Bocah Siluman Penghuni Makam Tua

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Bocah Siluman Penghuni Makam Tua Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Bocah Siluman Penghuni Makam Tua

Karya : Mario Gembala
Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil Karya Mario Gembala
SATU
DESAH angin malam itu semakin semilir menyentuh kulit. Udara semakin dingin menembus ketulang. Gelapnya cuaca malam itu sesekali menyibak, menampakkan cahaya terang gemerlapan, manakala kilat menyambar membelah langit.

Selang tak lama anginpun memberit semakin keras. Batang-batang pohon bergoyangan menghempas-hempas, terbangkan daun-daun kering yang berhamburan. Suara guruh mulai terdengar sahut-menyahut, yang kadang-kadang diwarnai dengan menyambarnya halilintar.

Gluduk...gIuduk...gluduk...! Tharrr...!

Alam telah berubah gegap-gempita. Titik-titik air mulai turun membasahi bumi, yang tak lama berselang hujan pun turun seperti dicurahkan dari langit. Di antara desah angin yang menghempashempas dan siraman hujan lebat, tampak sesosok tubuh berlari-lari menerjang lebatnya hujan dan badai.

Bila kilatan-kilatan petir berkredepan menyibak kegelapan, terlihat jelas sosok tubuh yang ternyata adalah seorang wanita, rambutnya panjang terurai. Jatuh bangun dia berlari tersaruk-saruk menembus pekatnya malam. Pakaiannya sudah basah kuyup dan belepotan lumpur.

Namun tanpa perdulikan semua itu, dia terus berlari dan berlari. Terkadang harus merangkak mendaki tanah becek berlumpur, meraih akar-akar pepohonan, merayap ke tempat ketinggian. Untuk kemudian terus berlari dengan tubuh sempoyongan.

"Ibuuu..! ibuuu...! Aku telah dihinakan ibuuu...! Aku sakit hati..! Aku... aku... hu.. hu.. hu...hu..."

Terdengar ratap tangisnya yang memilukan. Kemanakah gerangan yang ditujunya? Ternyata wanita itu menuju ke arah sebuah Makam Tua. Makam Tua di atas bukit itu. Makam yang sejak 10 tahun yang lalu tak pernah dikunjungi orang. Ke sanalah dia menuju dengan langkah yang tertatih-tatih semakin lemah. Ketika tiba di hadapan segunduk tanah berumput tebal dengan nisan dari kayu yang sudah keropos, dia jatuhkan diri berlutut seraya menangis terisak-isak.

"Ibuuu...! ibuuu..! hu... hu... hu..." kembali dia mengangguk dalam tangis yang teramat pilu. Air matanya yang bersimbah sudah bercampur dengan air hujan. Di pelukinya kuburan itu dan diremasremasnya rumput dan tanah yang basah, serta yang sesambat, seperti orang yang sudah hilang akal.

"Ibu! Tak dengarkah kau suaraku? Tak dengarkah kau ratapan ku? Aku telah dihina, Ibu...! Aku tak rela, aku tak kuat mendengarnya...! Bangkitlah ibu dari tidurmu! Bangkitlah...!!!" Teriak wanita itu sambil menghentak-hentakkan lengannya menggebuki gundukan tanah itu. Kelakuannya sudah seperti orang yang kurang waras. Kembali dia mengguguk dalam tangis pilu.

Namun lama-kelamaan tangisnya semakin lirih, semakin perlahan... dan akhirnya berhenti sama sekali. Wanita itu telah jatuh pingsan karena tak kuat menahan gejolak perasaannya serta keletihan yang amat sangat. Sementara hujan terus mengguyur tubuhnya tiada henti. Sesekali petir menyambar menampakkan kilatan-kilatan di langit. Tiba-tiba satu kilatan dari langit menyambar ke arah gundukan tanah itu, perdengarkan suara keras...

Thaarrr...! Wanita itu terkejut ketika rasakan tanah kuburan terguncang bergetar. Sementara asap membumbung di hadapannya. Kiranya kilatan petir telah mengenai patok kayu lapuk itu yang seketika hangus terbakar disertai menyemburnya tanah berlubang di hadapannya. Terperangah wanita ini, dengan sepasang mata terbeliak lebar. Seketika saja dia sudah tersadar dari pingsannya.

Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Hawa dingin membuat tubuhnya gemetaran menggigil. Tapi dia sudah berkata lantang... "Ibu...! Kalau kau tak maju bangkit dari tidurmu, biarlah..! Akan tetapi katakanlah, apakah kau pernah melahirkan aku! Aku dihina, ibu...! Aku disisihkan dari suamiku! Karena aku tak mampu melahirkan anak! Aku dikatakan mandul! Dan tak akan pernah mempunyai anak sampai ubanan, karena aku adalah keturunan dari seorang perempuan setengah siluman! Benarkah itu, ibu?" Ujar wanita itu dengan terisak. Suaranya menggeletar menahan kesedihan serta dinginnya tubuh. Lalu lanjutnya lagi.

"Ibu...! Aku sakit hati mendengar fitnah keji itu! Aku tak ada harapan punya anak. Dan suamiku Prabu Gurawangsa telah mengambil tiga orang selir! Mereka amat diperhatikan oleh suamiku. Terutama yang bernama Nawangsih! Karena wanita itu kini tengah mengidam. Dia bakal punya anak, yang kelak akan menggantikan kedudukan Prabu Gurawangsa sebagai Raja Kerajaan MATYSPATI. Kalau ibu adalah manusia setengah siluman, dan aku keturunannya, apakah ayah seorang siluman..?" Berkata wanita itu dengan suara serak parau. Betapa batinnya amat tertekan.

Sementara dia sudah kembali jatuhkan air mata. Hujan masih turun membasahi bumi, dan malam semakin melarut. Tubuh sang wanita semakin menggigil kedinginan. Namun dia tetap berdiri tegak sambil menutupi wajahnya yang bergoyang-goyang. Tak ada sahutan secuilpun dari dalam kuburan itu. Akan tetapi wanita ini tetap membandel untuk tetap berdiri di situ.

"Ibu...!" Ujarnya lagi. "Aku tak dapat menerima penghinaan ini. Dendam ku telah bersatu dengan PETIR dan GUNTUR! Aku tak akan mengingini lagi kebahagiaan di Istana. Aku cuma ingin punya anak! Aku ingin sekali hamil, dan merasakan bagaimana rasanya orang mengidam! Bagaimana rasanya aku melahirkan anak...! Aku iri..! Iriiii...! Mengapa aku mandul hingga sampai sepuluh tahun tak dikaruniai keturunan seorangpun!"

Thaarrr...! Kilatan petir kembali menyambar, nyaris mengenai tubuhnya. Tanah disebelahnya hangus terbakar, menimbulkan lubang besar. Akan tetapi wanita itu tetap berdiri tegak tak bergeming. Lapat-lapat terdengar suara tanpa ujud menyusup ke telinganya.

"Durgandini...! Kau tak layak berkata demikian! Kau menentang takdir Tuhan! Sadarlah apa yang akan kau inginkan! Bertawakallah dengan cobaan yang kau terima!"

Akan tetapi wanita ini sudah berteriak. "Tidaaaak...! Aku tak dapat menerima takdir itu. Ibu...! Bukankah kau manusia setengah siluman seperti yang kudengar. Tolonglah aku! Bantulah aku...!"

Thaarrr...! Kembali kilatan petir menyambar dahsyat membuat kilatan yang menerangi alam semesta. Selanjutnya guruh terdengar sahut menyahut di angkasa. Di antara kilatan cahaya petir itu tampak sesosok tubuh berjubah putih kira-kira sepuluh tombak di belakang si wanita itu.

Ternyata seorang kakek tua renta. Tampak bibirnya berkemak-kemik membuat kumis dan jenggotnya yang putih terjuntai itu bergerak-gerak. Aneh dan amat menakjubkan, karena jubah sang kakek sedikitpun tak basah oleh siraman hujan. Sementara di telinga si wanita itu telah terdengar lagi suara tanpa ujud. Itulah sebenarnya suara si kakek misterius yang aneh itu.

"Durgandini! Cucuku...! Kembalilah dari kesesatan hatimu! jangan kau ingkari takdir Tuhan!"

Tiba-tiba dia telah balikkan tubuhnya. Dan sepasang matanya telah dapat melihat kakek berjubah putih itu di hadapannya. "Siapa kau..?" Bentaknya dengan suara keras. Wajah wanita itu tampak kaku menatap dengan tajam. Sementara hujan sudah mulai menipis. Dan cuaca yang gelap sudah berangsur-angsur menjadi terang.

"Aku Resi JENGGALA MANIK dari Pertapaan GOA KISKENDA. Masih termasuk kakek mu. Panggillah aku Eyang...!" Sahut sang kakek berjubah putih.

"Hm, bagus...! Kalau kau masih termasuk kakekku, tentu kau dapat menolongku, Eyang Resi! Mengapa kau justru menyuruhku kembali pulang? Itu artinya sama saja membiarkan aku menderita! Tidak! Aku sudah muak tinggal di istana! Aku benar-benar telah sakit hati! Aku dihina, disisihkan, dan aku telah memendam sejuta dendam di hatiku!". Teriak si wanita dengan suara lantang.

"Aku tak berdaya menentang takdir Tuhan, cucuku...! Bersabarlah! Itu jalan yang terbaik dan bertawakal serta berdo'a kepadaNYA. Perjalanan hidup manusia teramat pendek. Hilangkanlah dendam di hatimu!" Ujar sang Resi.

"Tidak! Aku akan meminta pertolongan Siluman atau setan! Mereka tentu dapat mengabulkan kehendakku...!". Teriak wanita itu.

Mendadak cuaca kembali gelap gulita. Petir menyambar-nyambar di langit. Bumi terasa bergoncang. Terkejut sang Resi Jenggala Manik. Wajahnya berubah pucat.

"Celaka...!? Cucuku bertobatlah! Jangan kau tersesat seperti ibumu...!"

Akan tetapi wanita itu bahkan tertawa mengikik. Seraya katanya. "Hihihi... Kau tahu tentang ibuku? Bagus! Aku memang mau mengikuti jejaknya! Aku bahkan menyesal, mengapa ibu tak mewariskan ilmunya padaku...?"

Pada saat itu juga satu kilatan petir telah menyambar tepat mengenai kuburan itu. Thaarrr...! Ledakan keras itu telah disusul dengan membumbungnya asap hitam ke udara, lalu lenyap. Namun satu keajaiban telah terjadi. Tiba-tiba tampak kuburan itu bergetar keras, terguncang. Sementara si wanita cuma tertegun melihatnya dengan mata tak berkedip.

Dan segera saja terjadi sesuatu yang hampir tak masuk di akal. Karena tiba-tiba tanah kuburan itu merengkah dan dari dalam lubang kuburan tersembul sesosok tubuh yang mengerikan. Itulah tubuh dari jenazah TRI AGNI yang telah kembali bangkit dari dalam kubur. Tubuh dari seorang wanita yang berwajah kaku mengerikan,

"Ibuuu...!? Jerit Durgandini, dengan sepasang mata terbelalak menatap sosok tubuh mengerikan itu. Terbeliak sepasang mata sang Resi, sementara bibirnya telah berkomat-kamit membaca mantera.

"TRl AGNI...! Kau tak layak hidup lagi! Kau sudah mati..! Kembalilah! Kembalilah ke alammu...!" Terdengar satu suara halus, lirih mengandung kekuatan hebat untuk mencegah kebangkitan yang menyeramkan itu. Akan tetapi mayat wanita yang berbau busuk itu telah tertawa menyeringai.

"Hihihi... hihi... paman Jenggala Manik, kau lupa! Aku menguasai aji RAWARONTEK. Kau dengarlah kata-kata anakku? Dendamnya telah bersatu dengan PETIR dan GUNTUR! Kau tak dapat menghalangi kebangkitan ku...! Menyingkirlah!"

Terperangah Resi Jenggala Manik. Tampak wajah kakek tua renta itu berubah pucat pias. Seluruh kekuatannya dikerahkan untuk mencegah kebangkitan manusia Setan itu. Akan tetapi sia-sia. Wanita setengah siluman itu telah menerkam tubuh Durgandini, dan membawanya berkelebat pergi dari situ. Terhenyak seketika sang Resi, dan memandang dengan wajah pucat. Tapi tak lama berkelebat tinggalkan Makam Tua itu. Terdengar suaranya yang menggumam lirih terbawa angin.

"Celaka..! Akan banyak korban berjatuhan, kelak..! Aku tak berdaya mencegahnya. Makam Tua di atas bukit itu kembali sunyi mencekam.

* * * * * * *

"Ibu...! Mau di bawah kemanakah aku...?" Bertanya Durgandini yang dipanggul di pundak wanita setan itu.

"Hihihi.... tenanglah anakku, kau lihat pohon besar di depan itu? Kita akan ke sana,.." Cuma beberapa saat saja si wanita setan telah tiba di bawah pohon angsana yang besar dan rindang itu. Ternyata pohon yang dimaksud adalah masih berada di atas bukit di mana 'Makam Tua itu berada.

"Kau tidak takut padaku, anakku?" Bertanya si wanita setan, seraya tersenyum menyeringai tampakkan giginya yang runcing-runcing.

Ternyata Tri Agni seorang wanita berperawakan tubuh semampai. Rambutnya putih beriapan, akan tetapi wajahnya terlihat tak begitu tua. Cuma yang mengerikan adalah sepasang matanya yang seperti sudah tak mempunyai bulatan hitam lagi di bagian tengahnya. Kulit wajah serta tubuhnya tampak pucat kaku seperti tak dialiri darah.

Sementara lengannya berkuku panjang-panjang, juga kuku di kakinya, keadaannya memang amat mengerikan. Karena di samping pakaiannya yang sudah tidak utuh. lagi, tubuhnya juga menyebarkan bau busuk yang memuakkan. Durgandini menggelengkan kepalanya, menatap pada wajah wanita setan itu.

"Tidak, bu,..! Aku tidak takut! Aku gembira ibu bisa bangkit lagi dari kubur!" Selanjutnya Durgandini sudah kembali terisak-isak dengan mengalirkan air mata yang membasahi pipi.

"Kau tak perlu menangis lagi. Durga! anakku! Katakanlah apa yang telah terjadi, tentu aku akan berusaha untuk menolongmu..!" Ujar Tri Agni dengan suara dingin.

Durgandini cepat-cepat menyeka air matanya, lalu dengan bersitkan wajah girang, ia berkata. "Terima kasih, bu...! Benarkah kau akan membantuku..?" Tanyanya.

Sang ibu mengangguk dengan senyum menyeringai. Dan segera saja dengan panjang lebar Durgandini, ceritakan lagi kejadian yang menimpanya seperti yang telah dikatakannya di bagian depan.

"Begitulah, bu! Aku sudah tak berhasrat lagi menginginkan hidup di Istana. Aku sakit hati pada suamiku, juga pada ketiga selirnya. Terutama pada wanita yang bernama Nawangsih, selir yang paling di sayangnya, karena kini dia tengah mengidam. Aku iri dengan para wanita lain, bu? Mengapa aku mandul? Mengapa aku tak bisa mempunyai keturunan? Katakanlah, bu! Bagaimana caranya agar aku bisa boleh keturunan..! Hanya, itu, bu...! Aku ingin anakku kelak yang membalas penghinaan ini! Mereka menghinaku, bu...! Juga menghinamu, yang mengatakan ibu adalah wanita yang setengah manusia dan setengah siluman! Benarkah itu, ibu...?"

Setelah menuturkan panjang lebar, sang ibu dihujani bertubi-tubi dengan pertanyaan, yang seperti bergemuruh di dada sang ibu yang mendengarkannya.

"Hihihi...benar, anakku! Tuduhan mereka tidak salah! Aku boleh dikatakan manusia setengah siluman, karena aku memiliki aji Dasajiwa. Sepuluh tahun aku terkubur di makam ini tanpa dapat lepaskan diri dari "kematian semu", yang membuat aku terpaksa harus tidur sepanjang tahun. Beruntung kau datang, anakku! Dan telah menjadi penyebab kebangkitan ku lagi!" Ujar wanita setan itu seraya tersenyum menyeringai. Lalu teruskan kata-katanya. "Tetapi.. Tuduhan bahwa kau bukanlah anakku; dan bukan lahir dari rahim ku adalah salah! Kau darah daging ku! Cuma kau lahir di luar pernikahan. Ayahmu adalah guruku sendiri, yang sudah ku bunuh mampus ketika kau berusia lima tahun..?"

Terkejut Durgandini. "Oh! Apakah kesalahannya, ibu...?" Tanya Durgandini.

"Karena dia tak menyetujui aku menuntut ilmu dari aji Dasajiwa."

"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, ibu?" Tanya Durgandini penasaran.

Akan tetapi sang ibu cuma tertawa mengikik, seraya membelai rambut Durgandini. "Hihihi... kelak akan kuceritakan selengkapnya. Kini aku mau bertanya padamu! Apakah kau benar-benar ingin mempunyai anak?" Tanya Tri Agni, seraya tatap wajah anak perempuannya itu dengan sepasang matanya yang seperti putih polos.

"Tentu, ibu.. Aku amat mendambakannya sekali!!" Ujar Durgandini girang.

Tercenung sang ibu sejenak, tapi sudah lantas berkata. "Asalkan kau sanggup menderita, serta memenuhi syarat-syarat, kukira cita-cita mu akan terlaksana..!"

"Sanggup, ibu..! Aku akan menyanggupi semua syarat apa pun yang dibebankan padaku, asalkan terkabul keinginanku..."

"Bagus...! Hihihi.. aku tak mengetahui syarat-syarat apa yang harus kau penuhi untuk mewujudkan keinginanmu itu, anakku! Akan tetapi aku cuma bisa mengantarmu ke satu tempat, di mana kau bisa paparkan niatmu itu pada Junjunganku!"

"Baik! bawalah aku ke sana, ibu..! Aku sudah bulatkan niatku itu, ibu!"

"Kau tak akan menyesal, kelak anakku...?"

"Tidak!" Sahut Durgandini dengan pasti.

"Walau kau kelak akan masuk ke Neraka..?" Tanya sang ibu.

"Ya! Walau harus masuk Neraka sekalipun...!" jawab Durgandini lantang.

"Yah! Apa boleh buat! Agaknya keturunan ku telah mengikuti jejak ku! Aku telah jadi orang sesat, karena mempersekutukan Tuhan, tak dinyana kau pun akan meneruskan jejak ku! Baiklah! Ibu akan menurunkan Aji Dasajiwa padamu...!"

"Oh? Begitulah, bu? Ah, te...terima kasih, bu... Terimakasih!"

"Nah, kini pejamkan kedua matamu! Jangan kau buka sebelum aku menyuruhmu membukanya! Dan kau tak boleh berkata apa-apa bila melihat suatu keanehan!"

"Baik, ibu...!" Lanjut Durgandini, seraya segera memejamkan matanya.

Durgandini rasakan tubuhnya seperti melayang entah ke mana, ketika sang ibu selesai berkomat-kamit membaca entah mantera apa yang tak begitu jelas didengarnya. Tampak asap kabut bergulung-gulung di hadapannya, yang dilihatnya dalam pandangan mata batin. Karena sepasang matanya masih terpejam.

Ketika asap kabut itu lenyap, segera terlihat di hadapannya sebuah Kerajaan yang amat asing baginya. Di manakah ini? Oh? Kerajaan apa ini...? Sentak hatinya. Akan tetapi Durgandini tak berani bertanya. Terasa lengannya digamit oleh sang ibu, untuk diajak beranjak meniti sebuah jalan lurus yang amat panjang. Jalanan yang lurus panjang itu adalah jalan menuju ke Istana Misterius yang aneh itu.

Terkejut Durgandini ketika bertemu dengan penjaga yang berwajah menyeramkan. Setelah di persilahkan masuk. Segera sang ibu menggamit lengannya untuk terus memasuki halaman istana. Hingga tak lama muncul dua orang penjaga kembali menghadang. Sang ibu tampak memberi isyarat pada penjaga akan maksud kedatangannya menghadap, yaitu dengan menunjuk dirinya. Tak lama salah seorang penjaga masuk untuk memberi laporan pada Baginda Raja tentunya.

Tak lama sudah keluar lagi, seraya menyilahkan dia dan ibunya masuk. Segera tanpa ayal kedua wanita itu memasuki pintu gapura ruangan kerajaan. Tak lama kemudian sudah berada di hadapan seorang Raja yang amat menakutkan. Karena tak lain dan tak bukan sang Baginda Raja di Alam Gaib itu adalah sesosok mahluk yang menyerupai seekor ular besar yang duduk melingkar di singgasana.

Sang ibu mengajaknya duduk bersimpuh dihadapan sang Raja. Dan terdengar suara ibunya berkata. "Ampunilah hamba Gusti Junjungan hamba, hamba datang untuk menghadap...!"

"Apakah maksud kedatanganmu, Tri Agni...?" Ujar sang Baginda Raja yang berujud ular besar itu. Suaranya seperti desis yang bernada parau.

Sementara Durgandini terperangah, hatinya membatin. Raja yang aneh!? Apakah ini Kerajaan Siluman...? Sentak hatinya. Namun ia sudah tundukkan wajahnya dengan peluh terasa merembes dari sekujur tubuh. Tri Agni sudah menyentuh lengannya seperti menyuruh Durgandini bicara, memaparkan maksudnya. Tampaknya Durgandini mengerti maksud sang ibu. Kemudian dengan suara gemetaran, segera dipaparkan maksud tujuannya pada sang Raja Siluman.

"Hahaha..hah... Syaratnya amat berat anak manusia..! Akan tetapi kalau kau menyanggupi tak terlalu sukar bagiku untuk mengabulkan permintaanmu...!" Berkata sang Raja Siluman dengan suara parau berdesis bagai ular.

"Aku sanggup memenuhi syarat-syarat apapun, Gusti Junjungan...! Asalkan aku peroleh keturunan. Yaitu seorang anak laki-laki yang aku idam-idamkan!"

"Baiklah!" Ujar sang Raja Siluman. Lalu berikan persyaratan pada Durgandini, yang tanpa banyak perhitungan lagi telah menyanggupi beberapa syarat yang telah diberikan pada sang Raja Siluman Ular.

"Nah, kini kembalilah, kalian pulang! Kelak bila ada satu keanehan menimpa dirimu janganlah kau berani menolaknya!" Ujar sang Raja Siluman Ular.

"Terima kasih Gusti Junjungan...!" Ujar Durgandini, yang secara tak sadar telah membuka matanya. Akan tetapi alangkah terkejutnya dia tatkala dapatkan dirinya berada dalam satu lubang yang lembab. Hawanya amat menyesakkan napas. Bermacam-macam binatang berbisa dari sebangsa Kala, Kelabang, ular, tampak berserakan di sisi-sisi relung lubang. Puluhan ular-ular menggelantung di sana-sini.

Dalam keadaan terkejut, sang ibu telah menggamitnya untuk meninggalkan tempat itu. Aneh, tampaknya Tri Agni berjalan biasa saja menempuh jalan yang lurus panjang tanpa kesukaran. Namun sebaliknya Durgandini terpaksa harus merangkak di dalam liang berhawa lembab, serta penuh dengan binatang-binatang yang berbisa. Tentu saja keadaannya amat menyengsarakan sekali.

Setelah sekian lama memasuki lorong-lorong sempit yang membuat sesak pernapasan, akhirnya tiba juga di mulut lubang. Terasa napas Durgandini sudah megap-megap kepayahan. Kakinya sudah lemas tak bertenaga, dan jatuh terduduk. Dalam keadaan demikian terdengar suara sang ibu.

"Anakku, Durga! Nah, sekarang kau boleh buka matamu...!"

Akan tetapi Durgandini memang tak perlu membuka lagi matanya, karena mereka sudah sampai ke tempat tadi setelah meniti jalan melalui liang di belakang pohon Angsana. Tampaknya wajah sang ibu tampilkan perobahan, melihat keadaan Durgandini yang kepayahan.

"He!? Apakah yang terjadi? Apakah kau telah membuka matamu sebelum kuperintahkan...?" Tanya Tri Agni.

"Benar, ibu...! Oh, tubuhku terasa sakit semua...!" Keluh Durgandini, seraya menarik napas lega. Walau bagaimanapun dia telah berhasil ke luar dari lubang sempit yang menyesakkan pernapasan itu.

"Aih! Mengapa tak kau turutkan larangan ibumu...?" Gumam sang ibu menyesali.

Tak lama hari pun menjelang pagi. Suara burung berkicauan, di dahan-dahan pohon. Durgandini menyandarkan tubuhnya di batang pohon. Tampaknya dia tengah tertidur pulas kelelahan. Sementara si wanita setan itu diamdiam tinggalkan tempat itu dengan berkelebat menuruni bukit, tempat Makam Tua itu.

Bau busuk segera menyebar, tatkala si Wanita Setan Tri Agni memasuki sebuah desa terdekat. Dengan berindap-indap Tri Agni mendekati sebuah pondok yang berada paling ujung. Terdengar suara bunyi menangis di pagi subuh itu. Cuaca masih tampak remang-remang.

* * * * * * *

"Bangunlah, kang! Tolong masakkan air! Aku menyusukan anakmu ini dulu!" Terdengar suara seorang wanita berkata.

"Nanti, ah! Aku masih dingin !" Ujarnya.

"Uuuu... dasar pemalas! Bukan anaknya yang kolokan, eh, bapaknya..!" Ujar sang istri.

Akan tetapi si wanita tiba-tiba mencium bau busuk yang menusuk hidung. "Hoak..! Uuuh, bau busuk apa ini? Adduuuh, nggak tahan baunya..."

"Uh!? benar...! Baunya bukan main! Apakah bukan bau bangkai tikus...?" Tanya sang suami.

"Entahlah...!" ho...ho... hoaaak...!" Kembali si wanita mau muntah. Dan akhirnya benar-benar muntah. Si lakilaki cepat bangkit berdiri, dan bergegas ke luar kamar. Hidungnya ditekannya kuat-kuat, terasa tak sanggup dia menahan bau busuk yang menyebar di dalam kamar. Pada saat itulah terdengar suara...

Brakkk....! Daun jendela kamar itu telah pecah berantakan. Dan sesosok tubuh melompat masuk. Lalu terdengarlah jeritan seorang wanita menyayat hati, menyibak keheningan di pagi buta, Si laki-laki suami ibu muda itu jadi terkejut. Dia baru mau menyalakan api di dapur untuk memasak air.

Sementara benaknya bertanya-tanya, entah bau busuk dari mana di dalam kamar, yang membuat kepalanya pusing dan perutnya mual mau muntah. Ketika sekonyongkonyong mendengar suara gaduh dalam kamar. Dan selanjutnya terdengar jeritan istrinya.

Hah? Apakah yang terjadi...? Sentak hatinya. Bergegas laki-laki itu kembali ke kamar. Alangkah terkejutnya laki-laki itu ketika melihat sesosok tubuh wanita berambut putih, berwajah menyeramkan tengah mencengkeram dada mulus istrinya. Belum lagi dia sempat mencegah, sudah terdengar suara...

Jrosss...Brelll...!

Darah segera memuncrat ke luar dari dada sang istri, disertai jeritan menyayat hati. Ternyata si wanita setan telah benamkan lengannya yang berkuku panjang-panjang itu ke tubuh si ibu muda. Dan ketika kembali mencabutnya, darah menyembur keluar. Sementara di lengannya telah memegang segumpal hati yang masih segar.

"Oh!? Tidaaak! tidaaaak...!" Teriaknya seraya menghambur ke arah istrinya dengan jantung terasa berhenti berdenyut. Akan tetapi...

Bukkk...! Brukkk...!

Tubuhnya sudah terpental kembali menabrak dinding papan kamar yang pecah berantakan, ketika kaki si wanita setan telah menjejaknya. Menggelegak darah kental dari mulut laki-laki ini. Sepasang matanya mendelik.

"Iblis...! kka...kau bunuh is...tri...ku...! Aakh...hh...h..."

Hanya sampai di situ teriakannya  yang tersangkut di tenggorokan. Selanjutnya laki-laki itu sudah terkulai lepaskan nyawa. Terdengar suara tertawa mengikik yang membuat bulu tengkuk meremang. Suara tangis bayi yang terjaga dari tidurnya mendadak berhenti. Selang tak lama tubuh si wanita setan itu telah melesat ke luar, meninggalkan bau busuk yang menyengat hidung menyebar ke mana-mana.

Gemparlah seketika penduduk se isi desa itu, ketika mengetahui di rumah salah seorang penduduk dijumpai tiga sosok tubuh terkapar tak bernyawa dengan keadaan tubuh yang sudah tak karuan. Siapa yang tak bergidik melihat kekejaman luar biasa itu, karena wanita ibu muda yang baru saja menjelang 40 hari kelahiran bayinya telah tewas dengan keadaan dadanya jebol bersemburan darah. Tubuh suaminya terkapar tak bernyawa. Juga perutnya jebol. Dan tubuh si jabang bayi yang tak berdosa itu dalam keadaan tidak utuh lagi anggota badannya.

"Edann! Gila..! Benar-benar bukan perbuatan manusia...! Siapakah yang telah melakukan pembunuhan keji ini...?" Teriak seorang laki-laki bertubuh kekar. Dadanya berbulu lebat, dengan cambang bauk serta kumis melintang tebal di bawah hidungnya. Laki-laki ini adalah jagoan di desa itu. Bernama Bendot.

"Apakah bukan perbuatan binatang buas...!? Mak... maksudku anu... ma... macan!" Berkata salah seorang kawan Bendot dengan tergagap. Wajahnya tampak pucat pias. Ngeri sekali melihat keadaan tubuh ketiga mayat itu.

"Tidak mungkin..! Di daerah sini tak ada macan atau anjing serigala" Ujar Bendot dengan keras. Sementara sepasang matanya mencari-cari jejak di tanah. Tiba-tiba terdengar dia berteriak.

"Coba lihat! Ada tapak bekas kaki...!"

Beberapa orang segera memeriksa. "He...? Benar! Ini bekas telapak kaki manusia! Akan tetapi aneh!?"

"Apanya yang aneh...?" Tanya salah seorang yang masih berkerudung sarung.

"Kau lihat! Kalau tapak kaki manusia tidak sepanjang ini! Dan pada bagian ujungnya tampak membekas lima guratan panjang, seperti bekas kuku!"

Seketika semua orang tertegun. "Benar..!" Ujar Bendot.

Dengan penasaran dia mengikuti bekas-bekas telapak kaki itu hingga lenyap di semak-semak. Teka-teki adanya makhluk aneh yang telah meminta korban tiga jiwa di desa itu tak terpecahkan. Namun mereka segera bergegas mengurusi ketiga jenazah keluarga yang making itu. Sementara yang lainnya sibuk mengurusi ketiga jenazah.

Bendot segera mengumpulkan beberapa orang kawannya yang berani, untuk diajak menyelidiki jejak makhluk pembunuh keji itu. Segera saja sembilan orang telah mengiringi di belakang Bendot, dengan senjata siap di tangan ada yang membawa tombak, golok, dan belencong. Rata-rata yang turut dalam penyelidikan itu adalah orang-orang muda yang nyalinya besar.

"Kita tak boleh membiarkan kejadian ini, begitu saja! Aku mengkhawatirkan makhluk aneh itu akan da tang lagi untuk meminta korban lainnya!" Berkata Bendot.

"Betul...! Kalau bertemu, akan kucincang sampai jadi lembuuuut sekali...!" Berkata Karta dengan gemas.

"Kalau sudah lembut buat apa, Ta...?" Tanya Werid kawan baiknya, yang bertubuh agak pendek.

"Hehehe.... akan kubuat perkedel, lalu... ku jejalkan ke dalam mulutmu!" Sahut Karta mendongkol.

"Setan, kau..!" Teriak Werid seraya meludah. Dan sekonyong-konyong. "Hoaakk...!" Werid serasa perutnya jadi mual, sementara hidungnya sudah mencium bau busuk.

Beberapa orang tertawa melihat Werid yang mendelik-delik matanya, mau muntah. Akan tetapi seketika mereka pun merasakan perutnya menjadi mual. Kiranya bau busuk semakin santar tercium hidung. Cepat-cepat beberapa orang sudah menekan hidungnya masing-masing.

"Celaka, bau apa ini..? Hoaaakh..! Cuah...!" Teriak salah seorang disamping Bendot.

Sementara laki-laki tegap itu telah perhatian sekitarnya. Dalam pelacakan mencari jejak makhluk pembunuh keji itu, mereka telah sampai ke sebuah tempat yang banyak tumbuh pohon Angsana. Tidak seperti lainnya Bendot dapat menahan napas tanpa menekap hidung. Tampak Bendot memperhatikan dari mana datangnya arah angin.

"Ssssst....! Tahan napas kalian! Kita berputar ke arah timur! Ayo, ikut aku!" Bisik Bendot. Seraya sudah mendahului berjalan di antara semak belukar. Ke sembilan kawan-kawannya segera mengikuti di belakang Bendot yang telah menyusup ke semak-semak.

Setelah memutar ke arah timur, bau busuk sudah berkurang, dan lenyap. Ternyata Bendot menghindari arah angin. Kini di hadapan mereka adalah sebuah bukit. Sebuah pohon Angsana yang besar tampak terlihat di tempat ketinggian itu.

Bendot memberi isyarat agar berhati-hati. Sementara sepasang matanya tak lepas menatap berkalikali ke arah bukit. Sementara salah seorang sudah berbisik di telinga Bendot.

"Eh, Kang Bendot! Apa kau mau mengajak kami naik bukit itu? Hiii...aku tak berani. Di atas bukit itu adalah tempat sebuah Makam Tua yang sudah tak pernah dikunjungi orang! Katanya tempat itu angker...!"

"Bodoh!" Desis Bendot. Laki-laki kekar bertampang seram itu plototkan sepasang matanya.

"Justru kita mau mencari jejak makhluk pembunuh keji itu! Siapa tahu bersembunyi di Makam Tua itu! Aku curiga dengan bau busuk yang menyebar! Aku mengira datangnya dari arah bukit itu!"

Bejo tiba-tiba menghampiri, dan menimbrung. "Benar, kakang Bendot! Aku baru ingat kalau telah mencium bau busuk yang serupa, ketika aku pertama melihat keadaan di dalam rumah Gempol!" Ujarnya serius.

"Kalau begitu kita atur siasat! Separuh dari kalian dari arah selatan, dan separuh lagi mengikutiku dari arah utara. Kita merayap naik ke atas!" Bisik Bendot. Semua mengangguk tanda setuju. Segera tak lama kemudian mereka berpencar dengan menyusup hati-hati di antara semak belukar.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar wanita setan ini mendengus di hidung. Ternyata dia telah mengetahui akan kemunculan beberapa orang yang mendaki bukit Makam Tua itu. Tiba-tiba berhamburanlah beberapa sosok tubuh yang segera mengurung mereka dengan membentak keras. Bendot sudah tak tahan menyaksikan kebiadaban manusia di depan matanya.

"Manusia, atau ibliskah kalian...? Kiranya bersembunyi di sini...!"

Teriakan Bendot diiringi dengan berlompatan beberapa tubuh kawan-kawannya yang bermunculan dengan golok dan tombak terhunus. Sekejap saja mereka sudah mengurung kedua wanita itu.

"Hihihi... hihi..! Kiranya kalian mau mengantarkan nyawa datang kemari?" Terdengar suara tertawa si wanita setan, diiringi dengan suara dingin yang membuat bulu tengkuk meremang. Tri Agni sudah berdiri dari duduknya. Sementara Durgandini jadi terkejut. Sepotong jari lengan bayi itu terlepas lagi dari mulutnya yang berlepotan darah.

"Iblis-iblis terkutuk! Biadab! Kubunuh kalian...!" Teriak Bendot seraya lompat menerjang ke arah Durgandini. Goloknya yang besar itu berkelebat menabas tubuh Durgandini.

Wanita ini terkesiap, dengan sepasang mata terbeliak. Akan tetapi sebelum golok itu berhasil menabas tubuh Durgandini, terdengar laki-laki kekar itu berteriak parau, karena sekonyong-konyong sebuah batu kecil telah menghantam goloknya.

Tingg...! Terkejut Bendot, ketika rasakan lengannya tiba-tiba kesemutan. Dan golok besarnya telah lepas terpental.

Bukk.... Tahu-tahu rasakan dadanya kena benturan keras. Tak ampun lagi Bendot terjungkal dengan berteriak kaget, dan jatuh ngusruk mencium tanah becek. Glogok!...! glogok...! Dia sudah muntahkan darah kental dari mulutnya. Seketika wajahnya berubah pucat. Namun Bendot sudah mampu bangkit lagi seraya menyambar lagi goloknya yang terlempar di dekatnya.

Sementara tiga orang kawan Bendot telah perdengarkan jeritan ngeri ketika tubuh si wanita setan itu berkelebatan menghantam dengan terjangan kakinya yang amat gesit. Bahkan sekali hantam telah membuat dada seorang kawannya ambrol, perdengarkan suara berderak tulang rusuk yang patah-patah. Tiga prang kawan Bendot segera saja berkelojotan meregang nyawa, yang tak lama kemudian telah melepaskan nyawa.

Ternyata Karta, Werid dan Bejo telah melayang nyawanya ke Akhirat dengan sekejapan saja. Bringaslah wajah Bendot. WHUK! WHUK! WHUK! Laki-laki jagoan desa itu telah menerjang, dan babatkan goloknya yang menimbulkan suara angin.

"Hihihi... kau masih belum kapok rupanya! Bukannya lekas-lekas menyingkir selamatkan jiwa...!" Ujar Tri Agni dengan suara dinginnya. Tiga serangkaian serangan Bendot luput mengenai sasaran. Sementara empat orang kawan laki-laki kekar telah nekad menerjang Durgandini yang cuma terpaku menatap pertarungan itu.

Terkejut si wanita Setan. Mana dia mau biarkan anak perempuannya jadi mangsa senjata keempat orang desa itu. Tri Agni mengetahui kalau Durgandini tak mampu berbuat apa-apa, karena dia memang tak menurunkan ilmu kedigjayaan pada sang anak, Tiba-tiba wanita setan itu membentak keras. Tanpa menghiraukan serangan Bendot, lengannya bergerak mengarah pada keempat orang itu.

Desss...! Serangan angin keras bergelombang dahsyat telah menghantam ke arah mereka. Tak ampun lagi terdengar suara. teriakan-teriakan ngeri, ketika tubuh ke empat orang itu terlempar beberapa tombak..Suaranya lenyap ketika tubuh-tubuh mereka berjatuhan dari atas bukit Makam Tua. Akan tetapi Tri Agni tak dapat menghindari tabasan kilat golok Bendot,

Des...! DES...! Dessss...!

"Ibuuu...?" Teriakan Durgandini menyibak lagi, ketika dengan sepasang mata terbelalak dia melihat kedua lengan sang ibu berpentalan putus. Bahkan tebasan yang ketiga kalinya dari golok besar Bendot telah memapas pinggang si wanita setan itu, hingga tubuhnya ambruk menjadi dua potongan. Darah segar bermuncratan di tanah becek, di atas bukit itu. Tampak Bendot menyeringai buas, seraya menatap hasil serangan hebatnya.

"Hehehe...he... he... modarlah kau sekarang manusia iblis!" Tiba-tiba dia sudah palingkan kepalanya pada Durgandini. Tampak golok besarnya berlumuran darah wanita itu. Terperangah Durgandini. Wajahnya berubah pucat pias.

"Bagus, kang Bendot! Tinggal satu lagi wanita iblis ini! Yang mampus itu mungkin ibunya! Kita balas dendam kematian kawan-kawan kita...!"

Teriak salah satu dari dua orang kawan Bendot yang masih tinggal hidup. Empat orang kawannya terlempar ke bawah bukit tak dapat dipastikan lagi mati hidupnya. Serentak kedua orang kawannya ini melompat ke arah samping kiri dan kanan Durgandini. Satu memegang tombak, satu mencekal blencong.

"Sikat kang Bendot! Bikin tubuhnya jadi empat belas potong..!" Teriak sang kawan dengan gigi berkereot menahan geram.

Bendot tertawa menyeringai, dan melompat ke hadapan wanita permaisuri Raja itu. Golok besarnya yang sudah berubah menjadi merah tersiram darah itu dipegang dengan kedua tangan. "Hehehe... hahaha... ha.. ha.. ha.." Bendot tertawa mengakak.

"Hari ini Bendot si Raja Golok akan menamatkan dua manusia iblis yang telah menyebar maut!" Berkata laki-laki kekar berwajah penuh cambang bauk itu, seraya kembali melangkah dua tindak. Sementara Durgandini gemetaran menatap ke arah Bendot. Lengan bayi yang jari-jarinya sudah ludas dikremusnya itu masih dipegangnya.

"Tidak! tidaaak!? Jangan bunuh aku...! Ja...jangan...!"

Akan tetapi mana Bendot mau mengampuni nyawa manusia yang telah banyak membuat korban itu? Apalagi jelas manusia di hadapannya adalah manusia setan, yang doyan daging manusia. Segera saja Bendot sudah kibaskan golok besarnya untuk merencah tubuh wanita itu jadi belasan potong.

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan, disertai bersyiurnya angin busuk. Tahu-tahu laki-laki kekar itu terjungkal roboh, dengan teriakan parau. Sementara goloknya telah berpindah tangan. Darah menyembur dari punggungnya yang ambrol, ditembus sebuah lengan berkuku runcing. Siapa lagi kalau bukan perbuatan wanita setan Tri Agni.

Tanpa berkelojotan lagi Bendot langsung tewas tertelungkup di atas batu. Piaslah seketika kedua orang kawan Bendot. Sepasang mata mereka masing-masing terbeliak menatap pada manusia di hadapannya. Seperti tidak. percaya pada penglihatannya, mereka mengucap-ucak matanya.

"Hah..!? Dia... di... dia hidup la... lagi...??" Teriak salah seorang dengan suara gemetar. Sementara kedua lututnya mendadak jadi  lemas. Untungnya yang seorang cepat sadar, dan menggamitnya.

"Celaka..!? Cepat kita lari selamatkan jiwa...!" Berkata sang kawan seraya menarik lengan kawannya. Akan tetapi baru saja mereka beranjak membelakangi, Tri Agni telah lepaskan pukulan tangannya.

Bluk....! Terlemparlah kedua tubuh orang sial itu ke bawah tebing, dengan perdengarkan teriakan menyayat hati. Lalu lenyap suaranya di bawah sana.

"Ibuuuu...!?? Oh!? kau...kau.." Teriak Durgandini terperangah bercampur girang. Seraya berlari untuk kemudian memeluk kaki sang ibu.

"Hihihi.. hihi bangunlah, anakku! Tak usah terkejut inilah kehebatan Ajian Dasajiwa!" Ujar Tri Agni dengan tersenyum menyeringai.

"Oh, betapa hebatnya ilmu itu, ibu!" Berkata Durgandini seraya bangkit berdiri.

"Hm, sabarlah anakku! Kelak aku akan wariskan 'ilmu itu padamu, bila urusanku sudah selesai...!" Berkata si wanita Setan dengan nada angker.

"Oh, terima kasih, ibu...!" Sahut Durgandini dengan tersenyum. Sementara matanya telah menatap pada lengan bayi yang belum habis dimakannya.

"Nah, teruskan memakan...! Bukankah kau ingin merasakan mengidam, mengandung dan punya anak?" Ujar sang ibu seraya beranjak untuk duduk di akar pohon.

"Tentu, ibu...! Aku sudah tidak merasa jijik lagi...!"

"Hihihi... bagus! Sebentar malam aku akan bersemadhi untuk memohon pada Gusti Junjungan agar mempercepat terkabulnya keinginanmu..!"

Durgandini mengangguk-angguk seraya mengkremus lagi sepotong lengan bayi itu, dan mengunyahnya tanpa segansegan. Malam mulai menyelimuti alam sekitarnya. Tri Agni duduk di bawah pohon Angsana besar itu dengan bersidakep tak bergeming. Tampak bibirnya berkemak-kemik membaca mantera. Kiranya dia tengah memohon pada Sang Raja Siluman Ular untuk mengabulkan permohonannya, mempercepat kehamilan anaknya.

Durgandini duduk bersimpuh di hadapan sang ibu. Tundukkan wajahnya, dengan hati yang sudah dikosongkan. Dia telah jalani syarat utama yang merupakan jalan untuk diterimanya permohonan itu. Syarat-syarat selanjutnya adalah di belakang hari bila kelak sudah terkabul dan terlaksana apa yang diidamidamkannya.

Sepotong bulan mengambang di langit kelam. Beberapa ekor kelelawar terbang melewati bukit tempat Makam Tua itu. Selang tak lama, tiba-tiba angin berhembus keras merontokkan dedaunan. Hawa sekonyong-konyong berubah jadi dingin mencekam. Dan sepotong bulan itu tiba-tiba lenyap tertutup kabut hitam. Durgandini tak berani membuka matanya. Dengan tekun tetap dia duduk bersimpuh mengosongkan pikirannya.

Tiba-tiba terdengar suara di atas kepala Durgandini. Terkesiap wanita ini. Tadinya dia sudah mau melihat ke atas, akan tetapi diurungkan. Karena segera teringat akan kata-kata Sang Raja Siluman, agar dia tak perlu terkejut bila menghadapi satu keanehan.

Saat itu di atas kepala Durgandini, kira-kira jarak lima kaki tampak asap hitam bergulung-gulung melakukan beberapa kali putaran. Putaran asap hitam itu semakin cepat, dengan diiringi suara berdesis Ular Siluman. Lama-kelamaan asap itu pun membentuk seekor ular raksasa. Tiba-tiba ekornya menjulur ke bawah...

Dan selanjutnya telah membelit tubuh Durgandini. Saat berikutnya, dengan sekali sentakan tubuh Durgandini telah melayang ke atas. Lalu disambut lagi oleh belitan Ular Raksasa itu, yang kemudian kembali berubah menjadi asap hitam yang berputar-putar. Lalu lenyap. Dan bersamaan itu, sepotong bulan di langit kembali menampakkan diri. angin berhenti meniup, dan cuaca kembali berubah seperti sediakala...

Tri Agni pelahan-lahan membuka matanya, dan melihat Durgandini sudah tak berada lagi dihadapannya. Tampak wanita setan ini tampilkan senyuman menyeringai. Dan terdengar suara helaan napasnya, disertai suara bergumam lirih.

"Ohh..! Sukurlah! permohonanku terkabul. Terima kasih, Gusti Junjungan...!''. Tak berapa lama dia sudah bangkit berdiri. Wajahnya mengadah menatap ke langit, lalu alihkan pada rembulan sepotong. Terdengar suara tertawanya mengikik. Tak lama dia sudah berkelebat pergi, melesat cepat menuruni bukti Makam Tua itu. Dan tubuhnya lenyap di keremangan malam....

* * * * * * *

DUA

Kita ikuti dulu satu kejadian mengerikan di sebuah lembah yang terletak di wilayah sebelah barat Kerajaan MATSYAPATI. Burung-burung elang tampak berseliweran di angkasa. Di mana di bawahnya ada sebuah lembah yang luas. Inilah yang bernama Lembah Tengkorak. Ternyata keadaan di lembah itu tengah berlangsung satu pertarungan seru yang telah membawa banyak korban jiwa.

Hampir tiga puluh orang terdiri dari beberapa belas orang kaum persilatan, dan sisanya adalah laskar dari pasukan Kerajaan telah banyak yang tewas. Sisa-sisanya tinggal belasan orang saja. Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini.

Sementara belasan orang tampak tengah mengurung sesosok tubuh berambut panjang beriapan, yang bila sepasang lengannya bergerak, akan membawa korban. Siapa gerangan manusia sakti yang demikian tangguh itu?

Ternyata tak lain dari TRI AGNI, si wanita setan yang memiliki Ajian RAWARONTEK. Sejak kebangkitannya kembali, Tri Agni menyebar maut di mana-mana. Kedatangannya ke Lembah Tengkorak adalah mencari si TANGAN KILAT, yang pada 10 tahun belakangan telah berhasil membunuhnya. Namun Tri Agni masih bisa hidup berkat Ajian RAWARONTEK yang dimilikinya.

Ternyata si Tangan Kilat tak menyangka akan menjumpai wanita setan itu lagi, karena dia sudah mendengar kabar kematian Tri Agni. Bahkan sudah lebih 10 tahun dia hidup tenang di lembah itu. Dan bahkan si Tangan Kilat sudah mendirikan sebuah Perguruan yang cukup besar dan terkenal di lembah Tengkorak, dengan mempunyai belasan orang murid.

Tak dinyana saat laki-laki berusia 50 tahun itu tengah melatih tenaga dalam di ruang padepokan, didengarnya beberapa orang anak buahnya tengah ribut-ribut dengan seseorang. Terakhir didengarnya beberapa teriakan ngeri. Ketika dia melompat keluar, ternyata tiga orang anak buahnya telah tewas terkapar.

"Hihihi... hihi... Tangan Kilat! Aku datang untuk menagih nyawamu...!"

Terkejut Ketua Perguruan Lembah Tengkorak ini, ketika mengenali TRI AGNI si wanita setan itu. Celaka..!? Sentak hatinya Segera saja dia telah keluarkan suitan keras memanggil para anak buahnya. Sebentar saja belasan anak-anak buahnya sudah berdatangan.

Dan tanpa diberitahu sudah segera mengurung Tri Agni, karena tiga orang mayat kawannya yang menggeletak mandi darah sudah menandakan adanya pembunuhan. Kalau di tempat itu ada sesosok tubuh yang kedua lengannya berlepotan darah, siapa lagi kalau bukan wanita itu pembunuhnya.

Belasan senjata segera terhunus. Dan serentak saja terjadilah pertarungan yang membawa banyak korban bergelimpangan. Pada saat terjadi pertarungan itu, kebetulan melintas di jalan ke lembah itu sepasukan Kerajaan yang dipimpin oleh seorang Tumenggung. Kiranya adalah Tumenggung dari Kerajaan MATSYAPATI, yang bernama KI MERANGGI.

Sang Tumenggung adalah utusan dari Kerajaan, yang kedatangannya ke lembah itu adalah untuk menjumpai si Tangan Kilat. Yaitu untuk meminta bantuan tokoh Rimba Hijau itu untuk menjaga keamanan di Kota Raja. Karena Kota Raja dalam keadaan genting. Ki Meranggi adalah saudara tua si Tangan Kilat yang menjadi orang Kerajaan. Tak dinyana kedatangannya bertepatan dengan kejadian itu.

Segera saja Tumenggung Meranggi perintahkan lasykarnya membantu meringkus wanita yang mengamuk dan telah banyak menewaskan anak buah si Tangan Kilat. Demikianlah, hingga terjadi pertarungan maut di lembah itu yang meminta banyak korban jiwa. "Wanita iblis, rasakan tanganku...!"

Wutt...! Wutt...! Wutt...!

Tiga serangan beruntun memapas bagaikan kilat ke arah tubuh Tri Agni. Namun dengan perdengarkan suara tertawa dingin tubuh Tri Agni memutar keras, dan...

Blukk...! Satu tendangan mengenai punggung si Tangan Kilat. Laki-laki bertubuh agak pendek itu mengeluh, disertai terhuyungnya sang tubuh. Akan tetapi hal itu tak membuatnya cidera. Tenaga dalamnya telah terlatih, dan semakin tua semakin berisi. Segera si Tangan Kilat pasang jurus-jurus andalan yang selama ini telah diperdalam di Lembah Tengkorak. Sementara Ki Meranggi telah membaca mantera. Tiba-tiba kerisnya berubah memancarkan sinar berwarna biru.

Selesai berkomat-kamit, laki-laki Tumenggung ini membuat satu lompatan ke atas tubuh Tri Agni, inilah satu jurus dari lima jurus sakti yang dimilikinya. Yaitu jurus Gagak Dewa mematuk Naga. Keris bersinar biru itu membuat kilatan yang menyilaukan mata Tri Agni. Dan rasakan kelumpuhan pada syarafnya. Sementara tujuh kali kilatan di depan mata itu, salah satunya berhasil menancap di mata Tri Agni.

Craa...! Darah segar menyemburat, dan biji mata wanita setan itu tersontek mental. Pada saat yang bersamaan si Tangan Kilat telah lompat menerjang dengan memutar ke arah belakang, seraya lancarkan serangan jurus Lidah Kilat Menyambar.

"Hussss...! Punggung Tri Agni robek hangus. Tubuhnya terpental bergulingan delapan tombak, berbareng dengan melejitnya sebelah biji matanya. Pada saat tubuh Tri Agni terlempar bergulingan itu, tiba-tiba si Tangan Kilat telah bergerak melompat menyusulnya. Lengannya menyambar sebilah golok yang tergeletak di tanah. Dan....

Crass! Crass! Crasss...!

Entah berapa kali dia membacok. Nyatanya tubuh si wanita siluman telah di cincangnya sampai lumat, hingga tak berbentuk lagi. Tidak sampai di situ saja. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke arah samping, dan menyambar sebuah batu gunung yang besarnya sepemeluk. Seluruh tenaganya dikeluarkan untuk mengangkat batu besar itu, hingga sampai otot-ototnya bersembulan. Dan selanjutnya, sudah beranjak cepat mendekati mayat Tri Agni.

Brukkk!!! Enam orang laskar Tumenggung Ki Meranggi dan tiga orang anak buah si Tangan Kilat palingkan wajahnya, tak kuat melihat adegan ngeri itu. Karena kepala si wanita setan itu telah hancur luruh tak kelihatan lagi, membenam ke dalam tanah. Sedangkan batu besar itu sendiri hampir separuhnya melesak.

"Hehehe... hehehe... modarlah kau perempuan siluman!" Terengah-engah si Tangan Kilat menatap mayat lawannya. Tenaganya seperti terkuras habis.

Diam-diam laki-laki ini menyadari akan keletihan tubuhnya, karena perbuatan barusan telah dilakukannya dengan penuh emosi. Hingga mengeluarkan banyak tenaga berlebihan. Namun dia tampak puas, dan bersyukur dapat melumatkan tubuh si wanita setan, yang telah bangkit kembali sejak 10 tahun kematiannya. Sementara Ki Meranggi sudah melompat mendekatinya.

"Alangkah berbahayanya wanita keji ini! Siapakah dia adikku..?" Tanya Tumenggung Ki Meranggi.

"Dialah wanita siluman TRI AGNI yang pernah kuceritakan beberapa tahun yang silam padamu, kakang..!"

"Hah!? Wanita itulah ibunya Permaisuri DURGANDINI yang lenyap entah kemana! Aku baru mengetahui setelah diceritakan oleh Senapati SATRYO..!" Sentak sang Tumenggung, wajahnya seketika berubah pucat. "Apakah dia tak akan bangkit lagi?"

"Mudah-mudahan tidak!" sahut si Tangan Kilat terengah.

"Kedatanganku adalah justru mau mengabari kau agar segera datang ke Kota Raja, atas perintah Baginda!" Tutur Ki Meranggi.

"Ada kerusuhan apa di Kota Raja...?" Tanya si Tangan Kilat, seraya duduk mendoprok. Tampak dia berusaha menghilangkan keletihannya. Dan sekonyong-konyong perutnya terasa sakit. Cepat-cepat dia mengatur pernapasan untuk menghimpun kembali tenaga dalamnya yang terkuras habis.

Ki Meranggi kerutkan keningnya, dan masukkan kembali kerisnya ke dalam kerangka di belakang punggungnya. Segera dia berjongkok, dan bantu memulihkan kekuatan si Tangan Kilat, adiknya itu. Namun cepat-cepat laki-laki itu menolaknya.

"Sudahlah, aku tak apa-apa, kakang..! Ceritakanlah. ada kejadian apa di Kota Raja....!" berkata si Tangan Kilat.

"Kejadiannya sukar diceritakan! Yang jelas, banyak kejadian pembunuhan tanpa diketahui siapa pembunuhnya!" Ujar sang Tumenggung. "Akan tetapi... nantilah aku ceritakan. Kita harus mengebumikan dulu para korban ini!" Ujar sang Tumenggung, yang telah layangkan pandangan ke seputar tempat itu.

Memandang mayat-mayat dari para anak buah si Tangan Kilat dan belasan lasykarnya yang berserakan tumpang tindih. Segera Ki Meranggi menggapai pada sisa enam orang anak buahnya yang bersatu mengumpul dengan tiga orang anak buah adiknya itu. Lalu perintahkan mereka bantu menggali lubang. Kira-kira pada gelincir Matahari sore barulah selesai pekerjaan mengebumikan para jenazah itu, yang dipendam dijadikan satu dalam sebuah lubang besar.

Tampak wajah Tumenggung Ki Meranggi menampilkan keharuan. Walau bagaimanapun mereka adalah pahlawan-pahlawan yang sudah gugur dalam menjalankan tugas. Pekerjaan terakhir adalah membakar mayat TRI AGNI si wanita setan itu, yang ternyata memang tak mampu untuk bersatu kembali jasad yang sudah hancur cerai berai itu. Bahkan bagian kepalanya telah remuk redam terhantam batu besar itu, yang melesak amblas ke dalam tanah. Sisa-sisa tubuhnya yang kelihatan itulah yang dibakar musnah, menimbulkan bau sangit yang menyengat hidung.

Selang tak lama, mereka segera tinggalkan Lembah Tengkorak, untuk menuju ke Kota Raja. Lenyap sudah satu masalah, dengan musnahnya Tri Agni si wanita setan itu. Akan tetapi mereka akan banyak menghadapi masalah lain, yaitu munculnya pembunuh misterius yang menggegerkan wilayah Kota Raja.

Akan tetapi mereka tak akan pernah menyangka kalau sesuatu yang sudah dianggapnya tak mungkin terjadi, ternyata telah terjadi lagi. Lembah Tengkorak yang dianggapnya adalah tempat yang menjadi kuburan kematian Tri Agni si wanita setan itu, ternyata masih menimbulkan bencana. Karena di saat api dan asap yang membakar serpihan-serpihan tubuh Tri Agni padam, angin telah berhembus kencang ke arah lembah itu.

Udara mendadak menjadi gelap. Petir menggelegar di angkasa, memancarkan lidah-lidah yang berkredepan. Tiba-tiba batu besar itu terguncangguncang, seperti terungkit keluar dari dalam tanah, Batu yang melesak hampir separuhnya itu tiba-tiba benar-benar terungkit. Dan menggelinding dari lubang bekas melesaknya.

Apakah yang terjadi? Ternyata kepala TRI AGNI yang sudah hancur lumat itu menyatu kembali. Bahkan selembar rambut pun tak ketinggalan untuk kembali melekat di kulit kepala manusia setan itu. Sementara di bekas pertarungan tadi telah melesat cepat sekali sesuatu yang bergerak. Ternyata adalah sebelah biji mata Tri Agni yang tadi tercongkel keris bertuah sang Tumenggung. Lalu kembali menyatu, membenam lagi dalam kelopak mata wanita setan itu.

Cuma sisa-sisa tubuhnya yang terbakar itu sajalah yang tetap tak dapat kembali ke asal. Sekejap antaranya sebuah kepala sebatas leher telah meluncur keluar dari dalam lubang itu. Tampak kepala wanita setan itu berputar-putar mencari bagian-bagian tubuhnya yang lain. Akan tetapi tak ditemukan.

"Keparat...! Mereka telah membakar tubuhku! Tunggulah pembalasanku Tangan Kilat, dan kau Tumenggung serta penghuni Istana Kerajaan MATSYAPATI....! Hihihi.....hihi termasuk juga manusia-manusia yang telah menghancurkan kebahagiaan anakku...!"

Selanjutnya kepala si manusia setan itu sudah melesat cepat meninggalkan lembah Tengkorak. Sementara cuaca kembali seperti sediakala.

Kita lihat kembali keadaan di atas bukit di mana terdapat Makam Tua.... Durgandini ternyata telah berada lagi di bawah pohon Angsana besar itu.

"Eh, kemanakah gerangan ibu ?H. Gumamnya seraya palingkan wajahnya ke sana ke mari. "Hihihi... ibu pasti sedang mencarikan makanan untukku lagi! Tapi aku... aku sudah tak sabar rasanya! Aneh, mengapa aku jadi mengilar untuk meminum darah? Apakah aku tengah mengidam...?" Desisnya lirih.

Tiba-tiba di kejauhan dia melihat sebuah benda melayang ke arahnya. Cepat sekali menukik ke bukit Makam Tua itu. Dan segera telah tiba di hadapan Durgandini. Ternyata adalah kepala si wanita setan TRI AGNI. Keduanya jadi sama-sama terkejut. Durgandini hampir tak percaya melihat siapa adanya kepala putus yang melayang di hadapannya, dan berhenti menggantung di udara menatap ke arahnya.

"I... ibu...??! Kau... kau...?!? Apakah yang telah terjadi dengan mu itu?!" Teriak Durgandini tergagap, juga terperangah melihat sang ibu yang sudah tak bertubuh lagi itu.

Bukannya menjawab, sang ibu bahkan menatap dengan bercucuran air mata.

"Ibu! Katakanlah! Siapa manusianya yang telah memperlakukan kau hingga demikian?" Teriak Durgandini dengan sepasang mata linangkan air mata. Namun tak lama si wanita setan ini sudah tertawa mengikik, seraya berkata.

"Nantilah ibu ceritakan! Kau sudah kembali anakku?" Tanya Tri Agni seraya tampilkan wajah girang.

"Sudah ibu...! Bahkan aku rasanya seperti tengah mengidam?" Sahut Durgandini dengan senyum dipaksakan. Sementara dia sudah buru-buru menyeka air matanya yang menitik.

"Oh, syukurlah! Sesuai dengan janji ku, ibu akan mewariskan Ilmu Ajian RAWARONTEK pada mu, anakku...!" Ujar Tri Agni dengan menatap tajam pada sang anak.

"Se...sekarang, ibu...?" Tanya Durgandini keheranan, tapi juga girang.

"Ya! Sebentar, ibu harus memohon petunjuk lebih dulu pada Gusti Junjungan...!" Ujar Tri Agni, seraya kepalanya melayang ke balik pohon Angsana. Lalu lenyap.

Sementara Durgandini cuma terpaku bingung. Banyak sudah keanehan telah dialami. Sejak dia dibawa melayang oleh Raja Siluman Ular ke alam yang penuh kegaiban. Dan Durgandini memang harus melakukan persanggamaan dengan seekor ular besar yang diperkirakan adalah Raja Siluman Ular itu sendiri. Tak memakan waktu lama, karena tahu-tahu Durgandini telah berada kembali di bawah pohon Angsana besar itu menjelang siang hari. Dan dapatkan ibunya telah tak berada di tempatnya lagi.

Juga satu keanehan yang dirasakan Durgandini adalah dia telah merasakan dirinya mengidam. Ya! mengidam untuk minum darah. Terasa menggebu-gebu untuk segera melampiaskan keinginannya yang sukar tertahankan. Tengah Durgandini termangu-mangu itu tiba-tiba dari balik pohon Angsana besar itu membersit keluar sebuah cahaya merah. Cahaya itu meluncur ke arahnya... Dan tahu-tahu lenyap.

Namun anehnya Durgandini rasakan tubuhnya jadi berubah. Seperti ada sesuatu yang menjelma dalam gua gerobaknya. Cahaya apakah itu? Pikir Durgandini. Akan tetapi tak lama berselang dia sudah mendengar satu suara halus. Halus sekali. Itulah suara ibunya, yang membisik di relung hatinya.

"Durga, anakku! Sukma ibumu telah berada dalam tubuhmu...! Berarti kau telah memiliki segala kesaktian ibu! Dan ilmu Ajian Dasa Jiwa dengan sendirinya telah berpindah ke dalam tubuhmu! Lakukan apa yang menjadi kehendakmu..! Jangan khawatir! Kau takkan kehilangan ibumu! Karena sewaktu-waktu ibu bisa keluar kalau kau memerlukan bantuan ibu! Hihihi...hihi.. nah! bukankah kini kau tengah mengidam, bukan? Carilah apa yang kau hasrat kan itu! Kelak tentu ibu akan membimbingmu untuk melenyapkan manusia-manusia yang kau benci, untuk melepaskan sakit hati dan dendam kesumatmu! Hihihi...hihi..."

Terkesiap Durgandini akan tetapi juga girang dan terharu. Dengan suara menggelegar menahan keharuan perasaannya Durgandini menyahuti suara di relung hatinya itu.

"Terima kasih, ibu...! Oh, terima kasih juga pada Gusti Junjungan...!". Selesai berujar, tiba-tiba Durgandini tertawa mengikik yang membuat bulu tengkuk meremang. Tak lama tubuhnya sudah berkelebat dari atas bukit Makam Tua itu. Melesat cepat bagaikan hembusan angin.

* * * * * * *

TIGA

Seorang pemuda berbaju putih yang kumal, tampak tengah berjalan di satu lereng bukit. Pemandangan di sekitar tempat itu memandang indah. Pohon-pohon nyiur berderet-deret di sepanjang jalan. Melihat dari tampangnya, pemuda ini baru berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya tidak terlalu tampan, akan tetapi memang boleh dibilang tak sedap dipandang. Karena penuh daki tak terurus.

Namun juga tak bisa dibilang jelek. Cukup gagah walau pakaiannya lusuh. Dari sikapnya yang sering memandang berkeliling, sudah dapat diduga kalau pemuda ini seorang perantau yang baru datang ke daerah ini. Bahkan sebuah buntalan yang terbuat dari bahan kasar yang sudah bertambal tergantung di sebelah bahunya. Namun dapat dipastikan pemuda ini bukanlah pemuda biasa, karena pada bahu sebelah kanannya tersembul keluar sebuah gagang pedang.

Rambutnya yang agak ikal itu dibalut dengan ikat kepala warna putih yang juga sudah kumal. Panas terik yang membakar bumi siang itu membuat kepala si pemuda beberapa kali menengadah ke atas, ke puncak pohon kelapa. Membersit keluar air liurnya. Namun kakinya terus juga melangkah. Kini sudah memasuki sebuah jalan yang rata.

"Heh, jalan ini pasti menuju ke desa! Halusnya bukan main...! Entah siapa pemilik kebun kelapa ini...!" Menggumam pemuda ini, seraya memandang pada deretan pohon-pohon kelapa yang berjajar di kiri-kanan jalan. Ketika tiba-tiba... Bulk! Sebutir buah kelapa telah jatuh di dekatnya.

"Ha!?" Kebetulan! Ha ha ha...! Sentak pemuda itu dengan wajah membersit girang. Seraya beranjak melompat untuk mengambilnya. Mudah-mudahan kelapa muda! Pikirnya. Nasib baik rupanya, karena kelapa yang jatuh itu memang kelapa muda yang masih hijau. Tentu saja girangnya bukan kepalang. Segera saja dia telah mencabut pedang yang tersoren di punggung. Dan...

Cras! Cras! Cras!

Cepat sekali gerakan pedangnya mengupas sebagian buah kelapa muda itu. Dan sebentar kemudian ujung pedangnya sudah dipergunakan untuk membolongi bagian yang sudah terkelupas kulitnya itu. Kemudian masukkan kembali pedangnya dalam kerangka di punggungnya. Dan tak ayal, segera sudah menenggaknya sampai ludas.

"Haa ha he heh... segar!" Ujarnya, seraya melemparkan buah kelapa yang sudah tak berair itu ke tepi jalan. Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar bentakan keras, diiringi berkelebatnya beberapa sosok tubuh dari balik semak.

"Kurang ajar! Enak saja kau mencuri buah kelapa! Memangnya milik bapak moyangmu?" Teriak salah seorang yang berada di hadapan pemuda itu.

Lima orang laki-laki berpakaian hitam dengan wajah-wajah seram, dan kumis melintang telah mengurung pemuda itu. Masing-masing menyoren senjata di pinggang. Melihat dirinya dikurung sedemikian, si pemuda ini tampaknya tidak terkejut. Bahkan dengan tertawa-tawa dia berkata, sambil lirikkan matanya kekiri dan kanan.

"Hahaha...hahaha... apakah memungut kelapa yang jatuh sama dengan mencuri?" Tanya pemuda itu sambil berpeluk tangan.

"Mana ada kelapa muda yang jatuh dari pohon? Otakmu kurang waras barangkali anak muda! Kalau ada kelapa muda yang jatuh, berarti ada yang memetiknya!"

Teriak orang-orang yang berada di sebelah kiri jalan. Laki-laki ini bertubuh jangkung dengan baju hitam dan celana lurik. Di pinggangnya terselip sebuah golok yang bergagang ukiran kepala burung.

"He!? benar juga! Tapi toh aku tidak mencuri...! Aku cuma memungutnya di tanah!" Berkata si pemuda membela diri.

"Tidak bisa! Kau telah mencuri juga walaupun memungut di tanah atau di atas pohon!" Bentak lakilaki di hadapan si pemuda itu yang berkumis baplang.

"Ketahuilah, kebun kelapa ini adalah milik Raden Mas Cucak Ijo!" Ujarnya lagi dengan wajah bengis.

Tampak si pemuda jadi melengak. "Siapakah Raden Mas Cucak Ijo Itu...?" Kata si pemuda dengan wajah seperti orang tolol.

"Beliau adalah penguasa di daerah ini! yang telah mendapat kepercayaan dari Gusti Patih BUNTARAN!" Sahut laki-laki berkumis baplang alias tebal itu.

"Ooo..." Ujar si pemuda dengan manggut-manggut. Akan tetapi seperti tak perduli siapa pemilik kebun kelapa itu, dia sudah menyahut seenaknya.

"Hm, kalau begitu biarkanlah aku lewat! katakan pada Gusti Patih kalian bahwa aku telah memungut kelapanya sebutir!" ujarnya.

Terjungkat alis si kumis tebal. Berani benar anak muda ini bicara sembarangan? "Tunggu! Kau sebutkan dulu siapa namamu! Mulutmu terlalu lancang bicara, anak muda! Punya andalan apakah kau di daerah ini! Majikan kami Raden Mas Cucak Ijo telah kau anggap sepi, bahkan berani lancang bicara untuk laporkan pada Gusti patih segala...!"

Berkata si kumis tebal. Kiranya dia inilah yang tadi telah pergunakan sebutir batu kecil menyambut gagang kelapa muda di atas pohon. Tentu saja si pemuda ini telah mengetahui sejak tadi. Juga adanya beberapa sosok tubuh yang sembunyi di balik semak. Namun tampaknya dia hanya berpura-pura tidak mengerti. Karena jelas kalau mereka ini memang sengaja mencari gara-gara.

"Hahaha... sudahlah, aku mau lewat! Katakan pada Patih atau pada si majikanmu Cucak Ijo sama saja! Apakah memungut sebutir kelapa bisa mendapat hukuman penggal leher!?" Ujar si pemuda dan melangkah seenaknya, tanpa rasa takut dan perdulikan orang yang menghadang di depan.

"Kunyuk dekil ini rupanya mau mampus! Tak perlu jauh-jauh untuk kau mengantarkan kepalamu! Akulah yang akan memenggal lehermu..!" Bentak lakilaki berkumis tebal itu, yang ternyata adalah pemimpin dari lima orang anak buahnya. Dan segera saja laki-laki itu telah mencabut golok tipisnya dari pinggang. "Heh, agaknya kau punya nyali juga, anak muda! Sebutkan siapa namamu, dan apa keperluanmu memasuki daerah terlarang ini!". Bentaknya kasar.

Laki-laki pemimpin kelima orang itu adalah yang bernama Jebul Ireng. Seorang yang berilmu tinggi yang menjadi pengawas di perkebunan kelapa itu. Sementara kelima orang yang mengurung pemuda itu pun masing-masing sudah mencabut keluar senjatanya, yang rata-rata adalah sebilah golok.

"Aii, apakah namaku cukup berarti buat kalian?!" Tanya si pemuda yang segera menahan langkahnya.

"Hehehe... dari gagang pedangmu yang terukir bagus itu, sudah dapat kulihat kau tentu bukan orang sembarangan! Juga tadi telah kulihat kau mengupas kelapa, bahwa pedangmu itu memang bukan pedang biasa! Kalau kau mau serahkan pedangmu sebagai jaminan, aku akan perkenankan kau lewat! Kelak bila telah selesai urusanmu, silahkan kembali ke mari untuk kau mengambil kembali!" Ujar si kumis tebal bernama Jebul Ireng.

Lagi-lagi pemuda itu naikkan alisnya. Bagi seorang petualang rimba Persilatan hal demikian adalah termasuk satu penghinaan. Karena pedang dan pemiliknya adalah ibarat kulit dengan daging. Kalau tadi wajah pemuda ini tampak biasa-biasa saja, akan tetapi kini sepasang matanya membersit tajam menatap orang di hadapannya. Seraya tiba-tiba keluarkan suara tertawa dingin.

"Hahaha... bagus! Aku sudah tak ingat namaku sendiri! Dan aku memang tak punya gelaran apa-apa! Kalau kalian semua menginginkan pedang pusaka ini, silahkan ambil dari tanganku!" Berkata si pemuda. Aneh, suara itu seperti mengandung satu kekuatan tenaga dalam, yang terdengarnya bagaikan membuat jantung seperti tergetar.

Diam-diam Jebul Ireng terkejut juga. Akan tetapi mana jagoan ini mau unjukkan wajah kaget di hadapan seorang pemuda dekil yang belum diketahui namanya? Bahkan menimpali dengan kata-kata sebagai jawabannya.

"Hahahehe...tak tahunya cuma seorang pemuda linglung yang kesasar dari kuburan! Gembel semacammu masih berani jual lagak di depan tuan besarmu Jebul Ireng si Lutung Dewa...!"

"Hahehehehe.. benar-benar keterlaluan..!" Kata-kata ejekan itu tentu saja membuat kawan-kawan lainnya jadi tertawa berkakakan. Akan tetapi bukannya marah, justru si pemuda itu tiba-tiba ikut tertawa.

"Hohahaha...hahaha.. ya! ya! kini aku baru ingat siapa gelaranku! Itulah si DEWA LINGLUNG! Orang Rimba Hijau menyebutku demikian!" ujar si pemuda dengan wajah menampilkan kegirangan.

Tentu saja semua yang tertawa jadi terdiam seketika bagaikan suara jengkerik terinjak. Sementara Jebul Ireng jadi melengak. Karena dia merasa berhadapan dengan seorang pemuda tolol yang aneh. Jangan-jangan orang sinting yang ku ladeni ini! Pikir Jebul Ireng.

"Hahaha...haha terima kasih, terima kasih! Kau telah mengingatkan kembali julukanku, Lutung Ireng...!"

Merah seketika wajah Jebul Ireng, karena Lutung Dewa telah dirubah seenaknya saja menjadi Lutung Ireng. Namun agaknya laki-laki ini masih bisa menahan sabar. Dan bahkan memberi isyarat pada anak buahnya untuk bertindak terlebih dulu.

"Eh, Dewa Linglung yang nyasar dari kuburan! Boleh ku coba merebut pedangmu itu!?" Teriak salah seorang dari anak buah Jebul Ireng, seraya menebaskan goloknya ke arah pinggang. Akan tetapi cepat sekali gerakan pemuda itu, ketika tahu-tahu...

Tuk...! Seraya diiringi kata-kata. "Hahaha... boleh! boleh...!"

Namun tiba-tiba si penyerang itu mendadak tebaskan goloknya seraya menjerit kesakitan, Lalu berjingkrakan memegangi lengannya yang jadi terkulai sebatas pergelangannya. Ternyata telah terlepas sambungan tulangnya. Tentu saja sakitnya bukan main. Tampak tadi dengan cepat sekali si pemuda miringkan tubuhnya, seraya gerakkan sebelah lengannya menotok pergelangan si penyerang itu.

Melihat demikian keempat kawannya segera maju berbarengan mengirim serangan goloknya masing-masing, diiringi, bentakan-bentakan keras. Akan tetapi sekali si pemuda itu putarkan tubuh, ke empat penyerang itu kembali perdengarkan jeritan keras dengan masing-masing goloknya terlempar berpentalan.

Kali ini bukan masing-masing lengan mereka yang lepas sambungannya, akan tetapi masing-masing gigi mereka yang rontok berhamburan. Karena dengan gerakan memutar tubuh itu, lengan dan kaki si pemuda itu telah bergerak cepat sekali menghantam dagu ke empat penyerang itu. Hingga tak ampun lagi mereka jatuh bergulingan ke empat penjuru. Betapa terkejut dan gusarnya si Lutung Dewa melihat kejadian itu. Dengan bentakan keras menggeledek tubuhnya mendadak melompat ke arah pemuda itu, diiringi serangkaian tebasan golok tipisnya yang bersuara bersiutan.

Wutt! Wuttt! Wuttt...!

Akan tetapi semua serangan itu menemui tempat kosong. Karena tubuh si Dewa Linglung ini ternyata telah berkelebatan cepat sekali menghindari terjangan-terjangan beruntun itu.

Ser! Ser! Ser!

Serangkum senjata rahasia segera dilepas si Lutung Dewa. Akan tetapi tampak pemuda itu kibaskan buntalan buntutnya, yang seketika membuat belasan paku-paku beracun itu berseliweran ke beberapa arah. Bahkan selanjutnya telah terdengar suara teriakan-teriakan parau dari tiga orang anak buahnya yang jadi sasaran paku-paku berbisa si Lutung Dewa.

Tentu saja ketiga orang anak buahnya itu berkelojotan bagai ayam dipotong. Lalu sekejap kemudian tewas. Melihat demikian membeliak sepasang mata Lutung Dewa. Sementara sisa-sisa anak buahnya tanpa diperintah lagi, sudah kabur angkat langkah seribu.

"Keparat! Kau cari mampus anak muda!" teriak si Lutung Dewa. Tiba-tiba saja dia telah keluarkan satu senjata berupa cambuk berduri dari pinggangnya. Wuttt...! Lutung Dewa telah segera lancarkan serangan.

"Huh! mengurusi orang semacammu membuat aku malas saja!" Bentak si Dewa Linglung. Tiba-tiba...

Whuusss...! Buk! Prakkk...!

Terdengarlah jeritan parau menyayat hati. Tubuh si Lutung Dewa telah terjungkal 10 tombak bergulingan. Lalu terkapar tak berkutik lagi. Ternyata kepalanya telah remuk dan dadanya ambrol dengan beberapa tulang iganya yang patah. Darah merembes ke tanah menggelogok dari balik pakaiannya.

Ternyata si Dewa Linglung telah keluarkan pukulan angin bertenaga dalam yang membuat si Lutung Dewa jadi gelagapan, dan cambuknya melayang entah ke mana. Saat tubuhnya terhuyunghuyung itulah si Dewa Linglung lancarkan dua serangan sekaligus. Satu jejakkan kaki dan sebuah tinju menghantam dada dan kepala. Hingga nyawa Jebul Ireng tak ketolongan lagi.

"Hahahahahehe... hehe... Kunyuk! Setan! Bedebah! Manusia-manusia kentut semacam kalian tak pantas jadi begundal! Mengganggu orang lewat saja...!" Memaki si Dewa linglung dengan berteriak-teriak. Namun selang tak lama tubuhnya sudah berkelebat memasuki wilayah perkebunan kelapa itu.

Namun ketika menempuh jalan di tengah perkebunan kira-kira seperminuman teh, di ujung jalan menampak seekor kuda tengah berdiri dengan penunggangnya di tengah jalan. Pemuda ini terkejut, dan segera memperlambatkan langkahnya.

"He!? Seorang wanita...? Siapakah...? Ah, bukan...! bukan dia...!" Gumamnya lirih. Sesaat dia sudah tiba di hadapan Wanita itu.

"Siapa anda...? Mengapa menghalangi jalan tempat orang lewat?"

Si Dewa Linglung sudah ajukan pertanyaan. Sementara di atas punggung kuda, seorang wanita duduk bertolak pinggang menatap si pemuda dengan sunggingkan senyuman. Ringan sekali gerakan wanita muda yang cantik itu, melompat dari kudanya. Pakaiannya dari sutera yang mahal, rambutnya tergerai ke depan. Terhiasi bunga cempaka merah jambu yang terselip di sisi telinganya. Ketika melangkah membuat paha sang wanita itu menyingkap dari celah belahan kainnya.

"Selamat datang di wilayah tapal batas Kerajaan MATSYAPATI, sobat muda!" Sapa wanita itu, seraya menatap dengan pandangan kagum.

Ada pun si pemuda ini jadi jengah sendiri, karena jelas dari wanita itu tak menampakkan sikap permusuhan. Bahkan seperti seolah menyambut tetamu terhormat. Siapakah wanita genit ini? Pikir Si Dewa Linglung. Namun cepat-cepat dia menjura, walau sebenarnya ada rasa; malu menghadapi wanita. Atau memang itulah rupanya kelemahan di Dewa Linglung ini. Karena hatinya sudah berkata... Aih, seandainya Wanita ini adalah DIA...ah, betapa girangnya aku...! Akan tetapi dia sudah cepat-cepat berkata.

"Eh, aku tak mengenal anda? Mengapa menyambut aku seperti menyambut kedatangan kekasih?" Enak saja pemuda itu bicara. Namun kata-katanya adalah wajar dan apa adanya. Karena memanglah demikian apa yang telah diperlakukan oleh si wanita itu dalam menyambutnya.

Sambil mengerling genit si wanita itu menyahuti. "Ah, sobat muda yang tampan begini mana mungkin kalau tak diperlakukan sebagai seorang kekasih! Apalagi aku sudah lihat kehebatanmu membunuh si Jebul Ireng alias si Lutung Dewa. Makin kagum dan simpati saja aku pada anda, sobat muda!"

Melengak si pemuda kumal ini. Edan! Mukaku tak keruan begini, bahkan sudah tiga hari aku tak mandi-mandi. Di tambah pakaianku yang dekil, kumal dan baunya bikin orang mabok... eh, masih dibilang tampan? benar-benar dunia sudah terbalik! Gerutunya dalam hati. Akan tetapi diam-diam pemuda ini terkejut juga karena wanita ini mengetahui kejadian tengah jalan perkebunan kelapa tadi.

Heran!? Dia telah mengetahui kejadian tadi, mengapa tidak menyambut ku dengan sikap bermusuhan? "Apakah anda putrinya atau mungkin juga istrinya si Raden Cucak Ijo itu?" Serampangan saja Pemuda ini bicara. Tentu saja membuat wanita itu jadi tertawa cekikikan.

"Hihihi... tebakanmu salah, sobat muda! Aku adalah aku! Nanti pun kau akan mengetahuinya. Kini kau telah jadi tetamu ku! Walau kau punya urusan lain, tapi karena telah memasuki wilayah yang juga di bawah pengawasanku, kuharap kau tak menolak untuk kuajak mampir ke tempatku....” Ujar wanita itu dengan pandangan mata yang berbinar-binar menatap si pemuda.

Sementara diam-diam di hati wanita ini membatin. Ah, seandainya wajahnya tak kotor berdebu, sudah dapat dipastikan dia seorang pemuda yang gagah. Bertubuh kekar berisi, penuh berotot, dan bertenaga kuat...! Apa lagi tampaknya bukan pemuda sembarangan. Sudah kulihat sendiri kehebatan ilmu silatnya. Tanpa mencabut pedangpun telah sanggup membuat kematian si Jebul Ireng. Seandainya ku manfaatkan tentu banyak gunanya...! Demikian pikir si wanitaHingga tanpa sadar dia telah menatapnya dengan tak lepas-lepas.

Tampaknya si pemuda dekil ini berfikir sejenak, namun tak lama sudah tertawa terbahak-bahak, seraya selanjutnya berkata; "Hahaha...Baik...!baik! aku setuju! Apakah di rumahmu ada tempat mandi? Aku sekalian mau mandi, dan..."

"Mengganti pakaianmu yang bau apek itu, bukan? Hihihi... jangan khawatir semuanya sudah tersedia...!" Ujar wanita itu sambil tampilkan senyuman menawan.

Tak ayal lagi si wanita sudah balikkan tubuh seraya menyambar tali les kuda, dan berkata: "Apakah kau ingin naik kuda, atau jalan bersama sambil menuntun kuda? Kita bisa berjalan sambil bercakap-cakap...!" Ujar si wanita, seraya palingkan wajahnya. "Silahkan anda terlebih dulu ke Pesanggrahan ku, sobat muda! Senja nanti kalau aku menemuimu, tentu kau sudah segar, bersih dan tidak bau lagi. Hihihi..." Berkata si wanita dengan suara halus, akan tetapi terdengarnya seperti meniup di telinga pemuda itu.

Sadarlah si Dewa Linglung kalau wanita baju hijau itu bukan wanita sembarangan. Namun hal demikian justru amat menarik sekali, membuat pemuda itu ingin mengetahui kelanjutannya.

"Hahaha...baik! Baik...! Hus! Hus...! Hayo, cepatlah sedikit larinya! Tubuhku sudah gatal-gatal rasanya kepingin mandi, dan salin pakaian!" ujarnya, seraya menghentakkan kaki ke perut kuda.

Keruan saja kuda itu berlari lebih cepat mendahului si gadis yang memegang tali les. Namun dengan satu teriakan halus, si dara itu sudah kelebatkan tubuh mengikuti, bahkan mampu mengendalikan ke mana arah yang dituju. Demikianlah, keenam dara baju merah itu membawa si pemuda ke Pesanggrahannya si wanita baju hijau itu. Sedang wanita itu sendiri telah berkelebat lenyap dari tempat itu.

Sementara itu kita lihat satu kejadian di Kota Raja... Tampak pagi itu puluhan manusia berkerumun di sudut pinggiran kota. Kesemuanya memandang ke atas sebuah dahan pohon dengan pandangan ngeri. Apakah gerangan yang terjadi?

Kiranya tiga sosok tubuh wanita telah tergantung di sana dengan keadaan telanjang bulat. Lidah terjulur dan sepasang mata membeliak mengerikan. Tak ada seorang pun dari kerumunan wanita dan laki-laki yang bergerak turun tangan untuk menurunkan ketiga mayat wanita yang tergantung itu.

Sementara kira-kira tiga puluh kaki dari tempat kejadian terhalang sebuah sungai yang membelah lereng perbukitan, dibatasi oleh deretan pohon-pohon kelapa, tampak sebuah kedai sederhana berlantai papan tengah dikunjungi beberapa orang tetamunya. Ternyata sebuah kedai tuak (arak). Beberapa orang laki-laki dan tiga orang gadis berada di tempat itu.

Hari itu adalah hari kesepuluh, sejak diadakan pengangkatan Permaisuri NAWANGSIH, yang tadinya selir baginda Raja Prabu Gurawangsa. Rakyat sekitar Kota Raja memang masih dalam keadaan pesta. Akan tetapi di luar Kerajaan, ternyata banyak terjadi kericuhan. Hingga diam-diam Raja memerintahkan Senapati Satryo menjaga keamanan.

Ternyata diam-diam Ki Patih Buntaran telah pula mengerahkan beberapa orang kaum Rimba Hijau untuk berjaga di setiap tempat. Siang itu panas amat teriknya. Namun kedai Tuak di seberang sungai itu tampak ramai di kunjungi beberapa orang, yang ternyata adalah orang-orang Kaum Rimba Hijau.

"Hahahehe...hehe... Pelayan! Tambah lagi tuaknya! Aku sanggup menghabiskan sepuluh kendi lagi...!" Berkata seorang laki-laki brewok bertampang gagah. Dadanya yang bidang dan berbulu itu dibiarkan terbuka., Bajunya berlengan buntung sebatas bahu. Terbuat dari bahan kulit binatang. Berambut gondrong tak terurus. Sedang ikat pinggangnya terbuat dari kulit harimau, dengan celana pangsi warna hitam.

Semua orang yang berada di tempat itu telah mengenal siapa adanya laki-laki gagah itu. Dialah si Joko Sangit adanya. Yaitu murid si Pendekar Gentayangan Ki Jagur Wedra. Tiga wanita di dalam kedai adalah tiga dara baju merah yang berwajah cantik dan genit. Dua orang ada dalam pelukan seorang laki-laki gendut bermata sipit. Dialah yang bernama Raden Mas Cucak Ijo.

"Hehehe...hehe...Pelayan! Berikan pesanannya. Semua ini tanggungjawab ku!" Berkata laki-laki berusia 40 tahun ini, sambil sebelah lengannya meremas dua bukit daging di dada si wanita baju merah.

"Hihihi... Laki-laki muda itu apa sanggup menghabiskannya, Gusti Raden!?" tanya si wanita di sebelahnya, yang lengannya tak mau diam memijit-mijit bahu Raden Mas Cucak Ijo itu.

Sementara pinggangnya dalam pelukan lengan laki-laki gendut itu. Akan tetapi matanya menatap pada gadis baju merah di sebelah kiri laki-laki gendut, yang tengah menggeliat-geliat manja menyumpalkan kepalanya di dada Raden Mas Cucak Ijo.

Kalau dalam keadaan siang begini dan di tengah orang ramai, Raden Mas Cucak Ijo berani berbuat demikian, tentulah dia seorang yang berpengaruh. Tampaknya dia memang tengah menjamu laki-laki bernama Joko Sangit itu.

"Hehe... pergilah kau bantu membawakan 10 kendi tuak kepadanya!" Berkata Cucak Ijo pada wanita yang bertanya tadi, seraya mendorong tubuhnya.

Dengan melenggang genit, wanita itu "ngeloyor" ke arah ruang tempat penyimpanan Tuak. Memang sudah dilihatnya si pelayan itu tengah sibuk membawa 10 kendi tuak. Segera dia membantu membawa beberapa kendi. Dan tak lama di hadapan Joko Sangit telah berjajar lagi 10 kendi tuak. Sedang beberapa botol kosong di hadapannya segera diangkat untuk disingkirkan.

"Hahaha...haha bagus! bagus! Terima kasih sobat Cucak Ijo!" Ayoh, siapa yang mau bertanding denganku, menghabiskan 10 kendi tuak ini! Biarlah lima kendi untukku, dan lima kendi untuk lawanku!" teriak Joko Sangit.

Empat orang laki-laki berkulit putih dengan empat pedang di belakang punggung, tampak saling pandang. Mereka adalah Empat Hantu Gunung Cireme. Akan tetapi tampaknya mereka tak berniat untuk maju seorang pun. Tiba-tiba lengan si Joko Sangit menarik lengan gadis baju merah itu ke dekatnya.

"Hahaha... cantik juga kau! Siapa namamu?" tanya Joko Sangit. Sementara dengan giginya dia telah mulai membuka gabus penutup kendi tuak.

"Aku... Pintani...! Apakah anda yang bernama Joko Sangit...?" tanya gadis itu. Seraya meneguk tuaknya.

Joko Sangit menyahuti yang sebelumnya menenggak habis satu kendi arak itu dengan beberapa kali tegukkan. "Heh heh heh... betul! Aku datang ke kota Raja ini mencari seorang yang telah mencuri kitab pusakaku...!" sahutnya.

Sementara sepasang matanya tampak sudah memerah akibat pengaruh tuak. Padahal tadi sudah tiga kendi arak yang diminumnya. Kini ditambah satu kendi lagi, jadi kesemuanya sudah empat kendi masuk ke perut pemuda itu.

"Kitab pusaka...!?" tanya gadis itu, sambil melirik pada Cucak Ijo. Tampak laki-laki gendut itu memberi isyarat dengan anggukan kepala.

"Oh, kau mulai mengaco agaknya, sobat Joko Sangit! Sebetulnya kau tak usah habiskan tuak-tuak itu! Aku bisa membawamu untuk beristirahat!" Bisik si wanita di telinga laki-laki itu. Namun juga telah tempelkan hidungnya di pipi Joko Sangit.

Akan tetapi lengan pemuda itu sudah bergerak menyingkirkan gadis itu ke tepi. "Hehehahaha... siapa yang mengaco? Aku masih sanggup minum, tapi manusia-manusia di sini rupanya keroco semua! Tak seorangpun yang berani menerima tantanganku! Huh...!" ujarnya dengan berdiri dari duduknya.

Tentu saja kata-kata itu tampaknya membuat panas seorang laki-laki berbaju kuning yang duduk di sudut ruangan kedai. Dia adalah yang berjulukan si Setan Muka Kuning sedangkan tiga orang lagi yang berpakaian hitam-hitam dengan memakai topi tudung yang disebut capil itu adalah si Tiga Petani Gunung Kumbang.

Tiga tokoh ini adalah para perantau yang juga telah berada di wilayah Kota Raja atas undangan Ki Patih Buntaran di Kerajaan Matsyapati ini. Tentu saja kata-kata adanya si pemuda bernama Joko Sangit itu yang tengah memburu orang pencuri Kitab Pusaka miliknya, cukup menjadi perhatian mereka.

Setelah saling mengangguk, salah seorang tampak segera bangkit berdiri. Namun keduluan dengan si Setan Muka Kuning yang sudah melompat ke depan meja Joko Sangit. Karena itu terpaksa dia duduk lagi.

"Eh, sobat Joko Sangit! Dugaanmu salah kalau di sini cuma orang-orang keroco saja yang ada! Entahlah kalau mereka-mereka ini...!" ujar si Setan Muka Kuning, seraya memutar wajah menatap pada semua orang Terutama pada si Tiga Petani Gunung Kumbang.

Kembali pada Raden Mas Cucak Ijo itu saja si Siluman Muka Kuning menjura. Tentu saja membuat si Tiga Petani Gunung Kumbang jadi melotot gusar. Ketiganya sudah melompat ke depan meja Joko Sangit. "Huh! Siluman, Muka Kuning! Kami si tiga Petani Gunung Kumbang pun bukan manusia-manusia keroco! Aku sanggup menerima tantangan si anak muda ini!" Berkata salah seorang yang agaknya menjadi orang tertua dari kedua saudara seperguruannya.

"hehehe...Baiknya sebelum kalian melawan aku! Kalian cobalah berdua mengadu kekuatan dulu dan siapa yang kalah baru lawan aku?" berkata Joko Sangit.

Kedua orang itu sekejap saling berpandangan. "Baik! Akan tetapi bukan mengadu minum tuak! Aku kepingin lihat, apakah Tiga Petani Gunung Kumbang ini sudah boleh diandalkan kelihayannya untuk bantu menangkap penjahat...?"

"Alangkah sombongnya kau, Muka Kuning! Walau Kami belum pernah bertarung, akan tetapi kami sudah mengenalmu! Juga sepak terjangmu! Hari ini mungkin akan lenyap kesombonganmu...!" ujar si Tiga Petani Gunung Kumbang yang sudah mendahului keluar melompat dari dalam kedai.

Siluman Muka Kuning tertawa jumawa, seraya turut melompat keluar. Dan selanjutnya mereka sudah berdiri berhadapan. "Majulah kalian bertiga! Aku sih memang kemana-mana selalu sendiri!"

Mendelik mata si ketiga lawannya, yang tak ayal segera lancarkan serangan dengan berbareng. Hingga sebentar saja pertarunganpun terjadi dengan seru. Beberapa tetamu kedai itu pun dengan sendirinya menonton pertarungan itu. Kecuali Joko Sangit, yang masih berdiri di depan mejanya. Sementara gadis bernama Pintani itu sudah mendekatinya, seraya menggelendot manja di dada laki-laki itu.

"Kakang Joko Sangit! Gara-gara kau, mereka jadi bertarung...! Apakah tak sebaiknya kau beristirahat saja ke Pesanggrahan tempat tinggalku? Kau tampaknya sudah mabuk sekali...!" ujarnya. Seraya lengannya merayap membelai dada berbulu laki-laki gagah itu.

Laki-laki itu tak menjawab, akan tetapi cuma mendesis dengan tubuh terhuyung. Sementara diam-diam di hati Joko Sangit sudah mengeluh. Celaka...! Aku memang benar-benar mabuk! Apakah dalam arak telah diberi racun? Pikirnya dengan mengambang.

Namun pada saat itu tiba-tiba lengan si wanita telah bergerak menotok tubuhnya. Karena dalam keadaan mabuk luar biasa, juga ditambah totokan si gadis baju merah itu, Joko Sangit tak mampu berbuat apa-apa selain jatuh menggeloso. Namun sudah disangga si wanita itu pada pundaknya. Selanjutnya melalui jalan belakang kedai, segera membawanya lenyap dibalik pondok.

Adapun Raden Mas Cucak Ijo, telah perdengarkan suara lirih, seraya bangkit berdiri, Si pelayan kedai itu adalah ternyata pemilik kedai itu sendiri. Tampak dia berbisik-bisik pada Raden Mas Cucak Ijo. Lalu buru-buru menutup kedainya, dan menghilang di belakang pondok menyusui dua wanita baju merah yang membuntut di belakang Cucak Ijo. Sementara pertarungan berlangsung semakin seru.

Setan Muka Kuning ternyata bukan tokoh sembarangan. Disamping licik juga telengas. Tiga serangan beruntun si Tiga Petani dapat dihindari dengan membungkus tubuhnya oleh putaran senjata anehnya yang berbentuk Tongkat pendek berkepala Tengkorak. Tengkorak di ujung tongkatnya itu adalah senjata yang amat berbahaya. Karena pada bagian kepala tengkorak terdapat sebuah liang yang sewaktu-waktu bisa keluarkan asap beracun, tapi bisa juga membersitkan belasan jarum berbisa.

Dua puluh jurus berlalu. Tiba-tiba terdengar bentakan si Setan Muka Kuning. Gerakannya berubah jadi cepat sekali. Dengan lengan sebelah menghantamkan tongkat, sebelah lagi memukul dengan kepalan, yang bisa berubah jadi cakaran maut. Jelas terlihat lengan orang ini, yang kehitaman sebatas pergelangannya. Dapat diduga cakar lengannya itupun mengandung racun.

Tiga petani mainkan senjata tiga cangkul kecil yang menyerang ganas. Namun menghadapi perubahan gerakan silat si Setan Muka Kuning memang tampak ketiganya terdesak. Di saat mereka ayal atau lengah, asap hitam telah menerjang muka mereka membuat ketiganya terhuyung mundur. Namun mau tak mau asap racun sudah terhisap. Pandangan mata mereka mendadak jadi gelap oleh asap.

Dan di saat itulah terdengar tiga rangkaian jeritan maut. Karena setelah berdesir senjata jarum berbisa menghujam ke tubuh mereka, telah dibarengi pula oleh tiga rangkaian hantaman telak yang membuat kepala mereka berbunyi rengat. Tak ampun lagi, ketiga tubuh si Petani terjungkal berkelojotan. Namun sekejap kemudian tewas, melepaskan nyawa. Terkejut si Empat Hantu Gunung Cireme. Mereka sudah melompat menghadang di depan si Setan Muka Kuning.

"Mohon penjelasan! Mengapa anda membunuh mereka...? Bukankah mereka kawan sendiri?"

Akan tetapi si Setan Muka Kuning tertawa terkekeh. "Heh heh heh... Mereka justru harus dibunuh mampus! Mereka adalah mata-matanya Senapati Satryo...!"

Melengak seketika si Empat Hantu Gunung Cireme.

EMPAT

Kita tunda dulu keadaan di muka kedai di seberang sungai itu, untuk melihat apa yang terjadi di tempat orang berkerumun tadi. Yaitu di tempat adanya tiga orang wanita digantung di atas dahan pohon dengan keadaan tubuh telanjang. Tampak dan sosok tubuh berkelebat ke arah tempat itu....

"Hah!??? Benar-benar perbuatan biadab! He!? Kalian semua tak ada yang berani naik untuk menurunkan mayat...? Keterlaluan...!" Bentak laki-laki berpakaian Perwira Kerajaan itu, yang ternyata tak lain dari Senapati Satryo..

Si Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil. Entah bagaimana kisahnya sampai Roro ada bersama sang Senapati Satryo itu. Melihat keadaan tiga wanita yang digantung sedemikian sadisnya, bahkan dengan keadaan yang memalukan, membuat Roro harus cepat bertindak menurunkan. Lengannya bergerak menjumput sebutir batu kecil, yang segera disambitkan ke arah tambang pengikat leher wanita di atas dahan tinggi itu.

Tes...! Tambang putus. Dan tubuh wanita itu meluncur ke bawah dengan deras. Selanjutnya Roro sudah bergerak untuk menangkapnya. Selanjutnya dua butir batu kerikil kembali melesat sekaligus memutuskan tambang-tambang yang lainnya. Roro cepat menyambar salah satu tubuh wanita itu, sedang yang seorang lagi sang Senapati Satryo lah yang menyangga.

"Lepaskan sarung kalian...!" membentak Roro Centil, yang tiba-tiba berkelebat ke arah tiga orang laki-laki yang cuma berdiri saja di tempat yang agak jauhan.

Tentu saja membuat ketiganya jadi terkejut, karena datangnya mendadak, dan bentakannya pun tidak disangka. Terburu-buru mereka melepaskannya. Sekejapan saja sebelum tubuh tiga wanita tanpa aurat itu dapat dipentang orang banyak, Roro Centil telah menutupinya. Adapun sung Senapati Satryo jadi terhenyak menatap salah seorang dari wanita itu, yang tak lain dari istrinya sendiri. Berbarengan dengan ditutupinya tubuh perempuan itu, terdengar suara jeritan Senapati Satryo.

"Pratini...!?? Pratinii...!? kau...kau...eehh...hh..." menangislah laki-laki ini terisak-isak, setelah mengguncang-guncang tubuh mayat wanita muda itu. Dan memeluknya dengan bersimbah air mata.

Tentu saja membuat semua orang jadi terpaku, terkejut dan belalakkan mata. Termasuk Roro Centil. Sungguh dia tak menduga kalau salah seorang dari mayat wanita itu adalah istri sang Senopati itu sendiri. Tiba-tiba tampak sekejap laki-laki itu telah tengadahkan lagi kepalanya. Wajahnya tampak membesi. Lengannya bergerak menyeka air mata yang membasahi kedua pipi.

Sementara bibirnya telah digigit kencang hingga berdarah. Sang Senapati telah berusaha menahan tangis kesedihannya dengan sekuat tenaga. Kini yang ditatap adalah mayat kedua wanita itu, yang tak jauh diletakkan Roro di dekat mayat istri Senapati Satryo. Perlahan dia bangkit, dan melangkah mendekati. Tiba-tiba kembali berjongkok. Wajahnya menunduk haru.

"Oh!? Aku tak mengerti! Mengapa hal ini dapat terjadi? Namun seandainya memang bisa terjadi mengapa istriku juga harus jadi korban...?" Gumam Senapati Satryo.

Roro cuma termangu-mangu mendengar kata-kata gumaman laki-laki orang Kerajaan itu. Mengapa Roro Centil dapat sampai ke tempat ini...? Dan juga mengenal pada Senapati Satryo...? Cukup panjang kisahnya. Akan tetapi akan dipaparkan sedikit riwayat mengenai perjalanannya.

Perbuatan jahat, licik juga keji, ternyata memang selalu membuat Roro Centil membencinya. Apalagi terhadap rakyat jelata. Penduduk desa yang lemah, yang diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang yang berkuasa. Membuat kepala si gadis Pendekar Selatan ini jadi seperti gatal tanpa kuku.

Kalau belum membuat mampus atau menyiksanya sampai setengah mati lalu menyuruhnya bertobat, tentu tak akan puas hatinya. Bahkan kalau sudah kehilangan sabar sang Pendekar Wanita beradat aneh ini, jangan harap kalau bisa diberi hidup...! Paling untuk dibuat miring otaknya, atau kehilangan salah satu anggota badannya. Itulah watak aneh Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Akan tetapi satu peristiwa belakangan ini nyaris saja membuat dia terkurung seumur hidup di dalam kerangkeng gaib, yang tak dapat Roro melepaskan diri. Roro jumpai seorang laki-laki tua-renta terkapar di tengah jalan. Panas terik yang membakar bumi membuat orang itu akan mati haus, karena kepanasan. Nalurinya yang tajam mengatakan pasti ada apa-apa yang tidak beres di daerah ini. Segera Roro tanpa berayal menolongnya. Kebetulan sepasang senjata Rantai Genitnya baru saja diisi oleh air pancuran di kaki gunung yang tadi dilewati.

Cepat ditariknya sebuah Bandulan aneh berbentuk bulat macam payudara itu ditimbangtimbangnya sejenak, lalu ujung putiknya diputar. Kemudian dengan tanpa laki-laki tua itu yang tengadahkan kepala laki-laki tua itu yang kepalanya diletakkan di atas pangkuannya.

Ketika bandulan si Rantai Genit dibalikkan dan ujung putiknya dijejalkan pada mulut laki-laki tua itu, maka mengucurlah airnya. Tentu saja dengan lahap, sang kakek malang itu meminumnya, hingga sampai megap-megap. Tak lama Roro sudah simpan lagi "buah dada"nya ke balik pinggang.

Akan tetapi terkejut Roro Centil ketika memeriksa tubuh orang tua itu, ternyata tulang-tulang iganya telah patah lima buah. Juga tulang lutut yang hancur. Bahkan kedua lengannya sudah patah sama sekali. Akan tetapi tiada darah setetes pun keluar dari tubuh atau anggota badan laki-laki itu.

Sementara di sebuah pondok, tak jauh dari mulut desa Lamtoro, tengah terjadi satu pemandangan yang membuat bulu tengkuk meremang. Karena di dalam rumah besar itu tengah terjadi kebiadaban dari manusia-manusia yang bermartabat rendah, berhati binatang dan bernafsu setan. Empat wanita tergeletak dalam keadaan dikerubuti lebih dari sepuluh orang laki-laki yang sudah bagaikan harimau yang lepas kulitnya.

Akan tetapi pada saat itu tampak sebuah bayangan berkelebat masuk melalui jendela. Gerakannya ringan bagaikan bayangan tanpa mengeluarkan suara. Tiba-tiba terdengarlah suara jeritan-jeritan menyayat hati, dan teriakan-teriakan parau menggema bersahutan. Dibarengi suara berderak dan bergedubrakan bagaikan ada angin prahara mengamuk di dalam rumah panggung itu.

Apakah yang terjadi? Sukar diceritakan kejadian di dalam rumah panggung milik kepala desa itu. Karena dari luar yang terlihat adalah terlemparnya beberapa sosok tubuh menembus wuwungan rumah. Menjebol atap genting, yang diiringi suara berderakan. Genting-genting rumah itu hancur beterbangan.

Dan delapan sosok tubuh jatuh berdebuk ke tanah, dengan keadaan hancur seluruh tulangbelulangnya, dan mati seketika. Bahkan ada pula yang membentur batang pohon kelapa, dengan tubuh berpuncratan darah. Tampak dua orang laki-laki berlari jatuh bangun, setelah melompat keluar dari salah sebuah jendela yang tertutup. Ditabraknya hingga daun jendelanya lepas berpentalan. Tampaknya dua orang ini berhasil meloloskan diri.

Akan tetapi ketika tiba dijalan desa, telinga kedua ini mendengar suara berdengung di belakangnya. Terkejut bukan main kedua laki-laki ini ketika melihat sesosok tubuh dengan rambut beriapan berada di belakangnya. Tahu-tahu salah seorang dari laki-laki itu telah menjerit, ketika sebuah benda menghantam kepalanya. Tampak laki-laki itu berkelojotan memegangi kepalanya yang mengepulkan asap putih. Tak lama sudah jatuh terduduk, dengan mata mendelik, dan lidah terjulur mengalirkan air liur yang tiada hentinya mengucur.

Tentu saja membuat laki-laki ini jadi gemetaran, menatap kawannya. Sudah sejak tadi dia jatuh terjerembab, dan belum sempat bangun, karena kedua lututnya seakan telah lumpuh tak bertenaga. Kini dilihatnya seorang gadis cantik dengan sepasang mata bagaikan mata serigala menatap ke arahnya. Sementara sebelah lengan wanita cantik berbaju hitam itu memutar-mutarkan sebuah benda berantai yang mengeluarkan suara bagaikan ratusan tawon yang berdengung.

Itulah Roro Centil, yang barusan saja menghantamkan bandulan si Rantai Genit ke kepala kawan laki-laki ini. Setelah mengamuk di dalam rumah panggung tadi Roro telah mengejar kedua orang ini. Tak seorang pun dari para manusia biadab itu dibiarkan meloloskan diri.

"Am... ampuuun...! Ampun..! ja.. jangan bunuh aku, no.. nona..! Aku tak ikut-ikutan memperkosa! Aku... cuma membunuh seorang nenek-nenek saja.. ohh.. hh.. hhh..."

Membeliak sepasang mata Roro Centil. Lengannya bergerak menyambar rambut laki-laki itu, yang sudah dicengkeramnya hingga tubuhnya terbawa berdiri. "Setan alas...? Dan sekali sentak, rambut kepala lelaki itu telah terlepas jebol dari kulit kepalanya.

Tubuh laki-laki itu terhuyung ke depan, dan jatuh ngusruk, diiringi jerit kesakitan. Selanjutnya dia sudah berjingkrakan meraung-raung memegangi kepalanya yang botak berlumuran darah pada bagian atas ubun-ubunnya. Roro lemparkan gumpalan rambut di tangannya yang dibanting ke tanah sampai melesak lenyap. Tiba-tiba lengannya sudah bergerak menjewer telinga laki-laki itu, yang kembali terbawa berdiri.

"A... aaammpuuuun..! ampuuunn..! aduuuh.. aku tobat tak mau ikut-ikutan berbuat kejahatan lagi! Ampunilah nyawaku, no.. nona pendekar..." rintihnya dengan wajah menyeringai ketakutan.

"Hm, katakan siapa pemimpin kalian! Dan apa yang terjadi sebenarnya di desa ini..! Kalau kau tak menjelaskan, terpaksa akan ku kuliti tubuhmu dengan segera!" ancam Roro dengan wajah sengit.

"Kami... kami anak buahnya Raden Mas Cucak Ijo, nona pendekar! Kami memang bertindak keterlaluan... tapi... tapi aku cuma terbawa-bawa, saja...". tutur laki-laki itu. Roro Centil naikkan alisnya.

"Siapa Raden Mas Cucak Ijo itu..!" bentak Roro lagi.

"Be.. beliau adalah ket.. ketua kami, nona pendekar! Ya, ket... ketua kami..."

"Setan alas..! Aku sudah tahu dia itu ketuamu, goblok! Maksudku apakah dia penguasa di sini, atau kepala rampok, atau orang suruhan dari Kerajaan, atau..."

Wuusss...! Roro sudah lemparkan orang. itu ke atas genting sebuah rumah. Dan... Brakkk! Tubuh, laki-laki itu langsung menjeblos menembus genting, hingga tak nampak lagi. Cuma kedengaran suara mengerangnya tapi sesaat kemudian lenyap tak kedengaran suara apa-apa lagi.

Dess...! Kaki Roro telah melayang lagi menendang pantat laki-laki yang seorang. Laki-laki yang sedang duduk dengan kepala mengepulkan asap, dan lidah terjulur mengalirkan air liur ini terjungkal jatuh bergulingan. Akan tetapi tendangan itu tak menggunakan tenaga dalam. Hingga laki-laki itu dapat bangkit kembali dengan tubuh terhuyung-huyung, namun keadaannya jadi seperti orang tidak waras. Karena tampak setelah menjerit kesakitan, lalu tertawa-tawa.

"Hehehe... hehe... Pangkatku Perwira Kerajaan! Si Komang dan Kempot jadi pengawal istana...! Hahaha... hehe... Kanjeng Gusti Patih menjadi Raja! Hohoho... aku mau cari bini yang bahenol! Anak bangsawan yang kaya..! Kalau gadisnya menolak lamaranku, hehehe... akan kugorok batang lehernya..! Haha.. hahaha..." Sambil mengoceh tak keruan, laki-laki yang sudah rusak otaknya itu tertawa dan menari-nari sambil terpincang-pincang meninggalkan tempat itu.

Tentu saja membuat Roro jadi tersenyum, dan manggutmanggut sendiri. Mengertilah dia kini. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan membuat Roro Centil tersentak kaget. Namun segera dia sudah waspada menghadapi apa yang bakal terjadi. Sebuah bayangan warna hijau berkelebat, dan tahu-tahu seorang nenek bongkok telah berada di hadapannya.

"Hihih. hihi..! bocah cantik! Siapa namamu, wong manis? Senjatamu aneh dan lucu! Coba pinjami aku sebentar..!" Seraya berkata lengannya bergerak menyambar ke arah lengan Roro yang masih mencekal sebuah senjata dari sepasang Rantai Genitnya.

Terkejut Roro Centil. Segera saja tubuhnya bergerak membuat satu gerakan dari jurus aneh yang dimilikinya, yaitu jurus Langkah Bidadari Mabuk. Ternyata gerakan terhuyung itu mampu membuat sambaran lengan si nenek bongkok itu luput. Akan tetapi satu sedotan kuat dari lengan si nenek bongkok itu membuat Roro terkejut. Nyaris saja si Rantai Genit terlepas, kalau tak buru-buru Roro Centil gunakan Ajian Sari Rapet. Hingga senjatanya seperti melengket kuat dari cekalannya tanpa bisa terlepas lagi.

Namun tentu saja Roro tak dapat menahan tubuhnya yang ikut tersedot oleh tenaga dalam si nenek bongkok yang amat kuat. Sementara satu serangan melalui batinnya telah mempengaruhi Roro. Tenaga batin nenek bongkok ini  punya daya aneh, yang membuat Roro sukar melawannya.

"Hihihi... kau pasti muridnya si Manusia Banci dari Pantai Selatan. Hehehehe... ayo, kemarilah anak manis!"

Setengah sadar Roro terpaksa membiarkan tubuhnya terbawa sedikit demi sedikit. Dan melangkah semakin dekat. Namun di saat hampir mendekat, Roro Centil kembali sadar. Tersentak Roro Centil ketika tahu-tahu terasa tubuhnya dibelit oleh seutas tali gaib yang tak kelihatan. Tahu-tahu Roro rasakan tubuhnya tak mampu bergerak lagi. Ketika itulah lengan si nenek bongkok telah bergerak menotoknya. Roro cuma bisa mengeluh.

Tamatlah riwayatku! Sentaknya dalam hati. Pandangan Roro sekonyong-konyong menjadi gelap. Ingatannya mengabur. Dan Roro cuma bisa rasakan tubuhnya dibawa berkelebat cepat sekali di atas pundak si nenek bongkok itu. Ketika dia sadarkan diri lagi, Roro terkejut, karena kini tubuhnya telah berada di satu ruangan berbau pengap. Di manakah aku? Pikir Roro.

Setelah diteliti ternyata berada dalam satu ruangan goa yang luas. Di atas langit-langit goa terdapat satu lubang besar. Dari lubang itulah cahaya matahari masuk. Cuma lubang itu terlalu tinggi, hingga tetap saja hawa di situ berbau pengap. Namun Roro kini rasakan tubuhnya sudah tak terbelenggu lagi. Aneh, kemanakah nenek bongkok itu? Mengapa membawaku ke tempat ini? Pikir Roro dalam benaknya. Setelah meneliti setiap dinding, Roro menampak sebuah lubang yang tertutup batu.

"Heh! Itu pasti sebuah pintu keluar!" Desis Roro perlahan, seraya beranjak melangkah. Akan tetapi... tiba-tiba... Duk!

Terkejut Roro karena kepalanya terantuk oleh sebuah benda. Beruntung dia cuma melangkah, kalau dia melompat, bisa berakibat fatal pada kepalanya. Atau setidak-tidaknya kepalanya benjol. Namun anehnya di tempat kepalanya terantuk, tak ada apa-apa. Sedangkan dinding goa masih jauh belasan langkah lagi di hadapannya. Penasaran telah membuat Roro meraba ke arah depan. Terkejutlah sang gadis Pendekar ini, karena rasa lengannya menyentuh terali besi.

"Aneh!?" Gumam Roro. Karena setelah merayapi keadaan di sekitarnya dengan rabaan tangannya. Roro Centil berada dalam sebuah kerangkeng besi yang tak kelihatan oleh mata. Itulah kerangkeng gaib agaknya. Karena sama halnya dengan keadaan Roro sewaktu tubuhnya terkena jeratan tali gaib, yang juga tak terlihat mata.

Semakin mengeluh Roro Centil, karena ternyata kekuatan tenaga dalamnya telah punah. Apapun yang dilakukan tak membawa hasil untuk menerobos keluar dari kerangkeng gaib itu. Bahkan bagian atasnya pun dipagari terali aneh itu.

"Celaka...! Siapakah nenek bongkok itu? Apa maksudnya menawan ku di tempat ini? Mengapa tak membunuhku sekalian? Dan yang membuat Roro Centil terkejut adalah, sepasang senjatanya si Rantai Genit telah lenyap dari lengan dan belitan pinggangnya. Akhirnya gadis Pendekar itu cuma bisa jatuhkan pantatnya untuk duduk di tanah.

LIMA

Entah berapa lama Roro tak mengetahui. Tapi keadaan di dalam ruangan itu berangsur-angsur menjadi gelap. Tahulah Roro kalau malam akan segera tiba. "Keparat! Setan Alas!" Memaki Roro dengan kesal.

Akan tetapi tiba-tiba Roro mendengar suara menggeram di arah sudut goa. Tersentak Roro Centil. Seketika wajahnya menampilkan perobahan girang. Dan cepat berseru dengan menggunakan suara melalui batin.

"Tutul...! Di mana kau? Tolonglah aku. Aku ratumu yang sedang dalam bahaya...!"

Akan tetapi suara menggeram itu tetap tak terdengar mendekati. Bahkan tak juga menampak tubuh Harimau Tutul di hadapannya.

"Celaka..! Jangan-jangan si Tutul pun terjerat dalam kerangkeng gaib seperti aku!" Desis Roro. Kembali Roro Centil terpaku dan tercenung memegangi terali gaib yang amat kuat sekali. Tak mampu dia mendobraknya. Jalan satu-satunya adalah menunggu sampai si nenek bongkok itu muncul. Entah ada urusan apakah si nenek peot itu usil padaku! Pikir Roro dengan wajah jengkel.

Selang kira-kira sepenanak nasi. Karena kesalnya Roro Centil telah menjerit sekuat-kuatnya. Bahkan di antara jeritannya itu dibarengi pula dengan suara tertawa aneh. Dan lengannya kembali bergerak ke kiri kanan, menghantamkan pukulan-pukulannya untuk mendobrak kerangkeng gaib itu.

"Haiiii...! nenek bongkok yang sudah mau masuk liang kubur! Keluarlah kau! Ayo mengadu kesaktian sampai seribu jurus! Aku Roro Centil mengantar nyawamu ke liang Akhirat!!" Teriak Roro Centil.

Wuk! Wuk! Wukkk...!

Bunyi angin pukulan dan tendangan Roro Centil terdengar santar. Akan tetapi kerangkeng gaib itu mana mampu dihancurkan, karena kekuatan gaib tak bisa dilawan dengan kekuatan wujud. Walaupun tenaga dalam si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini tidak punah sekali pun, tak ada gunanya. Akhirnya setelah berteriak-teriak dan tertawa aneh yang histeris itu, kembali Roro terdiam. Tiba-tiba di kejauhan terdengar lapat-lapat satu suara lirih, yang menyusup ke telinganya.

"Roro.! Kekuatan apa pun yang dimiliki seseorang walaupun teramat tingginya tetap akan ada batasnya. Dan pasti ada kelemahannya. Dan kecerdikan akan mengalahkan segalanya! Mengapa tak kau gunakan kecerdikan mu untuk melepaskan diri dari kekuatan gaib yang telah membelenggu mu? Di atas langit memang masih ada langit! Tingginya suatu ilmu tak ada batasnya! Kekuatan lawan bisa bertambah berlipat ganda, dengan kepanikan mu dalam menghadapi kenyataan yang menimpamu! Lembar ke tujuh belas dari 17 lembar daun lontar yang kutitipkan padamu melalui pemuda bernama Joko Sangit, murid si Pendekar Gentayangan alias Ki Jagur Wedha rupanya belum selesai kau pelajari. Di lembar ke tujuh belas itu ada makna kata-kata yang belum sempat kau pecahkan! Aku percaya kau bukanlah seorang murid yang akan membuat kecewa gurumu! Karena itulah setiap sepak terjang mu aku selalu mengikuti! Nah! kukira kau paham mendengar penjelasanku, bukan? Kini berusahalah sebisa akalmu. Aku percaya, walau pun kau adalah seorang bocah yang tolol, tapi cerdik!"

Terperangah seketika Roro Centil. Jelas sekali kalau suara gurunya si manusia banci. Akan tetapi dia sudah mendengar berita dari Joko Sangit, laki-laki sahabatnya itu, bahwa sang guru telah tewas. Apakah yang bicara adalah arwahnya...? Sentak hati Roro Centil.

Seketika tanpa sadar Roro sudah berteriak keras. "Guruuu..!!" Cepat sekali, tiba-tiba air matanya telah membersit keluar membasahi pipinya.

Akan tetapi tak ada sahutan lagi. Keheningan mencekam sekitar lubang goa yang mulai remang-remang. Suara kepak kelelawar dan cicitnya terdengar ramai di sudut goa. Disertai beterbangannya binatang itu keluar melalui lubang di atas goa. Saat malam sebentar lagi akan tiba, dan binatang-binatang itu sudah masanya keluar untuk mencari makanan.

Tercenung Roro Centil. Jelas tadi adalah kata-kata gurunya. Kalau ada suaranya pasti ada orangnya. Demikian Roro Centil. Akan tetapi suara itu telah lenyap kembali. Mungkinkah arwah orang yang sudah mati bisa bicara padanya? Tanya Roro pada dirinya sendiri. Namun kesedihannya mendadak jadi sirna ketika kembali diingat-ingatnya katakata sang guru tadi.

Cepat-cepat di hapusnya air matanya. Roro masih ingat akan kata-kata pada lembar ke tujuh belas dari 17 lembar daun lontar warisan gurunya itu, yang maknanya memang belum terpecahkan. Kali ini adalah satu-satunya jalan untuk memecahkan makna kata-kata itu. Memikir demikian, segera Roro Centil bersidakep mengosongkan fikiran. Menyempurnakan diri ke alam batin, dengan satu tujuan, adalah mengingat pada Yang Maha Esa.

Selang beberapa saat, tampaklah satu ketenangan yang amat luar biasa pada Roro. Dia tidak lagi mengkhawatirkan nasib dirinya. Mengapa harus khawatir? Bukankah setiap nasib manusia ada pada kekuasaanNYA? Manusia boleh berusaha, akan tetapi Tuhan yang menentukan segalanya. Kini Roro tidak lagi gelisah.

Ketenangan telah berhasil dikuasainya dengan secara total. Barulah Roro segera memulai untuk mengingat kata-kata makna pada daun lontar di lembar ke tujuh belas itu. "Bidadari membuka perutnya. Tangis bayi mengumbar suara." Dua bait kata-kata itu seperti sebuah sajak, akan tetapi mengandung arti yang amat dalam.

Tercenung Roro Centil memikirkan maksudnya. Setelah berfikir bolak-balik tak menemukan juga makna dari kata-kata itu, akhirnya Roro mencoba mencari ilham dari apa yang dapat dilihatnya. Segera sepasang matanya jelalatan memutari sekitar gua yang remang-remang itu. Akan tetapi cuma satu dinding batu melulu. Cuma satu dinding yang celahnya agak renggang, dan Roro merasa yakin kalau itulah pintu keluar dari goa, yang ditutupi sebongkah batu.

"Heh, akan ku coba untuk menghancurkan batu itu dengan jarak jauh!" Bergumam Roro dengan sepasang mata menatap tajam pada bongkah batu itu. Akan tetapi baru tersadar Roro, kalau tenaga dalamnya telah punah. "Aku harus memulihkan terlebih dulu tenaga dalamku, mudah-mudahan bisa kembali seperti semula!" Pikir Roro.

Segera saja Roro mulai mengerahkan hawa murni dari tubuhnya. Sulit sekali menghimpun hawa murni, yang bertitik pusat pada pusar itu. Karena berkali-kali Roro menemui kegagalan. Akan tetapi tekadnya sudah bulat. Kembali dia mencoba, dan mencoba... hingga peluhnya bercucuran di sekujur tubuh. Pada saat itulah Roro Centil teringat akan kata-kata di daun lontar lembar ke tujuh belas itu, yang ada pada bait kedua.

Yaitu kata-kata: 'Tangis bayi mengumbar suara.' "Heh?! Apakah aku harus menangis seperti seorang bayi?" Pikir Roro. Justru mengingat demikian membuat Roro jadi terpingkal-pingkal geli sendiri. "Guruku memang aneh! Masakan aku harus berteriak-teriak seperti seorang bayi!" pikirnya.

Tapi Roro Centil tak menyadari. Justru di saat dia tertawa tadi, hawa murni tengah memutar kencang di sekitar pusar. Dan ketika tertawa terpingkal-pingkal itulah hawa murni dalam tubuhnya bergolak membuka jalan-jalan darah yang telah mampat di sekujur tubuh. Hingga begitu Roro berhenti tertawa, segera rasakan perubahan pada tubuhnya. "Eh..!? Aneh! Aku seperti telah berhasil menghimpun hawa pada pusar!" Sentak Roro di hati.

Memang tadi dia telah rasakan pergolakan hawa di sekujur tubuh. Dan Ketika kembali mencoba menghimpun hawa murni untuk yang ke sekian kalinya ternyata mudah saja bagi Roro melakukannya. Hingga sekejap saja Roro telah berhasil menghimpun kembali hawa murni, yang segera dengan mudah disalurkan pada kedua telapak tangannya.

Akan tetapi baru saja dia berniat menghantam batu pengganjal lubang di hadapannya, tiba-tiba Roro urungkan niatnya. Kini dia berpikir lagi. "Hm, untuk apa membuka lubang itu, kalau toh aku tak bisa lepas dari kerangkeng gaib ini?"

Memikir demikian, segera Roro mengulang lagi kata-kata dua bait mirip syair itu untuk dipecahkan maknanya. Setelah berfikir beberapa saat, tiba-tiba Roro Centil tertawa mengikik geli tiada henti. Seraya menggumam sendiri, bahkan memaki-maki dirinya.

"Hihihi... hihihi... hihi... tolol!! dasar aku memang tolol! Kalau begitu syair itu maknanya demikian? Hihihi... pasti demikian! Heh! Akan ku coba sekarang."

Tak berayal Roro Centil benar-benar membuka bajunya. Bahkan lepaskan pula celananya. Kecuali B.H. dan celana dalam dari besi aneh yang memang mirip persis dengan orang yang tak berpakaian sama sekali. Karena mempunyai bentuk yang telah dirancang oleh seorang manusia banci. Hingga tidak aneh lagi bila dia bisa ciptakan benda aneh sedemikian rupa. Kecuali pada sisi celana dalam besi itu yang terdapat beberapa gelang rantai, sukarlah bagi orang membedakan kalau tidak dengan meraba.

Ada pun B.H. penutup payudara demikian juga halnya, karena amat mirip dengan buah dada. Kecuali pada bagian belakangnya, yang terdapat rantai. Namun tentu saja takkan terlihat, karena tertutup dengan rambutnya yang panjang terurai. Selanjutnya Roro benar-benar membuat gerakan menari. Tentu saja yang dipergunakan adalah tarian Bidadari Mabuk Kepayang.

Sementara dalam menari itu, Roro Centil sebarkan hawa murni ke seluruh tubuh. Hingga tampak seluruh tubuhnya mengeluarkan uap putih, bagaikan uap yang ke luar dari batu es. Bahkan dari mulut sang gadis ini yang terbuka dan tengah mengeluarkan suara tertawa itupun mengeluarkan uap putih. Bayi diibaratkan adalah hawa murni itu. Karena jelas seorang bayi adalah seorang yang masih murni. Sedangkan tarian itu adalah membuat terbukanya lubang pori-pori, hingga hawa murni dapat keluar menyebar.

Dan ketika Roro gerakkan tangannya mereka ke sekeliling kerangkeng, seketika saja setiap jeruji besi yang tak kelihatan itu musnah bagaikan kertas yang dimakan api. Hingga hawa murni yang keluar dari tubuh Roro Centil telah berhasil membuat kerangkeng gaib itu lenyap musnah. Kini Roro sudah melompat dari tempat di mana kakinya berpijak. Dan selanjutnya lengannya bergerak menggeser batu besar penutup lubang.

Hawa segar segera masuk dari lubang yang telah menganga sebesar dua kali tubuh manusia itu. Akan tetapi baru saja Roro mau melompat pergi, tiba-tiba terdengar suara menggeram si harimau Tutul. Terkejut Roro Centil ketika teringat akan nasib harimau siluman sahabatnya itu.

"Tutul! Tampakkanlah dirimu..!" Selesai Roro berkata, segera terlihat seekor harimau Tutul yang bertubuh sebesar kerbau berada disudut goa dalam keadaan tak bisa berkutik kaki tangannya karena telah terkena jeratan tali gaib si Nenek Bongkok.

Tak ayal lagi Roro sudah melompat untuk menolongnya. Tentu saja ketika tubuhnya membentur kerangkeng gaib, seketika kerangkeng aneh itu lenyap musnah, dan segera saja sudah berhasil melepaskan tali gaib yang membelit sekujur tubuh si harimau Tutul. Dan sekejap kemudian sudah terbebas kembali. Demikianlah Roro Centil langsung menuju Kota Raja.

Namun di tengah perjalanan telah berpapasan dengan seorang bocah yang ditaksir Roro berusia sekitar antara lima enam tahun. Seorang bocah laki-laki berkulit hitam, berambut tebal kaku, dengan sepasang mata yang memancar menyeramkan. Bocah hitam itu tengah mempermainkan dua buah benda berantai. Terkejut Roro Centil, karena mengetahui kedua benda itu adalah sepasang senjatanya si Sepasang Rantai Genit

. Tak berayal dengan sekali menggerakkan tangan, Roro telah menyambar kembali senjata si Rantai Genit itu, yang kembali berada dalam genggaman tangannya. Tampak wajah si bocah hitam itu menampilkan kegusaran. Akan tetapi ketika Roro menyapa dan menanyakan namanya, bocah hitam itu tiba-tiba berkelebat cepat bagaikan seekor rusa hitam saja, yang segera sekejap kemudian lenyap di balik semak belukar.

Terkejut Roro Centil, dan karena rasa ingin tahu segera mengejarnya. Dengan pergunakan kelincahan serta ilmu melompat tingginya, Roro Centil melompat dari dahan ke dahan mengejar dan mencari jejak bocah aneh itu. Akhirnya dapat diketahui ke mana larinya bocah hitam itu, yang ternyata menuju ke sebuah bukit. Diam-diam Roro Centil terus membuntuti hingga sampai ke atas bukit, yang ternyata kemudian lenyap di balik pohon angsana besar di sekitar makam tua.

Berputar-putar Roro Centil mencari kemana lenyapnya si bocah aneh itu di sekitar makam, namun tetap tak dijumpai. Entah kemana lenyapnya si bocah hitam itu. Terasa keadaan di sekitar tempat itu amat sunyi mencekam, membuat tengkuk Roro terasa dingin dan membangunkan bulu roma. Akhirnya Roro melesat pergi meninggalkan bukit aneh yang menimbulkan hawa seram itu. Dan kembali teruskan tujuannya ke Kota Raja. Hingga kemudian berjumpa dengan Senapati Satryo.

Dan tanpa liku-liku, Roro Centil telah berkenalan pada laki-laki Perwira Tinggi Kerajaan Masyapati itu. Tentu saja Roro Centil ceritakan kejadian yang dialaminya. Juga tentang kata-kata seorang anak buah Raden Mas Cucak Ijo yang jadi gila akibat hantaman bandulan si Rantai Genit-nya Roro Centil.

Diam-diam Senapati Satryo amat bersimpati pada Roro. Apalagi setelah mengetahui kalau Roro adalah seorang tokoh Rimba Hijau yang sudah terkenal nama dan julukannya di setiap penjuru. Membuat Senapati Satryo memerlukan bantuannya untuk mengatasi kericuhan di Kota Raja. Karena mengkhawatirkan akan terjadinya pemberontakan terselubung.

Dan berita dari Roro memang telah membuat sang Senapati semakin bercuriga pada Ki Patih Buntaran. Karena selalu mengambil cara sendiri tanpa diperintah Raja. Bahkan terhadap dirinya seperti tak memandang mata. Seolah meremehkan bahwa penjagaan ketat yang dipimpinnya bersama para laskar kerajaan tak punya kekuatan apa-apa.

Kini jelaslah kalau Ki Patih Buntaran mau berkhianat. Bahkan sengaja mempersenjatai diri dengan mengumpulkan para tokoh hitam dan kaum Rimba Hijau untuk memperkuat pertahanannya. Tentu saja. sang Patih mengatakan pengumpulan para tokoh-tokoh itu, adalah demi menjaga keutuhan Kerajaan dari bahaya pembunuhan misterius yang tengah terjadi di Kota Raja.

Bahkan yang membuat aneh, adalah setelah menghilangnya Permaisuri Durgandini, beberapa pekan kemudian lenyap pula Nawangsih, sang selir Raja, yang baru beberapa hari ini diangkat menjadi Permaisuri secara syah, membuat Baginda Raja Prabu Gurawangsa jadi semakin tenggelam dalam kekalutan.

Hingga secara tak langsung, sang Patih Buntaran lah yang pegang peranan. Demikianlah singkat cerita dari kisah Roro yang berlalu di belakang peristiwa ini. Kini Roro tengah terpaku menatap pada sang Senapati Satryo yang tengah tercenung menatap kedua mayat wanita di hadapannya.

"Mayat siapa pulakah ini, sobat Senapati...?" Tanya Roro.

Senapati Satryo membisik lirih. "Keduanya adalah selir dari baginda Raja...!"

Baru saja habis ucapan sang Senapati, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak. "Ada keributan....! Ada keributan di seberang sungai! Lihatlah tengah terjadi pertarungan di sana!"

Berteriak seorang tukang sampan, yang masih memegang sebuah dayung di bahunya. Tak ayal, Roro Centil sudah berkelebat untuk melesat ke arah yang ditunjuk orang itu. Tak lama Roro menjadi dua telah mengikuti jalannya pertarungan antara si Tiga Petani Gunung Kumbang dengan si laki-laki berjulukan Setan Muka Kuning sejak dia menyelinap ke sana. Bahkan sempat pula sesosok tubuh dipayang di dalam kedai oleh seorang wanita baju merah yang berusaha menotoknya.

Tentu saja Roro segera mengenali siapa adanya laki-laki itu. Yaitu si pemuda jembros yang bernama Joko Sangit. Roro melihat pula adanya seorang laki-laki gendut yang diapit oleh dua orang gadis cantik berbaju merah, yang dengan terburu-buru segera menyelinap ke ruang belakang kedai. Kemudian dilihatnya juga si pelayan atau si pemilik kedai itu dengan tergesa-gesa menutup pintu kedainya. Dan juga dengan terburu-buru segera menyelinap ke ruang belakang kedainya.

Semua itu Roro perhatikan dari sebuah jendela kecil yang tak sempat si pelayan kedai itu menutupnya. Sementara Roro sudah palingkan kepala lagi untuk menatap ke arah pertarungan. Akan tetapi tak berapa lama sudah terdengar jeritan maut si Tiga Petani Gunung Kumbang yang kena serangkaian serangan keji, setelah terlebih dulu si Setan Muka Kuning menghembuskan asap beracunnya dari tongkat pendek berkepala Tengkorak yang juga bersitkan puluhan jarum berbisa.

ENAM

"Hehehehe… Mereka justru harus dibunuh mampus! Mereka adalah mata-matanya Senapati Satryo...!" Berkata si Setan Muka Kuning, sebagai jawaban atas pertanyaan si Empat Hantu Gunung Cireme.

Melengak keempat tokoh Rimba Hijau itu. Pada saat itulah terdengar suara bentakan keras, disertai berkelebatnya dua sosok tubuh. "Bangsat keparat! Kiranya kalian begundal-begundalnya Ki Patih Buntaran...!"

Dan sesosok tubuh berjubah telah berada di tempat itu. Yang tak lain dari Resi Jenggala Manik. Sementara yang seorang lagi adalah Tangan Kilat adanya. Roro yang sudah mau turun tangan terpaksa batalkan niatnya.

"Heh heh heh...! Selamat jumpa Resi Jenggala Manik, dan anda si Tangan Kilat!" Berkata Si Setan Muka Kuning. Tampak wajahnya berubah agak pucat. Akan tetapi dengan mengumbar tertawa dan kata-kata, dia telah menutupi rasa terkejutnya.

"Iblis keparat!... Jangan harap kau dapat duduk enak di Kerajaan! Aku telah mengetahui pengkhianatan Patih Buntaran!" Tiba-tiba terdengar satu suara. Disertai munculnya Senapati Satryo.

Terkejut si Setan Muka Kuning, akan tetapi sudah mengumbar kembali tertawanya. "Heh he he... Senapati gagah! Mengapa tak kau ratapi dulu kematian istrimu yang sudah kukirim nyawa nya ke Akhirat, bersama kedua selir Rajamu itu?"

"Iblis...! Jadi kaulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk itu?" Bentak Senapati Satryo. Dan tubuhnya sudah berkelebat ke arah si Setan Muka Kuning, seraya dibarengi dengan ditariknya keluar pedangnya dari pinggang.

Wuttt! Wuttt...!

Dua kilatan pedang menabas ke arah pinggang dan leher manusia itu. Akan tetapi.... Trang! Buk...! Satu tangkisan dan hantaman telapak tangan membuat, yang mengenai dada Perwira Tinggi Kerajaan itu membuat tubuh laki-laki itu terlempar tiga tombak. Akan tetapi di saat Setan Muka Kuning mau menghantamkan tongkat, dengan berkelebat memburu sang Senapati Satryo. Akan tetapi Resi Jenggala Manik mana mau membiarkan muridnya kena dihantam tongkat si Setan Muka Kuning.

Wukkk...! Kakek berjubah putih ini telah kirimkan serangan tenaga dalam ke arah tubuh si Setan Muka Kuning. Terkejut manusia ini, namun segera lontarkan tongkatnya disertai mengepulnya uap beracun dari ujung tongkat berkepala tengkorak.

Namun dengan kebutuhan ujung lengan jubahnya, uap beracun telah disampok buyar seketika. Sementara itu si Empat Hantu Gunung Cireme masing-masing telah cabut senjata mereka dari balik punggung. Ternyata adalah empat buah pedang yang mempunyai gerigi pada kiri kanannya. Pedang ini pun mengandung racun jahat. Karena sesuai dengan julukan mereka si Empat' Hantu Gunung Cireme. yang datang atas undangan Ki Patih Buntaran.

Tentu saja dengan janji akan mendapat kedudukan istimewa, atau setidak-tidaknya imbalan yang bukan sedikit bila usaha pemberontakan itu menemui keberhasilan. Serentak setelah saling memberi isyarat, mereka segera lakukan pengeroyokan pada Resi Jenggala Manik. Empat pedang beracun segera meluncur dari beberapa penjuru mengarah ke tubuh sang Resi.

Hal demikian membuat Roro tak dapat tinggal diam. Sekejap dia sudah loloskan sepasang Rantai Genit-nya. Dan tubuhnya sudah berkelebat seraya putarkan senjatanya yang berdengung bagai ribuan tawon.

Trang! Trang! Trang...!

Tiga pedang berhasil di sampok mental. Namun yang sebuah lagi rupanya telah keburu ditangkis oleh sang Resi Jenggala Manik. Bret! Beruntung hanya lengan jubah kakek itu saja yang kena terserempet. Terkejut si Empat Hantu Gunung Cireme melihat kemunculan Roro Centil. Apa lagi telah berhasil menyampok mental pedang-pedang beracun mereka.

Ternyata orangnya adalah seorang gadis cantik yang bersenjata aneh mirip sepasang payudara. Mereka saling memberi isyarat, dan kini keempat orang itu telah berbalik menerjang Roro. Adapun si Tangan Kilat yang memang telah mengetahui si dara perkasa itu berada di pihaknya tak segan-segan segera turut membantu.

"Tahan! Aku si Tangan Kilat harap diberi bagian menggebuk manusia-manusia panggilan gila pangkat ini!" Teriaknya, seraya menerjang maju. Kedua lengannya adalah senjata andalannya. Karena bisa di pergunakan menabas tubuh lawan menjadi dua potong.

Bet! Bet! Bet!... Wuttt... Duk!

Tiga hantaman telah dilancarkan memapaki serangan Tiga di antara si Empat Hantu Gunung Cireme itu, seraya mengelakkan serangan. Akan tetapi tak urung perutnya kena dihantam oleh tendangan orang keempat. Membuat dia mengaduh, dan terlempar bergulingan. Pada saat itulah si Setan Muka Kuning yang tengah bertarung dengan Resi Jenggala Manik lancarkan serangan tiba-tiba, mengeprak kepala si Tangan Kilat.

Untung Ki Jenggal Manik cepat mengirim serangan telapak tangannya hingga serangan itu mencong ke sisi. Tapi tak dinyana belasan jarum berbisa telah terlebih dulu meluruk ke tubuh Tangan Kilat. Hingga tak ampun laki-laki dari Lembah Tengkorak itu menjerit ngeri. Tubuhnya berkelojotan, lalu tewas dengan seluruh kulit tubuh berubah hitam.

"Manusia laknat!" Membentak sang Senapati Satryo. Seraya lakukan serangan dari belakang punggung si Setan Muka Kuning. Akan tetapi lagi-lagi dia harus menghindar dari asap beracun yang dikebutkan ke arahnya.

"Mundurlah muridku! Biar aku yang memberi hajaran manusia andalan Ki Patih Buntaran ini!" Berbareng dengan kata-katanya tubuh Resi Jenggala Manik telah berkelebatan bagaikan bayangan putih, yang berada di simpang siurnya asap beracun. Namun...

Praakkk...! Lengan sang Resi telah berhasil membuat kepala tongkat beracun itu hancur terkena pukulan tenaga dalamnya yang dahsyat. Dan saat berikutnya laki-laki berpakaian serba kuning itu telah keluarkan teriakan ngeri, karena satu hantaman lagi membuat kepalanya seketika rengat.

Kini ganti si Setan Muka kuning yang berkelojotan, berteriak-teriak meregang nyawa. Dan pada saat itulah tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh hitam yang mencengkeram perutnya. Brolll...! Menggeliat si Setan Muka Kuning. Lalu sekejap kemudian tewas.

Terkejut sang Resi maupun Senapati Satryo. Sesosok tubuh hitam itu adalah seorang bocah kecil berkulit hitam yang kini menata keduanya dengan sepasang mata mendelik liar. Kedua lengannya bersimbahkan darah. Adapun Roro Centil agak terkejut melihat datangnya makhluk kecil itu, karena mengingatkan pada peristiwa belakangan, ketika dia menemukan sepasang senjatanya berada pada bocah hitam itu.

Namun kesempatan itu rupanya telah dipergunakan keempat Hantu Gunung Cireme itu untuk melesat kabur. Bukan main mendongkolnya Roro. Tiba-tiba lengannya telah meraih segenggam batu kerikil. Dan... Serrr...!

Belum lagi jauh si Empat Hantu Gunung Cireme itu, telah terdengar suara teriakan paraunya. Tubuh keempat orang itu jatuh ngusruk, untuk segera berkelojotan. Namun tak lama sudah menggeliat untuk segera lepaskan nyawa. Karena masing-masing punggung dan lehernya telah tertembus batu-batu kerikil yang dilontarkan Roro, yang langsung membawa nyawanya ke akhirat.

Brett..! Tahu-tahu si bocah hitam itu sudah menyerang sang Resi Jenggala Manik, yang jadi terkejut. Kelitan tubuhnya tak berhasil dihindarkan. Karena bahunya sudah kena dicengkeram kuku si bocah hitam itu, hingga jubahnya robek sampai melukai kulit pundaknya. Terperangah sang Resi dan Roro maupun Senapati Satryo. Sang Senapati ini sudah melompat ke hadapan gurunya.

"Awas! Hati-hati sobat Senapati! Biar aku yang menghadapi!" Teriak Roro. Dan tubuhnya sudah berkelebat ke arah bocah aneh itu.

"He!? Siapakah namamu, anak kecil? Siapa ibumu... dan siapa ayahmu?" tanya Roro. Ini adalah pertanyaan yang kedua kali dilakukannya sejak Roro menemukan bocah hitam itu.

Akan tetapi jangankan menyahut, mendesis pun tidak bocah hitam ini. Cuma sepasang matanya saja yang mendelik menatap Roro Centil. Terutama pada senjata sepasang Rantai Genit di tangan sang Pendekar wanita itu. Pada saat itulah berkelebat sesosok tubuh disertai suara tertawa yang mencekam hati. Dan diiringi munculnya sesosok tubuh wanita yang berambut beriapan.

"Hihihi... hihi... anakku! Ke sinilah sayang!" ujar wanita berambut beriapan itu.

Terkejutlah sang Senapati karena mengetahui wanita itu adalah DURGANDINI, alias permaisuri Baginda Raja Kerajaan Matsyapati, yaitu Prabu Gurawangsa. Yang membuat aneh adalah wanita itu menyebut anak pada si bocah hitam itu. Sekali berkelebat, si bocah hitam itu sudah mendekati Durgandini. Apakah sebenarnya yang terjadi dengan Durgandini? Mengapa secepat itu telah mempunyai seorang anak yang ditaksir berusia sekitar lima enam tahun?

Kiranya sudah menjadi kenyataan bagi Durgandini, yang harus segera melahirkan dalam waktu yang amat singkat. Cuma beberapa pekan saja dia mengandung. Dan tiga-empat hari kemudian selisihnya sejak lenyapnya NAWANGSIH, sang selir yang sudah diresmikan sebagai Permaisuri Raja, Durgandini telah melahirkan seorang bayi aneh. Karena keluarnya dengan bentuk asap, yang kemudian menjelma menjadi seorang bocah berkulit hitam, namun mirip seperti bocah yang berusia lima-enam tahun.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, di mana ketika kepala TRI AGNI yang putus telah melayang dari Lembah Tengkorak, kembali ke bukit Makam Tua. Lalu masuk ke dalam tubuh Durgandini dan bersenyawa dengan sang anak perempuannya itu. Saat itulah Durgandini telah kemasukan segala kesaktian yang dipunyai Tri Agni ibunya. Dan Ajian DASA JIWA dengan sendirinya berpindah padanya.

Durgandini langsung merasakan dirinya mengidam. Akan tetapi mengidamnya adalah keinginannya untuk menghirup darah manusia. Demikianlah, ketika itu juga tubuhnya berkelebat untuk mencari darah. Dan seorang petani menjadi korbannya, yang dibunuhnya di tengah sawah. Lalu dihisap darahnya.

Demikianlah, beberapa hari selanjutnya Durgandini selalu mencari korban penduduk desa yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hingga selang beberapa pekan kemudian perutnya semakin membesar. Walaupun Durgandini amat heran karena baru berjalan mengidam selama tiga hari, tahu-tahu keesokan hari di hari keempat, perutnya sudah kelihatan menggembung kecil. Semakin hari semakin membesar. Dan selama itu Durgandini selalu menyantap makanan yang sudah tidak asing lagi baginya.

Tentu saja setelah membunuhnya, terlebih dulu mengambil sejumput jantung dan paru-paru. Bila sudah berhasil mencuri, tentu sisa-sisa tubuh bayi yang sebagian sudah berpindah dalam perutnya itu, dilemparkan wanita itu dimana saja. Hingga tak jarang di setiap tempat banyak ditemukan mayat-mayat bayi yang sudah tidak utuh lagi. Hal mana membuat penduduk di beberapa tempat jadi ketakutan.

Berita adanya makhluk pemakan daging manusia dan peminum darah telah tersebar ke desa-desa terdekat. Terutama berita itu dibawa dari desa asal kejadian, yaitu desa dimana adanya seorang jagoan desa bernama Bendot. Namun beberapa pekan sejak Bendot dan beberapa kawannya mencari jejak si pembunuh keluarga seorang penduduk desa, Bendot dan kawan-kawannya tak pernah muncul lagi.

Tentu saja membuat para keluarganya menjadi resah. Penduduk nekat mencari mereka. Pencarian yang belum tentu membawa hasil bahkan ketika mereka yang dipimpin oleh kepala desa itu berangkat, desa Lamtoro telah kemasukan manusia-manusia begundalnya Raden Mas Cucak Ijo. Seperti diketahui Raden Mas Cucak Ijo itu adalah manusia cecunguk yang jadi orang kepercayaannya Ki Patih Buntaran.

Manusia-manusia bejat itu enak saja melakukan pemerkosaan para wanita di desa yang hampir kosong itu. Bahkan rumah kepala desa dijadikan tempat "pertarungan" di atas pusar dan tubuh-tubuh mulus sang perawan desa. Seperti telah diceritakan, Roro Centil telah mengamuk di dalam rumah panggung milik kepala Desa itu. Dan melenyapkan nyawa belasan manusia bejat yang tengah berpesta-pora dengan segala kebrutalannya.

Beberapa pekan kemudian perut Durgandini semakin besar. Dan akhirnya pada suatu malam yang mencekam. Rembulan tak menampakkan diri. Angin membersit keras disertai hawa dingin yang menusuk ke tulang sumsum. Durgandini berjalan tertatih-tatih di malam gelap itu. Sementara di angkasa berkali-kali membersit ,cahaya kilat menyibak gelapnya malam. Tenaga Durgandini entah mengapa seperti hilang lenyap.

"Oh, aku harus cepat tiba di Makam Tua..!" gumam Durgandini.

Sementara dia tengah melangkah terhuyung melewati satu kebun jagung milik seorang petani. Perutnya terasa semakin mulas. Dan tubuhnya gemetaran, disertai hawa panas yang bergolak di dalam perutnya. "Apakah bayiku akan segera lahir?" Berkata Durgandini dalam hatinya.

Wanita ini mencoba mengerahkan kekuatan pada kakinya untuk berjalan lebih cepat, atau kalau mungkin mengerahkan tenaga untuk melesat dengan ilmu kesaktian yang telah dimilikinya. Akan tetapi tenaganya memang telah punah. Dia cuma bisa melangkah dengan kaki tersaruk-saruk dan tubuh terhuyung.

Dalam pada itulah Durgandini mendengar suara-suara mendekati ke arahnya. Dan puluhan obor segera menyala, diiringi dengan tersembulnya beberapa sosok tubuh yang segera mengurungnya dengan senjata-senjata terhunus. Kiranya mereka adalah orangorang desa yang telah lama mengincarnya.

Karena lambat laun toh diketahui juga kalau banyaknya terjadi bayi-bayi yang hilang, yang mendapatkan sudah mati dengan keadaan tubuh sudah tidak utuh lagi, adalah perbuatan seorang wanita hamil yang gentayangan ke beberapa desa.

"Kau tak dapat lagi melarikan diri, wanita setan..!" bentak salah seorang yang tiba-tiba melompat ke arah depan.

"Oh, apa salahku..?" bela Durgandini. Padahal hatinya berdebaran keras, karena dia merasa telah tak berdaya. Bahkan telah berkali-kali dipanggilnya sang ibu yang telah menyusup sukmanya ke dalam tubuhnya, akan tetapi tak ada tanda-tanda sang ibu menyahuti kata-katanya.

"Bedebah! Aku lihat sendiri kau menculik seorang bayi, ketika bertamu ke rumah pak Suko! Bukankah kau menumpang menginap di rumah Carik Desa itu? Pak Suko yang kasihan melihat wanita hamil berjalan sendirian di sisi desa untuk pulang ke rumahnya yang jauh, segera mempersilahkan kau menginap! Dan tidur dengan istri pak Carik! Tapi paginya kedapatan istri Pak Suko telah mati! Dan bayinya lenyap! Malam itu aku meronda sampai pagi! Dan aku memergoki kau si wanita setan tengah memakan mayat bayi itu..!" berkata laki-laki bertubuh jangkung itu, yang bernama Sentul. Memang dialah yang telah memergoki Durgandini ketika tengah menyantap makanan yang sudah menjadi santapannya kebiasaannya itu. Seketika pucat piaslah wajah Durgandini.

"Bunuh saja...! Sudah, jangan banyak buang waktu, cincang sampai lumat"! teriak salah seorang yang sudah tak sabar lagi.

"Ya! Bunuh! Jelas dia bukan manusia...!" teriak seorang lagi yang kain sarungnya kedodoran. "Tapi, kakinya kenapa menginjak tanah! Tuh, lihat...!" "gituan"nya anakmu yang sering nongkrong di pinggir kebun masih jelas terbawa di kakinya!" berbisik seseorang pada kawannya.

Segera menyahut seorang yang pipinya tembam. "Iya, ya... Tapi kalau manusia mengapa doyan makan daging bayi...? Hiii... perempuan ini jelas sebangsa si... siluman...!? eh, ssi..."

"Si Mulan sih keponakanku, monyong...!? Kalau yang ini adalah SILUMAN!" menjelaskan kawannya yang bermata juling.

"Oh, ya... si Mulan" kata si pipi tembam. Tapi dilihatnya si mata juling justru nyengirkan mulutnya. Seraya ujarnya.

"Si... lu... man! Begitu monyong! yang barusan salah kau menyebutkan!"

"Ya, ya... sekarang aku tahu! Jadi jelasnya dia ini wanita Si.. lu.. man yang gentayangan cari korban?" kata si pipi tembam, seraya menatap pada kawannya agak ragu-ragu takut kalau sebutannya salah di ucapkan.

Mendelik mata si laki-laki mata juling, dan segera menyambar berkata lagi. "Bodoh! Lagi-lagi salah menyebutnya! Si.. Mulan! Begitu yang betul! Masakan menyebut si.. mat.. mul.. ng.. uud..? Simalmulan."

"Ya, ya... terserah kamulah!?" ujar si pipi tembam yang sudah mengaku bodoh. Karena mendadak kepalanya jadi pusing memikirkan sebutan itu.

Sementara salah seorang di depannya telah mengangkat golok tinggi-tinggi untuk menebas kepala Durgandini. Akan tetapi diantara rombongan itu ada yang berteriak mencegah.

"Jangan dibunuh dulu! Siapa tahu dia manusia biasa. Sebaiknya ditangkap saja! Dan kita bawa ke Kota Raja! Siapa tahu dialah penyebab kerusuhan di sana! Selain kita berhasil meringkus wanita keji ini, kita juga bakal dapat penghargaan dari pihak kerajaan!"

"Benar! Kita antarkan ke rumah Tumenggung Ki Meranggi! Aku tahu rumahnya!" berkata salah seorang lagi yang wajahnya cemong kena asap obor.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa mengikik menyeramkan. Muncullah seorang nenek-nenek bongkok, yang tahu-tahu sudah berkelebat menyambar tubuh Durgandini. Dan membawanya berkelebat lari. Tentu saja mereka terkejut bukan main, dan serentak segera mengejar. Beberapa batang tombak sudah meluncur deras ke belakang punggung si nenek bungkuk itu. Akan tetapi dengan sebat si nenek bungkuk sudah melesat ke arah hutan, lalu lenyap di kegelapan malam.

Demikianlah, Durgandini malam itu melahirkan bayinya dengan didukuni si nenek bongkok itu. Dan melahirkan bayi aneh, yang keluar dari dalam rahim adalah darah yang berbau busuk dan asap hitam yang mengepul. Lalu menjelma jadi seorang bocah yang berkulit hitam.

Demikianlah, ketika beberapa hari kemudian Roro menjumpai si bocah hitam itu tengah memainkan sepasang senjatanya si Rantai Genit, yang kemudian dirampas kembali oleh Roro. Dan ketika dikejar, bocah hitam itu lenyap di atas bukit dimana terdapat Makam Tua. Mengenai si nenek bongkok itu telah lenyap lagi entah ke mana, setelah memberikan "mainan" aneh itu pada si bocah hitam anak Durgandini.

"Durgandini...!?" sentak Resi Jenggala Manik. Akan tetapi tiba-tiba sang Resi sudah membentak keras. "Nini BLENGOH...! Iblis siluman bongkok Gunung Setan! Kiranya kau..!" Dan... Wuukkk..! Sang Resi telah menerjangnya dengan angin pukulan keras. Segelombang angin panas menerjang Durgandini. Adapun Durgandini cuma mengikik tertawa, seraya memapaki serangan sang Resi.

Bungggg...! Dua tenaga dalam hebat yang amat tinggi telah sating beradu dengan timbulkan hawa panas dan suara berdentum keras. Tampak sang Resi terhuyung delapan tindak. Sedangkan Durgandini menyurut ke belakang lima-enam tindak.

Akan tetapi sekejap tubuh Durgandini telah berubah menjadi si Nenek Bongkok yang pernah menawan Roro Centil dengan tali jerat gaib, dan membelenggunya di kerangkeng gaib di dalam goa. Terkejut seketika Roro Centil. Adapun Senapati Satryo jadi belalakkan sepasang matanya.

"Hah!? teriak Senapati Satryo.

"Hihihik.. hik hik hik... Satryo! Satryo..! Durgandini sudah mampus. Setelah melahirkan bayi siluman ini! Bahkan Ilmu DASA JIWA milik ibunya kini telah berpindah pada bocah ini! Hihihi... dia adalah bocah andalanku, karena aku telah menguasainya...!" berkata si Nenek Bongkok alias Nini BLENGOH itu.

Terkejut Senapati Satryo. Juga Sang Resi Jenggala Manik maupun Roro Centil. Roro memang sudah mendengar adanya Ilmu DASA JIWA yang dimiliki seorang wanita pada puluhan tahun yang silam bernama TRI AGNI. Tapi dia tak menyangka kalau ilmu itu berada pada Permaisuri yang lenyap pertama kali itu, yaitu Durgandini. Bahkan menurut si Durgandini palsu, kini Ilmu Dasa Jiwa telah berpindah pada tubuh si bocah hitam, yang ternyata adalah anak Durgandini.

Roro yang mengetahui dari Senapati Satryo akan mandulnya Permaisuri Durgandini, jadi terkejut, karena Durgandini telah melahirkan bayi, alias si bocah hitam itu. Sedangkan orangnya sendiri menurut si nenek Bongkok telah tewas sejak melahirkan bayinya.

"Mengapa begitu cepat?" desis Roro. Tak masuk akal di benak Roro Centil. Karena diketahuinya dari Senapati Satryo, kalau Durgandini baru beberapa pekan ini lenyap dari istana.

Begitupun dengan Satryo dan Resi Jenggala Manik, yang tahu betul pada Durgandini. Akan tetapi memang tak ada kesempatan untuk mencari bukti bahwa bocah itu anak Durgandini. Karena tiba-tiba si nenek Bongkok telah menerjang dengan pukulan lengannya. Seraya berujar pada bocah hitam.

"Hihihik... bikin mampus mereka, cucuku!" tentu saja Resi Jenggala Manik harus hati-hati menghadapi si nenek bongkok, yang sudah jelas bertenaga dalam di atasnya.

Namun Resi Jenggala Manik pun bukan tokoh Rimba Persilatan golongan rendah. Ilmu bathin yang dimiliki telah sedemikian tinggi, hingga tak berhasil si nenek bongkok menipu pandangan matanya dengan tubuh Durgandini. Adapun Roro Centil segera berkelit ketika tahu-tahu si bocah siluman itu menerjangnya. Senapati Satryo tabaskan pedangnya.

Cras..! Crass...! Crasss...!

Gerakan kejutan yang dilancarkannya membawa hasil secara cepat dan memuaskan. Tubuh si bocah siluman itu terpental jadi tiga potong Roro juga agak terkejut, karena tak menyangka Senapati Satryo bertindak cepat dengan melompat ke samping. Mengirim serangan pedangnya dengan gerakan kilat. Potongan tubuh si anak hitam jatuh berdebuk di tanah.

Akan tetapi selang sekejap Roro dan Sang Senapati jadi belalakkan matanya. Karena bukannya ketiga potongan tubuh itu menyambung lagi, akan tetapi tiga potongan tubuh itu berubah menjadi tiga tubuh bocah hitam. Hingga kini di hadapan mereka ada tiga orang bocah siluman yang menatap tajam dengan tiga pasang matanya yang berkilatan. Terperangah Roro Centil. Seumur hidupnya baru mengetahui ada tiga potong tubuh yang telah putus bisa menjelma lagi.

"Bocah Iblis...!" bentak Roro Centil. Dan senjata Rantai Genitnya berkelebat. Akan tetapi sudah terdengar satu bentakan keras.

* * * * * * *

TUJUH

Sementara kita beralih pada si Dewa Linglung, yang sudah jatuhkan pantatnya di atas kasur empuk. Bahkan beberapa kali dia gerak-gerakkan tubuhnya hingga mumbul-mumbul di kasur kapuk bertilam kain sprei merah jambu. Pembaringan yang berbau harum semerbak kembang Melati.

"Heeii! Nona-nona pelayan! Mana pakaian pengganti untukku?" bentak si Dewa Linglung.

Karena sejak tadi ditunggu-tunggu di kamar Pesanggrahan itu, tak juga muncul satu pun dari, enam pelayan baju merah yang tadi mengantarkan ke tempat mandi. Tubuh pemuda ini hanya terbungkus kain selimut saja. Dan dalam kamar itu tak ada sebuah pun lemari pakaian. Buntalan pakaiannya yang berisi dua stel pakaian kotor yang sudah bau itu pun entah di mana adanya. Sedangkan baju yang tadi dipakai sudah dibawa oleh pelayan baju merah untuk direndam.

Kesal si Dewa Linglung menanti sekian lama tak ada orang yang muncul. Dasar pemuda linglung, sampai-sampai dia tak tahu di mana dia telah menaruh pedangnya. Kini si pemuda yang boleh dikatakan tolol itu cuma bisa nongkrong di pembaringan menunggu sang pelayan datang bawakan pakaian salin untuknya.

Ketika hampir habis kesabarannya, tiba-tiba pintu kamar Pesanggrahan terbuka berderit. Dan yang muncul bukannya para pelayan, baju merah, akan tetapi si dara cantik baju hijau. Tertegun si pemuda itu. Karena si dara baju hijau setelah rapatkan pintu kamar, segera loloskan pakaiannya.

"Kau... kau ... bukankah mau mandi...?" tanya si Dewa Linglung.

"Ya...! tentu saja Dewa ku yang gagah perkasa...! Aii..? Hari rupanya sudah menjelang malam! Segera akan ku ambilkan pakaianmu...!"

Menyahuti si dara, yang segera menyambar handuk. Dan tak lama segera melangkah berlenggang keluar pintu kamar yang barusan dibukanya. Wajahnya masih sempat berpaling. Dan sepasang matanya berikan kerlingan genit pada si Dewa Linglung. Sedang sang bibir mungil itu telah sunggingkan senyum penuh arti. Senyum yang mengandung madu, namun madu itupun mengandung pula racun.

Pesanggrahan itu telah dikepung ketat oleh laskar Kerajaan di bawah pimpinan Senapati Satryo dan Tumenggung Ki Meranggi. Beberapa pentolan kaum golongan hitam berhasil ditumpas, yang sedianya akan dipergunakan Ki Patih Butaran untuk niatnya memberontak merebut kerajaan Matsyapati. Akan tetapi diluar dugaan sarang komplotan Ki Patih Buntaran telah dicium jejaknya oleh beberapa tokoh golongan putih yang berpihak pada Kerajaan.

Ternyata diantara para tokoh itu terdapat juga Ki Jagur Wehdha, guru Joko Sangit. Tentu saja si laki-laki itu kena damprat habis-habisan oleh gurunya. Yang sudah tak mempunyai kaki lagi. Akan tetapi tokoh yang bergelar Pendekar Gentayangan itu masih hebat luar biasa, walau usianya telah lebih dari 100 tahun.

Sementara itu para gadis baju merah segera di tawan. Dan Ki Patih Buntaran tak bisa berkutik lagi menyerahkan diri. Ternyata otak dari pembunuhan-pembunuhan keji itu adalah akibat dari ulah perbuatannya, yang dibantu oleh tokoh-tokoh kaum Rimba Hijau dari golongan hitam.

Sementara itu pertarungan seru melawan bocah siluman ternyata dapat segera berakhir dengan munculnya sang guru Roro Centil. Alas si manusia BANCI. Alias si Manusia Aneh Pantai Selatan. Namun kemunculannya tetaplah menjadi teka-teki bagi Roro dan bagi semua kaum Rimba Hijau. Karena menurut berita yang tersebar, adalah wanita Banci itu telah tewas oleh ketiga istri si Dewa Tengkorak di sarangnya sendiri.

Roro Centil walaupun bergirang, namun juga bersedih. Karena tak dapat bertemu muka dengan gurunya. Kemunculan "wanita" kosen itu cuma kelebatan tubuhnya saja, dan suara bisikan pada telinga Roro agar dengan tekun terus memperdalam ilmunya. Karena bertambah banyak tokoh-tokoh kosen dari golongan hitam yang terus bermunculan. Adalah menjadi tugas kewajibannya menegakkan keadilan dan kedamaian di atas jagat ini.

Cuma ada satu hal. Yaitu ke manakah lenyapnya Nawangsih, selir Baginda Raja Prabu Gurawangsa itu? Mungkin anda pernah mendengar nama GIRI MAYANG? Dialah orangnya. Wanita itu bisa membuat perutnya menjadi gembung seperti mengandung tiga bulan atau lebih. Dia telah melenyapkan diri karena mengetahui kemunculan Roro Centil.

Giri Mayang mempunyai dendam sakit hati pada Roro sedalam lautan. Namun belum masanya untuk dia bertarung melawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan dia melenyapkan diri dalam keadaan kerajaan menjadi gaduh. Namun dia sudah rasakan nikmatnya menjadi seorang permaisuri Raja.

* * * * * * *

Adapun si pemuda tolol yang digelari si DEWA LINGLUNG itu tahu-tahu sudah lenyap dari kamar Pesanggrahan. Dia tak akan pernah tahu kalau wanita baju hijau itu adalah Giri Mayang. Dan tak akan pernah tahu kalau wanita baju hijau itu adalah NAWANGSIH. Karena orangnya sudah melenyapkan diri, menghilang tak tentu rimbanya.

Ketika panas terik kembali membakar bumi, tampak pemuda itu tengah berjalan dengan tubuh sempoyongan. Dan anehnya dia sudah tak menyandang lagi pedang dan buntalannya. Karena dia memang sudah linglung lagi, tak tahu kalau pedangnya sudah lenyap. Melewati satu lembah yang berumput tebal, sesosok tubuh telah berkelebat melompat, menghadangnya. Kiranya Roro Centil.

"Eh!? Kau... kau... bukankah Ginanjar...?" tanya Roro dengan wajah kaget, dan girang.

Ginanjar adalah saudara seperguruan Roro Centil, yang telah dikenalnya sejak Roro berguru pada si Maling Sakti alias Jarot Suradilaga, di lereng gunung Rogojembangan. Dan Ginanjar adalah murid mertuanya Jarot, yang juga gurunya si Maling Sakti itu. Jadi boleh dibilang masih satu saudara seperguruan.

Namun Roro Centil memang banyak mengalami peristiwa dan pengalaman hidup hingga sejak berpisah sudah mempunyai banyak guru terutama si Manusia Aneh Pantai Selatan alias si Manusia Band. Bahkan pernah menjadi murid paderi asal Nepal bernama Paderi Jayeng Rana di lereng gunung Wilis. Mengetahui ada gadis cantik mencegat di hadapannya dan memanggil dengan sebutan nama yang terasa asing baginya itu, membuat dia tetap wajah orang lekat-lekat.

"Hahaha... apakah namaku Ginanjar, aku sendiripun tak ingat! Tapi wajah nona seperti kukenal! Ya, wajah itu sering berada dalam mimpi ku...! Kau memang gadis satu-satunya yang kucintai di dunia ini. Tak aku tak tahu lagi namamu! Eh, nona cantik, kekasihku! Juwita ku...! Sebutkanlah siapa namamu, atau... ya, gelarmu pun boleh! Tapi Oh, sebaiknya dua-duanya! Namamu dan gelarnya sekaligus! Haha... hehe... hehe... baru aku puas!" ujar si pemuda linglung itu.

Terkejut seketika Roro Centil. Jelas sudah tak mungkin salah, kalau pemuda ini adalah Ginanjar. Akan tetapi mengapa kelakuannya jadi sedemikian aneh? Apakah yang terjadi? Pemuda itu sudah tak ingat akan dirinya sendiri. Dan tak lagi mengenali siapa gadis di hadapannya. Namun ingat kalau wajah di hadapannya sering muncul di alam mimpi. Roro terperangah seperti tak percaya.

"Ginanjar...! sadarlah, aku.. aku RORO! Aku Roro Centil! Masakah kau tak ingat aku? Aku dijuluki orang si Pendekar wanita Pantai Selatan! Aku Roro.!.! aku Roro...!" berkali-kali Roro Centil menyebutkan nama dirinya.

Akan tetapi si Pemuda sudah benar-benar linglung. Dia tampak tercenung lama, memikir. "Rorro,..?" ucapnya dengan lidah terasa aneh untuk mengucapkannya. "Apakah benar kekasihku yang dulu itu bernama... Ro...Ro...?" gumannya sendiri, Akhirnya si pemuda itu berkata, seperti mengeluh.

"Entahlah! Aku tak mampu mengingatnya lagi!" ucapnya.

Terkejut Roro Centil. Diam-diam Roro geli juga, akan tetapi memang lebih banyak anehnya. Justru Roro sendiri tak menyadari kalau dirinya juga termasuk orang yang aneh. Tiba-tiba Roro Centil tertawa mengikik geli, bahkan terpingkal-pingkal. "Hihih... hih... hihihi... Mengapa kau jadi linglung begini?"

"Hei!? baru kuingat... aku... akulah si Dewa Linglung! Ya, aku dijuluki demikian oleh orang Rimba Persilatan!"

Tentu saja membuat Roro hentikan tertawanya. Sepasang matanya menatap tajam-tajam pada pemuda itu. Tapi kini sepasang mata itu telah berkaca-kaca. Sebentar lagi tentu akan turun mengalir air bening dari kelopak mata gadis Pendekar ini, kalau tak buru-buru dia palingkan wajahnya.

Namun sebelum air mata itu turun, tubuh sang dara itu sudah berkelebat lenyap dari hadapan si Dewa Linglung. Saat itu rupanya barulah membuat si pemuda tersadar. Dan mendadak ingatannya pulih. Sayang dia sudah kehilangan jejak orang yang selalu dirinduinya itu, namun lupa namanya. Akhirnya dia balikkan tubuh mengejar, seraya terdengar suara teriakannya.

"Rorooo...! Rorooooo...!” suaranya terdengar berkumandang ke setiap penjuru. Akan tetapi Roro Centil sudah berkelebat jauh sekali. Dan diantara desah angin ketika tubuhnya berlari, air mata gadis itu pun sudah menitik terbang terbawa angin. Masih terdengar si Dewa Linglung.

"Rorooooooooo...! Aku mencintaimu...! Aku mencintaimu....!" Aku mencintaimu.....!"

Namun suara teriakan pemuda itu pun lenyap juga akhirnya. Dan Roro Centil cuma bisa menghela napas. Sementara hatinya berbisik. Roro! Entah kapan kau mau mencintai seorang laki-laki? Dan dari relung hatinya yang paling dalam ada jawaban. Entahlah! Mungkin 10 tahun lagi, mungkin juga 100 tahun, atau mungkin juga 1000 tahun lagi, aku tak tahu. Ya, aku memang tak mengetahui.

Tapi ada satu bisikan dari hati yang sadar, namun begitu trenyuh... "Dewa Linglung...! Ah, betapa malangnya nasibmu..."

Episode selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.