Siluman Kera Putih

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Siluman Kera Putih Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Siluman Kera Putih

Karya : Mario Gembala

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
Camar-camar laut itu beterbangan di atas air, dengan suaranya yang bercuit-cuit. Sepasang sayapnya terbentang lebar. Melayang bersimpang siur seperti bosan-bosannya mengintai ikan kecil-kecil yang tersembul di permukaan air. Sesekali burung-burung laut itu tampak menukik, untuk menyambar mangsa. Gerakannya amat gesit. Bila telah melayang lagi ke atas, tentu akan terlihat ikan kecil terselip diantara paruhnya.

Sementara itu beberapa ekor bangau menukik turun, dan hinggap di pasir berair. Ombak sesekali datang menyambar kaki-kaki kecil yang panjang itu. Beberapa ekor berlarian di pasir. Dan di atas batu karang bergerombol burung-burung lain pemakan ikan.

Ketika batu kecil meluncur ke arahnya, terdengar suara riuh. Dan beterbanganlah mereka menjauh. Sang bangaupun pentang sayap untuk meluncur terbang disertai pekik ketakutan. Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi kembali. Karang-karang telanjang itu cuma membisu. Sementara itu deburan-deburan ombak tiada henti menghantamnya. Memuncratkan air dan buih, yang seperti menari-nari di bawahnya.

Dua sosok tubuh tampak berjalan mendekati pantai. Semakin dekat. semakin jelas siapa mereka. Ternyata adalah dua orang muda. Seorang laki-laki cukup tampan, dan seorang gadis berwajah manis. Tampak si pemuda membungkuk, untuk kembali mengambil sepotong batu kecil. Dan lemparkan ke sisi laut.

"Apakah kau sudah bulatkan tekadmu untuk pergi dari rumah orang tuamu..?" Bertanya si pemuda. Seraya palingkan kepala pada gadis di sebelahnya.

Gadis berbaju putih itu mengangguk. Akan tetapi si pemuda sebaliknya tampak jadi serba salah. Sebatang kayu rebah di tepi pasir itu dihampirinya. Dan dengan wajah menghadap laut, ia sudah duduk disana.

Terdengar suaranya menghela napas. Dan ada kata-kata lagi mendesis dari mulutnya. "Aku khawatir akan terjadi hal yang bakal berbuntut panjang kelak, bila suatu saat kita diketahui telah berdua..!" Berkata si pemuda. Gadis manis itupun duduk di sampingnya. Sejurus ia termenung, lalu berkata;

"Siapakah sudi bersuamikan tua bangka beristri banyak itu..? Apakah kau akan biarkan aku jatuh dalam pelukan kambing tua itu, Gumarang...?" Tanya si gadis.

"Tentu saja tidak Wulan..? Akan tetapi aku tak dapat memaksa kalau kau memang harus menuruti kehendak orang tuamu. Kupikir kawin lari adalah tidak baik. Bukankah anak yang berbakti pada orang tua kelak akan hidup bahagia? Menolak keinginan orang tua itu durhaka, Wulan..?"

"Huh..! Perduli! Aku tak dapat dipaksa. Aku bisa memilih orang yang kucintai! Mengapa tampaknya kau ragu, Gumarang..?" Tanya si gadis. Sementara sudah mengalir air mata di kedua belah pipinya.

Buru-buru pemuda itu memeluknya. Dan dengan jari-jarinya ia menyeka air mata si gadis. "Aku tidak ragu-ragu, Wulan..! Kalau kau sudah tetapkan niatmu. Aku akan membawamu pergi. Akupun tak dapat berpisah denganmu, sayang..! Namun banyak resiko harus kita hadapi. Hubungan kita telah diketahui oleh begundalnya si Tirta Menggala. Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini..!" Berkata si pemuda.

"Kita berangkat sekarang..?" Bertanya gadis yang bernama Retno Wulan itu. Gumarang terdiam sejenak, lalu anggukkan kepala. "Tak banyak lagi waktuku untuk pulang mengambil pakaian. Tapi aku ada bawa bekal cukup untuk menyewa perahu. Kau sendiri bagaimana? Apakah ada rencana lain?" Tanya Gumarang dengan menatap tajam pada si gadis.

"Tidak! Justru aku kemari selagi ada tetamu datang..! Aku lewat jalan belakang". Berkata Wulan.

"Apakah si Tirta Menggala itu..?" Tanya lagi Gumarang.

Gadis ini cuma gelengkan kepala dan berkata; "Entahlah! Aku tak tahu pasti..!" Ujar Wulan dengan datar. Sementara ia sudah cekal lengan kekasihnya erat-erat.

"Sudahlah..! Ayo kita berangkat pergi..! Aku khawatir ada orang menyusul kemari!" Sambung si gadis. Gumarang menatap gadis di hadapannya tajamtajam. Namun kali ini sudah terlihat ketegasan di wajahnya.

"Mart Wulan! Dan ia sudah segera berdiri. Sepasang matanya menatap sejenak ke belakang, lalu ke sekelilingnya.

"Kita kesana..!" Berkata Gumarang sambil mengangkat telunjuknya. Dan bergegaslah keduanya beranjak tinggalkan tempat itu.

Di muara sungai itu seorang tukang perahu baru saja mengikat perahunya, ketika tiba-tiba ia palingkan kepalanya untuk menoleh. Dilihatnya dua orang muda berlarian ke arahnya. Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun ini kernyitkan keningnya. Sebentar saja keduanya telah berada di hadapannya, Gumarang langsung berkata,

"Bapak! Sudilah kau mengantarkan kami ke pelabuhan besar..?" Ujar Gumarang sambil tatap wajah si tukang perahu. Dan laki-laki itupun menatap tajam pada mereka berganti-ganti. "Kami akan berikan sewanya. Asalkan bapak dapat cepat mengantar kami kesana..!" Berkata Retno Wulan menambahi. Setelah terdiam sejenak, laki-laki tua ini menyahuti.

"Sebenarnya akan kemanakah anak..?" Bertanya si tukang perahu. Tampak Gumarang jadi mendongkol sekali. Mengapa harus mengetahui kemana tujuan orang? Pikirnya. Namun dengan sabar ia memberi jawaban.

"Ah..! Kami hanya akan pesiar saja. Bukankah disana banyak tempat-tempat yang indah untuk dilihat!" Ujar Gumarang sambil tersenyum.

Akan tetapi si tukang perahu itu sudah mendengus, sambil berkata; "Hm..! Bagiku uang sewa adalah soal mudah! Akan tetapi aku tak dapat mengantar kalian kesana. Karena Raden Tirta Menggala yang berkuasa di sekitar pantai sini, telah melarang siapapun untuk mengantarkan sepasang sejoli keluar dari daerah pantai ini..! Aku tak tahu apa maksudnya. Namun larangan itu amat keras. Dan berlaku sejak dua hari ini..!"

Terkejut Gumarang dan Retno Wulan, mendengar penuturan itu. Diam-diam Gumarang sudah dapat menduga siapa adanya si tukang perahu ini. "He ? Begitukah..? Kalau demikian berikan saja perahu mu. Aku akan membelinya. Berapa kau mau jual ?" Berkata Gumarang dengan bertolak pinggang.

"Ha ha ha... ha ha... Apa kau punya banyak uang untuk membayar perahu ku?" Kata si Tukang perahu dengan tertawa lebar.

"Apakah perlu kutunjukkan uangku..?" Tanya Gumarang kesal. Tapi ia tetap tak menurunkan tangannya dari kedua pinggang.

"Baiklah..! Kau boleh bayar perahu ku sepuluh ringgit perak! Murah bukan? Tapi kau hanya boleh pergi seorang diri. Tinggalkan gadis itu..! Berkata si tukang perahu. Gumarang jadi pelototkan sepasang matanya, dan menatap gusar.

"Kurang ajar..! Kau orang tua memang tak patut dihormati orang-orang muda! Apa hubungannya kami berdua dengan si Tirta Menggala itu, bah..!" Memaki Gumarang.

"Ha ha ha... Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu..! Apakah kau belum dengar kalau gadis yang kau mau bawa kabur ini telah dipinang oleh Raden Tirta Menggala..?" Ujar si tukang perahu.

Mendengar kata-kata orang tua itu, wajah Retno Wulan jadi pucat pias. Ia sudah ajukan pertanyaan. "Dia sudah meminang ku..?! Apakah telah di terima pinangannya oleh ayahku..?" Tanya Retno Wulan.

"Kalau tidak diterima mana beliau mau usil dengan kalian..?" Sahutnya. Tapi Gumarang sudah membentak keras.

"Mana boleh jadi melamar orang bisa di terima, kalau orang yang akan di tanyainya tidak ada, dan tak pernah mendengarnya. Dan boleh kau tanyakan pada gadis ini... Apakah jawabannya tentang lamaran itu..! Hingga kau tak beranggapan aku membawanya kabur..!" Si tukang perahu balik menatap Retno Wulan.

"Bisakah kau sedikit bercerita, anak..? Aku ingin mendengar lebih jelas mengenai lamaran Raden Tirta itu..!" Berkata si tukang perahu. Retno Wulan tak banyak berayal, segera sedikit menceritakan tentang keluarganya.

"Aku memang bisa dianggap durhaka. Karena melawan kehendak orang tua, tapi... bisakah aku menerima pinangan itu? Aku belum memberi jawaban. Ayahku diberi waktu satu bulan. Selama itu aku merasa selalu diawasi oleh orang-orangnya Tirta Menggala. Seandainya ayahku telah menyetujui sekalipun, aku tetap menolak. Karena cinta tak dapat dipaksakan. Cinta bukan barang dagangan, yang bisa dibeli dengan uang dan harta benda..! Apakah sebagai manusia, aku tak berhak mencintai seseorang dengan bebas? Kebanyakan manusia memandang harta dan kekuasaan itu sebagai perisai, yang dengan mudah mendapatkan apa saja yang ia ingini. Tetapi hal itu adalah sebagai tindak kekerasan... Nah! Biarkan kami pergi! Kami rasa bapak pernah muda. Dan mengerti bagaimana perasaan kami menghadapi hal semacam ini..!"

Kata-kata gadis itu terdengar lantang dan tegas. Pertanda ia tetap akan pergi dengan orang yang ia cintai. Walaupun harus menghadapi banyak rintangan sekalipun. Tampak si tukang perahu menatap kedua sejoli itu silih berganti. Ternyata pada wajahnya terlihat rasa belas kasih. Dan hal itu adalah di luar dugaan Gumarang. Setelah menghela napas sejenak, si tukang perahu ajukan pertanyaan pada kedua sejoli itu.

"Apakah kalian benar-benar saling jatuh hati, dan sudah bertekad bulat menempuh resikonya..?" Tanya orang itu dengan menatap pada kedua wajah di hadapannya.

Hampir berbareng keduanya mengangguk. Bahkan sudah terlihat tangan keduanya saling mencekal erat. Seperti sudah tak mau untuk dilepaskan lagi.

"Baiklah..! Kalau begitu. Biarlah kau bawa saja perahu ku. Terserah mau dibayar berapa olehmu. Asal cukup untuk ku membeli perahu lagi." Berkata si tukang perahu.

Wajah Gumarang berseri gembira. Demikian juga Retno Wulan. Sesungging senyum tersungging pada bibirnya. Segera saja Gumarang mengeluarkan sepuluh ringgit uang perak, dan memberikannya pada si tukang perahu. Orang tua itu menerimanya tanpa berkata apa-apa. Dan selanjutnya sudah tinggalkan keduanya. Adapun Gumarang dan Retno Wulan setelah mengucapkan terima kasih, segera berlari ke perahu.

Deburan ombak menerjang kaki-kaki mereka. Gumarang telah lepaskan tali yang menambatkan perahu. Retno Wulan segera lompat ke dalamnya. Gumarang kerahkan tenaga sedikit untuk mendorong... Dan bergeraklah perahu meluncur ke tengah menerjang ombak. Selanjutnya pemuda itu sudah bekerja cepat. Dan tak lama kemudian sudah melaju ke tengah gelombang.

Layar segera dipasang. Maka perahu kecil itu telah tinggalkan pantai, melaju pesat makin maju jauh. Ketika mereka layangkan pandangan ke tepi pantai, orang tua tukang perahu itu sudah tak kelihatan lagi. Perahu kecil itu meluncur terus membelah gelombang. Angin darat meniup keras membuat mereka tak perlu lagi menggunakan dayung lagi. Gumarang memainkan kemudi di buritan perahu.

Sedang Retno Wulan duduk di bagian depan, menghadap pada pemuda itu. Hatinya merasa lega. Akhirnya mereka dapat meninggalkan pantai itu. Walaupun ada rasa haru dan pedih meninggalkan kampung halamannya.

"Apakah di pelabuhan besar kita tak menemui halangan nanti, Gumarang...?" Tanya Retno Wulan. Sementara jari-jari tangannya memainkan air, yang beriak di sisi perahu.

Pemuda itu cuma tersenyum, dan berkata; "Kita telah membeli perahu ini, mengapa harus ke pelabuhan besar? Kita akan pergi kemana saja, yang penting tidak seorangpun dari penduduk desa mengetahui tempat kita..!" Tentu saja kata-kata itu membuat Retno Wulan jadi naikkan alis. Tapi ia sudah tertawa kecil dan berteriak memuji.

"Hi hi hi.... Bagus! Kau memang kekasihku yang pintar. Dan juga tampan..!"

"Kalau tidak tampan, mana kau bisa jatuh hati padaku..?" Sahut Gumarang. Dan keduanya samasama tertawa. Tapi Gumarang juga berkata; "Dan kau... Retno Wulan! Kau pun seorang gadis yang berhati keras. Tapi juga cantik bagai bidadari..! Makanya aku jatuh hati padamu.."

"Ah., kau...!" Selanjutnya Retno Wulan sudah alihkan pandangan ke laut lepas. Hatinya terasa bahagia sekali. Siapa yang tak bahagia dipuji oleh kekasih hatinya?

Akan tetapi kebahagiaan itu seketika sirna. Wajah Retno jadi pucat pias, ketika matanya menatap ke bawah. Air yang dingin telah merendam jari-jari kakinya. Tampak air laut bergolak masuk dari sela-sela papan di bawah perahu.

"Oh..!? Celaka..! Perahu kita bocor!" Teriak Retno Wulan.

Seketika wajah Gumarang pun berubah pucat. Ia sudah melompat ke tengah perahu dan memeriksanya. Ia pun berteriak kaget. "Benar..! Kurang ajar! Tukang perahu itu telah sengaja melubanginya, agar kita tak dapat pergi jauh..!"

"Atau agar kita mati tenggelam..!" Teriak Retno Wulan. Keadaan segera berubah. Kini keduanya tampak panik. Gadis itu telah mendekap si pemuda kekasihnya itu erat-erat. Air matanya telah menitik jatuh.

"Tenanglah Wulan..! Kita harus cari akal agar dapat segera menepi..." Akan tetapi tak sedikitpun di tempat itu terlihat daratan, selain air. Dan melulu air.

"Kita tak punya harapan Gumarang! Biarlah kalau kita harus mati. Aku rela asal kan mati berdua...!" Berkata Retno Wulan dengan terisak.

Sementara air makin naik hingga setengah badan perahu. Perahu kecil itu kini mulai tersendat jalannya. Pada saat itulah tiba-tiba muncul di kejauhan sebuah perahu layar besar. Berseri wajah Retno Wulan. Ia sudah lepaskan pelukannya pada Gumarang, seraya berteriak...

"Kita selamat..! Kita akan selamat. Tapi sekonyong-konyong wajahnya kembali pias. Dan terdengar suara mendesis dari bibirnya.

"Tapi... tapi perahu itu apakah bukan perahu si Tirta Menggala..?"

Gumarang tak dapat menjawab. Tapi cuma tertegun menatap pada perahu besar itu yang makin melaju mendekat. Benarlah dugaan Retno Wulan. Perahu itu milik Tirta Menggala. Dan manusianya telah terlihat berdiri di atas geladak bagian depan. Pada saat itu juga terdengar suara tertawa berkakakan.

"Hua ha ha ha., haha... Anak muda..! Mau kau bawa kabur kemana calon istriku itu? Ha ha ha.. Ternyata kaulah rupanya biang kerok yang punya nyali besar untuk menggagalkan rencanaku..? Bagus! Bagus! Ingin kulihat apakah kau mampu menyelamatkan nyawa gadismu..?" Teriak Tirta Menggala.

Perahu besar itu tidak terlalu mendekat. Akan tetapi berhenti. Dan menurunkan layar kira-kira dua puluh kaki di hadapannya. Gumarang menggertak gigi. Betapa geram hatinya pada laki-laki di perahu itu. Akan tetapi Retno Wulan telah berteriak;

"Manusia jahanam..! Licik. Kau rupanya telah mengatur rencana busuk untuk menjebak kami. Dapat menolongku atau tidak, bukan urusanmu..! Apakah kaupun dapat menolong dirimu sendiri bila kau dalam keadaan seperti kami..!?"

Keadaan perahu kecil itu semakin kritis. Karena buritan perahu sudah mulai tenggelam. Kedua muda-mudi ini memang tak berdaya. Akan tetapi pada saat itu terdengarlah teriakan keras dibalik perahu Tirta Menggala. Dan dibarengi dengan olengnya perahu besar itu. Beberapa anak buah Tirta Menggala telah keluarkan teriakan kaget.

"Celaka..!? Perahu kita bocor besar..!" Dan paniklah seketika kelima orang anak buah Tirta Menggala.

Sedang laki-laki itu sudah melompat di sisi perahu untuk melihat. Betapa terkejutnya melihat air mengalir deras dari sebuah lubang dinding perahu. Ternyata dinding perahunya telah berlubang sebesar kepala manusia. Seketika iapun jadi panik. Wajahnya berubah pucat.

"Celaka..!? Cepat putar kemudi..! Pasang layar..! Kita kembali sebelum tenggelam..!"

Segera berlompatanlah anak-anak buahnya untuk menjalankan perintah. Ketika ia alihkan pandangannya pada perahu kecil itu, ternyata telah tenggelam tak ada bekasnya. Piaslah wajahnya seketika. Ia teringat akan kata-kata si gadis tadi. Mampukah kau menyelamatkan dirimu sendiri, seandainya kau dalam keadaan seperti kami...?

Keringat dingin seketika saja telah bercucuran di sekujur tubuhnya. Kini terlihatlah perahu besar Tirta Menggala berlayar pulang dalam keadaan oleng. Akibat kebocoran besar itu. Entah selamat entah tidak, karena pada saat itu gelombang besar telah menghantamnya. Dan perahu itu telah tak kelihatan lagi...

Gumarang dan Retno Wulan cuma dapat memejamkan mata karena sekonyong-konyong angin keras menerpa wajahnya. Terasa ada sepasang tangan menyambar pinggangnya dan di saat perahu mereka tenggelam, mereka terpaksa menutup kedua mata. Angin kencang membersit menerpa tubuh dan wajah mereka dari bagian depan.

Dan selang beberapa saat mereka telah rasakan kakinya menginjak pasir. Baru mereka membuka matanya ketika terasa lengan aneh itu melepaskan pinggangnya. Terkejutlah Retno Wulan dan Gumarang, menatap sesosok tubuh telah berdiri di hadapan mereka. Yaitu seorang gadis cantik berbaju sutera merah jambu. Sepasang matanya bak bintang Kejora. Bibirnya menampakkan senyum menawan. Sedang rambutnya beriapan tertiup angin. Ternyata kedua sejoli itu telah tiba di darat.

"Sss... ssiapakah anda..? Apakah anda yang telah menyelamatkan jiwa kami...?" Bertanya Gumarang hampir berbareng dengan Retno Wulan.

Gadis di hadapannya itu tertawa kecil, hingga tampak sebaris gigi yang putih rata. "Hihi... hi., hi... Aku manusia biasa. Nah kalian telah selamat..! Silahkan teruskan perjalanan kalian..!" Berkata gadis aneh itu.

Akan tetapi kedua remaja itu telah segera berlutut di atas pasir. Gumarang berucap dengan suara gemetar."Anda pasti bukan seorang manusia... Anda pasti Dewi Laut..! Oh terimakasih atas pertolonganmu sang Dewi..!"

Melihat kedua sejoli itu jatuhkan dan berlutut, si gadis berbaju sutera merah jambu itu cepat-cepat angkat pundak kedua orang muda itu. Aneh... Gumarang hanya rasakan pundaknya disentuh telapak tangan halus... Tahu-tahu tubuhnya telah terangkat naik. Dan memaksanya berdiri lagi.

Demikian juga Retno Wulan. Yang hampir tak bisa mempercayai. Apa lagi sosok tubuh di hadapannya itu amat cantik luar biasa. Dengan dapat menyelamatkan jiwanya dari tengah samudra tanpa sebuah perahu pun, adalah bukan perbuatan manusia... Pikirnya. Akan tetapi kembali gadis itu berkata. Kali ini suaranya terdengar santar.

"Hm..! Sudah kukatakan, aku adalah manusia biasa..! Mengapa kalian tak mempercayai? Kalian lihatlah! Apakah sepasang kakiku tidak menginjak tanah..?"

Kedua pasang mata segera menatap tubuh gadis itu. Dan benarlah..! Sepasang kaki sang penolongnya benar-benar menginjak tanah. Berarti si penolong adalah manusia biasa. Seketika mata mereka jadi menatap tak percaya. Dan gadis baju sutera merah jambu itu sudah berkata lagi;

"Namaku Roro Centil...! Aku datang dari seberang pulau. Apakah ini yang namanya pulau Andalas..!" Tertegun sepasang muda-mudi itu.

Tapi Gumarang segera menjawab; "Be... benar... Nono... nona... jadi... jadi...?"

"Hi hi hi... hi hi hi... Terima kasih..!" Belum lagi Gumarang meneruskan kata-katanya, sosok tubuh di hadapannya telah berkelebat lenyap. Tentu saja hal itu membuat Gumarang dan Retno Wulan jadi melongo alias ternganga. Mereka hanya dapat melihat bayangan warna merah jambu. Dan sekejap sudah lenyap.

Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan, injakkan kaki di padang rumput yang menghijau. Padang rumput itu amat luas. Sedang jauh di bagian depan terlihat perbukitan yang memanjang, seperti tak ada putusnya. Dikelilingi rimba lebat.

9 "Kurasa diantara perbukitan itu pasti terdapat gunung..!" Berbisik Roro. "Entah yang manakah gunung Dempo?..." Desisnya lagi. Sementara ia sudah mempercepat jalannya, melewati padang rumput itu. Nampaknya Roro tak begitu tergesa-gesa. Namun bagi orang biasa, langkah kaki Roro memang termasuk cepat.

Sementara itu tanpa diketahui oleh sang Pendekar, dua sosok tubuh berbaju hijau tampak mengintai dari balik pepohonan. Keduanya adalah dua orang laki-laki yang bertampang seram. Ikat kepalanya berbentuk lancip pada bagian sisinya. Keduanya tampaknya bukan orang desa biasa. Karena terlihat pada masing-masing pinggangnya tersembul gagang golok.

Begitu kira-kira jarak sepuluh tombak, kedua orang itu berkelebatan keluar. Roro Centil tampaknya tidak terkejut. Karena sebagai orang Rimba hijau yang telah cukup berkecimpung lama di dunia persilatan, telah dapat mengetahui sebelumnya. Kedua orang itu segera menjura hormat, dengan bungkukkan tubuh. Dan salah seorang sudah berkata;

"Anda pasti salah seorang undangan dari Ketua kami, Selamat datang di daerah kekuasaan Perguruan 'Burung Hantu". Markas besar kami berada di bagian dalam. Silahkan anda jalan terus..!"

Roro Centil jadi melengak. Akan tetapi ia sudah mengangguk setelah membalas hormat. Tampak dari kedua wajah orang itu tak menampilkan kecurigaan buat Roro. Sehingga diam-diam ia membatin... Aneh..! Datang-datang ke negeri orang, sudah disambut baik. Dan dianggap tetamu undangan. Siapakah gerangan Ketua dari Perguruan Burung Hantu itu..? Pikir Roro. Entah ada pertemuan apakah? Pikirnya lagi.

Namun justru keanehan itu membuat Roro jadi kepingin tahu. Dan tanpa banyak bicara ia sudah melangkah masuk melewati kedua orang penjaga itu. Ternyata pada kirakira tiga tombak, terlihat ada dua tugu di kiri kanan jalan. Roro segera menduga kalau itulah pintu masuk ke dalam markas Burung Hantu. Tak berayal lagi Roro sudah kelebatkan tubuh kesana.

* * * * * * *

Tirta Menggala dalam keadaan panik... ketika sebuah ombak besar tiba-tiba menghantam perahunya. Tak ampun lagi tiang layar itu roboh tumbang karena perahu sudah miring. Teriakan-teriakan dari para anak buahnya pun terdengar. Tirta Menggala mengeluh putus asa. Tubuhnya segera terjungkal masuk laut. Akan tapi di detik itu juga berkelebat sebuah bayangan bagai kilat, menyambar tengkuk Tirta Menggala.

Dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang di atas air. Cepat sekali rasanya ketika angin deras menerpa wajahnya. Dan beberapa saat kemudian, ia telah tiba di darat. Tersentak laki-laki berusia lima puluh tahun ini, ketika melihat siapa yang telah menolongnya. Serta merta segera ia bersujud dengan khidmat.

"Guru..! Terima kasih, atas pertolonganmu..!" ucapnya dengan suara tergetar girang, namun juga terkejut sekali.

Sosok tubuh yang berdiri di hadapannya itu ternyata seorang kakek tua renta, bertubuh kurus jangkung namun agak bungkuk. Akan tetapi anehnya seluruh tubuhnya berbulu. Walaupun tidak terlalu lebat. Namun bulu-bulu itu panjang-panjang pada beberapa bagian tubuhnya, berwarna putih. Pada bagian wajahnya, hanya kening dan hidung serta sedikit kedua belah pipinya saja yang tak terdapat bulu.

Wajahnya menampilkan usia yang sudah lanjut. Alisnya tebal menyatu. Kumis dan jenggotnya terjuntai panjang sampai melebihi pusar. Hidungnya agak melebar. Sinar matanya menatap bagai mengeluarkan cahaya berwarna biru. Kakek tua renta ini memakai selapis jubah putih yang cukup tebal. Ternyata rambutnya juga panjang memutih. Terurai sampai ke punggung. Terdengar si kakek berkata. Suaranya mirip dengan suara kera. Ternyata giginya masih utuh, dan menampakkan taring di kiri kanannya.

"Muridku..! Kau terlalu gegabah..! Apakah kau tidak melihat bayangan merah jambu yang berkelebat mendekati perahu mu? Bayangan merah jambu itulah yang telah menghantam dinding perahu mu, sehingga mengalami kebocoran besar. Dan Bayangan merah jambu itu pula yang telah menyelamatkan kedua orang muda itu dari bahaya kematian..."

Mendengar kata-kata itu tentu saja Tirta Menggala jadi terkesiap. Ia sudah segera bertanya; "Siapakah bayangan merah jambu itu Guru...?"

Si kakek tua renta berbulu itu keluarkan suara bagai menggeram. "Menggala... Menurut berita dari Peri Gunung Dempo, di seberang pulau ada seorang tokoh persilatan terkenal yang berilmu tinggi. Sayang Peri Gunung Dempo tak berhasil menjumpainya ketika empat bulan yang lalu kesana. Namun Peri Gunung Dempo berhasil membunuh gurunya. Yaitu Manusia Aneh Pantai Selatan. Bayangan merah jambu itu sudah pasti muridnya yang bernama Roro Centil, alias si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Pasti..! Karena ia seorang wanita. Dan mempunyai ilmu berjalan di atas air..!"

Terkejut Tirta Menggala mendengar penuturan gurunya Ternyata sejauh itu sudah ada manusia lain yang berilmu hebat. Pada hal gurunya sendiri sudah di anggap sebagai Dewa Siluman Kera, yang pergi dan datangnya bagaikan angin. Kini Tirta Menggala mendengar lagi adanya seorang wanita yang memiliki ilmu yang hebat. Hampir-hampir ia tidak percaya.

"Guru..! Ada apakah manusia dari seberang lautan itu datang kemari…?" Tanya Tirta Menggala.

"Entahlah..! Tapi dugaanku adalah mencari Peri Gunung Dempo. Karena telah membunuh Gurunya. Tapi itu juga sebuah tantangan berat bagiku. Karena Pendekar Wanita itu termasuk manusia yang suka mencampuri urusan orang..!" Berkata si kakek.

Melengak Tirta Menggala. Tapi saat itu sang guru sudah berkata lagi. "Menggala..! Sebaiknya kau tinggalkan dulu kesibukan mu. Kau menetap dulu di kediaman ku. Ku kira kekuasaanmu tak dapat kau pertahankan, bila kau tak mempunyai secuil pun kepandaian..!" Ujar si kakek dengan sorot matanya yang tajam menatap Tirta Menggala.

"Tapi... tapi.. Guru..! Aku perlu bantuanmu dulu untuk... untuk..." Tirta Menggala tak dapat meneruskan kata-katanya karena tubuhnya sudah disambar oleh si kakek aneh itu untuk dibawa melesat pergi. Masih terdengar hardikannya lapat-lapat;

"Bocah goblok..! Sejak dulu-dulu sudah ku peringatkan. Pelajarilah ilmu-ilmuku..! Kau cuma pikirkan kekuasaan dan perempuan saja...!"

* * * * * * *

Gumarang dan Retno Wulan meninggalkan pantai itu untuk segera mendaki bukit. Melalui jalan setapak yang berputar-putar, mereka tiba di sebuah desa terpencil di tengah hutan bambu.

"Kemana tujuan kita kini Gumarang..!" Bertanya Retno Wulan. Tampaknya ia sudah lelah sekali. Tubuhnya terasa penat. Dan kakinya terasa pegal bukan main.

"Kita singgah dulu di desa ini beristirahat. Mudah-mudahan disini tak ada terdapat orang-orang si Tirta Menggala..!" Jawab Gumarang. Sementara lengannya membimbing kekasihnya yang tampak sudah sempoyongan.

"Sayang kita gagal untuk pergi yang jauh sekali... Tapi kita harus bersyukur pada Tuhan, karena wanita aneh bernama Roro Centil itu telah menyelamatkan nyawa kita..!" Kata Gumarang lagi. "Tapi kita cukup jauh dari desa tempat tinggalmu, Wulan. Aku berharap kau tak terlalu cemas. Selesai istirahat kita susuri bukit barisan, dan pergi jauh terus ke utara..." Hiburnya lagi.

"Apakah si kambing tua itu tak akan dapat menyusul kita lagi, Gumarang?"

"Percayalah sayang..! Aku akan menjaga mu dengan taruhan jiwa raga ku! Seandainya manusia keparat itu dapat menyusul kita. Eh!? Rasanya aku melihat di kejauhan perahu si Tirta Menggala itu seperti oleng, dan bergerak tak menentu..." Berkata Gumarang.

"Bagus! Biarlah dia mati tenggelam di dasar laut..!" Maki Retno Wulan dengan kesal.

Sebuah pondok yang paling dekat mereka hampiri. Gumarang sudah mengucapkan salam. Aneh Tak ada orang menyahuti dari dalam. Pintu depan memang tak terbuka sedikit. Daun jendela yang berada di sisinya bahkan terbuka separuh, namun tampak miring. Tak ada tanda-tanda ada penghuninya di dalam. Hingga sampai Gumarang mengucapkan salam tiga kali, tetap saja tak ada yang menyahut.

Yakinlah mereka kalau rumah itu kosong, alias tak berpenghuni. Terbukti adanya sarang laba-laba pada pintu yang setengah terbuka. Juga pada jendela yang terbuka itu. Agak takut keduanya untuk memasuki. Terpaksa Gumarang membimbing Retno Wulan untuk mencari pondok lainnya. Beberapa rumah ia hampiri. Namun kesemuanya kosong melompong.

"Ternyata desa terpencil ini sebuah desa mati..!" Desis Gumarang. Retno Wulan kerutkan alisnya. Ia tampak mengeluh. Dan jatuhkan tubuhnya ke tanah. Penatnya bukan main. Dan ia sudah tak sanggup berdiri lagi. Sementara saat itu keadaan semakin meremang. Pertanda hari sudah menjelang senja. Terpaksa Gumarang mengambil keputusan.

"Baiknya kita menginap di pondok kosong ini saja untuk bermalam. Aku khawatir ada binatang buas yang dapat menyusahkan kita..!" Ujar Gumarang. Dan ia sudah segera masuk ke dalam salah satu pondok kosong itu.

"Tunggulah sebentar Wulan. Aku akan memeriksa keadaan di dalam..!" Kata Gumarang. Sambil menoleh sejenak pada Retno Wulan, yang seperti sudah tak dapat bicara lagi.

Gumarang cepat memasuki kamar demi kamar. Tampak pemuda ini bersitkan wajah girang. Ternyata masih ada balai-balai kayu lengkap dengan tilamnya. Serta bantal dan guling. Walaupun banyak debu di atasnya, tak menjadi soal. Segera ia beranjak ke ruang belakang. Sebuah dapur. Yang ternyata masih komplit dengan perabotannya.

"Ah, beruntung aku..!" Desis Gumarang. "Tapi aneh..!? Mengapa pondok-pondok ini mereka tinggalkan..?" Berfikir Gumarang. "Ah, perduli..! Yang penting kami dapat bermalam disini, walaupun cuma satu malam. Mengapa harus pusing-pusing memikirkannya..?" Desis pemuda ini dalam hati.

Segera ia kembali ke kamar dan bersihkan tempat tidur. Sementara itu dengan berjalan tertatihtatih Retno Wulan beranjak memasuki pondok. Gumarang muncul dari ruang tengah. Ketika dilihatnya Retno Wulan, cepat ia melompat menghampiri.

"Wulan..! Aku baru bersihkan kamar dan tempat tidur. Mari ku pondong..!" Berkata Gumarang seraya peluk tubuh sang kekasih, dan pondong ke dalam.

"Kita tak perlu khawatir dengan keadaan disini. Binatang buas masih dapat dihindari, dari pada manusia jahat yang akan mengganggu kita..!" Ujar pemuda itu. Dan tak lama ia sudah baringkan tubuh Retno Wulan di pembaringan.

"Kau jangan kemana-mana Gumarang..! Aku takut sendirian..!" Teriak Retno Wulan seraya tarik kembali lengan laki-laki itu. Dan sudah didekapnya erat-erat. Terasa oleh pemuda itu detak jantung gadis bergemuruh.

"Tenanglah, sayang ku..! Jangan khawatir. Aku takkan meninggalkanmu. Aku mau menutup pintu dulu..!" Berkata lirih Gumarang, seraya lengannya membelai rambut dan mencubit hidung Retno Wulan.

Kemudian segera beranjak cepat keluar ruangan. Terdengar daun pintu bergerit, dan tak lama kemudian Gumarang telah kembali masuk. Pemuda itu segera duduk di sisi pembaringan. Kepalanya bergerak untuk meneliti ruangan, dengan sepasang matanya yang mencari-cari sesuatu. Di atas meja disudut ruangan itu tergeletak sebuah lampu usang. Gumarang beranjak menghampiri.

"Bagus, masih ada minyaknya sedikit. Lumayan untuk penerangan. Sebentar lagi malam akan tiba. Sebaiknya aku pasang sekarang. Cuaca gelap, seperti mau turun hujan lebat..!" Berkata Gumarang. Segera ia merogoh sakunya. Dan nyalakan lampu dengan batu geretan.

Sebentar kemudian ruangan kamar itu menjadi terang benderang. Kemudian ia kembali duduk di sisi Retno Wulan. Kini yang ia tatap adalah wajah gadis itu. Retno Wulan telah pejamkan matanya. tampak keringat mengalir dari dahinya. Segera Gumarang seka peluh itu dengan ujung bajunya. Dan dekap wajah itu dengan sepasang lengannya. Satu ciuman telah mendarat di dahi gadis itu.

"Kau lapar tidak, Wulan..?" Bertanya Gumarang.

Gadis itu gelengkan kepala. Dan perlahan buka kelopak matanya. Sepasang mata sang gadis menatap redup wajah pemuda yang dicintainya itu. Terdengarlah suara si gadis lirih. Sementara lengannya sudah bergerak memeluk tubuh Gumarang.

"Gumarang..! Oh... jangan kau tinggalkan aku untuk selamanya..!" Desisnya lirih.

Gumarang dekatkan lagi wajahnya, dan bisiki si gadis di telinganya. "Tidak sayang ku..! Aku tak akan tinggalkan kau selama hayat dikandung badan. Aku akan selalu dekat padamu..!" Dan keduanya pun tenggelam dalam buaian asmara yang bergejolak.

Sementara d luar, pohon-pohon bambu terangguk-angguk terkena tiupan angin, yang mendesah. Gemerisik bunyi daun-daun bambu yang saling bergesekan. Gumarang rebahkan tubuhnya di sisi sang gadis. Yang segera lingkarkan lengannya dada Gumarang. Terdengar laki-laki muda ini menghela napas. Seperti merasa lega setelah bergulat dengan berbagai rintangan tadi siang.

Api pelita itu tampak bergoyang-goyang terkena hembusan angin malam yang masuk dari sela-sela dinding. Hujan rintik-rintik mulai turun. Suasana memang agak dingin, hingga Retno Wulan semakin lelap mendekap tubuh Gumarang. Napas pemuda ini terlihat agak memburu. Terasa sulit baginya untuk menahan gejolak kelakilakian nya. Apa lagi dalam keadaan berdua-dua demikian itu, tanpa ada seorang pun yang tahu.. Benda-benda lembut terasa menekan kuat tubuhnya. Terasa desah napas Retno Wulan seperti meniup-niup daun telinganya.

"Wulan..!" Gumarang berbisik perlahan. Dan miringkan tubuh. Untuk kemudian menggamit pinggang sang gadis. Dan tenggelamlah mereka dalam kerinduan. Tiba-tiba terdengar petir menggelegar.

Namun tampaknya mereka seperti tenggelam dalam keasyikan memadu rintihan. Tanpa perdulikan sekitarnya. Tanpa perdulikan apa-apa. Seperti juga ingin menghabiskan malam itu sepuas-puasnya....

* * * * * * *

Roro Centil mengendus bau-bauan aneh di ruangan kamarnya. Bau asap kemenyan, entah dari mana datangnya bau orang membakar kemenyan itu. Malam itu Roro Centil memang menjadi tetamu yang istimewa bagi si Ketua Perguruan Burung Hantu. Ia menempati sebuah kamar yang bersih. Berdinding dan berlantai papan. Ternyata si Ketua seorang yang ramah tamah. Walau sepasang matanya memancarkan sinar yang membersit tajam. Mirip mata Burung Hantu.

Rumah Perguruan Burung Hantu ternyata terdiri dari beberapa wuwungan. Dan Roro menempati di sebuah rumah yang paling besar. Ternyata di samping kedatangan Roro masih ada berdatangan lagi tiga orang tetamu. Yaitu seorang wanita, dan dua orang laki-laki.

Dapat dilihat sepintas oleh Pendekar Wanita Pantai Selatan, ketiganya bukanlah orang-orang yang biasa-biasa saja. Karena dari setiap gerakannya menunjukkan ketiganya berilmu tinggi. Ternyata si Burung Hantu itu telah mengundang rekan-rekannya untuk mengadakan pertemuan dengan menyebar undangan.

Adapun Roro yang bukan termasuk salah satu undangannya, ternyata tidak masuk hitungan. Ketika di adakannya pertemuan empat pasang. mata. Sengaja Roro diberi ruang terpisah. Anehnya si Burung Hantu sedikitpun tidak menanyakan hal ihwal Roro. Membuat Roro agak merasa aneh.

Sementara malam terus berlalu merayap, Roro tak bisa pejamkan mata. Bau asap kemenyan itu benar-benar membuat ia merasa terganggu. Dia diam ia telah membuka jendela, dan melompat ke luar. Keadaan di luar tampak sunyi. Jarak antar tiap-tiap rumah kira-kira tiga puluh tombak. Pada bagian depannya dipasangi dua obor. Roro bergerak menyelidiki setiap dinding kamar. Telinganya dipasang tajamtajam.

Demikianlah Roro mencoba curi dengar dimana adanya pertemuan empat pasang mata antara si Burung Hantu dengan ketiga tetamunya. Sementara sepasang biji matanya selalu bergerak lincah. Karena mengkhawatirkan ada penjaga yang melihatnya.

Sayang di rumah besar itu tak ada tanda-tanda mencurigakan. Malam memang sudah larut. Segera Roro berkelebat ke rumah-rumah berikutnya. Dan pada sebuah rumah yang bentuknya agak berbeda dengan yang lain itu, lapat-lapat dapat didengarnya suara orang bercakap-cakap. Walaupun suaranya tidak terlalu keras, namun pada malam yang sunyi itu, dapat terdengar oleh Roro dengan merapatkan telinganya ke dinding rumah.

"Sebentar lagi di saat ayam mulai kukuruyuk, kita sudah segera bergerak kesana!" Terdengar suara sang Ketua Perguruan Burung Hantu. Yang memang berjulukan si Burung Hantu.

Roro bergerak perlahan tanpa menimbulkan suara, mencari celah yang dapat ia pergunakan untuk mengintip. Dan sudah ditemuinya celah kecil di dinding papan bangunan rumah itu. Segera saja terlihat keempat orang duduk berkeliling. Sang Ketua membelakangi Roro. Sedang dua laki-laki tetamunya duduk berhadapan dengan si Ketua. Dan wanita satunya duduk di sebelah kiri si Burung Hantu. Dari pembicaraan rahasia yang didengarnya, Roro segera dapat mengetahui ketiga tetamu si Burung Hantu itu.

Kedua laki-laki itu adalah yang berjulukan Dua Iblis Sembilan Nyawa. Yang masing-masing bernama Gajah Dungkul dan Kala Dungga. Gajah Dungkul berperawakan tinggi besar. Telinganya panjang dan bermuka lebar. Sepasang matanya sipit dengan alis yang tebal terjungkit ke atas. Hidungnya agak melengkung, dan berbibir tebal. Laki-laki ini mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Tampak di sisinya tergeletak senjatanya sepasang piring tipis, yang berbentuk mirip tutup panci, mempunyai pegangan pada bagian tengahnya.

Sedang yang bernama Kala Dungga ternyata seorang laki-laki berkulit hitam. Berkepala lonjong. Rambutnya hanya tebal bagian atasnya saja. Hidung dan mulutnya berdekatan sekali. Giginya agak mencuat keluar. Dengan sepasang mata yang besar. Kumis dan jenggotnya tidak rata. Usianya hampir sebaya dengan si Gajah Dungkul. Yaitu sekitar lima puluh tahun.

Orang ini memakai jubah kuning. Senjatanya tak terlihat di dekatnya. Sedangkan si wanita mengenakan baju warna merah. Dengan wajah cukup cantik. Berkulit sawo matang. Sebuah tongkat hitam mirip ular berada di pangkuannya. Wanita ini sebentar-sebentar tersenyum, kalau diajak bicara si Burung Hantu.

Dan duduknya pun agak berdekatan dengan si tuan rumah. Ternyata si wanita ini bergelar si Ular Kobra Mata Merah. Sedang si Burung Hantu sendiri, Roro telah mengenal wajahnya. Yaitu seorang laki-laki yang bertubuh agak pendek. Berwajah empat persegi. Berhidung bagai paruh burung. Alisnya kereng dan tebal hampir menyatu. Telinganya kecil, hampir tak kelihatan tertutup rambutnya. Malam itu mengenakan mantel bulu burung yang tampak berwarna hitam... Adapun Roro terus mendengarkan pembicaraan keempat orang itu.

"Hmm, sobat Burung Hantu..! Apakah kau yakin penyergapan kita malam ini tak akan gagal. Apakah kita perlu membunuhnya mampus saja. Dan kita kuras harta bendanya..!" Berkata Kala Dungga, si jubah kuning.

"Benar..! Sebaiknya demikian. Aku khawatir kalau kita hanya menculik anak gadisnya saja untuk minta tebusan, akan membahayakan kita. Terutama perguruanmu. Bisa saja si hartawan itu melaporkan pada pihak Kerajaan untuk menggulung markas mu." Berkata Gajah Dungkul.

Sedang si wanita alias si Ular Kobra Mata Merah cuma tinggal diam. Karena usul pertama itu dialah yang memberikan. Adapun si Burung Hantu jadi tersenyum mendengar saran-saran kedua kawannya.

"He he he... Kalau cuma mau menculik anak gadisnya sih, aku sendiri juga dapat melakukannya! Makanya kupanggil kalian, karena aku akan menumpasnya sekaligus. Kekuasaannya akhir-akhir itu semakin meluas. Dan kudengar si hartawan itu juga menyewa orang-orang persilatan untuk melindungi kekuasaannya. Agaknya ia mau menyaingi si Tirta Menggala..!" Berkata si Burung Hantu dengan suara agak ditekan.

"Tirta Menggala.. ? Hm, kurasa diapun tak mau disaingi begitu saja..! Apalagi manusia itu pernah menjadi murid seorang pertapa tua, yang berjulukan Dewa Siluman Kera! Bila orang sakti itu turun tangan, dalam sekejap saja akan hancurlah kekuasaan si hartawan yang bekas pembesar kerajaan Sriwijaya itu..!" Tiba-tiba si Ular Kobra Mata Merah ikut buka suara.

"Dan bila itu terjadi, kita bisa kalah cepat kalau tak buru-buru bertindak..!" Menimbrung lagi Kala Dungga.

Si Burung Hantu jadi tertawa bergelak-gelak. "He he he... he he... Tak usah terlalu mengkhawatirkan si Tirta Menggala. Manusia itu cuma tergila-gila dengan wanita. Untuk menjatuhkan manusia semacam itu tidaklah sulit. Kita tak perlu saling jatuhkan. Bahkan kita bisa bekerja sama dengannya. Karena kita bisa-bisa berurusan dengan si pertapa sakti Siluman Kera Putih. Bisa-bisa akan terancamlah jiwa kita..!"

"Benar..! Benar! Saran mu itu bagus sekali Burung Hantu..! Kita, sesama golongan hitam tak perlu saling gontok-gontokan!" Ujar Gajah Dungkul.

"Akan tetapi mengenai rencana kita, baiknya aku ambil kepastian. Nah dengarkan baik-baik..!"

Sambung si Burung Hantu lagi. Kemudian mereka pun mulai mengatur rencana dan siasat... Sementara Roro mendengarkan dari balik dinding. Selesai menetapkan keputusan, tiba-tiba salah seorang dari tamunya itu, yaitu si wanita baju merah. Tiba-tiba bertanya;

"Eh... kulihat sobat kita ini sudah punya simpanan khusus... Cantik juga. Bolehkan aku mengetahui lebih dekat siapa wanita piaraan mu itu?"

Tentu saja Roro Centil jadi merah wajahnya. Diam-diam ia memaki dalam hati... Setan alas..! Aku di anggap wanita piaraan si Ketua Kokok Beluk ini! Sialan..!"

Adapun si Burung Hantu baru sadar dan merasa diingatkan oleh si wanita, mengenai seorang tamunya. "Aku sendiri belum mengetahui siapa dia adanya..!" Berkata si Burung Hantu. Tentu saja ketiga orang undangan itu jadi melengak.

"Kau ini aneh, Burung Hantu..! Bagaimana kalau wanita itu ternyata seorang mata-mata yang bisa merusak rencana kita?" Berkata Gajah Dungkul.

"Tampaknya ia bukan wanita sembarangan..! Apakah tak ada rencanamu untuk mengikut sertakan dalam penyergapan kita?" Tanya kala Dungga. Si Burung Hantu ini tampak menghela napas, lalu berkata perlahan... Dan tuturkan asal mulanya hingga ia kedatangan tetamu yang tak diundang.

"Sebenarnya ada rencanaku untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa dirinya, akan tetapi, datangnya sudah di luar dugaan. Mana aku mampu menolak, karena ia telah juga menjadi tamuku? Aku telah tempatkan ia di rumah besar. Ada dua orang pembantu wanita disana untuk melayaninya.

Sengaja aku menahannya agar menginap selama beberapa hari. Tampaknya ia juga seperti orang yang aneh..! Kalau ia tak merasa diundang mengapa mau saja datang untuk menjadi tamuku?" Tutur si Burung Hantu.

"Apakah kau tak lihat adanya tanda-tanda mencurigakan pada sikapnya?" Tanya Kala Dungga lagi. Si Burung Hantu tampak terdiam sejenak. Lalu menyahuti.

"Rasanya tidak! Tampaknya ia bukan penduduk asal daerah kita. Seperti berlogat bahasa dari seberang pulau. Mungkin juga ia perantau dari Pulau Jawa. Itulah sayangnya... karena kedatangannya justru bertepatan dengan pengaturan rencana kita, maka terpaksa ia ku tahan dulu agar tinggal beberapa hari disini. Karena aku tak mau melibatkan urusan ini dengannya..! Baiknya kita tunggu saja sampai selesainya urusan kita malam ini. Besok kita menemuinya untuk lebih dekat mengenalnya..!" Burung Hantu berikan penjelasannya.

"Bagaimana kau bisa menahannya, kalau cuma ada dua pembantu wanita di rumah besar tempat ia menginap? Dia toh punya kaki. Kapan waktu bisa dia bisa berangkat pergi..!" Menimbrung si wanita bertongkat ular. Akan tetapi si Burung Hantu cuma menyeringai, dan berkata perlahan.

"He he he., mengenai itu adalah urusanku! Si Burung Hantu bukan anak kemarin sore yang harus diberi petunjuk!" Jawabnya, dan segera menyambar gelas arak untuk selanjutnya sudah menenggaknya habis. Sementara yang lainnya pun menuruti, meneguk sisa minumannya.

Tampaknya Roro sudah cukup untuk mencuri dengar. Segera ia berkelebat pergi tanpa menimbulkan suara. Sebentar kemudian ia telah kembali memasuki kembali kamarnya dengan lewat jendela. Kemudian menutupnya rapat-rapat. Roro Centil jatuhkan tubuhnya di pembaringan. Dan tercenung memikirkan apa yang telah didengarnya. Nama-nama yang diingatnya adalah Tirta Menggala, murid kakek pertapa Siluman Kera Putih.

Entah bagaimana rupanya si kakek yang kabarnya sakti itu. Dapat diketahui Tirta Menggala adalah seorang laki-laki yang doyan dengan wanita cantik. Adapun Hartawan yang disebut-sebut itu ternyata bekas orang Kerajaan. Tentu saja kerajaan Sriwijaya di tanah seberang ini. Bahkan yang pernah menjajah kerajaan Medang dan menguasai Pulau Jawa hampir selama satu abad. Sebenarnya ia tak mau turut campur dengan urusan si Burung Hantu, yang ternyata juga bukan orang baik-baik.

Sayang percakapan mereka tak menyebut-nyebut tentang Peri Gunung Dempo. Tampaknya Roro agak bingung untuk mengambil putusan. Apakah berdiam di rumah ini, atau membuntuti mereka yang akan melakukan penyergapan malam ini? Kalau membuntuti mereka, berarti Roro jadi telah ikut campur urusan orang. Dan akan membela siapakah ia? Berfikir Roro. Seandainya terjadi ia menguntit si Burung Hantu, apakah tidak ada yang lebih baik selain ia menjadi penonton saja?

Tapi... Berfikir lagi Roro Centil. Mana ia tega membiarkan orang dibunuh semena-mena. Sudah jelas yang jahat dan salah adalah si Burung Hantu dan ketiga konconya. Walaupun si hartawan itu adalah bekas seorang pembesar Kerajaan yang pernah menjadi musuh Kerajaan Medang di tanah airnya. akan tetapi menolong orang bukanlah menjadi halangan. Apa lagi hal ini bukanlah menyangkut urusan Kerajaan.

Tapi adalah urusan kemanusiaan. Berfikir demikian Roro sengaja tak picingkan mata untuk mendengar dimana suara kokok ayam terdengar, ia akan segera keluar untuk menguntit mereka. Akan tetapi ia juga ingin tahu akan kata-kata si Burung Hantu. Yang mengatakan akan mampu menahannya di rumah besar ini sampai mereka kembali. Diam-diam Roro Centil tersenyum sendiri. Dan membatin dalam hati. Buktinya aku sudah keluar jendela, tanpa ada yang mengetahui. Kalau benar ia dapat menahanku mengapa tak ia sediakan penjaga untuk mengawasi aku..?

Tiba-tiba ia baru sadar lagi kalau bau kemenyan itu semakin santar menusuk hidung. Timbul keinginannya untuk memeriksa setiap ruangan. Bukankah rumah ini cuma ditempatkan dua pembantu wanita? Berfikir Roro. Akan tetapi baru saja ia akan beranjak bangun, tiba-tiba pintu kamarnya menguak terbuka. Angin dingin terasa menyelusuri sekitar tubuhnya. Benar-benar aneh.

Roro dibuatnya tertegun. Dan sekonyong-konyong hawa terasa mencekam. Dan membuat bulu-bulu kuduk Roro jadi bangun berdiri. Sepasang matanya tak lepas menatap ke pintu kamar yang terbuka. Hampir tak masuk di akal Roro, ketika dilihatnya dari dalam ruangan tengah itu terdengar suara menggeram.

Sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul di pintu kamar. Entah bayangan apa. Karena tidak berbentuk. Sementara Roro cuma bisa terpaku duduk di pembaringan. Sepasang matanya menatap tak berkedip pada bayangan hitam di hadapannya. Tiba-tiba bayangan aneh yang membersitkan rasa seram itu berubah jadi asap hitam yang bergumpal-gumpal. Dan detik selanjutnya, gumpalan asap itu telah berbentuk menyerupai seekor harimau yang besar, hampir sebesar kerbau.

Terkesiap Roro bukan buatan. Sampai-sampai ia beringsut karena terkejutnya. Selama hidupnya baru pertama kali ini ia melihat kejadian aneh seperti ini. Ia sudah gerakan tangan untuk menghantam makhluk Harimau Tutul itu. Akan tetapi tenaganya terasa hilang musnah. Mengangkat lengan saja ia sudah tak sanggup lagi.

Sementara sepasang mata si Harimau Tutul, pancarkan sinar matanya yang seperti menyala menatap Roro. Akan tetapi anehnya makhluk jejadian itu tidak mengganggu. Ia cuma melangkah tiga-empat tindak dan duduk di bawah di dekat jendela. Dengan menghadapkan kepala pada Roro Centil.

Sedang sepasang matanya terus menatap sang Pendekar wanita Pantai Selatan tak berkedip. Roro tampaknya dapat bernapas lega. Akan tetapi ia benar-benar tak dapat berkutik. Pada saat itulah terdengar suara orang melangkah mendekati pintu kamar Roro dari ruangan dalam. Seraya terdengar suaranya;

"Mengapa pintu kamarmu dibuka, nona..? Adakah kau di dalam..?" Dan tersembul sesosok tubuh yang tak lain dari pembantu wanita di rumah besar itu. Begitu melihat Roro Centil masih duduk di pembaringan dengan sepasang matanya, masih terbuka, ia segera bicara lagi;

"Agaknya nona belum mengantuk..! Tidurlah! hari sudah jauh malam. Tak baik bagi kesehatan..! Daun pintu kamarmu jangan sekali-kali dibiarkan terbuka tengah malam..!" Sambungnya lagi seraya balikkan tubuh untuk kembali keluar. Dan menutupkan kembali daun pintu kamar Roro. Lalu terdengar suara langkahnya menuju ruangan dalam. Agaknya seperti ia baru terbangun dari tidur, setelah siangnya merasa lelah bekerja.

Roro cuma bisa mengangguk, ketika si pembantu wanita bertanya. Selebihnya ia cuma bisa tetap duduk terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa. Anehnya, pembantu wanita itu tidak melihat dan mengetahui adanya seekor Harimau Tutul yang amat besar di kamar itu. Tentu saja hal itu membuat Roro keluar keringat dingin. Benar-benar aneh..!? Pikir Roro Centil. Apakah mahkluk ini yang diutus Burung Hantu untuk menjaganya..? Demikian berkata hatinya.

Menyesal juga Roro kembali lagi ke kamar ini. Kalau sudah begini, Roro jadi benar-benar mati kutu. Sementara tubuhnya benar-benar seperti di lolosi tulang belulangnya. Lemas sekali. Bahkan otaknya pun tak dapat berfikir jernih. Akhirnya dengan beringsut-ingsut ia rebahkan tubuhnya lagi di pembaringan. Dengan menyandarkan punggungnya pada bantal, ia tetap selalu memperhatikan si makhluk itu. Khawatir tiba-tiba menyerangnya.

Tapi diam-diam ia berusaha menyatukan segenap ilmu batinnya. Untuk memulihkan kembali keadaan tubuhnya yang menjadi lemah tak bertenaga. Malam itu adalah malam yang paling tidak enak buat Roro. Karena harus diawasi sesosok makhluk yang besar dan menyeramkan.

Selang beberapa saat berlalu, suara kukuruyuk ayam jago pun terdengar. Keadaan di Perguruan Burung Hantu sunyi mencekam. Akan tetapi empat sosok tubuh telah berkelebat keluar dari salah sebuah rumah. Dan selanjutnya kembali lenyap di ujung jalan desa. Gerakannya seperti hati-hati agar tak menimbulkan suara. Ternyata keempat sosok tubuh itu tak lain dari si Burung Hantu dan ketiga konconya. Yang memang telah tiba saatnya untuk berangkat pergi, sesuai rencana.

Gedung tempat tinggal si hartawan bekas pembesar Kerajaan itu berada di daerah Gunung Putri. Gedung baru yang baru beberapa bulan diisinya, sejak ke pindahannya dari tempat tinggalnya yang lama. Si Hartawan itu bernama Datuk Sutan Benggala Dewa. Ia memang baru saja menambah beberapa areal perkebunan merica dan kopi. Dan menangani urusan perdagangan besar dengan orang asing.

Tentu saja usaha itu mendapat izin dari pihak Kerajaan, karena ia juga bekas seorang pembesar yang banyak membantu di masa jabatannya. Dan Datuk Sutan Benggala Dewa juga orang yang tahu diri, hingga tak lupa mengirim upeti pada Raja setiap tahunnya.

Malam itu tampak empat sosok tubuh menyelinap masuk ke dalam pekarangan Gedung yang luas itu. Salah seorang bergerak memutar, ke arah samping kiri gedung. Sedang seorang lagi dari samping kanan. Di tempat yang luas itu ada terdiri dari tiga wuwungan rumah. Dan rumah gedung yang paling besar itulah tempat tinggal sang Datuk Sutan Benggala Dewa. Sedang yang dua orang masuk dari bagian depan dengan gerakan hati-hati. Ternyata ketuanya adalah si Burung Hantu dan si Wanita bergelar Ular Kobra Mata Merah. Si Burung Hantu sudah membisiki dengan melompat menghampiri rekannya;

"Ssst..! Apa tidak sebaiknya kau naik ke atas membongkar genting..?"

Si wanita baju merah itu tampak kerutkan alis sejenak, lalu menyahuti. "Baiklah… Dan ia segera akan bergerak untuk melompat ke atas genting, ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras;

"Pencuri laknat..! Jangan harap kalian dapat pulang dengan selamat..!" Dan tiba-tiba dari sebelah sisi rumah petak itu telah bermunculan tiga sosok tubuh. Rata-rata mereka berbaju hitam. Sekejap saja telah mengurung keduanya.

Si Burung Hantu cuma memandang dengan senyum menghina pada para pengurungnya. Sekilas ia lirik si wanita rekannya yang tampak tersenyum padanya. Lalu anggukkan kepala. Sementara ketiga orang itu telah menerjang maju. Senjata-senjata yang dipergunakannya adalah sebuah golok besar, dan dua bilah pedang. Melihat hal demikian si Burung Hantu segera berkelebat menghindar, seraya perdengarkan dengusan di hidung, dan cabut senjatanya.

Trang! Trang!

Dua serangan pedang telah di sampok mental balik. Ternyata yang ia pergunakan adalah sebuah senjata aneh, yaitu berbentuk sepasang ruyung. Akan tetapi pada bagian ujungnya terdapat tiga buah rantai. Dengan masing-masing pada bagian ujungnya terdapat tiga buah cakar besi mirip cakar burung. Senjata hebat inilah yang dinamakan si Cakar Hantu.

Kedua orang penjaga yang menyerang si Burung Hantu itu terkejut sekali, karena rasa tangantangan mereka tergetar akibat sampokan senjata Cakar Hantu itu, dan kedua pedang hampir terlepas dari pegangan tangan masing-masing. Akan tetapi segera mereka maju menerjang lagi. Kali ini tampak hati-hati.

Karena ketika si Burung Hantu menyambut dengan senjatanya, segera keduanya menarik lagi serangannya. Ternyata adalah Cuma serangan dengan gerak tipuan. Adapun si wanita dengan senjata tongkat ularnya cuma melayani si penyerang bersenjata golok besar itu dengan senyum-senyum.

Beberapa serangan sang penjaga itu cuma dianggap tak berarti. Dan dengan mudah ia selalu dapat mengelakkannya. Selang sepuluh jurus, tiba-tiba si Burung Hantu keluarkan suara mirip burung Kokok Beluk, tiga kali. Agaknya si wanita rekannya itu mengerti. Dan tampak tongkat ularnya bergerak memutar bagai baling-baling.

Si penjaga bergolok besar itu terkejut karena rasakan sampokan angin keras menerjang tubuhnya. Ia sudah melompat tiga tombak menjauh. Akan tetapi bagaikan bayangan, tongkat si wanita mengejar. Terpaksa ia menghantam dengan golok besarnya, disertai bentakan.

Terdengar si wanita tertawa sinis. Tahu-tahu tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan si penjaga. Dan di lain saat terdengarlah teriakan ngeri sang penjaga itu. Ternyata lehernya telah ditembus oleh tongkat ular si wanita. Darah segar menyembur mengerikan. Dan ketika si Ular Kobra Mata Merah menarik kembali senjatanya, maka robohlah si penjaga dalam keadaan tewas mengerikan.

Dalam pada itu si Burung Hantu tengah melancarkan serangan maut pada kedua lawannya. Kedua pedang ternyata telah di sampok mental, hingga terlepas dari tangan sang lawan. Kini bagaikan alap-alap menyambar mangsa, ketiga buah Cakar Hantu itu bagaikan tangan-tangan setan saja meluncur deras mengarah leher dan dada kedua penjaga. Salah seorang tak dapat mengelakkan diri lagi.

Maka terdengarlah jeritan ngerinya, ketika cakar Hantu itu berhasil mencengkeram jantungnya, hingga dagingdagingnya tercongkel keluar. Dan darah muncrat seketika, dan robohlah si penjaga itu. Adapun yang seorang lagi ternyata berhasil mengelakkan serangan pada lehernya, dengan membuang tubuh ke samping. Dan dengan berjumpalitan berhasil menjauh. Wajahnya jadi pucat pias. Segera ia enjot tubuh untuk melarikan diri.

Tampaknya ia akan segera berhasil menyelamatkan diri. Akan tetapi pada saat itu juga, berkelebat tongkat si wanita. Meluncur bagai seekor ular terbang. Dan terdengar teriakan sang penjaga bernasib naas itu. Punggungnya telah tertembus tongkat ular bermata merah... Ambruklah seketika ia, dan tampak berkelojotan sebentar, tewas seketika itu juga.

Mendengar ribut-ribut di luar itu tentu sang hartawan alias Datuk Sutan Benggala Dewa jadi terbangun. Tampak ia gelagapan. Dan berlari kesanakemari dengan kebingungan. Ia dapat segera menyadari bahwa gedungnya telah disatroni penjahat Segera saja ia berteriak-teriak...

“Rampooook! Rampooook..!" Dan ia sudah berlari lagi ke ruangan depan. Tapi tak lama kemudian kembali lagi ke kamar. Sementara sang istri cuma bisa ketakutan menggulung tubuhnya dengan selimut, dengan tubuh menggigil gemetaran. Tiba-tiba di kamar sebelah terdengar suara bergedubrakkan. Disertai suara jeritan wanita. Terkejut si Hartawan. Ketika itu juga ia teringat akan anak gadisnya.

"Ratna Dewi anakku..!" Teriak si Hartawan. Iapun berlari ke kamar anaknya. Sementara istrinya pun tiba-tiba melompat dari tempat tidur, dan berlari ke kamar putrinya. Akan tetapi pada saat itu juga jendela samping telah dicongkel terbuka.

Dan Kala Dungga melompat ke dalam. Sekejap saja telah terdengar jeritan ngeri wanita istri hartawan itu. Lehernya hancur di cengkraman manusia telengas itu, di sertai robohnya sang tubuh ke lantai. Si Hartawan terkejut bukan main. Saat itu juga ia memekik keras. Dan ia sudah melompat menyambar sebuah tombak di sudut dinding ruangan. Wajahnya menampilkan kemarahan luar biasa, melihat tubuh sang istri telah tergeletak di lantai bersimbah darah.

Akan tetapi pada saat itu juga berkelebat Gajah Dungkul dari dalam ruangan kamar anak gadis hartawan. Sebelah lengannya telah bergerak, dan tahu-tahu tubuh laki-laki berusia enam puluh itu sudah roboh dengan perdengarkan keluhannya. Ternyata si Gajah Dungkul telah menotoknya. Di lain saat, terdengar suara pintu yang pecah bergedubrakkan. Disertai melompatnya si Burung Hantu dan si Ular Kobra Mata Merah. Melihat rekan-rekannya berhasil masuk, Gajah Dungkul tersenyum.

"Bagus..! Hayo kalian geledah seluruh isi kamar! Anak gadisnya si tua bangka ini telah ku totok! Rupanya hanya tiga orang penjaga saja yang diandalkan untuk menjaga gedungnya. He he he..." berkata Gajah Dungkul sambil tertawa. Dan ia pun sudah berkelebat masuk ke kamar. Ketika keluar lagi sudah memondong seorang gadis yang berteriak-teriak. Tapi sudah tak bisa menggerakkan tubuhnya lagi.

Si Burung Hantu hanya nyengir, sambil segera berkelebat memasuki kamar. Disana ia mengobrak-abrik lemari pakaian. Bahkan kasur dan bantal di aduk-aduk. Sedangkan si Ular Kobra Merah memasuki kamar anak gadis hartawan itu. Disana iapun menggerayangi setiap tempat. Sementara Kala Dungga mendekati si gadis dalam pondongan Gajah Dungkul. Wajahnya tampak cengarcengir melihat gadis cantik.

"Eh, kakak, biarkan aku yang memondongnya..!" Berkata Kala Dungga seraya melompat mendekati.

Gajah Dungkul tertawa menyeringai, serta berkata; "Boleh! Tapi ingat, jangan kau beri sisa mu..!" Dan segera lemparkan gadis dalam pondongannya itu. Yang segera disambuti Kala Dungga.

"Ha ha ha... Cantik juga anak gadis si tua bangka ini.." Dan ia sudah mendaratkan ciuman di pipi gadis bernama Ratna Dewi itu.

Adapun sang gadis itu sudah menjerit-jerit ketakutan. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Ketika tiba-tiba ia melihat ibunya yang tergeletak bersimbah darah, tanpa bergerak-gerak lagi... seketika ia menjerit panjang. Lalu jatuh pingsan. Sementara si Hartawan itu cuma bisa meringis pedih melihat apa yang terjadi di depan matanya. Tiba-tiba ia telah keluarkan bentakan;

"Iblis-iblis keparat..! Lepaskan anak gadisku! Jangan kau ganggu dia..! Katakan apa mau kalian?! Mengapa kalian lakukan semua ini? Aku merasa tak bersalah apa-apa terhadap kalian..!" Teriak Datuk Sutan Benggala Dewa. Sementara diam-diam hatinya mengutuk panjang pendek orang-orang bayarannya yang tak bisa diandalkan.

Gajah Dungkul tertawa terkekeh sambil acungkan senjata piring tipisnya di leher si hartawan. "He he he... kami mau kepalamu tuan besar! juga harta, dan... dan... anak gadismu yang cantik itu..!" Berkata Gajah Dungkul dengan wajah jumawa, sambil lirikan mata pada anak gadis laki-laki itu yang berada dalam pondongan adiknya.

Sementara itu si Burung Hantu sudah melompat keluar. Wajahnya menampakkan kekecewaan. Seraya berkata; "Kurang ajar! Aku tak dapat menemukan tempat menyimpan uang dan harta benda si kunyuk ini! Hayo, Gajah Dungkul! Kau paksa dia agar menunjukkan tempat menyimpan harta bendanya..!"

Gajah Dungkul melengak. Dan saat itu si Ular Kobra Mata Merah juga telah melompat keluar. "Aku cuma menemukan ini..!" Desisnya. Seraya menunjukkan seuntai kalung emas bermata berlian.

Tiba-tiba ia sudah berkelebat ke arah jenasah istri si hartawan. Tampaknya ia membungkuk. Dan menyambar kalung emas, serta membuka beberapa gelang di tangan jenazah wanita malang itu. Kemudian membungkusnya dengan sapu tangan. Dan selipkan pada celah bajunya. Lalu melompat lagi ke dekat tiga rekannya.

Datuk Sutan Benggala Dewa cuma bisa pejamkan mata. Tampak ada setitik air bening mengalir keluar dari sudut pelupuk matanya. Tiba-tiba sudah terdengar bentakan lagi. Ia rasakan kepalanya terangkat naik. Rambutnya terasa pedas sekali. Ternyata si Gajah Dungkul telah menjambak rambutnya.

"Kunyuk..! Kau mau pura-pura pingsan! Hayo katakan dimana kau menyimpan harta benda mu...! Atau kau mau kutebas batang lehermu? Teriaknya. Seraya tekan piring tipisnya ke leher si Hartawan, yang segera meringis kesakitan. Terlihat ada sedikit darah mengalir dari kulit lehernya Tapi Datuk Sutan Benggala Dewa tetap membungkam. Membuat Gajah Dungkul jadi berang.

"Ku hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak membuka mulut. Kepalamu akan segera menggelinding dalam sekejap..!" Bentak Gajah Dungkul, seraya menjambak rambut si hartawan lebih keras. Hingga laki-laki itu meringis lagi kesakitan.

Akan tetapi Kala Dungga sudah menyambar bicara; "Kalau dengan cara demikian, bisa-bisa ia memilih mati. Atau bisa juga berdusta. Sebaiknya kita gunakan cara yang aku pakai ini..!" Seraya berkata demikian, ia telah letakkan gadis yang pingsan itu di lantai. Dan tanpa ragu-ragu sudah membukai pakaiannya...

"He he he... Bagus! Bagus! Adikku..! Biarkan aku yang mencicipinya dulu. Baru kau..! Atau kalau sobat Burung Hantu kepingin, berikan gilirannya buat dia..!"

Tak berayal lagi Gajah Dungkul segera akan membuka juga pakaiannya. Sementara si Ular Kobra Mata Merah plengoskan wajahnya dengan wajahnya dengan wajah bersemu merah. Akan tetapi pada saat itu juga si hartawan sudah berteriak;

"Jangan kalian ganggu anakku...! Akan kuberitahukan tempat menyimpan uangku..!" Pakaian si gadis yang baru dibuka separuhnya itu sudah lantas di tutup lagi.

"Bagus..! Berkata Kala Dungga. Nah dimana kau simpan uang dan harta benda mu, tuan besar..!" Berdesis si Gajah Dungkul. Sementara si Burung Hantu cuma jadi penonton saja.

Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara mengeram. Yang membuat semua yang berada di tempat itu jadi melengak. Dan tahu-tahu di ruangan itu telah menjelma seekor Harimau Tutul yang hampir sebesar kerbau, dengan didahului keluarnya asap hitam yang tebal. Tentu saja keempat manusia jahat itu jadi terkesiap.

Terlebih-lebih si Burung Hantu. Karena Harimau belang jejadian itu adalah mahluk suruhannya, yang telah disuruhnya menjaga Roro Centil. Segera kesemuanya melompat mundur. Sedangkan Burung Hantu segera berkata dengan suara gemetar;

"Datuk Siluman Raja Hutan..! Kau... kau bukankah telah disuruh menjaga wanita itu di rumah besar, melalui perantara nenek dukun yang telah kupanggil di rumahku...?"

Akan tetapi sebagai jawabannya sang harimau jejadian itu bahkan menggeram lebih dahsyat. Hingga seluruh ruangan itu terasa bergolak. Akan halnya si Dua Iblis Sembilan Nyawa alias Kala Dungga dan Gajah Dungkul, jadi kesal dan mendongkol dengan adanya harimau jejadian itu. Walaupun ia memang agak ngeri dan membuat bulu kuduknya berdiri.

Tampak kedua kakak beradik itu segera memberi isyarat. Dan dengan berbareng telah menerjang dengan senjatanya. Gajah Dungga menebas leher sang harimau itu dengan sebuah piring tipis yang terbuat dari baja berkilat itu. Dan Kala Dungga telah keluarkan senjatanya dari balik punggung, yaitu sebuah garpu sebesar lengan dengan lima buah ujungnya yang tajam. Dengan kecepatan kilat, Kala Dungga menusuk kepala makhluk itu.

Akan tetapi seketika makhluk itu lenyap. Dan yang membuat terkejut adalah si Kala Dungga, karena tiba-tiba saja ia berteriak-teriak kesakitan sambil memegangi lehernya. Tampak, seperti ia tengah berusaha melepaskan cengkeraman pada lehernya. Namun tak kuasa... Hingga akhirnya ia berkelojotan meregang nyawa.

Melihat demikian si Ular Kobra Mata Merah jadi gemetar. Dan keluarkan keringat dingin pada sekujur tubuhnya. Dan tanpa menunggu lagi, segera melompat pergi dari ruangan itu, menerobos jendela, dan melesat kabur menyelamatkan diri. Si Burung Hantu jadi serba salah. Iapun tak dapat menahan diri lagi untuk segera melarikan diri, sipat kuping. Meninggalkan gedung si Hartawan itu.

Sementara Gajah Dungkul mencoba menarik tubuh adiknya dengan mencekal kedua kakinya, untuk dibawa keluar ruangan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara menggeram dan ia terlempar jatuh bangun menabrak pintu. Yang seketika jadi jebol, dengan papan-papan berantakan. Terkesiap seketika laki-laki berperawakan tinggi besar ini. Dan dengan mengurutkan punggungnya, terpincang-pincang ia melarikan diri. Tanpa mau tahu lagi akan nasib adiknya.

Hingga dalam sekejapan saja, ruangan kembali menjadi sunyi. Kala Dungga tergeletak di lantai tak berkutik lagi. Keadaan tubuhnya tampak mengerikan. karena dari mata, telinga serta hidungnya tampak mengalirkan darah yang menganak sungai... Sedangkan makhluk Siluman yang menyeramkan itu telah menjelma lagi menjadi seekor harimau tutul yang amat besar.

Pada saat itu berkelebat sesosok tubuh ramping berbaju merah jambu. Sekejap ia telah berdiri di dalam ruangan itu. Ternyata tak lain dari Roro Centil adanya. Melihat kedatangan Roro, tiba-tiba harimau tutul itu menghampirinya. Dan tampak menggeram-geram seperti melihat tuannya, serta mengelilingi Roro. Segera saja Roro memeluknya, dan mengelus-elus belakang kepalanya.

Si Tutul cuma kedip-kedipkan sepasang matanya, dan menciumi lengan Roro serta menggeser-geserkan kepalanya dengan manja. Tapi sebentar kemudian Roro Centil segera bangkit berdiri seraya berkata;

"Tutul..! Tunggulah di luar. Aku akan mengurusi orang-orang di dalam ini. Terima kasih atas bantuanmu, Tutul..!" Tampaknya sang harimau itu mengerti, dan dengan patuh sekali ia melesat cepat keluar pintu, dan lenyap.

Roro Centil segera membebaskan totokan pada tubuh si hartawan. Yang seketika sudah menekuk lutut di hadapan Roro, seraya berucap... "Oh..! Te... terima kasih atas pertolongan anda, nona..!"

Roro Centil cuma tersenyum dan mengangkat bahu laki-laki tua itu. "Tak usah banyak peradatan, paman..! Lebih baik kau urusi anak gadismu..!"

Mendengar demikian si hartawan itu sudah lantas memburu ke arah anak gadisnya, seraya berteriak... "Ratna Dewi... Ratna Dewi...!" Dan ia sudah mengguncang-guncang tubuh gadis yang tergolek pingsan itu.

Beberapa saat kemudian si gadis tampak siuman kembali. Ia melompat bangkit. Dan yang pertama-tama disebutnya adalah nama ibunya! "Ibuuu..! Ibuuuu..!" Dan wajahnya dipalingkan ke beberapa arah. Ketika terpandang akan tubuh ibunya yang tergolek bersimbah darah itu. Tiba-tiba ia perdengarkan jeritannya. Seraya berlari menubruk tubuh wanita yang telah tewas itu. "Ibuuuuuuu...!" Dan selanjutnya ia sudah menangis tersedu-sedu memeluki, dan mengguncang-guncang tubuh ibunya.

Laki-laki itu perlahan-lahan menghampirinya. Seraya bersimpuh di hadapan jenazah sang istri, disamping anak gadisnya. "Sudahlah anakku..! Ibumu sudah tenang di alam Baka. Jangan kau iringi dengan air mata. Kita harus relakan kepergiannya..!" Berkata lirih Datuk Sutan Benggala Dewa, sambil mengangkat bahu anak gadisnya. Sebelah tangannya membelai-belai rambut si gadis yang amat disayanginya itu.

Sementara itu telah berdatangan para pegawai sang hartawan dan beberapa penduduk desa. Yang segera memburu masuk ke dalam gedung. Suasana pun menjadi gaduh. Adapun si hartawan, ketika menoleh pada penolongnya, ternyata telah lenyap, tak kelihatan lagi. Kiranya hari telah menjelang pagi. Keremangan malam itu perlahan-lahan berubah menjadi terang.

Gedung Datuk Sutan Benggala Dewa pagi itu jadi ramai oleh kerumunan penduduk Yang segera membantu menggotong mayat-mayat di halaman. Beberapa orang sudah memayang Ratna Dewi, untuk dibawa ke rumah gedung di sebelah. Sementara beberapa orang lagi sibuk mengangkat jenazah istri si hartawan itu.

Jauh dari rumah Gedung Datuk Sutan Benggala Dewa, tampak berkelebat sebuah bayangan merah jambu cepat sekali. Mata manusia biasa akan sulit mengetahui bayangan apa itu. Tapi bagi mata orang berkepandaian tinggi, segera dapat mengetahuinya. Karena bayangan merah. jambu yang berkelebatan menjauh itu, adalah bayangan tubuh Roro Centil. Si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Sungguh suatu hal yang amat menakjubkan. Karena Roro Centil ternyata tengah menunggang di atas tubuh seekor harimau tutul yang amat besar. Makhluk itu bergerak cepat sekali. Larinya bagaikan angin. Entah kemana yang ditujunya.

Apakah gerangan yang telah terjadi dengan Roro Centil, sehingga dapat bersahabat dengan sang harimau jejadian itu? Dan bahkan tampaknya sang harimau siluman itu telah tunduk sama sekali padanya! Baiklah kita kembali sejenak ke belakang.

Ketika Roro Centil dalam keadaan serba sulit karena ditunggui oleh seekor macam siluman yang menakutkan itu, Roro tengah berusaha menyatukan segenap ilmu batinnya. Pada saat-saat yang menakutkan itulah, Roro Centil teringat, dan tiba-tiba terbayang akan wajah Gurunya. Si Manusia Aneh Pantai Selatan. Dan entah suara Gurunya juga entah suara batinnya. Karena pada saat itu ada suara membersit hatinya.

"Roro... Muridku! Kau memang bocah tolol. Tapi cerdik! Kalau kau menemui keanehan, mengapa tak kau lawan dengan keanehan pula. Demikian suara itu seperti terdengar berkali-kali. Dan terus terngiang-ngiang di telinganya.

Roro berfikir bolak-balik. Apakah gerangan makna yang telah membersit di hatinya itu, berulang kali terngiang-ngiang di telinganya. Segera ia pusatkan pikirannya untuk mendapati keanehan apakah gerangan yang harus dipergunakan untuk melawan makhluk siluman di hadapannya itu. Lama dan lama ia mengingat-ingat. Sampai peluh peluh di sekujur tubuhnya bercucuran. Roro bena-rbenar sulit untuk membuka tabir keanehan dari suara yang membersit di lubuk hatinya. Gurunya tak memberi bekal keanehan apa-apa! Demikian pikirnya.

Roro tampak hampir putus asa, karena tak juga berhasil memikirkan makna katakata itu. Hingga terdengar sudah suara ayam berkukuruyuk... Dimana si Burung Hantu dan ketiga rekannya sudah berangkat pergi. Roro mulai agak gelisah. Berulang kali ia tatap mata si harimau siluman itu. Yang selalu tak berkedip menentang wajah kepadanya. Karena hawa aneh yang menyeramkan itu seperti telah melolosi tulang belulangnya.

Akan tetapi pada saat itu juga Roro Centil teringat akan kotak perhiasan milik Gurunya yang selalu dibawanya. Yang masih tersisa adalah sepuluh buah gelang emas, bertatahkan berlian. Dan sebuah cincin bermata batu Merah Delima. Mengingat akan cincin itu, Roro Centil berfikir sejenak. Dan diam-diam berkata dalam hatinya.

"Eh...!? Batu Merah Delima yang berada pada cincin ku, amat mirip sekali dengan sepasang mata si makhluk siluman ini. Merah bersinar! apakah keanehannya ada pada benda itu..?" Demikian Roro berfikir bolak-balik.

Dan perlahan-lahan ia sudah keluarkan kotak perhiasan itu dari balik pakaiannya. Dibukanya kotak kecil itu. Segera saja membersit keluar cahaya merah dari batu cincin itu. Juga gemerlapan permata-permata berlian dari kesepuluh gelang warisan gurunya. Sebaiknya kupakai saja semuanya! Pikir Roro. Dan tanpa ayal lagi Roro masukkan lima buah gelang pada lengan kirinya. Dan lima buah lagi di lengan kanannya. Lalu pasangkan cincin emas bermata batu Merah Delima itu di jari manisnya.

Aneh..! Kesemua benda di lengannya itu jadi lenyap sinar gemerlapnya. Juga sinar merah dari batu Merah Delima itu. Roro jadi penasaran. Tapi inilah keanehannya. Memang...! Roro Centil sudah menemukan keanehannya. Akan tetapi harus berfikir seribu kali untuk memecahkan keanehan itu. Tampak Roro sudah tak sabar lagi. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya pada sepasang lengannya. Ia berpendapat kalau ia berhasil menghimpun tenaga dalam, maka sekali bergerak untuk menghantam, tamatlah riwayat si macan siluman itu.

Tampaknya Roro berhasil. Akan tetapi terkesiap ia ketika tahu-tahu batu Merah Delima pada cincinnya telah kembali menyala, dan menyorot langsung ke mata siluman harimau itu. Bahkan sepuluh gelang bermata berlian itupun bergemerlapan lagi memancarkan cahaya yang amat mempesona.

Aneh...! Sang harimau jejadian itu tiba-tiba mundur, dan menggeram lemah seperti ketakutan. Melihat demikian timbullah nyali Roro. Segera saja ia telah melompat bangkit. Sang harimau siluman itu semakin mengkerutkan tubuhnya ketakutan. Sinar matanya tampak semakin memudar. Dan akhirnya lenyaplah cahaya merah dari sepasang matanya. Tiba-tiba tubuh makhluk itu bergoyang-goyang...

Dan satu keajaiban segera terjadi lagi. Tubuh makhluk itu tiba-tiba berubah mengecil. Semakin kecil... dan terus mengecil, hingga sebesar seekor kucing. Suaranya pun telah berubah bagai suara kucing. Namun tetap tak berubah warnanya. Roro jadi melengak. Ia sudah mengucak-ucak sepasang matanya, karena hampir-hampir ia tidak percaya pada penglihatannya.

Hingga tanpa ia sadari kakinya telah melangkah mundur beberapa tindak. Dan terhenyak duduk di tepi pembaringan. Sementara sepasang matanya Map mengawasi perubahan aneh dari makhluk di hadapannya. Pada saat itulah "kucing aneh" itu tiba-tiba melompat ke pangkuannya, seraya perdengarkan suara mengeong.

Terasa copot jantung Roro. Namun aneh..! Ternyata harimau kecil itu sudah bagaikan seekor kucing saja. Tampaknya jinak sekali. Bahkan tampak mengendus-endus lengan Roro serta menjilat-jilat lengannya. Lenyaplah kekhawatiran Roro seketika. Dan dengan beranikan diri ia mengelus-elus tubuh sang harimau kecil itu. Tampaknya si" Kucing Aneh" itu merasakan belaian halus lengan Roro. Dan memejamkan sepasang matanya, seraya mengeong perlahan.

"Aneh..!?" Desis Roro perlahan. Namun sepasang bibirnya sudah tampak senyum. Dan tiba-tiba saja ia telah peluk harimau kecil itu, seraya menciuminya dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa telah membersit di hati Roro semacam ada daya tarik untuk menganggapnya sebagai sahabatnya. Selang beberapa saat, tiba-tiba pintu kamar Roro kembali terbuka.

Dan sosok tubuh yang tak lain dari si pembantu wanita di rumah itu sudah berdiri diambang pintu. Begitu sepasang matanya melihat ke arah Roro, tiba-tiba ia jadi beliakkan matanya. Dan serta merta sudah jatuhkan diri berlutut di hadapan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Seraya berucap dengan suara gemetar...

"Oh..!? Ampunilah hamba Paduka Ratu Peri, Hamba telah berbuat lancang terhadap Paduka! Hukumlah hamba Paduka Ratu Peri. Hukumlah hamba..! Hamba telah pergunakan makhluk piaraan Paduka Ratu untuk berbuat kejahatan selama ini..!"

Tampak tubuh si pembantu wanita yang telah berusia lanjut itu gemetar. Seluruh tubuhnya telah mengeluarkan keringat dingin. Berkali-kali ia bersujud. Dan terdengar isaknya tersendat-sendat. Ada pun Roro Centil jadi tertegun tak mengerti. Lagi-lagi keanehan..! Pikirnya. Tidak angin tidak hujan, tahu-tahu ia sudah dianggap Ratu Peri. Sungguh aneh! Demikian berfikir Roro.

Namun sekejap Roro Centil sudah berfikir untuk memanfaatkan kesempatan ini. Ia harus berpura-pura benar-benar seorang Ratu Peri, seperti yang telah dianggap oleh si pembantu wanita itu. Yang sebenarnya wanita itu tak lain dari seorang dukun Yang telah dipanggil datang oleh si Burung Hantu untuk membantunya Roro segera berujar, dengan suara dibuat keren, berwibawa.

"Hm...! Sebenarnya kau harus dihukum berat, tetapi biarlah aku ampuni...! Kini segera katakan pada makhluk piaraan ku ini, agar kembali menurut padaku! Aku khawatir, karena sudah sering kau suruh dia berbuat kejahatan, lalu tidak menurut lagi padaku...!"

Tampak wajah sang pembantu alias dukun panggilan ini, jadi berseri gembira. Dan ia sudah merangkul kaki Roro seraya menciuminya berulang-ulang."Oh..! Te... terima kasih paduka Ratu Peri..!"

Sesaat ia sudah segera berdiri lagi. Sepasang matanya yang bersimbah air mata itu menatap si harimau kecil, dan berkata; "Tutul..! Kini aku tak dapat mengasuh mu lagi..! Majikanmu sesungguhnya adalah paduka Ratu yang memangku mu ini..! Taatlah pada perintahnya. Dan jangan sekali-kali kau membangkangnya..!" Selesai berkata, tampak si wanita tua ini membelai-belai kepala harimau kecil itu. Lalu kemudian palingkan wajah pada Roro.

"Paduka Ratu... hamba mohon diri untuk meninggalkan tempat ini..!" Ujarnya seraya membungkukkan tubuh dalam-dalam.

Roro Centil tersenyum. "Pergilah..! Tinggalkan tempat ini sejauh-jauhnya. Dan jangan kembali lagi!" Berkata Roro Centil dengan suara tegas. Sepasang matanya menatap tajam pada si pembantu wanita tua ini. Walau diam-diam dalam hati, Roro merasa ngeri, dan bergidik seram melihatnya. Karena sekonyong-konyong tampak perubahan pada bentuk tubuh sang pembantu wanita itu. Wajahnya jadi berubah semakin tua, berkeriput. Dan tubuhnya pun jadi berubah bungkuk.

Dengan suara bergetar sang dukun itu berucap; "Terima kasih, Paduka Ratu. Hamba akan turuti semua perintah Paduka..!" Dan tak berlama-lama lagi, nenek tua itu sudah ngeloyor pergi. Tak diketahui kemana jalannya. Karena tahu-tahu sudah lenyap...

Demikianlah peristiwa aneh yang telah dialami Roro Centil. Hingga tanpa disengaja, ia telah menjadi majikan sang harimau siluman itu. Ternyata pulau Andalas adalah pulau aneh yang penuh misteri..! Berkata Roro dalam hati. Sementara si Tutul  semakin jauh meluncur pesat. Dengan tujuan barunya yaitu Gunung Dempo.

* * * * * * *

Tirta Menggala tak tahu lagi lamanya dalam perjalanan, karena ia cuma pejamkan mata saja tanpa berani membuka... Ketika dirasakan angin yang menerpa wajahnya telah berhenti, segera buka matanya. Ternyata mereka telah sampai pada sebuah Goa batu yang penuh ditumbuhi akar-akar. Sepasang telinganya sudah menangkap suara-suara kera, di sekeliling tempat itu.

Ketika ia palingkan kepalanya ke beberapa arah. Ternyata berpuluh-puluh ekor kera bergelayutan di dahan-dahan pohon. Suaranya tampak riuh. Dan beberapa ekor sudah berloncatan ke hadapan Tirta Menggala. Tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring yang diperdengarkan oleh si kakek. Dan sekejapan saja ratusan ekor kera bermunculan. Suara-suara binatang itu jadi semakin riuh rendah. Hingga Tirta Menggala jadi terpaku tempatnya.

Segera ia teringat pada dua puluh tahun lebih yang lalu, ketika ia tinggal di tempat ini. Kera-kera itu tak sampai demikian banyaknya. Tapi kini sudah mencapai ratusan jumlahnya. Ketika ia melihat adanya orang baru yang dibawa majikannya, segera kera-kera itu berjingkrakan mengurungnya. Kesemuanya menampakkan wajah bermusuhan. Tiba-tiba si kakek itu berteriak-teriak dan menggeram mirip kera-kera itu, sambil melompat-lompat dan menunjuk pada Tirta Menggala.

Aneh..! Sekejapan saja ratusan kera itu jadi menggelepoh di tanah. Dan tundukkan kepala. Tampaknya mereka segera mengerti kalau orang baru itu adalah sahabat majikannya. Wajah Tirta Menggala yang semula berubah pucat itu, kini kembali cerah. Dan ia benar-benar amat kagum dengan wibawa gurunya. Tiba-tiba terdengar lagi suitan nyaring.

Kera-kera itu segera tengadahkan kepalanya. Dan terlihat sang majikan gerakkan tongkatnya tiga kali ke atas. Sekejap saja binatang-binatang itu berlompatan lagi, masuk ke dalam hutan, dengan suara riuh. Hingga tinggal beberapa ekor saja yang tampak masih berkeliaran di depan goa.

Sang kakek aneh itu sudah segera beranjak masuk ke dalam goa. Melihat gurunya masuk, terpaksa Tirta Menggala pun menurutinya. Di pintu goa masih sempat ia menengok keluar. Tapi kemudian iapun cepat-cepat masuk, dan tak kelihatan lagi.

Goa itu terletak pada sebuah lembah ngarai yang amat curam adalah tebing-tebing batu yang tinggi menjulang ke langit. Ternyata di dasar jurang itu ada terdapat hutan rimbanya yang amat luas. Di sanalah kera-kera itu berdiam.

Hari pertama Tirta Menggala sudah harus menjalani bersemadi dengan tubuh tanpa mengenakan pakaian secuilpun. Tampaknya Tirta Menggala tak dapat tenang dalam bersemadi. Karena hatinya selalu berkata-kata...

"Celaka!? Beberapa bulan saja aku disini, bisa-bisa aku berubah menjadi kera Oh!? Matilah aku..! Seluruh tubuhku akan tumbuh bulu..! Dan... dan akan tumbuh pula ekor di belakangku..! Hiiiiii..!" Laki-laki ini bergidik seram. Hingga peluh dingin membasahi sekujur tubuhnya.

Hari kedua, semedinya tampak semakin goyah. Karena ia tidak betah kalau harus bertelanjang bulat sedemikian itu. Ditambah lagi, bermacam-macam fikiran selalu membayang di matanya, hingga ia tak bisa tenang. Hari ketiga... hampir-hampir ia berlari meninggalkan tempat semedinya karena ia ditemani oleh dua ekor kera yang hampir sebesar manusia.

Namun ia berusaha bersemedi dengan baik. Karena khawatir Gurunya menjadi marah terhadapnya. Hari ke empat dan ke lima ia mulai bisa bersemadi dengan baik. Walaupun terkadang kedua ekor kera itu mengganggunya dengan meraba-raba sekujur tubuhnya.

Hari keenam, pandangan matanya mulai berkunang-kunang, karena selama itu ia tidak makan. Kecuali hanya minum segelas air putih dalam setiap harinya. Hari ke tujuh... Kedua ekor kera itu dalam pandangannya sudah bukan kera lagi, karena seperti sudah berubah jadi dua orang gadis cantik dengan tubuh yang polos, dan mulus menggiurkan. Entah pengaruh air yang diminumnya, ataukah pengaruh hawa lapar...

Karena Tirta Menggala memang sebenarnya seorang pemalas. Apa lagi selama puluhan tahun kerjanya cuma berfoya-foya saja. Arak dan wanita cantik seperti sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Beruntunglah pada hari ketujuh itu, Tirta Menggala tidak sampai menjadi batal dengan semedinya. Otaknya masih cukup waras, karena ia masih dapat membedakan mana suara orang, dan mana suara kera.

Tapi hari ke sepuluh. Tirta Menggala sudah tak mengetahui lagi antara suara kera dan suara manusia. Dan entahlah apa yang terjadi selanjutnya pada hari itu, karena tubuh Tirta Menggala sudah tidak duduk bersemadi lagi. Melainkan saling bergumul dengan kedua kera itu, silih berganti.

Hari ke lima belas, tampak sepasang mata Tirta Menggala berubah menjadi merah. Tubuhnya semakin kurus, karena kurang makan. Hari ketiga puluh, Tirta Menggala sudah tidak ingat siapa lagi dirinya. Bahkan suaranya pun sudah meniru-nirukan suara kera. Dan kedua kera itu sama sekali tak pernah menolak untuk diajak meladeninya....

Dalam waktu selama tiga puluh hari itu, sang kakek sering menempelkan telapak tangannya pada punggung Tirta Menggala. Dan sudah dilakukannya sebanyak lima belas kali. Dan pada waktu kira-kira sepenanakan nasi. Itulah suatu penyaluran tenaga dalam dari tubuh sang kakek pada muridnya. Yang di lakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit.

Setelah genap waktu tiga puluh hari, Tirta Menggala diberi makan buah-buahan yang banyak terdapat di hutan belantara di lembah ngarai itu. Tampaknya Tirta Menggala amat rakus sekali memakannya. Maklum, sudah sebulan penuh tak mengenal yang namanya makanan pengisi perut. Dan anehnya kelakuannya kini lebih mirip dengan binatang kera.

Demikianlah. Hari demi hari berlalu. Selama itu ia telah diberi ilmu-ilmu aneh. Tirta Menggala memang telah tak mengenal dirinya lagi. Selama di dalam goa itu tiba-tiba saja ia telah mempunyai tenaga dalam yang amat tinggi. Hingga batu gunung pun bila di cengkeramnya, pasti hancur jadi bubuk.

Dalam waktu tiga bulan saja Tirta Menggala telah mempunyai gerakan selincah kera. Walaupun pada tubuhnya tak ditumbuhi bulu. Juga tak berekor. Namun kelakuannya memang amat mirip kera. Karena sehari-hari bergaul dengan ratusan ekor kera. Melompat dari cabang-cabang pohon, bukan rintangan lagi baginya. Bila terdengar suitan nyaring dari mulut si kakek aneh yang bergelar Dewa Siluman Kera itu, maka bergerombol-gerombol binatang-binatang itu berdatangan.

Diantaranya terdapat Tirta Menggala. Yang memang sudah bagaikan hewan saja, tanpa mengenakan secuil pakaianpun. Kumis dan jenggotnya kian bertambah lebat. Mulutnya selalu tampak menyeringai. Sepasang matanya bersinar-sinar. Dengan biji matanya yang seperti tak mau diam. Mengerling kesana-kemari. Sebentar-sebentar mendengus, dan menggaruk-garuk kepalanya. Atau terkadang melompat-lompat sambil berteriak-teriak mirip suara kera. Bila dilihat keadaannya memang sangat mengenaskan.

Suatu malam di bulan purnama, Dewa Siluman Kera telah menciptakan 100 ekor kera dengan ilmu sihirnya. Tirta Menggala memang tengah diuji kesaktiannya. Seratus ekor kera itu telah menyerangnya dari segala jurusan. Hebat sekali gerakan Tirta Menggala. Tubuhnya sendiri ternyata telah berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Dan dengan lincahnya berkelebatan diantara bayanganbayangan ratusan ekor kera itu.

Sementara Tirta Menggala dengan kekuatan anehnya, telah menggempur setiap penyerang yang datang. Hingga dalam beberapa kali gebrakan saja ia telah membuat seratus kera ciptaan itu jadi kacau balau. Setiap terkena pukulan Tirta Menggala, tubuh kera-kera ciptaan itu punah, dan lenyap jadi gumpalan asap. Diam-diam si Dewa Siluman Kera tersenyum puas.

Demikianlah... tanpa terasa telah enam bulan lamanya Tirta Menggala berdiam di dasar jurang yang dalam itu. Dan selama itu tentu saja ilmu-ilmunya telah semakin hebat. Karena Dewa Siluman Kera memang telah menurunkan hampir semua ilmunya dengan waktu yang amat singkat.

Cuma saja dalam waktu tiga bulan belakangan ini, banyak peristiwa terjadi akibat cara-cara keji si Dewa Siluman Kera dalam memberikan ilmu-ilmu hitamnya. Hingga banyak korban terjadi di beberapa desa. Memang Tirta Menggala selalu diberi umpan untuk setiap latihan dengan ilmu sesat.

Tentu saja hal itu membuat Tirta Menggala jadi ketagihan. Bahkan wataknya pun telah berubah menjadi telengas dan kejam. Umpan-umpan itu memang sesuai dengan keinginan hatinya. Dan si Dewa Siluman Kera yang mengetahui tentang watak muridnya itu, segera menyalurkan dan memanfaatkannya sebagai bahan latihan amat digemari sang murid. Juga merupakan tontonan yang amat mengasyikkan buatnya.

* * * * * * *

Lenyapnya Tirta Menggala membuat gelisah beberapa orang istrinya. Apa lagi setelah ditunggu sampai beberapa bulan, sang suami tak pernah muncul. Sehingga mereka berpendapat bahwa ia telah tewas. Karena ada berita juga, tentang karamnya perahu yang ditumpangi Tirta Menggala beserta beberapa anak buahnya, di tengah laut.

Berita itu membuat sebagian anak-anak buah Tirta Menggala menjadi gelisah. Karena mereka hanya mengandalkan gaji dari majikannya itu. Akan tetapi sebagian lagi diam-diam mengambil kesempatan baik itu. Yaitu mengambil alih kekuasaan atasannya. Beberapa orang telah membentuk kelompok-kelompok sendiri-sendiri. Tentu saja dalam hal ini mereka melibatkan orang luar yang berkepandaian tinggi.

Puluhan perahu-perahu nelayan milik Tirta Menggala telah dikuasai oleh tiga kelompok bekas anak-anak buahnya. Bahkan perkebunan cengkeh dan palawija pun sudah mereka ambil alih. Tidak jarang terjadinya pemerasan yang kian menjadi bisa diperas, kini semakin mengeluh lagi para nelayan dan pegawai-pegawai perkebunan.

Adapun beberapa penduduk di sekitar tempat itu yang tanah perkebunannya tadinya telah dirampas, atau dipaksa untuk dijual dengan harga murah oleh Tirta Menggala, mulai memberontak. Begundal-begundal bekas anak buah Menggala tentu saja tak dapat tinggal diam. Tak jarang pembunuhan dan pemerkosaan terjadi. Kejahatan tampak semakin merajalela.

Dan para penduduklah yang jadi korbannya. Belum lagi dari komplotan Perguruan Burung Hantu, yang mulai merajalela, mengadakan aksi perampokan di setiap tempat. Walaupun si Ketua Perguruan Burung Hantu ini agak takut untuk mengganggu daerah-daerah milik si hartawan Datuk Sutan Benggala Dewa, namun sasaran lain masih banyak yang ia jadikan korban.

Para penduduk di setiap desa semakin resah. Apalagi banyak berita aneh, tapi lama-kelamaan menjadi semakin nyata. Yaitu lenyapnya beberapa orang gadis, yang menurut kabar adalah gadis-gadis yang hilang itu adalah akibat murkanya Dewa Siluman kera. Karena kurangnya dalam memberi sesajen dalam setiap panen. Memang masih sangat disayangkan, pada waktu itu keadaan manusia belum mengenal adanya Tuhan. Sehingga banyak di antara mereka menyembah dan memuliakan para Dewa atau Siluman sebagai sesembahan mereka.

Namun dalam beberapa pekan ini wajah-wajah para penduduk agak cerah, karena dapat mendengar berita adanya seorang Pendekar Wanita dari tanah seberang pulau, yang mulai memberantas kejahatan di setiap tempat itu. Pendekar Wanita itu selalu membawa serta seekor anak harimau belang sebesar kucing. Tentu saja tersiarnya berita itu segera menyebar ke setiap tempat, karena dibawa orang dari mulut ke mulut.

Sementara di kalangan persilatan lain lagi. Karena disamping adanya berita munculnya seorang Pendekar Wanita yang kabarnya bernama Roro Centil. Berasal dari daerah pulau Jawa. Dan bergelar Siluman Kera Putih. Usaha Roro Centil mencari Peri Gunung Dempo ternyata tak membawa basil. Bukan tak bertemu orangnya, akan tetapi kabar tentang dimana adanya Peri Gunung Dempo tak pernah didengarnya.

Selama beberapa bulan ia telah mengitari, dan menetap di desa-desa lereng Gunung Dempo, untuk mendengar berita tentang wanita pembunuh Gurunya itu. Selama itu pula si Belang kecil selalu menemaninya dengan setia. Terkadang makhluk itu tak menampakkan diri. Tapi bila Roro memanggilnya, maka akan segera muncul sahabatnya itu di dekatnya.

Dalam masa pengembaraannya itu Roro telah dapat berkenalan dengan beberapa tokoh golongan putih. Diantaranya yang bergelar Pendekar Selat Karimata. Atau banyak orang menamakannya dengan julukan si Bujang Nan Elok. Memang pendekar ini seorang pemuda yang tampan, dan gagah. Disamping berperangai halus dan ramah, juga seorang berkepandaian tinggi. Julukan Bujang Nan Elok itu memang itu memang berarti Pemuda Yang Tampan.

Si Pendekar Selat Karimata itu mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Sedayu. Gadis manis ini memang seperti pinang dibelah dua dengan kakaknya. Dan tampaknya si Bujang Nan Elok amat menyayangi dan memanjakannya. Saat perkenalan mereka adalah ketika Roro Centil memasuki pasar. Rupanya hari itu adalah hari pasaran. Hingga pembeli dan pedagang berlimpah ruah.

Sehabis mengisi perutnya, Roro bermaksud kembali ke penginapan. Akan tetapi jadi terkejut ketika mendengar suara orang berteriak-teriak. Dan suasana menjadi gaduh. Beberapa orang berlarian mengejar tiga sosok tubuh yang melarikan seorang wanita dalam pondongan salah seorang dari kawanan penculik itu. Dua orang yang berilmu cukup tinggi mengejar. Dan berhasil mencegat ketiganya. Segera saja ketiga penculik wanita itu menghentikan larinya.

"Bangsat rendah..! Berikan gadis itu, atau kalian akan rasakan pedangku..!" Teriak salah seorang.

Sementara keduanya telah mencabut senjatanya. Dua dari penculik itu tampak mendengus. Wajahnya bertampang seram. Kumisnya melintang sebesar cerutu. Tiba-tiba keduanya telah membentak keras seraya menerjang dengan dua kapaknya yang berkilatan.

Trang! Trang!

Terdengar suara beradunya empat senjata. Kiranya kedua laki-laki berpedang itu telah menangkisnya.

"Heh! Sebutkan siapa ketuamu penculik picisan... Kami Dua Pendekar Bukit Rusa akan memberimu pelajaran..!" Teriak salah seorang dari laki-laki berpedang itu dengan nada jumawa.

Kedua penculik itu tampaknya gusar main dikatakan penculik picisan. Salah seorang sudah lantas membentak; "Keparat..! Tak perlu kau tahu guruku, atau ketua kami segala. Pendekar tengik yang masih bau kencur macam kalian cuma besar mulut saja; Terimalah kematianmu...!"

Disertai bentakan keras. Keduanya telah bergerak kembali menabas dengan kedua kapaknya. Namun dengan gesit kedua laki-laki itu berhasil menghindar. Segera terjadilah pertarungan seru yaitu satu lawan satu. Sedang salah seorang dari si penculik itu, masih tetap berdiri memanggul tubuh seorang gadis.

Namun sebelah tangannya telah menyiapkan senjatanya. Agaknya sang gadis dalam keadaan tertotok, dan pingsan tak sadarkan diri. Tampak mulutnya telah dijejali sapu tangan. Sementara itu beberapa orang sudah berkerumun. Melihat demikian kawannya yang memanggul gadis korbannya itu segera berteriak:

"Cepatlah bereskan kawan-kawan. Jangan sampai banyak rintangan..!"

Mendengar teriak itu, kedua penculik segera merobah gerakan kapaknya Tampak berkelebatan kedua senjatanya mengurung lawan. Tiba-tiba salah seorang jatuhkan diri dengan disusul kawannya.

Serrr..! Serrr..!

Serangkum jarum-jarum berbisa telah meluruk ke arah tubuh ke dua Pendekar Bukit Rusa. Terkejut bukan main kedua Pendekar itu. Namun tak ada kesempatan untuk meloloskan diri. Saat kematian beberapa detik lagi akan tiba. Tapi di detik yang menegangkan itu, telah bersyiur angin keras menghantam buyar jarum-jarum beracun itu. Bahkan meluruk kembali pada penyerangnya.

Tak ampun lagi segera terdengar teriakan dari kedua penculik itu. Kedua kapaknya telah terlepas. Tubuh itu berkelojotan meregang nyawa. Namun beberapa saat kemudian telah tewas, dengan wajah, dada dan lehernya mengeluarkan cairan berwarna hitam.

Kedua Pendekat Bukit Rusa sudah melompat mundur. Keringat dingin sudah mengalir deras di sekujur tubuh. Mereka jadi ternganga ketika itu juga Ternyata di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh wanita. Berbaju merah muda. Rambutnya terurai panjang. Dan sepasang lengannya bertolak pinggang. Ternyata Roro Centil telah bertindak cepat sebelum terlambat. Nyaris maut menjemput kedua Pendekar muda itu.

Adapun kawan si penculik itu jadi terperanjat. Hingga sampai-sampai ia terkesima melihat kejadian yang begitu cepat itu. Dilihatnya di hadapannya telah berdiri seorang wanita cantik, ayu. Dengan mata menatap tajam padanya. Sepasang alisnya terjungkit melengkung ke atas, bagai bulan sabit. Sementara bibirnya telah bergerak, dan keluarkan bentakan keras.

"Apakah kau mau buru-buru pulang ke Akhirat!? Mengapa tidak cepat kau tinggalkan gadis itu..?" Bentak Roro.

Seperti dipagut ular saja, kawan si penculik itu jadi tersentak. Dan cepat-cepat letakkan gadis yang dipanggulnya ke tanah. Selanjutnya sudah berlari sipat kuping, tanpa menoleh lagi. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu laki-laki itu telah roboh terjungkal dengan jeritan menyayat hati. Ternyata dadanya telah tertembus pedang.

Dan seorang pemuda tampan telah berada disana. Tampak pemuda gagah itu menatap si penculik yang sudah tak berkutik lagi di tanah. Lalu dengan cepat ia telah selipkan pedangnya kembali ke dalam kerangka di punggungnya, setelah terlebih dulu membersihkan di baju si penculik. Saat selanjutnya orang itu sudah palingkan wajah pada kerumunan orang banyak itu. Dengan dua kali mengenjot tubuh, pemuda tampan itu telah berada di hadapan Roro. Selanjutnya sudah menjura hormat pada Roro Centil.

Melihat demikian si Dua Pendekar Bukit Rusa pun cepat-cepat menghaturkan hormat seraya berucap. "Terima kasih atas pertolongan anda, nona Pendekar. Bolehkah kami yang rendah ini mengetahui dengan siapakah kami berhadapan..?" Seraya kedua pemuda itu kembali mengangkat mukanya dan menatap Roro dengan tersenyum.

"Aiii..! Aku hanya kebetulan saja bisa mengusir jarum-jarum beracun itu. Aku tidak bermaksud membunuhnya..! Aku seorang pengembara rusa dari Pantai Selatan. Dan bukan penduduk asli Pulau Andalas ini. Karena aku adalah dari seberang lautan. Atau Pulau Jawa. Kaum Rimba hijau menyebutku Roro Centil. Pendekar Wanita Pantai Selatan..!"

Demikian ujar Roro. Memang sengaja Roro perkenalkan diri. Karena siapa tahu kabar adanya ia di daerah ini, akan membuat musuh besarnya muncul menampakkan diri suatu saat. Selesai berkata itu Roro melirik pada si pemuda yang telah membunuh penculik barusan.

Akan tetapi orangnya telah menubruk gadis yang tergolek pingsan itu, seraya berteriak... "Sedayu..! Oh! Kasihan kau..!" Dan ia sudah segera berupaya menyadarkan wanita itu, yang ternyata ialah adiknya.

Roro kerutkan alisnya. Segera ia melompat mendekati. Dan dengan beberapa kali mengurut punggung dan leher si gadis, terbebaslah sudah ia dari pengaruh totokan. Dan juga sekaligus sadarkan diri. Gadis itu merintih, sepasang matanya terbuka, dan sudah mau berteriak. Akan tetapi si pemuda itu telah berkata;

"Sedayu..! Tenanglah! Kau sudah selamat. Nona Pendekar inilah yang telah menolongmu. Hayo, lekas kau ucapkan terima kasih padanya..!"

Gadis itu segera tatap Roro Centil, dan serta merta mengucapkan terima kasih dengan gugup. Dan disambung oleh ucapan pemuda kakaknya itu, yang langsung perkenalkan diri. "Aku yang rendah perantau dari Selat Karimata, mengucapkan terima kasih atas pertolongan anda, nona... Pendekar Pantai Selatan!" Berkata pemuda gagah itu. "Terpaksa aku membunuh kawan si penculik itu. Manusia-manusia berbudi rendah semacam itu tak layak hidup di depan mataku..!" Lanjutnya lagi.

Roro cuma tersenyum mengangguk-angguk. Mendengar pemuda itu adalah Pendekar dari Selat Karimata, segera saja si Dua Pendekar Bukit Rusa menjura hormat. Dan saling perkenalkan diri. Adapun Roro sudah berkelebat pergi.

"Haiii..! Tunggu..!" Teriak si Pendekar Selat Karimata. Dan ia sudah menyambar lengan adiknya, untuk selanjutnya mengejar ke arah Roro Centil. Terpaksa Roro menahan lompatannya. Saat berikutnya orangorang yang berkerumun itu cuma bisa melihat berkelebatnya lima tubuh para pendekar itu. Yang selanjutnya lenyap.

Demikianlah asal mula perkenalan dengan Pendekar Selat Karimata. Namun selama sebulan ia menetap di gedung tempat tinggal si pendekar muda itu. Telah terjadi kericuhan. Kiranya diam-diam si Bujang Nan Elok telah jatuh cinta pada Roro. Sedang Roro yang selalu bersikap manis terhadap siapa saja membuat salah seorang sahabat si Pendekar Selat Karimata tak canggung-canggung bercakap-cakap atau terkadang bercanda dengan Roro.

Pemuda sahabat baik si Bujang Nan Elok tak lain adalah Rahwanda. Rahwanda seorang yang periang. Berperawakan kekar Dan gagah. Memelihara cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan si Pendekar Selat Karimata, yang berkulit putih. Berwajah halus bagaikan wanita. Tanpa kumis dan jenggot.

Entah mengapa kedua sahabat itu jadi agak tegang. Dan jarang berkumpul] bersama. Terlebih-lebih sejak adanya Roro. Sedayu adik si Bujang nan Elok itu jadi seperti memisahkan diri. Roro jadi serba salah. Akhirnya iapun mengetahui sebabnya. Kiranya Rahwanda adalah tunangan Sedayu. Dan suatu saat yang amat membuat Roro terkejut adalah si Pendekar Selat Karimata telah mengadakan pertemuan empat mata dengan Rahwanda. Pertemuan empat mata itu diadakan di pesisir Tanjung Lumut.

Tentu saja Roro dapat mengetahui, karena ketika malam itu ia melihat adanya si Bujang Nan Elok bersikap agak aneh. Sebentar-sebentar ia menatap bulan. Roro pura-pura sudah mengantuk. Dan segera beranjak menuju kamarnya. Senja itu biasanya Rahwanda datang. Tapi entah apa sebabnya laki-laki periang itu tak melihat batang hidungnya. Roro yang memang tidur satu kamar dengan Sedayu, dapat melihat gadis itu sudah rebahkan dirinya sejak sore tadi. Akan tetapi baru saja ia merebahkan diri, tiba-tiba Sedayu balikkan tubuh, dan berbisik di telinganya.

"Kakak Roro Centil! Apakah kau mencintai kakakku...?"

Tentu saja pertanyaan itu membuat Roro jadi melengak. "Apakah maksudmu adik Sedayu? Mengapa kau jadi bicarakan soal cinta? Aku hanyalah bersahabat saja, tak lebih dari itu. Hi hi hi... Belum terpikirkan oleh ku untuk bercinta-cintaan. Ada apakah adik Sedayu? Tampaknya ada yang tidak beres..!" Berkata Roro dengan suara perlahan.

Akan tetapi Sedayu sudah tempelkan telunjuknya di bibir, seraya katanya; "Ssssst..! Jangan terlalu keras bicara. Nanti akan di dengar kakakku. Dia masih berada di ruang depankah..?" Bertanya Sedayu. Roro mengangguk.

"Dengarlah kakak Roro Centil. Apakah kau juga tidak mencintai Rahwanda..?" Tanyanya lagi dengan wajah serius.

Roro kerutkan alisnya. Lalu dengan tegas kembali gelengkan kepala. Tampak Sedayu balikkan kepala menengadah. Menatap langit-langit kamar. Dan terdengar ia menghela napas. Lalu kembali balikkan wajah menatap pada Roro. Kali ini wajahnya tampak cerah. Namun juga seperti bersedih. Ia sudah berbisik lagi. "Kakak Roro Centil! Kini aku sudah jelas. Namun aku butuh pertolongan mu, kakak..."

"Apakah itu..?" Bisik Roro.

Tiba-tiba Sedayu memeluk tubuh sahabatnya itu. "Tolonglah aku, juga mereka..! Telah terjadi kesalahan faham diantara mereka. Rahwanda adalah tunanganku. Kami memang telah mengikat janji. Akan tetapi sikap Rahwanda terhadap Kakak Roro Centil telah membuat kakakku menjadi kesal. Aku pun tak mengetahui, apakah Rahwanda tiba-tiba berbalik mencintai kakak Roro..? Hal itu telah membuat kakakku jadi panas hati. Dia seolah-olah merasa dipermainkan oleh Rahwanda. Dan malam Purnama nanti, kakakku akan mengadakan pertemuan empat mata dengan Rahwanda. Tempatnya adalah di Tanjung Lumut. Berada di pesisir pantai sebelah barat dari tempat ini."

"Pertemuan empat mata...? Aneh! Apakah yang akan dibicarakan..? Dan aku harus dengan cara bagaimana aku menolongmu, atau menolong mereka...?" Roro sudah potong kalimat Sedayu. Karena ia merasa heran akan persoalan mereka yang telah melibatkan dirinya.

"Begini, kakak Roro Centil! Pertemuan itu bukan sekedar pertemuan. Karena akan diakhiri dengan pertarungan di ujung senjata! Yang akan kumintakan tolong pada kakak adalah, agar kakak Roro Centil dapat menengahi mereka, dan menggagalkan pertarungan adu jiwa itu. Yang sudah pasti akan membawa korban. Dan kedua-duanya adalah orang-orang yang kucintai. Itulah yang ku mohon padamu, kakak Pendekar..!"

Tercenung Roro mendengar penuturan Sedayu. Akan tetapi tampaknya Roro belum mengerti. Entah pura-pura tidak mengerti. Karena ia sudah melakukan pertanyaan lagi; "Mengapa bisa terjadi pertarungan..? Bukankah masalah itu bisa didamaikan di rumah ini. Dengan menjelaskan persoalan..!" Ujar Roro dengan berbisik.

Akan tetapi Sedayu cepat-cepat gelengkan kepala. "Tidak! Persoalan itu sukar didamaikan tanpa diselesaikan di ujung senjata..!"

"Mengapa..?" Tanya Roro.

"Karena kakakku telah jatuh cinta padamu, kakak Roro Centil. Itulah sebabnya, kau harus jelaskan pada mereka. Dan mau tidak mau, memang penjelasan dari kakak Pendekar adalah amat memegang peranan penting, sebelum terjadi pertumpahan darah!"

Terkejut Roro Centil. Barulah ia mengerti akan sebabnya. Diam-diam dalam hati, Roro membatin... “Aiiih! Mengapa aku jadi terseret dalam kancah percintaan macam begini?” Akan tetapi Roro sudah manggut-manggut tanda mengerti. Dan katakan akan kesanggupannya menyelesaikan persoalan ini.

Sedayu tersenyum gembira. Tapi sudah berkata lagi perlahan... "Kakak Roro Centil! Seandainya kau menjadi kakak iparku... Oh! Alangkah bahagianya hatiku...!"

Roro balas tersenyum, dan peluk tubuh Sedayu yang segera menyumpal dalam dekapan.

* * * * * * *

Deburan-deburan ombak di pantai Tanjung Lumut, malam purnama itu seperti musik yang berirama syahdu. Angin malam berdesir tidak terlalu keras... Udara memang amat dingin. Terasa menusuk ke tulang sumsum. Akan tetapi sesosok tubuh sejak tadi telah berdiri dengan dada telanjang di atas pasir. Ternyata ada lah Rahwanda. Si pemuda yang memelihara cambang bauk, sahabatnya si Bujang Nan Elok.

Purnama telah berada di tengah antara kedua tepi langit. Seperti ada yang tengah dinantinya Memang! Dan yang ditunggu, tunggu itu dalang juga akhirnya. Sesosok tubuh telah berkelebat dengan gerakan ringan dan hinggapkan kaki di atas pasir. Sesosok tubuh telah berkelebat dengan gerakan ringan. Dan hinggapkan kaki di atas pasir. Tepat di hadapan pemuda itu.

Dialah si Bujang Nan Elok. Alias si Pendekar Selat Karimata. Laki-laki tampan ini berdiri menatap Rahwanda. Tali sutera di ujung gagang pedangnya berkibaran tertiup angin. Pemuda tampan ini memang menyoren pedang di punggungnya. Sementara Rahwanda juga menatapnya dengan wajah kaku. Pendekar Selat Karimata telah langsung menyapa;

"Sudah lamakah kau menanti, sobat Rahwanda..?"

"Cukup lama, Pendekar Selat Karimata. Apakah pertemuan empat mata ini sudah dapat dimulai...?" Jawab Rahwanda, seraya lakukan pertanyaan.

Si Bujang Nan Elok tersenyum, seraya menghampiri tiga tindak. Tampaknya ia tak sedikitpun menampilkan permusuhan atau dendam pada sahabatnya itu. Tapi sepasang matanya tak dapat didustai. Karena pancaran sinar mata itu membersit tajam. Seolah-olah mau menembus jantung orang di hadapannya.

"Baiklah..! Aku akan memulainya. Pertama-tama yang akan kutanyakan adalah... ke terus terangan mu, Rahwanda..! Yaitu mengenai hubungan mu dengan adikku Sedayu. Apakah sudah ada rencana kalian untuk segera menikah?" Bertanya si Pendekar Selat Karimata ini. Sedayu memang telah berhubungan cukup lama dengan Rahwanda. Akan tetapi pemuda ini selalu mengelak apabila didesak untuk kapan akan melangsungkan pernikahannya dengan adiknya.

Tampaknya Rahwanda tersenyum dan akhirnya tertawa terbahak-bahak. Lalu berkata; "Sobatku, kita telah bersahabat cukup lama. Dan telah mengerti akan keadaanku. Mengapa tampaknya kau kurang percaya padaku? Apakah kau takut aku mempermainkan adikmu?" Seraya berkata Rahwanda palingkan wajahnya menatap laut.

"Hm... di depan mataku sendiri kau sengaja menyakiti hati adikku, apakah hal itu tidak membuat kurangnya kepercayaan ku padamu..?"

Rahwanda terkejut juga kelihatannya. Tapi sudah kembali tertawa, seraya manggut-manggut. "Kalau aku dianggap menyakiti hati adikmu apakah alasannya? Aku jadi tidak mengerti..! Apakah karena gadis Pendekar Pantai Selatan itu..?" Tanya Rahwanda.

"Kalau sudah tahu mengapa tak sedari kemarin kau minta maaf padanya?" Membentak si Bujang Nan Elok. Sementara dadanya tampak berombak-ombak menahan kemendongkolan hatinya.

"Dia selalu memisahkan diri. Bagaimana aku harus bicara? Dan kau juga menyingkirkan diri. Hingga aku jadi serba salah. Apakah aku bersalah kalau bercakap-cakap dengan gadis Pendekar itu? Apakah aku sudah jadi suami resmi Sedayu? Aku punya hak untuk bicara dan bergaul pada siapa saja?" Berkata Rahwanda dengan nada keras.

"Tapi kau keterlaluan..." Bentak si Pendekar Selat Karimata.

"Jadi apa maumu sekarang..!" Tanya Rahwanda. Yang seketika jadi naik darah.

Tiba-tiba si Bujang Nan Elok ini telah mencabut pedangnya. Seraya membentak keras. "Heh! Dalamnya laut dapat diduga. Tapi dalamnya hati siapa yang tahu..?

"Kini kita tentukan siapa diantara kita yang masih bisa berdiri tegak di atas pasir malam ini!"

Mendengar kata-kata itu tampak wajah Rahwanda jadi berubah sinis. Dan dengan wajah kaku, iapun mencabut senjatanya yang terselip pada ikat pinggang di punggungnya. Ternyata adalah tiga ruas ruyung besi. Yang masing-masing ruas panjangnya sejengkal. Ketiga ruas ruyung besi itu dihubungkan satu dengan lainnya dengan seutas rantai, yang panjangnya juga sejengkal pada masing-masing rantai. Senjata ruyung berantai ini direntangkan di depan dadanya yang bidang. Seraya berucap;

"Kalau kau menghendaki demikian mana aku berani menolak..? Silahkan kau memulai! Aku sudah siap. Memang akupun ingin sekali melihat kehebatan, dan ketajaman mata pedang dari seorang Pendekar Selat Karimata..!"

Wuttt..! Wuttt...! Si pemuda tampan ini sudah menerjang dengan dua serangan maut. Menabas pinggang dan dada. Rahwanda gerakkan tubuh menghindar dengan dua kali lompatan salto. Akan tetapi serangan ketiga terpaksa ia papaki dengan ruyung rantai besinya.

Trang..! Trang..! Trang..!

Ternyata si Bujang Nan Elok telah menggunakan jurus serangan ketiga kalinya itu dengan jurus Aksara Maut. Yaitu gerakan pedangnya bagai tengah menulis aksara, akan tetapi adalah serangan hebat. Karena satu serangan mendadak bisa berubah menjadi tiga serangan. Yang kesemuanya adalah menjurus ke arah tempat-tempat berbahaya.

Wajah Rahwanda tampak berubah merah dan panas terasa. Tiga serangan berbahaya itu nyaris mencabut nyawanya. Beruntung ia dapat memainkan senjata ruyung rantai besinya dengan lihai. Ternyata pedang si Pendekar Selat Karimata adalah senjata pusaka. Sehingga gompal pun tidak mata pedangnya. Bahkan rantai dan ruyung Rahwanda tampak lecet-lecet dan tergores pedang laki-laki calon iparnya itu.

"Keparat..!" Memaki Rahwanda dalam hati. Tiba-tiba ia melompat mundur tiga tindak. Dan senjatanya telah diputar kesana kemari. Hingga terdengar suaranya bagai angin ribut. Dan tubuh Rahwanda tertutup sudah oleh baling-baling putaran senjatanya. Membuat si Bujang Nan Elok sukar mencari tempat untuk menyarangkan pedangnya ke tubuh lawan.

Tiba-tiba terdengar suara suitan dari mulut Rahwanda. Disusul dengan meluncurnya ruyung-ruyung berantai itu bagaikan tak ada habisnya. Menyerang dan menghantam ke arah tubuh dan kepala si Pendekar Selat Karimata. Hal mana membuat si pemuda tampan ini jadi terkesiap. Terpaksa ia putarkan pedangnya melindungi kepala dan tubuhnya. Dan terdengarlah suara beradunya senjata bagai tak ada hentinya.

Trang..! Trang..! Trang...! Trang..!

Hebat sekali serangan Rahwanda. Karena sebentar saja si Pendekar Selat Karimata telah dibuat sibuk, menangkis dan melompat kesana kemari. Hingga di malam yang dingin itu ia telah bercucuran keringat, yang mengalir deras di sekujur tubuh. Dalam menyerang dengan gencar itu. Rahwanda tak henti-hentinya keluarkan suara seperti orang bersuit.

Selang beberapa saat tiba-tiba tampak tubuhnya melejit ke atas tiga tombak. Dan hantamkan telapak tangannya. Pendekar Selat Karimata terkejut. Terpaksa dengan lutut ditekuk, ia pun menahan hantaman keras itu dengan sebelah lengannya. Segera saja dua pukulan tenaga dalam beradu.

Plak..! Dan.. Blug..! Blug...!

Keduanya telah terlempar masing-masing lima-enam tombak. Tubuh masing-masing jatuh ke atas pasir. Ternyata tenaga dalam mereka berimbang. Tampak Rahwanda bangkit lagi dengan gagah. Akan tetapi terlihat ada darah menetes dari sudut bibirnya. Sedang si Pendekar Selat Karimata juga sudah bangkit berdiri. Wajahnya tampak pucat, nafasnya memburu. Dari mulutnya juga mengalirkan darah. Tampaknya mereka sudah akan saling gebrak lagi.

Tapi pada saat itu juga berkelebat sesosok tubuh ke tengah-tengah mereka. Terkesiaplah seketika kedua pemuda itu. Karena orang di hadapannya itu tak lain dari Roro Centil, Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Ternyata Roro sudah sejak tadi berada di tempat itu. Tapi sengaja tak munculkan diri. Karena memang ingin sekali melihat kepandaian masing-masing dari kedua pemuda itu. Namun tetap berjaga-jaga dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Roro sudah berkata sambil tepuk-tepukkan kedua belah tangannya.

"Hebat...! Hebat..! Ternyata Sobat Pendekar Selat Karimata dan Sobat Pendekat Ruyung Naga sama-sama hebatnya. Mengapa kalian berlatih malam-malam begini tidak mengajak aku...? Aiiih.. Sebaiknya kita berlatih bersama-sama. Bukankah lebih baik..!" Berkata Roro Centil sambil menjura pada kedua pemuda itu.

Keruan saja Si Bujang Nan Elok dan Rahwanda jadi melengak. Tapi cepat-cepat si Pendekar Karimata berkata; "Ah, Nona Roro Centil. Kami merasa tingkat kepandaian kami merasa jauh sekali jika dibandingkan dengan kehebatan dan ketinggian ilmu kedigdayaan anda. Makanya kami berlatih secara sembunyi-sembunyi..! Bukankah begitu adik Rahwanda?"

Keruan saja Rahwanda yang dijuluki Pendekar Ruyung Naga itu jadi merubah wajahnya menjadi senyum. Dan sudah menjawab; "Benar sekali kata kakak Sambu Ruci. Makanya kami sengaja mencari tempat rahasia untuk berlatih...!" Seraya berkata ia sudah melompat ke sisi untuk menyambar bajunya di atas batang pohon roboh. Lalu cepat mengenakannya kembali.

Adapun si Bujang Nan Elok pun sudah masukkan lagi pedangnya dalam serangka di punggung. Lalu melangkah mendekati Roro. Sementara masih sempat ia menyeka darah yang mengalir dari bibirnya itu dengan lengannya. Sedang tak lama Rahwanda sudah kembali merapat diantara keduanya.

"Eh...!? Apakah nona Roro datang bersama adik Sedayu?" Tanya Rahwanda, seraya tatap wajah Roro.

Roro Centil gelengkan kepalanya. "Adik manis itu sudah tidur, mana berani aku mengganggunya. Oh, ya... apakah kalian telah selesai berlatih?" Tanya Roro lagi selesai menjawab pertanyaan si pemuda bercambang bauk itu, seraya menatap pada kedua pemuda itu. Tampak keduanya saling pandang. Lalu berkata berbareng.

"Sudahlah! Kami kira cukup. Kami hanya sekedar menguji sampai dimana tingkat kemajuan ilmu kepandaian kami..!" Sambung si Pendekar Selat Karimata.

"Bagus..!" Berkata Roro. Dan lanjutkan lagi kata-katanya. "Kita kaum golongan pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, memang harus selalu waspada. Kelemahan kita membuat kaum golongan jahat akan semakin tenang berbuat keonaran. Akhir-akhir ini aku mendengar adanya tokoh keji yang menamakan dirinya Siluman Kera Putih. Siluman Kera Putih ini selalu mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan korbannya. Disamping itu pula kebuasan tokoh Hitam yang berjulukan si Burung Hantu telah mulai tersiar. Dengan mengadakan aksi perampokan di setiap tempat Juga banyak penjahat-penjahat lainnya. Seperti tiga orang penculik wanita yang telah menculik adik Sedayu. Guru ketiga penculik itu takkan tinggal diam. Tentu ia akan melakukan balas dendam mencari kelengahan kita. Bukan tidak mungkin mereka kaum hitam akan bergabung untuk menguasai kaum putih, dan menumpasnya habis. Tugas kita amat berat. Karena setiap saat nyawa kita bisa melayang..! Nah! Oleh sebab itulah aku kemari. Karena sudah saatnya aku berpamitan. Masih banyak urusan yang belum ku selesaikan. Aku berterima kasih sekali pada saudara Sambu Ruci, alias Pendekar Selat Karimata. Pada sobat Rahwanda. Karena selama ini amat baik terhadapku. Semoga kelak kita bisa jumpa lagi. Dan persahabatan kita dapat tetap terjalin demi tegaknya panjipanji kebenaran dimuka bumi ini..!"

Kedua pemuda itu jadi melengak, dan terkejut mendengar kedatangan Roro ternyata adalah untuk berpamitan.

Akan tetapi Roro sudah kembali berkata; "Nah! Untuk perpisahan kita. Mari kita ikrarkan tali persahabatan kita..!"

Seraya berkata, Roro telah ajak berjabat tangan pada si Bujang Nan Elok. Yang bagaikan berat mengangkat tangannya, Pendekar Selat Karimata ini segera menyambutinya. Roro menoleh pada Rahwanda. Tampaknya pemuda ini pun mengerti. Segera turut berjabat tangan. tiga tangan mereka bersatu.

Lama sekali lengan-lengan mereka saling cekal. Namun diam-diam Roro Centil telah salurkan hawa hangat dari tenaga dalamnya, untuk membantu menyembuhkan luka dalam akibat benturan tenaga dalam tadi. Tiba-tiba Roro sudah menyambar berkata lagi, lengan-lengan mereka berlepasan.

"Aku yakin kalian akan menjadi saudara yang baik. Oh ya...! Sobat Rahwanda! Jangan kau sia-siakan cinta suci adik Sedayu..! Sebaiknya kalian cepat menikah. Dan sampaikan salamku padanya...!"

Rahwanda tersenyum dan tertawa lebar. "Tentu saja, nona Roro..! Aku memang telah merencanakan pernikahan itu satu bulan mendatang. Oh ya... selamat jalan. Semoga anda selalu dalam keselamatan..!"

Si Pendekar Selat Karimata pun mengucapkan salam perpisahan pada Roro. Sementara diam-diam hati pemuda ini jadi malu. Ternyata Rahwanda tidaklah seburuk sangkaannya. Setelah mengucapkan selamat tinggal. Berkelebatlah Roro Centil dari tempat itu. Dan sebentar saja telah lenyap tak kelihatan lagi. Keduanya cuma bisa terpaku.

Tapi selang sesaat, si Pendekar Selat Karimata telah memeluk pundak Rahwanda. Tampak terdengar ia menghela napas. Dan berkata lirih... "Adik Rahwanda..! Marilah kita pulang..!"

Pemuda bercambang bauk itu mengangguk. Dan sesaat antaranya kedua tubuh itu telah tinggalkan pantai Tanjung Lumut Yang kembali sunyi. Hanya tinggal deburan ombak saja yang terdengar. Sementara rembulan semakin menukik ke arah cakrawala.

* * * * * * *

"Gumaraaaang...!" Terdengar suara teriakan dari sebuah lembah. Suara itu mirip suara wanita. Suara teriakan itu kembali menggema, memantul dari dinding-dinding terjal itu. Seorang wanita tampak berlarilari dengan tubuh terhuyung. Sementara kepalanya selalu bergerak ke kiri dan kanan. Seperti mencari-cari orang yang dipanggilnya. Wajahnya tampak kusut. Peluh telah bercucuran dari sekujur tubuhnya.

"Gumaraaaang...!" Kembali ia berteriak. yang terdengar adalah suara pantulan dari teriakannya sendiri. Tampaknya wanita ini semakin cemas. Dan dengan tertatih-tatih ia berusaha mendaki tebing itu. Akan tetapi kembali merosot turun. Siapakah wanita itu..?

Ternyata tak lain dari Retno Wulan adalah Gadis yang enam bulan yang lalu telah melarikan diri dari rumahnya bersama kekasihnya. Keadaannya kini telah berubah. Karena Retno Wulan tampak seperti tengah mengandung. Entah apa yang terjadi dengan wanita yang dalam keadaan hamil muda ini, hingga berada di dasar lembah ngarai yang curam itu..?

Usahanya untuk mendaki tebing itu sia-sia belaka. Dan tampak ia jatuhkan diri menggelepoh di tanah. Sambil mengelus-elus perutnya yang terasa sakit. Kelopak matanya tampak mulai basah. Dan sudah terdengar ia terisak-isak menangis. Sepasang bibirnya tampak tergetar. Dan desiskan kata-kata...

"Gumarang..! Dimanakah kau..? Mengapa tiba-tiba aku berada di tempat ini..? Apakah yang telah terjadi sebenarnya..?" Demikian desisnya, tak lebih dari pertanyaan-pertanyaan yang tiada berjawab.

Memang sudah nasib kedua sejoli ini yang selalu menemui rintangan dalam pelariannya. Sejak menemukan tempat bermalam di desa tak berpenghuni itu, mereka berdua lanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan. Semata-mata hanya menghindari dari kejaran Tirta Menggala, dan anak-anak buahnya. Hingga tibalah mereka pada tepi sebuah danau. Disana mereka beristirahat untuk kesekian kalinya. Agaknya Gumarang berpendapat untuk tinggal saja di tempat itu.

Beruntung darah itu adalah dekat air. Gumarang dapat bercocok tanam disekitar danau itu. Pikir Retno Wulan. Dan keputusan itupun disepakati. Gumarang memang berhati keras bagai karang. Baginya kehidupan yang bagaimanapun akan ia lakukan demi kebahagiaan mereka berdua. Mulailah Gumarang menebang kayu, untuk membuat tempat berteduh.

Retno Wulan menganyam bambu untuk dinding pondok mereka. Sedang daun-daun kelapa dapat dipergunakan untuk atapnya. Dalam waktu sebulan lebih, selesailah pondok sederhana itu Dan mereka segera mendiami tempat yang baru itu dengan gembira.

Bila pagi menjelang, Gumarang mengail ikan di danau. Dan membakarnya untuk bersantap. Gumarang juga telah mulai menanam umbi-umbian atau sejenis ketela lainnya. Bahkan juga menanam padi huma, yang entah bibitnya ia dapatkan dari mana. Tampaknya mereka bahagia sekali. Sayang mereka belum menikah. Namun kandungan Retno Wulan tampak semakin membesar. Hal tersebut membuat Gumarang agak malu. Dan terkadang sering melamun sambil mengail ikan.

Suatu hari datanglah seorang kakek singgah di pondoknya. Entah dengan cara bagaimana, sang kakek ternyata amat kasihan pada kedua sejoli itu. Akhirnya disaksikan sang kakek, mereka meresmikan pernikahannya. Barulah hati Gumarang merasa lega. Ternyata sang kakek itu bukanlah orang biasa. Karena diketahuinya adalah seorang yang berilmu tinggi. Terbukti, hanya dengan menggerakkan telapak tangannya saja, ikan-ikan di danau itu telah berlompatan ke darat Seperti ada tenaga aneh yang menyedotnya keluar dari permukaan air.

Hal mana membuat Gumarang merasa terkejut dan girang sekali. Hingga tanpa ragu-ragu ia mohon dijadikan muridnya. Tampaknya sang kakek ini setuju dengan Gumarang. Dan segera menerima keinginan laki-laki muda itu. Jadilah Gumarang murid si kakek itu. Yang ternyata sang kakek bernama Ki Candra Lugita. Yang di rimba persilatan terkenal dengan julukan si Mayat Hidup. Memang wajah sang kakek itu amat menyeramkan, mirip manusia yang tinggal tulang. Tubuhnya kurus jangkung. Berkepala gundul plontos. Cuma kumis dan jenggotnya saja yang panjang terjuntai.

Dalam waktu empat bulan saja Gumarang sudah bukan Gumarang yang dulu lagi. Karena ia telah memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan. Apa lagi ia telah diwarisi tenaga dalam yang hebat, oleh Ki Candra Lugita. Alias si Mayat Hidup. Sayang sang kakek itu cuma tinggal selama empat bulan di tempat itu. Karena sebagai orang rimba persilatan, jarang dapat berdiam di satu tempat.

Namun Gumarang sudah cukup puas. Ia tinggal memperbanyak latihan saja. Dan memecah jurus-jurus ilmu silat yang telah dikuasainya. Sedikit banyak dengan ilmu di punyainya, akan berguna untuk menolong diri dari bahaya. Demikianlah. Selama hampir satu bulan, Gumarang selalu rajin melatih diri memperdalam ilmu kepandaiannya.

Suatu ketika Gumarang tengah berperahu ke tengah danau mencari ikan. Retno Wulan tinggal di pondok sendirian. Seperti biasanya, setelah selesai dengan pekerjaannya, Retno Wulan selalu duduk-duduk di balai-balai ruangan depan. Memang pondoknya menghadap ke danau. Dan pada tempat ketinggian. Hingga dengan mudah ia dapat layangkan pandangan ke tengah danau. Bahkan Gumarang, suaminya dapat terlihat berada di atas perahu di tengah danau.

Ketika itu entah dari mana datangnya. Tahu-tahu seorang wanita telah berada di depan pintu pondok. Wanita ini memang tampak cantik. Akan tetapi jelas terlihat kecantikannya adalah karena tebalnya pulasan pada wajahnya. Bibirnya merah. Dengan alis mata buatan melengkung ke atas. Terjungkit lancip hampir menyentuh rambut di sisi dahi. Retno Wulan jadi terkesiap. Ia sudah menganggap wanita itu bukan sebangsa manusia. Melainkan seorang peri. Karena datangnya saja tanpa bersuara.

Akan tetapi barulah ia yakin kalau wanita itu manusia biasa. Karena sepasang kakinya menginjak tanah. Tentu seorang wanita persilatan yang berilmu tinggi..! Pikir Retno Wulan. Ia sudah menyapa wanita itu. Akan tetapi aneh. Sedikitpun wanita itu tak menyahutinya. Bahkan menatap wajahnya tajam-tajam.

Lalu layangkan pandangan pada suaminya di tengah danau. Tiba-tiba terdengar mengikik tertawa. Dan palingkan wajahnya lagi menatap padanya. Lalu tiba-tiba telah berkelebat lenyap. Retno Wulan jadi terpaku di tempatnya. Benar-benar tak mengerti, siapakah wanita itu..?

Demikianlah Ketika Gumarang pulang. la segera menceritakan tentang wanita itu. Gumarang terkejut. Karena ia merasa tidak mengenalnya. Namun Retno tidak percaya. Akhirnya mereka bertengkar. Namun dengan berkata sungguh-sungguh dan menyakinkan pada istrinya, akhirnya Retno Wulan pun yakin bahwa Gumarang memang tak mengenal akan wanita itu.

Apa lagi wanita itu bila dibandingkan dengan dirinya adalah jauh lebih tua. Mungkin sudah dua kali lebih tua dari umurnya. Tak mungkin Gumarang berniat main gila. Pikirnya. Malam itu sepasang suami istri itu menikmati kebahagiaannya. Sementara keadaan di luar gelap pekat. Angin bersyiur agak keras. Namun kedua insan itu telah tidur lelap, tanpa mengetahui apa-apa lagi.

Pada malam itulah terjadi keanehan. Karena di saat Retno Wulan terbangun dari tidurnya, ia jadi terkejut. Karena dapatkan dirinya tergeletak di rerumputan. Gumarang sudah tak berada lagi di sisinya. Dengan serta merta ia bangun berdiri. Dan pandang sekitarnya. Ternyata ia berada di sebuah ngarai yang dalam. Di sekelilingnya adalah tebing-tebing batu yang menjulang tinggi.

Sedang di bagian sisi lain tampak hutan rimba yang lebat. Hingga akhirnya Retno Wulan pagi itu telah berteriak-teriak memanggil suaminya. Keadaannya sangatlah menyedihkan. Karena sudah sekian kali berusaha memanjat tebing, untuk keluar dari ngarai yang dalam itu. Namun tetap tak berhasil. Karena selalu merosot turun kembali. Hingga banyak luka-luka kecil di kulit tubuhnya.

Retno Wulan duduk menggelepoh sambil terisak-isak. Dan terbayanglah semua apa yang telah di alaminya sejak lari bersama orang yang dicintainya. "Mengapa nasibku malang benar..? Oh Ayah.., Ibu..! Maafkanlah anakmu ini..! Gumarang..! Gumaraaang..! Di manakah kau gerangan...?"

Demikianlah, Retno Wulan meratapi nasibnya. Akan tetapi tiba-tiba ia jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba sesosok makhluk berada di hadapannya, disertai suara terkekeh-kekeh bagai suara kera. Ketika ia mendongak. Ia jadi menjerit kaget Begitu takutnya Retno Wulan, dan terkejut yang amat sangat melihat sosok tubuh mengerikan di hadapannya. Hingga ia seketika jatuh pingsan.

Ketika sadarkan diri lagi ia tengah digumuli oleh seekor kera besar. Tentu saja Retno Wulan jadi menjerit-jerit ketakutan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri. Namun alangkah terkejutnya ia, ketika mengetahui kera besar itu tak lain dari Tirta Menggala. Wanita ini melompat mundur begitu berhasil lepaskan diri dari dekapan "kera" besar itu.

Tapi dengan sekali melompat ia telah berada didepannya lagi seraya menyeringai. Tampaknya Tirta Menggala masih mengenali Retno Wulan, yang pernah akan dipinangnya beberapa bulan yang lalu. Tiba-tiba ia menggeram bagai kera. "Grrr... kau ... nguk! nguk! grrr... kau Retno Wulan..? He he he. bagus! Bagus..! Kau harus layani aku baik-baik..! He he he... Grrr..!" Tiba-tiba....

Bret! Bret! Brreeettt...!

"Auuuuww...! Tolooong! Tidak! Tidak! Tidaaak!" Retno Wulan berteriak-teriak. Namun apa daya. Makhluk itu telah menerkamnya. Dan mencabik-cabik pakaiannya.

Dan sebuah tamparan keras membuat wanita itu kembali tak sadarkan diri lagi. Hingga dengan leluasa Tirta Menggala menggagahinya. Sementara puluhan ekor kera tampak berjingkrak-jingkrak mengelilinginya. Dengan keluarkan teriakan gaduh. Kelakuan Tirta Menggala memang sudah bagaikan binatang liar saja.

Karena bibirnya tampak sering mencibir. Dan hidupnya mengendus-endus di sekujur tubuh korbannya. Semua perbuatan itu selalu diperhatikan oleh di Dewa Siluman Kera Seperti menyenangi tontonan semacam itu. Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggeledak. Dan...

Wuuttt....!

Tirta Menggala telah perdengarkan teriakannya. Dan terlempar delapan tombak, terguling-guling. Dan kera-kera yang mengelilinginya seketika buyar dan jatuh bergelimpangan. Sesosok tubuh mirip mayat, telah berada di tempat itu.

"Mayat hidup..!" Teriak si Dewa Siluman Kera. Dan ia sudah berkelebat ke tempat itu. "Keparat..! Mau apa kau turut campur urusan muridku, Tua bangka..! Grrrr..! Kukira kau sudah mampus..! Kau berani menyatroni kemari apakah mau mengantarkan nyawa..?" Bentak si Dewa Siluman Kera.

Kiranya si kakek Candra Lugita, guru Gumarang itu yang telah muncul di situ. Tampaknya si Mayat Hidup tak merasa ciut nyalinya. Bahkan ia sudah berkata dengan nada dingin bagaikan es. "Heh! Nyawaku masih ada harganya, ketimbang nyawa manusia-manusia binatang macam kau dan muridmu itu...! Hari ini aku tak mau melayani kau bertarung. Tunggulah satu bulan lagi. Aku pasti datang untuk bertarung denganmu sampai seribu jurus..!" Berkata si Mayat Hidup. Seraya menyambar tubuh Retno Wulan. Dan secepat kilat telah membawanya pergi.

Dewa Siluman Kera tampaknya tidak berniat mengejar. Akan tetapi hanya keluarkan dengusan di hidung. Lalu kelebatkan tubuh ke arah muridnya Tirta Menggala, alias Siluman kerah putih. Sementara Tirta Menggala tampak meringis-ringis menahan sakit. Ia sudah bangkit duduk. Tapi tampaknya terluka parah akibat pukulan tenaga dalam si Mayat Hidup. Darah segar mengalir dari mulutnya.

Segera si kakek menekan telapak tangannya pada punggung muridnya. Tampak uap tipis mengepul keluar dari telapak tangannya. Hanya sekejapan saja sang murid telah kembali melompat bangun. Dan berjingkrakan seraya berteriak-teriak menggeram-geram. Tampaknya ia amat kesal sekali pada orang yang telah mengganggunya. Akan tetapi Dewa Siluman Kera telah menjewer telinganya. Dan menyeret masuk muridnya ke dalam goa.

* * * * * * *

Roro Centil telah memasuki lagi sarang perguruan Burung Hantu. Langkahnya tidak terlalu cepat. Bahkan jalannya tampak melenggang seenaknya. Sementara dua orang penjaga di belakangnya, tampak masih tetap berdiri seperti biasa. Seolah tak terjadi apa-apa. Akan tetapi sebenarnya kedua tubuhnya telah tertotok kaku. Cuma kedua pasang matanya saja yang berkedip-kedip. Dan mulut-mulut mereka yang tak bisa mengeluarkan suara. Tiga orang penjaga yang sedang berdiri bercakap-cakap, tiba-tiba menoleh. Dan salah seorang sudah berteriak.

"Celaka...! Wanita yang kusangka tetamu dulu itu datang lagi kemari...!" Dan ia sudah lari sipat kuping tinggalkan kedua kawannya.

Sedangkan kedua kawannya itu malah cengar-cengir melihat seorang gadis cantik mendatangi. Dengan langkah gemulai.

"Ahii... Si tolol itu mengapa jadi bodoh? Ada tetamu tak diundang datang, eh... malah lari..!" Berkata salah seorang yang bertubuh agak pendek.

"Mana cantik dan seksi lagi..! Ck ck ck... Bodinya mak..! Selangit..!" Mendesis suara kawannya. Sementara sepasang matanya sudah merayapi sekujur tubuh Roro Centil, yang semakin mendekat ke arahnya.

Salah seorang yang bertubuh kekar, segera mendekati. Tampak ia sedikit bergaya, dengan merapikan rambut dan ikat kepalanya terlebih dulu. "Selamat datang nona..! He he he...! Apakah nona mencari aku?" Bertanya ia.

Yang ditanya ternyata cuma tersenyum. Dan melangkah terus. Tentu saja senyuman itu telah membuat ia semakin berani. Seperti mendapat angin. Bahkan tanpa ragu-ragu merendenginya berjalan.

"Mau bertemu aku atau ketua, nona..? Kalau Ketua rasanya sedang sakit encok. Percuma menemuinya...! Lebih baik dengan aku saja. He he he... pokoknya siiip...!" Berkata lagi si orang bertubuh kekar ini. Seraya mengurut-ngurut kumisnya, yang besar melintang.

Adapun dia tahu bahwa ketuanya ada, makanya ia berani menyapa demikian, karena dalam sepekan selalu ada langganan yang datang ke rumah perguruan itu untuk menemui sang ketua. Tentu saja si laki-laki berkumis tebal itu menyangka Roro salah seorang langganan Ketuanya. Sementara Roro sudah perlambat langkahnya.

Ternyata semakin berani si kumis tebal ini. Dan sebelah lengannya telah merangkul pinggang Roro dari belakang. Tampaknya Roro tak reaksi untuk menepiskan lengannya. Merasa bujukan dan rayuannya berhasil, si Kumis Tebal telah mengajaknya membelok ke sisi jalan. Dimana di bagian sisi jalan itu adalah semak lebat yang amat rimbun dan gelap. Roro hanya menuruti saja apa maunya sang penjaga itu. Tiba-tiba si kumis tebal telah palingkan kepalanya pada sang kawan yang masih ternganga di tempatnya.

"Ssssssttt.!" Ia sudah berikan kode pada si pendek untuk tidak melapor pada sang Ketua.

Tampak sang kawan manggut-manggut. Seraya ia pun diam-diam langkahkan kakinya untuk menguntit. Tentu saja untuk mengintip perbuatan kawannya. Sementara diam-diam hatinya memaki.. "Sialan..! Si kunyuk telah untung besar! Aku tak menyangka kalau ia sejinak itu..!"

Lama juga si pendek ini mencari tempat mengintip yang aman. Karena rimbunnya semak-semak. Namun akhirnya ia sudah dapat lihat dari celah-celah daun. Segera ia pentang mata untuk melihat lebih lebar. Dan yang tampak adalah kedua kepalanya saja. Tubuhnya belum terlihat. Segera ia kuak lebih lebar semak yang menghalangi...

"Hah..!?" Ia sudah keluarkan desisan perlahan dari mulutnya. Yang seketika jadi ternganga. Dan sepasang matanya terbeliak makin lebar. Ternyata si kumis tebal tengah di bukai pakaiannya satu persatu. Lengan-lengan yang halus itu seperti dua ekor ular yang bergerak lincah kesana-kemari. Dan sebentar saja bersihlah "bulu-bulu" yang melekat di tubuh si kumis tebal.

Sayang... belum lagi ia mengetahui kelanjutannya, telah terasa ada yang menarik-narik celananya, dari belakang. Ketika ia menoleh. Terkesiaplah ia bagaikan melihat malaikat maut saja Karena pada semak belukar di belakangnya tersembul kepala seekor harimau yang amat besar. Dan tengah menggigit-gigit kain celananya, dengan gigi-gigi taringnya yang runcing dan tajam, Seketika saja pucat piaslah wajahnya. Ia sudah berteriak keras sekali.

Namun suaranya bagaikan lenyap di tenggorokan. Sekejapan saja keringat dingin sudah mengucur deras. Dan entah mengapa, sekonyong-konyong bulu kuduknya sudah merasa meremang. Pandangan matanya jadi gelap. Tubuhnya gemetaran bagaikan kena stroom. Dan selanjutnya ia sudah jatuh pingsan menggelosoh. Kepala harimau itupun lenyap.

Sementara itu penjaga yang tadi berlari ketakutan itu telah kembali lagi Ternyata telah turut bersamanya sang Ketua. Yaitu si Burung Hantu. Tampak sang Ketua putarkan kepala dan tubuh ke beberapa arah untuk mencari sang tetamunya yang tak di undang. Sedang laki-laki, anak buahnya itupun sudah layangkan pandangan kesana-kemari mencari-cari. Tapi baik sang tetamu yang tak di undang, maupun kedua kawannya; kesemuanya tak ada sepotongpun yang terlihat.

"Tad... tad... tadi disini, Pak Ketua! Kemanakah mereka..?" Berkata si penjaga dengan suara gemetar.

Tiba-tiba terdengar suara berkrosakan dari arah sisi jalan. Dan tersembullah sosok tubuh di kumis tebal. Keadaannya amat memalukan. Karena ia dalam keadaan membugil. Ia sudah menghampiri kedua orang di hadapannya. Aneh..! Tampaknya si kumis tebal seperti tiada takut akan perbuatannya pada sang Ketua. Bahkan sambil tertawa cengar-cengir ia sudah bicara ngawur.

"Kurang ajar..! He, Bendot..! Apa kau sudah tak menghargai aku lagi? Kemana tamu wanita itu? Apa yang telah kau lakukan.. ?"

Akan tetapi yang di bentak dan dicekal keras lengannya itu cuma meringis-ringis. Ketika dilepaskan. Kembali tertawa geli, dan bahkan segera berlalu sambil bernyanyi-nyanyi tak keruan. Tentu saja hal itu membuat si Burung Hantu jadi melengak. Tiba-tiba ia sudah keluarkan bentakan keras...

"Keparat..! Memalukan..!" Dan ia sudah hantamkan telapak tangannya ke batok kepala anak buahnya. Yang seketika jadi hancur berantakan. Dan tanpa dapat berteriak lagi tubuh si kumis tebal yang sudah hilang ingatan itu ambruk ke bumi. Detik selanjutnya ia telah kelebatkan tubuhnya ke balik semak. Dan kembali hantamkan telapak tangannya pada sosok tubuh yang terlihat kakinya dibalik semak.

Tubuh itu terlempar berikut semak belukar yang tersemburat bagai diterjang badai. Akan tetapi terkejutlah si Burung Hantu. Karena tubuh yang terkena dihantamnya adalah tubuh anak buahnya sendiri. Pucat piaslah wajah sang Ketua ini. Seketika bulu tengkuk Burung Hantu jadi meremang.

"Hi hi hi... hi hi hi... Burung Hantu. Mengapa kau bunuh anak buahmu sendiri..?"

Aneh..! Suara tertawa terdengar, tapi orangnya belum menampakkan diri. Membuat si Burung Hantu jadi gusar, walaupun agak ciut juga nyalinya. Apakah yang dilakukan Roro, di saat di dalam semak belukar itu? Kiranya si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu telah menotok tubuh si kumis tebal yang kurang ajar itu.

Dan setelah melucuti pakaiannya. Segera keluarkan senjata Rantai Genitnya. Dengan menyalurkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai kesempurnaan itu, Roro dapat membuat benda aneh, yaitu bandulan senjatanya yang berbentuk payudara itu menjadi lunak bagaikan karet. Namun jadi kepulkan asap tipis.

Tiba-tiba Roro telah menghantamkan bandulan si Rantai Genitnya pada kepala si penjaga yang kurang ajar itu. Roro memang hanya bermaksud untuk membuatnya kelengar saja. Akan tetapi di luar dugaan. Kepala si kumis tebal itu amat kuat. Bukannya jatuh menggelosoh. Bahkan tetap berdiri tegak. Ketika Roro melepaskan totokannya, laki-laki itu segera saja jadi hilang ingatan. Dan ngeloyor keluar semak dengan mulut mengaco tak keruan. Kiranya pukulan pada kepala itu telah membuat ia jadi gegar otak.

Mengapakah Roro Centil menyatroni sarang dari komplotan si Burung Hantu ini? Kiranya berita-berita perampokan dan pembunuhan serta pemerasan yang dilakukan oleh si Burung Hantu dan anak-anak buahnya serta konco-konconya semakin santar terdengar. Keresahan para penduduk semakin banyak didengar, dan dilihat oleh Roro.

Tentu saja hal itu membuat si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini merasa berdosa kalau berdiam diri saja melihat kebatilan di depan matanya. Itulah sebabnya maka Roro berniat menumpas habis kejahatan dengan menyatroni markas si Burung Hantu. Kemanakah Roro gerangan Hingga tak menampakkan diri? Kiranya ia berada di atas wuwungan rumah perguruan.

Sementara belasan orang telah mengurungnya di bawah. Kabar bahwa adanya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi dari daerah Pulau Jawa, ternyata telah menyebar ke setiap pelosok. Dan nama Roro Centil sudah bukan rahasia lagi. Melihat anak-anak buahnya berkerumun mengurung di sekitar salah sebuah rumah perguruannya, si Burung Hantu segera mengetahui orang yang dicarinya berada disana. Segera dengan berkelebat cepat ia telah tiba di bawah atap wuwungan.

"Turunlah sobat, Pendekar Wanita..! Lebih baik kita bicara baik-baik! Apa maksudmu mendatangi ke markas tempat tinggalku..? Persoalan dapat dibicarakan baik-baik..!"

"Hi hi hi... persoalan telah terlihat jelas! Mengapa harus dibicarakan lagi...? Kejahatanmu harus dihentikan. Kalau tidak maka akan kacaulah dunia ini..! Dan akan ku taruh dimana mukaku, kalau aku tetap biarkan saja kekejianmu yang kian merajalela itu, Burung Hantu.. ?" Berkata Roro Centil dengan suara lantang.

Sementara itu diam-diam dua belas anak buah si Burung Hantu telah bergerak dari salah sebuah rumah perguruan di belakang Roro. Dua belas busur panah telah terentang. Dan dua belas anak panah dengan sasaran yang telah diincar baik-baik segera saja meluruk bagaikan hujan ke arah Roro. Namun pada saat itu membersit angin deras. Dan kedua belas anak panah itu sudah buyar berantakan. Ternyata Roro Centil telah putarkan senjata Rantai Genitnya untuk melindungi tubuh.

Akan tetapi di luar dugaan kedua belas anak panah itu telah kembali lagi meluncur ke arah para penyerangnya. Tak ampun lagi segera terdengar pekikkan dan teriakan-teriakan ngeri. Dan sembilan orang dari para pembokong itu telah terjungkal tewas. Dengan dada dan leher terpanggang anak panahnya sendiri.

Ternyata Roro telah barengi dengan kebutan rambutnya untuk mengembalikan anak-anak panah itu. Serangkum angin segera bersyiur. Dan anak-anak panah itu bagaikan dikendalikan, telah meluncur kembali ke bawah. Si Burung Hantu jadi terkesiap kaget, juga gusar bukan kepalang. Segera saja ia telah cabut senjatanya yaitu senjata yang bernama Cakar Hantu.

Roro sudah melompat ke bawah. Beberapa anak buahnya yang coba-coba cari penyakit, membokong Roro dengan serangan golok dan tombak. Akan tetapi telah roboh terjungkal. Hanya dengan Roro kibaskan lengannya. Namun angin bertenaga dalam yang panas itu telah membuat mereka berkelojotan. Dan tewas seketika.

Semakin piaslah wajah si Burung Hantu. Dan ia sudah membentak keras... "Minggir..! Biar aku yang menghadapi gadis seberang pulau yang tengik ini..!" Merasa Roro Centil tak dapat diajak kompromi, si Burung Hantu jadi nekat, dan segera sudah dikirimkan serangan pukulannya. Dibarengi dengan serangan senjata Cakar Hantunya.

Tring! Tring! Tring..!

Tiga rantai berujung cakar besi telah terpental balik ke arah penyerangnya. Sementara pukulan tangan si Burung Hantu menemui tempat kosong. Roro telah lengkungkan tubuhnya sedemikian rupa. Dan gunakan si Rantai Genit menghantam balik serangan itu. Keruan saja si Burung Hantu terkesiap. Namun dengan menjatuhkan tubuh, serangan balik senjatanya dapat ia hindari.

Burung Hantu telah cepat melompat bangkit. Dan kali ini ia sudah melompat ke belakang tiga tombak. Tiba-tiba tertawa keras sekali hingga suaranya terdengar berpantulan. Roro kerenyitkan keningnya. Entah apa yang akan dilakukan si Burung Hantu ini. Pikirnya. Tiba-tiba ia sudah hentikan lagi tertawanya, seraya berkata;

"Nona Pendekar..! Sebaiknya kita berdamai..| Aku sudah mengetahui dimana adanya orang kau cari..? He he he... si Peri Gunung Dempo itu aku tahu sarang tempat tinggalnya! Percayalah! Aku akan tunjukkan padamu asalkan kau mau kuajak berdamai..! Aku memang sudah berniat merobah jalan hidupku, nona Pendekar. Apakah kau tak ingin memberi kesempatan padaku untuk kembali insyaf...?"

Mendengar kata-kata si Burung Hantu Roro Centil telah berkelebat lenyap. Tentu saja membuat laki-laki pendek berwajah empat persegi, yang berhidung bagai paruh burung itu jadi melengak. Dan belum lagi ia sempat putar tubuh, telah terdengar bentakan di belakangnya.

"Bagus, Burung Hantu..! Hayo. cepat kau tunjukkan dimana sarang wanita keparat itu! Tapi jangan coba-coba kau berani mendustai ku..!" Serasa hampir terbang nyawanya. Karena senjata Rantai Genit Roro Centil telah menggubat lehernya dalam sekejap.

"Bbbb... ba... baik...! Baik..! Akan ku beritahu! Sudahlah, simpan senjatamu. Mari kita pergi bersama ke sarangnya..!" Menjawab si Burung Hantu.

Sementara keringat dingin sudah merembes di sekujur tubuh. Tak berayal, Roro sudah lepaskan gubatan senjatanya di leher si Kokok Beluk itu. Tampak si Burung Hantu paksakan diri untuk tersenyum. Kemudian cepat-cepat simpan senjatanya ke balik punggung. Yang sebentar saja sudah lenyap tertutup mantel bulu burungnya. Kemudian si Burung Hantu menjura pada Roro Centil, seperti sudah tak menganggapnya musuh lagi. Lalu berkata;

"Nona Pendekar Roro Centil..! Marilah kita berangkat kesana!"

"Hm... Baik..!" Jawab Roro.

Dan si burung Hantu segera beranjak lebih dulu berkelebat Lalu Roro menyusul dari belakang. Sebentar saja dua tubuh tampak berkelebatan melintas hutan. Menembus rimba. Bahkan meniti jalan-jalan setapak. Juga melewati beberapa anak sungai. Sementara itu tanpa setahu Roro dua sosok tubuh terus mengikuti di belakang, pada jarak dua puluh tombak.

Kira-kira perjalanan telah ditempuh hampir sepertiga hari. Akhirnya si Burung Hantu hentikan larinya. Di hadapan mereka tampak sebuah tebing batu yang tinggi menjulang. Tampaknya si Burung Hantu ingin beristirahat dulu barang sejenak. Roro sudah bertanya seraya gerakkan tangan ke atas dahan pohon.

"Masih jauhkan sarang si Peri Gunung Dempo itu? Aku sudah tak sabar untuk melihat tampang wajahnya..!" Berbareng dengan pertanyaan sudah terdengar suara...

Whuutt..! Dan tampak dahan pohon di atas Roro Bergoyang. Maka meluruklah jatuh berdebukkan buah pohon itu. Lengan Roro sudah bergerak menangkapnya. Dan tak lama telah asyik mencicipi mangga mengkal itu. Si Burung Hantu naikkan alisnya, lalu tersenyum melihat pada Roro.

"Tidak berapa lama lagi kita akan segera sampai..!" Menyahut si Burung Hantu. Seraya memungut mangga dekat kakinya. Dan iapun segera mengganyangnya. Tak berapa lama Roro sudah bangkit berdiri, dari duduknya.

"Ayolah, cepat kita teruskan perjalanan..!" Berkata Roro seraya melemparkan biji mangga yang dagingnya telah habis digerogoti.

Ternyata lemparan seperti seenaknya itu, berakibat mengejutkan bagi kedua sosok tubuh yang menguntitnya. Nyaris saja leher si penguntit dibalik semak kena terhantam, ketika biji mangga itu menerobos belukar. Untung dapat terhindar. Kiranya kedua sosok tubuh di tempat persembunyiannya itu tak lain dari si Gajah Dungkul, dan si wanita bertongkat ular alias si Ular Kobra Mata Merah. Tak banyak cerita segera si Burung Hantu mendekati tebing batu. Sebuah batu besar telah ia geser menggelinding. Dan terbukalah sebuah lubang...

"Silakan Nona Pendekar memasukinya. Inilah pintu masuk ke sarang si Peri Gunung Dempo!" Berkata si Burung Hantu.

Roro kerutkan alisnya. Tampaknya ia tengah menimbang-nimbang akan kebenaran kata-kata si Kokok Beluk itu. "Mengapa tak kau antarkan aku sampai kesana..?" Bertanya Roro.

Tapi si Burung Hantu telah berkata dengan senyum jumawa. "Bagi seorang Pendekar yang termasyhur seperti anda, kukira memang pantas untuk mencurigaiku..! Akan tetapi apakah tidak melunturkan nama besar anda? Kalau sampai didengar kaum persilatan bahwa si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil ternyata takut memasuki lubang tikus..! He he he... Apakah tidak malu?"

Tentu saja kata-kata itu membuat Roro Centil merah wajahnya. Dan ia sudah menyahuti. "Baik..! Kau kira aku takut untuk kau jebak didalam lubang? Hi hi hi... Justru aku kepingin lihat ada jebakan apakah di dalam..?" Berkata Roro Centil, seraya sudah melompat masuk.

Akan tetapi pada saat itu juga kaki si Burung Hantu telah menendang sebuah batu empat persegi di dekatnya. Seraya mendesis; "Heh..! Mampuslah kau di bawah sana..!"

Pada saat itupun terdengar teriakan kaget Roro Centil. Karena tahu-tahu batu dasar lubang yang diinjaknya telah menjeblos ke bawah. Maka tak ampun lagi seketika tubuhnya sudah meluncur deras ke bawah. Roro tak dapat melihat apa-apa lagi, karena keadaan sekelilingnya gelap. Sementara itu di luar goa, sudah berkelebat menghampiri si Gajah Dungkul dan si Ular Kobra Mata Merah.

"Bagus..! Dengan jatuhnya si Pendekar Wanita itu ke tangan si Dewa Siluman Kera. Maka akan amanlah kita beroperasi kemana saja. Karena si Dewa Siluman Kera pasti akan membantu setiap usaha kita, dengan berjasanya kita mengantarnya wanita Pendekar itu padanya. He he he..." Berkata si Gajah Dungkul sambil tertawa menyeringai.

Si Wanita bertongkat ular itupun tersenyum. Akan tetapi telah desiskan suaranya bernada mengolok-olok. "Apakah kalian tak merasa kecewa, membiarkan gadis secantik itu jatuh ke tangan si Dewa Siluman Kera dan muridnya yang dijuluki si Siluman Kera Putih itu..?"

Si Burung Hantu dan Gajah Dungkul jadi tertawa gelak-gelak. Dan si Burung Hantu sudah mengerlingkan mata pada kawannya yang bertubuh tinggi besar itu. "He he he... Agaknya Ular Kobra yang cantik kawan kita ini jadi cemburu...?"

"Apakah sobat Gajah Dungkul alias si Iblis Sembilan Nyawa tak berbaik hati untuk memberikan sedikit nafkah batin padamu, nona Ular Kobra Mata Merah...?" Ujar si Burung Hantu lagi, seraya palingkan wajah pada si wanita bertongkat. Tentu saja kata-kata si Burung Hantu membuat wajah si wanita semakin merah. Sementara Gajah Dungkul tiba-tiba sudah berkata dengan wajah serius.

"Sebaiknya aku menyusul ke bawah... Siapa tahu si Dewa Siluman Kera memerlukan bantuan..!". Dan tanpa menunggu jawaban, ia sudah kelebatkan diri pergi dari situ. Ternyata Gajah Dungkul mengambil jalan memutari tebing. Dan disana ada jalan yang menurun ke arah lembah ngarai itu. Si Burung Hantu cuma tertawa menyeringai. Tiba-tiba lengannya sudah menggamit pinggang si Ular Kobra Mata Merah. Yang tampaknya tidak menolak ketika si Burung Hantu menarik tubuhnya ke balik batu cadas. Selanjutnya... cuma dengus-dengus nafas si Burung Hantu saja yang terdengar.

* * * * * * *

Prakk...! Disertai dengan keluhan panjang. Benda bulat panjang itu menggelinding, tinggalkan bercak-bercak darah. Tubuh si Burung Hantu dan si Ular Kobra Mata Merah tampak menggelinjang beberapa saat, lalu diam.

Dan sesosok tubuh telah meloncat dari atas tebing itu. Ternyata dia Roro Centil. Tampak si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini menatap ke dua tubuh yang saling tindih dengan keadaan mengerikan. Karena kedua kepalanya telah hancur. Dan otaknya berhamburan muncrat bercampur darah, yang tampak berlepotan di dinding batu tebing itu.

"Manusia licik dan berakhlak bejat macam kalian memang sudah selayaknya mampus siang-siang, sebelum bertambah lagi dosa kalian..!" Berkata Roro, dengan suara mendesis. Lalu kelebatkan tubuh memutari tebing batu itu.

Apakah yang terjadi dengan Roro Centil? Kiranya ketika ia rasakan tempat pijakan kaki menjeblak ke bawah. Tubuh Roro memang telah terbawa menjeblos. Akan tetapi kira-kira sedalam dua kali tubuh manusia, Roro gunakan kaki dan lengannya untuk menekan sisi-sisi dinding lubang rahasia itu. Yaitu dengan merentangkan keempat anggota tubuhnya.

Sementara batu tempatnya berpijak tadi, terus meluncur deras ke bawah Yang dalamnya entah berapa kaki. Demikianlah ia menunggu sesaat. Dan sementara itu telinganya telah mendengar pembicaraan ketiga manusia di luar lubang goa. Ketika si Burung Hantu menggamit pinggang si wanita tongkat ular itu, kemudian tak terdengar lagi suaranya. Barulah Roro naik ke atas.

Ternyata ia tak keluar lagi dari tempat semula. Tapi meneruskannya menyusuri lorong gelap di dalam goa itu. Yang ternyata menembus sampai ke tebing. Dari atas tebing itulah ia dapat melihat si Burung Hantu tengah saling berasyik masyuk dengan si wanita bertongkat, hingga dengan rasa kesal bercampur sebal, ia telah hantam keduanya dengan batu bulat panjang yang cukup besar dari atas tebing. Maka tak ampun lagi keduanya tewas.

Roro telah tiba di lembah ngarai yang curam itu, setelah menuruni lereng terjal dari tebing batu yang menjulang tinggi itu. Kini di hadapannya adalah rimba luas yang terbentang. Ketika memandang ke belakang, hanyalah tebing batu yang untuk melihat ujungnya harus dongakkan kepala lebih dulu.

"Betapa curamnya lembah ini..! Apakah benar di lembah ini tempatnya si Dewa Siluman Kera yang mempunyai murid bergelar si Siluman Kera Putih itu...?" Berkata lirih Roro seorang diri. Sementara diam-diam ia jadi mendongkol pada si Burung Hantu yang telah menipunya.

Sementara diam-diam Roro telah mencari arah tembusan tempat lubang rahasia di bawah tebing itu. Akhirnya ia menemukan juga lubang goa di celah batu tebing. Akan tetapi ia jadi terkejut, karena belasan ekor kera telah mengelilinginya. Berlompatan ke arahnya. Roro mulai bertindak waspada. Tiba-tiba entah dari mana telah terdengar suara suitan panjang berkumandang bagai membela bukit. Suara suitan itu berpantulan berkali-kali.

Ketika tiba-tiba ratusan ekor kera tampak berbondong-bondong keluar dari dalam rimba di hadapannya. Seekor kera yang lebih mirip manusia, berkulit putih, tanpa bulu dan ekor, telah melompat ke hadapannya, seraya tertawa menyeringai. Keadaannya membuat Roro melengak. Karena kera itu memang bukan kera sebenarnya, melainkan manusia yang mirip kera. Apakah ini si Siluman Kera Putih itu..? Sentak Roro dalam hati.

Si Kera Putih ini sudah menggeramgeram melihat Roro. Tiba-tiba ia telah mencengkeram untuk menerkamnya. Gerakannya gesit, Roro cepat berkelit Akan tetapi di luar dugaan sang "kera" telah berjumpalitan cepat sekali. Dan kembali menyambar tubuhnya Tersentak juga Roro melihat kegesitan makhluk itu.

"Grrrr... nguk! Nguk...!" Sang kera putih sudah kembali perdengarkan suara anehnya, seraya mengangkat-angkat tangannya tinggi-tinggi. Dan melompat-lompat. Entah itu suatu isyarat. Entah memang kelakuannya demikian. Akan tetapi tiba-tiba ratusan kera lainnya telah menyerbu dengan suara riuh rendah.

Terpaksa Roro hantamkan lengannya ke kiri dan kanan. Terdengar jeritan-jeritan binatang itu. Dan belasan ekor kera terlempar tewas. Namun bagai tak ada habisnya, kera-kera itu kembali mengerubuti Roro, Terpaksa Roro tarik keluar senjata Rantai Genitnya. Dan tubuhnya berkelebat kian kemari. Maka yang tampak adalah kera-kera itu jatuh bertumbangan bagai diterjang oleh amukan bayangan yang tak kelihatan. Segera saja bertumpuk-tumpuk puluhan bangkai kera berserakan.

Melihat demikian si kera putih tampak gusar sekali. Ia pun maju merangsak. Dan turut menerkam Roro dari segala jurusan. Tiba-tiba berkelebat pula kesana sesosok tubuh yang tak lain dari si Gajah Dungkul. Tokoh hitam yang bertubuh tinggi besar itu tampak terkejut sekali melihat Roro berhasil lolos dari dalam jebakan. Tentu saja ia sudah turut membantu mengerubuti si Pendekar Wanita itu. Tiba-tiba terdengar suara...

Brengngngng..! Brengngngng..! Brengngng..!

Ternyata ia telah bunyikan senjata anehnya. Yaitu dua buah piring baja tipis. Yang mengeluarkan suara memekakkan telinga, akibat diadukannya kedua piring baja tipis itu. Kera-kera lainnya segera berlompatan menjauh. Tubuh Roro tampak bergoyang-goyang mau jatuh. Suara keras itu seperti telah membuatnya jadi terpengaruh. Saat itu dua terjangan senjata piring baja itu sudah menghunjam ke arah dada dan leher. Membersit suaranya bagai ular mendesis.

Namun si Gajah Dungkul jadi terkesima, karena ia tadinya sudah merasa girang yang serangannya tak bakal lolos. Tapi dengan gerakan seperti orang mabuk, Roro berhasil menghindar. Sementara cengkeraman si Siluman Kera Putih kembali mencengkeram angin. Karena Roro telah gerakkan jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang. Salah satu jurus aneh warisan dari gurunya.

Gajah Dungkul kembali menerjang dengan kecepatan kilat. Sepasang senjatanya bergerak menyilang ke arah leher. Sedang satu lagi mendesing untuk membeset selangkangan. Serangan pertama lolos, tapi sudah disusul oleh serangan berikutnya. Hingga Roro tampaknya kewalahan. Dan bergerak sempoyongan kesana-kemari.

Tapi bagi orang yang mengerti, akan memuji kagum. Karena itulah jurus yang langka di Dunia Persilatan. Dalam mempergunakan jurus itu tidak sembarangan orang dapat melakukan. Karena haruslah orang nekat yang mempergunakannya. Karena cuma mengandalkan perasaan saja. Sedang sepasang mata tidak dipergunakan untuk melihat. Namun semua terjangan maut dapat ia hindarkan dengan baik.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dari mulut Roro Centil. Tahu-tahu tubuhnya lenyap. Dan pada detik berikutnya, terdengar jeritan si Gajah Dungkul. Tubuhnya terlempar dengan sepasang lengannya hancur remuk. Sedang senjatanya terlempar entah kemana. Kiranya Roro telah hantamkan senjata Rantai Genitnya menabas lengan lawan.

Tampak si Gajah Dungkul terperangah menyeringai. Wajahnya pucat bagai mayat Keringat dingin sebesar-besar jagung mengalir di dahinya. Rasa sakit yang amat sangat itu membuatnya jadi kalap. Tiba-tiba ia telah kembali bangkit dan menerjang hebat, disertai teriakan paraunya. Ternyata Gajah Dungkul keras seperti besi. Hal itu tidak membuatnya bergeming. Gajah Dungkul telah pergunakan kekuatan Gajah Sakti Menggempur Bukit Sekejap ia telah putar tubuh, dan bagaikan bayangan telah menerjang Roro seperti sudah kesetanan.

Roro coba menahan dengan telapak tangannya. Akan tetapi lengannya terpental terkena serudukan si Gajah Dungkul. "Gila..!? Tenaganya tampak semakin kuat." Berdesis suara Roro Centil. Berkali-kali Roro menghantam kepala si Gajah Dungkul dengan si Rantai Genit. Namun hasilnya tetap membuat ia semakin keheranan. Karena sedikit pun tidak luka, atau benjol. Apa lagi hancur..! Bahkan tampaknya kepala si Gajah Dungkul semakin atos alias keras.

Sementara si Siluman Kera Putih terus mencoba mencari kesempatan untuk mencengkeram Roro. Ketika itu dua terjangan telah meluruk ke arah si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sepuluh jari lengan si manusia kera itu tampak kepulkan uap putih. Dan lancarkan sergapan kilat. Sedang si Gajah Dungkul menerjang dahsyat.

Roro jatuhkan tubuhnya miring ke samping. Tiba-tiba sebelah kakinya menendang pantat si Gajah Dungkul. Tak ampun lagi tenaga serudukannya semakin bertambah. Hingga batu tebing itulah yang terseruduk hancur. Akan tetapi di bawah tubuhnya terjepit si Siluman Kera Putin, yang sudah benamkan kesepuluh jari tangannya mencengkeram jantung tubuh yang menindihnya.

Terdengarlah teriakannya laksana membelah langit. Tubuh manusia tinggi besar itu roboh ambruk. Dan berkelojotan meregang nyawa. Namun sesaat kemudian telah terkulai... untuk lepaskan "sembilan" nyawanya. Manusia berjulukan Iblis Sembilan Nyawa itu ternyata tak dapat mempertahankan nyawanya, yang ternyata hanya cuma satu-satunya...!

"Grrrrhh..!? Nguk..! Nguk...! Grrrrhhh..!" Tirta Menggala alias si Siluman Kera Putih itu menyeringai. Sepasang matanya berbinar-binar menatap Roro. Sementara sepasang lengannya terentang bersimbah darah. Tampaknya ia terkejut sekali, karena kematian si Gajah Dungkul adalah di tangannya sendiri. Pada saat itulah terdengar suara di kejauhan...

"Hebat..! Hebat..!" Dan tahu-tahu sudah melesat ke hadapan Roro sesosok tubuh berambut putih beriapan. Jenggot dan kumisnya terjuntai bagai sapu.

"Siapakah anda...?" Roro sudah lantas membentak.

Tampaknya si kakek pendatang itu bukannya marah. Bahkan tertawa menyeringai. Hingga yang terlihat adalah dua buah giginya saja yang tinggal bersemayam dalam mulutnya. "Heh heh heh... he he... Akulah si Dewa Siluman Kera..! Ternyata Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil seorang wanita yang cantik bagai bidadari..!" Ujarnya. "Sayang kalau buru-buru nyawanya ku pulangkan ke akhirat..! Ilmu kepandaian mu ternyata boleh juga, bocah manis..! He he he... sebaiknya kau tinggal dulu bersama kami di "istana" kediamanku..! Heh heh heh heh he he.."

Sambungnya lagi. Dan mengekeh tertawa menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba saja wajah menyeringainya seketika lenyap. Dan sebaliknya kini, wajahnya jadi berubah kaku. Sepasang matanya menatap Roro seperti mengeluarkan cahaya biru yang membersit tajam. Sepasang matanya menatap Roro seperti mengeluarkan cahaya biru yang membersit tajam.

Roro agak terpengaruh. Namun segera sadar kalau dirinya ada dalam bahaya. Ia sudah mau satukan segenap kekuatan batinnya untuk menolak kekuatan hebat dari sepasang mata si Dewa Siluman Kera. Akan tetapi terlambat sudah. Si Dewa Siluman Kera telah membentak...

"Roboh..!" Dan aneh... Tiba-tiba Roro mengeluh pendek. Dan jatuh lemas menggeledak. Untuk selanjutnya telah tak sadarkan diri. Tampak wajah si Dewa Siluman Kera kembali menyeringai. Dan tertawa kembali terkekeh-kekeh. Kemudian terdengarlah suara memerintah pada muridnya.

"Hehe... he he...he he... Ayo muridku..! Kau bawalah ia ke dalam..! Masih banyak waktu luang untuk membunuhnya nanti..!" Dan si Dewa Siluman Kera sudah kelebatkan tubuhnya terlebih dulu masuk ke dalam goa. Lalu disusul oleh sang murid, dengan memondong tubuh Roro yang telah tak berdaya itu.

Akan tetapi pada saat itu Roro telah buka kembali matanya. Tiba-tiba gerakkan kepalanya. Sekonyong-konyong rambutnya telah meluncur, menggubat leher si Siluman Kera Putih. Selanjutnya lengan Roro telah bergerak cepat menotok di beberapa tempat. Sekejap saja tubuh Tirta Menggala telah berubah kaku. Sementara rambut Roro telah membuat leher si manusia kera itu tercekik. Akhirnya meneteskan darah. Terdengarlah bunyi... Krraaakkk..!

Dan ketika rambut si Pendekar wanita Pantai Selatan bergerak menyentak. Kepala si Siluman Kera Putih telah terlempar menggelinding ke tanah. Roro sudah melompat dari pondongan si manusia kera itu. Tubuhnya telah kembali berkelebat menyambar sepasang senjatanya yang tergeletak di tanah. Lalu balikkan tubuh menghadap ke lubang Goa. Segera saja sudah terlihat senyumnya diantara kedua belah bibirnya yang mungil. Tampak ia tersenyum puas melihat Siluman Kera Putih yang tewas dalam keadaan berdiri. Tanpa kepala.

Tiba-tiba terdengarlah suara tertawanya yang mengikik geli terpingkal-pingkal. Dan sekejap tubuhnya telah berkelebat lenyap dari dasar tebing itu. Namun suara tertawa itu masih tersisa. Menggema berpantulan di dasar lembah ngarai yang penuh peristiwa itu. Sementara burung-burung bangkai telah bertebaran mengitari lembah penuh misteri itu, dengan suaranya berkiak-kiak... Roro Centil sudah tak menengok ke belakang lagi. Masih banyak waktu untuk menumpas si Dewa Siluman Kera.

Apa lagi si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini rasakan kelelahan sekali pada sekujur tubuhnya. Ia memang belum berhasrat pulang kembali ke Tanah Jawa. Karena masih belum ditemuinya juga manusia pembunuh Gurunya. Yaitu Peri Gunung Dempo, dan si kupu-kupu Emas. Yang tak diketahuinya berada di daerah mana. Sambil berkelebatan itu, Roro masih sempat memanggil sahabatnya yang penuh misterius.

"Tutul...! Adakah kau mengikutiku..?" Dan sebagai jawabannya terdengar suara menggeram di sebelahnya. Roro Centil berseru lagi. "Bagus..! Hi hi hi... kau memang sahabatku yang setia..!" Tiba-tiba Roro hentikan tindakan kakinya, seraya berucap. "Tutul...! Tampakkanlah wujud mu. Aku penat sekali..! Bawalah aku kemana kau suka..."

Selesai Roro berkata. Segera saja seekor harimau tutul yang tubuhnya hampir sebesar kerbau, tampakkan diri. Dan, sang mentari senja mulai menggelincir ke balik bukit, terlihatlah si Pendekar Wanita Pantai Selatan sudah berada di atas punggung seekor harimau Tutul yang amat besar. Yang bergerak melompat bagaikan angin. Entah kemana si Pendekar Wanita itu dibawanya. Tapi yang jelas ia akan muncul lagi dalam kisah petualangannya yang lain.

Sementara para pendekar lainnya di atas bumi ini, tetap berjuang, tegakkan panji-panji kebenaran. Tegakkan keadilan bagi kaum lemah yang tertindas. Namun entah kapan kejahatan itu dapat lenyap dari muka bumi ini? Walaupun demikian semangat perjuangan dari kaum Pendekar, tetap menyala sepanjang zaman.
Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.