KABUT tipis menyapu hutan berpohon renggang. Kabut tipis itu merayap setinggi satu betis dari permukaan tanah. Kalau bukan karena pagi, kabut itu akan lenyap diserap mentari. Se-mentara itu, di atas sebongkah batu datar rendah, seorang bocah duduk bersila dengan telanjang baju. Sebagian tubuhnya dirayapi kabut. Tapi ia tidak pedulikan hal itu.
Bocah berusia sekitar sepuluh tahun ini berkulit hitam. Matanya terpejam, duduknya bersila. Kepalanya sedikit tertunduk, sehingga sepintas kelihatan seperti bocah sedang bertapa. Padahal bocah itu terkantuk dan tidur tanpa dengkur.Tentu saja bocah itu tidak sendirian. Seorang lelaki tua berdiri di belakangnya. Lelaki tua itu mempunyai jenggot putih tipis dan agak melengkung ke depan sehingga mirip jenggot kambing. Tubuhnya kurus, berjubah ungu kusam. Celananya hitam, tidak mengenakan baju dalam. Jubah berlengan panjang itu tidak dikancingkan bagian depannya, sehingga kulit dada dan perutnya tampak berkerut dan bersisik.
Lelaki itu memang kulitnya bersisik sampai pada bagian lengan dan telapak kaki. Di wajahnya yang kempot dengan gigi tinggal empat dan tidak teratur letaknya itu, tam-pak bekas-bekas sisik yang habis dikelupas. Ram-butnya putih tipis sekali sehingga berkesan botak namun tidak selicin gundu.
Lelaki tua itu berulang kali menghentakkan telapak tangannya ke punggung bocah yang duduk bersila dengan celana kotak-kotak papan catur. Hempasan tangan lelaki kempot itu tidak pernah hasilkan sinar ataupun tenaga apa-apa, sehingga semalaman ia bingung mengatasinya. Kedua jarinya ditekankan pada punggung bocah itu, tapi juga tidak menghasilkan tenaga yang diharapkan. Lelaki tua itu garuk-garuk kepa-lanya sambil menggerutu pelan,
"Kok tidak bisa?! Bagaimana caranya menyalurkan ilmuku ke orang lain, ya? Dulu aku bisa, sekarang aku lupa!"
Lelaki tua itu mengulangi lagi beberapa cara untuk memindahkan seluruh ilmunya ke tubuh bocah berambut cepak itu. Tetapi ia selalu saja menemui kegagalan. Itulah sebabnya dari semalam sampai sepagi itu ia hanya ah, uh, ah, uh... tanpa bisa lakukan jurus menyalur tenaga murninya. Rupanya sang bocah yang dari semalam disuruh duduk itu akhirnya mengantuk dan tertidur dalam keadaan tetap duduk.
"Uh, capek! Istirahat dulu, ah!" Lelaki berjubah ungu kusam itu duduk melonjor dengan punggung bersandar sebatang pohon. Letaknya berhadapan dengan bocah itu, sehingga ia bisa pandangi sang bocah dengan mulut bicara sendiri pelan-pelan,
"Nasibmu buruk amat, Kukilo. Sudah hampir satu tahun kau berguru denganku, tapi tak satu jurus pun yang bisa ku salurkan padamu. Padahal dulu aku punya mantera khusus untuk menyalurkan jurusku ke tubuh seekor monyet atau orang utan, dan orang utan itu bisa mainkan jurus-jurusku untuk melawan musuh. Tapi sekarang mantera itu tidak bisa kuingat lagi. Gerakan napas dan urat pun telah ku lupa. O, Gusti...! Kenapa baru setua ini aku sudah pikun dan lupa segala-galanya. Cuma makan yang tidak ku lupa, barangkali!"
Bocah itu ternyata bernama Kukilo, artinya burung. Ia bertemu dengan lelaki jubah ungu itu kira-kira satu tahun yang lalu, ketika terjadi banjir di sungai Cindelaras yang membuat bocah itu tersangkut di atas sebuah pohon. Lelaki jubah ungu itu semula ingin mencari sarang burung untuk diambil telurnya, tetapi yang ia peroleh malah seorang bocah yang tak diketahui namanya. Sebab itu, jubah ungu menamakan bocah tersebut 'Kukilo'.
Tetapi sejak satu tahun ikut lelaki jubah ungu, bocah itu tidak mewarisi ilmu silatnya sedikit pun. Pelajaran silat tangan kosong saja tidak bisa diturunkan oleh si jubah ungu karena bocah itu tidak mudah mengingat gerakan-gerakan jurus tangan kosong. Sementara itu, lelaki berjubah ungu itu masih bertekad ingin menurunkan ilmunya kepada bocah tersebut.
Sebab setua itu usianya, lelaki jubah ungu belum pernah mempunyai murid. Anehnya tidak ada orang yang mau menjadi murid lelaki jubah ungu itu. Ketika ia temukan Kukilo, dan Kukilo mau menjadi muridnya, maka lelaki jubah ungu itu amat girang dan tak mau melepaskan Kukilo.
Menurut lelaki jubah ungu, sebenarnya bocah itu bukan bocah bodoh. Bukan karena semata-mata tak bisa mengingat gerakan silat, tapi bo-cah itu tak mau berlatih dan tak mau lelah. Karena lelaki jubah ungu ingat kata-kata bocah itu pertama dikenalnya,
"Aku mau jadi muridmu, Kek. Tapi aku tidak mau capek. Aku mau menerima ilmu-ilmumu secara cepat, tidak pakai lompat sana-lompat sini yang melelahkan."
"O, itu gampang. Jangan khawatir. Aku akan jadikan kau muridku tanpa berlatih. Cukup dengan menyalurkan tenaga dalamku dan tenaga inti murni, kau sudah akan bisa mewarisi ilmu-ilmuku, Nak! Tapi... yah, buat pemanasan kamu mesti latihan kuda-kuda dan pukulan-pukulan tangan kosong. Habis itu baru ku salurkan tenagaku ke tubuhmu!"
Ternyata sampai sekarang bocah itu malas-malasan jika disuruh berlatih tangan kosong. Bahkan sampai sekarang lelaki jubah ungu belum bisa salurkan tenaganya ke dalam tubuh Kukilo. Sampai akhirnya bocah berkulit hitam itu bangun dari tidurnya, dan ia mendapatkan orang yang di-panggil: Guru itu, sedang duduk melonjor di depannya. Ketika bocah itu membuka mata, sang guru nyengir sambil tetap berada di tempatnya.
"Bagaimana, Guru? Sudah berhasil?" tanya Kukilo.
"Belum," jawabnya dengan lesu. "Aku masih lupa manteranya, Nak."
"Uuh...! Jadi Guru kok lupa mantera?" bocah itu bersungut-sungut, tapi Jubah ungu itu hanya cengar-cengir saja sambil garuk-garuk kepala. Kukilo dibiarkan turun dari atas batu, dan mengencangkan urat-uratnya sebentar sambil menguap. Lalu, bocah itu mengenakan rompinya yang bercorak kotak-kotak putih hitam.
"Aku mau pergi saja, Guru!"
"Eh, mau pergi ke mana?!" jubah ungu kaget dan segera berdiri.
"Aku mau cari guru lain saja."
"Jangan begitulah...!" lelaki jubah ungu itu merayu sambil dekati Kukilo, memegangi pundaknya. "Sabarlah, kuingat-ingat dulu caranya. Maklumlah, usiaku sudah lewat dari seratus lima puluh tahun, jadi sudah pikun."
"Habis, sudah cukup lama aku jadi muridmu, tapi tak bisa apa-apa. Lalu untuk apa aku ikut kau ke mana-mana? Cuma nonton orang tarung saja? Kalau cuma nonton orang tarung, tak usah ikut kau aku sudah bisa cari sendiri, Guru!"
"Iya. Maaf, ya...?!" lelaki jubah ungu itu menunduk. Keadaannya menjadi terbalik. Kini sang murid yang ngomel dan marah-marah kepada gurunya, sedangkan sang guru mendengarkan dengan sikap takut. Bocah itu memang sering berla-gak tua, karena ia memang pandai bicara. Akibatnya yang tua menjadi seperti muridnya, yang muda menjadi seperti gurunya.
"Kuberi waktu sampai satu bulan lagi. Guru! Kalau sampai satu bulan aku masih belum bisa apa-apa, aku keluar dari perguruanmu dan tidak mau menjadi murid mu lagi!"
"Iya, iya...! Aku mengerti."
"Percuma kau menjadi guru dan berjuluk Dewa Nujum kalau memindahkan ilmu saja tak bisa."
"Eh, sekarang julukanku bukan Dewa Nujum lagi. Sudah banyak tokoh persilatan yang menggunakan nama julukan Dewa."
"Jadi, Guru mau pakai julukan apa?"
"Julukanku sudah lama diganti menjadi Wong Sakti. Sudah sepuluh tahun lebih penggantian itu. Apa kau belum dengar, Nak?"
"Lha aku ikut Guru saja baru setahun!"
"O, iya...!" jubah ungu yang mengaku berjuluk Wong Sakti itu cengar-cengir menampakkan giginya yang tinggal gusi dan empat gigi keropos itu.
"Sekarang begini saja," kata Wong Sakti, "Ada sebuah pisau Pusaka Hantu Jagal yang bernama... yang bernama...."
"Namanya ya Pusaka Hantu Jagal itu!"
"O, iya...!" Wong Sakti garuk-garuk kepala sambil nyengir. "Nah, Pusaka Hantu Jagal itu bisa memindahkan ilmu jika ditikamkan ke tubuh orang berilmu. Jadi kalau kau pegang pisau itu, lalu menikamkan pisau itu ke tubuhku, maka ilmuku akan mengalir dan pindah ke tubuhmu. Aku menjadi orang yang tidak punya ilmu lagi, kamu menjadi orang yang punya banyak ilmu!"
"Di mana kita bisa dapatkan pisau pusaka itu?"
"Kabar yang kudengar belakangan ini, pisau pusaka itu ada di tangan seseorang yang bernama Tua Usil, Nak."
"Lalu, setelah kita bisa peroleh ilmu itu bagaimana?"
"Kau harus mau membunuhku dengan pisau itu. Kalau kau tidak mau membunuhku, kau tidak akan dapatkan ilmu itu!"
"Nanti kau mati, Guru?"
"O, iya, ya...?!" Wong Sakti nyengir sambil garuk-garuk kepala. Sambungnya lagi, "Tapi tak apa aku mati, usiaku toh sudah banyak. Aku sudah puas menikmati hidup dengan segala kesaktianku. Aku memang sudah bosan hidup dan ingin mati. Maka, kau harus mau membunuhku dengan pisau itu. Bagaimana? Kau setuju dengan perjanjian ini, Kukilo muridku?!"
Bocah itu diam berpikir beberapa saat, sete-lah itu berkata, "Kalau memang perjanjian itu tidak memberatkan Guru, aku bersedia memenuhi perjanjian itu, Guru!"
"Bagus! Bagus! He he he he...!" Wong Sakti girang. "Kalau begitu, kita cari Tua Usil, kita pinjam pisaunya, lalu kau tusukkan di dadaku ini! Setuju?"
"Setuju!"
"Bagus!" Wong Sakti mengajak bersalaman muridnya. Setelah itu, guru dan murid yang ku-rang beres itu segera pergi mencari Tua Usil.
* * *
Pada sebuah kaki bukit yang tak jauh dari tempat Wong Agung dan Kukilo berada, terlihat sekelebat gerakan berwarna merah yang meluncur turun dari atas pohon dan menendang punggung seorang wanita berpakaian jingga. Tetapi karena wanita cantik berpakaian jingga itu membawa seekor burung beo di pundaknya, maka sang beo pun berseru sambil terbang,
"Awas, maliiing...! Maliiing...!"
Itulah isyarat datangnya bahaya dari belakang yang menjadi kebiasaan wanita berpakaian jingga itu. Maka dengan cepat wanita itu berbalik dengan tangannya berkelebat cepat. Plaakkk...! Tendangan orang yang turun dari pohon itu berhasil ditangkis dan dikibaskan ke samping. Lalu wanita berpakaian jingga itu sentakkan kakinya ke depan dan mengenai punggung orang berpakaian merah. Buuhg...! Wuuusst...! Bruuhg...! Orang berpakaian merah jatuh terpelanting.
Wanita berpakaian jingga itu tak lain adalah Lintang Ayu yang sedang dalam perjalanan menca-ri seorang tabib untuk mengobati sakit gurunya. Sedangnya penyerangnya yang berpakaian merah itu seorang gadis yang berusia lebih muda dari Lintang Ayu. Karenanya, pandangan mata Lintang Ayu sedikit menyipit karena tidak begitu mengenali gadis muda berpakaian merah itu.
"Mengapa kau menyerangku? Siapa kau sebenarnya?" tegur Lintang Ayu dengan nada dingin.
"Aku adik dari Gadis Linglung yang kau bunuh beberapa waktu yang lalu. Namaku Yayi. Aku mau tuntut balas atas kematian kakakku!"
"Gadis Linglung...? Mmh...! Yang waktu itu menyamar menjadi Lili?" Lintang Ayu segera ingat tentang seorang gadis yang menyamar sebagai Pendekar Rajawali Putih dan bikin onar ke mana-mana, sampai melibatkan kematian adik Lintang Ayu. (Lebih jelasnya, baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Geger Perawan Siluman").
"Kakakmu bersalah dan layak dihukum mati!" kata Lintang Ayu.
"Kau pun harus menerima pembalasan yang setimpal. Heaaah...!"
Buuhg...! Tiba-tiba Lintang Ayu bergerak menghantamkan pukulan jarak jauhnya tanpa sinar. Pukulan itu menghantam telak di dada Yayi sebelum Yayi bergerak melakukan satu lompatan. Dan hal itu membuat Yayi terpental jauh dan terguling-guling. Ia terkapar di bawah rumpun bambu dengan mulut keluarkan darah segar.
Pada waktu Itu Lintang Ayu kembali kirimkan pukulan bersinar hijau yang cukup berbahaya, karena ia takut lawannya mendului dengan serangan jarak jauhnya. Claap...! Sinar hijau melesat dan menghantam Yayi. Namun dalam kejap berikutnya, sesosok bayangan coklat putih berkelebat menyambar tubuh Yayi dengan cepatnya.
Wuuuttt...!
Bayangan coklat putih itu naik ke atas pohon dan diam di sana. Lintang Ayu sedikit terkejut memandang ke atas pohon. Ternyata di sana sudah berdiri sesosok pemuda tampan yang menggendong tubuh Yayi dengan satu tangan. Pemuda itu tak lain adalah Yoga, si Pendekar Rajawali Merah, murid angkat Lili; si Pendekar Rajawali Putih. Lintang Ayu pun tahu. Yoga bukan saja murid angkat Lili, melainkan juga kekasih si Pendekar Rajawali Putih itu.
Wuuusss...! Yoga segera turun dari atas pohon setelah melihat Lintang Ayu mengendurkan ketegangan wajahnya, kurangi kemarahannya. Yayi pun diletakkan oleh Yoga di rerumputan yang jauh dari pepohonan bambu, sebab pepohonan bambu itu sudah terbakar dan tinggal sisa arang kepulkan asap akibat terhantam sinar hijaunya Lintang Ayu.
"Mengapa kau menyelamatkan gadis itu. Yoga?!"
"Dia bukan lawanmu! Tidak kau serang lagi pun ia akan mati. Lihat saja wajahnya yang pucat itu. Hanya dengan pukulan seringan itu ia sudah celaka, apalagi dengan pukulan dahsyat mu."
Lintang Ayu tarik napas dalam-dalam, kelihatan menyesal atas tindakannya tadi. Ia tidak tahu kalau Yayi gadis berilmu rendah. Ia sudah lepaskan pukulan yang di luar takaran lawan. Seharusnya itu tak perlu terjadi, ia tak perlu menyerang.
"Dia adiknya Gadis Linglung. Kupikir ia sama tinggi ilmunya dengan Gadis Linglung."
Yoga segera lakukan penyembuhan terhadap diri Yayi. Beberapa saat kemudian, Yayi siuman dari pingsannya. Ia segera merasakan segar kembali tubuhnya. Tapi segera terperanjat melihat pemuda tampan ada di sampingnya.
"Kau... kaukah yang menolongku?"
"Ya," jawab Yoga sambil sunggingkan senyum kepada Yayi. "Sekarang ku ingatkan agar kau pulang dan jangan melawan Lintang Ayu. Kau belum sebanding dengannya. Jika kau melawannya, kau bisa kehilangan masa hidupmu, dan aku tak mau obati kamu lagi."
"Tapi... dia membunuh kakakku; Gadis Linglung."
"Kakakmu memang bersalah. Jangan membela orang bersalah kalau kau ingin menegakkan kebenaran dan keadilan," tutur Yoga cukup menimbulkan kesan wibawa di mata Yayi. Tambah Yoga lagi, "Pergilah sana, dan jangan bikin perkara dengan dia!" sambut Yoga melirik Lintang Ayu. "Jangankan dirimu, dewa yang baru saja turun dari kayangan lari terbirit-birit oleh kesaktiannya."
Yayi memandang Lintang Ayu sebentar, setelah itu cepat berlari tinggalkan tempat itu. Pendekar Rajawali Merah tertawa kecil melihat Lintang Ayu sunggingkan senyum tipisnya. Kemudian, Lintang Ayu perdengarkan suaranya yang bernada wibawa.
"Kau terlalu berlebihan memujiku. Mana ada dewa lari terbirit-birit melawanku? Kau pikir aku ini neneknya dewa?!"
Yoga tertawa geli, lalu berkata, "Sekadar memberikan peringatan kepada Yayi agar tak meneruskan permusuhan denganmu!"
"Ya, tapi tak perlu berlebihan begitu. Ilmuku masih belum seberapa dibandingkan ilmumu, Yoga!"
Yoga sengaja maju dekati Lintang Ayu. Hati perempuan cantik itu diam-diam berdebar tak ada ujung pangkalnya. Tapi ia pandai sembunyikan perasaan itu, sehingga kelihatan tetap tenang. "Kalau ilmumu lebih rendah dariku," kata Yoga. "Sudah kutundukkan dirimu! Nyatanya toh sampai sekarang aku tidak bisa tundukkan dirimu, Lintang Ayu."
"Kalau kau mau, aku akan tunduk padamu sekarang juga," jawabnya sambil menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Merah itu.
Kata-kata tersebut pun membuat Yoga tertawa geli, walau tidak terbahak-bahak dan nyaris tanpa suara. Tapi tawa di bibir Yoga itu menjadi pusat perhatian Lintang Ayu dan jantung Lintang Ayu semakin berdetak kuat.
Pada saat itu, selembar daun jatuh dari pohon dan melayang-layang hendak jatuh di pundak Lintang Ayu. Tiba-tiba Yoga punya firasat aneh yang membuat tangannya berkelebat cepat menarik lengan Lintang Ayu, sehingga gadis cantik berwibawa itu menabrak tubuh Yoga dan secara tak sengaja memeluk pundak Yoga sebagai pegangan.
Bruus...!
Siiirrr...! Hati Lintang Ayu berdesir indah, hingga detak jantungnya kian bertambah cepat. Tapi ia berlagak sewot dan berkata, "Apa-apaan kau ini?!"
Yoga tidak menjawab, namun memandangi gerakan daun yang jatuh ke tanah. Tiba-tiba begitu menyentuh tanah, seberkas sinar merah menyembur naik, memercikkan bunga-bunga api. Daarrr...! Suaranya cukup mengagetkan walau tak tergolong keras. Suara itu membuat Lintang Ayu dan Yoga saling lompat ke belakang.
"Daun apa itu?" gumam Lintang Ayu sambil terperangah heran. la sama sekali tak menyangka daun itu nyaris memotong pundaknya.
"Itulah sebabnya kutarik tanganmu. Jangan marah dulu padaku," kata Yoga. Kemudian keduanya segera memandang sekeliling memeriksa keadaan berbahaya yang jelas sedang mengancam keselamatan mereka.
"Seseorang berilmu tinggi sedang menyerang kita secara diam-diam," kata Yoga setengah berbisik.
Angin pun berhembus mengguncangkan pepohonan. Hembusan itu semilir teduh.melenakan mata membuat kantuk. Yoga segera berkata, "Lawan dengan tenaga dalammu, Lintang Ayu. Dia menghembuskan angin yang akan membuat kita tertidur!"
Lintang Ayu segera menahan napasnya beberapa saat, kemudian mengeluarkan pelan-pelan. Kedua tangannya menggenggam, itu pertanda Lintang Ayu sedang melawan kekuatan yang membuatnya ingin tertidur nyenyak. Yoga pun melakukan hal serupa hanya beda caranya. Yoga diam berdiri dengan mata melirik ke sana-sini, tapi ibu jari tangan kanannya dilipat dan digenggam kuat-kuat.
Hembusan angin mereda. Hawa kantuk pun hilang, tetapi dedaunan segera gugur sedikit demi sedikit dan beterbangan ke sana-sini. Mereka teringat daun yang nyaris memotong pundak Lintang Ayu itu. Maka serta-merta mereka berlompatan hindari daun-daun itu agar jangan sampai tersentuh tubuh mereka.
Ketika dua-tiga daun jatuh ke tanah tanpa timbulkan ledakan kecil seperti tadi, Lintang Ayu hempaskan napas leganya, demikian pula Yoga. Karena mereka tahu bahwa daun yang runtuh beterbangan itu adalah daun biasa yang tidak mempunyai kekuatan tenaga dalam seperti tadi. Namun dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa penyerang berilmu tinggi itu?
Sebab daun yang disangkanya daun biasa itu, ternyata beberapa kejap setelah tergeletak di tanah berubah bentuknya menjadi busuk dan berbelatung menjijikkan. Tiap satu helai daun selebar telinga itu mempunyai ratusan belatung yang saling menggeliat berjubel.
DUA
SUARA tawa terkekeh-kekeh berat terdengar di belakang Yoga dan Lintang Ayu. Secepatnya kedua orang itu berpaling memandang ke arah datangnya suara tawa itu. Mereka sama-sama terkesiap dan memandang heran terhadap kemunculan seorang lelaki tua kempot dengan mengenakan jubah ungu. Orang itu bersama anak kecil yang berompi kotak-kotak menyerupai papan catur.
"Apakah kau mengenal dia?" tanya Yoga kepada Lintang Ayu.
"Sepertinya pernah kulihat beberapa puluh tahun yang lalu, tapi aku lupa siapa dia," jawab Lintang Ayu bernada bisik.
"Tidak usah berbisik-bisik, Nona Manis," kata Wong Sakti, "Aku mendengar suaramu sekali pun kau berdiri di puncak gunung sebelah sana itu!" Wong Sakti menuding ke arah selatan.
"Beritahukan siapa namamu, Guru!" perintah Kukilo berlagak tua.
Gurunya menurut saja, dan segera berkata, "O, iya...! Nona manis, mungkin kau memang pernah melihatku, tapi pada waktu itu, mungkin kau masih kecil, atau belum lahir dari perut ibumu, jadi...."
Kukilo memotong pembicaraan dengan menepuk pantat gurunya, "Kalau belum lahir mana bisa melihat mu. Guru!"
"O, iya!" kemudian ia berkata kepada Lintang Ayu. "Jujur saja karena aku memang orang jujur, namaku adalah Wong Sakti. Kalau dulu namaku Dewa Nujum, tapi karena sudah banyak orang yang memakai nama Dewa, maka kuhapus julukan itu. Sekarang julukanku Wong Sakti!"
"Kurasa dialah tokoh sakti yang unjuk kesaktiannya menggunakan daun-daun tadi, Lintang Ayu," bisik Pendekar Rajawali Merah.
"Eeeh... jangan bisik-bisik, Cah Bagus! Kalau tak salah kaulah yang bernama Yoga dan bergelar Pendekar Rajawali Merah; murid dari Empu Dirgantara yang punya julukan si Dewa Geledek! Benarkah itu?"
"Dari mana kau tahu namaku, Wong Sakti?!"
"O, aku ahli nujum. Jago tebak tepat! He he he..." Wong Sakti terkekeh-kekeh sambil garuk-garuk kepala. "Dan Nona cantik ini pasti yang bernama Lintang Ayu, putri Adipati Windunegara, murid dari si Jubah Peri!"
"Bagaimana kau bisa tahu namaku, Wong Sakti?"
"Lhaaa... tadi aku sudah bilang; aku ini ahli nujum, jago tebak tepat! Kalau soal begitu, ooh... keciill, Nak! Kecil sekali!" Wong Sakti sedikit mencibir sombong.
Kukilo berbisik kepada gurunya, "Guru, wanita itu. cantik."
"Ssst...! Kamu masih bocah, tak boleh bicara soal kecantikan wanita. Karena kecantikan wanita itu hanya boleh dibicarakan oleh yang dewasa saja. Jadi...."
"Jangan melantur. Guru! Tanyakan saja tentang si Tua Usil itu!"
"O, iya...!" Wong Sakti tersenyum dengan bibir bagaikan mau ditelan ke mulut karena kempotnya. Pendekar Rajawali Merah dan Lintang Ayu, sekiranya kalian berkenan hati maukah kalian menolongku? Jika kalian mau menolongku, maka aku pun akan menolong kalian. Sebab aku tahu, masing-masing dari kalian punya kesulitan sendiri-sendiri. Lintang Ayu punya guru sedang sakit, bukan?"
"Benar. Dari mana kau tahu?"
"Tanya lagi...?!" Wong Sakti bersungut-sungut. "Tadi sudah kukatakan, aku ini ahli nujum dan jago tebak tepat. Apakah tebakanku itu kurang tepat, Lintang Ayu?"
"Ya. Cukup tepat. Lalu, apalagi yang kau ketahui tentang kami!"
"Tak berapa lama akan ada sesuatu yang meraba kepala Yoga!"
"Apa maksudmu?" sahut Yoga.
"Begini, kalau aku...."
Pluk...! Tiba-tiba seekor burung lewat membawa ranting untuk sarangnya. Ranting itu jatuh dan mengenai kepala Yoga.
"Nah, apa kubilang. Ada yang meraba kepalamu, bukan?"
Yoga memungut ranting itu, memandang burung yang sedang terbang menjauh, lalu memandang Lintang Ayu dan berkata, "Suatu kebetulan saja."
"Kurasa begitu."
"Eit... itu bukan suatu kebetulan, tapi sebuah ramalan yang tepat pada sasaran dan kulihat sebelum hal itu terjadi, Yoga. Malahan kukatakan kepadamu, Lintang Ayu, kau akan melompat dan memeluk Yoga karena sesuatu sedang melanda mu, Nona Manis."
Lintang Ayu dan Yoga saling berpandangan. Kemudian Lintang Ayu berkata, "Tolong hadapi dia, aku mau pergi. Ada yang perlu kuselesaikan dan kuurus ketimbang dia!"
"Baiklah. Tapi...."
"Aaow...!" Lintang Ayu melompat dan tak sengaja memeluk Yoga karena kagetnya. Ada seekor kupu-kupu terbang dan hampir hinggap di kaki Lintang Ayu. Yoga tidak tahu kalau Lintang Ayu sangat takut kepada binatang kupu-kupu. Rasa takut dan jijik terhadap binatang. kupu-kupu itu sudah sejak kecil dimiliki. Sampai sekarang masih pula dimiliki.
"Maaf...!" kata Lintang Ayu dengan rasa malu, wajahnya semburat merah dan ia buru-buru merenggangkan jarak dari tubuh Yoga yang hanya tertawa geli melihat Lintang Ayu takut dengan kupu-kupu.
"Naaah... tepat pula tebakanku, bukan? Lintang Ayu akan melompat. Memeluk Yoga karena takut. Lintang Ayu malu, karena hatinya berdebar indah saat sadar memeluk Yoga. Yoga sendiri merasa deg-degan, takut ketagihan dipeluk Lintang Ayu. He he he he...! Lintang Ayu sendiri mengharap kesempatan seperti itu ada. Karena itu...."
"Cukup!" bentak Lintang Ayu.
Wong Sakti meneruskan, "Karena itu, cukup!"
Kukilo mengejar kupu-kupu itu dan Wong Sakti membiarkannya. Lalu, Wong Sakti pun berkata, "Menurut ramalanku, kalian ini sebetulnya saling jodoh! Jadi Lintang Ayu tak perlu malu jika memeluk Yoga dan Yoga tidak perlu takut ketagihan. Sebab..."
"Tunggu. Jaga bicaramu, Wong Sakti! Apa maksud mu mengatakan kami saling jodoh?" kata Yoga sedikit tegang.
"Dewata telah menggariskan bahwa jodohmu adalah Lintang Ayu!"
Lintang Ayu membantah dengan hati deg-degan, "Tidak mungkin! Menurutku jodohnya Yoga adalah Lili! Karena dia memang kekasih Lili; si Pendekar Rajawali Putih itu!"
"O, perempuan cantik yang bernama Lili itu bukan jodohnya Yoga, tapi jodohnya seorang pemuda tampan lain."
"Siapa maksudmu?!" sergah Yoga bertambah tegang.
"Dewata menggariskan bahwa gadis bernama Lili itu mempunyai jodoh seorang pemuda tampan yang bernama Pandu Tawa!"
"Bohong!" Yoga membentak karena cemas.
"Lhooo... aku ini ahli nujum dan jago tebak tepat! Kalau kubilang kau jodohnya Lintang Ayu, ya memang benar. Kalau tidak percaya, coba telapak tangan kalian saling dirapatkan. Diukur dari pergelangan tangan sampai ke jari tengah. Tingginya akan sama, jika mekar juga lebarnya akan sama. Cobalah kalau kalian tak percaya!"
Karena penasaran, Lintang Ayu dan Yoga segera mengukur telapak tangan mereka. Kedua telapak tangan itu saling dikembangkan dan ditempelkan. Ternyata ukurannya sama persis, dari ujung jari paling tinggi sampai pergelangan tangan, sama semua. Pas.
Lintang Ayu dan Yoga sama-sama terbelalak kaget dan semakin kelihatan tegang. Pada saat itu, Wong Sakti hanya terkekeh-kekeh sambil garuk-garuk kepalanya. Lalu, ia berkata lagi,
"Kalau masih tidak percaya, coba kalian ukur, panjang lengan dari telapak tangan sampai siku kalian, pas! Tidak lebih, tidak kurang!"
Mereka berdua kembali penasaran, namun juga kembali terkejut. Ukuran lengan sampai pergelangan tangan mereka ternyata memang sama panjang. Ini membuat Lintang Ayu merasakan denyut jantungnya menjadi lebih cepat alias berdebar-debar. Terdengar pula suara Yoga berkata dalam gumam,
"Benarkah kita saling berjodohan?"
"Jangan percaya ramalan dia!" Wong Sakti berkata lagi, "Kalau masih juga belum percaya bahwa kalian adalah berjodohan, ukurlah lebar bibir kalian pasti pas! Sama lebar, sama panjang, dan sama tebalnya."
Penasaran sekali Yoga, maka ia menghadap Lintang Ayu. Tapi Lintang Ayu segera sadar ketika mereka masing-masing ingin menempelkan bibir untuk diukur lebar dan ketebalannya. Lintang Ayu cepat tarik diri dan berkata,
"Jangan, Yoga. Berbahaya bagi hatiku!"
"Ya. Maaf, hampir saja aku terpancing oleh omongannya!" kata Yoga menjadi malu sendiri. Wong Sakti hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat mereka nyaris terjebak.
"Apa maksudmu menemui kami, Wong Sakti? Hendak mengacau kami?!" Lintang Ayu berkata tegas.
"Jujur saja, aku mencari Tua Usil. Di mana dia?"
"Bukankah kamu orang sakti, bisa meramal ini-itu, tapi mengapa tidak bisa mengetahui di mana Tua Usil?" kata Lintang Ayu.
"Sebab Tua Usil membawa pisau Pusaka Hantu Jagal. Dan itu membuatku tak bisa mengetahui di mana dia berada. Kurasa Pendekar Rajawali Merah mengetahui di mana dia!"
"Untuk apa kalau kau sudah tahu di mana Tua Usil?" tanya Yoga.
"Aku membutuhkan pisau pusaka yang dibawanya."
"Untuk apa?" desak Yoga. "Kau tidak berhak memilikinya."
"Aku hanya ingin meminjamnya."
"Mengapa kau ingin meminjamnya?" Yoga kembali bertanya mendesak.
"Supaya muridku bisa membunuhku!"
"Aneh...?!" gumam Lintang Ayu.
"Aku ingin salurkan semua ilmuku kepada Kukilo, bocah yang... ke mana tadi itu anak?!" Wong Sakti mencari-cari Kukilo yang mengejar kupu-kupu. Lalu ia berkata,
"Aku lupa manteranya untuk bisa memindahkan ilmuku ke raga muridku itu. Sudah lama kucoba dan kulakukan tapi selalu gagal. Lalu aku ingat tentang kehebatan Pusaka Hantu Jagal itu. Kudengar dari puncak gunung, pusaka itu diperebutkan dari tangan Tua Usil. Jadi aku ingin meminjamnya, lalu muridku kusuruh membunuhku, supaya ilmuku mengalir semua ke dalam raganya! Kalau sudah begitu aku akan tenang dan lega. Setidaknya kalau terjadi sesuatu padaku, aku bisa dibela oleh muridku!"
"Kalau kau ditikam dengan pisau itu berarti kau mati!" sahut Lintang Ayu.
Maka Wong Sakti pun menjawab, "Tidak apa-apa. Yang penting ilmuku sudah bisa masuk dan menjadi milik Kukilo. Aku sendiri sudah bosan hidup. Terlalu lelah menahan kerangka tubuhku dalam usia setua ini,"
Lintang Ayu memandang Pendekar Rajawali Merah. Pendekar tampan itu diam saja. Lalu, Wong Sakti berkata, "Jadi kumohon Yoga mau tunjukkan di mana aku bisa temukan Tua Usil itu!"
"Sekali pun seandainya aku tahu di mana dia, aku tidak akan mengatakannya. Karena niat-mu itu sama saja mendidik muridmu untuk menjadi seorang pembunuh, apa pun alasanmu, Wong Sakti!"
"Lho... kalau begitu kau ingin kupaksa supaya mau menunjukkan di mana Tua Usil berada? Aku tahu dia pelayanmu, karena aku dengar percakapan kalian dari ujung gunung sana!"
"Jangan memancing kekerasan dengan dia, Wong Sakti!" Lintang Ayu mengingatkan.
Tapi Wong Sakti hanya terkekeh-kekeh dan berkata, "Justru aku ingin gunakan kekerasan jika kalian tak mau bantu aku! Kalian boleh maju berdua kok! Silakan saja...!"
Lintang Ayu dan Pendekar Rajawali Merah hanya diam berdiri bersebelahan dalam jarak dua langkah. Sementara itu, Wong Sakti berdiri dalam jarak lima langkah dari depan mereka sambil cengar-cengir memamerkan gusinya.
Tiba-tiba Lintang Ayu mengawali serangannya dengan kibasan jemarinya yang memercikkan lima larik sinar hijau berkelok-kelok. Clap! Dalam jarak kurang dari dua langkah, lima larik sinar yang mengarah ke tubuh Wong Sakti itu bergerak turun ke bumi dengan tajamnya.
Jluuub..! Blaaarrr...!
Tanah meledak, menyembur lebar ke arah Yoga dan Lintang Ayu. Keduanya cepat-cepat melompat dalam gerakan bersalto ke belakang. Jika tidak begitu, mereka akan terkena semburan tanah yang langsung membara merah panas.
Lintang Ayu berbisik kepada Yoga, "Dia tidak bisa ditembus serangan kita! Lapisan tenaga dalamnya cukup kuat dan tebal."
"Akan kucoba dengan jurus 'Sinar Buntung'-ku!"
Tangan buntung yang terbungkus kain baju itu segera disodokkan ke arah lawan ketika Yoga melompat dengan sentakan badan kirinya. Claap...! Tangan buntung itu keluarkan selarik sinar merah yang mengarah ke tubuh Wong Sakti. Sinar itu biasanya mampu memecahkan bongkahan batu sebesar apa pun menjadi serbuk lembut. Tetapi kali ini agaknya sinar merah tak mampu mengenai tubuh Wong Sakti.
Dengan sikap diam saja dan hanya cengar-cengir memandang tajam ke arah lawan, Wong Sakti sentakkan napasnya melalui hidung, dan sinar merah itu meledak di pertengahan jarak, menyala lebar sinarnya bagai gelombang dahsyat yang menghentak balik. Akibatnya, Pendekar Rajawali Merah terjungkal ke belakang dan Lintang Ayu terbanting ke samping bagaikan dihempas to-pan berkekuatan besar.
"He he he...! Ayo, pilih salah satu, mau tolong aku atau mau kuhancurkan, Anak-anak manis!" kata Wong Sakti sambil berjalan santai mendekati Yoga.
"Mundur, Yoga! Biar kuselesaikan dengan pedang ku!" kata Lintang Ayu sambil mencabut pedangnya. Srettt...!
Tapi tangan Yoga segera memberi isyarat dan berkata, "Jangan, Lintang Ayu! Jangan dengan pedang! Mungkin itu pun tak akan mampu membuatnya jera. Sebaiknya biar kuhadapi dia dengan caraku sendiri!"
Wong Sakti berhenti lagi dalam jarak lima langkah di depan mereka. Suaranya terdengar sedikit serak, "Percuma saja kalian melawanku. Wong Sakti bukan tandingan kalian. Jadi sebaiknya kalian tolong aku sajalah... biar sama-sama enak!"
"Jika keperluanmu bukan keperluan yang salah langkah, aku mau membantumu, Wong Sakti!" kata Yoga. "Tapi niatmu kuanggap keliru. Jika seorang murid sudah dididik untuk membunuh gurunya sendiri, maka ia pun kelak akan tega membunuh bapaknya sendiri. Artinya, ia akan tumbuh sebagai tokoh sakti yang kejam dan tak mengenai ampun! Kumohon kau bisa memaklumi keberatanku ini, Wong Sakti!"
"Aku tidak bisa memaklumi, karena kau tidak bisa mencarikan jalan keluar buatku!" kata Wong Sakti. "Kalau kau masih tetap keras kepala, aku juga akan mengeraskan kepala! Rupanya aku memang harus tetap memaksamu dengan kasar, Pendekar Rajawali Merah!"
Claaap...! Tiba-tiba dari mata Wong Sakti melesat sinar hijau ke arah Yoga. Dengan cepat tangan kanan Yoga menahan sinar hijau itu dengan gerakkan tangan terbuka dan menghadang di dada dengan keadaan membara pada bagian telapaknya. Sinar hijau itu diterima oleh telapak tangan tersebut. Syyrrruub...! Langsung tangan Yoga menggenggam dan melemparkan ke arah kiri.
Wuuttt...! Blaaarr...!
Sebuah pohon menjadi hancur ketika sinar hijau dilemparkan ke sana dari genggaman tangan Yoga. Hal itu membuat Wong Sakti terkekeh-kekeh sambil memandangi pohon tersebut, lalu berkata,
"Jurus apa itu tadi namanya? Cukup aneh bagiku! Sinar hijauku bisa kau tangkap dan kau lemparkan ke arah lain. Hebat juga jurus ajaran si Dewa Geledek itu!" Wong Sakti manggut-manggut.
"Itu namanya jurus 'Tolak Guntur'!" kata Yoga.
Lintang Ayu manggut-manggut juga karena kagum melihat jurus itu, dan hatinya berkata, "Memang hebat jurus si ganteng ini! Tapi, apakah benar dia akan menjadi jodohku?! Ah, kurasa Wong Sakti punya ramalan ngawur dan sama sekali tidak benar. Kurang ajar! Wong Sakti hanya bikin hatiku berdebar-debar terus dengan ucapannya tadi. Aku tidak percaya. Tidak! Hanya saja... kenapa ukuran telapak tangan dan lenganku sama persis dengan milik Yoga? Apakah benar itu tandanya dia adalah jodohku?"
Sementara wanita cantik itu gelisah sendiri, dari arah runtuhnya pohon tadi berlarilah bocah berpakaian kotak-kotak dengan wajah tegang. Kukilo segera menghampiri Wong Sakti sambil berteriak-teriak,
"Guru...! Guru...! Pohon itu angker. Ada setannya, tahu-tahu pohon itu meledak sendiri. Tidakkah Guru tadi melihatnya?"
Kepala bocah itu didorong dengan tangan Wong Sakti, "Goblok! Bukan meledak sendiri, tapi diledakkan oleh Yoga memakai jurus 'Mata Elang'!"
"Ooo... diledakkan sama dia?" Kukilo manggut-manggut.
"Mana kupu-kupunya? Sudah kau dapatkan?"
"Kupu-kupunya terbang, Guru!" "Kenapa kau tidak ikut terbang?!"
"Sudahlah, yang penting Guru bisa menangkap Tua Usil atau tidak?"
"Kau saja menangkap kupu-kupu saja sulit, kok mau mengejar Tua Usil. Hmmm...! Mana bisa?!"
"Kalau Guru tak bisa tangkap Tua Usil dan pinjam pisaunya, lebih baik jangan jadi guruku sajalah!"
"Yaaah... jangan begitu, Kukilo...!" Wong Sakti menahan tangan anak itu yang mau pergi dengan sewot. Yoga dan Lintang Ayu hanya memandanginya.
"Kelihatannya anak itu sangat dimanja," bisik Lintang Ayu.
"Benar. Kalau dia sakti, dia bisa menjadi jahat karena terlalu sering dimanja!"
"Hei, sudah kubilang jangan bisik-bisik...! Aku dengar semua apa yang kalian bicarakan! Sekarang sebaiknya kita lanjutkan pertarungan kita demi untuk menolongku. Yoga!"
"Wong Sakti, jangan salahkan aku kalau kau celaka!"
Kemudian Yoga segera gunakan jurus "Badai Petir'. Napasnya tersentak lepas dari hidung dengan sedikit di tahan, karena ia tak berani terlalu keras. Dan pada saat itu pula, tubuh Wong Sakti terhempas jauh bagaikan di sapu badai dahsyat yang mengamuk.
Wuuusss...!
Seandainya Wong Sakti bukan orang berilmu tinggi, maka ia tidak akan terhempas jauh. Seandainya Yoga tidak menahan sedikit napasnya, maka daya pentalnya lebih jauh lagi dan membuat tubuh Wong Sakti menjadi pecah berkeping-keping. Tapi karena Yoga tidak melepaskan seluruh napas 'Badai Petir'-nya, maka tubuh Wong Sakti itu hanya terpental jauh dan berguling-guling menyedihkan.
"Guru...! Guru...!" Kukilo berlari-lari menyusul gurunya yang sedang menyeringai memegangi pinggang belakang yang terasa sakit. Wong Sakti berada dalam jarak cukup jauh, diperkirakan berjarak tiga puluh langkah lebih.
Dan hal itu membuat Lintang Ayu tertegun bengong, walau cepat disembunyikan dengan sikap tenangnya. Tapi dalam hatinya, Lintang Ayu memuji kehebatan jurus Yoga tersebut. "Apakah dia masih ingin memaksamu?" Lintang Ayu bertanya.
"Entahlah. Kelihatannya dia dimarahi oleh muridnya. Oh... rupanya dia diajak pergi oleh si bocah yang tadi kudengar bernama Kukilo."
"Ya. Mereka memang pergi. Tapi kurasa pergi untuk mencari Tua Usil. Hati-hatilah, jangan sampai pisau itu jatuh ke tangan bocah itu. Jika sudah digunakan untuk membunuh gurunya, berarti semua ilmu Wong Sakti berpindah ke tubuh bocah itu. Dan tentu saja akan sulit merebut pisau Pusaka Hantu Jagal itu."
Yoga diam dan manggut-manggut kecil.
* * *
TIGA
SEBUAH Biara dibangun di atas bukit gersang. Hanya ada beberapa pohon yang mengelilingi biara tersebut dengan kayu-kayunya berjajar membentuk pagar. Biara itu mempunyai pintu gerbang tinggi dan kokoh. Dulu bekas Perguruan Sayap Paderi, tapi sekarang sudah dikuasai dan disita oleh tokoh sesat yang terkenal cukup sakti, berjuluk Putri Kumbang.
Ketika Putri Kumbang yang cantik karena ilmu perawat rupa dan pengawet wajah itu, mendengar kabar tentang munculnya Kitab Jagat Sakti dari orang-orang Pulau Kana, maka Putri Kumbang pun segera mengutus tiga anak buahnya untuk mendapatkan kitab tersebut. Mereka yang diutus adalah Juru Kubur, Roh Gantung, dan Tambur Pati.
Mereka berusaha mengambil Kitab Jagat Sakti dari tangan penemunya, yaitu Lili; Pendekar Rajawali Putih, kekasih dan guru angkat Yoga, tetapi mereka gagal karena kemunculan Pandu Tawa yang memihak Pendekar Rajawali Putih itu. (Lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam episode; "Rembulan Berdarah").
Karenanya, Putri Kumbang pun menjadi marah kepada tiga utusannya yang gagal menangkap Lili dan membawa pulang Kitab Jagat Sakti. Ketiga utusan itu tundukkan kepala dengan rasa takut, berdiri berjajar menghadap ke arah serambi biara. Dari serambi biara yang bertangga sepuluh baris itu, seorang perempuan cantik berpakaian warna merah menyala turun ke pelataran luas yang dikurung tembok biara. Di sanalah ia akan mengadili tiga utusannya yang tidak berani masuk ke dalam biara karena gagal membawa Kitab Jagat Sakti.
"Mengapa kalian tidak berhasil membawa Lili atau Kitab Jagat Sakti?!" tanya Putri Kumbang dengan angkuhnya kepada Roh Gantung.
"Hmm... eh... sebenarnya... ehh...!"
Plook...! Tamparan keras mendarat di pipi Roh Gantung. Orang berpakaian hijau tua dan berkepala botak tengah itu terpelanting hingga tangannya berkelebat menampar wajah Juru Kubur. Plakk...! Juru Kubur tak berani membalas dan membiarkan Roh Gantung rubuh di tanah. Wajahnya menjadi merah, bukan hanya pada bagian yang ditampar saja, melainkan seluruh wajahnya merah memar.
Kepada Tambur Pati yang gemuk dan berkepala gundul itu, Putri Kumbang bertanya dengan suara tegas, "Mana hasil tugasmu, Tambur Pati?!"
"Ampun, Ketua... hmmm... soalnya... anu...."
Baaahg...! Satu pukulan telapak tangan menghantam kuat di pinggang kanan Tambur Pati. Pukulan itu jelas bertenaga dalam cukup besar, sehingga orang gendut itu terbang ke samping menabrak Juru Kubur, hingga Juru Kubur sendiri rubuh diterjangnya. Tubuh besar itu jatuh terjungkal bersama genderangnya yang menimbulkan bunyi berisik.
Kepalanya terlipat di tanah dan dengan susah payah ia berusaha bangkit dari keadaan nunggingnya. Ia menyeringai kesakitan, karena pakaian merahnya terbakar hangus di bagian pinggang, membentuk bekas tapak tangan warna hitam. Lehernya terasa ngilu karena jatuhnya terkilir tadi.
Juru Kubur yang sudah berdiri dengan ke-pala menunduk itu didekati oleh Putri Kumbang, kemudian perempuan bermata tajam itu bertanya, "Apakah kau membawa kitab itu, Juru Kubur?!"
Juru Kubur menjawab dengan wajah pucat, "Sebaiknya Ketua hukum saya dengan pukulan seperti tadi saja!"
Duuhk...! Kaki perempuan itu berkelebat menendang ke atas. Ujung kaki mengenai dagu Juru Kubur, lalu Juru Kubur tersentak kepalanya hingga mendongak dan ia berjungkir balik ke belakang, lalu jatuh tersungkur dengan mulut berdarah.
"Memalukan sekali! Kalian semua memalukan Perguruan Biara Sita!" bentak Putri Kumbang pada saat ketiga utusan itu sama-sama sudah berdiri dengan sikap tegap, namun kepala mereka tertunduk. Putri Kumbang benci melihat sikap lemah seperti itu, hingga ia berseru, "Pandang ke depan!"
Wuuttt...! Ketiga kepala itu sama-sama diangkat dan menatap ke depan. Tapi tak satu pun ada yang berani memandang Putri Kumbang, walaupun perempuan itu amat cantik, seperti masih berusia dua puluh tujuh tahun saja. Padahal usianya sudah cukup banyak. Lebih dari tujuh puluh dua tahun.
"Ku pilih orang terkuat di Biara Sita ini, supaya bisa dapatkan kitab tersebut, setidaknya membawa pulang gadis itu sebagai tawanan, tapi kalian datang dengan tangan hampa! Sebetulnya kalian layak menerima hukuman dariku, yaitu hukum gantung! Tapi, aku masih sedikit memberi ampun kepada kalian. Hanya kali ini saja. Jika nanti kalian gagal mengemban tugas, kalian harus menggantung diri kalian masing-masing! Aku tak sudi mempunyai anak buah yang tidak pernah mampu mengatasi kesulitan sekecil itu!" Putri Kumbang diam sebentar, lalu:
"Apa penyebabnya sampai kalian gagal?!" Ia memandang Tambur Pati, "Jawab pertanyaan ini, Tambur Pati!"
"Baik, Ketua!" sentak Tambur Pati dengan tegas.
Tiba-tiba dia dihampiri Putri Kumbang dan ditampar mulutnya, plookkk...! "Jangan sekali-sekali membentak ku! Bisa kuhancurkan mulutmu!"
"Maaf, Ketua," kata Tambur Pati dengan menahan sakit di mulut yang robek bibirnya itu.
"Jelaskan!"
"Kami gagal karena... karena... Pandu Tawa ikut campur, Ketua!"
"Pandu Tawa...?!" Putri Kumbang semakin menampakkan keangkuhan dan kegalakan sikapnya. "Melawan Pandu Tawa saja kalian kalah? Benar-benar memalukan!"
Kemudian, ketika mereka bertiga saling lirak-lirik, Putri Kumbang segera berseru memanggil pelayannya, "Cemplon...! Cemplon Sari...!"
Dari serambi atas muncul seorang perempuan bertubuh gemuk, wajah lebar, bibir tebal, dan hidung bundar. Perempuan itu dulu pernah menjadi pelayan putri Adipati yang bernama Galuh Ajeng. Setelah peristiwa dalam kisah "Mempelai Liang Kubur" yang membuatnya terluka parah, dia diselamatkan oleh seseorang, yaitu Putri Kumbang, dan sejak itu menjadi pelayannya Putri Kumbang.
"Ada apa, Ketua?!" tanya Cemplon Sari sambil mendekat. "Ambil pedang untuk memenggal kepala tiga utusan ini!"
Ketiga utusan itu terperangah dengan mata melebar, tapi mereka tak berani bergerak, tetap tegak dan wajah menatap ke depan. Cemplon Sari yang berada di samping Putri Kumbang itu segera bertanya dengan beraninya,
"Apa salah mereka, Ketua?"
"Mereka melawan Pandu Tawa saja kalah, jadi untuk apa aku memiliki anggota seperti mereka?!"
"Saya rasa mereka masih banyak gunanya, Ketua. Bisa dipakai sebagai umpan kepada lawan. Kalau toh mati, ya biar saja mati sebagai umpan, daripada mati di penggal sang Ketua?!"
"Hmmm...! Benar juga katamu," gumam Putri Kumbang sambil manggut-manggut. Ketiga utusan yang semula hampir marah kepada Cemplon Sari itu, sekarang menjadi lega karena tak jadi dipenggal.
"Tetapi aku kecewa mereka datang tidak membawa kitab pusaka itu. Padahal kau tahu sendiri apa yang pernah kuceritakan dulu, bahwa ada sebuah kitab yang berisi jurus-jurus sakti, tapi kitab itu milik dewa yang terbuang, yaitu Betara Kala. Kitab itu adalah Kitab Jagat Sakti, yang menjadi pegangan tokoh cikal bakal penduduk Pulau Kana itu. Sekarang kitab itu ada di tangan Pendekar Rajawali Putih. Tentu saja dia nanti menjadi sakti setelah pelajari isi kitab tersebut, dan dengan begitu perguruan kita dapat dengan mudah digulung habis olehnya! Karena itu, Kitab Jagat Sakti harus kita rebut!"
"Harus...!" Cemplon mempertegas.
"Ilmu yang ada di dalam kitab itu, harus menjadi ilmu aliran kita! Yaitu aliran Biara Sita!"
"Ya. Biara Sita!" kata Cemplon Sari seakan mendukung penuh apa yang dikatakan oleh sang ketua. Lalu, ia berkata, "Tetapi melawan Pendekar Rajawali Putih bukan hal yang mudah, Ketua. Sudah saya ingatkan, bahwa tiga utusan ini tidak akan berhasil mengalahkan Pendekar Rajawali Putih. Satu-satunya orang yang bisa menandingi ilmu Lili itu hanyalah sang Ketua sendiri."
"Aku...?!"
"Ya! Itu pun harus dengan siasat, sang Ketua."
"Siasat apa?!"
"Sang Ketua harus gunakan ilmu 'Rupa Setan'."
"Hmmm...!" Putri Kumbang manggut-manggut, dia lupa bahwa dirinya mempunyai ilmu 'Rupa Setan' yaitu ilmu yang bisa merubah wajah seperti orang yang di maksud dengan menyebutkan nama orang itu dalam manteranya, "Maksudmu aku harus merubah diri menjadi Lili?"
"Jangan menjadi Lili, melainkan menjadi Yoga; si Pendekar Rajawali Merah itu! Dengan begitu, Lili akan lunak dan menurut dengan sang Ketua karena sang Ketua disangka kekasihnya!"
Tiba-tiba Juru Kubur menyahut, "Itu gagasan yang bagus, Ketua! Gunakan jurus 'Rupa Setan' lalu ketua berubah wujud menjadi Yoga. Karena Yoga adalah kekasih Lili, maka Lili akan tunduk kepadanya. Kalau perlu, Ketua seret dia kemari secara halus, lalu kita siksa supaya dia mau serahkan Kitab Jagat Sakti!"
Cemplon Sari dan kedua utusan lainnya itu menyeringai karena suara Juru Kubur jika bicara sangat keras, cempreng pecah dan membuat telinga berdenging. Tapi Putri Kumbang tidak merasakan hal itu, karena ia tahu, setiap Juru Kubur ingin bicara, ia sudah lebih dulu menutup telinganya dengan hawa redam yang ada di dalam tubuhnya.
"Baiklah," kata Putri Kumbang. "Akan kugunakan jurus 'Rupa Setan' itu untuk menjebak Lili!"
Putri Kumbang diam berlipat tangan di da-da. Matanya terpejam. Lalu tubuhnya bercahaya putih perak menyilaukan. Yang terlihat oleh mere-ka hanya cahaya putih besar namun tak bisa menembus kedalaman cahaya tersebut. Tapi beberapa kejap berikutnya, zuuutt...! Cahaya itu hilang dalam seketika. Kini tubuh Putri Kumbang sudah berubah menjadi wujud Pendekar Rajawali Merah, lengkap dengan pedang di punggungnya yang bergagang merah tembaga dengan hiasan kepala burung saling bertolak belakang.
Cemplon Sari terbengong-bengong melihat wajah tampan palsu itu. Ia merasa seperti berhadapan dengan Yoga asli, karena tangan kiri jelmaan Putri Kumbang itu juga buntung. Cemplon Sari tersenyum-senyum dan pelan-pelan tangan-nya meraba jemari tangan kiri Yoga palsu itu. Ma-tanya dan senyumnya menandakan Cemplon Sari terpikat oleh Yoga palsu. Hal itu membuat Putri Kumbang dalam wujud Yoga tersenyum geli terhadap Cemplon Sari.
Senyum itu membuat mata Cemplon Sari semakin terperangah kagum. Ia merindukan ke-tampanan Yoga sudah cukup lama, ia ingin melihat senyum pemuda itu yang sudah lama tak per-nah dijumpai. Kini pemuda tampan palsu itu tersenyum, dan hati Cemplon Sari berdebar-debar, jantungnya tersentak-sentak sangat kuat. Akhirnya karena bangga dan girangnya ia jatuh terkulai, kelenger!
"Gadis edan!" omel Yoga palsu. "Begitu saja pingsan! Hmmm...! Roh Gantung, angkat dia ke dalam. Aku akan pergi mencari Lili. Jangan ada yang menguntit ku, nanti ketahuan siapa aku sebenarnya!"
* * *
Gemuruh suara air hujan menjadi irama sehari-hari kawasan lembah tersebut. Di atas sebuah batu berbentuk kepala manusia yang terjadi secara alam, seorang gadis yang kecantikannya diibaratkan melebihi kecantikan bidadari itu, duduk bersila dengan mata terpejam dan dahi sedikit berkerut.
Di belakang gadis itu, ada sebatang kayu yang sengaja diletakkan di atas batu datar. Kayu yang besarnya satu genggaman tangan dengan panjang kurang dari satu jengkal itu, sesekali di-pandangnya, lalu ditinggalkan kembali. Memejam mata lagi dengan memunggungi kayu tersebut. Beberapa saat, gadis berpakaian merah jambu dengan jubah putih tipis yang tak lain adalah Lili itu, menoleh ke belakang, ke arah kayu itu, lalu kembali memunggunginya.
Ia mendesah sebentar, hatinya bergumam dalam gerutuan, "Susah! Dari tadi aku belum bisa memindahkan kayu itu ke tempat lain. Bergeser pun tak bisa, tapi kalau dengan memandangnya, aku sudah bisa memindahkan kayu itu, bahkan melemparkannya sejauh mungkin. Tetapi ilmu 'Aji Sukma' tidak begitu. Ilmu 'Aji Sukma' dapat menggerakkan benda seberat apa pun tanpa memandang dan menyentuh.
Bahkan benda di tempat jauh bisa melayang dengan kekuatan ilmu 'Aji Sukma'. Sayang sekali sampai saat ini aku belum berhasil memperdalam ilmu yang kudapatkan dari Kitab Jagat Sakti itu. Sedangkan Pandu Tawa, sudah menguasai kendali batin dengan ilmu 'Serat Jiwa'nya. Ia bisa menerbangkan benda apa pun tanpa dilihat dan dipegang."
Lili menghela napas dan menghembuskannya, "Harus kucoba lagi! Aku harus bisa kuasai ilmu 'Aji Sukma' supaya bisa mengimbangi kekua-tan ilmu Pandu Tawa. Jadi aku tak malu jika Pandu Tawa keluarkan ilmu 'Serat Jiwa'-nya!"
Pendekar Rajawali Putih kembali lakukan semadi, pusat pikirannya tertuju sepenuhnya ke sepotong kayu itu. Namun sampai beberapa saat kayu itu masih belum bisa bergerak juga. Tapi beberapa saat kemudian, tiba-tiba kayu itu bergerak sendiri dengan cepat dan membentur di punggung Lili.
Buuhk...!
Pendekar Rajawali Putih terkejut. Ia menoleh ke belakang dan menemukan kayu yang sedang jadi sasaran itu telah bergerak sendiri mengenai punggungnya. Untung tak terlalu keras, hingga tak terasa sakit.
"Mengapa bergeraknya justru ke arahku? Padahal dalam semadiku tadi kuharapkan kayu ini bergerak ke kanan dan tercebur di sungai. Hmmm...! Akan kucoba lagi!" sambil Lili bangkit, lalu meletakkan kayu tersebut ke batu datar lagi.
Lili duduk bersila, memusatkan perhatian-nya. Dan tiba-tiba kayu yang dipunggungi itu ber-gerak membentur punggungnya lagi. Buuuk...! Gadis cantik yang menyandang pedang di punggung itu tersentak kaget walaupun hanya kaget kecil. Ia mendapatkan kayu itu sudah jatuh di belakangnya.
Kayu kembali diletakkan di tempat semula. Lili kembali bersila dan memejamkan mata. Tapi baru sebentar ia memejam mata, tiba-tiba ia melompat dari duduknya ke kanan. Wuuuttt...! Jleeg...! Ia sudah berdiri menghadap ke arah kayu tersebut. Kayu itu sudah telanjur terbang sendiri ke arah bekas tempat duduk Lili tadi dan mengenai tempat kosong.
Wuuuss...! Pluk!
"Hmmm...! Ada yang menggangguku rupanya?!" kata Lili dalam hati. Ia memandangi keadaan sekeliling dengan gerakan matanya yang lincah itu. Lalu tiba-tiba ia ingat akan Pandu Tawa.
"Pasti dia yang menggangguku. Karena hanya dia yang ku tahu, bisa melakukan hal se-perti itu. Melemparkan benda tanpa melihatnya. Hmm... di mana si tampan nakal itu?!"
Karena bingung menemukan Pandu Tawa, akhirnya Lili berseru,. "Pandu! Keluarlah! Aku tahu kau yang menggangguku! Keluarlah sekarang juga, Pandu! Jangan memancing kemarahanku!"
Lalu terdengar suara tawa dari balik rumpun ilalang tinggi.
"Hah, ha ha ha ha...!"
Lili membatin, "Hmmm...! Benar dia yang menggangguku." Tapi Lili segera menahan napasnya sambil masih membatin, "Dia menebarkan 'Racun Tawa' biar aku Ikut tertawa. Hmmm...! Coba saja kalau dia memang bisa menyerangku dengan 'Racun Tawa'-nya...?!"
Pendekar Rajawali Putih menahan napas cukup lama. Pandu Tawa sendiri tertawa cukup lama juga. Ia ingin membuat Lili agar ikut tertawa, tapi sampai sekian lama Lili tidak ikut tertawa. Akhirnya Pandu Tawa bosan, lalu segera hentikan tawanya. Lili melepaskan napasnya. Pandu Tawa segera muncul dari semak ilalang dalam satu lompatan bersalto.
Wuuttt...! Jleeg...!
Seraut wajah tampan tersenyum. Berjalan dengan gagahnya. Rambutnya yang dikuncir tinggi dalam satu genggaman itu mempunyai ujung yang bergerak-gerak, sedangkan sisa rambut yang me-riap di kanan-kiri pelipisnya bergerak disapu an-gin. Pemuda bertubuh tinggi, gagah dan berkulit kuning langsat itu mendekati Lili dengan mata tak lepas memandang gadis itu. Lili hanya tersenyum tipis sebagai senyum penyambut keakraban mereka.
"Aku tahu apa yang sedang kau pelajari, Lili!"
"Aku pun tahu apa yang sedang kau gunakan untuk menggangguku!"
"Rupanya kau ingin kuasai ilmu 'Serat Jiwa'? Hmm...! Mengapa tidak bicara padaku soal itu? Aku bersedia membantumu mencapai ilmu tersebut. Ayo, kita mulai...!"
"Tidak." Lili menjauh, menuju ke bawah pohon. Ia berdiri di sana dengan tenang dan tegak. Kakinya selalu sedikit merenggang dan lurus tegak jika berdiri. "Aku sudah punya jurus itu sendiri. Tinggal kupelajari. Aku tak mau kau ikut membantuku," kata Lili kemudian.
"Aku hanya ingin mempermudah kau mencapai ilmu 'Serat Jiwa'!"
"Bukan. Ilmu yang kupelajari bukan ilmu 'Serat Jiwa'. Hampir mirip dengan ilmumu itu, tapi punya perbedaan!"
Pandu Tawa tersenyum. "Apa perbedaannya?"
"Nanti kalau sudah ku kuasai, kau akan tahu sendiri," jawab Lili seakan tak ingin ilmu itu diketahui oleh Pandu Tawa.
Gelak tawa pemuda tampan itu kian memanjang, tapi tidak keras. Itu pertanda ia tidak sedang menaburkan 'Racun Tawa'. Ia melangkah mendekati Lili dan berkata, "Kau memang selalu ingin unggul dari yang lain. Aku sempat heran melihatmu mampu menahan 'Racun Tawa' ku. Padahal orang lain akan ikut tertawa jika aku sudah menebarkan 'Racun Tawa' seperti tadi."
"Aku punya penangkal Racun Tawa-mu"
"Ajarkan padaku, Lili."
Lili tersenyum. "Nanti. Penangkal itu akan kuajarkan padamu sebagai hadiah kelak jika kau menikah dengan seorang gadis!"
"Ha ha ha ha...! Jadi kau mengharapkan aku cepat menikah?"
"Aku tidak bilang begitu," Lili angkat bahu. Kemudian Pandu Tawa duduk di atas sebongkah batu yang ada di bawah pohon rindang itu. Ia berkata dengan mata memandang sekeliling, "Aku ingin bertemu dengan Yoga. Di mana kekasih mu itu berada?"
"Ada perlu apa kau ingin menemuinya?"
"Ingin menyampaikan undangan buat dia, termasuk buatmu juga."
Lili memandang dengan dahi berkerut. "Undangan apa, Pandu?!"
"Jelasnya, aku ingin mengajak kalian berdua untuk menghadiri pertemuan para tokoh persilatan di Bukit Tulang Iblis. Di sana akan di lakukan pemilihan dan penobatan gelar Pendekar Maha Sakti yang akan menjadi Hakim dalam pengadilan di dunia persilatan ini!"
"Bagaimana cara pemilihannya? Apakah kita akan diadu satu persatu?"
"Justru karena aku belum tahu, maka aku tertarik ingin tahu. Aku ingin menghadiri pertemuan itu bersama kalian berdua. Kita bertiga ti-dak perlu ikut mencalonkan diri, namun sekadar ingin tahu, seperti apa pemilihan dan penobatan Pendekar Maha Sakti untuk diangkat menjadi hakim di antara kita itu."
Lili manggut-manggut "Hmmm... ya, ya.... Aku tertarik juga untuk datang ke sana! Kalau begitu, kita cari Yoga ke selatan! Kulihat gerakannya berkelebat menuju selatan."
"Baik." Pandu Tawa pun segera bangkit berdiri.
EMPAT
BARU saja Lili dan Pandu Tawa hendak melangkah, tiba-tiba mereka melihat seseorang melompat dari batu ke batu di atas permukaan sungai. Gerakannya cukup lincah dan cepat. Dalam waktu singkat pemuda berbaju selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya itu tiba di depan Lili dan Pandu Tawa. Dialah Yoga.
"Dari mana kau, Yo?" sapa Lili mengawali percakapan mereka.
"Mencarimu ke mana-mana, Lili. Aku harus pergi denganmu: Hanya berdua denganmu," kata Yoga, matanya melirik sekejap ke arah Pandu Tawa. Lirikan mata itu berkesan tak ramah. Kurang bersahabat.
Pandu Tawa sedikit heran. Mengapa Yoga bersikap tak bersahabat padanya. Padahal ketika mereka pulang dari Teluk Gangga, mereka saling bersahabat dengan damai. Mungkinkah Yoga terkena hasutan seseorang hingga menaruh curiga dan cemburu kepada Pandu tawa? Dugaan tersebut hanya disimpan oleh Pandu tawa di dalam hatinya.
"Ada persoalan apa, Yo?"
"Penting sekali. Ini menyangkut urusan kita berdua, tidak melibatkan orang lain. Sekarang juga kita harus pergi, Lili."
"Nanti dulu. Aku ingin dengar dulu persoalannya. Mungkin kau menganggapnya penting, tapi bagiku belum tentu persoalan itu penting."
Pandu Tawa tak enak hati. Ia segera berkata kepada Lili, "Aku akan cuci muka dulu di tepian sana. Kalau urusanmu sudah selesai, lekas beritahukan padaku bagaimana dengan rencana kita tadi?"
"Baiklah. Pergilah dulu ke sana, biar aku bicara dengannya, Pandu!"
Pemuda tampan berpakaian biru itu segera menuju ke tepian sungai berair bening. Ia mendekati curahan air terjun dan mengambil air untuk mencuci mukanya yang berwajah tampan dengan hidung mancung.
"Bicaramu menyinggung perasaan Pandu Tawa, Yo. Aku tak enak jadinya. Lain kali jangan begitu."
"Persetan dengan dia! Kita punya kepentingan sendiri. Aku harus segera membawamu ke Paderi Duta Surga."
"Siapa itu Paderi Duta Surga?" Lili berkerut dahi merasa aneh.
"Seorang peramal sakti, yang mengetahui perjalanan nasib kita berdua di masa mendatang. Kabarnya ada bahaya yang akan menyerang kita berdua. Karena itu, kita berdua dipanggilnya untuk diberi wejangan tentang menghadapi bahaya yang akan datang itu."
"Kalau begitu aku harus memberitahu Pandu Tawa dulu, supaya dia tidak menunggu-nunggu kita."
"Baik. Tapi cepatlah, jangan buang-buang waktu, Lili!"
Maka gadis cantik itu pun segera menemui Pandu Tawa yang sudah duduk di bebatuan tepi sungai. Ia memandangi permukaan air sungai yang berbintik-bintik karena siraman air terjun. Ketika ia tahu Lili mendekatinya, sikapnya tidak berubah, dan tetap duduk di tempat tersebut, sementara Yoga masih tinggal di bawah pohon.
"Pandu Tawa, aku harus menemui seseo-rang yang akan memberitahukan padaku tentang bahaya masa mendatang. Ini menyangkut masalah hubungan ku dengan Yoga. Jadi, kuharap kau jangan kecewa jika aku dan dia belum bisa ikut ke Bukit Tulang Iblis menghadiri pertemuan itu. Kuharap kau bisa memahami, Pandu."
"Kurasa kau tak perlu ikut dia," kata Pandu Tawa dengan tenang sambil menatap kalem, tersenyum lembut dan tipis. Lili sedikit terkesiap matanya karena merasa aneh dengan ucapan tersebut.
"Kenapa kau sepertinya tidak menyukai kehadiran Yoga, Pandu? Jangan begitu, nanti memperburuk perdamaian kita!"
"Jangan katakan kalau aku punya rencana untuk membawa kalian ke Bukit Tulang Iblis."
"Mengapa?"
"Aku curiga padanya. Dia memanggilmu dengan nama Lili. Biasanya dia memanggilmu dengan sebutan Guru."
"Memang. Tapi tidak selalu dia memanggilku dengan sebutan Guru. Terutama dalam keadaan mendesak dan berbahaya, dia sering menyebutku dengan Lili saja. Kurasa itu tidak menjadi masalah, sebab...."
Kata-kata Lili terhenti karena mendengar suara orang berteriak dari arah tempat Yoga menunggu. Lili dan Pandu Tawa sama-sama terkejut, cepat lemparkan pandangan ke arah tersebut. Dan mereka melihat seseorang berbadan gemuk besar sedang menyerang Yoga, lalu oleh Yoga orang itu berhasil dijungkir-balikkan dalam satu gebrakan kecil.
Orang yang menyerang Yoga itu berkulit kasar totol-totol hitam seperti bekas borok lama, selain gendut dan gemuk, perutnya juga membuncit. Ia mengenakan rompi merah yang tak cukup den-gan ukuran badannya. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu menggantungkan tempat minum dari kulit binatang. Dan tempat minumnya itu berisi arak.
Melihat ciri-ciri tersebut, Lili dan Pandu Tawa segera mengenalinya, bahwa orang itu adalah Jin Arak. Jin Arak pernah datang ke Teluk Gangga untuk membunuh Naga Bara. Tetapi Lili dan Pandu Tawa kala itu belum datang. Mereka mengenali ciri-ciri tersebut dari cerita yang dituturkan oleh Cola Colo, si Bocah Bodoh yang memiliki Pedang Jimat Lanang itu.
"Aku yakin dialah orangnya yang bernama Jin Arak."
"Ya, kata Pandu Tawa. Tapi agaknya Jin Arak masih mempersoalkan kekalahannya melawan Yoga di Teluk Gangga."
"Tapi menurut pengakuan Bocah Bodoh, dan Tua Usil, justru Tua Usil itulah yang telah mengalahkan Jin Arak."
"Benar. Tapi awal persoalannya dengan Yoga. Jadi sepertinya Jin Arak masih mengincar Yoga, penasaran dan ingin mengalahkan Yoga."
"Ya, ya! Kurasa memang begitu."
"Apa perlu kita bantu?"
"Tidak. Biarkan murid angkatku itu mengatasinya sendiri. Aku yakin dia pasti mampu mengalahkan Jin Arak!"
"Kalau begitu, kita lihat saja siapa yang unggul!"
Jin Arak memandang Yoga dengan mata angker, berwarna merah, dan berdirinya tidak bisa tegak karena terlalu banyak minum arak. Dalam keadaan mabuk begitu, Jin Arak masih bisa mengenali Yoga dan mengingat persoalan di Teluk Gangga.
"Siapa kau, berani-beraninya menyerangku dari belakang? Apakah kau tak tahu siapa aku?"
"Hei," kau...!" Jin Arak menunjuk tempat kosong, karena menurut pandangan matanya Yoga ada di sana. "Aku yang mabuk saja tidak lupa denganmu, kenapa kau yang tidak mabuk lupa denganku, hah?! Aku adalah Jin Arak, yang pernah kau buat kecewa di Teluk Gangga. Kau masih ingat peristiwa itu, hah...?!"
Jin Arak berbicara dengan nada meliuk-liuk karena pengaruh arak yang memabukkan. Badannya tak bisa diam, selalu goyang ke sana-sini. Yoga tampak tenang dan segera berkata, "Ya, sekarang kuingat siapa dirimu. Kau memang punya masalah denganku, Jin Arak. Kalau kau masih merasa belum puas, kau boleh puas-puaskan melawanku di sini!"
"Hmmm...! Baik! Aku minum sebentar!"
Jin Arak membuka tutup tempat minumnya itu, lalu menenggaknya beberapa teguk. Tapi belum selesai menenggak arak, ketika ia mendongakkan kepalanya. Yoga segera menyerangnya dengan satu tendangan lompat yang cukup cepat.
Wuuuttt...! Plaakkk...!
Kaki kanan Yoga yang menendang itu mengenai kepala bagian belakang lawannya. Akibatnya, mulut tempat minum itu beradu dengan mulut Jin Arak, dan air arak di dalamnya mengguyur wajah bulat gundul itu.
"Bangsat...!" teriak Jin Arak setelah ia tak berhasil jatuh, hanya terhuyung-huyung ke depan beberapa tindak, ia segera menutup tempat minumnya dan melangkah dengan limbung mendekati Yoga. Pemuda tampan itu hanya menatap dengan sorot pandangan mata cukup ganas.
Sementara itu, Lili berkata dalam hati, "Mengapa Yoga lakukan kecurangan? Mestinya ia menunggu lawannya berhenti minum dulu baru menyerang!"
Jin Arak semakin menggeram penuh luapan amarah. Dengan badan sedikit bungkuk dan tangan agak terangkat sedikit, Jin Arak menunggu kesempatan menyerang. Tetapi agaknya Yoga menduluinya dengan serangan tenang berputar beberapa kali hingga tepat mengenai wajah Jin Arak berulang-ulang.
Plak, plak, plak, plak...!
Dengan tubuh besarnya Jin Arak terhuyung-huyung ke belakang dan gelagapan karena terkena tendangan beberapa kali. Wajah Jin Arak menjadi memar merah kebiru-biruan. Sambil memandangi pertarungan itu alis mata Lili berkernyit. Ia pun berkata lirih kepada Pandu Tawa,
"Jurus dari mana yang dipergunakan Yoga? Aku baru tahu dia mempunyai jurus tendangan putar berantai. Agaknya tendangan itu bertenaga dalam aneh. Wajah lawannya dibuat memar merah."
"Mungkinkah dia mempunyai jurus simpanan yang belum pernah kau lihat selama ini?"
Lili menggeleng, "Kurasa tak mungkin!"
Pada waktu itu, Jin Arak dihajar habis oleh Yoga dengan pukulan dan tendangan yang tak bisa ditangkis lagi. Dan hal itu membuat Lili semakin heran, memendam kecurigaan. Ia berkata kepada Pandu Tawa dengan mata tetap tertuju ke arah pertarungan, "Jurus-jurusnya sama sekali tak kukenal, Pandu!"
"Kalau begitu, lekas kita sembunyi di sebelah sana. Kurasa Yoga akan kebingungan jika ia tidak bisa tumbangkan Jin Arak. la pasti akan mencari kita. Di sana kita bisa lebih bebas lagi memperhatikan jurus-jurus yang di gunakan Yoga itu."
Lili menuruti saran Pandu Tawa. Mereka bersembunyi agak jauh, namun ruang pandang mereka tidak terhalang pepohonan. Jin Arak menggunakan jurus tepukannya. Sekali ia bertepuk, tenaga dalam tersalur keluar dan menghantam lawan. Plok...! Wuuttt! Buuhg...! Dan Yoga pun terpental ke belakang.
Plok, plok...! Tepukan kali ini memancarkan dua sinar biru yang berkelebat menyerang Yoga. Tetapi Yoga segera meliuk-liukkan tangannya dengan cepat di bagian depan, seperti seekor naga sedang bergegas untuk menyambar lawan. Dan dari liukan tangannya itu keluarlah sinar-sinar merah yang berkelok-kelok seperti gerakan seekor naga yang sedang mengamuk. Lalu, sinar biru itu terhantam sinar merah.
Blar! Blegaaarrr...!
Tubuh Jin Arak kembali terdorong ke belakang. Tapi ia masih berusaha berdiri walau dengan terhuyung-huyung. Maka dengan cepat Yoga bersalto dalam satu lompatan. Gerakan saltonya mampu mencapai tiga putaran, dan tahu-tahu ke-dua kakinya menjejak dada besar Jin Arak.
Buuug...!
Kedua kaki yang menjejak bersama itu se-gera menghentak di dada lawan dan membuat tubuh Yoga terpental balik, lalu bersalto satu kali. Wuuuttt...! Kejap berikutnya Yoga sudah berdiri dengan sigap.
Jleeg...!
Pada waktu itu, Jin Arak memuntahkan darah segar dari mulutnya. "Hoeeek...!"
Rupanya Yoga kurang puas, sehingga dengan pukulan jarak jauhnya ia berhasil menghan-tam punggung si gendut Jin Arak itu. Wuuuttt...! Bhaaak...! Pukulan itu. terkena telak dan membuat rompi merah Jin Arak membekas hitam dan tubuh itu tersungkur dengan kekuatan yang sangat rapuh lagi.
"Heaah...!" Jin Arak masih berusaha melawan. Tanah di depannya dihantam dengan tapak tangan terbuka. Lalu, tiba-tiba sebaris api berkelebat membakar rerumputan. Gerakan api itu seperti gerakan ular yang meliuk ke sana-sini sambil menyala berkobar-kobar dan akhirnya berhasil mengurung Yoga dalam lingkaran api.
Namun Yoga bagaikan tak kalah akal. Ia menghembuskan udara dari mulut. Wuuusss...! Tiba-tiba semua api padam secara serentak. Bluub...! Kemudian ia melompat dari bekas lingkaran itu, tangannya berkelebat cepat begitu tiba di depan Jin Arak yang memunggunginya karena bingung mencari lawannya ada di mana.
Baaahk...! Pukulan telapak tangan itu membuat Jin Arak kembali terlempar ke depan dan jatuh berguling-guling. Tapi dengan cepat ia pun bangkit dan kebingungan lagi mencari lawan-nya ada di mana. Akibatnya ia lepaskan satu pukulan dengan kedua tangan menggenggam dan disentakkan ke depan. Bebatuan besar yang menjadi sasaran karena disangka ada Yoga di sana.
Wuuttt...! Sinar kuning bagaikan cakram itu melesat menghantam gugusan batu besar itu, lalu melesat balik membentuk sudut lebar, dan menghan-tam tubuh Yoga yang tidak menyangka akan menerima balik sinar yang dihantamkan pada batu.
Wuuuttt...!
Blaarrr...! Yoga hampir saja terlambat. Ia berhasil menyentakkan satu jari telunjuknya hingga keluarlah sinar merah membara sedikit kekuningan. Kemudian sinar itu melebar dan membentur sinar dari lawannya. Akibatnya, timbullah ledakan yang membuat tubuh Yoga terlempar ke belakang dan tubuh Jin Arak terpuruk di tanah dengan suara erang samar-samar.
Ketika ia mendongakkan kepalanya, Yoga hanya tersenyum sinis. Wajah Jin Arak seperti dikelupas seluruh kulitnya. Terasa perih rasanya. Tapi Yoga belum puas dan segera melompat dengan satu tendangan layang yang tepat mengenai rahang kanan Jin Arak.
Draakk...! Rahang itu berderak hampir patah. Tubuh besar dan gendut itu semakin tak berdaya lagi, yang akhirnya jatuh terkapar dalam keadaan terluka parah baik luar maupun bagian dalamnya.
"Saatnya menghabisi nyawamu, Jin Arak! Heaaah...!"
Yoga segera menghantamkan pukulan tangan kanannya dengan kuat, dan memancarkan cahaya seperti besi terpanggang api. Tetapi sebelum niat itu dilaksanakan, tiba-tiba ada seseorang yang berkelebat menyambar tubuh besar Jin Arak.
Wuuttt...!
Pandu Tawa dan Pendekar Rajawali Putih semakin merapatkan diri dalam persembunyiannya. Munculnya tokoh kurus yang mampu menyambar tubuh gemuk Jin Arak sudah menandakan persoalan akan menjadi panjang. Dan tokoh kurus tua itu sudah pasti bukan orang sembarangan. Yoga pun berpendapat demikian di dalam hatinya. Tapi ia tetap berdiri di tempat dan matanya memandang tajam kepada tokoh kurus tua yang tak lain adalah Wong Sakti itu.
"Maaf, aku tidak ingin ikut campur urusanmu, Pendekar Rajawali Merah. Tapi aku hanya ingin menghentikan pertarungan ini Sebentar untuk menyampaikan pesan."
"Siapa kau, Pak Tua?! Kenapa berani menyambar lawanku?!"
"Lho, ternyata yang pikun justru kamu, Yoga! Baru saja kita jumpa di sana, tapi kau sudah lupa padaku. Akulah Wong Sakti yang kau buat terpental terbang jauh sekali tadi."
"Wong Sakti akan jera melawanku. Tapi kenapa kau masih tetap ingin melawanku? Apakah kau saudara kembar Wong Sakti?!"
"Bukan. Aku Wong Sakti asli! Aku berani bersumpah!"
Seorang bocah berpakaian kotak-kotak berlari menghampiri Wong Sakti. Dan lelaki tua kempot itu berkata, "Dan ini adalah muridku yang tadi. Apakah kau juga lupa?"
"Tidak!" jawab Yoga tegas. "Tapi jika kau tidak serahkan si Jin Arak itu padaku, kau akan kubuat lupa dengan menghilangnya nyawamu dari raga. Dan muridmu itu akan kehilangan nyawa pula jika memang kupandang perlu!"
"Wah, wah, wah...kejam nian dikau!" kata Wong Sakti seenaknya dalam bicara. Waktu itu, Kukilo segera berkata, "Apakah orang gundul ini yang bernama Tua Usil, Guru?!"
"Bukan! Ini namanya Jin Arak."
"Ilmunya tinggi atau rendah?"
"Tinggi. Tapi dia ternyata bisa dikalahkan oleh Yoga. Berarti ilmunya Yoga lebih tinggi lagi dari setan tepuk tangan ini!"
"Mengapa Guru menyebutnya setan tepuk tangan?"
"Karena kekuatannya pada tepuk tangannya. Sekali tepuk, bisa tujuh-delapan nyawa melayang!"
Yoga menyahut, "Wong Sakti, kau ingin berpesan apa padaku? Cepat katakan! Setelah itu tinggalkan Jin Arak. Dia punya urusan sendiri denganku. Kau tak perlu ikut campur!"
"Aku hanya ingin berpesan padamu, jadi pendekar itu jangan kejam-kejam! Lawan sudah tidak berdaya masih dihajar juga! Apakah begitu ajaran dari gurumu; si Dewa Geledek itu?!"
"Persetan dengan nasihat atau pesanmu itu! Kalau kau tidak mau menyingkir, kuhabisi juga nyawamu, Wong Sakti!"
"He he he...!" Wong Sakti tertawa sambil garuk-garuk kepala. "Kau pikir aku tadi lari darimu karena kalah dan takut? Oho... tidak begitu, Yoga. Aku lari karena ingin segera mencari Tua Usil. Barangkali saja tanpa bantuanmu aku bisa temukan sendiri si Tua Usil itu. Tapi jika sekarang kau menantangku begitu, aku akan layani dengan senang hati. Yoga!"
Terdengar suara Jin Arak mengerang kesakitan dan tak berdaya lagi. Bahkan Jin Arak sempat meratap lirih, "Tolong, Kek... tolong...!"
"Ya. Nanti kutolong. Sekarang kuhadapi dulu orang itu. Sabarlah! Menurut ramalanku, kau masih punya umur panjang dan susah matinya!"
Pada waktu itu. Yoga segera sentakkan dua jarinya lurus ke depan. Dan dua jari itu keluarkan selarik sinar merah lurus menghantam tubuh Jin Arak yang terkapar di depan kaki Wong Sakti.
Zlaaap...!
Wong Sakti segera bertindak. Jubahnya dikibaskan ke depan, dan tiba-tiba sinar merah lurus itu berbelok arak, melengkung membuat suatu lingkaran yang dengan cepat mengurung tubuh Yoga sendiri. Sinar merah itu seperti kawat yang memagari Yoga dengan nyalanya yang semakin lebar dan besar.
Sinar itu bergerak semakin sempit dan lingkarannya semakin kecil. Sinar yang hendak menjerat Yoga itu bergerak dengan cepat. Maka Yoga pun segera lompat ke atas dan bersalto keluar dari lingkaran yang kini tinggal satu genggaman itu. Ketika lingkaran merah mengecil lagi dan mengumpul menjadi satu, sinarnya pecah di segala arah menjadi lebih dari dua belas larik sinar,
Zrrraattt...! Blaarrar...!
Wong Sakti melindungi diri dan melindungi muridnya dengan cara mengibaskan jubah lagi ke depan, sehingga dua sinar yang melesat ke arahnya itu membelok ke arah lain, Sinar-sinar itu mengenai pohon, batu atau apa saja yang menimbulkan suara ledakan menggema. Hampir saja tubuh Yoga menjadi sasaran jika ia tidak segera tengkurap di tanah.
"Percuma saja dia kulayani. Lili sudah tidak kelihatan. Pasti pergi dengan Pandu Tawa," pikir Yoga, "Lebih baik waktunya kugunakan untuk mengejar Lili!"
Maka dengan gerakan seolah-olah ingin menyerang, tiba-tiba Yoga melompat ke arah lain dan berlari menyeberangi sungai dengan melompati batu demi batu, lalu menghilang di balik kerim-bunan pohon seberang sungai tersebut.
"Guru, dia lari! Kejar dia. Guru!" Kukilo bagai keluarkan perintah kepada anak buahnya. Gurunya menyahut,
"Baik. Tapi... orang gemuk ini bagaimana? Kasihan. Dia sakit. Jenguklah dia kalau kau tak percaya!"
"Biarlah sakit. Kita tidak pernah menyuruhnya sakit, Kenapa harus repot-repot pikirkan dia? Lebih baik kejar saja orang itu tadi!"
"Kenapa repot-repot kejar dia? Bukankah yang kita butuhkan si Tua Usil? Lebih baik waktu kita digunakan untuk kejar si Tua Usil saja, Kukilo!"
"Tolong dulu aku, Pak Tua... aku si Jin Arak dalam keadaan gawat!" ratap Jin Arak dengan suara tertekan karena sesak napasnya.
LIMA
TUBUH gemuk berkulit keras itu kini dalam keadaan benar-benar menderita. Diawali dari lengan kiri dan punggung, melepuh dan menjadi gumpalan daging keras. Lalu disusul di beberapa tempat lainnya, juga melepuh dan menjadi gumpalan daging yang mengeras membentuk seperti tumpukan batu karang.
Akibatnya, tubuh Jin Arak memang menyerupai onggokan batu karang yang berwarna merah kehitam-hitaman. Hidungnya sendiri semakin besar dan lubang hidungnya tersumbat. Ia bernapas melalui mulut, namun bibirnya sendiri melepuh dan membentuk daging keras.
Mekarnya kulit yang mengeras itu timbulkan rasa sakit yang tak terhingga. Semakin lama semakin besar, sehingga Jin Arak dalam keadaan sangat menderita. Itulah sebabnya ia mengerang-erang dalam nada rintih yang memilukan.
Wong Sakti melihat tubuh Jin Arak sudah sedemikian parahnya. Ia sempat berkata, seperti ditujukan pada diri sendiri, "Wah, tubuhmu kok jadi malah seperti jamur dimusim hujan?! Seram tapi indah. He he he he...! Baiklah, ku sembuhkan dirimu tapi setelah itu bantulah aku!"
Kukilo memperhatikan Jin Arak diobati oleh Wong Sakti. Caranya cukup unik. Tubuh Jin Arak ditelentangkan di tanah, lalu dilompati bolak-balik, lebih dari dua puluh lompatan. Tiap satu lompatan daging tumbuh yang keras itu menjadi susut. Makin banyak lompatan semakin banyak susutnya.
Melihat gurunya melompat-lompat di atas tubuh Jin Arak, bocah berusia sepuluh tahun itu berkata, "Kok Guru malah seperti anak kecil? Kalau begitu aku juga ikut melompat-lompat, ah!"
"Husy, jangan! Ini lompat bukan sembarang lompat. Ada manteranya dan ada jurusnya. Dengan melompat begini akan timbul angin panas dari tubuhku yang dapat untuk mematikan racun di tubuh si badak bodoh ini," kata Wong Sakti. "Kamu duduk saja dulu di sana. Jangan ke mana-mana, nanti tertukar anak babi lagi!"
Kukilo menurut dengan cemberut. Namun rasa dongkolnya itu cepat hilang setelah Lili dan Pandu Tawa keluar dari persembunyiannya dan segera mendekati Wong Sakti.
"Guru, ada yang datang!" seru Kukilo dengan keras.
Wong Sakti berhenti melompat-lompat, Menatap kedatangan Lili dan Pandu Tawa. Ia tersenyum kempot, lalu kembali melompati tubuh Jin Arak berkali-kali. Sambil melompat-lompat begitu, Wong Sakti berkata kepada Pandu Tawa, "Sudah bosankah kau bersembunyi di sana berduaan, Pandu Tawa?!"
"Sudah," jawab Pandu Tawa.
"Siapa dia?" bisik Lili.
"Wong Sakti, tokoh putih yang sudah sangat tua jadi hingga pikun dan jalan pikirannya tak beres. Sebenarnya dia tidak jahat, tapi karena pikirannya sudah berubah seperti anak kecil, jadi kelihatannya dia seperti orang jahat!"
"Kalau tidak terpepet ya tidak jahat," sahut Wong Sakti.
Pandu Tawa berbisik kepada Lili. "Pendengarannya sangat tajam. Jadi jangan sekali-kali kasak-kusuk di belakangnya."
"Lha kamu sekarang sudah kasak-kusuk, kok mengingatkan orang lain?" sela Wong Sakti sambil bersungut-sungut.
"Wong Sakti," kata Pandu Tawa. "Aneh sekali cara mu mengobati orang terluka seperti itu? Apakah aku boleh mempelajarinya?"
"Orang ini terkena suatu jurus maut yang bernama jurus 'Karang Keji'! Makanya tubuh Jin Arak ini timbul kulit berkarang, makin lama akan semakin menyumbat jalannya pernapasan dan akan membuatnya mati!"
"Jurus 'Karang Keji'?!" gumam Lili. "Rasa-rasanya Yoga tidak punya jurus 'Karang Keji'."
Mendengar ucapan Lili begitu, Wong Sakti segera berhenti melompat-lompat dan berkata kepada Lili, "Ya, tentu saja Yoga bisa keluarkan ilmu 'Karang Keji', sebab dia tadi sebenarnya bukan Yoga!"
"Hah...?!" Lili tidak terlalu kaget, tapi hanya terperanjat sedikit. Lalu, Pandu Tawa berkata, "Sudah kuduga, dia memang bukan Yoga. Lalu... siapa dia itu, Wong Sakti?! Apakah kau bisa tahu pula siapa orang yang menyamar sebagai Yoga tadi?"
"O, itu rahasia! He he he he...! Kalau ingin tahu, harus ada imbalannya! Kalau tidak ingin tahu, tidak memberi imbalan boleh, mau memberi imbalan juga tidak apa-apa."
Sementara Pandu Tawa dan Lili saling pandang, Jin Arak segera bangkit dan merasakan badannya menjadi segar kembali. Rasa sakitnya hilang, rasa perih pun tak ada, tubuhnya sendiri kembali mulus, dalam arti tanpa daging tumbuh yang seperti bunga karang tadi. Begitu berdiri, Jin Arak meneguk beberapa kali arak yang dibawanya. Setelah itu ia bersendawa, "Hhheeegggr...!"
"Wah, badak bodoh kekenyangan," ucap Wong Sakti kepada muridnya.
Kukilo berkata, "Cepatlah, Guru! Cari tahu tentang orang yang kita butuhkan itu! Tanyakanlah kepada kedua orang cantik dan tampan itu guru. Kalau tidak mau kasih tahu, hajar dia!"
"Ya, ya... sabar dulu, Kukilo!" kata Wong Sakti.
"Pak tua, kau yang menolong dan mengobatiku? Hmm...! Baik. Aku ucapkan banyak terima kasih, dan lain kali kalau mau lompati aku harus permisi dulu, mengerti?! Kalau caramu seperti tadi, itu namanya orang tua tidak tahu sopan santun!"
"Lho, kau ini bagaimana? Sudah kutolong malah masih menggerutu tak karuan. Orang melompat kok disalahkan. Itu kan demi kesembuhanmu sendiri!"
"Wong Sakti," sahut Lili. "Cepat katakan siapa orang yang menyamar sebagai Yoga tadi?"
Jin Arak berkerut heran dan curiga, lalu ia bertanya, "Lho, jadi yang kuserang tadi bukan Yoga?!"
"Bukan," jawab Wong Sakti. "Kalau dia Yoga asli, tindakannya tidak akan seganas tadi!"
"Setan belang!" geram Jin Arak. "Jadi aku tadi salah serang!"
"Lalu, bagaimana dengan orang itu, Wong Sakti?" Pandu Tawa kembali mengulangi pertanyaannya dengan rasa ingin tahu.
"He he he he...! Sudah kubilang, itu rahasia dan untuk membongkar rahasia itu dibutuhkan imbalan yang setara."
Lili berkata, "Jadi, imbalan seperti apa yang kau inginkan?"
"Cukup dengan memberitahukan kepadaku, di mana Tua Usil berada!"
"Untuk apa kau mencari Tua Usil sampai merahasiakan siapa penyamar tadi sebenarnya?" kata Lili.
"Aku ingin mencari Tua Usil untuk...."
Kata-kata Wong Sakti dipotong oleh Jin Arak, "Tunggu dulu. Kau mau mencari Tua Usil? Oh, tidak bisa! Dia adalah kelinci buruanku! Kau jangan mengacaukannya, Wong Sakti!"
"Aku sangat membutuhkan bantuannya!"
"Tidak bisa! Tua Usil adalah buronanku yang harus jalani hukuman mati. Yah, setidaknya akan kuhajar sampai mati, karena dia hampir menewaskan aku ketika berada di Teluk Gangga."
"Enak saja! Kalau kau berani membunuh Tua Usil, akan kubunuh kau lebih dulu, Jin Arak! Tua Usil itu jatah ku! Boleh atau tidak aku akan pinjam pusakanya. Kalau dia pertahankan, terpaksa akan kubunuh juga untuk mengambil pusakanya. Tapi... kalau bisa aku jangan membunuh lagi, ah! Tanganku sudah bosan jika dipakai melakukan kekejaman seperti itu. Kalau bisa, Tua Usil rela meminjamkan pusaka itu kepadaku. Hanya meminjam saja, masa tidak boleh?!" Wong Sakti menggerutu, bagaikan bicara pada diri sendiri.
"Oh, kalau begitu kau lawanku, Wong Sakti," tukas Jin Arak dengan tubuh meliuk-liuk, mulai dipengaruhi oleh hawa mabuknya. Suaranya pun makin lama semakin terdengar mengambang dengan mata yang tadinya sudah putih bersih sekarang menjadi merah kembali.
"Aku tidak ingin memusuhi mu, Jin Arak. Tapi kalau kau jual, aku beli. Kau mau jajal, aku akan ladeni!"
"Bagus! Hiaaah...!" Jin Arak serta-merta menyerang dengan pukulan cepatnya ke arah dada Wong Sakti. Tapi oleh Wong Sakti tangan itu hanya didengus dengan napas melalui hidung. Fuih...!
Wuuuhg...!
Tangan Jin Arak terpental bagai diterabas angin sebesar badai dahsyat. Akibat tangannya terhempas, badannya pun berputar. Anehnya putarannya itu melebihi dari hitungan sepuluh kali. Ketika Jin Arak berhenti bergerak memutar, tubuhnya menjadi semakin meliuk terhuyung-huyung.
Begitu berhenti ia langsung ambil sikap berlutut satu kaki, kepala sedikit bungkuk, dan mulutnya segera mengeluarkan apa saja yang tadi atau kemarin sudah dimakannya. Ia muntah, mabuk berat akibat putaran angin topan dari hidung Wong Sakti. Dan setelah itu, Jin Arak kembali ber-diri dan menyerang Wong Sakti melalui tepukan tangan satu kali.
Plok..!
Dari tepukan dua telapak tangan itu meng-hasilkan sinar panjang menghantam tubuh Wong Sakti. Oleh Wong Sakti, sinar kuning kemerahan itu dihantamnya dengan pukulan tanpa sinar namun timbulkan dentuman dahsyat. Blaarr...! Jin Arak kembali terpental tunggang-langgang. Kepalanya yang botak terbentur-bentur batu atau batang pohon. Akibatnya keadaan tubuh Jin Arak menjadi lemah, kepalanya pusing dan mual perutnya.
"Bangunlah kalau kau ingin coba-coba denganku, Jin Arak!" seru Wong Sakti dengan bersiap mencari jarak yang tidak berkerumun. Seolah-olah Wong Sakti siap hadapi Jin Arak dengan sengitnya.
Pandu Tawa hendak bergerak, tapi dengan cepat lengannya ditahan Lili sambil berkata, "Biarkan dulu mereka selesaikan sendiri urusan mereka. Kita lihat saja apa jadinya."
Pandu Tawa jalan ke samping, membiarkan pertarungan itu terjadi. Ia melihat Wong Sakti memungut beberapa daun yang jatuh di tanah. Daun-daun kecil itu bagaikan dibuat mainan secara bertumpuk di tangan kirinya. Wajahnya masih menampakkan senyum kempotnya dengan mata menatap Jin Arak yang sedang berusaha untuk bangkit.
Orang gemuk itu penasaran sekali kepada Wong Sakti. Kemudian dengan gerakan cepat ia menyentakkan kedua tangannya ke langit, dan tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar, kemudian turun hujan di bagian atas kepala Wong Sakti saja. Hujan rintik-rintik bukan hujan air, melainkan hujan bara yang dapat melelehkan kepala manusia.
Wong Sakti terkekeh sebentar, kemudian salah satu daun dilemparkan ke atas. Daun kecil itu berputar semburkan sinar biru berkeliling. Makin lama semakin lebar dan menjadi semacam payung pelindung. Dengan adanya payung pelindung dari sinar biru itu, rintik hujan bara dapat tertangkis. Setiap rintikan bara yang jatuh menimpa sinar biru menjadi padam dan menimbulkan bunyi letusan yang berentet.
Daun bersinar biru itu semakin lama makin naik, semakin mendekati pusat rintikan hujan bara, dan akhirnya menghantam pusat itu dengan timbulkan suara menggelegar kembali. Bumi pun berguncang akibat gelombang ledakan tersebut.
Jin Arak yang sempat terbengong memandang sinar biru tadi kini menjadi tersentak kaget, karena Wong Sakti menyerangnya dengan helai-helai daun yang tersisa di tangan kirinya. Daun itu dilempar-lemparkan menggunakan tangan kanan dan menimbulkan suara berdesing bagaikan lempengan logam tajam yang melesat cepat.
Jraab...! Salah satu daun mengenai ujung lengan bawah pundak Jin Arak. Orang itu terpental dan roboh dengan mengerang keras karena kesakitan. Sebagian tubuhnya menjadi biru legam seketika.
Bertepatan dengan itu, sekelebat bayangan lewat di depan mereka. Melintas dengan cepatnya, dan menyambar tubuh Jin Arak. Wong Sakti dan Kukilo terkejut sekejap, demikian juga Lili dan Pandu Tawa. Bocah berkulit hitam itu berseru, "Dia digondol orang, Guru!"
"Digondol, digondol... kau pikir kucing?!" gerutu Wong Sakti.
Pandu Tawa tertawa. "Wong Sakti, aku terpaksa tinggalkan tempat ini, karena merasa tidak punya kepentingan apa-apa denganmu!"
"Tunggu dulu. Perlu kau ketahui, menurut ramalan ku, kau adalah jodohnya Lili. Jadi kalau kau mau pergi, bawalah Lili!"
Pendekar Rajawali Putih terperanjat kaget dan berdetakdetak tegang, demikian pula halnya dengan Pandu Tawa yang segera saling, pandang dengan Lili. Wong Sakti berkata lagi, "Sesuatu yang berharga sudah kuberitahukan kepada kalian. Sekarang kalian harus beritahukan padaku di mana Tua Usil berada."
Pandu Tawa yang menjadi tak enak hati terhadap Lili itu segera berkata kepada gadis tersebut, "Jangan hiraukan kata-katanya. Dia termasuk peramal bodoh. Aku harus kejar Yoga palsu itu dan ingin membuka kedok orang tersebut!"
Wuuttt...! Pandu Tawa cepat tinggalkan tempat setelah berkata demikian. Lili masih tertegun dalam kebingungan. Waktu itu Wong Sakti berkata kepada Lili,
"Kau murid Dewi Langit Perak, pasti kau mau tolong aku, Nona Manis. Aku ingin pindahkan ilmuku ke dalam tubuh muridku, si Kukilo ini. Tapi selalu gagal karena aku lupa caranya. Jadi aku butuh meminjam pisau pusakanya Tua Usil agar muridku menikamku dengan pisau itu. Dengan demikian ilmuku bisa mengalir sepenuhnya ke dalam diri muridku ini! Maka, tolong aku, beritahukan di mana aku bisa menemui si Tua Usil itu...?"
"Aku tidak tahu!" jawab Lili dengan kaku dan datar.
Kukilo menyahut, "Guru, tinggalkan saja nona cantik itu. Kejar si Jin Arak, supaya dia tidak lebih dulu dapatkan Tua Usil dan membunuhnya! Lekas, Guru!"
"O, iya...! Kalau begitu, maafkan aku, Nona. Aku terpaksa meninggalkanmu sementara di sini!"
Wuuttt...! Wong Sakti segera berlari pergi, Kukilo mengikutinya dengan berlari bagaikan anak celeng cepatnya. Pendekar Rajawali Putih hanya mengikuti dengan pandangan mata sambil hatinya berkata,
"Apa benar ucapan Wong Sakti tadi? Pandu Tawa adalah jodohku? Jadi, bagaimana hubungan kasihku dengan Yoga? Apakah akan berakhir dengan perpisahan? Oh, jangan! Aku tidak mau. Aku lebih mencintai murid angkatku itu ketimbang Pandu Tawa. Aku harus kejar ke mana pun Yoga pergi. Aku harus cari dia dan memberitahukan ucapan Wong Sakti tadi...!"
Lili segera berdiri tegak. Kedua tangannya menggenggam. Kedua genggaman itu beradu di pertengahan dada. Kemudian dari sela-sela genggaman yang beradu itu melesatlah sinar putih perak yang bergelombang-gelombang Sinar itu mele-sat lurus ke angkasa dan menimbulkan suara denging yang makin tinggi semakin menggema ke mana-mana.
Itulah tandanya Lili memanggil burung rajawali putihnya. Burung itu jika mendengar suara denging yang khas menjadi isyarat panggilannya, selalu dengan cepat terbang menuju ke arah deng-ing tersebut. Dan jika ia sudah temukan di mana Lili berdiri, burung itu pun segera menukik turun dengan gesitnya.
Wuuusss...!
Hembusan angin dari sayapnya cukup besar dan kuat. Jika orang tak berilmu berdiri di dekat Lili, pasti akan terpental terbang karena hembusan angin datangnya sang rajawali putih itu. Jika burung besar sudah datang, Lili segera melompat ke atas, duduk di punggung sang rajawali, kemudian ia pun dibawa terbang oleh burung besar itu, menjelajahi angkasa, mencari apa yang dicari.
* * *
Pada sebuah lereng bukit yang berpohon tak begitu rapat. Yoga sedang menuruni lereng itu untuk mencapai tanah di kaki bukit. Tiba-tiba ia rasakan hembusan angin panas berkekuatan tinggi yang menyerangnya dari arah samping kiri.Wuuusss...!
"Huup...!" Yoga melompat dan bersalto dua kali ke arah depan. Gelombang angin panas tanpa sinar dan tanpa bentuk itu berhasil di hindarinya. Gelombang itu menghantam pohon dan kulit pohon terkelupas dengan cepat dari bawah sampai atas.
"Hmmm...! Ada yang menghendaki kematianku, rupanya?!" pikir Yoga dengan mata memandang tajam sekelilingnya. Tapi tak disangka-sangka sebatang dahan di atas pohon berderak patah dan jatuh menimpa kepala Yoga.
Kraaakkk...! Wuurrsss...!
Duaarrr...! Yoga menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan penghancur dari tangan buntungnya itu. Dahan besar yang semestinya dapat membuat kepala Yoga pecah itu, hancur lebih dulu semasa dalam perjalanan turun. Serpihannya me-nyebar ke mana-mana bagaikan rintik hujan.
"Siapa yang ingin berkenalan denganku, silakan keluar dan berkenalan secara baik-baik!" seru Yoga sambil menyelidiki sekelilingnya dengan penuh waspada.
Kejap berikutnya terdengar suara di belakang Yoga. "Aku...!"
Dan Yoga segera memandang ke arah orang tersebut, lalu menyunggingkan senyum keramahannya.
"Oh, kau Pandu...! Kau kalau bercanda sering membahayakan teman sendiri!" Yoga tertawa kecil dan menunggu Pandu Tawa mendekatinya. Setelah dalam jarak empat langkah, Pandu Tawa berhenti dan menatap dengan wajah dingin. Hal itu membuat hati Yoga sempat menaruh curiga.
"Seharusnya kutumbangkan semua pohon dan kulemparkan kepadamu! Tapi aku butuh penjelasan dan pengakuanmu. Siapa dirimu sebenarnya?"
"Aku tak mengerti maksudmu, Pandu Tawa?"
"Jangan berlagak bodoh, karena itu hanya akan mengurangi kesabaranku. Katakan, siapa dirimu sebenarnya!"
"Pandu Tawa....?" Wajah pendekar tampan itu berkerut dahi. Ia menampakkan keheranannya yang amat sangat. Ia sempat berkata, "Kau bercanda atau cari masalah?"
"Katakan siapa dirimu sebenarnya?!"
"O, kau membentakku, Pandu?!"
Zlapp...! Sebatang ranting kering melesat cepat menuju telinga Yoga. Ranting itu akan masuk ke dalam telinga dan sangat menyakitkan jika tidak segera dihindari oleh Yoga. Jelas gerakan ranting kering yang tajam itu akibat ilmu 'Serat Jiwa'nya Pandu Tawa, yang mampu melemparkan ranting tersebut menggunakan alam pikirannya.
Zlaapp...! Kini sebutir batu dalam ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa, berkelebat cepat dari tanah ke arah kepala Yoga. Tapi tangan kanan Yoga segera berkelebat. Tabbb...! Batu itu ditangkap dengan tangan. Lalu dalam sekejap berubah menjadi serpihan debu-debu hitam yang segera ditaburkan oleh Yoga.
"Hiaaat...!" Pandu Tawa penasaran, segera menyerang Yoga dengan satu lompatan. Dan Yoga pun menyambutnya dengan serangan satu lompatan ke depan.
Plak, plak... buhk, buhk...!
Wuusss...!
Keduanya sama-sama mendaratkan kaki ke tanah. Saling memunggungi. Dan tiba-tiba dari mulut Yoga keluarkan darah kental yang meleleh pelan-pelan sambil tangan Yoga pegangi dada kanannya. Sedangkan Pandu Tawa pun diam sebentar memegangi ulu hatinya, dari mulutnya keluar darah, demikian juga dari lubang hidungnya. Rupanya ia pun terkena pukulan berbahaya dari Pendekar Rajawali Merah itu. Wajahnya menjadi pucat, sepucat wajah Yoga saat itu.
ENAM
SIAPA orangnya yang tidak tertarik memandang seekor burung rajawali besar terbang dengan di tunggangi gadis cantik berpakaian merah? Bagi orang awam, memang pemandangan itu sangat mengagumkan dan akan bertanya-tanya, siapa gadis yang mempunyai kecantikan melebihi bidadari itu? Tapi bagi tokoh dunia persilatan mereka sudah tak asing lagi. Mereka tahu, gadis penunggang rajawali putih itu adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih,
Murid mendiang Dewi Langit Perak itu sengaja terbang sedikit rendah untuk mencari kekasihnya yang menjadi murid angkatnya itu. Dalam waktu tak berapa lama, mata indah milik Pendekar Rajawali Putih itu berhasil temukan dua pemuda tampan yang saling mengadu ketinggian ilmunya. Kedua pendekar tampan itu tak lain adalah Yoga dan Pandu Tawa.
Maka, Pendekar Rajawali Putih pun segera memerintahkan kepada burung raja-walinya untuk mendarat di salah satu gundukan tanah yang membukit, tak jauh dari pertarungan tersebut. Pada waktu itu, keadaan Pandu Tawa dan Yoga sama-sama saling melompat dan menghan-tamkan telapak tangan mereka kembali.
Plakkk...!
Keduanya kini berdiri dengan kaki sedikit merendah. Telapak tangan kanan mereka saling beradu dan tetap lengket, tak ada yang mau menariknya. Telapak tangan itu kepulkan asap putih menandakan dua kekuatan tenaga dalam sedang saling dikerahkan.
"Hentikan!" seru Pendekar Rajawali Putih begitu turun dari punggung rajawalinya. Tapi kedua pemuda tampan itu tidak hiraukan seruan tersebut. Asap putih semakin banyak mengepul dari perpaduan dua telapak tangan itu. Lili terpaksa harus berteriak keras, "Hentikan...!"
Yoga dan Pandu Tawa masih saling adu kekuatan tenaga dalam mereka. Bahkan, sekarang Yoga sentakkan kakinya dan melambung sedikit ke atas, ia bersalto maju dengan menggunakan telapak tangan lawan untuk bertumpu, wuuttt...! Tubuhnya melayang memutar balik di atas kepala Pandu Tawa. Kemudian kakinya segera menjejak ke belakang dan tepat mengenai punggung Pandu Tawa.
Duuuhg...! Wuusss...! Bruuhg...!
Pandu Tawa terpental maju dan hilang keseimbangan sehingga jatuh tersungkur di tanah. Beruntung sekali wajahnya tidak sampai membentur sebongkah batu yang tepat ada di depannya. Tetapi pemuda yang menjadi cucu dari tokoh sakti bernama Eyang Wejang Keramat itu, semakin memuntahkan darah lebih banyak lagi dari mulutnya. Tendangan yang kenai punggung itu bagai menghentakkan seluruh darah dalam tubuhnya. Hal itu membuat Lili sangat terkejut karena mengenali jurus tersebut, yang dinamakan jurus 'Rajawali Menipu Naga'.
Wuuttt...! Jleegg...!
Pendekar Rajawali Putih cepat melompat dan tahu-tahu sudah berada di pertengahan jarak antara Yoga dan Pandu Tawa. Ketika itu, Yoga sudah menyiapkan jurus lain untuk menyerang Pandu Tawa.
"Tahan! Tahan seranganmu, Yoga!" bentak Lili dengan berang karena diliputi kecemasan akan luka-luka yang diderita Pandu Tawa. Luka-luka itu sangat berbahaya. Bisa membuat Pandu Tawa tewas saat itu juga. Dan Lili tidak inginkan hal itu terjadi.
"Apa maksudmu melindunginya?!" tanya Yoga kepada Lili dengan wajah cemberut. "Apakah karena kau merasa sebagai calon jodohnya?!"
Lili terperanjat kaget mendengar ucapan Yoga begitu. Ia belum bisa bicara untuk beberapa saat, karena merasa bingung mengatasi hal itu. Sementara ia pun harus segera menolong Pandu Tawa dari luka parahnya tersebut. "Tahan murkamu, Yo! Tahan!" Lili pun bergegas hampiri Pandu Tawa.
Tetapi pemuda berpakaian biru muda itu segera bangkit sendiri. Napasnya terhirup dalam-dalam dan di pendamnya beberapa saat, lalu dihembuskannya pelan-pelan. Pandu Tawa masih bisa berdiri tegak, itu pertanda ia bisa atasi luka dalamnya yang diduga parah oleh Lili.
"Pandu, kau tidak apa-apa?!"
"Tidak," jawab Pandu Tawa masih jelas. "Minggirlah, akan kuhajar dia dengan jurus pembuka kedok penyamaran!"
"Jangan, Pandu. Tahan kemarahanmu."
"Dia harus kita hajar habis-habisan jika tidak mau tunjukkan wajah aslinya, Lili!" kata Pandu Tawa dengan keras dan didengar oleh Pendekar Rajawali Merah.
Maka, dari tempatnya berdiri Yoga berseru, "Apa yang ingin kau lakukan padaku sebenarnya, Pandu Tawa?! Apa alasanmu menyerangku?!"
"Kau bukan Yoga yang asli! Kau manusia sesat yang menyamar sebagai Yoga! Dan aku tidak terima jika sahabatku kau lecehkan dengan penyamaranmu! Buka kedokmu! Rubah dirimu ke wujud aslimu! Lekas!" bentak Pandu Tawa. Namun bentakan itu justru membuat wajah Yoga berkerut dahi dengan menampakkan keheranannya.
Lili sempat membisik di samping Pandu Tawa, "Agaknya dia Yoga yang asli, Pandu. Kukenali jurusnya yang bernama jurus 'Rajawali Menipu Naga' tadi! Tahanlah dulu kemarahanmu, akan kuuji dia!"
Kemudian Lili maju mendekati Yoga, sementara Yoga berkata dengan masih bernada marah. "Apa maksud kata-katanya itu, Guru?"
"Seseorang telah menyamar sebagai Yoga. Kami tahu hal itu. Tapi sulit membedakannya. Sekarang, jika kau memang Yoga yang asli, panggillah burung rajawali mu!"
"Guru tidak percaya padaku?!"
"Kubilang, panggil burung rajawalimu itu sekarang juga!" Lili sedikit membentak.
Yoga pun kendurkan ketegangannya. Setelah menarik napas dan menghempaskannya sebagai penenang gejolak amarah dalam dada. Yoga pun segera menggenggamkan tangannya. Tetapi hanya dua jari yang ditekuk di genggaman, sedangkan jari telunjuk, jari kelingking, dan jempolnya berdiri tegak. Tangan tersebut segera disentakkan ke atas.
Wuuttt...!
Lurus ke langit. Dari ketiga ujung jari yang berdiri tegak Itu melesatlah tiga larik sinar merah. Sinar tersebut bertemu di angkasa dan menimbulkan suara den-tuman yang menggaung dan menggema ke mana-mana. Lalu, tak beberapa lama, muncullah seekor burung rajawali berbulu merah. Burung besar itu segera menukik dan menyerukan suaranya di angkasa. "Keaaak...! Keeaaak...!"
Burung rajawali putih yang tadi ditunggangi Lili itu tampak girang melihat Rajawali Merah datang. Ia segera bentangkan sayapnya tak terlalu lebar sambil membalas seruan tersebut, "Kaaaakk...! Kaaakk...!"
Burung Rajawali Merah hinggap tak jauh dari Rajawali Putih, jodohnya. Si Rajawali Putih melompat dan kian mendekat, kemudian sayap-sayap mereka saling beradu bersentuhan menimbulkan getaran gelombang yang membuat pohon-pohon bergetar. Suara mereka pendek dan pelan, tapi berisik didengar orang. Mereka seperti dua kekasih yang saling melepas rindu dan kegembiraan.
Tiga manusia yang ada di tempat itu sama-sama memandang. Pendekar Rajawali Putih sunggingkan senyum tipis melihat burungnya bercengkerama dengan rajawali merah, tetapi Yoga tidak tersenyum sedikit pun. Pandu Tawa juga tidak tersenyum, melainkan justru terperangah memandangi dua burung berpasangan yang saling bercanda menurut caranya sendiri itu; Lalu, Pandu Tawa mendengar Lili berkata,
"Kalau begitu kau memang Yoga yang asli!"
Pandu Tawa menghempaskan napas kekecewaan dan penyesalannya. Ia segera dekati Yoga, berdiri dalam jarak dua langkah, lalu berkata! "Maafkan aku! Aku salah serang."
Setelah mendapat penjelasan lebih lengkap, Yoga bisa memaklumi kekeliruan itu dan memaafkan tindakan Pandu Tawa. Tetapi di dalam hati Lili yang merasa lega itu terpetik sebaris kata, "Ternyata Yoga tetap unggul seandainya benar-benar bertarung dengan Pandu Tawa."
Keyakinan itu jelas ada di dalam hati Lili, sebab ia melihat sendiri Pandu Tawa terancam bahaya sebelum ia datang melerainya. Jika Lili tidak segera menengahi pertarungan itu. Yoga pasti lepaskan pukulan dahsyatnya untuk membuat Pandu Tawa cedera. Dan Pandu Tawa pasti tidak bisa menghindarinya. Pencegahan dari Lili itulah yang membuat Pandu Tawa tadi punya kesempatan untuk pulihkan kesehatannya sendiri dan menjadi tegak kembali.
Dengan dua telapak tangan ditempelkan ke punggung dua pemuda itu, Lili salurkan hawa murninya ke dalam tubuh mereka. Dengan begitu luka dalam yang sama-sama mereka derita walau-pun tak kentara, kini dapat dipulihkan kembali oleh Lili. Keadaan tubuh mereka pun segar kembali.
* * *
Lalu, bagaimana dengan Yoga palsu jelmaan dari Putri Kumbang itu? Yoga palsu sempat terhenti dari pelariannya. Hal yang membuatnya terhenti itu karena dihadang oleh seseorang bertubuh tinggi, besar dan berwajah angker. Orang berwajah angker itu kenakan jubah hitam berlengan longgar, tepian jubahnya dilapis kain merah mengkilap. Rambutnya botak separo, sisanya yang belakang terjurai panjang sebatas pundak.
Kepala botak separo itu dililit ikat kepala warna merah dengan simbul swastika dari emas di tengah dahinya. Di kanan kirinya terselip senjata berupa gelang-gelang dari logam kuning emas dengan garis tengah sekitar dua jengkal dan tepiannya bergerigi. Orang beralis tebal itulah yang dikenal oleh setiap tokoh dunia persilatan dengan nama: Malaikat Gelang Emas; musuh utama dari Yoga dan Lili.
"Sial! Agaknya aku harus terlibat perkara dengan Malaikat Gelang Emas ini! Apa kemauannya menghadangku?"
Putri Kumbang dalam wujud Yoga segera mundur satu tindak ketika Malaikat Gelang Emas maju dua tindak. Dengan wajah menyimpan murka, mata memandang ganas dan tangan sudah menggenggam, orang berbadan besar itu berkata dalam geram bernada marah,
"Sekarang kau sendirian! Sekarang juga saatnya. untuk membunuhmu. Yoga! Tak mungkin kau lolos lagi dari tanganku!"
"Tunggu dulu!" sergah Putri Kumbang. "Jangan serang aku dulu. Aku bukan Yoga, si Pendekar Rajawali Merah! Aku bukan dia!"
"Gggrrr...! Rupanya kau mulai ketakutan melawan ku satu lawan satu, bocah kambing?! Tapi aku tak pernah memberi ampun untuk orang semacam kau, Yoga!"
"Aku bukan Yoga! Percayalah. Aku Putri Kumbang yang sedang menyamar sebagai...!"
Wuuuttt...! Buuhg...!
Tiba-tiba Malaikat Gelang Emas keluarkan pukulan tenaga dalamnya dari jarak tujuh langkah. Pukulan tenaga dalam itu keluar dari dua genggaman tangannya yang disodokkan ke depan secara bersamaan. Pukulan bergelombang besar itu membuat Putri Kumbang terlempar hingga membentur pohon besar dengan kuat. Padahal dengan cepat tangan Putri Kumbang telah menyentak memberi penahanan, tetapi tetap saja tubuhnya melayang bagaikan kapas dihempas angin besar.
"Gggrrr...! Modar kau, Setan! Heeaahh...!" Malaikat Gelang Emas melompat dan berusaha menginjak tubuh, yang di sangka Yoga itu. Bleeehg...!
Untung Putri Kumbang dengan cepat berguling ke kiri menghindari dua kaki besar yang hendak menginjaknya itu. Ia lekas bangkit dari bergulingnya. Tetapi tak sempat lakukan sesuatu, karena kaki Malaikat Gelang Emas sudah lebih dulu menendang sambil berputar satu kali,
Daahhg...! Tendangan itu tepat mengenai wajah Putri Kumbang, seperti sebuah tamparan yang amat kuat dan besar. Tendangan kaki tampar itu membuat Putri Kumbang terlempar lagi, enam langkah jauhnya.
Wajah itu memar biru pada bagian rahang kanan. Sepercik darah tersembur keluar dari mulut. Putri Kumbang rasakan nyeri di sekujur tubuh, dari kaki sampai kepala. Matanya pun terasa gelap untuk memandang. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan berusaha bangkit.
Ketika baru saja pandangan matanya mulai terang kembali, ia melihat sekelebat sinar kuning bergelang-gelang melesat dari pergelangan tangan Malaikat Gelang Emas. Putri Kumbang yang sudah lama mengenali keganasan Malaikat Gelang Emas itu segera mengerti bahwa dirinya saat itu dalam bahaya besar.
Dengan satu kali jejakkan kaki ringan, Putri Kumbang melambung tinggi di angkasa dan hinggap di atas dahan sebuah pohon, sementara sinar gelang-gelang kuning itu menghantam pohon lain. Pohon itu lenyap tinggal sisa kulitnya saja.
Zlaaapp...!
Putri Kumbang lepaskan serangan sinar hijau dari kesepuluh ujung jarinya. Sinar hijau yang berlarik-larik itu menghantam tubuh besar Malaikat Gelang Emas. Ternyata orang berwajah angker itu mampu menghalangi sinar-sinar hijau itu dengan menghentakkan kaki ke tanah dan dari tanah keluar sinar putih bening bagaikan kaca yang melebar membentengi tubuhnya. Akibatnya, sinar hijau itu tidak bisa menembus cermin pelapis tenaga dalam tersebut. Drrrubb...! Sinar hijau itu padam seketika.
Zlaaap...! Malaikat Gelang Emas lenyap dari pandangan mata Putri Kumbang. Tahu-tahu tubuh Putri Kumbang terjungkal jatuh dan atas pohon seperti ada yang menendang punggungnya dari belakang. Bruuss! Tubuh berwujud Yoga itu tersungkur tanpa ampun lagi di tanah. Wajahnya luka dan memar. Bibirnya pecah sebagian. Dalam keadaan tengkurap dalam jatuhnya, tiba-tiba ia merasakan ada benda yang amat berat dan besar telah menjatuhi punggungnya.
Bluuuhg...!
"Nggehk...!" Putri Kumbang mendelik tak bisa bernapas, tapi yang terlihat adalah wajah Yoga yang kesakitan tak mampu bernapas. Lalu, segera terdengar suara tawa Malaikat Gelang Emas yang terbahak-bahak menggema ke mana-mana itu.
"Huah, hah, hah, hah, hah...! Ternyata kau mudah sekali kukalahkan, Yoga! Akan ku permainkan dulu diri mu sebelum kuhabisi nyawamu! Huah, hah, hah...!"
Putri Kumbang segera kerahkan tenaganya. Ia tahu tubuhnya sedang diinjak oleh tubuh besar Malaikat Gelang Emas, walaupun orang itu tidak tampak dalam penglihatannya. Putri Kumbang pun segera sentakkan kedua sikunya yang bertumpu di tanah agar punggungnya bisa menghentak naik.
Wuuttt...! Dan ia cepat membalik dalam keadaan telentang, lalu tangannya menyentak ke depan dan memancarkan cahaya kuning yang menyebar ke berbagai arah.
Zrrraaapp...!
"Uuhg...!" terdengar suara lawan mengaduh tertahan. Tubuh Putri Kumbang terasa ringan, berarti sudah tidak diinjak oleh tubuh besarnya Malaikat Gelang Emas. Serta-merta Putri Kumbang bangkit dan membiarkan pohon-pohon terbakar akibat sinar kuningnya tadi. Dengan menggunakan tenaga dalam cukup tinggi, Putri Kumbang mengibas-ngibaskan tangannya yang pada waktu itu dalam keadaan buntung sebelah kiri, karena ia sebagai Yoga.
Kibasan tangan yang berkali-kali itu menimbulkan gelegar petir berulang-ulang. Cahaya biru menyambar-nyambar bumi bagaikan serang-kaian pasukan petir yang mengamuk dan ingin menghancurkan bumi.
Pada saat itu, wujud Malaikat Gelang Emas nyata dalam ilmu bayang siluman, hingga tampak jelas di mata, namun keadaannya tak bisa ditembus benda apa pun. Wajahnya itu bagaikan cermin samar-samar. Dan, Putri Kumbang merasa kewalahan.
"Kalau tak segera lari, bisa modar di sini!" maka, Putri Kumbang pun cepat-cepat larikan diri dengan ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi. Ia bergerak cepat dan zig-zag, sehingga sulit diikuti lawan.
Dalam keadaan babak belur, Putri Kumbang yang masih berwujud Yoga itu lari menuju Biara Sita. Repotnya lagi, ketika ia tiba di pintu gerbang Biara Sita, ia dihadang oleh Roh Gantung, Juru Kubur, dan Tambur Pati. Bahkan mereka tidak memberi kesempatan Putri Kumbang untuk bicara. Karena pada saat itu, suara Cemplon Sari yang ada di menara pengawas bersama seorang pemuda kekasihnya itu terdengar menyerukan kata,
"Itu dia yang bernama Yoga! Dia pasti akan menuntut balas atas perlakuan sang Ketua terhadap kekasihnya!"
Suara itulah yang membuat Roh Gantung segera keluarkan lempengan logam kuning seperti sepasang piringan yang diadukan satu dengan sa-tunya. Graaang...! Craaang...! Gelombang sua-ranya membentuk sinar merah setengah lingkaran, menghantam Putri Kumbang.
"Hal...!" Putri Kumbang hanya bisa berteriak satu kata dan segera melompat ke kiri. Tapi di kiri ia disambut oleh serangan Juru Kubur yang bersenjatakan terompet dililit kulit bambu. Terompet itu dikibaskan bagaikan mengibaskan pedang, se-hingga timbulkan gelombang hebat yang menghantam tubuh Putri Kumbang.
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat itu terjadi karena Putri Kumbang sentilkan jarinya ke arah hembusan gelombang tersebut. Rupanya sentilan jari Putri Kumbang mempunyai tenaga dalam yang lebih besar dan mampu. meledakkan gelombang tenaga tingginya Juru Kubur.
Akibat ledakan itu, Juru Kubur terlempar empat tindak ke belakang dan jatuh terkulai bagaikan tak berurat lagi. Sedangkan Tambur Pati yang ke mana-mana selalu menggantungkan genderang di perutnya itu, cepat-cepat mengambil dua kayu pemukul genderang. Dengan dua kayu itu Tambur Pati melompat hendak menusukkan kedua kayu pemukul yang tajamnya bisa melebihi mata tombak.
Punggung yang menjadi sasaran itu tiba-tiba berbalik arah, dan tangan kanan Putri Kumbang menghentak ke depan. Wuuttt...! Tubuh besar dan gendut itu terhempas mundur karena tenaga yang terpancar dari sentakan tangan tersebut.
"Hentikan! Hentikan semua! Aku ketua kalian. Bukan Yoga!"
"Astaga...?!" Roh Gantung kaget. Seharusnya ia melemparkan salah satu logam piringannya untuk memenggal leher lawan. Namun ketika ia mendengar suara Yoga berkata demikian, ia segera ingat bahwa Ketua Biara Sita itu sedang menyamar sebagai Yoga untuk memancing Lili agar serahkan Kitab Jagat Sakti.
"Tahan semua serangan! Tahan...!" Roh Gantung sendiri yang mengangkat kedua tangannya yang masih memegangi dua lempengan logam itu, menyuruh kedua temannya untuk berhenti menyerang, juga menghalau para penghuni Biara Sita yang berhamburan keluar dari dalam biara, ingin mengepung orang yang disangka Yoga.
Suara Cemplon Sari terdengar dari atas menara pengawas, "Kalau kau memang sang Ketua, coba tampakkan wujud aslimu!"
Beberapa saat kemudian, tubuh Yoga berada dalam cahaya putih menyilaukan. Sinar putih itu keluar dari tubuh tersebut dan semakin menyilaukan hingga tak bisa terlihat lagi bentuknya. Kejap berikut, sinar itu surut dan menjadi padam, lalu wujud sang Ketua mereka, yaitu Putri Kumbang, mulai tampak jelas di mata mereka.
"Setan belang semua! Orang sendiri diserang seenaknya! Kalau tak kumaklumi, bisa kubantai habis kalian semua. Mengerti?!" Putri Kumbang membentak dengan mata melotot. Mereka jadi takut dan sama-sama tundukkan wajah.
TUJUH
ATAS saran Roh Gantung, Putri Kumbang ganti menyamar sebagai si Tua Usil. Roh Gantung mengatakan, "Tua Usil adalah pelayan Lili. Begitu menurut banyak kabar yang saya terima. Dengan merubah diri menjadi Tua Usil, maka Ketua bisa menjadi pelayan Lili!"
Plook...! Mulut Roh Gantung ditampar tak seberapa keras oleh Putri Kumbang sambil berkata, "Kurang ajar! Kau menyuruhku menjadi pelayan Lili?! Itu keterlaluan, Roh Gantung! Gagasanmu hanya ingin merendahkan harga diriku di depan lawan, dan membuatku malu! Kau pikir aku jauh lebih rendah martabatnya daripada Lili?!"
Juru Kubur berkata dengan suaranya yang keras, kering, lengking, dan cempreng, "Maksud Roh Gantung begini, Ketua...!"
"Sudah, sudah...! Kamu jangan turut bicara. Suara mu bikin telingaku bengkak!"
Cemplon Sari segera berkata, "Maksudnya, sang Ketua berpura-pura menjadi pelayan Lili. Dengan menjadi pelayan Lili, maka sang Ketua bisa keluar-masuk di tempat tinggal gadis itu dan tidak dicurigai jika mendekati penyimpanan kitab pusaka tersebut. Dengan menyamar sebagai Tua Usil, sang Ketua akan dipercaya oleh Lili dan setelah dapatkan Kitab Jagat Sakti bisa lekas kabur tinggalkan mereka!"
"Naaah... itu yang saya maksudkan tadi, Ketua," kata Roh Gantung.
Putri Kumbang yang sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan Kitab Jagat Sakti dari tangan Lili itu, kali ini hanya manggut-manggut dengan dahi sedikit berkerut, pertanda mempertimbangkan gagasan tersebut. Kejap berikutnya, Putri Kumbang menyatakan setuju akan usul itu dan segera merubah diri menjadi Tua Usil, lengkap dengan lagak lagunya.
* * *
Pada waktu itu, di tempat yang tepatnya sebelah utara Biara Sita, terdapat sebuah selat laut yang cukup lebar. Selat itu berpantai dan pasirnya berwarna putih bagaikan bedak perawan. Di pantai itu terlihat seorang perempuan cantik yang membawa seekor burung beo di pundaknya sedang berjalan menyusuri pantai. Rupanya ia sedang menuju ke suatu tempat yang belum bisa dipastikan ke mana arahnya. Ia tampak sedikit bingung. Gadis cantik berpakaian jingga itu tak lain adalah Lintang Ayu, murid dari si Jubah Peri.
Pandu Tawa melihat langkah Lintang Ayu yang sudah dikenalnya sejak dulu. Ia segera menghampiri Lintang Ayu dengan beberapa kali lompatan jarak jauhnya. Rupanya Pandu Tawa memisahkan diri dari Yoga dan Lili, setelah persoalan salah paham mereka bisa teratasi. Pandu Tawa tak ingin mengganggu pembicaraan dua insan itu yang sudah menjurus ke masalah cinta pribadi.
Lintang Ayu sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya ketika Pandu Tawa tahu-tahu berdiri di depannya. Namun kuda-kuda itu segera dikendurkan setelah ia tahu siapa yang menghadangnya dan si burung beo menyerukan kata,
"Hai kekasih... datang lagi kau padaku, Kekasih. Hai...!"
Pluk! Kepala burung beo itu ditampol oleh tangan majikannya. Lintang Ayu sedikit tersipu menghadapi Pandu Tawa akibat ocehan burung beonya. Pandu Tawa sendiri hanya tersenyum kikuk, sebab dulu ia memang pernah ingin mendekati Lintang Ayu. Namun hati perempuan yang berjuluk 'Gadis Penakluk Hati' itu, segera menjauhi Pandu Tawa karena Pandu Tawa sering menyebut-nyebut dan membanggakan kekasihnya yang pertama, yaitu Roro Wilis. Sejak itulah mereka jarang jumpa.
Pertemuan ini membuat Lintang Ayu pasang sikap jual mahal lebih dulu. Dengan sikap tegas, berwibawa, Lintang Ayu menyapa tanpa senyum sedikit pun, "Ada perlu apa menemuiku, Pandu Tawa?!"
"Tak bolehkah aku menemuimu tanpa keperluan?" Pandu Tawa balas bertanya dengan senyum menawannya.
"Aku terganggu dengan pertemuan ini jika memang tidak ada perlunya. Waktuku sangat berharga."
Pandu Tawa lebarkan senyum, melangkah ke samping memandang ke laut, dan mulutnya terdengar ucapan yang mengandung makna kenangan, "Dari dulu kau selalu mengatakan waktumu berharga. Sampai kapan kau akan berhenti diperbudak oleh waktu dan keperluan?"
"Kurasa kau akan tahu sendiri jawabannya. Sebaiknya aku harus cepat-cepat pergi! Selamat tinggal, Pandu!"
Seet...! Pandu Tawa kembali menghadang tepat di depan Lintang Ayu. Burung beo serukan kata sambil terbang,
"Ayo, ayo... mulai cekcok... ayo... ayo... mulai cek-cok...!"
Pandu Tawa tersenyum geli mendengar suara. burung beo. Lintang Ayu menahan tawa, sehingga ia terpaksa tundukkan kepalanya seakan membetulkan letak sabuknya yang dipakai menyelipkan pedang emas pendek bergagang hias ronce-ronce benang merah.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Lintang Ayu."
"Katakanlah secepatnya," ujar gadis bertahi lalat kecil di sudut bibir kirinya itu.
"Tiga hari lagi akan ada pertemuan seluruh pendekar di dunia persilatan. Pertemuan itu diadakan di Bukit Tulang Iblis. Dalam pertemuan itu akan dipilih dan dinobatkan seseorang untuk menjadi Pendekar Maha Sakti dan menjabat sebagai hakim dalam pengadilan rimba persilatan. Waktunya untuk menuju ke Bukit Tulang Iblis hanya tiga hari dua malam. Jika kau berangkat mulai sekarang, maka tiba di Bukit Tulang Iblis tepat pada saat pertemuan itu berlangsung."
"Aku tidak tertarik untuk datang ke sana, Pandu Tawa," kata gadis berpakaian jingga yang dirangkapi jubah lengan panjang warna putih tipis itu. Sikap berdirinya masih tegak dan berkesan angkuh.
"Aku berharap kau bisa menjadi hakim sekaligus raja di rimba persilatan yang berhak menyandang gelar Pendekar Maha Sakti!"
Lintang Ayu tersenyum tipis, bernada sinis. "Aku tidak berminat menjadi raja. Karena kelak pun aku akan mewarisi tahta kedudukan tertinggi di Kadipaten Windunegara, menggantikan ayahandaku."
"Tidak setidaknya kau harus hadir dalam pertemuan itu untuk menyaksikan siapa yang terpilih. Mungkin juga akulah yang terpilih!"
"Maaf, aku tidak berminat sama sekali. Jangan bujuk aku. Sekarang aku harus cepat pergi, Pandu Tawa. Ada keperluan yang sangat penting dan harus segera kukerjakan."
Pandu Tawa menghela napas, sedikit kecewa dengan penolakan Lintang Ayu. Kemudian pemuda tampan itu bertanya, "Hendak ke mana sebenarnya kau, Lintang Ayu?"
"Mencari seorang tabib untuk sembuhkan guruku."
"O, Nyai Guru Jubah Peri dalam keadaan sakit?!' Pandu Tawa sedikit terkejut. "Apakah ada seseorang yang melukainya?"
"Tidak. Guru terkena 'Racun Air Mata'!"
Melihat gerakan dahi yang berkerut, Pandu Tawa kelihatannya belum pernah mendengar nama 'Racun Air Mata'. Ia menjadi heran dan bertanya, "Apa 'Racun Air Mata' itu?"
"Sebuah tangis kerinduan yang tercemar tenaga inti. Air mata itu berubah menjadi racun dan membuat tubuh Guru bergelembung air di sela sela kulit tubuhnya. Jika sampai tulang, daging dan uratnya berubah menjadi cair atau mengandung air racun tersebut, maka hal itu dapat mengakibatkan Guru tewas."
"Hmmm...!" Pandu Tawa manggut-manggut. "Lalu, apa yang ditangisi oleh Guru Jubah Peri itu?"
"Kukatakan tadi, beliau menangis karena kerinduan. Kerinduan terhadap seorang kekasih lamanya yang sudah puluhan tahun tak pernah dijumpainya!"
"Siapa kekasihnya itu?"
"Kurasa kau tak perlu tahu, Pandu. Karena persoalan ini sangat pribadi sifatnya."
"Maksudku, kalau memang aku tahu siapa orangnya, aku bisa mencari orang itu dan mempertemukannya kepada gurumu."
Gadis berhidung mancung itu geleng-geleng kepala, "Tidak akan menolong, Pandu. Sekali pun kau berhasil membawa sang kekasih Guru, tetap saja racun itu akan membahayakan keselamatan guruku. Menurut pesan Guru, aku harus mencari seorang tabib. Ada seorang yang menjadi tabib ampuh dan dapat sembuhkan berbagai macam racun, tapi aku tidak tahu di mana tepat tinggalnya. Guru sendiri tidak tahu hal itu."
"Siapa nama tabib yang dimaksud itu?"
"Sendang Suci, atau yang disebut pula Tabib Perawan!"
"Ooo... ya. Aku pernah dengar nama itu. Kalau tidak salah dia adalah sahabat dari Pendekar Rajawali Merah. Apakah kau kenal Yoga?"
"Ya, aku kenal!"
"Nah, dialah yang tahu tempat tinggal Tabib Perawan, karena waktu kami berada di Teluk Gangga, aku pernah dengar dia bercerita tentang Tabib Perawan kepada Dewi Gita Dara dan Lili. Tapi waktu itu aku mendengarkannya sambil lalu saja. Jadi saranku, sebaiknya kau cari Pendekar Rajawali Merah itu dan tanyakan kepadanya tem-pat tinggal Tabib Perawan."
Lintang Ayu diam, tapi hatinya bicara, "Kalau tahu begitu, seharusnya kemarin saat aku bertemu dengan Yoga, kukatakan keperluanku ini. Menyesal sekali aku tidak ceritakan kepada Yoga soal tugas dari Guru ini. Hmmm...! Kalau begitu, aku sebaiknya memang harus mencari dia!"
Karena Lintang Ayu dianggap merasa bimbang, maka Pandu Tawa berkata, "Akan kubantu untuk mencari Yoga, karena belum lama aku jumpa dia di pancuran sungai Bening. Sebaiknya kita ke sana sekarang juga, mudah-mudahan dia belum pergi bersama Lili."
Lintang Ayu sulit menerima tawaran itu, namun juga sulit menolaknya. Ia dalam kebimbangan dan kebimbangan itu timbul karena kekuatan batin Pandu Tawa yang mempengaruhi hati Lintang Ayu agar mau menerima tawaran tersebut, sedangkan pikiran Lintang Ayu ingin menolaknya, supaya tidak terjadi kemesraan masa lalu. Namun agaknya kekuatan batin Pandu Tawa lebih besar dari kekuatan pikiran Lintang Ayu, sehingga Lintang Ayu pun akhirnya membiarkan Pandu Tawa mengiringinya dalam perjalanan.
Hanya saja, perjalanan mereka mencari Yoga itu terganggu sebentar oleh kemunculan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, berpakaian coklat muda, sabuk hitam, rambut putih tipis dan kumisnya pun putih tipis. Orang tersebut tak lain adalah Tua Usil yang punya nama asli Pancasona.
"Kebetulan sekali aku bertemu denganmu Pandu Tawa," kata Tua Usil.
"Apa yang membuatmu kebetulan?" Pandu Tawa ganti bertanya.
"Aku mencari-cari Nona Lili, Pandu Tawa. Ada pesan penting yang harus kusampaikan kepada beliau."
"Lili...?! Oh, aku tadi melihatnya sedang berduaan dengan Yoga! Kami pun sedang menuju ke sungai Bening, karena tadi kulihat dia ada di sana bersama Yoga."
"Kalau begitu, aku ikut dengan kalian saja. Apakah mengganggu kemesraan kalian?" sambil Tua Usil tersenyum-senyum.
Lintang Ayu cepat menyahut, "Kami bukan sedang bermesraan. Jaga bicaramu, Tua Usil!"
"O, maaf! Soalnya, kulihat kalian berdampingan dengan mesra. Menurutku, kalian adalah jodoh."
"Pandu Tawa bukan jodohku. Pandu Tawa adalah jodohnya Lili!"
Pria tampan itu terperanjat, lalu tertawa pendek. "Mengapa kau bilang begitu?" ia ingat ucapan Wong Sakti yang meramalkan bahwa dirinya adalah jodoh dari Lili.
Lintang Ayu memandang sebentar dan berkata, "Wong Sakti meramalkan bahwa jodohmu adalah Lili!"
"Itu bukan Wong Sakti, itu wong edan alias orang gila. Jangan hiraukan ramalannya. Tidak semua ramalan Wong Sakti adalah benar. Kadang ia bicara seenaknya saja tanpa memikirkan kebenarannya!" kata Pandu Tawa dengan sedikit dongkol kepada Wong Sakti yang dianggap menyebar berita yang bukan-bukan.
Mereka bertiga sedang melangkah, tiba-tiba tubuh Tua Usil terpental ke belakang dan berguling-guling. Hal itu membuat Lintang Ayu dan Pandu Tawa sama-sama terkejut. Sementara itu, burung beo yang ada di pundak Lintang Ayu itu berseru.
"Bahaya! Bahaya! Ada orang jahat. Bahaya...!"
Lintang Ayu segera pasang sikap waspada. Matanya yang sedikit lebar tapi indah dan serasi dengan kecantikannya itu segera memandang tajam sekelilingnya. Pandu Tawa sendiri melakukan hal itu karena takut kalau dia dan Lintang Ayu menjadi sasaran pukulan tersembunyi dari seseorang yang telah menyerang si Tua Usil itu.
"Setan kasur!" teriak Tua Usil dalam makian. "Siapa yang berani menyerangku tadi?!" Tua Usil tampak berang dan berdiri dengan mata memandang penuh amarah. Serangan bertenaga dalam tinggi tadi telah membuat dadanya panas, bagaikan dihantam dengan batu lahar.
Kemudian, seorang bertubuh tinggi dan mengenakan jubah abu-abu muncul dan balik pohon besar. Orang itu muncul dengan tenang dan berjalan mendekati mereka. Pandu Tawa maupun Lintang Ayu kenal betul dengan orang tersebut, demikian pula si Tua Usil. Orang itu segera dihampiri pula oleh Tua Usil sambil berteriak,
"Apa urusanmu denganku sehingga kau menyerangku Jubah Jangkung?!"
"Apa kau lupa? Aku menuntut balas atas kematian calon istriku yang kau bunuh dengan pisau pusaka itu! Sampai kapan pun kau tetap ku buru karena telah membunuh Nyai Kuku Setan!" kata Jubah Jangkung. (Untuk lebih jelasnya, baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Pusaka Hantu Jagal").
Tua Usil berkata dengan bertolak pinggang, "O, jadi kau ke sini mau antar nyawamu supaya cepat susul calon istrimu itu? Baik!"
Pandu Tawa mau melangkah maju membela Tua Usil, tetapi tangannya dicekal Lintang Ayu, sambil wanita cantik itu, berkata, "Jangan ikut campur. Itu urusan mereka. Sebaiknya kita teruskan langkah kita mencari Yoga! Kalau kau tak setuju dengan gagasanku, tetaplah tinggal di sini dan aku akan mencarinya sendiri!"
"Baiklah. Aku ikut mencari bersamamu," kata Pandu Tawa. Tapi ia sempat berseru kepada Tua Usil, "Tua Usil, bisakah kau kutinggalkan di sini dan atasi masalah mu sendiri dengan Jubah Jangkung?!"
"Sangat bisa! Jubah Jangkung tak ubahnya seperti anak kecil yang bandel dan perlu dihajar! Jika perlu akan kubuat mampus!"
"Dasar mulut besar! Kurobek habis mulutmu, Tua Usil! Hihhh...!"
Jubah Jangkung sentakkan kaki ke tanah dengan pelan dan tubuhnya terlihat melompat bagaikan terbang dengan jubahnya yang berkobar. Kedua tangannya mengeras dan tertuju ke wajah Tua Usil. Dengan cepat Tua Usil pun melompat ke depan dan telapak tangannya beradu dengan tapak tangan Jubah Jangkung. Plaakkk...! Bllaaarr...! Kedua tubuh itu terpental setelah terjadi ledakan yang menimbulkan cahaya merah bercampur hijau pada saat tangan mereka saling beradu.
Tua Usil jatuh terjengkang dalam jarak empat langkah dari tempatnya mengadu tangan. Sedangkan Jubah Jangkung terpental dalam jarak sekitar enam langkah dari tempatnya mengadu kekuatan tenaga dalam. Tapi dalam sekejap, me-reka sudah sama-sama bangkit dan siap bertarung kembali. Dan pada saat itu, Pandu Tawa sudah menghilang mengikuti langkah Lintang Ayu.
Zllaaap...! Tiba-tiba Tua Usil kehilangan lawannya. Tahu-tahu juga sang lawan sudah ada di belakangnya dan berkata, "Aku di sini, Tua Usil!"
Tua Usil menengok seketika itu juga. Tepat Tua Usil menengok ke belakang, saat itu pula kaki Jubah Jangkung berkelebat menendang wajah Tua Usil dengan sangat cepatnya.
Ploookkk...!
Tentu saja hal itu membuat Tua Usil terlempar bagaikan pakaian lusuh tak terpakai lagi. Jatuhnya pun tidak bisa menjaga keseimbangan tubuh. Ia terpuruk ke bawah pohon dengan mengerang kesakitan. Jubah Jangkung memanfaatkan kelemahan lawannya dengan segera melepas serangan bersinar biru yang keluar dari ujung jari tengah yang ditudingkan ke depan.
Zlaappp...!
Sepotong sinar biru berukuran sekitar satu jengkal melesat dengan cepat menghantam Tua Usil. Tapi pada waktu itu, sinar biru itu terhantam oleh datangnya sinar putih yang merupakan garis bercahaya datang dari langit.
Blarrr...! Sinar biru itu gagal mencapai sasaran dan meledak di angkasa. Siapa yang melepaskan sinar putih menyilaukan itu? Jubah Jangkung pun segera memandang ke langit, ternyata di sana tampak seekor burung rajawali putih sedang terbang dengan penunggangnya gadis cantik berpedang di punggung warna putih perak.
"Jahanam kau, Rajawali Putih!" geram Jubah Jangkung. Begitu burung tersebut hendak mendarat, Jubah Jangkung segera melepaskan pukulan mautnya yang kelihatannya cukup ringan. Ia bagaikan menebar jagung ke udara untuk memberi makan burung. Tapi gerakan menebar itu ternyata hasilkan kekuatan tenaga dalam tinggi berupa pisau-pisau kecil berwarna kuning menyala. Sekitar lima pisau bergerak berjajar bagai barisan siap sergap lawan.
Namun mata burung rajawali putih itu segera keluarkan sinar putih seperti tadi, dan menghantam pisau sinar kuning dari arah samping, sehingga satu larik sinar putih dapat menghantam kelima sinar kuning dalam satu kali serangan.
Bbrrraaall...! Suara ledakan beruntun dan seperti suara rentetan geledek beruntun. Akibat ledakan tersebut, mengepullah awan hitam yang hampir saja membungkus burung besar bersama penunggangnya. Tapi sebelum awan berhasil membungkus mereka, binatang sakti itu sudah lebih dulu mendarat dari sisi lain.
"Monyet belang!" geram Jubah Jangkung. "Burungnya saja bisa mematahkan jurus mautku. Naga-naganya aku bakal kerepotan jika harus melawan penunggang burung tersebut! Sebaiknya kutinggalkan dulu urusan ini, aku harus tiba di Bukit Tulang Iblis sebelum pertemuan itu dimulai!"
Maka, Jubah Jangkung pun segera tinggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Tua Usil yang segera dapat kuasai diri itu melepaskan pukulan yang keluar dari telapak tangan kirinya. Pukulan bergelombang besar itu menghantam telak ke punggung Jubah Jangkung.
Buuhg!
"Uhhg!" Jubah Jangkung yang juga berusia sekitar enam puluh tahun itu tersentak ke depan dan jatuh berguling-guling. Tua Usil bergegas mengejar dan siap membunuhnya, tapi tiba-tiba terdengar suara Lili yang baru saja turun dari burung rajawalinya itu,
"Cukup, Tua Usil! Jangan kejar lagi dia! Biarkan dia lari!"
Jubah Jangkung lanjutkan pelariannya dengan tubuh luka bagian dalam. Tua Usil hanya pandangi kepergian lawannya. Tapi tiba-tiba Pendekar Rajawali Putih berkelebat ke samping Tua Usil dan menyentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuukkk...!
Pukulan gelombang hawa dingin dilepaskan ke arah semak-semak, karena ia merasakan ada gelombang hawa panas yang dilepaskan seseorang dari semak-semak. Sasarannya jelas Tua Usil, sedangkan Tua Usil sedang lengah.
Duaaar...!
Ledakan kembali terjadi ketika dua gelombang itu beradu di pertengahan. Lalu, sebuah suara pekikan terdengar tertahan dengan semak belukar berguncang keras. Sesosok tubuh terlempar ke sana. Orang tersebut cepat melompat keluar walaupun pinggangnya menjadi robek akibat duri-duri tajam dalam semak belukar tersebut.
"Hmmm...?! Rupanya kau, Jin Arak?!" geram Lili.
"Aku tidak memusuhimu, Lili. Mengapa kau menyerangku?"
"Dari mana dia tahu namaku?" tanya Lili dalam hatinya.
Ternyata Jin Arak berkata, "Kau pasti yang bernama Lili, seperti penjelasan Jubah Jangkung padaku saat dia habis menyembuhkan aku!"
Rupanya Jin Arak saat menderita luka dari serangan Wong Sakti telah disambar oleh Jubah Jangkung. Ia disembuhkan oleh Jubah Jangkung, dan tentunya Jubah Jangkung banyak bercerita tentang Lili, Yoga, dan Tua Usil. Dan agaknya saat itu Jin Arak ingin balas budi kepada Jubah Jangkung dengan membela Jubah Jangkung. Tapi secara kebetulan mereka sama-sama punya maksud memusuhi Tua Usil karena alasan pribadi masing-masing.
"Apa maumu, Jin Arak?" sentak tua Usil sambil melangkah maju.
Dalam keadaan tidak sedang mabuk, Jin Arak berkata, "Aku akan membalas kekalahanku tempo hari ketika di Teluk Gangga! Sekarang terima saja pembalasan ku ini, Bangsat! Heaaah...!"
Jin Arak mengibas-ngibaskan tangannya berserabutan seperti orang tenggelam di air. Mulutnya serukan teriakan panjang. Dan tiba-tiba dari kibasan-kibasan kedua tangan itu keluar jarum-jarum hitam yang amat berbahaya. Jumlahnya cukup banyak dan arahnya melayang cepat ke tubuh Tua Usil.
Dengan sigap pula Tua Usil melepaskan pukulan bersinar dari kedua tangannya yang ditekuk ke dalam dan disentakkan bagai sayap seekor bangau. Wuuttt...! Sinar hijau tua menyebar membentuk lempengan lebar. Arahnya ke tubuh Jin Arak, dan hal itu membuat jarum-jarum hitamnya saling meledak beruntun, sementara Jin Arak sendiri terlempar menghantam pohon besar hingga pohon itu rontok daunnya.
Braalll...! Buuuhg...! Wwwrrr...!
Jin Arak menyeringai kesakitan. Kulitnya menjadi merah bagaikan matang terbakar. Lili yang menyaksikan hal itu hanya membatin, "Kalau dia bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin hanya menderita begitu. Pasti akan hancur terkena sinar hijau yang dahsyat itu!"
Tua Usil segera berkata, "Nona Li, sebaiknya cepat ikut saya ke Biara Sita!"
"Kenapa kesana?!"
"Tuan Yo tertangkap oleh orang-orang Biara Sita!"
"Haahh...?!" Lili kaget sekali. Lalu ia perintahkan kepada burungnya untuk mendampingi dari atas, ia dan Tua Usil menggunakan jalan darat. Sebab ia tahu, Tua Usil segan diajak terbang, kecuali terdesak.
* * *
DELAPAN
LINTANG Ayu hentikan langkahnya dengan dahi berkerut dan matanya sedikit menyipit. Pandu Tawa memperhatikan dengan heran dan bertanya pelan, "Ada apa?!"
"Ada sesuatu yang tak enak di hatiku!"
"Tentang apa?"
"Entahlah!" jawab Lintang Ayu. "Karena kau tak suka berjalan denganku, begitu?!"
"Aku tak tahu. Yang Jelas... sulit kukatakan!" Burung beo menyahut, "Cinta tumbuh lagi, cinta tumbuh lagi...!"
Plook...!
"Aow...!" burung beo memekik dan terbang mengitari majikannya. Ia menggoda dengan ucapan yang sama, tapi merasa selamat dari tampolan tangan gadis cantik itu.
"Sudahlah. Jangan ikuti perasaanmu. Mungkin kau teringat masa lalu kita. Sekarang kita sudah berdamai dan tak ada masalah apa-apa. Yang penting sekarang pikirkan bagaimana secepatnya bisa menghubungi Tabib Perawan supaya dia bisa cepat sembuhkan guru!" kata Pandu Tawa. Lalu, mereka pun melangkah lagi, teruskan perjalanan menuju sungai Bening.
Tetapi tiba-tiba langkah Lintang Ayu berhenti kembali. Kali ini ada sebab yang jelas. Pandu Tawa sendiri melihat apa yang membuat Lintang Ayu berhenti melangkah.
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun duduk bersandar menikmati udara sejuk dan semilir angin di bawah pohon. Orang itu adalah Tua Usil, yang memejamkan mata bagai sedang meresapi kenyamanan udara semilir sejuk itu. Lintang Ayu sempat berbisik,
"Cepat sekali dia tiba di tempat ini?!"
"Dia memang hebat!" Pandu Tawa tersenyum, kemudian ia memungut ranting kecil sebesar jari kelingkingnya. Ranting itu lemparkan kepada Tua Usil yang sedang memejamkan mata.
Wuuttt...! Tab...!
Dengan gerakan cepat tangan Tua Usil bagaikan bergerak sendiri menangkap ranting kecil itu. Ia segera membuka mata dan kaget melihat Lintang Ayu berdiri di depannya dalam jarak tujuh langkah bersama Pandu Tawa. Tua Usil segera membuang ranting itu sambil nyengir dan berkata,
"Sepantasnya yang mendapat julukan usil adalah kau sendiri, Pandu. Oho, bersama gadis cantik rupanya. Sedang bermesraan agaknya. He he he he...!"
Tampak ada senyum di bibir Pandu Tawa, tapi tidak di bibir Lintang Ayu. Mereka berdua dekati Tua Usil, lalu Pandu Tawa berkata, "Nikmat sekali istirahatmu setelah menyelesaikan urusan dengan Jubah Jangkung tadi, Tua Usil. Sampai-sampai..."
"Dengan siapa kau bilang tadi?" potong Tua Usil.
"Dengan Jubah Jangkung!" Lintang Ayu menambahkan kata, "Bukankah kau tadi bertarung dengan Jubah Jangkung saat kami tinggalkan?"
Tua Usil tampak bengong dan bingung. Pandu Tawa segera berkata, "Rupanya kau dapat kalahkan tokoh yang tergolong sakti itu, Tua Usil! Lantas... bagaimana keadaannya? kau bunuh dengan pusakamu atau kau usir hingga dia lari tunggang langgang?!"
"Aku... aku... aku tak mengerti omongan kalian!" kata Tua Usil.
"Jangan berlagak bodoh. Kami hanya ingin tahu saja bagaimana hasil pertarunganmu dengan Jubah Jangkung tadi?"
"Tadi?! Oh, dari tadi aku belum sempat bertarung dengan siapa-siapa. Apakah kalian mengigau?" kata Tua Usil semakin bingung, namun juga membuat heran Pandu Tawa dan Lintang Ayu.
Rupanya Lintang Ayu lebih dulu menaruh curiga sehingga ia berbisik kepada Pandu Tawa, "Inilah rupanya sesuatu yang tadi ku rasakan tak enak di hati. Aku curiga padanya."
"Curiga bagaimana?"
Lintang Ayu tidak menjawab, melainkan ajukan tanya kepada Tua Usil. "Apakah benar kau sejak tadi ada di sini?"
"Benar. Berani sumpah!" jawab Tua Usil sambil mengacungkan dua jarinya. "Apa yang terjadi sebenarnya?"
Pandu Tawa yang segera ikut curiga mengatakan, "Kami tadi bertemu denganmu, lalu melihatmu bertarung dengan Jubah Jangkung! Jika memang kau sejak tadi ada di sini, berarti ada orang yang menyamar sebagai dirimu, Tua Usil!"
"Kurang ajar! Di mana orang itu berada?"
Lintang Ayu yang berkata, "Sebaiknya kita tengok ke lembah tadi, apakah Jubah Jangkung masih bertarung dengan orang yang mirip dengan Tua Usil!"
Tentu saja Tua Usil menjadi tegang dan ingin melihat bukti ucapan mereka. Maka ia pun bergegas pergi mengikuti Pandu Tawa dan Lintang Ayu yang berlari dengan cepat. Ketika mereka tiba di lembah, di mana dari situ masih bisa terlihat pantai dan lautnya, ternyata mereka tidak menemukan orang yang dimaksud. Tetapi mereka menemukan Jin Arak yang tubuhnya melepuh merah kebiruan karena terkena serangan Tua Usil palsu tadi. Jin Arak sedang mengerang-erang menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Jin Arak...?! Apa yang terjadi pada dirimu?"
Jin Arak jelaskan, "Aku kehabisan arak!"
"Separah itukah jika kau kehabisan arak?"
"Tidak."
"Lantas mengapa tubuhmu menjadi matang begitu?" tanya Tua Usil.
Jin Arak memandang bermusuhan sambil berkata, "Jangan berlagak tolol kau! Semua ini gara-gara dirimu! Kau memang hebat! Kau bisa membuatku terluka seperti ini. Tapi kelak jika aku sembuh, belum tentu kau bisa membuatku begini lagi, Setan Usil!"
"Aku tidak menyerangmu!" bantah Tua Usil.
"Omong kosong!" sentak Jin Arak. "Sayang aku kehabisan arak. Kalau aku tidak kehabisan arak, sekali tepuk maut menjemput mu!"
Pandu Tawa cepat berseru memanggil Yoga hingga pendekar tampan itu hentikan langkah dan memandang ke arah Pandu Tawa. Maka Pendekar Rajawali Merah pun segera hampiri mereka dan berkata, "Apakah kau melihat Bocah Bodoh?!"
"Tidak," Jawab Pandu Tawa. "Ada apa dengan Bocah Bodoh?"
"Dia dibawa lari oleh Wong Sakti! Dia ingin dijadikan jaminan dan akan ditukar dengan pisau Pusaka Hantu Jagal!"
"Lho...?!" Tua Usil terbengong. "Dari dulu dia kok selalu dijadikan bahan pertukaran pusaka?! Malang amat nasibnya?!"
"Dari mana kau tahu Bocah Bodoh dibawa lari oleh Wong Sakti?!"
"Aku bertemu dengan Raja Tipu dan ia mengatakan hal itu padaku!"
"Ah...!" Pandu Tawa dan Tua Usil sama-sama bersungut-sungut meremehkan berita tersebut. Pandu Tawa berkata, "Akan kurobek mulut orang itu! Di mana dia sekarang?"
Tapi Tua Usil menimpali, "Tuan Yo jangan mudah percaya dengan kata-kata Raja Tipu! Nanti Tuan Yo kena tipu lagi!"
Pendekar Rajawali Merah menjadi ragu sejenak. Ia diam memikirkan kemungkinan itu. Lalu, ia berkata kepada mereka bertiga, "Kali ini firasatku mengatakan, bahwa Raja Tipu berkata yang sebenarnya!"
Kini tiga orang itu menjadi bimbang juga. Mereka saling pandang. Akhirnya Tua Usil berkata, "Ada yang lebih penting lagi, Tuan Yo. Seseorang telah menyamar sebagai saya, dan berhasil menipu Nona Li untuk dibawa ke Biara Sita!"
"Hahh..!!" Yoga terperanjat kaget. "Pasti ini masalah Kitab Jagat Sakti!" katanya dengan tegang.
"Benar," Pandu Tawa menyahut. "Tempo hari waktu aku bertemu Lili pertama kali, dia sedang menghadapi orang-orang Biara Sita yang ingin menguasai Kitab Jagat Sakti, yang disebut-sebut oleh mereka sebagai kitab para dewa yang tak boleh dipelajari oleh manusia. Sedangkan menurutku, memang aku pernah dengar kakekku bicara tentang adanya kitab para dewa yang tak boleh dipelajari manusia, tapi tidak disebutkan nama kitab tersebut. Mungkin memang Kitab Jagat Sakti itu, atau mungkin kitab lain!"
Lintang Ayu segera berkata, "Sebenarnya mana yang harus kita kerjakan lebih dulu, Yoga? Menyelamatkan Lili atau menyelamatkan Bocah Bodoh lebih dulu?!"
"Saya yang akan selamatkan Nona Li!" sahut Tua Usil bersemangat.
"Kalau begitu, biar aku dan Lintang Ayu yang kejar Wong Sakti untuk selamatkan Bocah Bodoh!" kata Pandu Tawa.
"Baik," Jawab Yoga. "Aku setuju! Mari kita berangkat sekarang Juga, Tua Usil!"
"Baik, Tuan Yo...!"
Mereka berpisah, berpencar. Dua ke utara, dua lagi ke barat. Kesaktian yang diperoleh Tua Usil dari berbagai orang sakti yang pernah dikalahkannya itu, membuat Tua Usil dapat mengimbangi kecepatan lari Pendekar Rajawali Merah. Tetapi jika Yoga gunakan jurus 'Langkah Bayu'nya, Tua Usil menyerah, tak bisa imbangi kecepatan jurus 'Langkah Bayu' tersebut.
Namun Yoga pun sadar, Tua Usil telah mendapatkan perpindahan ilmu-ilmunya tokoh sakti bernama Ratu Gaib, yaitu pada saat Tua Usil berhasil membunuh seekor naga Jelmaan Ratu Gaib. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Tua Usil dari hasil membunuh naga tersebut telah membuat Tua Usil mampu merubah menjadi seekor burung merpati. Kekuatan gaib milik si Ratu Gaib itulah yang membuat Tua Usil sekarang berubah menjadi seekor burung merpati berbulu hitam berkalung warna bulu putih. Burung tersebut bisa bicara dengan bahasa manusia.
"Saya akan mendahului Tuan Yo dan mencegat Ketua Biara Sita di depan pintu gerbang. Jika Nona Lili sudah telanjur masuk dalam perangkap, saya takut beliau akan dikalahkan oleh Putri Kumbang dengan peralatan gaib yang dimilikinya di dalam Biara Sita itu!"
"Berangkatlah! Aku akan gunakan jurus 'Langkah Bayu'-ku!"
Wuuurrr...! Burung merpati jelmaan Tua Usil itu terbang dengan cepat mengikuti arah yang menuju ke Biara Sita. Dari tempatnya terbang, Tua Usil dapat memandang alam sekeliling dengan tenang, tanpa rasa takut, tidak setakut kalau dia naik burung rajawali. Dari tempatnya terbang itu pula, ia melihat Lili bersama orang yang persis dengan wujud dirinya.
Tua Usil tidak menghampiri mereka, melainkan mendului mereka, hingga dalam sekejap ia sudah sampai di semak-semak kaki bukit. Sebelum mendekati pintu gerbang yang dijaga oleh Roh Gantung dan Juru Kubur, Tua Usil sudah merubah diri menjadi aslinya. Dengan keberanian yang tidak sekecil dulu, Tua Usil menghampiri mereka; para penjaga itu. Ia berlagak terengah-engah dan wajah dibuat tegang.
Tentu saja kedua penjaga berilmu tinggi itu terkejut melihat kehadiran Tua Usil. "Lili datang menuju kemari bersama Tua Usil yang asli. Aku tak bisa menghadapinya! Kerahkan semua orang kita untuk serang Tua Usil. Sebab ternyata Tua Usil lebih sakti daripada Lili!"
"Baik, Ketua!" jawab Roh Gantung. Mereka menyangka Tua Usil yang bicara itu adalah Putri Kumbang. Sebab itu, mereka patuh dengan perintah Tua Usil yang asli.
"Keluar semua dan serang Tua Usil yang asli itu. Jangan kasih kesempatan untuk lolos! Aku akan menyerobot Lili dan membawanya Iari ke pantai!"
"Baik, Ketua!" jawab Roh Gantung mewakili mereka.
Tua Usil bersembunyi di balik pohon pagar yang mengelilingi biara tersebut. Sementara itu, orang-orang Biara Sita semuanya keluar dan tembok biara, membuat barisan penyergapan. Pagar betis yang melapisi biara itu cukup kuat. Semuanya bersenjata dan berwajah garang. Bagian atas biara pun dijaga ketat oleh beberapa orang yang siap dengan anak panah masing-masing.
Roh Gantung berseru kepada para pemanah, "Hati-hati, jangan sampai kena Lili, dan jangan sampai kena teman sendiri! Biarkan gadis itu diserobot dulu oleh sang Ketua kita!"
"Yaaa..,!" seru mereka di atas menara dan di simpangan bagian atas tembok yang merupakan benteng biara.
Ketika Lili muncul dengan Tua Usil palsu, langkah mereka terhenti. Tua Usil palsu berbisik, "Lihat, penjagaan mereka begitu kuatnya, bukan? Kalau tidak karena di dalamnya mereka memenjarakan Tuan Yoga, mereka tidak akan menjaga seketat ini!"
Padahal dalam hati Putri Kumbang bertanya heran, "Mengapa mereka menjaga biara seketat ini? Ada pertempuran apa sebenarnya?!"
Lili sendiri menjadi semakin yakin, dan kemarahannya mulai timbul membara di dalam darahnya. Ia mengamuk melihat orang-orang biara menangkap kekasihnya yang juga murid angkatnya itu. Maka, Lili pun segera mencabut pedang pusakanya yang bernama Pedang Sukma Halilintar di mana pada ujung gagangnya terdapat ukiran dua kepala burung saling bertolak belakang.
Blegarrr...! Petir di angkasa menggelegar setiap pedang itu dicabut dari sarungnya. Pedang tersebut menyala putih berpijar-pijar menyilaukan.
Sementara itu, Putri Kumbang segera berbisik, "Tak perlu mencabut pedang pusaka! Mereka bisa saya atasi dengan ucapan! Mereka akan menjadi patuh pada saya karena saya gunakan ilmu yang bisa membuat mereka patuh. Masukkan kembali pedang Nona!"
Lili pun menuruti usul itu, karena ia percaya bahwa Tua Usil memang mempunyai ilmu yang tidak banyak ia ketahui karena ilmu itu disadarinya telah diperoleh Tua Usil dari orang sakti yang dikalahkan. Jadi Lili percaya saja bahwa Tua Usil memang mempunyai ilmu yang bisa membuat orang patuh.
Ia tidak tahu kalau Tua Usil yang ada di sampingnya itu adalah Ketua Perguruan Biara Sita itu sendiri. Lili tidak tahu bahwa Putri Kumbang sebenarnya cemas dan was-was kalau sampai Lili menggunakan pedang pusakanya. Ia bisa kehilangan banyak murid atau anak buahnya.
Dengan sikap yakin sebagai ketua perguruan yang sudah diketahui oleh anak buahnya tentang penyamarannya, Putri Kumbang membawa Lili dekati pintu gerbang. Dengan lantang ia berseru, "Buka pintu gerbang dan biarkan kami masuk!"
Zlaappp...! Seorang pemanah lebih dulu melepaskan anak panah ke arah Putri kumbang. Trraakkk...! Dengan dua jari Putri Kumbang menangkis sekaligus mematahkan anak panah tersebut. Tapi dari arah lain melesat juga anak panah ke arahnya.
Sedangkan Roh Gantung segera berseru memberi perintah, "Serrraaang...!"
"Hei, apa-apaan ini? Hoi...?!" Putri Kumbang diserbu oleh mereka dengan berbagai senjata dan kekuatan tenaga dalam. Ia sempat kebingungan dan bimbang untuk lakukan perlawanan. Sementara itu, Lili membela Putri Kumbang karena menyangka mereka ingin mencelakai Tua Usil.
Maka pertarungan secara serentak pun terjadi. Putri Kumbang melawan sekian banyak murid dan orang-orangnya sendiri. Sedangkan Lili melompat ke sana kemari untuk selamatkan Putri Kumbang dalam wujud Tua Usil.
Pada kesempatan Lili menjauhi Putri Kumbang, Tua Usil yang asli muncul dan segera menarik tangan Lili dari pertarungan. Bahkan ia berhasil menggendong Lili untuk kemudian dipanggul dan dibawanya lari. Lili sendiri tak bisa berbuat apa-apa karena bingung melihat ada dua Tua Usil di situ.
"Lepaskan aku atau aku berbuat kasar padamu, Tua Usil!"
Mau tak mau Tua Usil melepaskan Lili, tapi sudah agak jauh dari Perguruan Biara Sita. Tua Usil langsung dibentak oleh Lili, "Siapa kau?!"
"Tua Usil, Nona! Yang tadi bersama Nona Li itu Tua Usil palsu. Dia Putri Kumbang, ketua Perguruan Biara Sita!"
"Omong kosong! Kau pasti bermaksud jahat pada ku. Hiih...!"
Lili menghantam wajah Tua Usil, tapi dengan cepat sekelebat bayangan tiba di situ dan menahan tangan Lili. Ternyata orang itu adalah Pendekar Rajawali Merah. "Kau...?" Lili terperanjat kaget dan memandang Yoga.
"Ya, kita hampir saja terkecoh, Guru! Tapi untunglah Tua Usil yang asli ini punya akal cukup lihai! Dan... Tua Usil, tunjukkan keaslian mu supaya Nona Li ini percaya padamu!"
Tua Usil menunjukkan pisau Pusaka Hantu Jagal. Dengan pusaka itu Lili menjadi percaya betul bahwa Tua Usil yang ada di depannya itu adalah Tua Usil yang asli. Lili pun jadi tertawa geli ketika Tua Usil berkata,
"Untung Tuan Yo segera datang. Kalau tidak, wajah saya pasti sudah bonyok dihantam Nona Li tadi!"
"Lekas tinggalkan tempat ini dan biarkan Putri Kumbang dihajar habis oleh orang-orangnya sendiri!" kata Yoga sambil kemudian bergerak meninggalkan tempat itu diikuti oleh Lili dan Tua Usil.
Sementara itu, Putri Kumbang hanya bisa berteriak-teriak dan memaki-maki anak buahnya sendiri yang tidak percaya bahwa dia adalah ketua mereka. Sibuknya Putri Kumbang, beruntunnya serangan yang membingungkan membuat Putri Kumbang tak punya kesempatan untuk memunculkan jati dirinya sebagai sosok perempuan cantik yang angkuh. Karena ia tidak punya kesempatan merubah wujud aslinya, maka orang-orang Biara Sita semakin gencar menghajar habis orang yang dianggapnya Tua Usil asli itu.
Andaikata Lintang Ayu dan Pandu Tawa melihat kejadian itu, pasti mereka akan tertawa geli melihat Putri Kumbang diserang oleh anak buahnya sendiri yang berjumlah lebih dari tiga puluh orang itu. Sayang sekali Lintang Ayu dan Pandu Tawa sedang mengejar Wong Sakti yang membawa lari Bocah Bodoh sebagai sandera.
Tapi seandainya Lintang Ayu dan Pandu Tawa berhasil berhadapan muka dengan Wong Sakti, apakah mereka bisa merebut Bocah Bodoh dan mengalahkan Wong Sakti?
SELESAI
Kisah selanjutnya,