" gerutu Lili menahan jengkel atas tindakan Bocah Bodoh. Dalam hatinya ia sendiri merasa sayang jika harus kehilangan Bocah Bodoh. Hubungannya selama ini telah membuat Lili merasa bahwa Bocah Bodoh ataupun Tua Usil merupakan bagian dalam lingkup keluarganya. Apa pun yang terjadi dia harus lakukan pembelaan atau penyelamatan terhadap kedua orang tersebut.

"Izinkan aku berangkat bersama Tua Usil, Guru!" bujuk Yoga dengan lembut. Kali ini ia raih kedua pundak Lili, ia putar pelan-pelan sehingga wajah mereka saling berhadapan. Ia tatap lembut-lembut wajah itu dengan senyum indah yang menawan hati setiap wanita itu.

"Aku tak akan lama. Secepatnya aku akan segera pulang dengan membawa Bocah Bodoh."

"Kau berjanji tak akan lakukan apa-apa disana?"

"Mana mungkin aku lakukan apa-apa di sana? Apakah aku harus diam saja dan bengong-bengong seperti orang hilang pikiran?"

"Maksudku, kau tidak akan berbuat yang bukan-bukan terhadap Dewi Gita Dara?" jelas Lili sambil menahan malu karena kecemburuannya terpaksa dikatakan apa adanya.

Yoga tersenyum menahan tawa. Tangannya menyingkapkan anak rambut yang bergerai di kening Pendekar Rajawali Putih yang cantik jelita itu sambil berkata pelan, "Tak perlu curiga, tak perlu cemas. Aku berkata dengan sesungguhnya, tak ada perempuan secantik apa pun yang mampu menggeser mu dari dalam hatiku, Guru."

Lembut sekali ucapan itu. Teduh nian rasa hati Lili mendengarnya. Ia pun menarik napas dan mena-hannya sesaat, bagai angin menyimpan keteduhan itu. Lalu, ia berkata, "Berangkatlah, dan hati-hati!"

Maka, rajawali merah pun terbang melintasi samudera dengan gagahnya. Seorang pendekar tampan duduk di punggung burung besar itu dengan rambutnya. yang panjang meriap ke belakang, membuat seseorang yang duduk di belakangnya pejamkan mata beberapa kali karena takut tercolok rambut-rambut itu.

Tua Usil memeluk perut Yoga kuat-kuat karena takut jatuh dari punggung burung. Karena kuatnya pelukan itu, napas Yoga sampai terasa sesak dihela. Maka Yoga pun menyuruh Tua Usil sedikit mengendurkan pelukannya.

"Burung ini terlalu cepat dalam terbangnya, Tuan. Kalau pegangan saya kendurkan, saya bisa jatuh!"

Yoga pun segera berseru kepada sang rajawali, "Merah, kurangi sedikit kecepatan mu. Tua Usil takut."

"Kaaak, kaaak, kaaak...!"

Yoga tertawa dan berkata, "Tua Usil, kau ditertawakan oleh si Merah. Dikatakan pengecut. Apa tak malu kau dibilang pengecut oleh seekor burung seperti si Merah ini?"

"Biar sajalah!" kata Tua Usil pasrah.

Tiba-tiba senyum Yoga hilang, matanya memandang ke arah timur. Ia melihat seseorang sedang berdiri di atas sehelai kayu papan yang lebarnya tak lebih dari dua telapak kaki. Kayu papan itu bergerak sendiri dengan cepat di atas permukaan air laut. Orang yang ada di atasnya itu berdiri dengan kedua tangan bersedekap dan jubahnya berkelebat ke belakang bagaikan sehelai bendera.

"Tua Usil, apakah kau kenal dengan orang itu?!"

Tua Usil menatap ke arah orang tersebut. Cukup lama ia diam untuk perhatikan baik-baik, karena jarak orang sakti dl atas sepotong papan itu cukup jauh dari penglihatan. Kejap berikutnya, Tua Usil berkata, "Kalau tak salah lihat, dia yang bernama Banteng Tato, Tuan! Dia orang dari Selat Garong."

"Tokoh hitam atau putih menurutmu?"

"Dia tokoh hitam, Tuan. Dia perampok kapal-kapal dagang asing. Selat Garong masuk dalam wilayah kekuasaan Partai Bajak Samudera, namun mempunyai kepemimpinan sendiri!"

"Hmmm...! Kalau begitu dia sekutunya Raga Dewa."

"Tentunya begitu, Tuan. Sebaiknya kita tak perlu dekati dia, Tuan. Hanya cari perkara saja."

"Tidak. Aku tidak akan dekati dia. Aku cuma tertarik ingin tahu ke mana arah perginya dengan hanya gunakan sepotong papan begitu?"

"Jika memang arahnya ke utara terus, berarti dia menuju ke Teluk Gangga, Tuan. Karena Teluk Gangga merupakan teluk teramai di kawasan kepulauan laut utara ini."

"Hmmm... ada apa dia ke Teluk Gangga? Apakah ia mau bikin kacau keadaan di sana?"

"Saya rasa tidak. Sebab dia sendirian. Biasanya dia kalau mau bikin kekacauan selalu membawa sejumlah anak buahnya yang ganas-ganas. Mungkin... mungkin juga arahnya tidak ke Teluk Gangga!"

Tiba-tiba orang yang disebut Tua Usil bernama Banteng Tato itu palingkan wajah memandang ke arah rajawali merah. Ia mulai tertarik dan perhatikan rajawali cukup lama. Tiba-tiba ia sentakkan tangannya dan lepaskan pukulan jarak jauh bercahaya hijau bergelombang-gelombang. Cahaya hijau itu membentuk lingkaran-lingkaran yang makin mendekati sasaran semakin besar.

Tua Usil berseru, "Lihat, dia mulai mengganggu kita secara iseng, Tuan!"

"Biarkan saja!" kemudian Yoga berkata kepada burungnya, "Merah, ada yang menyerangmu dari kanan!"

Burung itu menoleh ke kanan, dari kedua mata burung itu keluar sinar merah lurus dua larik. Zlaaap...! Sinar itu menembus lingkaran-lingkaran hijau dan menimbulkan suara ledakan yang menggema.

Blaang!

Rajawali merah menukik ke kiri, sementara itu Banteng Tato terpental jatuh dari atas papan pijakannya. Ia mengutuk dengan suara tak jelas. Tapi tangannya terlihat mengancam diacung-acungkan.

* * *

TIGA

KEPERGIAN Yoga membuat Lili termenung sendirian. Apalagi kepergian Yoga kali ini bersamaan. dengan kepergian Bocah Bodoh dan Tua Usil, Pendekar Rajawali Putih merasa lebih kesepian lagi ditinggalkan oleh mereka. Sesuatu yang membuat hati Lili masih diliputi kecemasan tipis adalah wajah Dewi Gita Dara. Ia tahu persis, Yoga punya jiwa tidak mudah tega terhadap gadis cantik yang dalam kesulitan.

Jika Dewi Gita Dara mengeluh kepada Yoga dari memohon Yoga agar jangan pergi sampai tiba saat kesulitan itu terselesaikan, itu berarti Yoga akan tinggal di Teluk Gangga lebih lama dari yang direncanakan semula. Lili menjadi amat khawatir kalau saja Yoga tidak tega meninggalkan gadis secantik Dewi Gita Dara dalam kesulitannya.

Pendekar cantik yang kecantikannya sering diungkapkan sebagai kecantikan melebihi bidadari itu, duduk termenung di tepi sungai berbatu-batu tak jauh dari pondoknya. Di sana ia tenggelam dalam lamunan cintanya yang sampai sekarang belum bisa terwujud dalam perkawinan, karena menurut Resi Gumarang, calon penghulu mereka, Lili dan Yoga belum bisa menikah karena masih ada urusan yang belum diselesaikan.

Lili sendiri tak tahu, urusan apa yang dimaksud itu, sehingga ia selalu bertanya-tanya dan mencari jawabannya di dalam hati sendiri. Rasa penasaran itu akhirnya membuahkan gagasan untuk datang ke tempat pengasingan Resi Gumarang. Lili ingin desak Resi Gumarang supaya diberi tahu urusan apakah yang harus diselesaikannya itu. Jika Lili tidak tahu persis tentang urusan yang harus diselesaikannya itu, maka harapannya terasa bagaikan terkatung-katung dalam ketidak pastian.

Dan hal itu makin lama dirasakan makin menyiksa batin. Lili harus tahu tentang urusan tersebut, supaya dia mempunyai kepastian kapan saatnya ia harus melangsungkan perkawinan dengan muridnya yang juga kekasihnya itu.

Maka bergegaslah Lili pergi menemui Resi Gumarang. Sayangnya niat itu terhalang oleh kemunculan tiga orang aneh yang belum pernah dikenalnya sama sekali. Tiga orang aneh itu melompat dari suatu ketinggian dan hinggap di atas bebatuan sungai yang letaknya berjarak dua-tiga lompatan.

Lili sedikit kaget, namun bisa cepat kuasai diri dan menegur dengan tegas, "Siapa kalian?!"

Seseorang yang menggenggam terompet pendek ukuran satu hasta terbuat dari lilitan kulit bambu itu, menjawab dengan suaranya yang cempreng pecah, "Kami utusan dari Biara Sita!"

"Biara Sita...?" Lili semakin merasa heran karena baru sekarang mendengar nama Biara Sita.

"Namaku Juru Kubur," kata orang yang bertubuh kurus ceking berpakaian abu-abu. Gigi depannya rontok semua, tinggal bekas-bekasnya. Rambutnya panjang kucai diikat kain coklat. Wajahnya lonjong dengan dagu panjang, kumisnya tipis kaku seperti kumis tikus.

Juru Kubur berkata lagi, "Sedangkan mereka berdua adalah temanku, Tambur Pati dan Roh Gantung!"

Yang bernama Roh Gantung tersenyum sekejap lalu kembali berwajah kaku. Lili memperhatikan orang pendek itu dengan perasaan aneh, geli, dan jijik. Roh Gantung mengenakan pakaian hijau berikat pinggang hitam. Tubuh tidak terlalu gemuk, tapi perutnya membuncit seperti perempuan hamil enam bulan.

Roh Gantung mempunyai mata sipit, tapi hidungnya lebar, pipinya tebal mirip bakpau, kepalanya botak tengah, rambut yang tumbuh di tepiannya tergolong tipis. Ia menyelipkan dua lempengan logam seperti piringan tipis tak bergerigi, tapi tepiannya terlihat tajam bagaikan mata pedang. Benda itu terselip di pinggang kanan-kirinya.

Sedangkan yang bernama Tambur Pati itu bertubuh besar, gemuk. Kepalanya gundul polos, matanya lebar ganas, kumisnya sedikit tebal melengkung ke bawah hampir lewat dagu. Tambur Pati membawa genderang putih mengkilat yang dicantolkan pada ikat pinggangnya, sewaktu-waktu bisa dilepas. Dua kayu penabuh genderang juga terselip di pinggang kanan. Pakaiannya warna merah, ketat, seperti sesak karena terlalu besar badannya. Alis matanya tebal dan sering bergerak-gerak naik turun sendiri. Wajahnya sangar tapi lucu.

"Kau benar yang bernama Nona Lili, bukan?!" kata Roh Gantung yang bersuara besar dan bulat, sesuai dengan bentuk wajahnya yang bundar.

"Benar. Aku Lili: Pendekar Rajawali Putih. Tapi aku tidak kenal dengan kalian dan tidak tahu tentang Biara Sita!"

"Itulah sebabnya kami menjemput mu, Lili." kata Tambur Pati dengan nada suara seperti wanita genit. Matanya sambil melirik-lirik dan alis matanya bergerak-gerak sendiri. Sungguh tak sesuai dengan perawakannya yang gemuk sangar tapi suaranya bernada banci. Senyumnya pun mekar seperti senyum perempuan genit.

Sebenarnya Lili ingin tertawa, namun karena merasa aneh dan kurang suka dengan sikap menghadangnya mereka tadi, tawa itu jadi terpendam dan beralih kecurigaan besar. "Kalian ingin menjemputku? Mau dibawa ke mana?"

"Ke Biara Sita!" jawab Tambur Pati dengan mata berkedip-kedip ganjen. Ia mengusap kumisnya dengan lagak gerakan tangan seorang wanita membelai rambut.

"Aku tak punya urusan dengan pihak Biara Sita!" kata Lili.

"O, kau belum tahu, bahwa kau punya urusan dengan Putri Kumbang, ketua kami di Biara Sita!" kata Juru Kubur yang suaranya sangat tidak enak didengar itu.

"Siapa pula Putri Kumbang itu? Aku merasa tak punya urusan! Sebaiknya, tinggalkan aku dan jangan ganggu aku lagi!"

"Tak bisalah...!" kata Tambur Pati sedikit melenggok ganjen.

Roh Gantung segera melompat turun dari atas batu ke daratan. Jleehg...! Kemudian ia berkata dengan wajah kaku, "Kau punya urusan dengan biara kami, Nona Lili! Menurut beberapa saksi mata, kau telah memiliki ilmu 'Sirna Jati' yang bisa melenyapkan seluruh ilmu milik seseorang."

"Ya. Memang benar!" kata Lili mengaku secara tegas. "Ilmu 'Sirna Jati' hanya ada di dalam Kitab Jagat Sakti!"

"Betul!"

"Kitab Jagat Sakti, adalah kitab larangan dan tak boleh dipelajari oleh siapa pun!"

"Kata siapa?!"

"Hukum rimba persilatan telah ditentukan dalam musyawarah besar beberapa puluh tahun yang lalu, bahwa tak seorang pun boleh memiliki dan mempelajari Kitab Jagat Sakti, karena kitab itu adalah kitab para dewa yang tidak boleh dijamah manusia. Ketua kami; Putri Kumbang, adalah penegak hukum dan undang-undang rimba persilatan! Kau telah melanggar hukum rimba persilatan, sehingga kau harus diadili dengan menyerahkan kembali Kitab Jagat Sakti!"

"Omong kosong!" bentak Pendekar Rajawali Putih dengan beraninya. Mengenai Kitab Jagat Sakti, Lili tak pernah mendengar ada larangannya. Sama sekali ia tak percaya bahwa Kitab Jagat Sakti adalah kitab para dewa yang tak boleh dipelajari manusia. Ini suatu alasan yang aneh dan pasti punya maksud-maksud tertentu di baliknya, (Mengenai Kitab Jagat Sakti bisa di-baca dalam kisah Sumur Perut Setan).

Juru Kubur segera melompat dari atas batu, kini berada di samping Roh Gantung dan berkata kepada Lili, "Sebaiknya kau ikut saja ke Biara Sita, menghadap Putri Kumbang. Jangan sampai di antara kita ada pertikaian berdarah. Aku sudah bosan melihat darah."

Tambur Pati pun segera melompat menyusul dua rekannya dan berkata dengan gaya wanita manja, "Jangan lupa ya kitabnya dibawa juga! Hi, hi, hi, hi...!"

"Aku tidak bersedia ikut kalian. Apalagi menyerahkan Kitab Jagat Sakti, sama sekali tidak bersedia!" Lili bersedekap tangan di dada. Ia tampak lebih tegas dan berwibawa, Tiga orang utusan Biara Sita itu saling pandang sebentar. kemudian Roh Gantung berkata kepada Lili,

"Jika kau tidak bersedia ke pengadilan. terpaksa kami harus menyeret mu dengan tidak hormat!"

"Aku tidak membuka permusuhan, tapi kalau kalian kehendaki begitu, aku pun siap layani kemauan kalian!" kata Lili tetap tenang.

Tambur Petir menyambut, "Jangan keras kepala, Dik. Sayangilah wajah ayu mu itu," Lalu ia mengusap kumisnya dengan gemulai.

"Terserah apa yang ingin kau lakukan, yang penting aku tetap tidak akan serahkan kitab kuno itu!"

Tambur Pati menggeram genit. "Uuuh...! Dasar bandel!" ia mencabut pemukul tambur, kemudian berkata, "Kau tak akan bisa melawan kami! Melawanku saja belum tentu kau bisa lolos, Dik! Coba hadapi jurus 'Genderang Neraka' ini!"

Duuurrr...! Tambur Pati memukul genderangnya secara beruntun dengan kedua tangan berkayu kecil. Suara genderang bergemuruh, menghadirkan tembusan angin dari permukaan genderangnya. Hembusan angin itu menerpa rambut dan jubah Lili hingga berkelebat ke belakang. Lili tetap melipat tangan di dada dengan mata sedikit menyipit karena tertiup angin.

Suara gemuruh tambur membuat alam menjadi mendung seketika. Matahari tertutup mega hitam, seolah-olah getaran tambur itu menggerakkan gumpalan awan hitam hingga menutup matahari. Daun-daun pohon beterbangan, semakin lama semakin bergemuruh. Bebatuan besar mulai terkelupas kepingan-kepingannya. Air sungai berguncang-guncang bagai dilanda gempa.

Seekor burung yang terbang melintasi mereka tiba-tiba jatuh dan berkelojotan sebentar lalu mati karena terkena getaran tambur beraliran tenaga dalam cukup tinggi. Tetapi Pendekar Rajawali Putih tetap berdiri tenang di tempatnya, tanpa bergeser sedikit pun.

Suara gemuruh tambur berhenti. Alam menjadi sepi. Sisa angin masih terasa menghembus dan membuat dedaunan bergemerisik. Ketika mata Lili melirik ke arah sebuah pohon di sebelah kirinya, dalam hati ia terkejut melihat pohon itu menjadi gundul. Semua daunnya rontok. Padahal sebelum itu daun pohon tersebut cukup lebat dan rindang. Kini tinggal dahan dan ranting-rantingnya saja.

"Hebat juga jurus 'Genderang Neraka'-nya itu!" pikir Lili diam-diam. Dada Lili sendiri sebenarnya merasa sesak saat mendengar suara tambur dipukul beruntun. Tapi karena ia mempunyai lapisan tenaga dalam cukup tebal, ia mampu menahan dan mengatasi getaran tenaga dalam tersebut. Dan ternyata hal itu membuat tiga utusan Biara Sita tertegun kagum memandangi Pendekar Rajawali Putih.

Roh Gantung berkata dalam hatinya, "Gadis ini jelas memiliki ilmu yang tinggi. Biasanya seseorang yang mendengar suara tambur seperti tadi akan muntah darah, dari lubang telinga dan hidung pun akan mengucurkan darah. Tetapi gadis ini tidak kelihatan terluka sedikit pun. Jika ia tidak berilmu tinggi ia tidak akan bisa tetap tenang seperti saat ini!"

Terdengar Lili berkata kepada Juru Kubur, "Katakan kepada ketua Biara Sita, aku tidak bersedia mempercayai kata-kata kalian! Katakan pula, bahwa Pendekar Rajawali Putih tak akan bisa ditipu dengan cara selicik apa pun!"

"Aku terpaksa bertindak melumpuhkanmu, Nona!" kata Juru Kubur. Ia mundur satu langkah dan berkata, "Kalau kau mampu menahan Genderang Neraka, tapi belum tentu kau mampu menahan jurus 'Jeritan Kubur'-ku ini!"

kemudian Juru Kubur pun memasukkan ujung terompet ke mulutnya, dan ditiupnya terompet itu dengan nada yang lengking pecah namun tidak punya irama tertentu. Seakan ditiup den-gan irama sembarangan.

Toeeettt... trete... teeetttt... tuuueeet... treeettt...!

Suara itu membisingkan telinga. Sangat tak enak didengar. Suara itu juga dialiri tenaga dalam tinggi yang membuat batu-batu sebesar kepala manusia saling retak dan pecah dengan sendirinya. Dahan-dahan retak terbelah. Ada yang patah karena getaran gelombang suara tersebut. Ranting-ranting berguguran bagai kayu kering yang lapuk diterpa angin badai.

Tiupan terompet itu pun hadirkan angin besar yang membuat beberapa tanaman perdu jebol dari akarnya dan beterbangan searah hembusan angin terompet. Tetapi, Pendekar Rajawali Putih hanya memandangi dengan mata sedikit menyipit, kaki tegak agak renggang dan tangan tetap bersedekap di dada.

"Mengagumkan sekali gadis ini?" pikir Juru Kubur yang sudah berhenti meniup terompet saktinya. "Biasanya lawanku akan terpental jauh dan pecah gendang telinganya, tapi gadis itu bagaikan pilar beton berselubung baja! Tetap tegar dan kokoh berdiri. Gila!"

Roh Gantung penasaran melihat ketegaran Lili. Ia segera mencabut dua piringan yang menurut istilah alat musik disebut simbal. Piringan itu segera diadukan dan diguncang-guncangkan sehingga keluarkan bunyi gemerincing yang amat memekakkan gendang telinga.

Creeeng...! Creeeengngng...! Grrrreeeeng...!"

Rumput di bawah kaki mereka mulai layu dan menjadi coklat. Gemerincing benda itu timbulkan hawa panas yang menyebar ke mana-mana, hingga beberapa tanaman kering yang ada tak jauh dari tempat itu lama-lama kepulkan asap dan akhirnya terbakar dengan api menyala-nyala. Bahkan sebatang pohon yang telah gundul tanpa daun pun segera merengas mati, lalu kepulkan asap, makin lama makin besar dan berubah menjadi nyala api yang berkobar membakar pohon tersebut.

Sedangkan Lili masih tetap diam dan memandangi Roh Gantung dengan mulut terkatup rapat, wa-jah tidak tampak tegang sedikit pun. Pakaiannya hanya bergerak melambai-lambai namun tidak terbakar.

Sambil masih membunyikan simbal yang gemerincing menggema ke mana-mana itu, Roh Gantung berkata dalam hatinya, "Benar-benar bandel gadis ini! Tak ada bagian tubuhnya yang terbakar sedikit pun. Bahkan seujung benang pakaiannya pun tidak terbakar. Padahal mestinya dia sudah menjerit karena dibungkus api!"

Karena jengkelnya, Roh Gantung segera menghantam-hantamkan dua piringan itu dengan kerasnya sambil berteriak tak beraturan, "Heeeaaa...!"

Tangan kanan Lili segera ambil sikap tegak di depan dada, tiga jarinya menggenggam, dua jari lainnya berdiri lurus hampir menyentuh pertengahan kening, Matanya terpejam memusatkan kekuatan batinnya. karena dari dua piring itu keluar sinar bergelombang separo lingkaran warna merah, tertuju ke arah Pendekar Rajawali Putih.

Juru Kubur segera merapatkan diri dengan Roh Gantung dengan berlutut satu kaki lalu meniup terompetnya secara tidak beraturan. Suara terompet itu lebih keras dari yang tadi, dan memancarkan gelombang sinar kuning yang melingkar-lingkar seperti spiral. Arahnya ke dada Pendekar Rajawali Putih.

Sedangkan Tambur Pati tak mau ketinggalan bergabung dengan dua rekannya, merapatkan jarak dengan Roh Gantung, lalu menabuh tamburnya dengan lebih keras dan beruntun panjang. Dari permukaan tambur itu melesat sinar biru berkelok-kelok sebanyak lima baris. Arahnya juga ke tubuh Pendekar Rajawali Putih.

Duuuurrr...! Treeett...! Ceng, ceng, ceng, ceeeng..,!"

Tiga suara bercampur aduk menjadi satu, ditambah lagi suara dari mulut Roh Gantung dan Tambur Pati yang meneriakkan sesuatu tak jelas. Bunyi gaduh dan amat berisik itu membuat pertahanan Lili hampir jebol. Ia mulai terdesak mundur walau dari kedua jarinya yang berdiri tegak itu memancarkan sinar putih perak menyebar. Semakin lama suara itu semakin riuh dan keras. Lili kian terdesak mundur.

Perpaduan tiga jurus aneh itu membuat Lili membuka kedua tangannya dan menyentak ke depan hingga keluarkan sinar putih perak lebih banyak dan lebih lebar lagi. Sinar putih perak Itu bagai tembok menyala yang membentengi tubuh Lili. Namun tiga jenis sinar yang keluar dari alat musik mereka masing-masing itu mencoba mendesak sinar putih perak dengan semakin terang nyalanya, pertanda semakin kuat tenaga dalam yang dikerahkan.

Tubuh Lili sampai terbungkuk-bungkuk menahan agar sinar-sinar mereka tidak sampai menyentuh tubuhnya. Tubuh itu gemetar dan mulai berkeringat. Lili terlihat jelas sekali mengerahkan tenaga penangkis dengan sangat berat. Tanah yang dipijaknya menjadi cekung, kakinya masuk ke dalam tanah sebagian. Batu yang diinjaknya dengan kaki pecah. Remuk dan akhirnya lembut, lalu telapak kaki itu pun terbenam di tanah sebagian.

Namun tiba-tiba dari arah timur berkelebat sebuah bayangan yang melintas di depan Lili. Bayangan itu menerjang tiga tubuh utusan dari Biara Sita. Brrruuuss...! Ketiganya tumbang dan berguling-guling bagai habis diseruduk kerbau yang sedang mengamuk. Suara bising itu pun hilang lenyap berganti sebaris makian-makian kasar.

Lili pun hentikan pengerahan tenaga dalam pelindung, Napasnya sempat terengah-engah sedikit. Ia melihat tiga orang, itu saling tindih dan saling berebut untuk bangun hingga menjadi gaduh dan semrawut. Juru Kubur berteriak-teriak karena keberatan ditindih tubuh Roh Gantung dan Tambur Pati yang saling berebut untuk bangkit.

Tetapi mata Lili segera menangkap sesosok tubuh yang berdiri di sebelah barat, di atas sebuah gugusan batu hitam. Sosok tubuh itu milik seorang pemuda tampan berpakaian biru muda dengan rambut dikuncir tinggi. Kuncirnya dililit pita merah. Sebagian rambutnya terjuntai di samping kanan-kiri telinganya. Pemuda itu tampak tegap, gagah dan rupawan. Hidungnya mancung, matanya indah, alisnya sedikit tebal namun teratur rapi. Kedua tangannya mengenakan pembalut dari kulit harimau menutup tepat di pergelangan tangan.

Lili sempat lupa berkedip ketika memandang ketampanan pemuda itu. Sedangkan si pemuda hanya melirik sebentar, lalu kembali memandang tiga orang yang saling berjatuhan itu. Ia tersenyum melihat ketiga utusan Biara Sita tampak kewalahan menerima serangan kilatnya tadi. Senyumnya itu membuat hati Lili menjadi berdebar-debar aneh. Bahkan Lili jadi lebih gelisah lagi saat pemuda itu meliriknya sekilas.

"Sial, sial, siaaal...!" maki Tambur Pati. "Aku benci sekali! Aku benci sekali kalau dia yang muncul!" Ia menggeram sambil mengusap-usap kepala gundulnya dan dicubit-cubit sendiri. Matanya tertuju pada pemuda berpakaian biru muda dengan dada terbuka sedikit itu.

Juru Kubur yang kini sudah berdiri segera berseru, "Setan! Kenapa kau ikut campur urusan kami, Pandu Tawa?! Mau cari mampus?!"

"Sudah bosan hidup kau, Pandu Tawa?!" bentak Roh Gantung.

Pemuda yang dipanggil sebagai Pandu Tawa itu segera tertawa dengan satu tangan bertolak pinggang. "Hua, hah, hah, hah, hah...!"

Tawa itu cukup panjang. Lili berkerut dahi ketika melihat tiga utusan dari Biara Sita itu juga menjadi tertawa. Dari tawa pelan, bertambah keras, semakin keras, dan kini mereka tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal, bahkan sampai terbungkuk-bungkuk. Wajah marah mereka berubah total menjadi wajah orang kegelian yang luar biasa terpingkal-pingkalnya. Suara mereka dalam tawa pun menjadi sangat keras. Bahkan Tambur Pati sampai nyaris tak terdengar lagi suaranya karena terlalu keras tawanya.

Padahal Pandu Tawa sudah diam dan kembali berwajah tenang. Ia melompat turun dari atas gugusan batu, lalu menghampiri Lili dengan langkahnya yang tegap dan gagah. Seulas senyum tersungging di bibir pemuda itu. Sungguh menawan senyuman itu. Lili tak bisa bohong pada penilaian hati kecilnya sendiri.

Tetapi gadis itu belum bisa berbuat sesuatu karena masih terganggu oleh suara tawa ketiga utusan dari Biara Sita itu. Roh Gantung sampai terduduk-duduk memegangi perutnya yang sakit, namun tawanya tak bisa dihentikan. Sedangkan Jurus Kubur sampai tertungging-tungging sambil menghabiskan tawa yang ternyata tiada kunjung habis. Tambur Pati jatuh terkapar. Tubuhnya yang gemuk tersentak-sentak dengan suara tawa sampai terdengar kecil sekali.

"Nona, kusarankan sebaiknya tinggalkan mereka. Pergilah dari sini. Mereka orang-orang sesat dari Biara Sita!" kata Pandu Tawa.

Lili bingung, bagaikan orang bodoh. Ia mengangguk-angguk seakan menurut dengan perintah Pandu Tawa. Tapi ia juga masih terpaku perhatiannya pada tiga utusan Biara Sita yang masih belum berhenti tertawa itu. Lili heran sekali, dan akhirnya bertanya dengan wajahnya yang kebodoh-bodohan,

"Me... mereka... mereka tertawa terus...?"

"Ku tebarkan racun tawa saat aku tertawa tadi! Racun tawa itu dapat diarahkan kepada orang tertentu. Racun tawa pun bisa membuat orang akhirnya mati karena terlalu banyak tertawa tiada hentinya. Seorang musuhku pernah tewas karena kehabisan napas pada waktu tertawa. Dan.. karena itulah aku dinamakan Pandu Tawa!"

"Oh, hmmm... ehh... iya... hmmm.... Aku Lili, eh... ah, hmmn, iya!"

Aneh. Lili jadi gugup dan kehilangan ketegasannya begitu berhadapan dengan Pandu Tawa. Ilmu apa yang dimiliki pemuda tampan itu? Sedangkan tiga utusan dan Biara Sita itu masih saja tertawa hingga berguling-guling, padahal wajah mereka sudah menjadi merah kehitam-hitaman karena terlalu banyak kuras tenaga.

Tawa mereka tidak mau berhenti sebentar pun dan sukar di kendalikan. Lalu, apa hubungannya dengan kegugupan Lili? Terkena semacam racun yang bernama racun gugup, atau karena hatinya berdebar-debar menghadapi ketampanan pemuda yang melebihi ketampanan Yoga itu?

EMPAT

UTUSAN Biara Sita dibiarkan terkapar pingsan di tepi sungai. Lili bergegas kembali ke pondok. Tapi rupanya Pandu Tawa ikuti kepergian Lili sampai ke pondok. Lili semakin kaget dan salah tingkah setelah tahu pemuda tampan itu ternyata mengikutinya. Sebelum masuk ke pondok, Lili sempatkan berhenti dan mem-biarkan Pandu Tawa mendekat. Ia justru sunggingkan senyum seakan sangat senang disusul oleh Pandu Tawa.

"Maaf, aku terpaksa susul kamu kemari, karena aku lupa tanyakan siapa namamu."

"Namaku...?" gadis itu tersipu malu, dengan sedikit menunduk ia menjawab, "Namaku Lili."

"Ooo...!" Pandu Tawa manggut-manggut dengan senyum menawan. Lalu ia berkata sambil berlagak memandang sekeliling, "Aku pernah mendengar nama Lili. Tapi dia seorang pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Putih."

"Akulah itu!" sergah Lili, lalu segera sadar dan sembunyikan semangat kegembiraannya. Tak seharusnya ia bersikap seperti itu, seakan menampakkan rasa bangganya mendengar Pandu Tawa sebutkan gelar kependekarannya. Rasa sesal itu membuat Lili kian malu.

"Jadi, kau adalah murid Eyang Dewi Langit Perak?"

Kali ini Lili benar-benar kaget. "Dari mana kau tahu?"

"Dari kakekku. Dia sahabat Dewi Langit Perak, dan tahu persis percintaannya dengan Eyang Dewa Geledek yang bersemayam di Gunung Tiang Awan itu."

"Sssi... siapa...? Siapa nama kakekmu?" Lili jadi tambah grogi.

"Aku cucu dari Eyang Wejang Keramat yang tinggal di Bukit Gobang Wetan! Mungkin kau pernah dengar nama Wejang Keramat?"

"O, ya! Pernah!" lebih semangat lagi Lili dalam menjawab. "Guru pernah ceritakan tentang Eyang Wejang Keramat. Tapi,.. Guru tidak pernah ceritakan bahwa Eyang Wejang Keramat punya cucu bernama... bernama...." Lili berpikir dengan gelisah. "Bernama...."

"Pandu Tawa," sahut pemuda itu.

"O, ya! Pandu Tawa!" Lili tertawa kikuk, menutupi kegugupannya. Apalagi setelah ia dipandangi Pandu Tawa beberapa helaan napas, ia merasa semakin salah tingkah dan tahu harus bicara apa padanya.

"Kau tinggal di rumah ini?"

"Ya Tinggal di rumah ini," jawab Lili sambil tersenyum bingung.

Pandu Tawa manggut-manggut, berharap dipersilakan mampir, tapi Lili tak tahu harus ucapkan kata seperti itu karena gugupnya. Lili sendiri jengkel dalam hati, mengapa ia menjadi gugup dan seperti anak kecil begitu? Seharusnya ia bersikap seperti biasanya; tegas, berwibawa, dan tegar. Tapi mengapa begitu bertemu Pandu Tawa ia menjadi tak bisa bersikap seperti itu?

Perlahan-lahan Lili kuasai diri, redakan debar-debar dalam hatinya. Ia menelan napas beberapa kali untuk mengusir kegugupan itu. Dan ia sedikit berhasil, walau masih sering menggeragap jika tiba-tiba matanya beradu pandang dengan si tampan penggoda hati wanita itu.

"Aku tak sangka kalau kau terlibat persoalan dengan orang-orang Biara Sita?"

"Aku sendiri... eh, ya... aku sendiri tak sangka."

Pandu Tawa berkerut dahi, "Maksudmu bagaimana? Apakah sebelumnya kau tidak ada persoalan dengan orang-orang Biara Sita?"

"Tidak. Eh, maksudku... tidak ada persoalan sebelum ini. Mereka mau memaksaku menghadap Ketua Biara Sita yang bernama Putri Kumbang!"

"Oh, bahaya! Kau bisa dipengaruhi dan menjadi pengikutinya. Dia tokoh sesat. Ilmunya memang cukup tinggi, tapi aku yakin tidak setinggi ilmumu!"

"Ah, kurasa tidak juga," jawab Lili sambil tersenyum dan menunduk. "Mereka tuduh aku melanggar undang-undang dan hukum yang sudah disepakati oleh para tokoh rimba persilatan!"

"Undang-undang macam apa itu?"

"Aku tidak tahu. Tapi... tapi aku dituduh melanggar hukum karena menyimpan sebuah kitab kuno, yang menurutnya tidak boleh dipelajari oleh manusia, karena kitab itu adalah kitab para dewa!"

Pemuda berwajah bersih itu manggut-manggut sambil kerutkan dahi. Lalu ia berkata dengan kedua tangan bersedekap di dada, "Aku memang pernah dengar, ada kitab yang dinamakan kitab para dewa. Tapi tak pernah dengar ada larangan bagi manusia untuk mempelajari isinya!"

"Aku akan diadili oleh Putri Kumbang dan harus serahkan kitab itu. Lalu aku bertahan."

"Benar, Kau harus bertahan. Putri Kumbang itu tokoh licik yang memang ingin menguasai seluruh rimba persilatan. Ia ingin semua tokoh rimba persilatan tunduk kepadanya. Ia ingin menjadi Ketua Maha Raja di dunia persilatan. Tapi sampai sekarang niatnya tak pernah tercapai, karena dia masih bisa dikalahkan oleh beberapa tokoh sakti lainnya! Hati-hati terhadap mereka. Kau bisa kena tipu."

"Eeh... hmmm... iya Terima kasih atas nasihatmu!"

"Kalau mereka datang lagi mengganggumu, jangan sungkan-sungkan melawannya. Serang saja, biar mereka tak berani mengganggumu lagi."

"Iiyy... iya. Akan ku lawan mereka. Aku tak akan ragu-ragu lagi."

"Kalau begitu, aku permisi sekarang juga."

"Hmmm... ehh... anu... eh, kau mau ke mana, Pandu Tawa?"

"Aku mau ke teluk Gangga."

"Oh...?!" Lili terperanjat. "Maksudku... maksudku... mau apa kau pergi ke Teluk Gangga?"

"Membunuh seekor naga," jawab Pandu Tawa. "Di sana ada seekor naga yang ganas, munculnya setiap bulan purnama, titisan dari Ratu Gaib. Aku harus membunuh naga itu, karena ayahku hilang ditelan oleh naga tersebut!"

Sekarang Lili kembali gugup lagi seperti semula, karena ia tahu rahasia naga tersebut. Sedangkan ia tahu Pandu Tawa bertekad membalas dendam atas kematian ayahnya yang ditelan Naga Bara. Tapi hal itu akan membahayakan jiwa Pandu Tawa, sebab pemuda itu akan mati secara sia-sia jika hanya mengandalkan keberanian dan tekadnya saja. Karena itu, Lili pun segera berkata, "See... see... sebaiknya kau batalkan saja niatmu itu!"

"Tak bisa! Dendam ini sudah lama berkarang keras di dalam hati. Aku harus lakukan hal itu."

"Tap... tap... tapi... tapi tidakkah kau tahu bahwa Naga Bara itu sukar dibunuh? Tak bisa dilukai dengan senjata apa pun?"

"Aku tahu. Kakekku telah banyak ceritakan tentang naga tersebut. Bahkan kakekku pun menyarankan agar aku tidak bertindak dengan gegabah dan hanya memburu dendam saja."

"Maksudku... begini. Maksudku, naga itu hanya bisa dibunuh dengan sebuah pisau keramat yang bernama Pusaka Hantu Jagal!"

"Benar. Eyang Wejang Keramat juga katakan hal itu."

"Lalu...?"

"Lalu aku diberitahu Kakek, bahwa pusaka tersebut sekarang sudah ditemukan oleh seseorang yang bernama Tua Usil atau Pancasona. Dan aku sudah berhasil bertemu dengan Tua Usil, kemarin! Aku berhasil membujuknya, menukar pisau pusaka itu dengan ilmu 'Angin Saka',"

"Hahh...?! Bbbab... bab... bagaimana?" Lili semakin tampak gugup.

"Ku salurkan jurus 'Angin Saka' ke dalam tubuhnya, sehingga tubuhnya bisa punya ilmu peringan dan bisa berdiri di atas ilalang. Lalu, ilmu itu ditukarnya dengan pisau Pusaka Hantu Jagal."

Pandu Tawa keluarkan pisau tersebut dengan merogoh di balik belahan bajunya. Ia perlihatkan sebuah pisau yang sarung dan gagangnya berlapis kuning emas. Gagangnya berhias kepala raksasa. sarungnya berukir-ukir indah.

Lidah Lili semakin kelu tak bisa berkata apa-apa. Hatinya memendam kedongkolan kepada Tua Usil. Ia tahu, pisau di tangan Pandu Tawa memang pisau Pusaka Hantu Jagal. Tapi ia tak sampai berpikir bahwa pisau itu akan ditukarkan oleh Tua Usil dengan sebuah ilmu yang bernama 'Saka Angin'. Benar-benar satu tindakan yang bodoh telah dilakukan oleh Tua Usil, dan hal itu membuat hati Lili menjadi memendam kemarahan.

Tetapi tertegunnya Pendekar Rajawali Putih itu diartikan lain oleh Pandu Tawa. Pemuda itu menyangka gadis cantik tersebut sangat terkagum-kagum melihat pisau pusaka itu. Padahal baru melihat bagian luar dan wujudnya saja, belum melihat kehebatannya. Pandu Tawa menduga, gadis itu akan lebih terkagum-kagum lagi setelah menyaksikan kedahsyatan pusaka tersebut!

Cepat-cepat pisau itu disimpan kembali ke balik bajunya. Pandu Tawa sunggingkan senyum kebanggaan, kemudian berkata, "Sebenarnya aku ingin sekali bicara lebih lama denganmu, Lili. Tapi aku harus selesaikan dulu uru-sanku, supaya tidak terlambat. Setelah nanti aku sele-saikan urusanku itu, aku akan singgah ke sini untuk menemuimu. Moga-moga belum ada pria lain yang menemani mu!"

Hanya seulas senyum yang bisa disampaikan oleh Lili kepada tamunya itu. Ketika tamunya melangkah pergi, hati Lili menjadi gundah. Ia buru-buru mengejar sebelum Pandu Tawa menghilang dari pandangan mata. Ia berseru memanggil, "Panduuu...!"

Pemuda itu hentikan langkah dan berpaling ke belakang. Ia tersenyum melihat Lili menghampirinya dengan berlari. Setibanya di depan pemuda itu, Lili menjadi gugup lagi, namun ia paksakan diri untuk mengatakan sesuatu.

"Pandu. kau kenal dengan penguasa Teluk Gangga?"

"Ya. Dewi Gita Dara namanya. Kenapa?"

"Dia punya sayembara. Siapa bisa bunuh Naga Bara, dia mau dijadikan istrinya atau...."

Pandu Tawa segera menyahut dalam senyuman indahnya, "Aku mencari seekor naga, bukan mencari jodoh."

"Hmm... maksudku... maksudku kalau kau mau, kau bisa ambil dia sebagai istrimu yang tercinta."

"Aku belum berpikir ke arah sana. Kita lihat saja nanti, apakah aku kembali lagi kemari membawa dia atau sendirian."

Lili-mengangguk sambil menelan ludah. Sikapnya yang serba salah tingkah itu menjengkelkan hati sendiri. Akhirnya ia berkata, "Berangkatlah...!" dan sebelum Pandu Tawa melangkah, Lili sudah lebih dulu berlari pulang ke pondok. Ia tak berani menengok ke belakang lagi. Bahkan begitu masuk ke dalam rumah, Lili cepat-cepat tutup pintu rumah itu.

Kemudian ia duduk dengan napas terengah-engah, tertegun diam sampai beberapa lama baru menyadari keadaan dirinya. Dalam hati ia berkata, "Mengapa perasaanku jadi seperti ini? Edan benar aku ini! Aku menjadi gugup berhadapan dengannya. Aku menjadi malu, namun punya kecemasan yang tak kumengerti. Aku punya niat ingin menahannya agar jangan pergi. Kenapa harus begitu? Kenapa aku harus berlari-lari menyusulnya hanya untuk suatu pembicaraan yang sebenarnya tak penting? Terkena apa aku ini, sehingga kehilangan ketegasan dan kewibawaan ku? Benar-benar aku tak mengerti, mengapa hatiku jadi berdebar-debar terus dan merasakan sebentuk keindahan yang amat panjang. Sampai sekarang aku masih merasa senang dan senang terus. Gila! Kurasa dia mempunyai kekuatan yang dapat membuatku senang terus begini?! Jika benar begitu, berarti dia punya ilmu cukup tinggi juga? Bisa-bisa aku bertekuk lutut dan tunduk dengan perintahnya jika aku terlalu lama bersamanya!"

Lili berusaha membuang perasaan senang itu. Lili takut keracunan rasa suka yang membuatnya tak bisa lepas dari pemuda tampan itu. Maka, ia segera ambil sikap semadi dan menenangkan pikirannya. Ia menerobos batin sendiri untuk membersihkan diri dari segala sesuatu yang timbul dan dilakukan di luar kesadarannya.

Setelah beberapa saat ia menenangkan pikiran dan mengendalikan batinnya, maka yang terbayang dalam benaknya adalah pisau Pusaka Hantu Jagal itu. Rasa senang di hati Lili berubah menjadi letupan-letupan kemarahan. Marah kepada Tua Usil yang telah bertindak ceroboh. Menukar pisau pusaka dengan sebuah ilmu adalah tindakan terbodoh yang pernah dili-hat Lili seumur hidupnya.

"Ternyata dia jauh lebih bodoh dari si Bocah Bodoh itu!" geram Lili dalam batinnya. "Seharusnya hal itu tidak ia lakukan. Kalau toh harus dilakukan, tentunya ia minta pertimbangan dulu kepadaku dan kepada Yoga. Benar-benar menjengkelkan si Tua Usil itu. Apakah dia tidak bisa ukur nilai sebuah pisau pusaka seperti itu dengan sebuah ilmu yang bisa membuatnya berdiri di atas ilalang?"

Kecamuk batin Lili terhenti sebentar. Ada sesuatu yang menyelinap dalam pikirannya. Terbayang saat Yoga pergi bersama Tua Usil, tujuannya hanya ingin membujuk Bocah Bodoh agar membatalkan niatnya dalam melawan Naga Bara.

"Mengapa tujuan mereka hanya ingin membujuk Bocah Bodoh? Mengapa tidak bertujuan membunuh Naga Bara sekalian? Bukankah Tua Usil mestinya merasa mampu mengalahkan naga titisan Ratu Gaib itu? Apakah karena ia menyadari bahwa pisau Pusaka Hantu jagal sudah tidak lagi di tangannya, lantas dia tidak berani punya gagasan untuk melawan atau membunuh naga tersebut?! Apakah itu berarti Yoga juga sudah tahu tentang pisau yang tidak lagi di tangan Tua Usil? Bagaimana jika Yoga tidak tahu hal itu, dan masih menganggap pisau pusaka ada di tangan Tua Usil? Bagaimana jika Bocah Bodoh nekat melawan, lalu Yoga ingin selamatkan Bocah Bodoh dari naga siluman itu, sementara Yoga beranggapan bahwa pisau pusaka ada di tangan Tua Usil? Jika mereka sudah telanjur berhadap muka dengan naga itu, tentu saja mereka terpaksa harus bertarung dengan sang naga. Tetapi tanpa pisau Pusaka Hantu Jagal, apa yang akan mereka peroleh? Hanya kematian yang sia-sia saja!"

Timbul rasa khawatir di hati Lili terhadap keselamatan Yoga dan Bocah Bodoh di Teluk Gangga. Jika Tua Usil terlambat memberitahukan tentang pisau itu kepada Yoga, maka Yoga dan Bocah Bodoh bisa-bisa menjadi santapan Naga Bara.

"Aku harus menyusul mereka dan membicarakannya dengan Yoga!"

Begitulah keputusan hati Lili setelah merenungkan berbagai pertimbangan. Maka ia pun segera memanggil burung rajawalinya. Kedua tangan yang menggenggam beradu di depan dada, lalu dari pertengahan genggaman itu melesat sinar putih perak berbentuk gelombang-gelombang lingkaran yang melesat menuju ke langit. Sinar hijau itu timbulkan suara dengung yang semakin tinggi semakin menggema memenuhi angkasa.

Pada saat seperti itulah, sang rajawali putih yang berada di tempat mana saja segera terbang memburu ke arah datangnya suara dengung, karena dengung tersebut merupakan panggilan khusus baginya yang tidak dipahami oleh burung-burung lainnya.

Dengan mengendarai burung rajawali putih, Lili segera terbang menuju Teluk Gangga. Ia melintasi samudera luas hanya dengan seekor burung besar itu saja. Ia duduk di atas punggung burung dengan tegar dan sangat mengagumkan, sebagai pendekar perempuan yang punya keberanian tinggi. Dalam keadaan seperti itu, cahaya wibawa memancar dari wajah dan sikap penampilannya. Lili kelihatan sebagai gadis cantik yang berkharisma tinggi. Bukan gadis bodoh yang serba gugup seperti yang dialaminya di depan Pandu Tawa.

Deeg...! Hati Lili kembali tersentak, namun kali ini hanya sekejap. Sesuatu yang membuat hatinya tersentak adalah suatu pemandangan di permukaan air laut yang bergelombang tenang itu. Sebuah perahu berlayar kecil ditunggangi oleh seorang pemuda berpakaian biru muda. Siapa lagi dia kalau bukan cucu Eyang Wejang Keramat yang bernama Pandu Tawa. Pemuda itu berlayar sendirian mengarungi lautan dengan perahu kecil dan layar kecil. Namun laju perahu cukup pesat. Padahal angin tidak terlalu besar. Tenang-tenang saja.

"Jika bukan digerakkan oleh suatu kekuatan tenaga dalam tinggi, perahu itu tak mungkin bisa melaju dengan cepatnya. Tak seimbang dengan keadaan angin yang kala ini bertiup dengan lamban. Bahkan boleh dikata, lautan ini sekarang tanpa angin! Agaknya pemuda itu memang punya ilmu tinggi yang mengagumkan."

Pandu Tawa tidak tahu kalau di atasnya diikuti seekor burung rajawali putih. Merasa sendirian, Pandu Tawa saat itu sedang mengamat-amati pisau pusaka tersebut dengan perasaan bangga dan girang. Ia tidak tahu, bahwa sepasang mata gadis cantik sedang memperhatikan dari atas, lebih cenderung ke arah belakangnya. Ketinggian burung itu sedang-sedang saja, sehingga kibasan sayapnya tak sampai mengguncangkan perahu yang melaju dengan pesatnya.

Pada kesempatan lain, mata Lili melihat sebuah kapal berlayar lebar sedang bergerak memotong jalan perahunya Pandu Tawa. Perahu yang tak seberapa besar itu ditunggangi oleh seorang lelaki tinggi mengenakan jubah abu-abu. Lili perhatikan terus lelaki berjubah abu-abu itu, sampai ia temukan ingatannya yang mengatakan bahwa laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu adalah orang yang bernama Jubah Jangkung. Lili pernah jumpa orang itu dalam sebuah pertemuan para tokoh sakti di sebuah bukit.

Jubah Jangkung adalah kekasih Nyai Kuku Setan yang pernah mau tuntut balas kepada Tua Usil, namun saat itu Tua Usil dibela oleh Nyai Bungkuk Renta (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode Jejak Tapak Biru). Lili pun pernah dengar cerita itu dari Tua Usil.

Melihat gerakan kapal yang ingin memotong jalur lintas pelayaran perahu kecil tersebut, Lili dapat menduga bahwa Jubah Jangkung yang berwajah sedingin es itu punya maksud kurang baik terhadap Pandu Tawa. Maka perhatian Lili pun tak mau lepas dari mereka! Bahkan ia suruh burungnya terbang lebih tinggi dan memutar-mutar di tempat itu, membayang-bayangi Panda Tawa.

Pandu Tawa terkejut ketika ia mendengar gemuruh ombak berbeda dengan yang tadi. Ia lebih terkejut lagi setelah tahu di depannya ada kapal bertiang layar tunggal. Buru-buru ia sembunyikan pisau tersebut di balik baju birunya. Setelah ia tahu Jubah Jangkung ternyata berdiri di atas geladak kapal dengan mata memperhatikan ke arahnya, Pandu Tawa mulai curiga terhadap lelaki bermata cekung bersorot pandang dingin itu.

Kapal itu sengaja dibuat mendekati perahu Pandu Tawa, Kecepatan lajunya menjadi sama. Pasti Jubah Jangkung juga kerahkan tenaga dalamnya secara diam-diam agar layar perahunya dapat tertiup lebih kencang dari hembusan angin yang ada.

"Singkirkan kapal mu, Jubah Jangkung. Perahu ku bisa pecah terhantam oleh kapal mu!"

Jubah Jangkung hanya menjawab, "Aku memang ingin hancurkan perahu mu dan dirimu sendiri, ke-cuali kau mau serahkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu padaku!"

"Aku tidak memilikinya!"

"Aku melihatnya!" jawab Jubah Jangkung bernada datar.

"Huah, hah, hah, hah, hah...!" Pandu Tawa lepaskan suara tawanya berkepanjangan. Itu pertanda ia sedang tebarkan racun yang membuat seseorang menjadi tertawa terus hingga tak sadarkan diri.

Tetapi orang berwajah angker dan tak pernah mau tersenyum itu tetap saja diam memandangi Pandu Tawa. Rupanya ia bisa tolak kekuatan yang dinamakan Racun Tawa itu, sehingga jurus yang digunakan Pandu Tawa itu tidak berlaku. Pandu Tawa menyadari hal itu, dan ia mulai cemas serta kecewa. Ternyata ada orang yang mampu menahan kekuatan Racun Tawanya dengan tanpa mengedipkan matanya sedikit pun.

Perahu yang ditunggangi Pandu Tawa itu berhenti total. Pandu Tawa sempat berkerut dahi. Pasti pekerjaan Jubah Jangkung yang membuat perahunya berhenti. Dengan kekuatan tenaga dalam yang terpancar melalui pori-pori tubuhnya, Pandu Tawa berusaha kerahkan angin agar perahu jalan kembali. Namun usahanya itu gagal. Jubah Jangkung tetap pandangi dirinya dengan kedua tangan bersedekap di dada. Rambut kucainya yang panjang itu dibiarkan meriap-riap dihembus sepoi angin samudera.

"Jangan menggangguku, Jubah Jangkung. Nanti kau kecewa sendiri!" gertak Pandu Tawa dengan nada tak terlalu keras.

Zlaaap...!

Jubah Jangkung hilang dari pandangan mata Pandu Tawa. Pemuda itu mencari-carinya, tahu-tahu orang yang dicari sudah ada di atas perahunya, berdiri tenang bersedekap di belakangnya. Suara orang itu terdengar mengagetkan Pandu Tawa,

"Bersiaplah! Aku akan merebut pisau yang kau selipkan di balik bajumu itu, Pandu Tawa!"

"Kau tak akan berhasil, Jubah Jangkung!" geram Pandu Tawa.

Jubah Jangkung menuding layar perahu. Tiba-tiba tali layar putus dengan sendirinya. Taaas.! Sampai di bawah, layar itu kepulkan asap dan terbakar dengan nyala api cukup besar, Tentu saja hal itu membuat Pandu Tawa marah. Namun ia harus bisa menahan kemarahannya karena yang dihadapi bukan manusia biasa melainkan orang berilmu tinggi.

Pandu Tawa pandangi nyala api yang membakar layarnya itu. Dalam sekejap nyala api itu menjadi padam. Blaab...! Tinggal asapnya yang mengepul dan sisa layar yang hangus tak bisa dipakai lagi itu.

Trak...! Prak...! Doog...!

Suara apa itu? Pikir Pandu Tawa. Kemudian ia rasakan perahunya makin lama semakin rendah. Tepiannya kian dekati permukaan air laut. Air laut pun mulai menggenangi dasar perahu. Maka sadarlah Pandu Tawa bahwa perahunya telah dibuat bocor oleh Jubah Jangkung dengan kekuatan batinnya.

"Kurang ajar! Dia telah membuat perahu ku bocor!" geram Pandu Tawa dalam hatinya. Kejap berikutnya kembali terdengar suara,

Draaak.,.! Praaak...! Braaak...!

Jubah Jangkung gerakkan bola matanya pelan, melirik ke arah kapalnya. Ternyata kapal itu sudah miring ke kanan. Jubah Jangkung sadar, bahwa lambung kanan pasti telah dirusak oleh kekuatan batin yang dimiliki oleh Pandu Tawa, Kapalnya pun makin lama makin tenggelam, sementara perahu itu pun makin lama makin penuh dengan air. Dalam hati Jubah Jangkung hanya membatin,

"Bocah ini rupanya punya kekuatan batin tingkat tinggi juga?! Sebaiknya kuserang dengan kasar! Belum tentu dia punya kecepatan gerak menyamaiku!"

Zlaaap...! Buuuhg...!"

Pandu Tawa seperti terkesiap dikagetkan oleh suatu gerakan. Tiba-tiba ia sadari dirinya telah jatuh di lantai perahu dan digenangi air laut. Rupanya Jubah Jangkung telah memukulnya dengan satu gerakan cepat yang tak mudah dilihat oleh mata.

"Uuh...! Dadaku panas sekali. Uuuh...! Aku... sulit bernapas!" Pandu Tawa berusaha bangkit, namun jatuh kembali. Kekuatannya bagai telah dilumpuhkan dengan hanya satu kali pukulan telapak tangan berkekuatan tinggi. Sementara itu, Jubah Jangkung sudah berada di tepian geladak kapalnya yang makin miring makin tenggelam.

Melihat keadaan Pandu Tawa yang tak bisa bangkit, Lili yang ada di atas burung Segera mengetahui bahaya yang sedang dihadapi Pandu Tawa. Maka dengan cepat ia perintahkan rajawali putihnya untuk menukik dan menyerang Jubah Jangkung.

"Serang si Jubah Jangkung itu, Putih!" Clap, clap...! Seberkas sinar putih perak melesat dari kedua mata burung itu. Blaaar...! Kapal itu dihantam sinar putih dan meledak, Jubah Jangkung sendiri jatuh tergelincir ke bawah.

Byuuur!

Wuuut...! Cakar rajawali menyambar badan Pandu Tawa dan membawanya lari, terbang kian tinggi, sementara Pandu Tawa merasa tak bisa berbuat apa-apa. Sekujur tubuhnya menjadi lemas. Ia pasrah di dalam cengkeraman cakar rajawali besar itu.

LIMA
RAJAWALI putih diperintahkan mendarat di sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Di sana, Lili lakukan pengobatan untuk Pandu Tawa. Dalam waktu singkat ternyata Lili telah berhasil sadarkan Pandu Tawa, lalu kekuatan pemuda itu berangsur-angsur membaik.

Kalau saja Lili mau lakukan, sebenarnya ia bisa saja mencuri pisau bersarung emas yang terselip di balik baju Pandu Tawa ketika pemuda itu pingsan tadi. Tapi Lili tak mau lakukan karena hati nuraninya bertentangan dengan perbuatan tersebut.

"ini kesalahan Tua Usil jika pisau pusaka sampai jatuh ke tangan orang lain. Pandu Tawa toh tidak mencurinya. Jadi aku tak perlu mencuri pisau Ini! Biarlah nanti Pandu Tawa dan Tua Usil yang berurusan tentang pisau ini!"

Pendekar Rajawali Putih hanya lakukan pertolongan, karena hal itu dianggapnya suatu balas jasa atas pertolongan Pandu Tawa, saat Lili terdesak hadapi tiga utusan dari Biara Sita itu. Pandu Tawa sendiri merasa lega dan tenang, karena ia berhasil ditolong dan diselamatkan oleh Lili. Bahkan ia berkata kepada Lili,

"Tak kusangka kau ternyata menyusul ku juga!"

"Suatu hal yang kebetulan saja!" jawab Lili dengan tenang. Sekarang ia bisa bersikap tenang, tegas. dari berwibawa. Mungkin karena ia telah lakukan semadi penguat jiwa, sehingga ia tak mengalami kegugupan dan perasaan aneh seperti di depan pondoknya itu. Lili merasa senang karena bisa bersikap tenang. Malahan ia berani berkata,

"Aku akan pergi ke Teluk Gangga juga untuk satu keperluan. Kau mau ikut denganku atau mau jalan sendiri?"

"Kalau kau tak keberatan, aku numpang padamu! Aku tak punya kendaraan lagi," kata Pandu Tawa dengan kalem dan tetap sunggingkan senyum menawan. Siiirr! Hati Lili berdesir, namun ia mampu menahan dan menyembunyikan desiran tersebut.

Pada saat Pandu Tawa membonceng di belakang Lili, duduk di atas punggung sang rajawali, kegundahan hati Lili mulai terasa lagi. Karena pada saat itu, Pandu Tawa memegangi pundak Lili selama dalam penerbangan. Lili tak bisa melarang karena keadaannya sangat beralasan. Akibatnya sentuhan tangan Pandu Tawa hadirkan kegelisahan serta debar-debar aneh lagi.

"Celaka! Aku kembali alami perasaan seperti ini! Diakah yang membuatnya begini atau perasaanku sendiri yang amat peka oleh sentuhan suasana seperti ini?" pikir Lili dengan mulut terbungkam.

Ia tetap berusaha kendalikan batinnya dengan susah payah. Makin lama ia rasakan makin ada sesuatu yang mendesak batinnya untuk menikmati debaran-debaran indah. Ada kekuatan yang memaksa batinnya untuk menerima perasaan senang dan menikmati kesenangan itu tanpa perlawanan apa pun. Maka Lili pun segera berkata dalam batinnya,

"Perasaan senang, gembira, dan bangga, terlalu kuat menekan batin ku, seakan memaksakan diri untuk di terima. Kalau begitu, jelas ini perbuatan batin Pandu Tawa. Dia sengaja kirimkan kekuatan batin ke dalam jiwa ku, supaya aku kehilangan ketegasan, keberanian, dan wibawa seperti biasanya! Aih, kenapa baru sekarang kusadari hal ini?!"

Terdengar suara Pandu Tawa berkata pelan, Apakah Jubah Jangkung tak kau bunuh?"

"Tidak," jawab Lili dengan pendek. Sengaja ia paksakan mulutnya untuk tidak lebih dari sepatah kata saja dalam menjawab, supaya ia tidak hanyut dalam kekuatan batin yang membuainya itu.

"Berarti dia masih hidup?" tambah Pandu Tawa bagai memancing kata.

"Masih!" jawab Lili pendek lagi.

Lama-lama Pandu Tawa merasakan kejanggalan itu. Setiap ia bertanya, hanya dijawab satu kata. Ia jadi curiga dan akhirnya bertanya dengan suara sedikit berbisik, "Mengapa sikapmu berubah?"

"Karena aku tak suka kau kirimkan kekuatan batin yang bersifat mendesak batin ku!"

"Aku tidak..."

"Jangan bohong! Aku tahu kau punya kekuatan batin tinggi. Kau bisa lakukan sesuatu dengan hanya gunakan kekuatan batinmu. Dan kau telah buai aku dengan keindahan batinmu yang mau tak mau terpaksa kuterima. Kau tak tahu, hal itu sangat menyakitkan hati, karena merasa batin ku di perbudak oleh kehendak batinmu!"

Pandu Tawa diam, sedikit menahan malu yang di sembunyikan. Untung ia berada di belakang Lili, sehingga tak merasa terlalu berat menerima kecaman seperti itu. Akhirnya Pandu Tawa pun berkata, "Kalau kau ingin pelajari kekuatan batin yang dinamakan ilmu 'Serat Jiwa', aku sanggup mengajarkannya padamu!"

"Terima kasih." Hanya itu jawaban Lili, selebihnya diam tak berucap. Tapi dalam hatinya ia bicara dengan dirinya sendiri. "Harus kupelajari kekuatan batin itu! Ternyata cukup penting. Dalam Kitab Jagat Sakti ilmu itu dinamakan Aji Sukma'. Aku akan pelajari ilmu 'Aji Sukma', dan Yoga pun harus bisa kuasai ilmu itu."

* * *

Rakyat Teluk Gangga mulai gelisah. Banyak yang menghadap Dewi Gita Dara mengemukakan kecemasannya, karena sebentar lagi malam bulan purnama akan tiba. Mereka diliputi perasaan takut menjadi korban seekor naga siluman itu. Mereka menuntut perlindungan. Tuntutan itulah yang membuat Dewi Gita Dara merasa terlalu dirongrong kewibawaannya.

Para penduduk yang diam di dekat kaki Bukit Palagan diungsikan untuk sementara waktu. Tempat di sekitar gua persembunyian Naga Bara itu dikosongkan sebelum purnama tiba dan naga tersebut mencari mangsa.

Pada saat itu, Bocah Bodoh yang memang mendengar sendiri keluhan dan kecemasan penduduk, segera berkata kepada Dewi Gita Dara, "Sebaiknya beritahukan saja kepada mereka, bahwa saya datang untuk membunuh Naga Bara. Dengan berkata begitu, penduduk pasti merasa tenang, Nona Dewi."

"Sebetulnya aku hanya ingin mengangkatmu sebagai pengawalku karena kau telah berjasa selamatkan aku dari serangan Raga Dewa. Aku tidak ingin kau melawan naga itu, karena sangat membahayakan jiwamu." Untuk lebih jelasnya baca serial Jodoh Raja-wali dalam episode: "Jejak Tapak Biru").

Bocah Bodoh tampak kecewa, ia berkata pelan, "Kalau begitu, percuma saya datang kemari, Nona Dewi!"

"Tidak percuma. Bukankah kau akan bekerja di sini sebagai pengawalku dan selalu tinggal di istana ini bersamaku?"

"Ya. Memang," katanya dengan malas-malasan. "Tapi, saya ingin bebaskan Nona Dewi dari beban ancaman Naga Bara yang setiap bulannya minta korban itu!"

Dewi Gita Dara yang mengenakan anting tindik di cuping kiri hidungnya itu tersenyum manis, hati Bocah Bodoh seperti mendapat durian runtuh. Senangnya bukan main. Lalu, Dewi Gita Dara berkata, "Aku tahu maksudmu sebenarnya, Bocah Bodoh. Kau ingin mengabdi padaku dan berani berkorban untukku. Tapi aku tak mau kau berkorban senekat itu. Berkorban tanpa perhitungan sama saja mati konyol."

Dengan wajah sedikit tertunduk, Bocah Bodoh berkata, "Itu sama saja Nona Dewi Gita Dara meremehkan kemampuan pedang pusaka saya! Padahal pedang pusaka ini saya peroleh dengan menimbulkan banyak korban, dan banyak pula yang mengincarnya!"

"Bocah Bodoh, aku tidak meremehkan pedang pusaka mu itu. Aku lihat sendiri kedahsyatannya kala itu. Tetapi, kalau kau gagal dengan pedangmu, kau akan mati ditelan naga itu. Dan hal ini yang tidak kuinginkan. Jika orang lain ingin mencoba melawan naga itu, biarlah dia mencoba, kalau ditelan naga atau mati di sana, aku tidak merasa kehilangan. Tapi jika kau yang mati disana, aku merasa sangat kehilangan."

Hati Bocah Bodoh yang usianya sudah mencapai lima puluh tahun itu mempunyai perasaan tenteram mendengar kekhawatiran Dewi Gita Dara. Tetapi ia berpikir,

"Kalau ada orang yang bisa bunuh naga itu, berarti Dewi Gita Dara diperistri orang itu. Lalu bagaimana dengan diriku? Padahal aku ingin bunuh naga itu supaya punya hak untuk menjadi suami Dewi Gita Dara. Aku kepingin sekali tidur di atas pangkuannya, makan bersamanya dan... ah, pasti aku akan bahagia jika menjadi suaminya. Tanpa melalui jalan membu-nuh naga itu, aku tidak akan bisa jadi suaminya. Dewi Gita Dara punya hak untuk menolak lamaranku. Tapi kalau aku bisa bunuh naga itu, Dewi Gita Dara tak akan berani tolak lamaranku!"

Bocah Bodoh bingung mendengar keberatan Dewi Gita Dara terhadap niatnya itu. Apakah keberatan sang penguasa Teluk Gangga itu dikarenakan rasa cinta, atau dikarenakan rasa yang lainnya? Bahkan da-lam pikiran Bocah Bodoh sempat berpendapat,

"Jangan-jangan dia tidak izinkan aku membunuh Naga Bara, karena dia takut kalau aku berhasil membunuhnya lalu dia harus mau menjadi istriku? Jangan-jangan begitu, ya?!"

Sambil berpikir dan berkecamuk sendiri, Bocah Bodoh menikmati hawa sejuk di bawah pohon beringin kembar yang ada di pelataran istana Teluk Gangga itu. Ia duduk di sana sendirian dan tak ada pengawal yang berani melarangnya. Sebab Dewi Gita Dara sudah umumkan kepada para pengawal dan pegawai istana, bahwa Bocah Bodoh telah diangkat menjadi pengawal pribadinya, dan bebas berada di mana saja. Dewi Gita Dara pun menceritakan kepahlawanan Bocah Bodoh saat mereka diserang oleh orang-orang Partai Bajak Samudera.

Pengangkatannya itu membuat Bocah Bodoh dihormati dan disukai oleh para pengawal lainnya, termasuk para pegawai istana sampai ke juru masak segala. Tetapi penghormatan dan sikap baik mereka itu tidak membuat hati Bocah Bodoh menjadi senang sebelum ia diizinkan melawan naga berkaki enam itu.

Makin sedih hati Bocah Bodoh ketika Dewi Gita Dara kedatangan tiga orang tamu dari lain daerah. Tiga orang tamu itu bermaksud menjadi peserta dalam sayembara membunuh naga. Walau sayembara itu sudah lama tidak pernah dibicarakan lagi, tapi bagi beberapa orang yang tergiur oleh kecantikan dan daya pikat tubuh yang dimiliki Dewi Gita Dara, sayembara itu masih berlaku dan selalu dikejar.

Tiga orang yang ingin melawan seekor naga ganas pada malam bulan purnama nanti adalah: Barong Bangkai, dari Perguruan Tebing Setan. Sakuntala, dari Partai Pengelana Tunggal. Dan. Jin Arak dari Lembah Gempa. Hal yang menjengkelkan hati Bocah Bodoh, ternyata, Dewi Gita Dara memberi kesempatan bagi mereka bertiga untuk mencoba membunuh Naga Bara. Padahal menurut Bocah Bodoh, ketiganya tidak ada yang mempunyai wajah tampan, tidak ada yang pantas menjadi suami Dewi Gita Dara seandainya ada yang bisa membunuh naga itu.

Barong Bangkai bertubuh tak begitu gemuk, namun wajahnya totol-totol bagai habis terkena penyakit kulit. Brewokan dan matanya sedikit cacat karena terlalu melotot keluar. Badannya sendiri sedikit bungkuk dan tak kelihatan gagah.

Sakuntala kurus kering. Kepalanya botak bagian depan, rambut belakangnya panjang. Ia bertubuh sedikit tinggi namun tidak termasuk jangkung. Matanya kecil, kumisnya melengkung ke bawah melewati perbatasan mulut. Usianya sekitar empat puluh tahun, sama dengan usia Barong Bangkai, juga usia Jin Arak. Sakuntala bersenjatakan tombak berujung bulan sabit, sedangkan Barong Bangkai bersenjata pedang besar tanpa sarung.

Jin Arak sendiri bertubuh gemuk, perutnya maju ke depan. Punggungnya bagaikan ada dua. Kepalanya gundul dan hanya memakai baju rompi pendek yang tak pernah bisa ditutupkan karena besarnya badan tak sesuai dengan besarnya rompi. Jin Arak sangat tidak pantas menjadi suami Dewi Gita Dara, kalau toh dipaksakan jadi suaminya, kasihan Dewi Gita Dara yang bertubuh mulus, langsing, sekal, dan lembut kulitnya. Jin Arak berkulit kasar, banyak noda hitam bekas koreng.

Dalam hati Bocah Bodoh benar-benar tak rela jika salah satu dari ketiga orang itu ada yang menjadi suami Dewi Gita Dara. Bocah Bodoh diam-diam mencari cara agar ketiga orang itu batal dan tak berhasil menjadi pembunuh seekor naga liar itu.

Terdengar Barong Bangkai berkata kepada Dewi Gita Dara, "Aku ingin melihat tempat yang biasa digu-nakan naga itu untuk keluar-masuk ke sarangnya."

"Pengawalku akan mengantarmu ke sana, Barong Bangkai!" kemudian Dewi Gita Dara perintahkan dua pengawalnya untuk mengantar Barong Bangkai ke daerah yang biasa digunakan naga itu mencari mangsa, tepatnya di kaki Bukit Palagan yang mempunyai lebih dari tujuh gua besar. Tapi tak ada satu pun gua yang digunakan untuk bertapa, karena salah-salah mereka masuk ke gua sarang naga.

Rupanya bukan hanya Barong Bangkai yang ingin melihat tempat tersebut, melainkan Sakuntala dan Jin Arak pun ingin melihatnya. Bahkan Bocah Bodoh diam-diam mengikuti langkah mereka yang diantar oleh dua pengawal. Ketika mereka tiba ditempat itu, tiba-tiba Bocah Bodoh mempunyai pemikiran yang ringan tapi menguntungkan bagi dirinya. Ia berkata dalam dirinya.

"Kalau aku bisa membunuh ketiga orang itu, berarti pada malam bulan purnama nanti hanya ada aku seorang yang menghadapi naga tersebut. Tapi kalau aku harus bunuh mereka, aku akan dinilai jahat oleh Dewi Gita Dara. Alangkah baiknya jika ku adu saja mereka bertiga, sehingga nantinya aku hanya punya satu orang lawan yang harus beradu kesaktian denganku dalam melawan seekor naga itu."

Tiga orang itu memeriksa semak-semak di sekitar kaki bukit. Tampak ada beberapa tanaman yang rebah dan membentuk jalur panjang. Pasti bulan lalu habis digunakan lewat naga tersebut. Bocah Bodoh ikut pula memeriksa semak-semak. itu tanpa tahu mengapa harus diperiksa.

Tetapi kesempatan itu digunakan oleh Bocah Bodoh untuk memperkenalkan diri sebagai pengawal pribadi Gusti penguasa Teluk Gangga. Untuk membuktikan kekuasaannya, Bocah Bodoh berseru kepada dua pengawal yang mengantar mereka,

“Tinggalkan tamu-tamu kita, nanti kami biar kembali sendiri ke istana!" sambil Bocah Bodoh sedikit busungkan dadanya biar gagah.

Kedua pengawal itu pun segera pergi, dan ketiga tamu itu percaya bahwa Bocah Bodoh punya jabatan di Teluk Gangga itu. Maka setelah mereka selesai mempelajari keadaan setempat, mereka pun berjalan menuju ke pantai untuk melihat kemungkinan sang naga bisa lari sampai ke pantai. Itu pun atas usul Bo-cah Bodoh yang berkata,

"Kalian dengar suara debur ombak? Nah, itu tandanya tak jauh dari tempat ini ada laut. Laut pasti punya pantai. Mungkin saja Naga Bara itu lari masuk ke laut, atau munculnya dari laut. Jadi sebaiknya mari kita periksa keadaan di sekitar pantai."

"Aku setuju!" kata Sakuntala. Jin Arak hanya menggumam dan manggut-manggut. Sebentar-sebentar ia meneguk araknya yang dibawa-bawa memakai kantong kulit binatang. Kantong kulit itu bertali dan diselempangkan dari pundak kiri ke pinggang ka-nan. Jalannya sebentar-sebentar seperti terantuk batu dan sering salah arah. Yang lainnya ke utara, dia bergerak ke barat. Setelah sadar baru kembali menyusul ke utara.

Pada saat mereka berjalan berempat menuju pantai, Bocah Bodoh sempat berkata, "Apakah kalian akan maju bersama menyerang naga itu nantinya?"

Barong Bangkai menjawab, "Tidak mungkin kami maju bersama. Nanti tidak ketahuan siapa yang berhasil membunuh naga itu!"

"Kurasa kami akan maju satu persatu," kata Sakuntala.

"Bagus. Itu bagus!" kata Bocah Bodoh berlagak pintar. "Tapi kalian nanti harus jujur dan tidak boleh sakit hati."

"Maksudnya bagaimana?"

"Kalau Sakuntala yang berhasil membunuh naga, maka dia yang akan menikah dengan Dewi Gita Dara. Barong Bangkai dan Jin Arak tak boleh sakit hati. Sakuntala yang berhak menikmati kesenangan dan kemesraan Gusti Dewi! Demikian pula kalau Barong Bangkai yang berhasil bunuh naga itu, yang lain tak boleh iri!"

"Ya, ya... aku mengerti!" kata Sakuntala. "Tapi kurasa yang bakal mendapatkan Gusti Dewi adalah Jin Arak!"

Jin Arak menyahut, "Ya, ya... aku mau! Aku mau!"

"Mengapa kau menjagokan Jin Arak?!" hardik Barong Bangkai.

"Karena kulihat Jin Arak punya tanda-tanda kesaktian lebih tinggi dari kalian berdua!" pancing Bocah Bodoh yang dalam keadaan seperti itu menjadi pintar, tapi pintar-pintar bodoh.

Sakuntala tersinggung mendengar ucapan itu, lalu berkata dengan suara keras, "Apa kesaktian Jin Arak? Dia tidak ubahnya seperti kambing yang sering bingung arah menuju ke kandangnya! Belum tentu dia bisa menghantam kepala Naga Bara dengan tepat. Bisa-bisa yang dihantamnya kepala orang!"

"Huah, ha, ha, ha...!" Barong Bangkai tertawa sambil tetap berjalan menuju pantai. "Jin Arak punya kesaktian kalau di bawah ketiak gundiknya! Ha, ha, ha...!"

"Heiii...!" kata Jin Arak dengan menuding Bocah Bodoh. "Kau jangan bicara sembarangan, ya?!"

"Lho, yang bicara Barong Bangkai. Bukan aku! Dia di sebelah sana!"

"O, iya...! Mana Barong Bangkai...?!" Jin Arak membetulkan arah tudingan tangannya. Lalu ia berkata kepada Barong Bangkai, "Barong Bangkai, kau harus minta maaf padaku karena ucapanmu tadi merendahkan harga diriku, tahu?!" sambil bicaranya meliuk-liuk karena terlalu banyak minum arak.

"Tak sudi aku minta maaf padamu! Kalau Sakuntala pantas minta maaf padamu. Tapi Barong Bangkai tak pantas meminta maaf pada siapa pun! Jangan anggap aku serendah Sakuntala!"

Sakuntala tersinggung, "Kenapa kau rendah-rendahkan aku, hah?!" Ia mendorong punggung Barong Bangkai.

Yang didorong makin tersinggung dan membelalakkan mata yang semakin lebar itu. "Kau berani bersikap kasar padaku, Sakuntala?! Kau belum tahu siapa aku? Aku orang Tebing Setan!"

"Apa hebatnya orang Tebing Setan? Kau pikir aku gentar mendengar nama Tebing Setan?!"

"Sakuntala! Jangankan hanya kau seorang. Kalian berdua maju bersama aku tak akan mundur sejengkal pun!"

Barong Bangkai membuat kedua orang itu marah. Jin Arak segera berkata dengan suaranya yang mengambang, "Hanya orang bodoh yang berani menantangku, Barong Bangkai! Kau dan Sakuntala maju bersama. Silakan serang aku jika kalian berdua ingin remuk kepalanya! Ayo, serang aku...!"

Bocah Bodoh mulai menjauh setelah mereka tiba di pantai. Hati mereka telah sama-sama panas. Maka terjadilah pertarungan di antara mereka bertiga. Bocah Bodoh diam di bawah pohon sedikit bersembunyi sambil hatinya merasa girang karena bisa membuat mereka saling bernafsu untuk membunuh.

Apa yang diharapkan Bocah Bodoh kali ini berhasil. Sakuntala dihajar habis oleh Jin Arak. Sekalipun dalam pertarungannya Jin Arak sempoyongan dan jika menyerang salah sasaran. Tapi gerakan kaki dan tangan yang tak diduga-duga itu membuat Sakuntala terpelanting beberapa kali.

Sakuntala gunakan senjatanya. Tongkat berujung pisau bulan sabit yang mirip ekor kelabang itu diputar-putarkan di sekeliling tubuhnya dengan dua tangan yang bergantian. Putaran cepat senjata itu memercikkan api ke mana-mana, membuat Jin Arak melompat-lompat takut terkena percikan api itu. Tetapi dengan sekali tepuk kedua tangannya; plaak...! Sakuntala tersentak ke belakang bagai dihantam keras kepalanya. Jin Arak tepuk lagi satu kali dengan keras, maka Sakuntala pun terpelanting jatuh dengan kepala retak.

Plaaak...! Jin Arak kembali tepuk tangan satu kali. Sakuntala tersentak kaku, kemudian tak bisa bernapas dan matilah dia dalam keadaan kepala berlumur darah. Rupanya jurus 'Tepuk Tangan' yang digunakan Jin Arak itu sangat berbahaya bagi lawan siapa saja.

Tetapi tidak demikian bagi Barong Bangkai. Ia hanya mencibir meremehkan jurus aneh yang menurut Bocah Bodoh mempunyai kehebatan yang luar biasa itu. Jin Arak yang tak pernah bisa berdiri tegak dan tak pernah bisa diam badannya itu kembali berkata,'

"Kau sekalian maju kalau mau seperti Sakuntala!"

Barong Bangkai yang merasa tertantang, segera melayani tantangan tersebut dengan jurus anehnya. Ia berlari mengelilingi Jin Arak. dan makin lama larinya semakin cepat sehingga Jin Arak dibuat bingung memandangi lawannya. Badan gemuk itu ikut berputar untuk menjaga serangan sewaktu-waktu. Tetapi gerakan lari Barong Bangkai semakin lama semakin lebih cepat lagi namun tidak segera lakukan serangan ke arah lawan.

Jin Arak merasa pusing dan segera sadar bahwa hal itu adalah merupakan kelemahan yang ditunggu oleh lawan. Maka Jin Arak segera berhenti, tak mau ikut berputar. Barong Bangkai masih berlari memutari Jin Arak. Dengan suara geram memanjang, Jin Arak akhirnya bertepuk tangan satu kali seperti menangkap seekor nyamuk di udara.

Plook...! Bruuus...! Barong Bangkai jatuh tersungkur. Plok...! Ploook...! Plook...!

Jin Arak bertepuk tangan berulang kali dengan jarak waktu tertentu. Setiap tepukan membuat tubuh Barong Bangkai menggerinjal dengan suara pekik tertahan. Akibatnya, Barong Bangkai memuntahkan darah kental cukup banyak. Sedangkan Jin Arak masih bertepuk terus dengan sentakan kuat.

Ploook...!

"Uuuhg...!"

"Kurasa kau akan mampus, Barong Bangkai! Huub..!" Plook...!

"Eeehg...!" Barong Bangkai tersentak, kejang sesaat, kemudian terkulai lemas dengan tubuh tak bernyawa lagi. Dari tiap lubang yang ada di tubuhnya mengeluarkan darah kental merah kehitam-hitaman.

Bocah Bodoh tertegun melihat kematian Barong Bangkai. Dalam hatinya ia berkata, "Sekarang tinggal satu lawanku. Tapi dia begitu sakti?!"

ENAM

DENGAN tubuh sempoyongan, Jin Arak dekati Bocah Bodoh ketika Bocah Bodoh ingin membawanya pulang ke istana. Matanya yang merah itu memandang sayu sambil sesekali cegukan. Agaknya Jin Arak dalam keadaan mabuk berat, sehingga tak bisa diajak bicara dengan baik-baik.

"Kau...," tudingnya ke arah kosong, padahal maksudnya mau menuding ke arah Bocah Bodoh. Hal itu membuat Bocah Bodoh merasa takut namun juga agak geli.

"Kau mau ikut susul manusia gangsing ini, hah?!" sambil ia menunjuk ke arah mayat Barong Bangkai dengan arah tak tepat.

Melihat keadaan Jin Arak menyeramkan begitu, Bocah Bodoh menjadi gemetar. Perasaan takut meliputi jiwanya, membungkus keberaniannya. Tubuhnya pun menjadi gemetar dan mulut terasa kaku untuk bicara. Apalagi Jin Arak melangkah sempoyongan semakin dekat, Bocah Bodoh kian dicekam perasaan ngeri melihat bentuk badan yang besar, gundul, dan bermata merah ganas itu.

"Kau mau ikut mereka, ha...?!"

"Tid... tidak. Tidak mau!" Bocah Bodoh geleng-geleng kepala.

"Kenapa kau ikut-ikutan berputar seperti Barong Bangkai?!"

"Ak... aku tidak berputar. Aku... aku diam di tempat!"

Mata Jin Arak kian tajam memandang. "O, tidak ya?!"

"Sebaiknya... sebaiknya kita pulang ke istana, Jin Arak," bujuk Bocah Bodoh.

Jin Arak menyentak keras membuat Bocah Bodoh terlonjak di tempat, "Siapa yang punya. istana!"

"Bu... buk... bukan saya, Jin Arak. Bukan saya. Sumpah!"

Jin Arak menepuk-nepuk dada dengan tangan lemas, "Aku yang punya! Aku pemiliknya. Ngerti?!"

"Iiiy... iya, ngerti!"

Jin Arak lebih mendekat lagi. Ia mencengkeram baju Bocah Bodoh sambil mendekatkan wajahnya dan berkata, "Aku calon suami Dewi Gita Dara! Tahu?! Calon suami!"

"Iiiy... iya. Calon suami."

"Naga itu akan kubunuh sekarang juga. Mana dia. hmm...?! Mana?"

"Tid... tidak tahu. Bukan saya yang membawanya!"

Dengan sekali angkat tubuh Bocah Bodoh dilemparkan ke arah laut. Wuuut...! Dan Jin Arak berseru, "Bodoh!"

Bruus...! Untung jatuhnya di pasir, kalau bukan di pasir pantai. sudah pasti tubuh Bocah Bodoh akan terluka atau terkilir. Ia dapat dilambungkan dengan hanya menggunakan satu tangan. Ini menandakan Jin Arak dalam keadaan mabuk mempunyai kekuatan yang amat besar. Bocah Bodoh tetap menyeringai karena rasa takut yang ingin membuatnya menangis. Sambil bangkit berdiri ia menggerutu pelan.

"Menyeramkan sekali orang itu. Aku tak punya keberanian untuk melawannya. Bisa-bisa kepalaku hancur seperti Sakuntala jika ia bertepuk tangan satu kali saja! Tapi... oh, bukankah aku mempunyai Pedang Jimat Lanang? Mengapa aku takut? Mengapa tidak kugunakan saja Pedang Jimat Lanang ini? Tebas bayangannya sebelum ia bertepuk tangan, mati sudah orang itu!"

Baru saja tangan Bocah Bodoh mau meraih gagang pedang, Jin Arak sudah berseru, "Hei, hei, hei...! Mau cabut pedang kau, ha...?!" sambil tangannya siap-siap bertepuk.

Bocah Bodoh takut dan berkata, "Tid... tidak. Saya mau garuk-garuk perut!" dan ia pun terpaksa menggaruk-garuk perutnya untuk kelabuhi anggapan Jin Arak.

Angin pantai berhembus cukup kencang, Anehnya hanya di tempat mereka berada saja. Bocah Bodoh sendiri heran, lebih-lebih Jin Arak yang mabuk, merasa heran diterpa angin besar yang menurutnya cukup aneh. Ketika mereka mendongak ke atas dan mendengar seruan seekor burung, barulah mereka tahu hembusan aneh itu datang dari kepak sayap burung besar warna merah.

Seekor rajawali warna merah sedang merendah bersama dua penumpangnya; Yoga dan Tua Usil. Mereka mendarat di pantai itu karena melihat Bocah Bodoh dilemparkan oleh orang gemuk dan se-dang dihampirinya dengan kesan terancam,

"Bocah Bodoh! Kami datang! Tenang, tenang...,!" seru Tua Usil ketika burung itu melintas tepat di atas kepala Bocah Bodoh untuk kemudian mendarat di tempat sedikit jauh dari Bocah Bodoh dan Jin Arak. Dan melihat kedatangan Yoga, Bocah Bodoh benar-benar merasa tenang serta gembira. Ia berani meringis di depan Jin Arak yang memandang burung dengan mata sedikit menyipit dan mulut terbengong.

"Mereka temanku. Tua Usil dan Tuan Yo!" kata Bocah Bodoh sambil cengar-cengir tanpa rasa takut seperti tadi.

"Apa benar dia naik burung perkutut?" tanya Jin Arak.

"Itu bukan burung perkutut! Huhh... dasar mabuk! Burung rajawali dikatakan burung perkutut?!" Bocah Bodoh berani mengecam sekarang. Ia melihat yoga dan Tua Usil berlari mendekatinya. Semakin berani ia bersikap di depan Jin Arak.

"Bagaimana keadaanmu, Bocah Bodoh?! Kau cedera?!" tanya Tua Usil yang menduga telah terjadi pertarungan seru antara Bocah Bodoh dengan tiga orang tak dikenal. Dua orang di antaranya sudah tergeletak menjadi bangkai, satu orang lagi masih hidup dan dianggap sedang berusaha ditumbangkan oleh Bocah Bodoh.

Yoga cepat bertanya kepada Bocah Bodoh setelah menatap ke arah mayat Sakuntala dan mayat Barong Bangkai, "Apa yang terjadi di sini, Bocah Bodoh?!"

"Aku yang bunuh mereka berdua. Mau apa kalian?!" Jin Arak tunjukkan sikap tidak bersahabat.

Tua Usil memandang dengan gemas, tapi Yoga memberi isyarat supaya Tua Usil tidak bertindak. Yoga tahu, orang gemuk itu sedang mabuk. Buktinya orang gemuk itu segera meneguk araknya lagi dari kantong kulit. Setelah mendengar penjelasan dari Bocah Bodoh secara lengkap, maka Pendekar Rajawali Merah pun berkata,

"Sebaiknya kita menghadap Dewi Gita Dara! Bawa kami ke istana itu, Bocah Bodoh. Aku ingin bicaranya padanya!"

"Baik, Tuan Yo! Tapi bagaimana dengan kedua mayat itu?"

"Tak perlu dibawa dulu. Biar nanti orang-orang Dewi yang mengurusnya. Kita perlu laporkan hal ini kepada sang penguasa itu!"

Jin Arak dibujuk oleh Yoga sehingga akhirnya mau diajak pergi ke istana walau sepanjang perjalanan selalu bikin ulah yang menjengkelkan hati Tua Usil. Bocah Bodoh sempat ingatkan kepada Tua Usil dengan berbisik,

"Hati-hati terhadap Jin Arak. Hanya dengan bertepuk tangan dia bisa bunuh lawannya dengan mudah. Ilmunya tinggi!"

Tua Usil hanya manggut-manggut menahan kejengkelan. Sampai akhirnya mereka berhasil menghadap Dewi Gita Dara yang bertindak sebagai ratu di is-tana megah tersebut. Kehadiran Yoga dan Tua Usil disambut hangat oleh Dewi Gita Dara. Perempuan itu tampak riang dan berseri-seri melihat kehadiran Yoga dan Tua Usil.

"Sudah kuduga kalian pasti akan datang juga," kata Dewi Gita Dara sambil menatap ke arah Yoga.

"Baru saja aku datang sudah melihat kejadian yang tak sehat, Dewi. Kusarankan kau buat pengumuman baru."

"Pengumuman tentang apa?"

"Pembatalan sayembara itu! Tutup saja sayembara itu supaya tidak timbulkan banyak korban sia-sia, seperti yang dialami Sakuntala dan Barong Bangkai itu!"

Dewi Gita Dara tertegun diam setelah menerima laporan lengkap dari Bocah Bodoh. Kemudian, Yoga tambahkan kata,

"Akan terjadi saling bunuh seperti ini jika sayembara mu tidak segera ditutup. Akibatnya banyak yang mati bukan karena melawan naga itu, melainkan melawan sesamanya sendiri. Kau akan dikecam sebagai penguasa penyebar petaka di dunia persilatan!"

"Kecaman itu sudah telanjur kuterima sebenarnya. Tapi itu bukan salahku. Aku tidak pernah menyuruh mereka untuk saling bunuh. Aku menyuruh mereka untuk membunuh Naga Bara!"

"Benar! Tapi akibat dari apa yang kau suruhkan itu adalah bencana besar bagi kaum lelaki. Jujur saja kukatakan, semua kaum lelaki berminat menjadi suamimu, dan itu akan mengundang mereka untuk saling bunuh. Kau belum terlambat, Dewi Gita Dara. Kau masih bisa menghapus kecaman itu di mata dunia persilatan!"

Rupanya Jin Arak yang ada di belakang jauh dari Yoga itu mendengar percakapan tersebut. Dari tempatnya duduk di lantai dengan santai, ia berseru keras-keras, "Aku tidak setuju!" lalu ia bangkit dan menggeloyor hendak Jatuh. Jin Arak berjalan limbung dekati Dewi Gita Dara. Dalam jarak empat langkah ia berhenti dan berseru; "Aku tidak setuju kau menutup sayembara mu, Dewi Gita Dara. Aku sudah telanjur datang kemari. Sayembara itu harus tetap berjalan. Kalau tidak, akan ku obrak-abrik istana ini!"

Yoga segera mengatasi ancaman tersebut dengan berkata, "Jin Arak, jangan turuti nafsumu sendiri. Pikirkan nasib para peserta lainnya yang menderita kematian seperti Sakuntala dan Barong Bangkai itu! Mereka mati bukan membunuh naga, bukan melawan Naga Bara, tapi melawan dirimu!"

"Itu salah mereka sendiri, mengapa mereka berani menghina dan mengusik Jin Arak?!" bantahnya. "Kau pun bisa kubuat senasib dengan mereka jika berani menentang kehendakku!"

Tua Usil panas hatinya mendengar ucapan Jin Arak. Belakangan ini, ia memang tak bisa banyak me-nahan kesabaran seperti dulu. Ia cepat menjadi panas hati dan mudah tersinggung oleh kata-kata lawan ataupun orang yang belum dikenalnya. Karena itu, Tua Usil segera berkata kepada Jin Arak, "Jin Arak. kuharap kau bersikap sopan di depan tuan ku!"

"Aku sopan?! Ya. Aku telah bersikap sopan. Tapi dia punya usul yang membahayakan dan mempengaruhi pikiran Dewi Gita Dara! Aku tidak setuju dengan caranya itu! Kalau memang dia mau ikut jadi peserta sayembara, jangan begitu caranya!"

"Tuan Yo tidak ingin jadi peserta sayembara. Tuan Yo hanya inginkan supaya Nona Dewi tidak mendapat kecaman buruk di mata dunia persilatan. Harap kau mau mengerti."

"Tidak mau!" bantahnya dengan suara keras dan gerakkan tangan berkelebat lemas. "Aku tidak mau mengerti, karena aku sudah telanjur ingin membunuh Naga Bara! Aku ingin buktikan di mata dunia persilatan bahwa Jin Arak adalah tokoh sakti yang layak mendapat penghargaan besar, yaitu menikah dengan Dewi Gita Dara! Ha, ha, ha...!"

Tua Usil dan Yoga sama-sama pandangi Dewi Gita Dara, sementara Bocah Bodoh menatap ke arah Tua Usil dengan mulut terbungkam. Dewi Gita Dara menjadi bingung memutuskan hal itu. Kejap selanjutnya ia pun berkata,

"Begini saja Yoga... beri aku waktu semalam untuk mempertimbangkan usul dan saranmu itu!"

Jin Arak menyahut, "Tidak bisa! Kau tidak boleh tutup sayembara ini jika tidak ingin kubuat hancur kekuasaanmu! Kalau pemuda itu mau ikut campur, kuhancurkan sekalian kepalanya!" sambil ia menunjuk Bocah Bodoh, walau yang dimaksud adalah Yoga.

Tua Usil segera berkata dengan suara membentak, "Jin Arak! Kalau kau berniat hancurkan kepala Tuan Yo, kau harus berhadapan denganku lebih dulu!"

Jin Arak memandang Tua Usil sambil menggeram keras karena merasa ditantang. Dengan mata mendelik merah dan tubuh bergoyang-goyang Jin Arak berkata, "Kau membuatku marah, Tikus Sawah! Kubuktikan kesaktianku!"

Jin Arak baru saja mau bertepuk tangan, tapi Tua Usil sudah lebih dulu sentakkan tangan kirinya dengan cepat. Wuuut...! Telapak tangan kiri itu belum sampai menyentuh perut besar Jin Arak, tapi orang gemuk itu sudah terlempar keras, melayang keluar dari serambi depan istana.

Bluuhg...! Terdengar suara jatuhnya di halaman depan istana itu cukup jelas. Tua Usil melompat mengejarnya tanpa hiraukan seruan Yoga yang mencegahnya,

"Jangan layani dia, Tua Usil! Dia dalam keadaan mabuk!"

Tua Usil sampai di depan istana, pada tangga kedua dari bawah. Bocah Bodoh, Yoga, Dewi Gita Dara, dan dua pengawal lainnya bergegas susul Tua Usil keluar. Pada waktu itu, Jin Arak segera bangkit dan lepaskan pukulan bersinar dari tangannya. Pukulan itu keluarkan cahaya kuning bagaikan besi lurus ke dada Tua Usil. Namun dengan cepat bagai tangan bergerak sendiri, seberkas sinar hijau berkelebat dari dua jari Tua Usil dan menghantam sinar kuningnya Jin Arak.

Blaaar...!

Benturan itu timbulkan suara ledakan yang bagai ingin meretakkan dinding-dinding istana. Tua Usil diam di tempat sedangkan Jin Arak terlempar lagi ke belakang dalam jarak cukup jauh, sekitar tujuh tombak.

"Tua Usil, tahan marah mu...!" Yoga mengingatkan.

Tapi Tua Usil berkata dengan wajah marah, "Sudah telanjur, Tuan! Saya bereskan sekalian dia!" Wuuut...! Tua Usil sentakkan kaki di lantai tangga, tubuhnya melayang jauh ke depan dan mendarat di depan Jin Arak dalam jarak tiga langkah. Jin Arak baru saja berdiri dengan sempoyongan. Begitu melihat lawannya sudah berdiri di depannya, ia segera angkat kedua tangan dan bertepuk satu kali.

Plook...!

Tua Usil hanya kibaskan badan ke samping. Ia tetap berdiri di tempatnya. Ketika Jin Arak ingin bertepuk satu kali lagi, Tua Usil cepat berkelebat maju dan menghantamkan telapak tangannya ke dada orang gemuk itu.

Buuhg...!

"Uuuhgg...!" Jin Arak terdorongke belakang dan terbungkuk sebentar dengan mulut ternganga serukan pekik tertahan. Mulutnya keluarkan darah kental hitam kemerah-merahan.

"Tua Usil, tahan...!" seru Yoga, ia segera bergegas hampiri Tua Usil karena tak menghendaki Tua Usil membunuh Jin Arak.

Namun sebelum Yoga tiba di tempat, Jin Arak sudah lebih dulu sentakan kaki dan melompat lari tinggalkan istana sambil berteriak, "Akan kubalas kau secepatnya! Akan kubalas kekalahan ku ini!"

Tua Usil ingin mengejar, tapi tangan Yoga cepat menyambar pundaknya dan mencengkeramnya. Tua Usil hentikan langkah dan berpaling kepada Yoga. "Tahan. Jangan turuti amarah mu. Tua Usil.'"

Pelan-pelan Tua Usil. kendurkan ketegangannya. Wajahnya terlihat lunak kembali. Kemarahannya surut perlahan-lahan. Kejap berikutnya ia menjadi heran sendiri dan bertanya, "Apa yang telah saya lakukan tadi, Tuan Yo...?!"

Pendekar Rajawali Merah hanya tarik napas dalam-dalam. Dewi Gita Dara terdengar berucap kata, "Hebat juga dia! Pukulannya bukan pukulan kelas ringan!"

Bocah Bodoh melirik tanpa senyum. Mereka memandang Yoga yang menuntun Tua Usil untuk kembali ke serambi istana.

TUJUH

SATU malam sudah Yoga menginap di istana itu. Ternyata menurut perhitungan penduduk Teluk Gangga, malam bulan purnama tepat jatuh pada esok malam. Tentu saja pada malam itu, Yoga membahas ma-salah sayembara tersebut dengan Dewi Gita Dara. Mereka bicara di taman, hanya berduaan.

Sekalipun belum tiba saat purnama, tapi rembulan sudah bertengger di angkasa. Sinarnya telah terangi bumi, dan membuat taman menjadi asri. Suasana itu sungguh indah untuk sepasang anak manusia yang ingin berkasih-kasihan. Tetapi tidak demikian halnya dengan Yoga dan Dewi Gita Dara. Mereka justru terlibat pembicaraan yang tidak menyinggung-nyinggung kemesraan sedikit pun. Dewi Gita Dara banyak bercerita tentang leluhurnya dan Naga Bara.

Malam itu diputuskan, Dewi Gita Dara akan tutup pengumuman sayembara tersebut. Menurut Yoga, jika tidak disebarluaskan tidak akan dianggap sah oleh mereka yang ingin mengikuti sayembara tersebut. Dewi Gita Dara setuju untuk menyebarluaskan penutupan sayembara tersebut. Esok ia akan suruh pegawainya untuk atur hal itu.

Tetapi kesibukan Dewi Gita Dara dalam mengatasi para penduduk yang mengeluh dan dicekam pera-saan takut itu membuatnya lupa memerintahkan pegawainya untuk menangani masalah penutupan sayembara. Apa lagi esok harinya Dewi Gita Dara kedatangan tamu penting, yaitu seekor burung rajawali putih yang membawa dua penumpangnya, Lili dan Pandu tawa.

Kehadiran Lili di Teluk Gangga membuat wajah Tua Usil makin ceria. Namun tidak demikian halnya dengan Yoga. Wajah pemuda itu berkesan murung dan tampak menahan kedongkolan. Bukan karena kehadiran Lili yang membuat hati Yoga dongkol, namun kebersamaan Lili dengan Pandu Tawa yang tampan itulah yang membuat dada Yoga bergemuruh dan ingin meledak rasanya.

Lili segera ambil kesempatan bicara berdua dengan Yoga, sementara Pandu Tawa bicara dengan Dewi Gita Dara mengenai maksudnya membunuh Naga Bara. Di sudut halaman samping yang tertata indah itu, Yoga bicara dengan Lili sedikit bernada cekcok. Pada dasarnya Yoga cemburu Lili naik rajawali berdua dengan Pandu Tawa. Namun Lili segera jelaskan permasalahan sebenarnya.

"Dan semua sudah kuceritakan padanya tentang siapa diriku dan siapa dirimu. Dia tahu kalau aku kekasihmu. Dia berjanji tidak akan mengganggu hubungan kita, bahkan ingin berkenalan dengan baik padamu, Yo! Tolong, pahami dulu niatnya itu, Jangan marah dulu, Yo!"

Agaknya Lili punya rasa takut juga jika Yoga telah cemburu begitu. Ia berusaha membujuk muridnya sebisa-bisa mungkin, sampai akhirnya Yoga pun melepaskan perasaan itu, membuangnya jauh-jauh, dan hati Lili menjadi lega kembali.

"Sebenarnya ada sesuatu yang penting ingin kubicarakan padamu. Tak bisa ditunda, Yo. Karenanya aku menyusulmu kemari."

"Tentang apa?"

"Pisau Pusaka Hantu Jagal itu sudah di tangan Pandu Tawa."

"Hahhh...?!" Pendekar Rajawali Merah belalakkan matanya lebar-lebar. Rupanya ia sangat terkejut dan belum mengetahui hal itu.

"Aku melihatnya sendiri. Melihat dengan jelas sekali, karena Pandu Tawa memperlihatkannya padaku, Yo!"

"Bagaimana mungkin pisau itu ada di tangannya?" Yoga bersungut-sungut dengan wajah menegang.

"Ini kesalahan Tua Usil. Ia menukar pisau itu dengan sebuah ilmu milik Pandu Tawa: Namanya jurus 'Angin Saka'. Jurus itu membuat Tua Usil bisa berdiri di atas ilalang, seperti apa yang diinginkannya dulu. Padahal sebelum peristiwa ini, aku lihat sendiri dia sudah bisa berdiri di atas ilalang!"

"Tolol sekali orang itu!" gerutu Yoga dengan jengkel.

"Pandu Tawa memiliki pisau itu sengaja untuk membunuh Naga Bara."

"Dia ingin menjadi suami Dewi Gita Dara?"

"Bukan. Dia hanya ingin membalas dendam, karena ayahnya dulu seorang pendekar yang mati dimakan Naga Bara!"

"Celaka betul kalau pisau itu sudah di tangan orang! Tempo hari Dewi Gita Dara ingin meminjamnya saja tidak diberikan, sekarang malahan ditukar dengan satu ilmu! Uuuh...!" Yoga menggeram menahan kemarahan hatinya.

"Mungkinkah pisau itu bisa kita minta lagi secara baik-baik, Yo?"

"Kurasa tak mungkin. Pandu Tawa jelas bukan orang bodoh!" jawab Yoga sambil cemberut. "Kita temui si Tua Usil itu!"

Yoga bergegas lebih dulu, Lili mengikutinya. Tapi mereka tidak menemukan Tua Usil, lalu, Yoga bertanya kepada salah seorang penjaga pintu gerbang istana. Orang itu memberitahukan bahwa Tua Usil pamit mau ke pantai, sebab sejak pagi Bocah Bodoh pergi ke pantai namun belum kembali sampai sesiang ini. Maka Lili dan Yoga pun bergegas pergi ke pantai untuk memarahi Tua Usil.

* * *

Di pantai, Bocah Bodoh sudah cukup lama duduk di atas sebuah batu. Ia termenung di sana, bicara pada dirinya sendiri, memikirkan jika sayembara itu ditutup oleh Dewi Gita Dara. Menurutnya, jika sayembara ditutup, berarti siapa pun yang berhasil membunuh Naga Bara belum tentu menjadi suami Dewi Gita Dara.

Tapi selama sayembara itu belum ditutup, siapa yang membunuh Naga Bara boleh memperistri Dewi Gita Dara. Sedangkan sampai sesiang itu Dewi Gita Dara belum kasih perintah kepada pegawainya untuk mengumumkan penutupan tersebut.

Menurut pemikiran Bocah Bodoh, peluang ini sebenarnya ada di tangan Tua Usil, karena Tua Usillah yang mempunyai pisau Pusaka Hantu Jagal, yang dapat dipakai membunuh Naga Bara. Jika Tua Usil da-tang ke Teluk Gangga, berarti Tua Usil nanti malam pasti akan melawan Naga Bara demi keselamatan penduduk Teluk Gangga. Setidaknya Yoga dan Lili perintahkan Tua Usil untuk lawan Naga Bara.

Itulah sebabnya Bocah Bodoh merasa sedih dan kecewa atas kedatangan Tua Usil ke Teluk Gangga. Dengan kedatangan Tua Usil ke Teluk Gangga, maka Dewi Gita Dara lebih percaya bahwa Tua Usil-lah yang mampu kalahkan Naga Bara ketimbang dirinya, pikir Bocah Bodoh. Akibatnya nanti, Tua Usil-lah yang mendapat tempat di hati Dewi Gita Dara. Terbukti waktu Tua Usil melawan Jin Arak, Dewi Gita Dara sudah menunjukkan rasa kagumnya terhadap kehebatan Tua Usil.

"Lalu untuk apa Nona Dewi mengangkat ku menjadi pengawal pribadinya? Pasti tidak ada gunanya. Pasti dia akan memilih Tua Usil sebagai pengawal pribadinya sekaligus sebagai suaminya ketimbang aku. Ah, Tua Usil pakai datang kemari segala! Dia bikin kacau rencanaku! Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kuterima dari pengorbanan ku dan kesetiaan ku terhadap Dewi Gita Dara? Padahal... aku sangat suka sama perempuan itu. Aku ingin sekali dipeluknya dengan hangat!"

Lamunan dan kecamuk batin Bocah Bodoh terputus, rasa dongkolnya kian membengkak di dada, karena saat itu Tua Usil datang untuk memberi tahu bahwa Nona Li tiba di Teluk Gangga. Ternyata berita kehadiran Lili tidak menarik bagi Bocah Bodoh, ia tetap diam termenung dengan wajah cemberut kesal.

"Kau dicari oleh Nona Li! Dia ingin bertemu dengan mu, Bocah Bodoh!"

Tak ada jawaban apa pun dari Cola Colo, si Bocah Bodoh itu. Bahkan memandang Tua Usil pun tak mau. Tua Usil merasa heran dan bertanya-tanya dalam hatinya; apa yang membuat Bocah Bodoh semurung itu. Maka ia pun menanyakan dengan ikut duduk di batu sebelahnya, "Ada apa sebenarnya? Kau tampak murung dan cemberut begitu?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Bocah Bodoh dengan ketus.

"Nada bicaramu berbeda, Bocah Bodoh."

"Biar saja!"

Tua Usil memandang dengan dahi makin berkerut. ia mencoba menerka-nerka dalam hatinya. Namun ia tidak bisa temukan apa penyebab kemurungan Bocah Bodoh itu. Maka, sekali lagi ia mendesak dengan bertanya, "Sebenarnya ada apa kau ini, Bocah Bodoh? Katakanlah!"

Dengan makin ketus Bocah Bodoh akhirnya menjawab, "Aku muak padamu! Muak sekali!" sambil Bocah Bodoh bangkit dan melangkah maju.

Tua Usil mengejar dan berseru, "Kenapa kau bersikap begitu padaku? Apa salahku, Bocah Bodoh?!"

"Jangan pura-pura tidak tahu!" sentak Bocah Bodoh. "Kau datang ke sini pasti untuk membunuh naga siluman itu!"

"Justru aku datang untuk mengajak mu pulang!" sanggah Tua Usil.

"Aku berani bertaruh, kau pasti nanti malam akan tampil sebagai pahlawan Teluk Gangga, karena kau punya pisau Pusaka Hantu Jagal yang bisa dipa-kai untuk melawan dan mengalahkan Naga Bara!"

"Kalau toh itu terjadi, aku hanya semata-mata menolong Dewi Gita Dara saja!"

"Iya! Kau bisa saja beralasan begitu. Tapi Dewi Gita Dara akan memujimu dan mengagumimu. Akhirnya kau akan dijadikan suaminya sesuai dengan sayembara yang belum sempat ditutup ini!"

Tua Usil menarik napas. Ia tahu masalah sebenarnya. Rupanya Bocah Bodoh merasa tersaing dengan kedatangan Tua Usil di Teluk Gangga itu. Tua Usil menyadari kehadirannya hanya mengecewakan hati seorang sahabat. Maka, Tua Usil pun berkata, "Baikah. Kalau begitu besok aku akan segera pulang dan tak ingin mengganggu rencanamu."

"Rencanaku sudah telanjur kau obrak-abrik, Tua Usil. Dewi Gita Dara telanjur mengagumimu. Dan sebentar lagi dia akan terpikat olehmu, lalu menjadi istrimu!"

Tua Usil masih paksakan diri untuk ajak tersenyum Bocah Bodoh sambil berkata, "Itu namanya nasib dan keberuntungan ku!"

"Iya, nasib dan keberuntunganmu kau peroleh dari merebut kesempatan milik teman sendiri! Padahal tanpa pisau pun aku bisa membunuh naga itu. Kau pikir hanya kau sendiri yang punya pusaka? Aku pun punya!"

Sreeet...! Bocah Bodoh menarik pusaka Pedang Jimat Lanang. Tua Usil kaget, dan segera naik pitam merasa ditantang adu pusaka. Maka dengan cepat Tua Usil melompat mundur dan mencabut pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik baju coklatnya.

Seet...!

"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa pamer pusaka? Aku juga bisa. Ayo, mau apa kau sekarang?!"

"Kau sendiri mau apa?! Mau adu pusaka? Boleh!"

Wuuut...! Bocah Bodoh melompat untuk ambil jarak. Kini keduanya sama-sama siap lepaskan serangan dengan gunakan pusaka masing-masing, yang satu menggunakan pusaka Pedang Jimat Lanang, yang satunya lagi menggunakan Pusaka Hantu Jagal. Padahal kedua pusaka itu sama kuatnya dan sama hebatnya, Hanya saja mempunyai kegunaan khusus yang berbeda-beda. Karena itu, baik Tua Usil maupun Bocah Bodoh merasa tidak mau saling mengalah. Mereka sama-sama merasa punya kekuatan lebih di luar kemampuan diri mereka masing-masing.

"Majulah kalau kau ingin celaka!" seru Tua Usil.

"Serang aku kalau kau bisa!" balas Bocah Bodoh.

Pada waktu itu, Yoga dan Lili muncul di pantai tersebut. Mereka sama-sama terkejut melihat Bocah Bodoh dan Tua Usil bertarung dengan menggunakan pusaka masing-masing. Mereka sangat cemas. Lalu keduanya sama-sama melompat menyambar satu-persatu. Yoga menyambar Tua Usil dan Bocah Bodoh disambar oleh Lili. Mereka saling dijauhkan. Tapi mereka sama-sama meronta. Bahkan Tua Usil sempat memukul dada Yoga dengan tangan kirinya.

Buhhg...!

"Lepaskan aku! Jangan ikut campur urusanku!"

Yoga tersentak ke belakang. Kaget bukan kepalang melihat Tua Usil berani melawannya. Sementara itu, ia pun melihat Bocah Bodoh dikuasai oleh keberanian dan kemarahannya. Ia meronta dari pertahanan Lili. Bahkan dengan cepat dan gesit, ia berhasil membanting tubuh Lili sambil berseru,

"Jangan campuri urusan kami! Akan kubunuh si Tua Usil itu!"

Buuhg...! Lili terbanting karena tidak melakukan perlawanan dan pertahanan. Sementara itu, Tua Usil berseru,

"Kau pun akan kubunuh dengan pusaka ini, Bocah Bodoh!" Tua Usil berlari.

"Heaaattt...!"

Bruukk...! Kakinya disengkat oleh kaki Yoga hingga ia jatuh tersungkur. Pada waktu itu, Bocah Bodoh pun berlari dengan hasrat membunuh sangat besar.

"Hiaaah...!" Sambil mengangkat Pedang Jimat Lanang yang siap ditebaskan, Bocah Bodoh melangkahi tubuh Lili yang masih berada di tanah. Begitu ia melompat, tangan Lili menyambar kakinya dan menariknya.

Bruus...! Bocah Bodoh jatuh tak bisa lanjutkan pelariannya. Lili cepat menghantamkan kakinya dengan tumit ke pergelangan tangan Bocah Bodoh. Duuhg...! Pedang terlepas dan Lili menyambarnya. Wuuut..! Sedangkan di pihak Tua Usil, Yoga berhasil memelintir tangan Tua Usil dengan kuat. Tua Usil memekik. Pisau itu terlepas dari genggamannya dan segera disambar oleh Yoga pula.

Wuuut...!

Yoga berlari ke pertengahan jarak, demikian pula Lili. Keduanya merasa lega karena telah selamatkan kedua pusaka yang amat berbahaya itu. Lalu, Lili pun berseru kepada Tua Usil dan Bocah Bodoh,

"Nah, sekarang kalau kalian mau bertarung, bertarunglah! Ayo, saling hantamlah kalian, asal jangan gunakan pusaka-pusaka ini!"

Bentakan kemarahan Lili membuat Tua Usil diam. Bocah Bodoh pun terbungkam. Wajah mereka mulai surut dari kemarahan. Kemudian Tua Usil terbengong dan berkata, "Apa yang telah saya lakukan, Nona Li?!"

Bocah Bodoh pun berkata, "Apa yang terjadi, Tuan Yo? Mengapa pedang saya ada di tangan Nona Li?"

Kedua pendekar itu saling hembuskan napas kelegaan. Mereka saling menyadari, bahwa ada satu kekuatan yang mendorong nafsu mereka untuk saling bunuh dan berani menentang Lili dan Yoga. Mereka tak jadi menyalahkan Tua Usil dan Bocah Bodoh. Pusaka mereka pun dikembalikan ke pemilik masing-masing.

"Jaga batinmu! Kendalikan nafsumu!" kata Lili kepada Tua Usil. "Sudah berapa kali ku ingatkan padamu, jaga batinmu dan kendalikan nafsumu! Jika kau tidak bisa lakukan, kau akan binasa oleh kekuatanmu sendiri. Mengerti?!"

"Mengerti, Nona Li," jawab Tua Usil dengan pelan dan takut.

"Kau juga begitu, Bocah Bodoh! Tak boleh mengumbar nafsu amarah yang tidak beralasan!"

"Baik, Nona Li," jawab Bocah Bodoh dengan lemah.

Mata Lili segera tertuju ke tangan kiri Tua Usil yang masih memegangi pisau pusaka. Pisau itu sudah disarungkan, tapi membuat Lili terheran-heran. Yoga pun mengikuti arah pandangan mata Lili, kemudian mengerti maksud keheranan Lili. Maka Yoga pun berkata,

"Dia masih mempunyai pisau Pusaka Hantu Jagal?!"

"Iya. Padahal aku melihat sendiri Pandu Tawa mempunyainya pula!" kata Lili bernada heran. Kemudian Lili dan Yoga dekati Tua Usil dan bertanya kepada orang berkumis dan berjenggot putih tipis itu,

"Apakah kau kenal dengan orang bernama Pandu Tawa?"

"Pandu Tawa...?!" Tua Usil merenung sebentar. "Tidak. Saya tidak kenal, Nona Li!"

"Apakah kau pernah menukar pisau itu dengan ilmu seseorang?"

"Sama sekali tidak pernah, Nona Li. Saya berani bersumpah!" Tua Usil agak ngotot.

"Aneh...?" gumam Lili sambil memandang Yoga.

Pada waktu itu, Pandu Tawa pun muncul. Tujuannya ingin bicara dengan Lili tentang rencananya nanti malam. Ia sudah mendapat izin dari Dewi Gita Dara untuk kuasai Bukit Palagan begitu malam tiba. Tetapi kehadiran Pandu Tawa di pantai itu membuatnya menjadi berkerut dahi pertanda mengalami keheranan. Ia melihat Tua Usil yang belum sempat berkenalan dengannya itu memegang pisau yang sama dengan pisau pusaka yang dibawanya.

"Dia dapatkan dari mana pisau pusaka itu?" tanyanya kepada Lili.

"Justru aku ingin bertanya begitu kepadamu, Pandu Tawa. Benarkah kau mempunyai pisau Pusaka Hantu Jagal?"

Pandu Tawa segera keluarkan pisaunya dari balik baju. Mereka tercengang, termasuk Tua Usil dan Bocah Bodoh. Pandu Tawa segera berkata, "Kudapatkan pisau pusaka ini dari seseorang yang bernama Tua Usil!"

Yoga menyahut, "Ini yang namanya Tua Usil!" sambil menepuk pundak Tua Usil.

Tapi Pandu Tawa memandanginya beberapa saat dengan dahi kian berkerut tajam. "Bukan. Bukan ini orangnya."

Tua Usil berkata, "Bagaimana ciri-ciri orang yang mengaku bernama Tua Usil itu, Tuan Pandu?!"

"Hmmm... dia punya badan agak gemuk, rambutnya panjang tapi tipis. Usianya berkisar lima puluh tahun. Dia kenakan ikat kepala kuning dan kenakan pakaian abu-abu."

"Agak pendek?"

"Benar!"

"Hmmm...! Tahu saya!" cetus Tua Usil. "Dia adalah Tambayon!"

"Siapa itu Tambayon?" tanya Yoga.

"Raja Tipu!"

"Oooo...." Lili, Yoga, dan Bocah Bodoh hampir bersamaan serukan kata tersebut. Mereka pun manggut-manggut.

"Dia pandai memalsukan barang apa saja. Itu kelebihannya. Dia telah memalsukan Pusaka Hantu Jagal karena dia pernah lihat saat saya membawanya dan hampir tertipu menyerahkan kepadanya."

Pandu Tawa menggeram jengkel. Tapi masih berusaha tidak mempercayai keterangan mereka. Ia berkata, "Kurasa ini yang asli. Milikku ini Pusaka Hantu Jagal yang asli!"

Tua Usil melepas pisau itu dari sarungnya dan memperlihatkan ciri-ciri Pusaka Hantu Jagal yang asli. Mata pisaunya berwarna hitam, tapi dikelilingi cahaya merah. Pandu Tawa pun mencabut pisaunya itu, ternyata mata pisau berwarna putih mengkilat tanpa sinar apa pun.

"Yang asli punya sinar merah, Tuan Pandu," kata Tua Usil.

"Keparat orang itu!" geram Pandu Tawa antara malu dan marah. "Padahal sudah ku tukar dengan jurus 'Angin Saka'!"

Bocah Bodoh menimpali, "Dia memang jago tipu. Jika tidak bisa menipu Tuan Pandu, bukan Raja Tipu namanya!"

Wuuut...! Tiba-tiba hadir di antara mereka seorang berjubah hitam tapi tidak kenakan baju dalam. Celananya pun hitam. Tubuhnya agak besar. Rambutnya panjang dan wajahnya berkesan bengis. Orang itu adalah orang yang dilihat oleh Yoga dari atas rajawali sedang berjalan di atas permukaan air laut dengan gunakan sepotong kayu papan. Orang itu segera dikenali pula oleh Tua Usil.

"Banteng Tato...?"

Orang yang badannya penuh dengan tato itu segera menggeram dan berkata. "Aku dengar percakapan kalian. Aku sangsi dengan pengakuan kalian itu. Sebab aku pun mempunyai pisau Pusaka Hantu Jagal. Karenanya aku datang kemari untuk bunuh Naga Bara itu, biar aku bisa jadi suami Dewi Gita Dara!"

Kemudian Banteng Tato keluarkan pisau bergagang dan bersarung emas berukir. Sama persis dengan milik Pandu Tawa dan Tua Usil. Tapi ketika dicabut, ternyata mata pisaunya berwarna putih dan tidak mengandung cahaya apa pun.

"Pisaumu itu palsu, Kawan!" kata Pandu Tawa. "Sama dengan pisauku! Kau dapatkan dari mana pisau itu?"

"Seseorang yang bernama Tua Usil bersedia menukar pisau ini dengan tiga cincin emas berlian ku!"

Ketika ditanyai ciri-cirinya, Banteng Tato sebutkan ciri-ciri yang ada pada diri Raja Tipu. Maka Pandu Tawa pun tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala dan berkata,

"Kau tertipu, Kawan. Nasibmu sama denganku. Orang itu bukan Tua Usil melainkan Tambayon, si Raja Tipu! Tua Usil adalah dia!" sambil menunjuk Tua Usil.

"Bangsat!" geram Banteng Tato dengan menggeletukkan giginya, mengepalkan tangannya kuat-kuat, matanya menerawang menyipit. Katanya lagi, "Akan kucari dia dan ku rajang habis seluruh tubuhnya!"

Nasib Banteng Tato memang sama dengan nasib Pandu Tawa. Kedatangannya ke Teluk Gangga sungguh merupakan pekerjaan yang sia-sia. Tak mungkin mereka berani melawan Naga Bara jika mereka sebelumnya sudah tahu betul, bahwa Naga Bara hanya bisa dibunuh dengan pisau Pusaka Hantu Jagal. Tapi apalah artinya jika mereka datang dengan pisau palsu dan bermaksud kalahkan Naga Bara?

Namun, Banteng Tato segera punya pemikiran lain. Di depan mereka ia bicara dengan Tua Usil, "Kubayar pisaumu itu berapa pun harganya! Sebutkan apa yang kau inginkan dan berapa uang yang harus kuberikan padamu untuk membeli pisau itu."

"Tak akan kujual dengan harga berapa pun, Banteng Tato!"

"Gggrrhmm...! Kalau begitu, aku terpaksa merebutnya dari tanganmu, Bocah Kunyuk! Heaaat...!"

Wuuut...! Plook...!

Sebongkah batu melayang cepat dari samping Banteng Tato tepat kenai wajahnya sendiri. Padahal batu itu tidak ada yang melemparkannya. Tentu saja hal itu membuat Banteng Tato kelabakan sendiri. Bingung mencari pelemparnya.

"Kau tak boleh merampas hak milik orang lain begitu, Kawan!" kata Pandu Tawa.

Lili segera melirik pemuda itu dan cepat tanggap, bahwa Pandu Tawa telah gunakan kekuatan batinnya untuk lemparkan batu itu ke wajah Banteng Tato hingga memar membiru. Tua Usil semula mau bergerak, demikian pula Yoga, tapi Lili kasih isyarat dan mereka mundur semua, tinggal Pandu Tawa yang berhadapan dengan Banteng Tato.

"Apa maksudmu menggurui ku, Setan?!" bentak Banteng Tato. "Apa pun yang akan kau katakan dan kau lakukan, aku tetap harus bisa dapatkan pisau itu!" Mata Banteng Tato tertuju pada Tua Usil. Sekelebat sinar tiba-tiba keluar dari mata itu berwarna kuning.

Claaap...! Blaar...! Tua Usil cepat sentakkan dua jarinya yang memercikkan sinar hijau dan menghantam sinar kuning tersebut. Dentuman kuat membuat Banteng Tato mundur terdorong tiga langkah.

Wuuut..! Ploook...!

Sebuah batu melayang lagi dari tanah tanpa ada yang melemparnya. Batu itu tepat kenai pertengahan mata Banteng Tato. Tepat di bagian hidung atas. Tempat itu berdarah karena batu karang itu cukup runcing dan mampu menggores kulit Banteng Tato. Ketika Banteng Tato gelagapan, tiba-tiba beberapa batu beterbangan menghantamnya dari ber-bagai arah, termasuk dari belakangnya. Bahkan dahan kayu kering pun melayang sendiri dari tanah melesat ke tengkuk kepala Banteng Tato.

Wuuut, wuuut, wuuut...!

Plok, plok. praak, plok, buuhg, plok!

Banteng Tato dihujani batu dan benda apa pun dl sekitarnya. Ia tak dapat melawan, menangkis, maupun menghindar. Bahkan batu sebesar kepala manusia ada yang menghantam punggungnya dengan keras.

Beehg...!

Menghadapi serangan aneh itu. Banteng Tato merasa kewalahan karena tak jelas siapa penyerangnya. Karena itu. Banteng Tato memutuskan gagasannya untuk segera larikan diri dan jauhi tempat itu. Sekalipun ia berlari, masih saja batu-batu yang dilaluinya itu berkelebat menghujani tubuhnya hingga ia lari sambil berteriak-teriak kesakitan dan cepat lompat ke sepotong papan di perairan. Ia melesat pergi tinggalkan Teluk Gangga dengan keadaan tubuh luka babak belur. Yoga dan yang lainnya hanya tersenyum geli menertawakan nasib aneh orang itu.

DELAPAN

DENGAN jujur dan watak kesatrianya, Pandu Tawa temui Dewi Gita Dara dan berkata, bahwa dirinya tak jadi membunuh Naga Bara karena pisau yang dibawanya adalah pisau pusaka palsu. Dewi Gita Dara tampak sedikit kecewa mendengar hal itu. Wajah Pandu Tawa dipandanginya dengan rasa iba dan kasihan. Tapi Pandu Tawa segera berkata,

"Sekalipun begitu, aku tetap akan bantu Tua Usil untuk lakukan penyerangan terhadap Naga Bara dengan kemampuanku seadanya."

"Tua Usil...?! Apakah kau yakin Tua Usil mau lakukan hal itu walau dia memiliki pisau Pusaka Hantu Jagal?"

"Kurasa dia bersedia,"

"Kalian sudah bicarakan hal itu?"

"Memang belum. Tapi untuk apa dia ke sini kalau bukan untuk membunuh Naga Bara?"

"Dia datang untuk menyusul Bocah Bodoh."

Pandu Tawa tertegun diam, ia tak mengerti maksud kedatangan Tua Usil yang sebenarnya. Ketika hari menjelang sore, atas usul Pandu Tawa, mereka mengadakan pertemuan di bangsal samping istana. Pertemuan itu dihadiri oleh Tua Usil, Yoga dan Lili, Dewi Gita Dara, Bocah Bodoh, dan Pandu Tawa sendiri.

Di depan mereka, Pandu Tawa menanyakan kesanggupan Tua Usil untuk melakukan penyerangan terhadap Naga Bara nanti malam. Tapi Tua Usil justru berkeringat dingin menandakan sedang menahan rasa takutnya. Tiba-tiba Bocah Bodoh memberanikan diri berkata,

"Kalau kau tidak berani, biar aku yang hadapi naga itu!"

"Dengan mengandalkan pedang pusaka mu itu?" tanya Pandu Tawa sedikit meremehkan Pedang Jimat Lanang.

"Tuan Pandu, kata ibu saya, pedang ini bisa untuk membelah baja. Kalau baja saja bisa dibelah, tentunya daging naga pun bisa dibelah."

"Baja tidak mempunyai kekuatan gaib, Bocah Bodoh. Tapi naga itu mempunyai kekuatan gaib. Kekuatan itu bertambah besar manakala ia terkena sinar bulan purnama!"

Bocah Bodoh diam, menampakkan rasa kecewanya. Tapi sebelum yang lain bicara, Bocah Bodoh beranikan diri lagi untuk berkata, "Bagaimana kalau aku meminjam pisau pusaka mu, Tua Usil? Sebagai jaminannya, kuserahkan pedang pusakaku ini! Nanti kalau aku sudah selesaikan tugas membunuh Naga Bara, kukembalikan pisaumu itu!"

Agaknya Bocah Bodoh sangat bernafsu untuk melakukan hal itu demi menunjukkan sikap pengabdian dan kesetiaannya kepada Dewi Gita Dara. Tetapi sayangnya Tua Usil berkata dengan suara lemah,

"Pesan Ki Pamungkas, pisau ini tidak boleh diserahkan kepada siapa-siapa. Tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Harus tetap ada bersamaku! Jadi... maaf saja, aku tidak bisa meminjamkannya kepadamu, Bocah Bodoh."

"Kalau tak boleh dipinjam, kau harus berani lakukan!" sentak Bocah Bodoh sambil bersungut-sungut jengkel sendiri.

Yoga berkata kepada Bocah Bodoh, "Tenanglah. Jangan bersikap seperti itu." Bocah Bodoh pun tenang, tapi masih menggerutu tak jelas. Kemudian Yoga berkata kepada Tua Usil, "Kalau kau tak berani, kau akan ku dampingi. Aku akan melindungimu jika terjadi sesuatu padamu!"

Lili menyahut, "Aku pun akan menjaga mu dari bahaya. Sebelum bahaya itu datang kau akan ku sambar lebih dulu!"

Pandu Tawa akhirnya berkata, "Tua Usil tak perlu takut. Aku ada di sana dan memancing naga itu agar lengah, lalu kau membunuhnya dari belakang. Setidaknya aku akan menahan ekornya dengan kekuatan batin ku, seperti aku melemparkan batu-batu ke tubuh Banteng Tato tadi. Kau tak akan celaka."

"Nah, sudah banyak yang mau melindungimu. Apa masih belum berani juga?" kata Bocah Bodoh. "Percuma jadi laki-laki kalau begitu saja tak berani. Kalau kau punya istri, bagaimana kau nanti melindungi istrimu dari serangan orang jahat?!" Bocah Bodoh agaknya sengaja menjatuhkan Tua Usil agar Dewi Gita Dara punya penilaian rendah terhadap Tua Usil.

Yoga pun mengerti arah tujuan kata-kata Bocah Bodoh itu. Sebab Yoga tahu, Bocah Bodoh merasa iri jika nantinya Tua Usil akan disanjung dan dikagumi oleh Dewi Gita Dara. Bocah Bodoh takut kehilangan perhatian dari gadis cantik yang menawan hatinya itu.

Sementara itu, di dalam hati Tua Usil timbul pergolakan batin. Ia malu dikecam Bocah Bodoh di depan orang-orang terhormat itu. Ia benci pada dirinya sendiri yang punya perasaan takut melawan seekor naga sakti. Ia juga malu memiliki pusaka sehebat itu jika tidak mempunyai keberanian. Karenanya, hatinya kini membulat dan pikirannya menyatu membentuk nyali yang cukup besar. Ia berkata kepada mereka,

"Baiklah. Saya akan hadapi Naga Bara itu. Tapi saya minta satu syarat!" lalu setiap wajah dipandanginya satu-persatu.

Dewi Gita Dara bertanya, "Apa syaratnya?"

"Jangan ada yang ikut campur dengan pertarungan saya dengan Naga Bara nanti. Jika ada yang ikut campur, saya akan tinggalkan pertarungan dan tak mau lakukan apa-apa lagi."

Pernyataan itu membuat hati mereka berdesir. Lalu senyum mereka pun mengembang dengan kesan bangga dan kagum. Tapi Bocah Bodoh diam saja dan semakin bersungut-sungut jengkel. Ternyata kata-katanya tadi justru menjadi pancingan keberanian Tua Usil dan membuat Dewi Gita Dara menjadi bangga mendengar pernyataan itu.

"Seharusnya aku tidak perlu berkata apa-apa sejak tadi. Kalau begini, Tua Usil justru dihormati dan dibanggakan oleh Dewi Gita Dara. Uuuh...! Nasibku jelek amat. Mau dapat istri cantik saja sudah diserobot teman sendiri!" gerutu Bocah Bodoh dalam hatinya.

Petang mulai tiba. Rembulan pun telah nampak di cakrawala. Bergerak perlahan-lahan meninggalkan curahan sinarnya, memamerkan kecantikannya yang utuh. Langit cerah, tak berawan, dan tak bermendung sedikit pun. Langit bagaikan permukaan cermin biru yang bersih dan hanya ada sepucuk rembulan yang menghiasinya.

Tua Usil bersiap hadapi lawannya yang kali ini bukan sembarang lawan. Ia harus berhadapan dengan seekor naga yang belum diketahui jurus-jurusnya di mana titik kekuatan serta titik kelemahannya. Tetapi Pandu Tawa segera mendekatinya dan berkata,

"Kakekku bercerita tentang naga titisan itu. Beliau bilang, kalau aku melawan naga itu, aku harus bisa menghunjamkan pisau tersebut di telinga kirinya. Konon, kekuatan naga itu ada di seluruh tubuhnya. Tapi kelemahannya hanya ada di lubang telinga kirinya."

"Ya. Terima kasih atas saran Tuan Pandu," jawab Tua Usil dengan suara tegas, tanpa getar sedikit pun.

"Kami akan mengantarmu ke kaki Bukit Palagan!"

"Tapi saya tidak ingin ada yang ikut campur."

"Kami hanya mengantar, setelah itu kami lepas kau bertarung sendiri dengan Naga Bara."

Ketika petang mulai menua dan rembulan kian meninggi, Tua Usil pun segera berangkat ke kaki Bukit Palagan. Ia diberi kehormatan oleh Dewi Gita Dara untuk di usung memakai tandu, dibawa ke tempat pertarungannya nanti. Tandu mewah telah disiapkan, dan tandu itu membuat Bocah Bodoh melirik sinis dengan hati dongkol sekali.

"Baiklah. Biarkan kami memberimu penghormatan," kata Dewi Gita Dara.

Bocah Bodoh segera berkelebat pergi lebih dulu, tak mau melihat Tua Usil naik ke dalam tandu seperti seorang pangeran. Tetapi ternyata Tua Usil tidak bersedia naik ke dalam tandu. Ia berkata kepada, Dewi Gita Dara,

"Saya manusia biasa. Saya rakyat jelata. Saya hanya tunaikan tugas sebagai manusia, membela kebenaran dan melawan kejahatan!"

Sayang Bocah Bodoh tidak mendengar ucapan itu. Kalau ia mendengar, ia akan bisa mengambil kesimpulan bahwa Tua Usil lakukan tugas itu bukan karena punya pamrih apa-apa. Bocah Bodoh ada di pintu gerbang, bermaksud keluar lebih dulu. Tapi tubuhnya segera di terjang dua puluh orang yang berlarian masuk halaman istana dengan panik.

Bocah Bodoh jatuh dan terinjak-injak mereka yang dicekam rasa takut begitu tinggi. Orang-orang itu adalah utusan dari rakyat yang ingin memberikan laporan serta tuntutan kepada Dewi Gita Dara.

"Gusti, naga itu telah muncul!" teriak salah seorang.

Semua yang ada bersama Dewi Gita Dara menjadi terperanjat tegang. Tua Usil masih tetap tenang mendengar seruan itu. Namun ia perhatikan tiap orang yang bicara kepada Dewi Gita para itu.

"Anak saya telah dimakannya! Anak saya, Gusti...! Oooh...!" seorang ibu menangis ambil mencium kaki Dewi Gita Dara.

"Naga itu sudah mencari mangsa. Karena di tempatnya tak ada manusia lagi, ia bergerak kemari. Sekarang sedang menuju ke alun-alun, dan para penduduk berlarian ke segala arah."

"Rumah saya dihancurkannya, Gusti. Rumah saya itu bagaimana?!" seorang lelaki tua renta menangis karena kehilangan rumahnya.

Seorang anak kecil juga menangis memanggil-manggil bapaknya. Rupanya bapak anak itu telah mati dimakan Naga Bara titisan Ratu Gaib. Tua Usil terbakar amarahnya melihat penderitaan mereka. Kemudian ia bertanya kepada Dewi Gita Dara, "Di mana letak alun-alun?"

"Sebelah utara sana...!"

Wuuut...!

Tua Usil cepat larikan diri tanpa banyak menunggu perintah lagi. Pada waktu ia mau melewati pintu gerbang, serombongan manusia datang menyerbu dengan teriakan kepanikan. Pada saat itu juga Bocah Bodoh baru saja bangkit dari jatuhnya. Ia diterjang rombongan manusia panik lagi hingga jatuh dan terinjak-injak kembali.

Entah ilmunya siapa, yang bekerja dalam diri Tua Usil saat itu, ia mampu melompati tembok pagar istana yang tinggi itu, dan berlari dengan cepatnya menuju ke alun-alun. Suasana malam yang cerah telah berubah menjadi gaduh, panik, jeritan-jeritan kengerian terdengar di mana-mana. Langkah Tua Usil semakin lebih cepat lagi.

Tepat ketika ia tiba di alun-alun, tepat pula seekor naga sedang menumbangkan sebuah rumah yang ada tak jauh dari sana. Rumah itu telah kosong dan tidak berpenghuni, sehingga naga itu bagaikan marah karena kecewa. Ekornya yang buntung itu mengibas dan meremukkan rumah tersebut.

Alun-alun sangat sepi. Cahaya rembulan bersinar terang nyaris membuat bumi bagaikan slang. Tua Usil berdiri di tengah alun-alun menunggu kedatangan sang naga. Kejap berikutnya, rombongan Yoga, Lili, Pandu Tawa, Dewi Gita Dara, dan yang lainnya tiba di tempat itu. Namun mereka segera merapat ke tepi jalan yang mengelilingi alun-alun itu.

Bocah Bodoh tampak pula ada di balik sebuah pohon dalam keadaan babak belur karena terinjak-injak manusia panik tadi. Mereka memperhatikan Tua Usil dengan tenang, dan seekor naga sedang bergerak mendekati pertengahan alun-alun.

Naga yang mempunyai badan sebesar singa namun panjang seukuran batang kelapa itu bergerak pelan, bagai mengincar mangsanya yang tersedia di alun-alun. Naga itu mempunyai sisik tebal dan tajam, kulitnya tampak keras, di tengah-tengah kepalanya yang bermata besar itu terdapat tanduk tajam dan kokoh. Naga yang punya enam kaki itu menyembur-nyemburkan asap panas dari hidungnya.

Mereka yang memperhatikan Tua Usil diam saja itu menjadi sangat tegang. Naga itu mengendap-endap dengan langkahnya yang menggetarkan pepohonan di sekitar tempat itu. Bocah Bodoh menggigil di balik pohon melihat binatang panjang sebesar itu. Ia tak sadar jika celananya telah menjadi basah. Berulang kali ia gagal memegang gagang pedangnya karena gerakan tangannya sangat gemetar dan lemas.

Wooosss...!

Naga itu semburkan api dari dalam mulutnya yang lebar, tapi jarak semburnya belum mencapai tempat Tua Usil berdiri. Melihat keadaan seperti itu, Tua Usil segera cabut pisau Pusaka Hantu Jagal. Seeet...! Pisau menyala merah. Sinar bulan membuat pisau itu memancarkan sinar merah lebih terang dan lebih lebar lagi.

Hal itu membuat naga tersebut cepat hentikan langkahnya. Ia mundur pelan-pelan. Tua Usil tahu, naga itu takut melihat pisau pusaka tersebut, maka Tua Usil pun melangkah pelan-pelan mendekatinya. Kepala naga bergerak-gerak bagai menggeleng. Semburan uap dari hidungnya telah berhenti.

Kini naga itu berhenti, seakan tak mengerti apa yang harus dilakukannya. Makin lama Tua Usil makin lebih dekat. Naga itu keluarkan suara aneh yang tak bisa ditirukan, tapi badannya segera merendah dan menyentuh tanah. Kepalanya pun terkulai di permukaan tanah.

Matanya masih memandangi pisau di tangan Tua Usil. Semakin Tua Usil mendekati semakin suara naga itu berubah pelan. Satu hal yang membuat Tua Usil heran adalah air mata yang keluar dari mata besar itu. Air tersebut adalah air mata naga yang sepertinya menangis sedih melihat pisau tersebut.

Rupanya Naga Bara tahu pisau itu adalah pisau Pusaka Hantu Jagal. Hantu Jagal adalah orang yang dicintai oleh Ratu Gaib semasa hidupnya. Tapi cinta mereka tidak sampai berlanjut ke jenjang perkawinan. Kini, Naga Bara sepertinya mengenang sedih seorang kekasih yang masih tersimpan di hatinya. Naga itu bagaikan pasrah kepada pisau Pusaka Hantu Jagal.

Melihat keadaan naga seperti itu, Tua Usil yang sudah berjarak tujuh langkah dari naga tersebut segera melompat dengan satu teriakan yang membuat jantung para penontonnya kian menghentak-hentak, "Heaaaahhh...!"

Wuuut...!

Tua Usil bersalto satu kali di udara. Buuhg...! Ia jatuh terduduk di punggung naga besar itu, lalu dengan menggunakan tangan kiri, Tua Usil menancapkan pisau tersebut di telinga kiri sang naga, Jrrub...! "Heaaaa,..!" sambil ia berteriak bagai orang kesetanan.

Naga itu meraung panjang dengan suara bercampur serak. Tubuhnya bagai tak bisa bergerak lagi walau menggerinjal-gerinjal bagai ingin berontak. Pisau itu tetap tertancap di telinga kirinya. Tua Usil menggigil diserbu kemarahan yang amat hebat. Dan tiba-tiba seluruh badan Naga Bara berubah menjadi merah menyala. Warna merah itu segera mengalir dan kini ganti tubuh Tua Usil yang menyala merah dan tubuh naga padam seperti biasanya.

Terdengar suara Lili tersentak kaget, "Ilmunya masuk! Ilmu naga itu masuk ke dalam diri Tua Usil...!"

Tapi tak ada yang menyahut karena semua terpana dan terpaku di tempat menyaksikan perubahan warna dan keberanian Tua Usil itu. Beberapa saat kemudian, naga itu terkulai lemas, dan menghembuskan napas terakhir. Sedangkan warna merah yang menyala di tubuh Tua Usil itu pun padam.

Tua Usil turun dari punggung naga, pisau pun dicabutnya. Pisau pusaka itu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. Satu-persatu mereka mulai berani mendekat. Namun sempat tersentak mundur karena tubuh naga itu berubah menjadi asap. Makin lama makin tebal, membubung tinggi, dan dalam kejap berikutnya mereka sama-sama memandang ke arah rembulan kuning.

Ternyata rembulan kuning sudah ternoda merah sebagian. Warna merah gelap itulah konon darah Naga Bara yang memercik sampai ke permukaan rembulan. Lebih mengherankan lagi, ketika asap itu hilang, tubuh naga berubah menjadi tubuh seorang wanita cantik berpakaian serba kuning. Ia terkapar tak bernyawa. Menurut Dewi Gita Dara, perempuan, itulah yang berjuluk Ratu Gaib. Tubuh itu pun kembali berasap dan akhirnya lenyap bagai ditelan bumi.

Rakyat Teluk Gangga bersorak semeriah-meriahnya. Mereka mengelu-elukan Tua Usil, sebagai pahlawan penyelamat rakyat Teluk Gangga. Mereka menyerbu Tua Usil secara berbondong-bondong dan melintasi bawah pohon, tempat Bocah Bodoh duduk terkulai lemas menyaksikan peristiwa tadi. Akibatnya, Bocah Bodoh dilanda puluhan kaki yang menginjak-injaknya dengan di luar kesadaran mereka.

Bocah Bodoh tidak melihat Tua Usil diarak berkeliling Teluk Gangga dengan dielu-elukan, karena pada waktu itu, Bocah Bodoh dalam keadaan pingsan karena terinjak-injak rombongan manusia sampai tiga kali. Bocah Bodoh siuman setelah ia berada di sebuah kamar dalam istana. Sepi, tak ada siapa-siapa. Mereka sedang merayakan pesta kemenangan dan kebebasan pada malam itu juga.

Tua Usil dinobatkan sebagai pahlawan dan pendekar Teluk Gangga. Bocah Bodoh sebenarnya ingin keluar dari kamar, tapi karena kepalanya masih pusing, ia akhirnya merebah saja dan lama-lama tertidur sampai pagi.

Dewi Gita Dara berkata kepada Tua Usil secara pribadi, "Sayembara itu lupa belum kututup. Jadi masih berlaku aturan mainnya. Apakah kau ingin mengambil hadiahnya?"

Tua Usil tersenyum, lalu berkata, "Berikan saja untuk sahabat saya, si Bocah Bodoh itu!"

"Akan kutawarkan padanya," kata Dewi Gita Dara yang tidak ingin ingkar dari janjinya dalam sayembara itu.

"Bocah Bodoh, sayembara itu belum kututup dan janjinya masih harus ditepati. Tapi Tua Usil tidak bersedia mengambil hadiahnya. Dia menyerahkan hadiahnya kepadamu. Apakah kau mau mengambilnya?"

"Hadiah apa?"

"Mengawini ku."

"Hahhh...?!" Bocah Bodoh mendelik seketika sampai matanya seolah-olah mau lompat keluar. Ia gemetar, menggigil, dan pucat pasi wajahnya. Menelan ludah pun tak sanggup. Jantungnya terasa berhenti.

"Apakah kau bersedia?'" ulang Dewi Gita Dara.

Bocah Bodoh geleng-geleng kepala dengan merinding. Tak sanggup berkata apa pun. Lalu ia bergegas lari temui Tua Usil dan berkata, "Mari kita pulang! Ternyata aku tak mampu menerima sesuatu yang melebihi takaran diriku. Mari kita pulang, Tua Usil...!"

Tua Usil hanya longok-longok kebingungan, tak mengerti maksud sahabatnya itu. Ia hanya ikut saja ketika ditarik tangannya oleh Bocah Bodoh.

SELESAI
Kisah selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.