Roro Centil - Dendam Si Manusia Palasik
Karya : Mario GembalaSATU
LAKI-LAKI itu bernama Raka Rumpit. Rambutnya gondrong sebatas bahu. Berperawakan tegap, dan berwajah tampan. Mempunyai sepasang alis yang tebal hitam dengan sepasang mata yang agak sipit. Tebing di mana laki-laki yang ditaksir masih berusia muda itu adalah tebing batu bukit terjal. Di bagian bawahnya mengalir anak sungai yang bercabang dua.
Persis di bagian atas muara sungai itulah, si pemuda bernama Raka Rumpit ini berdiri untuk memandang ke sekitar. Dan di bawah kakinya itu adalah tempat tinggalnya, di mana terdapat sebuah goa batu yang menghadap ke arah sungai. Barusan saja dia naik ke atas bukit dengan pergunakan kelincahannya mendaki.
"Rumpiiiit...! Kau kembalilah dulu, bocah gendeng! Atau aku hajar pantatmu dengan tongkat ini!" Terdengar suara teriakan suara seorang wanita yang parau dari bawah tebing. Pemuda ini tampak menampilkan senyuman melebar, seraya menoleh ke bawah.
"Hahaha... haha... Aku malas turun lagi, nenek peot! Kau sajalah naik ke atas! Aku sudah hampir bosan tinggal di dalam sarang tikus yang berbau pengap itu!" Pemuda ini menyahuti seenaknya saja, tanpa perdulikan kalau yang memanggil adalah gurunya.
"Bocah kurang ajar! Aku segera akan naik ke atas! Dan jangan harap kau dapat selamatkan pantatmu dari gebukan tongkatku...!" Teriak suara dari bawa seperti bernada gusar.
Akan tetapi si pemuda ini cuma cengar-cengir mendengarnya. Sebuah bayangan berkelebat dari bawah bukit. Dan sekejapan saja di atas lamping bukit batu itu sudah berdiri seorang nenek tua renta yang bungkuk. Berwajah menyeramkan, karena memang mirip dengan tengkorak. Di lengannya tercekal sebuah tongkat hitam legam yang melengkung bagai ular meliuk.
Melihat kemunculan si nenek bongkok itu, si pemuda ini cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala. Si nenek bongkok tampilkan wajah gusar. Sepasang matanya membersitkan sinar tajam menatap si pemuda muridnya itu.
"Eh, bocah gendeng! Apa kau bilang tadi? Kau sudah bosan tinggal di lubang tikus tempatku ini...?" Ujarnya dengan suara lantang.
Tentu saja pemuda ini jadi gelagapan karena dilihatnya sang guru seperti benar-benar marah dan tersinggung mendengar kata-katanya. Segera dia buru-buru menjawab. "Bukan begitu, nenek... Akan tetapi aku memang memerlukan menghirup udara segar di luar! Maksudku... aku... aku ingin turun gunung barang sebentar!" Ucap Raka Rumpit dengan tersenyum nyengir, dan garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Memandang tingkah si pemuda muridnya itu yang agak lucu, rupanya mengundang rasa geli si nenek bongkok. Membuat dia jadi tersenyum, dan tertawa mengikik. Akan tetapi suara tertawanya kembali hilang, karena kembali dia keluarkan suara bentakannya dengan sepasang mata melotot menatap si pemuda.
"Bocah edan! Aku mau tanya, apakah kau telah menggeratak ke tempat tidurku...? Ada satu barang yang hilang! Kalau benar kau yang mencuri, aku tak akan puas kalau belum menggebuk pantatmu!" Berkata si nenek bongkok.
"Apanya yang hilang, nek...? Pantatmu...? Eh... ma... maaf! Maksudku anu... apa yang telah hilang dari wilayah tempat tidurmu...?" Tanya Raka Rumpit latah.
"Whoalah! Bocah edan! masih muda sudah latah!" memaki si nenek bongkok. "Aku telah kehilangan salah satu barang pusaka! Yaitu sebuah cincin perak berbatu "combong", apakah kau telah mengambilnya?" Tanyanya.
Pemuda itu jadi cengar-cengir, dan teruskan garuk-garuk kepalanya. Akan tetapi dia memang telah mengakui perbuatannya. "Hahaha... benar, nek! Kalau itu yang kau tanyakan, aku yang mengambilnya! Pas benar di jari tanganku! Aku menyenanginya, dan memang sudah ada niatku untuk memintanya!" Ujar Raka Rumpit seraya memperlihatkan cincin yang dipakainya.
"Kapan kau berniat memintanya?"
"Ya... sejak aku mencurinya...!" Sahut si pemuda dengan nyengir.
"Bocah ganjen! Kalau begitu pantatmu memang patut dihajar...!" Berteriak si nenek bongkok dengan geram, dan sudah mengangkat tongkatnya.
"Ampun, nek... Ampuuun...! Jangan gebuk pantatku!" Berteriak Raka Rumpit sambil berloncat-loncatan memegangi pantatnya. Tentunya dengan wajah cengar-cengir menggoda sang guru.
"Bocah edan...!" Teriak si nenek gemas. Dan tubuhnya berkelebat.
"Ampun, nek! Jangan gebuk pantatku...!" Teriak si pemuda seraya kembali pasang wajah cengar-cengir.
"Bocah edan! Kau kira kau akan berhasil menyelamatkan pantatmu yang tepos itu? Hehehehe... jangan mimpi!" Mendengus si nenek bongkok.
Tiba-tiba tongkatnya diangkatnya tinggi-tinggi. Sementara bibirnya berkomat-kamit membaca mantera. Sedangkan sepasang matanya menatap tajam pada si pemuda muridnya itu, seperti telah menahan tubuh sang murid agar tetap berdiam di tempat.
Terkejut Raka Rumpit. Karena tahu-tahu kakinya seperti terasa berat untuk digerakkan. Seolah lengket dengan tanah yang dipijaknya. Sementara hatinya jadi mencelos melihat tongkat yang diangkat tinggi-tinggi oleh sang guru, bergerak memutar dan meluncur ke arahnya.
"Ah, celaka...!? Aku tak berhasil menolong pantatku lagi!" Desis si pemuda.
Benarlah apa yang dikhawatirkan pemuda itu, karena tahu-tahu tongkat si nenek bongkok sudah menukik ke belakang tubuhnya. Dan....
Plak! Plok! Plak! Plok!... Plak! Plok! Plak! Plok!
Berteriak-teriaklah si pemuda itu dengan menyengir-nyengir kesakitan, ketika merasai tongkat itu menggebuki pantatnya. "Ampun, nek! ampuun... guru! Adoow! Kena bisulnya tuh!? Sudah, nek! sudaaah...! Adudududuh ... aduuh..."
Aneh! dan amat menakjubkan sesekali, karena tampak si nenek bongkok cuma gerak-gerakkan tangannya saja di kejauhan. Sedangkan tongkatnya bagaikan mempunyai mata dan bagai bernyawa saja, telah menggebuki pantat Raka Rumpit beberapa kali. Dan pukulan terakhir adalah mengarah sepasang kaki anak muda itu, yang tak ampun membuat tubuh si anak muda jatuh terjengkang. Mengeluh pemuda ini, akan tetapi si nenek bongkok justru tertawa mengekeh dan berjingkrakan kegirangan.
"Hehehehe... hehehe... asyiiik! Baru kau tahu rasa, bocah edan!" Tampak lengan si nenek bongkok seperti bergerak untuk menarik kembali tenaga anehnya. Dan tongkat hitam yang mirip ular meliuk itu memutar ke atas, lalu meluncur kembali ke arahnya. Sekejap sudah kembali tercekal di lengannya.
Setelah mengusap-usap pantatnya, pemuda ini bangkit melompat berdiri. Diam-diam hati bersyukur, karena gebukan tongkat yang dilakukan gurunya itu tak seberapa keras. Dan cuma gebukan biasa saja. Seandainya sang guru mempergunakan pukulan bertenaga dalam, bukan mustahil kalau sang pantat akan hancur luluh. Di samping mendongkol, tapi diam-diam dia juga bergidik ngeri. Karena khawatir sang guru ketelepasan tangan. Entah cincin perak bermata batu "combong" itu apakah khasiatnya, hingga tampak si nenek jadi sewot dan uring-uringan mengetahui "barang"-nya lenyap dicuri sang murid.
"Aku akan kembalikan cincin milikmu ini, nek...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya melompat ke hadapan si nenek bongkok. Dan pergunakan tangannya untuk membuka kembali cincin batu combong yang dipakainya.
Akan tetapi si nenek tampak menahannya seraya berkata; "Sudahlah! Kalau kau memang senang memakainya, pakailah! Kau memang ada bakat jadi pencuri, bocah ganjen! Hehehehe... suatu saat, bukan benda lagi yang kau curi, pasti banyak wanita akan kau curi hatinya...!" Ucap si nenek dengan tertawa mengekeh hingga sampai terselak, dan batuk-batuk dengan hebat.
"Jadi... jadi benda ini boleh aku pakai, nek?" Tanya Raka Rumpit seperti kurang percaya.
"Bocah kolokan! Aku sudah bilang pakai, pakailah! Mengapa masih banyak tanya segala?" Bentak sang guru dengan plototkan matanya.
"Hahaha... haha... terima kasih! terima kasih, nenek! Kau memang guruku yang paling manis, paling lihay, dan... paling pe... eh, paling cantiiik sekali!" Berkata Raka Rumpit. Tadinya dia sudah mau katakan paling peot, akan tetapi segera diurungkan, karena khawatir si nenek menjadi marah lagi. Dan bahkan tahu-tahu.
Cplok! Cplok...!
Sang murid telah menghadiahi ciuman pada kedua pipi si guru. Tentu saja membuat sepasang mata nenek bongkok itu jadi membeliak tertegun. Akan tetapi segera terdengar suara tertawanya mengekeh.
"Hehehe... hehe... bocah ganjen! Kalau mau pergi, pergilah! Tapi jangan berlama-lama! Beberapa bulan lagi kau harus sudah menamatkan pelajaran mu! Apakah kau tak ingin menguasai ilmu menggebuk pantat dengan tongkat...?" Ujar si nenek.
"Tentu saja mau, guru...! Baiklah! Aku berjanji tak akan lama turun gunung! Nah aku berangkat, nenek manis...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya perlihatkan senyumannya, dan berkelebat cepat tinggalkan tempat itu.
Si nenek bongkok cuma menatapnya dengan sinar mata memancar tajam. "Aiiih, tak kusangka bocah edan itu membuat aku jadi gregetan! Dan... dan aneh! Mengapa aku sudah jatuh cinta padanya?" Tak terasa dia sudah kembali tertegun seraya mengusap-usap kedua belah pipinya bekas ciuman sang murid yang konyol itu.
"Aiiih, Rumpit! Rumpit...! Mungkin bukan hati para gadis saja yang akan kau taklukkan, tetapi hatiku pun nyatanya sudah kau taklukkan...!" Desis suara si nenek perlahan. Dan amat perlahan hampir tak terdengar. Namun tak lama tubuhnya sudah berkelebat kembali menuruni tebing. Dan melesat masuk lagi ke dalam goa "lobang tikus"-nya.
Prabu GURAWANGSA masih termangu-mangu duduk di kursi kebesarannya. Wajahnya menampilkan kesedihan, walaupun dalam beberapa hari ini baru saja usai mengadakan pesta meriah menyambut para tamu undangan. Tentu saja dalam rangka "selamatan" atas terhindarnya Kerajaan Matsyapati dari bencana kehancuran.
Karena berhasilnya ditangkap biang keladi kerusuhan di Kota Raja, dan terbukanya kedok pengkhianatan Patih BUNTARAN. Para tamu undangan itu tak lain dari para Pembesar Kerajaan, dan tokoh-tokoh kaum Rimba Hijau yang turut membantu menumpas kaum perusuh.
Kesedihan baginda Raja tak lain karena penyesalannya telah menyia-nyiakan Permaisuri Durgandini. Bahkan telah mengutus pula orang-orang bayaran untuk membunuh sang Permaisuri. Semua itu adalah atas hasutan Patih Buntaran. Dengan dalih akan membahayakan Kerajaan.
Karena dengan adanya sang Prabu Gurawangsa mengambil tiga selir sekaligus, dan satu di antaranya telah hamil. Sang Permaisuri Durgandini telah melarikan diri dari Istana, tanpa ketahuan ke mana perginya. Entah mati atau masih hidup sampai kini masih menjadi teka-teki bagi sang Prabu Gurawangsa.
Calon bayi yang akan lahir dari selir bernama NAWANGSIH itu adalah yang kelak berhak menggantikan sebagai pengganti Raja keturunan Prabu Gurawangsa. Akan tetapi ternyata Nawangsih adalah seorang wanita penipu, yang cuma mengacaukan keadaan di dalam keluarga sang Raja.
Nawangsih adalah Sri Mayang, alias si Kelabang Kuning. Seorang toko Rimba Persilatan yang cuma mengingini kehidupan sebagai selir Raja. Kehamilannya adalah cuma permainan belaka, karena Sri Mayang memang punya keahlian menggembungkan perut.
Di saat Kerajaan dalam kalut atas terjadinya pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang pihak Kerajaan, bahkan dua orang selir baginda Raja pun tewas digantung berikut istri Senapati Satryo, saat itulah Sri Mayang unjukkan dirinya bahwa dia tidak mengandung. Tentu saja membuat Prabu Gurawangsa terperanjat.
"Hihihi... suamiku! Aku adalah wanita petualang! Terima kasih atas kesediaanmu selama ini memperhatikan diriku, namun aku memang harus pergi dari sisimu. Aku sudah cukup puas merasakan bagaimana rasanya menjadi selir seorang Raja. Kerajaanmu saat ini ada dalam ambang kehancuran, Prabu Gurawangsa! Pengkhianatnya tak lain adalah Patihmu sendiri! Nah, selamat tinggal!"
Setelah mengucap demikian Nawangsih alias Sri Mayang berkelebat pergi dan lenyap dari ruang Istana. Terperangah Prabu Gurawangsa, seperti petir menyambar di siang hari mendengar pengakuan wanita selirnya itu. Namun kenyataan pahit itu memang telah dialaminya.
Dalam keadaan kalut itulah muncul Satryo, sang Senapati yang menghadap dengan membawa berita kematian kedua selir. Juga istri sang Senapati Satryo sendiri turut jadi korban. Tertegun sang Prabu Gurawangsa. Namun dengan bekal pengakuan dari Nawangsih alias Giri Mayang, Baginda Raja telah mengetahui biang kerusuhan itu. Dan perintahkan menangkap Patih Buntaran.
Demikianlah, dengan bantuan Kaum Rimba Hijau yang bermunculan, para Tumenggung dan Senapati Satryo beserta lasykarnya berhasil membekuk Patih Buntaran, si pengkhianat Kerajaan itu. Dan menewaskan para pembantunya, yang terdiri dari para kaum Rimba Hijau golongan Hitam yang telah diundangnya.
Kini para tokoh itu sudah meninggalkan Kota Raja. Kerusuhan sudah usai. Dan pelaksanaan hukuman gantung pada Patih Buntaran telah selesai. Bahkan sudah dilaksanakan sejak tertangkapnya. Tinggallah kini sang Baginda Raja Kerajaan MATSYAPATI ini memikirkan calon pengganti Patih di Kerajaannya. Juga beberapa jabatan pembantu Kerajaan yang perlu diadakan penggantian dan perombakan.
Namun agaknya Kerajaan Matsyapati sudah mendekati di ambang kehancuran. Karena Prabu Gurawangsa sendiri ternyata meninggalkan Istana. Setelah beberapa hari termenung tanpa mengambil keputusan musyawarah dengan para Pengagung Istana, Prabu Gurawangsa dengan diam-diam telah menyediakan perbekalan seperlunya. Dan tengah malam sang Raja yang dalam keadaan hati kalut tanpa berhasrat meneruskan Pemerintahannya, telah mengendarai kudanya meninggalkan Istana. Entah ke mana perginya. Tak seorang pengawal pun diberitahu atau mengetahuinya.
Senapati Satryo perintahkan para Tumenggung mencarinya. Namun sampai beberapa hari tak membawa hasil. Ya, Prabu Gurawangsa telah lenyap tanpa bekas. Wilayah Istana menjadi sepi. Namun atas perintah Senapati Satryo, Istana dijaga ketat. Apa mau keadaan yang memang sudah kacau itu ternyata membuat kesempatan para Pembesar Kerajaan yang tak mau mengundurkan diri dengan tangan hampa, mencari keuntungan. Orang-orang dalam dan dibantu kaum penjahat bayaran segera menggerayangi Istana.
Terjadi pertempuran-pertempuran kecil, perampokan pada sisa-sisa harta milik Kerajaan. Dan bermacam kekalutan terjadi di Kota Raja. Siapa yang dapat menguasai kekalutan demikian? Karena masing-masing mencari keuntungan pribadi tanpa mau tahu urusan orang. Dalam keadaan kacau itulah Senapati Satryo melarikan kudanya menuju Mataram. Dan melaporkan kejadian pada Raja Agung Kerajaan Mataram, yang baru saja memindahkan pusat Pemerintahannya ke Jawa Timur.
Segera berdatangan para Tumenggung dan Senapati utusan Raja Agung Kerajaan Mataram untuk membersihkan kerusuhan. Dan untuk sementara Kerajaan Matsyapati diambil alih oleh Kerajaan Pusat yang berkuasa penuh di seluruh Pulau Jawa waktu itu; yaitu Kerajaan Mataram. Dan sejak saat itu pulalah Kerajaan Kecil bernama MATSYAPATI itu dinyatakan punah.
Dalam arti tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan di wilayah itu. Segalanya diatur oleh Penguasa dari Kerajaan Mataram. Istana bekas Kerajaan Matsyapati dipergunakan sebagai gedung atau Istana tempat peristirahatan Baginda Raja Agung Kerajaan Mataram. Dan tertutup buat siapa saja.
Ke manakah gerangan perginya Raja yang lari dari singgasananya itu? Tak seorang pun mengetahui. Akan tetapi pagi itu seekor kuda dengan penunggangnya seorang laki-laki berpakaian sederhana berwarna putih, dengan ikat kepala membungkus hampir seluruh rambutnya, yang juga berwarna putih, tampak mendatangi sebuah tempat sunyi di lereng perbukitan sebelah utara.
Suara derap langkah kaki kuda yang memang jarang terdengar di sekitar tempat itu, membuat empat orang laki-laki berjubah abu-abu segera menyongsongnya untuk melihat siapa yang datang. Sebentar saja si penunggang kuda telah hentikan binatang tunggangannya di hadapan keempat laki-laki itu.
"Siapa anda? Dan dari mana...? Serta ada keperluan apakah kiranya mengunjungi pertapaan Goa Kiskenda?" Tanya salah seorang setelah menjura hormat.
Laki-laki berusia lima puluhan tahun itu melompat turun dari punggung kuda. "Apakah anda murid-murid Resi Jenggala Manik?" Tanya laki-laki itu, tanpa menjawab pertanyaan salah seorang dari empat laki-laki berjubah itu.
"Benar!" Sahut mereka hampir serempak.
Laki-laki ini melirik ke arah pintu Goa yang tampak resik dan sedap dipandang mata. Tampak wajah laki-laki ini tampilkan senyuman. Seperti tak sabar dia sudah berkata: "Beritahukan pada sang Resi, ada tamu dari Istana...!" Ujarnya.
Terbelalak keempat pasang mata laki-laki murid Resi Jenggala Manik, dan serentak sudah menjura. Seraya salah seorang berkata: "Maafkan hamba Raden! Kami tak mengetahui kalau anda tetamu Agung guru kami...!"
Dan selesai berkata keempat murid sang Resi itu sudah beranjak untuk memasuki pintu Goa. Akan tetapi pada saat itu sang Resi sudah muncul di pintu Goa. Suaranya terdengar ramah menyambut kedatangan laki-laki itu.
"Selamat datang di Pertapaan Goa Kiskenda Kanjeng Gusti Prabu...! Ah, sungguh satu kehormatan besar, Kanjeng Gusti mau menginjakkan kaki datang ke tempat sunyi ini...!" Ujar pertapa tua itu yang telah membungkuk menjura hormat.
Melengak keempat murid sang Resi. Karena segera mengetahui kalau yang datang adalah Baginda Raja Prabu Gurawangsa. Raja Kerajaan Matsyapati. Cepat-cepat mereka duduk bersimpuh ketika laki-laki itu dengan menuntun kudanya beranjak menghampiri.
"Ah, selamat jumpa Resi...! Aih, bangunlah kalian adik-adikku! Aku tak layak menerima penghormatan berlebih-lebihan! Justru aku ini sudah menjadi orang biasa! Kedatanganku adalah..."
"Silahkan anda berbicara di dalam, Kanjeng Gusti Prabu...!" Ujar Ki Jenggala Manik memotong kata-kata Prabu Gurawangsa.
Keempat murid sang Resi cepat menuntun kuda untuk ditambatkan. Dan Raja Kerajaan Matsyapati ini menjumput perbekalannya, lalu mengikuti sang Resi memasuki ruangan Goa. Tak lama mereka sudah berada di dalam Goa, dan duduk berkeliling untuk bercakap-cakap. Ternyata keempat murid sang Resi telah dipersilahkan Prabu Gurawangsa untuk turut mendengarkan percakapan mereka.
Terkejut Resi Jenggala Manik mengetahui sang Prabu Gurawangsa akan menetap di pertapaan Goa Kiskenda. Dan menuturkan bahwa dia berkeinginan untuk menjadi pertapa. Berbagai nasihat yang diberikan sang Resi pada Prabu Gurawangsa untuk kembali memimpin Kerajaan, ternyata tak mampu melunturkan keinginan sang Raja ini. Keinginannya sudah bulat untuk meninggalkan kepemimpinannya, dan menjadi Pertapa. Tiada lagi gairah di hatinya untuk meneruskan memerintah Kerajaan.
Demikianlah, akhirnya Resi Jenggala Manik tak dapat mencegah keinginan Prabu Gurawangsa untuk menjadi pertapa. Dan menetap di Goa Kiskenda. Tentu saja Prabu Gurawangsa telah berpesan wanti-wanti agar merahasiakan tentang adanya dia di pertapaan Goa Kiskenda, tempat tinggal sang Resi itu. Sang Resi dan keempat muridnya cuma bisa manggut-manggut tanpa dapat berbuat apa-apa.
Beberapa pekan berselang Senapati Satryo singgah di pertapaan Goa Kiskenda. Tentu saja kedatangannya adalah untuk menyambangi gurunya. Seperti diketahui sang Resi Jenggala Manik adalah guru dari Senapati Satryo, semasa belum menduduki jabatan Senapati.
Terkejut Senapati Satryo mengetahui sang Baginda Raja Prabu Gurawangsa berada di pertapaan. Akan tetapi bekas Raja itu menyambutnya dengan gembira, mendengar penuturan Satryo atas Kerajaan Matsyapati yang diambil alih oleh Kerajaan Mataram.
"Senapati...! Aku merasa lebih tenteram berada di pertapaan ini. Jauh dari kemelut kehidupan. Jauh dari keruwetan mengatur rakyat. Dari ketidakpuasan yang terkadang membuat mata menjadi gelap. Aku adalah contoh, satu dari puluhan Kerajaan Kecil yang gagal meneruskan kepemimpinannya. Namun aku sadar, bahwa ketenteraman dalam rumah tangga amat besar artinya bagi keutuhan sebuah Kerajaan. Aku sadar, bahwa sudah gagal segalagalanya. Aku merasa kurang layak memegang tampuk kepemimpinan. Apalagi tanpa adanya keturunan! Itulah yang membuat aku enggan meneruskan kepemimpinanku!" Ujar Prabu Gurawangsa, yang kini bergelar Resi Netra Wangsa sejak memutuskan menjadi pertapa di Goa Kiskenda.
"Akupun telah mengundurkan diri dari jabatan Senapati. kakang Netra Wangsa...!" Ujar Satryo yang memanggil kakang serta gelar barunya, menurutkan keinginan Prabu Guriawangsa sendiri. "Walau dari pihak Kerajaan Mataram telah menawarkan jabatan untukku, namun rasanya aku pun ingin memulai kehidupan sebagai rakyat jelata lagi!"
"Apakah kau pun akan menetap di sini?" Tanya sang Resi Jenggala Manik hampir berbareng.
"Tidak, kakang Resi, dan Resi Guru...! Hamba akan pergi mengembara entah ke mana, menurutkan ibu jari kaki hamba! Ya, mungkin mencari di mana adanya ketentraman hati! Hamba hanya akan menurutkan perasaan dan kemauan hati hamba!" Sahut Satryo dengan suara terdengar hambar. Cahaya matanya seperti memudar.
Kedua Resi itu memaklumi, karena Satryo baru habis kematian istrinya. Pemberontakan Patih Buntaran telah merobah segalanya.
SATRYO memacu kudanya meninggalkan Pertapaan Goa Kiskenda. Sejenak dia berhenti, dan putar kudanya. Lalu lambaikan tangan pada kedua Resi dan empat orang murid Pertapaan. Mereka segera balas lambaikan tangan pada laki-laki ini. Sepasang mata Satryo tampak seperti berkaca-kaca.
Entah mengapa tiba-tiba hati laki-laki ini jadi terasa trenyuh memandang sang Resi Netra Wangsa. Bekas Senapati ini merasa kejadian telah berubah begitu cepat. Dari seorang Raja telah menjadi seorang Resi pertapa. Dan dirinya yang tadinya mempunyai jabatan Senapati yang menguasai pimpinan dua ratus lasykar Kerajaan, kini telah menjadi rakyat biasa.
Semua itu karena pengunduran diri sang Prabu Gurawangsa sebagai Raja. Akan tetapi dia memang tak dapat menyalahkannya. Benar seperti kata Prabu Gurawangsa, rumah tangga ternyata mempunyai pengaruh besar dalam sebuah Kerajaan. Raja Kerajaan Matsyapati tak tahan dengan kemelut dalam rumah tangganya.
Dan kehadiran seorang Putera Mahkota yang didambakannya ternyata sia-sia. Hal tersebut menimbulkan keenganannya meneruskan tampuk kepemimpinan. Dan sang Raja meninggalkan kekuasaannya. Memang amat Tragis!
Tapi hal yang seperti ini janganlah menjadi contoh untuk ditiru Kerajaan lain. Walau bagaimana pun manusia tetaplah manusia, yang di samping punya kekuatan, akan tetapi banyak kelemahannya. Dan kepunahan sebuah Kerajaan adalah semata cuma kejadian yang logis. Karena memang kelanggengan tidaklah selalu menyertai seterusnya dalam setiap Kerajaan.
Laki-laki ini putarkan lagi kudanya, dan segera keprak tali kendalinya untuk seterusnya memacu cepat meninggalkan pertapaan. Burung-burung elang di atas bukit berseliweran, seperti mengantar kepergian laki-laki penunggang kuda bekas Senapati itu.
TRISULA DEWA yang tengah berlatih di lereng bukit Karang Tunggul, cuma bisa ternganga melihat putri sang Guru mereka yang dilarikan orang. Mereka tak menyangka kalau pagi itu akan mendapat musibah. MAHESANI putri sang Ketua Perguruan Trisula Dewa, sudah hampir sepekan ini mewakilkan sang guru mereka melatih ilmu silat.
Kepergian Ketua Perguruan Trisula Dewa berkenaan dengan urusannya, telah mewakilkan pada putri tunggalnya yang sudah mewarisi hampir semua ilmu kedigjayaan sang ayah untuk melatih kedua puluh para murid Perguruan tersebut. Tak dinyana pada latihan baru saja dimulai, telah muncul seorang laki-laki muda berambut gondrong berbaju hitam.
Begitu muncul langsung menghampiri Mahesani. Gadis berusia 20 tahun itu jadi naikan alisnya menatap pada laki-laki muda yang menghampiri dengan unjukkan wajah cengar-cengir.
"Eh, sobat...! Siapakah anda? Apakah ada urusan dengan aku...?" Tanya Mahesani. Sementara dalam hati gadis ini amat mendongkol melihat sikap pemuda berambut gondrong itu. Walau bertampang gagah, namun sikapnya yang kurang ajar membuat orang tidak senang. Apalagi menemui orang di kala sedang latihan.
"Hahaha... namaku RAKA RUMPIT! Tentu saja kedatanganku untuk mengenal lebih dekat siapa adanya gadis cantik berilmu tinggi macam kau yang punya murid segini banyaknya. Membuat aku jadi kagum! Bolehkah aku tahu namamu, nona...? Dan apa gerangan nama dari Perguruan ini?"
Tanya pemuda murid si nenek bongkok bermuka tengkorak itu, yang ternyata kepergiannya turun gunung telah menyambangi ke tempat rombongan orang berlatih ini. Walau kata-katanya memang cukup sopan, akan tetapi hal tersebut sudah membuat para anak buahnya saling berbisik-bisik. Agaknya merasa tak senang dengan kedatangan orang yang mengganggu jalannya latihan. Dengan agak mendongkol Mahesani menyahuti juga.
"Maaf, sobat! Sebenarnya anda telah membuat, latihan kami menjadi terganggu, akan tetapi tak apalah, aku jawab pertanyaanmu!" Ujar Mahesani.
"Aku bernama MAHESANI! Perguruan ini bernama Trisula Dewa, yang dipimpin oleh ayahku BAYU WIJAYA, bergelar si Pendekar Trisula Emas! Aku adalah putri tunggalnya, yang sementara mewakilkan beliau mengajar beberapa jurus ilmu dari apa yang aku bisa, dan telah aku pelajari dari ayahku...!"
Raka Rumpit tampak manggut-manggut sambil cengar-cengir dan garuk-garuk kepala. "Oh, oh... amat mengagumkan...! Tapi amat disayangkan sekali, karena... apakah nona Mahesani tak menyayangkan kulitmu yang mulus, dan wajah yang cantik itu kena goresan senjata tajam? Kukira pelajaran ilmu silat adalah pelajaran keras yang dikhususkan buat kaum laki-laki! Sebaiknya kau berhenti saja jadi wakil ayahmu! Aku Raka Rumpit amat berkenan padamu! Bagaimana kalau aku melamar mu untuk jadi istriku...? Apa kira-kira kau menolak? Hahaha... kukira aku cukup tampan untuk menjadi suamimu...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya berkata lengannya bergerak untuk menggamit dagu mungil sang gadis.
Tentu saja sikap kurang ajar, dan kata-kata si pemuda itu menimbulkan kemarahan Mahesani. Ketika lengan pemuda itu bergerak menggamit dagunya, dengan cepat lengannya sudah bergerak menepis, dibarengi bentakannya.
"Sobat! Mulutmu terlalu kurang ajar! Dan bukan tempatnya kau berkata demikian! Kami sedang berlatih! Menyingkirlah, sebelum anak-anak buah kami menjadi marah! Dan aku sendiri pun bisa bertindak keras, kalau kau tak menghargai orang!" Ujar Mahesani, dengan menahan sabar. Sepasang matanya mendadak menjadi menatap tajam pada pemuda di hadapannya itu.
Diam-diam hatinya menggumam. Pemuda dari manakah gerangan yang amat berani, dan kurang ajar ini...? Sementara wajah gadis ini sudah memerah karena mau tak mau sikap kurang ajar tersebut telah membuatnya malu. Apalagi dilakukan di hadapan para anak buahnya. Kalau dia tak memberi pelajaran pada pemuda kurang ajar ini di hadapan para murid ayahnya, rasanya memang amat penasaran. Namun sebisa-bisa sang gadis mencoba menahan diri. Mengingat tugasnya belum selesai.
"Hahaha... baiklah, aku akan menyingkir kalau kau bisa menjatuhkan aku dalam tiga jurus! Sekalian menguji apakah nama besar Perguruan Trisula Dewa bukannya nama kosong belaka...!" Ucap si pemuda dengan cengar-cengir menatap pada Mahesani. Habislah sudah kesabaran sang gadis putri Ketua Perguruan Trisula Dewa ini.
"Den ayu...! Biarkan aku yang menghajar manusia edan ini!" Tiba-tiba berkelebat seorang anak buahnya ke hadapan Raka Rumpit.
"Wahaha... hahaha... kau bukan tandinganku, anak mas...!" Berkata Raka Rumpit tanpa memandang sedikitpun.
Tentu saja membuat laki-laki itu menggertak gigi karena geramnya. Kedua lengannya bergerak terpentang, lalu kembali menyatu. Terlihat otot-ototnya bersembulan. Wajahnya menampilkan kemarahan luar biasa. Laki-laki ini bernama Gasir Ireng. Dia adalah murid Perguruan Trisula Dewa pada tingkat pertama. Bertenaga besar, dan juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dianggap enteng. Karena Perguruan Trisula Dewa menitik beratkan juga pada kekuatan tenaga dalam, sebagai dasar kekuatan inti.
"Jangan menyesal dengan kesombonganmu, manusia tengik!" Berkata Gasir Ireng dengan dada menggembung. Dan dibarengi dengan bentakan keras, kedua lengannya bergerak beruntun menghantam dada dan kepala Raka Rumpit.
Whuttt..! Plak...! Brruukkk...!
Tubuhnya tepat menimpa kawan-kawannya yang tengah berkumpul hingga jatuh bangun beberapa orang yang kena tertimpah tubuh sang kawannya ini. Gasir Ireng mengerang parau, dan muntahkan darah segar menggelogok dari mulutnya. Lalu menggeliat, dan tubuhnya diam tak bergeming.
"Iblis...! Kau... kau... telah membunuhnya...!?" Teriak beberapa orang hampir berbareng.
"Hahaha... mengapa salahkan aku? Bukankah dia sendiri yang mengantarkan nyawa...?" Berkata Raka Rumpit dengan bertolak pinggang.
Pada saat itu Mahesani sudah membentak keras. "Manusia keparat! Kau sungguh keterlaluan...!" Dan diiringi bentakannya Mahesani sudah lompat menerjang.
"Aha...! Masih dua jurus lagi, adik manis...! Silahkan pakai senjata! Dan pilih kulitku yang empuk!" Berkata pemuda itu menantang.
Sementara diam-diam Mahesani sudah menyiapkan satu jurus andalan dari perguruan Trisula Dewa. Tiba-tiba tubuh gadis itu berjumpalitan ke arahnya, tahu-tahu kakinya meluncur mengarah leher lawan. Inilah jurus Naga Sakti Menggulung Awan.
Terkejut Raka Rumpit, karena serangan itu memang tak terduga, juga amat cepat. Tadinya lengannya sudah bergerak untuk memapaki serangan, akan tetapi khawatir membuat gadis ini terluka, dia kelitkan tubuh ke belakang.
Saat itulah satu terjangan sepasang lengan sang gadis meluncur dengan tenaga dalam keras. Segelombang angin menerjang terlebih dulu. Dibarengi dengan meluncurnya kedua ujung telapak lengannya mengarah ulu hati dan lambung.
Tenaga dalam Mahesani yang sudah dikerahkan di kedua lengan itu luar biasa ampuhnya. Karena seandainya mengena pada batu karang, niscaya batu itu akan amblas tertembus lengan. Merasa hawa angin menggulung tubuhnya, Raka Rumpit telah keluarkan ilmu hitamnya yang baru dipelajari. Yaitu Tameng Iblis. Hebat akibatnya, karena tiba-tiba tubuh pemuda itu seketika telah terbungkus dengan asap hitam.
Ketika kedua lengan Mahesani menembus asap, terdengar suara teriakan tertahan gadis ini, karena bagai menumbuk bayangan hitam, yang membuat tubuhnya menggigil. Dalam pandangannya pemuda itu sudah berubah menjadi makhluk hitam berbulu, yang terkena hantaman tangannya tak bergeming sama sekali.
Namun dia masih sempat meronta, dan terlepas dari cekalan tangan makhluk hitam berbulu itu. Lengannya sudah bergerak mencabut senjata Trisula di pinggang. Didahului hantaman lengannya bertenaga dalam sepertiga bagian. Senjata Trisulanya berkelebat menusuk.
Aneh, makhluk itu tak berupaya mengelak. Bahkan terlihat tertawa menyeringai perlihatkan gigi-giginya yang runcing. Sepasang matanya merah menyala seperti mempengaruhi dan mematikan daya kekuatan sirkuit otaknya. Seketika syaraf dara perkasa ini tegang, dan dia memang kehilangan daya nalurinya. Gerakan menusuknya berubah lambat.
Selanjutnya Mahesani sudah tak mengetahui lagi apa yang terjadi. Ketika tahu-tahu tubuh si pemuda itu sudah berkelebat menepiskan senjatanya. Dan sepasang lengan yang kuat telah menotok, dan meraih pinggangnya. Sekejap kemudian tubuh Mahesani sudah berada di pundak Raka Rumpit. Terpaku semua anak buah sang gadis itu menyaksikan kejadian aneh itu, dan di saat mereka tersadar, tubuh putri Ketua mereka itu telah dibawa berkelebat lenyap di balik hutan rimba di arah sana.
"Celaka...! Kejaaar...! Kejaaaarrr...!" Teriak salah seorang yang baru tersadar dari pengaruh yang membuatnya bagai kena tenung. Serentak berlompatanlah mereka mengejar. Akan tetapi sudah kasip. Karena orang yang diburuhnya sudah tak kelihatan batang hidungnya dengan membawa kabur putri Ketuanya.
Matahari yang baru saja menggelincir naik itu tampak agak meredup sinarnya, karena segumpal awan hitam telah menutupnya. Dari balik bukit itu tiba-tiba meluncur sebuah titik hitam. Makin lama tampak semakin membesar, dan semakin jelas kelihatan apakah adanya benda yang melayang keluar dari belakang bukit itu.
Kiranya adalah sebuah kepala tanpa tubuh. Ya, kepala dari seorang wanita yang berambut panjang beriapan. Itulah kepala dari si manusia setan Tri Agni. Ketika melayang ke atas sebuah bukit yang permukaannya agak datar, kepala tanpa tubuh itu bergerak memutari bukit itu beberapa kali, lalu menukik turun. Itulah kiranya bukit di mana adanya makam tua.
Persis di mana tumbuh sebatang pohon Angsana besar di atas bukit itu, si kepala tanpa tubuh berhenti tepat di bawah pohon rindang itu. Lalu meluncur perlahan semakin ke bawah dan tepat di atas akar kepala itu berhenti. Di sana dia diam untuk beberapa saat. Dan tak lama tampak sepasang mata makhluk itu yang tadinya membelik biji matanya, kini terkatup dengan wajah agak merunduk. Terlihat bibirnya berkemak-kemik entah membaca mantera apa.
Selang sesaat, tiba-tiba angin keras membersit merontokkan dedaunan. Langit menjadi gelap. Kilat menyambar-nyambar. Tak berapa lama segera terlihat di atas pohon Angsana tua itu sebentuk asap hitam yang memutari pohon bergulunggulung. Sementara kepala wanita setengah siluman itu masih tetap merunduk dengan mata terkatup, dan bibir komat-kamit.
Whusss...! Asap hitam yang bergulung-gulung itu menjelma menjadi makhluk raksasa. Yaitu seekor ular yang amat besar. Mulutnya menganga, dan keluarkan suara mendesis yang amat dahsyat. Tampak wanita kala putus itu membuka kelopak matanya. Wajahnya segera bersitkan senyuman girang, senyum menyeringai.
"Oh, Selamat datang Gusti Junjungan hamba! Hamba membawa berita duka Gusti Junjungan! Yaitu kematian cucuku, si bocah hitam! Mungkin kau dapat merasakan betapa hancurnya hatiku! Setelah anakku Durgandini melahirkan bayinya atas anugerah darimu, dia kemudian mati! Kini giliran cucuku...! Baru sedang senang-senangnya memperoleh cucu, ternyata mati oleh musuh-musuhku...! Tolonglah hamba Pukulun...! Apakah Ilmu Dasa Jiwa itu sudah punah, bila tubuh makhluk apapun yang memiliki telah terkena mantera suci...?" Berujar Tri Agni, si wanita setengah siluman itu.
"Sedangkan niat anakku adalah mempunyai seorang anak yang dapat membalaskan dendam dan sakit hatinya. Tolonglah hamba Gusti Junjungan! Masih banyak manusia musuhku yang belum kubunuh! Bahkan kini bertambah lagi, dengan musnahnya cucuku pemberianmu itu, Pukulun...!"
"Hoahahaha... hahaha... cucumu si bocah hitam itu masih bisa menjelma lagi, hambaku Tri Agni! Bahkan anakmu si Durgandini itupun masih dapat kubangkitkan lagi kalau kau mengingini! Cuma harus ada beberapa syarat yang harus kau penuhi! Adapun mantera suci memang dapat memusnahkan ilmu Dasa Jiwa yang kau miliki, yang telah berpindah pada cucumu si bocah hitam melalui anakmu Durgandini! Itulah sebabnya cucumu pemberianku, terpaksa aku tarik lagi ke alam ghaibku!" Terdengar suara ular besar itu yang perdengarkan suaranya bagai mendesis. Sementara kilatan petir tak hentinya menyambar di angkasa yang telah berubah menjadi gelap pekat.
Tri Agni tampak manggut-manggut mengerti, lalu ujarnya: "Apakah yang harus hamba perbuat Pukulun...? Dendamku belum terlampiaskan! Dan telah menjadi satu dengan dendam anakku Durgandini...! Hamba belum puas mengharungi kehidupan di dunia ini, Pukulun...! Ingin hamba merasakan menjadi Ratu yang sakti dengan segala kekuasaannya! Namun keadaan hamba telah seperti ini! Apakah Pukulun dapat meluluskan permohonan hamba...?" Berujar Tri Agni dengan nada sedih. Bahkan air matanya sampai bercucuran keluar.
"Hoahaha... hahaha... sabarlah hambaku! Tanpa dapat kau melenyapkan si pemilik MANTERA SUCI, kau tak akan tenang mengharungi kehidupan yang kau inginkan! Karena kau sudah bukan manusia wajar lagi, kau memang takkan mampu berbuat sekehendakmu! Akan tetapi kau dapat melakukan kehidupan baru dengan mengadakan "penitisan"...! Akan tetapi penitisan itu hanya dapat kau lakukan di saat seorang manusia tengah dirasuk dendam kesumat! Namun apabila manusia itu telah kembali sadar, kau akan merasakan panasnya api yang amat luar biasa! Itulah saatnya kau tinggalkan jasad manusia titisanmu!" Terdengar lagi suara mendesis parau dari mulut sang ular raksasa.
Tampak Tri Agni beliakkan sepasang matanya lebih besar lagi. Alisnya mencuat ke atas. Penjelasan dari sembahannya si Raja Siluman Ular itu telah membuat dia amat girang akan tetapi juga terkejut. "Oh, terima kasih Pukulun, Junjungan Hamba! Kini hamba mengerti! Akan tetapi apakah Ilmu Dasa Jiwa itu masih dapat hamba miliki?"
"Menitislah kau pada salah seorang tubuh manusia yang baru mati! Dan bertapa selama seratus hari! Untuk bekal tapamu tentu kau memerlukan darah untuk kehidupanmu! Bahkan untuk selanjutnya memang kehidupanmu harus memerlukan darah! Nah! Kukira sudah cukup penjelasanku! Apakah masih ada keinginanmu yang lain...?" Bertanya si Ular Raksasa penjelmaan Raja Siluman Ular.
Tercenung sejenak Tri Agni, namun tak lama dia sudah berkata cepat-cepat. "Ada, Pukulun...! Hamba masih menginginkan penjelmaan anakku Durgandini! Dan juga cucuku si bocah hitam itu!" Ujar Tri Agni. Tampaknya dia amat berhasrat sekali dengan permintaannya yang terakhir ini.
"Hohoho... Hosssy! Hosssy! Untuk permintaanmu itu, kau laksanakanlah dulu tapamu dan kesempurnaan jasadmu! Kelak keinginanmu itu akan terlaksana!"
"Oh, hamba mengerti! Terima kasih Pukulun! Terima kasih atas kesediaanmu menolong diriku...!" Ucap Tri Agni.
Dan bersamaan dengan itu sang Ular Raksasa itu pun lenyap! Barulah menjadi segumpal asap hitam, yang selanjutnya kembali berputar-putar bergulung-gulung. Semakin lama semakin meninggi, dengan menimbulkan suara bergemuruh dan desis menyeramkan. Tak lama kemudian gumpalan asap hitam itu pun sirna. Kilat sambung-menyambung di angkasa, dibarengi dengan bertiupnya angin keras.
Namun tak lama cuaca pun berangsur-angsur kembali terang benderang. Angin keras kembali sirna, dan petir yang berkilatan di angkasa pun melenyap. Keadaan kembali seperti sedia kala. Wanita kepala tanpa tubuh ini tersenyum menyeringai. Dan bahkan tertawa mengikik hingga suaranya terdengar ke sekitar perbukitan Makam Tua itu. Tak lama kepala tanpa tubuh Tri Agni melesat keluar dari bukit Makam Tua, dan melenyap...
"Bocah edan itu sudah kembali lagi...?" Terdengar suara menggumam dari dalam sebuah goa di bawah tebing dekat muara sungai itu.
Seorang nenek tua yang bongkok berwajah mirip tengkorak, tampak tengah duduk bersila di dalam ruangan. Tempat di mana dia duduk adalah sebuah batu persegi. Di sebelah kirinya ada lubang batu di dinding goa, hingga sinar matahari menerangi ruangan itu. Kepalanya agak dimiringkan seperti tengah mendengarkan lebih jelas suara orang yang datang.
Ternyata sepasang matanya masih mengatup, dan bahkan hebatnya, adalah orang yang didengarnya datang itu ternyata masih berada jauh sekali di bawah bukit. Menandakan pendengaran si nenek bongkok ini amat luar biasa.
"Hahaha... sabarlah manisku, aku akan carikan tempat yang sejuk dan nyaman! Tentu akan aku buka totokanku bila kau tidak rewel!" Sementara gadis yang berada di atas pundaknya itu cuma bisa menggigit bibir menahan geram. Akan tetapi dia sudah mengeluh, karena tak mampu berbuat apa-apa.
"Hm, goa tempat tinggalku terlalu pengap! Juga aku tak mau si nenek peot itu mengganggu ku!" Desis suara si pemuda. Tiba-tiba Raka Rumpit sudah melompat cepat ke arah sebelah timur perbukitan seraya perdengarkan desisannya. "Ahay... aku tahu tempat yang nyaman...!"
Seraya selanjutnya sambil bernyanyi-nyanyi kecil, dia sudah tiba di satu tempat. Di bawah pepohonan rimbun di sisi sungai itu, Raka Rumpit hentikan langkah kakinya. Lalu jatuhkan bebannya ke atas rumput tebal yang banyak tumbuh di sekitarnya. Kini sepasang mata pemuda ini sudah menjadi liar menelusuri wajah dan sekujur tubuh gadis bernama Mahesani itu.
Butiran-butiran keringat mengalir turun dari dahi sang gadis, bahkan sekujur tubuhnya sudah mandi keringat. Akan tetapi keringat itu adalah keringat dingin. Karena hawa takut yang amat luar biasa. Keputusasaan telah terpampang di wajah Mahesani. Tak ada daya lagi dia untuk dapat melepaskan diri dari cengkeraman pemuda bernama Raka Rumpit ini. Sementara lengan si pemuda sudah mulai nakal menelusuri setiap lekuk liku di tubuh sang dara.
Bret...! Bret...! Brettt....!
Sekonyong-konyong lengannya sudah bergerak merobek pakaian ketat si gadis. Terperangah seketika Mahesani. Dan cuma dengan berapa kali menyibak saja dia sudah rasakan hawa dingin dari sekujur tubuhnya. Karena sekejap apa yang melekat di tubuhnya sudah lenyap;
Terpekik dara ini dengan suara tersekat di tenggorokan. Tentu saja, karena Raka Rumpit telah menotok pula urat suaranya. Hingga Mahesani tak dapat mengeluarkan suara kecuali desisan.
"Iblis keparat! Lepaskan aku! Tidak! Tidaak...! Akan kubunuh kau Iblis! Kau... kau manusia edan!" Teriak suara desisnya.
Akan tetapi suara itu memang tak keluar. Desisnya tersangkut di tenggorokan. Cuma terlihat napasnya yang turunnaik dengan cepat. Dan sepasang mata yang terbeliak, serta bibir setengah terbuka. Usahanya untuk meronta membebaskan diri dari pengaruh totokan, cuma sia-sia belaka. Sementara lengan Raka Rumpit mulai menelusuri sekitar perbukitan dan lembah. Pandangan matanya semakin liar. Bahkan desah napasnya mulai seperti orang dikejar setan.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terpandang pada cincin peraknya yang berbatu "combong". Hm, apakah kegunaan khasiat cincin ini untuk menaklukkan hati wanita? Pikir Raka Rumpit. Tak terasa dia sudah tarik kembali lengannya.
"Akan kucoba!" Desis suara Raka Rumpit. Karena segera teringat akan kata-kata gurunya. Suatu saat bukan benda lagi yang kau curi! Pasti banyak wanita akan kau curi hatinya! Pasti kata-katanya mempunyai maksud yang berhubungan dengan benda ini! Bisik hatinya.
Dan... tiba-tiba dia mulai salurkan kekuatan bathinnya untuk menatap pada cincin bermata batu Combong itu. Pemuda gemblengan si nenek bongkok ini ternyata mempunyai kelebihan dalam hal kekuatan bathin. Tidaklah aneh, karena gurunya sendiri, si Nenek Bongkok Muka Tengkorak itu dengan kekuatan bathinnya mampu membuat tongkatnya bergerak memukul pantat sang murid.
Selang tak lama batu cincin di jari tangannya itu keluarkan sinar berwarna biru. Terkejut Raka Rumpit. Akan tetapi wajahnya sudah menampilkan kegirangan. Mendadak dia sudah hentikan kekuatan tenaga batin yang disalurkan melalui pancaran matanya. Kini dia berbalik menatap pada Mahesani. Lengannya yang berbatu cincin combong itu bergerak ke arah wajah gadis itu.
Tentu saja sinar biru yang memancar dari batu cincin Raka Rumpit amat menarik perhatian Mahesani. Sepasang matanya menatap sinar biru yang terpancar di jari tangan si pemuda. Dan... tampak satu perubahan mendadak, terjadi pada gadis di hadapannya. Kalau tadi Mahasani menatap dengan wajah ketakutan pada Raka Rumpit. Dengan sepasang mata membeliak marah serta bibir menganga gelisah.
"Ahaha... ahaha... ahahay... si bocah edan ternyata telah berhasil menaklukkan hati wanita, guru...! Terima kasih nenek manis atas pemberian "jimat"-mu ini!" Berkata pemuda itu dengan mengakak tertawa girang. Sementara lengannya sudah bergerak membuka totokan pada tubuh sang gadis.
Begitu merasa totokannya terbuka, dan tubuhnya dapat digerakkan lagi, segera Mahesani melompat bangun. Dan... tiba-tiba saja sepasang matanya sudah berubah menjadi liar. Bibirnya berdesahan, dengan napas menggebu. Tahu-tahu sudah memeluk Raka Rumpit dengan gairah berkobar.
"Bocah edan...!" Terdengar suara lirih memaki di balik semak. Dan sebuah kepala seorang nenek bermuka tengkorak tersembul di antara dedaunan. Sepasang matanya berbinar-binar melihat adegan di depan matanya. Tampak tubuhnya bergetar seperti menahan satu gejolak rangsangan yang amat kuat menghimpit dadanya.
Terasa ada sesuatu yang membuat napasnya menjadi sesak. Betapa tidak, lebih dari 10 tahun dia tak pernah disentuh oleh laki-laki. Dan sejak tiga tahun dia mengambil Raka Rumpit menjadi murid. Selama itu dia sudah menekan perasaannya. Terkadang tatapan mata si pemuda muridnya itu seperti menghunjam ke lubuk hati. Dan... entah mengapa tiba-tiba di benaknya timbul rasa mengiri, atau boleh disebut rasa cemburu yang begitu besar.
Tiba-tiba nenek bongkok itu pejamkan sepasang matanya. Bibirnya berkemak-kemik seperti membaca mantera. Tak lama terjadilah keanehan. Dari ubun-ubun kepalanya tersembul segumpal uap putih. Akan tetapi tak lama telah berubah menjadi hitam. Uap hitam itu menjulur menembus semak belukar, dan meluncur ke arah kedua orang yang tengah tenggelam dalam gelimang birahi.
Uap hitam itu sekonyong-konyong menelusup ke ubun-ubun kepala Raka Rumpit. Saat mana si pemuda tengah mengecupi leher sang "kekasih"nya yang kembali membuat dirinya terangsang. Bergelinjangan tubuh Mahesani yang dalam keadaan telanjang bulat itu menghimpit tubuhnya. Pemuda ini mendengus bagai kerbau yang mulai kembali liar. Sepasang matanya mulai membinar.
Dan... kepalanya sudah menelusup di antara belahan sepasang benda lembut berputik kemerahan. Mendesah-desah sang gadis merasakan kenikmatan. Serta segera balikkan tubuhnya menghimpit kuat-kuat tubuh Mahesani di bawahnya. Terperangah wanita muda ini.
Tubuhnya seketika bergelinjangan merasakan nikmat bercampur rasa sakit yang menyesakkan jalan pernapasannya. Meronta-ronta gadis itu dalam himpitan Raka Rumpit, dan sia-sia lengannya menepiskan cengkeraman jari-jari tangan pemuda itu yang telah mencekik lehernya.
Tubuh mulus tanpa sehelai benang itu menggeliat meregang nyawa. Suara teriakannya telah tersangkut di tenggorokan, yang telah menyumbat pernapasannya. Akhirnya setelah beberapa saat meregang maut dalam membaurnya kenikmatan, tubuh dara itu pun terkulai lemah untuk tak berkutik lagi. Lidahnya terjulur memanjang, dengan sepasang mata yang membeliak. Dia telah mati dicekik si pemuda bernama Raka Rumpit itu.
"Bocah edan...! Kau pulanglah! Aku tak akan menggebuk pantatmu...!"
Terkejut pemuda ini, karena segera mengetahui kalau itu adalah suara gurunya si nenek bongkok muka tengkorak. Segera dia bergegas memakai pakaiannya. Tak lama sudah melompat pergi dari sisi sungai itu. Sesaat matanya masih sempat menatap mayat sang gadis, akan tetapi dia memang sudah tak mengacuhkannya lagi.
"Ah, ah...! Mahesani! Agaknya umurmu terlalu pendek untuk menjadi isteriku!" Dan berkelebatlah tubuhnya menuju arah ke tempat tinggalnya, yaitu goa "lobang tikus" yang berbau pengap dan sudah amat menjemukan hatinya itu. Tiupan angin lirih mengiringi kepergiannya.
Sementara itu di mana dua sosok tubuh berkelebat, yang satu adalah si nenek bongkok yang mendahului berkelebat kembali menuju goanya, sedang yang satu lagi adalah tubuh Raka Rumpit. Saat itulah muncul sebuah kepala tanpa tubuh yang baru menampakkan diri. Dengan mulut tersenyum menyeringai kepala si manusia setengah siluman itu melayang mendekati tubuh Mahesani.
"Hihihi... hihi... bagus! Beruntung sekali aku menjumpainya! Mayat gadis ini masih segar, dan baru saja mati!" Mendesis suara Tri Agni, dan kepalanya bergerak memutari tubuh telanjang bulat yang terbujur itu.
"Aii, sungguh seorang gadis yang cantik dan masih amat muda! Hihihi... walau baru habis diperkosa tak apalah...! Wah, wah... sungguh mulus tubuhnya! Entah siapa nama gadis ini, akan tetapi inilah saatnya aku menitis padanya!"
Selesai berkata tiba-tiba kepala Tri Agni melenyap sirna, dan tanpa terlihat oleh mata biasa, secercah sinar putih melesat cepat memasuki gua garba Mahesani melalui ubun-ubun kepalanya. Mendadak terjadi keanehan pada alam sekitar, karena tiba-tiba cuaca berubah menjadi gelap. Angin bersyiur keras merontokkan dedaunan. Di langit tampak kilat sambung-menyambung membersitkan sinarnya disertai suara ledakan-ledakan keras.
Dan... pada saat itu juga tampak sesuatu telah terjadi pada mayat Mahesani. Mayat si gadis remaja itu tiba-tiba telah bergerak bangun. Tak lama sudah berdiri dengan perdengarkan suara tertawa aneh. Karena Mahesani tidak bersuara demikian. Itulah suara Tri Agni si manusia setengah siluman, yang telah menitis padanya.
"Hihihi... hihi... ow, enak sekali tubuh ini dipakainya! Aku dapat menggerakkan lagi lengan dan kaki! Dan aiih, benar-benar menyenangkan! Kini aku sudah mempunyai tubuh putih mulus, dan montok! Buah dadaku pun masih padat berisi! Pinggangku ramping, dan pinggul... ow! Besaar! Paha dan betis amat serasi! Jari tangan dan kaki lentik memanjang...! Dan... dan... hmm lebatnya...!"
Tri Agni tersenyum-senyum menatap tubuhnya, seraya berjalan melenggang-lenggok. Rambutnya dibiarkan terurai. Namun tak lama dia sudah hentikan tingkahnya. Kini merenung sejenak, seperti memikir akan apa yang harus diperbuatnya.
"Hm, aku harus mencari pakaian penutup tubuh ku! Ya, dengan mencuri tentunya!" Gumamnya perlahan. Dan Mahesani yang sudah berbeda nyawa itu pun beranjak dari tepian sungai itu. Ternyata gerakannya amat gesit, seperti Tri Agni ketika masih bertubuh utuh beberapa bulan yang lalu. Dengan berjumpalitan di udara, Mahesani sudah melesat menyeberangi sungai dan tiba di seberang. Injakkan kaki dengan ringan di atas tanah.
Seekor babi hutan yang tersesat ke sisi sungai, mengguik dan berlari ketakutan masuk ke rumpun lebat. Mahesani tertawa mengikik, lalu palingkan wajahnya ke arah depan. "Hm, di hilir sungai ini pasti banyak orang mencuci pakaian!" Desisnya agak santar. Dan berkelebatlah dia melompat-lompat lincah menyusuri tepian sungai.
"Sudah selesai kau mencucinya, Tantri...?"
"Ah, belum, yu... masih dua potong lagi!" Sahut gadis muda berkulit putih ini, seraya menoleh. Sementara lengannya masih bekerja cepat menggilas pakaian di atas batu. Gadis ini mengenakan selembar kain yang dilipat ujungnya sebatas dada, sementara tubuhnya terendam air sebatas pinggang.
Wanita kawannya ini lebih tua sedikit usianya, yang tampaknya sudah selesai mencuci. Dan segera pergi mandi. Tak terlalu lama, dia sudah beranjak naik, dengan menyambar pakaiannya yang diletakkan di atas batu. Tampaknya dia bergegas mengenakan pakaiannya. Sebentar-sebentar memandang ke atas melihat langit. Matahari tampak tertutup awan hitam.
Dan hari memang sudah menjelang sore, karena bayangan tubuh yang samar-samar itu sudah memanjang. Tak berapa lama dia sudah selesai berpakaian, dan merapikan rambutnya dengan menggelungnya ke atas. Sementara gadis muda bernama Tantri itu terus mencuci, namun dipercepat karena melihat kawannya sudah rapi berpakaian.
"Cepatlah, Tantri...! Kukira sudah mau turun hujan! Tadi kulihat cuaca gelap sekali! Petir berkilauan di arah hulu sungai! Tapi... tapi memang aneh? Tahu-tahu cuaca kembali terang benderang! Dan kini lihatlah! Awan hitam sudah menutupi matahari lagi!" Ujar wanita itu. Dia bernama Tomblok.
"Aiih, yu Tomblok! Mengapa kau tampak ketakutan sekali!? Tak seperti biasanya! Kalau kau mau pulang duluan, pulanglah...! Akupun masih bisa pulang sendiri! Pakaian suamiku ini masih kotor! Dakinya terlalu tebal! Kau tahukan sifat suamiku? Dia akan mengomel kalau aku mencuci tak bersih!" Sahut Tantri ketus.
"Tapi... tapi aku memang takut, Tantri...!" Sahut Tomblok yang tampaknya memang agak gelisah. Entah mengapa hatinya jadi berdebaran. Dan tengkuknya sudah meremang sejak tadi.
"Takut apa...?" Tanya Tantri seraya menatap pada kawannya.
"Anu... takut... takut kehujanan!" Sahut wanita ini tergagap.
"Hihihi... hihi... yu Tomblok! yu Tomblok...! Kau ini memangnya sebangsa kambing, atau masih keturunan kambing? Masakan takut sama hujan! Hawa begini mana mungkin hujan? Hm, sudahlah, kau pulanglah lebih dulu! Kau memang cari-cari alasan saja!" Ujar Tantri seraya teruskan lagi mencuci.
"Kalau begitu baiklah! Aku pulang duluan, ya Tantri!" Ucap Tomblok seraya menyambar bakul cuciannya, lalu tanpa menoleh lagi sudah beranjak menaiki tanjakan berbatu-batu di sisi sungai itu. Langkahnya terlihat amat tergesa.
Gadis berkulit putih ini cuma mendengus, dengan wajah cemberut. Hatinya amat mendongkol pada kawan mencucinya itu. Diam-diam bibirnya mendesis seperti memaki. "Huh, dasar janda sudah gatel! Bilang saja sudah tak sabar menemui Kangmas barunya...!"
Mencuci sendiri di sungai dengan situasi sepi mencekam seperti itu memang tidak enak. Di samping ada rasa was-was, juga tidak tenang perasaan rasanya. Namun apa mau dikata, dengan hati mendongkol wanita muda ini teruskan pekerjaannya. Akan tetapi kini sudah mulai terasa adanya hawa aneh, yang membuat tengkuknya meremang. Dan dia baru merasakannya, beberapa saat setelah kawannya berangkat pulang.
"Eh, aneh...! Tak seperti biasanya hawa begini dingin! Tadi tak terasa apa-apa padaku! Hm, apakah cuma perasaanku saja...?" Gumam si wanita muda dalam hati.
Dan makin bergegaslah dia menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan niatnya untuk mandi pun telah diurungkan. Pakaian yang masih belum bersih digilasnya itu, cepat-cepat diperasnya. Lalu dilemparkan ke dalam bakul. Untuk selanjutnya mencopot kain penutup tubuhnya. Diperasnya pada bagian yang basahnya saja. lalu cepat dimasukkan ke bakul cucian. Selanjutnya lengannya sudah bergerak untuk menyambar pakaian keringnya yang bersih, di atas batu. Akan tetapi belum lagi lengannya menjamah, tahu-tahu bersyiur angin keras. Dan onggokan pakaiannya telah lenyap.
"Hah!?" Tersentak wanita muda ini. Sepasang matanya membeliak lebar. Tak ketahuan ke mana "terbang"nya sang pakaian, karena tahu-tahu sudah lenyap begitu saja dari atas batu di hadapannya. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik yang tak ketahuan di mana arahnya. Serasa berdiri semua rambut di kepalanya, wanita ini menjerit ketakutan.
Dan tak ayal sudah melompat ke darat, lalu lari jatuh bangun dengan keadaan tubuh telanjang bulat. Semakin gencarlah suara tertawa mengikik itu, seperti terpingkal-pingkal. Namun tak berapa lama satu bayangan sudah berkelebat muncul, dan suara tertawa mengikik itu pun terhenti. Terperangah wanita muda ini, karena tibatiba di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh telanjang bulat. Dan seonggok pakaian miliknya telah berada di cekalan lengan gadis tanpa busana itu.
"Hihihi... hihi... jangan pergi adik manis...! Aku amat memerlukanmu...! Hihihi... ya, memerlukan darahmu!" Berkata Mahesani.
"Hah!? Toloong! Tidaaak...! Ja... jangaaan...!" Berteriak wanita ini dengan wajah pucat ketakutan. Dan dia sudah putar tubuh untuk melarikan diri.
Akan tetapi sekali Mahesani mengangkat tangan, segelombang angin keras bersyiur menerpa tubuh wanita itu. Sekejap saja dia sudah roboh dengan mengeluh. Selanjutnya ketika Mahesani membungkukkan tubuh... terdengarlah jeritan wanita muda itu. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Ternyata Mahesani telah menerkam lehernya dengan giginya, menggigit leher sang korban. Darah menyemburat memancur, dan dengan lahap Mahesani telah menghisapnya.
Tak berapa lama tubuh wanita muda yang telanjang bulat itu sudah terkulai lemah. Sepasang matanya membeliak. Dan sesaat antaranya Mahesani sudah lepaskan cengkeramannya, lalu bangkit berdiri. Tampak wajahnya menyeringai menyeramkan. Karena wajah cantik gadis itu penuh berlumuran darah pada bagian mulutnya.
"Hihihi... darahmu manis, seperti orangnya... hihihi... hihi..." Mahesani gerakkan lengannya menyeka mulut. Sementara sepasang matanya menatap menjalari sekujur tubuh polos si wanita muda yang sudah tak bergeming lagi. Karena nyawanya telah lepas meninggalkan tubuhnya.
Tak berapa lama, setelah selesai mengenakan pakaian yang dirampasnya, Mahesani alias Tri Agni segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu dengan diiringi suara tertawa mengikik yang menyeramkan.
Sebulan sudah sejak kejadian lenyapnya Mahesani, puteri Ketua Perguruan Trisula Dewa. Lereng bukit tempat berlatih para anak buah Perguruan tersebut sudah tak dipakai lagi untuk berlatih. Rumah Perguruan Trisula Dewa tampak dilanda kemuraman. Tiada lagi gelak tawa dan canda dari para anak buahnya.
Sedangkan sang Ketua Perguruan yang bergelar si Pendekar Trisula Emas tampak jarang keluar dari kamarnya. Berganti-ganti diutus dari para anak buahnya untuk mencari jejak si pemuda bernama RAKA RUMPIT yang melarikan Mahesani. Akan tetapi tak membawa hasil.
Hari itu tampak rumah Perguruan Trisula Dewa kedatangan dua orang tamu. Mereka adalah seorang wanita berusia sekitar 50 tahun dan seorang pemuda dewasa yang kira-kira berusia lebih dari dua puluh tahun. Si wanita tua itu memakai pakaian persilatan, bertubuh agak pendek, dengan rambut digelung di atas, memakai tusuk konde emas, berbaju sutera warna jingga.
Sedangkan laki-laki remaja itu memakai pakaian warna abu-abu, dengan ikat kepala berwarna merah. Di punggungnya terselip sebatang tombak pendek bermata tiga. Yaitu di kiri kanan dua mata kapak, dengan bagian tengahnya mata tombak.
"Katakan pada Ketuamu, bahwa Pendekar Lembah Bunga datang bertamu...!" Berkata si wanita tua itu dengan suara gagah.
Penjaga yang menyambut kedatangannya itu mengangguk hormat, lalu bergegas beranjak untuk memberi laporan. Sementara belasan anak buah lainnya hanya menatap dari kejauhan, sambil bertanya-tanya siapakah tetamu dia orang yang datang menyambangi padepokan mereka? Tak berapa lama....
"Ah, selamat datang di tempatku, sobatku Pendekar Lembah Bunga...!" Dan diiringi suara kata-katanya, segera muncul sang Ketua Perguruan Trisula Dewa yang bernama Bayu Wijaya itu.
"Ahihi... mana anak gadismu, si Mahesani? Tentunya sudah berubah jadi gadis dewasa yang cantik rupawan!" Berkata si wanita tua Pendekar Lembah Bunga.
Tercenung sesaat, Bayu Wijaya. Mendadak wajahnya menjadi muram. Akan tetapi cepat-cepat dia menjawab dengan tersenyum, bahkan perdengarkan tertawanya yang hambar. "Hahaha.... Diajeng Rukmita...! Agaknya kau sudah terlalu rindu, hingga sudah menanyakannya! Ehm, apakah anak muda ini muridmu yang pada belasan tahun yang lalu itu masih kecil dan bandel?" Tanya Bayu Wijaya mengalihkan pembicaraan di luar Padepokan itu.
"Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan si Mahendra! Anakku ini tak pernah berguru pada siapa-siapa selain ibunya sendiri...!" Menyahuti si Pendekar Lembah bunga seraya berkata: "Hayo, anakku segera beri hormat pada calon mertuamu ini...!" Pendekar Lembah Bunga lanjutkan kata-katanya seraya menoleh pada sang anak.
Tentu saja si pemuda bernama Mahendra itu cepat-cepat menjura dengan membungkuk di hadapan Bayu Wijaya seraya mencium tangan orang tua itu. Akan tetapi cepat-cepat Bayu Wijaya menepuk pundaknya.
"Sudahlah, anak mas...! Jangan terlalu banyak peradatan! Marilah kalian segera masuk! Tempatku masih begini saja tanpa perobahan!" Ujar Bayu Wijaya merendah.
Sementara wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Hatinya berdebaran, akan bicara bagaimanakah dia nanti di hadapan calon besannya ini? Seperti telah direncanakan, memang sejak masih sama-sama berusia tujuh-delapan tahun, Mahesani dan Mahendra telah ditunangkan. Akan tetapi dia memang tak menyangka kalau kedatangan Rukmita alias si Pendekar Lembah Bunga ini akan datang menepati janji.
Dan kedatangannya sudah pasti untuk melamar anak gadisnya. Namun kedatangan sang calon besan ini sudah terlambat karena Mahesani telah lenyap entah ke mana. Mau tak mau Bayu Wijaya memang harus menceritakan apa yang telah terjadi. Tentu saja membuat si Pendekar Lembah Bunga jadi terperanjat. Bahkan seketika menjadi lemas sekujur tubuhnya.
"Menurut yang kudengar, pemuda itu bernama RAKA RUMPIT! Entah dari mana kedatangannya! Justru waktu terjadinya penculikan itu aku sedang tak ada di tempat! Latihan para murid kami memang setiap sepekan sekali mengadakan latihan di lereng bukit Karang Tunggal, tak seberapa jauh dari sini!" Ujar Bayu Wijaya dengan nada sedih. "Telah kuutus beberapa kelompok untuk menyebar, mencari jejak Mahesani, akan tetapi sia-sia! Mereka pulang tanpa membawa hasil! Pencarian jejak itu sudah sampai sebulan ini! Aku memang sudah hampir putus asa Diajeng...!
Termenung si Pendekar Lembah Bunga, wajahnya menampilkan kekecewaan hatinya. Akan tetapi jelas membuat kemarahan luar biasa pada si pemuda bernama Raka Rumpit, yang telah menculik calon menantunya. Sementara Mahendra cuma bisa termangu-mangu tanpa bisa berkata apa-apa. Melihat pun wajah tunangannya sejak sama-sama dewasa, dia belum pernah.
Masa kecil dalam usia sekitar tujuh-delapan tahun adalah masa di mana belum bisa mengingat wajah orang, walaupun mereka pernah saling jumpa. Selama itu Mahendra hanya mengetahui sekitar lembah, yang dinamakan Lembah Bunga. Dimana dia digembleng oleh sang ibu yang merangkap sebagai gurunya.
Setelah terdiam sejurus, akhirnya Pendekar Lembah Bunga memohon tinggal sementara di Padepokan Trisula Dewa, sekalian menyelidiki di mana adanya si pemuda penculik bernama Raka Rumpit, dan mencari jejak Mahesani. Tentu saja Bayu Wijaya tak menolaknya. Bahkan dengan adanya Mahendra di padepokan, dia dapat leluasa mencari anak gadisnya.
Demikianlah, hari itu juga Mahendra diperkenalkan pada seluruh dari anak buah Perguruan Trisula Dewa. Bahkan beberapa hari di padepokan itu, ternyata Mahendra amat disenangi dalam pergaulan. Bahkan terjadi saling menguji ilmu. Kedua calon besan itu cuma memandang sambil tersenyum.
"Diajeng...! Tampaknya jurus-jurus ilmu Lembah Bunga amat hebat! Kaukah yang telah menciptakan jurus-jurus baru itu?"
"Hm, benar! Sebenarnya masih serumpun dengan jurus-jurus dari ciptaan guru kita! Aku hanya mengadakan perombakan, dan menambah beberapa jurus baru hasil ciptaanku!" Sahut si Pendekar Lembah Bunga.
Bayu Wijaya tersenyum seraya manggut-manggut. Sementara diam-diam hatinya agak tergetar berdekatan dengan wanita yang pernah menjadi saudara seperguruannya itu. Sudah sejak lama Bayu Wijaya hidup menduda, sejak istrinya minggat bersama laki-laki lain, dan entah ke mana perginya. Meninggalkan Mahesani sejak masih kanak-kanak. Rumah tangganya memang tidak harmonis, dan mengalami perpecahan, karena sang istri ternyata seorang wanita yang tak mengenal puas.
Sedangkan si Pendekar Lembah Bunga adalah juga seorang janda, yang ditinggal mati suaminya. Dan tidak berhasrat menikah lagi. Sebagai dua orang dari satu guru, mereka tetap bersahabat. Dan masing-masing telah mengetahui akan riwayat hidup rumah tangganya, yang sama-sama berantakan.
Entah, apakah di hati Rukmita alias si Pendekar Lembah Bunga itu masih ada cinta? Bayu Wijaya tak dapat menduganya. Namun nyatanya hati Bayu Wijaya memang sudah kena terjerat asmara, di masa tua ini. Seakan ingin dia mengembalikan masa remajanya yang sudah lewat puluhan tahun.
Sayang kemelut lenyapnya anak gadisnya membuat Bayu Wijaya lebih banyak menekan perasaannya. Adapun si Pendekar Lembah Bunga seperti tak mengetahui apa yang terkandung di hati saudara seperguruannya itu.
"Ah, seandainya jurus-jurus Lembah Bunga dipadukan dengan jurus dari Perguruan Trisula Dewa, tentu akan merupakan kombinasi yang hebat!" Berkata perlahan Rukmita. "Jurus-jurus ciptaanmu pun tak kalah hebatnya, kakang Bayu...!" Lanjut ucapannya.
"Yah. kukira memang bisa jadi! Akan tetapi aku merasa jurus-jurus ciptaanku teramat lemah! Terbukti anakku Mahesani tak mampu menjatuhkan pemuda bernama Raka Rumpit itu dalam tiga jurus! Dan bahkan dapat diculik begitu saja...!" Berkata Bayu Wijaya dengan wajah muram, seperti menyesali kebodohannya.
Rukmita berpaling menatap wajah Bayu Wijaya. Laki-laki yang ditatapnya tundukkan kepala. Sementara jari-jari lengannya bergerak memilin jenggotnya yang masih hitam berkilat. "Kakang Bayu...!" Ucap wanita tua itu lirih. Seraya kembali berpaling mengarahkan pandangan ke pelataran Padepokan. "Kukira kau akan sependapat, kalau kita mencari Mahesani berdua! Urusan di Padepokan Trisula Dewa kita serahkan saja pada murid tertuamu! Bukankah ada Mahendra, yang bisa membantu bekerja dan turut menjaga untuk sementara!" Berkata Rukmita dengan kata-kata lirih serius.
Tercenung Bayu Wijaya, seolah tak percaya, karena justru dia memang amat mengharapkan hal demikian. Akan tetapi Bayu Wijaya tak menampakkan wajah girangnya. Bahkan terdengar menghela napas, seolah mengkhawatirkan sesuatu. "Akupun berpendapat demikian, diajeng...! Namun apakah tak menjadi gunjingan orang, karena kita sama-sama duda dan janda...?"
"Hm, mengapa harus berpikir sejauh itu? Kita adalah pernah menjadi saudara seperguruan! Dan layak kalau kita pergi bersama untuk mencari Mahesani, sekalian menyelidiki siapa adanya bocah kurang ajar yang telah menculiknya...! Persetan dengan segala macam gunjingan!" Ucap Rukmita dengan kata-kata tegas.
"Kalau begitu, baiklah...! Bilakah kita akan berangkat?" Tanya Bayu Wijaya.
"Mengapa harus buang waktu? Lebih cepat adalah lebih baik!"
"Sampai berapa waktu kita mencarinya...?"
"Heh! Ya, sampai ketemu...! Aiiih, kakang Bayu! Apakah kau akan mandah saja anak gadismu dijadikan permainan orang? Walau entah apa yang terjadi dengan anakmu itu, aku tetap tak merobah keputusan untuk menjodohkannya dengan Mahendra!" Ucapnya tegas. Dan kata-kata si Pendekar Lembah Bunga itu memang tidak main-main, karena terlihat jelas di sudut matanya menggenang setitik air bening. Dan sepasang matanya sudah berkaca-kaca. Akhirnya wanita itu pun tundukkan wajahnya seraya menahan isak yang tersendak di dadanya.
"Aku memang seorang ayah yang tak becus menjaga anak, diajeng! Ah, maafkanlah aku! Gembira sekali kalau kita bisa jalan bersama-sama! Jadi teringat lagi pada masa kita remaja! Sayangnya aku tak berjodoh denganmu!" Ujar Bayu Wijaya sambil tersenyum. Namun tak urung air matanya pun membersit keluar.
Pada pertengahan musim kemarau seorang penunggang kuda tampak mendatangi sebuah perkampungan di daerah utara itu. Laki-laki itu berpakaian sederhana. Ikat kepalanya yang terbuat dari bahan kasar berwarna kuning, tampak berkibaran tertiup angin. Kudanya berbulu coklat dan tampak kekar. Tiba di mulut desa, laki-laki ini hentikan lari kudanya dan berjalan perlahan. Sementara sepasang matanya merayapi keadaan sekitar daerah itu.
Ternyata laki-laki ini tak lain dari Satryo, bekas Senapati Kerajaan Matsyapati yang sudah punah. Satryo memang telah mengembara menurutkan sepembawa kakinya. Nama desa yang disinggahinya itu pun dia tak tahu. Empat bulan sudah waktu berlalu, dengan kuda tunggangannya yang tak pernah berpisah darinya.
Tiba-tiba laki-laki ini hentikan langkah kudanya, karena telinganya segera menangkap suara jeritan, dan suara orang berteriak. Bahkan tak lama terdengar seperti suara orang bertarung, dengan diiringi bentakan-bentakan keras. Apakah yang terjadi? Sentak hatinya. Dan tanpa ayal lagi dia sudah keprak kudanya untuk mencongklang cepat ke arah tengah desa.
Sesosok mayat wanita membugil tampak terjuntai di pintu rumah panggung, dan seorang pemuda bertelanjang dada, tampak tengah menghadapi serangan dua orang laki-laki yang menerjang hebat dengan golok-golok telanjang.
"Bocah keparat! Kau berani main gila dengan anak menantuku? Kubunuh kau bangsat!" Orang tua itu menerjang kalap. Goloknya menebas ke kiri-kanan dan membacok ganas ke tubuh si pemuda.
Akan tetapi dengan tertawa-tawa pemuda itu telah melompat-lompat menghindar. Gerakan mengelakkannya ternyata santai saja, namun serangan-serangan ganas laki-laki tua itu ternyata luput dengan mudah. Sementara laki-laki yang hampir seumur dengannya itu melompat menerjang dengan bentakan keras, dan berteriak-teriak kalap. Agaknya dialah suami wanita bugil yang terjuntai di pintu rumah panggung.
"Aku akan adu jiwa denganmu, setan pemerkosa wanita!" Dan dengan menggerung keras dia sudah lakukan terjangan hebat dengan golok panjangnya.
"Ahahaha... aku tidak memperkosa! Boleh kau tanyakan pada istrimu! Kami melakukannya mau sama mau!" Ujar pemuda itu dengan mengelak dari sambaran ganas golok panjang si laki-laki suami wanita itu. Dan...
Blugh...! Dia telah kirimkan satu hantaman telak di dada orang. Tak ampun laki-laki itu terlempar keras hingga menabrak ke anak tangga bambu rumah panggung itu.
Braakkk...! Tangga bambu itu patah berderak. Dan laki-laki itu meringis menyeringai kesakitan. Dia masih berusaha bangkit, namun segera terbatuk-batuk, dan darah kental berwarna hitam menggelogok keluar dari mulutnya.
"Hahaha... sebaiknya kau menyusul istrimu ke Alam Baka! Bukankah kematiannya adalah di tanganmu sendiri? Siapa suruh kau membunuhnya...?" Berkata pemuda itu dengan tertawa menyeringai.
"Iblis keparat...! Kau... kau..." Membeliak sepasang mata laki-laki itu. Akan tetapi sebelum dia dapat bangkit berdiri, tubuhnya telah terhuyung limbung. Dan kata-katanya terputus, karena seketika nyawanya sudah melayang. Ambruklah tubuh laki-laki itu dengan tidak bergeming lagi. Pukulan keras pada dada laki-laki itu ternyata telah mengantarkannya pada jalan kematian. Dan dia memang benar-benar tewas menyusul istrinya, yang telah dibunuhnya.
Laki-laki itu mendapat laporan dari salah seorang kawannya tentang adanya seorang pemuda yang bertamu ke rumahnya di saat dia tidak berada di rumah. Dan sang istri ternyata menerima tetamunya itu untuk menghormati. Tak dinyana telah terjadi satu perbuatan mesum di rumahnya. Hal mana diketahui oleh sang kawan yang telah mengintip perbuatan mereka. Tentu saja dengan kemarahan meluap dia berlari pulang. Di jalan berjumpa dengan ayahnya.
Secara singkat dia ceritakan pada sang ayah. Dan melompat geram ke arah rumahnya. Golok panjang yang selalu dibawanya itu dipakai menoreh pintu jendela yang tertutup. Dan segera terpampang jelas di depan matanya sang istri yang tengah bercumbu dengan pemuda asing itu. Melompatlah dia ke dalam.
Sementara si pemuda asing sudah merapihkan sebagian pakaiannya, dan melompat keluar. Lakilaki ini muncul di kamar istrinya. Dilihatnya sang istri bukannya ketakutan melihat suaminya memergoki perbuatannya, bahkan tersenyum-senyum menatap padanya dengan rambut awut-awutan, dan tubuh telanjang bulat.
Betapa geramnya dapat dibayangkan hati sang suami. Dia berpikir sang istri sudah keterlaluan. Dan sengaja memanasi hatinya. Tak ampun lagi dia sudah seret tubuh istrinya, keluar pintu. Dan golok panjangnya "berbicara" menghabisi nyawa wanita itu.
"Bocah iblis...! Kau telah bunuh anakku...? Kucincang tubuhmu manusia edan...!" Dan si orang tua itu sudah menerjang beringas dengan goloknya. Tubuh laki-laki tua ini menggeletar hebat. Betapa dengan kejam si pemuda asing itu telah membunuh anak laki-lakinya.
Wuttt! Wuttt! Wuttt...!
Kembali serangan-serangan ganas itu dielakkan dengan mudah, seraya berkata dengan wajah cengar-cengir. "Ah, sudahlah pak tua! Kau urusi saja mayat anak dan menantumu aku malas membunuhmu...!"
Akan tetapi mana mau si laki-laki tua itu diamkan manusia pembunuh itu di depan matanya? Kembali dia menerjang bringas. Goloknya membabat dan menabas kepala pemuda konyol di hadapannya.
"Heh, kau rupanya memilih mampus! Baiklah! Jangan salahkan aku...!" Tiba-tiba tubuh pemuda itu berkelebat melompat, lengannya bergerak menghantam kepala laki-laki tua itu.
Wuukkk... Desss...!
Terkejut pemuda itu ketika merasai angin bersyiur ke arah punggungnya. Dan belum lagi dia sempat menghantamkan lengannya, tubuhnya telah terlempar beberapa tombak. Namun dengan lincah si pemuda ini berjumpalitan di udara, dan jatuhkan kakinya menginjak tanah. Hatinya memikir. Siapa yang telah menyerangnya? Untunglah dia sudah lindungi tubuhnya dengan hawa sakti yang dengan cepat disalurkan ke punggung. Hingga hantaman telak itu tak membuatnya cidera.
Saat itu juga telah berkelebat sebuah bayangan tubuh manusia. Dan seorang laki-laki gagah berpakaian sederhana telah berada di situ. Ternyata Satryo yang barusan menggagalkan serangan maut pemuda konyol itu.
"Manusia dari manakah yang telah tega berbuat keji, dan bertindak semaunya mengumbar kelakuan jahat...!" Ujar Satryo dengan kedua lengan terentang. Sepasang matanya menatap pada pemuda yang juga telah menatapnya. Sementara diam-diam Satryo terkejut juga karena hantaman angin pukulannya tadi ternyata tak membuat pemuda itu cidera. Atau setidak-tidaknya luka dalam. Pemuda bertelanjang dada itu bahkan masih bisa berdiri dengan keadaan segar bugar.
"Bapak tua! Menyingkirlah kau! Manusia keji ini bukan lawanmu...!" Berkata Satryo.
Sementara di belakangnya terdengar suara ringkikan kudanya. Tak ayal si laki-laki tua itu sudah menyingkir, dan berlari menubruk mayat anak laki-lakinya dengan menangis bagai anak kecil. Sedangkan keadaan di lingkungan desa itu, seketika menjadi ramai dengan berdatangannya orang-orang desa melihat kejadian.
"Aha...! Ada jagoan rupanya yang datang berkuda! Hahaha... satu kehormatan buatku untuk menjajal kepandaian!" Berkata pemuda itu dengan tertawa jumawa. Dan melangkah lebar mendekati Satryo.
"Heh! Siapakah kau, sobat! Apa kesalahan keluarga rumah ini, hingga kau turunkan tangan keji!" Ujar Satryo dengan kening berkerut menatap orang.
"Hm, aku tak pernah menyembunyikan namaku. Namaku Raka Rumpit! Dan mengenai urusanku, kau tak perlu ikut campur! Kecuali memang mau menjajal ilmu! Bukankah telah kau lihat sendiri kalau ternyata pukulanmu barusan tak berarti apa-apa padaku! Ahahaha... Baiknya kau pulang dulu untuk berguru pada kakekmu! Barulah boleh berlagak jadi pahlawan!" Ucap pemuda yang tak lain dari Raka Rumpit itu adanya.
"Manusia sombong!" Mendengus Satryo. Selama hidupnya baru dia menjumpai seorang pemuda yang keterlaluan dan bertingkah konyol begitu. Akan tetapi Satryo dapat menahan kesabarannya.
Sementara diam-diam Raka Rumpit sudah membaca mantera dengan bibir berkemak-kemik. Sepasang matanya menatap tajam pada Satryo. Terkejut bekas Senapati itu, karena merasai tatapan mata Raka Rumpit telah bersitkan sinar tajam yang mempengaruhi bathinnya. Selang sesaat, tampak dalam pandangannya tubuh Raka Rumpit berubah jadi segumpal asap hitam. Dan gumpalan asap itu membentuk sesosok tubuh hitam berbulu dengan wajah menyeramkan.
"Hah!? Edan...! Manusia apakah si Raka Rumpit ini?" Desis Satryo tersentak kaget. Terpaksa dia gunakan kekuatan bathinnya untuk menindih kekuatan lawan yang mempengaruhi pandangannya. Akan tetapi sia-sia. Makhluk hitam berbulu itu semakin dekat melangkah. Satryo mundur dua tindak.
AKAN TETAPI PADA SAAT ITU... terdengar satu bentakan keras, dengan diiringi berkelebatnya dua sosok tubuh ke hadapan mereka.
"Bocah keparat...! Akhirnya berhasil juga kami menjumpaimu!" Raka Rumpit hentikan langkahnya, serata tatap wajah kedua orang pendatang itu. Ternyata yang muncul tak lain dari Bayu Wijaya dan si Pendekar Lembah Bunga.
"Walah... siapakah kalian ini, datang-datang memaki orang?" Tanya Raka Rumpit. Pemuda ini tak menampakkan perubahan tubuhnya dalam pandangan kedua orang tokoh persilatan itu.
Sementara Satryo tersentak lagi, karena segera melihat tubuh makhluk hitam berbulu dengan wajah menyeramkan itu berangsur-angsur melenyap, dan kembali berubah dalam bentuk aslinya. "Heh? Ilmu Hitam...!" Desisnya tertahan.
"Setan tengik! Hm, bocah...! Kau sembunyikan di mana anak gadisku yang bernama Mahesani! Kau... kau telah menculiknya ketika dia tengah melatih para anak buahku hampir empat bulan yang lalu di lereng bukit Karang Tunggal. Bukankah kau bernama Raka Rumpit...?" Bentuk Bayu Wijaya si Pendekar Trisula Emas.
Tercenung sejenak Raka Rumpit. Namun segera perdengarkan tertawanya. "Oh, hahaha... haha... kalau begitu kaukah yang bergelar si Pendekar Trisula Emas, ketua Perguruan Trisula Dewa itu...?"
"Benar! Perbuatan terkutukmu ini benar-benar menghinaku, bocah! Kau ke manakan anak gadisku itu! Dan siapakah gurumu?" Bentak lagi Bayu Wijaya. Baru saja Raka Rumpit mau menjawab, tiba-tiba telah menelusup ke lubang telinganya satu suara halus.
"Raka Rumpit...! Kau pulanglah...! Ada hal penting yang akan aku katakan padamu! Aku telah kedatangan tetamu istimewa...! Kedatanganmu amat kuharapkan secepatnya...!"
Terkejut pemuda ini karena itulah suara sang guru, si Nenek Bongkok Muka Tengkorak. "Hm, maafkan aku para Pendekar Tua! Aku tak bisa menjawab sekarang! Aku harus kembali secepatnya!!" Seraya berkata tubuh Raka Rumpit sudah berkelebat melesat. Dan melompat pergi dari situ.
"Kurang ajar...! Hei? Kau tak dapat melarikan diri lagi manusia tengik!" Membentak Rukmina si Pendekar Lembah Bunga. Tubuhnya mencelat menyusul bayangan tubuh Raka Rumpit. Tiba-tiba lengannya bergerak mengibas.
Whusss...!
Ser! Ser! Ser...!
Enam kuntum bunga kering meluncur deras ke arah belakang punggung Raka Rumpit, yang telah tersusul tiga tombak di belakangnya. Hebat senjata bunga kering yang dilontarkan wanita Pendekar Lembah Bunga ini. Karena mengarah keenam bagian jalan daerah lawan. Bila salah satu saja yang mengena, tentu akan membuat lawan tertotok roboh.
"Edan...! Bocah itu punya ilmu siluman! Pantas kalau anakmu si Mahesani bisa dikalahkan...!" Desis Rukmita si Pendekar Lembah Bunga.
"Keparrrat...! Entah siapa guru si bocah edan itu...!" Memaki Bayu Wijaya. Di lengannya telah tergenggam senjata Trisula Emas-nya. Akan tetapi belum lagi dipergunakan, pemuda penculik anaknya itu sudah merat menjadi segumpal asap.
Satryo mendehem seraya mendekati kedua orang itu. Lalu menjura hormat ketika keduanya menoleh. "Paman Bayu Wijaya...! Apakah anda masih mengenalku?" Bertanya Satryo.
Terkejut laki-laki tua ini. Seraya mengelus jenggotnya, dia menatap pada laki-laki dewasa di hadapannya dengan krenyitkan keningnya. Diperhatikan demikian, Satryo tersenyum. Lalu segera perkenalkan diri.
"Ah, agaknya anda pangling, sobat Bayu Wijaya! Aku Satryo!"
"Hah!? Anda... anda Senapati Satryo...? Oh, maafkan mata tuaku ini, Senapati!" Ucap Bayu Wijaya dengan tersipu. Dan segera beranjak ulurkan lengannya menjabat tangan laki-laki itu.
"Ah, jangan panggil aku Senapati lagi, paman Bayu Wijaya. Kerajaan Matsyapati sudah punah! Dan aku telah berhenti dari jabatanku!" Ucap Satryo pendek.
Laki-laki tua yang masih bertubuh kekar itu tercenung sejenak, lalu manggutmanggut mengerti. Agaknya berita diambil alihnya kekuasaan Kerajaan Matsyapati yang sudah ditinggal pergi oleh Rajanya itu telah sampai juga ke telinganya. Selang sesaat, tiba-tiba Bayu Wijaya berkata:
"Oh, adik Senapati... eh, Satryo...!" Berkata Bayu Wijaya seraya menatap berganti-ganti pada Rukmita dan Satryo.
"Aku bernama Rukmita, yang digelari si Pendekar Lembah Bunga! Kami masih saudara seperguruan...!" Ucap si Pendekar Lembah Bunga mendahului bicara, karena tampaknya Bayu Wijaya agak tergagap untuk memperkenalkan dirinya pada laki-laki bekas Senapati itu. Laki-laki tua ini cuma manggut-manggut dengan tersenyum. Dan cepat-cepat Satryo menjura lagi.
Secara singkat Bayu Wijaya ceritakan tentang musibah yang telah menimpanya pada Satryo. Dan mereka berdua memang tengah mencari jejak pemuda bernama Raka Rumpit itu, di samping mencari ke mana lenyapnya Mahesani, anak gadisnya.
"Kakang Bayu, aku akan coba cari jejak pemuda edan itu, kukira tak berapa jauh di sekitar sini...!" Seraya berkata Rukmita telah berkelabat melompat tanpa menunggu lagi jawaban si Pendekar Trisula Emas.
Melengak laki-laki tua ini, seraya berteriak: "Diajeng Rukmita! Tungguuu...!" Dan dia sudah palingkan lagi wajahnya menatap Satryo. "Maaf, adik Satryo, aku... aku harus segera membekuk manusia jahanam itu sebelum dia berlari jauh!"
Satryo cuma terpaku dan cepat mengangguk. Dan tak ayal Bayu Wijaya sudah berkelebat menyusul si Pendekar lembah Bunga. Satryo cuma menatap dengan tercenung. Dan terdengar suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit itu memiliki ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau ternyata di penuhi orang-orang muda yang berilmu tinggi! Sayang dipergunakan untuk menyebar kejahatan...!" Gumam laki-laki bekas Senapati ini. Dan dia pun segera berkelebat untuk menjemput kudanya. Tak lama sudah mencongklang cepat meninggalkan desa yang dilanda musibah itu.
Sementara itu sesosok tubuh berkelebat cepat menuju ke arah bukit. Dan meniti tebing dekat muara sungai di bawahnya. Tak lama sesudah memasuki sebuah lubang goa. Terdengar suara tertawa mengekeh, dan di dalam ruangan goa itu telah berdiri sesosok tubuh bongkok, yang tak lain dari si nenek bongkok bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah edan itu benar-benar keterlaluan! Membuat aku cemburu setengah mati! Rasanya menunggu sampai tamatnya pelajaran ilmu yang kuberikan, aku sudah tak sabar lagi...!"
Menggumam si nenek bongkok seraya duduk di atas batu di tengah goa. Tak lama dia sudah beranjak bangkit dan melangkah menuju ke ruangan kamar tempat samadinya. Akan tetapi belum lagi lebih dari lima langkah, sudah terdengar di kejauhan suara tertawa mengakak, dan saat berikutnya tahu-tahu si pemuda muridnya itu telah muncul di mulut goa. Terhenyak si nenek bongkok.
"He!? Begitu cepat kau datang...?" Berkata si nenek. Dia agak heran karena tak mendengar suara pemuda muridnya itu dari kejauhan. Biasanya telinga si nenek bongkok sudah dapat menangkap dari kejauhan, kalau anak muda muridnya itu akan pulang. Bahkan walau masih berada di kaki bukit. Akan tetapi kedatangannya kini adalah memang di luar dugaannya. Dia tadi telah sengaja berdusta dengan mengatakan ada tetamu istimewa di goa tempat tinggalnya.
"Hahaha... bukankah aku telah mempelajari ilmu Asap Setan! Mana kau mampu mengetahui kedatanganku lagi, nenek manis...!" Ucap Raka Rumpit dengan tertawa, dan memasuki goa dengan langkah lebar.
"Bocah gendeng..." Memaki si nenek. Akan tetapi seperti baru tersadar dia berkata. "He!? Apa katamu tadi? Kau telah berhasil menguasai ilmu Asap Setan...?"
Pemuda ini mengangguk sambil nyengir tertawa, dan lengannya menggaruk-garuk dadanya yang telanjang berkeringat. Rambutnya yang semakin gondrong tanpa ikat kepala itu dikibaskibaskannya seperti mengusir hawa panas dalam goa. Melengak si nenek bongkok. Sepasang matanya membeliak. Tiba-tiba saja dia sudah angkat tongkatnya menunjuk,
"Kau... kau... Jadi kau sudah berhasil menamatkan pelajaranmu...? Bocah gendeng...! Pantas aku tak mendengar suara kedatanganmu! Dan... sejak kapan kau telah menguasai ilmu Asap Setan itu?" Tiba-tiba si nenek bongkok ajukan pertanyaan.
"Baru dua-tiga hari belakangan ini, guru! Aku memang sengaja tak memberitahukan padamu!" Jawab Raka Rumpit dengan melompat mendekati si nenek.
"Ha...?! Aiii... dasar bocah edan! Aku sudah menyangka kau tak akan mampu menguasai secara cepat karena kulihat otakmu bebal! Dugaanku dalam sepekan lagi baru kau bisa menguasai..." Ujar wanita muka tengkorak ini tertegun. Akan tetapi tiba-tiba sang guru sudah keluarkan bentakan. "Bocah edan! Coba kau tunjukkan padaku...!" Agaknya si nenek bongkok merasa kurang yakin.
"Hm, baiklah, nenek manis...!" Ucap Raka Rumpit. Dan segera mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Seluruh kekuatan bathinnya sekejap sudah tersalur untuk membentuk daya khayal yang berada di otaknya. Tak berapa lama tampak tubuh pemuda itu berubah jadi segumpal asap hitam. Namun sekejap gumpalan asap itu telah membentuk sesosok tubuh yang merangkak di tanah itu. Dan...
"Gerrrauummm...!"
Sekejap tubuh Raka Rumpit telah berubah jadi seekor harimau belang yang luar biasa besarnya. Binatang ini membuka mulutnya menampakkan gigi-gigi dan taringnya yang runcing tajam. Terperanjat si nenek bongkok dengan mata terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba telah mengkikik tertawa.
"Hihihi... hihi... hebat! hebat...! Bagus sekali! Kau benar-benar telah menguasainya dengan baik, bocah edan! Ooooh, mengapa kau baru mengaku sekarang?"
"Grrrrh...! Hahaha... aku memang sengaja mau membuat kejutan, guru!" Berkata si harimau jejadian itu dengan mendengus-dengus serta mendekam mengejap-ngejapkan matanya.
Nenek bongkok muka tengkorak julurkan tongkat hitamnya mengetuk tubuh sang macan. "Sudahlah! Pergilah kau mandi! Bukankah kau mau kupertemukan dengan seorang tamuku yang istimewa?" Berkata si nenek.
"He, ya...! Mana dia tetamunya?" Bertanya Raka Rumpit, yang sekejap telah berubah kembali menjadi manusia asalnya.
"Sudah kukatakan! Pergilah mandi, bersihkan tubuhmu! Bukankah kau baru mengotori tubuhmu dengan keringat wanita? Aku tak suka tubuhmu bau wanita...!"
SEMENTARA Raka Rumpit pergi mandi, baiknya kita menengok dulu kelain tempat. Udara cerah hari itu, seorang gadis berbaju ungu tampak berjalan santai memasuki sebuah Padepokan, atau rumah perguruan yang tampak agak sunyi itu. Sementara di sepanjang jalan yang dilaluinya beberapa pasang mata telah menatapnya dengan mata tak berkedip.
Mereka adalah beberapa orang anak buah perguruan Trisula Dewa. Akan tetapi mereka cuma menatap dengan aneh, karena melihat perobahan pada gadis muda itu yang tak mengenalnya. Bahkan telah pula bertanya di mana adanya sebuah Perguruan Silat bernama Trisula Dewa.
Tentu saja dengan tergagap mereka menunjukkan Perguruan Trisula Dewa yang tak seberapa jauh dari situ. Bahkan nama Ketuanya pun ditanyakan. Adalah aneh, kalau seorang gadis yang menjadi puteri dari Ketua Perguruan Trisula Dewa menanyakan rumah perguruan tempat tinggalnya, dan menanyakan ayahnya sendiri, seperti orang yang belum mengenal sama sekali.
Dengan langkah lebar gadis itu melewati penjaga pintu padepokan yang tak sempat menegur, karena mulutnya sudah ternganga dengan tubuh kaku. Karena entah apa salahnya, ketika tahu-tahu laki-laki penjaga yang sudah siap menyambutnya dengan girang itu mendadak ditotok pada bagian lehernya. Sekejap tubuhnya jadi berdiri kaku dengan mulut ternganga dan sepasang mata membeliak. Tampak dari mata, mulut dan hidungnya mengeluarkan tetesan darah. Ternyata belum lagi sempat berteriak, nyawanya sudah melayang.
Melihat munculnya seorang gadis di depan pintu ruangan pendopo padepokan itu, semua yang berada di dalam terkejut Beberapa orang anak buah Bayu Wijaya sudah berteriak seraya melompat berdiri.
"Ah, Den Ayu Mahesani...! Anda... anda sudah datang...?" Serentak berlompatanlah mereka dengan wajah girang disertai sorak-sorai kawan-kawannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu terdengar satu bentakan keras disusul dengan berkelebatannya tiga sosok tubuh berkepala gundul.
"Wanita iblis! Kiranya kau anaknya si Bayu Wijaya...? Heh jangan harap kau dapat meloloskan diri...! Hadapi kami si Tiga Paderi Kuil Naga...!"
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya. Serentak mereka telah menghambur mengurung tiga paderi itu. "Hei, tiga orang botak! Apakah kesalahan puteri Ketua kami? Kalian melabrak seenaknya memasuki rumah perguruan tanpa permisi lagi!" Bentak seorang murid dari tingkat utama Perguruan Trisula Dewa ini.
Tiga paderi ini rata-rata masih muda. Berpakaian jubah warna kuning. Pada punggungnya masing-masing terselip sebuah tongkat kayu jati yang lebar pipih.
"Heh, kalian serahkan gadis siluman ini untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan ketua kami! Dia telah main gila dengan lima orang saudara seperguruanku. Dan membunuhnya dengan melemparkan mayat-mayat saudara seperguruan kami di belakang kuil. Perbuatan keji itu harus kami balas dengan setimpal, yaitu dengan menghukumnya! Mengenai urusan hukuman itu tergantung ketua kami! Akan tetapi kami memang telah diperintahkan untuk membawanya hidup atau mati!" Berkata salah seorang yang lebih tua dari ketiga paderi muda itu.
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya. Mereka seperti tak percaya mendengar keterangan si paderi muda. Karena tak mungkin hal itu dilakukan oleh anak gadis puteri Ketua mereka. Sementara Mahendra yang berada di antara murid-murid perguruan itu jadi terpaku tak bergeming. Baru saja dia melihat tampang sang calon istrinya itu, ternyata sudah mendengar berita demikian. Tentu saja membuat wajahnya menjadi merah tanpa bisa bicara apa-apa.
"Hihihi... paderi-paderi tengik macam kau ini mengapa memfitnah orang seenaknya? Aku belum pernah mengunjungi Kuil Naga! Letak tempatnya pun aku tak mengetahui! Kau telah bikin malu aku di hadapan anak-anak buah ayahku...!"
Saat itu beberapa orang anak buah Perguruan yang tadi berada di luar telah masuk ke pelataran dengan menggotong mayat penjaga pintu. "Hah, apa yang terjadi?" Melompat seorang kawannya yang turut mengurung ketiga paderi itu.
"Kimung telah tewas! Entah siapa yang membunuhnya...!" Menyahut kawan yang memondong mayat si penjaga pintu Padepokan.
"Huh! Siapa lagi yang telah membunuh, kalau bukan tiga kunyuk gundul ini?" Tiba-tiba Mahesani berkata dengan suara dingin. "Hayo, kalian bunuhlah pengacau-pengacau ini! Mengapa didengar ocehannya yang mengaco itu? Masakan aku dituduh seenaknya saja!"
Suara Mahesani yang bernada aneh, dan agak asing itu memang membuat murid-murid perguruan itu agak memikir sejenak. Akan tetapi perintah itu seperti punya pengaruh, karena memang mereka amat mematuhi setiap perintah putri ketuanya ini. Serentak beberapa orang sudah menghunus senjata. Dan tak ayal lagi beberapa orang sudah menerjang dengan bentakan-bentakan keras.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara beradunya senjata-senjata. Karena ketiga paderi muda itu masing-masing telah mencabut tongkat kayu jatinya. Ternyata tongkat mereka adalah berisikan sebatang pedang, yang dari luar hanya mirip tongkat biasa. Segera saja terjadi pertarungan seru. Tiga paderi ini mau tak mau memang harus melayani serangan gencar mereka, kalau tak ingin nyawa mereka melayang. Adapun Mahesani dengan senyum di bibir segera melompat ke dalam.
Mahendra berkelebat menyusul... "No... nona Mahesani...!" Berteriak Mahendra memanggil.
Dan sang gadis segera menoleh seraya hentikan langkahnya. "Siapakah kau...?" Bertanya Mahesani, yang sebenarnya adalah Tri Agni. Yaitu si manusia setengah siluman yang menitis pada badan kasar Mahesani yang telah mati dicekik Raka Rumpit, akibat pengaruh kekuatan ghaib gurunya.
"Aku... aku Mahendra! Masih ingatkah kau? Kita pernah bertemu semasa masih kanak-kanak! Ibu ku bergelar si Pendekar Lembah Bunga! Apakah ayahmu tak pernah bercerita tentang aku?" Tutur Mahendra seraya menatap wajah orang Gadis baju hijau bernama Mahesani itu memang gadis yang cantik. Bertubuh mulus, berkulit putih dengan perawakan tubuh semampai. Rambutnya hitam bergelombang.
Mahesani menggeleng seraya tatap wajah pemuda di hadapannya. Tentu saja membuat Mahendra jadi melengak, karena sedikit pun gadis itu tak ingat akan dirinya. "Kemanakah ayahku?" Bertanya Mahesani dengan suara kaku.
Segera Mahendra bercerita singkat tentang ibunya, dan ayah gadis itu yang pergi mencari jejak penculik serta mencari tahu di mana adanya sang gadis. "Sudah hampir empat bulan ini beliau tak kembali, juga ibuku! Eh, kita harus membantu mengusir tiga paderi itu! Aku khawatir akan banyak korban berjatuhan!"
Tiba-tiba Mahendra berkata, seraya berpaling ke arah pintu ruangan, didengarnya suara-suara jeritan terdengar dari kalangan pertarungan. Akan tetapi sekali lengan Mahesani bergerak, lengan Mahesa sudah dicekalnya.
"Aku amat rindu padamu... ngng... Mahendra!" Tiba-tiba Mahesani ucapkan kata-kata dengan suara lirih mendesis. Lengan Mahesani bergerak mengibas. Dan tahu-tahun pintu ruangan di mana mereka berada menutup terhempas terkena sambaran angin yang bersyiur dari kibasan lengannya. Dan.... ketika jari-jemari lentik Mahesani bergerak lincah, tahu-tahu baju bagian atas dara itu sudah tersibak menyembulkan sepasang buah dadanya yang putih ranum membuntat padat, dengan kedua buah putiknya yang memerah jambu kecoklatan.
"Ahh...?" Tersentak Mahendra dengan sepasang mata membeliak. Tubuhnya tergetar hebat. Dan napasnya sekonyong-konyong jadi memburu. Mahesani sandarkan punggungnya di dinding, dan lengannya sudah menggamit leher pemuda itu, serta sebelah lagi membelai rambutnya. Dan tahu-tahu kepalanya sudah ditekan ke arah dada.
Sekejap saja wajah Mahendra sudah menempel di kedua buah benda lembut itu. Dengus napasnya semakin memburu, berdesahan memantul balik dari hidungnya. Dan mau tak mau bibirnya yang sudah bersentuhan dengan putik memerah yang lunak itu, segera menganga terbuka. Dan.... tanpa harus disuruh lagi direngkuhnya benda lunak itu untuk dilumat. Bergelinjangan tubuh sang dara itu dengan keluarkan desahan dari mulutnya.
Sementara di luar, pertarungan semakin menjadi dengan serunya. Dua orang anak buah Perguruan itu telah roboh terkena tebasan pedang si tiga paderi muda. Ternyata permainan ilmu pedang si tiga paderi muda itu cukup hebat. Mereka bertarung dengan tempelkan rapat punggung masing-masing, dan menghadapi terjanganterjangan gencar dari belasan anak buah Bayu Wijaya.
Namun tak urung mereka juga sudah terluka terkena goresan pedang lawan, karena lawan yang dihadapi lebih banyak. Dan juga bukannya orang-orang keroco, karena didikan dari seorang tokoh persilatan yang cukup terkenal dan berilmu tinggi. Pertumpahan darah mungkin akan bertambah lagi, seandainya tak datang berkelebat sesosok tubuh semampai, berambut panjang terurai. Dan satu bentakan nyaring bersuara merdu terdengar....
"Hentikan...!" Suara teriakan itu amat berpengaruh, karena seperti menusuk ke ulu hati, mendebarkan jantung.
Serentak mereka sudah sama-sama melompat untuk hentikan pertarungan. Segera terlihatlah siapa yang datang. Ternyata seorang gadis muda yang amat rupawan. Berbaju sutera tipis berwarna hitam gemerlapan. Ikat pinggangnya terbuat dari kulit ular, di mana di kedua sisi pinggangnya tergantung dua buah benda mirip "payudara", dengan dua utas rantai yang membelit pinggang. Itulah senjata si Rantai Genit. Dan siapa lagi si pemilik senjata aneh yang mempunyai bentuk lucu itu, kalau bukan Roro Centil. Gadis ini tatap mata semua yang berada di situ dengan pandangan tajam.
"Hm, boleh aku tahu ada persoalan apakah kalian bertarung?" Tanya Roro dengan bertolak pinggang.
Segera tiga paderi muda melompat ke hadapan dara ini seraya salah seorang berkata; "Nona Pendekar Roro Centil! Oh, beruntung sekali anda datang!" Dan ketiga paderi muda itu segera menjura hormat.
"Hm, kalian bukankah murid-murid si manusia bulat Kipas Angin Puyuh?" Tanya Roro ketus. "Ada apa kalian mengamuk di sini? Kalau kuadukan pada gurumu, tentu telinga kalian akan dijewer sampai putus!" Bentak Roro.
Roro Centil memang sudah mengenali dari jubah warna kuning dengan strip hitam di bagian sisinya, bahwa ketiga paderi muda itu adalah murid-murid dari Kuil Naga. Ketua Kuil Naga yang bergelar si Dewa Angin Puyuh memang sudah dikenalnya ketika masih berada di Pulau Andalas. Ternyata pada beberapa bulan belakangan ini Roro telah menjumpainya berada di sebuah Kuil yang baru beberapa bulan dibangun di sebelah selatan daerah wilayah utara Pulau Jawa ini.
Tentu saja pertemuan itu membuat si Dewa Angin Puyuh girang setengah mati. Karena memang sejak mereka pernah berjumpa dan bersahabat di Pulau Andalas, paderi bertubuh gemuk, pendek dan boleh dikata bulat itu pernah samasama turut menumpas musuh. Yaitu seorang wanita cabul dari tokoh Rimba Hijau dari Golongan Hitam, bergelar si Kupu-kupu Emas.
Dengan mengumbar tawa bergelak si Dewa Angin Puyuh menyambut kedatangan Roro Centil, yang menyebut si paderi bulat itu dengan sebutan paman. Karena memanglah keinginan si Dewa Angin Puyuh demikian, bahkan telah mengakui Roro Centil sebagai keponakannya. Tinggal di sana beberapa hari, Roro dijamu makan minum oleh paderi Ketua Kuil Naga yang baru didirikannya itu.
Bahkan telah memesan pada tukang jahit pakaian yang khusus didatangkan, dan mengukur tubuh Roro. Ternyata sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini di beri seperangkat pakaian sutera warna hitam, yang gemerlap bagai ditaburi permata.
Tentu saja selama itu Roro telah mengenal dengan murid-murid si Dewa Angin Puyuh. Namun baru beberapa hari saja dia meninggalkan Kuil Naga, ternyata melihat satu pertarungan di sebuah padepokan. Dan amat terkejut ketika mengetahui tiga orang paderi muda murid-murid dari Kuil Naga, tengah bertarung dengan belasan orang anak-anak buah sebuah Perguruan. Roro menatap wajah ketiga paderi muda itu dengan satu pertanyaan, yaitu persoalan apakah, hingga ketiga paderi melabrak ke Perguruan orang.
"Kami mengejar si pembunuh orang-orang kami di Kuil Naga!" Ujar salah seorang, dan segera beberkan peristiwanya dengan singkat. Dan ceritakan bahwa ketika kejadian itu, guru mereka sedang tak berada di tempat.
"Wanita itu ternyata anak gadis si Ketua Perguruan Trisula Dewa ini! Dia... dia bukan manusia! Seandainya manusia tentu berilmu iblis, karena kelima saudara kami telah dilempar mayatnya dalam keadaan membugil. Dan masing-masing lehernya terluka bekas gigitan. Darahnya telah terhisap habis!" Berkata si paderi paling tua dengan suara agak keras.
Terperanjat semua orang dari anak buah Perguruan Trisula Dewa yang turut mendengar penuturan paderi muda itu. Sedangkan Roro Centil sendiri pun terkejut mendengarnya.
"Tidak mungkin...! Dusta! Kau paderi sialan telah mengaco seenak perutmu menuduh orang! Nona Mahesani puteri Ketua kami bukan sebangsa manusia siluman yang doyan menghisap darah orang! Dan tak mungkin dia melakukan perbuatan keji itu yang tak wajar dilakukan manusia!" Membentak salah seorang anak buah Bayu Wijaya.
"Mau apa aku mendustai kenyataan itu? Huh! Kukira tak ada untungnya!" Membentak lagi si paderi muda yang paling tua itu, dengan mata melotot tajam.
Akan tetapi pada saat itu, Roro Centil sudah palingkan wajahnya menatap pada semua anak buah Padepokan itu. Sementara beberapa orang anak buah Padepokan tampak tengah kasak-kusuk membicarakan tingkah yang aneh dengan keadaan Mahesani, puteri sang Ketua mereka.
"Hm, baiklah! Kini aku mau bertemu dengan nona kalian itu, bisakah kalian panggil keluar?" Tanya Roro.
"Kami tak berani..! Beliau sedang bersama... Raden Mahendra!" Berkata salah seorang. Karena dia memang melihat Mahendra masuk ruangan, menyusul Mahesani.
"Siapakah Mahendra itu?" Tanya Roro dengan kesal.
"Dia... dia tunangannya!" Menyahut si murid tertua Perguruan itu dengan tegas, akan tetapi dia juga merasa aneh dengan sikap Mahesani. Kenapa justru meninggalkan mereka bertempur tanpa memunculkan diri, Roro yang tak sabar, segera berucap.
"Heh! kalau begitu biar aku yang memeriksa! Kalian boleh ikut aku!" Berkata Roro seraya menunjuk pada tiga orang di hadapannya. Tiga orang itu mengangguk, seraya berlari mengikuti Roro, yang sudah berkelebat melompat ke ruangan pendopo.
Braakkk...! Sebuah pintu yang tertutup di terjangnya hingga menjeblak terbuka Dan... terkejutlah ketiga orang anak buah Bayu Wijaya maupun Roro. Karena segera terlihat satu pemandangan menjijikkan. Dua sosok tubuh bertelanjang bulat saling bergelutan. Ternyata Mahesani dan Mahendra yang tengah bergelinjangan di lantai.
Akan tetapi segera terlihat wajah Mahendra menyeringai kesakitan. Sementara wajah Mahesani terbenam ke leher pemuda itu. Nyaris Roro Centil tinggalkan ruangan itu, kalau tak melihat darah mengalir dari leher si pemuda itu. Dan ketika si wanita mengangkat kepalanya, tampak mulutnya menyeringai penuh darah. Tersentak Roro Centil, hingga tak terasa kakinya sudah menindak dua langkah ke belakang.
Tiba-tiba Mahesani gerakkan lengannya memukul ke depan. Bersyiur angin keras menerjang ke arah Roro dan ketiga anak buah Bayu Wijaya yang berada di muka pintu ruangan. Roro Centil gerakkan cepat lengannya mendorong tubuh ketiga orang murid Perguruan Trisula Dewa itu hingga terpental jatuh, sedangkan tubuhnya sudah bergerak melompat menghindari terjangan angin keras.
Wuukkk...! Braakkk...! Angin deras bertenaga dalam itu lewat di bawah kaki Roro dan langsung menghantam tiang pendopo di luar ruangan hingga patah berderak.
"Manusia iblis penghisap darah! Kiranya benarlah kau adanya...!" Membentak Roro Centil, seraya melompat ke atas berpegang pada tiang penglari.
Namun pada saat itu si gadis titisan wanita setengah siluman itu telah bangkit berdiri. Lengannya bergerak menyambar pakaiannya, dan berkelebat keluar dengan perdengarkan tertawa mengikik menyeramkan. Sementara itu Mahendra tengah berkelojotan meregang nyawa. Dari lehernya yang terluka menganga, mengucur darah yang menggelogok. Setelah beberapa saat menggeser-geser tubuh laki-laki itupun mengejang, dan diam tak bergeming. Karena nyawanya telah melayang saat itu juga.
Roro Centil cuma menatap sekilas, tubuhnya sudah melesat turun dari tiang penglari, dan melompat mengejar keluar. Namun Mahesani sudah lenyap dengan perdengarkan suara tertawa mengkiknya di kejauhan.
Ketiga paderi muda itu tercengang sesaat ketika sesosok tubuh telanjang bulat melompat keluar dari dalam ruangan Padepokan. Jelas sudah itulah Mahesani. Dan tentu saja belasan orang murid-murid Padepokan yang melihat kenyataan itu jadi terperangah dengan mata terbelalak lebar. Karena kini telah jelas bahwa Mahesani puteri Ketuanya itu memang amat memalukan, dan mengherankan sekali. Tubuh telanjang bulat itu begitu tiba di luar langsung melesat cepat meninggalkan pelataran Padepokan. Lalu lenyap dengan perdengarkan suara tertawa mengikik yang jelas bukan suara Mahesani.
Ketiga paderi muda itu cuma bisa terpaku dengan palingkan wajahnya menatap semua murid-murid Perguruan Trisula Dewa. Salah seorang mendengus dengan wajah mendongkol. Lalu berikan isyarat pada kedua kawannya. Dan ketiga paderi muda itupun berkelebatan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
Sementara Roro Centil cuma menatap saja dari ruang Pendopo. Sedangkan ketiga orang yang terpental didorong Roro segera cepat-cepat menjura mengucapkan terima kasih. Roro Centil cuma mengangguk, lalu tatapkan mata pada para murid Perguruan Trisula Dewa dengan senyum sinis.
"Nah! Kini kalian lihat buktinya, bahwa nona besar kalian itu ternyata seorang manusia iblis penghisap darah! Dia telah menjadi manusia Palasik!" Ucap Roro dengan suara keras. “Kawanmu yang di dalam itu telah mati, dengan keadaan sama seperti kematian lima orang paderi kawan ketiga paderi tadi! Kalian lihatlah sendiri...!" Lanjut Roro seraya beranjak meninggalkan Padepokan itu dengan langkah lebar.
Keruan saja semua para murid Perguruan Trisula Dewa segera berlarian memasuki ruangan Padepokan. Dan terperangah mereka dengan berteriak tertahan, karena segera menjumpai keadaan Mahendra yang telah membugil menjadi mayat, dengan leher terkoyak bekas gigitan. Roro Centil sudah tak perdulikan lagi keadaan para murid Padepokan itu, dan segera kelebatkan tubuhnya tinggalkan tempat itu.
RORO CENTIL memang telah mendengar adanya manusia palasik penghisap darah, yang sejak beberapa pekan ini bergentayangan mencari mangsa. Kemunculannya adalah memang untuk menguntit si manusia Palasik yang menggemparkan itu. Akan tetapi Roro telah kehilangan jejak lagi setelah diketahuinya siapa adanya si manusia palasik itu. Berkelebatan tubuh Roro menuju ke arah barat. Roro hanya menduga-duga saja mencari kemana arah wanita penghisap darah itu perginya.
Sementara di balik semak belukar itu adalah terdapat dua orang berlainan jenis yang tengah berkasih-kasihan.
"Kakang Bayu...! Benarkah kau... kau mencintaiku?" Terdengar suara seorang wanita dengan suara pelahan hampir tak terdengar disela rintihannya.
"Mengapa kau ragu, diajeng...? Apakah kau malu kalau kita menikah?"
"Ya...! Kita sudah tua! Dan aku sudah hampir keriput begini, apakah tak akan malu dengan orang-orang muda? Terutama anakku Mahendra! Dan kita belum juga berhasil menjumpai Mahesani! Apakah tak sebaiknya kita pulang?" Desis suara wanita itu lagi, seraya lengannya memeluk kencang laki-laki tua bertubuh kekar yang menghimpit tubuhnya.
"Kau masih cantik, diajeng! Dan... ah, sudahlah..." Terdengar laki-laki itu menyahuti lirih seraya menggerakkan tubuhnya, membuat dahan dan ranting kecil di sebelahnya berguncangan.
Sementara suara desah napas terdengar santar bercampur rintihan kecil yang terdengar pelahan sekali. Namun tak lama segera melenyap, seperti semak belukar itu tiada yang menghuni. Selang beberapa saat, tampak sebuah lengan terjulur menggapai seonggok pakaian yang tergeletak di rerumputan. Dan suara-suara tertawa kecil pun terdengar dibarengi timpalannya suara laki-laki yang terdengar agak parau.
Roro Centil sembulkan kepalanya di satu semak yang agak lowong. Sepasang matanya jadi membelalak. Setan Alas! Memaki gadis Pendekar ini dalam hati. Dan dia sudah palingkan wajahnya yang memerah. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik di kejauhan. Roro cepat-cepat menyelinap.
Tak berapa lama segera muncul sesosok tubuh berpakaian warna ungu, dengan rambut terurai beriapan. Hampir melejit mata Roro, karena melihat sosok tubuh itu pasti tak salah lagi si wanita Palasik penghisap darah. Baru saja dia berniat melompat keluar. Ternyata sudah didahului dua orang di balik semak itu yang berkelebat berlompatan.
Sekejap kemudian telah menghadang di depan wanita palasik itu. Seolah tak percaya laki-laki tua itu yang tak lain dari Bayu Wijaya, menatap pada si wanita muda di hadapannya. Dan satu suara tergetar segera terlompat dari bibirnya.
"A... anakku... Ma.. .Mahesani! Kaukah adanya? Oh, betapa aku amat mengkhawatirkan nasibmu...!" Bayu Wijaya menatap wanita muda di hadapannya dengan mata tak berkedip.
Akan tetapi gadis muda itu bahkan mengikik tertawa dengan suara aneh yang amat asing didengarnya. "Hihihi... siapakah kau? Eh, ya... kau ayahku! Aku memang Mahesani, anakmu! Kalian sedang apa di sini ayah? Dan siapa wanita jelek ini?"
Tentu saja kata-kata demikian tak pernah diucapkan oleh Mahesani sebenarnya. Dan membuat Bayu Wijaya jadi ternganga heran. Sementara si wanita tua yang tak lain dari si Pendekar Lembah Bunga itu jadi terkejut dengan wajah terasa panas.
"Apakah yang telah terjadi dengan anakku? Mengapa sikapnya jadi berubah demikian...?" Sentak hati Bayu Wijaya. Dan dia sudah saling tatap dengan Rukmita si Pendekar Lembah Bunga itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda mendekat. Tak lama segera terlihat empat orang berpakaian pengawal-pengawal Kerajaan. Ternyata salah seorang adalah Tumenggung Meranggi, yang telah berpakaian perwira kerajaan Mataram. Kiranya sang Tumenggung itu tak mau menganggur begitu saja begitu lepas dari jabatan dengan punahnya Kerajaan Matsyapati, yang diambil alih kekuasaannya oleh Kerajaan Pusat. Yaitu Mataram.
Segera dia memasuki keperwiraan di Kerajaan Mataram, yang kemudian bertugas justru masih berada di sekitar bekas kekuasaan Kerajaan Matsyapati. Begitu hentikan kuda-kudanya, keempat orang perwira itu berlompatan turun dari kudanya.
"Manusia iblis! Kau tak akan dapat melarikan diri lagi!" Membentak Ki Meranggi seraya mencabut keluar Keris Pusakanya.
Terkejut Bayu Wijaya juga si Pendekar Lembah Bunga, karena tahu-tahu keempat Perwira Kerajaan Mataram itu telah mengurung. "Tunggu...!" Teriak Bayu Wijaya, yang tiba-tiba telah bergerak melompat seraya mengangkat kedua belah tangannya. Tubuhnya memutar dengan sepasang mata menatap pada keempat perwira Kerajaan itu. "Apakah gerangan yang telah terjadi, hingga kalian menuduh anakku sebagai iblis keji?" Teriak Bayu Wijaya dengan ketus.
Ki Meranggi plototkan matanya. Segera dia sudah mengenali laki-laki itu. "Huh! Kiranya perempuan ini anak gadismu, sobat Bayu Wijaya? Kami petugas penjaga lingkungan di wilayah Kerajaan Mataram ini merasa berhak menangkap atau membunuhnya, karena dia telah melakukan pengacauan dibeberapa tempat! Bahkan dia telah membunuh bekas Raja Kerajaan Matsyapati Prabu Gurawangsa di Goa Kiskenda!"
Terperanjat Bayu Wijaya bukan kepalang, dan dengan mata terbelalak menatap pada anak gadisnya.
"Aku adalah bekas Tumenggung Kerajaan Matsyapati! Masih ingatkah kau padaku Bayu Wijaya? Aku Ki Meranggi, yang kini sudah menjadi orang Kerajaan Mataram!"
"Ya! Aku dapat mengenalimu Tumenggung! Akan tetapi benarkah tuduhanmu itu? Anakku ini baru saja kutemukan setelah menghilang selama empat bulan! Dia diculik seorang pemuda yang mengaku bernama Raka Rumpit, selagi aku sedang tidak ada!"
"Hihihi... Dia memang anakmu, Bayu Wijaya, akan tetapi telah kemasukan roh jahat! Dia telah menjadi iblis wanita penghisap darah! Dia telah menjadi manusia palasik!" Tiba-tiba Roro Centil berkelebat keluar dengan mengumbar kata-kata. Terkejut semua orang yang segera berpaling ke arah gadis Pendekar itu. Dan Ki Meranggi tibatiba berteriak girang.
"Nona Pendekar Roro Centil!.... Ah, kebetulan sekali anda datang...!" Bekas Tumenggung Kerajaan Matsyapati ini memang telah mengenal Roro ketika dia diperkenalkan oleh Senapati Satryo di Ksatrian. Roro Centil waktu itu memang banyak membantu pihak Kerajaan Matsyapati, di saat terjadinya pengkhianatan Patih Buntaran.
Menampak dirinya telah dikepung sedemikian rupa, Mahesani jadi tertawa mengikik. "Hihihi... hihi.... aku memang bukannya Mahesani! Raga kasar gadis ini kutemukan sudah mampus, setelah habis diperkosa seorang pemuda! Mungkin dialah si pemuda bernama Raka Rumpit itu! Dan aku... hihihi... aku adalah TRI AGNI! Masih ingatkah kau Tumenggung, ketika kau membunuhku dengan keris pusakamu itu?"
Terperangah seketika Ki Meranggi. Sepasang matanya jadi menatap pada Mahesani dengan terbelalak. Sementara tampak satu kejadian aneh, karena samar-samar wajah Mahesani memudar dan berganti rupa dengan wajah Tri Agni, si wanita setengah Siluman itu.
"Hihihi... kau masih hapal dengan wajahku? Kini aku inginkan nyawamu, Meranggi!" Wajah dan kepala Tri Agni pun kembali berubah menjadi kepala Mahesani lagi.
Sementara si Pendekar Lembah Bunga dan Bayu Wijaya jadi terperanjat melihat kejadian itu. Barulah mereka percaya kalau wanita itu bukan lagi Mahesani. Pada saat itu Roro telah menimbrung bicara.
"Hm, sobat Bayu Wijaya! Wanita palasik ini telah masuk ke dalam Rumah Perguruanmu! Dan dia juga telah meminta korban membunuh kekasihnya sendiri, dengan menghisap darahnya! Menurut yang kudengar kekasihnya itu bernama Mahendra!"
"Hah...! dia... dia membunuh a... anakku!?? Bedebah! Iblis keparat! Kau harus ganti nyawa anakku!" Teriak Rukmita si Pendekar Lembah Bunga, dan seraya menggerung keras segera menerjang si wanita setan itu. Sepasang lengannya bergerak menghantam.
Buk! Buk...!
Tubuh Mahesani terlempar terhuyung-huyung, dan saat itu keempat perwira Kerajaan Mataram segera gerakkan senjatanya menerjang. Keris Ki Meranggi telah keluarkan sinar berwarna biru bergerak menabas. Dan ketiga tombak si tiga Perwira Kerajaan meluruk dengan berbareng.
Crass...! Bles! Bles! Bles...!
Sekejap saja keadaan telah berubah jadi mengerikan, karena tubuh Mahesani telah terpanggang oleh tiga tombak perwira menembus punggung dan dada. Sedangkan Keris Pusaka Ki Meranggi telah menabas kepala Mahesani hingga terpisah dari tubuhnya...
"Ahhh...!?" Berteriak Bayu Wijaya dengan mata membeliak. Walau bagaimana pun dalam pandangannya tubuh anak gadisnyalah yang telah terbunuh dengan cara mengerikan seperti itu. "Mahesaniiii...!" Dan dia sudah memburu tubuh tanpa kepala itu dengan wajah pucat. Akan tetapi diluar dugaan kepala Mahesani yang jatuh menggelinding itu telah melayang ke arah Bayu Wijaya dengan cepat. Dan.....
Terkesiap semua orang, karena sekejap tampak Bayu Wijaya telah berkelojotan meregang nyawa. Karena kepala Mahesani telah berubah menjadi kepala Tri Agni yang berwajah menyeramkan dengan rambutnya yang berwarna putih beriapan. Kiranya kepala makhluk itu telah menyusup ke leher Bayu Wijaya dan ngangakan mulutnya, serta menggigit leher laki-laki tua itu.
Brell..! Kepala Tri Agni menyentak. Dan... darah segera menyembur dari leher laki-laki malang itu. Sesaat setelah bergelinjangan, tubuh Bayu Wijaya pun terkulai lepaskan nyawa...
"Iblis...! Kuhancurkan kepalamu...!" Membentak Rukmita. Lengannya bergerak melemparkan bunga-bunga keringnya ke arah kepala Tri Agni.
Akan tetapi makhluk itu gerakkan kepalanya memutar. Rambut putihnya tiba-tiba bergerak menghantam bunga-bunga kering hingga terhempas jatuh. Tahu-tahu kepala makhluk itu menyusup ke bawah, bergerak memutar ke belakang si Pendekar Lembah Bunga. Terpekik wanita tua itu, karena segera lehernya kena dicengkeram makhluk kepala itu. Berguling-gulingan tubuh Rukmita, lengannya berusaha bergerak untuk melepaskan diri dari gigitan wanita setan itu.
Namun kepala Tri Agni telah berhasil merobek leher Rukmita dengan gigitannya. Darah pun menyemburat memancur. Dan tubuh si Pendekar Lembah Bunga itu berkelojotan meregang nyawa, namun sesaat kemudian terkapar tak berkutik lagi. Terperangah Ki Meranggi dan ketiga Perwira. Mereka sudah melompat mundur dengan senjata siap dipergunakan.
"Hihihi... Meranggi! Pergunakan lagi keris Pusakamu itu! Hehehihi... hihi..." Selesai berkata, tiba-tiba kepala Tri Agni bergerak ke arah tubuh Mahesani dan melekat lagi pada tubuh tanpa kepala itu. Sekejap kemudian kepala dan tubuh itu telah menyatu kembali. Dan... saat berikutnya Mahesani telah bangkit berdiri. Sementara pelahan-lahan kepala wanita setengah siluman itu kembali berganti wujud menjadi kepala Mahesani lagi.
Ki Meranggi memberi isyarat untuk menerjang pada ketiga kawannya. Namun saat itu Roro Centil sudah mendahului mengirimkan tendangan kakinya. Dhesss...! Tubuh Mahesani terlempar bergulingan beberapa tombak. Keempat Perwira Kerajaan itu segera memburunya. Akan tetapi Mahesani telah kembali berdiri dengan lengan terentang. Sepasang matanya menatap pada keempat Perwira Kerajaan itu, lalu terhenti pada Ki Meranggi. Sementara Roro Centil tercenung sesaat. Benaknya memikir. Heh! wanita siluman ini akan sulit dimusnahkan, karena sama saja dengan melawan siluman.
"Siluman harus dilawan dengan siluman...!" Desis Roro. Dan segera bibirnya berbisik memanggil sahabatnya si Harimau Tutul. Segera saja segumpal asap hitam muncul di hadapan Roro. Gumpalan asap itu melenyap, dan membentuk sesosok tubuh Harimau Tutul sebesar kerbau. Binatang ini mendengus dan keluarkan suara menggerung mengaum. Tampakkan gigi-gigi dan taringnya yang runcing-runcing. Lalu mengibas-ngibaskan ekornya mengelilingi Roro Centil menunggu perintah.
Namun pada saat itu sudah terdengar jeritan Ki Meranggi. Ketika Roro Centil menatap. Ternyata laki-laki Perwira Kerajaan Mataram itu dadanya telah terkena cengkeraman lengan Mahesani, yang menembus sampai ke punggung. Darah menyemburat keluar ketika lengan Mahesani disentakkan.
Dan tubuh Ki Meranggi berkelojotan meregang nyawa. Lalu sekejap kemudian tewas. Ketiga Perwira ini menerjang dengan tombaknya. Percuma saja, karena sekali menggerakkan tangan tiga batang tombak terlempar. Dan di saat ketiga tubuh Perwira itu terhuyung, Mahesani alias Tri Agni telah berkelebat menerjang. Akan tetapi Roro Centil sudah mendahului kirimkan hantaman lengannya. Kali ini pukulan berhawa panas menerjang Tri Agni, si wanita setan itu.
Wussss...! Terpekik wanita setan itu. Seketika tubuhnya terbakar hangus. Namun pada saat itu dari dalam tubuh yang terbakar itu telah melesat ke luar dua gumpal asap hitam. Dan, bukan kepalang terkejutnya Roro Centil, karena dua gumpal asal itu telah menjelma menjadi dua sosok tubuh.
Sosok tubuh yang satu adalah seorang bocah kecil berkulit hitam. Sedangkan sosok tubuh yang satunya adalah seorang wanita yang berambut hitam beriapan. Ternyata mereka itulah si Bocah Siluman, cucu si wanita setan itu. Dan si wanita satunya adalah ibu bocah berkulit hitam itu, yaitu Durgandini.
Raka Rumpit baru saja selesai mandi. Dan dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia memasuki goa, lalu beranjak ke ruangan kamarnya. Baru saja dia mau bergerak masuk ke pintu, sudah terdengar suara tertawa kecil sang guru.
"Hihihi... hihi... silahkan masuk, muridku yang gagah!"
Satu suara lembut terdengar. Itu memang suara gurunya. Akan tetapi amatlah aneh, dan asing pada pendengaran pemuda ini, karena tak biasanya sang guru berkata selembut itu. Mengapa tidak pakai bocah edan atau bocah gendeng? Bisik hati Raka Rumpit. Dan segera saja terpampang di matanya sesosok tubuh mulus berselimutkan kain sutera tipis. Berwajah cukup cantik, walaupun tidak seperti gadis muda. Rambutnya tergerai hitam di antara sebelah dadanya. Tubuh wanita itu dalam keadaan setengah terbaring di pembaringannya.
Ternganga Raka Rumpit menatap wanita itu. Wajahnya jelas bukan wajah gurunya, akan tetapi suaranya memang mirip suara sang guru, alias si nenek bongkok yang galak itu. "Guruku kah kau ini...?" bertanya Raka Rumpit.
"Ataukah kau... tetamu guruku si nenek bongkok muka tengkorak?" Tambahnya lagi dengan tertegun menatap wanita itu, serta matanya merayapi ke sekujur tubuh yang setengah terbaring itu.
"Hihihi... aku memang si nenek bongkok gurumu itu, tapi juga tetamu yang akan menyambut mu!" Berkata wanita itu dengan tersenyum perlihatkan giginya yang putih berderet, seraya bangkit berdiri. "Kau lihatlah! Apakah tubuhku kini masih bongkok? Dan kulitku keriput, juga wajahku mirip tengkorak?" Berkata lirih si wanita itu. "Aku selama ini memakai alat-alat ini!" Ujar si wanita itu, seraya meraih sebuah bungkusan yang segera dibukanya.
Segera terlihat kelotokan kulit muka semacam topeng, serta kulit-kulit tipis lainnya yang membungkus seluruh tubuh wanita itu. Ternyata diam-diam di saat Raka Rumpit pergi mandi, si nenek bongkok telah "mengupas" kulit muka dan seluruh kulit pembungkus tubuhnya. Hingga bagaikan ular yang baru berganti kulit, si nenek tua renta itu kembali menjadi muda. Ada pun rambut putihnya adalah tetap memutih.
Namun dia telah gunakan cairan hitam dari obat ramuan yang telah lama disediakan untuk menyemir kembali rambutnya. Hingga dalam beberapa saat saja si nenek telah berubah kembali menjadi muda. Dan segera sambar pakaian tipisnya untuk segera masuk ke kamar sang murid.
Raka Rumpit barulah percaya kalau wanita itu gurunya sendiri. Melihat keadaan sang guru itu tentu saja Raka Rumpit agak jengah, namun sebagai manusia tetap saja tak luput dari hawa nafsu. Hingga ketika sang guru menggamitnya untuk dibawa merebahkan diri ke pembaringan, dia memang tak dapat menolak.
"Aku telah berijab-kabul, muridku... bahwa kalau kau telah berhasil menamatkan pelajaranmu, kau harus menjadi suamiku! Ya, aku amat mencintaimu, bocah gagah. Kau pinjamkanlah Cincin batu Combongmu...! Aku ingin memakainya! Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tak pernah mengenakan cincin warisan guruku ini!" Seraya berkata lengan sang guru bergerak menjelari dadanya yang bidang dan mempermainkan bulu-bulu dadanya.
Raka Rumpit cuma tersenyum mengangguk dan segera copotkan cincinnya untuk berikan benda itu. Sang guru julurkan jari-jari lengannya dan segera saja sang murid memasukkannya ke jari lengan sang guru. Sinar biru yang membersit dari cincin aneh itu ternyata telah menimbulkan hawa rangsangan hebat padanya. Kalau dulu adalah wanita yang tergila-gila pada Raka Rumpit, namun kini dia sendirilah yang di mabuk asmara. Tiba-tiba dari dalam ruangan kamar di dalam goa itu, terdengar suara teriakan tertahan, seperti suara yang tersangkut di tenggorokan.
"Aaaaakh...! Aaaarkkh...! Hek! Ahh...! Uuh..!"
Blag..! Bukk! Braakkk...!
"Huaaaaakh...! Terdengar suara-suara bergedubrakan setelah terdengar sebelumnya suara keluhan dan pekik kesakitan tersendat di kerongkongan. Terakhir adalah suara teriakan Raka Rumpit.
Apakah yang terjadi di ruangan kamar dalam goa itu? Kiranya satu pergumulan tengah terjadi. Sekonyong-konyong Raka Rumpit telah mencekik leher gurunya sendiri. Meronta-ronta sang guru dengan berteriak julurkan lidah. Lengan sang murid itu dengan ganas telah mencengkeram lehernya.
TERENGAH-ENGAH sang guru mempertahankan nyawanya dari cekikan maut lengan si murid. Akhirnya satu hantaman lengan sang guru telah berhasil membuat terlempar anak muda itu. Tubuhnya membentur dinding goa, yang segera ambrol dengan suara bergedubrakan.
"Ka... kau... kau... bocah edan!" Teriak si wanita jelmaan si nenek bongkok. Tubuhnya bangkit dari pembaringan dengan terhuyung. Sebelah lengannya mencekal lehernya yang mengucurkan darah. "Kubunuh kau... bocah gendeng! Kau... kau mau membunuh dirimu sendiri?"
Akan tetapi tiba-tiba Raka Rumpit telah tertawa bergelak, seraya bangkit berdiri. "Hahaha... haha... kau memang harus kulenyapkan, guru! Aku tak memerlukan kau lagi!" Tiba-tiba wajah Raka Rumpit telah berubah jadi bengis. Dan sekonyong-konyong tubuhnya berubah jadi segumpal asap hitam. Dan segera saja menjelma menjadi makhluk hitam berbulu. Bermata besar, lidah terjulur dan mulut menyeringai menampakkan giginya yang runcing-runcing.
"Edan...!" Memaki sang guru, dan dengan bentakan menggeledek dia telah melompat menerjang makhluk itu.
Sedangkan makhluk berbulu itu pun sudah menerjang dengan suara menggeram menyeramkan. Sekejap saja terjadilah pergumulan seru. Tubuh sang guru yang dalam keadaan membugil itu seketika hampir lenyap dalam pelukan ketat si makhluk berbulu. Hantaman-hantaman lengannya seperti tak dirasakan makhluk itu. Hingga saat berikutnya pergumulan dilakukan dengan bergulingan. Sementara darah terus mengalir dari leher si wanita jelmaan si nenek bongkok itu yang terluka bekas cekikan.
Selang sesaat terdengar lagi suara jeritan menyayat hati. Taring-taring si makhluk berbulu itu telah membenam lagi di lehernya. Bergelinjangan tubuh polos itu menghentak-hentak. Sepasang kakinya terpentang menjejak ke sana ke mari. Namun teriakannya semakin melirih. Dan gelinjangannya semakin melemah. Akhirnya terkulai tak bertenaga lagi.
Ketika makhluk berbulu itu melepaskan cengkeraman taring-taringnya, darah seperti membasuh wajahnya. Dengan kakinya si makhluk itu balikkan tubuh si wanita gurunya, yang ternyata telah tewas. Makhluk berbulu itu tampakkan suara menggeram senang, lalu berubah menjadi suara gelak terbahak. Dan beberapa kejap antaranya makhluk berbulu itu pun kembali berubah menjadi Raka Rumpit.
"Hahaha... hahaha... haha... Kini aku bebas! Tak ada yang harus kuturuti perintahnya! Dan aku bebas bergerak ke mana aku suka! Hahaha... terima kasih, guru atas warisan ilmu hitammu! Semoga kau tenang di alam baka!"
Selesai berkata, Raka Rumpit menghampiri tubuh gurunya, dan segera membungkuk untuk mencopot kembali cincin batu Combong itu dari jari tangan sang guru. Tak lama dia sudah kenakan lagi di jari tangannya. Setelah kenakan pakaiannya beberapa saat antaranya Raka Rumpit sudah beranjak keluar dari dalam kamar ruangan goa yang sudah berantakan itu. Sejenak Raka Rumpit memandang ke ruangan goa itu. Tiba-tiba sepasang lengannya bergerak menghantam langitlangit ruangan batu goa itu.
Bruasss...! Blarrrr...!
Sekejap saja ruangan atas goa itu sudah ambruk meruntuhkan batu-batu bagaikan hujan, berdebukan jatuh menguruk ruangan kamar itu berikut tubuh gurunya. Sedangkan pemuda edan itu ternyata telah melesat keluar goa sebelum goa menjadi ambruk tertutup batu-batuan. Keadaan lereng tebing itu kini sudah berubah berantakan, karena hampir sebagian meluruk ke bawah, menimbun goa di bawahnya. Sedangkan Raka Rumpit saat itu sudah berkelebatan mendaki tebing, dan sekejap kemudian melesat lenyap meninggalkan suara tertawa berkakakan.
"Bocah siluman...?!" Desis Roro dengan wajah tegang. Tentu saja Roro terkejut, karena beberapa bulan berselang dia baru saja menghadapi makhluk kecil yang buas ini. Pada waktu itu telah muncul sebuah bayangan mirip sekali dengan guru Roro Centil yaitu si Manusia Banci, yang didahului dengan mengikiknya suara tertawa tokoh Rimba Hijau itu.
Bayangan itu mirip arwah saja dan menghantam buyar ke empat makhluk kecil berkulit hitam itu yang berubah jadi gumpalan asap. Lalu melenyap sirna. (pada waktu itu tubuh si bocah siluman telah memecah menjadi empat, setelah tertabas tubuhnya menjadi empat potong oleh pedang Senapati Satryo).
Kini Roro Centil terkejut sekali dengan bisa muncul dan menjelma lagi si bocah siluman itu. Bahkan bersama seorang wanita yang berkulit putih bagaikan kapas. Kedua makhluk itu menghampiri Roro. Sementara ketiga Perwira cuma bisa menatap dengan terperangah dan mata membeliak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik kuda, dan derap mendatangi. Dan muncullah Satryo. Laki-laki ini hentikan kudanya dengan cepat, lalu melompat turun.
"Nona Pendekar Roro Centil! Anda berada di sini...?" Teriak laki-laki itu.
Roro tersenyum seraya mengangguk cepat, dan berkata; "Bagus! Kau bantulah aku menumpas kedua makhluk ini!"
"Dia bukan lagi manusia, Satryo...!" Tiba-tiba terdengar suara lirih disusul dengan berkelebatnya sebuah bayangan putih. Dan di tempat itu telah berdiri seorang tua berjenggot dan berkumis panjang terjuntai. Ternyata tak lain dari Resi Jenggala Manik.
"Resi Guru...!" Teriak Satryo dengan wajah girang. Satryo sudah mau beranjak melompat ke arahnya. Akan tetapi sang Resi mengangkat sebelah lengannya.
"Sudahlah, Satryo! Tak usah banyak peradatan! Kita hadapi kedua makhluk siluman ini!" Selesai berkata, laki-laki tua berjubah putih ini pejamkan sepasang matanya. Bibirnya berkemak-kemik seperti membaca do'a pada Yang Maha Kuasa. Sekejap kemudian tampak tubuh sang Resi bergoncangan. Kedua lengannya, yang menyilang di depan dada itu tiba-tiba bergerak terbuka. Sepasang matanya menatap pada kedua makhluk itu.
Kedua makhluk itu tampak mundur beberapa langkah, seperti tak kuat menahan tatapan mata sang Resi. Sementara itu Roro Centil sudah tak sabar, dan perintahkan si Tutul yang barusan melenyap untuk menerjang kedua makhluk siluman itu. Segera segumpal asap hitam meluncur ke arah si bocah siluman dengan suara menggeram dahsyat.
Dan selanjutnya yang terlihat adalah tubuh anak hitam itu jatuh bergulingan, tapi tubuhnya seperti tak menyentuh tanah. Tak lama segera ujud sang Harimau Tutul pun terlihat. Dan tengah menerkam ganas dengan kuku dan taringnya. Sementara tengah terjadi pergumulan seru itu antara sama-sama makhluk siluman, Durgandini yang telah menjadi makhluk halus itu tiba-tiba menerjang Satryo.
Terkejut laki-laki ini yang segera menghindar melompat ke samping. Resi Jenggala Manik telah berkelebat dari tempatnya. Bibirnya telah membacakan Mantera Suci. Kedua lengan sang Resi menghantam ke arah makhluk wanita bekas permaisuri Raja Matsyapati itu, seraya berucap.
"Maaf, Durgandini! Kembalilah kau ke "Alam" mu! Tak layak lagi kau muncul di alam fana!" Terdengarlah suara meletup dahsyat.
Bhusssss...!
Dan tubuh Durgandini lenyap jadi gumpalan asap, yang kemudian sirna. Sementara itu pertarungan sang Harimau Tutul dengan si bocah siluman masih berlangsung seru. Namun tak berapa lama kepala si anak hitam itu sudah lenyap menjadi asap ketika sang Harimau Tutul berhasil membuka mulutnya, dan merencah kepala makhluk kecil itu. Selang sesaat seluruh tubuh si bocah siluman itupun sudah melenyap menjadi asap, lalu sirna tanpa bekas.
Sang Harimau Tutul perdengarkan suara aumannya, lalu melompat kembali ke arah Roro Centil. Kemudian melenyapkan diri. Satryo yang melihat kejadian itu cuma tertegun dengan mulut ternganga, sedangkan ketiga Perwira Mataram sedari tadi cuma bisa menyaksikan pertarungan semacam itu.
Tiba-tiba pada saat itu juga cuaca berubah gelap. Angin keras membersit bersiutan dan di angkasa terlihat kilatan-kilatan petir yang kemudian terdengar suaranya yang menggelegar. Terperangah semua orang yang berada di situ. Akan tetapi Resi Jenggala Manik tetap tenang. Dia mengangkat kedua belah tangannya, terentang ke arah langit. Bibirnya komat-kamit membaca do'a.
Thaarrrr...! Satu kilatan petir menyambar tubuh Mahesani yang sudah hangus terkapar di tanah. Tubuh wanita itu lenyap jadi gumpalan asap putih. Dan sekonyong-konyong menjelma menjadi kepala Tri Agni, si manusia palasik. Kepala tanpa tubuh yang berambut putih beriapan itu membumbung naik ke atas, dengan perdengarkan suara tangisan pilu menyeramkan.
Tiba-tiba segumpalan asap hitam bergerak memutar di atasnya. Lalu meluncur turun menyambar kepala wanita setan itu. Dan dibawahnya naik lagi ke atas. Gumpalan asap hitam itu semakin membumbung terus ke atas, diterangi cahaya kilatan petir yang berkredepan. Sementara angin keras terus membersit tak kunjung henti. Sekejap antaranya asap hitam itupun melenyap. Angin yang meniup keraspun mulai terhenti, kembali sepoi-sepoi.
Dan cuaca lambat laut berubah kembali menjadi terang-benderang. Matahari yang sudah menggelincir ke arah barat kembali tampakkan sinarnya. Mereka segera dapat melihat kembali satu sama lain. Terlihat sang Resi sudah menurunkan lengannya, dan mengusapkan ke wajahnya tiga kali. Terdengar kemudian suara menghela napas laki-laki pertapa itu.
"Hm, sukurlah bahaya bagi umat manusia telah bisa teratasi. Mudah-mudahan makhluk siluman itu takkan kembali lagi mengacau di dunia!" Berkata sang Resi dengan suara lirih.
Semua yang berada di situ menarik napas lega. Sementara itu ketiga Perwira Kerajaan Mataram sudah melompat ke depan mereka. Lalu menjura pada sang Resi dan Roro Centil. Juga pada Satryo. Seraya salah seorang berucap:
"Terima kasih atas usaha kalian semua membantu kami melenyapkan kerusuhan yang telah mengganggu wilayah Kerajaan Mataram ini! Jasa dan bantuan kalian yang amat tak ternilai ini akan kami sampaikan pada baginda Raja Mataram!"
Dan belum lagi sang Resi atau Roro dan Satryo menyahut, ketiga Perwira Kerajaan Mataram itu sudah balikkan tubuh, untuk segera beranjak ke arah mayat Ki Meranggi bekas Tumenggung Kerajaan Matsyapati yang sudah punah itu. Dengan menggotongnya bertiga, segera beranjak pergi tinggalkan tempat itu. Tak lama sudah terdengar suara ringkik kuda, dan derapnya yang semakin menjauh. Dan cuma menampak punggung-punggung ketiga Perwira Kerajaan itu yang mengendarai kudanya tinggalkan itu.
Tak dikisahkan perpisahan ketiga tokoh itu. Namun sekitar tempat pertarungan tadi sudah bersih dari mayat-mayat. Cuma tinggalkan sisa-sisa percikan darah di rerumputan. Ketika matahari mulai membenam di lereng gunung, tampak sesosok tubuh melangkah perlahan meniti lereng bukit. Baju sutera warna hitamnya masih terlihat gemerlapan terkena cahaya layung warna merah.
Dialah Roro Centil sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang sudah menyelesaikan tugasnya sebagai Pendekar Penegak Keadilan. Entah pengalaman apa lagi yang akan dihadapinya di hari mendatang. Ikuti terus petualangan Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan!
Persis di bagian atas muara sungai itulah, si pemuda bernama Raka Rumpit ini berdiri untuk memandang ke sekitar. Dan di bawah kakinya itu adalah tempat tinggalnya, di mana terdapat sebuah goa batu yang menghadap ke arah sungai. Barusan saja dia naik ke atas bukit dengan pergunakan kelincahannya mendaki.
"Rumpiiiit...! Kau kembalilah dulu, bocah gendeng! Atau aku hajar pantatmu dengan tongkat ini!" Terdengar suara teriakan suara seorang wanita yang parau dari bawah tebing. Pemuda ini tampak menampilkan senyuman melebar, seraya menoleh ke bawah.
"Hahaha... haha... Aku malas turun lagi, nenek peot! Kau sajalah naik ke atas! Aku sudah hampir bosan tinggal di dalam sarang tikus yang berbau pengap itu!" Pemuda ini menyahuti seenaknya saja, tanpa perdulikan kalau yang memanggil adalah gurunya.
"Bocah kurang ajar! Aku segera akan naik ke atas! Dan jangan harap kau dapat selamatkan pantatmu dari gebukan tongkatku...!" Teriak suara dari bawa seperti bernada gusar.
Akan tetapi si pemuda ini cuma cengar-cengir mendengarnya. Sebuah bayangan berkelebat dari bawah bukit. Dan sekejapan saja di atas lamping bukit batu itu sudah berdiri seorang nenek tua renta yang bungkuk. Berwajah menyeramkan, karena memang mirip dengan tengkorak. Di lengannya tercekal sebuah tongkat hitam legam yang melengkung bagai ular meliuk.
Melihat kemunculan si nenek bongkok itu, si pemuda ini cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala. Si nenek bongkok tampilkan wajah gusar. Sepasang matanya membersitkan sinar tajam menatap si pemuda muridnya itu.
"Eh, bocah gendeng! Apa kau bilang tadi? Kau sudah bosan tinggal di lubang tikus tempatku ini...?" Ujarnya dengan suara lantang.
Tentu saja pemuda ini jadi gelagapan karena dilihatnya sang guru seperti benar-benar marah dan tersinggung mendengar kata-katanya. Segera dia buru-buru menjawab. "Bukan begitu, nenek... Akan tetapi aku memang memerlukan menghirup udara segar di luar! Maksudku... aku... aku ingin turun gunung barang sebentar!" Ucap Raka Rumpit dengan tersenyum nyengir, dan garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Memandang tingkah si pemuda muridnya itu yang agak lucu, rupanya mengundang rasa geli si nenek bongkok. Membuat dia jadi tersenyum, dan tertawa mengikik. Akan tetapi suara tertawanya kembali hilang, karena kembali dia keluarkan suara bentakannya dengan sepasang mata melotot menatap si pemuda.
"Bocah edan! Aku mau tanya, apakah kau telah menggeratak ke tempat tidurku...? Ada satu barang yang hilang! Kalau benar kau yang mencuri, aku tak akan puas kalau belum menggebuk pantatmu!" Berkata si nenek bongkok.
"Apanya yang hilang, nek...? Pantatmu...? Eh... ma... maaf! Maksudku anu... apa yang telah hilang dari wilayah tempat tidurmu...?" Tanya Raka Rumpit latah.
"Whoalah! Bocah edan! masih muda sudah latah!" memaki si nenek bongkok. "Aku telah kehilangan salah satu barang pusaka! Yaitu sebuah cincin perak berbatu "combong", apakah kau telah mengambilnya?" Tanyanya.
Pemuda itu jadi cengar-cengir, dan teruskan garuk-garuk kepalanya. Akan tetapi dia memang telah mengakui perbuatannya. "Hahaha... benar, nek! Kalau itu yang kau tanyakan, aku yang mengambilnya! Pas benar di jari tanganku! Aku menyenanginya, dan memang sudah ada niatku untuk memintanya!" Ujar Raka Rumpit seraya memperlihatkan cincin yang dipakainya.
"Kapan kau berniat memintanya?"
"Ya... sejak aku mencurinya...!" Sahut si pemuda dengan nyengir.
"Bocah ganjen! Kalau begitu pantatmu memang patut dihajar...!" Berteriak si nenek bongkok dengan geram, dan sudah mengangkat tongkatnya.
"Ampun, nek... Ampuuun...! Jangan gebuk pantatku!" Berteriak Raka Rumpit sambil berloncat-loncatan memegangi pantatnya. Tentunya dengan wajah cengar-cengir menggoda sang guru.
"Bocah edan...!" Teriak si nenek gemas. Dan tubuhnya berkelebat.
"Ampun, nek! Jangan gebuk pantatku...!" Teriak si pemuda seraya kembali pasang wajah cengar-cengir.
"Bocah edan! Kau kira kau akan berhasil menyelamatkan pantatmu yang tepos itu? Hehehehe... jangan mimpi!" Mendengus si nenek bongkok.
Tiba-tiba tongkatnya diangkatnya tinggi-tinggi. Sementara bibirnya berkomat-kamit membaca mantera. Sedangkan sepasang matanya menatap tajam pada si pemuda muridnya itu, seperti telah menahan tubuh sang murid agar tetap berdiam di tempat.
Terkejut Raka Rumpit. Karena tahu-tahu kakinya seperti terasa berat untuk digerakkan. Seolah lengket dengan tanah yang dipijaknya. Sementara hatinya jadi mencelos melihat tongkat yang diangkat tinggi-tinggi oleh sang guru, bergerak memutar dan meluncur ke arahnya.
"Ah, celaka...!? Aku tak berhasil menolong pantatku lagi!" Desis si pemuda.
Benarlah apa yang dikhawatirkan pemuda itu, karena tahu-tahu tongkat si nenek bongkok sudah menukik ke belakang tubuhnya. Dan....
Plak! Plok! Plak! Plok!... Plak! Plok! Plak! Plok!
Berteriak-teriaklah si pemuda itu dengan menyengir-nyengir kesakitan, ketika merasai tongkat itu menggebuki pantatnya. "Ampun, nek! ampuun... guru! Adoow! Kena bisulnya tuh!? Sudah, nek! sudaaah...! Adudududuh ... aduuh..."
Aneh! dan amat menakjubkan sesekali, karena tampak si nenek bongkok cuma gerak-gerakkan tangannya saja di kejauhan. Sedangkan tongkatnya bagaikan mempunyai mata dan bagai bernyawa saja, telah menggebuki pantat Raka Rumpit beberapa kali. Dan pukulan terakhir adalah mengarah sepasang kaki anak muda itu, yang tak ampun membuat tubuh si anak muda jatuh terjengkang. Mengeluh pemuda ini, akan tetapi si nenek bongkok justru tertawa mengekeh dan berjingkrakan kegirangan.
"Hehehehe... hehehe... asyiiik! Baru kau tahu rasa, bocah edan!" Tampak lengan si nenek bongkok seperti bergerak untuk menarik kembali tenaga anehnya. Dan tongkat hitam yang mirip ular meliuk itu memutar ke atas, lalu meluncur kembali ke arahnya. Sekejap sudah kembali tercekal di lengannya.
Setelah mengusap-usap pantatnya, pemuda ini bangkit melompat berdiri. Diam-diam hati bersyukur, karena gebukan tongkat yang dilakukan gurunya itu tak seberapa keras. Dan cuma gebukan biasa saja. Seandainya sang guru mempergunakan pukulan bertenaga dalam, bukan mustahil kalau sang pantat akan hancur luluh. Di samping mendongkol, tapi diam-diam dia juga bergidik ngeri. Karena khawatir sang guru ketelepasan tangan. Entah cincin perak bermata batu "combong" itu apakah khasiatnya, hingga tampak si nenek jadi sewot dan uring-uringan mengetahui "barang"-nya lenyap dicuri sang murid.
"Aku akan kembalikan cincin milikmu ini, nek...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya melompat ke hadapan si nenek bongkok. Dan pergunakan tangannya untuk membuka kembali cincin batu combong yang dipakainya.
Akan tetapi si nenek tampak menahannya seraya berkata; "Sudahlah! Kalau kau memang senang memakainya, pakailah! Kau memang ada bakat jadi pencuri, bocah ganjen! Hehehehe... suatu saat, bukan benda lagi yang kau curi, pasti banyak wanita akan kau curi hatinya...!" Ucap si nenek dengan tertawa mengekeh hingga sampai terselak, dan batuk-batuk dengan hebat.
"Jadi... jadi benda ini boleh aku pakai, nek?" Tanya Raka Rumpit seperti kurang percaya.
"Bocah kolokan! Aku sudah bilang pakai, pakailah! Mengapa masih banyak tanya segala?" Bentak sang guru dengan plototkan matanya.
"Hahaha... haha... terima kasih! terima kasih, nenek! Kau memang guruku yang paling manis, paling lihay, dan... paling pe... eh, paling cantiiik sekali!" Berkata Raka Rumpit. Tadinya dia sudah mau katakan paling peot, akan tetapi segera diurungkan, karena khawatir si nenek menjadi marah lagi. Dan bahkan tahu-tahu.
Cplok! Cplok...!
Sang murid telah menghadiahi ciuman pada kedua pipi si guru. Tentu saja membuat sepasang mata nenek bongkok itu jadi membeliak tertegun. Akan tetapi segera terdengar suara tertawanya mengekeh.
"Hehehe... hehe... bocah ganjen! Kalau mau pergi, pergilah! Tapi jangan berlama-lama! Beberapa bulan lagi kau harus sudah menamatkan pelajaran mu! Apakah kau tak ingin menguasai ilmu menggebuk pantat dengan tongkat...?" Ujar si nenek.
"Tentu saja mau, guru...! Baiklah! Aku berjanji tak akan lama turun gunung! Nah aku berangkat, nenek manis...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya perlihatkan senyumannya, dan berkelebat cepat tinggalkan tempat itu.
Si nenek bongkok cuma menatapnya dengan sinar mata memancar tajam. "Aiiih, tak kusangka bocah edan itu membuat aku jadi gregetan! Dan... dan aneh! Mengapa aku sudah jatuh cinta padanya?" Tak terasa dia sudah kembali tertegun seraya mengusap-usap kedua belah pipinya bekas ciuman sang murid yang konyol itu.
"Aiiih, Rumpit! Rumpit...! Mungkin bukan hati para gadis saja yang akan kau taklukkan, tetapi hatiku pun nyatanya sudah kau taklukkan...!" Desis suara si nenek perlahan. Dan amat perlahan hampir tak terdengar. Namun tak lama tubuhnya sudah berkelebat kembali menuruni tebing. Dan melesat masuk lagi ke dalam goa "lobang tikus"-nya.
* * * * * * *
DUA
Prabu GURAWANGSA masih termangu-mangu duduk di kursi kebesarannya. Wajahnya menampilkan kesedihan, walaupun dalam beberapa hari ini baru saja usai mengadakan pesta meriah menyambut para tamu undangan. Tentu saja dalam rangka "selamatan" atas terhindarnya Kerajaan Matsyapati dari bencana kehancuran.
Karena berhasilnya ditangkap biang keladi kerusuhan di Kota Raja, dan terbukanya kedok pengkhianatan Patih BUNTARAN. Para tamu undangan itu tak lain dari para Pembesar Kerajaan, dan tokoh-tokoh kaum Rimba Hijau yang turut membantu menumpas kaum perusuh.
Kesedihan baginda Raja tak lain karena penyesalannya telah menyia-nyiakan Permaisuri Durgandini. Bahkan telah mengutus pula orang-orang bayaran untuk membunuh sang Permaisuri. Semua itu adalah atas hasutan Patih Buntaran. Dengan dalih akan membahayakan Kerajaan.
Karena dengan adanya sang Prabu Gurawangsa mengambil tiga selir sekaligus, dan satu di antaranya telah hamil. Sang Permaisuri Durgandini telah melarikan diri dari Istana, tanpa ketahuan ke mana perginya. Entah mati atau masih hidup sampai kini masih menjadi teka-teki bagi sang Prabu Gurawangsa.
Calon bayi yang akan lahir dari selir bernama NAWANGSIH itu adalah yang kelak berhak menggantikan sebagai pengganti Raja keturunan Prabu Gurawangsa. Akan tetapi ternyata Nawangsih adalah seorang wanita penipu, yang cuma mengacaukan keadaan di dalam keluarga sang Raja.
Nawangsih adalah Sri Mayang, alias si Kelabang Kuning. Seorang toko Rimba Persilatan yang cuma mengingini kehidupan sebagai selir Raja. Kehamilannya adalah cuma permainan belaka, karena Sri Mayang memang punya keahlian menggembungkan perut.
Di saat Kerajaan dalam kalut atas terjadinya pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang pihak Kerajaan, bahkan dua orang selir baginda Raja pun tewas digantung berikut istri Senapati Satryo, saat itulah Sri Mayang unjukkan dirinya bahwa dia tidak mengandung. Tentu saja membuat Prabu Gurawangsa terperanjat.
"Hihihi... suamiku! Aku adalah wanita petualang! Terima kasih atas kesediaanmu selama ini memperhatikan diriku, namun aku memang harus pergi dari sisimu. Aku sudah cukup puas merasakan bagaimana rasanya menjadi selir seorang Raja. Kerajaanmu saat ini ada dalam ambang kehancuran, Prabu Gurawangsa! Pengkhianatnya tak lain adalah Patihmu sendiri! Nah, selamat tinggal!"
Setelah mengucap demikian Nawangsih alias Sri Mayang berkelebat pergi dan lenyap dari ruang Istana. Terperangah Prabu Gurawangsa, seperti petir menyambar di siang hari mendengar pengakuan wanita selirnya itu. Namun kenyataan pahit itu memang telah dialaminya.
Dalam keadaan kalut itulah muncul Satryo, sang Senapati yang menghadap dengan membawa berita kematian kedua selir. Juga istri sang Senapati Satryo sendiri turut jadi korban. Tertegun sang Prabu Gurawangsa. Namun dengan bekal pengakuan dari Nawangsih alias Giri Mayang, Baginda Raja telah mengetahui biang kerusuhan itu. Dan perintahkan menangkap Patih Buntaran.
Demikianlah, dengan bantuan Kaum Rimba Hijau yang bermunculan, para Tumenggung dan Senapati Satryo beserta lasykarnya berhasil membekuk Patih Buntaran, si pengkhianat Kerajaan itu. Dan menewaskan para pembantunya, yang terdiri dari para kaum Rimba Hijau golongan Hitam yang telah diundangnya.
Kini para tokoh itu sudah meninggalkan Kota Raja. Kerusuhan sudah usai. Dan pelaksanaan hukuman gantung pada Patih Buntaran telah selesai. Bahkan sudah dilaksanakan sejak tertangkapnya. Tinggallah kini sang Baginda Raja Kerajaan MATSYAPATI ini memikirkan calon pengganti Patih di Kerajaannya. Juga beberapa jabatan pembantu Kerajaan yang perlu diadakan penggantian dan perombakan.
Namun agaknya Kerajaan Matsyapati sudah mendekati di ambang kehancuran. Karena Prabu Gurawangsa sendiri ternyata meninggalkan Istana. Setelah beberapa hari termenung tanpa mengambil keputusan musyawarah dengan para Pengagung Istana, Prabu Gurawangsa dengan diam-diam telah menyediakan perbekalan seperlunya. Dan tengah malam sang Raja yang dalam keadaan hati kalut tanpa berhasrat meneruskan Pemerintahannya, telah mengendarai kudanya meninggalkan Istana. Entah ke mana perginya. Tak seorang pengawal pun diberitahu atau mengetahuinya.
Senapati Satryo perintahkan para Tumenggung mencarinya. Namun sampai beberapa hari tak membawa hasil. Ya, Prabu Gurawangsa telah lenyap tanpa bekas. Wilayah Istana menjadi sepi. Namun atas perintah Senapati Satryo, Istana dijaga ketat. Apa mau keadaan yang memang sudah kacau itu ternyata membuat kesempatan para Pembesar Kerajaan yang tak mau mengundurkan diri dengan tangan hampa, mencari keuntungan. Orang-orang dalam dan dibantu kaum penjahat bayaran segera menggerayangi Istana.
Terjadi pertempuran-pertempuran kecil, perampokan pada sisa-sisa harta milik Kerajaan. Dan bermacam kekalutan terjadi di Kota Raja. Siapa yang dapat menguasai kekalutan demikian? Karena masing-masing mencari keuntungan pribadi tanpa mau tahu urusan orang. Dalam keadaan kacau itulah Senapati Satryo melarikan kudanya menuju Mataram. Dan melaporkan kejadian pada Raja Agung Kerajaan Mataram, yang baru saja memindahkan pusat Pemerintahannya ke Jawa Timur.
Segera berdatangan para Tumenggung dan Senapati utusan Raja Agung Kerajaan Mataram untuk membersihkan kerusuhan. Dan untuk sementara Kerajaan Matsyapati diambil alih oleh Kerajaan Pusat yang berkuasa penuh di seluruh Pulau Jawa waktu itu; yaitu Kerajaan Mataram. Dan sejak saat itu pulalah Kerajaan Kecil bernama MATSYAPATI itu dinyatakan punah.
Dalam arti tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan di wilayah itu. Segalanya diatur oleh Penguasa dari Kerajaan Mataram. Istana bekas Kerajaan Matsyapati dipergunakan sebagai gedung atau Istana tempat peristirahatan Baginda Raja Agung Kerajaan Mataram. Dan tertutup buat siapa saja.
Ke manakah gerangan perginya Raja yang lari dari singgasananya itu? Tak seorang pun mengetahui. Akan tetapi pagi itu seekor kuda dengan penunggangnya seorang laki-laki berpakaian sederhana berwarna putih, dengan ikat kepala membungkus hampir seluruh rambutnya, yang juga berwarna putih, tampak mendatangi sebuah tempat sunyi di lereng perbukitan sebelah utara.
Suara derap langkah kaki kuda yang memang jarang terdengar di sekitar tempat itu, membuat empat orang laki-laki berjubah abu-abu segera menyongsongnya untuk melihat siapa yang datang. Sebentar saja si penunggang kuda telah hentikan binatang tunggangannya di hadapan keempat laki-laki itu.
"Siapa anda? Dan dari mana...? Serta ada keperluan apakah kiranya mengunjungi pertapaan Goa Kiskenda?" Tanya salah seorang setelah menjura hormat.
Laki-laki berusia lima puluhan tahun itu melompat turun dari punggung kuda. "Apakah anda murid-murid Resi Jenggala Manik?" Tanya laki-laki itu, tanpa menjawab pertanyaan salah seorang dari empat laki-laki berjubah itu.
"Benar!" Sahut mereka hampir serempak.
Laki-laki ini melirik ke arah pintu Goa yang tampak resik dan sedap dipandang mata. Tampak wajah laki-laki ini tampilkan senyuman. Seperti tak sabar dia sudah berkata: "Beritahukan pada sang Resi, ada tamu dari Istana...!" Ujarnya.
Terbelalak keempat pasang mata laki-laki murid Resi Jenggala Manik, dan serentak sudah menjura. Seraya salah seorang berkata: "Maafkan hamba Raden! Kami tak mengetahui kalau anda tetamu Agung guru kami...!"
Dan selesai berkata keempat murid sang Resi itu sudah beranjak untuk memasuki pintu Goa. Akan tetapi pada saat itu sang Resi sudah muncul di pintu Goa. Suaranya terdengar ramah menyambut kedatangan laki-laki itu.
"Selamat datang di Pertapaan Goa Kiskenda Kanjeng Gusti Prabu...! Ah, sungguh satu kehormatan besar, Kanjeng Gusti mau menginjakkan kaki datang ke tempat sunyi ini...!" Ujar pertapa tua itu yang telah membungkuk menjura hormat.
Melengak keempat murid sang Resi. Karena segera mengetahui kalau yang datang adalah Baginda Raja Prabu Gurawangsa. Raja Kerajaan Matsyapati. Cepat-cepat mereka duduk bersimpuh ketika laki-laki itu dengan menuntun kudanya beranjak menghampiri.
"Ah, selamat jumpa Resi...! Aih, bangunlah kalian adik-adikku! Aku tak layak menerima penghormatan berlebih-lebihan! Justru aku ini sudah menjadi orang biasa! Kedatanganku adalah..."
"Silahkan anda berbicara di dalam, Kanjeng Gusti Prabu...!" Ujar Ki Jenggala Manik memotong kata-kata Prabu Gurawangsa.
Keempat murid sang Resi cepat menuntun kuda untuk ditambatkan. Dan Raja Kerajaan Matsyapati ini menjumput perbekalannya, lalu mengikuti sang Resi memasuki ruangan Goa. Tak lama mereka sudah berada di dalam Goa, dan duduk berkeliling untuk bercakap-cakap. Ternyata keempat murid sang Resi telah dipersilahkan Prabu Gurawangsa untuk turut mendengarkan percakapan mereka.
Terkejut Resi Jenggala Manik mengetahui sang Prabu Gurawangsa akan menetap di pertapaan Goa Kiskenda. Dan menuturkan bahwa dia berkeinginan untuk menjadi pertapa. Berbagai nasihat yang diberikan sang Resi pada Prabu Gurawangsa untuk kembali memimpin Kerajaan, ternyata tak mampu melunturkan keinginan sang Raja ini. Keinginannya sudah bulat untuk meninggalkan kepemimpinannya, dan menjadi Pertapa. Tiada lagi gairah di hatinya untuk meneruskan memerintah Kerajaan.
Demikianlah, akhirnya Resi Jenggala Manik tak dapat mencegah keinginan Prabu Gurawangsa untuk menjadi pertapa. Dan menetap di Goa Kiskenda. Tentu saja Prabu Gurawangsa telah berpesan wanti-wanti agar merahasiakan tentang adanya dia di pertapaan Goa Kiskenda, tempat tinggal sang Resi itu. Sang Resi dan keempat muridnya cuma bisa manggut-manggut tanpa dapat berbuat apa-apa.
Beberapa pekan berselang Senapati Satryo singgah di pertapaan Goa Kiskenda. Tentu saja kedatangannya adalah untuk menyambangi gurunya. Seperti diketahui sang Resi Jenggala Manik adalah guru dari Senapati Satryo, semasa belum menduduki jabatan Senapati.
Terkejut Senapati Satryo mengetahui sang Baginda Raja Prabu Gurawangsa berada di pertapaan. Akan tetapi bekas Raja itu menyambutnya dengan gembira, mendengar penuturan Satryo atas Kerajaan Matsyapati yang diambil alih oleh Kerajaan Mataram.
"Senapati...! Aku merasa lebih tenteram berada di pertapaan ini. Jauh dari kemelut kehidupan. Jauh dari keruwetan mengatur rakyat. Dari ketidakpuasan yang terkadang membuat mata menjadi gelap. Aku adalah contoh, satu dari puluhan Kerajaan Kecil yang gagal meneruskan kepemimpinannya. Namun aku sadar, bahwa ketenteraman dalam rumah tangga amat besar artinya bagi keutuhan sebuah Kerajaan. Aku sadar, bahwa sudah gagal segalagalanya. Aku merasa kurang layak memegang tampuk kepemimpinan. Apalagi tanpa adanya keturunan! Itulah yang membuat aku enggan meneruskan kepemimpinanku!" Ujar Prabu Gurawangsa, yang kini bergelar Resi Netra Wangsa sejak memutuskan menjadi pertapa di Goa Kiskenda.
"Akupun telah mengundurkan diri dari jabatan Senapati. kakang Netra Wangsa...!" Ujar Satryo yang memanggil kakang serta gelar barunya, menurutkan keinginan Prabu Guriawangsa sendiri. "Walau dari pihak Kerajaan Mataram telah menawarkan jabatan untukku, namun rasanya aku pun ingin memulai kehidupan sebagai rakyat jelata lagi!"
"Apakah kau pun akan menetap di sini?" Tanya sang Resi Jenggala Manik hampir berbareng.
"Tidak, kakang Resi, dan Resi Guru...! Hamba akan pergi mengembara entah ke mana, menurutkan ibu jari kaki hamba! Ya, mungkin mencari di mana adanya ketentraman hati! Hamba hanya akan menurutkan perasaan dan kemauan hati hamba!" Sahut Satryo dengan suara terdengar hambar. Cahaya matanya seperti memudar.
Kedua Resi itu memaklumi, karena Satryo baru habis kematian istrinya. Pemberontakan Patih Buntaran telah merobah segalanya.
TIGA
SATRYO memacu kudanya meninggalkan Pertapaan Goa Kiskenda. Sejenak dia berhenti, dan putar kudanya. Lalu lambaikan tangan pada kedua Resi dan empat orang murid Pertapaan. Mereka segera balas lambaikan tangan pada laki-laki ini. Sepasang mata Satryo tampak seperti berkaca-kaca.
Entah mengapa tiba-tiba hati laki-laki ini jadi terasa trenyuh memandang sang Resi Netra Wangsa. Bekas Senapati ini merasa kejadian telah berubah begitu cepat. Dari seorang Raja telah menjadi seorang Resi pertapa. Dan dirinya yang tadinya mempunyai jabatan Senapati yang menguasai pimpinan dua ratus lasykar Kerajaan, kini telah menjadi rakyat biasa.
Semua itu karena pengunduran diri sang Prabu Gurawangsa sebagai Raja. Akan tetapi dia memang tak dapat menyalahkannya. Benar seperti kata Prabu Gurawangsa, rumah tangga ternyata mempunyai pengaruh besar dalam sebuah Kerajaan. Raja Kerajaan Matsyapati tak tahan dengan kemelut dalam rumah tangganya.
Dan kehadiran seorang Putera Mahkota yang didambakannya ternyata sia-sia. Hal tersebut menimbulkan keenganannya meneruskan tampuk kepemimpinan. Dan sang Raja meninggalkan kekuasaannya. Memang amat Tragis!
Tapi hal yang seperti ini janganlah menjadi contoh untuk ditiru Kerajaan lain. Walau bagaimana pun manusia tetaplah manusia, yang di samping punya kekuatan, akan tetapi banyak kelemahannya. Dan kepunahan sebuah Kerajaan adalah semata cuma kejadian yang logis. Karena memang kelanggengan tidaklah selalu menyertai seterusnya dalam setiap Kerajaan.
Laki-laki ini putarkan lagi kudanya, dan segera keprak tali kendalinya untuk seterusnya memacu cepat meninggalkan pertapaan. Burung-burung elang di atas bukit berseliweran, seperti mengantar kepergian laki-laki penunggang kuda bekas Senapati itu.
* * * * * * *
TRISULA DEWA yang tengah berlatih di lereng bukit Karang Tunggul, cuma bisa ternganga melihat putri sang Guru mereka yang dilarikan orang. Mereka tak menyangka kalau pagi itu akan mendapat musibah. MAHESANI putri sang Ketua Perguruan Trisula Dewa, sudah hampir sepekan ini mewakilkan sang guru mereka melatih ilmu silat.
Kepergian Ketua Perguruan Trisula Dewa berkenaan dengan urusannya, telah mewakilkan pada putri tunggalnya yang sudah mewarisi hampir semua ilmu kedigjayaan sang ayah untuk melatih kedua puluh para murid Perguruan tersebut. Tak dinyana pada latihan baru saja dimulai, telah muncul seorang laki-laki muda berambut gondrong berbaju hitam.
Begitu muncul langsung menghampiri Mahesani. Gadis berusia 20 tahun itu jadi naikan alisnya menatap pada laki-laki muda yang menghampiri dengan unjukkan wajah cengar-cengir.
"Eh, sobat...! Siapakah anda? Apakah ada urusan dengan aku...?" Tanya Mahesani. Sementara dalam hati gadis ini amat mendongkol melihat sikap pemuda berambut gondrong itu. Walau bertampang gagah, namun sikapnya yang kurang ajar membuat orang tidak senang. Apalagi menemui orang di kala sedang latihan.
"Hahaha... namaku RAKA RUMPIT! Tentu saja kedatanganku untuk mengenal lebih dekat siapa adanya gadis cantik berilmu tinggi macam kau yang punya murid segini banyaknya. Membuat aku jadi kagum! Bolehkah aku tahu namamu, nona...? Dan apa gerangan nama dari Perguruan ini?"
Tanya pemuda murid si nenek bongkok bermuka tengkorak itu, yang ternyata kepergiannya turun gunung telah menyambangi ke tempat rombongan orang berlatih ini. Walau kata-katanya memang cukup sopan, akan tetapi hal tersebut sudah membuat para anak buahnya saling berbisik-bisik. Agaknya merasa tak senang dengan kedatangan orang yang mengganggu jalannya latihan. Dengan agak mendongkol Mahesani menyahuti juga.
"Maaf, sobat! Sebenarnya anda telah membuat, latihan kami menjadi terganggu, akan tetapi tak apalah, aku jawab pertanyaanmu!" Ujar Mahesani.
"Aku bernama MAHESANI! Perguruan ini bernama Trisula Dewa, yang dipimpin oleh ayahku BAYU WIJAYA, bergelar si Pendekar Trisula Emas! Aku adalah putri tunggalnya, yang sementara mewakilkan beliau mengajar beberapa jurus ilmu dari apa yang aku bisa, dan telah aku pelajari dari ayahku...!"
Raka Rumpit tampak manggut-manggut sambil cengar-cengir dan garuk-garuk kepala. "Oh, oh... amat mengagumkan...! Tapi amat disayangkan sekali, karena... apakah nona Mahesani tak menyayangkan kulitmu yang mulus, dan wajah yang cantik itu kena goresan senjata tajam? Kukira pelajaran ilmu silat adalah pelajaran keras yang dikhususkan buat kaum laki-laki! Sebaiknya kau berhenti saja jadi wakil ayahmu! Aku Raka Rumpit amat berkenan padamu! Bagaimana kalau aku melamar mu untuk jadi istriku...? Apa kira-kira kau menolak? Hahaha... kukira aku cukup tampan untuk menjadi suamimu...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya berkata lengannya bergerak untuk menggamit dagu mungil sang gadis.
Tentu saja sikap kurang ajar, dan kata-kata si pemuda itu menimbulkan kemarahan Mahesani. Ketika lengan pemuda itu bergerak menggamit dagunya, dengan cepat lengannya sudah bergerak menepis, dibarengi bentakannya.
"Sobat! Mulutmu terlalu kurang ajar! Dan bukan tempatnya kau berkata demikian! Kami sedang berlatih! Menyingkirlah, sebelum anak-anak buah kami menjadi marah! Dan aku sendiri pun bisa bertindak keras, kalau kau tak menghargai orang!" Ujar Mahesani, dengan menahan sabar. Sepasang matanya mendadak menjadi menatap tajam pada pemuda di hadapannya itu.
Diam-diam hatinya menggumam. Pemuda dari manakah gerangan yang amat berani, dan kurang ajar ini...? Sementara wajah gadis ini sudah memerah karena mau tak mau sikap kurang ajar tersebut telah membuatnya malu. Apalagi dilakukan di hadapan para anak buahnya. Kalau dia tak memberi pelajaran pada pemuda kurang ajar ini di hadapan para murid ayahnya, rasanya memang amat penasaran. Namun sebisa-bisa sang gadis mencoba menahan diri. Mengingat tugasnya belum selesai.
"Hahaha... baiklah, aku akan menyingkir kalau kau bisa menjatuhkan aku dalam tiga jurus! Sekalian menguji apakah nama besar Perguruan Trisula Dewa bukannya nama kosong belaka...!" Ucap si pemuda dengan cengar-cengir menatap pada Mahesani. Habislah sudah kesabaran sang gadis putri Ketua Perguruan Trisula Dewa ini.
"Den ayu...! Biarkan aku yang menghajar manusia edan ini!" Tiba-tiba berkelebat seorang anak buahnya ke hadapan Raka Rumpit.
"Wahaha... hahaha... kau bukan tandinganku, anak mas...!" Berkata Raka Rumpit tanpa memandang sedikitpun.
Tentu saja membuat laki-laki itu menggertak gigi karena geramnya. Kedua lengannya bergerak terpentang, lalu kembali menyatu. Terlihat otot-ototnya bersembulan. Wajahnya menampilkan kemarahan luar biasa. Laki-laki ini bernama Gasir Ireng. Dia adalah murid Perguruan Trisula Dewa pada tingkat pertama. Bertenaga besar, dan juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dianggap enteng. Karena Perguruan Trisula Dewa menitik beratkan juga pada kekuatan tenaga dalam, sebagai dasar kekuatan inti.
"Jangan menyesal dengan kesombonganmu, manusia tengik!" Berkata Gasir Ireng dengan dada menggembung. Dan dibarengi dengan bentakan keras, kedua lengannya bergerak beruntun menghantam dada dan kepala Raka Rumpit.
Whuttt..! Plak...! Brruukkk...!
Tubuhnya tepat menimpa kawan-kawannya yang tengah berkumpul hingga jatuh bangun beberapa orang yang kena tertimpah tubuh sang kawannya ini. Gasir Ireng mengerang parau, dan muntahkan darah segar menggelogok dari mulutnya. Lalu menggeliat, dan tubuhnya diam tak bergeming.
"Iblis...! Kau... kau... telah membunuhnya...!?" Teriak beberapa orang hampir berbareng.
"Hahaha... mengapa salahkan aku? Bukankah dia sendiri yang mengantarkan nyawa...?" Berkata Raka Rumpit dengan bertolak pinggang.
Pada saat itu Mahesani sudah membentak keras. "Manusia keparat! Kau sungguh keterlaluan...!" Dan diiringi bentakannya Mahesani sudah lompat menerjang.
"Aha...! Masih dua jurus lagi, adik manis...! Silahkan pakai senjata! Dan pilih kulitku yang empuk!" Berkata pemuda itu menantang.
Sementara diam-diam Mahesani sudah menyiapkan satu jurus andalan dari perguruan Trisula Dewa. Tiba-tiba tubuh gadis itu berjumpalitan ke arahnya, tahu-tahu kakinya meluncur mengarah leher lawan. Inilah jurus Naga Sakti Menggulung Awan.
Terkejut Raka Rumpit, karena serangan itu memang tak terduga, juga amat cepat. Tadinya lengannya sudah bergerak untuk memapaki serangan, akan tetapi khawatir membuat gadis ini terluka, dia kelitkan tubuh ke belakang.
Saat itulah satu terjangan sepasang lengan sang gadis meluncur dengan tenaga dalam keras. Segelombang angin menerjang terlebih dulu. Dibarengi dengan meluncurnya kedua ujung telapak lengannya mengarah ulu hati dan lambung.
Tenaga dalam Mahesani yang sudah dikerahkan di kedua lengan itu luar biasa ampuhnya. Karena seandainya mengena pada batu karang, niscaya batu itu akan amblas tertembus lengan. Merasa hawa angin menggulung tubuhnya, Raka Rumpit telah keluarkan ilmu hitamnya yang baru dipelajari. Yaitu Tameng Iblis. Hebat akibatnya, karena tiba-tiba tubuh pemuda itu seketika telah terbungkus dengan asap hitam.
Ketika kedua lengan Mahesani menembus asap, terdengar suara teriakan tertahan gadis ini, karena bagai menumbuk bayangan hitam, yang membuat tubuhnya menggigil. Dalam pandangannya pemuda itu sudah berubah menjadi makhluk hitam berbulu, yang terkena hantaman tangannya tak bergeming sama sekali.
Namun dia masih sempat meronta, dan terlepas dari cekalan tangan makhluk hitam berbulu itu. Lengannya sudah bergerak mencabut senjata Trisula di pinggang. Didahului hantaman lengannya bertenaga dalam sepertiga bagian. Senjata Trisulanya berkelebat menusuk.
Aneh, makhluk itu tak berupaya mengelak. Bahkan terlihat tertawa menyeringai perlihatkan gigi-giginya yang runcing. Sepasang matanya merah menyala seperti mempengaruhi dan mematikan daya kekuatan sirkuit otaknya. Seketika syaraf dara perkasa ini tegang, dan dia memang kehilangan daya nalurinya. Gerakan menusuknya berubah lambat.
Selanjutnya Mahesani sudah tak mengetahui lagi apa yang terjadi. Ketika tahu-tahu tubuh si pemuda itu sudah berkelebat menepiskan senjatanya. Dan sepasang lengan yang kuat telah menotok, dan meraih pinggangnya. Sekejap kemudian tubuh Mahesani sudah berada di pundak Raka Rumpit. Terpaku semua anak buah sang gadis itu menyaksikan kejadian aneh itu, dan di saat mereka tersadar, tubuh putri Ketua mereka itu telah dibawa berkelebat lenyap di balik hutan rimba di arah sana.
"Celaka...! Kejaaar...! Kejaaaarrr...!" Teriak salah seorang yang baru tersadar dari pengaruh yang membuatnya bagai kena tenung. Serentak berlompatanlah mereka mengejar. Akan tetapi sudah kasip. Karena orang yang diburuhnya sudah tak kelihatan batang hidungnya dengan membawa kabur putri Ketuanya.
* * * * * * *
EMPAT
Matahari yang baru saja menggelincir naik itu tampak agak meredup sinarnya, karena segumpal awan hitam telah menutupnya. Dari balik bukit itu tiba-tiba meluncur sebuah titik hitam. Makin lama tampak semakin membesar, dan semakin jelas kelihatan apakah adanya benda yang melayang keluar dari belakang bukit itu.
Kiranya adalah sebuah kepala tanpa tubuh. Ya, kepala dari seorang wanita yang berambut panjang beriapan. Itulah kepala dari si manusia setan Tri Agni. Ketika melayang ke atas sebuah bukit yang permukaannya agak datar, kepala tanpa tubuh itu bergerak memutari bukit itu beberapa kali, lalu menukik turun. Itulah kiranya bukit di mana adanya makam tua.
Persis di mana tumbuh sebatang pohon Angsana besar di atas bukit itu, si kepala tanpa tubuh berhenti tepat di bawah pohon rindang itu. Lalu meluncur perlahan semakin ke bawah dan tepat di atas akar kepala itu berhenti. Di sana dia diam untuk beberapa saat. Dan tak lama tampak sepasang mata makhluk itu yang tadinya membelik biji matanya, kini terkatup dengan wajah agak merunduk. Terlihat bibirnya berkemak-kemik entah membaca mantera apa.
Selang sesaat, tiba-tiba angin keras membersit merontokkan dedaunan. Langit menjadi gelap. Kilat menyambar-nyambar. Tak berapa lama segera terlihat di atas pohon Angsana tua itu sebentuk asap hitam yang memutari pohon bergulunggulung. Sementara kepala wanita setengah siluman itu masih tetap merunduk dengan mata terkatup, dan bibir komat-kamit.
Whusss...! Asap hitam yang bergulung-gulung itu menjelma menjadi makhluk raksasa. Yaitu seekor ular yang amat besar. Mulutnya menganga, dan keluarkan suara mendesis yang amat dahsyat. Tampak wanita kala putus itu membuka kelopak matanya. Wajahnya segera bersitkan senyuman girang, senyum menyeringai.
"Oh, Selamat datang Gusti Junjungan hamba! Hamba membawa berita duka Gusti Junjungan! Yaitu kematian cucuku, si bocah hitam! Mungkin kau dapat merasakan betapa hancurnya hatiku! Setelah anakku Durgandini melahirkan bayinya atas anugerah darimu, dia kemudian mati! Kini giliran cucuku...! Baru sedang senang-senangnya memperoleh cucu, ternyata mati oleh musuh-musuhku...! Tolonglah hamba Pukulun...! Apakah Ilmu Dasa Jiwa itu sudah punah, bila tubuh makhluk apapun yang memiliki telah terkena mantera suci...?" Berujar Tri Agni, si wanita setengah siluman itu.
"Sedangkan niat anakku adalah mempunyai seorang anak yang dapat membalaskan dendam dan sakit hatinya. Tolonglah hamba Gusti Junjungan! Masih banyak manusia musuhku yang belum kubunuh! Bahkan kini bertambah lagi, dengan musnahnya cucuku pemberianmu itu, Pukulun...!"
"Hoahahaha... hahaha... cucumu si bocah hitam itu masih bisa menjelma lagi, hambaku Tri Agni! Bahkan anakmu si Durgandini itupun masih dapat kubangkitkan lagi kalau kau mengingini! Cuma harus ada beberapa syarat yang harus kau penuhi! Adapun mantera suci memang dapat memusnahkan ilmu Dasa Jiwa yang kau miliki, yang telah berpindah pada cucumu si bocah hitam melalui anakmu Durgandini! Itulah sebabnya cucumu pemberianku, terpaksa aku tarik lagi ke alam ghaibku!" Terdengar suara ular besar itu yang perdengarkan suaranya bagai mendesis. Sementara kilatan petir tak hentinya menyambar di angkasa yang telah berubah menjadi gelap pekat.
Tri Agni tampak manggut-manggut mengerti, lalu ujarnya: "Apakah yang harus hamba perbuat Pukulun...? Dendamku belum terlampiaskan! Dan telah menjadi satu dengan dendam anakku Durgandini...! Hamba belum puas mengharungi kehidupan di dunia ini, Pukulun...! Ingin hamba merasakan menjadi Ratu yang sakti dengan segala kekuasaannya! Namun keadaan hamba telah seperti ini! Apakah Pukulun dapat meluluskan permohonan hamba...?" Berujar Tri Agni dengan nada sedih. Bahkan air matanya sampai bercucuran keluar.
"Hoahaha... hahaha... sabarlah hambaku! Tanpa dapat kau melenyapkan si pemilik MANTERA SUCI, kau tak akan tenang mengharungi kehidupan yang kau inginkan! Karena kau sudah bukan manusia wajar lagi, kau memang takkan mampu berbuat sekehendakmu! Akan tetapi kau dapat melakukan kehidupan baru dengan mengadakan "penitisan"...! Akan tetapi penitisan itu hanya dapat kau lakukan di saat seorang manusia tengah dirasuk dendam kesumat! Namun apabila manusia itu telah kembali sadar, kau akan merasakan panasnya api yang amat luar biasa! Itulah saatnya kau tinggalkan jasad manusia titisanmu!" Terdengar lagi suara mendesis parau dari mulut sang ular raksasa.
Tampak Tri Agni beliakkan sepasang matanya lebih besar lagi. Alisnya mencuat ke atas. Penjelasan dari sembahannya si Raja Siluman Ular itu telah membuat dia amat girang akan tetapi juga terkejut. "Oh, terima kasih Pukulun, Junjungan Hamba! Kini hamba mengerti! Akan tetapi apakah Ilmu Dasa Jiwa itu masih dapat hamba miliki?"
"Menitislah kau pada salah seorang tubuh manusia yang baru mati! Dan bertapa selama seratus hari! Untuk bekal tapamu tentu kau memerlukan darah untuk kehidupanmu! Bahkan untuk selanjutnya memang kehidupanmu harus memerlukan darah! Nah! Kukira sudah cukup penjelasanku! Apakah masih ada keinginanmu yang lain...?" Bertanya si Ular Raksasa penjelmaan Raja Siluman Ular.
Tercenung sejenak Tri Agni, namun tak lama dia sudah berkata cepat-cepat. "Ada, Pukulun...! Hamba masih menginginkan penjelmaan anakku Durgandini! Dan juga cucuku si bocah hitam itu!" Ujar Tri Agni. Tampaknya dia amat berhasrat sekali dengan permintaannya yang terakhir ini.
"Hohoho... Hosssy! Hosssy! Untuk permintaanmu itu, kau laksanakanlah dulu tapamu dan kesempurnaan jasadmu! Kelak keinginanmu itu akan terlaksana!"
"Oh, hamba mengerti! Terima kasih Pukulun! Terima kasih atas kesediaanmu menolong diriku...!" Ucap Tri Agni.
Dan bersamaan dengan itu sang Ular Raksasa itu pun lenyap! Barulah menjadi segumpal asap hitam, yang selanjutnya kembali berputar-putar bergulung-gulung. Semakin lama semakin meninggi, dengan menimbulkan suara bergemuruh dan desis menyeramkan. Tak lama kemudian gumpalan asap hitam itu pun sirna. Kilat sambung-menyambung di angkasa, dibarengi dengan bertiupnya angin keras.
Namun tak lama cuaca pun berangsur-angsur kembali terang benderang. Angin keras kembali sirna, dan petir yang berkilatan di angkasa pun melenyap. Keadaan kembali seperti sedia kala. Wanita kepala tanpa tubuh ini tersenyum menyeringai. Dan bahkan tertawa mengikik hingga suaranya terdengar ke sekitar perbukitan Makam Tua itu. Tak lama kepala tanpa tubuh Tri Agni melesat keluar dari bukit Makam Tua, dan melenyap...
* * * * * * *
"Bocah edan itu sudah kembali lagi...?" Terdengar suara menggumam dari dalam sebuah goa di bawah tebing dekat muara sungai itu.
Seorang nenek tua yang bongkok berwajah mirip tengkorak, tampak tengah duduk bersila di dalam ruangan. Tempat di mana dia duduk adalah sebuah batu persegi. Di sebelah kirinya ada lubang batu di dinding goa, hingga sinar matahari menerangi ruangan itu. Kepalanya agak dimiringkan seperti tengah mendengarkan lebih jelas suara orang yang datang.
Ternyata sepasang matanya masih mengatup, dan bahkan hebatnya, adalah orang yang didengarnya datang itu ternyata masih berada jauh sekali di bawah bukit. Menandakan pendengaran si nenek bongkok ini amat luar biasa.
"Hahaha... sabarlah manisku, aku akan carikan tempat yang sejuk dan nyaman! Tentu akan aku buka totokanku bila kau tidak rewel!" Sementara gadis yang berada di atas pundaknya itu cuma bisa menggigit bibir menahan geram. Akan tetapi dia sudah mengeluh, karena tak mampu berbuat apa-apa.
"Hm, goa tempat tinggalku terlalu pengap! Juga aku tak mau si nenek peot itu mengganggu ku!" Desis suara si pemuda. Tiba-tiba Raka Rumpit sudah melompat cepat ke arah sebelah timur perbukitan seraya perdengarkan desisannya. "Ahay... aku tahu tempat yang nyaman...!"
Seraya selanjutnya sambil bernyanyi-nyanyi kecil, dia sudah tiba di satu tempat. Di bawah pepohonan rimbun di sisi sungai itu, Raka Rumpit hentikan langkah kakinya. Lalu jatuhkan bebannya ke atas rumput tebal yang banyak tumbuh di sekitarnya. Kini sepasang mata pemuda ini sudah menjadi liar menelusuri wajah dan sekujur tubuh gadis bernama Mahesani itu.
Butiran-butiran keringat mengalir turun dari dahi sang gadis, bahkan sekujur tubuhnya sudah mandi keringat. Akan tetapi keringat itu adalah keringat dingin. Karena hawa takut yang amat luar biasa. Keputusasaan telah terpampang di wajah Mahesani. Tak ada daya lagi dia untuk dapat melepaskan diri dari cengkeraman pemuda bernama Raka Rumpit ini. Sementara lengan si pemuda sudah mulai nakal menelusuri setiap lekuk liku di tubuh sang dara.
Bret...! Bret...! Brettt....!
Sekonyong-konyong lengannya sudah bergerak merobek pakaian ketat si gadis. Terperangah seketika Mahesani. Dan cuma dengan berapa kali menyibak saja dia sudah rasakan hawa dingin dari sekujur tubuhnya. Karena sekejap apa yang melekat di tubuhnya sudah lenyap;
Terpekik dara ini dengan suara tersekat di tenggorokan. Tentu saja, karena Raka Rumpit telah menotok pula urat suaranya. Hingga Mahesani tak dapat mengeluarkan suara kecuali desisan.
"Iblis keparat! Lepaskan aku! Tidak! Tidaak...! Akan kubunuh kau Iblis! Kau... kau manusia edan!" Teriak suara desisnya.
Akan tetapi suara itu memang tak keluar. Desisnya tersangkut di tenggorokan. Cuma terlihat napasnya yang turunnaik dengan cepat. Dan sepasang mata yang terbeliak, serta bibir setengah terbuka. Usahanya untuk meronta membebaskan diri dari pengaruh totokan, cuma sia-sia belaka. Sementara lengan Raka Rumpit mulai menelusuri sekitar perbukitan dan lembah. Pandangan matanya semakin liar. Bahkan desah napasnya mulai seperti orang dikejar setan.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terpandang pada cincin peraknya yang berbatu "combong". Hm, apakah kegunaan khasiat cincin ini untuk menaklukkan hati wanita? Pikir Raka Rumpit. Tak terasa dia sudah tarik kembali lengannya.
"Akan kucoba!" Desis suara Raka Rumpit. Karena segera teringat akan kata-kata gurunya. Suatu saat bukan benda lagi yang kau curi! Pasti banyak wanita akan kau curi hatinya! Pasti kata-katanya mempunyai maksud yang berhubungan dengan benda ini! Bisik hatinya.
Dan... tiba-tiba dia mulai salurkan kekuatan bathinnya untuk menatap pada cincin bermata batu Combong itu. Pemuda gemblengan si nenek bongkok ini ternyata mempunyai kelebihan dalam hal kekuatan bathin. Tidaklah aneh, karena gurunya sendiri, si Nenek Bongkok Muka Tengkorak itu dengan kekuatan bathinnya mampu membuat tongkatnya bergerak memukul pantat sang murid.
Selang tak lama batu cincin di jari tangannya itu keluarkan sinar berwarna biru. Terkejut Raka Rumpit. Akan tetapi wajahnya sudah menampilkan kegirangan. Mendadak dia sudah hentikan kekuatan tenaga batin yang disalurkan melalui pancaran matanya. Kini dia berbalik menatap pada Mahesani. Lengannya yang berbatu cincin combong itu bergerak ke arah wajah gadis itu.
Tentu saja sinar biru yang memancar dari batu cincin Raka Rumpit amat menarik perhatian Mahesani. Sepasang matanya menatap sinar biru yang terpancar di jari tangan si pemuda. Dan... tampak satu perubahan mendadak, terjadi pada gadis di hadapannya. Kalau tadi Mahasani menatap dengan wajah ketakutan pada Raka Rumpit. Dengan sepasang mata membeliak marah serta bibir menganga gelisah.
"Ahaha... ahaha... ahahay... si bocah edan ternyata telah berhasil menaklukkan hati wanita, guru...! Terima kasih nenek manis atas pemberian "jimat"-mu ini!" Berkata pemuda itu dengan mengakak tertawa girang. Sementara lengannya sudah bergerak membuka totokan pada tubuh sang gadis.
Begitu merasa totokannya terbuka, dan tubuhnya dapat digerakkan lagi, segera Mahesani melompat bangun. Dan... tiba-tiba saja sepasang matanya sudah berubah menjadi liar. Bibirnya berdesahan, dengan napas menggebu. Tahu-tahu sudah memeluk Raka Rumpit dengan gairah berkobar.
* * * * * * *
"Bocah edan...!" Terdengar suara lirih memaki di balik semak. Dan sebuah kepala seorang nenek bermuka tengkorak tersembul di antara dedaunan. Sepasang matanya berbinar-binar melihat adegan di depan matanya. Tampak tubuhnya bergetar seperti menahan satu gejolak rangsangan yang amat kuat menghimpit dadanya.
Terasa ada sesuatu yang membuat napasnya menjadi sesak. Betapa tidak, lebih dari 10 tahun dia tak pernah disentuh oleh laki-laki. Dan sejak tiga tahun dia mengambil Raka Rumpit menjadi murid. Selama itu dia sudah menekan perasaannya. Terkadang tatapan mata si pemuda muridnya itu seperti menghunjam ke lubuk hati. Dan... entah mengapa tiba-tiba di benaknya timbul rasa mengiri, atau boleh disebut rasa cemburu yang begitu besar.
Tiba-tiba nenek bongkok itu pejamkan sepasang matanya. Bibirnya berkemak-kemik seperti membaca mantera. Tak lama terjadilah keanehan. Dari ubun-ubun kepalanya tersembul segumpal uap putih. Akan tetapi tak lama telah berubah menjadi hitam. Uap hitam itu menjulur menembus semak belukar, dan meluncur ke arah kedua orang yang tengah tenggelam dalam gelimang birahi.
Uap hitam itu sekonyong-konyong menelusup ke ubun-ubun kepala Raka Rumpit. Saat mana si pemuda tengah mengecupi leher sang "kekasih"nya yang kembali membuat dirinya terangsang. Bergelinjangan tubuh Mahesani yang dalam keadaan telanjang bulat itu menghimpit tubuhnya. Pemuda ini mendengus bagai kerbau yang mulai kembali liar. Sepasang matanya mulai membinar.
Dan... kepalanya sudah menelusup di antara belahan sepasang benda lembut berputik kemerahan. Mendesah-desah sang gadis merasakan kenikmatan. Serta segera balikkan tubuhnya menghimpit kuat-kuat tubuh Mahesani di bawahnya. Terperangah wanita muda ini.
Tubuhnya seketika bergelinjangan merasakan nikmat bercampur rasa sakit yang menyesakkan jalan pernapasannya. Meronta-ronta gadis itu dalam himpitan Raka Rumpit, dan sia-sia lengannya menepiskan cengkeraman jari-jari tangan pemuda itu yang telah mencekik lehernya.
Tubuh mulus tanpa sehelai benang itu menggeliat meregang nyawa. Suara teriakannya telah tersangkut di tenggorokan, yang telah menyumbat pernapasannya. Akhirnya setelah beberapa saat meregang maut dalam membaurnya kenikmatan, tubuh dara itu pun terkulai lemah untuk tak berkutik lagi. Lidahnya terjulur memanjang, dengan sepasang mata yang membeliak. Dia telah mati dicekik si pemuda bernama Raka Rumpit itu.
"Bocah edan...! Kau pulanglah! Aku tak akan menggebuk pantatmu...!"
Terkejut pemuda ini, karena segera mengetahui kalau itu adalah suara gurunya si nenek bongkok muka tengkorak. Segera dia bergegas memakai pakaiannya. Tak lama sudah melompat pergi dari sisi sungai itu. Sesaat matanya masih sempat menatap mayat sang gadis, akan tetapi dia memang sudah tak mengacuhkannya lagi.
"Ah, ah...! Mahesani! Agaknya umurmu terlalu pendek untuk menjadi isteriku!" Dan berkelebatlah tubuhnya menuju arah ke tempat tinggalnya, yaitu goa "lobang tikus" yang berbau pengap dan sudah amat menjemukan hatinya itu. Tiupan angin lirih mengiringi kepergiannya.
Sementara itu di mana dua sosok tubuh berkelebat, yang satu adalah si nenek bongkok yang mendahului berkelebat kembali menuju goanya, sedang yang satu lagi adalah tubuh Raka Rumpit. Saat itulah muncul sebuah kepala tanpa tubuh yang baru menampakkan diri. Dengan mulut tersenyum menyeringai kepala si manusia setengah siluman itu melayang mendekati tubuh Mahesani.
"Hihihi... hihi... bagus! Beruntung sekali aku menjumpainya! Mayat gadis ini masih segar, dan baru saja mati!" Mendesis suara Tri Agni, dan kepalanya bergerak memutari tubuh telanjang bulat yang terbujur itu.
"Aii, sungguh seorang gadis yang cantik dan masih amat muda! Hihihi... walau baru habis diperkosa tak apalah...! Wah, wah... sungguh mulus tubuhnya! Entah siapa nama gadis ini, akan tetapi inilah saatnya aku menitis padanya!"
Selesai berkata tiba-tiba kepala Tri Agni melenyap sirna, dan tanpa terlihat oleh mata biasa, secercah sinar putih melesat cepat memasuki gua garba Mahesani melalui ubun-ubun kepalanya. Mendadak terjadi keanehan pada alam sekitar, karena tiba-tiba cuaca berubah menjadi gelap. Angin bersyiur keras merontokkan dedaunan. Di langit tampak kilat sambung-menyambung membersitkan sinarnya disertai suara ledakan-ledakan keras.
Dan... pada saat itu juga tampak sesuatu telah terjadi pada mayat Mahesani. Mayat si gadis remaja itu tiba-tiba telah bergerak bangun. Tak lama sudah berdiri dengan perdengarkan suara tertawa aneh. Karena Mahesani tidak bersuara demikian. Itulah suara Tri Agni si manusia setengah siluman, yang telah menitis padanya.
"Hihihi... hihi... ow, enak sekali tubuh ini dipakainya! Aku dapat menggerakkan lagi lengan dan kaki! Dan aiih, benar-benar menyenangkan! Kini aku sudah mempunyai tubuh putih mulus, dan montok! Buah dadaku pun masih padat berisi! Pinggangku ramping, dan pinggul... ow! Besaar! Paha dan betis amat serasi! Jari tangan dan kaki lentik memanjang...! Dan... dan... hmm lebatnya...!"
Tri Agni tersenyum-senyum menatap tubuhnya, seraya berjalan melenggang-lenggok. Rambutnya dibiarkan terurai. Namun tak lama dia sudah hentikan tingkahnya. Kini merenung sejenak, seperti memikir akan apa yang harus diperbuatnya.
"Hm, aku harus mencari pakaian penutup tubuh ku! Ya, dengan mencuri tentunya!" Gumamnya perlahan. Dan Mahesani yang sudah berbeda nyawa itu pun beranjak dari tepian sungai itu. Ternyata gerakannya amat gesit, seperti Tri Agni ketika masih bertubuh utuh beberapa bulan yang lalu. Dengan berjumpalitan di udara, Mahesani sudah melesat menyeberangi sungai dan tiba di seberang. Injakkan kaki dengan ringan di atas tanah.
Seekor babi hutan yang tersesat ke sisi sungai, mengguik dan berlari ketakutan masuk ke rumpun lebat. Mahesani tertawa mengikik, lalu palingkan wajahnya ke arah depan. "Hm, di hilir sungai ini pasti banyak orang mencuci pakaian!" Desisnya agak santar. Dan berkelebatlah dia melompat-lompat lincah menyusuri tepian sungai.
* * * * * * *
LIMA
"Sudah selesai kau mencucinya, Tantri...?"
"Ah, belum, yu... masih dua potong lagi!" Sahut gadis muda berkulit putih ini, seraya menoleh. Sementara lengannya masih bekerja cepat menggilas pakaian di atas batu. Gadis ini mengenakan selembar kain yang dilipat ujungnya sebatas dada, sementara tubuhnya terendam air sebatas pinggang.
Wanita kawannya ini lebih tua sedikit usianya, yang tampaknya sudah selesai mencuci. Dan segera pergi mandi. Tak terlalu lama, dia sudah beranjak naik, dengan menyambar pakaiannya yang diletakkan di atas batu. Tampaknya dia bergegas mengenakan pakaiannya. Sebentar-sebentar memandang ke atas melihat langit. Matahari tampak tertutup awan hitam.
Dan hari memang sudah menjelang sore, karena bayangan tubuh yang samar-samar itu sudah memanjang. Tak berapa lama dia sudah selesai berpakaian, dan merapikan rambutnya dengan menggelungnya ke atas. Sementara gadis muda bernama Tantri itu terus mencuci, namun dipercepat karena melihat kawannya sudah rapi berpakaian.
"Cepatlah, Tantri...! Kukira sudah mau turun hujan! Tadi kulihat cuaca gelap sekali! Petir berkilauan di arah hulu sungai! Tapi... tapi memang aneh? Tahu-tahu cuaca kembali terang benderang! Dan kini lihatlah! Awan hitam sudah menutupi matahari lagi!" Ujar wanita itu. Dia bernama Tomblok.
"Aiih, yu Tomblok! Mengapa kau tampak ketakutan sekali!? Tak seperti biasanya! Kalau kau mau pulang duluan, pulanglah...! Akupun masih bisa pulang sendiri! Pakaian suamiku ini masih kotor! Dakinya terlalu tebal! Kau tahukan sifat suamiku? Dia akan mengomel kalau aku mencuci tak bersih!" Sahut Tantri ketus.
"Tapi... tapi aku memang takut, Tantri...!" Sahut Tomblok yang tampaknya memang agak gelisah. Entah mengapa hatinya jadi berdebaran. Dan tengkuknya sudah meremang sejak tadi.
"Takut apa...?" Tanya Tantri seraya menatap pada kawannya.
"Anu... takut... takut kehujanan!" Sahut wanita ini tergagap.
"Hihihi... hihi... yu Tomblok! yu Tomblok...! Kau ini memangnya sebangsa kambing, atau masih keturunan kambing? Masakan takut sama hujan! Hawa begini mana mungkin hujan? Hm, sudahlah, kau pulanglah lebih dulu! Kau memang cari-cari alasan saja!" Ujar Tantri seraya teruskan lagi mencuci.
"Kalau begitu baiklah! Aku pulang duluan, ya Tantri!" Ucap Tomblok seraya menyambar bakul cuciannya, lalu tanpa menoleh lagi sudah beranjak menaiki tanjakan berbatu-batu di sisi sungai itu. Langkahnya terlihat amat tergesa.
Gadis berkulit putih ini cuma mendengus, dengan wajah cemberut. Hatinya amat mendongkol pada kawan mencucinya itu. Diam-diam bibirnya mendesis seperti memaki. "Huh, dasar janda sudah gatel! Bilang saja sudah tak sabar menemui Kangmas barunya...!"
Mencuci sendiri di sungai dengan situasi sepi mencekam seperti itu memang tidak enak. Di samping ada rasa was-was, juga tidak tenang perasaan rasanya. Namun apa mau dikata, dengan hati mendongkol wanita muda ini teruskan pekerjaannya. Akan tetapi kini sudah mulai terasa adanya hawa aneh, yang membuat tengkuknya meremang. Dan dia baru merasakannya, beberapa saat setelah kawannya berangkat pulang.
"Eh, aneh...! Tak seperti biasanya hawa begini dingin! Tadi tak terasa apa-apa padaku! Hm, apakah cuma perasaanku saja...?" Gumam si wanita muda dalam hati.
Dan makin bergegaslah dia menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan niatnya untuk mandi pun telah diurungkan. Pakaian yang masih belum bersih digilasnya itu, cepat-cepat diperasnya. Lalu dilemparkan ke dalam bakul. Untuk selanjutnya mencopot kain penutup tubuhnya. Diperasnya pada bagian yang basahnya saja. lalu cepat dimasukkan ke bakul cucian. Selanjutnya lengannya sudah bergerak untuk menyambar pakaian keringnya yang bersih, di atas batu. Akan tetapi belum lagi lengannya menjamah, tahu-tahu bersyiur angin keras. Dan onggokan pakaiannya telah lenyap.
"Hah!?" Tersentak wanita muda ini. Sepasang matanya membeliak lebar. Tak ketahuan ke mana "terbang"nya sang pakaian, karena tahu-tahu sudah lenyap begitu saja dari atas batu di hadapannya. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik yang tak ketahuan di mana arahnya. Serasa berdiri semua rambut di kepalanya, wanita ini menjerit ketakutan.
Dan tak ayal sudah melompat ke darat, lalu lari jatuh bangun dengan keadaan tubuh telanjang bulat. Semakin gencarlah suara tertawa mengikik itu, seperti terpingkal-pingkal. Namun tak berapa lama satu bayangan sudah berkelebat muncul, dan suara tertawa mengikik itu pun terhenti. Terperangah wanita muda ini, karena tibatiba di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh telanjang bulat. Dan seonggok pakaian miliknya telah berada di cekalan lengan gadis tanpa busana itu.
"Hihihi... hihi... jangan pergi adik manis...! Aku amat memerlukanmu...! Hihihi... ya, memerlukan darahmu!" Berkata Mahesani.
"Hah!? Toloong! Tidaaak...! Ja... jangaaan...!" Berteriak wanita ini dengan wajah pucat ketakutan. Dan dia sudah putar tubuh untuk melarikan diri.
Akan tetapi sekali Mahesani mengangkat tangan, segelombang angin keras bersyiur menerpa tubuh wanita itu. Sekejap saja dia sudah roboh dengan mengeluh. Selanjutnya ketika Mahesani membungkukkan tubuh... terdengarlah jeritan wanita muda itu. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Ternyata Mahesani telah menerkam lehernya dengan giginya, menggigit leher sang korban. Darah menyemburat memancur, dan dengan lahap Mahesani telah menghisapnya.
Tak berapa lama tubuh wanita muda yang telanjang bulat itu sudah terkulai lemah. Sepasang matanya membeliak. Dan sesaat antaranya Mahesani sudah lepaskan cengkeramannya, lalu bangkit berdiri. Tampak wajahnya menyeringai menyeramkan. Karena wajah cantik gadis itu penuh berlumuran darah pada bagian mulutnya.
"Hihihi... darahmu manis, seperti orangnya... hihihi... hihi..." Mahesani gerakkan lengannya menyeka mulut. Sementara sepasang matanya menatap menjalari sekujur tubuh polos si wanita muda yang sudah tak bergeming lagi. Karena nyawanya telah lepas meninggalkan tubuhnya.
Tak berapa lama, setelah selesai mengenakan pakaian yang dirampasnya, Mahesani alias Tri Agni segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu dengan diiringi suara tertawa mengikik yang menyeramkan.
* * * * * * *
Sebulan sudah sejak kejadian lenyapnya Mahesani, puteri Ketua Perguruan Trisula Dewa. Lereng bukit tempat berlatih para anak buah Perguruan tersebut sudah tak dipakai lagi untuk berlatih. Rumah Perguruan Trisula Dewa tampak dilanda kemuraman. Tiada lagi gelak tawa dan canda dari para anak buahnya.
Sedangkan sang Ketua Perguruan yang bergelar si Pendekar Trisula Emas tampak jarang keluar dari kamarnya. Berganti-ganti diutus dari para anak buahnya untuk mencari jejak si pemuda bernama RAKA RUMPIT yang melarikan Mahesani. Akan tetapi tak membawa hasil.
Hari itu tampak rumah Perguruan Trisula Dewa kedatangan dua orang tamu. Mereka adalah seorang wanita berusia sekitar 50 tahun dan seorang pemuda dewasa yang kira-kira berusia lebih dari dua puluh tahun. Si wanita tua itu memakai pakaian persilatan, bertubuh agak pendek, dengan rambut digelung di atas, memakai tusuk konde emas, berbaju sutera warna jingga.
Sedangkan laki-laki remaja itu memakai pakaian warna abu-abu, dengan ikat kepala berwarna merah. Di punggungnya terselip sebatang tombak pendek bermata tiga. Yaitu di kiri kanan dua mata kapak, dengan bagian tengahnya mata tombak.
"Katakan pada Ketuamu, bahwa Pendekar Lembah Bunga datang bertamu...!" Berkata si wanita tua itu dengan suara gagah.
Penjaga yang menyambut kedatangannya itu mengangguk hormat, lalu bergegas beranjak untuk memberi laporan. Sementara belasan anak buah lainnya hanya menatap dari kejauhan, sambil bertanya-tanya siapakah tetamu dia orang yang datang menyambangi padepokan mereka? Tak berapa lama....
"Ah, selamat datang di tempatku, sobatku Pendekar Lembah Bunga...!" Dan diiringi suara kata-katanya, segera muncul sang Ketua Perguruan Trisula Dewa yang bernama Bayu Wijaya itu.
"Ahihi... mana anak gadismu, si Mahesani? Tentunya sudah berubah jadi gadis dewasa yang cantik rupawan!" Berkata si wanita tua Pendekar Lembah Bunga.
Tercenung sesaat, Bayu Wijaya. Mendadak wajahnya menjadi muram. Akan tetapi cepat-cepat dia menjawab dengan tersenyum, bahkan perdengarkan tertawanya yang hambar. "Hahaha.... Diajeng Rukmita...! Agaknya kau sudah terlalu rindu, hingga sudah menanyakannya! Ehm, apakah anak muda ini muridmu yang pada belasan tahun yang lalu itu masih kecil dan bandel?" Tanya Bayu Wijaya mengalihkan pembicaraan di luar Padepokan itu.
"Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan si Mahendra! Anakku ini tak pernah berguru pada siapa-siapa selain ibunya sendiri...!" Menyahuti si Pendekar Lembah bunga seraya berkata: "Hayo, anakku segera beri hormat pada calon mertuamu ini...!" Pendekar Lembah Bunga lanjutkan kata-katanya seraya menoleh pada sang anak.
Tentu saja si pemuda bernama Mahendra itu cepat-cepat menjura dengan membungkuk di hadapan Bayu Wijaya seraya mencium tangan orang tua itu. Akan tetapi cepat-cepat Bayu Wijaya menepuk pundaknya.
"Sudahlah, anak mas...! Jangan terlalu banyak peradatan! Marilah kalian segera masuk! Tempatku masih begini saja tanpa perobahan!" Ujar Bayu Wijaya merendah.
Sementara wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Hatinya berdebaran, akan bicara bagaimanakah dia nanti di hadapan calon besannya ini? Seperti telah direncanakan, memang sejak masih sama-sama berusia tujuh-delapan tahun, Mahesani dan Mahendra telah ditunangkan. Akan tetapi dia memang tak menyangka kalau kedatangan Rukmita alias si Pendekar Lembah Bunga ini akan datang menepati janji.
Dan kedatangannya sudah pasti untuk melamar anak gadisnya. Namun kedatangan sang calon besan ini sudah terlambat karena Mahesani telah lenyap entah ke mana. Mau tak mau Bayu Wijaya memang harus menceritakan apa yang telah terjadi. Tentu saja membuat si Pendekar Lembah Bunga jadi terperanjat. Bahkan seketika menjadi lemas sekujur tubuhnya.
"Menurut yang kudengar, pemuda itu bernama RAKA RUMPIT! Entah dari mana kedatangannya! Justru waktu terjadinya penculikan itu aku sedang tak ada di tempat! Latihan para murid kami memang setiap sepekan sekali mengadakan latihan di lereng bukit Karang Tunggal, tak seberapa jauh dari sini!" Ujar Bayu Wijaya dengan nada sedih. "Telah kuutus beberapa kelompok untuk menyebar, mencari jejak Mahesani, akan tetapi sia-sia! Mereka pulang tanpa membawa hasil! Pencarian jejak itu sudah sampai sebulan ini! Aku memang sudah hampir putus asa Diajeng...!
ENAM
Termenung si Pendekar Lembah Bunga, wajahnya menampilkan kekecewaan hatinya. Akan tetapi jelas membuat kemarahan luar biasa pada si pemuda bernama Raka Rumpit, yang telah menculik calon menantunya. Sementara Mahendra cuma bisa termangu-mangu tanpa bisa berkata apa-apa. Melihat pun wajah tunangannya sejak sama-sama dewasa, dia belum pernah.
Masa kecil dalam usia sekitar tujuh-delapan tahun adalah masa di mana belum bisa mengingat wajah orang, walaupun mereka pernah saling jumpa. Selama itu Mahendra hanya mengetahui sekitar lembah, yang dinamakan Lembah Bunga. Dimana dia digembleng oleh sang ibu yang merangkap sebagai gurunya.
Setelah terdiam sejurus, akhirnya Pendekar Lembah Bunga memohon tinggal sementara di Padepokan Trisula Dewa, sekalian menyelidiki di mana adanya si pemuda penculik bernama Raka Rumpit, dan mencari jejak Mahesani. Tentu saja Bayu Wijaya tak menolaknya. Bahkan dengan adanya Mahendra di padepokan, dia dapat leluasa mencari anak gadisnya.
Demikianlah, hari itu juga Mahendra diperkenalkan pada seluruh dari anak buah Perguruan Trisula Dewa. Bahkan beberapa hari di padepokan itu, ternyata Mahendra amat disenangi dalam pergaulan. Bahkan terjadi saling menguji ilmu. Kedua calon besan itu cuma memandang sambil tersenyum.
"Diajeng...! Tampaknya jurus-jurus ilmu Lembah Bunga amat hebat! Kaukah yang telah menciptakan jurus-jurus baru itu?"
"Hm, benar! Sebenarnya masih serumpun dengan jurus-jurus dari ciptaan guru kita! Aku hanya mengadakan perombakan, dan menambah beberapa jurus baru hasil ciptaanku!" Sahut si Pendekar Lembah Bunga.
Bayu Wijaya tersenyum seraya manggut-manggut. Sementara diam-diam hatinya agak tergetar berdekatan dengan wanita yang pernah menjadi saudara seperguruannya itu. Sudah sejak lama Bayu Wijaya hidup menduda, sejak istrinya minggat bersama laki-laki lain, dan entah ke mana perginya. Meninggalkan Mahesani sejak masih kanak-kanak. Rumah tangganya memang tidak harmonis, dan mengalami perpecahan, karena sang istri ternyata seorang wanita yang tak mengenal puas.
Sedangkan si Pendekar Lembah Bunga adalah juga seorang janda, yang ditinggal mati suaminya. Dan tidak berhasrat menikah lagi. Sebagai dua orang dari satu guru, mereka tetap bersahabat. Dan masing-masing telah mengetahui akan riwayat hidup rumah tangganya, yang sama-sama berantakan.
Entah, apakah di hati Rukmita alias si Pendekar Lembah Bunga itu masih ada cinta? Bayu Wijaya tak dapat menduganya. Namun nyatanya hati Bayu Wijaya memang sudah kena terjerat asmara, di masa tua ini. Seakan ingin dia mengembalikan masa remajanya yang sudah lewat puluhan tahun.
Sayang kemelut lenyapnya anak gadisnya membuat Bayu Wijaya lebih banyak menekan perasaannya. Adapun si Pendekar Lembah Bunga seperti tak mengetahui apa yang terkandung di hati saudara seperguruannya itu.
"Ah, seandainya jurus-jurus Lembah Bunga dipadukan dengan jurus dari Perguruan Trisula Dewa, tentu akan merupakan kombinasi yang hebat!" Berkata perlahan Rukmita. "Jurus-jurus ciptaanmu pun tak kalah hebatnya, kakang Bayu...!" Lanjut ucapannya.
"Yah. kukira memang bisa jadi! Akan tetapi aku merasa jurus-jurus ciptaanku teramat lemah! Terbukti anakku Mahesani tak mampu menjatuhkan pemuda bernama Raka Rumpit itu dalam tiga jurus! Dan bahkan dapat diculik begitu saja...!" Berkata Bayu Wijaya dengan wajah muram, seperti menyesali kebodohannya.
Rukmita berpaling menatap wajah Bayu Wijaya. Laki-laki yang ditatapnya tundukkan kepala. Sementara jari-jari lengannya bergerak memilin jenggotnya yang masih hitam berkilat. "Kakang Bayu...!" Ucap wanita tua itu lirih. Seraya kembali berpaling mengarahkan pandangan ke pelataran Padepokan. "Kukira kau akan sependapat, kalau kita mencari Mahesani berdua! Urusan di Padepokan Trisula Dewa kita serahkan saja pada murid tertuamu! Bukankah ada Mahendra, yang bisa membantu bekerja dan turut menjaga untuk sementara!" Berkata Rukmita dengan kata-kata lirih serius.
Tercenung Bayu Wijaya, seolah tak percaya, karena justru dia memang amat mengharapkan hal demikian. Akan tetapi Bayu Wijaya tak menampakkan wajah girangnya. Bahkan terdengar menghela napas, seolah mengkhawatirkan sesuatu. "Akupun berpendapat demikian, diajeng...! Namun apakah tak menjadi gunjingan orang, karena kita sama-sama duda dan janda...?"
"Hm, mengapa harus berpikir sejauh itu? Kita adalah pernah menjadi saudara seperguruan! Dan layak kalau kita pergi bersama untuk mencari Mahesani, sekalian menyelidiki siapa adanya bocah kurang ajar yang telah menculiknya...! Persetan dengan segala macam gunjingan!" Ucap Rukmita dengan kata-kata tegas.
"Kalau begitu, baiklah...! Bilakah kita akan berangkat?" Tanya Bayu Wijaya.
"Mengapa harus buang waktu? Lebih cepat adalah lebih baik!"
"Sampai berapa waktu kita mencarinya...?"
"Heh! Ya, sampai ketemu...! Aiiih, kakang Bayu! Apakah kau akan mandah saja anak gadismu dijadikan permainan orang? Walau entah apa yang terjadi dengan anakmu itu, aku tetap tak merobah keputusan untuk menjodohkannya dengan Mahendra!" Ucapnya tegas. Dan kata-kata si Pendekar Lembah Bunga itu memang tidak main-main, karena terlihat jelas di sudut matanya menggenang setitik air bening. Dan sepasang matanya sudah berkaca-kaca. Akhirnya wanita itu pun tundukkan wajahnya seraya menahan isak yang tersendak di dadanya.
"Aku memang seorang ayah yang tak becus menjaga anak, diajeng! Ah, maafkanlah aku! Gembira sekali kalau kita bisa jalan bersama-sama! Jadi teringat lagi pada masa kita remaja! Sayangnya aku tak berjodoh denganmu!" Ujar Bayu Wijaya sambil tersenyum. Namun tak urung air matanya pun membersit keluar.
* * * * * * *
Pada pertengahan musim kemarau seorang penunggang kuda tampak mendatangi sebuah perkampungan di daerah utara itu. Laki-laki itu berpakaian sederhana. Ikat kepalanya yang terbuat dari bahan kasar berwarna kuning, tampak berkibaran tertiup angin. Kudanya berbulu coklat dan tampak kekar. Tiba di mulut desa, laki-laki ini hentikan lari kudanya dan berjalan perlahan. Sementara sepasang matanya merayapi keadaan sekitar daerah itu.
Ternyata laki-laki ini tak lain dari Satryo, bekas Senapati Kerajaan Matsyapati yang sudah punah. Satryo memang telah mengembara menurutkan sepembawa kakinya. Nama desa yang disinggahinya itu pun dia tak tahu. Empat bulan sudah waktu berlalu, dengan kuda tunggangannya yang tak pernah berpisah darinya.
Tiba-tiba laki-laki ini hentikan langkah kudanya, karena telinganya segera menangkap suara jeritan, dan suara orang berteriak. Bahkan tak lama terdengar seperti suara orang bertarung, dengan diiringi bentakan-bentakan keras. Apakah yang terjadi? Sentak hatinya. Dan tanpa ayal lagi dia sudah keprak kudanya untuk mencongklang cepat ke arah tengah desa.
Sesosok mayat wanita membugil tampak terjuntai di pintu rumah panggung, dan seorang pemuda bertelanjang dada, tampak tengah menghadapi serangan dua orang laki-laki yang menerjang hebat dengan golok-golok telanjang.
"Bocah keparat! Kau berani main gila dengan anak menantuku? Kubunuh kau bangsat!" Orang tua itu menerjang kalap. Goloknya menebas ke kiri-kanan dan membacok ganas ke tubuh si pemuda.
Akan tetapi dengan tertawa-tawa pemuda itu telah melompat-lompat menghindar. Gerakan mengelakkannya ternyata santai saja, namun serangan-serangan ganas laki-laki tua itu ternyata luput dengan mudah. Sementara laki-laki yang hampir seumur dengannya itu melompat menerjang dengan bentakan keras, dan berteriak-teriak kalap. Agaknya dialah suami wanita bugil yang terjuntai di pintu rumah panggung.
"Aku akan adu jiwa denganmu, setan pemerkosa wanita!" Dan dengan menggerung keras dia sudah lakukan terjangan hebat dengan golok panjangnya.
"Ahahaha... aku tidak memperkosa! Boleh kau tanyakan pada istrimu! Kami melakukannya mau sama mau!" Ujar pemuda itu dengan mengelak dari sambaran ganas golok panjang si laki-laki suami wanita itu. Dan...
Blugh...! Dia telah kirimkan satu hantaman telak di dada orang. Tak ampun laki-laki itu terlempar keras hingga menabrak ke anak tangga bambu rumah panggung itu.
Braakkk...! Tangga bambu itu patah berderak. Dan laki-laki itu meringis menyeringai kesakitan. Dia masih berusaha bangkit, namun segera terbatuk-batuk, dan darah kental berwarna hitam menggelogok keluar dari mulutnya.
"Hahaha... sebaiknya kau menyusul istrimu ke Alam Baka! Bukankah kematiannya adalah di tanganmu sendiri? Siapa suruh kau membunuhnya...?" Berkata pemuda itu dengan tertawa menyeringai.
"Iblis keparat...! Kau... kau..." Membeliak sepasang mata laki-laki itu. Akan tetapi sebelum dia dapat bangkit berdiri, tubuhnya telah terhuyung limbung. Dan kata-katanya terputus, karena seketika nyawanya sudah melayang. Ambruklah tubuh laki-laki itu dengan tidak bergeming lagi. Pukulan keras pada dada laki-laki itu ternyata telah mengantarkannya pada jalan kematian. Dan dia memang benar-benar tewas menyusul istrinya, yang telah dibunuhnya.
Laki-laki itu mendapat laporan dari salah seorang kawannya tentang adanya seorang pemuda yang bertamu ke rumahnya di saat dia tidak berada di rumah. Dan sang istri ternyata menerima tetamunya itu untuk menghormati. Tak dinyana telah terjadi satu perbuatan mesum di rumahnya. Hal mana diketahui oleh sang kawan yang telah mengintip perbuatan mereka. Tentu saja dengan kemarahan meluap dia berlari pulang. Di jalan berjumpa dengan ayahnya.
Secara singkat dia ceritakan pada sang ayah. Dan melompat geram ke arah rumahnya. Golok panjang yang selalu dibawanya itu dipakai menoreh pintu jendela yang tertutup. Dan segera terpampang jelas di depan matanya sang istri yang tengah bercumbu dengan pemuda asing itu. Melompatlah dia ke dalam.
Sementara si pemuda asing sudah merapihkan sebagian pakaiannya, dan melompat keluar. Lakilaki ini muncul di kamar istrinya. Dilihatnya sang istri bukannya ketakutan melihat suaminya memergoki perbuatannya, bahkan tersenyum-senyum menatap padanya dengan rambut awut-awutan, dan tubuh telanjang bulat.
Betapa geramnya dapat dibayangkan hati sang suami. Dia berpikir sang istri sudah keterlaluan. Dan sengaja memanasi hatinya. Tak ampun lagi dia sudah seret tubuh istrinya, keluar pintu. Dan golok panjangnya "berbicara" menghabisi nyawa wanita itu.
"Bocah iblis...! Kau telah bunuh anakku...? Kucincang tubuhmu manusia edan...!" Dan si orang tua itu sudah menerjang beringas dengan goloknya. Tubuh laki-laki tua ini menggeletar hebat. Betapa dengan kejam si pemuda asing itu telah membunuh anak laki-lakinya.
Wuttt! Wuttt! Wuttt...!
Kembali serangan-serangan ganas itu dielakkan dengan mudah, seraya berkata dengan wajah cengar-cengir. "Ah, sudahlah pak tua! Kau urusi saja mayat anak dan menantumu aku malas membunuhmu...!"
Akan tetapi mana mau si laki-laki tua itu diamkan manusia pembunuh itu di depan matanya? Kembali dia menerjang bringas. Goloknya membabat dan menabas kepala pemuda konyol di hadapannya.
"Heh, kau rupanya memilih mampus! Baiklah! Jangan salahkan aku...!" Tiba-tiba tubuh pemuda itu berkelebat melompat, lengannya bergerak menghantam kepala laki-laki tua itu.
Wuukkk... Desss...!
Terkejut pemuda itu ketika merasai angin bersyiur ke arah punggungnya. Dan belum lagi dia sempat menghantamkan lengannya, tubuhnya telah terlempar beberapa tombak. Namun dengan lincah si pemuda ini berjumpalitan di udara, dan jatuhkan kakinya menginjak tanah. Hatinya memikir. Siapa yang telah menyerangnya? Untunglah dia sudah lindungi tubuhnya dengan hawa sakti yang dengan cepat disalurkan ke punggung. Hingga hantaman telak itu tak membuatnya cidera.
Saat itu juga telah berkelebat sebuah bayangan tubuh manusia. Dan seorang laki-laki gagah berpakaian sederhana telah berada di situ. Ternyata Satryo yang barusan menggagalkan serangan maut pemuda konyol itu.
"Manusia dari manakah yang telah tega berbuat keji, dan bertindak semaunya mengumbar kelakuan jahat...!" Ujar Satryo dengan kedua lengan terentang. Sepasang matanya menatap pada pemuda yang juga telah menatapnya. Sementara diam-diam Satryo terkejut juga karena hantaman angin pukulannya tadi ternyata tak membuat pemuda itu cidera. Atau setidak-tidaknya luka dalam. Pemuda bertelanjang dada itu bahkan masih bisa berdiri dengan keadaan segar bugar.
"Bapak tua! Menyingkirlah kau! Manusia keji ini bukan lawanmu...!" Berkata Satryo.
Sementara di belakangnya terdengar suara ringkikan kudanya. Tak ayal si laki-laki tua itu sudah menyingkir, dan berlari menubruk mayat anak laki-lakinya dengan menangis bagai anak kecil. Sedangkan keadaan di lingkungan desa itu, seketika menjadi ramai dengan berdatangannya orang-orang desa melihat kejadian.
"Aha...! Ada jagoan rupanya yang datang berkuda! Hahaha... satu kehormatan buatku untuk menjajal kepandaian!" Berkata pemuda itu dengan tertawa jumawa. Dan melangkah lebar mendekati Satryo.
"Heh! Siapakah kau, sobat! Apa kesalahan keluarga rumah ini, hingga kau turunkan tangan keji!" Ujar Satryo dengan kening berkerut menatap orang.
"Hm, aku tak pernah menyembunyikan namaku. Namaku Raka Rumpit! Dan mengenai urusanku, kau tak perlu ikut campur! Kecuali memang mau menjajal ilmu! Bukankah telah kau lihat sendiri kalau ternyata pukulanmu barusan tak berarti apa-apa padaku! Ahahaha... Baiknya kau pulang dulu untuk berguru pada kakekmu! Barulah boleh berlagak jadi pahlawan!" Ucap pemuda yang tak lain dari Raka Rumpit itu adanya.
"Manusia sombong!" Mendengus Satryo. Selama hidupnya baru dia menjumpai seorang pemuda yang keterlaluan dan bertingkah konyol begitu. Akan tetapi Satryo dapat menahan kesabarannya.
Sementara diam-diam Raka Rumpit sudah membaca mantera dengan bibir berkemak-kemik. Sepasang matanya menatap tajam pada Satryo. Terkejut bekas Senapati itu, karena merasai tatapan mata Raka Rumpit telah bersitkan sinar tajam yang mempengaruhi bathinnya. Selang sesaat, tampak dalam pandangannya tubuh Raka Rumpit berubah jadi segumpal asap hitam. Dan gumpalan asap itu membentuk sesosok tubuh hitam berbulu dengan wajah menyeramkan.
"Hah!? Edan...! Manusia apakah si Raka Rumpit ini?" Desis Satryo tersentak kaget. Terpaksa dia gunakan kekuatan bathinnya untuk menindih kekuatan lawan yang mempengaruhi pandangannya. Akan tetapi sia-sia. Makhluk hitam berbulu itu semakin dekat melangkah. Satryo mundur dua tindak.
TUJUH
AKAN TETAPI PADA SAAT ITU... terdengar satu bentakan keras, dengan diiringi berkelebatnya dua sosok tubuh ke hadapan mereka.
"Bocah keparat...! Akhirnya berhasil juga kami menjumpaimu!" Raka Rumpit hentikan langkahnya, serata tatap wajah kedua orang pendatang itu. Ternyata yang muncul tak lain dari Bayu Wijaya dan si Pendekar Lembah Bunga.
"Walah... siapakah kalian ini, datang-datang memaki orang?" Tanya Raka Rumpit. Pemuda ini tak menampakkan perubahan tubuhnya dalam pandangan kedua orang tokoh persilatan itu.
Sementara Satryo tersentak lagi, karena segera melihat tubuh makhluk hitam berbulu dengan wajah menyeramkan itu berangsur-angsur melenyap, dan kembali berubah dalam bentuk aslinya. "Heh? Ilmu Hitam...!" Desisnya tertahan.
"Setan tengik! Hm, bocah...! Kau sembunyikan di mana anak gadisku yang bernama Mahesani! Kau... kau telah menculiknya ketika dia tengah melatih para anak buahku hampir empat bulan yang lalu di lereng bukit Karang Tunggal. Bukankah kau bernama Raka Rumpit...?" Bentuk Bayu Wijaya si Pendekar Trisula Emas.
Tercenung sejenak Raka Rumpit. Namun segera perdengarkan tertawanya. "Oh, hahaha... haha... kalau begitu kaukah yang bergelar si Pendekar Trisula Emas, ketua Perguruan Trisula Dewa itu...?"
"Benar! Perbuatan terkutukmu ini benar-benar menghinaku, bocah! Kau ke manakan anak gadisku itu! Dan siapakah gurumu?" Bentak lagi Bayu Wijaya. Baru saja Raka Rumpit mau menjawab, tiba-tiba telah menelusup ke lubang telinganya satu suara halus.
"Raka Rumpit...! Kau pulanglah...! Ada hal penting yang akan aku katakan padamu! Aku telah kedatangan tetamu istimewa...! Kedatanganmu amat kuharapkan secepatnya...!"
Terkejut pemuda ini karena itulah suara sang guru, si Nenek Bongkok Muka Tengkorak. "Hm, maafkan aku para Pendekar Tua! Aku tak bisa menjawab sekarang! Aku harus kembali secepatnya!!" Seraya berkata tubuh Raka Rumpit sudah berkelebat melesat. Dan melompat pergi dari situ.
"Kurang ajar...! Hei? Kau tak dapat melarikan diri lagi manusia tengik!" Membentak Rukmina si Pendekar Lembah Bunga. Tubuhnya mencelat menyusul bayangan tubuh Raka Rumpit. Tiba-tiba lengannya bergerak mengibas.
Whusss...!
Ser! Ser! Ser...!
Enam kuntum bunga kering meluncur deras ke arah belakang punggung Raka Rumpit, yang telah tersusul tiga tombak di belakangnya. Hebat senjata bunga kering yang dilontarkan wanita Pendekar Lembah Bunga ini. Karena mengarah keenam bagian jalan daerah lawan. Bila salah satu saja yang mengena, tentu akan membuat lawan tertotok roboh.
"Edan...! Bocah itu punya ilmu siluman! Pantas kalau anakmu si Mahesani bisa dikalahkan...!" Desis Rukmita si Pendekar Lembah Bunga.
"Keparrrat...! Entah siapa guru si bocah edan itu...!" Memaki Bayu Wijaya. Di lengannya telah tergenggam senjata Trisula Emas-nya. Akan tetapi belum lagi dipergunakan, pemuda penculik anaknya itu sudah merat menjadi segumpal asap.
Satryo mendehem seraya mendekati kedua orang itu. Lalu menjura hormat ketika keduanya menoleh. "Paman Bayu Wijaya...! Apakah anda masih mengenalku?" Bertanya Satryo.
Terkejut laki-laki tua ini. Seraya mengelus jenggotnya, dia menatap pada laki-laki dewasa di hadapannya dengan krenyitkan keningnya. Diperhatikan demikian, Satryo tersenyum. Lalu segera perkenalkan diri.
"Ah, agaknya anda pangling, sobat Bayu Wijaya! Aku Satryo!"
"Hah!? Anda... anda Senapati Satryo...? Oh, maafkan mata tuaku ini, Senapati!" Ucap Bayu Wijaya dengan tersipu. Dan segera beranjak ulurkan lengannya menjabat tangan laki-laki itu.
"Ah, jangan panggil aku Senapati lagi, paman Bayu Wijaya. Kerajaan Matsyapati sudah punah! Dan aku telah berhenti dari jabatanku!" Ucap Satryo pendek.
Laki-laki tua yang masih bertubuh kekar itu tercenung sejenak, lalu manggutmanggut mengerti. Agaknya berita diambil alihnya kekuasaan Kerajaan Matsyapati yang sudah ditinggal pergi oleh Rajanya itu telah sampai juga ke telinganya. Selang sesaat, tiba-tiba Bayu Wijaya berkata:
"Oh, adik Senapati... eh, Satryo...!" Berkata Bayu Wijaya seraya menatap berganti-ganti pada Rukmita dan Satryo.
"Aku bernama Rukmita, yang digelari si Pendekar Lembah Bunga! Kami masih saudara seperguruan...!" Ucap si Pendekar Lembah Bunga mendahului bicara, karena tampaknya Bayu Wijaya agak tergagap untuk memperkenalkan dirinya pada laki-laki bekas Senapati itu. Laki-laki tua ini cuma manggut-manggut dengan tersenyum. Dan cepat-cepat Satryo menjura lagi.
Secara singkat Bayu Wijaya ceritakan tentang musibah yang telah menimpanya pada Satryo. Dan mereka berdua memang tengah mencari jejak pemuda bernama Raka Rumpit itu, di samping mencari ke mana lenyapnya Mahesani, anak gadisnya.
"Kakang Bayu, aku akan coba cari jejak pemuda edan itu, kukira tak berapa jauh di sekitar sini...!" Seraya berkata Rukmita telah berkelabat melompat tanpa menunggu lagi jawaban si Pendekar Trisula Emas.
Melengak laki-laki tua ini, seraya berteriak: "Diajeng Rukmita! Tungguuu...!" Dan dia sudah palingkan lagi wajahnya menatap Satryo. "Maaf, adik Satryo, aku... aku harus segera membekuk manusia jahanam itu sebelum dia berlari jauh!"
Satryo cuma terpaku dan cepat mengangguk. Dan tak ayal Bayu Wijaya sudah berkelebat menyusul si Pendekar lembah Bunga. Satryo cuma menatap dengan tercenung. Dan terdengar suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit itu memiliki ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau ternyata di penuhi orang-orang muda yang berilmu tinggi! Sayang dipergunakan untuk menyebar kejahatan...!" Gumam laki-laki bekas Senapati ini. Dan dia pun segera berkelebat untuk menjemput kudanya. Tak lama sudah mencongklang cepat meninggalkan desa yang dilanda musibah itu.
Sementara itu sesosok tubuh berkelebat cepat menuju ke arah bukit. Dan meniti tebing dekat muara sungai di bawahnya. Tak lama sesudah memasuki sebuah lubang goa. Terdengar suara tertawa mengekeh, dan di dalam ruangan goa itu telah berdiri sesosok tubuh bongkok, yang tak lain dari si nenek bongkok bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah edan itu benar-benar keterlaluan! Membuat aku cemburu setengah mati! Rasanya menunggu sampai tamatnya pelajaran ilmu yang kuberikan, aku sudah tak sabar lagi...!"
Menggumam si nenek bongkok seraya duduk di atas batu di tengah goa. Tak lama dia sudah beranjak bangkit dan melangkah menuju ke ruangan kamar tempat samadinya. Akan tetapi belum lagi lebih dari lima langkah, sudah terdengar di kejauhan suara tertawa mengakak, dan saat berikutnya tahu-tahu si pemuda muridnya itu telah muncul di mulut goa. Terhenyak si nenek bongkok.
"He!? Begitu cepat kau datang...?" Berkata si nenek. Dia agak heran karena tak mendengar suara pemuda muridnya itu dari kejauhan. Biasanya telinga si nenek bongkok sudah dapat menangkap dari kejauhan, kalau anak muda muridnya itu akan pulang. Bahkan walau masih berada di kaki bukit. Akan tetapi kedatangannya kini adalah memang di luar dugaannya. Dia tadi telah sengaja berdusta dengan mengatakan ada tetamu istimewa di goa tempat tinggalnya.
"Hahaha... bukankah aku telah mempelajari ilmu Asap Setan! Mana kau mampu mengetahui kedatanganku lagi, nenek manis...!" Ucap Raka Rumpit dengan tertawa, dan memasuki goa dengan langkah lebar.
"Bocah gendeng..." Memaki si nenek. Akan tetapi seperti baru tersadar dia berkata. "He!? Apa katamu tadi? Kau telah berhasil menguasai ilmu Asap Setan...?"
Pemuda ini mengangguk sambil nyengir tertawa, dan lengannya menggaruk-garuk dadanya yang telanjang berkeringat. Rambutnya yang semakin gondrong tanpa ikat kepala itu dikibaskibaskannya seperti mengusir hawa panas dalam goa. Melengak si nenek bongkok. Sepasang matanya membeliak. Tiba-tiba saja dia sudah angkat tongkatnya menunjuk,
"Kau... kau... Jadi kau sudah berhasil menamatkan pelajaranmu...? Bocah gendeng...! Pantas aku tak mendengar suara kedatanganmu! Dan... sejak kapan kau telah menguasai ilmu Asap Setan itu?" Tiba-tiba si nenek bongkok ajukan pertanyaan.
"Baru dua-tiga hari belakangan ini, guru! Aku memang sengaja tak memberitahukan padamu!" Jawab Raka Rumpit dengan melompat mendekati si nenek.
"Ha...?! Aiii... dasar bocah edan! Aku sudah menyangka kau tak akan mampu menguasai secara cepat karena kulihat otakmu bebal! Dugaanku dalam sepekan lagi baru kau bisa menguasai..." Ujar wanita muka tengkorak ini tertegun. Akan tetapi tiba-tiba sang guru sudah keluarkan bentakan. "Bocah edan! Coba kau tunjukkan padaku...!" Agaknya si nenek bongkok merasa kurang yakin.
"Hm, baiklah, nenek manis...!" Ucap Raka Rumpit. Dan segera mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Seluruh kekuatan bathinnya sekejap sudah tersalur untuk membentuk daya khayal yang berada di otaknya. Tak berapa lama tampak tubuh pemuda itu berubah jadi segumpal asap hitam. Namun sekejap gumpalan asap itu telah membentuk sesosok tubuh yang merangkak di tanah itu. Dan...
"Gerrrauummm...!"
Sekejap tubuh Raka Rumpit telah berubah jadi seekor harimau belang yang luar biasa besarnya. Binatang ini membuka mulutnya menampakkan gigi-gigi dan taringnya yang runcing tajam. Terperanjat si nenek bongkok dengan mata terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba telah mengkikik tertawa.
"Hihihi... hihi... hebat! hebat...! Bagus sekali! Kau benar-benar telah menguasainya dengan baik, bocah edan! Ooooh, mengapa kau baru mengaku sekarang?"
"Grrrrh...! Hahaha... aku memang sengaja mau membuat kejutan, guru!" Berkata si harimau jejadian itu dengan mendengus-dengus serta mendekam mengejap-ngejapkan matanya.
Nenek bongkok muka tengkorak julurkan tongkat hitamnya mengetuk tubuh sang macan. "Sudahlah! Pergilah kau mandi! Bukankah kau mau kupertemukan dengan seorang tamuku yang istimewa?" Berkata si nenek.
"He, ya...! Mana dia tetamunya?" Bertanya Raka Rumpit, yang sekejap telah berubah kembali menjadi manusia asalnya.
"Sudah kukatakan! Pergilah mandi, bersihkan tubuhmu! Bukankah kau baru mengotori tubuhmu dengan keringat wanita? Aku tak suka tubuhmu bau wanita...!"
* * * * * * *
DELAPAN
SEMENTARA Raka Rumpit pergi mandi, baiknya kita menengok dulu kelain tempat. Udara cerah hari itu, seorang gadis berbaju ungu tampak berjalan santai memasuki sebuah Padepokan, atau rumah perguruan yang tampak agak sunyi itu. Sementara di sepanjang jalan yang dilaluinya beberapa pasang mata telah menatapnya dengan mata tak berkedip.
Mereka adalah beberapa orang anak buah perguruan Trisula Dewa. Akan tetapi mereka cuma menatap dengan aneh, karena melihat perobahan pada gadis muda itu yang tak mengenalnya. Bahkan telah pula bertanya di mana adanya sebuah Perguruan Silat bernama Trisula Dewa.
Tentu saja dengan tergagap mereka menunjukkan Perguruan Trisula Dewa yang tak seberapa jauh dari situ. Bahkan nama Ketuanya pun ditanyakan. Adalah aneh, kalau seorang gadis yang menjadi puteri dari Ketua Perguruan Trisula Dewa menanyakan rumah perguruan tempat tinggalnya, dan menanyakan ayahnya sendiri, seperti orang yang belum mengenal sama sekali.
Dengan langkah lebar gadis itu melewati penjaga pintu padepokan yang tak sempat menegur, karena mulutnya sudah ternganga dengan tubuh kaku. Karena entah apa salahnya, ketika tahu-tahu laki-laki penjaga yang sudah siap menyambutnya dengan girang itu mendadak ditotok pada bagian lehernya. Sekejap tubuhnya jadi berdiri kaku dengan mulut ternganga dan sepasang mata membeliak. Tampak dari mata, mulut dan hidungnya mengeluarkan tetesan darah. Ternyata belum lagi sempat berteriak, nyawanya sudah melayang.
Melihat munculnya seorang gadis di depan pintu ruangan pendopo padepokan itu, semua yang berada di dalam terkejut Beberapa orang anak buah Bayu Wijaya sudah berteriak seraya melompat berdiri.
"Ah, Den Ayu Mahesani...! Anda... anda sudah datang...?" Serentak berlompatanlah mereka dengan wajah girang disertai sorak-sorai kawan-kawannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu terdengar satu bentakan keras disusul dengan berkelebatannya tiga sosok tubuh berkepala gundul.
"Wanita iblis! Kiranya kau anaknya si Bayu Wijaya...? Heh jangan harap kau dapat meloloskan diri...! Hadapi kami si Tiga Paderi Kuil Naga...!"
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya. Serentak mereka telah menghambur mengurung tiga paderi itu. "Hei, tiga orang botak! Apakah kesalahan puteri Ketua kami? Kalian melabrak seenaknya memasuki rumah perguruan tanpa permisi lagi!" Bentak seorang murid dari tingkat utama Perguruan Trisula Dewa ini.
Tiga paderi ini rata-rata masih muda. Berpakaian jubah warna kuning. Pada punggungnya masing-masing terselip sebuah tongkat kayu jati yang lebar pipih.
"Heh, kalian serahkan gadis siluman ini untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan ketua kami! Dia telah main gila dengan lima orang saudara seperguruanku. Dan membunuhnya dengan melemparkan mayat-mayat saudara seperguruan kami di belakang kuil. Perbuatan keji itu harus kami balas dengan setimpal, yaitu dengan menghukumnya! Mengenai urusan hukuman itu tergantung ketua kami! Akan tetapi kami memang telah diperintahkan untuk membawanya hidup atau mati!" Berkata salah seorang yang lebih tua dari ketiga paderi muda itu.
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya. Mereka seperti tak percaya mendengar keterangan si paderi muda. Karena tak mungkin hal itu dilakukan oleh anak gadis puteri Ketua mereka. Sementara Mahendra yang berada di antara murid-murid perguruan itu jadi terpaku tak bergeming. Baru saja dia melihat tampang sang calon istrinya itu, ternyata sudah mendengar berita demikian. Tentu saja membuat wajahnya menjadi merah tanpa bisa bicara apa-apa.
"Hihihi... paderi-paderi tengik macam kau ini mengapa memfitnah orang seenaknya? Aku belum pernah mengunjungi Kuil Naga! Letak tempatnya pun aku tak mengetahui! Kau telah bikin malu aku di hadapan anak-anak buah ayahku...!"
Saat itu beberapa orang anak buah Perguruan yang tadi berada di luar telah masuk ke pelataran dengan menggotong mayat penjaga pintu. "Hah, apa yang terjadi?" Melompat seorang kawannya yang turut mengurung ketiga paderi itu.
"Kimung telah tewas! Entah siapa yang membunuhnya...!" Menyahut kawan yang memondong mayat si penjaga pintu Padepokan.
"Huh! Siapa lagi yang telah membunuh, kalau bukan tiga kunyuk gundul ini?" Tiba-tiba Mahesani berkata dengan suara dingin. "Hayo, kalian bunuhlah pengacau-pengacau ini! Mengapa didengar ocehannya yang mengaco itu? Masakan aku dituduh seenaknya saja!"
Suara Mahesani yang bernada aneh, dan agak asing itu memang membuat murid-murid perguruan itu agak memikir sejenak. Akan tetapi perintah itu seperti punya pengaruh, karena memang mereka amat mematuhi setiap perintah putri ketuanya ini. Serentak beberapa orang sudah menghunus senjata. Dan tak ayal lagi beberapa orang sudah menerjang dengan bentakan-bentakan keras.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara beradunya senjata-senjata. Karena ketiga paderi muda itu masing-masing telah mencabut tongkat kayu jatinya. Ternyata tongkat mereka adalah berisikan sebatang pedang, yang dari luar hanya mirip tongkat biasa. Segera saja terjadi pertarungan seru. Tiga paderi ini mau tak mau memang harus melayani serangan gencar mereka, kalau tak ingin nyawa mereka melayang. Adapun Mahesani dengan senyum di bibir segera melompat ke dalam.
Mahendra berkelebat menyusul... "No... nona Mahesani...!" Berteriak Mahendra memanggil.
Dan sang gadis segera menoleh seraya hentikan langkahnya. "Siapakah kau...?" Bertanya Mahesani, yang sebenarnya adalah Tri Agni. Yaitu si manusia setengah siluman yang menitis pada badan kasar Mahesani yang telah mati dicekik Raka Rumpit, akibat pengaruh kekuatan ghaib gurunya.
"Aku... aku Mahendra! Masih ingatkah kau? Kita pernah bertemu semasa masih kanak-kanak! Ibu ku bergelar si Pendekar Lembah Bunga! Apakah ayahmu tak pernah bercerita tentang aku?" Tutur Mahendra seraya menatap wajah orang Gadis baju hijau bernama Mahesani itu memang gadis yang cantik. Bertubuh mulus, berkulit putih dengan perawakan tubuh semampai. Rambutnya hitam bergelombang.
Mahesani menggeleng seraya tatap wajah pemuda di hadapannya. Tentu saja membuat Mahendra jadi melengak, karena sedikit pun gadis itu tak ingat akan dirinya. "Kemanakah ayahku?" Bertanya Mahesani dengan suara kaku.
Segera Mahendra bercerita singkat tentang ibunya, dan ayah gadis itu yang pergi mencari jejak penculik serta mencari tahu di mana adanya sang gadis. "Sudah hampir empat bulan ini beliau tak kembali, juga ibuku! Eh, kita harus membantu mengusir tiga paderi itu! Aku khawatir akan banyak korban berjatuhan!"
Tiba-tiba Mahendra berkata, seraya berpaling ke arah pintu ruangan, didengarnya suara-suara jeritan terdengar dari kalangan pertarungan. Akan tetapi sekali lengan Mahesani bergerak, lengan Mahesa sudah dicekalnya.
"Aku amat rindu padamu... ngng... Mahendra!" Tiba-tiba Mahesani ucapkan kata-kata dengan suara lirih mendesis. Lengan Mahesani bergerak mengibas. Dan tahu-tahun pintu ruangan di mana mereka berada menutup terhempas terkena sambaran angin yang bersyiur dari kibasan lengannya. Dan.... ketika jari-jemari lentik Mahesani bergerak lincah, tahu-tahu baju bagian atas dara itu sudah tersibak menyembulkan sepasang buah dadanya yang putih ranum membuntat padat, dengan kedua buah putiknya yang memerah jambu kecoklatan.
"Ahh...?" Tersentak Mahendra dengan sepasang mata membeliak. Tubuhnya tergetar hebat. Dan napasnya sekonyong-konyong jadi memburu. Mahesani sandarkan punggungnya di dinding, dan lengannya sudah menggamit leher pemuda itu, serta sebelah lagi membelai rambutnya. Dan tahu-tahu kepalanya sudah ditekan ke arah dada.
Sekejap saja wajah Mahendra sudah menempel di kedua buah benda lembut itu. Dengus napasnya semakin memburu, berdesahan memantul balik dari hidungnya. Dan mau tak mau bibirnya yang sudah bersentuhan dengan putik memerah yang lunak itu, segera menganga terbuka. Dan.... tanpa harus disuruh lagi direngkuhnya benda lunak itu untuk dilumat. Bergelinjangan tubuh sang dara itu dengan keluarkan desahan dari mulutnya.
Sementara di luar, pertarungan semakin menjadi dengan serunya. Dua orang anak buah Perguruan itu telah roboh terkena tebasan pedang si tiga paderi muda. Ternyata permainan ilmu pedang si tiga paderi muda itu cukup hebat. Mereka bertarung dengan tempelkan rapat punggung masing-masing, dan menghadapi terjanganterjangan gencar dari belasan anak buah Bayu Wijaya.
Namun tak urung mereka juga sudah terluka terkena goresan pedang lawan, karena lawan yang dihadapi lebih banyak. Dan juga bukannya orang-orang keroco, karena didikan dari seorang tokoh persilatan yang cukup terkenal dan berilmu tinggi. Pertumpahan darah mungkin akan bertambah lagi, seandainya tak datang berkelebat sesosok tubuh semampai, berambut panjang terurai. Dan satu bentakan nyaring bersuara merdu terdengar....
"Hentikan...!" Suara teriakan itu amat berpengaruh, karena seperti menusuk ke ulu hati, mendebarkan jantung.
Serentak mereka sudah sama-sama melompat untuk hentikan pertarungan. Segera terlihatlah siapa yang datang. Ternyata seorang gadis muda yang amat rupawan. Berbaju sutera tipis berwarna hitam gemerlapan. Ikat pinggangnya terbuat dari kulit ular, di mana di kedua sisi pinggangnya tergantung dua buah benda mirip "payudara", dengan dua utas rantai yang membelit pinggang. Itulah senjata si Rantai Genit. Dan siapa lagi si pemilik senjata aneh yang mempunyai bentuk lucu itu, kalau bukan Roro Centil. Gadis ini tatap mata semua yang berada di situ dengan pandangan tajam.
"Hm, boleh aku tahu ada persoalan apakah kalian bertarung?" Tanya Roro dengan bertolak pinggang.
Segera tiga paderi muda melompat ke hadapan dara ini seraya salah seorang berkata; "Nona Pendekar Roro Centil! Oh, beruntung sekali anda datang!" Dan ketiga paderi muda itu segera menjura hormat.
"Hm, kalian bukankah murid-murid si manusia bulat Kipas Angin Puyuh?" Tanya Roro ketus. "Ada apa kalian mengamuk di sini? Kalau kuadukan pada gurumu, tentu telinga kalian akan dijewer sampai putus!" Bentak Roro.
Roro Centil memang sudah mengenali dari jubah warna kuning dengan strip hitam di bagian sisinya, bahwa ketiga paderi muda itu adalah murid-murid dari Kuil Naga. Ketua Kuil Naga yang bergelar si Dewa Angin Puyuh memang sudah dikenalnya ketika masih berada di Pulau Andalas. Ternyata pada beberapa bulan belakangan ini Roro telah menjumpainya berada di sebuah Kuil yang baru beberapa bulan dibangun di sebelah selatan daerah wilayah utara Pulau Jawa ini.
Tentu saja pertemuan itu membuat si Dewa Angin Puyuh girang setengah mati. Karena memang sejak mereka pernah berjumpa dan bersahabat di Pulau Andalas, paderi bertubuh gemuk, pendek dan boleh dikata bulat itu pernah samasama turut menumpas musuh. Yaitu seorang wanita cabul dari tokoh Rimba Hijau dari Golongan Hitam, bergelar si Kupu-kupu Emas.
Dengan mengumbar tawa bergelak si Dewa Angin Puyuh menyambut kedatangan Roro Centil, yang menyebut si paderi bulat itu dengan sebutan paman. Karena memanglah keinginan si Dewa Angin Puyuh demikian, bahkan telah mengakui Roro Centil sebagai keponakannya. Tinggal di sana beberapa hari, Roro dijamu makan minum oleh paderi Ketua Kuil Naga yang baru didirikannya itu.
Bahkan telah memesan pada tukang jahit pakaian yang khusus didatangkan, dan mengukur tubuh Roro. Ternyata sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini di beri seperangkat pakaian sutera warna hitam, yang gemerlap bagai ditaburi permata.
Tentu saja selama itu Roro telah mengenal dengan murid-murid si Dewa Angin Puyuh. Namun baru beberapa hari saja dia meninggalkan Kuil Naga, ternyata melihat satu pertarungan di sebuah padepokan. Dan amat terkejut ketika mengetahui tiga orang paderi muda murid-murid dari Kuil Naga, tengah bertarung dengan belasan orang anak-anak buah sebuah Perguruan. Roro menatap wajah ketiga paderi muda itu dengan satu pertanyaan, yaitu persoalan apakah, hingga ketiga paderi melabrak ke Perguruan orang.
"Kami mengejar si pembunuh orang-orang kami di Kuil Naga!" Ujar salah seorang, dan segera beberkan peristiwanya dengan singkat. Dan ceritakan bahwa ketika kejadian itu, guru mereka sedang tak berada di tempat.
"Wanita itu ternyata anak gadis si Ketua Perguruan Trisula Dewa ini! Dia... dia bukan manusia! Seandainya manusia tentu berilmu iblis, karena kelima saudara kami telah dilempar mayatnya dalam keadaan membugil. Dan masing-masing lehernya terluka bekas gigitan. Darahnya telah terhisap habis!" Berkata si paderi paling tua dengan suara agak keras.
Terperanjat semua orang dari anak buah Perguruan Trisula Dewa yang turut mendengar penuturan paderi muda itu. Sedangkan Roro Centil sendiri pun terkejut mendengarnya.
"Tidak mungkin...! Dusta! Kau paderi sialan telah mengaco seenak perutmu menuduh orang! Nona Mahesani puteri Ketua kami bukan sebangsa manusia siluman yang doyan menghisap darah orang! Dan tak mungkin dia melakukan perbuatan keji itu yang tak wajar dilakukan manusia!" Membentak salah seorang anak buah Bayu Wijaya.
"Mau apa aku mendustai kenyataan itu? Huh! Kukira tak ada untungnya!" Membentak lagi si paderi muda yang paling tua itu, dengan mata melotot tajam.
Akan tetapi pada saat itu, Roro Centil sudah palingkan wajahnya menatap pada semua anak buah Padepokan itu. Sementara beberapa orang anak buah Padepokan tampak tengah kasak-kusuk membicarakan tingkah yang aneh dengan keadaan Mahesani, puteri sang Ketua mereka.
"Hm, baiklah! Kini aku mau bertemu dengan nona kalian itu, bisakah kalian panggil keluar?" Tanya Roro.
"Kami tak berani..! Beliau sedang bersama... Raden Mahendra!" Berkata salah seorang. Karena dia memang melihat Mahendra masuk ruangan, menyusul Mahesani.
"Siapakah Mahendra itu?" Tanya Roro dengan kesal.
"Dia... dia tunangannya!" Menyahut si murid tertua Perguruan itu dengan tegas, akan tetapi dia juga merasa aneh dengan sikap Mahesani. Kenapa justru meninggalkan mereka bertempur tanpa memunculkan diri, Roro yang tak sabar, segera berucap.
"Heh! kalau begitu biar aku yang memeriksa! Kalian boleh ikut aku!" Berkata Roro seraya menunjuk pada tiga orang di hadapannya. Tiga orang itu mengangguk, seraya berlari mengikuti Roro, yang sudah berkelebat melompat ke ruangan pendopo.
Braakkk...! Sebuah pintu yang tertutup di terjangnya hingga menjeblak terbuka Dan... terkejutlah ketiga orang anak buah Bayu Wijaya maupun Roro. Karena segera terlihat satu pemandangan menjijikkan. Dua sosok tubuh bertelanjang bulat saling bergelutan. Ternyata Mahesani dan Mahendra yang tengah bergelinjangan di lantai.
Akan tetapi segera terlihat wajah Mahendra menyeringai kesakitan. Sementara wajah Mahesani terbenam ke leher pemuda itu. Nyaris Roro Centil tinggalkan ruangan itu, kalau tak melihat darah mengalir dari leher si pemuda itu. Dan ketika si wanita mengangkat kepalanya, tampak mulutnya menyeringai penuh darah. Tersentak Roro Centil, hingga tak terasa kakinya sudah menindak dua langkah ke belakang.
Tiba-tiba Mahesani gerakkan lengannya memukul ke depan. Bersyiur angin keras menerjang ke arah Roro dan ketiga anak buah Bayu Wijaya yang berada di muka pintu ruangan. Roro Centil gerakkan cepat lengannya mendorong tubuh ketiga orang murid Perguruan Trisula Dewa itu hingga terpental jatuh, sedangkan tubuhnya sudah bergerak melompat menghindari terjangan angin keras.
Wuukkk...! Braakkk...! Angin deras bertenaga dalam itu lewat di bawah kaki Roro dan langsung menghantam tiang pendopo di luar ruangan hingga patah berderak.
"Manusia iblis penghisap darah! Kiranya benarlah kau adanya...!" Membentak Roro Centil, seraya melompat ke atas berpegang pada tiang penglari.
Namun pada saat itu si gadis titisan wanita setengah siluman itu telah bangkit berdiri. Lengannya bergerak menyambar pakaiannya, dan berkelebat keluar dengan perdengarkan tertawa mengikik menyeramkan. Sementara itu Mahendra tengah berkelojotan meregang nyawa. Dari lehernya yang terluka menganga, mengucur darah yang menggelogok. Setelah beberapa saat menggeser-geser tubuh laki-laki itupun mengejang, dan diam tak bergeming. Karena nyawanya telah melayang saat itu juga.
Roro Centil cuma menatap sekilas, tubuhnya sudah melesat turun dari tiang penglari, dan melompat mengejar keluar. Namun Mahesani sudah lenyap dengan perdengarkan suara tertawa mengkiknya di kejauhan.
Ketiga paderi muda itu tercengang sesaat ketika sesosok tubuh telanjang bulat melompat keluar dari dalam ruangan Padepokan. Jelas sudah itulah Mahesani. Dan tentu saja belasan orang murid-murid Padepokan yang melihat kenyataan itu jadi terperangah dengan mata terbelalak lebar. Karena kini telah jelas bahwa Mahesani puteri Ketuanya itu memang amat memalukan, dan mengherankan sekali. Tubuh telanjang bulat itu begitu tiba di luar langsung melesat cepat meninggalkan pelataran Padepokan. Lalu lenyap dengan perdengarkan suara tertawa mengikik yang jelas bukan suara Mahesani.
Ketiga paderi muda itu cuma bisa terpaku dengan palingkan wajahnya menatap semua murid-murid Perguruan Trisula Dewa. Salah seorang mendengus dengan wajah mendongkol. Lalu berikan isyarat pada kedua kawannya. Dan ketiga paderi muda itupun berkelebatan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
Sementara Roro Centil cuma menatap saja dari ruang Pendopo. Sedangkan ketiga orang yang terpental didorong Roro segera cepat-cepat menjura mengucapkan terima kasih. Roro Centil cuma mengangguk, lalu tatapkan mata pada para murid Perguruan Trisula Dewa dengan senyum sinis.
"Nah! Kini kalian lihat buktinya, bahwa nona besar kalian itu ternyata seorang manusia iblis penghisap darah! Dia telah menjadi manusia Palasik!" Ucap Roro dengan suara keras. “Kawanmu yang di dalam itu telah mati, dengan keadaan sama seperti kematian lima orang paderi kawan ketiga paderi tadi! Kalian lihatlah sendiri...!" Lanjut Roro seraya beranjak meninggalkan Padepokan itu dengan langkah lebar.
Keruan saja semua para murid Perguruan Trisula Dewa segera berlarian memasuki ruangan Padepokan. Dan terperangah mereka dengan berteriak tertahan, karena segera menjumpai keadaan Mahendra yang telah membugil menjadi mayat, dengan leher terkoyak bekas gigitan. Roro Centil sudah tak perdulikan lagi keadaan para murid Padepokan itu, dan segera kelebatkan tubuhnya tinggalkan tempat itu.
* * * * * * *
RORO CENTIL memang telah mendengar adanya manusia palasik penghisap darah, yang sejak beberapa pekan ini bergentayangan mencari mangsa. Kemunculannya adalah memang untuk menguntit si manusia Palasik yang menggemparkan itu. Akan tetapi Roro telah kehilangan jejak lagi setelah diketahuinya siapa adanya si manusia palasik itu. Berkelebatan tubuh Roro menuju ke arah barat. Roro hanya menduga-duga saja mencari kemana arah wanita penghisap darah itu perginya.
Sementara di balik semak belukar itu adalah terdapat dua orang berlainan jenis yang tengah berkasih-kasihan.
"Kakang Bayu...! Benarkah kau... kau mencintaiku?" Terdengar suara seorang wanita dengan suara pelahan hampir tak terdengar disela rintihannya.
"Mengapa kau ragu, diajeng...? Apakah kau malu kalau kita menikah?"
"Ya...! Kita sudah tua! Dan aku sudah hampir keriput begini, apakah tak akan malu dengan orang-orang muda? Terutama anakku Mahendra! Dan kita belum juga berhasil menjumpai Mahesani! Apakah tak sebaiknya kita pulang?" Desis suara wanita itu lagi, seraya lengannya memeluk kencang laki-laki tua bertubuh kekar yang menghimpit tubuhnya.
"Kau masih cantik, diajeng! Dan... ah, sudahlah..." Terdengar laki-laki itu menyahuti lirih seraya menggerakkan tubuhnya, membuat dahan dan ranting kecil di sebelahnya berguncangan.
Sementara suara desah napas terdengar santar bercampur rintihan kecil yang terdengar pelahan sekali. Namun tak lama segera melenyap, seperti semak belukar itu tiada yang menghuni. Selang beberapa saat, tampak sebuah lengan terjulur menggapai seonggok pakaian yang tergeletak di rerumputan. Dan suara-suara tertawa kecil pun terdengar dibarengi timpalannya suara laki-laki yang terdengar agak parau.
Roro Centil sembulkan kepalanya di satu semak yang agak lowong. Sepasang matanya jadi membelalak. Setan Alas! Memaki gadis Pendekar ini dalam hati. Dan dia sudah palingkan wajahnya yang memerah. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik di kejauhan. Roro cepat-cepat menyelinap.
Tak berapa lama segera muncul sesosok tubuh berpakaian warna ungu, dengan rambut terurai beriapan. Hampir melejit mata Roro, karena melihat sosok tubuh itu pasti tak salah lagi si wanita Palasik penghisap darah. Baru saja dia berniat melompat keluar. Ternyata sudah didahului dua orang di balik semak itu yang berkelebat berlompatan.
Sekejap kemudian telah menghadang di depan wanita palasik itu. Seolah tak percaya laki-laki tua itu yang tak lain dari Bayu Wijaya, menatap pada si wanita muda di hadapannya. Dan satu suara tergetar segera terlompat dari bibirnya.
"A... anakku... Ma.. .Mahesani! Kaukah adanya? Oh, betapa aku amat mengkhawatirkan nasibmu...!" Bayu Wijaya menatap wanita muda di hadapannya dengan mata tak berkedip.
Akan tetapi gadis muda itu bahkan mengikik tertawa dengan suara aneh yang amat asing didengarnya. "Hihihi... siapakah kau? Eh, ya... kau ayahku! Aku memang Mahesani, anakmu! Kalian sedang apa di sini ayah? Dan siapa wanita jelek ini?"
Tentu saja kata-kata demikian tak pernah diucapkan oleh Mahesani sebenarnya. Dan membuat Bayu Wijaya jadi ternganga heran. Sementara si wanita tua yang tak lain dari si Pendekar Lembah Bunga itu jadi terkejut dengan wajah terasa panas.
"Apakah yang telah terjadi dengan anakku? Mengapa sikapnya jadi berubah demikian...?" Sentak hati Bayu Wijaya. Dan dia sudah saling tatap dengan Rukmita si Pendekar Lembah Bunga itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda mendekat. Tak lama segera terlihat empat orang berpakaian pengawal-pengawal Kerajaan. Ternyata salah seorang adalah Tumenggung Meranggi, yang telah berpakaian perwira kerajaan Mataram. Kiranya sang Tumenggung itu tak mau menganggur begitu saja begitu lepas dari jabatan dengan punahnya Kerajaan Matsyapati, yang diambil alih kekuasaannya oleh Kerajaan Pusat. Yaitu Mataram.
Segera dia memasuki keperwiraan di Kerajaan Mataram, yang kemudian bertugas justru masih berada di sekitar bekas kekuasaan Kerajaan Matsyapati. Begitu hentikan kuda-kudanya, keempat orang perwira itu berlompatan turun dari kudanya.
"Manusia iblis! Kau tak akan dapat melarikan diri lagi!" Membentak Ki Meranggi seraya mencabut keluar Keris Pusakanya.
Terkejut Bayu Wijaya juga si Pendekar Lembah Bunga, karena tahu-tahu keempat Perwira Kerajaan Mataram itu telah mengurung. "Tunggu...!" Teriak Bayu Wijaya, yang tiba-tiba telah bergerak melompat seraya mengangkat kedua belah tangannya. Tubuhnya memutar dengan sepasang mata menatap pada keempat perwira Kerajaan itu. "Apakah gerangan yang telah terjadi, hingga kalian menuduh anakku sebagai iblis keji?" Teriak Bayu Wijaya dengan ketus.
Ki Meranggi plototkan matanya. Segera dia sudah mengenali laki-laki itu. "Huh! Kiranya perempuan ini anak gadismu, sobat Bayu Wijaya? Kami petugas penjaga lingkungan di wilayah Kerajaan Mataram ini merasa berhak menangkap atau membunuhnya, karena dia telah melakukan pengacauan dibeberapa tempat! Bahkan dia telah membunuh bekas Raja Kerajaan Matsyapati Prabu Gurawangsa di Goa Kiskenda!"
Terperanjat Bayu Wijaya bukan kepalang, dan dengan mata terbelalak menatap pada anak gadisnya.
"Aku adalah bekas Tumenggung Kerajaan Matsyapati! Masih ingatkah kau padaku Bayu Wijaya? Aku Ki Meranggi, yang kini sudah menjadi orang Kerajaan Mataram!"
"Ya! Aku dapat mengenalimu Tumenggung! Akan tetapi benarkah tuduhanmu itu? Anakku ini baru saja kutemukan setelah menghilang selama empat bulan! Dia diculik seorang pemuda yang mengaku bernama Raka Rumpit, selagi aku sedang tidak ada!"
"Hihihi... Dia memang anakmu, Bayu Wijaya, akan tetapi telah kemasukan roh jahat! Dia telah menjadi iblis wanita penghisap darah! Dia telah menjadi manusia palasik!" Tiba-tiba Roro Centil berkelebat keluar dengan mengumbar kata-kata. Terkejut semua orang yang segera berpaling ke arah gadis Pendekar itu. Dan Ki Meranggi tibatiba berteriak girang.
"Nona Pendekar Roro Centil!.... Ah, kebetulan sekali anda datang...!" Bekas Tumenggung Kerajaan Matsyapati ini memang telah mengenal Roro ketika dia diperkenalkan oleh Senapati Satryo di Ksatrian. Roro Centil waktu itu memang banyak membantu pihak Kerajaan Matsyapati, di saat terjadinya pengkhianatan Patih Buntaran.
Menampak dirinya telah dikepung sedemikian rupa, Mahesani jadi tertawa mengikik. "Hihihi... hihi.... aku memang bukannya Mahesani! Raga kasar gadis ini kutemukan sudah mampus, setelah habis diperkosa seorang pemuda! Mungkin dialah si pemuda bernama Raka Rumpit itu! Dan aku... hihihi... aku adalah TRI AGNI! Masih ingatkah kau Tumenggung, ketika kau membunuhku dengan keris pusakamu itu?"
Terperangah seketika Ki Meranggi. Sepasang matanya jadi menatap pada Mahesani dengan terbelalak. Sementara tampak satu kejadian aneh, karena samar-samar wajah Mahesani memudar dan berganti rupa dengan wajah Tri Agni, si wanita setengah Siluman itu.
"Hihihi... kau masih hapal dengan wajahku? Kini aku inginkan nyawamu, Meranggi!" Wajah dan kepala Tri Agni pun kembali berubah menjadi kepala Mahesani lagi.
Sementara si Pendekar Lembah Bunga dan Bayu Wijaya jadi terperanjat melihat kejadian itu. Barulah mereka percaya kalau wanita itu bukan lagi Mahesani. Pada saat itu Roro telah menimbrung bicara.
"Hm, sobat Bayu Wijaya! Wanita palasik ini telah masuk ke dalam Rumah Perguruanmu! Dan dia juga telah meminta korban membunuh kekasihnya sendiri, dengan menghisap darahnya! Menurut yang kudengar kekasihnya itu bernama Mahendra!"
"Hah...! dia... dia membunuh a... anakku!?? Bedebah! Iblis keparat! Kau harus ganti nyawa anakku!" Teriak Rukmita si Pendekar Lembah Bunga, dan seraya menggerung keras segera menerjang si wanita setan itu. Sepasang lengannya bergerak menghantam.
Buk! Buk...!
Tubuh Mahesani terlempar terhuyung-huyung, dan saat itu keempat perwira Kerajaan Mataram segera gerakkan senjatanya menerjang. Keris Ki Meranggi telah keluarkan sinar berwarna biru bergerak menabas. Dan ketiga tombak si tiga Perwira Kerajaan meluruk dengan berbareng.
Crass...! Bles! Bles! Bles...!
Sekejap saja keadaan telah berubah jadi mengerikan, karena tubuh Mahesani telah terpanggang oleh tiga tombak perwira menembus punggung dan dada. Sedangkan Keris Pusaka Ki Meranggi telah menabas kepala Mahesani hingga terpisah dari tubuhnya...
"Ahhh...!?" Berteriak Bayu Wijaya dengan mata membeliak. Walau bagaimana pun dalam pandangannya tubuh anak gadisnyalah yang telah terbunuh dengan cara mengerikan seperti itu. "Mahesaniiii...!" Dan dia sudah memburu tubuh tanpa kepala itu dengan wajah pucat. Akan tetapi diluar dugaan kepala Mahesani yang jatuh menggelinding itu telah melayang ke arah Bayu Wijaya dengan cepat. Dan.....
Terkesiap semua orang, karena sekejap tampak Bayu Wijaya telah berkelojotan meregang nyawa. Karena kepala Mahesani telah berubah menjadi kepala Tri Agni yang berwajah menyeramkan dengan rambutnya yang berwarna putih beriapan. Kiranya kepala makhluk itu telah menyusup ke leher Bayu Wijaya dan ngangakan mulutnya, serta menggigit leher laki-laki tua itu.
Brell..! Kepala Tri Agni menyentak. Dan... darah segera menyembur dari leher laki-laki malang itu. Sesaat setelah bergelinjangan, tubuh Bayu Wijaya pun terkulai lepaskan nyawa...
"Iblis...! Kuhancurkan kepalamu...!" Membentak Rukmita. Lengannya bergerak melemparkan bunga-bunga keringnya ke arah kepala Tri Agni.
Akan tetapi makhluk itu gerakkan kepalanya memutar. Rambut putihnya tiba-tiba bergerak menghantam bunga-bunga kering hingga terhempas jatuh. Tahu-tahu kepala makhluk itu menyusup ke bawah, bergerak memutar ke belakang si Pendekar Lembah Bunga. Terpekik wanita tua itu, karena segera lehernya kena dicengkeram makhluk kepala itu. Berguling-gulingan tubuh Rukmita, lengannya berusaha bergerak untuk melepaskan diri dari gigitan wanita setan itu.
Namun kepala Tri Agni telah berhasil merobek leher Rukmita dengan gigitannya. Darah pun menyemburat memancur. Dan tubuh si Pendekar Lembah Bunga itu berkelojotan meregang nyawa, namun sesaat kemudian terkapar tak berkutik lagi. Terperangah Ki Meranggi dan ketiga Perwira. Mereka sudah melompat mundur dengan senjata siap dipergunakan.
"Hihihi... Meranggi! Pergunakan lagi keris Pusakamu itu! Hehehihi... hihi..." Selesai berkata, tiba-tiba kepala Tri Agni bergerak ke arah tubuh Mahesani dan melekat lagi pada tubuh tanpa kepala itu. Sekejap kemudian kepala dan tubuh itu telah menyatu kembali. Dan... saat berikutnya Mahesani telah bangkit berdiri. Sementara pelahan-lahan kepala wanita setengah siluman itu kembali berganti wujud menjadi kepala Mahesani lagi.
Ki Meranggi memberi isyarat untuk menerjang pada ketiga kawannya. Namun saat itu Roro Centil sudah mendahului mengirimkan tendangan kakinya. Dhesss...! Tubuh Mahesani terlempar bergulingan beberapa tombak. Keempat Perwira Kerajaan itu segera memburunya. Akan tetapi Mahesani telah kembali berdiri dengan lengan terentang. Sepasang matanya menatap pada keempat Perwira Kerajaan itu, lalu terhenti pada Ki Meranggi. Sementara Roro Centil tercenung sesaat. Benaknya memikir. Heh! wanita siluman ini akan sulit dimusnahkan, karena sama saja dengan melawan siluman.
"Siluman harus dilawan dengan siluman...!" Desis Roro. Dan segera bibirnya berbisik memanggil sahabatnya si Harimau Tutul. Segera saja segumpal asap hitam muncul di hadapan Roro. Gumpalan asap itu melenyap, dan membentuk sesosok tubuh Harimau Tutul sebesar kerbau. Binatang ini mendengus dan keluarkan suara menggerung mengaum. Tampakkan gigi-gigi dan taringnya yang runcing-runcing. Lalu mengibas-ngibaskan ekornya mengelilingi Roro Centil menunggu perintah.
Namun pada saat itu sudah terdengar jeritan Ki Meranggi. Ketika Roro Centil menatap. Ternyata laki-laki Perwira Kerajaan Mataram itu dadanya telah terkena cengkeraman lengan Mahesani, yang menembus sampai ke punggung. Darah menyemburat keluar ketika lengan Mahesani disentakkan.
Dan tubuh Ki Meranggi berkelojotan meregang nyawa. Lalu sekejap kemudian tewas. Ketiga Perwira ini menerjang dengan tombaknya. Percuma saja, karena sekali menggerakkan tangan tiga batang tombak terlempar. Dan di saat ketiga tubuh Perwira itu terhuyung, Mahesani alias Tri Agni telah berkelebat menerjang. Akan tetapi Roro Centil sudah mendahului kirimkan hantaman lengannya. Kali ini pukulan berhawa panas menerjang Tri Agni, si wanita setan itu.
Wussss...! Terpekik wanita setan itu. Seketika tubuhnya terbakar hangus. Namun pada saat itu dari dalam tubuh yang terbakar itu telah melesat ke luar dua gumpal asap hitam. Dan, bukan kepalang terkejutnya Roro Centil, karena dua gumpal asal itu telah menjelma menjadi dua sosok tubuh.
Sosok tubuh yang satu adalah seorang bocah kecil berkulit hitam. Sedangkan sosok tubuh yang satunya adalah seorang wanita yang berambut hitam beriapan. Ternyata mereka itulah si Bocah Siluman, cucu si wanita setan itu. Dan si wanita satunya adalah ibu bocah berkulit hitam itu, yaitu Durgandini.
* * * * * * *
Raka Rumpit baru saja selesai mandi. Dan dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia memasuki goa, lalu beranjak ke ruangan kamarnya. Baru saja dia mau bergerak masuk ke pintu, sudah terdengar suara tertawa kecil sang guru.
"Hihihi... hihi... silahkan masuk, muridku yang gagah!"
Satu suara lembut terdengar. Itu memang suara gurunya. Akan tetapi amatlah aneh, dan asing pada pendengaran pemuda ini, karena tak biasanya sang guru berkata selembut itu. Mengapa tidak pakai bocah edan atau bocah gendeng? Bisik hati Raka Rumpit. Dan segera saja terpampang di matanya sesosok tubuh mulus berselimutkan kain sutera tipis. Berwajah cukup cantik, walaupun tidak seperti gadis muda. Rambutnya tergerai hitam di antara sebelah dadanya. Tubuh wanita itu dalam keadaan setengah terbaring di pembaringannya.
Ternganga Raka Rumpit menatap wanita itu. Wajahnya jelas bukan wajah gurunya, akan tetapi suaranya memang mirip suara sang guru, alias si nenek bongkok yang galak itu. "Guruku kah kau ini...?" bertanya Raka Rumpit.
"Ataukah kau... tetamu guruku si nenek bongkok muka tengkorak?" Tambahnya lagi dengan tertegun menatap wanita itu, serta matanya merayapi ke sekujur tubuh yang setengah terbaring itu.
"Hihihi... aku memang si nenek bongkok gurumu itu, tapi juga tetamu yang akan menyambut mu!" Berkata wanita itu dengan tersenyum perlihatkan giginya yang putih berderet, seraya bangkit berdiri. "Kau lihatlah! Apakah tubuhku kini masih bongkok? Dan kulitku keriput, juga wajahku mirip tengkorak?" Berkata lirih si wanita itu. "Aku selama ini memakai alat-alat ini!" Ujar si wanita itu, seraya meraih sebuah bungkusan yang segera dibukanya.
Segera terlihat kelotokan kulit muka semacam topeng, serta kulit-kulit tipis lainnya yang membungkus seluruh tubuh wanita itu. Ternyata diam-diam di saat Raka Rumpit pergi mandi, si nenek bongkok telah "mengupas" kulit muka dan seluruh kulit pembungkus tubuhnya. Hingga bagaikan ular yang baru berganti kulit, si nenek tua renta itu kembali menjadi muda. Ada pun rambut putihnya adalah tetap memutih.
Namun dia telah gunakan cairan hitam dari obat ramuan yang telah lama disediakan untuk menyemir kembali rambutnya. Hingga dalam beberapa saat saja si nenek telah berubah kembali menjadi muda. Dan segera sambar pakaian tipisnya untuk segera masuk ke kamar sang murid.
Raka Rumpit barulah percaya kalau wanita itu gurunya sendiri. Melihat keadaan sang guru itu tentu saja Raka Rumpit agak jengah, namun sebagai manusia tetap saja tak luput dari hawa nafsu. Hingga ketika sang guru menggamitnya untuk dibawa merebahkan diri ke pembaringan, dia memang tak dapat menolak.
"Aku telah berijab-kabul, muridku... bahwa kalau kau telah berhasil menamatkan pelajaranmu, kau harus menjadi suamiku! Ya, aku amat mencintaimu, bocah gagah. Kau pinjamkanlah Cincin batu Combongmu...! Aku ingin memakainya! Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tak pernah mengenakan cincin warisan guruku ini!" Seraya berkata lengan sang guru bergerak menjelari dadanya yang bidang dan mempermainkan bulu-bulu dadanya.
Raka Rumpit cuma tersenyum mengangguk dan segera copotkan cincinnya untuk berikan benda itu. Sang guru julurkan jari-jari lengannya dan segera saja sang murid memasukkannya ke jari lengan sang guru. Sinar biru yang membersit dari cincin aneh itu ternyata telah menimbulkan hawa rangsangan hebat padanya. Kalau dulu adalah wanita yang tergila-gila pada Raka Rumpit, namun kini dia sendirilah yang di mabuk asmara. Tiba-tiba dari dalam ruangan kamar di dalam goa itu, terdengar suara teriakan tertahan, seperti suara yang tersangkut di tenggorokan.
"Aaaaakh...! Aaaarkkh...! Hek! Ahh...! Uuh..!"
Blag..! Bukk! Braakkk...!
"Huaaaaakh...! Terdengar suara-suara bergedubrakan setelah terdengar sebelumnya suara keluhan dan pekik kesakitan tersendat di kerongkongan. Terakhir adalah suara teriakan Raka Rumpit.
Apakah yang terjadi di ruangan kamar dalam goa itu? Kiranya satu pergumulan tengah terjadi. Sekonyong-konyong Raka Rumpit telah mencekik leher gurunya sendiri. Meronta-ronta sang guru dengan berteriak julurkan lidah. Lengan sang murid itu dengan ganas telah mencengkeram lehernya.
SEMBILAN
TERENGAH-ENGAH sang guru mempertahankan nyawanya dari cekikan maut lengan si murid. Akhirnya satu hantaman lengan sang guru telah berhasil membuat terlempar anak muda itu. Tubuhnya membentur dinding goa, yang segera ambrol dengan suara bergedubrakan.
"Ka... kau... kau... bocah edan!" Teriak si wanita jelmaan si nenek bongkok. Tubuhnya bangkit dari pembaringan dengan terhuyung. Sebelah lengannya mencekal lehernya yang mengucurkan darah. "Kubunuh kau... bocah gendeng! Kau... kau mau membunuh dirimu sendiri?"
Akan tetapi tiba-tiba Raka Rumpit telah tertawa bergelak, seraya bangkit berdiri. "Hahaha... haha... kau memang harus kulenyapkan, guru! Aku tak memerlukan kau lagi!" Tiba-tiba wajah Raka Rumpit telah berubah jadi bengis. Dan sekonyong-konyong tubuhnya berubah jadi segumpal asap hitam. Dan segera saja menjelma menjadi makhluk hitam berbulu. Bermata besar, lidah terjulur dan mulut menyeringai menampakkan giginya yang runcing-runcing.
"Edan...!" Memaki sang guru, dan dengan bentakan menggeledek dia telah melompat menerjang makhluk itu.
Sedangkan makhluk berbulu itu pun sudah menerjang dengan suara menggeram menyeramkan. Sekejap saja terjadilah pergumulan seru. Tubuh sang guru yang dalam keadaan membugil itu seketika hampir lenyap dalam pelukan ketat si makhluk berbulu. Hantaman-hantaman lengannya seperti tak dirasakan makhluk itu. Hingga saat berikutnya pergumulan dilakukan dengan bergulingan. Sementara darah terus mengalir dari leher si wanita jelmaan si nenek bongkok itu yang terluka bekas cekikan.
Selang sesaat terdengar lagi suara jeritan menyayat hati. Taring-taring si makhluk berbulu itu telah membenam lagi di lehernya. Bergelinjangan tubuh polos itu menghentak-hentak. Sepasang kakinya terpentang menjejak ke sana ke mari. Namun teriakannya semakin melirih. Dan gelinjangannya semakin melemah. Akhirnya terkulai tak bertenaga lagi.
Ketika makhluk berbulu itu melepaskan cengkeraman taring-taringnya, darah seperti membasuh wajahnya. Dengan kakinya si makhluk itu balikkan tubuh si wanita gurunya, yang ternyata telah tewas. Makhluk berbulu itu tampakkan suara menggeram senang, lalu berubah menjadi suara gelak terbahak. Dan beberapa kejap antaranya makhluk berbulu itu pun kembali berubah menjadi Raka Rumpit.
"Hahaha... hahaha... haha... Kini aku bebas! Tak ada yang harus kuturuti perintahnya! Dan aku bebas bergerak ke mana aku suka! Hahaha... terima kasih, guru atas warisan ilmu hitammu! Semoga kau tenang di alam baka!"
Selesai berkata, Raka Rumpit menghampiri tubuh gurunya, dan segera membungkuk untuk mencopot kembali cincin batu Combong itu dari jari tangan sang guru. Tak lama dia sudah kenakan lagi di jari tangannya. Setelah kenakan pakaiannya beberapa saat antaranya Raka Rumpit sudah beranjak keluar dari dalam kamar ruangan goa yang sudah berantakan itu. Sejenak Raka Rumpit memandang ke ruangan goa itu. Tiba-tiba sepasang lengannya bergerak menghantam langitlangit ruangan batu goa itu.
Bruasss...! Blarrrr...!
Sekejap saja ruangan atas goa itu sudah ambruk meruntuhkan batu-batu bagaikan hujan, berdebukan jatuh menguruk ruangan kamar itu berikut tubuh gurunya. Sedangkan pemuda edan itu ternyata telah melesat keluar goa sebelum goa menjadi ambruk tertutup batu-batuan. Keadaan lereng tebing itu kini sudah berubah berantakan, karena hampir sebagian meluruk ke bawah, menimbun goa di bawahnya. Sedangkan Raka Rumpit saat itu sudah berkelebatan mendaki tebing, dan sekejap kemudian melesat lenyap meninggalkan suara tertawa berkakakan.
* * * * * * *
"Bocah siluman...?!" Desis Roro dengan wajah tegang. Tentu saja Roro terkejut, karena beberapa bulan berselang dia baru saja menghadapi makhluk kecil yang buas ini. Pada waktu itu telah muncul sebuah bayangan mirip sekali dengan guru Roro Centil yaitu si Manusia Banci, yang didahului dengan mengikiknya suara tertawa tokoh Rimba Hijau itu.
Bayangan itu mirip arwah saja dan menghantam buyar ke empat makhluk kecil berkulit hitam itu yang berubah jadi gumpalan asap. Lalu melenyap sirna. (pada waktu itu tubuh si bocah siluman telah memecah menjadi empat, setelah tertabas tubuhnya menjadi empat potong oleh pedang Senapati Satryo).
Kini Roro Centil terkejut sekali dengan bisa muncul dan menjelma lagi si bocah siluman itu. Bahkan bersama seorang wanita yang berkulit putih bagaikan kapas. Kedua makhluk itu menghampiri Roro. Sementara ketiga Perwira cuma bisa menatap dengan terperangah dan mata membeliak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik kuda, dan derap mendatangi. Dan muncullah Satryo. Laki-laki ini hentikan kudanya dengan cepat, lalu melompat turun.
"Nona Pendekar Roro Centil! Anda berada di sini...?" Teriak laki-laki itu.
Roro tersenyum seraya mengangguk cepat, dan berkata; "Bagus! Kau bantulah aku menumpas kedua makhluk ini!"
"Dia bukan lagi manusia, Satryo...!" Tiba-tiba terdengar suara lirih disusul dengan berkelebatnya sebuah bayangan putih. Dan di tempat itu telah berdiri seorang tua berjenggot dan berkumis panjang terjuntai. Ternyata tak lain dari Resi Jenggala Manik.
"Resi Guru...!" Teriak Satryo dengan wajah girang. Satryo sudah mau beranjak melompat ke arahnya. Akan tetapi sang Resi mengangkat sebelah lengannya.
"Sudahlah, Satryo! Tak usah banyak peradatan! Kita hadapi kedua makhluk siluman ini!" Selesai berkata, laki-laki tua berjubah putih ini pejamkan sepasang matanya. Bibirnya berkemak-kemik seperti membaca do'a pada Yang Maha Kuasa. Sekejap kemudian tampak tubuh sang Resi bergoncangan. Kedua lengannya, yang menyilang di depan dada itu tiba-tiba bergerak terbuka. Sepasang matanya menatap pada kedua makhluk itu.
Kedua makhluk itu tampak mundur beberapa langkah, seperti tak kuat menahan tatapan mata sang Resi. Sementara itu Roro Centil sudah tak sabar, dan perintahkan si Tutul yang barusan melenyap untuk menerjang kedua makhluk siluman itu. Segera segumpal asap hitam meluncur ke arah si bocah siluman dengan suara menggeram dahsyat.
Dan selanjutnya yang terlihat adalah tubuh anak hitam itu jatuh bergulingan, tapi tubuhnya seperti tak menyentuh tanah. Tak lama segera ujud sang Harimau Tutul pun terlihat. Dan tengah menerkam ganas dengan kuku dan taringnya. Sementara tengah terjadi pergumulan seru itu antara sama-sama makhluk siluman, Durgandini yang telah menjadi makhluk halus itu tiba-tiba menerjang Satryo.
Terkejut laki-laki ini yang segera menghindar melompat ke samping. Resi Jenggala Manik telah berkelebat dari tempatnya. Bibirnya telah membacakan Mantera Suci. Kedua lengan sang Resi menghantam ke arah makhluk wanita bekas permaisuri Raja Matsyapati itu, seraya berucap.
"Maaf, Durgandini! Kembalilah kau ke "Alam" mu! Tak layak lagi kau muncul di alam fana!" Terdengarlah suara meletup dahsyat.
Bhusssss...!
Dan tubuh Durgandini lenyap jadi gumpalan asap, yang kemudian sirna. Sementara itu pertarungan sang Harimau Tutul dengan si bocah siluman masih berlangsung seru. Namun tak berapa lama kepala si anak hitam itu sudah lenyap menjadi asap ketika sang Harimau Tutul berhasil membuka mulutnya, dan merencah kepala makhluk kecil itu. Selang sesaat seluruh tubuh si bocah siluman itupun sudah melenyap menjadi asap, lalu sirna tanpa bekas.
Sang Harimau Tutul perdengarkan suara aumannya, lalu melompat kembali ke arah Roro Centil. Kemudian melenyapkan diri. Satryo yang melihat kejadian itu cuma tertegun dengan mulut ternganga, sedangkan ketiga Perwira Mataram sedari tadi cuma bisa menyaksikan pertarungan semacam itu.
Tiba-tiba pada saat itu juga cuaca berubah gelap. Angin keras membersit bersiutan dan di angkasa terlihat kilatan-kilatan petir yang kemudian terdengar suaranya yang menggelegar. Terperangah semua orang yang berada di situ. Akan tetapi Resi Jenggala Manik tetap tenang. Dia mengangkat kedua belah tangannya, terentang ke arah langit. Bibirnya komat-kamit membaca do'a.
Thaarrrr...! Satu kilatan petir menyambar tubuh Mahesani yang sudah hangus terkapar di tanah. Tubuh wanita itu lenyap jadi gumpalan asap putih. Dan sekonyong-konyong menjelma menjadi kepala Tri Agni, si manusia palasik. Kepala tanpa tubuh yang berambut putih beriapan itu membumbung naik ke atas, dengan perdengarkan suara tangisan pilu menyeramkan.
Tiba-tiba segumpalan asap hitam bergerak memutar di atasnya. Lalu meluncur turun menyambar kepala wanita setan itu. Dan dibawahnya naik lagi ke atas. Gumpalan asap hitam itu semakin membumbung terus ke atas, diterangi cahaya kilatan petir yang berkredepan. Sementara angin keras terus membersit tak kunjung henti. Sekejap antaranya asap hitam itupun melenyap. Angin yang meniup keraspun mulai terhenti, kembali sepoi-sepoi.
Dan cuaca lambat laut berubah kembali menjadi terang-benderang. Matahari yang sudah menggelincir ke arah barat kembali tampakkan sinarnya. Mereka segera dapat melihat kembali satu sama lain. Terlihat sang Resi sudah menurunkan lengannya, dan mengusapkan ke wajahnya tiga kali. Terdengar kemudian suara menghela napas laki-laki pertapa itu.
"Hm, sukurlah bahaya bagi umat manusia telah bisa teratasi. Mudah-mudahan makhluk siluman itu takkan kembali lagi mengacau di dunia!" Berkata sang Resi dengan suara lirih.
Semua yang berada di situ menarik napas lega. Sementara itu ketiga Perwira Kerajaan Mataram sudah melompat ke depan mereka. Lalu menjura pada sang Resi dan Roro Centil. Juga pada Satryo. Seraya salah seorang berucap:
"Terima kasih atas usaha kalian semua membantu kami melenyapkan kerusuhan yang telah mengganggu wilayah Kerajaan Mataram ini! Jasa dan bantuan kalian yang amat tak ternilai ini akan kami sampaikan pada baginda Raja Mataram!"
Dan belum lagi sang Resi atau Roro dan Satryo menyahut, ketiga Perwira Kerajaan Mataram itu sudah balikkan tubuh, untuk segera beranjak ke arah mayat Ki Meranggi bekas Tumenggung Kerajaan Matsyapati yang sudah punah itu. Dengan menggotongnya bertiga, segera beranjak pergi tinggalkan tempat itu. Tak lama sudah terdengar suara ringkik kuda, dan derapnya yang semakin menjauh. Dan cuma menampak punggung-punggung ketiga Perwira Kerajaan itu yang mengendarai kudanya tinggalkan itu.
* * * * * * *
Tak dikisahkan perpisahan ketiga tokoh itu. Namun sekitar tempat pertarungan tadi sudah bersih dari mayat-mayat. Cuma tinggalkan sisa-sisa percikan darah di rerumputan. Ketika matahari mulai membenam di lereng gunung, tampak sesosok tubuh melangkah perlahan meniti lereng bukit. Baju sutera warna hitamnya masih terlihat gemerlapan terkena cahaya layung warna merah.
Dialah Roro Centil sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang sudah menyelesaikan tugasnya sebagai Pendekar Penegak Keadilan. Entah pengalaman apa lagi yang akan dihadapinya di hari mendatang. Ikuti terus petualangan Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan!
Episode selanjutnya,