Setan Cebol Penyebar Maut

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Setan Cebol Penyebar Maut Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Setan Cebol Penyebar Maut

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
SATU
PERTENGAHAN musim panas itu, tampak Puncak Merbabu keluarkan asap tipis yang mengalun ke atas. Seolah tengah menjulurkan sukmanya diantara mega yang bertebaran dilangit.

Pada sebuah lereng yang terjal, dimana dibawahnya mengalir sungai yang dalam, berlikuliku diantara celah bukit dan lamping batu-batu terjal, yang penuh dengan pohon-pohon serta semak belukar disekelilingnya tampak satu pemandangan yang membuat bangun bulu roma.

Sesosok makhluk yang masih bisa dikatakan manusia, walaupun sebenarnya apa yang tengah diperbuatnya sudah tak lazim lagi sebagai perbuatan manusia. Makhluk itu bertubuh kecil, atau cebol. Apa yang terlihat adalah hal yang amat mengerikan, karena ia tengah mengorek sesuatu dari dalam tubuh seorang wanita yang isi perutnya telah terburai berantakan.

Sementara seorang bayi mungil tergeletak di sisinya, dan tengah perdengarkan tangisannya. Namun tampaknya si orang kerdil itu sama sekali tak menghiraukannya, cuma menoleh sejenak untuk tertawa menyeringai. Sementara tangannya bekerja cepat untuk menarik sesuatu yang kemudian berhasil ditemukannya.

"Nah ini yang aku maui.... He he he...!"

Terdengar ia bicara sendiri, dan tertawa gelak-gelak. Ternyata yang telah  ditarik  keluar dari  isi perut mayat wanita itu, adalah sebuah jantung dan hati. Yang selanjutnya segera sudah masuk ke dalam mulutnya, untuk segera dikunyah dengan mata merem melek. Tiba-tiba pada saat itu berkelebat sesosok tubuh tinggi besar yang perdengarkan tertawa berkakakan.

"Ha ha ha... ha ha ha... Setan Cebol! Agaknya kau sudah tak sabar untuk bersantap, sehingga dapat rezeki dimakan sendiri...!"

Yang datang ternyata adalah seorang laki-laki berkepala botak. Bermuka mirip seperti wajah kanak-kanak. Tubuhnya tinggi besar. Dengan telinga yang lebar dan panjang. Pakaiannya mirip orang kedodoran. Karena baju dan celananya memang agak gombrong. Melihat adanya kemunculan orang ini, si mahluk kerdil itu cuma plengoskan wajah, seraya berkata,

"Eh, muka bengkak... Apa kau juga doyan makan jantung dan hati manusia...? Kalau memang kau suka ambillah ini untukmu...!" Seraya berkata ia telah lemparkan bayi dihadapannya pada si tinggi besar yang dijulukinya si muka bengkak itu. Tentu saja ia jadi terkejut bukan main, karena lemparan itu adalah juga sebuah serangan yang dilancarkan terhadapnya.

"Aaaahh..!?" Si muka bocah ini perdengarkan teriakan kaget, untuk menangkap adalah tak mungkin. Untuk menyampok tubuh sang bayi itu juga ia tak tega, akhirnya ia cuma bisa elakkan diri.

Weesssss...!

Tubuh sang bayi itu meluncur deras ke belakang, ketika dengan cepat si muka bocah menghindar dengan membungkukkan tubuhnya, segera ia palingkan kepala untuk melihat ke arah belakang. Ia sudah dapat pastikan tubuh sang bayi itu akan remuk terbentur batang pohon atau terbentur batu. Namun pada saat yang amat mengerikan itu, telah berkelebat sesosok tubuh dibelakangnya untuk menangkapnya. Gerakan yang cepat itu kelanjutannya dibarengi dengan bersaltonya tubuh itu di udara.

Dan detik berikutnya disitu telah tegak berdiri seorang wanita yang keluarkan suara tertawa cekikikan. Sementara pada pinggangnya tergantung sebuah benda dengan seutas rantai yang terbelit pada pinggangnya. Ternyata bandulan itu adalah sebuah besi hitam, yang besar dan bentuknya mirip dengan kerangka tengkorak kepala manusia.

"Hi hi hi... hi hi.... sayang-sayang seorang bayi yang manis seperti ini jadi bangkai tak berguna. Siapa tahu ia bertulang baik, dan bisa nanti kelak jadi muridku! Hi hi hi...."

Tiba-tiba si pendatang yang aneh ini menatap sejenak pada si Setan Cebol yang masih asyik mengunyah tanpa memperdulikan keadaan di depannya. Hal ini membuat si wanita itu kerutkan alisnya, ketika terpandang pada sesosok tubuh wanita yang telah berantakan isi perutnya itu. Terdengar ia keluarkan suara dengusan di hidung, seraya berkata,

"Hah..! Walaupun aku juga bukan wanita baik-baik. Tapi memandang kepada kaumku yang diperlakukan demikian oleh seorang setan jelek, tentu saja membuat aku jadi sebal...! Apakah tak ada lagi makanan yang lebih enak dari hati dan jantung manusia?"

Sementara si tinggi besar bermuka bocah itu cepat berkelebat ke atas sebuah batu untuk segera duduk dengan angkat sebelah kakinya. Seperti juga telah mengetahui bakal adanya terjadi suatu pertarungan seru, dan ia sudah siap-siap untuk menontonnya. Mendengar ucapan yang bertanya dengan nada menyindir itu, serta terang-terangan untuk ungkapkan ketidak senangannya, si Setan Cebol tiba-tiba telah lemparkan sisa jantung dan hati itu pada si wanita, seraya membentak,

"Apa perdulimu dengan apa yang aku lakukan perempuan jalang...?"

Tentu saja lemparan itu akan mengena, kalau saja si wanita itu tidak cepat menyampoknya. Yang segera gerakkan lengannya dengan cepat sehingga potongan hati dan jantung itu tahu-tahu meluncur ke arah si muka bocah yang tengah asyik angkat sebelah kaki diatas batu. Tenaga sampokan dari angin pukulan wanita itu ternyata sama kuatnya dengan tenaga lemparan dari si Setan Cebol. Karuan saja si muka bayi jadi kelabakan, karena ia tak menyangka kalau akan kena getahnya.

Namun kali ini agaknya ia tak mengelak, bahkan monyongkan mulutnya untuk meniup ke arah datangnya serangan benda itu. Hebat tenaga tiupan si muka bocah, karena segera saja tenaga lemparannya agak mengendur. Dan si muka bocah cepat mengangakan mulutnya sehingga dengan tak mengalami kesukaran, potongan hati dan jantung itu telah masuk ke dalam mulutnya yang lobar. Saat berikutnya ia sudah asyik meneruskan mengunyah dengan meram melek. Tentu saja hal itu membuat sepasang mata si wanita itu jadi mendelik.

"Phuih!" Ia segera mendengar suara si Setan Cebol yang telah bangkit berdiri menatapnya dengan menyeringai. Tampak ia melirikkan matanya pada si muka bocah yang tengah asyik mengunyah sisa santapannya.

"Eh, muka bengkak...! Rupanya nasibmu hari ini amat mujur. Masih kebagian juga sisa makanan enak itu. Apakah kau tidak berhasrat cari tambahan...? Mungkin juga bisa terlaksana tanpa jauh-jauh mencari! He he he..."

Adalah aneh. Kalau tadi orang yang tinggi besar, berwajah seperti seorang bayi atau bocah, sedangkan si orang kerdil yang dijuluki si Setan Cebol itu adalah sebaliknya berwajah seperti orang tua, dengan tulang pelipis yang menonjol. Kumis dan jenggotnya cuma beberapa helai. Kepalanya ada tumbuh daging atau benjolan, tepat pada keningnya. Bermata menonjol keluar. Deretan giginya terlihat runcing-runcing ketika menyeringai. Sedangkan rambutnya tegak berdiri bagaikan injuk, dengan tubuh bagian atas yang telanjang, hitam legam. Hanya selembar cawat yang dikenakannya.

"Kurang ajar. Kalian kira hati dan jantungku berharga murah...? Agaknya mulut kotormu perlu diberi hajaran..!"

Dan sebentar saja Dewi Tengkorak telah loloskan senjatanya. Sementara dengan cepat ia telah menunda sang bayi dibawah pohon. Dan saat selanjutnya, benarlah seperti apa yang telah diramalkan si muka bocah. Dengan berteriak keras, si wanita yang berpakaian memamerkan pahanya itu, sudah menerjang dengan senjatanya. Bersyiur bandulan besi mirip tengkorak kepala manusia itu, menghantam kepala si Setan Cebol.

Namun dengan senyum menghina ia telah berkelebat melesat, sehingga serangannya menemui tempat kosong. Gerakan si Setan Cebol memang amat cepat dan gesit. Namun si wanita itupun bukan lawan enteng. Sehingga sebentar saja keduanya sudah saling terjang untuk saling menjatuhkan lawan. Si wanita yang berpakaian seksi itu adalah yang dijuluki kaum persilatan sebagai si Dewi Tengkorak. Entah ada hubungan apa dengan si Dewa Tengkorak yang sudah pulang ke akherat terlebih dulu itu.

Tapi tampaknya ia ada memiliki beberapa jurus andalan si Dewa Tengkorak. Dilihat dari usia ia sudah mencapai hampir empat puluh tahun. Namun masih memiliki kecantikan yang mengagumkan. Kepala tengkorak besi kembali menyambar... Si Setan Cebol jatuhkan tubuh bergulingan. Sementara mulutnya tak henti hentinya mengejek.

"Jantung wanita yang sudah kawakan mungkin juga rasanya kurang memuaskan. Apa lagi sudah sering berdebar, karena kebanyakan yang di gandrungi... He he he..!"

"Tutup mulutmu setan jelek! Aku toh tidak menggandrungi kau..!"

"Bagaimana kalau menggandrungi aku saja...?" Si muka bocah sudah lantas berteriak. Dan kata-katanya tidak sampai disitu.

"Aku lebih penuju dengan tubuhmu, ketimbang hati dan jantungmu, Dewi Tengkorak!"

Wajah si Dewi Tengkorak tampak gerah, panas hatinya diejek demikian. Tiba-tiba saja ia telah lancarkan serangan ke arahnya.

Dherr..!

Batu tempat ia duduk kena dihajar hancur, oleh senjata bandulan besi berkepala Tengkorak itu. Namun orangnya sudah mencelat pergi.

Buk..!

Satu hajaran keras dari serudukan kepala si Setan Cebol tepat menghantam punggungnya. Tak ampun lagi si Dewi Tengkorak terpekik ngeri dan jatuh bergulingan. Namun percuma ia dijuluki si Dewi Tengkorak. Karena sambil bergulingan ia telah hantam tubuh si Setan Cebol, yang baru saja menggelinding, dengan senjatanya.

Krak..!

Batang pohon itu kena dihajar hancur. Masih untung bukan batok kepala si Setan Cebol. Namun pada detik itu si Setan Cebol sudah lompat menjauh, karena pohon besar itu telah tumbang dengan suara yang berisik. Kalau si Dewi Tengkorak tak segera bergulingan, iapun sudah pasti kena kejatuhan pohon yang dihantamnya sendiri itu.

Namun ia harus mengakui keteledorannya, karena terpancing oleh kata-kata ejekan si Muka Bocah, hingga ia tak dapat mengelakkan srudukan kepala si Setan Cebol yang demikian keras Untung saja ia telah menyalurkan tenaga dalamnya pada punggungnya. Hingga dapat menahan terjangan hebat itu dengan tidak begitu membahayakan.

Namun ia jadi terkesiap, ketika mengetahui bayi yang ia letakkan dibawah pohon itu, telah tak dapat diselamatkan lagi. Dalam keadaan ia terpaku itulah si Muka Bocah tiba-tiba telah berkelebat, dan gerakkan tangannya untuk menotok si Dewi Tengkorak. Hingga tubuhnya benar-benar jadi terpaku tanpa dapat bergerak.

"Keparat kau..!?" Mulutnya memaki, namun ia sudah tak berdaya lagi.

"He he he... he he he... Bagus! bagus sobat muka bengkak..! Biar aku yang korek jantungnya untuk kau..!" Sambil berkata ia telah gerakkan tangannya ke arah perut si Dewi Tengkorak.

"Celaka! Matilah aku hari ini...!" Memekik hati si Dewi Tengkorak. Ia sudah pejamkan mata menunggu kematian. Tapi pada detik itu sudah terdengar teriakan si Muka Bocah.

"Tunggu..! Tak baik kita pakai cara itu pada kawan sendiri...!"

Terpaksa si Setan Cebol urungkan niatnya. Bergidik ngeri si Dewi Tengkorak, seandainya jari-jari tangan si Setan Cebol itu yang bagaikan cakar iblis, dengan kuku yang panjang-panjang itu mencengkeram kulit perutnya sudah pasti akan terburai isi perutnya. Diam-diam ia bersyukur pada si Muka Bocah itu, yang ia ketahui berjulukan si Iblis Tertawa itu yang telah membatalkan niat kejinya.

Walaupun ia mengetahui totokan pada dirinya juga si Iblis Tertawa itu pula yang melakukannya. Tampak si Iblis tertawa bisikkan kata-kata pada si Setan Cebol, tentu saja dengan membungkukkan tubuhnya. Si manusia kerdil ini kerutkan keningnya, hingga benjolan pada dahinya itu terlihat ikut naik ke atas.

Tapi sebentar kemudian ia mengangguk-angguk sambil tersenyum yang tak enak dilihat. Saat berikutnya si Iblis tertawa telah pondong tubuh si Dewi Tengkorak untuk dibawa pergi. Namun baru saja si Setan Cebol mau gerakkan tubuh untuk mengikuti, tiba-tiba ia teringat akan korban yang dibawanya. Yaitu seorang bayi, yang seingatnya tadi diletakkan oleh si Dewi Tengkorak dibawah pohon.

"Walah...? Sudah tergencet pohon tumbang..." Berkata ia sendirian, dan segera berkelebat ke sana. Masih untung rupanya sang bayi itu tidak sampai remuk. Namun ternyata benar sudah tak bernyawa lagi, ketika ia menariknya keluar dari sela-sela dahan pohon. Agak kecewa si Setan Cebol, namun agaknya masih bisa dimanfaatkan. Tiba-tiba saja kelima jari tangannya itu telah ia gerakkan untuk segera saja sudah terbenam pada ubun-ubun sang korban.

Dan dengan tertawa iblis ia telah hirup dan sedot cairan putih itu dengan rakus. Bahkan cairan yang melekat pada kelima jari tangannya itu pun ia bersihkan dengan lidahnya. Benar-benar ia bukan manusia. Walaupun tubuhnya berujud manusia. Baru saja ia melemparkan mayat yang mengerikan  dari sang bayi itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat dari belakangnya.

"Iblis keji..." Dan serangkum angin bersyiur dibelakang kepalanya... Itulah serangan dari seorang laki-laki bertubuh kekar. Yang telah menerjangnya dengan sebuah kapak yang cukup besar, bergagang panjang. Namun dengan menggelindingkan tubuhnya, si Satan Cebol telah menghindari serangan maut itu.

Crak..!

Mata kapak amblas menghunjam ke tanah. Namun sekejap sudah kembali terangkat, untuk siap menerjang lagi. Si Setan Cebol yang tingginya hanya separuh tubuh manusia itu, segera dapat lihat orang yang menerjangnya.

"He..? Siapakah kau! Datang-datang menyerang orang. Apakah kau mau mengantarkan nyawamu..?!"

"Iblis Keparat...! Kau memang bukan manusia. Kau culik dan kau bunuh anak isteriku, apakah ada alasan kalau aku akan mencincangmu sampai lumat..?" Tiba-tiba dengan berteriak santar ia telah kembali menerjang dengan sambaran kapaknya. Tampak berkelebat kilatan cahaya dari benda itu yang menyambar kepala si Setan Cebol.

Namun kembali tubuh kerdil itu menggelundung dengan gesit, ke arah samping yang sudah diterjang lagi dengan sambaran kapak berikutnya. Ternyata si laki-laki itupun memiliki kelincahan dalam bertarung. Gerakan kapaknya berseliweran mengejar kemana arah tubuh si Setan Cebol menggelinding dan berkelebat. Percuma ia dijuluki si Kapak Sakti dari lereng Merbabu.

Laki-laki ini tengah berada di Padepokan Cemara Kandang. Dimana sang guru yang bernama gelar Ki Reksa Permana tengah berembuk mengenai beberapa kejadian yang didengarnya akhir-akhir ini. Ketika tiba-tiba seorang penduduk desa Sentul dimana ia berdiam, tampak terlihat berlari-lari mendatangi Padepokan. Dan dengan diantar oleh seorang murid, telah segera menghadap pada Ki Reksa Permana.

Tentu saja yang terkejut adalah Jatmiko si Kapak Sakti. Karena yang dilaporkan adalah mengenai keluarganya. Kejadian itu adalah beberapa saat sepeninggalnya. Dengan rasa terkejut luar biasa ia menerima yang dituturkan penduduk desa Sentul itu, bahwa istri dan anaknya diculik oleh sesosok makhluk bertubuh kerdil.

Ia segera dapat menduga bahwa makhluk itu adalah si Setan Cebol. Yang ia tengah rundingkan oleh sang Guru Ki Reksa Permana, tentang kemunculannya di sekitar daerah gunung Merbabu, dengan beberapa murid utama dari Padepokan Cemara Kandang. Ki Reksa Permana tampak terkejut.

Namun sebelum ia memberi peringatan akan berbahayanya menghadapi si Setan Cebol yang bergentayangan itu, Jatmiko alias si Kapak Sakti telah berkelebat untuk segera berlari ke arah desa Sentul. Betapa ia mengkhawatirkan keselamatan anak dan istrinya. Kemarahannya tak terkendalikan lagi. Begitu sampai kerumahnya ia cuma mendapati orang-orang yang tengah berkerumun mendengarkan cerita dari beberapa orang yang mengetahui.

Demikianlah, dengan petunjuk salah seorang penduduk yang mengetahui kemana arah si makhluk Cebol itu pergi. Jatmiko segera melacak kemana jejak si penculik. Hingga akhirnya ia dapat menemukannya. Yang hampir saja ia terlambat, karena baru saja si Setan Cebol mau berangkat pergi. Melihat sesosok tubuh tergeletak dengan keadaan yang amat mengerikan, Jatmiko sudah mengenali bahwa itu adalah tubuh istrinya.

Dan dilihatnya sesosok tubuh kerdil tengah menghisap cairan putih dari ubun-ubun kepala seorang bayi, dan baru saja dilemparkannya. Terkesiap bukan main Jatmiko. Dengan beringas ia telah menerjang si iblis kerdil itu, hingga terjadilah pertarungan yang seru. Kemarahannya yang meluap-luap, karena melihat kesadisan iblis Cebol itu membuat ia menerjang dengan membabibuta.

Satu teriakan dari kejauhan terdengar memperingati laki-laki ini, namun sudah terlambat. Karena disaat itu satu serudukan kepala si Setan Cebol, telah membuat ia jatuh  terlentang. Dan pada saat itu pula sepasang lengan si Setan Cebol dengan kesepuluh jari-jarinya, telah menancap pada perutnya.

Terdengar pekikan mengerikan dari si Kapak Sakti, ketika dengan sekali sentakan isi perut laki-laki itu terburai keluar. Tampak tubuh Jatmiko berkelojotan bagai ayam yang disembelih... dan sesaat kemudian diam untuk selama-lamanya. Kapak Sakti tewas seketika dengan keadaan yang mengerikan.

"Iblis keji...!"

"Biadab...!" Terdengar dua teriakan dengan berbareng. Dan pada detik itu juga dua tubuh telah berkelebat menerjang dengan pedang terhunus. Kedua sambaran pedang itu menabas tubuh, dan mengarah punggung.

Namun si Setan Cebol sudah balikkan tubuh untuk menangkis dengan tubuh sang korban. Tak ampun lagi tubuh si Kapak Sakti terpapas putus jadi dua bagian. Adapun yang seorang segera dapat menahan serangannya.

"Keparat... Kau... kau...?! Terbeliak mata si pemuda yang menerjangnya. Dan melompat mundur tiga tindak.

Sementara si Setan Cebol tertawa berkakakkan melihat kedua orang dihadapannya, seraya berkata, "Bagus...! Agaknya kalian juga mau mengantar nyawa siang-siang dengan berdatangan kemari...? Ha ha ha... Kalian cari penyakit sendiri...!"

Namun pada saat itu pula terdengar suara dibelakang kedua murid dari Padepokan Cemara Kandang ini. "Minggirlah kalian murid-muridku...!" Ternyata yang datang adalah Ki Reksa Permana sendiri, sang Guru mereka. Segera saja kedua murid ini melompat mundur.

Sementara si Setan Cebol yang melihat kemunculan seorang lelaki tua berjubah putih, dengan wajahnya yang menampilkan kewibawaan, telah melangkah ke arahnya.

"Hm... Andakah yang bergelar si Setan Cebol itu?" Bertanya Ki Reksa Permana dengan menatap tajam pada mahkluk cebol yang juga tengah mendelik ke arahnya.

"Heh, kalau sudah tahu aku si Setan Cebol, mengapa masih bertanya pula..?"

Melengak Ki Reksa Permana mendengar jawaban itu. Namun ia masih berusaha tersenyum sambil berkata, "Rasanya memang tidak keliru ucapan anda. Tapi anda telah keliru karena mempunyai kepandaian tinggi hanya untuk mengumbar nafsu membunuh! Apakah tak ada ilmu lain yang lebih baik dari pada ilmu membunuh orang dengan tindak semena-mena?"

Tampak si Setan Cebol mendengus mendengar kata-kata itu. "Aku memang membutuhkan hati dan jantung manusia untuk kekuatan tubuhku, juga aku menyukainya sebagai santapanku..! Apakah dapat disalahkan kalau aku membunuh untuk itu...?"

Pertanyaan itu memang aneh, seolah-olah pendapatnya adalah benar. Membuat Ki Reksa menjadi kerutkan alisnya. Ia sadar bahwa ia tengah berhadapan dengan orang yang sudah tak punya lagi rasa peri kemanusiaan. Entah siapa yang mendidik manusia Cebol ini untuk berbuat yang tak lumrah dengan manusia itu..? Berfikir Ki Reksa Permana. Sementara ia sudah dengar teriakan dari kedua muridnya.

"Guru..! Manusia iblis ini bukan lagi manusia! Biarkan kami mencincangnya!"

Namun sang Guru angkat sebelah tangannya untuk mencegah. Dan berkata pada si Setan Cebol. "Sobat! Bolehkah aku tahu asal-usulmu hingga anda dapat melakukan perbuatan yang kami anggap keji itu..?"

Tapi pertanyaan Ki Reksa Permana hanya dijawab dengan bentakan gusar. "Heh..! Apa perdulimu dengan segala asal-usul diriku..? Mau kau anggap keji atau tidak aku tak mau tahu. Yang penting apa yang kuperbuat adalah tak ada seorangpun yang berhak melarangnya..!"

Agaknya kata-kata itu sudah tak dapat membuat Ki Reksa Permana menahan diri lagi. Dengan berteriak keras ia sudah lakukan hantaman telapak tangannya pada si Setan Cebol. "Kalau begitu kau harus dilenyapkan dari muka bumi ini..!" Bentaknya. Dan serangkum angin yang dahsyat telah menerjang si Setan Cebol, yang segera pergunakan kelincahannya untuk menghindar.

"Bagus..! Hayo suruh maju kedua muridmu itu, biar kuhabisi sekalian..!" Berteriak si Setan Cebol dengan berkelebat menghindar.

Pada saat itu berkelebat sesosok tubuh ke arah si Setan Cebol, dibarengi bentakan "Manusia Iblis macam begini memang patut dilenyapkan..!"

Dan sebuah tombak panjang telah menghantam tepat batok kepala si Setan Cebol. Terjangan mendadak yang dilancarkan orang yang belum diketahui siapa adanya itu memang tepat mengenai sasarannya. Tampak si Setan Cebol terlempar bergulingan. Namun alangkah kagetnya si penyerang yang ternyata adalah seorang wanita berumur delapan belas atau sembilan belas tahun itu, karena dengan tak mengalami cidera sedikitpun makhluk kerdil itu telah bangkit lagi sambil memandang si penyerang.

"Anakku... Pulanglah..! Jangan kau cari penyakit. Dia bukan lawanmu. Biar ayah yang menghadapinya..!" Berkata Ki Reksa Permana.

Namun si gadis berbaju kuning itu cuma menjawab kata-kata ayahnya dengan serius. "Apakah aku dapat berdiam diri melihat iblis yang mau membunuh ayahku..? Tidak! Biarkan aku turut bertarung mengadu nyawa..!" Dan kata-katanya sudah dibarengi dengan teriakan keras, yang kemudian ia kembali menerjang dengan tombaknya.

Melihat kemunculan sang gadis puteri Guru mereka, kedua orang murid utama Ki Reksa Permana sudah segera melompat untuk turut membantu. Dan sebentar saja telah terdengar teriakan-teriakan santar dari keduanya. Baru saja si Setan Cebol mengelak dari serangan tombak sang gadis, sudah datang serangan pedang dari kedua pemuda itu.

Namun dengan mendengus si makhluk kerdil itu segera berkelebat untuk menghindari mata pedang. Tiba-tiba saja tubuh si Setan Cebol telah berada di belakang salah seorang dari pemuda itu. Ia baru menggerakkan tangannya untuk mencengkeram punggung, segera sebuah serangan tombak menyambar kepalanya yang dilancarkan oleh si gadis. Segera ia urungkan niatnya, dan berbalik menyambar ujung tombak.

Dilain saat tubuh si gadis sudah terlempar ke udara dengan teriakan tertahan. Karena tenaga yang kuat dari si Setan Cebol, yang telah hentakkan ujung tombak itu, hingga akibatnya cekalan pada senjatanya terlepas. Dan melayanglah tubuh si gadis ke udara. Beruntung sang ayah segera menyambuti tubuh puterinya.

Namun pada saat itu terdengar dua teriakan sekaligus tampaklah kejadian yang mengerikan terpampang dimata Ki Reksa Permana, karena kedua lengan si Setan Cebol telah menjebol isi perut kedua orang muridnya. Dan saat selanjutnya kedua tubuh sang murid telah terlempar ke arahnya dengan isi perut berhamburan.

Bruk! Brug!

Kedua tubuh itu jatuh kebumi, dan sesaat menggeliat-geliat. Namun sekejap kemudian telah tak berkutik lagi. Karena keduanya segera tewas. Terbeliak sepasang mata Ki Reksa Permana, dan sang gadis puterinya. Tiba-tiba ia telah keluarkan bentakan pada puterinya.

"Sumirah..! Kau adalah anakku satu-satunya. Tiada lagi harapanku selain kau..! Kalau kau sayang pada ayahmu, pergilah cepat, tinggalkan tempat ini..!"

Namun jawaban sang gadis yang sepasang matanya telah bersimbah air mata itu, benar-benar membuat ia melengak. "Tidak ayah..! Biarlah kita mati bersama..! Aku tak dapat meninggalkan ayah seorang diri untuk menemui kematian!" Dan gadis ini telah mencabut sepasang Trisula dari belakang punggungnya. Dengan sepasang mata berapi-api ia telah berusaha menahan jatuhnya air mata menatap tajam pada si Setan Cebol.

"Bodoh..!? Ayahmu belum tentu mati. Kalau toh harus menemui ajalnya, masih ada kau yang akan dapat membalaskan dendam ini kelak..! Apakah keluarga kita harus tumpas semua di tangan si iblis Cebol itu..?!" Berbisik sang ayah, namun dengan nada membentak.

"Cepatlah berangkat pergi sebelum terlambat..!" Perintah sang ayah.

Tampak si gadis bernama Sumirah itu gertak gigi menahan geram, dan kepedihan hatinya. Kedua pemuda itu walaupun hanya murid ayahnya, namun telah seperti saudara sendiri. Dan amat akrab dengannya. Kini mereka telah tewas. Dan ayah akan menghadapi si Setan Cebol yang telengas dan berkepandaian tinggi itu? Tak tega rasanya ia membiarkan ayahnya menempur sang iblis sendirian. Namun ia sudah terpaksa melangkahkan kakinya, ketika dengan mengibaskan jubahnya sang ayah telah mendorong tubuhnya tiga tindak.

Sesaat setelah ia menatap si Setan Cebol dengan sorot mata mengandung dendam, ia segera balikkan tubuh untuk berlalu. Masih terdengar suara ayahnya sesaat sebelum ia bertindak.

"Ingat, anakku Sumirah..! Jangan kau menampakkan diri. Pergilah jauh, sampai kau temukan tempat yang aman. Bila aku berhasil menumpasnya, aku pasti akan mencarimu..!"

Sang gadis hanya anggukkan kepala, dan dengan menekan segala perasaannya ia telah berkelebat pergi. Terdengar si Setan Cebol tertawa berkakakan. Dan ujarnya,

"Ha ha ha... Anakmu itu lebih baik ditukar saja dengan nyawamu, orang tua. Aku agak penuju dengan wajahnya. Jangan kau khawatirkan akan kumakan hati dan jantungnya. Kalau ia dapat menjadi istriku. Bukankah dengan memungut mantu orang yang hebat macam aku, namamu kelak akan lebih terkenal, dan ditakuti orang..? Ha ha ha..."

"Tutup mulut busukmu iblis Cebol..! Siang-siang aku mau mengampunimu, tak dinyana malah kau inginkan kematianmu! Siapa sudi bermantukan iblis macam kau..?!" Membentak Ki Reksa Permana.

Sengaja ia keluarkan kata-kata gertakan, untuk menahan getaran jantungnya. Karena ia maklum orang yang dihadapinya adalah seorang tokoh golongan hitam yang amat keji dan telengas. Ilmu kepandaiannya sudah dapat diperkirakan diatas ilmu kepandaiannya. Namun sebagai seorang yang sudah kawakan, adalah tidak mungkin memperlihatkan kelemahan hatinya.

Mendengar sesumbar sang lawan, si Setan Cebol tampak merah mukanya. Sepasang alisnya naik ke atas berikut benjolan pada dahinya. Tiba-tiba ia sudah menggerung keras bagai suara menggeramnya sang macan, atau harimau. Dan detik berikutnya ia sudah menerjang terlebih dulu dengan sepasang lengan terbentang menampakkan sepasang cakar yang siap untuk mencengkeram.

Ki Reksa Permana sekonyong-konyong telah loloskan jubahnya, dan dengan gerakan tak kalah cepat, telah lemparkan pada si Setan Cebol, sambil elakkan diri ke samping. Sekejap saja tubuh si Setan Cebol telah lenyap terbungkus oleh jubah itu. Pada saat tubuh sang lawan yang dengan gelagapan itu meluncur ke bawah, ia telah gerakkan telapak tangan untuk menghantamnya.

Buk..!

Tak ampun lagi tubuh si makhluk yang terbungkus itu telah terlempar menggelinding beberapa tombak. Dan dengan gerakan cepat ia telah mengejar ke sana. Satu hantaman lagi ia arahkan pada si Setan Kerdil itu, yang telah terlepas dari bungkusan jubah itu, yang jadi hancur terkena pukulan dahsyat Ki Reksa Permana. Namun diluar dugaan, si Setan Cebol dapat menghindari serangan kedua dengan bergulingan dan mencelat dengan cepat. Dan sesaat kemudian telah berdiri lagi dengan sepasang kakinya yang tampak kuat mencengkram tanah.

"Gila..!? Apakah tubuh manusia iblis ini terbuat dari karet...?!" Sentak hati Ki Reksa Permana. Karena jangankan luka dalam, atau setidak-tidaknya remuk salah satu bagian tubuhnya. Namun cedera sedikitpun tidak. Hal tersebut tentu saja membuat wajah Ki Reksa Permana jadi pucat pias. Lebih dari separuh tenaga dalam yang ia pergunakan untuk menghantam tubuh sang lawan, dengan harapan akan dapat menumpasnya dengan cepat. Ternyata tak membawa hasil. Bahkan si Setan Cebol tampak masih segar bugar dengan tertawa menyeringai.

"Ha ha ha... ha ha... Percuma kau pergunakan akal lihaimu untuk menjatuhkan aku. Karena berkat hati dan jantung manusia, telah membuat tubuhku menjadi kebal!" Dan saat berikutnya ia telah kembali menerjang dengan beringas. Namun kali ini ia mempergunakan tipuan serangan.

Sehingga Ki Reksa Permana kelebatkan tubuhnya kian-kemari menghindari seranganserangan kosong yang dipergunakan untuk mencari kelengahan lawan. Hal itu membuat Ki Reksa Permana tiba-tiba berseru keras. Dan melesat tinggi beberapa tombak, untuk menjauh. Ketika turun ke bumi lagi, ia telah cabut senjatanya. Yaitu sebuah pedang tipis yang ia belitkan pada pinggangnya. Senjata inilah yang telah mengangkat namanya sebagai seorang yang terkenal beberapa puluh tahun yang silam. Memandang pada senjata lawan, tampak si makhluk cebol ini kerutkan alisnya.

"Hm, kaukah yang bergelar si Pedang Sakti Bermata Delapan...?" Bertanya ia dengan suara santar.

"Kalau bukan aku, siapa lagi...? Lebih baik kau serahkan jiwamu Setan Cebol. Atau kau akan rasai ketajaman pedang ini...? Walaupun kulitmu sekeras baja, tak nantinya kalau tak dapat mengoyak kulit kepalamu..!" Ki Reksa Permana keluarkan gertakannya.

Namun lagi-lagi ia cuma mendengus dan berkata dengan nada jumawa. "Bagus..! Tidak usah jauh-jauh aku mencari orang yang telah membunuh saudara seperguruanku, dan mencelakai guruku. Akhirnya sudah datang sendiri didepan mata."

Terkejut juga Ki Reksa Permana. Dengan heran ia sudah lantas bertanya. "Siapa Gurumu, dan siapakah saudara seperguruanmu itu..!" Sambil bertanya diam-diam ia bersyukur, akhirnya akan dapat mengetahui riwayat si manusia kebal ini. Dan diam-diam ia telah salurkan tenaga dalamnya pada gagang pedang, hingga terlihat mata pedang berubah merah.

"Ha ha ha... ha ha... jauh-jauh guruku sudah persiapkan satu ilmu yang dapat menandingi kehebatan ilmu pedang bermata delapan yang kau miliki. Hilangnya kedua belah kaki, dan sepasang mata beliau kiranya akan tertebus hari ini! Apakah kau belum juga menyadari ketelengasanmu belasan tahun yang silam..?" Berkata si Setan Cebol dengan mata memerah, yang pancarkan sinar berkilatan.

Tampak si Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan alias Ki Reksa Permana, kerutkan alisnya seperti tengah mengingat peristiwa yang telah lalu itu. Tiba-tiba tampak ia berkata seperti menggumam. "Apakah dia si Sepasang Mata Iblis...?" tampak Ki Reksa Permana agak berubah pucat wajahnya.

Akan tetapi si Setan Cebol telah tertawa menyeringai dan berkata. "Ha ha ha... Tidak salah terkaanmu, Pendekar tua bangka. Pernahkah kau melihat seorang budak hitam yang waktu itu berumur sepuluh tahun, dan tengah berlari ketakutan melihat Gurunya yang terluka parah, dan seorang kakak seperguruannya tewas oleh pedang mautmu itu...?"

Tercenung sejenak Ki Reksa Permana... Kisah puluhan tahun yang silam itu tentu saja masih terbayang dibenaknya.

DUA

SI SEPASANG MATA IBLIS itu sebenarnya adalah sahabatnya sendiri. Sayang, ternyata diam-diam sang sahabat itu, yang telah dianggapnya sebagai saudaranya sendiri. Bahkan berbalik menjadi musuhnya, gara-gara ia telah memaksa mengajak main serong pada istrinya. Saat itu ia tengah pergi berdagang, yang memakan waktu dua pekan. Reksa Permana tak menaruh curiga pada orang yang telah dianggapnya saudara sendiri itu.

Apalagi si Sepasang Mata Iblis yang waktu itu belumlah bergelar demikian, adalah seorang yang ramah tamah, dan amat sopan serta menghormatinya. Hingga terjalin kecocokan diantara mereka. Hingga tak segan-segan Reksa Permana mengangkatnya sebagai saudara. Kepergiannya berdagang, tidak membuat ia bercuriga sama sekali, hingga ia berpesan agar dapat menjaga sang kakak perempuan, bila terjadi sesuatu dirumah.

Tak dinyana sekembalinya dari pergi berdagang, ia dapati istrinya tengah menangis tak henti-hentinya dengan mata yang sembab. Terkejut bukan buatan Reksa Permana, mengetahui bahwa Sugriwo sang saudara angkat telah memaksa sang istri untuk berbuat tidak senonoh dengannya. Bahkan mengancam akan membunuh istrinya bila berani mengadu pada Reksa Permana.

Tak alang kepalang marahnya Reksa Permana, segera ia mencari kemana perginya Sugriwo. Namun Sugriwo telah angkat kaki dari rumah itu dan pergi tak diketahui dimana rimbanya. Untuk menghilangkan rasa malu, terpaksa Reksa Permana meninggalkan desanya, dan pergi hijrah ke daerah lain. Dengan dendam yang amat luar biasa teramat di dadanya. Beberapa tahun berselang lahirlah puterinya, yang diberinya nama Sumirah.

Tak disangka ancaman Sugriwo benar-benar dibuktikan. Ketika menjelang anaknya berusia lima tahun. Terjadi lagi hal serupa disaat ia sedang tak ada dirumah. Sugriwo mengulangi perbuatannya. Sumirah dijadikan sandera agar ia dapat melampiaskan nafsu bejatnya. Sementara sang pembantu dikunci mulutnya dengan memberikannya sejumlah uang.

Kemarahan Sugriwo pada istrinya, yang diungkapkan pada sang pembantu adalah, karena sang istri telah mengatakan bahwa ia telah mengadukan hal itu pada suaminya. Pertengkaran pun terjadi. Dan saat itulah Sugriwo dengan kejam telah membunuh sang ibu dari seorang bocah perempuan, yang masih mengharapkan belas kasihnya.

Reksa Permana hanya dapat menjumpai jenazah sang istri yang telah dikebumikan. Betapa hancur luluh perasaannya mendapat cobaan hidup yang demikian tragisnya. Apalagi si kecil yang amat disayanginya itupun telah dibawa pergi oleh Sugriwo entah kemana rimbanya. Reksa Permana malang melintang tak tentu tujuan. Dengan pedang tipisnya ia mengembara kemana-mana.

Ternyata disamping mencari jejak Sugriwo, Reksa Permana juga telah pergunakan kepandaiannya untuk menolong kaum tertindas dari cengkeraman golongan-golongan yang pergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Banyak dari tokoh-tokoh jahat yang telah ia tumpas. Hingga sebentar saja telah terdengar keharuman namanya sebagai seorang Pendekar Pembela Kebenaran, yang dijuluki Si Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan.

Berita tentang kemunculan seorang tokoh hitam yang berjulukan si Mata Iblis, yang telah bertindak diluar perikemanusiaan. Disamping merampok harta benda penduduk, membunuh juga pemerkosa gadis-gadis. Telah mengundang kemarahannya untuk mencarinya. Akhirnya ia dapat menjumpai sarang tokoh jahat itu, setelah sekian lama menyelidiki jejaknya.

Kemarahannya yang pertama adalah melihat adanya seorang bocah kecil berusia antara 10 tahun, tengah berusaha membujuk seorang bocah perempuan yang masih berusia di bawah umur, yaitu sekitar enam tujuh tahun untuk dilakukan dengan tidak senonoh. Yang kemudian terjadilah kekerasan. Karena si bocah yang berumur 10 tahun itu telah bertindak menghajar si gadis cilik itu untuk menuruti perbuatannya.

Reksa Permana terkejut bukan alang kepalang, karena ia mengetahui si gadis cilik itu adalah putrinya sendiri, alias Sumirah yang tengah dicarinya sekian lama. Tanpa pikir panjang, pedangnya telah berkelebat menabas batang leher si bocah itu, hingga tewas seketika. Saat itulah muncul si Mata Iblis yang ternyata telah membuatnya terkejut, karena si Mata Iblis itu tak lain dari Sugriwo adanya.

Pertarungan pun terjadi, hingga ia berhasil menabas putus kedua belah kaki Sugriwo. Karena dendamnya yang teramat sangat, Reksa Permana telah pula membutakan kedua matanya. Pada saat itulah ia melihat seorang bocah hitam yang berlari ketakutan yang ternyata tak lain dari si Setan Cebol ini, yang pada waktu itu ia masih berusia 10 tahun. Kiranya ia murid si Mata Iblis, yang telah berhasil dipecundangi. Sengaja ia tak membunuh orang tak berdaya. Karena dengan demikian ia bisa puas telah membalas sakit hatinya.

Sekelebat ingatan pada puluhan tahun yang silam itu telah lenyap seketika begitu Reksa Permana mendengar bentakan hebat dari si Setan Cebol. Yang dengan kecepatan kilat, telah menerjang ke arahnya. Ki Reksa Permana memang telah siap dengan pedang tipisnya. Yang telah memerah bagai bara untuk segera menabas, bersiutan ke arah si Setan Cebol. Hebat gerakan si makhluk kecil yang berkulit hitam itu.

Terjangan itu adalah suatu gerak tipu belaka. Dengan gesit ia telah putar tubuh untuk mengelilingi Ki Reksa Permana, bagaikan bayangan hitam yang berkelebatan kian kemari. Sementara pedang sakti bermata delapan itu, benarbenar bermata delapan. Karena terus mengejar ke arah mana tubuh si Setan Cebol berkelebat. Dari kejauhan yang tampak bayangan putih dan hitam saja yang berkelebatan saling terjang.

Ki Reksa Permana memang masih mengenakan pakaian putih yang singsat, dibalik jubahnya yang telah ia lemparkan untuk menyerang si Setan Cebol. Kira-kira sepuluh jurus sudah Ki Reksa Permana menggunakan ilmu pedangnya yang lihai itu, tiba-tiba ia telah merobah gerakannya. Tiba-tiba tubuhnya lenyap terbungkus bayangan putih. Membuat si Setan Cebol terkejut seketika. Hingga ia agak lamban bergerak.

Dan pada saat itulah delapan mata pedang tipis itu telah meluncur mengarah mata, leher dan dada. Kecepatan tak terduga yang dilancarkan Ki Reksa Permana adalah salah satu jurus ampuh dari ilmu pedangnya. Terdengar si Setan Cebol keluarkan teriakan tertahan. Ia cepat gulingkan tubuhnya dengan cepat namun tak urung pedang tipis itu telah menggores dadanya.

Dengan melempar tubuhnya bergulingan beberapa tombak, ia segera bangkit berdiri lagi. Tampak ia menyeringai menahan perih pada goresan didadanya yang mengucurkan darah. Terasa panas dan perih. Disamping terkejut, karena kulit tubuhnya yang kebal itu, ternyata benar-benar dapat dilukai oleh pedang tipis Ki Reksa Permana.

* * * * * *

Sementara kita beralih dulu pada lain hal yaitu kemana dibawa perginya si Dewi Tengkorak yang telah tertotok itu, oleh si muka bocah yang bergelar Iblis Tertawa. Dengan tertawa senang si tinggi besar memondong wanita yang sudah tak berdaya itu berkelebat melompati tebing-tebing terjal. Selang kira-kira semakanan nasi, ia telah menghentikan larinya. Dan tampak melompat ke sisi air terjun dilereng gunung.

Daerah sekitar tempat itu memang tampak menyeramkan. Karena belasan ekor buaya tampak bergentayangan di sungai yang mengalir disekitarnya, pada sebelah depan air terjun itu. Memang dihadapan lereng itu terdapat rawa yang luas, yang menyatu dengan air sungai. Dengan melompati batu-batu berlumut, ia tiba disebelah belakang air terjun itu. Yang ternyata ada sebuah ruangan goa, yang tak terlihat dari luar.

Agaknya disinilah tempat persembunyian atau sarang si Setan Cebol dan si Iblis Tertawa... Segera ia sudah geletakkan si Dewi Tengkorak diatas balaibalai bambu. Sementara sepasang mata wanita itu tampak melotot tajam menatap laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

"Apa yang kau mau lakukan.. muka banci..?" Berkata si Dewi Tengkorak, dengan nada gusar.

Si Iblis Tertawa cuma mendengus mendengarnya, dan tersenyum penuh kemenangan. "He he he... he he... Apapun yang akan aku lakukan adalah sudah bukan urusanmu lagi. Bukankah seorang tawanan hanya dapat mandah saja diperlakukan apapun. Kecuali kau dapat melepaskan totokanku yang hebat itu, silahkan kau loloskan diri dari tanganku...!"

Sambil berkata demikian lengan si Iblis Tertawa telah menyelusup ke semak belukar di ujung lamping bukit batu yang tampak halus memukau itu. Si Dewi Tengkorak berusaha menggerakkan tubuhnya untuk bangkit, dengan wajah merah namun ternyata untuk bergerak memutar tubuh saja terasa sulit.

"He he he... Sudahlah! Tak usah berlagak jadi perawan pingitan. Apakah begini kekarnya tubuhku masih kau ragukan untuk bertarung denganmu..? Kujamin kau akan mencariku sepanjang pekan untuk kau ajak bertarung lagi. He he he..."

Tiba-tiba sebelah lengan si Iblis Tertawa telah bergerak menyelusup ke saku bajunya. Sebuah tabung kecil telah ia keluarkan, dan tuang isinya di telapak tangan. Tampak lagi-lagi sepasang mata si Dewi Tengkorak terbeliak menatap ke arah si Iblis Tertawa.

"Apa lagi yang kau mau lakukan. Berkata si Dewi Tengkorak dengan naikkan alisnya ke atas.

Dua butir pel telah ia sisakan diatas telapak tangannya. Sedang yang lainnya kembali ia masukkan pada bumbung kecil itu, dan masukkan lagi pada saku bajunya. Begitu selesai tahu-tahu sebelah tangannya telah bergerak cepat memencet mulut si Dewi Tengkorak, hingga ternganga. Wanita ini berusaha melepaskan diri dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Namun ia sama sekali tak mampu berkutik lagi. Hingga ketika pel ditangan si Iblis Tertawa dijejalkan dalam mulutnya ia tak mampu untuk menolaknya. Ditambah dengan hembusan yang bercampur air liur dari mulut si muka bocah itu. Membuat kedua butir pel yang dijejalkan itu segera masuk ke dalam tenggorokannya. Dan sekejap ia sudah melepaskan lagi cekalannya.

"He he he... Itu adalah pel racun, yang kerjanya amat lambat. Namun dalam jangka waktu satu bulan, segera kau akan menemui kematian...!" Berkata si Iblis Tertawa dengan suara ditekan.

"Hah..!? Kau mau aku mati, mengapa tak kau bunuh aku dengan seketika..?"

Namun kembali si Muka Bocah ini tertawa gelak-gelak. "Macam kau ini mana mungkin aku membunuh dengan sekejap. Apa kau kira nyalimu begitu hebat untuk menantang kematian...? Kau masih menyayangi nikmatnya hidup di dunia, mana kau tega meninggalkannya..?" Menyahuti si Iblis Tertawa.

Diam-diam si Dewi Tengkorak juga membenarkan kata-kata itu. Siapa yang mau mati siang-siang..? Pikirnya. Ia cuma menggertak saja. Walaupun hatinya kebat-kebit.

Sementara si Iblis Tertawa sudah berkata lagi. "Kalau kau mau obat pemunahnya, tentu saja kau tak berkeberatan untuk memberikan imbalan padaku. He he he..."

"Dasar iblis, ya tetap iblis..!" Memaki si Dewi Tengkorak, dengan plototkan matanya. "Kau yang telah beri aku racun, kini aku yang suruh berikan imbalannya? Benar-benar kau seorang yang paling licik...!" Lanjut kata-katanya.

"Itulah kelebihan dari seorang iblis semacam aku. Tapi itu tak seberapa dibandingkan si Setan Cebol. Dia bukan saja inginkan tubuhmu, tapi bisa-bisa jantung dan hatimu pun akan diingininya pula!"

Merinding juga bulu tengkuk si Dewi Tengkorak, mendengarnya. Walaupun tadi ia telah berani menyombong namun pada kenyataannya ia telah kena dipecundangi oleh kedua manusia yang saling berkawan itu. Terpaksa ia cuma mandah saja akan apa yang diperbuat si Iblis Tertawa terhadap dirinya. Segera sudah terasa sesuatu yang bergerak untuk membuka tirai-tirai penghalang. Dan selanjutnya ia sudah rasakan sebuah beban yang berat menindih tubuhnya yang membuat ia megap-megap hampir tak bisa bernapas.

Sementara dibalik air terjun itu terdengar dengusan liar, dan rintih yang sayup-sayup tersamar dengan suara gemericiknya air yang mengalir. Sementara di lain tempat, terdengar suara isak tangis seorang wanita, yang lari jatuh bangun meninggalkan lereng Gunung Merbabu. Dialah Sumirah adanya yang berlari dengan membawa kepedihan hati yang tak terkira.

Betapa tidak. Karena ia harus membiarkan kematian seorang ayah yang amat dicintainya. Entah mengapa ia sudah menduga demikian? Karena detak jantungnya sudah terasa, dan firasat buruk itu sudah menghantui benaknya. Ia amat yakin sang ayah, yaitu Ki Reksa Permana tak akan dapat melawan keganasan si Setan Cebol.

Sepasang Trisulanya masih tergenggam dikedua kepalan tangannya. Namun senjata itu adalah senjata yang tak berarti lagi. Karena tak dapat dipergunakan untuk menempur musuhnya. Rambutnya yang terurai panjang itu berkibaran terkena derasnya hempasan angin karena ia telah berlari dan berlari dengan sekencang-kencangnya untuk pergi sejauh-jauhnya.

Napasnya sudah terasa tersengal-sengal, namun ia masih juga berlari. Yang terkadang ia harus sekejap ia sudah bangkit lagi untuk segera meneruskan larinya. Hingga akhirnya tanpa ia ketahui kakinya telah menginjak tempat kosong. Terkesiap ia seketika memandang apa yang ada dihadapannya.

Namun sudah terlambat, karena sekejap saja tubuh sang gadis telah terjungkal jatuh, untuk segera melayang ke dasar jurang yang amat dalam. Pekik ngeri segera terdengar mengoyak keheningan, menyibak kelengangan yang kemudian suara teriakan itupun sesaat kemudian telah kembali lenyap. Hanya desahan angin yang semilir menyibak rumput alang-alang di pinggir jurang.

"Aiiiiiiih..!?" Terdengar satu teriakan dibawah jurang yang terjal itu, dan sesosok tubuh berkelebat cepat untuk segera menyangga jatuhnya tubuh sang gadis. Dan selamatlah ia dari kematian yang sudah dipastikan tubuh gadis itu, akan hancur remuk tulang-tulangnya. Karena dibawah jurang yang terjal itu batu-batu lancip tengah menantinya. Namun sang gadis sudah tak mengetahui keadaan dirinya lagi, karena ia telah tak sadarkan diri lagi.

Entah berapa lama ia pingsan, dan ketika ia siuman, didapati dirinya telah berada dalam sebuah kamar yang bersih dan terang. Segera ia mau bergerak untuk bangkit, namun kembali ia rebahkan tubuhnya, karena dirasakannya tubuhnya lenyap tak bertenaga.

"Dimanakah aku...?" Berfikir sang gadis. Sementara benaknya segera mengingat-ingat akan apa yang telah terjadi pada dirinya. Kakinya telah menginjak tempat kosong, ketika ia tengah berlari dengan tak melihat jalan lagi. Dan masih terlihat olehnya jurang curam yang terbentang dibawahnya ketika dengan deras ia melayang jatuh. Dan selanjutnya ia sudah tak ingat apa-apa lagi. Ketika itulah beberapa wanita yang cantik-cantik dengan dandanan yang amat menyolok terlihat mendatangi dari pintu kamar.

"Ah, sayang-sayang. Gadis secantik ini mengapa sampai mau bunuh diri..?" Berkata salah seorang yang tampak cukup cantik. Dengan suara yang terdengar merdu sambil menatap padanya.

"Benar..! Dunia kan tidak sedaun kelor. Kalau patah hati cari saja gantinya..." Menimpali yang seorang lagi. Yang dandanannya kelewatan hingga sampai hampir seluruh payudaranya terlihat. Sedangkan bagian bawahnya memakai gaun yang menyibak sampai ke atas, hingga tersingkap betis dan pahanya. Sementara yang dua orang lagi tampak memandanginya seperti tengah meneliti wajah orang. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara dari arah pintu.

"Setan-setan kuntilanak...! Siapa yang suruh kalian masuk ke dalam kamar..?" Dan selanjutnya telah muncul dipintu seorang wanita setengah tua yang juga berdandan dengan pupur dan bedak tebal. Tiga buah kalung permata yang gemerlapan tampak tergantung dilehernya. Tubuhnya agak jangkung, dengan alis melengkung. Mengenakan pakaian yang ketat berwarna kuning. Rambutnya tersanggul rapi ke atas. Dan sebuah tusuk konde dari emas terselip pada sanggulnya.

Melihat kedatangan wanita ini, segera wanita-wanita yang lainnya segera bungkukan tubuh dengan hormat, dan tampak takut. Dan saat berikutnya satu-persatu segera beranjak keluar.

"Maaf adik...! Mereka tentu mengganggumu. Syukurlah kau sudah siuman. Tahukah kau, bahwa sudah beberapa waktu hingga sampai hari ini menjelang malam begini, kau baru sadarkan diri...?" Berkata si wanita dengan senyum yang ramah tamah.

Tentu saja hal itu membuat si gadis bernama Sumirah itu jadi kerutkan alisnya. Tahulah ia bahwa wanita dihadapannya inilah yang telah menyelamatkan jiwanya. Segera saja ia kuatkan tubuh untuk bangkit duduk, namun si wanita telah menahannya, seraya berkata,

"Janganlah kau banyak bergerak dulu, adik...! Kau baru saja mengalami goncangan pada jantungmu. Beristirahatlah dulu. Sebentar aku akan bawakan kau bubur nasi yang hangat. Kau makanlah nanti. Baru kita bercakap-cakap..!"

Sumirah pandang wajah orang dihadapannya itu dengan tatapan penuh rasa terima-kasih. "Kakakkah yang telah menolongku...?" Berkata si gadis dengan suara lemah. Si wanita itu menatapnya sambil anggukan kepalanya.

"Te... terima kasih atas pertolonganmu kak..." Ucapnya dengan memaksa bibirnya untuk tersenyum.

Wanita itu anggukkan kepalanya sambil membalas dengan senyuman manis. Terasa begitu akrab dan tulus, terlihat oleh sang gadis. Namun ia tak mengetahui siapa sebenarnya wanita itu. Karena yang ia ketahui adalah si wanita itu berkepandaian tinggi, dan telah selamatkan jiwanya dari kematian.

* * * * * *

SENJA baru saja berlalu. Alam terasa agak tenang, karena tak ada tanda-tanda mau turun hujan. Walaupun angin gunung terasa semilir menerpa tubuh. Sepotong bulan tampak mengambang di langit. Cukup untuk menerangi jalan yang dilalui seorang gadis berambut panjang terurai, yang melangkah dengan gontai. Sejak senja tadi ia baru angkat tubuhnya untuk bangkit berdiri dari duduknya, diatas batu itu.

Terasa lemah sekali tubuhnya, karena baru saja ia selesai sore tadi menguburkan beberapa jenazah ditempat itu. Jenazah yang ditemuinya dalam keadaan mengerikan. Tak sampai hatinya untuk membiarkan tubuh-tubuh yang berserakan ditempat itu untuk dimakan binatang buas. Gadis berambut panjang itu tak lain dari Roro Centil. Kedatangannya ke tempat itu adalah secara kebetulan saja, disamping mau menjelajahi sekitar daerah gunung Merbabu, yang konon kabarnya ada dihuni oleh sesosok mahkluk Cebol, yang gentayangan mencari mangsa.

Memang sejak berita dari beberapa desa yang disinggahinya, berita itu tampaknya bukanlah berita bohong. Karena selalu ada terdengar pembicaraan orang mengenai adanya mahkluk Cebol yang datang untuk menyebar maut. Sebahagian penduduk ada yang berpendapat sosok tubuh kerdil yang pernah dijumpainya, adalah sebangsa siluman jahat. Yang gentayangan mencuri bayi dan membunuh wanita. Hal yang amat ganjil itu membuat Roro Centil berhasrat untuk menyelidiki.

Kenyataan itu benar-benar terjadi didepan matanya. Ketika ia mendengar suara orang bertempur dengan hebat diatas lamping bukit terjal. Namun ia terlambat datang, sehingga hanya menjumpai sesosok tubuh yang baru saja berkelojotan meregang nyawa. Keadaannya amat mengerikan. Karena isi perutnya telah terburai keluar. Ia hanya sempat melihat sesosok tubuh kerdil yang hitam berkelebat lenyap dari lamping bukit itu. Tak ada kesempatan ia untuk mengejar, karena segera memburu ke arah orang yang terkapar meregang nyawa itu.

Ternyata itulah tubuh Ki Reksa Permana. Kiranya pertarungan diatas tebing terjal itu berakhir dengan kematiannya. Yaitu disaat si Setan Cebol terluka kena goresan pedang tipis Ki Reksa Permana, telah membuat si Setan Cebol gusar bukan main. Tiba-tiba terdengar ia berteriak keras. Kedua lengannya tiba-tiba telah digerakkan dengan cepat sekali sehingga tampak oleh Ki Reksa Permana, lengan si Setan Cebol telah berubah menjadi berpuluh-puluh.

Sambil mengelilingi lawannya, si Setan Cebol telah mengeluarkan ilmu sihirnya yang mempengaruhi mata sang lawan hingga yang tampak oleh Ki Reksa Permana adalah tubuh si Setan Cebol telah berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Hal itu tampaknya membuat Ki Reksa Permana terkesiap. Segera ia pusatkan ilmu bathin untuk melawan pandangan mata tipuan itu. Pedang tipis segera ia gerakkan memutar bagai baling-baling melindungi tubuhnya.

Dengan suara yang bersiutan segera menerjang untuk menabas kiri dan kanan. Sehingga lemahlah tenaganya karena terus-terusan berkelebatan ke arah sekelilingnya. Namun yang kena ditebas adalah hanya bayangan belaka.Hingga lama-kelamaan pandangan matanya mulai mengabur. Pada saat itulah si Setan Cebol dengan satu terjangan kilat telah berhasil membuat tubuhnya terjungkal kena hantaman srudukan kepala pada perutnya. Terlemparlah pedang tipisnya.

Dan dilain kejap ia telah perdengarkan teriakan mengerikan, karena sepasang cakar si Setan Cebol telah terhunjam pada perutnya, yang langsung disentakkan. Hingga terburailah isi perut si Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan. Terdengar suara tertawa si Setan Cebol yang berkakakan, dan sekejap ia sudah berkelebat pergi dan lenyap.

Pada saat itulah muncul Roro Centil yang segera memburunya. Namun sudah terlambat. Luka parah yang telah memburaikan isi perutnya itu, membuat sang Pendekar yang sudah kawakan itu tak dapat mempertahankan nyawanya lagi. Dan tewaslah ia dihadapan Roro Centil yang hanya dapat menyaksikan kematiannya.

Kini dengan melangkah gontai ia tinggalkan tempat itu. Sementara terlihat pada pinggangnya terbelit pedang tipis milik Ki Reksa Permana yang ia temui disela-sela batu. Sedangkan senjata si Rantai Genit hanya terlihat ujungnya saja, pada kedua sisi pinggangnya. Karena tertutup oleh bajunya.

"Aku harus segera mencari tempat tinggal Ki Reksa Permana untuk memberikan pedang pusaka ini pada puterinya yang bernama Sumirah itu..!"

Setelah merenung sejak tadi, rupanya Roro Centil baru teringat yang pernah berjumpa dengan Ki Reksa Permana. Bahkan sempat pula bertarung beberapa jurus dengan si Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan itu, akibat salah faham. Yang nyaris saja Roro Centil mati konyol karena diserang oleh beberapa prajurit Kerajaan Medang yang berilmu tinggi.

Namun akhirnya setelah segalanya menjadi beres. Ia dapat berkenalan dengan si Pendekar Pedang Bermata Delapan yang bernama Ki Reksa Permana. Dan bahkan sempat pula si Pendekar Tua itu menceritakan kisah hidupnya. Tentu saja kematian Tokoh yang dikagumi itu telah membuat Roro Centil jadi bersedih. Ternyata terlalu banyak manusia keji yang selalu membuat kericuhan di alam kehidupan ini.

TIGA

KEJADIAN beberapa bulan yang lalu itu ialah ketika iring-iringan kereta kuda dari Wono Segoro yang membawa upeti menuju ke Kerajaan Medang telah dibegal oleh seorang perampok wanita yang berkepandaian tinggi. Wanita itu memakai cadar diwajahnya sehingga tak dikenali. Beberapa pengawal pengawal kereta kuda yang membawa upeti dari Bupati Wono Segoro itu jadi terkejut melihat sesosok tubuh meloncat ke dalam kereta yang tengah dikawalnya dari jarak beberapa belas tombak dari mereka.

Karena mengalami kesulitan jalan, terpaksa mereka mengambil jalan memutar. Tak dinyana ditempat yang sunyi mencekam itu telah dihadang oleh beberapa orang begal. Tiga orang pengawal dibagian depan segera lakukan pertarungan. Sementara dibagian tengah ternyata lebih berbahaya, karena benda-benda berharga atau upeti itu berada dikereta yang berada ditengah.

Empat orang pengawal menjerit roboh, ketika senjata-senjata rahasia mengenai tepat pada jantungnya. Dan sesosok tubuh yang dikenalinya adalah seorang wanita, telah melompat ke atas kereta untuk segera menggondol beberapa buntalan berisikan sepeti uang dan perhiasan kiriman dari Bupati Wono Segoro. Empat penunggang kuda yang melihat kejadian itu dari belakang kereta, segera lakukan pengejaran.

"Berhenti keparat...!" Teriak salah seorang dari mereka. Dan dengan cepat mengejar dengan kudanya. Sementara tiga pengawal lainnya segera berpencar untuk mengurung si pembegal.

Terdengar ringkikkan kuda sang pengawal yang segera roboh terkena senjata rahasia si wanita misterius itu. Namun si penunggangnya dapat menyelamatkan diri, dengan melompat cepat. Dan dengan tombak siap ditangan ia sudah akan segera menerjang si pembegal. Melihat itu tiga orang pengawal lainnya segera turun dari kudanya untuk segera bantu mengepungnya.

Melihat dirinya sudah terkepung sedemikian rupa, tampaknya si pembegal itu tak menjadi ciut nyalinya. Segera saja keempat pengawal menerjang dengan senjata masing-masing. Dua orang menggunakan pedang, sedang dua orang lagi mempergunakan tombak. Hebat ternyata gerakan wanita bercadar itu, dengan gerakan lincah ia segera berkelebat kian kemari untuk menghindar.

Plak!

Sebuah hantaman telapak tangan masih sempat ia lontarkan, sementara sebelah lengannya telah bergerak untuk melakukan serangan dengan senjata-senjata rahasianya. Namun keempat pengawal ini adalah pengawal-pengawal pilihan. Dengan segera telah menyampok mental senjata-senjata rahasia itu dengan memutarkan pedangnya. Sementara yang terkena hantaman telapak tangannya terjungkal beberapa tombak, tampak ia agak menyeringai kesakitan.

Namun masih dapat untuk kembali bangkit. Dan kembali raih tombaknya yang terlempar. Terjadilah serang dan terjang dari keempat pengawal dan si pembegal wanita itu. Sementara itu ketiga pengawal yang berada didepannya tampaknya agak kewalahan, karena kelima begal laki-laki yang mereka hadapi ternyata adalah bukan begal-begal picisan.

Namun walau demikian mereka berhasil juga membunuh tewas seorang begal. Seorang pengawal terpaksa lepaskan senjatanya karena terluka pada pergelangan tangannya. Dua pengawal terkejut, segera mempergencar serangan. Namun empat begal itu bukanlah tandingannya. Tombak dan pedang mereka terlepas karena masing-masing terluka oleh golok dan blencong yang terus-menerus mencecarnya. Keduanya segera melompat mundur.

Pada saat itulah salah seorang dari pengawal yang terluka telah melompat ke atas kudanya untuk segera memacunya dengan cepat. Sedang kedua kawannya yang terluka segera berlari ke belakang untuk membantu menyelamatkan upeti. Namun sudah terlambat, karena sudah sejak tadi upeti berharga itu lenyap. Dan mereka hanya menjumpai empat pengawal yang sudah tergeletak tewas.

Dan dikejauhan ia melihat adanya pertarungan hebat dari keempat pengawal yang berada dibelakang kereta dengan seorang wanita yang berilmu tinggi. Dalam keadaan yang tak terduga keempat orang pembegal itu telah menerjang ke atas kereta.

"Keparat..! Sudah ada yang menggondolnya..!?" Berteriak salah seorang. Kemarahannya beralih pada si dua pengawal itu. Yang kembali mereka gempur dengan terjangan golok dan blencong. Hingga akhirnya kedua orang pengawal itu perdengarkan teriakan ngeri ketika senjata-senjata dari para begal itu menebas dada dan menggorok leher.

Kiranya perampokan itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak saling kenal. Yaitu kelompok pembegal dan si wanita bercadar itu, yang mengambil keuntungan lebih cepat, disaat terjadinya pertarungan. Kelima begal itu adalah yang dijuluki si Lima Iblis Gentayangan. Yang terkenal amat kejam, dan berkepandaian tinggi.

Melihat seorang wanita bercadar yang telah berhasil menggondol barang upeti itu, dan tengah bertarung dengan serunya dengan keempat pengawal. Segera saja ia turun tangan membantu. Beruntunglah si wanita bercadar itu sehingga ia dapat bernapas lega. Segera ia sudah sambar kedua buntalan rampasannya, sambil berkata,

"Lima Iblis Gentayangan...! Jangan khawatir, aku akan selamatkan benda upeti ini dulu. Nanti aku akan kembali untuk membantu kalian melenyapkan kacung-kacung Bupati ini...! Hi hi hi..." Dan sesaat kemudian ia telah berkelebat menerobos dari kepungan keempat pengawal, yang jadi terkesiap seraya berteriak salah seorang.

"Setan betina! Tinggalkan barang itu...!"

Plak!

Sebuah lemparan tombak telah berhasil ia halau dengan kibasan lengannya, dan tanpa menoleh lagi ia sudah melesat kabur. Akan halnya si keempat pembegal itu tak ada jalan lain selain menerjang keempat pengawal itu. Dan terjadilah pertarungan seimbang, yaitu empat lawan empat. Namun keempat pengawal karena mengkhawatirkan keselamatan barang upeti itu, jadi kurang bergairah untuk bertarung, sehingga tampak terdesak.

Dengan menarik napas lega si wanita bercadar itu berkelebat cepat untuk mencari tempat yang aman, bagi barang upeti rampasannya itu. Agaknya ia tak terlalu tamak untuk mengangkangi sendiri. Segera saja ia telah mendapatkan tempat persembunyian yang aman. Dibalik sebongkah batu besar yang tertutup rumpun bambu yang hanya satu-satunya rumpun bambu yang terdapat disitu, ia segera sembunyikan kedua buntalan benda berharga itu. Terdengar ia menggumam,

"Tempat ini mudah di ingat...! Biarlah aku menolong membantu si Lima Iblis Gentayangan itu. Mereka bisa diajak kerja sama, untuk membegal lagi dilain saat...!"

Akan tetapi baru saja ia balikkan tubuh, terkejutlah ia karena dihadapannya telah berdiri seorang gadis cantik dengan rambut terurai panjang. Seuntai kalung berukiran huruf "R" pada bandulannya yang berbentuk hati, tampak tergantung di lehernya yang jenjang. Sepasang matanya yang bak bintang kejora, terlihat menatap padanya dengan tatapan tajam.

"Siapa kau..!" Bertanya si wanita bercadar dengan suara bentakan. Namun yang ditanya dengan dibentak begitu rupa, malah tertawa geli sekali membuat si wanita bercadar jadi terpaku heran.

"Hi hi hi... hi hi... Dari kecil sampai begini dewasa baru aku lihat ada pencuri yang malah membentak petugas keamanan. Apakah tidak salah..?" Berkata di gadis berbaju hijau yang tak lain adalah Roro Centil.

Mendengar balasan kata-kata itu tentu saja membuat si wanita bercadar jadi melengak. "Kalau begitu kau harus mampus..!" Bentak si wanita bercadar, yang tak mau mengulur waktu, dan segera menerjangnya. Dua hantaman yang ia lancarkan hampir bersamaan itu adalah sebuah jurus yang mematikan. Satu mengarah tenggorokan, dan satu lagi mengarah dada.

"Jurus yang bagus...!" Teriak Roro Centil. Dan ia hanya gunakan ujung rambutnya mengeprak datangnya sambaran tangan ke arah tenggorokan dengan gerakkan kepala ke arah samping. Sedangkan sambaran ke arah dadanya ia biarkan, sengaja ia menguji kekuatan tenaga lawan.

Buk! Prak!

Terdengar hantaman pada Roro Centil, namun akibatnya si wanita bercadar perdengarkan teriakan kaget. Tubuhnya terpental ke belakang beberapa tombak. Terasa ia telah memukul benda keras, yang menolak balik pukulan tangannya. Sedangkan keprakkan ujung rambut Roro, tak sempat ia mengelakkannya. Sehingga tampak ia meringis menahan pedasnya jari-jari tangannya, yang menampakkan guratan-guratan merah.

"Edan..! Sebutkan siapa namamu sebelum aku bertindak lebih jauh. Kau kira si Walet Kencana akan membiarkan kau turut campur urusanku...?"

Roro Centil naikkan alisnya dengan jumawa, sambil menggendong tangannya ke belakang ia sudah lantas berkata, "Siapakah Walet Kencana itu..? Paling-paling begitu melihatku ia sudah segera bertekuk lutut. Apakah kau muridnya..?"

"Hm, kau belum rasai kelihaian ilmu-ilmuku, sudah mau menyombong. Tak perlu guruku yang datang. Aku si Elang Alap-alap masih mampu memindahkan nyawamu ke alam Akhirat..!" Menggertak si wanita bercadar itu.

Kembali Roro Centil mengikik tertawa seraya berkata, "Hi hi hi... Memang nyawaku sudah sering pulang pergi ke Akhirat, mengapa harus payah-payah kau mau memindahkan...?" Dan setelah kembali mengikik geli Roro sudah menyambungnya lagi. "Baiklah aku beri tahu namaku. Apa kau belum dengar nama Roro Centil? Nah itulah aku..!" Berkata Roro sambil tersenyum.

Agaknya nama yang barusan itu pernah juga didengarnya. Namun belum pernah lihat orangnya. Mengetahui orang yang dihadapannya itu adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan, tampak si wanita bercadar mendengus dan berkata tajam. "Huh! Rupanya seorang gadis yang masih ingusan saja..! Rupanya orang terlalu menggembar-gemborkan namamu yang berjulukan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu terlalu melebih-lebihkan saja. Bagus...! Aku mau rasai kehebatanmu, sobat..!"

Selanjutnya ia telah perdengarkan teriakan keras, dan berkelebat menerjang dengan serentetan pukulan, yang menggelombang bagaikan air bah, tanpa memberi kesempatan sedikitpun untuk Roro Centil berdiam sejenak. Namun dengan tertawa-tawa sang lawan bahkan menari-nari dihadapannya, dengan gerakan yang mempesona.

Tapi alangkah terkejutnya si Elang Alap-alap, mengetahui setiap hantaman pukulannya telah dapat terelakkan. Hingga tiba-tiba ia berteriak keras untuk merubah gerakannya. Kali ini sepasang kakinya bergerak menyambar ke arah dada dan perut. Dibarengi dengan hantaman telapak tangan yang telah dialiri tenaga dalam penuh.

Wus! Wus!

Dua terjangan kaki dan tangan lolos dari sasaran. Terpaksa ia pergunakan senjata rahasia andalannya untuk menyerang lawan. Berhamburanlah belasan paku-paku beracun menyerang Roro. Yang cukup terkejut, karena serangan mendadak itu dibarengi dengan gerakan pukulan tangan menyilang, dan terjangan tipuan ke arah samping. Sehingga ketika ia melompat kekanan, saat itulah paku-paku beracun si Elang Alap-alap meluruk deras ke arah delapan bagian tubuhnya.

Roro Centil berteriak keras dan tiba-tiba telah gerakkan sepasang lengannya untuk menyampok jatuh beberapa paku beracun itu. Namun tak urung dua paku beracun kena juga menancap pada kakinya. Segera ia melompat mundur. Sementara si wanita bercadar itu tersenyum sinis. Dilihatnya sang lawan jatuh dengan menekuk lutut. Dan tampak menyeringai kesakitan. Melihat orang sudah tak berdaya, ia menjadi sombong. Tiba-tiba perdengarkan tertawanya, seraya membuka topeng cadarnya.

"Hi hi hi... Pendekar Wanita Pantai Selatan ternyata hanya nama yang digembar-gemborkan belaka. Buktinya, tanpa guruku Walet Kencana... kau sudah bertekuk lutut dihadapanku! Hi hi hi... Kau boleh rasakan kehebatan racun paku yang amat jahat itu. Dalam waktu sepeminuman teh, kedua kakimu akan lumpuh tak terpakai lagi. Alangkah sayangnya...!"

Namun yang ditertawakan ternyata balik tertawa lagi dengan geli sekali. Tertawanya Roro Centil ternyata berkepenjangan, hingga sampai-sampai si Elang Alap-alap mengerahkan kekuatan bathinnya untuk melawan getaran pada jantungnya yang sekonyong-konyong terasa bergetar. Tak ia ketahui bahwa suara tertawa itu adalah dipergunakan Roro untuk mengusir racun untuk segera mengalir keluar lagi, dari bekas luka senjata rahasia dikakinya. Yang tanpa ia ketahui, kedua paku beracun yang mengena pada kaki sang lawan, telah dicabut kembali. Darah hitam segera merembes keluar.

"Hentikan tertawamu bocah centil..! Kau pasti akan cepat mampus..!" Terdengar bentakan keras, dibarengi dengan terjangan kedua telapak tangan yang menghantam Roro dengan tenaga penuh.

Namun pada saat itu, Roro Centil sudah mencelat ke atas tiga tombak. Dan ketika menukik dengan beberapa kali jumpalitan ia telah gerakkan tangannya untuk meluncur deras ke arah tubuh sang lawan. Yang segera si wanita bercadar perdengarkan teriakan atau keluhannya, dibarengi dengan ambruknya sang tubuh. Karena sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya menjadi kaku dan limbung. Ternyata ia telah terkena totokan lengan si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Ketika ia coba palingkan kepalanya, terlihat olehnya sang lawan tengah cekikikan menatap padanya. Seraya melemparkan paku beracun yang telah sejak tadi berada dalam genggamannya, Roro Centil berujar,

"Hi hi hi... Siapa bilang kakiku akan menjadi lumpuh...? Mungkin juga sepasang kakimu yang akan kubikin sate saat ini...!"

Keringat dingin segera mengucur deras di tubuh si Elang Alap-alap. Dalam keadaan demikian ia tak mampu untuk berkutik lagi. Ia cuma pejamkan mata dengan hati kebat-kebit. Tiba-tiba... Bret! Bret! Bret! Dengan senyum-senyum Roro Centil telah gerakkan tangannya untuk merobek pakaian orang.

"Auuuw..! Apa yang kau mau lakukan..!?" Berteriak si wanita itu yang sudah terbuka cadarnya. Wajahnya segera tampak pucat pias melihat apa yang dilakukan si Pendekar Centil ini.

"Hm, lebih baik mulutmu dikunci saja, agar tidak terlalu cerewet!" Berkata Roro Centil sambil gerakkan tangannya, hingga sekejapan saja si wanita itu, cuma bisa ngangakan mulutnya tanpa bisa keluarkan suara.

Setelah ditelanjangi sampai bersih, Roro Centil angkat tubuh orang ke tengah semak belukar. Sementara matanya jelalatan mencari-cari sesuatu, ke atas dahan pohon dan ke beberapa tempat dibawah. Tiba-tiba ia menampakkan senyumnya sekilas. Dan berkelebatanlah tubuhnya ke semak-semak. Tampak dibawahnya ratusan semut rangrang yang tengah berkerumun diatas rerumputan, seperti tengah membuat sarang.

Bruk! Ia sudah jatuhkan tubuh si wanita, yang sudah bagaikan pisang yang dikupas kulitnya itu. Tak ampun lagi ratusan semut rangrang segera mengerubutinya, untuk segera menyerangnya dengan gigitan-gigitannya. Adapun si Elang Alap-alap cuma meringis-ringis kesakitan tanpa dapat menggerakkan tubuhnya atau berteriak. Sehingga ia cuma bisa menggeliat-geliat sebisanya tanpa bisa menangis. Apalagi tertawa.

Roro cuma pandangi orang dihadapannya dengan senyum-senyum. Seraya berkata. "Nah kau rasakanlah akibat dari ketamakanmu. Barang upeti itu akan kukembalikan lagi pada yang berhak membawanya ke Kerajaan...!"

Setelah ucapkan kata-kata itu, segera Roro Centil berkelebat kembali ke tempat tadi. Pakaian-pakaian si wanita itu ia raih dan lemparkan. Hingga menyangsang didahan pohon tinggi. Selanjutnya ia sudah berkelebat ke arah dimana si Elang Alap-alap menyembunyikan buntalan barang upeti itu. Yang sebentar saja telah berpindah ketangan Roro.

"Aku harus cepat antarkan kembali barang-barang berharga ini..!" Menggumam ia, sambil gerakkan tubuh untuk tinggalkan tempat itu. Memang ia telah melihat adanya perampokan itu. Yaitu pertarungan antara si wanita itu dengan keempat para pengawal.

Ketika ia mau bergerak untuk membantu, telah keburu datang si empat dari Lima Iblis Gentayangan yang turut menempur keempat pengawal itu. Sementara si wanita bercadar itu membawa kabur barang rampasannya. Roro Centil segera menguntitnya. Hingga terjadi pertarungan, yang berakhir dengan keunggulannya. Namun baru saja ia jejakkan kakinya. Enam orang perwira kerajaan telah mengurungnya, yang muncul dari beberapa penjuru.

"Pembegal tengik..! Kau tak dapat lari lagi! Hayo serahkan barang rampasanmu!" Teriakan itu telah dibarengi dengan berkelebatnya pedang dari arah samping dan belakang.

Terpaksa Roro gerakkan tubuh untuk menghindar. Namun ia sudah terkepung oleh enam pengawal yang tak mengerti akan hal ikhwalnya. Segera saja empat orang maju merangsak dengan teriakan sengit, menabas dan menusuk dari berbagai arah. Terpaksa Roro Centil kembali bergerak untuk selamatkan jiwanya. Kedua buntalan itu telah ia lepaskan. Dan dengan mengegos ke kiri dan kanan ia hindari terjangan-terjangan keempat pengawal.

Wah...!? Celaka besar..! Aku yang dianggap pembegal tengik itu...!" Berkata Roro dalam hati. Agaknya Roro Centil tak mau berlama-lama untuk mengakhiri pertarungan. Tiba-tiba ia berteriak keras dengan suara yang melengking panjang.

Inilah suara yang baru pertama kali didengar oleh keenam pengawal yang baru datang itu. Walaupun mereka adalah pengawal-pengawal andalan yang berkepandaian tinggi, namun kini sudah dibuat terkesima dengan lengkingan yang panjang itu. Lengkingan suara yang mengandung tenaga dalam hebat, hingga keenam pengawal itu berdiri terpaku dengan diluar kesadarannya.

Pada saat itulah tiba-tiba tubuh wanita dihadapannya berkelebatan dengan cepat karena masing-masing senjata yang dicekalnya telah terlepas dan terlempar dari tangannya, dengan suara yang berklontangan. Saat selanjutnya bayangan tubuh Roro Centil tampak berkelebat lagi ke tengahtengah arena pertarungan.

Dan sekejap telah berdiri lagi dekat buntalan barang upeti yang tergeletak dekat kakinya. Sedangkan dikedua belah lengannya tergantung senjata si Rantai Genit. Melihat kejadian yang hampir dapat dikatakan sekejap mata itu, keenam pengawal itu jadi ternganga.

Namun Roro Centil sudah lantas berkata dengan suara keras. "Kalian telah salah alamat..! Aku bukanlah si pembegal tengik yang menginginkan barang upeti macam begini! Pergilah ambil barang-barang ini..!" Sambil berkata demikian Roro telah menggerakkan ujung kakinya mengungkit kedua buntalan itu.

Segera kedua buah buntalan barang berharga itu melayang ke arah dua orang pengawal, yang segera menyambutinya. Sementara keempat orang pengawal, yang tadi bertarung dengan keempat begal dari si Lima Iblis Gentayangan, telah berkelebat ke tempat itu. Tapi kemunculannya diikuti seorang tua berjubah putih. Roro tetap berdiri tegak ditempatnya.

Adapun kemunculan keempat pengawal itulah yang telah menolongnya dari kesalah fahaman. Karena segera mereka mengenali akan si pembegal. Rupanya dari pakaian yang dipakai si pembegal wanita itu mereka dapat membedakannya. Kalau tadi yang dikepungnya adalah wanita yang bercadar hitam pada wajahnya, dan berbaju kuning. Akan tetapi Roro Centil adalah berpakaian hijau. Adapun sepasang senjatanya yang berbentuk aneh itu, menandakan ia bukanlah si pembegal yang tadi.

Segera saja keempat pengawal menjura hormat pada Roro Centil. Salah seorang pengawal telah memeriksa isi kedua buntalan itu, yang masih utuh gemboknya pada peti upeti yang dikawalnya. Keenam pengawal lainnya pun segera menjura hormat sambil menyatakan maafnya atas kekeliruan mereka.

Sementara si orang tua berjubah putih itu, segera memperkenalkan dirinya yang ternyata bernama Ki Reksa Permana. Yang berjulukan si Pedang Sakti Bermata Delapan. Segera Roro mengambil kesimpulan bahwa kawanan pembegal tadi pasti telah tewas. Karena kedatangan si Pendekar Tua itu bersama keempat pengawal yang tadi bertempur. Sudah dipastikan si Pendekar Tua berjubah putih itu turut membantu keempat pengawal. Dalam waktu singkat mereka telah saling berkenalan.

Roro Centil segera beritahukan tentang si pembegal wanita yang telah dilucuti pakaiannya dan kini tengah merasakan siksaannya digigiti tubuhnya oleh semut-semut rangrang. Tentu saja penuturan itu membuat semua pengawal jadi tertawa. Adapun si Pendekar Tua bernama Ki Reksa Permana itu ternyata telah mengajaknya saling menjajaki kepandaian masing-masing. Terutama sekali sang Pendekar Tua ini ingin mengetahui kehebatan senjata si "Rantai Genit" nya Roro Centil.

Terpaksa Roro pertunjukkan kelihaiannya memainkan senjata itu. Yang ternyata telah menambah pengalamannya bertempur. Karena Ki Reksa Permana telah pergunakan senjata andalannya yang telah membawa harum namanya itu, yaitu Pedang tipis yang luar biasa lemasnya. Hingga bila senjata itu digunakan, akan terlihat mata pedang yang berubah jadi delapan mata pedang.

Roro Centil sendiri tak menyangka kalau permainan sepasang senjata si Rantai Genit itu ternyata dapat mematahkan serangan pedang Ki Reksa Permana. Dengan berseru kagum sang Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan tiba-tiba melompat mundur. Seraya berucap,

"Cukup..! Cukup..! Sepasang senjata yang hebat!" Memuji Ki Reksa Permana.

Adapun kesepuluh pengawal, jadi dibuat ternganga menyaksikan pertarungan kedua tokoh ternama itu. Yang satu adalah seorang Pendekar Tua yang sudah kawakan, sedang yang seorang lagi adalah tokoh persilatan yang masih amat muda. Seorang gadis cantik yang tampaknya tidak punya ilmu kepandaian, tapi ternyata telah membuat mata mereka terbuka. Bahwa sudah muncul lagi seorang pendekar muda, yang sukar dicari tandingannya di abad itu.

Demikianlah dengan rasa terima kasih tak terhingga pada kedua pendekar, kesepuluh pengawal itupun mohon diri. Untuk segera mengurus para jenazah, dan meneruskan perjalanan membawa kiriman upeti ke Kerajaan Medang.

Sedangkan Roro Centil tampak masih bersama si Pendekar Tua itu meneruskan bercakap-cakap. Ternyata Ki Reksa Permana banyak bercerita tentang kisah hidupnya. Itulah kisah pertemuannya dengan Ki Reksa Permana, Si Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan yang kini telah tiada. Tampak si gadis Pendekar itu menghela napas.

Terasa trenyuh hatinya, mengingat akan kisah hidup Pendekar Tua itu, yang akhirnya menemui kematian dengan cara yang amat mengenaskan. Perjalanan yang ditujunya adalah mencari tempat tinggal Ki Reksa Permana, yang seperti telah diceritakan oleh almarhum, ia mempunyai seorang puteri hampir sebaya dengannya, bernama Sumirah. Walaupun sang Pendekar Tua itu tak meninggalkan pesan disaat kematiannya, Roro bermaksud mencari tahu tentang Sumirah itu, apakah ia berada disana, ataukah juga telah tewas.

Karena memang didapati ada seorang wanita yang juga tewas dengan keadaan yang mengerikan. Namun wanita itu tidaklah dapat dikatakan masih sebayanya. Dan tentu saja untuk memberikan pedang Pusaka Ki Reksa Permana itu pada si gadis, sebagai pewaris pusaka orang tuanya.

Bulan sepotong yang seperti menempel dilangit itu masih tetap seperti tadi, ketika si Pendekar Wanita Pantai Selatan mulai gunakan ilmu larinya mencari jalan, untuk dapat menjumpai sebuah desa. Seekor kelelawar tampak terkejut di sebuah pohon rimbun, dan mengepakkan sayapnya untuk terbang menjauh, tatkala Roro berlalu dibawahnya.

Padepokan Cemara Kandang yang cuma tinggal dua belas orang itu, tampak berkumpul disatu ruangan. Masih terdengar suara orang bercakap-cakap dengan perlahan. Namun kesemuanya tampaknya dilanda kegelisahan.

"Tak ada seorangpun dari murid utama yang kembali pulang. Apakah mereka telah dapat membekuk si makhluk Cebol itu, ataukah telah tewas..?" Berkata salah seorang dengan suara berdesis perlahan.

Salah seorang yang paling tertua menyahuti. "Yah, kita hanya dapat berdo'a saja akan keselamatannya. Kasihan Jatmiko, anak dan istrinya jadi korban si makhluk biadab itu. Aku berkeyakinan, mereka pasti telah tewas. Karena..." Tampaknya si murid tertua itu tak tega untuk menceritakannya. Dan sekonyong-konyong rasa takut menghantuinya.

"Hm... Sudahlah, jangan fikirkan yang sudah terjadi. Sebaiknya kita tunggu saja kedatangan Guru kita, atau Jeng Sumirah yang tengah melacak kemana perginya si makhluk keji itu." Dan semua pun terdiam. Suasana kembali mencekam, membuat kedua belas pemuda yang berkumpul satu ruangan itu saling berdesak dengan wajah yang gelisah.

"Sampurasuuuun..!" Terdengar suara memberi salam diluar.

"Rampeees..!" Hampir berbareng kedua belas sisa murid di Padepokan itu menyahuti salam itu. Salah seorang sudah berkata pada kawannya: "Siapa? Jeng Sumirah kah..?"

"Entahlah! Tak biasanya Jeng Sumirah mengucapkan salam demikian..!" Menyahuti kawannya.

Sementara beberapa orang sudah segera membukakan pintu ruangan, dengan hati was-was. Segera terlihat sesosok tubuh yang telah berdiri di depan Padepokan. Sinar cahaya bulan dan terangnya cahaya lampu yang menyorot keluar dari dalam ruangan itu, segera dapat melihat siapa adanya yang datang.

"Siapa gadis ini...?" Salah seorang cepat berbisik pada kawannya.

"Ssst. Diamlah..!" Menyahuti sang kawan yang bertubuh agak jangkung. Lalu dengan segera menghampiri si wanita itu, yang tak lain dari Roro Centil.

Tanpa menunggu pertanyaan orang, Roro segera berucap, "Maaf... Boleh aku tahu, apakah disini tempat tinggal Ki Reksa Permana?"

Terkejut si jangkung dan juga beberapa kawannya karena sang tetamu ternyata mengenal nama Guru mereka. Si murid tertua yang juga turut keluar, segera menjawab pertanyaan itu...

"Benar, nona..! Padepokan Cemara Kandang ini adalah tempat tinggal beliau. Dan Ki Reksa Permana adalah Guru kami. Siapakah nona..? Bolehkah hamba tahu, dan ada keperluan apakah anda datang kemari..." Jawaban si murid tertua dibarengi dengan pertanyaan pula, dengan menatap wajah sang tamu tajam-tajam, seperti tengah menegasi wajah orang.

"Aku ada membawa berita tentang Guru kalian. Dan selain itu juga untuk menyampaikan benda ini pada puterinya yang bernama Sumirah..!" Berkata Roro Centil sambil menunjukkan pedang tipis Ki Reksa Permana.

Terkejutlah mereka seketika. Dan serta merta mempersilahkan Roro untuk masuk. Sementara beberapa orang murid segera berdesakan untuk mengetahui berita itu, juga ingin melihat siapa adanya si gadis cantik yang datang itu.

Demikianlah, Roro Centil segera perkenalkan dirinya. Dan menceritakan kejadian yang telah dijumpainya. Setelah sebelumnya menceritakan perjalanannya hingga sampai dapat menjumpai Padepokan Cemara Kandang...

EMPAT

TAK ada peristiwa lain yang amat menyedihkan selain kesedihan mendengar berita tentang tewasnya Guru mereka yang amat mereka cintai. Adapun mengenai Sumirah, puteri sang Guru almarhum mereka sendiri tak dapat memberikan keterangan. Karena menurut dugaan, pasti puteri sang Guru mereka itu telah menyusul ayahnya mencari jejak si makhluk Cebol itu.

Dalam suasana haru itu, Roro Centil termenung. Yang akhirnya terdengar menghela napas. Ia juga turut berduka cita dengan tewasnya Ki Reksa Permana. Namun sebagai seorang tetamu, juga seorang Pendekar yang telah kebal dengan penderitaan, Roro tak menampakkan kedukaannya. Bahkan memberi semangat pada murid-murid mendiang Ki Reksa Permana agar tetap tabah menghadapi cobaan berat yang telah menimpa mereka.

Karena bukan mereka saja yang mengalami kesedihan. Penduduk desa dan masyarakat juga telah banyak yang mengalami musibah besar semacam itu. Kehilangan anak dan istri, serta lain-lain musibah, sejak kemunculan makhluk Cebol gentayangan itu. Bahkan semua ini adalah tanggung jawab mereka semua, yaitu para pendekar penegak hukum, pembela si tertindas, penolong yang lemah, dari segala macam kekejian yang berada diatas permukaan bumi ini untuk menumpasnya.

Namun sebagai orang yang telah cukup juga dengan pengalaman, Roro Centil dapat memahami akan sia-sianya pengorbanan mereka. Karena telah dapat diduganya si makhluk Cebol itu berkepandaian amat tinggi dan telengas. Hingga dengan segala senang hati Roro Centil menerima usul mereka untuk menetap dulu selama beberapa hari di Padepokan itu. Sambil mencari kabar mengenai berita dimana adanya Sumirah, juga mencari tahu jejak si manusia iblis penyebar maut itu.

Berdiamnya Roro Centil di Padepokan itu ternyata membuat murid-murid mendiang Ki Reksa Permana tampak timbul lagi semangatnya. Apalagi mengetahui Roro Centil adalah seorang tokoh yang pernah diceritakan kehebatan ilmunya oleh mendiang Gurunya pada mereka.

Berita yang mengejutkan terjadi di sekitar desa. Tampaknya seperti tenang-tenang saja. Kabar tentang Sumirah yang telah dilacak ke perbagai desa oleh murid-murid mendiang si Pendekar Tua itu tak membawa hasil. Sumirah lenyap tak berbekas.

Roro Centil tak dapat berdiam lebih lama. Akhirnya iapun mohon diri untuk meninggalkan Padepokan Cemara Kandang, dengan tujuan mencari jejak Sumirah. Demi rasa tanggung jawabnya, dan rasa simpati sebagai sesama pendekar.

Demikianlah... Dengan hati berat, kedua belas murid Ki Reksa Permana itu melepas kepergiannya. Bahkan ada diantara mereka yang bersedia ikut bersama mencari jejak puteri Gurunya itu. Namun dengan halus Roro Centil mengucapkan terima kasih. Dan menyuruh mereka tetap berada didesa. Menjaga dari segala hal atau kemungkinan yang bisa saja terjadi kericuhan. Walaupun bukan perbuatan si makhluk Cebol itu.

* * * * * *

RORO CENTIL langkahkan kakinya untuk segera meninggalkan Padepokan Cemara Kandang. Dan sesaat kemudian telah berkelebat lenyap dari pandangan kedua belas murid-murid mendiang Ki Reksa Permana. Yang jadi ternganga kagum.

Matahari pagi itu bersinar cerah. Deretan awan-awan putih bagaikan kapas terlihat diujung cakrawala. Semilir angin bersyiur lembut dari arah utara terasa membuat tubuh menjadi sejuk. Namun tidaklah membuat sejuknya hati Roro Centil, yang entah mengapa amat mengkhawatirkan nasib Sumirah.

Beruntung Roro telah dapat mengetahui akan tanda-tanda dan raut wajah si gadis yang tengah dicarinya itu, dari penjelasan yang ia dapati. Sehingga ia akan dapat mengenali seandainya dapat menjumpainya.

Roro Centil telah tiba pada sebuah tempat yang berpemandangan indah. Bunga-bungaan disekitar situ terawat dengan rapi. Hampir disetiap tempat terdapat rumpun bambu kuning, yang berkelompok-kelompok yang juga terawat dengan baik. Beberapa kolam kecil berair jernih terdapat juga disekitar tempat itu.

Tempat apakah ini..? Seperti sebuah taman saja layaknya..! Berfikir Roro. Sementara kakinya terus melangkah melalui jalan kecil yang mengelilingi taman berpagar bambu kuning yang tampak semakin rapat dibagian depan. Tiba-tiba dikejauhan terdengar suara orang bercakap-cakap. Roro kerutkan alisnya, dan cepat menyelinap ke balik semak disebelah kiri jalan. Sementara sepasang matanya menatap ke ujung jalan.

Tak berapa lama segera terlihat siapa yang tengah bercakapcakap itu. Yaitu seorang wanita setengah tua, dengan dandanan yang amat menyolok. Wajahnya masih boleh dikatakan cukup cantik. Tiga untai kalung mutiara tergantung pada lehernya. Wanita ini berkulit putih. Memakai sanggul diatas kepala, dengan tusuk konde emas terselip pada sanggulnya.

Sedangkan lawannya bercakap-cakap adalah seorang laki-laki yang agak bungkuk. Kepalanya agak besar, yang mengenakan ikat kepala bersulam benang emas. Berbaju dan celana yang berwarna hitam, yang juga tersulam dengan benang emas. Kain sarungnya terbuat dari sutera yang indah berwarna biru langit. Mengenakan ikat pinggang yang besar.

Laki-laki yang agak bungkuk ini membawa sebuah pipa cangklong yang panjang, terbuat dari gading. Bergagang perak, yang tampak berkilat. Sebentar-sebentar ia menghisap pipanya, dan menghembuskan asap tembakau dari mulutnya. Usianya sekitar lima puluhan tahun. Dapat dipastikan orang ini adalah seorang bangsawan atau hartawan.

"Apakah kau sudah yakin aku akan panuju dengan orang barumu itu..?" Terdengar suara bicaranya dengan nada angkuh.

Wanita setengah tua disebelahnya tampak tersenyum sambil lirikkan matanya yang agak genit. "Aku tak tahu pasti, tapi menurutku kau tak akan kecewa..!" Berkata si wanita itu.

Tampak si bangsawan bungkuk itu hisap pipa cangklongnya dalam-dalam, dan hembuskan asap tebal dari mulut dan hidungnya ke udara. "He he he... walaupun sudah tua begini, aku Raden Mas Guntoro sudah banyak pengalaman, tak akan dapat kau dustai untuk yang kedua kalinya...!"

Kata-kata itu membuat si wanita jadi tersenyum masam, namun segera terdengar suara tertawanya yang disambung dengan katakata, "Hi hi hi... Yang sudah lalu itu pasti tak akan terulang lagi, Ndoro..!" Tampak si wanita itu sengaja menyanjungnya dengan kata-kata seperti seorang abdi pada majikannya. Dan selanjutnya yang terdengar adalah suara cekikikan dan tertawa terkekeh, kekeh dari keduanya.

Tiba-tiba si bungkuk bercangklong itu hentikan suara tertawanya. Sebelah lengannya sekonyong-konyong bergerak ke arah semak disebelah kirinya, seraya membentak. "Siapa disitu..!"

Dan serangkum angin keras menyambar ke semak-semak, membuat daun-daun semak itu buyar dan beberapa batangnya rebah. Roro Centil telah melesat dari tempat persembunyiannya. Ia heran juga, yang si orang bungkuk itu mengetahui adanya ia disitu.

Namun akhirnya Roro dapat mengetahui, yaitu sinar pedang tipis yang cahayanya terpantul kena sorotan Matahari itulah yang menyebabkan orang mengetahui tempat persembunyiannya. Baru saja ia menjejakkan kakinya ke tanah, sudah terdengar lagi bentakan keras. Dan berkelebatannya sesosok bayangan, yang tak lain dari si wanita genit itu.

"Kuntilanak..! Apa yang kau kerjakan ditempat ini..!"

Sebentar saja Roro telah lihat si wanita itu berada dihadapannya. Sepasang matanya menatap tajam padanya. Sementara kedua lengannya bertolak pinggang. Si orang bungkuk bercangklong panjang itupun telah melompat ke tempat itu. Tapi, tiba-tiba wajahnya jadi berubah menyeringai.

"He he he... Kalau macam begini sih rasanya aku amat penuju sekali. Eh, Walet Kencana! Apakah kaupun tidak mengenalnya..?" Bertanya si bungkuk itu, sementara sepasang matanya telah merayapi setiap lekuk tubuh Roro dari kepala sampai kekaki.

"Aku sih tidak kenal, tapi mungkin salah seorang muridku mengenalnya..!" Selesai berkata tiba-tiba ia telah masukkan dua jarinya kebawah lidah. Dan terdengarlah suara suitan panjang keluar dari mulutnya. Selang beberapa saat terdengar suara gaduh dari beberapa orang wanita. Dan selanjutnya telah muncul lima orang murid wanita yang segera menjura hormat pada si wanita yang dijuluki si Walet Kencana.

Adapun Roro Centil begitu mendengar nama Walet Kencana itu, segera teringat akan si wanita pembegal yang telah kena dipecundangi. Dan ditelanjangi bulat-bulat untuk diumpankan pada ratusan semut rangrang beberapa bulan yang lalu. Wanita pembegal itu bernama julukan si Elang Alap-alap, yang menyebut-nyebut nama Walet Kencana sebagai gurunya.

"Eh, murid-muridku..! Apakah salah seorang dari kalian mengenal perempuan di hadapanku ini...?"

Salah seorang dari mereka ternyata ada yang telah menatap amat tajam dari balik cadar tipis yang dikenakannya. Wajahnya tampak terpulas dengan bedak tebal. Namun tetap saja bekas luka-luka gigitan semut rangrang pada wajah dan seluruh tubuhnya masih menampakkan bintik-bintik kecil yang menghitam. Ia sudah lantas berkata,

"Guru..! Kalau guru dapat memaklumi kebodohanku, kuntilanak inilah yang telah menggagalkan pekerjaanku. Dan telah menyiksaku dengan perbuatan kejinya..."

Tampak sang Guru alias si Walet Kencana itu cuma tersenyum. "Hm, tak usah kau berkecil hati. Kalau kau ingin balas menyiksanya, baiklah akan kutangkapkan ia dihadapanmu. Namun sebelumnya kau harus mengalah dulu pada paman Guntoro Kecut ini. Setujukah...?"

Si wanita bercadar itu mengangguk. Roro segera dapat mengenalinya kalau wanita itu tak lain dari si Elang Alap-alap.

"Kau pernah ceritakan padaku kalau si Walet Kencana, ialah aku telah dihina sedemikian rupa oleh budak ini yang mengatakan aku akan tunduk bersujud dihadapannya. Nah, gadis cantik, cobalah kau perbuat aku untuk tunduk padamu..!" Sambil berkata ia kembali palingkan wajah pada Roro Centil. Tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh berbaju kuning ke tempat itu, yang sudah lantas berkata santar,

"Kakak..! Bolehkah aku bicara sebentar dengan si Pendekar wanita ini..?" Si wanita setengah tua itu sudah palingkan kepalanya pada si pendatang. Namun ia hanya perdengarkan dengusan hidungnya.

"Ken Wangi..! Jangan kau mencampuri urusanku. Sudah kukatakan hitam tetaplah hitam. Aku tak mau lihat mukamu lagi, walau kau adalah adikku sendiri!" Semua mata jadi beralih menatap pada wanita berbaju kuning itu.

Namun si wanita baju kuning itu tersenyum sinis, dan dengan monyongkan mulutnya ia menyahuti. "Huh! Siapa yang sudi akui kau kakak kandungku lagi...? Namun perbuatanmu semakin brutal tetap akan kutentang. Kalau tidak, akan habislah gadis-gadis suci yang cantik-cantik kau umpankan pada para hidung belang macam si Raden Mas Guntoro Kecut itu..."

Tampak wajah si Walet Kencana berubah merah padam. Tiba-tiba ia palingkan kepala pada kelima muridnya. "Murid-muridku..! Segeralah kau usir dia dari tempat ini. Atau kalau perlu kau bunuh mampus!" Mendengar perintah gurunya itu, segera kelima orang wanita itu mengurungnya.

"Heh! Lima orang kuntilanak kau suruh menggempurku.. ?! Apakah tidak sekalian kau suruh keluar semua orang-orangmu untuk membunuhku!" Berkata si wanita berbaju kuning yang bernama Ken Wangi itu.

Namun kata-katanya sudah segera terhenti, karena dengan berbareng kelima wanita itu telah menerjang untuk meringkusnya. Sebentar saja di taman itu telah terjadi pertarungan seru. Suasana yang tadi sunyi mendadak jadi ramai oleh suara bentakan-bentakan keras. Adapun Roro Centil segera berkelebat menjauh. Ia tak mau jadi sasaran pukulan dari mereka, yang bertarung didekatnya.

"Tunggu..! Kau tak dapat pergi dengan begitu saja. Penghinaanmu terhadap muridku, dan meremehkan pada diriku, harus kau pertanggung jawabkan!" Membentak si Walet Kencana, seraya berkelebat mengejar ke arah Roro.

"Aiiii..?! Siapa yang mau melarikan diri..? Bukankah kau ingin menangkapku hidup-hidup, untuk kau serahkan pada si tua bangka bungkuk itu. Nah, tangkaplah aku, siapa tahu aku dapat membuktikan kata-kataku membuat kau bersujud mencium kakiku. Hi hi hi...." Berkata Roro Centil dengan seenaknya.

Saat itu si Raden Mas Guntoro Kecut sudah berlari mendatangi. "Walet Kencana! Awas, jangan sampai kau lukai tubuhnya. Aku pasti akan membayar mahal untuknya..!" Teriak Raden Mas Guntoro Kecut, sambil menghisap pipa cangklongnya.

Si Walet Kencana cuma tersenyum jumawa seraya berkata, "Jangan khawatir Ndoro, hamba pasti persembahkan seutuhnya buat Ndoro tanpa cacat secuilpun..!"

Namun sebelum si wanita itu bertindak lebih lanjut, Roro telah berlalu ke arah si Bangsawan bungkuk itu. Langkahnya seperti orang yang tak merasa khawatir sedikitpun. Tentu saja si orang bungkuk bercangklong panjang itu jadi ternganga, karena gerakan langkah Roro amat memikat hatinya.

Memang Roro Centil sengaja berjalan dengan goyangkan pinggul, yang membuat orang jadi tercengang.. Apalagi bagi si hidung belang macam Raden Mas Guntoro Kecut. Hal itu telah membuatnya amat kagum, seraya geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah, dengan mata yang nyalang merayapi indahnya tubuh gadis dihadapannya.

"Kalau tak ingin membuat tubuhku menjadi lecet, sebaiknya tak usah kau payah-payah untuk menangkapku Walet Kencana. Lebih bagus biar Ndoro mu Raden Mas Guntoro Kecut ini saja yang menangkapku...!"

Mendengar kata-kata itu tentu saja si bangsawan bungkuk itu jadi terbeliak matanya, dan tiba-tiba telah tertawa terkekeh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk. "He he he., he he... Bagus! Bagus! Bocah ayu..! Mengapa tidak sedari tadi kau katakan? Tentunya aku tak akan keluar biaya mahal untuk menyuntingmu..!" Sambil berkata tiba-tiba sepasang lengannya telah memeluk tubuh sang gadis dihadapannya.

Roro Centil yang memang berwatak aneh sukar diterka itu, ternyata membiarkan tubuhnya dipeluk orang. Bahkan ia tersenyum manja sambil menggelendot di dada si bangsawan tua itu. Adapun hal itu telah membuat si Walet Kencana jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Disamping rasa mendongkol, namun juga aneh yang amat luar biasa.

Apakah perempuan ini memang agak tidak waras..? Berfikir si Walet Kencana. Belum lagi ia banyak berfikir melihat sikap orang yang aneh itu, Roro Centil telah berkata dengan suara bernada memerintah, "Walet Kencana, segera kau suruh orang-orangmu menyediakan kamar yang bersih untuk aku menginap beberapa malam bersama Ndoro mu ini..."

Tentu saja si wanita setengah tua yang menjadi majikan ditempat ini, jadi melengak. Orang luar dihadapannya telah berani berkata sedemikian enaknya. Seolah-olah dialah majikannya. Namun tetap saja ia menyahuti, karena memandang pada si orang Bangsawan bungkuk itu yang juga tengah menatap padanya.

"Kamar yang bersih sudah selalu tersedia setiap saat. Atau baiklah aku periksa lagi akan kebersihannya..!" Berkata ia sambil segera melesat lebih dulu ke arah depan. Ketika sesaat ia menoleh kebelakang, segera terlihat Raden Mas Guntoro Kecut telah memondong si gadis cantik yang aneh itu.

Benar-benar ia seperti tidak mempercayai penglihatannya. Muridnya mengatakan gadis itu adalah yang berjulukan si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Dengan telah berhasil mengalahkan si Elang Alap-alap dan dapat menggagalkan pekerjaannya membegal barang upeti yang berharga, sudah dipastikan ia berilmu tinggi. Walaupun terasa aneh akan sikap orang, namun tetap saja ia bercuriga pada Roro.

Hingga diam-diam ia telah mengatur rencana untuk dapat membekuknya. Cuma saja ia harus mengalah dulu pada tetamunya Raden Mas Guntoro Kecut, yang akan memberi pinjaman uang, juga salah seorang yang menjadi sumber pemasukan yang tidak kecil. Sebentar saja Roro Centil sudah dibawa berlari dengan cepat, mengikuti di belakang si Walet Kencana.

Sebuah rumah gedung mungil segera tampak dibagian depan. Sedangkan dibelakang gedung itu ada terlihat juga satu wuwungan yang memanjang. Ternyata dikatakan mungil, gedung itu amat luas dibagian dalamnya. Selang sesaat Roro sudah berada didalam ruangan gedung yang amat bersih dan rapi itu. Temboknya berwarna kuning, sedang bagian bawahnya berlantai marmer yang indah. Didepan pintu ruangan wanita itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya.

Seraya menatap pada Roro yang masih berada dalam pondongan sang tamu. "Hm, Aku agak sangsi dengan sikapmu, nona..! Sebaiknya agar tidak menaruh kecurigaanku, harap kau lepaskan benda-benda yang membelit dan tersangkut di pinggangmu..!"

Roro kerutkan alisnya dan berfikir sejenak, lalu sudah lantas berkata, sambil menoleh pada orang yang memondongnya. "Bagaimana pendapatmu, sayang..? Aku sih terserah padanya!" Berkata Roro sambil palingkan wajah menatap lagi pada si Walet Kencana.

"He he he... Jangan khawatir, apakah orang macam aku, masih perlu kau beri peringatan? Siang-siang aku telah menotoknya. Walaupun ia hanya pura-pura saja toh sudah tak berdaya apa-apa..."

Seraya berkata ia telah lepaskan pondongannya. Hingga tak ampun lagi tubuh Roro Centil jatuh terlentang diatas lantai. Masih untung bagian atas tubuhnya tidak dilepaskan, hingga hanya kaki dan pantatnya saja yang menggasruk ke lantai. Tampak Roro perlihatkan wajah meringis. Namun sekejap sudah berpindah lagi dalam pondongan Raden Mas Guntoro Kecut. Melihat kenyataan didepan mata, wajah si Walet Kencana tampak perlihatkan wajah berseri, seraya berucap,

"Hi hi hi... Bagus! Silahkan kalian bersenang-senang. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan adik keparatku dulu. Ingat, jangan kau coba-coba buka totokanmu, Raden Mas Guntoro Kecut...!" Dan setelah berkata demikian, ia segera melesat keluar gedung.

Sementara si Bangsawan tua itu sudah pondong tubuh Roro ke dalam kamar. Namun saat berikutnya yang terdengar adalah suara keluhan Raden Mas Guntoro Kecut. Yang disusul dengan terdengar suara tempat tidur yang berderit, ketika tubuh si bangsawan itu jatuh ke pembaringan. Sementara Roro Centil berdiri di sisi pembaringan tengah menatap lakilaki bungkuk itu sambil tersenyum.

"Kau...? Ka... kau..." Terdengar suara Raden Mas Guntoro Kecut, tapi hanya desisnya saja yang keluar di tenggorokan. Sedangkan sepasang matanya menatap Roro dengan melotot gusar, juga heran. Karena sekonyong-konyong ia telah rasakan tubuhnya jadi kaku. Bukannya ia yang lemparkan tubuh gadis itu diatas kasur, bahkan ia sendiri yang terlempar ke atas pembaringan.

Itulah akibat ulah perbuatan Roro Centil, yang telah gerakkan tangannya untuk menotok didalam pondongan. Bukan saja menotok tubuh orang, juga menotok urat suara si bangsawan bungkuk itu, hingga tak bisa mengeluarkan suara. Dalam keadaan kaku begitu, Roro sudah segera merosot dari pondongannya. Dan dorong tubuh laki-laki tua itu ke pembaringan. Mengapa tiba-tiba Roro dapat terlepas dari totokan si Raden Mas Guntoro Kecut itu?

Kiranya sewaktu berjalan dengan goyangkan pinggulnya ke arah si bangsawan tua itu tadi, diam-diam Roro telah salurkan tenaga dalam ke seluruh tubuh untuk menjaga dari beberapa kemungkinan yang tak terduga. Sebagai pewaris ilmu si Manusia Aneh Pantai Selatan, tentu saja Roro mewarisi keanehan watak Gurunya. Bahkan Roro telah bertambah lagi ilmunya, ketika ia berjumpa dengan seorang laki-laki bernama Joko Sangit. Yang mengajarinya ilmu mengeluarkan racun dengan suara tertawa.

Demikianlah, disaat si bangsawan bungkuk itu menotoknya dengan diam-diam melalui gerakan tangan ketika memeluknya, Roro Centil telah terhindar dari pengaruh totokan. Rupanya Roro Centil telah berani menempuh jalan lain yang cukup berbahaya, dari pada bertempur. Karena dengan demikian ia bisa leluasa bergerak untuk menyelidiki dimana adanya Sumirah.

Seperti telah didengarnya tadi dari si wanita pendatang bernama Ken Wangi, yang ternyata adik kandung si Walet Kencana sendiri. Sang kakak ternyata seorang Germo, yang boleh dibilang penculik gadis-gadis cantik. Yang tentu saja untuk kepentingan usahanya. Juga didengarnya dari percakapan si Walet Kencana dengan si bangsawan tua, yang menyinggung-nyinggung tentang adanya seorang gadis yang telah dipersiapkan untuk di persembahkan pada si bungkuk hidung belang itu. Makanya Roro telah mengambil jalan yang cukup unik, namun dengan perhitungan yang sudah dipikir masak masak.

Demikianlah dengan cepat ia telah keluar kembali dari kamar. Ruangan tengah itu tampak sunyi. Hingga tanpa mengalami kesulitan ia berhasil memasuki setiap ruangan untuk mencari dimana adanya si gadis Sumirah. Dengan gerakan cepat, namun dengan sembunyi-sembunyi. Tanpa ragu-ragu Roro membukai setiap pintu yang tertutup, dan melongok ke arah kamar yang terbuka.

Akan tetapi pada salah sebuah pintu kamar yang tertutup, terdengar suara laki-laki dan wanita. Untung pintu tak terkunci. Segera saja ia buka pintu kamar dengan cepat, dan melompat ke dalam. Tampak satu pemandangan yang membuat darahnya berdesir. Karena dua orang manusia berlainan jenis bagaikan dua orang bayi yang baru dilahirkan dari perut ibunya, saling berangkulan di pembaringan.

Walaupun pemandangan itu membuat darahnya tersirap, namun mengingat waktu sangat sempit, Roro telah berkelebat cepat untuk segera menotoknya, hingga kedua manusia itu tak dapat berkutik lagi. Dan serta-merta telah perhatikan wajah si wanita. Namun tampaknya ia sudah melompat lagi keluar kamar, dan tutupkan pintu. Kembali ia berkelebat ke lain ruangan. Pada sebuah ruangan yang terbuka ia dapat dengar suara beberapa wanita. Segera ia merandek untuk mendengarkan.

"Cepatlah kau melarikan diri...! Mumpung belum terlambat..! Nyonya majikanku tengah bertarung dengan adik kandungnya, bersama kelima orang murid-muridnya..." Terdengar berkata salah seorang wanita.

"He...? Kau mau mati? Pergilah kalau memang sudah tak inginkan hidup! Si Walet Kencana tak akan membiarkan orang bawahannya untuk kabur begitu saja. Hmh, rupanya diam-diam kau mau jadi penghianat, ya! Awas kau Laras..! Akan aku adukan perbuatanmu pada Ndoro Putri!" Ancam seorang wanita yang suaranya terdengar agak santar.

"Huh, kau memang keterlaluan Katrijah. Aku hanya merasa kasihan padanya kalau sampai ia jadi korban bangsawan hidung belang. Jadi pemuas hawa nafsu manusia-manusia yang sudah tak mengenal batas kesusilaan..! Apakah tak tersirat dihatimu untuk juga lepaskan diri dari tempat terkutuk ini..?" Menyahuti lagi wanita yang bernama Laras itu dengan tak kalah sengitnya. Dan kata-katanya sudah terdengar disambung lagi. "Apakah kalian semua juga sudah betah berdiam ditempat najis seperti ini..?"

Tampak sejenak suasana jadi hening. Terdengar salah seorang menghela napas, entah siapa. "Sebenarnya bukan kami tak mau meninggalkan tempat maksiat ini, tapi kami takut untuk melarikan diri. Kami takut tertangkap lagi. Dan akan besar akibatnya. Bukankah pernah salah seorang teman kita yang coba-coba melarikan diri, telah kau lihat sendiri penyiksaan atas dirinya. Yang akhirnya menemui kematian..!" Kembali semua terdiam, namun salah seorang terdengar berkata dengan suara lemah,

"Aku tak dapat tinggalkan pembaringanku. Tubuhku terasa lemah tak bertenaga...! Aku memang lebih baik mati dari pada berdiam ditempat celaka ini..!" Suara itu dibarengi dengan suara isak tersendat.

Tersentak seketika Roro Centil. Segera ia sudah dapat menebak siapa adanya wanita itu. Dengan segera ia sudah gerakkan tubuh melompat masuk ke dalam kamar. Kemunculan Roro membuat beberapa sosok tubuh melangkah mundur. Dan beberapa pasang mata-mata yang jeli menatap tajam ke arahnya.

Roro sudah lantas berkata, "Aku akan menolong kalian semua keluar dari neraka ini. Segera bersiaplah untuk minggat tinggalkan tempat celaka ini..!" Dan kata-katanya telah dibarengi dengan melangkah cepat ke arah seorang gadis yang terbaring di pembaringan. Yang juga tengah menatap padanya.

"Apakah kau yang bernama Sumirah...? Bertanya Roro.

Gadis ini segera berusaha bangkit untuk duduk. Tampak memang tubuhnya lemah sekali. Segera Roro ulurkan tangan membantunya. Bahkan dengan gerakan-gerakan tangannya ia telah mengurut di beberapa tempat bagian tubuh gadis itu. Tampak si gadis tampilkan wajah girang. Ia segera telah dapat bangkit berdiri. Dan dengan memandang kagum pada orang dihadapannya, tanpa ragu-ragu ia telah peluk tubuh Roro sambil linangkan air mata.

"Be., benar! Aku Sumirah..! Siapakah kakak..?" Bertanya ia sambil lepaskan pelukannya.

Roro tampak menarik napas lega. "Aku Roro Centil, sahabat ayahmu Ki Reksa Permana..." Tutur Roro sambil tepuk-tepuk pundak gadis itu dengan terharu.

"Oh... ?! Andakah Pendekar Wanita Pantai Selatan yang diceritakan ayahku itu?" Sumirah belalakkan sepasang matanya dengan mulut ternganga.

Roro angguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia telah loloskan pedang tipis Ki Reksa Permana dari pinggangnya, serta berikan benda itu pada si gadis. "Cepatlah kau terima pedang pusaka ayahmu ini. Jangan banyak bertanya..! Ayo, segera ikuti aku..!"

Selanjutnya ia telah tarik lengan si gadis keluar dari kamar. Sembilan wanita yang berdesakan dikamar itu tanpa dikomandokan lagi turut mengikuti dibelakang. Cuma salah seorang yang bernama Katrijah itu tiba-tiba hentikan tindakannya. Ia agak ragu untuk turut melarikan diri. Namun salah seorang telah menarik lengannya, hingga terpaksa iapun berlari menyusul yang lainnya.

"Aku tahu pintu keluar yang baik..!" Teriak Laras. Yang segera mendahului ke arah depan Roro, yang tidak gunakan gerakkan terlalu cepat, karena harus menunggu wanita-wanita lain dibelakangnya. Dengan sebat Laras sudah berlari untuk menuju ke arah pintu belakang. Dua orang pembantu terperanjat melihat orang-orang dihadapannya berlarian, hingga ia berdiri dengan wajah kebingungan.

"Sssst, Awas kau! Jangan berani laporkan kepergian kami..!" Laras cepat tempelkan jari telunjuk pada bibirnya, sambil plototkan mata pada kedua pembantu itu.

Namun sekali Roro berkelebat, kedua pembantu itu sudah perdengarkan keluhannya dan jatuh menggeloso, tanpa bisa keluarkan suara lagi. Kira-kira sepeminum teh, setelah rombongan wanita-wanita itu melewati pintu belakang gedung, suasana di gedung itu kembali sunyi. Kedua pembantu itu cuma bisa gerakkan kepalanya saling berpandangan. Namun sama sekali ia tak dapat menggerakkan tubuhnya. Apalagi bersuara. Karena Roro telah menotok urat suaranya.

Pertarungan antara si wanita pendatang bernama Ken Wangi itu dengan kelima orang murid wanita, merangkap primadona di gedung bertaman indah milik si Walet Kencana itu, tampak berjalan dengan seru. Suara bentakan dan teriakan-teriakan terdengar santar, diantara beradunya senjata-senjata tajam. Tiga wanita pergunakan pedangnya untuk menusuk dengan berbareng.

Namun si wanita berbaju kuning alias Ken Wangi itu cuma mendengus, dan putarkan tongkatnya untuk menyampok mental terjangan ke arahnya. Dua wanita yang satu gunakan sabuk sutera untuk belitkan pada tongkat Ken Wangi, sedang satu lagi adalah si Elang Alap-alap, yang sudah gerakan tangannya menyerang dengan paku-paku beracun, senjata rahasia andalannya.

"Perempuan-perempuan bejat...!" Teriak Ken Wangi. Dengan tiba-tiba ia telah sentakkan tongkatnya dengan keras, hingga tubuh si wanita yang telah berhasil menggubat tongkatnya itu meluncur ke arahnya.

Hal yang diluar dugaan itu telah membuat si wanita bersabuk sutera terkesiap, terlebih-lebih si Elang Alap-alap. Karena saat itu telah meluncur tiga paku beracun ke arah depan. Namun sudah terlambat. Segera saja terdengar jerit si wanita bersabuk sutera itu yang roboh tersungkur.

Tampak tubuhnya berkelojotan bagai ayam baru disembelih. Namun sekejap kemudian telah terkulai tewas. Kiranya tiga paku beracun itu telah mengenai leher dan punggungnya. Tiga wanita berpedang melompat mundur, seraya palingkan muka ke arah si Elang Alap-alap.

"Kau...!?" Hampir berbareng mereka berteriak sambil plototkan mata pada si Elang Alap-alap, yang seketika wajahnya berubah pias.

"Aku tak menyangkanya, akan terjadi demikian..!" Berkata si wanita bercadar tipis itu membela diri. Dan tiba-tiba ia telah berkelebat ke arah Ken Wangi untuk menggempurnya dengan terjangan-terjangan kaki dan tangannya. Pada saat itulah muncul si Walet Kencana, yang segera keluarkan bentakan keras.

"Menyingkir semua..! Biar aku yang menghajar bocah kurang ajar ini...!"

Serentak ketiga wanita berpedang yang telah siap untuk kembali menempur itu, melompat ke belakang begitu melihat munculnya sang guru mereka. Si Elang Alap-alap pun segera melompat mundur. Namun sesaat sudah kembali melesat untuk memondong mayat saudara seperguruannya. Dan dibawa menyingkir ke sisi.

"Murid-murid kerocomu itu baiknya kau ajari memasak Walet Kencana...! Mengapa hanya kau ajari membunuh orang dan melayani laki-laki hidung belang saja...?"

Merah padam wajah si Walet Kencana. "Kuntilanak..! Hitam kataku tetap hitam. Kau sudah bunuh orangku, maka tak salah jika aku turunkan tangan keji terhadapmu..!" Dan sekejap ia sudah lompat menerjang. Kedua belah tangannya telah bergerak menghantam ke arah Ken Wangi. Tersentak wanita itu, yang segera berkelebat menghindar, namun tak urung sambaran angin panas itu telah membuat kulitnya kena terserempet.

Busss!

Tanah tempatnya berpijak muncrat berhamburan, dan tampak berubah hitam, hangus. Sementara sebelah lengan Ken Wangi telah jadi melepuh, akibat serempetan hawa panas yang menyambar dahsyat itu.

"Keparat! Arwah orang tua kita pasti menangis, bila dapat melihat kekejianmu Walet Kencana! Manusia sepertimu, sudah tak mengenal lagi akan jalan yang benar. Kau mau turunkan tangan keji untuk membunuhku? Baik! Aku akan adu jiwa denganmu...!" Segera saja terdengar teriakan santar Ken Wangi, yang dengan beringas telah menerjang dengan tongkatnya.

Wuss! Wuss!

Dua hantaman keras secara beruntun meluncur ke arah tenggorokan dan kepala si Walet Kencana. Namun wanita setengah tua ini cuma keluarkan dengusan di hidung. Dan dengan sedikit mengegos ia berhasil menghindar...

Plak!

Sebuah hantaman telapak tangan dengan telak telah mengenai dada Ken Wangi. Yang segera perdengarkan teriakannya. Tubuhnya terlempar beberapa tombak. Begitu menyentuh tanah telah menggelogok darah kental berwarna hitam, keluar dari mulutnya. Terlihat baju kuningnya telah berubah jadi hitam hangus. Segera saja kain itu menjadi serpihan lapuk ketika lengan Ken Wangi merabanya.

Terpaksa Ken Wangi biarkan payudaranya terbuka, yang tampak kedua dagingnya menjadi berubah kehitaman. Betapa sakitnya Ken Wangi merasakannya, namun lebih sakit lagi hatinya. Perlahan-lahan ia sudah bangkit lagi. Tongkatnya telah kembali disilangkan ke depan dada. Sepasang matanya menatap tajam bersinar-sinar pada kakak kandungnya, yang telah tega berbuat sedemikian pada adiknya sendiri.

"Kau terlalu mencampuri urusanku, Ken Wangi! Sudah kukatakan sejak dulu. Jangan kau sok menasihati aku. Ambillah jalanmu sendiri. Dan biarkan aku mengambil jalan yang kutempuh sendiri..!"

"Keparat! Begitu hina dan rendahnya jalan fikiranmu! Mana aku bisa berpeluk tangan melihat laku lampahmu...? Kau bukan lagi manusia. Ken Huma..! Kau memang ibliiiiiss..!" Dan dengan berteriak keras ia telah kembali menerjang. Kali ini tongkatnya telah diputar sedemikian rupa hingga sesaat Walet Kencana agak sulit menyarangkan pukulannya untuk menangkis putaran tongkat.

Namun senjata sang adik tiba-tiba telah berubah ganas. Tolakan dari tangkisan itu membuat putaran tongkatnya terhenti. Namun gerakan selanjutnya bahkan lebih hebat. Setiap pukulan mengandung tenaga dalam. Batu dan ranting beterbangan hancur, terkena sambaran tongkat Ken Wangi. Ia sudah tak menghiraukan lagi akan nyawanya. Serangan-serangan ganas itu sudah saling susul menghantam si Walet Kencana.

Plak! Plak! Buk!

Kembali terdengar teriakan kesakitan dari Ken Wangi. Tubuhnya telah terlempar lagi berguling-guling. Kali ini bajunya pada bagian punggung yang terlihat hangus. Menampakkan serpihan-serpihan kain yang hancur, menyingkapkan kulit punggung wanita itu yang terlihat mengelupas. Dengan menahan rasa perih pada punggungnya, juga tanpa menghiraukan darah yang mengalir hitam dari bibirnya. Kembali ia bangkit untuk menerjang.

Namun Ken Huma alias si Walet Kencana sudah menerjangnya kembali dengan hantaman yang sudah dipastikan akan merenggut nyawa sang adik. Akan tetapi pada saat dan detik yang membawa maut itu, telah terdengar bentakan keras.

"Iblis keji..!" Dan bersyiurlah angin keras yang menggelombang, menghantam balik pukulan si Walet Kencana.

"Aiiiiii...!? Terdengar si Walet Kencana memekik. Segera ia sudah lemparkan tubuhnya bergulingan.

Bhusss..! Batu dan semak dibelakangnya buyar berantakan disertai jeritan ketiga murid si Walet Kencana yang tak sempat menghindar. Ternyata hantaman angin yang bergelombang dahsyat itu telah menghantam balik pukulan dahsyat si Walet Kencana. Tak ampun lagi ketiga muridnya telah perdengarkan jerit kematian, karena seketika tubuhnya telah berubah hangus.

Terbeliak sepasang mata si Walet Kencana, menyaksikan ketiga murid wanitanya berkelojotan meregang nyawa. Ternyata ia telah mengumbar hawa amarahnya untuk menghancur leburkan tubuh Ken Wangi. Hingga ia hantamkan kedua telapak tangannya dengan menyalurkan tenaga dalamnya dengan tenaga penuh. Akibatnya yang menjadi korban adalah ketiga orang muridnya sendiri. Wajahnya seketika berubah pias bagai kertas, ketika sesosok tubuh tahu-tahu telah muncul dihadapannya.

Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Kiranya setelah mengamankan wanita-wanita sekapan didalam gedung maksiat itu, ia kembali ke taman. Karena tiba-tiba ia teringat akan seorang pendatang wanita berbaju kuning yang tengah bertarung dengan kelima wanita murid si Walet Kencana. Memang ia telah mendengar si wanita pendatang itu bernama Ken Wangi yang entah akan bicara apa padanya. Disamping mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Dari kata-katanya ia sudah mengambil kesimpulan bahwa Ken Wangi berada di pihak yang benar. Yang telah mendapat tantangan keras dari sang kakak.

Ken Wangi tampakkan wajah gembira melihat kedatangan Roro, ia sudah segera mau bergerak menghampiri... namun tiba-tiba kembali ia muntahkan darah hitam kental dari mulutnya. Sekonyong-konyong ia rasakan matanya berkunang-kunang. Pandangan matanya menjadi gelap. Dan dengan keluhan lemah, ia jatuh terjungkal. Namun sebelum hal itu terjadi, Roro telah berkelebat untuk menyangganya. Dilain kejap ia telah pondong tubuh Ken Wangi ke tempat yang aman.

"Celaka...? Keadaan tubuhnya luka parah..!" Menggumam Roro, dengan suara berdesis. Sepasang alisnya mengkerut ke bawah. Dan tak ayal lagi ia gunakan tenaga dalamnya untuk menyalurkan hawa hangat, pada tubuh Ken Wangi. Namun napas Ken Wangi tinggal satu-satu. Detak jantungnya kian melemah.

Tiba-tiba wanita itu telah buka kelopak matanya, menatap pada Roro. "An... anda kah si Pendekar... Wanita Pantai Selatan i... itu...?"

Dengan megap-megap wanita itu berusaha buka suara. Sementara wajahnya tampak semakin memucat. Aliran tenaga dalam Roro cuma mampu membuat dia bertahan beberapa saat. Karena begitu Roro Centil menganggukkan kepala dengan memandang terharu, tampak si wanita malang itu tersenyum padanya. Tangannya tiba-tiba bergerak menggapai lemah.

Segera Roro cepat menangkapnya dan terasa pilu hatinya ketika dengan kekuatan terakhir Ken Wangi mencekal keras tangannya, seperti tengah menjabat tangan tanda gembiranya akan pertemuan yang pertama kalinya dengan sang Pendekar Wanita itu tetapi juga pertemuan yang terakhir. Karena cekalan tangannya perlahan-lahan mengendur. Dan kembali jatuh terkulai bersama hembusan nafasnya yang terakhir. Ken Wangi telah wafat dengan bibir tersungging senyuman, dihadapan Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil.

Menitik air mata sang Pendekar ini. Betapa banyak orang harus berkorban jiwa, hanya demi tegaknya kebenaran. Apakah kebhatilan yang harus tegak dimuka bumi ini..? Teriak hati Roro. Tapi sudah tersentak lagi hatinya untuk membantah. Tidak..! Kebhatilan harus punah dari muka bumi ini! Setan Cebol masih hidup bergentayangan. Dan kini sejenisnya tengah menanti dengan penuh kebencian untuk menghancurkan kebenaran.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang dari Roro Centil. Pertanda ia melepaskan kejengkelannya, akan manusia-manusia yang hanya membuat kericuhan diatas jagat ini. Dan detik itu juga tubuh Roro telah melesat ke arah dimana si Walet Kencana berada. Wanita itu telah bangkit berdiri. Wajahnya memerah menandakan kegusarannya, melihat ketiga muridnya yang telah tewas akibat munculnya orang yang telah menyelamatkan jiwa Ken Wangi. Baru saja ia mau gerakkan tubuh untuk melesat ke arah Roro Centil.

Namun sudah keburu si gadis itu yang berkelebat kehadapannya. Ia sudah keluarkan bentakannya : "Heh!? Kiranya kau si bocah aneh itu! Sudah kuduga, kau hanya berpura-pura saja...! Walaupun ilmumu setinggi langit, jangan harap kau dapat lolos dari kematian. Benarkah kau yang bernama Roro Centil itu?" Kata-katanya sudah disambung dengan pertanyaan. Seperti juga kurang yakin akan penglihatannya.

"Kalau kukatakan benar, apakah kau mau terus berlutut mencium kakiku...?" Balik bertanya Roro dengan lagak yang masih bernada jumawa.

Terbeliak mata si Walet Kencana karena gusarnya, dan tiba-tiba saja ia telah perdengarkan teriakan keras, untuk segera lancarkan serangan. Plak! Terdengar benturan kedua telapak tangan. Tubuh Roro hanya tergeser beberapa langkah. Namun si Walet Kencana telah memekik keras, karena arus balik tenaganya sendiri yang menyerangnya. Terhuyung-huyung ia mundur beberapa langkah ke belakang. Tampak ia telah pegangi dadanya. Sementara darah kental menetes dari bibirnya.

Ternyata Roro tak mau banyak gunakan waktu untuk bertempur, dan telah gunakan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor. Jurus langka yang diwarisinya dari Pantai Selatan. Sehingga tenaga dalam serangan si Walet Kencana berbalik menyerang sendiri. Lagi-lagi si Walet Kencana dibuat tak habis mengerti. Ia pandangi orang dihadapannya masih tenang-tenang saja seperti tak terjadi apa-apa. Sementara ia segera kerahkan tenaga dalam untuk menormalkan kembali keadaan tubuhnya. Dilain kejap, ia telah loloskan sabuk Kencana yang membelit pada pinggangnya.

Inilah senjata ampuh yang telah membuat ia terkenal dengan nama julukan si Walet Kencana. Senjata ini memang ada dibalik pakaian tertutup baju. Benda yang panjangnya satu meter lebih itu adalah logam yang lemas, yang panjangnya mempunyai tiga ruas. Terbelit oleh sebuah rantai berbentuk bulatan. Sedang bagian kepalanya berbentuk burung walet yang tengah membentangkan sayapnya. Warnanya kuning emas. Ketika benda panjang itu diputarkan, segera membersit suara seperti burung walet yang mencicit tiada hentinya.

Melihat orang keluarkan senjata pusakanya. Roro dengan senyum masih menghias bibir, segera loloskan sepasang Rantai Genit dari pinggangnya. Dan segera saja iapun memutar sebuah senjatanya, sedang sebuah lagi tetap terpegang ditangan kiri. Detik selanjutnya segera terdengar suara mendengung bagaikan suara ratusan tawon yang menandingi suara cicit burung walet.

"Bocah jumawa..! Kau rasailah kehebatan Sabuk Kencana ku...!" Dan berbareng dengan suara bentakannya, si Walet Kencana telah menerjang ke arah Roro Centil. Hebat dan ganas serangan itu, segera saja bagai ratusan walet yang berkelebatan. Ujung Sabuk Kencana si wanita bernama Ken Huma itu telah mengurung Roro. Sebentar sebentar walet-walet yang bercicitan itu mematuk ke setiap jalan darah yang berbahaya ditubuh sang Pendekar Wanita.

Hal mana membuat Roro Centil juga terkesiap, tak menyangka akan kehebatan senjata lawan. Dengan berteriak keras ia segera putar tubuh dan berkelebatan untuk menghindar. Sementara ia sudah gunakan sepasang senjatanya untuk menangkis setiap datangnya serangan.

Tring! Tring! Tring!

Tiga patukan yang mematikan telah berhasil ia tangkis dengan si Rantai Genit. Tampak si Walet Kencana gertak gigi, dan dengan mendengus ia telah robah gerakan senjatanya. Kali ini serangannya membuat gerakan menyilang yang membingungkan lawan. Ratusan walet segera berserabutan menyerang Roro dari berbagai arah. Terkadang menukik dengan tiba-tiba. Atau meluncur deras mengarah tenggorokan.

Senjata Sabuk Kencana ini memang aneh, bisa menjadi lemas seperti ular, tapi bisa juga menjadi keras bagaikan sebatang tombak. Nyaris saja dadanya terkoyak oleh sepasang sayap walet yang tiba-tiba mencicit dengan menukik tajam. Untung ia telah pergunakan gaya orang mabuk. Sehingga loloslah serangan berbahaya itu. Gerakan orang mabuk itu ternyata banyak menolongnya. Sehingga serangan menyilang yang serabutan itu bisa terhalau dengan mudah.

Tampak si Walet Kencana seperti kehabisan akal. Tiba-tiba ia memekik keras, seraya lengannya yang sebelah telah mencabut sebuah seruling yang pendek. Dan detik berikutnya sudah terdengar suara yang melengking tinggi rendah membisingkan telinga. Roro Centil leletkan lidah. Baru untuk kesekian kalinya ia menjumpai orang-orang lihai, yang kali ini harus berlaku hati-hati. Salah-salah nyawanya bisa terbang ke Akhirat.

Melihat orang sudah keluarkan senjata lagi, yang ternyata cukup mempengaruhi konsentrasinya, Roro pergunakan cara lain, inilah memang cara yang aneh. Cara yang jarang dipunyai oleh sembarang tokoh persilatan. Karena akal yang cerdik saja yang bisa mempergunakannya. Tiba-tiba saja Roro telah melompat mundur tiga-empat tombak. Dan begitu ia sudah dapat menarik napas untuk istirahat sejenak, tiba-tiba terdengar suara tertawa Roro yang mengikik geli. Tertawa yang terpingkal-pingkal itu membuat si Walet Kencana jadi melengak, dan membuatnya bertanya-tanya dalam benaknya.

Ada apakah yang lucu..? Pikir si Walet Kencana. Sementara tanpa disadari tiupan seruling pendeknya jadi berhenti. Demikian juga terjangannya mendadak ia hentikan. Hal itu juga membuatnya mengambil keuntungan. Karena napasnya memang sudah Senin-Kemis akibat terlalu gencar menyerang. Apalagi ia telah terluka dalam akibat balikan tenaga pukulannya sendiri.

"Hi hi hi... Mengapa berhenti menyerang Walet Kencana..? Apakah kau sudah menyerah kalah..! Kalau begitu bukankah dengan baik-baik segera bersujud mencium kakiku..! Atau aku harus perintahkan kau untuk melakukannya..? Hi hi hi... hi hi..."

Kembali ia tertawa mengikik geli. Merah seketika wajah si Walet Kencana. Bocah Centil dihadapannya benar-benar membuatnya menjadi bertambah jengkel. Belum lagi ia membentak, Roro sudah menyambung lagi katakatanya,

"Baiklah! Mungkin sepasang sepatuku ini sudah bau, hingga kau tak berani mencium kakiku. Nah, tunggulah kubuka dulu..!" Seraya berkata, ia telah cepat buka sepatu rumputnya. Dan saat berikutnya sepasang sepatu Roro benar-benar telah dibuka.

"Uhh... Pantas, baunya amit-amit..!" Roro sudah lantas mencium ujung sepatunya. Dan tiba-tiba telah ia lemparkan ke atas seraya berkata sambil mendongak. "Nah! Terbanglah yang tinggi wahai sepatuku yang sudah butut..!"

Aneh, memang! Mengapa tahu-tahu si Walet Kencana ikut-ikutan mendongak ke atas. Padahal sudah sedari tadi ia gregetan pada si gadis, yang sudah mau dilabraknya itu, namun ia agak merasa ngeri akan akal licik yang dipergunakannya. Makanya dengan sabar ia menahan kemarahannya, juga ingin tahu apa yang akan diperbuat si orang aneh dihadapannya.

Sepasang sepatu meluncur ke atas demikian tinggi. Namun tanpa menunggu kembali benda itu jatuh, si Walet Kencana sudah tak sabar untuk membentak. Namun alangkah terkejutnya begitu ia lihat ke depan, ternyata tubuh si centil dihadapannya telah lenyap.

"Bocah keparat..!" Memaki si Walet Kencana. Ia segera putar tubuh untuk mencari dimana adanya si gadis yang menyebalkan itu. Tapi tak menampak batang hidungnya. Bahkan yang terdengar adalah suara tertawa yang mengikik geli, seperti ada di berbagai tempat. Tentu saja ia tak dapat melihat Roro, karena jika si Walet Kencana putar tubuh ia segera mengikuti dibelakangnya. Pada saat itulah sebuah benda tiba-tiba berkelebat disebelahnya. Membentak si Walet Kencana, seraya menghantamnya.

Brak..! Benda itu hancur jadi beberapa keping, yang ternyata hanya sebuah batu. "Tampakkan dirimu bocah keparat..!" Teriak si Walet Kencana. Akan tetapi kembali meluruk deras dari atas dua buah benda ke arah kepalanya.

"Edan..!" Ia segera mendongak ke atas untuk menyampok jatuh benda itu. Tapi terkesiap ia, karena dua benda itu adalah sepasang sepatu Roro yang tadi dilemparkan ke atas, dan baru jatuh setelah sekian lama. Pada saat itulah terdengar suara.

Tring! Tring!

Dan tanpa disadarinya sepasang senjata si Rantai Genit, telah menyambar ke arah kedua senjatanya. Yang tak ampun lagi segera terlepas dari genggamannya. Sabuk Kencana itu terlempar seketika, yang mau tak mau telah dilepaskan karena getaran hebat yang menggetarkan tangannya hingga menjadi kesemutan. Sedangkan suling pendeknya telah jadi remuk, dan juga terlepas dari genggamannya.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya, sebuah hantaman keras telah mendarat di kepalanya. Seketika matanya jadi berkunang-kunang. Tubuhnya sekonyong-konyong jadi limbung. Dan jatuhlah ia dengan menekuk lutut. Ia tak dapat lagi melihat sekelilingnya karena pandangan matanya telah menjadi gelap.

"Nah! Kau ciumlah kakiku..! Bagus! Hi hi hi... Mengapa tak sedari tadi kau lakukan..?" Terdengar suara Roro Centil dihadapannya. Yang telah membuat hampir hilang sukmanya. Tahu-tahu kepalanya telah ditekan kebawah, hingga benar-benar ia terasa mencium sepasang kaki yang masih ada sisa bau kecutnya.

"Bocah keparat..!" Bentak si Walet Kencana. Namun tiba-tiba ia telah perdengarkan jeritan ngeri, karena saat itu juga Roro telah gerakkan kakinya untuk mencongkel tubuh si Walet Kencana, hingga sang tubuh melambung ke udara. Pada saat itulah terdengar bentakan yang membuat terkejut Roro Centil.

"Bocah Centil..! Penipu tengik! Kubunuh kau..!" Sebuah sambaran benda panjang bersyiur dibelakang Roro. Itulah serangan mematikan yang mengarah kepala dari sebuah pipa cangklong si bangsawan bungkuk alias Raden Mas Guntoro Kecut. Ternyata ia telah berhasil melepaskan diri dari pengaruh totokan Roro Centil.

Dengan gerakan secepat kilat, Roro Centil gulingkan tubuhnya ke tanah. Tak ada jalan lain selain mengambil keputusan dengan cepat. Saat itulah sebelah kaki sang Pendekar Wanita itu telah bergerak menyampok mental pipa cangklong. Itulah gerakkan reflek yang ia telah lakukan. Namun dengan sampokan yang telah ia perhitungkan dengan cermat. Karena itulah jurus ilmu Meninju Tongkat Memukul Anjing. Salah satu jurus dari gurunya si Maling Sakti dari lereng Gunung Rogojembangan.

Akibatnya memang amat fantastis, karena segera terdengar jerit mengerikan, ketika dengan deras pipa cangklong itu meluncur untuk segera menembus tubuh si Walet Kencana yang masih berada di udara. Dan selanjutnya detik berikutnya, tubuh wanita yang sial itu jatuh berdebuk ke bumi. Kejadian itu begitu cepat, hingga membuat Raden Mas Guntoro Kecut jadi terbeliak. Dilihatnya si Walet Kencana menggeliat untuk kembali bangkit. Sepasang matanya terlihat seperti merah menyala, menatap Roro.

"Bocah kepar... rrrratt..." Hanya itu yang bisa ia ucapkan, karena selanjutnya ia sudah terkulai lagi untuk segera melepaskan nyawanya.

Melihat kematian si Walet Kencana. Si bangsawan bungkuk itu jadi menggigil ketakutan. Bukannya menerjang ke arah Roro yang sedang membelakangi, tapi dengan diam-diam ia berusaha kabur untuk mengambil langkah seribu. Akan tetapi Roro Centil sudah perdengarkan suara tertawanya. Dan tiba-tiba sebuah benda yang tak lain dari si Rantai Genit, telah meluncur deras ke belakang si manusia berakhlak bejat itu.

Prak! Terdengar suara kepala yang beradu keras dengan bandulan Rantai Genit itu. Dan terdengar teriakan keras, disertai terjungkalnya tubuh Raden Mas Guntoro Kecut. Dan tanpa berkelojotan lagi si bangsawan bungkuk hidung belang itu sudah tewas dengan batok kepala pecan. Roro sudah enjot tubuhnya untuk kembali menyambar senjatanya. Setelah bersihkan pada baju sang mayat ia sudah segera gerakkan tangannya untuk menyelipkan kembali sepasang Rantai Genit nya pada kedua sisi pinggangnya.

"Hmh, orang semacam kau lebih bagus siang-siang pulang ke akherat, sebelum bertambah lagi dosamu..!" Menggumam Roro.

LIMA

MATAHARI semakin tinggi diatas kepala. Burung-burungpun seperti enggan untuk menampakkan diri, di panas terik itu. Mereka berlindung di balik dedaunan yang rimbun sambil membentangkan sayapnya. Yang terkadang mengibas-ngibas untuk membersihkan kotoran yang melekat pada bulu-bulunya. Sementara beberapa ekor merpati itu tampak tengah asyik mencari kutu-kutu dengan paruhnya.

Roro Centil rebahkan tubuhnya terlentang dibawah pohon itu. Semilir angin sesekali membuat kesejukan pada tubuhnya. Ia sudah pejamkan matanya, dengan berbantalkan lengan. Selang sesaat saja ia telah terlena pulas, karena dihembus angin yang sepoi-sepoi membuat sepasang matanya jadi mengantuk. Sehingga tanpa ia ketahui sepasang mata dengan tajam penuh kebencian, memandang ke arahnya.

Itulah sepasang mata si wanita bercadar tipis, alias si Elang Alap-alap. Wanita yang telah menjadi sakit hati terhadapnya. Tampak ia telah bertindak dengan pelahan-lahan menghampiri, tapi sebentar kemudian ia merandek sejenak. Ia sudah keluarkan tiga buah paku beracun. Dan digenggam erat pada tangannya. Namun tampaknya ia urungkan niatnya dan masukkan lagi senjata rahasia itu ke dalam sakunya. Sepasang matanya beralih pada sebuah batu besar didekatnya.

"Aku ingin lihat dia mati menggeletak dengan kepala hancur..!" Terdengar ia berdesis dengan amat pelahan sekali. Dan saat selanjutnya batu besar itu, diangkatnya dengan pelahan-lahan. Cukup berat untuk meremukkan kepala orang yang amat dibencinya itu. Berfikir ia dalam hati. Dan kembali ia melangkah dengan langkah hampir tak terdengar.

Kini ia telah berada di bagian ujung kepala Roro Centil yang masih tak terlihat bergeming. Hanya napasnya saja yang kelihatan turun naik. Sepasang matanya masih terkatup rapat. Inilah saatnya kau mampus...! Bersorak hati si Elang Alap-alap. Dan ia telah angkat batu besar itu tinggi-tinggi diatas kepala Roro.

Namun wanita itu lupa, bahwa pasir-pasir halus yang berjatuhan dari bawah batu itu telah meluncur turun mengenai wajah, dan pelupuk mata Roro dibawahnya. Dan hal itulah yang telah membuat Roro Centil membuka matanya. Nalurinya yang peka telah mengatakan bahwa ada apa-apa terjadi diatas kepalanya.

Tepat pada detik itu, batu besar itu telah melayang turun ke arah kepalanya. Terkesiap Roro Centil bukan kepalang melihat bahaya didepan matanya, dengan berteriak tertahan ia telah gulingkan tubuhnya ke samping. Buk! Terdengar batu besar itu jatuh berdebum menimpa tanah. Namun Roro Centil sudah selamat dari maut.

Adapun si Elang Alap-alap tak menyangka sama sekali akan hal yang berlangsung begitu cepat. Saat ia terpaku, tiba-tiba sepasang lengan telah mencengkeram kakinya. Disertai bentakan Roro yang bagaikan geledek disiang hari terdengar santar ditelinganya.

"Pengecut licik...!"

Dan tahu-tahu tubuhnya telah jatuh terbanting, tepat diatas batu besar yang baru saja berhenti menggelinding. Terdengarlah teriakan ngeri dari mulut si Elang Alap-alap. Karena dengan keras, kepalanya telah menghantam batu besar itu. Tak ampun lagi ia telah jatuh menggeloso. Namun ia masih berusaha untuk bangkit, walau terlihat ada darah mengalir dari belakang kepalanya. Pandangan matanya memang telah berkunang-kunang, dan rasa sakit pada kepalanya terasa ngeri bukan kepalang.

Tapi sebelum ia dapat gerakkan tubuhnya, entah apa yang terjadi, karena tahu-tahu batu besar itu telah menggelinding ke tubuhnya. Dan terdengarlah pekik mengerikan disertai terdengarnya suara remuknya tulang dada, dan tengkorak kepala yang berkrotakan. Terlihat sepasang kaki si Elang Alapalap mengejang, dan bergerak-gerak. Namun sekejap kemudian gerakkan kaki itu terhenti untuk selamanya.

Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan segera tinggalkan tempat itu dengan wajah murung. Namun membersitkan rasa bersyukur pada Tuhan atas keselamatannya. Seperti terlihat pada wajahnya yang kembali tampakkan kecerahan, ketika ia mendongak ke langit sambil pejamkan mata.

Semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus, membuat leganya hati dan sejuknya perasaan... Dan detik selanjutnya sudah terdengar suara lengkingan Roro Centil, seperti melepaskan kelegaan hatinya. Dan detik selanjutnya ia telah berkelebat cepat sekali, yang sesaat antaranya sosok tubuh Pendekar Wanita itupun lenyap.

* * * * * *

"Dalam sepekan ini aku perlukan empat orang wanita atau gadis, tentu saja yang bertubuh mulus, dan berwajah cukup cantik..! Terdengar suara bernada serius dari balik air terjun itu. Yang sudah ditimpali dengan suara kata-kata seperti suara burung gagak, namun agak besar sedikit.

"Benar! Wanita yang bertubuh mulus, pasti jantung dan hatinya pun akan mulus! Sudah tiga hari ini aku tak makan sarapan yang amat menguatkan tubuh itu, apakah tidak sebaiknya kau berangkat mencarinya, dan membawanya kemari..? Aku khawatir, jangan-jangan aku bisa mengilar untuk mengorek hati dan jantungmu, Dewi Tengkorak!"

Itulah suara si Setan Cebol dan si Iblis Tertawa dihadapan seorang wanita yang cuma bisa tampakkan wajah murung. Sejurus antaranya wanita ini yang tak lain dari si Dewi Tengkorak adanya, berdiam tanpa buka suara. Tiga hari ditempat sekapan yang tersembunyi itu membuat ia tak bisa berkutik apa-apa. Dan selama tiga hari itu, tenaganya hampir habis, karena harus melayani kehendak si Iblis Tertawa, dan si Setan Cebol berganti-ganti. Membuat ia mau melarikan diri saja dari sarang kedua iblis dan setan itu.

Namun apalah artinya..? Dua butir pel yang telah dijejalkan pada mulutnya, membuyarkan keinginannya. Walaupun ia bisa saja tinggalkan pergi tempat itu, namun ia amat membutuhkan obat penawar dari racun yang sudah masuk perutnya. Untuk membunuhnya adalah terlalu sulit. Apalagi pengaruh rasa takut akan kematian, membuat ia hilang semangatnya. Dan terpaksa ia harus menerima tugas dari kedua iblis dan setan jahat itu, mencarikan korban yang dimauinya.

"Baiklah, demi obat penawar itu, aku akan turuti perintah kalian. Namun aku khawatir aku cuma dijadikan budakmu saja. Dan nanti bila telah tiba saatnya satu bulan, aku kau biarkan mampus keracunan..!" Berkata si Dewi Tengkorak.

Meledaklah tertawa si Setan Cebol, diikuti si Iblis Tertawa, yang terdengar berkakakan didalam ruangan goa dibalik air terjun itu. "Ha ha ha., ha ha... Kami berdua tak akan berdusta, dan pasti akan kau terima obat pemunahnya sebelum waktu satu bulan..! Jangan khawatir nona manis..! Bukankah begitu sobat Setan Cebol..!?"

"He he he... Benar! Kalau aku sedang tidak malas, buat apa aku menyuruhmu? Aku hanya tengah mengajar adat padamu, agar jangan terlalu sombong jadi manusia..! Ha ha he he he..!" Ujar si Setan Cebol, yang kembali tertawa berkakakan.

"Baiklah, aku akan berangkat sekarang..!" Berkata si Dewi Tengkorak, seraya bergerak ke arah pintu goa.

"Bagus..! Agak cepatlah sedikit. Hati-hati, buaya-buaya di rawa itu suka naik ke darat. Aku khawatir kau dicaploknya..! Teriak si Iblis Tertawa.

Namun Dewi Tengkorak, sudah tak menghiraukan lelucon yang tidak lucu itu. Ia segera melangkah keluar dari ruang Goa dibalik air terjun itu. Tapi dasar wanita yang sudah matang, dan berpengalaman, ia tidak terus berangkat pergi, melainkan berdiri disamping batu Goa. Telinganya dipasang untuk mendengarkan suara disebelah dalam. Benarlah apa yang telah diduganya. Karena segera terdengar suara tertawa si Muka Bocah alias si Iblis Tertawa itu...

"Ha ha ha...ha ha... Kalau saja ia tahu telah aku bohongi, pasti siang-siang ia sudah minggat tak balik lagi. Pel yang kujejalkan dimulutnya itu adalah obat perangsang yang pengaruhnya hebat luar biasa..! Buktinya ia mampu berperang tanding sampai menggebu-gebu melawanku! He he he... ha ha ha..."

Terkejutlah si Dewi Tengkorak. Namun juga diam-diam ia bergirang hati yang telah dapat mendengar celoteh si Iblis Tertawa. Segera ia sudah melesat cepat untuk tinggalkan Goa yang telah membuat ia tersiksa setengah mati itu.

"Huh! Buat apa aku turuti keinginannya.. Lebih bagus aku kabur dari daerah kekuasaan kedua setan dan iblis keparat itu!" Berkata si Dewi Tengkorak dalam hati. Dan dengan beberapa kali ia mengenjot tubuh, sebentar saja sudah lenyap dari tempat yang sunyi mencekam itu.

* * * * * *

Menjelang malam baru saja merangkak, Roro Centil sudah berada lagi dimuka pintu Padepokan Cemara Kandang. Belum lagi ia mengucapkan salam, telah berteriak seorang gadis, yang telah memburunya keluar. Dialah si gadis Sumirah itu.

"Kakak Pendekar Roro Centil..! Aiii..!? Selamat datang ditempat kediamanku!" Dan sang gadis itu sudah lantas memeluknya.

Roro pun sudah balas memeluk si gadis itu dengan terharu. Tampak terdengar suara isak tersendat dari mulut Sumirah. Dan terasa air hangat membasahi lengan Roro, ketika ia tengah membelai wajahnya.

"Kakak Roro... Mengapa semua ini terjadi pada diriku? Pada kami orang-orang Padepokan Cemara Kandang..? Benarlah dugaanku, ayah pasti tak akan mampu melawan si Iblis Cebol itu..?" Terdengar kata-katanya yang tersendat.

"Sudahlah dik Sumirah. Segalanya memang sudah takdir Tuhan. Buat apa kau tangisi kematian orang yang sudah tiada? Sebaiknya tawakallah. Dan jangan terlena oleh kesedihan. Aku berdiam di rumahmu sampai keadaan menjadi kembali aman..!"

Sumirah tiba-tiba lepaskan pelukannya, dan tatap wajah Roro dalam-dalam. Wajahnya kembali menampilkan kecerahan. "Benarkah demikian kakak Roro..? Oh, terima kasih! Aku amat senang sekali..!" Dan selanjutnya ia telah bimbing lengan Roro Centil untuk diajak masuk ke dalam ruang padepokan.

Sementara beberapa murid laki-laki mendiang Ki Reksa Permana tampak berdatangan menyambutnya sambil menjura hormat. Malam semakin larut, namun masih juga terdengar suara orang bercakap-cakap didalam ruang Padepokan itu. Ternyata mereka berdua tengah saling menceritakan pengalaman hidupnya. Dengan didengarkan pula oleh ke dua belas orang murid laki-laki di Padepokan itu.

Hingga saat menjelang tengah malam, barulah Rumah Besar Padepokan Cemara Kandang kembali sunyi senyap. Semua orang telah tertidur. Hanya Roro Centil, yang masih duduk dihadapan Sumirah yang telah menggeros kelelahan. Tidurnya demikian pulas. Sampai nyamuk yang hinggap di pipinya sudah tak terasa lagi.

Roro jentikkan jari telunjuknya untuk membuat terpental mati sang nyamuk itu. Dan dengan bersidakep, Roro pejamkan matanya. Ia tidak tidur, walaupun matanya meram. Karena ia tengah bersemadi memulihkan kekuatannya lagi. Pertarungan tadi siang telah banyak menguras tenaganya.

Demikianlah, malam berganti siang. Dan siang berganti malam. Roro tinggal atau menetap di Padepokan itu. Dengan diam-diam telah pula melatih ilmu pedang Sumirah. Dan turunkan beberapa jurus ilmu ampuh padanya. Bahkan kedua belas murid laki-laki di padepokan itupun mempelajari juga beberapa jurus ilmu yang ia dapati dari Paderi Jayeng Rana.

Hari kedua dan ketiga Roro Centil tak mendapat berita mengenai si makhluk Cebol Itu. Tapi pada hari keempat, dua orang murid Ki Reksa Permana, tampak berlarilari menghadap pada sang Pendekar Wanita Roro Centil.

"Ada apakah yang terjadi..?" Bertanya Roro yang telah melompat kehalaman Padepokan. Tampak terlihat kedua orang pemuda itu terengah-engah. Sekujur tubuhnya bercucuran keringat.

"Celaka, Guru... Makhluk Cebol itu tengah mengamuk dan membantai penduduk dan orang-orang Ki Demang, di desa Duren Sawit bersama seorang kawannya, yang telah menawan tiga orang gadis..!"

Terkesiap seketika Roro Centil. Jantungnya berdetak keras karena terkejutnya. Saat itupun muncullah Sumirah, dengan sepasang Trisula dipinggang dan pedang tipis terbelit dipinggang. Ternyata iapun baru saja masuk dari pintu belakang Padepokan.

"Guru..! Mari kita berangkat ke Desa Duren Sawit sebelum makhluk Cebol dan kawannya itu kabur dengan membawa korban..!" Roro Centil palingkan kepalanya.

"Kaupun baru pulang menyelidiki?" Bertanya Roro.

Sumirah anggukkan kepalanya. Roro tatap kedua murid laki-laki itu seraya berkata. "Kalian tetaplah berada disini. Kemana yang lainnya?" Bertanya Roro Centil.

"Empat orang berada disana, yang lainnya entah, Guru. Mungkin berada dilain tempat..!" Menyahut salah seorang.

"Baiklah. Kalau mereka kembali, jangan menyusul kesana. Tetaplah berdiam di Padepokan!" Perintah Roro, yang ternyata telah diangkat sebagai Guru oleh murid mendiang Ki Reksa Permana dan Sumirah. Yang mau tak mau terpaksa Roro menerimanya. Selesai ia berkata, segera ia berpaling pada Sumirah yang tampaknya seperti tak sabar menunggu sang Guru lagi.

"Ayo Sumirah, kita berangkat...!" Dan berkelebatlah dua tubuh dengan gerakan cepat meninggalkan Padepokan Cemara Kandang.

Saat itu di Desa Duren Sawit tengah terjadi pertarungan seru. Beberapa sosok tubuh tampak telah tergeletak mandi darah. Itulah orang-orangnya Ki Demang Gombal Manik, yang telah menyerbu kedua iblis itu. Ternyata di desa itu dengan diam-diam telah dipasang beberapa mata-mata utusan Ki Demang. Dan bahkan ada pula dua orang pendekar suami istri yang mau turut membantu menumpas si Setan Cebol yang kabarnya semakin tersiar luas.

Hingga keadaan disekitar Gunung Merbabu sebenarnya telah diperkuat dengan penjagaan dari beberapa golongan kaum Pendekar. Termasuk juga orang pemerintahan, yang dipimpin langsung oleh Ki Demang Gombal Manik. Gerakan rahasia itu memang diatur secara diam-diam dan dipasang di beberapa tempat yang rawan. Hingga ketika terjadi penculikan dan pembunuhan oleh kedua tokoh persilatan yang keji itu.

Berita segera tersebar dengan cepat. Dan terkurunglah si Setan Cebol bersama kawannya itu, yang tak lain dari si Iblis Tertawa yang amat rakus pada wanita cantik. Dikurung rapat sedemikian rupa, kedua manusia keji itu bahkan tertawa-tawa, dan tampak senang dapat membunuhi setiap orang yang menerjangnya. Hingga korban-korban pun jatuh bergelimpangan.

Betapa gusarnya dua orang pendekar suami istri yang melihat kekejian dua makhluk itu. Terlebih-lebih si makhluk Cebol itu, yang sambil memanggul seorang gadis, mulutnya tak pernah berhenti mengunyah jantung dan hati manusia yang telah dibunuhnya.

Sedangkan si Iblis Tertawa dengan tertawa berkakakan juga mengepit sesosok tubuh wanita yang sudah terkulai pingsan. Sementara sebelah tangannya menghantam para penyerangnya yang ragu-ragu karena khawatir mengenai tubuh wanita yang dikepitnya itu. Tampak seorang yang bersenjatakan tombak itu roboh terjungkal dengan perdengarkan jerit kematian.

"Iblis Pengecut..! Lepaskan wanita itu! Hadapilah pedangku. Jangan kau buat ia sebagai perisai..!" Bentak seorang wanita berbaju merah, yang sudah melompat turun dari kudanya.

"Ha ha ha... he he... Payah-payah aku mencarinya, masa mau kulepaskan begitu saja. Jangan khawatir, aku akan menjaganya jangan sampai mengenai pedangmu, nona..!"

"He...! Muka Bengkak! Berikan padaku. Jangan khawatir kau tak kebagian. Aku telah simpan tiga orang di Goa...! Biar itu bagianku..!" Berteriak si Setan Cebol.

Dan serta merta ia telah lemparkan gadis di pundaknya. Ternyata keadaan wanita itu telah membuat orang berteriak ngeri. Karena isi perutnya telah terburai keluar. Sementara sebelah lengannya telah mengunyah sesuatu yang penuh berlepotan darah.

"Baik! Terimalah ini..!" Teriak si Iblis Tertawa seraya lemparkan korbannya. Namun sebelum si Setan Cebol menyambutnya, telah berkelebat sesosok tubuh dengan kecepatan kilat, yang menyambar tubuh sang wanita.

"Iblis keji..!" Terdengar satu bentakan. Dan sesosok tubuh berbaju putih telah menyerangnya dengan pedang, disaat si Setan Cebol ternganga.

Sret! Tergoreslah punggungnya. Walaupun ia telah lompat menghindar. Segera ia dapat melihat siapa penyerangnya. Yang tak lain dari Sumirah adanya.

"Iblis keparat...! Kau telah bunuh dengan keji ayahku...! Kini terimalah kematianmu..!" Teriak si gadis, yang kemudian telah menerjang dengan gerakan pedang yang menyambarnyambar.

Namun si Setan Cebol telah waspada. Dengan muka meringis ia telah berkelebat menghindar, dan lompat menjauh tiga tombak. "Bagus..! Kiranya kau anaknya si Pedang Sakti Bermata Delapan...! He he he... Beruntung sekali aku. Terkabullah niatku untuk menumpas habis keluarga manusia yang telah membunuh Guruku..! Namun amat disayangkan kalau kau harus mati siang-siang...'" Berkata si Setan Cebol, dengan sepasang matanya berbinar-binar menatap Sumirah.

Betapa marahnya Sumirah melihat manusia yang menatapnya sambil terus mengunyah jantung dan hati manusia itu. Ia sudah melompat lagi untuk menerjang. Tapi kali ini si Setan Cebol telah gerakkan tangannya memukul pergelangan tangan Sumirah. Terlepaslah pedang tipis itu. Saat berikutnya sepasang tangannya telah bergerak untuk menotok dan merangkul gadis itu. Terdengarlah keluhan Sumirah. Tubuhnya telah terkulai, dan sekejap kemudian telah berpindah ke atas pundaknya.

"He he he... Ayo manis, kita tinggalkan saja tempat ini..!" Berkata si Setan Cebol, dan saat berikutnya ia telah berkelebat pergi dengan cepat.

"Kejaaar!" Teriak Ki Demang yang mengawasi pertarungan. Beberapa orang yang mengejar itu cuma bisa melongo saja karena si Setan telah lenyap dengan cepat sekali.

Sesosok tubuh kerdil yang memanggul tubuh seorang wanita itu, telah memasuki Goa di sela air terjun. Itulah si Setan Cebol, yang dengan tertawa berkakakan telah membawa korbannya, yaitu si gadis Sumirah. Tak banyak cerita ia sudah lemparkan tubuh gadis itu ke pembaringan. Sumirah perdengarkan keluhannya. Ia cuma bisa tatap orang yang telah membunuh ayahnya itu, tanpa ia bisa berbuat apa-apa. Berteriakpun ia sudah tak sanggup. Harapan hidupnya sudah punah.

Namun hati baja sang gadis telah membuat ia menguatkan seluruh perasaannya agar tidak menjatuhkan air mata. Biarlah aku mati, kalau memang sudah ditakdirkan untuk mati. Pikir gadis itu. Bukankah demikian wejangan sang Guru barunya si Pendekar Wanita Roro Centil? Kematian memang tak perlu ditakutkan. Berkata ia didalam hati. Apalagi sudah didepan mata. Ketabahan untuk menghadapi kematian secara keji memang telah terpampang di depan mata Sumirah.

Namun ia benar-benar tabah, karena ia berpendapat dengan kematiannya tak mungkin kalau para pendekar akan membiarkan kebhatilan terus merajalela dimuka bumi. Suatu saat akan datang masa kehancurannya. Karena memang tidak layak kebhatilan itu berdiam diatas bumi ini.

Bret! Bret! Bret!

Terdengar sobekan kain pakaian yang dikenakan Sumirah, ternyata si Setan Cebol telah melakukannya tanpa berlamalama lagi. Sumirah pejamkan matanya. Ia sudah tak hiraukan lagi akan dirinya. Semuanya ia pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Sepasang tangan yang dingin telah menyelusuri sekujur tubuhnya yang terasa dingin dan panas berganti-ganti.

Keringat dingin telah mengucur deras dikening dan punggungnya. Namun tetap ia pejamkan mata dan gigit bibirnya agar tidak menjerit ketakutan. Terasa benda berat telah menindih tubuhnya dengan dengus napas yang terasa menyambar wajahnya.

"He he he... Selesai ini segera akan kumakan jantungmu, nona manis. Mumpung belum datang si Muka Bengkak itu, yang telah aku bohongi..!"

Saat yang akan menghancurkan perasaan itu sekejap lagi akan tiba. Tapi apalah artinya. Karena semua itupun akan diiringi dengan kematiannya..? Berfikir Sumirah. Terdengarlah si Setan Cebol itu tertawa lagi terengah-engah karena menahan nafsu yang menggelora, namun anehnya tubuh yang telah menindihnya itu bahkan menggelinding ke sisi disertai keluhannya.

Ketika ia buka kelopak matanya. Terbelalaklah sepasang matanya, karena disitu telah berdiri sang Pendekar Roro Centil. Ternyata Roro telah menotok tubuh si Setan Cebol itu, yang telah muncul bagaikan malaikat saja. Plak! Sebuah hantaman telah membuat tubuh si Setan Cebol terguling ke bawah.

"Uuuuh..!? Sss.. sssiapa ka.. kau..?" Berkata si Setan Cebol dengan meringis. Kepalanya telah dibuat bertambah benjolannya. Hingga pada kepala yang rambutnya bagai ijuk itu telah ada dua benjolan.

"Hi hi hi... Aku orang yang akan mengirim nyawamu ke Neraka..! Kebiadabanmu telah berakhir Setan Cebol!" Seraya berkata Roro telah tempelkan telapak tangannya pada punggung si Setan Cebol. Terlihatlah asap tipis yang mengepul.

Menjeritlah si manusia terkutuk ini. Tulang-tulangnya terdengar berkriutan, dan lenyaplah kekebalan tubuhnya. Punahlah segala kekuatannya. Karena Roro telah pergunakan jurus keji dari Sepuluh Jurus Kematiannya si Dewa Tengkorak. Si Setan Cebol ini memang hebat. Ia masih berusaha untuk merangkak. Sepasang lengannya bergerak mengulur dengan kesepuluh jarinya untuk mencengkeram kaki Roro Centil.

Namun tenaganya memang telah punah. Kembali sepasang lengan itu terkulai. Dan terlihat napas yang memburu. Tapi sepasang matanya masih terlihat merah menyala seperti menahan dendam yang amat sangat pada orang dihadapannya. Roro Centil sudah bergerak lagi untuk membebaskan totokan pada tubuh Sumirah.

Gadis ini menatapnya dengan sepasang mata terbelalak seolah tak percaya akan apa yang terlihat dihadapannya. Dan sekonyong-konyong ia sudah memekik dengan isak tersendat. Pekik girang haru yang tak terlukiskan lagi. Seolah-olah Roro Centil adalah bukan siapa-siapa lagi. Seolah ibunya sendiri yang tengah menatapnya.

"Guruuuuu...!" Dan tenggelamlah ia dalam pelukan sang Guru yang mengelus-elus punggungnya dengan penuh kasih sayang. Tampak air bening yang menetes dari pelupuk sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini.

Roro Centil memang seorang Pendekar Wanita yang aneh. Melihat Sumirah roboh tertotok, dan jatuh ke tangan si Setan Cebol. Ia tampak tenang-tenang saja. Karena ia telah mendengar dan mengetahui bahwa tak mungkin si Setan Cebol akan membunuhnya dengan sekejap mata. Apalagi ia telah mendengar kata-katanya tadi, yang mengatakan adanya tiga wanita lagi yang telah ia sekap didalam Goa.

Makanya ia biarkan saja si Setan Cebol itu meninggalkan tempat itu. Tapi dengan diam-diam ia telah menguntitnya. Adapun pedang tipis yang terpental dari tangan Sumirah, dengan cepat ia menyambutinya.

Demikianlah... hingga ia berhasil memasuki Goa dengan diam-diam. Ia memang mengetahui si Setan Cebol itu pasti berilmu sangat tinggi. Namun seperti wejangan Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan, yang telah mengatakan bahwa. Tingginya suatu ilmu adalah tak ada batasnya. Karena diatas langit masih akan ada lagi langit. Tapi "kecerdikan" adalah diatas segalanya. Oleh sebab itulah ia telah pergunakan kecerdikannya untuk menjatuhkan si manusia iblis Setan Cebol. Hingga berakhirlah kebiadabannya.

Sejenak Roro Centil menatap pada Sumirah, yang telah membenahi lagi pakaiannya. Lalu beralih menatap pada si manusia kerdil itu yang tampak amat menjijikkan. Tubuh telah tak bertenaga lagi, bagaikan seonggok daging yang sudah tak bertulang tengah menatap padanya dengan mata bersinar mengandung kebencian. Sementara giginya yang runcing-runcing itu tampak menyeringai mengerikan. Mengeluarkan suara geraman seperti seekor serigala.

"Sebaiknya manusia ini diberikan hukuman yang setimpal atas kebiadabannya..!" Berkata Roro Centil. Dan setelah berfikir sejenak, segera ia berkata pada Sumirah, seraya palingkan wajahnya pada gadis itu.

"Ayolah, kau ikuti aku... untuk menyaksikan hukuman apa yang akan aku berikan pada manusia iblis ini..!"

Selesai berkata Roro telah jambak rambut si Setan Cebol, dan menggusurnya keluar dari goa itu. Ternyata Roro Centil telah membawa tubuh si Setan Cebol pada sebuah tempat ketinggian, dimana dibawahnya terdapat rawa-rawa yang diairi serta menyambung dengan air sungai disebelahnya.

Belasan ekor buaya tampak berkeliaran dibawahnya. Ada yang tengah berjemur diri pada panas Matahari dengan mengangakan mulutnya. Ada yang tengah saling kejar dengan kawannya. Serta terlihat pula yang baru saja naik ke darat, dan merayap ke tengah-tengah rawa-rawa yang amat luas itu.

Ketika mereka menatap pada si Setan Cebol, tampak seketika pucat dan pias wajahnya. Berteriak-teriaklah si manusia biadab ini ketakutan, melihat beberapa ekor buaya yang telah mengangakan mulutnya ke arah mereka. Rupanya bau manusia telah membuat buaya-buaya ini berkerumun dibawah tempat ketinggian itu.

Roro dan Sumirah saling berpandangan, dan sama-sama tersenyum. Dan tanpa menunggu waktu lama lagi Roro telah lemparkan tubuh si Setan Cebol ke arah makhluk-makhluk melata itu, yang segera saja telah menyerbunya dengan moncong-moncong yang menganga memperlihatkan giginya yang runcing-runcing.

Terdengar jeritan si Setan Cebol yang menyayat hati. Dan hanya sesaat, karena segera tubuhnya telah diterkam dan direncah dengan rakus oleh binatang-binatang buas itu yang tampak saling berebutan. Hingga sekejap saja tubuh manusia kerdil itu telah terbeset jadi beberapa bagian.

Sumirah palingkan wajahnya untuk tidak melihat kejadian itu, terasa ngeri ia memandangnya. Namun sesaat kemudian Roro telah tarik lengan gadis itu untuk diajak berlalu dari tempat itu. Segera saja tampak kedua tubuh wanita itu berkelebatan dengan tidak terlalu cepat meninggalkan rawa-rawa yang telah mengubur mayat si manusia iblis penyebar maut itu didalam perut buaya-buaya penghuni rawa itu.

Ternyata kedatangannya telah disambut oleh Ki Demang Gombal Manik dengan suka cita. Juga pendekar suami istri itu, yang tak lain dari Sentanu dan Roro Dampit. Kiranya si Iblis Tertawa itupun ternyata telah menemui kematiannya ditangan sepasang pendekar itu yang ternyata telah bertambah ilmunya.

Suasana di lereng Gunung Merbabu kini telah menjadi cerah. Petani dan pedagang sibuk dengan pekerjaannya seperti biasa, tanpa harus mengkhawatiri akan adanya manusia Iblis yang akan mengganggu ketentraman disetiap desa di lereng gunung itu.

Ki Demang Gombal Manik menjamu tamu-tamunya dengan gembira, Bahkan sampai beberapa hari Roro dan Sumirah serta sepasang pendekar suami istri itu berada dirumah besar Ki Demang. Hingga suasana pun kembali sepi, ketika satu persatu mohon diri, untuk kembali pulang ketempatnya masing-masing.

Roro Centil terpaksa memenuhi permintaan Sumirah untuk menetap sementara di Padepokan Cemara Kandang. Gadis manis itu ternyata telah tampak bergairah lagi dalam hidupnya, berkat adanya Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.