Jodoh Rajawali - Sumur Perut Setan
SATU
GADIS cantik berhidung mancung itu masih dibaringkan di atas balai oleh pamannya; Leak Parang. Gadis itu sedang dalam pengobatan akibat luka berat bagian dalamnya. Kalau saja ia tak segera datang ke pondok Leak Parang, mungkin jiwanya tidak akan tertolong lagi. Leak Parang pun dalam pengobatannya dibantu oleh Nyai Kubang Darah, sehingga kini gadis berbaju merah yang tak lain dari Kencana Ratih itu tinggal menunggu pulihnya kekuatan tubuh yang hilang akibat luka parah itu.
Pemuda tampan berpakaian baju selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya itu masih berdiri di samping balai dengan wajah penuh sesal. Pemuda itu tak lain adalah Yoga, si Pendekar Rajawali Merah yang telah selamat dari pengaruh Jarum Jinak Jiwa.Wajah sesalnya itu sepertinya sulit hilang, karena ia mendapat cerita dari Mahligai, keponakan Sendang Suci yang telah berhasil mengobatinya itu, bahwa Jarum Jinak Jiwa itu telah membuatnya menjadi ganas. Lupa akan dirinya, lupa akan sahabatnya, dan salah satu korban yang nyaris mati di tangannya adalah Kencana Ratih itu, (Baca episode: "Mempelai Liang Kubur").
"Tak kusangka aku menjadi orang yang paling jahat di muka bumi ini!" kata Yoga dalam nada pelan, sepertinya bicara pada diri sendiri. Kala itu, bukan hanya Kencana Ratih yang mendengar ucapannya, melainkan Leak Parang dan Nyai Kubang Darah pun mendengarnya. Leak Parang pun berkata,
"Jangan hanyut dalam penyesalan, Yoga. Carilah makna dari peristiwa yang menimpamu itu! Manusia hidup diwajibkan belajar dari pengalaman yang ada dalam peristiwa demi peristiwa. Kalau hanya terbelenggu oleh penyesalan saja, maka hidup manusia itu tidak akan punya makna bagi dirinya sendiri."
Kencana Ratih yang lemah dipandangi dengan sorot mata lembut, penuh rasa iba yang amat dalam. Yoga sepertinya hampir saja membenci dirinya sendiri jika mengingat, betapa teganya dan betapa kejamnya ia memperlakukan sahabat sebaik Kencana Ratih hanya untuk memburu nafsu pribadinya.
"Kapan saja kau ingin balas dendam pada diriku, aku siap menerimanya. Kencana Ratih! Lakukanlah sesukamu, dan aku tidak akan melawan ataupun membalasnya."
Dengan suara lemah Kencana Ratih berkata, "Lupakanlah semuanya," ia sunggingkan senyum, lesung pipitnya terlihat jelas.
Hati Yoga makin tersayat pilu. Pada saat ia melihat lesung pipit itu, ia terbayang wajah seorang kekasih yang menjadi gurunya; Pendekar Rajawali Putih. Timbul pertanyaan di batin Yoga pada saat itu, "Di mana Lili sekarang?"
Kencana Ratih melanjutkan ucapannya, "Aku tak akan menuntut balas apa-apa padamu, karena aku tahu kau dalam keadaan tak sadar pada waktu itu. Jangankan untuk mengingat diriku, untuk mengingat siapa dirimu saja kau tak mampu, Yo! Jadi, wajarlah jika kau menyerangku dengan jurus mautmu itu. Kuanggap, bukan kau yang menyerangku, melainkan pengaruh jahat dari jarum itu yang hendak membunuhku waktu itu. Sekarang, semua itu sudah tidak ada. Semua itu sudah berlalu, tak perlu kau merasa bersalah."
Tangan Kencana Ratih meraih tangan Yoga yang ada di sampingnya, la menggenggam tangan itu seraya sunggingkan senyum lagi dan berkata, "Aku akan sembuh. Aku akan sehat seperti sediakala!"
"Kau memaafkan aku?"
"Sangat memaafkan!" jawab Kencana Ratih berusaha untuk tegas walau dengan suara lemah karena keadaan tubuhnya memang lemah.
"Kau tahu ke mana perginya Lili?"
"Waktu itu, aku bertarung dengan Mahligai, ia jalan menyusulmu ke Candi Langu bersama si tampan Wisnu Patra!"
"Wisnu Patra...?!"
"Benar. Kau ingat Wisnu Patra, yang dulu juga pernah mau merebut bunga Teratai Hitam itu?"
"Ya, ya...! Aku ingat jelas wajahnya. Tapi mengapa Lili pergi bersama dia? Ada hubungan apa sebenarnya antara Lili dengan Wisnu Patra?!"
Pendekar Rajawali Merah menerawang memikirkan gadis cantik yang melebihi kecantikan bidadari itu. Ada rasa cemburu yang muncul dengan diawali rasa curiga.
Kencana Ratih menangkap adanya nada cemburu itu, sehingga ia tersenyum bersama ucapan lemahnya, "Kau curiga aneh kepadanya? Apakah benar kau menyimpan hati untuk Pendekar Rajawali Putih itu?"
Tapi Pendekar Rajawali Merah alihkan kata, "Apakah menurutmu Lili dan Wisnu Patra pernah sampai ke Candi Langu?"
Kencana Ratih paham dengan pengalihan kata itu, ia kembali makin lebarkan senyumnya dan menjawab, "Rasa-rasanya mereka tak pernah sampai ke Candi Langu. Karena ketika aku menyusul ke sana, yang kutemukan hanya kau bersama orang-orang Candi Langu itu. Kemudian kau menyerangku dan aku lari, tanpa pernah jumpa lagi dengan Pendekar Rajawali Putih itu. Barangkali saja mereka berbelok arah untuk satu maksud dan tujuan yang tak kumengerti. Tentunya hanya mereka pribadi yang memahami mengapa harus berbelok arah dan tak jadi membebaskan kamu dari pengaruh jarumnya Galuh Ajeng itu!"
"Berbelok arah...?!" Yoga menggumam dan semakin panas hatinya. "Aku harus mencari mereka dan bikin perhitungan dengan Wisnu Patra!"
Kencana Ratih tak bisa mencegah keinginan Pendekar Rajawali Merah. Bahkan saran Leak Parang agar Yoga beristirahat beberapa hari di pondoknya juga ditolak secara halus. Hati yang menyimpan geram kecemburuan atas perginya Lili dengan Wisnu Patra itu membuat Yoga terpaksa bersuit beberapa kali, kemudian seekor burung rajawali besar berbulu merah datang menghampirinya. Dengan menunggang burung rajawali merah itulah Yoga meninggalkan pondok kecil Leak Parang, melesat terbang mencari di mana si Pendekar Rajawali Putih berada.
"Jangan terlalu tinggi, Merah! Aku tak bisa melihat gerakan manusia jika kau terbang terlalu tinggi. Merendahlah sedikit!"
"Kraaak...!" burung itu seakan mengerti bahasa ma nusia dan menjawab dengan satu seruan sambil kepalanya mengangguk-angguk. Kemudian burung besar itu pun merendah dan terbang dalam jarak tak seberapa jauh dari pucuk-pucuk pohon. Gerakannya pun pelan, sayapnya mengepak-ngepak dengan santai, namun berkesan perkasa dan gagah.
Setiap orang yang dilewati burung besar itu selalu mendongak ke atas dan memandang dengan kagum. Mereka tahu, penunggang burung besar itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah yang mulai banyak dikenal orang cerita tentang kesaktian dan ketinggian ilmunya. Setiap orang yang mendongak pada umumnya melambaikan tangan dengan rasa ingin bersahabat dengan pendekar tampan bertangan satu itu.
Tetapi dari beberapa orang yang dilewati oleh burung besar itu, Yoga tak melihat seraut wajah milik Lili. Bahkan bentuk rambut dan pakaian gadis itu pun tak terlihat ada di antara mereka.
Melalui udara itu, Yoga sempat melihat reruntuhan candi yang tak lain adalah Candi Langu, tempat dirinya nyaris menjadi pengantin dengan Galuh Ajeng, la juga melihat dua tanah yang menggunduk. Itulah dua kuburan Galuh Ajeng dan Nini Sambang. Tapi ia tidak melihat mayat lain di sana. Cemplon Sari yang kabarnya terkena senjata rahasia Mahligai, tidak ada di antara reruntuhan candi. Selamatkah ia?
"Merah! Kita menuju ke arah pantai. Di candi itu tidak kulihat mereka! Mungkin mereka menuju ke pantai untuk berkasih-kasihan!"
"Kreeeak...! Kreeeak...!" burung itu mengerti maksud majikan mudanya, lalu segera meluncur ke arah pantai dengan gerakan tetap berkesan santai.
Tetapi tiba-tiba Yoga merasakan ada hembusan angin dari bawah yang menghentak ke atas. Wuuuk...! Burung itu agak oleng dengan menyerukan suara sebagai tanda bahaya.
"Ada yang hendak mencelakai kita, Merah!"
"Kraaak...!" burung rajawali merah itu memancarkan matanya dengan kelopak naik pertanda ia sendiri menjadi marah.
Seseorang telah melepas pukulan tenaga dalam jarak jauh ke atas. Tetapi pukulan itu tak seberapa besar, sehingga tidak membuat burung rajawali itu terpental dalam penerbangannya. Dua kali hal itu dirasakan oleh Yoga, namun matanya belum menangkap siapa orangnya dan di mana ia berada.
"Ke arah timur, Merah! Kita periksa keadaan di balik bukit kecil itu!" seru Yoga dan burung itu berseru kembali, lalu membelokkan arah penerbangannya ke timur. Melintas bukit kecil itu, tiba-tiba dua benda berkelebat menyerang Yoga dari bawah.
Wuuut, wuuut...!
Yoga hanya berteriak, "Awasss...!"
Burung rajawali itu memiringkan tubuh. Yoga hampir saja jatuh. Ternyata burung itu menghindari dua anak panah yang dilepaskan ke arahnya. Bahkan sekarang bukan dua anak panah lagi, melainkan lebih dari sepuluh anak panah menghujani Yoga dan rajawali merahnya.
Clap, clap, dap, clap...!
Yoga sibuk menangkis anak panah dengan tebasan tangannya. Sayap burung rajawali itu pun mengepak-ngepak menimbulkan hembusan angin keras, sehingga arah anak panah berbelok ke tempat lain. Tetapi ada satu anak panah yang berhasil melesat dan mengenai dada kiri Yoga.
Craab...!
"Auh...! Merah, aku kena...!" Yoga menyeringai sambil berusaha mencabut anak panah yang menancap di dada kirinya, dekat pundak.
"Kraak...! Kraaak...!"
Burung rajawali besar itu mengamuk melihat tuan mudanya terkena anak panah. Terbangnya menjadi lebih cepat, menukik ke bawah dan menghampiri sepuluh orang lebih yang berbaris di kaki bukit kecil itu. Sayapnya dikepakkan dengan keras, dan angin menghembus bagaikan badai. Orang-orang itu terhempas, terlempar ke sana-kemari.
Sekalipun demikian, masih juga ada yang sempat melepaskan anak panahnya ke arah burung tersebut. Prak...! Praak...! Sayap rajawali merah itu menghantam patah setiap anak panah yang mengarah kepadanya. Gerakannya semakin meliuk mondar-mandir dalam keadaan rendah. Lalu, salah satu orang yang ada di lereng bukit kecil itu dihampirinya dan disambarnya dari belakang. Wuuut...! Cakar rajawali mencengkeram kepala orang itu, kemudian ketika orang itu berteriak-teriak dibawa terbang tinggi, cakar itu melepaskannya.
Wuuus...!
"Aaa...!" Orang itu menjerit ketika dijatuhkan dari ketinggian. Dan ia pun jatuh di antara bebatuan dengan kepala lebih dulu sampai ke bumi. Tentu saja nyawa orang itu pun lekas pergi tinggalkan raganya karena tak mau punya kepala yang remuk begitu.
Panah yang menancap di dada kiri Yoga sudah berhasil dilepaskan. Tapi agaknya panah itu mengandung racun yang melemaskan seluruh urat dan persendian. Tubuh Yoga menjadi limbung tak mampu mengendalikan keseimbangan. Ketika ia dibawa menukik oleh rajawali merah, tubuhnya menyerosot dan jatuh di atas semak-semak yang agak jauh dari bukit kecil itu.
Bruuus...!
"Uuh...!" Yoga seperti orang mabuk. Matanya terbeliak-beliak. la terkapar di semak-semak itu. Rajawali merah segera menukik turun. Tetapi suara orang beramai-ramai menghampirinya masih sempat terdengar oleh telinga Yoga, sehingga Yoga berkata kepada burung rajawali itu,
"Merah... larilah! Lekas lari...!" "Kraaak...!" burung itu tak mau lari dan justru berbalik menghadap ke arah datangnya suara orang itu. Agaknya burung tersebut bermaksud menghadapi orang-orang yang ingin mencelakakan majikan mudanya itu. Sayap burung tersebut telah dibentangkan lebar-lebar.
"Kraaak...!"
Ketika orang-orang itu mendekat, sayap itu dikibaskan ke depan dengan kerasnya. Wuuukkk...! Dan orang-orang itu terpental tunggang-langgang disapu angin badai yang cukup besar dari kibasan sayap burung tersebut. Bahkan dua batang pohon menjadi tumbang pula akibat kibasan sayap yang menghadirkan angin badai itu. Dua dari beberapa orang itu mati tertimpa pohon yang tumbang. Lainnya luka-luka dan berjumpalitan tak beraturan. Ada yang terbentur batu kepalanya, ada yang patah tangannya, ada yang terkilir kakinya dan ada pula yang tertindih temannya.
Ternyata dari arah yang berlawanan datang pula suara orang bergemuruh dengan teriakan-teriakan liarnya. Orang-orang itu pun bermaksud menyerang Yoga dan burung rajawalinya. Melihat keadaan seperti itu, Yoga masih sempat berpikir bahwa jumlah yang dihadapi bukan hanya sepuluh orang, namun lebih dari dua puluh orang. Ini cukup berbahaya jika harus dihadapi dalam keadaan luka lemas begitu. Maka ia putuskan untuk selamatkan diri. Itu pun tak mungkin dilakukan jika ia dalam keadaan tak mampu bergerak lagi.
"Merah! Lekas pergi kau! Terbang tinggi dan tinggalkan aku untuk sementara! Aku bisa hadapi mereka. Pergi kau, Merah! Cepat lari!"
Karena sang majikan bagai memberi perintah dengan sentakan, maka burung besar itu patuh dan lekas terbang dengan meneriakkan suara yang menggema ke mana-mana. Kibasan sayapnya kembali datangkan angin badai, sehingga mereka yang baru datang pun terjungkal tunggang-langgang. Mereka tak sempat membidikkan panah ke arah burung tersebut, dan burung itu akhirnya pergi meninggalkan majikan mudanya. Orang-orang pun segera berlarian mendekati Yoga.
Keadaan Yoga semakin lemas. Pandangan matanya mulai buram. Tapi ia masih sadar, jumlah orang yang mendekatinya cukup banyak dan mereka adalah orang-orang bertubuh tinggi-besar. Cepat-cepat batin Yoga mengatakan, "Orang-orang Pulau Kana rupanya...?!"
Samar-samar pula ia melihat Gandaloka berdiri memberi perintah kepada pasukannya. Rupanya Gandaloka telah mampu sembuhkan diri dari luka pertarungan dengan Lili, dan kini ia diperintahkan kembali untuk memburu Yoga dengan membawa sejumlah pasukan pemanah.
"Tangkap dan ikat dia!" perintah Gandaloka. Anak buahnya yang punya perawakan sama dengannya itu segera bergegas mengikat tubuh Yoga dengan tambang. Salah seorang ada yang berusaha nakal, mencabut pedang pusaka dari punggung Yoga.
Blaaar...! Petir menyambar di angkasa ketika pedang itu dicabut dari sarungnya. Pedang yang memancarkan cahaya merah dengan bunga api merah berlompatan mengelilingi mata pedang itu menjadi bahan pandangan beberapa orang. Pemegang pedang itu tersenyum bangga merasa bisa memiliki pedang tersebut.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba orang yang memegang pedang itu menghujamkan pedang ke perutnya sendiri. Jraaab...! Tentu saja pedang itu tembus ke belakang, dan orang itu pun menjadi limbung dengan mata terbeliak. Luka itu tidak keluarkan darah setetes pun Tapi membuat beberapa temannya terbelalak kaget. Salah seorang cepat-cepat mencabut pedang itu dari tubuh orang pertama.
"Bodoh!" sentak orang itu kepada orang pertama. Dan orang pertama segera tumbang, terkejang-kejang sebentar, lalu menghembuskan napas dan mati. Teman-temannya menjadi tambah tegang dan bergerak mundur.
Orang kedua pun mendadak menggorok lehernya sendiri dengan pedang pusaka tersebut. Sreet...! Tentu saja leher itu terkoyak lebar dan hampir putus. Lalu orang kedua pun jatuh dan tidak bernapas lagi. Pedang segera dipungut oleh orang ketiga setelah Gandaloka berseru,
"Kuperintahkan kalian mengikatnya, mengapa ada yang mencabut pedang itu, hah?!"
Orang ketiga itu sebenarnya bermaksud menyerahkan pedang itu kepada Gandaloka. Tetapi, baru berjalan tiga langkah, pedang itu menukik sendiri dan menghujam perut orang ketiga sepertinya orang tersebut melakukan bunuh diri di depan Gandaloka. Tentu saja orang itu pun mati tanpa keluarkan darah setetes pun.
Kejadian tersebut segera membuat mereka menjadi semakin tegang dan masing-masing hati punya suara pendapat yang sama, bahwa pedang itu tidak boleh dipegang oleh siapa pun. Barang siapa memegang pedang tersebut, maka orang itu akan bunuh diri karena gerakan pedang yang menuntun tangan si pemegangnya.
"Jangan sentuh lagi pedang itu!" seru Gandaloka. la berseru begitu karena seseorang berusaha mencabut pedang tersebut dari tubuh orang ketiga.
Mendengar seman Gandaloka yang mengejutkan itu, maka orang tersebut segera melepaskan pedang itu dan dibuang begitu saja dengan perasaan takut.
"Sudah kukatakan. Pendekar Rajawali Merah ini orang berilmu tinggi. Kalian lihat sendiri, pedangnya bisa membunuh lawan tanpa digerakkan oleh pemiliknya! Sebab itu kuingatkan kepada kalian, ikat dan bawa pulang Pendekar Rajawali Merah ini. Kita serahkan kepada Gusti Ratu Kembang Mayat sebelum purnama tiba. Jangan ada yang coba-coba mau curi pedang itu kalau ingin selamat!"
Zlaaap...! Sruuub...!
"Hahh...?!" mereka terkejut dengan mata membelalak. Pedang itu ternyata bergerak sendiri. Melesat dengan cepat, masuk ke sarungnya, untuk kemudian diam di sana tanpa ada gerakan lagi. Pada waktu itu, Yoga sudah tak sadar akan dirinya, la hanya melihat pedangnya masuk ke sarung pedang, dan setelah itu ia tak sadarkan diri.
"Angkat! Bawa ke kapal!" perintah Gandaloka. Maka, salah seorang segera mengangkat tubuh Yoga yang telah terikat dari batas dada sampai kaki. Pedang itu tetap tersandang di punggung dan masuk dalam ikatan tambang tersebut.
Sebuah kapal berlayar dua telah menunggu di pantai. Mereka membawa Yoga ke kapal tersebut. Wajah-wajah mereka ada yang ceria, ada pula yang murung. Mereka yang murung karena merasa sedih atas kematian teman-temannya. Mereka yang ceria karena merasa berhasil menangkap pendekar tampan yang sulit dibujuk untuk dibawa pulang ke Pulau Kana atau Pulau Keramat.
"Kalau saja dia bukan calon suami Gusti Ratu, pasti kita akan bunuh dia, karena dia sudah bunuh banyak orang utusan dari Pulau Kana!" kata salah seorang yang hendak naik ke kapal.
Temannya menyahut, "Sayang sekali Gusti Ratu Kembang Mayat tidak izinkan kita balas dendam padanya! Kalau diizinkan, sudah kutantang bertarung saat di bukit kecil tadi!"
"Tapi bagaimana dengan lukanya itu? Gusti Ratu Kembang Mayat pasti akan murka jika tahu Pendekar Rajawali Merah kita lukai?!"
"Itu urusan Gandaloka! Pasti Gandaloka akan sembuhkan luka itu dan menjadi hilang seperti tak pernah terluka. Pasti kita tidak diizinkan untuk bicarakan soal luka itu kepada Gusti Ratu, sebab Gusti Ratu bisa murka kepada Gandaloka dan kita juga."
"Kalau Gandaloka gagal sembuhkan Yoga sebelum tiba di Pulau Kana, bagaimana?! Apakah kita akan sembunyikan dulu orang itu sampai lukanya hilang dan bersih?"
"Mana mungkin? Gusti Ratu harus cepat melangsungkan pernikahan, karena waktunya tinggal dua hari lagi. Dua hari lagi malam purnama akan tiba. Jika Gusti Ratu tidak segera menikah, maka dia akan kita bunuh, sebab Gusti Ratu Kembang Mayat telah menunjukkan bahwa ia manusia pembawa sial bagi rakyat Negeri Linggapraja."
Kapal bertiang layar ganda segera berlayar menuju Pulau Kana. Kapal itu membawa tawanan calon suami Kembang Mayat. Jika Kembang Mayat tidak segera menikah sebelum purnama tiba, maka dia akan dihukum mati karena dianggap ratu pembawa sial. Sedangkan ratu baru bagi rakyat Negeri Linggapraja itu tidak mau menikah dengan pria lain kecuali Pendekar Rajawali Merah.
DUA
KAPAL warna hitam melaju dengan cepat karena angin berhembus cukup kencang. Layarnya berkembang dengan lebar dan melembung ke arah depan. Di kapal itu, Yoga masih dibaringkan di atas pembaringan kayu berlapis kain tebal. Yoga masih dalam keadaan tak sadar. Kamarnya dijaga deh dua orang prajurit bertubuh tinggi, besar, dan bersenjata pedang lebar. Kapal itu adalah kapal yang biasa untuk mengangkut tawanan.
Seharusnya Gandaloka menjemput Yoga tidak menggunakan kapal tawanan, melainkan menggunakan kapal kehormatan. Tetapi karena dua kali Gandaloka diutus untuk menjemput Yoga tapi justru menderita kekalahan dengan terbunuhnya beberapa anak buahnya itu, maka kali ini Gandaloka sengaja menjemput dengan kapal tawanan dan disertai oleh pasukan sejumlah dua puluh tujuh orang. Tujuh di antaranya meninggal saat terjadi penyerangan di bukit kecil itu.
Gandaloka menengok keadaan Yoga di kamarnya. Ternyata masih belum sadar akibat pengaruh racun di ujung panah yang melukainya. Kemudian Gandaloka pergi meninggalkan kamar itu, dan kamar kembali ditutup rapat dengan penjagaan ketat. Gandaloka sempat berkata kepada kedua penjaga berkepala botak itu, "Hati-hati, jangan sampai ia lolos jika ia sadar nanti!"
"Baik, Perwira!"
Tak ada yang tahu bahwa Yoga saat itu sebenarnya sudah mencapai tingkat kesadaran sempurna. Tetapi jiwanya seperti tertahan oleh suatu kekuatan yang membuatnya tak bisa membuka mata dan tak bisa bergerak sedikit pun.
Sebelumnya, di ambang batas antara sadar dan tidak, Yoga seperti melihat seekor burung rajawali merah terbang melintas di depannya. Burung rajawali merah itu mendekatinya dari arah depan, lalu tiba-tiba wajah burung itu berubah menjadi wajah gurunya, yaitu Dewa Geledek.
"Muridku, bangunlah...!" wajah Dewa Geledek itu sepertinya bicara jelas kepadanya.
Yoga pada waktu itu seakan-akan dalam keadaan tidak terikat, sehingga ia segera memberikan sembah dan hormat kepada bayangan wajah sang Guru. Kemudian terdengar suara sang Guru berkata,
"Sudah menjadi suratan takdirmu, bahwa kau akan menjadi bahan rebutan pada wanita cantik. Jangan membuatmu kecil hati dan besar hati, Muridku. Bersikaplah bijak dan wajar-wajar saja. Tak ada yang lemah dalam dirimu, tak ada yang hebat dalam dirimu juga."
"Guru, saya ingin bertemu dengan Lili."
"Akan terjadi," jawab bayangan wajah gurunya. "Tetapi kau harus melalui sederetan peristiwa-peristiwa penting yang akan membuatmu semakin matang dalam berpikir, dewasa dalam bersikap. Semua dukamu, semua sukamu, adalah pelajaran berharga yang tak boleh kau hindari!"
"Agaknya orang-orang Pulau Kana ini akan membawa saya kepada Kembang Mayat dan saya akan dikawinkan dengan Kembang Mayat, Guru."
"Memang. Tapi semua keputusan terletak dalam hati sanubarimu sendiri, Muridku!"
"Saya bosan berurusan dengan kawin paksa, Guru!"
"Bosan atau tidak bosan, kau harus melewatinya sebelum kau menemukan akhir dari perjalanan cintamu."
"Di mana letak akhir perjalanan cinta saya ini, Guru?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kehadiranku ini hanya ingin sampaikan pesan padamu, tabah dan tegakkan selalu kebenaran. Bantulah yang lemah, lawanlah yang jahat. Kali ini perjalanan cintamu punya makna besar. Kau harus selamatkan sebuah kitab kuno yang punya kekuatan dahsyat di dalamnya! Jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang tak bertanggung jawab, tapi jangan pula membuat dirimu sesat!"
"Kitab apa namanya, Guru?!"
"Carilah dalam pengalaman batinmu sendiri."
"Harus kukemanakan kitab itu nantinya?"
"Simpan dan serahkan kepada keturunanmu kelak."
Yoga merasa heran ketika itu. "Mengapa keturunan saya yang berhak menerimanya, Guru?"
"Karena kalian yang telah menyelamatkan kitab itu dari angkara-murka! Dan keturunan kalianlah yang mampu kendalikan isi kitab itu. Nah, sekarang dekatlah kemari."
Rasa-rasanya saat itu Yoga mendekati gurunya. Kemudian tangan sang Guru terjulur, telunjuknya menempel pada bekas luka panah di dada kiri Yoga. Telunjuk itu menyala merah terang seperti cahaya dalam pedang pusakanya. Yoga merasakan hawa sejuk meresap masuk ke sekujur tubuhnya.
"Kekuatanmu bertambah, lukamu sembuh, tapi godaan cinta semakin bertambah pula. Hati-hati kau memilihnya," ucap sang Guru yang ketika dipandangi Yoga ternyata berubah menjadi kepala seekor burung rawajali merah. Makin lama burung itu makin menjauh, lalu bayangan burung itu menghilang lenyap.
Dan pada saat itulah Yoga mengalami sulit bergerak, sulit membuka mata, namun telinganya mendengar suara deru ombak lautan dan angin membadai. la merasakan kapal berguncang-guncang dipermainkan ombak.
Beberapa saat kemudian, barulah ia bisa membuka matanya dalam satu sentakan napas kaget, la mulai sadar bahwa apa yang dialaminya tadi hanya sebuah mimpi. Tapi dalam hati kecilnya ia bertanya, "Benarkah Guru hadir dalam mimpi? Mengapa badanku terasa segar sekali, dan tidak merasakan sakit seperti tadi? Rasa-rasanya luka panah di dadaku sudah lenyap tanpa bekas. Dan kurasakan ada tenaga besar dalam denyut nadiku."
Yoga berusaha merenggangkan tangan dan kaki, tapi buru-buru dikendurkan lagi. Hatinya kembali berkata, "Tambang keras ini sepertinya mudah kupatahkan dalam satu sentakan. Berarti tenagaku memang bertambah besar. Lalu, apa artinya bayangan wajah Guru tadi? Mengapa bayangan wajah Guru menyatu dengan bayangan si Merah? Apakah rajawali merah itu adalah jelmaan dari Guru? Kurasa bukan! Karena saat Guru masih hidup, rajawali merah itu sudah ada dan menjadi kendaraan Guru bila ke mana-mana. Kurasa itu tadi hanya perlambang, bahwa kasih sayang Guru kepadaku sama juga kasih sayang si Merah kepadaku."
Kecamuk batin Yoga terhenti karena pintu kamar dibuka. Gandaloka masuk, lalu memandang Yoga dengan senyum kalem, seolah-olah tidak menampakkan sikap permusuhannya. Gandaloka pun berkata, "Mari kubantu untuk duduk!"
Tanpa kasar sedikit pun Gandaloka membantu Yoga untuk bangkit dan duduk. Setelah itu ia mengambil air minum yang ada di rak tertutup dekat dengan pintu keluar, la mengeluarkan sebutir obat berbentuk seperti kotoran kambing, warna hitam kecoklatan. Sambil mengambil air minum Gandaloka berkata,
"Maaf, aku terpaksa melakukan dirimu seperti ini! Aku tak punya jalan lain. Gusti Ratu mendesakku harus bisa menangkap dan membawa pulang dirimu, jika tidak kepalaku dipenggalnya! Sedangkan aku tahu, betapa sulitnya membawa kau pulang ke Pulau Kana."
"Aku bisa memahami perasaanmu, Gandaloka!"
"Terima kasih. Sekarang, sebaiknya minumlah obat ini untuk menyembuhkan lukamu!"
"Tak perlu," jawab Yoga sedikit dingin sikapnya.
"Ini bukan racun! Aku berani bersumpah apa pun, ini obat pengering luka dan penghilang rasa sakit! Waktu aku terluka oleh Lili, aku juga menelan obat ini!"
"Kau terluka oleh Lili?!"
"Ya. Dia membela Wisnu Patra. Tak rela kalau Wisnu Patra kulukai! Agaknya Lili menaruh hati kepada...."
"Cukup! Tak perlu bicara mereka lagi!" sergah Yoga karena hatinya merasa panas jika terlalu lama mendengar uraian Gandaloka itu.
"Baiklah. Sekarang kau mau minum obat ini?"
"Simpan saja untuk dirimu kelak."
"Pendekar Rajawali Merah..., kumohon minumlah supaya kau tidak terluka. Kalau kau kuserahkan kepada Gusti Ratu dalam keadaan terluka, aku bisa habis kena murkanya! Tolong mengertilah akan keadaanku yang serba salah ini, Pendekar Rajawali Merah."
Yoga diam sebentar, berpikir sesuatu, kemudian ia menatap Gandaloka dan berkata, "Barangkali aku tidak membutuhkan lagi obat itu untuk saat ini!"
"Kau dalam keadaan lemah. Kau harus sehat dan segar seperti sediakala, Yoga!"
"Aku sudah sehat!" jawab Yoga, kemudian tangan dan kakinya menyentak mengembang, dan dalam satu sentakan tambang-tambang pengikat tubuh itu putus menjadi beberapa potong.
Trasss...!
"Kau lihat sendiri aku sudah sehat, bukan?!"
Gandaloka tidak menjawab karena terkesima melihat tambang-tambang alot itu dapat putus dalam satu sentakan. Semakin kagum lagi Gandaloka setelah melihat luka bekas tusukan panah itu tidak ada. Kering sama sekali. Bahkan kain dari beruang coklat yang dipakai Yoga itu tidak terlihat robek lagi. Gandaloka baru sadari hal itu setelah melihat tambang bisa putus dalam satu sentakan.
"Kalau aku mau lari, aku bisa lari sejak tadi. Kalau aku mau bunuh kamu, aku bisa lakukan sejak kau menengokku tadi. Tapi tahukah kau kenapa aku tidak lakukan semua Itu?"
"Karena kau menghormatiku?" Gandaloka mencoba menebak.
Yoga menggeleng. "Karena agaknya aku harus melewati jalan ini, yaitu ditawan dan dibawa di Pulau Kana. Sudah berapa kali aku menghindar dan menolak, toh akhirnya terjadi juga begini. Berarti memang ini adalah jalan yang harus kulalui, dan tentu saja punya tujuan tertentu yang tidak mudah dipahami oleh orang lain, juga oleh diriku sendiri."
"Aku salut padamu," kata Gandaloka tiba-tiba, setelah mereka sama-sama diam beberapa saat. "Aku sebenarnya mengagumimu, walau kau telah membunuh anak buahku. Tapi aku mengakui, kau orang hebat!"
“Tidak ada kehebatan apa pun dalam diriku! Aku dan kau biasa-biasa saja dan sama! Hanya kadang yang membuat kita berbeda adalah kesempatan yang kita peroleh! Kesempatan untuk menang dan kesempatan untuk kalah!"
"Di negeri ini tidak ada orang sehebat kamu."
Yoga tersenyum, memandang ke arah jendela kecil dari kaca berbentuk bundar, la menatap lautan lepas di sana, lalu berkata dengan suaranya yang penuh kesan bersahabat, "Bisa kubayangkan beratnya tugasmu, Gandaloka. Aku tahu jiwamu bukan jiwa orang sesat! Tapi jika negerimu diperintah oleh Kembang Mayat, maka rakyatmu akan menjadi orang sesat pula! Sebab Kembang Mayat tidak punya jiwa sebersih kau."
"Jangan menyanjungku."
"Tidak. Kukatakan dengan sebenarnya. Kau telah memilih pemimpin negara yang salah!"
"Dewata yang telah memilihnya melalui semadinya Pendeta Ganesha."
"Mungkin benar. Tapi dewata punya maksud memberikan contoh yang tidak baik, supaya jangan diikuti oleh rakyatmu. Kalau tidak ada contoh jelek, bagaimana rakyatmu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk?"
"Aku makin kagum padamu, Yoga. Kau sangat bijaksana dalam berpikir!" Gandaloka menarik napas, lalu melangkah mendekati Yoga yang masih berdiri di samping jendela bundar itu. Gandaloka berkata, "Kalau kita bersahabat, dan kalau aku punya waktu cukup lama berada bersamamu, aku akan menjadi secerdas kau, Yoga."
Buhg...! Yoga memukul pelan dada Gandaloka sambil tertawa. "Jangan berlebihan menilaiku. Pikirkan saja kapalmu ini."
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Di sebelah barat ada badai bergulung-gulung. Perintahkan pada nahkoda untuk putar haluan ke utara saja!"
Gandaloka terkejut mendengar kata-kata Yoga. la memandang ke arah barat melalui jendela kamar itu. Tapi ia tidak melihat awan bergulung dan badai menghitam di sana. Gandaloka menjadi sempat bimbang, la diam merenungkan ucapan Yoga, sedangkan Yoga hanya duduk di pembaringan sambil memandangi tangannya yang buntung itu.
"Kau ingin memperdaya diriku, Yoga?" Gandaloka bertanya karena penasaran, tak bisa tentukan sikap.
"Untuk apa? Kalau kau anggap kata-kataku bohong, untuk apa aku membohongimu? Untuk melarikan diri? Hrnm...! Kudobrak kamar ini dan aku lompat ke laut dengan menyelam sedalam-dalamnya, tak akan mungkin kau dan orang-orang kapal ini bisa menangkapku kembali. Tapi toh itu tidak kulakukan?"
Gandaloka diam dan kembali dalam kebimbangan. Yoga berkata lagi, "Kalau tidak segera rubah haluan, kapal ini akan pecah diamuk ombak badai. Mungkin kita semua akan mati!"
"Akan kuturuti saranmu!" Gandaloka pun segera keluar dari kamar. Yoga tetap diam di dalamnya tanpa ada rasa terpenjara, la bahkan berdiri kembali di dekat jendela bundar itu. Matanya memandang ke arah barat, hatinya berkata,
"Mengapa Gandaloka tak bisa melihat gulungan awan badai di cakrawala barat itu? Apakah daya penglihatannya tidak sampai? Atau barangkali sejak kudapatkan kekuatan baru dari bayangan wajah Guru tadi, penglihatanku menjadi lebih tajam dari manusia biasa? Atau... atau mungkin firasatku tergambar dalam penglihatan mata? Anehnya, aku yakin ada badai besar di sana! Tapi... tapi kenapa kapal ini tidak segera ganti haluan? Badai itu makin bergerak ke arah barat, sepertinya menghadang jalannya kapal ini?!"
Yoga bergegas keluar dari kamar tersebut. Ternyata Gandaloka sengaja tidak mengunci pintu kamar tersebut. Namun dua penjaga berkepala botak itu segera menyerang Yoga ketika mereka melihat Yoga keluar dari kamar. "Tahan dulu!" seru Yoga. "Aku hanya akan menemui Gandaloka dan bicara dengan nahkoda!"
"Masuk!" bentak salah seorang dengan menodongkan golok besarnya.
Yoga terpaksa berbalik arah, namun ternyata kakinya cepat menendang ke belakang. Tendangan kaki itu mengenai senjata lawan dan senjata itu patah seketika.
Traak...!
Pemilik senjata itu menjadi tertegun bengong. Tapi temannya segera menebaskan golok besarnya yang mampu memancung leher dengan sekali ayun itu. Wuuung...! Yoga merunduk, kemudian ketika senjata itu lewat di atas kepalanya, ia menyentakkan pukulannya ke atas dan tepat mengenai logam lebar senjata tersebut. Traaak...! Senjata itu pun patah dan membuat pemiliknya tertegun bengong.
Penjaga yang senjatanya patah pertama kali tadi, segera menghantamkan pukulannya dengan kuat ke arah kepala Yoga. Tapi dengan sigap pukulan itu dipegang oleh tangan Yoga. Tabb...! Lalu kaki kanan Yoga menendang ke bagian pusar, sedikit ke bawah. Tendangan itu merupakan totokan jalan darah menggunakan ujung jempol kakinya.
Wuuut...! Tuub...!
"Uhg...!" Orang itu melengkung ke depan, diam tak bergerak dengan mulut ternganga, la menjadi seperti patung karena terkena totokan jalur pusar. Sedangkan temannya segera menyerang dengan tendangan kaki besarnya ke arah dada Yoga.
Wuuus...!
Yoga menggerakkan tangannya yang menguncup bagaikan paruh rajawali mematuk mangsanya. Tees...! Patukan itu mengenai mata kaki lawan, membuat lawan menyeringai dan tak bisa gerakkan anggota tubuhnya lagi. la juga menjadi seperti patung yang meringis kesakitan.
"Maaf, terpaksa kulakukan pada kalian!" kata Yoga, kemudian cepat berlari menuju ruang nahkoda. Rupanya beberapa awak kapal melihat perkelahian di depan pintu kamar tadi. Dua orang segera berlari menyerang Yoga dengan teriakan panjang sebagai penggugah kesadaran para awak kapal lainnya.
Yoga yang berlari ke arah dua orang itu segera melompat dan dua kakinya menendang ke kanan-kiri secara bersamaan. Prook...! Kedua wajah orang itu menjadi sasaran kaki Yoga. Kini Yoga pun menaiki tangga dan menuju ruang nahkoda. Di ujung tangga ada seorang bersenjata tombak yang menghadang. Yoga tetap maju bagai tidak hiraukan lagi orang yang menghadangnya itu.
"Berhenti! Berhenti kataku!"
Orang itu mengancam ingin lemparkan tombaknya, tapi Yoga tetap maju dan tombak itu benar-benar dilemparkan ke arah tubuh Yoga. Namun dengan satu kali berkelit, tombak itu lolos dari tubuh Yoga, hampir mengenai orang yang mengejar Yoga dari belakang.
"Hiaaat...!" orang yang menghadang itu menyerang dengan tendangan kakinya. Yoga menangkis dengan gerakan patuk seperti tadi. Kali ini betis besar orang itu yang kena sasaran patuk rajawalinya Yoga. Orang itu mengerang keras dengan berguling-guling kesakitan. Seolah-olah betisnya ditusuk dengan tombak.
Kini Yoga tiba di ruang nahkoda. Ternyata di sana sedang terjadi perdebatan antara Gandaloka dengan jurumudi. Mereka sibuk berdebat tentang arah kapal dan badai yang dianggap tidak ada itu. Mereka tidak hiraukan pertarungan Yoga dengan para awak kapal yang menghadang larinya tawanan. Ketika Yoga masuk ke ruang nahkoda, juru mudi dan Gandaloka diam berdebat dan saling memandang Yoga.
"Percayalah apa kata Gandaloka itu! Arahkan haluan ke selatan! Badai ganas menghadang jika kita menuju ke arah barat!"
Juru mudi yang brewokan itu berkata dengan ngotot, "Lihatlah dengan matamu baik-baik, tak ada awan hitam di sana. Langit cerah dan angin pun berkecepatan sedang! Mana mungkin ada badai?!"
Tiga orang masuk dengan bersenjatakan pedang. Gandaloka segera sadar bahwa Yoga dianggap tawanan oleh mereka. Perginya Yoga dari kamar dianggap hendak meloloskan diri. Karena itu, Gandaloka segera berkata kepada Yoga,
"Kembalilah ke kamarmu! Anak buahku menganggap kau tawanan yang akan lari!"
"Baik. Tapi bujuk si brewok itu agar hindari badai besar nanti!"
"Akan kuatasi dia!" kata Gandaloka pelan.
Yoga pun kembali ke kamarnya. Ketika mau keluar dari ruang nahkoda, seorang pengawal bersenjata pedang menarik lengan Yoga dengan kasar. Yoga berontak dengan sentakkan sikunya yang masuk ke perut orang itu.
Duuhg...!
"Uuhg...!" orang itu menyeringai kesakitan sambil terbungkuk-bungkuk. Wajahnya menjadi pucat seketika. Dua orang lagi yang mau membawa pulang Yoga ke kamar, kini dipandangi Yoga dengan mata tajam. Kedua orang itu menjadi ciut nyali melihat wajah marah Pendekar Rajawali Merah itu. Mereka sama-sama diam dan salah tingkah.
Gandaloka berkata, "Jangan perlakukan dia seperti tawanan! Ingat, dia adalah Pendekar Rajawali Merah. Kalian tak akan mampu mengalahkannya jika bertarung di atas geladak kapal ini!"
Gandaloka menjaga sikap, la sendiri tidak bermaksud memusuhi Yoga. Karena itu, anak buahnya segera diberi pengarahan tentang bagaimana seharusnya bersikap kepada Yoga.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah di dalam kamarnya hanya diam dengan hati dongkol. Perasaan cemas makin menggoda jiwa. la semakin yakin kapal itu akan dijungkirbalikkan oleh badai ombak yang mengamuk, dan entah berapa orang yang akan selamat nantinya. Keyakinan seperti itu makin kuat, makin membuatnya heran, sehingga Pendekar Rajawali Merah pun bertanya dalam hatinya,
"Mengapa aku punya firasat sekuat ini? Apakah karena mendapat hawa sejuk dari bayangan wajah Guru tadi?!"
TIGA
FIRASAT Yoga benar. Badai datang, ombak mengamuk. Kapal dihempaskan angin badai, diombang-ambingkan ombak samudera. Akhirnya kapal itu pecah, para awak kapalnya banyak yang menemui ajal. Gandaloka tak sempat selamatkan anak buahnya, la sendiri hampir saja mati kejatuhan tiang layar.
Dari sekian banyak penumpang kapal, hanya empat orang yang selamat. Mereka terdampar di sebuah pulau kecil yang cukup subur. Mereka yang selamat adalah Gandaloka, Juru Mudi, Rowulu, dan Asoma, si penjaga kamar tawanan yang pernah mendapat totokan jalur pusar dari Yoga. Sedangkan Yoga sendiri sempat dianggap mati oleh mereka. Tetapi ketika mereka mencoba mencari sambil menyusuri pantai, mereka temukan Yoga dalam keadaan sehat. Duduk di atas batu karang sambil termenung.
Mereka terkejut melihat Yoga, dan Yoga pun terkejut melihat mereka. Rupanya Yoga pun menganggap mereka telah mati semua. Sehingga, pada waktu mereka bertemu, rasa gembira meliputi diri mereka. Satu nyawa yang selamat dan ditemukan, sepertinya satu anggota keluarga yang hilang dan telah diketemukan kembali. Anehnya, mereka berempat menjadi tidak lagi beranggapan bahwa Yoga adalah tawanan. Mereka seperti menemukan saudara sendiri.
"Kalau saja kata-kataku dipercaya, tentunya tidak akan begini jadinya," kata Yoga kepada Juru Mudi, dan ucapan itu membuat Juru Mudi menjadi murung sedih, la segera menjauhkan diri dari mereka.
"Jangan kau sesali peristiwa ini, tapi jadikanlah pelajaran biar kau menjadi orang bijak!" tambah Yoga kepada Juru Mudi.
Namun yang diajak bicara diam saja. la termenung di seberang sana, duduk di bawah sebuah pohon pantai sejenis kelapa, namun mirip pohon pinang. Batang pohon itu besar, sehingga bayangannya dapat untuk berteduh.
"Kita kehilangan kapal, Perwira!" kata Rowulu.
"Jangan bicara begitu. Sama saja kau bicara tentang kebodohanmu. Karena kita semua tahu bahwa kita telah kehilangan kapal. Kalau mau bicara, bicaralah tentang bagaimana mencapai Pulau Kana!" kata Asoma dengan bersungut-sungut.
Gandaloka hanya tersenyum tipis. Dengan bersikap bijak, Gandaloka berkata kepada Rowulu dan Asoma, "Banyak jalan untuk mencapai Pulau Kana. Kita cari saja, yang mana jalan yang tercepat!"
"Pulau apa ini namanya?" tanya Yoga sambil memandang sekeliling.
"Tak jelas," kata Gandaloka. "Pulau ini tidak pernah kami lihat dalam setiap pelayaran menuju tempatmu atau ke tempat lain."
Rowulu menyahut, "Mungkin Juru Mudi tahu, karena dia lahir dan besar di kapal! Coba kita tanyakan pada...," Rowulu berhenti bicara, la terkejut memandang Juru Mudi dan berseru, "Hei, apa yang mau dia lakukan itu?!"
Gandaloka pun terperanjat. "Celaka! Dia mau bunuh diri?!"
Juru Mudi duduk dengan bersila. Tangannya mengembang dengan keluarkan otot dan tenaga cukup kuat. Lalu, ketika Gandaloka berlari ke arahnya, Juru Mudi telah pegang kepalanya dengan dua tangan, atas dan bawah, kemudian kepala itu disentakkan dalam gerakan pelintir yang sangat kuat. Kraak...! Maka, matilah Juru Mudi dengan cara bunuh diri yang dipilihnya sendiri.
"Bodoh!" Gandaloka membentak jengkel, karena dia terlambat mencegah gerakan Juru Mudi. Mereka datang terlambat, Juru Mudi sudah tidak bernapas lagi.
Yoga memeriksanya dan merasa tak bisa menolong. Napas Gandaloka terengah-engah, matanya berkedip-kedip memandangi mayat Juru Mudi. Wajahnya menampakkan rasa jengkel dan sedih. Terdengar Rowulu ucapkan kata,
"Mengapa dia bunuh diri? Alangkah bodohnya dia?"
"Perasaan bersalah menghantuinya!" jawab Yoga. "Dia merasa sangat bersalah, karena dialah orang yang ngotot sewaktu aku dan Gandaloka menyuruhnya putar haluan. Dia tidak mau karena dia tidak melihat ada badai di depan kapal. Setelah terjadi peristiwa ini, dia merasa bersalah, karena menjadi pembunuh nyawa teman-temannya sendiri. Baginya tak ada jalan lain buat menebus kesalahan itu kecuali dengan cara bunuh diri!"
Asoma angkat bicara setelah tarik napas dalam-dalam, "Kurasa dia ingin menjadi juru mudi yang baik. Kapal pecah, jiwanya pun ikut pecah. Kapal mati, dia pun harus ikut mati!"
Gandaloka segera lepaskan diri dari kedukaannya, la segera berkata kepada Asoma, "Kuburkan dia di sini! Dan kau, Rowulu... bantu aku tebangi pohon. Kita bikin rakit untuk mencapai Pulau Kana!"
"Bagaimana dengan aku?" tanya Yoga kepada Gandaloka.
"Istirahatlah! Biar kami yang kerjakan semua ini!"
"Tak adil! Aku juga harus ikut kerja!" kata Yoga membuat Gandaloka tak bisa bicara lagi. Maka, mereka bertiga bergegas memilih pohon kelapa yang lurus untuk dijadikan rakit.
Asoma menghantam batang pohon kelapa dengan tangan kosong. Duub! Kraak...! Brruuss...! Batang pohon kelapa itu pun tumbang seketika. Begitulah mereka menebangi pohon kelapa dengan tenaga dalam masing-masing. Tetapi orang-orang Pulau Kana itu sempat dibuat bengong oleh cara kerja Pendekar Rajawali Merah.
Yoga memilih tiga batang pohon kelapa yang berjajar, la menghantamkan tangan kanannya pada pohon pertama. Duub...! Pohon itu roboh. Tapi dua pohon lainnya pun ikut roboh bersusulan. Rupanya satu pukulan dapat kenai tiga batang kelapa sekaligus. Tentu saja mereka terbengong-bengong memandangi Yoga.
"Mengapa kita tidak bisa seperti dia?" bisik Rowulu.
Gandaloka menjawab pelan, "Karena ilmunya lebih tinggi daripada ilmu yang kita miliki."
"Kenapa dia punya ilmu setinggi itu?"
"Kita berbeda aliran! Dia aliran guntur, kita aliran bumi!"
"Bagaimana kalau kita berguru saja dengannya?"
"Bukan waktunya," jawab Gandaloka sambil mengangkat batang kelapa yang baru tumbang untuk dijajarkan dengan yang lain. Satu pohon utuh diangkatnya sendiri, dan itu merupakan pekerjaan yang ringan buat orang-orang Pulau Kana yang bertubuh seperti raksasa itu.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara pekikan Asoma yang sedang menguburkan mayat Juru Mudi. "Aaahg...!"
"Asoma...?! Kenapa dia?!" Rowulu menjadi tegang.
Gandaloka cepat berkelebat menghampiri Asoma. Yang lainnya segera menyusul, termasuk Pendekar Rajawali Merah. Tapi mata Pendekar Rajawali Merah cepat menyapu seluruh tempat yang terjangkau oleh pandangan matanya. Keadaan tampak tenang-tenang saja dan sepi, tanpa gerakan apa pun, kecuali gerakan angin dan suara deru ombak pantai.
Asoma jatuh berlutut di samping tanah yang baru saja dipakai menguburkan Juru Mudi. Mulutnya menyeringai kesakitan sambil mendekap dadanya. Tangan yang dipakai mendekap dada itu berlumur darah. Gandaloka segera memeriksanya, ternyata dada Asoma berlubang sebesar kelingking. Warna darahnya merah kehitam-hitaman.
"Seseorang telah menyerang kita!" Rowulu menggeram, lalu matanya cepat memandang sekitar tempat itu Bahkan ia nekat menerabas masuk ke semak-semak pantai sampai di kedalaman. Yoga hanya memandangi gerakan lincah Rowulu yang mampu melentingkan tubuh besarnya ke udara dan hinggap di salah satu dahan pohon, la memeriksa sekelilingnya dari atas pohon tersebut.
Yoga mulai menggunakan firasatnya, la memejamkan matanya dan merasakan sesuatu yang tak bisa dirasakan oleh orang lain. la mencium bau daging mentah, bahkan lebih aneh dari bau daging mentah yang sebenarnya. Agak bercampur kelembaban tanah dan... susah dikatakan jenis bau yang tercium Pendekar Rajawali Merah itu. Yoga juga mendengar seperti suara gigi menggeletuk dan mengerat-ngerat.
Cepat-cepat ia buka mata dan berkata kepada Gandaloka, "Tempat ini ternyata tidak aman! Lekas cari tempat untuk berlindung!"
"Maksudmu, masuk ke dalam hutan dan mencari gua?"
"Kira-kira begitu!"
Gandaloka menatap sejenak wajah Pendekar Rajawali Merah, la mulai kenali kesungguhan Yoga sejak peristiwa kapal disuruh alih haluan itu. Wajah Yoga kali ini, sama dengan wajah Yoga saat mengatakan akan datang badai di sebelah barat. Maka Gandaloka pun merasa perlu mengikuti saran Yoga.
"Rowulu...!" panggil Gandaloka.
Orang yang dipanggil segera menghadap dengan menerobos dedaunan semak. Rowulu langsung berkata, "Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini!"
"Tapi kita dalam ancaman bahaya!" kata Gandaloka. "Kita cari tempat aman untuk bersembunyi sementara waktu!"
"Bagaimana dengan Asoma? Dia banyak kehilangan darah!"
Aneh. Hati Yoga seakan yakin betul bahwa ia bisa mengobati luka itu dalam sekejap. Keyakinan itu begitu kuat datangnya, sehingga ia pun segera mendekati Asoma yang masih berlutut dan menyeringai menahan sakit. Tangan Asoma diturunkan, kemudian telapak tangan Yoga ditempelkan pada luka tersebut.
Zrrepp...! Telapak tangan itu berasap tipis. Kejap berikutnya dilepaskan. Gandaloka, Rowulu, dan Asoma sendiri kaget melihat luka itu hilang lenyap. Tak ada bekasnya sedikit pun kecuali bekas darah di tangan Asoma. Dada itu seperti tidak pernah terluka oleh benda apa pun. Rasa sakit juga hilang dan tidak dirasakan lagi oleh Asoma. Bukan hanya mereka yang heran, melainkan Yoga sendiri juga merasa heran dan bertanya dalam hatinya,
"Sejak kapan aku bisa lakukan pengobatan dengan cara seperti itu? Rasa-rasanya aku belum pernah lakukan. Lili memang pernah, tapi aku belum pernah! Dan mengapa bisa menjadi seperti ini diriku?"
Yoga kembali ingat saat ia seperti di alam tak sadar bertemu dengan bayangan gurunya. Jari telunjuk gurunya menempel pada luka bekas panah, dan jari itu menyala merah terang. Lalu Yoga rasakan pula hawa sejuk meresap masuk ke dalam tubuhnya. Apakah itu pertanda roh Dewa Geledek, gurunya, membekali ilmu lagi untuk menempuh kehidupan yang penuh tantangan ini? Apakah itu juga bisa diartikan penambahan ilmu telah terjadi pada diri Pendekar Rajawali Merah?
Baru saja mereka berempat mau melangkah, tiba-tiba datang sinar biru bintik-bintik yang melesat cepat dan sasarannya pada tubuh Gandaloka. Sinar biru bintik-bintik itu berbentuk seperti sepotong besi yang panjangnya satu jengkal. Begitu cepatnya gerakan sinar tersebut sampai-sampai Gandaloka tidak menyadari bahwa dirinya terancam maut. Tetapi mata Yoga melihat gerakan sinar tersebut. Maka dengan cepat kakinya menendang tubuh Gandaloka dari belakang.
Buhg!
Gandaloka terjungkal ke depan menabrak Asoma, lalu Yoga sentakkan tangannya sambil sedikit memutar ke kiri dan melesatlah sinar merah dari telapak tangan itu. Sinar merah tersebut menghantam sinar biru bintik-bintik, dan tabrakan itu pun timbulkan suara dentuman yang cukup hebat.
Blegaaarrr...!
Asoma, Gandaloka, dan Rowulu terlempar ke atas cukup tinggi, dan jatuh berdebam di semak-semak. Sedangkan Yoga sendiri hanya tersentak mundur dengan terhuyung-huyung beberapa langkah, hampir sampai ke perairan pantai.
Rowulu segera bangkit dan menghampiri Yoga dengan wajah marah, la membentak Yoga, "Mengapa kau menyerang kami?!"
"Aku hanya menyelamatkan Gandaloka!" jawab Yoga dengan tenang, matanya melirik sekeliling hutan tepi pantai. Kejap berikutnya ia melangkah dekati Gandaloka dan berkata, "Maaf, hanya cara itu yang bisa kugunakan untuk menyelamatkan dirimu!"
"Aku mengerti!" jawab Gandaloka. "Aku melihat gerakan sinar merahmu menghantam sinar biru bintik-bintik, entah milik siapa."
Tiba-tiba ada suara yang menjawab, "Milikku...!"
Semua berpaling memandang ke arah utara. Ternyata di sana sudah berdiri sesosok tubuh bercelana hitam dengan baju model rompi panjang warna hitam tak dikancingkan. Mereka terkejut sekali melihat kehadiran orang tersebut, karena orang itu mempunyai wajah dan rambut pirang serupa dengan seekor singa.
Asoma segera menggumam, "Manusia singa...?!"
Rowulu mundur setindak di belakang Yoga. Merasa ngeri melihat manusia berwajah seekor singa lengkap dengan bentuk taringnya, matanya, dan hidungnya. Hanya saja bentuk mulutnya tidak terlalu monyong ke depan seperti mulut seekor singa. Namun kulit wajah dan kulit tubuhnya menyerupai kulit seekor singa. Bedanya hanya tidak berekor saja. Dan bau daging mentah ternyata menyebar dari tubuh orang berkepala singa tersebut.
Hal yang membuat Yoga heran adalah kemunculan orang tersebut yang secara tiba-tiba dalam jarak lima langkah di samping Yoga. Tak ada yang melihat gerakannya saat ia datang, tak ada yang mendengar suara apa pun saat ia muncul.
"Kau yang menyerang kami sejak tadi?" tanya Gandaloka.
"Benar!" jawab manusia singa dengan suaranya yang besar. Sebuah pedang pendek yang terselip di pinggangnya masih belum disentuh. Orang itu berkata lagi kepada Gandaloka, "Kalian masuk wilayah kami tanpa izin dan merusak pepohonan! Kalian kami anggap musuh yang harus dimusnahkan!"
"Kami terdampar tanpa sengaja di pulau ini. Kami tidak tahu kalau pulau ini berpenghuni!"
"Baik. Jika begitu kalian memang perlu tahu keadaan kami!"
Setelah bicara begitu, manusia singa itu bertepuk satu kali. Tepukan tangannya itu memancarkan sinar kuning terang dalam percikan menyilaukan. Mata mereka berkedip kaget, dan semakin kaget setelah kembali memandang sekelilingnya. Ternyata sebuah kehidupan asing ada di antara mereka.
Kehidupan asing itu sepertinya terjadi sudah sejak tadi, sejak mereka terdampar dan saling sadar. Tentu saja mereka menjadi terbengong-bengong melihat perahu-perahu ditambatkan di tepi pantai, kesibukan orang menarik jala-jala ikan, kesibukan orang memperbaiki perahu mereka, dan kesibukan orang mengurung mereka membentuk lingkaran besar. Hal yang membuat Gandaloka dan kawan-kawan menjadi lebih heran lagi ialah, bahwa masyarakat yang ada di situ semuanya berkepala singa.
Yoga pun segera berbisik kepada Gandaloka, "Kita terjebak di peradaban siluman!"
"Apakah mereka siluman? Setahuku mereka sekelompok manusia singa!" bisik Gandaloka juga.
"Mereka ada sejak tadi, orang yang menyerang kita itu telah membukakan selaput mata indera keenam kita sehingga bisa melihat kehidupan seperti ini, yang tentu saja tidak bisa dilihat oleh orang lain di luar kelompok mereka."
"Apa yang harus kita lakukan?" bisik Asoma.
"Jangan menyerang dulu! Ikuti dulu apa kemauan! mereka. Kita telah terkurung, dan mereka tampaknya ganas-ganas!" jawab Gandaloka didengar oleh kelompoknya sendiri.
Orang berpakaian hitam yang tadi bertepuk tangan satu kali itu berkata lagi, "Inilah kami...! Kalian telah lakukan kesalahan besar, datang tanpa permisi, langsung merusak alam milik kami! Kalian harus dihukum sesuai dengan keputusan Kala Ratak, ketua kami!"
Orang-orang yang mengurung mereka jumlahnya lebih dari lima belas. Beberapa di antaranya ada yang menggeram-geram seperti suara singa, pancaran mata mereka memandang buas, seakan tak sabar ingin segera menerkam. Asoma dan Rowulu sempat cemas, karena empat orang berwajah singa yang ada di belakangnya sesekali menghentak dalam erangan buasnya.
Beberapa saat kemudian, muncul seorang berwajah singa yang mengenakan jubah merah dan bermahkota, la didampingi dua orang pengawal yang bertubuh kekar, namun tidak sebesar dan setinggi Gandaloka dan dua temannya itu. Ketika orang bermahkota itu datang, para pengurung segera memberi jalan dan tundukkan kepala sebentar sebagai hormat kepada orang bermahkota. Orang itu bagai tak pedulikan hormat tersebut, ia langsung mendekati kelompoknya Gandaloka.
Matanya memandang dengan berbinar-binar buas, seperti seekor singa menemukan mangsanya dalam keadaan lapar. Setiap wajah diperhatikan oleh orang bermahkota itu tanpa ada sikap bersahabat sedikit pun. Kemudian ia berkata dengan tak ramah, "Siapa kalian? Berani-beraninya kalian masuk wilayahku, hah?!"
Gandaloka yang menjawab, "Kapal kami pecah, dan kami terdampar. Lalu kami bermaksud membuat rakit untuk pulang. Kami tidak punya perahu atau kapal untuk kembali ke asal kami."
"Kalian agaknya orang-orang Pulau Kana!"
"Benar!" jawab Gandaloka menampakkan ketegasannya.
"Kalian pasti memata-matai tempat kami untuk merebut Pulau Singa ini! Kalian harus dipotong untuk pesta rakyat Pulau Singa!"
"Tunggu dulu!" sergah Gandaloka, karena beberapa orang sudah bersiap untuk menyergapnya. "Kami bukan mata-mata. Kami tiba di sini tidak dengan maksud jahat sedikit pun. Kami terkena musibah. Dan kami tidak lihat kalau di sini ada kehidupan seperti ini! Kalau kami tahu, kami pasti akan menemuimu untuk meminta izin, sekaligus meminta tolong! Kalau saja sekarang juga kami punya perahu, kami akan pergi secepatnya, karena kami sendiri punya urusan penting!"
Kemudian orang bermahkota yang tentunya adalah raja singa atau ketua mereka itu, segera berkata kepada orang yang pertama kali dilihat oleh Gandaloka dan kelompoknya, "Siapkan kurungan!"
"Baik Kala Ratak Sangar...!" orang itu segera bergerak pergi memenuhi permintaan tersebut.
Tapi tiba-tiba orang bermahkota yang dipanggil sebagai Kala Ratak Sangar itu berseru, "Kosongkan saja kurungan di dalam istana itu!"
"Baik, Kala Ratak...!" jawab orang yang tadi bertepuk satu kali, dan segera lanjutkan langkahnya.
Kini, Yoga mulai angkat bicara kepada Kala Ratak Sangar dengan tenang dan sikap tegas, "Kala Ratak, semestinya kau bisa memahami keadaan kami, bahwa keberadaan kami di sini adalah di luar kehendak kami. Kami tidak punya maksud jahat sedikit pun. Kalau kami punya maksud jahat, sekarang juga kami bisa serang kalian!"
"Kau tidak berhak mengatur keputusanku! Aku penguasa di Pulau Singa ini!"
"Aku tidak mengaturmu! Tapi aku minta kebijaksaanmu untuk melepaskan kami!"
"Aku harus pertimbangkan dulu keputusan itu! Sekarang kalian adalah tawananku. Jangan coba-coba memberontak kalau ingin aku berkeputusan bijak."
Yoga melirik Gandaloka, seakan merasa tidak bisa mengajak Kala Ratak Sangar untuk berembuk baik-baik. Tapi hembusan napas Yoga yang terlepas itu memberikan isyarat yang dipahami Gandaloka, bahwa untuk sementara mereka jangan melakukan perlawanan apa-apa.
Gandaloka pun tahu, bahwa Kala Ratak Sangar pasti sedang mempertimbangkan keputusan dengan melihat sikap para tawanannya. Itulah sebabnya Gandaloka berbisik kepada kedua anak buahnya agar mereka tetap tenang. Pada saat mereka berempat dibawa sebagai tawanan, mereka menurut saja.
EMPAT
SEBUAH ruangan besar dibangun di tengah pulau itu. Ruangan besar itu dianggap sebagai istana Kala Ratak Sangar, pusat pemerintahan rakyat Pulau Singa. Di dalam bangunan besar itu, terdapat singgasana yang terbuat dari kerangka ikan besar. Di sanalah Kala Ratak Sangar duduk dan berembuk dengan beberapa orangnya.
Ruangan besar itu mempunyai lantai dari marmer hitam, berdinding membentuk lingkaran. Di tepian lantai, di setiap dinding, terdapat tengkorak-tengkorak manusia yang dijadikan sebagai hiasan. Beberapa kamar juga terdapat mengelilingi ruangan tersebut. Satu kamar berpintu jeruji besi kokoh ada di sana. Di dalam kamar berjeruji kokoh itulah Gandaloka dan kelompoknya ditawan.
Kamar tahanan itu berbau amis, tidak terlalu lebar dan tidak mempunyai tempat duduk atau tempat untuk tidur. Hanya sebidang kamar berlantai dingin yang sudah berlumut. Perut mereka merasa mual berada di kamar tahanan tersebut. Dari tempat mereka dikurung, bisa melihat langsung keadaan di tengah ruangan besar atau di depan singgasana.
Mereka juga melihat Kala Ratak Sangar berbincang-bincang dengan beberapa orangnya dengan suara gemuruh tak jelas. Istana itu beratap tinggi, sehingga gemanya cukup banyak dan membuat tiap ucapan pelan menjadi kabur dari pendengaran.
Sehari semalam mereka dikurung di kamar amis itu. Gandaloka sempat gelisah karena batas waktu yang diberikan untuk membawa Yoga ke Pulau Kana sudah hampir habis. Kegelisahan itu disembunyikan oleh Gandaloka, tetapi Yoga mengerti dan melihatnya, sehingga Yoga segera berkata pelan kepada Gandaloka,
"Kau takut menghadapi mereka?"
"Yang kupikirkan bukan mereka, tapi saat bulan purnama datang. Nanti malam adalah tepat pertengahan bulan purnama. Seharusnya aku sudah berhasil membawamu ke Pulau Kana. Hari ini juga kita harus bisa lolos dari Pulau Singa ini."
"Kau siap memberontak melawan mereka semua?"
"Mereka bukan orang-orang berilmu rendah. Melakukan pemberontakan di sini sepertinya hanya melakukan kematian yang konyol."
"Barangkali buatmu memang benar begitu. Tapi buatku tidak," kata Yoga. "Kalau kau setuju, akan kupotong jeruji pintu ini dengan pedangku dan akan kulawan mereka agar kita bisa lolos!"
"Kita tidak mempunyai perahu."
"Kita bisa curi perahu di pantai."
"Bagaimana kalau mereka menghilang dari pandangan mata kita? Apakah kita bisa peroleh perahu? Apakah kita bisa melihat ada perahu di pantai?"
Rupanya Asoma mencuri dengar percakapan itu, sehingga tiba-tiba ia ikut menimpali dengan kata, "Kuatasi mereka, sementara salah seorang lari mencari perahu sebelum mereka buat kita tidak bisa melihat dunia mereka lagi!"
Yoga dan Gandaloka berpaling menatap Asoma. Mereka sama-sama diam dan saling tatap. Kemudian Rowulu ikut berkata, "Benar apa kata Asoma! Pegang perahu mereka dahulu sebelum kita dibuat tak bisa melihat mereka."
"Itu bukan pekerjaan yang mudah," kata Gandaloka.
"Lebih tidak mudah lagi jika kita hanya diam di sini menunggu keputusan mereka!" kata Asoma dengan penuh semangat.
"Ssst...! Jangan keras-keras!" kata Gandaloka mengingatkan. "Percakapan kita bisa didengar oleh mereka yang ada di sana!"
Para penjaga yang ada di sekitar singgasana itu memandang ke arah kamar tawanan. Gandaloka dan kelompoknya segera bicara soal lain. Tiba-tiba seorang pelayan datang menyodorkan empat rangsum makanan melalui lubang di bawah pintu jeruji itu.
Pelayan wanita itu juga berkepala singa, rambutnya lebih panjang dan berwarna kuning pirang. Seperti rambut jagung. Lewat giwang di telinganya, pelayan itu bisa dikenali sebagai makhluk berjenis perempuan. Tapi wajahnya sungguh tidak punya nilai kecantikan bagi manusia biasa.
"Kala Ratak suruh kalian makan!" kata pelayan itu dengan suara jenis suara perempuan. Kemudian ia pergi setelah serahkan empat rangsum makanan.
Gandaloka dan orang-orangnya hanya memandangi rangsum tersebut. Asoma sempat bergidik, lalu muntah tanpa keluarkan apa-apa. Mereka tak ada yang mau menyantap makanan tersebut karena terdiri dari daging mentah, bahkan masih ada yang berkulit dan berbulu. Sepertinya yang mereka sajikan adalah daging monyet yang masih basah dan memerah, tampak habis dipotong beberapa saat yang lalu.
Gandaloka tak mau menyentuh makanan itu, ia hanya menggeram jengkel, "Mereka pikir kita ini binatang buas, seperti keturunan mereka!"
Pendekar Rajawali Merah sempat tersenyum geli dan bertanya, "Kau tak mau memakannya?"
"Tak sudi," kata Asoma.
Begitu pula Rowulu menyahut, "Aku pun tak sudi menyentuhnya."
Kepada Gandaloka, Yoga bertanya, "Dan kau juga tak mau memakannya?"
Gandaloka menjawab, "Kalau kau doyan, makanlah semuanya!"
"Baiklah!" kata Yoga, "Kalau kalian tak ada yang mau memakannya, aku pun tak mau makan hidangan ini! Mual perutku melihatnya saja!"
Gandaloka sempat tersenyum geli mendengar ucapan Yoga. Kemudian Yoga berkata lagi, "Memang sebaiknya kita jangan terbelenggu oleh kesedihan, kemarahan, dan kecemasan. Kita harus ceria, supaya otak kita lebih terbuka lagi dan bisa temukan jalan keluar dari pulau ini!"
Ucapan mereka terhenti, Kala Ratak Sangar berganti jubah. Kini yang dikenakan jubah biru mengkilap. Kala Ratak Sangar berjalan mendekati kamar tahanan itu. la berhenti dalam jarak antara tujuh langkah dari kamar tahanan tersebut. Sementara itu, orang-orang berkepala singa lainnya mulai memasuki ruangan besar tersebut dan berkumpul berkeliling sambil mata mereka tertuju ke kamar tahanan.
Apa yang ingin mereka lakukan? Tak ada yang tahu dari para tawanan tersebut. Tetapi setelah Kala Ratak Sangar bicara, mereka baru mengetahui apa sebab orang-orang berkeliling membentuk lingkaran di sekitar lantai depan singgasana itu.
"Kami akan membebaskan kalian, tapi dengan satu syarat; salah satu dari kalian harus bisa kalahkan prajurit pilihanku!"
"Setuju!" jawab Yoga cepat-cepat.
"Harus ada yang bertarung melawan Jagora, prajurit pilihanku. Jika ada yang bisa kalahkan Jagora, kalian bebas. Jika yang kalah kalian, berarti kalian mati dan menjadi santapan kami!"
"Kami minta satu perahu untuk pulang jika kami menang!" kata Gandaloka dengan Kala Ratak Sangar.
Setelah diam sebentar, Kala Ratak Sangar mengangguk dan berkata, "Baik. Kusiapkan perahu untuk kepergian kalian. Tapi..., aku sangsi dari kalian ada yang bisa kalahkan Jagora!"
Gandaloka berkata, "Aku yang akan hadapi Jagora!"
Tapi tahu-tahu Asoma maju ke jeruji pintu dan berkata kepada Kala Ratak Sangar, "Aku Asoma! Aku yang akan lawan prajuritmu!"
"Tidak! Aku saja!" sahut Rowulu dengan geram. Sepertinya sudah tak sabar ingin lampiaskan kemarahannya.
Gandaloka menyahut, "Kalian diam di tempat! Aku pimpinan kalian, jadi akulah yang harus hadapi musuh pertama kali!"
"Tidak bisa!" sanggah Asoma.
"Diaaam...!" bentak Kala Ratak Sangar. "Aku yang akan tentukan siapa orangnya yang harus bertarung melawan Jagora!"
Gandaloka dan kelompoknya saling pandang dalam bungkam. Kejap berikutnya. Yoga angkat bicara dengan tenang kepada Gandaloka, "Bujuk dia supaya memilih aku!"
Gandaloka geleng-gelengkan kepala. "Kau tawananku. Kau tak boleh bertarung membelaku."
"Gandaloka...," Yoga mengeluh kecewa. "Kala Ratak sudah memberikan satu kesempatan bagi kita untuk lolos, mengapa harus kau sia-siakan dengan langkah yang bersifat untung-untungan! Akulah yang harus membuka kunci kebebasan kita, Gandaloka!"
Gandaloka tarik napas dan berkata pelan, "Seharusnya kau menyerangku, bukan membelaku! Aku tak bisa bujuk dia untuk pilih kamu. Maaf, Yoga...!"
Bisik-bisik itu terhenti karena suara Kala Ratak Sangar terdengar menyentak, "Hei, kau... yang berbaju hijau!"
"Aku...?!" Asoma maju dan memegang dadanya saat bertanya begitu.
"Ya. Kau yang kumaksud! Kau orang pertama yang harus melawan Jagora!"
"Haaa, ha, ha, ha...!" Asoma tertawa kegirangan mendapat giliran untuk mengalahkan lawan. "Akhirnya akulah yang terpilih sebagai kunci kebebasan kita!"
Rowulu menyergah dengan ucapan, "Bodoh kau! Temanku ini sedang mengidap racun di tubuhnya! Kalau kau makan, kau akan mati!"
Wuuut...! Buuhg...!
Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh pengawal bersenjatakan tombak berujung pedang. Rowulu terpental mundur dengan satu gerakan keras dan jatuh membentur dinding belakangnya.
"Buka pintu, keluarkan orang berbaju hijau itu!" perintah Kala Ratak Sangar kepada pengawalnya. Lalu, pintu tahanan itu dibuka dan Asoma sebelum diseret sudah lompat keluar dengan bangganya.
"Asoma! Hati-hati!" seru Gandaloka dengan sedikit kecewa karena bukan dia yang dipilih.
Dengan gagah dan berani, Asoma tampil di tengah arena tanpa senjata, karena senjatanya hanyut ketika ia terlempar ombak. Tapi semangat pertarungannya masih tetap menyala-nyala.
Kala Ratak Sangar berkata dari singgasananya, "Kau boleh pilih senjata di sudut sana! Ambil sesukamu!"
Asoma segera menuju ke sudut, tempat dipajangnya beberapa senjata dalam tempat khusus, la mengambil tombak berujung pedang lebar. Sangat mantap untuk memenggal leher lawan, la mainkan sebentar pedang bergagang tombak yang punya pita merah panjang di atasnya itu.
Wut, wuut, wuuut...!
Terasa seimlung untuk bergerak ke mana saja. Kemudian dengan wajah berseri-seri, Asoma maju ke tengah arena, la berdiri dengan gagahnya menghadap rekan-rekannya yang ,ida di dalam penjara, seakan menampakkan dirinya sebagai orang yang layak maju ke pertarungan saat itu.
"Mana lawanku, Kala Ratak!" Asoma bersikap tak sabar.
Kala Ratak Sangar berseru, "Jagora! Tampakkan dirimu!"
Zraaap...!
Gandaloka dan yang ada di dalam penjara terkejut. Orang yang bernama Jagora itu ternyata sudah sejak tadi ada di tengah arena, la menampakkan diri seperti cahaya hijau yang keluar dari lantai dan bergerak ke atas membentuk semacam bumbung. Cahaya hijau itu segera pecah menjadi serpihan dan hilang, lalu tampak sosok tubuh kekar yang bernama Jagora.
"Dia bukan lawan Asoma! Pertarungan itu pasti tidak sebanding!" gumam Rowulu dengan tegang. "Mestinya aku yang melawan orang itu!"
Gandaloka yang sebenarnya sependapat dengan Rowulu hanya diam saja. la menghembuskan napas bernada kecewa, la menampakkan sikap tidak punya harapan atas kemenangan Asoma. Seakan ia tahu persis, bahwa Asoma akan mati melawan Jagora.
"Tenang," kata Yoga sambil menepuk pundak Gandaloka. "Yakinkan saja dalam hatimu bahwa Asoma pasti unggul!" Tapi Gandaloka tidak menjawab sepatah kata pun. Pandangan matanya sedikit sayu.
Jagora juga berwajah singa. Bahkan taringnya sedikit keluar dari pertengahan mulut. Matanya tajam dan buas memandang lawan. Rambutnya meriap, warna kuning pirang. Badannya bukan saja kekar, namun berkulit gelap, seakan kebal senjata apa pun. Jagora menyandang senjata pedang di punggungnya, tapi kuku di jari-jari tangannya itu sudah bisa mewakili pedang ketajamannya. Kuku itu panjang dan runcing. Tepiannya tampak berkilat karena tajamnya.
Tetapi Asoma memandang lawannya dengan tersenyum-senyum. la bersiap melawan Jagora tanpa ada rasa ngeri atau takut sedikit pun. Sedangkan Jagora masih berdiri tegak dengan kaki sedikit merentang dan tangan keduanya ke samping bawah, la sepertinya menunggu perintah dari Kala Ratak Sangar.
Maka, penguasa Pulau Singa itu pun berseru, "Bunuh dia, Jagora!"
Seet...! Jagora segera ambil jurus dan kuda-kudanya ditonjolkan. Kedua tangannya terangkat, yang satu melewati atas kepala, la perdengarkan suara menggeram seperti seekor singa hendak menerkam mangsa. Sedangkan Asoma segera mainkan senjatanya ke kanan-kiri dengan gerakan cepat hingga timbulkan suara angin mendesau.
Wuung, wuung...!
"Hiaaah...!" Asoma memekik sambil melompat tinggi. Badannya yang bagai raksasa itu seakan ingin menelan Jagora. Ujung tombaknya segera ditebaskan dari kiri ke kanan, tujuannya adalah leher Jagora.
Wuuut...!
Tapi Jagora justru melompat maju melewati batas pedang besar di ujung tombak itu. Jaraknya menjadi sangat dekat dengan Asoma. Lengan kanannya dipakai menangkis tongkat tombak. Tertahannya tongkat tombak itu membuat Asoma kikuk bergerak dalam sekejap. Tapi seketika itu pula, Jagora menggerakkan tangan kirinya, berkelebat dari bawah ke atas sampai tubuhnya meliuk miring ke kanan.
Wuuut...! Craaas...!
"Aahg...!" Asoma terpekik kesakitan karena terkena cakar tajam dari perut kanan sampai ke mata kirinya. Terkoyak tubuh itu sampai darahnya memercik ke luar. Ketika Asoma terhuyung-huyung dan jatuh, orang-orang berkepala singa itu bersorak riuh.
Gandaloka, Rowulu, dan Yoga menjadi tegang. Gandaloka sendiri berseru, "Bangkit! Bangkit, Asoma! Ayo lawan dia! Lawan terus!"
Asoma tidak mendengar seruan itu karena riuhnya tepukan dan sorak-sorai para manusia singa yang mengelilingi ruangan besar itu. Asoma tetap bangkit dan berusaha bertahan. Tetapi, baru saja ia berdiri, tubuh Jagora melesat bagaikan terbang dan kedua tangannya menghantam dada Asoma memakai cakar tajamnya.
Jraaab...!
"Uhg...!" Asoma masih berdiri mendelik.
Tangan Jagora menerobos masuk menjebol dada. Begitu ditarik, ternyata sudah menggenggam jantung Asoma. Jantung itu ditunjukkan kepada rakyatnya, lalu dengan terangkatnya tangan Jagora maka semua yang hadir di situ bersorak lebih girang lagi. Kala Ratak Sangar tertawa terbahak-bahak. Sedang Asoma roboh tak bernyawa lagi.
Gandaloka dan konco-konconya mendelik melihat apa yang dilakukan oleh Jagora terhadap diri Asoma. Gandaloka sendiri menggeletukkan gerahamnya ketika Jagora berputar-putar dengan mengangkat tangan yang menggenggam jantung Asoma itu. Jantung itu dilemparkan kepada para penonton, lalu mereka berebut untuk menyantapnya.
"Jahanam busuk!" geram Rowulu. Matanya mulai merah karena marah, la melihat Asoma diseret keluar dari arena, dan lantai dibersihkan dari bercak-bercak darah.
Setelah itu terdengar Kala Ratak Sangar berseru sambil menuding Rowulu, "Kau...! Yang berbaju hitam itu! Seret dia ke arena!"
"Rowulu! Biar aku yang menggantikan kamu!" kata Yoga. "Jangan! Kita hadapi secara ksatria saja!" cegah Gandaloka.
"Ini kesempatanku melampiaskan murka!" kata Rowulu sebelum pintu tahanan dibuka. Ketika pintu itu dibuka, Rowulu langsung berlari keluar dan menuju arena. Di sana Jagora sedang menunggu dengan tenang. Tapi Rowulu langsung menyerang dengan satu lompatan bersalto dan tangannya lepaskan pukulan tenaga dalam warna biru.
Claaap...!
Jagora diam saja, hanya pandangi sinar itu yang makin mendekati wajahnya. Tapi sinar itu tiba-tiba berhenti di udara, lalu padam dengan sendirinya. Hilang entah ke mana, tanpa bunyi dan tanpa angin sedikit pun. Asap tak ada dari hilangnya sinar itu.
"Bangsat...! Heaaah...!" Rowulu sangar bernafsu, la melompat dan menghantamkan telapak tangannya yang bercahaya biru terang ke dada Jagora yang tidak kenakan baju itu.
Tapi Jagora diam saja dan membiarkan asap mengepul akibat tangan Rowulu menempel di kulit dadanya Rowulu tampak kerahkan tenaganya lebih banyak lagi, terlihat dari nyala biru di tangannya yang lebih terang lagi.
Celakanya pukulan itu dianggap angin lalu oleh Jagora. Kini justru kedua tangan Jagora mengeras dan cakarnya direnggangkan. Lalu dari kanan-kiri Rowulu, sepasang tangan bercakar itu menghantam kepala Rowulu secara bersamaan.
Craaak...!
"Aaahg...!" Rowulu jatuh berlutut dengan kepala rusak. Kejap berikutnya ia pun tumbang tak bernyawa.
Dan sorak-sorai kembali memenuhi ruangan besar itu. Tawa Kala Ratak Sangar terbahak bergelak-gelak. la tampak puas sekali meiihat kehebatan prajurit pilihannya.
Kini tinggal Gandaloka dan Yoga yang ada, di kamar tawanan. Kala Ratak Sangar masih memilih siapa yang harus maju melawan Jagora lagi. Gandaloka dan Yoga pun sama-sama saling pandang, namun tak bicara apa-apa. Sikap Gandaloka terlihat lebih tegang ketimbang Yoga. Sampai akhirnya Kala Ratak Sangar perdengarkan suaranya,
"Hei, kau yang bertangan buntung... maju!"
Yoga tersenyum memandang Gandaloka. la tampak girang sekali terpilih maju lebih dulu sebelum Gandaloka. Tapi Gandaloka justru berwajah murung dan tidak memberi ucapan apa pun ketika Yoga keluar dari kamar tahanan itu dan melangkah menuju arena.
Jagora menatap dengan tidak berkedip. Agaknya Jagora tahu bahwa lawannya yang kali ini punya ilmu lebih tinggi dari yang sudah-sudah. Maka, Jagora pun segera mencabut pedangnya. Dan hal itu membuat Kala Ratak Sangar berkerut dahi dan berkata dalam hati,
"Berarti orang buntung itu berilmu tinggi. Terbukti Jagora belum-belum sudah mencabut pedangnya. Biasanya pedang itu ia cabut jika berhadapan dengan orang yang dipandangnya berilmu cukup tinggi, setidaknya sejajar dengannya!"
Yoga tetap tenang melihat Jagora mulai melangkah berkeliling menunggu kesempatan lengah lawannya. Pedangnya siap menebas sewaktu-waktu. Suaranya menggeram-geram dengan buas, tampak ganas. Matanya pun berkesan liar dan sangat bernafsu untuk membunuh Yoga.
Pendekar Rajawali Merah tersenyum tipis, lalu pelan-pelan ia memegangi gagang pedangnya sambil ikut berputar di tempat karena lawannya berputar terus. Ketika pusaka Pedang Lidah Guntur yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua kepala burung saling bertolak belakang itu akhirnya dicabut juga, gelegar suara petir di angkasa mengguncangkan bangunan tersebut, membuat Kala Ratak Sangar dan beberapa orang di situ menjadi tegang.
Tak satu pun ada yang berucap kata, sehingga suasana menjadi hening. Semua mata tertuju pada Pedang Lidah Guntur yang menyala merah dengan percikan-percikan bunga api mengelilingi pedang tersebut. Jagora berhenti bergerak, Yoga juga berhenti bergerak. Tapi Jagora segera melompat ke depan dengan satu teriakan liarnya,
"Heaaahhh...!"
Claaap...!
Pendekar Rajawali Merah mundur satu tindak dan menebaskan pedangnya ke samping. Tebasan itu menghadirkan loncatan sinar merah ke arah tubuh Jagora. Pedang Jagora ditembusnya dan patah, lalu sinar merah itu bagai pisau tajam menyabet leher Jagora dengan cepat. Dan Jagora diam di tempat tak bergerak. Masih berdiri dengan mata mendelik. Kejap berikutnya, ketika orang-orang saling bertanya dalam hati, tiba-tiba kepala Jagora menggelinding jatuh tanpa darah setetes pun.
Orang-orang berseru kaget, "Hahhh...?!"
Yoga memandang Kala Ratak Sangar dengan tersenyum. Yang dipandang hanya terbengong melompong. Yoga berseru, "Dari sini pun aku bisa penggal kepalamu juga, Kala Ratak!" Yang diajak bicara jadi gemetar dan mulai tampak gelisah.
LIMA
KALA Ratak Sangar menepati janjinya. Maka pulanglah Gandaloka ke Pulau Kana dengan membawa Yoga. Mereka menunggang sebuah perahu berlayar tunggal mengarungi samudera lepas. Gandaloka berwajah murung, bukan hanya karena kehilangan semua anak buah yang dibawanya, melainkan juga mengalami keterlambatan waktu. Pelayaran menuju Pulau Kana sendiri memakan waktu sehari semalam.
Ketika mereka tiba di Pulau Kana, keadaan sudah berbeda. Kembang Mayat sedang dalam persiapan menjalani hukuman mati. Pendeta Ganesha yarg memimpin hukuman mati untuk Kembang Mayat. Perempuan itu meronta-ronta karena dijerat memakai tali urat naga yang tak bisa diputuskan oleh benda apa pun.
Pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan di alun-alun, supaya disaksikan dan diketahui oleh seluruh rakyat negeri Linggapraja, bahwa orang yang dianggap penyebab kesialan rakyat negeri itu dihukum mati dengan cara digantung di atas tanah persembahan. Tanah persembahan ada di alun-alun, berupa tempat datar berumput, tapi dengan menggerakkan tiang bendera yang ada di tepi alun-alun itu, tanah tersebut akan terbuka, bagai merekah dan dipakai membuang mayat yang sudah digantung.
Sedangkan tiang gantungan disiapkan di atas tanah yang nantinya akan terbuka merekah itu. Dengan terbuangnya mayat orang yang digantung ke dalam tanah persembahan, maka rakyat Pulau Kana merasa sudah mempersembahkan korban bagi sang dewa, sehingga kutuk dan sial tidak akan menimpa rakyat negeri Linggapraja. Tetapi rakyat tetap berusaha mencari ratu atau raja baru yang bukan berasal dari pulau tersebut dan yang harus segera menikah.
Sebenarnya, kalau saja Kembang Mayat mau menuruti saran Pendeta Ganesha, maka ia tidak akan dijatuhi hukuman mati. Pendeta Ganesha sudah sarankan agar Kembang Mayat cepat lakukan pernikahan dengan salah satu pemuda Pulau Kana untuk selamatkan diri dari kutuk dan hukum adat. Tetapi Kembang Mayat menolak, la berkata,
"Aku tidak akan menikah jika bukan Pendekar Rajawali Merah calon suamiku! Aku harus menikah dengannya!"
Pendeta Ganesha berkata, "Pendekar Rajawali Merah belum berhasil kita boyong kemari, Gusti Ratu! Sedangkan malam purnama tinggal sebentar lagi. Kalau Gusti Ratu tidak segera mengambil keputusan untuk menikah dengan siapa saja yang Gusti pilih, nanti Gusti Ratu akan dituntut oleh hukum adat dan harus dibunuh karena dianggap penyebab datangnya kutukan pada dewa."
"Aku percaya Pendekar Rajawali Merah akan datang pada waktunya! Gandaloka sudah membawa pasukan pemanah dan orang-orang sakti lainnya! Mereka pasti berhasil membawa pulang Yoga!"
Kembang Mayat sudah telanjur tergila-gila oleh Pendekar Rajawali Merah, sehingga hatinya tidak bisa menerima pemuda lain. Apalagi ia merasa punya kekuatan, punya kekuasaan, sehingga dengan mudah akan memperoleh pemuda tampan pemikat hati wanita Itu, dengan memerintahkan Gandaloka dan orang kuat lainnya.
Pada waktu malam purnama tiba, Pendeta Ganesha segera menghubungi Kembang Mayat yang sudah dianggap sebagai pimpinan negara di negeri Linggapraja itu. Pendeta Ganesha mengatakan, "Masih ada kesempatan untuk lakukan pernikahan malam ini juga dengan pria siapa saja, Gusti Ratu! Karena rakyat sudah berkerumun di alun-alun dan menunggu upacara pernikahan ratu mereka!"
"Tidak akan kulakukan pernikahan dengan siapa pun kecuali dengan Pendekar Rajawali Merah! Titik!"
"Tapi malam purnama sudah tiba, Gusti Ratu!"
"Persetan dengan malam purnama!"
Esok paginya, ketika Kembang Mayat bangun dari tidur, tahu-tahu tubuhnya telah terikat seluruhnya dengan tali yang tak bisa diputuskan oleh kekuatan tenaga dalamnya. Pendeta Ganesha telah masuk ke kamar peraduan ratu dan menjerat perempuan itu dengan tali yattg keluar dari telapak tangannya dan melilit sendiri ke tubuh Kembang Mayat.
Agaknya keputusan itu sudah mutlak harus dijalan sesuai adat yang berlaku. Kembang Mayat berusaha meronta-ronta ketika dibawa ke alun-alun untuk digantung, namun usahanya itu sia-sia. Orang-orang bertubuh tinggi-besar itu membawanya dengan kuat dan meletakkan tubuh ramping itu di atas tanah persembahan. Tali gantungan segera dikalungkan ke leher Kembang Mayat.
Apabila tiang bendera di dorong ke samping, maka tanah akan terbuka dan kaki Kembang Mayat akan tergantung. Maka akan matilah Kembang Mayat dalam keadaan terjerat lehernya. Lalu, tali itu nantinya akan diputuskan, dengan begitu tubuh Kembang Mayat akan jatuh ke dalam bongkahan tanah persembahan. Setelah itu tanah kembali akan ditutup rapat.
"Aku minta waktu!" teriak Kembang Mayat. "Aku minta waktu sampai matahari mau tenggelam. Kalau ternyata Pendekar Rajawali Merah belum juga datang, maka gantunglah aku sesuai adat!"
Pendeta Ganesha berembuk dengan para tetua di Pulau Kana. Akhirnya mereka putuskan untuk tetap melaksanakan hukuman gantung itu. Pendeta Ganesha yang selalu memimpin upacara-upacara ritual itu berseru di depan rakyat yang berkumpul di alun-alun,
"Hari ini, manusia yang kita anggap calon ratu kita, ternyata manusia pembawa sial dan terkutuk. Terbukti, cukup banyak orang-orang pilihan kita yang mati di pulau seberang hanya untuk memburu pemuda yang bernama Yoga, alias Pendekar Rajawali Merah. Belum lagi sekarang, Gandaloka pergi dengan sejumlah pasukan tapi belum datang pula. Mungkin mereka sudah mati, atau mungkin mereka dalam kecelakaan besar. Yang jelas, itulah bukti bahwa kehadiran calon ratu kita ternyata pembawa kutuk dan pembawa sial. Sebab itu, ia harus dikorbankan!"
"Gantung dia! Gantung dia! Kembalikan kesialan dan kutuk itu kepada para dewa!" seru mereka saling bersahut-sahutan.
Dua orang sudah siap menarik tiang bendera yang merupakan sebagai kunci pembuka tanah persembahan tersebut. Kembang Mayat berdebar-debar tak punya harapan lagi. la menangis dan menyesal, bahkan sempat berseru,
"Baiklah! Aku akan menikah dengan salah satu pemuda di sini!"
Pendeta Ganesha menyahut, "Sudah terlambat! Sudah lewat dari malam purnama!"
Tali urat naga itu ternyata membuat kesaktian Kembang Mayat pun bagaikan terpenjara, tak bisa diandalkan lagi. Berulang kali ia kerahkan tenaga dalamnya untuk memberontak, namun kekuatan itu bagaikan terpasung dan tak bisa digunakan lagi. Sorot matanya yang biasanya bisa keluarkan cahaya hijau, saat itu juga tidak mampu digunakan lagi. Seolah olah semua ilmu dan kesaktiannya hilang setelah tubuhnya terjerat tali urat naga yang keluar dari telapak tangan Pendeta Ganesha itu. Kembang Mayat pun akhirnya pasrah dalam tangis penyesalannya.
Bertepatan dengan akan dilaksanakan hukuman gantung itu, muncullah Gandaloka dan Pendekar Rajawali Merah dalam satu lompatan yang bersamaan. Mereka tiba di dekat Pendeta Ganesha yang sedang membakar tempat pedupaan berukuran besar, di depan tiang gantungan. Suara gemuruh para penonton di sekeliling alun-alun membuat kepala Pendeta Ganesha yang tertunduk menjadi tegak memandang Gandaloka dan seorang pemuda tampan buntung tangan kirinya itu.
Kembang Mayat yang menangis dalam keadaan tertunduk pun segera angkat wajahnya dan terbelalak kaget melihat kehadiran Gandaloka dan Yoga. la segera berseru, "Yooo...!" sambil berdebar-debar kegirangan. "Yooo... tolong aku!"
Wanita cantik itu hanya dipandangi oleh Pendekar Rajawali Merah dengan dahi berkerut. Yoga tahu, wanita itu memang Kembang Mayat, tapi heran mengapa Kembang Mayat yang punya ilmu lumayan tingginya itu bisa ditaklukkan sampai digiring ke tiang gantungan? Pertolongan yang dimintanya pastilah pertolongan kesediaan Yoga untuk menjadi suaminya.
Gandaloka bicara dengan Pendeta Ganesha yang dikerumuni oleh para tetua dan pejabat istana lainnya. Rupanya mereka berunding setelah mendengarkan cerita Gandaloka tentang musibah badai di lautan itu.
"Musibah itu adalah kutuk dan sial yang ditimbulkan dari perempuan itu!" kata salah seorang tetua yang berjenggot panjang. "Sedangkan sekarang sudah lewat dari malam purnama, sudah waktunya membuang dia kalau tak ingin lebih banyak lagi kematian yang menimpa rakyat kita!"
Gandaloka berkata, "Apakah tidak punya kebijakan satu kali lagi untuk memberi kesempatan kepada sang Ratu? Bukankah sekarang masih termasuk hari purnama, hanya bedanya siang dan malam saja?!"
Pendeta Ganesha segera mengambil sikap, "Apa salahnya kalau kita berbijak hati demi meluruskan garis kehidupan? Sebaiknya kita bicara dengan Pendekar Rajawali Merah!"
Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Merah sedang bicara dengan Kembang Mayat. Perempuan cantik itu memohon-mohon agar dibebaskan dari hukuman gantung kepada Yoga, namun Yoga berkata,
"Kau telah terjerat oleh hukum adat, Kembang Mayat. Kau juga terjerat oleh perasaanmu sendiri yang tak mau gunakan otak! Aku tak berani mencabut pedangku dan mengamuk di sini, karena aku tak punya permusuhan dengan mereka!"
"Aku tak menyuruhmu mengamuk di sini, tapi aku hanya minta kesediaanmu menikah denganku, Yo!"
"Aku tak punya kesediaan untuk itu, Kembang Mayat! Maafkan aku!"
"Hanya sebagai simbol saja! Siasat saja, Yo! Beberapa waktu kemudian kau boleh menceraikan aku!"
Yoga diam berpikir dalam kegelisahan dan kebimbangan. Pada waktu itulah, Pendeta Ganesha mendekat bersama Gandaloka. Yoga segera menundukkan kepala memberi hormat setelah Gandaloka memperkenalkan Pendeta Ganesha kepadanya. Kemudian, Pendeta Ganesha berseru ditujukan kepada mereka yang mengelilingi alun-alun,
"Rakyat Negeri Linggapraja yang tercinta... ternyata Pendekar Rajawali Merah telah hadir di sini bersama Gandaloka, sang Perwira! Pendekar Rajawali Merah inilah sebenarnya yang ditunggu-tunggu oleh calon ratu kita, untuk dijadikan mempelai pria dan suaminya. Karena hari ini adalah masih termasuk hari purnama, hanya, bedanya siang hari, bukan malam hari, maka masih ada kesempatan untuk menikahkan calon ratu kita dengan pemuda pilihannya. Tetapi, kesempatan ini tergantung dari jawaban sang Pendekar Rajawali Merah. Karena itu, aku; Pendeta Ganesha, ingin bertanya kepada Yoga atau sang Pendekar Rajawali Merah nan perkasa...."
Pendeta Ganesha berbalik arah dan bertanya kepada Yoga. Semua orang diam mendengarkan, hingga suasana menjadi hening dan sepi. "Pendekar Rajawali Merah, bersediakah Tuan Pendekar menikah dengan calon ratu kami?!"
Sekalipun tampak tenang, namun sebenarnya di dalam hati Yoga mengalami kegundahan yang cukup besar. Matanya memandang Pendeta Ganesha, lalu memandang Gandaloka, memandang kepada Kembang Mayat, menunduk, memandang lagi ke arah Kembang Mayat, dan saat itu Kembang Mayat berkata dengan suara gemetar serta air mata berlinang,
"Yo... tolonglah aku...!"
Yoga masih diam dan alihkan pandangan mata kepada orang-orang yang memperhatikannya, la tahu, bahwa ia tak akan bisa meminta waktu untuk mempertimbangkannya beberapa hari. Karena itu, ia harus mempunyai keputusan saat itu juga dalam pertimbangannya untuk bersedia menikah dengan Kembang Mayat atau tidak. Jika tidak, maka Kembang Mayat akan mati di tiang gantungan, jika bersedia menikah, maka ia telah mengkhianati cintanya kepada Lili, si Pendekar Rajawali Putih.
Padahal hati Yoga tidak ingin berkhianat seperti itu. la sangat mencintai Lili dan ingin hidup berumah tangga sepanjang masa. Kalau ia menikah dengan Kembang Mayat, walau hanya siasat, toh itu berarti ia akan menjadi duda jika terjadi perceraian. Dan Lili berarti akan menikah dengan seorang duda, bekas suami orang. Oh, alangkah kasihan nasib Lili jadinya.
"Aku tak punya cinta kepada Kembang Mayat, mengapa aku harus menipu pada diriku sendiri dengan bersedia kawin dengannya? Kalau aku menikah dan segera cerai, itu pun belum tentu bisa. Pasti Kembang Mayat tidak mau diceraikan, itu artinya aku terjerat dengan siasatku sendiri. Lalu, bagaimana dengan Lili? Oh, aku tak tega harus menyakiti hati guru angkatku itu. Aku sangat tak tega."
Karena Yoga diam terlalu lama, maka Pendeta Ganesha pun mengulangi pertanyaannya tadi, "Tuan Pendekar, bersedliakah Tuan menikah dengan calon ratu kami?"
Sukar sekali lidah Yoga untuk digerakkan, la paksakan diri dan akhirnya menjawab, "Aku... tidak bersedia!"
Wwwrrr...!
Suara gemuruh orang begitu banyak bagai jutaan lebah menggaung memenuhi alun-alun. Kembang Mayat sendiri segera berteriak kuat-kuat, "Jahaaat...! Jahaaat kau, Yoga...!" tangisnya kian menjadi.
Yoga menundukkan kepala sambil berkata, "Maafkan aku. Ini menyangkut masa depan keturunanku!"
Mereka yang berkerumun saling berteriak bersahutan, "Gantung! Gantung dia! Persembahkan kepada para dewa! Gantuuung...!"
Pendeta Ganesha kembali angkat tangannya dan semua menjadi diam. Di sela sepi itulah Pendeta Ganesha berseru, "Perempuan ini, ternyata memang harus kita persembahkan kepada para dewa dengan segala kutuk dan sial yang kita kembalikan. Tetapi seperti telah tertulis dalam kitab hukum adat, bahwa setiap korban persembahan mempunyai hak mengajukan satu permintaan terakhir sebelum dipersembahkan. Maka, aku pun akan ajukan pertanyaan kepada calon korban persembahan...,"
Pendeta Ganesha berpaling memandang Kembang Mayat dan bertanya, "Kau punya permintaan apa? Sebutkanlah, kecuali permintaan pengampunan, kami tak bisa kabulkan!"
Dengan geram dan penuh nafsu kebencian, Kembang Mayat berkata, "Kuminta Pendekar Rajawali Merah juga harus dihukum seperti aku! Karena dia telah membunuh beberapa utusan dari negeri ini, berarti telah menghina negeri ini juga! Jika dia tidak jalani hukuman seperti aku, maka akan kukutuk tanah pulau ini dan akan datang bencana setiap hari dari arwahku!"
Semua terperanjat mendengar ucapan Kembang Mayat. Pendeta Ganesha sendiri terbungkam mulutnya. Permintaan terakhir seorang korban persembahan harus dipenuhi. Begitu bunyi tertulis dalam kitab hukum adat. Jika tidak dipenuhi, maka malapetaka akan datang beruntun menimpa rakyat Pulau Kana.
Pendeta Ganesha memandang ke arah Gandaloka. Yang dipandang sendiri tampak cemas dan gelisah. Sedangkan Yoga segera berkata kepada Gandaloka dengan suara pelan,
"Apakah permintaannya akan dikabulkan oleh adat?!"
Gandaloka hanya menjawab, "Maaf, aku tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini!"
Kembang Mayat berseru dengan suara sampai serak, "Ingat, Yoga! Kau sama saja telah menggantungku dengan keputusan ini. Karena itu, kau pun akan kugantung dengan kesempatanku yang terakhir ini! Kita akan sama-sama mati di tiang gantungan!"
Pendeta Ganesha segera berseru kepada petugas di tiang bendera, "Lakukan!"
Genderang berbunyi. Gemuruh suaranya. Tiang bendera ditarik miring oleh dua orang. Satu menarik satunya lagi mendorong. Lalu, terdengar suara gemuruh besar. Tanah merekah terbuka dalam guncangan bagaikan gempa kecil. Begitu tanah terbuka, maka kaki kembang Mayat pun tergantung karena tak punya tempat berpijak. Kembang Mayat akhirnya mati dalam gantungan. Talinya segera diputus dan mayatnya jatuh ke dalam belahan tanah. Kemudian tanah persembahan tertutup lagi.
Orang-orang yang berperawakan tinggi-besar itu masih belum beranjak pergi dari tempatnya. Padahal waktu itu Pendeta Ganesha dari biara tertua sudah mau tinggalkan tempat. Sedangkan masyarakat Pulau Kana itu sedang menunggu pelaksanaan hukuman gantung terhadap diri Pendekar Rajawali Merah, sesuai dengan permintaan korban tadi.
Gandaloka mendekati Pendeta Ganesha dan berkata pelan, "Mereka menunggu keputusanmu, Pendeta!"
Dengan resah, Pendeta Ganesha yang berkepala gundul dan berbadan gemuk besar itu berkata, "Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Aku perlu berunding dengan para tetua negeri ini! Untuk sementara, masukkan dulu Pendekar Rajawali Merah ke dalam penjara."
Yoga mendengar ucapan itu, ia memandang Gandaloka dan Gandaloka serba salah dalam memandang, la sangat gelisah menghadapi tugas tersebut. Akhirnya ia berkata kepada Yoga, "Apa yang harus kulakukan menurutmu?"
"Kerjakan apa tugasmu! Kau seorang perwira, tunjukkan keperwiraanmu di depan rakyat!"
Napas panjang ditariknya dalam-dalam. Gandaloka tampak berat sekali jalankan tugas tersebut. Tapi akhirnya dengan terpaksa ia menuntun Yoga menuju ke penjara. Biasanya prajurit lain yang membawa tawanan, tapi kali ini Gandaloka sendiri yang lakukan, sebagai tanda menghormat kepada Pendekar Rajawali Merah.
Sementara itu, petugas lain segera memberitahukan bahwa Pendeta Ganesha dan para tetua butuh waktu tiga hari untuk berunding menentukan keputusan. Maka, setelah mendengar penjelasan tersebut, mereka pun segera bubar. Suara mereka saling bergaung kembali, masing-masing mempunyai pendapat dan saling berdebat sambil berjalan ke tempat tinggal mereka.
"Aku akan berusaha membelamu. Tapi aku butuh pelajari kembali semua kitab hukum adat!" kata Gandaloka kepada Yoga.
"Terima kasih atas niat baikmu," ucap Yoga sambil masuk ke kamar berjeruji besi, yaitu kamar penjara. "Tapi perlu kau ketahui, Kembang Mayat bukan orang baik. Dia punya perguruan bernama Belalang Liar. Dulu semasa dipimpin oleh neneknya; Nyai Sangkal Pati, perguruan itu dalam keadaan baik. Tapi setelah dipimpin olehnya, perguruan itu menjadi cenderung sesat. Kembang Mayat orang licik, dia pantas menerima kematian seperti itu. Kalau negerimu menuruti permintaan Kembang Mayat, sama saja negerimu menuruti perintah orang sesat! Camkan penjelasanku ini, Gandaloka!"
Orang tinggi-besar yang punya wajah tampan itu menganggukkan kepala dengan rasa prihatinnya, la sendiri yang menutup pintu penjara dan menguncinya. Lalu, dua orang pengawal ditugaskan menjaga di depan penjara itu.
Dengan berat Gandaloka melangkah. Terbayang saat kejadian di Pulau Singa. Kalau waktu itu Yoga tidak berhasil kalahkan Jagora, maka Gandaloka pun pasti akan mati di tangan tdkoh sakti itu. Dengan kemenangan Yoga, berarti Gandaloka telah diselamatkan nyawanya.
Tapi sekarang nyawa Yoga yang terancam. Haruskah Gandaloka diam dan hanya bisa menuruti perintah demi perintah? Atau haruskah ia menentang segala keputusan hukum adat itu, demi membalas hutang nyawanya kepada Yoga?
ENAM
> GANDALOKA segera temui rekannya yang bernama Nayoma, seorang prajurit juga yang kedudukannya lebih rendah dari Gandaloka. la berkata kepada Nayoma, "Aku butuh kitab hukum adat yang asli, yang belum disalin ke bahasa sekarang. Di mana aku bisa dapatkan kitab hukum adat itu?"
"Buyut Supi mempunyainya. Kadang kulihat Pendeta Agung datang ke rumahnya untuk minta saran tentang hukum adat. Tapi, ada apa kau membutuhkan kitab itu?" Nayoma sedikit curiga.
"Untuk kupelajari. Maukah kau meminjamkan kitab hukum adat itu kepada Buyut Supi?"
"Baiklah. Tapi bagaimana dengan tugasku menjaga pura suci?"
"Kuambil alih tugasmu! Biar aku yang menjaga pura, kau pergi ke Buyut Supi untuk meminjam kitab hukum adat!"
Buyut Supi termasuk tetua di Pulau Kana. la lebih menguasai hukum adat karena ia lebih tua dari Pendeta Ganesha. Konon Buyut Supi juga termasuk tokoh tua yang menurunkan beberapa orang Pulau Kana. Sayangnya ia seorang perempuan, sehingga tidak bisa menjadi Pendeta Agung. Hanya orang lelaki yang bisa menjabat sebagai Pendeta Agung dan penasihat raja. Seorang perempuan seperti Buyut Supi hanya bisa menjadi penasihat Pendeta Agung, itu pun jika dibutuhkan.
Gandaloka berharap, dengan mempelajari kitab hukum adat yang asli, mudah-mudahan ia bisa temukan jalan untuk bebaskan Yoga dari hukuman gantung. Sebab, banyak peraturan hukum adat yang dirubah karena disesuaikan dengan zaman dan mempunyai arti yang berbeda dengan aslinya.
Tetapi alangkah terkejutnya Gandaloka melihat Nayoma kembali dengan keadaan berlumur darah. Telinga kirinya dipotong oleh seseorang, dan Nayoma banyak kehabisan darah sehingga jatuh pingsan tepat di depan pura suci, tempat pemujaan itu.
Keadaan Nayoma yang demikian membuat suasana istana menjadi heboh. Para prajurit berkumpul dan saling bertanya-tanya siapa pelakunya. Pendeta Agung Ganesha pun menjadi tegang, sebab menurut adat yang berlaku di Pulau Kana, jika seseorang dipotong daun telinganya itu berarti orang tersebut menjadi utusan untuk sebuah tantangan berperang. Karena itu, Pendeta Agung Ganesha bertanya dalam gumam yang didengar oleh Gandaloka,
"Siapa orang yang menantang perang dengan pihak istana?"
Gandaloka diam, namun hatinya berkecamuk sendiri dan bertanya-tanya, "Mengapa Buyut Supi mengirim pulang Nayoma dengan telinga terpotong?! Apakah Buyut Supi merasa kecewa dengan pihak istana, sehingga ia lakukan unjuk rasa dengan cara memotong telinga Nayoma?"
Sebenarnya Gandaloka ingin katakan kepada Pendeta Agung mengenai Buyut Supi, tapi ia tahan niatnya itu untuk menyelidiki sendiri apa sebab Buyut Supi memotong telinga Nayoma. Ketika Nayoma mulai sadar, Gandaloka punya kesempatan menanyakan tentang hal itu, "Buyut Supi kah yang melakukannya, Nayoma?!"
"Buk... bukan!" jawab Nayoma dengan wajah masih pucat.
"Lalu, siapa yang memotong telingamu?"
Waktu itu, Pendeta Agung Ganesha dan beberapa perwira mengerumuni Nayoma. Pendeta Agung Ganesha mengajukan pertanyaan yang sama, sehingga Nayoma pun menjawab,
"Bersiaplah untuk perang!"
"Apa maksudmu?" tanya Gandaloka. "Jawab dulu, siapa yang memotong daun telingamu, Nayorna?"
"Orang-orang Tanah Sihir!"
"Hahh...?!" Gandaloka dan yang lainnya terkejut. Lalu mereka saling beradu pandang dengan wajah tegang.
"Di... di mana mereka sekarang?" tanya Gunaya, perwira menengah.
"Mereka... mereka sedang turun dari kapal. Jumlahnya... ada dua kapal. Salah seorang telah menyusup masuk kemari. Aku jumpa mereka di pantai, dan mereka memotong telingaku sebagai pernyataan berperang terhadap kita!"
"Apakah Ratu Cendana Wangi juga turut hadir?"
"Ya. Aku lihat Ratu Cendana Wangi di kapal kedua!" ucapan Nayorna terhenti karena Gandaloka menyodorkan obat anti sakit dan secangkir minuman. Nayoma segera menelan obat yang seperti kotoran kambing itu.
Terdengar Pendeta Ganesha berkata, "Petaka itu mulai datang sesuai dengan kutukan korban Kembang Mayat."
Gandaloka menyanggah, "Tidak, Pendeta Agung! Orang-orang Tanah Sihir datang bukan karena adanya kutukan Kembang Mayat, tapi karena maksud tertentu. Pasti mereka punya maksud tertentu. Jauh sebelum Kembang Mayat kita jatuhi hukuman gantung, sudah pasti mereka sedang dalam perjalanan kemari. Karena dari Tanah Sihir ke Pulau Kana memakan waktu pelayaran lebih dari empat hari."
"Yang jelas kita sekarang dalam bahaya!" gumam Pendeta Ganesha.
"Siagakan semua prajurit!" kata Gandaloka kepada Gunaya. "Kerahkan semua prajurit, para pengabdi, rakyat, dan siapa saja untuk pagari istana dan alun-alun dalam siaga tarung!"
"Baik!" jawab Gunaya dengan penuh hormat, ia pun segera pergi diikuti oleh perwira-perwira lainnya.
"Mereka akan masuk kemari pada waktu gelap!" kata Pendeta Ganesha.
"Mengapa begitu?" tanya Gandaloka.
"Kalau benar mereka punya maksud tertentu, pasti tak lain adalah merebut istana ini, dan menguasai pulau ini!"
"Kekuatan kita tidak seimbang, Pendeta Agung. Apalagi kita tidak mempunyai ratu atau pemimpin rakyat!"
"Memang tidak seimbang. Tapi untuk sementara kekuasaan kuambil alih, hanya untuk mengisi kekosongan takhta saja! Apakah kau setuju?"
"Saya setuju! Tapi bagaimana kalau mereka mengincar Pendeta?"
"Aku akan bertarung melawan mereka!"
"Pendeta Agung tidak akan bisa kalahkan kekuatan Ratu Cendana Wangi yang berjuluk Penguasa Alam Sihir!"
"Ya. Memang. Tapi bantulah aku cara mengatasinya, Gandaloka!" kata Pendeta Agung Ganesha, mengakui kelebihan lawannya.
Bagi orang-orang Pulau Kana, nama Ratu Cendana Wangi, si Penguasa Alam Sihir itu, sudah bukan nama asing lagi. Nama itu selalu ditakuti oleh orang-orang Pulau Kana, karena mereka tahu persis kekuatan ilmu sihir Ratu Cendana Wangi sungguh tinggi.
Beberapa tahun yang lalu, Ratu Cendana Wangi pernah mengirimkan tiga utusan ke Pulau Kana untuk memburu musuh mereka. Musuh itu ternyata menjadi raja di Pulau Kana. Raja itulah yang diincar oleh Ratu Cendana Wangi untuk dibunuh karena persoalan pribadi.
Prajurit-prajurit istana mencoba menahan serangan tiga utusan itu, namun mereka gagal. Banyak orang Pulau Kana dan orang istana yang mati karena kekuatan iimu sihir tiga utusan tersebut. Bukan saja ilmu sihir mereka yang tinggi, namun ilmu pedang mereka pun cukup tangguh, sehingga dalam waktu singkat pada saat itu Pulau Kana nyaris kehabisan prajurit. Itu terjadi antara sepuluh tahun yang lalu.
Dan sekarang, Ratu Cendana Wangi sendiri ikut datang dalam rombongan tersebut. Gandaloka dan Pendeta Ganesha bisa bayangkan akan terjadi banyak pertumpahan darah di Pulau Kana. Mayat-mayat kembali berserakan seperti sepuluh tahun yang lalu.
Pulau Kana atau negeri Linggapraja tidak mempunyai orang kuat untuk tandingi Ratu Cendana Wangi. Sebagai prajurit terdepan, Gandaloka harus berani hadapi pertarungan dengan Ratu Cendana Wangi, walaupun ia tahu dirinya akan menderita kekalahan. Itu sudah merupakan tanggung jawab seorang perwira depan. Biasanya dalam keadaan seperti ini Gandaloka didampingi oleh Ayodya dan Loga. Tapi keduanya telah tewas dalam tugas mencari Yoga dulu.
Perkiraan Gandaloka menjadi kenyataan. Dalam waktu singkat ia telah mendengar beberapa prajurit pilihan gugur melawan Sawung Gala, pengawalnya Ratu Cendana Wangi. Gunaya sendiri pulang dengan kedua tangannya buntung, la menghadap Gandaloka dalam keadaan bertahan untuk tidak jatuh pingsan. Gandaloka terperanjat tegang melihat Gunaya pulang tanpa kedua tangan.
"Mereka semakin menyergap ke istana. Agaknya yang jadi sasaran utama adalah istana! Mereka ingin bertemu dengan penguasa kita, terutama ingin berhadapan dengan Pendeta Agung Ganesha!" tutur Gunaya dengan terengah-engah.
"Berapa pendamping Ratu Cendana Wangi?"
"Empat orang; Sawung Gala, Naga Berang, Garu Tulang, dan Putra Iblis, yang memotong kedua tangan ku dengan sebatang ilalang."
"Dengan sebatang ilalang?!" gumam Gandaloka makin cemas, la menatap Pendeta Agung Ganesha. Orang tua berjenggot putih panjang itu diam saja menahan kecemasan juga. Beberapa saat kemudian, Gandaloka berkata kepada seorang perwira menengah yang mendampingi Gunaya, bernama Narasoma, "Tarik mereka yang ke pantai, perketat penjagaan sekeliling istana. Beri tahu padaku perkembangan setiap beberapa waktu."
"Baik! Saya kerjakan!" jawab Narasoma masih tetap tegas, la bertubuh lebih tinggi dari Gandaloka dan berbadan kekar.
Ketika Gandaloka berdiri di serambi istana bersama Pendeta Agung Ganesha, Gandaloka sempat berkata, "Pendeta, saya butuh pendamping yang kuat! Saya akan hadapi sendiri Ratu Cendana Wangi itu!"
"Apakah kau punya pilihan pendamping yang kuat?"
"Ya. Saya punya calon pendamping sendiri."
"Siapa?"
"Pendekar Rajawali Merah!"
Pendeta Agung Ganesha terkejut. "Dia tawanan kita!"
"Percayalah, Pendeta... kalau dia mau berontak, sekarang juga Pulau Kana ini bisa dijungkir-balikkan dengan mudah, Pendeta!"
Mata Pendeta Agung Ganesha terkesiap mendengar ucapan Gandaloka. Sebelum orang tua itu berkata, Gandaloka sudah lebih dulu berucap,
"Saya pernah lihat sendiri jurus-jurus pedangnya yang dahsyat itu, Pendeta! Tidak ada orang kita yang memiliki jurus pedang sedahsyat jurusnya. Ilmu tenaga dalamnya pun cukup tinggi, la mengobati luka Asoma dengan usapan telapak tangan, dan luka itu lenyap dalam sekejap. Dia melawan Jagora yang berilmu tinggi itu dengan hanya gunakan satu jurus. Dan pedangnya itu, Pendeta... jika dipegang orang lain, maka pedang itu akan menusuk orang itu sendiri atau menggorok leher orang tersebut!"
Pendeta Agung Ganesha berkerut dahi memikirkan apa yang dikatakan Gandaloka itu. Pada saat itu, seorang prajurit yang menjadi bawahan Narasoma datang menghadap dengan terengah-engah dan berkata,
"Mereka mulai mendekati istana!"
"Tak ada yang bisa menahan mereka?"
"Tidak ada, Perwira! Mereka bergerak bagaikan angin cepatnya!"
"Suruh Narasoma hadang mereka di pintu gerbang."
"Narasoma... telah tewas, Perwira!"
"Gila!" Gandaloka terperanjat bagaikan mimpi mendengar kabar itu. Baru saja ia beri tugas kepada Narasoma, baru saja orang itu berangkat, tahu-tahu sudah dapat kabar bahwa Narasoma telah tewas.
Pendeta Agung Ganesha segera berkata kepada prajurit itu, "Buka pagar betis istana! Jangan halangi mereka. Biarkan masuk menemuiku!"
"Apa maksud Pendeta?" Gandaloka menjadi tambah tegang.
"Jangan timbulkan korban lagi. Jangan buat prajurit sebagai benteng perlindungan kita. Biarkan dia bicara padaku mengutarakan apa maunya! Jika ia kehendaki nyawaku, aku akan berikan dengan pertarungan sampai mati!"
"Mereka harus hadapi saya dulu sebelum bertarung melawan Pendeta!"
"Lakukanlah kalau itu kau anggap baik!" jawab Pendeta Agung Ganesha. "Aku mendampingimu di belakang!"
Gandaloka segera berkata kepada prajurit itu, "Kerjakan apa yang dikatakan Pendeta Agung tadi. Buka pintu gerbang selebar-lebarnya!"
Setelah bicara demikian, Gandaloka sendiri melompat pergi ke sebuah kamar. Saat keluar ia sudah menyandang pedang di punggungnya, pertanda siap hadapi lawan kapan saja. la kembali dekati Pendeta Agung Ganesha. Tapi pada saat itu sang Pendeta sedang memejamkan mata dan mulutnya bergerak-gerak membacakan sebaris doa sambil pegangi tasbih putih sebesar kelereng.
Gandaloka tak berani ajak bicara, tapi matanya memandang sekeliling dengan tegas dan tajam, la berdiri di pertengahan serambi depan istana, di mana pintu gerbang terletak lurus di depannya dalam jarak lebih dari dua puluh lima tombak. Seakan ia siap menghadapi tamu-tamu ganas yang sebentar lagi pasti datang menemuinya.
Rupanya Nayoma yang kehilangan satu telinga itu ikut tampil juga dalam pertahanan di pintu gerbang. Ketika ia mendengar kabar tentang dibukanya pagar betis istana, Nayoma segera memerintahkan beberapa prajurit untuk mendampingi Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka segera berjajar di kanan-kiri Gandaloka pada tangga serambi paling bawah. Sedangkan sepuluh orang prajurit pemanah siap di belakang Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka sudah merentangkan busur dan siap lepaskan anak panah sewaktu-waktu musuh datang.
Tetapi Gandaloka segera menengok ke belakang dan berkata kepada mereka, "Turunkan panah! Siaga saja!"
Maka mereka pun menurunkan panah. Tapi anak panah masih menempel di tali busur yang ada di bawah, dalam satu genggaman tangan. Mereka menunggu perintah untuk angkat panah masing-masing. Lalu, beberapa saat kemudian, tampaklah Ratu Cendana Wangi memasuki pintu gerbang istana dengan didampingi empat orang pengawal kuatnya di kanan-kirinya. Dari kejauhan bau wangi cendana telah tercium oleh Gandaloka dan yang lainnya, sehingga mereka pun mulai bersiap siaga lakukan gerakan tiba-tiba.
Sebenarnya perempuan itu sudah berusia sebaya dengan Buyut Supi. Tapi karena punya ilmu tinggi, ia bisa bertahan untuk tetap muda dan cantik, menggairahkan tiap lelaki, la mengenakan pakaian hijau muda dengan perhiasan emas permata yang lengkap. Di rambutnya yang terurai lepas sepanjang punggung itu, mengenakan mahkota kecil setengah lingkaran dengan batu merah memancar berkilauan di bagian tengahnya. Ratu Cendana Wangi menggenggam sebatang tongkat dilapisi emas, yang mempunyai bagian kepala tongkat berupa bola baja berduri warna hitam.
la dan keempat pengawalnya berhenti di pelataran istana. Matanya yang lebar namun berbentuk indah dalam kesan ganas itu, memandang Gandaloka tak berkedip. Sementara itu, keempat pengawalnya semua bermata dingin dan bertampang angker.
"Mana rajamu?!" ucap Ratu Cendana Wangi dengan ketus dan tajam.
"Tidak ada!" jawab Gandaloka.
Lalu, Pendeta Ganesha menimpali, "Akulah yang mewakili raja ataupun ratu di sini!"
Ratu Cendana Wangi tersenyum. Manis sekali senyumannya itu sebenarnya. Sangat memikat hati. Tapi karena Gandaloka tahu perempuan itu jahat, Gandaloka menjadi kurang tertarik dengan perempuan tersebut. Sekalipun ia dipandangi beberapa saat, tapi Gandaloka bagaikan tidak mau berikan senyum sedikit pun kepada Ratu Cendana Wangi.
Kejap berikutnya, Ratu Cendana Wangi mendekati Gandaloka, keempat pengawalnya hanya melangkah tiga tindak lalu berhenti. Kini jarak Ratu Cendana Wangi dengan Gandaloka hanya dua langkah. Semakin lebar ia memandang Gandaloka dalam keadaan sedikit mendongak, karena Gandaloka bertubuh lebih tinggi darinya.
"Tampan sekali kau! Apa kedudukanmu di istana ini?!"
"Perwira istana!" jawab Gandaloka dengan tegas.
"Bagus sekali! Aku yakin usiamu masih muda, masih penuh semangat dalam beberapa hal! Dan aku yakin kau belum beristri juga belum punya kekasih, bahkan belum pernah tidur dengan perempuan! Kau masih hijau, Perwira. Tapi kau akan menjadi matang jika sudah beberapa saat bersamaku!" senyum itu kian melebar. "Siapa namamu?"
"Gandaloka!"
"Nama yang bagus, sesuai dengan paras wajahmu!"
Pendeta Ganesha menyahut, "Bicaralah padaku, Cendana Wangi! Akulah wakil penguasa tanah ini!"
"Kau tidak berhak mengaturku, Botak!" bentak Ratu Cendana Wangi. Matanya mendelik menampakkan keganasannya.
Salah seorang prajurit merasa tersinggung, pendeta yang dihormati selama ini hanya dibentak-bentak oleh orang asing. Prajurit itu segera melemparkan tombak ke arah Ratu Cendana Wangi. Tetapi tombak itu tiba-tiba berhenti di pertengahan jarak, lalu berbalik arah dan melesat dengan cepat menghujam dada orang yang melemparkannya.
Jruub...!
Gandaloka menahan diri untuk tidak lepaskan amarah sembarangan. Sekalipun ia sakit hati melihat anak buahnya yang keroco dibunuh dengan kekuatan sihir, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Karena Pendeta Agung Ganesha pun kelihatan tetap tenang walau dibentak dan dihina dengan sebutan 'botak' tadi.
"Apa tujuanmu kemari sebenarnya, Cendana Wangi!"
"Beginikah caramu menerima tamu? Membiarkan tamu di luar tanpa menyuruhnya masuk?" hardik Ratu Cendana Wangi sambil dekati Pendeta Ganesha.
"Sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu membuat keonaran di wilayah kami, kami tidak izinkan kau masuk ke istana! Katakan dulu apa yang kau harapkan dari kedatanganmu, nanti kami akan bicarakan di dalam!"
"Seharusnya aku yang mengaturmu! Bukan kau yang mengatur aku! Karena akulah yang berhak memiliki Pulau Kana ini! Akulah yang berhak berkuasa atas pulau ini!"
"Dari mana alasanmu bisa berkata begitu?"
"Aku keturunan dari Eyang Dewi Ambar Ayu. Beliau adalah orang pertama yang mendiami pulau ini sendirian, karena dibuang oleh pihak keluarganya, yaitu Raja Johor! Lalu beliau beranak-cucu di sini, dan sampai melahirkan diriku sebagai keturunan yang kesekian silsilah! Jadi akulah yang berhak menjadi penguasa di Pulau Kana!"
"Jika kau keturunan nenek moyang Pulau Kana, pasti tubuhmu sebesar kami, Cendana Wangi! Ternyata tubuhmu kecil, seperti manusia biasa! Kurasa kau hanya mengaku-aku saja sebagai keturunan nenek moyang Pulau Kana!"
"Perkawinan silang memungkinkan aku berketurunan seperti ini. Tapi kakek buyutku adalah orang tinggi-besar seperti kalian!"
"Baiklah," Pendeta Ganesha sedikit mengalah. "Jadi, itu persoalannya? Kau menuntut hak untuk menjadi penguasa di Pulau Kana ini?"
"Bukan hanya itu saja! Yang paling utama aku datang kemari adalah untuk mengambil sebuah kitab pusaka warisan nenek moyangku! Akulah yang berhak menerima kitab pusaka tersebut!"
"Kitab pusaka apa?!" Pendeta Ganesha berkerut dahi.
"Kitab Jagat Sakti!" jawab Ratu Cendana Wangi.
Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling pandang dengan dahi berkerut. Mereka sepertinya merasa asing mendengar nama kitab tersebut. Lalu, Pendeta Ganesha berkata, "Di sini tidak ada Kitab Jagat Sakti! Aku bahkan baru sekarang mendengar ada kitab seperti itu."
"Omong kosong kau, Pendeta Ganesha! Bukankah letak Sumur Perut Setan ada di Pulau Kana ini?! Pasti kitab itu pun ada di sini."
Sekali lagi Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling beradu pandang dengan dahi berkerut. Lalu, Gandaloka menyahut kata, "Sumur Perut Setan hanya ada dalam dongeng!"
"Ya. Karena kau masih hijau, jadi kau masih terngiang dongeng-dongeng dari ibumu, Nak! Tapi sebenarnya Ganesha pasti tahu, bahwa Sumur Perut Setan itu ada di sini!"
"Aku tidak tahu! Aku juga anggap itu hanya dongeng belaka!"
"Omong kosong! Kau pasti tahu di mana letaknya Sumur Perut Setan itu! Jika kau tak mau sebutkan letaknya, jika kau tak mau biarkan aku mengambil Kitab Jagat Sakti, dan jika kau tak mau serahkan pulau ini ke tanganku, akan kubuat rakyatmu seperti ini...."
Claaap...!
Seberkas sinar putih menyebar dari tangan Ratu Cendana Wangi. Sinar itu menerpa para prajurit yang ada di alun-alun, dan mereka berubah menjadi patung batu semua.
TUJUH
MEMANG para orang tua sering mendongeng tentang kisah Sumur Perut Setan. Tetapi sumur itu sendiri sebenarnya memang ada. Letaknya di kaki Bukit Seroja, dekat dengan Candi Langu. Dan pada saat itu, dua anak manusia terperosok masuk ke dalamnya. Mereka adalah Lili, Pendekar Rajawali Putih itu, dan Wisnu Patra yang juga dijuluki Dewa Tampan (Baca episode : "Mempelai Liang Kubur"). Dan sampai sekarang kedua orang itu belum bisa keluar dari Sumur Perut setan.
Konon, menurut dongeng para orang tua zaman dulu, siapa saja yang masuk ke dalam sumur berdinding cahaya merah beracun itu tidak akan bisa keluar dari sana, karena sumur itu memang mempunyai lorong semacam gua panjang, tetapi tidak mempunyai jalan keluar. Di samping itu, sumur tersebut juga dihuni manusia raksasa yang dikenal dalam dongeng bernama Betara Kala. la adalah manusia raksasa pemakan daging manusia.
Benar dan tidaknya dongeng tersebut, hanya Lili dan Wisnu Patra yang dapat membuktikannya. Karena sampai beberapa hari mereka menyusuri lorong gua tersebut, namun mereka belum temukan jalan keluar. Mereka hanya temukan tanaman sejenis rumput di tepian dinding gua yang memancarkan cahaya biru bening. Lili tertarik untuk memetik tanaman itu, tapi tangannya segera ditarik oleh Wisnu Patra.
"Jangan! Sudah kubilang, jangan gegabah di dalam gua ini! Kau bisa mati terkena racun!"
"Apakah semua yang ada di sini serba beracun?I" Lili agak cemberut.
"Dalam dongeng disebutkan, lorong ini disebut Sumur Perut Setan, karena berisi banyak racun yang mematikan!"
"Ah, dongeng, dongeng, dongeng...!" Lili bersungut-sungut. "Sejak pertama masuk kemari kau hanya bicara tentang dongeng! Kita benar-benar menghadapi kehidupan nyata, bukan berada di negeri dongeng!"
Pemuda tampan itu tersenyum sabar, la masih memegangi tangan Lili di luar kesadarannya. Lili menjadi melirik tangannya yang dipegangi Wisnu Patra, lalu pemuda itu tersipu-sipu sambil melepaskannya. Pendekar Rajawali Putih melangkah lebih dulu, sementara Wisnu Patra memandangi tanaman biru sambil berkata dalam hati,
"Tanaman itu memang menggiurkan. Membuat perutku terasa lapar. Tapi benarkah tanaman itu beracun?"
Tiba-tiba terdengar suara Lili memekik kaget. "Aaauh...!"
Wisnu Patra tersentak dan cepat hampiri Lili yang melangkah mundur. Rupanya gadis yang cantiknya melebihi bidadari dan mengenakan pakaian merah jambu itu melihat seekor kelelawar berukuran besar sedang hinggap di dinding bercahaya merah itu. Kelelawar tersebut pun tersentak kaget dan terbang berkeliling karena suara pekikan Pendekar Rajawali Putih..
"Awas...! Jangan sampai tersambar kelelawar setan itu!" kata Wisnu Patra sambil menarik tubuh Lili, menyembunyikan di belakangnya. Mata Wisnu Patra memandang gerakan kelelawar aneh yang punya raut muka seperti wajah manusia tapi bertelinga panjang. Sayapnya mengepak-ngepak timbulkan hembusan angin kencang. Binatang itu berukuran sebesar seekor kepiting yang bersayap lebar warna hitam. Kakinya tampak kekar dan bercakar runcing.
Sreet...! Wisnu Patra segera mencabut pedang perunggunya. Pendekar Rajawali Putih bertanya, “Mau kau apakan binatang itu?"
"Bunuh! Kalau tidak dia akan membunuh kita dari belakang."
"Dia tidak menyerang kita!"
"Dia tampak ganas, tapi tak berani berhadap-hadapan dengan kita! Dia pasti menunggu kesempatan menyerang pada saat kita lengah!"
"Kiaaak...! Kiiaaak...!"
Kelelawar aneh itu seakan mendengar ucapan Wisnu Patra. Maka, serta-merta ia menyerang dengan gerakan cepat. Matanya yang mirip mata bayi itu memancarkan sinar merah membara yang hampir mengenai kepala Wisnu Patra dan Lili. Untung keduanya sigap dan lekas tundukkan kepala. Sinar merah dari mata kelelawar itu menghantam dinding gua, dan dinding tersebut segera berguguran dengan timbulkan suara ledakan kecil.
Daar...! Wuuut...!
Pedang perunggu itu pun berkelebat menebas bagian atas, karena kelelawar itu melintas di atas kepala Wisnu Patra. Tebasan itu meleset. Kelelawar lor sebut bagaikan pandai menghindar, dan ia terbang ke belakang mereka berdua.
"Hati-hati dia bukan kelelawar sembarangan!" ucap Lili dengan segera berbalik badan. Pada saat itu, ternyata kelelawar tersebut sudah berbalik arah dan kini sedang menuju ke arah Lili.
Wisnu Patra segera berteriak, "Jongkok!"
Pendekar Rajawali Putih segera rendahkan tubuh. Wisnu Patra yang berdiri di belakangnya menjadi sasaran kelelawar berikutnya. Tetapi, ia sudah siap dengan pedangnya, sehingga begitu kelelawar tersebut melesat di depannya, Wisnu Patra tebaskan pedang dengan gerakan cepat.
Wuuut...! Craaass...!
"Kiiaaak...!"
Kelelawar itu memekik lengking, suaranya menggema, la jatuh ke tanah dalam keadaan terpotong menjadi dua bagian. Sayapnya yang kiri ikut bagian kepala, yang kanan ikut bagian tubuh. Kelelawar itu masih belum pejamkan mata dan berusaha untuk bergerak terbang.
Claap...! Pendekar Rajawali Putih lepaskan pukulan sinar putih peraknya dan menghantam kepala kelelawar tersebut. Praass...! Kepala binatang aneh itu pun pecah dan tak berkutik lagi.
"Menurut dongeng, ada berapa ekor kelelawar seperti itu di sini?!" tanya Lili dengan menyindir.
Wisnu Patra hanya menghempaskan napas. "Kita jalan lagi! Jangan hiraukan kelelawar itu!"
"Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?" Lili berlari menyusul Wisnu Patra yang melangkah lebih dulu. Agaknya penasaran dan kembali bertanya, "Hei, kenapa kau tidak menjawabnya?"
"Dalam dongeng aku tidak pernah mendengar kelelawar aneh itu!"
"O, berarti dongeng nenekmu itu belum lengkap."
Wisnu Patra sedikit dongkol, tapi ia kembali melangkah dan menyusuri lorong gua itu untuk mencari kemungkinan jalan keluar. Lili ikut di belakangnya sambil matanya memandang ke kanan kiri, memperhatikan tanaman bercahaya biru yang indah dan menarik selera untuk dimakan. Perut Lili pun terasa lapar begitu tadi melihat tanaman biru tersebut.
Tetapi hati kecilnya segera berkata, bahwa tanaman itu memang beracun dan mempunyai daya tarik yang amat tinggi. Orang yang kelaparan pasti akan memakan tanaman itu. Dan entah apa jadinya jika seseorang makan tanaman tersebut.
Yang jelas, tak berapa jauh mereka melangkah, mereka menemukan kerangka manusia tergeletak di dekat tanaman biru itu. Langkah mereka pun terhenti, mata mereka mulai memandangi kerangka manusia yang sudah keropos itu. Agaknya kerangka tersebut sudah berusia puluhan tahun berada di lorong bercahaya merah bara itu.
"Apakah penyebab kematiannya karena makan tanaman beracun itu?" tanya Lili kepada Wisnu Patra.
"Mungkin saja. Tadi kalau kau tidak kucegah, kau akan menjadi seperti kerangka ini!"
"Tapi mengapa letak tulangnya berserakan? Mestinya letak tulangnya sesuai dengan susunan tulang manusia. Jika ia mati karena makan tanaman biru itu, pasti dia akan mati di tempat dan tulangnya tidak akan terpisah ke mana-mana. Perhatikanlah tulang lengannya, terpisah jauh dengan bagian tengkorak kepalanya, bukan?!"
Wisnu Patra terdiam, membenarkan pendapat Lili. la pelajari letak susunan tulang itu. Namun belum sampai ia temukan kesimpulan yang pasti, tiba-tiba sudah terdengar suara menggeram yang bernada besar. Suara menggeram itu membentuk satu nada gemuruh yang membuat dinding dan lantai gua bergetar.
Wisnu Patra segera menatap ke arah lorong yang akan dilewati nanti. Kemudian ia memandang Pendekar Rajawali Putih. Gadis cantik itu hanya memandang dingin ke arah lorong yang akan dilewati nanti. Lalu, ia bergumam pelan,
"Sesuatu menunggu kita di depan sana."
"Kematian atau kehidupan?"
"Kematian dan kehidupan," jawab Lili. "Hanya saja, siapa yang mati dan siapa yang hidup, itu belum pasti!"
"Jadi, kau mau terus melangkah atau kembali ke tempat asal?"
"Kembali ke mana? Apakah kita punya tempat asal jika atap lorong itu telah tertutup rapat dan tak bisa didaki?"
Wisnu Patra diam beberapa saat, ia kembali memandangi kerangka manusia yang berserakan. Lalu, ia bertanya kepada Lili, "Menurutmu suara apa tadi?"
"Makhluk hidup."
"Manusia atau binatang?"
"Binatang!"
"Bukan!" tiba-tiba Wisnu Patra menjawab tanpa perhatikan Lili, tapi memandang ke tanah sekitar kerangka manusia itu. "Kurasa dia manusia! Dia yang bernama Betara Kala itu!"
"Dari mana kau tahu?"
"Kerangka ini adalah korban yang habis dimakan Betara Kala!"
"Apa alasanmu berkeyakinan begitu?"
"Lihat tanah ini... ada tapak kaki lebar sampai ke sebelah sana!"
Pendekar Rajawali Putih memperhatikan tanah yang ditunjuk Wisnu Patra. Ternyata memang benar. Ada telapak kaki manusia tapi berukuran lebar. Kira-kira lima kali ukuran telapak kaki Lili. Bekas telapak kaki itu cekung agak dalam, menandakan cukup berat beban yang diterima oleh tanah tersebut.
"Kalau begitu, sebagian dongeng yang kau dengar itu memang benar. Ada manusia raksasa yang lebih besar dari orang-orang Pulau Kana itu! Entah berapa orang jumlahnya yang mendiami gua ini!"
"Mudah-mudahan Betara Kala tidak beranak-cucu," kata si Dewa Tampan, seperti bicara pada diri sendiri, la bangkit dan segera melangkah pelan-pelan menuju jalan berikutnya. Lili masih ada di belakangnya dan melompat-lompat karena jalanan tak rata.
Suara gemuruh itu makin lama makin jelas terdengar, bertambah jauh melangkah bertambah nyata gerakan tanah yang bergetar. Wisnu Patra berhenti melangkah, tapi Lili tetap melangkah terus. Tangan Lili tiba-tiba ditahan oleh Wisnu Patra. Wajah pemuda itu tampak gelisah ketika beradu pandang dengan Lili. Sedangkan Lili tetap kelihatan tenang.
"Ada apa?"
"Kita mendekati pusat kehidupan Betara Kala," bisik Wisnu Patra.
"Kita memang sedang mencarinya, bukan?!"
"Ah, kau gila, Lili! Dia itu lebih berbahaya dari seribu orang-orang Pulau Kana!"
"Buatku orang Pulau Kana tidak ada yang berbahaya!" kata Pendekar Rajawali Putih. "Kita jalan lagi. Kita hadapi dia kalau memang dia tidak bisa dijinakkan dengan kata-kata. Mungkin kita memang terpaksa menjinakkan dia dengan pedang!"
Lili langsung melangkah kembali. Wisnu Patra geleng-geleng kepala memandangi Lili, menyimpan rasa kagum terhadap keberanian gadis cantik itu. Maka, Wisnu Patra pun segera bergegas menyusul Lili, sebab ia merasa sayang kalau sampai gadis cantik berkulit putih itu terluka atau tergores kulitnya oleh sesuatu hal apa pun bentuknya, la tak ingin Lili celaka, namun la merasa cemas membayangkan dongeng tentang keganasan Betara Kala.
"Gggrrr...!" terdengar suara mengerang besar dan menggema. Tanah kembali berguncang. Wisnu Patra segera tahan pundak Lili.
"Dia telah mencium bau kita!" bisik Wisnu Patra.
"Mungkin dia mencium kepucatan wajahmu," kata Pendekar Rajawali Putih sambil tersenyum. Hati Wisnu Patra gundah, antara takut dan berdebar indah melihat senyuman gadis itu.
"Lili, jujur saja, aku khawatir akan keselamatanmu!"
"Berarti kau akan melindungi aku. Jalanlah paling depan, Wisnu!"
"Aku... aku... aku sendiri juga mengkhawatirkan keselamatanku."
"Kalau begitu, kita maju bersama saja!"
Wisnu Patra semakin tampak keluarkan keringat dingin, la menelan ludahnya sendiri dengan gelisah, lalu berkata, "Baiklah. Kita maju bersama. Tapi... tapi sebelum kita mengalami peristiwa yang paling buruk, maukah kau mendengarkan kata-kataku yang terakhir kalinya?"
"Tentang dongeng itu?"
"Bukan. Tapi... tapi tentang hatiku."
Dengan sikap tenang, seakan tidak merasakan apa-apa, Lili memandang Wisnu Patra sambil dahinya dikerutkan. "Ada apa dengan hatimu?"
"Aku... kagum padamu, Lili."
Senyum Lili mengembang, hati Wisnu Patra berdebar keras. Lili berkata dengan nada pelan, "Terima kasih atas kekagumanmu. Aku pun kagum padamu."
"O, ya?! Apa yang membuatmu kagum padaku?"
"Kau tampan, tapi pengecut!" Lili tertawa lepas.
Wisnu Patra menjadi salah tingkah. Suara geram terdengar lagi. Kali ini diiringi gemuruh bagaikan bebatuan runtuh dari langit. Suara gemuruh itu ada di jalanan depan sana. Wisnu Patra bertambah tegang.
"Lili, dulu... dulu aku memang ingin membunuhmu karena aku dijodohkan oleh ibuku untuk kawin dengan murid temannya, yaitu kau. Tapi... sekarang yang ada dalam hatiku hanya rasa ingin memiliki kamu, Lili Aku aku menyimpan cinta terhadap dirimu."
Lili tersenyum kikuk mendengar ucapan itu. la salah tingkah dalam memandang. Bahkan ingin bicara pun sulit jadinya. Wisnu Patra kembali berkata,
"Kalau... kalau bukan karena aku mau mati dimakan Betara Kala nanti, aku tidak akan utarakan isi hatiku ini. Tapi karena aku tahu, aku nanti akan mati jika bertemu Betara Kala, maka kusempatkan mengungkapkan isi hatiku padamu. Aku tak butuh jawabanmu, aku hanya butuh agar kau mau percaya dengan kata-kataku tadi!"
"Aku percaya," jawab Lili. "Tapi... percayalah, kau tak akan mati di tangan Betara Kala, Wisnu!" ucapan Lili kali ini begitu lembut, seakan sangat menyentuh hati Wisnu Patra.
"Mengapa kau yakin aku tak akan mati?"
"Karena tak kuizinkan manusia raksasa itu menyentuh kulitmu, Wisnu! Sedikit pun tak akan kuizinkan!"
"Mengapa begitu?" pancing Wisnu Patra.
"Karena...,'' Lili diam sebentar, menatap Wisnu Patra, kemudian menunduk, berpikir sebentar, lalu memandang Wisnu Patra lagi dan menjawab dengan suara lembut, "Karena kau adalah sahabatku!"
"Hanya sebatas sahabat?"
"Kurasa begitu."
"Tidakkah... tidakkah kau mencintaiku, Lili?"
"Seseorang telah memiliki hatiku, dan seseorang telah mengisi hatiku juga."
"Siapa orang itu?"
"Muridku sendiri. Yoga!"
Rona kecewa terbentang jelas di wajah Wisnu Patra. la mengangguk-angguk sambil menarik napas. Lili tahu, Wisnu Patra sembunyikan rasa kecewanya. Sebab itu, Lili berkata,
"Jangan buru-buru kecewa! Jodoh ada di tangan Yang Maha Kuasa. Manusia hanya boleh merencanakan dan mengidam-idamkan saja."
Wajah kecewa itu segera pudar dan berganti sinar semangat yang mulai membias, sambil Wisnu Patra perdengarkan suaranya, "Ya. Benar. Jodoh ada di tangan Yang Maha Kuasa. Mari kita teruskan langkah kita!"
Mereka kembali melangkah. Jalanan terasa semakin lebar dengan dinding masih memancarkan cahaya merah bara. Atap lorong itu bertambah tinggi hingga tiap gerakan kaki mereka terdengar menggema lirih. Udaranya pun semakin sejuk, dan bau amis mulai tercium.
'Ggrrr...!" suara erangan besar terdengar. Pada waktu itu mereka hampir tiba di tikungan jalan lorong. Langkah mereka terhenti sejenak. Tangan Wisnu Patra semakin erat menggenggam tangan Lili. Gadis cantik itu membiarkannya, walau ia rasakan betul tangan pemuda tampan itu dingin sekali. Seperti balok es yang belum mencair.
Lili mengangguk, itu pertanda ia mengajak teruskan langkah. Wisnu Patra pun akhirnya melangkah kembali sampai mereka membelok di jalanan menikung itu. Ternyata di balik tikungan jalan tersebut, ada ruangan yang amat luas beratap tinggi, lebar sekali dalam keadaan memanjang lurus. Tanahnya datar dan di sana banyak tulang-belulang manusia. Tulang-tulang itu berserakan di sana-sini. Mereka mengikuti serakan tulang tersebut, ternyata sampai jauh sepanjang ruangan yang lebar dan luas itu.
Tiba-tiba Wisnu Patra menahan gerakan langkah Lili. Gadis itu pun berhenti dengan mata memandang ke depan. Wajah Wisnu Patra sangat tegang, sementara Lili hanya bersikap penuh waspada, la minta dilepaskan genggaman tangannya, la berbisik lirih,
"Gundukan yang ada di depan sana itu bukan seperti tanah biasa!"
Wisnu Patra menjawab, "Benar. Itulah sebabnya kutahan langkahmu. Gundukan itu adalah punggung manusia raksasa."
"Betara Kala kah dia?"
"Pasti. Tapi agaknya ia sedang tertidur. Atau mungkin hanya rebahan saja. Lihat tulang-tulang di sekitarnya. Itulah sisa makanan Betara Kala! Mungkin kita nanti akan menjadi satu dengan tulang-tulang itu."
"Mungkin iya, mungkin tidak! Yang jelas, aku tidak ingin menjadi mangsanya...," setelah berkata begitu, Lili melangkah maju sendirian.
"Hei, mau ke mana kau?!" Wisnu Patra berseru tapi suaranya membisik.
Lili tidak pedulikan seruan itu. la justru setengah berlari kecil menghampiri ke arah gundukan yang mirip tanah itu. la memungut tengkorak kepala manusia, lalu melemparkan ke arah gundukan tersebut.
Praaak...! Tengkorak kepala manusia itu jatuh ditumpukan tulang.
Wisnu Patra terbelalak kaget melihat tindakan Lili. la berkata dalam suara gumam gemetar, "Gila gadis itu! Dia malahan membangunkan raksasa yang sedang tidur! Cari mampus saja itu orang!"
Praaak...!
Suara itu terdengar lagi, dan kali ini geram suara makhluk besar terdengar. Keras dan menggema besar, menggetarkan dinding dan lantai ruangan tersebut. Bluuhg...! Rupanya raksasa besar itu berbalik arah, semula memunggungi Lili, sekarang menghadap ke arah Lili. Tetapi gadis itu memang punya keberanian yang luar biasa, la justru berteriak keras,
"Hoaaaiii...!"
"Gggrrr...!" Makhluk besar itu pun akhirnya bangkit. Matanya yang besar membuka lebar, la berdiri dan membuat beberapa dinding bergetar keras. Wajahnya kelihatan amat menyeramkan. Mulutnya lebar, lubang hidungnya pun lebar, la tidak mempunyai rambut. Kulit tubuhnya seperti tanah cadas.
Ketika ia menyeringai karena melihat kehadiran manusia, giginya tampak sebesar mata kapak. Tubuhnya yang tinggi itu membuat Lili memandang dengan wajah tengadah. Lalu, Lili pun melihat kedua tangan besar bergerak diangkat ke atas, dan raksasa yang bernama Betara Kala itu mulai melangkah mendekati Lili.
Jleg...! Jleg...! Jleg...!
Gua itu bagai mau runtuh karena guncangannya cukup keras. Wisnu Patra menjadi lemas. Mau berteriak pun tak mampu. Napasnya terasa sesak karena dadanya bagai ikut bergetar terhentak-hentak ketika kaki. Betara Kala itu melangkah.
Saat orang besar itu berhenti, terdengar suaranya berkata dengan nada besar pula, "Hhrrr... berani betul kau mengganggu istirahatku. Bocah Ayu! Apa maumu, hah...?!"
Dengan lantang Lili berkata, "Aku terperosok ke Sumur Perut Setan ini! Aku ingin keluar dari sini!"
"Huah, ha, ha, ha, hah...!"
Lili terpental ketika Betara Kala tertawa, la berguling-guling sampai di dekat Wisnu Patra yang tak mampu lagi untuk berdiri itu. Pada waktu itu, Wisnu Patra mendekap telinganya sambil mendekam di dekat gundukan tulang manusia. Wajahnya pucat pasi dan berkeringat, la ingin membantu Lili untuk bangkit, tapi ia sendiri tak mampu gerakkan kaki dan tangannya, la hanya bisa pejamkan mata sesaat ketika Lili terpelanting jatuh di dekatnya, akibat limbung dalam berdirinya.
"Kalau aku tahu jalan keluarnya aku pasti sudah keluar dari sini, Bocah Ayu!" terdengar suara Betara Kala menggema lagi.
Lili menegakkan berdirinya dan maju lebih dekat lagi. la berseru, "Kau pasti tahu! Kau tidak mau keluar dari tempat ini, karena kau takut mati dibunuh musuhmu, entah siapa! Aku tahu, kau di sini bersembunyi karena takut mati, atau karena menunggu kematianmu tiba!"
"Huah, hah, hah, hah, hah...!"
Pendekar Rajawali Putih kembali berjumpalitan lagi. Tawa itu selain hadirkan angin kencang juga keluarkan getaran gelombang yang menghentak bagai ingin menjebol dada. Pendekar Rajawali Putih hampir saja menyentuh dinding yang bercahaya merah bara itu. la buru-buru berguling menjauh.
Kemudian ditarik napasnya dalam-dalam dan pejamkan mata sebentar dengan sikap satu kaki berlutut yang satunya menapak di tanah. Tangannya bergerak ke samping dan meliuk sebentar dt depan wajah, kemudian ia pun segera bangkit berdiri dan melangkah di tempatnya tadi.
"Bocah Ayu...! Kau memaksaku untuk marah padamu, hah...?! Kukatakan di sini tidak ada jalan keluar, tapi kau tidak percaya!"
"Aku bisa mempercepat Kematianmu kalau kau tidak segera tunjukkan padaku di mana jalan menuju keluar dari tempat ini!"
"Ggrrr...!" Betara Kala mengerang dengan mata dilebarkan. Rupanya ia marah ditantang demikian. Tangannya meraih setumpuk tulang, lalu dilemparkan ke arah Lili.
Praaakk...!
Gerakan tiap benda yang berupa tulang itu sangat cepat, hampir tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Lili segera sentakkan kedua tangannya, dan keluarlah kabut biru yang menyembur dari telapak tangan Lili. Kabut itulah yang membuat tulang-tulang tersebut pecah dalam bentuk serbuk putih yang halus beterbangan.
Prooss...!
"Ggrrr...! Kau tunjukkan kesaktian di depanku, kau akan kutelan hidup-hidup tikus kecil...! Grrr...!" Betara Kala maju dekati Lili.
Wisnu Patra bertambah tegang melihat Lili melarikan diri. Serta-merta keberanian Wisnu Patra tumbuh kembali melihat Lili dalam bahaya. la segera bangkit dan kerahkan tenaga sebentar, lalu lepaskan pukulan 'Bromo'nya ke arah Betara Kala dari samping kiri.
Wuuus...!
Semburan api melesat menghantam lengan Betara Kala. Tetapi semburan api itu ibarat percikan bunga api yang tidak ada gunanya bagi tubuh besar berkulit amat tebal tersebut. Betara Kala justru berpaling ke arah Wisnu Patra, kemudian tangannya menyambar tubuh Wisnu Patra dengan gerakan cepat. Wooos...! Angin sambarannya begitu keras dan membuat tulang-tulang yang dalam jarak jauh dari jangkauan itu terlempar berserakan.
Wisnu Patra berguling-guling tertimbun reruntuhan tulang itu. Seandainya ia tidak terhempas, maka ia akan tertangkap oleh tangan besar tersebut. Pada saat itu, karena takut dan kesakitan tertimbun tulang-belulang, Wisnu Patra berteriak keras-keras, membuat Lili tersentak kaget dan berhenti dari larinya.
Pendekar Rajawali Putih segera keraskan kedua jari tangannya, kemudian masing-masing tangan yang mempunyai dua jari mengeras itu disabetkan ke depan dengan gerakan putar. Claaap...! Seberkas sinar bergelombang melesat dari dua jari tersebut, menyatu membentuk lingkaran seperti obat nyamuk, berputar-putar menghantam wajah Betara Kala.
Blegaaarrr...!
Sinar putih perak itu meledak dengan dahsyatnya. Tapi tidak membuat tumbang Betara Kala, melainkan hanya terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak, dan membuat salah satu dinding rompal karena terbentur punggung manusia raksasa itu. Serangan tersebut membuat Lili sempat tercengang, karena biasanya jurus itu akan menghancurleburkan tiap benda yang terkena sinar putih perak itu.
Betara Kala semakin murka, la mengerang panjang sambil mengibaskan kedua tangannya ke sembarang arah. Mulutnya keluarkan angin badai yang membuat tulang-tulang porak poranda. Tetapi agaknya Pendekar Rajawali Putih telah siapkan diri dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tersalur di kaki, sehingga hempasan badai itu tidak membuatnya goyah dari berdirinya.
Hanya rambut dan jubahnya yang meriap karena hembusan badai itu. Sedangkan tubuh Wisnu Patra terlempar kuat dan membentur dinding bercahaya merah bara. Kalau saja dinding itu tak dilapisi oleh tulang-tulang yang menempel akibat tersapu angin, maka tubuh Wisnu Patra akan terkena racun dinding tersebut.
"Gggrrr...!" Betara Kala kembali mengibaskan tangannya, dan kali ini tubuh Lili tercekal dan terangkat menuju ke mulut lebar itu.
Wisnu Patra segera berteriak tegang. "Liliii...!" la berusaha untuk lari dan mencabut pedangnya. Tapi langkahnya terhenti, karena pada waktu itu tangan Betara Kala menghadang langkah. Wisnu Patra sendiri melihat Lili mencabut pedang pusaka dari punggungnya. Suara petir di luar menggelegar sampai mengguncangkan tanah dan dinding gua tersebut.
Pedang Sukma Halilintar yang pada ujung gagangnya terdapat dua kepala burung yang saling bertolak belakang itu membara putih kebiru-biruan. Pedang itu disentakkan ke arah mulut Betara Kala yang menganga. Seberkas sinar putih perak keluar dari ujung pedang itu, masuk ke dalam mulut Betara Kala.
Claaapp...! Wrrr...!
Badan manusia raksasa itu bergetar. Mata besarnya terbeliak-beliak. Pegangan tangannya kendor. Tubuh Pendekar Rajawali Putih jatuh melayang-layang dan berusaha kendalikan keseimbangan, hingga gadis itu bersalto satu kali, lalu dalam gerakan tubuh turun itu, ia tebaskan pedangnya ke perut Betara Kala.
Brroos...! Perut itu robek dengan keluarkan sentakan angin keras yang membuat tubuh Lili terpental ke depan. Untung ia cepat bersalto dan mampu mendarat dengan sigap. Tepat kaki Pendekar Rajawali Putih menapak di tanah, tubuh Betara Kala itu meledak karena sinar putih keperakan yang masuk ke mulut itu.
Blegaaar...!
Tubuh Betara Kala roboh dengan suara erangan memanjang. Ledakan dahsyat itu biasanya menghancurkan gunung atau batu keras seperti baja menjadi serpihan lembut. Tapi kali ini hanya membuat tubuh Betara Kala pecah sebagian. Dadanya sempal, kepalanya retak, perutnya jebol dan lengan kirinya patah.
Atap gua itu berguguran pada saat tubuh besar itu tumbang. Dinding yang terkena hempasan tubuh itu menjadi gompal, menjatuhi bagian kaki. Sementara itu, darah yang mengalir dari tubuh tersebut berwarna hitam busuk. Membanjir seperti curahan mata air deras.
"Cepat lompat kemari, Wisnu!" teriak Lili.
Maka Wisnu Patra pun melompat ke tanah yang tidak terkena genangan darah busuk tersebut. Pada saat itu, erangan dari mulut Betara Kala terhenti, dan tubuh itu tak bergerak untuk selamanya. Mati. Namun karena jijik dengan darah busuk tersebut, Wisnu Patra dan Lili berlari secepatnya ke arah jalan berlorong agak kecil dari ruangan besar tersebut, namun masih saja terhitung lebar dan beratap tinggi.
* * *
DELAPAN
GANDALOKA temui Yoga di dalam penjara. Firasat Yoga sudah mengetahui adanya bahaya yang mengancam orang-orang Pulau Kana. Sebelum Gandaloka menceritakan kedatangan Ratu Cendana Wangi bersama orang-orangnya, Yoga sudah lebih dulu berkata,
"Kau dalam bahaya, Gandaloka?!"
"Benar," jawab Gandaloka dengan jujur. "Orang-orangku gugur melawan orang-orang Tanah Sihir yang dipimpin oleh Ratu Cendana Wangi, Yoga. Bahkan beberapa prajuritku disihirnya menjadi patung batu semua. Aku tidak punya kekuatan untuk kalahkan mereka!"
"Apa yang mereka kehendaki?"
"Menguasai pulau ini, dan memaksa kami serahkan kitab pusaka."
Dahi Yoga berkerut, la ingat saat bertemu dengan bayangan wajah gurunya; si Dewa Geledek. Ada tugas untuknya, yaitu mempertahankan sebuah kitab pusaka agar jangan jatuh ke tangan orang sesat. Dalam hatinya Yoga bertanya-tanya, "Benarkah kitab pusaka yang sekarang sedang dicari Ratu Cendana Wangi itu yang harus kupertahankan, sesuai dengan wasiat Guru?"
Gandaloka berkata, "Padahal kami tidak tahu tentang kitab pusaka itu. Mendengar namanya saja baru sekarang."
"Kitab apa namanya?"
"Kitab Jagat Sakti!"
Pendekar Rajawali Merah menggumam pendek dan menerawang sambil mengucap nama kitab itu dalam hatinya. Kemudian, ia bertanya, "Apakah benar pihakmu tidak tahu-menahu tentang Kitab Jagat Sakti?"
"Sama sekali tidak! Di dalam bangsal pustaka itu banyak kitab, tapi tidak ada yang namanya Kitab Jagat Sakti! Pendeta Agung sendiri merasa asing dengan nama kitab itu. Katanya, dari sejak kecil sampai setua itu ia belum pernah mendengar nama kitab tersebut, apalagi melihatnya, sama sekali tidak pernah."
"Lalu, menurut Ratu Cendana Wangi, di mana letak kitab itu adanya?"
"Jawaban mereka tidak masuk akal. Mereka bilang kitab itu ada di Sumur Perut Setan. Sedangkan nama Sumur Perut Setan hanya ada di dalam dongeng. Tapi mereka mendesak kami untuk menunjukkan letak sumur tersebut. Soal itu pun kami benar-benar tidak tahu!"
"Lalu, apa tindakan Pendeta Agung?"
"Sedang berunding dengan para tetua untuk menanyakan tentang kitab tersebut dan Sumur Perut Setan!" jawab Gandaloka apa adanya.
Pendekar Rajawali Merah menggumam sambil manggut-manggut. Kejap berikutnya, Gandaloka berkata kepada Yoga, "Aku butuh pendamping untuk hadapi mereka, Yo."
”Itu baik. Setidaknya untuk melindungi dirimu sendiri."
"Aku memilih kau menjadi pendampingku, Yoga!"
Pendekar Rajawali Merah kerutkan dahi. "Aku ?! Apakah kau tak salah? Aku adalah tawananmu, sebentar lagi akan digantung seperti Kembang Mayat."
"Sudah kubicarakan dengan Pendeta Agung untuk membebaskan kau dari tuntutan sang korban. Kukatakan pada beliau, kau sanggup melawan Ratu Cendana Wangi, tapi aku minta kau dibebaskan. Karena jika kau berhasil mengalahkan mereka, itu berarti kau bukan orang pembawa sial bagi negeri kami, dan bukan orang pembawa kutuk untuk Pulau Kana. Dan sekarang, hal itu pun sedang dirundingkan oleh Pendeta Agung dengan para tetua kami!"
"Bagaimana kalau aku gagal melawan mereka?"
"Kau akan mati. Itu sama saja menuruti tuntutan sang korban, yaitu Kembang Mayat."
Yoga tersenyum, lalu berkata, "Otakmu cerdas. Kau mengikuti cara yang dipakai oleh Wong Agung Sangar itu rupanya! Tawanan dipakai umpan. Kalau menang bebas, kalau kalah ya tetap saja mati."
"Maafkan aku, Yoga. Tidak ada cara lain yang kuperoleh untuk membebaskanmu, kecuali dengan cara begitu."
"Baiklah. Temukan aku dengan Pendeta Agung dan para tetuamu! Aku ingin bicara dengan mereka."
Rupanya pihak Ratu Cendana Wangi telah kuasai istana. Mereka tidak menawan orang-orangnya Gandaloka, tapi mereka punya kebebasan bergerak di dalam istana. Pendeta Agung terpaksa membiarkan hal itu terjadi semasa tidak membawa korban lagi.
Pada saat Yoga dibawa keluar dari penjara oleh Gandaloka, mereka bertemu dengan Naga Berang dan Garu Tulang yang ingin menengok taman keputren, tempat para putri raja bersantai di sana. Karena saat itu tak ada raja tak ada ratu, maka taman keputren pun kosong, kecuali dihuni oleh para dayang-dayang pengurus taman.
Naga Berang sengaja menghadang langkah Gandaloka, karena ia tertarik memperhatikan Yoga yang bertubuh tidak setinggi dan sebesar orang-orang Pulau Kana. Garu Tulang pun merasa curiga melihat Yoga seukuran dengan dirinya. Maka, Naga Berang menyapa Gandaloka dengan nada ketus dan berwajah sangar,
"Rupanya di sini juga ada piaraannya. Sejak kapan kau piara tikus kecil itu, Gandaloka?!"
Gandaloka hanya memandang Pendekar Rajawali Merah. Lalu, Yoga yang menjawab pertanyaan itu dengan suara datar, "Apa kau berminat bermain-main dengan tikus kecil?"
"Sangat berminat!" jawab Naga Berang.
Sedangkan Garu Tulang pun segera menimpali, "Aku ingin bermain-main sampai tikus kecil itu mati! Ingin ku lihat seperti apa dia jika mati."
"Gandaloka," ucap Yoga kepada sang Perwira itu, "Ada baiknya kalau kau menyingkir sebentar. Lihatlah permainan tikus kecil ini!"
Gandaloka menyingkir karena mengerti apa yang dimaksud ucapan Yoga. Sementara itu, Naga Berang dan Garu Tulang yang kurus kerempeng itu saling tersenyum-senyum sambil bersiap mengambil jarak. Yoga tetap tenang pandangi wajah-wajah mereka yang berjajar.
Tiba-tiba mata kedua orang itu berubah menjadi merah, lalu seberkas sinar melesat dari keempat mata itu, semuanya berwarna hijau bening. Empat larik sinar menghantam dada Yoga. Tetapi, Yoga diam saja dan membiarkan sinar hijau itu menghantam dadanya.
Mestinya, dada itu akan hancur, atau bolong, atau setidaknya menjadi hangus. Tapi ternyata dada Pendekar Rajawali Merah itu tetap utuh bagai tak pernah terhantam sinar tersebut. Yoga justru memandang dadanya sendiri ketika empat larik sinar itu telah padam, la segera berkata kepada kedua orang berwajah bengis itu.
"Kalian menyerang apa tadi? Atau hanya bermain sinar? Ah, sinar seperti itu pun aku dan Gandaloka mempunyainya. Ada yang lebih baguskah sinarnya?"
Tentu saja kedua orang berwajah bengis itu menjadi panas hati diremehkan dengan cara seperti itu. Naga Berang segera menggeram, "Coba serang aku sekarang!"
"Haruskah aku menyerang anak kecil yang masih gemar bermain sinar seperti tadi?!" kata Yoga membuat Gandaloka tersenyum-senyum.
Tapi telinga Naga Berang dan Garu Tulang menjadi merah. Kemudian, keduanya sama-sama pejamkan mata. Tangan mereka berkelebat cepat bagaikan menaburkan asap ke tubuh sendiri. Blub...! Dan tiba-tiba mereka sudah berubah menjadi dua harimau loreng. Kedua ekor harimau loreng itu mengerang menampakkan taringnya. Ilmu sihir tersebut tidak membuat Yoga takut, namun justru tertawa pendek.
la berbalik dan melangkah mendekati Gandaloka. Namun baru dua langkah, kedua harimau itu segera melompat untuk menerkam Yoga dari belakang. Dengan cepat Yoga kibaskan tangan kanannya sambil tubuhnya berputar cepat.
Wuuut...! Praak...!
Satu kepala harimau yang dihantam dengan kepalan keras, tapi dua kepala yang hancur. Kedua ekor harimau itu menggelepar-gelepar di tanah dalam keadaan pecah. Satu dengan yang satunya sama parah. Kejap berikutnya, kedua ekor harimau itu berubah bentuk menjadi Naga Berang dan Garu Tulang, tapi mereka sudah tidak bernyawa lagi.
Gandaloka tak bisa bicara apa-apa. Gandaloka hanya memandang dengan mata tak berkedip. Rasa heran dan takjub menjadi satu dalam hatinya. Demikian pula para prajurit lainnya, yang sejak tadi memperhatikan peristiwa itu dari kejauhan. Salah seorang ada yang cepat berlari menemui Pendeta Agung Ganesha. Sedangkan Yoga segera memandang Gandaloka dan berkata,
"Suruh anak buahmu mengurus mayat mereka, dan mari kita teruskan rencana kita!"
Gandaloka menuruti perintah itu, tapi dalam hatinya ia berkecamuk, "Luar biasa gerakannya. Tak terlihat saat ia berputar tadi. Padahal, menumbangkan Naga Berang dan Garu Tulang itu bukan hal yang mudah! Mereka punya ilmu sihir cukup tinggi. Biasanya jika mereka berubah menjadi harimau, tak ada orang yang bisa menghantamnya. Jangankan menghantam, memegang ekornya saja tak ada yang bisa. Tapi, Yoga melakukannya dengan sangat mudah!"
Di ruang berunding, prajurit yang tadi melihat kejadian tersebut memberanikan diri masuk dan menemui Pendeta Agung Ganesha. Wajah prajurit itu menjadi tegang, sehingga para tetua yang hadir di situ menjadi tertarik dan memperhatikannya dengan dahi berkerut.
"Ada apa?!" tanya Pendeta Agung Ganesha.
"Tawanan kita itu... Pendekar Rajawali Merah itu... telah membunuh Garu Tulang dan Naga Berang!"
"Hahh...?!" mereka hampir serempak memekikkan suara kaget yang sama. Bahkan sebagian sampai berdiri dari duduknya. Lalu, prajurit itu bercerita tentang apa yang ia lihat dari awal pertamanya. Pendeta Agung dan para tetua terbengong-bengong jadinya.
Pada waktu itu segera muncul Gandaloka dengan Pendekar Rajawali Merah. Maka tak heran lagi jika semua mata tertuju kepada Yoga, sambil tiap mulut melontarkan tanya,
"Ada apa? Apa yang terjadi? Mereka benar-benar mati? Hanya satu kali pukulan bisa membunuh dua nyawa? Apa benar begitu?"
Gandaloka yang segera menengahi suara-suara mereka setelah terlebih dulu menenangkannya. Gandaloka berkata kepada Pendeta Agung, "Pendekar Rajawali Merah telah kalahkan ilmu sihir Naga Berang dan Garu Tulang! Seperti apa kata saya kemarin, tak ada orang yang bisa tandingi Ratu Cendana Wangi selain Pendekar Rajawali Merah!"
Salah seorang tetua berkata dengan suara rentanya, "Kalau memang layak, biarlah dia menjadi panglima kita!"
"Terlalu tinggi jabatan itu, Pak Tua," kata Yoga. "Saya hanya akan bantu membebaskan rakyat Pulau Kana dari kejahatan Ratu Cendana Wangi, tanpa harapkan balas jasa apa pun kecuali dibebaskan dari jabatan sebagai tawanan."
"O, ya... dia tawanan kita!" kata salah seorang.
Tapi orang tua yang tadi mencalonkan Yoga menjadi panglima itu berkata, "Tapi dalam kitab hukum adat ini, siapa pun bisa menjadi panglima jika menyelamatkan negeri dan rakyat Pulau Kana. Coba kau baca lembar tengah, bahwa siapa yang berjasa terhadap negeri dan rakyat Pulau Kana, dia berhak mendapat hadiah paling berharga dalam hidupnya, tapi bukan menjadi pemimpin negara. Yang bisa menjadi pemimpin negeri ini adalah orang yang ditunjuk oleh dewa melalui Pendeta Agung, dan orang yang dijadikan korban tanah persembahan namun bisa keluar dari tanah persembahan dalam keadaan hidup-hidup. Dan kalau tawanan atau calon korban bisa selamatkan negeri, ia bebas dari segala kutukan dan kesialan!"
Akhirnya, setelah melalui perdebatan, perundingan itu diputuskan oleh Pendeta Agung Ganesha, "Kita akan bebaskan Pendekar Rajawali Merah dari segala hukuman, tapi dia harus kalahkan Ratu Cendana Wangi!"
Semua mata memandang Yoga, yang dipandang hanya tenang-tenang saja. Gandaloka segera bertanya kepada Yoga, "Bagaimana, Yoga? Apakah kau sanggup memenuhi syarat itu?"
"Tidak," jawab Yoga yang membuat semua mata yang memandang menjadi bengong. Yoga kembali berkata, "Aku akan melawan Ratu Cendana Wangi untuk tegakkan kebenaran. Aku akan lawan dia karena dia orang sesat! Apakah nanti aku akan dibebaskan dari hukuman atau tidak, itu urusanku sendiri. Kalau perlu, aku akan memberontak dan memporak-porandakan pulau ini jika aku masih tetap akan dihukum seperti permintaan korban persembahan yang sebenarnya orang sesat juga itu!"
Yoga bicara dengan tegas. Para tetua, Pendeta Agung, Gandaloka, tak ada yang berani bicara sepatah kata pun. Mereka bagaikan terkesima oleh ucapan Yoga, sehingga Pendekar Rajawali Merah berkata,
"Temukan aku dengan Ratu Cendana Wangi sekarang juga!"
Pendeta Agung Ganesha mengangguk, Gandaloka menjawab, "Akan kuantar kau kepadanya!"
Rupanya pada saat itu Ratu Cendana Wangi sedang menahan kemarahan mendapat laporan dua pengawal utamanya dibunuh, la baru mau perintahkan agar membantai semua orang yang ada di istana itu, tahu-tahu Gandaloka dan Yoga muncul, di belakangnya ada Pendeta Agung Ganesha, dan para tetua. Ratu Cendana Wangi menjadi berang melihat kemunculan mereka, lalu berseru kepada Pendeta Agung,
"Ganesha! Dua orangku telah dibunuh! Aku akan menuntut balas membuat semua orang di istana ini mati, dan penduduk Pulau Kana menjadi buta seluruhnya! Tapi jika kau mampu serahkan orang yang telah bunuh kedua pengawalku itu, kubatalkan niatku tadi!"
Tiba-tiba Yoga berseru sambil melangkah lebih ke depan, "Aku yang membunuh kedua orangmu!"
"Bangsat!" geram Putra Iblis dan segera menyerang Yoga. Tapi gerakan terhenti oleh tangan Ratu Cendana Wangi yang direntangkan.
Perempuan itu pandangi Yoga dengan mata tak berkedip. Semakin lama kemurungan wajahnya mengendur. Kian lama kemarahan hatinya kian teduh. Lalu, seulas senyum tipis mulai mekar di wajah ayu itu. "Benarkah kau yang telah melakukannya?"
"Benar," jawab Yoga. "Kalau kau ingin balas, balaslah padaku!"
"Mengapa aku harus membalasnya? Kematian mereka adalah kecerobohan diri mereka sendiri, itu tandanya mereka harus belajar lebih tekun lagi tentang ilmu-ilmu aliranku. Hmmm...! Siapa namamu?"
"Yoga!"
"Apa jabatanmu di sini?"
"Tawanan!"
"Oh, kasihan sekali kau rupanya?!" Ratu Cendana Wangi tertawa sambil berlagak manja, la ingin mengusap pipi Yoga, namun oleh Yoga dihindari dengan menarik wajah ke belakang.
“Tawanan tampan, sungguh membuatku lebih bahagia jika tinggal di sini! Kau akan menjadi tawananku dan akan kujadikan pengawal pribadiku yang sangat pribadi, jika aku sudah berdiri sebagai ratu di sini, dan Kitab Jagat Sakti sudah kudapatkan!"
“Tidak ada Kitab Jagat Sakti!" kata Yoga dengan beraninya.
Ratu Cendana Wangi jadi cemberut. “Tahu apa kau tentang Pulau Kana ini?"
"Yang kutahu, bebaskan rakyat negeri Linggapraja ini! Tinggalkan Pulau Kana, dan berdamailah dengan penduduknya!"
Ratu Cendana Wangi tertawa panjang. Kemudian ia berkata, "Kau seperti Pendeta Agung itu, Yoga. Seharusnya kau tak bicara begitu di depanku. Ketahuilah, aku akan tinggalkan semua permintaanku setelah aku mati! Dan aku akan bebaskan penduduk Pulau Kana, jika mereka mau turuti permintaanku."
"Kumohon padamu, Ratu Cendana Wangi... tinggalkan pulau ini dan batalkan semua keinginanmu itu demi perdamaian!"
"Tidak ada perdamaian!" bentak Ratu Cendana Wangi mulai murka.
"Bagaimana jika diganti dengan sesuatu yang lain?"
"Aku mulai paham maksudmu, Yoga! Kau ingin menantangku buka pertarungan satu lawan satu, begitu?"
"Aku tidak menantangmu. Tapi kalau itu yang kau harapkan, aku bersedia melayanimu!"
"Hem...!" Ratu Cendana Wangi mencibir. "Tantanganmu sangat halus dan sopan. Apakah kau sanggup mengalahkan kami bertiga?"
"Tidak kujanjikan kesanggupanku, tapi kujanjikan kemampuanku!" kata Yoga sengaja semakin pedas dan memancing amarah.
"Baik. Ingin kulihat nyalimu! Kita buktikan omong besarmu itu di alun-alun!"
"Sebaiknya berangkat sekarang juga, Ratu Cendana Wangi!"
"Kalau kau kalah, kubantai semua penduduk Pulau Kana ini!"
Yoga menyahut, "Dan kalau aku menang semua orangmu harus angkat kaki dari pulau ini!"
"Baik!" Ratu Cendana Wangi segera berseru kepada Putra Iblis dan Sawung Gala, "Kita main-main di alun-alun sana! Tunjukkan kepada seluruh penduduk pulau ini tentang kehebatan kita!"
Mereka pun bergegas menuju ke alun-alun. Gandaloka sempat cemas dan memandangi Yoga. Tapi Yoga berkata, "Pancinganku kena sasaran!"
"Hati-hatilah. Nasib penduduk pulau ini kini ada di tanganmu."
Yoga hanya sunggingkan senyum dan berkata, "Sebentar lagi akan kembali ke tanganmu!"
* * *
SEMBILAN
WISNU Patra hampir patah semangat. Perjalanan yang sudah ditempuh memakan waktu cukup lama, tapi mereka tetap tidak temukan jalan keluar, la sempat berkata kepada Pendekar Rajawali Putih, "Bagaimana kalau ternyata Sumur Perut Setan ini memang tidak mempunyai jalan keluar?"
"Pasti ada. Kita harus mencarinya terus sampai kapan saja!" kata Lili dengan penuh semangat.
"Sampai tuakah kita harus mencari dan tinggal di sini?"
"Jika memang perlu begitu, apa boleh buat?" Lili angkat bahu. Kala itu mereka beristirahat, duduk di samping gundukan tanah cadas yang sudah dibuktikan benar-benar tanah cadas. Bukan makhluk seperti Betara Kala lagi.
Wisnu Patra berkata lagi, "Kalau kita tak bisa keluar dari tempat ini, berarti kita kehilangan masa depan."
"Masa depan kita ya di tempat ini!"
"Tanpa makanan dan minuman?"
"Kita tak pernah lapar dan haus setelah melewati tanaman biru tadi, bukan?"
"Memang. Tapi apakah kita juga tidak ingin beranak-cucu? Sedangkan kau punya hati untuk orang iain, bukan untukku."
"Kalau kita ditakdirkan harus berjodohan di sini dengan cara tidak bisa keluar dari tempat ini, apa boleh buat?"
"Kau mau beranak-cucu di sini dengan berpasangan denganku?"
"Kalau itu kupandang perlu, tentu saja kulakukan. Tapi sekarang, hal itu belum kupandang perlu!" kata Lili dengan enaknya.
Wisnu Patra merenung membayangkan seandainya ia dan Lili akhirnya menjadi suami-istri di tempat itu. Sekalipun dalam keadaan gersang dan tak pernah melihat matahari, tapi hati Wisnu Patra tetap akan senang serta bahagia menjadi suami gadis cantik menggemaskan hati itu.
Sebenarnya masih banyak renungan indah yang sempat hinggap di benak Wisnu Patra. Tetapi agaknya ia harus putuskan renungan tersebut, karena matanya menangkap seberkas sinar pijar putih seperti perak berkilauan. Wisnu Patra memperhatikan dengan mata sedikit menyipit, karena sinar itu jauh dari tempat istirahatnya. Lalu ia berkata kepada Lili
"Lihat, sinar apa itu yang putih seperti perak?!"
"Mana...?!"
"Di sebelah depan kita itu, dekat relung batu jajaran batu ini!"
Setelah menangkap cahaya perak kecil itu, Pendekar Rajawali Putih penasaran dan segera menghampirinya. Wisnu Patra pun bergegas mengikuti Lili di belakangnya. Gadis cantik itu melangkah tanpa ada rasa takut sedikit pun. Wisnu Patra sungguh momuji dan mengagumi keberanian Pendekar Rajawali Putih.
"Wisnu..., cahaya itu semakin besar dan bersinar terang!" kata Lili, kemudian ia berlari mendekati cahaya terang yang menyilaukan itu. Ternyata sebuah benda yang dikenal bentuknya oleh Lili.
"Sebuah kitab, Wisnu!" ucap Lili tegang.
Memang sebuah kitab yang terletak di antara tulang-tulang berserakan. Cahaya kitab itu menjadi redup ketika didekati Lili dan diperiksa dengan kekuatan batinnya, bahwa kitab itu ternyata tidak beracun. Hanya saja, bentuknya besar, tidak seperti kitab biasa.
Selain besar juga tebal, dilapisi sampul kain putih lapuk. Juga, dilapisi debu-debu tebal yang mengesankan bahwa kitab itu berusia sudah ratusan tahun. Bentuknya yang besar menandakan kitab itu milik seseorang bertubuh besar. Siapa lagi jika bukan Betara Kala.
Sayangnya, kitab itu menggunakan tulisan huruf Sangkala, yaitu huruf kuno yang sudah banyak dilupakan orang. Wisnu Patra tidak bisa membaca tulisan dalam kitab tersebut. Bahkan gurunya sendiri tidak akan bisa membacanya.
Tetapi Lili, bisa membaca tulisan huruf Sangkala, karena ia belajar dari gurunya, yaitu Dewi Langit Perak. Dewi Langit Perak belajar huruf Sangkala dari suaminya, yaitu Dewa Geledek, guru dari Yoga, si Pendekar Rajawali Merah. Tentu saja Yoga juga bisa membaca tulisan huruf Sangkala.
Wisnu Patra tambah lagi kekagumannya kepada Lili, yang bisa membaca tulisan berusia ratusan bahkan ribuan tahun itu. Akhirnya, Wisnu Patra hanya bisa berharap dari Lili untuk mengetahui isi kitab tersebut.
"Kitab ini berisi jurus-jurus dahsyat milik Betara Kala," kata Lili saat menterjemahkan lembar pertama. "Di sini juga tertulis riwayat singkat Betara Kala dan pernah berubah menjadi ksatria tampan satu kali selama hidupnya, lalu... lalu mempunyai istri seorang gadis yang dibuang di Pulau Kana yang bernama... bernama Dewi Ambar Ayu. Dan mereka beranak-cucu. Pada saat mereka mempunyai cucu ke sepuluh, pangeran tampan itu kembali berubah wujud menjadi raksasa dan istrinya mati dimakannya, lalu ia bersembunyi di dalam Sumur Perut Setan." Lili berhenti membaca, memandang Wisnu Patra dan berkata,
"Berarti dia pernah ke Pulau Kana ribuan tahun yang lalu?!"
"Kalau begitu, pasti ada jalan keluar, yaitu jalan yang dipakainya masuk kemari itu!"
"Benar. Coba kubaca lagi...." Lili kembali membacanya. Lembaran yang terbuat dari kulit binatang itu dibuka lagi. "Wah, dahsyat sekali ilmu ilmu yang ada di sini."
"Ilmu apa saja?"
"Hmm... antara lain, ilmu sihir yang dinamakan 'Kutuk Iblis', ilmu menghisap kesaktian orang yang dinamakan ilmu 'Simajati' dan banyak lagi ilmu dahsyat di kitab ini. Aku ingin pelajari semuanya!"
"Eh, hmmm... jalan keluarnya tadi bagaimana? Apakah disebutkan di kitab itu?"
Lili membaca sebentar, kemudian tampak ceria dan girang, "Ya, benar. Di sini ada petunjuk jalan keluar dari Sumur Perut Setan!"
"Hebat sekali kalau begitu kitab ini. Kitab apa namanya?"
"Di depan sendiri ini tertulis kata Jagat Sakti. Mungkin itulah nama kitab ini."
"Atau mungkin Jagat Sakti nama asli Betara Kala?"
Kedua pendapat itu memang benar. Tapi yang menjadi masalah sekarang adalah, mereka harus bisa menemukan jalan keluar sesuai dengan petunjuk di dalam Kitab Jagat Sakti Itu. Karena Wisnu Patra tak bisa membaca tulisan Sangkala, maka Lili yang memandu langkah mereka temukan jalan keluar.
Ternyata jalan keluar itu tidak hanya bisa ditemukan dengan berjalan kaki saja, melainkan harus gunakan kekuatan tenaga dalam untuk membuka pintunya. Kekuatan tenaga dalam itu harus mengikuti petunjuk dalam kitab tersebut. Termasuk bagaimana cara memadamkan sinar merah bara pada dinding lorong itu.
Sebenarnya, Ratu Cendana Wangi memang punya hak untuk memiliki Kitab Jagat Sakti, jika memang benar dia keturunan dari Dewi Ambar Ayu. Tapi apakah benar dia keturunan Dewi Ambar Ayu? la tidak bisa buktikan hal itu. Bisa saja ia tahu silsilah Dewi Ambar Ayu dari dongeng tentang Sumur Perut Setan itu.
Karena setiap orang yang pernah mendengar dongeng Sumur Perut Setan, seperti halnya Wisnu Patra, juga pernah mendengar nama Dewi Ambar Ayu sebagai putri raja yang dibuang ke sebuah pulau karena menolak perjodohannya. Bisa saja Wisnu Patra mengaku keturunan orang Pulau Kana dan menuntut hak atas Kitab Jagat Sakti itu.
Tapi karena Wisnu Patra bukan tokoh sesat, maka ia tak mau mengaku-aku demikian. Yang jelas, karena ingin memiliki ilmu sihir tertinggi yang ada di dalam Kitab Jagat Sakti itulah, Ratu Cendana Wangi datang ke Pulau Kana. Akibatnya ia terpaksa berhadapan dengan Pendekar Rajawali Merah.
* * *
Alun-alun penuh dengan manusia, baik dari pihak rakyat Pulau Kana, maupun dari pihak Ratu Cendana Wangi. Mereka sama-sama menyaksikan sebuah pertarungan besar dan mengagumkan, yaitu Pendekar Rajawali Merah yang satu tangannya telah terpotong itu, ternyata mampu kalahkan Sawung Gala dengan tebasan pedangnya dari jarak tujuh langkah. Sedangkan Putra Iblis masih bertahan melawan Yoga dengan gunakan berbagai macam jenis ilmu sihirnya.
Namun Putra Iblis akhirnya mati oleh kekuatan sihirnya dari kedua mata. Seberkas sinar biru kekuning-kuningan melesat dari kedua mata si Putra Iblis. Arahnya menghantam Yoga, dan akan membuat Yoga menjadi lumer dan hilang terbawa angin. Tetapi, pusaka Pedang Lidah Guntur itu menangkis serangan sinar biru, lalu memantul balik dan membuat Putra Iblis sendiri tubuhnya menjadi lumer seperti lilin terbakar, lalu menguap karena tertiup angin dan lenyap tak berbekas lagi.
Melihat kejadian seperti itu. Ratu Cendana Wangi naik pitam, la segera serang Yoga dengan pukulan yang cukup aneh tapi berbahaya. Dari telapak tangannya keluar ratusan ekor ular kecil yang terbang menyerang Yoga. Tetapi, ratusan ekor ular itu tak sampai menyentuh tubuh Yoga sudah pecah dan hancur berantakan karena kilatan cahaya merah dari ujung pedang Pendekar Rajawali Merah.
Craab...! Wrrss...!
"Biadab! Kau pikir kau mampu kalahkan semua ilmu sihirku, hah?! Heaah...!" sinar putih melesat dari ujung jari Ratu Cendana Wangi. Arahnya ke batu besar yang ada di tepi alun-alun. Batu itu segera melayang menghantam kepala Yoga dengan cepatnya.
Tapi Pendekar Rajawali Merah segera berguling di tanah satu kali, kemudian sentakkan kakinya, melambung naik dan menebas batu tersebut dengan pedangnya. Wuuut...! Craakk...! Praazz...! Batu itu pun pecah, dan semua pecahannya bisa terbang melesat ke arah Ratu Cendana Wangi.
Bruuss...!
"Aaauh...!" Ratu Cendana Wangi berteriak bagai orang kepanasan. Serpihan batu itu membuat wajahnya menjadi rusak dan jelek bagaikan habis tersiram cairan besi panas, la kesakitan dan berusaha mengatasi rasa sakitnya dengan berdiri kerahkan tenaga hawa murninya ke dalam tubuh.
Tapi pada saat itu, Yoga gunakan jurus 'Petir Selaksa', yaitu bergerak dengan sangat cepat sambil sabetkan pedangnya ke arah lawan.
Wuuut...! Craas...!
"Hooo...?!" orang-orang yang menyaksikan pertarungan di tengah alun-alun dari jarak jauh itu sama-sama terbengong melihat jurus yang digunakan Yoga. Jurus itu membuat tubuh Ratu Cendana Wangi tetap berdiri tegak, namun kejap berikut tubuhnya terpotong menjadi dua pada bagian perutnya tanpa keluarkan darah setetes pun.
Bruuk...!
Dan setiap mata orang tak sempat berkedip dalam tiga helaan napas. Setelah itu, para anak buah Ratu Cendana Wangi segera melarikan diri dan tak berani ada yang mencoba hadapi Pendekar Rajawali Merah. Mereka berhamburan menuju kapal mereka, dan cepat pergi tinggalkan Pulau Kana. Mereka tak mau menerima nasib seperti ratu mereka yang malang itu.
Rakyat negeri Linggapraja bersorak mengelu-elukan Yoga. Kemenangan Yoga berarti keselamatan bagi penduduk Pulau Kana. Gandaloka pun sempat tertawa kegirangan di samping Pendeta Agung Ganesha dan para tetua. Hanya saja, sebelum mereka mendekat untuk menyambut Yoga, tiba-tiba tawa mereka terhenti, wajah mereka menjadi tegang dan bergerak mundur semua.
Yoga sendiri sempat terbengong dengan masih berdiri di tengah alun-alun. Yoga merasakan gerakan tanah bagai dilanda gempa. Tiang bendera bergerak miring sendiri perlahan-lahan. Lalu, tanah persembahan itu bergerak membuka, merekah belah pada batas tertentu. Mereka menjadi sujud semua, kecuali Yoga. Para tetua hanya bungkukkan badan dengan perasaan takut, termasuk Pendeta Agung dan Gandaloka.
Tiba-tiba dua sosok manusia melesat keluar dari belahan tanah itu. Mereka adalah Pendekar Rajawali Putih dan Wisnu Patra. Tentu saja orang-orang Pulau Kana menjadi lebih terkejut, lebih takut, tapi juga lebih penasaran.
Sedangkan Yoga justru sarungkan pedangnya dan berteriak keras, "Guru..."
"Yoga...?!" tanpa sadar mereka berlari dan saling peluk. Wisnu Patra diam cemberut.
Gandaloka tak bisa berkedip karena ia kenal dengan kedua orang yang baru muncul dari dalam tanah persembahan. Ternyata Lili telah berhasil temukan jalan keluar dari Sumur Perut Setan melalui petunjuk dalam Kitab Jagat Sakti itu. Jalan keluar itu adalah tanah persembahan yang biasa dipakai untuk melemparkan mayat korban yang dianggap membawa kutukan, membawa kesialan, dan membawa bencana. Tanah persembahan itulah pintu keluar masuknya Sumur Perut Setan.
Tak ada penduduk Pulau Kana yang mengetahui hal itu, karena mereka menganggap Sumur Perut Setan hanyalah dongeng anak-anak bersama tokoh pemakan manusianya, yaitu Betara Kala yang punya nama asli Jagat Sakti. Korban persembahan yang mereka masukkan ke dalam belahan tanah itu, sesungguhnya sesaji makanan untuk sang Betara Kala, tapi mereka pun tak mengerti makna persembahan tersebut. Mereka hanya mengikuti tradisi dan adat.
Demikian juga adat dan tradisi mengatakan, orang yang muncul dari tanah persembahan berhak menjadi raja atau ratu bagi rakyat negeri Linggapraja. Maka, mereka pun sepakat mengangkat Wisnu Patra dan Lili untuk menjadi raja. Tetapi tidak mungkin mereka mengangkat keduanya menjadi pemimpin negeri. Mereka harus memilih salah satu, atau keduanya menikah dan menjadi raja dan ratu.
"Kau saja yang menjadi raja mereka!" kata Lili kepada Wisnu Patra.
"Mereka menghendaki kita berdua!"
"Tidak bisa. Itu berarti kita harus menikah."
"Apa salahnya?"
"Besar sekali salahnya. Karena aku tak akan mau meninggalkan muridku; Pendekar Rajawali Merah!" jawab Lili dengan tegas.
"Dia masih bisa menjadi muridmu!"
"Ya. Tapi jika kita menikah, dia tidak bisa jadi suamiku. Padahal dia adalah muridku, namun juga buah hatiku!"
Percakapan itu dipandangi Yoga dari kejauhan. Wajah Yoga bersungut-sungut. Lili segera berlari mendekatinya dan meraih tangan pendekar tampan itu, lalu berkata dengan senyum berlesung pipit, "Kita pulang sekarang juga, aku mau pelajari kitab ini!"
"Kau tak ingin menjadi ratu bagi mereka?"
Lili menggeleng. "Aku hanya ingin menjadi ratu bagi dirimu!"
Kedua pendekar rajawali itu sama-sama tersenyum. Dunia menjadi indah rasanya. Wisnu Patra hanya tarik napas dan merelakan semuanya terjadi, termasuk rela dirinya diangkat menjadi raja bagi rakyat Pulau Kana. la harus segera mencari calon istri yang harus sudah dinikahi sebelum purnama tiba.
SELESAI
Selanjutnya,