Tiga Paderi Pemetik Bunga

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Tiga Paderi Pemetik Bunga Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Tiga Paderi Pemetik Bunga

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
PEPERANGAN paling besar yang dihadapi manusia adalah, peperangan bagaimana mengalahkan Hawa Nafsunya sendiri! Karena di sanalah manusia bisa memilih untuk dirinya menjadi malaikat, ataukah menjadi setan...!

"Kalau kau mau menjadi seorang Pendekar, jadilah yang baik! Kalau kau sudah mengetahui tujuan kehidupan ini adalah untuk mati, maka isilah jalan hidupmu dengan amal kebaikan...! Mengumbar nafsu tak lebih dari menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam api. Dan kalau kau sudah tahu api itu panas. Jangan coba kau menjamahnya...!"

Gadis ini manggut-manggut seorang diri, dan terdengar ia menghela nafas seraya membuka sepasang kelopak matanya. Dia seorang gadis berwajah cantik rupawan. Kecantikan alami yang telah dianugerahkan Tuhan padanya. Wajah ayunya menampilkan kesegaran setiap mata yang memandang. Dialah Roro Centil. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan!

Gadis ini duduk di ujung tebing karang, menghadap ke laut lepas. Di bawahnya mendebur keras ombak-ombak laut Pantai Selatan. Sementara burung-burung camar beterbangan di atas buih-buih air dan ombak, seperti tak mengenal takut akan kena terhantam gelombang dahsyat itu. Gadis ini tengah duduk tafakur mengingat wejangan dari guru-gurunya. Yang kesemuanya menitik beratkan pada sifat-sifat kependekaran.

Setelah si Maling Sakti alias Jarot Suradilaga. Kemudian Ki bayu Seta alias si Pendekar Bayangan. Kemudian yang terakhir adalah seorang guru yang berjulukan si Manusia Aneh Pantai Selatan. Yang belakangan ini adalah memang seorang yang aneh sesuai dengan julukannya. Karena sang Guru tak diketahui jelas jenis kelaminnya. Apakah wanita, apakah laki-laki. Yang jelas Guru Roro Centil adalah seorang banci.

Sejak Roro Centil berhasil menumpas empat tokoh golongan hitam, yang bergelar Empat Iblis Kali Progo, gadis Pendekar yang berwatak aneh ini kembali menghilang bagai ditelan bumi. Tentu saja keadaan di Rimba Persilatan jadi heboh!

Nama Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan telah menjadi pembicaraan di mana-mana. Bahkan pendekar sampai ke beberapa tempat. Kehebatan ilmunya yang amat mengerikan, dan kemunculannya yang bagaikan menjelma di kalangan Rimba Hijau, membuat kaum penjahat mulai menjadi kebat-kebit hatinya.

Tentu saja hal itu membuat kekhawatiran, karena periuk nasinya telah terancam kepunahan. Karena mereka sadar kalau periuk nasi itu mereka dapatkan dengan jalan tidak halal. Yaitu dengan memeras penduduk. Merampok, membegal dan bahkan terkadang membunuh demi keuntungan yang berlipat ganda.

Tapi di samping itu kaum golongan Putih, juga setiap insan yang rindukan ketenteraman, merasa amat gembira dengan munculnya seorang Pendekar Pembela Keadilan. Bahkan ternyata di banyak tempat Roro Centil juga diam-diam mulai mengamalkan tugas kependekarannya menegakkan keadilan di Jagat Raya ini.

Namun sejak setahun ini, tak ada terdengar beritanya mengenai sepak terjang si Pendekar Wanita itu. Membuat para kaum golongan penjahat mulai lagi membentangkan sayap-sayapnya membuat kericuhan. Perbuatan mereka kian brutal. Walaupun tak kurang Kaum Pendekar lainnya yang berusaha memberantas bermacam kejahatan.

Ke manakah gerangan lenyapnya si Pendekar wanita Pantai Selatan itu. Kiranya selama itu Roro Centil kembali dalam gemblengan sang Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si Banci. Marilah sejenak kita kembali pada kisah setahun belakangan ini, di mana Roro Centil digembleng di dasar tebing pantai karang terjal itu.

Agaknya si Manusia Aneh Pantai Selatan itu kurang setuju dengan ilmu yang telah dipakai Roro menumpas ke Empat Iblis Kali Progo. Karena Roro mempergunakan jurus-jurus si Dewa Tengkorak yang keji. Kiranya diam-diam sang Guru selalu mengikuti sepak terjang muridnya. Hingga ketika Roro kembali, sang Guru sudah menegurnya.

"Roro...! Bukan aku menyalahkanmu untuk mempergunakan jurus-jurus si Dewa Tengkorak. Akan tetapi jurus itu memang terlalu keji. Juga dikhawatirkan orang akan menyangka kau muridnya si Dewa Tengkorak. Karena bukan mustahil manusia yang mempunyai banyak istri itu, juga memberikan ilmu itu pada istri-istrinya. Seandainya mereka yang berbuat untuk kejahatan, salah-salah kau yang dituduh melakukan kejahatan...!"

Demikian ujar si manusia banci pada suatu hari. Roro Centil manggutmanggut mendengarkan petuah gurunya.

"Memang sebenarnya kau belum kuizinkan untuk keluar dari tempat ini. Akan tetapi aku tengah mencoba menguji tindakanmu. Ternyata kau tidak menyelewengkan kepandaianmu untuk berbuat hal-hal yang tidak baik. Seandainya kau pergunakan untuk kejahatan, tentu sudah siang-siang tadi kau kukirim ke Akhirat...!" Kembali sang Guru berkata dengan suara dingin.

Bergidik juga Roro Centil. Karena di luar sepengetahuannya, si nenek yang awet muda ini telah mengikuti sepak terjangnya.

"Ilmu 10 Jurus Pukulan Kematian itu memang hebat. Akan tetapi banyak kelemahannya. Di samping pada jurus itu membahayakan bagi si pemakainya. Kini saatnya bagimu mempelajari jurus-jurus ciptaanku yang memang menjadi simpananku. Tentu saja akan kuwariskan padamu...! Cuma aku ingin kau membunuhku terlebih dulu dengan Ilmu Ciptaan si Dewa Tengkorak itu...!" Ujar wanita banci itu.

Terkejut Roro Centil mendengarnya.... hingga sampai ia berteriak kaget. "Membunuhmu. Guru...?" Sentak Roro Centil hampir tak percaya.

Akan tetapi si Manusia Aneh Pantai Selatan ini sudah membentak dengan keras. "Benar...! Kau harus membunuhku...! Dan kau harus pergunakan jurus-jurus keji si Dewa Tengkorak itu untuk menyerangku!"

Hening sejenak. Wanita Aneh itu tiba-tiba mendongak ke atas menatap langit. Lalu terdengar suara tertawanya yang seperti geli. Akan tetapi seperti juga sebuah tangisan. Roro Centil cuma bisa menatap dengan mulut ternganga. Sejuta pertanyaan memenuhi benaknya. Sanggupkah aku melakukannya...? Berfikir Roro. Serasa permintaan yang tak masuk akal. Aneh, dan menakutkan.

Akan tetapi detik itu juga telah terdengar lagi bentakannya; "Sekarang juga kau harus melakukannya...! Kalau kau berkeberatan, silahkan kau keluar dari tempat ini. Dan jangan kau akui lagi aku Gurumu. Tapi kalau kau seorang murid yang berbakti lekas kau lakukan itu, bocah tolol... !"

Di luar dugaan, tiba-tiba Roro Centil bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap tajam pada gurunya. Dan ia sudah berkata dengan tegas. "Baik...! Aku akan turuti perintahmu untuk membunuhmu. Guru...! Cuma kumohon kau maafkan aku atas apa yang aku lakukan ini...!"

Seraya berkata, Roro Centil sudah menerjang dengan ganasnya. Sebelah lengannya bergerak mencengkeram batok kepala si Banci. Dan sebelah lagi meluncur mengarah jantung. Akan tetapi dengan perdengarkan tertawa cekikikan, si Manusia Aneh ini sudah pergunakan Jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang. Yang tentu saja cuma dengan gerakan seperti orang menari itu, semua terjangan Roro yang ganas itu dapat terhindar. Jurus demi jurus berlalu.

Namun kesemua gerakan terjangan Roro Centil juga tak mampu menembus atau membuat tubuh si manusia Banci ini kena terhantam. Membuat Roro Centil semakin penasaran. Dan segera lakukan terjangan yang lebih dahsyat lagi. Sehingga seandainya sedikit saja si Manusia Aneh Pantai Selatan lengah tak ampun lagi nyawanya akan melayang seketika.

Ternyata hal itu justru membuat Roro semakin kagum. Karena dengan mudah saja sang Guru dapat mengelakkan setiap serangan. Jurus keenam dan ketujuh telah segera dilancarkan. Roro Centil memekik keras disertai terjangan hebat. Agaknya kali ini si manusia Banci itu seperti lengah. Roro sendiri terkesiap. Namun ia tak mungkin untuk merobah serangan.

Buk... ! Terjangan hebat itu tak dapat dielakkan sang Guru. Tubuhnya kena terhantam, telak. Serangan kedua dan ketiga menyusul pula. Roro sudah pejamkan mata tak tega melihat nasib sang Guru, yang jadi terhuyung-huyung mau roboh. Akan tetapi di luar dugaan tenaga pukulannya tiba-tiba telah berbalik menghantam lagi ke arah Roro Centil. Terkesiaplah gadis ini. Untunglah dengan letikkan tubuhnya bersalto beberapa kali, Roro Centil berhasil menghindar.

Namun akibatnya adalah sangat mengerikan. Karena hantaman balik dari tenaganya telah membuat ambruknya karang di belakangnya. Yang segera saja terdengar suara bergemuruh ketika batu karang itu hancur. Masih beruntung Roro Centil keburu mengelak. Seandainya ia tidak waspada, maka tubuhnya sudah dapat dipastikan akan hancur luluh tak berbentuk lagi.

Pada saat itulah terdengar suara tertawa mengikik dari si Manusia Aneh Pantai Selatan itu. Tertawa yang geli sekali. Sehingga terpingkal-pingkal sampai air matanya bercucuran. Roro jadi melengak heran. Ia sudah jejakkan lagi kakinya di atas batu. Dan dengan sepasang mata melotot tak berkedip, saksikan Gurunya yang bertingkah aneh itu. Terdengar lagi suaranya yang bercampur geli.

"Hi hi hi... hi hi hi... Ternyata Ilmu si Dewa Tengkorak tak mampu membunuhku! Dan tak mampu melawan kehebatan ilmu Bidadari Mabuk Kepayangku ini. Hi hi hi... hi hi... Bagus, muridku! Kau telah penuhi permintaanku. Cukuplah sudah. Tahukah kau ilmu apa yang kupergunakan barusan...?" Tanya sang Guru dengan suara dingin. Roro Centil gelengkan kepalanya.

"Hi hi hi... Itulah Ilmu Ikan Hiu Balikkan Ekor...! Hebat bukan...?"

Roro jadi mengangguk-angguk dengan kagum, serta mengakui kehebatannya. Kembali sang Guru tertawa geli cekikikan. Seakan-akan merasa bangga sekali dengan ilmu ciptaannya. Seraya ia sudah berkata lagi;

"Jurus-jurus si Dewa Tengkorak yang terdapat dari dalam potongan gagang Tombak itu memang hebat. Akan tetapi bila dilawan dengan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor, akan sama dengan membunuh dirinya sendiri. Ketahuilah Roro, aku amat puas punya murid seperti kau. Akan tetapi kuminta agar kau tidak mempergunakan ilmu-ilmuku untuk hal yang tidak amat mendesak...!"

Roro manggut-manggut dengan perlihatkan senyumnya. "Tentu saja pesan Guru itu akan hamba junjung tinggi. Percayalah, aku tak akan mempergunakannya untuk hal yang bertentangan dengan kependekaran...!"

"Bagus, Roro...! Kini tunggulah sebentar. Akan kutunjukkan sebuah senjata istimewa yang telah ku ciptakan sebagai pelampiasan rasa keinginanku menjadi wanita...!" Selesai berkata, sang Guru telah kembali berkelebat ke dalam ruangan kamar Goa.

Roro Centil cuma bisa memperhatikan tingkah laku Gurunya, yang seperti amat sibuk sekali. Diam-diam ia menghela napas. Semoga saja sang Gurunya yang aneh ini tidak berubah lagi wataknya. Hingga Roro harus lebih hati-hati lagi untuk menghadapinya. Tak lama si Manusia Banci telah kembali lagi. Ternyata di tangannya membawa sepasang senjata aneh. Senjata itu berbentuk rantai dengan bandulnya. Tapi bentuk kedua bandulannya itu amat lucu, karena amat mirip dengan sepasang payudara wanita, lengkap dengan ujung putiknya. Sang Guru sudah berikan sepasang senjata itu pada si murid. Seraya berkata;

"Roro...! Senjata ini belum pernah kupergunakan di luar. Kaum Rimba Hijau tak seorang pun yang mengetahuinya selain kau! Nah kau boleh teliti sepasang senjata itu sementara aku akan mempersiapkan jurus-jurus pelajaran yang akan kau mulai pada malam nanti... !"

Selesai berkata sang Guru sudah kembali berkelebat masuk ruangan kamar goa karang itu, untuk selanjutnya tidak keluar lagi.

"Senjata aneh...!" Gumam Roro. Seraya memperhatikan, meneliti, dan membolak-balikkan senjata itu. Ternyata bandulan senjata itu terbuat dari baja tipis. Yang aneh adalah warnanya amat mirip dengan kulit manusia. Sedang rantainya terdapat tujuh buah, dengan pada ujungnya terdapat gagang dari baja berkilat berwarna putih. Pada ujung putik itu terdapat lima buah lubang kecil.

Roro yang tak mengetahui kegunaannya coba memutarkan senjata itu. Tiba-tiba terdengarlah suara berdengung tiada putusnya, seperti suara ratusan atau ribuan tawon. Terkejut Roro Centil. Ketika ia coba menyalurkan tenaga dalamnya pada sepasang senjata itu, segera membersit angin panas yang luar biasa. Namun Roro telah lindungi dirinya dengan aliran tenaga dalam berhawa dingin, sehingga pengaruh itu tak terasa.

Akan tetapi bila dipakai untuk menyerang lawan amatlah berbahaya. Selang sesaat, Roro hentikan permainannya. Dan coba pegang sepasang bandulannya. Ternyata bandulan senjata itu tidak lagi keras melainkan lunak, mirip sebuah bola karet saja. Diam-diam Roro Centil menyenangi sepasang senjata itu, yang tentunya tak begitu berbahaya, jika dipergunakan untuk menghajar batok kepala sebangsa keroco. Paling-paling orangnya bisa pusing tujuh keliling.

"Hi hi hi... Senjata yang lucu ini akan kuberi nama Si Rantai Genit...!" Berseru Roro dengan wajah tampak girang sekali.

Demikianlah sampai setahun Roro Centil berdiam di dasar lubang tebing karang Pantai Selatan. Dan selama itu tiada seorang pun mengetahui kalau si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil, kembali digembleng oleh si manusia Banci. Hingga suatu hari.

"Roro...! Sebenarnya aku telah terkena pukulan beracun dari paderi-paderi Biara Welas Asih, di lereng Gunung Wilis. Pukulan itu amat menyesakkan dadaku. Akan tetapi aku inginkan kau tidak membalas dendam. Kuharap kau lupakan saja hal itu. Sebenarnya memang aku amat mencintai si Dewa Tengkorak...! Akan tetapi dia tak pernah menghiraukan diriku. Walau demikian sampai mati aku akan tetap mencintainya. Kini dia telah mati. Dan hanya wariskan tombak Hitam ini. Aku sudah cukup berbahagia bila kelak aku mati ditemani senjatanya...!" Berkata si Manusia Aneh Pantai Selatan, seraya menimang-nimang tombak hitam si Dewa Tengkorak, yang telah disambungkan kembali.

Roro Centil cuma bisa menatap lalu tundukkan kepala sambil tercenung, walau diam-diam ia terkejut mendengar Gurunya terkena pukulan beracunnya paderi-paderi Gunung Wilis. Setelah termenung beberapa saat, si manusia banci itu tiba-tiba tertawa geli sekali... tapi kemudian menangis terisak-isak. Hingga air matanya bercucuran.

Membuat Roro Centil jadi terpaku, tapi sudah segera menghiburnya. Roro menyadari kalau sang Guru ini telah terkena penyakit cinta, yang telah dipendamnya berpuluh tahun. Sehingga terkadang membuat si manusia banci ini bersikap manis terhadapnya namun terkadang membentak kasar. Juga adat dan kelakuannya aneh-aneh. Tentu saja Roro sudah hapal dengan perilaku gurunya.

"Sudahlah Guru...! Bukankah aku berada di sini menemanimu...! Aku akan tetap bersamamu sampai kapanpun... Kalau kau menghendaki...!." Ujar Roro Centil.

Tapi tiba-tiba sang Guru bahkan membentak. "Bocah tolol! Sejak kapan kau berubah jadi tolol...? Hm, dengan kau berdiam di sini menungguiku, bukankah sama saja artinya dengan kau mengubur diri? Kalau kau mau mati baiknya matilah saja...!" Seraya berkata, lengan si manusia Banci sudah berkelebat menghantam kepala Roro. Akan tetapi sedikitpun Roro Centil tidak mengelak. Tentu saja hal itu membuat si Manusia Aneh jadi melengak. Dan dengan geram, menahan kembali serangannya. Ternyata si manusia aneh itu telah mendelik heran pada Roro.

"Mengapa kau tidak mengelak...?" Tanyanya.

Roro Centil tiba-tiba tertawa geli sekali. Kini si manusia aneh itu yang menatap dengan pandangan aneh pada muridnya.

"Kalau aku mengelak berarti aku tolol...! Makanya aku lebih baik memilih mati daripada hiduppun ternyata jadi manusia tolol...! Hi hi hi. Apakah pendapatku itu betul. Guru...?"

Tentu saja jawaban Roro membuat si manusia banci jadi terpaku bingung. Akan tetapi selang tak lama ia sudah tertawa gelak-gelak. "Hi hi hi ... hi hi .. . Bocah to...eh! Ya! ya ... kau memang bocah tolol ... ! Tapi cerdik...! Kalau aku menghadapimu bicara terus menerus, bisa-bisa aku yang jadi tolol...! Sebaiknya besok pagi kau boleh tinggalkan tempat ini. Dan jangan kembali lagi...!" Ujarnya tiba-tiba dengan tatapan tajam, dan suara dingin. Terkejut Roro mendengar katakata Gurunya. Akan tetapi Roro Centil sudah segera bersujud mencium kaki Gurunya seraya berkata.

"Kalau kau menghendaki aku pergi, tentu saja aku tak dapat menolaknya. Guru...! Akan tetapi berat rasanya hatiku. Selama ini kau telah menumpahkan segala pikiranmu untuk mewariskan segenap ilmu padaku. Aku berjanji akan mempergunakan segenap kepandaian itu untuk membela panji-panji keadilan. Dan menegakkannya di atas jagat raya ini. Walaupun harus aku berkorban jiwa sekalipun. Dan kumohon kau dapat memaafkan segala kebodohanku selama ini, Guru!"

Si Wanita banci ini cuma terdiam menatap langit. Lagi-lagi air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. Wajahnya yang cantik itu menampilkan kesedihan yang luar biasa. Akan tetapi ia sudah berkata lirih...

"Roro...! Kau pergilah besok sebelum matahari terbit. Dan perpisahan ini adalah saat terakhir kau bisa bicara padaku. Karena mulai hari ini aku telah menutup semua pendengaran dan penglihatanku dari dunia persilatan. Aku ingin mati terkubur di tempat ini. Karena aku sudah puas mempunyai murid semacammu. Secantikmu. Juga secerdikmu...! Nah! Kini sudah waktunya aku bersemadi. Kuharap kau takkan menggangguku lagi...!" Selesai berkata si Manusia Aneh Pantai Selatan segera beranjak masuk ke kamar goa tempat ia biasa bersemadi. Lalu menutup pintu batu, untuk selanjutnya telah tak terdengar lagi suaranya.

Roro Centil menatap dengan pandangan mata redup. Tampak setetes air bening mengalir membasahi pipi. Roro tak dapat menahan harunya. Sementara suara deburan ombak terdengar lapat-lapat dari dalam rongga di dasar tebing itu. Pelahanlahan Roro bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa tindak mendekati tepi air. Di sana ia berhenti untuk memandang riak gelombang di bawah kakinya. Dan terdengarlah suara helaan napasnya.

"Guru...! Betapa berat penderitaanmu, walau aku tak mengetahui..." Gadis ini menggumam lirih. Seraya menyeka air matanya.

Burung-burung camar di atas langit tampak bersileweran tiada putusnya. Roro Centil tersenyum. Betapa iapun sudah merindukan untuk kembali ke alam bebas. Namun sebelum pergi besok Roro ingin sekali bermain gelombang. Suara debur ombak itu membuat ia ingin menikmati alunan gelombang-gelombang raksasa itu. Segera saja ia telah membuka pakaiannya.

Karena tak ada seorang pun yang melihat, Roro telah bertelanjang bulat. Dilemparkannya pakaiannya di atas seonggok batu. Dan terjunkan kaki ke air. Dengan melangkah perlahan ke depan, semakin lama air semakin dalam, hingga sebatas dada. Yang akhirnya Roro menyelam. Gerakan di bawah air itu amat disukai Roro. Sepasang matanya telah menjadi biasa untuk melihat di bawah permukaan. Segera terlihat terowongan dari kejauhan.

Roro hentakkan kaki dan tangannya. Meluncurlah tubuhnya, sekejap telah tiba di mulut terowongan di bawah air. Di sana ia mempercepat gerakannya. Hingga tak lama kemudian ia telah berada di luar ruangan rongga, di bawah tebing karang. Terlihat di atas Roro riak gelombang yang besar-besar. Agaknya Roro Centil memang sengaja menuju ke permukaan. Hempasan gelombang segera menghantam tubuhnya. Akan tetapi gadis ini telah kerahkan kekuatan tenaga dalamnya, dan meluncur ke permukaan.

Itulah salah satu jurus dari jurus Ikan Hiu mengejar Mangsa. Dan hebat akibatnya. Dalam sekejap tubuh Roro Centil telah mencelat keluar dari permukaan. Ketika turun lagi sepasang kakinya telah hinggap di atas gelombang. Aneh...! Tubuh Roro tidak tenggelam. Bahkan Roro seperti tengah menari-hari di atas gelombang. Seolah tubuhnya timbul tenggelam. Namun gadis ini tampak asyik menikmati alunan ombak yang membuai-buai itu. Sementara suara deburan-deburan keras membahana, ketika gelombang-gelombang raksasa itu menghempas di batu karang.

Roro pejamkan matanya. Dan terbayanglah semua impian indahnya. Suka dukanya yang telah jadi kenyataan. Kini ia telah menguasai ilmu yang amat langka di jagat ini. Semua itu berkat latihan dan bimbingan Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan. Permainan menari-nari di atas ombak itu amatlah disukai Roro. Dan hal itu tak berlangsung lama. Karena sebentar kemudian hari sudah menjelang senja. Matahari telah semakin menggelincir di tepi cakrawala.

Roro Centil segera melompat tinggi tujuh tombak di atas gelombang. Tampaklah keindahan tubuhnya yang padat berisi. Bentuk tubuh yang jarang dipunyai gadis-gadis lain. Roro memang Roro...! Walau banyak nama seperti dirinya di atas dunia ini, tapi Roro Centil cuma satu! Dialah si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Yang berwajah ayu rupawan. Berwatak aneh sukar diterka. Lincah jenaka banyak akalnya. Siapa pun pemuda yang melihat, pasti akan menggandrunginya.

Ketika tubuhnya meluncur lagi ke bawah di mana gelombang raksasa itu segera menyambutnya, tubuh gadis yang bugil itupun lenyap. Seperti telah ditelan ombak. Namun di bawah air, Roro Centil telah berenang menyibak derasnya arus. Tubuhnya meluncur deras bagaikan seekor ikan hiu, dan berseliweran di antara karang-karang yang menonjol. Selang sesaat, ia telah kembali memasuki terowongan di bawah air itu. Dan dengan sekali menggenjot tubuh...Roro Centil kembali tersembul di permukaan.

Kini ia telah berada kembali di dalam ruangan rongga, di bawah tebing karang. Setelah menghirup napas dalam-dalam, Roro beranjak ke darat. Sepasang kakinya melangkah perlahan di dasar air berpasir sebatas betis. Lalu dengan gerakan ringan, Roro melompat ke darat. Selanjutnya ia telah segera mengenakan lagi pakaiannya. Mengeringkan rambutnya, dengan duduk di atas batu.

Kali ini tampaknya Roro telah puas. Besok ia sudah tinggalkan tempat ini. Tempat tersembunyi yang telah menjelmakan dirinya menjadi seorang gadis Pendekar Perkasa. Walau diam-diam Roro Centil menghela napas. Karena segera terpikirkan akan banyaknya perintang kelak di Rimba Persilatan yang bakal ia hadapi.

Tapi disanalah ia dapat mendarma buktikan ilmunya untuk memperjuangkan keadilan. Membela si lemah dari cengkeraman si kuat yang sewenang-wenang. Menegakkan panji keadilan di atas bumi ini. Yang semua itu adalah dengan taruhan nyawa.

Demikianlah... Matahari sudah agak meninggi. Akan tetapi Roro Centil masih tetap duduk di atas tebing karang Pantai Selatan. Sepasang matanya menghadap menatap hamparan lautan luas. Sementara hempasan angin laut, membuat rambut dan pakaian sutera hijaunya melambai-lambai diterpa angin. Juga ujung ikat kepalanya yang berwarna abu-abu itu tak mau diam berkibaran.

Sedang di dekat kakinya, tergeletak sebuah buntalan dari sutera tebal berwarna hitam. Adapun sepasang senjatanya terselip di kiri-kanan pada ikat pinggang, yang terbuat dari kulit ular. Roro Centil ternyata memakai pakaian yang singsat. Celana pangsinya yang berwarna hijau tua, lebih tua dari pakaiannya. Tampak pada ujung celananya terbelit tali sepatu rumput yang dikenakannya.

Selang beberapa saat setelah mengenang tempat yang bakal tak disinggahinya lagi, Roro Centil segera beranjak bangun berdiri. Sementara lengannya sudah bergerak menyambar buntalan pakaiannya. Pada buntalan itu sang Guru banyak membekali bermacam pakaian, juga sekotak kecil perhiasan. Kesemuanya telah disediakan sang guru di muka pintu kamar. Bahkan ketika Roro Centil berpamit tak ada sedikitpun suara gurunya menyahuti.

Roro cuma bisa menghela napas. Karena ia sudah mengenal watak gurunya yang aneh. Dan ia pun tak banyak buang waktu lagi, segera sambar buntalannya yang tadi baru saja dibukanya untuk dilihat isinya. Setelah menutup pintu lubang terowongan di atas tebing karang itu, Roro tidak segera berlalu, tapi beranjak ke tepi tebing.

Di sana ia duduk menghadap laut. Dan mengingat semua wejangan dari Guru gurunya. Yang kesemuanya menitik beratkan pada sifat-sifat kependekaran. Betapa Roro sudah terlalu menghayati akan semua itu. Namun Roro Centil memang berwatak aneh. Dan orang akan sukar menduga isi hati yang terkandung di jiwanya.

Namun dasar-dasar kebenaran, serta jiwa ksatria, kiranya tak mungkin terlupakan oleh si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini. Karena menggarungi atau terjun ke Dunia Rimba Hijau akan banyak kemelut dan bermacam rintangan yang bakal dihadapi. Namun dengan jiwa yang kokoh itu, Roro Centil tidaklah menjadi manusia yang mengecewakan di mata kaum golongan Pendekar.

Ketika itu Roro Centil sudah berkelebat meninggalkan tebing karang, dihantarkan oleh tiupan angin laut yang membersit dedaunan. Tubuh gadis pendekar yang cantik itu sebentar saja telah berkelebat semakin jauh, tinggalkan Pantai Selatan.

Akan tetapi tanpa disadari sesosok tubuh yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan, diam-diam terus menguntitnya. Sosok tubuh itu adalah seorang pemuda berbaju putih. Berwajah cukup tampan, dengan kumis kecil di atas bibirnya. Tentu saja gerakannya kalah cepat dengan Roro, sehingga sebentar saja ia telah jauh tertinggal. Akan tetapi di sebuah tempat, ia berhenti, dan bersuit keras.

Tiba-tiba bergerak muncul seekor kuda berwarna hitam legam menghampiri, dengan derap langkahnya yang terdengar memijak tanah, menyibak rerumputan.

"Antasena...! Cepatlah...!" Si laki-laki itu berseru girang melihat kudanya. Dan segera saja telah melompat ke atas punggungnya.

"Ayo! Antasena...! Kau susullah gadis cantik itu...!" Berkata si laki-laki. Dan sekejap kemudian derap kaki-kaki kuda sudah terdengar terbawa angin, ketika si laki-laki itu memacunya dengan cepat.

Agaknya Roro Centil mengetahui adanya seekor kuda dengan penunggang kudanya di belakang. Karena ia telah mendengar suara ringkik kuda serta derapnya di kejauhan.

"Siapakah...?" Gumam Roro seraya berpaling, dan perlambat larinya. Melihat seekor kuda yang dipacu begitu cepat membuat Roro Centil ingin mengetahui ada hal apakah gerangan. Tapi diam-diam ia telah melompat ke balik semak dengan cepat. Sepasang matanya tertuju pada si penunggang kuda, yang sebentar lagi akan tiba melewatinya. Beberapa saat antaranya, segera saja kuda telah tiba. Ternyata sang kuda itu terus melewatinya.

Sekilas Roro sudah dapat memperhatikan wajah si penunggangnya. Kira-kira jarak dua puluh tombak, kuda itu dihentikan. Terdengar suara binatang itu meringkik panjang. Dan terlihat si penunggangnya memutarkan kudanya ke beberapa arah. Tampak wajahnya menampilkan kekecewaan. Sepasang matanya seperti mencari jejak orang yang diburunya. Tentu saja hal itu membuat Roro Centil diam-diam menduga dalam hati.

"Apakah ia mencariku...?". Desisnya perlahan. Memandang wajah orang, agaknya Roro tidak curiga kalau si penunggang kuda itu ada berniat jahat. Namun sengaja Roro tak mau menampakkan diri.

Setelah berputar-putar beberapa kali, laki-laki itupun kembali memacu kudanya ke arah depan, melewati hutan bambu. Diam-diam kini Rorolah yang membuntuti. Kira-kira sepemakanan nasi si penunggang kuda itu telah berhenti di sebuah biara rusak yang sudah tak digunakan lagi. Akan tetapi pada saat itu telah berkelebat sesosok tubuh ke hadapan si penunggang kuda. Tentu saja membuat laki-laki itu terkejut. Namun si penghadang itu telah membentak keras.

"Sentanu...! Kau tak dapat melarikan diri dariku...!" Ternyata si pendatang itu seorang pemuda tegap, berwajah gagah, tanpa kumis dan jenggot. Raut mukanya agak kasar. Berkulit kecoklatan. Laki-laki ini mengenakan baju abu-abu berlengan pendek, dengan bagian dadanya terbuka. Menampakkan dadanya yang bidang. Celananya berwarna hitam. Tanpa memakai alas kaki. Sepasang mata pemuda ini membersit tajam menatap orang di hadapannya.

"Turunlah Sentanu...! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu..!" Bentaknya sekali lagi.

Adapun si laki-laki berkumis kecil yang menunggang kuda itu, jadi kerutkan sepasang alisnya, dengan menatap heran. Ia sudah mengenal siapa si penghadang itu.

"Hm! Mandra...! Apakah kesalahanku...?" Bertanya laki-laki itu.

"Keparat...! Kau masih juga berpura-pura? Perbuatanmu sudah tercium jelas. Apakah dengan telah kau nodainya adikku Marni, kau mau kabur begitu saja...? Kiranya peristiwa akhir-akhir ini yang melanda beberapa desa di sekitar wilayah Kadipaten Karang Sembung, adalah akibat ulah perbuatanmu...!" Bentak Mandra.

Keruan saja wajah Sentanu jadi merah padam mendengar tuduhan itu. "Gila...! Apa-apaan kau Mandra...! Kuakui kau anak Carik Desa. Tapi tuduhanmu itu tidak beralasan, dan di luar batas! Aku manusia yang masih punya martabat dan harga diri. Mengapa datang-datang kau melakukan tuduhan sekeji itu?" Teriak Sentanu, seraya melompat dari kudanya.

Akan tetapi Mandra hanya tersenyum sinis. Sepasang matanya tetap menatap Sentanu dengan berapi-api. "Martabat...? Harga diri...? Ha ha ha... Semuanya hanya pepesan kosong belaka. Apakah dengan dalih bahwa kau bekas seorang perwira Kerajaan Medang, lalu membuat orang lain harus menghormatimu? Ha ha ha... di mata penduduk, kau tak lebih dari seorang manusia yang kehilangan martabatnya. Mengapa kau masih menyebut-nyebut tentang martabat dan harga diri? Penduduk semua tahu kalau ayahmu mati di tiang gantungan, karena dianggap memberontak. Dan kau... ha ha ha kau karena diketahui anak seorang Senapati yang sudah tak berharga lagi, telah dipecat dari keprajuritanmu. Makanya kau bergentayangan. Kasihan ibumu yang sudah tua itu. Dia cuma bisa mengusap dada memikirkan semua nasib yang menimpa. Dan bisa-bisa mati meleras, kalau mengetahui anaknya adalah seorang tukang pemerkosa kelas wahid...!"

"Cukup...! Mulutmu perlu dihajar, Mandra...! Jangan kau bawa-bawa ayahku! Jangan kau bawa-bawa kedua orang tuaku! Kau telah memfitnah orang. Demi Tuhan aku tidak melakukan apa-apa...!" Teriak Sentanu dengan wajah pucat. Giginya gemeletuk menahan geram. Tiba-tiba ia telah berteriak lagi dengan mengeluarkan kata-kata keras.

"Sebutkanlah Mandra...! Siapa biang keladi yang telah memfitnahku, dan menjatuhkan martabat almarhum ayahku...? Pasti akan kurobek mulutnya. Ketahuilah olehmu. Ayahku bukanlah mati di tiang gantungan karena berkhianat, melainkan tewas dalam peperangan menumpas sisa-sisa pemberontak di utara. Dan aku memang telah sengaja keluar dari keprajuritanku, bukan karena aku dipecat...! Seandainya kau tidak percaya, silahkan datang menghadap Baginda Raja Medang. Beliau pasti akan membenarkan perihal ayahku itu. Sedang mengenai tuduhanmu itu, apakah kau punya bukti bahwa aku yang telah menodai adikmu Marni? Juga mengenai pemerkosaan yang melanda di beberapa desa, apakah kau punya bukti bahwa aku yang telah melakukannya...? Hm! Mandra...! Berfikir lah yang jernih. Agaknya kau terkena tenung orang. Mengapa tak hujan, tak angin tahu-tahu kau menuduh orang sembarangan...?"

Suara lantang Sentanu agaknya membuat pemuda bernama Mandra itu terhenyak seketika. Akan tetapi ia sudah berkata; "Bukti memang belum kudapatkan yang jelas. Akan tetapi orang desa Tambak Segoro telah menduga kau yang telah melakukannya. Karena adikku Marni berada di kamarmu. Telah dua hari ini aku mencarimu ke mana-mana. Apa lagi melihat sejak kedatanganmu, kau jarang berada di rumah. Kecurigaan penduduk tertuju padamu. Mereka punya dugaan kuat kejadian-kejadian di luar tentang pemerkosaan yang semakin santar itu dilakukan olehmu. Sebabnya... entahlah, mungkin mereka beranggapan kau anak seorang Senapati yang tak bermoral. Dan mati dalam keadaan hina, sebagai pemberontak Kerajaan. Tentu anaknya pun bukan orang baik-baik. Atas dasar itulah aku turut menuduhmu, Sentanu...! Walau pun kau adalah sahabatku, tapi itu dulu di waktu kecil. Keadaan sekarang mana aku tahu...? Aku cuma sekali sekali saja datang ke rumah. Karena sibuk dengan pekerjaanku sebagai pandai besi. Mengetahui keadaan adik kandungnya bernasib demikian, siapa yang sanggup menahan diri...?" Ujar Mandra.

Sementara Sentanu jadi tercenung. Memang ia jarang berada di rumah. Karena disebabkan para penduduk bersikap sinis padanya. Entah mengapa. Kini jelaslah sudah persoalannya. Ternyata Sentanu telah difitnah orang. Memang ia ada mendengar berita tentang adanya banyak kejadian pemerkosaan di beberapa desa. Sebenarnya ia memang berniat menyelidiki.

DUA

KINI mendengar bahwa dua hari yang lalu ada bukti bahwa Marni berada di kamarnya, membuat Sentanu jadi termangu-mangu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Siapakah manusia jail yang memfitnah dirinya? Tiba-tiba Sentanu sudah menatap Mandra dengan tajam, lalu berkata;

"Mandra...! Kita pernah bersahabat, walaupun itu di waktu kita kecil. Aku sudah bentangkan yang sejujurnya tentang diriku. Juga sekaligus menceritakan yang sebenarnya tentang ayahku. Terserah kau...! Apakah kau akan mempercayaiku, ataukah mempercayai dugaan penduduk yang telah menuduh keluargaku sekeji itu. Jelasnya ada yang sengaja mengail di air keruh. Orang yang makan nangka, aku yang terkena getahnya. Baiklah! Berilah aku waktu tiga bulan untuk menyelidiki kasus ini. Seandainya aku tak berhasil membongkar siapa yang telah melibatkan diriku dalam kejahatan ini, aku rela menerima hukuman darimu. Walau aku tak bersalah...!"

Selesai berkata Sentanu telah melompat kembali ke atas kudanya. Sementara Mandra cuma bisa terpaku di tempatnya. Tapi kemudian terdengar ia berkata; "Baik...! Aku pun akan coba menyelidiki. Kalau ternyata kau bersalah, jangan harap kau bisa meloloskan diri dariku. Tapi kalau ternyata kau tak bersalah, aku cabut lagi tuduhanku...!"

Selesai berkata Mandra segera tinggalkan tempat itu. Ternyata ia juga membawa kuda yang disembunyikan tak jauh di belakang biara rusak. Segera tak lama kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda yang mencongklang cepat menuju ke arah utara. Sekejap antaranya telah menghilang di balik tikungan. Sentanu cuma menatap dengan pandangan kosong. Baru saja ia mau memutar kuda untuk lanjutkan perjalanan, telah berkelebat tiga sosok tubuh dari samping biara rusak.

Belum lagi Sentanu sempat melihat tegas, salah seorang telah melesat ke arahnya. Dan sekaligus menghantam laki-laki ini dengan pukulan lengannya. Kejadian tak terduga itu membuat Sentanu tak sempat berkelit. Segera saja dengan perdengarkan teriakan tertahan, tubuhnya jatuh terlempar dari atas kuda. Kuda tunggangannya meringkik panjang beberapa kali, lalu mencongklang kabur. Sentanu cepat berusaha bangkit. Dan pada saat itu tiga sosok tubuh tampak mendekatinya dengan langkah-langkah bagai malaikat maut yang siap mencabut nyawa.

"He he he...Kakang Kuti! Untuk mencabut nyawa si pemerkosa ini sebaiknya serahkan saja padaku...!" Berkata salah seorang yang berjubah kuning, berkulit hitam. Wajahnya kaku dan seram, tanpa kumis dan jenggot. Rambutnya panjang sebatas bahu, dan terlihat kaku. Memakai ikat kepala dari kain hitam.

"Silahkan saja...! Tapi jangan dibunuh cepat-cepat. Kalau bisa jangan sampai mengalirkan darah...! Ha ha ha...!" Menyahuti yang bertubuh jangkung. Memakai jubah warna hitam.

Orang ini berwajah kasar, dengan hidung yang melengkung. Sedang di bawah hidungnya terdapat kumis tebal yang melintang. Dagunya bekas brewok yang sudah klimis dikerok. Orang ini pun berambut gondrong, yang tampak awut-awutan. Ikat kapalanya dari kulit buaya. Sedang yang seorang lagi ternyata bertubuh pendek, bulat. Berkepala besar. Dengan rambut gondrongnya berwarna coklat. Mukanya lebar, dengan sepasang mata yang sipit. Wajahnya menampilkan senyum yang tak sedap dipandang. Di lehernya tergantung seuntai tasbih berwarna hitam. Jubah yang dipakainya berwarna ungu. Sewarna dengan ikat kepalanya yang lebar.

Sentanu dengan menyeringai kesakitan meraba punggungnya, memandang pada ketiga manusia yang berdiri di hadapannya. "Siapakah kalian...? Apa kesalahanku? Mengapa kalian mau membunuhku?" Bertanya Sentanu, yang segera sudah dapat berbangkit untuk berdiri. Akan tetapi jawabannya adalah suara tertawa berbareng, yang terbahak-bahak.

"Ha ha ha... ha ha... Lucu sekali pertanyaannya. Masakan perbuatanmu yang telah kau lakukan sampai tidak ingat lagi? Kemana pun kau pergi pasti akan diancam kematian. Karena semua orang sudah mengetahui siapa adanya kau? Untuk manusia tukang memperkosa wanita semacam kau sebaiknya diberi hukuman setimpal.!" Berkata si pendek berjubah ungu, yang berambut coklat.

"Akulah yang pertama akan menghukummu manusia tengik...!" Seraya berkata lengan si laki-laki berjubah kuning berkulit hitam itu sudah gerakkan lengannya meluncur untuk menotok Sentanu.

Akan tetapi tiba-tiba ia telah menjerit kaget, karena sebutir batu kecil telah menghantam pergelangan tangannya. Hingga tak ampun lagi lengannya jadi kesemutan tak dapat digunakan lagi. Ia sudah melompat mundur dengan wajah pias. Sementara kedua kawannya juga jadi terkejut.

Pada saat itulah terdengar suara tertawa wanita, yang disusul dengan berkelebatnya sesosok tubuh berbaju hijau. Dan di hadapan mereka telah berdiri seorang gadis cantik ayu rupawan. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Kiranya melihat keadaan Senanu yang walau belum dikenalnya, Roro berniat melindungi laki-laki itu, yang belum dapat dipastikan kesalahannya.

Sejak bertarung mulut dengan Mandra, hingga sampai kedatangan ketiga manusia ini, Roro Centil terus mengikutinya dari tempat persembunyiannya. Dengan membuka mata dan memasang telinga mendengarkan setiap pembicaraan orang. Melihat yang muncul adalah seorang gadis cantik, laki-laki bertubuh tinggi jangkung berjubah hitam itu segera menjura.

"Oh, selamat berjumpa nona...! Gerangan siapakah anda? Kami Tiga Paderi dari Lereng Gunung Wilis merasa terkejut, karena nona menghalangi kami membunuh manusia durjana ini...!" Berkata si jangkung berkumis tebal, seraya perkenalkan diri.

Akan tetapi hal itu membuat Roro Centil jadi melengak, dan naikkan alisnya. "Kalian Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis?" Tanya Roro heran. "Setahuku paderi berkepala gundul plontos. Mengapa kalian berambut gondrong menakutkan? Aneh...! Apa aku tak salah dengar...?!". Ujar Roro selanjutnya.

Tampaknya wajah Kuti si jangkung itu jadi agak berubah. Seperti ada kesalahan yang perlu diralat. Sementara kedua orang kawannya saling berpandangan. Namun Kuti tiba-tiba telah tertawa terbahakbahak, seraya ujarnya;

"Ha ha ha...Kami memang tengah menyaru dengan menggunakan rambut palsu...! Maaf, nona. Anda boleh lihat sendiri kepala kami...!" Seraya berkata Kuti telah menjambak rambut kepalanya, hingga terlepas. Benarlah! Ternyata kepala Kuti memang tak berambut sama sekali, alias gundul plontos. Hal tersebut diikuti kedua kawannya, yang segera menjambak rambutnya masing-masing. Hingga terlihatlah ketiganya adalah benar-benar tiga orang paderi.

"Nah...! Apakah anda kini percaya kalau kami tiga orang paderi...?" Tanya Kuti.

Roro jadi tersenyum, dan berkata; "Baik...! baik...! Aku percaya kalau kalian adalah paderi. Akan tetapi menghukum seseorang yang belum jelas kesalahannya adalah tidak dibenarkan..."

Melengak ketiga paderi itu. Akan tetapi Kuti si paderi tertua di antara kedua kawannya telah kembali buka suara; "Dia telah memperkosa, lalu pergi menghilang. Bagaimana kami bisa jelas-jelas menangkapnya? Kalau saksinya adalah semua penduduk sedesa, apakah anda mau mengatakan bahwa manusia ini belum juga jelas kesalahannya?"

Termenung sejenak Roro Centil. Akan tetapi ia sudah berkata; "Aku memang belum mengetahui jelas duduk perkaranya. Tapi yang berhak memberi hukuman adalah yang berwenang. Kalau di desa, tempat ia dituduh ada seorang Carik, dialah yang wajib menghukumnya. Mengapa harus anda yang memberi hukuman...? Setahuku, tadi anak Carik desa yang bernama Mandra, telah membuat keputusan. Yaitu memberi kesempatan pada orang ini selama tiga bulan, untuk dia mencari orang yang memfitnah nya. Jadi hal itu adalah suatu keputusan yang sudah disetujui. Karena korban pemerkosaan adalah adiknya sendiri yang bernama Marni. Nah...! Berdasarkan hal itu aku mohon anda tidak lagi mengganggu pemuda ini. Dan biarkan ia berurusan dengan anak Carik Desa itu sendiri...!" Kata-kata Roro terdengar lantang dan tandas.

Sehingga ketiga paderi ini cuma bisa tercenung. "Baiklah! Kalau begitu, nona. Sebenarnya kami Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis merasa harus melenyapkan setiap kekotoran di dunia. Karena melenyapkan kekotoran itu merupakan amal kebaikan!" Berkata Kuti.

"Benar...! Tapi apakah harus selalu dengan membunuh...? Bagaimana kalau ternyata yang berbuat itu bukanlah si orang yang tertuduh ini? Bukankah akan menambah dosa?" Ujar Roro Centil dengan tandas.

Agaknya untuk bertarung bicara, Kuti harus mengalah. Segera ia membungkuk menjura lagi. "Terima kasih atas penjelasan nona. Kami sungguh amat bergirang hati dapat berkenalan dengan nona yang ternyata berpandangan luas. Sayang kami tiada mendengar akan keputusan laki-laki anak carik desa itu. Yang memberikan kesempatan padanya untuk membela diri dengan mencari orang yang memfitnahnya. Walau hal itu belum tentu benar, tapi anak carik desa itu telah berlalu bijaksana...! Bolehkah kiranya kami mengetahui siapa gerang-an nona...?" Bertanya Kuti.

"Ah, aku orang biasa yang tak ternama. Namaku Roro Centil...!" Sahut Roro. Akan tetapi penjelasan itu membuat si ketiga paderi jadi terkejut. Tanpa terasa mereka telah segera berseru hampir berbareng.

"Ha...? Jadi andakah si Pendekar Wanita Pantai Selatan?

"Oh, beruntung sekali kami dapat berjumpa dengan nona pendekar. Mengenai masalah ini kami yakin, nona Pendekar dapat membantu menyelesaikannya...!" Ujar Kuti.

Roro Centil cuma tersenyum, dan manggut-manggut. Adapun Kuti segera memberi isyarat pada kedua paderi kawannya, dan ia mendahului berkata;

"Baiklah, nona Pendekar Roro Centil. Kami mohon diri. Dan tentu saja mengenai urusan laki-laki ini kami tak berniat mencampurinya lagi...!" Selesai berkata, kembali ketiga paderi itu menjura. Dan selanjutnya telah berkelebat pergi dengan cepat.

Roro segera palingkan kepala pada Sentanu, yang tengah menatapnya, dengan pandangan kagum juga terpesona. Segera ia sudah menjura pada Roro, seraya berkata;

"Terima kasih atas pertolongan anda; nona Pendekar...! Sungguh tak mengira kalau aku dapat berjumpa dan berkenalan dengan seorang Pendekar Wanita, yang namanya telah dikenal di kalangan Rimba Hijau!"

"Hi hi hi... Sudahlah, jangan terlalu berbasa-basi, sobat... eh, kau bernama Sentanu, bukan?" Tanya Roro dengan menatap tajam wajah orang.

Yang ditatap jadi kikuk, tapi segera menjawab; "Benar...! Sebenarnya aku memang tengah mencari nona Pendekar yang khabarnya berada di pantai Selatan. Entah sudah beberapa tempat itu aku kunjungi di Pantai Selatan ini, Akan tetapi ketika aku melihat anda duduk di ujung tebing karang itu, entah mengapa aku jadi ragu...!" Roro jadi kerutkan alisnya.

"Jadi kau telah sejak lama mengetahui aku duduk di atas tebing...? Dan mengapa kau jadi ragu...?" Tanya Roro dengan lagi-lagi menatap tajam pada Sentanu. Laki-laki berkumis kecil ini, jadi tersipu-sipu dan tampak gugup.

"Apakah kau ragu kalau aku bukan orang yang kau cari?" Ulang Roro.

"Be...benar, nona Pendekar...! Karena hampir lebih dari setahun ini tak ada khabar berita di mana adanya nona Pendekar..." Tampaknya Sentanu seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi tak berani mengatakannya.

Padahal, Sentanu telah melihat tanpa sengaja dengan mata kepala sendiri, di mana ketika senja itu Roro Centil tengah bermain gelombang di bawah tebing karang, dengan menari-nari bagaikan seorang dewi lautan. Sentanu telah menyangka Roro adalah Nyai Roro Kidul, yang ada dalam dongeng rakyat. Karena mustahil bila hal semacam itu dilakukan oleh seorang manusia.

Dengan nekat, Sentanu segera menuruni tebing karang untuk melihat lebih dekat. Gerakan tubuh semampai tanpa busana itu membuat Sentanu bagaikan melihat seorang bidadari yang sedang mandi. Hingga ia benar-benar terpesona dibuatnya. Sayang waktu itu tak berlangsung lama. Dan sang bidadari telah kembali lenyap seperti ditelan gelombang. Laki-laki ini jadi penasaran. Semalam-malaman ia tak bisa tidur. Ternyata ia belum pergi jauh dari tebing karang itu.

Esoknya, pagi-pagi sekali ia telah kembali naik ke atas tebing karang. Dan di sanalah ia melihat Roro Centil sedang termangu-mangu. Jelas dan tak mungkin salah dengan apa yang telah dilihatnya senja kemarin. Wajah dan potongan tubuh gadis itu amat serupa dengan sang bidadari yang bermain di atas gelombang.

Sehingga diam-diam ia terus mengintai. Dan tatkala Roro beranjak untuk meninggalkan Pantai Selatan. Sentanu segera bergegas mengikuti. Beruntung Roro melewati tempat kudanya dilepas mencari rumput. Sehingga Sentanu dapat cepat memanggil sang kuda tunggangan. Dan memacunya cepat untuk menyusul Roro. Hingga akhirnya ia berjumpa dengan Mandra. Dan hampir saja ia jadi korban dibunuh si tiga orang paderi, kalau tak datang Roro yang membelanya.

"Ada hal apakah kau mencari diriku...?" Tanya Roro tiba-tiba. Membuat Sentanu yang sedang termenung jadi terkejut. Segera ia menyahuti dengan suara tergagap;

"Anu… nona Pendekar... Eh, marilah kita bicara sambil duduk di sana, agar dapat leluasa kita bercakap-cakap...!" Berkata Sentanu seraya menunjuk ke lantai biara.

Roro Centil mengangguk. Dan segera keduanya beranjak ke sisi biara rusak itu. Selanjutnya sudah duduk berhadapan. Ternyata Sentanu telah mengeluarkan sebuah benda, yang telah lama disimpannya. Benda itu adalah sebuah kalung, dengan rantai terbuat dari baja putih. Sedang bandulannya terbuat dari gading berbentuk hati. Pada bagian tengah gading itu, terukir sebuah huruf "R". Benda itu diperlihatkan pada Roro.

Tampaknya Roro Centil jadi terkejut. Segera ia raih benda itu dari tangan Sentanu. Sepasang matanya menatap tajam dan meneliti benda dan bandulannya itu. Segera saja ia telah berkata setengah berteriak; "Benda ini milikku. Dari mana kau menemukannya?" Tanya Roro.

"Ceritanya panjang sekali...! Kalau nona Pendekar mau mendengarkannya, aku pasti akan menceritakannya...!" Ujar Sentanu. Seraya menghela nafas lega. Kini keyakinannya semakin jelas, bahwa benarlah kalung yang ditemukannya kurang lebih dua belas tahun yang lalu itu pasti pemiliknya seorang anak perempuan.

Diam-diam wajah Sentanu menampilkan kegembiraan. Akhirnya ia dapat mengetahui siapa pemilik kalung bertuliskan huruf "R" itu. Segera Sentanu menceritakan asal penemuan kalung itu. Yaitu yang ditemukannya ketika ia masih menjadi Perwira Kerajaan. Dalam pengejaran mencari jejak si Maling Sakti yang menjadi buronan Kerajaan.

Rombongannya melewati sebuah jalan desa, yang telah bergabung dengan rombongan Tumenggung Wira Pati. Tumenggung Wira Pati adalah pamannya. Dari jauh ia sudah melihat adanya beberapa ekor kambing tergeletak di jalan sunyi itu. Ia bersama empat orang Prajurit berkuda berada di bagian belakang Rombongan berkuda pamannya. Karena Sentanu memang tadi tidak melalui jalan itu, jadi tak hapal akan jalannya.

Sedangkan rombongan berkuda Tumenggung Wira Pati ternyata tidak berhenti, bahkan terus menerjang beberapa ekor kambing yang bergelimpangan itu. Sekaligus Sentanu dapat melihat adanya seorang bocah tertelungkup memeluk seekor kambing yang telah tak berkutik. Namun mana ia bisa menahan rombongan di hadapannya. Sedang yang paling depan adalah pamannya, alias Tumenggung Wira Pati.

Sentanu berada di tengah pasukan berkuda. Terpaksa iapun melewati di mana kambing-kambing itu terkapar. Hingga sekejap saja rombongan mereka pun telah jauh dari jalan desa yang sunyi itu. Akan tetapi Sentanu tak lama kembali lagi bersama keempat prajurit bawahannya. Memang ia agak penasaran, apakah penglihatannya sekilas tadi itu hanya fatamorghana saja, ataukah sesungguhnya.

Sehingga ia dengan keempat orang bawahannya sengaja memisahkan diri, dari pasukan Tumenggung Wira Pati. Dan kembali lagi untuk melihat keadaan di jalan desa itu. Seandainya benar di sana tergeletak seorang bocah, pastilah tak akan membuat Sentanu penasaran. Akan tetapi Sentanu dan keempat prajurit bawahannya tidak mendapatkan ada seorang anak manusia di tempat kambing-kambing yang telah tergeletak tak bernyawa itu. Bahkan keempat prajurit diperintahkan memeriksa keadaan sekitarnya. Namun tak dijumpai siapa-siapa.

Demikianlah, akhirnya Sentanu beranggapan kambing-kambing yang mati itu adalah beberapa ekor kambing yang kebetulan lewat di jalan desa yang sempit itu. Akan tetapi, terkejut Sentanu ketika melihat sebuah benda berkilat tak jauh dari kaki-kaki kambing yang mati. Ia segera turun dari kudanya. Dan meraih benda itu. Ternyata benda itu adalah kalung berbentuk hati dan dengan bertuliskan huruf "R" di tengah bandulannya. Sentanu telah menyimpan benda itu.

Akan tetapi ia telah berkeyakinan bahwa benarlah apa yang telah dilihatnya bahwa adanya seorang bocah yang tertelungkup memeluk seekor kambing, yang telah diterjang terus oleh Tumenggung Wira Pati. Bertambah gusar dan mendongkolnya Sentanu, ketika setelah berfikir keras dengan masalah itu, punya dugaan kuat bahwa rombongan berkuda sang paman telah menerjang dua kali di tempat kambingkambing itu berserakan. Mustahil bila baru pertama kali, karena ketika Sentanu dan rombongannya yang memang baru sekali melewati tempat itu, telah melihat bahwa kambing-kambing itu telah tergeletak berserakan.

Berarti ketika rombongan Tumenggung lewat yang pertama, telah menerjang sekumpulan kambing dengan seorang bocah penggembalanya. Dan yang kedua kalinya, ketika kembali, telah menerjangnya lagi tanpa menghiraukan nyawa orang, apa lagi binatang. Mengingat demikian Sentanu jadi membenci sang paman, alias Tumenggung Wira Pati.

Namun anehnya, kalungnya diketemukan, tapi bocah si penggembalanya tak ada. Sentanu punya dugaan kuat kalau si bocah penggembala kambing itu seorang bocah perempuan. Dan Sentanu berpendapat, bahwa bocah penggembala itu pasti telah ada yang menolong. Namun itu cuma dugaan. Dan entah mengenai hidup dan matinya si bocah pengembala itu. Sentanu tak mengetahui. Namun sampai lebih dari dua belas tahun ternyata Sentanu masih menyimpan benda itu. Dengan harapan dapat menemukan si pemiliknya kelak. Demikianlah Sentanu mengakhiri penuturannya.

Adapun Roro Centil mendengarkannya dengan termangu-mangu. Tiba-tiba ia telah membuka ikat kapalanya. Dan meraba sebuah bekas luka di sudut dahi dekat rambutnya. Luka itu adalah bekas terkena terjangan kaki-kaki kuda, menurut Gurunya atau paman angkatnya, yaitu si Maling Sakti. Dengan sepasang mata masih menatap kosong, Roro berkata; "Aku punya luka kecil di dahiku ini, menurut mendiang guruku dahulu, adalah bekas kena terjangan kaki-kaki kuda...!"

"Kalau benar benda itu adalah milikmu, berarti kaulah si bocah penggembala kambing pada dua belas tahun lebih yang silam...!" Ujar Sentanu dengan wajah girang.

Tampaknya Roro sulit mengingat-ingat kisah lalu itu. Namun setelah beberapa saat terdiam, terdengarlah Roro menghela napas, dan ujarnya. "Benar, sobat Sentanu...! Aku mulai ingat. Kala itu aku menggembalakan kambing-kambing pamanku. Dan saat itu ada sepasukan berkuda yang datang, dan tahu-tahu sudah berada di hadapanku. Aku sempat melompat ke parit. Namun kambing-kambingku telah berserakan dengan keadaan menyedihkan. Cuma dua ekor saja yang tinggal hidup. Itupun dalam keadaan patah kaki. Aku memang tak mampu mengingat berapa jumlah semua kambing-kambingku. Namun yang kuingat adalah kematian si Putih, kambing kesayanganku yang belum lama dibelikan ayah. Yaitu sebelum ada berita gugurnya ayahku di medan perang. Bahkan mayatnya saja aku tak mengetahui...!"

Sampai di sini Roro Centil menyeka air matanya yang telah meleleh turun membasahi kedua pipinya. "Ketika pasukan berkuda itu lewat, aku bangkit dari dalam parit, dan menangis memeluki si Putih. Kulihat kedua anaknya yang masih kecil dan lucu, telah mati dengan menyedihkan...! Si Putih kudekap erat. Binatang tak berdosa itu megap-megap. Lidahnya terjulur penuh darah. Tulangtulang tubuhnya telah remuk di dalam. Aku tak kuasa menahan kesedihanku. Hingga aku tak sadarkan diri lagi, ketika si putih melepaskan nyawanya. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi. Cuma yang kuingat ada suara gemuruh yang datang. Dan aku terguling-guling di antara derap kaki-kaki kuda. Kurasakan mataku jadi gelap, karena kepalaku terantuk benda keras. Dan selanjutnya aku sudah tak tahu apa-apa lagi."

Tutur Roro. Dan melanjutkan lagi... "Belakangan baru aku mengetahui, yaitu setelah aku dewasa. Guruku si Maling Sakti alias Jarot Suradilaga itulah yang telah menolongku. Dan mengangkatku sebagai murid. Aku pun telah menganggap beliau pamanku sendiri. Sayang... kurang lebih tiga tahun berselang, guruku tewas oleh si Dewa Tengkorak, juga mertua guruku, kakek Bayu Seta alias si Pendekar bayangan. Selanjutnya aku berguru dengan seorang tokoh aneh di Pantai Selatan. Setahun yang lalu memang aku telah terjunkan diri ke Rimba Persilatan, membantu kaum pendekar melenyapkan kejahatan. Akan tetapi aku kembali harus menjalani gemblengan selama lebih dari setahun. Dan baru hari ini aku keluar dari tempat perguruanku...!" Demikian tutur Roro Centil panjang lebar.

Sementara Sentanu cuma manggut-manggut mendengarkan dengan penuh perhatian. Kini jelaslah bahwa kalung yang ditemukan itu milik Roro. Dan diam-diam Sentanu bersyukur juga kagum, yang ternyata si pemilik kalung yang ditemukan itu, adalah seorang Pendekar Wanita yang dikaguminya.

"Aku pun baru mengetahui kalau si Maling Sakti itu ternyata adalah seorang Pendekar Pejuang tanpa pamrih. Dan juga Ketua dari Partai Kaum Pengemis, yang banyak berjasa pada Kerajaan. Bahkan ternyata orang-orang atau Pembesar Kerajaan diam-diam hanya mencari pangkat atau kedudukan terhormat. Yang biasanya asal main tuduh saja. Bahkan tipu daya dan fitnah keji pun tega ia lontarkan, demi untuk kelanggengannya duduk di kursi terhormat...!". Ujar Sentanu.

Karena seketika ia pun teringat pada Tumenggung Wira Pati, yang sekarang telah menjabat sebagai Senapati Kerajaan Medang. Sentanu memang ada menduga yang menggembar-gemborkan desas-desus kematian ayahnya ada hubungannya dengan Senapati (pamannya) itu. Karena sebagai perwira Kerajaan, Sentanu sedikit banyak mengetahui akan sepak terjang dan perbuatan Wira Pati.

Namun untuk menjaga agar tidak menjadi kekacauan yang dapat mencemarkan nama Kerajaan, sengaja Sentanu tutup mulut. Dan ia mengundurkan diri dari keprajuritan.Cuma yang aneh, adalah ia dituduh oleh banyak penduduk desa sebagai seorang yang membuat kericuhan. Dengan mengkambing hitamkan dirinya sebagai seorang pemerkosa, dan penculik gadis.

Hal ini membuat Sentanu jadi bertekad menyelidiki biang keladi kericuhan yang telah mengadu dombakan ia dengan Mandra, sahabatnya. Juga menjadikan penduduk di desanya sendiri bersikap sinis terhadapnya. Apa lagi kini dengan munculnya Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis, yang telah turut campur. Sentanu merasa harus berhati-hati. Karena bukan mustahil akan banyak musuh yang tanpa sebab akan memusuhinya.

Oleh sebab itulah Roro Centil bersedia membantu Sentanu menjernihkan keadaan di beberapa desa yang tengah dilanda kemelut itu. Juga melindungi Sentanu dari kejahatannya manusia yang sengaja berniat memfitnahnya. Bahkan juga berniat melenyapkan laki-laki tak bersalah itu. Akhirnya sedikit banyak, Roro Centil dapat mengetahui kisah riwayat hidup Sentanu. Yang ternyata banyak liku-liku kehidupan yang dialaminya.

Selang tak berapa lama, tampak Sentanu bangkit berdiri, dan keluarkan suara suitan panjang. Suara suitan itu adalah untuk memanggil sang kuda tunggangannya. Tak berapa lama, terdengar suara derap kaki kuda menghampiri, disusul suara ringkikannya. Dan segera saja muncul seekor kuda hitam, yang tadi melarikan diri. Sentanu segera menghampirinya, dan menepuk-nepuk lehernya, seraya berkata;

"Antasena! Marilah kita tinggalkan tempat ini, aku harus kembali pulang dulu. Perasaanku tak enak. Aku akan menemui ibuku. Tentu beliau mengharapkan kedatanganku...!" Sang kuda meringkik panjang seperti mengerti akan kata-kata sang majikan.

Sementara Roro Centil cuma tersenyum saja memperhatikan Sentanu. "Aku tak dapat menemanimu, kembali ke desa. Tapi tak usah khawatir. Si tiga paderi itu telah berjanji tak akan mencampuri urusan ini. Silahkan kau berangkat. Aku masih ada sedikit urusan yang akan kuselesaikan. Mungkin besok, atau malam nanti aku akan menyelidiki situasi di sekitar tiga desa terdekat. Kuharap kau jangan tinggalkan rumahmu. Kelak aku pasti mencarimu di desa tempat kau berada. Atau kau dapat tanyakan pada Carik Desa di wilayah Kadipaten Karang Sembung...!"

Sentanu anggukkan kepalanya, seraya melompat ke atas punggung kudanya. "Aku harus segera kembali, nona Pendekar, Roro Centil. Dan sekali lagi terima kasih atas bantuan anda...!" Dan setelah berpamit, Sentanu sudah hentakkan kakinya ke perut kuda. Selanjutnya sang kuda telah mencongklang lari dengan cepat.

Roro menatapnya hingga sampai punggung Sentanu tak kelihatan lagi. Terdengar si gadis ini menghela napas, seraya lengannya meraba bandulan kalungnya yang berbentuk hati dan bertulisan huruf "R" pada bagian tengahnya. Bibir gadis ini sunggingkan senyum senang. Tak lama kemudian, ia telah berkelebat pergi tinggalkan biara rusak itu.

* * * * * * *

Matahari semakin tinggi dengan panasnya yang amat terik. Rumah gedung besar milik Bupati Daeng Panuluh itu tampak sunyi. Di luar cuma ada dua orang penjaga, yang tampaknya amat mengantuk. Sementara di ruang dalam, tampak Ki Ageng Daeng Panuluh tengah asyik duduk di kursi goyang dengan mata meram melek. Tubuhnya yang agak gemuk dan tanpa mengenakan pakaian pada bagian atasnya itu, terlihat mengeluarkan keringat. Sebentar-sebentar ia mengipasi tubuhnya dengan kipas dari bulu burung yang selalu tergenggam di tangannya.

Sementara di ruang kamarnya terdengar suara isak tersendat. Suara isak dari seorang gadis yang telah mengalami kenyataan hidup yang amat getir. Lolos dari lubang buaya, terperangkap di sarang macan. Dia seorang gadis yang masih muda. Dengan paras cantik. Berkulit kuning langsat. Tubuhnya dalam keadaan tertotok. Sehingga ia tak dapat berbuat apa-apa selain terlentang di pembaringan.

Malam tadi sesosok tubuh telah membawanya melalui jalan rahasia di belakang gedung bupati Daeng Panuluh ini. Dan malam tadi seperti juga malam kemarin, ia telah menghadapi hadirnya sang harimau jantan. Yang dengan mendenguskan napasnya telah merencah tubuhnya hingga seperti lumat. Kini ia tengah menunggu nasib apa selanjutnya yang akan menimpa.

Tengah ia termenung dengan terisak-isak, pintu kamar kembali terbuka lebar. Lalu kembali menutup perlahan. Sepasang mata teduh wanita muda ini kembali membersitkan sinar gemerlapan di antara derai air matanya. Dilihatnya sang harimau jantan yang tampaknya belum puas melahap tubuhnya itu telah mendekatinya kembali.

Kain selimut penutup tubuhnya itu telah kembali disingkapkan. Dan sepasang mata jalang laki-laki bertubuh agak gemuk itu menatap wajahnya serta merayapi sekujur tubuhnya. Terdengar ia tertawa menyeringai senang, seraya lengannya menelusuri setiap lekuk liku tubuh wanita. Sementara sang wanita telah menggigit bibirnya menahan geram. Tiba-tiba ia telah semburkan ludahnya hingga membasahi wajah laki-laki itu.

"Fuah...! Kau meludahiku, manis...? He he...ha ha ha... " Daeng Panuluh tertawa terbahak-bahak.

Sementara si wanita itu sudah membuang mukanya ke samping. "Belum puaskah kau, binatang...? Mengapa tidak segera kau bunuh aku?" Desis wanita itu disela isaknya.

Daeng Panuluh menyeka air ludah yang melekat di wajahnya. "Kau katakan aku binatang...? Ha ha he he he he...mungkin juga benar, tapi mungkin juga tidak. Aku berikan kelembutan padamu, mengapa kau tolak? Kau diantar kemari sudah bukan gadis lagi...! Kalau kau marah padaku itu salah besar, sayang...! Tapi tak apalah...! Sebentar kau akan menjadi jinak...!"

Berkata laki-laki itu. Tiba-tiba ia telah beranjak mendekati meja di sudut kamar itu. Lengannya bergerak mengambil cawan berisi air yang telah disediakan. Tiba-tiba dengan sebelah lengannya laki-laki itu telah menjambak rambut sang wanita, seraya berkata;

"Bukalah mulutmu sayang...! Kau minumlah air pelepas dahaga ini...!"

Tentu saja sang wanita itu berteriak tertahan menahan sakit. Akan tetapi ketika mulutnya terbuka, cawan berisi air ramuan itu telah dicekokkan padanya. Walaupun ia berusaha meronta, namun tak urung air ramuan itu telah masuk juga ke dalam tenggorokannya. Terdengar si laki-laki tertawa terbahak-bahak. Dan lepaskan jambakan pada rambutnya. Wanita muda itu terengah-engah kembali tergolek di pembaringan. Ia berusaha mengangkat lengannya tapi totokan pada tubuhnya tak mampu ia membukanya.

"Keparat...! Bunuhlah aku, mengapa kau siksa aku terus menerus...?"

"Aku tidak menyiksamu, manis...! Sebentar tenagamu akan kembali pulih. Dan kau akan bertenaga seperti seekor harimau betina...! Ha ha he he he..."

Namun wanita itu sudah tak mendengarkan ocehan laki-laki itu. Sepasang matanya telah dipejamkan. Karena ia rasakan kepalanya menjadi pusing. Sepasang matanya berkunangkunang, dan menjadi gelap. Dan ada hawa panas bergolak dalam perutnya. Tubuh wanita itu menggelinjang menahan hawa panas itu. Entah berapa saat ia tak tahu.

Ketika samar-samar ia melihat laki-laki itu tengah meneguk arak di hadapannya, ketika ia membuka sedikit kelopak matanya. Aneh...! Hawa kemarahannya seperti lenyap. Totokan pada tubuhnya seperti telah punah. Akan tetapi tak ada niat ia untuk melepaskan diri dari tempat itu.

Ia seperti mengharapkan sesuatu yang menggebu dalam jiwanya. Sepasang matanya yang redup itu seperti telah menjadi tatapan mata liar dan jalang. Lengannya menggapai seperti mencari pegangan. Disertai rintihan aneh, yang mendesis dari mulutnya.

Kini ia merasa seolah benar-benar menjadi seekor harimau betina yang sedang berahi. Terdengar samar-samar suara tertawa yang membuat ia seperti seorang buta yang mencari-cari tongkat. Dan ia sudah segera dapatkan tongkat itu, untuk segera selanjutnya berjalan menyusuri relung-relung kenikmatan, yang penuh misteri.

Bagaikan seekor binatang buas, yang membaui daging mentah, harimau betina itu melumat apa yang ada di hadapannya. Desah napasnya memburu. Seperti berpacu dengan desah-desah angin yang tak diketahui dari mana datangnya.

Daeng Panuluh perlahan bangkit untuk duduk. Napasnya terengah. Ia terlalu banyak menenggak arak. Selang tak lama ia telah keluar dari kamarnya. Dan kembali lemparkan tubuhnya ke kursi goyang. Di sana ia duduk dengan kaki terjuntai, dengan pejamkan mata. Segera tubuh laki-laki agak gemuk itu terayun-ayun membawanya ke alam mimpi di balik awan. Sesaat antaranya telah terdengar suara dengkurnya menggeros.

Saat malam menjelang datang, rumah gedung Bupati Daeng Panuluh seperti semakin sunyi. Namun sesosok tubuh bagaikan bayangan hantu tampak berkelebat keluar dari belakang gedung. Sosok tubuh itu seperti memondong sesuatu yang dibawa berkelebat dengan cepat. Dan sesaat antaranya kembali kesunyian mencekam malam yang gelap gulita.

Esok paginya, seorang penduduk desa yang akan pergi ke sawah di ujung desa, jadi terkejut, karena menjumpai sesosok tubuh telah menjadi mayat, terperosok di pematang sawah. Terkesiap seketika orang itu. Segera saja ia telah berlari sipat kuping. Paculnya telah dilemparkan dan ditinggalkannya begitu saja. Ternyata ia berlari ke arah desa. Seraya terdengar suaranya berteriak-teriak;

"Toloooong...! Ada pembunuhan..! Ada mayat! Ada mayat di pematang sawah...!"

Serentak saja orang-orang desa segera keluar. Tiga orang laki-laki telah melompat mendekatinya seraya bertanya; "Mayat siapa...! Laki-laki atau perempuan...?" Tanya salah seorang.

"Pe...perempuan...!" Sahut si petani itu dengan gagap. Ketiga laki-laki itu tersentak. Sementara beberapa orang segera berkerumun.

"Di mana...! Di pematang sawah sebelah mana...!" Tanya lagi laki-laki itu.

"Mari aku tunjukkan...!" Ujar si petani.

Pada saat itu muncul pak Carik Desa. "Ada apa lagi pagi-pagi sudah ribut...?" Tanya laki-laki berusia 50 tahun itu. Segera si petani menceritakan apa yang telah dilihatnya.

Pak Carik tampak kerutkan alisnya. "Hm...! Lagi-lagi korban pemerkosaan...! Mari kita lihat...!" Ujarnya. Dan serentak mereka sudah bergegas mengikuti si petani yang berjalan terlebih dulu.

TIGA

TIDAK semua yang berkerumun itu pergi untuk melihat. Terutama wanita, mereka cuma silih perbincangkan dengan sesama tetangga. Tapi seorang wanita ternyata telah bergegas menyusul rombongan yang berlarian itu. Dia bukan penduduk tempat itu. Tapi secara kebetulan ketika sedang menghirup udara pagi, telah mendengar suara ribut-ribut. Ternyata di seberang jalan adalah sebuah penginapan. Agaknya ia seorang pendatang yang telah menginap di penginapan yang cukup besar itu.

Memang desa ramai itu pada bagian belakangnya adalah terbentang kebun dan sawah penduduk yang luas. Wanita itu berbaju merah, dengan rambutnya dikepang dua. Ternyata ia punya gerakan lincah. Dalam beberapa saat saja ia telah dapat menyusul rombongan yang telah jauh itu. Bahkan tak lama rombongan di hadapannya telah berhenti. Dan tampak mereka jadi sibuk, silih berdesakan untuk melihat mayat yang terbujur di pematang sawah.

Ternyata mayat itu benar seorang wanita. Keadaannya amat mengenaskan sekali, karena tubuhnya matang biru. Dan tak mengenakan selembarpun pakaian, hanya sehelai kain yang membungkus tubuhnya. Beberapa orang yang melihat tidak mengenali siapa adanya wanita muda itu. Akan tetapi tiba-tiba si gadis berbaju merah yang tadi menyusul belakangan itu, telah terpekik kaget, seraya menubruk mayat wanita malang itu.

"Surti..! Surtiiiii..!" teriaknya histeris, dan ia sudah memeluki mayat yang sudah kaku di pematang sawah itu, dengan air mata bercucuran.

Semua yang memandang cuma terpaku melihatnya. Pak Carik menghela napas. Sementara tiga laki-laki tadi cuma bisa tundukkan kepala dengan hati trenyuh mendengar suara tangis si wanita yang menyayat hati. Di antara ketiga laki-laki itu ternyata terdapat Mandra, anak pak Carik. Pemuda itu memandang pada ayahnya. Sementara laki-laki berusia 50 tahun itu sunggingkan senyum sinis padanya seraya berkata;

"Heh...! Apakah pendapatmu dengan korban kali ini...? Apa kau tak juga yakin kalau semua ini perbuatan si Sentanu itu...?"

Mandra menatap tajam pada ayahnya. Alisnya bergerak menyatu. Dan dengan nada tegas ia telah menjawab pertanyaan sang ayah."Aku telah memberinya waktu selama tiga bulan. Dan hal itu adalah suatu kebijaksanaan yang mutlak bagi kita untuk memberinya kesempatan si pelaku sebenarnya. Kita tak dapat menuduh orang dengan semena-mena, ayah...! Kalau seandainya ia benar-benar tak bersalah, akan kita taruh di mana muka kita...? Apa lagi ayah adalah seorang Carik. Yang tentunya akan disorot tajam oleh mata semua penduduk...!"

Laki-laki tua yang masih bertubuh kekar ini cuma mendengus, dan berkata; "Terserah dengan keputusanmu, Mandra. Segeralah kau bantu mengurus jenazah itu! Aku akan menemui Bupati...!"

"Baik, ayah...!" Menjawab Mandra seraya palingkan kepala pada si gadis baju merah yang masih terbenam dalam tangis.

Pak Carik Desa bernama Sengkuti ini, segera putar tubuhnya, dan berlalu meninggalkan kerumunan orang, yang kian bertambah saja. Ternyata di antara kerumunan orang itu ada terdapat seorang pemuda berwajah pucat yang menyandang buntalan di punggungnya.

Ketika laki-laki Carik Desa itu bergegas tinggalkan tempat itu si pemuda diam-diam telah mengikutinya. Hingga tak lama sudah berada di luar desa. Terkejut juga pemuda berwajah pucat itu, ketika melihat laki-laki yang sudah diketahuinya Carik Desa itu ternyata mempergunakan ilmu lari cepat. Kiranya ia punya gerakan gesit. Entah apa maksudnya si pemuda itu membuntuti laki-laki itu. Tapi ketika di tebuah tikungan, si pemuda itu telah kehilangan jejak.

"He...? Kemana gerangan ia perginya...?" Desis suara si pemuda. Sementara ia sudah putar tubuh, dan palingkan kepala ke sana-kemari, namun tak juga dilihatnya orang yang sedang dibuntutinya. Tahu-tahu telah berdesir angin di belakang tubuhnya. Terkejut pemuda ini, namun dengan sebat ia sudah melompat ke samping dengan gerakan kilat. Ternyata adalah serangkum jarum senjata rahasia, yang nyaris saja mengenai punggungnya. Pemuda ini sudah keluarkan bentakan keras... ketika dilihatnya sebuah bayangan berkelebat melarikan diri.

"Heii...! Berhenti pengecut...!" Teriaknya santar. Dan ia sudah kelebatkan tubuhnya menyusul bayangan itu. Akan tetapi bayangan itu pun lenyap. Namun si pemuda sudah dapat menduga si penyerangnya.

"Potongan tubuhnya mirip si Carik Desa itu cuma kepalanya terbungkus kain hitam. Tentu ia menggunakan topeng agar tak dapat dikenali...!" Desis suara si pemuda. Diam-diam si pemuda itu semakin mencurigai orang yang dibuntuti. Tiba-tiba tiga sosok tubuh telah bersembulan dari tiga penjuru.

Terkejut pemuda ini, karena ia telah mengenali siapa adanya ketiga orang yang telah mengurungnya itu. Namun tanpa bisa berfikir panjang lagi ia harus mengelakkan terjangan salah seorang yang menyerang dengan kipas baja berujung runcing. Si penyerang ini memakai tasbih hitam yang tergantung di lehernya. Rambutnya gondrong berwarna coklat.

Dua serangan beruntun menerjang mengarah leher, dan dada. Membersit angin keras, ketika senjata itu lewat beberapa senti dari kulit lehernya. Sedang serangan pukulan selanjutnya yang mengarah ke dada, telah ia sambuti dengan hantaman telapak tangannya.

Terdengar si penyerang yang bertubuh pendek itu berteriak tertahan, dan tubuhnya terlempar ke belakang tiga tombak. Namun dengan sebat ia telah bangkit berdiri lagi. Tampak ketiganya saling pandang. Tibatiba si laki-laki berjubah hitam yang bertubuh jangkung dan berkumis tebal itu telah melompat ke hadapannya.

"Ha ha ha...boleh juga ilmu tenaga dalammu anak muda...! Gerakan tubuhmu amat gemulai. Membuat aku ingin mencicipi kehebatan anda...!" Berkata ia dengan wajah tertawa menyeringai. Ternyata orang ini adalah Kuti, si paderi Ketua dari Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis.

Seraya berkata, ia telah tarik keluar secarik kain sutra berwarna hijau dari balik jubahnya. Dan dengan sebat ia telah menerjang dengan senjata yang tiba-tiba berubah menjadi kaku. Terkejut pemuda itu, karena ia baru melihat senjata aneh itu. Terjangan ke arah dada dapat ia hindarkan dengan lengkungan tubuhnya ke belakang, akan tetapi benda itu mendadak telah berubah kembali menjadi lemas, dan tahu-tahu telah menyambar ke arah kepala.

Terkejut si pemuda. Namun sudah terlambat. Walaupun ia berhasil melindungi kepalanya, namun ikat kepalanya telah menjadi terlepas. Segera saja rambutnya terjuntai, karena tanpa ikat kepala lagi. Hal mana membuat si ketiga manusia di hadapannya jadi tertawa terbahak-bahak.

"Ayo, telanjangi lagi pakaiannya, biar tinggal kulit dan bulu...baru kita bikin sate...!" Teriak si laki-laki berjubah kuning yang bertubuh pendek. Tapi ketiganya jadi ternganga, karena tahu-tahu tubuh si pemuda berambut panjang itu telah berkelebat cepat sekali, dan sekejap saja telah lenyap.

"Kurang ajar...! Dia bisa meloloskan diri...!" Teriak si laki-laki jubah ungu.

"Ayo, cepat kejar...!" Teriak Kuti. Akan tetapi harus mengejar ke mana, karena yang mau dikejar sudah tak kelihatan lagi. Kedua kawannya cuma bisa terpaku di tempat dengan kesima. Tampak Kuti seperti agak mendongkol karena tak dapat menangkap pemuda itu. Terdengar ia berkata; "Aku menduga dia seorang wanita...! Suara dan gerak-geraknya tak dapat aku dikelabuhi. Sayang aku tak dapat menangkapnya...!"

"Eh...!? Jangan-jangan dia si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang menyaru..." desis si laki-laki pendek.

Tampak Kuti mengerutkan alisnya. "Heh! Entahlah...! Tapi kalau benar dia, akan bisa membahayakan diri kita. Namun jangan khawatir adik Lembu Alas, dan Kebo Ireng...! Justru aku menginginkan sekali untuk bisa menawannya. Ha ha ha... " Ujar Kuti, dengan tertawa.

Tak berapa lama ketiga paderi yang menyamar itu sudah berkelebatan pergi.

Beberapa hari kemudian... Sebuah gedung kuno yang tampaknya bekas peninggalan dari Kerajaan itu terlihat sunyi. Tapi dua orang bujang tua tampak tengah menyapu halaman, Salah seorang melihat ke pintu gedung yang tertutup. Lalu mendekati kawannya.

"Apakah ketiga pendeta ada di dalam...?" Tanya laki-laki jongos itu.

Sang kawan hentikan menyapu seraya berpaling pada kawannya, dan melirik ke arah pintu gedung. Lalu menjawab pelahan. "Tampaknya mereka pergi...! Ada apakah kau tanyakan mereka...?" Tanya sang kawan.

"Eh! Anu... Tadi sebelum kau bangun, aku telah lebih dulu membersihkan lantai, tiba-tiba datang seseorang yang memanggilku dari halaman. Aku segera menghampiri...!"

"Laki-laki atau wanita orang itu...?" Menyela si jongos kawannya. "Seorang wanita tua. Tapi tampaknya bukan wanita sembarangan. Karena ia membawa tongkat berkepala naga. Ia menanyakan siapa penghuni gedung ini...! Aku mengatakan penghuninya tiga orang paderi atau pendeta. Orang tua itu manggutmanggut, lalu berangkat pergi setelah mengucapkan terima kasih...!"

"Kau tidak tanyakan ia mencari siapa...?" Tanya sang kawan. Laki-laki jongos itu cuma menggelengkan kepala.

"Cuma anehnya sepasang matanya tampak berkilatan tajam. Seperti ia tengah menyelidiki si penghuni gedung ini...!" Sambungnya lagi.

"Jangan-jangan ia bakal kembali lagi...!" Berkata sang kawan.

"Entahlah..." Menyahuti ia seraya beranjak untuk meneruskan lagi pekerjaannya. Tapi tiba-tiba sepasang mata kacung ini jadi terbelalak lebar, karena dilihatnya wanita bertongkat yang tadi pagi datang itu ternyata sedang berdiri di bawah pohon tak jauh di luar halaman. Dengan sepasang matanya menatap ke arah gedung.

Tampak si kacung ini cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Lalu buru-buru masuk ke samping emperan gedung kuno itu. Sang kawanpun telah selesai dengan pekerjaannya. Dan tak lama beranjak masuk berselang tiga orang paderi itu telah kembali.

Hati si kacung ini jadi kebat-kebit. Tampaknya bakal terjadi sesuatu. Pikirnya. Benarlah! Baru saja ketiga paderi itu memasuki halaman. Si wanita bertongkat naga itu telah berkelebat dari tempat ia berdiri seraya perdengarkan bentakan keras.

"Tunggu pencuri-pencuri busuk..! Kiranya kalian berada di sini...!"

Dan sekelebat si wanita itu telah melompat di hadapan si tiga paderi. Ternyata Kuti, Kebo Ireng dan Lembu Alas. Mereka tidak lagi mengenakan rambut palsu. Akan tetapi dengan kepala yang licin, alias gundul plontos.

"Siapakah kau, perempuan tua...? Kami tak mengenalmu. Mengapa tiba-tiba kau tuduh kami sebagai pencuri...?" Bertanya Kuti. Akan tetapi diam-diam ia terkejut karena ia segera mengetahui siapa adanya wanita tua itu.

"Heh...! Paderi-paderi palsu...! Kau kira dengan penyamaranmu itu, bisa kau sembunyi dari mata tuaku...? Kembalikan Kitab Ular yang kau curi itu...!"

"Kitab Ular yang manakah...? Jangan-jangan kau orang sinting! Kami adalah orang-orang yang berjalan di atas kesucian. Mengapa kau tuduh kami sebagai pencuri?"

Akan tetapi si wanita itu telah gerakkan tongkatnya, seraya membentak. "Setan Keparat...! Manusia manusia tengik semacam kalian memang seharusnya mampus siang-siang...!"

Wut! Wut! Wut...!

Si wanita telah menerjang dengan tongkat berkepala Naganya. Hebat sambaran tongkat itu, karena di samping serangannya amat ganas, dari ujung tongkat itu membersit keluar asap tipis yang mengandung racun. Kiranya memanglah wanita itu yang berjulukan si Tongkat Seribu Racun. Dengan menghindari serangan ganas itu, Kuti membentak. Kali ini ia sudah tak lagi menutupi rahasia dirinya.

"Bagus...! Tongkat Seribu Racun! Agaknya kau jauh-jauh dari lereng Merapi cuma untuk mengejar kitab itu? Akan kuberikan kalau kau sudah tinggalkan nyawamu, dan berangkat ke Akhirat...!" Seraya berkata, Kuti telah mengirim pukulan telapak tangannya.

Wut...!

Si wanita cepat menghindar, seraya mendengus. "Setan Keparat...! Akhirnya kau mengakui juga! Paderi-paderi semacammu bisa mencemarkan nama baik paderi yang lainnya...! Apa lagi Kitab Ular itu berada padamu...!" Berkata si Tongkat Seribu Racun, seraya mengibaskan lengan jubahnya. Dan dibarengi bentakan, ia telah menerjang lagi dengan tongkatnya.

Kuti yang dicecar terus, memberikan perlawanannya. Dengan gerakan jungkir-balik di udara, ia telah mampu mengelakkan seranganserangan dahsyat itu. Akan tetapi ia harus menahan napas, karena asap tipis yang mengandung racun itu bila tersedot bisa membahayakan dirinya. Sementara Lembu Alas dan Kebo Ireng telah segera mempersiapkan diri untuk menerjang. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan merah disertai bentakan...!

"Paderi-paderi keparat...! Jangan main kerubutan! Sungguh tak tahu malu...!" Suara bentakan itu disusul dengan serangan mendadak pada si pendek Lembu Alas, yang sudah akan menerjang dengan tasbih dan kipas bajanya.

Ternyata yang datang dan menyerang adalah seorang gadis berbaju merah. Yaitu gadis yang beberapa hari yang lalu menangisi kematian seorang wanita muda di pematang sawah. Yang tewas itu adalah adik seperguruannya.

Melihat kedatangan gadis berbaju merah itu, si wanita bertongkat berseru girang. "Bagus, muridku...! Ternyata kau kiranya! Bantulah aku menghajar paderi-paderi palsu ini...! Mereka adalah si pencuri Kitab Ular dari biara Welas Asih, di lereng Gunung Wilis."

"Mereka juga biang keladi penculikan gadis-gadis, Guru. Kita harus membalas dendam. Surti adikku telah tewas beberapa hari yang lalu...! Perbuatan siapa lagi kalau bukan perbuatan tiga manusia licik ini...!" Teriak si wanita baju merah.

"Hah...!?" Seketika si wanita ini jadi tersentak kaget. Akan tetapi sudah terdengar bentakan.

"Kurang ajar...!" Dari mana kau bisa menuduh kami penculik gadis-gadis,...! dan membunuh adikmu...!?" Bentak Kuti geram. Sementara ia sudah melompat mundur tiga tombak, diikuti kedua paderi lainnya.

"Aku yang memberitahukan...!" Tiba-tiba terdengar suara di belakang.

Ketika mereka menoleh, ternyata telah berdiri entah sejak kapan, seorang gadis cantik rupawan berbaju hijau. Piaslah wajah si tiga paderi itu. Karena ia segera dapat mengetahui kalau orang itu adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil. Tiba-tiba Kuti telah memberi isyarat, dan sekejap kemudian mereka telah melesat kabur dengan memasuki Gedung kuno itu lewat jendela.

Terkejut si wanita bertongkat Naga, dan muridnya. Mereka sudah segera akan bergerak mengejar, namun Roro Centil sudah berkata menghalangi. "Biarkanlah  ketiga tikus-tikus busuk itu, bibi...! Mereka tak akan lari jauh. Karena kitab Ularnya telah berada di tanganku...!"

Tentu saja kata-kata Roro itu membuat si Tongkat Naga Seribu Racun jadi melengak. "Benarkah, bocah manis...! Dan siapakah kau...? Kau mengenal dengan muridku?" Tanya si wanita itu.

"Guru...! Dia bernama Roro Centil, yang dikenal di kalangan Rimba Hijau, dijuluki si Pendekar Wanita Pantai Selatan...!" Tiba-tiba si gadis baju merah telah mendahului menyahuti.

Terkejut juga si Tongkat Naga Seribu Racun. Tapi ia telah segera tertawa gelak-gelak. "Bagus...! bagus...!  Sungguh pertemuan yang tidak terduga. Tapi aku masih  penasaran dengan kata-katamu yang mengatakan bahwa Kitab Ular ada ditanganmu! Dapatkah kau menunjukkannya padaku?" Tanya si wanita.

Roro Centil tersenyum manis, seraya ujarnya; "Sabarlah, bibi...! Marilah kau singgah ke tempatku. Banyak yang akan kuceritakan. Sekalian mengenai kematian muridmu...!"

Agaknya wanita ini baru sadar akan hal itu. Ia sudah menyahuti dengan tergopoh-gopoh. "Baik...! baik...! Tentu aku bersedia...! Heh! Manusia-manusia binatang itu tak akan lepas dari tanganku kelak. Tunggulah...!" Seraya berkata ia sudah palingkan kepala pada gedung kuno itu dengan tatapan tajam. Sinar matanya seperti membersit bagai sepasang mata serigala liar.

Tak berapa lama tampak ketiga wanita itu telah berkelebat pergi dari halaman gedung kuno itu. Yang kembali jadi sunyi.

Sementara itu si paderi bernama Kuti di dalam gedung, jadi kelabakan, ketika mengetahui kitab yang tak pernah ketinggalan, dan selalu berada di saku jubahnya, ternyata telah lenyap. Tentu saja semua pembicaraan di luar, telah di dengarnya. Hingga ketika ketiga wanita itu berlalu, dengan diam-diam Kuti telah berkelebat membuntuti.

Kira-kira sepeminuman teh, segera ia dapat melihat ketiga wanita itu memasuki sebuah penginapan yang telah dikenalnya. Tampak ia tersenyum sinis. Lalu berkelebat lagi menjauhi tempat itu, kembali ke gedung kuno. Lembu Alas dan Kebo Ireng masih duduk bersila di lantai ruangan tengah. Ketika didengarnya suara orang masuk. Yang tak lama kemudian segera muncul sang kakak tertuanya.

"Hm! Mereka menginap di penginapan Sugih Waras...!. Gila! Kita harus cari akal untuk merebut kembali kitab itu...!" Berkata Kuti. Tampak wajahnya menampilkan kemendongkolan luar biasa.

"Mengapa kitab curian itu bisa berada di tangan si wanita Pendekar itu...?" Bertanya Lembu Alas, si paderi pendek.

"Benar, kakang Kuti...! Mengapa bisa demikian? Bukankah kau telah menotoknya? Aneh...! Mengapa bisa dia membebaskan diri...?" Tanya Kebo Ireng dengan penasaran.

"Ah, dasar aku yang lagi sial...! Wanita Pendekar itu telah menipuku...! Tapi dia memang gadis yang punya keberanian luar biasa...!" Mengutuk Kuti, tapi juga ia memuji akan kecerdikan lawan. Segera Kuti menceritakan pengalamannya, yang ternyata hanya Kuti saja yang tahu.

Kiranya peristiwanya adalah demikian... Seperti diketahui, ketika beberapa hari yang lalu, seorang pemuda berhasil meloloskan diri dari tangan ketiga paderi itu. Mereka segera pergi ke tempat yang memang telah menjadi periuk nasinya. Yaitu tempat kediaman sang Bupati Daeng Panuluh. Bupati Daeng Panuluh ternyata telah bersahabat baik dengan mereka ketiga paderi.

Sebenarnya boleh dikatakan sang bupati yang bergelar Ki Ageng Panuluh itu bukanlah seorang bupati. Dia baru beberapa bulan di tempat itu, sejak Bupati yang lama meninggal secara mendadak. Dia kesempatan menjadi pengganti Bupati itu diperoleh dari seorang Senapati Wira Pati.

Senapati Wira Pati telah dikenal Ki Ageng Panuluh, yang sebenarnya bernama panggilan Daeng itu, sejak sang Senapati masih menjabat Tumenggung. Daeng adalah bekas seorang perompak laut, yang meminta perlindungan pada Wira Pati. Tentu saja Wira Pati yang masih menjabat Tumenggung itu, tak menolaknya. Karena di samping Daeng punya banyak harta benda hasil rampokan, juga seorang yang royal.

Bagi Wira Pati, menyembunyikan seorang penjahat, yang banyak menguntungkan adalah kesempatan baik yang tak boleh disia-siakan. Demikianlah... hingga beberapa tahun kemudian, ketika Wira Pati naik pangkat menjadi Senapati, Daeng telah diangkat menjadi Bupati dengan izinnya, yaitu untuk mengisi kekosongan Gedung Bupati lama di daerah wilayah Kadipaten Karang Sembung. Karena dengan kematian mendadak sang bupati lama itu.

Hubungan baik sang Bupati yang bergelar Ki Ageng Panuluh itu dengan si Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis, ternyata berkisar antara perampokan dan pemerkosaan. Yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Karena si Tiga Paderi itu adalah sebenarnya paderi samaran yang dalam pelarian. Ternyata Kuti telah berhasil merebut sebuah kitab Pusaka dari Biara Welas Asih di lereng Gunung Wilis.

Kitab pusaka itu adalah kitab titipan seseorang bernama Gurnamh Singh, seorang dari Nepal. Kuti sendiri adalah seorang keturunan Nepal. Setelah merampas kitab itu dari tangan paderi-paderi Biara Welas Asih, mereka melarikan diri, hingga tiba di kawasan Kadipaten Karang Sembung. Di sini ia menyamar sebagai tiga orang paderi.

Demikianlah... kedatangan mereka menemui Daeng Panuluh beberapa hari yang lalu, adalah untuk merundingkan sesuatu dengan pekerjaan jahat yang mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Sekalian melaporkan tentang munculnya tokoh persilatan Pendekar Wanita Roro Centil pada sang Bupati Daeng Panuluh. Ternyata di sana mereka, telah mendengar kericuhan dengan munculnya seorang pemuda berbaju putih, yang diam-diam telah menyelidiki ulah tingkah sang Bupati. Pemuda itu cuma memberikan ancaman saja, lalu menghilang.

Oleh sebab itu kedua paderi Kebo Ireng dan Lembu Alas sengaja diperintahkan sang bupati Daeng untuk menjaga Gedungnya. Dikhawatirkan ada sesuatu yang bakal terjadi di luar dugaan. Sementara Kuti kembali beroperasi.

Ternyata Kuti mengambil keuntungan lain dari pekarjaan jahat, atas kerja sama dengan Daeng. Yaitu memperkosa wanita untuk kepentingan kepuasan nafsu bejatnya. Juga karena ia mempelajari suatu ilmu aneh dari Kitab Pusaka yang dicurinya. Rambut aslinya memang telah dicukur gundul, dalam rangka penyamarannya. Tapi ia mempergunakan rambut palsu, dan menggunakan topeng, ketika melakukan kejahatan.

Demikianlah... dua hari yang lalu ketika ia beroperasi sendiri, ia berhasil menculik seorang gadis dari satu keluarga yang cukup berada. Terpaksa ia membunuh ayah gadis itu, serta beberapa orang pengawal gedung. Dan melarikan diri di tengah malam buta. Tentu saja tak lupa menguras harta benda si pemilik gedung.

Namun ia telah dikejar oleh seseorang, hingga terjadi pertarungan. Dengan menggunakan kelicikannya menyandra gadis itu, ia berhasil melarikan diri. Lalu sembunyi di sebuah makam kuno. Di sana ia bebas berbuat semuanya. Karena makam kuno itu adalah peninggalan dari Kerajaan, yang banyak terdapat lubang rahasia.

Di bawah makam ternyata ada sebuah lubang yang menuju ke ruangan rahasia di bawah tanah. Di sanalah ia melampiaskan nafsu bejatnya. Di samping mempelajari ilmu sesat dari Kitab Ular yang dirampasnya.

Sementara si laki-laki berbaju putih yang mengejarnya, telah kehilangan jejak. Ternyata laki-laki berbaju putih itu Ginanjar adanya. Yaitu murid si Pendekar Bayangan Ki Bayu Seta. Tanpa sengaja Ginanjar dapat berjumpa dengan Roro Centil, yang menyamar sebagai seorang pemuda berwajah pucat. Tentu saja hal itu membuat mereka jadi amat bergirang hati.

Terlebih-lebih pemuda itu. Karena memang Ginanjar telah memenuhi undangan Roro Centil untuk datang pada tahun ini, sejak pertemuannya setahun belakangan. Tujuannya ke Pantai Selatan, jadi tertunda, karena ia terlibat dalam penyelidikan kejadian-kejadian di wilayah Kadipaten Karang Sembung.

Lenyapnya si paderi palsu di makam kuno, membuat Roro Centil berhasrat untuk menyelidiki. Hingga ia berhasil menjebak Kuti keluar dari tempat persebunyiannya. Roro memang berotak cerdas, walaupun terkadang suka kumat penyakit ugal-ugalannya, yang disebabkan ia pernah cidera pada bagian kepalanya terkena terjangan kaki-kaki kuda pada usia kanakkanaknya. Dan ditambah gemblengan keras dari Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si manusia Banci. Sehingga Roro berwatak aneh. Yang terkadang orang sulit menerkanya.

Suara-suara rintihan di malam gelap, di dalam makam yang banyak berjajar kuburan-kuburan lama itu, bukannya membuat Roro jadi takut. Bahkan semakin penasaran untuk mengetahui setan apakah yang berada di situ, untuk menakut-nakuti orang. Terpaksa ia mendekam di sisi makam, dengan memandang tajam ke arah setiap tempat.

Kembali terdengar suara rintihan yang terkadang samar-samar, namun terkadang agak keras. Walaupun bulu kuduk Roro Centil agak bergidik seram, tetap penasaran. Dan mendekari suara yang samar-samar itu, dengan beringsut perlahan. Akhirnya ia mengetahui suara itu berasal dari dalam gundukan kuburan yang cungkupnya terbuat dari batu.

"Tak mungkin orang yang sudah mati masih bisa menangis, atau merintih...! Pasti ada orang di dalam. Atau mungkin juga di sinilah sarang tempat sembunyi si paderi gila itu...!" Desis Roro dengan suara perlahan. Entah mengapa Roro amat yakin akan adanya lubang rahasia di makam itu. Segera ia meraba-raba. Seperti mencari sesuatu yang dapat memungkinkan adanya lubang pintu masuk ke dalam kuburan.

Namun tak dijumpainya. Akhirnya Roro dapat akal. Segera saja ia tempelkan telapak tangannya pada batu sungkup kuburan itu. Dan alirkan tenaga dalamnya yang berhawa panas. Hingga batu sungkup kuburan itu tampak kepulkan asap tipis.

Sementara itu di dalam ruangan bawah tanah, Kuti mengumbar nafsu buasnya. Ternyata di samping mempraktekkan ilmu sesatnya, Kuti juga seorang yang amat sadis. Wanita korbannya telah disiksanya terlebih dulu. Yaitu dengan mengigiti sekujur tubuh sang korban hingga luka-luka. Tentu saja bagaikan seekor kambing yang mau disembelih, sang korban merintih kesakitan.

Tubuh yang telah ditotoknya itu cuma bisa menggeliatgeliat menahan sakit yang amat sangat. Hal mana ternyata ia turuti dari dalam Kitab Ular itu. Wanita itu ternyata bukan wanita biasa, karena ia juga memiliki kepandaian ilmu silat, dan bertenaga dalam cukup baik. Hal itulah yang membuat Kuti gembira. Karena menurut Kitab Ular yang akan menambah tenaga dalam orang yang mempraktekkannya, adalah diutamakan wanita itu gadis yang memiliki tenaga dalam.

Selesai menyiksanya dengan gigitan-gigitan di sekujur tubuh gadis itu, Kuti segera mencekoknya dengan pel ramuan yang dibawanya dari Nepal. Pel perangsang, yang punya pengaruh luar biasa. Hingga tak lama berselang, terjadilah perubahan-perubahan pada sikap sang korban.

Di malam yang lengang dan menyeramkan itu, seperti ada hawa aneh yang membuat seekor serigala buas, harus tunduk pada seekor kambing... Di mana sang kambing seperti kerasukan setan menerkam sang serigala dan melumatnya dengan lahap. Napasnya tampak tinggal satu-satu. Sepasang matanya kian meredup. Akhirnya tubuh yang telah tak bertenaga itu, diam tak bergeming lagi.

Sementara cuaca malam semakin mencekam. Beberapa ekor kelelawar yang lewat membuat Roro cukup terkejut. Batu sungkup kuburan itu telah berubah menjadi panas. Dan rumput-rumput serta lumut yang tumbuh di batu itu seketika menjadi kering.

Sekonyong-konyong Kuti rasakan udara di dalam ruangan bawah tanah itu menjadi panas. Ia sudah balikkan tubuhnya yang rebah tertelungkup. Sementara ia menyeka peluhnya, laki-laki bertubuh jangkung ini merasa perlu membuka lubang hawa di atas langit-langit ruangan. Segera ia sudah sambar jubahnya, dan beranjak dari pembaringan. Gerakannya telah berubah menjadi ringan.

Dan hal itu memang selalu bertambah setiap ia mempraktekkan ajaran pada Kitab Ular itu. Ia sudah segera gerakkan kaki menuju tangga batu ke atas. Hawa panas itu membuat ia berkeringat, dan ia perlukan hawa segar yang masuk. Sesaat kemudian lengannya telah bergerak, memutar sebuah batu persegi. Dan segera saja sungkup batu di atasnya terbuka. Ia melongok sejenak keluar untuk menghirup udara segar. Akan tetapi Kuti jadi terkejut, karena di samping batu kuburan telah tergolek sesosok tubuh.

"Aih...!? Seorang wanita...!" Desisnya dengan suara tertahan. Dari keremangan cahaya bulan yang sudah tersembul di balik dedaunan, jelas tidak salah apa yang telah dilihatnya. Kuti berfikir cepat. Sebelah lengannya telah bergerak cepat untuk menotoknya. Hingga amanlah ia dari kekhawatiran.

Selanjutnya tanpa ayal lagi, ia sudah pondong tubuh wanita itu memasuki ruangan di bawah tanah, dengan menuruni anak tangga dari batu. Dan sekejap ia sudah baringkan tubuh itu dipembaringan. Sepasang matanya menatap tajam pada sosok tubuh yang baru di bawanya itu, dan dengan liar pandangannya merayapi sekujur tubuh itu. Wajahnya pun segera tampilkan senyuman menyeringai. Terdengar desis suaranya seperti berbisik...

"Bagus...! Pucuk dicinta, ulam pun tiba...! He he he... tak susah-susah aku mencarinya. Ternyata si Pendekar Wanita itu telah antarkan dirinya padaku...!" Akan tetapi memandang pada sosok tubuh wanita korbannya di pembaringan itu, Kuti jadi mendengus. "Heh...! Gadis ini sudah tak berguna. Biarlah ia berkubur di sini! Aku perlu ganti suasana...!" Gumam Kuti.

Pada saat itu terdengar suara teriakan dari atas ruangan. "Heiii...! Paderi Palsu...! Keluarlah kau ...!" Kiranya yang berteriak adalah Ginanjar. Yang telah mencari Roro, dan menduganya pergi ke makam kuno ini.

Ginanjar memang belum mengetahui adanya ruangan di bawah tanah itu. Ia berteriak dari sisi makam. Apa lagi pemuda ini memang seorang yang paling takut dengan hantu. Hingga ia berteriak dari sisi makam saja. Karena ia tak melihat adanya Roro Centil, sengaja ia mencoba berteriak. Dengan harapan siapa tahu, si penculik gadis itu dapat dijumpai, dan keluar dari tempat persembunyiannya.

Tentu saja hal itu membuat Kuti jadi terkesiap. Segera ia telah pondong tubuh Roro. Dan dengan kebingungan, ia mencari jalan lain untuk keluar dari ruangan bawah tanah itu. Beruntung ia menjumpainya. Dan segera saja bergerak memasuki lorong gelap, yang tersembunyi itu. Obor kecil penerang kamar itu telah dimatikannya terlebih dulu.

Demikianlah, Kuti berhasil keluar dari makam kuno itu dengan melalui jalan rahasia. Dan menyembul di luar makam. Dari sana ia segera berkelebat cepat untuk segera pergi menuju ke arah Gedung kuno, tempat tinggalnya selama ini.

Di kamar tertutup gedung kuno itu, Kuti sudah segera akan lakukan penyiksaan terhadap Roro. Akan tetapi ia batalkan, karena ia amat menyayangi kemontokan tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sayang ia tak berhasil mencapai maksudnya, karena Roro memakai benda dari lapisan baja yang sukar dibukanya. Sepasang kaki Roro seperti sepasang kaki area batu, yang sukar disingkirkan.

Hingga terpaksa Kuti kembali menotoknya. Dan ditinggalkannya tubuh gadis pendekar Wanita itu. Ia bermaksud menghubungi kedua adiknya. Pada saat Kuti pergi, ia berpesan pada seorang kacung tua bernama Tonga, agar menjaga kamarnya. Kacung tua itu adalah seorang laki-laki berperawakan kecil. Dengan muka lancip, dan tulang pelipis menonjol keluar. Berbicara dengan kacung itu, Kuti hanya memakai bahasa isyarat, karena si kacung itu seorang yang tuna wicara alias gagu.

Selesai berpesan, Kuti beranjak pergi dengan cepat. Namun pada saat itu Roro Centil telah gerakkan tubuhnya melepaskan totokan. Dan sesuatu yang amat berharga, ternyata telah tertinggal di bawah kasur pembaringan Kuti. Yaitu Kitab Ular. Roro Centil segera membenahi pakaiannya, dan benahi pula kitab yang ditemukannya itu. Lalu dimasukkan dalam buntalannya. Selanjutnya ia telah keluar dari kamar itu dengan melalui jendela, dan berkelebat cepat tinggalkan gedung itu.

Tapi di belakang gedung yang dilewatinya, ia bertabrakan dengan si Kacung tua Tonga yang gagu itu, hingga buntalannya terlepas. Terkejut Roro Centil ketika tahu-tahu dengan gerakan cepat, si kacung gagu itu telah menyambar buntalan pakaiannya.  Dan selanjutnya dibawa kabur.

Serentak Roro sudah mengejarnya dengan keluarkan bentakan; "He!? Kunyuk tua...! Kembalikan buntalanku...!" Teriak Roro seraya mengejar.

Ternyata si kacung gagu itu punya gerakan cepat dan lincah. Larinya tidak menuju ke satu arah, akan tetapi berkelebatan dengan berputar-putar, seperti mengajak Roro main kucing-kucingan. Pada sebuah tikungan si laki-laki bertubuh kecil kurus itu menghilang.

EMPAT

RORO Centil membentak keras "Awas kau, monyet tua...! Kalau berhasil kutangkap jangan salahkan aku kalau kuberbuat kejam..!" Tiba-tiba melayang sebuah benda ke arah Roro. Dengan cepat si Pendekat Wanita ini menyambuti. Ternyata adalah buntalan pakaiannya.

Terlihat bayangan si kacung tua itu kembali berkelebat dari balik semak, lalu sekejap telah menghilang. Roro Centil tak berusaha mengejarnya, akan tetapi memeriksa isi buntalannya. Terkejut Roro, karena Kitab Pusaka berkulit ular yang diselipkan di dalam buntalan itu telah lenyap.

"Setan alas...!" Memaki Roro. Seraya berkelebat mengejar ke arah si kacung tua itu melarikan diri. Sengaja Roro Centil mengambil arah yang bukan jurusannya, ternyata membawa hasil memuaskan. Justru si pancuri kitab itu telah kelihatan oleh Roro. Bagus...! Biarlah! Ingin kutahu, ke mana gerangan ia akan pergi... berkata dalam hati. Segera dia sembunyi dan mengintai.

Sementara kacung gagu itu tampak tersenyum-senyum sendiri sambil bersiul-siul. Tiba-tiba terdengar suaranya; "He he he... akhirnya kudapatkan juga Kitab Ular ini. Kalau aku tak kebetulan mengintip ke dalam kamar, tak kuketahui kalau si paderi palsu bernama Kuti itu meninggalkan Kitab rampasannya yang sedang dibenahi si wanita tawanannya. Akhirnya kesabaranku membawa hasil memuaskan...!"

Seraya berkata laki-laki itu sudah kembali bersiul-siul dengan senang. Dan melangkah seenaknya. Namun selang tak lama, ia telah berkelebat cepat. Dan yang dituju adalah arah makam Kuno.

Terkejut Roro Centil mengetahui kalau si kacung gagu itu ternyata dapat berbicara. Ternyata manusia itu hanya berpura-pura gagu saja, dan telah lama mengincar Kitab di tangan Kuti. Entah dengan akal bagaimana hingga ia bisa menjadi kacung di Gedung Kuno itu. Dan berpura-pura menjadi seorang kacung tua yang gagu dan kelihatan tolol.

Roro cepat mengejar, dan terus membuntuti. Akhirnya ia mengetahui kalau si kacung bernama Tonga itu mempunyai tempat sembunyi di lubang rahasia di dalam kuburan. Ternyata Roro tidak terus mengejar. Tapi setelah mengingatkan tempat itu, ia segera berkelebat pergi. Biarlah…! Kelak kita merebutnya lagi. Yang penting aku telah mengetahui tempat pesembunyiannya. Berfikir Roro dalam benaknya, seraya meneruskan berkelebat meninggalkan tempat itu.

Demikianlah hingga Roro muncul lagi di saat terjadi pertarungan antara kedua wanita, si wanita bertongkat Naga dan muridnya yang berbaju merah, dengan si ketiga paderi palsu. Ternyata Roro Centil telah bersahabat dengan gadis baju merah itu. Bahkan sudah beberapa hari mereka tidur di penginapan satu kamar. Demikianlah kisah belakangan ini, hingga ketika Kuti kembali ke Gedung Kuno itu, Roro Centil telah bebas kembali.

"Kita harus cari tempat sembunyi yang aman. Dan mengenai Kitab itu, biarlah urusanku untuk merampasnya kembali...!" Berkata Kuti pada kedua adiknya.

Kebo Ireng dan Lembu Alas cuma bisa mengangguk. Akan tetapi diam-diam mereka agak mendongkol pada sang kakak, yang mempelajari isi kitab pusaka itu tanpa mengikutsertakan mereka. Bahkan menjamahpun mereka tidak pernah. Sementara itu Roro Centil dipenginapan telah menceritakan pada si Tongkat Seribu Racun mengenai Kitab Ular itu. Tentu saja membuat si wanita tua itu menjadi kecewa.

Akan tetapi juga bergirang hati, karena benda itu sudah berpindah tangan dari si tiga manusia yang dibencinya. Walau ia tetap berniat untuk merebut kembali kitab itu. Sayang si wanita tak mau menceritakan tentang isi kitab itu pada Roro, sehingga Roro Centil tak banyak bertanya apa-apa. Memang Roro pernah membuka isi kitab itu, tapi tak mengerti akan tulisannya. Karena huruf-hurufnya amat asing baginya.

Menjelang pagi, Roro Centil mohon diri untuk menemui Sentanu, si laki-laki penunggang kuda. Ternyata gadis berbaju merah yang bernama Roro Dampit itu, ingin turut serta. Roro tak dapat menolaknya. Sementara sang guru si gadis baju merah cuma mengangguk memberi izin.

Tak berapa lama keduanya segera berangkat. Tampaknya kedua gadis itu amat akrab. Memang Roro Dampit merasa simpati pada Roro Centil. Di samping nama depan mereka yang sama.

* * * * * * *

Keadaan di rumah kediaman Sentanu ternyata tengah berduka cita. Karena sang wanita tua yang malang itu telah meninggal dunia. Akibat tekanan perasaan yang luar biasa. Penguburan jenazah ibunya baru saja selesai pagi tadi.

Beberapa orang yang telah berdatangan menyampaikan rasa duka cita, telah kembali pulang. Kini tinggal Sentanu seorang diri di rumah tua peninggalan orang tuanya. Saat itulah Roro Centil dan si gadis baju merah memasuki halaman rumah laki-laki itu. Tentu saja membuat Sentanu jadi melengak. Segera ia telah mengenali si wanita Pendekar Pantai Selatan ini, dan berdiri menyambutnya.

Roro Centil segera memperkenalkan laki-laki itu pada si gadis baju merah, Roro Dampit. Lama mereka berbincang-bincang. Roro pun mengisahkan tentang penyelidikkannya. Yang sudah menemui titik-titik terang, yaitu adanya tiga orang paderi yang pernah mau membunuh Sentanu itu, telah dicurigai Roro Centil. Namun ia masih perlu mencari data-data lain yang lebih kuat.

"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, sobat Sentanu...! Semoga kau dapat menguatkan imanmu, karena semua manusia toh pada akhirnya akan mati. Dan kematian itu adalah wajar, karena semua manusia sebenarnya telah ditakdirkan hidup-matinya..." Berkata Roro Centil, menghibur lakilaki itu dari kesedihannya.

Laki-laki tampak berkumis kecil itu cuma tersenyum tawar, walau sebenarnya hatinya remuk redam. Karena kematian ibunya justru akibat tekanan perasaan karena orang tua itu tak kuat mendengar cemooh kiri dan kanan. Apa lagi tuduhan demi tuduhan pada Sentanu. Membuat wanita tua itu semakin menderita korban perasaan, walaupun ia mengetahui tak mungkin anak laki-lakinya berbuat sekeji itu. Segala perasaan itu dipendam orang tua yang malang itu, hingga ia jatuh sakit.

Dan wafat dalam keadaan menderita kepedihan hati yang terus menerus. Semua kematian itu memang takdir, akan tetapi siapa yang tak akan berduka melihat penderitaan orang tua yang amat dicintainya? Semua itu adalah akibat fitnahan keji!

Sementara diam-diam Roro Dampit agak memperhatikan laki-laki gagah itu. Entah mengapa di hati gadis itu ada timbul semacam perasaan aneh. Seolah ia turut merasakan kesedihan Sentanu...

Selang tak berapa lama Roro Centil pun mohon diri. Sejenak si gadis baju merah melirik pada lakilaki itu yang kebetulan Sentanu pun tengah melihat padanya. Kedua pasang mata pun saling beradu menatap. Namun cepat-cepat Roro Dampit menundukkan wajah. Dan tiba-tiba saja hatinya jadi berdebaran secara aneh. Ketika tubuh kedua gadis itu telah tak kelihatan lagi, Sentanu mengeluarkan kudanya. Dan sekejap telah melompat ke punggung kuda. Untuk selanjutnya memacunya pergi entah menuju ke mana.

Matahari telah semakin tinggi, dengan panasnya yang amat terik, membuat setiap tubuh akan merasa kegerahan, dan keluarkan keringat. Penginapan yang di bagian bawahnya adalah sebuah restoran kecil, tampak hari itu ramai dikunjungi orang. Akan tetapi tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, seorang wanita tua, telah keluar dari rumah penginapan itu. Dan berjalan dengan cepat, seperti ada suatu keperluan yang amat penting.

Kepergian wanita tua itu ternyata telah dibuntuti oleh tiga orang laki-laki yang memakai tudung. Yang tadi terlihat duduk di meja rumah makan. Tentu saja tak ada yang curiga, karena masing-masing sibuk dengan urusannya. Namun seorang pemuda diam-diam telah keluar pula dari penginapan itu. Kiranya si wanita tua itu adalah gurunya si wanita berbaju merah, yaitu si Tongkat Naga Seribu Racun. Tubuhnya berkelebat cepat, ketika tiba ditempat yang sepi. Yang ditujunya adalah ke tempat penguburan jenazah yang sudah tak pernah digunakan, yaitu Makam Kuno.

Tapi belum lagi ia tiba ditempat tujuan, yang kira-kira pada jarak dua puluh tombak lagi, tiga sosok tubuh yang membuntutinya telah menghadang. Kiranya ketiga orang bertudung itu mengambil jalan memutar.

"Ha ha ha... berhenti dulu, perempuan tua...! Kamu pasti telah memiliki Kitab Ular itu dari si Roro Centil. Serahkan kembali kitab pusaka itu pada kami! Kalau kau berani membangkang, tahu sendiri akibatnya...!" Teriak salah seorang. Sementara ia sudah melepas topi tudungnya. Yang segera saja diikuti oleh kedua orang kawannya. Ternyata mereka adalah si Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis.

Wanita tua bertongkat Naga ini cuma mendengus. Walau pun ia mengetahui bahwa Kitab itu tak berada di tangannya, mana mau si wanita tokoh dari lereng Merapi ini membiarkan tiga manusia jual lagak di depannya. Memang sebenarnyalah si Tongkat Naga Seribu Racun mempunyai watak angkuh. Apa lagi sudah diketahuinya seorang murid perempuannya tewas oleh ketiga paderi palsu ini, menurut penuturan muridnya.

"Kalian paderi-paderi palsu jangan bertingkah tengik di hadapanku. Sebelum mengurusi soal kitab, mengapa tak kau urusi dulu kesalahanmu membunuh muridku?" Bentak si wanita.

"Membunuh muridmu...?" Teriak Kuti dengan mata melotot. Tapi ia telah tertawa terbahak-bahak. Dan lanjutnya. "Mengapa kau bisa menuduh aku yang membunuhnya? Dengan dalih apa kau bisa katakan kami yang berbuat?" Tanya Kuti.

"Heh! Belangmu sudah ketahuan, paderi palsu! Kau tak usah memungkiri lagi. Semua korban pemerkosaan di beberapa desa ini sudah tak pelak lagi adalah perbuatan kalian...! Kini kita teruskan lagi pertarungan kemarin! Kalian kira aku takut? Hi hi hi...si Tongkat Naga Seribu Racun tak punya kamus semacam itu...!"

Berkata wanita lereng Merapi ini. Dan ia sudah memutarkan tongkatnya di udara. Tentu saja ketiga paderi ini jadi naik pitam. Dan serentak mengurung wanita itu. Si paderi pendek bernama Lembu Alas sudah segera keluarkan senjata Kipas Baja dan tasbih hitam. Sementara si paderi berkuiit hitam mencabut keluar sebuah seruling besi, yang pada salah satu ujungnya berbentuk kepala burung, dengan paruh yang runcing. Adapun Kuti cuma bertangan kosong.

Ternyata kedua paderi itu telah lebih dulu menerjang si wanita bertongkat Naga, dengan disertai bentakan bentakan keras. Kipas baja si paderi yang pendek yang berujung tajam itu membersit menyambar leher, sementara tasbih hitamnya pun meluncur deras mengarah kepala.

Sedang si paderi berkuiit hitam Kebo Ireng pergunakan serulingnya menghantam dada. Wanita Tokoh Rimba Hijau dari lereng Merapi ini cuma perdengarkan dengusan di hidung. Sekonyong-konyong ia telah gerakkan tongkatnya menyambar terjangan itu, dengan diiringi gerakan menghindar ke samping.

"Wuusss...! Terpaksa si paderi pendek gagalkan serangannya, agaknya ia tak mau adakan benturan dengan senjata lawan. Namun tasbihnya bagai bermata, terus mengejar si wanita. Terpaksa si wanita lereng Merapi gerakkan gagang tongkatnya.

Rrttt...! Tasbih hitam si paderi itu ternyata telah menggubat tongkat lawan. Sementara seruling besi Kebo Ireng yang telah lolos dari serangan pertama, telah kembali merangkak dengan sengit. Terkejut juga si Tongkat Naga Seribu Racun. Sebelah lengannya segera menghantam lengan si paderi pendek yang mencekal tasbih, disertai bentakan keras.

Wuttt...! Terpaksa Lembu Alas lepaskan jeratan tasbihnya, dan dengan gerakan sebat ia telah lompat ke samping. Sementara itu serangan dari si paderi kulit hitam telah dihalau dengan asap beracun yang keluar dari kepala tongkat Naganya. Hingga terpaksa Kebo Ireng melompat mundur sambil tutup hidungnya. Demikianlah pertarungan berjalan dengan seru. Saat itu Kuti, si paderi tertua belum bereaksi apa-apa. Ia cuma perhatikan jalannya pertarungan.

Tampaknya si wanita itu sudah segera merobah gerakan tongkatnya. Kini terlihat kehebatan tongkat Naganya. Wanita ini telah mainkan tongkatnya dengan gerakan-gerakan cepat, untuk mengaburkan pandangan lawan. Yang terlihat cuma kelebatan tongkatnya saja bagaikan seekor naga kecil yang tengah mengamuk mengibaskan ekor. Sementara kepala tongkatnya semburkan uap putih yang menerjang kedua lawan.

Paderi pendek terpaksa gunakan kipasnya untuk mengusir uap yang terus mencecarnya, walau ia berhasil menghindar, tak urung ia telah kena menghisap uap beracun itu. Hingga ia agak ayal sesaat. Kesempatan itu memang ditunggu si wanita hebat ini.

Tiba-tiba dari balik uap itu telah meluncur deras ujung tongkatnya ke arah leher Lembu Alas. Terkejut paderi ini. Namun ia masih bisa melihat serangan mendadak itu. Segera ia jatuhkan diri menghindar. Akan tetapi ia tak dapat menghindari hantaman telak dari lengan si wanita tua yang mengandung tenaga dalam.

Bluk...! Si paderi pendek perdengarkan teriakannya. Dan tubuhnya terlempar lima enam tombak. Kuti menggeram gusar. Ia sudah lompat maju menerjang, seraya membentak keras; "Perempuan tua...! Terimalah kematianmu...!"

Bentakan hebat itu dibarengi dengan pukulan telapak tangannya seraya beruntun. Segera saja segelombang tenaga yang tak kelihatan menerjang si wanita itu. Asap beracun seketika buyar kena terhantam, sekaligus membuat tongkat si wanita tokoh lereng Merapi itu terhantam lepas. Dan pukulan kedua menghantam telak pada punggung wanita itu.

Terdengar pekik tertahan si Tongkat Naga Seribu Racun. Tubuhnya terlempar delapan tombak bergulingan. Kuti tidak berhenti sampai di situ saja, karena telah melesat memburunya, seraya hantamkan lagi telapak tangannya.

Akan tetapi si wanita tua itu bukanlah tokoh kemarin sore, ia telah balikkan tubuh dengan mendadak, ketika rasakan sambaran angin di belakangnya. Dan dengan tenaga dalam yang ia telah salurkan di tangan, ia telah papaki serangan si paderi jangkung itu.

Derrr...! Dua tenaga dalam segera beradu keras. Akibatnya terdengar teriakan dari dua orang itu yang hampir berbareng. Tubuh si paderi Kuti terhuyung empat tindak, dan jatuh terduduk. Akan tetapi tubuh si wanita lereng Merapi terlempar lagi bergulingan tujuh-delapan tombak, ke arah si paderi pendek.

Kesempatan baik itu tak disia-siakan Lembu Alas. Yang segera mencobloskan Kipas Bajanya yang runcing itu seketika menembus dada si Tongkat Naga Seribu Racun. Darah segar segera bermuncratan ketika Lembu Alas mencabut senjatanya. Wanita ini perdengarkan teriakan menyayat hati. Namun ia masih dapat bangkit berdiri, walau dengan tubuh terhuyung limbung.

Sepasang matanya terbeliak menatap pada paderi Kuti. Sedang lengannya tampak bergetar terangkat. Agaknya ia mau menggunakan tenaga terakhirnya untuk menyerang. Namun pada saat itu berkelebat bayangan si paderi kulit hitam, dari arah samping. Ujung seruling besinya yang runcing telah meluncur deras ke arah leher wanita hebat ini, dengan keluarkan suara membersit. Indra si wanita Tongkat Naga Seribu Racun agaknya sudah tidak berfungsi lagi sehingga ia tak dapat mengelakkan serangan ganas itu.

Jros...! Ujung seruling besi Kebo ireng telah amblas menembus lehernya. Terdengar suara seperti orang muntah. Darah kembali menyemburat, ketika si paderi kulit hitam itu menarik keluar senjatanya. Sesaat tubuh wanita kosen ini masih berdiri... namun tiba-tiba tampak oleh bergetaran, dan detik berikutnya segera roboh ambruk ke tanah, dengan berkelojotan mengerikan. Lalu diam untuk selama-lamanya.

"Ha ha ha... bagus...! Hayo, kalian periksa tubuhnya. Cari Kitab Ular itu...!" Teriak Kuti Segera saja kedua paderi itu bergerak cepat untuk memeriksanya. Akan tetapi sudah diraba di sana-sini, tak ditemukan apa-apa.

"Sial...! Ia tak menyimpannya..! Pasti berada pada murid wanitanya. Atau masih di tangan si Wanita Pendekar Roro Centil...!". Berkata Kebo Ireng.

"Huh! Mengumbar tenaga percuma saja...! Aku yang sial terkena hantamannya...!" Berkata Lembu Alas si paderi pendek menggerutu, dengan wajah masih menyeringai menahan sakit pada dadanya.

"Sudahlah...! Ayo, kita pergi dari sini...!" Teriak Kuti. Segera saja ketiganya telah berkelebatan meninggalkan tempat itu. Sayang mereka tak mengetahui kalau si pemegang Kitab Ular ada di dalam Makam Kuno.

Makam Kuno itu memang makam yang misterius. Karena banyak lubang-lubang rahasia berada di bawahnya. Seperti tempat itu tempat memadu kasih saja layaknya. Karena tampak ada dua sejoli yang mirip suami istri, telah memasuki juga sebuah kuburan yang terbuka, dengan menggeser sebuah batu di balik rumpun.

Sementara itu di tempat kejadian tadi, sepasang mata telah mengikuti semua kejadian pertarungan itu hingga akhirnya. Si pengintai itu adalah Mandra. Ternyata Mandra telah pula menguntit ketiga paderi itu sejak dari rumah tempat penginapan. Pemuda ini memang mencurigai akan tindak-tanduk tiga orang bertudung itu. Karena ia seperti pernah melihat wajah serta potongan tubuhnya. Ternyata ketiga orang itu benarlah orang yang hari kemarin dilihatnya berada di rumah gedung Bupati Daeng Panuluh.

Memang Mandra agak mencurigai sang ayah. Yaitu Sengkuti alias Carik Desa itu yang sering mengunjungi Bupati Daeng Panuluh. Juga ia mencurigai sikap sang ayah, ketika ia akan mengajak adiknya pindah sementara. Marni, adik kandung Mandra terpaksa dibawa ke rumah majikannya. Tempat ia bekerja. Pemuda ini beranggapan bahwa adiknya akan aman berada di sana. Karena di samping ia memang jarang pulang, dan sering menginap di tempat pekerjaannya, Mandra bisa menjaga sang adik dalam situasi yang sedang genting itu.

Entah berapa kali Mandra mengorek keterangan dari mulut adiknya untuk menceritakan siapa yang telah berbuat nista padanya. Akan tetapi Marni selalu membungkam. Memang sejak kejadian itu, Marni tak pernah mau bicara. Hal mana membuat Mandra dapat mengerti, karena Mandra beranggapan sang adik mengalami gangguan perasaan, akibat kejadian itu.

Mandra memang merasa bersalah dalam hal ini, karena ia terlalu mempercayakan adiknya pada sang ayah, yang memang sebenarnya ayahnya bukanlah ayah kandungnya. Karena ayah sebenarnya telah meninggal sejak Marni masih bayi. Mereka berdua yang yatim piatu, telah dipungut oleh Sengkuti yang tak mempunyai anak seorang pun dari istrinya.

Gagalnya Mandra mendesak Marni buka mulut, membuat Mandra penasaran untuk menyelidiki sang ayah, ia memang melihat tingkah laku ayahnya yang aneh, ketika ia mengatakan Marni akan dibawanya ke tempat majikannya untuk tinggal sementara di sana. Demikianlah, akhirnya Mandra dapat menangkap pembicaraan sang ayah angkatnya pada sang Bupati. Ternyata mereka semua turut berkomplot dengan si ketiga paderi.

Bahkan ia melihat sendiri ketika ketiga paderi itu memasuki gedung sang bupati. Nyaris saja ia ketahuan, kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda berbaju putih tak dikenal, yang rupanya ada di belakungnya turut mangutip pembicaraan mereka. Ketika terdengar bentakan dari dalam ruangan, si pemuda itu telah menyambarnya, untuk dibawa berkelebat dari tempat itu.

Pemuda itulah yang bernama Ginanjar. Ketiga paderi segera mengejar mereka. Namun beruntung mereka berdua dapat tempat sembunyi yang aman. Mereka pun berpisah. Dan Mandra kembali ke rumah majikannya. Tapi pemuda ini telah mengetahui kalau ayahnya terlibat dalam penculikan para gadis, juga perampokan, serta pemerasan. Karena Mandra telah mendengarnya dari penuturan si pemuda bernama Ginanjar itu.

Di depan matanya tadi ia telah melihat ketiga paderi palsu itu membunuh dengan keji si wanita bertongkat naga, dengan melalui pertarungan yang tidak adil. Setelah merenung sejenak, pemuda ini segera tinggalkan tempat itu. Ternyata ia kembali menuju ke penginapan tadi. Terkejut Mandra, ketika melihat Sentanu berada di depan penginapan. Yang ternyata tengah bercakap-cakap dengan dua orang wanita.

Segera saja Mandra mengenali akan si gadis baju merah. Karena pemuda inilah yang membantu mengubur jenazah adik gadis itu beberapa hari yang lalu. Yaitu mayat wanita yang ditemukan di pematang sawah. Sementara Roro Centil sudah dapat mengenali pemuda itu anak Carik Desa, yang pernah ia melihatnya ketika sedang bertarung bicara di dekat biara rusak tempo hari. Segera saja Mandra menghampiri, dan menjura hormat pada ketiganya, seraya berkata;

"Selamat berjumpa sobat Sentanu, dan nona-nona cantik...! Eh! Bolehkah aku mengetahui siapa adanya nona ini, adik Roro Dampit...!" Ujar Mandra seraya melirik pada Roro Centil yang ditanya segera tampilkan senyuman, dan menyahuti, dengan dekatkan wajahnya pada telinga Mandra.

"Eh, pemuda tolol! Apakah kau tak mengetahui kalau nona ini adalah nona Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang bernama Roro Centil...? Mengapa kau berlaku kurang sopan?" Bisik si wanita baju merah.

Tentu saja bisikan itu membuat wajah Mandra jadi berubah kaget. Dan segera saja ia menjura sekali lagi pada Roro, seraya berkata; "Oh! Maafkanlah aku yang bodoh ini. Hingga tak mengetahui adanya nona Pendekar Pantai Selatan di sini...!"

Roro Centil jadi tersenyum. Namun sudah pura-pura cemberut memarahi si gadis baju merah. Gadis ini cuma tertawa saja. Sementara Roro Centil sudah berkata; "Ah, sahabatku ini terlalu menyanjung aku... sobat Mandra. Senang sekali kita dapat berkumpul...! Bukankah begitu sobat Sentanu...?" Ujar Roro Centil seraya palingkan kepala menatap si laki-laki berkumis kecil itu.

Sentanu cuma manggut-manggut, dan tersenyum hambar. Agaknya ia masih mendongkol pada Mandra. Apalagi sampai saat ini Sentanu belum bisa melacak siapa sebenarnya yang telah menodai Marni, adik kandungnya pemuda bernama Mandra itu.

Akan tetapi wajah Mandra tiba-tiba menampakkan perubahan mendadak. Dan ia sudah segera berkata. "Sobat Sentanu...! Sementara aku mencabut dulu tuduhanku padamu, mengenai kasus adikku Marni. Ada satu berita yang perlu kusampaikan pada kalian...!"

"Berita apakah...?" Roro Centil sudah mendahului bertanya.

Tampak Mandra menghela napas. Mandra memang telah mengetahui kalau si wanita bertongkat yang tewas itu ada hubungannya dengan kedua gadis ini. Karena ia memang telah melihat ketiga wanita tersebut menginap di penginapan ini semalam. Segera saja ia menceritakan apa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu.

Terkejut Roro Dampit, seketika wajahnya menjadi pucat mendengar penuturan Mandra yang mengatakan tentang pertarungan seorang wanita tua bertongkat Naga dengan tiga orang paderi. Segera saja ia telah melompat masuk ke dalam penginapan.

Di sana ia telah memeriksa keadaan di dalam kamar, yang ternyata Gurunya si Tongkat Naga Seribu Racun sudah tidak ada. Dan terkejut si gadis baju merah ketika melihat sepucuk surat singkat tergeletak di meja. Dari surat itu segera ia mengetahui kalau sang Guru pergi ke Makam Kuno, mencari jejak si pencuri Kitab Ular.

Sesaat ia telah kembali keluar. Dilihatnya ketiga orang sahabatnya itu masih berada di tempat. Dan tengah menatap padanya. Tak banyak berkata, si gadis baju merah telah segera menarik lengan Mandra. Dengan suara terisak masih sempat berkata; "Cepat...! Tunjukkan aku di mana beliau tewasnya..."

Mandra hanya bisa mengangguk, dan segera beranjak pergi setengah berlari diikuti si gadis baju merah. Roro Centil dan Sentanu segera mengikuti di belakang.

Beberapa pengunjung rumah makan, yang kebetulan melihat, cuma bisa bertanya-tanya karena tak mengetahui mengapa keempat orang itu berlarian dengan tergesa-gesa. Setelah melewati ujung desa, dan mengambil jalan terdekat menuju arah Makam Kuno itu, segera telah terlihat sesosok tubuh terkapar tak bergerak dengan tubuh bersimbah darah.

Si gadis baju merah perdengarkan jeritan menyayat, dan berlari mendahului untuk menubruk mayat gurunya. Dan sekejap kemudian ia telah tenggelam dalam ratap tangis yang memilukan. Setelah kematian adiknya, kini kematian sang Guru yang dicintainya. Betapa tidak hancur hati dan perasaan gadis itu.

Suasana kesedihan itu amat terasa sekali pada ketiga orang yang mendengar dan menyaksikannya. Selang sesaat, setelah  tangis Roro Dampit agak mereda, Roro Centil segera mendakati gadis itu, dan menghiburnya. Demikianlah... akhirnya jenazah si Tongkat Naga Seribu Racun dikebumikan di tempat itu juga dengan upacara sederhana.

Saat itu hari telah menjelang senja. Pelahan-lahan udara mulai menjadi agak teduh, karena sang mentari telah tinggal sedikit lagi lenyap di balik bukit. Keempat orang itu segera tinggalkan tempat yang membawa kesedihan itu. Mandra mengambil kesempatan untuk mengajak mereka bermalam di rumah majikannya. Yang ternyata tak ditolak oleh ketiga sahabat itu.

Namun dipersimpangan jalan Sentanu minta izin untuk menjemput kudanya terlebih dulu, dan berjanji akan menyusul belakangan. Semuanya menyetujui. Demikianlah, Sentanu segera bergegas pergi dengan langkah cepat. Sementara Mandra meneruskan perjalanannya dengan ditemani kedua gadis yang cantikcantik itu.

Kira-kira menjelang malam baru saja menyibak, mereka telah tiba ke tempat yang dituju. Dan beberapa saat antaranya Sentanu pun telah menyusul. Yang ternyata laki-laki tampak berkumis kecil itu telah mengetahui tempat di mana Mandra menginap, di rumah majikannya. Malam itu mereka tampak duduk berbincang-bincang. Ternyata ditemani dengan majikan Mandra, yang juga duduk dan turut serta terlibat dalam pembicaraan.

Akhirnya Marni mulai dikorek keterangannya. Atas desakan dan bujukan Roro Centil, akhirnya adik perempuan Mandra mau juga buka suara. Terkejutlah Mandra. Juga yang lainnya, mengetahui pengakuan Marni adalah Sang ayah angkatnya alias laki-laki bernama Singkuti itulah, yang telah memberikan Marni pada sang Bupati Daeng Panuluh untuk dijadikan pemuas nafsunya.

Tentu saja dengan imbalan besar. Dan yang membuat Mandra semakin berang adalah sang ayah angkat yang sudah dianggapnya ayahnya sendiri itu, juga menggagahi anak angkat, atau anak asuhnya sendiri. Dan memberikan ancaman akan membunuhnya, bila berani mengadukan hai itu pada siapa saja. Terutama kakaknya, Mandra.

"Manusia keparat...! Aku memang sudah mencurigainya...! Benar-benar iblis yang bermuka manusia...!" Memaki Mandra dengan geram.

Betapa marahnya Mandra sukarlah dapat dibayangkan... Namun Roro Centil dapat segera menahannya ketika malam itu juga Mandra akan segera mencari ayah angkatnya. Demikianlah... Akhirnya terbuka juga rahasia kemelut yang hampir-hampir saja menjadikan Sentanu korban dari fitnahan keji. Ternyata si Carik Desa itulah yang telah membawa Marni ke kamar Sentanu, yang memang jarang ditiduri.

Mandra membenamkan kepalanya pada kedua lengannya. Tubuhnya tampak tergetar hebat. Dengan nafasnya yang terlihat memburu. Betapa susah tampaknya ia menenangkan hatinya yang bergemuruh. Namun selang sesaat, Mandra sudah kembali tenang. Tak lama ia sudah bangkit, dengan sepasang matanya menatap pada Sentanu.

"Sentanu...! Maafkanlah semua kesalahanku yang terlalu mempercayai hasutan-hasutan keji ayah angkatku. Sehingga aku telah menuduhmu dengan serampangan...!". Berkata Mandra, seraya mengajaknya berjabatan tangan. Sentanu tersenyum. Lengannya cepat bergerak untuk menjawab tangan Mandra, seraya ia berkata;

"Tak apalah Mandra...! Semua manusia mempunyai kekhilapan dan kesalahan. Semoga kita dapat terus bersahabat sampai kapanpun...!"

"Terima kasih, Sentanu...!". Ujar pemuda pandai besi itu, seraya mengepal erat lengan sahabatnya, seperti enggan melepaskan lagi.

Isteri majikan Mandra yang ramah tamah itu telah membawa lagi seteko air kopi manis, seraya menuangkannya lagi pada gelas-gelas yang kosong. Tampaknya suasana malam itu amat meriah. Ditambah persoalan yang selama ini membeku, kini telah menjadi cair dengan terbukanya tabir semua persoalan yang hampir menemui jalan buntu.

Malam pun semakin melarut juga. Dan suasana di rumah majikan Mandra itu mulai agak sunyi dari orang-orang yang bicara. Menjelang pagi telah terdengar suara gaduh di sisi jalan desa. Dan banyak orang berlari-lari ke arah rumah bengkel tempat Mandra bekerja.

"Ada apakah...?" Berkata Mandra dengan terkejut. Ia baru saja terjaga dari tidurnya, karena sampai lewat tengah malam, pemuda ini tak dapat memicingkan matanya. Dan baru bisa tidur setelah mau menjelang pagi. Terkejut pemuda ini ketika mengetahui tak ada orang di rumah. Dan suara ribut-ribut di sisi jalan itu mengundang pertanyaan. Segera saja ia telah melompat untuk berlari memburu ke arah bengkelnya. Terlihatlah banyak orang berkerumun di sisi tembok bengkelnya.

"Ada apa...!? Ada apa...!?" Teriak Mandra, seraya menyeruak masuk di antara kerumuman orang.

Betapa terkejutnya pemuda ini melihat sesosok tubuh yang terbujur tak bergerak dengan sepasang mata membeliak keluar. Dan terlihat pada bagian dadanya sebuah lubang bekas tusukan senjata tajam, dengan darah yang hampir mengering. Sedang di atas perutnya terlihat sebuah topeng muka berwarna hitam, tergeletak. Yang membuat Mandra amat terkejut adalah mayat laki-laki itu tak lain dari mayat Carik Desa, alias Sengkuti atau ayah angkatnya sendiri.

Sementara di tembok bengkelnya terdapat surat bertulisan 'Manusia tidak bermoral ini memilih jalan hidupnya dengan kematian! Dia terlibat dengan enam kali perampokan, sembilan kali pembunuhan dan delapan kali pemerkosaan, yang mencemarkan nama baik kepemimpinan Bupati Ki Ageng Panuluh. Senapati Kerajaan Medang Wira Pati.'

Tercenung Mandra membaca tulisan dari surat yang bertanda tangan Senapati Kerajaan itu. Sementara seseorang telah menepuk pundaknya. Ternyata Sentanu.

"Sudahlah Mandra, mari kita segera urusi mayat ayah angkatmu ini...!" Berkata Sentanu.

LIMA

MANDRA palingkan kepala ke beberapa arah, ternyata Roro Centil, dan si gadis baju merah Roro Dampit, serta adiknya Marni telah berada di tempat itu. Juga kedua suami istri majikannya. Pemuda ini anggukkan kepala. Walaupun ia amat membenci sang ayah angkatnya ini, akan tetapi tetap saja ia bersedih hati. Karena tak menyangka sang ayah telah menjadi utusan orang-orang Kerajaan. Dan telah menjadi intaian yang berwajib selama ini. Bahkan sampai senapati Wirapati turun tangan.

Dilihatnya Marni, sang adik tengah terisak dipeluk oleh si Pendekar Wanita Roro Centil. Setelah menatap sejenak, segera ia menyuruh semua orang yang berkerumun itu bubar. Dan dengan cepat ia telah segera pondong tubuh Carik Desa itu, dan dibawanya bergegas dengan langkah cepat menuju ke rumah majikannya. Roro Centil dan yang lainnya segera mengikuti dari belakang.

Keadaan yang ramai di sisi jalan itu pun mulai kembali sepi. Cuma tinggal beberapa orang yang masih bercakap-cakap di seberang jalan desa, memperbincangkan kejadian itu. Akan tetapi penduduk desa telah menjadi tahu kalau Carik Desanya ternyata adalah seorang yang berkelakuan tidak baik. Dan memuji tindakan Senapati Kerajaan Medang yang turun tangan menumpas kejahatan manusia yang bagai musang berbulu ayam itu.

Namun hanya sebagian penduduk saja yang cuma menganggap sang Carik Desanya yang berbuat kesalahan dan menjadi biang kerusuhan selama ini. Karena sebagian lain dari penduduk telah mulai mencium jejak adanya tiga orang paderi palsu, yang juga bergentayangan menyebar kejahatan.

Tentu saja mereka tetap kurang puas, karena belum adanya berita tentang ketiga paderi palsu itu. Di antara desas-desus penduduk yang kurang puas itu, ternyata Mandra lebih-lebih kurang puas. Karena ia merasa Bupati Daeng Panuluh terlibat dalam urusan itu.

Tapi mengapa sampai saat ini tak ada berita mengenai diambilnya tindakan pada sang Bupati itu? Bahkan sampai beberapa hari ini sang Bupati tampak mulai sering kelihatan berkeliling desa-desa dengan menunggang kuda. Dengan beberapa pengawal Kerajaan di belakangnya. Dengan sikap seperti seorang yang amat berwibawa.

Tentu saja di setiap tempat, penduduk mengangguk hormat. Apa lagi ketika suatu hari berkeliling dengan berkuda, bersama sang Senapati Wira Pati. Pasar-pasar yang ramai penuh dengan orang yang memenuhi jalan itu, segera menjadi terkuak untuk mareka segera menyingkir ke tepi, ketika kedua pembesar Kerajaan ini akan lewat.

Sementara dari kerumunan para pedagang dan pembeli, sepasang mata menatap tajam pada sang Senapati yang berwajah angker dan tampak angkuh itu. Itulah sepasang mata Sentanu. Bekas seorang perwira Kerajaan Medang. Laki-laki ini gerakkan topi tudungnya untuk menutup wajahnya, ketika kedua orang penting itu lewat di hadapannya.

Dan ia sudah membuka lagi topi tudungnya, ketika mereka sudah melewati tempat itu. Wajah laki-laki ini tampak memerah padam memandang punggung kedua manusia yang lewat itu. Lalu tak lama kemudian, segera berlalu meninggalkan pasar yang kembali ramai itu.

Tentu saja Sentanu mengetahui akan tingkah laku dan akhlak sang Senapati Wirapati pamannya itu. Yang sebenarnya Wira Pati adalah adik tiri dari almarhum ibunya. Sejak Wira Pati masih menjabat Tumenggung, Sentanu sudah melihat akan watak-watak buruk laki-laki itu. Entah mengapa tampaknya Wira Pati seperti membencinya.

Apakah karena ayahnya semasa masih hidup, dan masih menjabat sebagai Senapati Kerajaan Medang sering menasihatinya. Karena memang baik Sentanu maupun ayahnya sering memergoki Tumenggung Wira Pati di tempat-tempat pelacuran dan perjudian.

Bahkan perbuatannya sudah tak layak dilakukan oleh seorang Tumenggung. Yang seharusnya memberi pengarahan pada rakyat, tapi justru dia sendiri tenggelam dalam arus kemaksiatan. Untunglah sang ayah seorang yang bijaksana, dan masih memandang adanya tali persaudaraan, hingga kelakuan-kelakuan buruk Tumenggung Wira Pati tak dilaporkan pada Raja.

Yang membuat Sentanu tak mengerti adalah tugas menyerang pemberontak di utara, yang menyebabkan kematian sang ayah. Ternyata belakangan baru diketahui oleh Sentanu kelau tak ada surat perintah dari Raja untuk ia memimpin anak buahnya menyerang ke sana. Sayang orang yang mengetahui rahasia surat perintah palsu itu justru telah tewas oleh segerombolan perampok, yang tiba-tiba menyerang rumahnya.

Di samping ludas seluruh harta bendanya, juga keluarga Perwira sahabat Sentanu itupun dibantai habis. Sehingga Sentanu tak punya bukti untuk menuduh sang paman. Sejak diangkatnya Wira Pati menjadi pengganti ayahnya sebagai Senapati Kerajaan, Sentanu tak lama segera mengundurkan diri dari keprajuritan. Ia kembali ke desa, di mana sang ibunya hidup dengan segala kesederhanaan.

Akan tetapi sangat mendongkol Sentanu, karena ada desas-desus dari penduduk bahwa keluarnya ia dari keprajuritan adalah karena dipecat. Bahkan tewasnya sang ayah di medan pertampuran, justru yang didengarnya dari penduduk malah karena dianggap memberontak pada Raja. Dan sang ayah diberitakan penduduk telah mati di tiang gantungan.

Hal itulah yang membuat Sentanu tak habis mengerti. Hingga ia jarang berdiam di rumah, karena ia enggan menghadapi wajah wajah sinis semua tetangganya. Kasihan sang ibundanya, yang tak kuat menahan perasaan berlarut-larut, akhirnya jatuh sakit. Apa lagi mendengar Sentanu terlihat dengan kasus pemerkosaan.

Wanita malang itu kini telah meninggal dunia. Dan Sentanu merasa perlu untuk mengungkap kasus yang telah menyeret dirinya. Kini kasus itu sedikit demi sedikit telah mulai terungkap. Cuma satu hal yang masih menjadi teka-teki bagi Sentanu. Yaitu siapakah manusianya yang telah mencemarkan nama baik keluarganya itu...? Ia memang mencurigai pamannya sendiri yaitu Senapati Wira Pati.

Namun Sentanu memang tak dapat berbuat apa-apa. Ia telah menjadi rakyat jelata. Berurusan dengan Wira Pati sama dengan berurusan dengan pihak Kerajaan. Harga diri dan martabatnya telah cemar di tempat tinggal almarhum orang tuanya. Sentanu merasakan hidupnya penuh dengan kehambaran. Seolah tiada lagi gairah untuk hidup. Akan tetapi tak sampai membuat Sentanu putus asa. Cuma ia bertekad untuk secepatnya pergi tinggalkan desanya. Dan entah ke mana tujuannya, ia sendiri tak mengetahui.

Demikianlah laki-laki ini berjalan dengan gontai. Topi tudungnya ia benamkan dalam-dalam di kepalanya. Cuma sepasang matanya saja yang terlihat menatap tanah. Memandang ujung-ujung kakinya yang menyusuri jalan-jalan setapak.

* * * * * * *

Mandra yang merasa kurang puas, dengan tidak diambilnya tindakan pada si Bupati Daeng Panuluh, telah langkahkan kakinya menuju ke arah gedung Kadipaten. Sengaja pemuda ini mengambil arah memutar, melalui jalan setapak.

Kira-kira separuh lagi perjalanan, ia mendengar derap suara kaki kuda yang jauh di belakangnya. Cepat sekali pemuda ini berkelebat untuk sembunyi. Ingin sekali ia melihat siapakah gerangan si penunggang kuda di belakangnya itu, yang sebentar lagi akan melewati jalan setapak ini.

Tak lama kemudian segera terlihat seorang penunggang kuda, dengan pakaian gemerlapan. Dari sutra kuning dan hijau. Ikat kepalanya memakai perhiasan berukir dibagian depan. Tampak berkibaran mantel berbulu, yang indah di belakang punggungnya. Sekelebat saja Mandra telah mengetahui laki-laki penunggang kuda yang berusia 40 tahun itu adalah Senapati Wira Pati.

Ternyata laki-laki itu menjalankan kudanya tidak terlalu cepat. Sebentar kemudian telah melewati dimana Mandra bersembunyi. Sepasang mata pemuda ini memperhatikannya hingga jauh. Terlihat di belakang punggung Senapati ini terselip sebuah tombak pendek yang digubat dengan kain sutera merah, yang berkibaran tertiup angin.

"Hah...!? Mau ke mana Senapati itu...?" Gumam Mandra. Seraya ia sudah beranjak untuk diam-diam membuntutinya. Demikianlah, pemuda itu segera menguntitnya dengan hati-hati. Karena ia yakin sang Senapati itu pasti seorang yang berilmu tinggi.

Ternyata tujuannya adalah rumah gedung sang Bupati Daeng Panuluh. Sebentar kemudian ia telah memasuki pekarangan yang luas itu. Dua orang penjaga segera menjura hormat. Dan menuntun kuda sang Senapati untuk segera ditambatkan. Di pintu masuk kembali seorang penjaga menjura, dan mempersilahkan Pembesar Kerajaan itu memasuki ruangan pendopo.

Tampaknya ruangan depan itu sunyi. Wira Pati terlihat mengerutkan alisnya. Ketika tak lama muncul seorang pembantu wanita dari dalam, yang segera menghampiri dengan membungkuk-bungkuk.

"Ke mana Ndoromu...!?" Bertanya Wira Pati.

Wanita tua itu menghaturkan sembah seraya berkata; "Ampun Ndoro Gusti Senapati... Anu... Ndoro Panuluh sedang tidak ada. Beliau belum lama pergi berkuda...! Silahkan duduk Ndoro Gusti Senapati. Mungkin sebentar akan kembali...!" Ujar si pembantu wanita tua itu, seraya kemudian mengundurkan diri kembali ke belakang.

Senapati Wira Pati tak berkata sepatahpun. Segera ia beranjak untuk duduk di kursi tamu. Sepasang matanya tampak memandang ke segala penjuru, seperti meneliti ruangan yang besar itu. Angin yang bertiup agak keras telah masuk ke dalam ruangan, menyingkapkan tirai-tirai kain jendela. Udara tampak agak sejuk.

Laki-laki ini membuka belahan bajunya sebatas pusar. Dan letakkan tombak pendek yang selalu dibawanya itu di atas meja. Lalu terdengar ia menghela napas. Tapi sepasang matanya jadi menatap tertegun, melihat sebuah betis yang tersingkap dari sesosok tubuh yang menggeletak di pembaringan.

Angin keras yang menyeruak masuk dari jendela tadi telah menyingkapkan kain tirai penutup kamar, yang pintunya terbuka. Sehingga pemandangan yang sekilas itu telah tidak luput dari tatapan Wira Pati. Tentu saja sepasang matanya jadi berkilatan. Dan segera saja ia sudah tampakkan senyumnya. Seraya sudah beranjak bangun berdiri. Lalu langkahkan kaki menuju kamar. Kain tirai itu disibakkan, lalu sekejap sudah tertutup lagi. Tubuh Senapati itupun lenyap di balik tirai kamar.

Sementara si pembantu wanita tua telah sembulkan kepalanya di balik pintu ruangan belakang. Dengan menatap pada tempat duduk tamu yang kosong. Lalu buru-buru kembali ke belakang menemui kawan pembantunya. Dan tampak ia berbisik-bisik pada wanita kawannya.

Sang kawan cuma bisa belalakkan matanya. Lalu terlihat ia membentangkan lengannya, seperti merasa tak mampu berbuat apa-apa. Selanjutnya mereka sudah kembali bekerja. Walau sesekali melirik ke ruangan depan. Namun tempat duduk tamu itu masih tetap saja kosong.

Wira Pati terpaku memandang sesosok tubuh yang tergolek di hadapannya. Ternyata seorang gadis berparas cantik. Bagaikan sekuntum bunga yang menunggu sang kumbang untuk siap dihisap madunya. Sepasang mata laki-laki ini sudah segera menelusuri lekuk-liku sang tubuh yang terbungkus selembar kain sutera tipis itu.

Seperti seekor serigala yang melihat mangsa di hadapannya, sang Senapati telah menelan air liurnya. Lengan sang senapati telah terjulur untuk menyibak kain selimut pembungkus tubuh mulus itu. Tampak terdengar gadis itu mengeluh, seperti mengerang. Lalu terdengar mendesis. Agaknya seperti baru tersadar dari tidurnya.

Kelopak matanya tampak mulai bergerak untuk terbuka sedikit. Namun seperti sukar ia membuka seluruhnya. Bahkan tampak ia berusaha menggerakkan tubuh dan lengannya. Terkejut juga sang Senapati, yang kemudian baru sadar kalau gadis itu dalam keadaan tertotok.

Segera ia telah gerakkan lengannya membuka totokan. Yang kemudian barulah gadis itu mampu gerakkan tangan dan kakinya. Pantas...! Menggumam Wira Pati dalam hati. Gadis ini pasti telah disediakan buatku. Tapi ia sengaja telah menotoknya, agar tak menyulitkan. Ha ha ha... si Daeng memang pandai memilihkan yang baik untukku...! Berkata Wira Pati dalam hati.

Tiba-tiba ia telah beranjak mendekati meja. Lengannya menyambar sebuah mangkuk yang telah kosong. Sekejap ia telah mencium pinggiran atas cawan itu seperti tengah memeriksa dengan penciumannya. Sesaat ia telah letakkan lagi cawan itu, dan beranjak mendekati sang gadis. Selanjutnya tiba-tiba ia telah bungkukkan tubuh. Kepalanya terjulur ke dekat wajah gadis itu. Ternyata ia tengah mengendus ke atas bibir sang gadis. Lalu terlihat ia tersenyum.

"He he... pantas! Ia telah dijejali ramuan hebat dari si paderi bernama Kuti itu. Agaknya ia memang telah menyiapkan segalanya untukku...!" Mendesis Wira Pati. Dan tiba-tiba ia telah segera meniadakan apa yang melekat di tubuhnya. Dan membersihkannya sama sekali. Terdengar suara merintih tatkala gadis ini menggeliat. Sepasang matanya setengah terkatup dan setengah terbuka.

Sementara desah angin telah kembali menyibak tirai dengan keras, hingga terlepas. Seekor laba-laba yang tengah membuat sarang segera bergerak cepat menangkap mangsanya, ketika seekor lalat terjerat pada perangkap yang telah dibuatnya.

Senapati Wira Pati meneguk arak yang telah disediakan di atas meja. Tampak ia bangkit berdiri dan memanggil pembantu wanita tua itu, yang tampak tongolkan kepalanya di pintu ruangan belakang. Bergegas dengan terbungkukbungkuk wanita pelayan ini menghaturkan sembah pada sang Senapati, yang segera berujar;

"Katakan pada Ndoromu bahwa aku datang. Agaknya aku harus segera kembali, karena ada tugas lain senja ini yang perlu kuselesaikan. Sampaikan terima kasihku padanya!"

"Baik, Ndoro Gusti Senapati...!" Menyahuti si wanita tua.

Selesai berkata, Wira Pati sudah segera menyelipkan kembali Tombak pendeknya ke belakang punggung. Dan segera beranjak keluar. Pembantu wanita ini mengantarnya dari belakang. Lalu menutupkan kembali pintu ruangan. Seorang penjaga yang berdiri di muka pintu pendopo, telah melihat keluarnya sang Senapati ini segera cepat-cepat menjura hormat. Wira Pati cuma anggukkan kepalanya. Lalu bergegas menuju keluar.

Seorang penjaga telah membawakan ke hadapannya kuda tunggangannya. Sementara seorang lagi tetap berdiri di pintu masuk halaman gedung. Selang sesaat sang Senapati ini telah melompat ke atas kuda. Dan selanjutnya memacunya dengan cepat keluar dari halaman Kadipaten. Dua penjaga itu memberinya jalan, seraya lakukan penghormatan dengan bungkukkan tubuh mereka.

Sekejap antaranya Wira Pati telah memacu kudanya dengan cepat, tanpa menoleh lagi ke belakang. Pada wajahnya tampak tampilkan senyum kepuasan. Senyum yang hanya bisa terlihat kalau hati sang Pembesar Kerajaan ini sedang mendapat angin baik. Tanpa memikirkan bahwa di dalam kesenangan dirinya itu, di pihak lain tenggelam dalam kesedihan dan kesusahan. Bahkan jeritan yang menyayat hati. Namun mana manusia yang tak mengenal halusnya perasaan ini dapat mendengarnya?

Karena telinga dan hatinya telah tertutup rapat-rapat dengan dinding nafsu angkara. Sehingga bathinnya pun menjadi kotor. Agaknya memang telah sulit untuk membasuh bathin manusia yang telah sedemikian. Karena watak manusia tak akan bisa berubah. Kalau tak manusia itu sendiri yang merubahnya.

Mandra yang berada di tempat persembunyiannya, di sisi jalan dekat gedung itu, kembali melihat kepulangannya sang Senapati yang kudanya mencongklang dengan cepat. Tentu saja ia tak mengetahui keadaan di dalam. Tapi tiba-tiba terlihat dari arah yang berlawanan seekor kuda mendatangi ke arah gedung. Dan segera terdengar ringkikan kuda sang Senapati, ketika laki-laki Pembesar Kerajaan itu menghentikan kudanya.

Ternyata si pendatang itu pun menghentikan pula kudanya. Sehingga kuda-kuda perdengarkan ringkikannya. Kiranya yang datang adalah sang Bupati Daeng Panuluh. Terdengar Wira Pati berkata dengan tampilkan senyum di wajahnya, melihat kedatangan sahabatnya.

"Aha...! Dari mana Daeng...? Lama aku menunggumu. Sayang aku ada tugas lagi senja ini. Jadi aku tak dapat menemanimu berbincang-bincang. Oh, ya...! Mengenai upeti untukku, biarlah untuk pekan ini tak usah kau setorkan. Asal kau harus berhati-hati kali ini. Terutama tiga orang paderi itu jangan sampai ia menyusahkan kita...!" Berkata sang Senapati.

Daeng Panuluh tersenyum dan manggut-manggut seraya berkata dengan nafas agak tersengal. Agaknya ia tadi melarikan kudanya dengan sekencang-kencangnya, seperti memburu sesuatu. "Te...terima kasih abang Wira Pati...!" Ujar Daeng Panuluh yang membahasakan sebutan abang, atau kakak pada laki-laki sahabatnya itu, karena sebenarnya Daeng adalah bukan orang asli tanah Jawa.

Ia perantau dari seberang pulau, yang terletak jauh di sebelah timur laut Pulau Jawa. Dan hidup di pesisir laut. Boleh dikatakan Daeng Panuluh besar dan dewasa di tengah ombak lautan. Sayang Daeng terjerat dalam kehidupan sesat. Dan memilih beberapa tahun yang lalu, sejak Wira Pati menjabat sebagai Tumenggung. Dari sahabatnya inilah Daeng dapat menduduki jabatan sebagai Bupati.

"Tapi bagaimana mengenai ancaman seorang pemuda misterius itu...?" Daeng telah lanjutkan dengan pertanyaan.

"Tenanglah...! Kelak aku yang mengurusinya. Bukankah kau tahu, si Sengkuti itu dengan mudah dapat kusingkirkan. Tak perduli ia seorang Carik Desa. Kalau bakal membahayakan, terpaksa harus disingkirkan. Walaupun tadinya ia orang yang membantu kita...!" Berkata Senapati Wira Pati dengan wajah tenang, namun suaranya terdengar tandas.

Daeng Panuluh manggut-manggut. Tapi tiba-tiba wajahnya kembali berubah agak pucat. Dan tampak dengan gugup ia berkata... "Ng...te... terima kasih sahabatku! Akan tetapi maaf... aku lelah sekali, dan memerlukan istirahat. Oh, ya... tentu abang Wira Pati jemu menungguku tadi...!"

Pembesar Kerajaan ini cuma tersenyum, seraya ujarnya; "Silahkan beristirahat, Daeng..! Memang akupun ada tugas yang menantiku...! Dan... ha ha ha... Terima kasihku padamu atas hidangan yang kau suguhkan itu. Tentu saja kelak akan ada imbalan tersendiri yang istimewa buatmu...!"

Daeng Panuluh jadi melengak mendengarnya. Akan tetapi sang Senapati telah segera mengeprak kudanya. Yang segera mencongklang lari dengan cepat. Adapun Daeng Panuluh setelah tercenung sesaat, tiba-tiba telah berteriak keras, dan memacu kudanya dengan cepat ke arah gedungnya.

Baru saja sampai di halaman, ia telah melompat dengan cepat, dan berlari menuju pintu Pendopo. Dua pengawal tak sempat lagi menjura, karena sang Bupati bagaikan gila telah menerobos masuk. Dan secepat itu pula telah memasuki kamar, di mana tergolek sesosok tubuh yang telah kehabisan tenaga.

"Nurimah...! Nurimaaaah...!?" Suara teriakannya tersendat seketika, melihat ke hadapannya.

Pembaringan itu telah kusut masai. Bantal dan guling telah berserakan tak keruan. Dan sang gadis tengah mengerang seperti dalam saat sekarat. Sekilas saja ia telah tahu apa yang telah terjadi. Kenyataan itu telah dibuktikan dengan jelas melalui penglihatannya.

Tiba-tiba laki-laki ini telah berteriak dengan suara parau. Dan menubruk tubuh gadis itu serta memelukinya dengan suara tangis meraung. Tampak sepasang mata Daeng telah bercucuran air mata. Dan terlontarlah kata-kata yang sudah delapan tahun lebih itu tak pernah terucapkan dari bibirnya.

"Anakku... Nurimah...! Anakku... Oh..." Selanjutnya cuma suara isak tangis bagaikan anak kecil yang terdengar. Tiba-tiba ia telah lepaskan pelukannya pada wanita yang terbujur itu. Wanita yang ternyata memanglah anak gadisnya sendiri. Dan terdengarlah suara teriakannya memanggil sang pembantu wanita. Yang dengan tergopoh-gopoh segera berlari menghampiri.

"Bodoh...!". Teriaknya memaki. "Mengapa kau biarkan semua itu terjadi. Dia... dia anakku, tahu...! Keparrrat...!"

Plak! Sebelah lengannya telah bergerak menampar kepala sang pembantu wanita tua itu. Yang segera saja terpelanting dengan suara teriakan menyayat hati. Namun Daeng kembali sudah memburunya. Lengannya bergerak menjambak rambut wanita yang bernasib sial itu.

Akan tetapi terkejut Daeng, karena sudah tak terdengar lagi jeritan kesakitan ketika dijambak rambutnya. Kiranya sang pembantu yang malang itu telah tewas. Dengan geram Daeng menghempaskannya ke lantai. Segera ia bergerak lagi melompat untuk mencegat seorang pembantu wanita lagi, yang menggigil ketakutan.

"Ampun, Ndoro...! Jangan bunuh hamba...! Hamba tidak bisa mencegahnya... Ja... jangan bunuh hamba Ndoro..." Berkata wanita pembantu itu dengan meratap tangis.

"Aku takkan membunuhmu, Mariyem...!" Membentak Daeng Panuluh. Tiba-tiba laki-laki ini telah keluarkan sesuatu dari saku bajunya. "Berikan ini pada anakku. Jejalkan di mulutnya. Ingat! Dua butir pel ini harus benar-benar tertelan. Kalau sampai gagal, nyawamu sebagai gantinya, mengerti...?!"

"Ba...baik Ngoro...! Akan hamba kerjakan...!" Menyahuti sang pembantu wanita seraya menerima dua butir pel itu dari tangan Daeng, dengan lengan gemetar dan wajah pucat bagaikan mayat. Namun ia telah bersyukur dalam hati yang jiwanya selamat. Sekejap kemudian.

ENAM

DAENG telah kembali melompat ke dalam ruang tengah, dan menyambar sebuah pedang yang tergantung di dinding. Lalu berkelebat cepat menuju kembali ke luar gedung. Para penjaga cuma saling pandang, ketika Daeng melompat keluar, dan dengan cepat melompat ke atas punggung kudanya.

Kejap selanjutnya, ia telah berteriak keras menghardik sang kuda yang segera meringkik keras. Beberapa kali sang kuda berputaran seperti tak mau menurut perintah sang majikan. Namun akhirnya lari mencongklang dengan cepat keluar halaman. Dan selanjutnya telah terdengar derapnya semakin menjauh dari halaman gedung.

Lagi-lagi Mandra terkejut, melihat sang Bupati Daeng Panuluh telah keluar lagi dari dalam gedung. Dan kini memacu  kudanya  bagai dikejar setan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Mandra segera tancap kakinya untuk mengejar melalui jalan semak. Ingin ia mengetahui apa yang terjadi. Lapat-lapat terdengar suara teriakan Daeng.

"Senapati Keparaaat...!  Tunggu aku...!" Dan dengan derap langkah kuda yang menggebu, Daeng Panuluh memacu sang kuda sekencang-kencangnya.

Beruntung Wira Pati telah jalankan kudanya dengan tidak terlalu cepat, karena ia berfikir tak perlu terburu-buru. Tugas adalah tugas. Tapi rasa lelah di sekujur tubuhnya belum lagi hilang. Tentu saja tak lama Daeng dapat menyusulnya. Terkejut Wira Pati mendengar suara derap kuda di belakangnya, yang seperti berlari dengan cepat. Segera ia telah putar kudanya untuk melihat. Akan tetapi terlambat, tahu-tahu...

Des...! perut kudanya telah kena seruduk kuda Daeng Panuluh. Sebenarnya hal itu tak akan terjadi seandainya Wira Pati mengetahui Daeng datang dengan kemarahan meluap. Sehingga tak ampun lagi kedua kuda sudah terjungkal jatuh. Termasuk kedua penunggangnya. Namun Wira Pati dengan tangkas telah dapat jatuh dengan berdiri. Karena sebagai seorang senapati yang sudah terlatih, Wira Pati bukanlah Wira Pati kalau ia harus jatuh ngusruk terguling-guling.

Lain halnya dengan Daeng, ia telah jatuh bergulingan. Namun segera sudah kembali bangun berdiri. Beruntung pedangnya tidak terlepas dari genggamannya. Segera saja ia telah membentak seraya menerjang langsung menebas batang tubuh si Senapati. "Manusia keparat...! Kau telah nodai anakku...! Dia anakku, manusia iblis! Kubunuh kau...!"

Trang! Trang! Trang...!

Tiga serangan beruntun telah segera dapat ditangkis oleh Wira Pati. Laki-laki ini terkesiap bukan main, karena tahu-tahu Daeng menerjangnya bagaikan gila. Namun ia sudah mencabut tombak pendeknya, dan menangkis seranganserangan ganas itu.

"Daeng...! Aku mana mengetahui dia anak gadismu...? Salahmu sendiri, mengapa tak menitahkan orang untuk menjaganya...?" Bentak Senapati ini dengan melotot gusar.

Akan tetapi Daeng sudah tak perduli lagi. Ia tak akan puas kalau belum melihat manusia di hadapannya itu direncah lumat dengan pedangnya. Kembali ia menerjang. Pedangnya berkelebatan dengan serabutan. Agaknya ia sudah terlalu emosi. Kemarahannya sudah melebihi takaran. Karena siapa yang takkan sakit hati jika mengalami nasib seperti si Bupati ini. Walaupun yang dihadapannya itu mertuanya sendiri pun, tentu akan dicincangnya sampai lumat.

Wut! Wut! Wut...!

Kembali pedang di tangan Daeng berkelebatan, Namun Wira Pati telah berhasil menghindar. Tiba-tiba wajahnya tampak menyeringai sinis. Dan ia telah keluarkan bentakan keras.

"Baiklah Daeng, kalau kau menghendaki kematian...! Aku tak akan segan-segan untuk mencabut nyawamu...!" Selesai berkata, tiba-tiba tubuh Senapati Wira Pati telah berkelebat di antara sinar pedang Daeng Panuluh yang bagaikan tiada berhenti menerjangnya. Tombak pendek di lengan laki-laki itu tampak membersitkan sinar, tatkala diputarkan dengan cepat menghalau kilatan pedang Daeng.

Traaang...! Terdengar suara benturan senjata. Daeng tersentak, karena tiba-tiba pedangnya terlepas dari genggamannya. Belum lagi ia sadar akan kelanjutannya, tahu-tahu...

Jroos...! Laki-laki bertubuh agak gemuk ini telah perdengarkan teriakannya ketika tombak pendek yang terbelit kain sutera merah itu membenam ke jantungnya. Bagai terpaku Daeng berdiri terhuyung. Sepasang matanya seperti menyala menatap sang Senapati yang berdiri di hadapannya. Dan tampakkan senyum dingin pada lakilaki di hadapannya.

"Manusia keparatt...! Kau... kau kejam! Kau... ib... iblisss..." Suara Daeng seperti mendesis parau.

Akan tetapi Wira Pati telah sentakkan ujung tombaknya yang membenam di jantung Daeng. Terdengar keluhan Bupati yang bernasib sial itu. Darah segera memuncrat dan memercik menyirami tubuhnya, disertai robohnya tubuh laki-laki itu. Yang selanjutnya telah berkelojotan bagai ayam disembelih. Namun sekejap telah terdiam, setelah menyentakkan tubuhnya sekali lagi seperti gerakan terakhir melepas nyawanya, untuk berpindah ke alam Akhirat.

Sang Senapati perdengarkan suara dengusan di hidung, lalu dekati tubuh Daeng, dan bersihkan ujung tombaknya di baju laki-laki yang telah tak bernyawa itu. Selanjutnya telah selipkan kembali senjatanya ke belakang punggungnya. Saat berikutnya ia telah putarkan tubuh dan palingkan kepala untuk mencari kudanya. Ternyata sang kuda tunggangannya tidak pergi jauh. Tampak dengan sekali lompat, Wira Pati telah berada di dekat kudanya.

Kejap berikutnya ia telah melompat cepat ke atas pelana, dan selanjutnya sudah terdengar teriakannya menghardik binatang itu. Seraya hentakkan kaki ke perut kuda. Maka sekejap kemudian binatang itu telah mencongklang dengan cepat, tinggalkan tempat itu.

Begitu tubuh Senapati itu lenyap di balik tikungan jalan, sesosok tubuh sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Ternyata Mandra adanya. Tercenung pemuda itu menatap tubuh sang Bupati yang dibencinya. Tuntutan hatinya telah terlaksana. Akan tetapi Mandra jadi berfikir dalam benaknya.

Ternyata orang-orang besar yang punya kedudukanpun punya masalah. Bahkan berbagai masalah! Dari masalah yang bersih dan murni, sampai masalah yang paling kotor. Yang kesemuanya juga meminta korban darah dan nyawa! Terdengar pemuda pandai besi ini menghela napas. Namun tak lama ia segera berlalu untuk tinggalkan tempat itu.

Tubuh Daeng cuma diam membisu. Dia sudah tak lagi dapat fikirkan jabatannya. Tak dapat lagi mengetahui mana jalan lurus, dan mana jalan sesat. Karena semasa hidupnya pun dia telah tak mau tahu ke mana arah langkah perbuatannya. Yang dipentingkan hanyalah melulu kepuasan duniawi. Kepuasan yang tak pernah ada habisnya...!

Juga Daeng tak akan pernah tahu, kalau dua butir pel yang ia berikan untuk anak gadisnya itu, justru telah membawa kematian sang anak yang dicintainya itu secara cepat. Karena dua butir pel pemberian paderi Kuti itu, bukanlah pel obat penawar dari ramuan yang telah ia berikan pada anak gadisnya. Melainkan dua butir pel racun. Karena tak ada obat penawar bagi ramuan yang telah ia berikan atas pesanan Bupati Daeng Panuluh itu.

Kiranya waktu itu Daeng yang telah bagaikan seekor serigala yang keranjingan daging mentah, telah menerima datangnya seekor kelinci mulus. Pesanan itu adalah khusus untuk dirinya. Mana mungkin Daeng sia-siakan kesempatan baik itu dengan percuma. Tiada nikmat menyantap seekor kelinci tanpa bumbu masakan penyedap. Sayang... di saat ia akan menyantap, laki-laki keranjingan ini telah terhenyak bagaikan disambar petir, karena sang kelinci terlalu mustahil untuk dijadikan santapannya. Seekor harimau ganas pun tak akan menerkam anaknya sendiri.

Pepatah itu memang benar. Satu tanda tahi lalat di bawah pusar sang kelinci itu membuat ia tak jadi laksanakan maksudnya. Terpaksa ia memanggil sang pembantunya untuk menyediakan santapan nasi hangat dan sayur, serta ikan rawa yang disukainya. Dalam kepanikan itu ia segera mengisi perut sekenyang-kenyangnya.

Sementara ingatannya telah terbayang pada seorang bocah berusia 10 tahun yang telah lenyap ditelan gelombang, di saat perahunya diserang badai. Ia terdampar dan selamat dari maut. Namun sang bocah perempuannya telah lenyap tanpa diketahui mati hidupnya. Delapan tahun cukup lama untuk ia melupakannya. Akan tetapi pertemuan itu telah di luar dugaan. Sang bocah perernpuan itu telah menjelma jadi seorang dara rupawan. Yang nyaris jadi korban perbuatan aibnya.

Tergesa Daeng menjumpai ketiga sahabatnya si Tiga Paderi. Namun kedatangannya sudah terlambat. Karena Senapati yang gagah perkasa itu telah menghancur leburkan segala-galanya. Bahkan nyawanya sendiri pun telah melayang pergi. Sungguh suatu kehancuran total yang amat mengenaskan.

Mandra melangkah pergi dengan langkah gontai. Tapi kini ia sudah merasa sedikit lega karena tak lagi mengurusi kemelut yang menggebu-gebu dalam jiwanya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuatnya terkejut.

"Hantikan langkahmu, pembunuh!" Dan sekejap telah berkelebatan muncul tiga sosok tubuh. Belum lagi ia sempat menatap ketiga wajah sosok tubuh itu, salah seorang telah menyerangnya.

Buk! Satu hantaman pukulan dengan telak telah mengenai dadanya. Tak ampun lagi Mandra terjungkal bergulingan dengan perdengarkan keluhannya. Ternyata ketiga sosok tubuh itu tak lain dari si ketiga Paderi Lereng Gunung Wilis. Hantaman keras itu dilakukan oleh Kuti. Hingga si pemuda itu tampak muntahkan darah segar yang menggelogok keluar dari mulutnya.

"He he he... Biar aku yang menambahi dengan belaian Kipas Maut ku...!" Berkata Lembu Alas si paderi pendek. Yang segera saja sudah melesat untuk menghunjamkan ujung kipasnya. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan menyambar ujung kipas.

Trang...! Lembu  Sura berteriak tertahan karena rasakan lengannya kesemutan. Dan tanpa ia sadari Kipas bajanya telah terlepas dari genggamannya. Dengan gerak cepat ia telah melompat mundur empat tindak. Dan dengan sebat telah gerakkan lengan untuk kembali menangkap senjatanya.

Terkejut ketiga paderi itu melihat sosok tubuh di hadapannya. Yang tak lain dari Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sebelah lengannya tampak memegang senjata yang mirip mainan itu. Yang diayun-ayunkan di atas ujung kakinya. Dengan senjata anehnya itulah Roro Centil menggagalkan serangan maut si paderi pendek Lembu Alas.

Ketiga paderi menatap dengan terpaku seperti terkesima. Namun Kuti tiba-tiba telah perdengarkan suara tertawanya. Walaupun diam-diam hatinya agak gentar. Namun gengsi juga kalau harus jeri pada seorang gadis semuda itu. Apa lagi Kuti masih berharap dapat merebut kembali Kitab Ularnya.

Ternyata suara tertawa Kuti telah mengandung tenaga dalam yang hebat, yang ditujukan pada gadis Pendekar. Terasa juga getaran tenaga suara tertawa itu yang seperti membawa pengaruh hebat. Karena tampak tubuh Roro seperti terhuyung mau jatuh. Melihat demikian si paderi berkulit hitam alias Kebo Ireng, segera meniup Seruling Hitamnya. Hingga membersit keluar suara yang bagaikan menusuknusuk lubang telinga. Semakin terhuyunglah tubuh Roro Centil.

Dan pada saat itu dengan diam-diam, Kuti telah keluarkan sabuk suteranya. Sementara suara tertawanya seperti terus menggema tiada henti. Roro Centil tampak lagi-lagi terhuyung lemah, dengan sepasang mata setengah terkatup. Tertawa menyeringai si paderi pendek. Segera ia telah siapkan tasbih hitam dan kipasnya untuk menyerang. Ternyata Kuti telah memberi isyarat. Maka dengan berbareng kedua tubuh itu segera menerjang Roro. Tasbih hitam bergerak ke arah lengan untuk menggubat. Dan kipas baja meluncur deras untuk menotok.

Sementara Kuti luncurkan sabuk suteranya merapas senjata, disertai gerakan sebelah lengannya manghantam ke arah paha. Kuti memang sengaja mau melumpuhkannya. Karena walau bagaimanapun tak tega ia membunuh gadis secantik itu. Kegagalannya yang dulu seperti membuat ia merawa kecewa. Kini ia berharap dapat mengulangi niatnya untuk yang kedua kalinya.

Tampaknya Roro akan segera terkena beberapa serangan kilat itu. Akan tetapi kedua paderi ini jadi melengak, karena tubuh sang pendekar itu tahu-tahu seperti roboh ke belakang. Aneh! Dalam keadaan terhuyung demikian, ternyata serangan berbareng mereka telah mengalami kegagalan total.

Segera saja Kuti merobah serangan. Sabuk Suteranya telah meluncur lagi ke beberapa bagian tubuh Roro. Namun lagi-lagi tubuh Roro Centil terhuyung mau jatuh ke kiri dan ke kanan. Justru gerakan demikian itu telah pula membuat gagalnya serangan paderi jangkung itu. Gila...! Teriak Kuti dalam hati. Dan ia telah sarangkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam secara beruntun. Kali ini Kuti sadar kalau ia sudah kembali terkecoh. Gadis Pendekar ini banyak akal bulusnya! Berfikir Kuti.

Duk! Duk! Des...!

Tiga hantaman itu ternyata telah disambuti Roro, seperti gerakan yang tak disengaja. Akan tetapi hebat akibatnya. Paderi Kuti ini telah perdengarkan teriakan kaget. Tubuhnya terjengkang ke belakang lima-enam tombak. Sedang tubuh Roro Centil justru melambung ke atas. Ketika turun lagi telah menukik seperti burung alap-alap menyambar mangsanya. Senjata anehnya telah berputar mendesing menyambar kepala.

Sementara itu si paderi bernama Kebo Ireng telah hentikan tiupan serulingnya. Kini melihat kakaknya dalam bahaya, ia segera hantamkan Seruling Hitamnya untuk menangkis senjata aneh itu.

Tring...! Terdengar beradunya dua senjata. Kepala Kuti lolos dari serangan si Rantai Genitnya Roro Centil. Akan tetapi sebuah tendangan kilat telah membuat Kuti kembali terlempar beberapa tombak bergulingan.

Menggeram laki-laki berkumis tebal ini. Ia sudah segera bangkit berdiri, walau terasa dadanya sesak. Tiba-tiba Kuti telah berikan isyarat untuk menerjang berbareng pada kedua adiknya. Segera saja ketiga paderi palsu itu saling berlompatan menerjang Roro. Berkelebatanlah beberapa senjata ke arah tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Namun Roro telah segera pergunakan jurus Tarikan Bidadari Mabuk Kepayang. Segera saja terlihat tubuh gadis itu bagaikan tengah menari-nari di antara kelebatannya senjata. Namun hebatnya, setiap serangan telah berhasil dihindarkan. Bahkan Roro tidak cuma membisu saja, melainkan sambil perdengarkan tertawa mengikik, yang kedengarannya membuat orang jadi meremang bulu tengkuknya.

Sementara itu Mandra dalam keadaan yang amat parah. Karena Kuti telah menyerangnya dengan serangan pukulan bertenaga dalam penuh. Hingga lagi-lagi Mandra harus muntahkan darah segar. Pada saat itu telah berkelebatan ke arahnya dua sosok tubuh seraya diiringi teriakan terkejut.

"Mandra...!? Oh! Kau kenapakah...?"

Teriakan itu ternyata dari suara seorang gadis berbaju merah. Yang tak lain dari Roro Dampit. Sementara yang seorang lagi adalah Sentanu. Segera mereka lakukan pertolongan pada pemuda itu. Dengan menggotongnya ke tempat yang aman. Sesaat kemudian Roro Dampit telah balikkan tubuh dan berdiri memandang pada tempat pertarungan. Sepasang matanya tampak seperti menyala melihat ketiga paderi yang tengah mengerubuti Roro Centil. Segera saja ia telah gerakkan lengan mencabut senjatanya, sepasang ruyung dari kedua belah pinggangnya. Seraya berkata;

"Aku harus bantu menggempur tiga manusia durjana itu. Kau bantulah menolongnya sobat Sentanu...!" Sekejap ia telah melompat ke arah pertempuran. Dan selanjutnya sudah perdengarkan bentakan nyaring. Sepasang ruyungnya yang terdiri dari tiga ruas besi yang terikat rantai segera berkelebatan menerjang deras ke arah dua orang paderi.

Kuti mendelik gusar. Nyaris saja dadanya kena terhantam. Sementara si paderi bernama Kebo Ireng telah menangkis dengan Seruling besinya. Lengan Kuti bergerak menghantam. Tak...! Paderi ini menjerit parau ketika sebuah kerikil terlebih dulu menghantam telak lengannya. Hingga pukulannya telah ia tarik kembali.

Sementara Roro Dampit melengak heran, telah terdengar suara tertawa di atas pohon. Ternyata seorang pemuda berbaju putih. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Ginanjar, murid mendiang si Pendekar Bayangan Ki Bayu Seta. Mendengar suara tertawa gelakgelak itu membuat Kuti jadi mendongak ke atas. Akan tetapi justru bandulan si Rantai Genit hinggap telak di kepalanya.

Thok...! Lagi-lagi Kuti berteriak kesakitan. Tampak kepalanya kebulkan asap seperti uap putih. Tak ampun lagi si Paderi jangkung ini sudah berjingkrakan memegangi kepalanya, sambil berteriak-teriak.

Ginanjar di atas pohon semakin gelak terbahak-bahak. "Ha ha ha ... ha ha... Hebat kau Roro...! Kepala orang kau buat benjol sebesar telur angsa! Ha ha ha...lucu! Lucu...! Ada monyet gundul sedang menari...!"

Ginanjar terpingkal-pingkal melihat Kuti yang berjingkrakan. Akan tetapi suara tertawa si pemuda itu jadi terhenti, karena sekonyong-konyong si paderi jangkung telah bergerak melompat menyerudukkan kepalanya ke batang pohon yang dinaikinya.

Kraaakkk...! Batang pohon berderak patah yang kemudian roboh dengan suara bergemuruh. Namun Ginanjar telah segera melompat turun, dan jejakkan kaki ke tanah. Terlihat tubuh Kuti terhuyung-huyung. Kepalanya telah mengalirkan darah. Akan tetapi aneh...! Ternyata Kuti kembali menyerudukkan kepalanya ke batang pohon lainnya. Bahkan ke sebuah batu besar yang tak jauh berada di tomput itu.

Berulang kali ia menumbukkan kepalanya, hingga darah bercucuran kian banyak. Entah apa yang terjadi sehingga Kuti berlaku demikian. Hingga kemudian yang terlihat adalah batok kepala Kuti yang remuk, ketika ia menghantamkan sekali lagi pada batu. Tampak tubuh laki-laki itu berkelojotan mengerikan. Lalu sesaat kemudian telah diam untuk tak berkutik lagi.

Terkejut Ginanjar, juga si wanita baju merah. Yang segera lompat ke belakang. Sementara itu Roro Centil tetap sibuk bertarung. Tiba-tiba terdengar teriakan Roro yang melengking tinggi. Suara lengkingan yang mengandung tenaga dalam hebat. Membuat Lembu Alas dan Kebo Ireng jadi terpaku terkesima. Pada saat itulah tubuh Roro melesat ke atas tujuh-delapan tombak. Ketika menukik lagi telah meluncur deras dengan senjata si Rantai Genitnya. Segera saja terdengar suara batok kepala yang pecah.

Prok...! Prok...! Tak ampun lagi robohlah tubuh kedua paderi palsu itu dengan berkelojotan, tanpa bisa mengeluarkan teriakan lagi. Sekejap antaranya kedua manusia durjana itu telah tewas.

Kejadian itu berlalu dengan cepat. Hingga ketika semua orang tengah terkesiap, tubuh si Pandekar Wanita Pantai Selatan tahu-tahu telah berkelebat cepat dan sekejap telah lenyap. Tapi di kejauhan sudah terdengar suara tertawanya yang mengikik panjang.

Ginanjar baru tersentak dari terkesimanya. Segera ia sudah berkelebat mengejar seraya berteriak; "Rorooo! Rorooo...!" Dan tubuh pemuda berbaju putih itu pun sekejap kemudian segera lenyap.

Keadaan di tempat itu kembali sunyi. Si gadis baju merah segera tersadar dari terpakunya, ketika mendengar suara keluhan Mandra. Tampak sepasang lengan pemuda itu mencekal erat lengan Sentanu. Keadaan Mandra semakin parah. Roro Dampit segera memburunya. Terlihat Sentanu mendekatkan sebelah telinganya pada bibir Mandra yang tampak semakin hilang suaranya. Entah apa yang dibisikkan pemuda itu pada Sentanu. Cuma yang terlihat laki-laki tampan berkumis kecil itu manggut-manggut dengan terharu.

Selang sesaat setelah pemuda itu tampakkan senyumannya, segera kepalanya terkulai. Sentanu terkejut, dan mengguncang-guncangkan tubuh sahabatnya itu. Akan tetapi Mandra telah wafat. Nyawanya telah melayang, kembali menghadap Tuhan. Tinggalkan jasadnya yang telah remuk isi dadanya akibat pukulan keji si paderi palsu bernama Kuti.

Roro Dampit mengusap air matanya yang telah mengalir di kedua pipinya. Betapa ia merasa kehilangan. Seolah sahabatnya itu sudah bukan orang lain lagi. Karena mereka sudah sangat akrab. Tampak Sentanu pun menatap sedih. Lengannya sudah lantas bergerak mengusap wajah pemuda itu. Yang segera sepasang matanya terpejam.

Tak lama kemudian laki-laki bekas perwira Kerajaan Medang itu sudah bangkit berdiri dengan memondong tubuh sahabatnya yang sudah menjadi mayat. Dan langkahkan kaki untuk segera tinggalkan tempat itu. Di belakangnya mengikuti si gadis baju merah yang menundukkan kepala dengan melangkah gontai.

Senja semakin temaram. Cahaya merah yang membersit di ujung iangit, sebentar lagi akan sirna. Timbulkan bayang-bayang yang memanjang, dari dahan-dahan pohon dan dua sosok tubuh itu yang terus melangkah menuju arah pedesaan.

Pada sebuah persimpangan jalan, terdengar ringkik seekor kuda yang segera berlari menghampiri ke arah laki-laki itu. Si gadis baju merah meraih tali kendalinya yang terjuntai di leher binatang itu. Lalu menuntunnya di belakang tubuhnya. Cahaya mentari sebentar lagi akan lenyap.

Akan tetapi mereka yakin akan adanya cahaya yang membersit lagi esok pagi. Seperti juga harapan semua makhiuk di atas bumi. Makhluk-makhluk yang rindukan kedamaian. Rindukan kesejahteraan. Walau Dunia terus berubah dengan tingkah polah dari makhluk-makhluk isinya. Namun kedamaian akan tetap didambakan, sebagai perlambang cinta kasih yang hakiki.
Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.