Dendam dan Cinta Gila Seorang Pendekar
Karya : Mario GembalaSATU
PUNCAK BUKIT RAJABASAH adalah puncak bukit yang hampir selalu lembab karena diatas sana banyak kabut dan berhawa dingin. Jalan menuju ke puncak bukit itu amat sukar. Kalau bukan orang yang berkepandaian tinggi amatlah mustahil bisa mencapai ke puncak bukit itu. Karena tidak sedikit bahaya mengancam mata.
Selain banyaknya ular berbisa dan binatang melata lainnya, juga jalan menuju ke puncak bukit itu penuh dengan lereng-lereng terjal yang tertutup kabut. Hingga bila kurang hati-hati dan waspada bisa jatuh dan membahas kematian.
Tetapi sepagi itu sesosok tubuh tampak berlari-lari dengan gerakan yang dilatih bagaikan seekor kijang yang gesit diatas bukit itu. Dialah seorang laki-laki muda berusia sekitar enam belas tahun. Berpakaian serba hijau dengan sebilah pedang tersoren dipinggang.
Ketika dia menghentikan gerakan larinya dan mengedipkan matanya ke atas puncak bukit tampak seraut wajah yang sangat tampan. Rambutnya ditutupi oleh ikat kepala yang berwarna hitam. Hidungnya mancung dengan mata yang bersinar memancarkan ketampanan wajah yang menawan hati.
Siapakah adanya pemuda ini? Dialah yang bernama Mayana. Sesudah lebih dari enam tahun dia berada dipuncak bukit Rajabasah itu, berguru pada seorang tokoh persilatan yang sakti, yang telah lama menyembunyikan diri diatas puncak bukit Rajabasah. Siapa gerangan adanya tokoh itu? Marilah kita ikuti jalan ceritanya.
"Bocah bego, mengapa kau tak cepat datang menghadap padaku untuk memberi laporan?" terdengar suara serak yang mengejutkan pemuda ini.
Dia tahu kalau itu adalah suara gurunya. Selagi dia bersiap untuk enjot tubuh meneruskan pendakiannya kepuncak bukit, tiba-tiba sebuah bayangan telah berkelebat dihadapannya. Dan sesosok tubuh telah berdiri diantara kepulan asap kabut. Dialah seorang lakilaki tua berjubah serba putih. Jenggotnya menjuntai sebatas dada. Berwarna putih bagaikan salju. Rambutnya tergelung diatas terikat dengan sehelai kain sutera warna merah. Kakek ini melototkan sepasang matanya memandang laki-laki muda dihadapannya.
"Mayana! Aku sudah tak sabar mendengar laporanmu. Bagaimana hasil penyelidikanmu di Kota Raja?" tanya laki-laki tua itu. Suaranya serak, seperti tempayan rengat. Kakek ini memang mempunyai wajah yang tak begitu sedap di pandang. Hidungnya lebar dengan cuping hidung yang mempunyai liang besar. Tulang pelipisnya menonjol. Dan mempunyai sepasang mata bagaikan mata burung elang yang menyipit serta bersinar tajam. Raut wajahnya boleh dikata hampir persegi empat.
Melihat kemunculan kakek itu pemuda ini menampakkan wajah kaget. Akan tetapi segera mengumbar senyum. Dan ujarnya seraya menjura. "Maaf, kakek! Aku pikir hari masih terlalu pagi. Dan aku tak mau mengganggu semadhi kakek...!"
"Mm, sudah sejak malam tadi aku tak sabar menunggu hasil penyelidikanmu, mengapa harus kau khawatir mengganggu semadhiku segala? Urusan ini lebih penting! Karena hasil penyelidikanmu adalah penentuan dari langkah selanjutnya yang akan kita tempuh! "sahut kakek itu ketus.
Mayana tak menjawab selain menunduk, dan berkata lirih. "Maafkan murid mu, guru..!"
"Sudahlah!" berkata si kakek. "Bagaimana hasil penyelidikanmu? Apakah si bangsat tua itu masih bercokol di Kota Raja?" tanya kakek itu. Nada suaranya mengandung ketidak sabaran. Jelas dia amat menginginkan laporan yang dibawa Mayana berkenaan dengan tugas yang diberikan pada muridnya itu.
"Ki Sabda Tama menurut khabar yang kudengar dari seorang prajurit tua Kadipaten, telah tak memegang tampuk pemerintahan lagi. Dia telah sejak lama mengundurkan diri dari jabatannya!" tutur Mayana.
"Hm, begitukah? Lalu siapa yang menggantikan sebagai Adipati?" tanya si kakek itu dengan wajah tetap tak berubah.
"Seorang Adipati yang masih cukup muda! Dia bernama Wukir Kamandaka!" sahut Mayana dengan suara kendur.
Kakek tua itu tampak termangu sejenak. "Hm, apakah kau tak menyelidiki anak keturunan siapakah Adipati Wukir Kamandaka itu?" tanya sang guru dengan suara agak ditekan.
Sang murid menggeleng. Dan katanya. "Aku khawatir kakek terlalu lama menunggu, karena kakek hanya memberi waktu aku satu pekan!" sahutnya.
Kembali tercenung orang tua ini. Lengannya bergerak mengelus jenggotnya. Setelah menghela napas, dia berkata. "Ya! ya, aku terlalu singkat memberi waktu padamu. Aku memang sudah tak sabar untuk segera turun tangan. Terutama dengan urusan yang satu ini. Karena semua ini bertalian dengan langkahmu juga. Karena kau telah menamatkan pelajaranmu dipuncak Rajabasah ini!" ujar si kakek.
"Jadi... jadi aku sudah dibolehkan turun gunung?" tanya si pemuda tiba-tiba. Wajahnya menampakkan sinar cerah. Sudah lama dia merindukan kebebasan, untuk kembali ke dunia ramai.
Si kakek menjawabnya dengan anggukan kepala beberapa kali.
"Oh, kalau begitu aku akan teruskan penyelidikan mengenai Adipati itu, guru...!" berkata si pemuda dengan wajah berseri girang. Tapi wajahnya kembali berubah, dan kedua lengannya mengepal. "Sekalian mencari si pembunuh ayah ibuku" ujarnya dengan suara menggebu. Tiba-tiba dia berpaling menatap pada gurunya.
"Kakek! katakanlah, siapa sebenarnya manusia yang telah memporak-porandakan keluargaku itu. Ceritakanlah! Bukankah kau telah berjanji akan menceritakannya bila aku telah berhasil menamatkan pelajaranku padamu?"
Kata-kata pemuda ini terdengar menggetar. Karena dibarengi dengan perasaan yang sudah lama menggebu dalam dada. Selama beberapa tahun dia berguru menuntut ilmu kedigjayaan dipuncak bukit Rajabasah adalah karena untuk membalaskan sakit hati dan dendam pada pembunuh ibu kandungnya.
Kakek itu tersenyum. Lalu ujarnya dengan suara lantang yang diiring dengan tawa terkekeh memecah kelengangan disekitar bukit itu. "Hehehehe... aku tak pernah mendustai apa yang pernah aku janjikan, muridku. Akan tetapi masih ada satu syarat yang harus kau lakukan sebelum kau turun gunung!" berkata si kakek.
"Katakanlah, syarat itu, guru! Aku siap menjalankan perintahmu!" berkata tegas Mayana.
Kakek tua itu tersenyum. Sepasang matanya berkilat menatap pada sang murid yang justru tengah menatap pula padanya. "Kau harus tinggal dulu dipuncak Rajabasah selama beberapa hari untuk mengikuti petunjukku, dan mengenai syarat itu, segera akan kukatakan nanti! Sekarang kembalilah ke puncak bukit!" ujar si kakek.
Selesai berkata orang tua berjubah putih itu gerakkan tongkatnya menekan batu. Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara. Dan dalam beberapa kali lompatan, sekejap saja tubuh kakek telah lenyap diatas puncak bukit, yang samar-samar masih diliputi kabut tipis.
Tanpa ayal si pemuda segera enjot tubuhnya untuk bergerak menyusul. Gerakan melompat pemuda inipun tak kalah gesitnya dari gerakan si kakek. Dengan perdengarkan suara teriakan halus tubuhnya mencelat bagaikan letikkan seekor ikan. Ujung kakinya menotol batu-batu yang berada disekitar tempat itu. Sekejap kemudian tubuhnyapun telah lenyap tertutup kabut.
Siapakah kakek tua berjubah putih penghuni bukit Rajabasah itu? Dialah yang bernama Gajah Lor. Pada belasan tahun yang silam mempunyai pengaruh luas diwilayah Kota Raja Kerajaan Mandaraka. Sebuah kerajaan kecil dipesisir pantai Pulau Jawa. Gajah Lor yang berusia sekitar 50 tahun itu adalah seorang yang paling pandai dalam hal ilmu merawat tubuh, hingga tak nampak ketuaan usianya.
Tubuhnya kekar dengan urat-urat yang kokoh. Selama belasan tahun dia melatih diri dipuncak Rajabasah dengan berbagai ilmu kedigjayaan. Semata-mata karena mempunyai tujuan serta urusan dendam pada seorang. Serta mendidik muridnya yang bernama Mayana itu dengan tujuan yang telah dipersiapkan sejak lama.
Mayana duduk dihadapan gurunya dengan hati risau. Betapa ingin dia rasanya untuk lebih cepat turun gunung mencari musuh besarnya guna membalas dendam pati kedua orang tuanya. Akan tetapi seperti ujar gurunya dia diharuskan memenuhi satu sarat sebelum turun gunung dan mengunggu selama beberapa hari untuk menerima petunjuk dari sang guru mengenai perihal langkah langkah yang harus ditempuhnya nanti. Yang terutama sekali adalah penjelasan Gajah Lor mengenai siapa adanya musuh besarnya itu. Hal itulah yang paling penting!
"Mayana, muridku...!" ujar Gajah Lor pada sang murid yang tepekur tundukkan wajah menatap alas tikar yang didudukinya.
Hatinya sejak tadi kebat-kebit menunggu apa yang akan dikatakan sang guru. Mendengar suara sang kakek yang membuka percakapan dia mendongak menatap wajah sang guru. Telinganya dipasang penuh perhatian untuk mendengar apa-apa yang dikatakan kakek tua itu.
"Aku senang sekali sejak kau berguru padaku, selama ini kau selain seorang murid yang amat cerdas juga seorang anak yang amat penurut. Tak pernah satu kali pun kau membantah apa yang aku perintahkan!" ujar Gajah Lor. "Apakah dalam hari-hari terakhir kau bersamaku dipuncak bukit Rajabasah ini kau juga akan menuruti segala yang aku perintahkan padamu?"
"Guru..! Mengapa kau ragu dengan murid mu ini? Kau telah berbaik hati mendidik dan membesarkanku selama ini. Memberikan ilmu-ilmu kedigjayaan serta merawatku penuh kasih sayang seperti kepada anakmu sendiri. Patutkah aku membantah perintahmu?" berkata Mayana dengan suara hati-hati.
Sementara hatinya agak tergetar mengucapkan kata-kata itu. Perkataan gurunya kali ini agak aneh. Mengapa sang guru bersikap lain dari biasanya. Pandangan matanya juga aneh. Seperti membersitkan sinar serta hawa aneh yang membuat jantungnya berdegupan. Baru kali ini dia melihat pancaran mata sang kakek itu begitu menggidikkan hatinya.
"Heheheh...hehe... bagus! bagus! Aku memang tidak kecewa mengangkatmu sebagai murid!" berkata Gajah Lor dengan tertawa mengekeh. "Mayana...! Untuk menghadapi musuh besarmu, jalan darahmu harus sempurna betul. Aku akan salurkan sebagian tenaga dalamku untuk kupindahkan kedalam tubuhmu!" ujar Gajah Lor setelah lama memperhatikan muridnya yang tertunduk menatap tikar dengan hati tak karuan rasa.
"Ha, kau... kau akan memberikan separuh tenaga dalammu padaku, guru? Bagaimana dengan kau sendiri nanti? Bukankah kaupun memerlukannya. Bukankah kau sendiri seperti pernah kau katakan, kau mempunyai beberapa musuh yang akan kau singkirkan? Kalau tenaga dalammu tinggal separuh, bagaimana kau dapat menghadapi musuh-musuhmu itu, guru.?" tergagap Mayana memandang dengan mata membelalak pada gurunya. Walaupun diam-diam hatinya merasa girang, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan akan keadaan gurunya.
"Heheheh... jangan khawatir! Dalam waktu beberapa bulan aku akan dapat mengembalikan seluruh tenaga dalamku seperti sediakala. Nah, segera kau bersiap-siaplah! Bukalah semua pakaian yang melekat ditubuhmu. Tak ada waktu lagi untuk aku mengulurnya karena kau cuma tiga hari berada dipuncak Rajabasah ini!" ujar Gajah Lor dengan menatap lekat-lekat wajah muridnya yang tampan.
Perintah itu seperti sebuah petir yang menggelegar disiang hari. Membuat Mayana terkejut. Jantungnya berdetak semakin cepat, dan wajahnya tiba-tiba dijalari rona merah. "Mem... membuka semua pakaianku, guru?" tanyanya seperti tak percaya.
"Ya! Untuk menerima saluran tenaga dalam haruslah terbebas dari penghalang. Apakah kau malu melakukannya?" berkata Gajah Lor dengan tersenyum.
Mayana seperti kebingungan. Wajahnya semakin merah. "Mengapa harus membuka pakaian?" pikirnya dalam hati. Sejenak dia tak memberi jawaban.
"Mayana! Apakah kau akan menolak perintahku kali ini?"
"Ti... tidak... guru..! Tapi... tapi..." kembali mulut Mayana membungkam tak tahu apa yang akan dikatakannya.
"Hm, ketahuilah, perintah ini juga termasuk syarat permulaan sebelum aku mengatakan siapa pembunuh orang tuamu, dan sebagai persyaratan sebelum kau turun gunung!" berkata Gajah lor dengan suara tegas.
Apakah yang menjadi sebab sukarnya Mayana menuruti perintah gurunya? Ternyata semua itu disebabkan karena Mayana sebenarnya bukanlah seorang laki-laki. Dia seorang perempuan. Seorang gadis, yang baru meningkat dewasa. Tentu saja perintah gurunya membuat dia jadi serba salah. Selama ini dia memang selalu memakai pakaian laki-laki. Dia baru sadar setelah mengetahui perubahan demi perubahan pada dirinya dengan bertambahnya usianya.
Walau dia tak begitu memahami tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, akan tetapi naluri kewanitaannya mulai tumbuh dan semakin kelihatan rasa malunya bila dia mandi bertelanjang bulat. Hal itu sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Selalu dia menghindar dari gurunya bila dia akan membersihkan badan atau mandi. Khawatir terlihat oleh sang guru.
Kini secara tak disangka-sangka sang guru memerintahkan dia membuka seluruh pakaiannya dihadapan sang guru. Tentu saja membuat dia amat terkejut setengah mati. Dan membuat kulit wajahnya berubah merah. Bagaimana mungkin dia akan dapat melakukannya?
"Mayana! Apakah kau tak bersedia?" suara Gajah Lor kembali terdengar mengoyak keheningan.
Tersentak dia mendengar katakata sang guru. "Guru..!" selang sesaat Mayana menjawab pertanyaan Gajah Lor dengan suara agak bergetar. "Aku rasa dengan tenaga dalam yang kumiliki, aku akan mampu membalas dendam pada musuh besarku. Apakah tidak lebih baik kalau guru tak usah menyusahkan diri memberikan separuh tenaga dalam mu padaku..." dengan memberanikan diri Mayana bicara.
"Hm, sudah kukatakan hal ini adalah termasuk syarat yang harus kau jalankan sebagai penutupan selama enam tahun kau menjadi muridku. Apakah kau tak bersedia melakukan syarat ini?" berkata Gajah Lor.
Mayana tercengung sesaat tanpa bisa memberi jawaban. "Baiklah! kuberi kau waktu setengah hari. Kalau kau tak dapat memenuhi syarat itu. berarti kau tak ingin mengetahui siapa pembunuh kedua orang tuamu. Dan yang perlu kau camkan adalah, kau tak mungkin bisa mengalahkan musuh besarmu dengan tenaga dalam yang kau miliki selama ini. Kukira kau takkan menyerahkan nyawamu begitu saja pada musuh besarmu, bukan?" Setelah tertawa terkekeh-kekeh, Gajah Lor bangkit berdiri. Kakinya bergerak untuk beranjak kebiliknya disudut ruangan goa itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara Mayana.
"Guru...! Aku bersedia menjalankan persyaratan itu..."
Gajah Lor tahan langkah kakinya. Tanpa balikkan tubuh kakek ini berkata dengan tersenyum menyeringai. "Hehehe... mengapa tak sadari tadi kau katakan? Rasa malu itu justru karena kau belum biasa. Dan ketahuilah akibat rasa malu itu justru akan menghambat langkahmu sendiri. Dan akan sia-sialah jerih usahamu selama bertahun-tahun untuk menuntut balas kematian kedua orang tuamu!"
"Maafkan aku, guru...! Aku memang bodoh..." berkata Mayana dengan menunduk. Tapi dengan cepat dia telah loloskan pakaian yang melekat di tubuhnya. Dilakukannya semua itu dengan mata terpejam. Dan dalam beberapa kejap saja Mayana telah berdiri tegak dihadapan gajah Lor dengan keadaan tubuh bugil, tanpa sehelai benangpun melekat tubuhnya.
Dalam keadaan mata terpejam itu Mayana tak mengetahui kalau sepasang mata sang guru telah memandangnya dengan mata membinar-binar. Menatap dan menjalari setiap lekuk-liku tubuh Mayana dengan sepuas-puasnya. Bibir kakek ini setengah terbuka dan tampak meneteskan air liur. Hidungnya kembang-kepis bercampur dengan deru napas tertahan dari sang kakek yang memandang tubuh Mayana seperti melihat makanan lezat yang menerbitkan air liur.
Detik itu juga Mayana merasakan bersyiurnya angin halus menerpa tubuhnya. Selanjutnya dia rasakan tubuhnya lemah lunglai. Kelopak mata terasa berat untuk di buka. Dan dia merasa tubuhnya terhempas... tapi seperti ada lengan yang menyangganya. Selanjutnya dia tak tahu apa-apa lagi. Cuma sekilas dia merasa tubuhnya seperti dipondong dan melayang ringan. Kemudian dia tak ingat apa-apa lagi.
Ketika perlahan-lahan dia mulai sadarkan diri yang pertama-tama dirasakan adalah tubuhnya seperti berat. Dengus napas santar seperti meniup-niup daun telinganya. Antara sadar dan tidak dia merasakan hawa hangat menembus seluruh tubuhnya. Dan sesuatu yang tak pernah dirasakan selama hidupnya membuat dia menggelinjang dan keluarkan keluhan-keluhan lirih. Dia tersentak ketika membuka matanya, dan melihat sang guru dalam keadaan membugil tengah menindih tubuhnya.
"Guru...? Kau ...ah, kau apakah aku...?" sentaknya terkejut.
Gajah Lor tak menjawab, tapi menutup bibir gadis itu dengan desis dan menyumbat mulutnya hingga dia sukar bernapas. Dalam keadaan demikian sepasang lengan Gajah Lor tiba-tiba merangkul erat tubuhnya, seperti mau meluluh lantakkan tulang belulangnya. Mayana menjerit tapi suaranya tersendat napasnya setengah-tengah. Dan berbareng dengan itu Gajah Lor pendengarkan suara keluhan panjang.
Mayana sendiri terkulai. Sukmanya seperti membumbung keluar dari raganya. Otot-otot tubuhnya serasa luluh tak bertenaga. Tapi satu perasaan aneh membuat dia tertegun. Ada perasaan yang sukar dilukiskan. Dalam keadaan tidak mengerti itu dia merasa lengan Gajah Lor membelai wajahnya. Terasa keningnya dicium laki-laki gurunya itu. Hingga sesaat antaranya terasa tubuhnya menjadi ringan. Tak terasa lagi adanya benda berat yang membuat dia sukar bernapas.
Ketika dia pulih dengan kesadaran penuh didapati dia terbaring dipembaringan sang guru. Pembaringan yang acap kali sering dirapihkan. Dia tergolek dalam keadaan tanpa busana, dengan sehelai selimut menutupi tubuhnya. Tak dilihatnya sang guru berada didalam bilik ruangan itu. Mayana terpaku dan tercenung dalam ketidak mengertian. Apakah sang guru sudah selesai menyalurkan sebagian tenaga dalamnya?
Tiga hari berada dipuncak bukit Rajabasah itu, Mayana mendapat tambahan kekuatan tenaga dalam dari Gajah Lor, sang guru yang telah mendidiknya dengan ilmu-ilmu kedigjayaan selama ini.
Siang itu Matahari panasnya seperti membakar jagat. Dari atas puncak bukit Rajabasah tampak berkelebat bayangan sesosok tubuh yang berlari cepat menuruni bukit. Gerakannya lincah bagaikan gerakan seekor kijang. Melompati jurang-jurang curam yang tertutup kabut tipis. Dialah Mayana, si gadis puncak bukit Rajabasah, yang hari itu turun gunung dengan membawa tugas berat dari gurunya. Gajah Lor.
Dalam waktu tak terlalu lama, dara rupawan yang lebih mirip dengan seorang pemuda berwajah tampan itu telah berada di bawah bukit. Di atas batu besar dara ini berhenti, dan balikkan tubuh. Sepasang matanya menatap ke atas puncak bukit. Puncak bukit yang telah menggemblengnya selama ini dengan bermacam ilmu kedigjayaan. Puncak bukit yang membawa kenangan tersendiri yang tak dapat dilupakan seumur hidupnya.
Tampak sepasang mata dara ini basah, berkaca-kaca. Angin pegunungan menerpa wajahnya yang cantik. Tapi air mata dara ini tak mengalir turun. Dia telah berusaha menahannya. Terdengar suara menggumam tergetar keluar dari bibirnya.
"Guru..! Aku akan jalankan tugasmu dengan baik, sebagai balas jasa atas budi baikmu merawat dan membesarkan aku. Serta mewarisi aku dengan ilmu-ilmu kedigjayaan. Entah saat ini kau berada dimana. Tapi kelak suatu saat setelah selesai tugasku, dan bila telah terbalaskan dendamku, aku akan mencarimu..!" Kata-kata gadis ini diucapkan dengan tandas, yang hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya.
Selesai ucapkan kata-kata itu, dara ini gigit bibirnya menahan perasaan yang menggebu dalam dada. Perasaan sedih, pilu, marah, kecewa dan dendam berkumpul menjadi satu dirongga dadanya. Selesai sesaat Mayana balikkan tubuh. Kejap berikutnya dia telah berkelebat melesat meninggalkan tempat itu dengan mempergunakan ilmu lari cepat. Detik selanjutnya sudah tak kelihatan lagi bayangan tubuhnya...
KUIL TENGKORAK DARAH yang terletak diatas puncak bukit Lembayung masih tampak berdiri tegar dengan segala keangkerannya. Kuil yang baru berdiri beberapa tahun dipuncak bukit permai berpemandangan indah itu telah merobah alam sekitarnya menjadi alam yang gersang.
Dimana-mana terlihat mayat manusia yang bertebaran disekeliling Kuil, dengan baunya yang busuk menyengat hidung. Sepertinya Kuil itu tak berpenghuni manusia. Ya, hanya setan-setan sajalah yang patut mendiami Kuil yang menyeramkan itu.
Pemandangan indah bukit Lembayung tidak lagi mempesona. Akan tetapi menimbulkan hawa takut. Seolah Kuil itu adalah pintu gerbang Neraka layaknya. Akan tetapi dari arah ruangan kuil itu tampak mengepul asap yang menimbulkan bau panggang daging yang lezat, disenja yang baru mulai temaram itu.
Ternyata seorang kakek berambut panjang beriapan tengah asyik duduk menghadapi api unggun. Sementara lengannya membolak-balik panggang daging, entah daging apa yang ditusuk pada sebatang kayu. Jelas kakek rambut putih beriapan ini adalah manusia, karena kedua kakinya menginjak tanah.
Ketika itu diluar udara semakin dingin dan cuaca semakin redup. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik seram membangunkan bulu roma. Si kakek rambut beriapan ini hadapkan wajahnya ke pintu kuil. Tampaklah wajahnya yang tak sedap dipandang. Sebelah matanya menonjol bulat dan nampak merah, sedangkan sebelah lagi tak berbiji mata alias picak.
Hidungnya cuma separuh, menampakkan rongga bagian dalamnya. Bibirnya terbelah dua dan nampak dua buah gigi yang besar-besar mencuat keluar. Kakek seram ini mendengus mendengar suara tertawa yang sudah tak asing lagi baginya itu.
"Wewe Gombel Setan Genit! Mau apa kau datang menyambangi kekuilku?" terdengar suara si kakek yang parau bagi suara tonggeret. "Apakah kau mau makan daging manusia?" Dan diiring kata-katanya si kakek seram ini telah bangkit berdiri. Sebelah lengannya menyambar bara api lalu... Whuuut! Dia telah ayunkan lengannya. Bara api itu melayang keluar dengan deras. Terdengar suara mengikik diluar diiringi kata-kata.
"Dedemit Mata Picak, sambutanmu sungguh menyebalkan hati!" Sosok tubuh putih diluar kuil itu memang baru saja jejakkan kakinya dimuka kuil. Melihat sambaran bara api kearahnya, dengan membentak nyaring dia meludah... Cuih! Lengannya mengibas. angin keras menggebu menghantam bara api yang meluruk ke arahnya. Bara api itu pecah berhamburan. menjadi ratusan lelatu api yang menerjang balik ke arah pintu kuil yang terbuka. Tentu saja mendelik sebelah mata si kakek seram. Namun dia cepat monyongkan mulutnya. Dan... Fuuuh! Lelatu api seketika padam dan buyar kesegenap penjuru.
"Hihihik...hihik... tua bangka mata picak, kau makanlah bara apimu, mengapa kau suguhkan padaku?" Sekali berkelebat si kakek muka seram melompat, dan sekejap telah berada dimuka pintu.
Ternyata si pendatang yang dijuluki Wewe Gombel Setan Genit itu adalah seorang wanita berparas cantik. Bertubuh kurus tinggi semampai. Berkulit kuning langsat, memakai pakaian serba putih. Alisnya mencuat keatas dengan biji mata yang menampakkan mata yang jalang. Usianya ditaksir sekitar 35 tahun. Akan tetapi nampak tubuhnya masih montok.
"Mau apa sebenarnya kau kemari?" berkata ketus si kakek seram yang dijuluki si Dedemit Mata Picak ini. Sementara mulutnya mulai menggayam panggang daging yang sudah matang itu dengan rakus.
"Hm, aku tak ingin minta makananmu, Wicaksa! Kedatanganku cuma mau mengatakan bahwa perbuatanmu membunuh manusia itu cuma mengundang penyakit pada dirimu sendiri! Sedangkan orang yang kau Pancing untuk menyatronimu tak berada diwilayah ini!" berkata wanita ini dengan bertolak pinggang.
"Heh! bagaimana kau bisa tahu?"
"Ya, karena yang mengetahui perihal si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil Cuma sahabatku! Dia bernama Cakra Murti!" sahut Wewe Gombel Setan Genit.
Terhenyak si kakek yang bernama Wicaksa itu. Tak ayal dia sudah semburkan daging panggang dimulutnya, dan tiba-tiba membanting daging panggang itu hingga amblas ke tanah. "Grrr... katakan segera! Apakah kau datang bersama sahabatmu itu?" membentak Wicaksa. Suaranya menggeledek hingga terdengar berpantulan kesekitar tempat yang lengang itu.
"Hihik...hihik... sabar, Wicaksa! saat ini aku datang sendiri. Tapi aku bisa mempertemukan kau dengan sahabatku itu, kalau ada imbalannya!" berkata Wewe Gombel Setan Genit dengan mengikik tertawa.
"Imbalan? Imbalan apa yang kau inginkan? katakanlah! Kalau betul si Cakra Murti sahabatmu itu bisa menunjukkan aku dimana adanya si Roro Centil, tentu aku tak keberatan memberikan imbalan. Apakah kau inginkan sekantung uang emas untuk imbalannya? Aku sanggup memberikannya! Akan tetapi bila kau berdusta, maka kepalamulah sebagai gantinya, termasuk kepala sahabatmu itu!"
Tawaran itu ternyata membuat si wanita ini cuma tersenyum, tapi segera ujarnya. "Aku tak memerlukan itu, Wicaksa! Yang kuperlukan adalah kitab yang kau rampas dari KI Sabda Tama!"
Mendengar Jawaban Wewe Gombel Setan Genit, Wicaksa jadi tertawa terkekeh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk. "Tunjukkan aku dimana adanya sahabatmu itu. Mengenai kitab Ki Sabda Tama yang kucuri itu aku tak berminat mempelajari, disamping aku tak mengetahui arti tulisannya. Dengan sukarela akan kuberikan padamu. Tapi dengan syarat apabila aku sudah menjumpai si Roro Centil!"
"Bagus, baiklah! Kukira tak perlu berlama-lama, Segera kau siapkan kitab itu, dan segera kita berangkat!" berkata girang Wewe Gombel setan genit. Tampak dia amat gembira mendengar jawaban si Dedemit Mata Picak.
"Baik! baik...! tunggulah! segera kupersiapkan!" ujar Wicaksa dengan menyeringai girang. Tubuhnya kembali berkelebat memasuki pintu kuil. Tak lama dia telah keluar lagi.
"Marilah kita berangkat!" ujarnya.
Wewe Gombel Genit mengangguk. Dia mendahului berkelebat menuruni bukit Lembayung, disusul oleh kelebatan tubuh si Dedemit Mata Picak. Hingga tak lama kemudian Kuil Tengkorak Darah dipuncak bukit Lembayung kembali sunyi mencekam...
Siapakah adanya Wewe Gombel Setan Genit dan si dedemit Mata Picak bernama Wicaksa penghuni Kuil Tengkorak Darah itu? Keduanya adalah dua orang saudara seperguruan yang masing-masing telah menempuh jalan sendiri-sendiri. Kedua tokoh yang berada dijalur sesat itu mempunyai ilmu kepandaian silat yang tinggi. Entah permusuhan apakah gerangan Wicaksa dengan Roro Centil di Pendekar Wanita pantai Selatan hingga si kakek itu tampak amat mendendam.
CAKRA MURTI ternyata seorang laki-laki gagah berusia sekitar 40 tahun. Laki-laki ini tengah mondar-mandir diruangan depan seperti tengah menanti kedatangan orang ditunggunya. Gedung tua itu terletak di tepi danau, Dikelilingi oleh hutan rimba. Diapit oleh dua bukit. Tempat sekitar itu sunyi mencekam.
Tampaknya gedung tua itu satu-satunya gedung yang terpencil ditempat itu. Mata Cakra Murti menatap ke arah hutan rimba dibelakang bukit lalu dialihkan ke ujung jalan disisi danau. Tiba-tiba telinganya mendengar suara berkrosakan disisi gedung.
"Siapa? Kalau mau bertemu silahkan masuk dari pintu depan. Aku Cakra Murti siap menyambut tamu yang datang dengan maksud baik!" berkata laki-laki ini.
"Bagus! kedatanganku bukan untuk maksud jahat, sobat Cakra Murti!" Diiringi kata-kata itu sesosok tubuh berkelebatan munculkan diri dihadapan laki-laki itu.
Sejenak dia terhenyak memandang si pendatang, yang ternyata adalah seorang laki-laki brewok. Dikedua pinggangnya terdapat dua buah buli-buli. Sedangkan tangan si brewok ini mencekal pula sebuah buli-buli yang sudah lepas sumbatnya. Tanpa hiraukan orang yang menatapnya si brewok tenggak isi buli-buli itu hingga belasan teguk. Bau arak mengembara seketika itu juga.
"Hm, kiranya anda si Dewa Arak! Ada maksud apa anda meyatroni tempatku?" bertanya Cakra Murti dengan kernyitkan keningnya.
Si Brewok tak buru-buru menjawab. Tapi menyeka dulu bibirnya membersihkan bekas-bekas cairan-cairan arak yang membasahi bibir dan dagunya. "Hehehe... kalau bukan aku lihat sendiri kau ada hubungan baik dengan si perempuan kuntilanak Wewe Gombel Setan Genit, mana aku jauh-jauh menyatroni tempat tinggalmu?" berkata si brewok.
Tersentak juga Cakra Murti mendengar si Dewa Arak mencari orang yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. "O, jadi kau mencarinya? Ada persoalan apakah kau dengan sahabat ku itu?" bertanya Cakra Murti. Sementara diam-diam laki-laki ini merasa adanya angin buruk yang bertiup dengan kedatangan sang tetamu.
"Bagus! ternyata dia sahabat baikmu? Suruh dia keluar. Biar aku yang urus persoalanku dengannya!" membentak si Dewa Arak.
"Seorang tetamu yang datang dengan maksud baik, tentu akan datang dengan sikap yang baik. Caramu itu kasar sekali, juga tak mau memberitahukan persoalannya. Apakah bisa di anggap datang dengan maksud baik?" berkata Cakra Murti dengan suara datar. Tapi mengandung hawa amarah yang terpendam didada. karena sikap si Dewa Arak telah menyinggung perasaan yang tak menghargai dirinya.
Mendelik mata si Dewa Arak, Hidungnya mendengus. "Heh! apakah pangkatmu, sobat? Urusanku cuma dengan si Wewe Gombel Setan Genit. Suruh saja dia keluar! tak usah kau banyak lagak dengan segala macam pertanyaan!" balas membentak si brewok.
"Hm, baik, baik! Aku tak ikut campur urusan kalian. Tapi orang yang kau cari itu justru aku sedang menantikan kedatangannya. Harap kau tunggu saja disini sampai dia datang!" menyahut laki-laki ini, dengan menekan perasaannya. Sebenarnya hatinya panas dibentak sedemikian rupa oleh si brewok. Tapi dia berusaha menahan sabar, karena berhadapan dengan si brewok yang dia tak tahu urusan cuma menambah musuh saja. Selesai berkata Cakra Murti beranjak masuk kedalam gedungnya. Akan tetapi diluar dugaan sibrewok telah membentak.
"Tunggu! Apakah omonganmu bisa dipercaya?"
Hilanglah kesabaran laki-laki ini. Tapi disaat dia mau melabrak sibrewok, terdengar suara tertawa cekikikan, disusul oleh berkelebatnya sesosok tubuh yang jejakkan kaki dengan ringan didepan gedung.
"Bagus! ternyata manusianya telah muncul!" teriak si brewok girang dan langsung menggembor. "Wewe Gombel Setan Genit! Kau harus bayar kematian muridku dengan nyawamu!"
Wajah si Dewa Arak sekejap telah berubah bringas melihat kemunculan wanita ini. Dan tanpa menunda kesempatan lagi dia telah ayunkan kepalanya yang disertai tenaga dalam. Itulah jurus pukulan maut yang dilakukan dengan mendadak. Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan berkelebat memapaki serangan di Dewa Arak, disertai bentakan parau.
"Tahan seranganmu, monyet tua brangasan!"
Plak...! Benturan dua lengan terjadi. Dewa Arak menjerit kaget karena lengannya serasa menghantam besi. Disaat mana tahu-tahu dadanya kena dihantam telak oleh pukulan keras. Buk..! Terlemparlah tubuh si Dewa Arak, dan jatuh bergulingan. Ketika dia bangkit dan memandang dengan mata yang berkunang-kunang tahulah dia siapa yang menangkis serangannya.
Ternyata si Dedemit Mata Picak, yang dengan bertolak pinggang menatap tajam dengan sebelah matanya. Benturan kedua pukulan bertenaga dalam barusan tak mengakibatkan reaksi apa-apa terhadapnya. Akan tetapi keadaan si brewok cukup fatal. Dia merasakan dadanya sesak dan pandangan matanya berkunang-kunang. Pukulan telak pada dadanya itu kalau terkena pada orang yang ilmu kedigjayaannya rendah tentu akan meremukkkan isi dadanya.
Untunglah tubuh si Dewa arak telah berisi dengan ilmu kebal. Hingga nyawanya masih bisa diselamatkan. Namun cukup membuat si brewok terperanjat mengalami serangan keras secara mendadak ini dan membuat rasa nyeri pada dadanya.
"Keparat! siapa kau...?" membentak si Dewa Arak dengan gusar. Dia telah melompat bangkit lagi. Sepasang matanya tertuju pada kakek rambut putih bertampang seram itu.
"hehe... hahah... hahah... rupanya kau si Dewa Arak? Masih untung kau tidak mampus! Mengapa datang-datang kau menyerang orang? Tahukah kau kalau sampai kau mencelakai adik seperguruanku ini, mana mungkin nyawamu bisa selamat?" tertawa mengakak Dedemit Mata Picak.
"Apakah kau si Dedemit Mata Picak, Wicaksa?" tersebut Dewa Arak ketika baru menyadari siapa adanya orang dihadapannya.
"Hihihik... tidak salah dugaanmu itu, Dewa Arak! Bila kau berurusan denganku sama saja berurusan dengan dia. Sebenarnya aku tak mau urusanku dicampuri siapapun, tapi salahmu sendiri, datang-datang kau mau membalaskan kematian muridmu tanpa kau mau tahu apa latar belakangnya!" Wewe Gombel Setan Genit mewakilkan menjawab pertanyaan si Dewa Arak.
Akan tetapi si Dedemit Mata Picak sendiri justru mendegus. "Huh, siapa bilang urusanmu adalah urusanku? Saat ini aku memang tengah memerlukan keterangan mengenai urusaku. Jangan harap kau bisa selamat kalau kau menipu!" tukas laki-laki bertampang seram ini dengan pelototkan sebelah matanya pada Wewe Gombel Setan Genit.
Melihat demikian cepat-cepat Cakra Murti Menengahi. "Sudah! sudahlan! sebaiknya kau Dewa Arak segera kembali pulang. Urusanmu bisa di selesaikan lain hari. Karena kau berada ditempatku, kau harus turut peraturanku. Kalau tidak terpaksa akupun ikut campur dengan urusan sahabatku ini!"
Dewa arak memikir sejenak. Jelas dia tak bisa menerima begitu saja saran Cakra Murti. Namun setelah menimbang-nimbang diapun menyadari tak guna bersitegang pada saat itu. Karena bisa membahayakan dirinya sendiri. Segera diapun berkata.
"Baiklah! aku undurkan urusanku dengan mu, Wewe Gombel Setan Genit! Tapi kelak aku pasti menuntut penjelasan mengenai kematian muridku di tanganmu! Bila benar-benar kau berada dipihak salah, aku tak segan-segan turunkan tangan untuk mencopot nyawamu!"
Selesai berkata dan tanpa menunggu jawaban si Dewa Arak berkelebat dari tempat itu, dan sekejap sudah tak nampak lagi bayangan tubuhnya.
"Kaukah yang bernama Cakra Murti?" bertanya Dedemit Mata Picak. Sebelah matanya menatap tajam pada laki-laki gagah dihadapannya.
"Benar, sobat, Sungguh tak disangka kalau aku bisa berjumpa dengan anda penghuni kuil Tengkorak Darah."
Ketiganya duduk diruang depan gedung. Pertanyaan itu dilontarkan si Dedemit Mata Picak setelah Wewe Gombel Setan Genit berbisik pada laki-laki bernama Cakra Murti.
"Apakah kedatangan anda ingin menanyakan perihal si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil?" bertanya Cakra Murti.
"Benar! untuk itulah aku datang kemari, dan atas petunjuk sahabatmu ini!" sahutnya seraya berpaling menatap Wewe Gombel Setan Genit.
"Ah, bukankah anda berdua satu perguruan? Mengapa tak memakai sebutan kakang atau adik?" tukas Cakra Murti.
"Ceritanya begini...! Biarlah aku yang menjelaskan, Wicaksa!" Wewe Gombel Setan Genit cepat-cepat menjawab, seraya melirik pada Dedemit Mata Picak yang cuma mendengus.
"Wicaksa adalah bekas pesuruh guruku, sedangkan aku adalah murid beliau pada dua belas tahun yang silam. Karena Wicaksa juga dididik oleh guruku mengenai ilmu kedigjayaan, maka mau tak mau kami bisa dikatakan masih satu perguruan. Tujuh tahun yang lalu guru kami wafat akibat keracunan tanpa diketahui siapa yang telah membunuhnya. Dan kami berpisah menempuh jalan masing-masing. Baru dua tahun belakangan ini kami bertemu lagi. Seperti yang aku ceritakan padamu, Wicaksa yang bergelar Dedemit Mata Picak ini menghuni kuil Tengkorak Darah...!" Wewe Gombel Setan Genit tuturkan secara singkat mengenai si Dedemit Mata Picak.
Cakra Murti manggut-manggut mendengar penjelasan Wewe Gombel Setan Genit. "Hm, baiklah! Untuk mempersingkat waktu, bolehkah kulihat kitab Ki Sabda Tama yang berada ditanganmu, sebelum aku memberitahukan dimana adanya si Roro Centil musuh besarmu itu?" berkata Cakra Murti.
"Apakah kata-katamu bisa dipercaya?" untuk kedua kalinya Wicaksa berkata. Sorot matanya tajam menatap pada Cakra Murti.
Cakra Murti tersenyum. Kali ini dia tak menampakkan kegusaran. "Percayalah! aku pasti memberitahu mengenai orang yang kau cari itu. Karena memang cuma akulah yang mengetahuinya. Aku ingin melihat apakah kitab Ki Sabda Tama itu benar-benar kitab yang sebenarnya?"
"Apakah kau mengira aku membawa kitab Ki Sabda Tama palsu?"
"Ya, ya...! Aku percaya! Tapi alangkah baiknya kalau aku melihatnya!" tukas Cakra Murti dengan berkata sungguh-sungguh.
"Baik! baik!" seraya berkata Wicaksa rogoh saku bajunya, dan lemparkan kitab yang terbungkus kain kumal itu kepada Cakra Murti.
Dengan cepat Cakra Murti menyambuti. Laki-laki ini membuka lipatan kain kumal itu, lalu mengeluarkan sebuah kitab dari dalamnya. Agak lama dia membolak-balik kitab itu memperhatikan isinya. Tak lama kemudian dia kembali kekursinya, lalu membungkus lagi kitab itu.
"Benar, kitab ini milik Ki Sabda Tama! Hm, kalau tak dari saudara seperguruanmu ini yang mengatakan, mana aku tahu kalau kitab yang kucari-cari ini berada ditanganmu...!" berkata Cakra Murti. "Kitab ini bukan berisi mengenai ilmu-ilmu kedigayaan, melainkan berisikan tulisan mengenai Tata Kerajaan. Aku terlambat menjumpai dia sebulan yang lalu. Karena dia telah tak berada di tempat kediamannya lagi Padepokan Ki Sabda Tama telah rusak binasa. Rupanya kaulah yang memporak-porandakan untuk merebut kitab ini dari tangannya!"
"Benar! Akan tetapi bukan niatku merampas kitab itu. Bahkan aku tak tahu menahu dengan kitab itu. Secara kebetulan aku melihat dua orang bertarung. Secara iseng aku ikut campur urusan mereka. Orang yang menempur Ki Sabda Tama, yang baru kuketahui namanya belakangan itu memakai topeng hijau. Ternyata dia berjulukan si Buto Kala Ijo. Ki Sabda Tama berilmu tinggi, hingga nampaknya buto Kala Ijo terdesak. Aku turun tangan dan pura-pura membantu. Sebelumnya memang aku telah mengetahui lewat pembicaraan kalau si Buto Kala Ijo itu bertujuan mau merebut kitab ditangan Ki Sabda Tama. Ki Sabda Tama terluka terkena pukulanku. Dan aku berhasil merampas kitab dari balik pakaiannya. Tapi benar-benar sial dangkal si Buto Kala Ijo. Dia membokongku dan merampas kitab dari tanganku, lalu melarikan diri. Karena kesalnya aku memporak-porandakan pondok Ki Sabda Tama!"
"Lalu bagaimana kau bisa dapatkan kitab ini lagi?" tanya cakra Murti.
"Aku memang berjodoh memiliki kitab itu, karena seusai aku mengobrak-abrik pondok Ki Sabda Tama, aku mendengar suara orang menjerit parau. Ketika kuhampiri, ternyata si Buto Kala Ijo dalam keadaan terkapar berlumuran darah. Dilengannya tercekal kitab yang dirampasnya itu. Masih sempat aku melihat sesosok tubuh berkelebat ketika aku membentaknya. Agaknya dia si pembokong Buto Kala Ijo untuk merebut kitab. Tapi keburu aku datang, hingga dia tak sempat memiliki kitab itu...!"
"Kau tak melihat jelas orang itu?" tanya lagi Cakra Murti.
"Tidak! aku cuma melihat sekilas punggungnya! Agaknya dia telah merasai kehebatan pukulanku, dan begitu amat ketakutan melihat aku muncul, hingga tanpa memikirkan kitab dia lari selamatkan nyawa!"
"Hahaha... haha... hebat! nasib peruntungan mu memang bagus! Juga peruntunganku, karena kitab yang kucari ini bisa jatuh ketanganku, Juga kau Dedemit Mata Picak bisa mendapat kabar tentang dimana adanya Roro centil!" berkata demikian Cakra Murti tersenyum. Sementara hatinya berkata: Haha... kau tak tahu kalau orang yang cuma terlihat punggungnya itu adalah aku. Penuturan Wicaksa ditutup oleh suara tertawa Cakra Murti dengan sedikit memberi bumbu pembicaraan untuk menggembirakan hati Wicaksa. Cakra Murti memang agak jerih karena tokoh hitam ini punya ilmu pukulan tangan beracun. Tapi Wicaksa sudah membentak.
"Sudahlah! Kini segera katakan dimana adanya si Roro Centil itu! Segera saja kau katakan! Awas, kalau kau mendustaiku, jangan harap kau masih bisa tertawa lagi!"
"Hihihik... hihik... katakanlah, kakang Cakra Murti! Bukankah imbalannya sudah kita dapatkan?" berkata Wewe Gombel Setan Genit yang sejak tadi tak ikut bicara.
"Hm, baik! baik...! Tapi sebelumnya bolehkah aku mengetahui dendam permusuhan apakah kau dengan tokoh terkenal itu?"
"Heh! itu urusanku!" berkata Wicaksa dengan mendelikkan matanya.
Cepat-cepat Cakra Murti berkata. "Yah, sudahlah, kalau kau tak mau menceritakan mengapa harus aku paksa? Kau telah berbaik hati memberikan imbalan untuk maksudmu itu pada kami. Akupun tak ingin mengecewakan mu, sobat! Apa lagi kau adalah masih saudara seperguruan sahabat baikku ini. Perjalanan ke tempat si Pendekar Wanita itu memakan waktu dua hari. Itupun dengan menggunakan ilmu lari cepat tanpa berhenti. Saat ini aku amat penat. Kau beristirahatlah bermalam disini, sambil kumpulkan tenaga. Besok kita lakukan perjalanan..." ujar Cakra Murti.
Padahal hatinya membatin. "Heh! sungguh mati aku tak tahu dimana adanya si Pendekar Wanita itu berada!"
Tak ada pilihan bagi Wicaksa selain menuruti apa yang disarankan Cakra Murti. Bukankah dia lebih beruntung, karena Cakra Murti tidak cuma menunjukkan dimana adanya orang yang dicarinya itu, Tapi bahkan mau mengantarkannya sampai ke tempat tujuan.
Senja semakin temaram. Matahari telah sembunyi dibalik gunung. Cuaca mulai dilanda kepekatan ketika malam menjelang datang. Wicaksa mendengkur lelap di dalam kamar yang disediakan untuknya. Manusia ini memang tak banyak memikirkan segala apa mengenai tindak-tanduk orang. Padahal kalau mau, cakra Murti bisa membinasakannya tanpa berpayah-payah mengantarkannya kesatu tempat dimana berdirinya Roro Centil.
Cakra Murti memasuki kamarnya untuk beristirahat. Akan tetapi segera merandek, karena bau wewangian menyambar hidungnya. Tahulah dia kalau si Wewe Gombel Setan Genit berada didalam. Benar saja, ketika dia melangkah masuk, di lihatnya wanita bertubuh montok yang menggairahkan itu dalam keadaan terlentang ditempat tidurnya tanpa memakai busana. Berselimutkan sehelai kain yang menyingkap sebagian tubuhnya.
Bibir laki-laki ini mendesah. Sejak beberapa lama berhubungan dengan wanita ini, dia amat banyak menimba keuntungan. Diam-diam dia berpikir, apakah si Wewe Gombel Setan Genit ini benar-benar jatuh cinta padanya?
Siapakah sebenarnya Cakra Murti itu? Dia ternyata seorang abdi Kerajaan. Dialah Adipati Wukir Kamandaka, yang menguasai wilayah barat Kota Raja dari kerajaan Galuh Kencana. Kerajaan Galuh Kencana ini tak diperintah oleh seorang Raja. Tapi yang bertakhta adalah seorang Ratu. Adapun kitab yang berada ditangan Ki Sabda Tama ada hubungannya dengan kerajaan. Hingga dia harus bersusah payah mencari kitab tersebut atas perintah junjungannya sang Ratu Galuh Kencana.
Adipati Wukir Kamandaka alias Cakra Murti yang mendapat tugas rahasia dari sang Ratu dalam pengembaraannya mencari jejak Ki Sabda Tama yang mencuri kitab pusaka kerajaan, berhasil mendekati dan bersahabat dengan Wewe Gombel Setan Genit. Seorang wanita cabul tokoh golongan hitam.
Laki-laki yang boleh dikatakan tak berkepribadian baik itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Bahkan hubungan mereka sudah dapat dikatakan bagai suami istri. Tapi dengan demikian, Cakra Murti banyak menimba pengalaman dan berkenalan dengan tokoh-tokoh hitam di Rimba Hijau saat itu. Bahkan dia berhasil memperalat Wewe Gombel Setan Genit untuk mendapatkan kitab Ki Sabda Tama, yang secara kebetulan benda itu berada ditangan Wicaksa, saudara seperguruan wanita itu.
"Kakang... ah, dekaplah aku kakang... malam ini dingin sekali..." suara Wewe Gombel Setan Genit terdengar lirih seperti tengah mengigau.
Pelahan Cakra Murti menghampiri. Bibirnya tersenyum memandang wajah wanita itu yang matanya masih terpejam. Lengannya pun bergerak menjulur kebawah selimut. Tubuh wanita itu menggeliat, dan menggelinjang, ketika lengan nakal Cakra Murti membelai.
"Aaah... kakang... dekaplah kakang..." kembali dia mengerang. Sepasang matanya setengah terbuka menatap Cakra Murti dengan redup. Bibirnya setengah terbuka. Basah.... dan, ah... membuat gejolak birahi Cakra Murti seketika mengembara kesekujur tubuh.
Dan bagaikan lompatan seorang Senapati yang akan bertempur dimedan perang, Cakra Murti menerjang dengan garang. Didekapnya tubuh Cakra Murti seperti mau diremukkan tulang-tulangnya. Tubuhnya menggeliat-geliat seperti cacing. Dan, tak lama kemudian Cakra Murti pun terkulai dengan tubuh serasa dilolosi tulang belulangnya...
Malam semakin melarut. Gedung tua itu seperti mati, tak berpenghuni. Saat itu sebuah bayangan berendap-endap keluar dari dalam gedung itu. Gerakannya amat hati-hati bagai seekor kucing, tanpa menimbulkan suara. Tak berapa lama dia telah menyelinap kesisi sebelah timur gedung. Dan selang sesaat sosok tubuh itupun berkelebat lenyap.
Dedemit Mata Picak alias Wicaksa terjaga dari tidurnya ketika Matahari telah menggelincir tinggi. Tersentak kaget dia, karena merasa telah berlaku kurang waspada, disamping merasa aneh. Mengapa dia bisa tidur lelap seperti orang mati?
"Heh? jangan-jangan arak suguhan Cakra Murti yang kuminum itu mengandung obat bius...!?" gumamnya.
Tak ayal dia sudah bangkit berdiri. Dan bergegas memeriksa ruangan gedung itu. Berteriak-teriak dia memanggil si tuan-rumah dan Wewe Gombel Setan Genit. Tapi tak ada sahutan. Kecurigaannya semakin besar bahwa dia tertipu. Segera dia teruskan memeriksa seluruh ruangan gedung itu.
Sebuah pintu kamar yang terkunci didobrak. Berderak suara daun pintu yang hancur berkepingan. Mendelik mata Wicaksa melihat Wewe Gombel Setan Genit dalam keadaan terlentang dipembaringan dengan telanjang. Sekali lompat dia telah mendekati, seraya membentak.
"Perempuan edan! Katakan, kemana gendakmu si Cakra Murti?" bentakan itu dibarengi dengan lengan terjulur menjabak rambut wanita itu.
Tapi alangkah terkejutnya dia, karena melihat darah berceceran diatas pembaringan. Sekejap dia telah tahan uluran lengannya. Ketika diperhatikan ternyata Wewe Gombel Setan Genit telah tak bernyawa lagi. Keadaannya amat mengenaskan, karena tulang lehernya telah remuk. Menggeram Wicaksa dengan kemarahan yang memenuhi dadanya.
"Ini pasti perbuatan si Cakra Murti!" teriaknya gusar. Kakek ini memaki kalang kabut, seraya berlompatan kesekitar gedung mencari dimana adanya manusia yang telah menipunya.
"Cakra Murti! Awas kau! Kalau kutemukan, akan kupatahkan batang lehermu! Dan kau Wewe Gombel Setan Genit! Itulah rupanya upah buatmu! Kau telah diperalat dan tergila-gila dengan gendakmu itu yang justru mencelakai dirimu sendiri...!" Setelah berteriak-teriak dan menggerutu, Wicaksa alias si Dedemit Mata Picak berkelebat meninggalkan tempat itu.
Menjelang tengah hari, Wicaksa telah berada lagi dipuncak bukit Lembayung. Pintu Tengkorak Darah telah siap menyambut kedatangan majikannya. Akan tetapi ketika Wicaksa baru saja jejakkan kakinya didepan kuil, tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik seorang wanita. Tentu saja membuat Wicaksa merandek dengan kaget. Jelas suara itu adalah suara si Wewe Gombel Setan Genit. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bukankah si Wewe Gombel Setan Genit telah mati? pikirnya dalam hati.
"Hihihihik.... hihik... Wicaksa! Kau keterlaluan! Mengapa tak mengubur mayatku? Kau malah kembali pulang kekuil Tengkorak Darah! Apakah kau mau sebar kematian lagi dan tambahkan mayat-mayat manusia disekeliling kuilmu? Kalau tak kau balaskan dendammu sekarang juga, aku akan mencekikmu siang-siang! Hihi... hihik... hihihik..."
Bagai disambar petir Wicaksa mendengar suara itu. Bulu tengkuknya seketika meremang disiang hari bolong. Manusia yang tak takut dengan segala macam hantu itu, kini benarbenar tak dapat mungkir lagi kalau dia sudah mendengar suara hantu. Hantu siapa lagi kalau bukan hantu si Wewe Gombel Setan Genit? Tak terasa dia melangkah mundur dua tindak. Akan tetapi tersentak dia karena mendengar suara tertawa mengikik yang seperti meniup-niup telinganya.
"Aah...!?" Dia melompat ke belakang dengan keringat dingin mengucur ditengkuknya. "Mungkinkah ada hantu muncul di siang hari?" benaknya memikir. Ternyata kemanapun dia melompat, suara tertawa mengikik itu terus mengikuti. Akhirnya...
"Bha... baik! baik...! Aku akan mengubur jenasahmu, Wewe Gombel! Tapi dimana aku bisa mencari si Cakra Murti? Aku tak tahu kemana dia pergi!" tergagap dan terengah-engah Wicaksa berkata. Tampaknya dia amat ketakutan sekali. Suara tanpa rupa terus memburunya membuat tubuhnya jadi gemetar panas dingin. Seumur hidupnya barulah dia mendengar suara setan.
Kita tinggalkan dulu Wicaksa si penghuni Kuil Tengkorak Darah yang terpaksa menuruti perintah arwah Wewe Gombel Setan Genit yang terus memburu si kakek bertampang seram itu. Mari kita ikuti kemana langkah Mayana si "pemuda" yang sebenarnya seorang wanita itu melakukan perjalanan.
Ternyata tujuannya adalah kesatu wilayah sebelah tenggara. Dimana Mayana telah lakukan perjalanan hampir dua pekan. Sebentar-sebentar dia berhenti beristirahat untuk melepas lelah. Dua belas desa telah dia lewati. Pada hari kelima belas dia telah tiba disatu tempat. Dara berpakaian laki-laki ini hentikan langkahnya untuk menatap kesatu puncak bukit.
"Kukira itulah bukit Alas Wuku, tempat berdiamnya KI Sabda Tama si pembunuh kedua orang tuaku!" berdesis suara Mayana. Menatap tajam puncak bukit itu dengan sorot mata berapi-api.
Setetes air mata kembali turun kepipi dara ini ketika membayangkan nasib dirinya. Untuk mengetahui siapa pembunuh ayah bundanya dia harus korbankan kehormatannya pada Gajah Lor, gurunya sendiri yang telah merawatnya sejak dia berusia 10 tahun. Benar-benar satu pukulan batin yang luar biasa. Betapa 1001 macam perasaan mendekam didada gadis ini. Antara benci, dendam, sakit hati, penyesalan dan kekecewaan menjadi satu.
Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Dia telah tak berhasrat memimpikan hidup berpasangan dan berumah tangga. Karena kesuciannya telah hancur. Baginya asalkan dapat membalas hutang pati kepada pembunuh orang tuanya, dia telah puas! Mungkin juga dia yang akan terkapar mati ditangan Ki Sabda Tama. Karena menurut gurunya manusia itu berilmu amat tinggi.
Seperti diceritakan dibagian depan, Mayana menetap tiga hari dipuncak bukit. Rajabasah. Selama itu dia terpaksa melayani nafsu sang guru demi imbalan atas jerih payah sang guru mendidiknya. Dan setelah apa yang diinginkan gurunya dipenuhi, dia mendapat tahu siapa orang yang telah membunuh kedua orang tuanya itu.
Mayana tak menjumpai adanya Gajah Lor dipondok puncak bukit Rajabasah. Tak diketahuinya pergi kemana sang guru itu. Tapi diatas meja kamarnya Mayana mendapatkan sepucuk surat yang isinya mengatakan siapa sebenarnya pembunuh kedua orang tuanya. Ternyata adalah Ki Sabda Tama adanya. Disamping terheran, namun dia juga bergirang hati karena telah mengetahui siapa musuh besarnya.
Sang nasib ternyata telah membawa dia hingga tiba ke wilayah ini, walaupun dia tak mengetahui dimana adanya Ki Sabda Tama berada. Mayana yang bernasib baik berjumpa dengan seorang kakek tua pertapa ketika dia melewati sebuah hutan. Ketika dia mencium bau asap setanggi. Asap harum itu dicari dari mana asalnya. Ternyata berasal dari dalam sebuah goa disisi bukit.
Kakek pertapa penghuni goa itu mempersilahkan dia masuk. Mayana menceritakan maksudnya. Ternyata kakek itu mengetahui dimana adanya Ki Sabda Tama. Dia menyuruh dia menuju ke arah tenggara untuk mencari sebuah bukit bernama bukit Alas Wuku, dengan memberikan ciri-ciri bukit itu. Sayang dia tak sempat melihat wajah kakek pertapa itu yang bicara sambil membelakangi. Bahkan kakek itu tak memberitahukan namanya.
Mayana meminta diri. Walau hatinya agak ragu, terpaksa dia harus pergi mencari bukit Alas Wuku, karena tak tahu lagi kemana dia harus mencari musuh besarnya itu. Demikianlah, hingga Mayana tiba diwilayah ini. Mayana mulai bergerak menyelusuri sekitar bukit, sebelum naik kepuncaknya. Didapati sebuah goa di bawah bukit. Tersentak hati dara ini. Tak ayal dara ini segera hunus pedangnya.
"Hm, apakah manusia jahanam itu bersembunyi disini?" desisnya. Akan tetapi bukan main terkejutnya dia ketika didapati si kakek pertapa yang dijumpainya itu telah berada didalam goa itu. Kakek itu duduk disudut ruangan goa dengan membelakanginya, seperti dijumpai pada dua pekan yang lalu didalam hutan pada sebuah goa.
"Kakek pertapa? Apakah maksudmu sebenarnya? Katakanlah siapa kau ini sebenarnya? Mengapa kau berada disini mendahuluiku?" berkata Mayana.
"Hehehe... gadis muda yang gagah berani. Akulah sebenarnya Ki Sabda Tama orang yang kau cari itu!"
Kalau ada petir mungkin tak membuat seterkejut Mayana pada saat itu. Tersentak dia dengan melompat mundur. Wajahnya berubah tegang. Napasnya menderu, Dan lengannya bergetar memegang pedang.
"Betulkah kau Ki Sabda Tama?" bentaknya ingin meyakinkan.
"Hehehe... mengapa aku harus berdusta? Bukankah kau mau membunuhku? Nah, bunuhlah aku si pembunuh kedua orang tuamu ini!" seraya berkata kakek pertapa misterius itu balikkan tubuhnya. Terperanjat dara ini ketika melihat siapa adanya kakek pertapa itu. Yang tak lain dari Gajah Lor adanya.
"Guru...? kau... kau..." tergegap Mayana menatap dengan mata membelalak.
"Benar! aku gurumu sendiri!"
"Tak mungkin! apakah kau berkata sebenarnya, guru? ataukah kau sengaja mau mengecoh aku?" tergetar suara dara ini dengan melangkah mundur beberapa tindak.
"Apa yang aku katakan tidak dusta! Pada enam belas tahun yang lalu aku membunuh kedua orang tuamu karena dendam. Ibumu adalah istriku. Dan ayahmu adalah kakak kandungku sendiri! Dia bernama Wesi Geni. Wesi Geni telah melarikan diri dengan merebut istriku. Bertahun-tahun aku mencari. Dan di saat aku hampir putus asa tak menjumpai dimana adanya Wesi Geni yang kucari hampir 10 tahun tak pernah kujumpai, aku berhasil menemukan mereka. Saat itu hasil hubungan Wesi Geni dengan istriku telah membuahkan anak, yaitu kau sendiri. Aku tak dapat menahan rasa cemburu dan dendam yang telah terpendam selama sepuluh tahun itu. Terjadilah kisah yang membawa malapetaka dari keluargamu. Wesi Geni kubunuh mati. Demikian juga ibumu!"
"Oh...!?" tersentak kaget Mayana. Jantungnya berguncang keras. Tubuhnya menggeletar menahan 1001 macam perasaan yang berkecamuk didada. Mayana menatap tajam wajah Gajah Lor. Dilihatnya setitik air bening mengalir turun dari kelopak mata laki-laki tua itu. Laki-laki yang telah menodainya. Laki-laki yang telah menjadi gurunya sendiri.
Terdengar suara laki-laki tua itu menghela napas. Lalu lanjutkan kata-katanya. "Apa yang kukatakan adalah cerita yang sebenarnya, Mayana! Selama ini aku merasa berdosa karena menyembunyikan rahasia ini terhadapmu. Sebelum kau membunuhku baiknya ku ceritakan riwayat belasan tahun yang silam mengenai diriku!" Laki-laki ini tercenung sejenak seperti tengah mengumpulkan ingatannya. Tak lama dia mulai bicara lagi.
"Dulu, pada masa aku masih menjadi seorang Adipati. Aku hidup berkecukupan dan boleh dikatakan mewah. Dengan kekuasaan yang cukup besar. Aku jatuh cinta pada Indreswari putri seorang Tumenggung. Tumenggung itu adalah masih paman angkatku sendiri. Tak dinyana kakakku Wesi Geni diam-diam juga mencintai gadis itu. Dan bahkan mereka diam-diam telah saling jatuh cinta. Hal itu kuketahui setelah kami menikah.
"Peduli dengan semua itu. Cintaku pada Indreswari amat besar. Dan kami telah menikah. Terpaksa aku mengesampingkan kisah cinta mereka. Toh, gadis itu sudah jadi istriku! Dua tahun kami menikah, ternyata tak dikaruniai seorang anakpun. Hingga suatu ketika aku ditugaskan Ratu untuk membuat kitab susunan tata kerajaan. Aku yang memerlukan tempat sunyi segera meninggalkan gedung Kedipatian, setelah meminta izin pada Ratu. Aku berjanji pada istriku akan pulang sebulan kemudian.
"Tapi ketika aku kembali, ternyata Indreswari telah minggat bersama Wesi Geni. Betapa gusarnya aku, sukar dapat dikatakan lagi. Tanpa permisi dan masih membawa kitab tata kerajaan, aku pergi mencari dimana adanya mereka. Aku tak pernah kembali ke Kota Raja. Hingga kemudian aku berhasil menemui mereka, dan membunuhnya. Lalu aku bersembunyi dipuncak bukit Raja basah dengan membawa kau. Dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu kedigjayaan! Nah, kukira cukuplah sudah penjelasanku, Mayana! Apakah kau masih ragu kalau aku ini si pembunuh ayah ibumu?"
Mayana tercenung lama. Lama... tak tahu dia apa yang harus diperbuat. Hubungan antara guru dan murid selama ini amat akrab. Bahkan telah berlanjut dengan hubungan badan. Ada rasa kasihan pada Gajah Lor. Bila menilai akan cerita sang guru, dia tak dapat disalahkan. Siapa yang tak sakit hati istrinya dibawa lari orang. Walau yang membawa lari adalah kakak kandungnya sendiri?
Bila mengingat hubungan keluarga, Gajah Lor adalah masih pamannya sendiri. Tegakah dia membunuh orang tua itu? Yang telah mendidiknya selama ini? Kemelut dihati Mayana seperti sukar dipecahkan. Tapi bila mengingat akan kesuciannya yang telah dirusak oleh sang paman, betapa sakitnya hatinya. Gadis ini gigit bibirnya menahan perasaan yang menggebu dalam dada. Sementara Gajah Lor tiba-tiba terdengar batuk-batuk, lalu berkata parau.
"Mayana! Tunggu apa lagikah kau? Ayo! tusukkan pedangmu kejantungku! Bukankah selama sepuluh tahun kau cuma menantikan saat ini?" Gajah Lor gerakkan tangannya merobek jubahnya hingga dadanya terbuka.
"Ayo, Mayana! Mengapa kau ragu?" berkata lagi Gajah Lor. "Aku rela mati ditanganmu, walau... walaupun aku sudah terlanjur mencintaimu!" Kata-kata laki-laki tua ini membuat dara ini palingkan wajahnya, yang tiba-tiba terasa panas.
"Mencintaiku?" bentaknya menggeledek. Mata dara ini membinar dan berkaca-kaca. "Heh! kau tak lebih dari manusia binatang! Kalau kau mau menolong orang mengapa mengharapkan imbalan? Mengapa kau baru berterus terang setelah kau menodaiku?" terisak Mayana dengan air mata mengalir di pipinya.
Gajah Lor tertawa terkekeh, dan kembali dia batuk-batuk. "Semua itu sebenarnya atas dasar sakit hati, muridku! Akan tetapi aku tak dapat menolak kenyataan, kalau aku ternyata mencintaimu. Aku puas telah dapatkan kehangatan tubuhmu. Biarlah aku mati dengan menanggung dosa. Ya, aku telah banyak berbuat dosa. Aku membunuh kakak kandungku sendiri yang tak bersalah!" berkata Gajah Lor. Kata-kata ini membuat Mayana tersentak untuk mendengar apa yang akan diutarakan Gajah Lor.
"Ya! Ayahmu tak bersalah! Yang salah adalah aku!" Gajah Lor yang tadinya akan menceritakan rahasia lebih lanjut kembali terbatuk-batuk. Tiba-tiba dia muntahkan darah kental berkali-kali.
"Ah, guru! kau... kau terluka dalam?" tersentak kaget Mayana.
"Heheheh... benar, muridku! Tapi tak apa. Toh aku akan mati ditanganmu. Aku mati sebagai penebus atas dosaku!" berkata parau Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.
"Tidak, guru! Aku takkan membunuhmu! Kau harus cepat diobati. Akan tetapi Gajah Lor tak menyahut. Dia telah terkulai tak sadarkan diri. Gadis ini jadi kebingungan. Di serba salah untuk bertindak. Ingin dia menolong, tapi di lain saat hatinya mendadak menjadi membencinya. Dan akan membunuhnya saja. Tapi mengingat dia perlu tahu rahasia apa yang akan dikatakan sang guru itu, dia harus menyelamatkan jiwanya.
Demikianlah. Mayana segera totok beberapa bagian jalan darah sang guru. Lalu gunakan tenaga dalamnya untuk melancarkan pernapasan Gajah Lor. Saat berikutnya dia sudah berlari keluar goa. Di carinya beberapa jenis tumbuhan obat. Kemudian dengan ramuan yang telah dipelajari dia berusaha mengeluarkan racun yang mengendap ditubuh Gajah Lor.
Nyatalah Gajah Lor telah terkena pukulan beracun. Siapa adanya orang yang melukai gurunya itu tidaklah Mayana mengetahui. Usaha Mayana untuk menyelamatkan nyawa sang guru ternyata membawa hasil. Dua hari dalam rawatan Mayana, Gajah Lor menampakkan kepulihan kesehatannya. Hingga suatu hari...
"Mayana, muridku...! Ah, mengapa kau bersusah payah menolongku?" berkata Gajah Lor dengan menatap muridnya.
"Tak usah kau berkata begitu, guru?" Katakanlah siapa yang telah melukaimu?" Mayana tersenyum menatap pada Gajah Lor. Girang hatinya melihat kesehatan Gajah Lor berangsur membaik.
Laki-laki tua yang masih bertubuh tegap itu menatap muridnya dengan trenyuh. Hatinya seperti disayat melihat gadis itu begitu amat memperhatikan dirinya. Dua sinar mata kembali beradu tatap. Aneh! Mayana merasakan jantungnya berdetak cepat. Dan satu perasaan aneh menelusuri sanubarinya.
Entah mengapa dia amat mengharapkan Gajah Lor tetap hidup. Dan ada rasa tenteram bila dia bersamanya. Tidak saja seperti dia bersama orang tuanya sendiri, tapi bahkan lebih dari itu. Cepat-cepat Mayana menunduk ketika merasa wajahnya menjadi panas. Dan hatinya tergetar dengan 1001 macam perasaan.
"Kelak akan kuceritakan bila aku sudah sehat betul, muridku. Dan terima kasih atas kebaikan hatimu..." berkata lirih Gajah Lor.
Mayana cuma bisa mengangguk, lalu beranjak pergi dengan hati tak menentu. Sementara Gajah Lor memandangnya seperti tertegun hingga tubuh gadis itu lenyap dibalik pintu goa.
Apapun didunia ini bisa saja terjadi. Dan apa yang terjadi sudah menjadi jalan hidup manusia. Demikian pula dengan kedua manusia didalam goa itu. Hubungan dan benih cinta yang terkandung didalam hati dari dua manusia berlainan jenis yang jauh perbedaan usianya, kembali berlanjut... Mayana tak kuasa menolak tatkala laki-laki tua itu meminta untuk melayaninya. Sang dara kembali tenggelam dalam nikmatnya cinta. Tenggelam dalam nikmatnya sesuatu yang pernah dia rasakan.
"Mayana... aku... aku amat mencintaimu..."
"Guru... ah, guru..." mendesah dara ini dalam dekapan tubuh laki-laki kekar itu.
Laki-laki yang telah memberikan sejuta kenikmatan untuknya hingga dia lupa segala-galanya. Menggelinjang tubuh sang dara dalam alunan ombak bahtera disamudra luas yang tak berujung. Desah dan rintih menjadi satu memenuhi ruangan goa itu. Sementara diluar goa angin pegunungan bertiup kencang.
Awan hitam berarak dilangit. Hawa dingin menebar kesetiap pelosok. Dan dengan di dahului oleh gelegarnya petir diangkasa, hujanpun turun dengan lebatnya. Bumipun seketika basah oleh air hujan.
WICAKSA alias si Dedemit Mata Picak penghuni kali Tengkorak Darah itu tergesa-gesa menguburkan jenazah Wewe Gombel Setan Genit, dengan bulu tengkuk meremang. Selesai menimbun lubang dengan tanah, Wicaksa menengok kekiri kanan. Seperti mencari-cari ujud dan suara si Wewe Gombel Setan Genit. Ditunggunya beberapa saat. Tapi tak ada lagi suara tertawa yang menyeramkan dan tiupan yang menghembusi daun telinganya.
"Apakah arwah si Wewe Gombel telah sempurna setelah kukuburkan mayatnya?" gumam Wicaksa.
"Eeeh! apa katamu, setan tua? Kau harus laksanakan tugas keduamu mencari si Cakra Murti untuk membalas kematianku! hihi... hihik... apakah kau mau pungkiri janjimu?" Suara Wewe Gombel Setan Genit tiba-tiba terdengar mendesing nyaring didaun telinga.
Tak ampun kakek ini melompat kaget. Seketika keringat dingin merembes dikuduknya. "Ah...!? bba... bab... baik! Baik, aku akan mengerjakan perintahmu! Tapi... tapi katakan kemana aku harus mencarinya?"
"Goblok! Kau cari ke arah Kota Raja!"
"Ha? ke Kota Raja?" tersentak Wicaksa.
"Benar! Apakah kau tak tahu kalau dia sebenarnya seorang Adipati?"
"Ya.. ya... eh, dia seorang Adipati?"
"Betul! Dialah Adipati Wukir Kamandaka!"
"Hah!?" jadi... jadi si Cakra Murti itu Adipati Wukir Kamandaka?"
"Iya, goblok! Hayo, cepat berangkat mencarinya!" membentak suara arwah Wewe Gombel Setan Genit.
Tahu-tahu Wicaksa menjerit kaget karena merasa pantatnya ditendang. Tak ampun dia jatuh ngusruk ketanah. "Waaa..!? Jangan main kasar kau arwah Wewe Gombel. Aduuh, pantatku sampai nyeri begini...!" memaki Wicaksa.
"He? Kau berani membantah? Mau ku tendang atau tidak itu kemauan ku! Kalau kau tak cepat berangkat. Awas! Sekali kujilat lehermu, kau akan mati hangus seketika!" Arwah Wewe Gombel justru lebih galak lagi.
Seketika pucatlah wajah Wicaksa. Dengan gemetar dia berkata. "Baik! baik! Wewe Gombel Setan Genit! aku turut perintahmu!"
"Nah, begitu! Segera berangkat ke arah timur!" perintah si arwah Wewe Gombel Setan Genit.
Tak ayal lagi setelah melihat arah matahari yang condong ke arah barat, Wicaksa berkelebat cepat menuju ke arah timur, dengan tengkuk semakin meremang. Diam-diam dia mengeluh karena seumur hidupnya barulah dia diperalat oleh setan! Kalau saja Wicaksa dapat mempergunakan mata batinnya dengan baik, tentulah dia dapat melihat siapa orang yang memerintah itu.
Karena tak lain dari seorang wanita berpakaian dari kulit macan tutul. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil adanya. Gadis pendekar Pantai Selatan ini sambil berkelebat mengikuti Wicaksa diam-diam tersenyum, karena berhasil mengakali Wicaksa si penghuni Kuil Tengkorak Darah.
"Hihihi... manusia sinting semacammu yang membunuhi orang seenaknya saja sebelum kutamatkan riwayatnya, ada baiknya kutipu dia agar ke Kota Raja. Agar diketahui oleh pihak Kerajaan yang selama ini lengah membiarkan manusia iblis ini berbuat semaunya!" menggumam Roro.
Tapi diam-diam dalam hati dia membatin. "Oh, ya? Ada permusuhan apakah dia denganku? Baru kuingat kalau pembunuhan atas orang-orang desa yang mayatnya disebarkan disekitar Kuil Tengkorak Darah adalah kudengar untuk mengundang munculnya aku?"
Roro baru sadar kalau Wicaksa mencari dirinya. Hal itu diketahui dari hasil mendengar pembicaraan si Wewe Gombel Setan Genit dengan Wicaksa, juga pembicaraan dengan Cakra Murti. Bagaimana Roro secara tiba-tiba berada di tempat itu, dan berhasil menakut-nakuti Wicaksa serta mengetahui siapa adanya Cakra Murti? Marilah kita menengok ke belakang pada beberapa waktu belakangan ini.
Perbuatan biadab Wicaksa yang sengaja mengundang maut itu telah terdengar oleh Roro, ketika dia singgah disebuah desa. Adanya penghuni kuil Tengkorak darah yang tadinya bekas kuil peninggalan seorang Brahmana. Brahmana itu bernama Yoga Swara tinggal bersama murid-muridnya dikuil tersebut. Roro berjumpa dengan salah seorang murid Brahmnana Yoga Swara yang berhasil menyelamatkan diri dari kematian.
Dia menceritakan kemunculan seorang kakek bertampang seram yang menamakan dirinya si Dedemit Mata Picak mengacau kuil mereka dibukit Lembayung. Saat itu guru mereka Brahmana Yoga Swara sedang tak berada dikuil. Si Dedemit Mata Picak itu bertujuan mau merebut Kuil untuk tempat tinggalnya. Tentu saja para murid sang Brahmana mempertahankan. Namun mereka cuma mengantar kematian. Pemuda bernama Poma Jatu berhasil menyelamatkan jiwanya dengan melarikan diri memasuki desa.
Akan tetapi Wicaksa setelah beberapa hari bercokol dikuil puncak Lembayung mulai menyebar maut membunuhi orang-orang desa. Dan mayatnya dibawa kekuil. Dalam waktu beberapa bulan saja kuil Brahmana Yoga Swara telah penuh dengan mayat yang membusuk bertimbun. Menimbulkan bau busuk yang menebar dan mengembara ke sekitarnya.
Beberapa orang kaum pendekar yang coba mendatangi puncak bukit Lembayung untuk menumpas manusia iblis gila itu ternyata cuma pulang nama saja. Demikianlah, hingga kuil itu terkenal dengan nama Kuil Tengkorak Darah. Roro ucapkan terima kasih pada Poma Jatu yang telah beberapa kali pindah ke lain desa itu hingga berjumpa dengan Roro.
Demikianlah, ketika Roro Centil mendatangi Kuil Tengkorak Darah, Roro menjumpai Wicaksa yang baru saja kedatangan Wewe Gombel Setan Genit. Roro yang mempergunakan ajian Halimunan, tak diketahui kedatangannya oleh kedua tokoh golongan sesat itu. Demikianlah, hingga Roro menguntit mereka hingga tiba di wilayah tempat tinggal Cakra Murti yang menempati sebuah gedung tua ditepi danau.
Bagaimana Roro dapat mengetahui siapa sebenarnya Cakra Murti? Itulah memang perjalanan yang tengah ditujunya. Roro memang telah melacak jejak Cakra Murti yang telah diketahuinya adalah seorang Adipati yang bernama Wukir Kamandaka. Dengan tugas mencari Ki Sabda Tama untuk mengambil kitab ditangan bekas Adipati itu.
Diketahuinya Cakra Murti adalah Wukir Kamandaka adalah Cakra Murti adalah karena keteledoran Cakra Murti sendiri. Wukir Kamandaka dalam usaha pencarian jejak Ki Sabda Tama telah bergabung dengan kelompok-kelompok kaum Rimba Hijau golongan hitam. Bahkan tingkah lakunya mengikuti jejak kaum golongan hitam. Tentu saja dia tak luput dari perbagai kejahatan yang dilakukan orang-orang golongan sesat itu. Seperti dalam melakukan perampokan, pembegalan, pemerkosaan yang sudah dianggap biasa oleh Wukir Kamandaka.
Bahkan kaum penjahat itu merasa terlindung dengan adanya Wukir Kamandaka berada diantara mereka. Roro Centil yang sejak pelacakan selalu menggunakan aji Halimunan, hingga tubuhnya tak menampakkan diri dalam pandangan mata biasa, terus melakukan penguntitan pada Wukir Kamandaka yang telah menyamar dengan nama Cakra Murti, Wukir Kamandaka memang pandai dalam hal menyulap diri.
Dengan menambah kumis dan jenggot palsu pada wajahnya, serta merobah dandanannya akan sukar dikenali lagi kalau sebenarnya dia adalah Adipati Wukir Kamandaka. Roro yang telah tahu dimana tempat tinggal sementara Cakra Murti, telah tahu banyak tentang hubungan Cakra Murti dengan Wewe Gombel Setan Genit si wanita cabul itu.
Demikianlah, hingga ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan Cakra Murti pada Wewe Gombel Setan Genit yang dianggap sudah tak berguna lagi, semua itu tak luput dari mata Roro. Hingga kemudian dia mengakali Wicaksa dan menakut-nakutinya dengan menirukan suara Wewe Gombel Setan Genit. Dan memaksa kakek muka seram itu untuk mengejar Cakra Murti alias Adipati Wukir Kamandaka ke Kota Raja.
CAKRA MURTI percepat larinya agar cepat tiba ditempat tujuan. Ternyata dia tak langsung ke Kota Raja. Akan tetapi membelok kearah selatan. Melewati sebuah bukit, dia tiba disatu pedesaan. Sementara Wicaksa terus menuju kearah Kota Raja. Kakek tampang seram ini setiap saat selalu menggerutu dalam hati, karena merasa kesal harus diperbudak oleh "arwah" Wewe Gombel Setan Genit.
Akan tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa selain mempercepat larinya menuruti perintah dari suara yang selalu mendesing ditelinganya. Semalaman menempuh perjalanan, Wicaksa telah tiba dibatas wilayah Kota Raja. Hari sudah menjelang pagi. Roro yang akan melihat situasi digedung Kedipatian, segera menahan langkah Wicaksa.
"Hm, berhenti dulu, Wicaksa!"
"Huh! kebetulan! Aku sudah capek sekali. Berilah aku waktu beristirahat sampai siang nanti, Wewe Gombel..." keluh Wicaksa yang segera merandek menahan langkah.
"Hihihi... baik! Kau beristirahatlah, sepuas mu. Tapi bila matahari sudah sepenggalah, kau harus segera cari gedung Kedipatian diwilayah Kota Raja ini!"
"He? kita sudah sampai?" tanya Wicaksa terkejut, tapi juga girang.
"Ya! Ini sudah perbatasan wilayah Kota Raja!" ujar Roro.
"Hehehe... baik! baik, jangan khawatir! Siang nanti aku akan satroni gedung si Adipati gila itu untuk kukirim nyawanya ke Akhirat!"
"Bagus! Nah! silahkan kau beristirahat!" ujar Roro. Diam-diam dia tersenyum melihat kakek muka seram itu yang tampak amat kegirangan sekali. Selesai berkata, Roro berkelebat pergi meninggalkan Wicaksa. Dengan tetap menggunakan aji Halimunan, Roro melesat kearah Kota Raja....
Ternyata Cakra Murti menuju kesebuah rumah paling besar yang berada ditengah desa. Pagi dinihari itu suasana disekitar desa masih nampak sepi. Sejenak Cakra Murti menatap ke pintu depan rumah besar itu. Tapi dia tak menuju kesana. Melainkan melangkah ke arah sisi rumah besar itu. Matanya tertuju pada sebuah jendela yang tertutup rapat. Ketika lengannya bergerak mengetuk pelahan, dari dalam kamar segera terdengar suara...
"Siapa?"
"Ehm, aku yang datang, sayang!" menyambut sang Adipati.
Terdengar olehnya suara orang bangun dari tempat tidur. Lalu suara kaki pelahan melangkah mendekati jendela. Ternyata dalam kamar itu diisi oleh seorang gadis. Dengan pakaian tidur yang lusuh, serta mata yang masih mengantuk, dia membuka jendela. Sementara hati gadis ini sudah berdebar karena mendengar suara lirih yang tak asing lagi baginya. Suara yang amat dikenal betul, yaitu suara sang kekasih yang dirinduinya.
"Ah, ka... kakang..." desisnya membelalak girang. Tapi...
"Sssst!" Cakra Murti telah membekap mulut gadis ini, ketika dengan gerak cepat dia melompat masuk melalui jendela. Sesaat laki-laki ini telah melepaskan lengannya lagi. Bibirnya sunggingkan senyuman. "Ginarti, kau baik-baik saja?" ucapnya lirih. Wajah Cakra Murti tampak berseri-seri. Dan gadis mengangguk terpana. Gerakan melompat Cakra Murti membuat dia kagum. "Sukurlah..." ucap Cakra Murti, seraya menutup lagi daun jendela yang terbuka. Lengannya bergerak merangkul pinggang gadis cantik putri kepala desa itu, lalu bagaikan seorang yang lapar melihat makanan laki-laki itu memeluk dan menciumi gadis itu bertubi-tubi.
"Ahh... engg... nanti dulu, kakang. Aku... aku belum mandi..." ucap lirih Ginarti yang menepiskan wajah Cakra Murti dengan napas tersengal.
"Hm, tak perlu, sayangku... Tak mandipun tubuh dan mulutmu wangi. Dan kau... amat cantik sekali dalam keadaan bangun tidur begini!" desis Cakra Murti tertawa. Tubuh gadis ini kembali menggelinjang ketika Cakra Murti memeluknya, merengkuhnya, dan kemudian menariknya keatas tempat tidur.
"Tunggu dulu...!" berkata lirih Ginarti ke tika lengan Cakra Murti bergerak melepaskan baju tidur bagian atas. Namun toh sudah membuat tersembulnya dua buah bukit kembar miliknya.
"Apa yang akan kau katakan, sayangku?" desis Cakra Murti. Tapi lengannya tak berhenti untuk segera meremas kedua buah benda kenyal itu dengan napas yang semakin memburu.
"Ahh... kakang, mengapa kau tak bisa sabar sebentar?" Terpejam-pejam mata gadis ini, tapi segera dia mendorong tubuh laki-laki itu.
"Hm... baiklah! katakanlah, apa yang mau kau katakan?" tanya Cakra Murti.
Ginarti cepat-cepat tutupi kedua buah dadanya. "Apakah kau telah berhasil mendapatkan kitab ditangan Ki Sabda Tama yang berisi ilmu Tata Kerajaan itu?" tanya Ginarti.
"Aha, kalau itu yang kau tanyakan, semuanya sudah beres! Kau tak usah khawatir. Dalam waktu tak lama lagi kau akan menggantikan kedudukan sang Ratu di Kerajaan Galuh Kencana... Percayalah!" berkata Cakra Murti.
"Oh, benarkah...?" ternganga mulut gadis ini.
"Mengapa tidak benar? Inilah kitabnya!" ujar Cakra Murti seraya bangkit duduk dan mengeluarkan bungkusan kain kumal berisikan kitab Ki Sabda Tama.
Seketika mata gadis ini berubah menjadi nanar. Dipeluknya laki-laki itu dengan sejuta perasaan menyelimuti sekujur sanubari. Ah, betapa bahagianya menjadi seorang Ratu. Khayalnya seketika membumbung sampai kelangit.
"Kau nanti jadi Rajanya, kakang..." bisik Ginarti dengan gelora yang semakin menggebu.
"Tentu, manisku ...!" bisik Cakra Murti.
Dilolosinya pakaian Cakra Murti dengan amat cekatan dengan napas kian memburu. Sementara laki-laki itu pun berbuat sama. Lengannya tak berhenti-henti meremas. Tak lama desah-desah lirih membauri kamar itu.
Brakkkk...!
Pintu kamar itu porak-poranda bagai diterjang kaki gajah. Dua insan yang tengah terlena dalam buaian asmara itu terlonjak kaget. Terkejut bukan kepalang Cakra Murti ketika melihat siapa yang berdiri didepan pintu. Siapa lagi kalau bukan si Dewa Arak. Laki-laki tegap ini melotot menatap Cakra Murti yang terpana kaget dengan muka merah. Keadaan tubuhnya yang dalam keadaan membugil itu membuat dia kalang kabut menyambar pakaiannya. Sementara Ginarti menjerit kaget seraya menyambar selimut menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Perempuan bejat! Sungguh tak pantas kau menjadi keponakanku! Ternyata kalian merencanakan maksud jahat pada Kerajaan!" membentak Dewa Arak dengan suara parau. Membuat wajah wanita ini jadi pucat.
"Paman Kala Bendu... aku... aku..." tergagap Ginarti ketakutan. Pada saat itu dimuka pintu kembali tersembul sesosok tubuh laki-laki tua. Laki-laki tua ini adalah kepala desa, si tuan rumah yang kecolongan dengan kedatangan "pencuri" anak-anak gadisnya yang tak diundang.
"Anak durhaka! Kau patut dihajar sampai mampus!" membentak laki-laki ini menatap anak gadisnya yang dalam keadaan kusut masai.
"Hm, kecurigaanmu beralasan, adik Kala Bendu! Kalau kau tak menginap dirumah malam ini, tak nantiya kau bisa jumpa bangsat ini. Yang ternyata ada main dengan anakku!" berkata sang Kepala Desa.
Brakkkk...!
Tiba-tiba jendela kamar itu pecah berantakan diterjang Cakra Murti. Dengan sigap dia telah melompat keluar. Akan tetapi si Dewa Arak telah memburunya dengan membentak keras.
"Kau tak dapat lari, pengkhianat!" Gerakan Dewa Arak yang begitu gesit berhasil mendahului mencegat larinya Cakra Murti.
Cakra Murti masih sempat menyambar kitab Ki Sabda Tama. Laki-laki yang belum sempat mengenakan bajunya ini mendengus. "Dewa Arak! apa hubungannya kau dengan urusanku!?"
"Heh! Apakah telingamu tak mendengar kalau namaku Kala Bendu?" bentak si Dewa Arak.
"Aku tak kenal segala nama rongsokan macam itu! Apa hubunganmu dengan Kerajaan?"
"Hehe... hahaha... apa hubunganku dengan Kerajaan? Heh! ketahuilah! Aku adalah utusan Kanjeng Ratu untuk menawanmu dengan segera, dan merampas kitab Ki Sabda Tama. Aku adalah Adipati Kala Bendu yang akan menggantikan kedudukanmu!"
Terhenyak seketika Cakra Murti alias Wukir Kamandaka mendengar jawaban kata-kata si Dewa Arak. Tentu saja dia tak percaya begitu saja pada kata-kata orang. "Setan! Sejak kapan Ratu mengangkat mu menjadi Adipati penggantiku?" Membentak laki-laki ini dengan wajah merah padam.
"Sejak terbukanya kedokmu. Siapa yang tak tahu kalau kau berkomplot dengan kaum golongan hitam untuk menumbangkan kekuasaan Kanjeng Ratu? Heh! Kau layak dihukum gantung! Segera berikan kitab itu. Dan serahkan dirimu untuk segera kuhadapkan pada Kanjeng Ratu!"
"Buktikan bahwa kau benar-benar telah diangkat Adipati oleh Ratu!" teriak Cakra Murti dengan wajah pucat.
Kala Bendu tersenyum. Lengannya bergerak kebalik pakaiannya. Dikeluarkannya sebuah gulungan kain. Tanpa banyak bicara dia bentangkan gulungan kain itu dihadapan Cakra Murti. "Kau bacalah, Wukir Kamandaka! Bacalah dengan jelas!" berkata Kala Bendu alias si Dewa Arak dengan suara tegar berpengaruh.
Mendelik mata Cakra Murti ketika membaca tulisan besar-besar pada kertas yang berstempelkan cap Kerajaan dan tanda tangan Ratu Galuh Kencana.
DENGAN INI AKU RATU KERAJAAN GALUH KENCANA MENGANGKAT SECARA SYAH KALA BENDU SEBAGAI ABDI KERAJAAN, DENGAN JABATAN SEBAGAI ADIPATI DI WILAYAH BARAT KERAJAAN GALUH KENCANA. DAN MUTLAK MENJADI PENGGANTI ADIPATI WUKJR KAMANDAKA, YANG TELAH DINYATAKAN SEBAGAI PEMBERONTAK MUSUH KERAJAAN. TERTANDA: RATU GALUH KENCANA
Seketika pucatlah wajah Wukir Kamandaka. Tak ayal lagi dia telah berkelebat melarikan diri.
"Manusia pengkhianat! Kau tak dapat lari kecuali ke Neraka!" membentak Kala Bendu seraya berkelebat mengejar. Kejar-kejaranpun segera terjadi dipagi yang masih berembun itu. Hingga kedua orang itu lenyap tak kelihatan lagi.
Sementara dari rumah Kepala Desa itu terdengar suara jeritan dan lolong si gadis anak kepala desa itu yang dihajar oleh ayahnya. Beberapa orang penduduk keluar dari rumahnya mendengar ribut-ribut itu. Akan tetapi mereka tak mengerti perihal peristiwa itu. Kecuali cuma menatap dari kejauhan dengan bertanya-tanya sesama tetangga.
"Ada kejadian apakah, pak Slamet?"
"Wuaah! Ndak tahu, ya...?"
"Kasihan gadis itu, mengapa pagi-pagi sudah dipukuli?"
"Bapaknya ngamuk karena... maklum sudah lama menduda!" sahut salah seorang.
"Ko' ngamuk? Apa dia mau sama anaknya sendiri?"
"Mungkin juga!"
"Gila!? Eh, Jangan mengarang yang ndak-ndak, lho mas!"
"Weleeh! Bukannya mengarang. Tapi di dunia ini apapun bisa saja terjadi. Iya nggak pak Slamet?"
"Iya... iya! Tapi jangan menuduh dulu! Aku tahu persis pak Kepala Desa seorang yang paling jujur dan alim!" Pembicaraanpun habis, karena pintu rumah Kepala Desa tampak sudah tertutup.
RORO CENTIL yang telah berada di dalam ruang pendopo Kedipatian segera mencari Wukir Kamandaka disetiap kamar dan memeriksa setiap ruangan. Dengan aji Halimunan yang digunakan Roro tidaklah sukar bagi Roro untuk menyelidiki. Akan tetapi tak dijumpai sang Adipati itu berada digedungnya. Berarti orangnya belum tiba.
Pada saat itulah Roro mendengar suara ribut-ribut diluar. Ketika itu sebuah bayangan menerobos masuk kedalam gedung. Sekilas, Roro segera melihat siapa adanya sosok tubuh itu yang tak lain dari Wukir Kamandaka yang tengah di carinya. Roro bergerak cepat menotok tubuh laki-laki itu.
Wukir Kamandaka mengeluh kaget karena tahu-tahu sekujur tulangnya mendadak lemah lunglai. Bahkan dia tak dapat mengeluarkan suara lagi ketika terasa ada lengan yang menotok tengkuknya. Detik itu Roro telah menyeret tubuhnya dan membawanya melompat ke tempat persembunyian. Sementara sesosok tubuh menyusul masuk dengan menggembor keras.
"Pengkhianat Kamandaka! Kau takkan dapat selamatkan dirimu dari tiang gantungan!"
Seketika seisi gedung Kedipatian menjadi gempar. Para prajurit Kadipaten mengurung kesetiap penjuru gedung. Pencarian Wukir Kamandaka digedung Kedipatian itu berlangsung beberapa lama. Namun aneh. Tak dijumpai di mana adanya Wukir Kamandaka. Tentu saja mereka tak tahu kalau semua itu adalah karena perbuatan Roro. Apakah yang dimaui Roro gerangan? Ternyata Roro telah mengamankan Wukir Kamandaka dengan membawa berkelebat dari ruang tempat persembunyiannya keluar dari gedung Kedipatian.
"Hihihi... ingin kulihat bagaimana cara kau bertarung dengan si Wicaks! sobat pengkhianat Kerajaan?" berkata Roro seraya gulingkan tubuh Wukir Kamandaka ketanah.
Laki-laki ini menyeringai kesakitan ketika tubuhnya jatuh menggabruk ke tanah. Saat itu Roro telah tampakkan ujudnya. Terbelalak mata Wukir Kamandaka melihat seorang dara rupawan berdiri dihadapannya dengan pakaian dari kulit macan tutul. "Hah! ssiapakah anda...?" sentaknya terkejut.
"Siapa? Hihihi... bukankah kau telah mengetahui siapa aku? Bukankah kau akan menunjukkan si Dedemit Mata Picak ke tempat aku berada?" tanya Roro dengan tersenyum.
"Ha? Andakah nnon... nona Pendekar Roro Centil?" Suara Wukir Kamandaka menampakkan keterkejutan yang luar biasa. Karena baru pertama kali inilah dia melihat siapa pendekar wanita Pantai Selatan itu.
"Tidak salah" ujar Roro dengan suara ketus. Saat itu Wukir Kamandaka merasakan totokan pada tubuhnya telah punah sama sekali, bahkan dia telah mampu berbicara. Merasa dia telah terbebas, dan tahu apa yang dilakukan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini, tak ayal lagi laki-laki ini telah jatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih atas pertolongan anda, nona Pendekar..." ujarnya dengan manggut-manggut mencium tanah beberapa kali.
"He? Siapa yang telah menolongmu? Aku tak merasa menolong orang yang menjadi pengkhianat Kerajaannya sendiri. Kau sebagai abdi Kerajaan yang seharusnya membela Kerajaanmu, mengapa kau malah bersekongkol dengan kaum golongan hitam untuk menghancurkan Kerajaan mu sendiri?" bentak Roro. Matanya melotot gusar, tapi bibirnya tersungging senyuman. Pendekar kita ini memang orang aneh. Tentu saja kata-kata itu membuat Wukir Kamandaka keluarkan keringat dingin.
"Sobat pendekar Roro Centil! Serahkan dia padaku!" tiba-tiba terdengar suara menggeledek memecah keheningan yang mencekam. Didahului dengan bersyiurnya angin, sesosok tubuh telah berkelebat dan berdiri ditempat itu. Ternyata tak lain dari Kala Bendu alias si Dewa Arak.
Tersentak Wukir Kamandaka melihat kemunculan laki-laki berjuluk si Dewa Arak ini. Akan tetapi pada saat itu Roro telah berkata.
"Tidak! Orang ini adalah urusanku! Kau tak boleh mengganggunya!"
"Ha? Apa maksudmu, sobat?" tanya Dewa Arak terheran.
Pada saat itu sebelum Roro menjawab pertanyaan, tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang segera dikenali Roro. "Bagus! Segera kau telah menyusul kemari, Wicaksa! Segera kau bunuhlah Adipati pengkhianat ini!" berkata Roro dengan suara nyaring. Selesai Roro berkata, mendadak tubuh Roro berkelebat dan lenyap. Saat itu Wicaksa muncul dari balik semak belukar.
"Grrr...! Cakra Murti! Kau harus menemui kematian ditanganku, sebagai penebus kematian saudara seperguruanku Wewe Gombel Setan Genit!" menggeram Wicaksa menatap dengan mata memancarkan hawa amarah pada Wukir Kamandaka. Laki-laki ini seketika mundur dua tindak.
"Tidak... dia bagianku! Serahkan kitab Sabda Tama itu padaku, pengkhianat!" membentak Kala Bendu.
Akan tetapi terkejut Wukir Kamandaka ketika tersadar dia sudah tak mengantongi lagi kitab Ki Sabda Tama. Buku itu telah lenyap. "Hah! Kitab itu telah hilang! Aku tak tahu terjatuh dimana. Jangan-jangan si Roro Centil itulah yang mengambilnya!" berkata Wukir Kamandaka dengan wajah pias. Tersentak kaget si Dewa arak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara membentak disusul oleh berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kalian semua manusia-manusia pengkhianat dan manusia durjana!" Dua sosok tubuh itu ternyata adalah Gajah Lor dan muridnya, Mayana. Wajah Wukir Kamandaka dan Kala Bandu alias Dewa Arak seketika berubah pucat. Serentak mereka berteriak tertahan.
"Ki Sabda Tama...!?"
"Hm, benar! Kala Bendu! sejak kapan Ratu keluarkan surat pengangkatan Adipati padamu? Surat itu palsu! Dan kau Wukir Kamandaka! Kau tak berhak menjadi Adipati, kecuali atas izinku! Ketahuilah, Kanjeng Ratu sudah menjanjikan persyaratan mutlak denganku, bila aku berhasil menyelesaikan Kitab Tata Kerajaan maka akulah yang bakal menjadi pengganti Ratu Kerajaan Galuh Kencana!" berkata Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.
Suaranya terdengar menggeledek terdengar oleh Kala Bendu dan Wukir Kamandaka bagaikan mendengar petir disiang hari. Keduanya tersentak kaget melihat Ki Sabda Tama mengeluarkan sebuah Medali Itulah medali Lambang Kerajaan Galuh Kencana. Seketika menggigil tubuh Kala Bendu karena rahasianya terbongkar. Memandang pada Wukir Kamandaka, laki-laki ini berdiri dengan lutut gemetar melihat Lambang Kerajaan itu dengan mata membelalak.
"Dan kalian lihatlah! Kitab Tata Kerajaan ini masih berada ditanganku! Kitab yang kalian perebutkan itu adalah kitab palsu yang hanya berisi syair-syair belaka!"
Semakin membelalak mata Kala Bendu dan mata Wukir Kamandaka melihat kitab asli ciptaan Ki Sabda Tama di tangan si penciptanya itu.
"Kalian semua harus segera serahkan diri untuk menjalani hukuman, dan menghadap Kanjeng Ratu untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian semua."
"Tapi... tapi aku diperintah oleh Kanjeng Ratu untuk mencari anda, Ki Sabda Tama dengan tujuan mengambil kitab itu!"
"Perintah dusta!" bentak Ki Sabda Tama. "Pengkhianat Kerajaan! Dan kau Wukir Kamandaka! Kaupun telah terlibat dengan pengkhianatan ini!"
Kala Bendu tak dapat bicara apa-apa lagi, selain tiba-tiba dia keluarkan senjatanya. Dan dengan ganas telah menerjang Gajah Lor. "Kunyuk tua! kiranya diam-diam kau mengetahui apa yang kulakukan selama ini? Tapi terlambat. karena kau segera akan mampus!"
Wutt...! Wuttt...!
Sambaran-sambaran ganas klewang Kala Bendu bersyiuran menabas leher dan mencercah balok kepala Gajah Lor. Akan tetapi pada detik itu.
Trangg! Trangg...!
Kilatan pedang menyambar, hingga terjadilah benturan yang memercikkan letusan api. Ternyata dengan sebal Mayana telah menangkis sambaran klewang Kala Bendu. "Heheh... bagus, muridku! Kau kirimkan nyawa bangsat ini ke Akhirat!" teriak Gajah Lor.
Sementara itu entah sejak kapan Roro telah berada lagi di tempat itu. Roro yang ikut campur urusan untuk membela yang berada dipihak benar, ternyata dia sendiri kebingungan karena urusan jadi sedemikian pelik. Kedatangan Gajah Lor alias Ki Sabda Tama bersama muridnya dengan membawa kitab ciptaannya yang asli, serta Medali Pusaka Kerajaan Galuh Kencana membuat Roro terlongong, memeganggi kitab ditangannya.
Saat itu pertarungan telah terjadi. Kala Bendu terpaksa harus menghadapi serangan-serangan Mayana yang ganas. Sementara Gajah Lor alias Ki Sabda Tama Menerjang ganas ke arah Wukir Kamandaka! Laki-laki yang sudah ciut nyalinya ini bertarung dengan hati kacau. Karena niatnya adalah melarikan diri. Tapi apa mau dikata Gajah Lor terus memburunya dengan pukulan-pukulan maut.
Walaupun dia berilmu cukup tinggi, tapi menghadapi serangan Gajah Lor yang ilmunya lebih tinggi tiga kali lipat darinya, Wukir Kamandaka tak dapat berbuat banyak. Satu hantaman telak membuat laki-laki ini menjerit parau. Tubuhnya limbung, ketika Gajah Lor berhasil sarangkan telapak tangannya yang mengandung tenaga dalam menggeprak kepala Cakra Murti alias Wukir Kamandaka.
Dalam saat limbung itu tahu-tahu Wicaksa menggerung keras. Lengannya terjulur... Dan... Bluk! Wukir Kamandaka menjerit sekali lagi. Tubuhnya terlempar bergulingan. Lalu terkapar terlentang tak berkutik lagi. Tampak tulang dadanya remuk bahkan sekujur tubuhnya berubah menjadi kehitaman. Itulah pukulan beracun Wicaksa yang amat mengerikan, yang sekaligus telah mengantar nyawa orang.
"Wah, wah... urusan jadi rumit. Apa yang harus kuperbuat?" gerutu Roro yang jadi pijit-pijit keningnya memandang kearah pertarungan. Tiba-tiba Roro melihat Kala Bendu berkelebat melarikan diri. Diiringi bentakan Mayana. Dara puncak Rajabasah itu mengejar. Disusul oleh bentakan Ki Sabda Tama yang berkelebat menyusul. Tak dapat dibiarkan begitu saja Kala Bendu melarikan diri.
Roro meremas kitab ditangannya, ketika ketiga manusia itu sekejap sudah tak kelihatan lagi. Bubuk kertas ditaburkan ditanah. "Benda tak berguna lagi!" gerutu Roro.
Tiba-tiba tersentak Roro ketika serangkum angin menyambar tubuhnya. Dalam keadaan tak berwaspada itu agaknya serangan itu akan sukar terhindarkan. Tapi naluri si Pendekar Pantai Selatan ini sudah teramat peka. Walau serangan itu sepertinya mengenai sasaran, namun Roro telah lindungi tubuhnya dengan tenaga dalam.
Wuukkk...!
"Aaaah...!" Buk...! Tubuh Roro jatuh menggeloso ketanah. Saat itu juga terdengar suara tertawa berkakakan disusul berkelebat muncul seorang kakek tinggi besar.
"Hehehe... hoho... ternyata ilmu kepandaian mu tak berarti, Roro Centil! Toh akhirnya kau harus jatuh juga ke tanganku!"
"Kau makin tambah umur semakin cantik, pendekar Roro! Amboi, pakaianmu dari kulit macan tutul amat serasi dengan tubuh mu yang mulus. Sungguh mengagumkan! Sungguh mengagumkan!" berkata laki-laki tinggi besar ini.
"Siapa kau...?" bertanya Roro seolah dalam keadaan tak berdaya. Menatap dengan membelalakkan mata pada orang dihadapannya.
"Hohoho... kau lupa, atau memang sudah tak ingat lagi? Akulah Ratan Sugar! Masih ingatkah ketika kau membunuh si Ririwa Bodas? Aku adalah pamannya!" sahut si kakek tinggi besar.
Tersentak Roro yang segera teringat akan nama Ririwa Bodas si kakek pendek berbuntut ular, yang tak lain dari guru Giri Mayang alias Kelabang Kuning. Musuh besar yang amat mendendam padanya itu telah banyak memakan korban dengan perbuatan gurunya yang menciptakan ular-ular siluman untuk membunuhi penduduk tak berdosa. Perbuatan itu dilakukan cuma untuk memancing kemunculan Roro agar Giri Mayang dapat melakukan pembalasan dendam. Perlu diketahui kedua guru dan murid yang telah tewas ditangan Roro itu berasal dari wilayah Pulau Andalas.
"Heh, aku ingat! Ya, aku kini ingat siapa adanya kau! Lalu apakah kau mau membalas dendam untuk membunuhku?" bertanya Roro dengan tetap terlentang ditanah tak bergerak.
"Ya! Tapi bukan ditempat ini. Kau akan ku bawa ke Pulau Andalas. Tepatnya ke Kerajaan Sriwijaya. Karena kepalamu perlu digunakan untuk tumbal kerajaan!"
Tersentak kaget Roro. "Edan! kepalaku mau dibuat tumbal kerajaan?" memaki Roro dalam hati.
Pada saat itu Ratan Sugar telah menghampiri dan ulurkan lengannya untuk menyambar tubuh Roro. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan menggeledek... "Tunggu!"
Disusul sambaran ganas angin pukulan berbau amis menyambar ke arah Ratan Sukar. Kakek tinggi besar ini kibaskan jubahnya menangkis. Hebat kibasan lengan jubah gombrong kakek tinggi besar ini. Karena angin pukulan yang jelas adalah pukulan beracun itu menyambar balik kearah si penyerangnya. Ternyata yang barusan menyerang adalah Wicaksa si Dedemit Mata Picak. Penghuni Kuil Tengkorak Darah ini mana mau membiarkan orang yang memang tengah dicarinya selama ini digondol pergi?
Whuuusss Bhlarrr...!
Angin balikan dari si kakek tinggi besar lewat dibawah kaki Wicaksa yang mengelak dengan melompat gesit menghindari sambaran angin pukulannya sendiri. Angin pukulan bertenaga besar itu menghantam pohon yang seketika berderak hancur. Dan hangus seketika menjadi arang.
"Hebat! Sungguh hebat serangan balasan mu, kakek Dewur!" berkata Wicaksa yang diam-diam keluarkan keringat dingin. Kalau terlambat dia mengelak, tak dapat dibayangkan bagaimana keadaan tubuhnya.
"Setan alas kau! Siapa kau manusia jelek? Dan apa maksudmu menghalangi urusanku? Mengapa kau panggil aku kakek Dewur?" menggembor Ratan Sugar.
"Hehehe. Jelek-jelak namaku sudah kesohor. Siapa yang tak kenal dengan Wicaksa si Dedemit Mata Picak penghuni Kuil Tengkorak Darah!" tukas Wicaksa dengan menyeringai. "Kau ku panggil kakek Dewur, karena tubuhmu gede-duwur... alias tinggi besar! Dan maksud ku menghalangi niatmu, tentu saja takkan kubiarkan kau membawa pergi dia untuk kau jadikan tumbal di Kerajaan Sebrang! Karena dia adalah mangsa yang telah lama kucari-cari!"
"Hmmm, jadi kau menginginkan juga? Baik kalau begitu. Segera kita tentukan dengan pertarungan. Siapa yang masih tinggal hidup dialah yang berhak atas pendekar Roro Centil ini!" berkata Ratan Sugar dengan menggembor marah, namun kata-katanya tegas.
"Kau mengajakku bertarung? Hehehe... bagus! Memang inilah yang kuharapkan. Majulah kau kakek Dewur!" berkata jumawa Wicaksa.
Tanpa diperintah dua kali Ratan Sugar telah menerjang Wicaksa dengan serangan ganas. Sepasang lengannya mengeluarkan sinar merah mengerikan. Sedangkan lengan Wicaksa memantulkan sinar hijau. Suara bentakan dan ledakan-ledakan pukulan yang mengharu bisu membauri sekitar tempat itu. Pertarungan dahsyat tak dapat terelakkan lagi.
Dua orang tokoh hitam yang sama-sama berkepandaian amat tinggi itu saling baku-hantam tanpa pedulikan apa-apa lagi. Bahkan dia tak tahu kalau Roro telah berkelebat menjauhi pertarungan itu. Dari atas puncak pohon yang berada ditempat ketinggian, Roro menonton pertarungan adu nyawa itu. sebentar-sebentar dia berteriak kagum.
Dan sekali-kali terkadang leletkan lidah melihat pukulan-pukulan ganas yang beradu menimbulkan suara menggetarkan bumi. Satu ledakan dahsyat kembali terdengar. Terdengar dua teriakan yang menjadi satu. Tampak tubuh kedua lawan bertarung itu terlempar beberapa tombak.
Tubuh Ratan Sugar menghantam pohon yang seketika berderak patah. Lalu tumbang dengan suara riuh berkrosakan. Sedangkan tubuh Wicaksa terguling-guling dalam keadaan terbakar. Roro melompat dari puncak pohon. Dengan gerak ringan segera menghampiri tubuh Ratan Sugar. Segera dilihatnya tubuh kakek tinggi besar itu telah tak bernyawa lagi dengan keadaan tubuh hangus kehitaman.
"Aiiih, ternyata ajalmu lebih cepat datang, sebelum kau sempat membawa dan memotong kepalaku untuk tumbal Kerajaan...! Kakek Dewur yang malang..." menggumam Roro. Ketika dia melihat kearah Wicaksa, kakek muka seram itu tengah menggoser-goser sekarat dengan jubah hangus. Sekali enjot tubuh, Roro telah menghampiri.
"Heh... hhe... Ro... Roro... C.. Cen... Til...! senang sekali ak... aku melihat rupa dan wajahmu yang... cc... cantik! Ooh... matipun aku... t... tak penasas... sssaran... nnn..." berkata terengah Wicaksa memandang Roro dengan tertawa menyeringai. Keadaan kakek ini amat mengenaskan sekali.
Roro menatap tak berkedip. "Ada permusuhan apakah kau sebenarnya denganku, Wicaksa?" bertanya Roro dengan menatap heran. "Mengapa kau membunuhi orang hanya untuk mengundang munculnya diriku?" kata-kata Roro seperti menyambung napas kakek seram itu, yang sudah mau menghembuskan napasnya yang terakhir.
Wicaksa tertawa lemah menyeringai. "Hehe... heh... heh.... aku.... aku jjjaa... jatuh... cc... cinta... pa... pada... mu... Ro... ro..."
Baru saja selesai Wicaksa menyahut dengan kata-kata yang membuat mata Roro membelalak, kakek penghuni Kuil Tengkorak Darah itupun terkulai kepalanya. Napasnya telah lepas meninggalkan jasadnya.
"Gila! Edan...!?" Roro Centil seperti tak percaya mendengar kata-kata Wicaksa. "Aiiih! Dedemit Mata Picak! Kau benar-benar iblis gila cinta! Sungguh dunia telah gila dan manusia-manusia telah banyak yang gila!" gerutu Roro Centil.
Dan dengan diiringi suara tertawa melengking tinggi yang mirip tangisan, si Pendengar Wanita Pantai Selatan berkelebat meninggalkan tempat itu. Saat tubuh Roro telah lenyap, suara tertawanya yang membangunkan bulu roma itu masih terdengar berpantulan disekitar tempat sunyi itu.
Roro semakin tak mengerti dengan kemelut di Kerajaan Galuh Kencana. Karena beberapa pekan kemudian setelah dia membantu pertarungan orang-orang Kala Bendu yang menguasai Istana. Roro mendengar berita aneh. Roro yang mengira Ki Sabda Tama alias Gajah Lor yang bakal menjadi pengganti Ratu Galuh Kencana, ternyata membunuh diri, setelah selesai penobatan Mayana sebagai pengganti Ratu Kerajaan Galuh Kencana dengan gelar Dewi Mayana Sabda Tama.
Apa yang menjadi penyebab kenekatan serta perbuatan Gajah Lor ini tak seorangpun dari pihak Kerajaan yang mengetahui. Kecuali Dewi Mayana Sabda Tama sendiri. Ketika kemudian terdengar kabar bahwa Ratu baru Dewi Mayana Sabda Tama itu kedapatan telah tewas membunuh diri dikamarnya, segera tersingkaplah rahasia mereka berdua, antara guru dan murid. Yaitu Mayana telah meninggalkan sepucuk surat seperti syair, yang berbunyi:
Selain banyaknya ular berbisa dan binatang melata lainnya, juga jalan menuju ke puncak bukit itu penuh dengan lereng-lereng terjal yang tertutup kabut. Hingga bila kurang hati-hati dan waspada bisa jatuh dan membahas kematian.
Tetapi sepagi itu sesosok tubuh tampak berlari-lari dengan gerakan yang dilatih bagaikan seekor kijang yang gesit diatas bukit itu. Dialah seorang laki-laki muda berusia sekitar enam belas tahun. Berpakaian serba hijau dengan sebilah pedang tersoren dipinggang.
Ketika dia menghentikan gerakan larinya dan mengedipkan matanya ke atas puncak bukit tampak seraut wajah yang sangat tampan. Rambutnya ditutupi oleh ikat kepala yang berwarna hitam. Hidungnya mancung dengan mata yang bersinar memancarkan ketampanan wajah yang menawan hati.
Siapakah adanya pemuda ini? Dialah yang bernama Mayana. Sesudah lebih dari enam tahun dia berada dipuncak bukit Rajabasah itu, berguru pada seorang tokoh persilatan yang sakti, yang telah lama menyembunyikan diri diatas puncak bukit Rajabasah. Siapa gerangan adanya tokoh itu? Marilah kita ikuti jalan ceritanya.
"Bocah bego, mengapa kau tak cepat datang menghadap padaku untuk memberi laporan?" terdengar suara serak yang mengejutkan pemuda ini.
Dia tahu kalau itu adalah suara gurunya. Selagi dia bersiap untuk enjot tubuh meneruskan pendakiannya kepuncak bukit, tiba-tiba sebuah bayangan telah berkelebat dihadapannya. Dan sesosok tubuh telah berdiri diantara kepulan asap kabut. Dialah seorang lakilaki tua berjubah serba putih. Jenggotnya menjuntai sebatas dada. Berwarna putih bagaikan salju. Rambutnya tergelung diatas terikat dengan sehelai kain sutera warna merah. Kakek ini melototkan sepasang matanya memandang laki-laki muda dihadapannya.
"Mayana! Aku sudah tak sabar mendengar laporanmu. Bagaimana hasil penyelidikanmu di Kota Raja?" tanya laki-laki tua itu. Suaranya serak, seperti tempayan rengat. Kakek ini memang mempunyai wajah yang tak begitu sedap di pandang. Hidungnya lebar dengan cuping hidung yang mempunyai liang besar. Tulang pelipisnya menonjol. Dan mempunyai sepasang mata bagaikan mata burung elang yang menyipit serta bersinar tajam. Raut wajahnya boleh dikata hampir persegi empat.
Melihat kemunculan kakek itu pemuda ini menampakkan wajah kaget. Akan tetapi segera mengumbar senyum. Dan ujarnya seraya menjura. "Maaf, kakek! Aku pikir hari masih terlalu pagi. Dan aku tak mau mengganggu semadhi kakek...!"
"Mm, sudah sejak malam tadi aku tak sabar menunggu hasil penyelidikanmu, mengapa harus kau khawatir mengganggu semadhiku segala? Urusan ini lebih penting! Karena hasil penyelidikanmu adalah penentuan dari langkah selanjutnya yang akan kita tempuh! "sahut kakek itu ketus.
Mayana tak menjawab selain menunduk, dan berkata lirih. "Maafkan murid mu, guru..!"
"Sudahlah!" berkata si kakek. "Bagaimana hasil penyelidikanmu? Apakah si bangsat tua itu masih bercokol di Kota Raja?" tanya kakek itu. Nada suaranya mengandung ketidak sabaran. Jelas dia amat menginginkan laporan yang dibawa Mayana berkenaan dengan tugas yang diberikan pada muridnya itu.
"Ki Sabda Tama menurut khabar yang kudengar dari seorang prajurit tua Kadipaten, telah tak memegang tampuk pemerintahan lagi. Dia telah sejak lama mengundurkan diri dari jabatannya!" tutur Mayana.
"Hm, begitukah? Lalu siapa yang menggantikan sebagai Adipati?" tanya si kakek itu dengan wajah tetap tak berubah.
"Seorang Adipati yang masih cukup muda! Dia bernama Wukir Kamandaka!" sahut Mayana dengan suara kendur.
Kakek tua itu tampak termangu sejenak. "Hm, apakah kau tak menyelidiki anak keturunan siapakah Adipati Wukir Kamandaka itu?" tanya sang guru dengan suara agak ditekan.
Sang murid menggeleng. Dan katanya. "Aku khawatir kakek terlalu lama menunggu, karena kakek hanya memberi waktu aku satu pekan!" sahutnya.
Kembali tercenung orang tua ini. Lengannya bergerak mengelus jenggotnya. Setelah menghela napas, dia berkata. "Ya! ya, aku terlalu singkat memberi waktu padamu. Aku memang sudah tak sabar untuk segera turun tangan. Terutama dengan urusan yang satu ini. Karena semua ini bertalian dengan langkahmu juga. Karena kau telah menamatkan pelajaranmu dipuncak Rajabasah ini!" ujar si kakek.
"Jadi... jadi aku sudah dibolehkan turun gunung?" tanya si pemuda tiba-tiba. Wajahnya menampakkan sinar cerah. Sudah lama dia merindukan kebebasan, untuk kembali ke dunia ramai.
Si kakek menjawabnya dengan anggukan kepala beberapa kali.
"Oh, kalau begitu aku akan teruskan penyelidikan mengenai Adipati itu, guru...!" berkata si pemuda dengan wajah berseri girang. Tapi wajahnya kembali berubah, dan kedua lengannya mengepal. "Sekalian mencari si pembunuh ayah ibuku" ujarnya dengan suara menggebu. Tiba-tiba dia berpaling menatap pada gurunya.
"Kakek! katakanlah, siapa sebenarnya manusia yang telah memporak-porandakan keluargaku itu. Ceritakanlah! Bukankah kau telah berjanji akan menceritakannya bila aku telah berhasil menamatkan pelajaranku padamu?"
Kata-kata pemuda ini terdengar menggetar. Karena dibarengi dengan perasaan yang sudah lama menggebu dalam dada. Selama beberapa tahun dia berguru menuntut ilmu kedigjayaan dipuncak bukit Rajabasah adalah karena untuk membalaskan sakit hati dan dendam pada pembunuh ibu kandungnya.
Kakek itu tersenyum. Lalu ujarnya dengan suara lantang yang diiring dengan tawa terkekeh memecah kelengangan disekitar bukit itu. "Hehehehe... aku tak pernah mendustai apa yang pernah aku janjikan, muridku. Akan tetapi masih ada satu syarat yang harus kau lakukan sebelum kau turun gunung!" berkata si kakek.
"Katakanlah, syarat itu, guru! Aku siap menjalankan perintahmu!" berkata tegas Mayana.
Kakek tua itu tersenyum. Sepasang matanya berkilat menatap pada sang murid yang justru tengah menatap pula padanya. "Kau harus tinggal dulu dipuncak Rajabasah selama beberapa hari untuk mengikuti petunjukku, dan mengenai syarat itu, segera akan kukatakan nanti! Sekarang kembalilah ke puncak bukit!" ujar si kakek.
Selesai berkata orang tua berjubah putih itu gerakkan tongkatnya menekan batu. Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara. Dan dalam beberapa kali lompatan, sekejap saja tubuh kakek telah lenyap diatas puncak bukit, yang samar-samar masih diliputi kabut tipis.
Tanpa ayal si pemuda segera enjot tubuhnya untuk bergerak menyusul. Gerakan melompat pemuda inipun tak kalah gesitnya dari gerakan si kakek. Dengan perdengarkan suara teriakan halus tubuhnya mencelat bagaikan letikkan seekor ikan. Ujung kakinya menotol batu-batu yang berada disekitar tempat itu. Sekejap kemudian tubuhnyapun telah lenyap tertutup kabut.
DUA
Siapakah kakek tua berjubah putih penghuni bukit Rajabasah itu? Dialah yang bernama Gajah Lor. Pada belasan tahun yang silam mempunyai pengaruh luas diwilayah Kota Raja Kerajaan Mandaraka. Sebuah kerajaan kecil dipesisir pantai Pulau Jawa. Gajah Lor yang berusia sekitar 50 tahun itu adalah seorang yang paling pandai dalam hal ilmu merawat tubuh, hingga tak nampak ketuaan usianya.
Tubuhnya kekar dengan urat-urat yang kokoh. Selama belasan tahun dia melatih diri dipuncak Rajabasah dengan berbagai ilmu kedigjayaan. Semata-mata karena mempunyai tujuan serta urusan dendam pada seorang. Serta mendidik muridnya yang bernama Mayana itu dengan tujuan yang telah dipersiapkan sejak lama.
Mayana duduk dihadapan gurunya dengan hati risau. Betapa ingin dia rasanya untuk lebih cepat turun gunung mencari musuh besarnya guna membalas dendam pati kedua orang tuanya. Akan tetapi seperti ujar gurunya dia diharuskan memenuhi satu sarat sebelum turun gunung dan mengunggu selama beberapa hari untuk menerima petunjuk dari sang guru mengenai perihal langkah langkah yang harus ditempuhnya nanti. Yang terutama sekali adalah penjelasan Gajah Lor mengenai siapa adanya musuh besarnya itu. Hal itulah yang paling penting!
"Mayana, muridku...!" ujar Gajah Lor pada sang murid yang tepekur tundukkan wajah menatap alas tikar yang didudukinya.
Hatinya sejak tadi kebat-kebit menunggu apa yang akan dikatakan sang guru. Mendengar suara sang kakek yang membuka percakapan dia mendongak menatap wajah sang guru. Telinganya dipasang penuh perhatian untuk mendengar apa-apa yang dikatakan kakek tua itu.
"Aku senang sekali sejak kau berguru padaku, selama ini kau selain seorang murid yang amat cerdas juga seorang anak yang amat penurut. Tak pernah satu kali pun kau membantah apa yang aku perintahkan!" ujar Gajah Lor. "Apakah dalam hari-hari terakhir kau bersamaku dipuncak bukit Rajabasah ini kau juga akan menuruti segala yang aku perintahkan padamu?"
"Guru..! Mengapa kau ragu dengan murid mu ini? Kau telah berbaik hati mendidik dan membesarkanku selama ini. Memberikan ilmu-ilmu kedigjayaan serta merawatku penuh kasih sayang seperti kepada anakmu sendiri. Patutkah aku membantah perintahmu?" berkata Mayana dengan suara hati-hati.
Sementara hatinya agak tergetar mengucapkan kata-kata itu. Perkataan gurunya kali ini agak aneh. Mengapa sang guru bersikap lain dari biasanya. Pandangan matanya juga aneh. Seperti membersitkan sinar serta hawa aneh yang membuat jantungnya berdegupan. Baru kali ini dia melihat pancaran mata sang kakek itu begitu menggidikkan hatinya.
"Heheheh...hehe... bagus! bagus! Aku memang tidak kecewa mengangkatmu sebagai murid!" berkata Gajah Lor dengan tertawa mengekeh. "Mayana...! Untuk menghadapi musuh besarmu, jalan darahmu harus sempurna betul. Aku akan salurkan sebagian tenaga dalamku untuk kupindahkan kedalam tubuhmu!" ujar Gajah Lor setelah lama memperhatikan muridnya yang tertunduk menatap tikar dengan hati tak karuan rasa.
"Ha, kau... kau akan memberikan separuh tenaga dalammu padaku, guru? Bagaimana dengan kau sendiri nanti? Bukankah kaupun memerlukannya. Bukankah kau sendiri seperti pernah kau katakan, kau mempunyai beberapa musuh yang akan kau singkirkan? Kalau tenaga dalammu tinggal separuh, bagaimana kau dapat menghadapi musuh-musuhmu itu, guru.?" tergagap Mayana memandang dengan mata membelalak pada gurunya. Walaupun diam-diam hatinya merasa girang, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan akan keadaan gurunya.
"Heheheh... jangan khawatir! Dalam waktu beberapa bulan aku akan dapat mengembalikan seluruh tenaga dalamku seperti sediakala. Nah, segera kau bersiap-siaplah! Bukalah semua pakaian yang melekat ditubuhmu. Tak ada waktu lagi untuk aku mengulurnya karena kau cuma tiga hari berada dipuncak Rajabasah ini!" ujar Gajah Lor dengan menatap lekat-lekat wajah muridnya yang tampan.
Perintah itu seperti sebuah petir yang menggelegar disiang hari. Membuat Mayana terkejut. Jantungnya berdetak semakin cepat, dan wajahnya tiba-tiba dijalari rona merah. "Mem... membuka semua pakaianku, guru?" tanyanya seperti tak percaya.
"Ya! Untuk menerima saluran tenaga dalam haruslah terbebas dari penghalang. Apakah kau malu melakukannya?" berkata Gajah Lor dengan tersenyum.
Mayana seperti kebingungan. Wajahnya semakin merah. "Mengapa harus membuka pakaian?" pikirnya dalam hati. Sejenak dia tak memberi jawaban.
"Mayana! Apakah kau akan menolak perintahku kali ini?"
"Ti... tidak... guru..! Tapi... tapi..." kembali mulut Mayana membungkam tak tahu apa yang akan dikatakannya.
"Hm, ketahuilah, perintah ini juga termasuk syarat permulaan sebelum aku mengatakan siapa pembunuh orang tuamu, dan sebagai persyaratan sebelum kau turun gunung!" berkata Gajah lor dengan suara tegas.
Apakah yang menjadi sebab sukarnya Mayana menuruti perintah gurunya? Ternyata semua itu disebabkan karena Mayana sebenarnya bukanlah seorang laki-laki. Dia seorang perempuan. Seorang gadis, yang baru meningkat dewasa. Tentu saja perintah gurunya membuat dia jadi serba salah. Selama ini dia memang selalu memakai pakaian laki-laki. Dia baru sadar setelah mengetahui perubahan demi perubahan pada dirinya dengan bertambahnya usianya.
Walau dia tak begitu memahami tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, akan tetapi naluri kewanitaannya mulai tumbuh dan semakin kelihatan rasa malunya bila dia mandi bertelanjang bulat. Hal itu sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Selalu dia menghindar dari gurunya bila dia akan membersihkan badan atau mandi. Khawatir terlihat oleh sang guru.
Kini secara tak disangka-sangka sang guru memerintahkan dia membuka seluruh pakaiannya dihadapan sang guru. Tentu saja membuat dia amat terkejut setengah mati. Dan membuat kulit wajahnya berubah merah. Bagaimana mungkin dia akan dapat melakukannya?
"Mayana! Apakah kau tak bersedia?" suara Gajah Lor kembali terdengar mengoyak keheningan.
Tersentak dia mendengar katakata sang guru. "Guru..!" selang sesaat Mayana menjawab pertanyaan Gajah Lor dengan suara agak bergetar. "Aku rasa dengan tenaga dalam yang kumiliki, aku akan mampu membalas dendam pada musuh besarku. Apakah tidak lebih baik kalau guru tak usah menyusahkan diri memberikan separuh tenaga dalam mu padaku..." dengan memberanikan diri Mayana bicara.
"Hm, sudah kukatakan hal ini adalah termasuk syarat yang harus kau jalankan sebagai penutupan selama enam tahun kau menjadi muridku. Apakah kau tak bersedia melakukan syarat ini?" berkata Gajah Lor.
Mayana tercengung sesaat tanpa bisa memberi jawaban. "Baiklah! kuberi kau waktu setengah hari. Kalau kau tak dapat memenuhi syarat itu. berarti kau tak ingin mengetahui siapa pembunuh kedua orang tuamu. Dan yang perlu kau camkan adalah, kau tak mungkin bisa mengalahkan musuh besarmu dengan tenaga dalam yang kau miliki selama ini. Kukira kau takkan menyerahkan nyawamu begitu saja pada musuh besarmu, bukan?" Setelah tertawa terkekeh-kekeh, Gajah Lor bangkit berdiri. Kakinya bergerak untuk beranjak kebiliknya disudut ruangan goa itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara Mayana.
"Guru...! Aku bersedia menjalankan persyaratan itu..."
Gajah Lor tahan langkah kakinya. Tanpa balikkan tubuh kakek ini berkata dengan tersenyum menyeringai. "Hehehe... mengapa tak sadari tadi kau katakan? Rasa malu itu justru karena kau belum biasa. Dan ketahuilah akibat rasa malu itu justru akan menghambat langkahmu sendiri. Dan akan sia-sialah jerih usahamu selama bertahun-tahun untuk menuntut balas kematian kedua orang tuamu!"
"Maafkan aku, guru...! Aku memang bodoh..." berkata Mayana dengan menunduk. Tapi dengan cepat dia telah loloskan pakaian yang melekat di tubuhnya. Dilakukannya semua itu dengan mata terpejam. Dan dalam beberapa kejap saja Mayana telah berdiri tegak dihadapan gajah Lor dengan keadaan tubuh bugil, tanpa sehelai benangpun melekat tubuhnya.
TIGA
Dalam keadaan mata terpejam itu Mayana tak mengetahui kalau sepasang mata sang guru telah memandangnya dengan mata membinar-binar. Menatap dan menjalari setiap lekuk-liku tubuh Mayana dengan sepuas-puasnya. Bibir kakek ini setengah terbuka dan tampak meneteskan air liur. Hidungnya kembang-kepis bercampur dengan deru napas tertahan dari sang kakek yang memandang tubuh Mayana seperti melihat makanan lezat yang menerbitkan air liur.
Detik itu juga Mayana merasakan bersyiurnya angin halus menerpa tubuhnya. Selanjutnya dia rasakan tubuhnya lemah lunglai. Kelopak mata terasa berat untuk di buka. Dan dia merasa tubuhnya terhempas... tapi seperti ada lengan yang menyangganya. Selanjutnya dia tak tahu apa-apa lagi. Cuma sekilas dia merasa tubuhnya seperti dipondong dan melayang ringan. Kemudian dia tak ingat apa-apa lagi.
Ketika perlahan-lahan dia mulai sadarkan diri yang pertama-tama dirasakan adalah tubuhnya seperti berat. Dengus napas santar seperti meniup-niup daun telinganya. Antara sadar dan tidak dia merasakan hawa hangat menembus seluruh tubuhnya. Dan sesuatu yang tak pernah dirasakan selama hidupnya membuat dia menggelinjang dan keluarkan keluhan-keluhan lirih. Dia tersentak ketika membuka matanya, dan melihat sang guru dalam keadaan membugil tengah menindih tubuhnya.
"Guru...? Kau ...ah, kau apakah aku...?" sentaknya terkejut.
Gajah Lor tak menjawab, tapi menutup bibir gadis itu dengan desis dan menyumbat mulutnya hingga dia sukar bernapas. Dalam keadaan demikian sepasang lengan Gajah Lor tiba-tiba merangkul erat tubuhnya, seperti mau meluluh lantakkan tulang belulangnya. Mayana menjerit tapi suaranya tersendat napasnya setengah-tengah. Dan berbareng dengan itu Gajah Lor pendengarkan suara keluhan panjang.
Mayana sendiri terkulai. Sukmanya seperti membumbung keluar dari raganya. Otot-otot tubuhnya serasa luluh tak bertenaga. Tapi satu perasaan aneh membuat dia tertegun. Ada perasaan yang sukar dilukiskan. Dalam keadaan tidak mengerti itu dia merasa lengan Gajah Lor membelai wajahnya. Terasa keningnya dicium laki-laki gurunya itu. Hingga sesaat antaranya terasa tubuhnya menjadi ringan. Tak terasa lagi adanya benda berat yang membuat dia sukar bernapas.
Ketika dia pulih dengan kesadaran penuh didapati dia terbaring dipembaringan sang guru. Pembaringan yang acap kali sering dirapihkan. Dia tergolek dalam keadaan tanpa busana, dengan sehelai selimut menutupi tubuhnya. Tak dilihatnya sang guru berada didalam bilik ruangan itu. Mayana terpaku dan tercenung dalam ketidak mengertian. Apakah sang guru sudah selesai menyalurkan sebagian tenaga dalamnya?
Tiga hari berada dipuncak bukit Rajabasah itu, Mayana mendapat tambahan kekuatan tenaga dalam dari Gajah Lor, sang guru yang telah mendidiknya dengan ilmu-ilmu kedigjayaan selama ini.
Siang itu Matahari panasnya seperti membakar jagat. Dari atas puncak bukit Rajabasah tampak berkelebat bayangan sesosok tubuh yang berlari cepat menuruni bukit. Gerakannya lincah bagaikan gerakan seekor kijang. Melompati jurang-jurang curam yang tertutup kabut tipis. Dialah Mayana, si gadis puncak bukit Rajabasah, yang hari itu turun gunung dengan membawa tugas berat dari gurunya. Gajah Lor.
Dalam waktu tak terlalu lama, dara rupawan yang lebih mirip dengan seorang pemuda berwajah tampan itu telah berada di bawah bukit. Di atas batu besar dara ini berhenti, dan balikkan tubuh. Sepasang matanya menatap ke atas puncak bukit. Puncak bukit yang telah menggemblengnya selama ini dengan bermacam ilmu kedigjayaan. Puncak bukit yang membawa kenangan tersendiri yang tak dapat dilupakan seumur hidupnya.
Tampak sepasang mata dara ini basah, berkaca-kaca. Angin pegunungan menerpa wajahnya yang cantik. Tapi air mata dara ini tak mengalir turun. Dia telah berusaha menahannya. Terdengar suara menggumam tergetar keluar dari bibirnya.
"Guru..! Aku akan jalankan tugasmu dengan baik, sebagai balas jasa atas budi baikmu merawat dan membesarkan aku. Serta mewarisi aku dengan ilmu-ilmu kedigjayaan. Entah saat ini kau berada dimana. Tapi kelak suatu saat setelah selesai tugasku, dan bila telah terbalaskan dendamku, aku akan mencarimu..!" Kata-kata gadis ini diucapkan dengan tandas, yang hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya.
Selesai ucapkan kata-kata itu, dara ini gigit bibirnya menahan perasaan yang menggebu dalam dada. Perasaan sedih, pilu, marah, kecewa dan dendam berkumpul menjadi satu dirongga dadanya. Selesai sesaat Mayana balikkan tubuh. Kejap berikutnya dia telah berkelebat melesat meninggalkan tempat itu dengan mempergunakan ilmu lari cepat. Detik selanjutnya sudah tak kelihatan lagi bayangan tubuhnya...
* * * * * * *
EMPAT
KUIL TENGKORAK DARAH yang terletak diatas puncak bukit Lembayung masih tampak berdiri tegar dengan segala keangkerannya. Kuil yang baru berdiri beberapa tahun dipuncak bukit permai berpemandangan indah itu telah merobah alam sekitarnya menjadi alam yang gersang.
Dimana-mana terlihat mayat manusia yang bertebaran disekeliling Kuil, dengan baunya yang busuk menyengat hidung. Sepertinya Kuil itu tak berpenghuni manusia. Ya, hanya setan-setan sajalah yang patut mendiami Kuil yang menyeramkan itu.
Pemandangan indah bukit Lembayung tidak lagi mempesona. Akan tetapi menimbulkan hawa takut. Seolah Kuil itu adalah pintu gerbang Neraka layaknya. Akan tetapi dari arah ruangan kuil itu tampak mengepul asap yang menimbulkan bau panggang daging yang lezat, disenja yang baru mulai temaram itu.
Ternyata seorang kakek berambut panjang beriapan tengah asyik duduk menghadapi api unggun. Sementara lengannya membolak-balik panggang daging, entah daging apa yang ditusuk pada sebatang kayu. Jelas kakek rambut putih beriapan ini adalah manusia, karena kedua kakinya menginjak tanah.
Ketika itu diluar udara semakin dingin dan cuaca semakin redup. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik seram membangunkan bulu roma. Si kakek rambut beriapan ini hadapkan wajahnya ke pintu kuil. Tampaklah wajahnya yang tak sedap dipandang. Sebelah matanya menonjol bulat dan nampak merah, sedangkan sebelah lagi tak berbiji mata alias picak.
Hidungnya cuma separuh, menampakkan rongga bagian dalamnya. Bibirnya terbelah dua dan nampak dua buah gigi yang besar-besar mencuat keluar. Kakek seram ini mendengus mendengar suara tertawa yang sudah tak asing lagi baginya itu.
"Wewe Gombel Setan Genit! Mau apa kau datang menyambangi kekuilku?" terdengar suara si kakek yang parau bagi suara tonggeret. "Apakah kau mau makan daging manusia?" Dan diiring kata-katanya si kakek seram ini telah bangkit berdiri. Sebelah lengannya menyambar bara api lalu... Whuuut! Dia telah ayunkan lengannya. Bara api itu melayang keluar dengan deras. Terdengar suara mengikik diluar diiringi kata-kata.
"Dedemit Mata Picak, sambutanmu sungguh menyebalkan hati!" Sosok tubuh putih diluar kuil itu memang baru saja jejakkan kakinya dimuka kuil. Melihat sambaran bara api kearahnya, dengan membentak nyaring dia meludah... Cuih! Lengannya mengibas. angin keras menggebu menghantam bara api yang meluruk ke arahnya. Bara api itu pecah berhamburan. menjadi ratusan lelatu api yang menerjang balik ke arah pintu kuil yang terbuka. Tentu saja mendelik sebelah mata si kakek seram. Namun dia cepat monyongkan mulutnya. Dan... Fuuuh! Lelatu api seketika padam dan buyar kesegenap penjuru.
"Hihihik...hihik... tua bangka mata picak, kau makanlah bara apimu, mengapa kau suguhkan padaku?" Sekali berkelebat si kakek muka seram melompat, dan sekejap telah berada dimuka pintu.
Ternyata si pendatang yang dijuluki Wewe Gombel Setan Genit itu adalah seorang wanita berparas cantik. Bertubuh kurus tinggi semampai. Berkulit kuning langsat, memakai pakaian serba putih. Alisnya mencuat keatas dengan biji mata yang menampakkan mata yang jalang. Usianya ditaksir sekitar 35 tahun. Akan tetapi nampak tubuhnya masih montok.
"Mau apa sebenarnya kau kemari?" berkata ketus si kakek seram yang dijuluki si Dedemit Mata Picak ini. Sementara mulutnya mulai menggayam panggang daging yang sudah matang itu dengan rakus.
"Hm, aku tak ingin minta makananmu, Wicaksa! Kedatanganku cuma mau mengatakan bahwa perbuatanmu membunuh manusia itu cuma mengundang penyakit pada dirimu sendiri! Sedangkan orang yang kau Pancing untuk menyatronimu tak berada diwilayah ini!" berkata wanita ini dengan bertolak pinggang.
"Heh! bagaimana kau bisa tahu?"
"Ya, karena yang mengetahui perihal si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil Cuma sahabatku! Dia bernama Cakra Murti!" sahut Wewe Gombel Setan Genit.
Terhenyak si kakek yang bernama Wicaksa itu. Tak ayal dia sudah semburkan daging panggang dimulutnya, dan tiba-tiba membanting daging panggang itu hingga amblas ke tanah. "Grrr... katakan segera! Apakah kau datang bersama sahabatmu itu?" membentak Wicaksa. Suaranya menggeledek hingga terdengar berpantulan kesekitar tempat yang lengang itu.
"Hihik...hihik... sabar, Wicaksa! saat ini aku datang sendiri. Tapi aku bisa mempertemukan kau dengan sahabatku itu, kalau ada imbalannya!" berkata Wewe Gombel Setan Genit dengan mengikik tertawa.
"Imbalan? Imbalan apa yang kau inginkan? katakanlah! Kalau betul si Cakra Murti sahabatmu itu bisa menunjukkan aku dimana adanya si Roro Centil, tentu aku tak keberatan memberikan imbalan. Apakah kau inginkan sekantung uang emas untuk imbalannya? Aku sanggup memberikannya! Akan tetapi bila kau berdusta, maka kepalamulah sebagai gantinya, termasuk kepala sahabatmu itu!"
Tawaran itu ternyata membuat si wanita ini cuma tersenyum, tapi segera ujarnya. "Aku tak memerlukan itu, Wicaksa! Yang kuperlukan adalah kitab yang kau rampas dari KI Sabda Tama!"
Mendengar Jawaban Wewe Gombel Setan Genit, Wicaksa jadi tertawa terkekeh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk. "Tunjukkan aku dimana adanya sahabatmu itu. Mengenai kitab Ki Sabda Tama yang kucuri itu aku tak berminat mempelajari, disamping aku tak mengetahui arti tulisannya. Dengan sukarela akan kuberikan padamu. Tapi dengan syarat apabila aku sudah menjumpai si Roro Centil!"
"Bagus, baiklah! Kukira tak perlu berlama-lama, Segera kau siapkan kitab itu, dan segera kita berangkat!" berkata girang Wewe Gombel setan genit. Tampak dia amat gembira mendengar jawaban si Dedemit Mata Picak.
"Baik! baik...! tunggulah! segera kupersiapkan!" ujar Wicaksa dengan menyeringai girang. Tubuhnya kembali berkelebat memasuki pintu kuil. Tak lama dia telah keluar lagi.
"Marilah kita berangkat!" ujarnya.
Wewe Gombel Genit mengangguk. Dia mendahului berkelebat menuruni bukit Lembayung, disusul oleh kelebatan tubuh si Dedemit Mata Picak. Hingga tak lama kemudian Kuil Tengkorak Darah dipuncak bukit Lembayung kembali sunyi mencekam...
Siapakah adanya Wewe Gombel Setan Genit dan si dedemit Mata Picak bernama Wicaksa penghuni Kuil Tengkorak Darah itu? Keduanya adalah dua orang saudara seperguruan yang masing-masing telah menempuh jalan sendiri-sendiri. Kedua tokoh yang berada dijalur sesat itu mempunyai ilmu kepandaian silat yang tinggi. Entah permusuhan apakah gerangan Wicaksa dengan Roro Centil di Pendekar Wanita pantai Selatan hingga si kakek itu tampak amat mendendam.
* * * * * * *
LIMA
CAKRA MURTI ternyata seorang laki-laki gagah berusia sekitar 40 tahun. Laki-laki ini tengah mondar-mandir diruangan depan seperti tengah menanti kedatangan orang ditunggunya. Gedung tua itu terletak di tepi danau, Dikelilingi oleh hutan rimba. Diapit oleh dua bukit. Tempat sekitar itu sunyi mencekam.
Tampaknya gedung tua itu satu-satunya gedung yang terpencil ditempat itu. Mata Cakra Murti menatap ke arah hutan rimba dibelakang bukit lalu dialihkan ke ujung jalan disisi danau. Tiba-tiba telinganya mendengar suara berkrosakan disisi gedung.
"Siapa? Kalau mau bertemu silahkan masuk dari pintu depan. Aku Cakra Murti siap menyambut tamu yang datang dengan maksud baik!" berkata laki-laki ini.
"Bagus! kedatanganku bukan untuk maksud jahat, sobat Cakra Murti!" Diiringi kata-kata itu sesosok tubuh berkelebatan munculkan diri dihadapan laki-laki itu.
Sejenak dia terhenyak memandang si pendatang, yang ternyata adalah seorang laki-laki brewok. Dikedua pinggangnya terdapat dua buah buli-buli. Sedangkan tangan si brewok ini mencekal pula sebuah buli-buli yang sudah lepas sumbatnya. Tanpa hiraukan orang yang menatapnya si brewok tenggak isi buli-buli itu hingga belasan teguk. Bau arak mengembara seketika itu juga.
"Hm, kiranya anda si Dewa Arak! Ada maksud apa anda meyatroni tempatku?" bertanya Cakra Murti dengan kernyitkan keningnya.
Si Brewok tak buru-buru menjawab. Tapi menyeka dulu bibirnya membersihkan bekas-bekas cairan-cairan arak yang membasahi bibir dan dagunya. "Hehehe... kalau bukan aku lihat sendiri kau ada hubungan baik dengan si perempuan kuntilanak Wewe Gombel Setan Genit, mana aku jauh-jauh menyatroni tempat tinggalmu?" berkata si brewok.
Tersentak juga Cakra Murti mendengar si Dewa Arak mencari orang yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. "O, jadi kau mencarinya? Ada persoalan apakah kau dengan sahabat ku itu?" bertanya Cakra Murti. Sementara diam-diam laki-laki ini merasa adanya angin buruk yang bertiup dengan kedatangan sang tetamu.
"Bagus! ternyata dia sahabat baikmu? Suruh dia keluar. Biar aku yang urus persoalanku dengannya!" membentak si Dewa Arak.
"Seorang tetamu yang datang dengan maksud baik, tentu akan datang dengan sikap yang baik. Caramu itu kasar sekali, juga tak mau memberitahukan persoalannya. Apakah bisa di anggap datang dengan maksud baik?" berkata Cakra Murti dengan suara datar. Tapi mengandung hawa amarah yang terpendam didada. karena sikap si Dewa Arak telah menyinggung perasaan yang tak menghargai dirinya.
Mendelik mata si Dewa Arak, Hidungnya mendengus. "Heh! apakah pangkatmu, sobat? Urusanku cuma dengan si Wewe Gombel Setan Genit. Suruh saja dia keluar! tak usah kau banyak lagak dengan segala macam pertanyaan!" balas membentak si brewok.
"Hm, baik, baik! Aku tak ikut campur urusan kalian. Tapi orang yang kau cari itu justru aku sedang menantikan kedatangannya. Harap kau tunggu saja disini sampai dia datang!" menyahut laki-laki ini, dengan menekan perasaannya. Sebenarnya hatinya panas dibentak sedemikian rupa oleh si brewok. Tapi dia berusaha menahan sabar, karena berhadapan dengan si brewok yang dia tak tahu urusan cuma menambah musuh saja. Selesai berkata Cakra Murti beranjak masuk kedalam gedungnya. Akan tetapi diluar dugaan sibrewok telah membentak.
"Tunggu! Apakah omonganmu bisa dipercaya?"
Hilanglah kesabaran laki-laki ini. Tapi disaat dia mau melabrak sibrewok, terdengar suara tertawa cekikikan, disusul oleh berkelebatnya sesosok tubuh yang jejakkan kaki dengan ringan didepan gedung.
"Bagus! ternyata manusianya telah muncul!" teriak si brewok girang dan langsung menggembor. "Wewe Gombel Setan Genit! Kau harus bayar kematian muridku dengan nyawamu!"
Wajah si Dewa Arak sekejap telah berubah bringas melihat kemunculan wanita ini. Dan tanpa menunda kesempatan lagi dia telah ayunkan kepalanya yang disertai tenaga dalam. Itulah jurus pukulan maut yang dilakukan dengan mendadak. Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan berkelebat memapaki serangan di Dewa Arak, disertai bentakan parau.
"Tahan seranganmu, monyet tua brangasan!"
Plak...! Benturan dua lengan terjadi. Dewa Arak menjerit kaget karena lengannya serasa menghantam besi. Disaat mana tahu-tahu dadanya kena dihantam telak oleh pukulan keras. Buk..! Terlemparlah tubuh si Dewa Arak, dan jatuh bergulingan. Ketika dia bangkit dan memandang dengan mata yang berkunang-kunang tahulah dia siapa yang menangkis serangannya.
Ternyata si Dedemit Mata Picak, yang dengan bertolak pinggang menatap tajam dengan sebelah matanya. Benturan kedua pukulan bertenaga dalam barusan tak mengakibatkan reaksi apa-apa terhadapnya. Akan tetapi keadaan si brewok cukup fatal. Dia merasakan dadanya sesak dan pandangan matanya berkunang-kunang. Pukulan telak pada dadanya itu kalau terkena pada orang yang ilmu kedigjayaannya rendah tentu akan meremukkkan isi dadanya.
Untunglah tubuh si Dewa arak telah berisi dengan ilmu kebal. Hingga nyawanya masih bisa diselamatkan. Namun cukup membuat si brewok terperanjat mengalami serangan keras secara mendadak ini dan membuat rasa nyeri pada dadanya.
"Keparat! siapa kau...?" membentak si Dewa Arak dengan gusar. Dia telah melompat bangkit lagi. Sepasang matanya tertuju pada kakek rambut putih bertampang seram itu.
"hehe... hahah... hahah... rupanya kau si Dewa Arak? Masih untung kau tidak mampus! Mengapa datang-datang kau menyerang orang? Tahukah kau kalau sampai kau mencelakai adik seperguruanku ini, mana mungkin nyawamu bisa selamat?" tertawa mengakak Dedemit Mata Picak.
"Apakah kau si Dedemit Mata Picak, Wicaksa?" tersebut Dewa Arak ketika baru menyadari siapa adanya orang dihadapannya.
"Hihihik... tidak salah dugaanmu itu, Dewa Arak! Bila kau berurusan denganku sama saja berurusan dengan dia. Sebenarnya aku tak mau urusanku dicampuri siapapun, tapi salahmu sendiri, datang-datang kau mau membalaskan kematian muridmu tanpa kau mau tahu apa latar belakangnya!" Wewe Gombel Setan Genit mewakilkan menjawab pertanyaan si Dewa Arak.
Akan tetapi si Dedemit Mata Picak sendiri justru mendegus. "Huh, siapa bilang urusanmu adalah urusanku? Saat ini aku memang tengah memerlukan keterangan mengenai urusaku. Jangan harap kau bisa selamat kalau kau menipu!" tukas laki-laki bertampang seram ini dengan pelototkan sebelah matanya pada Wewe Gombel Setan Genit.
Melihat demikian cepat-cepat Cakra Murti Menengahi. "Sudah! sudahlan! sebaiknya kau Dewa Arak segera kembali pulang. Urusanmu bisa di selesaikan lain hari. Karena kau berada ditempatku, kau harus turut peraturanku. Kalau tidak terpaksa akupun ikut campur dengan urusan sahabatku ini!"
Dewa arak memikir sejenak. Jelas dia tak bisa menerima begitu saja saran Cakra Murti. Namun setelah menimbang-nimbang diapun menyadari tak guna bersitegang pada saat itu. Karena bisa membahayakan dirinya sendiri. Segera diapun berkata.
"Baiklah! aku undurkan urusanku dengan mu, Wewe Gombel Setan Genit! Tapi kelak aku pasti menuntut penjelasan mengenai kematian muridku di tanganmu! Bila benar-benar kau berada dipihak salah, aku tak segan-segan turunkan tangan untuk mencopot nyawamu!"
Selesai berkata dan tanpa menunggu jawaban si Dewa Arak berkelebat dari tempat itu, dan sekejap sudah tak nampak lagi bayangan tubuhnya.
ENAM
"Kaukah yang bernama Cakra Murti?" bertanya Dedemit Mata Picak. Sebelah matanya menatap tajam pada laki-laki gagah dihadapannya.
"Benar, sobat, Sungguh tak disangka kalau aku bisa berjumpa dengan anda penghuni kuil Tengkorak Darah."
Ketiganya duduk diruang depan gedung. Pertanyaan itu dilontarkan si Dedemit Mata Picak setelah Wewe Gombel Setan Genit berbisik pada laki-laki bernama Cakra Murti.
"Apakah kedatangan anda ingin menanyakan perihal si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil?" bertanya Cakra Murti.
"Benar! untuk itulah aku datang kemari, dan atas petunjuk sahabatmu ini!" sahutnya seraya berpaling menatap Wewe Gombel Setan Genit.
"Ah, bukankah anda berdua satu perguruan? Mengapa tak memakai sebutan kakang atau adik?" tukas Cakra Murti.
"Ceritanya begini...! Biarlah aku yang menjelaskan, Wicaksa!" Wewe Gombel Setan Genit cepat-cepat menjawab, seraya melirik pada Dedemit Mata Picak yang cuma mendengus.
"Wicaksa adalah bekas pesuruh guruku, sedangkan aku adalah murid beliau pada dua belas tahun yang silam. Karena Wicaksa juga dididik oleh guruku mengenai ilmu kedigjayaan, maka mau tak mau kami bisa dikatakan masih satu perguruan. Tujuh tahun yang lalu guru kami wafat akibat keracunan tanpa diketahui siapa yang telah membunuhnya. Dan kami berpisah menempuh jalan masing-masing. Baru dua tahun belakangan ini kami bertemu lagi. Seperti yang aku ceritakan padamu, Wicaksa yang bergelar Dedemit Mata Picak ini menghuni kuil Tengkorak Darah...!" Wewe Gombel Setan Genit tuturkan secara singkat mengenai si Dedemit Mata Picak.
Cakra Murti manggut-manggut mendengar penjelasan Wewe Gombel Setan Genit. "Hm, baiklah! Untuk mempersingkat waktu, bolehkah kulihat kitab Ki Sabda Tama yang berada ditanganmu, sebelum aku memberitahukan dimana adanya si Roro Centil musuh besarmu itu?" berkata Cakra Murti.
"Apakah kata-katamu bisa dipercaya?" untuk kedua kalinya Wicaksa berkata. Sorot matanya tajam menatap pada Cakra Murti.
Cakra Murti tersenyum. Kali ini dia tak menampakkan kegusaran. "Percayalah! aku pasti memberitahu mengenai orang yang kau cari itu. Karena memang cuma akulah yang mengetahuinya. Aku ingin melihat apakah kitab Ki Sabda Tama itu benar-benar kitab yang sebenarnya?"
"Apakah kau mengira aku membawa kitab Ki Sabda Tama palsu?"
"Ya, ya...! Aku percaya! Tapi alangkah baiknya kalau aku melihatnya!" tukas Cakra Murti dengan berkata sungguh-sungguh.
"Baik! baik!" seraya berkata Wicaksa rogoh saku bajunya, dan lemparkan kitab yang terbungkus kain kumal itu kepada Cakra Murti.
Dengan cepat Cakra Murti menyambuti. Laki-laki ini membuka lipatan kain kumal itu, lalu mengeluarkan sebuah kitab dari dalamnya. Agak lama dia membolak-balik kitab itu memperhatikan isinya. Tak lama kemudian dia kembali kekursinya, lalu membungkus lagi kitab itu.
"Benar, kitab ini milik Ki Sabda Tama! Hm, kalau tak dari saudara seperguruanmu ini yang mengatakan, mana aku tahu kalau kitab yang kucari-cari ini berada ditanganmu...!" berkata Cakra Murti. "Kitab ini bukan berisi mengenai ilmu-ilmu kedigayaan, melainkan berisikan tulisan mengenai Tata Kerajaan. Aku terlambat menjumpai dia sebulan yang lalu. Karena dia telah tak berada di tempat kediamannya lagi Padepokan Ki Sabda Tama telah rusak binasa. Rupanya kaulah yang memporak-porandakan untuk merebut kitab ini dari tangannya!"
"Benar! Akan tetapi bukan niatku merampas kitab itu. Bahkan aku tak tahu menahu dengan kitab itu. Secara kebetulan aku melihat dua orang bertarung. Secara iseng aku ikut campur urusan mereka. Orang yang menempur Ki Sabda Tama, yang baru kuketahui namanya belakangan itu memakai topeng hijau. Ternyata dia berjulukan si Buto Kala Ijo. Ki Sabda Tama berilmu tinggi, hingga nampaknya buto Kala Ijo terdesak. Aku turun tangan dan pura-pura membantu. Sebelumnya memang aku telah mengetahui lewat pembicaraan kalau si Buto Kala Ijo itu bertujuan mau merebut kitab ditangan Ki Sabda Tama. Ki Sabda Tama terluka terkena pukulanku. Dan aku berhasil merampas kitab dari balik pakaiannya. Tapi benar-benar sial dangkal si Buto Kala Ijo. Dia membokongku dan merampas kitab dari tanganku, lalu melarikan diri. Karena kesalnya aku memporak-porandakan pondok Ki Sabda Tama!"
"Lalu bagaimana kau bisa dapatkan kitab ini lagi?" tanya cakra Murti.
"Aku memang berjodoh memiliki kitab itu, karena seusai aku mengobrak-abrik pondok Ki Sabda Tama, aku mendengar suara orang menjerit parau. Ketika kuhampiri, ternyata si Buto Kala Ijo dalam keadaan terkapar berlumuran darah. Dilengannya tercekal kitab yang dirampasnya itu. Masih sempat aku melihat sesosok tubuh berkelebat ketika aku membentaknya. Agaknya dia si pembokong Buto Kala Ijo untuk merebut kitab. Tapi keburu aku datang, hingga dia tak sempat memiliki kitab itu...!"
"Kau tak melihat jelas orang itu?" tanya lagi Cakra Murti.
"Tidak! aku cuma melihat sekilas punggungnya! Agaknya dia telah merasai kehebatan pukulanku, dan begitu amat ketakutan melihat aku muncul, hingga tanpa memikirkan kitab dia lari selamatkan nyawa!"
"Hahaha... haha... hebat! nasib peruntungan mu memang bagus! Juga peruntunganku, karena kitab yang kucari ini bisa jatuh ketanganku, Juga kau Dedemit Mata Picak bisa mendapat kabar tentang dimana adanya Roro centil!" berkata demikian Cakra Murti tersenyum. Sementara hatinya berkata: Haha... kau tak tahu kalau orang yang cuma terlihat punggungnya itu adalah aku. Penuturan Wicaksa ditutup oleh suara tertawa Cakra Murti dengan sedikit memberi bumbu pembicaraan untuk menggembirakan hati Wicaksa. Cakra Murti memang agak jerih karena tokoh hitam ini punya ilmu pukulan tangan beracun. Tapi Wicaksa sudah membentak.
"Sudahlah! Kini segera katakan dimana adanya si Roro Centil itu! Segera saja kau katakan! Awas, kalau kau mendustaiku, jangan harap kau masih bisa tertawa lagi!"
"Hihihik... hihik... katakanlah, kakang Cakra Murti! Bukankah imbalannya sudah kita dapatkan?" berkata Wewe Gombel Setan Genit yang sejak tadi tak ikut bicara.
"Hm, baik! baik...! Tapi sebelumnya bolehkah aku mengetahui dendam permusuhan apakah kau dengan tokoh terkenal itu?"
"Heh! itu urusanku!" berkata Wicaksa dengan mendelikkan matanya.
Cepat-cepat Cakra Murti berkata. "Yah, sudahlah, kalau kau tak mau menceritakan mengapa harus aku paksa? Kau telah berbaik hati memberikan imbalan untuk maksudmu itu pada kami. Akupun tak ingin mengecewakan mu, sobat! Apa lagi kau adalah masih saudara seperguruan sahabat baikku ini. Perjalanan ke tempat si Pendekar Wanita itu memakan waktu dua hari. Itupun dengan menggunakan ilmu lari cepat tanpa berhenti. Saat ini aku amat penat. Kau beristirahatlah bermalam disini, sambil kumpulkan tenaga. Besok kita lakukan perjalanan..." ujar Cakra Murti.
Padahal hatinya membatin. "Heh! sungguh mati aku tak tahu dimana adanya si Pendekar Wanita itu berada!"
Tak ada pilihan bagi Wicaksa selain menuruti apa yang disarankan Cakra Murti. Bukankah dia lebih beruntung, karena Cakra Murti tidak cuma menunjukkan dimana adanya orang yang dicarinya itu, Tapi bahkan mau mengantarkannya sampai ke tempat tujuan.
Senja semakin temaram. Matahari telah sembunyi dibalik gunung. Cuaca mulai dilanda kepekatan ketika malam menjelang datang. Wicaksa mendengkur lelap di dalam kamar yang disediakan untuknya. Manusia ini memang tak banyak memikirkan segala apa mengenai tindak-tanduk orang. Padahal kalau mau, cakra Murti bisa membinasakannya tanpa berpayah-payah mengantarkannya kesatu tempat dimana berdirinya Roro Centil.
Cakra Murti memasuki kamarnya untuk beristirahat. Akan tetapi segera merandek, karena bau wewangian menyambar hidungnya. Tahulah dia kalau si Wewe Gombel Setan Genit berada didalam. Benar saja, ketika dia melangkah masuk, di lihatnya wanita bertubuh montok yang menggairahkan itu dalam keadaan terlentang ditempat tidurnya tanpa memakai busana. Berselimutkan sehelai kain yang menyingkap sebagian tubuhnya.
Bibir laki-laki ini mendesah. Sejak beberapa lama berhubungan dengan wanita ini, dia amat banyak menimba keuntungan. Diam-diam dia berpikir, apakah si Wewe Gombel Setan Genit ini benar-benar jatuh cinta padanya?
TUJUH
Siapakah sebenarnya Cakra Murti itu? Dia ternyata seorang abdi Kerajaan. Dialah Adipati Wukir Kamandaka, yang menguasai wilayah barat Kota Raja dari kerajaan Galuh Kencana. Kerajaan Galuh Kencana ini tak diperintah oleh seorang Raja. Tapi yang bertakhta adalah seorang Ratu. Adapun kitab yang berada ditangan Ki Sabda Tama ada hubungannya dengan kerajaan. Hingga dia harus bersusah payah mencari kitab tersebut atas perintah junjungannya sang Ratu Galuh Kencana.
Adipati Wukir Kamandaka alias Cakra Murti yang mendapat tugas rahasia dari sang Ratu dalam pengembaraannya mencari jejak Ki Sabda Tama yang mencuri kitab pusaka kerajaan, berhasil mendekati dan bersahabat dengan Wewe Gombel Setan Genit. Seorang wanita cabul tokoh golongan hitam.
Laki-laki yang boleh dikatakan tak berkepribadian baik itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Bahkan hubungan mereka sudah dapat dikatakan bagai suami istri. Tapi dengan demikian, Cakra Murti banyak menimba pengalaman dan berkenalan dengan tokoh-tokoh hitam di Rimba Hijau saat itu. Bahkan dia berhasil memperalat Wewe Gombel Setan Genit untuk mendapatkan kitab Ki Sabda Tama, yang secara kebetulan benda itu berada ditangan Wicaksa, saudara seperguruan wanita itu.
"Kakang... ah, dekaplah aku kakang... malam ini dingin sekali..." suara Wewe Gombel Setan Genit terdengar lirih seperti tengah mengigau.
Pelahan Cakra Murti menghampiri. Bibirnya tersenyum memandang wajah wanita itu yang matanya masih terpejam. Lengannya pun bergerak menjulur kebawah selimut. Tubuh wanita itu menggeliat, dan menggelinjang, ketika lengan nakal Cakra Murti membelai.
"Aaah... kakang... dekaplah kakang..." kembali dia mengerang. Sepasang matanya setengah terbuka menatap Cakra Murti dengan redup. Bibirnya setengah terbuka. Basah.... dan, ah... membuat gejolak birahi Cakra Murti seketika mengembara kesekujur tubuh.
Dan bagaikan lompatan seorang Senapati yang akan bertempur dimedan perang, Cakra Murti menerjang dengan garang. Didekapnya tubuh Cakra Murti seperti mau diremukkan tulang-tulangnya. Tubuhnya menggeliat-geliat seperti cacing. Dan, tak lama kemudian Cakra Murti pun terkulai dengan tubuh serasa dilolosi tulang belulangnya...
* * * * * * *
Malam semakin melarut. Gedung tua itu seperti mati, tak berpenghuni. Saat itu sebuah bayangan berendap-endap keluar dari dalam gedung itu. Gerakannya amat hati-hati bagai seekor kucing, tanpa menimbulkan suara. Tak berapa lama dia telah menyelinap kesisi sebelah timur gedung. Dan selang sesaat sosok tubuh itupun berkelebat lenyap.
Dedemit Mata Picak alias Wicaksa terjaga dari tidurnya ketika Matahari telah menggelincir tinggi. Tersentak kaget dia, karena merasa telah berlaku kurang waspada, disamping merasa aneh. Mengapa dia bisa tidur lelap seperti orang mati?
"Heh? jangan-jangan arak suguhan Cakra Murti yang kuminum itu mengandung obat bius...!?" gumamnya.
Tak ayal dia sudah bangkit berdiri. Dan bergegas memeriksa ruangan gedung itu. Berteriak-teriak dia memanggil si tuan-rumah dan Wewe Gombel Setan Genit. Tapi tak ada sahutan. Kecurigaannya semakin besar bahwa dia tertipu. Segera dia teruskan memeriksa seluruh ruangan gedung itu.
Sebuah pintu kamar yang terkunci didobrak. Berderak suara daun pintu yang hancur berkepingan. Mendelik mata Wicaksa melihat Wewe Gombel Setan Genit dalam keadaan terlentang dipembaringan dengan telanjang. Sekali lompat dia telah mendekati, seraya membentak.
"Perempuan edan! Katakan, kemana gendakmu si Cakra Murti?" bentakan itu dibarengi dengan lengan terjulur menjabak rambut wanita itu.
Tapi alangkah terkejutnya dia, karena melihat darah berceceran diatas pembaringan. Sekejap dia telah tahan uluran lengannya. Ketika diperhatikan ternyata Wewe Gombel Setan Genit telah tak bernyawa lagi. Keadaannya amat mengenaskan, karena tulang lehernya telah remuk. Menggeram Wicaksa dengan kemarahan yang memenuhi dadanya.
"Ini pasti perbuatan si Cakra Murti!" teriaknya gusar. Kakek ini memaki kalang kabut, seraya berlompatan kesekitar gedung mencari dimana adanya manusia yang telah menipunya.
"Cakra Murti! Awas kau! Kalau kutemukan, akan kupatahkan batang lehermu! Dan kau Wewe Gombel Setan Genit! Itulah rupanya upah buatmu! Kau telah diperalat dan tergila-gila dengan gendakmu itu yang justru mencelakai dirimu sendiri...!" Setelah berteriak-teriak dan menggerutu, Wicaksa alias si Dedemit Mata Picak berkelebat meninggalkan tempat itu.
Menjelang tengah hari, Wicaksa telah berada lagi dipuncak bukit Lembayung. Pintu Tengkorak Darah telah siap menyambut kedatangan majikannya. Akan tetapi ketika Wicaksa baru saja jejakkan kakinya didepan kuil, tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik seorang wanita. Tentu saja membuat Wicaksa merandek dengan kaget. Jelas suara itu adalah suara si Wewe Gombel Setan Genit. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bukankah si Wewe Gombel Setan Genit telah mati? pikirnya dalam hati.
"Hihihihik.... hihik... Wicaksa! Kau keterlaluan! Mengapa tak mengubur mayatku? Kau malah kembali pulang kekuil Tengkorak Darah! Apakah kau mau sebar kematian lagi dan tambahkan mayat-mayat manusia disekeliling kuilmu? Kalau tak kau balaskan dendammu sekarang juga, aku akan mencekikmu siang-siang! Hihi... hihik... hihihik..."
Bagai disambar petir Wicaksa mendengar suara itu. Bulu tengkuknya seketika meremang disiang hari bolong. Manusia yang tak takut dengan segala macam hantu itu, kini benarbenar tak dapat mungkir lagi kalau dia sudah mendengar suara hantu. Hantu siapa lagi kalau bukan hantu si Wewe Gombel Setan Genit? Tak terasa dia melangkah mundur dua tindak. Akan tetapi tersentak dia karena mendengar suara tertawa mengikik yang seperti meniup-niup telinganya.
"Aah...!?" Dia melompat ke belakang dengan keringat dingin mengucur ditengkuknya. "Mungkinkah ada hantu muncul di siang hari?" benaknya memikir. Ternyata kemanapun dia melompat, suara tertawa mengikik itu terus mengikuti. Akhirnya...
"Bha... baik! baik...! Aku akan mengubur jenasahmu, Wewe Gombel! Tapi dimana aku bisa mencari si Cakra Murti? Aku tak tahu kemana dia pergi!" tergagap dan terengah-engah Wicaksa berkata. Tampaknya dia amat ketakutan sekali. Suara tanpa rupa terus memburunya membuat tubuhnya jadi gemetar panas dingin. Seumur hidupnya barulah dia mendengar suara setan.
* * * * * * *
DELAPAN
Kita tinggalkan dulu Wicaksa si penghuni Kuil Tengkorak Darah yang terpaksa menuruti perintah arwah Wewe Gombel Setan Genit yang terus memburu si kakek bertampang seram itu. Mari kita ikuti kemana langkah Mayana si "pemuda" yang sebenarnya seorang wanita itu melakukan perjalanan.
Ternyata tujuannya adalah kesatu wilayah sebelah tenggara. Dimana Mayana telah lakukan perjalanan hampir dua pekan. Sebentar-sebentar dia berhenti beristirahat untuk melepas lelah. Dua belas desa telah dia lewati. Pada hari kelima belas dia telah tiba disatu tempat. Dara berpakaian laki-laki ini hentikan langkahnya untuk menatap kesatu puncak bukit.
"Kukira itulah bukit Alas Wuku, tempat berdiamnya KI Sabda Tama si pembunuh kedua orang tuaku!" berdesis suara Mayana. Menatap tajam puncak bukit itu dengan sorot mata berapi-api.
Setetes air mata kembali turun kepipi dara ini ketika membayangkan nasib dirinya. Untuk mengetahui siapa pembunuh ayah bundanya dia harus korbankan kehormatannya pada Gajah Lor, gurunya sendiri yang telah merawatnya sejak dia berusia 10 tahun. Benar-benar satu pukulan batin yang luar biasa. Betapa 1001 macam perasaan mendekam didada gadis ini. Antara benci, dendam, sakit hati, penyesalan dan kekecewaan menjadi satu.
Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Dia telah tak berhasrat memimpikan hidup berpasangan dan berumah tangga. Karena kesuciannya telah hancur. Baginya asalkan dapat membalas hutang pati kepada pembunuh orang tuanya, dia telah puas! Mungkin juga dia yang akan terkapar mati ditangan Ki Sabda Tama. Karena menurut gurunya manusia itu berilmu amat tinggi.
Seperti diceritakan dibagian depan, Mayana menetap tiga hari dipuncak bukit. Rajabasah. Selama itu dia terpaksa melayani nafsu sang guru demi imbalan atas jerih payah sang guru mendidiknya. Dan setelah apa yang diinginkan gurunya dipenuhi, dia mendapat tahu siapa orang yang telah membunuh kedua orang tuanya itu.
Mayana tak menjumpai adanya Gajah Lor dipondok puncak bukit Rajabasah. Tak diketahuinya pergi kemana sang guru itu. Tapi diatas meja kamarnya Mayana mendapatkan sepucuk surat yang isinya mengatakan siapa sebenarnya pembunuh kedua orang tuanya. Ternyata adalah Ki Sabda Tama adanya. Disamping terheran, namun dia juga bergirang hati karena telah mengetahui siapa musuh besarnya.
Sang nasib ternyata telah membawa dia hingga tiba ke wilayah ini, walaupun dia tak mengetahui dimana adanya Ki Sabda Tama berada. Mayana yang bernasib baik berjumpa dengan seorang kakek tua pertapa ketika dia melewati sebuah hutan. Ketika dia mencium bau asap setanggi. Asap harum itu dicari dari mana asalnya. Ternyata berasal dari dalam sebuah goa disisi bukit.
Kakek pertapa penghuni goa itu mempersilahkan dia masuk. Mayana menceritakan maksudnya. Ternyata kakek itu mengetahui dimana adanya Ki Sabda Tama. Dia menyuruh dia menuju ke arah tenggara untuk mencari sebuah bukit bernama bukit Alas Wuku, dengan memberikan ciri-ciri bukit itu. Sayang dia tak sempat melihat wajah kakek pertapa itu yang bicara sambil membelakangi. Bahkan kakek itu tak memberitahukan namanya.
Mayana meminta diri. Walau hatinya agak ragu, terpaksa dia harus pergi mencari bukit Alas Wuku, karena tak tahu lagi kemana dia harus mencari musuh besarnya itu. Demikianlah, hingga Mayana tiba diwilayah ini. Mayana mulai bergerak menyelusuri sekitar bukit, sebelum naik kepuncaknya. Didapati sebuah goa di bawah bukit. Tersentak hati dara ini. Tak ayal dara ini segera hunus pedangnya.
"Hm, apakah manusia jahanam itu bersembunyi disini?" desisnya. Akan tetapi bukan main terkejutnya dia ketika didapati si kakek pertapa yang dijumpainya itu telah berada didalam goa itu. Kakek itu duduk disudut ruangan goa dengan membelakanginya, seperti dijumpai pada dua pekan yang lalu didalam hutan pada sebuah goa.
"Kakek pertapa? Apakah maksudmu sebenarnya? Katakanlah siapa kau ini sebenarnya? Mengapa kau berada disini mendahuluiku?" berkata Mayana.
"Hehehe... gadis muda yang gagah berani. Akulah sebenarnya Ki Sabda Tama orang yang kau cari itu!"
Kalau ada petir mungkin tak membuat seterkejut Mayana pada saat itu. Tersentak dia dengan melompat mundur. Wajahnya berubah tegang. Napasnya menderu, Dan lengannya bergetar memegang pedang.
"Betulkah kau Ki Sabda Tama?" bentaknya ingin meyakinkan.
"Hehehe... mengapa aku harus berdusta? Bukankah kau mau membunuhku? Nah, bunuhlah aku si pembunuh kedua orang tuamu ini!" seraya berkata kakek pertapa misterius itu balikkan tubuhnya. Terperanjat dara ini ketika melihat siapa adanya kakek pertapa itu. Yang tak lain dari Gajah Lor adanya.
"Guru...? kau... kau..." tergegap Mayana menatap dengan mata membelalak.
"Benar! aku gurumu sendiri!"
"Tak mungkin! apakah kau berkata sebenarnya, guru? ataukah kau sengaja mau mengecoh aku?" tergetar suara dara ini dengan melangkah mundur beberapa tindak.
"Apa yang aku katakan tidak dusta! Pada enam belas tahun yang lalu aku membunuh kedua orang tuamu karena dendam. Ibumu adalah istriku. Dan ayahmu adalah kakak kandungku sendiri! Dia bernama Wesi Geni. Wesi Geni telah melarikan diri dengan merebut istriku. Bertahun-tahun aku mencari. Dan di saat aku hampir putus asa tak menjumpai dimana adanya Wesi Geni yang kucari hampir 10 tahun tak pernah kujumpai, aku berhasil menemukan mereka. Saat itu hasil hubungan Wesi Geni dengan istriku telah membuahkan anak, yaitu kau sendiri. Aku tak dapat menahan rasa cemburu dan dendam yang telah terpendam selama sepuluh tahun itu. Terjadilah kisah yang membawa malapetaka dari keluargamu. Wesi Geni kubunuh mati. Demikian juga ibumu!"
"Oh...!?" tersentak kaget Mayana. Jantungnya berguncang keras. Tubuhnya menggeletar menahan 1001 macam perasaan yang berkecamuk didada. Mayana menatap tajam wajah Gajah Lor. Dilihatnya setitik air bening mengalir turun dari kelopak mata laki-laki tua itu. Laki-laki yang telah menodainya. Laki-laki yang telah menjadi gurunya sendiri.
Terdengar suara laki-laki tua itu menghela napas. Lalu lanjutkan kata-katanya. "Apa yang kukatakan adalah cerita yang sebenarnya, Mayana! Selama ini aku merasa berdosa karena menyembunyikan rahasia ini terhadapmu. Sebelum kau membunuhku baiknya ku ceritakan riwayat belasan tahun yang silam mengenai diriku!" Laki-laki ini tercenung sejenak seperti tengah mengumpulkan ingatannya. Tak lama dia mulai bicara lagi.
"Dulu, pada masa aku masih menjadi seorang Adipati. Aku hidup berkecukupan dan boleh dikatakan mewah. Dengan kekuasaan yang cukup besar. Aku jatuh cinta pada Indreswari putri seorang Tumenggung. Tumenggung itu adalah masih paman angkatku sendiri. Tak dinyana kakakku Wesi Geni diam-diam juga mencintai gadis itu. Dan bahkan mereka diam-diam telah saling jatuh cinta. Hal itu kuketahui setelah kami menikah.
"Peduli dengan semua itu. Cintaku pada Indreswari amat besar. Dan kami telah menikah. Terpaksa aku mengesampingkan kisah cinta mereka. Toh, gadis itu sudah jadi istriku! Dua tahun kami menikah, ternyata tak dikaruniai seorang anakpun. Hingga suatu ketika aku ditugaskan Ratu untuk membuat kitab susunan tata kerajaan. Aku yang memerlukan tempat sunyi segera meninggalkan gedung Kedipatian, setelah meminta izin pada Ratu. Aku berjanji pada istriku akan pulang sebulan kemudian.
"Tapi ketika aku kembali, ternyata Indreswari telah minggat bersama Wesi Geni. Betapa gusarnya aku, sukar dapat dikatakan lagi. Tanpa permisi dan masih membawa kitab tata kerajaan, aku pergi mencari dimana adanya mereka. Aku tak pernah kembali ke Kota Raja. Hingga kemudian aku berhasil menemui mereka, dan membunuhnya. Lalu aku bersembunyi dipuncak bukit Raja basah dengan membawa kau. Dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu kedigjayaan! Nah, kukira cukuplah sudah penjelasanku, Mayana! Apakah kau masih ragu kalau aku ini si pembunuh ayah ibumu?"
SEMBILAN
Mayana tercenung lama. Lama... tak tahu dia apa yang harus diperbuat. Hubungan antara guru dan murid selama ini amat akrab. Bahkan telah berlanjut dengan hubungan badan. Ada rasa kasihan pada Gajah Lor. Bila menilai akan cerita sang guru, dia tak dapat disalahkan. Siapa yang tak sakit hati istrinya dibawa lari orang. Walau yang membawa lari adalah kakak kandungnya sendiri?
Bila mengingat hubungan keluarga, Gajah Lor adalah masih pamannya sendiri. Tegakah dia membunuh orang tua itu? Yang telah mendidiknya selama ini? Kemelut dihati Mayana seperti sukar dipecahkan. Tapi bila mengingat akan kesuciannya yang telah dirusak oleh sang paman, betapa sakitnya hatinya. Gadis ini gigit bibirnya menahan perasaan yang menggebu dalam dada. Sementara Gajah Lor tiba-tiba terdengar batuk-batuk, lalu berkata parau.
"Mayana! Tunggu apa lagikah kau? Ayo! tusukkan pedangmu kejantungku! Bukankah selama sepuluh tahun kau cuma menantikan saat ini?" Gajah Lor gerakkan tangannya merobek jubahnya hingga dadanya terbuka.
"Ayo, Mayana! Mengapa kau ragu?" berkata lagi Gajah Lor. "Aku rela mati ditanganmu, walau... walaupun aku sudah terlanjur mencintaimu!" Kata-kata laki-laki tua ini membuat dara ini palingkan wajahnya, yang tiba-tiba terasa panas.
"Mencintaiku?" bentaknya menggeledek. Mata dara ini membinar dan berkaca-kaca. "Heh! kau tak lebih dari manusia binatang! Kalau kau mau menolong orang mengapa mengharapkan imbalan? Mengapa kau baru berterus terang setelah kau menodaiku?" terisak Mayana dengan air mata mengalir di pipinya.
Gajah Lor tertawa terkekeh, dan kembali dia batuk-batuk. "Semua itu sebenarnya atas dasar sakit hati, muridku! Akan tetapi aku tak dapat menolak kenyataan, kalau aku ternyata mencintaimu. Aku puas telah dapatkan kehangatan tubuhmu. Biarlah aku mati dengan menanggung dosa. Ya, aku telah banyak berbuat dosa. Aku membunuh kakak kandungku sendiri yang tak bersalah!" berkata Gajah Lor. Kata-kata ini membuat Mayana tersentak untuk mendengar apa yang akan diutarakan Gajah Lor.
"Ya! Ayahmu tak bersalah! Yang salah adalah aku!" Gajah Lor yang tadinya akan menceritakan rahasia lebih lanjut kembali terbatuk-batuk. Tiba-tiba dia muntahkan darah kental berkali-kali.
"Ah, guru! kau... kau terluka dalam?" tersentak kaget Mayana.
"Heheheh... benar, muridku! Tapi tak apa. Toh aku akan mati ditanganmu. Aku mati sebagai penebus atas dosaku!" berkata parau Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.
"Tidak, guru! Aku takkan membunuhmu! Kau harus cepat diobati. Akan tetapi Gajah Lor tak menyahut. Dia telah terkulai tak sadarkan diri. Gadis ini jadi kebingungan. Di serba salah untuk bertindak. Ingin dia menolong, tapi di lain saat hatinya mendadak menjadi membencinya. Dan akan membunuhnya saja. Tapi mengingat dia perlu tahu rahasia apa yang akan dikatakan sang guru itu, dia harus menyelamatkan jiwanya.
Demikianlah. Mayana segera totok beberapa bagian jalan darah sang guru. Lalu gunakan tenaga dalamnya untuk melancarkan pernapasan Gajah Lor. Saat berikutnya dia sudah berlari keluar goa. Di carinya beberapa jenis tumbuhan obat. Kemudian dengan ramuan yang telah dipelajari dia berusaha mengeluarkan racun yang mengendap ditubuh Gajah Lor.
Nyatalah Gajah Lor telah terkena pukulan beracun. Siapa adanya orang yang melukai gurunya itu tidaklah Mayana mengetahui. Usaha Mayana untuk menyelamatkan nyawa sang guru ternyata membawa hasil. Dua hari dalam rawatan Mayana, Gajah Lor menampakkan kepulihan kesehatannya. Hingga suatu hari...
"Mayana, muridku...! Ah, mengapa kau bersusah payah menolongku?" berkata Gajah Lor dengan menatap muridnya.
"Tak usah kau berkata begitu, guru?" Katakanlah siapa yang telah melukaimu?" Mayana tersenyum menatap pada Gajah Lor. Girang hatinya melihat kesehatan Gajah Lor berangsur membaik.
Laki-laki tua yang masih bertubuh tegap itu menatap muridnya dengan trenyuh. Hatinya seperti disayat melihat gadis itu begitu amat memperhatikan dirinya. Dua sinar mata kembali beradu tatap. Aneh! Mayana merasakan jantungnya berdetak cepat. Dan satu perasaan aneh menelusuri sanubarinya.
Entah mengapa dia amat mengharapkan Gajah Lor tetap hidup. Dan ada rasa tenteram bila dia bersamanya. Tidak saja seperti dia bersama orang tuanya sendiri, tapi bahkan lebih dari itu. Cepat-cepat Mayana menunduk ketika merasa wajahnya menjadi panas. Dan hatinya tergetar dengan 1001 macam perasaan.
"Kelak akan kuceritakan bila aku sudah sehat betul, muridku. Dan terima kasih atas kebaikan hatimu..." berkata lirih Gajah Lor.
Mayana cuma bisa mengangguk, lalu beranjak pergi dengan hati tak menentu. Sementara Gajah Lor memandangnya seperti tertegun hingga tubuh gadis itu lenyap dibalik pintu goa.
* * * * * * *
Apapun didunia ini bisa saja terjadi. Dan apa yang terjadi sudah menjadi jalan hidup manusia. Demikian pula dengan kedua manusia didalam goa itu. Hubungan dan benih cinta yang terkandung didalam hati dari dua manusia berlainan jenis yang jauh perbedaan usianya, kembali berlanjut... Mayana tak kuasa menolak tatkala laki-laki tua itu meminta untuk melayaninya. Sang dara kembali tenggelam dalam nikmatnya cinta. Tenggelam dalam nikmatnya sesuatu yang pernah dia rasakan.
"Mayana... aku... aku amat mencintaimu..."
"Guru... ah, guru..." mendesah dara ini dalam dekapan tubuh laki-laki kekar itu.
Laki-laki yang telah memberikan sejuta kenikmatan untuknya hingga dia lupa segala-galanya. Menggelinjang tubuh sang dara dalam alunan ombak bahtera disamudra luas yang tak berujung. Desah dan rintih menjadi satu memenuhi ruangan goa itu. Sementara diluar goa angin pegunungan bertiup kencang.
Awan hitam berarak dilangit. Hawa dingin menebar kesetiap pelosok. Dan dengan di dahului oleh gelegarnya petir diangkasa, hujanpun turun dengan lebatnya. Bumipun seketika basah oleh air hujan.
* * * * * * *
SEPULUH
WICAKSA alias si Dedemit Mata Picak penghuni kali Tengkorak Darah itu tergesa-gesa menguburkan jenazah Wewe Gombel Setan Genit, dengan bulu tengkuk meremang. Selesai menimbun lubang dengan tanah, Wicaksa menengok kekiri kanan. Seperti mencari-cari ujud dan suara si Wewe Gombel Setan Genit. Ditunggunya beberapa saat. Tapi tak ada lagi suara tertawa yang menyeramkan dan tiupan yang menghembusi daun telinganya.
"Apakah arwah si Wewe Gombel telah sempurna setelah kukuburkan mayatnya?" gumam Wicaksa.
"Eeeh! apa katamu, setan tua? Kau harus laksanakan tugas keduamu mencari si Cakra Murti untuk membalas kematianku! hihi... hihik... apakah kau mau pungkiri janjimu?" Suara Wewe Gombel Setan Genit tiba-tiba terdengar mendesing nyaring didaun telinga.
Tak ampun kakek ini melompat kaget. Seketika keringat dingin merembes dikuduknya. "Ah...!? bba... bab... baik! Baik, aku akan mengerjakan perintahmu! Tapi... tapi katakan kemana aku harus mencarinya?"
"Goblok! Kau cari ke arah Kota Raja!"
"Ha? ke Kota Raja?" tersentak Wicaksa.
"Benar! Apakah kau tak tahu kalau dia sebenarnya seorang Adipati?"
"Ya.. ya... eh, dia seorang Adipati?"
"Betul! Dialah Adipati Wukir Kamandaka!"
"Hah!?" jadi... jadi si Cakra Murti itu Adipati Wukir Kamandaka?"
"Iya, goblok! Hayo, cepat berangkat mencarinya!" membentak suara arwah Wewe Gombel Setan Genit.
Tahu-tahu Wicaksa menjerit kaget karena merasa pantatnya ditendang. Tak ampun dia jatuh ngusruk ketanah. "Waaa..!? Jangan main kasar kau arwah Wewe Gombel. Aduuh, pantatku sampai nyeri begini...!" memaki Wicaksa.
"He? Kau berani membantah? Mau ku tendang atau tidak itu kemauan ku! Kalau kau tak cepat berangkat. Awas! Sekali kujilat lehermu, kau akan mati hangus seketika!" Arwah Wewe Gombel justru lebih galak lagi.
Seketika pucatlah wajah Wicaksa. Dengan gemetar dia berkata. "Baik! baik! Wewe Gombel Setan Genit! aku turut perintahmu!"
"Nah, begitu! Segera berangkat ke arah timur!" perintah si arwah Wewe Gombel Setan Genit.
Tak ayal lagi setelah melihat arah matahari yang condong ke arah barat, Wicaksa berkelebat cepat menuju ke arah timur, dengan tengkuk semakin meremang. Diam-diam dia mengeluh karena seumur hidupnya barulah dia diperalat oleh setan! Kalau saja Wicaksa dapat mempergunakan mata batinnya dengan baik, tentulah dia dapat melihat siapa orang yang memerintah itu.
Karena tak lain dari seorang wanita berpakaian dari kulit macan tutul. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil adanya. Gadis pendekar Pantai Selatan ini sambil berkelebat mengikuti Wicaksa diam-diam tersenyum, karena berhasil mengakali Wicaksa si penghuni Kuil Tengkorak Darah.
"Hihihi... manusia sinting semacammu yang membunuhi orang seenaknya saja sebelum kutamatkan riwayatnya, ada baiknya kutipu dia agar ke Kota Raja. Agar diketahui oleh pihak Kerajaan yang selama ini lengah membiarkan manusia iblis ini berbuat semaunya!" menggumam Roro.
Tapi diam-diam dalam hati dia membatin. "Oh, ya? Ada permusuhan apakah dia denganku? Baru kuingat kalau pembunuhan atas orang-orang desa yang mayatnya disebarkan disekitar Kuil Tengkorak Darah adalah kudengar untuk mengundang munculnya aku?"
Roro baru sadar kalau Wicaksa mencari dirinya. Hal itu diketahui dari hasil mendengar pembicaraan si Wewe Gombel Setan Genit dengan Wicaksa, juga pembicaraan dengan Cakra Murti. Bagaimana Roro secara tiba-tiba berada di tempat itu, dan berhasil menakut-nakuti Wicaksa serta mengetahui siapa adanya Cakra Murti? Marilah kita menengok ke belakang pada beberapa waktu belakangan ini.
Perbuatan biadab Wicaksa yang sengaja mengundang maut itu telah terdengar oleh Roro, ketika dia singgah disebuah desa. Adanya penghuni kuil Tengkorak darah yang tadinya bekas kuil peninggalan seorang Brahmana. Brahmana itu bernama Yoga Swara tinggal bersama murid-muridnya dikuil tersebut. Roro berjumpa dengan salah seorang murid Brahmnana Yoga Swara yang berhasil menyelamatkan diri dari kematian.
Dia menceritakan kemunculan seorang kakek bertampang seram yang menamakan dirinya si Dedemit Mata Picak mengacau kuil mereka dibukit Lembayung. Saat itu guru mereka Brahmana Yoga Swara sedang tak berada dikuil. Si Dedemit Mata Picak itu bertujuan mau merebut Kuil untuk tempat tinggalnya. Tentu saja para murid sang Brahmana mempertahankan. Namun mereka cuma mengantar kematian. Pemuda bernama Poma Jatu berhasil menyelamatkan jiwanya dengan melarikan diri memasuki desa.
Akan tetapi Wicaksa setelah beberapa hari bercokol dikuil puncak Lembayung mulai menyebar maut membunuhi orang-orang desa. Dan mayatnya dibawa kekuil. Dalam waktu beberapa bulan saja kuil Brahmana Yoga Swara telah penuh dengan mayat yang membusuk bertimbun. Menimbulkan bau busuk yang menebar dan mengembara ke sekitarnya.
Beberapa orang kaum pendekar yang coba mendatangi puncak bukit Lembayung untuk menumpas manusia iblis gila itu ternyata cuma pulang nama saja. Demikianlah, hingga kuil itu terkenal dengan nama Kuil Tengkorak Darah. Roro ucapkan terima kasih pada Poma Jatu yang telah beberapa kali pindah ke lain desa itu hingga berjumpa dengan Roro.
Demikianlah, ketika Roro Centil mendatangi Kuil Tengkorak Darah, Roro menjumpai Wicaksa yang baru saja kedatangan Wewe Gombel Setan Genit. Roro yang mempergunakan ajian Halimunan, tak diketahui kedatangannya oleh kedua tokoh golongan sesat itu. Demikianlah, hingga Roro menguntit mereka hingga tiba di wilayah tempat tinggal Cakra Murti yang menempati sebuah gedung tua ditepi danau.
Bagaimana Roro dapat mengetahui siapa sebenarnya Cakra Murti? Itulah memang perjalanan yang tengah ditujunya. Roro memang telah melacak jejak Cakra Murti yang telah diketahuinya adalah seorang Adipati yang bernama Wukir Kamandaka. Dengan tugas mencari Ki Sabda Tama untuk mengambil kitab ditangan bekas Adipati itu.
Diketahuinya Cakra Murti adalah Wukir Kamandaka adalah Cakra Murti adalah karena keteledoran Cakra Murti sendiri. Wukir Kamandaka dalam usaha pencarian jejak Ki Sabda Tama telah bergabung dengan kelompok-kelompok kaum Rimba Hijau golongan hitam. Bahkan tingkah lakunya mengikuti jejak kaum golongan hitam. Tentu saja dia tak luput dari perbagai kejahatan yang dilakukan orang-orang golongan sesat itu. Seperti dalam melakukan perampokan, pembegalan, pemerkosaan yang sudah dianggap biasa oleh Wukir Kamandaka.
Bahkan kaum penjahat itu merasa terlindung dengan adanya Wukir Kamandaka berada diantara mereka. Roro Centil yang sejak pelacakan selalu menggunakan aji Halimunan, hingga tubuhnya tak menampakkan diri dalam pandangan mata biasa, terus melakukan penguntitan pada Wukir Kamandaka yang telah menyamar dengan nama Cakra Murti, Wukir Kamandaka memang pandai dalam hal menyulap diri.
Dengan menambah kumis dan jenggot palsu pada wajahnya, serta merobah dandanannya akan sukar dikenali lagi kalau sebenarnya dia adalah Adipati Wukir Kamandaka. Roro yang telah tahu dimana tempat tinggal sementara Cakra Murti, telah tahu banyak tentang hubungan Cakra Murti dengan Wewe Gombel Setan Genit si wanita cabul itu.
Demikianlah, hingga ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan Cakra Murti pada Wewe Gombel Setan Genit yang dianggap sudah tak berguna lagi, semua itu tak luput dari mata Roro. Hingga kemudian dia mengakali Wicaksa dan menakut-nakutinya dengan menirukan suara Wewe Gombel Setan Genit. Dan memaksa kakek muka seram itu untuk mengejar Cakra Murti alias Adipati Wukir Kamandaka ke Kota Raja.
* * * * * * *
SEBELAS
CAKRA MURTI percepat larinya agar cepat tiba ditempat tujuan. Ternyata dia tak langsung ke Kota Raja. Akan tetapi membelok kearah selatan. Melewati sebuah bukit, dia tiba disatu pedesaan. Sementara Wicaksa terus menuju kearah Kota Raja. Kakek tampang seram ini setiap saat selalu menggerutu dalam hati, karena merasa kesal harus diperbudak oleh "arwah" Wewe Gombel Setan Genit.
Akan tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa selain mempercepat larinya menuruti perintah dari suara yang selalu mendesing ditelinganya. Semalaman menempuh perjalanan, Wicaksa telah tiba dibatas wilayah Kota Raja. Hari sudah menjelang pagi. Roro yang akan melihat situasi digedung Kedipatian, segera menahan langkah Wicaksa.
"Hm, berhenti dulu, Wicaksa!"
"Huh! kebetulan! Aku sudah capek sekali. Berilah aku waktu beristirahat sampai siang nanti, Wewe Gombel..." keluh Wicaksa yang segera merandek menahan langkah.
"Hihihi... baik! Kau beristirahatlah, sepuas mu. Tapi bila matahari sudah sepenggalah, kau harus segera cari gedung Kedipatian diwilayah Kota Raja ini!"
"He? kita sudah sampai?" tanya Wicaksa terkejut, tapi juga girang.
"Ya! Ini sudah perbatasan wilayah Kota Raja!" ujar Roro.
"Hehehe... baik! baik, jangan khawatir! Siang nanti aku akan satroni gedung si Adipati gila itu untuk kukirim nyawanya ke Akhirat!"
"Bagus! Nah! silahkan kau beristirahat!" ujar Roro. Diam-diam dia tersenyum melihat kakek muka seram itu yang tampak amat kegirangan sekali. Selesai berkata, Roro berkelebat pergi meninggalkan Wicaksa. Dengan tetap menggunakan aji Halimunan, Roro melesat kearah Kota Raja....
Ternyata Cakra Murti menuju kesebuah rumah paling besar yang berada ditengah desa. Pagi dinihari itu suasana disekitar desa masih nampak sepi. Sejenak Cakra Murti menatap ke pintu depan rumah besar itu. Tapi dia tak menuju kesana. Melainkan melangkah ke arah sisi rumah besar itu. Matanya tertuju pada sebuah jendela yang tertutup rapat. Ketika lengannya bergerak mengetuk pelahan, dari dalam kamar segera terdengar suara...
"Siapa?"
"Ehm, aku yang datang, sayang!" menyambut sang Adipati.
Terdengar olehnya suara orang bangun dari tempat tidur. Lalu suara kaki pelahan melangkah mendekati jendela. Ternyata dalam kamar itu diisi oleh seorang gadis. Dengan pakaian tidur yang lusuh, serta mata yang masih mengantuk, dia membuka jendela. Sementara hati gadis ini sudah berdebar karena mendengar suara lirih yang tak asing lagi baginya. Suara yang amat dikenal betul, yaitu suara sang kekasih yang dirinduinya.
"Ah, ka... kakang..." desisnya membelalak girang. Tapi...
"Sssst!" Cakra Murti telah membekap mulut gadis ini, ketika dengan gerak cepat dia melompat masuk melalui jendela. Sesaat laki-laki ini telah melepaskan lengannya lagi. Bibirnya sunggingkan senyuman. "Ginarti, kau baik-baik saja?" ucapnya lirih. Wajah Cakra Murti tampak berseri-seri. Dan gadis mengangguk terpana. Gerakan melompat Cakra Murti membuat dia kagum. "Sukurlah..." ucap Cakra Murti, seraya menutup lagi daun jendela yang terbuka. Lengannya bergerak merangkul pinggang gadis cantik putri kepala desa itu, lalu bagaikan seorang yang lapar melihat makanan laki-laki itu memeluk dan menciumi gadis itu bertubi-tubi.
"Ahh... engg... nanti dulu, kakang. Aku... aku belum mandi..." ucap lirih Ginarti yang menepiskan wajah Cakra Murti dengan napas tersengal.
"Hm, tak perlu, sayangku... Tak mandipun tubuh dan mulutmu wangi. Dan kau... amat cantik sekali dalam keadaan bangun tidur begini!" desis Cakra Murti tertawa. Tubuh gadis ini kembali menggelinjang ketika Cakra Murti memeluknya, merengkuhnya, dan kemudian menariknya keatas tempat tidur.
"Tunggu dulu...!" berkata lirih Ginarti ke tika lengan Cakra Murti bergerak melepaskan baju tidur bagian atas. Namun toh sudah membuat tersembulnya dua buah bukit kembar miliknya.
"Apa yang akan kau katakan, sayangku?" desis Cakra Murti. Tapi lengannya tak berhenti untuk segera meremas kedua buah benda kenyal itu dengan napas yang semakin memburu.
"Ahh... kakang, mengapa kau tak bisa sabar sebentar?" Terpejam-pejam mata gadis ini, tapi segera dia mendorong tubuh laki-laki itu.
"Hm... baiklah! katakanlah, apa yang mau kau katakan?" tanya Cakra Murti.
Ginarti cepat-cepat tutupi kedua buah dadanya. "Apakah kau telah berhasil mendapatkan kitab ditangan Ki Sabda Tama yang berisi ilmu Tata Kerajaan itu?" tanya Ginarti.
"Aha, kalau itu yang kau tanyakan, semuanya sudah beres! Kau tak usah khawatir. Dalam waktu tak lama lagi kau akan menggantikan kedudukan sang Ratu di Kerajaan Galuh Kencana... Percayalah!" berkata Cakra Murti.
"Oh, benarkah...?" ternganga mulut gadis ini.
"Mengapa tidak benar? Inilah kitabnya!" ujar Cakra Murti seraya bangkit duduk dan mengeluarkan bungkusan kain kumal berisikan kitab Ki Sabda Tama.
Seketika mata gadis ini berubah menjadi nanar. Dipeluknya laki-laki itu dengan sejuta perasaan menyelimuti sekujur sanubari. Ah, betapa bahagianya menjadi seorang Ratu. Khayalnya seketika membumbung sampai kelangit.
"Kau nanti jadi Rajanya, kakang..." bisik Ginarti dengan gelora yang semakin menggebu.
"Tentu, manisku ...!" bisik Cakra Murti.
Dilolosinya pakaian Cakra Murti dengan amat cekatan dengan napas kian memburu. Sementara laki-laki itu pun berbuat sama. Lengannya tak berhenti-henti meremas. Tak lama desah-desah lirih membauri kamar itu.
Brakkkk...!
Pintu kamar itu porak-poranda bagai diterjang kaki gajah. Dua insan yang tengah terlena dalam buaian asmara itu terlonjak kaget. Terkejut bukan kepalang Cakra Murti ketika melihat siapa yang berdiri didepan pintu. Siapa lagi kalau bukan si Dewa Arak. Laki-laki tegap ini melotot menatap Cakra Murti yang terpana kaget dengan muka merah. Keadaan tubuhnya yang dalam keadaan membugil itu membuat dia kalang kabut menyambar pakaiannya. Sementara Ginarti menjerit kaget seraya menyambar selimut menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Perempuan bejat! Sungguh tak pantas kau menjadi keponakanku! Ternyata kalian merencanakan maksud jahat pada Kerajaan!" membentak Dewa Arak dengan suara parau. Membuat wajah wanita ini jadi pucat.
"Paman Kala Bendu... aku... aku..." tergagap Ginarti ketakutan. Pada saat itu dimuka pintu kembali tersembul sesosok tubuh laki-laki tua. Laki-laki tua ini adalah kepala desa, si tuan rumah yang kecolongan dengan kedatangan "pencuri" anak-anak gadisnya yang tak diundang.
"Anak durhaka! Kau patut dihajar sampai mampus!" membentak laki-laki ini menatap anak gadisnya yang dalam keadaan kusut masai.
"Hm, kecurigaanmu beralasan, adik Kala Bendu! Kalau kau tak menginap dirumah malam ini, tak nantiya kau bisa jumpa bangsat ini. Yang ternyata ada main dengan anakku!" berkata sang Kepala Desa.
Brakkkk...!
Tiba-tiba jendela kamar itu pecah berantakan diterjang Cakra Murti. Dengan sigap dia telah melompat keluar. Akan tetapi si Dewa Arak telah memburunya dengan membentak keras.
"Kau tak dapat lari, pengkhianat!" Gerakan Dewa Arak yang begitu gesit berhasil mendahului mencegat larinya Cakra Murti.
Cakra Murti masih sempat menyambar kitab Ki Sabda Tama. Laki-laki yang belum sempat mengenakan bajunya ini mendengus. "Dewa Arak! apa hubungannya kau dengan urusanku!?"
"Heh! Apakah telingamu tak mendengar kalau namaku Kala Bendu?" bentak si Dewa Arak.
"Aku tak kenal segala nama rongsokan macam itu! Apa hubunganmu dengan Kerajaan?"
"Hehe... hahaha... apa hubunganku dengan Kerajaan? Heh! ketahuilah! Aku adalah utusan Kanjeng Ratu untuk menawanmu dengan segera, dan merampas kitab Ki Sabda Tama. Aku adalah Adipati Kala Bendu yang akan menggantikan kedudukanmu!"
Terhenyak seketika Cakra Murti alias Wukir Kamandaka mendengar jawaban kata-kata si Dewa Arak. Tentu saja dia tak percaya begitu saja pada kata-kata orang. "Setan! Sejak kapan Ratu mengangkat mu menjadi Adipati penggantiku?" Membentak laki-laki ini dengan wajah merah padam.
"Sejak terbukanya kedokmu. Siapa yang tak tahu kalau kau berkomplot dengan kaum golongan hitam untuk menumbangkan kekuasaan Kanjeng Ratu? Heh! Kau layak dihukum gantung! Segera berikan kitab itu. Dan serahkan dirimu untuk segera kuhadapkan pada Kanjeng Ratu!"
"Buktikan bahwa kau benar-benar telah diangkat Adipati oleh Ratu!" teriak Cakra Murti dengan wajah pucat.
Kala Bendu tersenyum. Lengannya bergerak kebalik pakaiannya. Dikeluarkannya sebuah gulungan kain. Tanpa banyak bicara dia bentangkan gulungan kain itu dihadapan Cakra Murti. "Kau bacalah, Wukir Kamandaka! Bacalah dengan jelas!" berkata Kala Bendu alias si Dewa Arak dengan suara tegar berpengaruh.
Mendelik mata Cakra Murti ketika membaca tulisan besar-besar pada kertas yang berstempelkan cap Kerajaan dan tanda tangan Ratu Galuh Kencana.
DENGAN INI AKU RATU KERAJAAN GALUH KENCANA MENGANGKAT SECARA SYAH KALA BENDU SEBAGAI ABDI KERAJAAN, DENGAN JABATAN SEBAGAI ADIPATI DI WILAYAH BARAT KERAJAAN GALUH KENCANA. DAN MUTLAK MENJADI PENGGANTI ADIPATI WUKJR KAMANDAKA, YANG TELAH DINYATAKAN SEBAGAI PEMBERONTAK MUSUH KERAJAAN. TERTANDA: RATU GALUH KENCANA
Seketika pucatlah wajah Wukir Kamandaka. Tak ayal lagi dia telah berkelebat melarikan diri.
"Manusia pengkhianat! Kau tak dapat lari kecuali ke Neraka!" membentak Kala Bendu seraya berkelebat mengejar. Kejar-kejaranpun segera terjadi dipagi yang masih berembun itu. Hingga kedua orang itu lenyap tak kelihatan lagi.
Sementara dari rumah Kepala Desa itu terdengar suara jeritan dan lolong si gadis anak kepala desa itu yang dihajar oleh ayahnya. Beberapa orang penduduk keluar dari rumahnya mendengar ribut-ribut itu. Akan tetapi mereka tak mengerti perihal peristiwa itu. Kecuali cuma menatap dari kejauhan dengan bertanya-tanya sesama tetangga.
"Ada kejadian apakah, pak Slamet?"
"Wuaah! Ndak tahu, ya...?"
"Kasihan gadis itu, mengapa pagi-pagi sudah dipukuli?"
"Bapaknya ngamuk karena... maklum sudah lama menduda!" sahut salah seorang.
"Ko' ngamuk? Apa dia mau sama anaknya sendiri?"
"Mungkin juga!"
"Gila!? Eh, Jangan mengarang yang ndak-ndak, lho mas!"
"Weleeh! Bukannya mengarang. Tapi di dunia ini apapun bisa saja terjadi. Iya nggak pak Slamet?"
"Iya... iya! Tapi jangan menuduh dulu! Aku tahu persis pak Kepala Desa seorang yang paling jujur dan alim!" Pembicaraanpun habis, karena pintu rumah Kepala Desa tampak sudah tertutup.
* * * * * * *
DUA BELAS
RORO CENTIL yang telah berada di dalam ruang pendopo Kedipatian segera mencari Wukir Kamandaka disetiap kamar dan memeriksa setiap ruangan. Dengan aji Halimunan yang digunakan Roro tidaklah sukar bagi Roro untuk menyelidiki. Akan tetapi tak dijumpai sang Adipati itu berada digedungnya. Berarti orangnya belum tiba.
Pada saat itulah Roro mendengar suara ribut-ribut diluar. Ketika itu sebuah bayangan menerobos masuk kedalam gedung. Sekilas, Roro segera melihat siapa adanya sosok tubuh itu yang tak lain dari Wukir Kamandaka yang tengah di carinya. Roro bergerak cepat menotok tubuh laki-laki itu.
Wukir Kamandaka mengeluh kaget karena tahu-tahu sekujur tulangnya mendadak lemah lunglai. Bahkan dia tak dapat mengeluarkan suara lagi ketika terasa ada lengan yang menotok tengkuknya. Detik itu Roro telah menyeret tubuhnya dan membawanya melompat ke tempat persembunyian. Sementara sesosok tubuh menyusul masuk dengan menggembor keras.
"Pengkhianat Kamandaka! Kau takkan dapat selamatkan dirimu dari tiang gantungan!"
Seketika seisi gedung Kedipatian menjadi gempar. Para prajurit Kadipaten mengurung kesetiap penjuru gedung. Pencarian Wukir Kamandaka digedung Kedipatian itu berlangsung beberapa lama. Namun aneh. Tak dijumpai di mana adanya Wukir Kamandaka. Tentu saja mereka tak tahu kalau semua itu adalah karena perbuatan Roro. Apakah yang dimaui Roro gerangan? Ternyata Roro telah mengamankan Wukir Kamandaka dengan membawa berkelebat dari ruang tempat persembunyiannya keluar dari gedung Kedipatian.
"Hihihi... ingin kulihat bagaimana cara kau bertarung dengan si Wicaks! sobat pengkhianat Kerajaan?" berkata Roro seraya gulingkan tubuh Wukir Kamandaka ketanah.
Laki-laki ini menyeringai kesakitan ketika tubuhnya jatuh menggabruk ke tanah. Saat itu Roro telah tampakkan ujudnya. Terbelalak mata Wukir Kamandaka melihat seorang dara rupawan berdiri dihadapannya dengan pakaian dari kulit macan tutul. "Hah! ssiapakah anda...?" sentaknya terkejut.
"Siapa? Hihihi... bukankah kau telah mengetahui siapa aku? Bukankah kau akan menunjukkan si Dedemit Mata Picak ke tempat aku berada?" tanya Roro dengan tersenyum.
"Ha? Andakah nnon... nona Pendekar Roro Centil?" Suara Wukir Kamandaka menampakkan keterkejutan yang luar biasa. Karena baru pertama kali inilah dia melihat siapa pendekar wanita Pantai Selatan itu.
"Tidak salah" ujar Roro dengan suara ketus. Saat itu Wukir Kamandaka merasakan totokan pada tubuhnya telah punah sama sekali, bahkan dia telah mampu berbicara. Merasa dia telah terbebas, dan tahu apa yang dilakukan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini, tak ayal lagi laki-laki ini telah jatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih atas pertolongan anda, nona Pendekar..." ujarnya dengan manggut-manggut mencium tanah beberapa kali.
"He? Siapa yang telah menolongmu? Aku tak merasa menolong orang yang menjadi pengkhianat Kerajaannya sendiri. Kau sebagai abdi Kerajaan yang seharusnya membela Kerajaanmu, mengapa kau malah bersekongkol dengan kaum golongan hitam untuk menghancurkan Kerajaan mu sendiri?" bentak Roro. Matanya melotot gusar, tapi bibirnya tersungging senyuman. Pendekar kita ini memang orang aneh. Tentu saja kata-kata itu membuat Wukir Kamandaka keluarkan keringat dingin.
"Sobat pendekar Roro Centil! Serahkan dia padaku!" tiba-tiba terdengar suara menggeledek memecah keheningan yang mencekam. Didahului dengan bersyiurnya angin, sesosok tubuh telah berkelebat dan berdiri ditempat itu. Ternyata tak lain dari Kala Bendu alias si Dewa Arak.
Tersentak Wukir Kamandaka melihat kemunculan laki-laki berjuluk si Dewa Arak ini. Akan tetapi pada saat itu Roro telah berkata.
"Tidak! Orang ini adalah urusanku! Kau tak boleh mengganggunya!"
"Ha? Apa maksudmu, sobat?" tanya Dewa Arak terheran.
Pada saat itu sebelum Roro menjawab pertanyaan, tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang segera dikenali Roro. "Bagus! Segera kau telah menyusul kemari, Wicaksa! Segera kau bunuhlah Adipati pengkhianat ini!" berkata Roro dengan suara nyaring. Selesai Roro berkata, mendadak tubuh Roro berkelebat dan lenyap. Saat itu Wicaksa muncul dari balik semak belukar.
"Grrr...! Cakra Murti! Kau harus menemui kematian ditanganku, sebagai penebus kematian saudara seperguruanku Wewe Gombel Setan Genit!" menggeram Wicaksa menatap dengan mata memancarkan hawa amarah pada Wukir Kamandaka. Laki-laki ini seketika mundur dua tindak.
"Tidak... dia bagianku! Serahkan kitab Sabda Tama itu padaku, pengkhianat!" membentak Kala Bendu.
Akan tetapi terkejut Wukir Kamandaka ketika tersadar dia sudah tak mengantongi lagi kitab Ki Sabda Tama. Buku itu telah lenyap. "Hah! Kitab itu telah hilang! Aku tak tahu terjatuh dimana. Jangan-jangan si Roro Centil itulah yang mengambilnya!" berkata Wukir Kamandaka dengan wajah pias. Tersentak kaget si Dewa arak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara membentak disusul oleh berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kalian semua manusia-manusia pengkhianat dan manusia durjana!" Dua sosok tubuh itu ternyata adalah Gajah Lor dan muridnya, Mayana. Wajah Wukir Kamandaka dan Kala Bandu alias Dewa Arak seketika berubah pucat. Serentak mereka berteriak tertahan.
"Ki Sabda Tama...!?"
"Hm, benar! Kala Bendu! sejak kapan Ratu keluarkan surat pengangkatan Adipati padamu? Surat itu palsu! Dan kau Wukir Kamandaka! Kau tak berhak menjadi Adipati, kecuali atas izinku! Ketahuilah, Kanjeng Ratu sudah menjanjikan persyaratan mutlak denganku, bila aku berhasil menyelesaikan Kitab Tata Kerajaan maka akulah yang bakal menjadi pengganti Ratu Kerajaan Galuh Kencana!" berkata Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.
Suaranya terdengar menggeledek terdengar oleh Kala Bendu dan Wukir Kamandaka bagaikan mendengar petir disiang hari. Keduanya tersentak kaget melihat Ki Sabda Tama mengeluarkan sebuah Medali Itulah medali Lambang Kerajaan Galuh Kencana. Seketika menggigil tubuh Kala Bendu karena rahasianya terbongkar. Memandang pada Wukir Kamandaka, laki-laki ini berdiri dengan lutut gemetar melihat Lambang Kerajaan itu dengan mata membelalak.
"Dan kalian lihatlah! Kitab Tata Kerajaan ini masih berada ditanganku! Kitab yang kalian perebutkan itu adalah kitab palsu yang hanya berisi syair-syair belaka!"
Semakin membelalak mata Kala Bendu dan mata Wukir Kamandaka melihat kitab asli ciptaan Ki Sabda Tama di tangan si penciptanya itu.
"Kalian semua harus segera serahkan diri untuk menjalani hukuman, dan menghadap Kanjeng Ratu untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian semua."
"Tapi... tapi aku diperintah oleh Kanjeng Ratu untuk mencari anda, Ki Sabda Tama dengan tujuan mengambil kitab itu!"
"Perintah dusta!" bentak Ki Sabda Tama. "Pengkhianat Kerajaan! Dan kau Wukir Kamandaka! Kaupun telah terlibat dengan pengkhianatan ini!"
Kala Bendu tak dapat bicara apa-apa lagi, selain tiba-tiba dia keluarkan senjatanya. Dan dengan ganas telah menerjang Gajah Lor. "Kunyuk tua! kiranya diam-diam kau mengetahui apa yang kulakukan selama ini? Tapi terlambat. karena kau segera akan mampus!"
Wutt...! Wuttt...!
Sambaran-sambaran ganas klewang Kala Bendu bersyiuran menabas leher dan mencercah balok kepala Gajah Lor. Akan tetapi pada detik itu.
Trangg! Trangg...!
Kilatan pedang menyambar, hingga terjadilah benturan yang memercikkan letusan api. Ternyata dengan sebal Mayana telah menangkis sambaran klewang Kala Bendu. "Heheh... bagus, muridku! Kau kirimkan nyawa bangsat ini ke Akhirat!" teriak Gajah Lor.
Sementara itu entah sejak kapan Roro telah berada lagi di tempat itu. Roro yang ikut campur urusan untuk membela yang berada dipihak benar, ternyata dia sendiri kebingungan karena urusan jadi sedemikian pelik. Kedatangan Gajah Lor alias Ki Sabda Tama bersama muridnya dengan membawa kitab ciptaannya yang asli, serta Medali Pusaka Kerajaan Galuh Kencana membuat Roro terlongong, memeganggi kitab ditangannya.
Saat itu pertarungan telah terjadi. Kala Bendu terpaksa harus menghadapi serangan-serangan Mayana yang ganas. Sementara Gajah Lor alias Ki Sabda Tama Menerjang ganas ke arah Wukir Kamandaka! Laki-laki yang sudah ciut nyalinya ini bertarung dengan hati kacau. Karena niatnya adalah melarikan diri. Tapi apa mau dikata Gajah Lor terus memburunya dengan pukulan-pukulan maut.
Walaupun dia berilmu cukup tinggi, tapi menghadapi serangan Gajah Lor yang ilmunya lebih tinggi tiga kali lipat darinya, Wukir Kamandaka tak dapat berbuat banyak. Satu hantaman telak membuat laki-laki ini menjerit parau. Tubuhnya limbung, ketika Gajah Lor berhasil sarangkan telapak tangannya yang mengandung tenaga dalam menggeprak kepala Cakra Murti alias Wukir Kamandaka.
Dalam saat limbung itu tahu-tahu Wicaksa menggerung keras. Lengannya terjulur... Dan... Bluk! Wukir Kamandaka menjerit sekali lagi. Tubuhnya terlempar bergulingan. Lalu terkapar terlentang tak berkutik lagi. Tampak tulang dadanya remuk bahkan sekujur tubuhnya berubah menjadi kehitaman. Itulah pukulan beracun Wicaksa yang amat mengerikan, yang sekaligus telah mengantar nyawa orang.
"Wah, wah... urusan jadi rumit. Apa yang harus kuperbuat?" gerutu Roro yang jadi pijit-pijit keningnya memandang kearah pertarungan. Tiba-tiba Roro melihat Kala Bendu berkelebat melarikan diri. Diiringi bentakan Mayana. Dara puncak Rajabasah itu mengejar. Disusul oleh bentakan Ki Sabda Tama yang berkelebat menyusul. Tak dapat dibiarkan begitu saja Kala Bendu melarikan diri.
Roro meremas kitab ditangannya, ketika ketiga manusia itu sekejap sudah tak kelihatan lagi. Bubuk kertas ditaburkan ditanah. "Benda tak berguna lagi!" gerutu Roro.
Tiba-tiba tersentak Roro ketika serangkum angin menyambar tubuhnya. Dalam keadaan tak berwaspada itu agaknya serangan itu akan sukar terhindarkan. Tapi naluri si Pendekar Pantai Selatan ini sudah teramat peka. Walau serangan itu sepertinya mengenai sasaran, namun Roro telah lindungi tubuhnya dengan tenaga dalam.
Wuukkk...!
"Aaaah...!" Buk...! Tubuh Roro jatuh menggeloso ketanah. Saat itu juga terdengar suara tertawa berkakakan disusul berkelebat muncul seorang kakek tinggi besar.
"Hehehe... hoho... ternyata ilmu kepandaian mu tak berarti, Roro Centil! Toh akhirnya kau harus jatuh juga ke tanganku!"
"Kau makin tambah umur semakin cantik, pendekar Roro! Amboi, pakaianmu dari kulit macan tutul amat serasi dengan tubuh mu yang mulus. Sungguh mengagumkan! Sungguh mengagumkan!" berkata laki-laki tinggi besar ini.
"Siapa kau...?" bertanya Roro seolah dalam keadaan tak berdaya. Menatap dengan membelalakkan mata pada orang dihadapannya.
"Hohoho... kau lupa, atau memang sudah tak ingat lagi? Akulah Ratan Sugar! Masih ingatkah ketika kau membunuh si Ririwa Bodas? Aku adalah pamannya!" sahut si kakek tinggi besar.
Tersentak Roro yang segera teringat akan nama Ririwa Bodas si kakek pendek berbuntut ular, yang tak lain dari guru Giri Mayang alias Kelabang Kuning. Musuh besar yang amat mendendam padanya itu telah banyak memakan korban dengan perbuatan gurunya yang menciptakan ular-ular siluman untuk membunuhi penduduk tak berdosa. Perbuatan itu dilakukan cuma untuk memancing kemunculan Roro agar Giri Mayang dapat melakukan pembalasan dendam. Perlu diketahui kedua guru dan murid yang telah tewas ditangan Roro itu berasal dari wilayah Pulau Andalas.
"Heh, aku ingat! Ya, aku kini ingat siapa adanya kau! Lalu apakah kau mau membalas dendam untuk membunuhku?" bertanya Roro dengan tetap terlentang ditanah tak bergerak.
"Ya! Tapi bukan ditempat ini. Kau akan ku bawa ke Pulau Andalas. Tepatnya ke Kerajaan Sriwijaya. Karena kepalamu perlu digunakan untuk tumbal kerajaan!"
Tersentak kaget Roro. "Edan! kepalaku mau dibuat tumbal kerajaan?" memaki Roro dalam hati.
Pada saat itu Ratan Sugar telah menghampiri dan ulurkan lengannya untuk menyambar tubuh Roro. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan menggeledek... "Tunggu!"
Disusul sambaran ganas angin pukulan berbau amis menyambar ke arah Ratan Sukar. Kakek tinggi besar ini kibaskan jubahnya menangkis. Hebat kibasan lengan jubah gombrong kakek tinggi besar ini. Karena angin pukulan yang jelas adalah pukulan beracun itu menyambar balik kearah si penyerangnya. Ternyata yang barusan menyerang adalah Wicaksa si Dedemit Mata Picak. Penghuni Kuil Tengkorak Darah ini mana mau membiarkan orang yang memang tengah dicarinya selama ini digondol pergi?
Whuuusss Bhlarrr...!
Angin balikan dari si kakek tinggi besar lewat dibawah kaki Wicaksa yang mengelak dengan melompat gesit menghindari sambaran angin pukulannya sendiri. Angin pukulan bertenaga besar itu menghantam pohon yang seketika berderak hancur. Dan hangus seketika menjadi arang.
"Hebat! Sungguh hebat serangan balasan mu, kakek Dewur!" berkata Wicaksa yang diam-diam keluarkan keringat dingin. Kalau terlambat dia mengelak, tak dapat dibayangkan bagaimana keadaan tubuhnya.
"Setan alas kau! Siapa kau manusia jelek? Dan apa maksudmu menghalangi urusanku? Mengapa kau panggil aku kakek Dewur?" menggembor Ratan Sugar.
"Hehehe. Jelek-jelak namaku sudah kesohor. Siapa yang tak kenal dengan Wicaksa si Dedemit Mata Picak penghuni Kuil Tengkorak Darah!" tukas Wicaksa dengan menyeringai. "Kau ku panggil kakek Dewur, karena tubuhmu gede-duwur... alias tinggi besar! Dan maksud ku menghalangi niatmu, tentu saja takkan kubiarkan kau membawa pergi dia untuk kau jadikan tumbal di Kerajaan Sebrang! Karena dia adalah mangsa yang telah lama kucari-cari!"
"Hmmm, jadi kau menginginkan juga? Baik kalau begitu. Segera kita tentukan dengan pertarungan. Siapa yang masih tinggal hidup dialah yang berhak atas pendekar Roro Centil ini!" berkata Ratan Sugar dengan menggembor marah, namun kata-katanya tegas.
"Kau mengajakku bertarung? Hehehe... bagus! Memang inilah yang kuharapkan. Majulah kau kakek Dewur!" berkata jumawa Wicaksa.
Tanpa diperintah dua kali Ratan Sugar telah menerjang Wicaksa dengan serangan ganas. Sepasang lengannya mengeluarkan sinar merah mengerikan. Sedangkan lengan Wicaksa memantulkan sinar hijau. Suara bentakan dan ledakan-ledakan pukulan yang mengharu bisu membauri sekitar tempat itu. Pertarungan dahsyat tak dapat terelakkan lagi.
Dua orang tokoh hitam yang sama-sama berkepandaian amat tinggi itu saling baku-hantam tanpa pedulikan apa-apa lagi. Bahkan dia tak tahu kalau Roro telah berkelebat menjauhi pertarungan itu. Dari atas puncak pohon yang berada ditempat ketinggian, Roro menonton pertarungan adu nyawa itu. sebentar-sebentar dia berteriak kagum.
Dan sekali-kali terkadang leletkan lidah melihat pukulan-pukulan ganas yang beradu menimbulkan suara menggetarkan bumi. Satu ledakan dahsyat kembali terdengar. Terdengar dua teriakan yang menjadi satu. Tampak tubuh kedua lawan bertarung itu terlempar beberapa tombak.
Tubuh Ratan Sugar menghantam pohon yang seketika berderak patah. Lalu tumbang dengan suara riuh berkrosakan. Sedangkan tubuh Wicaksa terguling-guling dalam keadaan terbakar. Roro melompat dari puncak pohon. Dengan gerak ringan segera menghampiri tubuh Ratan Sugar. Segera dilihatnya tubuh kakek tinggi besar itu telah tak bernyawa lagi dengan keadaan tubuh hangus kehitaman.
"Aiiih, ternyata ajalmu lebih cepat datang, sebelum kau sempat membawa dan memotong kepalaku untuk tumbal Kerajaan...! Kakek Dewur yang malang..." menggumam Roro. Ketika dia melihat kearah Wicaksa, kakek muka seram itu tengah menggoser-goser sekarat dengan jubah hangus. Sekali enjot tubuh, Roro telah menghampiri.
"Heh... hhe... Ro... Roro... C.. Cen... Til...! senang sekali ak... aku melihat rupa dan wajahmu yang... cc... cantik! Ooh... matipun aku... t... tak penasas... sssaran... nnn..." berkata terengah Wicaksa memandang Roro dengan tertawa menyeringai. Keadaan kakek ini amat mengenaskan sekali.
Roro menatap tak berkedip. "Ada permusuhan apakah kau sebenarnya denganku, Wicaksa?" bertanya Roro dengan menatap heran. "Mengapa kau membunuhi orang hanya untuk mengundang munculnya diriku?" kata-kata Roro seperti menyambung napas kakek seram itu, yang sudah mau menghembuskan napasnya yang terakhir.
Wicaksa tertawa lemah menyeringai. "Hehe... heh... heh.... aku.... aku jjjaa... jatuh... cc... cinta... pa... pada... mu... Ro... ro..."
Baru saja selesai Wicaksa menyahut dengan kata-kata yang membuat mata Roro membelalak, kakek penghuni Kuil Tengkorak Darah itupun terkulai kepalanya. Napasnya telah lepas meninggalkan jasadnya.
"Gila! Edan...!?" Roro Centil seperti tak percaya mendengar kata-kata Wicaksa. "Aiiih! Dedemit Mata Picak! Kau benar-benar iblis gila cinta! Sungguh dunia telah gila dan manusia-manusia telah banyak yang gila!" gerutu Roro Centil.
Dan dengan diiringi suara tertawa melengking tinggi yang mirip tangisan, si Pendengar Wanita Pantai Selatan berkelebat meninggalkan tempat itu. Saat tubuh Roro telah lenyap, suara tertawanya yang membangunkan bulu roma itu masih terdengar berpantulan disekitar tempat sunyi itu.
Roro semakin tak mengerti dengan kemelut di Kerajaan Galuh Kencana. Karena beberapa pekan kemudian setelah dia membantu pertarungan orang-orang Kala Bendu yang menguasai Istana. Roro mendengar berita aneh. Roro yang mengira Ki Sabda Tama alias Gajah Lor yang bakal menjadi pengganti Ratu Galuh Kencana, ternyata membunuh diri, setelah selesai penobatan Mayana sebagai pengganti Ratu Kerajaan Galuh Kencana dengan gelar Dewi Mayana Sabda Tama.
Apa yang menjadi penyebab kenekatan serta perbuatan Gajah Lor ini tak seorangpun dari pihak Kerajaan yang mengetahui. Kecuali Dewi Mayana Sabda Tama sendiri. Ketika kemudian terdengar kabar bahwa Ratu baru Dewi Mayana Sabda Tama itu kedapatan telah tewas membunuh diri dikamarnya, segera tersingkaplah rahasia mereka berdua, antara guru dan murid. Yaitu Mayana telah meninggalkan sepucuk surat seperti syair, yang berbunyi:
GUNUNG-GUNUNG BESAR
BERGELEGAR MENAKUTKAN
LAUTAN MELUAP,
AIRNYA NAIK KEDARATAN
DEWA MURKA KARENA KAMI SALAH!
CINTA MEMBUAT KAMI BAHAGIA,
TAPI NAFSU SUNGGUH ANGKARA!
BIARKAN KAMI PERGI MENEBUS DOSA!
Dari hasil dugaan orang-orang Istana, syair itu diartikan adalah Ki Sabda Tama telah mencintai Mayana Putrinya sendiri. Perbuatan terkutuk yang telah mereka lakukan atas dasar nafsu dan dendam Ki Sabda Tama pada kakak kandungnya Wesi Geni yang telah membawa lari istrinya. Ternyata Mayana bukan anak Wesi Geni. Melainkan adalah anak kandungnya sendiri.
Namun cinta telah bersemi, walau cintanya adalah "cinta gila". Hingga Ki Sabda Tama setelah membahagiakan Mayana dengan mengangkatnya sebagai Ratu, dia membunuh diri. Namun ternyata Mayana sendiripun menyusul ayahnya yang telah terlanjur dicintainya.
Roro Centil tercenung beberapa saat lamanya. Namun akhirnya dia menghela napas. "Inilah Dendam dan Cinta Gila Seorang Pendekar!" gumamnya.
Tubuhnyapun berkelebat pergi. Roro merasa kejahatan memang tetap sukar untuk ditumpas, karena Kala Bendu berhasil meloloskan diri. Kelak disatu saat tak mungkin kalau manusia itu tak membuat kericuhan lagi.
Selanjutnya,