Si Cantik Berdarah Dingin

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Si Cantik Berdarah Dingin Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Si Cantik Berdarah Dingin

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
DUA PULUH TAHUN yang lalu.... Sebuah Kerajaan kecil di Pulau Andalas bernama Bungo Mambang berdiri tegak. Tentu saja kerajaan ini berdaulat pada Kerajaan Sriwijaya. Yang memang adalah sebuah Kerajaan yang paling besar pada masa itu. Raja yang berkuasa disana bernama Sri Baginda Bantar Alam.

Kekuasaannya meliputi tiga wilayah. Yaitu antara sekitar Gunung Kerinci, gunung Sumbing dan gunung Talang. Raja Bantar Alam memang seorang yang bertindak adil terhadap rakyatnya. Sehingga rakyat sangat menyukainya. Bantar Alam mempunyai seorang permaisuri dan beberapa selir. Sayang, permaisuri Raja bijaksana itu mempunyai keturunan. Bahkan dari selir-selirnya sekalipun. Sang permaisuri agaknya merasa takut disisihkan oleh Raja, karena lagi-lagi Raja telah menambah lagi selirnya, seorang gadis cantik asal lereng Gunung Kerinci.

Terbersit di hati permaisuri untuk mencari akal agar dapat cepat beroleh keturunan. Tentu saja hal yang ditempuhnya adalah jalan kotor. Diam-diam ia berhubungan dengan seorang panglima Kerajaan. Hal itu berlangsung terus tanpa setahu Raja. Hingga akhirnya benih yang tertanam di tubuh permaisuri, tumbuh dengan subur. Permaisuri bernama Dewi Melur itupun hamil.

Hal mana tentu saja membuat Raja jadi bergirang hati. Tapi bersamaan dengan itu selir terakhir dari Raja Bantar Alam pun tengah mengandung. Baginda Raja berpendapat, anak dari permaisuri yang pertamalah yang berhak menggantikannya sebagai Raja kelak. Namun sayang... rahasia hubungan permaisuri dengan Panglima Sobrang tercium oleh Raja. Marahlah Raja Bantar Alam dan serta merta menghukum Panglima Sobrang dengan hukuman mati.

Dan Dewi Melur diusir keluar dari istana, serta diperintahkan untuk dibunuh di tengah hutan belantara. Dua orang perwira Kerajaan segera membawanya dengan mengendarai kuda. Dewi Melur tak berdaya. Dan pada malam yang sunyi itu telah tiba di tengah hutan belantara. Namun salah seorang dari perwira Kerajaan tak tega untuk menjalankan tugas. Apalagi Dewi Melur dalam keadaan hamil. Tentu saja hal itu salah seorang dari perwira Kerajaan itu menjadi serba salah.

Namun kawannya tetap mengambil keputusan untuk membunuh wanita itu. Terjadilah pertengkaran, yang kemudian beralih menjadi pertarungan seru. Karena masing-masing berlainan pendapat. Salah seorang terluka putus lengannya oleh pedang kawannya. Segera laki-laki bernama Warakas itu berniat membunuhnya. Sayang kawan perwira yang terluka itu sempat melarikan diri. Dan kembali ke istana. Warakas terpaksa bertindak mengambil keputusan nekat.

Kembali berarti mati. Dan membunuh Dewi Melur pun sudah terlambat, juga tak mungkin ia tega untuk melakukannya. Maka segera Warakas membawa Dewi Melur untuk menyembunyikan diri. Raja Bantar Alam gusar bukan main, mendengar berita itu. Dan perintahkan lasykarnya untuk mencari kedua orang itu hidup atau mati. Namun Warakas dan Dewi Melur telah lenyap bagai ditelan bumi.

Delapan belas tahun kemudian. Raja Bantar Alam sakit keras. Agaknya tak ada pilihan lain bagi Raja untuk mengangkat Kandaga, putera dari selir terakhirnya menjadi Raja bagai penggantinya. Kandaga adalah pemuda gagah, yang berparas tampan. Berkulit coklat dan bertubuh kekar. Dan keputusan pun tak dapat lagi dibantah!

Kandaga memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Bungo Mambang! menggantikan ayahandanya. Hal mana sudah berlangsung beberapa bulan. Bantar Alam ternyata masih berumur panjang. Namun ia memang sudah mengundurkan diri dari kepemimpinannya...

* * * * * * *

Senja itu berkelebat sesosok tubuh langsing. Gerakannya amat cepat sekali bagaikan burung walet. Dan sebentar saja ia telah berada di halaman istana. Karena tubuh itu memasuki halaman dari sisi tembok pagar istana yang tidak terjaga. Maka pengawal-pengawal Kerajaan tak seorang pun melihatnya. Sayang... baru saja ia mau berkelebat masuk ke pintu samping. Dua orang penjaga telah melihatnya.

"Haiii...!" Siapa kau...?" teriak salah seorang seraya melompat menghadang dengan tombak dan pedang terhunus.

Ternyata sosok tubuh itu adalah seorang wanita alias gadis cantik. Hidungnya mancung, bermata agak sipit. Beralis mata indah melengkung ke atas. Wajahnya memang boleh dikatakan cantik, dengan tahi lalat di bawah hidungnya. Cuma sepasang matanya tampak bersinar aneh..! Karena tatapannya mengandung hawa seram. Seperti seakan mau menembus jantung kedua penjaga istana itu.

"Heh..! Aku mau mencari si Kandaga..! Akan kucincang tubuhnya sampai lumat..!" Mendesis suara wanita itu.

Tentu saja hal itu membuat kedua penjaga itu jadi terkesiap. Dan sudah lantas membentak. "Kurang ajar...! Kau mau membunuh baginda Raja..?! Keparat..! Mampuslah kau..!" Dan segera saja keduanya telah melakukan serangan. Tombak dan pedang sudah meluncur deras untuk memanggang tubuhnya. Akan tetapi...

Plak..! Plak..!

Kedua terjangan itu telah disambuti dengan hantaman sepasang lengannya. Dan akibatnya tombak dan pedang sang penjaga itu sudah terpental, karena sekonyong-konyong si wanita berbaju hitam itu telah menggerakkan tangannya cepat sekali. Belum lagi hilang terkejutnya, si kedua penjaga itu telah perdengarkan teriakan ngeri. Dan sekejap kedua tubuh itu roboh terjungkal. Dengan leher di cengkeram kesepuluh jari-jarinya. Darah segar menyembur muncrat. Dan dengan tubuh berkelojotan, kedua penjaga itu telah tewas seketika.

Mendengar kegaduhan di halaman istana, beberapa penjaga lainnya sudah berdatangan. Dan alangkah terkejutnya menyaksikan dua orang kawannya tewas secara mengerikan. Segera saja mereka mengurung si wanita cantik berbaju hitam itu. Tampaknya si gadis ini tak merasa gentar. Bahkan dengan tersenyum sinis memandang orang-orang di sekelilingnya. Adapun para penjaga istana sudah segera berteriak membentak, dan menerjang manusia di hadapannya. Berkelebatlah tubuh si wanita menghindari. Gerakannya gesit sekali. Hingga yang terlihat hanyalah bayangan tubuhnya saja.

Lagi-lagi terdengar teriakanteriakan santar, diiringi ambruknya beberapa penjaga istana itu. Masing-masing dengan leher kena dicengkeram hancur. Hingga beberapa orang sudah tampak melompat mundur dengan keluarkan keringat dingin, dan pandangan menatap ngeri. Hati mereka jadi mencelos terkejut. Melihat betapa tingginya ilmu wanita di hadapannya itu. Tiga orang panglima Kerajaan sudah melompat ke hadapan wanita itu.

"Ada permusuhan apakah anda mengamuk di Kerajaan kami..? Kalau memang ada yang perlu dibicarakan, mengapa tidak bicara dengan baik-baik saja...?" Bertanya salah seorang yang tampaknya seorang laki-laki yang berusia sekitar 45 tahun.

Wanita ini menatap pembicara itu dengan wajah sinis. Senyum dari sepasang bibirnya yang tipis itu bagaikan sepasang mata pedang yang mau mengiris jantung. "Heh..! Aku mau bertemu dengan Rajamu! Mana si Kandaga itu..!" Berkata si wanita dengan suara tajam membersit.

"Ada perlu apakah anda menemui beliau..? Sayang baginda sedang tidak ada. Boleh kami tahu siapa anda..?" Bertanya lagi panglima tua itu dengan sabar. Sementara diam-diam hatinya berdebar keras. Ia tak dapat memastikan siapa adanya wanita itu. Akan tetapi sinar-matanya mengandung dendam yang amat hebat.

Wanita ini tiba-tiba tertawa mengikik. Suaranya membuat getaran yang mempengaruhi jantung. Dan ia sudah berkata dengan suara dingin bagaikan es. "Hi hi hi... Kandaga anak dari selir baginda Raja Bantar Alam. Mengapa dia bisa diangkat menjadi putera mahkota dan menjadi pengganti Baginda Raja Bantar Alam..? Hi hi hi... Aku adalah puteri Baginda Raja Bantar Alam dari Permaisuri Dewi Melur. Akulah yang berhak menjadi Raja, atau Ratu pengganti ayahku, bukan dia...!"

Terkejut ketiga perwira itu. Lebih-lebih si panglima tua Karena panglima itulah yang bernama Renggana Pati. Dua puluh tahun yang silam ialah yang diperintahkan oleh Raja Bantar Alam untuk membunuh permaisuri di tengah hutan. Ketika itu permaisuri Dewi Melur tengah hamil. Akhirnya ia berselisih dengan Warakas, kawannya. Yang waktu itu mereka masih prajurit.

Renggana Pati tak terasa memegang sebelah lengannya yang putus sebatas siku. Warakas berhasil menabas putus sebelah lengannya. Namun tak berhasil membunuhnya. Renggana Pati melarikan diri kembali ke istana, dan melaporkan kejadian itu pada Raja Bantar Alam. Namun Dewi Melur dan Warakas, lenyap tak berbekas, walaupun telah dicari ke setiap penjuru tempat.

Kini seorang gadis mengakui adalah puteri dari permaisuri baginda Raja Bantar Alam. Tentu saja hal itu membuat Renggana Pati jadi terkesiap. Pada saat itulah muncul seorang wanita berparas cantik, walaupun usianya telah sekitar empat puluhan tahun. Si wanita itu sudah lantas membentak,

"Kurang ajar..! Iblis perempuan dari mana kau. datang-datang mengamuk membunuhi orang istana..? Hai! Para panglima..! Mengapa kalian tidak segera meringkus perempuan ini..!?" Teriak wanita itu seraya menatap tajam pada ketiga perwira dan si gadis berganti-ganti.

Mendengar kata-kata itu si gadis cuma tertawa sinis. Sepasang matanya membersit tajam menatap wanita di hadapannya. "Hi hi hi... kau pasti selirnya ayahku, Baginda Raja Bantar Alam. Dan ibunya si Kandaga..!" Berkata wanita berbaju hitam itu dengan suara dingin.

"Benar..! Anakku Pangeran Kandaga berhak penuh atas kerajaan Bungo Mambang ini! Bukan kau...! Ketahuilah..! Ibumu si Dewi Melur telah main gila dengan Panglima Sobrang, beberapa tahun yang silam. Mengapa kau mengakui dirimu anak keturunan Raja..? Sudah jelas ayahmu si Sobrang itu secuilpun kau tak ada hak untuk menjadi pewaris Kerajaan..!" Berkata sang selir, yang tampaknya jadi naik darah melihat kemunculan wanita muda itu.

Tentu saja perkataan itu membuat si wanita berbaju hitam menjadi pucat wajahnya. Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Tubuhnya seperti menggigil bahwa gusarnya mendengar penghinaan ini. Namun ia tak dapat bertindak apa-apa selain tiba-tiba menutup mukanya. Dan sekonyong-konyong berlari dengan tubuh terhuyung-huyung. Dari kejauhan masih terdengar suara isak tertahan. Dan sesaat kemudian sang gadis itu telah berkelebat lenyap.

Ketiga panglima yang menatap tampak sama-sama menghela nafas. Sementara wanita istri Bantar Alam itu sudah kembali memasuki istana. Wanita bernama Gendari itu sudah menjadi ibu suri di istana Kerajaan Bungo Mambang.

"Untung baginda Pangeran Kandaga sedang tidak ada..!" Berkata salah seorang panglima.

Renggana Pati mengangguk-angguk, lalu beranjak masuk, setelah diperintahkan beberapa pengawal mengurus jenazah para penjaga istana yang tewas. Selesai para pengawal membersihkan halaman istana dari ceceran darah, Renggana Pati memerintahkan segenap prajurit untuk menambah kewaspadaan, dan memperketat penjagaan.

* * * * * * *

Wanita berbaju hitam itu berlari dan berlari dengan hati serasa remuk redam. Sementara hatinya seperti ditusuk-tusuk oleh jarum. Betapa sakit dan malunya ia, dikatakan bahwa ia adalah anak hasil dari perbuatan serong ibunya terhadap seorang panglima Kerajaan bernama Sobrang.

"Benarkah demikian..? Benarkah aku bukan anak dari Baginda Raja Bantar Alam?" Mendesis suara tersendat dari kerongkongannya. Bibirnya bergerak-gerak menahan tangis. Sebaris giginya sudah segera menggigitnya hingga berdarah. "Aku harus tanyakan pada paman Warakas peristiwa sebenarnya. Atau aku harus menunggu sampai ibu datang dari seberang..!" Berkata si gadis dalam hatinya.

Segera tubuhnya berkelebatan cepat meninggalkan tempat itu. Sementara malam mulai merayap. Di langit cuma ada sepotong bulan. Rumah yang ditujunya telah kelihatan. Akan tetapi gadis ini tidak segera pulang. Disana ia terpaku menata bulan. Ternyata di hatinya telah timbul peperangan hebat.

"Aku tidak mengerti... manakah yang benar? Penjelasan paman Warakas, ataukah kata-kata selir baginda Raja Bantar Alam...? Kalau benar aku anak seorang panglima Kerajaan bernama Sobrang, lalu di manakah ayahku.. ? Apakah aku harus menjumpai baginda Raja Bantar Alam untuk memohon penjelasan ini..? Tapi aku telah menanam permusuhan, dengan membunuh beberapa prajurit Kerajaan. Mana sudi ia bicara padaku..?" Beberapa pertanyaan memenuhi benak si gadis cantik. Akhirnya pelahan-lahan ia bangkit berdiri, dan beranjak dari situ.

"Ah... seandainya ibu sudah datang." Gumamnya. Sampai disini ia sudah berkelebat cepat untuk mendatangi rumah panggung di kelokan jalan itu. Akan tetapi lagi-lagi ia hentikan langkahnya. Karena didengarnya ada suara-suara perlahan terdengar dari balik dinding. Segera ia pasang telinga. Bahkan, sudah dapat melihat keadaan di dalam kamar tempat tidur pamannya.

"Suara seorang wanita..! Ibukah..?" Sepasang matanya sudah terbentur dengan dua sosok tubuh yang tengah bicara perlahan. Benarlah..! Kedua orang itu adalah ibu dan pamannya. Namun keadaannya bukanlah seperti dua orang saudara kandung. Atau dua orang kakak beradik. Karena kedua tubuh mereka saling berhimpitan.

Kalau saja dalam keadaan siang hari, tentu akan terlihat wajah si gadis ini berubah menjadi merah. Tidak salahkah penglihatannya...? Tapi kenyataannya itu memang sudah terpampang di depan matanya. Segera sudah ia tutup kelopak matanya. Dan ada terdengar lagi suara lirih ibunya.

"Warakas...? Kau dapat apa yang kau inginkan... sebagai balas jasa atas pertolonganmu padaku. Sebenarnya aku amat bersedih, karena walau bagaimana Laras Jingga tetaplah anakku..!"

Terkejutlah gadis yang sedang mendengarkan memasang telinga itu. Jantungnya berdetak keras. Dan ia sudah mendengarkan lagi dengan menahan nafas.

"Ha ha ha... kau memang bekas seorang permaisuri yang tahu membalas budi. Bukan dirimu saja yang kau berikan padaku. Tapi bahkan anak gadismu sendiri juga kau korbankan demi balas jasa...! Aku benar-benar mengagumimu, Dewi Melur."

Berkata Warakas, laki-laki bekas prajurit itu Yang kini telah menginjak usia sekitar 40 tahun. Tubuhnya tegap dengan dada berbulu. Ia memang seorang laki-laki yang gagah, berkumis tebal, rambutnya sudah terdapat dua warna, putih dan hitam. Dewi Melur yang berusia sekitar 35 tahun itu memang masih sangat cantik. Sepasang lengan Warakas membelai rambut dan wajah Dewi Melur. Wanita ini tampak pejamkan matanya. Tiba-tiba ia sudah berkata lagi seraya menghela napas.

"Semua itu adalah karena perjanjian yang telah aku ikrarkan delapan belas tahun yang lalu. Demi nyawaku. Dan demi anak dalam kandungan ku. Walau kau adalah bekas hamba sahayaku, seorang prajurit yang seharusnya menghormatiku sebagai seorang permaisuri Raja. Akan tetapi aku memang harus mengakui kelicikanmu, Warakas..! Dan kau memang telah membuatku jatuh, walau syarat yang kau berikan itu amat berat. Kini semuanya telah kau dapatkan. Bukankah kau telah puas..?"

Tiba-tiba Warakas memeluk kencang seraya bisikkan di telinga Dewi Melur "Yah aku telah puas...! Akan tetapi aku sulit menjatuhkan Laras Jingga. Ia seorang gadis berhati keras..! Kejatuhannya yang pertama itu tanpa disadari olehnya. Tapi ia mulai menjauhi diriku..! Walau tak berani menuduhku..! Aku memang telah berjanji membuka rahasia siapa dirinya sebenarnya. Aku telah katakan padanya bahwa ia seorang puteri raja yang berhak atas Kerajaan Bungo Mambang. Bukankah kau pun menginginkan ia menjadi pengganti baginda Raja Bantar Alam, dan melenyapkan musuh-musuhmu..?" Berkata Warakas seraya hentikan gerakannya.

Dewi Melur sampai kerutkan keningnya Akan tetapi sepasang lengannya sudah mencengkram punggung laki-laki itu, seraya desiskan suara dari bibirnya.. "Ah... sudahlah. jangan bicara lagi kepadaku, aku pusing. Aku baru saja kembali.." Bisik Dewi Melur lirih. Dan ucapnya lagi. "Aku rindukan kau Warakas..."

Selanjutnya suara wanita itu sudah lenyap. Karena ia sudah memagut leher Warakas untuk membenamkannya ke dadanya. Sementara ia sudah perdengarkan keluhan mendesis. Matanya setengah terpejam...

Laras Jingga sudah berlari meninggalkan rumah panggung itu. Hatinya terasa remuk redam melihat apa yang didengar dan dilihatnya... Dunia ini serasa gelap. Ia berlari dan berlari... tanpa arah tujuan, menyibak kelamnya malam. Tubuhnya berkelebat cepat sekali, hingga yang tampak hanya bayang-bayang hitam menembus di kegelapan.

Entah beberapa saat ia berlari-lari... hingga ketika rasakan kakinya lelah, barulah ia berhenti. Sementara air matanya tak hentinya bersimbah mengalir di pipinya. Tempat itu adalah sebuah tebing batu, namun di sebelah baratnya terdapat sebuah bangunan gedung tidak seberapa besar. Namun tampak gelap gulita. Segera ia berkelebat kesana.

Setelah diperhatikan ternyata adalah sebuah kuil yang kosong tak berpenghuni. Mendapat tempat untuk beristirahat, Laras Jingga merasa kebetulan. Dan ia sudah duduk menggabruk di sudut lantai. Langit-langit bagian depan kuil itu terbuat dari tembok tebal. Dengan empat buah tiang beton menyangganya. Dengan menyandarkan tubuhnya di tiang beton, Laras Jingga termenung memikirkan nasibnya. Seolah terdengar lagi kata-kata pamannya. Kata-kata yang membuat darahnya jadi bergolak, dan luapkan kemarahan yang tak terhingga.

Kini terbuka sudah bahwa Warakas bukanlah pamannya, melainkan bekas seorang prajurit. Entah pertolongan apa pada ibunya hingga sampai Warakas menuntut janji. Dan sang ibu rela memberikan kehormatannya pada Warakas. Bukan itu saja, bahkan rela berikan kehormatan anak gadisnya pada si prajurit bernama Warakas itu.

Pelupuk mata gadis kembali menjadi basah. Diantara kelopak matanya masih terbayang jelas ketika sang paman menggaulinya. Saat yang mengenaskan, dan di malam yang buruk itu, Laras Jingga seperti biasa meneguk minuman dalam air kendi di atas meja di dalam kamarnya. Air itu memang tidak bening seperti biasanya. Akan tetapi ia tidak bercuriga. Dan karena rasa dahaganya, ia sudah meminumnya sampai segelas habis. Dan selanjutnya ia sudah rebahkan diri di pembaringan.

Begitu cepatnya, ia terlelap... hingga sudah tak tahu apa-apa lagi. Cuma diantara sadar dan tiada, Laras Jingga rasakan benda berat menindih tubuhnya. Selanjutnya ia cuma rasakan seperti dalam mimpi. Beberapa saat berlalu, ketika ia sadarkan diri ia rasakan kelainan pada tubuhnya. Sadarlah Laras Jingga akan apa yang terjadi. Dari balik pintu kamar ia mengintip ke dalam ruangan depan. Terlihat sang paman masih enak-enak duduk seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Laras Jingga bantingkan tubuhnya ke tempat tidur, dan terisak-isak menekap wajahnya di bantal. Dan malam itu juga ia telah pergi dari rumah itu. Ia memang tak dapat berbuat apaapa. Namun hatinya jadi membenci sang paman. Dan diam-diam ia mengancam akan mengadukan hal itu pada ibunya bila kembali.

Kejadian itu berlangsung setengah tahun yang lalu. Dan sejak saat itu ia jarang pulang ke rumah. Ternyata diam-diam Laras Jingga telah mempelajari ilmu kedigjayaan dengan seseorang, yang belakangan telah pula menjerumuskannya pula ke dalam dekapan sang Guru.

Laras Jingga sudah tak tahu lagi akan dirinya. Apa lagi sejak ia berusia sepuluh tahun, sang ibu memang jarang berada di rumah. Selama itu memang ia tak mengenal siapa ayahnya. Untuk kedua kalinya terpaksa Laras Jingga menerima kehadiran Warakas. Dengan janji akan memberitahukan siapa dirinya sebenarnya. Hingga ia melabrak ke Kerajaan Bungo Mambang. Di sana ia menumpahkan kejengkelan hatinya.

Kini diketahuinya bahwa sang ibu bahkan memang bersedia mengorbankan anak gadisnya, juga semata-mata karena janji memberikan imbalan. Benar-benar terkutuk...! Jerit hatinya. Betapa ia telah dilahirkan secara hina. Dari seorang ayah yang tidak syah menurut hukum. Selama ini yang terpampang di depan mata tak lain dari lingkungan orang-orang terkutuk.

Warakas, ternyata manusia bejat. Ibunya Dewi juga bukan wanita baik-baik, walaupun bekas seorang permaisuri Raja. Gurunya tak lebih dari manusia durjana, yang memberi ilmu, namun mengharapkan imbalan..! Gila..! Benar-benar gila..! Memekik hati Laras Jingga. Dan tiba-tiba di malam yang sunyi kelam itu ia telah menjerit sekeras-kerasnya. Hingga bergetaran suaranya seperti mau meruntuhkan tembok tebal kuil itu. Selanjutnya ia sudah kembali menangis terisak-isak menekap wajahnya.

Sepotong bulan yang masih mengambang di langit, cuma terdiam, seperti juga turut merasakan kekalutan hati dan hancurnya perasaan si wanita muda itu. Sementara desir angin malam membuat tubuh agak menggigil. Malampun terus melarut. Laras Jingga masih tetap duduk terpaku di teras depan kuil seperti arca.

* * * * * * *

Pertarungan di dasar lembah yang penuh dengan kera itu berlangsung seru. Dua sosok tubuh sama-sama berjenggot dan berkumis panjang, yang terjuntai memutih itu saling gebrak dengan hebatnya. Puluhan ekor kera telah bergeletakan di sekelilingnya tak bernyawa. Sementara sisa-sisanya melarikan diri masuk hutan.

Pasir dan debu beterbangan. Batu-batu di sekitarnya hancur luluh terkena terjangan dari masing-masing serangan. Tampaknya kekuatan mereka hampir berimbang. Bentuk tubuh kedua manusia itu memang agak mirip. Cuma bedanya yang seorang kepalanya gundul plontos. Dan seorang lagi berambut panjang bagai wanita.

Saat itu sesosok tubuh berkelebat di atas tebing, dan berhenti untuk memandang ke bawah. Ternyata dia seorang wanita muda. Dengan rambut panjang terurai. Wajahnya amat cantik dan ayu rupawan. Dengan pakaian dari sutera merah jambu. Bermata jeli dengan alis mata yang melengkung bagai busur panah. Siapa lagi gadis muda itu kalau bukan Roro Centil. Si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Dari atas tebing itu Roro perhatikan jalannya pertarungan. Segera ia mengetahui siapa yang bertempur di bawah sana itu.

"Bagus..! Jarang aku menyaksikan pertarungan dua orang tokoh Rimba Hijau kaum tua seperti ini..! Aku bisa menontonnya dengan asyik!" Desis Roro seraya berkelebat turun.

Gerakannya lincah, bagai seekor burung seriti. Yang berkelebat dari ujung-ujung batu tebing yang menonjol, melompat-lompat seperti tidak merasa gamang atau ngeri tergelincir. Tentu saja bagi Roro hal semacam itu bukanlah hal yang aneh lagi. Karena sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, jurang dalam, bukit dan gunung bukanlah merupakan rintangan lagi baginya.

Sebentar saja ia telah mendapat tempat yang cocok untuk menikmati pertarungan hebat yang jarang ada itu. Si kakek berambut panjang berjubah putih itu, Roro Centil telah mengenalnya. Yaitu si Dewa Siluman Kera. Sedang yang seorang lagi, yaitu si kakek yang bertubuh kurus dan berkepala gundul plontos itu memang Roro baru mengenalnya sebulan yang lalu. Yaitu di saat ia singgah di sebuah danau. Dimana Roro melihat seorang kakek kurus tengah mengail ikan.

Cara mengail yang aneh itu tentu saja telah menarik perhatian Roro. Karena hanya mempergunakan sebuah bambu kecil, tanpa tali. Tapi bila disentakkan akan terbawa beberapa ekor ikan meluncur kepermukaan air. Dengan sebat, ia sudah menangkapnya. Dari melihat keanehan itu Roro sudah dapat pastikan bahwa kakek aneh itu seorang yang berilmu tinggi. Diam-diam ia menguntit si kakek aneh itu. Yang membawa serenceng ikan segar, sambil berkelebat dengan cepat.

Ternyata sang kakek sudah waspada kalau dirinya dikuntit orang. Segera ia balikkan tubuh. Dan tahu-tahu dua ekor ikan telah melesat menyambar Roro. Terkejut melihat kecepatan dua ekor ikan itu yang menyambar ke arahnya. Namun dengan kecepatan kilat, ia telah menangkap kedua ekor ikan itu. Seraya berucap.

"Hi hi hi... Terima kasih atas pemberian dua ekor ikan segar ini, kakek..! Aku memang sedang lapar. Dan memang berniat meminta beberapa ekor ikan ini, untuk dipanggang. Tentu akan terasa sedap, dan dapat mengurangi rasa lapar ku...!"

Akan tetapi jawabannya adalah sebuah serangan hebat menghantam Roro. Kali ini adalah satu angin pukulan yang berhawa panas menyambar ke arah sang pendekar Wanita. Terkejut juga Roro, karena angin pukulan itu belum tiba, hawa panasnya telah menyerang terlebih dulu. Akan tetapi lagi-lagi Roro berhasil menghindar dengan letikkan tubuhnya. Dan angin pukulan itu lewat di bawah kakinya. Terdengarlah suara seperti ledakan...

Dheerrr...! Hantaman dahsyat itu tepat menghantam pohon di belakangnya. Yang seketika tumbang hangus. Baru saja ia jejakkan kakinya, telah datang lagi serangan. Akan tetapi anehnya tidak di tujukan padanya. Melainkan pada batang pohon yang tumbang hangus itu. Terdengar suara mengguruh dan batang pohon itu telah terbakar hangus. Timbulkan api besar. Roro Centil jadi keheranan tapi ketika ia berpaling, si kakek aneh itu telah lenyap berkelebat. Dalam keheranan itu lapat-lapat terdengar suara di kejauhan.

"Bocah ayu... Silahkan kau panggang ikan mu. Kalau kau sudah kenyang menikmati, silahkan datang ke tempat ku di gubuk reyot, di kaki bukit sebelah barat...!" Tentu saja Roro jadi melengak. Tapi tiba-tiba ia telah kirim kembali suaranya dengan jarak jauh dengan mempergunakan tenaga dalamnya.

"Hi hi hi... Terima kasih sekali lagi kakek aneh..! Aku pasti akan datang menyambangimu..!" Disamping bergirang hati, namun diam-diam Roro terkejut juga. Karena seandainya ia kena terhantam, dapat dibayangkan bagaimana rupa dan bentuk tubuhnya.

Namun tak berayal lagi ia sudah bersihkan dua ekor ikan mas yang cukup besar itu. Dan dengan sebuah ranting, ia sudah mulai memanggang ikannya. Tak berapa Roro sudah duduk menikmati santapan lezatnya. Hingga sampai meram-melek karena nikmatnya. Sayang ia belum punya mertua.. Berfikir Roro. Seandainya sudah pun pasti tak akan ditawari. Karena memang lezatnya amat luar biasa.

Selesai bersantap, Roro segera beranjak untuk bangun. Terasa kenyang perutnya. Namun ketika teringat akan janjinya untuk singgah ke tempat si kakek aneh itu, tanpa tunggu lama-lama lagi Roro sudah cepat tinggalkan tempat itu. Demikianlah... Roro Centil dapat berkenalan dengan si kakek aneh itu yang ternyata berjulukan si Mayat Hidup.

Ternyata di pondok kecil itu menetap pula seorang wanita muda yang baru saja melahirkan seorang jabang bayi. Dan baru berusia beberapa hari. Terkejut Roro karena mengenali wanita muda itu lak lain dari gadis yang pernah ditolongnya, yaitu Retno Wulan. Tentu saja mereka menjadi sangat akrab. Walaupun Retno Wulan memang sudah agak lupa siapa penolongnya itu.

Kedatangan Roro seperti memang tengah diharapkan. Karena ia dapat membantu merawat atau menjaga sang bayi. Yang bagi gadis muda itu belumlah pandai untuk mengurusnya. Maklum bayi yang pertama kalinya. Dari Retno Wulan itulah Roro mendengar kisah aneh yang dialami si wanita itu. Hingga membuat Roro Centil tercenung. Kiranya kisahnya demikian.

Retno Wulan telah kehilangan seorang suami bernama Gumarang, di saat kandungannya baru berjalan beberapa bulan. Dimana ketika siang hari ia seperti biasa duduk dimuka pondoknya yang menghadap ke arah danau Sang suami tengah mencari ikan dengan berperahu di tengah danau itu.

Tiba-tiba telah datang seorang wanita berbaju putih tahu-tahu muncul dimuka pintu pondok. Retno Wulan terkejut sekali. Dan menanyakan siapa adanya ia, serta apa keperluannya. Akan tetapi si wanita itu tak menyahutinya. Bahkan menatap tajam padanya. Lalu alihkan tatapannya ke arah danau.

Setelah perdengarkan tertawanya si wanita itupun kembali lenyap. Retno Wulan benar-benar tak mengerti siapa adanya wanita itu. Walaupun hatinya merasa was-was, ia bersyukur karena si wanita aneh itu tak mengganggunya. Ketika Gumarang (suaminya) pulang, Retno menceritakan serta menanyakan tentang wanita itu. Ternyata Gumarang pun tak mengenalnya. Sampai jauh malam Retno Wulan tak dapat tidur. Tapi akhirnya ia pulas juga tertidur sampai agak kesiangan.

Akan tetapi alangkah terkejutnya Retno Wulan ketika mengetahui dirinya telah berada di sebuah lembah yang curam. Sedang suaminya sama sekali tak kelihatan. Retno Wulan cuma bisa menangis, karena setelah berusaha keluar dari lembah itu, tak membawa hasil. Hingga tahu-tahu ia telah ditawan oleh seorang yang mirip kera. Bahkan nyaris saja ia jadi korban manusia kera itu kalau tak datang si kakek yang bergelar si Mayat Hidup itu menolongnya.

Demikianlah hingga sampai melahirkan bayinya. Namun sampai saat ini suaminya belum juga dapat ditemukan. Walaupun si kakek Mayat Hidup sudah berusaha mencarinya. Gumarang lenyap tak berbekas. Dan anggapan Retno Wulan, suaminya sudah tak ada lagi di dunia ini...

Terenyuh juga hati Roro mendengarnya. Tapi diam-diam Roro berfikir lain tentang wanita si penculik aneh itu. Karena bisa saja yang melakukan adalah salah seorang dari musuh besarnya yang tengah dicarinya. Karena wanita penculik itu berkepandaian tinggi. Demikianlah, sampai satu bulan Roro menetap di pondok kecil itu, sambil membantu Retno Wulan mengurus bayinya. Dan ia berjanji pada Retno Wulan kelak akan membantu mencari suaminya bernama Gumarang, yang telah lenyap secara misterius itu.

Ternyata si kakek berjuluk si Mayat Hidup itu telah pula berbaik hati mewariskan tiga jurus ilmu pada Roro. Ternyata mendengar Roro Centil adalah pernah menjadi murid Ki Bayu Sela alias si Pendekar Bayangan, orang tua itu amat simpati padanya. Karena almarhum si Pendekar Bayangan pernah menjadi sahabatnya ketika semasa hidupnya puluhan tahun yang silam ketika si Mayat Hidup masih mengembara di tanah Jawa alias Pulau Kelapa.

Entah mengapa hari itu si Mayat Hidup berpesan agar turut menjaga Retno Wulan. Atau setidak-tidaknya mencarikan tempat yang aman baginya. Sikapnya agak aneh. Membuat Roro jadi kepingin tahu. Ternyata benarlah... ada suatu rahasia yang disembunyikan si kakek itu. Yaitu perjanjian dengan si Dewa Siluman Kera, untuk bertarung sampai seribu jurus di lembah yang penuh dengan kera itu.

Diam-diam Roro menguntit. Agaknya si Mayat Hidup tak ingin urusannya dicampuri Roro. Namun Roro Centil mana bisa berdiam diri. Sifat ingin tahunya membuat ia berhasil mengetahui tempat pertarungan itu. Walaupun kedatangannya agak terlambat. Karena pertarungan kedua kakek sakti itu telah berlangsung ratusan jurus. Di tempat persembunyiannya Roro menyaksikan kedua tokoh tua Rimba Persilatan itu saling baku hantam.

Satu pukulan telak rupanya tak dapat dihindarkan oleh si Dewa Siluman Kera. Ketika di saat si Dewa Siluman Kera menghantam tempat kosong, hingga batu-batu berhamburan. Pada saat si Mayat Hidup menerjang dengan dua hantaman sekaligus. Tampak si Dewa Siluman Kera bergulingan menghindar. Akan tetapi ia kecele, karena dua hantaman pukulan itu adalah gerak tipu saja.

Dan si Mayat Hidup sudah menduga Dewa Siluman Kera akan bergerak ke samping. Segera saja jurus Halilintar menyambar Bukit ia pergunakan menghantam tubuh si Dewa Siluman Kera. Akibatnya pukulan telak itu tak dapat dihindarkan lagi. Namun Tubuh si Dewa Siluman Kera memang kuat bagai dilindungi selapis perisai baja.

Hantaman itu hanya membuat tubuhnya terlempar bergulingan dua puluh tombak. Akan tetapi telah kembali berdiri dengan sebat. Gerakannya bagai seekor kera yang bergerak lincah. Tampak si Mayat Hidup melengak. Ia sudah mengharapkan akan cepat menyudahi pertarungan itu tak berapa lama lagi. Karena sekujur tubuhnya telah lelah, dan mengucurkan keringat.

Akan tetapi anehnya si Dewa Siluman Kera bahkan semakin lama semakin kuat. Kini dengan sepasang mata beringas menatap tajam pada sang lawan, Dewa Siluman Kera perdengarkan suara menggeram bagai gorila. Sepasang lengannya tiba-tiba bergerak memutar. Bibirnya berkemak-kemik bagai membaca mantera.

Roro sendiri tertegun melihatnya. Diam-diam ia sudah membatin... Ilmu apakah gerangan yang akan dilakukannya..? Berfikir Roro Centil. Dilihatnya si Mayat Hidup cuma mengawasi dengan sepasang matanya yang cekung. Tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat, seperti mau membelah bukit layaknya.

Segelombang asap hitam bergulung-gulung menyebar disekeliling tubuh si Dewa Siluman Kera yang tahu-tahu gelombang asap hitam itu meluncur ke arah si Mayat Hidup yang jadi seperti terpaku di tempatnya. Sebentar saja lenyap sudah tubuh si Mayat Hidup seperti dibungkus gelombang asap hitam itu. Terdengar si Dewa Siluman Kera berteriak santar...

"Hujan...! Taufan...! Petir...!" Disertai teriakan-teriakan itu, tubuh si Dewa Siluman Kera tiba-tiba sudah amblaskan kakinya sampai sebatas betis. Inilah tenaga dalam yang paling hebat yang tengah ia kumpulkan. Sepasang lengannya bergerak bergetaran. Kiranya tenaga dalam itu bercampur dengan saluran ilmu batin yang sudah mencapai tingkat tinggi. Yang telah disalurkan melalui asap hitam dan lengan serta suara bentakannya, untuk mempengaruhi si Mayat Hidup.

Hebat akibatnya. Tampak si Mayat Hidup seperti terperangah, tubuhnya seperti sudah tak bertenaga lagi. Roro Centil tiba-tiba telah melompat bangun dan keluar dari tempat persembunyiannya. Tampak ia katupkan sepasang matanya agak merapat, setengah terbuka. Roro tengah menyalurkan segenap ilmu batinnya untuk menolak kekuatan batin si Dewa Siluman Kera.

Sekejap saja tubuhnya telah berubah kepulkan uap putih. Hingga sampai ke ubun-ubun rambutnya. Sepasang kakinya pun telah amblas ke dalam bumi. Sementara sepasang lengannya disilangkan ke depan dada. Dan tampak bergetaran dengan hebat. Tiba-tiba terdengar suara teriakan Roro Centil melengking tinggi. Dan disusul dengan hentakan hebat yang berkumandang ke sekeliling lembah.

"Hujan lenyap...! Petir lenyap...! Taufan lenyap...!" Hebat sekali kekuatan batin Roro Centil yang disalurkan melalui getaran suara itu. Seketika angin taufan yang menghembus. Hujan yang deras dan petir yang menyambar-nyambar tubuh si Mayat Hidup itu lenyap.

Tampaknya si Mayat Hidup telah tertolong. Dan ia sudah menyadari akan keadaan dirinya yang dalam keadaan berbahaya. Tiba-tiba ia sudah membentak keras, seraya menghantam buyar asap hitam yang mengelilingi tubuhnya.

Terkejut bukan main si Dewa Siluman Kera. Akan tetapi segenap tenaga dalam telah ia salurkan pada kedua lengannya. Sebelum si Mayat Hidup menyadari, ia sudah lakukan hantaman hebat, disertai lompatan tubuhnya ke arah sang lawan. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan merah jambu. Yang telah memapaki hantaman tenaga pukulan si Dewa Siluman Kera. Terdengarlah suara...

Blaaarrrr.....! Asap tebal berwarna putih dan hitam tampak membumbung ke udara. Terdengar dua teriakan yang hampir bersamaan. Dan dua sosok tubuh terlempar belasan tombak. Dewa Siluman Kera terpental ke belakang dengan deras. Akibatnya fatal... Karena tepat di belakangnya adalah dinding tebing batu. Hingga tak ampun lagi terdengar suara...

Praaakkk...!

Dan terlihat darah merah dan putih kental, memuncrat seketika. Dibarengi dengan ambruknya tubuh si Dewa Siluman Kera ke bawah. Yang tanpa berkelojotan lagi tubuh si manusia kera itu sudah menggeloso bagai sehelai kain, tak berkutik. Ternyata batok kepalanya telah pecah berantakan.

Sedangkan Roro Centil terlempar beberapa tombak lalu jatuh bergulingan. Tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu masih bisa bergerak untuk bangkit, tapi detik berikutnya kembali roboh terkapar.

Adapun si Mayat Hidup terkejut bukan main. Ia sudah segera memburu ke arah tubuh Roro. Sekilas saja ia telah dapat mengetahui bahwa yang telah menolong jiwanya adalah si gadis pendekar itu. Karena ia telah melihat bayangan merah jambu berkelebat menahan serangan dahsyat yang tak terduga, dan terlalu sulit untuk ia dapat menghindar.

"Bocah ayu...!?" Ia sudah bergerak melompat untuk memburunya. Akan tetapi ia sendiri sudah terjungkal, karena sekonyong-konyong baru terasa tubuhnya menjadi terhuyung limbung. Cepat-cepat si Mayat Hidup bangkit kembali dan duduk bersila. Sebentar kemudian ia telah kembali normal. Agaknya pengaruh ilmu batin yang dilontarkan si Dewa Siluman Kera telah termakan pada sekujur tubuhnya. Beruntung ia mendengar bentakan-bentakan menggeledek, yang membuat serangan hebat itu seketika punah.

Terbersit seketika di hatinya bahwa yang menolong dirinya dari pengaruh serangan ilmu batin si Dewa Siluman Kera itu juga si bocah wanita dihadapannya. Kali ini si Mayat Hidup sudah pulih kembali tubuhnya. Dan sekejap ia telah berada di hadapan Roro Centil. Tak ayal sang kakek tua ini segera memeriksa pernafasannya. Tampak ia menghela napas. Wajah pucat si kakek ini kembali agak cerah.

"Dia cuma pingsan..! Akan tetapi bisa membahayakan jiwanya. Aku harus cepat menolongnya sebelum terlambat..!" Desis si Mayat Hidup. Dan sudah pondong tubuh Roro Centil pada pundaknya.

Sepasang matanya masih sempat melihat ke tubuh si Dewa Siluman Kera. Bergidik tubuh si Mayat Hidup, melihat batok kepala. Tokoh Hitam itu yang sudah hancur tak berbentuk lagi. Sedang di sekelilingnya tampak bergelimpangan bangkai-bangkai kera yang sudah tak terhitung banyaknya. Binatang-binatang itu adalah korban terjangan si Mayat Hidup. Karena si Dewa Siluman Kera mempergunakan binatang-binatang itu sebagai lasykarnya.

Sesaat antaranya si kakek Mayat Hidup itu sudah berkelebat tinggalkan lembah yang telah membawa kisah tragedi kematian si Dewa Siluman Kera, guru si Siluman Kera Putih. Beberapa kedip berikutnya sosok tubuh sang kakek yang memanggul tubuh Roro, sudah lenyap tak kelihatan lagi Lembah itu kembali mencekam... Sementara burung-burung pemakan bangkai berputar-putar di udara membaui bau amisnya darah yang memang sangat menusuk hidung....
* * * * * * *

Roro tergolek di balai-balai bambu di pondok si Mayat Hidup. Kakek tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menggumam... "Hebat..! Bocah aneh...!? Dalam usia begini muda, tetapi telah mempunyai kekuatan tenaga dalam berlipat ganda. Benar-benar luar biasa!"

Laki-laki tua ini menatap wajah gadis dihadapannya, yang tampak mulai mempunyai kekuatan tenaga yang tampak mulai mengeluarkan butiran-butiran keringat. Tersenyum si Mayat Hidup. Tadi ia sudah salurkan tenaga dalam berhawa hangat untuk membantu memulihkan pernafasan. Tampak nafas Roro mulai turun naik dengan teratur. Ia sudah suruh Retno Wulan memasak akar Ginseng. Dan ramuan obat itu sudah disiapkan dalam mangkuk. Sesaat antaranya Roro Centil sudah mengeluh, dan perlahan-lahan buka kelopak matanya.

"Kakek... kau selamat...!?" Berkata Roro dengan suara lirih. Dan bibirnya tersungging senyuman, melihat laki-laki tua itu berada dihadapannya.

Mayat Hidup mengangguk dengan tak terasa setitik air mata menggenang di pelupuk matanya. Siapa yang tidak trenyuh hatinya. Karena gadis dihadapannya itu bukan memikirkan keadaan dirinya, akan tetapi bahkan masih juga mengkhawatirkan nasib orang lain lagi. Suara tangis bayi Retno Wulan membuat ia tertawa kecil, Ia berusaha untuk bangun. Akan tetapi ia mengeluh, dan rebahkan lagi tubuhnya.

"Jangan banyak bergerak dulu, bocah ayu! Tubuhmu masih lemah. Kau perlu beristirahat lebih banyak. Sebentar lagi perutmu harus segera diisi dengan bubur hangat. Kini minumlah ini dulu..." Ujar si Mayat Hidup, seraya meraih mangkuk berisi ramuan akar gingseng. Dan memberikan pada Roro. Sebelah tangan si kakek itu bergerak membantu mengangkat punggung Roro.

Dan tanpa ayal atau sungkan-sungkan segera Roro meneguk ramuan akar itu. bau harum obat itu terasa menyegarkan. Hingga sampai habis Roro menghirupnya. Selesai minum, perlahan-lahan Roro kembali rebahkan tubuhnya dibantu oleh  si Mayat Hidup. Selang tak lama antaranya Retno Wulan masuk membawa semangkuk bubur hangat. Tampaknya Roro sudah mulai kuat untuk berbangkit. Dan dibantu Retno Wulan, Roro hanya mandah saja ketika wanita itu menyuapinya. Bahkan meniupi bubur hangat itu lebih dulu sebelum disuapkan ke dalam mulutnya.

Diam-diam Roro Centil jadi merasa geli sendiri. Persis seperti anak bayi saja aku ini..! Berkata Roro dalam hati. Semangkuk bubur hangat telah masuk perut Roro. Retno Wulan menemaninya duduk sambil membawa bayi mungilnya. Sementara si kakek Mayat Hidup telah ngeloyor ke belakang dengan senyum girang terlukis di wajahnya.

Agaknya Roro Centil sudah mulai merasa pulih lagi kesehatannya. Tubuhnya telah terasa kegerahan. Ia pun sudah segera bangkit duduk. Bahkan berdiri. Lalu gerak-gerakkan tubuhnya, hingga terdengar tulang-tulangnya berbunyi klatak-klutuk. Selang sesaat Roro sudah berjingkrak kegirangan. Ia benarbenar telah merasa sehat sama sekali.

"Eh, adik Retno..! Mari aku yang gendong bayimu, hi hi hi... lucunya..!" Berkata Roro seraya mau meraih si bayi dari lengan ibunya. Akan tetapi si bayi sedang menyusu ketika bibir mungilnya terasa copot dari pentil susu sang ibu, sudah lantas menangis. Akan tetapi cepat-cepat Roro menghiburnya.

"Aiiiih, adik manis... diamlah sayang. Aduuuh, kasihan sekali..! Nang ning nang ning ning guuuung...! Lekas besar lekas jangkung! Sudah besar jangan murung. Biar jadi orang beruntung..! Hi hi hi..."

Dinyanyikan sedemikian rupa, agaknya si bayi seperti mengerti lalu terdiam. Dan selanjutnya sudah tertawa lucu digoda Roro. Sementara Retno Wulan turut tersenyum. Tapi tak terasa sudah linangkan air mata. Karena sekonyong-konyong ia teringat pada sang suami. Ah..! seandainya ada Gumarang! Betapa akan terasa bahagianya..! Bisik wanita muda ini dalam hati. Namun cepat-cepat ia sembunyikan kesedihannya. Dengan buru-buru seka air matanya. Namun tak urung Roro sempat melihat.

"Kau menangis... adik Retno.. ?" Bertanya Roro dengan kerutkan alisnya.

"Ah..! Tidak kakak Roro..! Aku hanya girang dan terharu sekali, kau telah kembali sembuh. Tadinya aku amat khawatir akan keadaanmu. Tahukah kau berapa saat kau tak sadarkan diri...?" Tukas Retno Wulan seraya perlihatkan wajah gembira.

"Berapa lama aku tak sadar diri..?" Tanya Roro kepingin tahu.

Retno Wulan tersenyum, lalu menjawab; "Hampir satu hari satu malam..!"

Roro Centil terkejut. Sampai-sampai ia jadi ternganga keheranan. Selama itukah..? Pikirnya. Dan ia dapat membayangkan tentu selama itu akan membuat orang menjadi repot mengurusnya. Roro jadi geleng-geleng kepala tapi diam-diam amat bersyukur sekali dirinya telah sehat kembali.

Demikianlah... tinggal selama beberapa hari di tempat terpencil itu, Roro benar-benar merasa kesehatannya telah pulih benar-benar. Dari si kakek Mayat Hidup, Roro dapat mengetahui bahwa si Dewa Siluman Kera telah tewas, akibat benturan tenaga dalam dengannya. Tapi seandainya di belakang si Dewa Siluman Kera bukan dinding batu tebal, belum dapat dipastikan kematian tokoh hitam yang hebat itu. Agaknya memang sudah ajal dan hari naas si manusia kera itu untuk tewas dengan kepala pecah, karena terhantam batu.

Roro cuma menghela nafas panjang. Entah mengapa ia terlalu berani bertindak demi menyelamatkan si Mayat Hidup. Padahal belum tentu ia mampu menahan serangan dahsyat itu, mengukur akan tingkat ilmu tenaga dalamnya yang ia tak tahu mengukur kekuatan lawan. Waktu itu Roro memang bertindak tanpa mau tahu resikonya.

Akan tetapi ia sendiri keheranan, karena toh akhirnya sang lawan si Mayat Hidup bisa tewas. Barulah ia sadar, bahwa kematian dan kehidupan manusia adalah di tangan Tuhan. Setinggi-tingginya ilmu manusia, tidaklah ia dapat melawan takdir. Dan tiada seorangpun yang mampu melawan ajal, bila Tuhan telah menghendaki kematiannya...

* * * * * * *

Pagi itu cuaca cerah.... Mentari pagi mengorak senyum. Butir-butir embun menghias dedaunan, penaka butiran intan yang berkilauan terkena cahaya sinar sang Surya. Burung-burung terdengar berkicau menyambut hadirnya si Raja Siang.

Kala itu Roro Centil sudah lakukan lagi perjalanannya. Rasa penasarannya untuk mencari tahu dimana adanya si Peri Gunung Dempo dan si Kupu-Kupu Emas, tetap menggebu di dadanya. Disamping itu ia perlu mencari dimana adanya Gumarang. Si laki-laki yang pernah ditolongnya itu. Laki-laki gagah dan tampan yang diharapkan kehadirannya oleh Retno Wulan.

Setengah hari sudah Roro lakukan perjalanan. Dua desa telah ia singgahi, namun tak ada tandatanda kedua orang musuh besarnya di tempat itu. Akhirnya Roro memutuskan untuk mengunjungi Kota Raja, ia punya dugaan, bahwa bagi orang persilatan yang senang hidup bermewah-mewahan, tentu akan memilih tempat yang banyak keramaian. Karena bermacam hiburan terdapat disana.

Segera ia sudah berkelebat meninggalkan desa terakhir yang disinggahinya. Akan tetapi baru beberapa kali ia berkelebat, telinganya mendengar suara teriakan-teriakan santar dari ujung perkampungan. Roro kerutkan alisnya, dan secepat itu juga sudah memburu ke arah suara itu. Terkejut Roro Centil melihat seorang gadis berbaju hitam tengah dikurung oleh belasan orang bersenjata pedang dan golok. Rata-rata para pengurungnya adalah laki-laki berambut gondrong. Tampaknya wanita itu tak bersenjata sama sekali.

Akan tetapi sudah terlihat dua orang tergeletak tak bernyawa bersimbah darah, tak jauh dari kaki si gadis muda itu. Roro menyelinap ke balik pohon dengan cepat. Kini terlihat wajah gadis itu. Ia seorang gadis yang masih muda. Berumur antara 18 tahun. Wajahnya cukup cantik, tanpa pemoles muka. Dengan sebuah tahi lalat di bawah hidungnya. Ternyata gadis itu adalah Laras Jingga. Entah mengapa sampai terjadi hal demikian ini. Baiklah kita tengok kisah di belakangnya...

Kiranya sewaktu Laras Jingga semalaman duduk terpaku di depan kuil tak berpenghuni itu, sepasang mata telah memperhatikannya. Sesosok tubuh yang memperhatikan itu sudah lantas berkelebat lenyap. Namun kembali lagi dengan membawa serta dua orang pemuda. Tampaknya kedua pemuda itu laki-laki ceriwis dan berhidung belang. Melihat wanita cantik duduk sendirian, tentu saja jadi berniat mengganggu. Adapun infonya ia dapatkan dari seorang anak buahnya. Setelah memberitahu, si pembawa info sudah cepat-cepat angkat kaki. Tentu saja ia telah menerima persen yang lumayan.

Kala itu hari malam memang semakin melarut. Tapi cuaca tidak begitu gelap. Kedua pemuda itu sudah segera melompat ke hadapan si gadis. Salah seorang sudah menyapa dengan wajah berseri dan senyum menghias bibir.

"Selamat malam, nona..! Aih... kasihan sekali. Mengapa nona bermalam di tempat seram begini...? Kami adalah dua bersaudara Linggah dan Linggih. Senang sekali kalau kami dapat mengajak nona bermalam di tempat penginapan kami. Jangan khawatir, kami adalah orang-orang terhormat. Tentu nona akan mendapat perlindungan dari kami."

Tampak Laras Jingga palingkan wajahnya. Segera ia sudah dapat melihat wajah kedua pemuda dihadapannya. Walaupun dalam kesamaran cahaya bulan. Tak dinyana si pemuda itu mendapat sambutan. Gadis cantik itu bangkit berdiri seraya berkata; "Terima kasih... Kalau anda berdua menawarkan jasa baik, mengapa harus kutolak?"

Terhenyak seketika kedua pemuda Lingga dan Linggih. Benar-benar mereka bernasib mujur malam itu. Karena dapat memancing seorang gadis muda yang cantik, untuk pemuas nafsunya. Tentu saja Lingga yang tadi menyapa jadi girang sekali.

"Bagus..! Siapa yang mau menolak ajakan dua orang pangeran muda, yang punya kedudukan terhormat..? Ha ha ha... Mari..! Mari nona. Kita segera berangkat..!" Berkata Lingga seraya saja sudah merangkul pinggang Laras Jingga, yang tak menolaknya ketika pemuda itu membimbingnya untuk meninggalkan tempat itu.

Dalam beberapa saat saja setelah memasuki desa. Segera terlihat sebuah penginapan yang masih buka. Tempat itu memang tidak jauh dan pusat kota. Dan merupakan jalan hidup yang paling ramai. Apa lagi malam itu adalah malam panjang. Banyak para laki-laki iseng yang berkantong tebal, mencari hiburan. Kedua orang pemuda itu adalah dua orang anak pembesar Kerajaan. Yang sudah terkenal sebagai orang-orang yang disegani. Karena berurusan dengan mereka, berarti sama dengan mencari penyakit.

Ketika kedua tuan muda ini kembali memasuki penginapan, dengan membawa serta seorang gadis cantik, segera sebuah meja telah cepat dikosongkan. Kiranya di malam yang sudah larut itu masih banyak para pengunjung penginapan, yang juga membuka restoran sederhana di bagian depannya. Bau arak dan minuman keras sudah segera menyambar hidung. Meja kosong itu segera mereka isi. Seorang pelayan sudah segera menghampiri.

"Berikan dua botol arak Dan... Nona pesan apa...?" Tanya Lingga seraya memagut lengan Laras Jingga. Yang seperti orang melamun.

"Apapun bolehlah..." Sahutnya.

Lingga dan Linggih tertawa. "Bagus! Tapi aku khawatir nona... eh, siapa nama mu nona? Sedari tadi aku sampai lupa menanyakannya...!" Ujar Lingga. Sementara sepasang mata pemuda ini, tak hentinya menatap sang gadis dihadapannya.

"Panggil saja Laras..!" Sahut si gadis dengan suara datar. Seperti tiada berperasaan apa-apa atas segala sikap kedua pemuda itu.

"Baiklah... ngng... nona Laras, aku khawatir nona tak menyukai arak. Biarlah ku pesan saja susu hangat untukmu. Dan juga sediakan makanan kecil buat kami...!" Ujar si pemuda seraya menatap pada sang pelayan. Tapi ia sudah kedipkan mata pada laki-laki pelayan itu.

"Baik..! Baik tuan muda..! Tunggulah. Sebentar kami antarkan..!" Menyahuti si pelayan. Seraya angguk-anggukkan kepalanya. Tentu saja ia mengerti akan isyarat Lingga. Karena bukan hal aneh lagi baginya.

Kedua anak pembesar Kerajaan Sriwijaya itu sudah menuang araknya pada gelas masing-masing. Selanjutnya sudah meneguknya. Tak berapa lama sang pelayan sudah membawa segelas susu hangat dan makanan kecil. Tanpa ragu-ragu Laras sudah menghangatkan perutnya, menghirup air suguhan dan memakan hidangan kecil yang ada di atas meja.

Selang beberapa saat, tetamu satu persatu mulai berkurang. Tapi ada yang menginap di tempat penginapan itu. Tampaknya Laras Jingga sudah mulai mengantuk. Karena sudah beberapa kali menguap. Tentu saja Lingga segera bimbing gadis itu ke kamarnya. Sementara Linggih tetap berada di kursinya. Linggih yang mengerti akan isyarat kakaknya hanya perlihatkan senyum serta angggukan perlahan. Dan ia teruskan menghirup araknya hingga sepasang matanya tampak mulai merah.

Kira-kira sepenanak nasi.... tiba-tiba Laras Jingga muncul dengan wajah pucat, dan rambut kusut masai. Sepasang matanya setengah terpejam. Dengan terhuyung ia menghampiri meja Linggih, pemuda itu tersenyum, dan sudah bertanya; "Aii... nona Laras..! Kau belum tidur? Mana kakakku Lingga...!" Bertanya Linggih seraya menuang lagi araknya pada dua gelas kecil.

"Ah..! Kakakmu itu sudah tidur pulas di kamarnya. Biarlah jangan diganggu. Aku belum lagi mengantuk. Oh, dinginnya malam ini..." Berkata Laras Jingga seraya membetulkan baju di dadanya yang tersingkap.

Sepasang mata Linggih telah melirik sekilas. Dan perlihatkan sorot mata binal. "Kau minumlah arak ini... untuk penghangat tubuh..!" Berkata Linggih, seraya menyodorkan segelas arak yang baru dituangkannya.

Gadis cantik ini tanpa segan-segan menyambutnya. Dan langsung meminumnya. Ternyata isi gelas kecil itu cuma sekali teguk sudah kosong. Terkejut juga Linggih. Serta merta ia sudah mengisinya lagi. Dan hal yang sama pun terulangi. Tampaknya Laras Jingga cukup kuat untuk minum beberapa gelas. Hal itu membuat Linggih semakin girang. Hingga beberapa gelas sudah si gadis meneguk minuman yang ia suguhkan.

"Ha ha ha... Jangan khawatir, nona Laras..! Uangku masih cukup banyak utuh membeli beberapa botol arak! Agaknya nona Laras juga menyukai minuman keras ini..!"

Segera si pemuda tepukkan tangan, memanggil pelayan. Dan pesan lagi dua botol arak. Sedang kedua botol arak dihadapannya telah kosong tak berisi sama sekali. Si pelayan mengangguk. Dan cepat beranjak pergi. Tak berapa lama telah kembali membawa dua botol arak baru. Tak ayal lagi Linggih segera membuka tutupnya. Dan langsung tuangkan isinya.

"Ha ha ha... silahkan nona Laras..!" Ujar Linggih.

Laras Jingga dengan sepasang mata semakin meredup, menyambar gelas arak yang sudah penuh berisi itu. Dan langsung menghirupnya, serta menegaknya sampai habis. Kini tampaknya gadis dihadapannya ini mulai merasakan kepalanya berdenyutan. Gerakan lengannya sudah agak gemetar. Dan celotehnya mulai ngawur. Tapi ia sudah sodorkan lagi gelas kosongnya, seraya berkata;

"Tambah lagi... hi hi hi... nikmat sekali..! Oh..! Kau memang hebat Lingga..!" Pemuda bernama Linggih ini kerutkan alisnya, tapi sudah segera menuangkan lagi isi botol, yang segera memenuhi gelas kosong itu.

Tapi belum lagi Laras Jingga mengangkat gelasnya, arak dalam gelas itu telah tumpah membasahi meja. Tampaknya Laras sudah tak kuat untuk menahan tubuhnya yang telah terhuyung ke kiri dan kanan.

"Sudahlah, nona Laras.... Sebaiknya kau beristirahat..!" Berkata Linggih, seraya bangkit dari kursinya. Dan meraih pinggang Laras Jingga. Untuk selanjutnya sudah dipapah menuju kamar di ruangan dalam. Satu isyarat kepala membuat si pelayan yang telah mengerti, segera beranjak ke dalam terlebih dulu untuk menyediakan kamar.

Tentu saja Linggih bergirang hati, karena ternyata masih ada kamar kosong untuknya. Dan sesaat antaranya mereka sudah memasuki ruangan kamar, yang berhadapan agak jauh dengan kamar tempat Lingga menginap. Memang tadinya mereka menginap berdua dalam satu kamar dengan kakaknya.

Laras Jingga biarkan Linggih menggerayangi tubuhnya. Bahkan ketika ia rasakan bibirnya dipagut, tidaklah Laras Jingga menolaknya. Detik demi detik terus berlalu... Laras Jingga cuma dapat mendengar degup jantung Linggih yang semakin memburu. Terasa hembusan-hembusan angin bagai mengguruh di telinganya. Sementara samar-samar dari arah ruangan tamu, terdengar suara orang mendengkur. Dengan nafasnya yang panjang pendek mendesah-desah.

Satu persatu benda-benda yang menjadi penghalang telah mereka singkirkan. Laras Jingga bagaikan seekor kuda putih yang jinak namun binal. Pandangan matanya yang meredup seperti membakar birahi si pemuda anak pembesar Kerajaan itu.

Crass...! Kesepuluh jarinya telah membenam ke dalam leher si pemuda bernama Linggih itu. Tampak pemuda itu beliakkan sepasang matanya. Tubuhnya meronta menahan rasa sakit yang luar biasa. Sepasang kakinya menggelinjang seperti berusaha menahan sesuatu yang mau meronta keluar dari raganya. Lidahnya sudah segera terjulur. Tidak berapa lama gerakan kaki dan gelinjang tubuhnya mulai mengendur dan selanjutnya sudah semakin lemah. Sesaat kemudian tubuh itupun terdiam tak bergeming untuk selama-lamanya.

Laras Jingga lepaskan terkaman jari-jari tangannya di leher Linggih. Segera memancur deras darah merah bagaikan menggelegak tiada henti. Sekejap saja bantal dan tilam itu telah menjadi merah bersimbah darah. Bibir wanita muda ini tampilkan senyum dingin. Wajahnya tak berubah sedikit pun. Kemudian dengan cepat ia sudah beringsut turun dari pembaringan. Dan sambar kain selimut untuk membersihkan jari-jari lengannya. Sebat sekali ia telah rapihkan kembali pakaiannya. Lalu berdiri dan bereskan rambutnya.

Kelambu sutera segera ia tutupkan menutupi tubuh Linggih yang sudah menjadi mayat itu. Kemudian setelah tatap sebentar tubuh laki-laki itu, ia segera beranjak menghampiri jendela kamar. Dengan gerakkan tangannya, jendela sudah segera terbuka. Sekejap kemudian tubuh wanita muda itu telah bergerak melompat keluar, dan berkelebat lenyap dikeremangan malam yang semakin melarut...

* * * * * * *

Menjelang pagi di penginapan itu telah terjadi kegaduhan. Karena pelayan penginapan telah dapatkan Lingga dan Linggih kedua anak pembesar Kerajaan itu, telah tewas menjadi mayat, dengan keadaan mengerikan. Dengan leher berlubang serta tulang yang remuk. Seperti dicengkeram jari-jari tangan. Berita segera menyebar ke setiap pelosok.

Betapa gusarnya sang pembesar kerajaan mengetahui kematian kedua anak laki-lakinya. Segera menitahkan kepada pengawal Kerajaan untuk menangkap gadis yang ciri-cirinya telah diketahui. Beberapa maklumat tertulis dengan huruf-huruf besar untuk menangkap hidup atau mati wanita bernama Laras Jingga. Yang ciri-cirinya didapatnya dari si pelayan penginapan itu. Bahkan beberapa orang yang menginap di penginapan itupun telah mengenal siapa adanya wanita berbaju hitam itu. Tentu saja ada imbalan besar bagi siapa yang dapat membawa hidup-hidup atau bangkainya sekalipun.

Demikianlah... Hingga tatkala Roro Centil melihat seorang wanita tengah di kurung oleh belasan orang bersenjata telanjang itu, Laras Jingga memang sedang di incar nyawanya demi merebut hadiah bagi siapa yang dapat menangkap hidup-hidup atau membawa bangkainya untuk dipersembahkan pada sang Pembesar Kerajaan Sriwijaya. Empat orang tampak mulai menerjang maju. Golok dan pedang meluncur deras dari beberapa jurusan.

Akan tetapi gerakan si wanita itu memang lincah. Dengan wajah kaku dan sepasang mata seperti tak berkedip. ia mengegos kesana-kemari. Dibarengi gerakan lengannya berkelebat. Sekejap saja terdengar teriakan-teriakan ngeri. Dan keempat penyerangnya telah roboh terjungkal dengan leher-leher kena dicengkeram hancur. Dalam sesaat saja keempat penyerangnya itu telah berkelojotan meregang nyawa.

"Hebat..!" Mendesis Roro Centil dengan suara perlahan. Gerakan wanita berbaju hitam itu membuat ia terkejut, karena seperti ia telah mengenal gerakan dari jurus keji itu. Karena itu adalah salah satu dari jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu pecahan dari "Sepuluh Jurus Pukulan Kematian".

Ada hubungan apakah wanita muda ini dengan si Dewa Tengkorak.? Berkata Roro dalam hatinya. Ia sudah menduga bahwa si wanita itu adalah salah seorang dari musuh besarnya. Karena siapa lagi yang diwarisi jurus-jurus keji itu kalau bukan gundik-gundiknya si Dewa Tengkorak...?

Tapi Roro memang berfikir agak panjang. Karena melihat gadis itu masih berusia sangat muda, Roro jadi ragu. Sekiranya ia adalah salah satu dari gundik si Dewa Tengkorak, sudah pasti usianya dua kali lipat usia gadis dihadapannya ini. Mungkin pula gadis ini murid salah satu gundiknya si Dewa Tengkorak.

Tapi belum dapat dipastikan kalau guru gadis itu adalah pembunuh dan pengeroyok gurunya. Demikianlah Roro Centil belumlah bertindak untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Ia cuma perhatikan dari balik pohon.

Sementara itu, melihat lagi-lagi empat orang kawan dan para pengeroyok itu roboh dan tewas secara mengerikan, yang lain-lainnya mulai merasa gentar. Akan tetapi sebaliknya si gadis berbaju hitam itulah yang menerjang mereka seraya keluarkan bentakanbentakan keras yang menggetarkan jantung. Hebat akibatnya Karena ketujuh orang pengeroyokannya itu jadi seperti terkesima. Dan belum lagi mereka sadar akan apa yang terjadi, tahu-tahu tubuh si wanita itu telah berkelebatan menerjang kesana-kemari.

Dan tak ampun lagi, terdengarlah teriakan-teriakan ngeri yang berkumandang di siang hari itu. Batang-batang tubuh mereka bertumbangan bagai batang-batang pohon yang ditebang. Dan jatuh berkelojotan meregang nyawa. Darah memuncrat disana-sini. Di mana bayangan hitam itu berkelebat, pasti akan terdengar pekik mengerikan. Hingga dalam beberapa saat saja, ketujuh orang pengeroyoknya sudah bergelimpangan tak bernyawa.

Roro terpaku di tempatnya. Diam-diam hatinya membatin. Ada permusuhan apakah si wanita muda ini dengan para pengeroyoknya..? Aku dapat berpihak pada siapa-siapa, karena belum mengetahui persoalannya..! Demikian berfikir Roro Centil. Akan tetapi pada saat itu menoleh ke belakang. Tampak debu mengepul dari kejauhan. Semakin lama semakin dekat.

Tiba-tiba sekali memutar tubuh, si gadis berbaju hitam itu sudah berkelebat pergi ke arah sebelah timur. Roro Centil melompat untuk mengejar. Tapi sudah terdengar bentakan, dan disusul oleh berhamburannya anak-anak panah meluruk ke arahnya. Terpaksa Roro menggunakan kibasan rambutnya menghantam jatuh puluhan anak-anak panah itu. Yang segera berhamburan terpental, patah-patah.

"Kurang ajar...! Jangan harap kau dapat melarikan diri, perempuan siluman..!" Terdengar bentakan keras. Dan disusul oleh berkelebatnya dua sosok tubuh menghadang di depan Roro.

Kedua orang itu berpakaian perwira Kerajaan. Yang seorang bertubuh tinggi kekar, dengan kumis tebal menutupi mulutnya. Seorang lagi berwajah bersih, tanpa kumis dan jenggot. Usianya sekitar 40 tahun. Salah seorang sudah mencabut senjatanya, yaitu sebuah tombak pendek, dengan ujungnya seperti sebuah golok tipis, yang pada bagian sisinya terdapat tiga lekukan berujung runcing, mirip mata gergaji, sedang pada bagian sebelahnya lagi berbentuk melengkung pipih.

Itulah bagian yang tajamnya. Pada pangkalnya terdapat seuntai benang-benang merah. Itulah senjata yang dinamakan Tombak Naga Dewa. Si pemiliknya bernama Lembu Sura, seorang panglima kerajaan Sriwijaya yang termasyhur. Laki-laki tanpa kumis dan jenggot, bertubuh jangkung kurus itu sudah membentak dengan suara dingin.

"He..! Bocah perempuan..! Pantas kau sudah punya nyali macan. Rupanya ada berilmu juga kau! Hmm... sebutkan siapa dirimu, sebelum kau kutangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatan dosamu..!"

Sementara si kumis tebal itupun sudah mengeluarkan senjatanya sebuah kebutan, yang bergagang runcing. Sedang kebutan itu sendiri panjang dan tebalnya sangat mirip dengan ekor kuda. Orang inipun bukan orang sembarangan. Karena ialah yang dijuluki si Kebutan Dewa Maut. Namanya sendiri adalah Datuk Raja Guru.

Roro Centil agaknya ingin tahu juga akan kedua orang perwira Kerajaan ini. Tentu saja ia tidak takut, karena tak merasa bersalah. Ia sudah lantas berkata; "Aku yang rendah bernama Roro Centil..! Kaum rimba Hijau menyebutku Pendekar Wanita Pantai Selatan..! Ada urusan apakah gerangan kalian orang-orang Kerajaan memusuhi ku...? Herannya aku sendiri tak mengetahui apa kesalahanku..!"

Tentu saja kedua orang dihadapannya itu jadi melengak. Sementara itu sepuluh orang prajurit berpanah, telah mengurung Roro, dengan panah-panah siap dilepaskan dari busurnya. Mereka membentuk lingkaran, dengan masing-masing berada di atas punggung kuda. Roro Centil cuma palingkan sedikit kepalanya ke kiri dan kanan. Dan tampak ia perlihatkan senyum jumawa. Lembu Sura yang bersenjatakan tombak Naga Dewa itu tampak kerutkan alisnya, seraya berujar...

"Roro Centil Pendekar Wanita Pantai Selatan...? Hm..." Tampak Lembu Sura manggut-manggut. Dan teruskan kata-katanya. Juga perkenalkan siapa dirinya. "Aku Lembu Sura dan kawanku ini Datuk Raja Gur...!"

"Kau dari tanah Jawa, bukan..? Aku banyak mengetahui nama-nama di pulau Kelapa itu. Tapi aku jadi tetap curiga padamu, nona..! Jangan-jangan kau bersekongkol dengan iblis perempuan yang kucari itu. Memang dari tanda-tandanya, kau bukanlah wanita buronan yang sedang dicari hidup atau mati itu. Akan tetapi kecurigaan ku beralasan..!"

"Apakah alasannya.. ?!" Tanya Roro memotong kalimat.

"Di tempat ini hanya ada kau seorang. Dan bangkai-bangkai manusia ini sudah suatu bukti besar untuk menuduh mu. Karena mereka ini adalah orang-orang yang diutus oleh Panglima Kerajaan Sriwijaya, itu Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Kalau bukan kau pembunuhnya, bisa juga wanita buronan itu, yang sengaja kau sembunyikan di belakangmu..!" Berkata Lembu Sura.

Roro Centil jadi melengak juga mendengar tuduhan itu. Tapi ia tetap bersabar untuk lakukan pertanyaan. Karena akal cerdik Roro segera berkembang. Keadaan yang membahayakan dirinya itu, justru akan diambilnya keuntungan hingga ia dapat mengetahui persoalan sebenarnya.

"Hi hi hi... Alasan itu memang dapat diterima. Mencurigai orang itu memang boleh. Akan tetapi jangan menuduh dulu sebelum terbukti. Bolehkah aku tahu, apakah kesalahan wanita buronan itu..?" Tanya Roro.

"Hm... kabar sudah santar terdengar. Masakan kau tak mengetahuinya ? Wanita itu telah membunuh dua orang pemuda bernama Lingga dan Linggih. Keduanya adalah putera Panglima Agung Tunggal Sewu Seta...!" Menyahuti Datuk Raja Gur alias si Kebutan Dewa Maut.

Lembu Sura manggut-manggut, seraya tatap wajah Roro dengan tajam. Adapun Roro Centil agaknya belum merasa puas dengan jawaban itu.

"Membunuh orang, tentu ada alasannya. Seperti kalian juga yang mau menangkapku, tentu memakai alasan atau dalih atas kesalahan dari orang yang akan kalian tangkap. Tentunya tuan-tuan yang terhormat dapat membeberkan dengan dalih apakah maka sampai terjadi pembunuhan itu..!" Berkata Roro dengan tandas dan tegar.

Tentu saja wajah kedua orang perwira Kerajaan itu jadi merah. karena mana mungkin mereka menceritakan peristiwa di penginapan itu. Yang tentunya akan menjatuhkan nama panglima Agung Datuk Sewu Seta. Pada saat itulah terdengar suara serak bagai tempayan rengat, diiringi dengan suara tertawa terkekeh-kekeh.

"He he he... he he... Siapa yang tidak kepincut melihat seekor kuda putih bertahi lalat di bawah hidung, untuk menungganginya...? Dua orang pemburu yang gagah berani itu telah mengajaknya berlayar ke pulau Nirwana. Kalaupun harus membayarnya dengan nyawanya, rasanya juga tidak penasaran..."

Tentu saja kedua perwira Kerajaan itu jadi terkejut bukan main. Ketika mereka palingkan kepala, ternyata seorang kakek bertubuh bulat mirip bola sedang enak-enak duduk ongkang-ongkang kaki di atas dahan pohon yang tinggi.

Roro memang sudah mengetahui adanya manusia di atas pohon itu, sejak ia sembunyi dibalik pohon tadi. Akan tetapi ia pura-pura tak mengetahui. Tapi diam-diam sudah waspada. Ada di pihak manakah si manusia yang nangkring di atas dahan itu. Pikirnya.

Lembu Sura sudah keluarkan bentakannya. Walaupun diam-diam hatinya jadi mencelos... karena ia tak mengetahui akan adanya manusia di atas pohon didekatnya. Seandainya seorang musuh, dan membokongnya, tentu ia tak dapat berbuat apa-apa. Tapi diam-diam ia memaki juga dalam hati, akan ketidak jelian mata ke sepuluh prajurit yang di bawahnya, yang sejak siang-siang juga tak mengetahuinya.

"Kurang ajar...! Turunlah kalau mau bicara, sobat...!" Tampak Lembu Sura mengangkat tangannya. Dan serentak sepuluh anak panah berlepasan meluncur bersiutan ke atas dahan.

Manusia bulat itu menggelinding jatuh bagai nangka busuk dari atas pohon. Akan tetapi bagaikan bola karet, sepasang kakinya telah menotol tanah dan di lain kejap ia sudah berdiri tegak dihadapannya. Dengan melompati dua orang prajurit berkuda. Sementara kesepuluh anak-anak panah itu menancap di batang pohon.

Roro perhatikan wajah manusia bulat itu yang memakai jubah warna hijau, dengan dada terbuka. Menampakkan daging di dadanya yang menggembung bagai payudara. Ternyata orang ini berusia sekitar lima puluhan tahun. Kepalanya hampir disebut gundul, karena cuma ada beberapa helai rambut yang melekat di kulit kepalanya.

Roro tak menyangka kalau si bulat ini menampilkan watak laki-laki hidung belang. Terbukti sebelah matanya dikerenyitkan genit pada Roro. Namun Roro Centil menanggapinya dengan tersenyum. Sementara itu diam-diam Roro Centil mengucapkan terimakasih dalam hati, yang si manusia bulat ini telah membeberkan masalah pembunuhan itu.

"Siapa kau..!? Mengapa kau berani bicara sembarangan..!" Bentak Lembu Sura.

Si manusia bulat ini cuma cengar-cengir seraya keluarkan kipas butut dari anyaman bambu, dan sambil mengipas, ia menjawab seenaknya. "Ah, aku orang tak penting..! Mengapa harus ditanya nama segala."

Akan tetapi memandang kipas butut dan anyaman bambu itu Lembu Sura dapat mengetahui siapa orang bertubuh bulat bagai bola itu. "Hm... kiranya anda yang berjulukan si Dewa Angin Puyuh itu? Bagus..! Aku ingin bertanya. Apakah yang membuat anda mencampuri urusan ini..?" Tanya Lembu Sura. Yang ditanya cuma tersenyum jumawa, seraya sahutnya;

"Ah, sebenarnya bukan aku mau mencampuri urusan tuan-tuan sekalian. Akan tetapi mulutku telah jadi gatal untuk bicara, dan menjelaskan hal yang sebenarnya. Apakah fakta yang aku katakan tadi menyalahi undang-undang? Hal seperti itu sudah tidak aneh lagi. Jangan kata baru anak seorang Pembesar Kerajaan. Walaupun anak Raja sekalipun bisa saja terjadi berbuat hal yang memalukan. Mengapa harus ditutup-tutupi...? Mengenai tuduhanmu pada gadis ayu ini, adalah tidak beralasan tepat menurut pendapatku! Aku tidak berpihak pada siapa-siapa. Tapi berdasarkan fakta dari apa yang kulihat. Karena sedikitpun gadis ini tak ada hubungannya dengan wanita buronan bernama Laras Jingga itu. Kalau aku mau sejak tadi sudah kutangkap gadis berdarah dingin yang jadi buronan pihak Kerajaan itu. Akan tetapi aku memang tak mau mencampuri urusan siapa-siapa saja. Aku orang bebas, tak berhak seorang pun mengatur aku. Seperti juga sesuai dengan nama julukanku si Dewa Angin Puyuh. Angin puyuh bebas bergerak. Tidak terikat oleh apapun juga... He he he..!"

Melengak Lembu Sura mendengar kata-kata si Dewa Angin Puyuh. Tampaknya Lembu Sura tak mau berurusan dengan manusia bulat ini. Ia sudah berkata tegas. "Baik..! Ku cabut tuduhanku..! Akan tetapi harus ada syarat yang harus dipenuhi!"

"Apakah itu ..?" Bertanya Roro, yang sedari tadi cuma jadi pendengar saja.

Perwira Kerajaan ini berpaling menatap Roro Centil. "Syarat itu ialah, kau harus buktikan bahwa kau tidak bersekongkol dengan wanita buronan itu. Yaitu dengan bertarung melawan kami sampai sepuluh jurus. Kalau dalam sepuluh jurus itu kau dapat jatuhkan senjata kami, barulah kau kuanggap bebas dari segala macam tuduhan. Dan hal ini tak boleh ada orang lain yang ikut campur..!" Berkata Lembu Sura.

Ternyata dalam hal main politik, perwira Kerajaan ini sudah terkenal licin dan lihai. Sehingga pantas saja kalau ia menjadi orang terkenal. Yang dengan senjatanya yang bernama Tombak Naga Dewa itu, pernah ditakuti lawan, dan dikagumi kawan. Entah berapa nyawa sudah melayang di dalam setiap peperangan...

"Wah..!? Syarat itu terlalu berat, apakah tidak bisa diganti..?" Berkata si manusia bulat alias si Angin Puyuh.

Akan tetapi Roro Centil sudah menyahuti. "Baiklah! Aku terima syarat itu..!" Si Dewa Angin Puyuh jadi garuk-garuk kepala tanpa bisa berbuat apa-apa.

Lembu Sura perlihatkan senyum dingin, seraya berkata; "Bagus..! Tapi ingat, nona..! Kalau kau tak dapat lulus dari persyaratan ini, kau harus jadi tawanan kami. Dan bersedia dibawa ke Kota Raja untuk dihadapkan pada Panglima Agung Tunggal Sewu Seta..!"

"Baik...!" Menyahut Roro Centil. Dan segera ia sudah melompat mundur dua tindak. Lingkaran diperbesar. Bahkan si manusia bulat Dewa Angin Puyuh pun melompat ke sisi.

"Bersiaplah, Nona..!" Berkata Lembu Sura. Dan ia sudah memberi isyarat pada Datuk Raja Gur alias si Kebutan Dewa Maut. Yang segera bersiap dengan senjatanya. "Awas serangan..!" Teriak Lembu Sura. Dan senjata Tombak Naga Dewa telah meluncur deras mengarah leher. Sedang si Datuk Raja Gur menerjang dengan kebutan mautnya.

Roro Centil pergunakan ketajaman indranya. Serangan mengarah leher itu dapat ia egoskan dengan lekukkan tubuhnya ke belakang. Tapi di belakang telah menyambar kebutan si Datuk Raja Gur. Terpaksa Roro doyongkan tubuh ke samping. Dengan gerak tarian "Bidadari Mabuk Kepayang". Dan serangan jurus pertama itu gagal. Tapi di luar dugaan sambaran kebutan si Datuk Raja Gur meluncur lagi membersit ke arah pinggang. Ujung-ujung dari kebutan ekor kuda itu sekonyong-konyong jadi mengeras bagai kawat-kawat baja.

Merasai adanya angin bersiut disamping tubuhnya, Roro Centil telah gerakkan kepalanya. Seketika saja rambutnya yang panjang itu telah menyambar bahkan langsung menggubatnya. Datuk Raja Gur perlihatkan senyumnya. Ia memang telah lihat kehebatan rambut Roro sewaktu menghantam buyar anak-anak panah. Ia sengaja biarkan gubatan pada kebutannya.

Akan tetapi tiba-tiba ia telah sentakkan senjata kebutannya. Ia merasa yakin akan dapat menarik jatuh tubuh Roro. Akan tetapi alangkah terkejutnya. karena justru ia sendiri yang kena ditarik. Tentu saja ia tak mau lepaskan kebutannya. Hingga detik itu juga tubuhnya telah terbawa melayang memutar. Lembu Sura ternganga Tombak Naga Dewanya segera membabat ke arah kaki Roro.

Wesss...! Terpaksa Roro lepaskan gubatan rambutnya, untuk segera melompat menghindar. Pintar juga si Lembu Sura ini..! Berfikir Roro Centil. Karena kalau ia tak lepaskan gubatan rambutnya pada kebutan si Datuk Raja Gur, bisa-bisa ia jatuh terbanting. Karena terbawa putaran.

Mengetahui gubatannya lepas, si Datuk Raja segera imbangi tubuhnya yang melayang itu untuk dapat segera jatuh dengan kaki menjejak tanah terlebih dulu. Si manusia bulat Dewa Angin Puyuh menahan napas. Bahkan kesepuluh prajurit itu seperti terkesima akan pertarungan tegang barusan.

"Hebat..!" Desis Lembu Sura. Ia sudah mengirim lagi beberapa serangan beruntun. Ujung mata tombaknya bagaikan kilatan-kilatan petir yang menyambar, mengurung Roro. Sementara kawannya sudah melompat lagi ke tengah kancah pertarungan.

Roro tampaknya agak terdesak, diserang sedemikian rupa. Tubuhnya doyong ke kiri dan ke kanan menghindari rangsakan hebat itu. Tapi anehnya setiap serangan tak ada yang mengena pada tubuhnya. Sementara si manusia bulat itu diam-diam jadi memuji kagum. Karena ia sudah mengetahui kalau yang di lakukan Roro adalah satu jurus tarian yang amat langka. Dan baru kali ini ia melihatnya.

Melihat si gadis itu bergerak sempoyongan tentu saja membuat girang si Datuk Raja Gur. Ia sudah sambarkan kebutannya untuk menotok dua kali. Tampaknya Roro tak mampu mengelak. Dan ia sudah terkena totokan kebutan itu yang sekonyong-konyong ujung kebutan itu menyatu. Terdengar suara Roro Centil berteriak...

"Tahan..! Aku mengaku kalah..!" Tentu saja Lembu Sura menghentikan serangan Juga kawannya si Kebutan Dewa Maut.

"Bagus..! Kini kau tak dapat menolak untuk menjadi tawanan kami..!" Teriak Lembu Sura.

Sedang si Datuk Raja Gur tertawa terbahak-bahak, seraya katanya... "Ha ha ha... ha ha... kiranya hanya demikian saja kehebatan bocah perempuan bernama Roro Centil. Julukannya sih bukan main... Pendekar Wanita Pantai Selatan..! Tak tahunya dengan totokan Kebutan Maut ku sudah mengaku menyerah. Ha ha ha... Seandainya aku tak kasihan, dan mematuhi undangundang hukum, Pasti sudah kutotok jalan darah kematianmu..!"

Sambil sesumbar demikian si Kebutan Dewa Maut ini bertolak pinggang di hadapan Roro. Dan ia sudah lantas berpaling pada para prajurit berkuda itu. "Hayo! Tunggu apa lagi..! Ringkus dia..!"

Serentak saja dua orang melompat dari atas punggung kuda. Salah seorang membawa tali laso. Dan selanjutnya Roro sudah diborgol tangannya ke belakang. Si manusia bulat cuma bisa bengong, menyaksikan semua itu. Tadinya ia sudah memuji kehebatan jurus aneh yang dipertunjukkan gadis ayu itu, akan tetapi mengapa jadi berbalik ia kena totok dengan mudah..? Ia jadi tak mengerti.

Sementara Lembu Sura cuma mendengus melihat si manusia bulat itu. Dan tanpa berkata apa-apa segera giring Roro Centil untuk dinaikkan ke atas kuda. Dan selanjutnya sudah terdengar aba-aba. Derap kaki-kaki kuda segera terdengar. Kesepuluh prajurit Kerajaan itu bergerak memutar kuda-kudanya, mengikuti salah seorang prajurit, yang naik berdua dengan Roro, yang berada di bagian depan dengan lengan terikat erat.

Lembu Sura dan Datuk Raja Gur mencemplak kudanya masing-masing. Kemudian memacunya untuk menyusul dari arah samping. Dan mengapit Roro dari kiri-kanan. Si manusia bulat itu cuma bisa menatap rombongan pasukan Kerajaan itu dengan terpaku. Terdengar suaranya mendesis...

"Sayang... sungguh sayang..!" Namun tak berapa lama kemudian si Dewa Angin Puyuh itupun sudah berkelebat lenyap entah kemana...

Matahari semakin condong ke arah perbukitan, ketika iring-iringan itu tiba di pintu gapura gedung besar. Ternyata itulah gedung tempat tinggal Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Roro sudah dibawa masuk menghadap sang pembesar Kerajaan Sriwijaya itu. Sementara sepuluh orang prajurit itu telah turun dari kuda-kudanya, untuk beristirahat.

Dengan diapit oleh kedua perwira Kerajaan itu, Roro digiring masuk ruangan. Dua orang penjaga memberinya jalan. Seraya melakukan penghormatan, pada keduanya. Tak berapa lama Roro sudah berhadapan dengan pembesar Kerajaan itu.

"Hmm! Bagus..! Inikah gerangan Iblis perempuan itu...??" Tanya si Pembesar Kerajaan. Sikapnya tampak garang. Wajahnya merah padam seperti terbakar panas matahari.

"Duli tuan ku Panglima..! Hamba belum dapat memastikan apakah wanita ini pembunuh berdarah dingin itu. Akan tetapi hamba curiga padanya. Maka terpaksa hamba tangkap dan kami bawa menghadap tuan ku Panglima..!"

Sepasang alis pembesar Kerajaan berkerut menyatu. Ia sudah melangkah dua tindak untuk memperhatikan wajah Roro. Tiba-tiba ia bertepuk tangan tiga kali. Segera saja seorang pengawal datang menghadap. "Pengawal..! Coba bawa kemari tahanan sementara itu!" Berkata sang Pembesar.

"Duli tuan ku..." Dan pengawal itupun cepat beranjak ke ruang dalam. Tak berapa lama sudah kembali dengan membawa seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun. Ternyata laki-laki ini adalah si pelayan penginapan itu.

"He..! Pelayan penginapan..! Coba kau lihat dan perhatikan baik-baik. Apakah wanita ini yang menginap di tempat penginapan mu..?" Tanya si Pembesar Kerajaan.

Tampak laki-laki itu menghampiri Roro. Lalu dengan seksama memperhatikan wajahnya. Selang tak berapa lama ia bungkukkan tubuh pada Panglima Agung Tunggal Sewu Seta, seraya berkata; "Ampun tuan ku...! Wanita ini bukanlah orangnya..! Hamba berani bersumpah dan bersedia mendapat hukuman bila hamba berdusta...!"

Sang Pembesar Kerajaan ini menatap Lembu Sura dan Datuk Raja Gur, kedua bawahannya itu. Akan tetapi Lembu Sura sudah melangkah tiga tindak menghampiri si Pembesar Kerajaan, seraya berbisik perlahan. Tampak Panglima Agung Tunggal Sewu Seta manggut-manggut. Lalu perintahkan membawa kembali saksi tahanan sementara itu. Lalu ia perintahkan dua orang pengawal untuk memasukkan Roro ke dalam kamar tahanan.

Segera Roro Centil diapit untuk digusur ke kamar tahanan. Diam-diam Roro Centil perhatikan setiap ruangan yang dilewatinya. Sementara kedua perwira Kerajaan itu segera menuturkan jalannya penangkapan atas tawanan itu. Ternyata Lembu Sura punya rencana yang sudah diaturnya. Tampak si atasannya itu manggut-manggut sambil tersenyum, dan menepuk-nepuk bahu Lembu Sura seraya berujar;

"Bagus..! Bagus...! Kau memang berotak cerdas, Lembu Sura. Baik..! Sebentar senja segera atur rencana itu. Dan aku serahkan semua pekerjaan ini padamu..!"

"Hamba yakin pasti akan menampak hasilnya..!" Berkata Lembu Sura. Sang Panglima manggutmanggut sambil tersenyum. Dan kedua perwira itupun mohon diri.

Dalam keadaan lengan masih terikat. Roro dijebloskan dalam penjara. Gadis pendekar ini tampaknya tetap tenang-tenang saja. Ruang penjara itu berada di bagian samping gedung. Dan punya wuwungan terpisah. Namun sekelilingnya adalah tembok tebal yang tinggi. Menjelang malam, tampak obor-obor mulai dipasang.

Sementara diam-diam Roro membatin. Hm... Aku yakin si wanita buronan bernama Laras Jingga itu akan datang kemari..! Agaknya apa yang aku fikirkan matang-matang itu, ternyata sama dengan rencana yang diatur si Lembu Sura, perwira Kerajaan itu. Dan ia sudah mempersiapkan kedatangannya untuk menangkap wanita buronan itu. Tapi aku terpaksa harus melindunginya. Karena kalau sampai ia tewas, akan sulitlah aku mencari jejak musuh besar ku..! Titik-titik terang sudah kudapatkan. Dan wanita buronan itu adalah harapanku..! Demikian kata hati Roro.

"Tutul...! Adakah kau disini..?" Desis suara Roro. Dan terdengar suara menggeram di belakangnya. Roro tersenyum, dan berkata perlahan; "Bagus...! Kelak aku memerlukanmu..! Kini biarlah kau tak perlu menampakkan diri..!"

Seraya berkata, Roro sudah salurkan tenaga dalamnya pada kedua lengan. Dan sekejap rantai belenggu yang mengikat tubuhnya sudah putus. Kiranya tali laso yang mengikat Roro telah diganti dengan rantai besi agar tidak khawatir ia terlepas. Tapi nyatanya, sudah diganti pun masih percuma saja.

Keadaan di luar tampak sunyi. Seperti seolah tak ada seorangpun penjaga di tempat itu. Saat itulah melesat sebuah bayangan hitam. Yang dengan berindap-indap mendekati rumah tahanan tempat Roro Centil disekap. Gerakannya ringan bagai burung walet. Kiranya benarlah, yang datang itu tak lain dari Laras Jingga, si wanita buronan itu. Tampaknya gadis muda ini merasa aman melihat situasi sekitar tempat itu. Akan tetapi begitu ia injakkan kaki di pekarangan yang berhadapan dengan pintu kamar tahanan. Tiba-tiba berhamburanlah anak-anak panah meluruk ke arahnya.

Keruan saja Laras Jingga jadi terkesiap. Ia sudah segera bergerak melompat menyelamatkan diri. Akan tetapi anak-anak panah itu bagaikan tiada habisnya meluruk, walaupun ia sudah berkelebatan menghindar. Hingga tak urung betisnya kena juga terpanggang anak panah. Tak ampun lagi wanita berbaju hitam itu perdengarkan teriakan tertahan. Dan roboh terguling, dari atas wuwungan.

Tak sempat lagi ia melompat ke dinding tembok untuk melarikan diri. Segera saja terdengar sorak-sorai gemuruh. Dan belasan sosok, tubuh berkelebatan keluar memburunya. Sesosok tubuh sudah melompat kehadapannya seraya melemparkan jala untuk meringkusnya.

Akan tetapi tiba-tiba asap hitam telah membumbung dihadapannya. Namun jala sudah dilempar. Tak urung juga si wanita berbaju hitam itu sudah terjerat dalam kurungan jala. Sorak-sorai semakin menjadi. Lebih dari tiga puluh prajurit bersenjata tombak dan panah mengurung sang korban yang telah masuk perangkap jala. Akan tetapi mereka semua jadi terbelalak matanya, karena menyaksikan yang masuk perangkap jala itu bukannya seorang manusia, akan tetapi seekor harimau tutul yang tubuhnya hampir sebesar kerbau.

Binatang siluman itu perdengarkan suara menggeram dahsyat. Tentu saja jala sudah dilepas seketika. Dan berhamburanlah para prajurit itu dengan ketakutan. Sekonyong-konyong angin berdesir keras. Dan hampir semua obor-obor yang terpasang telah padam dengan mendadak. Keadaan menjadi gempar. Tak seorangpun berani mendekati tempat tahanan itu. Saat itu terdengar suara bentakan, yang memerintahkan untuk memasang obor baru.

Berkelebatanlah para prajurit untuk melaksanakan tugas. Sebentar kemudian keadaan kembali terang. Bahkan puluhan obor telah terpasang. Namun alangkah kecewanya, mereka melihat jala telah kosong. Dan serentak mereka menyebar untuk mencari si wanita buronan. Akan tetapi sia-sia. Ketika memeriksa tempat tahanan, ternyata tawanan mereka pun telah lenyap tak berbekas. Hanya tergeletak rantainya saja. Dengan keadaan putus...

"Bodoh...!* Wanita itu telah pergunakan ilmu sihir..! Mengapa tak kalian bunuh mampus saja harimau itu..!" Memaki Lembu Sura. Sedangkan Datuk Raja Gur cuma bisa garuk-garuk kepala dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, terkena cahaya api obor.

"Semua tolol..!" Teriaknya menimpali Lembu Sura.

Semua para prajurit cuma menunduk. Dan satu persatu ngeloyor pergi....

* * * * * * *

Roro Centil berkelebat cepat meninggalkan gedung itu melalui jalan belakang. Gerakan lengannya yang mengeluarkan angin keras, telah menghembus padam api-api obor yang menerangi sekitar halaman rumah tahanan itu. Hingga dalam keadaan gelap gulita itu telah membawa lari si wanita buronan itu yang telah ditotoknya. Bantuan si Tutul Siluman Harimau yang telah tunduk padanya itu berhasil baik.

Hingga yang kena diringkus jala, bukanlah wanita buronan itu. Melainkan asap hitam yang kemudian membentuk menjadi harimau Tutul. Sedangkan si wanita buronan itu telah disambar Roro Centil, bersamaan dengan kibasan lengan Roro memadamkan api-api obor. Dan selanjutnya sudah menggondolnya pergi.

Malam pun terus merayap... tampaknya waktu memang berlalu dengan cepat Karena tak berapa lama kemudian cuaca pun berangsur-angsur menjadi terang. Keadaan di atas perbukitan itu tampak sunyi. Tapi sepagi itu sudah ada asap mengepul dibalik batu tebing. Terlihatlah seorang gadis ayu tengah asyik memanggang daging Menjangan kecil dengan seruas bambu. Gadis ayu itu tak lain dari Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Sementara dibalik batu tebing yang agak menjorok keluar, tampak tergolek sesosok tubuh wanita di bawahnya. Tampaknya wanita itu masih pulas mendengkur lirih. Roro Centil cuma sekali-sekali meliriknya. Bau harum dari panggang Menjangan itu agaknya membuat pelahan-lahan si wanita muda berbaju hitam itu membuka kedua kelopak matanya. Kiranya wanita muda itu tak lain dari si wanita buronan yang bernama Laras Jingga. Roro telah membawanya ke tempat tersembunyi itu;

"Oh... kau... kau... telah menolongku..?!" Gumam si wanita buronan itu. Sementara ia sudah gerakkan tubuhnya untuk bangkit. Akan tetapi sedikitpun ia tak dapat gerakkan tubuhnya.

Roro palingkan wajahnya, dan menatapnya sekilas. Lalu teruskan memanggang daging Menjangan. "Harap kau bersabar dulu untuk tidak bergerak. Kau telah mengalami keracunan akibat panah yang mengena di kakimu. Aku telah membuang racun itu, dan kau masih dalam pengaruh totokanku..!"

"Hm..! Apa maksudmu menolongku..! Dan siapa kau sebenarnya..," Tanya Laras Jingga. Suaranya terdengar ketus.

Akan tetapi Roro menyahuti seenaknya. "Aku Roro Centil..! Seorang pengembara dari seberang pulau. Tepatnya dari tanah Jawa atau pulau Kelapa..! Kau tanya aku begitu, akupun bisa juga bertanya; Apa maksudmu menolongku.. ? Bukankah kau terus menguntit, ketika aku dijadikan tawanan?" Berkata Roro seraya lirikkan matanya.

Wanita muda ini terdiam. Lalu menghela napas. Seperti merasa melepaskan beban yang menghimpit dadanya. "Entahlah..! Aku sendiri tak tahu, mengapa aku mau menolong orang yang bukan kawan atau sanak keluarga yang kukenal. Cuma aku merasa berdosa, kalau membiarkan orang yang tidak bersalah dijebloskan dalam penjara...!" Berkata lirih si wanita buronan. Sementara tiba-tiba matanya telah menjadi basah.

Diam-diam Roro Centil terkejut juga, melihat si gadis buronan itu tiba-tiba menangis dengan sepasang mata menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Sudahlah... Mengenai hal itu kita lupakan saja. Orang yang masih punya rasa berdosa, tentu masih punya hati bersih..! Kehidupan ini memang pahit. Adik tentu punya rahasia terpendam yang sukar di utarakan! Kita bisa bersahabat, kalau kau sudi menerimaku sebagai sahabatmu..! Mungkin kau memerlukan seorang teman untuk mengadukan nasib atau masalah yang kau hadapi..!" Berkata Roro seraya letakkan panggangan ke atas batu. Sementara api unggun itu masih dibiarkannya menyala.

Segera Roro mendekati wanita muda itu yang telah terisak-isak menahan tangis yang kian menjadi. Roro tercenung sesaat. Lalu gerakkan lengannya membuka totokan di tubuh wanita itu. Laras Jingga bangkit berduduk. Ia sudah menyeka kedua belah pipinya sudah bersimbah air mata. Namun agaknya ia mulai dapat menahan perasaannya. Roro Centil segera meraih panggangahnya. Daging Menjangan kecil itu cukup untuk menangsal perut berdua. Segera ia belah menjadi dua bagian.

"Makanlah..! Aku lapar sekali! Tentu kaupun lapar..!" Berkata Roro, seraya julurkan lengannya ke depan si Wanita. Laras Jingga menatap sejenak pada potongan daging panggang Menjangan itu, lalu menatap Roro. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. "Ayolah..! Bukankah kita telah bersahabat..!" Ujar Roro, seraya tampilkan senyum manis.

Tentu saja Laras Jingga yang berwajah dingin itu seketika tersenyum cerah, dan menyambuti pemberian itu. Tak ayal lagi sudah segera menyantap daging panggang yang baunya harum itu. Tampaknya benar dugaan Roro. Wanita itu lapar sekali, sampai terdengar perutnya berkruyukan.

Roro agaknya tak mau membuat wanita itu terganggu, segera ia beringsut untuk duduk di atas batu tak berapa jauh dari situ. Sejenak ia menatap langit, lalu sudah pentang mulut untuk mengganyang daging panggang Menjangannya.

Matahari sudah keluar dari balik perbukitan. Cahaya emasnya membersit menerangi alam sekitarnya. Kedua wanita ini membasuh wajah, dan rambut serta kaki dan tangannya di air yang memancur keluar dari sela-sela batu. Laras Jingga bersingsut untuk segera duduk di atas batu dekat air pancuran. Ia tak dapat bergerak bebas. Karena sebelah kakinya masih terasa ngilu. Roro memang telah membalut lukanya dengan kain sobekan ikat kepalanya.

"Mari kita kembali..!" Ajak Roro. Seraya membimbing Laras Jingga untuk naik dari tempat batubatu yang terletak agak ke bawah bukit itu. Wanita muda berbaju hitam ini tersenyum, ketika telah sampai di atas.

"Terima kasih...!" Ucapnya. "Disini tempatnya indah. Bagaimana kalau kita duduk disini saja sambil bercakap-cakap...?" Sambung Laras Jingga, seraya tatap wajah Roro, dengan sepasang mata redup.

"Baiklah, adik Laras..! Akupun ingin sekali mendengar kisah hidupmu..!" Sahut Roro. Seraya menggeser sebuah batu, untuk duduk berhadapan. Demikianlah... Laras Jingga ceritakan riwayat hidup nya yang kelabu. Hingga ia menjadi seorang pembenci laki-laki.

"Apakah belakangan ini kau sudah berjumpa lagi dengan ibumu...?" Tanya Roro.

Laras Jingga gelengkan kepalanya. Tapi ia sudah berkata lagi... "Mungkin ibuku akan marah besar, karena aku telah mencuri catatan Ilmu Silat yang kutemukan di kamarnya..! Aku memang perlu untuk menjumpainya, untuk menanyakan tentang ayahku. Apakah Panglima Kerajaan yang dikatakan selir Raja Bantar Alam sebagai ayahku yang sebenarnya itu masih hidup..?"

Terkejut Roro Centil. Tapi ia tidak tertarik mengenai perihal ayah gadis itu. Melainkan mengenai catatan ilmu silat yang telah dicuri dari kamar ibunya. "Catatan Ilmu Silat...?" Tanya Roro dengan suara mendesis. Sepasang alisnya tampak bergerak naik. "Bolehkan aku melihatnya..? Jangan khawatir. Aku tak berniat mempelajarinya." Ujar Roro Centil sambil tersenyum.

Laras Jingga tampaknya tak merasa keberatan. Segera sudah buka lipatan bajunya. Dan menarik keluar selembar kertas yang sudah agak lusuh. Segera diberikannya pada Roro. "Aku baru mempelajarinya sampai jurus kelima...!" Tutur Laras Jingga. Sengaja benda ini ku sembunyikan dari mata guruku. Karena aku khawatir manusia hidung belang itu merampasnya..!"

Roro tak menjawab, tapi cuma angguk-anggukkan kepala seraya membuka lipatan kertas kulit itu. Terkejut Roro, karena pada catatan itu yang tertera adalah jurus-jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu apa yang pernah ia pelajari dari dalam gagang Tombak Pusaka Ratu Sima, milik mendiang si Dewa Tengkorak, di dasar tebing pantai Selatan.

Itulah kesepuluh Jurus Pukulan Kematian. Hal itu sudah berlalu sekitar empat tahun yang silam. Semasa Gurunya masih hidup. Walau Roro tampak terkejut, tapi ia tak menampakkan pada raut wajahnya. Ia sudah melipat lagi benda itu dan berikan pada Laras Jingga.

"Sudah berapa lama kau pelajari...?" Tanya Roro.

"Baru sekitar dua bulan ini. Itupun aku pelajari dengan sembunyi-sembunyi, tanpa setahu guruku..!"

" Siapakah gurumu...?" Tanya Roro lagi. Sengaja ia tak tergesa-gesa untuk menyelidiki lebih lanjut tentang ibunya.

"Beliau bernama Boma Kasura!"

Roro manggut-manggut, seraya mengingat nama itu. Kemudian bertanya lagi; "Ibumu tadi kau katakan bernama Dewi Melur. Tentunya juga seorang kaum persilatan. Karena memiliki catatan ilmu silat yang hebat, yang telah kau curi itu. Siapakah gelar ibumu di kalangan Rimba Hijau..?" Kali ini pertanyaan Roro Centil sudah mengarah pada sasarannya. Diam-diam hati si Pendekar Wanita Pantai Selatan agak berdebar. Namun buru-buru Roro menenangkan lagi perasaannya. Tapi jawabannya membuat hati Roro jadi mencelos..

"Aku tak begitu akrab dengan ibuku..! Sayang sekali, aku tak mengetahui banyak tentang itu. Mungkin orang yang mengaku paman ku itu mengetahui siapa julukan ibuku!"

Wajah Roro tampak kembali cerah. Ia sudah cepat bertanya; "Siapakah orang yang mengaku pamanmu itu..?"

"Dia bernama Warakas..!" Selesai menjawab pertanyaan, tiba-tiba tampak sepasang mata Laras kembali memancar tajam bagai membersit sinarnya seperti sepasang mata serigala.

Tampaknya Roro menyadari hal itu. Segera ia alihkan pembicaraan pada hal-hal lain bahkan jauh menyimpang dari sasaran. Karena Roro ceritakan masa kanak-kanaknya yang penuh kelucuan. Hingga terkadang Laras Jingga tertawa geli, bahkan sampai terpingkal-pingkal. Entah cerita sebenarnya, entah Roro cuma mengarang saja. Tapi si Pendekar Wanita ini memang pandai menghibur hati orang.

Tanpa disadari Laras Jingga sudah melupakan kesedihannya. Kira-kira setanakan nasi, percakapan mereka tampaknya sudah terasa cukup. Tiba-tiba Roro teringat akan luka bekas terkena anak panah pada betis si wanita itu. Roro memang pandai dalam hal pengobatan, karena ia pernah belajar dari seorang pendeta asal Nepal di lereng Gunung Wilis, yaitu Paderi Jayeng Rana. Ia segera beranjak bangkit dari duduknya, seraya berkata;

"Eh, adik Laras..! Maukah kau tunggu aku sebentar. Aku akan mencari daun-daun obat untuk ramuan. Luka di kakimu dapat cepat sembuh, nantinya. Kau percayakanlah padaku untuk ku mengobatinya..!"

Laras Jingga cuma mengangguk, sambil tersenyum. Dan setelah menatap sejenak pada wanita muda itu, Roro segera berkelebat pergi. Sebentar saja telah lenyap dibalik tebing batu yang menonjol dihadapannya.

Roro berlari-lari menuju sisi hutan di lereng perbukitan itu. Sementara sepasang matanya berkeliaran memandang tempat-tempat rimbun, untuk mencari dedaunan, yang dapat dipergunakan untuk ramuan obat luka.

Akan tetapi pada saat itu telah terdengar suara bentakan-bentakan suara seorang wanita dikejauhan. Terkejut Roro Centil, karena suara itu datangnya dari arah dimana ia meninggalkan Laras Jingga. Tampak Roro kerenyitkan alisnya.

"Suara siapakah..?" Gumam Roro. Dan sekejap kemudian ia telah melompat dan berkelebat kembali ke tempat Laras Jingga menunggu.

Sesaat antaranya dari balik batu besar, ia telah melihat adanya seorang wanita di dekat gadis itu. Tampak dilihatnya wanita muda itu duduk menekuk tubuhnya di hadapan seorang wanita berbaju sutera warna biru. Wanita itu usianya sekitar 40 tahun. Rambutnya tersanggul rapi. Cuma sedikit saja yang terlepas beriapan di belakang lehernya. Didengarnya wanita itu membentak dengan kata-kata kasar;

"Anak tak tahu diri..! Sejak kapan kau belajar mencuri.? Aku tak merasa mengajarimu untuk jadi maling! Hm, kudengar dari paman mu Warakas, kau telah berguru dengan si Boma Kasura. Kau ke manakan catatan ilmu silat itu! Apakah kau berikan pada si tua Bangka Gila itu..?!"

Terdengar Laras Jingga berkata lirih dengan suara gemetar... "Ibu..! Memang ibu tak pernah mengajari ku mencuri..! Tapi selama ini apakah ibu mengurus diriku? Aku anakmu! Aku butuhkan kasih sayang mu..! Tapi yang kudapatkan adalah cuma kehinaan belaka..!"

"Apa maksud ucapanmu, Laras..? Kau berani berkata begitu pada ibu yang telah melahirkan mu.. ?" Membentak wanita itu.

Tapi jawaban Laras memang di luar dugaan. Wanita muda itu tiba-tiba tertawa. Suara tertawanya mirip rintihan pedih. Walau bibirnya tertawa, tapi sepasang matanya telah bersimbah air mata.

"Hi hi hi... Apakah bila seorang ibu telah melahirkan anaknya, sudah cukup tanpa harus mengurus dan merawatnya..? Kelihatannya lucu sekali! Adakah seorang ibu yang rela memberikan kehormatan anak gadisnya, pada seorang laki-laki hidung belang yang mengaku ia adalah pamannya..? Ternyata semua itu adalah atas dasar imbalan jasa..! Betapa terkutuknya seorang manusia bila mengharap jasa, tapi cuma untuk memenuhi hawa nafsunya belaka..! Dan ternyata orang yang seharusnya kuhormati, ternyata juga bukan manusia..! Jasadnya manusia, tapi hatinya adalah iblis! Dia telah berikan kehormatan dirinya, juga kehormatan anak gadisnya pada manusia terkutuk bernama Warakas itu..! Sedang aku sendiri adalah anak hasil dan hubungan gelap! Anak yang sampai dewasa begini tak mengenal siapa ayahnya. Aku lahir dalam keluarga nista...! Semuanya nista..!"

Sampai disini si wanita ibu dari Laras Jingga ini sudah tak kuat menahan kemarahannya. Plak...! Satu tamparan keras telah hinggap di pipi gadis itu, yang segera roboh terjungkal. Masih untung sang ibu tak menggunakan pukulan dengan tenaga dalam. Hingga pipi gadis itu cuma merah bengap saja Laras Jingga bangkit untuk duduk, seraya mengusap pipinya. Dan Dewi Melur sudah membentak lagi dengan kata-kata makian... "Bocah keparat..! Mulutmu terlalu lancang..!"

Apa yang terjadi kemudian di hadapan mata Roro Centil? Laras Jingga telah bangkit berdiri. Rasa sakit pada luka dibetisnya itu seperti sudah tak dirasakan lagi. Sepasang matanya tampak berapi-api menatap pada wanita dihadapannya. Tiba-tiba ia telah gerakkan tangannya ke dalam lipatan bajunya. Dan keluarkan secarik kertas kulit. Benda itu sudah disodorkan pada ibunya seraya berkata;

"Inilah catatan ilmu silat yang ku curi itu, ibu..! Aku tak memerlukannya lagi!"

Dewi Melur menatap sejenak pada perubahan wajah anak perempuannya. Lalu gerakkan tangan untuk meraih benda di tangan Laras Jingga. Akan tetapi pada saat itu juga berkelebat sebuah bayangan, dan sekejap saja lipatan kertas itu telah lenyap bagai di sambar alap-alap. Bukan saja Dewi Melur yang jadi terkesiap. Akan tetapi Roro Centil juga terkejut Segera terlihat siapa yang telah menyambarnya.

Ternyata seorang laki-laki berbaju dan bercelana warna gelap. Bertubuh jangkung. Wajahnya menampilkan senyum, yang seperti tak pernah berubah walaupun dalam keadaan marah. Tulang pelipisnya agak menonjol keluar. Laki-laki ini tanpa kumis. Hanya ada sedikit jenggot didagunya. Mirip jenggot seekor kambing.

"Ha ha ha... ha ha... Catatan ilmu silat ini kalau sudah tak diperlukan anak perempuanmu, biarlah kupinjam dulu, Dewi Melur..!"

Terbeliak sepasang mata wanita setengah umur itu. Ia sudah lantas membentak. "Setan keparat..! Boma Kasura..! Kembalikan benda itu!" Seraya berkata, Dewi Melur sudah melompat untuk merampas kembali catatan ilmu silat itu.

Akan tetapi laki-laki bernama Boma Kasura itu sudah melesat ke dekat Laras Jingga. "Ha ha ha.. Sudahlah Dewi Melur. Aku toh cuma meminjam saja. Toh aku tak akan pergi kemana-mana..!" Selesai berkata, ia berpaling pada Laras Jingga. "Eh, muridku..! mengapa kau tak bilang-bilang padaku kalau kau menyimpan catatan ilmu silat ini? Bukankah aku bisa membantumu kalau kau mau mempelajari...?"

Laras Jingga cuma bisa terdiam, tanpa berkata apa-apa. Melihat sebelah pipi gadis ini tampak merah bekas kena tamparan, Boma Kasura sudah berkata lagi.

"Aiii... Kau memang keterlaluan Dewi Melur. Aku amat menyayangi muridku ini. Masakan kau ibunya demikian tega menamparnya? Kukira tiada salahnya kalau anakmu ingin mempelajari ilmu silat warisan si Dewa Tengkorak ini. Akupun dapat membantu Laras Jingga mempelajari...!" sambil berkata, Boma Kasura perlihatkan sikap tersenyum.

Sementara Dewi Melur cuma plototkan matanya saja. Tapi ia sudah membentak. "Tidak..! Benda itu tak boleh jatuh ke tangan siapa-siapa. Walaupun anakku sendiri.. !"Teriaknya seraya kembali melompat tiga tombak ke depan laki-laki bernama Boma Kasura ini.

Akan tetapi Boma Kasura bahkan tertawa terbahak-bahak. "Haha haha... ha ha ha... Sudah terlambat Peri Gunung Dempo..! Laras Jingga telah menguasainya walaupun mungkin belum sempurna! Ilmu warisan kekasihmu itu memang ilmu yang hebat. Jurus-jurusnya amat mengerikan. Cuma sayangnya ia masih terlalu muda, dan belum banyak pengalaman. Kini anakmu ada dalam bahaya..! Disamping ia menjadi buronan orang Kerajaan. Ia juga jadi incaran manusiamanusia yang mengejar hadiah, bagi yang dapat manangkapnya hidup atau mati..! Kalau aku mau hadiah besar, dengan mudah saja aku membawanya pada Panglima Agung Tunggal Sewu Seta di Kota Raja. Akan tetapi aku justru mau melindunginya..!"

Tentu saja kata-kata itu membuat Dewi Melur jadi terkesiap, mengetahui keadaan anak perempuannya. "Ada permusuhan apakah anakku dengan orang-orang Kerajaan?" Tanya Dewi Melur.

"Ha ha ha... Ia telah membunuh dua orang jejaka muda, anak Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Persoalannya tanyakan saja pada Pembesar Kerajaan Sriwijaya itu. Atau kalau perlu kau dapat mohonkan pengampunan buat anak perempuan mu..!"

Selesai berkata, Boma Kasura tiba-tiba gerakkan lengannya untuk menotok Laras Jingga. Dan sekejap kemudian telah memondongnya, untuk dibawa melesat pergi. Terpaku Dewi Melur, hingga tak tahu akan apa yang harus dilakukannya Sementara lapat-lapat masih terdengar suara...

"Peri Gunung Dempo..! Kau tak perlu khawatir pada Laras Jingga. Aku akan melindunginya. Sebaiknya kau fikirkan keselamatan dirimu. Karena kudengar ada seorang Pendekar Wanita dari Pulau Jawa yang telah lama mencari jejak mu...!"

Lagi-lagi Dewi Melur terkesiap. Jantungnya jadi berdetak keras. Hatinya sudah lantas bertanya... Siapakah pendekar wanita dari pulau Jawa itu..? Akan tetapi wanita ini jadi terkejut bagai disambar geledek ketika tiba-tiba terdengar sebuah suara yang dingin bagaikan es.

"Akulah yang tengah mencarimu itu, Peri Gunung Dempo...!"

Dewi Melur balikkan tubuhnya. Dan tak terasa kakinya telah mundur dua tindak. Sepasang matanya telah menatap sesosok tubuh dihadapannya. Sosok tubuh seorang wanita muda yang berwajah ayu. Berbaju sutera, warna merah muda. Rambut dan ikat kepalanya yang cuma sesobek kain kecil itu berkibaran ditiup angin pegunungan.

"Siapakah kau..!? Bentak Dewi Melur. Sementara jantungnya berdetak semakin keras.

Yang ditanya cuma tampilkan senyuman di bibir. Tapi sepasang matanya menatap tajam, seperti mau menembus jantung manusia dihadapannya. "Aku Roro Centil. Yang dijuluki kaum Rimba Hijau si Pendekar Wanita Pantai Selatan! Hi hi hi... Akhirnya dapat juga kutemukan manusia pengecut, yang telah mengeroyok Guruku hingga menemui ajalnya..!"

Terkejut Dewi Melur mendengar kata-kata itu. Tapi ia sudah segera tersenyum sinis. "Hm, jadi kaulah murid si Manusia Aneh Pantai Selatan itu... ? Heh! Bagus..! Tapi dari mana kau bisa mengetahui aku telah mengeroyok gurumu. Tanya Dewi Melur alias si Peri Gunung Dempo.

Roro Centil perdengarkan dengusan di hidung. "Perbuatan busuk macam apapun pasti akan tercium. Yang ingin kutanyakan, apakah kesalahan Guruku, yang sudah menutup diri dari dunia Rimba Hijau...?" Tanya Roro tanpa harapkan pertanyaan orang. Walaupun sebenarnya ia tak mengetahui sendiri pengeroyokan itu di pantai Selatan, karena dapat dengar dari Joko Sangit, sahabatnya.

"Kalau hal itu yang kau tanyakan, jawabannya mudah saja. Gurumu adalah manusia tidak normal. Lelaki bukan perempuan bukan. Sejak aku masih berdiam di Pulau Jawa aku memang telah mengenal gurumu. Si Dewa Tengkorak adalah boleh dibilang suamiku. Walaupun dia memang mempunyai banyak istri. Yang kukenal adalah si Kupu-kupu Emas dan Dewi Tengkorak. Tapi suamiku itu banyak menyimpan rahasia. Diantaranya ialah ada berita dari si Kupu-kupu Emas, bahwa si Dewa Tengkorak menyimpan harta karun, terdiri dari perhiasan emas dan permata. Disamping itu juga ada berita ia telah menyimpan catatan rahasia mengenai ilmu silat di dalam gagang Tombak Pusaka Ratu Sima. Berita lain yang kudengar dari kalangan Rimba Hijau adalah si Dewa Tengkorak telah tewas..! Kami tiga orang istrinya segera bergabung. Akhirnya mendengar berita dari salah seorang anggota Partai Pengemis di sisi Kota Raja Kerajaan Medang, yang mengatakan kematian si Dewa Tengkorak adalah akibat diperdayai oleh seorang wanita di Pantai Selatan. Wanita itu sakit hati, karena cintanya ditolak oleh si Dewa Tengkorak, hingga ia mendendam sampai bertahun-tahun. Tentu saja kami jadi gusar. Wanita yang berdiam di Pantai Selatan waktu itu tak ada lain, selain si manusia banci itu. Nah, kami telah berhasil membalas dendam itu..! Apakah hal itu dapat disalahkan...?"

Demikian tutur si Peri Gunung Dempo, yang diakhiri dengan pertanyaan yang seolah membela akan kebenaran tindakan mereka. Akan tetapi Roro telah membentak keras.

"Dusta..! Dewa Tengkorak tewas di depan mata ku sendiri, ketika ia bertarung dengan si Pendekar Bayangan. Kematiannya memang dikehendakinya sendiri. Ia mempergunakan kesepuluh jurus ciptaannya yang keji itu. Namun jurus kesepuluh dari 10 Jurus Pukulan Kematian telah menewaskannya sendiri. Aku yang menguburkannya di Bukit Kera. Tombak Pusaka itu memang berada di tangan Guruku. Tapi beliau cuma menyimpannya. Aku memang telah mempelajari sedikit dari ilmu pukulan 10 Jurus "Pukulan Kematian" itu. Tapi mengenai adanya ia menyimpan harta karun aku tak mengetahuinya..!"

Tampaknya penjelasan Roro seperti tak digubris oleh Dewi Melur. "Heh! Kau kira akupun dapat percaya dengan penjelasan mu itu...? Sudahlah! Hal itu sudah berlalu. Kini kau mencariku apakah mau membalas dendam..?"

"Kalau dikatakan memang demikian, mungkin terlalu kasar. Tapi jelasnya, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu..!"

"Baik...! Aku akan layani kau. Hm. Kau kira aku khawatir untuk bertarung dengan bocah kemarin sore semacam kau..? Walaupun kau telah pelajari ilmu 10 Jurus Pukulan Kematian, aku tak akan mundur untuk melarikan diri..!" Ujar Dewi Melur dengan suara dingin.

"Bagus..! Aku tak akan menggunakan sejuruspun dari ilmu si Dewa Tengkorak! Pergunakanlah 10 Jurus Pukulan warisan suamimu itu..! Atau akan pergunakan jurus-jurus lainnya yang lebih ampuh..? Hi hi hi... Terserahlah...!" Berkata Roro Centil.

Dewi Melur alias si Peri Gunung Dempo tertawa hambar. "Baik..! Kau telah berjanji tak akan menggunakannya! Jangan menyesal kalau kau siang-siang akan mampus..!" Seraya berkata Peri Gunung Dempo telah lakukan serangan kuat menghantam Roro dengan telapak tangannya.

Roro Centil sudah waspada, Ia sudah segera menghindar dengan melompat ke atas batu besar. Angin pukulan si Peri Gunung Dempo menghantam tempat kosong. Wanita itu mendengus dan tampakkan senyum sinis. Tiba-tiba ia telah tarik keluar dari dalam lipatan bajunya dua buah benda bulat. Ternyata dua buah cermin kecil.

Diam-diam Roro membatin.. Apakah yang akan dilakukan wanita pembunuh gurunya itu.. ? Namun Peri Gunung Dempo telah kembali melompat ke arahnya. Dan lakukan serangan-serangan tangan kosong. Gerakannya amat cepat. Kedua lengannya meluncur ke beberapa tempat mengarah ke tubuh Roro, dengan jari-jari lengan terkatup.

Inilah jurus Bangau Sakti, yang telah dipergunakan si wanita itu. Gerakan-gerakan patukan itu memang berbahaya Karena membersitkan cahaya menyilaukan mata. Barulah Roro mengerti. Kiranya cermin kecil yang tergenggam di bawah lengannya itulah yang membuat ia silau. Roro Centil memang agak kewalahan. Dan ia bertarung sambil mundur dengan pergunakan kegesitannya mengelakkan setiap serangan.

Lagi-lagi cahaya silau itu menyambar ke arah matanya. Roro kembali melompat mundur. Tapi tiba-tiba ia telah keluarkan bentakan keras. Tubuhnya mencelat setinggi lima tombak. Dan telapak tangannya telah menyambar ke bawah. Membersit angin keras meluncur ke arah si Peri Gunung Dempo. Wanita ini bergerak lincah menghindari. Hingga batu dan pasir beterbangan didekatnya.

Roro sudah jejakkan kakinya lagi ke tanah. Tapi lagi-lagi cahaya menyilaukan itu menyambar matanya. Terpaksa ia gunakan lengannya untuk menutupi matanya, sambil bergerak melompat ke kiri dan kanan. Melihat orang sibuk berlompatan itu, si peri Gunung Dempo tertawa mengikik. Dan mengejek.

"Hi hi hi... Mana kehebatanmu Pendekar Wanita Pantai Selatan..?" Dan kata-katanya sudah barengi dengan berkelebatan tubuhnya mengimbangi gerakan Roro. Sementara kedua cermin itu selalu mengincar sepasang mata Roro Centil. Keruan Roro jadi mendongkol. Tapi justru ia menjadi lengah. Karena tiba-tiba...

Bukk..! Ia telah terkena hantaman tendangan kaki si Peri Gunung Dempo pada punggungnya. Tak ampun lagi, Roro sudah jatuh terbanting. Namun Pendekar yang sudah cukup banyak pengalaman, Roro Centil jatuhkan diri dengan cepat berjumpalitan. Hingga sekejap ia sudah dapat berdiri. Beruntung ia sudah waspada sejak semula. Hingga tendangan kilat itu cuma menghantam kulit punggungnya saja. Sedang gerakan berjumpalitan itulah cara yang dipergunakan Roro untuk menghindari kilatan cahaya yang menyambar matanya.

Selama bertarung itu, diam-diam Roro memikirkan bagaimana caranya menghindari cahaya cermin yang selalu menyambar ke arah matanya itu. Dan segera ia sudah dapatkan caranya. Pertarungan pun kembali berlangsung dengan seru. Roro Centil telah putarkan sebuah Rantai Genitnya. Suaranya mendesing bagai ratusan tawon. Gerakan Roro masih seperti tadi. Yaitu dengan tubuh selalu terhuyung, seperti mau jatuh.

Sementara sepasang mata telah menyaksikan pertarungan seru itu sejak tadi. Kiranya si manusia bulat Alias si Dewa Angin Puyuh. Entah mengapa sejak pernah bertemu dengan Roro, dan melihat gadis Pendekar itu tertawan, si manusia bulat ini jadi simpati pada Roro. Diam-diam ia telah siapkan kipas bututnya. Saat itu si Peri Gunung Dempo tengah lancarkan lagi jurus-jurus si Dewa Tengkorak. Tubuhnya berkelebat menerjang Roro Centil. Tiga serangan dahsyat kembali mengarah pada tempat-tempat berbahaya.

Roro Centil berseru keras. Tiba-tiba ia telah papaki ketiga serangan itu. Gerakan itu membuat kekhawatiran si Peri Gunung Dempo. Karena ia sudah mengetahui akan tenaga dalam lawan yang membersitkan angin panas. Keragu-raguan itu tentu saja menguntungkan Roro. Padahal Roro sendiri sudah mengetahui kalau tiga serangan itu adalah jurus ke enam yang ia sudah tahu arahnya serta juga mengetahui kelemahannya. Ia hanya gunakan gertak sambal belaka.

Tiba-tiba Roro telah rubah gerakan memapaki itu dengan gerakan "Ikan Hiu Menyambar Bayangan". Tubuh Roro tiba-tiba meletik indah ke arah samping kanan dan kiri. Lalu semakin maju mendekati sang lawan. Sekonyong-konyong bergerak memutar. Dan saat itulah ia lancarkan serangan Rantai Genitnya Benda itu meluncur menggubat kaki si Peri Gunung Dempo. Sedang sebuah lagi membersit keras bagai dengungan kumbang, meluncur deras ke arah kepala lawan.

Terkesiap Dewi Melur. Ia sudah segera menarik serangan. Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, dengan berjumpalitan di udara. Itulah jurus Naga Siluman Menggeliat. Satu Jurus menyelamatkan diri yang hebat. Akan tetapi terkesiap sang Peri Gunung Dempo. Karena ia yang sedianya sudah dapat melompat jauh tiga tombak, tapi entah dari mana datangnya... tahu-tahu segelombang angin puyuh telah membuat tubuhnya oleng, dan terbawa lagi melayang ke depan. Tak ampun lagi Roro Centil sudah menghantam deras...

Bluk! Krak! Krak...!

Tiga serangan beruntun dari si Rantai Genit tak dapat terelakkan lagi olehnya. Tak ampun lagi terdengar jerit si Peri Gunung Dempo. Tubuhnya terlempar lima enam tombak, dengan dada kena dihantam bandulan si Rantai Genit dengan telak. Dan kedua betisnya terhantam sekaligus hingga remuk, hancur. Kedua potongan kakinya entah melayang kemana.

Roro Centil sendiri sudah melengak. Ia merasa ada hal yang tidak beres. Akan tetapi ia sudah tak dapat lagi. Karena gerakan reflek itu telah terjadi dengan cepat. Tubuh si Peri Gunung Dempo telah terbanting keras ke atas tanah hingga sampai hampir melesak di tanah yang agak becek itu. Ia menyeringai menahan sakit yang amat sangat. Saat itu tiba-tiba terdengar suara tertawa berkakakan. Dan si manusia bulat alias si Dewa Angin Puyuh telah melejit keluar dari balik batu.

Melengak Roro Centil. Ia sudah segera membentak; "Dewa Angin Puyuh..! Siapa suruh kau ikut campur urusan orang..?"

Namun si manusia bulat ini sambil cengar-cengir mengipasi dadanya yang telanjang dengan kipas bututnya, seraya berkata; "Ha ha ha... Aku memang sebal dengan si wanita tengik itu. Biasanya ia selalu menyambangiku. Tapi sejak ia menyimpan seorang pemuda gagah yang masih punya tenaga kuda, ia mulai melupakan diriku. Kalau aku ikut campur rasanya juga tak dapat disalahkan..!"

Sambil bicara, sebelah mata si manusia bulat itu selalu memandang pada Roro, dengan dikedipkan. Sikapnya memang genit, tapi boleh juga di katakan lucu. Karena dengan potongan tubuh yang bulat bagai bola itu, masih juga bermata keranjang pada wanita yang bukan timpalannya.

Sementara itu si Peri Gunung Dempo menampakkan wajah yang menyeramkan. Sepasang matanya membeliak, karena gusarnya. Giginya telah ditekan kuat pada bibirnya hingga mengalirkan darah. Sepasang lengannya tampak terentang ke arah Roro dan si Dewa Angin Puyuh. Tampak asap tipis bagai menguap dari sepasang lengannya.

Terkejut Roro Centil, karena itulah jurus kesepuluh dari ilmu pukulan si Dewa Tengkorak. Belum lagi ia sempat berkedip, Dewi Melur alias si Peri Gunung Dempo telah lancarkan serangan dahsyat itu ke arahnya. Dalam pada itu si Dewa Angin Puyuh dalam keadaan membelakangi.

Blaaarrrr...! Terdengar suara menggeledek Tanah tempat Roro berpijak telah menyemburat ke atas. Debu mengepul tebal. Batu-batu beterbangan ke udara. Terdengar seketika suara-suara teriakan tertahan. Tubuh Roro Centil dan si manusia bulat melambung tinggi ke udara. Ketika asap tebal itu perlahanlahan lenyap, segera terlihat keadaan yang mengerikan.

Tubuh si Peri Gunung Dempo masih dalam posisi menekuk lutut. Dengan sepasang betis yang putus hancur. Wajahnya menyeringai menyeramkan. Dengan sepasang lengannya terpentang kaku. Namun wanita itu sudah tak menampakkan gerak kehidupan. Roro Centil telah berdiri di atas tempat ketinggian. Di hadapan wanita itu tampak sebuah lubang besar dan dalam. Dengan tanah sekelilingnya menghitamhangus. Suasana tampak sepi mencekam.

Perlahan-lahan Roro Centil mendekati si Peri Gunung Dempo. Akan tetapi wanita itu memang sudah tak bergerak-gerak lagi. Keadaannya dalam keadaan posisi menyerang. Tahulah Roro, kalau si Peri Gunung Dempo telah tewas. Dalam keadaan tercenung itu, sebuah benda bulat menggelundung kehadapannya.

Ternyata si Dewa Angin Puyuh. Kiranya manusia bulat ini sudah berhasil menyelamatkan diri dengan melompat tinggi ke atas. Dan hinggap di dahan pohon pada jarak lima tombak dari tempat itu. Laki-laki bulat inipun cuma memandang pada si wanita yang telah menjadi mayat itu dengan sepasang mata seperti tak berkedip. Akan tetapi sudah terdengar suaranya dibarengi dengan helaan napas.

"Hebat..! Tapi amat mengerikan..! Jurus dari ilmu pukulan itu telah menyedot seluruh tenaga dalam dan nyawanya. Agaknya kematian baginya memang lebih baik. Seandainya ia dapat hidup pun, akan menjadi manusia yang tanpa daksa. Yang cuma membuat ia menderita..!" Berkata si Dewa Angin Puyuh.

Agaknya Roro Centil malas memberi komentar. Ia cuma lirik laki-laki bulat itu. Setelah simpan sepasang senjatanya, Roro telah segera berlalu... Dewa Angin Puyuh sudah cepat palingkan kepalanya, seraya berteriak;

"Heiiii..!? Nona Pendekar! Tungguuuu...!" Namun Roro terus berkelebat tanpa menoleh. Dewa Angin Puyuh terus mengintil di belakang Roro. Agaknya ia seperti benar-benar kepincut hatinya pada si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.

* * * * * * *

Laras Jingga dengan sepasang mata menatap hampa cuma manda saja, ketika tubuhnya dibawa berkelebat oleh Boma Kasura Selang tak berapa lama, segera saja sudah terlihat tempat tinggal sang Gurunya itu. Yaitu sebuah pondok ditengah-tengah hutan jati.

"Muridku yang cantik..! Tampaknya kau telah terluka pada kakimu. Sebaiknya kau menetap saja disini..!" Berkata Boma Kasura setelah lepaskan totokannya Mereka sudah duduk di lantai papan, dalam ruangan tengah.

Laras Jingga hanya anggukkan kepala tanpa membuka suara. Selang sesaat, ia sudah rebahkan tubuhnya di lantai papan dengan berbantalkan lengannya. Sepasang matanya dipejamkan.

"Yah..! Sebaiknya kau beristirahat dulu. Aku akan cari makanan. Tak ada kau di tempat ini, segalanya menjadi sepi. Tak ada yang menemaniku untuk bercakap-cakap..!" Boma Kasura lanjutkan katakatanya, seraya beranjak bangkit. Dan langkahkan kaki ke ruang belakang. Tak berapa lama telah kembali lagi sambil membawa setandan pisang.

"Makanlah, untuk menangsal perutmu. Sebentar lagi malam tiba. Sebentar aku buatkan kau ramuan obat untuk mengobati luka di kakimu..!" Ujar Boma Kasura, ketika melihat Laras Jingga membuka kelopak matanya.

Gadis muda ini bangkit berduduk. Dan gerakkan tangannya untuk memotes buah pisang yang baru masak itu. Mengupasnya, lalu masukkan ke dalam mulutnya untuk segera mengunyahnya perlahan-lahan. Boma Kasura tersenyum memandang. Tampaknya ia begitu amat memperhatikan akan keadaan sang murid wanitanya.

Laki-laki berusia sekitar 50 tahun ini tampak sudah bangkit lagi beranjak untuk membawa sekendi air minum, serta dua buah cangkir kosong. Ia letakkan di hadapan Laras Jingga. Seraya mengisi kedua cangkir kosong. Ia letakkan di hadapan Laras Jingga Seraya mengisi kedua cangkir kosong itu, ia kembali berkata;

"Sudahlah muridku. Jangan kau fikirkan sikap ibumu. Aku telah lama mengenal ibumu, dan mengetahui wataknya. Dia memang beradat keras sepertimu. Besok kita pelajari catatan ilmu silat ini. Bukankah kau belum menamatkannya?"

"Aku tak berniat mempelajarinya lagi. Cukuplah sudah apa yang telah kumiliki!" Tiba-tiba Laras Jingga buka suara, seraya lengannya bergerak menyambar cangkir dihadapannya. Dan segera meneguknya habis. Boma Kasura kerutkan alisnya. Tapi ia sudah tak berikan komentarnya. Iapun meneguk habis  isi cangkirnya.

Malam itu suasana agak mencekam perasaan. Karena dikejauhan terdengar suara lolong srigala, yang sayup-sayup terbawa angin. Jengkerik dan binatang-binatang malam sebangsanya seperti membisu atau agak enggan membunyikan suaranya. Walau sesekali terkadang kedengaran di tempat kejauhan. Sementara suara burung hantu di atas dahan jati menyibak lengannya sang malam. Terkadang membaur dengan suara kepak sayap-sayap kelelawar dikerimbunan pohon jambu, di belakang pondok terpencil itu.

Boma Kasura duduk ditikar bersih di lantai papan ruangan tengah. Sepasang lengannya membolak-balik lipatan kertas kulit itu, dengan sepasang matanya memperhatikan setiap tulisan yang tertera disana. Sementara sesekali biji matanya bergerak melirik ke sisi tirai kain yang tersingkap di ruangan kamar disebelahnya.

Duduknya tampak gelisah. Tulisan yang tertera di secarik kertas kulit itu seperti tak terlihat jelas. Boma Kasura memang tengah mempelajari gerakan-gerakan dari jurus-jurus ilmu pukulan si Dewa Tengkorak. Tapi yang terbayang dipelupuk matanya adalah jurus-jurus ciptaannya sendiri. Jurus demi jurus yang diciptakan melalui otaknya, semakin menggebu untuk segera disatukan dengan indra tubuhnya.

Selang tak lama ia keluarkan desahan nafasnya. Lalu melipat lagi kertas kulit itu dan selipkan disaku bajunya. Lalu bangkit berdiri. Kakinya melangkah tiga tindak mendekati meja. Sementara sepasang matanya menatap cangkir berisi obat ramuan yang tadi telah ia sediakan buat muridnya. Senja tadi ia telah balurkan tumbukan daun-daun obat dibetis si cantik, muridnya. Dan sediakan pula secangkir ramuan untuk di minum menjelang tidur.

Sudah diminumkah..? Bertanya hatinya Ia sudah gerakkan kepalanya melongok ke atas cangkir itu. Ternyata isinya sudah kosong. Bagus..! Berkata hatinya. Seakan-akan terdengar lagi suara kata-katanya senja tadi...

"Kau harus cepat sembuh, muridku..! Ramuan ini akan menghangatkan tubuhmu. Juga mampu menolak setiap racun yang masih tersisa di setiap saluran darah..!"

Laras Jingga telah pasrah dalam penantian. Sepasang kelopak matanya setengah terkatup. Ia seperti sudah mendambakan kehadirannya sang matahari. Bibirnya setengah terbuka keluarkan desahan-desahan kecil. Rasa sakit pada luka dibetisnya sudah tak terasa.

Akan tetapi pengaruh minuman yang telah diminumnya, membuat tidurnya seperti gelisah. Hawa dingin di malam sepi itu seperti sudah berubah menjadi panas. Sekujur tubuhnya sudah terbasuh oleh peluh. Di luar masih terdengar suara lolong srigala, yang suaranya seperti tangisan yang merintih. Tapi Laras Jingga seperti sudah terhanyut dalam mimpi.

Ramuan pemberian Boma Kasura telah membiusnya, hingga ia terbawa dalam mimpi aneh yang menakutkan. Jelas kini dilihatnya di pembaringan yang alas kainnya sudah kusut masai itu, tergolek sang Guru seperti seorang bayi lemah yang menunggu sang ibu untuk menyelimutinya. Sekujur kulit tubuhnya bermandikan peluh. Sepasang matanya terpejam. Hidungnya terlihat kembang kempis dengan suara napas yang menggeros.

Sadarlah Laras Jingga, bahwa ia telah berikan kehangatan tubuhnya pada manusia di hadapannya itu, untuk yang kesekian kalinya. Betapa ia amat membencinya. Betapa nistanya. Betapa terkutuknya..! Tiba-tiba Laras sudah rasakan dirinya bagai seekor raja rimba yang buas. Dan dengan menggerung keras, ia telah menerkam manusia dihadapannya. Sepasang lengannya meluncur deras ke arah leher Boma Kasura Terdengarlah suara...

Kraakkk..! Darah segera saja memuncrat memercik ke bantal dan tilam. Boma Kasura perdengarkan suara bagai kerbau digorok. Sepasang matanya membeliak, seperti mau melejit keluar dan kelopaknya. Lidahnya terjulur mengerikan. Sementara sepasang kakinya menggelinjang berkelojotan. Sekejap antaranya tubuh Boma Kasura telah diam tak bergeming. Nyawanya telah berpindah ke alam akhirat. Dengan sepasang mata tak berkedip.

Laras saksikan kematian gurunya tanpa berubah sedikit mimik wajahnya. Tampak wanita muda ini lepaskan cengkeramannya, pada leher Boma Kasura yang telah hancur. Setelah memandang sejenak pada sepasang lengan yang kesepuluh jarinya bersimbah darah, Laras Jingga segera menyekanya dengan kain selimut. Selanjutnya ia telah kenakan kembali pakaiannya.

Suara lolong srigala dikejauhan telah berhenti. Namun suara burung hantu masih sesekali terdengar, namun semakin menjauh. Lalu lenyap. Cuma desah angin malam yang menyibak dedaunan dan membuat beberapa helai daun jati itu rontok jatuh ke tanah. Tetapi dalam senyapnya malam, sesosok tubuh sudah keluar dari pondok terpencil ditengah hutan jati itu dengan berjingkat-jingkat. Lalu lenyap di kegelapan malam...

* * * * * * *

Beberapa pekan kemudian sejak kejadian ditengah hutan jati itu... tiga sosok tubuh tampak mendatangi sebuah rumah dikelokkan jalan desa Sekar Wangi. Ketiganya tampak berjalan dengan bergegas. Salah seorang yang diapit oleh kedua orang yang masih muda-muda itu adalah Kepala Desa Sekar Wangi. Laki-laki berusia sekitar 45 tahun itu bernama Klobot. Sedang kedua orang yang mengapitnya adalah dua orang yang berpakaian seperti perwira Kerajaan.

Sebentar saja mereka telah tiba di depan pintu, di bawah anak tangga rumah panggung itu. Salah seorang sudah segera melangkah menaiki tangga undakan. Dan pergunakan tangannya mengetuk pintu. Akan tetapi tiba-tiba pintu itu telah menjeblak keluar bagai diterjang dari dalam sampai engselnya terlepas.

Tak ampun lagi si perwira Kerajaan itu telah terlempar menggelinding ke bawah tangga batu, disertai teriakan mengaduh kesakitan. Dan sebuah bayangan hitam telah melompat keluar dari dalam. Kepala Desa bernama Klobot itu jadi terkejut dan ternganga. Sementara perwira Kerajaan yang seorang lagi di bawah tangga sudah mengejar bayangan itu.

"Haiiii..! Berhenti..!" Teriaknya seraya melompat mengejar. Akan tetapi bayangan hitam itu sudah lenyap dibalik semak. Perwira ini sudah segera tiba di tempat itu. Pedangnya segera dicabut keluar dari serangkanya di pinggang. Berindap-indap ia mendekati semak lebat itu.

Sementara Klobot pak Kepala Desa cuma memperhatikan dari depan rumah panggung. Perwira Kerajaan yang sial itu sudah bangkit berdiri sambil memegangi kepalanya yang serasa pecah terhantam daun pintu. Tampak keningnya benjol sebesar telur angsa. Laki-laki inipun sudah pentang sepasang matanya melihat ke arah kawannya. Sang Perwira Kerajaan yang sudah mencabut pedangnya itu terus melangkah hati-hati dengan sepasang matanya jelalatan mencari jejak bayangan hitam itu. Jelas sekali bayangan itu adalah sesosok tubuh wanita.

"Keluarlah kau wanita ss... si... siluman..!?" Bentakan si Perwira Kerajaan ini jadi kendur separoh suaranya. Karena dihadapannya telah berdiri orang yang dicarinya. Tapi dalam keadaan membugil bagian atas tubuhnya. Sehingga sepasang benda yang menonjol mulus itu membuat sepasang matanya jadi terbeliak. Satu suara dingin bagaikan es telah terdengar...

"Kau mau membunuhku Perwira Kerajaan..? Atau kau mau menangkapku hidup-hidup? Hi hi hi... Hayo! Kau tangkaplah aku..!" Seraya berkata wanita cantik yang menggiurkan itu telah melangkah menghampiri.

Anehnya si Perwira Kerajaan itu Cuma terpaku di tempatnya menatap si wanita, yang sepasang matanya membersit tajam seperti sepasang mata srigala yang mau menerkam mangsanya. Detik selanjutnya secepat kilat, tahu-tahu sepasang lengan si wanita cantik itu telah terjulur mencengkeram lehernya.

Terdengar seperti suara tulang yang remuk. Darah segar sudah memuncrat membasahi semak. Perwira ini tak sempat bersuara lagi. Ketika tiba-tiba tubuhnya telah terlempar keluar dari semak belukar, dan jatuh berdebuk di tanah. Selanjutnya tampak sang tubuh berkelojotan sejenak, lalu diam terkulai.

Terkejut si Kepala Desa dan perwira kawannya itu. Mereka sudah berlompatan menghampiri. Namun dapatkan si Perwira Kerajaan itu telah tewas. Pucatlah seketika wajah keduanya. Si Perwira Kerajaan ini sudah melangkah ke belakang dua tindak. Dan sudah cabut pedangnya di pinggang.

Namun sekonyong-konyong angin keras telah menyambar tengkuknya. Dan kembali terdengar suara tulang leher yang remuk. Ketika itu juga ia sudah keluarkan teriakan parau. Namun sebentar kemudian tubuhnya telah jatuh berdebuk, disertai lenyapnya si bayangan itu.

Tinggal si Kepala Desa yang terpaku dengan sepasang mata terbelalak menyaksikan tubuh si Perwira Kerajaan, yang berkelojotan bagai ayam yang baru disembelih. Namun sekejap kemudian Perwira itu pun tewas. Sang Kepala Desa ini sebentar saja telah putar tubuhnya, untuk angkat langkah seribu. Keringat dingin sudah mengucur deras di sekujur tubuhnya. Sementara si wanita berbaju hitam itu telah berkelebat pergi dengan cepat.

Sekejap antaranya bayangan tubuhnya telah lenyap. Rumah panggung dikelokkan jalan desa itu kembali sunyi mencekam. Namun tak berapa lama kemudian telah datang dua orang Perwira Kerajaan lagi dengan mengendarai kuda. Segera mereka sudah hentikan kedua kudanya di depan rumah panggung itu. Sigap sekali gerakannya.

Salah seorang sudah melompat menghampiri kedua mayat Perwira bawahannya yang tergeletak bersimbah darah Kematiannya amat mengerikan, bagai habis diterkam binatang buas. Sementara seorang lagi telah melompat masuk dengan menjebolkan daun pintu. Terdengar suara bergedubrakan. Dan seraya mencabut senjatanya Perwira atasan itu telah melompat ke tengah ruangan.

"Wanita siluman..! Keluarlah kau..! Aku Lembu Sura yang akan mencincang tubuhmu..!"

Akan tetapi setelah menanti sekian lama tak ada tanda-tanda mencurigakan kalau wanita yang dicarinya berada di dalam ruangan kamar. Sementara si Datuk Raja Gur telah pula melompat masuk. Tampaknya ia bernyali besar. Karena dengan berani ia telah langsung menendang pintu kamar, yang segera menjeblak terbuka. Dan ia sudah melompat ke dalam, diikuti Lembu Sura.

Akan tetapi kedua perwira ini jadi keluarkan teriakan tertahan. Kedua pasang mata mereka jadi terbeliak dan mulut ternganga. Karena melihat sesosok tubuh membugil tergeletak di pembaringan dalam keadaan terlentang tak bernyawa, dengan keadaan tulang leher remuk. Dan darah kental menggenang bermuncratan membasahi bantal dan tilam. Keadaannya sangat mengerikan. Ternyata sosok tubuh yang sudah menjadi mayat itu tak lain dari Warakas.

l "Kita terlambat datang, kanda Lembu Sura..! Laki-laki bernama Warakas ini, sudah tewas dibunuh si wanita cantik berdarah dingin itu..!"

"Heh..! Sial! Kita tak bisa tahu asal usul wanita siluman itu. Karena hanya Warakas yang mengetahui..!" Berkata Lembu Sura.

"Ha ha ha... Jangan keburu putus asa, kanda Lembu Sura! Masih ada wanita yang tahu siapa adanya si wanita berdarah dingin itu. Yaitu Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan..!" Tutur si Datuk Raja Gur.

Lembu Sura kerutkan alisnya. "Heh! Pendekar itu bersekongkol dengan wanita siluman itu. Mana mungkin ia bisa memberitahu..? Lagi pula mencari wanita pengembara itu amatlah sulit!" Ujar Lembu Sura seraya beranjak keluar dari kamar yang timbulkan bau anyir darah. Tiba-tiba terdengar satu suara wanita di luar...

"Hi hi... Tak perlu mencari Roro Centil. Wanita itu adalah bagianku untuk membunuhnya..! Kalau mau mengetahui siapa adanya si wanita berdarah dingin itu, akupun dapat menceritakannya..!"

Keruan saja kedua Perwira Kerajaan Sriwijaya itu jadi terkejut, dan segera sudah melompat keluar. Segera di lihatnya seorang wanita berusia antara 40 tahun. Memakai ikat kepala berwarna kuning. Bahkan pakaiannya pun berwarna kuning keemasan. Lembu Sura segera bertanya;

"Siapakah anda..? Kami akan berterima kasih bila anda mau membantu kami..!"

"Aku dijuluki si Kupu-kupu Emas..! Marilah kita cari tempat yang enak dan teduh. Agar aku dapat leluasa bercerita.." Menyahuti si wanita.

Tentu saja kedua perwira Kerajaan Sriwijaya itu mengangguk gembira. Dan segera tuntun kudanya, untuk mengikuti di belakang si Kupu-kupu Emas. Tak berapa lama mereka sudah dapatkan tempat teduh, dan duduk di bawah pohon rindang, beralaskan rumput tebal. Di hadapan mereka adalah sebuah danau kecil berair jernih.

"Nan, kalian dengarkanlah ceritaku..." Berkata si Kupu-kupu Emas memulai pembicaraan. Selanjutnya si Kupu-kupu Emas telah ceritakan bahwa wanita berdarah dingin itu bernama Laras Jingga. Ibunya bernama Dewi Melur, permaisuri dari Kerajaan Bungo Mambang yang masih berdaulat pada Kerajaan Sriwijaya.

Sang Raja yang bernama Bantar Alam, mempunyai beberapa orang selir. Namun baik permaisuri dan para selirnya tak mempunyai keturunan. Hingga ada berita kehamilan sang Permaisuri yang ternyata telah hamil bukan oleh baginda Raja Bantar Alam, melainkan oleh seorang Panglima Kerajaan bernama Panglima Sobrang..!

Lahirlah Laras Jingga. Akan tetapi ia lahir di tempat pengungsian. Karena sewaktu hamil, sang permaisuri telah disuruh bunuh oleh dua orang prajurit Kerajaan. Akan tetapi salah seorang prajurit bernama Warakas itu telah melindunginya. Hingga terjadi pertengkaran dengan kawannya yang bernama Renggana Pati, yang diakhiri dengan pertarungan. Renggana Pati terluka putus sebelah lengannya, namun ia berhasil melarikan diri ke istana.

Baginda Raja Bantar Alam gusar, dan perintahkan mencari sang permaisuri dan perwira Kerajaan itu. Akan tetapi mereka tak dapat ditemukan. Laras Jingga terperangkap dalam janji ibunya, untuk membalas jasa pada Warakas. Hingga ia diserahkan kehormatan anak gadisnya pada Warakas yang telah menolongnya. Bahkan ia sendiri sudah berhubungan sejak lama dengan sang Prajurit itu.

Ternyata sang Permaisuri bernama Dewi Melur itu bukan wanita baik-baik. Ia tak pernah mengurus anak gadisnya. Hingga Laras Jingga tubuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak baik. Bahkan ia telah berguru dengan seorang yang juga bejat moralnya, yang juga menodainya sebagai imbalan yang di tuntutnya. Hal tersebut telah membuatnya membenci pada laki-laki. Hingga setiap lelaki hidung belang pasti di bunuhnya. Dengan memberikan lebih dulu kehangatan tubuhnya.

Demikianlah, hingga ia menjadi buronan orang Kerajaan Sriwijaya. Ia memang telah mempelajari ilmu keji yang hebat, dari catatan ilmu silat milik ibunya. Hingga ia menjadi seorang gadis buronan yang sukar ditangkap. Bahkan gurunya sendiri telah dibunuhnya. Kini menyusul Warakas, orang yang paling dibencinya. Demikianlah si Kupu-kupu Emas tuturkan perihal si wanita buronan itu. Kedua perwira Kerajaan itu jadi manggut-manggut mendengarnya.

"Mengenai Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu, tak ada hubungannya sama sekali dengan tindakan si wanita buronan bernama Laras Jingga...! Harap kalian dari pihak kerajaan membebaskannya dari segala tuduhan..! Dia adalah bagian ku! Aku yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri..!"

"Persoalan apakah gerangan yang terjadi dengan anda..?" Tanya Lembu Sura.

Akan tetapi si wanita bergelar Kupu-kupu Emas itu cuma perdengarkan tertawanya. "Hal itu adalah rahasia pribadiku..!" Sahutnya datar.

Lembu Sura kembali manggut-manggut. Tapi ia sudah cepat berkata; "Baiklah..! Mengenai urusanmu aku tak akan ikut campur. Akan tetapi aku perlu bantuanmu menangkap wanita buronan itu. Kalau bisa menangkapnya hidup-hidup. Karena ada perintah mendadak dari Panglima Agung Tunggal Sewu Seta, untuk tidak membunuhnya..! Mengenai hal itu tentu saja ada imbalannya. Harap anda tidak perlu khawatir..!"

"Hm! Tentang itu dapat ku pikirkan nanti. Sampaikan saja salamku pada atasanmu itu..!" Ujar si Kupu-kupu Emas. Kemudian segera sudah bangkit berdiri. "Nah! Aku tak dapat berlama-lama disini! Kau tunggu saja kelak kedatanganku..!" Selesai berkata, wanita bergelar Kupu-kupu Emas itu sudah segera berkelebat pergi. Dan sekejap saja sudah lenyap diantara pepohonan.

Kedua perwira Kerajaan ini cuma bisa menatapnya kagum. Tapi mereka pun segera beranjak menuju kuda-kudanya. Kemudian tak berapa lama antaranya kedua perwira itu pun sudah tinggalkan tempat itu. Sementara si Kupu-kupu Emas telah pergunakan lari yang luar biasa. Hingga yang terlihat adalah sinar kuning keemasan. Berkelebat melewati beberapa dusun. Selang tak berapa lama wanita ini sudah hentikan larinya, dan berjalan tak begitu cepat. Agaknya ia sudah hampir tiba di tempat yang dituju.

Sebuah tugu perbatasan pun dijumpai. Disana ada tiga jalanan bercagak. Wanita ini hentikan langkahnya untuk menentukan pilihan arah jalan yang bakal ditujunya. Setelah termenung sesaat, ia mengambil arah jalan yang sebelah kanan. Dan teruskan melangkah. Ternyata si Kupu-kupu Emas ini seorang wanita yang bertubuh padat dan sempurna.

Disamping pakaiannya yang menonjolkan bentuk tubuhnya, juga memperlihatkan sebagian pahanya, bila melangkah. Karena baju berwarna kuning keemasan itu mempunyai sobekan atau belahan memanjang di bagian sisi pinggangnya. Rambutnya hitam berkilat, panjang terjuntai sampai ke punggung. Walaupun wajahnya menampakkan kelanjutan usianya, akan tetapi wanita ini memang masih mempunyai kulit yang lembut dan mempesona.

Tiba-tiba dari kejauhan telah terlihat tiga orang mendatangi. Ternyata ketiganya adalah laki-laki yang tampak masih muda-muda. Salah seorang sudah berkata;

"Selamat datang sang Ratu Kuning..!" Seraya ketiganya menjura hormat.

Wanita ini mengangguk jumawa, dan tatap ketiga pemuda dihadapannya. Sementara langkah si wanita ini tiba-tiba menjadi gontai seperti mau jatuh. Tentu saja hal itu membuat ketiga pemuda itu jadi terkejut.

"Kenapakah kau Ratu..?" Bertanya salah seorang seraya maju setindak seperti mau jatuh. Tentu saja hal itu membuat ketiga pemuda itu jadi terkejut.

"Kenapa kau Ratu..?" Bertanya salah seorang seraya maju setindak seperti mau membantu menolong.

"Ah..! Tidak apa-apa. Aku hanya terluka dalam... Tapi baru terasa sekarang..! Tapi... aku perlu bantuan kalian untuk memondong ku sampai ke rumah..!" Berkata si Kupu-kupu Emas alias Sang Ratu Kuning.

Tentu saja dengan sigap si pemuda yang maju setindak itu sudah bicara, dengan wajah menampilkan kekhawatiran. "Oh..!? Biarlah aku yang memondong mu Ratu..!" Seraya berkata, pemuda yang bertubuh tegap ini sudah melompat ke hadapan si Kupu-kupu Emas. Dan dengan sedikit bungkukkan tubuh, sepasang lengannya sudah terjulur untuk meraih pinggang wanita itu. Sesaat kemudian sang Ratu Kuning sudah dalam pondongannya.

"Ayo, kita kembali..!" Berkata si pemuda tegap itu pada kedua kawannya. Dan ia sudah mendahului berjalan cepat setengah berlari, kembali ke arah belakang. Kedua pemuda kawannya segera saja mengikuti dengan menampakkan wajah cemas.

Sebentar saja di hadapannya mereka telah terlihat sebuah bangunan gedung yang cukup besar. Wuwungan terbuat dari genting yang sudah berlumut. Tampaknya gedung itu sudah dibangun sejak lama. Di kiri kanan bangunan itu terdapat empat buah area. Memang mirip sebuah tempat pemujaan. Akan tetapi gedung itu ternyata ditempati sebagai tempat berdiam.

Memasuki ruangan gedung itu, dua orang penjaga memberinya jalan untuk lewat seraya menatap dengan terkejut pada wanita dalam pondongan. Langsung saja pemuda tegap itu membawanya meniti tangga batu, ke bawah, ditengah ruangan. Sedang kawannya berhenti di pintu depan.

Di bawah bertemu lagi dengan dua penjaga. Yang setelah menjura, dengan terkejut salah seorang sudah mengikuti. Untuk selanjutnya mendahului berlari ke arah sebuah ruangan. Di ruangan ini terdapat sebuah kamar yang pintunya tertutup. Segera ia membukanya. Sementara sepasang matanya menatap dengan terkejut pada si wanita.

"Kenapa sang Ratu..!" Bertanya penjaga ini.

"Beliau terluka dalam.." Menyahuti si pemuda kekar. Seraya langsung memasuki kamar. Dan rebahkan tubuh sang Ratu di pembaringan.

"Apakah titah Ratu selanjutnya?" Bertanya si pemuda.

Sang Ratu membuka kelopak matanya, dan tatap wajah si pemuda itu. Tubuhnya tiba-tiba bagai diserang demam hebat. Dan tampak menggigil seperti. kedinginan. Pemuda ini terkejut. Lengannya sudah bergerak meraba sekujur tubuh sang Ratu, yang terasa panas. Wanita ini tiba-tiba mengeluh seraya pegangi kepalanya.

"Oh..! Pergilah tinggalkan aku. Eh..! Siapa namamu..?" Tanya sang Ratu tiba-tiba.

"Hamba... Kala Bendana..!" Sahut si pemuda seraya kerutkan alisnya. Agak aneh ia melihat sikap sang Ratu, yang tak mengenali siapa dirinya. Akan tetapi ia sadar kalau sang Ketuanya sedang dalam keadaan terluka yang kelihatannya parah, hingga mempengaruhi jalan fikirannya. Apa lagi sejak tadi ia lihat wajah ratunya yang tampak pucat sekali.

"Aih..! Aku sampai lupa. Kau tak perlu khawatir, malam nanti aku sudah bisa sembuh. Cuma ingatanku mendadak jadi sukar mengingat. Agaknya hawa pukulan musuhku mengandung uap beracun, yang mempengaruhi syaraf ku...!

"Hm! Kala Bendana. Coba kau sebutkan siapa-siapa saja orang yang menghamba padaku..!"

Terkejut Kala Bendana. Baru ia sadar kalau keadaan otak sang Ratu sedang kacau. Segera saja ia sebutkan satu-satu dari semua penghuni gedung itu. "Kesemuanya ada delapan belas orang. Yang terakhir menghamba adalah seorang pemuda bernama Gumarang. Mungkin Ratu memang belum mengetahuinya, karena pemuda itu baru sebulan yang lalu diantarkan oleh sahabat baik Ratu. Yaitu yang berjulukan Peri Gunung Dempo. Memang beliau ada menanyakan Ratu. Tapi telah hamba katakan bahwa Ratu berada di Kota Raja..!" Tutur Kala Bendana.

Si Kupu-kupu Emas ini manggut-manggut, seraya bertanya lagi. "Bagaimana dengan pemuda Gumarang itu? Apa ia baik-baik saja?"

"Ia kami penjarakan sementara di ruang bawah tanah. Dia dalam keadaan baik. Karena Peri Gunung Dempo perintahkan kami untuk menjaganya sampai kedatangan Ratu..!" Ujar Kala Bendana.

"Bagus..! Sebentar senja, kau bawa ia menghadap padaku..!" Perintah si Kupu-kupu Emas. Lalu perintahkan Kala Bendana keluar, karena ia akan segera memulai bersemadi untuk memulihkan luka dalamnya.

Pemuda itu menjura hormat, lalu beranjak keluar kamar, serta tutupkan pintunya. Kemudian terdengar langkahnya berlalu menjauh. Sementara si Kupu-kupu Emas telah bangkit untuk duduk. Terdengar suara helaan napas lega dari mulutnya. Sang Ratu gerakkan sepasang tangannya untuk meraba wajahnya. Lalu singkapkan rambut. Dan entah apa yang dilakukannya, ketika tiba-tiba ia telah sentakan jari-jari tangannya.

Aneh! Kulit wajahnya telah terbawa mengelupas. Dan tersembulah sebuah wajah ayu... Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Ternyata ia telah menyaru sebagai si Kupu-kupu Emas. Dan berhasil memasuki sarangnya. Apa yang terjadi dengan si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini?

Baiklah kita putar kisah belakangan ini... Kiranya waktu Roro berlalu tinggalkan mayat si Peri Gunung Dempo yang dalam keadaan tewas dengan posisi menyerang, ia terus dibuntuti si Dewa Angin Puyuh. Ternyata diam-diam Roro Centil mengetahui, namun membiarkan saja si manusia bulat itu mengikutinya. Ternyata kemudian Roro menjumpai sebuah kuil tua yang tak berpenghuni. Disana Roro sengaja berhenti untuk duduk beristirahat. Dewa Angin Puyuh tentu saja sudah segera melompat menyusul dan sekejap ia sudah tiba di depan kuil.

"Nona Pendekar..! Harap sudilah kau bersahabat denganku, si Dewa Angin Puyuh..! Aku bukan dari golongan hitam. Tapi aku juga bukan golongan kaum putih, karena tak pernah orang menyebutku sebagai Pendekar. Walaupun sesekali aku juga suka menolong orang..! He he he..." Tak angin tak hujan, si Dewa Angin Puyuh sudah pentang suara dengan lebih perkenalkan dirinya.

"Hm! Siapa yang melarang orang untuk bersahabat? Di dunia ini mencari sahabat amat sulit. Seperti mencari jarum di dalam laut..!" Ujar Roro tanpa menoleh.

"Bagus! Bagus! Betul begitu..! Ah, senang sekali kalau nona menerimaku..!" Berteriak si Dewa Angin Puyuh dengan wajah girang. Cuma saja ia tak berjingkrakan saking senangnya dapat mendekati sang Pendekar Wanita yang ayu rupawan.

"Tapi sahabat sejati amat sukar dicari. Banyak orang mengaku sahabat, bila dirinya memang amat membutuhkan orang itu. Atau tepatnya ada maunya..! Hal itulah yang aku tak ingin. Biasanya sahabat semacam itu bagaikan seekor musang berbulu ayam. Bila ayam lengah, si musang bisa menerkamnya..!" Berkata lagi Roro Centil dengan kata-kata yang tanpa tedeng aling-aling.

Tentu saja kata-kata itu membuat si manusia bulat jadi melengak. Tapi ia sudah berubah wajah jadi tersenyum. "He he he... Jangan Khawatir, nona Pendekar. Orang semacam ku bukan semacam... semacam ayam yang berbulu mu... mu..? Eh, maksudku Musang yang berbulu Ayam..!" Ujar si Dewa Angin Puyuh agak kikuk. Dan lanjutnya lagi. "Aku memang termasuk manusia segala doyan. Akan tetapi aku bisa lihat-lihat mana yang brengsek dan mana yang tidak brengsek..!"

"Kalau yang brengsek itu yang bagaimana..?" Tanya Roro.

"Yang brengsek adalah yang mempermainkan cinta laki-laki..!" Jawab si manusia bulat.

"Kalau yang tidak brengsek... ?" Tanya Roro lagi.

"Yang tidak brengsek adalah yang cintanya suci. Dan ditujukan pada satu orang saja..!" Ujar si Dewa Angin Puyuh, seraya keluarkan kipasnya. Dan sambil meram-melek ia duduk menyandar di tiang penyangga wuwungan Kuil.

Roro Centil kerutkan alisnya. "Jadi aku, kau masukkan dalam golongan yang mana.. ?" Bertanya Roro.

"Entahlah..! Rasanya diantara kedua golongan itu, nona tidak termasuk dalam kamus catatan di otakku..!"

Roro tersenyum, manggut-manggut. Agaknya ia mengerti. "Hm! Jadi kau baru bisa menilai, kalau aku sudah meladeni kau seperti seorang istri terhadap suaminya... Begitukah maksudmu..?" Tanya Roro seraya palingkan wajahnya pada si manusia bulat, yang masih enak-enak duduk bersandar sambil mengipasi dadanya dengan kipas bututnya.

"He he he... Betul! Betul..!" Jawab si Dewa Angin Puyuh.

"Tapi kalau aku tidak bertepuk sebelah tangan..!" Sambungnya lagi, dengan senyum simpul. "Bagaimana kalau kau bertepuk sebelah tangan? Apakah akan kau batalkan persahabatan mu dengan ku..?" Tanya Roro menegasi.

Si manusia bulat itu terdengar menghela napas, namun wajahnya menampilkan kegembiraan... "Yah..! Apa boleh buat, karena sudah terlanjur..!" Ia telah menjawab seenaknya.

Tapi entah mengapa dalam bertukar jawab itu, si Dewa Angin Puyuh tampak senang. Karena baru kali ini ia temui seorang dara cantik dan ayu yang kenes dan pintar bicara. Membuat ia betah untuk mengobrol. Bahkan selanjutnya si Dewa Angin Puyuh jadi merasa sungkan, ia menghormati si Pendekar Wanita itu. Dan semakin bersimpati manusia yang berwatak agak ugal-ugalan itu terhadap Roro.

Demikianlah... Beberapa hari kemudian, tampak keduanya sudah akrab. Bahkan selama itu dimana ada Roro, pasti ada si Dewa Angin Puyuh. Sepintas orang menebaknya sebagai seorang paman dengan keponakannya. Ternyata Roro pun telah memanggilnya dengan sebutan paman terhadap si Dewa Angin Puyuh itu. Yang tampaknya mempunyai rasa kebahagiaan tersendiri bagi si manusia bulat itu. Siapa yang tak bangga punya keponakan secantik dan seayu Roro Centil, yang selalu menjadi incaran mata kaum muda-muda bahkan tua bangka yang mata keranjang...

Hal itu memang terjadi, ketika suatu ketika si Dewa Angin Puyuh mengajak Roro memasuki desa yang ramai. Dan mengajaknya singgah di sebuah rumah makan yang paling laris dikunjungi orang. Dengan bangga si manusia bulat telah sebutkan Roro sebagai keponakannya, bila bertemu dengan setiap orang yang dikenalnya.

Dari si Dewa Angin Puyuh itulah, Roro Centil mengetahui tentang siapa adanya wanita kaum Rimba Hijau yang bernama julukan si Kupu-kupu Emas. Seperti diketahui si Kupu-kupu Emas adalah orang yang tengah dicarinya. Dan terlibat dalam pengeroyokan atas gurunya, si Manusia Aneh Pantai Selatan Yang berakhir dengan kematian sang Guru yang dicintainya itu. Berita itu ia dapatkan dari Joko Sangit, sahabat baiknya.

Ternyata si Dewa Angin Puyuh juga suka berhubungan dengan Sang Ratu Kuning, alias si Kupu-kupu Emas itu. Bahkan ia memiliki topeng kulit manusia, yang sering dipakai wanita Rimba Hijau itu. Entah bagaimana si Dewa Angin Puyuh berhasil mencurinya. Demikianlah. Hingga Roro Centil dapat mengetahui sarang si Kupu-kupu Emas, dan bahkan dapat mengelabuhi ketujuh belas orang-orang bawahannya, yang mengabdi padanya.

Bahkan tanpa sengaja usaha mencari Gumarang, laki-laki muda suami Retno Wulan yang hilang tak tentu rimbanya itu dapat diketahui kalau ternyata berada di sarang si Kupu-kupu Emas. Setelah entah beberapa bulan disekap oleh si Peri Gunung Dempo untuk melayani wanita cabul itu memuaskan hawa nafsunya.

* * * * * * *

Senja telah tiba, ketika pintu kamar Roro Centil diketuk orang. Roro cepat-cepat pergunakan cadar dari saputangannya untuk menutupi wajahnya. Hingga yang tampak adalah sepasang matanya saja.

"Masuklah..!" Berkata Roro Centil, seraya bukakan pintu.

Dan seorang pemuda diantar dua pengawal, segera melangkah masuk. Ternyata Kala Bendana tak ada bersamanya. Pemuda bernama Gumarang ini berhenti untuk menatap pada Roro yang wajahnya terlihat sepasang matanya saja berkilatan memandangnya. Roro sudah segera tutupkan kembali pintu kamarnya.

Gumarang melangkah lesu. Keadaannya amat mengenaskan. Karena tubuhnya tampak agak kurus. Dengan sepasang mata yang agak cekung ke dalam. Wajahnya tak menampilkan gairah hidup. Tapi Roro harus mengakui akan ketampanan wajahnya. Pantas si Peri Gunung Dempo menggilainya, karena Gumarang memang punya daya tarik luar biasa untuk digandrungi kaum wanita. Demikian pikir Roro dalam hati. Tiba-tiba laki-laki muda ini balikkan tubuhnya, seraya berkata dengan suara parau.

"Kaukah sang Ratu Kuning itu..? Hm! Lebih baik kau bunuh saja aku..! Aku telah tak punya gairah untuk wanita-wanita cabul macam kalian. Sudah cukup aku tersiksa oleh si Peri Gunung Dempo, wanita siluman itu, mengapa kau masih memelihara aku sampai saat ini...? Dan baru sekarang kau panggil aku untuk menghadap?"

Seraya berkata itu, sepasang mata Gumarang tampak menyorot tajam berapi-api. Betapa ia sudah merasa bosan hidup dalam tawanan. Dan kini lagi-lagi harus berhadapan dengan manusia-manusia bermoral bejat Yang tak pernah merasa puas..!

Akan tetapi tiba-tiba Roro Centil telah membuka cadar penutup wajahnya. Dan tempelkan jari telunjuknya di atas bibir. Tentu saja Gumarang jadi terkejut. Dan isyarat itu membuat Gumarang kerutkan alisnya hingga menyatu. Roro sudah tarik pemuda itu ke sisi pembaringan.

"Masih ingatkah kau padaku..? Aku wanita yang telah kalian anggap Dewi Laut itu..?" Tanya Roro bersisik.

Gumarang bagai tak berkedip menatap Roro. Dan segera teringat ia akan peristiwa setahun lebih yang lalu, ketika ia dan Retno Wulan dalam keadaan dicengkeram maut. Karena ketika sepasang sejoli ini melarikan diri dengan menggunakan perahu berlayar di laut lepas, tahu-tahu perahunya telah bocor berlubang. Ternyata adalah perbuatan begundalnya Tirta Menggala.

Saat Tirta Menggala muncul dengan perahu besar menyusulnya, mereka berdua cuma bisa menantikan datangnya maut Karena perahunya semakin membenam, tanpa seorangpun berniat menolong. Apa lagi Tirta Menggala memang menginginkan kematian mereka. Karena ia memang menginginkan Retno Wulan, sang kekasihnya itu untuk jadi istrinya. Tapi ditolak oleh sang gadis. Dan gadis itu melarikan diri bersamanya.

Pada saat kegaduhan di perahu besar yang ditumpangi Tirta Menggala. karena sekonyong-konyong perahu Tirta Menggala berderak bagai dihantam benda keras. Dan sekejap sudah miring mau tenggelam. Karena dinding perahunya telah jebol. Saat itulah, sebuah bayangan merah jambu berkelebat menyambar Gumarang dan Retno Wulan.

Ternyata Roro Centil yang telah menyelamatkan jiwanya. Dan dibawa melesat ke arah pantai. Yang akhirnya mereka terhindar dari kematian ditelan ombak. Gumarang tak dapat berkata apa-apa selain bersujud di hadapan Roro Centil, namun mendesis juga ucapannya perlahan...

"Pendekar Wanita Pantai Selatan... Nona Roro Centil..! Aku masih mengenalimu. Oh, maafkan aku yang salah menyangka..!"

Namun Roro sudah segera angkat bahunya dan bisikkan beberapa kalimat tentang kedatangannya. Gumarang mengangguk-angguk mengerti. Lalu sekejap kemudian Roro telah salurkan hawa hangat ke sekujur tubuh Gumarang, dengan menempelkan telapak tangannya pada punggung pemuda itu. Selang sesaat Kekuatan Gumarang telah pulih kembali. Bahkan tenaga dalamnya telah ditambah oleh Roro Centil, dengan menyalurkannya tanpa sungkan-sungkan.

Segera saja Roro pakai lagi kedok mukanya. Dan beranjak keluar diikuti Gumarang. Tentu saja kedua penjaga cuma tundukkan kepala dengan menjura hormat pada Roro. Akan tetapi, sekali lengan wanita ini bergerak kedua penjaga itu telah berdiri kaku dengan keadaan tubuh tertotok juga tanpa dapat keluarkan suara lagi. Cuma sepasang matanya saja yang menatap lantai dengan berkedip-kedip keheranan.

Selanjutnya beberapa penjaga semuanya telah juga ditotok oleh Roro. Bahkan tiga orang yang datang kehadapannya, termasuk Kala Bendana, telah juga mengalami nasib yang sama. Tentu saja, dengan mudah mereka segera keluar dari gedung tempat sarang si Kupu-kupu Emas itu. Akan tetapi ketika mereka tiba di pelataran, telah terdengar bentakan disertai terjangan hebat dari dua sosok tubuh.

Roro Centil pergunakan sepasang lengannya untuk menyambuti. Terdengarlah suara teriakan tertahan. Dan dua sosok tubuh itu telah terpental tiga tombak ke belakang. Segera dapat dilihat siapa adanya kedua orang itu. Ternyata mereka adalah dua orang wanita. Yang satu seorang wanita muda berbaju hitam, yang tak lain dari si wanita buronan Laras Jingga.

Sedang yang seorang lagi adalah seorang wanita berusia sekitar 40 tahun. Wajahnya mempunyai bekas tanda luka menggores. Akan tetapi dapat diakui wanita ini dulunya berwajah cantik. Wanita ini bangkit berdiri, seraya gulung lengan bajunya, yang berwarna kuning keemasan, hampir mirip dengan pakaian Roro.

"Manusia kurang ajar..! Buka topengmu..!" Bentaknya. Seraya cabut senjatanya dari balik pakaian. Yaitu sebuah kipas tipis dari baja berkilat, berwarna kuning emas, berbentuk sayap kupu-kupu. Tahulah Roro Centil, kalau wanita dihadapannya ini adalah si Kupu-kupu Emas. Segera ia telah tarik robek kedok mukanya.

Sepasang mata si Ratu Kupu-kupu Emas itu mendelik gusar. Ia memang sudah mengetahui kalau orang yang menyaru dirinya itu adalah Roro Centil. Akan tetapi baru kali ini ia melihat wajahnya. Adapun si wanita buronan, Laras Jingga jadi terkesiap. Tapi juga merasa kebetulan. Wajahnya tampak menampilkan kemarahan luar biasa terhadap Roro.

"Manusia keparat Roro Centil! Bagus! kiranya kau berada disini. Kau harus tebus kematian ibuku dengan nyawamu..!" Bentakannya telah diiringi terjangan hebat ke arah Roro. Ternyata ia telah pergunakan jurus-jurus si Dewa Tengkorak.

Akan tetapi dengan pergunakan jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang, Roro Centil sudah berhasil menghindari. Bahkan tampaknya Roro tak mau berlama-lama untuk menjatuhkan lawan. Ia sudah maklumi kemarahan Laras Jingga akan kematian ibunya alias si Peri Gunung Dempo. Tiba-tiba tubuh Roro telah berkelebat lenyap dari pandangan wanita muda itu.

Akan tetapi tahu-tahu Laras Jingga keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya roboh terkulai kena ditotok Roro. Dan dengan sigap, Roro telah menyambutinya. Kemudian dengan memondongnya, Roro cepat melompat ke arah Gumarang. Kejap berikutnya, ia telah berikan gadis yang telah tertotok pingsan itu untuk dipondong si pemuda.

Betapa gusarnya si Kupu-kupu Emas. Memang ia telah mengetahui adanya Roro Centil dari kedua orang Perwira Kerajaan Sriwijaya, yaitu Lembu Sura dan Datuk Raja Gur. Yaitu adanya orang yang menyaru dirinya. Ia baru saja keluar dari gedung Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Yang memang ada hubungan baik padanya.

Saat ia lakukan pembicaraan sejenak dengan Panglima itu, muncullah Lembu Sura dan Datuk Raja Gur. Mereka segera laporkan pertemuannya dengan si Kupu-kupu Emas. Tentu saja Panglima Agung Tunggal Sewu Seta jadi terkejut. Terlebih-lebih si wanita itu, karena Kupu-kupu Emas adalah dirinya sendiri.

Pada saat itulah muncul si Dewa Angin Puyuh, yang mengatakan bahwa si Kupu-kupu Emas itu adalah samaran dari Roro Centil, yang tengah menyatroni sarangnya. Kiranya si manusia bulat itu memang sengaja memancing wanita musuh besar Roro itu untuk kembali ke sarangnya. Bahkan si Dewa Angin Puyuh yang telah berpihak pada Roro, berpura-pura mau membantu wanita itu. Segera saja mereka minta diri. Dan berdua dengan si Dewa Angin Puyuh, mereka segera angkat kaki untuk segera berangkat menuju tempat Kediaman si Kupu-kupu Emas.

Diperjalanan mereka bertemu dengan Laras Jingga. Lantas saja si Kupu-kupu Emas mengajaknya turut serta, serta merasa kebetulan sekali mendapat teman untuk menempur Roro Centil. Karena Laras Jingga memang tengah mencari pendekar wanita itu, untuk membalas dendam atas kematian ibunya. Ternyata semua itu adalah hasil rencana si Dewa Angin Puyuh. Yang sudah mengatur adanya pertemuan itu.

Demikianlah... Ketika terjadi pertarungan, dan berakhir sekejapan saja Laras Jingga kena tertotok oleh Roro Centil. Saat itu si Dewa Angin Puyuh, cuma asyik duduk menyandar di dahan pohon sambil mengipas dengan kipas bututnya. Kupu-kupu Emas sudah berteriak membentaknya...

"Hei! Manusia bola..! Mengapa kau tak turun tangan membantuku..?!" Teriaknya.

Akan tetapi si manusia bulat itu bahkan pentang mulutnya lebar-lebar, alias menguap. "Hoaeeemmm... Aku mengantuk sekali, Kupu-kupu Emas. Sebaiknya aku tidur dulu. Nanti bila kau terdesak, dan sudah dekat mau mampus, kau bangunkanlah aku..!" Berkata si Dewa Angin Puyuh, seraya kipas bututnya sudah diselipkan disela jubahnya. Kemudian setelah menguap sekali lagi, sudah segera pejamkan matanya untuk tidur mendengkur.

"Setan..! Kunyuk..!" Memaki si Kupu-kupu Emas, seraya sudah arahkan senjata kipas bersayap Kupu-kupu itu ke atas tempat si manusia bulat mendengkur. Tiba-tiba dari batang kipasnya telah membersit belasan batang jarum halus. Itulah senjata rahasia yang mengandung racun. Akan tetapi, dengan cepat si manusia bulat itu tarik keluar lagi kipas bututnya, seraya berkata keras-keras...

"Hoaeeemmm..! Panasnya bukan main..!" Hebat akibatnya. Karena dari dengan gerakan mengeluarkan kipasnya saja, belasan batang jarum itu telah buyar kena hempasan angin kipas bututnya. Dan ketika mulutnya menguap. Belasan batang jarum itu sudah terhembus lenyap. Selanjutnya ia sudah mengipas lagi. Anehnya selama ia menghantam buyar senjata-senjata rahasia itu, ia tak pernah membuka kelopak matanya.

Kupu-kupu Emas sudah tak memperdulikan lagi manusia bulat itu. Akan tetapi ia telah palingkan kepala pada Roro Centil seraya membentak dengan suara dingin. "Bagus..! Kiranya murid si Manusia Aneh alias si banci gila asmara itu, memang mencariku untuk membalas dendam..! He he he... kau hanya mengantar nyawa saja, bocah bau kencur..!"

Dan kata-katanya telah dibarengi bentakan dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke arah Roro, dengan kelebatkan senjata kipas Kupu-kupunya. Membersit senjata yang bersisi tajam itu. Bahkan ujungnya mematuk ke arah leher. Roro Centil sudah berkelebat menghindar. Tentu saja ia telah waspada akan adanya jarum di ujung gagang kipasnya.

Tampaknya Roro Centil ingin mencoba menggunakan jurus pemberian si Mayat Hidup. Yang cuma terdiri dari tiga jurus. Ketiga jurus ilmu pemberian si Mayat hidup itu adalah bernama jurus Kucing Kurus Sambar Ikan Asin. Segera saja Roro lakukan lompatan-lompatan bagai seekor kucing. Ternyata membawa hasil memuaskan. Jurus-jurus si Kupu-kupu Emas selanjutnya semakin hebat. Dan Roro Centil selalu dapat menghindar dengan lompatan-lompatannya. Membuat wanita ini jadi jengkel.

Tiba-tiba kipasnya bergerak menyambar, menimbulkan hempasan dahsyat. Berbareng dengan kelebatan tubuhnya memutari Roro. Dan di saat yang sudah ditentukan, jarum-jarum mautnya sudah membersit berkali-kali meluruk ke arah Roro. Namun dengan kibaskan rambutnya, Roro berhasil menghalaunya. Tiba-tiba Roro gerakkan tubuh untuk menyambar kaki. Lagi-lagi ia pergunakan jurus Kucing Kurus Sambar Ikan Asin warisan si Mayat Hidup, membuat si Kupu-kupu Emas melompat dua tombak.

Namun gerakan Roro sudah mendahului. Karena ia telah menduga kalau si wanita itu akan berbuat demikian. Dan begitu tubuh si Kupu-kupu Emas tiba didekatnya, sekali lengan Roro bergerak... lepaslah senjata Kipas Kupu-kupu si wanita itu. Untuk selanjutnya sebuah gerakkan dari jurus Ikan Hiu Menampar Ombak. Tak ampun lagi wanita itu sudah perdengarkan teriakannya. Karena sebuah tendangan telak telah menghantam punggungnya di udara. Tubuh Roro sudah kembali menjejak tanah.

Sementara tubuh lawannya baru saja menyentuh ke bumi, Roro Centil telah lemparkan deras senjata kipas Kupu-kupu itu ke arah si pemiliknya. Terkesiap si Ratu Kuning itu. Namun sudah terlambat. Karena benda itu telah menabas langsung ke arah dadanya, hingga lenyap tak kelihatan lagi. Dan tanpa dapat berteriak lagi, si Kupu-kupu Emas cuma menggeliatkan tubuhnya. Dan nyawanya pun melayang seketika. Senjata Kipas Kupu-kupu itu telah membelah dadanya dan terus melesak amblas ke dalam tanah. Pertarungan maut itupun berakhir sudah.

Si Dewa Angin Puyuh tertawa gelak-gelak. Dan melompat turun dari atas dahan. Sementara cuaca semakin gelap. Karena malam akan segera tiba.

* * * * * * *

Menjelang beberapa hari kemudian, tampak tiga sosok tubuh berlari dengan tak tergesa-gesa, di atas perbukitan yang menghijau itu. Mereka adalah Roro Centil, Gumarang dan si Dewa Angin Puyuh. Ketiganya dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal si Mayat Hidup. Kiranya mereka baru saja membereskan urusannya menyerahkan si wanita buronan alias Laras Jingga, si cantik berdarah dingin itu pada Panglima Agung Tunggal Sewu Seta.

Ternyata di dalam ruangan gedung itu tengah ada tetamu dari Kerajaan Bungo Mambang. Diantaranya terdapat Raja Bantar Alam serta putra mahkota Pangeran Kandaga. Serta juga seorang panglima yang putus sebelah tangannya, bernama Renggana Pati. Terbukalah tirai terselubung di hati Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Karena sebenarnya ia adalah seorang panglima di Kerajaan Bungo Mambang, bernama Sobrang. Yang sebenarnya bukan dihukum mati oleh Raja Bantar Alam. Melainkan dipindahkan ke Kerajaan Sriwijaya. Dan menjadi Panglima di Kerajaan besar itu.

Laras Jingga adalah puteri angkatnya yang telah dicuri oleh Warakas. Sedang kehamilan Dewi Melur adalah perbuatan Warakas. Anak hasil perbuatan mereka, ternyata tak berumur panjang. Dan meninggal ketika dilahirkan. Warakas akhirnya dapat diketahui tempat persembunyiannya. Namun ketika Panglima Sobrang alias Panglima Agung Tunggal Sewu Seta itu menyuruh menangkapnya. Ternyata telah tewas oleh Laras Jingga.

Adapun kedua orang anak pembesar Kerajaan itu, yang bernama Lingga dan Linggih, adalah tipuan belaka. Karena Linggah dan Linggih sebenarnya tak ada hubungan apa-apa dengan si Panglima. Perintah membunuh mati itu ternyata dihembuskan oleh Warakas. Karena ia khawatir wanita berdarah dingin itu menyusahkannya kelak.

Tentu saja penuturan dari semua orang-orang Kerajaan Bungo Mambang itu telah menguak kisah riwayat hidup Laras Jingga. Si cantik berdarah dingin ini memeluk ayah angkatnya dengan terharu dan mohon maaf pada Roro Centil, yang telah dianggapnya telah membunuh ibunya. Padahal Dewi Melur alias si Peri Gunung Dempo itu tidaklah ada hubungannya sama sekali dengannya.

Akhirnya setelah mereka sama-sama saling maafkan, Roro, Gumarang dan si Dewa Angin Puyuh berangkat untuk mengunjungi tempat si mayat hidup. Akhir kisah, Roro Centil dan si Dewa Angin Puyuh cuma bisa memandang terharu atas pertemuan Gumarang kembali dengan istrinya, Retno Wulan.

"Dewa Angin Puyuh..! Kapan kau akan kawin..? Apa kau belum bosan membujang sampai tua...!" Berkata si Mayat Hidup.

Manusia bulat ini hanya menyengir, sambil mengipas dengan kipas bututnya. Ia sudah lantas menyahuti, seraya tertawa gelak-gelak. "He he he... ha ha ha... Kawin sih aku sudah sering...! Cuma menikah yang aku belum merasakannya...!"

Tentu saja semua jadi tertawa geli. Roro Centil sudah menggamit pundak si manusia bulat itu seraya berkata, "Bagaimana kalau kau kawin saja denganku..!"

"Ha...?" Si Dewa Angin Puyuh jadi plototkan matanya pada Roro. Tapi sudah menyahuti; "Boleh..! Boleh..! Tapi aku ingin tahu dulu apa mas kawinnya..?"

Sambil tersenyum Roro menjawab; "Tak perlu pakai mas kawin..! Kalau kau mau menungguku sampai 100 tahun, biarlah kuterima lamaranmu...!"

Tentu saja si manusia bulat ini sudah tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha... Saat itu kau sudah jadi nenek-nenek bungkuk, dan aku sudah jadi makanan cacing di dalam kubur! Ha ha ha..." Kembali si Dewa Angin Puyuh tertawa gelak-gelak. Diikuti semua orang.

Adapun tiba-tiba wajah Roro jadi cemberut. "Aku jadi nenek-nenek bungkuk..? Huh! Siapa bilang kalau aku sudah tua akan jadi nenek-nenek bungkuk..?" Sambil berkata dengan wajah cemberut, Roro Centil sudah balikkan tubuh untuk berlalu.

Terkejut si Dewa Angin Puyuh. Segera ia sudah mengejar, dan berkata, "Aiih... Keponakanku yang manis, sudahlah, jangan marah...!"

"Tidak sudi! Aku memang marah..!" Ujar Roro.

Keruan saja si Dewa Angin Puyuh jadi garuk-garuk kepala, yang tidak gatal. Akan tetapi dia sudah berkata dengan suara agak keras. "Marah, ni yeeee...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.