Tengkorak Hitam

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Tengkorak Hitam Karya A. Rahman
Sonny Ogawa
DESA Kekanjengan tak jauh dari pusat pemerintahan kadipaten Tambaksari. Sebagian besar penduduk Desa Kekanjengan adalah para pegawai istana, dari pegawai teras sampai perawat taman di kadipaten tersebut. Belakangan ini Desa Kekanjengan jika malam berubah menjadi kuburan yang menyeramkan.

Pasalnya, setiap malam selalu saja terjadi pembunuhan yang menimbulkan jerit lengking memecah sunyinya malam, mendirikan bulu roma siapa pun yang mendengarnya. Bukan saja seorang lelaki yang menjadi korban pembunuhan, melainkan seorang perempuan pun bisa menjadi korban. Bahkan anak berusia remaja, atau gadis perawan, juga menjadi korban pembunuhan keji. Konon pembunuhan itu dilakukan oleh seseorang yang bergelar Tengkorak Hitam.
Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman

Seseorang yang pernah memergoki pelaku pembunuhan itu mengetahui ciri-ciri si pelakunya; berpakaian serba hitam dengan kain penutup kepala yang lurus sampai ke bawah, mirip pakaian yang dikenakan oleh El Maut. Kabarnya, orang berpakaian El Maut itu juga memegang tongkat berujung sabit runcing melengkung tajam, yang oleh orang-orang dikenal dengan nama Pusaka El Maut.

Orang tersebut wajahnya menyeramkan, tulang-belulang tanpa daging dan kulit dengan mata cekungnya yang merah dan tulangnya yang hitam. Itulah sebabnya orang tersebut dikenal dengan nama Tengkorak Hitam.

Bila malam sepi tiba, seringkali penduduk tersentak bangun dari tidurnya mendengar suara jeritan yang menggema ke mana-mana. Lalu mereka berbondong-bondong datang ke rumah tersebut dan menemukan salah seorang anggota keluarga terkapar bermandi darah dengan leher robek hampir putus, atau dada robek sampai perut atau punggung bolong tertancap senjata tajam yang mengerikan.

Itulah sebabnya sebuah kedai yang terlaris di desa itu terpaksa tak berani buka sampai larut malam. Sedikit lewat petang, kedai tersebut sudah ditutup oleh pemiliknya, karena ia tak mau kedatangan Tengkorak Hitam yang siap mencabut nyawa siapa saja yang ditemuinya pada waktu malam.

Keadaan yang menegangkan itulah yang membuat Ki Bantarsuko, pemilik kedai tersebut yang berusia lima puluh tahun lebih terpaksa menegur seorang pendekar tampan berpakaian putih dengan selempang kain penutup dada dari bulu beruang warna coklat.

Pemuda tersebut hanya mempunyai satu tangan, yaitu tangan kanan saja. Tetapi jika orang tidak memperhatikan baik-baik, maka orang akan sangka pendekar tampan memikat hati wanita itu adalah orang bertangan dua. Karena ia mengenakan pakaian berlengan panjang, maka lengan panjang bajunya itu sering dianggap sebagai tangan oleh orang yang memandangnya sepintas.

Ki Bantarsuko terpaksa mendekati pemuda tersebut yang tak lain adalah Yoga, si Pendekar Rajawali Merah, lalu Ki Bantarsuko berkata, "Tuan, hari sudah hampir petang."

"Ya. Aku tahu. Tapi aku belum selesai habiskan makananku. Aku pun masih ingin beristirahat beberapa saat, Pak Tua."

"Tapi... tapi kami sudah mau tutup, Tuan."

"O, kalau begitu, tunggu sebentar lagi. Aku harus habiskan makananku ini," kata Pendekar Rajawali Merah.

"Baik. Silakan dihabiskan dulu. Tapi sebelumnya saya mohon maaf atas teguran saya ini."

"Tak apa-apa. Aku tak tersinggung, Pak Tua."

"Sebenarnya Tuan muda ingin pergi ke mana?"

"Mencari seorang sahabat lama yang bernama Anggita, putri Lurah Prawiba."

"O, lurah yang tewas karena bunuh diri itu?"

"Benar. Agaknya kau mengenalnya, Pak Tua?!"

"Ya, saya memang mengenalnya. Tapi Den Prawiba... maksud saya keluarga almarhum Lurah Prawiba sudah mengungsi di Desa Kujang, di balik gunung sebelah wetan sana, Tuan."

"Mengungsi?" Yoga mulai curiga.

"Ya. Sebab... sebab memang begitulah warga desa kami ini. Sudah banyak yang mengungsi menjauhi malapetaka yang sedang melanda desa kami, Tuan."

"Hmmm...," Yoga manggut-manggut. "Jauhkah desa tempat keluarga Lurah Prawiba mengungsi itu?"

"Ya, kurang lebihnya setengah hari perjalanan, Tuan."

"Jika aku berangkat pada malam ini juga, bisakah aku tiba di sana esok paginya?"

"Bisa, tapi... tapi...." Ki Bantarsuko memandang sekeliling. Kedainya telah kosong pembeli. Hanya ada Pendekar Rajawali Merah yang ada di situ, menghabiskan sepoci teh hangat dan makanan dari bahan ketan dan kelapa.

Melihat wajah Ki Bantarsuko diliputi kecemasan. Yoga segera bertanya dengan sikap sedikit mendesak, "Sebenarnya ada apa, Pak Tua? Kau kelihatannya cemas sekali sejak tadi. Apa yang mencemaskan hatimu, Pak Tua? Katakanlah!"

"Anu... saya hanya ingin mengatakan agar Tuan jangan pergi malam hari. Sangat berbahaya pergi malam hari melintasi wilayah desa kami. Bisa-bisa Tuan muda menjadi korban seperti yang lain."

"Korban...? Korban bagaimana?"

"Hmmm... eeh..., saya tidak berani menceritakannya, Tuan. Sebaiknya, lekas habiskan hidangan tuan itu."

Ki Bantarsuko meninggalkan Yoga, ia pergi ke dapur dan menghilang sebentar di balik pintu dapur kedainya itu. Sedangkan Yoga menghabiskan makannya dengan hati diliputi tanda tanya besar dan membuatnya sangat penasaran.

Yoga bermaksud menemui Anggita atau Walet Gading, karena kabarnya Anggita adalah saudara sepupu dari Walet Gading. Sebenarnya yang sangat ingin ditemui Yoga adalah Walet Gading, karena Walet Gading murid dari Ki Pamungkas yang menjadi guru dan ketua Perguruan Gerbang Bumi.

Kalau saja Perguruan Gerbang Bumi itu tidak dibubarkan, sudah tentu Yoga tidak sulit untuk mencari dan menemui Walet Gading. Tapi karena Perguruan Gerbang Bumi dibubarkan karena tidak mempunyai seorang ketua, di mana ketua mereka sudah meninggal akibat pertarungannya dengan Resi Gutama, maka Walet Gading pun sukar ditemuinya.

Kabar terakhir mengatakan, bahwa Walet Gading sekarang tinggal bersama keluarga sepupunya, yaitu Anggita. Yoga pun cukup kenal baik dengan Anggita, (Dalam serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Geger Perawan Siluman").

Sebetulnya kalau saja Tua Usil tidak menderita sakit aneh. Yoga tidak akan mencari Anggita atau Walet Gading. Saat itu, Tua Usil sedang sakit. Badannya panas tanpa sebab. Pada malam hari ia sering mengigau dengan suara berubah menjadi tua. Suara tersebut belum pernah didengar baik oleh Yoga maupun Lili, bahkan Bocah Bodoh tidak mengenali suara tersebut.

Dalam igauannya, Tua Usil selalu menyebut-nyebut Pusaka Hantu Jagal, yaitu sebuah pisau pusaka yang diperolehnya berkat pertemuan Tua Usil dengan Ki Pamungkas saat Ki Pamungkas menjelang ajal. Dalam celoteh igauan bersuara tua, yang diduga adalah suara Ki Pamungkas, Tua Usil selalu bicara tentang Batu Delima Sutra yang harus ditempelkan sebagai penghias sarung emas Pusaka Pisau Hantu Jagal itu.

Sedangkan mereka tidak tahu seperti apa Batu Delima Sutra itu dan di mana mereka bisa memperolehnya. Karenanya, Yoga ditugaskan oleh Lili, yang menjadi guru angkat dan sekaligus kekasihnya itu, untuk menemui Walet Gading. Sebagai bekas murid Ki Pamungkas, diharapkan Walet Gading dapat memberitahu apakah Batu Delima Sutra itu dan di mana bisa mereka temukan.

Yoga ingin ceritakan keadaan Tua Usil yang selalu mengigau dengan suara tuanya Ki Pamungkas tersebut. Untuk menghindari kegaduhan masyarakat desa, Yoga sengaja pergi ke desa asal Anggita dengan berjalan kaki, tidak menunggang burung Rajawali Merahnya. Sebab jika mengendarai burung besar itu, maka ia akan menjadi pusat perhatian masyarakat desa dan bisa dianggap menjadi biang kekacauan. Sebab tidak semua orang berani dekati burung besarnya Yoga itu. Pada umumnya mereka justru lari tunggang langgang dengan ketakutan jika burung besar itu hinggap tak jauh dari mereka.

Tetapi ketika Yoga sempatkan diri singgah di kedai itu, ia bahkan menemukan suatu masalah yang membuatnya penasaran. Bukan karena pindahnya Anggita, melainkan istilah mengungsi, sungguh merupakan istilah yang bersifat berbahaya menurut anggapan Yoga. Dan ternyata sikap Ki Bantarsuko pun menampakkan adanya bahaya yang mencemaskan hati orang tua tersebut. Yoga tertarik untuk selidiki sesuatu yang men-cemaskan Ki Bantarsuko itu.

Ketika Ki Bantarsuko muncul dari dapur bersama anak gadisnya yang berkulit hitam manis berkebaya hijau itu. Yoga melambaikan tangan kepada Ki Bantarsuko. Lelaki berambut abu-abu karena bercampur uban itu segera mendekati Yoga, sementara Sulastri, anak gadis Ki Bantarsuko yang berusia sekitar dua puluh tahun itu mengemasi barang-barang, menutup pintu dan jendela lebar sebelah kiri kedai.

"Sudah selesai makannya, Tuan?" tanya Ki Bantarsuko, bersikap sopan dan menghormat.

"Sekalipun belum, mungkin memang harus segera di sudahi saja. Aku ingin teruskan perjalananku mencari Anggita."

"Tapi... tapi hari sudah petang, Tuan."

"Memang. Habis, aku harus bermalam di mana? Apakah di kedaimu ini menyediakan kamar penginapan? Jika ada kamar yang bisa kusewa, biarlah akan kusewa untuk satu malam saja!"

"Hmmm...," Ki Bantarsuko berpikir sambil menggumam lirih, kejap berikutnya ia menyambung kata, "Ada, Tuan. Ada satu kamar yang biasanya kami sewakan untuk para tamu yang membutuhkan. Jika tak ada yang menyewa, sering kami gunakan sebagai gudang penyimpanan barang-barang dapur. Jika Tuan menginginkannya, biar saya suruh Sulastri membersihkan dan menyiapkan kamar tersebut."

"Baiklah, aku akan bermalam di sini. Siapkanlah kamar untukku!"

Ki Bantarsuko bergegas temui Sulastri. Ia bicara pelan dengan anak gadisnya. Sulastri tersenyum-senyum melirik ke arah Yoga. Rupanya gadis itu menjadi girang hatinya mendengar tamu tampannya ingin bermalam di kedainya. Maka dengan penuh semangat Sulastri cepat-cepat membersihkan kamar tersebut.

Pada waktu itu, seorang tamu perempuan muncul dan langsung masuk ke kedai itu. Perempuan tersebut segera ditemui oleh Ki Bantarsuko. Yoga mendengar suara Ki Bantarsuko berkata kepada perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.

"Maaf, Nona... kedai kami sudah mau tutup."

"Aku hanya sebentar," jawab gadis berpakaian merah dengan jubah hijau tua itu.

"Kami sudah tidak menyediakan masakan lagi, Nona."

"Aku hanya mau minum saja. Kau punya tuak? Beri aku tuak dua cangkir!"

"Hmm... anu, Nona... begini...."

"Beri aku dua cangkir tuak!" potong gadis itu dengan nada sedikit menyentak.

Ki Bantarsuko ketakutan. Gadis itu selain berhidung mancung dan berwajah cantik dalam bentuk bulat telur, tapi mempunyai mata bertepian hitam dan berkesan galak. Gadis itu tampak menyelipkan pedang di pinggang. Ketika ia duduk, pedangnya dilepas dari pinggang dan diletakkan di atas meja depannya.

Kini Ki Bantarsuko menyiapkan pesanan gadis itu, mata Yoga sempat meliriknya. Karena gadis itu secara tak langsung duduk berhadap-hadapan dengan Yoga, walaupun dalam meja berbeda dan jaraknya sekitar tujuh langkah kurang, mau tak mau mereka dapat saling pandang secara bebas.

Agaknya gadis itu pun tahu, bahwa pemuda tampan yang diperhatikan itu bukan pemuda sembarangan, terbukti pedang yang disandang di punggung Yoga menampakkan sebentuk pedang yang sering dibicarakan para tokoh dunia persilatan. Pedang berwarna merah tembaga dengan gagang berhias dua kepala burung saling bertolak belakang itu diperhatikan terus.

Tiba-tiba Yoga menemukan cangkir tehnya yang semula berisi tinggal separo itu, sekarang menjadi kering kerontang, tanpa setetes air teh. Hal itu membuat Yoga kaget dan memperhatikan cangkir dengan perasaan heran. Gadis itu tersenyum, dan Yoga mulai curiga kepada gadis tersebut.

Ki Bantarsuko memberikan apa yang dipesan gadis itu, dua cangkir tuak. Tapi gadis itu masih pandangi Yoga secara sembunyi-sembunyi. Dan tiba-tiba cangkir dari keramik kasar itu pecah secara mendadak. Praakkk...! Yoga terkejut, gadis itu terdengar tertawa mengikik ditahan. Kemudian Yoga menarik napas dan bersikap tenang. Ia memberitahu kepada Ki Bantarsuko bahwa cangkirnya pecah dan bersedia mengganti dengan harga sesuai.

"Apakah perlu saya siapkan secangkir teh lagi, Tuan?"

"Ya," jawab Yoga. "Saya minta satu poci teh!" sambungnya.

"Baik. Dan... hmmm... kamarnya sudah siap ditempati, Tuan."

"Aku akan segera ke sana! Tapi aku ingin minum teh dulu disini!"

"Baik. Sebentar, saya ambilkan pesanan Tuan tadi."

Ki Bantarsuko pergi ke dapur, sementara itu gadis berjubah hijau dan berambut disanggul rapi itu masih tersenyum-senyum sambil sesekali melirik ke arah Yoga. Pemuda itu hanya berkata dalam hati,

"Dia telah menggangguku. Dia pamerkan kehebatan ilmunya yang bisa mengirimkan tenaga dalam lewat pandangan mata. Dia buktikan kemampuannya menyedot air teh dan memecahkan cangkirnya. Hmmm...! Baik. Dia mengajak adu kehebatan ilmu rupanya."

Yoga melihat gadis itu meneguk tuak dari cangkir pertama. Satu cangkir diteguknya habis. Setelah itu ia menghembuskan napas lewat mulut, melirik Yoga sebentar dan tersenyum tipis bernada menantang. Pendekar Rajawali Merah diam saja.

Tetapi beberapa saat kemudian, gadis itu terkejut ketika mau meneguk cangkir yang kedua. Ia melihat cangkir pertama yang sudah kosong itu menjadi berisi kembali dengan penuh. Ia melirik Yoga, tapi Yoga berlagak tidak memperhatikannya.

Tuak di cangkir kedua ditenggaknya lagi. Habis seketika, karena ukuran cangkirnya memang kecil. Yoga masih tidak menampakkan sikap tertarik untuk memperhatikan gadis itu. Ketika gadis itu ingin menenggak tuak yang muncul lagi di cangkir pertama. Yoga sempatkan melirik sebentar. Ia tersenyum disembunyikan ketika gadis itu menenggak tuak di cangkir pertama tadi.

Gadis itu menjadi terkejut melihat kedua cangkir telah terisi tuak lagi. Matanya mulai menyipit dalam memandang Yoga. Hatinya mulai berkata dalam nada dongkol, "Sial! Pemuda tampan itu pasti telah menggangguku dengan mengisi tuak ke dalam cangkir ku ini! Tak ada salahnya jika... jika... oh, kepalaku menjadi pusing sekali. Pasti gara-gara tuak pasangannya itu. Kurang ajar dia!"

Ki Bantarsuko datang menyerahkan pesanan Yoga, menghidangkan sepoci teh panas dengan tempat gula batu dalam cangkir kaleng, dan satu cangkir keramik kasar yang baru. Setelah itu, Ki Bantarsuko pun pergi meninggalkan Yoga. Mata Yoga sempat memandang gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Tangannya meraba-raba cangkir di depannya.

"Kurang ajar betul dia," pikir gadis itu. "Dia buat minuman itu membutakan mataku!"

Yoga tersenyum dengan bebas tanpa takut dilihat lagi, sebab gadis itu dalam keadaan buta, walau tidak berapa lama. Sebentar saja akan menjadi pulih, karena kebutaan itu hanya sekadar jurus penutup mata lawan yang sewaktu-waktu bisa digunakan Yoga jika ingin membuat lawan tak melihat dalam beberapa hitungan. Setelah itu pandangan mata lawan akan menjadi terang kembali dan rasa pusingnya akan hilang.

Ternyata memang benar, gadis itu pun mulai bisa memandang dengan mata terang, kepalanya tidak terasa pusing lagi, tapi tiba-tiba dia terkejut. Mulutnya terperangah melihat Yoga sudah duduk di depannya. "Gila! Tak kudengar suara langkah kaki dan kedatangannya. Tahu-tahu si tampan itu sudah duduk di depanku?!" kata gadis itu dalam hati.

Senyum Yoga mekar ramah di depan gadis itu, membuat sang gadis kelabakan, malu, kikuk, dan berdebar-debar, serta dihiasi rasa dongkol, merasa dipermainkan dengan tuak bayangan tadi. Untuk menutupi kekikukan sikapnya, gadis itu pasang wajah angkuh dan segera bertanya dengan nada sinis.

"Siapa yang suruh kau duduk di depanku, hah?!"

"Kau yang menyuruhnya!" jawab Yoga.

"Aku tidak bicara apa-apa denganmu sejak tadi."

"Mata hatimu yang bicara dan aku mendengarnya."

Gadis itu semakin tersipu dan salah tingkah. Namun ia berusaha melawan perasaannya itu dengan sikap angkuh yang ditonjolkan lagi. "Siapa dirimu sebenarnya, sehingga berani-beraninya duduk di depan Roro Intan, hah?"

"Kau sudah mengetahui siapa aku, mengapa kau menanyakannya?"

Gadis itu semakin jengkel, akhirnya menghempaskan napas dan berkata, "Ya, aku tahu, kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Merah, bernama Yoga, murid dari Dewa Geledek! Ciri-cirimu sudah kuketahui dari cerita beberapa orang yang pernah melihatmu! Tapi aku tidak tahu apa keperluanmu menemuiku di sini!"

"Aku tidak punya keperluan apa-apa, hanya ingin tahu namamu saja, Roro Intan! Selamat malam!" Yoga bergegas pergi dan menyuruh Pak Tua pemilik kedai membawakan minumannya ke kamar.

Tiba-tiba Roro Intan berseru, "Tunggu sebentar, Pendekar Rajawali Merah! Aku ingin bicara denganmu!" ia justru menyusul Yoga yang sudah bersiap ke kamarnya melalui jalan dapur. Yoga sengaja tidak menghampirinya, sehingga dengan begitu Roro Intan-lah yang seolah-olah merasa membutuhkan Yoga.

"Perlu kau ketahui, mungkin kau juga perlu mengetahuinya, Pak Tua, bahwa aku disewa oleh Ki Lurah Wikuto Legawa untuk menjaga desa ini dan mengamankannya dari gangguan pembunuh keji yang bergelar Tengkorak Hitam!"

"Kurasa itu urusanmu, Roro Intan. Urusanku adalah beristirahat di kamar sambil menikmati teh manis hangat ini!" kata Yoga.

"Kuharap malam ini jangan ada yang keluar rumah, termasuk kau, pendekar tampan! Siapa pun yang berkelebat malam ini di luar rumah, jika kupergoki, akan kuhajar dia separah mungkin, karena kuanggap orangnya Tengkorak Hitam!"

"Baik, saya mengerti, Nona!" jawab Ki Bantarsuko.

"Camkan peringatanku ini, Yoga!"

"Mudah-mudahan aku tidak lupa dan membawanya tidur dengan nyenyak." Yoga segera pergi ke kamar yang sudah disiapkan.

Di sana ada Sulastri yang sedang membersihkan meja dari debu. Ia lupa membersihkannya tadi. Ketika Yoga masuk ke kamar itu, Sulastri tersipu-sipu lalu segera pergi dengan sikap sopan menghormat.

Yoga sempat menyapa, "Sulastri...."

Langkah Sulastri berhenti, tapi ia tidak berbalik memandang Yoga. Ia hanya berhenti dan menengok ke samping kiri, sedangkan Yoga pun segera berkata,

"Siapa Roro Intan itu?"

"Saya tidak tahu, Tuan."

"Siapa Tengkorak Hitam itu?"

Sulastri kaget dan menjadi takut. Ia segera menatap Yoga dengan berbalik badan. Mata gadis itu tampak lebar karena takut.

"Jangan takut. Aku akan melindungimu. Aku hanya ingin mendengar cerita tentang Tengkorak Hitam. Apakah kau tahu soal itu?"

Sulastri ingin menggeleng, tapi sukar sekali hatinya ditentang, akhirnya ia mengangguk dengan mulut berbibir ranum itu terperangah.

"Kau mau menceritakannya sedikit tentang Tengkorak Hitam?"

Sekali lagi Sulastri mengangguk, sehingga Yoga berpikir, jika Sulastri tahu banyak tentang Tengkorak Hitam, lantas siapa sebenarnya Sulastri itu? Apakah semua penduduk desa tersebut juga tahu banyak tentang Tengkorak Hitam sebanyak yang diketahui Sulastri.

DUA

MALAM yang sepi membuat Yoga sulit tidur. Malam itu benak Yoga dibayang-bayangi cerita dari Sulastri tentang Tengkorak Hitam. Sebuah cerita yang menyeramkan telah dituturkan oleh Sulastri, bahwa Tengkorak Hitam adalah pembunuh berdarah dingin yang tak pernah mau mengenal belas kasihan. Ibunya Sulastri sendiri mati beberapa bulan yang lalu karena dibunuh oleh Tengkorak Hitam. Penduduk desa selama tiga bulan lebih habis dibunuh oleh Tengkorak Hitam satu persatu.

Menurut Sulastri, Lurah Wikuto Legawa sudah menyewa banyak para jawara untuk mengamankan desanya, namun sampai detik itu, setiap orang sewaan Lurah Wikuto Legawa itu selalu mati di tangan Tengkorak Hitam. Dengan penjelasan itu timbul pemikiran dalam benak Yoga.

"Kalau benar Roro Intan disewa Ki Lurah Wikuto Legawa untuk menjaga keamanan desa, maka sudah pasti Roro Intan cepat atau lambat akan menjadi korban Tengkorak Hitam! Tapi gadis itu tampaknya cukup berani dalam bertindak. Mungkinkah karena dia merasa punya ilmu cukup tinggi hingga merasa mampu melawan Tengkorak Hitam?!"

Sepinya malam tiba-tiba dirobek oleh suara jeritan yang menyayat hati. Jeritan itu datang dari suara seorang perempuan, letaknya tak berapa jauh dari kedai Ki Bantarsuko. Maka, Yoga pun cepat bangkit dari rebahannya. Pedang disandang di punggung dan ia keluar dari kamarnya. Namun ia segera dihadang oleh Ki Bantarsuko yang berwajah tegang dan berkata,

"Jangan keluar, Tuan! Jangan keluar!"

"Aku mendengar suara jeritan, Ki Bantarsuko!"

"Ya. Memang benar. Tapi jangan keluar sekarang. Tunggu beberapa saat. Sekarang Tengkorak Hitam pasti sedang dalam pelariannya. Jika ia memergoki Tuan, nanti Tuan menjadi korban berikutnya!"

Barangkali Ki Bantarsuko belum mengetahui kehebatan ilmu Yoga, sehingga ia sangat mencemaskan tamunya jika keluar secepat itu. la tidak ingin tamunya kepergok oleh Tengkorak Hitam dan tak mampu hadapi keganasan dan kekejaman si Tengkorak Hitam itu. Karena Yoga tidak mau sombongkan ilmunya di depan Ki Bantarsuko, maka Yoga pun diam saja, kembali masuk ke kamarnya dan duduk di tepian dipan sambil menunggu Ki Bantarsuko memanggilnya.

Beberapa saat kemudian, Ki Bantarsuko memang memanggilnya. Ia mengajak Yoga keluar dari penginapan dan menghampiri rumah orang yang menjadi korban. Ternyata di sana banyak orang yang telah berkerumun dan saling membicarakan korban malam itu.

Korban yang mati dengan dada terluka lebar pertanda bekas hujaman senjata tajam besar itu adalah seorang lelaki yang bernama Randuguno, berusia sekitar dua puluh tahun. Masih muda dan belum menikah. Ibunya yang tadi menjerit melihat anaknya mati terkapar ketika membukakan pintu untuk seorang tamu yang suaranya mirip dengan temannya, yaitu seorang gadis yang menjadi kekasih Randuguno bernama Rusmini.

Ibunya sendiri juga mendengar suara Rusmini, dan menyangka memang Rusmini yang datang pada malam itu. Walaupun ibunya Randuguno merasa heran mendengar suara anak gadis malam-malam datang ke rumahnya, namun ia tak berani turun dari tempat tidurnya karena merasa sangsi. Kesangsian itu akhirnya dibuktikan setelah ia mendengar pekik tertahan dari mulut Randuguno, dan ia temukan anaknya sudah bermandi darah di depan pintu.

Luka lebar dan mengerikan itulah yang membuat orang-orang berkesimpulan, bahwa pembunuh Randuguno adalah orang yang sama dengan pembunuh para korban sebelumnya, yaitu Tengkorak Hitam. Luka lebar itu menunjukkan luka akibat senjata runcing dari tombak yang di sebut-sebut orang Pusaka El Maut. Sedangkan ke mana arah larinya Tengkorak Hitam, seorang pun tak ada yang mengetahuinya.

"Tapi bukankah Ki Lurah Wikuto Legawa sudah menyewa seorang penjaga malam yang bertugas mengamankan desa ini, Ki Bantarsuko? Kalau tak salah, gadis yang minum tuak di kedai kita itulah orang sewaan Ki Lurah Wikuto Legawa."

"Memang. Tapi penduduk desa tidak pernah menaruh harap kepada siapa pun orang sewaan Ki Lurah, Tuan. Mereka yakin, orang sewaan itu tidak akan mampu mengamankan desa kami, karena ilmu Tengkorak Hitam itu cukup tinggi!"

Dari kejauhan tampak beberapa orang berjalan sambil membawa obor. Yoga tertarik dengan pemandangan tersebut, sebab orang-orang pembawa obor itu menyelusup ke tempat-tempat sempit, seakan mencari sesuatu. Pendekar Rajawali Merah bertanya kepada Ki Bantarsuko.

"Apakah mereka sedang mencari jejak Tengkorak Hitam, Ki?"

"Bukan. Mereka pasti sedang mencari si orang sewaan itu."

"Roro Intan maksudmu?"

"Benar, Tuan. Karena, biasanya Tengkorak Hitam setelah membunuh penduduk, selalu membunuh siapa saja yang memergokinya. Dan biasanya juga yang memergoki gerakannya adalah orang-orang penjaga malam. Maka para penjaga malam itulah yang dibunuhnya. Jadi sekarang para pembawa obor itu yakin bahwa gadis yang disewa Ki Lurah untuk amankan desa kami ini pasti sudah menjadi mayat, hanya saja entah di mana letak mayat tersebut."

Yoga tertegun beberapa saat, menjauhi rumah Randuguno yang semakin dipenuhi orang itu. Dalam hatinya ia sempat bertanya, "Benarkah Roro Intan telah terbunuh oleh Tengkorak Hitam? Jika benar, lantas di mana mayatnya? Jika tidak, di mana juga ia berada saat ini?"

Kemudian, Yoga menggunakan ilmu 'Layang Batin'-nya, yaitu ilmu penajaman firasat untuk mencari sesuatu yang belum diketahui dan bersifat rahasia. Menurut firasat Yoga, ada sesuatu yang perlu ditengoknya di jalan menuju perbatasan desa. Yoga tidak mau bertindak gegabah, supaya ia tidak terjerat oleh perkara tersebut. Ia mencoba dekati orang-orang pembawa obor itu, lalu berkata kepada salah seorang dari sebelas pembawa obor.

"Apakah sudah dicari di jalan menuju perbatasan desa?"

Orang berusia lebih tua dari Yoga itu menjawab, "Belum. Tapi menurut dugaan kami, tak mungkin penjaga malam itu sampai ke perbatasan desa. Setahu kami, tadi siang kami melihat dia bicara dengan Ki Lurah, dan kami tahu dia adalah seorang perempuan. Tak mungkin. seorang perempuan berani lakukan penjagaan malam hari sampai di perbatasan desa. Apalagi arah itu adalah arah menuju Jurang Ajal."

Ki Bantarsuko menambahkan kata, "Tapi tak ada jeleknya kalau kita coba mencarinya ke sana."

"Siapa tahu dia belum mati," kata Yoga.

"Pasti sudah," jawab salah seorang lagi. "Jika belum, pasti dia sudah datang kemari, sebab jeritan ibunya Randuguno itu cukup menggema ke mana-mana. Tak mungkin wanita penjaga malam itu tak mendengar jeritan tersebut."

"Benar juga," kata Yoga dalam hati. Lalu ia berkata kepada para pembawa obor, "Aku ingin memeriksanya ke sana, adakah di antara kalian yang mau ikut ke sana?"

Beberapa saat kemudian dua orang menyatakan bersedia ikut Yoga, ditambah lagi tiga orang menyatakan kesediaannya. Lima pembawa obor itu akhirnya pergi ke jalan menuju perbatasan desa. Ki Bantarsuko tak lupa ikut mendampingi Pendekar Rajawali Merah.

"Apa yang dimaksud dengan Jurang Ajal itu, Ki? Kelihatannya orang yang tadi bicara denganku mengkhawatirkan tentang Jurang Ajal."

"Jurang Ajal hanya sebuah jurang curam dan dalam. Dikatakan Jurang Ajal, karena siapa pun yang jatuh ke jurang itu pasti mati karena dalam dan dasarnya penuh bebatuan runcing."

"Ooo...!" Yoga manggut-manggut. Sepanjang jalan menuju perbatasan itu disusuri oleh para pembawa obor. Tapi mereka tidak menemukan tanda-tanda akan ditemukannya sesosok mayat wanita yang bernama Roro Intan itu. Namun, firasat Yoga mengatakan, ada sesuatu yang tersembunyi di balik kebun singkong yang ada di samping kiri jalan menuju perbatasan. Ia berseru kepada kelima pembawa obor.

"Adakah yang bersedia meminjamkan obor padaku? Aku ingin mencarinya ke kebun singkong itu!"

"Kita periksa saja bersama!" kata salah seorang. Lalu, mereka memeriksa kebun singkong yang pohon singkongnya sudah setinggi tubuh Yoga itu. Nyala api obor membuat kebun singkong menjadi terang.

Pada saat itulah, mereka segera terperanjat melihat seorang wanita terkapar di tanah dalam keadaan bermandi darah. Wanita itu tak lain adalah Roro Intan. Seseorang yang melihat tiga temannya berbeda arah itu segera berteriak, "Dia kami temukan di sini. Hoi...! Dia ada di sini!"

Ketiga pembawa obor cepat-cepat berbalik arah dan merasa kaget melihat tubuh perempuan cantik itu berlumur darah. Salah seorang berseru dengan tegang, "Dia masih hidup! Masih hidup! Dia masih hidup...!"

Benar. Roro Intan masih hidup. Matanya terbuka sedikit, napasnya mulai menipis. Tapi sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu kepada mereka. Yoga segera menyingkirkan orang-orang pembawa obor itu dan cepat lakukan pertolongan kepada Roro Intan.

"Aku perlu tempat untuk mengobatinya secepat mungkin!" kata Yoga.

"Bawa ke kedai saja!" usul Ki Bantarsuko.

Mereka segera membawa Roro Intan ke kedai. Kemudian Yoga menyuruh mereka keluar sebentar. Dia tak ingin pengobatannya dilihat orang lain. Dia takut membuat apa yang dilakukannya mengundang keirian bagi orang yang tidak suka. Maka, Ki Bantarsuko pun membantu menyingkirkan para pembawa obor. Mereka pergi keluar kedai, tinggal Yoga dan Roro Intan yang ada di dalamnya.

Yoga menggunakan ilmu pengobatan yang dinamakan ilmu 'Tapak Serap'. Luka terkuak lebar di bagian lambung Roro Intan diusapnya pelan-pelan dengan telapak tangannya. Tentu saja tangan itu membara merah dan mengepulkan asap tipis saat mengenai luka. Secara ajaib luka itu mulai mengering dan menutup dengan sendirinya. Dalam waktu yang terhitung singkat, luka-luka di beberapa tempat itu telah lenyap dan pulih seperti sediakala, tanpa meninggalkan bekas luka.

Hanya beberapa darah di bagian baju saja yang masih tersisa. Darah itu pun ikut menyerap ke dalam tangan Pendekar Rajawali Merah jika semuanya diusap dengan gerakan pelan-pelan. Tapi Yoga sengaja tidak mengeringkan darah di sekitar baju, karena menurutnya itu tak terlalu penting untuk dilakukan. Yang terpenting adalah kesembuhan Roro Intan telah dicapainya, dan gadis itu mulai bisa bernapas dengan teratur.

Kejap berikutnya, Roro Intan tidak merasakan nyeri atau perih pada bagian lukanya. Tapi tubuhnya masih lemas karena banyak kehilangan darah. Sekalipun demikian, Roro Intan sudah mulai bisa bicara walaupun dengan suara lirih.

"Dia... bukan tengkorak."

"Maksudmu?"

"Dia manusia. Aku berhasil membuka kedok yang dikenakannya. Dia seorang... seorang,..."

"Ssst...!" Yoga tidak ingin apa yang dikatakan Roro Intan didengar oleh orang banyak. Pada saat itu, Ki Bantarsuko masuk, sehingga Yoga memberi isyarat kepada Roro Intan agar hentikan penjelasannya.

"Tolong bawa ke kamar saya, Ki. Biarkan Roro Intan yang menempatinya, biar dia bisa beristirahat," kata Yoga kepada Ki Bantarsuko.

Lelaki tua itu tertegun, tidak segera bertindak apa pun. Ia merasa heran bukan kepalang melihat keadaan Roro Intan sudah sesehat itu. Lukanya lenyap tak berbekas, dan hal itu mengagumkan dirinya, membuat dia menjadi patung bernyawa untuk beberapa saat.

Esok paginya, tersiar kabar bahwa di kedai Ki Bantarsuko telah menginap seorang tabib tampan yang punya kesaktian tinggi. Ini gara-gara Ki Bantarsuko yang menceritakan kepada para pembeli di kedainya tentang keajaiban yang dilakukan Yoga. Ia menceritakannya karena tak mampu menahan perasaan bangga terhadap apa yang telah dilakukan oleh Pendekar Rajawali Merah itu.

Yoga bangun ketika hari sudah siang. Ia semalaman tidur di lantai kamarnya dengan beralaskan tikar, sedangkan di dipan tempat tidurnya digunakan oleh Roro Intan untuk beristirahat dan memulihkan kekuatan tubuhnya. Ketika Yoga bangun, wanita cantik itu sudah tak ada di tempat. Yoga segera menanyakan kepada Sulastri.

"Nona Roro Intan sedang pergi ke rumah Ki Lurah, Tuan. Beliau tadi berpesan kepada saya, jika Tuan bangun, Tuan diminta untuk tidak pergi ke mana-mana. Nona Roro Intan ingin bicara dengan Tuan."

"Tapi aku harus segera pergi ke desa seberang gunung untuk menemui sahabatku, Sulastri."

"Tahanlah dulu niat, Tuan. Kasihan Nona Roro Intan jika Tuan pergi sebelum bertemu dengan beliau. Nanti hatinya kecewa, Tuan."

Mau tak mau Yoga menunggu Roro Intan dari rumah Ki Lurah Wikuto Legawa. Ia merasa risi menjadi bahan pembicaraan orang-orang yang singgah di kedai tersebut. Akibatnya ia hanya berdiam diri di dalam kamar menunggu Roro Intan kembali.

Gadis yang semula menampilkan wajah galaknya itu, sekarang sudah tidak segalak pada malam pertemuan pertama. Gadis itu menjadi ramah dan murah senyum. Ketika ia tahu Yoga menunggunya, hati gadis itu menjadi girang dan mempunyai sebentuk keinda-han tersendiri.

"Apa saja yang kau ceritakan kepada Ki Lurah?" tanya Yoga.

"Tidak banyak. Hanya kegagalan ku menangkap Tengkorak Hitam!"

"Selain itu tak ada lagi?"

"Hmmm... ya, aku menceritakan pertolonganmu. Tapi rahasia itu belum kuceritakan kepadanya."

Yoga berkerut dahi dan bertanya, "Rahasia apa?"

Roro Intan diam sesaat, kemudian berkata dengan suara pelan, agar suaranya tak mudah disadap orang jika memang ada yang sengaja mencuri dengar percakapan mereka,

"Aku berhasil membuka topeng yang dikenakan orang tersebut. Topeng itu dari getah karet berbentuk wajah tengkorak. Mata merah di bagian rongga matanya itu adalah sepasang batu cincin yang kalau terkena sinar akan memantulkan cahaya merah. Dan aku tahu, di balik wajah itu adalah wajah seorang perempuan."

"Kau kenal dengan perempuan itu?"

Roro Intan diam beberapa saat, rupanya ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Karenanya, ia segera berkata, "Maukah kau pergi ke tepi hutan sebelah timur desa ini?"

"Untuk apa?"

"Kita bicara di sana supaya apa yang kuceritakan padamu tidak didengar oleh seseorang."

"Baiklah!" Yoga memahami maksud Roro Intan. Tapi setidaknya dalam hati Yoga sudah mempunyai dugaan, bahwa apa yang akan dikatakan oleh Roro Intan itu adalah sesuatu yang sangat rahasia. Jika tidak, tak mungkin sampai ingin bicara di tepi hutan yang sepi itu.

Sesampainya di sana. Yoga pun berkata, "Nah, sekarang keadaan cukup aman. Katakanlah, apakah kau mengenal perempuan yang mengenakan topeng tengkorak itu atau tidak sama sekali?"

"Aku mengenalnya," jawab Roro Intan. "Mulanya ia menyerangku dengan satu ilmu bersinar merah. Aku bisa menghindarinya dan sinar itu membakar setumpuk jerami di samping kebun singkong itu. Nyala api yang membakar jerami itulah yang membuat aku bisa mengenali wajahnya. Aku terdesak dan melarikan diri, lalu dia melukai ku dan menyangka ku sudah mati, sehingga ia tinggalkan pergi."

Zingng..!

Tiba-tiba sekelebat sinar membuat percakapan itu berhenti. Sinar putih itu ternyata sebuah senjata rahasia yang dilepaskan oleh seseorang dari tempat yang tersembunyi. Yoga terlambat menyambar senjata rahasia tersebut, sehingga senjata itu tepat mengenai punggung Roro Intan.

Jruubb...!

"Ahg...!" Roro Intan mendelik, badannya melengkung ke depan. Yoga segera meraih tubuh itu. Tubuh Roro Intan menjadi lemas dan wajahnya mulai pucat. Semakin direbahkan di tanah semakin membiru. Jelas ia telah terkena racun ganas yang ada pada senjata rahasia tersebut.

Yoga segera mengejar sepintas orang yang melemparkan senjata rahasia itu. Tetapi ia tidak berhasil. Orang itu melarikan diri entah ke mana, dan Yoga kehilangan jejaknya. Maka, Pendekar Rajawali Merah pun segera kembali ke tempat tubuh Roro Intan dibaringkan.

Tetapi tubuh itu ternyata telah hilang. Yoga terkejut dan segera memandang sekelilingnya. Ia melihat seorang lelaki berpakaian biru tua sedang berlari memanggul tubuh Roro Intan. Maka orang tersebut segera dikejar oleh Pendekar Rajawali Merah dengan meng-gunakan jurus 'Langkah Bayu'.

Wuuttt...! Zlaapp...!

Langkah orang yang memanggul tubuh Roro Intan itu pun terhenti seketika. Yoga telah menghadang di depannya. Orang tersebut memandang dengan mata terperangah kaget. Ia bagaikan pencuri yang kepergok pemilik barang yang dicurinya.

Orang tersebut sudah beruban rata. Usianya diperkirakan Yoga sekitar enam puluh tahun. Wajahnya mempunyai kesan sebagai orang baik-baik, bijaksana, dan sabar. Ia menurunkan tubuh Roro Intan dengan pelan-pelan, kemudian berdiri tegak dengan wajah menghadap lurus ke arah Yoga. Ia kelihatan tetap tenang, sehingga Yoga pun menampakkan ketenangan dirinya. Yoga yang mengajukan pertanyaan dengan suara tegas, namun tidak membentaknya.

"Siapa kau sebenarnya, Pak Tua?"

"Aku yang bernama Reksobumi," jawabnya dengan tegas juga.

"Mengapa kau bawa lari gadis yang terluka itu?"

"Karena ia muridku."

"Betulkah?"

"Reksobumi tidak pernah berbohong kepada siapa pun." katanya dengan nada bijaksana dan sabar.

"Baiklah. Aku percaya. Tapi apakah kau tahu bahwa muridmu itu terkena senjata rahasia yang beracun?"

"Justru karena aku mengetahuinya, maka aku ingin segera membawanya pulang dan mengobatinya."

"Dan kau pun tahu siapa orang yang menyerangnya?"

"Aku tidak melihat, tapi aku mengenali jenis racun dan bentuk senjata rahasianya."

Pendekar Rajawali Merah tetap menatap mata orang yang mengaku bernama Reksobumi itu. Di dalam hati Yoga timbul keraguan, walaupun kecil sekali keraguan itu dirasakannya. Untuk menghilangkan keraguan tersebut. Yoga segera kerahkan tenaga dalamnya secara diam-diam.

Dari matanya keluarkan tenaga bergelombang panas yang menghantam mata Reksobumi. Jika bukan orang berilmu tinggi, pasti akan menjadi buta, karena jurus yang baru diperolehnya dari Lili itu sangat berbahaya untuk orang berilmu rendah. Jurus itu bernama jurus 'Mata Dewa'.

Tetapi ternyata Reksobumi justru melawannya dengan jurus dari matanya juga. Mata itu menjadi merah, dan memancarkan gelombang dingin. Akibatnya, tanpa ada sinar dan gerakan, satu letupan kecil terjadi di pertengahan jarak mereka. Daarrr...! Letupan itu memercikkan bunga api merah dalam sekejap, lalu lenyap tinggalkan asap. Kedua orang itu sama-sama mundur satu tindak akibat letupan tadi.

"O, ternyata ia berilmu tinggi dan pantas jika menjadi gurunya Roro Intan," pikir Yoga. "Tapi, apakah dia tahu hubungan antara pemilik senjata rahasia yang menyerang Roro Intan dengan Tengkorak Hitam?"

* * *

TIGA

ENTAH apa yang membuat keanehan itu terjadi beberapa waktu belakangan ini. Tua Usil mengigau, bicara dengan suara tua, dan menyebut-nyebut tentang Batu Delima Sutera. Batunya seperti apa, ukurannya seberapa, warnanya apa, kegunaannya apa, khasiatnya bagaimana... tidak ada yang tahu. Dan ucapan-ucapan itu tidak disadari oleh Tua Usil. Tengah malam jika ia mengigau selalu dengan suara keras dan membangunkan Bocah Bodoh serta si Pendekar Rajawali Putih.

Seperti yang dialami pada malam berikutnya, Tua Usil kembali mengigau di tengah malam. Suaranya sedikit berat, namun terdengar keras. "Mana pesananku?! Manaaa...!"

Bocah Bodoh yang terbangun lebih dulu. Pandu Tawa yang tidur di dekat pintu keluar belum terbangun. Bocah Bodoh menjadi takut dan ragu-ragu untuk membangunkan Pandu Tawa.

"Mana pesananku?! Tuli semua kalian! Aku minta Batu Delima Sutera! Mana batu itu? Batu itu manaaa...?!"

Pandu Tawa terbangun dengan sendirinya. Tak berapa lama, gadis cantik berjuluk Pendekar Rajawali Putih itu muncul dari sebuah kamar dan ikut memandang ke arah Tua Usil. Saat itu, keadaan Tua Usil menjadi tenang kembali. la tampak tertidur dengan pulas. Bahkan suara dengkurnya terdengar samar-samar.

Lili menarik napas panjang, lalu berkata dengan bersungut-sungut, "Kalau tiap malam begini terus, kita tak akan bisa beristirahat!"

Bocah Bodoh berkata, "Yang disebut-sebut Batu Delima Sutera terus, Nona. Jangan-jangan dia kepingin makan batu?!"

"Husy!" Pandu Tawa menghardik. Dengan rasa malas dan masih mengantuk, Pandu Tawa berkata kepada Lili, "Dia bicara kepada kita, tapi aku yakin bukan dia yang bicara! Agaknya kita harus segera menuruti permintaannya itu."

"Yoga sedang hubungi bekas murid Ki Pamungkas. Entah kapan dia pulang. Sampai sekarang belum ada kabar beritanya," kata Lili dengan wajah murung karena kesal hatinya mengalami gangguan seperti itu sudah beberapa malam.

Tiba-tiba terdengar lagi suara Tua Usil keluarkan igauan yang menyentak-nyentak, "Dasar bodoh semua! Sudah kubilang minta Batu Delima Sutera, masih saja belum juga dituruti. Ini demi perdamaian! Dengar...?! Ini demi perdamaian!"

Lili segera menjawab ucapan orang mengigau itu, "Kami sedang berusaha, Ki! Kami sedang mencarikan batu yang kau minta itu!"

"Usaha, usaha...!" gerutuan suara orang mengigau yang menggunakan mulut Tua Usil itu. "Sampai di mana usaha kalian, hah? Mengapa hari ini belum ada juga batu itu? Cari Batu Delima Sutera saja tidak ada yang becus! Manusia macam apa kalian ini?!"

"Tunjukkan pada kami, di mana batu itu berada, Ki!" kata Pandu Tawa. "Kalau tidak ditunjukkan, kami tidak tahu tempatnya!"

"Cari, Goblok! Cariii...!"

"Kami sedang mencari!" sentak Lili karena jengkelnya.

"Sampai di mana?" tanya suara igauan dari mulut Tua Usil yang tetap memejamkan mata.

"Pendekar Rajawali Merah sedang mencari bekas muridmu!" kata Pandu Tawa dengan sabar.

"Disuruh mencari batu, kok malah mencari bekas muridku! Muridku itu bukan batu, Tolol! Muridku itu manusia!"

Pandu Tawa menarik napas menahan kesabarannya. Ia menatap Lili, dan Lili hanya diam saja memandang Tua Usil yang tidurnya miring meringkuk seperti keong sawah. Bocah Bodoh memberanikan diri bertanya kepada suara aneh itu, "Kalau bukan batu, sebagai gantinya apa yang kau minta, Ki?"

"Nyawamu!" jawab suara aneh tersebut.

Tentu saja Bocah Bodoh terkejut, Pandu Tawa dan Lili sedikit sipitkan matanya. Kaget juga mendengar jawaban tersebut. Tua Usil pun kembali bicara aneh,

"Sebenarnya batu itu untuk perdamaian dan ketenangan. Letakkan Batu Delima Sutera pada sarung pisau atau gagang pisau, maka pisau itu tidak akan menjadi bahan incaran orang lagi. Tidak akan menjadi biang malapetaka dan keributan lagi. Tidak akan ada orang tertarik dengan pisau itu jika sudah diberikan Batu Delima Sutera. Apakah kalian senang melihat orang saling berlomba mempertaruhkan nyawanya untuk merebut pisau itu? Senangkah kalian?!"

"Tidak, Ki," Pandu Tawa menjawab.

"Kalau tidak senang, lekas cari batu itu!"

"Letaknya di mana, Ki? Apakah kau sendiri tidak tahu?"

Sepi. Tak ada suara jawaban dari igauan Tua Usil. Bahkan lama-lama yang terdengar suara dengkur tipis si Tua Usil. Pandu Tawa memandang Lili sebentar. Memegang kening Tua Usil, lalu menggumam, "Panasnya masih tinggi."

"Besok saya akan bikin kipas besar, Nona Li," kata Bocah Bodoh.

"Untuk apa?"

"Untuk mengipasi tubuh Tua Usil biar tidak sepanas itu."

Pandu Tawa tersenyum geli dan berkata, "Kau pikir sepiring nasi panas? Bisa didinginkan dengan cara dikipasi?"

"Panas badannya Itu kurasa karena kekuatan roh yang Ingin bicara melalui Tua Usil," kata Lili. "Sebaiknya, salah seorang menyusul Yoga dan membantu mencari Batu Delima Sutera itu. Kelihatannya apa yang dikatakannya tadi memang benar dan ada baiknya. Dengan menyematkan batu tersebut di gagang pisau atau di sarungnya, maka Tua Usil akan merasa damai dan aman ke mana-mana, tidak menjadi bahan incaran beberapa tokoh yang ingin menguasai benda pusaka itu."

Setelah sama-sama merenung beberapa saat, Pandu Tawa berkata kepada Lili, "Biar aku saja yang susul Yoga. Kau tetap di rumah menjaga kemungkinan yang lebih buruk terjadi pada diri Tua Usil."

"Saya bagaimana?"

"Kau tetap bantu Nona Li, Bocah Bodoh!"

Hubungan yang sudah telanjur baik dan seperti saudara itu membuat Pandu Tawa merasa berat jika harus berpisah dari Yoga, Lili, Tua Usil dan Bocah Bodoh. Secara tak langsung ia telah menggabungkan diri menjadi keluarga rajawali. Itulah sebabnya Pandu Tawa tak keberatan pergi ke mana saja untuk urusan ke-luarga pendekar rajawali itu. Bahkan ia merasa senang jika bisa berguna bagi kelompoknya pendekar rajawali itu.

Perjalanan Pandu Tawa mencari Yoga untuk membantu menemukan Batu Delima Sutera terpaksa terhenti karena sebuah pertarungan yang dilihatnya dari arah lereng bukit. Seorang gadis berpakaian kuning dengan rambut panjang disanggul ke atas, sedang bertarung melawan seorang pemuda berambut panjang sebatas pundak, Pemuda itu kenakan ikat kepala dari kain biru muda, perawakannya tinggi, tegap, dan gagah.

Pandu Tawa memperhatikan pertarungan itu beberapa saat! Agaknya gadis berbaju kuning yang bersenjatakan pedang bergagang hiasan burung walet itu terdesak oleh serangan lawannya. Pemuda bergelang kulit binatang warna hitam itu sangat gesit gerakannya. Pukulannya pun mantap, seakan tak pernah meleset dari sasaran.

Gadis yang sebenarnya adalah Walet Gading, murid Ki Pamungkas itu, sempat mengeluarkan darah dari mulutnya ketika punggungnya terhantam telapak tangan lawan dengan keras. Gadis itu terguling-guling di tanah, pedangnya lepas dari tangan. Pemuda berwajah lumayan tampan itu tak memberi ampun sedikit pun. Ia lepaskan pukulan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah Walet Gading.

Wuuuttt...!

Dengan kekuatan batinnya, Pandu Tawa menggerakkan sebutir batu berukuran seperti biji salak. Batu itu tahu-tahu melesat cepat menghantam pergelangan tangan pemuda berpakaian merah bergaris-garis putih. Akibatnya pukulan tenaga dalam yang keluar dari telapak tangannya itu berubah arah dan tidak mengenai sasaran.

Hal itu merupakan kesempatan baik bagi Walet Gading untuk lekas bangkit dan bersiap hadapi serangan lawan lagi. Pedangnya pun sempat disamber dengan satu tangan dan ia segera memainkan jurus pedang kembangan.

Pemuda berbaju merah itu hentikan serangan. Matanya memandang sekeliling, karena ia yakin ada seseorang yang melemparkan sebutir batu ke tangannya. Tapi karena keadaan Pandu Tawa berdiri di antara tiga batang pohon yang berjarak rapat itu, maka ia tidak terlihat dari tempat pertarungan mereka.

Wuuttt...!

Tiba-tiba batu sebesar genggaman tangan orang dewasa itu melesat menghantam punggung pemuda tersebut. Buuuhg...! Pemuda itu sempat menyeringai sambil tersentak kaget. Walet Gading sendiri tampak kaget melihat batu yang sejak tadi diam di tanah, tiba-tiba bergerak sendiri, melayang dengan cepatnya. Bahkan sekarang sebatang dahan kering menghantam kaki pemuda itu dan tepat kenal tulang kakinya.

Taakkk...!

"Auh...!" pekik pemuda itu.

Walet Gading berkata dalam hatinya, "Hmmm..., ada yang membantuku rupanya? Mana dia orangnya?!" Walet Gading pun ikut mencari-cari Pandu Jawa, namun Pandu Tawa hanya cengar-cengir dari balik pohon.

Sebenarnya kesempatan itu bisa digunakan oleh Walet Gading untuk serang lawannya secepat mungkin. Tapi Walet Gading tidak mau lakukan atas beberapa pertimbangan, diantaranya ia sendiri penasaran terhadap seseorang yang membantunya itu. Dia ingin tahu siapa orangnya.

Pemuda itu berseru, "Siapa kau?! Tampakkan dirimu jika kau ingin membela perempuan Iblis itu!"

"Baik...!" seru Pandu Tawa dari persembunyiannya. Seruan itu menggema, sekaligus memancing perhatian pemuda tersebut dan Walet Gading untuk memandang ke arah lereng bukit. Lalu, Pandu Tawa benar-benar tampakkan diri dengan tenang. Ia berjalan menuruni bukit, dan di sambut dengan pukulan jarak jauh bergelombang panas dari pemuda berbaju merah itu.

Wuuuttt...!

Pandu Tawa tidak lakukan gerakan apa pun kecuali tetap berjalan sambil matanya melirik ke arah batu besar. Bibirnya tetap tersenyum ke arah kedua orang di kaki bukit itu. Dan tiba-tiba batu besar itu melayang menghadang pertengahan jaraknya. Praakkk...! Batu besar itu pun pecah seketika karena menjadi perisai bagi diri Pandu Tawa terhadap serangan tenaga bergelombang cukup tinggi itu.

Tiba di antara mereka, mata Pandu Tawa memandang ke arah wajah Walet Gading yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu. Gadis cantik beralis tebal, hidung mancung dan mata bulat indah itu menjadi ki-kuk ketika dipandangi oleh pemuda tampan berpa-kaian biru muda itu. Sedangkan pemuda berpakaian merah kian benci memandang kehadiran Pandu Tawa, sehingga ia berseru,

"Lancang sekali kau berani mencampuri urusan Palwa Dirga?! Siapa kau sebenarnya, hah?!"

"Namaku Pandu Tawa!" jawab Pandu Tawa dengan tenang, sementara Walet Gading sebentar-sebentar meliriknya.

"Apa pedulimu sehingga mencampuri urusanku dengan Tengkorak Hitam?!"

"Aku bukan Tengkorak Hitam!" sahut Walet Gading dengan kerasnya.

Palwa Dirga mencibir. "Hmm...! Tak usah mengelak. Aku sudah tahu siapa dirimu, gadis jalang! Kulihat beberapa kali kau melintas di tanah sekitar Jurang Ajal. Dan aku pernah memergoki Tengkorak Hitam menghilang di Jurang Ajal. Pasti kaulah orangnya. Jika malam mengenakan pakaian dan topeng tengkorak, lalu membantai beberapa orang, dan bila siang tiba kau berubah menjadi wujud aslimu seperti ini!"

Walet Gading berang dan memandang Pandu Tawa, "Jangan dengarkan celotehnya itu!"

"Aku harus dengarkan, Nona Ayu! Jika tidak kudengarkan lalu bagaimana aku bisa membelamu? Jika kau salah, aku tak mau membelamu!"

"Dia memang bersalah besar, bukan kepada pihak keluargaku saja, melainkan kepada orang banyak. Dia bukan saja membantai habis keluargaku secara satu persatu, hingga akulah orang yang tersisa dari keluargaku. Tapi dia juga membantai keluarga lain dan dilakukan secara satu persatu juga! Jika kau ada di pihak yang benar, Pandu Tawa, maka jangan sekali-kali kau membela gadis pembantai itu!"

"Aku ingin dengar bukti alasanmu menuduh dia sebagai pembantai keluargamu! Apa buktinya jika dialah si Tengkorak Hitam yang kau maksudkan itu, Palwa Dirga?!"

"Sudah kukatakan, aku sering melihat dia melintas di tanah dekat Jurang Ajal! Dan aku pernah lihat Tengkorak Hitam itu menghilang di sekitar Jurang Ajal!"

"Alasanmu tak kuat, Palwa Dirga. Karena siapa saja bisa dan boleh melewati tanah di sekitar jurang tersebut. Tapi bukan berarti orang itu adalah si Tengkorak Hitam. Jika aku sering lewat sana, apakah kau juga menuduhku si Tengkorak Hitam?!"

"Ya!"

"O, itu alasan yang ngawur dan mencari menangnya sendiri, Palwa Dirga. Kau hanya dihantui oleh dendammu atas kematian seluruh anggota keluargamu. Kau melakukan sesuatu yang berdasarkan dendam membuta dan hasilnya pun akan mengacaukan dirimu sendiri!"

"Aku tak butuh nasihatmu, Pandu Tawa! Aku hanya butuh nyawanya, sebagai penebus kematian pihak keluarga ku!"

"Pandu Tawa," kata Walet Gading. "Minggirlah, biar kulayani dendamnya itu!"

"Atau kalian mau maju bersama, silakan!" kata Palwa Dirga dengan dada terbusung dan wajah beringas. Pemuda yang ditantang itu hanya perdengarkan suara tawanya,

"Hah, hah, hah, ha, ha, ha...!"

Palwa Dirga semula diam saja pandangan Pandu Tawa yang terbahak-bahak itu. Lama-lama timbul rasa geli di hati Palwa Dirga. Bahkan ketika Pandu Tawa sudah berhenti dari terbahak-bahaknya, Palwa Dirga masih meneruskan tawa gelinya. Kini ia menjadi lebih geli dari semula. Tawanya lebih keras, semakin lama semakin terpingkal-pingkal dan tawa itu tidak bisa dihentikan. Palwa Dirga sampai memegangi perutnya karena sakit, namun toh ia tetap tertawa dan terbungkuk-bungkuk. Kini bahkan ia terguling-guling di tanah sambil tertawa sekeras-kerasnya, sepuas-puasnya.

Walet Gading diam terbengong memandangi tingkah laku lawannya. Tentu saja ia terheran-heran karena ia sadar bahwa tawanya Palwa Dirga itu adalah tawa yang tak wajar. Maka ditatapnya Pandu Tawa dengan dahi berkerut, dan Pandu Tawa terpaksa berkata,

"Telah ku sebarkan racun tawa kepadanya. Dia tidak akan berhenti tertawa sebelum jatuh pingsan."

"Luar biasa sekali ilmumu?!"

"Hanya ilmu permainan saja!" jawab Pandu Tawa merendahkan diri. "Kurasa sebaiknya tinggalkan saja orang ini. Tak perlu diapa-apakan. Silakan kau meneruskan perjalananmu, aku akan meneruskan perjalananku!" sambil Pandu Tawa hendak bergegas pergi. Tapi Walet Gading yang sudah menyarungkan pedangnya itu berkata,

"Tunggu! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu," ia hampiri Pandu Tawa. Pemuda itu berhenti melangkah, melirik sebentar ke arah Palwa Dirga yang masih terbahak-bahak hingga suaranya serak. Setelah itu menatap lekat-lekat wajah Walet Gading yang cantik itu.

"Kau percaya dengan kata-katanya tadi bahwa aku adalah Tengkorak Hitam?" tanya Walet Gading.

"Aku justru tidak tahu-menahu tentang Tengkorak Hitam."

"Jujur saja kukatakan padamu, aku bukan si pembantai Tengkorak Hitam itu. Kalau aku sering melintasi tanah di dekat Jurang Ajal itu lantaran ada bekas rumah saudaraku di desa itu. Aku punya teman di sana dan kami sering saling berkunjung."

"Jelaskan saja kepada Palwa Dirga, jangan kepadaku."

"Kau sendiri tak punya pendapat apa-apa?"

"Pendapatku hanya satu: kau memang cantik, Nona Ayu!"

Walet Gading berdesir-desir indah, sebab ia tertarik dengan ketampanan dan sikap ksatrianya Pandu Tawa itu. Ketika Pandu Tawa melangkah, Walet Gading mengiringinya dari samping dan bertanya, "Kau mau ke mana, Pandu Tawa?"

"Mencari seorang temanku."

"Kalau begitu, bagaimana jika aku menemanimu dalam perjalanan?"

Pandu Tawa tersenyum, "Aku tak pernah keberatan di temani gadis secantik dirimu, Nona Ayu!" Pada saat itu, Walet Gading segera tundukkan wajah dan tersipu malu, tapi hatinya mendesir kembali, penuh dengan keindahan yang sukar diucapkan.

Pandu Tawa akhirnya mendengar cerita tentang keganasan Tengkorak Hitam yang membantai banyak orang dan beberapa keluarga di Desa Kekanjengan. Melalui penuturan Walet Gading itulah Pandu Tawa mengetahui bahwa Desa Kekanjengan sedang dicekam bencana mengerikan yang muncul hampir setiap malam.

"Tetapi sampai sekarang pun belum ada yang ta-hu, siapa orang yang tampil sebagai Tengkorak Hitam. Mungkin memang benar-benar tengkorak, atau benar-benar manusia jadi-jadian. Aku sendiri tak menyangka kalau akhirnya aku menjadi orang yang dicurigai sebagai Tengkorak Hitam. Lain kali aku tak mau lewat tanah sekitar Jurang Ajal itu"

"Kurasa itu hal yang lebih baik, ketimbang kau selalu dicurigai sebagai Tengkorak Hitam. Kalau toh aku harus curiga, mungkin aku akan mencurigaimu sebagai Tengkorak Manis."

"Ah...!" Walet Gading mencubit lengan Pandu Tawa. Yang dicubit hanya tertawa saja. Hatinya pun ber-desir karena Pandu Tawa mengakui kecantikan yang dimiliki Walet Gading adalah kecantikan yang memikat hati. Itulah sebabnya Pandu Tawa merasa beruntung dalam perjalanannya kini ditemani oleh Walet Gading. Tapi sejauh itu Pandu Tawa masih belum tahu, bahwa Walet Gading adalah orang yang dicari oleh Yoga, bahwa Walet Gading adalah bekas murid Ki Pamungkas.

"Kau sudah punya pendamping hidup, Pandu Tawa?"

"Belum. Kau pasti sudah, bukan?"

"Kau memancingku untuk menjawab yang sebenarnya, Pandu Tawa. Apakah wajahku kelihatan tua dan tampak seperti perempuan yang sudah bersuami?"

"Tidak."

"Kalau begitu kau pasti punya keyakinan sendiri apakah aku sudah punya pendamping hidup atau belum."

Pandu Tawa tidak bisa menjawab, hanya tersenyum lebar sambil hatinya memuji kepandaian bicara Walet Gading. Rasa-rasanya Pandu Tawa menjadi be-tah walau harus berjalan dua hari lagi bersama gadis yang dipanggilnya Nona Ayu itu.

* * *

EMPAT

REKSOBUMI, guru dari Roro Intan itu, belum banyak bicara tentang rahasia yang dimilikinya. Ia baru mendengarkan pengakuan dari Yoga tentang siapa dirinya dan siapa gurunya. Ternyata Reksobumi mengenai nama guru Yoga, yaitu Dewa Geledek. Tetapi Reksobumi hanya mendengar namanya saja, belum pernah jumpa langsung dengan guru Yoga tersebut.

"Jadi dugaan hatiku sejak tadi tidak salah, bahwa kau memang satu dari dua pendekar rajawali yang mempunyai ciri pada pedang pusakamu itu!" kata Reksobumi. "Hatiku cukup senang bisa bertemu denganmu, Yoga. Lebih senang lagi jika aku bisa bertemu dengan Pendekar Rajawali Putih."

"Aku akan bawa dia mengunjungimu. Tapi terlebih dulu aku ingin mengetahui, siapa penyerang muridmu itu dan kira-kira apa alasan orang tersebut. Sebelum aku mengetahui hal itu, hatiku masih belum bisa tenang, karena sangat penasaran, Ki Reksobumi!"

"Sebenarnya...," sampai di situ Reksobumi terpaksa hentikan kata-katanya. Dahinya berkerut dan matanya memandang aneh. Sepertinya ia merasakan ada sesuatu yang tak beres sedang mengancamnya.

"Ada apa, Ki Reksobumi?"

"Ada sesuatu yang ingin menyerangku!" Baru saja Reksobumi selesai bicara begitu, tahu-tahu dua pisau terbang melayang ke arahnya dari belakang. Zingng, zingng...! Dengan cepat Reksobumi menghindar, badannya dimiringkan ke kanan sambil menengok ke belakang dan melihat datangnya dua pisau terbang bergagang benang rumbai-rumbai merah itu.

Gerakan menghindarnya itu tidak disadari telah membuat pisau itu melayang lurus ke arah Yoga. Dengan cepat Pendekar Rajawali Merah kelebatkan tangannya ke depan. Teeb, teeb...! Dua pisau terbang itu terselip di jemari Yoga. Ia segera membuangnya ke arah samping. Lalu, dari tempat meluncurnya dua pisau tersebut, muncul dua sosok manusia berwajah angker. Masing-masing berusia sejajar dengan usia tua Reksobumi. Mereka berjalan mendekati Reksobumi dengan langkah tegasnya.

"Siapa mereka, Ki?" tanya Yoga dengan mata tetap terarah kepada dua orang tersebut. Padahal seharusnya Reksobumi cepat-cepat membawa pergi muridnya yang terluka racun senjata rahasia tersebut. Yoga saat itu hanya menduga, "Mungkin salah satu dari mereka yang memiliki senjata rahasia tersebut?"

Reksobumi perdengarkan suara pelannya, "Mereka adalah si Pisau Terbang dan Tangan Maut. Keduanya murid Jayagati, dari Perguruan Wesi Kuning. Mereka musuh lama ku. Padahal... aku harus segera sembuhkan lukanya Roro Intan. Sial betul aku bertemu mere-ka di sini!"

"Persoalannya apa, Ki?"

"Mereka selalu memaksaku untuk serahkan Kitab Bintara Gada! Tapi aku tak akan pernah mau serahkan kitab itu, karena Jayagati bukan tokoh putih. Kitab Bintara Gada tak boleh jatuh ke tangan tokoh beraliran hitam. Sampai titik darah penghabisan aku tetap akan pertahankan kitab pusaka itu."

Yoga manggut-manggut setelah memahami maksud pertikaian tersebut. Sebelum si Pisau Terbang dan Tangan Maut lebih dekat lagi. Yoga sempat berbisik kepada Reksobumi, "Carilah kesempatan untuk larikan diri. Aku akan pancing mereka dengan kesibukan menahan jurus-jurusku, Ki!"

"Mereka punya ilmu cukup tinggi. Yoga. Apalagi gurunya, sangat tinggi. Aku khawatir kau celaka di tangannya."

"Pergilah, Ki. Aku bisa jaga diri!" kata Yoga meyakinkan sekali.

Dua orang berwajah bengis itu berhenti melangkah. Jaraknya dengan Reksobumi hanya tiga tindak. Matanya sama-sama tajam memandangi Reksobumi dan Yoga. Sementara dua orang yang dipandangi itu menampakkan sikap tenang-tenang saja. Terdengar si Pisau Terbang berkata dengan suaranya yang bulat, sesuai dengan badannya yang besar itu,

"Kali ini kau tak mungkin bisa pertahankan kitab itu lagi, Reksobumi! Sekalipun kau bersama bocah ingusan yang mungkin kau anggap lebih lincah dari kami, tapi kau akan bertekuk lutut di depan kami dan serahkan kitab pusaka tersebut!"

Reksobumi hanya berkata, "Mudah-mudahan dugaanmu meleset!"

"Jadi kau masih bersikeras mempertahankan kitab itu, hah?!" Tangan Maut membentak dengan mata cekungnya yang melotot ganas.

"Apa kau sangka setelah sekian lama kita tak jumpa aku akan berubah pikiran? Hmmm...! Tidak, Tangan Maut! Reksobumi yang sekarang tetap saja Reksobumi yang dulu!"

"Keparat! Heaaah...!"

Wuuttt...! Tangan Maut berkelebat menerjang Rek-sobumi dengan jurus Tangan Maut' nya. Tetapi Rekso-bumi melompat mundur dan Yoga melesat maju. Pukulan Tangan Maut dihadapinya dengan gerakan cepat, sehingga dua tangkisan berhasil dilakukan oleh Pendekar Rajawali Merah, lalu satu pukulan sodok tapak tangan masuk kenai rusuk Tangan Maut.

Duuhg...! Kerk...!

"Uuhg...!" Tangan Maut mendelik, tubuhnya bungkuk ke depan dengan mulut terlongong mengalami kesukaran bernapas.

Melihat temannya tampaknya terluka berat pada bagian dalamnya, pada saat itu juga Pisau Terbang sentakkan pukulan tenaga dalam yang mempunyai daya panas tinggi.

Wuuukkk...! Wuusss...! Seperti seekor belalang, Yoga melompat naik dan bersalto satu kali di udara, melewati kepala Pisau Terbang. Kaki menendang dalam sentakkan maju mundur.

Dug, dug...!

Kepala si Pisau Terbang menjadi sasaran empuk dari jurus 'Sepak Ganda'. Akibatnya, tubuh besar si Pisau Terbang itu jatuh tersungkur. Dari lobang hidung, telinga, dan mulutnya, keluarkan darah segar yang tak bisa dibendung lagi. Kedua orang tersebut saling mengerang dengan berusaha untuk bangkit kembali.

Sementara itu, Yoga baru sadar bahwa Reksobumi telah lenyap dari sampingnya bersama tubuh Roro Intan. Tentunya Reksobumi pergi tinggalkan tempat sebelum kedua orang tersebut ditumbangkan oleh Pendekar Rajawali Merah.

Yoga sebenarnya sempat kebingungan mencari ke mana arah kepergian Reksobumi. Ia ingin mengejar, namun langkahnya tertahan oleh suatu kekuatan tenaga dalam yang menjerat tubuh dan membuatnya sulit bergerak. Tenaga telah dikerahkan, tapi kaki Yoga bagaikan tertanam di dasar bumi. Berat sekali untuk menggerakkan satu anggota badannya.

Yoga sempat cemas, merasa terkena totokan dari jarak jauh. Ia yakin, bukan Tangan Maut dan si Pisau Terbang yang melakukannya, pasti ada pihak lain yang ikut campur pertarungan singkat tersebut. Ketika Yoga merasakan ada bagian jarinya yang bisa digerakkan, maka ia pun membatin, "Ternyata aku bukan kena totok, melainkan ada yang menjeratku dengan kekuatan tenaga dalam cukup tinggi! Aku harus melawannya dengan tenaga lipat gandaku. Uuuhhg...!"

Daasss...!

Tubuh Yoga bagaikan terlepas dari pengikat yang amat kuat dan alot. Ketika ia bisa terbebas, tubuhnya cepat melenting di udara, bersalto mundur dua kali dan mendarat dengan sigap. Matanya menatap sekeliling penuh waspada. Sampai akhirnya ia temukan seorang lelaki tua berambut putih yang usianya sekitar tujuh puluh tahun lebih.

Lelaki itu mengenakan jubah merah dan pakaian bagian dalamnya warna hitam. Dari raut wajahnya yang bertulang keras serta bertonjolan dapat dipastikan dia adalah tokoh sakti yang punya keserakahan pribadi serta sulit diajak kompromi.

Orang itu berada dalam jarak sekitar lima belas tombak dari tempat Yoga. Namun dalam satu kedipan mata ia mampu berada dalam Jarak lima langkah dari depan Yoga. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin dapat lakukan gerakan secepat itu.

"Siapa orang tua ini?" pikir Yoga sambil memperhatikan dengan mata sedikit menyipit.

Orang tersebut berkata, "Kau memang bisa lumpuhkan kedua muridku dalam waktu singkat, tapi jangan harap kau bisa lepas dari cengkeraman ku, Anak Muda!"

Mendengar orang tua itu menyebut Tangan Maut dan si Pisau Terbang sebagai muridnya, maka Yoga segera ingat kata-kata Reksobumi, bahwa kedua orang yang dilumpuhkan itu mempunyai seorang guru yang bernama Jayagati. Maka, Yoga pun berkata dalam hatinya, "Tak salah lagi, orang ini pasti Jayagati, guru mereka!"

Tanpa senyum seulas pun, tanpa keramahan sedikit pun, Jayagati berkata kepada Yoga dengan mata memancarkan sorot pandangan mata yang amat dingin, "Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Merah?"

"Benar!" jawab Yoga tegas. "Rupanya kau telah mengenalku, Ki Jayagati."

"Ciri-cirimu banyak dibicarakan orang. Kesaktianmu pun menjadi buah bibir setiap orang. Tapi mereka tidak tahu bahwa hari ini Jayagati akan tundukkan pendekar yang kesohor ketampanannya itu!"

Setiap perkataannya bagai mengandung aliran tenaga dalam yang membuat jantung Yoga berdetak-detak. Belum pernah Yoga hadapi lawan dengan perasaan segelisah saat itu. Tetapi biar bagaimanapun Yoga tetap berusaha untuk kuasai diri dan tenangkan jiwanya.

"Pendekar Rajawali Merah, aku tak bisa menerima begitu saja melihat kedua murid kesayanganku kau lumpuhkan begitu! Rupanya mereka memang bukan tandinganmu. Tetapi akulah orang yang bakal menandingi ilmumu, Pendekar Rajawali Merah!"

"Aku minta maaf, Ki Jayagati!"

"Maaf tidak hanya sekadar maaf, kau harus menebusnya dengan nyawa! Huhh...!"

Tiba-tiba Jayagati sentakkan kedua tangannya lurus ke bawah samping dengan tapak tangan mengembang. Wuukkk...! Sentakan kedua tangan itu ternyata melepaskan tenaga dalam dari tengah telapakannya. Anehnya, mengapa menuju ke tanah?

Kejap berikutnya, barulah Yoga tahu bahwa sentakan tangan ke bawah itu ibarat sedang menarik seluruh urat yang ada di tubuh Yoga. Urat-urat di tubuh Yoga bagaikan lepas dari pusatnya dan mengendor. Akibatnya, Yoga pun jatuh terkulai di tanah tanpa tenaga lagi.

Bruukkk...!

"Celaka...!" sentak batin Yoga. Ia berusaha untuk bangkit, tapi sama sekali tak memiliki kekuatan sedikit pun. Bahkan dengan enaknya Jayagati dapat mempermainkan diri Yoga.

Kedua tangan orang kurus itu menghempas ke depan bagai melemparkan sebatang kayu yang harus gunakan dua tangan. Wuuutt...! Dan pada saat itulah tubuh Yoga terlempar serta jatuh terguling-guling. Tak ada daya untuk menahan angin hempasan yang timbul dari gerakan kedua tangan tersebut.

Yoga terkapar di tanah, kedua tangannya terkapar di kanan kiri. Wajahnya menatap langit, jantungnya terasa berdetak-detak sangat kuat. Yoga telah kecolongan satu gerakan yang tak diduga-duga, dan membuat ia menjadi manusia tanpa tulang dan tanpa otot sedikit pun.

"Haah...!" Jayagati mempermainkan kedua tangannya, berkelebat ke sana-sini bagaikan membolak-balikkan sesuatu. Ternyata tubuh Yoga yang berada dalam jarak delapan langkah itulah yang sedang dijungkir balikkan seenaknya saja. Tubuh Yoga membentur pohon, batu, dan terhempas di tanah dengan tanpa bisa lakukan pembalasan apa pun.

Tubuh yang terbanting-banting itu jelas mengalami luka di bebera-pa bagian tubuh tersebut, termasuk luka pada bibir-nya yang beradu dengan tanah sekuat-kuatnya. Hidung pun keluarkan darah yang nyaris sukar dibendung. Sudah tentu darah itu memerah di pakaian putihnya.

Keadaan Yoga yang seperti itu dimanfaatkan oleh Tangan Maut untuk memaksakan diri menyerang Yoga. Sebuah tendangan menghentak kuat pada tulang rusuk Yoga.

Buuhg...!

"Eehg...!" Yoga menyeringai menahan sakit. Tapi Tangan Maut sendiri segera terpelanting. Rupanya ia tidak mempunyai kekuatan untuk berdiri tapi karena dipaksakan, maka ia hanya mampu menyerang satu kali, setelah itu jatuh berlutut sambil mengerang kesakitan pada bagian kepala dan iganya.

Suara Jayagati terdengar dari jarak sekitar tujuh tombak, "Bangkitlah kalau kau mampu, Bocah Ingusan! Bangkitlah dan lawan aku! Rupanya hanya segitu kecil dan rendahnya ilmumu. Percuma kau menyan-dang gelar Pendekar Rajawali Merah. Lebih baik gelarmu diganti saja menjadi Pendekar Perkutut Merah!"

Panas hati Yoga mendengar seruan dan ejekan seperti itu. Namun panasnya hati tinggal dalam kedongkolan yang tak terhingga. Ia tetap saja tidak dapat membalas hinaan Jayagati, juga tidak bisa membalas serangan lelaki tua itu.

Akhirnya Yoga mendapatkan peluang kecil, yaitu pada saat Jayagati berusaha menolong kedua muridnya, menyembuhkan luka kedua orang itu dengan kesaktiannya sendiri. Pada saat itulah, Yoga berhasil satukan pikirannya, memusat kuat pada satu tenaga yang tersimpan di ujung tulang ekornya, alias tulang punggung dekat pantat. Tenaga Kundalini digunakan mengembalikan kekuatannya.

Jari-jari tangannya mulai bisa digerakkan. Disusul dengan gerakan kecil pada pergelangan tangan. Kemudian bagian siku juga bisa bergerak sedikit-sedikit, makin lama semakin banyak yang bisa digerakkan dan mempunyai tenaga tersendiri. Yoga sempat bangkit, namun tak bisa berdiri, hanya mampu lakukan duduk di tempat saja.

Begitu Yoga bisa duduk, pertama-tama yang ia lakukan adalah menggenggam tangannya. Tangan tergenggam dalam dua jari saja, sedangkan jari kelingking, jari telunjuk dan jempolnya berdiri tegak. Lalu, tangan itu disentakkan ke atas, dan dari ketiga jari itu keluar sinar merah melesat ke langit.

Tiga larik sinar merah itu menyatu di angkasa dan menimbulkan ledakan kecil yang menggaung. Suara gaung itu membahana, membuat seekor burung rajawali berbulu merah dan berukuran besar mendengarnya dari tempat jauh.

Isyarat memanggil burung berhasil dilakukan. Burung Rajawali Merah terbang dari suatu tempat ke pusat suara gaung tersebut. Dari kejauhan sudah terdengar suara pekikan burung besar itu, seakan men-jawab panggilan tuannya.

"Keaakk...! Keaaak...!

Gaung itu juga membuat Jayagati terkejut dan segera membatin, "Edan bocah itu! Dia bisa kerahkan tenaga lagi?! Padahal aku sudah melumpuhkannya dengan jurus 'Lepas Raga'?! Hebat sekali ia bisa menandingi jurusku itu?! Tapi kali ini kurasa ia tak akan mampu berdiri lagi, bahkan menggerakkan matanya pun tak akan bisa! Haap...!"

Jayagati segera melemparkan kedua tangannya ke depan, lalu ditarik ke belakang dengan gemulai. Pada saat kedua tangan menarik itulah suatu kekuatan dirasakan oleh Yoga telah menyedot seluruh tenaganya.

Wuuuttt...!

Brehg...! Tubuh Pendekar Rajawali Merah terkulai lemas kembali, Kali ini justru tak bisa menggerakkan bola matanya. Walau ia dalam keadaan sadar, bisa melihat namun lurus saja penglihatannya, bisa mendengar namun tak terlalu peka, bisa merasakan dan mencium bebauan, namun tak sesempurna biasanya. Ia mengetahui gerakan Jayagati yang telah berhasil sembuhkan kedua muridnya dengan kekuatan gaib yang disebut inti kesaktian. Bahkan Yoga mendengar Tangan Maut berkata,

"Izinkan kami membalas serangannya tadi. Guru!"

"Lakukan sekehendak hatimu!" kata Jayagati, ma-ka Tangan Maut dan si Pisau Terbang segera bergerak hampiri Yoga untuk menyiksanya.

Tetapi tiba-tiba dari arah timur telah muncul seekor burung rajawali berbulu merah. Burung jantan itu segera terbang merendah dengan kepakan sayapnya menimbulkan angin badai.

Wuuusss...!

Kepakan sayap itu bukan hanya sebentar, namun beberapa kali kepakan telah menghadirkan kekuatan tenaga dalam yang mampu menjadikan tempat itu dilanda angin badai begitu besarnya. Pohon-pohon sempat ada yang tumbang, akarnya terdongkel naik ber-sama hamburan tanahnya. Bebatuan yang tidak terlalu besar sempat ada yang menggelinding ke sana kemari.

Tubuh Tangan Maut dan si Pisau Terbang pun terhempas tak tentu arah. Mereka berdua berguling-guling, terjungkal ke sana-sini, membentur batang-batang pohon atau gugusan tanah keras, bahkan beberapa kali mereka memekik kesakitan karena tubuhnya bagaikan dihantamkan pada benda keras di sekelilingnya.

"Burung keparat!" teriak Jayagati yang sejak tadi berusaha berdiri dengan mata menyipit. Ia menahan kekuatan badai tersebut, dan akhirnya tak kuat. Sebelum ia terjengkang jatuh, terlebih dulu ia lepaskan pukulan sinar hijau dari telapak tangannya. Pukulan sinar hijau itu melesat ke arah burung Rajawali Merah itu.

Wuuttt...!

Claapp...! Dari mata burung rajawali merah keluar seberkas sinar merah yang segera menghantam sinar hijau tersebut.

Blegaarr...!

Dentuman hebat terjadi, membuat bumi sekitarnya menjadi guncang, pepohonan yang separo tumbang dan hanya miring sedikit itu kini menjadi rubuh dengan menimbulkan suara gemuruh yang menggema. Jayagati memandang heran kepada burung besar yang terbangnya diam di tempat sambil tetap menaburkan badai dari kepakan sayapnya.

Kejap berikutnya, burung yang tahu bahwa tuan-nya dibuat lumpuh oleh ketiga lawan tersebut, segera melepaskan sinar merah kembali ke arah Tangan Maut dan Pisau Terbang.

Clap, clap, clap, clap...!

Biar...! Duuaar...! Buummm...! Blaarrr...! Buummm...!

Rupanya burung Rajawali Merah itu mengamuk. Ia lepaskan sinar dari matanya beberapa kali, dan tak peduli mengenai benda apa atau mengenai tubuh siapa. Sementara itu, Jayagati merasa dihujani oleh serangan dahsyat dari seekor burung besar tersebut. Ia mencoba melawan dan menangkisnya, namun berulangkali tubuh Jayagati terlempar ke sana-sini, sementara kepakan sayap burung tetap menyerupai hembusan badai yang amat kuat.

Merasa tak mampu mengalahkan burung tersebut dan tidak mempunyai kesempatan untuk lakukan serangan balasan, Jayagati segera perintahkan kedua muridnya untuk melarikan diri. Jayagati sendiri ikut berlari terbirit-birit, karena ia diikuti oleh Rajawali Merah dan sinar merahnya yang berusaha menghantam tubuh Jayagati serta dua muridnya.

Burung itu ternyata bisa diajak bekerja sama dalam suatu pertarungan. Burung itu mampu mengamuk bagaikan orang marah membabi buta. Hutan di sekitar tempat itu menjadi rusak bagaikan habis dilanda kiamat kecil. Bukan hanya Tangan Maut dan Pisau Terbang saja yang menjadi ketakutan, namun Jayagati sendiri menjadi enggan berhadapan dengan burung yang tidak tahu aturan pertarungan itu.

Jayagati merasa sia-sia melayani amukan seekor burung. Ia yakin bahwa Yoga akan mati, cepat atau lambat, karena ter-kapar di sana tak berdaya. Kekuatan dan tenaga yang hilang itu akan menghentikan denyut jantung beberapa saat kemudian. Sebab itu, Jayagati merasa lega walaupun ia harus lari meninggalkan Pendekar Rajawali Merah.

* * *
LIMA

MALAM yang sepi kembali disibukkan dengan suara igauan si Tua Usil. Pendekar Rajawali Putih mengeluh dengan hati dongkol. Yoga pergi mencari Walet Gading, Pandu Tawa pergi menyusul Yoga, keduanya kini sudah dua hari belum pulang dan tak ada kabar beritanya. Lili sempat menyimpan kecemasan, walau tidak diperlihatkan kepada Bocah Bodoh yang membantunya merawat Tua Usil. Panas badan Tua Usil masih tinggi, dan menurut Bocah Bodoh panas badan itu bisa dipakai untuk mengeringkan cucian basah.

Seperti pada malam kemarin, Tua Usil kembali berseru dalam igauannya, "Mana batu itu?! Dasar manusia-manusia tolol! Hanya disuruh mencari Batu Delima Sutera saja tak ada yang mampu! Manusia-manusia macam apa kalian itu, hah?!"

Setiap Tua Usil mengigau dengan suara tua, Bo-cah Bodoh selalu merasa takut. Wajah takut yang memendam kecemasan itu sering digunakan untuk menatap Lili. Jika Lili kelihatan tenang, Bocah Bodoh pun mengurangi kecemasannya. Jika Lili menjadi tegang, Bocah Bodoh sudah lebih dulu menjadi ketakutan.

"Sebaiknya besok saya panggilkan Tabib Perawan saja, Nona Li!" kata Bocah Bodoh ajukan usul. "Sebab, Tabib Perawan itu memang tabib ampuh. Buktinya, guru dari Lintang Ayu dapat disembuhkan olehnya. Padahal sakitnya lebih parah dari sakit yang diderita Tua Usil ini!"

"Sakitnya Tua Usil ini sepertinya bukan sakit sembarangan sakit," kata Lili. "Dia seperti orang kesurupan."

"Kesurupan atau kesetanan?"

"Keduanya sama saja. Yang jelas, dia tidak sadar dengan apa yang dikatakannya, dan itu berarti sesuatu telah menggerakkan mulutnya untuk bicara. Sakit seperti ini sulit dicari obatnya!"

Tua Usil yang sudah mendengkur pelan itu tiba-tiba berkata dengan mata masih tetap terpejam, "Obatnya hanya Batu Delima Sutera!"

Lili dan Bocah Bodoh kembali pandangi Tua Usil. Kemudian, Pendekar Rajawali Putih yang cantiknya melebihi bidadari itu berkata, "Jika kau tidak tunjukkan di mana batu itu, kami tidak akan bisa temukan. Tunjukkan di mana batu itu, sehingga kami bisa menemukannya dan membawanya kemari sesuai permintaanmu, Ki!"

"Panggil saja gadis itu!" kata Tua Usil di luar kesadarannya.

"Gadis yang mana? Gadis siapa maksudmu, Ki?"

"Walet Gading itu! Cari dia dan bawa kemari. Biar aku bicara padanya! Paham?!"

"Ya. Aku paham," jawab Lili dengan tegas dan menunjukkan sikap patuh, sehingga roh yang bicara dengan Tua Usil itu tidak menggerutu.

Lili memutuskan untuk berangkat mencari Walet Gading melalui udara. Ia akan menggunakan burung rajawalinya yang berwarna putih itu. Bocah Bodoh disuruh tunggu di rumah, dan membantu Tua Usil jika membutuhkan sesuatu. Pada siang hari, Tua Usil tetap berbadan panas, tapi tidak pernah bicara di luar kesadaran, tidak pernah mengigau seperti pada malam harinya.

Sebelum Lili berangkat, Bocah Bodoh sempat berpesan, "Kalau bisa jangan sampai malam, Nona Li! Saya takut kalau tinggal bersama Tua Usil malam-malam. Soalnya Tua Usil dalam keadaan begitu."

"Kalau kau takut, jangan jadi lelaki. Jadi perempuan saja!"

"Ah, sama saja, Nona. Jadi perempuan kalau takut juga dihina dan diejek seperti saat ini," Bocah Bodoh bersungut-sungut.

Lili segera memanggil burung rajawalinya. Kedua genggaman tangannya saling menempel di dada. Dari pertengahan genggaman itu melesat sinar putih perak berbentuk gelombang-gelombang lingkaran yang menuju ke langit. Di Sana gelombang sinar putih perak itu keluarkan suara denging memanjang dan melengk-ing. Itulah tanpa bahwa Lili memanggil si Putih, bu-rung rajawalinya yang berukuran besar itu.

"Kaaakk...! Keaaak...!"

Suara burung sudah terdengar, Lili merasa lega. Tapi kejap berikutnya ia terkejut, karena yang datang bukan burung Rajawali Putih, melainkan burung Ra-jawali Merah. Dahi Lili langsung berkerut. Selama ini ia tak pernah mengalami peristiwa aneh seperti itu. Jika ia memanggil burung Rajawali Putih dengan suara denging, yang datang adalah Rajawali Putih. Tapi mengapa sekarang Rajawali Merah yang mendatanginya? Apa ada dengan Yoga? Ke mana si Putih?

Burung Rajawali Merah mendarat ke bumi lebih dulu, berjarak tujuh langkah dari tempat Lili berdiri. Tak berapa lama, tampak sosok Rajawali Putih yang mengitari angkasa dan siap lakukan pendaratan. Tetapi kali ini Lili merasa lebih tertarik dengan kedatangan burung Rajawali Merah. Maka ia pun bertanya pada burung itu,

"Ada apa kau kemari, Merah? Apakah kau tidak bersama Yoga?"

"Kaakkk... kaaakkk...! Keaakkk...!"

Lili menampakkan rasa kagetnya melalui perubahan raut mukanya. Ia mengerti bahasa burung itu yang bermaksud memberitahu bahwa Yoga dalam bahaya, sekarang keadaannya terluka parah. Lili mulai tegang mendengar suara burung Rajawali Merah yang seolah-olah memberi laporan kepada Pendekar Rajawali Putih itu.

"Jadi... Yoga dalam keadaan bahaya?"

"Keaakk...!"

"Dan siapa yang menyuruhmu datang kemari? Apakah Yoga?"

"Keak, keaakk...!" burung itu mengangguk-angguk membenarkan dugaan Lili. Maka tersimpulkan keadaan Yoga dalam batin Lili, bahwa pemuda yang men-jadi murid angkatnya sekaligus kekasihnya itu dalam keadaan yang benar-benar berbahaya. Tapi Yoga masih hidup, terbukti bisa menyuruh si Merah untuk menemuinya.

"Kkaakkk...! Keaakk...!" terdengar suara si Putih seakan mengatakan agar Lili lekas-lekas naik dan akan dibawa terbang menemui Yoga.

"Baik, baik...! Aku akan menemuinya sekarang juga!" kata Lili, kemudian mempercepat langkahnya menuju Rajawali Putih, dan ia pun naik ke punggung burung itu. Sementara itu, burung rajawali berbulu merah itu terbang lebih dulu dan diikuti oleh kekasihnya, yaitu burung rajawali berbulu putih.

Kedua burung itu bagai mengitari langit mencari tempat di mana Yoga tak berdaya. Rajawali Merah yang menjadi penunjuk jalan akhirnya berhasil temukan Yoga dalam keadaan terkapar tanpa tenaga sedikit pun. Ketika Lili menemuinya, hati Lili menjadi hancur melihat kekasihnya seperti mayat hidup; bernapas tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Baru sekarang Lili melihat Yoga menderita seperti itu. Hampir saja Lili titikkan air matanya karena rasa sayangnya kepada Yoga.

Dengan kekuatan dan ilmu kesaktian yang ada padanya. Yoga pun segera disembuhkan. Rupanya kedatangan Pendekar Rajawali Putih tepat pada waktunya. Terlambat sedikit lagi, Yoga akan kehilangan denyut nadi dan jantungnya pun akan berhenti berdetak.

Setelah Yoga sadar dan mulai pulih kekuatannya, Lili mendesaknya agar mengaku siapa orang yang membuat Yoga seperti itu. Maka Yoga pun menceritakan perjalanannya dari masalah Tengkorak Hitam sampai kemunculan Jayagati yang menghendaki pusaka sebuah kitab bernama Kitab Bintara Gada milik Reksobumi.

Lili pun menceritakan tentang kepergian Pandu Tawa dan igauan Tua Usil yang terakhir kalinya didengar. Maka Yoga pun segera ajukan gagasan agar mereka mencari Walet Gading bersama-sama.

"Kita cari dia melalui udara!" kata Lili yang setuju dengan gagasan Yoga tersebut. "Biarlah orang banyak memperhatikan kendaraan kita itu, yang penting kita tidak ganggu mereka dan kita punya kepentingan sendiri!"

"Aku setuju dengan gagasan mu itu. Guru!"

Maka, kedua pendekar rajawali itu segera terbang bersama burung mereka masing-masing untuk mencari Walet Gading dari udara. Mereka melintasi Desa Kekanjengan dan tanah sekitar wilayah Jurang Ajal.

* * *

Sementara itu sepasang insan muda yang sudah mulai bergandengan tangan itu berhenti dari perjalanannya. Mereka sengaja berhenti di tepi sebuah telaga berair bening. Di pinggiran telaga itu tumbuh pepohonan rindang berdaun lebar, sejenis pohon sukun namun berbuah merah. Di sana ada batu setinggi betis yang memandang bagaikan punggung naga. Di sanalah sepasang insan muda itu duduk melepas lelah dalam bualan indah.

Mereka adalah Pandu Tawa dan Walet Gading yang semakin jauh melangkah semakin terasa akrab di hati masing-masing. Tetapi sejauh itu mereka belum saling mengetahui, bahwa Pandu Tawa mencari seorang sahabat, yaitu Yoga, yang sedang mencari Walet Gading. Pandu Tawa sendiri lupa menanyakan nama Walet Gading, karena ia sudah terlanjur memanggil gadis itu dengan sebutan Nona Ayu. Padahal Walet Gading sudah berkata,

"Namaku bukan Nona Ayu!"

"Biar saja. Aku suka memanggilmu dengan nama Nona Ayu! Karena kau memang ayu."

Walet Gading tak bisa bilang apa-apa, karena pu-jian itu membuat hatinya berbunga-bunga. Di bawah naungan semilir angin yang meneduhkan bumi, hati Walet Gading pun semakin terasa teduh saat duduk merapat di sisi Pandu Tawa.

"Mendiang guruku pernah berkata, jika seorang pria memandang seorang wanita sebagai sesuatu yang menyenangkan hatinya, maka pria itu kian lama pasti akan jatuh cinta pada wanita tersebut," kata Walet Gading memancing. Sambungnya lagi.

"Tetapi Guru juga pernah berkata, ilmu setinggi apa pun, kesaktian sehebat apa pun, akan tunduk dan terkalahkan oleh cinta."

Pandu Tawa tersenyum memandangi air telaga yang bening. "Gurumu memang benar. Karena guruku pun berkata begitu; hati-hati dengan wanita. Ilmu setinggi apa pun dapat luluh di telapak kakinya."

"Gurumu terlalu berlebihan memuji wanita," kata Walet Gading.

"Tapi kata-kata guru yang berlebihan itu memang ada benarnya, sebab wanita, terutama seperti kau, memang mempunyai sesuatu yang lebih dari wanita mana pun juga. Sesuatu itu makin lama akan semakin melumpuhkan ilmu ku, sehingga dengan mudahnya suatu saat kau dapat membunuhku."

Walet Gading tertawa kecil. "Jangan bicara begitu, Pandu Tawa. Lebih baik aku terluka parah daripada harus membunuhmu."

Sendang bening berair damai. Damai pula hati mereka yang saling menghamburkan rayuan demi rayuan, sehingga hati mereka saling terjerat dan terpi-kat. Sayangnya keindahan itu harus dihentikan karena Pandu Tawa mendengar suara seekor burung memekik di angkasa.

"Keaaak...! Kaaakk...!"

"Kaaakk...! Kaaakkkk...!"

Pandu Tawa sadar, bukan hanya seekor, melainkan dua ekor burung yang suaranya tak asing lagi bagi pendengarannya. Pandu Tawa segera berdiri, memandang ke langit, mencari-cari di sela dedaunan lebar yang rindang. Walet Gading juga memandang ke atas sambil berkata,

"Sepertinya aku pernah mendengar suara burung seperti itu!"

"Yang kutahu, itu pertanda sahabatku berada dalam jarak dekat dari sini. Suara burung itu adalah suara burung rajawali yang menjadi tunggangannya."

"Maksudmu... Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih?"

Pandu Tawa cepat memandang Walet Gading, "Kau mengenai mereka?"

"Ya. Aku kenal dengan mereka. Dulu mereka pernah datang menjemput seorang calon ketua perguruanku yang bernama Tua Usil dan...."

"Tunggu, tunggu...!" Pandu Tawa terperanjat, "Kau mengenal si Tua Usil juga?! Hei... siapa kau ini sebenarnya?"

"Walet Gading."

"Edan!" Pandu Tawa menghantam tangan kanannya ke telapak tangan kirinya. Lalu ia tertawa geli sendiri memikirkan hal itu.

"Justru aku pergi untuk mencari Yoga, untuk membantu dia dalam mencari seorang gadis yang bernama Walet Gading! Rupanya aku malah sudah sejak tadi bersama Walet Gading?! He he he...."

Air telaga yang bening itu berguncang kuat, kare-na sepasang burung rajawali mendarat di tepian telaga. Merusakkan beberapa dedaunan, menimbulkan angin besar karena kepakan sayap mereka. Yoga dan Lili sama-sama tersenyum geli melihat Pandu Tawa sudah bersama Walet Gading. Lili berkata menyindir kepada Yoga,

"Rupanya Pandu Tawa sekarang lebih sakti dari dirimu, Yo! Buktinya dia sudah lebih dulu berhasil menemukan Walet Gading, dan... kelihatannya sudah mampu menjerat hati sang walet."

Pandu Tawa dan Walet Gading tertawa. Kemudian, mereka mulai membicarakan masalah yang sebenarnya. Walet Gading tampak surutkan keceriaannya mendengar Tua Usil mengigau dengan suara tua yang diduga adalah suara Ki Pamungkas. Hati Walet Gading terharu mengenang almarhum gurunya.

"Kalau begitu," kata Walet Gading, "Bawalah aku secepatnya bertemu Tua Usil. Pasti ada sesuatu yang akan disampaikan oleh Guru kepadaku melalui raga Tua Usil."

"Kurasa hanya Batu Delima Sutera itulah yang ingin ditanyakan kepadamu, Walet Gading," kata Lili. "Sebaiknya jika kau mempunyai atau menyimpan batu tersebut, bawalah serta batu itu."

"Aku memang menyimpan batu itu, tapi aku harus bicara dulu dengan Guru melalui raga Tua Usil itu. Sewaktu-waktu aku bisa saja mengambil batu tersebut, jika benar batu itu yang dibutuhkan."

Lili mengetahui maksud Walet Gading. Gadis itu tidak mudah percaya begitu saja, dan ingin membuktikan kebenaran kabar tersebut. Dalam hati Lili memuji kewaspadaan Walet Gading yang cukup tinggi dan tidak mau bertindak dengan gegabah.

Yoga segera berkata, "Kalian berangkatlah membawa Walet Gading. Aku akan mencari tempat tinggal Ki Reksobumi. Karena dia tahu rahasia Tengkorak Hi-tam. Aku penasaran jika belum menyingkapkan rahasia tersebut."

Walet Gading menyahut, "Ki Reksobumi tinggal di kaki Bukit Sangga Buana. Arahnya di sebelah barat. Carilah dia di sana! Aku pernah datang ke tempat ting-galnya, karena muridnya yang bernama Roro Intan itu adalah teman baik ku."

"Baiklah. Sekarang juga aku akan menuju Bukit Sangga Buana!" kata Yoga, lalu Pandu Tawa menimpali,

"Aku ikut kamu, Yo! Aku lebih tertarik untuk menyingkap tabir rahasia Tengkorak Hitam itu!"

Sebenarnya Walet Gading lebih setuju jika Pandu Tawa ikut bersamanya. Tetapi agaknya perasaan seperti itu harus disembunyikan dulu supaya ia tidak terlihat terlalu memburu hati pemuda tampan berambut panjang yang diikat menjadi kuncir berikat pita merah itu. Mereka terpaksa berpisah. Walet Gading ikut Lili, dan Pandu Tawa mengikuti Pendekar Rajawali Merah.

Di atas punggung burung Rajawali Merah, Yoga dan Pandu Tawa sempat membicarakan tentang kekejaman Tengkorak Hitam. Pandu Tawa berkata, "Baru sekarang aku mendengar ada tokoh sesat berjuluk Tengkorak Hitam. Mungkinkah dia anak buah Malaikat Gelang Emas, jika ditilik dari ciri-ciri pakaian dan senjatanya yang meniru penampilan sosok El Maut itu."

"Aku tidak bisa memastikan. Yang jelas, Tengkorak Hitam pasti punya maksud sendiri mengapa ia membantai penduduk desa tersebut secara satu persa-tu. Mungkin...," Yoga terhenti bicaranya karena suara Pandu Tawa berseru,

"Hei, lihat di sebelah kanan itu...! Seseorang sedang bertempur melawan tokoh berpakaian hitam dan bersenjata pusaka El Maut!"

"Celaka! Itu yang bernama Ki Reksobumi! Rupanya ia bertarung melawan Tengkorak Hitam!"

"Lekas turun, Yo! Bantu dia!"

Agaknya Tengkorak Hitam sengaja memburu Reksobumi untuk menewaskan muridnya, yaitu Roro Intan. Karena Roro Intan berhasil membuka kedok Tengkorak Hitam dan mengetahui siapa yang ada di balik kedok Tengkorak Hitam dan mengetahui siapa yang ada di balik kedok berwajah tengkorak itu. Dan rupanya Tengkorak Hitam sudah menemukan tempat tinggal Roro Intan bersama gurunya. Tetapi sudah pasti sang Guru membela muridnya agar tidak sampai terbunuh oleh tangan Tengkorak Hitam.

Adu kesaktian terjadi beberapa kali di antara mereka berdua. Tengkorak Hitam ternyata bukan tokoh yang mudah dilumpuhkan. Bahkan Reksobumi sempat terdesak beberapa kali dan mengalami luka di beberapa tempat. Namun Reksobumi tetap mempertahankan agar jangan sampai Tengkorak Hitam menemukan Roro Intan di dalam tempat kediamannya. Reksobumi tetap berusaha mengusir Tengkorak Hitam dengan mengerahkan segala kemampuannya.

Tongkat berujung sabit panjang itu melayang tepat di atas kepala Reksobumi. Wuuuttt...! Jika Reksobumi tidak segera tundukkan kepalanya, maka terpenggal telak leher Reksobumi saat itu juga. Tapi kibasan tongkat El Maut itu rupanya mempunyai gelombang tenaga dalam yang amat besar. Ketika Reksobumi menundukkan kepala, ia seperti terkena hantaman kuat pada kepala tersebut. Seluruh bagian kepala bagaikan kesemutan dan terasa berat didonggakkan kembali.

Tengkorak Hitam memutar tongkatnya, Wuuutt...! Kemudian gagang tongkat disodokkan ke punggung Reksobumi. Duuuhg...!

"Ahg...!" Reksobumi jatuh tersungkur dengan punggung terbakar dan menjadi hangus. Pakaiannya mengepulkan asap dan memancarkan bara api, sisa pembakaran. Tengkorak Hitam masih belum puas jika belum membunuh Reksobumi dengan ujung sabit mautnya itu. Maka tongkat itu pun diayunkan dengan bagian sabit yang runcing mengarah ke punggung Reksobumi.

Wuuttt...! Blaarrr...!

Sinar merah melesat dari mata burung rajawali atas perintah Yoga. Sinar merah itu tepat mengenai ujung sabit El Maut yang berkekuatan tenaga dalam itu. Maka, meledaklah benturan sinar dengan benda tersebut. Terpental pula tongkat itu, tak jadi mengenai tubuh Reksobumi.

Tengkorak Hitam terkejut dan cepat memandang ke atas. Sebelum burung besar itu mendarat, Pandu Tawa sudah lebih dulu melompat dengan tangannya menyentak ke depan dan keluarkan cahaya biru bagaikan kilatan petir di waktu mendung.

Claapp...!

Reksobumi mengerang di tanah. Tengkorak Hitam melompatinya dalam keadaan mundur, sambil tongkatnya diputar dengan cepat bagai membentuk perisai bagi dirinya. Akibatnya sinar biru Pandu Tawa itu tak berhasil kenai tubuhnya secara telak, melainkan meledak akibat terkena putaran tongkat itu.

Duaaarr...!

Tubuh manusia berkerudung hitam dan mengenakan kedok tengkorak itu terlempar jatuh dalam jarak empat tindak dari tempatnya. Yoga yang segera melompat dari punggung rajawali cepat-cepat lepaskan pukulan bergelombang tinggi.

Wuukkk...! Blaabb...!

Pukulan itu sempat ditahan dengan tangan kiri Tengkorak Hitam yang keluarkan gelombang berkekuatan besar juga. Tetapi ia justru terpental dan jatuh bersama tongkatnya dalam jarak tujuh langkah. Tengkorak Hitam menjadi tegang. Ia mempunyai perhitungan tersendiri, sehingga ia tak segan-segan untuk cepat-cepat melarikan diri, karena merasa tak cukup mampu bertahan menghadapi dua pemuda tampan itu. Pandu Tawa segera mengejar Tengkorak Hitam, namun tak berhasil.

Yoga buru-buru menolong Reksobumi. Tapi ia terlambat. Reksobumi terluka sangat parah akibat sodokan tongkat tadi. Ia hanya bisa berkata dengan suara lirih tertahan, Tolonglah... muridku itu...." lalu ia menghembuskan napas terakhir. Yoga tak mampu berbuat apa-apa lagi.

ENAM
KEADAAN Roro Intan sungguh menyedihkan. Racun dari senjata rahasia yang mengenalnya mulai membusukkan bagian yang terluka. Wajah Roro Intan berwarna biru legam. Rupanya Reksobumi belum sempat sembuhkan muridnya, tapi harus segera berhadapan dengan Tengkorak Hitam. Jika Yoga dan Pandu Tawa tidak turut campur dalam pertarungan itu, maka Reksobumi dan Roro Intan sama-sama kehilangan nyawanya.

Untung Yoga dan Pandu Tawa cepat datang. Yoga segera sembuhkan luka berat yang diderita oleh Roro Intan. Akibatnya, gadis itu berhasil tertolong dan tidak ikut kehilangan nyawa seperti gurunya. Hati Roro Intan amat sedih setelah ia sadar dan merasa bebas dari derita racun ganas itu. Roro Intan sempat menangis ketika Pandu Tawa dan Yoga memakamkan jenazah Reksobumi.

"Apa pun jadinya, kekejaman ini harus kubalas! Tengkorak Hitam harus mati di tanganku, tak peduli ia punya ilmu lebih tinggi dariku. Aku tetap akan menebus kematian Guru dengan caraku sendiri!" geram Roro Intan sambil mengeraskan genggaman tangannya.

Yoga mencoba membujuknya, "Cukup satu saja dari pihakmu yang menjadi korban Tengkorak Hitam. Jangan tambah satu korban lagi, Roro Intan. Mengenai Tengkorak Hitam dan kekejiannya, serahkan kepadaku dan Pandu Tawa. Kami akan menangkapnya, membuka kedoknya di depan umum dan menyerahkan kepada penguasa setempat sebagai tawanan yang layak diadili sebagaimana mestinya."

"Kau selalu menganggap ilmuku lebih rendah dari Tengkorak Hitam!"

"Bukan itu maksudku, Roro Intan," kata Yoga setenang mungkin. "Jika gurumu saja kalah dan tewas di tangannya, bagaimana dengan dirimu yang hanya sebagai murid Ki Reksobumi?"

Pandu Tawa memberanikan diri menimbrung kata, "Benar apa kata Yoga, Roro Intan. Sepertinya, Tengkorak Hitam memang harus kami lumpuhkan dulu. Setelah itu terserah padamu. Yang jelas kami akan serahkan kepada penguasa setempat dan berundinglah dengan mereka untuk menangani nasib Tengkorak Hitam nantinya."

Roro Intan diam dengan kecamuk batinnya sendiri. Ia merasa masih punya satu ilmu andalan yang belum sempat digunakan saat bertarung dengan Tengkorak Hitam. Tetapi agaknya niatnya itu dihalang-halangi oleh dua pemuda tampan tersebut. Sekalipun demikian, Roro Intan tahu apa maksud Yoga dan Pandu Tawa menghalangi niatnya. Bukan karena niat jahat, melainkan ingin menolongnya dalam membalas dendam kepada Tengkorak Hitam.

Ketika Roro Intan merenungkan hal itu, Pendekar Rajawali Merah mendekatinya dan berkata, "Sebelum segalanya terjadi, ku mohon kau mau jelaskan kepadaku, wajah siapa yang ada di balik kedok tersebut, Roro Intan."

Gadis itu menatap Yoga, diam beberapa saat dengan mata tak berkedip, namun memancarkan dendam yang tertahan. Ketika Pandu Tawa mendekat dan berkata pula, "Sebaiknya katakan saja, supaya kami bisa menangkapnya secepat mungkin, Roro Intan."

Maka gadis itu pun menjawab. "Yang kulihat di balik kedok itu adalah wajah anak pemilik kedai."

Yoga tersentak kaget. Matanya sempat melebar. "Maksudmu.... Maksudmu anak Ki Bantarsuko yang bernama Sulastri itu?"

"Ya!" jawab Roro Intan dengan geram yang kuat. "Gadis itulah yang mengenakan kedok tengkorak!"

"Ap... apa... apakah kau tak salah lihat?"

"Cahaya api pada malam itu menampakkan raut wajahnya dengan jelas. Karena aku mengetahuinya, maka dia memburu ku supaya tidak mengatakannya kepadamu, maupun kepada orang-orang Desa Kekanjengan. Tetapi baru kalian berdua yang mendengar pengakuanku ini!"

Bagai petir menyambar di depan mata saat Yoga mendengar jawaban Roro Intan tadi. Telinganya terasa rusak dan sepertinya tak yakin dengan apa yang didengarnya.

"Sulastri...?!" gumam Yoga di dalam hatinya ketika merenungkan hal itu sambil tubuhnya bersandar pada batang pohon. "Sungguh sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, bahwa Tengkorak Hitam itu adalah Sulastri. Gadis itu berkesan sebagai gadis desa yang lugu dan tak kenal dosa. Bahkan ketika ia menceritakan padaku tentang kekejaman Tengkorak Hitam, ia bergidik berulang kali karena merasa ngeri dan merinding. Benarkah gadis selembut Sulastri itu menjadi malaikat El Maut setiap malam tiba? Rasa-rasanya tak mungkin. Siapa pun tak mudah mempercayai berita ini. Tapi toh Roro Intan melihatnya dengan mata kepala sendiri!"

Kepada Pandu Tawa pun Yoga mengatakan hal itu dengan terlebih dulu menjelaskan sikap dan tingkah laku yang polos dari gadis bernama Sulastri itu. Yoga terang-terangan mengatakan bahwa dirinya sangsi dengan pengakuan Roro Intan.

"Tetapi Roro Intan merasa sanggup menangkap dan menyeret siapa orang yang menjadi Tengkorak Hitam selama ini. Sekarang juga ia merasa mampu membuktikannya, bahwa Sulastri mempunyai ilmu cukup tinggi. Bukan sekadar gadis desa yang polos, lugu, dan lemah," kata Pandu Tawa mengingatkan per-timbangan Yoga. Sambungnya lagi.

"Di dunia ini tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Semua yang tidak mungkin bisa saja terjadi walau hanya sekali dalam sejarah kehidupan bumi. Orang tenang bukan berarti orang pendiam, Yo. Orang lemah bukan berarti orang yang mudah diinjak. Orang lugu pun belum tentu seorang yang bersih hatinya. Ingat-ingatlah, mungkin ada sesuatu yang janggal dan kau alami di sana, tapi belum kau sadari saat itu. Barang-kali sekarang setelah tahu siapa Sulastri, kau bisa te-mukan dan rasakan kejanggalan itu memang ada."

Cukup lama Yoga merenung dan mengingat-ingatnya, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dapat menimbulkan kecurigaan pada diri Sulastri. Satu-satunya kejanggalan yang bisa dianggap mencurigakan adalah sikap Ki Bantarsuko. Pemilik kedai itu melarang Yoga keluar pada saat suara jeritan tengah malam itu terdengar. Ki Bantarsuko tidak izinkan Yoga cepat-cepat keluar, melainkan menunggu beberapa saat dulu, baru mereka keluar bersama. Dan pada malam itu Yoga tidak sempat berpikir tentang Sulastri.

"Barangkali saja ayah Sulastri tak ingin kau memergoki anaknya memakai pakaian El Maut pada saat gadis itu akan masuk ke dalam rumah. Setelah gadis itu masuk rumah dan berganti pakaian, barulah Ki Bantarsuko mengizinkan kau keluar dari kamar. Seandainya kau bertemu Sulastri, maka kau tidak akan curiga bahwa gadis itu adalah orang yang habis membunuh," tutur Pandu Tawa menjabarkan dugaannya.

Yoga manggut-manggut sebentar dalam renungannya, kemudian berkata kepada Pandu Tawa, "Tapi mengapa Ki Bantarsuko juga merasa ketakutan dan menutup kedainya begitu petang tiba? Bahkan ia mengingatkan aku agar jangan mengadakan perjalanan malam melintasi desa tersebut. Ia juga tak keberatan jika aku menyewa kamarnya untuk bermalam di situ?"

"Jika Ki Bantarsuko tidak merasa takut dan segera menutup kedai, maka orang akan curiga padanya, dan dapat ketahuan rahasia itu. Jika ia tidak melarangmu mengadakan perjalanan malam, maka ia tidak menampakkan diri di depanmu sebagai orang tak berdosa. Kurasa Ki Bantarsuko mengetahui tentang sikap dan prilaku anak gadisnya itu! Masalahnya sekarang, alasan apa yang membuat ayah dan anak itu seakan menjadi El Maut bagi orang banyak? Apakah mereka sedang menuntut ilmu yang harus mempunyai tumbal sekian nyawa?"

"Ilmu apa itu?"

Pandu Tawa angkat pundak, "Tak tahulah. Mungkin saja begitu. Karena menurut ceritamu dapat ku simpulkan bahwa Ki Bantarsuko seolah-olah mendukung segala apa pun yang dilakukan oleh Sulastri."

Sungguh membingungkan masalah itu bagi Yoga. Hati kecilnya menyanggah tuduhan bahwa Sulastri adalah si Tengkorak Hitam. Tapi ia alami pula sikap janggal dari Sulastri dan Ki Bantarsuko. Sulastri sempat berkata kepada Yoga pada waktu menceritakan tentang Tengkorak Hitam di dalam kamar yang disewa Yoga itu,

"Tengkorak Hitam punya orang kuat yang memi-haknya. Karena itu Tengkorak Hitam tidak pernah merasa takut kepada siapa pun."

Dan pada waktu itu Yoga bertanya, "Siapa yang kuat yang memihak Tengkorak Hitam?"

"Yaaah... tentu saja gurunya sendiri, Tuan."

"Siapa gurunya Tengkorak Hitam?"

"Entah. Mungkin gurunya adalah Tengkorak Kuning atau Hijau. Saya tidak tahu tentang gurunya itu," jawab Sulastri dengan polosnya.

Dalam hati Yoga saat ini berkata, "Apakah kepolosan bicara seperti itu patut dijadikan bahan kecurigaan juga? Atau... barangkali saja Sulastri adalah gadis yang pandai bermain sandiwara? Jika benar begitu, maka pantaslah jika ia mampu bersikap pura-pura polos dan lugu di depanku!"

Persoalan itu memang persoalan yang membuat hati Yoga penasaran. Karenanya, Yoga mengajak Pandu Tawa dan Roro Intan untuk berembuk lebih matang dalam upaya menangkap Tengkorak Hitam. Menurut Yoga, jika ia dan Pandu Tawa tidak segera bertindak, maka akan lebih banyak lagi korban tak bersalah yang menjadi sasaran kekejian Tengkorak Hitam tersebut.

Yoga bermaksud membawa Pandu Tawa untuk bermalam di desa tersebut. Roro Intan ingin ikut bersama mereka, tetapi Yoga berkata, "Jangan muncul dulu. Kau masih jadi bahan incaran Tengkorak Hitam. Mungkin orang yang melemparkan senjata rahasia padamu itu adalah si Tengkorak Hitam, dan ia pikir kau mati karena racun yang menurutnya tak ada yang bisa menyembuhkannya. Jadi kalau kau muncul di sana, maka ia tahu bahwa kau masih hidup dan ia akan memburumu lagi!"

"Aku siap menghadapinya!" kata Roro Intan berapi-api.

"Bukan soal siap atau tidak, tapi aku ingin usahaku ini berjalan lancar tanpa ada gangguan dari siapa pun. Aku punya rencana matang dalam hal ini," kata Yoga. "Pandu Tawa harus bisa menemui Ki Lurah dan seolah-olah melamar sebagai penjaga malam. Aku akan menginap di kedai Ki Bantarsuko dan selalu ada di dekat Sulastri. Kita akan tahu, apakah selama Sulastri berada di dekatku si Tengkorak Hitam masih berkeliaran pada malam hari atau tidak. Jika Tengkorak Hitam berkeliaran pada malam hari, Pandu Tawa pasti akan tahu. Jika keadaan begitu maka Sulastri bukan si Tengkorak Hitam. Tapi jika selama Sulastri ada di dekatku, tapi Tengkorak Hitam tidak pernah muncul, berarti Sulastrilah si Tengkorak Hitam Itu. Tinggal nanti bagaimana kita mengatur jebakannya!"

Menurut Pandu Tawa, itu gagasan yang bagus. Ia tidak keberatan menjadi penjaga malam di desa tersebut. Ia bahkan tak sabar segera ingin menemui Teng-korak Hitam dalam keadaan mau melakukan kejahatan. Karena dalam hati Pandu Tawa sendiri menyimpan kegeraman dan rasa penasaran, ingin membongkar kedok Tengkorak Hitam.

Rencana itu segera dilakukan, Ki Lurah Wikuto Legawa dengan senang hati menerima lamaran Pandu Tawa sebagai penjaga malam. Pada mulanya Ki Lurah Wikuto Legawa menyangsikan tentang upah yang hanya tersedia tak seberapa banyak, tapi Pandu Tawa menyatakan diri tidak terlalu memikirkan tentang upah tersebut.

Sementara itu. Yoga kembali bermalam di rumah kedai Ki Bantarsuko. Lelaki tua itu sangat senang dan tampak gembira menerima kedatangan Yoga kembali. Sulastri pun tersenyum-senyum ceria dan tanpa dis-uruh telah membersihkan kamar untuk tempat berma-lam pemuda tampan tersebut. Bahkan ketika Yoga berpapasan di depan kamar dengan Sulastri, gadis itu tersenyum malu ketika Yoga bertanya,

"Apakah kau keberatan jika aku bermalam di sini sampai beberapa hari, Sulastri?"

"Tidak, Tuan. Saya malah merasa senang dan merasa aman jika Tuan ada di sini pada malam hari."

"Aman bagaimana?"

"Aman dari gangguan Tengkorak Hitam," jawab gadis itu sambil menampakkan sikap tersipu-sipu. "Jika Tuan bermalam di sini, saya tidak merasa khawatir mendapat giliran disambangi Tengkorak Hitam. Saya yakin, Tengkorak Hitam takut kepada Tuan."

"Dari mana keyakinanmu itu ada?"

"Karena... karena saya tahu, Tuan berilmu tinggi."

Dalam hati Yoga hanya berkata, "Orang yang bisa melihat seseorang berilmu tinggi atau rendah hanyalah orang yang bisa merasakan getaran tenaga seseorang melalui kepekaan indera berilmu tinggi. Apakah Sulastri mempunyai kepekaan indera berilmu tinggi?"

Maka, Yoga pun semakin penasaran dan segera memancingnya dengan pertanyaan, "Dari mana kau tahu kalau aku berilmu tinggi?"

"Dari ayah," jawab Sulastri. "Ayah menceritakan kehebatan Tuan pada saat mengobati luka-lukanya Roro Intan."

Yoga menggumam lirih, tersenyum tipis, tapi hatinya sedikit menggerutu, "Sial! Rupanya berdasarkan itu dia menilaiku. Kupikir karena dia mempunyai kepekaan indera. Tapi... tapi siapa tahu dia membelokkan arah kecurigaanku?"

Ki Bantarsuko pun mempunyai sikap dan angga-pan seperti anak gadisnya, bahwa ia merasa aman jika Yoga ada di rumahnya. Bahkan Ki Bantarsuko tidak mau menerima uang penginapan dari Yoga, ia berkata,

"Setelah saya tahu siapa Tuan Yoga, silakan saja Tuan bermalam di sini sampai kapan pun, tanpa saya pungut uang penginapan. Karena Tuan telah mem-bayarnya dengan keamanan yang saya peroleh bersa-ma anak gadis saya itu. Nilai keamanan dan rasa ten-teram ini jauh lebih besar daripada nilai uang sewa kamar untuk satu bulan."

"Tapi kau akan rugi, Ki. Penghasilanmu akan berkurang."

"Ah, tidak. Penghasilan saya sudah cukup dengan menjual makanan dan minuman kedai. Untuk apa saya punya penghasilan lebih banyak jika ketenteraman hati saya tidak terjamin?"

Percakapan itu dimanfaatkan oleh Yoga untuk mengorek keterangan dari mulut Ki Bantarsuko dan memancing kebenaran sikap pemilik kedai itu. Tentu saja Yoga memancing berbagai pertanyaan dengan hati-hati, supaya tidak terlihat sedang melakukan penyelidikan tersembunyi.

"Sejak munculnya Tengkorak Hitam, apakah dia pernah menyambangi kedaimu ini, Ki?"

"Belum pernah, Tuan. Sama sekali belum pernah dan mudah-mudahan jangan sampai! Saya dan Sulastri masih ingin punya umur panjang," jawab lelaki tua itu dengan apa adanya.

"Menurutmu, apakah Tengkorak Hitam itu betul-betul hantu dari liang kubur atau manusia berkedok tengkorak?"

"Wah, saya tidak bisa memastikan, Tuan. Karena saya belum pernah berjumpa dengannya, dan saya juga tidak ingin jumpa walau satu kali pun. Saya masih ingin hidup, Tuan," sambil Ki Bantarsuko tersenyum-senyum dalam wajah tuanya.

"Kasihan warga desa ini. Tiap malam terancam maut. Anehnya mengapa desa ini yang dijadikan sasaran oleh Tengkorak Hitam, Ki?"

"Itu yang membuat saya heran, Tuan. Padahal ada desa lain yang tak jauh dari sini, tapi desa itu aman-aman saja."

"Kira-kira dari mana kemunculan Tengkorak Hitam itu?"

"Ya, kalau menurut kabar-kabarnya, Tengkorak Hitam muncul dari Jurang Ajal dan menghilangnya di sekitar sana juga. Apakah di sana ada rumah atau tempat persembunyian, kami belum ada yang berani memeriksanya, Tuan. Sebab takut kalau sewaktu-waktu kami kepergok di sana pada saat memeriksa tempat itu."

"Lho, apakah dia pernah muncul siang hari?"

"Ada yang pernah melihatnya, Tuan. Tapi dia tidak kemari, melainkan melintas di perbatasan desa saja. Dan hanya pada tengah malam dia datang lakukan pembantaian keji di desa kami ini!"

* * *

Walaupun matanya sudah merah karena menahan kantuk, Sulastri masih bersemangat mendengarkan cerita Yoga tentang petualangan asmara para tokoh sakti di rimba persilatan. Sampai larut malam Yoga masih kuat menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar dari orang-orang rimba persilatan.

Sulastri merasa mempunyai keindahan tersendiri dalam mendengarkan obrolan Yoga itu. Tetapi keindahan yang mendebar-debarkan hati itu terpaksa harus terputuskan karena malam yang sepi itu tiba-tiba dirobek oleh jeritan panjang yang menyayat hati dan merindingkan bulu roma.

"Aaaa...!" Sulastri tersentak kaget dengan mata ngantuknya membelalak lebar.

Yoga pun terperanjat dan segera berkata, "Pembunuhan lagi?!"

"Iiya... iya, Tuan! Pasti.. pasti Tengkorak Hitam yang melakukan!"

Ki Bantarsuko terbangun dari tidurnya, bergegas menemui Yoga dan Sulastri. Seperti tempo hari juga, Ki Bantarsuko melarang Yoga untuk keluar dari rumah dan memohonnya agar menunggu beberapa saat setelah diperkirakan Tengkorak Hitam sudah pergi meninggalkan desa tersebut.

Tapi kali ini Yoga nekat, ia segera melompat dan pergi menghambur di tengah gulita malam. Matanya memandang dengan tajam ke berbagai penjuru. Sampai akhirnya ia temukan Pandu Tawa berlari ke arah utara. Yoga mengejarnya sampai ke perbatasan desa, dan ternyata Pandu Tawa berhenti, bermaksud mengejar ke arah selatan, namun ia berpapasan dengan Yoga.

"Bagaimana?" tanya Yoga lebih dulu.

"Kulihat kelebatan bayangan hitamnya, tapi cepat sekali ia menghilang. Aku kehilangan jejak!" jawab Pandu Tawa sedikit tegang, lalu ia bertanya, "Bagaimana dengan Sulastri?"

"Selalu ada di dekatku saat jeritan itu kudengar!"

"Hmmm...! Berarti memang bukan Sulastri yang menjadi Tengkorak Hitam. Lalu, apa maksud Roro Intan memfitnah Sulastri? Apakah dia punya maksud menyingkirkan Sulastri agar tidak memikat hatimu? Atau karena dia punya dendam pribadi kepada Sulastri?"

TUJUH

RORO Intan kembali ditemui oleh Pandu Tawa, sementara Yoga tetap bersama Sulastri di kedai itu. Roro Intan ngotot dan tetap mengaku melihat wajah Sulastri di balik kedok tengkorak warna hitam itu.

"Mataku belum buta!" katanya kepada Pandu Tawa yang datang ke Bukit Sangga Buana. "Aku sangat mengenali wajah Sulastri, karena ketika aku singgah di kedai itu, Sulastri kucurigai sebagai gadis yang selain membantu ayahnya membuka kedai juga bisa diajak ke mana-mana oleh setiap pria yang punya uang untuk membayar kehangatannya. Itulah sebabnya aku tahu persis wajahnya, karena aku punya dugaan buruk terhadapnya. Belakangan aku sadar, bahwa aku tak boleh punya anggapan seperti itu kepada perempuan yang bekerja di sebuah kedai. Aku memang salah dalam hal itu, tapi dalam penglihatanku aku merasa tidak salah lihat!"

"Barangkali kau punya persoalan pribadi dengan Sulastri?"

"Tidak ada!" jawabnya dengan tegas. "Aku mengenal namanya juga dari percakapanmu dengan Yoga kemarin."

"Atau... atau mungkin kau merasa iri dan takut kalau Yoga terpikat kepada Sulastri, sehingga kau ingin celakai Sulastri?"

Roro Intan membentak ketus, "Picik sekali otakmu, Pandu Tawa! Kenapa aku lakukan tindakan sebodoh itu kalau aku inginkan Yoga? Aku memang punya rasa kagum pada ketampanannya, tapi tidak semudah itu hatiku terpikat olehnya! Tak mungkin dugaanmu itu ada padaku!"

Gadis itu memandang dengan tajam. Warna hitam di tepian matanya membuat ia terkesan galak bagi Pandu Tawa. Galak namun cantik dan menarik, sehingga Pandu Tawa pun berkata, "Syukurlah kalau kau tidak terpikat oleh ketampanan Yoga! Aku merasa lega."

"Daripada aku terpikat padanya, lebih baik aku terpikat padamu!"

Pandu Tawa sunggingkan senyum geli. "Apa alasanmu berkata begitu?"

"Karena aku pernah mendengar cerita dari mendiang guruku, bahwa Pendekar Rajawali Merah adalah kekasih dari Pendekar Rajawali Putih. Jika aku tahu Yoga sudah punya kekasih, untuk apa aku merasa terpikat padanya? Cari penyakit saja itu namanya!"

"Tapi kau belum tahu kalau aku sudah punya kekasih atau belum."

"Aku tidak berminat menanyakannya!" kata Roro Intan dengan ketus. Matanya melirik Pandu Tawa, tepat pada waktu Pandu Tawa memandangnya. Roro Intan menggeragap dan salah tingkah, akhirnya berkata,

"Sudahlah, jangan melantur! Sekarang aku akan ke sana dan temui Sulastri untuk mendesaknya supaya mengaku!"

"Tidak, Roro Intan. Kau tidak boleh begitu. Sulastri jelas tidak bersalah, karena waktu terjadi pembunuhan Sulastri ada bersama Yoga. Jadi kau tidak bisa memaksa orang tak salah disuruh mengaku salah!"

Sesaat lamanya Roro Intan bersungut-sungut, lalu cemberut dalam renungannya. Ia seolah-olah tidak percaya dengan laporan Pandu Tawa mengenai hal itu. Tapi kemudian ia mempunyai gagasan baru yang segera dibicarakan kepada Pandu Tawa.

"Aku akan ikut bermalam di sana, untuk membuktikan dengan mata kepalaku sendiri, apakah Sulastri ada bersamaku jika Tengkorak Hitam berkeliaran di tengah malam?!"

"Tapi kau janji tidak akan memusuhi Sulastri?"

"Ya. Aku akan bersikap baik padanya. Tapi kalau terbukti dia yang menjadi Tengkorak Hitam, kalian tak boleh ikut campur, aku ingin bikin perhitungan sendiri dengannya! Karena ia telah membunuh guruku!"

Yoga dan Pandu Tawa akhirnya saling berhubungan secara bebas, dan rahasia tentang kepura-puraan mereka yang tidak saling kenal itu dibeberkan di depan Ki Bantarsuko. Roro Intan sendiri yang bicara kepada Ki Bantarsuko.

"Pada dasarnya saya curiga kepada anakmu itu, Ki Bantarsuko."

"Lho, mengapa Sulastri kau curigai, Nona?"

"Karena sewaktu aku berhasil membuka topeng Tengkorak Hitam, aku melihat wajah di balik topeng itu adalah wajah Sulastri, Pak Tua!"

"Seperti... maksudmu wajah itu seperti wajah Sulastri?"

"Betul!"

Ki Bantarsuko terbungkam dan merenung dengan dahi tuanya berkerut tajam. Wajah itu kian lama kian tampak murung dan sepertinya menyimpan kesedihan. Namun di depan Roro Intan dan Pandu Tawa, lelaki tua itu buru-buru membuang perasaan dukanya dan wajahnya dibuat ceria.

"Dia sepertinya menyimpan sesuatu yang dirahasiakan," kata Roro Intan kepada Pandu Tawa dalam bisikan. Pandu Tawa menganggukkan kepala pertanda ia sependapat dengan pikiran Roro Intan.

"Tak perlu didesak sekarang. Nanti pun ia akan ceritakan sendiri jika tak kuat memendam rahasia itu," ujar Pandu Tawa.

Kini keadaan terbalik, Pandu Tawa dan Roro Intan ada di rumah kedai tersebut, sedangkan Pendekar Rajawali Merah berkeliling desa sebagai penjaga malam. Selama dua malam Yoga berjaga-jaga, namun peristiwa pembunuhan tidak terjadi dan Tengkorak Hitam tidak berkeliaran. Hal itu membuat Roro Intan menjadi semakin curiga kepada Sulastri. Ia berkata kepada Pandu Tawa,

"Kau lihat sendiri, selama Sulastri setiap malam ada bersama kita, Tengkorak Hitam itu tidak berkeliaran. Apakah itu bukan berarti bahwa Sulastri terperangkap oleh kita dan tidak bisa menjadi Tengkorak Hitam? Coba renungkan, Pandu Tawa."

"Ya, memang begitu kenyataannya. Tapi barangkali saja suasana ini terjadi karena secara kebetulan. Aku lebih percaya dengan pengakuan Yoga. Bukan aku tak percaya dengan pribadimu, Roro Intan. Tapi dalam hal ini, kurasa Yoga tak mungkin memberikan pengakuan palsu hanya untuk membela Sulastri. Toh buktinya malam ini Yoga penasaran dan ingin temui Tengkorak Hitam sendiri. Sudah dua malam dia dibuat penasaran dengan keadaan yang kita hadapi ini."

Sebenarnya Roro Intan sedikit tersinggung kepada Pandu Tawa. Hampir saja ia menghantam Pandu Tawa dari samping kanan karena ia dianggap orang yang tidak bisa dipercaya. Tetapi Roro Intan dapat kuasai diri dan kendalikan perasaannya, mengingat Pandu Tawa tentunya sudah banyak mengetahui kepribadian Yoga karena lebih lama bergaul dengan Yoga ketimbang dengan dirinya. Roro Intan dapat memaklumi jalan pikiran Pandu Tawa.

Suatu malam ketika ia masih berada di rumah kedai Ki Bantarsuko, Roro Intan nekat mau korek keterangan dari Ki Bantarsuko mengenai kegelisahan lelaki tua itu sejak Roro Intan bermalam di situ. Tapi Pandu Tawa selalu melarangnya, terlebih setelah tahu bahwa setelah Ki Bantarsuko menutup kedainya, ia lebih banyak mengurung diri di kamar dan tak mau keluar-keluar.

"Agaknya ia tak bersedia bicara dengan siapa pun pada malam ini. Kita jangan mendesaknya, nanti masalahnya berubah lagi," kata Pandu Tawa kepada Roro Intan.

Sekalipun gadis itu tampaknya keras kepala, tapi terhadap saran-saran Pandu Tawa ia bisa menerimanya. Bahkan malam itu ia tampak terlibat percakapan diselingi canda kecil bersama Sulastri. Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah mengambil tempat di sudut desa, tempat sepi dan gelap yang menurutnya enak dipakai untuk melakukan pengamatan dari jarak jauh. Tak satu pun orang yang tahu bahwa Yoga ada di bawah pohon berlapis rumput ilalang itu.

Pada saat malam semakin sepi dan embun mulai datang, Yoga sempat dikejutkan oleh datangnya hawa panas dari arah belakangnya. Hawa panas itu terasa mendesak udara dingin di sekitar punggungnya, sehingga Yoga pun berkelebat berbalik badan sambil lepaskan pukulan tenaga dalam dari tangan kanannya. Wuuuttt...! Drraab...! Terdengar suara benda padat beradu dengan kuat.

"Ada yang ingin membokongku!" pikir Yoga. Ia cepat-cepat memancing orang tersebut ke tempat lega. Pada waktu itu, rembulan muncul separo bagian di balik awan putih membiru. Cahaya terang menyinari bumi secara samar-samar. Dengan memancing di tempat lega tak berpohon. Yoga akan dapat melihat sosok orang yang menyerangnya itu.

Pancingan itu berhasil membuat si penyerang gelap muncul dari balik persembunyiannya di atas pohon. Sebuah serangan kembali dilancarkan oleh orang tersebut. Yoga sengaja tidak menangkis dan tidak mengelak. Tapi lebih dulu ia persiapkan dadanya penuh dengan gelombang tenaga dalam peredam serangan lawan. Buukkk...!

Pukulan tenaga dalam jarak jauh tanpa sinar itu tepat kenai dada Yoga. Pemuda tampan itu pun segera roboh ke belakang dalam keadaan telentang. Hal itu membuat si penyerangnya mendekat dan memeriksa keadaan Yoga. Pada saat itulah kaki Yoga segera berkelebat naik dengan punggung berputar cepat.

Wuuuttt...! Plookkk...!

Tendangan yang tak disangka-sangka datangnya dan memang sulit ditangkis itu, tepat kenai wajah si penyerang gelap. Orang itu terpental ke bela-kang dalam keadaan terhuyung-uyung hendak jatuh. Yoga sendiri cepat-cepat sentakkan tangan ke tanah dan, wuusst...! Ia bagaikan belalang melenting ke atas lalu tahu-tahu kedua kakinya sudah berdiri tegak di tanah.

Jleegg...!

"Siapa kau?" sapanya langsung dengan suara tegas.

Seorang lelaki beruban dengan rambut dikuncir ke belakang telah berdiri sigap pula memandang Pendekar Rajawali Merah. Lelaki itu kenakan kain selempang warna putih, sama dengan warna jenggotnya yang sepanjang lewat batas leher. Kumis putihnya pun melengkung ke bawah, melebihi batas dagu. Menurut taksiran Yoga, lelaki tua itu berusia sekitar delapan puluh tahun. Badannya kurus, tapi tulang dan kulit-nya tampak keras serta alot.

"Perkenalkan, namaku Guntur Salju," kata orang tua itu.

Yoga mendekap telinganya kuat-kuat dan menyeringai kesakitan. Ucapan orang itu pelan, tapi mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi dan dapat memecahkan gendang telinga lawan bicaranya.

"Edan! Hanya dengan bicara sepelan itu ia mampu melukai gendang telingaku! Sungguh tinggi ilmu orang ini. Apa maunya menyerangku? Aku harus kerahkan tenaga perisaiku supaya tidak terlalu sakit mendengar kata-katanya itu!" pikir Yoga, kemudian menahan napasnya beberapa saat. Ia mengembalikan keadaan dirinya, mengusir rasa sakit yang berdenging-denging dalam telinganya. Setelah itu. Yoga pun tampak tenang kembali dan perisai tenaga dalamnya telah dipasang.

"Apa maksudmu menyerangku, "Ki Guntur Salju?!" tanya Yoga.

"Menyangka kau kawanannya si Tengkorak Hitam!" jawabnya, kali ini Yoga tidak rasakan sakit di telinga, walau nada suara Guntur Salju tetap sama seperti tadi. Hanya saja Yoga rasakan daun telinganya bergetar saat mendengar ucapan orang kurus itu.

"Kusangka kau mata-matanya Tengkorak Hitam yang memberi tahu kepadanya tentang kelemahan keamanan desa ini. Ternyata aku salah duga. Maafkan aku, Pendekar Rajawali Merah."

Yoga terkejut, "Dari mana kau yakin kalau aku bukan mata-matanya Tengkorak Hitam? Dari mana kau tahu gelarku itu?"

"Pedangmu adalah milik saudara angkatku yang bernama Dewa Geledek. Aku yakin, kau adalah muridnya. Aku tahu kau pun punya jodoh dengan seseorang yang menjadi istri saudara angkatku itu dan mempunyai nama Dewi Langit Perak. Akulah adik angkat Dewi Langit Perak."

Yoga langsung berlutut dan menghaturkan hormat kepada tokoh tua yang baru kali ini dilihatnya itu. "Maafkan saya, Eyang. Saya tidak bermaksud bersikap tidak sopan jika tadi telah membalas serangan Eyang Guntur Salju."

"Bangkit, Nak. Lupakan masalah itu. Aku datang hanya karena tertarik dengan ulah si Tengkorak Hitam yang di luar batas kemanusiaan. Kusangka di sini tidak ada kau, Nak. Kalau ku tahu kau ada di sini aku tak akan turun dan mencampuri urusan ini."

Pendekar Rajawali Merah segera berdiri dengan sikap masih sopan menghormat. Lalu, ia berkata kepada Guntur Salju, "Eyang Guntur Salju, saya bukan bermaksud lancang mencampuri wilayah kekuasaan orang lain, tapi saya hanya ingin menghentikan kekejaman Tengkorak Hitam."

"Ya, aku setuju. Syukurlah jika kau sudah turun tangan dalam masalah ini. Sebab aku sering mendengar penduduk desa sini terancam kengerian setiap malam, dan ancaman itu datang dari Tengkorak Hitam. Dari tempat pertapaanku aku sering mendengar mereka berharap agar ada orang yang mau menolong membebaskan mereka dari ancaman maut Tengkorak Hitam. Sudah beberapa waktu kudengar suara mereka dari pertapaanku, sampai aku merasa iba dan akhirnya merasa perlu turun tangan sendiri dalam pembebasan nanti."

"Jika begitu, kini segalanya saya serahkan kepada Eyang Guntur Salju," kata Yoga dengan rendah hati.

"Tidak. Karena ku tahu sudah ada dirimu, maka kuserahkan persoalan ini padamu, Nak! Kerjakan apa yang diajarkan oleh gurumu! Hanya saja perlu ku ingatkan, hati-hatilah terhadap orang di belakang Tengkorak Hitam. Dia punya ilmu cukup tinggi."

"Siapakah orang yang ada di belakang Tengkorak Hitam itu, Eyang?"

"Nanti kau akan tahu kalau saatnya sudah tiba. Sekarang aku ingin temui keluarga Bantarsuko, karena ada yang ingin kubicarakan dengannya. Tolong antarkan aku ke rumah Bantarsuko!"

"Dengan senang hati, akan saya antar ke sana, Eyang!" tapi dalam hati Yoga bertanya-tanya.

"Sejak kapan Eyang Guntur Salju mengenal Ki Bantarsuko? Pembicaraan penting yang bagaimana yang dimaksud Eyang? Apakah Ki Bantarsuko adalah murid Eyang Guntur Salju? Ah, aku tak yakin."

Pandu Tawa terkejut ketika Yoga datang bersama tokoh tua berbadan kurus itu. Pandu Tawa segera berlutut memberikan hormat, "Menghaturkan hormat, Eyang Guntur Salju," ucap Pandu Tawa.

"Hmmm...! Ya, kuterima hormatku, Pandu Tawa. Aku merasa senang kau ada di sini dan bergabung dengan murid Dewa Geledek itu. Bagaimana kabar tentang kakekmu; Wejang Keramat?"

"Beliau dalam keadaan baik-baik dan sehat-sehat saja, Eyang!"

Dalam hati Yoga berkata, "Rupanya Pandu Tawa juga mengenal Eyang Guntur Salju. Bahkan tampaknya lebih dulu ia mengenai Eyang Guntur Salju sebelum peristiwa malam ini ketimbang diriku."

"Senang sekali hatiku mendengar sahabatku Wejang Keramat dalam keadaan baik-baik saja," kata Eyang Guntur Salju. "Tapi aku sungguh sedih melihat nasibmu, Bantarsuko."

Ki Bantarsuko menunduk hikmat. Guntur Salju berkata lagi, "Mengapa kau tidak ikuti jejak ayahmu, menjadi murid ku? Seandainya waktu itu kau mau menjadi muridku, seperti ayahmu, kau tidak akan menjadi penduduk desa yang polos tanpa ilmu apa-apa, Bantarsuko."

"Maaf, Eyang."

"Setidaknya dalam masalah yang kau hadapi sekarang ini, kau bisa melepaskan diri dan mengatasinya sendiri, Bantarsuko...!"

Tiba-tiba terdengar suara jeritan di kejauhan sana yang menggema ke mana-mana, "Aaaa...!"

Semua orang terkejut, kecuali Guntur Salju. Mata mereka menegang, terutama Roro Intan. Gadis itu memandang Sulastri yang berdiri di belakang bapaknya. Ternyata Sulastri ada di situ saat terjadi pembunuhan di kejauhan sana.

Guntur Salju memandang Yoga dan berkata, "Kita telah kecolongan. Kejar dia dan selesaikan dengan baik!"

Yoga memberi hormat sebentar, kemudian melesat pergi penuh semangat. Pandu Tawa dan Roro Intan segera mengikutinya. Mereka berpencar dalam mencari Tengkorak Hitam. Pandu Tawa sempat tiba di rumah korban dan jerit tangis memilukan memenuhi rumah tersebut. Setiap mulut mereka yang datang selalu mengucap nama Tengkorak Hitam.

Pandu Tawa tinggalkan tempat itu, kembali lakukan pencarian terhadap orang yang berpakaian hitam dari kepala sampai kaki itu. Gerakan Pandu Tawa lebih lincah lagi. Namun ia kalah gesit dengan Pendekar Rajawali Merah yang malam itu menemui keberuntungan besar yaitu dapat mencegat gerakan lari seseorang yang hendak melintasi perbatasan desa. Orang berpakaian hitam itu adalah si Tengkorak Hitam.

"Berhenti!" sentak Yoga tak mau menyerang lebih dulu.

Tapi Tengkorak Hitam tak mau banyak bicara. Ia langsung kibaskan tongkat El Maut-nya. Wuungng...! Begitu cepatnya hingga tenaga dalam yang tersalur pada tongkat itu menyebar dan menghentak mengenai kepala Yoga. Buuhg...! Akibatnya Yoga terlempar ke samping dan terguling-guling.

Wuuuttt...! Jraabb...!

Tengkorak Hitam ayunkan tongkat sabit panjang itu. Sasarannya adalah punggung Yoga. Tetapi Yoga dapat melompat lebih cepat hingga sabit panjang itu menancap di tanah. Kesempatan itu digunakan oleh Yoga untuk menghajar pinggang Tengkorak Hitam dengan tendangan berkekuatan tenaga dalam tinggi.

Buuuhg...!

Yoga melihat lawannya berguling-guling. Tapi tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi. Claapp...! Yoga sempat kebingungan mencarinya., Tahu-tahu Tengkorak Hitam sudah berada di belakang Yoga dan mengayunkan senjatanya dari atas ke bawah. Yoga yang tak bisa dibokong begitu saja, segera kelebatkan badan kembali dan tangan menyentak kuat. Wuuttt...! Claapp...! Sinar merah keluar dari telapak tangan Yoga, arahnya lurus menghantam sabit bergagang tongkat itu.

Blegaaarrr...!

Ledakan teramat keras sempat mengguncangkan bumi sekitarnya. Genteng rumah penduduk sempat ada yang melorot beberapa tempat. Ledakan yang membahana itu membuat Pandu Tawa, Roro Intan, dan para pemuka masyarakat desa berlarian menuju ke arah perbatasan.

Tongkat itu patah, sabitnya hancur menjadi beberapa keping karena terkena pukulan sinar merah dari tangan Yoga. Hal itu membuat Tengkorak Hitam menjadi amat berang. Ia segera melompat menyerang Yoga dengan tangan siap menghantam. Tapi Yoga segera menyongsongnya dengan satu lompatan pula yang membuat kedua tangan mereka sama-sama saling bertemu di udara. Plak, Blarrr...!

Nyala hijau kemerah-merahan terpancar dari perpaduan telapak tangan mereka. Sampai mereka sama-sama mendaratkan kaki ke bumi, tangan mereka masih saling beradu. Mereka mengerahkan tenaga dalam, sampai pertemuan tangan mereka mengepulkan asap putih kehitaman.

Pada saat itulah Pandu Tawa, Roro Intan dan yang lainnya datang ke tempat itu dan menyaksikan pertarungan adu tenaga dalam tersebut. Tapi Roro Intan tidak tahan memendam dendamnya. Terbayang kematian sang Guru yang menyedihkan hati itu. Maka, Roro Intan segera lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi. Ia melompat dan hantamkan telapak tangannya ke punggung Tengkorak Hitam.

Blaaarr...!

Craas...! Darah menyembur dari setiap lubang tubuh Tengkorak Hitam, termasuk dari pori-porinya. Tubuh dan wajah Yoga menjadi sasaran semburan darah tersebut. Kejap berikutnya, tubuh Tengkorak Hitam tumbang bagaikan sebatang gedebong pisang. Buuuhg...! Nyawanya masih sempat tersendat-sendat, lalu lepas tinggalkan raga.

Orang banyak berkerumun saling berdesakan ingin melihat wajah di balik topeng tengkorak itu. Ketika Yoga membukanya, semua berseru dengan nada gumam,

"Widosukmi...?! Ya ampuuun....?!"

"Tidak. Tidak mungkin! Dia sudah mati!" seru Ki Bantarsuko.

Sulastri menangis menyayat hati. Ia geleng-geleng kepala sambil dekati mayat Tengkorak Hitam yang ternyata bernama Widosukmi. Salah seorang penduduk ada yang bicara kepada Pandu Tawa,

"Widosukmi adalah kakak dari Sulastri. Tapi ia sudah lakukan bunuh diri dan mati di Jurang Ajal. Kami tidak sangka kalau Widosukmi masih hidup. Padahal dulu ia gadis biasa, artinya tidak punya ilmu silat setinggi itu."

"Pantas dia punya wajah mirip Sulastri...?!" gumam Pandu Tawa masih tertegun pandangi mayat Widosukmi.

Guntur Salju tampil, lalu berkata kepada Ki Bantarsuko, "Bawa pulang dia. Apa pun alasannya, dia masih anakmu dan kau berhak merawat serta memakamkan jenazahnya. Lekas, angkat dan bawa pulang, supaya tidak menjadi tontonan bagi masyarakat banyak!"

Tetapi hati Pandu Tawa masih diliputi pertanyaan, "Mengapa Widosukmi membantai penduduk Desa Kekanjengan ini? Dan sejak kapan ia mempunyai ilmu tinggi, jika menurut pengakuan mereka, Widosukmi dulu bukan gadis yang punya ilmu silat sedikit pun?! Siapa guru Widosukmi jika begitu?!"

DELAPAN

DENGAN sejujurnya. Ki Bantarsuko mengaku tidak menduga bahwa anak sulungnya itu masih hidup. Ia mulai merasa curiga ketika Roro Intan mengatakan, wajah di balik kedok tengkorak itu diduga adalah wajah Sulastri. Ki Bantarsuko lalu bertanya dalam hatinya dengan kecemasan dan duka yang disembunyikan,

"Apakah Widosukmi bangkit lagi dari kematiannya? Jika benar wajah di balik kedok itu mirip dengan Sulastri, maka tak ada lagi gadis desa sini yang wajahnya mirip Sulastri jika bukan kakaknya sendiri. Tapi mungkinkah Widosukmi berani lakukan kekejian seperti itu?"

Ki Bantarsuko sendiri mengakui, bahwa Widosukmi tidak pernah belajar silat atau berguru kepada siapa pun. Widosukmi hanyalah gadis desa yang polos, cantik dan sedikit manja. Kecantikan Widosukmi melebihi kecantikan Sulastri. Kulitnya pun tidak hitam manis seperti kulit Sulastri.

Banyak penduduk desa yang mengakui, bahwa Widosukmi merupakan kembang desa yang menantang selera setiap lelaki. Selain tubuhnya sekal, ia juga mempunyai senyum yang manis melenakan sukma lelaki. Tetapi sayang Widosukmi terjebak dalam lingkaran kemesraan yang tabu.

Seorang pegawai istana yang berdarah bangsawan mengenal Widosukmi. Orang tersebut akrab dipanggil dengan nama Raden Panji. Usianya mencapai sekitar empat puluh tahun, berperawakan tinggi, tegap dan masih gagah. Ia orang terkaya di Desa Kekanjengan. Raden Panji mempunyai istri seorang keturunan ningrat pula yang sering dipanggil dengan nama Raden Ayu Kumala.

Perkenalan Raden Panji dengan Widosukmi diawali dari kedai juga. Rupanya kebahenolan Widosukmi menantang minat Raden Panji dan membuat pria itu mabuk kepayang. Tetapi Widosukmi sadar, bahwa Raden Panji adalah suami orang. Widosukmi menolak hasrat Raden Panji yang ingin mengawininya.

Rasa penasaran Raden Panji membuat pria itu memutar otak bagaimana caranya agar dapat menangkap buah hatinya yang baru itu. Lalu, Raden Panji mengutus beberapa orang suruhannya untuk menculik Widosukmi dari sungai tempat Widosukmi mandi. Widosukmi dibawa oleh mereka ke pesanggrahan, tempat Raden Panji menikmati masa liburnya dari tugas-tugas di kadipaten.

Di pesanggrahan itulah, Raden Panji berhasil memaksa Widosukmi untuk melayani hasratnya. Widosukmi menolak, Raden Panji memaksa, akhirnya gadis itu dinodai oleh Raden Panji. Pada saat itu, diluar dugaan Raden Ayu Kumala datang ke pesanggrahan dan memergoki perbuatan terkutuk itu. Tentu saja Raden Ayu Kumala menjadi berang dan mengamuk habis-habisan kepada Widosukmi.

"Jangan salahkan dia. Salahkanlah aku, Kumala. Akulah yang memaksa Widosukmi untuk melayaniku!"

Tetapi Raden Ayu Kumala tak mau mendengar suaminya bertindak tak senonoh. Raden Ayu Kumala takut kalau Widosukmi menyebarkan tindakan suaminya, maka ia pun segera menyebar fitnah.

"Widosukmi merebut suamiku, menggunakan ilmu pengasihan untuk memelet suamiku! Dia sungguh perempuan terkutuk yang mengganggu kebahagiaan rumah tangan orang lain. Kelak bukan keluargaku saja yang akan diganggunya, tapi suami-suami orang lain juga akan diganggunya! Selama Widosukmi masih ada di desa kita ini, hidup kita tidak akan aman karena suami kita akan menjadi bahan incarannya terus. Sedikit saja kita lengah, Widosukmi akan menyerobot suami kita dan membuat suami kita lupa anak-istri...!"

Menebarlah berita tersebut, menciptakan keresahan bagi para istri orang-arang di Desa Kekanjengan. Tak satu pun yang mau dengarkan keterangan dari Widosukmi. Tak satu pun ada yang mau percaya bahwa Raden Panji telah merenggut kesucian Widosukmi secara paksa, dan gadis itu diculik dari tempatnya mandi. Mereka sudah termakan fitnah Raden Ayu Kumala, akhirnya para istri Desa Kekanjengan melabrak Widosukmi, menuntut penguasa setempat untuk mengadili Widosukmi, bila mana perlu dijatuhi hukuman gantung.

Bukan hanya sakit saja hati Widosukmi, tapi juga malu dan takut. Sebagai rakyat kecil, Widosukmi tidak mempunyai kekuatan apa-apa, pembelaan terhadap dirinya sia-sia. Ditambah lagi, Ki Bantarsuko yang wajahnya menjadi pucat karena malu itu melampiaskan amarahnya kepada Widosukmi.

Gadis itu diusir dari desa. Widosukmi tidak tahu harus ke mana membawa dirinya yang telah ternoda itu. Maka, jalan satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah mempercepat kematiannya. Widosukmi patah semangat, lalu melompat terjun ke dalam Jurang Ajal yang sangat berbahaya itu.

Seseorang yang saat itu sedang mencari kayu bakar mengetahui Widosukmi melompat ke jurang tersebut, dan menyebarlah kabar kematian Widosukmi. Tak ada orang yang mau mencari ke dasar jurang yang dalam dan berbatu-batu runcing itu. Widosukmi pun akhirnya dikabarkan mati tanpa bisa ditemukan jasadnya. Peristiwa itu terjadi tiga tahun yang lalu.

Ki Bantarsuko nyaris tidak percaya bahwa Tengkorak Hitam itu adalah anaknya yang mati bunuh diri tiga tahun yang lalu. Karena sejak peristiwa itu, Widosukmi tak pernah muncul lagi. Raden Panji kebingungan mencari pengganti Widosukmi. Raden Panji sangat mencintai Widosukmi, akhirnya setahun kemudian Raden Panji lakukan bunuh diri pula dengan cara menggantung diri di hutan dekat Jurang Ajal.

Hal yang membuat para penduduk tidak tahu adalah kemunculan Widosukmi dalam wujud Tengkorak Hitam. Mengapa ternyata Widosukmi masih bisa selamat dari jurang maut yang tak pernah gagal menelan korban itu? Siapa guru Widosukmi, sehingga mampu mempunyai ilmu tinggi dan membantai habis keluarga Raden Panji, dari istri, anak, keponakan, mertua, paman, bibi, semua keluarga Raden Panji dibantai habis.

Untuk menyingkap tabir rahasia kehidupan Widosukmi setelah dikabarkan mati bunuh diri itu, Guntur Salju tampil sebagai orang sakti yang mengetahui keadaan tersebut. Dengan ilmu teropong batinnya yang tinggi, dengan kepekaan indera keenamnya yang kuat, Guntur Salju menjelaskan kepada Yoga, Pandu Tawa, dan yang lainnya, termasuk Sulastri serta bapaknya,

"Jurang Ajal selama ini hanya dianggap tempat alam yang membawa maut. Tak ada orang yang mau tinggal di sana. Tetapi dugaan kita selama ini keliru. Jurang Ajal ada penghuninya; seorang lelaki yang dulu diusir dari perguruannya dan dikejar-kejar oleh para murid perguruan itu, ternyata bersembunyi di Jurang Ajal. Orang tersebut bernama Prawira Yuda. Ketika ia lari diusir dari perguruannya, ia sempat mencuri sebuah kitab pusaka milik sang guru, yang menjadi sahabatku sendiri. Perwira Yuda tekuni pelajaran dalam kitab tersebut sampai ia kuasai semua ilmu yang belum dikuasai oleh gurunya sendiri. Akhirnya ia tumbuh sebagai orang sakti dan menamakan dirinya dengan julukan: Iblis Jurang Ajal. Ia datang kembali ke perguruannya dan semua anggota perguruan itu dibantai habis olehnya."

Guntur Salju menceritakannya dengan jelas dan tegas, membuat semua orang yang mendengarnya tak ada yang berani berisik sedikit pun. Guntur Salju melanjutkan ceritanya,

"Ketika Widosukmi terjun ke Jurang Ajal untuk mengakhiri masa hidupnya, ia disambar oleh Iblis Jurang Ajal. Ia dirawat dan ingin dijadikan istri. Widosukmi menolak, tapi Iblis Jurang Ajal membuat suatu kesepakatan, bahwa Widosukmi akan mendapatkan ilmu Iblis Jurang Ajal apabila melayaninya pada bulan purnama. Maka Widosukmi setuju. Ia melayani hasrat Iblis Jurang Ajal hanya pada saat malam bulan purnama. Satu kali ia dilayani, satu ilmu Iblis Jurang Ajal mengalir dalam diri Widosukmi tanpa harus melalui latihan dan bertapa. Jika selama tiga tahun lamanya Widosukmi melayani Iblis Jurang Ajal ditiap purnama, bisa dibayangkan berapa banyak ilmu yang dimiliki Widosukmi dari pelayanannya itu? Tak heran Widosukmi menjadi berilmu tinggi, lalu melampiaskan dendamnya. Widosukmi bukan saja menaruh dendam dengan keluarga Raden Panji, melainkan juga menaruh dendam kepada semua penduduk desa ini, yang telah mengusirnya dan tidak mau mempercayai pengakuannya...."

Kini sudah jelas apa dan bagaimana Widosukmi. Gurunya adalah suaminya sendiri. Ilmunya diperoleh dari bercengkerama dengan sang suami pada malam bulan purnama. Apalagi Iblis Jurang Ajal mempunyai ilmu-ilmu tinggi. Hal itu membuat Widosukmi menjadi orang sakti dan merasa berhak bertindak semena-mena.

Pemakaman jenazah Widosukmi dilakukan, dihadiri oleh pihak keluarga dan sahabat-sahabat Sulastri, seperti Yoga, Pandu Tawa, Roro Intan, dan beberapa orang desa tersebut. Mereka yang tidak hadir adalah mereka yang takut kalau-kalau jenazah Widosukmi bangkit lagi dan mengamuk menyerang mereka.

Kekhawatiran seperti itu ternyata dimiliki pula oleh Guntur Salju. Maka sebelum jenazah Widosukmi dimakamkan, Guntur Salju menyuruh penggali kubur untuk melapisi tanah liang kubur itu dengan daun-daun pisang. Menurutnya, dengan cara dan syarat seperti itu, Widosukmi tidak akan bangkit lagi dari kematiannya.

Tetapi tiga hari setelah pemakaman jenazah Widosukmi, di tengah malam penduduk desa kembali dikejutkan oleh datangnya jeritan lengking yang mendirikan bulu kuduk. Malam itu ternyata terjadi pembunuhan lagi di sebuah rumah tak seberapa jauh dari rumah Ki Bantarsuko. Tentu saja Yoga dan kawan-kawan yang habis menghadiri kenduri tiga hari kematian Widosukmi itu menjadi kaget serta tegang.

Roro Intan berkata kepada Pandu Tawa, "Bukankah dia sudah dimakamkan?"

"Ya. Bahkan sudah diberi syarat oleh Eyang Guntur Salju memakai daun pisang. Tapi mengapa dia masih bisa bangkit dari kematiannya?"

Semua orang sepakat mengatakan bahwa Widosukmi bangkit dari kematiannya dan melakukan pem-bunuhan secara keji lagi. Bahkan menurut mereka, pembunuh itu lebih keji yang sekarang daripada yang dulu!

"Apa ada yang melihatnya saat dibunuh?" tanya Ki Lurah kepada mereka yang berkerumun di depan korban.

"Tidak ada, Ki!" jawab lelaki setengah umur. "Waktu saya dan istri saya lewat sini, saya sudah temukan dia bermandi darah dan tak bernyawa lagi, Ki Lurah. Istri saya kaget dan menjerit, bahkan sekarang masih pingsan."

Karena mereka tak ada yang memergoki gerakan si Tengkorak Hitam, maka mereka diliputi kesangsian, benarkah pelakunya masih orang yang sama? Jika melihat keadaan lukanya, mereka tak sangsi lagi bahwa Tengkorak Hitamlah yang melakukannya. Badan robek besar, terkapar di depan pintu rumah sendiri, itu merupakan ciri-ciri pembunuhan yang dilakukan oleh Tengkorak Hitam.

Sementara mereka sibuk mempercakapkan hal itu, tiba-tiba di sebelah lain terdengar jeritan yang melengking tinggi dan mendirikan bulu kuduk kembali. Pembunuhan terjadi di sebelah barat. Mereka segera lari ke barat, lalu menemukan seorang perempuan yang menjadi korban di depan pintu rumahnya. Lebih kaget lagi mereka setelah mengetahui, ternyata seisi rumah tersebut telah dibantai habis oleh orang yang berjiwa keji itu.

Pembunuh tersebut tidak tinggalkan jejak yang bisa mencurigakan orang, juga tidak ada pihak yang bisa dijadikan sumber pertanyaan; apakah Tengkorak Hitam yang melakukan atau orang lain? Jika orang lain, bagaimana ciri-ciri orang tersebut dan ke mana larinya?

Tetapi bagi Yoga, Tengkorak Hitam atau bukan pelakunya, ia tetap berlari ke arah utara, karena firasatnya mengatakan bahwa ia harus menuju ke utara. Padahal di sebelah utara desa, Pandu Tawa sudah lebih dulu menjaga di sana. Pendekar Rajawali Merah sempat merasa cemas dengan keberadaan Pandu Tawa di utara desa.

"Kali ini pasti tertangkap lagi! Mudah-mudahan dia bertemu Pandu dan Pandu bisa lumpuhkan Tengkorak Hitam itu!" pikir Yoga sambil gunakan jurus 'Langkah Bayu'-nya yang mampu bergerak cepat melebihi sebatang anak panah yang melesat dari busurnya.

Wuuttt, zllaapp...!

Namun alangkah terkejutnya Yoga ketika sebelum terlalu jauh bergerak, ia menemukan Pandu Tawa dalam keadaan terkapar tanpa darah, namun sekujur tubuhnya menjadi biru Iegam. Napas Pandu Tawa tersengal-sengal, mulutnya keluarkan busa hitam. Kedua biji matanya menjadi merah. Ia berkelejot-kelejot bagaikan ayam disembelih. Tak ada orang lain di sana, kecuali Pandu Tawa sendiri.

"Pukulan beracun tinggi?!" pikir Yoga setelah tertegun beberapa saat. "Terlambat sedikit, habis sudah riwayat hidupnya!"

Roro Intan sangat tegang ketika Yoga membawa pulang Pandu Tawa ke rumah kedai Ki Bantarsuko. Ia segera bertanya, "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukannya? Tengkorak Hitamkah pelakunya?!"

"Entahlah. Kutemukan dia dalam keadaan sudah separah ini!"

Bukan hanya Roro Intan yang menjadi cemas dan tegang melihat nasib Pandu Tawa, melainkan Ki Bantarsuko pun tampak cemas sekali. Ia bahkan berkata kepada Yoga,

"Kalau memang Widosukmi yang melakukan, biar saya yang akan hadapi dia, Tuan!"

"Apa Ki Bantarsuko merasa mampu menghadapi ilmunya?"

"Saya memang tidak punya ilmu, Tuan. Tapi kalau memang Widosukmi ingin lebih puas lagi, biarlah dia melawan bapaknya sendiri dan menjadi pembunuh bagi bapaknya!"

Agaknya Ki Bantarsuko sudah tak bisa menahan kesabaran lagi. Ia merasa malu dan patut korbankan diri demi ketenangan masyarakat desa tersebut. Tetapi, Yoga dan yang lainnya tidak sependapat, sehingga Roro Intan membawa Ki Bantarsuko ke tempat lain bersama Sulastri, sedangkan Yoga sendirian mengobati Pandu Tawa.

Pukulan beracun tinggi itu memakan waktu tidak secepat biasanya. Tetapi keberhasilan Yoga menawarkan racun itu dengan jurus 'Tapak Serap' cukup membuat Roro Intan terkagum-kagum dan tak bisa lepaskan pujian lagi. Yoga tidak pedulikan pujian atau kekaguman, yang ia pentingkan adalah keselamatan jiwa sahabatnya itu. Dan Yoga sudah merasa cukup lega karena ia bisa selamatkan nyawa Pandu Tawa dari pukulan racun tinggi.

"Siapa yang melakukannya? Kau melihat orangnya, Pandu?!" desak Roro Intan ketika mereka bergabung kembali dalam keadaan Pandu Tawa sudah pulih keadaannya, bahkan seperti orang tak pernah menderita luka separah itu.

"Apakah benar, Widosukmi yang melakukannya, Tuan Pandu?" tanya Sulastri dengan wajah duka.

"Bukan," jawab Pandu Tawa. "Bukan Widosukmi dan juga bukan Tengkorak Hitam."

"Kau melihat jelas wujud manusianya?"

"Ya," jawab Pandu Tawa. "Gerakkannya sangat cepat dan mengejutkan, sehingga ia mencuri kelengahanku dan menghantamnya dengan pukulan yang menurut takaran seharusnya aku sudah dikubur esok hari!"

"Bagaimana ciri-cirinya?" Roro Intan mencecar karena rasa ingin tahunya begitu besar.

"Rambutnya abu-abu bergelombang, panjang sampai ke pinggang, dilepas riap tanpa pengikat apa pun. Kumisnya juga abu-abu, tak begitu lebar. Tubuhnya besar, matanya lebar, tulang pipinya bertonjolan, bola matanya memancarkan cahaya hijau bening, jubahnya warna hitam, sama dengan warna celananya. Ia membawa tongkat El Maut tapi berukuran pendek...."

"Kau tahu siapa tokoh itu? Maksudku, kau mengenalinya?" tanya Yoga.

Pandu Tawa gelengkan kepala. "Yang ku tahu dia lari ke arah jurang, dan meninggalkan aku yang terhuyung-huyung tak bisa berteriak, lalu rubuh."

"Dia lari ke arah jurang? Hmm...! Apakah dia yang disebut-sebut Eyang Guntur Salju sebagai tokoh tua berjuluk Iblis Jurang Ajal?"

"Kurasa, ya!" jawab Pandu Tawa dengan tegas. "Karena larinya ke arah Jurang Ajal, maka aku pun berkesimpulan, orang tersebut adalah Iblis Jurang Ajal yang menuntut balas atas kematian istrinya; Widosukmi itu!"

Esok paginya, berita itu cepat tersebar. Setiap orang yang mendengar ciri-ciri pengganti Tengkorak Hitam itu selalu bergidik merinding. Bahkan ada yang berniat mengungsi hari itu juga, karena mereka takut malamnya akan didatangi Iblis Jurang Ajal.

Ternyata kemunculan Iblis Jurang Ajal sengaja disongsong oleh kepenasaran Pendekar Rajawali Merah. Siang itu, Yoga sengaja pergi sendirian tanpa pamit pada siapa pun. Arah dan tujuannya tak lain adalah Jurang Ajal. Firasatnya mengatakan, ia ditunggu oleh seseorang di hutan tepi jurang tersebut.

Tentu saja kepergian Yoga yang tanpa pamit itu membuat ricuh suasana di kedai Ki Bantarsuko yang untuk sementara tidak berjualan dulu. Pandu Tawa punya dugaan, bahwa Yoga pasti sedang menyelidik suasana dan keadaan di Jurang Ajal. Pandu Tawa pun segera pergi. Roro Intan mengikutinya dari belakang.

Dugaan Yoga tepat. Ia ditunggu seseorang walau tidak secara langsung. Iblis Jurang Ajal yang ciri-cirinya persis seperti apa yang disebutkan Pandu Tawa itu muncul dari persembunyiannya di sebuah gua, lereng jurang itu, tepat pada waktu Yoga tiba di sana.

"Siapa kau?!" geram Iblis Jurang Ajal yang bersuara besar itu. Matanya memandang lebar dan ganas. Kukunya yang panjang-panjang itu bergerak-gerak bagaikan tak sabar menunggu mangsa.

Yoga mulai dapat merasakan bahaya yang ada di depannya setelah hati kecilnya mengatakan, orang itulah yang bernama Iblis Jurang Ajal. Tapi Yoga masih bisa bersikap tenang dan menjawab, "Aku Yoga; Pen-dekar Rajawali Merah. Apakah kau yang bernama Iblis Jurang Ajal?"

"Tak salah lagi! Dan ternyata kaulah orang yang membunuh istriku menurut kabar dari mulut ke mulut yang sempat kudengar."

"Jika yang kau maksud adalah Widosukmi, si Tengkorak Hitam, memang benar! Aku yang bertarung dengan dia!"

"Jahanam! Terimalah pembalasanku, bangsat! Heaaah...!"

Dengan cepat sekali tubuh Yoga bagai ditelan oleh cahaya biru yang lebarnya melebihi jala ikan. Wooohhg...! Cahaya biru itu keluar dari seluruh tubuh orang bermata hijau dan dengan ganasnya menyerang Yoga.

Tak ada waktu bagi Yoga untuk menghindar. Ia pun akhirnya terbungkus cahaya biru itu. Namun ia segera sentakkan tangannya ke atas dan tubuhnya pun segera memancarkan sinar merah. Blaarr...! Cahaya biru yang membungkusnya itu pecah. Kemudian lenyap tanpa asap. Hal itu membuat Iblis Jurang Ajal terperanjat kaget. Ia tak menyangka ada orang yang mampu menandingi jurus 'Jaring Candera' andalannya itu.

"Heaaah...!" Iblis Jurang Ajal melompat sambil kibaskan tongkat El Maut bergagang pendek itu. Wuuukkk,..! Tongkat bersabit panjang itu berhasil dihindari oleh Yoga, namun dengan cepatnya Yoga segera mencabut pedang pusakanya yang bernama Pedang Lidah Guntur.

Blegaarr...!

Petir di angkasa menghentak langit bagai ingin meruntuhkannya. Begitulah ciri-cirinya jika pedang pusaka itu dicabut, maka kilat akan menyam-bar di angkasa satu kali. Kekuatan pedang itu sampai bisa mendatangkan petir yang kemudian membuat pe-dang tersebut bersinar merah dengan kelokan-kelokan sinar pijar merah tersendiri yang mengelilingi tepian pedang bolak-balik. Iblis Jurang Ajal tak peduli. Ia cepat-cepat lakukan serangan dengan satu lompatan cepat. Namun dengan cepat pula Yoga tebaskan pedangnya ke arah tubuh lawannya.

Wuuuttt...! Craass...!

Sinar merah bara melompat dari ujung pedang sebelum pedang itu kenai tubuh lawan. Sinar itu berkelebat cepat dan memenggal kepala Iblis Jurang Ajal. Tokoh sesat yang sakti itu pun akhirnya tumbang ke tanah. Namun suatu keanehan telah terjadi dan membuat mata Yoga tercengang. Ternyata begitu mayat Iblis Jurang Ajal jatuh ke tanah, ia bangkit lagi dan telah menjadi dua sosok yang sama dan serupa. Kini Iblis Jurang Ajal seperti setan kembar yang dengan ganasnya menyerang Pendekar Rajawali Merah.

Wuuuttt, craasss...!

Yoga kembali berhasil memenggal kepala Iblis Jurang Ajal yang kedua. Tapi justru sosok itu berubah menjadi dua lagi setelah jatuh ke tanah. Kini wujud Iblis Jurang Ajal ada tiga sosok kembar. Yoga jadi bingung sendiri dan berkata dalam hati.

"Setiap mati, jatuh ke tanah, bangkit lagi dengan menjadi dua. Alangkah sulitnya melumpuhkan orang ini. Ia sepertinya tak bisa dibunuh. Semakin sering dibunuh jumlahnya semakin banyak?!"

Iblis Jurang Ajal yang pertama tertawa menggelegar, mengguncangkan pepohonan dan menghancurkan segunduk batu tak jauh darinya. Suaranya pun terdengar menggema,

"Ha ha ha ha...! Kau tak akan bisa melawan ilmu 'Mayat Seribu'! Kau tak akan bisa menandinginya. Yoga! Hah, hah, ha ha ha...!"

Jrab...! Yoga menancapkan pedangnya ke tanah. Saat itu tanah menjadi guncang, membuat tiga sosok kembar dalam rupa Iblis Jurang Ajal menjadi limbung menjaga keseimbangan agar tak terjatuh. Pada saat itulah Yoga sentakkan tangannya ke atas, dan tiga larik sinar merah keluar dari ujung-ujung ketiga jarinya.

Kejap berikutnya burung besar berbulu merah pun datang menghampirinya. Iblis Jurang Ajal tak hiraukan. Kini ketiganya maju satu persatu menyerang Yoga. Namun, pedang Yoga berkelebat lebih cepat dan menewaskan lawan. Ketika lawan hendak jatuh. Yoga buru-buru menadahkan kakinya hingga mayat lawan tak sampai terkena tanah. Mayat itu jatuh di kaki Yoga, lalu kaki itu melemparkannya dan mayat tersebut jatuh terkulai di punggung sang Rajawali Merah.

"Jika ia kena tanah, ia akan hidup dan bertambah satu lagi!" pikir Yoga. Maka, begitulah akhirnya Yoga melakukan perlawanan terhadap lawan yang memiliki ilmu 'Mayat Seribu'.

Kini, tiga mayat Iblis Jurang Ajal tertumpuk di atas punggung burung Rajawali Merah itu. Satu pun tak ada yang bangkit lagi. Lalu, Yoga segera serukan perintah kepada burung tersebut, "Merah, bawa mayat itu terbang dan lemparkan ke laut biar tak dapat hidup kembali!"

"Kaaakkk...! Kaakkk...!" maka, burung itu pun segera terbang membawa ketiga mayat kembar tersebut. Sampai di atas lautan, burung Rajawali Merah terbang menukik, dan ketiga mayat Iblis Jurang Ajal itu jatuh tercebur di perairan laut yang biru dan bergelombang besar.

Laut itu adalah laut ganas, karena daerah itu merupakan pusat kehidupan ikan-ikan besar yang ganas-ganas. Tak heran jika ketiga mayat itu cepat lenyap begitu jatuh ke perairan laut lepas. Mayat-mayat itu segera disambar ikan-ikan ganas dan menjadi santapan mereka. Dengan begitu, Iblis Jurang Ajal tak mungkin bisa hidup kembali karena jasadnya tidak menyentuh tanah lagi.

Tengkorak Hitam dan Iblis Jurang Ajal telah tiada. Yoga tak punya pilihan lain untuk menyelamatkan sekian banyak orang dari kekejaman kedua tokoh tersebut kecuali dengan cara seperti apa yang dilakukannya terhadap dua tokoh jahat tersebut. Dan kehadiran Yoga yang mampu menenangkan keresahan serta ketakutan penduduk Desa Kekanjengan itu mendapat penghargaan dari sang Adipati.

Tetapi, Yoga tak mau menerimanya. Hadiah berupa uang dan sekantong perhiasan itu akhirnya diserahkan kepada penduduk Desa Kekanjengan, lalu mereka membuat pesta syukuran dengan menanggap ronggeng dari tujuh daerah. Sisanya digunakan untuk membangun desa tersebut.

"Bagiku, kedamaian lebih berharga daripada kemewahan!" kata Yoga kepada Sulastri ketika gadis itu menanyakan, mengapa Yoga menolak hadiah tersebut.

Dan Sulastri pun mengantar Yoga pulang sampai di batas desa. Sulastri yang sebenarnya menghendaki Yoga tinggal di desa itu selamanya namun ditolak halus oleh Yoga itu, tetap tersenyum manis sambil lambaikan tangan. Sementara itu, Pandu Tawa dan Roro Intan berjalan agak jauh, sambil berkasak-kusuk dan cekikikan, entah apa yang mereka bicarakan.

TAMAT
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.