Roro Centil - Siluman Hitam
Karya : Mario Gembala
SATU
FAJAR baru saja menyingsing. Matahari tampakkan dirinya. Cahaya yang memancarkan kehidupan bagi manusia, mulai memancarkan dari balik perbukitan yang menghijau. Alangkah indahnya karena bukit-bukit itu seperti terkena cahaya emas. Memancar indah cemerlang di pagi yang baru saja terungkap, dari gelapnya malam.
Terpukau kagumnya manusia akan dirinya, akan sifat dan kesetiaannya. Dia memberikan sinarnya untuk manusia tanpa mengharapkan balas jasa. Dia selalu tepati janjinya demi kesejahteraan manusia. Walau mendung tebal menghalangi, ia akan tetap bersinar terus, dan.... terus...! Sampai mendung kucurkan air untuk kehidupan, untuk kesejahteraan semua itu untuk makhluk di bumi. Untuk manusia.
Alangkah indahnya kalau manusia seperti matahari. Alangkah mulianya manusia bila seperti Matahari. Memiliki akhlaknya yang terpuji. Menepati janji yang telah diucapkannya diatas sumpah. Dan berjuang, bekerja tanpa pamrih demi kesejahteraan dan tercapainya kemakmuran. Bukan untuk memperkaya diri sendiri. Bukan untuk berdiri diatas penderitaan orang lain.
Juga bukan untuk kepentingan sepihak atau segolongan. Melainkan untuk kepentingan bersama. Untuk kesejahteraan bersama. Karena kebersamaan adalah kunci dari adanya kehidupan. Tanpa adanya kebersamaan, manusia akan hancur. Bukankah alam telah memberikan contoh pada manusia.
Bumi, udara, udara, bulan bintang, matahari dan berbagai planit di luar angkasa yang tak diketahui manusia, kesemuanya bekerja sama. Lihat! Alangkah patuhnya mereka. Andai saja salah satu dari mereka tidak mematuhi aturan, dan berbuat semaunya apakah itu akan terjadi...?
Akankah adakah kehidupan...? Tentu saja tidak! Karena alam akan menjadi hancur..! Itulah sebabnya kebersamaan adalah kunci dari kehidupan, dan demi perintah dari Yang Maha Kuasa. Karena mereka juga adalah makhluk-makhluk ciptaanNya.
Sayang manusia tidaklah bisa seperti Matahari atau benda-benda alam lainnya, yang selalu patuh pada perintah Nya. Berbeda dengan manusia. Yang Tuhan diberi nafsu untuk pelengkap kehidupannya. Dan diberinya pula akal untuk dapat berpikir.
Namun betapa banyak manusia yang menjadi lupa diri. Karena hanya memperturutkan hawa nafsunya saja. Mencari kesempatan dalam kesemitan. Bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Tanpa memikirkan hak-hak azazi yang mutlak dimiliki setiap manusia. Nikmat yang telah diberikan Tuhan itu, telah dipergunakan pada jalur yang salah dan sesat.
Hingga hilanglah harkat kemanusiaannya. Dan nafsu akan terus menyeretnya semakin dalam. Jika sudah demikian, manusia akan lebih jahat dan lebih buas dari seekor binatang! Bagus sekali! Bagus sekali! Bagus sekali!
Suara benturan dan beradunya senjata tajam terdengar santar dari bawah tebing di ujung perkampungan itu. Delapan manusia bertopeng hitam tampak tengah berperang melawan belasan orang yang bersenjata macam macam. Ada yang mempergunakan tombak, ada yang mempersenjatai pedang atau golok. Bahkan ada yang menyerang dengan teriakan seorang wanita yang terikat, dan tengah meronta-ronta dalam kolam salah satu dari delapan manusia bertopeng hitam itu.
Dua orang tampak dengan tombak dan pedang terhunus, mengejar nekat terobosan urutan keempat si manusia bertopeng, yang sambil bergerak ke sana kemari berusaha menahan terjangan dari belasan orang tersebut.
"Hm! Tahan mereka !" Berteriak salah seo-rang dari manusia-manusia pemakai topeng itu.
Trang! Trang! Terdengar dua benturan senjata. Ketika dengan sekali bergerak, senjata di tangan kedua orang itu terlepas. Ternyata mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka satu sama lain amat sukar dibedakan. Karena seluruh tubuhnya terbungkus dengan pakaian serba hitam. Cuma sepasang matanya saja yang terlihat. Mereka rata-rata bersenjata pedang.
Namun hanya bertahan saja, sambil terus mundur semakin jauh. Barisan dibagi menjadi dua bagian. Empat orang menahan di muka, dan empat orang lagi di bagian belakang, dengan dua di muka dan satu di belakang. Sedangkan yang paling belakang, adalah yang memondong tubuh wanita yang terikat. Kedua orang yang berhasil menerobos barisan dimuka itu, dengan berteriak keras, kembali menerjang maju.
Namun kali ini pedang salah satu dari kedua manusia bertopeng itu telah berkelebat cepat, dan melukai mereka. Agaknya kenekatan mereka sudah membuat mereka tak menghiraukan bahaya lagi. Dengan menggerung keras, kembali merangsak maju. Disertai teriakan pada gadis yang tengah meronta-ronta itu,
"Sawitriiiii...!" Dan dengan mengamuk membabi buta ia berhasil menerobos barisan kedua orang bertopeng itu. Sementara luka-luka di tubuhnya telah bertambah lagi di tiga tempat. Namun tanpa menghiraukan berkelebatnya pedang ia terus merangsak maju. Sedangkan yang dua orang ini, tampak dengan repot berusaha menghindari dari serangan-serangan beberapa pihak lawan yang terus menerjang dengan golok dan paculnya.
Laki-laki tua yang tadi menerjang berdua lebih dulu itu, tiba-tiba terpekik dan roboh terjungkal di barisan kedua. Pedang salah seorang dari orang bertopeng itu telah menembus dadanya. Namun ia masih sempat berteriak "Sawitriiii.... a... anakku " Dan jatuh tertelungkup.
"Ayaaaaaaah...! Terdengar pekik gadis dalam pondongan si manusia bertopeng yang paling belakang melihat laki-laki tua itu tersungkur jatuh, tak berkutik lagi.
Dua orang topeng hitam melompat menahan tiga orang penyerbu yang maju menerobos. Dan pertarungan pun berlangsung dua lawan tiga. Akan halnya si orang bertopeng yang berada di barisan kedua, salah seorang yang tanpa sengaja telah tembuskan pedang ke tubuh laki-laki tua itu, sekonyong-konyong jatuhkan tubuh berjongkok untuk mendekati laki-laki tua itu tampak buka pelupuk matanya, dan tatap orang di hadapannya dengan sayu.
Tiba-tiba ia telah kuatkan tubuhnya untuk bertahan. Luka di dada itu terlalu parah dan banyak mengucurkan darah. Namun suara itu seperti dikenalnya.
"Siapa... kk... kau....?" Bertanya ia dengan suara terputus. Sementara pertempuran masih terus berlangsung di belakang mereka.
Orang bertopeng itu tiba-tiba telah buka topeng wajahnya, dan tatap laki-laki itu dengan wajah masygul. Terdengar desis tertahan keluar dari bibirnya.
"Kakang.... maafkan aku... aku tak sengaja..."
Laki-laki tua itu tiba-tiba bentangkan matanya lebih lebar seperti tak percaya. Tubuhnya tampak menggeletar menahan kemarahan di dalam dadanya.
"Ter...Terkutuk...." Desahnya geram. Dan sehabis mengucapkan kata-kata makian itu, tubuh laki-laki tua itupun terkulai untuk tak berkutik lagi, karena nyawanya telah putus.
Tiba-tiba ia palingkan kepala mendengar teriakan dua orang di belakangnya yang kembali terjungkal oleh kedua pedang kawannya. Darah memuncrat menyembur ke bumi.
"Keparat...! Jangan membunuh!" Teriaknya.
Sementara kedua kawannya itu hanya mendengus mengeluarkan suara di hidung. Ujung pedangnya tampak basah berlumuran darah. "Kau sendiri baru saja membunuh!"
"Aku tak sengaja...!" Tangkis laki-laki itu dengan palingkan muka ke arah para penyerbu, yang masih riuh berteriak teriak mencoba menerobos pertahanan empat manusia bertopeng di barisan pertama.
Tiba-tiba saja ia terkejut bukan main, dan tampak terlihat wajahnya menjadi pucat. Segera dengan sebat ia telah kembali menyarungkan topeng hitam yang masih terbuka itu untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi sudah terlambat. Karena beberapa orang telah mengenali.
"Bodoh!" Maki salah seorang dari kedua kawannya pada laki-laki itu.
"Hai!? Dia..." Teriak salah seorang dari para penyerbu. Namun suaranya terputus, karena tubuhnya telah terjungkal roboh dengan teriakan ngeri. Salah seorang yang baru saja mundur, ketika kedua kawannya roboh, sudah menyerang pemuda itu dari belakang, seraya berteriak.
"Musang berbulu ayam, kubunuh kau...!" Goloknya berkelebat menabas punggung, namun iapun cuma mengantar nyawa saja. Sekali mengegos berkelit, pedang ditangannya telah meluncur cepat ke arah leher. Dan terdengar teriakan parau disertai terjungkalnya sang tubuh, untuk berkelojotan sekarat.
Melihat itu yang lainnya kembali menyerbu dengan tombak, pacul dan blancong. Tampak si orang bertopeng itu berkelebat menyelinap dari sela setiap tubuh penyerangnya. Sementara pedangnya telah bekerja.
Sret! Sret! Bles! Bles!
Dan tampak keempat tubuh penyerangnya itu keluarkan teriakan ngeri, satu per satu tubuh mereka ambruk ke bumi, dengan darah memancur dari leher dan dada. Kurang lebih masih sisa tujuh atau delapan orang dari para penyerbu, yang berada di barisan depan dan tengah, segera melompat mundur dengan keluarkan teriakan kaget.
Namun dua orang dari mereka, tak dapat menahan serangan pedang yang berkelebat dari kawanan orang bertopeng itu. Yang jadi ikut-ikutan membunuh. Dua orang itu terjungkal roboh mandi darah. Si laki-laki palingkan kepalanya untuk melihat kejadian itu.
"Berilah kami bagian, sobat! Jangan kau serakahi semua...! " Teriak salah seorang, yang saling berpandangan dengan kedua kawannya sambil tersenyum.
"Ini semua sudah di luar perhitungan. Kita sudah menyalahi aturan dan perintah ketua!" kata yang satu lagi.
"Benar, ini semua gara-gara kau mendahului membunuh. Dan kau telah membuka topeng, hingga mereka dapat mengenali wajahmu!" Menimpali seseorang yang berada di barisan tengah. Ia adalah orang yang tadi diperingati olehnya.
"Setan…! Apa kau tuli? Sudah kukatakan aku tak sengaja...!" Teriaknya. Tiba-tiba ia palingkan wajah ke arah para penyerbu yang sisa lima orang lagi, dan tampak sudah melompat mundur menyelamatkan diri.
"Celaka..!?" Sentak hatinya. Mereka tak boleh ada seorangpun yang hidup. Pekik hatinya. Dan tiba-tiba saja ia telah berkelebat untuk mengejar. Dengan dua tiga kali lompatan ia telah menghadang di hadapan mereka. Dan tanpa harus mengulur waktu lagi pedangnya telah berkelebat cepat, disertai berkelebatan tubuhnya yang menyelip gesit ke setiap sela tubuh mereka.
Ketika laki-laki itu munculkan tubuh di belakang kelima orang para penyerbu, yang tak sempat untuk berbuat apa-apa itu. Terdengar teriakan ngeri di belakangnya, dan tubuh mereka saling susul terjungkal roboh, dengan memuncratkan darah dari setiap leher dan dada.
Bluk! Bluk! Bluk!
Hanya beberapa detik saja tubuh mereka berkelojotan, lalu diam tak berkutik lagi. Empat orang bertopeng yang berada di barisan depan jadi terpaku sejenak, dengan pentangkan mata lebar. Melihat perbuatan kawannya yang membunuh habis semua penyerbu. Namun cuma sebentar, segera salah seorang putar tubuh untuk diikuti kawan-kawannya.
Namun baru saja mereka membelakangi. Di luar dugaan, dan tak masuk diakal, ketika tahu-tahu tubuh laki-laki bertopeng itu berkelebat kearahnya. Dan detik selanjutnya terdengar jeritan ngeri saling susul dari keempat orang itu. Dan hampir berbareng tubuh empat orang itupun roboh terjungkal.
Ternyata ia telah membantainya dari belakang sekaligus. Dua kawannya, yang tadi sudah lebih dulu berbalik untuk mengejar barisan bagian depan, jadi terkesiap ketika menoleh kebelakang. Namun tanpa bisa berteriak lagi, keduanya telah roboh ambruk ke bumi dengan dada tertembus pedang.
Sementara itu di bagian depan tampak tinggal dua manusia bertopeng lagi. Yang seorang tengah berusaha menghadang pemuda itu, yang berhasil lolos dari barisan kesatu dan kedua. Sedang satu lagi di depannya, dengan memondong gadis itu. Tubuhnya telah mandi darah, penuh luka. Namun bagaikan harimau yang terluka, ia terus menerjang setiap penghalangnya.
Nampaknya sisa dari orang bertopeng ini sudah tak mematuhi peraturan lagi. Apalagi ia dapat lihat apa yang terjadi di belakangnya. Segera saja ia mengirim tusukan maut.
Sret...!!
Pedangnya cuma menyerempet tubuh bagian sebelah kiri pemuda penyerbu itu, namun telah merobek dan mengiris daging tubuhnya. Namun tidaklah membuat gadis itu patah semangat. Iapun balas menerjang dengan pukulan dan tendangan, yang boleh dikatakan tak berarti.
Cras...!
Terdengar teriakan pemuda itu, ketika dengan sekali tebas, pedang ditangan orang bertopeng itu telah menabas putus kakinya. Darah memuncrat membasahi tanah, dan tubuh pemuda yang telah parah itu menggoser-goser menahan sakit. Namun ia sudah mau bangkit lagi, begitu dengar teriakan gadis yang berada dalam pondongan orang bertopeng dihadapannya.
"Prasetyoooo..!?" Gadis dalam pondongan itu menjerit histeris, melihat pemuda itu tersungkur mandi darah.
"Sa.. Sawitriiiiiiii...!" Teriaknya parau. Lengannya tampak terulur menggapai lemah. Namun pada saat itu, pedang si orang bertopeng telah meluncur deras ke arah leher. Tusukan kilat yang akan segera menghabisi nyawa pemuda itu. Akan tetapi pada detik yang kritis itu, telah berkelebat cepat sesosok bayangan hitam.
Trang...!
Pedang si orang bertopeng terpental keras, dan menancap ke dinding celah bukit itu. Dan detik berikutnya, ia sudah perdengarkan teriakan ngeri dan terjungkal roboh dengan semburkan darah segar dari lehernya. Ternyata si pemuda bertopeng itu telah bertindak cepat untuk menyelamatkan nyawa orang. Cuma sesaat ia pandang tubuh kawannya yang tak berkutik lagi itu, dan kembali enjot tubuh untuk mengejar seorang kawannya lagi, yang memondong gadis terikat itu.
"Berhenti...!" Satu bentakan terdengar dari mulut laki-laki itu, yang telah kelebatkan tubuh untuk menghadang. Tentu saja sang kawan ini merandek terkejut.
"Berikan dia padaku..! Cepaaaat...!" Bentaknya dengan mata mendelik tajam.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, ia segera lemparkan tubuh dalam pondongannya, pada orang dihadapannya. Sementara hatinya bertanya-tanya, apa yang terjadi...? Ketika ia menoleh kebelakang, terkesiaplah ia melihat tak sepotongpun ada tubuh kawan-kawannya yang masih berdiri. Semua terkapar berserakan disepanjang celah tebing batu bukit itu. Namun hanya sekejap. Karena iapun terpekik ngeri, ketika tahu-tahu pedang sang "kawan" telah menembus dadanya. Terbeliak seketika kedua biji matanya, menatap laki-laki dihadapannya.
"Ka... Kau bu... bunuh kawan se... ssendiri...?" Terputus ia berkata. Namun sesaat tubuhnya telah menjadi limbung, dan tatapannya jadi memudar.
Ketika si pemuda bertopeng itu menyentakkan pedangnya yang masih menempel itu, terdengar jerit kematiannya, dan tubuhnya terjungkal menggabruk ke bumi. Darah segar pun berhamburan memancur. Dengan posisi masih berdiri memanggul tubuh sang gadis pada pundak kirinya, ia menatap tubuh kawannya itu dengan tatapan tak berkedip.
Namun hanya sesaat, ia segera bersihkan ujung pedang dengan baju sang kawan, dan cepat sarungkan kembali dipinggang. Dan dengan cepat ia sudah melesat kesisi tebing, untuk segera menyelinap pergi dengan memanggul tubuh sang gadis. Setelah mendaki, ia telah tiba ditempat ketinggian, dan berhenti kira-kira dua lemparan tombak dari tempat kejadian itu.
Ternyata si gadis telah pingsan sejak tadi. Sejak melihat darah berhamburan dari kaki pemuda bernama Prasetyo, yang putus terpapas pedang si orang bertopeng. Dengan hati-hati ia geletakkan tubuh sang gadis diatas batu. Kemudian tatap wajahnya dalam-dalam. Sesaat terdengar ia menghela nafas. Tiba-tiba ia seperti tercenung dan palingkan kepala untuk menatap kebawah bukit diantara sela-sela pepohonan.
"Masih hidupkah dia...?" Terdengar ia menggumam. Dan detik selanjutnya ia telah kembali berkelebat, untuk menuruni lereng bukit.
Akan tetapi ia tak mengetahui, disaat ia mendaki tadi salah seorang dari tubuh-tubuh manusia bertopeng yang berkaparan di celah tebing itu, telah bangkit berdiri, dan bersihkan tubuhnya yang berlepotan darah. Terlihat ia tersenyum sinis sendiri. Goresan pedang "kawan"nya, yang jadi berbalik menyerang kawan sendiri itu, hanya merobek baju pada lambung kanannya saja. Sedangkan kulit dan dagingnya tidak terluka sedikitpun.
Ternyata ia memakai perisai baja yang selalu dipakainya. Yaitu lempengan plat baja yang amat tipis sekali. Itulah pakaian dalam pelindung tubuhnya. Yang seandainya ia tak memakai baju wasiat itu, tentu siang-siang nyawanya sudah pulang ke alam Baka. Adapun darah yang berlepotan itu adalah darah palsu, yang memang selalu ia persiapkan untuk menipu lawan.
Akan tetapi baru saja ia mau bergerak, batu-batu kerikil dari atas tebing yang meluruk jatuh beberapa gelintir, membuat ia sadar akan adanya orang menuruni lereng tebing. Segera ia jatuhkan kembali tubuhnya menelungkup dengan cepat. Dan berbuat seolah ia telah tak bernyawa lagi.
Orang bertopeng itu ternyata mencari pemuda yang telah diselamatkan nyawanya, yang ternyata pemuda putus kaki itu, telah pingsan tak sadarkan diri. Segera ia mau menolongnya. Namun tiba-tiba berkelebat kebelakang dengan beberapa lompatan. Apakah yang akan dilakukannya...? Ia telah perhatikan semua mayat, beruntung yang ia hampiri adalah mayat yang agak di ujung sana.
Si orang bertopeng yang pura-pura mati itu sempat juga memperhatikan dengan hati kebat-kebit, dengan lirikan matanya. Kiranya yang dilakukannya adalah membuka pakaian mayat yang tergeletak itu, bahkan seluruhnya. Kemudian....
Bret! Bret! suara robekan baju terdengar. Ternyata ia telah merobek pakaiannya yang serba hitam itu. Kemudian cabikan-cabikan pakaiannya ia lemparkan jauh kesisi tebing batu. Selanjutnya ia mulai mengenakan pakaian penggantinya. Segalanya itu dikerjakan dengan cepat.
Dan tak lama kemudian ia telah kembali ke tempat pemuda putus kaki itu. Dan pondong tubuh orang untuk sampirkan pada pundaknya. Dan saat berikutnya ia telah kembali beranjak dari situ. Mendaki lereng tebing, dan lenyap dibalik dedaunan.
Akan halnya si orang bertopeng yang pura-pura mati itu, cepat bangkit berdiri kemudian ikuti jejak "kawan"nya itu dengan hati-hati, dan cepat mendaki lereng dengan gerakan gesit. Keadaan di celah bukit itupun kembali lengang tak lagi nampak adanya tanda-tanda kehidupan. Mayat-mayat berserakan disana-sini. Keadaannya sungguh amat menyedihkan.
Sementara itu si orang bertopeng telah letakkan tubuh pemuda itu ditanah. Tak jauh dari tubuh si gadis yang masih tak sadarkan diri diatas batu, tampak ia palingkan kepala kebelakang, dan lihat bekas-bekas darah sepanjang jalan. Seandainya ia tak mengenakan topeng yang membungkus kepalanya sampai menutupi wajahnya itu, akan terlihat ia mengkerenyitkan keningnya. Memandang luka orang yang alirkan darah tak berhenti itu, segera ia telah lepaskan topengnya. Dan kain hitam itu ia pakai untuk membalut kaki orang yang putus.
Dan selanjutnya ia kembali berdiri untuk pandang kedua tubuh yang tak bergeming itu. Hanya terlihat napasnya saja yang naik turun perlahan. Ternyata ia seorang laki-laki yang bertubuh kekar. Dengan wajah yang berkulit kecoklatan dan agak kasar. Alisnya tebal menghitam, wajahnya menampilkan kekerasan pada jiwanya. Sedangkan kumis dan jenggotnya sama lebat, dan sama hitam dengan rambutnya.
Umurnya sekitar empat puluh tahun. Tiba-tiba ia membungkukkan tubuhnya untuk meraih tubuh pemuda yang putus kaki itu dan sangkutkan pada pundaknya. Lalu dengan cepat ia telah pula sambar tubuh gadis diatas batu itu dengan tangan kanannya.
Dengan memanggul serta mengepit tubuh gadis dibawah lengannya itu, ia bergegas tinggalkan tempat itu. Ternyata ia mempunyai tenaga besar, sehingga dengan membawa kedua tubuh itu, ia tampaknya tak merasa terhambat untuk berjalan atau berlari cepat. Dan sebentar saja ia telah lenyap di balik pepohonan dan semak di atas tebing, tanpa mengetahui kalau ada sesosok bayangan yang terus mengikuti ke arah mana ia pergi.
Tapi si penguntit itupun tak mengetahui kalau dirinya dikuntit orang di belakangnya, yang mempunyai gerakan gesit bagaikan tupai. Perbukitan yang memanjang dekat daerah yang sudah termasuk wilayah utara, didaratan pulau Jawa itu, tampak memutih dan agak kehijauan.
Itulah Pegunungan Kapur Utara. Yang pada bagian hampir di ujung dari perbukitan itu ada terdapat sebuah gunung, yang bernama Gunung Butak. Sedangkan di sebelah Utara Gunung Butak agak ke pesisir pantai berdiri tegak Gunung Lasem. Yang agak lebih tinggi sedikit dari Gunung Butak. Disekitar daerah Gunung Butak itulah kisah ini terjadi.
Tumenggung Harya Anabrang baru saja kembali dari Pamotan, setelah menemui seorang Demang yaitu, Cendak Kagil. Untuk mengurus sesuatu yang berkenaan dengan tugasnya. Sudah lebih dari dua bulan ia berada di Slukan, daerah pesisir pantai Utara Pulau Jawa. Daerah yang rawan itu ternyata telah dijadikan sarang perampok, yang mencari untung di perairan. Terutama yang menjadi incarannya adalah kapal-kapal dari Tuban yang melewati perairan dekat Gunung Lasem.
Tumenggung Harya Anabrang bukanlah orang sembarangan. Karena disamping ia menjadi abdi Kerajaan. Ia pun seorang yang berkepandaian tinggi. Tak heran kalau dalam waktu singkat telah berhasil menumpas, dan membuat kocar-kacir para perampok laut di sarangnya itu. Pengejaran pada para penjahat itu berakhir di Gunung Lasem. Yang walaupun tidak semuanya dapat tertumpas, namun dapat dikatakan berhasil dengan menggembirakan.
Iring-iringan para tawanan dan harta hasil rampasan itu sampai di Pamotan. Yang selanjutnya adalah urusan Demang Pamotan yaitu Cendak Ragil, untuk mengirim berita ke Kadipaten. Memang ia ada mendengar berita adanya sisa-sisa perampok laut itu yang melarikan diri sampai ke Gunung Butak, di perbukitan pegunungan Kapur Utara itu. Namun berita tidak resmi itu tidaklah membuat Tumenggung Harya Anabrang, terkejut.
Karena sisa-sisa perampok laut itu seandainya berita itu benar, tidak begitu dirisaukan. Karena tidak lagi membahayakan. Menurut perkiraannya paling hanya tinggal beberapa gelintir manusia saja. Itupun hanyalah keroco-keroconya saja. Karena beberapa pentolan-pentolan dari mereka telah dapat tertumpas, dan tertawan. Hasil yang memuaskan itu juga berhasilnya ia menyita sebuah kapal dagang.
Namun dapat diketahui kapal tersebut milik saudagar di Tuban. Dan dengan mengirim orang-orangnya, ia mengembalikan kapal tersebut ke Tuban. Serta tak lupa ia menyertakan tanda bukti dirinya pada Bupati Tuban. Tak heran bila Tumenggung Harya Anabrang mempunyai nama harum yang tersebar ke tiap pelosok daerah utara itu. Hubungan baik dari para Bupati dan hartawan membuat ia sering mendapat upeti yang tidak sedikit.
Hingga disamping sebagai Tumenggung Kerajaan yang bertugas di daerah utara itu, ia juga seorang bangsawan yang kaya raya. Sebuah gedung besar telah ia bangun di Sulang. Dengan menempatkan beberapa orang orangnya. Ia memang belum berniat menemui Bupati Jaga Raksa di Kudus. Pengembalian para prajurit atau tamtama, serta urusan para tawanan, juga mengenai harta rampasan, ia serahkan pada seorang perwira Kerajaan. Yang ia tugaskan sebagai wakil untuk menghadapi Bupati.
Demikianlah... Setelah menginap dua hari di Pamotan. Tumenggung Harya Anabrang berangkat dengan kudanya menuju Sulang tempat tinggalnya, dengan membawa serta dua orang tamtama. Akan tetapi ditengah perjalanan telah bertemu dengan seorang pembawa berita. Yaitu anak buahnya, yang justru memang akan menemuinya.
Berita yang datang dari Sulang itu tentu saja membuatnya jadi terkejut. Tak ada berita lain yang lebih mengejutkan selain berita tentang diculiknya anak gadisnya, yang bernama Sawitri.
Sawitri memang bukan anak kandungnya. Karena ia menikah dengan seorang janda, yang membawa seorang bayi perempuan tujuh belas tahun yang lalu. Namun untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Istrinya telah menitipkan sang bayi pada seorang Kliwu, di sebuah desa yang tak jauh dari Sulang. Dan hal itu terjadi setahun yang lalu, sejak kepindahannya dari Ambarawa, dan menetap didaerah pegunungan Kapur utara ini, berkenaan dengan tugasnya.
Sebenarnya bukanlah keinginannya untuk memisahkan si jabang bayi yang baru berumur setahun itu darinya. Melainkan keinginan isterinya, yang mengkhawatirkan akan ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Karena pada saat itu, benih yang tertanam sejak lama itu telah menghasilkan buah. Lahirnya seorang anak laki-laki dari hasil perkawinan mereka membuat sang isteri amat repot, serta mengkhawatirkan hal-hal yang tak di inginkan di kemudian hari.
Itulah sebabnya ia menitipkan sang bayi yang dibawanya untuk dirawat oleh seorang Kuwu di desa Tepus. Bahkan pak Kuwu disuruhnya menganggap anak titipan itu sebagai anak kandungnya sendiri. Tentu saja bantuan pangan dan sebagainya selalu di cukupkan, demi perawatan si jabang bayi. Hingga sang bayi perempuan itu kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik seperti ibunya.
Tentu saja anak kandung dari hasil perkawinan mereka berdua pun telah seusia dengan anak gadis yang dititipkan itu. Jejaka muda kebanggaannya itu diberinya nama Prasetyo. Seorang pemuda yang tampan dan bertubuh tegap. Tubuh yang tumbuh subur, seperti juga kehidupan Tumenggung Harya Anabrang yang maju pesat.
Kini ia sudah tidak tinggal lagi di rumah sederhana. Melainkan di sebuah Gedung besar yang boleh dikatakan mewah. Sayang tugas dan kewajibannya sebagai Abdi Kerajaan, membuat ia jarang berada di rumah. Tugas terkadang membuat ia sering meninggalkan isteri dan anaknya. Namun Harya Anabrang adalah seorang yang setia. Setia pada pimpinannya, juga setia pada keluarganya.
Mendengar berita yang disampaikan itu bukan kepalang terkejut dan marahnya Harya Anabrang. Karena menurut Punta, penculik-penculik itu adalah sekomplotan penjahat yang berada di wilayah Gunung Butak. Komplotan terselubung yang bergeraknya amat misterius.
Dengan geram Tumenggung Harya Anabrang memacu kudanya, diikuti oleh kedua tamtama dan si pembawa berita. Semak dan rintangan diterjang, desa demi desa telah terlewati. Empat penunggang kuda itu memacu kudanya bagai dikejar setan. Selang kira-kira setanakan nasi, tiba-tiba si pembawa berita perdengarkan suitan keras.
Ia memang berada di belakang kedua tamtama pengawal Tumenggung Harya Anabrang. Mendengar suara suitan itu, sang Tumenggung segera angkat sebelah tangannya untuk memberi tanda berhenti pada kedua tamtama dibelakangnya. Dan segera ia menghentikan kudanya. Tampak si pembawa berita segera mendatangi dengan cepat.
"Ada apakah Punta?" segera ia bertanya pada si pembawa berita itu, yang adalah seorang laki-laki yang berusia antara tiga puluh lima tahun.
"Maaf Kanjeng Tumenggung, apakah Kanjeng akan terus ke Sulang, ataukah menuju ke Desa Tapus...? Berita memang berasal dari Sulang, tapi kejadiannya di desa Tapus. Karena para penculik itu ada dua kelompok..." Bertutur Punta.
"Hah...!?" Tumenggung Harya Anabrang, ngangakan mulutnya dengan mata terbeliak terkejut. "Mengapa tak kau katakan tadi kalau para penjahat itu juga ke Sulang?"
"Maaf, Kanjeng Tumenggung... hamba... hamba sedang panik..!" Menyahut Punta sambil tundukkan kepalanya.
"Apakah yang terjadi di Sulang? Bagaimana dengan isteriku? Dimana anakku Prasetyo...?" Bertanya Tumenggung Harya Anabrang dengan wajah pucat pasi.
"Menurut kabar. Den Prasetyo ada di desa Tepus. Bahkan sejak keberangkatan Kanjeng Tumenggung, Den Prasetyo sudah berada di sana. Cuma sekali-sekali pulang ke Sulang. Berita itu hamba dengar dari orang desa Nagasari, yang masih saudara angkat Pak Kuwu...." Dengan sabar Punta berikan penjelasan satu persatu.
"Siapa orang Nagasari itu?"
"Seseorang yang bernama Tunggul..!" Sahut Punta.
"Ada hubungan apa kau dengan saudara angkat pak Kuwu itu...?" Tanya Harya Anabrang. Dengan nada curiga pada si pembawa berita.
Tampak wajah Punta agak marah mendengar pertanyaan itu, yang seperti menyelidiki dirinya. Sebagai orang kepercayaan, yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun mengabdi pada keluarga Tumenggung itu, masih juga dicurigai. Benar-benar keterlaluan! Pikir Punta dengan hati mengkal. Namun tentu saja ia tak menampakkan kemangkelan hatinya itu pada junjungannya.
"Maaf Kanjeng Tumenggung... harap Kanjeng mengerti akan kedudukan hamba, yang hanya sebagai abdi dalem pada keluarga Kanjeng Tumenggung. Tunggul telah memberikan informasi mengenai keadaan di Sulang dan desa Tepus, adalah karena ia mengetahui hamba sebagai orang kepercayaan Tumenggung. Mengenai hubungan hamba, apakah hamba harus ceritakan juga..?"
Tampaknya wajah Punta agak berubah. Namun ia sudah lanjutkan kata-katanya. "Mungkin Ndoro Putri lebih mengetahui siapa adanya Tunggul.... Hamba benar-benar tak mau melibatkan diri pada urusan rumah tangga orang lain. Tunggul cuma menceritakan tentang hubungan Sawitri dengan Den Prasetyo, lain tidak...!"
Tampak wajah Tumenggung Harya Anabrang sebentar pucat, sebentar merah. Namun penuturan Punta itu, telah berhasil mengorek sedikit keterangan yang cukup berarti.
"Bagaimana dengan keadaan di Sulang? Apakah ada terjadi sesuatu....?" Bertanya lagi Harya Anabrang, mengulang pertanyaan yang tadi.
"Beribu maaf, Kanjeng Tumenggung... hamba tak dapat menceritakan apa yang hamba tidak ketahui...." Menyahut Punta.
Selang sesaat setelah Harya Anabrang termangu, tampak laki-laki yang berumur sudah lima puluh tahun, namun masih tampak gagah itu manggut-manggut sambil perdengarkan suara helaan napas. Wajahnya tiba-tiba tampilkan senyum, dan mendekati Punta.
"Hm... Baiklah Punta..! Terimakasih atas beritamu. Aku percaya kau adalah seorang abdi setiaku, yang telah lama bekerja mengabdi diri pada keluargaku. Aku sudah mendengar berita kau baru saja dikaruniai seorang anak kudengar kabar itu sebelum keberangkatanku dua bulan yang lalu, betulkah...?"
"Ah.... Benar Kanjeng..." Punta jadi tersipu ketika sekonyong-konyong Junjungannya menanyakan hal yang di luar urusan itu. Walaupun agak heran dengan pertanyaan yang di luar dugaan itu, namun diam-diam Punta memuji sang majikan yang dalam suasana tegang itu masih bisa menguasai diri.
"Oh, ya... aku mengucapkan selamat..!" Tumenggung Harya Anabrang berkata sambil menepuk-nepuk pundak Punta.
"Terimakasih Kanjeng...!" Berucap Punta dengan wajah berseri.
Tiba-tiba sang Tumenggung merogoh saku bajunya, mengeluarkan sebuah kotak kecil yang panjangnya kira-kira sejengkal, dengan lebar sepanjang jari telunjuk, setebal dua jari tangan. Tampak dengan tersenyum ia membuka kotak kecil itu, serta menarik keluar isinya. Seuntai kalung rantai dari emas yang gemerlapan terkena sinar matahari. Terbeliak mata Punta mendengar kata-kata Junjungannya.
"Ambillah ini untuk isterimu, sebagai tanda dari suka citanya hatiku."
"Ah... hamba tak berani menerimanya Kanjeng Gusti." Berkata Punta dengan suara gemetar, namun dengan hati bertanya-tanya, mimpi apakah gerangan ia semalam, hingga hari itu ditawari hadiah yang ia belum pernah memakaikannya pada isterinya?
"Ambillah Punta, aku belum pernah memberikan apa-apa buatmu, seperti kau ketahui aku terlalu banyak urusan. Hingga lupa mengingat akan seorang abdiku yang setia! Namun jarang mendapat perhatian dariku. Ayo... Punta, ambillah...!"
Terpaksa Punta menerima benda itu dengan tangan gemetar. Belum sempat ia mengucapkan terimakasih, sudah berkata lagi Tumenggung Harya Anabrang. Yang setelah menutup kotak perhiasan, dengan cepat telah mengeluarkan sebuah buntalan kecil, yang sambil membuka ikatannya ia sudah berkata duluan.
"Dan ini untukmu." Seraya tak lama kemudian ia telah memberikan pada Punta beberapa keping uang perak.
"Ah... terimakasih Kanjeng Gusti...!" Punta menerimanya dengan wajah berseri. Dan segera membenahinya ke dalam saku bajunya.
Setelah merenung sejenak, Tumenggung Harya Anabrang berkata. "Aku telah mengambil keputusan untuk pergi ke desa Tepus terlebih dulu. Bukankah kau mengatakan anakku Prasetyo berada disana dan Sawitri diculik"
"Benar Kanjeng Gusti...!" Menyahut Punta dengan segera. Sekali lagi ia memuji dalam hati akan pribadi Junjungannya, yang lebih mementingkan keselamatan anak gadisnya yang diculik itu. Walaupun Punta mengetahui kalau Sawitri bukanlah anak hasil dari perkawinannya.
"Nah, pulanglah kau ke Sulang dengan segera. Sampaikan berita pada Ndoromu bahwa aku ke desa Tepus, menyusul Sawitri dan Prasetyo. Mudah-mudahan tak ada kejadian apa-apa disana! Cepatlah berangkat" Perintah Harya Anabrang.
"Daulat Kanjeng Gusti, hamba berangkat...!" Dan setelah berkata demikian, Punta putar kudanya untuk segera dipacu dengan cepat. Detik berikutnya ia sudah berangkat pergi meninggalkan tempat itu.
Sejurus antaranya Tumenggung Harya Anabrang berpaling pada kedua tamtama, yang masih terpaku ditempat itu menunggu perintah selanjutnya. "Tadinya aku mau mengajak kalian bersenang-senang dirumah kediamanku, eh, apa mau keadaan jadi begini. Di Sulang pun aku tak tahu ada kejadian apa. Makanya aku terpaksa batalkan untuk mengajak kalian. Kini kupersilahkan kalian kembali saja ke Pamotan. Bergabung dengan yang lainnya, atau kalau semua pasukan sudah berangkat, kalian dapat segera menyusul ke Kadipaten. Aku akan segera kesana setelah selesai mengurus persoalan ini!"
"Daulat Kanjeng Tumenggung, namun apakah anda tidak memerlukan bantuan kami untuk menangkap, atau menumpas penculik-penculik itu?" Berkata salah seorang dari tamtama itu.
"Apa yang kurasa baik, mungkin baik bagiku dan bagi kalian. Berangkatlah. Biar aku mengurus sendiri persoalanku, dan terimakasih atas kesediaanmu..!" Menyahuti Tumenggung Harya Anabrang, seraya memberikan dua genggam uang perak hasil rampasannya dari perampok-perampok laut itu, pada kedua tamtama. Yang serta merta menerimanya dengan mengucapkan terimakasih.
"Baiklah Kanjeng Tumenggung, hamba berangkat...!" Kedua tamtama segera memberi hormat, yang dibalas dengan anggukan kepala. Segera tak lama kemudian kedua tamtama segera keprak kudanya, yang segera mencongklang cepat meninggalkan tempat itu.
Tumenggung tatap punggung kedua anak buahnya yang semakin jauh. Dan saat berikutnya ia pun sudah hentakkan kaki keperut kuda, dan memacu cepat menuju kedesa Tepus.
"Bodoh...! Sudah kukatakan jangan membunuh...! Perintah tetaplah perintah yang harus dijalankan! Tahukah kau, bahwa mereka adalah orang-orang desa yang tak berkepandaian apa-apa...!" Terdengar satu suara santar menggeledek karena marah.
Sementara seorang laki-laki bertopeng hitam, juga pakaian yang seluruhnya serba hitam itu, tertunduk di hadapan seseorang yang memakai jubah serba hitam dengan sebuah tongkat berkepala tengkorak tergenggam ditangannya.
RUANGAN GOA itu cukup luas dengan diterangi api-api obor di beberapa penjuru. Si pembicara itupun memakai topeng serupa. Hanya bedanya topeng yang dipakainya itu berujung lancip seperti ujung kukusan penanak nasi.
"Maaf Ketua...! Kami memang tidak saling mengenal selagi bertugas... Pembunuhan berasal dari salah seorang kawan disebelah kami. Kami segera mengenalinya karena ia membuka topeng wajahnya. Dia adalah Tunggul..." Tutur orang bertopeng yang duduk bersimpuh di hadapan si orang berjubah hitam yang memegang tongkat berkepala tengkorak itu. Dan lanjutnya.
"Menurut apa yang hamba dengar ia tak sengaja membunuh, karena yang terbunuh itu justru orang yang dikenalnya. Namun orang-orang desa telah mengetahui siapa dirinya, karena ia lupa mengenakan lagi topengnya. Karena takut rahasianya terbongkar, dan demi nama baiknya, ia terpaksa berbuat tak kepalang tanggung dan membantai semua para penyerbu itu." Penjelasannya terpotong oleh bentakan sang ketua.
"Hah! Kesalahan satu orang berarti kesalahan semua! Aku tak mau tahu alasan-alasan yang kau kemukakan. Hm, buka topengmu kalau bicara denganku!"
"Maaf Ketua... hamba Pragola..!" Berkata laki-laki bertopeng ini sambil membuka topeng yang dikenakannya. Ternyata ia seorang laki-laki yang masih muda. Rambutnya keriting, dengan wajah tanpa kumis dan jenggot.
"Nah teruskan penuturanmu..!" Sang ketua sudah perintah untuk bicara lagi. Dan si rambut keriting Pragola segera teruskan penuturannya.
"Tak dinyana Tunggul berbalik menyerang kami, hamba pun baru tahu ia berilmu tinggi. Semua kawan-kawan habis dibantai, dan gadis bernama Sawitri itu dibawa kabur, hanya hamba seorang yang dapat menyelamatkan diri terhindar dari maut." Demikianlah, Pragola mengakhiri penuturannya setelah memberitahukan tentang dimana adanya Tunggul menyembunyikan gadis Sawitri dan seorang pemuda putus kaki yang telah ditolong oleh Tunggul.
"Hah..!? Jadi demikian adanya..!" Berteriak kaget sang ketua. Tiba-tiba ia telah bertepuk tangan dua kali. Dan tampak dua orang pengawal yang juga berpakaian dan bertopeng hitam, bergegas menghampiri.
"Panggil mata-mata itu suruh menghadap..!" Ujarnya. Yang segera keduanya melompat pergi keluar goa. Tak berapa lama kemudian telah kembali lagi dengan membawa seorang tinggi kurus, mirip orang desa, yang segera bersimpuh di hadapan sang Ketua. Yang segera ajukan pertanyaan pada orang itu.
"Kau katakan yang terbunuh semua adalah dari pihak para penyerbu, yang kesemuanya orang desa penduduk Desa Tepus. Tapi kenyataannya enam orang dari pihak kita telah tewas. Apakah beritamu benar...?"
Tentu saja si mata-mata jadi terkejut, karena ia melihat sendiri, bahwa tak ada seorangpun mayat yang bergelimangan itu yang berpakaian dan bertopeng serba hitam. Segera ia jelaskan apa yang dilihatnya tadi pada sang Ketua. Tampak si Ketua itu termenung sesaat. Tiba-tiba terdengar desisnya yang penuh kemarahan. Dan tongkatnya berkepala tengkorak itu terlihat dihentakannya ke batu.
"Kurang ajar...! Pasti telah ada seseorang yang telah mencopoti semua pakaian dan topeng orang-orang kita...!" Teriaknya geram.
Terkejut semua yang ada disitu. Hanya sejenak mereka terperanjat. Karena sang ketua segera perintahkan si mata-mata untuk kembali keluar. Segera kedua pengawal itu membawa kembali si mata-mata keluar dari ruangan goa itu. Dan sesaat telah kembali lagi ketempat tadi mereka berdiri.
"Hm, Pragola, silahkan kau tinggalkan aku, berjaga-jagalah akan adanya kemungkinan yang di luar dugaan. Sarang kita telah dimasuki penjahat yang mungkin masih ada diantara kita yang berkhianat!" Perintah sang Ketua dengan tegas. Dan lanjutnya. "Hari ini bila terjadi sesuatu kejanggalan, segera beri laporan padaku...!"
"Siap Ketua! Tapi bagaimana dengan gadis bernama Sawitri yang dibawa lari si Tunggul itu...?"
Tampaknya sang Ketua terdiam sejenak. Lalu ujarnya. "Hmm... mereka tidak akan lari jauh. Biar aku yang akan mengurungi anak gadis si Tumenggung itu berikut si Tunggul pengkhianat!"
Pragola anggukkan kepalanya, dan setelah kembali menutup topeng wajahnya, iapun beranjak keluar dari ruangan itu. Tak lama sepeninggal Pragola, sang Ketua kembali tepukkan tangan dua kali, yang selanjutnya kedua pengawal itu segera dengan cepat menghampiri. Entah apa yang diperintahkan. Karena sesaat ketika kedua pengawal itu pergi, telah kembali lagi dengan menyeret seorang gadis, yang baru saja di keluarkan dari dalam kerangkeng.
Mata sang ketua tampak keluarkan sinar berkilat menatap gadis dihadapannya. Sebelah lengannya segera bergerak memberi tanda. Dan ia sendiri telah melangkah memasuki sebuah lorong yang ada selarik undakan yang menuju keatas. Segera kedua pengawal menyeret si gadis tawanan itu untuk mengikuti sang Ketua. Tentu saja gadis itu meronta-ronta dengan berteriak teriak.
"Tidak!?... Tidaaak! Lepaskan aku... lepaskaaaaan...!" Teriaknya. Namun apa artinya rontaan itu, karena tenaga kedua pengawal itu amat kuat dan dengan segera ia sudah diseret keatas, melalui undakan batu di lorong tersebut.
Sementara tanpa diketahui oleh pengawal-pengawal lainnya yang berada disetiap sudut ruangan goa itu, sepasang mata tampak mengintip dari celah batu, didinding goa. Sepasang mata yang menampakkan sinar kemarahan. Sementara teriakan-teriakan di ruangan atas terus terdengar. Dan tak berapa lama antaranya, kedua pengawal tadi telah tampak menuruni tangga batu itu, yang kemudian kembali berjaga di tempat semula.
Sepasang mata itu tiba-tiba lenyap, dari lubang kecil pada dinding goa itu. Sesosok tubuh dengan gerakan lincah tampak menyelinap dari batu ke batu di lereng bukit itu... lalu berhenti di tempat yang tersembunyi. Terdengar suara desisan dari mulutnya "Komplotan Siluman Hitam itu bersarang di Gunung Butak ini rupanya. Heh! Benar-benar biadab..!"
"Roro...!" Satu suara terdengar di belakangnya dengan teriakan halus yang tidak begitu keras.
Segera ia menoleh. Sebuah kepala tersembul dari balik sebongkah batu besar. Ia jadi terkejut melihatnya, dan cepat melompat kesana. "Kak Sentanu... kau menyusul kemari? Aiii... berbahaya..!" Berkata ia dengan suara perlahan.
Sedang yang ditatap cuma tersenyum. "Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, istriku..." Menyahuti laki-laki tampan yang berkumis kecil dihadapannya. Ternyata mereka adalah sepasang suami istri, yang amat saling mencinta.
"Ah, kak Sentanu... Aku Cuma menyelidik saja, tanpa bertindak apa-apa, tapi senang juga kau datang, suamiku..." Ucap wanita muda yang cantik berbaju merah itu sambil menggelendot manja. Dan.... Cup! Sebuah ciuman di pipi ia berikan pada sang suami.
Kiranya wanita itu tak lain dari Roro Dampit. Perkawinan mereka baru berlangsung beberapa bulan, tentu saja sepasang sejoli itu masih berbulan madu. Sebentar saja kedua insan itu sudah berpelukan erat di balik batu tanpa menyadari kalau mereka berada ditempat yang berbahaya.
"Kau kangen sepekan tak bertemu!"
"Tentu saja...!"
"Kau cuma balas kecup pipiku saja, tidak bibirku!"
"Kau mau...?"
"Hmmm... hhhmmm..."
Dan selanjutnya cuma suara nafas saja yang terdengar saling pacu disertai keluhankeluhan manja penuh nikmat. Dunia saat itu cuma milik mereka berdua. Selang sesaat...
"Eh..? Buntalan apa yang kau sembunyikan dibelakangmu...?" Bertanya Roro Dampit. Agaknya ia baru menyadari kalau di belakang punggung suaminya ada tergeletak sebuah buntalan kain berwarna hitam.
"Sssst..! Nanti aku ceritakan, ayo kita tinggalkan tempat berbahaya ini! Dan saat berikutnya sepasang sejoli itu dengan berindap-indap berkelebat dari batu ke batu, dan dari semak-ke semak menuruni lereng perbukitan Kapur. Sementara Gunung Butak di belakangnya tegak berdiri dengan segala kemisteriusannya.
Dua ekor kuda ditempat yang tersembunyi dibawah bukit itu masih berada di sana dengan aman. Tampak kedua sejoli itu segera mendekati dan dengan sebat telah mencemplak kudanya masing-masing.
"Ayo, Antasena... kita berangkat pulang..!" Berkata Sentanu pada kuda hitam kesayangannya.
Sedangkan Roro Dampit telah berada di punggung kuda putihnya, pemberian Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Saat berikutnya kedua kuda putih dan hitam itu telah dipacu cepat untuk segera tinggalkan tempat itu. Namun sepasang mata yang bersinar telah mengetahui adanya kedua sejoli yang menyelundup, dan berangkat pergi dengan kedua kuda itu.
Sepasang mata yang terpancar, dari sebuah lubang menganga di dinding Gunung Butak itu. Itulah sepasang mata dari si ketua dari komplotan "Siluman Hitam". Sebuah komplotan terselubung yang misterius. Lorong dari bawah goa di sisi Gunung itu ternyata menembus sampai keatas, kira-kira tiga ratus undakan dari batu. Ternyata di sana ada lagi sebuah ruang, dengan beberapa lubang jendela di celah dinding Gunung.
Gadis itu tampak berdiri dengan tangan dan kaki terpentang, terikat oleh rantai, yang menempel di dinding ruangan. Kedua pengawal tadi baru saja turun kembali melalui undakan batu itu. Sang Ketua tampak mendekati gadis itu yang perlihatkan wajah ketakutan.
Seluruh tubuhnya telah bercucuran dengan peluh, sementara lengan dan kakinya meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari belenggu rantai itu. Namun semua itu tak berarti apa-apa. Akhirnya gadis itu cuma pasrah dengan nasib apa yang akan menimpanya.
Bret! Bret! Bret!
"Aaaahh..!? Aaauuuu..! Aaaauuuu...!" Gadis itu perdengarkan teriakannya, ketika lengan sang ketua telah mencabik dan merobek seluruh pakaiannya.
Dalam keadaan demikian itu, sepasang lengan segera saja merayapi lehernya. Ia cuma belalakan matanya saja, yang kemudian terpejam... betapa takutnya ia melihat wajah berselubung topeng hitam dihadapannya. Ia sudah tak kuasa menanti akan apa yang bakal terjadi. Namun sang ketua sudah kembali melangkah kesisi dinding. Dicelah batu terlihat sebuah besi hitam, yang panjangnya dan besarnya sebesar lengan manusia. Tampak lengan sang Ketua mencekal benda itu dan menggerakkannya kebawah.
Tiba-tiba si gadis buka kedua matanya dengan terbelalak, karena batu disebelah sisi dekat kakinya tiba-tiba bergeser terbuka, sebuah lubang segera menganga. Yang kemudian terasa hawa panas keluar dari dalam lubang itu. Itulah hawa dari kobaran api yang berasal dari bawah lubang. Keringat segera saja mengucur kian deras ke sekujur tubuhnya. Gadis itu terkulai lemah, dan makin lemah... selanjutnya ia sudah tak sadarkan diri lagi.
Saat selanjutnya sang ketua telah melangkah lagi keluar ruangan. Sebuah besi sepanjang lengan, kembali ia gerakkan. Dan terdengar suara gemuruh dari sebuah pintu batu yang bergeser dan menutup ruangan itu, memisahkan dirinya dari ruangan itu yang segera tertutup rapat.
Saat berikutnya sang Ketua segera beranjak pergi menuruni kembali anak tangga atau undakan dari batu itu, dan kembali ke ruangan semula. Kembali ia bertepuk tangan dua kali. Dan dua pengawal segera datang kehadapannya.
"Perintahkan untuk bunyikan tanda. Bahwa upacara pengorbanan pada Dewa Api tengah berlangsung..."
Kedua pengawal mengangguk, dan segera berangkat pergi. Tak berapa lama kemudian terdengar suara mengaum panjang dari atas Gunung Butak yang terdengar jauh sampai ke sekitar tempat itu. Itulah tanda dari berlangsungnya upacara Korban persembahan untuk Dewa Api. Yang di anut oleh para komplotan Siluman Hitam.
TUMENGGUNG HARYA ANABRANG memasuki desa Magasari. Para penduduk tampak berlarian keluar mendengar derap langkah kuda di jalan desa. Segera saja seseorang telah datang menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Ndoro Gusti Tumenggung... hamba Kilaras Podang, Carik desa. Silahkan ke pondok hamba...!" Berkata laki-laki yang sudah menginjak usia tua itu. Pakaiannya dari batik lurik bergaris-garis hitam. Memakai celana pangsi biru dengan sarung yang berbelit pada pinggangnya. Sebuah blangkon batik melekat di kepalanya.
Tumenggung Harya Anabrang tanpa berkata sepatah kata cuma anggukkan kepala, dan mengikuti laki-laki Carik desa itu. Sementara beberapa penduduk sudah saling bisik-bisik, melihat kedatangannya, yang segera memberi penghormatan ketika sang Tumenggung lewat. Wajah para penduduk yang tadinya sudah berseri gembira itu, mendadak lenyap lagi cahaya cerah pada wajahnya, ketika mengetahui Tumenggung hanya datang seorang diri, tanpa pasukan.
Selang sesaat tampak Tumenggung Harya Anabrang berbincang-bincang dengan Carik Kilaras Podang di rumahnya. Namun tidak terlalu lama, sang Tumenggung kembali keluar dan melompat lagi ke atas kudanya. Serta memacunya cepat ke arah timur dengan dipandangi pasang mata penduduk desa Nagasari. Mereka pun tahu kalau sang Tumenggung tengah menuju ke desa Tepus.
Harya Anabrang memacu kudanya dengan cepat. Penjelasan yang datang dari Carik desa Nagasari menguatkan dugaan pada orang bernama Tunggul turut terlibat perkara penculikan anak gadisnya. Bukan saja anak gadis bernama Sawitri itu saja yang membuat ia amat khawatir. Tapi juga keselamatan anak kandungnya sendiri, yaitu Prasetyo.
Namun apa yang dijumpainya di desa Tepus adalah hal yang di luar dugaan karena dirumah tempat kediaman pak Kuwu banyak orang berkerumun. Ia keprak kudanya dengan cepat untuk menuju ke sana. Kerumunan orang, disertai suara tangis yang amat memilukan itu benar-benar membuat hatinya terpukul. Karena beberapa mayat tertutup tikar telah berjejer didepan rumah pak Kuwu.
Dengan wajah pucat pias ia menerobos, menyeruak dari kerumunan orang-orang desa, yang segera memberinya jalan, begitu mengetahui akan kedatangan Tumenggung Harya Anabrang. Satu persatu tikar penutup mayat segera dibuka. Tersentak ia melihat mayat pak Kuwu ada diantaranya. Bahkan Mbok Kuwu tengah menangis disisi jenazah suaminya. Paniklah ia seketika.
"Apakah yang terjadi...?! Apa yang telah terjadi...! Dimana Sawitri! Dimana anakku Prasetyo...?!" Berteriak Tumenggung dengan mata memancar tajam, menyapu pada semua penduduk yang berada ditempat itu. Namun semua terdiam sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka tak ada yang mengetahui dimana anakku...? Gila!" Sentak hati Tumenggung. Tiba-tiba ia sudah berkata lagi dengan nada santar.
"Siapa diantara kalian yang mengetahui dimana adanya Tunggul..!?" Apakah kalian juga tidak mengetahui...?!" Namun jawabannya hanyalah gelengan kepala. Semua yang tertatap matanya oleh sang Tumenggung terus menunduk. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Harya Anabrang terdiam beberapa saat, lalu katanya dengan nada suara yang mengendur.
"Baiklah! Kini ceritakanlah apa yang telah terjadi...! Kemana penculik-penculik itu melarikan diri..!"
Kembali matanya mengitari orang-orang disekelilingnya. Mereka mulai kasak kusuk, rupanya tak ada yang berani bicara, atau mengantarkan sang Tumenggung ke arah perginya sang penculik-penculik itu. Namun pada saat itu seseorang di ujung kerumunan orang-orang desa, tampak memberi isyarat dengan gerakan tangan.
Segera saja ia bergerak untuk mengikuti orang itu, yang tanpa menunggu kedatangannya, telah mendahului bergerak dengan langkah cepat. Terpaksa sang Tumenggung tinggalkan kudanya dan bergerak cepat untuk terus menyusul si pemberi isyarat. Dengan penasaran sang Tumenggung terus mengikuti orang itu, yang setelah melewati beberapa tombak, tampak si pemberi isyarat menghentikan larinya, untuk menunggu kedatangannya.
Dari jauh ia sudah dapat menebak orang pemberi isyarat itu, seorang wanita. Walaupun ia memakai topi capil atau tudung kepala, untuk membungkus rambutnya. Dan benar saja. Ia segera dapat melihat adanya seorang wanita muda, yang boleh dikatakan seorang gadis cantik telah berdiri dihadapannya. Siapa lagi gadis cantik itu kalau bukan Roro Centil adanya.
"Aku dapat memberikan sedikit informasi, yang mungkin berguna buat anda..!" Berkata Roro mendahului. Sambil jatuhkan pantatnya untuk duduk di atas sebuah batu yang segera diikuti oleh Tumenggung Harya Anabrang, yang segera menggeser sebuah batu agak besar, untuk duduk berhadapan dengannya.
"Boleh aku mengetahui siapa anda nona...?" Bertanya Harya Anabrang dengan menatap tajam orang dihadapannya.
"Mengapa tidak..? Aku boleh anda panggil dengan nama Roro...Centil!" Menyahut Roro dengan mata menatap jauh ke atas bukit Kapur dihadapannya.
Tampak Tumenggung Harya Anabrang manggut-manggut. Namun tiba-tiba sepasang alisnya yang hampir separoh memutih itu bergerak ke atas, ketika ia mengernyitkan dahinya... seraya berkata, "Hah...? Apakah aku berhadapan dengan Pendekar Wanita Pantai Selatan?"
"Ahh... itu hanya julukan dari orang, orang yang terlalu menyanjung namaku!" Berkata Roro Centil merendah. Memang sebenarnya ia sendiri agak heran, mengapa banyak orang mengenal nama julukan yang diberikan orang padanya itu?
Namun Tumenggung Harya Anabrang sudah lantas menjura memberi hormat, seraya katanya lagi. "Oh, beruntung sekali aku dapat berkenalan dengan anda, nona Pendekar. Nama anda yang harum, yang telah banyak menumpas tokohtokoh jahat pengganggu keamanan, telah tersiar di daerah pesisir Utara. Jangan-jangan yang telah turut menumpas para pembajak si Slukan adalah anda?!"
"Ah... bantuan sekecil itu, mana berani aku menyombongkan diri di hadapan seorang Tumenggung yang hebat, dan berilmu tinggi seperti anda?" Berkata Roro Centil sambil balas menjura.
"Hebat! Tak dinyana Pendekar Wanita Pantai Selatan, bukan saja seorang yang berilmu tinggi, namun juga seorang yang amat rendah hati dan ternyata adalah seorang gadis yang masih muda dan cantik!" Memuji Harya Anabrang.
Dipuji sedemikian rupa Roro Centil jadi merah wajahnya. Namun hanya sesaat, karena wajahnya kembali telah serius, untuk segera mulai menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan mengawalinya dari kisah dirinya hingga sampai ketempat itu, dan dapat mengetahui adanya komplotan "Siluman Hitam" yang menjadi momok di desa sekitarnya.
Kiranya setelah beberapa bulan ia berguru pada si paderi Jayeng Rana asal Nepal, di lereng Gunung Wilis. Roro berangkat seorang diri dengan tujuan ke Tuban. Perpisahannya dengan paderi Jayeng Rana amat mengharukan, karena paderi yang telah berusia lanjut itu merencanakan akan kembali ke Nepal. Namun ia telah merasa puas dapat mewariskan sedikit ilmu kedigjayaan, dan ilmu ketabiban pada sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil.
Biara Welas Asih rupanya harus punah, karena tak adanya lagi penerus yang dapat meneruskan cita-citanya di pulau Kelapa yang subur makmur itu. Dan sudah tentu Gurnam Singh pun sudah kembali ke pesisir pantai selatan Pulau atau Pulau Jawa, karena disana tempat kediaman anak dan isterinya.
Adapun Joko Sangit, hanya sebulan berada disitu, karena ia kurang penuju dengan ilmu ketabiban sang Paderi. Dan ia berangkat ke Tuban terlebih dulu. Demikianlah, Roro Centil tetap berdiam di lereng Gunung Wilis menunggu sampai selesai ia menamatkan ilmu-ilmu ketabiban yang di pelajarinya, dan berjanji akan mampir ke Tuban untuk menyambangi tempat kediaman Joko Sangit.
Joko Sangit mengajaknya pesiar kemana-mana, kesetiap tempat. Tuban adalah kota pelabuhan yang ramai. Saudagar-saudagar kaya banyak terdapat di sana. Yang rata-rata mempunyai kapal-kapal dagang, sampai kapal pesiar yang indah. Puas juga Roro diajak berkeliling pulang balik sampai ke selat Madura. Pantai dan laut menghidupkan kenangannya kembali ketika selama tiga tahun ia berada di pantai Selatan, dimasa ia berguru dengan si Manusia Aneh Pantai Selatan.
Suatu ketika mereka menumpang sebuah kapal pesiar milik seorang saudagar. Ketika melewati Tanjung Awar-awar telah diserang oleh segerombolan perompak, yang menggunakan kapal berbendera Hitam dengan simbul kepala tengkorak. Terjadilah pertarungan seru. Ternyata di tempat itu adalah sarang dari pada perompak-perompak laut yang ganas. Sudah banyak korban yang lenyap tanpa ada yang kembali hidup. Rupanya itu adalah hari naas, bagi sang saudagar, yang kapalnya ditumpangi Roro.
Disaat kekakacauan itu Joko sangit terpisah dengannya. Karena kebetulan pada saat itu tengah terjadi juga pertarungan di darat, dimana Tumenggung Harya Anabrang baru saja menyerbu ke sarang perompak. Banyak korban jiwa terjadi, karena perompak-perompak itu rata-rata berkepandaian tinggi. Namun berkat adanya Roro, mereka berhasil di tumpas, dan beberapa orang dapat tertawan.
Dengan mempergunakan ilmu sakti warisan Gurunya, Roro dapat berjalan atau berlari di atas air. Dan turut membantu pertarungan didarat. Roro Centil memang bekerja sembunyi-sembunyi. Gerombolan para perompak terpukul buyar. Dan berlarian sampai ke Gunung Lasem. Pengejaran terus dilakukan oleh Tumenggung Harya Anabrang.
Dan ia sendiri tidak terus ikut bergerilya, karena disamping turut serta membantu para prajurit Tumenggung itu, iapun berusaha mencari jejak Joko Sangit. Hingga ia mengembara sampai kepelosok-pelosok. Hingga akhirnya ia sampai beberapa pekan tinggal di desa-desa. Dan mengetahui adanya sekelompok Komplotan terselubung yang membuat resah penduduk desa sekitar Gunung Butak.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika salah seorang dari komplotan Siluman Hitam, telah membantai para penyerbu yang terdiri dari para penduduk desa Tepus. Yang mengejar para penculik gadis, bernama Sawitri itu. Namun kemudian berbalik menyerang, dan membantai kawan-kawannya sendiri. Orang itu tak lain dari pada Tunggul adanya ternyata berbalik menyelamatkan gadis Sawitri, dan seorang yang putus kakinya, yaitu Prasetyo.
Namun tanpa diketahuinya salah seorang dari ketujuh kawannya yang dibantai itu, yang ternyata tidak tewas, telah menguntitnya. Yaitu yang bernama Pragola. Saat itulah Roro yang datang terlambat hingga terjadinya pertumpahan darah yang tak diketahuinya itu, berhasil membuntuti Pragola. Dan dapat mengetahui dimana adanya Tunggul dan Sawitri serta laki-laki yang putus kakinya. Selanjutnya Roro telah menguntit Pragola hingga mengetahui dimana adanya sarang komplotan Siluman Hitam itu.
"Kalau yang anda cari adalah seorang gadis dan seorang pemuda, aku dapat menunjukkan. Namun mengenai benar tidaknya ia bernama Sawitri dan Prasetyo, aku tak mengetahui...!" Demikianlah Roro Centil mengakhiri penuturannya.
Tercekat hati Tumenggung Harya Anabrang, mendengar Roro mengetahui jejak disembunyikannya seorang gadis, dan seorang pemuda yang putus kakinya oleh seseorang di satu tempat. Ia sudah dapat menduga gadis itu Sawitri adanya. Namun mengenai pemuda yang putus kaki itu ia masih ragu-ragu kalau ia Prasetyo, walaupun diam-diam hatinya berdebar kencang. Segera saja ia berucap.
"Terimakasih atas penuturan anda Nona Pendekar, baiknya sekarang saja anda mengantarku kesana. Aku ingin tahu, siapa orang yang telah berbalik menyelamatkan gadis korban penculikan itu, yang ternyata adalah orang dari golongan komplotan Siluman Hitam itu sendiri!"
"Kalau begitu marilah kita kesana..." Berkata Roro, sambil segera bangkit berdiri. Diikuti oleh Tumenggung Harya Anabrang. Dan beberapa saat kemudian dua sosok tubuh mereka, telah berkelebatan meninggalkan tempat itu.
SAWITRI menangis tersedu-sedu, melihat orang yang dikasihinya masih tergeletak pingsan tak sadarkan diri. Sementara sebelah kakinya yang putus itu dipandanginya dengan penuh keibaan.
"Prasetyo... Ah, Prasetyo... kau berkorban demi aku. Kalau orang tuamu tak mengizinkan kita menikah, biarlah aku rela pergi jauh bersamamu. Asal selalu bersamamu..."
Menggumam si gadis itu dengan air mata bercucuran. Sementara tangannya membelai-belai rambut pemuda itu. Tak berapa lama Tunggul telah muncul lagi dengan membawa segenggam dedaunan. Ia melirik sesaat ke arah Sawitri, yang segera hentikan belaiannya dengan tersipu Tunggul meletakkan dedaunan yang dibawanya diatas batu dan menumbuknya dengan sebuah batu kecil. Yang tak berapa lama kemudian, telah beranjak lagi menghampiri ke tempat Sawitri dan Prasetyo yang masih pingsan itu.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia segera buka balutan luka pada kaki yang putus sebatas betis. Sawitri palingkan wajahnya, dengan menahan isak yang memenuhi dadanya. Tak kuasa ia melihat darah yang masih mengucur dari bekas tebasan itu. Tunggul membalurkan tumbukan daun-daun obat itu pada sekitar luka, dan kemudian kembali membungkusnya dengan hati-hati. Lalu beranjak lagi untuk duduk diatas batu.
Tampak Prasetyo menggeliat. Agaknya rasa perih dari baluran pada lukanya itu, membuat ia segera tersadar dari pingsannya. Pelupuk mata Prasetyo tampak kelihatan bergerak, dan pelupuk matanya terbuka. Ia gerakkan kepalanya untuk menatap kesekelilingnya, dengan tatapan matanya yang berkilatan. Dan terdengar desis lirih keluar dari bibirnya, ketika melihat gadis itu yang berada di dekatnya.
"Sawitri... kau selamat..!?"
"Ya... Prasetyo..! Aku selamat, dan kaupun selamat..." Ucap Sawitri yang segera alihkan tatapan pada Tunggul. "Kita telah ditolong oleh Kang Tunggul. Ayo, ucapkan terima kasih padanya..." Sambung Sawitri dengan wajah cerah, namun titik air matanya turun membasahi pipinya.
Prasetyo palingkan kepala untuk menatap Tunggul, dan gerakkan tubuhnya untuk bangkit duduk. Sesaat ia pandang kakinya yang putus, seperti ia baru menyadari. Lalu alihkan lagi pandangannya pada Tunggul, yang masih duduk berdiam diatas batu. Sementara ia mengernyitkan alisnya, seperti tengah mengingat-ingat kejadian yang baru saja dialaminya.
"Seingatku, salah seorang dari komplotan bertopeng itulah, yang telah menolongku. Apakah orang itu kau adanya kakang Tunggul?" Berkata Prasetyo dengan nada heran. Sedangkan yang ditanya hanya tundukkan kepalanya, lalu palingkan wajahnya ke lain arah. Dan terdengar ia menghela napas. Sesaat ia sudah berkata dengan lirih.
"Benar, Prasetyo...! Aku adalah salah seorang dari komplotan bertopeng itu, yang telah membunuh semua kawan-kawanku, dan juga semua para penyerbu dari desa Tepus kecuali kau, Prasetyo...!"
Pernyataan Tunggul membuat kedua muda-mudi itu belalakan matanya. Terlebih-lebih Sawitri. Ia hampir tak percaya akan kata-kata Tunggul, karena ia memang tak melihat apa yang telah terjadi. Yang ia ketahui cuma pak Kuwu, ayahnya, yang terjungkal roboh mandi darah, tanpa ia ketahui siapa yang telah membunuh, juga pembantaian yang lain-lainnya.
"A., apakah yang membunuh ayahku, ka... kau juga ?!" Bertanya Sawitri dengan penasaran.
"Benar, Sawitri... tapi aku sungguh-sungguh tak sengaja. Bahkan perintah dari sang Ketua, adalah tidak diperkenankannya kami membunuh. Kecuali, menculikmu!"
Sawitri tundukkan kepalanya dengan wajah kembali tampilkan kesedihan yang luar biasa. Sementara Tunggul sudah lanjutkan lagi kata-katanya.
"Pak Kuwu bukanlah ayahmu, Sawitri..! Dan ibumu adalah ibu Prasetyo. Kalian adalah saudara satu ibu. Aku mengetahui kalian saling mencinta. Hal itu tak boleh terjadi..! Apakah kalian telah mengetahui...?"
Terperanjatlah Sawitri dan Prasetyo laksana disambar petir, karena ia sama sekali tak menyangka akan hal itu. Kedua muda-mudi itu seketika saling bertatapan, namun kemudian samasama menunduk.
"Jadi siapakah ayahku...?" Bertanya Sawitri.
Namun belum lagi pertanyaannya dijawab, Tunggul tiba-tiba berkelebat cepat, dengan beberapa kali lompatan ia sudah lenyap dari tempat itu. Membuat Sawitri dan Prasetyo jadi ternganga. Belum lagi hilang terkejutnya, sekonyong-konyong telah berkelebatan dua sosok tubuh ke tempat yang tersembunyi itu. Hal mana membuat Prasetyo segera keluarkan teriakan kaget dari mulutnya.
"Ayah...!?" Dan dibalas dengan teriakan pula oleh sosok tubuh dihadapannya.
"Prasetyo.....!? Kau... kau..." Hanya beberapa patah kata yang diucapkannya. Sosok tubuh itu yang tak lain dari pada Tumenggung Harya Anabrang, segera melompat ke arah pemuda itu, memeluknya. Dan terdengar lagi suaranya yang menggeletar menahan perasaan. "Anakku... apa yang terjadi denganmu...? Siapa yang melakukan semua ini?! Katakan anakku! Akan kucincang sampai lumat tubuhnya...! Oh, Prasetyooo..."
Selanjutnya sang Tumenggung telah kucurkan air mata, bahkan terharu dan terpukul hatinya melihat keadaan anaknya yang tergolek menggelepoh ditanah, dengan sebelah kakinya yang putus. Sementara Sawitri memandang sang Tumenggung, dan Prasetyo berganti-ganti. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tiba-tiba ia palingkan kepalanya pada sesosok tubuh yang juga berada disitu, yang saat itu tengah memandang kepadanya. Siapakah lagi gadis cantik dihadapannya ini? Berfikir Sawitri. Yang ditatap ternyata telah bergerak menghampirinya.
"Kaukah yang bernama Sawitri...?" Bertanya Roro Centil sambil berjongkok dihadapannya. Sawitri mengangguk, sambil lebih perhatikan wajah orang.
"Kemanakah orang yang telah menolongmu...?" Tanya Roro lagi. Sawitri palingkan wajahnya ke arah belakang tubuh Roro, sambil berucap.
"Dia baru saja berangkat pergi..."
"Apakah kau mengetahui siapa yang telah menolongmu?" Tiba-tiba Tumenggung Harya Anabrang turut bertanya, sambil palingkan kepala kearahnya. Sawitri anggukkan kepala dan katakan dengan tegas!
"Dia orang yang kami kenal, bernama Tunggul..!"
Tiba-tiba sang gadis balik ajukan pertanyaan pada Harya Anabrang. "Paman Tumenggung, seharusnya paman berterus terang mengenai diriku, atau setidak-tidaknya paman menceritakan pada Prasetyo bahwa kami bersaudara. Walaupun aku tidak lagi diakui oleh ibuku, atau ibu Prasetyo, namun tidaklah harus menutupi rahasia itu pada semua orang agar aku tak mengetahui siapa diriku. Apakah hal ini adalah kemauan paman Tumenggung, atau keinginan ibuku..?"
Pertanyaan disertai pengungkapan yang diucapkan Sawitri, benar-benar membuat Harya Anabrang terkejut. Ia baru menyadari akan kesalahannya, juga menyesali tindakan isterinya yang tak menutup rahasia itu. Hingga saat ia tercenung, ketika teringat kata-kata Punta. Rasanya tidak aneh kalau Tunggul menceritakan hubungan Den Prasetyo dengan Sawitri. Ia segera menyadari, kalau keteledorannya, juga kesalahan isterinya itu telah berakibat fatal.
"Maafkan paman, Sawitri... dan juga kau anakku..!" Berkata Harya Anabrang dengan suara rendah. Dan lanjutnya. "Kesalahan ini ada pada pihak kami berdua walaupun yang merahasiakan semua ini adalah ibu kalian. Namun aku merasa hal ini termasuk kesalahanku juga. Aku terlalu banyak bertugas, hingga tak mengetahui dan kurang memperhatikan kalian. Walaupun kau, Sawitri... bukanlah hasil dari perkawinanku dengan ibumu, aku telah menganggap kau adalah anakku. Sayangku padamu sama dengan sayangku pada Prasetyo. Namun kesemuanya kurang mendapat perhatian dariku, disebabkan terlalu banyak aku mengurusi pekerjaanku..." Tumenggung Harya Anabrang terdiam sejenak... sementara Roro Centil anggukkan kepala beberapa kali.
"Syukurlah telah ada yang memberitahukan hal ini pada kalian karena aku telah mengetahui kalian saling mencinta. Apakah si Tunggul itu pula yang memberitahukannya...?" Tiba-tiba sang Tumenggung telah ajukan pertanyaan lagi, dengan menatap pada Sawitri dan Prasetyo.
Keduanya sama-sama mengangguk. Dan bersamaan dengan anggukan kedua muda-mudi itu, tiba-tiba sesosok bayangan tampak berkelebat, dengan mengeluarkan suara berkrosokkan. Tentu saja hal itu membuat mereka terkejut. Roro Centil tiba-tiba gerakkan tubuhnya melompat dari tempat itu, dan cepat berkelebat mengejar ke arah suara itu, dengan dibarengi bentakan.
"Haiii! Jangan lari...!" Dan terlihatlah oleh Roro sesosok bayangan yang berkelebat cepat melarikan diri. Kembali ia enjot tubuh untuk melompat cepat, mengejar sosok tubuh itu yang hanya terlihat bentuk tubuhnya, yang keseluruhannya hitam. Kini diatas perbukitan Kapur itu tampak dua sosok bayangan berkelebatan, seperti tengah main kejar-kejaran.
Roro Centil dengan hati penasaran terus mengejar sosok tubuh hitam itu. Ia sudah menduga kalau orang itu adalah salah seorang komplotan Siluman Hitam. Gerakan larinya memang benar-benar mirip siluman. Sebentar kelihatan, sebentar hilang. Juga karena berkelebatannya bayangan tubuh itu selalu membelok ke kiri atau ke kanan yang kadang-kadang memutar, membuat Roro susah untuk mengejarnya.
Tiba-tiba Roro Centil punya akal. Ketika sosok tubuh itu membelok kekiri, dan hilang diantara pepohonan dan semak. Ia bahkan sengaja membelok kekanan. Dan pergunakan lompatannya untuk cepat tiba di tempat yang berjarak sama. Benar saja dugaannya, karena segera tubuh si bayangan hitam itu tersembul disitu.
"Bangsat licik..!" Teriak Roro Centil sambil arahkan telapak tangan, dan menghantam dengan pukulan jarak jauh.
Plak! Terdengar beradunya kedua pukulan yang ternyata sosok tubuh hitam itupun telah berbalik dengan terkejut, dan gunakan tangannya untuk menangkis.
Bruk.....! Tubuh siluman hitam itu terlempar beberapa tombak dan jatuh ke semak-semak. Segera Roro berkelebat ke arah dimana terjatuhnya sosok tubuh itu. Sebelah lengannya telah disiapkan untuk melakukan serangan lagi, menjaga dari segala kemungkinan. Akan tetapi terkejut Roro Centil, karena tubuh siluman hitam itu tak kelihatan disitu. Sedang ia terkesima tiba-tiba bayangan itu muncul lagi bersiur di sebelah kirinya. Segera ia hantamkan pukulannya. Namun tak mengenai sasaran.
Brak...! Batang pohon disebelahnya tumbang kena hantaman angin pukulan Roro, yang jengkel hingga keluarkan tenaga semaunya. Segera ia lihat bayangan hitam itu berkelebat masuk ke dalam hutan bambu.
"Pengecut licik...! Kau kira dapat meloloskan dirimu...!" Teriak Roro dengan kesal. Dan kelebatkan tubuh mengejar. Kembali terjadi kejarkejaran seperti tadi. Tiba-tiba tampak olehnya sosok tubuh itu terjatuh bergulingan.
"Bagus..!" Desis Roro Centil. Dan sekali lompat ia kejar kesana. Tapi... apakah yang terjadi ketika ia menginjakkan kakinya...?
Brrussss..!
Roro perdengarkan seruan kaget. Namun sudah terlambat. Karena kakinya telah menyentuh serat-serat halus. Ketika tiba-tiba tubuhnya terangkat lagi ke atas... ia sudah terjerat dalam sebuah jala yang membungkus tubuhnya. Belum sempat ia berbuat apa-apa, tubuh hitam itu telah berkelebat cepat menotoknya, hingga ia tak berkutik lagi di dalam jala sutera itu. Tubuhnya terayun-ayun setinggi tubuh manusia tergantung dengan seutas tali pada ujung batang bambu.
"Ha., ha., ha.... Selamat beristirahat nona yang sok usil dengan urusan orang. Tunggu, nanti aku akan menjemputmu!" Terdengar suaranya yang serak. Dan selanjutnya ia sudah kelebatkan diri pergi dari situ.
SEMENTARA itu seperginya Roro Centil mengejar sosok tubuh hitam tadi, telah muncul lagi sesosok tubuh berperawakan tidak begitu jangkung, memakai topeng tengkorak pada wajahnya. Tentu saja kedatangannya yang secara tiba-tiba itu telah membuat Tumenggung Harya Anabrang terkesiap. Hingga Sawitri perdengarkan jeritannya. Namun orang itu telah berkata dengan cepat.
"Sebaiknya anda segera tinggalkan tempat ini Tumenggung..! Putrimu dalam bahaya. Ia mau dijadikan korban buat Dewa Api...!"
"Hah..!? Siapakah anda...?" Bertanya Harya Anabrang dengan wajah pias.
Namun baru saja ia berkata, tiba-tiba si orang berkedok tengkorak itu perdengarkan teriakan ngeri. Tubuhnya terjungkal roboh. Bukan main terkejutnya Harya Anabrang, ia putar kepalanya berkeliling namun tak terlihat ada bayangan tubuh si penyerang. Ketika ia periksa mayat orang itu, segera diketahuinya si orang berkedok tengkorak itu telah terkena senjata rahasia pada leher dan punggungnya.
Cepat ia balikan tubuh itu, dan buka kedok mukanya. Terkejutlah Tumenggung Harya Anabrang, karena sosok tubuh dihadapannya itu tak lain dari pada Punta. Abdi dalem pembawa berita, alias orang kepercayaannya, yang sudah dititahkan untuk berangkat ke Sulang.
"Gila...! Benar-benar gila! Ada apakah dengan semua ini...? Aku benar-benar tidak mengerti." Desis Harya Anabrang dengan wajah pucat. Segera saja tanpa membuang waktu ia telah angkat tubuh Prasetyo, dan palingkan kepala pada Sawitri, seraya berkata. "Sawitri... cepatlah kau ikuti aku! Kita tinggalkan tempat berbahaya ini...!"
Namun baru saja Tumenggung Harya Anabrang membelakangi tubuh gadis itu, tiba-tiba terdengar teriakan Sawitri. Karena sekonyong-konyong tubuhnya telah disambar oleh sesosok bayangan hitam, yang berkelebat cepat sekali. Dan ketika Harya Anabrang menoleh, ia cuma dapat melihat tubuh sang gadis yang dilarikan oleh sesosok bayangan hitam.
"Celaka..!" Sentak hati sang Tumenggung. Ia tak sempat lagi untuk bergerak mengejar. Karena sekelebatan saja sosok tubuh hitam itu telah berkelebat lenyap dibalik semak lebat, tertutup pepohonan.
Entah beberapa lama Roro Centil terayun-ayun di dalam jala sutera ia tak mengetahui lagi. Ketika tahu-tahu tubuhnya meluncur ke bawah dan terasa ada yang menyanggapnya. Cuaca yang agak gelap, membuat ia pentang mata lebar-lebar tanpa dapat berbuat apa-apa. Totokan itu ternyata amat hebat.
Baru kali ini Roro terkena perangkap aneh, dan tak berdaya tanpa dapat berbuat apa-apa. Terlihat lagi dua sosok tubuh bertopeng, dan berpakaian serba hitam, setelah membabat putus tali yang menggantung tubuhnya. Salah seorang telah menyanggapnya dan memondongnya diatas bahu, serta membawa tubuhnya entah kemana.
Kedua orang itu larinya tak berapa cepat. Karena wajahnya tertutup topeng, cuma matanya saja yang tersembul dari kedua lubang di bagian depan itu, Roro tak dapat mengetahui wajah orang. Mereka berdua tak mengeluarkan suara, hanya memakai bahasa isyarat saja. Akan tetapi Roro dapat mengetahui orang yang memanggul tubuhnya itu, seorang wanita.
Tiba-tiba ia mendengar suara bentakan keras dan tahu-tahu tubuhnya telah jatuh bergulingan. Entah apa yang terjadi. Kiranya pada saat itu muncul lagi sesosok tubuh, yang juga bertopeng dan berpakaian serba hitam. Dan telah menyerang kedua orang bertopeng itu. Mengapa mereka saling terjang... ? Pikir Roro, yang dapat melihat dari sela-sela jala.
Tubuh wanita yang memanggul tubuhnya itu tampak telah berdiri lagi. Ternyata orang bertopeng yang tadi menyerang kedua orang yang menolongnya, adalah yang tadi telah menjebak Roro. Dapat diketahuinya dari ujung topengnya yang lancip seperti kukusan.
"Heh! Kalian kira dapat mengelabui mataku dengan menyamar sebagai anggota Siluman Hitam..?" Terdengar si Topeng lancip menggertak dengan suara keras.
Kedua orang yang tadi menolongnya itu tampak telah saling beradu punggung, siap dengan senjata ditangan. "Kita telah ketahuan..." Terdengar salah seorang berdesis.
"Benar, buat apa kita memakai topeng..!" Kata salah seorang, yang suara keduanya itu seperti berbisik-bisik. Dan serentak saja mereka tiba-tiba melepaskan kedua topengnya.
Terkejut Roro Centil ketika mengetahui siapa adanya kedua orang itu. Yang ternyata adalah, Sentanu dan Roro Dampit. Kiranya mereka telah menyaru sebagai orang dari komplotan Siluman Hitam. Sepasang suami isteri itu tampaknya tidak merasa gentar dengan orang bertopeng lancip dihadapannya. Tidak menunggu terlalu lama lagi Roro Dampit telah lakukan serangan menerjang orang dihadapannya, dengan pedang telanjang.
Plak! Des!
Hanya dua kali gerakkan tangan, pedang ditangan Roro Dampit telah terlempar. Sedangkan sebuah pukulan telah membuat tubuh Roro Dampit terlempar lima enam tombak. Sentanu cepat memburunya dengan terkejut. Ia yang ilmunya masih jauh dibawah isterinya, mana mungkin menghadapi orang sakti dihadapannya...?
Roro pun mengerti akan laki-laki itu, yang boleh dikatakan tidak memiliki tenaga dalam, hanya kepandaian biasa saja. Kelebihan Sentanu, adalah keberaniannya, serta kepandaiannya dalam taktik bertempur. Karena memang Sentanu bekas seorang prajurit Kerajaan, dan anak seorang Senapati. Tapi menghadapi si manusia bertopeng lancip, yang telah berhasil menjebak Roro Centil itu, rasanya akan bisa bernasib naas. Oleh sebab itulah diam-diam Roro Centil mengirim suara melalui tenaga dalamnya ke telinga kedua orang suami isteri itu.
Mendengar peringatan Roro, dari dalam jala sutera, seketika keduanya saling berpandangan. "Ssst! Kak Sentanu, sebaiknya kita turuti saja usulnya. Melawanpun tak guna. Aku yakin Pendekar Roro Centil dapat membebaskan diri...!" Berbisik Roro Dampit.
Sentanu hanya anggukkan kepala. Dan sekejap kemudian keduanya telah bergerak melompat menyelamatkan diri. Tampaknya si topeng lancip yang tak lain dari ketua Siluman Hitam itu, tak berniat mengejar. Ia hanya perdengarkan dengusan hidungnya. Dan berkelebatlah ke arah dimana Roro Centil masih meringkuk di dalam jala dengan keadaan tertotok. Sekali sambar ia telah angkat tawanannya ke atas pundak, dan dibawa melesat pergi.
Tumenggung Harya Anabrang larikan kudanya dengan cepat. Penduduk desa Tepus cuma bisa tatapkan matanya saja, melihat sang Tumenggung yang membawa pulang anak lakilakinya dalam pangkuannya. Tinggalkan derap kaki-kaki kuda yang semakin menjauh. Wajahnya tampak merah padam. Kuda dipacu bagai dikejar alap-alap dengan tujuan Sulang.
Sementara Prasetyo cuma bisa berdiam diri dengan menahan sakit pada kakinya yang putus. Tak dikisahkan dalam perjalanan. Gedung sang Tumenggung telah kelihatan dari kejauhan berada di tengah desa. Ketika derap kaki-kaki kuda terdengar memasuki halaman gedung, beberapa orang sudah berlari menyambutnya.
"Selamat datang Kanjeng Gusti..." Salah seorang sudah berikan kata-kata penyambutan dengan hormat. Namun segera terkejut melihat keadaan Prasetyo. "Hah..!? Apakah yang telah terjadi..?" Berteriak salah seorang dari penjaga-penjaga gedung itu. Yang dengan segera menurunkan dan memayang tubuh pemuda itu, untuk selanjutnya dibawa masuk ke dalam gedung.
Tumenggung Harya Anabrang sudah berikan perintahnya. "Kalian rawatlah, dia...." Berkata ia dengan wajah masih tampilkan kelelahan. Dan selanjutnya ia telah melangkah cepat ke dalam gedung. Pertama yang ia temui adalah seorang pembantu wanita tua, yang cepat-cepat membungkukkan tubuh di hadapannya memberi hormat.
"Mana Ndoromu..." Bertanya sang Tumenggung.
Yang dijawab dengan suara tergagap oleh si pembantu wanita tua itu. "Hamba... hamba tidak mengetahui kemana perginya Kanjeng Gusti..."
Terbeliak mata sang Tumenggung mendengar jawaban itu. Segera saja ia telah melangkah cepat memeriksa kedalam kamar. Dan terlihatlah keadaan pembaringan yang berantakan dengan kasur dan bantal serta sprei yang tidak beraturan. Terbersit satu dugaan yang membuat wajahnya semakin merah, dan terasa panas.
Tiba-tiba ia telah bergerak melangkah ke arah tempat menyimpan perhiasan. Ternyata kotak berukir itu telah terbuka diatas rak dinding. Sedangkan isinya telah lenyap. Begitu pula uang perak dan emas di bawah kasur telah ludes.
"Keparrat...!" Teriaknya geram. Tiba-tiba ia telah melompat keluar. Segera saja ia telah cengkeram sang pembantu pada baju di tengkuknya, dan membentak keras. "He...!? Mbok Kinah..! Apa kau benar-benar tak mengetahui...?"
Tentu saja hal itu membuat sang pembantu ketakutan setengah mati. Tiba-tiba belum sempat sang pembantu itu menjawab. Telah terdengar satu teriakan dari kamar Prasetyo. Sang Tumenggung terkejut, ia sudah mau bergerak melompat. Namun segera ia batalkan maksudnya karena memikir tentu anaknya pasti tengah sedang diobati lukanya.
Namun alangkah terkejutnya ketika melihat sang pembantu yang baru saja dilepaskan cekalannya itu telah terkulai dilantai dengan mulut keluarkan busa. Dan tubuhnya menggoser-goser ditanah, seperti tengah sekarat. Ketika Tumenggung Harya Anabrang memeriksa dan mengguncang-guncang tubuhnya, ternyata pembantu wanita tua itu telah tewas. Kiranya ketika tadi sang Tumenggung memeriksa kamarnya, sang pembantu wanita tua itu telah masukkan sesuatu pada mulutnya. Rupanya itulah pel racun.
Terkesiap seketika sang Tumenggung Harya Anabrang. Kepanikan yang luar biasa terbayang pada raut wajahnya. Bagaikan gila, ia telah kembali melompat ke kamar Prasetyo dan tendang pintu yang tertutup. Namun yang dilihatnya adalah benar-benar membuat ia hampir gila saking terkejutnya. Pemuda yang putus kakinya itu tampak tergeletak dengan kepala terjuntai disisi pembaringan. Sedangkan darah segar tampak mengalir dari mata, mulut dan hidungnya yang masih terus mengucur ke lantai.
"Prasetyooo...!" Berteriak Harya Anabrang menyaksikan kejadian itu. Segera ia telah melompat untuk memeluk anaknya. Dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Namun seperti juga sang pembantu tua itu, Prasetyo telah tewas. Gemuruh detak jantung sang Tumenggung seperti mau meledak dadanya. Rasa terkejut, sedih dan murka bertumpuk menjadi satu. Kali ini tak ada air mata mengalir turun dari pelupuk matanya. Namun seketika wajahnya telah berubah menjadi beringas menakutkan. Sekonyong-konyong ia telah berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya terdengar serak menakutkan.
Dan tiba-tiba ia telah mencabut keris berlekuk tujuh dari pinggangnya. Dan ia sudah melompat dari jendela yang terbuka itu. Tampak olehnya beberapa sosok tubuh baru saja menyelinap dari sisi gedung. Bagaikan seekor singa terluka ia telah berkelebat mengejar. Dan yang tampak, adalah orang-orangnya sendiri, alias pengawal-pengawal yang ia percayakan untuk menjaga gedung sepeninggalnya.
"Iblis-iblis keparat...! Jangan harap kalian dapat tinggal hidup didepan mataku, kubunuh kalian semua...!" Berteriak ia bagaikan halilintar. Dan menerjang beringas dengan kerisnya.
Tak ampun lagi terdengar jeritan ngeri dari para anak buahnya sendiri itu. Ketika dengan melompat bagaikan kilat, ia telah dapat mencegat ke arah mereka yang mencoba menyelamatkan diri. Tiga sosok tubuh itu terjungkal. Gerakan Tumenggung Harya Anabrang memang di luar dugaan, karena dengan cepat telah mengejar ke arah ujung tembok, dimana mereka lenyap.
Namun tiba-tiba ia lompat kembali ke belakang. Dan sekali enjotkan tubuh ia telah berada di atas tembok pagar gedung. Dugaannya tepat. Mereka ternyata mempergunakan cara main kucing-kucingan, dan kembali lagi ke arah semula di samping tembok. Tak dinyana Tumenggung Harya Anabrang telah berpengalaman. Ia sudah putar tubuh terlebih dulu dan dari atas tembok pagar itu ia dapat lihat tegas orang-orangnya sendiri yang bergegas menyelamatkan diri.
Saat itulah ia telah keluarkan bentakan menggeledek. Dan bagaikan seekor kucing yang menerkam mangsanya, keris berlekuk tujuh yang telah telanjang itu segera disarungkan ke setiap leher dan dada para iblis-iblis pembunuh itu. Saat selanjutnya ia telah melompat lagi keatas tembok pagar gedung, dan putar kepala untuk melihat sekelilingnya.
Tiba-tiba tampak olehnya beberapa sosok tubuh berkelebatan disekitar gedung. Sosok-sosok tubuh hitam itu terlihat mengenakan topeng pada wajahnya. Terkesiap hatinya seketika. Dan teringat ia akan ucapan Punta sebelum tewas.
"Keparat...! Mereka pasti komplotan Siluman Hitam itu. Apakah mereka telah menculik isterinya dan juga yang telah menguras harta bendaku...?" Desisnya dengan wajah pucat.
Baru saja mau melompat turun tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, sambil melemparkan sesuatu yang menancap pada tembok dibawah kakinya. Ternyata sebuah paku, yang pada ujungnya terdapat lipatan kertas. Sosok tubuh itu telah lenyap lagi ketika ia palingkan wajahnya. Cepat ia berjongkok untuk mencabut paku itu. Kembali ia tersentak, karena paku panjang itu adalah senjata rahasia yang telah membunuh Punta. Tanpa pikir panjang ia telah melompat turun. Segera ia buka lipatan kertas itu. Ternyata isinya sebagai berikut;
"Tumenggung Harya Anabrang! Rasakanlah kehancuranmu...! Isteri dan "anak" gadismu berada diGunung Butak! Mereka akan segera jadi korban-korban persembahan untuk Dewa Api! Silahkan datang untuk menyaksikan upacaranya..!"
"Keparrraaat!" Berteriak sang Tumenggung karena marahnya. Tiba-tiba saja ia telah melihat adanya api yang menyala dari dalam ruangan gedung. Dan berturut-turut di beberapa tempat telah berkobar api, yang membakar gedung miliknya di beberapa penjuru. Tersentak lagi hati sang Tumenggung. Segera ia berkelebat masuk melalui pintu belakang. Tampak beberapa sosok bayangan hitam berseliweran di antara ruangan, dan kembali menghilang tanpa bekas.
Brak! Sesosok bayang hitam yang telah melompat dari sebuah ruangan, menabrak jendela. Segera ia melompat mengejar. Dan terjadilah kejar-kejaran yang mengelilingi setiap penjuru gedung. Geram luar biasa Tumenggung, karena yang dikejarnya benar-benar bagaikan bayangan siluman. Sebentar lenyap dibalik pintu. Tahu-tahu muncul dibelakangnya. Ia kejar ke belakang, telah lenyap lagi, dan muncul di samping jendela. Gemeretak gigi Harya Anabrang dibuatnya.
Sementara itu api telah kian membesar melalap tiang-tiang bangunan gedung yang merambat terus ke atas wuwungan. Tak berapa lama setiap kamar, dan ruangan telah dikelilingi api. Tersentak hati Tumenggung Harya Anabrang, ketika ia ingat akan jenazah Prasetyo, ia sudah gerakkan tubuh untuk melompat ke arah kamar puteranya. Akan tetapi sekonyong-konyong terdengar suara tertawa berbareng di belakangnya. Cepat ia palingkan kepala. Dan terlihatlah delapan sosok tubuh telah berdiri berbaris di belakang gedung. Kesemuanya bertopeng dan berpakaian serba hitam.
"Keparat....! Kuhancurkan kalian iblis-iblis laknat..!" Ia sudah melompat lagi mengejar. Tapi sekali bergerak, mereka telah kembali berpencar. Namun kali ini ia telah menggerung keras, bagai singa terluka.
"Moddar..!" Teriaknya, ketika itu juga keris berlekuk tujuh itu telah minta korban lagi.
Brug...! Salah seorang dari manusia-manusia bertopeng itu cuma perdengarkan teriakan pendek, ketika tubuhnya roboh terjungkal. Dan ternyata punggungnya telah tertancap keris sang Tumenggung. Segera ia berkelebat melompat ke arah robohnya orang itu. Ia putarkan dulu kepalanya kebeberapa arah di samping gedungnya.
Dan dengan cepat telah mencabut kembali kerisnya. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia telah buka topeng wajahnya, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa adanya orang itu, yang tak lain dari salah seorang tamtama yang mengawalnya tadi siang. Ia dapat mengenalinya dari sebuah tompel sebesar jempol di bawah pipinya. Kedua tamtama itu memang dititah oleh Ki Demang Pamotan untuk mengawalnya.
"Setan laknat...!" Berteriak Harya Anabrang. Ia benar-benar tak mengerti akan semua ini. Saking kesalnya ia telah sambar tengkuk mayat itu. Tak dinyana tenaganya terlalu besar, sehingga baju hitam si orang bertopeng itu koyak terbuka. Lagi-lagi ia dibuat terkejut, karena melihat sebuah "tato" pada punggung si tamtama.
Yaitu yang menggambarkan lambang kepala tengkorak. Itulah lambangnya dari para perompak-perompak di Tanjung alap-alap. Yang belum lama berselang dan baru beberapa pekan ini ia baru kembali dari menumpas para komplotan pembajak tersebut disarangnya.
Tak habis pikir Tumenggung Harya Anabrang, akan kenyataan-kenyataan semua ini. Namun ia tak dapat berfikir lebih jauh, karena ia jadi terkesiap melihat api yang telah berkobar semakin membesar membumbung tinggi, membakar gedungnya. Detik itu juga ia segera teringat akan jenazah Prasetyo. Ia sudah segera akan melompat ke sana. Namun terlambat sudah. Api yang kian membesar itu telah menambus seluruh ruangan, termasuk kamar Prasetyo.
Terkesiap hati sang Tumenggung. Seketika dengkulnya terasa lemas. Tatapan matanya dialihkannya ke tanah. Sementara dua tetes air mata telah menitik turun membasahi pipinya. Harapannya untuk menyelamatkan jenazahnya saja sudah punah. Apalagi nyawanya. Yang telah melayang terlebih dulu.
"Oh. Tuhan... Apakah dosaku gerangan...?!" Berteriak ia sekuat-kuatnya. Namun suaranya seperti tersekat di kerongkongan. Laki-laki perkasa ini tertunduk menggebrak tanah. Ia cuma bisa pandangi api... dan api! Yang melulu terlihat, dengan suara gemeretak melalap atap gedungnya.
Hawa panas yang luar biasa terasa membuat tubuhnya seperti terpanggang. Keringat mengucur semakin deras membasahi sekujur tubuhnya. Luluh lantak hatinya... dan hancur lebur perasaannya, seolah ia sudah tak berpijak lagi di atas bumi, memandang kenyataan itu. Isteri... anak.. harta benda... Dan semua yang jadi kebanggaannya telah punah dalam sekejap mata...!
Langit seperti berubah merah, karena cahaya merah dari kobaran api, yang tengah melalap habis gedung sang Tumenggung. Percikan lelatu seperti ribuan kunang-kunang yang berterbangan di udara. Namun sang Tumenggung sudah tak memperhatikan itu lagi. Ia balikkan tubuhnya untuk melangkah pergi.
Entah mungkin seandainya orang-orang bertopeng itu muncul menyerangnya, ia pun tak akan lagi mengetahui, juga memperdulikannya. Karena tatapan matanya adalah tatapan hampa. Langkahnya adalah langkah gontai. Keris berlekuk tujuh ditangannya sudah jatuh tanpa ia mengetahuinya lagi.
Beberapa pasang mata penduduk yang berkerumun melihat kebakaran besar itu, sudah tak diperhatikan lagi. Seekor kuda tiba-tiba muncul dari balik semak di sisi jalan yang dilalui yang ringkikkan sang kuda itu seperti menyadarkan ia akan dirinya. Nyaris saja menabrak sang Tumenggung. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara teriakan seseorang.
"Aiiiii..!" Ia telah menabrak jatuh sang Tumenggung, yang lagi-lagi bernasib sial. Tampak si dara jadi terkejut, dan cepat menghampiri untuk menolong membangunkan orang. Seraya berucap dengan kata-kata tergagap.
"Oh, maaf... aku tak sengaja... Ka..Kanjeng Ttt... Tu. Tumenggung...!" Segera ia sudah mengusap-usap pakaian sang Tumenggung, dan mengebutinya dengan selendang yang ia tarik dari lehernya. Kemudian tampak si dara montok itu kembali menjura beberapa kali, sambil sangkutkan kembali selendangnya pada leher. Dan tak ayal sudah putar tubuh untuk mengejar kudanya yang mencongklang lari.
Sang Tumenggung hanya pandangi punggung si dara itu dengan geleng-gelengkan kepala, sedang dihatinya ia membathin. Mengapa berturut-turut ia bernasib naas.
PENJARA BERTALI itu cukup luas. Berderet memanjang menghadap ke dalam ruangan goa yang luas itu. Dinding-dinding wanita di dalam kerangkeng besi itu, cukup membuat mereka berjejalan, karena dua ruangan masih kosong. Memang ada tiga kerangkeng di dalam ruangan itu, yang cuma terpisah oleh jeruji besi. Masing-masing satu pintu, dengan rantai gembok yang membelit pada setiap pintu.
Empat orang bertopeng tiba-tiba masuk ke dalam ruangan goa, diikuti seorang lagi yang membawa sesosok tubuh terbungkus jala. Ketika tiba dimuka kerangkeng, segera keempatnya terpecah menjadi dua bagian. Dengan dua ke sisi kanan, dan dua ke sisi kiri, seperti memberi jalan pada orang bertopeng yang berada di belakangnya. Salah seorang yang berdiri dekat sisi kerangkeng itu cepat bergerak untuk membukakan pintu terali besi itu dengan kunci yang selalu dipegangnya.
Orang yang memanggul sosok tubuh terbungkus jala itu bertindak masuk, dan segera melemparkan tubuh orang yang terbungkus jala itu ke dalam kerangkeng. Selanjutnya telah bertindak keluar lagi. Dan kembali si penjaga penjara itu merantai pintu, dan menguncinya. Roro tahan sakit pada tubuhnya yang menggabruk ke lantai batu di dalam kerangkeng itu.
Sementara belasan pasang mata dari kerangkeng di sebelahnya menatap kearahnya. Perlahan-lahan Roro putar kepalanya untuk memandang keadaan sekelilingnya. Terkejut ia melihat gadis-gadis seusia dengannya tampak tengah tatapkan pandangan kearahnya. Mata yang memancarkan harapan kosong yang gemerlapan terkena cahaya api obor dari kedua sudut dinding ruangan, dimuka kerangkeng itu.
Belum beberapa lama antaranya telah dipanggul lagi masuk sesosok tubuh yang terbungkus di dalam jala. Upacara dilakukan seperti tadi, yaitu masuk terlebih dulu empat orang bertopeng, yang memberi jalan lalu sang penjaga penjara membukakan pintu kerangkeng. Selanjutnya sudah melemparkan lagi sosok tubuh yang terbungkus jala itu. Dan kembali sang penjaga merantainya.
Roro Centil pentang mata melihat siapa orang yang terbungkus jala seperti dirinya itu. Yang persis menggabruk di sebelah depan tubuhnya. Membelakangi kerangkeng di hadapannya. Ternyata orang itupun tengah pentang mata menatapnya. Begitu orang-orang bertopeng itu beranjak pergi, tiba-tiba tubuh orang disebelahnya itu gulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro, seraya terdengar bisikannya.
"Sssst... Aku akan menolongmu... nona Roro..!"
Tapi yang diajak bicara cuma kerutkan alis, karena Roro memang tak mengenal gadis disebelahnya. Walaupun ia coba mengingat-ingat sekian banyak wajah yang dikenal akrab maupun di jalanan. Memang ada sekilas ia teringat akan seseorang, yang wajahnya hampir mirip dengannya. Apakah ia saudaranya..? Berfikir sesaat Roro Centil, namun ia sudah perlihatkan senyumnya sambil manggut-manggut dan menyahuti sambil berbisik.
"Terimakasih... Eh, siapakah anda...?" Roro sambung bisikannya dengan pertanyaan.
Namun gadis di hadapannya sudah tempelkan telunjuk di bibirnya sebagai jawaban, karena pada saat itu ia telah melihat seorang bertopeng yang berujung lancip di bagian atas kepalanya. Entah dari mana munculnya telah berada di ujung ruangan, didepan kerangkeng dengan tongkat kepala tengkorak di tangannya. Itulah sang ketua komplotan Siluman Hitam. Namun Roro belum mengetahui akan siapa adanya orang itu.
Pelahan digerakkan kepala untuk melihat ke arahnya dari sela-sela benang jala. Sepintas memang sang Ketua itu mirip dengan hantu saja layaknya. Karena dengan jubah yang serba hitam, serta topeng yang menutupi dan membungkus seluruh kepala sampai kerambut yang cuma tongolkan kedua matanya saja dari kedua lubang pada bagian muka. Tampak ia telah ketukkan tongkatnya pada batu tiga kali, dan terdengar suaranya yang serak bernada bengis.
"Mengapa tawanan yang paling istimewa belum juga dibawa masuk...?!" Suara yang santar itu terdengar sampai ke luar goa. Lapat-lapat terdengar seperti suara orang menggerutu, yang didengar oleh Roro dari sebelah dinding bagian belakang penjara. Suasana memang hening, yang tadinya agak ramai dengan suara keluhan dan tangis kecil dari penjara disebelahnya, begitu melihat adanya orang bertopeng lancip ini.
"Apakah yang dimaksud Ketua, tawanan yang ini...?" Terdengar suara lapat-lapat itu.
"Mungkin juga... kenapa tak dibawa masuk sekalian, malah ditinggal ke belakang!" Gerutu suara lapat-lapat itu.
"Paling-paling dia kebelet untuk pergi buang air, makanya ia tinggalkan tawanannya disini, bikin kerjaan buat orang saja..!" Gerutu dari salah seorang lagi.
Kemudian kembali hening. Dan selang beberapa saat, tampak salah seorang dari orang bertopeng itu memasuki ruang goa dengan memanggul tubuh seorang gadis lagi. Sudah tentu diawali dengan keempat orang bertopeng yang lebih dulu masuk. Dan seperti tadi upacaranya gadis yang tertotok pingsan itupun dilemparkan masuk ke dalam ruangan atau penjara disebelahnya, yang masih kosong.
Inikah tawanan yang dikatakan istimewa itu...? Berfikir Roro. Yang segera ia mengetahui gadis itu tak lain dari Sawitri adanya. Tentu saja hal itu membuat Roro Centil jadi terkejut, dan keluarkan desisan dari mulutnya. "Aiiih... Dia pun tertangkap oleh siluman-siluman keparat di Gunung Butak ini. Entah bagaimana nasib si Tumenggung, dan pemuda bernama Prasetyo itu.."
Roro Centil yang memang masih belum dapat membebaskan pengaruh totokan ditubuhnya, segera cepat berfikir. Dan selanjutnya telah berbisik lagi pada si gadis disebelahnya. "Katanya kau mau menolongku... Cepatlah kau bebaskan totokanku...!"
"Aku... aku... hihi.. hi..." Tiba-tiba si gadis disebelahnya itu malah tertawa cekikikan.
"He...? Kenapa kau? Apanya yang lucu...?" Berkata Roro dengan suara perlahan. Sementara alisnya berkerut, tiba-tiba ia merasa agak mengenali suara tertawa itu. Gadis terbungkus jala itu sudah menyahuti.
"Aku memang mau menolongmu, tapi aku sendiri perlu pertolonganmu..." Berbisik si gadis itu.
Tentu saja kata-kata itu membuat Roro jadi mengkal hatinya. Mau menolong orang, tapi ia sendiri perlu pertolongan orang! Adalah sama dengan bohong...! Memaki Roro dalam hatinya. Akan tetapi ia sudah ajukan pertanyaan.
"Hmm, tadi kau belum jawab pertanyaanku siapakah kau sebenarnya, dan dari siapa kau tahu namaku..?!" Desis Roro dengan suara mendesis, karena takut terdengar oleh sang penjaga.
Sementara ia dapat lihat si orang bertopeng lancip yang memakai jubah, dengan tongkat kepala tengkorak itu sudah tak kelihatan lagi. Gadis disebelahnya itu cuma tersenyum saja, dan tidak lantas menjawab. Ternyata ia adalah si dara montok yang tengah mengejar kudanya yang terlepas, tadi siang. Dan menabrak jatuh sang Tumenggung Harya Anabrang, di Sulang.
Saat itu memang dapat dikatakan sudah menjelang sore. Namun keadaan di dalam ruangan goa itu, masih tetap terang benderang, karena cahaya dari apiapi obor, tetap menyala di kiri-kanan dinding ruangan goa.
Waktu makin terus merayap Pegunungan Kapur seperti raksasa yang tengah tidur pulas, disinari cahaya mentari yang sudah mulai condong. Keadaan di ruang atas yang tertutup dengan pintu batu itu, ternyata masih tampak seperti tadi. Tubuh sang gadis itu telah terkulai.
Sementara sepasang mata sejak tadi telah terus mengikuti dari sebuah ruang, tepat didepan sang korban untuk sang Dewa api. Itulah sepasang mata dari seorang wanita, yang berumur kira-kira 35 tahun. Tampak ia seperti turut tersiksa dengan melihat kejadian di depan matanya.
Tiba-tiba sebuah lubang persegi empat yang panjang dan lebarnya sama telah terbuka dari balik dinding ruangan dimana ia berada. Sesosok tubuh tibatiba muncul dari dalam lubang di dinding itu, yang orang hanya dapat masuk dengan membungkukan tubuh terlebih dulu. Itulah sang Ketua Siluman Hitam yang bertopeng lancip dengan sebuah tongkat berkepala tengkorak berada di tangannya.
"Bagaimana dengan persembahan untuk sang Dewa Api itu, nyonya Tumenggung...? Suatu pertunjukkan yang sangat menarik bukan? Ha ha ha., ha.... ha.... Itu baru pertunjukkan yang biasa. Masih ada kelanjutannya. Nanti disaat ia sudah mau sekarat, akan ada lagi satu pertunjukkan yang lebih menegangkan!" Berucap sang Ketua dengan diselingi tertawa sinis.
Ternyata wanita di dalam ruangan itu adalah isteri Tumenggung Harya Anabrang. Didalam ruangan itu penuh berceceran uang emas, dan perak. Bahkan tumpukan-tumpukan buntalan dengan berbagai macam perhiasan berserakan di tempat itu. Agaknya ruangan itu adalah tempat penyimpanan Harta Rampokan.
"Nah, waktunya telah tiba...! Dewa Api sebentar lagi akan menerimanya sebagai korban!" Berkata sang Ketua. Entah apa yang telah dilakukannya, karena tahu-tahu telah menganga lagi sebuah lubang di dinding ruangan itu. Dan segera saja ia telah melompat ke celah pintu batu yang bergerak itu. Dan selanjutnya, pintu batu itu kembali menutup.
Kini sang Ketua Siluman Hitam telah berada di ruangan tempat gadis itu terkulai dengan tangan dan kaki terikat rantai belenggu. Tampak wajah wanita itu terbelatak lagi lebih lebar. Karena dilihatnya sang Ketua Siluman Hitam telah buka jubahnya. Tampak punggungnya yang bertato kepala Tengkorak. Dan ketika ia lepaskan topeng wajahnya, kemudian balikkan tubuhnya.
"Hah..!? Kau... kau..." Terdengar suara wanita itu yang seperti terkejut.
"Benar...! Aku...! Aku adalah sang suami yang telah kau tinggalkan! Kau tinggalkan, karena aku orang yang miskin dan hina dina. Sehingga tak berharga lagi aku dimatamu...! Dimata seorang terhormat. Dimana kau adalah anak seorang Pendekar Besar...! Aku tak dapat membahagiakanmu, makanya kau pergi delapan belas tahun yang silam. Pergi tanpa kabar berita! Ternyata benih dariku itu kau berikan pada si Maling Sakti. Hingga ia tak menyangka kalau anaknya yang lahir adalah anakku...!" Rupanya kau kurang puas juga dengan suamimu. Entah apa yang membuat kau kurang puas, hingga kudengar kau tinggalkan lagi suamimu. Lima belas tahun aku mencarimu, ternyata kau sudah hidup senang dengan suamimu yang baru. Yaitu si Harya Anabrang! Heh! Seandainya ia tak merusak usahaku di Tanjung Awar-awar beberapa pekan yang lalu, mungkin aku telah dapat melupakan dendam yang berkecamuk belasan tahun itu di dadaku. Aku adalah Ketua dari Komplotan Bajak Laut yang sudah menguasai daerah pesisir pantai Utara itu. Gunung Butak adalah markas besarku..! Aku dapat berbuat apa saja tanpa ada yang dapat menahanku. Aku sudah suruh bakar habis Gedung kebanggaan suamimu. Dan Prasetyo anak dari hasil pelarianmu dengan si Tumenggung itu juga sudah kuterima laporannya. Ia sudah dibunuh dan terbakar mayatnya. Lihatlah... Aku banyak harta. Aku sepuluh kali lipat lebih hebat dari suamimu itu. Ha ha ha... ha ha..." Tampak wajah sang Ketua itu merah padam.
"Lihatlah kini sang Dewa Api akan menerima korbannya...!" Berkata laki-laki itu yang sudah seperti bayi yang baru dilahirkan. Saat selanjutnya ia telah geluti sang korban. Panas api seperti menjilat-jilat tubuhnya namun Siluman Hitam tampak tarikan tari maut, diantara peluh dan darah. Manusia dapat lebih kejam dari pada seekor binatang, yang paling buas hanya karena dendam dan sakit hati. Tiba-tiba terdengar teriakannya.
"Keparat..!" Dan sebelah lengannya menghantam ke arah lubang di dinding ruangan. Terdengar suara mengerikan. Dan dua sosok tubuh terjungkal kebawah. Sebentar saja ia telah benahi jubahnya. Dan melesat untuk melongok ke lubang jendela. Terlihatlah di bawah sana dua sosok tubuh terkapar di bawah dinding batu Gunung.
Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk di ruangan bawah. Sang ketua ini cuma perdengarkan dengusan di hidung. Sejenak ia tatap korbannya yang sudah tak bergeming, karena nyawanya telah terbang dari jasadnya. Tanpa berkata apa-apa, ia telah buka belenggu rantai di tangan dan kaki sang korban. Untuk selanjutnya segera ia pondong, dan lemparkan ke dalam lubang berhawa panas itu. Terdengar si wanita terpekik ngeri, melihat kebiadaban orang di hadapannya.
Tampak sepasang mata wanita itu sudah bersimbah peluh dan air mata. Bibirnya terkatup. Bahkan ia sudah gigit bibirnya sampai berdarah. Pernyataan laki-laki dihadapannya itu benar-benar mengguncang perasaannya. Terasa ia hampir gila mendengar disebutnya Prasetyo sudah tewas dibunuh, dan dibakar mayatnya berikut gedung suaminya. Tiba-tiba ia berteriak histeris.
"Syiwo Langit! Kau bunuhlah aku...! Biar kau puas. Jangan kau siksa aku di ruangan ini...! Bunuhlah aku Syiwo Langit...!"
Namun sang Ketua Siluman Hitam itu hanya tertawa sinis. Sepasang matanya memancarkan dendam yang amat luar biasa. "Justru aku tak akan membunuhmu. Karena aku akan tunjukkan lagi di depan matamu satu pertunjukkan serupa...! Aku ingin lihat apakah, kau lebih cinta harta, atau lebih cinta anakmu... Sawitri...!"
"Hah!? Apa yang akan kau lakukan lagi dengan anak itu...?" Terkesiap si wanita itu seketika. Ia merasa benar-benar tengah berhadapan dengan seorang iblis.
Namun lagi-lagi sang Ketua yang dipanggil Syiwo Langit itu sudah kenakan lagi topeng wajahnya. Dan dengan segera ia sudah gerakkan besi panjang di sisi pintu batu. Segera saja bergerit pintu itu terbuka, dan terlihat undakan batu dibawahnya.
Sementara itu keadaan di ruang goa dibawa, tangga batu yang tiga ratus undakan itu telah terjadi kericuhan. Kericuhan itu tak lain dari para tawanan wanita yang terkumpul satu kerangkeng. Kiranya seorang tawanan wanita, kembali telah dimasukkan ke penjara berterali besi itu. Walau tidak adanya Sang Ketua. Upacara untuk memasukkan sang tawanan tetap didahului oleh empat orang bertopeng.
Hanya gerakan dan susunan barisan orang bertopeng itu amat berbeda dengan yang tadi. Kalau tadi dua orang dari keempat orang pengawal itu kesisi kiri, dan dua lagi ke sisi kanan. Kini keempatnya berdiri berbaris ke sisi kiri semua. Memberi jalan pada seorang kawannya lagi yang memondong seorang gadis berbaju merah. Terkejut Roro, dan awasi wanita itu.
"Ah!? Roro Dampit telah tertawan juga..!?" Berkata Roro Centil dalam hati.
Sang penjaga penjara agaknya tak memperhatikan akan kejanggalan itu, ia sudah beranjak dari tempatnya berdiri, dan cepat membuka rantai gembok pada pintu penjara yang terisi ke tiga belas wanita itu. Namun begitu si pembawa tawanan memasuki pintu, tiba-tiba keempat orang pengawal itupun turut masuk. Salah seorang dengan gerakan cepat telah merampas kunci di tangannya.
Brug..!
Sang penjaga tersungkur kedalam karena di dorong oleh salah seorang dari para pengawal itu, yang telah merampas kuncinya. Akibat kejadian itu, tentu saja telah terdengar jeritan ketakutan dari para tawanan wanita sehingga menimbulkan kegaduhan. Salah seorang dari pengawal itu kembali menutup pintu dengan cepat, namun tidak menguncinya.
Dan kembali menyuruk masuk ke dalam sehingga kembali terdengar jeritan beberapa wanita. Suasana segera menjadi gaduh. Namun keempat orang pengawal itu, juga si pembawa tawanan dan si penjaga penjara, Sudah terlindung tubuhnya dari luar, oleh karena tertutup oleh ketiga belas wanita itu.
Pada saat riuh itu, Roro tiba-tiba dibisiki oleh si dara montok, yang menggulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro Centil.
"Sssst...! Cepat kau tolong aku dulu. Nanti aku akan menolongmu melepaskan totokan di tubuhmu..!" Berbisik si dara montok.
Lagi-lagi Roro Centil dibuat heran dengan kelakuan orang. Namun sang dara montok itu telah berkata lagi. "Apakah jari-jari tanganmu dapat kau gerakkan..."
Roro cepat menjawab. "Kalau jari tangan, aku masih bisa untuk menggerakkannya. Namun kalau tangan dan kaki aku tak dapat menggerakkan. Karena pengaruh totokan orang bertopeng yang menawanku amat aneh. Bahkan aku sedang mencari jalan untuk membukanya..!"
Si dara montok sudah menjawab lagi. "Bagus. Yang lainnya tidak begitu perlu. Cepatlah kau gerak-gerakkan jari tanganmu untuk menggelitik tubuhku pada bagian pinggang...!"
"Haa...?" Ternganga Roro, mendengar kata-kata si dara montok. Segera saja ia sudah dapat menerka siapa dara montok di hadapannya. "Jadi... jadi kau Joko Sangit...?" Bertanya Roro dengan belalakan matanya.
Si dara montok cuma cengar-cengir sambil berkata: "Kalau kau sudah tahu ya sudah... Hi hi hi..." Tertawa sang "dara" yang kenes ayu itu. Tampakkan giginya dari sela-sela jala.
"Pencuri kau ya... ? BH ku kau curi. Dan kotak perhiasanku pun kau bawa lari. Kemana kau sembunyikan buntalan pakaianku...? Awas, kalau tidak kau kembalikan tahu rasa kau." Berkata lagi Roro Centil sambil perengutkan wajahnya.
"Aiiiiii... Kau sabarlah, sayangku... Semua ini akan ku kembalikan. Tapi cepatlah kau turuti perintahku, kalau kau tak mau dijadikan korban buat si Dewa Api..!" Namun Roro sudah gerakkan jari-jarinya untuk mencubit punggung orang.
"Adoooow..! Bukan kusuruh cubit, nona manis... Tapi di gelitik!" Berkata si "dara" montok itu, yang tak lain dari Joko Sangit adanya. Dan detik selanjutnya sudah terdengar sang "dara ayu" itu telah tertawa cekikikan karena pinggangnya di gelitik Roro Centil.
Tentu saja suara tertawa gelinya tak begitu kentara, karena disebelahnya tengah terjadi kegaduhan. Kiranya si penjaga penjara itu tengah dikerubuti oleh para wanita tawanan itu sambil berteriak-teriak histeris. Beberapa orang sudah mengetahui kalau kerangkeng itu tidak terkunci lagi, dan sudah berdesakan untuk keluar.
Akan tetapi pada saat itu. Enam penjaga ruangan telah berkelebat ke depan penjara. Mereka telah mengetahui akan adanya warga Siluman Hitam palsu yang membuat kericuhan. Segera salah seorang telah keluarkan bentakan.
"Heh! Penyaru-penyaru busuk! Kalian telah masuk ke sarang siluman. Akan sulit bagi kalian untuk bisa pergi dengan selamat...!"
Namun gadis-gadis tawanan itu sudah menyerbu keluar dengan teriakan-teriakan riuh. Mereka berusaha menyelamatkan diri untuk berlari keluar ruangan. Akan tetapi dengan mudah, keenam penjaga ruangan itu telah bergerak untuk menangkap kembali para tawanannya. Pada saat itulah keempat penyaru itu sudah lepaskan topeng pada wajahnya. Dan menerjang ke enam pengawal pengawal itu. Segera terjadi pertempuran.
Sementara si penjaga penjara itu tampak telah tewas. Karena lehernya di jepit oleh sepasang ruyungnya. Dalam kerusuhan itu, ternyata telah membuat kesempatan Joko Sangit yang telah mempergunakan ilmu tertawanya, dapat terlepas dari pengaruh totokan. Yang segera saja dengan cepat ia menjebol jala yang membungkus tubuhnya.
Dan cepat ia bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Roro Centil. Yang segera turut meniru Joko Sangit, menjebol jala sutera. Beruntung tidak menemui kesukaran. Roro segera pergunakan tenaganya untuk membuka paksa pintu penjara, dengan menendang pintu terali itu. Yang langsung jebol dengan suara yang berisik.
Roro Dampit sudah terdengar berteriak: "Adik Pendekar...! Syukurlah kau telah terbebas..!" Dan iapun menerobos ke luar kerangkeng dengan cepat. Roro Centil cepat menghampiri. Dan akan halnya Roro Dampit, sudah segera memeluknya dengan terharu seraya berbisik. "Adik Pendekar..! Rindu sekali aku padamu, adik.."
Roro tepuk-tepuk pundak sahabat baiknya, seraya berucap. "Mana Sentanu...?"
Yang segera Roro Dampit palingkan kepala pada pertarungan. Satu suitan nyaring telah ia perdengarkan, dengan memasukkan dua jari tangan kemulutnya. Dan tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang berpakaian hitam itu, segera melompat ke arah mereka. Orang itu memang Sentanu adanya. Segera ia menjura hormat pada Roro Centil.
Akan tetapi belum lagi Roro membalas, ia sudah gerakkan tangan untuk menghajar jatuh seorang pembokong di belakangnya. Terdengar teriakan ngeri, dibarengi dengan ambruknya tubuh di belakang lakilaki itu. Jerit dari para wanita yang berhamburan menyelamatkan diri itu, ditambah dengan berisiknya suara beradunya senjata, dan suara bentakan-bentakan, membuat suasana amat gaduh.
Dilain saat si dara montok itu, tiba-tiba telah melompat ke dalam ruang yang agak gelap dimuka penjara, dimana di sana ada anak tangga yang menuju ke atas. Namun sebelumnya sempat bisikkan kata-kata pada Roro Centil.
"Aku akan lihat ke ruangan atas. Apakah dua orang kawanku berhasil masuk kesana dari luar dinding gunung..!" Roro Centil cuma kerutkan alis, tapi belum ia mengangguk, orangnya sudah melesat ke sana. Akan tetapi, yang Roro lihat adalah telah terjadi ledakan tepat di hadapan si Joko Sangit, dimana ledakan itu telah menimbulkan asap tebal.
Sehingga keadaan di ruangan itu dipenuhi asap kabut, yang membuat tidak terlihatnya lagi sosok-sosok tubuh. Dan pada saat selanjutnya terlihat oleh Roro dari kesamaran asap kabut itu, yang bergerak ke arahnya. Orang itu sudah berkata seperti memberi perintah atau petunjuk.
"Hayo cepat kau tolongi wanita-wanita yang lainnya untuk mengeluarkan dari ruangan ini..! Aku akan menyelamatkan Sawitri...!" Berkata orang itu.
Tersentak Roro Centil begitu melihat orang yang dikenal itu, ialah yang bernama Tunggul. Yaitu yang telah menyelamatkan Sawitri dan Prasetyo. Sementara itu tanpa ada yang mengetahui, sesosok tubuh dengan diam-diam telah menyelinap masuk ke dalam sebuah ruang gelap di dinding goa. Ia telah lepaskan topeng wajahnya, karena mengganggu penglihatan matanya. Didalam ruang itu segera ia dapat lihat sebuah lubang yang hanya pas untuk meloloskan tubuh satu orang.
Tampak ia celingukan, sejenak seperti takut perbuatan diketahui orang. Dari seberkas cahaya sinar obor yang menempel di dinding goa itu, yang samar-samar agak menerangi wajahnya, diantara asap yang mulai agak menipis, segera dapat diketahui siapa adanya orang itu. Yang tak lain dari Pragola.
Pragola adalah salah seorang dari ketujuh orang bertopeng yang selamat dari pembantaian orang-orang Siluman Hitam, yang dilakukan oleh Tunggul. Yaitu kawannya sendiri yang telah berkhianat. Setelah dirasa keadaan aman, cepat ia loloskan tubuhnya pada lubang sempit itu. Yang segera tampak kembali menutup.
RORO CENTIL kali ini tak terkecoh. Ia segera payang dua orang wanita untuk dibawa keluar ruangan. Asap memang kian menipis. Lalu kembali lagi untuk menyambar lagi dua wanita, yang dengan gerakan sebat kembali ia bawa melompat keluar. Sementara Roro Dampit baru saja terbebas dari asap yang menghalangi matanya. Begitu lihat Roro Centil, segera turut berbuat seperti ia. Yang kemudian dituruti juga oleh Sentanu. Segera masing-masing telah dapat mengenali siapa kawan dan siapa lawan.
Entah apa yang terjadi. Karena dalam kekacauan itu, sang lawanpun ada juga yang turut membawa seorang gadis untuk dibawa keluar. Tentu saja Roro Centil kerutkan keningnya. Dan biarkan orang lewat di dekatnya. Namun kakinya sudah memain. Dengan sedikit julurkan ujung kakinya, si pembawa gadis itu jatuh tersungkur. Namun sebelum tubuhnya menggabruk mencium tanah, ia telah menyambar tubuh sang gadis terlebih dulu.
Keruan saja si pengawal, alias orang Siluman Hitam itu jatuh tersungkur sendirian. Dan ketika ia berusaha untuk bangkit. Dengan satu jejakan kaki Roro Centil membuat tubuhnya terlempar keluar beberapa tombak, dengan perdengarkan teriakan keras. Saat itu Sentanu dan Roro Dampit muncul dengan masing-masing menenteng dua orang wanita pada kedua lengannya. Segera Roro Centil mendahului keluar. Dan lepaskan tubuh gadis di lengannya. Begitu mereka berdua tiba didekatnya Roro Centil segera berkata:
"Terimakasih atas bantuan kalian berdua. Namun kumohon, segeralah kalian selamatkan dulu sebahagiaan dari para tawanan ini ke tempat yang aman. Sementara biar aku yang mengurusi yang lainnya...!"
Kedua orang suami isteri itu anggukkan kepala. Dan terus berkelebat keluar. Sentanu setengah menyeret dua orang gadis yang diselamatkan itu. Untuk selanjutnya mereka seperti tengah menggiring ternak saja layaknya, menarik dan mengajak mereka untuk selamatkan diri ke tempat yang aman. Gadis-gadis atau wanita-wanita yang tampak kesemuanya masih muda-muda itu, segera berlarian ke satu arah yang di pelopori oleh kedua suami isteri itu.
Adapun Roro Centil kembali berkelebat masuk. Tampak dua orang telah bertarung melawan empat orang bertopeng. Sedangkan dua orang lagi telah terkapar bermandikan darah, bercampur dengan tubuh-tubuh beberapa lawan yang berkaparan. Roro yang mengetahui kalau ada empat orang kawan dari Roro Dampit dan Sentanu yang menyamar sebagai anggota komplotan Siluman Hitam itu segera dapat mengenalinya dari topeng yang tak dikenakannya lagi. Namun baru saja ia mau bertindak membantu, sudah didengarnya teriakan si dara montok, yang tak lain dari si Joko Sangit.
"Hai Roro, cepat kejar si penculik itu...!"
"Siapa....?" Roro sudah berkelebat ke dekat Joko Sangit. "Penculik siapa...?!" Roro Centil mengulangi pertanyaan.
"Penculik gadis bernama Sawitri itu...!" Jawab si "dara montok" dengan cepat. Dan ia sudah bergerak mendahului memasuki sebuah celah di dinding goa itu, yang entah sejak kapan telah terbuka.
Roro Centil berkelebat mengejar Joko Sangit, dan turut loloskan tubuh pada celah dinding goa. Segera ia sudah lihat kawan di arah depan. "Haiii! Tunggu dulu..!" Teriak Roro.
Joko Sangit menoleh sambil hentikan tindakan kakinya. "Apa maumu nona manis...!?" Berkata Joko Sangit, dengan menatap keheranan.
Adapun yang ditatapnya juga tampilkan wajah heran. Yang segera saja Roro berujar: "Sawitri telah diselamatkan oleh seseorang bernama Tunggul! Dia adalah kawan, bukan lawan. Karena aku tahu, dia adalah yang pernah menyelamatkan Sawitri dari para penculik gadis itu. Ia memang orang komplotan dari Siluman Hitam. Tapi telah berbalik memusuhi mereka!" Kata-kata Roro terdengar tegas.
Membuat Joko Sangit kerutkan keningnya. Tampak ia palingkan kepala ke arah yang akan mengejar. Namun sudah terdengar ia menggerutu. "Huuu..! Makhluknya pun sudah lenyap!" Katanya seperti orang mengeluh.
"Kau tidak tahu.. dialah yang telah melemparkan benda yang mengeluarkan asap itu, ketika aku akan ke ruang atas...!" Berkata lagi Joko Sangit.
Terhenyak seketika Roro Centil, sejenak ia berfikir dengan kerutkan alis. Lalu berujar: "Sebaiknya kita menyelamatkan dulu wanita-wanita yang lainnya. Dan membantu pertarungan kawan-kawan si wanita berbaju merah itu." Roro hentikan kata-katanya sebentar, dan cepat melanjutkan. "Eh... apakah kau telah mengenal wanita baju merah itu?" Bertanya Roro.
"Maksudmu kedua suami isteri itu...?" Sahut Joko Sangit. Roro Centil anggukkan kepala, dengan menatap wajah orang. Karena menduga ia telah mengetahui kedua sejoli itu. Sementara Joko Sangit telah jatuhkan pantatnya diatas batu.
"Aku sebenarnya tidak mengenal suami isteri itu, tapi mengetahui rencana yang telah disusunnya. Yaitu mengajak empat orang kawannya untuk menyaru sebagai komplotan Siluman Hitam. Dengan berpura-pura membawa tawanan. Padahal yang dibawa sebagai tawanan itu adalah istrinya sendiri, oleh sang suami. Aku memang ada punya maksud tertentu dengan melibatkan diri masuk ke dalam sarang komplotan Siluman Hitam. Sengaja aku umpankan diri untuk bisa tertawan. Tak dinyana yang menawanku bukan saja menjeratku ke dalam jala, bahkan menotok jalan darah pada tubuhku, hingga aku benar-benar tak dapat berkutik..." Bertutur Joko Sangit. Tapi segera ia sudah sambung kata-katanya.
"Oh, ya... Kukembalikan dulu benda milikmu ini..!" Ujarnya, seraya merogoh celah bajunya, dan mengambil sesuatu yang terselip pada ikat pinggangnya, pada bagian perut.
Roro plengoskan wajahnya, karena Joko Sangit memang agak keterlaluan, yang menyibak belahan bajunya dari dada sampai ke bawah pusar, untuk merogoh benda itu. Yang rupanya agak merosot ke bawah. Bahkan sepasang penutup payudara itupun terlihat olehnya. Yang karena bentuknya memang mirip dengan yang asli, mau tak mau Roro sempat juga tersenyum.
Dalam hatinya diam-diam membathin, pantas ia tidak mengenalinya, karena disamping wajahnya memang berpotongan bulat telur, juga berkulit putih dan halus. Tentu saja mirip wanita. Apalagi ditambahi dengan gincu pemulas bibir, dan warna hitam untuk penambah alis. Juga dengan dada yang montok menonjol. Entah rambut palsunya ia dapat dari mana. Karena setahu Roro, Joko Sangit berambut tidak terlalu panjang.
Segera Joko Sangit berikan benda itu, yang ternyata adalah kotak perhiasannya, yang memang lenyap berikut buntalan pakaiannya. Kejadian itu adalah ketika kapal pesiar yang ditumpangi Roro dan Joko Sangit, diserang oleh para perompak di Tanjung Awar-awar. Bahkan ia menduga benda miliknya itu sudah hilang tenggelam, atau turut dirampok oleh para perompak laut waktu itu.
Tidak tahunya dicuri, atau mungkin juga diselamatkan oleh Joko Sangit. Tadi sewaktu di dalam kerangkeng, sengaja ia menggertak lakilaki itu, dengan menuduhnya telah mencuri buntalan pakaiannya. Karena berdasarkan Joko Sangit telah memakai BH pemberian Gurunya, yang entah mengapa ia agak malas memakainya. Ternyata benarlah apa yang diduganya, tentu saja diam-diam ia bersyukur, dapat menemukannya kembali.
"Yang ini aku tak dapat mengembalikannya sekarang..!" Berkata Joko Sangit, sambil menunjuk ke dadanya.
"Nanti aku kembalikan semuanya, dan kuceritakan peristiwanya, hingga kau tidak menuduhku sebagai pencuri... Mau kannnn..?" Lanjutnya, sambil kedipkan sebelah matanya pada Roro Centil.
"Iiih... Genitnya minta ampun! Amit-amit..." Berkata Roro Centil sambil tersenyum. Dan dengan cepat tanpa harus periksa lagi isinya. Roro Centil selipkan kotak perhiasan itu ke balik bajunya.
Tiba-tiba Joko Sangit cepat berdiri, dan berkata: "Ayo, kita bantu menyelamatkan wanita-wanita itu...!" Seraya beranjak untuk kembali ke celah dinding batu gunung itu. Roro yang memang tadi berniat demikian, jadi teringat kalau pekerjaannya tertunda. Segera merekapun bergerak ke sana.
Roro Dampit dan Sentanu membawa para tawanan wanita itu, yang telah dapat diselamatkan ke tempat yang aman. Yang ditujunya adalah desa terdekat. Ketika melewati sebuah tempat, mata si wanita baju merah yang jeli itu dapat melihat sesuatu di sebelah kanannya kirakira tujuh delapan tombak. Ia yang memang berada di bagian belakang, dalam iring-iringan wanita itu, segera bisikkan perintah pada seorang gadis didepannya.
"Cepatlah kalian berjalan. Sebentar lagi sudah tiba di desa yang aman!" Yang segera gadis itu kembali berlari menyusul yang lainnya. Sementara ia sendiri berkelebat mendahului, memburu ke tempat Sentanu yang berada di bagian depan. Sebentar kemudian ia telah tiba disana.
"Kak Sentanu... Kau teruslah bawa mereka ke tempat yang aman dimuka sana...! Aku akan mengurusi sesuatu dulu. Sebentar aku akan menyusul." Berkata Roro Dampit.
Sentanu tampak kerutkan keningnya tapi segera mengangguk. Walau tadinya ia mau bertanya tentang urusan yang akan di selesaikan isterinya itu. Segera saja tubuh Roro Dampit berkelebat cepat kembali ke belakang. Ketika tiba ditempat tadi, ia mengambil jalan memutar dengan mata tetap ia arahkan pada sesuatu yang tergeletak disana, pada jarak tujuh atau delapan tombak itu. Keadaan ditempat itu memang tidak rata, karena ada tempat yang rendah dan tinggi. Ditambah, hari sudah hampir gelap.
Tempat tergeletaknya benda dari sesuatu yang mencurigakan itu adalah di bawah lamping batu terjal, sedang pada bagian bawahnya tempat lebat oleh semak dan pepohonan. Dengan gerak kucing mengintai tikus, ia telah tiba di tempat itu, yang dengan merayap sedikit, ia telah raih benda itu. Itulah secarik kain yang sobek. Ia segera palingkan kepala ke beberapa tempat. Dan kembali terlihat sobekan pakaian, di sebelah agak ke bawah. Cepat, namun tanpa menimbulkan suara ia merangkak kesana.
Dan benarlah dugaannya. Karena dibalik lamping batu itu sudah terdengar dengus napas yang seperti suara orang habis dikejar setan. Dan memanglah orang itu sendiri setannya. Karena seekor srigala yang tengah mendengus liar tengah menyantap korban. Sepasang kakinya yang berbulu lebat itu bergerak-gerak, membuat Roro Dampit tahan napasnya. Pelahan lahan ia sudah cabut keluar sepasang ruyungnya. Sementara darahnya seperti mendidih melihat kebiadaban makhluk srigala dihadapannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan yang lemah lalu sepasang kaki pelanduk yang kecil itu tampak bergerak mengejang, lalu terhentak-hentak seperti tengah menahan kesakitan yang amat sangat, atau juga tengah menghadapi sekarat. Tersentak Roro Dampit, ketika melihat sepasang kaki pelanduk itu terkulai. Dan sang srigala tampak bangkit dengan gigi dan taring-taringnya berlepotan darah segar.
"Biadab..!" Terdengar teriakan keras Roro Dampit. Dan....
Crep! Sepasang ruyungnya telah meluncur deras dan menancap kedua-duanya pada tengkuk dan punggung sang srigala buas itu hingga menembus ke leher dan dada. Terdengar suara menggerung keras. Hanya sekejap Roro Dampit telah mencabut kembali sepasang ruyungnya.
Maka terdengarlah lengkingan sang serigala yang suaranya terdengar bagai mau menembus langit. Dibarengi dengan ambruknya tubuh sang srigala, dengan darah segar berhamburan memuncrat memercik ke atas batu dan semak. Tampak sepasang mata Roro Dampit telah kucurkan air mata, yang meleleh di pipinya. Tapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ia mendengar suara tertawa di belakangnya.
Segera ia palingkan kepala untuk melihat. Tampak tiga orang yang berpakaian dan bertopeng hitam telah berdiri berjajar seperti tengah menyaksikan kejadian yang seru itu, dan membiarkannya berlangsung di depan mata. Salah seorang sudah berkata dengan mendengus, tatapan matanya berkilat-kilat.
"Heh...! Singa betina ini agaknya lebih baik dibanding dengan seekor kancil yang kemarin kita dapatkan...!"
"Betul, sobat...! Aku setuju bila kita ingin permainan yang unik dengan singa liar ini..! Setujuu...?" Berkata seorang lagi sambil membuka topeng wajahnya.
Ternyata ia seorang bertampang seram, karena dari bibirnya tersembul dua buah gigi yang mencuat ke atas. Yang dua orang lagi segera ikut membuka topengnya. Segera terlihat. Yang seorang hidungnya somplak sebelah. Sedang seorang lagi lebih seram. Karena ada goresan melintang dari pipi sampai ke ujung dahi. Seperti bekas luka bacokan senjata tajam. Tembusan luka itu sampai melewati biji matanya, yang tampak melejit keluar.
Roro Dampit bergidik ngeri melihat wajah-wajah ketiga orang itu. Ia sudah bersiapsiap dengan sepasang ruyungnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Tampak si gigi mencuat mengeluarkan sebuah cambuk dari kulit kerbau. Sedang yang dua orang, satu mengeluarkan tambang yang digulung beberapa lingkaran.
Dan satu lagi mengeluarkan clurit, yang tampak berkilat terkena cahaya matahari di ujung bukit. Karena jalan ke atas telah tertutup oleh ketiga orang seram itu, Roro Dampit segera putar tubuh untuk melompat ke bawah. Namun ketiga orang itu dengan serempak telah berkelebatan mengejarnya.
"He he he... Mau lari kemana kau singa liar...!" Si hidung somplak yang bersuara di hidung itu lebih dulu mengejarnya. Tiba-tiba gulungan tambangnya meluncur bagaikan tali laso saja yang dipergunakan untuk menjerat kuda liar.
Rrrrrt...!
Roro Dampit tak menyangka kalau tali itu yang telah meluncur. Karena jalan yang menurun itu agak curam, ia tak bisa leluasa untuk melompat menghindar. Sehingga cuma sebentar saja ia sudah kena terjerat tambang. Dan tanpa ampun lagi tubuhnya telah terbanting ke tanah bergulingan. Ketiga orang itu bagai baru menangkap seekor binatang buruan mengejar hasil buruannya dengan suara tertawa yang tak enak untuk didengar.
"Hebat, kau Ludira! Ayo cepat kau ringkus dia..!" Berteriak si gigi mencuat sambil melompat lebih dulu.
Roro Dampit dengan menggertak gigi berusaha bangkit, untuk lepaskan tali yang menjerat tubuhnya. Namun satu sabetan cambuk telah membuat ia kembali terjungkal dengan pekikan menyayat.
"Iblis keparat..! Lepaskan aku..!" Berteriak Roro Dampit, sambil ayunkan ruyungnya membabat kaki si gigi mencuat. Namun sekali ia lompat, ia telah dapat menghindar. Tiba-tiba....
Rrrrrt..!
Kembali tambang laso si hidung somplak menyambar lengannya. Tak ampun lagi Roro Dampi terpekik karena sebelah lengannya yang memegang ruyung telah kena terjerat lagi. Ternyata tambang itu mempunyai dua penjerat pada kedua ujungnya. Belum sempat ia berbuat sesuatu, si hidung somplak telah berkelebat turun untuk selanjutnya ia telah berhasil meringkus Roro Dampit, yang cuma bisa berteriak-teriak dengan wajah pucat pias.
Selanjutnya ia telah pondong tubuh sang korban meluncur turun ke bawah, diikuti si muka codet yang tertawa berkakakan. Pada sebatang pohon dibawah lamping bukit itu Roro Dampit di ikat dengan tangan ke belakang. Dan kaki terpentang. Seperti orang tengah menjagal seekor kambing saja layaknya.
Bret! Bret! Dua kali tangan si codet bergerak ia telah merobek pakaian si pengantin, yang baru berbulan madu itu.
"Tidak..! Tidaaak..! Lepaskan aku!? Lepaskaaaan..!" Roro Dampit berteriak dengan wajah pias. Sementara jantungnya berdetak keras. Ia sudah tahu apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Segera saja air matanya membanjir membasahi kedua pipinya. Tampak ia seperti menyesal, mengapa ia tak menjadi seorang yang berkepandaian tinggi...? Mengapa...? Mengapa...?! Memekik hatinya. Namun semua itu sudah terlambat. Kenyataan itu telah ia hadapi.
Bret..! Kembali satu sentakan tangan si muka codet, telah membuat segala yang menghalangi menjadi agak terang. Dan satu sentakan sekali lagi, dua bukit yang tegak menjulang melambai untuk dijamah petani. Tangan si muka codet sudah mau bergerak lagi untuk membabat habis ranting penghalang. Namun saat itu telah terdengar suara si gigi mencuat untuk menahannya.
"Tunggu dulu sobatku..! Cukup dulu sampai di sini. Aku mau lihat kekuatan singa liar ini. He he he., he he..."
Segera si muka codet menyingkir. Dan si gigi mencuat telah putar-putarkan cambuknya di udara. Selanjutnya...
Ctarrrr...! Terdengar suara keras yang memekakkan telinga. Roro Dampit menjerit histeris, ketika ujung cambuk itu menjilat tubuhnya.
Ctarrrr...! Kembali ia menggeliat menahan sakit. Dua garis memanjang tampak terlihat memerah dari leher sampai ke bawah dada dan sebuah lagi menyilang ke sisi. Terdengar si gigi mencuat tertawa berkakakan diikuti kedua kawannya.
"Aduuh... kau keterlaluan Trimbil, masa batu pualam yang mahal harganya ini kau coret-coret begini...? Biarlah aku yang menghapusnya..!" Berkata ia sambil leletkan lidah.
Roro Dampit terpekik dengan belalakkan mata. Lidah yang terjulur itu ternyata benar-benar telah menghapus semua impian indahnya bersama Sentanu. "Tidaaak..! Tidaaak..! Tidaaak..!"
Teriakan Roro Dampit bagaikan auman seekor singa yang mengerung kesakitan. Saat selanjutnya sudah terdengar lagi suara iblis-iblis yang tertawa berkakakan. Diiringi menggeletarnya suara ujung cambuk yang menyentuh kulit.
Pekik mengerikan segera terdengar ketika tubuh Pragola terlempar dari jendela diatas ruang, yang tingginya tiga ratus undakan itu. Walaupun tubuhnya terlapis dengan pelat baja tipis, yang anti bacokan senjata tajam. Namun ia tak dapat menahan terbangnya sang nyawa karena sekejap saja batu-batu terjal dibawah dinding gunung itu telah memangsa tubuhnya yang bagaikan mengkremus mentah-mentah tulang-tulangnya.
Tunggul memandang ke bawah dengan geram. Sementara matanya menatap ceceran uang emas dan perak, yang nyaris saja ludes digondol si pencuri licik, yang memang sudah lama mengincar "harta karun" di ruangan itu. Seandainya ia tak memakai jalan-jalan rahasia, yang dapat mencapai arah ke ruang atas, tak nantinya ia dapat memergoki Pragola, yang telah berada di ruangan itu. Dan tengah bergegas mengumpulkan benda-benda berharga!
Sementara wanita isteri Tumenggung Harya Anabrang, cuma terpaku bagai patung, berdiri di sudut ruangan. Betapa terkejutnya si wanita ini tadi, ketika mendengar pintu batu berderit. Dan sesosok tubuh telah bergerak masuk ke dalam ruangan tempat ia terkurung, ia mengira yang datang adalah Syiwo Langit. Tapi di luar dugaan, yang muncul itu seorang laki-laki berambut keriting, yang tak lain dari Pragola.
Ia tak mengenal laki-laki itu, yang hanya sekejap saja menatap padanya, tapi selanjutnya sepasang matanya telah beralih pada tumpukan harta benda, dan ratusan keping uang mas, yang tercecer dalam ruangan itu. Sepasang mata Pragola jadi bersinar gemerlapan. Bagaikan mau melejit saja biji matanya keluar, ketika kilatan-kilatan uang logam emas dan perak dan tumpukan permata mutu manikam yang menyilaukan pandangannya itu, seperti telah menyihirnya untuk segera meraih dengan tangannya.
Seperti hilang akal ia segera meraup keping-keping berharga itu dengan tangan gemetaran. Dan jejalkan pada saku bajunya. Setumpuk perhiasan yang gemerlapan itu cepat ia raup dengan kedua tangannya yang sebelum ia masukkan ke dalam bajunya, telah ia pandang terlebih dulu, seperti tengah mengagumi akan keindahannya.
Sehingga ia tak mengetahui kalau pada saat itu sesosok tubuh telah muncul di pintu batu yang masih terbuka. Sesosok tubuh yang memanggul seorang gadis. Yang tak lain dari seorang laki-laki bernama Tunggul. Pelahan-lahan ia kembali menyelinap dari pintu batu itu. Tapi hanya sesaat. karena sudah muncul lagi.
Namun tanpa si gadis pada pundaknya. Tiba-tiba sebelah lengannya terjulur menyambar tengkuk Pragola, yang jadi tersentak kaget bagaikan orang terkena Strom saja layaknya. Namun hanya sekejap. Karena sebelah lengan Tunggul kembali telah bergerak untuk menotoknya, sehingga Pragola hanya mampu berteriak tergagap, dengan tubuh tergetar hebat. Seluruh persendian tubuhnya telah lemah lunglai.
Brug..!
Ia telah bantingkan tubuh Pragola ke lantai, yang sudah tak dapat berkutik lagi dan jatuh menggeloso bagai sehelai kain. Sementara sang isteri Tumenggung cuma bisa katupkan bibir, dengan tubuh gemetar berdiri di sudut ruang. Tampak tubuh Tunggul telah menyelinap kembali ke pintu batu. Yang sekejap kemudian telah kembali lagi dengan memanggul tubuh gadis tadi, yang tak lain adalah Sawitri.
Sekali ia menggerakkan tangan untuk menggeser sebuah batu persegi yang menempel di dinding ruangan, pintu itu kembali menutup. Tiba-tiba wanita ini perdengarkan suaranya yang menggeletar menatap siapa gadis yang telah digeletakkan di hadapannya itu, oleh Tunggul. Yang segera ia merangkulnya dengan isak tertahan sementara air matanya mulai lagi menetes, mengalir dari pipinya. Tiba-tiba ia dongakkan kepalanya pada laki-laki berkumis dan berjenggot hitam legam itu untuk menatapnya seraya berkata:
"Syiwo Langit...! Apa yang kau mau lakukan pada anakku?"
"Hm...! Kau dapat melihatnya nanti nyonya Tumenggung...!"
Seraya berkata ia telah kembali gerakkan tangan untuk membuka sebuah lubang pada dinding ruangan. Sebuah lubang yang hanya muat untuk masuk tubuh manusia dengan merangkak. Selanjutnya ia telah seret tubuh Pragola, yang berteriak-teriak bagai orang kesurupan. Namun laki-laki berhati keras, dan berdarah dingin ini mana mau mendengar teriakannya...?
Gemerincing uang mas dan perak berhamburan keluar dari saku baju Pragola, yang terus diseretnya hingga ke bawah jendela di dinding ruangan yang berhawa panas itu. Pragola menangis bagai anak kecil. Sesambat memohon ampun. Namun bagaikan seorang yang tuli, Tunggul telah mengangkat tubuh Pragola keatas jendela.
Dan tanpa berkedip, ia telah lemparkan tubuhnya keluar. Terdengar teriakan yang menyayat hati. Tubuh Pragola melayang, meluncur deras dari tempat ketinggian itu untuk segera menemui kematiannya. Demikianlah peristiwa yang tadi telah terjadi. Dan saat berikutnya Tunggul sudah melangkah lagi untuk masuk, dan merangkak kedalam ruangan.
"Tidak..! Tidaaak..!? Jangan kau lakukan itu pada anakku...! Jangaaaaaan..!" Berteriak wanita itu sekuat-kuatnya sambil memeluki tubuh Sawitri yang tergolek pingsan.
Tunggul cuma perdengarkan suara di hidung. Sepasang matanya menatap perempuan itu tak berkedip. Tiba-tiba ia telah perdengarkan suara tertawanya. "Ha ha ha... ha ha ha.... Mengapa kau melarang apa yang akan aku lakukan...? Bukankah kau lebih menyayangi harta dari pada anakmu..? Kau titipkan Sawitri pada orang lain tanpa kau mau mengakui ia adalah anakmu..! Apakah kau merasa telah membesarkannya dengan sumbangan-sumbangan pangan yang kau berikan selama ini dengan hartamu...? Dengan harta suamimu, yang kau bangga-banggakan itu...? Heh..! Tidak! Ia besar dan tumbuh dengan sendirinya. Walaupun kau tak berikan sumbangan sepeserpun! Karena Tuhan yang telah membesarkannya..! Ia memang tumbuh karena ia masih ditakdirkan untuk hidup dan menjadi besar..! Tapi ia tumbuh tanpa kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu kandung yang telah menyisihkannya dari gelimang kemewahan. Dan juga telah menyisihkannya dari ayah kandungnya. Semua itu kau lakukan karena ayahnya telah jadi seorang hina papa, sejak musibah menimpa kehidupannya..! Apakah dia harus menyalahkan perang...? Menyalahkan keadaan tanah air..? Menyalahkan Kerajaan..?! Menyalahkan manusia-manusia rakus yang merampok seluruh harta bendanya... hanya karena ia dianggap pemberontak! Padahal semua itu adalah fitnah keji dari seorang pembesar Kerajaan yang berhati srigala berbulu domba. Yang mempergunakan siasat memancing ikan di air keruh, dengan mencari kesempatan dalam kesempitan. Mempergunakan pangkat hanya untuk memperkaya diri sendiri..."
Suara Tunggul menggema santar di ruangan itu. Dengan nada yang semakin parau, karena iapun tengah menahan kepedihan yang teramat sangat. Kepedihan dari penderitaan, yang telah merobahnya menjadi seorang yang berhati keras bagaikan batu, dan merobah jiwanya menjadi seorang yang berdarah dingin.
"Aku sadar, kalau kau hanya mengejar kemewahan! Mengejar duniawi yang tak ada kepuasannya. Kau bukan mencintai diriku, tapi mencintai hartaku..! Kau tinggalkan aku setelah aku tak punya apa-apa lagi! Kau bawa lari benih dariku untuk kau berikan pada seorang laki-laki yang juga kau cintai karena hartanya. Laki-laki itu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti. Hingga lahirnya anak yang telah kau beri nama Sawitri. Anak yang dianggap oleh ayahmu si Pendekar Bayangan yang bernama Bayu Seta adalah cucunya, yang mutlak dari hasil pernikahanmu dengan Jarot. Padahal benih itu berasal dariku..! Kau dustai Jarot...! Kau dustai ayahmu..! Kau dustai dirimu sendiri...! Kau tutup rahasia pada Sawitri, siapa ayahnya... siapa ibunya..! Juga kau tutup rahasia itu pada Prasetyo anakmu, hasil dari suamimu si Tumenggung itu. Sehingga kedua bocah itu hampir saja terjerumus untuk saling mencinta..! Kini semua apa yang kau banggakan itu sudah musnah! Suamimu sudah jatuh melarat! Aku telah memberinya berita untuk datang kemari ternyata ia belum memunculkan diri. Akan kusuruh ia saksikan upacara pengorbanan isteri dan anak gadisnya walaupun anak itu adalah anakku. Namun aku tahu ia amat menyayangi Sawitri. Aku tahu semua itu dari Punta. Sayang Punta turut campur urusanku, sehingga terpaksa aku membunuhnya..!"
Sampai disini Tunggul hentikan kata-katanya lagi. Tampaknya sepasang matanya merah seperti menyala. Wajahnya yang kaku itu seperti menampilkan kekerasan hatinya. Sementara suara isak tersendat terdengar dari wanita isteri Tumenggung itu yang masih tundukkan wajah dengan memeluk anak gadisnya. Air matanya sejak tadi terus mengalir membasahi pipi, dan jatuh ke dada sang anak.
Tiba-tiba Tunggul alias Syiwo Langit telah berkata lagi. "Kini pilihan diantara dua.... Apakah kau lebih cinta anakmu, ataukah lebih mencintai harta benda...? Akan kuberikan semua harta yang ku kumpulkan ini semuanya untukmu. Kau boleh cari lagi si Tumenggung itu, untuk kau teruskan hidup bahagiamu dengannya. Tanpa harus kau takutkan aku mengganggumu. Karena aku tak akan mengganggu walau selembar rambut kalian! Nah berikanlah anakmu. Dan biarkanlah ia kuperbuat sesuka hatiku. Karena dia adalah darah dagingku..!" Berkata Tunggul sambil membungkuk untuk meraih tubuh Sawitri.
Akan tetapi si wanita itu telah menjerit histeris. "Tidaaak..! Tidaaaak...! Jangan kau sentuh dia..! Jangan kau pisahkan ia dari sisiku lagi, Syiwo Langit. Ampunilah kasalahanku... Ampunilah dosaku..! Dia anakku...! Dia darah dagingku..! Dia.. dia... anak kita...! Sawitri anak kita..!"
Tampak Tunggul kembali berdiri, dan tegak bagai arca, tak bergeming. Kata-kata itu seperti nyanyian indah yang membisik di telinganya. Begitu menyejukkan. Begitu meresap ke dalam kalbu. Alangkah indahnya kata-kata itu..! Membisik hatinya. Kata-kata yang ia dambakan hampir separuh dari hidupnya. Kata-kata yang membuat jiwanya yang panas menggelegak, seperti tersiram air sejuk.
"Dia anak kita...! Sawitri anak...!"
Suara yang menghiba itu amat menyayat hati, dan berulang-ulang menggema di telinganya. Tegakah ia berbuat senaib itu pada darah dagingnya sendiri...? Tegakah ia lakukan perbuatan terkutuk itu hanya karena untuk membuktikan kekerasan jiwanya. Membuktikan bahwa iapun seorang laki-laki. Yang dapat berbuat apa saja di hadapan bekas isterinya, yang masih syah sebagai isterinya! Yang semua itu harus ditebus oleh pengorbanan sang anak.
Pengorbanan yang tidak mutlak. Pengorbanan yang akan membawa murka Tuhan. Karena perbuatan itu adalah perbuatan yang amat terkutuk. Tampak ada air bening menetes dari pelupuk mata Tunggul. Air mata suci yang keluar dari dorongan hati nurani yang masih bersih. Seekor binatang yang paling buas sekalipun tak akan memangsa anaknya sendiri. Namun bila hal itu bisa juga terjadi. Maka manusia itu lebih rendah martabatnya dari pada seekor binatang...!
Padahal manusia diciptakan Tuhan adalah sebagai insan yang paling mulia. Melebihi makhluk-makhluk lain yang telah diciptakanNya. Hanya karena dorongan hawa nafsu sajalah, yang membuat manusia lupa akan harkat kemanusiaannya. Hawa nafsu yang datangnya dari Syetan! Dari Iblis! Yang merasuk pada hati manusia. Menguasai akal sehatnya. Sehingga manusia terbuai oleh bisikan-bisikan nafsu lahiriahnya yang sudah ditunggangi oleh para Syetan dan Iblis!
Tubuh Tunggul tampak tiba-tiba tergetar hebat. Ia seperti sebuah arca yang sudah mau runtuh ke bumi. Kekerasan hati dan jiwanya tampak luluh. Tulang-tulang persendian lemah, seperti sudah tak kuat untuk menyangga sang tubuh untuk terus berdiri tegak. Dan tiba-tiba saja tubuh Tunggul meluncur turun untuk jatuh menekuk lutut. Kepalanya tertunduk dengan sepasang mata yang terpejam namun penuh bersimbah air mata. Ada suara yang didengarnya. Suara dari seorang wanita yang telah kembali sadar akan kesalahan dan dosanya. Suara yang lembut penuh kasih sayang.
"Kakang Syiwo Langit...! Maafkan segala kesalahanku yang telah membuat kau menderita. Membuat jiwa jadi berubah kejam, karena memendam sakit hati dan dendam karena ulahku. Maafkanlah aku kakang..."
Dan terasa oleh Tunggul tubuhnya telah dipeluk orang. Karena memang wanita isterinya itu telah memeluknya dengan menciuminya pada wajahnya, sehingga air mata mereka bercampur menjadi satu. Ternyata bukan hanya air mata mereka saja yang menjadi satu, tapi hati merekapun telah kembali bersatu.
Tunggul biarkan wajahnya diciumi sepuas hati. Dan biarkan wajahnya menjadi basah bersimbah air mata. Karena ia telah menenangkan segala perasaannya menenangkan hatinya yang berkecamuk oleh berbagai perasaan. Bahagiakah ia? Sedihkah ia...? Tunggul tak tahu akan semua yang ia harus ia ungkapkan.
Namun Tunggul bukanlah Tunggul yang berhati bagai batu karang lagi. Bukan pula yang berjiwa telengas dan kejam lagi. Karena semua itu seperti telah terpupus dengan kenyataan yang tak dapat ia bantah. Ia masih mencintai wanita itu. Ia masih mendambakan kasih sayang dan kehidupan bahagia bersama anak yang dikasihinya Sawitri. Dan sekonyong-konyong Tunggul balas memeluknya.
Sementara tanpa mereka mengetahui, sang anak sudah sejak tadi pentang mata untuk melihat kejadian di depan matanya. Telinganya sudah sejak tadi mendengar apa yang telah diungkapkan oleh ayahnya. Namun Sawitri memang berhati keras ia bertahan untuk tidak bergeming, dengan menahan perasaan hatinya. Kini melihat kedua orang dihadapannya tengah saling berangkulan, bertangisan. Gadis ini yang sudah sejak tadi melelehkan air mata, tiba-tiba telah perdengarkan teriakannya.
"Ibuuuuu.! Ayaaaaah..!" Dan serta merta ia telah bangkit untuk segera memeluk kedua orang tuanya. Yang segera saja ramailah suara orang bertangisan di dalam ruangan itu. Sawitri seperti juga baru sadar dari sebuah mimpi. Karena baru untuk pertama kalinya ia merasakan pelukan dari kedua ayah dan ibunya, yang menangisinya dengan penuh keharuan.
Sementara di luar langit yang terlihat dari jendela di dinding ruangan itu tampak memerah. Terlihat begitu indah. Rupanya sang matahari sebentar lagi akan tenggelam seolah untuk sejenak beristirahat. Yang segera menggantikan datangnya malam. Untuk kembali bersinar pada esok pagi. Dimana ia akan berikan sinarnya untuk kehidupan. Untuk ketentraman pada semua makhluk diatas dunia.
JERITAN-JERITAN parau disengaja itu membuat burung-burung yang sudah mencari tempat untuk tidur didahan-dahan dan ranting pepohonan jadi buyar berhamburan dan berterbangan dengan ketakutan. Suara jeritan itu datangnya dari lamping bukit terjal itu. Tampak tiga orang berpakaian serba hitam dengan wajah wajah seram itu telah terjungkal roboh bermandikan darah.
Ternyata saat-saat yang mengerikan buat Roro Dampit, telah terhapus sekejap mata. Dengan munculnya Roro Centil pada saat yang tepat. Sehingga perbuatan terkutuk yang akan menimpa dirinya itu dapat di gagalkan. Roro Centil memapah tubuh Roro Dampit dengan terharu. Beruntung Joko Sangit mau memberikan pakaian wanitanya pada wanita malang itu. Sehingga mereka dapat segera meneruskan langkah untuk menuju desa. Menyusul Sentanu.
Dari jauh terlihat Sawitri mengejar mereka. Wajahnya tampak cerah, secerah langit yang masih tampakkan sinar merahnya. Sambil berjalan ia ceritakan pada Roro Centil bahwa keluarganya telah kembali bersatu. Ia telah menemukan kedua orang tuanya yang sebenarnya. Dan ia ada mendengar bahwa harta yang amat banyak, yang dikumpulkan ayahnya yang bernama Tunggul itu akan di bagi-bagikan untuk orang-orang miskin.
Tentu saja Roro Centil tertawa gelak-gelak dan peluk tubuh Sawitri. Ia sudah dengar semua kejadian di atas ruangan goa itu dari balik pintu batu. Ia dengarkan bersama Joko Sangit yang tadinya berniat mengangkangi harta itu. Namun bukannya segera merampas harta, bahkan menangis cucurkan air mata. Masih untung ia tidak menangis dengan keluarkan suara. Kalau itu terjadi, bisa jadi Roro bertepuk tangan menyoraki.
Walaupun Roro Centil sendiri sudah basah semua pipinya mengalirkan air mata. Karena ia segera tahu siapa mereka. Siapa Sawitri. Yang tak lain adalah masih cucunya si Pendekar Bayangan. Yaitu mertua Gurunya di lereng Gunung Rogojembangan. Namun kini ia mengetahui kalau Sawitri adalah bukan anak dari si Maling Sakti, Gurunya. Melainkan anak dari Tunggul alias Syiwo Langit. Seorang bekas kepala perompak yang bermarkas di Gunung Butak.
"Nanti ayah dan ibu akan menyusul kemari, katanya sih besok pagi..!" Berkata Sawitri. Yang disahuti oleh Joko Sangit dengan prengutkan wajahnya.
"Aiiih, rupanya sang Dewa Api mau beraduhai dulu dengan sang permaisuri, sehingga ia buru-buru suruh anak gadisnya menyusul kita...!" Tentu saja semua jadi tertawa.
Tiba-tiba Roro Centil ajukan pertanyaan pada Sawitri. "Eh, adik..! Bagaimana kalau tiba-tiba ada seorang "jejaka tua" yang mau melamarmu...? Apakah kau terima...?" Berkata Roro Centil sambil melirik pada Joko Sangit.
Tentu saja yang dilirik jadi plototkan matanya pada Roro Centil, dengan wajah marah... Karena ia tahu orang tengah menyindirnya. Namun di luar dugaan Sawitri dengan polos telah menyahuti:
"Kalau orangnya baik, dan mengerti hati wanita, aku sih setuju saja..."
Karuan saja wajah Joko Sangit semakin merah bagai kepiting direbus. Dan kembali terdengar suara tertawa geli, bahkan Roro Dampit yang baru saja terlepas dari musibah ikut tersenyum. Saat selanjutnya mereka sudah mempercepat perjalanan. Sementara beberapa wanita yang sudah terbebas dari cengkeraman orang-orang komplotan Siluman Hitam itu tampak bergegas untuk cepat kembali menemui sanak keluarganya.
Beberapa pekan sudah berlalu, sejak lenyapnya komplotan Siluman Hitam di daerah Tambak Boyo dekat Tuban, tampak terlihat seorang laki-laki tua yang berambut kusut dan pakaian compang-camping terlihat sering mondar-mandir di tepi pantai. Orang sudah tak mengenalnya lagi kalau ia adalah bekas seorang bangsawan ternama yang berpangkat Tumenggung.
Karena penduduk di sekitar pantai cuma mengenalnya sebagai orang yang sudah hilang ingatan. Yang sering duduk-duduk di tepi pantai atau kadang-kadang berlari-lari seperti tengah memacu kudanya, dengan mempergunakan pelepah daun kelapa sebagai tunggangannya. Dan berteriak-teriak seperti tengah menyerbu musuh. Tetapi kadang-kadang ia tertawa dan menangis seperti anak kecil. Atau berteriak-teriak, dengan berlaritari di tapi pantai.
"Api... api.... Cepat selamatkan dirimu anakku..! Cepat lari...! Lari..!" Demikian ia berteriak-teriak, seperti melihat laut bagaikan telah berubah menjadi lautan api.
Entah siapa anaknya yang selalu diingatnya itu, tak ada yang tahu. Bila ia sekejap kembali sadar. Ia duduk bersimpuh diatas pasir sambil menangis. Namun sebentar kemudian telah tertawa-tawa kembali seperti orang yang baru menang dalam peperangan. Dialah Tumenggung Harya Anabrang. Seorang manusia yang juga jadi korban dari apa yang namanya Cinta. Korban dari api dendam yang telah membakar Cinta. Dari seorang anak manusia.
Takdir adalah takdir...! Yang manusia tak mampu untuk menolaknya. Apapun bisa terjadi di atas dunia ini, selama masih adanya nafsu. Namun nafsu pun tak akan pernah sirna di atas jagat ini seperti juga Cinta. Karena nafsu memang dibutuhkan oleh manusia. Seperti juga manusia membutuhkan Cinta...!
Tapi bagi manusia yang mengerti, dan dapat mempergunakan akalnya ia akan dapat selalu mengendalikan hawa nafsunya. Karena dari nafsu yang terkendali, manusia dapat mewujudkan Cinta Kasih yang murni... Yang bebas dari pengaruh hawa nafsu yang telah di tunggangi Syetan.
Tiada peperangan yang lebih besar, selain peperangan melawan hawa nafsunya sendiri. Karena Syetan akan terus menggoda hati manusia agar terus mengikuti hawa nafsunya, sampai ia terseret semakin jauh semakin jauh...! Hingga terjerumus ke dalam jurang yang paling dalam.
Terpukau kagumnya manusia akan dirinya, akan sifat dan kesetiaannya. Dia memberikan sinarnya untuk manusia tanpa mengharapkan balas jasa. Dia selalu tepati janjinya demi kesejahteraan manusia. Walau mendung tebal menghalangi, ia akan tetap bersinar terus, dan.... terus...! Sampai mendung kucurkan air untuk kehidupan, untuk kesejahteraan semua itu untuk makhluk di bumi. Untuk manusia.
Alangkah indahnya kalau manusia seperti matahari. Alangkah mulianya manusia bila seperti Matahari. Memiliki akhlaknya yang terpuji. Menepati janji yang telah diucapkannya diatas sumpah. Dan berjuang, bekerja tanpa pamrih demi kesejahteraan dan tercapainya kemakmuran. Bukan untuk memperkaya diri sendiri. Bukan untuk berdiri diatas penderitaan orang lain.
Juga bukan untuk kepentingan sepihak atau segolongan. Melainkan untuk kepentingan bersama. Untuk kesejahteraan bersama. Karena kebersamaan adalah kunci dari adanya kehidupan. Tanpa adanya kebersamaan, manusia akan hancur. Bukankah alam telah memberikan contoh pada manusia.
Bumi, udara, udara, bulan bintang, matahari dan berbagai planit di luar angkasa yang tak diketahui manusia, kesemuanya bekerja sama. Lihat! Alangkah patuhnya mereka. Andai saja salah satu dari mereka tidak mematuhi aturan, dan berbuat semaunya apakah itu akan terjadi...?
Akankah adakah kehidupan...? Tentu saja tidak! Karena alam akan menjadi hancur..! Itulah sebabnya kebersamaan adalah kunci dari kehidupan, dan demi perintah dari Yang Maha Kuasa. Karena mereka juga adalah makhluk-makhluk ciptaanNya.
Sayang manusia tidaklah bisa seperti Matahari atau benda-benda alam lainnya, yang selalu patuh pada perintah Nya. Berbeda dengan manusia. Yang Tuhan diberi nafsu untuk pelengkap kehidupannya. Dan diberinya pula akal untuk dapat berpikir.
Namun betapa banyak manusia yang menjadi lupa diri. Karena hanya memperturutkan hawa nafsunya saja. Mencari kesempatan dalam kesemitan. Bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Tanpa memikirkan hak-hak azazi yang mutlak dimiliki setiap manusia. Nikmat yang telah diberikan Tuhan itu, telah dipergunakan pada jalur yang salah dan sesat.
Hingga hilanglah harkat kemanusiaannya. Dan nafsu akan terus menyeretnya semakin dalam. Jika sudah demikian, manusia akan lebih jahat dan lebih buas dari seekor binatang! Bagus sekali! Bagus sekali! Bagus sekali!
Suara benturan dan beradunya senjata tajam terdengar santar dari bawah tebing di ujung perkampungan itu. Delapan manusia bertopeng hitam tampak tengah berperang melawan belasan orang yang bersenjata macam macam. Ada yang mempergunakan tombak, ada yang mempersenjatai pedang atau golok. Bahkan ada yang menyerang dengan teriakan seorang wanita yang terikat, dan tengah meronta-ronta dalam kolam salah satu dari delapan manusia bertopeng hitam itu.
Dua orang tampak dengan tombak dan pedang terhunus, mengejar nekat terobosan urutan keempat si manusia bertopeng, yang sambil bergerak ke sana kemari berusaha menahan terjangan dari belasan orang tersebut.
"Hm! Tahan mereka !" Berteriak salah seo-rang dari manusia-manusia pemakai topeng itu.
Trang! Trang! Terdengar dua benturan senjata. Ketika dengan sekali bergerak, senjata di tangan kedua orang itu terlepas. Ternyata mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka satu sama lain amat sukar dibedakan. Karena seluruh tubuhnya terbungkus dengan pakaian serba hitam. Cuma sepasang matanya saja yang terlihat. Mereka rata-rata bersenjata pedang.
Namun hanya bertahan saja, sambil terus mundur semakin jauh. Barisan dibagi menjadi dua bagian. Empat orang menahan di muka, dan empat orang lagi di bagian belakang, dengan dua di muka dan satu di belakang. Sedangkan yang paling belakang, adalah yang memondong tubuh wanita yang terikat. Kedua orang yang berhasil menerobos barisan dimuka itu, dengan berteriak keras, kembali menerjang maju.
Namun kali ini pedang salah satu dari kedua manusia bertopeng itu telah berkelebat cepat, dan melukai mereka. Agaknya kenekatan mereka sudah membuat mereka tak menghiraukan bahaya lagi. Dengan menggerung keras, kembali merangsak maju. Disertai teriakan pada gadis yang tengah meronta-ronta itu,
"Sawitriiiii...!" Dan dengan mengamuk membabi buta ia berhasil menerobos barisan kedua orang bertopeng itu. Sementara luka-luka di tubuhnya telah bertambah lagi di tiga tempat. Namun tanpa menghiraukan berkelebatnya pedang ia terus merangsak maju. Sedangkan yang dua orang ini, tampak dengan repot berusaha menghindari dari serangan-serangan beberapa pihak lawan yang terus menerjang dengan golok dan paculnya.
Laki-laki tua yang tadi menerjang berdua lebih dulu itu, tiba-tiba terpekik dan roboh terjungkal di barisan kedua. Pedang salah seorang dari orang bertopeng itu telah menembus dadanya. Namun ia masih sempat berteriak "Sawitriiii.... a... anakku " Dan jatuh tertelungkup.
"Ayaaaaaaah...! Terdengar pekik gadis dalam pondongan si manusia bertopeng yang paling belakang melihat laki-laki tua itu tersungkur jatuh, tak berkutik lagi.
Dua orang topeng hitam melompat menahan tiga orang penyerbu yang maju menerobos. Dan pertarungan pun berlangsung dua lawan tiga. Akan halnya si orang bertopeng yang berada di barisan kedua, salah seorang yang tanpa sengaja telah tembuskan pedang ke tubuh laki-laki tua itu, sekonyong-konyong jatuhkan tubuh berjongkok untuk mendekati laki-laki tua itu tampak buka pelupuk matanya, dan tatap orang di hadapannya dengan sayu.
Tiba-tiba ia telah kuatkan tubuhnya untuk bertahan. Luka di dada itu terlalu parah dan banyak mengucurkan darah. Namun suara itu seperti dikenalnya.
"Siapa... kk... kau....?" Bertanya ia dengan suara terputus. Sementara pertempuran masih terus berlangsung di belakang mereka.
Orang bertopeng itu tiba-tiba telah buka topeng wajahnya, dan tatap laki-laki itu dengan wajah masygul. Terdengar desis tertahan keluar dari bibirnya.
"Kakang.... maafkan aku... aku tak sengaja..."
Laki-laki tua itu tiba-tiba bentangkan matanya lebih lebar seperti tak percaya. Tubuhnya tampak menggeletar menahan kemarahan di dalam dadanya.
"Ter...Terkutuk...." Desahnya geram. Dan sehabis mengucapkan kata-kata makian itu, tubuh laki-laki tua itupun terkulai untuk tak berkutik lagi, karena nyawanya telah putus.
Tiba-tiba ia palingkan kepala mendengar teriakan dua orang di belakangnya yang kembali terjungkal oleh kedua pedang kawannya. Darah memuncrat menyembur ke bumi.
"Keparat...! Jangan membunuh!" Teriaknya.
Sementara kedua kawannya itu hanya mendengus mengeluarkan suara di hidung. Ujung pedangnya tampak basah berlumuran darah. "Kau sendiri baru saja membunuh!"
"Aku tak sengaja...!" Tangkis laki-laki itu dengan palingkan muka ke arah para penyerbu, yang masih riuh berteriak teriak mencoba menerobos pertahanan empat manusia bertopeng di barisan pertama.
Tiba-tiba saja ia terkejut bukan main, dan tampak terlihat wajahnya menjadi pucat. Segera dengan sebat ia telah kembali menyarungkan topeng hitam yang masih terbuka itu untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi sudah terlambat. Karena beberapa orang telah mengenali.
"Bodoh!" Maki salah seorang dari kedua kawannya pada laki-laki itu.
"Hai!? Dia..." Teriak salah seorang dari para penyerbu. Namun suaranya terputus, karena tubuhnya telah terjungkal roboh dengan teriakan ngeri. Salah seorang yang baru saja mundur, ketika kedua kawannya roboh, sudah menyerang pemuda itu dari belakang, seraya berteriak.
"Musang berbulu ayam, kubunuh kau...!" Goloknya berkelebat menabas punggung, namun iapun cuma mengantar nyawa saja. Sekali mengegos berkelit, pedang ditangannya telah meluncur cepat ke arah leher. Dan terdengar teriakan parau disertai terjungkalnya sang tubuh, untuk berkelojotan sekarat.
Melihat itu yang lainnya kembali menyerbu dengan tombak, pacul dan blancong. Tampak si orang bertopeng itu berkelebat menyelinap dari sela setiap tubuh penyerangnya. Sementara pedangnya telah bekerja.
Sret! Sret! Bles! Bles!
Dan tampak keempat tubuh penyerangnya itu keluarkan teriakan ngeri, satu per satu tubuh mereka ambruk ke bumi, dengan darah memancur dari leher dan dada. Kurang lebih masih sisa tujuh atau delapan orang dari para penyerbu, yang berada di barisan depan dan tengah, segera melompat mundur dengan keluarkan teriakan kaget.
Namun dua orang dari mereka, tak dapat menahan serangan pedang yang berkelebat dari kawanan orang bertopeng itu. Yang jadi ikut-ikutan membunuh. Dua orang itu terjungkal roboh mandi darah. Si laki-laki palingkan kepalanya untuk melihat kejadian itu.
"Berilah kami bagian, sobat! Jangan kau serakahi semua...! " Teriak salah seorang, yang saling berpandangan dengan kedua kawannya sambil tersenyum.
"Ini semua sudah di luar perhitungan. Kita sudah menyalahi aturan dan perintah ketua!" kata yang satu lagi.
"Benar, ini semua gara-gara kau mendahului membunuh. Dan kau telah membuka topeng, hingga mereka dapat mengenali wajahmu!" Menimpali seseorang yang berada di barisan tengah. Ia adalah orang yang tadi diperingati olehnya.
"Setan…! Apa kau tuli? Sudah kukatakan aku tak sengaja...!" Teriaknya. Tiba-tiba ia palingkan wajah ke arah para penyerbu yang sisa lima orang lagi, dan tampak sudah melompat mundur menyelamatkan diri.
"Celaka..!?" Sentak hatinya. Mereka tak boleh ada seorangpun yang hidup. Pekik hatinya. Dan tiba-tiba saja ia telah berkelebat untuk mengejar. Dengan dua tiga kali lompatan ia telah menghadang di hadapan mereka. Dan tanpa harus mengulur waktu lagi pedangnya telah berkelebat cepat, disertai berkelebatan tubuhnya yang menyelip gesit ke setiap sela tubuh mereka.
Ketika laki-laki itu munculkan tubuh di belakang kelima orang para penyerbu, yang tak sempat untuk berbuat apa-apa itu. Terdengar teriakan ngeri di belakangnya, dan tubuh mereka saling susul terjungkal roboh, dengan memuncratkan darah dari setiap leher dan dada.
Bluk! Bluk! Bluk!
Hanya beberapa detik saja tubuh mereka berkelojotan, lalu diam tak berkutik lagi. Empat orang bertopeng yang berada di barisan depan jadi terpaku sejenak, dengan pentangkan mata lebar. Melihat perbuatan kawannya yang membunuh habis semua penyerbu. Namun cuma sebentar, segera salah seorang putar tubuh untuk diikuti kawan-kawannya.
Namun baru saja mereka membelakangi. Di luar dugaan, dan tak masuk diakal, ketika tahu-tahu tubuh laki-laki bertopeng itu berkelebat kearahnya. Dan detik selanjutnya terdengar jeritan ngeri saling susul dari keempat orang itu. Dan hampir berbareng tubuh empat orang itupun roboh terjungkal.
Ternyata ia telah membantainya dari belakang sekaligus. Dua kawannya, yang tadi sudah lebih dulu berbalik untuk mengejar barisan bagian depan, jadi terkesiap ketika menoleh kebelakang. Namun tanpa bisa berteriak lagi, keduanya telah roboh ambruk ke bumi dengan dada tertembus pedang.
Sementara itu di bagian depan tampak tinggal dua manusia bertopeng lagi. Yang seorang tengah berusaha menghadang pemuda itu, yang berhasil lolos dari barisan kesatu dan kedua. Sedang satu lagi di depannya, dengan memondong gadis itu. Tubuhnya telah mandi darah, penuh luka. Namun bagaikan harimau yang terluka, ia terus menerjang setiap penghalangnya.
Nampaknya sisa dari orang bertopeng ini sudah tak mematuhi peraturan lagi. Apalagi ia dapat lihat apa yang terjadi di belakangnya. Segera saja ia mengirim tusukan maut.
Sret...!!
Pedangnya cuma menyerempet tubuh bagian sebelah kiri pemuda penyerbu itu, namun telah merobek dan mengiris daging tubuhnya. Namun tidaklah membuat gadis itu patah semangat. Iapun balas menerjang dengan pukulan dan tendangan, yang boleh dikatakan tak berarti.
Cras...!
Terdengar teriakan pemuda itu, ketika dengan sekali tebas, pedang ditangan orang bertopeng itu telah menabas putus kakinya. Darah memuncrat membasahi tanah, dan tubuh pemuda yang telah parah itu menggoser-goser menahan sakit. Namun ia sudah mau bangkit lagi, begitu dengar teriakan gadis yang berada dalam pondongan orang bertopeng dihadapannya.
"Prasetyoooo..!?" Gadis dalam pondongan itu menjerit histeris, melihat pemuda itu tersungkur mandi darah.
"Sa.. Sawitriiiiiiii...!" Teriaknya parau. Lengannya tampak terulur menggapai lemah. Namun pada saat itu, pedang si orang bertopeng telah meluncur deras ke arah leher. Tusukan kilat yang akan segera menghabisi nyawa pemuda itu. Akan tetapi pada detik yang kritis itu, telah berkelebat cepat sesosok bayangan hitam.
Trang...!
Pedang si orang bertopeng terpental keras, dan menancap ke dinding celah bukit itu. Dan detik berikutnya, ia sudah perdengarkan teriakan ngeri dan terjungkal roboh dengan semburkan darah segar dari lehernya. Ternyata si pemuda bertopeng itu telah bertindak cepat untuk menyelamatkan nyawa orang. Cuma sesaat ia pandang tubuh kawannya yang tak berkutik lagi itu, dan kembali enjot tubuh untuk mengejar seorang kawannya lagi, yang memondong gadis terikat itu.
"Berhenti...!" Satu bentakan terdengar dari mulut laki-laki itu, yang telah kelebatkan tubuh untuk menghadang. Tentu saja sang kawan ini merandek terkejut.
"Berikan dia padaku..! Cepaaaat...!" Bentaknya dengan mata mendelik tajam.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, ia segera lemparkan tubuh dalam pondongannya, pada orang dihadapannya. Sementara hatinya bertanya-tanya, apa yang terjadi...? Ketika ia menoleh kebelakang, terkesiaplah ia melihat tak sepotongpun ada tubuh kawan-kawannya yang masih berdiri. Semua terkapar berserakan disepanjang celah tebing batu bukit itu. Namun hanya sekejap. Karena iapun terpekik ngeri, ketika tahu-tahu pedang sang "kawan" telah menembus dadanya. Terbeliak seketika kedua biji matanya, menatap laki-laki dihadapannya.
"Ka... Kau bu... bunuh kawan se... ssendiri...?" Terputus ia berkata. Namun sesaat tubuhnya telah menjadi limbung, dan tatapannya jadi memudar.
Ketika si pemuda bertopeng itu menyentakkan pedangnya yang masih menempel itu, terdengar jerit kematiannya, dan tubuhnya terjungkal menggabruk ke bumi. Darah segar pun berhamburan memancur. Dengan posisi masih berdiri memanggul tubuh sang gadis pada pundak kirinya, ia menatap tubuh kawannya itu dengan tatapan tak berkedip.
Namun hanya sesaat, ia segera bersihkan ujung pedang dengan baju sang kawan, dan cepat sarungkan kembali dipinggang. Dan dengan cepat ia sudah melesat kesisi tebing, untuk segera menyelinap pergi dengan memanggul tubuh sang gadis. Setelah mendaki, ia telah tiba ditempat ketinggian, dan berhenti kira-kira dua lemparan tombak dari tempat kejadian itu.
Ternyata si gadis telah pingsan sejak tadi. Sejak melihat darah berhamburan dari kaki pemuda bernama Prasetyo, yang putus terpapas pedang si orang bertopeng. Dengan hati-hati ia geletakkan tubuh sang gadis diatas batu. Kemudian tatap wajahnya dalam-dalam. Sesaat terdengar ia menghela nafas. Tiba-tiba ia seperti tercenung dan palingkan kepala untuk menatap kebawah bukit diantara sela-sela pepohonan.
"Masih hidupkah dia...?" Terdengar ia menggumam. Dan detik selanjutnya ia telah kembali berkelebat, untuk menuruni lereng bukit.
Akan tetapi ia tak mengetahui, disaat ia mendaki tadi salah seorang dari tubuh-tubuh manusia bertopeng yang berkaparan di celah tebing itu, telah bangkit berdiri, dan bersihkan tubuhnya yang berlepotan darah. Terlihat ia tersenyum sinis sendiri. Goresan pedang "kawan"nya, yang jadi berbalik menyerang kawan sendiri itu, hanya merobek baju pada lambung kanannya saja. Sedangkan kulit dan dagingnya tidak terluka sedikitpun.
Ternyata ia memakai perisai baja yang selalu dipakainya. Yaitu lempengan plat baja yang amat tipis sekali. Itulah pakaian dalam pelindung tubuhnya. Yang seandainya ia tak memakai baju wasiat itu, tentu siang-siang nyawanya sudah pulang ke alam Baka. Adapun darah yang berlepotan itu adalah darah palsu, yang memang selalu ia persiapkan untuk menipu lawan.
Akan tetapi baru saja ia mau bergerak, batu-batu kerikil dari atas tebing yang meluruk jatuh beberapa gelintir, membuat ia sadar akan adanya orang menuruni lereng tebing. Segera ia jatuhkan kembali tubuhnya menelungkup dengan cepat. Dan berbuat seolah ia telah tak bernyawa lagi.
Orang bertopeng itu ternyata mencari pemuda yang telah diselamatkan nyawanya, yang ternyata pemuda putus kaki itu, telah pingsan tak sadarkan diri. Segera ia mau menolongnya. Namun tiba-tiba berkelebat kebelakang dengan beberapa lompatan. Apakah yang akan dilakukannya...? Ia telah perhatikan semua mayat, beruntung yang ia hampiri adalah mayat yang agak di ujung sana.
Si orang bertopeng yang pura-pura mati itu sempat juga memperhatikan dengan hati kebat-kebit, dengan lirikan matanya. Kiranya yang dilakukannya adalah membuka pakaian mayat yang tergeletak itu, bahkan seluruhnya. Kemudian....
Bret! Bret! suara robekan baju terdengar. Ternyata ia telah merobek pakaiannya yang serba hitam itu. Kemudian cabikan-cabikan pakaiannya ia lemparkan jauh kesisi tebing batu. Selanjutnya ia mulai mengenakan pakaian penggantinya. Segalanya itu dikerjakan dengan cepat.
Dan tak lama kemudian ia telah kembali ke tempat pemuda putus kaki itu. Dan pondong tubuh orang untuk sampirkan pada pundaknya. Dan saat berikutnya ia telah kembali beranjak dari situ. Mendaki lereng tebing, dan lenyap dibalik dedaunan.
Akan halnya si orang bertopeng yang pura-pura mati itu, cepat bangkit berdiri kemudian ikuti jejak "kawan"nya itu dengan hati-hati, dan cepat mendaki lereng dengan gerakan gesit. Keadaan di celah bukit itupun kembali lengang tak lagi nampak adanya tanda-tanda kehidupan. Mayat-mayat berserakan disana-sini. Keadaannya sungguh amat menyedihkan.
Sementara itu si orang bertopeng telah letakkan tubuh pemuda itu ditanah. Tak jauh dari tubuh si gadis yang masih tak sadarkan diri diatas batu, tampak ia palingkan kepala kebelakang, dan lihat bekas-bekas darah sepanjang jalan. Seandainya ia tak mengenakan topeng yang membungkus kepalanya sampai menutupi wajahnya itu, akan terlihat ia mengkerenyitkan keningnya. Memandang luka orang yang alirkan darah tak berhenti itu, segera ia telah lepaskan topengnya. Dan kain hitam itu ia pakai untuk membalut kaki orang yang putus.
Dan selanjutnya ia kembali berdiri untuk pandang kedua tubuh yang tak bergeming itu. Hanya terlihat napasnya saja yang naik turun perlahan. Ternyata ia seorang laki-laki yang bertubuh kekar. Dengan wajah yang berkulit kecoklatan dan agak kasar. Alisnya tebal menghitam, wajahnya menampilkan kekerasan pada jiwanya. Sedangkan kumis dan jenggotnya sama lebat, dan sama hitam dengan rambutnya.
Umurnya sekitar empat puluh tahun. Tiba-tiba ia membungkukkan tubuhnya untuk meraih tubuh pemuda yang putus kaki itu dan sangkutkan pada pundaknya. Lalu dengan cepat ia telah pula sambar tubuh gadis diatas batu itu dengan tangan kanannya.
Dengan memanggul serta mengepit tubuh gadis dibawah lengannya itu, ia bergegas tinggalkan tempat itu. Ternyata ia mempunyai tenaga besar, sehingga dengan membawa kedua tubuh itu, ia tampaknya tak merasa terhambat untuk berjalan atau berlari cepat. Dan sebentar saja ia telah lenyap di balik pepohonan dan semak di atas tebing, tanpa mengetahui kalau ada sesosok bayangan yang terus mengikuti ke arah mana ia pergi.
Tapi si penguntit itupun tak mengetahui kalau dirinya dikuntit orang di belakangnya, yang mempunyai gerakan gesit bagaikan tupai. Perbukitan yang memanjang dekat daerah yang sudah termasuk wilayah utara, didaratan pulau Jawa itu, tampak memutih dan agak kehijauan.
Itulah Pegunungan Kapur Utara. Yang pada bagian hampir di ujung dari perbukitan itu ada terdapat sebuah gunung, yang bernama Gunung Butak. Sedangkan di sebelah Utara Gunung Butak agak ke pesisir pantai berdiri tegak Gunung Lasem. Yang agak lebih tinggi sedikit dari Gunung Butak. Disekitar daerah Gunung Butak itulah kisah ini terjadi.
Tumenggung Harya Anabrang baru saja kembali dari Pamotan, setelah menemui seorang Demang yaitu, Cendak Kagil. Untuk mengurus sesuatu yang berkenaan dengan tugasnya. Sudah lebih dari dua bulan ia berada di Slukan, daerah pesisir pantai Utara Pulau Jawa. Daerah yang rawan itu ternyata telah dijadikan sarang perampok, yang mencari untung di perairan. Terutama yang menjadi incarannya adalah kapal-kapal dari Tuban yang melewati perairan dekat Gunung Lasem.
Tumenggung Harya Anabrang bukanlah orang sembarangan. Karena disamping ia menjadi abdi Kerajaan. Ia pun seorang yang berkepandaian tinggi. Tak heran kalau dalam waktu singkat telah berhasil menumpas, dan membuat kocar-kacir para perampok laut di sarangnya itu. Pengejaran pada para penjahat itu berakhir di Gunung Lasem. Yang walaupun tidak semuanya dapat tertumpas, namun dapat dikatakan berhasil dengan menggembirakan.
Iring-iringan para tawanan dan harta hasil rampasan itu sampai di Pamotan. Yang selanjutnya adalah urusan Demang Pamotan yaitu Cendak Ragil, untuk mengirim berita ke Kadipaten. Memang ia ada mendengar berita adanya sisa-sisa perampok laut itu yang melarikan diri sampai ke Gunung Butak, di perbukitan pegunungan Kapur Utara itu. Namun berita tidak resmi itu tidaklah membuat Tumenggung Harya Anabrang, terkejut.
Karena sisa-sisa perampok laut itu seandainya berita itu benar, tidak begitu dirisaukan. Karena tidak lagi membahayakan. Menurut perkiraannya paling hanya tinggal beberapa gelintir manusia saja. Itupun hanyalah keroco-keroconya saja. Karena beberapa pentolan-pentolan dari mereka telah dapat tertumpas, dan tertawan. Hasil yang memuaskan itu juga berhasilnya ia menyita sebuah kapal dagang.
Namun dapat diketahui kapal tersebut milik saudagar di Tuban. Dan dengan mengirim orang-orangnya, ia mengembalikan kapal tersebut ke Tuban. Serta tak lupa ia menyertakan tanda bukti dirinya pada Bupati Tuban. Tak heran bila Tumenggung Harya Anabrang mempunyai nama harum yang tersebar ke tiap pelosok daerah utara itu. Hubungan baik dari para Bupati dan hartawan membuat ia sering mendapat upeti yang tidak sedikit.
Hingga disamping sebagai Tumenggung Kerajaan yang bertugas di daerah utara itu, ia juga seorang bangsawan yang kaya raya. Sebuah gedung besar telah ia bangun di Sulang. Dengan menempatkan beberapa orang orangnya. Ia memang belum berniat menemui Bupati Jaga Raksa di Kudus. Pengembalian para prajurit atau tamtama, serta urusan para tawanan, juga mengenai harta rampasan, ia serahkan pada seorang perwira Kerajaan. Yang ia tugaskan sebagai wakil untuk menghadapi Bupati.
Demikianlah... Setelah menginap dua hari di Pamotan. Tumenggung Harya Anabrang berangkat dengan kudanya menuju Sulang tempat tinggalnya, dengan membawa serta dua orang tamtama. Akan tetapi ditengah perjalanan telah bertemu dengan seorang pembawa berita. Yaitu anak buahnya, yang justru memang akan menemuinya.
Berita yang datang dari Sulang itu tentu saja membuatnya jadi terkejut. Tak ada berita lain yang lebih mengejutkan selain berita tentang diculiknya anak gadisnya, yang bernama Sawitri.
Sawitri memang bukan anak kandungnya. Karena ia menikah dengan seorang janda, yang membawa seorang bayi perempuan tujuh belas tahun yang lalu. Namun untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Istrinya telah menitipkan sang bayi pada seorang Kliwu, di sebuah desa yang tak jauh dari Sulang. Dan hal itu terjadi setahun yang lalu, sejak kepindahannya dari Ambarawa, dan menetap didaerah pegunungan Kapur utara ini, berkenaan dengan tugasnya.
Sebenarnya bukanlah keinginannya untuk memisahkan si jabang bayi yang baru berumur setahun itu darinya. Melainkan keinginan isterinya, yang mengkhawatirkan akan ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Karena pada saat itu, benih yang tertanam sejak lama itu telah menghasilkan buah. Lahirnya seorang anak laki-laki dari hasil perkawinan mereka membuat sang isteri amat repot, serta mengkhawatirkan hal-hal yang tak di inginkan di kemudian hari.
Itulah sebabnya ia menitipkan sang bayi yang dibawanya untuk dirawat oleh seorang Kuwu di desa Tepus. Bahkan pak Kuwu disuruhnya menganggap anak titipan itu sebagai anak kandungnya sendiri. Tentu saja bantuan pangan dan sebagainya selalu di cukupkan, demi perawatan si jabang bayi. Hingga sang bayi perempuan itu kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik seperti ibunya.
Tentu saja anak kandung dari hasil perkawinan mereka berdua pun telah seusia dengan anak gadis yang dititipkan itu. Jejaka muda kebanggaannya itu diberinya nama Prasetyo. Seorang pemuda yang tampan dan bertubuh tegap. Tubuh yang tumbuh subur, seperti juga kehidupan Tumenggung Harya Anabrang yang maju pesat.
Kini ia sudah tidak tinggal lagi di rumah sederhana. Melainkan di sebuah Gedung besar yang boleh dikatakan mewah. Sayang tugas dan kewajibannya sebagai Abdi Kerajaan, membuat ia jarang berada di rumah. Tugas terkadang membuat ia sering meninggalkan isteri dan anaknya. Namun Harya Anabrang adalah seorang yang setia. Setia pada pimpinannya, juga setia pada keluarganya.
Mendengar berita yang disampaikan itu bukan kepalang terkejut dan marahnya Harya Anabrang. Karena menurut Punta, penculik-penculik itu adalah sekomplotan penjahat yang berada di wilayah Gunung Butak. Komplotan terselubung yang bergeraknya amat misterius.
Dengan geram Tumenggung Harya Anabrang memacu kudanya, diikuti oleh kedua tamtama dan si pembawa berita. Semak dan rintangan diterjang, desa demi desa telah terlewati. Empat penunggang kuda itu memacu kudanya bagai dikejar setan. Selang kira-kira setanakan nasi, tiba-tiba si pembawa berita perdengarkan suitan keras.
Ia memang berada di belakang kedua tamtama pengawal Tumenggung Harya Anabrang. Mendengar suara suitan itu, sang Tumenggung segera angkat sebelah tangannya untuk memberi tanda berhenti pada kedua tamtama dibelakangnya. Dan segera ia menghentikan kudanya. Tampak si pembawa berita segera mendatangi dengan cepat.
"Ada apakah Punta?" segera ia bertanya pada si pembawa berita itu, yang adalah seorang laki-laki yang berusia antara tiga puluh lima tahun.
"Maaf Kanjeng Tumenggung, apakah Kanjeng akan terus ke Sulang, ataukah menuju ke Desa Tapus...? Berita memang berasal dari Sulang, tapi kejadiannya di desa Tapus. Karena para penculik itu ada dua kelompok..." Bertutur Punta.
"Hah...!?" Tumenggung Harya Anabrang, ngangakan mulutnya dengan mata terbeliak terkejut. "Mengapa tak kau katakan tadi kalau para penjahat itu juga ke Sulang?"
"Maaf, Kanjeng Tumenggung... hamba... hamba sedang panik..!" Menyahut Punta sambil tundukkan kepalanya.
"Apakah yang terjadi di Sulang? Bagaimana dengan isteriku? Dimana anakku Prasetyo...?" Bertanya Tumenggung Harya Anabrang dengan wajah pucat pasi.
"Menurut kabar. Den Prasetyo ada di desa Tepus. Bahkan sejak keberangkatan Kanjeng Tumenggung, Den Prasetyo sudah berada di sana. Cuma sekali-sekali pulang ke Sulang. Berita itu hamba dengar dari orang desa Nagasari, yang masih saudara angkat Pak Kuwu...." Dengan sabar Punta berikan penjelasan satu persatu.
"Siapa orang Nagasari itu?"
"Seseorang yang bernama Tunggul..!" Sahut Punta.
"Ada hubungan apa kau dengan saudara angkat pak Kuwu itu...?" Tanya Harya Anabrang. Dengan nada curiga pada si pembawa berita.
Tampak wajah Punta agak marah mendengar pertanyaan itu, yang seperti menyelidiki dirinya. Sebagai orang kepercayaan, yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun mengabdi pada keluarga Tumenggung itu, masih juga dicurigai. Benar-benar keterlaluan! Pikir Punta dengan hati mengkal. Namun tentu saja ia tak menampakkan kemangkelan hatinya itu pada junjungannya.
"Maaf Kanjeng Tumenggung... harap Kanjeng mengerti akan kedudukan hamba, yang hanya sebagai abdi dalem pada keluarga Kanjeng Tumenggung. Tunggul telah memberikan informasi mengenai keadaan di Sulang dan desa Tepus, adalah karena ia mengetahui hamba sebagai orang kepercayaan Tumenggung. Mengenai hubungan hamba, apakah hamba harus ceritakan juga..?"
Tampaknya wajah Punta agak berubah. Namun ia sudah lanjutkan kata-katanya. "Mungkin Ndoro Putri lebih mengetahui siapa adanya Tunggul.... Hamba benar-benar tak mau melibatkan diri pada urusan rumah tangga orang lain. Tunggul cuma menceritakan tentang hubungan Sawitri dengan Den Prasetyo, lain tidak...!"
Tampak wajah Tumenggung Harya Anabrang sebentar pucat, sebentar merah. Namun penuturan Punta itu, telah berhasil mengorek sedikit keterangan yang cukup berarti.
"Bagaimana dengan keadaan di Sulang? Apakah ada terjadi sesuatu....?" Bertanya lagi Harya Anabrang, mengulang pertanyaan yang tadi.
"Beribu maaf, Kanjeng Tumenggung... hamba tak dapat menceritakan apa yang hamba tidak ketahui...." Menyahut Punta.
Selang sesaat setelah Harya Anabrang termangu, tampak laki-laki yang berumur sudah lima puluh tahun, namun masih tampak gagah itu manggut-manggut sambil perdengarkan suara helaan napas. Wajahnya tiba-tiba tampilkan senyum, dan mendekati Punta.
"Hm... Baiklah Punta..! Terimakasih atas beritamu. Aku percaya kau adalah seorang abdi setiaku, yang telah lama bekerja mengabdi diri pada keluargaku. Aku sudah mendengar berita kau baru saja dikaruniai seorang anak kudengar kabar itu sebelum keberangkatanku dua bulan yang lalu, betulkah...?"
"Ah.... Benar Kanjeng..." Punta jadi tersipu ketika sekonyong-konyong Junjungannya menanyakan hal yang di luar urusan itu. Walaupun agak heran dengan pertanyaan yang di luar dugaan itu, namun diam-diam Punta memuji sang majikan yang dalam suasana tegang itu masih bisa menguasai diri.
"Oh, ya... aku mengucapkan selamat..!" Tumenggung Harya Anabrang berkata sambil menepuk-nepuk pundak Punta.
"Terimakasih Kanjeng...!" Berucap Punta dengan wajah berseri.
Tiba-tiba sang Tumenggung merogoh saku bajunya, mengeluarkan sebuah kotak kecil yang panjangnya kira-kira sejengkal, dengan lebar sepanjang jari telunjuk, setebal dua jari tangan. Tampak dengan tersenyum ia membuka kotak kecil itu, serta menarik keluar isinya. Seuntai kalung rantai dari emas yang gemerlapan terkena sinar matahari. Terbeliak mata Punta mendengar kata-kata Junjungannya.
"Ambillah ini untuk isterimu, sebagai tanda dari suka citanya hatiku."
"Ah... hamba tak berani menerimanya Kanjeng Gusti." Berkata Punta dengan suara gemetar, namun dengan hati bertanya-tanya, mimpi apakah gerangan ia semalam, hingga hari itu ditawari hadiah yang ia belum pernah memakaikannya pada isterinya?
"Ambillah Punta, aku belum pernah memberikan apa-apa buatmu, seperti kau ketahui aku terlalu banyak urusan. Hingga lupa mengingat akan seorang abdiku yang setia! Namun jarang mendapat perhatian dariku. Ayo... Punta, ambillah...!"
Terpaksa Punta menerima benda itu dengan tangan gemetar. Belum sempat ia mengucapkan terimakasih, sudah berkata lagi Tumenggung Harya Anabrang. Yang setelah menutup kotak perhiasan, dengan cepat telah mengeluarkan sebuah buntalan kecil, yang sambil membuka ikatannya ia sudah berkata duluan.
"Dan ini untukmu." Seraya tak lama kemudian ia telah memberikan pada Punta beberapa keping uang perak.
"Ah... terimakasih Kanjeng Gusti...!" Punta menerimanya dengan wajah berseri. Dan segera membenahinya ke dalam saku bajunya.
Setelah merenung sejenak, Tumenggung Harya Anabrang berkata. "Aku telah mengambil keputusan untuk pergi ke desa Tepus terlebih dulu. Bukankah kau mengatakan anakku Prasetyo berada disana dan Sawitri diculik"
"Benar Kanjeng Gusti...!" Menyahut Punta dengan segera. Sekali lagi ia memuji dalam hati akan pribadi Junjungannya, yang lebih mementingkan keselamatan anak gadisnya yang diculik itu. Walaupun Punta mengetahui kalau Sawitri bukanlah anak hasil dari perkawinannya.
"Nah, pulanglah kau ke Sulang dengan segera. Sampaikan berita pada Ndoromu bahwa aku ke desa Tepus, menyusul Sawitri dan Prasetyo. Mudah-mudahan tak ada kejadian apa-apa disana! Cepatlah berangkat" Perintah Harya Anabrang.
"Daulat Kanjeng Gusti, hamba berangkat...!" Dan setelah berkata demikian, Punta putar kudanya untuk segera dipacu dengan cepat. Detik berikutnya ia sudah berangkat pergi meninggalkan tempat itu.
Sejurus antaranya Tumenggung Harya Anabrang berpaling pada kedua tamtama, yang masih terpaku ditempat itu menunggu perintah selanjutnya. "Tadinya aku mau mengajak kalian bersenang-senang dirumah kediamanku, eh, apa mau keadaan jadi begini. Di Sulang pun aku tak tahu ada kejadian apa. Makanya aku terpaksa batalkan untuk mengajak kalian. Kini kupersilahkan kalian kembali saja ke Pamotan. Bergabung dengan yang lainnya, atau kalau semua pasukan sudah berangkat, kalian dapat segera menyusul ke Kadipaten. Aku akan segera kesana setelah selesai mengurus persoalan ini!"
"Daulat Kanjeng Tumenggung, namun apakah anda tidak memerlukan bantuan kami untuk menangkap, atau menumpas penculik-penculik itu?" Berkata salah seorang dari tamtama itu.
"Apa yang kurasa baik, mungkin baik bagiku dan bagi kalian. Berangkatlah. Biar aku mengurus sendiri persoalanku, dan terimakasih atas kesediaanmu..!" Menyahuti Tumenggung Harya Anabrang, seraya memberikan dua genggam uang perak hasil rampasannya dari perampok-perampok laut itu, pada kedua tamtama. Yang serta merta menerimanya dengan mengucapkan terimakasih.
"Baiklah Kanjeng Tumenggung, hamba berangkat...!" Kedua tamtama segera memberi hormat, yang dibalas dengan anggukan kepala. Segera tak lama kemudian kedua tamtama segera keprak kudanya, yang segera mencongklang cepat meninggalkan tempat itu.
Tumenggung tatap punggung kedua anak buahnya yang semakin jauh. Dan saat berikutnya ia pun sudah hentakkan kaki keperut kuda, dan memacu cepat menuju kedesa Tepus.
* * * * * * *
"Bodoh...! Sudah kukatakan jangan membunuh...! Perintah tetaplah perintah yang harus dijalankan! Tahukah kau, bahwa mereka adalah orang-orang desa yang tak berkepandaian apa-apa...!" Terdengar satu suara santar menggeledek karena marah.
Sementara seorang laki-laki bertopeng hitam, juga pakaian yang seluruhnya serba hitam itu, tertunduk di hadapan seseorang yang memakai jubah serba hitam dengan sebuah tongkat berkepala tengkorak tergenggam ditangannya.
DUA
RUANGAN GOA itu cukup luas dengan diterangi api-api obor di beberapa penjuru. Si pembicara itupun memakai topeng serupa. Hanya bedanya topeng yang dipakainya itu berujung lancip seperti ujung kukusan penanak nasi.
"Maaf Ketua...! Kami memang tidak saling mengenal selagi bertugas... Pembunuhan berasal dari salah seorang kawan disebelah kami. Kami segera mengenalinya karena ia membuka topeng wajahnya. Dia adalah Tunggul..." Tutur orang bertopeng yang duduk bersimpuh di hadapan si orang berjubah hitam yang memegang tongkat berkepala tengkorak itu. Dan lanjutnya.
"Menurut apa yang hamba dengar ia tak sengaja membunuh, karena yang terbunuh itu justru orang yang dikenalnya. Namun orang-orang desa telah mengetahui siapa dirinya, karena ia lupa mengenakan lagi topengnya. Karena takut rahasianya terbongkar, dan demi nama baiknya, ia terpaksa berbuat tak kepalang tanggung dan membantai semua para penyerbu itu." Penjelasannya terpotong oleh bentakan sang ketua.
"Hah! Kesalahan satu orang berarti kesalahan semua! Aku tak mau tahu alasan-alasan yang kau kemukakan. Hm, buka topengmu kalau bicara denganku!"
"Maaf Ketua... hamba Pragola..!" Berkata laki-laki bertopeng ini sambil membuka topeng yang dikenakannya. Ternyata ia seorang laki-laki yang masih muda. Rambutnya keriting, dengan wajah tanpa kumis dan jenggot.
"Nah teruskan penuturanmu..!" Sang ketua sudah perintah untuk bicara lagi. Dan si rambut keriting Pragola segera teruskan penuturannya.
"Tak dinyana Tunggul berbalik menyerang kami, hamba pun baru tahu ia berilmu tinggi. Semua kawan-kawan habis dibantai, dan gadis bernama Sawitri itu dibawa kabur, hanya hamba seorang yang dapat menyelamatkan diri terhindar dari maut." Demikianlah, Pragola mengakhiri penuturannya setelah memberitahukan tentang dimana adanya Tunggul menyembunyikan gadis Sawitri dan seorang pemuda putus kaki yang telah ditolong oleh Tunggul.
"Hah..!? Jadi demikian adanya..!" Berteriak kaget sang ketua. Tiba-tiba ia telah bertepuk tangan dua kali. Dan tampak dua orang pengawal yang juga berpakaian dan bertopeng hitam, bergegas menghampiri.
"Panggil mata-mata itu suruh menghadap..!" Ujarnya. Yang segera keduanya melompat pergi keluar goa. Tak berapa lama kemudian telah kembali lagi dengan membawa seorang tinggi kurus, mirip orang desa, yang segera bersimpuh di hadapan sang Ketua. Yang segera ajukan pertanyaan pada orang itu.
"Kau katakan yang terbunuh semua adalah dari pihak para penyerbu, yang kesemuanya orang desa penduduk Desa Tepus. Tapi kenyataannya enam orang dari pihak kita telah tewas. Apakah beritamu benar...?"
Tentu saja si mata-mata jadi terkejut, karena ia melihat sendiri, bahwa tak ada seorangpun mayat yang bergelimangan itu yang berpakaian dan bertopeng serba hitam. Segera ia jelaskan apa yang dilihatnya tadi pada sang Ketua. Tampak si Ketua itu termenung sesaat. Tiba-tiba terdengar desisnya yang penuh kemarahan. Dan tongkatnya berkepala tengkorak itu terlihat dihentakannya ke batu.
"Kurang ajar...! Pasti telah ada seseorang yang telah mencopoti semua pakaian dan topeng orang-orang kita...!" Teriaknya geram.
Terkejut semua yang ada disitu. Hanya sejenak mereka terperanjat. Karena sang ketua segera perintahkan si mata-mata untuk kembali keluar. Segera kedua pengawal itu membawa kembali si mata-mata keluar dari ruangan goa itu. Dan sesaat telah kembali lagi ketempat tadi mereka berdiri.
"Hm, Pragola, silahkan kau tinggalkan aku, berjaga-jagalah akan adanya kemungkinan yang di luar dugaan. Sarang kita telah dimasuki penjahat yang mungkin masih ada diantara kita yang berkhianat!" Perintah sang Ketua dengan tegas. Dan lanjutnya. "Hari ini bila terjadi sesuatu kejanggalan, segera beri laporan padaku...!"
"Siap Ketua! Tapi bagaimana dengan gadis bernama Sawitri yang dibawa lari si Tunggul itu...?"
Tampaknya sang Ketua terdiam sejenak. Lalu ujarnya. "Hmm... mereka tidak akan lari jauh. Biar aku yang akan mengurungi anak gadis si Tumenggung itu berikut si Tunggul pengkhianat!"
Pragola anggukkan kepalanya, dan setelah kembali menutup topeng wajahnya, iapun beranjak keluar dari ruangan itu. Tak lama sepeninggal Pragola, sang Ketua kembali tepukkan tangan dua kali, yang selanjutnya kedua pengawal itu segera dengan cepat menghampiri. Entah apa yang diperintahkan. Karena sesaat ketika kedua pengawal itu pergi, telah kembali lagi dengan menyeret seorang gadis, yang baru saja di keluarkan dari dalam kerangkeng.
Mata sang ketua tampak keluarkan sinar berkilat menatap gadis dihadapannya. Sebelah lengannya segera bergerak memberi tanda. Dan ia sendiri telah melangkah memasuki sebuah lorong yang ada selarik undakan yang menuju keatas. Segera kedua pengawal menyeret si gadis tawanan itu untuk mengikuti sang Ketua. Tentu saja gadis itu meronta-ronta dengan berteriak teriak.
"Tidak!?... Tidaaak! Lepaskan aku... lepaskaaaaan...!" Teriaknya. Namun apa artinya rontaan itu, karena tenaga kedua pengawal itu amat kuat dan dengan segera ia sudah diseret keatas, melalui undakan batu di lorong tersebut.
Sementara tanpa diketahui oleh pengawal-pengawal lainnya yang berada disetiap sudut ruangan goa itu, sepasang mata tampak mengintip dari celah batu, didinding goa. Sepasang mata yang menampakkan sinar kemarahan. Sementara teriakan-teriakan di ruangan atas terus terdengar. Dan tak berapa lama antaranya, kedua pengawal tadi telah tampak menuruni tangga batu itu, yang kemudian kembali berjaga di tempat semula.
* * * * * * *
Sepasang mata itu tiba-tiba lenyap, dari lubang kecil pada dinding goa itu. Sesosok tubuh dengan gerakan lincah tampak menyelinap dari batu ke batu di lereng bukit itu... lalu berhenti di tempat yang tersembunyi. Terdengar suara desisan dari mulutnya "Komplotan Siluman Hitam itu bersarang di Gunung Butak ini rupanya. Heh! Benar-benar biadab..!"
"Roro...!" Satu suara terdengar di belakangnya dengan teriakan halus yang tidak begitu keras.
Segera ia menoleh. Sebuah kepala tersembul dari balik sebongkah batu besar. Ia jadi terkejut melihatnya, dan cepat melompat kesana. "Kak Sentanu... kau menyusul kemari? Aiii... berbahaya..!" Berkata ia dengan suara perlahan.
Sedang yang ditatap cuma tersenyum. "Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, istriku..." Menyahuti laki-laki tampan yang berkumis kecil dihadapannya. Ternyata mereka adalah sepasang suami istri, yang amat saling mencinta.
"Ah, kak Sentanu... Aku Cuma menyelidik saja, tanpa bertindak apa-apa, tapi senang juga kau datang, suamiku..." Ucap wanita muda yang cantik berbaju merah itu sambil menggelendot manja. Dan.... Cup! Sebuah ciuman di pipi ia berikan pada sang suami.
Kiranya wanita itu tak lain dari Roro Dampit. Perkawinan mereka baru berlangsung beberapa bulan, tentu saja sepasang sejoli itu masih berbulan madu. Sebentar saja kedua insan itu sudah berpelukan erat di balik batu tanpa menyadari kalau mereka berada ditempat yang berbahaya.
"Kau kangen sepekan tak bertemu!"
"Tentu saja...!"
"Kau cuma balas kecup pipiku saja, tidak bibirku!"
"Kau mau...?"
"Hmmm... hhhmmm..."
Dan selanjutnya cuma suara nafas saja yang terdengar saling pacu disertai keluhankeluhan manja penuh nikmat. Dunia saat itu cuma milik mereka berdua. Selang sesaat...
"Eh..? Buntalan apa yang kau sembunyikan dibelakangmu...?" Bertanya Roro Dampit. Agaknya ia baru menyadari kalau di belakang punggung suaminya ada tergeletak sebuah buntalan kain berwarna hitam.
"Sssst..! Nanti aku ceritakan, ayo kita tinggalkan tempat berbahaya ini! Dan saat berikutnya sepasang sejoli itu dengan berindap-indap berkelebat dari batu ke batu, dan dari semak-ke semak menuruni lereng perbukitan Kapur. Sementara Gunung Butak di belakangnya tegak berdiri dengan segala kemisteriusannya.
Dua ekor kuda ditempat yang tersembunyi dibawah bukit itu masih berada di sana dengan aman. Tampak kedua sejoli itu segera mendekati dan dengan sebat telah mencemplak kudanya masing-masing.
"Ayo, Antasena... kita berangkat pulang..!" Berkata Sentanu pada kuda hitam kesayangannya.
Sedangkan Roro Dampit telah berada di punggung kuda putihnya, pemberian Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Saat berikutnya kedua kuda putih dan hitam itu telah dipacu cepat untuk segera tinggalkan tempat itu. Namun sepasang mata yang bersinar telah mengetahui adanya kedua sejoli yang menyelundup, dan berangkat pergi dengan kedua kuda itu.
* * * * * * *
Sepasang mata yang terpancar, dari sebuah lubang menganga di dinding Gunung Butak itu. Itulah sepasang mata dari si ketua dari komplotan "Siluman Hitam". Sebuah komplotan terselubung yang misterius. Lorong dari bawah goa di sisi Gunung itu ternyata menembus sampai keatas, kira-kira tiga ratus undakan dari batu. Ternyata di sana ada lagi sebuah ruang, dengan beberapa lubang jendela di celah dinding Gunung.
Gadis itu tampak berdiri dengan tangan dan kaki terpentang, terikat oleh rantai, yang menempel di dinding ruangan. Kedua pengawal tadi baru saja turun kembali melalui undakan batu itu. Sang Ketua tampak mendekati gadis itu yang perlihatkan wajah ketakutan.
Seluruh tubuhnya telah bercucuran dengan peluh, sementara lengan dan kakinya meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari belenggu rantai itu. Namun semua itu tak berarti apa-apa. Akhirnya gadis itu cuma pasrah dengan nasib apa yang akan menimpanya.
Bret! Bret! Bret!
"Aaaahh..!? Aaauuuu..! Aaaauuuu...!" Gadis itu perdengarkan teriakannya, ketika lengan sang ketua telah mencabik dan merobek seluruh pakaiannya.
Dalam keadaan demikian itu, sepasang lengan segera saja merayapi lehernya. Ia cuma belalakan matanya saja, yang kemudian terpejam... betapa takutnya ia melihat wajah berselubung topeng hitam dihadapannya. Ia sudah tak kuasa menanti akan apa yang bakal terjadi. Namun sang ketua sudah kembali melangkah kesisi dinding. Dicelah batu terlihat sebuah besi hitam, yang panjangnya dan besarnya sebesar lengan manusia. Tampak lengan sang Ketua mencekal benda itu dan menggerakkannya kebawah.
Tiba-tiba si gadis buka kedua matanya dengan terbelalak, karena batu disebelah sisi dekat kakinya tiba-tiba bergeser terbuka, sebuah lubang segera menganga. Yang kemudian terasa hawa panas keluar dari dalam lubang itu. Itulah hawa dari kobaran api yang berasal dari bawah lubang. Keringat segera saja mengucur kian deras ke sekujur tubuhnya. Gadis itu terkulai lemah, dan makin lemah... selanjutnya ia sudah tak sadarkan diri lagi.
Saat selanjutnya sang ketua telah melangkah lagi keluar ruangan. Sebuah besi sepanjang lengan, kembali ia gerakkan. Dan terdengar suara gemuruh dari sebuah pintu batu yang bergeser dan menutup ruangan itu, memisahkan dirinya dari ruangan itu yang segera tertutup rapat.
Saat berikutnya sang Ketua segera beranjak pergi menuruni kembali anak tangga atau undakan dari batu itu, dan kembali ke ruangan semula. Kembali ia bertepuk tangan dua kali. Dan dua pengawal segera datang kehadapannya.
"Perintahkan untuk bunyikan tanda. Bahwa upacara pengorbanan pada Dewa Api tengah berlangsung..."
Kedua pengawal mengangguk, dan segera berangkat pergi. Tak berapa lama kemudian terdengar suara mengaum panjang dari atas Gunung Butak yang terdengar jauh sampai ke sekitar tempat itu. Itulah tanda dari berlangsungnya upacara Korban persembahan untuk Dewa Api. Yang di anut oleh para komplotan Siluman Hitam.
TIGA
TUMENGGUNG HARYA ANABRANG memasuki desa Magasari. Para penduduk tampak berlarian keluar mendengar derap langkah kuda di jalan desa. Segera saja seseorang telah datang menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Ndoro Gusti Tumenggung... hamba Kilaras Podang, Carik desa. Silahkan ke pondok hamba...!" Berkata laki-laki yang sudah menginjak usia tua itu. Pakaiannya dari batik lurik bergaris-garis hitam. Memakai celana pangsi biru dengan sarung yang berbelit pada pinggangnya. Sebuah blangkon batik melekat di kepalanya.
Tumenggung Harya Anabrang tanpa berkata sepatah kata cuma anggukkan kepala, dan mengikuti laki-laki Carik desa itu. Sementara beberapa penduduk sudah saling bisik-bisik, melihat kedatangannya, yang segera memberi penghormatan ketika sang Tumenggung lewat. Wajah para penduduk yang tadinya sudah berseri gembira itu, mendadak lenyap lagi cahaya cerah pada wajahnya, ketika mengetahui Tumenggung hanya datang seorang diri, tanpa pasukan.
Selang sesaat tampak Tumenggung Harya Anabrang berbincang-bincang dengan Carik Kilaras Podang di rumahnya. Namun tidak terlalu lama, sang Tumenggung kembali keluar dan melompat lagi ke atas kudanya. Serta memacunya cepat ke arah timur dengan dipandangi pasang mata penduduk desa Nagasari. Mereka pun tahu kalau sang Tumenggung tengah menuju ke desa Tepus.
Harya Anabrang memacu kudanya dengan cepat. Penjelasan yang datang dari Carik desa Nagasari menguatkan dugaan pada orang bernama Tunggul turut terlibat perkara penculikan anak gadisnya. Bukan saja anak gadis bernama Sawitri itu saja yang membuat ia amat khawatir. Tapi juga keselamatan anak kandungnya sendiri, yaitu Prasetyo.
Namun apa yang dijumpainya di desa Tepus adalah hal yang di luar dugaan karena dirumah tempat kediaman pak Kuwu banyak orang berkerumun. Ia keprak kudanya dengan cepat untuk menuju ke sana. Kerumunan orang, disertai suara tangis yang amat memilukan itu benar-benar membuat hatinya terpukul. Karena beberapa mayat tertutup tikar telah berjejer didepan rumah pak Kuwu.
Dengan wajah pucat pias ia menerobos, menyeruak dari kerumunan orang-orang desa, yang segera memberinya jalan, begitu mengetahui akan kedatangan Tumenggung Harya Anabrang. Satu persatu tikar penutup mayat segera dibuka. Tersentak ia melihat mayat pak Kuwu ada diantaranya. Bahkan Mbok Kuwu tengah menangis disisi jenazah suaminya. Paniklah ia seketika.
"Apakah yang terjadi...?! Apa yang telah terjadi...! Dimana Sawitri! Dimana anakku Prasetyo...?!" Berteriak Tumenggung dengan mata memancar tajam, menyapu pada semua penduduk yang berada ditempat itu. Namun semua terdiam sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka tak ada yang mengetahui dimana anakku...? Gila!" Sentak hati Tumenggung. Tiba-tiba ia sudah berkata lagi dengan nada santar.
"Siapa diantara kalian yang mengetahui dimana adanya Tunggul..!?" Apakah kalian juga tidak mengetahui...?!" Namun jawabannya hanyalah gelengan kepala. Semua yang tertatap matanya oleh sang Tumenggung terus menunduk. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Harya Anabrang terdiam beberapa saat, lalu katanya dengan nada suara yang mengendur.
"Baiklah! Kini ceritakanlah apa yang telah terjadi...! Kemana penculik-penculik itu melarikan diri..!"
Kembali matanya mengitari orang-orang disekelilingnya. Mereka mulai kasak kusuk, rupanya tak ada yang berani bicara, atau mengantarkan sang Tumenggung ke arah perginya sang penculik-penculik itu. Namun pada saat itu seseorang di ujung kerumunan orang-orang desa, tampak memberi isyarat dengan gerakan tangan.
Segera saja ia bergerak untuk mengikuti orang itu, yang tanpa menunggu kedatangannya, telah mendahului bergerak dengan langkah cepat. Terpaksa sang Tumenggung tinggalkan kudanya dan bergerak cepat untuk terus menyusul si pemberi isyarat. Dengan penasaran sang Tumenggung terus mengikuti orang itu, yang setelah melewati beberapa tombak, tampak si pemberi isyarat menghentikan larinya, untuk menunggu kedatangannya.
Dari jauh ia sudah dapat menebak orang pemberi isyarat itu, seorang wanita. Walaupun ia memakai topi capil atau tudung kepala, untuk membungkus rambutnya. Dan benar saja. Ia segera dapat melihat adanya seorang wanita muda, yang boleh dikatakan seorang gadis cantik telah berdiri dihadapannya. Siapa lagi gadis cantik itu kalau bukan Roro Centil adanya.
"Aku dapat memberikan sedikit informasi, yang mungkin berguna buat anda..!" Berkata Roro mendahului. Sambil jatuhkan pantatnya untuk duduk di atas sebuah batu yang segera diikuti oleh Tumenggung Harya Anabrang, yang segera menggeser sebuah batu agak besar, untuk duduk berhadapan dengannya.
"Boleh aku mengetahui siapa anda nona...?" Bertanya Harya Anabrang dengan menatap tajam orang dihadapannya.
"Mengapa tidak..? Aku boleh anda panggil dengan nama Roro...Centil!" Menyahut Roro dengan mata menatap jauh ke atas bukit Kapur dihadapannya.
Tampak Tumenggung Harya Anabrang manggut-manggut. Namun tiba-tiba sepasang alisnya yang hampir separoh memutih itu bergerak ke atas, ketika ia mengernyitkan dahinya... seraya berkata, "Hah...? Apakah aku berhadapan dengan Pendekar Wanita Pantai Selatan?"
"Ahh... itu hanya julukan dari orang, orang yang terlalu menyanjung namaku!" Berkata Roro Centil merendah. Memang sebenarnya ia sendiri agak heran, mengapa banyak orang mengenal nama julukan yang diberikan orang padanya itu?
Namun Tumenggung Harya Anabrang sudah lantas menjura memberi hormat, seraya katanya lagi. "Oh, beruntung sekali aku dapat berkenalan dengan anda, nona Pendekar. Nama anda yang harum, yang telah banyak menumpas tokohtokoh jahat pengganggu keamanan, telah tersiar di daerah pesisir Utara. Jangan-jangan yang telah turut menumpas para pembajak si Slukan adalah anda?!"
"Ah... bantuan sekecil itu, mana berani aku menyombongkan diri di hadapan seorang Tumenggung yang hebat, dan berilmu tinggi seperti anda?" Berkata Roro Centil sambil balas menjura.
"Hebat! Tak dinyana Pendekar Wanita Pantai Selatan, bukan saja seorang yang berilmu tinggi, namun juga seorang yang amat rendah hati dan ternyata adalah seorang gadis yang masih muda dan cantik!" Memuji Harya Anabrang.
Dipuji sedemikian rupa Roro Centil jadi merah wajahnya. Namun hanya sesaat, karena wajahnya kembali telah serius, untuk segera mulai menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan mengawalinya dari kisah dirinya hingga sampai ketempat itu, dan dapat mengetahui adanya komplotan "Siluman Hitam" yang menjadi momok di desa sekitarnya.
* * * * * * *
Kiranya setelah beberapa bulan ia berguru pada si paderi Jayeng Rana asal Nepal, di lereng Gunung Wilis. Roro berangkat seorang diri dengan tujuan ke Tuban. Perpisahannya dengan paderi Jayeng Rana amat mengharukan, karena paderi yang telah berusia lanjut itu merencanakan akan kembali ke Nepal. Namun ia telah merasa puas dapat mewariskan sedikit ilmu kedigjayaan, dan ilmu ketabiban pada sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil.
Biara Welas Asih rupanya harus punah, karena tak adanya lagi penerus yang dapat meneruskan cita-citanya di pulau Kelapa yang subur makmur itu. Dan sudah tentu Gurnam Singh pun sudah kembali ke pesisir pantai selatan Pulau atau Pulau Jawa, karena disana tempat kediaman anak dan isterinya.
Adapun Joko Sangit, hanya sebulan berada disitu, karena ia kurang penuju dengan ilmu ketabiban sang Paderi. Dan ia berangkat ke Tuban terlebih dulu. Demikianlah, Roro Centil tetap berdiam di lereng Gunung Wilis menunggu sampai selesai ia menamatkan ilmu-ilmu ketabiban yang di pelajarinya, dan berjanji akan mampir ke Tuban untuk menyambangi tempat kediaman Joko Sangit.
Joko Sangit mengajaknya pesiar kemana-mana, kesetiap tempat. Tuban adalah kota pelabuhan yang ramai. Saudagar-saudagar kaya banyak terdapat di sana. Yang rata-rata mempunyai kapal-kapal dagang, sampai kapal pesiar yang indah. Puas juga Roro diajak berkeliling pulang balik sampai ke selat Madura. Pantai dan laut menghidupkan kenangannya kembali ketika selama tiga tahun ia berada di pantai Selatan, dimasa ia berguru dengan si Manusia Aneh Pantai Selatan.
Suatu ketika mereka menumpang sebuah kapal pesiar milik seorang saudagar. Ketika melewati Tanjung Awar-awar telah diserang oleh segerombolan perompak, yang menggunakan kapal berbendera Hitam dengan simbul kepala tengkorak. Terjadilah pertarungan seru. Ternyata di tempat itu adalah sarang dari pada perompak-perompak laut yang ganas. Sudah banyak korban yang lenyap tanpa ada yang kembali hidup. Rupanya itu adalah hari naas, bagi sang saudagar, yang kapalnya ditumpangi Roro.
Disaat kekakacauan itu Joko sangit terpisah dengannya. Karena kebetulan pada saat itu tengah terjadi juga pertarungan di darat, dimana Tumenggung Harya Anabrang baru saja menyerbu ke sarang perompak. Banyak korban jiwa terjadi, karena perompak-perompak itu rata-rata berkepandaian tinggi. Namun berkat adanya Roro, mereka berhasil di tumpas, dan beberapa orang dapat tertawan.
Dengan mempergunakan ilmu sakti warisan Gurunya, Roro dapat berjalan atau berlari di atas air. Dan turut membantu pertarungan didarat. Roro Centil memang bekerja sembunyi-sembunyi. Gerombolan para perompak terpukul buyar. Dan berlarian sampai ke Gunung Lasem. Pengejaran terus dilakukan oleh Tumenggung Harya Anabrang.
Dan ia sendiri tidak terus ikut bergerilya, karena disamping turut serta membantu para prajurit Tumenggung itu, iapun berusaha mencari jejak Joko Sangit. Hingga ia mengembara sampai kepelosok-pelosok. Hingga akhirnya ia sampai beberapa pekan tinggal di desa-desa. Dan mengetahui adanya sekelompok Komplotan terselubung yang membuat resah penduduk desa sekitar Gunung Butak.
* * * * * * *
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika salah seorang dari komplotan Siluman Hitam, telah membantai para penyerbu yang terdiri dari para penduduk desa Tepus. Yang mengejar para penculik gadis, bernama Sawitri itu. Namun kemudian berbalik menyerang, dan membantai kawan-kawannya sendiri. Orang itu tak lain dari pada Tunggul adanya ternyata berbalik menyelamatkan gadis Sawitri, dan seorang yang putus kakinya, yaitu Prasetyo.
Namun tanpa diketahuinya salah seorang dari ketujuh kawannya yang dibantai itu, yang ternyata tidak tewas, telah menguntitnya. Yaitu yang bernama Pragola. Saat itulah Roro yang datang terlambat hingga terjadinya pertumpahan darah yang tak diketahuinya itu, berhasil membuntuti Pragola. Dan dapat mengetahui dimana adanya Tunggul dan Sawitri serta laki-laki yang putus kakinya. Selanjutnya Roro telah menguntit Pragola hingga mengetahui dimana adanya sarang komplotan Siluman Hitam itu.
"Kalau yang anda cari adalah seorang gadis dan seorang pemuda, aku dapat menunjukkan. Namun mengenai benar tidaknya ia bernama Sawitri dan Prasetyo, aku tak mengetahui...!" Demikianlah Roro Centil mengakhiri penuturannya.
Tercekat hati Tumenggung Harya Anabrang, mendengar Roro mengetahui jejak disembunyikannya seorang gadis, dan seorang pemuda yang putus kakinya oleh seseorang di satu tempat. Ia sudah dapat menduga gadis itu Sawitri adanya. Namun mengenai pemuda yang putus kaki itu ia masih ragu-ragu kalau ia Prasetyo, walaupun diam-diam hatinya berdebar kencang. Segera saja ia berucap.
"Terimakasih atas penuturan anda Nona Pendekar, baiknya sekarang saja anda mengantarku kesana. Aku ingin tahu, siapa orang yang telah berbalik menyelamatkan gadis korban penculikan itu, yang ternyata adalah orang dari golongan komplotan Siluman Hitam itu sendiri!"
"Kalau begitu marilah kita kesana..." Berkata Roro, sambil segera bangkit berdiri. Diikuti oleh Tumenggung Harya Anabrang. Dan beberapa saat kemudian dua sosok tubuh mereka, telah berkelebatan meninggalkan tempat itu.
EMPAT
SAWITRI menangis tersedu-sedu, melihat orang yang dikasihinya masih tergeletak pingsan tak sadarkan diri. Sementara sebelah kakinya yang putus itu dipandanginya dengan penuh keibaan.
"Prasetyo... Ah, Prasetyo... kau berkorban demi aku. Kalau orang tuamu tak mengizinkan kita menikah, biarlah aku rela pergi jauh bersamamu. Asal selalu bersamamu..."
Menggumam si gadis itu dengan air mata bercucuran. Sementara tangannya membelai-belai rambut pemuda itu. Tak berapa lama Tunggul telah muncul lagi dengan membawa segenggam dedaunan. Ia melirik sesaat ke arah Sawitri, yang segera hentikan belaiannya dengan tersipu Tunggul meletakkan dedaunan yang dibawanya diatas batu dan menumbuknya dengan sebuah batu kecil. Yang tak berapa lama kemudian, telah beranjak lagi menghampiri ke tempat Sawitri dan Prasetyo yang masih pingsan itu.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia segera buka balutan luka pada kaki yang putus sebatas betis. Sawitri palingkan wajahnya, dengan menahan isak yang memenuhi dadanya. Tak kuasa ia melihat darah yang masih mengucur dari bekas tebasan itu. Tunggul membalurkan tumbukan daun-daun obat itu pada sekitar luka, dan kemudian kembali membungkusnya dengan hati-hati. Lalu beranjak lagi untuk duduk diatas batu.
Tampak Prasetyo menggeliat. Agaknya rasa perih dari baluran pada lukanya itu, membuat ia segera tersadar dari pingsannya. Pelupuk mata Prasetyo tampak kelihatan bergerak, dan pelupuk matanya terbuka. Ia gerakkan kepalanya untuk menatap kesekelilingnya, dengan tatapan matanya yang berkilatan. Dan terdengar desis lirih keluar dari bibirnya, ketika melihat gadis itu yang berada di dekatnya.
"Sawitri... kau selamat..!?"
"Ya... Prasetyo..! Aku selamat, dan kaupun selamat..." Ucap Sawitri yang segera alihkan tatapan pada Tunggul. "Kita telah ditolong oleh Kang Tunggul. Ayo, ucapkan terima kasih padanya..." Sambung Sawitri dengan wajah cerah, namun titik air matanya turun membasahi pipinya.
Prasetyo palingkan kepala untuk menatap Tunggul, dan gerakkan tubuhnya untuk bangkit duduk. Sesaat ia pandang kakinya yang putus, seperti ia baru menyadari. Lalu alihkan lagi pandangannya pada Tunggul, yang masih duduk berdiam diatas batu. Sementara ia mengernyitkan alisnya, seperti tengah mengingat-ingat kejadian yang baru saja dialaminya.
"Seingatku, salah seorang dari komplotan bertopeng itulah, yang telah menolongku. Apakah orang itu kau adanya kakang Tunggul?" Berkata Prasetyo dengan nada heran. Sedangkan yang ditanya hanya tundukkan kepalanya, lalu palingkan wajahnya ke lain arah. Dan terdengar ia menghela napas. Sesaat ia sudah berkata dengan lirih.
"Benar, Prasetyo...! Aku adalah salah seorang dari komplotan bertopeng itu, yang telah membunuh semua kawan-kawanku, dan juga semua para penyerbu dari desa Tepus kecuali kau, Prasetyo...!"
Pernyataan Tunggul membuat kedua muda-mudi itu belalakan matanya. Terlebih-lebih Sawitri. Ia hampir tak percaya akan kata-kata Tunggul, karena ia memang tak melihat apa yang telah terjadi. Yang ia ketahui cuma pak Kuwu, ayahnya, yang terjungkal roboh mandi darah, tanpa ia ketahui siapa yang telah membunuh, juga pembantaian yang lain-lainnya.
"A., apakah yang membunuh ayahku, ka... kau juga ?!" Bertanya Sawitri dengan penasaran.
"Benar, Sawitri... tapi aku sungguh-sungguh tak sengaja. Bahkan perintah dari sang Ketua, adalah tidak diperkenankannya kami membunuh. Kecuali, menculikmu!"
Sawitri tundukkan kepalanya dengan wajah kembali tampilkan kesedihan yang luar biasa. Sementara Tunggul sudah lanjutkan lagi kata-katanya.
"Pak Kuwu bukanlah ayahmu, Sawitri..! Dan ibumu adalah ibu Prasetyo. Kalian adalah saudara satu ibu. Aku mengetahui kalian saling mencinta. Hal itu tak boleh terjadi..! Apakah kalian telah mengetahui...?"
Terperanjatlah Sawitri dan Prasetyo laksana disambar petir, karena ia sama sekali tak menyangka akan hal itu. Kedua muda-mudi itu seketika saling bertatapan, namun kemudian samasama menunduk.
"Jadi siapakah ayahku...?" Bertanya Sawitri.
Namun belum lagi pertanyaannya dijawab, Tunggul tiba-tiba berkelebat cepat, dengan beberapa kali lompatan ia sudah lenyap dari tempat itu. Membuat Sawitri dan Prasetyo jadi ternganga. Belum lagi hilang terkejutnya, sekonyong-konyong telah berkelebatan dua sosok tubuh ke tempat yang tersembunyi itu. Hal mana membuat Prasetyo segera keluarkan teriakan kaget dari mulutnya.
"Ayah...!?" Dan dibalas dengan teriakan pula oleh sosok tubuh dihadapannya.
"Prasetyo.....!? Kau... kau..." Hanya beberapa patah kata yang diucapkannya. Sosok tubuh itu yang tak lain dari pada Tumenggung Harya Anabrang, segera melompat ke arah pemuda itu, memeluknya. Dan terdengar lagi suaranya yang menggeletar menahan perasaan. "Anakku... apa yang terjadi denganmu...? Siapa yang melakukan semua ini?! Katakan anakku! Akan kucincang sampai lumat tubuhnya...! Oh, Prasetyooo..."
Selanjutnya sang Tumenggung telah kucurkan air mata, bahkan terharu dan terpukul hatinya melihat keadaan anaknya yang tergolek menggelepoh ditanah, dengan sebelah kakinya yang putus. Sementara Sawitri memandang sang Tumenggung, dan Prasetyo berganti-ganti. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tiba-tiba ia palingkan kepalanya pada sesosok tubuh yang juga berada disitu, yang saat itu tengah memandang kepadanya. Siapakah lagi gadis cantik dihadapannya ini? Berfikir Sawitri. Yang ditatap ternyata telah bergerak menghampirinya.
"Kaukah yang bernama Sawitri...?" Bertanya Roro Centil sambil berjongkok dihadapannya. Sawitri mengangguk, sambil lebih perhatikan wajah orang.
"Kemanakah orang yang telah menolongmu...?" Tanya Roro lagi. Sawitri palingkan wajahnya ke arah belakang tubuh Roro, sambil berucap.
"Dia baru saja berangkat pergi..."
"Apakah kau mengetahui siapa yang telah menolongmu?" Tiba-tiba Tumenggung Harya Anabrang turut bertanya, sambil palingkan kepala kearahnya. Sawitri anggukkan kepala dan katakan dengan tegas!
"Dia orang yang kami kenal, bernama Tunggul..!"
Tiba-tiba sang gadis balik ajukan pertanyaan pada Harya Anabrang. "Paman Tumenggung, seharusnya paman berterus terang mengenai diriku, atau setidak-tidaknya paman menceritakan pada Prasetyo bahwa kami bersaudara. Walaupun aku tidak lagi diakui oleh ibuku, atau ibu Prasetyo, namun tidaklah harus menutupi rahasia itu pada semua orang agar aku tak mengetahui siapa diriku. Apakah hal ini adalah kemauan paman Tumenggung, atau keinginan ibuku..?"
Pertanyaan disertai pengungkapan yang diucapkan Sawitri, benar-benar membuat Harya Anabrang terkejut. Ia baru menyadari akan kesalahannya, juga menyesali tindakan isterinya yang tak menutup rahasia itu. Hingga saat ia tercenung, ketika teringat kata-kata Punta. Rasanya tidak aneh kalau Tunggul menceritakan hubungan Den Prasetyo dengan Sawitri. Ia segera menyadari, kalau keteledorannya, juga kesalahan isterinya itu telah berakibat fatal.
"Maafkan paman, Sawitri... dan juga kau anakku..!" Berkata Harya Anabrang dengan suara rendah. Dan lanjutnya. "Kesalahan ini ada pada pihak kami berdua walaupun yang merahasiakan semua ini adalah ibu kalian. Namun aku merasa hal ini termasuk kesalahanku juga. Aku terlalu banyak bertugas, hingga tak mengetahui dan kurang memperhatikan kalian. Walaupun kau, Sawitri... bukanlah hasil dari perkawinanku dengan ibumu, aku telah menganggap kau adalah anakku. Sayangku padamu sama dengan sayangku pada Prasetyo. Namun kesemuanya kurang mendapat perhatian dariku, disebabkan terlalu banyak aku mengurusi pekerjaanku..." Tumenggung Harya Anabrang terdiam sejenak... sementara Roro Centil anggukkan kepala beberapa kali.
"Syukurlah telah ada yang memberitahukan hal ini pada kalian karena aku telah mengetahui kalian saling mencinta. Apakah si Tunggul itu pula yang memberitahukannya...?" Tiba-tiba sang Tumenggung telah ajukan pertanyaan lagi, dengan menatap pada Sawitri dan Prasetyo.
Keduanya sama-sama mengangguk. Dan bersamaan dengan anggukan kedua muda-mudi itu, tiba-tiba sesosok bayangan tampak berkelebat, dengan mengeluarkan suara berkrosokkan. Tentu saja hal itu membuat mereka terkejut. Roro Centil tiba-tiba gerakkan tubuhnya melompat dari tempat itu, dan cepat berkelebat mengejar ke arah suara itu, dengan dibarengi bentakan.
"Haiii! Jangan lari...!" Dan terlihatlah oleh Roro sesosok bayangan yang berkelebat cepat melarikan diri. Kembali ia enjot tubuh untuk melompat cepat, mengejar sosok tubuh itu yang hanya terlihat bentuk tubuhnya, yang keseluruhannya hitam. Kini diatas perbukitan Kapur itu tampak dua sosok bayangan berkelebatan, seperti tengah main kejar-kejaran.
Roro Centil dengan hati penasaran terus mengejar sosok tubuh hitam itu. Ia sudah menduga kalau orang itu adalah salah seorang komplotan Siluman Hitam. Gerakan larinya memang benar-benar mirip siluman. Sebentar kelihatan, sebentar hilang. Juga karena berkelebatannya bayangan tubuh itu selalu membelok ke kiri atau ke kanan yang kadang-kadang memutar, membuat Roro susah untuk mengejarnya.
Tiba-tiba Roro Centil punya akal. Ketika sosok tubuh itu membelok kekiri, dan hilang diantara pepohonan dan semak. Ia bahkan sengaja membelok kekanan. Dan pergunakan lompatannya untuk cepat tiba di tempat yang berjarak sama. Benar saja dugaannya, karena segera tubuh si bayangan hitam itu tersembul disitu.
"Bangsat licik..!" Teriak Roro Centil sambil arahkan telapak tangan, dan menghantam dengan pukulan jarak jauh.
Plak! Terdengar beradunya kedua pukulan yang ternyata sosok tubuh hitam itupun telah berbalik dengan terkejut, dan gunakan tangannya untuk menangkis.
Bruk.....! Tubuh siluman hitam itu terlempar beberapa tombak dan jatuh ke semak-semak. Segera Roro berkelebat ke arah dimana terjatuhnya sosok tubuh itu. Sebelah lengannya telah disiapkan untuk melakukan serangan lagi, menjaga dari segala kemungkinan. Akan tetapi terkejut Roro Centil, karena tubuh siluman hitam itu tak kelihatan disitu. Sedang ia terkesima tiba-tiba bayangan itu muncul lagi bersiur di sebelah kirinya. Segera ia hantamkan pukulannya. Namun tak mengenai sasaran.
Brak...! Batang pohon disebelahnya tumbang kena hantaman angin pukulan Roro, yang jengkel hingga keluarkan tenaga semaunya. Segera ia lihat bayangan hitam itu berkelebat masuk ke dalam hutan bambu.
"Pengecut licik...! Kau kira dapat meloloskan dirimu...!" Teriak Roro dengan kesal. Dan kelebatkan tubuh mengejar. Kembali terjadi kejarkejaran seperti tadi. Tiba-tiba tampak olehnya sosok tubuh itu terjatuh bergulingan.
"Bagus..!" Desis Roro Centil. Dan sekali lompat ia kejar kesana. Tapi... apakah yang terjadi ketika ia menginjakkan kakinya...?
Brrussss..!
Roro perdengarkan seruan kaget. Namun sudah terlambat. Karena kakinya telah menyentuh serat-serat halus. Ketika tiba-tiba tubuhnya terangkat lagi ke atas... ia sudah terjerat dalam sebuah jala yang membungkus tubuhnya. Belum sempat ia berbuat apa-apa, tubuh hitam itu telah berkelebat cepat menotoknya, hingga ia tak berkutik lagi di dalam jala sutera itu. Tubuhnya terayun-ayun setinggi tubuh manusia tergantung dengan seutas tali pada ujung batang bambu.
"Ha., ha., ha.... Selamat beristirahat nona yang sok usil dengan urusan orang. Tunggu, nanti aku akan menjemputmu!" Terdengar suaranya yang serak. Dan selanjutnya ia sudah kelebatkan diri pergi dari situ.
LIMA
SEMENTARA itu seperginya Roro Centil mengejar sosok tubuh hitam tadi, telah muncul lagi sesosok tubuh berperawakan tidak begitu jangkung, memakai topeng tengkorak pada wajahnya. Tentu saja kedatangannya yang secara tiba-tiba itu telah membuat Tumenggung Harya Anabrang terkesiap. Hingga Sawitri perdengarkan jeritannya. Namun orang itu telah berkata dengan cepat.
"Sebaiknya anda segera tinggalkan tempat ini Tumenggung..! Putrimu dalam bahaya. Ia mau dijadikan korban buat Dewa Api...!"
"Hah..!? Siapakah anda...?" Bertanya Harya Anabrang dengan wajah pias.
Namun baru saja ia berkata, tiba-tiba si orang berkedok tengkorak itu perdengarkan teriakan ngeri. Tubuhnya terjungkal roboh. Bukan main terkejutnya Harya Anabrang, ia putar kepalanya berkeliling namun tak terlihat ada bayangan tubuh si penyerang. Ketika ia periksa mayat orang itu, segera diketahuinya si orang berkedok tengkorak itu telah terkena senjata rahasia pada leher dan punggungnya.
Cepat ia balikan tubuh itu, dan buka kedok mukanya. Terkejutlah Tumenggung Harya Anabrang, karena sosok tubuh dihadapannya itu tak lain dari pada Punta. Abdi dalem pembawa berita, alias orang kepercayaannya, yang sudah dititahkan untuk berangkat ke Sulang.
"Gila...! Benar-benar gila! Ada apakah dengan semua ini...? Aku benar-benar tidak mengerti." Desis Harya Anabrang dengan wajah pucat. Segera saja tanpa membuang waktu ia telah angkat tubuh Prasetyo, dan palingkan kepala pada Sawitri, seraya berkata. "Sawitri... cepatlah kau ikuti aku! Kita tinggalkan tempat berbahaya ini...!"
Namun baru saja Tumenggung Harya Anabrang membelakangi tubuh gadis itu, tiba-tiba terdengar teriakan Sawitri. Karena sekonyong-konyong tubuhnya telah disambar oleh sesosok bayangan hitam, yang berkelebat cepat sekali. Dan ketika Harya Anabrang menoleh, ia cuma dapat melihat tubuh sang gadis yang dilarikan oleh sesosok bayangan hitam.
"Celaka..!" Sentak hati sang Tumenggung. Ia tak sempat lagi untuk bergerak mengejar. Karena sekelebatan saja sosok tubuh hitam itu telah berkelebat lenyap dibalik semak lebat, tertutup pepohonan.
Entah beberapa lama Roro Centil terayun-ayun di dalam jala sutera ia tak mengetahui lagi. Ketika tahu-tahu tubuhnya meluncur ke bawah dan terasa ada yang menyanggapnya. Cuaca yang agak gelap, membuat ia pentang mata lebar-lebar tanpa dapat berbuat apa-apa. Totokan itu ternyata amat hebat.
Baru kali ini Roro terkena perangkap aneh, dan tak berdaya tanpa dapat berbuat apa-apa. Terlihat lagi dua sosok tubuh bertopeng, dan berpakaian serba hitam, setelah membabat putus tali yang menggantung tubuhnya. Salah seorang telah menyanggapnya dan memondongnya diatas bahu, serta membawa tubuhnya entah kemana.
Kedua orang itu larinya tak berapa cepat. Karena wajahnya tertutup topeng, cuma matanya saja yang tersembul dari kedua lubang di bagian depan itu, Roro tak dapat mengetahui wajah orang. Mereka berdua tak mengeluarkan suara, hanya memakai bahasa isyarat saja. Akan tetapi Roro dapat mengetahui orang yang memanggul tubuhnya itu, seorang wanita.
Tiba-tiba ia mendengar suara bentakan keras dan tahu-tahu tubuhnya telah jatuh bergulingan. Entah apa yang terjadi. Kiranya pada saat itu muncul lagi sesosok tubuh, yang juga bertopeng dan berpakaian serba hitam. Dan telah menyerang kedua orang bertopeng itu. Mengapa mereka saling terjang... ? Pikir Roro, yang dapat melihat dari sela-sela jala.
Tubuh wanita yang memanggul tubuhnya itu tampak telah berdiri lagi. Ternyata orang bertopeng yang tadi menyerang kedua orang yang menolongnya, adalah yang tadi telah menjebak Roro. Dapat diketahuinya dari ujung topengnya yang lancip seperti kukusan.
"Heh! Kalian kira dapat mengelabui mataku dengan menyamar sebagai anggota Siluman Hitam..?" Terdengar si Topeng lancip menggertak dengan suara keras.
Kedua orang yang tadi menolongnya itu tampak telah saling beradu punggung, siap dengan senjata ditangan. "Kita telah ketahuan..." Terdengar salah seorang berdesis.
"Benar, buat apa kita memakai topeng..!" Kata salah seorang, yang suara keduanya itu seperti berbisik-bisik. Dan serentak saja mereka tiba-tiba melepaskan kedua topengnya.
Terkejut Roro Centil ketika mengetahui siapa adanya kedua orang itu. Yang ternyata adalah, Sentanu dan Roro Dampit. Kiranya mereka telah menyaru sebagai orang dari komplotan Siluman Hitam. Sepasang suami isteri itu tampaknya tidak merasa gentar dengan orang bertopeng lancip dihadapannya. Tidak menunggu terlalu lama lagi Roro Dampit telah lakukan serangan menerjang orang dihadapannya, dengan pedang telanjang.
Plak! Des!
Hanya dua kali gerakkan tangan, pedang ditangan Roro Dampit telah terlempar. Sedangkan sebuah pukulan telah membuat tubuh Roro Dampit terlempar lima enam tombak. Sentanu cepat memburunya dengan terkejut. Ia yang ilmunya masih jauh dibawah isterinya, mana mungkin menghadapi orang sakti dihadapannya...?
Roro pun mengerti akan laki-laki itu, yang boleh dikatakan tidak memiliki tenaga dalam, hanya kepandaian biasa saja. Kelebihan Sentanu, adalah keberaniannya, serta kepandaiannya dalam taktik bertempur. Karena memang Sentanu bekas seorang prajurit Kerajaan, dan anak seorang Senapati. Tapi menghadapi si manusia bertopeng lancip, yang telah berhasil menjebak Roro Centil itu, rasanya akan bisa bernasib naas. Oleh sebab itulah diam-diam Roro Centil mengirim suara melalui tenaga dalamnya ke telinga kedua orang suami isteri itu.
Mendengar peringatan Roro, dari dalam jala sutera, seketika keduanya saling berpandangan. "Ssst! Kak Sentanu, sebaiknya kita turuti saja usulnya. Melawanpun tak guna. Aku yakin Pendekar Roro Centil dapat membebaskan diri...!" Berbisik Roro Dampit.
Sentanu hanya anggukkan kepala. Dan sekejap kemudian keduanya telah bergerak melompat menyelamatkan diri. Tampaknya si topeng lancip yang tak lain dari ketua Siluman Hitam itu, tak berniat mengejar. Ia hanya perdengarkan dengusan hidungnya. Dan berkelebatlah ke arah dimana Roro Centil masih meringkuk di dalam jala dengan keadaan tertotok. Sekali sambar ia telah angkat tawanannya ke atas pundak, dan dibawa melesat pergi.
* * * * * * *
Tumenggung Harya Anabrang larikan kudanya dengan cepat. Penduduk desa Tepus cuma bisa tatapkan matanya saja, melihat sang Tumenggung yang membawa pulang anak lakilakinya dalam pangkuannya. Tinggalkan derap kaki-kaki kuda yang semakin menjauh. Wajahnya tampak merah padam. Kuda dipacu bagai dikejar alap-alap dengan tujuan Sulang.
Sementara Prasetyo cuma bisa berdiam diri dengan menahan sakit pada kakinya yang putus. Tak dikisahkan dalam perjalanan. Gedung sang Tumenggung telah kelihatan dari kejauhan berada di tengah desa. Ketika derap kaki-kaki kuda terdengar memasuki halaman gedung, beberapa orang sudah berlari menyambutnya.
"Selamat datang Kanjeng Gusti..." Salah seorang sudah berikan kata-kata penyambutan dengan hormat. Namun segera terkejut melihat keadaan Prasetyo. "Hah..!? Apakah yang telah terjadi..?" Berteriak salah seorang dari penjaga-penjaga gedung itu. Yang dengan segera menurunkan dan memayang tubuh pemuda itu, untuk selanjutnya dibawa masuk ke dalam gedung.
Tumenggung Harya Anabrang sudah berikan perintahnya. "Kalian rawatlah, dia...." Berkata ia dengan wajah masih tampilkan kelelahan. Dan selanjutnya ia telah melangkah cepat ke dalam gedung. Pertama yang ia temui adalah seorang pembantu wanita tua, yang cepat-cepat membungkukkan tubuh di hadapannya memberi hormat.
"Mana Ndoromu..." Bertanya sang Tumenggung.
Yang dijawab dengan suara tergagap oleh si pembantu wanita tua itu. "Hamba... hamba tidak mengetahui kemana perginya Kanjeng Gusti..."
Terbeliak mata sang Tumenggung mendengar jawaban itu. Segera saja ia telah melangkah cepat memeriksa kedalam kamar. Dan terlihatlah keadaan pembaringan yang berantakan dengan kasur dan bantal serta sprei yang tidak beraturan. Terbersit satu dugaan yang membuat wajahnya semakin merah, dan terasa panas.
Tiba-tiba ia telah bergerak melangkah ke arah tempat menyimpan perhiasan. Ternyata kotak berukir itu telah terbuka diatas rak dinding. Sedangkan isinya telah lenyap. Begitu pula uang perak dan emas di bawah kasur telah ludes.
"Keparrat...!" Teriaknya geram. Tiba-tiba ia telah melompat keluar. Segera saja ia telah cengkeram sang pembantu pada baju di tengkuknya, dan membentak keras. "He...!? Mbok Kinah..! Apa kau benar-benar tak mengetahui...?"
Tentu saja hal itu membuat sang pembantu ketakutan setengah mati. Tiba-tiba belum sempat sang pembantu itu menjawab. Telah terdengar satu teriakan dari kamar Prasetyo. Sang Tumenggung terkejut, ia sudah mau bergerak melompat. Namun segera ia batalkan maksudnya karena memikir tentu anaknya pasti tengah sedang diobati lukanya.
Namun alangkah terkejutnya ketika melihat sang pembantu yang baru saja dilepaskan cekalannya itu telah terkulai dilantai dengan mulut keluarkan busa. Dan tubuhnya menggoser-goser ditanah, seperti tengah sekarat. Ketika Tumenggung Harya Anabrang memeriksa dan mengguncang-guncang tubuhnya, ternyata pembantu wanita tua itu telah tewas. Kiranya ketika tadi sang Tumenggung memeriksa kamarnya, sang pembantu wanita tua itu telah masukkan sesuatu pada mulutnya. Rupanya itulah pel racun.
Terkesiap seketika sang Tumenggung Harya Anabrang. Kepanikan yang luar biasa terbayang pada raut wajahnya. Bagaikan gila, ia telah kembali melompat ke kamar Prasetyo dan tendang pintu yang tertutup. Namun yang dilihatnya adalah benar-benar membuat ia hampir gila saking terkejutnya. Pemuda yang putus kakinya itu tampak tergeletak dengan kepala terjuntai disisi pembaringan. Sedangkan darah segar tampak mengalir dari mata, mulut dan hidungnya yang masih terus mengucur ke lantai.
"Prasetyooo...!" Berteriak Harya Anabrang menyaksikan kejadian itu. Segera ia telah melompat untuk memeluk anaknya. Dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Namun seperti juga sang pembantu tua itu, Prasetyo telah tewas. Gemuruh detak jantung sang Tumenggung seperti mau meledak dadanya. Rasa terkejut, sedih dan murka bertumpuk menjadi satu. Kali ini tak ada air mata mengalir turun dari pelupuk matanya. Namun seketika wajahnya telah berubah menjadi beringas menakutkan. Sekonyong-konyong ia telah berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya terdengar serak menakutkan.
Dan tiba-tiba ia telah mencabut keris berlekuk tujuh dari pinggangnya. Dan ia sudah melompat dari jendela yang terbuka itu. Tampak olehnya beberapa sosok tubuh baru saja menyelinap dari sisi gedung. Bagaikan seekor singa terluka ia telah berkelebat mengejar. Dan yang tampak, adalah orang-orangnya sendiri, alias pengawal-pengawal yang ia percayakan untuk menjaga gedung sepeninggalnya.
"Iblis-iblis keparat...! Jangan harap kalian dapat tinggal hidup didepan mataku, kubunuh kalian semua...!" Berteriak ia bagaikan halilintar. Dan menerjang beringas dengan kerisnya.
Tak ampun lagi terdengar jeritan ngeri dari para anak buahnya sendiri itu. Ketika dengan melompat bagaikan kilat, ia telah dapat mencegat ke arah mereka yang mencoba menyelamatkan diri. Tiga sosok tubuh itu terjungkal. Gerakan Tumenggung Harya Anabrang memang di luar dugaan, karena dengan cepat telah mengejar ke arah ujung tembok, dimana mereka lenyap.
Namun tiba-tiba ia lompat kembali ke belakang. Dan sekali enjotkan tubuh ia telah berada di atas tembok pagar gedung. Dugaannya tepat. Mereka ternyata mempergunakan cara main kucing-kucingan, dan kembali lagi ke arah semula di samping tembok. Tak dinyana Tumenggung Harya Anabrang telah berpengalaman. Ia sudah putar tubuh terlebih dulu dan dari atas tembok pagar itu ia dapat lihat tegas orang-orangnya sendiri yang bergegas menyelamatkan diri.
Saat itulah ia telah keluarkan bentakan menggeledek. Dan bagaikan seekor kucing yang menerkam mangsanya, keris berlekuk tujuh yang telah telanjang itu segera disarungkan ke setiap leher dan dada para iblis-iblis pembunuh itu. Saat selanjutnya ia telah melompat lagi keatas tembok pagar gedung, dan putar kepala untuk melihat sekelilingnya.
Tiba-tiba tampak olehnya beberapa sosok tubuh berkelebatan disekitar gedung. Sosok-sosok tubuh hitam itu terlihat mengenakan topeng pada wajahnya. Terkesiap hatinya seketika. Dan teringat ia akan ucapan Punta sebelum tewas.
"Keparat...! Mereka pasti komplotan Siluman Hitam itu. Apakah mereka telah menculik isterinya dan juga yang telah menguras harta bendaku...?" Desisnya dengan wajah pucat.
Baru saja mau melompat turun tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, sambil melemparkan sesuatu yang menancap pada tembok dibawah kakinya. Ternyata sebuah paku, yang pada ujungnya terdapat lipatan kertas. Sosok tubuh itu telah lenyap lagi ketika ia palingkan wajahnya. Cepat ia berjongkok untuk mencabut paku itu. Kembali ia tersentak, karena paku panjang itu adalah senjata rahasia yang telah membunuh Punta. Tanpa pikir panjang ia telah melompat turun. Segera ia buka lipatan kertas itu. Ternyata isinya sebagai berikut;
"Tumenggung Harya Anabrang! Rasakanlah kehancuranmu...! Isteri dan "anak" gadismu berada diGunung Butak! Mereka akan segera jadi korban-korban persembahan untuk Dewa Api! Silahkan datang untuk menyaksikan upacaranya..!"
"Keparrraaat!" Berteriak sang Tumenggung karena marahnya. Tiba-tiba saja ia telah melihat adanya api yang menyala dari dalam ruangan gedung. Dan berturut-turut di beberapa tempat telah berkobar api, yang membakar gedung miliknya di beberapa penjuru. Tersentak lagi hati sang Tumenggung. Segera ia berkelebat masuk melalui pintu belakang. Tampak beberapa sosok bayangan hitam berseliweran di antara ruangan, dan kembali menghilang tanpa bekas.
Brak! Sesosok bayang hitam yang telah melompat dari sebuah ruangan, menabrak jendela. Segera ia melompat mengejar. Dan terjadilah kejar-kejaran yang mengelilingi setiap penjuru gedung. Geram luar biasa Tumenggung, karena yang dikejarnya benar-benar bagaikan bayangan siluman. Sebentar lenyap dibalik pintu. Tahu-tahu muncul dibelakangnya. Ia kejar ke belakang, telah lenyap lagi, dan muncul di samping jendela. Gemeretak gigi Harya Anabrang dibuatnya.
Sementara itu api telah kian membesar melalap tiang-tiang bangunan gedung yang merambat terus ke atas wuwungan. Tak berapa lama setiap kamar, dan ruangan telah dikelilingi api. Tersentak hati Tumenggung Harya Anabrang, ketika ia ingat akan jenazah Prasetyo, ia sudah gerakkan tubuh untuk melompat ke arah kamar puteranya. Akan tetapi sekonyong-konyong terdengar suara tertawa berbareng di belakangnya. Cepat ia palingkan kepala. Dan terlihatlah delapan sosok tubuh telah berdiri berbaris di belakang gedung. Kesemuanya bertopeng dan berpakaian serba hitam.
"Keparat....! Kuhancurkan kalian iblis-iblis laknat..!" Ia sudah melompat lagi mengejar. Tapi sekali bergerak, mereka telah kembali berpencar. Namun kali ini ia telah menggerung keras, bagai singa terluka.
"Moddar..!" Teriaknya, ketika itu juga keris berlekuk tujuh itu telah minta korban lagi.
Brug...! Salah seorang dari manusia-manusia bertopeng itu cuma perdengarkan teriakan pendek, ketika tubuhnya roboh terjungkal. Dan ternyata punggungnya telah tertancap keris sang Tumenggung. Segera ia berkelebat melompat ke arah robohnya orang itu. Ia putarkan dulu kepalanya kebeberapa arah di samping gedungnya.
Dan dengan cepat telah mencabut kembali kerisnya. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia telah buka topeng wajahnya, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa adanya orang itu, yang tak lain dari salah seorang tamtama yang mengawalnya tadi siang. Ia dapat mengenalinya dari sebuah tompel sebesar jempol di bawah pipinya. Kedua tamtama itu memang dititah oleh Ki Demang Pamotan untuk mengawalnya.
"Setan laknat...!" Berteriak Harya Anabrang. Ia benar-benar tak mengerti akan semua ini. Saking kesalnya ia telah sambar tengkuk mayat itu. Tak dinyana tenaganya terlalu besar, sehingga baju hitam si orang bertopeng itu koyak terbuka. Lagi-lagi ia dibuat terkejut, karena melihat sebuah "tato" pada punggung si tamtama.
Yaitu yang menggambarkan lambang kepala tengkorak. Itulah lambangnya dari para perompak-perompak di Tanjung alap-alap. Yang belum lama berselang dan baru beberapa pekan ini ia baru kembali dari menumpas para komplotan pembajak tersebut disarangnya.
Tak habis pikir Tumenggung Harya Anabrang, akan kenyataan-kenyataan semua ini. Namun ia tak dapat berfikir lebih jauh, karena ia jadi terkesiap melihat api yang telah berkobar semakin membesar membumbung tinggi, membakar gedungnya. Detik itu juga ia segera teringat akan jenazah Prasetyo. Ia sudah segera akan melompat ke sana. Namun terlambat sudah. Api yang kian membesar itu telah menambus seluruh ruangan, termasuk kamar Prasetyo.
Terkesiap hati sang Tumenggung. Seketika dengkulnya terasa lemas. Tatapan matanya dialihkannya ke tanah. Sementara dua tetes air mata telah menitik turun membasahi pipinya. Harapannya untuk menyelamatkan jenazahnya saja sudah punah. Apalagi nyawanya. Yang telah melayang terlebih dulu.
"Oh. Tuhan... Apakah dosaku gerangan...?!" Berteriak ia sekuat-kuatnya. Namun suaranya seperti tersekat di kerongkongan. Laki-laki perkasa ini tertunduk menggebrak tanah. Ia cuma bisa pandangi api... dan api! Yang melulu terlihat, dengan suara gemeretak melalap atap gedungnya.
Hawa panas yang luar biasa terasa membuat tubuhnya seperti terpanggang. Keringat mengucur semakin deras membasahi sekujur tubuhnya. Luluh lantak hatinya... dan hancur lebur perasaannya, seolah ia sudah tak berpijak lagi di atas bumi, memandang kenyataan itu. Isteri... anak.. harta benda... Dan semua yang jadi kebanggaannya telah punah dalam sekejap mata...!
Langit seperti berubah merah, karena cahaya merah dari kobaran api, yang tengah melalap habis gedung sang Tumenggung. Percikan lelatu seperti ribuan kunang-kunang yang berterbangan di udara. Namun sang Tumenggung sudah tak memperhatikan itu lagi. Ia balikkan tubuhnya untuk melangkah pergi.
Entah mungkin seandainya orang-orang bertopeng itu muncul menyerangnya, ia pun tak akan lagi mengetahui, juga memperdulikannya. Karena tatapan matanya adalah tatapan hampa. Langkahnya adalah langkah gontai. Keris berlekuk tujuh ditangannya sudah jatuh tanpa ia mengetahuinya lagi.
Beberapa pasang mata penduduk yang berkerumun melihat kebakaran besar itu, sudah tak diperhatikan lagi. Seekor kuda tiba-tiba muncul dari balik semak di sisi jalan yang dilalui yang ringkikkan sang kuda itu seperti menyadarkan ia akan dirinya. Nyaris saja menabrak sang Tumenggung. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara teriakan seseorang.
"Aiiiii..!" Ia telah menabrak jatuh sang Tumenggung, yang lagi-lagi bernasib sial. Tampak si dara jadi terkejut, dan cepat menghampiri untuk menolong membangunkan orang. Seraya berucap dengan kata-kata tergagap.
"Oh, maaf... aku tak sengaja... Ka..Kanjeng Ttt... Tu. Tumenggung...!" Segera ia sudah mengusap-usap pakaian sang Tumenggung, dan mengebutinya dengan selendang yang ia tarik dari lehernya. Kemudian tampak si dara montok itu kembali menjura beberapa kali, sambil sangkutkan kembali selendangnya pada leher. Dan tak ayal sudah putar tubuh untuk mengejar kudanya yang mencongklang lari.
Sang Tumenggung hanya pandangi punggung si dara itu dengan geleng-gelengkan kepala, sedang dihatinya ia membathin. Mengapa berturut-turut ia bernasib naas.
ENAM
PENJARA BERTALI itu cukup luas. Berderet memanjang menghadap ke dalam ruangan goa yang luas itu. Dinding-dinding wanita di dalam kerangkeng besi itu, cukup membuat mereka berjejalan, karena dua ruangan masih kosong. Memang ada tiga kerangkeng di dalam ruangan itu, yang cuma terpisah oleh jeruji besi. Masing-masing satu pintu, dengan rantai gembok yang membelit pada setiap pintu.
Empat orang bertopeng tiba-tiba masuk ke dalam ruangan goa, diikuti seorang lagi yang membawa sesosok tubuh terbungkus jala. Ketika tiba dimuka kerangkeng, segera keempatnya terpecah menjadi dua bagian. Dengan dua ke sisi kanan, dan dua ke sisi kiri, seperti memberi jalan pada orang bertopeng yang berada di belakangnya. Salah seorang yang berdiri dekat sisi kerangkeng itu cepat bergerak untuk membukakan pintu terali besi itu dengan kunci yang selalu dipegangnya.
Orang yang memanggul sosok tubuh terbungkus jala itu bertindak masuk, dan segera melemparkan tubuh orang yang terbungkus jala itu ke dalam kerangkeng. Selanjutnya telah bertindak keluar lagi. Dan kembali si penjaga penjara itu merantai pintu, dan menguncinya. Roro tahan sakit pada tubuhnya yang menggabruk ke lantai batu di dalam kerangkeng itu.
Sementara belasan pasang mata dari kerangkeng di sebelahnya menatap kearahnya. Perlahan-lahan Roro putar kepalanya untuk memandang keadaan sekelilingnya. Terkejut ia melihat gadis-gadis seusia dengannya tampak tengah tatapkan pandangan kearahnya. Mata yang memancarkan harapan kosong yang gemerlapan terkena cahaya api obor dari kedua sudut dinding ruangan, dimuka kerangkeng itu.
Belum beberapa lama antaranya telah dipanggul lagi masuk sesosok tubuh yang terbungkus di dalam jala. Upacara dilakukan seperti tadi, yaitu masuk terlebih dulu empat orang bertopeng, yang memberi jalan lalu sang penjaga penjara membukakan pintu kerangkeng. Selanjutnya sudah melemparkan lagi sosok tubuh yang terbungkus jala itu. Dan kembali sang penjaga merantainya.
Roro Centil pentang mata melihat siapa orang yang terbungkus jala seperti dirinya itu. Yang persis menggabruk di sebelah depan tubuhnya. Membelakangi kerangkeng di hadapannya. Ternyata orang itupun tengah pentang mata menatapnya. Begitu orang-orang bertopeng itu beranjak pergi, tiba-tiba tubuh orang disebelahnya itu gulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro, seraya terdengar bisikannya.
"Sssst... Aku akan menolongmu... nona Roro..!"
Tapi yang diajak bicara cuma kerutkan alis, karena Roro memang tak mengenal gadis disebelahnya. Walaupun ia coba mengingat-ingat sekian banyak wajah yang dikenal akrab maupun di jalanan. Memang ada sekilas ia teringat akan seseorang, yang wajahnya hampir mirip dengannya. Apakah ia saudaranya..? Berfikir sesaat Roro Centil, namun ia sudah perlihatkan senyumnya sambil manggut-manggut dan menyahuti sambil berbisik.
"Terimakasih... Eh, siapakah anda...?" Roro sambung bisikannya dengan pertanyaan.
Namun gadis di hadapannya sudah tempelkan telunjuk di bibirnya sebagai jawaban, karena pada saat itu ia telah melihat seorang bertopeng yang berujung lancip di bagian atas kepalanya. Entah dari mana munculnya telah berada di ujung ruangan, didepan kerangkeng dengan tongkat kepala tengkorak di tangannya. Itulah sang ketua komplotan Siluman Hitam. Namun Roro belum mengetahui akan siapa adanya orang itu.
Pelahan digerakkan kepala untuk melihat ke arahnya dari sela-sela benang jala. Sepintas memang sang Ketua itu mirip dengan hantu saja layaknya. Karena dengan jubah yang serba hitam, serta topeng yang menutupi dan membungkus seluruh kepala sampai kerambut yang cuma tongolkan kedua matanya saja dari kedua lubang pada bagian muka. Tampak ia telah ketukkan tongkatnya pada batu tiga kali, dan terdengar suaranya yang serak bernada bengis.
"Mengapa tawanan yang paling istimewa belum juga dibawa masuk...?!" Suara yang santar itu terdengar sampai ke luar goa. Lapat-lapat terdengar seperti suara orang menggerutu, yang didengar oleh Roro dari sebelah dinding bagian belakang penjara. Suasana memang hening, yang tadinya agak ramai dengan suara keluhan dan tangis kecil dari penjara disebelahnya, begitu melihat adanya orang bertopeng lancip ini.
"Apakah yang dimaksud Ketua, tawanan yang ini...?" Terdengar suara lapat-lapat itu.
"Mungkin juga... kenapa tak dibawa masuk sekalian, malah ditinggal ke belakang!" Gerutu suara lapat-lapat itu.
"Paling-paling dia kebelet untuk pergi buang air, makanya ia tinggalkan tawanannya disini, bikin kerjaan buat orang saja..!" Gerutu dari salah seorang lagi.
Kemudian kembali hening. Dan selang beberapa saat, tampak salah seorang dari orang bertopeng itu memasuki ruang goa dengan memanggul tubuh seorang gadis lagi. Sudah tentu diawali dengan keempat orang bertopeng yang lebih dulu masuk. Dan seperti tadi upacaranya gadis yang tertotok pingsan itupun dilemparkan masuk ke dalam ruangan atau penjara disebelahnya, yang masih kosong.
Inikah tawanan yang dikatakan istimewa itu...? Berfikir Roro. Yang segera ia mengetahui gadis itu tak lain dari Sawitri adanya. Tentu saja hal itu membuat Roro Centil jadi terkejut, dan keluarkan desisan dari mulutnya. "Aiiih... Dia pun tertangkap oleh siluman-siluman keparat di Gunung Butak ini. Entah bagaimana nasib si Tumenggung, dan pemuda bernama Prasetyo itu.."
Roro Centil yang memang masih belum dapat membebaskan pengaruh totokan ditubuhnya, segera cepat berfikir. Dan selanjutnya telah berbisik lagi pada si gadis disebelahnya. "Katanya kau mau menolongku... Cepatlah kau bebaskan totokanku...!"
"Aku... aku... hihi.. hi..." Tiba-tiba si gadis disebelahnya itu malah tertawa cekikikan.
"He...? Kenapa kau? Apanya yang lucu...?" Berkata Roro dengan suara perlahan. Sementara alisnya berkerut, tiba-tiba ia merasa agak mengenali suara tertawa itu. Gadis terbungkus jala itu sudah menyahuti.
"Aku memang mau menolongmu, tapi aku sendiri perlu pertolonganmu..." Berbisik si gadis itu.
Tentu saja kata-kata itu membuat Roro jadi mengkal hatinya. Mau menolong orang, tapi ia sendiri perlu pertolongan orang! Adalah sama dengan bohong...! Memaki Roro dalam hatinya. Akan tetapi ia sudah ajukan pertanyaan.
"Hmm, tadi kau belum jawab pertanyaanku siapakah kau sebenarnya, dan dari siapa kau tahu namaku..?!" Desis Roro dengan suara mendesis, karena takut terdengar oleh sang penjaga.
Sementara ia dapat lihat si orang bertopeng lancip yang memakai jubah, dengan tongkat kepala tengkorak itu sudah tak kelihatan lagi. Gadis disebelahnya itu cuma tersenyum saja, dan tidak lantas menjawab. Ternyata ia adalah si dara montok yang tengah mengejar kudanya yang terlepas, tadi siang. Dan menabrak jatuh sang Tumenggung Harya Anabrang, di Sulang.
Saat itu memang dapat dikatakan sudah menjelang sore. Namun keadaan di dalam ruangan goa itu, masih tetap terang benderang, karena cahaya dari apiapi obor, tetap menyala di kiri-kanan dinding ruangan goa.
Waktu makin terus merayap Pegunungan Kapur seperti raksasa yang tengah tidur pulas, disinari cahaya mentari yang sudah mulai condong. Keadaan di ruang atas yang tertutup dengan pintu batu itu, ternyata masih tampak seperti tadi. Tubuh sang gadis itu telah terkulai.
Sementara sepasang mata sejak tadi telah terus mengikuti dari sebuah ruang, tepat didepan sang korban untuk sang Dewa api. Itulah sepasang mata dari seorang wanita, yang berumur kira-kira 35 tahun. Tampak ia seperti turut tersiksa dengan melihat kejadian di depan matanya.
Tiba-tiba sebuah lubang persegi empat yang panjang dan lebarnya sama telah terbuka dari balik dinding ruangan dimana ia berada. Sesosok tubuh tibatiba muncul dari dalam lubang di dinding itu, yang orang hanya dapat masuk dengan membungkukan tubuh terlebih dulu. Itulah sang Ketua Siluman Hitam yang bertopeng lancip dengan sebuah tongkat berkepala tengkorak berada di tangannya.
"Bagaimana dengan persembahan untuk sang Dewa Api itu, nyonya Tumenggung...? Suatu pertunjukkan yang sangat menarik bukan? Ha ha ha., ha.... ha.... Itu baru pertunjukkan yang biasa. Masih ada kelanjutannya. Nanti disaat ia sudah mau sekarat, akan ada lagi satu pertunjukkan yang lebih menegangkan!" Berucap sang Ketua dengan diselingi tertawa sinis.
Ternyata wanita di dalam ruangan itu adalah isteri Tumenggung Harya Anabrang. Didalam ruangan itu penuh berceceran uang emas, dan perak. Bahkan tumpukan-tumpukan buntalan dengan berbagai macam perhiasan berserakan di tempat itu. Agaknya ruangan itu adalah tempat penyimpanan Harta Rampokan.
"Nah, waktunya telah tiba...! Dewa Api sebentar lagi akan menerimanya sebagai korban!" Berkata sang Ketua. Entah apa yang telah dilakukannya, karena tahu-tahu telah menganga lagi sebuah lubang di dinding ruangan itu. Dan segera saja ia telah melompat ke celah pintu batu yang bergerak itu. Dan selanjutnya, pintu batu itu kembali menutup.
Kini sang Ketua Siluman Hitam telah berada di ruangan tempat gadis itu terkulai dengan tangan dan kaki terikat rantai belenggu. Tampak wajah wanita itu terbelatak lagi lebih lebar. Karena dilihatnya sang Ketua Siluman Hitam telah buka jubahnya. Tampak punggungnya yang bertato kepala Tengkorak. Dan ketika ia lepaskan topeng wajahnya, kemudian balikkan tubuhnya.
"Hah..!? Kau... kau..." Terdengar suara wanita itu yang seperti terkejut.
"Benar...! Aku...! Aku adalah sang suami yang telah kau tinggalkan! Kau tinggalkan, karena aku orang yang miskin dan hina dina. Sehingga tak berharga lagi aku dimatamu...! Dimata seorang terhormat. Dimana kau adalah anak seorang Pendekar Besar...! Aku tak dapat membahagiakanmu, makanya kau pergi delapan belas tahun yang silam. Pergi tanpa kabar berita! Ternyata benih dariku itu kau berikan pada si Maling Sakti. Hingga ia tak menyangka kalau anaknya yang lahir adalah anakku...!" Rupanya kau kurang puas juga dengan suamimu. Entah apa yang membuat kau kurang puas, hingga kudengar kau tinggalkan lagi suamimu. Lima belas tahun aku mencarimu, ternyata kau sudah hidup senang dengan suamimu yang baru. Yaitu si Harya Anabrang! Heh! Seandainya ia tak merusak usahaku di Tanjung Awar-awar beberapa pekan yang lalu, mungkin aku telah dapat melupakan dendam yang berkecamuk belasan tahun itu di dadaku. Aku adalah Ketua dari Komplotan Bajak Laut yang sudah menguasai daerah pesisir pantai Utara itu. Gunung Butak adalah markas besarku..! Aku dapat berbuat apa saja tanpa ada yang dapat menahanku. Aku sudah suruh bakar habis Gedung kebanggaan suamimu. Dan Prasetyo anak dari hasil pelarianmu dengan si Tumenggung itu juga sudah kuterima laporannya. Ia sudah dibunuh dan terbakar mayatnya. Lihatlah... Aku banyak harta. Aku sepuluh kali lipat lebih hebat dari suamimu itu. Ha ha ha... ha ha..." Tampak wajah sang Ketua itu merah padam.
"Lihatlah kini sang Dewa Api akan menerima korbannya...!" Berkata laki-laki itu yang sudah seperti bayi yang baru dilahirkan. Saat selanjutnya ia telah geluti sang korban. Panas api seperti menjilat-jilat tubuhnya namun Siluman Hitam tampak tarikan tari maut, diantara peluh dan darah. Manusia dapat lebih kejam dari pada seekor binatang, yang paling buas hanya karena dendam dan sakit hati. Tiba-tiba terdengar teriakannya.
"Keparat..!" Dan sebelah lengannya menghantam ke arah lubang di dinding ruangan. Terdengar suara mengerikan. Dan dua sosok tubuh terjungkal kebawah. Sebentar saja ia telah benahi jubahnya. Dan melesat untuk melongok ke lubang jendela. Terlihatlah di bawah sana dua sosok tubuh terkapar di bawah dinding batu Gunung.
Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk di ruangan bawah. Sang ketua ini cuma perdengarkan dengusan di hidung. Sejenak ia tatap korbannya yang sudah tak bergeming, karena nyawanya telah terbang dari jasadnya. Tanpa berkata apa-apa, ia telah buka belenggu rantai di tangan dan kaki sang korban. Untuk selanjutnya segera ia pondong, dan lemparkan ke dalam lubang berhawa panas itu. Terdengar si wanita terpekik ngeri, melihat kebiadaban orang di hadapannya.
Tampak sepasang mata wanita itu sudah bersimbah peluh dan air mata. Bibirnya terkatup. Bahkan ia sudah gigit bibirnya sampai berdarah. Pernyataan laki-laki dihadapannya itu benar-benar mengguncang perasaannya. Terasa ia hampir gila mendengar disebutnya Prasetyo sudah tewas dibunuh, dan dibakar mayatnya berikut gedung suaminya. Tiba-tiba ia berteriak histeris.
"Syiwo Langit! Kau bunuhlah aku...! Biar kau puas. Jangan kau siksa aku di ruangan ini...! Bunuhlah aku Syiwo Langit...!"
Namun sang Ketua Siluman Hitam itu hanya tertawa sinis. Sepasang matanya memancarkan dendam yang amat luar biasa. "Justru aku tak akan membunuhmu. Karena aku akan tunjukkan lagi di depan matamu satu pertunjukkan serupa...! Aku ingin lihat apakah, kau lebih cinta harta, atau lebih cinta anakmu... Sawitri...!"
"Hah!? Apa yang akan kau lakukan lagi dengan anak itu...?" Terkesiap si wanita itu seketika. Ia merasa benar-benar tengah berhadapan dengan seorang iblis.
Namun lagi-lagi sang Ketua yang dipanggil Syiwo Langit itu sudah kenakan lagi topeng wajahnya. Dan dengan segera ia sudah gerakkan besi panjang di sisi pintu batu. Segera saja bergerit pintu itu terbuka, dan terlihat undakan batu dibawahnya.
* * * * * * *
Sementara itu keadaan di ruang goa dibawa, tangga batu yang tiga ratus undakan itu telah terjadi kericuhan. Kericuhan itu tak lain dari para tawanan wanita yang terkumpul satu kerangkeng. Kiranya seorang tawanan wanita, kembali telah dimasukkan ke penjara berterali besi itu. Walau tidak adanya Sang Ketua. Upacara untuk memasukkan sang tawanan tetap didahului oleh empat orang bertopeng.
Hanya gerakan dan susunan barisan orang bertopeng itu amat berbeda dengan yang tadi. Kalau tadi dua orang dari keempat orang pengawal itu kesisi kiri, dan dua lagi ke sisi kanan. Kini keempatnya berdiri berbaris ke sisi kiri semua. Memberi jalan pada seorang kawannya lagi yang memondong seorang gadis berbaju merah. Terkejut Roro, dan awasi wanita itu.
"Ah!? Roro Dampit telah tertawan juga..!?" Berkata Roro Centil dalam hati.
Sang penjaga penjara agaknya tak memperhatikan akan kejanggalan itu, ia sudah beranjak dari tempatnya berdiri, dan cepat membuka rantai gembok pada pintu penjara yang terisi ke tiga belas wanita itu. Namun begitu si pembawa tawanan memasuki pintu, tiba-tiba keempat orang pengawal itupun turut masuk. Salah seorang dengan gerakan cepat telah merampas kunci di tangannya.
Brug..!
Sang penjaga tersungkur kedalam karena di dorong oleh salah seorang dari para pengawal itu, yang telah merampas kuncinya. Akibat kejadian itu, tentu saja telah terdengar jeritan ketakutan dari para tawanan wanita sehingga menimbulkan kegaduhan. Salah seorang dari pengawal itu kembali menutup pintu dengan cepat, namun tidak menguncinya.
Dan kembali menyuruk masuk ke dalam sehingga kembali terdengar jeritan beberapa wanita. Suasana segera menjadi gaduh. Namun keempat orang pengawal itu, juga si pembawa tawanan dan si penjaga penjara, Sudah terlindung tubuhnya dari luar, oleh karena tertutup oleh ketiga belas wanita itu.
Pada saat riuh itu, Roro tiba-tiba dibisiki oleh si dara montok, yang menggulingkan tubuhnya lebih dekat pada Roro Centil.
"Sssst...! Cepat kau tolong aku dulu. Nanti aku akan menolongmu melepaskan totokan di tubuhmu..!" Berbisik si dara montok.
Lagi-lagi Roro Centil dibuat heran dengan kelakuan orang. Namun sang dara montok itu telah berkata lagi. "Apakah jari-jari tanganmu dapat kau gerakkan..."
Roro cepat menjawab. "Kalau jari tangan, aku masih bisa untuk menggerakkannya. Namun kalau tangan dan kaki aku tak dapat menggerakkan. Karena pengaruh totokan orang bertopeng yang menawanku amat aneh. Bahkan aku sedang mencari jalan untuk membukanya..!"
Si dara montok sudah menjawab lagi. "Bagus. Yang lainnya tidak begitu perlu. Cepatlah kau gerak-gerakkan jari tanganmu untuk menggelitik tubuhku pada bagian pinggang...!"
"Haa...?" Ternganga Roro, mendengar kata-kata si dara montok. Segera saja ia sudah dapat menerka siapa dara montok di hadapannya. "Jadi... jadi kau Joko Sangit...?" Bertanya Roro dengan belalakan matanya.
Si dara montok cuma cengar-cengir sambil berkata: "Kalau kau sudah tahu ya sudah... Hi hi hi..." Tertawa sang "dara" yang kenes ayu itu. Tampakkan giginya dari sela-sela jala.
"Pencuri kau ya... ? BH ku kau curi. Dan kotak perhiasanku pun kau bawa lari. Kemana kau sembunyikan buntalan pakaianku...? Awas, kalau tidak kau kembalikan tahu rasa kau." Berkata lagi Roro Centil sambil perengutkan wajahnya.
"Aiiiiii... Kau sabarlah, sayangku... Semua ini akan ku kembalikan. Tapi cepatlah kau turuti perintahku, kalau kau tak mau dijadikan korban buat si Dewa Api..!" Namun Roro sudah gerakkan jari-jarinya untuk mencubit punggung orang.
"Adoooow..! Bukan kusuruh cubit, nona manis... Tapi di gelitik!" Berkata si "dara" montok itu, yang tak lain dari Joko Sangit adanya. Dan detik selanjutnya sudah terdengar sang "dara ayu" itu telah tertawa cekikikan karena pinggangnya di gelitik Roro Centil.
Tentu saja suara tertawa gelinya tak begitu kentara, karena disebelahnya tengah terjadi kegaduhan. Kiranya si penjaga penjara itu tengah dikerubuti oleh para wanita tawanan itu sambil berteriak-teriak histeris. Beberapa orang sudah mengetahui kalau kerangkeng itu tidak terkunci lagi, dan sudah berdesakan untuk keluar.
Akan tetapi pada saat itu. Enam penjaga ruangan telah berkelebat ke depan penjara. Mereka telah mengetahui akan adanya warga Siluman Hitam palsu yang membuat kericuhan. Segera salah seorang telah keluarkan bentakan.
"Heh! Penyaru-penyaru busuk! Kalian telah masuk ke sarang siluman. Akan sulit bagi kalian untuk bisa pergi dengan selamat...!"
Namun gadis-gadis tawanan itu sudah menyerbu keluar dengan teriakan-teriakan riuh. Mereka berusaha menyelamatkan diri untuk berlari keluar ruangan. Akan tetapi dengan mudah, keenam penjaga ruangan itu telah bergerak untuk menangkap kembali para tawanannya. Pada saat itulah keempat penyaru itu sudah lepaskan topeng pada wajahnya. Dan menerjang ke enam pengawal pengawal itu. Segera terjadi pertempuran.
Sementara si penjaga penjara itu tampak telah tewas. Karena lehernya di jepit oleh sepasang ruyungnya. Dalam kerusuhan itu, ternyata telah membuat kesempatan Joko Sangit yang telah mempergunakan ilmu tertawanya, dapat terlepas dari pengaruh totokan. Yang segera saja dengan cepat ia menjebol jala yang membungkus tubuhnya.
Dan cepat ia bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Roro Centil. Yang segera turut meniru Joko Sangit, menjebol jala sutera. Beruntung tidak menemui kesukaran. Roro segera pergunakan tenaganya untuk membuka paksa pintu penjara, dengan menendang pintu terali itu. Yang langsung jebol dengan suara yang berisik.
Roro Dampit sudah terdengar berteriak: "Adik Pendekar...! Syukurlah kau telah terbebas..!" Dan iapun menerobos ke luar kerangkeng dengan cepat. Roro Centil cepat menghampiri. Dan akan halnya Roro Dampit, sudah segera memeluknya dengan terharu seraya berbisik. "Adik Pendekar..! Rindu sekali aku padamu, adik.."
Roro tepuk-tepuk pundak sahabat baiknya, seraya berucap. "Mana Sentanu...?"
Yang segera Roro Dampit palingkan kepala pada pertarungan. Satu suitan nyaring telah ia perdengarkan, dengan memasukkan dua jari tangan kemulutnya. Dan tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang berpakaian hitam itu, segera melompat ke arah mereka. Orang itu memang Sentanu adanya. Segera ia menjura hormat pada Roro Centil.
Akan tetapi belum lagi Roro membalas, ia sudah gerakkan tangan untuk menghajar jatuh seorang pembokong di belakangnya. Terdengar teriakan ngeri, dibarengi dengan ambruknya tubuh di belakang lakilaki itu. Jerit dari para wanita yang berhamburan menyelamatkan diri itu, ditambah dengan berisiknya suara beradunya senjata, dan suara bentakan-bentakan, membuat suasana amat gaduh.
Dilain saat si dara montok itu, tiba-tiba telah melompat ke dalam ruang yang agak gelap dimuka penjara, dimana di sana ada anak tangga yang menuju ke atas. Namun sebelumnya sempat bisikkan kata-kata pada Roro Centil.
"Aku akan lihat ke ruangan atas. Apakah dua orang kawanku berhasil masuk kesana dari luar dinding gunung..!" Roro Centil cuma kerutkan alis, tapi belum ia mengangguk, orangnya sudah melesat ke sana. Akan tetapi, yang Roro lihat adalah telah terjadi ledakan tepat di hadapan si Joko Sangit, dimana ledakan itu telah menimbulkan asap tebal.
Sehingga keadaan di ruangan itu dipenuhi asap kabut, yang membuat tidak terlihatnya lagi sosok-sosok tubuh. Dan pada saat selanjutnya terlihat oleh Roro dari kesamaran asap kabut itu, yang bergerak ke arahnya. Orang itu sudah berkata seperti memberi perintah atau petunjuk.
"Hayo cepat kau tolongi wanita-wanita yang lainnya untuk mengeluarkan dari ruangan ini..! Aku akan menyelamatkan Sawitri...!" Berkata orang itu.
Tersentak Roro Centil begitu melihat orang yang dikenal itu, ialah yang bernama Tunggul. Yaitu yang telah menyelamatkan Sawitri dan Prasetyo. Sementara itu tanpa ada yang mengetahui, sesosok tubuh dengan diam-diam telah menyelinap masuk ke dalam sebuah ruang gelap di dinding goa. Ia telah lepaskan topeng wajahnya, karena mengganggu penglihatan matanya. Didalam ruang itu segera ia dapat lihat sebuah lubang yang hanya pas untuk meloloskan tubuh satu orang.
Tampak ia celingukan, sejenak seperti takut perbuatan diketahui orang. Dari seberkas cahaya sinar obor yang menempel di dinding goa itu, yang samar-samar agak menerangi wajahnya, diantara asap yang mulai agak menipis, segera dapat diketahui siapa adanya orang itu. Yang tak lain dari Pragola.
Pragola adalah salah seorang dari ketujuh orang bertopeng yang selamat dari pembantaian orang-orang Siluman Hitam, yang dilakukan oleh Tunggul. Yaitu kawannya sendiri yang telah berkhianat. Setelah dirasa keadaan aman, cepat ia loloskan tubuhnya pada lubang sempit itu. Yang segera tampak kembali menutup.
TUJUH
RORO CENTIL kali ini tak terkecoh. Ia segera payang dua orang wanita untuk dibawa keluar ruangan. Asap memang kian menipis. Lalu kembali lagi untuk menyambar lagi dua wanita, yang dengan gerakan sebat kembali ia bawa melompat keluar. Sementara Roro Dampit baru saja terbebas dari asap yang menghalangi matanya. Begitu lihat Roro Centil, segera turut berbuat seperti ia. Yang kemudian dituruti juga oleh Sentanu. Segera masing-masing telah dapat mengenali siapa kawan dan siapa lawan.
Entah apa yang terjadi. Karena dalam kekacauan itu, sang lawanpun ada juga yang turut membawa seorang gadis untuk dibawa keluar. Tentu saja Roro Centil kerutkan keningnya. Dan biarkan orang lewat di dekatnya. Namun kakinya sudah memain. Dengan sedikit julurkan ujung kakinya, si pembawa gadis itu jatuh tersungkur. Namun sebelum tubuhnya menggabruk mencium tanah, ia telah menyambar tubuh sang gadis terlebih dulu.
Keruan saja si pengawal, alias orang Siluman Hitam itu jatuh tersungkur sendirian. Dan ketika ia berusaha untuk bangkit. Dengan satu jejakan kaki Roro Centil membuat tubuhnya terlempar keluar beberapa tombak, dengan perdengarkan teriakan keras. Saat itu Sentanu dan Roro Dampit muncul dengan masing-masing menenteng dua orang wanita pada kedua lengannya. Segera Roro Centil mendahului keluar. Dan lepaskan tubuh gadis di lengannya. Begitu mereka berdua tiba didekatnya Roro Centil segera berkata:
"Terimakasih atas bantuan kalian berdua. Namun kumohon, segeralah kalian selamatkan dulu sebahagiaan dari para tawanan ini ke tempat yang aman. Sementara biar aku yang mengurusi yang lainnya...!"
Kedua orang suami isteri itu anggukkan kepala. Dan terus berkelebat keluar. Sentanu setengah menyeret dua orang gadis yang diselamatkan itu. Untuk selanjutnya mereka seperti tengah menggiring ternak saja layaknya, menarik dan mengajak mereka untuk selamatkan diri ke tempat yang aman. Gadis-gadis atau wanita-wanita yang tampak kesemuanya masih muda-muda itu, segera berlarian ke satu arah yang di pelopori oleh kedua suami isteri itu.
Adapun Roro Centil kembali berkelebat masuk. Tampak dua orang telah bertarung melawan empat orang bertopeng. Sedangkan dua orang lagi telah terkapar bermandikan darah, bercampur dengan tubuh-tubuh beberapa lawan yang berkaparan. Roro yang mengetahui kalau ada empat orang kawan dari Roro Dampit dan Sentanu yang menyamar sebagai anggota komplotan Siluman Hitam itu segera dapat mengenalinya dari topeng yang tak dikenakannya lagi. Namun baru saja ia mau bertindak membantu, sudah didengarnya teriakan si dara montok, yang tak lain dari si Joko Sangit.
"Hai Roro, cepat kejar si penculik itu...!"
"Siapa....?" Roro sudah berkelebat ke dekat Joko Sangit. "Penculik siapa...?!" Roro Centil mengulangi pertanyaan.
"Penculik gadis bernama Sawitri itu...!" Jawab si "dara montok" dengan cepat. Dan ia sudah bergerak mendahului memasuki sebuah celah di dinding goa itu, yang entah sejak kapan telah terbuka.
Roro Centil berkelebat mengejar Joko Sangit, dan turut loloskan tubuh pada celah dinding goa. Segera ia sudah lihat kawan di arah depan. "Haiii! Tunggu dulu..!" Teriak Roro.
Joko Sangit menoleh sambil hentikan tindakan kakinya. "Apa maumu nona manis...!?" Berkata Joko Sangit, dengan menatap keheranan.
Adapun yang ditatapnya juga tampilkan wajah heran. Yang segera saja Roro berujar: "Sawitri telah diselamatkan oleh seseorang bernama Tunggul! Dia adalah kawan, bukan lawan. Karena aku tahu, dia adalah yang pernah menyelamatkan Sawitri dari para penculik gadis itu. Ia memang orang komplotan dari Siluman Hitam. Tapi telah berbalik memusuhi mereka!" Kata-kata Roro terdengar tegas.
Membuat Joko Sangit kerutkan keningnya. Tampak ia palingkan kepala ke arah yang akan mengejar. Namun sudah terdengar ia menggerutu. "Huuu..! Makhluknya pun sudah lenyap!" Katanya seperti orang mengeluh.
"Kau tidak tahu.. dialah yang telah melemparkan benda yang mengeluarkan asap itu, ketika aku akan ke ruang atas...!" Berkata lagi Joko Sangit.
Terhenyak seketika Roro Centil, sejenak ia berfikir dengan kerutkan alis. Lalu berujar: "Sebaiknya kita menyelamatkan dulu wanita-wanita yang lainnya. Dan membantu pertarungan kawan-kawan si wanita berbaju merah itu." Roro hentikan kata-katanya sebentar, dan cepat melanjutkan. "Eh... apakah kau telah mengenal wanita baju merah itu?" Bertanya Roro.
"Maksudmu kedua suami isteri itu...?" Sahut Joko Sangit. Roro Centil anggukkan kepala, dengan menatap wajah orang. Karena menduga ia telah mengetahui kedua sejoli itu. Sementara Joko Sangit telah jatuhkan pantatnya diatas batu.
"Aku sebenarnya tidak mengenal suami isteri itu, tapi mengetahui rencana yang telah disusunnya. Yaitu mengajak empat orang kawannya untuk menyaru sebagai komplotan Siluman Hitam. Dengan berpura-pura membawa tawanan. Padahal yang dibawa sebagai tawanan itu adalah istrinya sendiri, oleh sang suami. Aku memang ada punya maksud tertentu dengan melibatkan diri masuk ke dalam sarang komplotan Siluman Hitam. Sengaja aku umpankan diri untuk bisa tertawan. Tak dinyana yang menawanku bukan saja menjeratku ke dalam jala, bahkan menotok jalan darah pada tubuhku, hingga aku benar-benar tak dapat berkutik..." Bertutur Joko Sangit. Tapi segera ia sudah sambung kata-katanya.
"Oh, ya... Kukembalikan dulu benda milikmu ini..!" Ujarnya, seraya merogoh celah bajunya, dan mengambil sesuatu yang terselip pada ikat pinggangnya, pada bagian perut.
Roro plengoskan wajahnya, karena Joko Sangit memang agak keterlaluan, yang menyibak belahan bajunya dari dada sampai ke bawah pusar, untuk merogoh benda itu. Yang rupanya agak merosot ke bawah. Bahkan sepasang penutup payudara itupun terlihat olehnya. Yang karena bentuknya memang mirip dengan yang asli, mau tak mau Roro sempat juga tersenyum.
Dalam hatinya diam-diam membathin, pantas ia tidak mengenalinya, karena disamping wajahnya memang berpotongan bulat telur, juga berkulit putih dan halus. Tentu saja mirip wanita. Apalagi ditambahi dengan gincu pemulas bibir, dan warna hitam untuk penambah alis. Juga dengan dada yang montok menonjol. Entah rambut palsunya ia dapat dari mana. Karena setahu Roro, Joko Sangit berambut tidak terlalu panjang.
Segera Joko Sangit berikan benda itu, yang ternyata adalah kotak perhiasannya, yang memang lenyap berikut buntalan pakaiannya. Kejadian itu adalah ketika kapal pesiar yang ditumpangi Roro dan Joko Sangit, diserang oleh para perompak di Tanjung Awar-awar. Bahkan ia menduga benda miliknya itu sudah hilang tenggelam, atau turut dirampok oleh para perompak laut waktu itu.
Tidak tahunya dicuri, atau mungkin juga diselamatkan oleh Joko Sangit. Tadi sewaktu di dalam kerangkeng, sengaja ia menggertak lakilaki itu, dengan menuduhnya telah mencuri buntalan pakaiannya. Karena berdasarkan Joko Sangit telah memakai BH pemberian Gurunya, yang entah mengapa ia agak malas memakainya. Ternyata benarlah apa yang diduganya, tentu saja diam-diam ia bersyukur, dapat menemukannya kembali.
"Yang ini aku tak dapat mengembalikannya sekarang..!" Berkata Joko Sangit, sambil menunjuk ke dadanya.
"Nanti aku kembalikan semuanya, dan kuceritakan peristiwanya, hingga kau tidak menuduhku sebagai pencuri... Mau kannnn..?" Lanjutnya, sambil kedipkan sebelah matanya pada Roro Centil.
"Iiih... Genitnya minta ampun! Amit-amit..." Berkata Roro Centil sambil tersenyum. Dan dengan cepat tanpa harus periksa lagi isinya. Roro Centil selipkan kotak perhiasan itu ke balik bajunya.
Tiba-tiba Joko Sangit cepat berdiri, dan berkata: "Ayo, kita bantu menyelamatkan wanita-wanita itu...!" Seraya beranjak untuk kembali ke celah dinding batu gunung itu. Roro yang memang tadi berniat demikian, jadi teringat kalau pekerjaannya tertunda. Segera merekapun bergerak ke sana.
* * * * * * *
Roro Dampit dan Sentanu membawa para tawanan wanita itu, yang telah dapat diselamatkan ke tempat yang aman. Yang ditujunya adalah desa terdekat. Ketika melewati sebuah tempat, mata si wanita baju merah yang jeli itu dapat melihat sesuatu di sebelah kanannya kirakira tujuh delapan tombak. Ia yang memang berada di bagian belakang, dalam iring-iringan wanita itu, segera bisikkan perintah pada seorang gadis didepannya.
"Cepatlah kalian berjalan. Sebentar lagi sudah tiba di desa yang aman!" Yang segera gadis itu kembali berlari menyusul yang lainnya. Sementara ia sendiri berkelebat mendahului, memburu ke tempat Sentanu yang berada di bagian depan. Sebentar kemudian ia telah tiba disana.
"Kak Sentanu... Kau teruslah bawa mereka ke tempat yang aman dimuka sana...! Aku akan mengurusi sesuatu dulu. Sebentar aku akan menyusul." Berkata Roro Dampit.
Sentanu tampak kerutkan keningnya tapi segera mengangguk. Walau tadinya ia mau bertanya tentang urusan yang akan di selesaikan isterinya itu. Segera saja tubuh Roro Dampit berkelebat cepat kembali ke belakang. Ketika tiba ditempat tadi, ia mengambil jalan memutar dengan mata tetap ia arahkan pada sesuatu yang tergeletak disana, pada jarak tujuh atau delapan tombak itu. Keadaan ditempat itu memang tidak rata, karena ada tempat yang rendah dan tinggi. Ditambah, hari sudah hampir gelap.
Tempat tergeletaknya benda dari sesuatu yang mencurigakan itu adalah di bawah lamping batu terjal, sedang pada bagian bawahnya tempat lebat oleh semak dan pepohonan. Dengan gerak kucing mengintai tikus, ia telah tiba di tempat itu, yang dengan merayap sedikit, ia telah raih benda itu. Itulah secarik kain yang sobek. Ia segera palingkan kepala ke beberapa tempat. Dan kembali terlihat sobekan pakaian, di sebelah agak ke bawah. Cepat, namun tanpa menimbulkan suara ia merangkak kesana.
Dan benarlah dugaannya. Karena dibalik lamping batu itu sudah terdengar dengus napas yang seperti suara orang habis dikejar setan. Dan memanglah orang itu sendiri setannya. Karena seekor srigala yang tengah mendengus liar tengah menyantap korban. Sepasang kakinya yang berbulu lebat itu bergerak-gerak, membuat Roro Dampit tahan napasnya. Pelahan lahan ia sudah cabut keluar sepasang ruyungnya. Sementara darahnya seperti mendidih melihat kebiadaban makhluk srigala dihadapannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan yang lemah lalu sepasang kaki pelanduk yang kecil itu tampak bergerak mengejang, lalu terhentak-hentak seperti tengah menahan kesakitan yang amat sangat, atau juga tengah menghadapi sekarat. Tersentak Roro Dampit, ketika melihat sepasang kaki pelanduk itu terkulai. Dan sang srigala tampak bangkit dengan gigi dan taring-taringnya berlepotan darah segar.
"Biadab..!" Terdengar teriakan keras Roro Dampit. Dan....
Crep! Sepasang ruyungnya telah meluncur deras dan menancap kedua-duanya pada tengkuk dan punggung sang srigala buas itu hingga menembus ke leher dan dada. Terdengar suara menggerung keras. Hanya sekejap Roro Dampit telah mencabut kembali sepasang ruyungnya.
Maka terdengarlah lengkingan sang serigala yang suaranya terdengar bagai mau menembus langit. Dibarengi dengan ambruknya tubuh sang srigala, dengan darah segar berhamburan memuncrat memercik ke atas batu dan semak. Tampak sepasang mata Roro Dampit telah kucurkan air mata, yang meleleh di pipinya. Tapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ia mendengar suara tertawa di belakangnya.
Segera ia palingkan kepala untuk melihat. Tampak tiga orang yang berpakaian dan bertopeng hitam telah berdiri berjajar seperti tengah menyaksikan kejadian yang seru itu, dan membiarkannya berlangsung di depan mata. Salah seorang sudah berkata dengan mendengus, tatapan matanya berkilat-kilat.
"Heh...! Singa betina ini agaknya lebih baik dibanding dengan seekor kancil yang kemarin kita dapatkan...!"
"Betul, sobat...! Aku setuju bila kita ingin permainan yang unik dengan singa liar ini..! Setujuu...?" Berkata seorang lagi sambil membuka topeng wajahnya.
Ternyata ia seorang bertampang seram, karena dari bibirnya tersembul dua buah gigi yang mencuat ke atas. Yang dua orang lagi segera ikut membuka topengnya. Segera terlihat. Yang seorang hidungnya somplak sebelah. Sedang seorang lagi lebih seram. Karena ada goresan melintang dari pipi sampai ke ujung dahi. Seperti bekas luka bacokan senjata tajam. Tembusan luka itu sampai melewati biji matanya, yang tampak melejit keluar.
Roro Dampit bergidik ngeri melihat wajah-wajah ketiga orang itu. Ia sudah bersiapsiap dengan sepasang ruyungnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Tampak si gigi mencuat mengeluarkan sebuah cambuk dari kulit kerbau. Sedang yang dua orang, satu mengeluarkan tambang yang digulung beberapa lingkaran.
Dan satu lagi mengeluarkan clurit, yang tampak berkilat terkena cahaya matahari di ujung bukit. Karena jalan ke atas telah tertutup oleh ketiga orang seram itu, Roro Dampit segera putar tubuh untuk melompat ke bawah. Namun ketiga orang itu dengan serempak telah berkelebatan mengejarnya.
"He he he... Mau lari kemana kau singa liar...!" Si hidung somplak yang bersuara di hidung itu lebih dulu mengejarnya. Tiba-tiba gulungan tambangnya meluncur bagaikan tali laso saja yang dipergunakan untuk menjerat kuda liar.
Rrrrrt...!
Roro Dampit tak menyangka kalau tali itu yang telah meluncur. Karena jalan yang menurun itu agak curam, ia tak bisa leluasa untuk melompat menghindar. Sehingga cuma sebentar saja ia sudah kena terjerat tambang. Dan tanpa ampun lagi tubuhnya telah terbanting ke tanah bergulingan. Ketiga orang itu bagai baru menangkap seekor binatang buruan mengejar hasil buruannya dengan suara tertawa yang tak enak untuk didengar.
"Hebat, kau Ludira! Ayo cepat kau ringkus dia..!" Berteriak si gigi mencuat sambil melompat lebih dulu.
Roro Dampit dengan menggertak gigi berusaha bangkit, untuk lepaskan tali yang menjerat tubuhnya. Namun satu sabetan cambuk telah membuat ia kembali terjungkal dengan pekikan menyayat.
"Iblis keparat..! Lepaskan aku..!" Berteriak Roro Dampit, sambil ayunkan ruyungnya membabat kaki si gigi mencuat. Namun sekali ia lompat, ia telah dapat menghindar. Tiba-tiba....
Rrrrrt..!
Kembali tambang laso si hidung somplak menyambar lengannya. Tak ampun lagi Roro Dampi terpekik karena sebelah lengannya yang memegang ruyung telah kena terjerat lagi. Ternyata tambang itu mempunyai dua penjerat pada kedua ujungnya. Belum sempat ia berbuat sesuatu, si hidung somplak telah berkelebat turun untuk selanjutnya ia telah berhasil meringkus Roro Dampit, yang cuma bisa berteriak-teriak dengan wajah pucat pias.
Selanjutnya ia telah pondong tubuh sang korban meluncur turun ke bawah, diikuti si muka codet yang tertawa berkakakan. Pada sebatang pohon dibawah lamping bukit itu Roro Dampit di ikat dengan tangan ke belakang. Dan kaki terpentang. Seperti orang tengah menjagal seekor kambing saja layaknya.
Bret! Bret! Dua kali tangan si codet bergerak ia telah merobek pakaian si pengantin, yang baru berbulan madu itu.
"Tidak..! Tidaaak..! Lepaskan aku!? Lepaskaaaan..!" Roro Dampit berteriak dengan wajah pias. Sementara jantungnya berdetak keras. Ia sudah tahu apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Segera saja air matanya membanjir membasahi kedua pipinya. Tampak ia seperti menyesal, mengapa ia tak menjadi seorang yang berkepandaian tinggi...? Mengapa...? Mengapa...?! Memekik hatinya. Namun semua itu sudah terlambat. Kenyataan itu telah ia hadapi.
Bret..! Kembali satu sentakan tangan si muka codet, telah membuat segala yang menghalangi menjadi agak terang. Dan satu sentakan sekali lagi, dua bukit yang tegak menjulang melambai untuk dijamah petani. Tangan si muka codet sudah mau bergerak lagi untuk membabat habis ranting penghalang. Namun saat itu telah terdengar suara si gigi mencuat untuk menahannya.
"Tunggu dulu sobatku..! Cukup dulu sampai di sini. Aku mau lihat kekuatan singa liar ini. He he he., he he..."
Segera si muka codet menyingkir. Dan si gigi mencuat telah putar-putarkan cambuknya di udara. Selanjutnya...
Ctarrrr...! Terdengar suara keras yang memekakkan telinga. Roro Dampit menjerit histeris, ketika ujung cambuk itu menjilat tubuhnya.
Ctarrrr...! Kembali ia menggeliat menahan sakit. Dua garis memanjang tampak terlihat memerah dari leher sampai ke bawah dada dan sebuah lagi menyilang ke sisi. Terdengar si gigi mencuat tertawa berkakakan diikuti kedua kawannya.
"Aduuh... kau keterlaluan Trimbil, masa batu pualam yang mahal harganya ini kau coret-coret begini...? Biarlah aku yang menghapusnya..!" Berkata ia sambil leletkan lidah.
Roro Dampit terpekik dengan belalakkan mata. Lidah yang terjulur itu ternyata benar-benar telah menghapus semua impian indahnya bersama Sentanu. "Tidaaak..! Tidaaak..! Tidaaak..!"
Teriakan Roro Dampit bagaikan auman seekor singa yang mengerung kesakitan. Saat selanjutnya sudah terdengar lagi suara iblis-iblis yang tertawa berkakakan. Diiringi menggeletarnya suara ujung cambuk yang menyentuh kulit.
DELAPAN
Pekik mengerikan segera terdengar ketika tubuh Pragola terlempar dari jendela diatas ruang, yang tingginya tiga ratus undakan itu. Walaupun tubuhnya terlapis dengan pelat baja tipis, yang anti bacokan senjata tajam. Namun ia tak dapat menahan terbangnya sang nyawa karena sekejap saja batu-batu terjal dibawah dinding gunung itu telah memangsa tubuhnya yang bagaikan mengkremus mentah-mentah tulang-tulangnya.
Tunggul memandang ke bawah dengan geram. Sementara matanya menatap ceceran uang emas dan perak, yang nyaris saja ludes digondol si pencuri licik, yang memang sudah lama mengincar "harta karun" di ruangan itu. Seandainya ia tak memakai jalan-jalan rahasia, yang dapat mencapai arah ke ruang atas, tak nantinya ia dapat memergoki Pragola, yang telah berada di ruangan itu. Dan tengah bergegas mengumpulkan benda-benda berharga!
Sementara wanita isteri Tumenggung Harya Anabrang, cuma terpaku bagai patung, berdiri di sudut ruangan. Betapa terkejutnya si wanita ini tadi, ketika mendengar pintu batu berderit. Dan sesosok tubuh telah bergerak masuk ke dalam ruangan tempat ia terkurung, ia mengira yang datang adalah Syiwo Langit. Tapi di luar dugaan, yang muncul itu seorang laki-laki berambut keriting, yang tak lain dari Pragola.
Ia tak mengenal laki-laki itu, yang hanya sekejap saja menatap padanya, tapi selanjutnya sepasang matanya telah beralih pada tumpukan harta benda, dan ratusan keping uang mas, yang tercecer dalam ruangan itu. Sepasang mata Pragola jadi bersinar gemerlapan. Bagaikan mau melejit saja biji matanya keluar, ketika kilatan-kilatan uang logam emas dan perak dan tumpukan permata mutu manikam yang menyilaukan pandangannya itu, seperti telah menyihirnya untuk segera meraih dengan tangannya.
Seperti hilang akal ia segera meraup keping-keping berharga itu dengan tangan gemetaran. Dan jejalkan pada saku bajunya. Setumpuk perhiasan yang gemerlapan itu cepat ia raup dengan kedua tangannya yang sebelum ia masukkan ke dalam bajunya, telah ia pandang terlebih dulu, seperti tengah mengagumi akan keindahannya.
Sehingga ia tak mengetahui kalau pada saat itu sesosok tubuh telah muncul di pintu batu yang masih terbuka. Sesosok tubuh yang memanggul seorang gadis. Yang tak lain dari seorang laki-laki bernama Tunggul. Pelahan-lahan ia kembali menyelinap dari pintu batu itu. Tapi hanya sesaat. karena sudah muncul lagi.
Namun tanpa si gadis pada pundaknya. Tiba-tiba sebelah lengannya terjulur menyambar tengkuk Pragola, yang jadi tersentak kaget bagaikan orang terkena Strom saja layaknya. Namun hanya sekejap. Karena sebelah lengan Tunggul kembali telah bergerak untuk menotoknya, sehingga Pragola hanya mampu berteriak tergagap, dengan tubuh tergetar hebat. Seluruh persendian tubuhnya telah lemah lunglai.
Brug..!
Ia telah bantingkan tubuh Pragola ke lantai, yang sudah tak dapat berkutik lagi dan jatuh menggeloso bagai sehelai kain. Sementara sang isteri Tumenggung cuma bisa katupkan bibir, dengan tubuh gemetar berdiri di sudut ruang. Tampak tubuh Tunggul telah menyelinap kembali ke pintu batu. Yang sekejap kemudian telah kembali lagi dengan memanggul tubuh gadis tadi, yang tak lain adalah Sawitri.
Sekali ia menggerakkan tangan untuk menggeser sebuah batu persegi yang menempel di dinding ruangan, pintu itu kembali menutup. Tiba-tiba wanita ini perdengarkan suaranya yang menggeletar menatap siapa gadis yang telah digeletakkan di hadapannya itu, oleh Tunggul. Yang segera ia merangkulnya dengan isak tertahan sementara air matanya mulai lagi menetes, mengalir dari pipinya. Tiba-tiba ia dongakkan kepalanya pada laki-laki berkumis dan berjenggot hitam legam itu untuk menatapnya seraya berkata:
"Syiwo Langit...! Apa yang kau mau lakukan pada anakku?"
"Hm...! Kau dapat melihatnya nanti nyonya Tumenggung...!"
Seraya berkata ia telah kembali gerakkan tangan untuk membuka sebuah lubang pada dinding ruangan. Sebuah lubang yang hanya muat untuk masuk tubuh manusia dengan merangkak. Selanjutnya ia telah seret tubuh Pragola, yang berteriak-teriak bagai orang kesurupan. Namun laki-laki berhati keras, dan berdarah dingin ini mana mau mendengar teriakannya...?
Gemerincing uang mas dan perak berhamburan keluar dari saku baju Pragola, yang terus diseretnya hingga ke bawah jendela di dinding ruangan yang berhawa panas itu. Pragola menangis bagai anak kecil. Sesambat memohon ampun. Namun bagaikan seorang yang tuli, Tunggul telah mengangkat tubuh Pragola keatas jendela.
Dan tanpa berkedip, ia telah lemparkan tubuhnya keluar. Terdengar teriakan yang menyayat hati. Tubuh Pragola melayang, meluncur deras dari tempat ketinggian itu untuk segera menemui kematiannya. Demikianlah peristiwa yang tadi telah terjadi. Dan saat berikutnya Tunggul sudah melangkah lagi untuk masuk, dan merangkak kedalam ruangan.
"Tidak..! Tidaaak..!? Jangan kau lakukan itu pada anakku...! Jangaaaaaan..!" Berteriak wanita itu sekuat-kuatnya sambil memeluki tubuh Sawitri yang tergolek pingsan.
Tunggul cuma perdengarkan suara di hidung. Sepasang matanya menatap perempuan itu tak berkedip. Tiba-tiba ia telah perdengarkan suara tertawanya. "Ha ha ha... ha ha ha.... Mengapa kau melarang apa yang akan aku lakukan...? Bukankah kau lebih menyayangi harta dari pada anakmu..? Kau titipkan Sawitri pada orang lain tanpa kau mau mengakui ia adalah anakmu..! Apakah kau merasa telah membesarkannya dengan sumbangan-sumbangan pangan yang kau berikan selama ini dengan hartamu...? Dengan harta suamimu, yang kau bangga-banggakan itu...? Heh..! Tidak! Ia besar dan tumbuh dengan sendirinya. Walaupun kau tak berikan sumbangan sepeserpun! Karena Tuhan yang telah membesarkannya..! Ia memang tumbuh karena ia masih ditakdirkan untuk hidup dan menjadi besar..! Tapi ia tumbuh tanpa kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu kandung yang telah menyisihkannya dari gelimang kemewahan. Dan juga telah menyisihkannya dari ayah kandungnya. Semua itu kau lakukan karena ayahnya telah jadi seorang hina papa, sejak musibah menimpa kehidupannya..! Apakah dia harus menyalahkan perang...? Menyalahkan keadaan tanah air..? Menyalahkan Kerajaan..?! Menyalahkan manusia-manusia rakus yang merampok seluruh harta bendanya... hanya karena ia dianggap pemberontak! Padahal semua itu adalah fitnah keji dari seorang pembesar Kerajaan yang berhati srigala berbulu domba. Yang mempergunakan siasat memancing ikan di air keruh, dengan mencari kesempatan dalam kesempitan. Mempergunakan pangkat hanya untuk memperkaya diri sendiri..."
Suara Tunggul menggema santar di ruangan itu. Dengan nada yang semakin parau, karena iapun tengah menahan kepedihan yang teramat sangat. Kepedihan dari penderitaan, yang telah merobahnya menjadi seorang yang berhati keras bagaikan batu, dan merobah jiwanya menjadi seorang yang berdarah dingin.
"Aku sadar, kalau kau hanya mengejar kemewahan! Mengejar duniawi yang tak ada kepuasannya. Kau bukan mencintai diriku, tapi mencintai hartaku..! Kau tinggalkan aku setelah aku tak punya apa-apa lagi! Kau bawa lari benih dariku untuk kau berikan pada seorang laki-laki yang juga kau cintai karena hartanya. Laki-laki itu Jarot Suradilaga alias si Maling Sakti. Hingga lahirnya anak yang telah kau beri nama Sawitri. Anak yang dianggap oleh ayahmu si Pendekar Bayangan yang bernama Bayu Seta adalah cucunya, yang mutlak dari hasil pernikahanmu dengan Jarot. Padahal benih itu berasal dariku..! Kau dustai Jarot...! Kau dustai ayahmu..! Kau dustai dirimu sendiri...! Kau tutup rahasia pada Sawitri, siapa ayahnya... siapa ibunya..! Juga kau tutup rahasia itu pada Prasetyo anakmu, hasil dari suamimu si Tumenggung itu. Sehingga kedua bocah itu hampir saja terjerumus untuk saling mencinta..! Kini semua apa yang kau banggakan itu sudah musnah! Suamimu sudah jatuh melarat! Aku telah memberinya berita untuk datang kemari ternyata ia belum memunculkan diri. Akan kusuruh ia saksikan upacara pengorbanan isteri dan anak gadisnya walaupun anak itu adalah anakku. Namun aku tahu ia amat menyayangi Sawitri. Aku tahu semua itu dari Punta. Sayang Punta turut campur urusanku, sehingga terpaksa aku membunuhnya..!"
Sampai disini Tunggul hentikan kata-katanya lagi. Tampaknya sepasang matanya merah seperti menyala. Wajahnya yang kaku itu seperti menampilkan kekerasan hatinya. Sementara suara isak tersendat terdengar dari wanita isteri Tumenggung itu yang masih tundukkan wajah dengan memeluk anak gadisnya. Air matanya sejak tadi terus mengalir membasahi pipi, dan jatuh ke dada sang anak.
Tiba-tiba Tunggul alias Syiwo Langit telah berkata lagi. "Kini pilihan diantara dua.... Apakah kau lebih cinta anakmu, ataukah lebih mencintai harta benda...? Akan kuberikan semua harta yang ku kumpulkan ini semuanya untukmu. Kau boleh cari lagi si Tumenggung itu, untuk kau teruskan hidup bahagiamu dengannya. Tanpa harus kau takutkan aku mengganggumu. Karena aku tak akan mengganggu walau selembar rambut kalian! Nah berikanlah anakmu. Dan biarkanlah ia kuperbuat sesuka hatiku. Karena dia adalah darah dagingku..!" Berkata Tunggul sambil membungkuk untuk meraih tubuh Sawitri.
Akan tetapi si wanita itu telah menjerit histeris. "Tidaaak..! Tidaaaak...! Jangan kau sentuh dia..! Jangan kau pisahkan ia dari sisiku lagi, Syiwo Langit. Ampunilah kasalahanku... Ampunilah dosaku..! Dia anakku...! Dia darah dagingku..! Dia.. dia... anak kita...! Sawitri anak kita..!"
Tampak Tunggul kembali berdiri, dan tegak bagai arca, tak bergeming. Kata-kata itu seperti nyanyian indah yang membisik di telinganya. Begitu menyejukkan. Begitu meresap ke dalam kalbu. Alangkah indahnya kata-kata itu..! Membisik hatinya. Kata-kata yang ia dambakan hampir separuh dari hidupnya. Kata-kata yang membuat jiwanya yang panas menggelegak, seperti tersiram air sejuk.
"Dia anak kita...! Sawitri anak...!"
Suara yang menghiba itu amat menyayat hati, dan berulang-ulang menggema di telinganya. Tegakah ia berbuat senaib itu pada darah dagingnya sendiri...? Tegakah ia lakukan perbuatan terkutuk itu hanya karena untuk membuktikan kekerasan jiwanya. Membuktikan bahwa iapun seorang laki-laki. Yang dapat berbuat apa saja di hadapan bekas isterinya, yang masih syah sebagai isterinya! Yang semua itu harus ditebus oleh pengorbanan sang anak.
Pengorbanan yang tidak mutlak. Pengorbanan yang akan membawa murka Tuhan. Karena perbuatan itu adalah perbuatan yang amat terkutuk. Tampak ada air bening menetes dari pelupuk mata Tunggul. Air mata suci yang keluar dari dorongan hati nurani yang masih bersih. Seekor binatang yang paling buas sekalipun tak akan memangsa anaknya sendiri. Namun bila hal itu bisa juga terjadi. Maka manusia itu lebih rendah martabatnya dari pada seekor binatang...!
Padahal manusia diciptakan Tuhan adalah sebagai insan yang paling mulia. Melebihi makhluk-makhluk lain yang telah diciptakanNya. Hanya karena dorongan hawa nafsu sajalah, yang membuat manusia lupa akan harkat kemanusiaannya. Hawa nafsu yang datangnya dari Syetan! Dari Iblis! Yang merasuk pada hati manusia. Menguasai akal sehatnya. Sehingga manusia terbuai oleh bisikan-bisikan nafsu lahiriahnya yang sudah ditunggangi oleh para Syetan dan Iblis!
Tubuh Tunggul tampak tiba-tiba tergetar hebat. Ia seperti sebuah arca yang sudah mau runtuh ke bumi. Kekerasan hati dan jiwanya tampak luluh. Tulang-tulang persendian lemah, seperti sudah tak kuat untuk menyangga sang tubuh untuk terus berdiri tegak. Dan tiba-tiba saja tubuh Tunggul meluncur turun untuk jatuh menekuk lutut. Kepalanya tertunduk dengan sepasang mata yang terpejam namun penuh bersimbah air mata. Ada suara yang didengarnya. Suara dari seorang wanita yang telah kembali sadar akan kesalahan dan dosanya. Suara yang lembut penuh kasih sayang.
"Kakang Syiwo Langit...! Maafkan segala kesalahanku yang telah membuat kau menderita. Membuat jiwa jadi berubah kejam, karena memendam sakit hati dan dendam karena ulahku. Maafkanlah aku kakang..."
Dan terasa oleh Tunggul tubuhnya telah dipeluk orang. Karena memang wanita isterinya itu telah memeluknya dengan menciuminya pada wajahnya, sehingga air mata mereka bercampur menjadi satu. Ternyata bukan hanya air mata mereka saja yang menjadi satu, tapi hati merekapun telah kembali bersatu.
Tunggul biarkan wajahnya diciumi sepuas hati. Dan biarkan wajahnya menjadi basah bersimbah air mata. Karena ia telah menenangkan segala perasaannya menenangkan hatinya yang berkecamuk oleh berbagai perasaan. Bahagiakah ia? Sedihkah ia...? Tunggul tak tahu akan semua yang ia harus ia ungkapkan.
Namun Tunggul bukanlah Tunggul yang berhati bagai batu karang lagi. Bukan pula yang berjiwa telengas dan kejam lagi. Karena semua itu seperti telah terpupus dengan kenyataan yang tak dapat ia bantah. Ia masih mencintai wanita itu. Ia masih mendambakan kasih sayang dan kehidupan bahagia bersama anak yang dikasihinya Sawitri. Dan sekonyong-konyong Tunggul balas memeluknya.
Sementara tanpa mereka mengetahui, sang anak sudah sejak tadi pentang mata untuk melihat kejadian di depan matanya. Telinganya sudah sejak tadi mendengar apa yang telah diungkapkan oleh ayahnya. Namun Sawitri memang berhati keras ia bertahan untuk tidak bergeming, dengan menahan perasaan hatinya. Kini melihat kedua orang dihadapannya tengah saling berangkulan, bertangisan. Gadis ini yang sudah sejak tadi melelehkan air mata, tiba-tiba telah perdengarkan teriakannya.
"Ibuuuuu.! Ayaaaaah..!" Dan serta merta ia telah bangkit untuk segera memeluk kedua orang tuanya. Yang segera saja ramailah suara orang bertangisan di dalam ruangan itu. Sawitri seperti juga baru sadar dari sebuah mimpi. Karena baru untuk pertama kalinya ia merasakan pelukan dari kedua ayah dan ibunya, yang menangisinya dengan penuh keharuan.
Sementara di luar langit yang terlihat dari jendela di dinding ruangan itu tampak memerah. Terlihat begitu indah. Rupanya sang matahari sebentar lagi akan tenggelam seolah untuk sejenak beristirahat. Yang segera menggantikan datangnya malam. Untuk kembali bersinar pada esok pagi. Dimana ia akan berikan sinarnya untuk kehidupan. Untuk ketentraman pada semua makhluk diatas dunia.
SEMBILAN
JERITAN-JERITAN parau disengaja itu membuat burung-burung yang sudah mencari tempat untuk tidur didahan-dahan dan ranting pepohonan jadi buyar berhamburan dan berterbangan dengan ketakutan. Suara jeritan itu datangnya dari lamping bukit terjal itu. Tampak tiga orang berpakaian serba hitam dengan wajah wajah seram itu telah terjungkal roboh bermandikan darah.
Ternyata saat-saat yang mengerikan buat Roro Dampit, telah terhapus sekejap mata. Dengan munculnya Roro Centil pada saat yang tepat. Sehingga perbuatan terkutuk yang akan menimpa dirinya itu dapat di gagalkan. Roro Centil memapah tubuh Roro Dampit dengan terharu. Beruntung Joko Sangit mau memberikan pakaian wanitanya pada wanita malang itu. Sehingga mereka dapat segera meneruskan langkah untuk menuju desa. Menyusul Sentanu.
Dari jauh terlihat Sawitri mengejar mereka. Wajahnya tampak cerah, secerah langit yang masih tampakkan sinar merahnya. Sambil berjalan ia ceritakan pada Roro Centil bahwa keluarganya telah kembali bersatu. Ia telah menemukan kedua orang tuanya yang sebenarnya. Dan ia ada mendengar bahwa harta yang amat banyak, yang dikumpulkan ayahnya yang bernama Tunggul itu akan di bagi-bagikan untuk orang-orang miskin.
Tentu saja Roro Centil tertawa gelak-gelak dan peluk tubuh Sawitri. Ia sudah dengar semua kejadian di atas ruangan goa itu dari balik pintu batu. Ia dengarkan bersama Joko Sangit yang tadinya berniat mengangkangi harta itu. Namun bukannya segera merampas harta, bahkan menangis cucurkan air mata. Masih untung ia tidak menangis dengan keluarkan suara. Kalau itu terjadi, bisa jadi Roro bertepuk tangan menyoraki.
Walaupun Roro Centil sendiri sudah basah semua pipinya mengalirkan air mata. Karena ia segera tahu siapa mereka. Siapa Sawitri. Yang tak lain adalah masih cucunya si Pendekar Bayangan. Yaitu mertua Gurunya di lereng Gunung Rogojembangan. Namun kini ia mengetahui kalau Sawitri adalah bukan anak dari si Maling Sakti, Gurunya. Melainkan anak dari Tunggul alias Syiwo Langit. Seorang bekas kepala perompak yang bermarkas di Gunung Butak.
"Nanti ayah dan ibu akan menyusul kemari, katanya sih besok pagi..!" Berkata Sawitri. Yang disahuti oleh Joko Sangit dengan prengutkan wajahnya.
"Aiiih, rupanya sang Dewa Api mau beraduhai dulu dengan sang permaisuri, sehingga ia buru-buru suruh anak gadisnya menyusul kita...!" Tentu saja semua jadi tertawa.
Tiba-tiba Roro Centil ajukan pertanyaan pada Sawitri. "Eh, adik..! Bagaimana kalau tiba-tiba ada seorang "jejaka tua" yang mau melamarmu...? Apakah kau terima...?" Berkata Roro Centil sambil melirik pada Joko Sangit.
Tentu saja yang dilirik jadi plototkan matanya pada Roro Centil, dengan wajah marah... Karena ia tahu orang tengah menyindirnya. Namun di luar dugaan Sawitri dengan polos telah menyahuti:
"Kalau orangnya baik, dan mengerti hati wanita, aku sih setuju saja..."
Karuan saja wajah Joko Sangit semakin merah bagai kepiting direbus. Dan kembali terdengar suara tertawa geli, bahkan Roro Dampit yang baru saja terlepas dari musibah ikut tersenyum. Saat selanjutnya mereka sudah mempercepat perjalanan. Sementara beberapa wanita yang sudah terbebas dari cengkeraman orang-orang komplotan Siluman Hitam itu tampak bergegas untuk cepat kembali menemui sanak keluarganya.
Beberapa pekan sudah berlalu, sejak lenyapnya komplotan Siluman Hitam di daerah Tambak Boyo dekat Tuban, tampak terlihat seorang laki-laki tua yang berambut kusut dan pakaian compang-camping terlihat sering mondar-mandir di tepi pantai. Orang sudah tak mengenalnya lagi kalau ia adalah bekas seorang bangsawan ternama yang berpangkat Tumenggung.
Karena penduduk di sekitar pantai cuma mengenalnya sebagai orang yang sudah hilang ingatan. Yang sering duduk-duduk di tepi pantai atau kadang-kadang berlari-lari seperti tengah memacu kudanya, dengan mempergunakan pelepah daun kelapa sebagai tunggangannya. Dan berteriak-teriak seperti tengah menyerbu musuh. Tetapi kadang-kadang ia tertawa dan menangis seperti anak kecil. Atau berteriak-teriak, dengan berlaritari di tapi pantai.
"Api... api.... Cepat selamatkan dirimu anakku..! Cepat lari...! Lari..!" Demikian ia berteriak-teriak, seperti melihat laut bagaikan telah berubah menjadi lautan api.
Entah siapa anaknya yang selalu diingatnya itu, tak ada yang tahu. Bila ia sekejap kembali sadar. Ia duduk bersimpuh diatas pasir sambil menangis. Namun sebentar kemudian telah tertawa-tawa kembali seperti orang yang baru menang dalam peperangan. Dialah Tumenggung Harya Anabrang. Seorang manusia yang juga jadi korban dari apa yang namanya Cinta. Korban dari api dendam yang telah membakar Cinta. Dari seorang anak manusia.
Takdir adalah takdir...! Yang manusia tak mampu untuk menolaknya. Apapun bisa terjadi di atas dunia ini, selama masih adanya nafsu. Namun nafsu pun tak akan pernah sirna di atas jagat ini seperti juga Cinta. Karena nafsu memang dibutuhkan oleh manusia. Seperti juga manusia membutuhkan Cinta...!
Tapi bagi manusia yang mengerti, dan dapat mempergunakan akalnya ia akan dapat selalu mengendalikan hawa nafsunya. Karena dari nafsu yang terkendali, manusia dapat mewujudkan Cinta Kasih yang murni... Yang bebas dari pengaruh hawa nafsu yang telah di tunggangi Syetan.
Tiada peperangan yang lebih besar, selain peperangan melawan hawa nafsunya sendiri. Karena Syetan akan terus menggoda hati manusia agar terus mengikuti hawa nafsunya, sampai ia terseret semakin jauh semakin jauh...! Hingga terjerumus ke dalam jurang yang paling dalam.
Selanjutnya,