Duel dan Kemelut di Cipatujah
Karya : Mario GembalaSATU
ALAM MENJADI SAKSI akan adanya pertarungan maut yang bakal berlangsung Bukit Karang Helang tampak hening mencekam. Ratusan burung Elang yang diikuti burung-burung lainnya sejak tadi telah menyingkir pergi, berbondong-bondong meninggalkan sarangnya.
Puluhan ekor kera dan siamang hiruk-pikuk berloncatan dengan suara gaduh. Tampaknya mereka sangat ketakutan sekali. Naluri kebinatangannya telah dapat menerka bahwa tempat itu bakal porak-poranda. Bakal hancur! Membuat mereka saling bergegas meninggalkan daerah yang dianggap gawat itu untuk segera menyingkir pergi. Seekor Raja Rimba yang menghuni bukit itupun sudah angkat kaki dengan memperdengarkan suara mengaum panjang.
Hawa aneh yang mencekam telah menyelimuti sekitar bukit itu. Dan satu keanehan adalah kini cahaya merah tampak seperti merambah sekitar bukit. Angin membersit keras seperti bakal ada taufan yang bakal terjadi. Udara sebentar gelap sebentar terang. Bau-bau busuk seperti bersembulan di sana-sini membaur dengan sejuta keseraman yang membangunkan bulu roma.
Dua sosok tubuh telah saling berhadapan. Berdiri tak bergeming. Kedua rambut wanita itu sama-sama terurai. Sesekali menyibak karena tiupan sang angin. Keheningan memang mencekam perasaan. Dan detik demi detik terus merayap yang akhirnya sampai pada ujungnya.
"Hm, disinikah tempat pertarungan kita, Giri Mayang...?" suara Roro Centil menyobek keheningan yang mengembara disekitar bukit itu.
"Benar! Inilah tempat pertarungan yang ku pilih! Dan disini pula tempat kuburanmu, Roro Centil...!" menyahut Giri Mayang dengan nada sinis.
"Kematian bagiku tak menjadi soal, perempuan iblis! Asalkan kaupun ikut serta mengiring kematianku, bagiku aku sudah puas! Dan aku dapat mati meram...!" menyahut Roro dengan suara datar.
"Hihihi... seribu Iblis siap sedia menjaga nyawaku, Roro Centil. Dan aku telah pula menghubungi guruku untuk siap melindungi diriku! Kalau kau mampus mana mungkin kau bisa bawa nyawaku menyertai kematianmu?" Ujar Giri Mayang dengan nada sinis, dengan tertawa menghina.
Akan tetapi Roro Centil juga tertawa dengan dibarengi kata-kata yang lebih "nyelekit" di ulu hati Giri Mayang. "Hihihi... hihi... kalau seribu Iblis menjaga nyawamu, aku bahkan seribu Malaikat menjaga nyawaku dari ketelengasanmu! Mana mungkin kau bisa mengambil nyawaku...?"
"Keparat...!" memaki Giri Mayang. Seketika wajahnya berubah merah padam.
"Setan alas!" maki pula Roro.
"Roro Centil, jangan kau mengumbar kesombonganmu! Hari ini aku akan balaskan dendam pati kematian ayahku!" membentak Giri Mayang lagi, dengan menatap tajam dan mulai mempergunakan pengaruh ilmu batinnya untuk mempengaruhi Roro.
"Bagus! Aku justru mau minta tebusan ratusan kepala yang telah kau tanggalkan dari tubuh rakyat tak berdosa dan para pendekar, serta orang-orang Kerajaan yang telah kau bantai seenak udelmu! Hihihi... aku cuma mau minta kepalamu untuk kupersembahkan pada Baginda Raja...!" sahut roro dengan suara tegas dan lantang.
Giri Mayang menekan perasaannya. Darahnya menyentak sampai ke kepala tubuhnya agak tergetar menahan kemarahannya yang meluap. Akan tetapi dia berusaha menahannya, dan membentak dengan suara yang berpengaruh. Suara yang berisi serangan dengan kekuatan batin yang telah selesai dimanterainya.
"Roro Centil...! Kau tak lebih dari hamba ku saja! Bersujudlah untuk menerima hukuman dariku!"
Akan tetapi beranjakpun tidak Roro dari tempatnya berdiri. Bahkan dia mengumbar suara tertawa melengking tinggi yang membuat tanah bergetaran. "Hihihi... hihihi... Giri Mayang! Giri Mayang...! Kau tak lebih dari anjing buduk yang menjijikkan! Mari mendekat padaku untuk kugebuk pantatmu 13 kali!" berkata Roro Centil dengan juga balas menyerang dengan kekuatan batin yang menindih kekuatan serangan lawan.
Hebat akibatnya. Tubuh Giri Mayang tampak bergetar dan agak terhuyung. Nyaris kakinya melangkah ke depan satu tindak kalau dia tak cepat-cepat berusaha melawan kekuatan serangan Roro yang merangsang hawa aneh, menindih kekuatan batinnya yang sekaligus mendadak punah.
Pucat pias seketika wajah Giri Mayang. Sadarlah dia kalau lawan dihadapannya tak boleh dianggap enteng. Namun mana Giri Mayang mau unjukkan kelemahannya pada musuh besarnya itu? Dengan melotot gusar dia membentak hebat.
"Roro Centil! Jangan kau terlalu sombong! Lihat sekelilingmu! Kau tak dapat meloloskan diri dari kepungan seribu Iblis yang akan merecah kulit dan dagingmu!" Bau busuk seketika menyebar, dan kian mendekati Roro.
Pendekar itu putarkan pandangannya ke sekeliling. Benar saja apa yang dikatakan wanita iblis itu, sekejap telah terlihat makhluk-makhluk menyeramkan yang tak terkirakan banyaknya mengurung Roro Centil. Bergidik juga Roro melihat rupa wajah dan bentuk yang menyeramkan, namun cepat Roro merapal mantera salah satu dari 7 jurus penolak iblis, warisan si Manusia Padang Pasir, Terdengar suara jeritan disekeliling disertai suara meletup bagai bara disiram api.
Bhusss! Bhusss...! Bhusss...!
Puluhan Iblis dan siluman-siluman jahat terjungkal seketika. Dan tubuh-tubuh mereka hancur. Lalu berubah menjadi asap hitam yang membumbung meninggalkan bau sangit yang menusuk hidung. Akan tetapi tidak semua makhluk-makhluk halus yang mengerikan itu terjungkal, belasan sosok tubuh yang agak kebal telah meluruk bagaikan angin menderu menerjang Roro.
Tersentak Roro Centil. Sepasang lengannya bergerak memutar dan mengibas beberapa kali. Itulah jurus pertama dan kedua dari tujuh mantera yang sambil bergerak, mulut Roro mengucapkan mantera-mantera suci itu. Terdengar suara jeritan dan meraung yang membangunkan bulu roma. Belasan sosok tubuh makhluk halus itu buyar berpentalan. Hawa panas yang membersit dari angin pukulan Roro yang berbau mantera suci seketika telah membakar menghanguskan tubuh-tubuh mereka.
Terkesiap Giri Mayang. Nyalinya agak menciut menyaksikan kehebatan Roro Centil. "Edan!? Dari mana dia dapatkan ilmu-ilmu itu...?" Sentak Giri Mayang dalam hati. Kembali Giri Mayang komat-kamit membaca mantera. Cepat sekali dia telah mengadakan hubungan dengan gurunya, melalui batin.
"Hehehe... pergunakanlah Tangan Iblis mu, muridku...! Jangan khawatir, aku segera datang ke bukit Karang Helang untuk membantumu bila kau mendapat kesulitan. Akan tetapi jangan kau bernyali kecil karena dengan Sepasang Tangan Iblis mu aku yakin dapat membinasakan si Roro Centil!" Itulah suara batin tingkat tinggi yang telah dilontarkan Nini Lembutung pada Giri Mayang.
"Terima kasih, guru...!" menyahut Giri Mayang melalui kontak batin itu. Dan... kini sepasang matanya bagaikan menyala-nyala menatap pada Roro.
Kita beralih sejenak. pada dua sosok tubuh yang tengah berlari cepat menuju kesatu arah... Kedua sosok tubuh itu adalah satu laki-laki dan satu wanita. Si wanita itu tak lain dari si peniup seruling, sedangkan laki-laki yang berada dibelakangnya adalah Sambu Ruci. Tiba-tiba wanita berbaju merah kembangkembang itu hentikan tindakan kakinya, lalu menoleh ke belakang.
"He? Siapa suruh kau mengikutiku...?" berkata wanita muda alias sang gadis itu dengan nada ketus.
Pemuda dibelakang itu tersenyum, dan sekali enjot tubuh sudah berada dihadapan sang gadis. Lantas saja tertawa bergelak. "Lho...? Aku punya kaki...?" menyahut Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok.
Mendapat jawaban demikian wajah sang gadis jadi semakin cemberut. Akan tetapi ternyata semakin cemberut justru semakin cantik. Entah mengapa sejak berjumpa dengan wanita itu Sambu Ruci seperti menaruh perhatian padanya. Walaupun bicara sang gadis itu selalu bernada ketus, namun Sambu Ruci yang ingin tahu siapa sebenarnya gadis itu, diam-diam selalu mengintilnya.
"Kau memang punya kaki!" tukas sang dara cantik ini. "Akan tetapi mau apa kau membuntuti aku terus?" tanyanya kesal.
"Aku sendiri tak mengetahui, mengapa kakiku maunya mengikuti langkah kakimu?" menyahut Sambu Ruci dengan tersenyum.
"Lelaki semacammu pasti tidak punya maksud baik!"
"Hm, kau seorang dukun peramal rupanya?"
"Cis! Enak saja kau bicara! Aku bukan dukun!" membentak sang gadis.
"Nah, kalau kau bukan seorang dukun, jangan menuduh sembarangan. Aku punya niat baik, yaitu ingin berkenalan denganmu..." berkata Sambu Ruci. "Boleh aku tahu namamu, nona cantik...?" bertanya Sambu Ruci.
"Aku tak punya nama!" sahut lagi gadis itu dengan nada ketus, seraya membuang muka. Akan tetapi ternyata wajahnya berubah jadi merah dadu karena dipuji demikian.
Sambu Ruci tersenyum, seraya menjura. "Aku yang rendah ini bernama Sambu Ruci. Siapakah gerangan nama anda nona gagah? Ilmu lari cepat mu membuat aku jadi kagum..." ujarnya.
"Huuu... gombal! Aku sudah tahu namamu Sambu Ruci, tak usah sampai dua kali kau menyebutkan. Baiklah, akan kuberitahukan namaku..." ujar sang gadis seraya mencabut serulingnya dari belakang punggung. "Kau perhatikan benda ini terbuat dari apakah...?" tanya gadis itu seraya perlihatkan serulingnya mendekat ke wajah Sambu Ruci.
"Hmmm..." termenung sesaat pemuda itu seraya perhatikan benda itu. "Apakah namamu Seruling Gading...?" tanyanya tiba-tiba.
"Tepat sekali! Itu namaku sekaligus julukan ku! Nah! kini langkahkan kakimu ke lain arah! Aku mau terus ke utara...!" berkata sang gadis alias si Seruling Gading.
"HAI...!? Lihatlah! Ada bercak-bercak darah berserakan disini...!" teriak Sambu Ruci tiba-tiba. Tentu saja membuat si gadis Itu terkejut, dan segera melihat ke tempat yang ditunjuk si pemuda. Sepasang matanya menjalari sekitar pelataran disisi hutan itu. Bercak-bercak darah tampak semakin banyak.
"Mari kita selidiki!" ujar Sambu Ruci seraya mendahului bergerak. Si gadis tak menyahut, tapi segera beranjak untuk meneliti sekitar tempat itu. Selang sesaat terdengar seruan tertahan Sambu Ruci.
"Hai...! Lihatlah kemari! Banyak mayat bergelimpangan!"
Mendengar teriakan itu kontan si Seruling Gading melompat menghampiri. Dan terperangah melihat mayat-mayat dari para prajurit Kerajaan bergelimpangan dengan keadaan kepala terlepas dari tubuhnya. Juga beberapa ekor kuda yang mati dengan tubuh hangus. Gadis itu jadi bergidik seram.
"Ini... ini pasti perbuatan perempuan Iblis itu lagi!" berkata Seruling Gading dengan nada suara agak menggeletar.
"Benar! Lagi-lagi perempuan setan itu meminta korban! Perbuatannya semakin keterlaluan. Kalau dia menyerang ke Kota Raja keadaan bisa gawat!"
Gadis itu tak berkata apa-apa kecuali tercenung dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. Dadanya berombak-ombak menahan geram. "Apa yang harus kita perbuat?" Akhirnya si Seruling Gading bertanya. Kali ini nada suaranya tidak lagi ketus seperti tadi. Sambu Ruci terdiam sejenak lalu sahutnya.
"Pendapatku begini, sebaiknya kita bantu mengubur jenazah, lalu kita berangkat ke Kota Raja melaporkan kejadian ini!"
"Huuuu...! Pendapatmu selalu menyusahkan orang saja! Kukira sebaiknya kita melapor saja ke Kota Raja, mengenai penguburan para prajurit Kerajaan ini kita serahkan pada yang wajib mengurusnya!" sanggah si Seruling Gading seraya berikan pendapat.
Ternyata Sambu Ruci melompat girang. "Aku setuju! Aku setuju...! Aha, tak ku sangka nona Seruling berotak encer! Benar...! Kalau kita yang menguburkan jangan-jangan nanti bisa terjadi kesalahpahaman...!"
Mau tak mau gadis itu jadi tersenyum melihat kelakuan Sambu Ruci yang berjingkrakan seperti orang dapat lotere.
"Wahai...! Alangkah manisnya nona Seruling kalau tersenyum begitu!" ujar Sambu Ruci dengan geleng-gelengkan kepala.
"Huuu... gombal! Marilah kita berangkat!"
"Mari... tukas Sambu Ruci seraya lengannya bergerak menyambar pergelangan tangan si Seruling Gading, yang barusan melangkah lewat disampingnya. Tentu saja gerakan tak terduga itu diluar pemikiran sang gadis.
Mau tak mau terpaksa dia membiarkan pergelangan tangannya dicekal pemuda itu. Dan... Srrr terasa hawa aneh telah menjalar ke sekujur tubuh membuat hatinya jadi berdebaran tak keruan rasa. Tangan pemuda itu terasa hangat, dan cekalannya mengandung kemesraan. Inilah yang membuat hatinya berdebar.
"Dia memang tampan...! Akan tetapi aku belum tahu isi hatinya. Aku khawatir hatinya tak setampan wajahnya..." bisik hati si Seruling Gading dengan wajah bersemu merah dan terasa panas. Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya untuk coba menjajal kekuatan lawan.
Hawa panas segera menyebar dipergelangan tangannya. Dia menduga Sambu Ruci pasti akan segera lepaskan tangannya. Akan tetapi terkejut gadis ini karena tahu-tahu serangkum hawa dingin segera mengalir cepat menindih hawa panas dari tenaga dalamnya. Dan keadaan kembali seperti semula. Yang membuat gadis ini melengak adalah si pemuda itu tetap tenang-tenang saja tak menampakkan wajah terkejut. Bahkan sambil berjalan cepat mengikuti gerakan langkahnya dia mengajak bercakap-cakap.
"Kota Raja tak seberapa jauh lagi. Setelah melewati perbatasan di depan sana kita sudah memasuki wilayah bagian selatan ini. Kukira di sana pasti ada markas terdekat dari lasykar Kerajaan yang bertugas menjaga wilayah itu!"
"Bagaimana kalau ternyata perempuan iblis itu telah tiba lebih dulu dan mengacau di Kota Raja...?"
Untuk menutupi perasaannya yang tak karuan itu sengaja si gadis membuat dalih pertanyaan. Tiba-tiba Sambu Ruci hentikan tindakan kakinya. Sepasang mata Sambu Ruci menatap tajam pada sang gadis. Aneh, seperti terkena daya magnet yang amat luar biasa, gadis itupun menatap tajam memandang pada wajah tampan laki-laki dihadapannya. Dan dua pasang mata itupun saling menatap berpantulan.
Terasa oleh si dara itu cekalan tangan si pemuda semakin erat mencekal pergelangan tangannya. Bahkan meluncur turun untuk mencekal telapak tangannya. Menyentuh jemarinya lalu menyatukan dengan jemari tangannya. Tak terasa diapun mencekal erat pula jemari tangan Sambu Ruci, dan menatap dengan mata terperangah kagum. Ya, dia memang sejak berjumpa dengan pemuda itu telah mengagumi ketampanan wajahnya.
Akan tetapi dia memang selalu bersikap ketus, karena khawatir terjebak "cinta". Berapa banyak laki-laki yang telah dikenalnya ternyata cuma laki-laki hidung belang yang berwatak buruk, yang cuma berkenalan untuk melampiasan nafsu bejatnya. Watak-watak kebanyakan dari orang yang pernah dijumpainya itulah yang membuat dia selalu bersikap ketus. Keramah-tamahan justru amat membahayakan dirinya.
"Kalau dia mengacau di Kota Raja, kita akan menempurnya!" berakta Sambu Ruci dengan suara tegas dan tegar.
"Ya!... kita akan menempurnya!" berdesis pula suara si Seruling Gading.
Dan keduanya sama-sama tersenyum, lalu mengangguk berbareng. Aneh! Seketika kekerasan hati si gadis peniup seruling punah sudah. Ya! Sambu Ruci si Bujang Nan Elok telah berhasil menaklukkan hatinya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara derap kaki-kaki kuda di kejauhan. Keduanya jadi terkejut, dan sama-sama menoleh ke arah depan.
"Sssst! Mari kita sembunyi, rombongan siapa gerangan yang lewat!" Sambu Ruci tempelkan jari telunjuknya diatas bibir. Dan dengan melompat sambil tetap bergandengan tangan. Sekejap saja mereka sudah berlindung dibalik batu besar. Tak berapa lama kemudian serombongan pasukan berkuda itu telah melewati mereka. Ternyata adalah rombongan pasukan Kerajaan. Kedua "sejoli" ini jadi saling tatap, dan sama-sama tersenyum.
"Bagus! Berarti kita tak usah repot-repot ke Kota Raja...!" berkata Sambu Ruci dengan berbisik. Si gadis peniup seruling mengangguk. Dengan keadaan wajah sama-sama berdekatan begitu mau tak mau membuat napas mereka terasa saling berpagutan. Sementara lengan mereka masih tetap saling genggam dengan erat.
"Kita pergi dari sini..." bisik si gadis, seraya menarik tangannya dari genggaman Sambu Ruci. Akan tetapi justru pemuda itu semakin erat menggenggamnya.
"Tunggu dulu..." berkata lirih Sambu Ruci. Dan sepasang mata pemuda itu seperti mencari-cari sesuatu disekitar wajahnya. "Seruling Gading...! Apakah kau bersedia bersahabat denganku?" tiba-tiba Sambu Ruci ucapkan kata-kata.
Gadis itu tak menjawab selain anggukkan kepalanya. Lalu tundukkan wajah.
"Terima kasih, Seruling Gading...! Marilah kita pergi!" ujar Sambu Ruci yang tak lakukan sesuatu pun dalam keadaan wajah mereka begitu dekat. Padahal "sesuatu" itu sudah dibayangkan oleh sang gadis. Dan dia memang takkan menolak. Bahkan hatinya sudah tergetar, juga hasratnya. Akan tetapi sang pemuda tampan itu justru cuma ucapkan terima kasih, lalu menarik lengannya untuk segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara orang-orang dari rombongan pasukan Kerajaan itu sibuk mengurus mayat-mayat mengerikan yang bertebaran ditempat itu, Sambu Ruci dan si gadis peniup seruling sudah meninggalkan tempat itu...
Cahaya merah yang membersit dari atas bukit Karang Helang ternyata telah terlihat oleh kedua remaja yang tengah berlari-lari cepat diatas lembah.
"Lihatlah, Seruling Gading! Cahaya itu beberapa pekan yang lalu muncul dari puncak gunung Galunggung, tetapi sekarang telah muncul lagi dan berpindah ke atas bukit itu. Menurut yang ku tahu cahaya merah itu adalah pertanda akan timbulnya banyak malapetaka...!" berkata Sambu Ruci.
"Kau percaya... ?" tanya sang gadis.
"Entahlah! Tapi menurut kenyataan, sejak munculnya cahaya merah itu dari puncak Galunggung, telah muncul bencana besar yaitu mengganasnya lagi si perempuan Iblis Giri Mayang. Hingga sampai saat ini Iblis perempuan itu telah meminta puluhan korban keganasannya. Entah apa lagi yang bakal terjadi! Apakah cahaya merah dari atas bukit itu suatu pertanda akan lebih memburuknya bencana pada umat manusia? Apakah bakal muncul lagi manusia-manusia Iblis lainnya, ataukah wabah penyakit? Aku tak mengetahui...!" menjawab Sambu Ruci.
"Ingin kulihat dari manakah asal cahaya merah itu. Kau mau menemaniku kesana...?" berkata si gadis dengan tersenyum.
"Hahaha... mengapa tidak? Pergi berdua dengan seorang sahabat secantikmu aku takkan menolak!"
"Huu, lagi-lagi kau memujiku cantik. Aku khawatir bila kau lihat lagi perempuan lain yang cantiknya melebihi ku, lantas apakah kau masih tetap menyebutku cantik?" berkata menyindir gadis itu.
"Haiiih, Seruling Gading! Aku jamin mataku tak jelalatan memperhatikannya. Bukankah aku tetap menyebut mu cantik?" tukas Sambu Ruci.
"Mulutmu memang, akan tetapi hati orang siapa tahu?"
"Hatiku dan mulutku sama...!" tak mau kalah Sambu Ruci.
"Baik! Coba katakan, lebih cantik mana aku dengan Roro Centil?" Diluar dugaan "adat" ketus si Seruling Gading kembali muncul. Dengan menatap tajam dan lengan bertolak pinggang dia berdiri menunggu jawaban Sambu Ruci.
Melihat demikian mau tak mau Sambu Ruci jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Akan tetapi dia sudah punya jawaban yang pasti, walaupun pada kenyataannya Roro Centil memang sukar dikalahkan dalam segalanya. Roro terlalu cantik dan sukar untuk dinilai dari segi mana kecantikan serta keayuannya. Juga berilmu tinggi yang susah diukur menurut penilaiannya. Dan disamping Roro punya "adat" aneh yang sukar diterka, Roro juga punya keanggunan tersendiri sebagai seorang wanita yang ideal.
Adapun si Seruling Gading ternyata juga seorang wanita yang ideal. Terkadang ketus, tapi terkadang lemah lembut. Disamping tubuh semampai berisi serta wajah yang cantik rupawan, tak kalah dengan Roro Centil. Akan tetapi walau bagaimana Roro tetap berada diatasnya. Jauh dari seberang lautan Sambu Ruci mengembara cuma mencari Roro.
Sejak Roro menghilang dari Pulau Andalas, dan sejak adiknya menikah dengan sahabatnya, bernama Rahwanda. Yang pernah pula mereka bersaing dan bertarung memperebutkan Roro Centil, gara-gara Sambu Ruci mengira Rahwanda mengingini juga wanita Pendekar Perkasa itu yang selama lebih dari sebulan berada di tempat tinggalnya.
Dia memang menggilai Roro Centil. Akan tetapi Roro ternyata sukar didekati. Roro cuma jinak-jinak Merpati. Kemunculan dan kepergiannya sukar diketahui. Membuat Sambu Ruci mulai mengendur hasratnya untuk menyunting sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan saat muncul si gadis peniup seruling yang baru dikenalnya berapa hari, Sambu Ruci mulai antusias untuk mengenalnya lebih dekat. Rasa simpatinya semakin besar karena gadis itu mempunyai banyak persamaan dengan Roro. Cuma satu hal yang berbeda yaitu si gadis peniup seruling tidak memiliki kegenitan seperti Roro.
Ya! Seruling Gading tetaplah Seruling Gading, dan Roro Centil tetaplah Roro Centil yang masingmasing dengan segala yang dipunyainya. Ditatapnya dalam-dalam mata gadis itu. Diperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah-olah tengah menaksir orang untuk di perbandingkan dengan Roro Centil. Akhirnya terdengar suara Sambu Ruci setelah menghela napas, dan tersenyum.
"Kau... kau masih lebih cantik dari Roro Centil, Seruling Gading...! Kau mempunyai kelebihan yang tak dipunyai pendekar itu!"
"Apakah kelebihannya...?" tanya Seruling Gading dengan ketus, tapi tak bisa dibilang ketus karena nada suaranya ada tercampur suara mengandung getaran. Hidungnya terasa menggembung karena pujian itu, akan tetapi rasa penasaran membuat dia lakukan pertanyaan yang telah dilontarkan dengan cepat.
"Kelebihannya terletak dari sinar matamu...!" Ujar Sambu Ruci datar.
"Ha...?!" tersentak Seruling Gading. "Aneh sekali..." ujarnya mendesah.
"Apanya yang aneh...?"
"Kelebihannya itu!" sahutnya pendek.
"Lho? Mengapa harus aneh?" tanya Sambu Ruci seraya mendekat. "Aku berkata sejujurnya, adik Seruling Gading. Sinar matamu teramat sejuk bila kupandang. Dan disana kulihat ada cahaya ke"ibu"an...!
Seruling Gading tertunduk dengan rona merah menjalari wajahnya. Lengan Sambu Ruci bergerak menggamit dagunya. Menengadahkan lagi wajah dara itu dengan sepasang mata yang menatap tajam seolah mau menembus ke sanubari sang dara.
"Seruling Gading...! Aku mencintaimu... aku telah menemukan apa yang kucari, yaitu Cinta Suci. Aku... aku akan segera melamar mu, sayang..."
Berdegupan jantung dara itu. Suara nafasnya mendesah. Dan sepasang matanya terpejam. O Alangkah indahnya! Alangkah indahnya kata-kata itu! Dan dia tak menolak tatkala Sambu Ruci dekatkan wajahnya. Sesuatu yang dinanti membuat dia terperangah dengan napas tertahan. Akan tetapi Sambu Ruci ternyata cuma mencium keningnya. Selanjutnya dirasakan dekapan kuat yang memeluknya erat-erat. Dan lengan Sambu Ruci membelai rambutnya. Ah, sikap itu terasa terlalu membuat geregatnya hati sang gadis.
Akan tetapi seruling Gading semakin yakin bahwa dia telah menjumpai seorang pemuda pilihan yang bukan laki-laki hidung belang. Hidup mengembara yang telah dijalani sekian lama sejak dia lari dari perguruan, lari dari ayah tiri yang ternyata mempunyai nafsu binatang membuat dia harus menghadapi banyak marabahaya. Dia membutuhkan seseorang untuk melindunginya. Dan dia memang sudah mendapatkannya!
Tak terasa Seruling Gading balas mendekap dengan erat. Serasa tak mau dia melepaskannya. Sementara air matanya telah menitik. Betapa teramat bahagianya dia saat itu. "Kakak Sambu , benarkah ucapanmu itu...?"
"Mengapa tidak, sayang ku...? Aku memang akan melamar mu! Aku akan datang pada kedua orang tuamu untuk meminang mu dengan segera!" sahut Sambu Ruci.
"Apakah kau membalas cintaku yang suci ini...?" tanya Sambu Ruci, karena gadis itu tak menjawab. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kecuali dekapan yang semakin erat, dan air mata yang semakin deras mengalir.
"Kau... kau menangis, sayangku...?" berkata Sambu Ruci seraya menggamit dagu sang dara yang telah mengendurkan dekapannya.
"Ya! Aku menangis karena aku... aku bahagia..." sahut Seruling Gading dengan suara menggetar. "Aku pasrahkan jiwa dan ragaku hanya padamu, kakak Sambu..." ujarnya pula dengan suara lirih. Sepasang matanya yang berkaca-kaca itu gemerlapan bagaikan percikan cahaya mutiara. Dan gadis itu mencoba untuk tersenyum.
"Ohh..." tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut Sambu Ruci selain desahan lirih yang lepas melapangkan dadanya. Dipeluknya gadis itu erat-erat, dan direngkuhnya bibir mungil itu dengan kasih mesra, Saat itu dunia serasa mereka yang punya. Dan saat itu mereka tenggelam dalam kebahagiaan yang paling indah.
Angin sepoi berhembus memagut dahan, mengguncang ranting. Tiga empat daun kering melayang turun dari tangkainya. Betapa indahnya Cinta. Betapa agungnya Cinta! Tuhan telah mempertemukan jodoh sepasang makhluknya. Matahari semakin condong ke arah bukit. Sementara cahaya merah yang membersit dari puncak bukit Karang Helang telah lenyap sejak tadi.
"HAI...!? Lihatlah...! Cahaya merah itu telah lenyap!" berkata Sambu Ruci.
Gadis yang tengah tersipu dengan menundukkan wajah itu seketika tengadahkan lagi wajahnya untuk melihat ke arah langit di sebelah barat. Benar saja! Cahaya merah itu memang telah sirna.
"Apakah kau tak akan membatalkan niatmu untuk melihat ke arah tempat keluarnya cahaya merah itu?"
"Aku memang mau melihatnya. Pasti cahaya itu keluar dari bukit bernama Karang Helang itu! Cahaya itu tepat diatasnya...!" menyahut si Seruling Gading.
"Baiklah! Mari kita kesana...!" ujar Sambu Ruci. Lengannya terulur, dan gadis itu cepat menyambutnya dengan mesra. Tak berapa lama dua sosok tubuh sudah berkelebatan untuk melesat cepat menuju ke arah bukit Karang Helang.
Sementara itu di atas bukit Karang Helang. Dua sosok tubuh itu masih tegak berdiri berhadapan. Sama-sama menatap dengan tatapan tajam laksana dua mata pisau yang mau menembus jantung lawan masing-masing. Dua pasang mata yang didalamnya tersimpan cahaya dendam, dan memancarkan hawa maut.
Lenyapnya cahaya merah yang membaur di atas bukit itu menandakan para Iblis yang membantu Giri Mayang dalam menghadapi Roro Centil telah melenyapkan diri. Roro Centil perlihatkan senyuman sinisnya, seraya berkata. "Hm, Giri Mayang! Sudah habiskah bala bantuanmu? Mayo, munculkan ular-ular siluman untuk menghadapi aku!" tantang Roro.
"Keparat...! Rasakanlah Sepasang Tangan Iblis ku!" membentak Giri Mayang. Dan dua larik sinar biru telah membersit ke arah Roro Centil dengan cepat. Giri Mayang membarenginya dengan suara tertawa mengikik menyeramkan. Roro Centil yang telah siap menghadapi segala kemungkinan, pergunakan kekuatan serta kepekaan seluruh inderanya.
Whuss...! Whusss...!
Hawa dingin mencekam disaat dua larik sinar biru itu memecah menjadi beberapa cahaya yang dengan suara bersiutan menerjang si Pendekar Wanita Pantai Selatan dari perbagai arah. Dengan membentak keras Roro putarkan tubuhnya dengan jurus Pusaran Angin Puyuh. Sengaja Roro mencoba keampuhan jurus warisan si Dewa Angin Puyuh sahabatnya alias paman angkatnya.
Laksana terkena pusaran angin puting-beliung puluhan cahaya biru itu berpentalan. Akan tetapi dua larik sinar biru telah membumbung ke atas, lalu menukik. Dan... Blarrr...! Tanah menyemburat ke udara. Dua larik sinar biru dari sepasang tangan Iblis itu telah mampu membobol pertahanan Roro. Akan tetapi tubuh Roro sendiri telah lenyap tak berbekas. Giri Mayang kerutkan keningnya dengan sepasang mata liar menjelajahi sekitar tempat itu.
"Aku berada dibelakangmu, Giri Mayang!" tahu-tahu suara Roro terdengar dibelakangnya. Tentu saja membuat wanita Iblis itu tersentak kaget. Lengan bajunya bergerak mengibas ke belakang dengan hantaman tenaga dalam.
Wusss...! Dua batang pohon yang berada tepat tak jauh dibelakangnya berderak patah, dan tumbang dengan suara gemuruh. Akan tetapi terperangah wanita itu karena terasa rambut kepalanya seperti dibetot dengan keras. Dan sekejap kakinya telah tak menginjak tanah. Menjerit Giri Mayang dengan meringis kesakitan. Tubuhnya tahu-tahu terlempar ke udara dengan membumbung pesat.
Satu bayangan berkelebat turun, dan hantamkan pukulan jarak jauh ke arahnya. Dalam keadaan melayang ke atas itu ternyata Giri Mayang dapat melihat Roro Centil yang barusan menjambak rambutnya. Setelah membetotnya dengan lemparan kuat ke udara, tubuh Roro meluncur turun, lalu hantamkan pukulannya. Itulah jurus dari pukulan Kosongkan Perut Menahan Lapar. Cepat sekali Giri Mayang "menarik" kembali sepasang Tangan Iblisnya. Dan memapaki serangan itu.
Blarrr!
Tubuh Roro terlempar beberapa tombak. Akan tetapi tubuhnya sendiri semakin tinggi melambung jungkir balik ke udara. Hebat akibat benturan dua kekuatan itu. Karena Roro Centil terengahengah dengan kucurkan darah dari mulutnya. Namun terperangah Giri Mayang, karena ternyata tubuhnya tak meluncur turun lagi. Tergantung-gantung dia di udara dengan keadaan kepala di bawah kaki diatas.
Sementara Roro cepat berdiri. Lalu menyeka darah kental yang mengalir dari bibirnya ke dagu. Terasa hawa busuk yang menyesakkan dadanya dan bau amis merangsang hidung, teramat memuakkan. Namun cepat-cepat Roro pusatkan kekuatan batin serta satukan segenap tenaga dalam untuk mengusir rasa sesak pernafasannya.
Selang sesaat keadaan kondisi tubuhnya mulai normal kembali. Kini sepasang mata dara perkasa ini menatap ke atas. Saat mana dua larik sinar biru baru saja membersit ke arahnya mengarah leher. Terperangah Roro Centil karena tahu-tahu sepasang lengan Iblis telah berada beberapa jengkal lagi siap mencengkeram untuk memoteskan kepalanya dari tubuhnya.
"Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis!" teriak Roro seraya kibaskan lengannya. Dan segelombang tenaga yang tak terlihat telah membuat sepasang Tangan Iblis seperti membentur satu dinding baja, yang membuat sepasang lengan itu terpental balik.
Sementara pertarungan tengah berlangsung seru, sepasang mata sejak tadi telah mengikuti jalannya pertarungan dari sesosok tubuh berjubah putih. Siapa lagi kalau bukan Nenek Muri Asih. Mulut wanita tua ini ternganga melihat jurus pukulan Roro yang membuat tubuh Giri Mayang tergantung-gantung di udara. Akan tetapi sepasang tangan iblisnya telah memburu nyawa Roro tiada henti. Lagi-lagi Nenek Muri Asih ternganga dengan mata membelalak seperti tak percaya.
Jurus Roro disaat dalam detik maut berada di depan mata ternyata telah tertolong dengan jurus barusan yang amat hebat. Yaitu jurus Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis! Akibatnya cahaya biru dari Sepasang Tangan Iblis itu terpental balik. Bahkan Roro telah membarenginya dengan tiga-empat hantaman dengan jurus-jurus aneh.
Sinar biru itu seketika terpecah menjadi ratusan sinar kecil-kecil yang membaur dan terpental deras ke ratusan penjuru. Akan tetapi percikan sinar biru kembali bergerak menyatu, untuk kemudian berubah menjadi sepasang sinar biru dari sepasang tangan Iblis. Melengak Roro Centil.
Dia telah pergunakan jurus-jurus dari si Manusia Gurun Pasir. Akan tetapi sinar itu tampaknya sukar dilumpuhkan. Sementara Giri Mayang yang "tergantung" di udara tampak mulai kehabisan nafas. Reaksi dari pukulan Roro yang mempergunakan jurus ciptaannya di Pulau Air masih bersisa. Saat mana tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh.
"Heheheheh... heheheh... Roro Centil! Kau takkan mampu melumpuhkan Sepasang Tangan Iblis! Hari ini adalah hari yang tepat untuk mengubur jasad Pendekar tolol yang sok menjadi pahlawan! Ya! hari ini adalah hari kematianmu, bocah wadon... heheheh..."
Selesai tertawa si nenek mata juling yang baru muncul itu telah jejakkan kakinya ke tanah. Bumi terasa bergetar. Akan tetapi hebat akibatnya. Karena seketika tubuh Giri Mayang yang tergantung di udara telah jatuh meluruk kembali ke bumi.
Tersentak Roro melihat kemunculan si nenek mata juling, juga melihat kekuatan jejakkan kakinya ke tanah yang terasa menggetarkan jantung. Akan tetapi melihat tubuh Giri Mayang yang meluncur jatuh ke tanah, mana Roro Centil mau membiarkannya? Sekali berkelebat tubuhnya telah membersit secepat angin.
Akan tetapi si nenek mata juling alias Nini Lembutung tak mau kalah cepat untuk menyelamatkan muridnya. Kakinya bergerak menjejak tanah, dan tubuhnya melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya memburu Roro. Dengan di sertai bentakan keras sebelah lengannya bergerak menghantam dengan pukulan tenaga dalamnya.
"Bocah keparat! kau rasakan ini...!" Dalam keadaan mengambang di udara agaknya sukar bagi Roro untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu. Akan tetapi pada detik itu secercah cahaya perak telah menghadang di depan Nini Lembutung memapaki serangan itu.
Blarrr...!
Terdengar suara ledakan keras, disertai dengan terlemparnya tubuh Nini Lembutung. Akan tetapi dengan ringan kaki nenek mata juling telah kembali jejakkan kakinya ke tanah. Tampak wajahnya berubah pucat karena terkejut, Setitik darah tersembul disudut bibirnya. Ternyata terpentalnya tubuh Nenek tua renta ini tidak sendiri, karena sesosok tubuh berjubah putihpun ikut terhuyung, yang tahu-tahu telah berada ditempat itu. Dialah si nenek Muri Asih.
Sementara itu Giri Mayang baru dapat bernapas. Begitu rasakan hawa segar dari lenyapnya pengaruh pukulan Roro Centil, serta mengetahui tubuhnya meluncur turun segera melihat gerakan Roro Centil yang meluncur ke arahnya. Akan tetapi lambatnya gerakan luncuran tubuhnya telah membuat Roro lebih cepat setindak untuk bergerak menyambar kakinya. Giri Mayang memang punya kegesitan luar biasa. Dengan gerak reflek kakinya menendang...
Adanya Roro Centil yang baru saja menyiapkan "tameng" untuk memapaki serangan Nini Lembutung, tapi tak jadi dipergunakan karena tiba-tiba munculnya selarik cahaya selendang perak yang menyambar si penyerangnya. Tahulah Roro kalau Nenek Muri Asih yang muncul menolongnya. Kini "tameng" yang telah disiapkan itu segera dipergunakan untuk memapaki serangan kaki Giri Mayang.
Dhesss...! Terdengar teriakan tertahan Giri Mayang. Tubuhnya terlempar beberapa tombak dan jatuh bergulingan di tanah. Meraung wanita iblis itu karena terasa tulang kakinya berderak patah. Dengan meringis kesakitan, tiba-tiba wanita ini cepat "tarik" lagi Sepasang Tangan Iblisnya. Sementara Roro Centil baru saja jejakkan kakinya ke tanah setelah berjumpalitan di udara. Sementara dilain pihak...
"Nini Lembutung...! Akulah lawanmu! Jangan ikut campur dalam urusan pertarungan adu jiwa kedua bocah itu!" Membentak Nenek Muri Asih yang telah berdiri dihadapan Nini Lembutung dengan gagah. Jubah putihnya berkibaran tertiup angin.
"Keparat! rupanya kau si Selendang Perak Pelangi...!" Mendelik sepasang mata juling nenek sakti dari pulau Andalas ini.
"Tidak salah! Matamu walaupun juling ternyata masih awas!" ujar nenek Muri Asih.
"Kunyuk keparat! Kau minta mampus!" maki Nini Lembutung. Dan sepasang lengannya bergerak menyilang menggeletar. Bibir perempuan sakti ini berkemak-kemik membaca mantera. Tiba-tiba...
Whusss! Whusss...!
Sepasang lengannya bergerak menghantam ke depan saling susul. Membersitlah sinar merah berhawa panas saling susul meluncur pesat mengancam jiwa nenek Muri Asih.
Blar! Blarr! Blarrr...!
Terdengar suara ledakan beberapa kali. Percikan-percikan lelatu api terlihat di udara. Ternyata nenek Muri Asih telah memapaki serangan demi serangan itu dengan pukulan-pukulan sinar peraknya. Hebat akibatnya karena kedua tokoh itu sama-sama terhuyung dengan wajah pucat. Masing-masing dari mulutnya mengalirkan darah kental.
Tampak masing-masing menggelosor terduduk, dan mereka berusaha memulihkan kekuatannya karena mereka telah sama-sama terluka dalam akibat benturan-benturan kekuatan tenaga dalam tingkatan tinggi itu.
Sementara itu Giri Mayang tampaknya telah punya "sayap" lagi walaupun sebelah tulang kakinya patah. Karena Sepasang Tangan Iblis telah berada di lengannya lagi. Kemunculan Nini Lembutung telah diketahui. Hal ini telah membesarkan nyalinya lagi yang tadinya mulai mengecil. Tentu saja geramnya luar biasa dia pada nenek Muri Asih. Perempuan tua itulah yang telah mengurungnya beberapa pekan yang lalu di hutan rimba belantara, hingga sampai beberapa hari dia tak mampu keluar dari tempat itu.
Apa lagi telah diketahui nenek itu telah menghalangi "tabrakan" Nini Lembutung, yang dalam segebrakan tadi telah berhasil menyelamatkan Roro Centil dengan sambaran "selendang" peraknya. Beberapa "labrakan" antara kedua tokoh itu telah menarik perhatian mereka sejenak untuk menyaksikannya. Baik Giri Mayang maupun Roro Centil sama-sama terkejut karena benturan demi benturan tenaga dalam kedua nenek itu, amat keras.
Dalam sejenak terperangah itu, Giri Mayang lebih dulu tersadar. Dan kesempatan disaat Roro lengah tak disia-siakan. Sepasang lengan Iblisnya dilepaskan... "Hihihi... mampuslah kau Roro Centil keparat...!" bentaknya dalam hati.
Terperangah Roro ketika tersadar bahaya mengancam jiwanya. Sepasang Lengan Iblis yang bentuknya menyeramkan itu telah berada sejengkal lagi di depan matanya. "Tamatlah riwayatku...!" memekik Roro dalam hati. Akan tetapi dengan gerak reflek sepasang tangan Roro yang selalu "berisi" itu secepat kilat telah bergerak menangkap. Sebuah dari sepasang lengan itu berhasil ditangkap, tapi sebuah lagi lolos dari tangkapannya. Karena sekonyong-konyong si Lengan Iblis melesat ke sisi. Nyaris pinggang Roro kena terkoyak kalau dia tak cepat jatuhkan diri bergulingan.
Sementara sebelah Lengan Iblis itu masih tak lepas dari cekalan tangan Roro. Bahkan diperkuat dengan kedua tangan. Giri Mayang tak berikan kesempatan Roro untuk berdiri lagi. Dengan kekuatan batinnya yang tinggi Giri Mayang "menyetir" tangan Iblisnya untuk meluncur mencengkeram leher Pendekar Wanita itu dari belakang. Sedangkan sebuah lagi dari lengan Iblisnya telah dibetot, keras agar terlepas dari tangan Roro.
Roro Centil menyadari dirinya dalam bahaya. Namun sebisanya dia harus mempertahankan diri untuk menyelamatkan nyawanya. Ketika itu juga dengan jurus Lompatan Harimau Gurun Pasir, Roro membarengi kekuatan Tangan Iblis yang telah membetotnya. Terdengar jeritan parau menyayat hati dan suara derak tulang yang patah. Darah menyemburat. Dan sebuah kepala manusia terlempar ke udara.
Itulah jeritan parau dari Giri Mayang! Kepalanya telah putus, terlepas dari tubuhnya dengan darah memuncrat mengerikan. Bersamaan dengan robohnya tubuh tanpa kepala dari wanita iblis itu, terdengar suara Blarrr...! Secercah kilatan perak dan pelangi menyambar ke belakang Roro Centil. Sinar biru seketika memercik ke udara. Ternyata sepasang Selendang nenek Muri Asih telah menghantam sebuah dari Tangan Iblis yang nyaris mencengkeram leher Roro.
Sementara itu berbareng dengan bunyi ledakan keras dibelakangnya, Roro telah jatuhkan tubuhnya bergulingan. Roro memang telah mengetahui bahaya maut mengancam dibelakangnya, namun keburu Nenek Muri Asih menghantam Tangan Iblis yang sebuah itu dengan selendang Peraknya.
Dan disaat kepala Giri Mayang meluncur turun, sebuah bayangan dengan cepat telah menyambar. Detik berikutnya Roro Centil telah berdiri dengan gagah. Rambutnya berkibaran tertiup angin. Pada sebelah lengannya tampak tergantung-gantung sebuah kepala manusia tanpa tubuh yang dicengkeram rambutnya. Itulah kepala Giri Mayang...! Lengan satunya lagi tiba-tiba bergerak menghantam tubuh Giri Mayang tanpa kepala, yang seketika terbakar hangus!
Apakah sebenarnya yang terjadi? Kiranya disaat tubuh Roro Centil terbetot oleh kekuatan Tangan Iblis yang ditarik Giri Mayang, Roro Centil telah membarengi melesat dengan jurus Lompatan Harimau Padang Pasir. Ternyata Roro telah arahkan cengkeraman Tangan Iblis pada majikannya. Tak ampun lagi si Tangan Iblis mencengkeram ganas! Tapi yang dicengkeram adalah batang leher "majikan"nya sendiri. Dengan kekuatan tangannya Roro Centil menyentakkan kepala Giri Mayang hingga sekaligus putus! Dan terlempar ke udara.
Asap hitam membumbung disertai bau sangit yang menusuk hidung, ketika Roro Centil selesai membaca mantera dari Tujuh Mantera Penolak Iblis warisan si Manusia Gurun Pasir. Dan saat itu pula Tangan Iblis yang dicekal kuat oleh Roro telah lenyap.
Kejadian itu ternyata tak luput dari mata Nini Lembutung, yang baru saja selesai memulihkan luka dalamnya. Tampak wajah dan sekujur kulit wanita tua itu telah berubah menjadi merah laksana darah. Peralihan demikian ternyata membuat wajahnya lebih menyeramkan lagi, yang ternyata juga berubah secara mendadak. Dari kedua sisi bibirnya telah tersembul dua buah taring yang runcing mengerikan.
Dengan mendengus bagai suara kerbau di gorok, tiba-tiba sepasang lengannya terpentang ke arah nenek Muri Asih. Wanita tua yang baru saja menolong Roro itu tak sempat berbuat apa-apa karena ketika menoleh pada Nini Lembutung, serangan dahsyat itu telah datang dengan mendadak. Walaupun demikian dia telah menangkis sebisanya.
Namun segera terdengar jeritan ngeri si nenek Muri Asih. Tubuhnya terlempar bergulingan bercampur dengan deru angin panas yang menerbangkan batu-batu. Bau sangit mengembara. Keadaan tubuh nenek Muri Asih tampak mengkhawatirkan, karena seluruh pakaiannya telah hangus terbakar. Pada bagian dadanya tampak tertera sebuah telapak tangan yang menghitam jelas menempel dikulit dan payudaranya.
Wanita tua ini mencoba bangkit, akan tetapi kembali dia roboh dan beberapa kali muntahkan darah hitam kental. Dalam keadaan demikian, sebuah bayangan berkelebat ke arahnya seraya terdengar suara teriakan tertahan.
"Nenek Muri...! kau... kau... kau terluka...?" ternyata Roro telah menghampiri dan menatap dengan khawatir.
Lompatan Roro yang menghampiri nenek Muri Asih ternyata dibarengi dengan kelebatan tubuh Nini Lembutung setelah menyambar Tangan Iblis dari hasil pembentukan percikan sinar biru yang buyar terkena hantaman selendang perak pelangi nenek Muri Asih tadi.
Ternyata lagi-lagi si nenek mata juling ini mau membokong. Dendamnya semakin menghebat melihat kematian Giri Mayang, sedangkan dendamnya sendiri belum terbalaskan. Lengan Iblis yang dicekalnya meluncur pesat untuk mencekeram leher Roro Centil. Sementara lengannya sendiri membarengi dengan menaburkan serbuk racun dalam genggaman tangannya.
"Modharrr...!" bentaknya dengan bersemangat.
Akan tetapi satu keanehan terjadi. Roro Centil balikan tubuhnya seraya membentak. "Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis!"
Dan buyarlah serbuk racun yang ditaburkan Nini Lembutung yang meluruk deras ke arah Roro dan nenek Muri Asih. Juga sinar biru dari Tangan Iblis itu tertolak mental. Sebagai gantinya terdengar jeritan parau Nini Lembutung yang terkena sambaran serbuk racunnya sendiri, dan cengkeraman Tangan Iblis yang dikendalikan Roro dengan kekuatan batinnya.
TANGAN IBLIS yang mengerikan itu mencengkeram perutnya. Sementara si nenek mata juling berusaha menariknya. Darah mengucur bertetesan. Tampak wajah Nini Lembutung yang telah berubah mengerikan itu jadi semakin menyeramkan. Tubuhnya terhuyung-huyung lalu ambruk ke tanah dan berkelojotan meregang nyawa. Jeritan-jeritan paraunya bagaikan suara jeritan setan dan iblis.
Roro Centil melompat mundur untuk kemudian memeluk nenek Muri Asih yang seperti telah tak berdaya dengan luka parahnya. Tiba-tiba cuaca sekonyong-konyong berubah gelap. Angin membersit keras. Petir menggelegar bersahut-sahutan. Salah satu kilatannya menyambar tubuh Nini Lembutung yang tengah sekarat meregang nyawa.
Tharrr...! Cahaya terang benderang itu sekilas menyobek kegelapan. Tampak asap hitam membumbung, juga bau sangit segera tercium dalam bersitan angin kencang. Roro Centil makin erat memeluk tubuh wanita tua itu.
"Apakah yang akan terjadi...?" berdesis bibir pendekar wanita kita.
"Tenanglah, Roro..." terdengar suara nenek Muri Asih. Nada suaranya lemah.
Trenyuh hati Roro memandangnya. Diam-diam dia salurkan hawa hangat ke tubuh wanita tua itu. "Nenek Muri...! Kita harus segera tinggalkan tempat ini..." berbisik Roro.
Akan tetapi wanita tua itu menggeleng. "Sabarlah...! Aku masih mau bercakap-cakap denganmu, Roro..." menyahut wanita tua itu.
"Kau telah berhasil menemui si Manusia Gurun Pasir...?" tanya nenek Muri Asih.
"Benar, nenek Muri! akan tetapi cuma kerangkanya saja." sahut Roro.
"Hehehe... bagus! dan... kau pasti telah mempelajari kitab simpanannya!" tertawa nenek Muri Asih.
"Benar...!"
"Syukurlah....! Secara tak langsung kau telah menjadi pewaris ilmu si Manusia Gurun Pasir itu, Roro. Kau sungguh beruntung. Tapi aku adalah manusia yang sial. Karena berpuluh tahun aku mencari si Manusia Gurun Pasir tapi tak pernah berjumpa...! Manusia Gurun Pasir adalah orang negeri Tursina jauh di Timur Tengah sana. Dia bekas seorang Sultan yang pernah memerintah beberapa wilayah dalam satu Kerajaan di negeri itu.
"Sedangkan aku... aku cuma seorang inang pengasuh, dari seorang Ratu perempuan yang pernah berkuasa disatu wilayah utara. Manusia Gurun Pasir berhasil menyunting majikanku, alias sang Ratu di wilayah utara itu dalam pengembaraannya. Ditubuh ku mengalir darah jahat dari ibuku. Melihat kebahagiaan sang Ratu junjunganku dengan si Manusia Gurun Pasir aku jadi mengiri. Aku telah lakukan kejahatan, yaitu berusaha memisahkan mereka berdua...!
"Akan tetapi kesudahannya aku menyesal. Aku membenci perbuatan jahat ku. Aku memang berusaha keras melenyapkan sifat jahat dalam diriku, akan tetapi aku merasa tak sanggup untuk menguasai jiwaku keseluruhan. Sejak itu aku tak tahu lagi tentang sang Ratu junjunganku itu. Ya, sejak aku berhenti jadi inang pengasuh dan meninggalkan wilayah utara itu.
"Namun belasan tahun kemudian aku mendengar suara gaib yang memerintahkan aku merawat seekor harimau tutul! Sejak itulah aku menjadi "pengasuh" dari si Tutul. Sayang aku belum juga dapat menguasai kejahatan yang terkadang selalu timbul untuk merangsang jiwaku. Acap kali aku telah menyuruh si Tutul melakukan kejahatan. Akan tetapi untunglah...! Aku sering gagal dan merobah jalan pikiran untuk cepat membatalkan niat jahatku itu.
"Hingga akhirnya aku telah berjumpa denganmu, Roro...! Dan kau telah menaklukkan si Tutul dengan cahaya sebuah cincin bermata batu Merah Delima yang kuketahui jelas adalah milik sang Ratu. Entah dari mana kau dapatkan benda itu hingga berada ditangan mu, waktu itu aku tak berniat menyelidiki. Bahkan aku telah menyangka kau adalah titisan dari sang Ratu junjunganku itu. Sejak itu aku melenyapkan diri.
"Walau sebenarnya orang telah mengenalku sebagai seorang Pendekar perempuan yang digelari si Pendekar Selendang Perak Pelangi. Namun aku merasa sebutan Pendekar itu padaku terasa berat bagiku menerimanya. Karena terkadang aku malu pada diriku sendiri yang suka berbuat kejahatan, walaupun hal itu kuperbuat diluar kesadaranku...!"
Demikian tutur nenek Muri Asih dengan agak panjang lebar. "Tapi anehnya sejak si Tutul berada padamu, aku mulai bisa mengatasi golakan darah jahat yang merangsang syaraf ku dan mengendalikannya!"
Roro Centil mendengarkan penuturan si nenek dengan tertegun dan terlongong-longong. Selang sesaat setelah terbatuk-batuk beberapa kali, nenek Muri Asih lanjutkan ucapannya.
"Aku telah pernah berjanji akan menurunkan ilmuku padamu, Roro...! Akan tetapi "agaknya maut sebentar lagi akan menjemputku..." Ujarnya lagi dengan fasal lain, karena telah selesai dalam memberikan penuturan dari kisah hidup yang dialaminya.
Roro memang tak sempat untuk menuturkan, dan si nenek Muri Asih tak pernah tahu kalau sebenarnya si Tutul yang selalu mengikut padanya adalah roh dari si Manusia Gurun Pasir, seperti apa yang telah dituturkan sendiri oleh suara gaib ketika Roro berada didalam goa di tengah gurun pasir...
"Tidak! nenek Muri...! Kau harus hidup! Aku akan berusaha menolongmu menyembuhkan luka dalam ditubuh mu...!" sentak Roro terkejut.
Akan tetapi wanita tua itu cuma tersenyum. Tatapan mata wanita tua ini semakin melemah. Namun tampak dia berusaha menguatkan tubuhnya. "Dekatkan telingamu kemari, Roro...!" perintahnya tiba-tiba.
Tak ayal Roro segera menuruti kehendak wanita tua perkasa ini untuk mendekatkan telinganya pada mulut nenek Muri Asih. Terdengar bisikan kata-kata... Dan tampak Roro manggut-manggut.
"Kau hapalkan kata-kataku ini. Aku yakin kau akan mampu memecahkannya. Dan dengan demikian lunaslah hutangku karena kau pasti bisa memainkan jurus-jurus Selendang Perak Pelangi..." berkata nenek Muri Asih dengan nada pasti dan tampak kepuasan pada wajahnya.
Tiba-tiba wajah wanita tua itu berubah pucat dan menegang. "Roro! segeralah kau tinggalkan tempat ini...! Cepat! Cepatlah...!" perintah nenek Muri Asih.
Akan tetapi Roro malah tertegun dan tak beranjak dari tempatnya. Sementara kilatan-kilatan petir tetap terlihat beredepan dilangit. Angin keras masih membersit. Sekilas terpandang tubuh Nini Lembutung terkapar tak berkutik dengan tubuh yang telah menghitam hangus. Roro bergidik ngeri melihatnya, seraya menatap menengadah ke atas.
Tiba-tiba terperangah Roro Centil ketika melihat ada perubahan pada wajah dan sekujur tubuh nenek Muri Asih. Tubuhnya berubah menjadi merah juga rambutnya. Dan wajahnya telah berubah jadi menyeramkan, karena sepasang taring telah tersembul dari kedua sudut bibirnya.
"Ahh...!?" tersentak Roro seraya beringsut mundur.
"Sudah terlambat, Roro...! Tapi tak apalah! Kau sudah terlanjur melihat bentuk ujudku! Ketahuilah...! Aku dan Nini Lembutung itu adalah saudara sedarah. Walau aku dengannya adalah lain ayah tapi darah ibuku masih menyerap dalam tubuhku! Darah yang telah kena kutukan iblis! Kini pergilah cepat kau, Roro! Sebentar lagi petir akan menghanguskan tubuhku!" berkata nenek Muri Asih dengan suara serak parau.
Akan tetapi Roro Centil tetap tak beranjak dari tempatnya. "Tidak nenek Muri, kau tak boleh termakan kutukan! Kalau memang kau sudah ditakdirkan mati, kau harus mati dalam keadaan wajar...!" sahut Roro.
Dan tanpa perdulikan perintah nenek Muri Asih yang telah berubah jadi mengerikan itu, Roro Centil cepat membaca "mantera-mantera Suci" dari tujuh kalimat yang dipelajari dari Manusia Gurun Pasir. Tiba-tiba langit mendadak berubah cerah. Angin yang membersit keras itu pelahan-lahan melenyap. Juga kilatan petir telah terhenti. Alam tampak kembali tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Dan tertegun Roro Centil ketika menatap pada nenek Muri Asih ternyata tubuh dan wajahnya telah kembali seperti sedia kala. Wanita tua itu tampak seperti masih tersenyum padanya dengan mata setengah terbuka. Akan tetapi nyawanya telah melayang.
"Nenek...! Nenek Muri... Aiii, kau benar-benar telah mendahului...!" ucap Roro dengan lirih dan hati trenyuh. Lengannya bergerak mengusap wajah wanita tua bekas Pendekar Wanita Perkasa itu hingga terkatup kelopak matanya. Lama Roro tercenung menatap dengan tertegun. Tak lama terdengar suara helaan nafasnya.
"Yah, takdir tak dapat dipungkiri...! Akan tetapi aku puas, karena kau dapat mati dengan sewajarnya, nenek, Muri. Semoga Tuhan mengampuni dosamu!" ucap Roro dengan suara lirih. Pelahan-lahan Roro mulai tersadar kalau sudah waktunya dia meninggalkan tempat itu. Segera dipondongnya jenazah nenek Muri Asih alias si Pendekar Selendang Perak Pelangi.
Terkejut Roro Centil ketika sejenak mengamati sekitar tempat itu, karena hutan rimba yang berada disekitar bukit Karang Helang telah porak-poranda bagaikan baru diterjang badai. Roro memang tak menyadari dan tak begitu memperhatikan kalau angin keras yang berpusaran diatas bukit tadi telah membuat hutan belantara ditempat itu seperti baru diobrak-abrik tangan Raksasa. Akan tetapi tidak sampai merambah ke tempat pertarungan. Roro menatap sejenak ke arah Matahari yang sudah semakin condong lalu bergegas menuruni lereng bukit.
"Nona Roro...!" Satu teriakan santar membuat Roro Centil hentikan langkahnya, dan menoleh ke arah suara. Segera terlihat dua sosok tubuh berlari-lari mendatangi. Beberapa saat kemudian kedua sosok tubuh itu telah tiba dihadapannya.
"Sobat Sambu Ruci...! Ah, kiranya anda?" berkata Roro, Seraya sepasang matanya memperhatikan kawan wanita laki-laki itu.
Sambu Ruci agaknya tak teringat sama sekali untuk memperkenalkan gadis kawannya itu pada Roro, karena sepasang matanya tertuju pada jenazah seorang wanita tua dalam pondongan pendekar wanita itu. "Nenek Muri Asih...! Apakah yang terjadi?" tanya Sambu Ruci dengan menatap tertegun pada Roro.
"Beliau telah tewas... menyahut Roro dengan tersenyum pahit.
"Ah...!?" tersentak Sambu Ruci. Seketika persendian sekujur tubuhnya terasa lemas. Begitu juga dengan wanita si gadis peniup Seruling alias si Seruling Gading. Dia menatap dengan tertegun dan hati mencelos, karena belum lama dia berjumpa dengan nenek itu yang telah memerintahkan menguburkan puluhan jenazah penduduk dari dua desa akibat perbuatan Giri mayang.
Tapi kini dijumpainya lagi wanita sakti itu telah tewas dengan keadaan mengenaskan. Ketika tertatap kepala tanpa tubuh yang terayun-ayun di bawah lengan Roro serentak keduanya melangkah mundur dengan terperangah.
"Hihihi... inilah kepala si Giri Mayang! Setelah selesai mengubur jenazah nenek Muri Asih, aku akan mengantarkannya ke Istana. Akan kupersembahkan pada Raja!" berkata Roro yang telah memaklumi keterkejutan kedua remaja itu.
"Kami baru mau melihat ke atas bukit untuk mengetahui apa yang terjadi disana. Akan tetapi cuaca tiba-tiba menjadi gelap. Petir menyambar dan angin keras bagaikan taufan datang secara tiba-tiba. Terpaksa kami urungkan niat. Tak dinyana diatas sana telah terjadi pertarungan hebat! Dan diatas sana pula tempat kematian perempuan Iblis bernama Giri Mayang! Sungguh tak kusangka kalau anda berhasil membunuhnya, nona Roro...! Akan tetapi bagaimana kisahnya sampai nenek Muri Asih bisa tewas...?" tutur Sambu Ruci yang diakhiri dengan pertanyaan.
"Hm, nanti akan kuceritakan! Marilah kita cari tempat yang baik untuk mengebumikan jenazah nenek Muri ini...!" menyahut Roro.
"Ehm, tapi perkenalkan dulu, siapa gadis kawanmu itu...?" sambung Roro dengan tersenyum.
Belum lagi Sambu Ruci buka mulut si Gadis telah maju selangkah seraya menjura pada Roro. "Maafkan, aku yang rendah bernama dan bergelar si Seruling Gading. Gembira sekali dapat berjumpa dengan anda, kakak Pendekar! Nama anda telah terdengar santar ke setiap tempat, membuat setiap golongan Pendekar mengagumi. Dan...aku adalah salah seorang pengagum anda...!" ujar Seruling Gading yang kemudian mengangkat wajah dengan senyum menghiasi bibirnya. Sementara diam-diam hatinya memuji dan kagum luar biasa akan kecantikan sang pendekar wanita itu. Sudah cantik berilmu tinggi pula yang sukar diukur...! Oo.... betapa kecilnya aku bila dibandingkan dengannya...? berpikir Seruling Gading dalam benak. "Pantas kalau Sambu Ruci pernah ada Hati dengannya!" berkata dalam hati si gadis ini.
Roro Centil mengangguk seraya tersenyum. "Namamu dan gelarmu bagus sekali, adik...! Baiklah nanti kita teruskan bercakap-cakap, Mari kita tinggalkan tempat ini...!" tukasnya kemudian seraya menatap pula pada Sambu Ruci. Keduanya dengan berbareng mengangguk. Roro segera putarkan tubuh. Lalu melangkah untuk segera berlari cepat menuruni lereng bukit karang Helang.
Tak ayal Sambu Ruci dan Seruling Gading segera berkelebat mengikuti. Lengan Sambu Ruci bergerak terulur ke sisi untuk menggamit lengan gadis itu, yang segera menyambutnya dengan cekalan erat. Dengan bergandengan tangan keduanya berlari-lari serta terkadang melompat menyusul kelebatan tubuh Roro, hingga tampak dari kejauhan bagaikan dua bayangan merah dan putih yang berkelebatan menuruni lereng bukit Karang Helang. Bukit yang telah membawa maut!
Akan tetapi kemenangan berada dipihak Roro Centil sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Walau harus berkorban dengan kehilangan nyawa seorang Pendekar Wanita tua yang berbudi luhur. Roro benar-benar menepati janjinya yaitu mengirimkan kepala Giri Mayang pada Raja yang disertakan pula didalamnya sepucuk surat.
"Semoga dengan tewasnya perempuan Iblis bernama Giri Mayang ini, keadaan di wilayah Kerajaan anda kembali pulih dan tenteram seperti sediakala." Demikian isi surat yang dituliskan diatas secarik kertas. Dan pada bagian bawahnya tertera nama Roro Centil.
Tentu saja amat suka-citanya hati Raja. Baginda Raja telah menyediakan hadiah istimewa untuk sang Pendekar Wanita itu yang telah berjasa memulihkan keamanan di wilayah kekuasaan Kerajaannya. Segera disebar undangan ke setiap tempat, karena tak diketahui dimana beradanya Pendekar Wanita Roro Centil itu. Agaknya Raja ingin melihat sendiri bagaimana rupa dan wajah tokoh Pendekar yang namanya banyak disanjung orang itu.
Beberapa hari ditunggu-tunggu ternyata tak ada berita datangnya sang dara Perkasa itu. Akhirnya sepekan kemudian. Raja mendengar berita adanya Pendekar Besar itu menetap di Pesanggrahan desa Cipatujah. Segera diutus orang untuk menyelidiki ke sana. Ketika utusan itu kembali, segera datang menghadap seraya menyembah.
"Ampun, Gusti Paduka Raja, Pendekar Roro Centil telah pergi meninggalkan pesanggrahan Cipatujah dimana dia menetap. Tak seorangpun dari rakyat Cipatujah mengetahui kemana perginya...!"
Termenung Baginda Raja dengan laporan itu. Ketika utusan itu telah kembali keluar ruangan pendopo Istana, Baginda Raja terdengar menghela napas dan terdengar suaranya bergumam lirih...
"Haih...! Pendekar Wanita itu memang sukar diikuti jejaknya. Kepergiannya tentu sengaja dipercepat, karena aku yakin dia tak membutuhkan imbalan atas segala jasanya...!" gumam sang Raja. Lalu bangkit dari kursi singgasananya dan beranjak masuk ke ruang dalam. Hari itu juga kepala Giri Mayang diperintahkan untuk dibakar....
Sementara di Pesanggrahan Cipatujah. Sepasang Pengantin Baru itu masih tampak malu-malu diriung banyak orang. Akan tetapi dari pancaran matanya terlihat sinar kebahagiaan, itulah pasangan pengantin dari Sambu Ruci dan Seruling Gading. Pernikahan itu telah selesai dan resmi sudah mereka menjadi suami-isteri. Walaupun untuk itu mereka cukup dihadiri oleh beberapa orang sebagai saksi, tanpa wali.
Roro Centil memang telah meninggalkan tempat itu, begitu selesai memberi selamat pada kedua mempelai. Entah apa yang membuat Roro cepat-cepat berlalu, sedangkan tetamu undangan masih berdatangan. Dan banyak orang yang diundang belum munculkan diri.
"Numpang nikah" dikampung orang memang harus banyak menemui syarat-syarat tertentu. Tapi karena sedikit banyak mereka tahu siapa adanya orang yang berada ditempat pesta perkawinan itu juga orang yang punya "tempat" dimana diadakan pesta pernikahan itu syarat-syarat tampaknya tak berlaku.
Rumah besar itu adalah Pesanggrahan milik seorang tokoh silat kenamaan didaerah itu yang bergelar Ki Astagina. Pesanggrahan Cipatujah memang telah disetujui oleh Ki Astagina untuk di pakai menikahkan kedua mempelai yang menumpang menikah di wilayah itu, yang juga telah disetujui Kepala Desa Cipatujah.
"Aku telah menolong menikahkan mereka...! Hm, tampaknya Sambu Ruci benar-benar mencintai gadis itu. Si Seruling Gading juga demikian...!"
Terdengar suara desis lirih dari bibir dara berambut panjang terurai itu. Dia memang Roro Centil yang tengah duduk diatas batu karang ditepi pantai. Pagi itu laut tampak tenang tak berombak. Angin cuma semilir saja.
"Sukurlah! semoga mereka bisa rukun..." terdengar lagi desis suara Roro. Sepasang matanya tampak menatap jauh ke cakrawala. Terkadang memperhatikan burung-burung camar yang sesekali menukik menyambar ikan-ikan dipermukaan air. Dan suara helaan napas sang dara terdengar menyibak keheningan dipantai itu.
Dan... aneh! Disaat-saat seperti itu Roro teringat pada seorang laki-laki brewok yang bertampang gagah. Ya laki-laki yang bernama Joko Sangit. Laki-laki yang digelari si Brandal Pemabukan. "Huh...! terdengar suara mendengus dari hidung Roro. Dan bibirnya membuat tekukkan dengan mimik cemberut.
"Lelaki hidung belang macam itu mengapa harus diingat-ingat...?" tiba-tiba menggumam Roro Centil. Dialihkannya ingatannya pada lain Wajah. Akan tetapi justru wajah Sambu Ruci yang terpampang di pelupuk mata.
Plak! Tiba-tiba Roro telah menampar pipinya sendiri. "Mengapa justru Sambu Ruci yang ku ingat? Aiiih! Dia sudah jadi milik orang! Dan aku memang tak ada hati padanya...!" berkata Roro dalam hati.
Dan dia jadi tertawa sendiri karena lagi-lagi teringat pada Joko Sangit. Tertawa yang didalamnya mengandung kepedihan. Roro memang tak dapat mendustai dirinya sendiri kalau dia memang serasa ingin sekali berjumpa dengan laki-laki itu. Laki-laki yang telah membangkitkan rasa cemburu dihatinya. Akan tetapi menimbulkan pula rasa kasihan, karena tampaknya Joko Sangit selalu menjadi bulan-bulanan perempuan bejat.
Apa yang diingat Roro adalah ketika mengingat kejadian di wilayah Lembah Soka disaat kaum golongan Pendekar akan menyebrang ke tengah Telaga Berkabut untuk menggempur Istana Kerajaan Pugar Alam, pada beberapa bulan yang lalu. Joko Sangit memang "jatuh" dalam pelukan seorang perempuan yang menamakan dirinya si Dewi Perunggu. Mengingat demikian seketika wajah Roro berubah merah dan terasa panas, yang membuat dia menggigit bibirnya dengan wajah kesal.
"He? Mengapa aku tak mencoba mempelajari jurus Selendang Perak Pelangi?" tiba-tiba Roro teringat akan bisikan kata-kata ditelinganya ketika saat nenek Muri Asih akan menghembuskan napas terakhir. Roro duduk merenung untuk mengingat-ngingat bisikan kata-kata itu, dan mencoba memecahkannya.
Tak lama wajah Roro membersitkan kegirangan. Dan... mulailah dia mencoba berlatih dengan pukulan-pukulan tangannya. Air laut menyemburat terkena hantaman-hantaman pukulan Roro. Akan tetapi belum menampakkan hasilnya. Roro terus mencoba dan mencoba...! Kemauan kerasnya untuk menguasai jurus nenek Muri Asih semakin membuat dia penasaran. Akhirnya Roro mengambil keputusan untuk menetap sementara dipantai itu guna mempelajari jurus-jurus Selendang Perak Pelangi.
Sementara itu Tiga sosok tubuh laki-laki yang bentuk tubuhnya berbeda satu sama lain tampak tengah berdiri diatas lamping bukit. Menyapukan pandangan mata mereka pada sekitar tempat itu. Seorang bertubuh jangkung mirip galah. Seorang lagi bertubuh pendek kekar. Sedangkan yang paling sisi adalah seorang laki-laki gemuk berpipi tembem. Rambutnya hitam kaku.
Dua dari ketiga orang ini mengenakan pakaian dari kulit kerbau. Si jangkung kurus mencekal sebatang ruyung yang panjangnnya melebihi kepalanya. Si pendek kekar membawa dua buah buli-buli arak yang tergantung dipinggangnya. Sedangkan si gemuk pipi tembem yang memakai jubah kuning dari kain kasar itu bertangan kosong.
Melihat dari tampangnya si gemuk itu seperti seorang pegulat ulung, yang bukan penduduk asal daerah itu. Boleh dibilang seperti orang asing yang baru injakkan kaki ke wilayah itu
. "Kakang Sapi Lanang. Tujuan kita adalah menyeret si gadis bandel itu untuk pulang kembali ke perguruan, bukan untuk tujuan macam-macam!" berkata si pendek kekar yang membawa buli-buli arak pada si laki-laki jangkung. Si pendek kekar ini bernama Suro Ragil yang terhitung adik seperguruan laki-laki jangkung bernama Sapi Lanang itu. Agaknya Suro Ragil telah mengetahui watak kakak seperguruan nya yang suka menyeleweng.
"Hohohoho... tentu! tentu saja...! Apakah info itu jelas bahwa si Seruling Gading berada di Cipatujah...?" balik bertanya Sapi Lanang.
"Orang-orang kita yang melacak kepergian si Seruling gading yang kabur dari perguruan itu cukup jelas dan dapat dipercaya. Kukira saat ini masih berada di Pesanggrahan milik Ki Astagina, kokolot desa Cipatujah!"
"Bagaimana kalau Ki Astagina menghalangi? Apakah kita harus pulang dengan tangan kosong?" tanya lagi Sapi Lanang.
"Ki Astagina kenal baik watak guru kita dan agaknya memandang persahabatan, dia takkan menghalangi...!"
"Ya, itu dugaanmu. Tapi dugaanku lain! ki Astagina adalah sesepuh atau "kokolot" di wilayah Cipatujah. Kalau si Seruling Gading ternyata memang meminta perlindungan padanya, masakan dia mau biarkan kita menyeret gadis bandel itu? Tentu hal demikian akan menurunkan wibawanya! Kukira dia pasti mempertahankan, atau meminta guru kita yang mengambilnya sendiri, disamping ingin tahu jelas persoalannya!" tukas Sapi Lanang.
"Boleh jadi demikian...! Ya, kalau demikian kita terpaksa harus pakai kekerasan!" tegaskan Suro Ragil.
"Hohoho... itu memang mauku! Aku memang mau menjajal kehebatan orang-orang Cipatujah termasuk Ki Astagina!" tertawa bergelak Sapi Lanang.
"Kalau kau kalah aku yang akan mematahkan batang leher Ki Astagina!" Tiba-tiba menyelak bicara si laki-laki gemuk berjubah kuning yang sedari tadi tak bersuara.
"Hohoho.... bagus... bagus, sobatku Zimbage! Kau memang sengaja kuajak agar banyak pengalaman di wilayah ini. Kau bisa tumbangkan "jago-jago" Cipatujah!" berkata Sapi Lanang seraya menepuk-nepuk bahu si gemuk dengan lengannya yang panjang melewati tubuh Suro Ragil.
Tak lama ketiga sosok tubuh itu sudah berkelebatan menuruni bukit. Sapi Lanang dengan mempergunakan ruyungnya melompat-lompat dengan gerakan lincah. Sedangkan si gemuk yang bernama Zimbage itu ternyata dapat berlari cepat dengan suara langkah kakinya yang berdebum menggetarkan tanah. Suro Ragil merendenginya dengan ilmu lari yang tak kalah cepat. Sebentar saja ketiga tubuh itu telah lenyap dibalik lereng bukit.
Pada saat itu di Pesanggrahan Cipatujah. Sambu Ruci ternyata setelah selesai menyambut para tamu undangan dari "sesepuh" desa Cipatujah Ki Astagina tampak berdiri seraya menjura kepada semua orang. Disisinya berdiri pula si gadis Seruling Gading yang telah menjadi istrinya.
"Sobat-sobat semua dan yang kami hormati sesepuh Pesanggrahan Cipatujah. Agaknya kami tak dapat tinggal lama untuk menetap disini. Sehubungan dengan sudah berangkatnya terlebih dulu sobat kita Pendekar Roro Centil. Kami ucapkan terima kasih kami yang sebesar-besarnya pada semua yang telah hadir. Terutama pada sesepuh Ki Astagina, atas bantuannya hingga selesainya urusan pernikahan kami!" ujar Sambu Ruci seraya kemudian menjura pada laki-laki tua bersorban putih yang duduk dikursinya.
Bibirnya tampak tersungging senyuman. Lalu menghisap dalam-dalam pipa tulang yang selalu terselip disudut bibir. Kemudian hembuskan asap tembakau yang mengepul tebal ke udara. Ki Astagina bangkit untuk berdiri dari kursinya seraya balas menjura,
"Terima kasih kembali atas ucapan anda, sobat Sambu Ruci! Kami merasa heran mengapa anda buruburu mau pergi...? Sebaiknya menetap disini dulu satu dua hari. Kami tak merasa terganggu. Dan kamar di Pesanggrahanku cukup lebar terbuka buat kalian menginap beberapa malam!" berkata Ki Astagina.
"Selain itu pula..." lanjut ucapannya. "Seruling Gading adalah murid dari sobatku Ki Sugema dari perguruan "Surya Medal". Jadi diantara kita masih ada ikatan persahabatan. Apalagi anda adalah sahabat baik dari Pendekar Roro Centil yang amat kami kagumi...!"
Sejenak Sambu Ruci tundukkan wajahnya. Hal itu memang telah diketahui, tapi tujuannya untuk cepat meninggalkan tempat itu adalah dikhawatirkan ada terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Karena seperti telah diketahui dari Seruling Gading, kalau Seruling Gading telah "lari" dari perguruan itu. Juga ada firasat tidak baik, karena berita perkawinan mereka pasti akan tercium oleh ayah tiri Seruling Gading.
Sejenak kedua pengantin baru itu jadi saling berpandangan. Tapi tampaknya Seruling Gading tak setuju kalau harus menerima usul Ki Astagina. Sambu Ruci segera angkat bicara lagi. "Terima kasih atas kemurahan hati anda sobat sesepuh KI Astagina. Namun untuk menjaga agar di wilayah Cipatujah ini tetap dalam kedamaian, kami telah sepakat untuk segera meninggalkan tempat ini...!"
Sejenak suasana menjadi hening. Melihat demikian para tetamu segera satu persatu mulai berdiri menjura pada Ki Astagina untuk berpamitan. Akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara berdebum di kejauhan yang membuat tanah seperti tergetar. Dan selang sesaat tiga sosok tubuh telah berdiri diluar pelataran.
"Hohohoho... hoho...tampaknya disini tengah ada keramaian pesta! Mengapa kau orang tua tak mengundang kami dari Perguruan Surya Medal, sobat tua Ki Astagina...?" si jangkung sapi Lanang lebih dulu pentang suara.
Semua yang hadir jadi terkejut. Ki Astagina segera tahu siapa yang datang dengan memandang dua orang berbaju kulit, satu pendek dan satu jangkung itu. "Silahkan duduk sobat-sobat murid Ki Sugema...!" berkata datar Ki Astagina seraya bangkit berdiri.
Tiga buah bangku segera dikosongkan. Bahkan lebih dari sepuluh bangku telah kosong pada saat itu juga. Karena beberapa tamu segera angkat pantat untuk meninggalkan tempat pesta itu sonder permisi lagi pada tuan rumah.
"Hm, terima kasih! rasanya kami tak perlu duduk! kedatangan kami adalah untuk membawa mempelai perempuan itu, atas perintah guru kami Ki Sugema!" berteriak lantang Sapi Lanang dengan mata melotot pada Seruling Gading. Seraya ucapnya pula; "Eh, gadis bandel! Siapa yang izinkan kau kawin seenaknya tanpa seijin ayahmu...?"
Sambu Ruci jadi menatap pada sang istri yang tampak terlihat wajahnya berubah tegang. Namun dengan tegar dia menyahut. "Siapa yang berhak melarangku? Aku bebas melakukan apa saja sekehendak ku tanpa tahu segala urusan meminta izin pada manusia bejat itu!"
Melengak sapi Lanang juga kedua orang kawannya. "Kau berani memaki guru...?" bentak Sapi Lanang gusar.
"Mengapa tidak? Dari pada aku pulang ke Perguruan, lebih baik mati! Kau juga manusia bejat, tinggal bersama manusia-manusia seperti kalian sama dengan membiarkan aku diterkam macan edan...!"
Tentu saja pernyataan keras yang dilontarkan Seruling Gading membuat semua orang melengak. Bahkan Ki Astagina sudah melompat ke hadapan mereka.
"Sabar! Sabar...! Segala urusan bisa didamaikan! Ada kejadian apakah sebenarnya harap kau Sapi Lanang memberi tahukan!" berkata Ki Astagina.
Akan tetapi Sapi Lanang unjuk tertawa mengakak dan berkata sinis. "Hohoho... kau orang tua seharusnya tak menjadi wali untuk menikahkan anak orang semaunya! Bagusnya kami datang belum terlambat!"
Ki Astagina agaknya memang telah maklum dengan kejadian sebenarnya, karena Seruling Gading telah maklum mengadukan hal ikwalnya pada dia. Akan tetapi orang tua itu seolah tak mengerti persoalan. "Aku menjadi wali adalah atas dasar menolong orang. Kukira gurumu Ki Sugema tak berhak penuh menjadi walinya, karena dia ayah tiri. Akan tetapi bisa juga menjadi wali kalau memang si mempelai perempuan menghendaki. Wali untuk seorang perempuan dalam satu pernikahan dibolehkan memakai wali siapa saja apabila ayah kandungnya telah meninggal..." tegaskan Ki Astagina dengan suara yang gamblang.
Semua yang hadir tampak manggut-manggut dan memaklumi akan peraturan pernikahan yang berlaku disaat itu. "Baik! urusan itu adalah urusan nanti dengan guruku! Kini kami cuma mau menjelaskan bahwa kami diperintah oleh guru kami untuk membawa perempuan bandel ini dengan segera. Dan... kami takkan kembali dengan tangan kosong tentunya!" berkata Suro Ragil dengan suara berwibawa.
"Aku si ini tua takkan menghalangi kalau orang yang akan kau bawa itu tak menolak! Nah, bagaimana keputusanmu, Seruling Gading?" tanya Ki Astagina seraya berpaling pada Seruling Gading.
"Aku telah jadi milik orang yang telah syah menjadi suamiku! Kalau suamiku menginginkan, tentu aku tak menolak...!" sahut Seruling Gading dengan suara tenang. Sepasang matanya mengerling pada Sambu Ruci. Bahkan lengannya telah menggamit lengan pemuda gagah itu.
Melihat demikian Sapi Lanang tampakkan wajah yang mendongkol bukan main. Dia memang pernah mau berbuat kurang ajar pada gadis itu ketika berada di pesanggrahan Surya Medal. Tak tahunya sang guru alias ayah tiri Seruling Gading juga maui anak tirinya...!
"Kami akan segera datang menemui guru ka Di luar dugaan Sambu Ruci telah berkata dengan suara tegas. Bukan saja semua orang melengak, akan tetapi pihak murid Perguruan Surya Medal juga melengak. Namun diam-diam hati mereka memuji akan keberanian serta sifat kesatria yang dimiliki pemuda tampan itu.
"Bagus! Kalau begitu sekarang kita berangkat!" ternyata Suro Ragil langsung mendahului bicara memutus persoalan.
Sapi Lanang tampaknya kurang puas, karena dia memang akan menjajal kekuatan orang Pesanggrahan Cipatujah yang terkenal dengan kedigjayaannya. Apa lagi dengan persoalan ini, bisa kemungkinan menjadi berbuntut panjang. Segera dia berkata dengan nada keras.
"Tunggu! Kalau pemuda ingusan ini ikut serta, urusan bisa runyam! Aku tak tanggung jawab kalau terjadi apa-apa...!" Sebaiknya kami cuma akan membawa orang yang diperlukan, lain tidak! Kalau kalian semua kurang puas, silahkan tunjukkan kekuasaan kalian sebagai orang-orang Pesanggrahan Cipatujah, aku takkan gentar untuk melayani...!"
"GURU...! Biarkan aku menghajar mulut manusia sombong ini...!" Seorang laki-laki bertubuh kekar melompat ke depan. Wajahnya tampak merah padam karena mendengar penantangan Sapi Lanang barusan. Dan tanpa menunggu jawaban gurunya, laki-laki bertubuh kekar itu sudah membentak keras seraya menerjang dengan kepalan tinjunya mengarah ke muka Sapi Lanang. "Manusia sombong! kau hadapi dulu aku, Partawenda... yang akan menghancurkan mulutmu!"
Wukkk...! Tinjunya Partawenda meluncur deras secepat angin.
Desss...! Secepat kilat Sapi Lanang memapakinya dengan ruyungnya. Tak ampun si penerjang itu menjerit keras, seraya menarik tangannya dan berjingkrakan dengan menyeringai kesakitan. Tentu saja serangan dengan tenaga keras yang diadu dengan ruyung keras yang telah di isi dengan aliran tenaga dalam membuat benda itu jadi sekeras besi. Tak ampun kepalan tangan Partawenda matang biru dibuatnya.
"Hohohoho... hoho... cuma sebegitu saja yang bermulut besar mau menghancurkan mulut ku!" mengakak tertawa si jangkung kurus.
Sementara Suro Ragil jadi menggerutu pada kakak seperguruannya. "Haih, lagi-lagi kau cari penyakit, kakang Sapi Lanang!"
Tapi Sapi Lanang tak memperdulikan. Dia sudah maju melompat ke depan Seruling Gading seraya julurkan lengan untuk menarik tangan gadis itu. "Hayo kau ikut aku pulang, tanpa pemuda ingusan itu!" bentaknya dengan keras.
Gerakan Sapi Lanang cukup cepat untuk segera mencekal erat pergelangan tangan gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba laki-laki jangkung itu menjerit parau lalu jatuh terjengkang seraya lepaskan cekalannya. Darah menyemburat berpuncratan tatkala si jangkung kurus itu berkelojotan di tanah.
Terperangah semua mata menatapnya. Tak lama tubuh Sapi Lanang menggeliat, lalu menelentang tak bergerak lagi dengan kepala terkulai. Ternyata lehernya telah sobek yang mengalirkan darah tiada henti. Keadaannya mengerikan karena tulang lehernya hampir putus!
Tentu saja kejadian itu membuat mata Suro Ragil dan si gemuk Zimbage jadi mendelik kaget. Ketika menoleh pada laki-laki di samping Seruling Gading, ternyata dia telah lenyap. Gadis itu sendiri berdiri terpaku menatap kejadian aneh barusan. Akan tetapi dia telah melihat berkelebatnya Sambu Ruci keluar dari tempat itu dengan melompat tinggi ke atas wuwungan rumah.
"Haiii! Jangan lari kau!" membentak Sambu Ruci. Ternyata dia telah mengetahui siapa pelaku dari perbuatan itu.
Sayang orang yang dikejarnya itu telah lenyap. "Bedebah! Cepat benar larinya pembunuh itu...!" memaki Sambu Ruci dengan kecewa. Sesaat kemudian dia telah berkelebat turun lagi dari atas wuwungan rumah pesanggrahan. Akan tetapi disambut dengan terjangan kedua orang dari pihak perguruan Surya Medal itu yang disertai bentakan menggeledek Suro Ragil.
"Manusia keji! Aku akan adu jiwa dengan mu...!"
Wuk! Wukk! Wukkk...!
Tiga serangkai serangan senjata sepasang kipas tipis Suro Ragil terpaksa dielakkan dengan cekatan kalau Sambu Ruci tak mau kehilangan kepala dan putus lengan dan kaki. Gerakan melompat beberapa kali itu ternyata membuat kesempatan si gemuk Zimbage gerakkan sepasang lengannya untuk membekuk tubuh Sambu Ruci begitu dia jejakkan kaki ke tanah.
Tentu saja Sambu Ruci melengak kaget. Karena tak menduga si gemuk telah berada dihadapannya yang mempunyai lompatan luar biasa. Lengannya segera bergerak menepis. Akan tetapi rangkulan si gemuk Zimbage mendadak berubah jadi jotosan.
Dess! Terlempar Sambu Ruci seketika dengan teriakan tertahan. Tinju si gemuk tepat bersarang ke dadanya. Tak ampun tubuh Sambu Ruci roboh terjungkal dan bergulingan di tanah. Kejadian dalam sekejapan itu telah membuat keadaan ditempat pesta itu jadi kacau. Beberapa orang anak buah Ki Astagina berlompatan ke arah tempat pertarungan. Sedangkan Ki Astagina sendiri cuma terpaku tak bergeming.
Sementara Seruling Gading telah perdengarkan teriakan histerisnya seraya melompat ke arah Sambu Ruci yang terjatuh kena hantaman si gemuk barusan. "Kakak Sambu...!" pekiknya. Mendahului orang-orang yang berlarian, Seruling Gading telah tiba di hadapan Sambu Ruci. "Kakak Sambu...! Kau... kau terkena...!"
Sambu Ruci tersenyum, seraya melompat bangun berdiri. Wajahnya agak menyeringai kesakitan. Tapi dengan menggeliat dan kerahkan tenaga dalam mengusir rasa sakit, lengan Sambu Ruci mengusap dadanya. Sesaat dia telah kembali tersenyum menatap Seruling Gading. Seringainya lenyap.
"Keparat! Kalian berdua harus mampus! Untuk menebus nyawa kakak seperguruanku!" bentak Suro Ragil dengan mata nyalang dan wajah merah padam.
"Serahkan padaku untuk mematahkan batang lehernya!" berkata Zimbage dengan menggeram. Dengan langkah berdebum dia maju beberapa tindak.
"Tahan...!" tiba-tiba terdengar seruan. Dan... Ki Astagina sudah melompat ke tempat itu. "Tunggu dulu sobat-sobat murid Ki Sugema! Kalian salah paham!"
Kedua orang dari pihak perguruan Surya Medal ini palingkan kepala menatap Ki Astagina. Suro Ragil cepat buka suara. "Huh! kalian semua keterlaluan! Apakah dengan membunuh seorang dari pihak kami masih kau katakan salah paham? Pembunuh itu jelas dari pihakmu! Kalau bukan kawan si pemuda ingusan ini, mungkin juga kau memang telah siapkan orang-orang andalanmu untuk membunuh kami secara pengecut! Jangan coba-coba kau mau mengelabui dengan sandiwara macam begini!?" membentak Suro Ragil.
"Sabar, sobat...! Jangan kau sembarangan menuduh! Kami bukan sebangsa pengecut yang mau main sembunyi-sembunyi membunuh orang! Pelaku pembunuhan itu bukan dari pihak kami..!" berkata lantang Ki Astagina. Tampak wajah orang tua ini merah padam karena dituduh berbuat curang membokong dengan mempergunakan tenaga orang lain.
Akan tetapi tiba-tiba saat itu terdengar suara tertawa dingin yang mencekam. Dan dua sosok tubuh berkelebat muncul. Dialah Ki Sugema, yang muncul bersama seorang kakek tua renta berkulit hitam. Mengenakan jubah warna hijau. Lengannya mencekal sebuah tongkat berbentuk Kelabang berwarna hitam berkilat. Sebuah tongkat yang aneh, dan tampak sangat mengerikan.
"Heh, Astagina...! Apakah kau mau mungkir dengan perbuatanmu?" membentak Ki Sugema. "Kau tunggulah sebentar lagi, siapa gerangan orang yang telah membunuh muridku, Si Sapi Lanang!"
Baru saja selesai Ki Sugema berkata, dua sosok tubuh telah muncul. Ternyata kedua orang itu membekuk seseorang yang mengenakan topeng hitam menutupi wajahnya. "Bagus, murid-murid ku. Kalian amat cekatan menangkapnya!" ujar Ki Sugema memuji.
"Nah kalian lihatlah siapa orang ini! Dialah yang telah membunuh muridku. Kami memang mau menyatroni ke tempat Pesanggrahanmu, Ki Astagina. Tapi ketika baru sampai diujung desa, aku melihat seseorang berkelebat melarikan diri. Terpaksa aku turun tangan membekuknya. Aku segera perintahkan kedua muridku ini menangkapnya. Lalu mendahului kemari...!" ujar Ki Sugema.
Segera kuketahui kalau seorang muridku terbunuh. Kalau dia ini bukan orang suruhanmu, aku akan habiskan perkara, dan angkat kaki dengan membawa anakku si Seruling Gading. Persoalan mu menikahkan dia takkan ku ungkit lagi atau ku perpanjang. Cukup sampai disini...! Tapi kalau dia memang benar orang suruhanmu... Hm, mana bisa aku mandah saja kau laksanakan kejahatan seenak perutmu?"
Kata-kata Ki Sugema bagaikan ujung belati yang menikam ulu hati Ki Astagina yang seketika wajahnya jadi merah padam. Benaknya memikir. "Heh!? Tipu muslihat macam apa yang akan dipergunakan manusia ini?"
Diam-diam dia juga terkejut melihat adanya kakek hitam yang muncul bersama Ki Sugema. Sepasang mata kakek itu memancarkan kilatan tajam yang seperti mau menembus jantung. "Siapa pula kakek hitam tua renta ini?" bertanya-tanya hati Ki Astagina.
Saat itu Ki Sugema telah memberi perintah sebelum Ki Astagina buka suara. "Nah, cepat buka topeng wajah orang ini!"
Kedua murid laki-laki Ketua perguruan Surya Medal ini segera jalankan perintah. Dan... Plas! Topeng penutup muka laki-laki tawanan itu telah disibakkan hingga terlepas. Segera terlihat tampang seorang laki-laki yang ditaksir berusia tiga puluh tahun. Ki Astagina kerutkan keningnya. Dia memang tak mengenal laki-laki ini. Tapi belum lagi dia buka suara, Ki Sugema telah membentak si laki-laki tawanan itu dengan pertanyaan.
"Kau kenal siapa laki-laki ini?" bertanya Ki Sugema seraya menunjuk pada Ki Astagina. Orang itu mengangguk.
"Benarkah kau orang suruhannya?" tanya lagi Ki Sugema. Kembali si tawanan mengangguk. Membuat semua orang menahan napas.
Ki Astagina tersentak kaget, kakinya melangkah mundur satu tindak. Bibirnya sudah tergetar untuk menyangkal. Akan tetapi orang tua ini rasakan lidahnya menjadi kelu. Suaranya tersendat dikerongkongan. Terheran laki-laki ketua dari Pesanggrahan Cipatujah ini.
Ketika menatap pada si kakek tua renta bertongkat kelabang hatinya jadi bergidik karena sepasang mata itu telah membersitkan kekuatan tersembunyi yang menyerangnya. Hingga dia cuma bisa membungkam mulut.
"Katakan! Berapa upah mu untuk pekerjaan ini! Dan dengan senjata apa kau telah membokong anak buahku...!" bertanya lagi Ki Sugema.
"Uang itu masih berada di pinggangku... dan... aku... aku membunuhnya dengan senjata dibalik bajuku ini...!" menyahut laki-laki tawanan itu dengan suara menggetar.
Kedua murid segera meraba pinggang dan merogoh pakaian laki-laki tawanan itu di sebelah dalam. Sebuah benda dan sekantong uang dalam bungkusan kain segera diberikan pada Ki Sugema oleh salah seorang dari kedua muridnya.
"Nah, kau lihatlah! Dan... kalian lihatlah kemari. Bukti-bukti telah terlihat disini. Apakah kau Astagina masih mau mungkir...?"
Cring...! Benda itu telah dilemparkan ke hadapan Ki Astagina, dan jatuh tepat di depan ujung kaki orang tua itu.
Sementara Ki Astagina masih berdiri terpaku dengan tubuh menggeletar. Keringat dingin bercucuran dari sekujur tubuhnya. Tampaknya dia seperti tak berdaya dengan bukti-bukti yang telah jelas itu. Padahal sebenarnya dia tengah "bertarung" adu kekuatan batin pada si kakek hitam bertongkat kelabang yang telah menyerangnya. Hingga mulutnya pun tetap bungkam tanpa keluarkan sepatah katapun.
"Lihatlah! Benda inilah yang telah menebas leher muridku! Heh! Sebuah senjata yang ampuh. Bekasbekas darah pun masih tampak disini...!" berkata sinis dengan suara lantang laki-laki ketua Perguruan Surya Medal ini seraya unjukkan benda itu yang mempunyai bentuk aneh.
Yaitu sebuah benda ruyung besi sepanjang satu jengkal. Pada bagian tengahnya terdapat sebuah tombol berwarna merah. Tampak Ki Sugema seperti tengah mengamati senjata itu. Bagian ujung mata kapak tipis itu memang masih tampak ada bekasbekas darah. Sementara itu Sambu Ruci dan Seruling Gading cuma saling pandang menatap, lalu lemparkan tatapannya kembali pada Ki Sugema.
Tapi diam-diam Sambu Ruci alihkan pandangannya pada kakek hitam kurus berjubah kuning, yang sejak tadi seperti tak lepas menatap pada Ki Astagina yang tampak tubuhnya gemetaran. Sorot mata kakek kurus itu memang membersitkan cahaya aneh yang membuat Sambu Ruci tersentak. Diam-diam dia sudah waspada dengan segala kemungkinan.
Lengannya pun pelahan mulai merayap bergerak untuk meraih gagang pedangnya diatas bahu. Sementara matanya menatap pada Ki Sugema dan si kakek kurus jubah kuning berganti-ganti. Melihat demikian Seruling Gading segera lepaskan cekalannya pada lengan Sambu Ruci. Dan sekejap dia sudah mencabut seruling gadingnya yang terselip dibelakang punggung.
Saat yang tampaknya sangat menegangkan itu membuat semua orang menahan napas tatkala melihat Ki Sugema telah arahkan "senjata aneh" itu ke arah Ki Astagina. Ketika sinar kilat berkredep meluncur ke arah Ki Astagina, saat itu berkelebat pula selarik cahaya perak dari arah sisi Seruling Gading.
Trang...! Terdengar suara benturan benda keras yang dibarengi dengan bentakan.
"Pengecut curang!" Itulah suara bentakan Sambu Ruci yang telah melompat dan menangkis serangan maut Ki Sugema dengan pedang pusakanya. Bahkan sekaligus menyambarkan pedangnya untuk menabas ke arah pinggang Ki Sugema.
Tentu saja membuat Ki Sugema jadi terperangah kaget. Namun sebagai seorang tokoh yang sudah berpengalaman, Ki Sugema dapat mengelakkan diri dengan bersalto dua kali ke belakang. Akan tetapi tebasan pedang Aksara terus mengejar Ki Sugema. Yang dicecar adalah senjata maut yang berada dilengan laki-laki ketua dari Perguruan Surya Medal itu. Senjata hebat itu begitu kena tertangkis telah kembali lagi menempel pada gagangnya.
Semacam per yang kuat memang berada didalam gagang benda maut itu, yang dapat membuat kapak tipis diujung gagang itu melesat dan kembali dengan menekan tombol merah. Benda itu memang telah dilihat Sambu Ruci yang telah dipergunakan laki-laki bertopeng untuk menyerang Sapi Lanang dari atas wuwungan rumah. Akan tetapi tiba-tiba dibelakang Sambu Ruci terdengar suara...
Wukkk...! Tersentak laki-laki ini melihat benda hitam yang menyerupai kelabang meluncur deras ke arah punggungnya. Itulah tongkat kelabang si kakek hitam kurus yang mau menggebuk punggung dari belakang. Sambaran deras itu sukar ditangkis, terpaksa Sambu Ruci bantingkan tubuhnya ke samping.
Wuk! Wukk! Wukkk...!
Bumm! Bumm! Bummm...! Tiga hantaman berturut-turut membuat tanah menyemburat. Tampak Sambu Ruci bergulingan menghindari "gebukan" tongkat kelabang si kakek kurus yang mencecarnya.
"Kakek iblis! Aku akan adu jiwa denganmu!" terdengar satu bentakan nyaring. Dan sekelebat bayangan merah menerjang kakek hitam kurus itu dengan hantaman-hantaman pukulan dan tusukan seruling. Ternyata Seruling Gading tak bisa mandah saja berdiam diri melihat keadaan Sambu Ruci yang dalam bahaya maut itu.
KAKEK KURUS BERTONGKAT KELABANG ternyata punya gerakan gesit sekali. Tubuhnya berkelebatan diantara hantaman-hantaman pukulan dan sambaran seruling ditangan gadis itu. Bahkan tongkat kelabangnya telah meluncur deras menyapu kaki sang gadis.
Terperangah gadis itu, namun dengan sebat dia telah jejakkan kaki untuk melompat. Akan tetapi sambaran tongkat itu ternyata cuma siasat belaka. Ketika tubuh si gadis mencelat ke udara, Kakek kurus hitam itu telah membarenginya dengan hantaman telapak tangannya.
Dalam keadaan mengapung demikian, apa lagi serangan barusan begitu cepat datangnya, Seruling Gading tak dapat berbuat apa-apa selain membelalak kaget. Dan terdengar jeritan sang gadis. Tubuhnya terlempar tujuh-delapan tombak. Sambu Ruci cuma dapat ternganga, karena dia baru saja akan merangkak bangun dari bergulingannya.
Akan tetapi sebelum tubuh Seruling Gading menyentuh tanah, sebuah bayangan telah berkelebat menyambarnya. Itulah bayangan tubuh Ki Sugema. Sekejap kemudian tubuh si gadis telah berada dalam bopongan laki-laki tua itu, yang segera terdengar suaranya tertawa berkakakan.
"Hahahaha... haha... terima kasih sobat Kelabang Hitam! Bocah perempuan anakku ini musti diamankan dulu...!" selesai berkata Ki Sugema melesat lenyap dari tempat itu.
"Bangsat licik!" memaki Sambu Ruci dengan mata membelalak. Tubuhnya berkelebat untuk mengejar.
Akan tetapi sebuah bayangan kuning telah melesat menghadang. "Biarkan dia pergi membawa anak gadisnya! kuperingatkan lebih baik kau menyingkir siang-siang sebelum mati konyol!" membentak si kakek hitam kurus yang telah melintangkan tongkat kelabangnya di depan Sambu Ruci.
"Dia istriku...!" membentak lagi Sambu Ruci dengan melototkan mata pada kakek kurus itu. Akan tetapi tersentak Sambu Ruci. Justru menatap mata si kakek kurus itulah membuat pancaran sinar mata si kakek yang telah menyalurkan kekuatan batinnya telah mengenai sasaran.
Tertegun Sambu Ruci, karena lantas saja otaknya tak dapat bekerja. Jiwanya kosong melompong karena telah dipengaruhi oleh satu kekuatan batin yang seperti telah menyedotnya, untuk tertegun memandang orang dihadapannya. Ketika sebelah telapak tangan kakek kurus hitam itu terarah ke tubuhnya, segelombang angin halus telah menerjang tubuh Sambu Ruci.
Dan pemuda ini mengeluh. Sekujur tubuh dan tulang persendiannya terasa lemah dan linu. Jatuhlah pemuda ini dengan menekuk lutut, bersama dengan terlepasnya pedang ditangannya. Itulah ilmu menotok jarak jauh yang amat luar biasa. Tertawa dingin si kakek kurus. Tiga betas pisau terbang tahu-tahu meluncur deras ke arah si kakek kurus ketika tubuhnya melesat dan tengah berada di udara.
Tranggg...! Sekali memutarkan tongkat kelabangnya ketiga belas senjata rahasia pisau terbang yang dilontarkan seseorang itu telah berhasil kena disampok berpentalan. Dan dengan ringan tanpa mempengaruhi kelebatan tubuhnya, kakek ini jejakkan kakinya dihadapan Ki Astagina.
Laki-laki ketua dari Pesanggrahan dan "Sesepuh" dari wilayah desa Cipatujah tampak masih berdiri tegar ditempatnya. Akan tetapi kepalanya telah terkulai, dan dari lehernya mengalirkan darah yang masih mengucur menetes membasahi tanah. Laki-laki tua ini ternyata telah tewas.
Dua sosok tubuh melompat ke hadapan si kakek seraya berteriak. "Awas serangan!" teriak salah satu dari kedua orang itu. Mereka adalah Suro Ragil dan si gemuk Zimbage.
Tranggg...! Lagi-lagi si kakek yang memang telah mengetahui adanya sambaran angin di belakangnya telah balikkan tubuh untuk secepat kilat memutarkan tongkat kelabangnya. Berpentalan belasan pisau terbang yang nyaris menghabisi nyawanya.
Kali ini si kakek kosen ini tidak sampai disitu saja. Karena detik berikutnya tubuh si Kelabang Hitam telah melejit kesatu arah disisi Pesanggrahan. Brasssh! Lengannya menghantam batang pohon didepannya. Pohon besar itu berderak patah bercampur dengan satu jeritan parau dari belakang pohon. Dan... bersama tumbangnya pohon besar itu sesosok tubuh terlempar beberapa tombak yang langsung tewas seketika. Sekejap dia sudah tiba lagi dihadapan Suro Ragil dan si gemuk Zimbage.
Sementara itu belasan anak buah Ki Astagina telah berlompatan mengurung. Bahkan beberapa orang tetamu dari Ki Astagina turut pula mencabut senjata. Kakek hitam kurus ini hanya mendengus, seraya membentak keras. "Kalian semua menyingkirlah! Apakah mau mati konyol seperti ketuamu...?"
Jubah kakek kurus ini bergerak mengibas. Dan... robohlah tubuh Ki Astagina yang memang sudah tak bernyawa itu. Terperangah para murid Ki Astagina. Mereka memandang dengan mata membelalak karena tampak leher sang Ketua telah tersobek menganga dengan darah yang sudah hampir berhenti mengalir.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat ke tempat itu, seraya perrdengarkan suara tertawa berkakakan. "Hahahah... hahaha... aku terpaksa membunuh Ketua kalian ini! Sebenarnya dia masih terhitung sahabatku! Tapi sudah kukatakan tadi kalau ternyata si pembokong muridku memang orang suruhannya, aku tak dapat berpeluk tangan. Kematiannya adalah setimpal dengan kejahatannya! Nah! Apakah kalian semua mau mati dengan cara seperti gurumu...?!" membentak Ki Sugema, begitu habis ucapkan kata-katanya.
Serentak dengan wajah pucat belasan anak buah Pesanggrahan Cipatujah jatuhkan diri berlutut dan masing-masing lepaskan senjatanya. Tak dikisahkan panjang-lebar, Pesanggrahan Cipatujah saat itu juga telah dikuasai Ki Sugema, yang memang mengambil kesempatan untuk bertindak cepat demi mencuci namanya. Dibunuhnya Ki Astagina adalah karena sahabatnya itu telah mengetahui persoalan dia dengan anak tirinya, yaitu Seruling Gading.
Sebenarnya sebelum Roro centil dan sepasang sejoli itu menetap sementara di Pesanggrahan Cipatujah, orang-orang Ki Sugema telah lama melacak jejak Seruling Gading yang kabur dari perguruan. Pelacakan itu tertunda dengan munculnya kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan Giri Mayang dengan Sepasang Tangan Iblisnya.
Namun bukan hanya berhenti begitu saja. Disamping ingin mengetahui siapa tokoh yang telah melakukan pembantaian di beberapa tempat yang menghebohkan wilayah Kota Raja itu, Ki Sugema tinggalkan markasnya untuk mencari juga kemana perginya sang murid alias anak tiri yang digandrunginya itu.
Tercenung Ki Sugema ketika mengetahui munculnya Roro Centil yang tengah duel dengan Giri Mayang, kemudian berakhir dengan kemenangan Pendekar Wanita itu. Diam-diam dia menguntit kepergian si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang kemudian secara kebetulan dia dapat melihat adanya Seruling Gading yang tengah dicarinya. Segera diketahui pula adanya Sambu Ruci yang telah diam-diam memadu cinta dengan sang anak tiri.
Ternyata kemudian Roro Centil menetap di Pesanggrahan Ki Astagina sahabatnya yang menjadi "sesepuh" di wilayah desa Patujah. Segera di sebar orangorangnya untuk menyamar menjadi penduduk biasa untuk mengetahui apa yang diperbuat selanjutnya oleh Ki Astagina. Dan tercenganglah Ki Sugema ketika mengetahui dari laporan anak buahnya bahwa lakilaki yang bernama Sambu Ruci itu akan menikah dengan Seruling Gading.
Betapa geramnya Ki Sugema pada Ki Astagina, karena enak saja menyediakan diri menjadi "wali" dalam pernikahan anak tirinya. Ketika undangan yang mendapat tetamu terhormat dari seorang pendekar wanita yang "kondang" (ternama) hampir diseantaero Pulau Jawa. Juga agar warganya dapat mengetahui dan melihat wajah tokoh Pendekar yang selama ini cuma terdengar namanya saja.
Ki Sugema bukan tak mengetahui pernikahan serta adanya sebuah pesta kecil yang penuh semarak di Pesanggrahan Cipatujah, tapi diam-diam telah menyebar orang-orangnya untuk melihat situasi. Bahkan jauh-jauh hari dia telah menjumpai paman gurunya (si Kelabang Hitam) yang kebetulan baru beberapa hari ini datang, ke Pesanggrahannya. Kakek berilmu tinggi itu memang tengah mencari Roro Centil. Dia baru saja tiba dua hari yang lalu.
Berita dari Kota Raja yang dilewati dalam perjalanannya ke Pesanggrahan Surya Medal telah terdengar santar. Bahwa Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan telah berhasil membunuh Giri Mayang si perempuan iblis yang telah menimbulkan kehebohan dengan mengadakan pembantaian disetiap tempat.
Entah ada persoalan apakah si kakek hitam kurus bertongkat Kelabang yang bergelar si Kelabang Hitam itu mencari Roro Centil. Demikianlah hingga adanya si Kelabang Hitam itu telah membuat Ki Sugema berhasil melaksanakan niat busuknya melenyapkan Ki Astagina. Tentu saja perbuatan itu dilakukan setelah menerima laporan bahwa Roro Centil telah meninggalkan Pesanggrahan Cipatujah.
Dan dengan bantuan seorang tokoh bayaran yang mempunyai senjata aneh itu, Ki Sugema sukses dengan rencana busuknya mempengaruhi orang-orang Pesanggrahan Cipatujah, bahwa Ketua mereka yang menjadi sahabat baiknya telah punya niat jahat untuk menumbangkan kedudukannya. Padahal Ki Sugema sendiri yang memang berhasrat mau menguasai wilayah Cipatujah yang makmur.
Dengan kekuatan "sugesti" yang dipunyai si Kelabang Hitam bukan tak mungkin kalau Roro Centil bisa diringkus. Dan sudah ada niat buruk yang tersirat dihati Ki Sugema yang doyan "daun muda" itu untuk melalap si gadis Pendekar Wanita yang punya nama beken itu. Bahkan rencana demi rencana telah terukir dibenak Ki Sugema untuk bisa menaklukkan Roro Centil. Memperalatnya untuk kepentingan "kekuasaannya".
Dengan menebeng nama Roro Centil bila telah menjadi istrinya segalanya akan menjadi mudah. Karena Roro kenal baik dengan orang-orang dari setiap Kerajaan di wilayah Pulau Jawa. Dan bukan mustahil kalau dia bisa menduduki jabatan tinggi disatu Kerajaan paling besar masa itu, yaitu Kerajaan Mataram.
Cita-citanya yang membumbung tinggi itu semakin mantap. Mulailah Ki Sugema mengatur rencana-rencana selanjutnya melalui perembukan singkat. Yaitu mengatur jebakan agar Roro Centil bisa datang lagi ke Pesanggrahan Cipatujah.
Namun dimalam yang semakin melarut itu di ruangan dalam Pesanggrahan Ki Sugema terpaksa harus menunda pembicaraan, karena dia punya kepentingan lain untuk menyalurkan hasratnya yang sudah sekian lama terbendung itu. Ya! mendadak bayangan wajah dan kemolekan tubuh sang anak tin telah terbayang di ruangan matanya.
"Baiklah! Kukira perembukan bisa kita lanjutkan besok. Silahkan kalian beristirahal. Dan... maaf, sobat Pemburu Keping Emas, aku terpaksa "meminjam" dulu senjatamu karena aku masih memerlukan! Khusus buat sobat Pemburu Keping emas aku telah suruh anak buahku menyediakan tempat peristirahatan yang nyaman. Ya! Sebuah kamar yang nyaman bekas tempat tidur Ki Astagina. Silahkan..." dalam berbicara itu diam-diam Ki Sugema telah kedipkan mata pada kakek kurus hitam itu, seraya mengerling pada si Pemburu Keping Emas yang menjadi "orang sewaan"nya.
Si kakek Kelabang Hitam ini manggut-manggut pelahan mengerti. Udara malam yang dingin menyeruak dimalam yang penuh kemelut itu. Pesanggrahan Cipatujah laksana dicekam hawa sejuk yang mencekam jantung. Karena disana kini telah dihuni oleh manusia-manusia tamak yang berakhlak rusak. Manusia-manusia yang lebih mementingkan diri pada "ambisi".
SERULING GADING TERGOLEK di pembaringan bersih dengan keadaan tertotok. Mempelai wanita yang bernasib tragis ini tak berdaya apa-apa lagi selain menunggu nasib apakah kelak yang bakal menimpanya. Sementara diruang lain Sambu Ruci dalam keadaan terikat tali-tali kulit yang kuat. Terduduk disudut ruang dengan keputusasaan yang telah membenturkan dirinya pada jalan buntu.
Tak ada harapan untuk meloloskan diri lagi baginya. Tulang-tulang persendiannya seolah sudah tak bersumsum lagi. Entah siksaan apa yang telah dihadapinya oleh Suro Ragil dan Zimbage yang bertubi-tubi, diterimanya, akibat rasa dendam yang tertumpah karena kematian sapi Lanang. Tubuhnya tampak matang biru dan muka bengap. Tampak seperti bekas-bekas pukulan keras yang dihunjamkan pada sekujur tubuh pemuda malang ini.
Bekas-bekas darah masih tampak disudut bibir dan bawah hidungnya. Kalau sang Ketua mereka, Ki Sugema tak memberi ultimatum agar tak membunuhnya, tentu siang-siang Sambu Ruci telah dibunuh oleh Suro Ragil. Pintu "penjara" tiba-tiba terluka. Dan empat orang anak buah Ki Sugema muncul dimuka pintu. Lalu dua orang menghampiri. Dan menyeret bangun pemuda itu, lalu menggusurnya keluar dari kamar tahanan itu.
"Dibawa kemana...?" bertanya seorang dari mereka.
"Ke kamar tempat beristirahat Ketua kita!" menyahut kawannya.
"Lho? mau diapakan...?"
"Pake tanya-tanya segala! Mau dimampusin juga bukan urusan kita!"
"Hehehe... betul! betul! hayo, cepat jalannya, monyong!"
Sambu Ruci setengah diseret dari ruangan itu karena sepasang kakinya seperti telah tak bertenaga lagi. Dengan tubuh yang babak belur demikian memang sulit kalau Sambu Ruci punya julukan Si Bujang Nan Elok. Karena wajahnya sudah tidak elok lagi.
Ketika tubuh Sambu Ruci didorong hingga jatuh menggabruk dimuka pintu kamar. Ki Sugema segera perintahkan anak buahnya meninggalkan kamar tempat beristirahatnya. Lalu beranjak menutup pintu kamar. Lengan Ki Sugema mencengkeram dada pemuda itu untuk diangkat berdiri.
"Hahahaha... macam beginikah tampang pengantin laki-laki yang mengawini gadis orang tanpa melamarnya lagi?" membentak geram Ki Sugema dengan mengumbar tertawanya berkakakan.
Kepala Sambu Ruci terkulai menunduk, seperti enggan menatap wajah manusia yang telah menawannya itu. Akan tetapi Sugema telah menjambak rambutnya untuk membuat kepala pemuda itu menengadah.
"Heh! tatap mukaku, bocah...! Tataplah agar kau dapat melihat jelas siapa orangnya yang telah menaklukkan kecoa tengik macam kau! Dan... hahaha... coba kau lihat siapa yang terbaring di pembaringan itu?" Ujar Ki Sugema seraya " menyeret" wajah orang untuk melihat ke pembaringan.
Seketika sepasang mata Sambu Ruci terbelalak lebar, karena di atas pembaringan tergeletak sesosok tubuh yang dalam keadaan tanpa busana. "Sst..... Seruling..... Gading!?' tersendat suara Sambu Ruci yang memandang dengan terperangah. Akan tetapi suara itu tersendat dikerongkongan.
"Lepaskan istriku.....apa... apakah yang kau mau lakukan!" tiba-tiba Sambu Ruci berhasil mengeluarkan suaranya.
Ki Sugema kembali perdengarkan suara tertawa mengakak. Tiba-tiba lengannya mencengkeram lagi dadanya. Dibawanya tubuh tak berdaya itu kesudut ruangan, Ketika dua kali jarinya menolok ke lutut segera tubuh laki-laki itu menjadi berdiri kaku tak bergeming. Dan sepasang kaki itu seperti menjadi kuat untuk berdiri disudut ruangan dengan punggung menyender ditembok.
Detik berikutnya adalah satu pemandangan yang membuat Sambu Ruci terpaksa harus pejamkan matanya karena tak sanggup menatap apa yang terpampang dihadapannya Ki Sugema telah melucuti pakaiannya sendiri dan... naik ke atas ke pembaringan.
Seruling Gading tampaknya baru saja tersadar dari pingsan. Akan tetapi pengaruh totokan pada tubuhnya membuat dia tak mampu untuk berbuat apaapa kecuali menjerit dengan suara yang terdengar seperti desahan belaka, karena urat suaranya telah ditotok.
"Hahahaha... malam ini biarlah aku yang menggantikan pengantin laki-laki untuk mencicipi malam pertama...". ujar Ki Sugema dengan menyeringai bagaikan iblis.
Selanjutnya... Sambu Ruci hanya bisa memejamkan matanya kuat-kuat tak sanggup rasanya dia untuk menyaksikan perbuatan bejat yang telah membuat air matanya mengucur deras. Air mata dari seorang laki-laki yang amat mencinta istrinya. Dan tak ada yang lebih bejat lagi dari seorang ayah tiri yang telah "penyantap" anak gadisnya sendiri. Ternyata juga pada malam itu satu nyawa telah melayang yaitu dibunuhnya si pembunuh bayaran alias si Pengejar Keping Emas oleh kakek hitam kurus bertongkat kelabang alias si Kelabang Hitam...
BHLARRR! BHLAARRRRR! BHLARRRRR...!
Cahaya perak dan pelangi berkredepan di udara yang diiringi dengan dentuman-dentuman menggelegar.
Roro centil berteriak girang. "Horeee, aku berhasil! aku berhasiiil!" Dan terdengar suara mengikik merdu membuat segerombolan burung camar yang tengah bertengger dipuncak-puncak karang terkejut karena suara dentuman-dentuman keras itu dan buyar berterbangan ketakutan dengan suara berkiakkiak riuh.
Selanjutnya di pantai sunyi, itu tampak banyak berkelebatan cahaya-cahaya perak dan pelangi yang diselingi dentuman-dentuman pesisir pantai itu jadi semarak bagaikan ada sebuah " pesta laut". Selendang-selendang perak dan pelangi seperti bermunculan dari sekeliling permukaan laut dipantai bergelombang tenang itu. Sukar untuk dipercaya bagi orang yang percaya adanya hantu laut, karena Roro memang Memainkan jurus-jurus pukulan selendang perak dan pelanginya dengan berlompatan diatas air.
Kalau ada manusia sakti yang dapat berlari diatas air, siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Karena pada zaman itu cuma ada dua orang yang dapat memiliki kesaktian seperti itu. Pada tiga tahun yang silam pernah ada seorang tokoh golongan hitam yang bergelar "Hantu Siluman Kera", yang juga memiliki ilmu semacam demikian, tapi telah tewas ditangan Roro Centil (baca. Serial Roro centil, dalam judul: Siluman Kera putih).
Dan pada saat ini ada seorang tokoh yang menyembunyikan diri untuk memperdalam ilmu-ilmunya yang juga memiliki ilmu berjalan dan berlari diatas air tokoh misterius itu pernah muncul diperairan wilayah tenggara. Beritanya memang telah menyebar yang datang dari mulut para nelayan di wilayah itu. Akan tetapi belum ada satu kejadian yang merugikan dipihak para Nelayan. Bahkan mereka menganggap tokoh misterius itu adalah sebangsa mahluk halus yang sesekali muncul di sekitar perairan itu.
Sementara Roro Centil tengah bersuka cita dengan keberhasilannya menguasai jurus-jurus cahaya perak Pelangi warisan mendiang Nenek Muri Asih, sepasang mata sejak tadi telah memandangnya dengan mata tak berkedip. Dialah Si Kakek kurus Hitam yang bergelar si Kelapa Hitam. Duduk bersila diatas batu karang. Tongkat kelabangnya tergeletak didepannya. Bibirnya tampak berkumat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba lengannya bergerak meraih tongkat. Dan...
Whessss! Tongkat pusakanya telah dilemparkan ke dalam laut. Sementara dia masih teruskan "kumat-kamit"nya dengan mata tetap ke arah depan. Menakjubkan! Apakah yang telah terjadi dengan lemparan tongkatnya? Ternyata tongkat yang berbentuk Kelabang itu telah berubah menjadi seekor Kelabang Raksasa yang bergerak hidup. Meluncur pesat dipermukaan air menuju ke arah Roro Centil.
Sementara itu Roro tengah asyik dengan "permainan"nya yang seolah tiada membosankan. Sinar perak dan Pelangi itu bagaikan selendang-selendang sutera saja di kejauhan. Sepintas yang terlihat adalah seperti layaknya seorang Bidadari yang tengah mainkan selendangnya dengan menari-nari.
Dan memanglah, Roro tengah memainkan jurus-jurus "Tarian Bidadari" yang tampaknya lemah gemulai. Jurus-jurus tarian yang didapat dari gurunya si Manusia Banci, atau si Manusia Aneh Pantai Selatan. Dalam pada itu Kelabang Raksasa penjelmaan dari tongkat si kakek kurus Hitam telah semakin mendekatinya.
Terperanjat Roro ketika akhirnya dengan naluri serta inderanya yang tajam dapat melihat sesuatu yang bergerak kehitaman mendekati. "Kelabang Raksasa...!" tersentak Roro dengan pendengarkan teriakan kaget. Karena jelas sudah dia melihat seekor kelabang yang amat luar biasa besarnya dengan puluhan kakinya yang mengerikan bergerak meluncur ke arahnya. Tak ayal lengannya langsung bergerak menghantam "binatang" itu. Sinar perak berkelebat...
Blarrr...!
Prasss...! air laut menyerumbat bergelombang. Roro Centil tegak menanti dengan waspada untuk melihat hasil dari hantamannya. Akan tetapi kelabang Raksasa itu lenyap. "Aneh! pasti ada yang tidak beres...!" desisnya tersentak.
Sementara sepasang mata Roro mulai di gunakan untuk menembus melihat ke dasar air disekelilingnya dengan mempergunakan kekuatan batin yang hebat. Namun memang Kelabang Raksasa itu lelah lenyap. Di dasar air tak terlihat apa-apa kecuali ratusan ekor ikan yang berseliweran kesana-kemari.
Namun kecepatan matanya ternyata dapat menangkap melesatnya sebuah bayangan hitam di kejauhan yang meluncur pesat untuk kemudian lenyap dalam sekilas. Roro cepat mengkonsentrasikan indra matanya. Dan kini terlihatlah dengan jelas kalau di atas batu karang disisi pantai sebelah sana ada seseorang yang duduk bersila menghadap ke laut.
"Setan alas...! Kalau ada makhluk atau manusia yang iseng menggangguku saat ini tak mungkin tidak kalau bukan cecunguk yang duduk dibatu karang itulah orangnya...!" berkata Roro dalam hati. Dan tak ayal lagi tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini telah meluncur pesat untuk melabrak kesana.
Akan tetapi orang yang duduk diatas batu karang itu ternyata juga meluncur dengan kecepatan hampir menyamai luncuran Roro Centil.
"Hm, ilmu lari bayangan yang cukup hebat! Siapakah kakek hitam berjubah kuning itu? Jelas dia mencekal tongkat seperti bentuk seekor kelabang! Dugaanku tak salah kalau dia cecunguk yang telah mempergunakan ilmu sihirnya untuk menggangguku dengan "kelabang raksasa" ciptaannya!" berpikir Roro.
"Baik! aku tak perlu mendahuluinya. Ingin ku lihat kemana arah larinya ataukah ini satu jebakan agar aku membuntuti? Hihihi... persetan! Aku tak takut dengan segala macam jebakan!" gumam gadis pendekar ini seraya percepat kejarannya untuk dapat memperdekat jarak.
Tersentak Roro Centil ketika mengetahui bahwa si kakek baju kuning itu menuju ke wilayah Cipatujah. "He...? Aneh! Aku belum bisa memastikan apakah orang ini berniat jahat atau tidak! Entah manusia baik-baik atau manusia jahat...! Jelas jalan ini adalah jalan lurus ke Pesanggrahan Ki Astagina!" berkata Roro dalam hati juga agak ragu dengan tindakan yang dilakukan manusia dihadapannya, yang sepertinya memang sengaja "membawa"nya untuk kembali pulang ke Pesanggrahan.
Segera saja Roro teringat pada Sambu Ruci yang baru dua hari ini melangsungkan pernikahannya dengan gadis bernama Seruling Gading. Tiba-tiba disaat Roro agak melantur pikirannya karena melamun sejenak barusan, tahu-tahu si kakek hitam jubah kuning itu telah lenyap dari pandangannya.
Tersentak Roro Centil. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri yang agak terlena, karena bayangan yang "tidak-tidak" mengenai sepasang Pengantin Baru itu sekelebat muncul dibenaknya. "Setan alas! kemana kaburnya manusia itu?" desis Roro kaget. Terpaksa dia hentikan larinya untuk menjaga kalau-kalau ada serangan gelap. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara seperti membisik ditelinganya.
"Nona Pendekar Roro Centil...! Aku orang sendiri! keadaan di Pesanggrahan Ki Astagina sedang gawat. Sahabatmu Sambu Ruci dan istrinya, si bocah perempuan bernama Seruling Gading itu dalam bahaya maut. Kami amat memerlukan bantuan anda...! Terpaksa "kita" berpisah agar tak menaruh kecurigaan bahwa diam-diam aku memanggil kedatangan anda. Turutlah apa yang aku katakan untuk kita bisa membekuk manusia Iblis itu. Tepat berada dihadapan Pesanggrahan pada jarak 10 tumbak, anda harus bergerak memutar ke kanan melalui jalan samping, silahkan anda memasuki satu pintu ruangan. Disana dalam keadaan aman...! Dan anda akan muncul tepat dibelakang ruangan tempat si "Iblis Sakti Mata Seribu" yang menyandera sahabatmu...! Aku akan muncul dari ruangan depan. Dan... kita akan sama-sama menggempurnya."
Tentu saja kata-kata yang dikirim melalui tenaga dalam itu membuat Roro Centil melengak kaget. "Iblis Sakti Mata Seribu...?" Aiih, baru aku mendengarnya!" berdesis Roro Pelahan. Dan dilihatnya bayangan kuning dari jubah si Kakek hitam yang dibuntuti itu berkelebat keluar dari balik pohon, lalu lenyap dalam sekilas.
Tak ayal segera Roro bergerak untuk cepat tiba di depan Pesanggrahan, walaupun hatinya agak ragu dengan penuturan kakek misterius itu. Benarkah apa yang dikatakannya? Berkata dalam hati gadis Pendekar ini. Akan tetapi Roro sudah mengambil keputusan untuk menusuki kata-kata si kakek misterius itu, karena dalam keadaan demikian dan bukti masih belum jelas, mana boleh dia berburuk sangka pada orang.
Kalau si kakek yang demikian saktinya itu masih memerlukan bantuannya, tentu dapat dibayangkan kehebatannya manusia yang menamakan dirinya si Iblis Sakti Mata Seribu itu! pikir Roro. Yang segera menduga bahwa disekitar Pesanggrahan itu telah dipasang 1000 mata untuk memata-matai sekitarnya. Apa lagi hal ini adalah demi keselamatan Sambu Ruci, sahabatnya. Mana Roro bisa mandah dan biarkan saja orang mencelakai?
Tepat 10 tombak di depan Pesanggrahan yang tampak sunyi sepi mencekam itu, Roro Centil menyelinap kebalik semak, lalu bergerak memutar ke arah kanan. Benar saja! Pada bagian samping Pesanggrahan itu segera terlihat satu pintu ruangan yang setengah terbuka. Roro ternyata cukup cerdik untuk tidak sembarang memasukinya. Segera meramal aji Halimunannya.
Dan sekejap tubuhnya telah lenyap tak terlihat mata manusia biasa. Lalu meluncur untuk segera memasuki pintu ruangan tanpa membukanya lagi. Cukup dengan miringkan tubuhnya menyelinap masuk dari sisi celah daun pintu yang terbuka itu. Ruangan itu kosong dan gelap. Roro gunakan kekuatan batinnya agar dapat melihat dalam gelap. Akan tetapi...
"Aiiiih!? ilmu sihir!" sentak Roro kaget dengan suara berdesis.
Karena sesungguhnya ruangan itu terang benderang. Dan terkejut Roro Centil ketika melihat di setiap sudut ruangan goa itu tampak jelas sosok-sosok tubuh si kakek hitam jubah kuning yang telah menjadi belasan sosok tubuh. Bahkan ketika dia bergerak memutar tubuh, dibelakangnya pun berjajar tubuh-tubuh si kakek misterius itu yang rupa dan bentuknya sama. Kemana dia menatap ternyata selalu bentrok dengan berpasang-pasang mata si kakek misterius itu yang cahaya matanya membuat dia bergidik seram.
"Bedebah! kau menipuku? Apa maksudmu dengan semua ini!?" bentak Roro dengan mata menatap tajam pada masing-masing "manusia" disekelilingnya. Sementara sepasang lengannya sudah disiapkan untuk menghantam bila terjadi satu serangan mendadak.
"Hehehehehe... aku memang mau menjebakmu untuk masuk perangkap ku. Dan kini kau sudah terjebak! Akan tetapi kau tak perlu khawatir, nona Pendekar, karena aku takkan menyakitimu...!" terdengar suara tertawa yang sukar diketahui dari mana arahnya, karena berpantulan dari sekitar ruangan itu.
Dan... segelombang angin halus telah menerpa ke arah Roro Centil. Tiupan angin halus yang seperti tak kentara kalau itu adalah sebuah serangan yang dapat melumpuhkan orang dalam sekejap. Terkejut bukan main Pendekar Wanita Pantai Selatan ini ketika tahu-tahu rasakan tulang persendiannya terasa linu, Tenaganya pun mendadak lenyap.
Sementara dalam pandangan mata Roro yang terlihat cuma berpasang-pasang mata bersinar aneh itu saja yang seperti telah mempengaruhi batinnya. Dan mendadak saja Roro Centil telah jatuh berlutut ketika suara si Kelabang Hitam membisik ditelinganya.
Bisikan bernada perintah, yang langsung menyerang sirkuit otak Roro untuk menuruti apa yang diinginkan kakek tua hitam itu. Seketika saja sirnalah ilmu halimunan Roro untuk kembali terlihat sebagaimana wajarnya. Hal mana membuat si Kelabang Hitam tertawa terkekeh.
"Heheheheh... ternyata cuma sebegitu saja kehebatanmu bocah perempuan pendekar. Kegagahanmu memang boleh dibanggakan, tapi kau kurang pengalaman! Aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di Rimba Persilatan sudah banyak mengalami bermacam pertarungan. Sudah banyak makan sama-garam...! "Akan tetapi dalam setiap pertarungan kukira pertarungan sekarang inilah yang paling sukses." berkata si Kelabang Hitam dengan terkekeh-kekeh.
Lalu... apakah yang terjadi kemudian? Melihat Roro Centil sudah kena ditaklukkan kakek hitam ini kembali berkemak-kemik membaca mantera. Lagi-lagi lengannya bergerak untuk melontarkan segelombang angin halus memperkuat serangan totokan jarak jauh. Dengan mengulang demikian kakek ini tak khawatir lagi Roro Centil akan mampu untuk melepaskan totokan ampuhnya yang memang amat luar biasa. Roro perdengarkan keluhannya. Dan dengan lunglai langsung menggeletak dilantai.
"Hehehe... bagus! aku akan bantu melucuti pakaianmu! Tenagamu terlalu lemah, dewiku...! Kau tentu belum pernah merasakan nikmatnya seorang lakilaki! Aku tahu kau memang masih gadis tulen! Dan... hehehe... aku memang memerlukan kau Sangat kuperlukan! Karena dengan mereguk kenikmatan dari tubuhmu, akan terjadi "penyaluran". Kegaiban yang ada pada tubuhmu memungkinkan pindahnya ilmu-ilmu "dalam" yang berada pada tubuhmu tersalur ketubuhku! Ketahuilah... aku amat mendambakan itu! Karena tenaga dalamku bisa bertambah! Dan aku akan awet muda, kulitku yang keriput ini bisa menjadi kencang lagi..." berkata mendesah si kakek hitam itu seraya membungkuk untuk membukai pakaian Roro. Sedangkan belasan bayangan-bayangan tubuh palsu si Kelabang Hitam yang lainnya mendadak lenyap.
Roro centil seperti tak ada reaksi apa-apa. Kecuali terdengar suara desah nafasnya yang teratur... ya! Roro ternyata telah kena "Sugesti" yang diucapkan melalui batin untuk mempengaruhi sirkuit otaknya. Dan... dia tak tahu kalau lengan si kakek binal ini mulai melepaskan pakaian Roro dengan tubuh menggeletar karena hawa rangsangan dari birahi yang menggelegak, seperti tak tertahankan lagi untuk cepat-cepat melaksanakan niatnya.
Ternyata kakek hitam ini memang mencari Roro Centil untuk maksud itu. Yaitu menyerap ilmu gaib serta kekuatan tenaga dalam Roro lahir-batin yang harus dilakukannya dengan melakukan persanggamaan. Dengan tenaga "luar dan dalam" yang kelak bakal terpadu itu, bukan mustahil kalau seluruh kekuatan batin, serta bermacam kegaiban yang dimiliki Roro bahkan sampai tenaga dalam Roro akan terkuras bersih. Akan tetapi membelalak sepasang mata si kelabang hitam, karena tiba-tiba terdengar suara menggeram dahsyat.
"Grrrrr...!" Berbareng dengan suara geraman itu, si kelabang hitam berteriak kaget karena tahu-tahu tubuh yang akan ditindihnya itu telah berubah wujud. Bukan lagi Roro Centil yang bertubuh mulus lagi, akan tetapi adalah seekor Harimau Tutul yang luar biasa besarnya. Yang telah mencengkeram ganas dengan taring-taringnya yang tajam runcing. Sementara kuku-kuku yang runcing itu telah membenam pada kulit tubuhnya.
Namun dengan gerakan reflek, si Kelabang Hitam lemparkan tubuhnya bergulingan. Jubahnya terkoyak dengan seketika berikut terkoyaknya pula kulit punggung, dada dan sedikit kulit lehernya. Pucat pias seketika wajah kakek hitam ini. Namun secepat kilat dia telah menyambar tongkat Kelabang yang bagaikan tersedot meluncur ke arahnya. Dengan sigap lengannya bergerak menangkap.
"Hihihi... manusia licik! Enak saja kau mau menjamah tubuhku! Manusia sepertimu memang layak untuk mampus...!"
Terdengar suara mengikik yang dibarengi dengan suara bentakan. Tersentak lagi-lagi si Kelabang Hitam karena tiba-tiba Harimau Tutul itu telah lenyap. Dan... tahu-tahu dihadapannya tegak berdiri gadis Pendekar itu. Menatapnya dengan sepasang mata yang seperti menembus jantung.
"Edan...! Kau... kau tak mempan dengan ilmu tenungku?" tergagap si Kelabang Hitam berkata. "Dan... kau bisa berubah jadi Harimau? Ilmu apakah yang kau miliki...?" sentaknya kaget seraya mundur dengan menempelkan tubuhnya ke dinding ruangan.
"Hm, kau pernah dengar nama si Manusia Gurun Pasir? Itulah ilmu yang telah terwaris padaku!" menyahut Roro dengan suara keren.
"Manusia... Gurun... Pasir...?" seperti mengeja si kakek hitam itu mengulangnya. Tiba-tiba tubuhnya mendadak berubah jadi gemetaran dan serta merta dia jatuhkan dirinya untuk berlutut. "Oh...! Ampunilah selembar nyawaku ini, no... nona Pendekar...! Aku si tua bangka ini sungguh-sungguh tak mengetahui..." ucapnya dengan suara terputus-putus.
Disamping terheran karena melihat tiba-tiba si kakek hitam ini jadi tampak ketakutan sekali mendengar nama gurunya itu, namun tak mengurangi kewaspadaan Roro terhadap musuhnya. Ternyata Roro memang berpura-pura seolah terkena pengaruh kekuatan ilmu hitam si Kelabang Hitam. Karena sebelum memasuki pintu ruangan tadi Roro memang telah siap mempergunakan ajian penangkal segala macam ilmu setan.
Yaitu merapal tujuh kalimat Penolak Iblis. Hingga ketika si Kelabang Hitam pergunakan kekuatan matanya untuk mensugesti Roro, gadis Pendekar itu tidak terkena pengaruh apa-apa. Roro memang ingin mengetahui maksud apa sebenarnya si kakek hitam itu menjebaknya.
"Kau benar-benar ingin diampuni nyawamu? Hm, apakah bukan cuma tipu muslihat belaka?" bertanya Roro dengan sikap jumawa. Bahkan sepasang lengannya telah bertolak pinggang dengan mata menatap si Kelabang Hitam.
"Aku... aku tidak berdusta, nona Pendekar. Sebagai bukti ambillah tongkatku. Aku takkan mempergunakannya lagi..." menyahut si Kelabang Hitam dengan suara menggeletar. Seraya gerakkan lengannya meraih tongkat. Lalu asongkan pada Roro.
"Baik! Aku akan simpan tongkatmu...!" berkata Roro. Lengannya bergerak terulur untuk menyambuti tongkat berbentuk Kelabang itu.
Dasar memang manusia licik. Detik itu juga membersit ratusan jarum berbisa dari mulut tongkat Kelabang si kakek hitam. Akan tetapi tubuh Roro mendadak "lenyap" dengan seketika. Sukar untuk diduga oleh si Kelabang Hitam. Karena di saat maut sudah sedetik di depan mata buat kematian Roro Centil, ternyata tubuh Roro telah meletik ke atas.
Bahkan kejadian yang begitu cepat itu si Kelabang Hitam tak sempat mengetahui kemana melesatnya tubuh si Pendekar Wanita itu. Tahu-tahu dia telah menjerit parau dengan teriakan pendek, tubuhnya menggabruk jatuh ke lantai. Darah kental berwarna putih bercampur merah menyemburat membercak dilantai. Ternyata batok kepala manusia licik ini telah pecah berantakan. Otaknya berhamburan keluar. Dan... tanpa sempat berkelojotan lagi, si kakek hitam ini langsung tewas.
Sesosok tubuh terlihat meluncur turun dari langit-langit ruangan dan jejakkan kaki dengan ringan dilantai. Ternyata Roro Centil. Kiranya sewaktu si Kelabang Hitam angsongkan tongkatnya, Roro yang bermata jeli telah melihat jari lengan si kakek itu bergerak memijit tombol rahasia yang berada di sebelah bawah tongkat.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil telah waspada dan menduga ada sesuatu yang tidak beres bakal terjadi. Begitu melihat jari lengan si Kelabang Hitam bergerak, secepat kilat Roro telah melesat ke atas. Sekejap tubuhnya telah menempel di langit-langit ruangan.
Detik itu dia telah melihat berhamburannya ratusan jarum yang meluruk keluar dari dalam mulut tongkat Kelabang si kakek. Mendelik sepasang mata Pendekar Wanita kita. Dan tak ayal lagi langsung kirimkan satu pukulan hebat dari salah satu jurus pukulan warisan si Dewa Tengkorak. Tak ampun lagi si Kelabang Hitam harus menebus mahal dengan nyawanya, akibat kelicikannya sendiri.
"Heh! Sudah kuduga...! Manusia semacam mu sudah terlalu bejat! Mana bisa mulutnya dipercaya?" memaki Roro dengan wajah cemberut jengkel. Diraihnya tongkat Kelabang yang nyaris merenggut jiwanya itu. Lalu dibantingkan ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Selanjutnya Roro sudah bergerak melesat keluar dari dalam ruangan itu...
SESOSOK TUBUH merintih-rintih menggelepoh dipintu ruangan kamar memegangi pundaknya yang terluka dan tampak mengalirkan darah. Tersentak Roro Centil. Secepat kilat dia sudah melompat menghampiri.
"He? Kau Ponara...? Katakan, apakah yang telah terjadi...?" bertanya Roro dengan krenyitkan alisnya, ketika mengetahui laki-laki itu adalah anak buah Ki Astagina. Roro memang mengenal pada beberapa orang murid Ki Astagina ketika membantu menggali kubur buat jenazah nenek Muri Asih yang disemayamkan disatu bukit kecil dibagian belakang Pesanggrahan Cipatujah.
Sekonyong-konyong pintu kamar menjeblak terbuka. Dan... Wrrrrt! Jala sutera itu begitu cepat telah merungkup tubuh Roro Centil. Dan, saat berikutnya... Bussss...! Asap tipis berbau harum seketika menyebar, begitu terdengar letupan kecil ketika pada detik barusan sebuah benda menggelundung di bawah kaki.
"Hahaha... ternyata terlalu mudah untuk menawan Roro Centil!" Terdengar suara tertawa berkakakan. Dan... sesosok tubuh telah tersembul di pintu kamar. Siapa lagi kalau bukan Ki Sugema adanya. Saat itu asap tipis berbau harum yang mengandung obat bius itu telah melenyap sirna. Dan tubuh Roro Centil tergeletak pingsan dalam rangkupan jala sutera. "Hm, terima kasih atas bantuanmu, Ponara...! Kelak pasti aku berikan imbalan padamu!" berkata Ki Sugema pada laki-laki bernama Ponara yang adalah murid Ki Astagina.
Laki-laki itu telah melompat lagi menghampiri ke muka pintu kamar. dan tersenyum dengan menjura pada Ki Sugema, seraya ucapnya. "Hambapun mengucapkan terima kasih sebelumnya...! Apakah selanjutnya yang harus hamba lakukan. Ketua...?" ternyata kejadian barusan adalah telah direncanakan sebelumnya.
Ponara yang gila kedudukan mau saja diperalat oleh Ki Sugema untuk menjebak Roro. Dengan berpura-pura terluka yang sesungguhnya cuma melumuri pundaknya dengan darah palsu. Ponara dijanjikan kelak akan diberi peluang untuk menjadi seorang Perwira Kerajaan di Kerajaan Mataram, bila rencana Ki Sugema berhasil untuk memperistri Roro Centil.
"Hm, cukuplah! Dan kini silahkan kau berangkat ke Akhirat!" Selesai menyahut, sebuah kilatan membersit dari lengan Ki Sugema. Dan... tanggallah kepala Ponara dari tubuhnya. Darah memuncrat yang diiringi dengan robohnya tubuh laki-laki gila pangkat itu ke lantai.
"Hahaha... kunyuk macam kau sudah tak kupentingkan lagi!" berkata Ki Sugema seraya siapkan lagi senjata ampuh pencabut nyawa hasil rampasannya itu ke balik bajunya.
Akan tetapi terperangah Ki Sugema ketika mendengar suara menggeram. Tahu-tahu jala sutera itu telah "terbang" melesat ke arahnya. Dan detik berikutnya laki-laki telengas ini tampak telah bergumul dengan seekor harimau Tutul yang luar biasa besarnya. Akan tetapi tak berapa lama tubuh Ki Sugema telah terkulai tak bergeming lagi. Nyawanya telah putus.
Dan keadaan tubuhnya tampak mengerikan sekali dengan sekujur tubuh penuh cabikan-cabikan. Darah menganak sungai dari luka dilehernya yang menganga hampir putus! Sedangkan disekelilingnya bertebaran serpihan jala sutera yang sudah hancur tak berbentuk lagi. Harimau Tutul itu ternyata telah lenyap entah kemana...
Dengan kesal Roro Centil membanting senjata maut yang "disita" dari jenazah Ki Sugema, hingga melesak ke dalam tanah, Tampak wajah si Pendekar Wanita ini merah padam. Telah ubak-ubakan dia mencari dimana Sambu Ruci dan Seruling Gading. Tapi tak dijumpai diseluruh ruangan.
"Hm, apakah pesanggrahan ini punya ruangan rahasia?" memikir Roro. "Baik... akan ku selidiki!" desisnya serentak begitu selesai bermenung. Tubuh Roro kembali berkelebat untuk memasuki setiap ruangan Pesanggrahan.
Brakk...! Tiba-tiba terdengar suara bergedubrakan. Roro merandek dengan wajah tegang. "Apakah ada manusia iblis lagi yang masih bercokol di Pesanggrahan ini?" berkata Roro dalam hati. Sekejap dia sudah menyelinap.
Sesosok tubuh tersembul dari reruntuhan tembok disalah satu ruangan belakang Pesanggrahan, wajah orang itu kusut, pucat dan malang biru seperti bekas-bekas pukulan. Dialah Sambu Ruci adanya. Dengan susah payah pemuda itu merangkak keluar dari celah lubang yang menganga direruntuhan tembok itu.
"Sambu Ruci...!" satu teriakan lelah membuat dia palingkan wajahnya untuk memandang ke arah datangnya suara.
"No... nona Roro..." teriak laki-laki ini dengan suara parau lemah. Akan tetapi wajahnya membersitkan cahaya girang.
Sekejap saja Roro Centil telah jejakkan kakinya dihadapan lakilaki ini. "Ahhh...! Sambu...! Apakah yang telah terjadi? Kemana is... istrimu Seruling Gading?" tanya Roro dengan terkejut karena memandang wajah tampan Sambu Ruci matang biru dengan keadaan yang menggiriskan hati.
Sekujur tubuhnya juga banyak luka-luka dengan pakaian yang sudah robek disana-sini. Sambu Ruci jatuhkan tubuhnya duduk menggelepoh. Wajahnya menunduk tanpa bisa berikan jawaban pada Roro. Setitik air mata tampak tersembul disudut kelopak mata laki-laki ini.
"Sambu...! Katakanlah! Siapa manusianya yang telah menyiksamu? Akan kuremukkan tulang-tulang tubuhnya! Dan... kemana Seruling Gading...?" tanya Roro lagi dengan suara menggetar.
Pelahan laki-laki ini menengadahkan wajahnya menatap pada Roro. Tampaknya Sambu Ruci teramat lemah untuk bicara. Roro Centil yang tahu diri, segera berkelebat. Dan sesaat telah kembali lagi dengan membawa sekendi air.
"Minumlah Sambu...!" ujar Roro.
Sambu Ruci tersenyum lemah seraya menyambuti dengan ulurkan lengannya. Lalu meneguk habis isi kendi itu. Setelah menghela nafas dan merenung sejenak, mulailah Sambu Ruci buka suara, menceritakan kejadiannya, dengan singkat. Roro Centil dengan wajah sebentar merah sebentar pucat mendengarkan penuturannya.
Ternyata Sambu Ruci disekap dalam ruangan rahasia di Pesanggrahan itu setelah dipaksa menyaksikan perbuatan edan Ki Sugema terhadap istrinya. Diceritakannya siapa Ki Sugema. Dan kejadian-kejadian penyiksaan terhadap dirinya yang dilakukan oleh Suro Ragil dan si laki-laki gendut Zimbage.
"Manusia bejat itu sudah mampus ditanganku! Dan senjata mautnya telah kulenyapkan! Kakek iblis bertongkat Kelabang itu sudah kukirim nyawanya ke Neraka...!" menyahut Roro dengan pertanyaan Sambu Ruci yang mempertanyakan kedua tokoh yang menguasai Pesanggrahan Cipatujah.
"Lalu kemanakah istrimu Seruling Gading?" bertanya Roro.
"Aku tak tahu lagi nasibnya, sejak dia disekap si keparat Ki Sugema itu..." jawab Sambu Ruci. "Haihhh! Aku memang manusia bodoh! Tak berguna...!" berkata Sambu Ruci memaki dirinya sendiri.
"Sudahlah...! Mari kita tinggalkan tempat ini! aku akan berusaha mencarinya!" ujar Roro menghibur. Lalu memapah Sambu Ruci berdiri, seraya diam-diam salurkan "hawa murni" untuk menambah tenaga dalam laki-laki itu. Terasa hawa hangat mengalir ke tubuh Sambu Ruci, yang dirasakan oleh laki-laki itu. Ternyata kemudian Sambu Ruci agak pulih tenaganya. Dia tersenyum menatap Roro.
"Terima kasih... kau baik sekali..." ucapnya lirih.
Sambu Ruci duduk termangu-mangu di depan sebuah pondok petani diatas bukit kecil. Pemandangan indah terhampar dihadapannya. Akan tetapi keindahan itu seakan tak berarti. Karena yang terbayang melulu wajah Seruling Gading. Dua hari sudah dia menetap di atas bukit kecil itu. Selama itu Roro Centil telah merawatnya, memberinya obat dan bermacam ramuan yang harus diminumnya. Memasak air. Menanak nasi dan sebagainya. Tak ubahnya seolah dia dirawat oleh seorang "istri" tercinta.
Ah, begitu mengharukan. Begitu pedih. Begitu bahagia tampaknya. Bahagiakah Sambu Ruci? Entahlah! Hanya dia yang tahu! dan yang membuat dia tersenyum pahit adalah apa yang dialaminya saat itu adalah begitu lucu! Ya, satu kelucuan, karena dia justru punya "pengganti" istrinya yang telah merawatnya dengan sepenuh hati hingga sampai kesembuhannya pulih kembali.
Hari itu dia duduk di depan pondok menunggu kedatangan Roro yang telah wanti-wanti memesannya agar tak kemana-mana. Dia termangu-mangu menatap ke bawah bukit dengan pandangan kosong. Wajah Seruling Gading sebentar membayang namun sebentar melenyap di ruang matanya. Kemelut di Cipatujah itu telah berakhir. Kini cuma tinggalkan puing-puing dari reruntuhan hati yang bersisa.
Kebahagiaan itu belum lagi terengkuh... "Apakah aku tak berjodoh dengannya?" berkata sendiri Sambu Ruci. "Ya! Kalau aku berjodoh, tentu tak terjadi peristiwa macam begini...!" menjawab pula sendirian laki-laki itu, yang akhirnya dia cuma tersenyum pahit dengan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ehm...!" suara deheman itu seketika membuat dia tersentak dari lamunannya. Ketika dia membalik ternyata Roro Centil telah berdiri di belakangnya.
"Sejak kapan kau pulang, no... nona Roro...?" tanya Sambu Ruci tergagap. Seulas senyum segera tersuguh buatnya. Ya! Mutlak! Memang senyum itu cuma untuknya.
"Panggillah aku Roro saja, mengapa harus pakai nona...?" berkata Roro dengan mengerling.
Sambu Ruci tertawa hambar. "Ya, ya, ya... baiklah! Aku akan menyebut mu dengan panggilan Tabib Roro! Apakah kau setuju?"
"Hihihi... aku bukan tabib!" menyahut Roro.
"Tapi kenyataannya kau memang seorang tabib. Kau telah merawatku hingga luka-lukaku serta kesehatanku pulih kembali!" sangkal Sambu Ruci.
"Aiiii! terserahlah!" menyahut Roro dengan tersenyum manis. Aneh! Diam-diam dan diluar kesadaran Roro. Gadis Pendekar itu rasakan dadanya berdebaran. Ya! Roro memang mulai sering merasakan debaran-debaran sejak merawat Sambu Ruci selama ini. Satu keanehan yang dia sendiri juga tak mengetahui.
Akan tetapi Roro selalu dapat menghilangkannya untuk kembali menenangkan diri. Apakah ada terbersit rasa cinta dihati roro pada laki-laki yang telah kehilangan istrinya itu? Entahlah! Tapi yang jelas debaran itu adalah satu kewajaran. Karena setiap naluri wanita memang demikian bila berhadapan dan bergaul terlalu erat dengan laki-laki.
"Ada berita baik yang kutemukan, Sambu...!" tiba-tiba Roro Centil memutus tegangan tersembunyi diantara dua jalur halus yang merentang barusan.
"Berita...? Oh, katakanlah!" menyahut Sambu Ruci. Agak tersentak seperti sukmanya baru kembali dari "alam gaib".
"Aku telah temukan dua mayat disatu tebing batu. Ciri-cirinya jelas seperti yang telah kau tuturkan padaku. Aku yakin itu mayat Suro Ragil dan si gemuk Zimbage...!" berkata Roro seraya menuangkan air ke dalam gelas tanah dari kendi berisi air putih. Lalu meneguknya hingga habis.
"Keduanya tewas...?" sentak Sambu Ruci. "Tak adakah berita mengenai Seruling Gading?" tanya Sambu Ruci tiba-tiba.
"Ada...! Akan tetapi kuharap kau tak terkejut mendengarnya!" menyahut Roro dengan suara datar.
"Apakah yang telah terjadi dengan dia...?" tanya Sambu Ruci dengan berusaha bicara biasa. Namun diam-diam hatinya mulai menyentak lagi, yang segera ditekannya agar tak membuat suaranya tergetar.
"Seruling Gading telah berubah menjadi orang yang tak waras..."
"Hah!? Dia... dia... maksudmu dia berubah menjadi... Gila...?" Tersentak kaget Sambu Ruci.
"Ya...!" sahut Roro dengan suara tenang. "Dia telah berhasil lolos rupanya dari sekapan Ki Sugema. Tapi dikejar oleh Suro Ragil dan si gemuk itu, entah siapa yang telah membunuh kedua orang itu. Dari berita yang kudapat tak ada yang mengetahuinya. Akan tetapi mengenai Seruling Gading menjadi hilang ingatan itu banyak berita yang kudapat dari penduduk disekitar tempat itu..." tutur Roro. Terhenyak sesaat Sambu Ruci. Wajahnya menunduk. Tampak satu kesedihan yang luar biasa dirona wajahnya.
"Tak adakah kau temukan dia...?" tanya Sambu Ruci dengan suara lirih.
"Yaaah, menurut berita yang kudengar, Seruling Gading menerjunkan diri ke dasar jurang! Aku telah mencoba mencari mayatnya didasar jurang pada lokasi yang dikira-kirakan penduduk. Tapi tak kujumpai mayatnya disana..." menyahut Roro.
"Seruling...! Oh, begitu tragis nasibmu..." mendesah suara Sambu Ruci. Kini titik air bening yang tersembul disudut mata laki-laki itu telah meluncur turun. Namun, Sambu Ruci segera seka air matanya.
"Yah! semua memang sudah suratan takdir!" berkata Roro "Kita belum bisa pastikan Seruling Gading tewas. Namun kukira...."
Sambu Ruci seperti tak mendengar penjelasan Roro. Dia menatap jauh ke bawah lembah. Jauh...! dan bahkan lebih jauh lagi. Dua ekor elang tampak melayang di ketinggian. Bukit kecil itu seperti sunyi. Dan memang terasa sunyi. Seperti juga sunyinya hati Sambu Ruci. Ketika dia berpaling ternyata Roro Centil telah lenyap tak terlihat bayangannya. Semakin sunyilah hati Pendekar Muda ini. Senja pun tampak mulai melingkupi daerah perbukitan itu.
Puluhan ekor kera dan siamang hiruk-pikuk berloncatan dengan suara gaduh. Tampaknya mereka sangat ketakutan sekali. Naluri kebinatangannya telah dapat menerka bahwa tempat itu bakal porak-poranda. Bakal hancur! Membuat mereka saling bergegas meninggalkan daerah yang dianggap gawat itu untuk segera menyingkir pergi. Seekor Raja Rimba yang menghuni bukit itupun sudah angkat kaki dengan memperdengarkan suara mengaum panjang.
Hawa aneh yang mencekam telah menyelimuti sekitar bukit itu. Dan satu keanehan adalah kini cahaya merah tampak seperti merambah sekitar bukit. Angin membersit keras seperti bakal ada taufan yang bakal terjadi. Udara sebentar gelap sebentar terang. Bau-bau busuk seperti bersembulan di sana-sini membaur dengan sejuta keseraman yang membangunkan bulu roma.
Dua sosok tubuh telah saling berhadapan. Berdiri tak bergeming. Kedua rambut wanita itu sama-sama terurai. Sesekali menyibak karena tiupan sang angin. Keheningan memang mencekam perasaan. Dan detik demi detik terus merayap yang akhirnya sampai pada ujungnya.
"Hm, disinikah tempat pertarungan kita, Giri Mayang...?" suara Roro Centil menyobek keheningan yang mengembara disekitar bukit itu.
"Benar! Inilah tempat pertarungan yang ku pilih! Dan disini pula tempat kuburanmu, Roro Centil...!" menyahut Giri Mayang dengan nada sinis.
"Kematian bagiku tak menjadi soal, perempuan iblis! Asalkan kaupun ikut serta mengiring kematianku, bagiku aku sudah puas! Dan aku dapat mati meram...!" menyahut Roro dengan suara datar.
"Hihihi... seribu Iblis siap sedia menjaga nyawaku, Roro Centil. Dan aku telah pula menghubungi guruku untuk siap melindungi diriku! Kalau kau mampus mana mungkin kau bisa bawa nyawaku menyertai kematianmu?" Ujar Giri Mayang dengan nada sinis, dengan tertawa menghina.
Akan tetapi Roro Centil juga tertawa dengan dibarengi kata-kata yang lebih "nyelekit" di ulu hati Giri Mayang. "Hihihi... hihi... kalau seribu Iblis menjaga nyawamu, aku bahkan seribu Malaikat menjaga nyawaku dari ketelengasanmu! Mana mungkin kau bisa mengambil nyawaku...?"
"Keparat...!" memaki Giri Mayang. Seketika wajahnya berubah merah padam.
"Setan alas!" maki pula Roro.
"Roro Centil, jangan kau mengumbar kesombonganmu! Hari ini aku akan balaskan dendam pati kematian ayahku!" membentak Giri Mayang lagi, dengan menatap tajam dan mulai mempergunakan pengaruh ilmu batinnya untuk mempengaruhi Roro.
"Bagus! Aku justru mau minta tebusan ratusan kepala yang telah kau tanggalkan dari tubuh rakyat tak berdosa dan para pendekar, serta orang-orang Kerajaan yang telah kau bantai seenak udelmu! Hihihi... aku cuma mau minta kepalamu untuk kupersembahkan pada Baginda Raja...!" sahut roro dengan suara tegas dan lantang.
Giri Mayang menekan perasaannya. Darahnya menyentak sampai ke kepala tubuhnya agak tergetar menahan kemarahannya yang meluap. Akan tetapi dia berusaha menahannya, dan membentak dengan suara yang berpengaruh. Suara yang berisi serangan dengan kekuatan batin yang telah selesai dimanterainya.
"Roro Centil...! Kau tak lebih dari hamba ku saja! Bersujudlah untuk menerima hukuman dariku!"
Akan tetapi beranjakpun tidak Roro dari tempatnya berdiri. Bahkan dia mengumbar suara tertawa melengking tinggi yang membuat tanah bergetaran. "Hihihi... hihihi... Giri Mayang! Giri Mayang...! Kau tak lebih dari anjing buduk yang menjijikkan! Mari mendekat padaku untuk kugebuk pantatmu 13 kali!" berkata Roro Centil dengan juga balas menyerang dengan kekuatan batin yang menindih kekuatan serangan lawan.
Hebat akibatnya. Tubuh Giri Mayang tampak bergetar dan agak terhuyung. Nyaris kakinya melangkah ke depan satu tindak kalau dia tak cepat-cepat berusaha melawan kekuatan serangan Roro yang merangsang hawa aneh, menindih kekuatan batinnya yang sekaligus mendadak punah.
Pucat pias seketika wajah Giri Mayang. Sadarlah dia kalau lawan dihadapannya tak boleh dianggap enteng. Namun mana Giri Mayang mau unjukkan kelemahannya pada musuh besarnya itu? Dengan melotot gusar dia membentak hebat.
"Roro Centil! Jangan kau terlalu sombong! Lihat sekelilingmu! Kau tak dapat meloloskan diri dari kepungan seribu Iblis yang akan merecah kulit dan dagingmu!" Bau busuk seketika menyebar, dan kian mendekati Roro.
Pendekar itu putarkan pandangannya ke sekeliling. Benar saja apa yang dikatakan wanita iblis itu, sekejap telah terlihat makhluk-makhluk menyeramkan yang tak terkirakan banyaknya mengurung Roro Centil. Bergidik juga Roro melihat rupa wajah dan bentuk yang menyeramkan, namun cepat Roro merapal mantera salah satu dari 7 jurus penolak iblis, warisan si Manusia Padang Pasir, Terdengar suara jeritan disekeliling disertai suara meletup bagai bara disiram api.
Bhusss! Bhusss...! Bhusss...!
Puluhan Iblis dan siluman-siluman jahat terjungkal seketika. Dan tubuh-tubuh mereka hancur. Lalu berubah menjadi asap hitam yang membumbung meninggalkan bau sangit yang menusuk hidung. Akan tetapi tidak semua makhluk-makhluk halus yang mengerikan itu terjungkal, belasan sosok tubuh yang agak kebal telah meluruk bagaikan angin menderu menerjang Roro.
Tersentak Roro Centil. Sepasang lengannya bergerak memutar dan mengibas beberapa kali. Itulah jurus pertama dan kedua dari tujuh mantera yang sambil bergerak, mulut Roro mengucapkan mantera-mantera suci itu. Terdengar suara jeritan dan meraung yang membangunkan bulu roma. Belasan sosok tubuh makhluk halus itu buyar berpentalan. Hawa panas yang membersit dari angin pukulan Roro yang berbau mantera suci seketika telah membakar menghanguskan tubuh-tubuh mereka.
Terkesiap Giri Mayang. Nyalinya agak menciut menyaksikan kehebatan Roro Centil. "Edan!? Dari mana dia dapatkan ilmu-ilmu itu...?" Sentak Giri Mayang dalam hati. Kembali Giri Mayang komat-kamit membaca mantera. Cepat sekali dia telah mengadakan hubungan dengan gurunya, melalui batin.
"Hehehe... pergunakanlah Tangan Iblis mu, muridku...! Jangan khawatir, aku segera datang ke bukit Karang Helang untuk membantumu bila kau mendapat kesulitan. Akan tetapi jangan kau bernyali kecil karena dengan Sepasang Tangan Iblis mu aku yakin dapat membinasakan si Roro Centil!" Itulah suara batin tingkat tinggi yang telah dilontarkan Nini Lembutung pada Giri Mayang.
"Terima kasih, guru...!" menyahut Giri Mayang melalui kontak batin itu. Dan... kini sepasang matanya bagaikan menyala-nyala menatap pada Roro.
Kita beralih sejenak. pada dua sosok tubuh yang tengah berlari cepat menuju kesatu arah... Kedua sosok tubuh itu adalah satu laki-laki dan satu wanita. Si wanita itu tak lain dari si peniup seruling, sedangkan laki-laki yang berada dibelakangnya adalah Sambu Ruci. Tiba-tiba wanita berbaju merah kembangkembang itu hentikan tindakan kakinya, lalu menoleh ke belakang.
"He? Siapa suruh kau mengikutiku...?" berkata wanita muda alias sang gadis itu dengan nada ketus.
Pemuda dibelakang itu tersenyum, dan sekali enjot tubuh sudah berada dihadapan sang gadis. Lantas saja tertawa bergelak. "Lho...? Aku punya kaki...?" menyahut Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok.
Mendapat jawaban demikian wajah sang gadis jadi semakin cemberut. Akan tetapi ternyata semakin cemberut justru semakin cantik. Entah mengapa sejak berjumpa dengan wanita itu Sambu Ruci seperti menaruh perhatian padanya. Walaupun bicara sang gadis itu selalu bernada ketus, namun Sambu Ruci yang ingin tahu siapa sebenarnya gadis itu, diam-diam selalu mengintilnya.
"Kau memang punya kaki!" tukas sang dara cantik ini. "Akan tetapi mau apa kau membuntuti aku terus?" tanyanya kesal.
"Aku sendiri tak mengetahui, mengapa kakiku maunya mengikuti langkah kakimu?" menyahut Sambu Ruci dengan tersenyum.
"Lelaki semacammu pasti tidak punya maksud baik!"
"Hm, kau seorang dukun peramal rupanya?"
"Cis! Enak saja kau bicara! Aku bukan dukun!" membentak sang gadis.
"Nah, kalau kau bukan seorang dukun, jangan menuduh sembarangan. Aku punya niat baik, yaitu ingin berkenalan denganmu..." berkata Sambu Ruci. "Boleh aku tahu namamu, nona cantik...?" bertanya Sambu Ruci.
"Aku tak punya nama!" sahut lagi gadis itu dengan nada ketus, seraya membuang muka. Akan tetapi ternyata wajahnya berubah jadi merah dadu karena dipuji demikian.
Sambu Ruci tersenyum, seraya menjura. "Aku yang rendah ini bernama Sambu Ruci. Siapakah gerangan nama anda nona gagah? Ilmu lari cepat mu membuat aku jadi kagum..." ujarnya.
"Huuu... gombal! Aku sudah tahu namamu Sambu Ruci, tak usah sampai dua kali kau menyebutkan. Baiklah, akan kuberitahukan namaku..." ujar sang gadis seraya mencabut serulingnya dari belakang punggung. "Kau perhatikan benda ini terbuat dari apakah...?" tanya gadis itu seraya perlihatkan serulingnya mendekat ke wajah Sambu Ruci.
"Hmmm..." termenung sesaat pemuda itu seraya perhatikan benda itu. "Apakah namamu Seruling Gading...?" tanyanya tiba-tiba.
"Tepat sekali! Itu namaku sekaligus julukan ku! Nah! kini langkahkan kakimu ke lain arah! Aku mau terus ke utara...!" berkata sang gadis alias si Seruling Gading.
DUA
"HAI...!? Lihatlah! Ada bercak-bercak darah berserakan disini...!" teriak Sambu Ruci tiba-tiba. Tentu saja membuat si gadis Itu terkejut, dan segera melihat ke tempat yang ditunjuk si pemuda. Sepasang matanya menjalari sekitar pelataran disisi hutan itu. Bercak-bercak darah tampak semakin banyak.
"Mari kita selidiki!" ujar Sambu Ruci seraya mendahului bergerak. Si gadis tak menyahut, tapi segera beranjak untuk meneliti sekitar tempat itu. Selang sesaat terdengar seruan tertahan Sambu Ruci.
"Hai...! Lihatlah kemari! Banyak mayat bergelimpangan!"
Mendengar teriakan itu kontan si Seruling Gading melompat menghampiri. Dan terperangah melihat mayat-mayat dari para prajurit Kerajaan bergelimpangan dengan keadaan kepala terlepas dari tubuhnya. Juga beberapa ekor kuda yang mati dengan tubuh hangus. Gadis itu jadi bergidik seram.
"Ini... ini pasti perbuatan perempuan Iblis itu lagi!" berkata Seruling Gading dengan nada suara agak menggeletar.
"Benar! Lagi-lagi perempuan setan itu meminta korban! Perbuatannya semakin keterlaluan. Kalau dia menyerang ke Kota Raja keadaan bisa gawat!"
Gadis itu tak berkata apa-apa kecuali tercenung dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. Dadanya berombak-ombak menahan geram. "Apa yang harus kita perbuat?" Akhirnya si Seruling Gading bertanya. Kali ini nada suaranya tidak lagi ketus seperti tadi. Sambu Ruci terdiam sejenak lalu sahutnya.
"Pendapatku begini, sebaiknya kita bantu mengubur jenazah, lalu kita berangkat ke Kota Raja melaporkan kejadian ini!"
"Huuuu...! Pendapatmu selalu menyusahkan orang saja! Kukira sebaiknya kita melapor saja ke Kota Raja, mengenai penguburan para prajurit Kerajaan ini kita serahkan pada yang wajib mengurusnya!" sanggah si Seruling Gading seraya berikan pendapat.
Ternyata Sambu Ruci melompat girang. "Aku setuju! Aku setuju...! Aha, tak ku sangka nona Seruling berotak encer! Benar...! Kalau kita yang menguburkan jangan-jangan nanti bisa terjadi kesalahpahaman...!"
Mau tak mau gadis itu jadi tersenyum melihat kelakuan Sambu Ruci yang berjingkrakan seperti orang dapat lotere.
"Wahai...! Alangkah manisnya nona Seruling kalau tersenyum begitu!" ujar Sambu Ruci dengan geleng-gelengkan kepala.
"Huuu... gombal! Marilah kita berangkat!"
"Mari... tukas Sambu Ruci seraya lengannya bergerak menyambar pergelangan tangan si Seruling Gading, yang barusan melangkah lewat disampingnya. Tentu saja gerakan tak terduga itu diluar pemikiran sang gadis.
Mau tak mau terpaksa dia membiarkan pergelangan tangannya dicekal pemuda itu. Dan... Srrr terasa hawa aneh telah menjalar ke sekujur tubuh membuat hatinya jadi berdebaran tak keruan rasa. Tangan pemuda itu terasa hangat, dan cekalannya mengandung kemesraan. Inilah yang membuat hatinya berdebar.
"Dia memang tampan...! Akan tetapi aku belum tahu isi hatinya. Aku khawatir hatinya tak setampan wajahnya..." bisik hati si Seruling Gading dengan wajah bersemu merah dan terasa panas. Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya untuk coba menjajal kekuatan lawan.
Hawa panas segera menyebar dipergelangan tangannya. Dia menduga Sambu Ruci pasti akan segera lepaskan tangannya. Akan tetapi terkejut gadis ini karena tahu-tahu serangkum hawa dingin segera mengalir cepat menindih hawa panas dari tenaga dalamnya. Dan keadaan kembali seperti semula. Yang membuat gadis ini melengak adalah si pemuda itu tetap tenang-tenang saja tak menampakkan wajah terkejut. Bahkan sambil berjalan cepat mengikuti gerakan langkahnya dia mengajak bercakap-cakap.
"Kota Raja tak seberapa jauh lagi. Setelah melewati perbatasan di depan sana kita sudah memasuki wilayah bagian selatan ini. Kukira di sana pasti ada markas terdekat dari lasykar Kerajaan yang bertugas menjaga wilayah itu!"
"Bagaimana kalau ternyata perempuan iblis itu telah tiba lebih dulu dan mengacau di Kota Raja...?"
Untuk menutupi perasaannya yang tak karuan itu sengaja si gadis membuat dalih pertanyaan. Tiba-tiba Sambu Ruci hentikan tindakan kakinya. Sepasang mata Sambu Ruci menatap tajam pada sang gadis. Aneh, seperti terkena daya magnet yang amat luar biasa, gadis itupun menatap tajam memandang pada wajah tampan laki-laki dihadapannya. Dan dua pasang mata itupun saling menatap berpantulan.
Terasa oleh si dara itu cekalan tangan si pemuda semakin erat mencekal pergelangan tangannya. Bahkan meluncur turun untuk mencekal telapak tangannya. Menyentuh jemarinya lalu menyatukan dengan jemari tangannya. Tak terasa diapun mencekal erat pula jemari tangan Sambu Ruci, dan menatap dengan mata terperangah kagum. Ya, dia memang sejak berjumpa dengan pemuda itu telah mengagumi ketampanan wajahnya.
Akan tetapi dia memang selalu bersikap ketus, karena khawatir terjebak "cinta". Berapa banyak laki-laki yang telah dikenalnya ternyata cuma laki-laki hidung belang yang berwatak buruk, yang cuma berkenalan untuk melampiasan nafsu bejatnya. Watak-watak kebanyakan dari orang yang pernah dijumpainya itulah yang membuat dia selalu bersikap ketus. Keramah-tamahan justru amat membahayakan dirinya.
"Kalau dia mengacau di Kota Raja, kita akan menempurnya!" berakta Sambu Ruci dengan suara tegas dan tegar.
"Ya!... kita akan menempurnya!" berdesis pula suara si Seruling Gading.
Dan keduanya sama-sama tersenyum, lalu mengangguk berbareng. Aneh! Seketika kekerasan hati si gadis peniup seruling punah sudah. Ya! Sambu Ruci si Bujang Nan Elok telah berhasil menaklukkan hatinya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara derap kaki-kaki kuda di kejauhan. Keduanya jadi terkejut, dan sama-sama menoleh ke arah depan.
"Sssst! Mari kita sembunyi, rombongan siapa gerangan yang lewat!" Sambu Ruci tempelkan jari telunjuknya diatas bibir. Dan dengan melompat sambil tetap bergandengan tangan. Sekejap saja mereka sudah berlindung dibalik batu besar. Tak berapa lama kemudian serombongan pasukan berkuda itu telah melewati mereka. Ternyata adalah rombongan pasukan Kerajaan. Kedua "sejoli" ini jadi saling tatap, dan sama-sama tersenyum.
"Bagus! Berarti kita tak usah repot-repot ke Kota Raja...!" berkata Sambu Ruci dengan berbisik. Si gadis peniup seruling mengangguk. Dengan keadaan wajah sama-sama berdekatan begitu mau tak mau membuat napas mereka terasa saling berpagutan. Sementara lengan mereka masih tetap saling genggam dengan erat.
"Kita pergi dari sini..." bisik si gadis, seraya menarik tangannya dari genggaman Sambu Ruci. Akan tetapi justru pemuda itu semakin erat menggenggamnya.
"Tunggu dulu..." berkata lirih Sambu Ruci. Dan sepasang mata pemuda itu seperti mencari-cari sesuatu disekitar wajahnya. "Seruling Gading...! Apakah kau bersedia bersahabat denganku?" tiba-tiba Sambu Ruci ucapkan kata-kata.
Gadis itu tak menjawab selain anggukkan kepalanya. Lalu tundukkan wajah.
"Terima kasih, Seruling Gading...! Marilah kita pergi!" ujar Sambu Ruci yang tak lakukan sesuatu pun dalam keadaan wajah mereka begitu dekat. Padahal "sesuatu" itu sudah dibayangkan oleh sang gadis. Dan dia memang takkan menolak. Bahkan hatinya sudah tergetar, juga hasratnya. Akan tetapi sang pemuda tampan itu justru cuma ucapkan terima kasih, lalu menarik lengannya untuk segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara orang-orang dari rombongan pasukan Kerajaan itu sibuk mengurus mayat-mayat mengerikan yang bertebaran ditempat itu, Sambu Ruci dan si gadis peniup seruling sudah meninggalkan tempat itu...
Cahaya merah yang membersit dari atas bukit Karang Helang ternyata telah terlihat oleh kedua remaja yang tengah berlari-lari cepat diatas lembah.
"Lihatlah, Seruling Gading! Cahaya itu beberapa pekan yang lalu muncul dari puncak gunung Galunggung, tetapi sekarang telah muncul lagi dan berpindah ke atas bukit itu. Menurut yang ku tahu cahaya merah itu adalah pertanda akan timbulnya banyak malapetaka...!" berkata Sambu Ruci.
"Kau percaya... ?" tanya sang gadis.
"Entahlah! Tapi menurut kenyataan, sejak munculnya cahaya merah itu dari puncak Galunggung, telah muncul bencana besar yaitu mengganasnya lagi si perempuan Iblis Giri Mayang. Hingga sampai saat ini Iblis perempuan itu telah meminta puluhan korban keganasannya. Entah apa lagi yang bakal terjadi! Apakah cahaya merah dari atas bukit itu suatu pertanda akan lebih memburuknya bencana pada umat manusia? Apakah bakal muncul lagi manusia-manusia Iblis lainnya, ataukah wabah penyakit? Aku tak mengetahui...!" menjawab Sambu Ruci.
"Ingin kulihat dari manakah asal cahaya merah itu. Kau mau menemaniku kesana...?" berkata si gadis dengan tersenyum.
"Hahaha... mengapa tidak? Pergi berdua dengan seorang sahabat secantikmu aku takkan menolak!"
"Huu, lagi-lagi kau memujiku cantik. Aku khawatir bila kau lihat lagi perempuan lain yang cantiknya melebihi ku, lantas apakah kau masih tetap menyebutku cantik?" berkata menyindir gadis itu.
"Haiiih, Seruling Gading! Aku jamin mataku tak jelalatan memperhatikannya. Bukankah aku tetap menyebut mu cantik?" tukas Sambu Ruci.
"Mulutmu memang, akan tetapi hati orang siapa tahu?"
"Hatiku dan mulutku sama...!" tak mau kalah Sambu Ruci.
"Baik! Coba katakan, lebih cantik mana aku dengan Roro Centil?" Diluar dugaan "adat" ketus si Seruling Gading kembali muncul. Dengan menatap tajam dan lengan bertolak pinggang dia berdiri menunggu jawaban Sambu Ruci.
Melihat demikian mau tak mau Sambu Ruci jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Akan tetapi dia sudah punya jawaban yang pasti, walaupun pada kenyataannya Roro Centil memang sukar dikalahkan dalam segalanya. Roro terlalu cantik dan sukar untuk dinilai dari segi mana kecantikan serta keayuannya. Juga berilmu tinggi yang susah diukur menurut penilaiannya. Dan disamping Roro punya "adat" aneh yang sukar diterka, Roro juga punya keanggunan tersendiri sebagai seorang wanita yang ideal.
Adapun si Seruling Gading ternyata juga seorang wanita yang ideal. Terkadang ketus, tapi terkadang lemah lembut. Disamping tubuh semampai berisi serta wajah yang cantik rupawan, tak kalah dengan Roro Centil. Akan tetapi walau bagaimana Roro tetap berada diatasnya. Jauh dari seberang lautan Sambu Ruci mengembara cuma mencari Roro.
Sejak Roro menghilang dari Pulau Andalas, dan sejak adiknya menikah dengan sahabatnya, bernama Rahwanda. Yang pernah pula mereka bersaing dan bertarung memperebutkan Roro Centil, gara-gara Sambu Ruci mengira Rahwanda mengingini juga wanita Pendekar Perkasa itu yang selama lebih dari sebulan berada di tempat tinggalnya.
Dia memang menggilai Roro Centil. Akan tetapi Roro ternyata sukar didekati. Roro cuma jinak-jinak Merpati. Kemunculan dan kepergiannya sukar diketahui. Membuat Sambu Ruci mulai mengendur hasratnya untuk menyunting sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan saat muncul si gadis peniup seruling yang baru dikenalnya berapa hari, Sambu Ruci mulai antusias untuk mengenalnya lebih dekat. Rasa simpatinya semakin besar karena gadis itu mempunyai banyak persamaan dengan Roro. Cuma satu hal yang berbeda yaitu si gadis peniup seruling tidak memiliki kegenitan seperti Roro.
Ya! Seruling Gading tetaplah Seruling Gading, dan Roro Centil tetaplah Roro Centil yang masingmasing dengan segala yang dipunyainya. Ditatapnya dalam-dalam mata gadis itu. Diperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah-olah tengah menaksir orang untuk di perbandingkan dengan Roro Centil. Akhirnya terdengar suara Sambu Ruci setelah menghela napas, dan tersenyum.
"Kau... kau masih lebih cantik dari Roro Centil, Seruling Gading...! Kau mempunyai kelebihan yang tak dipunyai pendekar itu!"
"Apakah kelebihannya...?" tanya Seruling Gading dengan ketus, tapi tak bisa dibilang ketus karena nada suaranya ada tercampur suara mengandung getaran. Hidungnya terasa menggembung karena pujian itu, akan tetapi rasa penasaran membuat dia lakukan pertanyaan yang telah dilontarkan dengan cepat.
"Kelebihannya terletak dari sinar matamu...!" Ujar Sambu Ruci datar.
"Ha...?!" tersentak Seruling Gading. "Aneh sekali..." ujarnya mendesah.
"Apanya yang aneh...?"
"Kelebihannya itu!" sahutnya pendek.
"Lho? Mengapa harus aneh?" tanya Sambu Ruci seraya mendekat. "Aku berkata sejujurnya, adik Seruling Gading. Sinar matamu teramat sejuk bila kupandang. Dan disana kulihat ada cahaya ke"ibu"an...!
Seruling Gading tertunduk dengan rona merah menjalari wajahnya. Lengan Sambu Ruci bergerak menggamit dagunya. Menengadahkan lagi wajah dara itu dengan sepasang mata yang menatap tajam seolah mau menembus ke sanubari sang dara.
"Seruling Gading...! Aku mencintaimu... aku telah menemukan apa yang kucari, yaitu Cinta Suci. Aku... aku akan segera melamar mu, sayang..."
Berdegupan jantung dara itu. Suara nafasnya mendesah. Dan sepasang matanya terpejam. O Alangkah indahnya! Alangkah indahnya kata-kata itu! Dan dia tak menolak tatkala Sambu Ruci dekatkan wajahnya. Sesuatu yang dinanti membuat dia terperangah dengan napas tertahan. Akan tetapi Sambu Ruci ternyata cuma mencium keningnya. Selanjutnya dirasakan dekapan kuat yang memeluknya erat-erat. Dan lengan Sambu Ruci membelai rambutnya. Ah, sikap itu terasa terlalu membuat geregatnya hati sang gadis.
Akan tetapi seruling Gading semakin yakin bahwa dia telah menjumpai seorang pemuda pilihan yang bukan laki-laki hidung belang. Hidup mengembara yang telah dijalani sekian lama sejak dia lari dari perguruan, lari dari ayah tiri yang ternyata mempunyai nafsu binatang membuat dia harus menghadapi banyak marabahaya. Dia membutuhkan seseorang untuk melindunginya. Dan dia memang sudah mendapatkannya!
Tak terasa Seruling Gading balas mendekap dengan erat. Serasa tak mau dia melepaskannya. Sementara air matanya telah menitik. Betapa teramat bahagianya dia saat itu. "Kakak Sambu , benarkah ucapanmu itu...?"
"Mengapa tidak, sayang ku...? Aku memang akan melamar mu! Aku akan datang pada kedua orang tuamu untuk meminang mu dengan segera!" sahut Sambu Ruci.
"Apakah kau membalas cintaku yang suci ini...?" tanya Sambu Ruci, karena gadis itu tak menjawab. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kecuali dekapan yang semakin erat, dan air mata yang semakin deras mengalir.
"Kau... kau menangis, sayangku...?" berkata Sambu Ruci seraya menggamit dagu sang dara yang telah mengendurkan dekapannya.
"Ya! Aku menangis karena aku... aku bahagia..." sahut Seruling Gading dengan suara menggetar. "Aku pasrahkan jiwa dan ragaku hanya padamu, kakak Sambu..." ujarnya pula dengan suara lirih. Sepasang matanya yang berkaca-kaca itu gemerlapan bagaikan percikan cahaya mutiara. Dan gadis itu mencoba untuk tersenyum.
"Ohh..." tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut Sambu Ruci selain desahan lirih yang lepas melapangkan dadanya. Dipeluknya gadis itu erat-erat, dan direngkuhnya bibir mungil itu dengan kasih mesra, Saat itu dunia serasa mereka yang punya. Dan saat itu mereka tenggelam dalam kebahagiaan yang paling indah.
Angin sepoi berhembus memagut dahan, mengguncang ranting. Tiga empat daun kering melayang turun dari tangkainya. Betapa indahnya Cinta. Betapa agungnya Cinta! Tuhan telah mempertemukan jodoh sepasang makhluknya. Matahari semakin condong ke arah bukit. Sementara cahaya merah yang membersit dari puncak bukit Karang Helang telah lenyap sejak tadi.
TIGA
"HAI...!? Lihatlah...! Cahaya merah itu telah lenyap!" berkata Sambu Ruci.
Gadis yang tengah tersipu dengan menundukkan wajah itu seketika tengadahkan lagi wajahnya untuk melihat ke arah langit di sebelah barat. Benar saja! Cahaya merah itu memang telah sirna.
"Apakah kau tak akan membatalkan niatmu untuk melihat ke arah tempat keluarnya cahaya merah itu?"
"Aku memang mau melihatnya. Pasti cahaya itu keluar dari bukit bernama Karang Helang itu! Cahaya itu tepat diatasnya...!" menyahut si Seruling Gading.
"Baiklah! Mari kita kesana...!" ujar Sambu Ruci. Lengannya terulur, dan gadis itu cepat menyambutnya dengan mesra. Tak berapa lama dua sosok tubuh sudah berkelebatan untuk melesat cepat menuju ke arah bukit Karang Helang.
* * * * * * *
Sementara itu di atas bukit Karang Helang. Dua sosok tubuh itu masih tegak berdiri berhadapan. Sama-sama menatap dengan tatapan tajam laksana dua mata pisau yang mau menembus jantung lawan masing-masing. Dua pasang mata yang didalamnya tersimpan cahaya dendam, dan memancarkan hawa maut.
Lenyapnya cahaya merah yang membaur di atas bukit itu menandakan para Iblis yang membantu Giri Mayang dalam menghadapi Roro Centil telah melenyapkan diri. Roro Centil perlihatkan senyuman sinisnya, seraya berkata. "Hm, Giri Mayang! Sudah habiskah bala bantuanmu? Mayo, munculkan ular-ular siluman untuk menghadapi aku!" tantang Roro.
"Keparat...! Rasakanlah Sepasang Tangan Iblis ku!" membentak Giri Mayang. Dan dua larik sinar biru telah membersit ke arah Roro Centil dengan cepat. Giri Mayang membarenginya dengan suara tertawa mengikik menyeramkan. Roro Centil yang telah siap menghadapi segala kemungkinan, pergunakan kekuatan serta kepekaan seluruh inderanya.
Whuss...! Whusss...!
Hawa dingin mencekam disaat dua larik sinar biru itu memecah menjadi beberapa cahaya yang dengan suara bersiutan menerjang si Pendekar Wanita Pantai Selatan dari perbagai arah. Dengan membentak keras Roro putarkan tubuhnya dengan jurus Pusaran Angin Puyuh. Sengaja Roro mencoba keampuhan jurus warisan si Dewa Angin Puyuh sahabatnya alias paman angkatnya.
Laksana terkena pusaran angin puting-beliung puluhan cahaya biru itu berpentalan. Akan tetapi dua larik sinar biru telah membumbung ke atas, lalu menukik. Dan... Blarrr...! Tanah menyemburat ke udara. Dua larik sinar biru dari sepasang tangan Iblis itu telah mampu membobol pertahanan Roro. Akan tetapi tubuh Roro sendiri telah lenyap tak berbekas. Giri Mayang kerutkan keningnya dengan sepasang mata liar menjelajahi sekitar tempat itu.
"Aku berada dibelakangmu, Giri Mayang!" tahu-tahu suara Roro terdengar dibelakangnya. Tentu saja membuat wanita Iblis itu tersentak kaget. Lengan bajunya bergerak mengibas ke belakang dengan hantaman tenaga dalam.
Wusss...! Dua batang pohon yang berada tepat tak jauh dibelakangnya berderak patah, dan tumbang dengan suara gemuruh. Akan tetapi terperangah wanita itu karena terasa rambut kepalanya seperti dibetot dengan keras. Dan sekejap kakinya telah tak menginjak tanah. Menjerit Giri Mayang dengan meringis kesakitan. Tubuhnya tahu-tahu terlempar ke udara dengan membumbung pesat.
Satu bayangan berkelebat turun, dan hantamkan pukulan jarak jauh ke arahnya. Dalam keadaan melayang ke atas itu ternyata Giri Mayang dapat melihat Roro Centil yang barusan menjambak rambutnya. Setelah membetotnya dengan lemparan kuat ke udara, tubuh Roro meluncur turun, lalu hantamkan pukulannya. Itulah jurus dari pukulan Kosongkan Perut Menahan Lapar. Cepat sekali Giri Mayang "menarik" kembali sepasang Tangan Iblisnya. Dan memapaki serangan itu.
Blarrr!
Tubuh Roro terlempar beberapa tombak. Akan tetapi tubuhnya sendiri semakin tinggi melambung jungkir balik ke udara. Hebat akibat benturan dua kekuatan itu. Karena Roro Centil terengahengah dengan kucurkan darah dari mulutnya. Namun terperangah Giri Mayang, karena ternyata tubuhnya tak meluncur turun lagi. Tergantung-gantung dia di udara dengan keadaan kepala di bawah kaki diatas.
Sementara Roro cepat berdiri. Lalu menyeka darah kental yang mengalir dari bibirnya ke dagu. Terasa hawa busuk yang menyesakkan dadanya dan bau amis merangsang hidung, teramat memuakkan. Namun cepat-cepat Roro pusatkan kekuatan batin serta satukan segenap tenaga dalam untuk mengusir rasa sesak pernafasannya.
Selang sesaat keadaan kondisi tubuhnya mulai normal kembali. Kini sepasang mata dara perkasa ini menatap ke atas. Saat mana dua larik sinar biru baru saja membersit ke arahnya mengarah leher. Terperangah Roro Centil karena tahu-tahu sepasang lengan Iblis telah berada beberapa jengkal lagi siap mencengkeram untuk memoteskan kepalanya dari tubuhnya.
"Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis!" teriak Roro seraya kibaskan lengannya. Dan segelombang tenaga yang tak terlihat telah membuat sepasang Tangan Iblis seperti membentur satu dinding baja, yang membuat sepasang lengan itu terpental balik.
Sementara pertarungan tengah berlangsung seru, sepasang mata sejak tadi telah mengikuti jalannya pertarungan dari sesosok tubuh berjubah putih. Siapa lagi kalau bukan Nenek Muri Asih. Mulut wanita tua ini ternganga melihat jurus pukulan Roro yang membuat tubuh Giri Mayang tergantung-gantung di udara. Akan tetapi sepasang tangan iblisnya telah memburu nyawa Roro tiada henti. Lagi-lagi Nenek Muri Asih ternganga dengan mata membelalak seperti tak percaya.
Jurus Roro disaat dalam detik maut berada di depan mata ternyata telah tertolong dengan jurus barusan yang amat hebat. Yaitu jurus Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis! Akibatnya cahaya biru dari Sepasang Tangan Iblis itu terpental balik. Bahkan Roro telah membarenginya dengan tiga-empat hantaman dengan jurus-jurus aneh.
Sinar biru itu seketika terpecah menjadi ratusan sinar kecil-kecil yang membaur dan terpental deras ke ratusan penjuru. Akan tetapi percikan sinar biru kembali bergerak menyatu, untuk kemudian berubah menjadi sepasang sinar biru dari sepasang tangan Iblis. Melengak Roro Centil.
Dia telah pergunakan jurus-jurus dari si Manusia Gurun Pasir. Akan tetapi sinar itu tampaknya sukar dilumpuhkan. Sementara Giri Mayang yang "tergantung" di udara tampak mulai kehabisan nafas. Reaksi dari pukulan Roro yang mempergunakan jurus ciptaannya di Pulau Air masih bersisa. Saat mana tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh.
"Heheheheh... heheheh... Roro Centil! Kau takkan mampu melumpuhkan Sepasang Tangan Iblis! Hari ini adalah hari yang tepat untuk mengubur jasad Pendekar tolol yang sok menjadi pahlawan! Ya! hari ini adalah hari kematianmu, bocah wadon... heheheh..."
Selesai tertawa si nenek mata juling yang baru muncul itu telah jejakkan kakinya ke tanah. Bumi terasa bergetar. Akan tetapi hebat akibatnya. Karena seketika tubuh Giri Mayang yang tergantung di udara telah jatuh meluruk kembali ke bumi.
Tersentak Roro melihat kemunculan si nenek mata juling, juga melihat kekuatan jejakkan kakinya ke tanah yang terasa menggetarkan jantung. Akan tetapi melihat tubuh Giri Mayang yang meluncur jatuh ke tanah, mana Roro Centil mau membiarkannya? Sekali berkelebat tubuhnya telah membersit secepat angin.
Akan tetapi si nenek mata juling alias Nini Lembutung tak mau kalah cepat untuk menyelamatkan muridnya. Kakinya bergerak menjejak tanah, dan tubuhnya melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya memburu Roro. Dengan di sertai bentakan keras sebelah lengannya bergerak menghantam dengan pukulan tenaga dalamnya.
"Bocah keparat! kau rasakan ini...!" Dalam keadaan mengambang di udara agaknya sukar bagi Roro untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu. Akan tetapi pada detik itu secercah cahaya perak telah menghadang di depan Nini Lembutung memapaki serangan itu.
Blarrr...!
Terdengar suara ledakan keras, disertai dengan terlemparnya tubuh Nini Lembutung. Akan tetapi dengan ringan kaki nenek mata juling telah kembali jejakkan kakinya ke tanah. Tampak wajahnya berubah pucat karena terkejut, Setitik darah tersembul disudut bibirnya. Ternyata terpentalnya tubuh Nenek tua renta ini tidak sendiri, karena sesosok tubuh berjubah putihpun ikut terhuyung, yang tahu-tahu telah berada ditempat itu. Dialah si nenek Muri Asih.
Sementara itu Giri Mayang baru dapat bernapas. Begitu rasakan hawa segar dari lenyapnya pengaruh pukulan Roro Centil, serta mengetahui tubuhnya meluncur turun segera melihat gerakan Roro Centil yang meluncur ke arahnya. Akan tetapi lambatnya gerakan luncuran tubuhnya telah membuat Roro lebih cepat setindak untuk bergerak menyambar kakinya. Giri Mayang memang punya kegesitan luar biasa. Dengan gerak reflek kakinya menendang...
Adanya Roro Centil yang baru saja menyiapkan "tameng" untuk memapaki serangan Nini Lembutung, tapi tak jadi dipergunakan karena tiba-tiba munculnya selarik cahaya selendang perak yang menyambar si penyerangnya. Tahulah Roro kalau Nenek Muri Asih yang muncul menolongnya. Kini "tameng" yang telah disiapkan itu segera dipergunakan untuk memapaki serangan kaki Giri Mayang.
Dhesss...! Terdengar teriakan tertahan Giri Mayang. Tubuhnya terlempar beberapa tombak dan jatuh bergulingan di tanah. Meraung wanita iblis itu karena terasa tulang kakinya berderak patah. Dengan meringis kesakitan, tiba-tiba wanita ini cepat "tarik" lagi Sepasang Tangan Iblisnya. Sementara Roro Centil baru saja jejakkan kakinya ke tanah setelah berjumpalitan di udara. Sementara dilain pihak...
"Nini Lembutung...! Akulah lawanmu! Jangan ikut campur dalam urusan pertarungan adu jiwa kedua bocah itu!" Membentak Nenek Muri Asih yang telah berdiri dihadapan Nini Lembutung dengan gagah. Jubah putihnya berkibaran tertiup angin.
"Keparat! rupanya kau si Selendang Perak Pelangi...!" Mendelik sepasang mata juling nenek sakti dari pulau Andalas ini.
"Tidak salah! Matamu walaupun juling ternyata masih awas!" ujar nenek Muri Asih.
"Kunyuk keparat! Kau minta mampus!" maki Nini Lembutung. Dan sepasang lengannya bergerak menyilang menggeletar. Bibir perempuan sakti ini berkemak-kemik membaca mantera. Tiba-tiba...
Whusss! Whusss...!
Sepasang lengannya bergerak menghantam ke depan saling susul. Membersitlah sinar merah berhawa panas saling susul meluncur pesat mengancam jiwa nenek Muri Asih.
EMPAT
Blar! Blarr! Blarrr...!
Terdengar suara ledakan beberapa kali. Percikan-percikan lelatu api terlihat di udara. Ternyata nenek Muri Asih telah memapaki serangan demi serangan itu dengan pukulan-pukulan sinar peraknya. Hebat akibatnya karena kedua tokoh itu sama-sama terhuyung dengan wajah pucat. Masing-masing dari mulutnya mengalirkan darah kental.
Tampak masing-masing menggelosor terduduk, dan mereka berusaha memulihkan kekuatannya karena mereka telah sama-sama terluka dalam akibat benturan-benturan kekuatan tenaga dalam tingkatan tinggi itu.
Sementara itu Giri Mayang tampaknya telah punya "sayap" lagi walaupun sebelah tulang kakinya patah. Karena Sepasang Tangan Iblis telah berada di lengannya lagi. Kemunculan Nini Lembutung telah diketahui. Hal ini telah membesarkan nyalinya lagi yang tadinya mulai mengecil. Tentu saja geramnya luar biasa dia pada nenek Muri Asih. Perempuan tua itulah yang telah mengurungnya beberapa pekan yang lalu di hutan rimba belantara, hingga sampai beberapa hari dia tak mampu keluar dari tempat itu.
Apa lagi telah diketahui nenek itu telah menghalangi "tabrakan" Nini Lembutung, yang dalam segebrakan tadi telah berhasil menyelamatkan Roro Centil dengan sambaran "selendang" peraknya. Beberapa "labrakan" antara kedua tokoh itu telah menarik perhatian mereka sejenak untuk menyaksikannya. Baik Giri Mayang maupun Roro Centil sama-sama terkejut karena benturan demi benturan tenaga dalam kedua nenek itu, amat keras.
Dalam sejenak terperangah itu, Giri Mayang lebih dulu tersadar. Dan kesempatan disaat Roro lengah tak disia-siakan. Sepasang lengan Iblisnya dilepaskan... "Hihihi... mampuslah kau Roro Centil keparat...!" bentaknya dalam hati.
Terperangah Roro ketika tersadar bahaya mengancam jiwanya. Sepasang Lengan Iblis yang bentuknya menyeramkan itu telah berada sejengkal lagi di depan matanya. "Tamatlah riwayatku...!" memekik Roro dalam hati. Akan tetapi dengan gerak reflek sepasang tangan Roro yang selalu "berisi" itu secepat kilat telah bergerak menangkap. Sebuah dari sepasang lengan itu berhasil ditangkap, tapi sebuah lagi lolos dari tangkapannya. Karena sekonyong-konyong si Lengan Iblis melesat ke sisi. Nyaris pinggang Roro kena terkoyak kalau dia tak cepat jatuhkan diri bergulingan.
Sementara sebelah Lengan Iblis itu masih tak lepas dari cekalan tangan Roro. Bahkan diperkuat dengan kedua tangan. Giri Mayang tak berikan kesempatan Roro untuk berdiri lagi. Dengan kekuatan batinnya yang tinggi Giri Mayang "menyetir" tangan Iblisnya untuk meluncur mencengkeram leher Pendekar Wanita itu dari belakang. Sedangkan sebuah lagi dari lengan Iblisnya telah dibetot, keras agar terlepas dari tangan Roro.
Roro Centil menyadari dirinya dalam bahaya. Namun sebisanya dia harus mempertahankan diri untuk menyelamatkan nyawanya. Ketika itu juga dengan jurus Lompatan Harimau Gurun Pasir, Roro membarengi kekuatan Tangan Iblis yang telah membetotnya. Terdengar jeritan parau menyayat hati dan suara derak tulang yang patah. Darah menyemburat. Dan sebuah kepala manusia terlempar ke udara.
Itulah jeritan parau dari Giri Mayang! Kepalanya telah putus, terlepas dari tubuhnya dengan darah memuncrat mengerikan. Bersamaan dengan robohnya tubuh tanpa kepala dari wanita iblis itu, terdengar suara Blarrr...! Secercah kilatan perak dan pelangi menyambar ke belakang Roro Centil. Sinar biru seketika memercik ke udara. Ternyata sepasang Selendang nenek Muri Asih telah menghantam sebuah dari Tangan Iblis yang nyaris mencengkeram leher Roro.
Sementara itu berbareng dengan bunyi ledakan keras dibelakangnya, Roro telah jatuhkan tubuhnya bergulingan. Roro memang telah mengetahui bahaya maut mengancam dibelakangnya, namun keburu Nenek Muri Asih menghantam Tangan Iblis yang sebuah itu dengan selendang Peraknya.
Dan disaat kepala Giri Mayang meluncur turun, sebuah bayangan dengan cepat telah menyambar. Detik berikutnya Roro Centil telah berdiri dengan gagah. Rambutnya berkibaran tertiup angin. Pada sebelah lengannya tampak tergantung-gantung sebuah kepala manusia tanpa tubuh yang dicengkeram rambutnya. Itulah kepala Giri Mayang...! Lengan satunya lagi tiba-tiba bergerak menghantam tubuh Giri Mayang tanpa kepala, yang seketika terbakar hangus!
Apakah sebenarnya yang terjadi? Kiranya disaat tubuh Roro Centil terbetot oleh kekuatan Tangan Iblis yang ditarik Giri Mayang, Roro Centil telah membarengi melesat dengan jurus Lompatan Harimau Padang Pasir. Ternyata Roro telah arahkan cengkeraman Tangan Iblis pada majikannya. Tak ampun lagi si Tangan Iblis mencengkeram ganas! Tapi yang dicengkeram adalah batang leher "majikan"nya sendiri. Dengan kekuatan tangannya Roro Centil menyentakkan kepala Giri Mayang hingga sekaligus putus! Dan terlempar ke udara.
Asap hitam membumbung disertai bau sangit yang menusuk hidung, ketika Roro Centil selesai membaca mantera dari Tujuh Mantera Penolak Iblis warisan si Manusia Gurun Pasir. Dan saat itu pula Tangan Iblis yang dicekal kuat oleh Roro telah lenyap.
Kejadian itu ternyata tak luput dari mata Nini Lembutung, yang baru saja selesai memulihkan luka dalamnya. Tampak wajah dan sekujur kulit wanita tua itu telah berubah menjadi merah laksana darah. Peralihan demikian ternyata membuat wajahnya lebih menyeramkan lagi, yang ternyata juga berubah secara mendadak. Dari kedua sisi bibirnya telah tersembul dua buah taring yang runcing mengerikan.
Dengan mendengus bagai suara kerbau di gorok, tiba-tiba sepasang lengannya terpentang ke arah nenek Muri Asih. Wanita tua yang baru saja menolong Roro itu tak sempat berbuat apa-apa karena ketika menoleh pada Nini Lembutung, serangan dahsyat itu telah datang dengan mendadak. Walaupun demikian dia telah menangkis sebisanya.
Namun segera terdengar jeritan ngeri si nenek Muri Asih. Tubuhnya terlempar bergulingan bercampur dengan deru angin panas yang menerbangkan batu-batu. Bau sangit mengembara. Keadaan tubuh nenek Muri Asih tampak mengkhawatirkan, karena seluruh pakaiannya telah hangus terbakar. Pada bagian dadanya tampak tertera sebuah telapak tangan yang menghitam jelas menempel dikulit dan payudaranya.
Wanita tua ini mencoba bangkit, akan tetapi kembali dia roboh dan beberapa kali muntahkan darah hitam kental. Dalam keadaan demikian, sebuah bayangan berkelebat ke arahnya seraya terdengar suara teriakan tertahan.
"Nenek Muri...! kau... kau... kau terluka...?" ternyata Roro telah menghampiri dan menatap dengan khawatir.
Lompatan Roro yang menghampiri nenek Muri Asih ternyata dibarengi dengan kelebatan tubuh Nini Lembutung setelah menyambar Tangan Iblis dari hasil pembentukan percikan sinar biru yang buyar terkena hantaman selendang perak pelangi nenek Muri Asih tadi.
Ternyata lagi-lagi si nenek mata juling ini mau membokong. Dendamnya semakin menghebat melihat kematian Giri Mayang, sedangkan dendamnya sendiri belum terbalaskan. Lengan Iblis yang dicekalnya meluncur pesat untuk mencekeram leher Roro Centil. Sementara lengannya sendiri membarengi dengan menaburkan serbuk racun dalam genggaman tangannya.
"Modharrr...!" bentaknya dengan bersemangat.
Akan tetapi satu keanehan terjadi. Roro Centil balikan tubuhnya seraya membentak. "Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis!"
Dan buyarlah serbuk racun yang ditaburkan Nini Lembutung yang meluruk deras ke arah Roro dan nenek Muri Asih. Juga sinar biru dari Tangan Iblis itu tertolak mental. Sebagai gantinya terdengar jeritan parau Nini Lembutung yang terkena sambaran serbuk racunnya sendiri, dan cengkeraman Tangan Iblis yang dikendalikan Roro dengan kekuatan batinnya.
LIMA
TANGAN IBLIS yang mengerikan itu mencengkeram perutnya. Sementara si nenek mata juling berusaha menariknya. Darah mengucur bertetesan. Tampak wajah Nini Lembutung yang telah berubah mengerikan itu jadi semakin menyeramkan. Tubuhnya terhuyung-huyung lalu ambruk ke tanah dan berkelojotan meregang nyawa. Jeritan-jeritan paraunya bagaikan suara jeritan setan dan iblis.
Roro Centil melompat mundur untuk kemudian memeluk nenek Muri Asih yang seperti telah tak berdaya dengan luka parahnya. Tiba-tiba cuaca sekonyong-konyong berubah gelap. Angin membersit keras. Petir menggelegar bersahut-sahutan. Salah satu kilatannya menyambar tubuh Nini Lembutung yang tengah sekarat meregang nyawa.
Tharrr...! Cahaya terang benderang itu sekilas menyobek kegelapan. Tampak asap hitam membumbung, juga bau sangit segera tercium dalam bersitan angin kencang. Roro Centil makin erat memeluk tubuh wanita tua itu.
"Apakah yang akan terjadi...?" berdesis bibir pendekar wanita kita.
"Tenanglah, Roro..." terdengar suara nenek Muri Asih. Nada suaranya lemah.
Trenyuh hati Roro memandangnya. Diam-diam dia salurkan hawa hangat ke tubuh wanita tua itu. "Nenek Muri...! Kita harus segera tinggalkan tempat ini..." berbisik Roro.
Akan tetapi wanita tua itu menggeleng. "Sabarlah...! Aku masih mau bercakap-cakap denganmu, Roro..." menyahut wanita tua itu.
"Kau telah berhasil menemui si Manusia Gurun Pasir...?" tanya nenek Muri Asih.
"Benar, nenek Muri! akan tetapi cuma kerangkanya saja." sahut Roro.
"Hehehe... bagus! dan... kau pasti telah mempelajari kitab simpanannya!" tertawa nenek Muri Asih.
"Benar...!"
"Syukurlah....! Secara tak langsung kau telah menjadi pewaris ilmu si Manusia Gurun Pasir itu, Roro. Kau sungguh beruntung. Tapi aku adalah manusia yang sial. Karena berpuluh tahun aku mencari si Manusia Gurun Pasir tapi tak pernah berjumpa...! Manusia Gurun Pasir adalah orang negeri Tursina jauh di Timur Tengah sana. Dia bekas seorang Sultan yang pernah memerintah beberapa wilayah dalam satu Kerajaan di negeri itu.
"Sedangkan aku... aku cuma seorang inang pengasuh, dari seorang Ratu perempuan yang pernah berkuasa disatu wilayah utara. Manusia Gurun Pasir berhasil menyunting majikanku, alias sang Ratu di wilayah utara itu dalam pengembaraannya. Ditubuh ku mengalir darah jahat dari ibuku. Melihat kebahagiaan sang Ratu junjunganku dengan si Manusia Gurun Pasir aku jadi mengiri. Aku telah lakukan kejahatan, yaitu berusaha memisahkan mereka berdua...!
"Akan tetapi kesudahannya aku menyesal. Aku membenci perbuatan jahat ku. Aku memang berusaha keras melenyapkan sifat jahat dalam diriku, akan tetapi aku merasa tak sanggup untuk menguasai jiwaku keseluruhan. Sejak itu aku tak tahu lagi tentang sang Ratu junjunganku itu. Ya, sejak aku berhenti jadi inang pengasuh dan meninggalkan wilayah utara itu.
"Namun belasan tahun kemudian aku mendengar suara gaib yang memerintahkan aku merawat seekor harimau tutul! Sejak itulah aku menjadi "pengasuh" dari si Tutul. Sayang aku belum juga dapat menguasai kejahatan yang terkadang selalu timbul untuk merangsang jiwaku. Acap kali aku telah menyuruh si Tutul melakukan kejahatan. Akan tetapi untunglah...! Aku sering gagal dan merobah jalan pikiran untuk cepat membatalkan niat jahatku itu.
"Hingga akhirnya aku telah berjumpa denganmu, Roro...! Dan kau telah menaklukkan si Tutul dengan cahaya sebuah cincin bermata batu Merah Delima yang kuketahui jelas adalah milik sang Ratu. Entah dari mana kau dapatkan benda itu hingga berada ditangan mu, waktu itu aku tak berniat menyelidiki. Bahkan aku telah menyangka kau adalah titisan dari sang Ratu junjunganku itu. Sejak itu aku melenyapkan diri.
"Walau sebenarnya orang telah mengenalku sebagai seorang Pendekar perempuan yang digelari si Pendekar Selendang Perak Pelangi. Namun aku merasa sebutan Pendekar itu padaku terasa berat bagiku menerimanya. Karena terkadang aku malu pada diriku sendiri yang suka berbuat kejahatan, walaupun hal itu kuperbuat diluar kesadaranku...!"
Demikian tutur nenek Muri Asih dengan agak panjang lebar. "Tapi anehnya sejak si Tutul berada padamu, aku mulai bisa mengatasi golakan darah jahat yang merangsang syaraf ku dan mengendalikannya!"
Roro Centil mendengarkan penuturan si nenek dengan tertegun dan terlongong-longong. Selang sesaat setelah terbatuk-batuk beberapa kali, nenek Muri Asih lanjutkan ucapannya.
"Aku telah pernah berjanji akan menurunkan ilmuku padamu, Roro...! Akan tetapi "agaknya maut sebentar lagi akan menjemputku..." Ujarnya lagi dengan fasal lain, karena telah selesai dalam memberikan penuturan dari kisah hidup yang dialaminya.
Roro memang tak sempat untuk menuturkan, dan si nenek Muri Asih tak pernah tahu kalau sebenarnya si Tutul yang selalu mengikut padanya adalah roh dari si Manusia Gurun Pasir, seperti apa yang telah dituturkan sendiri oleh suara gaib ketika Roro berada didalam goa di tengah gurun pasir...
"Tidak! nenek Muri...! Kau harus hidup! Aku akan berusaha menolongmu menyembuhkan luka dalam ditubuh mu...!" sentak Roro terkejut.
Akan tetapi wanita tua itu cuma tersenyum. Tatapan mata wanita tua ini semakin melemah. Namun tampak dia berusaha menguatkan tubuhnya. "Dekatkan telingamu kemari, Roro...!" perintahnya tiba-tiba.
Tak ayal Roro segera menuruti kehendak wanita tua perkasa ini untuk mendekatkan telinganya pada mulut nenek Muri Asih. Terdengar bisikan kata-kata... Dan tampak Roro manggut-manggut.
"Kau hapalkan kata-kataku ini. Aku yakin kau akan mampu memecahkannya. Dan dengan demikian lunaslah hutangku karena kau pasti bisa memainkan jurus-jurus Selendang Perak Pelangi..." berkata nenek Muri Asih dengan nada pasti dan tampak kepuasan pada wajahnya.
Tiba-tiba wajah wanita tua itu berubah pucat dan menegang. "Roro! segeralah kau tinggalkan tempat ini...! Cepat! Cepatlah...!" perintah nenek Muri Asih.
Akan tetapi Roro malah tertegun dan tak beranjak dari tempatnya. Sementara kilatan-kilatan petir tetap terlihat beredepan dilangit. Angin keras masih membersit. Sekilas terpandang tubuh Nini Lembutung terkapar tak berkutik dengan tubuh yang telah menghitam hangus. Roro bergidik ngeri melihatnya, seraya menatap menengadah ke atas.
Tiba-tiba terperangah Roro Centil ketika melihat ada perubahan pada wajah dan sekujur tubuh nenek Muri Asih. Tubuhnya berubah menjadi merah juga rambutnya. Dan wajahnya telah berubah jadi menyeramkan, karena sepasang taring telah tersembul dari kedua sudut bibirnya.
"Ahh...!?" tersentak Roro seraya beringsut mundur.
"Sudah terlambat, Roro...! Tapi tak apalah! Kau sudah terlanjur melihat bentuk ujudku! Ketahuilah...! Aku dan Nini Lembutung itu adalah saudara sedarah. Walau aku dengannya adalah lain ayah tapi darah ibuku masih menyerap dalam tubuhku! Darah yang telah kena kutukan iblis! Kini pergilah cepat kau, Roro! Sebentar lagi petir akan menghanguskan tubuhku!" berkata nenek Muri Asih dengan suara serak parau.
Akan tetapi Roro Centil tetap tak beranjak dari tempatnya. "Tidak nenek Muri, kau tak boleh termakan kutukan! Kalau memang kau sudah ditakdirkan mati, kau harus mati dalam keadaan wajar...!" sahut Roro.
Dan tanpa perdulikan perintah nenek Muri Asih yang telah berubah jadi mengerikan itu, Roro Centil cepat membaca "mantera-mantera Suci" dari tujuh kalimat yang dipelajari dari Manusia Gurun Pasir. Tiba-tiba langit mendadak berubah cerah. Angin yang membersit keras itu pelahan-lahan melenyap. Juga kilatan petir telah terhenti. Alam tampak kembali tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Dan tertegun Roro Centil ketika menatap pada nenek Muri Asih ternyata tubuh dan wajahnya telah kembali seperti sedia kala. Wanita tua itu tampak seperti masih tersenyum padanya dengan mata setengah terbuka. Akan tetapi nyawanya telah melayang.
"Nenek...! Nenek Muri... Aiii, kau benar-benar telah mendahului...!" ucap Roro dengan lirih dan hati trenyuh. Lengannya bergerak mengusap wajah wanita tua bekas Pendekar Wanita Perkasa itu hingga terkatup kelopak matanya. Lama Roro tercenung menatap dengan tertegun. Tak lama terdengar suara helaan nafasnya.
"Yah, takdir tak dapat dipungkiri...! Akan tetapi aku puas, karena kau dapat mati dengan sewajarnya, nenek, Muri. Semoga Tuhan mengampuni dosamu!" ucap Roro dengan suara lirih. Pelahan-lahan Roro mulai tersadar kalau sudah waktunya dia meninggalkan tempat itu. Segera dipondongnya jenazah nenek Muri Asih alias si Pendekar Selendang Perak Pelangi.
Terkejut Roro Centil ketika sejenak mengamati sekitar tempat itu, karena hutan rimba yang berada disekitar bukit Karang Helang telah porak-poranda bagaikan baru diterjang badai. Roro memang tak menyadari dan tak begitu memperhatikan kalau angin keras yang berpusaran diatas bukit tadi telah membuat hutan belantara ditempat itu seperti baru diobrak-abrik tangan Raksasa. Akan tetapi tidak sampai merambah ke tempat pertarungan. Roro menatap sejenak ke arah Matahari yang sudah semakin condong lalu bergegas menuruni lereng bukit.
ENAM
"Nona Roro...!" Satu teriakan santar membuat Roro Centil hentikan langkahnya, dan menoleh ke arah suara. Segera terlihat dua sosok tubuh berlari-lari mendatangi. Beberapa saat kemudian kedua sosok tubuh itu telah tiba dihadapannya.
"Sobat Sambu Ruci...! Ah, kiranya anda?" berkata Roro, Seraya sepasang matanya memperhatikan kawan wanita laki-laki itu.
Sambu Ruci agaknya tak teringat sama sekali untuk memperkenalkan gadis kawannya itu pada Roro, karena sepasang matanya tertuju pada jenazah seorang wanita tua dalam pondongan pendekar wanita itu. "Nenek Muri Asih...! Apakah yang terjadi?" tanya Sambu Ruci dengan menatap tertegun pada Roro.
"Beliau telah tewas... menyahut Roro dengan tersenyum pahit.
"Ah...!?" tersentak Sambu Ruci. Seketika persendian sekujur tubuhnya terasa lemas. Begitu juga dengan wanita si gadis peniup Seruling alias si Seruling Gading. Dia menatap dengan tertegun dan hati mencelos, karena belum lama dia berjumpa dengan nenek itu yang telah memerintahkan menguburkan puluhan jenazah penduduk dari dua desa akibat perbuatan Giri mayang.
Tapi kini dijumpainya lagi wanita sakti itu telah tewas dengan keadaan mengenaskan. Ketika tertatap kepala tanpa tubuh yang terayun-ayun di bawah lengan Roro serentak keduanya melangkah mundur dengan terperangah.
"Hihihi... inilah kepala si Giri Mayang! Setelah selesai mengubur jenazah nenek Muri Asih, aku akan mengantarkannya ke Istana. Akan kupersembahkan pada Raja!" berkata Roro yang telah memaklumi keterkejutan kedua remaja itu.
"Kami baru mau melihat ke atas bukit untuk mengetahui apa yang terjadi disana. Akan tetapi cuaca tiba-tiba menjadi gelap. Petir menyambar dan angin keras bagaikan taufan datang secara tiba-tiba. Terpaksa kami urungkan niat. Tak dinyana diatas sana telah terjadi pertarungan hebat! Dan diatas sana pula tempat kematian perempuan Iblis bernama Giri Mayang! Sungguh tak kusangka kalau anda berhasil membunuhnya, nona Roro...! Akan tetapi bagaimana kisahnya sampai nenek Muri Asih bisa tewas...?" tutur Sambu Ruci yang diakhiri dengan pertanyaan.
"Hm, nanti akan kuceritakan! Marilah kita cari tempat yang baik untuk mengebumikan jenazah nenek Muri ini...!" menyahut Roro.
"Ehm, tapi perkenalkan dulu, siapa gadis kawanmu itu...?" sambung Roro dengan tersenyum.
Belum lagi Sambu Ruci buka mulut si Gadis telah maju selangkah seraya menjura pada Roro. "Maafkan, aku yang rendah bernama dan bergelar si Seruling Gading. Gembira sekali dapat berjumpa dengan anda, kakak Pendekar! Nama anda telah terdengar santar ke setiap tempat, membuat setiap golongan Pendekar mengagumi. Dan...aku adalah salah seorang pengagum anda...!" ujar Seruling Gading yang kemudian mengangkat wajah dengan senyum menghiasi bibirnya. Sementara diam-diam hatinya memuji dan kagum luar biasa akan kecantikan sang pendekar wanita itu. Sudah cantik berilmu tinggi pula yang sukar diukur...! Oo.... betapa kecilnya aku bila dibandingkan dengannya...? berpikir Seruling Gading dalam benak. "Pantas kalau Sambu Ruci pernah ada Hati dengannya!" berkata dalam hati si gadis ini.
Roro Centil mengangguk seraya tersenyum. "Namamu dan gelarmu bagus sekali, adik...! Baiklah nanti kita teruskan bercakap-cakap, Mari kita tinggalkan tempat ini...!" tukasnya kemudian seraya menatap pula pada Sambu Ruci. Keduanya dengan berbareng mengangguk. Roro segera putarkan tubuh. Lalu melangkah untuk segera berlari cepat menuruni lereng bukit karang Helang.
Tak ayal Sambu Ruci dan Seruling Gading segera berkelebat mengikuti. Lengan Sambu Ruci bergerak terulur ke sisi untuk menggamit lengan gadis itu, yang segera menyambutnya dengan cekalan erat. Dengan bergandengan tangan keduanya berlari-lari serta terkadang melompat menyusul kelebatan tubuh Roro, hingga tampak dari kejauhan bagaikan dua bayangan merah dan putih yang berkelebatan menuruni lereng bukit Karang Helang. Bukit yang telah membawa maut!
Akan tetapi kemenangan berada dipihak Roro Centil sang Pendekar Wanita Pantai Selatan. Walau harus berkorban dengan kehilangan nyawa seorang Pendekar Wanita tua yang berbudi luhur. Roro benar-benar menepati janjinya yaitu mengirimkan kepala Giri Mayang pada Raja yang disertakan pula didalamnya sepucuk surat.
"Semoga dengan tewasnya perempuan Iblis bernama Giri Mayang ini, keadaan di wilayah Kerajaan anda kembali pulih dan tenteram seperti sediakala." Demikian isi surat yang dituliskan diatas secarik kertas. Dan pada bagian bawahnya tertera nama Roro Centil.
Tentu saja amat suka-citanya hati Raja. Baginda Raja telah menyediakan hadiah istimewa untuk sang Pendekar Wanita itu yang telah berjasa memulihkan keamanan di wilayah kekuasaan Kerajaannya. Segera disebar undangan ke setiap tempat, karena tak diketahui dimana beradanya Pendekar Wanita Roro Centil itu. Agaknya Raja ingin melihat sendiri bagaimana rupa dan wajah tokoh Pendekar yang namanya banyak disanjung orang itu.
Beberapa hari ditunggu-tunggu ternyata tak ada berita datangnya sang dara Perkasa itu. Akhirnya sepekan kemudian. Raja mendengar berita adanya Pendekar Besar itu menetap di Pesanggrahan desa Cipatujah. Segera diutus orang untuk menyelidiki ke sana. Ketika utusan itu kembali, segera datang menghadap seraya menyembah.
"Ampun, Gusti Paduka Raja, Pendekar Roro Centil telah pergi meninggalkan pesanggrahan Cipatujah dimana dia menetap. Tak seorangpun dari rakyat Cipatujah mengetahui kemana perginya...!"
Termenung Baginda Raja dengan laporan itu. Ketika utusan itu telah kembali keluar ruangan pendopo Istana, Baginda Raja terdengar menghela napas dan terdengar suaranya bergumam lirih...
"Haih...! Pendekar Wanita itu memang sukar diikuti jejaknya. Kepergiannya tentu sengaja dipercepat, karena aku yakin dia tak membutuhkan imbalan atas segala jasanya...!" gumam sang Raja. Lalu bangkit dari kursi singgasananya dan beranjak masuk ke ruang dalam. Hari itu juga kepala Giri Mayang diperintahkan untuk dibakar....
Sementara di Pesanggrahan Cipatujah. Sepasang Pengantin Baru itu masih tampak malu-malu diriung banyak orang. Akan tetapi dari pancaran matanya terlihat sinar kebahagiaan, itulah pasangan pengantin dari Sambu Ruci dan Seruling Gading. Pernikahan itu telah selesai dan resmi sudah mereka menjadi suami-isteri. Walaupun untuk itu mereka cukup dihadiri oleh beberapa orang sebagai saksi, tanpa wali.
Roro Centil memang telah meninggalkan tempat itu, begitu selesai memberi selamat pada kedua mempelai. Entah apa yang membuat Roro cepat-cepat berlalu, sedangkan tetamu undangan masih berdatangan. Dan banyak orang yang diundang belum munculkan diri.
"Numpang nikah" dikampung orang memang harus banyak menemui syarat-syarat tertentu. Tapi karena sedikit banyak mereka tahu siapa adanya orang yang berada ditempat pesta perkawinan itu juga orang yang punya "tempat" dimana diadakan pesta pernikahan itu syarat-syarat tampaknya tak berlaku.
Rumah besar itu adalah Pesanggrahan milik seorang tokoh silat kenamaan didaerah itu yang bergelar Ki Astagina. Pesanggrahan Cipatujah memang telah disetujui oleh Ki Astagina untuk di pakai menikahkan kedua mempelai yang menumpang menikah di wilayah itu, yang juga telah disetujui Kepala Desa Cipatujah.
"Aku telah menolong menikahkan mereka...! Hm, tampaknya Sambu Ruci benar-benar mencintai gadis itu. Si Seruling Gading juga demikian...!"
Terdengar suara desis lirih dari bibir dara berambut panjang terurai itu. Dia memang Roro Centil yang tengah duduk diatas batu karang ditepi pantai. Pagi itu laut tampak tenang tak berombak. Angin cuma semilir saja.
"Sukurlah! semoga mereka bisa rukun..." terdengar lagi desis suara Roro. Sepasang matanya tampak menatap jauh ke cakrawala. Terkadang memperhatikan burung-burung camar yang sesekali menukik menyambar ikan-ikan dipermukaan air. Dan suara helaan napas sang dara terdengar menyibak keheningan dipantai itu.
Dan... aneh! Disaat-saat seperti itu Roro teringat pada seorang laki-laki brewok yang bertampang gagah. Ya laki-laki yang bernama Joko Sangit. Laki-laki yang digelari si Brandal Pemabukan. "Huh...! terdengar suara mendengus dari hidung Roro. Dan bibirnya membuat tekukkan dengan mimik cemberut.
"Lelaki hidung belang macam itu mengapa harus diingat-ingat...?" tiba-tiba menggumam Roro Centil. Dialihkannya ingatannya pada lain Wajah. Akan tetapi justru wajah Sambu Ruci yang terpampang di pelupuk mata.
Plak! Tiba-tiba Roro telah menampar pipinya sendiri. "Mengapa justru Sambu Ruci yang ku ingat? Aiiih! Dia sudah jadi milik orang! Dan aku memang tak ada hati padanya...!" berkata Roro dalam hati.
Dan dia jadi tertawa sendiri karena lagi-lagi teringat pada Joko Sangit. Tertawa yang didalamnya mengandung kepedihan. Roro memang tak dapat mendustai dirinya sendiri kalau dia memang serasa ingin sekali berjumpa dengan laki-laki itu. Laki-laki yang telah membangkitkan rasa cemburu dihatinya. Akan tetapi menimbulkan pula rasa kasihan, karena tampaknya Joko Sangit selalu menjadi bulan-bulanan perempuan bejat.
Apa yang diingat Roro adalah ketika mengingat kejadian di wilayah Lembah Soka disaat kaum golongan Pendekar akan menyebrang ke tengah Telaga Berkabut untuk menggempur Istana Kerajaan Pugar Alam, pada beberapa bulan yang lalu. Joko Sangit memang "jatuh" dalam pelukan seorang perempuan yang menamakan dirinya si Dewi Perunggu. Mengingat demikian seketika wajah Roro berubah merah dan terasa panas, yang membuat dia menggigit bibirnya dengan wajah kesal.
"He? Mengapa aku tak mencoba mempelajari jurus Selendang Perak Pelangi?" tiba-tiba Roro teringat akan bisikan kata-kata ditelinganya ketika saat nenek Muri Asih akan menghembuskan napas terakhir. Roro duduk merenung untuk mengingat-ngingat bisikan kata-kata itu, dan mencoba memecahkannya.
Tak lama wajah Roro membersitkan kegirangan. Dan... mulailah dia mencoba berlatih dengan pukulan-pukulan tangannya. Air laut menyemburat terkena hantaman-hantaman pukulan Roro. Akan tetapi belum menampakkan hasilnya. Roro terus mencoba dan mencoba...! Kemauan kerasnya untuk menguasai jurus nenek Muri Asih semakin membuat dia penasaran. Akhirnya Roro mengambil keputusan untuk menetap sementara dipantai itu guna mempelajari jurus-jurus Selendang Perak Pelangi.
* * * * * * *
TUJUH
Sementara itu Tiga sosok tubuh laki-laki yang bentuk tubuhnya berbeda satu sama lain tampak tengah berdiri diatas lamping bukit. Menyapukan pandangan mata mereka pada sekitar tempat itu. Seorang bertubuh jangkung mirip galah. Seorang lagi bertubuh pendek kekar. Sedangkan yang paling sisi adalah seorang laki-laki gemuk berpipi tembem. Rambutnya hitam kaku.
Dua dari ketiga orang ini mengenakan pakaian dari kulit kerbau. Si jangkung kurus mencekal sebatang ruyung yang panjangnnya melebihi kepalanya. Si pendek kekar membawa dua buah buli-buli arak yang tergantung dipinggangnya. Sedangkan si gemuk pipi tembem yang memakai jubah kuning dari kain kasar itu bertangan kosong.
Melihat dari tampangnya si gemuk itu seperti seorang pegulat ulung, yang bukan penduduk asal daerah itu. Boleh dibilang seperti orang asing yang baru injakkan kaki ke wilayah itu
. "Kakang Sapi Lanang. Tujuan kita adalah menyeret si gadis bandel itu untuk pulang kembali ke perguruan, bukan untuk tujuan macam-macam!" berkata si pendek kekar yang membawa buli-buli arak pada si laki-laki jangkung. Si pendek kekar ini bernama Suro Ragil yang terhitung adik seperguruan laki-laki jangkung bernama Sapi Lanang itu. Agaknya Suro Ragil telah mengetahui watak kakak seperguruan nya yang suka menyeleweng.
"Hohohoho... tentu! tentu saja...! Apakah info itu jelas bahwa si Seruling Gading berada di Cipatujah...?" balik bertanya Sapi Lanang.
"Orang-orang kita yang melacak kepergian si Seruling gading yang kabur dari perguruan itu cukup jelas dan dapat dipercaya. Kukira saat ini masih berada di Pesanggrahan milik Ki Astagina, kokolot desa Cipatujah!"
"Bagaimana kalau Ki Astagina menghalangi? Apakah kita harus pulang dengan tangan kosong?" tanya lagi Sapi Lanang.
"Ki Astagina kenal baik watak guru kita dan agaknya memandang persahabatan, dia takkan menghalangi...!"
"Ya, itu dugaanmu. Tapi dugaanku lain! ki Astagina adalah sesepuh atau "kokolot" di wilayah Cipatujah. Kalau si Seruling Gading ternyata memang meminta perlindungan padanya, masakan dia mau biarkan kita menyeret gadis bandel itu? Tentu hal demikian akan menurunkan wibawanya! Kukira dia pasti mempertahankan, atau meminta guru kita yang mengambilnya sendiri, disamping ingin tahu jelas persoalannya!" tukas Sapi Lanang.
"Boleh jadi demikian...! Ya, kalau demikian kita terpaksa harus pakai kekerasan!" tegaskan Suro Ragil.
"Hohoho... itu memang mauku! Aku memang mau menjajal kehebatan orang-orang Cipatujah termasuk Ki Astagina!" tertawa bergelak Sapi Lanang.
"Kalau kau kalah aku yang akan mematahkan batang leher Ki Astagina!" Tiba-tiba menyelak bicara si laki-laki gemuk berjubah kuning yang sedari tadi tak bersuara.
"Hohoho.... bagus... bagus, sobatku Zimbage! Kau memang sengaja kuajak agar banyak pengalaman di wilayah ini. Kau bisa tumbangkan "jago-jago" Cipatujah!" berkata Sapi Lanang seraya menepuk-nepuk bahu si gemuk dengan lengannya yang panjang melewati tubuh Suro Ragil.
Tak lama ketiga sosok tubuh itu sudah berkelebatan menuruni bukit. Sapi Lanang dengan mempergunakan ruyungnya melompat-lompat dengan gerakan lincah. Sedangkan si gemuk yang bernama Zimbage itu ternyata dapat berlari cepat dengan suara langkah kakinya yang berdebum menggetarkan tanah. Suro Ragil merendenginya dengan ilmu lari yang tak kalah cepat. Sebentar saja ketiga tubuh itu telah lenyap dibalik lereng bukit.
Pada saat itu di Pesanggrahan Cipatujah. Sambu Ruci ternyata setelah selesai menyambut para tamu undangan dari "sesepuh" desa Cipatujah Ki Astagina tampak berdiri seraya menjura kepada semua orang. Disisinya berdiri pula si gadis Seruling Gading yang telah menjadi istrinya.
"Sobat-sobat semua dan yang kami hormati sesepuh Pesanggrahan Cipatujah. Agaknya kami tak dapat tinggal lama untuk menetap disini. Sehubungan dengan sudah berangkatnya terlebih dulu sobat kita Pendekar Roro Centil. Kami ucapkan terima kasih kami yang sebesar-besarnya pada semua yang telah hadir. Terutama pada sesepuh Ki Astagina, atas bantuannya hingga selesainya urusan pernikahan kami!" ujar Sambu Ruci seraya kemudian menjura pada laki-laki tua bersorban putih yang duduk dikursinya.
Bibirnya tampak tersungging senyuman. Lalu menghisap dalam-dalam pipa tulang yang selalu terselip disudut bibir. Kemudian hembuskan asap tembakau yang mengepul tebal ke udara. Ki Astagina bangkit untuk berdiri dari kursinya seraya balas menjura,
"Terima kasih kembali atas ucapan anda, sobat Sambu Ruci! Kami merasa heran mengapa anda buruburu mau pergi...? Sebaiknya menetap disini dulu satu dua hari. Kami tak merasa terganggu. Dan kamar di Pesanggrahanku cukup lebar terbuka buat kalian menginap beberapa malam!" berkata Ki Astagina.
"Selain itu pula..." lanjut ucapannya. "Seruling Gading adalah murid dari sobatku Ki Sugema dari perguruan "Surya Medal". Jadi diantara kita masih ada ikatan persahabatan. Apalagi anda adalah sahabat baik dari Pendekar Roro Centil yang amat kami kagumi...!"
Sejenak Sambu Ruci tundukkan wajahnya. Hal itu memang telah diketahui, tapi tujuannya untuk cepat meninggalkan tempat itu adalah dikhawatirkan ada terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Karena seperti telah diketahui dari Seruling Gading, kalau Seruling Gading telah "lari" dari perguruan itu. Juga ada firasat tidak baik, karena berita perkawinan mereka pasti akan tercium oleh ayah tiri Seruling Gading.
Sejenak kedua pengantin baru itu jadi saling berpandangan. Tapi tampaknya Seruling Gading tak setuju kalau harus menerima usul Ki Astagina. Sambu Ruci segera angkat bicara lagi. "Terima kasih atas kemurahan hati anda sobat sesepuh KI Astagina. Namun untuk menjaga agar di wilayah Cipatujah ini tetap dalam kedamaian, kami telah sepakat untuk segera meninggalkan tempat ini...!"
Sejenak suasana menjadi hening. Melihat demikian para tetamu segera satu persatu mulai berdiri menjura pada Ki Astagina untuk berpamitan. Akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara berdebum di kejauhan yang membuat tanah seperti tergetar. Dan selang sesaat tiga sosok tubuh telah berdiri diluar pelataran.
"Hohohoho... hoho...tampaknya disini tengah ada keramaian pesta! Mengapa kau orang tua tak mengundang kami dari Perguruan Surya Medal, sobat tua Ki Astagina...?" si jangkung sapi Lanang lebih dulu pentang suara.
Semua yang hadir jadi terkejut. Ki Astagina segera tahu siapa yang datang dengan memandang dua orang berbaju kulit, satu pendek dan satu jangkung itu. "Silahkan duduk sobat-sobat murid Ki Sugema...!" berkata datar Ki Astagina seraya bangkit berdiri.
Tiga buah bangku segera dikosongkan. Bahkan lebih dari sepuluh bangku telah kosong pada saat itu juga. Karena beberapa tamu segera angkat pantat untuk meninggalkan tempat pesta itu sonder permisi lagi pada tuan rumah.
"Hm, terima kasih! rasanya kami tak perlu duduk! kedatangan kami adalah untuk membawa mempelai perempuan itu, atas perintah guru kami Ki Sugema!" berteriak lantang Sapi Lanang dengan mata melotot pada Seruling Gading. Seraya ucapnya pula; "Eh, gadis bandel! Siapa yang izinkan kau kawin seenaknya tanpa seijin ayahmu...?"
Sambu Ruci jadi menatap pada sang istri yang tampak terlihat wajahnya berubah tegang. Namun dengan tegar dia menyahut. "Siapa yang berhak melarangku? Aku bebas melakukan apa saja sekehendak ku tanpa tahu segala urusan meminta izin pada manusia bejat itu!"
Melengak sapi Lanang juga kedua orang kawannya. "Kau berani memaki guru...?" bentak Sapi Lanang gusar.
"Mengapa tidak? Dari pada aku pulang ke Perguruan, lebih baik mati! Kau juga manusia bejat, tinggal bersama manusia-manusia seperti kalian sama dengan membiarkan aku diterkam macan edan...!"
Tentu saja pernyataan keras yang dilontarkan Seruling Gading membuat semua orang melengak. Bahkan Ki Astagina sudah melompat ke hadapan mereka.
"Sabar! Sabar...! Segala urusan bisa didamaikan! Ada kejadian apakah sebenarnya harap kau Sapi Lanang memberi tahukan!" berkata Ki Astagina.
Akan tetapi Sapi Lanang unjuk tertawa mengakak dan berkata sinis. "Hohoho... kau orang tua seharusnya tak menjadi wali untuk menikahkan anak orang semaunya! Bagusnya kami datang belum terlambat!"
Ki Astagina agaknya memang telah maklum dengan kejadian sebenarnya, karena Seruling Gading telah maklum mengadukan hal ikwalnya pada dia. Akan tetapi orang tua itu seolah tak mengerti persoalan. "Aku menjadi wali adalah atas dasar menolong orang. Kukira gurumu Ki Sugema tak berhak penuh menjadi walinya, karena dia ayah tiri. Akan tetapi bisa juga menjadi wali kalau memang si mempelai perempuan menghendaki. Wali untuk seorang perempuan dalam satu pernikahan dibolehkan memakai wali siapa saja apabila ayah kandungnya telah meninggal..." tegaskan Ki Astagina dengan suara yang gamblang.
Semua yang hadir tampak manggut-manggut dan memaklumi akan peraturan pernikahan yang berlaku disaat itu. "Baik! urusan itu adalah urusan nanti dengan guruku! Kini kami cuma mau menjelaskan bahwa kami diperintah oleh guru kami untuk membawa perempuan bandel ini dengan segera. Dan... kami takkan kembali dengan tangan kosong tentunya!" berkata Suro Ragil dengan suara berwibawa.
"Aku si ini tua takkan menghalangi kalau orang yang akan kau bawa itu tak menolak! Nah, bagaimana keputusanmu, Seruling Gading?" tanya Ki Astagina seraya berpaling pada Seruling Gading.
"Aku telah jadi milik orang yang telah syah menjadi suamiku! Kalau suamiku menginginkan, tentu aku tak menolak...!" sahut Seruling Gading dengan suara tenang. Sepasang matanya mengerling pada Sambu Ruci. Bahkan lengannya telah menggamit lengan pemuda gagah itu.
Melihat demikian Sapi Lanang tampakkan wajah yang mendongkol bukan main. Dia memang pernah mau berbuat kurang ajar pada gadis itu ketika berada di pesanggrahan Surya Medal. Tak tahunya sang guru alias ayah tiri Seruling Gading juga maui anak tirinya...!
"Kami akan segera datang menemui guru ka Di luar dugaan Sambu Ruci telah berkata dengan suara tegas. Bukan saja semua orang melengak, akan tetapi pihak murid Perguruan Surya Medal juga melengak. Namun diam-diam hati mereka memuji akan keberanian serta sifat kesatria yang dimiliki pemuda tampan itu.
"Bagus! Kalau begitu sekarang kita berangkat!" ternyata Suro Ragil langsung mendahului bicara memutus persoalan.
Sapi Lanang tampaknya kurang puas, karena dia memang akan menjajal kekuatan orang Pesanggrahan Cipatujah yang terkenal dengan kedigjayaannya. Apa lagi dengan persoalan ini, bisa kemungkinan menjadi berbuntut panjang. Segera dia berkata dengan nada keras.
"Tunggu! Kalau pemuda ingusan ini ikut serta, urusan bisa runyam! Aku tak tanggung jawab kalau terjadi apa-apa...!" Sebaiknya kami cuma akan membawa orang yang diperlukan, lain tidak! Kalau kalian semua kurang puas, silahkan tunjukkan kekuasaan kalian sebagai orang-orang Pesanggrahan Cipatujah, aku takkan gentar untuk melayani...!"
DELAPAN
"GURU...! Biarkan aku menghajar mulut manusia sombong ini...!" Seorang laki-laki bertubuh kekar melompat ke depan. Wajahnya tampak merah padam karena mendengar penantangan Sapi Lanang barusan. Dan tanpa menunggu jawaban gurunya, laki-laki bertubuh kekar itu sudah membentak keras seraya menerjang dengan kepalan tinjunya mengarah ke muka Sapi Lanang. "Manusia sombong! kau hadapi dulu aku, Partawenda... yang akan menghancurkan mulutmu!"
Wukkk...! Tinjunya Partawenda meluncur deras secepat angin.
Desss...! Secepat kilat Sapi Lanang memapakinya dengan ruyungnya. Tak ampun si penerjang itu menjerit keras, seraya menarik tangannya dan berjingkrakan dengan menyeringai kesakitan. Tentu saja serangan dengan tenaga keras yang diadu dengan ruyung keras yang telah di isi dengan aliran tenaga dalam membuat benda itu jadi sekeras besi. Tak ampun kepalan tangan Partawenda matang biru dibuatnya.
"Hohohoho... hoho... cuma sebegitu saja yang bermulut besar mau menghancurkan mulut ku!" mengakak tertawa si jangkung kurus.
Sementara Suro Ragil jadi menggerutu pada kakak seperguruannya. "Haih, lagi-lagi kau cari penyakit, kakang Sapi Lanang!"
Tapi Sapi Lanang tak memperdulikan. Dia sudah maju melompat ke depan Seruling Gading seraya julurkan lengan untuk menarik tangan gadis itu. "Hayo kau ikut aku pulang, tanpa pemuda ingusan itu!" bentaknya dengan keras.
Gerakan Sapi Lanang cukup cepat untuk segera mencekal erat pergelangan tangan gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba laki-laki jangkung itu menjerit parau lalu jatuh terjengkang seraya lepaskan cekalannya. Darah menyemburat berpuncratan tatkala si jangkung kurus itu berkelojotan di tanah.
Terperangah semua mata menatapnya. Tak lama tubuh Sapi Lanang menggeliat, lalu menelentang tak bergerak lagi dengan kepala terkulai. Ternyata lehernya telah sobek yang mengalirkan darah tiada henti. Keadaannya mengerikan karena tulang lehernya hampir putus!
Tentu saja kejadian itu membuat mata Suro Ragil dan si gemuk Zimbage jadi mendelik kaget. Ketika menoleh pada laki-laki di samping Seruling Gading, ternyata dia telah lenyap. Gadis itu sendiri berdiri terpaku menatap kejadian aneh barusan. Akan tetapi dia telah melihat berkelebatnya Sambu Ruci keluar dari tempat itu dengan melompat tinggi ke atas wuwungan rumah.
"Haiii! Jangan lari kau!" membentak Sambu Ruci. Ternyata dia telah mengetahui siapa pelaku dari perbuatan itu.
Sayang orang yang dikejarnya itu telah lenyap. "Bedebah! Cepat benar larinya pembunuh itu...!" memaki Sambu Ruci dengan kecewa. Sesaat kemudian dia telah berkelebat turun lagi dari atas wuwungan rumah pesanggrahan. Akan tetapi disambut dengan terjangan kedua orang dari pihak perguruan Surya Medal itu yang disertai bentakan menggeledek Suro Ragil.
"Manusia keji! Aku akan adu jiwa dengan mu...!"
Wuk! Wukk! Wukkk...!
Tiga serangkai serangan senjata sepasang kipas tipis Suro Ragil terpaksa dielakkan dengan cekatan kalau Sambu Ruci tak mau kehilangan kepala dan putus lengan dan kaki. Gerakan melompat beberapa kali itu ternyata membuat kesempatan si gemuk Zimbage gerakkan sepasang lengannya untuk membekuk tubuh Sambu Ruci begitu dia jejakkan kaki ke tanah.
Tentu saja Sambu Ruci melengak kaget. Karena tak menduga si gemuk telah berada dihadapannya yang mempunyai lompatan luar biasa. Lengannya segera bergerak menepis. Akan tetapi rangkulan si gemuk Zimbage mendadak berubah jadi jotosan.
Dess! Terlempar Sambu Ruci seketika dengan teriakan tertahan. Tinju si gemuk tepat bersarang ke dadanya. Tak ampun tubuh Sambu Ruci roboh terjungkal dan bergulingan di tanah. Kejadian dalam sekejapan itu telah membuat keadaan ditempat pesta itu jadi kacau. Beberapa orang anak buah Ki Astagina berlompatan ke arah tempat pertarungan. Sedangkan Ki Astagina sendiri cuma terpaku tak bergeming.
Sementara Seruling Gading telah perdengarkan teriakan histerisnya seraya melompat ke arah Sambu Ruci yang terjatuh kena hantaman si gemuk barusan. "Kakak Sambu...!" pekiknya. Mendahului orang-orang yang berlarian, Seruling Gading telah tiba di hadapan Sambu Ruci. "Kakak Sambu...! Kau... kau terkena...!"
Sambu Ruci tersenyum, seraya melompat bangun berdiri. Wajahnya agak menyeringai kesakitan. Tapi dengan menggeliat dan kerahkan tenaga dalam mengusir rasa sakit, lengan Sambu Ruci mengusap dadanya. Sesaat dia telah kembali tersenyum menatap Seruling Gading. Seringainya lenyap.
"Keparat! Kalian berdua harus mampus! Untuk menebus nyawa kakak seperguruanku!" bentak Suro Ragil dengan mata nyalang dan wajah merah padam.
"Serahkan padaku untuk mematahkan batang lehernya!" berkata Zimbage dengan menggeram. Dengan langkah berdebum dia maju beberapa tindak.
"Tahan...!" tiba-tiba terdengar seruan. Dan... Ki Astagina sudah melompat ke tempat itu. "Tunggu dulu sobat-sobat murid Ki Sugema! Kalian salah paham!"
Kedua orang dari pihak perguruan Surya Medal ini palingkan kepala menatap Ki Astagina. Suro Ragil cepat buka suara. "Huh! kalian semua keterlaluan! Apakah dengan membunuh seorang dari pihak kami masih kau katakan salah paham? Pembunuh itu jelas dari pihakmu! Kalau bukan kawan si pemuda ingusan ini, mungkin juga kau memang telah siapkan orang-orang andalanmu untuk membunuh kami secara pengecut! Jangan coba-coba kau mau mengelabui dengan sandiwara macam begini!?" membentak Suro Ragil.
"Sabar, sobat...! Jangan kau sembarangan menuduh! Kami bukan sebangsa pengecut yang mau main sembunyi-sembunyi membunuh orang! Pelaku pembunuhan itu bukan dari pihak kami..!" berkata lantang Ki Astagina. Tampak wajah orang tua ini merah padam karena dituduh berbuat curang membokong dengan mempergunakan tenaga orang lain.
Akan tetapi tiba-tiba saat itu terdengar suara tertawa dingin yang mencekam. Dan dua sosok tubuh berkelebat muncul. Dialah Ki Sugema, yang muncul bersama seorang kakek tua renta berkulit hitam. Mengenakan jubah warna hijau. Lengannya mencekal sebuah tongkat berbentuk Kelabang berwarna hitam berkilat. Sebuah tongkat yang aneh, dan tampak sangat mengerikan.
"Heh, Astagina...! Apakah kau mau mungkir dengan perbuatanmu?" membentak Ki Sugema. "Kau tunggulah sebentar lagi, siapa gerangan orang yang telah membunuh muridku, Si Sapi Lanang!"
Baru saja selesai Ki Sugema berkata, dua sosok tubuh telah muncul. Ternyata kedua orang itu membekuk seseorang yang mengenakan topeng hitam menutupi wajahnya. "Bagus, murid-murid ku. Kalian amat cekatan menangkapnya!" ujar Ki Sugema memuji.
"Nah kalian lihatlah siapa orang ini! Dialah yang telah membunuh muridku. Kami memang mau menyatroni ke tempat Pesanggrahanmu, Ki Astagina. Tapi ketika baru sampai diujung desa, aku melihat seseorang berkelebat melarikan diri. Terpaksa aku turun tangan membekuknya. Aku segera perintahkan kedua muridku ini menangkapnya. Lalu mendahului kemari...!" ujar Ki Sugema.
Segera kuketahui kalau seorang muridku terbunuh. Kalau dia ini bukan orang suruhanmu, aku akan habiskan perkara, dan angkat kaki dengan membawa anakku si Seruling Gading. Persoalan mu menikahkan dia takkan ku ungkit lagi atau ku perpanjang. Cukup sampai disini...! Tapi kalau dia memang benar orang suruhanmu... Hm, mana bisa aku mandah saja kau laksanakan kejahatan seenak perutmu?"
Kata-kata Ki Sugema bagaikan ujung belati yang menikam ulu hati Ki Astagina yang seketika wajahnya jadi merah padam. Benaknya memikir. "Heh!? Tipu muslihat macam apa yang akan dipergunakan manusia ini?"
Diam-diam dia juga terkejut melihat adanya kakek hitam yang muncul bersama Ki Sugema. Sepasang mata kakek itu memancarkan kilatan tajam yang seperti mau menembus jantung. "Siapa pula kakek hitam tua renta ini?" bertanya-tanya hati Ki Astagina.
Saat itu Ki Sugema telah memberi perintah sebelum Ki Astagina buka suara. "Nah, cepat buka topeng wajah orang ini!"
Kedua murid laki-laki Ketua perguruan Surya Medal ini segera jalankan perintah. Dan... Plas! Topeng penutup muka laki-laki tawanan itu telah disibakkan hingga terlepas. Segera terlihat tampang seorang laki-laki yang ditaksir berusia tiga puluh tahun. Ki Astagina kerutkan keningnya. Dia memang tak mengenal laki-laki ini. Tapi belum lagi dia buka suara, Ki Sugema telah membentak si laki-laki tawanan itu dengan pertanyaan.
"Kau kenal siapa laki-laki ini?" bertanya Ki Sugema seraya menunjuk pada Ki Astagina. Orang itu mengangguk.
"Benarkah kau orang suruhannya?" tanya lagi Ki Sugema. Kembali si tawanan mengangguk. Membuat semua orang menahan napas.
Ki Astagina tersentak kaget, kakinya melangkah mundur satu tindak. Bibirnya sudah tergetar untuk menyangkal. Akan tetapi orang tua ini rasakan lidahnya menjadi kelu. Suaranya tersendat dikerongkongan. Terheran laki-laki ketua dari Pesanggrahan Cipatujah ini.
Ketika menatap pada si kakek tua renta bertongkat kelabang hatinya jadi bergidik karena sepasang mata itu telah membersitkan kekuatan tersembunyi yang menyerangnya. Hingga dia cuma bisa membungkam mulut.
"Katakan! Berapa upah mu untuk pekerjaan ini! Dan dengan senjata apa kau telah membokong anak buahku...!" bertanya lagi Ki Sugema.
"Uang itu masih berada di pinggangku... dan... aku... aku membunuhnya dengan senjata dibalik bajuku ini...!" menyahut laki-laki tawanan itu dengan suara menggetar.
Kedua murid segera meraba pinggang dan merogoh pakaian laki-laki tawanan itu di sebelah dalam. Sebuah benda dan sekantong uang dalam bungkusan kain segera diberikan pada Ki Sugema oleh salah seorang dari kedua muridnya.
"Nah, kau lihatlah! Dan... kalian lihatlah kemari. Bukti-bukti telah terlihat disini. Apakah kau Astagina masih mau mungkir...?"
Cring...! Benda itu telah dilemparkan ke hadapan Ki Astagina, dan jatuh tepat di depan ujung kaki orang tua itu.
Sementara Ki Astagina masih berdiri terpaku dengan tubuh menggeletar. Keringat dingin bercucuran dari sekujur tubuhnya. Tampaknya dia seperti tak berdaya dengan bukti-bukti yang telah jelas itu. Padahal sebenarnya dia tengah "bertarung" adu kekuatan batin pada si kakek hitam bertongkat kelabang yang telah menyerangnya. Hingga mulutnya pun tetap bungkam tanpa keluarkan sepatah katapun.
"Lihatlah! Benda inilah yang telah menebas leher muridku! Heh! Sebuah senjata yang ampuh. Bekasbekas darah pun masih tampak disini...!" berkata sinis dengan suara lantang laki-laki ketua Perguruan Surya Medal ini seraya unjukkan benda itu yang mempunyai bentuk aneh.
Yaitu sebuah benda ruyung besi sepanjang satu jengkal. Pada bagian tengahnya terdapat sebuah tombol berwarna merah. Tampak Ki Sugema seperti tengah mengamati senjata itu. Bagian ujung mata kapak tipis itu memang masih tampak ada bekasbekas darah. Sementara itu Sambu Ruci dan Seruling Gading cuma saling pandang menatap, lalu lemparkan tatapannya kembali pada Ki Sugema.
Tapi diam-diam Sambu Ruci alihkan pandangannya pada kakek hitam kurus berjubah kuning, yang sejak tadi seperti tak lepas menatap pada Ki Astagina yang tampak tubuhnya gemetaran. Sorot mata kakek kurus itu memang membersitkan cahaya aneh yang membuat Sambu Ruci tersentak. Diam-diam dia sudah waspada dengan segala kemungkinan.
Lengannya pun pelahan mulai merayap bergerak untuk meraih gagang pedangnya diatas bahu. Sementara matanya menatap pada Ki Sugema dan si kakek kurus jubah kuning berganti-ganti. Melihat demikian Seruling Gading segera lepaskan cekalannya pada lengan Sambu Ruci. Dan sekejap dia sudah mencabut seruling gadingnya yang terselip dibelakang punggung.
Saat yang tampaknya sangat menegangkan itu membuat semua orang menahan napas tatkala melihat Ki Sugema telah arahkan "senjata aneh" itu ke arah Ki Astagina. Ketika sinar kilat berkredep meluncur ke arah Ki Astagina, saat itu berkelebat pula selarik cahaya perak dari arah sisi Seruling Gading.
Trang...! Terdengar suara benturan benda keras yang dibarengi dengan bentakan.
"Pengecut curang!" Itulah suara bentakan Sambu Ruci yang telah melompat dan menangkis serangan maut Ki Sugema dengan pedang pusakanya. Bahkan sekaligus menyambarkan pedangnya untuk menabas ke arah pinggang Ki Sugema.
Tentu saja membuat Ki Sugema jadi terperangah kaget. Namun sebagai seorang tokoh yang sudah berpengalaman, Ki Sugema dapat mengelakkan diri dengan bersalto dua kali ke belakang. Akan tetapi tebasan pedang Aksara terus mengejar Ki Sugema. Yang dicecar adalah senjata maut yang berada dilengan laki-laki ketua dari Perguruan Surya Medal itu. Senjata hebat itu begitu kena tertangkis telah kembali lagi menempel pada gagangnya.
Semacam per yang kuat memang berada didalam gagang benda maut itu, yang dapat membuat kapak tipis diujung gagang itu melesat dan kembali dengan menekan tombol merah. Benda itu memang telah dilihat Sambu Ruci yang telah dipergunakan laki-laki bertopeng untuk menyerang Sapi Lanang dari atas wuwungan rumah. Akan tetapi tiba-tiba dibelakang Sambu Ruci terdengar suara...
Wukkk...! Tersentak laki-laki ini melihat benda hitam yang menyerupai kelabang meluncur deras ke arah punggungnya. Itulah tongkat kelabang si kakek hitam kurus yang mau menggebuk punggung dari belakang. Sambaran deras itu sukar ditangkis, terpaksa Sambu Ruci bantingkan tubuhnya ke samping.
Wuk! Wukk! Wukkk...!
Bumm! Bumm! Bummm...! Tiga hantaman berturut-turut membuat tanah menyemburat. Tampak Sambu Ruci bergulingan menghindari "gebukan" tongkat kelabang si kakek kurus yang mencecarnya.
"Kakek iblis! Aku akan adu jiwa denganmu!" terdengar satu bentakan nyaring. Dan sekelebat bayangan merah menerjang kakek hitam kurus itu dengan hantaman-hantaman pukulan dan tusukan seruling. Ternyata Seruling Gading tak bisa mandah saja berdiam diri melihat keadaan Sambu Ruci yang dalam bahaya maut itu.
SEMBILAN
KAKEK KURUS BERTONGKAT KELABANG ternyata punya gerakan gesit sekali. Tubuhnya berkelebatan diantara hantaman-hantaman pukulan dan sambaran seruling ditangan gadis itu. Bahkan tongkat kelabangnya telah meluncur deras menyapu kaki sang gadis.
Terperangah gadis itu, namun dengan sebat dia telah jejakkan kaki untuk melompat. Akan tetapi sambaran tongkat itu ternyata cuma siasat belaka. Ketika tubuh si gadis mencelat ke udara, Kakek kurus hitam itu telah membarenginya dengan hantaman telapak tangannya.
Dalam keadaan mengapung demikian, apa lagi serangan barusan begitu cepat datangnya, Seruling Gading tak dapat berbuat apa-apa selain membelalak kaget. Dan terdengar jeritan sang gadis. Tubuhnya terlempar tujuh-delapan tombak. Sambu Ruci cuma dapat ternganga, karena dia baru saja akan merangkak bangun dari bergulingannya.
Akan tetapi sebelum tubuh Seruling Gading menyentuh tanah, sebuah bayangan telah berkelebat menyambarnya. Itulah bayangan tubuh Ki Sugema. Sekejap kemudian tubuh si gadis telah berada dalam bopongan laki-laki tua itu, yang segera terdengar suaranya tertawa berkakakan.
"Hahahaha... haha... terima kasih sobat Kelabang Hitam! Bocah perempuan anakku ini musti diamankan dulu...!" selesai berkata Ki Sugema melesat lenyap dari tempat itu.
"Bangsat licik!" memaki Sambu Ruci dengan mata membelalak. Tubuhnya berkelebat untuk mengejar.
Akan tetapi sebuah bayangan kuning telah melesat menghadang. "Biarkan dia pergi membawa anak gadisnya! kuperingatkan lebih baik kau menyingkir siang-siang sebelum mati konyol!" membentak si kakek hitam kurus yang telah melintangkan tongkat kelabangnya di depan Sambu Ruci.
"Dia istriku...!" membentak lagi Sambu Ruci dengan melototkan mata pada kakek kurus itu. Akan tetapi tersentak Sambu Ruci. Justru menatap mata si kakek kurus itulah membuat pancaran sinar mata si kakek yang telah menyalurkan kekuatan batinnya telah mengenai sasaran.
Tertegun Sambu Ruci, karena lantas saja otaknya tak dapat bekerja. Jiwanya kosong melompong karena telah dipengaruhi oleh satu kekuatan batin yang seperti telah menyedotnya, untuk tertegun memandang orang dihadapannya. Ketika sebelah telapak tangan kakek kurus hitam itu terarah ke tubuhnya, segelombang angin halus telah menerjang tubuh Sambu Ruci.
Dan pemuda ini mengeluh. Sekujur tubuh dan tulang persendiannya terasa lemah dan linu. Jatuhlah pemuda ini dengan menekuk lutut, bersama dengan terlepasnya pedang ditangannya. Itulah ilmu menotok jarak jauh yang amat luar biasa. Tertawa dingin si kakek kurus. Tiga betas pisau terbang tahu-tahu meluncur deras ke arah si kakek kurus ketika tubuhnya melesat dan tengah berada di udara.
Tranggg...! Sekali memutarkan tongkat kelabangnya ketiga belas senjata rahasia pisau terbang yang dilontarkan seseorang itu telah berhasil kena disampok berpentalan. Dan dengan ringan tanpa mempengaruhi kelebatan tubuhnya, kakek ini jejakkan kakinya dihadapan Ki Astagina.
Laki-laki ketua dari Pesanggrahan dan "Sesepuh" dari wilayah desa Cipatujah tampak masih berdiri tegar ditempatnya. Akan tetapi kepalanya telah terkulai, dan dari lehernya mengalirkan darah yang masih mengucur menetes membasahi tanah. Laki-laki tua ini ternyata telah tewas.
Dua sosok tubuh melompat ke hadapan si kakek seraya berteriak. "Awas serangan!" teriak salah satu dari kedua orang itu. Mereka adalah Suro Ragil dan si gemuk Zimbage.
Tranggg...! Lagi-lagi si kakek yang memang telah mengetahui adanya sambaran angin di belakangnya telah balikkan tubuh untuk secepat kilat memutarkan tongkat kelabangnya. Berpentalan belasan pisau terbang yang nyaris menghabisi nyawanya.
Kali ini si kakek kosen ini tidak sampai disitu saja. Karena detik berikutnya tubuh si Kelabang Hitam telah melejit kesatu arah disisi Pesanggrahan. Brasssh! Lengannya menghantam batang pohon didepannya. Pohon besar itu berderak patah bercampur dengan satu jeritan parau dari belakang pohon. Dan... bersama tumbangnya pohon besar itu sesosok tubuh terlempar beberapa tombak yang langsung tewas seketika. Sekejap dia sudah tiba lagi dihadapan Suro Ragil dan si gemuk Zimbage.
Sementara itu belasan anak buah Ki Astagina telah berlompatan mengurung. Bahkan beberapa orang tetamu dari Ki Astagina turut pula mencabut senjata. Kakek hitam kurus ini hanya mendengus, seraya membentak keras. "Kalian semua menyingkirlah! Apakah mau mati konyol seperti ketuamu...?"
Jubah kakek kurus ini bergerak mengibas. Dan... robohlah tubuh Ki Astagina yang memang sudah tak bernyawa itu. Terperangah para murid Ki Astagina. Mereka memandang dengan mata membelalak karena tampak leher sang Ketua telah tersobek menganga dengan darah yang sudah hampir berhenti mengalir.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat ke tempat itu, seraya perrdengarkan suara tertawa berkakakan. "Hahahah... hahaha... aku terpaksa membunuh Ketua kalian ini! Sebenarnya dia masih terhitung sahabatku! Tapi sudah kukatakan tadi kalau ternyata si pembokong muridku memang orang suruhannya, aku tak dapat berpeluk tangan. Kematiannya adalah setimpal dengan kejahatannya! Nah! Apakah kalian semua mau mati dengan cara seperti gurumu...?!" membentak Ki Sugema, begitu habis ucapkan kata-katanya.
Serentak dengan wajah pucat belasan anak buah Pesanggrahan Cipatujah jatuhkan diri berlutut dan masing-masing lepaskan senjatanya. Tak dikisahkan panjang-lebar, Pesanggrahan Cipatujah saat itu juga telah dikuasai Ki Sugema, yang memang mengambil kesempatan untuk bertindak cepat demi mencuci namanya. Dibunuhnya Ki Astagina adalah karena sahabatnya itu telah mengetahui persoalan dia dengan anak tirinya, yaitu Seruling Gading.
Sebenarnya sebelum Roro centil dan sepasang sejoli itu menetap sementara di Pesanggrahan Cipatujah, orang-orang Ki Sugema telah lama melacak jejak Seruling Gading yang kabur dari perguruan. Pelacakan itu tertunda dengan munculnya kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan Giri Mayang dengan Sepasang Tangan Iblisnya.
Namun bukan hanya berhenti begitu saja. Disamping ingin mengetahui siapa tokoh yang telah melakukan pembantaian di beberapa tempat yang menghebohkan wilayah Kota Raja itu, Ki Sugema tinggalkan markasnya untuk mencari juga kemana perginya sang murid alias anak tiri yang digandrunginya itu.
Tercenung Ki Sugema ketika mengetahui munculnya Roro Centil yang tengah duel dengan Giri Mayang, kemudian berakhir dengan kemenangan Pendekar Wanita itu. Diam-diam dia menguntit kepergian si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang kemudian secara kebetulan dia dapat melihat adanya Seruling Gading yang tengah dicarinya. Segera diketahui pula adanya Sambu Ruci yang telah diam-diam memadu cinta dengan sang anak tiri.
Ternyata kemudian Roro Centil menetap di Pesanggrahan Ki Astagina sahabatnya yang menjadi "sesepuh" di wilayah desa Patujah. Segera di sebar orangorangnya untuk menyamar menjadi penduduk biasa untuk mengetahui apa yang diperbuat selanjutnya oleh Ki Astagina. Dan tercenganglah Ki Sugema ketika mengetahui dari laporan anak buahnya bahwa lakilaki yang bernama Sambu Ruci itu akan menikah dengan Seruling Gading.
Betapa geramnya Ki Sugema pada Ki Astagina, karena enak saja menyediakan diri menjadi "wali" dalam pernikahan anak tirinya. Ketika undangan yang mendapat tetamu terhormat dari seorang pendekar wanita yang "kondang" (ternama) hampir diseantaero Pulau Jawa. Juga agar warganya dapat mengetahui dan melihat wajah tokoh Pendekar yang selama ini cuma terdengar namanya saja.
Ki Sugema bukan tak mengetahui pernikahan serta adanya sebuah pesta kecil yang penuh semarak di Pesanggrahan Cipatujah, tapi diam-diam telah menyebar orang-orangnya untuk melihat situasi. Bahkan jauh-jauh hari dia telah menjumpai paman gurunya (si Kelabang Hitam) yang kebetulan baru beberapa hari ini datang, ke Pesanggrahannya. Kakek berilmu tinggi itu memang tengah mencari Roro Centil. Dia baru saja tiba dua hari yang lalu.
Berita dari Kota Raja yang dilewati dalam perjalanannya ke Pesanggrahan Surya Medal telah terdengar santar. Bahwa Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan telah berhasil membunuh Giri Mayang si perempuan iblis yang telah menimbulkan kehebohan dengan mengadakan pembantaian disetiap tempat.
Entah ada persoalan apakah si kakek hitam kurus bertongkat Kelabang yang bergelar si Kelabang Hitam itu mencari Roro Centil. Demikianlah hingga adanya si Kelabang Hitam itu telah membuat Ki Sugema berhasil melaksanakan niat busuknya melenyapkan Ki Astagina. Tentu saja perbuatan itu dilakukan setelah menerima laporan bahwa Roro Centil telah meninggalkan Pesanggrahan Cipatujah.
Dan dengan bantuan seorang tokoh bayaran yang mempunyai senjata aneh itu, Ki Sugema sukses dengan rencana busuknya mempengaruhi orang-orang Pesanggrahan Cipatujah, bahwa Ketua mereka yang menjadi sahabat baiknya telah punya niat jahat untuk menumbangkan kedudukannya. Padahal Ki Sugema sendiri yang memang berhasrat mau menguasai wilayah Cipatujah yang makmur.
Dengan kekuatan "sugesti" yang dipunyai si Kelabang Hitam bukan tak mungkin kalau Roro Centil bisa diringkus. Dan sudah ada niat buruk yang tersirat dihati Ki Sugema yang doyan "daun muda" itu untuk melalap si gadis Pendekar Wanita yang punya nama beken itu. Bahkan rencana demi rencana telah terukir dibenak Ki Sugema untuk bisa menaklukkan Roro Centil. Memperalatnya untuk kepentingan "kekuasaannya".
Dengan menebeng nama Roro Centil bila telah menjadi istrinya segalanya akan menjadi mudah. Karena Roro kenal baik dengan orang-orang dari setiap Kerajaan di wilayah Pulau Jawa. Dan bukan mustahil kalau dia bisa menduduki jabatan tinggi disatu Kerajaan paling besar masa itu, yaitu Kerajaan Mataram.
Cita-citanya yang membumbung tinggi itu semakin mantap. Mulailah Ki Sugema mengatur rencana-rencana selanjutnya melalui perembukan singkat. Yaitu mengatur jebakan agar Roro Centil bisa datang lagi ke Pesanggrahan Cipatujah.
Namun dimalam yang semakin melarut itu di ruangan dalam Pesanggrahan Ki Sugema terpaksa harus menunda pembicaraan, karena dia punya kepentingan lain untuk menyalurkan hasratnya yang sudah sekian lama terbendung itu. Ya! mendadak bayangan wajah dan kemolekan tubuh sang anak tin telah terbayang di ruangan matanya.
"Baiklah! Kukira perembukan bisa kita lanjutkan besok. Silahkan kalian beristirahal. Dan... maaf, sobat Pemburu Keping Emas, aku terpaksa "meminjam" dulu senjatamu karena aku masih memerlukan! Khusus buat sobat Pemburu Keping emas aku telah suruh anak buahku menyediakan tempat peristirahatan yang nyaman. Ya! Sebuah kamar yang nyaman bekas tempat tidur Ki Astagina. Silahkan..." dalam berbicara itu diam-diam Ki Sugema telah kedipkan mata pada kakek kurus hitam itu, seraya mengerling pada si Pemburu Keping Emas yang menjadi "orang sewaan"nya.
Si kakek Kelabang Hitam ini manggut-manggut pelahan mengerti. Udara malam yang dingin menyeruak dimalam yang penuh kemelut itu. Pesanggrahan Cipatujah laksana dicekam hawa sejuk yang mencekam jantung. Karena disana kini telah dihuni oleh manusia-manusia tamak yang berakhlak rusak. Manusia-manusia yang lebih mementingkan diri pada "ambisi".
* * * * * * * *
SEPULUH
SERULING GADING TERGOLEK di pembaringan bersih dengan keadaan tertotok. Mempelai wanita yang bernasib tragis ini tak berdaya apa-apa lagi selain menunggu nasib apakah kelak yang bakal menimpanya. Sementara diruang lain Sambu Ruci dalam keadaan terikat tali-tali kulit yang kuat. Terduduk disudut ruang dengan keputusasaan yang telah membenturkan dirinya pada jalan buntu.
Tak ada harapan untuk meloloskan diri lagi baginya. Tulang-tulang persendiannya seolah sudah tak bersumsum lagi. Entah siksaan apa yang telah dihadapinya oleh Suro Ragil dan Zimbage yang bertubi-tubi, diterimanya, akibat rasa dendam yang tertumpah karena kematian sapi Lanang. Tubuhnya tampak matang biru dan muka bengap. Tampak seperti bekas-bekas pukulan keras yang dihunjamkan pada sekujur tubuh pemuda malang ini.
Bekas-bekas darah masih tampak disudut bibir dan bawah hidungnya. Kalau sang Ketua mereka, Ki Sugema tak memberi ultimatum agar tak membunuhnya, tentu siang-siang Sambu Ruci telah dibunuh oleh Suro Ragil. Pintu "penjara" tiba-tiba terluka. Dan empat orang anak buah Ki Sugema muncul dimuka pintu. Lalu dua orang menghampiri. Dan menyeret bangun pemuda itu, lalu menggusurnya keluar dari kamar tahanan itu.
"Dibawa kemana...?" bertanya seorang dari mereka.
"Ke kamar tempat beristirahat Ketua kita!" menyahut kawannya.
"Lho? mau diapakan...?"
"Pake tanya-tanya segala! Mau dimampusin juga bukan urusan kita!"
"Hehehe... betul! betul! hayo, cepat jalannya, monyong!"
Sambu Ruci setengah diseret dari ruangan itu karena sepasang kakinya seperti telah tak bertenaga lagi. Dengan tubuh yang babak belur demikian memang sulit kalau Sambu Ruci punya julukan Si Bujang Nan Elok. Karena wajahnya sudah tidak elok lagi.
Ketika tubuh Sambu Ruci didorong hingga jatuh menggabruk dimuka pintu kamar. Ki Sugema segera perintahkan anak buahnya meninggalkan kamar tempat beristirahatnya. Lalu beranjak menutup pintu kamar. Lengan Ki Sugema mencengkeram dada pemuda itu untuk diangkat berdiri.
"Hahahaha... macam beginikah tampang pengantin laki-laki yang mengawini gadis orang tanpa melamarnya lagi?" membentak geram Ki Sugema dengan mengumbar tertawanya berkakakan.
Kepala Sambu Ruci terkulai menunduk, seperti enggan menatap wajah manusia yang telah menawannya itu. Akan tetapi Sugema telah menjambak rambutnya untuk membuat kepala pemuda itu menengadah.
"Heh! tatap mukaku, bocah...! Tataplah agar kau dapat melihat jelas siapa orangnya yang telah menaklukkan kecoa tengik macam kau! Dan... hahaha... coba kau lihat siapa yang terbaring di pembaringan itu?" Ujar Ki Sugema seraya " menyeret" wajah orang untuk melihat ke pembaringan.
Seketika sepasang mata Sambu Ruci terbelalak lebar, karena di atas pembaringan tergeletak sesosok tubuh yang dalam keadaan tanpa busana. "Sst..... Seruling..... Gading!?' tersendat suara Sambu Ruci yang memandang dengan terperangah. Akan tetapi suara itu tersendat dikerongkongan.
"Lepaskan istriku.....apa... apakah yang kau mau lakukan!" tiba-tiba Sambu Ruci berhasil mengeluarkan suaranya.
Ki Sugema kembali perdengarkan suara tertawa mengakak. Tiba-tiba lengannya mencengkeram lagi dadanya. Dibawanya tubuh tak berdaya itu kesudut ruangan, Ketika dua kali jarinya menolok ke lutut segera tubuh laki-laki itu menjadi berdiri kaku tak bergeming. Dan sepasang kaki itu seperti menjadi kuat untuk berdiri disudut ruangan dengan punggung menyender ditembok.
Detik berikutnya adalah satu pemandangan yang membuat Sambu Ruci terpaksa harus pejamkan matanya karena tak sanggup menatap apa yang terpampang dihadapannya Ki Sugema telah melucuti pakaiannya sendiri dan... naik ke atas ke pembaringan.
Seruling Gading tampaknya baru saja tersadar dari pingsan. Akan tetapi pengaruh totokan pada tubuhnya membuat dia tak mampu untuk berbuat apaapa kecuali menjerit dengan suara yang terdengar seperti desahan belaka, karena urat suaranya telah ditotok.
"Hahahaha... malam ini biarlah aku yang menggantikan pengantin laki-laki untuk mencicipi malam pertama...". ujar Ki Sugema dengan menyeringai bagaikan iblis.
Selanjutnya... Sambu Ruci hanya bisa memejamkan matanya kuat-kuat tak sanggup rasanya dia untuk menyaksikan perbuatan bejat yang telah membuat air matanya mengucur deras. Air mata dari seorang laki-laki yang amat mencinta istrinya. Dan tak ada yang lebih bejat lagi dari seorang ayah tiri yang telah "penyantap" anak gadisnya sendiri. Ternyata juga pada malam itu satu nyawa telah melayang yaitu dibunuhnya si pembunuh bayaran alias si Pengejar Keping Emas oleh kakek hitam kurus bertongkat kelabang alias si Kelabang Hitam...
* * * * * * *
BHLARRR! BHLAARRRRR! BHLARRRRR...!
Cahaya perak dan pelangi berkredepan di udara yang diiringi dengan dentuman-dentuman menggelegar.
Roro centil berteriak girang. "Horeee, aku berhasil! aku berhasiiil!" Dan terdengar suara mengikik merdu membuat segerombolan burung camar yang tengah bertengger dipuncak-puncak karang terkejut karena suara dentuman-dentuman keras itu dan buyar berterbangan ketakutan dengan suara berkiakkiak riuh.
Selanjutnya di pantai sunyi, itu tampak banyak berkelebatan cahaya-cahaya perak dan pelangi yang diselingi dentuman-dentuman pesisir pantai itu jadi semarak bagaikan ada sebuah " pesta laut". Selendang-selendang perak dan pelangi seperti bermunculan dari sekeliling permukaan laut dipantai bergelombang tenang itu. Sukar untuk dipercaya bagi orang yang percaya adanya hantu laut, karena Roro memang Memainkan jurus-jurus pukulan selendang perak dan pelanginya dengan berlompatan diatas air.
Kalau ada manusia sakti yang dapat berlari diatas air, siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Karena pada zaman itu cuma ada dua orang yang dapat memiliki kesaktian seperti itu. Pada tiga tahun yang silam pernah ada seorang tokoh golongan hitam yang bergelar "Hantu Siluman Kera", yang juga memiliki ilmu semacam demikian, tapi telah tewas ditangan Roro Centil (baca. Serial Roro centil, dalam judul: Siluman Kera putih).
Dan pada saat ini ada seorang tokoh yang menyembunyikan diri untuk memperdalam ilmu-ilmunya yang juga memiliki ilmu berjalan dan berlari diatas air tokoh misterius itu pernah muncul diperairan wilayah tenggara. Beritanya memang telah menyebar yang datang dari mulut para nelayan di wilayah itu. Akan tetapi belum ada satu kejadian yang merugikan dipihak para Nelayan. Bahkan mereka menganggap tokoh misterius itu adalah sebangsa mahluk halus yang sesekali muncul di sekitar perairan itu.
Sementara Roro Centil tengah bersuka cita dengan keberhasilannya menguasai jurus-jurus cahaya perak Pelangi warisan mendiang Nenek Muri Asih, sepasang mata sejak tadi telah memandangnya dengan mata tak berkedip. Dialah Si Kakek kurus Hitam yang bergelar si Kelapa Hitam. Duduk bersila diatas batu karang. Tongkat kelabangnya tergeletak didepannya. Bibirnya tampak berkumat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba lengannya bergerak meraih tongkat. Dan...
Whessss! Tongkat pusakanya telah dilemparkan ke dalam laut. Sementara dia masih teruskan "kumat-kamit"nya dengan mata tetap ke arah depan. Menakjubkan! Apakah yang telah terjadi dengan lemparan tongkatnya? Ternyata tongkat yang berbentuk Kelabang itu telah berubah menjadi seekor Kelabang Raksasa yang bergerak hidup. Meluncur pesat dipermukaan air menuju ke arah Roro Centil.
Sementara itu Roro tengah asyik dengan "permainan"nya yang seolah tiada membosankan. Sinar perak dan Pelangi itu bagaikan selendang-selendang sutera saja di kejauhan. Sepintas yang terlihat adalah seperti layaknya seorang Bidadari yang tengah mainkan selendangnya dengan menari-nari.
Dan memanglah, Roro tengah memainkan jurus-jurus "Tarian Bidadari" yang tampaknya lemah gemulai. Jurus-jurus tarian yang didapat dari gurunya si Manusia Banci, atau si Manusia Aneh Pantai Selatan. Dalam pada itu Kelabang Raksasa penjelmaan dari tongkat si kakek kurus Hitam telah semakin mendekatinya.
Terperanjat Roro ketika akhirnya dengan naluri serta inderanya yang tajam dapat melihat sesuatu yang bergerak kehitaman mendekati. "Kelabang Raksasa...!" tersentak Roro dengan pendengarkan teriakan kaget. Karena jelas sudah dia melihat seekor kelabang yang amat luar biasa besarnya dengan puluhan kakinya yang mengerikan bergerak meluncur ke arahnya. Tak ayal lengannya langsung bergerak menghantam "binatang" itu. Sinar perak berkelebat...
Blarrr...!
Prasss...! air laut menyerumbat bergelombang. Roro Centil tegak menanti dengan waspada untuk melihat hasil dari hantamannya. Akan tetapi kelabang Raksasa itu lenyap. "Aneh! pasti ada yang tidak beres...!" desisnya tersentak.
Sementara sepasang mata Roro mulai di gunakan untuk menembus melihat ke dasar air disekelilingnya dengan mempergunakan kekuatan batin yang hebat. Namun memang Kelabang Raksasa itu lelah lenyap. Di dasar air tak terlihat apa-apa kecuali ratusan ekor ikan yang berseliweran kesana-kemari.
Namun kecepatan matanya ternyata dapat menangkap melesatnya sebuah bayangan hitam di kejauhan yang meluncur pesat untuk kemudian lenyap dalam sekilas. Roro cepat mengkonsentrasikan indra matanya. Dan kini terlihatlah dengan jelas kalau di atas batu karang disisi pantai sebelah sana ada seseorang yang duduk bersila menghadap ke laut.
"Setan alas...! Kalau ada makhluk atau manusia yang iseng menggangguku saat ini tak mungkin tidak kalau bukan cecunguk yang duduk dibatu karang itulah orangnya...!" berkata Roro dalam hati. Dan tak ayal lagi tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini telah meluncur pesat untuk melabrak kesana.
Akan tetapi orang yang duduk diatas batu karang itu ternyata juga meluncur dengan kecepatan hampir menyamai luncuran Roro Centil.
"Hm, ilmu lari bayangan yang cukup hebat! Siapakah kakek hitam berjubah kuning itu? Jelas dia mencekal tongkat seperti bentuk seekor kelabang! Dugaanku tak salah kalau dia cecunguk yang telah mempergunakan ilmu sihirnya untuk menggangguku dengan "kelabang raksasa" ciptaannya!" berpikir Roro.
"Baik! aku tak perlu mendahuluinya. Ingin ku lihat kemana arah larinya ataukah ini satu jebakan agar aku membuntuti? Hihihi... persetan! Aku tak takut dengan segala macam jebakan!" gumam gadis pendekar ini seraya percepat kejarannya untuk dapat memperdekat jarak.
SEBELAS
Tersentak Roro Centil ketika mengetahui bahwa si kakek baju kuning itu menuju ke wilayah Cipatujah. "He...? Aneh! Aku belum bisa memastikan apakah orang ini berniat jahat atau tidak! Entah manusia baik-baik atau manusia jahat...! Jelas jalan ini adalah jalan lurus ke Pesanggrahan Ki Astagina!" berkata Roro dalam hati juga agak ragu dengan tindakan yang dilakukan manusia dihadapannya, yang sepertinya memang sengaja "membawa"nya untuk kembali pulang ke Pesanggrahan.
Segera saja Roro teringat pada Sambu Ruci yang baru dua hari ini melangsungkan pernikahannya dengan gadis bernama Seruling Gading. Tiba-tiba disaat Roro agak melantur pikirannya karena melamun sejenak barusan, tahu-tahu si kakek hitam jubah kuning itu telah lenyap dari pandangannya.
Tersentak Roro Centil. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri yang agak terlena, karena bayangan yang "tidak-tidak" mengenai sepasang Pengantin Baru itu sekelebat muncul dibenaknya. "Setan alas! kemana kaburnya manusia itu?" desis Roro kaget. Terpaksa dia hentikan larinya untuk menjaga kalau-kalau ada serangan gelap. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara seperti membisik ditelinganya.
"Nona Pendekar Roro Centil...! Aku orang sendiri! keadaan di Pesanggrahan Ki Astagina sedang gawat. Sahabatmu Sambu Ruci dan istrinya, si bocah perempuan bernama Seruling Gading itu dalam bahaya maut. Kami amat memerlukan bantuan anda...! Terpaksa "kita" berpisah agar tak menaruh kecurigaan bahwa diam-diam aku memanggil kedatangan anda. Turutlah apa yang aku katakan untuk kita bisa membekuk manusia Iblis itu. Tepat berada dihadapan Pesanggrahan pada jarak 10 tumbak, anda harus bergerak memutar ke kanan melalui jalan samping, silahkan anda memasuki satu pintu ruangan. Disana dalam keadaan aman...! Dan anda akan muncul tepat dibelakang ruangan tempat si "Iblis Sakti Mata Seribu" yang menyandera sahabatmu...! Aku akan muncul dari ruangan depan. Dan... kita akan sama-sama menggempurnya."
Tentu saja kata-kata yang dikirim melalui tenaga dalam itu membuat Roro Centil melengak kaget. "Iblis Sakti Mata Seribu...?" Aiih, baru aku mendengarnya!" berdesis Roro Pelahan. Dan dilihatnya bayangan kuning dari jubah si Kakek hitam yang dibuntuti itu berkelebat keluar dari balik pohon, lalu lenyap dalam sekilas.
Tak ayal segera Roro bergerak untuk cepat tiba di depan Pesanggrahan, walaupun hatinya agak ragu dengan penuturan kakek misterius itu. Benarkah apa yang dikatakannya? Berkata dalam hati gadis Pendekar ini. Akan tetapi Roro sudah mengambil keputusan untuk menusuki kata-kata si kakek misterius itu, karena dalam keadaan demikian dan bukti masih belum jelas, mana boleh dia berburuk sangka pada orang.
Kalau si kakek yang demikian saktinya itu masih memerlukan bantuannya, tentu dapat dibayangkan kehebatannya manusia yang menamakan dirinya si Iblis Sakti Mata Seribu itu! pikir Roro. Yang segera menduga bahwa disekitar Pesanggrahan itu telah dipasang 1000 mata untuk memata-matai sekitarnya. Apa lagi hal ini adalah demi keselamatan Sambu Ruci, sahabatnya. Mana Roro bisa mandah dan biarkan saja orang mencelakai?
Tepat 10 tombak di depan Pesanggrahan yang tampak sunyi sepi mencekam itu, Roro Centil menyelinap kebalik semak, lalu bergerak memutar ke arah kanan. Benar saja! Pada bagian samping Pesanggrahan itu segera terlihat satu pintu ruangan yang setengah terbuka. Roro ternyata cukup cerdik untuk tidak sembarang memasukinya. Segera meramal aji Halimunannya.
Dan sekejap tubuhnya telah lenyap tak terlihat mata manusia biasa. Lalu meluncur untuk segera memasuki pintu ruangan tanpa membukanya lagi. Cukup dengan miringkan tubuhnya menyelinap masuk dari sisi celah daun pintu yang terbuka itu. Ruangan itu kosong dan gelap. Roro gunakan kekuatan batinnya agar dapat melihat dalam gelap. Akan tetapi...
"Aiiiih!? ilmu sihir!" sentak Roro kaget dengan suara berdesis.
Karena sesungguhnya ruangan itu terang benderang. Dan terkejut Roro Centil ketika melihat di setiap sudut ruangan goa itu tampak jelas sosok-sosok tubuh si kakek hitam jubah kuning yang telah menjadi belasan sosok tubuh. Bahkan ketika dia bergerak memutar tubuh, dibelakangnya pun berjajar tubuh-tubuh si kakek misterius itu yang rupa dan bentuknya sama. Kemana dia menatap ternyata selalu bentrok dengan berpasang-pasang mata si kakek misterius itu yang cahaya matanya membuat dia bergidik seram.
"Bedebah! kau menipuku? Apa maksudmu dengan semua ini!?" bentak Roro dengan mata menatap tajam pada masing-masing "manusia" disekelilingnya. Sementara sepasang lengannya sudah disiapkan untuk menghantam bila terjadi satu serangan mendadak.
"Hehehehehe... aku memang mau menjebakmu untuk masuk perangkap ku. Dan kini kau sudah terjebak! Akan tetapi kau tak perlu khawatir, nona Pendekar, karena aku takkan menyakitimu...!" terdengar suara tertawa yang sukar diketahui dari mana arahnya, karena berpantulan dari sekitar ruangan itu.
Dan... segelombang angin halus telah menerpa ke arah Roro Centil. Tiupan angin halus yang seperti tak kentara kalau itu adalah sebuah serangan yang dapat melumpuhkan orang dalam sekejap. Terkejut bukan main Pendekar Wanita Pantai Selatan ini ketika tahu-tahu rasakan tulang persendiannya terasa linu, Tenaganya pun mendadak lenyap.
Sementara dalam pandangan mata Roro yang terlihat cuma berpasang-pasang mata bersinar aneh itu saja yang seperti telah mempengaruhi batinnya. Dan mendadak saja Roro Centil telah jatuh berlutut ketika suara si Kelabang Hitam membisik ditelinganya.
Bisikan bernada perintah, yang langsung menyerang sirkuit otak Roro untuk menuruti apa yang diinginkan kakek tua hitam itu. Seketika saja sirnalah ilmu halimunan Roro untuk kembali terlihat sebagaimana wajarnya. Hal mana membuat si Kelabang Hitam tertawa terkekeh.
"Heheheheh... ternyata cuma sebegitu saja kehebatanmu bocah perempuan pendekar. Kegagahanmu memang boleh dibanggakan, tapi kau kurang pengalaman! Aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di Rimba Persilatan sudah banyak mengalami bermacam pertarungan. Sudah banyak makan sama-garam...! "Akan tetapi dalam setiap pertarungan kukira pertarungan sekarang inilah yang paling sukses." berkata si Kelabang Hitam dengan terkekeh-kekeh.
Lalu... apakah yang terjadi kemudian? Melihat Roro Centil sudah kena ditaklukkan kakek hitam ini kembali berkemak-kemik membaca mantera. Lagi-lagi lengannya bergerak untuk melontarkan segelombang angin halus memperkuat serangan totokan jarak jauh. Dengan mengulang demikian kakek ini tak khawatir lagi Roro Centil akan mampu untuk melepaskan totokan ampuhnya yang memang amat luar biasa. Roro perdengarkan keluhannya. Dan dengan lunglai langsung menggeletak dilantai.
"Hehehe... bagus! aku akan bantu melucuti pakaianmu! Tenagamu terlalu lemah, dewiku...! Kau tentu belum pernah merasakan nikmatnya seorang lakilaki! Aku tahu kau memang masih gadis tulen! Dan... hehehe... aku memang memerlukan kau Sangat kuperlukan! Karena dengan mereguk kenikmatan dari tubuhmu, akan terjadi "penyaluran". Kegaiban yang ada pada tubuhmu memungkinkan pindahnya ilmu-ilmu "dalam" yang berada pada tubuhmu tersalur ketubuhku! Ketahuilah... aku amat mendambakan itu! Karena tenaga dalamku bisa bertambah! Dan aku akan awet muda, kulitku yang keriput ini bisa menjadi kencang lagi..." berkata mendesah si kakek hitam itu seraya membungkuk untuk membukai pakaian Roro. Sedangkan belasan bayangan-bayangan tubuh palsu si Kelabang Hitam yang lainnya mendadak lenyap.
Roro centil seperti tak ada reaksi apa-apa. Kecuali terdengar suara desah nafasnya yang teratur... ya! Roro ternyata telah kena "Sugesti" yang diucapkan melalui batin untuk mempengaruhi sirkuit otaknya. Dan... dia tak tahu kalau lengan si kakek binal ini mulai melepaskan pakaian Roro dengan tubuh menggeletar karena hawa rangsangan dari birahi yang menggelegak, seperti tak tertahankan lagi untuk cepat-cepat melaksanakan niatnya.
Ternyata kakek hitam ini memang mencari Roro Centil untuk maksud itu. Yaitu menyerap ilmu gaib serta kekuatan tenaga dalam Roro lahir-batin yang harus dilakukannya dengan melakukan persanggamaan. Dengan tenaga "luar dan dalam" yang kelak bakal terpadu itu, bukan mustahil kalau seluruh kekuatan batin, serta bermacam kegaiban yang dimiliki Roro bahkan sampai tenaga dalam Roro akan terkuras bersih. Akan tetapi membelalak sepasang mata si kelabang hitam, karena tiba-tiba terdengar suara menggeram dahsyat.
"Grrrrr...!" Berbareng dengan suara geraman itu, si kelabang hitam berteriak kaget karena tahu-tahu tubuh yang akan ditindihnya itu telah berubah wujud. Bukan lagi Roro Centil yang bertubuh mulus lagi, akan tetapi adalah seekor Harimau Tutul yang luar biasa besarnya. Yang telah mencengkeram ganas dengan taring-taringnya yang tajam runcing. Sementara kuku-kuku yang runcing itu telah membenam pada kulit tubuhnya.
Namun dengan gerakan reflek, si Kelabang Hitam lemparkan tubuhnya bergulingan. Jubahnya terkoyak dengan seketika berikut terkoyaknya pula kulit punggung, dada dan sedikit kulit lehernya. Pucat pias seketika wajah kakek hitam ini. Namun secepat kilat dia telah menyambar tongkat Kelabang yang bagaikan tersedot meluncur ke arahnya. Dengan sigap lengannya bergerak menangkap.
"Hihihi... manusia licik! Enak saja kau mau menjamah tubuhku! Manusia sepertimu memang layak untuk mampus...!"
Terdengar suara mengikik yang dibarengi dengan suara bentakan. Tersentak lagi-lagi si Kelabang Hitam karena tiba-tiba Harimau Tutul itu telah lenyap. Dan... tahu-tahu dihadapannya tegak berdiri gadis Pendekar itu. Menatapnya dengan sepasang mata yang seperti menembus jantung.
"Edan...! Kau... kau tak mempan dengan ilmu tenungku?" tergagap si Kelabang Hitam berkata. "Dan... kau bisa berubah jadi Harimau? Ilmu apakah yang kau miliki...?" sentaknya kaget seraya mundur dengan menempelkan tubuhnya ke dinding ruangan.
"Hm, kau pernah dengar nama si Manusia Gurun Pasir? Itulah ilmu yang telah terwaris padaku!" menyahut Roro dengan suara keren.
"Manusia... Gurun... Pasir...?" seperti mengeja si kakek hitam itu mengulangnya. Tiba-tiba tubuhnya mendadak berubah jadi gemetaran dan serta merta dia jatuhkan dirinya untuk berlutut. "Oh...! Ampunilah selembar nyawaku ini, no... nona Pendekar...! Aku si tua bangka ini sungguh-sungguh tak mengetahui..." ucapnya dengan suara terputus-putus.
Disamping terheran karena melihat tiba-tiba si kakek hitam ini jadi tampak ketakutan sekali mendengar nama gurunya itu, namun tak mengurangi kewaspadaan Roro terhadap musuhnya. Ternyata Roro memang berpura-pura seolah terkena pengaruh kekuatan ilmu hitam si Kelabang Hitam. Karena sebelum memasuki pintu ruangan tadi Roro memang telah siap mempergunakan ajian penangkal segala macam ilmu setan.
Yaitu merapal tujuh kalimat Penolak Iblis. Hingga ketika si Kelabang Hitam pergunakan kekuatan matanya untuk mensugesti Roro, gadis Pendekar itu tidak terkena pengaruh apa-apa. Roro memang ingin mengetahui maksud apa sebenarnya si kakek hitam itu menjebaknya.
"Kau benar-benar ingin diampuni nyawamu? Hm, apakah bukan cuma tipu muslihat belaka?" bertanya Roro dengan sikap jumawa. Bahkan sepasang lengannya telah bertolak pinggang dengan mata menatap si Kelabang Hitam.
"Aku... aku tidak berdusta, nona Pendekar. Sebagai bukti ambillah tongkatku. Aku takkan mempergunakannya lagi..." menyahut si Kelabang Hitam dengan suara menggeletar. Seraya gerakkan lengannya meraih tongkat. Lalu asongkan pada Roro.
"Baik! Aku akan simpan tongkatmu...!" berkata Roro. Lengannya bergerak terulur untuk menyambuti tongkat berbentuk Kelabang itu.
Dasar memang manusia licik. Detik itu juga membersit ratusan jarum berbisa dari mulut tongkat Kelabang si kakek hitam. Akan tetapi tubuh Roro mendadak "lenyap" dengan seketika. Sukar untuk diduga oleh si Kelabang Hitam. Karena di saat maut sudah sedetik di depan mata buat kematian Roro Centil, ternyata tubuh Roro telah meletik ke atas.
Bahkan kejadian yang begitu cepat itu si Kelabang Hitam tak sempat mengetahui kemana melesatnya tubuh si Pendekar Wanita itu. Tahu-tahu dia telah menjerit parau dengan teriakan pendek, tubuhnya menggabruk jatuh ke lantai. Darah kental berwarna putih bercampur merah menyemburat membercak dilantai. Ternyata batok kepala manusia licik ini telah pecah berantakan. Otaknya berhamburan keluar. Dan... tanpa sempat berkelojotan lagi, si kakek hitam ini langsung tewas.
Sesosok tubuh terlihat meluncur turun dari langit-langit ruangan dan jejakkan kaki dengan ringan dilantai. Ternyata Roro Centil. Kiranya sewaktu si Kelabang Hitam angsongkan tongkatnya, Roro yang bermata jeli telah melihat jari lengan si kakek itu bergerak memijit tombol rahasia yang berada di sebelah bawah tongkat.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil telah waspada dan menduga ada sesuatu yang tidak beres bakal terjadi. Begitu melihat jari lengan si Kelabang Hitam bergerak, secepat kilat Roro telah melesat ke atas. Sekejap tubuhnya telah menempel di langit-langit ruangan.
Detik itu dia telah melihat berhamburannya ratusan jarum yang meluruk keluar dari dalam mulut tongkat Kelabang si kakek. Mendelik sepasang mata Pendekar Wanita kita. Dan tak ayal lagi langsung kirimkan satu pukulan hebat dari salah satu jurus pukulan warisan si Dewa Tengkorak. Tak ampun lagi si Kelabang Hitam harus menebus mahal dengan nyawanya, akibat kelicikannya sendiri.
"Heh! Sudah kuduga...! Manusia semacam mu sudah terlalu bejat! Mana bisa mulutnya dipercaya?" memaki Roro dengan wajah cemberut jengkel. Diraihnya tongkat Kelabang yang nyaris merenggut jiwanya itu. Lalu dibantingkan ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Selanjutnya Roro sudah bergerak melesat keluar dari dalam ruangan itu...
* * * * * * *
DUA BELAS
SESOSOK TUBUH merintih-rintih menggelepoh dipintu ruangan kamar memegangi pundaknya yang terluka dan tampak mengalirkan darah. Tersentak Roro Centil. Secepat kilat dia sudah melompat menghampiri.
"He? Kau Ponara...? Katakan, apakah yang telah terjadi...?" bertanya Roro dengan krenyitkan alisnya, ketika mengetahui laki-laki itu adalah anak buah Ki Astagina. Roro memang mengenal pada beberapa orang murid Ki Astagina ketika membantu menggali kubur buat jenazah nenek Muri Asih yang disemayamkan disatu bukit kecil dibagian belakang Pesanggrahan Cipatujah.
Sekonyong-konyong pintu kamar menjeblak terbuka. Dan... Wrrrrt! Jala sutera itu begitu cepat telah merungkup tubuh Roro Centil. Dan, saat berikutnya... Bussss...! Asap tipis berbau harum seketika menyebar, begitu terdengar letupan kecil ketika pada detik barusan sebuah benda menggelundung di bawah kaki.
"Hahaha... ternyata terlalu mudah untuk menawan Roro Centil!" Terdengar suara tertawa berkakakan. Dan... sesosok tubuh telah tersembul di pintu kamar. Siapa lagi kalau bukan Ki Sugema adanya. Saat itu asap tipis berbau harum yang mengandung obat bius itu telah melenyap sirna. Dan tubuh Roro Centil tergeletak pingsan dalam rangkupan jala sutera. "Hm, terima kasih atas bantuanmu, Ponara...! Kelak pasti aku berikan imbalan padamu!" berkata Ki Sugema pada laki-laki bernama Ponara yang adalah murid Ki Astagina.
Laki-laki itu telah melompat lagi menghampiri ke muka pintu kamar. dan tersenyum dengan menjura pada Ki Sugema, seraya ucapnya. "Hambapun mengucapkan terima kasih sebelumnya...! Apakah selanjutnya yang harus hamba lakukan. Ketua...?" ternyata kejadian barusan adalah telah direncanakan sebelumnya.
Ponara yang gila kedudukan mau saja diperalat oleh Ki Sugema untuk menjebak Roro. Dengan berpura-pura terluka yang sesungguhnya cuma melumuri pundaknya dengan darah palsu. Ponara dijanjikan kelak akan diberi peluang untuk menjadi seorang Perwira Kerajaan di Kerajaan Mataram, bila rencana Ki Sugema berhasil untuk memperistri Roro Centil.
"Hm, cukuplah! Dan kini silahkan kau berangkat ke Akhirat!" Selesai menyahut, sebuah kilatan membersit dari lengan Ki Sugema. Dan... tanggallah kepala Ponara dari tubuhnya. Darah memuncrat yang diiringi dengan robohnya tubuh laki-laki gila pangkat itu ke lantai.
"Hahaha... kunyuk macam kau sudah tak kupentingkan lagi!" berkata Ki Sugema seraya siapkan lagi senjata ampuh pencabut nyawa hasil rampasannya itu ke balik bajunya.
Akan tetapi terperangah Ki Sugema ketika mendengar suara menggeram. Tahu-tahu jala sutera itu telah "terbang" melesat ke arahnya. Dan detik berikutnya laki-laki telengas ini tampak telah bergumul dengan seekor harimau Tutul yang luar biasa besarnya. Akan tetapi tak berapa lama tubuh Ki Sugema telah terkulai tak bergeming lagi. Nyawanya telah putus.
Dan keadaan tubuhnya tampak mengerikan sekali dengan sekujur tubuh penuh cabikan-cabikan. Darah menganak sungai dari luka dilehernya yang menganga hampir putus! Sedangkan disekelilingnya bertebaran serpihan jala sutera yang sudah hancur tak berbentuk lagi. Harimau Tutul itu ternyata telah lenyap entah kemana...
* * * * * * *
Dengan kesal Roro Centil membanting senjata maut yang "disita" dari jenazah Ki Sugema, hingga melesak ke dalam tanah, Tampak wajah si Pendekar Wanita ini merah padam. Telah ubak-ubakan dia mencari dimana Sambu Ruci dan Seruling Gading. Tapi tak dijumpai diseluruh ruangan.
"Hm, apakah pesanggrahan ini punya ruangan rahasia?" memikir Roro. "Baik... akan ku selidiki!" desisnya serentak begitu selesai bermenung. Tubuh Roro kembali berkelebat untuk memasuki setiap ruangan Pesanggrahan.
Brakk...! Tiba-tiba terdengar suara bergedubrakan. Roro merandek dengan wajah tegang. "Apakah ada manusia iblis lagi yang masih bercokol di Pesanggrahan ini?" berkata Roro dalam hati. Sekejap dia sudah menyelinap.
Sesosok tubuh tersembul dari reruntuhan tembok disalah satu ruangan belakang Pesanggrahan, wajah orang itu kusut, pucat dan malang biru seperti bekas-bekas pukulan. Dialah Sambu Ruci adanya. Dengan susah payah pemuda itu merangkak keluar dari celah lubang yang menganga direruntuhan tembok itu.
"Sambu Ruci...!" satu teriakan lelah membuat dia palingkan wajahnya untuk memandang ke arah datangnya suara.
"No... nona Roro..." teriak laki-laki ini dengan suara parau lemah. Akan tetapi wajahnya membersitkan cahaya girang.
Sekejap saja Roro Centil telah jejakkan kakinya dihadapan lakilaki ini. "Ahhh...! Sambu...! Apakah yang telah terjadi? Kemana is... istrimu Seruling Gading?" tanya Roro dengan terkejut karena memandang wajah tampan Sambu Ruci matang biru dengan keadaan yang menggiriskan hati.
Sekujur tubuhnya juga banyak luka-luka dengan pakaian yang sudah robek disana-sini. Sambu Ruci jatuhkan tubuhnya duduk menggelepoh. Wajahnya menunduk tanpa bisa berikan jawaban pada Roro. Setitik air mata tampak tersembul disudut kelopak mata laki-laki ini.
"Sambu...! Katakanlah! Siapa manusianya yang telah menyiksamu? Akan kuremukkan tulang-tulang tubuhnya! Dan... kemana Seruling Gading...?" tanya Roro lagi dengan suara menggetar.
Pelahan laki-laki ini menengadahkan wajahnya menatap pada Roro. Tampaknya Sambu Ruci teramat lemah untuk bicara. Roro Centil yang tahu diri, segera berkelebat. Dan sesaat telah kembali lagi dengan membawa sekendi air.
"Minumlah Sambu...!" ujar Roro.
Sambu Ruci tersenyum lemah seraya menyambuti dengan ulurkan lengannya. Lalu meneguk habis isi kendi itu. Setelah menghela nafas dan merenung sejenak, mulailah Sambu Ruci buka suara, menceritakan kejadiannya, dengan singkat. Roro Centil dengan wajah sebentar merah sebentar pucat mendengarkan penuturannya.
Ternyata Sambu Ruci disekap dalam ruangan rahasia di Pesanggrahan itu setelah dipaksa menyaksikan perbuatan edan Ki Sugema terhadap istrinya. Diceritakannya siapa Ki Sugema. Dan kejadian-kejadian penyiksaan terhadap dirinya yang dilakukan oleh Suro Ragil dan si laki-laki gendut Zimbage.
"Manusia bejat itu sudah mampus ditanganku! Dan senjata mautnya telah kulenyapkan! Kakek iblis bertongkat Kelabang itu sudah kukirim nyawanya ke Neraka...!" menyahut Roro dengan pertanyaan Sambu Ruci yang mempertanyakan kedua tokoh yang menguasai Pesanggrahan Cipatujah.
"Lalu kemanakah istrimu Seruling Gading?" bertanya Roro.
"Aku tak tahu lagi nasibnya, sejak dia disekap si keparat Ki Sugema itu..." jawab Sambu Ruci. "Haihhh! Aku memang manusia bodoh! Tak berguna...!" berkata Sambu Ruci memaki dirinya sendiri.
"Sudahlah...! Mari kita tinggalkan tempat ini! aku akan berusaha mencarinya!" ujar Roro menghibur. Lalu memapah Sambu Ruci berdiri, seraya diam-diam salurkan "hawa murni" untuk menambah tenaga dalam laki-laki itu. Terasa hawa hangat mengalir ke tubuh Sambu Ruci, yang dirasakan oleh laki-laki itu. Ternyata kemudian Sambu Ruci agak pulih tenaganya. Dia tersenyum menatap Roro.
"Terima kasih... kau baik sekali..." ucapnya lirih.
* * * * * * *
Sambu Ruci duduk termangu-mangu di depan sebuah pondok petani diatas bukit kecil. Pemandangan indah terhampar dihadapannya. Akan tetapi keindahan itu seakan tak berarti. Karena yang terbayang melulu wajah Seruling Gading. Dua hari sudah dia menetap di atas bukit kecil itu. Selama itu Roro Centil telah merawatnya, memberinya obat dan bermacam ramuan yang harus diminumnya. Memasak air. Menanak nasi dan sebagainya. Tak ubahnya seolah dia dirawat oleh seorang "istri" tercinta.
Ah, begitu mengharukan. Begitu pedih. Begitu bahagia tampaknya. Bahagiakah Sambu Ruci? Entahlah! Hanya dia yang tahu! dan yang membuat dia tersenyum pahit adalah apa yang dialaminya saat itu adalah begitu lucu! Ya, satu kelucuan, karena dia justru punya "pengganti" istrinya yang telah merawatnya dengan sepenuh hati hingga sampai kesembuhannya pulih kembali.
Hari itu dia duduk di depan pondok menunggu kedatangan Roro yang telah wanti-wanti memesannya agar tak kemana-mana. Dia termangu-mangu menatap ke bawah bukit dengan pandangan kosong. Wajah Seruling Gading sebentar membayang namun sebentar melenyap di ruang matanya. Kemelut di Cipatujah itu telah berakhir. Kini cuma tinggalkan puing-puing dari reruntuhan hati yang bersisa.
Kebahagiaan itu belum lagi terengkuh... "Apakah aku tak berjodoh dengannya?" berkata sendiri Sambu Ruci. "Ya! Kalau aku berjodoh, tentu tak terjadi peristiwa macam begini...!" menjawab pula sendirian laki-laki itu, yang akhirnya dia cuma tersenyum pahit dengan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ehm...!" suara deheman itu seketika membuat dia tersentak dari lamunannya. Ketika dia membalik ternyata Roro Centil telah berdiri di belakangnya.
"Sejak kapan kau pulang, no... nona Roro...?" tanya Sambu Ruci tergagap. Seulas senyum segera tersuguh buatnya. Ya! Mutlak! Memang senyum itu cuma untuknya.
"Panggillah aku Roro saja, mengapa harus pakai nona...?" berkata Roro dengan mengerling.
Sambu Ruci tertawa hambar. "Ya, ya, ya... baiklah! Aku akan menyebut mu dengan panggilan Tabib Roro! Apakah kau setuju?"
"Hihihi... aku bukan tabib!" menyahut Roro.
"Tapi kenyataannya kau memang seorang tabib. Kau telah merawatku hingga luka-lukaku serta kesehatanku pulih kembali!" sangkal Sambu Ruci.
"Aiiii! terserahlah!" menyahut Roro dengan tersenyum manis. Aneh! Diam-diam dan diluar kesadaran Roro. Gadis Pendekar itu rasakan dadanya berdebaran. Ya! Roro memang mulai sering merasakan debaran-debaran sejak merawat Sambu Ruci selama ini. Satu keanehan yang dia sendiri juga tak mengetahui.
Akan tetapi Roro selalu dapat menghilangkannya untuk kembali menenangkan diri. Apakah ada terbersit rasa cinta dihati roro pada laki-laki yang telah kehilangan istrinya itu? Entahlah! Tapi yang jelas debaran itu adalah satu kewajaran. Karena setiap naluri wanita memang demikian bila berhadapan dan bergaul terlalu erat dengan laki-laki.
"Ada berita baik yang kutemukan, Sambu...!" tiba-tiba Roro Centil memutus tegangan tersembunyi diantara dua jalur halus yang merentang barusan.
"Berita...? Oh, katakanlah!" menyahut Sambu Ruci. Agak tersentak seperti sukmanya baru kembali dari "alam gaib".
"Aku telah temukan dua mayat disatu tebing batu. Ciri-cirinya jelas seperti yang telah kau tuturkan padaku. Aku yakin itu mayat Suro Ragil dan si gemuk Zimbage...!" berkata Roro seraya menuangkan air ke dalam gelas tanah dari kendi berisi air putih. Lalu meneguknya hingga habis.
"Keduanya tewas...?" sentak Sambu Ruci. "Tak adakah berita mengenai Seruling Gading?" tanya Sambu Ruci tiba-tiba.
"Ada...! Akan tetapi kuharap kau tak terkejut mendengarnya!" menyahut Roro dengan suara datar.
"Apakah yang telah terjadi dengan dia...?" tanya Sambu Ruci dengan berusaha bicara biasa. Namun diam-diam hatinya mulai menyentak lagi, yang segera ditekannya agar tak membuat suaranya tergetar.
"Seruling Gading telah berubah menjadi orang yang tak waras..."
"Hah!? Dia... dia... maksudmu dia berubah menjadi... Gila...?" Tersentak kaget Sambu Ruci.
"Ya...!" sahut Roro dengan suara tenang. "Dia telah berhasil lolos rupanya dari sekapan Ki Sugema. Tapi dikejar oleh Suro Ragil dan si gemuk itu, entah siapa yang telah membunuh kedua orang itu. Dari berita yang kudapat tak ada yang mengetahuinya. Akan tetapi mengenai Seruling Gading menjadi hilang ingatan itu banyak berita yang kudapat dari penduduk disekitar tempat itu..." tutur Roro. Terhenyak sesaat Sambu Ruci. Wajahnya menunduk. Tampak satu kesedihan yang luar biasa dirona wajahnya.
"Tak adakah kau temukan dia...?" tanya Sambu Ruci dengan suara lirih.
"Yaaah, menurut berita yang kudengar, Seruling Gading menerjunkan diri ke dasar jurang! Aku telah mencoba mencari mayatnya didasar jurang pada lokasi yang dikira-kirakan penduduk. Tapi tak kujumpai mayatnya disana..." menyahut Roro.
"Seruling...! Oh, begitu tragis nasibmu..." mendesah suara Sambu Ruci. Kini titik air bening yang tersembul disudut mata laki-laki itu telah meluncur turun. Namun, Sambu Ruci segera seka air matanya.
"Yah! semua memang sudah suratan takdir!" berkata Roro "Kita belum bisa pastikan Seruling Gading tewas. Namun kukira...."
Sambu Ruci seperti tak mendengar penjelasan Roro. Dia menatap jauh ke bawah lembah. Jauh...! dan bahkan lebih jauh lagi. Dua ekor elang tampak melayang di ketinggian. Bukit kecil itu seperti sunyi. Dan memang terasa sunyi. Seperti juga sunyinya hati Sambu Ruci. Ketika dia berpaling ternyata Roro Centil telah lenyap tak terlihat bayangannya. Semakin sunyilah hati Pendekar Muda ini. Senja pun tampak mulai melingkupi daerah perbukitan itu.
Episode selanjutnya,