Geger Tombak Pusaka Ratu Shima
Karya : Mario GembalaSATU
KI RANGGA WULUNG duduk di kursi goyang sambil memilin-milin jenggotnya yang cuma sejumput, hampir memutih. Matanya menatap keluar jendela. Tapi bukan keadaan diluar rumah itu yang terlihat didepan matanya. Melainkan dia memandang jauh... jauh sekali kemasa dimana dia masih menjabat sebagai seorang Tumenggung Kerajaan Mataram.
Agak lama dia termenung demikian, hingga didengarnya suara langkah mendekat dibelakang menghampiri. Dia tahu yang datang adalah anak gadis. Karena, dirumah itu tak ada siapa-siapa lagi.
"Ayah...! Sampai kapan kita akan begini terus? Apakah tak ada jalan lain selain kau bermenung setiap hari?" berkata gadis itu dengan berdiri dibelakang punggung sang ayah. Gadis yang berwajah cukup cantik ini bernama Jayeng Sari. Lengannya meraba bahu ayahnya, seraya bergerak memijit-mijit pundak laki-laki tua ini.
Sementara Ki Rangga Wulung masih belum lepaskan pandangannya keluar jendela. Tapi kali ini yang ditatapnya adalah keadaan diluar rumah. Tak lama Ki Rangga Wulung terdengar menghela nafas. Lalu bangkit berdiri dari kursinya.
"Sabarlah, anakku... dalam berdiam diri begini bukannya aku tak berpikir apa-apa. Akan tetapi aku tengah merencanakan sesuatu....! Yah, dengan diberhentikannya aku dari jabatan semakin terasa pahitnya hidup!" ujarnya seraya berpaling menatap pada sang gadis.
"Lalu... apakah rencana yang telah kau pikirkan itu, ayah?"
"Aku sudah cukup usia, anakku. Jadi wajar kalau aku diberhentikan dari jabatanku. Aku tak memikirkan apa-apa lagi dengan diriku. Akan tetapi yang kupikirkan kini adalah kau!" menyahut Ki Rangga Wulung.
"Aku?" tukas Jayeng Sari dengan agak terkejut.
"Ya! kau sudah cukup dewasa. Bahkan sudah teramat dewasa! Kau perlu segera menikah, agar ada yang merawatmu!" ujar Ki Rangga Wulung dengan suara tegas.
Akan tetapi Jayeng Sari menyahut dengan cepat. "Aku belum mau menikah, ayah...!"
"Mengapa?" tanya Ki Rangga Wulung. Alisnya bergerak naik, menampakkan kerut-kerut didahinya. Terheran orang tua ini. Tapi yang ditanya cuma berdiam diri, menatap keluar jendela. Wajahnya tampak kaku. Seperti enggan memberikan jawaban pada ayahnya. Akhirnya kembali Ki Rangga Wulung yang membuka mulut untuk bicara.
"Aneh, kau ini....!" ujarnya. "Laki-laki bernama Satryo yang menggantikan kedudukanku sebagai Tumenggung itu cukup simpatik. Dia memang pernah punya istri. Tapi telah lama menduda. Ketika dia kemari menyambangiku sebelum menerima jabatan Tumenggung dari Baginda Raja, kunilai dia seorang yang balk. Simpatik, dan berwibawa. Bukankah dia ada bercakap-cakap dengan kau?"
"Hm, jadi ayah akan menjodohkan aku dengan dia?" potong Jayeng Sari. "Maaf ayah, aku tak dapat menerimanya. Seperti kukatakan tadi aku belum mau menikah dengan siapa saja!" ujar Jayeng Sari. "Bahkan.... aku aku amat membencinya!" sambungnya lagi.
"Jayeng Sari... waraskah otakmu?" terkejut Ki Rangga Wulung mendengar kata-kata anak gadisnya itu.
"Otakku masih waras, ayah! Aku tak sudi bersuamikan laki-laki seperti itu. Apa cuma dia laki-laki didunia ini...? Aku dapat menentukan siapa jodohku dan calon suamiku kelak! Akan tetapi bukan dia!" sambut Jayeng Sari dengan celotehnya yang tegas.
"Baik! baik, kalau itu yang kau maui, akan tetapi apa yang membuat kau membencinya?" berkata Ki Rangga Wulung.
Akan tetapi Jayeng Sari tak menjawab. Tapi kemudian. "Ayah, hal itu adalah urusan pribadiku. Membenci saja kukira tidaklah berdosa kalau tidak mendendam. Kuharap ayah tak mempertanyakan hal itu.!"
Selesai berucap, Jayeng Sari kembali masuk keruang dalam. Memasuki kamarnya dan mengunci pintu Dan luar kamar, Ki Rangga Wulung mendengar suara isak tersendat anak gadisnya. Dia berdiri dipintu kamar. Keningnya berkerut. Lengannya bergerak mengeluk pintu. Seraya panggilnya.
"Sari...! Jayeng Sari...! Bukalah pintu, anakku...!"
Suara isak itu mendadak lenyap. Namun setelah ditunggu sekian lama pintu tetap tak dibuka. Ki Rangga Wulung tahu kalau anak gadisnya tak mau membukanya. Dia masih marah, dan dia tahu kalau hati Jayeng Sari telah tersinggung dengan niat baiknya itu. Setelah merenung sejenak Ki Rangga Wulung segera beranjak meninggalkan pintu kamar Jayeng Sari. Terdengar lagi suara helaan napasnya.
Malam itu keadaan diluar gedung Ki Rangga Wulung nampak sunyi senyap. Akan tetapi ruangan depan gedung masih tampak terang dengan lampu gantung berukir yang terdapat diruangan itu. Suasana sepi di Gedung itu semakin terasa oleh Ki Rangga Wulung yang duduk menyandar dikursinya. Alam pikirannya kembali menerawang kemasa yang silam. Masa jayanya, dimana dia masih berusia tiga puluh tahun. Akan tetapi masa itu adalah masa yang penuh dengan bermacam peristiwa kehidupan dan kemelut rumah tangga.
Dia bukanlah seorang suami yang baik. Diakuinya dia sering menyeleweng pada wanita-wanita penjaja cinta. Itu dikarenakan sang istri tak pernah mempunyai keturunan. Pertengkaran sering terjadi dalam rumah gedung itu. Dan bila hal itu terjadi, dia harus segera menyingkir pergi untuk melampiaskan perasaan kesalnya pada wanita-wanita penghibur. Atau minum arak sampai mabuk. Walau demikian dia tetap menjalankan tugas dengan baik sebagai seorang Tumenggung Kerajaan Mataram.
Hingga akhirnya meletus pula "perang kecil" dalam rumah tangganya. Sang istri memutuskan untuk berpisah. Rangga Wulung tak dapat menahan lagi keinginan istrinya untuk itu. Dan perpisahanpun terjadi. Akhirnya dia menikah lagi. Dan dikaruniai seorang anak perempuan. Dialah Jayeng Sari. Namun sang istri telah meninggalkannya terlebih dulu sebelum Jayeng Sari dewasa. Dan dia hidup menduda hingga sampai saat diberhentikannya dia dari jabatan tumenggung Kerajaan Mataram.
Dalam masa-masa sepi demikian, laki-laki tua Ini ternyata telah membayangkan kehadiran istrinya yang pertama. Betapa dia memang masih amat mencintai Nyi Sekar. Dan ada hasrat dia untuk mencarinya. Rupanya hal itu agak mengganggu pikiran Ki Rangga Wulung. Hingga dia segera kecilkan lampu depan. Berjingkat-jingkat Ki Rangga Wulung mendekati kamar anak gadisnya.
Dari lubang kunci dia mengintip kedalam. Jayeng Sari ternyata telah tidur. Niatnya untuk keluar rumah jadi gagal, karena kain selimut sang anak gadis telah menyingkap hingga menampakkan bagian tubuh gadis itu dalam keremangan cahaya lampu kamar.
Tampak wajah laki-laki tua ini berubah tegang. Sekian lama dia hidup berdua dengan anak gadisnya tak disadari kalau Jayeng Sari telah dewasa dan semakin cantik. Entah mengapa dia tak mau menikah cepat-cepat? pikirnya. Padahal dia amat penuju dengan Satryo si Tumenggung Muda yang menggantikan kedudukannya itu. Wajah sang ayah ini menampakkan kegelisahannya. Entah berapa kali dia mondar-mandir didepan pintu kamar anak gadisnya.
Sebentar-sebentar berhenti didepan pintu untuk kembali mengintip dari celah lubang kunci. Akhirnya dengan tangan gemetar dia membuka pintu kamar dengan perlahan. Ternyata pintu tak terkunci. Rupanya Jayeng Sari lupa menguncinya Rasa lelah dan banyak memikir membuat gadis itu tertidur agak cepat. Lengan tua itu mulai terulur untuk meraba. Dan menyingkapkan apa yang sudah tersingkap itu semakin lebar. Gadis itu menggeliat. Dan dia terkejut dengan mata membelalak. Sang ayah telah berada dipembaringannya dengan mata membinar dan napas memburu.
"Ayah...!? Ada apakah...? Mengapa kau masuk kekamarku ?" sentak Jayeng Sari. Seraya beringsut mundur kesudut pembaringan. Lengannya bergerak menyambar kain selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Sari...! Sari, aku.... aku...”
"Ayah! kelakuanmu tak pantas! Sa...sadarlah ayah!" membentak Jayeng Sari. Dari sikap ayahnya tahulah dia apa yang telah terjadi. Dan apa yang akan dilakukan ayahnya. Akan tetapi cepat sekali tubuh Ki Rangga Wulung melompat menerkamnya.
"Tidak! tidak...! jangan ayah! kau, kau...telah gila! Lepaskan aku!"
"Sari....! Aku tahu kau kesepian! Aku tahu kau mendambakan laki-laki! Kalau kau tak mau menikah, mengapa kau menolak....? berilah aku kesempatan. Sekali ini saja....! ya! cuma sekali...." berkata Ki Rangga Wulung dengan suara tergetar.
"Ayah! apakah kau tak takut kutukan Tuhan? sadarlah! aku anakmu! Darah dagingmu !" berkata Jayeng Sari menyadarkan ayahnya.
Akan tetapi... "Sari! kalau kau tak menuruti kemauanku, lihatlah lebih baik kau kubunuh! Ya! kau akan kubunuh...!" ancam Ki Rangga Wulung yang sudah kerasukan setan. Jari-jari lengannya bergerak ke leher Jayeng Sari untuk mencekik.
"Ayah...!? Oh, ja...jangan ayah...! ampun! ampunkan aku ayah! hk...hk...hk..jangan ayah! ja jangan..." Pucat pias wajah Jayeng Sari.
Akhirnya dia cuma menyerah. Dia tak berdaya lagi. Sekujur tubuhnya lemah lunglai. Dan dia tak mampu berbuat apa apa ketika dengan tersenyum menyeringai sang ayah mulai melolosi pakaiannya. Lalu melepaskan pula pakaiannya sendiri. Akan tetapi tiba-tiba Jayeng Sari yang telah katupkan sepasang matanya dengan simbahan air mata itu, membuka lagi matanya.
"Ayah! kalau kau mau lakukan, lakukanlah...! Akan tetapi ketahuilah, perbuatanmu adalah terkutuk! Dan aku tak mau menanggung dosanya...!" ucap gadis ini dengan tandas. Dia telah berusaha menahan segala perasaannya, menghadapi kenekatan sang ayah yang telah kerasukan setan itu.
"Ba...baik! baik! aku yang akan menanggung dosanya!" menyahut laki-laki tua. Dan... selesai berkata, dia telah menindih tubuh anak gadisnya. Dan terjadilah apa yang sebenarnya tak boleh terjadi! Manusia yang beriman lemah apapun bisa saja dilakukan, kalau setan telah merasuki hati dan jiwanya.
Malam semakin kelam! Desah angin diluar gedung bagaikan ribuan iblis yang tertawa. Hitamnya malam ternyata lebih hitam lagi ruangan kamar tempat terjadinya perbuatan terkutuk itu.
SESOSOK TUBUH tegak berdiri didepan pintu kamar yang tak tertutup itu. Dilengannya tercekal sebuah tombak. Dan sebuah buntalan besar berada pula dicekalan tangan kirinya. Buntalan besar itu diletakkan didepan pintu. Dan sosok tubuh itu berkelebat lenyap...
Perbuatan terkutuk itupun berlanjut terus tanpa ada hambatan. Suara desah napas yang membaur dengan rintihan kecil seperti sirna ditelan lengangnya malam. Manakala Ki Rangga Wulung perdengarkan lenguhannya. Dan hempaskan tubuhnya kesisi pembaringan dengan napas tersengal.
Selang sesaat, Ki Rangga Wulung bangkit untuk duduk. Lengannya mencengkeram rambutnya yang awut-awutan. Sementara si gadis bernama Jayeng Sari menelungkup, menekap kepalanya dengan bantal. Tenggelam dengan sedu sedan yang hampir tak terdengar. Tiba-tiba sepasang mata Ki Rangga Wulung membelalak lebar. Karena terpandang buntalan besar didepan pintu kamar. Dengan heran, disambarnya kain selimut untuk penutup tubuh dan dia beranjak menghampiri.
"Siapa yang meletakkan disini...?" berkata dia dalam hati. "Aneh...?" desisnya pelahan. Rasa penasaran membuat dia ulurkan kepala untuk melihat keluar kamar, tapi tak ada bayangan sosok tubuhpun. Pintu depan masih tertutup rapat. Akhirnya diseretnya buntalan itu ke dekat pembaringan. Dan, dia segera buka ikatannya untuk melihat apa isi buntalan itu.
Seketika membelalak sepasang mata laki-laki tua itu. Karena yang berada dalam buntalan tak lain dari bermacam senjata dan beberapa kotak perhiasan. "Ah, apakah tak salah mataku? Ini...ini benda-benda Pusaka Kerajaan!"
Mendadak tubuh Ki Tumenggung bergetaran. Sementara lengannya membinar, ketika membuka isi kotak berukir itu benar seperti dugaannya adalah berisi perhiasan dari berbagai macam, dari emas. Juga terdapat kepingan-kepingan uang emas. Tiba-tiba meledaklah tertawanya, gelak-gelak. Dan dia sudah membangunkan anak gadisnya. Mengguncang-guncang punggungnya.
"Hahahaha... hahaha... Sari! Sari! Lihatlah, kita...kita kaya raya! Lihat perhiasan-perhiasan ini! Kita akan kaya! Hahaha... hahaha..."
Diguncang-guncangkan demikian, dan suara kata-kata aneh yang didengarnya, membuat Jayeng Sari terhenti dari sedu sedannya. Dan sepasang mata Jayeng Sari jadi membelalak ketika melihat sang ayah tengah memperlihatkan uang emas dan bermacam perhiasan dihadapannya.
"Kau lihatlah, Sari...! kita akan kaya...! Kita telah kejatuhan rejeki yang jatuh dari langit!" ujar sang ayah.
Semakin membelalak lebar mata Jayeng Sari ketika ayahnya mengangkat buntalan besar, dari bawah pembaringan. Meletakkannya diatas tempat tidur, lalu menghamburkan isinya. "Hah!? dari mana kau dapatkan benda-benda dalam buntalan ini?" berkata Jayeng Sari dengan wajah pucat.
"Hehehe... tak perlu tanya-tanya! Segera kemasilah pakaianmu! Lalu siapkan kuda. Kita pergi dari sini!" berkata Ki Rangga Wulung.
"Ayah! apakah ini bukan benda-benda pusaka Kerajaan Mataram yang kudengar lenyap dicuri oleh bekas Senapati bernama Wira Pati itu....?"
Akan tetapi sebelum Ki Rangga menjawab sebuah bayangan berkelebat memasuki kamar. Dan satu suara menyahuti, dibelakang Ki Rangga Wulung. "Benar! Ini memang harta benda milik Kerajaan Mataram. Dan, akulah pencurinya....!"
Tentu membuat Ki Rangga Wulung terkejut, dan cepat balikkan tubuhnya. Tapi... Jrosss! Terhenyak laki-laki bekas Tumenggung ini. Sepasang matanya membeliak. Karena tahu-tahu sebatang Tombak telah terhunjam menembus lambungnya. Hal kejadian itu demikian cepat. Hingga Jayeng Sari cuma bisa terperangarah dengan mata membeliak dan mulut terperangah.
"Kakk...k...kau...Wi....ra....pp...Patt..i...ii...?" Terdengar suara Ki Rangga Wulung terputus-putus.
"Hahaha....benar! Nah, berangkatlah kau ke Akhirat, Rangga Wulung! Kukira kau bisa diajak kerja sama. Anak gadismu ku kepingini, kau tolak. Tak tahunya kau "makan" sendiri! Dasar tua bangka rakus!" berkata laki-laki itu seraya menyentakkan tombaknya.
Dan terdengar jeritan parau Ki Rangga Wulung. Tubuhnya terlempar membentur tembok. Lalu menggabruk dilantai. Darah memuncrat. Memercik diruangan kamar itu. Diiringi pekik histeris Jayeng Sari, laki-laki bekas Tumenggung itu menggeliat. Lalu terkulai dengan melepaskan nyawanya. Darah menggelogok dari luka lebar yang menoreh isi perutnya. Bercampur isi perut yang berhamburan.
"Ayaah...!? ayah....!" memekik Jayeng Sari dengan wajah pucat. Akan tetapi dia cuma berdiri mematung memandang pada ayahnya dan laki-laki itu berganti-ganti. "Kau....kau...mengapa membunuh dia? Mengapa...?" teriak wanita muda ini dengan mata membelalak. Sementara lengannya menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Hahaha...! Dia sudah pantas masuk kubur! Dan, kau....? hm, rupanya dari pada menerima lamaranku setahun yang lalu rupanya lebih senang disunting ayahmu sendiri yang sudah tidak waras ini! Hahaha...dunia memang sudah edan!" tertawa Wira Pati dengan menghamburkan kata-kata tajam.
"Wira Pati apakah kau anggap dirimu juga bukan manusia bejat? Kau sama saja dengan ayahku! Dan aku amat yakin kalau perbuatan ayah adalah akibat terpengaruh oleh kelakuan burukmu. Karena ayah bersahabat denganmu!"
"Hm, jangan membawa-bawa aku! Perbuatan ayahmu tak ada sangkut-pautnya dengan diriku!" berkata dingin Wira Pati. Tiba-tiba pancaran matanya membinar menjalari liku-liku tubuh Jayeng Sari. Wira Pati beranjak menghampiri. Jayeng Sari beringsut mundur. Wajahnya tampak berubah pias. Dari tatapan mata laki-laki berusia hampir setengah abad itu, dia telah tahu akan apa yang bakal dilakukan manusia ini.
"Hm, setelah kau ternoda begini apakah kau masih juga menolak keinginanku?" berkata Wira Pati dengan wajah sinis, dan tertawa menyeringai. Kakinya terus melangkah mendekati Jayeng Sari yang telah merapatkan tubuh di sudut dinding, tak berkutik.
"Pilih antara dua! Apakah kau mau cepat-cepat menyusul ayahmu ke alam Baka ataukah mau melayaniku secara baik-baik...?" ancam Wira Pati. Ujung tombaknya yang masih berlumuran darah itu terangkat untuk diarahkan ke dada wanita muda itu.
Tergetar tubuh Jayeng Sari. Sepasang matanya membeliak menatap ujung mata tombak. "Aku...aku akan melayanimu, Raden.... tapi, tidak ditempat ini. Aku... aku ngeri melihat jenazah ayah..." menyahut Jayeng Sari dengan napas tersengal.
"Hmm...." Wira Pati palingkan wajahnya untuk menatap pada mayat Ki Rangga Wulung. Lalu palingkan lagi pada Jayeng Sari. "Baik! kau kemasilah benda-benda ini! Malam ini juga kau harus turut denganku. Hahaha. setelah selesai urusan kita tentunya!" berkata dia. "Nah! cepat kerjakan!" bentaknya dengan halus. Lalu menggeser tubuh untuk memberi jalan pada Jayeng Sari.
"Ba..ba..baik Raden!" menyahut Jayeng Sari. Lalu segera turuti perintah Wira Pati. Sementara hati wanita ini tak menentu. Sedih, gusar menjadi satu menindih dadanya. Selesai wanita muda itu membungkus lagi benda-benda itu dalam buntalan, Wira Pati perintahkan Jayeng Sari keluar ruangan, Dan....Bruk! pintu kamar itu segera ditutup rapat Wira Pati.
"Ke arah sana!" berkata Wira Pati dengan menunjuk dengan tombaknya! Jayeng Sari mengangguk. Lalu dengan tubuh terhuyung melangkahkan kakinya menuju ruangan dalam. Dia tahu ke arah tempat itu adalah ke arah kamar ayahnya.
"Ayo! buka pintu kamar itu. Kita bermalam sejenak! Menjelang pagi dinihari sebentar lagi kita harus sudah tinggalkan desa ini!"
"Ya... baik, Raden..!" Menyahut Jayeng Sari. Lalu membuka pintu kamar. Dan melangkah masuk. Diikuti Wira Pati. Keadaan diluar gedung masih sunyi seperti tadi. Semua kejadian tak seorangpun dari penduduk itu yang mengetahui.
Dan, pada malam yang penuh peristiwa itu, Jayeng Sari lagi-lagi harus menerima kenyataan pahit. Menuruti kemauan iblis Wira Pati untuk memberikan kehangatan tubuhnya pada laki-laki buronan Kerajaan Mataram itu.
Wira Pati sang buronan Kerajaan Mataram itu terkapar kelelahan. Dengkurnya terdengar memenuhi ruangan. Laki-laki yang telah melampiaskan keperkasaannya itu tampaknya amat kelelahan setelah banyak perjalanan dia lakukan demi meloloskan diri dari kejaran orang-orang Kerajaan.
Kini dia terlena pulas dengan tidur mendengkur. Sebelah lengannya menempel diatas perut wanita disebelahnya. Tidurkah wanita anak Ki Rangga Wulung itu? Tidak! Jayeng Sari masih belalakkan matanya. Mata yang telah berkaca-kaca karena nasib telah menyeretnya hingga bermacam kejadian, menimpanya. Wajahnya yang cantik itu kini telah dilumuri dengan simbahan air mata dipipinya. Seakan tertegun dia menatap langit-langit kamar, menerangi diri yang bernasib buruk.
Sesaat seperti tersadar dia, ketika mendengar suara dengkur Wira Pati. Dan tercekatlah hatinya untuk bisa meloloskan diri dari cengkeraman laki-laki buronan Kerajaan itu. Pelahan dia bangkit. Setelah mengangkat dengan hati-hati tangan Wira Pati yang memeluknya. Laki-laki itu ternyata benar-benar pulas. Jayeng Sari menggeser tubuhnya untuk turun dari pembaringan. Dia berhasil. Wira Pati tetap tak bergerak dari posisi tidurnya.
Degup-degup jantung wanita itu semakin cepat. Sementara dia tak berayal untuk segera merapihkan pakaiannya. Lalu setelah meneliti keadaan Wira Pati, dengan pelahan dan berjingkat-jingkat segera beranjak mendekati pintu kamar. Membukanya dengan pelahan sekali. Dan dia menarik napas lega, setelah berada diluar kamar. Ditutupnya lagi pintu kamar itu. Keringat dingin tampak membasah disekujur tubuh. Setelah mengatur napas, dan detak jantungnya agak mereda. Barulah Jayeng Sari bergegas keluar dari dalam gedung itu.
Dia harus cepat kalau tak ingin jadi korban ketelengasan laki-laki yang telah mengancam akan membunuhnya itu, bila dia melarikan diri. Namun segalanya memang menggembirakan. Tak ada bahaya apa-apa. Suasana dalam gedung itu masih tetap seperti tadi. Dan suara dengkur laki-laki buronan Kerajaan Itu masih terdengar samar-samar.
Jayeng Sari membuka pintu belakang gedungnya. Dan dari ruangan dapur itu, dia berkelebat lari menembus kepekatan malam. Sesaat tubuhnya sudah lenyap ditelan gelapnya malam yang sial itu. Suara burung hantu terdengar seperti mengantarkan kepergiannya meninggalkan tempat itu.
Esok harinya... Seorang laki-laki berbaju putih dari kain kasar. Bercelana pangsi warna abu-abu tampak berjalan bergegas menghampiri kerumunan orang. Dipinggangnya tersoren sebilah pedang. Dialah Ginanjar adanya. Sementara dibelakang pemuda itu terlihat beberapa ekor kuda melintasi pula jalan itu. Ternyata rombongan orang-orang Kadipaten. Seorang laki-laki tua yang berada dibagian depan adalah Adipati Kiduling Kuto. Lima penunggang kuda dibelakangnya adalah para pengawalnya.
Ginanjar segera menyingkir untuk memberi jalan, Ketika rombongan itu tiba ditempat kejadian, kerumunan orang itupun segera menyibak bubar. Semua mata tertuju pada para penunggang kuda. Mengetahui kalau yang datang adalah Adipati Kiduling Kuto, mereka menghaturkan sembah.
"Selamat datang kanjeng Adipati..."
"Selamat datang Gusti Adipati..!" beberapa orang membuka suara.
Adipati Kiduling Kuto hentikan kudanya. Matanya menyapu pandangan semua orang yang menunduk dihadapannya. Lalu menatap pada sosok tubuh yang terbujur ditanah itu. Sesosok tubuh wanita yang sudah menjadi mayat. "Apakah kalian mengetahui siapakah mayat perempuan itu?" tanya sang Adipati.
"Ampun Gusti, hamba mengenalnya. Dia puteri Ki Rangga Wulung!" menyahut salah seorang dihadapannya.
"AnebisMengapa bisa berada ditempat ini? Apakah kalian mengetahui siapa yang telah membunuhnya?" tanya lagi Adipati Kiduling Kuto dengan sapukan pandangannya pada beberapa orang.
Sementara Ginanjar telah berada pula dikerumunan orang itu. Matanya menatap pada perempuan yang terbujur kaku itu. Sebuah belati tampak jelas terhunjam didadanya. Salah seorang dari kerumunan orang itu tiba-tiba menyeruak keluar, menghampiri ke hadapan Adipati Kiduling Kuto. Seraya menyembah, laki-laki itu berkata.
"Ampun, Gusti.! Nama hamba Wiryo Jembluk. Hamba tadi malam bertugas meronda. Jelas sekali hamba melihat sebelum menjelang shubuh, sesosok tubuh berlari-lari ke arah tengah desa. Merasa curiga kami yang meronda bertiga segera mengejarnya. Ternyata perempuan itu adalah Nyi Jayeng Sari. Puteri Ki Rangga Wulung. Lalu hamba menanyai..."
"Aku tanyakan siapakah yang telah membunuhnya! apakah kau mengetahui?" membentak Adipati Kiduling Kuto. "Aku tak menanyakan macam-macam!" sambungnya.
Dibentak demikian si laki-laki bernama Wiryo Jembluk ini jadi gelagapan. "Ya...! Yya.. Gusti. hamba...hamba.." belum lagi habis kata-katanya tiba-tiba laki-laki itu menjerit keras dan roboh terjungkal. Ternyata dadanya telah tertembus sebuah belati kecil. Sesaat setelah berkelojotan, Wiryo Jembluk terkapar tak berkutik, karena nyawanya telah melayang. Pucatlah wajah semua orang. Juga wajah Adipati Kiduling Kuto.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat diantara kerumunan orang. Ginanjar tersentak kaget. Dia lihat jelas laki-laki itu yang telah menyambitkan pisau belati itu ke arah Wiryo Jembluk.
"Dia pembunuhnya...! he! jangan lari!!" membentak pemuda ini. Tubuhnya berkelebat. Dan dengan gerakan salto diudara setinggi lima tombak, tubuh Ginanjar melewati kepala-kepala orang. Dilain kejap dia sudah berada dihadapan laki-laki yang mau melarikan diri itu.
Set! Set!
Dua pisau belati meluncur ke arah leher dan dada Ginanjar yang dilontarkan laki-laki Itu. Namun Ginanjar berhasil mengelakkan diri dengan gerakan lincah. Dan...Buk...! Lengannya telah menghantam dada orang. Pukulan itu tak terlalu keras, akan tetapi membuat laki-laki pembunuh itu terdorong mundur hingga jatuh terjengkang.
Ginanjar tak berlaku ayal untuk cepat melompat. Lengannya sudah bergerak untuk mengirimkan totokannya. Dia berpendapat harus meringkus laki-laki itu tanpa harus membunuhnya. Akan tetapi tiba-tiba sebatang anak panah telah mendahuluinya menembus dada laki-laki itu, yang jadi menggeliat sejenak. Setelah mengerang, lalu terguling tak berkutik. Tewas seketika.
"Bagus! Kau amat cekatan anak muda! manusia pembunuh ini memang pantas mampus!" terdengar suara berkata. Ternyata Adipati Kiduling Kuto telah berada dihadapannya bersama seorang pengawalnya yang membawa busur dan anak panah.
Ginanjar cepat-cepat menghaturkan hormat. Diam-diam hatinya membathin. "Hebat! tak dinyana Adipati ini punya gerakan hebat. Juga pengawalnya..." Ginanjar memang telah melihat jelas kedua orang Kadipaten itu melompat dari punggung kuda masing-masing. Si pengawal bersenjata panah itu telah mencabut sebatang anak panah dan melemparkannya untuk membunuh laki-laki itu tanpa menggunakan busur lagi.
"Terima kasih atas pujian anda Adipati...! Akan tetapi sayang, mengapa dia dibunuh?" berkata Ginanjar.
"Apakah maksud anda, sobat? Dan, siapa anda! Melihat dari caramu bicara kau pasti orang Rimba Hijau. Silahkan perkenalkan nama dan julukanmu!" Berkata pengawal Adipati itu dengan suara lantang.
Ginanjar menatap pada Adipati Kiduling Kuto. Laki-laki tua itu mengangguk seraya berkata. "Benar! Coba kau ungkapkan maksud anda, anak muda. Dan akupun ingin mengetahui siapa anda gerangan. Tentunya seorang pendekar dari pihak golongan Putih, yang berada dipihak Kerajaan...!"
"Ah, hamba hanya seorang pendekar picisan yang tak berguna, Adipati! Namaku Ginanjar. Dan julukanku...ngng... aku tak punya julukan!" menyahut Ginanjar dengan suara datar merendah. Dia sudah mau sebutkan dirinya berjulukan si Dewa Linglung. Akan tetapi merasa julukan itu tak sesuai lagi dengan keadaan dirinya yang sudah kembali waras.
Adipati Kiduling Kuto manggut-manggut. "Nah, sekarang jelaskan maksud kata-katamu. Mengapa kau mencegah orangku membunuhnya?"
Ginanjar tersenyum, seraya menyahut. "Maksudku demikian, Adipati. Kalau orang ini tak dibunuh, kita bisa menanyai. Atau memaksanya bicara. Hamba berpendapat kalau dia pulalah yang telah melakukan pembunuhan terhadap anak gadis Ki Rangga Wulung itu. Akan tetapi bukan mustahil kalau dia hanya suruhan orang lain. Nah, kita bisa menanyai siapa gerangan orang yang berada dibelakangnya...!" tutur Ginanjar.
Sejenak tercenung Adipati ini. Sementara sang pengawal menatap berganti-ganti pada atasannya dan Ginanjar dengan wajah kaku. Apakah tindakannya akan disalahkan ataukah dibenarkan oleh sang Adipati. Tampak kemudian Adipati Kiduling Kuto manggutmanggut seraya mengelus jenggotnya. Lalu berkata. "Haih! pendapatmu benar, anak muda! Ya! kau telah bertindak salah, Hambali! akan tetapi kejadian ini sudah terlanjur...!"
"Lalu apakah selanjutnya yang akan kita lakukan Gusti Adipati?" tanya Hambali. Wajahnya tampak berubah merah. Tampaknya laki-laki ini agak mendongkol juga terhadap Ginanjar yang membuat dia dipersalahkan oleh Adipati.
Untung sang Adipati tak memperpanjang urusan. "Hm, pergilah empat orang dari kalian ketempat tinggal Ki Rangga Wulung! Periksa keadaan didalam rumahnya!" perintah Adipati.
"Daulat, kanjeng Gusti Adipati!" menyahut Hambali. Dan selanjutnya memberi isyarat pada keempat kawannya, yang telah berdatangan. Salah seorang kawan pengawal itu membawakan pula kudanya. Lalu, setelah melompat keatas kuda, bergegas empat orang pengawal Kadipaten itu memacu kuda masing-masing untuk meninggalkan tempat itu. Dengan tujuan ke arah tempat kediaman Ki Rangga Wulung. Ginanjar menatap kepergiannya. Sang Adipati mendekati Ginanjar menepuk pundaknya.
"Anak muda, tampaknya kau bisa diajak bekerja sama! Marl ketempat kediamanku...! Urusan ini kita serahkan saja pada keempat pengawalku! Kita kembali ke Kadipaten!"
"Ah, kalau hamba diajak singgah, mana mungkin kutolak? Terima kasih Adipati...!" menyahut Ginanjar.
Sang Adipati melompat kepunggung kuda yang dibawakan oleh seorang dari pengawal yang tak turut serta. Lalu beri isyarat pada pengawal itu untuk berikan kudanya pada Ginanjar. Tak lama dua ekor kuda sudah mencongklang pelahan meninggalkan kerumunan ditempat itu. Pengawal yang seorang diperintahkan menunggu kawan-kawannya ditempat itu, sekalian mengurus jenazah wanita anak gadis Ki Rangga Wulung itu untuk dikuburkan sebagaimana mestinya.
"Bila tak ada kejadian apa-apa dikediaman Ki Rangga Wulung ataupun ada terjadi peristiwa, kau katakan pada keempat pengawal kawanmu untuk segera menghadapku di Kadipaten!" teriak Adipati Kiduling Kuto sesaat ketika dia hentikan kudanya dan membalik ke arah pengawalnya.
"Daulat kanjeng Gusti Adipati. Perintah akan hamba laksanakan!" menyahut pengawal ini. Tak lama dia cuma menatap punggung kedua orang itu hingga lenyap meninggalkan debu mengepul.
"Heh! pemuda bernama Ginanjar itu jangan-jangan bisa menggeser kedudukanku di Kadipaten. Tampaknya Adipati amat berkenan melihatnya!" gumam pengawal ini. Dan dengan bersungut-sungut segera dia perintahkan orang berkerumun itu bubar. Beberapa orang laki-laki diperintahkan menggali lubang untuk mengubur jenazah perempuan itu.
Matahari mulai merayap naik. Tampak kesibukan ditempat itu dari para penduduk yang menjalankan perintah menggali kubur. Sementara si pengawal Kadipaten itu cuma duduk di bawah pohon dengan bertopang dagu. Seolah seribu kemelut membentang dalam benaknya. Sikap Adipati pada Ginanjar itu membuat dia takut tergeser sebagai orang-orang kepercayaan dan andalan sang junjungannya.
"Ampun Gusti Adipati! Hamba melaporkan. Keadaan di rumah kediaman Ki Rangga Wulung tak dapat hamba ceritakan. Segeralah gusti Adipati melihatnya sendiri..." melapor salah satu dari keempat pengawal Kadipaten. Dialah Hambali.
"Hm, mengapa demikian?" bertanya Adipati Kiduling Kuto. Keningnya berkerut, dan alisnya naik terjungkat. Ginanjar yang sedang duduk bercakap-cakap dengan Adipati ini juga terheran mendengar laporan itu.
"Ampun Gusti Adipati. Terlalu berat mengatakannya, karena hal ini adalah sesuatu yang diluar dugaan. Dan hanya gusti Adipati sendirilah yang berhak melihatnya. Tiga orang kawan kami masih berada disana...!" berkata lagi pengawal bernama Hambali itu. Setelah termenung sejurus, laki-laki Adipati ini berpaling pada Ginanjar.
"Sobat Ginanjar, mari kita melihatnya. Kukira pasti ada kejadian yang luar biasa...!"
Ginanjar mengangguk. "Hamba tak keberatan, Adipati...!" ujar pemuda ini. Nah, Hambali segeralah kau siapkan kudaku. Juga kuda buat tetamuku sobat Ginanjar ini!"
"Daulat, Gusti, perintah akan hamba laksanakan...!" menyahut Hambali. Lalu setelah meminta diri, segera beranjak keluar dari pendopo. Tak lama diluar sudah tersedia dua ekor kuda.
"Mari sobat Ginanjar...!" ajak Adipati Kiduling Kuto. Dan dia melompat terlebih dulu kepunggung kudanya. Ginanjar mengikuti. Tak lama kedua kuda telah mencongklang cepat keluar halaman gedung Kadipaten. Hambali memandang disebelah dua orang pengawal Kadipaten, hingga kedua kuda itu lenyap ditikungan jalan.
Diatas kuda, Adipati Kiduling Kuto berkata. "Sobat Ginanjar! Anak buahku teramat patuh padaku! Lihatlah! Untuk satu hal yang amat besar, dia tak mau melancangi melapor, kecuali menitahkan aku sendiri melihat kejadian. Tampaknya hal ini bukan hal biasa! Karena dia takut kesalahan bicara...!"
Ginanjar kerutkan aliasnya. "Ada kejadian apakah sebenarnya, dirumah kediaman Ki Rangga Wulung itu?" berkata Ginanjar dalam hati. Akan tetapi dia cuma manggut-manggut tanpa memberikan komentar pada Adipati Kiduling Kuto.
Tak lama mereka sudah berada dihalaman sebuah rumah gedung model lama yang tampak diluar dijaga oleh tiga orang pengawal berkuda. Ketika melihat Adipati muncul bersama Ginanjar, mereka seperti agak terkejut melihat pemuda itu. Tapi segera turun dari kudanya, seraya menyembah hormat.
"Syukurlah Gusti Adipati berkenan datang melihat sendiri keadaan didalam. Hamba takut melancangi kanjeng Gusti...!"
Akan tetapi sambil berkata mata laki-laki yang bicara ini menatap pada Ginanjar dengan sorot mata tajam. Begitu pula kedua kawannya.
"Hm, kalian tak usah curiga padanya. Dia orang sendiri...!" berkata Adipati.
Ginanjar yang tahu diri segera menjura hormat pada ketiganya.
"Mari, sobatku! kita lihat keadaan didalam. Apakah gerangan yang telah terjadi...?"
Ginanjar mengangguk. Sementara ketiga pengawal cuma menunduk, setelah mempersilahkan Adipati Kiduling Kuto untuk menindak masuk. Didepan gedung keduanya hentikan kuda. Setelah menambatkan kudanya, Adipati melangkah lebar memasuki ruangan dalam gedung Ki Rangga Wulung yang bekas Tumenggung itu. Ginanjar mengikutinya dari belakang.
Sementara dua dari pengawal Kadipaten itu mengikutinya dibelakang Ginanjar. Satu persatu ruangan diperiksa. Ketika melihat pintu kamar terbuka dan bau mayat menyerang hidung membuat Adipati ini tampak berubah wajahnya.
"Hm, pasti ada yang tidak beres!" berbisik dia pada Ginanjar. Dan segera terpampang dihadapan mereka, sesosok tubuh yang telah jadi mayat terkapar diruangan kamar. Sosok tubuh dari Ki Rangga Wulung, yang tewas dengan isi perut robek. Ususnya terburai keluar.
"Ah...!?" tersentak Ginanjar.
Adipati inipun kelihatan berubah kaget wajahnya. "Haiiih! inikah kejadian yang tak mau dilaporkan itu?" berkata Adipati. "Lagi-lagi pembunuhan! siapakah bangsat tengik yang telah melenyapkan nyawa bekas Tumenggung Kerajaan ini...?" Menggetar suara Adipati.
"Benar, Gusti Adipati. Akan tetapi bukan ini saja!" menyahut pengawal yang dibelakang Ginanjar.
"Hm, mari kita periksa ruangan lain..!" berkata Adipati Kiduling Kuto. Lalu beranjak melangkah kelain ruangan. Dan ketika membuka sebuah pintu kamar yang memang sudah setengah terbuka pintunya. Segera terpampang lagi sebuah pemandangan menyeramkan. Hal ini bukan saja membuat Ginanjar terkejut, akan tetapi sang Adipati ini juga belalakkan matanya. Mulutnya ternganga dengan berteriak kaget.
"Hah!? dia..dia si Wira Pati...?"
Tentu saja hal itu membuat Ginanjar terpaku tak bergeming, karena melihat seorang laki-laki berusia 40 tahun lebih yang tergantung lehernya oleh seutas tambang pada langit-langit kamar. Sementara di bawahnya tergeletak sebuah buntalan yang setengah terbuka, berisi benda-benda pusaka Kerajaan. Darah membanjir menganak sungai diatas pembaringan! hingga kelantai. Lambung laki-laki itu sobek memburaikan isi perutnya. Sungguh sebuah pemandangan yang amat mengerikan.
"Wira Pati... maksud Adipati, apakah dia si orang buronan Kerajaan Mataram yang tengah dicari-cari itu?" tanya Ginanjar terkejut.
"Tak salah, sobatku....! dia Wira Pati adanya?" menyahut Adipati ini. "Akan tetapi aneh! Siapakah orang yang telah membunuhnya, dan menggantungnya dalam kamar Ki Rangga Wulung ini?"
Wilayah Kota Raja jadi gempar, karena si buronan Kerajaan bernama Wira Pati yang telah merampok harta pusaka Kerajaan, telah berhasil dibawa mayatnya oleh Adipati Kiduling Kuto, Tentu saja orang-orang Kerajaan mengelu-elukan Adipati Kiduling Kuto yang telah berhasil menyelamatkan harta pusaka Kerajaan Mataram. Benda-benda pusaka itu masih utuh dalam buntalan.
Kecuali sebuah tombak. Yaitu Tombak Pusaka Ratu Shima yang lenyap tak ketahuan kemana rimbanya. Untuk itu sang Adipati itu telah menerima penghargaan besar dari baginda Raja Mataram. Selain penghargaan, tentu saja mendapat pula hadiah istimewa dari Baginda Raja Kerajaan Mataram atas jasanya itu.
Rakyat tampaknya amat bersuka cita dengan hasil gemilang yang dilakukan Adipati Kiduling Kuto yang bertindak cepat meringkus dan membunuh mati si buronan yang bekas Senapati itu bersama anak-anak buahnya. Demikianlah. Apa yang memang sudah seharusnya terjadi, juga telah menjadi kenyataan.
Walaupun sebenarnya bukanlah Adipati Kiduling Kuto yang membunuh buronan Kerajaan itu. Tapi karena tak seorangpun dari pihak rakyat maupun para pendekar yang buka suara atau mengetahui kejadian sebenarnya, semua yakin kalau Adipati Kiduling Kuto yang berjasa.
Hal mana membuat Ginanjar yang telah menjadi tetamu di gedung Kadipaten Adipati Kiduling Kuto jadi geleng kepala tak mengerti. Dua hari dia menjadi tetamu di gedung Kadipaten, Ginanjar merasa tugasnya sudah selesai. Karena toh biang kerok yang menjadi buronan Kerajaan telah mati. Walau tak tahu siapa pembunuhnya, namun mau tak mau sang Adipati Kiduling Kuto itulah yang beruntung. Mendapat penghargaan, juga hadiah istimewa dari Raja.
"Hm, Adipati tentu tak melupakan keempat pengawal Kadipaten yang telah berjasa dengan "anugerah" besar itu...!" berdesis Ginanjar dalam duduknya. Sepasang matanya menatap keluar dari kamar tempat dia bermalam sebagai tetamu istimewa Adipati Kiduling Kuto.
"Apakah sebaiknya aku meninggalkan gedung Kadipaten ini? Info yang kudapat dari orang Kadipaten, bahwa penghargaan dan hadiah telah diberikan hari ini oleh baginda Raja! Menurut seorang pengawal yang baru pulang dari Kota Raja, Adipati baru kembali sore nanti." berkata Ginanjar dalam hati. Termenung sesaat pemuda ini seperti menimbang-nimbang keputusannya. Akhirnya dia bangkit dari kursinya, lalu beranjak ke ruangan pendopo.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara merintih dari dalam ruang kamar ditengah gedung. Tersentak pemuda ini. "Aih, siapakah gerangan yang merintih itu?" pikirnya. Tak ayal dia sudah hentikan langkah, dan berbalik ke arah ruang dalam. Itulah ruangan kamar istri Adipati Kiduling Kuto. Suara mengerang dan rintihan itu semakin jelas dari celah daun pintu kamar yang setengah terbuka. Mau tak mau Ginanjar tertegun bingung.
"Tidak! Jangaan! tolooong...! Lepaskaaan!" teriakan itu semakin jelas. Membuat Ginanjar tak sabar. Dan membuka daun pintu kamar dengan cepat. Dan selanjutnya sudah melompat kedalam. Kelambu pada tempat tidur istri Adipati Kiduling Kuto tampak tertutup dan bergoyang-goyang. Orang didalam tak begitu jelas.
"Celaka...!? jangan-jangan ada orang jahat yang masuk mau memperkosanya. Ataukah anak buah Adipati sendiri yang mau berbuat kurang ajar?" seru tak hati Ginanjar. Tak ayal dia sudah berkelebat melompat. Lengannya menyibak kelambu. Akan tetapi tertegun dia, karena istri Adipati itu tengah mengigau dalam tidurnya. Dia telah berteriak-teriak dan merintih dengan mata tertutup. Tentu saja dengan pakaian setengah terbuka.
"Aiiih! siang-siang begini mengigau..." memaki Ginanjar dalam hati. Seraya garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Akan tetapi tersentak dia. karena mendengar langkah-langkah kaki mendekat ke arah kamar. "Celaka! aku bisa dituduh berbuat tidak senonoh...? Aii! aku harus cepat menyingkir!" sentaknya dalam hati. Akan tetapi terlambat.
"Bangsat licik! Apa yang kau lakukan disini bocah keparat...?!" Tahu-tahu telah terdengar suara bentakan. Dan tiga sosok tubuh dari tiga pengawal Kadipaten telah berlompatan masuk.
Pucatlah seketika wajah Ginanjar. Dan pada saat itu juga tahu-tahu telah berkelebat sesosok tubuh dari balik pintu kamar itu. Lengannya bergerak mengirimkan jotosan kepunggung Ginanjar. Mengetahui ada bayangan sekilas dibelakang, dan merasa angin pukulan dibelakanganya, Ginanjar bertindak cepat untuk mengelakkan diri. Dia berhasil. Gerakan mengegos itu telah dibarengi dengan lompatan ke arah pintu.
Tapi dua batang tombak telah meluruk deras mengancam dadanya. Terpaksa Ginanjar gunakan kelincahannya. Lengannya bergerak kedepan dengan jari tangan mengembang. Dan...Krep! Dua batang tombak itu telah kena dicekal. Selanjutnya yang terdengar adalah suara bergedubrakannya tubuh kedua pengawal Kadipaten itu yang meluncur ke arah meja.
Membentur keras hingga meja tergelimpang terbalik patah-patah tertindih dua tubuh pengawal itu. Kiranya Ginanjar telah gunakan kekuatannya untuk membetot tubuh lawan. Selanjutnya dengan gerakan gesit, dia telah berhasil melompat keluar dari dalam kamar istri Adipati Kiduling Kuto itu.
"Cegat dia...! cepat! Jangan biarkan meloloskan diri...!" membentak orang yang tadi bersembunyi dipintu kamar. Sementara itu terdengar pula suara jeritan-jeritan kaget dari istri sang Adipati yang agaknya telah tersadar dari mimpinya. Seketika suasana didalam gedung Adipati itu menjadi hiruk pikuk. Suara bentakan dan teriakan terdengar di setiap sudut ruangan, sampai ke pendopo.
"Kejaar! tangkaaap! Tangkap bangsat itu! dia mau memperkosa Kanjeng Ibu Adipati!"
"Tidak! Dusta..! Aku tak melakukan apa-apa..! aku...aku..." teriak Ginanjar seraya melompat keruangan pendopo. Akan tetapi belasan pengawal Kadipaten telah bermunculan mengurungnya.
"Tetamu macam beginikah yang menjadi tamu istimewa gusti Adipati? Heh! tangkap dia! Cincang sampai mampus!!" terdengar teriakan-teriakan disana sini. "Rupanya kau laki-laki hidung belang ya..? Ayo. kawan-kawan, ringkus setan bau kencur ini...!"
Dua orang pengawal menerjang Ginanjar dengan dua bilah golok besar. Satu menyerang ganas untuk membelah batok kepala. Sedang satu lagi menabas pinggang. Pemuda ini jadi gelagapan. Terpaksa dia lakukan gerakan jatuhkan tubuh kelantai. Kakinya menjejak perut pengawal yang satu. Sedangkan sepasang lengannya menangkap bilah golok yang nyaris membelah tubuhnya.
Dengan sekali sentakan, tubuh si penyerang yang goloknya tertangkap itu terlempar membentur dinding kayu... Brak...! Dua teriakan terdengar santar. Dan kedua tubuh pengawal Kadipaten itu terjengkang bergulingan. Cepat Ginanjar gerakkan tubuh melompat berdiri.
"Tunggu! Kalian telah salah menuduh orang! Aku akan berikan penjelasan!" berteriak Ginanjar. Akan tetapi percuma. Suara kentongan telah terdengar dipukul bertalu-talu. Dan diluar gedung puluhan prajurit Kadipaten telah bermunculan mengurungnya.
"Edan! apa-apaan ini...?" tersentak kaget Ginanjar.
"Kau tak dapat loloskan diri kurcaci tengik! Menyerahlah! Kau akan menerima hukuman berat dari Kanjeng Adipati...!" terdengar bentakan. Dan enam orang pengawal segera menerjang dengan melontarkan tambangtambang atau tali laso untuk menjerat dia.
"Celaka...!?" membathin pemuda ini.
Enam tali laso telah meluncur ke arah Ginanjar untuk menjeratnya. Pengawal-pengawal Kadipaten itu ternyata adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Ginanjar cepat cabut pedangnya untuk menabas. Namun bersamaan dengan itu. Beberapa pisau terbang telah pula meluncur deras kearahnya. Dalam keadaan demikian ternyata membuat pemuda ini jadi melengak.
Untunglah pada saat itu selarik cahaya perak telah menghantam buyar semua serangan. Dan selarik sinar pelangi meluncur ke arah Ginanjar. Membelit tubuhnya. Saat berikutnya tubuh pemuda itu tiba-tiba meluncur deras keluar dari ruang pendopo. Tentu saja kejadian itu membuat para pengawal Kadipaten jadi terkejut.
Ternyata bukan mereka saja. Ginanjar pun terkejut bukan main, karena tahu-tahu dia rasakan tubuhnya terbetot keluar pendopo. Detik selanjutnya Ginanjar rasakan tubuhnya mengapung ke udara. Ternganga semua pengawal Kadipaten melihat tubuh Ginanjar melayang keatas setinggi lebih dari sepuluh tombak. Dan lenyap dibalik wuwungan gedung Kedipatian itu.
"Kejar.!" mereka hampir serempak. Dan berloncatanlah tubuh-tubuh para pengawal itu untuk mengejar Ginanjar. Akan tetapi mereka tak dapatkan lagi pemuda itu disana. Ginanjar telah lenyap entah kemana bagaikan diterbangkan angin....
"Roro...? kau...kau...??? Ah, lagi-lagi kau telah menyelamatkanku! Ilmu Sinar perak-pelangi itu dari mana kau dapatkan? Ah, ah... sungguh mengagumkan!" berkata Ginanjar, ketika dapatkan dirinya berada diatas bukit. Dihadapannya berdiri tegak Roro Centil yang tersenyum memandangnya.
"Hihihi... Ginanjar! Ginanjar..! Kau mengapa membuat kerusuhan di kediaman Adipati Kiduling Kuto itu?" ujar Roro dengan suaranya yang merdu. Lalu duduk diatas batu. Pandangannya dialihkan menatap kebawah bukit.
"Hm, aku tak membuat keasusilaan...!" tugas anak muda ini.
"Lalu? mengapa pengawal-pengawal Kadipaten mau meringkusmu?" tanya Roro menyelidik. "Menurut yang kudengar kau mau mengganggu istri Adipati itu!"
Ginanjar jadi garuk-garuk kepala kesal. "Kau percaya?"
"Yah! Setengah percaya setengah tidak!"
"Kalau aku ceritakan kejadian sesungguhnya kau mau mempercayaiku?" tanya lagi Ginanjar.
"Akan kupertimbangkan dulu, apakah ceritamu benar!" sahut Roro.
"Baik! Akan kukatakan sebenarnya. Setelah itu terserah kau, apakah mau mempercayai atau tidak!" berkata pemuda itu. Lalu tanpa ayal lagi Ginanjar segera ceritakan kejadiannya dari awal hingga akhir. Selain itu diceritakan pula kejadian sebelumnya mengenai peristiwa di kediaman Ki Rangga Wulung. Tentang diketemukannya mayat Wira Pati sang buronan Kerajaan Mataram yang telah tewas dalam keadaan tergantung di langit-langit kamar.
"Jadi sebenarnya bukanlah Adipati Kiduling Kuto yang telah membunuh Wira Pati! Melainkan seorang yang misterius, yang telah bertindak tanpa diketahui siapapun," berkata Ginanjar.
Roro jadi kerutkan keningnya. Alisnya bergerak menyatu. Tampaknya dia amat serius memikirkan hal kejadian. "Kejadian itu memang aneh!" berkata Roro, sesaat kemudian setelah lama tercenung.
"Hahaha... memang aneh! Apakah kau percaya Adipati itu ataukah percaya aku?" tertawa hambar Ginanjar seraya menatap Roro dalam-dalam.
"Hm, baik! Aku percaya padamu! Akan tetapi kau harus membantuku. Aku akan berusaha memecahkan persoalan ini. Saat ini kau pasti akan dikejar terus oleh orang-orang Kadipaten. Sebaiknya kau menyingkir jauh-jauh. Aku akan coba menyelinap ke gedung Kadipaten untuk menyelidiki..!" berkata Roro.
"Aku sih setuju saja. Tapi aku akan kemana baiknya menurut pendapatmu?" tanya Ginanjar.
Roro jadi termenung sejurus. "Yak! kalau begitu sebaiknya kau ke Kota Raja. Temui Tumenggung Satryo. Dan ceritakan tentang kejadian sebenarnya mengenai kematian Wira Pati itu. Dua hari kemudian aku akan menyusulmu kesana...!" ujar Roro dengan wajah cerah.
"Hm, baiklah kalau begitu!"
"Bagus! Akan tetapi kau harus waspada! Setiap saat nyawamu akan terancam. Karena pengawal-pengawal Kadipaten takkan membiarkan kau hidup. Kukira, kau kini jadi orang penting. Karena hanya kaulah yang mengetahui kejadian terbunuhnya Wira Pati. Takkan dibiarkannya kau hidup karena amat membahayakan kedudukannya!" ujar Roro dengan serius.
"Kalau begitu aku terpaksa harus menyamar...!" berkata Ginanjar.
"Hihihi, itulah jalan terbaik! Akan tetapi hati-hati. Aku yakin orang-orang Adipati Kiduling Kuto tak akan tinggal diam dan bertebaran mencarimu!"
"Heh! Jangan khawatir! Aku dapat menjaga diriku!" berkata Ginanjar. Roro Centil manggut-manggut, lalu ujarnya kemudian. "Nah, baiklah kalau begitu! Aku segera pergi. Sampai jumpa lagi dua hari kemudian di Kota Raja!"
"Kalau tak ada halangan, tentunya...!" sambung Roro.
"Ya, kalau tak ada halangan!" sahut Ginanjar sambil tersenyum.
Roro Centil bangkit berdiri, lalu beranjak melangkah. Tak lama dia sudah berkelebat lenyap dari atas bukit itu. Ginanjar cuma terpaku memandang. Hatinya membathin. "Haiih, kalau tak ada dia keadaanku bisa lebih gawat. Heh, dia benar-benar seorang Dewi Penolong...!"
Adipati Kiduling Kuto telah kembali dari Kota Raja sore itu. Dengan diantar oleh pasukan kehormatan dari Kerajaan Mataram. Tentu saja dengan membawa hadiah istimewa dari Kerajaan Mataram. Hadiah istimewa dari Baginda Raja Mataram adalah Tiga hektar sawah dan tanah, mutlak jadi miliknya. Permintaan hadiah itu adalah atas dasar baginda menawarkan apa yang diingini oleh Adipati Kiduling Kuto.
Ternyata sang Adipati meminta hadiah tanah dan sawah. Permintaan itu dikabulkan Baginda Raja. Hingga sang Adipati kembali ke Kadipaten sore itu dengan membawa surat ditangannya. Surat dari tiga hektar sawah dan tanah yang menjadi hak miliknya secara syah. Selain itu pula Baginda telah memberi pula uang emas sebagai imbalan atas jasanya.
Tumenggung Satryo yang memimpin pasukan kehormatan untuk mengantar sang Adipati itu cuma mengantar sampai perbatasan Kota Raja. Selanjutnya kembali ke markas, di Kota Raja. Adapun Adipati Kiduling Kuto dengan pengawal-pengawal kadipaten meneruskan perjalanan menuju ke Kedipatian.
Derap langkah kaki-kaki kuda terdengar dan terlihat semakin mendekat kewilayah Kadipaten. Dan, tak lama mereka tiba dipintu gerbang gedung Kadipaten. Beberapa pengawal segera datang menyambut. Juga istri sang Adipati yang masih berusia muda itu menyambut sang Adipati dipintu pendopo.
"Selamat datang, kanda Adipati...!"
"Hm, ya... ya...! Apakah tak ada kejadian apa-apa dirumah kita?" bertanya Adipati Kiduling Kuto.
"Marilah kita bicara didalam, kanda!" berkata sang istri dengan agak berubah wajahnya.
Laki-laki Adipati ini mengangguk. Lalu beranjak memasuki ruang pendopo. "Celaka, kanda...! Tetamu kita, laki-laki muda bernama Ginanjar itu berhasil meloloskan diri!" tak sabar sang istri telah buka pembicaraan, sambil melangkah keruangan tengah.
Membelalak sepasang mata Adipati ini. "Bagaimana bisa terjadi? Bukankah telah kuatur rencana agar dia dijadikan tawanan!"
"Kanda dapat tanyakan nanti pada pengawal-pengawal Kadipaten yang telah ditugaskan kanda untuk hal itu nanti!" berkata sang istri. "Akan tetapi sebaiknya kanda beristirahat dulu...!"
Adipati Kiduling Kuto tak menjawab. Dihempaskannya tubuhnya kekursi diruang tengah berbantal empuk itu. Dan dihelanya napasnya panjangpanjang. "Walau bagaimanapun anak muda itu harus dilenyapkan! Karena hanya dia yang mengetahui kejadian itu!" berdesis suara sang Adipati. Sepasang matanya tampak membinar. Dan dia tampak gelisah.
"Hal itu dapat diatur nanti kanda! Minumlah dulu! kau tentu haus!"
Laki-laki ini tak menolak ketika istrinya menyorongkan nampan berisi minuman segar kehadapannya. Diraihnya cangkir perak berisi minuman segar kesukaannya. Dan direguknya hingga ludas.
Malam itu bulan sabit mengambang dilangit... Seekor kuda pelahan keluar dari belakang gedung Kedipatian. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam telah menyeretnya keluar dengan gerakan hati-hati. Lalu melompat dengan sigap. Dan selanjutnya mencongklang pelahan meninggalkan tempat itu.
Laki-laki itu memakai topeng untuk menutupi wajahnya. Sekejap kemudian telah lenyap ditikungan jalan. Ternyata penunggang kuda itu menuju ke arah utara. Memasuki jalan setapak disisi hutan. Tak lama telah menuruni sebuah bukit kecil. Setelah membelok ke arah timur, lalu berhenti didepan sebuah candi.
Membelok disisi candi, ada sebuah jalan lurus yang menuju kesisi bukit. Dan tepat dibelakang candi itu dia hentikan langkah kudanya. Melompat turun. Menyembunyikan kuda, dan mengikatnya disekitar pohon dibalik semak. Lalu beranjak melangkah kesisi bukit.
Disini terlihat sebuah pondok terpencil ditempat itu. Pondok satu-satunya. Tampak dari kejauhan cahaya lampu tersembul dari jendela yang terbuka. Dia terus melangkah menghampiri.
"Kokok Beluk terbang malam...!" berteriak pelahan, laki-laki bertopeng itu. Suasana tampak hening mencekam. Jarak antara laki-laki itu tinggal beberapa tombak lagi.
"Hehehe... silahkan masuk, sobatku...! Aku telah mengetahui kedatanganmu!" terdengar suara serak dari dalam pondok. Ternyata laki-laki itu mengucapkan kata-kata sandi (rahasia).
"Ah, terima kasih, kakek Panembahan!" berkata laki-laki itu seraya bergegas mendekati pondok.
Tak lama pintu terbuka dengan suara berderit. Aneh! pintu itu seperti terbuka sendiri. Seorang kakek berusia hampir tiga perempat abad tampak duduk dibalai-balai bambu beralaskan tikar. Diatas meja terang bersinar cahaya lampu tempel menerangi wajahnya yang keriput. Sepasang matanya terkatup rapat. Kakek ini mengenakan jubah warna hitam. Berkepala hampir gundul, yang cuma tinggal beberapa lembar lagi rambutnya.
Dihadapannya terdapat sebuah pedupaan. Dan sebuah tombak berwarna hitam tergeletak dihadapannya. Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima. Laki-laki ini melangkah kedalam dan menjura hormat, seraya membuka topeng wajahnya. Ternyata dia tak lain dari Adipati Kiduling Kuto.
"Silahkan duduk sobat Adipati...!" berkata si kakek berjubah hitam itu. Tanpa membuka matanya dan masih tetap duduk seperti tadi.
"Terima kasih...!" sahut laki-laki ini. Sang Adipati segera beranjak untuk duduk disudut sisi balai-balai.
"Tampaknya kau gelisah sekali. Bukankah kau baru terima hadiah dari Baginda Raja? Ada maksud apakah dengan kedatanganmu?" bertanya si kakek itu.
"Aku perlu bantuanmu, kakek Panembahan...!"
"Heheheh... sudah kuduga! Apakah mengenai pemuda bernama Ginanjar yang berhasil meloloskan diri itu...?"
Melengak Adipati Kiduling Kuto. "Kakek Panembahan telah mengetahui?" tanyanya terheran. Akan tetapi juga kagum.
"Hm, mata bathinku lebih awas dari pada kedua mataku ini!" menyahut si kakek. Lalu nampak membuka mata. Ternyata kakek ini mempunyai sepasang mata yang amat kecil alias sipit. Hingga hampir tak terlihat biji matanya.
"Benar sekali apa yang kakek Panembahan katakan itu. Bocah laki-laki itu amat membahayakan. Dia harus dilenyapkan secepatnya. Aku khawatir dia membocorkan hal ini dengan melapor ke Kota Raja!" berkata sang Adipati.
"Hm, benar apa katamu! Apakah kau tak berupaya untuk berbuat sedini mungkin sebelum anak muda itu membocorkan rahasia itu?"
"Sudah, kakek Panembahan! Aku telah sebar anak buahku yang menyamar untuk mengawasinya disekitar wilayah Kota Raja. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiranku adalah, adanya seseorang sakti yang berada dibelakangnya!"
"He? Siapa dia? mata bathinku tak dapat menangkapnya...!?" tersentak Kakek ini.
"Aku sendiri tak mengetahui, kakek Panembahan. Yang kutahu adalah para pengawal Kadipaten anak-anak buahku itu telah menceritakan..." Lalu Adipati Kiduling Kuto segera menuturkan kejadian aneh hingga lolosnya pemuda bernama Ginanjar itu dari sergapan anak buahnya.
"Sinar perak dan pelangi itu amat luar biasa. Dan telah menyelamatkan nyawa pemuda itu. Kalau bukan seorang yang sakti yang telah menolongnya, tak mungkin dia dapat lolos dari ringkusan anak-anak buahku yang telah berpengalaman...!"
"Sinar perak dan pelangi....?" menggumam si kakek mata sipit ini.
"Benar, kakek Panembahan!"
Kakek ini tampak kerutkan keningnya dan tertegun sejenak. "Seperti aku pernah mengenal siapa pemilik ilmu aneh itu! Ya, ya..! Aku ingat. Si pemilik ilmu itu tak lain dari seorang perempuan yang pernah berjulukan si Pendekar Selendang Perak Pelangi! Hm, kalau tak salah bernama Muri Asih!" berkata si kakek dengan suara berdesis. "Mungkinkah perempuan sakti itu!" gumamnya. Agak lama si kakek Panembahan itu tercenung dengan serius. Namun tak lama dia berkata. "Sobat Adipati, coba tolong kau ambilkan aku segelas air putih!"
"Baik, kakek Panembahan..." menyahut sang Adipati, seraya beranjak menuju ruang belakang pondok.
Kakek Panembahan itu tampak komat kamit membaca mantera. Dihadapannya segelas air putih yang diberi asap pedupaan. Diputar-putarkannya pedupaan itu beberapa kali. Sementara matanya terpejam. Tak lama dia letakkan lagi pedupaan itu. Sepasang matanya terbuka. Memandang kedalam gelas berisi air putih itu. Sementara sang Adipati menanti dengan hati berdebar. Tampak wajah kakek itu berubah pucat ketika menatap kedalam air. Namun tak lama wajah berubah membesi. Dia membentak keras.
"Kau akan menjadi gila, bila turut campur urusanku! Siapa kau bocah perempuan...?" Adipati Kiduling Kuto sampai terlonjak kaget.
PRAKK!
Terkejut dia karena tahu-tahu gelas berisi air itu pecah. Airnya tumpah membanjir ditikar. Ternyata bukan Adipati itu saja yang terkejut, akan tetapi kakek inipun terperanjat. Karena satu suara terdengar mendenging ditelinganya.
"Hihihi... kakek tua bangka! Hebat juga ilmu bathinmu! Aku Roro Centil yang akan memberantas pengacau licik macam kau!"
Tergetar tubuh kakek ini. Tiba-tiba lengannya meraih Tombak Pusaka Ratu Shima. Bibirnya membaca mantra. Dan... Plash...! Aneh! Tiba-tiba tombak Pusaka itu lenyap. Kakek ini gerakkan lengannya mengibas. Pintu pondok itu tahu-tahu menjeblak terbuka. Dan tubuh si kakek telah melesat keluar bagaikan terbang. Lalu lenyap dikegelapan malam.
Adapun Adipati Kiduling Kuto jadi terkejut. Dia jadi serba salah. Apakah yang akan dilakukannya? Dia pun memburu keluar dari pondok.
"Sobat Adipati! segeralah kau kembali pulang!" terdengar suara ditelinganya, tanpa diketahui dimana adanya si kakek Panembahan.
"Ah!? Ba... baik, kakek Panembahan!" sahutnya dengan cemas. Dan... tak ayal dia segera berlari-lari menuruni bukit kecil itu. Tak lama telah tiba ditempat dia menambatkan kuda. Dan selanjutnya selang sesaat Adipati Kiduling Kuto telah melarikan kudanya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara itu diatas Candi sesosok tubuh tegak berdiri mematung bagaikan arca. Sosok tubuh seorang wanita yang berambut panjang terurai. Cahaya bulan sabit menerangi wajahnya. Siapa lagi wanita itu, kalau bukan Roro Centil. Ketika langkah kuda melewati sisi Candi, kuda tunggangan Adipati itu meringkik panjang. Mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Hawa aneh yang membangunkan bulu roma telah membuat sang kuda mengetahui akan adanya sesuatu yang menakutkan. Karena dihadapannya tegak berdiri seekor harimau tutul yang luar biasa besarnya. Akan tetapi harimau tutul itu lenyap, ketika terdengar bentakan.
"Roro Centil! Akulah lawanmu, jangan ganggu dia..!" Dan segelombang angin menerpa bergulung-gulung ke arah harimau itu, yang segera lenyapkan diri. Kuda Adipati Kiduling Kuto jadi tenang kembali. Dan bergegas sang Adipati memacu kudanya untuk segera minggat dari tempat itu.
"Hihihi... boleh juga ilmu pukulan angin taufanmu, kakek!" terdengar suara dari atas Candi.
Entah sejak kapan di bawah Candi telah berdiri diatas batu, si kakek Panembahan. kepalanya yang gundul itu berkilat-kilat kena cahaya rembulan. Laki-laki tua ini menatap keatas Candi. "Bocah perempuan! Ada hubungan apakah kau dengan si Pendekar Selendang Perak Pelangi, Muri Asih itu...!" bertanya dia. Suaranya terdengar dingin. Akan tetapi jelas mengandung tekanan tenaga dalam hebat.
"Hihihi... dia boleh juga disebut guruku! Sayang, beliau yang berhati mulia itu telah tak ada didunia ini lagi!" menjawab Roro.
"Dia telah mati...?" tanya kakek tua ini dengan suara terkejut.
"Benar! Ada apakah kau menanyakannya? Aku datang untuk meringkusmu, dan tentu saja untuk mengambil kembali benda Pusaka yang masih ketinggalan dan berada ditanganmu itu!" ujar Roro.
Terkejut kakek ini, karena ternyata Roro dapat mengetahui kalau Tombak Pusaka Ratu Shima yang telah lenyap sirna itu berada ditangannya. Dengan kekuatan manteranya si kakek ini memang telah membuat tombak itu tak nampak oleh mata biasa.
"Heheheh... bocah centil! kau terlalu sombong! Walau kau punya ilmu setinggi langit, apa kau dapat buktikan kata-katamu?" menantang si kakek dengan mendongkol.
"Hm, akan kucoba! Tapi sebelumnya segera kau sebutkan siapa dirimu! Gelarmu! Bukankah kau yang telah membunuh si Wira Pati itu? Juga keluarga bekas Tumenggung Ki Rangga Wulung...?" cerocos Roro Centil, memberondong dengan pertanyaan.
"Hehehe... hehehe... Aku digelari si Laba-laba Hitam. Namaku tak perlu kusebutkan! Memang aku yang telah membunuh si Wira Pati itu. Dia telah tak kuperlukan lagi. Hehehe... ketahuilah, pencurian harta pusaka Kerajaan itu hanya dalihku saja untuk memiliki Tombak Pusaka Ratu Shima, yang kudengar disimpan di Istana Kerajaan Mataram!" ujar si kakek yang bergelar si Laba-laba Hitam itu. "Heh! kalau bekas tumenggung, Ki Rangga Wulung itu, bukan aku yang membunuh. Akan tetapi si Wira Pati itu sendiri. Sedangkan anak gadis Ki Rangga Wulung yang mati itu aku tak mengetahuinya!" sambungnya lagi.
"Hm, begitukah...? Hebat juga rencanamu itu, Laba-laba Hitam! Kematian gadis bekas Tumenggung itu aku telah mengetahui. Dia dibunuh si Adipati Kiduling Kuto yang bekerja sama denganmu! Hebat! Hebat...! Tipu daya licik yang mengagumkan. Dengan cara demikian, bukankah Adipati Kiduling Kuto dapat penghargaan dari Baginda Raja Kerajaan Mataram. Padahal semua ini adalah permainan busuk kalian. Wira Pati kau bunuh, setelah berhasil mencuri benda-benda pusaka Kerajaan Mataram demi keamanan kalian!"
"Hehehe... Roro Centil! Aku telah dengar kehebatanmu! Dan kau telah mengetahui rahasiaku. Maka jalan yang baik buat kau adalah segera. berangkat ke Akhirat!"
"Hihihi... gertakanmu lumayan juga, Laba-laba Hitam. Akan tetapi jangan bertarung disini. Aku khawatir merusak Candi!" berkata Roro dengan suara merdu.
"Persetan dengan Candi!" memaki si kakek Laba-laba Hitam. Lengannya bergerak menghantam ke arah Roro. Menggebu angin pukulan si kakek bagaikan angin prahara.
Terkejut Roro Centil. "Celaka!" mendesis suara Roro. Betapa mendongkolnya dia karena si kakek tak menghiraukan kata-katanya. Candi itu adalah salah satu dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Harus dijaga kelestariannya. Berpikir demikian, tiba-tiba Roro berteriak keras. Sepasang lengannya terangkat. Dan... satu tenaga yang tak kelihatan melebihi kekuatan angin pukulan si laba-laba Hitam telah membersit keluar dari sepasang tangannya.
Wuusss...! Terkejut Ki Panembahan alias si Laba-laba Hitam. Angin pukulannya telah diterpa sambaran angin panas yang dahsyat luar biasa. Bahkan kekuatan anginnya sendiri berbalik menghantam tubuhnya. Datangnya begitu cepat, hingga tak lagi dia sempat berbuat sesuatu. Tak ampun tubuh si Laba-laba Hitam terlempar keudara sejauh lebih dari dua puluh tombak.
Dalam keadaan membumbung keudara itu amatlah beruntung si kakek dapat mengimbangi kekuatan serta mengkonsentrasikan panca indranya. Hingga dengan ringan dia telah daratkan kakinya keatas bukit. Terengah-engah si Laba-laba Hitam. Lalu salurkan hawa murni untuk sebarkan keseluruh tubuh. Hatinya menggumam.
Kakek ini bersyukur karena dia tak terluka dalam. Angin panas itu cuma membuat tubuhnya tertolak mental, karena dia telah lindungi tubuhnya dengan tenaga dalam inti yang membuat tubuhnya jadi sekeras batu.
"Hebat! Luar biasa kekuatan tenaga dalam bocah perempuan itu. Tak percuma dia bernama besar yang menggoncangkan jagat!" Diam-diam hatinya memuji dan terkejut bukan main.
"Nah! disini kita aman untuk bertarung! Sudah siapkah kau kakek sakti...?" satu suara membuat dia terperangah, karena ketika dia membalik, ternyata Roro Centil telah berada dibelakangnya.
"Edan...! Begitu cepat dia menyusulku?" mendesis suara si kakek.
"Bagaimana Laba-laba Hitam? apakah kau mau serahkan Tombak Pusaka Ratu Shima itu dengan suka rela ataukah kau tetap berkeinginan mengangkanginya?" bertanya Roro.
Namun si Laba-laba Hitam tak menjawab. Mulutnya komat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba tubuhnya mendadak lenyap sirna. Tak kelihatan lagi oleh mata biasa.
"Hihihi... mau kabur kealam halus pun kau percuma saja, Laba-laba Hitam. Aku takkan melepaskanmu begitu saja sebelum benda Pusaka itu kau serahkan padaku!" berkata Roro dengan tertawa mengikik. Dan tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itupun sirna pula dari pandangan. Kini kedua tokoh Rimba Persilatan itu telah berada dialam halus.
"Bagus! aku memang mau mengajakmu bertarung dialam yang tak kelihatan oleh mata manusia biasa", ujar si kakek. Nah, bersiaplah untuk menghadapi seranganku!" bentaknya dengan suara dingin mencekam jantung.
"Silahkan! Aku siap melayanimu, kakek Laba-laba Hitam!" menyahut Roro dengan jumawa. Walau diam-diam dia juga harus waspada. Karena dia yakin kalau sang kakek itu punya ilmu tinggi yang belum pernah dilihatnya.
Tampak Laba-laba Hitam telah selesai pula membaca mantera. Lengannya bergerak memutar. Menimbulkan segulung asap hitam yang menerjang ke arah Roro. Asap yang bergulung-gulung itu mendadak berubah menjadi seekor Laba-laba Raksasa. Tersentak Roro Centil. Tahu-tahu dia telah terkurung oleh kaki-kaki hitam berbulu yang menyeramkan. Sementara taring sang Laba-laba Raksasa telah siap menerkamnya.
Wukk! Wukkk...!
Lengan sang pendekar Perkasa ini bergerak menghantam ke arah tubuh makhluk itu. Akan tetapi terkejut Roro. Karena pukulannya hanya menghantam bayangan saja. Makhluk itu tetap tak merobah posisi menerkamnya. Prasssh...! Kepala mahkluk itu menyerang ganas. Batu bukit itu hancur beserpihan, Namun Roro berhasil gulingkan tubuhnya untuk menghindar.
"Heheheh...! Keluarkan seluruh kesaktianmu, nona Pendekar Pantai Selatan!" terdengar suara tertawa mengejek mendesing ditelinga Roro. Makhluk menyeramkan itu telah meluruk lagi untuk merencah tubuh Roro Centil mentah-mentah. Empat pasang kaki makhluk itu berhasil mencengkram tubuh wanita Pendekar ini.
Roro terkejut bukan main. Segala daya upayanya untuk menyerang Laba-laba Raksasa menemui jalan buntu. Hingga dia agak ayal dan berhasil diterkam makhluk mengerikan itu. Belum lagi dia sempat berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya telah kena jerat benang laba-laba, hingga kaki dan tangannya tak berkutik.
Keringat dingin menebar kesekujur tubuh Roro. Segera dia berusaha konsentrasikan syaratnya yang membaur tak keruan. Dengan berguling-guling Roro berusaha menjauh dari makhluk itu, walau tubuhnya tak leluasa bergerak. Sementara sang Laba-laba Raksasa tampaknya cuma bertindak mempermainkan korbannya yang hampir tak berdaya.
Karena sekejap kaki-kaki sang makhluk Raksasa telah kembali menerkamnya. Dan lagi-lagi Roro harus menerima nasib lebih parah. Benang-benang sutera sang laba-laba yang lengket itu kembali membelit dan membungkus tubuhnya.
"Celaka! Aku tak dapat berpikir normal, aku tak tahu apa yang harus kulakukan...!" membathin Roro dalam keluh putus asanya.
Dalam keputus asaan itu Roro menjerit sekuatnya. Sungguh diluar dugaan. Jeritan yang diraungkan itu karena kesal akan ketidak berdayaannya ternyata telah menolong Roro dari bahaya maut. Cengkeraman kaki-kaki si Laba-laba Raksasa mengendur. Bahkan tanpa disadari jeritan yang mirip raungan harimau itu telah memutuskan benang-benang jerat si Laba-laba Raksasa.
Tentu saja hal itu membuat Roro tersentak girang. Tak ayal dia sudah melompat bangkit. Kejap berikutnya Roro segera satukan kekuatan bathinnya untuk menindih kekuatan bathin lawan yang telah mempengaruhi sirkuit otaknya hingga dia tak dapat berpikir normal.
Sementara itu si kakek ternyata masih berdiri tegak dengan Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya. Terheran dia melihat Roro berhasil melepaskan diri dan memutuskan jerat sutra laba-laba ciptaannya. Herannya cuma putus oleh suara jeritan yang mirip raungan harimau. Melihat Roro tegak berdiri menghimpun kekuatan bathin yang telah menindih kekuatan bathinnya, laki-laki tua ini segera berkomat-kamit lagi. Sebelah tangannya menyilang diatas dada. Tiba-tiba dia membentak keras.
"Roboh...!" Lengan yang menyilang diatas dada itu digerakkan menghantam Roro. Itulah pukulan ghaib yang dinamakan Serapah Dewa Maut. Hebat akibatnya!
Tubuh Roro tampak tergetar hebat. Laba-laba Raksasa itu telah lenyap. Namun segelombang angin pukulan telah membuat tulang-tulangnya serasa lumpuh. Hampir saja dia jatuh menekuk lutut. Untunglah dengan kekuatan tenaga bathin yang telah dapat mengungguli tenaga bathin si kakek Panembahan itu, Roro cuma terhuyung saja. Bahkan dengan satu bentakan nyaring, Roro balas menyerang dengan pukulan Sinar Perak.
"Kakek gundul! jaga seranganku!"
Wukkk...! Bluarrr...!
Cahaya perak membersit menyambar tubuh si kakek Laba-laba Hitam. Akan tetapi kakek itu, telah berhasil lemparkan tubuhnya bergulingan. Pukulan dahsyat itu menghantam batu dan pohon hingga hancur beserpihan. Sekejap si kakek itu telah menampakkan diri lagi dialam nyata. Melihat keadaan yang tak menguntungkan dirinya, si Laba-laba Hitam angkat langkah seribu menyelamatkan jiwanya. Tombak Pusaka Ratu Shima masih tercekal ditangannya. Tampaknya dia tak mau melepaskan senjata itu begitu saja pada Roro.
"Kakek gundul jangan lari...!" membentak Roro. Lengannya bergerak lagi. Dan, dari telapak tangan sang dara perkasa ini membersit sinar Pelangi. Bagaikan sebuah selendang saja layaknya. Sinar Pelangi meluncur untuk membelit tubuh kakek tua itu.
Akan tetapi tiba-tiba si kakek Panembahan berbalik. Dan putarkan tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya. Segera membersit segulung angin santar menghantam buyar sinar Pelangi. Terkejut Roro mengetahui cahaya Pelanginya dapat dibuyarkan.
"Dia tak boleh lepas dari tanganku!" membathin Roro dalam hati.
Pada saat itu juga sebuah benda meluncur, ke arah Roro yang disambitkan oleh si Laba-laba Hitam. Benda itu jatuh tepat dihadapannya sejarak dua tombak. Dalam herannya, Roro terkejut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras. Asap hitam membumbung. Untung Roro telah melompat kebelakang sejauh tiga empat tombak. Roro mengkhawatirkan benda itu bahan peledak yang membahayakan. Tapi cuma asap hitam yang membumbung dari ledakan itu. Dan lagi-lagi terpampang dihadapan Roro Centil seekor laba-laba Raksasa.
"Keparat... ilmu sihir sialan! L" memaki Roro. Kali ini dia tak biarkan makhluk itu menerkamnya seperti tadi. Segera dia merapal mantera. Dan lengannya bergerak menghantam dengan pukulan Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis. Makhluk raksasa jejadian itu lenyap sirna tanpa bekas. Akan tetapi Roro terpaku membeliak, karena si kakek Laba-laba Hitam telah lenyap melarikan diri tak ketahuan kemana arahnya.
"Setan alas! Aku terkecoh! Dia berhasil meloloskan diri! huh...!" memaki Roro dengan kesal. Dan membanting kaki dengan wajah cemberut.
"Huuuh! huuuh! Roro! Roro...! mengapa kau masih juga bodoh dikibuli orang...?" berkata Roro memaki dirinya sendiri. Namun tubuhnya segera berkelebatan mencari jejak si kakek itu dengan rasa penasaran.
Akan tetapi percuma saja! si Laba-laba Hitam telah lenyap tak ketahuan kemana rimbanya. Dengan menggerutu panjang pendek Roro Centil melesat pergi dari tempat itu. Suasana malam itupun kembali hening mencekam. Bulan sabit menyelinap dibalik awan hitam. Cuaca menjadi gelap, segelap hati Roro yang kehilangan jejak manusia buruannya.
PAGI ITU disebuah penginapan disudut kota, seorang laki-laki berkumis dan berjenggot lebat keluar dan pintu kamar. Dan bergegas beranjak menghampiri seorang pelayan.
"Mana majikanmu?" bertanya dia dengan menepuk pundak sang pelayan yang tengah asyik mengelap meja.
"Oh, ada didalam, Raden...! Apakah perlu hamba memanggilnya?" menyahut sang pelayan.
Laki-laki jembros itu termenung sejurus. "Sebaiknya tak usah. Aku toh sudah membayar sewa menginap semalam dipenginapan ini. Eh, apakah kau tahu kemana arah Kota Raja?" bertanya laki-laki itu.
"Oooh, anda mau ke Kota Raja?" berkata si pelayan. Suaranya agak keras, hingga membuat beberapa tetamu yang pagi-pagi sudah minum kopi diruang makan itu jadi menoleh.
"He? tak usah bicara keras-keras!" berkata laki-laki itu.
"Oh, maaf, maaf...! Sebenarnya hamba bicara biasa. Tapi ruangan ini memang aneh!" menyahut si pelayan. "Suara pelahan pun terdengar keras! Harap anda maafkan, karena mungkin Raden tak suka...!"
"Sudahlah! apakah kau mengetahui kemana arah yang harus kutempuh?" berkata laki-laki jembros itu.
"Ya, ya... ngng ... anda ikuti jalan didepan ini sampai membelok ke arah timur. Anda akan menjumpai jalan bercabang dua. Nah, arah yang kekanan itulah jalan menuju Kota Raja!" sahut sang pelayan.
"Baik, baik...! Terima kasih...!" ujar laki-laki itu. "Dan, ini untukmu!" berkata laki-laki itu seraya merogoh sakunya. Dan berikan dua keping uang receh pada pelayan itu. Sang pelayan ucapkan terima kasih dengan wajah girang.
Laki-laki jembros itu bergegas keluar dari rumah penginapan itu. Tanpa menoleh lagi. Dan tentu saja mengikuti petunjuk si pelayan tadi menurutkan jalan didepan penginapan, hingga membelok ke arah timur. Tepat dijalan bercabang dua itu dia berhenti. Tampaknya seperti memikir.
"Wah, wah aku lupa. Ke arah kiri ataukah kekanan si pelayan tadi mengatakannya!" menggumam dia sambil memijit-mijit keningnya.
Pada saat itu sebuah bayangan merah berkelebat kehadapannya. Ternyata seorang wanita. "Hihihi... kalau mau ke Kota Raja jalan kesana yang anda harus lalui, sobat Dewa Linglung..! Ah... tampaknya anda bingung ataukah linglung? Tapi pantas bila anda linglung, karena bukankah julukan anda di Dewa Linglung?" Wanita baju merah sambil gerakkan lengannya menunjuk.
Laki-laki ini jadi melengak, dengan membeliakkan matanya. Tentu saja dia mengenai pada wanita baju merah yang tak lain dari si Iblis Ruyung Emas. Dan laki-laki itu memang tak lain dari Ginanjar, yang sedang dalam penyamaran menuju ke Kota Raja. "He? dia telah mengetahui penyamaranku? wah, berabe, nih...!" membathin Ginanjar dalam hati.
"Benar, aku mau ke Kota Raja. Tapi aku bukan si Dewa Linglung. Dari mana anda mengetahui dengan menerka sembarangan?" berkata Ginanjar. Pemuda jembros ini mendelikkan matanya.
Akan tetapi wanita setengah usia itu bahkan mengikik tertawa dan mengerling genit. Seraya ujarnya. "Sudahlah, tak usah pakai pura-pura segala. Bukankah kita pernah bertemu, dan kau pernah menolong diriku. Aku si Ruyung Emas telah mengetahui samaranmu sejak kau injakkan kaki dikota ini!" menyahut wanita itu.
Ginanjar jadi merah wajahnya. "Sialan! tak guna aku melakukan penyamaran lagi!" membathin pemuda ini. Dan lengannya bergerak mengusap jenggot dan kumis hingga rontok mengelupas. Selanjutnya dia tertawa. "Hahahahaha sial dangkalan! Memang nasibku sedang sial! Baiklah aku mengaku. Aku memang si Dewa Linglung. Tapi itu julukanku yang sudah tak kupakai lagi! Aku sudah tidak linglung lagi!" ujar Ginanjar.
"Hihihihi... kau katakan kau sudah tak linglung lagi, mengapa kau masih ragu-ragu menemui jalan bercabang dua untuk menentukan arah ke Kota Raja?"
"Hm, aku memang lupa...!" ujar Ginanjar dengan tersipu. Ginanjar memang pernah berjumpa dengan wanita ini, dan pernah menolongnya memberikan obat gatal untuk kulit pada si Iblis Ruyung Emas, ketika wanita ini di kerjai Surajaya alias si Berandal Edan Mata Satu.
"Kalau kau mau ke Kota Raja, kita bisa jalan bersama. Apakah kau tak keberatan kalau aku menemanimu?" berkata si wanita dengan suara manja. Sikapnya dibuat sedemikian rupa agar Ginanjar terpikat.
"Mau apa kau kesana?"
"Kau sendiri ada perlu apa ke Kota Raja?" balas bertanya si Iblis Ruyung Emas.
"Hm, itu urusanku!" sahut Ginanjar agak mendongkol.
Saat itu tiba-tiba beberapa sosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak kebun tebu dan langsung mengurung mereka. "He? apa-apaan ini? ada apa? siapa kalian! Apakah mau membegal orang?!" bentak si wanita baju merah. Seraya memutar pandangan dengan wajah menampak terkejut.
"He! silahkan kau menyingkir, dan tak usah turut campur urusan kami. Kami hanya mengingini laki-laki ini!" berkata salah seorang. Ternyata kesemua laki-laki itu memakai topeng menutupi wajahnya.
"Huh! enak saja! kami akan melakukan perjalanan bersama ke Kota Raja. Kalau kawanku dikeroyok begini, masakan aku diam berpeluk tangan..?" menyambut si Iblis Ruyung Emas.
Kesemua laki-laki bertopeng yang mengurung Ginanjar itu sebelas orang. Salah seorang segera memberi isyarat. Dan empat orang segera mengurung si wanita itu. Yang lainnya memecah untuk mengurung Ginanjar.
"Habisi mereka!" berkata dengan suara dingin salah seorang. Dan, serentak masing-masing segera menerjang dengan senjata-senjatanya yang telah terhunus.
"Bagus! kalian rupanya inginkan aku bertindak! Jangan menyesal!" membentak si wanita baju merah. Dan... Trang! Trang...! Dia telah cabut senjata Ruyung Emasnya. Benda berkilauan itu menangkis serangan-serangan golok, kapak dan pedang dari keempat penyerangnya.
Adapun Ginanjar tak ayal segera cabut pedangnya yang terbungkus kain dipinggang, Ginanjar membathin dalam hati. "Heh! mereka pasti orang-orangnya Adipati Kiduling Kuto yang menginginkan nyawa!" Pertarungan seru segera terjadi. Kalangan pertarungan menjadi dua rombongan. Sementara dalam pertarungan itu, Ginanjar memikir. "Haiih! kedua pihak si wanita dan orang-orang ini bukan dari golongan baik-baik. Aku harus secepatnya minggat setelah merobohkan beberapa orang, urusanku tak seorangpun boleh mengetahui!"
Memikir demikian Ginanjar segera robah gerakannya untuk bertarung lebih cepat. Tak dinyana ketujuh lawannya amat sukar dirobohkan. Mereka tampak terlatih dan membentuk barisan semacam barisan TIN, yang sukar baginya meloloskan diri.
Sementara pertarungan empat orang melawan si Iblis Ruyung Emas telah menemui klimaxnya. Dua orang menjerit ngeri, dan roboh terjungkal. Ternyata senjata Ruyung Emas si wanita itu telah berhasil menghantam batok kepala kedua penyerangnya. Melihat demikian, dua dari pengeroyoknya segera melompat membantu kedua kawannya yang dicecar oleh serangan-serangan ganas si Iblis Ruyung Emas.
Ginanjar agak bernapas lega. Saat barisan TIN lawan terbuka, dia tak membuang kesempatan. Pedangnya berkelebat kekiri-kanan seraya melompat ketempat kosong dari barisan TIN itu.
"Tutup jalan darah!" membentak salah satu dari orang bertopeng dalam barisan itu yang agaknya menjadi Ketuanya. Tiga orang melompat menghadang seraya menerjang ganas. Dua orang melompat kekiri, dan dua orang lagi melesat kekanan.
Ginanjar kertak gigi dengan geram. Tiba-tiba ingatan Ginanjar mendadak lancar. Seperti diketahui, Ginanjar pernah menjadi murid dari Ketua Rimba Hijau golongan Putih. Satu bentakan menggeledek dari pemuda itu mendadak membuat teriakan-teriakan segera terdengar santar. Bagaikan kilatan-kilatan yang berkredepan terkena cahaya Matahari, pedang Ginanjar berkelebatan ke beberapa arah.
Tubuh laki-laki ini bergulingan ditanah dengan gerakan aneh yang teramat cepat. Menusuk dan menabas. Tak ampun lima orang dari barisan TIN itu terjungkal roboh. Dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Darah menghambur berpuncratan.
"Ha!? bagus, sobat Dewa Linglung!" berteriak girang si Iblis Ruyung Emas. Senjatanya bergerak cepat memutar disertai kelebatan tubuhnya. Dan dua orang lagi terjungkal roboh. Semakin bernafsu si Iblis Ruyung Emas untuk membunuh habis lawan-lawannya. Dan, lagi-lagi seorang terjungkal roboh.
Terperangah para penyerang bertopeng itu, melihat kehebatan si wanita baju merah. Sementara beberapa orang sudah melompat mundur. Barisan TIN jadi kacau balau, karena lima orang kawan mereka roboh berkelojotan meregang nyawa. Tak ayal mereka menghambur melarikan diri.
"Hihihihi... sudah kukatakan, kalian akan tahu rasa kalau mau main-main terhadap kami!" tertawa mengikik si wanita. Lengannya bergerak kebalik pakaiannya. Dan...
Serrrr....! Ratusan jarum berbisa meluruk ke arah si manusia-manusia bertopeng. Dua orang terjungkal berkelojotan. Dan langsung tewas. Tiga orang sisanya terus melarikan diri dengan luka-luka. Beberapa jarum telah mengena dianggota tubuhnya. Mengikik tertawa si Iblis Ruyung Emas. Akan tetapi dia terkejut ketika melihat pada Ginanjar alias si Dewa Linglung itu ternyata sudah tak nampak lagi batang hidungnya.
"He? kemana pemuda linglung itu...?" sentaknya kaget. Namun segera dia berkelebat untuk berlari cepat menyusuri jalan yang menuju ke arah Kota Raja....
Lewat tengah hari, Ginanjar telah tiba didepan pesanggrahan Tumenggung Satryo. Setelah melapor pada penjaga pintu, dia dipersilahkan menunggu. Sementara salah seorang dan pengawal segera masuk ke ruang Pesanggrahan untuk melaporkan maksud kedatangannya pada Tumenggung.
Tak lama Ginanjar dipersilahkan masuk, dengan meninggalkan pedangnya pada penjaga pintu. Puncratan darah mengering pada pakaian Ginanjar agak membuat pengawal itu curiga. "Apakah anda baru saja mengalami pertarungan, sobat...?" tanya sang penjaga.
"Hm, benar sekali dugaanmu, nyaris aku tewas! Aku perlu melaporkan hal ini pada Tumenggung." berkata Ginanjar.
"Mari kuantar!" ujar penjaga itu. Lalu beranjak mengantar Ginanjar menuju ruangan Pesanggrahan. Sementara dari ruangan pendopo Pesanggrahan telah melangkah keluar sang Tumenggung Satryo.
"Selamat datang, sobat Ginanjar...! Benarkah anda yang bernama itu?"
"Tak salah, sobat Tumenggung!" ujar Ginanjar seraya menjura.
Dua orang penjaga tampak dibelakang Tumenggung ini yang segera masing-masing berdiri berjaga dikedua sisi pintu pendopo. Sementara Pengawal tadi segera beranjak kembali kepenjagaan. Sang Tumenggung segera mempersilahkan Ginanjar masuk keruang dalam. Melihat tak ada sikap yang mencurigakan kedua prajurit pengawal itu nampak menarik napas lega.
Demikianlah. Ginanjar segera membentangkan prihal sang Adipati Kiduling Kuto yang telah membawa mayat buronan Kerajaan Mataram bernama Wira Pati itu tanpa membunuhnya. Dan dia menjadi saksi sendiri akan apa yang telah dilihatnya. Tentu saja Ginanjar tak lupa menceritakan tentang Roro Centil, yang mengatakan mencurigai sang Adipati Kiduling Kuto. Hingga dia berniat menyelidiki ke gedung Kedipatian.
Dalam bercakap-cakap itu terdengar suara ribut-ribut diluar. Dua prajurit pengawal tampak berlari keluar untuk melihat. Apakah sebenarnya yang tengah terjadi dipintu pesanggrahan Ketumenggungan Itu? Seorang wanita berbaju merah tampak mengotot masuk ke Pesanggrahan pada dua penjaga pintu.
"Kami harus melaporkan dulu pada Kanjeng Tumenggung! Anda tak bisa sembarangan saja masuk!" membentak salah seorang dari penjaga.
"Hihihi... dimanapun aku berbuat bebas, tak usah pakai laporan segala macam. Aku adalah sahabat laki-laki yang tadi bertamu kemari. Aku tak kan mencari keributan...!"
"Ya, ya...! Tapi kami harus melaporkan dulu. Dan anda harus meninggalkan disini senjata apa saja yang menjadi milik anda!" Agaknya penjaga telah mengetahui dan telah menduga kalau wanita baju merah itu adalah orang kaum Rimba Persilatan.
"Suruh dia masuk, pengawal....!" Terdengar suara dari dalam ruang pendopo. Dua orang prajurit yang barusan keluar untuk mengambil tindakan, segera menahan diri mendengar suara sang Tumenggung. Bahkan Tumenggung Satryo dan Ginanjar telah berada didepan ruang pesanggrahan.
"Hihihi... apa kataku! Kalian tak perlu khawatir, bukankah Tumenggung kalian pun telah mengizinkan aku masuk...?" berkata si wanita dengan mencibir.
"Huh! silahkan lewat! Tapi awas. Tapi awas! Jangan coba-coba anda membuat keonaran dimarkas kami!" mengancam sang pengawal.
Wanita baju merah ini melangkah santai tanpa menghiraukan kata-kata pengawal itu. Dua orang prajurit yang baru datang itupun memberi jalan. Akan tetapi tertegun dia ketika tahu-tahu mendengar suara tertawa mengikik dihadapannya.
"Hihihi... Iblis Ruyung Emas! ada perlu apakah kau kemari? Tumenggung dan laki-laki itu sedang ada urusan denganku! Kukira kau bisa berkunjung kemari lain waktu saja...!"
Sekejap wanita ini jadi hentikan tindakannya. Dan sepasang matanya membeliak, karena tahu-tahu dihadapannya telah berdiri sesosok tubuh semampai. Berpinggang ramping. Lekuk liku tubuhnya menandakan bahwa sosok tubuh dihadapannya adalah seorang perawan asli yang amat cantik luar biasa. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Hah!?" kka... kau... nno... nona Pendekar Ro... ro Centil...?" tergagap si Iblis Ruyung Emas dalam tersentaknya karena terkejut.
"Benar! sukurlah kalau sudah tahu!" menyahut Roro.
Sementara Ginanjar jadi berseru kaget juga bergirang. "Roro...! Haiih!? kau sudah berada disini?" teriaknya.
Sedangkan sang Tumenggung Satryo cuma terperangah terkejut, juga bercampur girang dan kagum. Hatinya membathin. "Ah, Pendekar perkasa ini sungguh bagaikan Malaikat saja. Tahu-tahu sudah berada disini. Dari mana masuknya?"
Adapun si Iblis Ruyung Emas jadi serba salah. Dia pernah melihat Roro Centil, ketika dalam pertarungan melawan si Berandal Edan Mata Satu alias Surajaya beberapa hari yang lalu. Hatinya agak jerih dengan sang Pendekar Wanita ini. Apa lagi kedatangannya adalah hanya untuk mengejar dan mendekati Ginanjar. Akhirnya dengan masygul dia "ngeloyor" lagi, keluar dari gedung Ketumenggungan itu.
"Lho? mengapa balik lagi?" bertanya salah seorang pengawal penjaga pintu, seraya memberi jalan.
Wanita baju merah ini cuma mendelikkan matanya dengan mendongkol. Akan tetapi dia tak lakukan tindakan apa-apa. Selain bergegas meninggalkan tempat itu. Entah kalau tak ada Roro Centil, mungkin si penjaga itu sudah kena tamparannya.
"Aku telah menawan tiga orang prajurit Kadipaten, sobat Satryo. Mereka adalah saksi-saksi nyata yang mengetahui perbuatan jahat Adipati Kiduling Kuto. Adipati itu memang bekerja sama dengan seseorang dari tokoh kaum Rimba Hijau golongan Hitam yang berjulukan si Laba-laba Hitam!" berkata Roro.
Dia telah tuturkan hasil penyelidikannya ke gedung Kadipaten dan banyak mengetahui rahasia kejahatan Adipati Kiduling Kuto, yang dengan kelicikannya berhasil mengelabui orang-orang Kerajaan termasuk Raja. Bagi Roro amatlah mudah untuk menyelidik keadaan dikediaman Adipati itu karena Roro mempergunakan ajian halimunan, hingga tak nampak oleh mata biasa.
Terangguk-angguk Tumenggung Satryo mendengar penuturan Roro. Satryo adalah sudah bersahabat dengan Roro Centil sejak laki-laki ini menjabat sebagai seorang Senapati di Kerajaan Matsyapati yang telah punah.
"Jadi otak dari pencurian harta benda Kerajaan Mataram itu tak lain dari si Laba-laba Hitam!" tegaskan Roro Centil pada Satryo. "Wira Pati yang bekas Senapati yang dipecat itu telah dikendalikan kakek tua sakti dari golongan Hitam itu! Tujuannya adalah untuk mengangkangi Tombak Pusaka Ratu Shima, yang kini berada ditangannya!"
"Wah! kalau begitu tugas kita kaum Pendekar masih panjang dan cukup berat! Kita harus menyelamatkan benda Pusaka itu yang telah menjadi milik Kerajaan Mataram..!" berkata Ginanjar.
"Ya, ya..! Akan tetapi hal ini juga menjadi tugas kami sebagai abdi Kerajaan untuk merampas kembali benda pusaka itu!" ujar Satryo.
"Benar! semua ini menjadi tugas kita, sebagai rakyat yang berlindung di bawah panji kebesaran Kerajaan Mataram. Tanpa merebut kembali benda pusaka itu akan merusak "citra" keagungan Kerajaan Mataram. Juga dikhawatirkan si Laba-laba Hitam menyalah gunakan benda Pusaka itu untuk kepentingan pribadinya!" ujar Roro dengan serius.
Akhirnya perundingan itupun berakhir dengan singkat. Tumenggung Satryo segera akan mengadukan hal itu pada Maha Patih Cakra Bhuana, yang akan meneruskan pada Raja. Sedangkan Roro dan Ginanjar segera meminta diri pada Tumenggung muda itu untuk meninggalkan Kota Raja.
Tampaknya kemelut di Kerajaan Mataram agak mereda, dengan ditangkapnya Adipati Kiduling Kuto. Dan diberi hukuman sesuai dengan kejahatannya. Walaupun sebenarnya masih dalam ketidak puasan, karena salah satu dari benda Pusaka Kerajaan Mataram belum diketemukan. Yaitu Tombak Pusaka Ratu Shima, yang menjadi benda sejarah buat Kerajaan Mataram.
Seperti dikatakan Roro Centil bukan karena benda pusaka itu saja yang menjadi masalahnya. Namun tanpa diketemukannya kembali benda Pusaka itu akanlah merusak "citra" dan keagungan Kerajaan Mataram. Seolah tak becus menjaga pusaka-pusaka Istana.
Untuk itulah, dengan diam-diam orang-orang Kerajaan dan kaum pendekar pembela keadilan telah sama-sama melacak kemana lenyapnya benda Pusaka itu. Terutama sekali adalah manusianya yang kini menguasai Tombak Pusaka Ratu Shima itu. Yaitu si Labalaba Hitam. Karena dikhawatirkan si manusia dari kaum Rimba Hijau golongan hitam itu akan mempergunakan untuk kepentingan pribadinya.
Hari itu adalah pertengahan tahun sejak ditangkapnya Adipati Kiduling Kuto. Cuaca dalam beberapa bulan yang telah terlewat itu agak membaik. Petani menggarap sawah seperti biasa. Kerbau melenguh membajak sawah yang diolah petani. Suara seruling mengalun merdu disisi-sisi bukit yang menghijau. Tampaknya suasana di wilayah Kerajaan Mataram seolah damai tenteram.
Marilah kita melihat keatas puncak sebuah gunung bernama Argasomala. Seorang kakek berkulit putih, berjenggot panjang terurai dengan kumis bagaikan misai yang putih bagaikan perak. Tampak duduk disebuah pondok sederhana. Pondok satu-satunya yang terpencil dipuncak Argasomala. Kakek inilah yang bergelar Ki Kutut Praja Setha. Seorang tokoh golongan Putih dari kaum Rimba Hijau yang berilmu tinggi.
Peristiwa menggemparkan ketika munculnya sebuah Kerajaan Setan yang bernama Kerajaan Pugar Alam ditengah Telaga Berkabut, telah menewaskan banyak tokoh-tokoh Rimba Hijau golongan Putih. Dalam upaya menghancurkan Istana Kerajaan Pugar Alam ditengah Telaga yang misterius hampir setahun yang silam, dan telah membuat kakek sakti ini kehilangan muridnya.
Ya! murid yang amat dikasihinya yang bernama Wibisana. Alias si Penunggang Kuda Setan. Kini orang tua sakti ini tampaknya sudah enggan berkecimpung di Rimba Hijau. Dia cuma duduk untuk bersemadhi di pondok sederhananya. Menantikan usia tuanya yang semakin lanjut. Tak dinyana dalam ketenteraman itu, ternyata masih ada manusia jahat yang datang menyatroni kepuncak Argasomala yang tenang dan damai itu.
Sesosok bayangan hitam berkelebatan menaiki puncak gunung yang sunyi itu. Sekejap kemudian, sosok tubuh itu telah tiba diatas. Dialah si kakek jubah hitam yang berjulukan si Laba-laba Hitam. Ditangannya tampak tercekal sebuah tombak yang juga berwarna hitam legam. Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima. Sepasang mata kakek berusia tiga perempat abad ini jelalatan memandang tempat sekitar itu yang sunyi mencekam.
Saat mana angin berhembus keras menerpa jubahnya. Kakek ini kerutkan keningnya. Tiba-tiba terdengar suara pelahan bersuara dengan nada parau dari dalam pondok sederhana itu.
"Siapakah yang datang mengusik ketenanganku? harap segera perkenalkan diri..." Tampak sang kakek seperti terkejut. Akan tetapi kembali wajahnya berubah dingin membesi.
"Hehehe... aku si tua Ganda Rukmo datang berkunjung kepondokmu, Pendekar tua bangka keparat! Lebih dari lima belas tahun, aku tak pernah berjumpa denganmu! Tak kulihat ada Pesanggrahanmu?" menyahut kakek ini dengan suara menggembor serak, lantang.
"Heh, tua bangka Edan! kau masih hidup rupanya? Hahaha. pesanggrahanku telah hancur musnah dibakar tiga orang muridku yang murtad! Aku membangunnya kembali dengan mendirikan pondok buruk ini! Ada apakah kau mencariku? Apakah sudah setua ini kau masih juga mau mengejar keduniawian?" menyahut suara dari dalam. Dan tahu-tahu Ki Kutut Praja Setha yang mengenakan jubah putih bertambalan telah muncul didepan pintu pondok.
"Heheheheh... dugaanmu tak salah, tua bangka keparat! aku ingin menjagoi sekolong langit ini. Kau lihatlah tombak Pusaka ditanganku ini! Dengan senjata andalanku ini mustahil kalau kau mampu bertahan dari sembilan jurus seranganku! Hehehe... hehehe..." mengekeh tertawa si Laba-laba Hitam dengan jumawa. Tampaknya dia amat berambisi sekali dengan cita-citanya yang boleh dibilang gila itu.
Ki Kutut Praja Setha tampak kerutkan keningnya. Alisnya bergerak menyatu. Dan agak tersentak kaget melihat senjata tombak hitam itu. "Ah!? kalau tak salah itulah Tombak Pusaka Ratu Shima. Tombak sakti yang pernah menggemparkan Rimba Persilatan. Terakhir bukankah benda pusaka itu telah dikuasai si Dewa Tengkorak, yang menurut berita telah lama tewas...! Benda pusaka itu menurut berita beberapa tahun yang silam telah menjadi milik Kerajaan Mataram. Dan dijadikan benda pusaka..." membathin Ki Kutut Praja Setha.
"Kau kenal Tombak Pusaka ini, tua bangka keparat!" berkata sinis Si Laba-laba Hitam.
"Ya! aku mengenal. Bukankah itu Tombak Pusaka Ratu Shima?"
"Heheheh benar! Matamu masih jeli juga!"
"Lumayan, sobat tua bangka gila! Kalau benda pusaka itu bisa berada ditanganmu. tentu mudah sekali aku menerkanya. Pasti kau telah mencurinya dari ruangan benda-benda Pusaka di Istana Kerajaan Mataram!"
"Hehehe.... tidak salah! Mengenai urusan itu aku tak perlu bentangkan padamu! kedatanganku adalah untuk meminjam Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam yang kudengar pernah dimilikimu, juga tentunya masih berada ditanganmu! berkata si Laba-laba Hitam.
"Ganda Rukmo...! Tidak sadarkah bahwa kau sudah tua bangka dan sudah dekat Uang kubur? mengapa masih mengurusi segala macam ilmu? Haiih! aku telah memusnahkan kitab pusaka itu! Aku tidak lagi memiliki apa-apa. Kecuali aku sedang mendekatkan diri pada Yang Maha Esa..!" menyahut Ki Kutut Praja Setha.
"Omong kosong! Siapa percaya ucapanmu! Heh! jauh-jauh aku datang kemari, aku tak mau datang dengan percuma! Apakah kau bicara benar?" membentak dingin si Laba-laba Hitam yang ternyata bernama Ganda Rukmo itu.
"Hm, untuk apa aku berdusta? Sudahlah, Ganda Rukmo, kukira sebaiknya kau mulai menyadari akan apa yang menjadi ambisimu itu! Kesaktian takkan ada batasnya. Karena diatas langit masih ada langit. Juga perlu kau selami apakah hasilmu selama ini? Apakah cuma melulu mengumbar napsu yang tak ada batasnya? Tiada kehidupan yang kekal dialam Fana ini. Kembalikanlah benda pusaka itu kepada Kerajaan Mataram. Dan kukira dengan kau kembali kewilayahmu di Perairan Tenggara, disana cukup membuat kau tenteram menghabiskan sisasisa usia tuamu!"
Akan tetapi kata-kata Ki Kutut Praja Setha telah membuat si Laba-laba Hitam ini jadi merah mukanya bagai kepiting direbus. Bahkan dia amat merasa terhina dengan nasihat baik bekal sahabat yang sejak muda memang selalu sering bertengkar itu.
"Kutut Praja Setha! aku bukannya bocah kecil yang kau nasihati sedemikian rupa. Kau benar-benar amat menghinaku! Susah payah aku dapatkan Tombak Pusaka ini, mengapa harus kukembalikan lagi ke Istana Kerajaan Mataram? Sudahlah tak perlu kau berkhotbah macammacam didepanku! Sekali lagi kukatakan, yang kuperlukan adalah Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam ditanganmu. Aku mau meminjamnya barang setahun, atau setengah tahunpun cukuplah! Dimana kau simpan benda itu."
Merahlah wajah Ki Kutut Praja Sheta. Akan tetapi kakek jangkung ini masih bisa menahan diri. "Ganda Rukmo! seperti kukatakan tadi, Kitab Pusaka itu telah kumusnahkan. Sudah kubakar menjadi abu sejak hampir setahun yang lalu! Apakah kau masih tak mempercayai?"
"Hm, lima belas tahun kita tak berjumpa, siapa tahu kau kini pandai ngibul. Karena buktinya kau menasihatiku macam-macam...! Kalau aku memeriksa kedalam pondokmu apakah kau mengizinkan?" berkata Ganda Rukmo.
"Aku tak pernah dihina sedemikian rupa oleh seorang manusiapun, kecuali seorang tua bangka gila semacammu! Aku sudah tak mencampuri urusan dunia Rimba Hijau lagi, Ganda Rukmo. Pergilah! jangan mengganggu ketenteramanku...!"
"Hehehe... kecuali kau mampu menahan sembilan jurus serangan tombakku, barulah aku menyingkir dari sini. Akan tetapi bila kau tak sanggup, jangan kau sesalkan kalau Tombak Pusaka Ratu Shima ini menghirup darahmu! Kecuali kau berikan Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam...!" berkata dingin Ganda Rikmo yang tampaknya benar-benar tak mempercayai kata-kata Ki Kutut Praja Sheta.
"Astaga...! kau benar-benar manusia yang keterlaluan, Ganda Rukmo!" Memaki gusar Ki Kutut Praja Sheta. Agaknya kakek ini sudah tak kuat menahan kesabarannya lagi. Sementara hatinya memikir. "Heh!? jelas kalau si Ganda Rukmo ini sukar diinsyafkan dari jalan sesat! Aku telah gagal untuk menyingkirkan diri dari kemelut Rimba Hijau. Biarlah! kukira inilah jalan terakhir buat aku turut membantu menegakkan ketentraman manusia. Karena sudah dapat dipastikan si Ganda Rukmo ini akan jadi momok yang bakal meyebar kericuhan! Apa lagi dengan adanya Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya ...! Kalau aku berhasil menumpasnya saat ini, aku termasuk sudah menyelamatkan manusia dari ancaman kematian. Juga punya jasa yang kusumbangakan pada Kerajaan Mataram. Karena aku yakin dia pasti menjadi buronan Kerajaan Mataram, dengan mencuri benda Pusaka Kerajaan itu...!"
Berpikir demikian Ki Kutut Praja Sheta, diam-diam kumpulkan kekuatannya lahir bathin untuk siap menghadapi segala kemungkinan. Jelas pertarungan takkan dapat terhindar lagi. Dan Ki Kutut Praja Sheta telah siap untuk menyambungkan nyawa. Nyawa tuanya, yang masih cukup berharga. Melihat pendekar tua itu telah siap dengan kuda-kudanya, Ganda Rukmo tertawa sinis. Dia yang sejak tadi telah siap diri untuk bertarung, tak ayal segera mulai membuka serangan.
"Hehehe... kau jaga serangan pembukaanku! Hati-hati dengan mata tombak Pusaka ini. Ujungnya telah kurendam dengan racun!" Memperingati Ganda Rukmo.
Wut! Wutt! Wuttt...!
Serangkaian serangan hebat telah dilancarkan. Senjata Tombak Pusaka itu syiurkan hawa dingin yang menembus tulang. Meluncur ketiga jalan darah kematian Ki Kutut Praja Setha. Serangan beruntun ini cukup membuat si kakek yang pernah berjulukan si Pendekar Pedang kayu ini agak terkesiap. karena hawa racun yang bersyiur terasa menyesakkan pernapasannya.
Namun sebagai jago kelas tinggi yang pernah menggemparkan Rimba Persilatan, Ki Kutut Praja Sheta dapat mematahkan serangan-serangan ganas itu. Jurus-jurus mengelakkan diri yang dipergunakan serta hawa murni yang telah dihimpun disekujur kulit tubuh, mampu menahan rembesan hawa racun dari Tombak Pusaka Ratu Shima.
Bahkan kakek kosen ini balas lakukan serangan menghantam dengan tasbih hijaunya. Sejak mengasingkan diri dari kemelut Rimba hijau kakek ini memang tak pernah ketinggalan dengan untaian tasbih ditangannya.
Si laba-laba Hitam ini agak tersentak kaget, karena ternyata tasbih dari batu giok itu mampu mengusir hawa racun dari mata tombaknya. Bahkan kakek tua renta itu masih punya kelincahan untuk menghindari serangan-serangannya.
"Hehehe... ternyata kau masih punya senjata andalan, tua bangka keparat! Kemana Pedang Kayumu? Mengapa tak kau pergunakan?" berkata sinis Ganda Rukmo. Dengan satu sontekan mata pedangnya, serangan tasbih hijau telah ditarik kembali oleh Ki Kutut Praja Sheta.
Kini Tombak Ratu Shima mulai dimainkan dengan jurus-jurus berikutnya. Hawa racun semakin menggebu menyambar ke arah Ki Kutut Praja Setha karena dibarengi dengan tiupan ke arah kakek itu. Sementara serangan-serangan mendadak dari tombak semakin gencar mengarah leher dan setiap kulit tubuh lawan.
Melihat serangan Ganda Rukmo semakin hebat, terpaksa kakek puncak Argasomala ini segera robah gerakannya. Dan mainkan jurus-jurus dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam. Kini dari tubuh kakek ini keluar uap putih. Serangan tasbihnya menindih serangan lawan. Akan tetapi kelemahan si kakek jangkung ini adalah dia tak mau mengadakan benturan tasbih hijaunya dengan mata tombak lawan. Dia masih sangsi apakah tasbihnya mampu menghadapi Tombak Pusaka Ratu Shima itu.
Hal mana adalah amat menguntungkan si Laba-laba Hitam. Kini jurus keempat mulai dilancarkan. kekuatan tenaga dalam yang disalurkan semakin diperhebat membuat sambaran tombak semakin menggiriskan hati. Hawa racun seperti menempel dikulit tubuh kakek ini.
Sayang, Ganda Rukmo tak mengetahui kalau Ki Kutut Praja Sheta banyak punya jurus lain yang luar biasa. Tubuhnya mendadak melesat keudara. Lengannya menghantam batok kepala lawan, ketika sekonyong-konyong menukik lagi. BHLARR! Tanah menyemburat keudara. Debu mengepul. Ranting dan semak terbongkar.
Hantaman pukulan mematikan itu nyaris membuat batok kepala Ganda Rukmo hancur remuk, kalau dia tak cepat jatuhkan tubuh bergulingan. Sementara tangannya meraih benda yang selalu terselip dibalik jubahnya. Dan dibantingkan benda itu kedepan Ki Kutut Praja Sheta yang telah kembali meluncur untuk lakukan hantaman keduanya.
Busss...!
Asap hitam mengepul. Dan tubuhnya lenyap terbungkus. Kakek puncak Argasomala kertak gigi dengan gusar. Dia tahu kalau Ganda Rukmo telah mulai main licik. Benar saja! tahu ditempat itu telah muncul seekor Laba-laba Raksasa. Terperangah Ki Kutut Praja Sheta. Karena dia tak menyangka kalau Ganda Rukmo telah memiliki ilmu sihir hitam sedemikian rupa.
Namun cuma sekejap dia terkejut. Segera melompat mundur. Akan tetapi saat itu Ganda Rukmo telah berada dibelakangnya. Dalam keadaan tubuh tak terlihat. karena dia mempergunakan ajian Halimun. Tombak Pusaka Ratu Shima telah dilancarkan dengan kecepatan kilat. Dan... Bless!
Tersentak kaget kakek tua ini. Matanya membeliak karena terkejut. Sadarlah dia kalau telah kena bokongan lawan. Namun terlambat sudah! kakek ini balikkan tubuh. Sementara tombak itu telah kembali disentakkan si pemiliknya. Darah menyemburat. Memancur dari luka di punggung yang telah menembus sampai ke dada.
"Iblis pengecut! kau ... kau..."
Wajah kakek ini tampak membesi. Betapa geram dia terhadap Ganda Rukmo sukar dibayangkan. Lengannya mengepal mencengkeram tasbih hijau ditangannya hingga berderak hancur. Dan, dengan kekuatan terakhir dia gerakkan tangannnya melontarkan hancuran tasbih itu dengan kecepatan kilat.
Terdengar jeritan parau si Laba-laba Hitam dihadapannya, yang seketika menampakkan dirinya lagi. Apakah yang terjadi? Ternyata kakek tua berjubah hitam itu tengah terhuyung menutupi kedua matanya, yang mengalirkan darah.
Meraung-raung Ganda Rukmo dengan berloncatan tak tentu arahnya. Sementara si makhluk ciptaan berbentuk Laba-laba Raksasa itu sekejap telah lenyap lagi karena tiada lagi pengaruh dari si kakek itu. Sedangkan Ki Kutut Praja Sheta tak dapat mempertahankan diri lagi. Seketika tubuhnya ambruk ke bumi.
Setelah beberapa kali menggeliat. Kakek perkasa itupun lepaskan nyawanya dengan kulit tubuh berubah hitam. Darah yang juga berwarna hitam menggelogok dari lukanya. Ternyata dia telah terkena racun yang teramat hebat, disamping luka parah yang tak memungkinkan baginya untuk bisa hidup.
Sementara itu Ganda Rukmo masih meraung-raung menekap wajahnya. Ternyata sepasang matanya telah buta, tak dapat dipergunakan lagi. Tertatih-tatih dia merayap kesana kemari. Tangannya menggapai mencari tombak Pusaka Rati Shima yang terlepas dari tangannya. Keadaannya sungguh amat mengharukan.
Sayang! dia tak tahu lagi dimana adanya benda itu. Bahkan kakinya melangkah mendekati pondok dipuncak Argasomala itu. Pondok Ki Kutut Praja Sheta yang memang tak jauh dari tempatnya bertarung.
Saat itu sesosok tubuhnya bertopeng hitam berkelebat ketempat itu. Gerakannya amat ringan. Cepat sekali lengannya menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima yang tergeletak ditanah. Detik selanjutnya sudah melesat lagi dari atas puncak gunung itu. Dan lenyap dalam sekejap. Dua sosok tubuh terlihat pula bermunculan ditempat itu. Akan tetapi cuma sekejap. Karena segera salah seorang berteriak.
"Cepat kejar! Kita keduluan orang...!"
Dan dua sosok tubuh itu berkelebatan menuruni puncak Argasomala, mengejar sosok tubuh yang telah lebih dulu menyambar benda pusaka itu. Tersentak si Laba-laba Hitam ini. Dengan menggerung keras lengannya menghantam kedepan seraya membentak.
"Manusia-manusia keparat! kalian telah mencuri Tombak Pusakaku...?"
Blarrr...! Puncak bukit itu bagaikan dilanda lautan prahara yang seketika membuat balang-batang pohon berderak patah. Semak menyibak, dan menghambur beserpihan. Akan tetapi sosok-sosok tubuh tadi telah lenyap dari puncak gunung itu.
"Manusia-manusia keparat! Kembalikan Tombak Pusakaku...!" menggembor keras si kakek ini. Tiba-tiba tubuhnya melesat kedepan. Lengannya bergerak menghantam kesana-kemari. Keadaan disekitar tempat itu jadi rusak binasa diamuk kakek yang kalap ini. Bahkan pondok Ki Kutut Praja Sheta pun rusak binasa.
Keadaan Ganda Rukmo tak lebih bagaikan manusia setan yang mengerikan. Dengan wajah penuh mengalirkan darah. Mulut meyeringai mengamuk menghantam apa saja disekelilingnya. Rasa jengkel membuat dia mengumbar kemarahan sejadi-jadinya.
Akhirnya dia keprak kepalanya sendiri dengan kedua lengannya. Menjerit parau kakek yang telah kehilangan akal warasnya ini. Suara berderak keras terdengar. Kakek itu roboh ketanah dengan batok kepala hancur. Dan tewas seketika. Sesaat puncak Argasomala dicekam kesunyian. Sungguh satu pemandangan yang menyedihkan, karena sekejap saja puncak yang bersih, aman, tenang dan damai itu kini bagaikan baru saja dilanda badai taufan yang mengamuk.
Dua mayat terkapar ditempat itu. Manusia-manusia dijagat ini memang aneh! Dunia Rimba Hijau juga aneh! Angin utara bertiup sepoi membauri puncak Argasomala dengan bau anyirnya darah. Ternyata pula Tombak Pusaka Ratu Shima telah menjadi penyebab penghantar nyawa dua manusia dipuncak gunung yang sunyi itu. Sementara Matahari agak meredup, ketika awan hitam melintas. Puncak Argasomala semakin lengang...! Teramat lengang.
SESOSOK TUBUH berkelebat tiba dipuncak gunung yang sunyi itu. Ternyata seorang gadis muda yang berwajah rupawan. Dipunggungnya tampak terselip sebuah seruling. Dialah si Seruling Gading adanya. Gadis yang mengenakan baju warna ungu ini tampak tatapkan matanya memandang kesekitar tempat itu. Dan terbenturlah pada sosok tubuh yang telah terkapar jadi mayat itu.
Wajahnya menampakkan terkejut. Lalu melompat ringan menghampiri mayat Ki Kutut Praja Setha. Kemudian melompat lagi untuk melihat mayat satunya lagi. Sepasang matanya semakin membelalak. Mulutnya ternganga. Dan...
"Guru...!?" Terdengar suaranya tersendat dikerongkongan. Seketika dia telah duduk bersimpuh dihadapan jenasah kakek tua itu.
"Guru...! Ah, tak dinyana kau akan tewas! Kalian pasti bertarung hebat. Kau pernah menyelamatkan nyawaku, Guru...! Aku belum dapat membalas budimu, kau telah berangkat terlebih dulu..." Terdengar suara gadis itu menggumam lirih. Dan setitik air bening tersembul disudut matanya. Lama dia tercenung menundukkan kepala. Tapi tak lama kemudian tampak dara ini bangkit berdiri. Mengusap air matanya.
"Sudahlah, adik manis..! mengapa harus menangisi orang yang sudah tiada? Pandanganlah kedepan! Tatapkan matamu kehari esok yang lebih baik! Dunia ini cuma sandiwara! Agaknya takdir sudah mengharuskan gurumu itu mati membunuh diri!" satu suara halus tibatiba terdengar dibelakangnya, Gadis ini menoleh. Dan tertegun dia karena telah melihat siapa adanya yang berdiri menatapnya."
"Kakak Pendekar Roro Centil...!?" Ah, sejak kapan kau kemari?"
"Hihihihi ... sejak terjadi pertarungan kedua jago tua ini. Akan tetapi aku terlambat datang. Ki Kutut Praja Sheta telah terkena hunjaman tombak pusaka Ratu Shima ditangan gurumu. Dan belakangan aku melihat dia mengamuk hebat karena kedua matanya terluka terkena sambitan tasbih Ki Kutut Praja Sheta. Seseorang lelah menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima yang menggeletak ditanah, lalu melarikan diri. Saat aku mau mengejar, dua sosok tubuh muncul lagi, dan mengejar orang yang melarikan benda pusaka itu. Aku segera memburunya. sayang, pencuri itu tak ketahuan kemana rimbahnya. Ketika aku sedang melacak jejaknya, kudengar suara gaduh dipuncak gunung ini, Kudapati gurumu tengah mengamuk. Dan akhirnya dia membunuh diri dengan menghantam kepalanya dengan kedua tangannya..!" tutur Roro.
"Dia adalah orang yang telah menyelamatkan nyawaku, kakak Pendekar Roro...!" ujar Seruling Gading dengan masygul.
"Yah, kau memang berhutang budi padanya. Akan tetapi gurumu ini adalah orang buronan Kerajaan Mataram!"
Tentu saja penjelasan Roro itu membuat di gadis tersentak kaget, "Sudahlah! Nanti aku ceritakan hal-ikhwalnya. Kita baru berjumpa lagi sejak kejadian di Cipatujah, adik yang baik! Banyak hal yang akan kutanyakan padamu. Juga tentunya aku akan ceritakan mengenai suaminya Sambu Ruci. ..!" Ujar Roro yang segera bicara sebelum Seruling Gading banyak ajukan pertanyaan. "Marilah kita semayamkan kedua jenazah ini ...!" sambung Roro dengan cepat.
"Oh baik, baik...! Girang sekali aku berjumpa dengan anda kakak Pendekar Roro..." sahut Seru ling Gading dengan amat hormat. Dia memang amat menyegani pada Roro. Apalagi mengingat akan nasib Sambu Ruci, ingin sekali dia mendengar beritanya.
Seperti pernah dikisahkan pada judul Duel dan Kemelut di Cipatujah, Seruling Gading telah menikah dengan Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok atau si Pendekar Selat Karimata. Akan tetapi adanya kemelut di Cipatujah membuat pernikahan mereka yang telah sempat diresmikan itu jadi berantakan karena ulah dari ayah angkatnya sendiri.
Demikianlah, mereka segera menggali lubang untuk penguburan kedua jenazah. Selang tak lama kedua jenazah mulai ditimbun. Dan menjelang gelincir matahari pekerjaan itupun selesai sudah. Roro mengajak Seruling Gading untuk segera meninggalkan tempat itu. Ditepi sungai mereka berhenti. Setelah mandi, kedua dara itu tampak duduk saling berhadapan di bawah sebatang pohon.
Sambil mengeringkan rambut, Roro mulai bercerita mengenai kejadian di Kota Raja. Mengisahkan semua kejadian di Kota Raja. Mengisahkan semua kejadian dari awal hingga akhir. Sementara Seruling Gading mendengarkan dengan serius. Kini giliran Seruling Gadinglah yang harus bercerita pada Roro.
Begitulah. Dara itu segera cerita kejadian, sejak dia loloskan diri dari sekapan ayah angkatnya di Pesanggrahan Cipatujah, yang ternyata dikuntit oleh dua orang murid sang ayah angkat. Terjadilah pertarungan, karena Seruling Gading mau diperkosa oleh kedua manusia brutal itu. Dalam pertarungan itu seseorang yang tak diketahuinya diam-diam telah membantunya bertarung. Hingga kedua murid ayah angkatnya tewas.
Sayang dia tak mengetahui siapa yang telah menolongnya. Namun Seruling Gading telah putus asa. Dalam keadaan tubuh lemah lunglai dia menerjunkan diri dari atas tebing curam, dimana dibawahnya terbentang jurang yang dalam. Dia tak tahu apa-apa lagi.
Tapi ketika tersadar dia telah dapatkan dirinya disebuah ruangan goa yang bersih. Dan seorang kakek telah menungguinya. Kakek itulah yang Ganda Rukmo alias si Laba-laba Hitam yang telah menyelamatkan jiwanya. Dan Seruling Gading telah mengangkat guru padanya.
Roro manggut-manggut mendengarkan dengan penuh perhatian. Lalu menghela napas. Ujarnya; "Sungguh prihatin aku mendengar kisahmu, adikku...! Akan tetapi ayah angkatmu telah mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya!"
Matahari semakin menggelincir pertanda sebentar lagi akan menjelang senja. Menampak demikian, dan setelah agak lama bercakap-cakap, Seruling Gading berkata.
"Kakak Pendekar Roro Centil. Sebenarnya aku masih rindu dengan pertemuan kita. Akan tetapi dengan sangat terpaksa aku mohon diri. Aku akan berusaha membantu anda untuk mendapatkan lagi Tombak Pusaka itu dan menyerahkan ke Istana Kerajaan Mataram...!"
"Aiihh, sukurlah kalau kau mau membantu. Akan tetapi mengapa tampaknya kau terburu-buru? Bukankah kau masih rindu? Dan... apakah tak ada hasratmu untuk mencari Sambu Ruci? Kasihan dia! Dia amat bersusah hati memikirkan nasibmu!" berkata Roro.
Seruling gading tundukkan wajahnya. Tampak tersirat perasaan sedih yang sukar dilukiskan. Dan dara ini tengah berusaha menahan perasaannya. "Kelak pasti aku akan mencarinya...! menyahut Seruling gading dengan suara lirih. Akan tetapi hatinya membathin. "Tidak! tak ada muka lagi aku untuk bertemu dengannya. Apalagi mencarinya! aku merasa malu...! Aku sudah tak perlu diharapkan lagi. Karena aku telah ternoda...!"
"Hm, sukurlah kalau begitu, Kelak bila berjumpa aku akan memberi khabar padanya kalau kau dalam keadaan sehat-sehat saja. Dimanakah kau bertempat tinggal?" tanya Roro, seraya turut bangkit berdiri mengikuti Seruling Gading.
"Ah, sayang sekali, kakak Pendekar Roro. Aku tak punya tempat tinggal, Goa tempat bernaungku selama ini mungkin segera akan kutinggalkan. Seperti juga kakak tentunya, aku akan mengembara, Menurutkan kemana langkah kakiku ini..." sahut Seruling Gading dengan sendu.
"Baiklah! kalau begitu. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungimu dalam perjalanan, dan dimana saja! Selamat jalan, adikku...!" ujar Roro Centil. Seraya kemudian ulurkan lengannya untuk menjabat tangan Seruling Gading. Dara ini menyambutnya. Bahkan segera memeluk sang Pendekar wanita ini dengan linangan air mata.
"Selamat tinggal kakak Pendekar Roro ...! Kalau masih ada usia semoga kita bisa jumpa lagi...!"
"Tentu tentu, adikku hihihi... dan semoga kalian bisa cepat bertemu...!" ujar Roro sambil tertawa kecil. Seruling Gading tersenyum tawar dan manggut-manggut.
"Ya, do'akanlah, kak ...!" sahut dara ini. Bibirnya tersenyum tetapi hatinya menangis.
Tak lama Seruling Gading segera mohon diri. Lalu beranjak meninggalkan Roro yang masih tercenung memandangnya. Sikap dan rona diwajah dara itu tak dapat mengelabui hati Roro. Dia tahu Seruling Gading menyembunyikan kesedihan hatinya diantara senyumnya. Setelah beberapa kali berkelebat, tubuh Seruling segera lenyap dibalik tikungan jalan disisi sungai itu,
"Aiih, pengantin baru yang malang..." mengguman Roro dengan hati trenyuh, lalu diapun berkelebat dari situ. Akan tetapi baru beberapa saat berlari, Roro kembali merandek hentikan langkahnya. Lalu berkelebat kebalik semak. Dua orang laki-laki berpakaian serba singsat berjalan cepat menyusuri jalan setapak disisi hutan itu.
"Kulihat jelas dia seorang perempuan berbaju merah! Akan tetapi heran? Mengapa cepat sekali dia berlari menghilangkan...?" berkata salah seorang.
"Heh! Dunia Rimba Hijau ini penuh dengan orang-orang sakti, Guntar! Kini tombak Pusaka Ratu Shima telah berganti majikan!" menyahut kawannya.
Tersentak Roro, karena segera teringat dia akan kejadian dipuncak Argasomala. Dua orang itu adalah si pengejar sosok tubuh baju merah yang berkelebat duluan menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima. Tanpa mengetahui Roro Centil yang bersembunyi, mereka terus lewat sambil bercakap-cakap tiada henti. Dan menyesali mengapa kurang cepat mereka menyambar benda pusaka yang tergeletak itu.
Roro Centil tertegun sejenak. "Siapakah kedua orang itu? Apakah dia golongan Pendekar ataukah kaum golongan hitam yang mencari kesempatan untuk mengangkangi Tombak Pusaka?" berkata Roro dalam hati.
Akan tetapi Roro tak bertindak apa-apa. Segera dia bangkit berdiri. Dan teruskan berlari cepat. Hari telah menjelang senja. Roro perlukan tempat bermalam. Tentu saja besok dia harus bekerja keras meneruskan lacakannya mencari si baju merah yang melarikan tombak Pusaka itu. Dalam berlari-lari cepat itu diam-diam hatinya menyentak kaget ketika teringat akan pembicaraan kedua laki-laki tadi.
"Eh, kalau sipenyambar benda pusaka itu seorang perempuan, aku memang melihat. Tapi... hm, ya! Ya... jelas kuingat kini. Sosok tubuh itu tak beda dengan perawakan si Iblis Ruyung Emas! Kalau benar dia, tak sukar mencarinya..." pikir Roro. Dan tersenyum dalam larinya. Sekejap dia sudah melesat cepat sekali. Dan sebentar saja tubuhnya lenyap dikeremangan senja yang semakin temaram.
Sementara disaat kepergian Roro Centil sesosok tubuh muncul dari ujung jalan. Tepat pada ujung jalan yang bakal dilalui kedua laki-laki pencari Tombak Pusaka Ratu Shima. Sosok tubuh ini sungguh sukar untuk dibayangkan, karena ternyata sesosok tubuh wanita yang tak mengenakan selembar pakaianpun pada tubuhnya. Tentu saja kedua laki-laki itu jadi melengak melihat tahu-tahu dihadapannya muncul sesosok tubuh wanita dalam keadaan membugil.
"Hah..? Sssi... siapakah kka...kau...?" tergagap seorang dari dua laki-laki itu. Keduanya menatap dengan mata membelakak. Belum lagi mereka tersadar, kedua laki-laki itu rasakan angin berkesyiur menerpa tubuhnya. Terenduslah bau harum semerbak.
Seketika kedua laki-laki ini jadi terpana. Dan belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, keduanya perdengarkan keluhan. Karena yang mereka rasakan adalah mata mereka berkunang-kunang. Pandangannya memutar. Serta kepala terasa pening. Terakhir, kedua laki-laki itu jatuh menggeloso tak ingat apaapa lagi.
"Hihihi... hihi.. ternyata kalian adalah para pendekar picisan. Akan tetapi kalian adalah laki-laki bertubuh kekar yang menggairahkan! Malam ini kalian harus menemani aku tidur. Kalian sungguh bernasib mujur, laki-laki gagah...!" berbisik wanita bugil itu.
Sepasang matanya membinar memandang kedua tubuh yang menggeletak pingsan dihadapannya. Dilain kejap dan sungguh diluar dugaan, kalau wanita bertubuh semampai itu mampu mengangkat kedua tubuh laki-laki itu sekaligus pada kedua pundaknya. Dan detik selanjutnya dia telah membawanya berkelebat dari tempat itu.
Dalam keremangan cahaya rembulan itu, terjadilah satu pemandangan yang menjijikkan. Karena kedua lakilaki itu bagaikan dua buah robot manusia yang telah dikendalikan otaknya. Tampak menggeluti tubuh perempuan bugil itu silih berganti dengan napsu birahi yang menggelora. Suara dengus napas dan rintihan nikmat dari manusia-manusia yang dimabuk asmara gila itu terdengar dalam desah-desahnya angin malam. Malam semakin melarut...
Dua tubuh laki-laki itu dalam keadaan membugil terkapar menggeletak diatas rerumputan dilereng bukit. Keduanya telah mendengkur pulas tak ingat apa-apa lagi. Bahkan mungkin tengah bermimpi melayang ke angkasa. Dari balik semak perempuan itu muncul lagi, dan baru saja mengenakan pakaiannya Ya! siapa lagi perempuan itu kalau bukan si iblis Ruyung Emas! Tak lama si wanita cantik ini telah melompat keluar mendekati kedua lakilaki yang terkapar itu. Ditangannya tercekal sebatang tombak. Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima.
"Hihihi... malam ini terlampias sudah hasratku. Aku benar-benar amat puas!" mendesis suara wanita ini. Bibirnya nampak menyunggingkan senyuman. Lalu setelah memandang kebawah bukit, kakinya beranjak untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia merandek. Kembali dia menoleh pada kedua laki-laki yang masih mendengkur pulas itu.
Lengannya bergerak kebalik baju merahnya. Dan... Serrr! belasan jarum meluruk deras ke arah kedua lakilaki bugil itu. Tampak kedua laki-laki itu tersentak kaget seperti digigit kala. Tapi sekejap setelah menggeliat, keduanya kembali terkulai. Kali ini untuk terus tidur selamanya. Karena nyawanya seketika langsung melayang...
Kemudian dengan mengikik tertawa si Iblis Ruyung Emas segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Malam itu Ginanjar tak dapat memicingkan matanya di ruangan Pendopo Kedipatian yang telah kosong, bekas tempat kediaman Adipati Kiduling Kuto yang telah dipenjarakan. Sampai saat ini ternyata belum terisi lagi. Belum ada pengganti Adipati Kiduling Kuto. Hingga sampai saat ini jabatan Adipati di wilayah itu masih kosong. Karena tetap tak dapat memicingkan matanya, akhirnya Ginanjar bangkit untuk duduk, disisi pembaringan.
Sementara pikirannya menerawang jauh. Sampai saat ini Ginanjar agak aneh dengan sikap Roro Centil. Sejak lebih dari tiga bulan yang lalu dia tinggal menetap di Kedipatian itu. Ginanjar layaknya bagaikan putera mahkota saja, karena segala Keperluannya dicukupi oleh para pembantu di Kadipatian itu. Pengawal-pengawal Kadipaten masih tetap berjaga seperti biasa.
Dia masih ingat pesan Roro Centil agar tak meninggalkan Kedipatian sebelum ada perintah dari Raja Mataram yang akan disampaikan oleh Tumenggung Satryo. Walaupun Ginanjar dapat berbuat bebas untuk keluar masuk dari pintu gerbang Kedipatian, akan tetapi lama-lama dirasakan bosan juga. Entah apa maksudnya dia disuruh menunggu gedung Kedipatian itu, sementara Roro Centil jarang menampakkan diri.
Tiba-tiba Ginanjar teringat akan pertemuan dua hari yang lalu ketika dia tengah keluar dari Gedung Kedipatian. Dia berjumpa dengan seorang wanita baju merah yang tak lain dari si Iblis Ruyung Emas. Mengingat demikian, pemuda ini menggumam.
"Haiih perempuan itu selalu saja menguntitku... tampaknya dia selalu mengejar-ngejar aku...! Wah, gawat kalau dia jatuh cinta padaku! aku sudah berjanji takkan main perempuan lagi. Roro yang kugandrungi setengah mati ternyata sulit diduga isi hatinya. Entah, apakah dia diam-diam mengujiku, ataukah memang tak ada secuilpun perasaannya terhadap...?"
Termangu-mangu pemuda ini sambil meremas rambutnya. Akhirnya dia beranjak mendekati jendela. Dibukanya jendela kamar tidurnya untuk melihat keluar. Keadaan diluar sunyi mencekam. Dua orang penjaga masih tetap berjaga menjalankan tugasnya didepan pintu gerbang Kedipatian. Terlihat berdiri mematung. Tiba-tiba dia mengendus bau harum semerbak.
"Aiii, wangi benar. Pasti bau wangi bunga disamping gedung yang terbawa angin..." berkata Ginanjar dalam hati. Akan tetapi sekonyong-konyong dia rasakan kepalanya pening. Pandangan matanya memutar. "Ah, aku harus cepat tidur! Selama ini aku kurang tidur setiap malam..." berdesis Ginanjar seraya memijit keningnya. Dihempaskannya tubuhnya kepembaringan. Agak lama dia berbaring, tiba-tiba tersentak pemuda ini karena merasa ada sesuatu yang kurang beres.
"Heh! jangan-jangan bau harum itu baru obat bius. Celaka aku kalau ada yang sengaja mau mengerjaiku...! Dan jangan-jangan kedua penjaga itu telah ditotok orang..!" sentaknya dalam hati.
Cepat-cepat dia kerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk salurkan hawa murni kesekujur tubuh. Dicobanya melawan kekuatan hawa mengantuk yang luar biasa itu. Dia yakin kalau itu bukan mengantuk sewajarnya. Saat mana tiba-tiba pintu kamar yang tak terkunci itu berderit terbuka. Dan sesosok tubuh memasuki pintu kamarnya. Sosok tubuh wanita.
"Roro...? Kaukah itu...?" tanya Ginanjar tersentak. Matanya menatap wajah orang. Karena pandangannya tengah berputar akibat hawa aneh yang membuat mata mengantuk itu, hingga dia perlu membeliakkan matanya lebar-lebar.
"Hihihi... aku yang datang Dewa Linglung.." menyahut wanita itu.
Tentu saja membuat Ginanjar terlonjak kaget. Segera dia bangkit untuk duduk. "Kau... kkau.. si Ruyung Emas...?" tergagap Ginanjar seraya mengucak-ucak matanya.
"Hihihi... benar, aku si Ruyung Emas, kekasihku..." ucapnya. Suaranya tergetar seperti mengandung hawa cinta berahi yang menggebu. Tiba-tiba lengan wanita itu mengibas. Dan bersyiurlah bau harum yang lebih semerbak.
Tersentak Ginanjar. Cuping hidungnya kembang kempis terendus bau wangi itu. Akan tetapi kali ini tergetar hatinya, karena sekejap hawa birahi telah menimbulkan rangsangan hebat. Membuat tubuh Ginanjar jadi bergetar dan dada bergemuruh, Apa lagi wanita dihadapannya mulai membuka pakaiannya.
Sementara sepasang matanya tak berkedip menatap Ginanjar. Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera. Wanita ini tengah salurkan kekuatan ilmu hitamnya untuk menundukkan hati si pemuda. Berkali-kali Ginanjar meneguk air liurnya. Hawa rangsangan yang hebat telah mempengaruhi sirkuit otaknya untuk menuruti kata-kata wanita itu.
"Dewa Linglung...! Ayolah, kekasihku...! Aku amat mendambakanmu! aku mencintaimu setengah mati. Aku kedinginan malam ini...! Peluklah aku. Dekaplah diriku, kekasihku yang tampan..." berkata si Iblis Ruyung Emas dengan mengeluarkan bisikan ketelinga Ginanjar. Tubuhnya telah beranjak semakin mendekat.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sesuatu yang terhempas pecah diruangan depan pendopo. Tersentak wanita ini. Dan seketika mencabut lagi kekuatan ilmu hitamnya yang telah dipergunakan mempengaruhi Ginanjar. "Tombakku...?" desis wanita ini seperti tersentak." Agaknya dia teringat pada Tombak Pusaka Ratu Shima yang disandarkan di dinding diluar pintu kamar.
Sementara itu sesosok tubuh ramping baru saja berkelebat melompat dari atas tembok. Karena kurang hati-hati kakinya menyentuh pot bunga yang tergantung hingga jatuh pecah kelantai. Namun tanpa memperdulikan dengan cepat dia berkelebat kedepan pintu kamar. Sepasang matanya tertuju pada Tombak Pusaka Ratu Shima yang tersandar didinding. Sayang dia terlambat. Karena dengan cepat si Iblis Ruyung Emas telah melompat keluar untuk menyambar terlebih dulu tombak pusaka itu.
"Heh?" tersentak sosok tubuh itu. Namun dengan gerakan cepat dia lancarkan serangan menghantam wanita telanjang bulat itu. Mulutnya membentak nyaring.
"Lepaskan benda itu!" Dan... Wukk..! benda yang panjangnya hampir tiga jengkal itu bergerak menghantam ke arah kepala si Iblis Ruyung Emas mengeluarkan suara mendesing. Itulah sebuah senjata seruling. Bahkan dia hantamkan pula telapak tangannya untuk menjotos dada wanita itu.
Namun dengan terkejut si wanita bugil itu dapat hindarkan serangan. Dengan gerakan sebat dia menangkis Pletak! Bhuk! Menjerit si Iblis Ruyung Emas karena terasa tulang lengannya berderak patah. Dibarengi rasa sakit pada dadanya yang terlambat dia mengelakkannya. Seketika tubuhnya terjengkang menggabruk kedalam kamar. Tombak Pusaka itu cepat disambut sosok tubuh itu. Dan segera tercekal ditangan.
"Berhasil!" terdengar suara sosok tubuh itu berdesis. Dan tak ayal dia sudah berkelebat melompat untuk keluar dari ruangan itu.
"Bangsat licik! kembalikan tombakku.!" melengking suara si Iblis Ruyung Emas. Tubuhnya telah melompat cepat untuk mengejar... Akan tetapi sosok tubuh itu balikkan tubuhnya. Dan. Serr! tiga pisau terbang telah meluruk deras ke arah si Iblis Ruyung Emas.
"Bedebah!" memaki wanita itu. Segera dia melompat untuk menghindarkan diri dengan miringkan tubuh, dan lakukan salto keudara. Serangan itu lolos. Akan tetapi dia tak dapat menghindari serangan berikutnya. Karena baru dia jejakkan kaki kelantai, kembali membersit dua pisau terbang mengarah kedadanya. Menjerit wanita ini seketika. Dan tubuhnya menggabruk jatuh setelah terhuyung beberapa langkah kebelakang.
Sementara dengan cepat sosok tubuh ramping itu berkelebat melompat keatas tombak. Akan tetapi menjerit dia. Dan tubuh itu kembali terjatuh kebawah tembok pagar gedung. Apakah yang terjadi? Tampak dua sosok tubuh berkelebat melompat ketembok. Salah seorang berkata.
"Kena...!" Dia seorang laki-laki yang memegang busur dan anak panah dalam bumbung dibelakang punggungnya Sosok tubuh satu lagi adalah seorang wanita yang berambut panjang terurai. Dia melompat lebih dulu untuk memburu sang korban yang terjatuh. Ternyata dia Roro Centil.
"Hah!?...kau... kau Seruling Gading?" tersentak Roro ketika mengenali siapa yang telah terkena panah itu. Laki-laki berpanah itu cepat melompat kesisi Roro.
"Siapa maksudmu, nona Roro...? Apakah dia bukan si Iblis Ruyung Emas?" Tersentak laki-laki ini. Dan berdiri memandang pada sosok tubuh yang barusan dipanahnya.
"Kau telah salah membunuh orang, sobat Satryo...! dia... dia sahabatku. Ya! Dia Seruling Gading!" sahut Roro mengeluh. Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara bentakan dibelakang mereka.
"Bangsat licik! Kembalikan tombak Pusaka itu...!"
Tersentak mereka ketika menoleh, sesosok tubuh wanita yang membugil telah berada dihadapannya. Dialah si Iblis Ruyung Emas yang jadi tujuan sasaran anak panah lakilaki itu, yang tak lain dari Tumenggung Satryo. Ternyata si Iblis Ruyung Emas masih mampu untuk bangkit dan mengejar si pencuri Tombak Pusaka itu.
Kini dengan keadaan tubuh yang amat memalukan dia berdiri terhuyung dihadapan kedua orang itu. Wajahnya tampak mengerikan. Tampak dua buah belati terhunjam didadanya yang mengucurkan darah. Ketika memandang Roro, wajah wanita itu jadi semakin pucat.
"Aah... kkau... kau..." tak sempat lagi dia meneruskan kata-katanya. Karena tubuhnya segera terhuyung jatuh menggabruk ketanah. Setelah menggeliat, tubuh wanita itupun terkulai karena nyawanya telah lepas dari raganya.
Roro dan Satryo jadi saling pandang. Akan tetapi Roro cepat balikkan tubuhnya ketika mendengar keluhan dibelakangnya. Seruling Gading tampak berusaha bangkit dengan mengerang. Didadanya tertancap anak panah yang telah dl lepaskan Tumenggung Satryo. Cepat Roro memburunya. Memeluknya dan menyangga tubuhnya dipakuan.
"Seruling Gading...? Aiih, kami tak menduga akan kedatanganmu kemari. Maafkan kami adikku...!" berkata Roro dengan terharu. Air matanya telah menyembul dari sudut kelopak matanya.
"Aku yang telah memanahmu, adik...! karena kukira kau si wanita Iblis Ruyung Emas itu..." berkata Satryo seraya berjongkok menekuk lutut dihadapan Seruling Gading yang terlentang dipangkuan Roro. Dara cantik ini tersenyum, terdengar suaranya yang lemah.
"Tak apa...! Tak usah kalian sesali semua ini. Bukankah kata kakak Pendekar Roro setiap manusia tak dapat menghindari takdir? Agaknya inipun sudah menjadi takdir buatku untuk pulang kealam Baka..." Roro mengangguk-angguk. Air matanya semakin deras mengalir.
"Kakak Roro... maukah kau menyampaikan pesanku pada... pada ssua..miku?" berkata Seruling Gading dengan suara kian melemah.
"Tentu! tentu adikku...!" sahut Roro dengan isak tersendat.
"Terima kasih, kakak Pendekar...! Aku amat bahagia, karena aku telah turut ambil bagian membantu kalian untuk merebut kembali benda Pusaka Kerajaan Mataram itu. Aku berhasil membunuh si Iblis Ruyung Emas. Dia... dia adalah perempuan jahat berhati kotor...! Aku.. aku telah mengenalnya..!" berkata Seruling Gading. "Dan... aku telah berhasil pula mengambil kembali Tombak Pusaka itu! walau aku harus korbankan... nyawa..!" Roro manggut-manggut. Satryo tak bergeming. Sementara Ginanjar berdiri terpaku pada jarak tiga tombak menyaksikan semua itu dengan terlongong.
"Apakah pesanmu itu, adikku...?" bertanya Roro, "Kakak pasti akan menyampaikan pada Sambu Ruci suamimu..." bertanya Roro dengan mengguncang-guncang tubuh Seruling Gading, karena wanita ini sudah mengatupkan matanya. Dan sepasang mata yang kian sayu itu kembali membuka pelahan. Bibirnya menampakkan senyum.
"Katakan padanya... bahwa aku amat mencintainya..." ujarnya lirih. Dan kepala itupun terkulai. Pengantin baru yang tak sempat mereguk nikmatnya cinta itu telah hembuskan napasnya yang terakhir dipangkuan Roro.
Tertunduk wajah Roro dalam-dalam. Air matanya menitik membasahi wajah Seruling Gading. Bibir Roro terdengar bersuara lirih. "Aku pasti akan sampaikan pesanmu itu, adikku..!" teramat lirih suara itu bercampur isak tertahan. "Dia telah tiada..." ujar Roro seraya menengadah memandang Satryo. Roro kembali menunduk untuk mencium pipinya. Lalu gerakkan lengannya mengatupkan mata sang jenazah. Seraya berkata lirih. "Tuhan! semoga Engkau ampunkan dosanya dan menerima amal kebaikannya...!"
Suasana dicekam keheningan. Cuma suara jengkerik yang bersahutan. Saat itu Ginanjar lambat-lambat menghampiri. Keduanya menoleh. Ginanjar bagaikan orang bisu menatap pada Roro. Pada Satryo, juga pada layon (jenazah) Seruling Gading. Terakhir pada mayat si Iblis Ruyung Emas. Akan tetapi cepat-cepat dia palingkan wajahnya karena tubuh bugil itu membuat darahnya kembali berdesir.
Tersipu-sipu Ginanjar bertanya. "Ada apakah yang terjadi sebenarnya...?" ucapnya agak kaku.
Roro jadi tersenyum. "Pergilah, katakan pada pembaca! Sampai disini saja kisah dalam judul Geger Tombak Pusaka Ratu Shima...!" ucap Roro sambil tersenyum. Lalu saling pandang dengan Tumenggung Satryo. Keduanya sama-sama tersenyum.
"Haiiih! kalau sudah begini apakah aku yang linglung ataukah pendekar kita ini yang linglung...?" berkata Ginanjar sambil garuk-garuk kepala.
Sementara rembulan dilangit semakin meninggi jua. Lapat-lapat dikejauhan terdengar suara kokok ayam memanjang. Pertanda hari hampir menjelang shubuh. Tumenggung Satryo raih tombak Pusaka Ratu Shima yang tergeletak ditanah. Terdengar suaranya menghela napas. Dan setitik air bening tersembul dari sudut pelupuk matanya.
Agak lama dia termenung demikian, hingga didengarnya suara langkah mendekat dibelakang menghampiri. Dia tahu yang datang adalah anak gadis. Karena, dirumah itu tak ada siapa-siapa lagi.
"Ayah...! Sampai kapan kita akan begini terus? Apakah tak ada jalan lain selain kau bermenung setiap hari?" berkata gadis itu dengan berdiri dibelakang punggung sang ayah. Gadis yang berwajah cukup cantik ini bernama Jayeng Sari. Lengannya meraba bahu ayahnya, seraya bergerak memijit-mijit pundak laki-laki tua ini.
Sementara Ki Rangga Wulung masih belum lepaskan pandangannya keluar jendela. Tapi kali ini yang ditatapnya adalah keadaan diluar rumah. Tak lama Ki Rangga Wulung terdengar menghela nafas. Lalu bangkit berdiri dari kursinya.
"Sabarlah, anakku... dalam berdiam diri begini bukannya aku tak berpikir apa-apa. Akan tetapi aku tengah merencanakan sesuatu....! Yah, dengan diberhentikannya aku dari jabatan semakin terasa pahitnya hidup!" ujarnya seraya berpaling menatap pada sang gadis.
"Lalu... apakah rencana yang telah kau pikirkan itu, ayah?"
"Aku sudah cukup usia, anakku. Jadi wajar kalau aku diberhentikan dari jabatanku. Aku tak memikirkan apa-apa lagi dengan diriku. Akan tetapi yang kupikirkan kini adalah kau!" menyahut Ki Rangga Wulung.
"Aku?" tukas Jayeng Sari dengan agak terkejut.
"Ya! kau sudah cukup dewasa. Bahkan sudah teramat dewasa! Kau perlu segera menikah, agar ada yang merawatmu!" ujar Ki Rangga Wulung dengan suara tegas.
Akan tetapi Jayeng Sari menyahut dengan cepat. "Aku belum mau menikah, ayah...!"
"Mengapa?" tanya Ki Rangga Wulung. Alisnya bergerak naik, menampakkan kerut-kerut didahinya. Terheran orang tua ini. Tapi yang ditanya cuma berdiam diri, menatap keluar jendela. Wajahnya tampak kaku. Seperti enggan memberikan jawaban pada ayahnya. Akhirnya kembali Ki Rangga Wulung yang membuka mulut untuk bicara.
"Aneh, kau ini....!" ujarnya. "Laki-laki bernama Satryo yang menggantikan kedudukanku sebagai Tumenggung itu cukup simpatik. Dia memang pernah punya istri. Tapi telah lama menduda. Ketika dia kemari menyambangiku sebelum menerima jabatan Tumenggung dari Baginda Raja, kunilai dia seorang yang balk. Simpatik, dan berwibawa. Bukankah dia ada bercakap-cakap dengan kau?"
"Hm, jadi ayah akan menjodohkan aku dengan dia?" potong Jayeng Sari. "Maaf ayah, aku tak dapat menerimanya. Seperti kukatakan tadi aku belum mau menikah dengan siapa saja!" ujar Jayeng Sari. "Bahkan.... aku aku amat membencinya!" sambungnya lagi.
"Jayeng Sari... waraskah otakmu?" terkejut Ki Rangga Wulung mendengar kata-kata anak gadisnya itu.
"Otakku masih waras, ayah! Aku tak sudi bersuamikan laki-laki seperti itu. Apa cuma dia laki-laki didunia ini...? Aku dapat menentukan siapa jodohku dan calon suamiku kelak! Akan tetapi bukan dia!" sambut Jayeng Sari dengan celotehnya yang tegas.
"Baik! baik, kalau itu yang kau maui, akan tetapi apa yang membuat kau membencinya?" berkata Ki Rangga Wulung.
Akan tetapi Jayeng Sari tak menjawab. Tapi kemudian. "Ayah, hal itu adalah urusan pribadiku. Membenci saja kukira tidaklah berdosa kalau tidak mendendam. Kuharap ayah tak mempertanyakan hal itu.!"
Selesai berucap, Jayeng Sari kembali masuk keruang dalam. Memasuki kamarnya dan mengunci pintu Dan luar kamar, Ki Rangga Wulung mendengar suara isak tersendat anak gadisnya. Dia berdiri dipintu kamar. Keningnya berkerut. Lengannya bergerak mengeluk pintu. Seraya panggilnya.
"Sari...! Jayeng Sari...! Bukalah pintu, anakku...!"
Suara isak itu mendadak lenyap. Namun setelah ditunggu sekian lama pintu tetap tak dibuka. Ki Rangga Wulung tahu kalau anak gadisnya tak mau membukanya. Dia masih marah, dan dia tahu kalau hati Jayeng Sari telah tersinggung dengan niat baiknya itu. Setelah merenung sejenak Ki Rangga Wulung segera beranjak meninggalkan pintu kamar Jayeng Sari. Terdengar lagi suara helaan napasnya.
Malam itu keadaan diluar gedung Ki Rangga Wulung nampak sunyi senyap. Akan tetapi ruangan depan gedung masih tampak terang dengan lampu gantung berukir yang terdapat diruangan itu. Suasana sepi di Gedung itu semakin terasa oleh Ki Rangga Wulung yang duduk menyandar dikursinya. Alam pikirannya kembali menerawang kemasa yang silam. Masa jayanya, dimana dia masih berusia tiga puluh tahun. Akan tetapi masa itu adalah masa yang penuh dengan bermacam peristiwa kehidupan dan kemelut rumah tangga.
Dia bukanlah seorang suami yang baik. Diakuinya dia sering menyeleweng pada wanita-wanita penjaja cinta. Itu dikarenakan sang istri tak pernah mempunyai keturunan. Pertengkaran sering terjadi dalam rumah gedung itu. Dan bila hal itu terjadi, dia harus segera menyingkir pergi untuk melampiaskan perasaan kesalnya pada wanita-wanita penghibur. Atau minum arak sampai mabuk. Walau demikian dia tetap menjalankan tugas dengan baik sebagai seorang Tumenggung Kerajaan Mataram.
Hingga akhirnya meletus pula "perang kecil" dalam rumah tangganya. Sang istri memutuskan untuk berpisah. Rangga Wulung tak dapat menahan lagi keinginan istrinya untuk itu. Dan perpisahanpun terjadi. Akhirnya dia menikah lagi. Dan dikaruniai seorang anak perempuan. Dialah Jayeng Sari. Namun sang istri telah meninggalkannya terlebih dulu sebelum Jayeng Sari dewasa. Dan dia hidup menduda hingga sampai saat diberhentikannya dia dari jabatan tumenggung Kerajaan Mataram.
Dalam masa-masa sepi demikian, laki-laki tua Ini ternyata telah membayangkan kehadiran istrinya yang pertama. Betapa dia memang masih amat mencintai Nyi Sekar. Dan ada hasrat dia untuk mencarinya. Rupanya hal itu agak mengganggu pikiran Ki Rangga Wulung. Hingga dia segera kecilkan lampu depan. Berjingkat-jingkat Ki Rangga Wulung mendekati kamar anak gadisnya.
Dari lubang kunci dia mengintip kedalam. Jayeng Sari ternyata telah tidur. Niatnya untuk keluar rumah jadi gagal, karena kain selimut sang anak gadis telah menyingkap hingga menampakkan bagian tubuh gadis itu dalam keremangan cahaya lampu kamar.
Tampak wajah laki-laki tua ini berubah tegang. Sekian lama dia hidup berdua dengan anak gadisnya tak disadari kalau Jayeng Sari telah dewasa dan semakin cantik. Entah mengapa dia tak mau menikah cepat-cepat? pikirnya. Padahal dia amat penuju dengan Satryo si Tumenggung Muda yang menggantikan kedudukannya itu. Wajah sang ayah ini menampakkan kegelisahannya. Entah berapa kali dia mondar-mandir didepan pintu kamar anak gadisnya.
Sebentar-sebentar berhenti didepan pintu untuk kembali mengintip dari celah lubang kunci. Akhirnya dengan tangan gemetar dia membuka pintu kamar dengan perlahan. Ternyata pintu tak terkunci. Rupanya Jayeng Sari lupa menguncinya Rasa lelah dan banyak memikir membuat gadis itu tertidur agak cepat. Lengan tua itu mulai terulur untuk meraba. Dan menyingkapkan apa yang sudah tersingkap itu semakin lebar. Gadis itu menggeliat. Dan dia terkejut dengan mata membelalak. Sang ayah telah berada dipembaringannya dengan mata membinar dan napas memburu.
"Ayah...!? Ada apakah...? Mengapa kau masuk kekamarku ?" sentak Jayeng Sari. Seraya beringsut mundur kesudut pembaringan. Lengannya bergerak menyambar kain selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Sari...! Sari, aku.... aku...”
"Ayah! kelakuanmu tak pantas! Sa...sadarlah ayah!" membentak Jayeng Sari. Dari sikap ayahnya tahulah dia apa yang telah terjadi. Dan apa yang akan dilakukan ayahnya. Akan tetapi cepat sekali tubuh Ki Rangga Wulung melompat menerkamnya.
"Tidak! tidak...! jangan ayah! kau, kau...telah gila! Lepaskan aku!"
"Sari....! Aku tahu kau kesepian! Aku tahu kau mendambakan laki-laki! Kalau kau tak mau menikah, mengapa kau menolak....? berilah aku kesempatan. Sekali ini saja....! ya! cuma sekali...." berkata Ki Rangga Wulung dengan suara tergetar.
"Ayah! apakah kau tak takut kutukan Tuhan? sadarlah! aku anakmu! Darah dagingmu !" berkata Jayeng Sari menyadarkan ayahnya.
Akan tetapi... "Sari! kalau kau tak menuruti kemauanku, lihatlah lebih baik kau kubunuh! Ya! kau akan kubunuh...!" ancam Ki Rangga Wulung yang sudah kerasukan setan. Jari-jari lengannya bergerak ke leher Jayeng Sari untuk mencekik.
"Ayah...!? Oh, ja...jangan ayah...! ampun! ampunkan aku ayah! hk...hk...hk..jangan ayah! ja jangan..." Pucat pias wajah Jayeng Sari.
Akhirnya dia cuma menyerah. Dia tak berdaya lagi. Sekujur tubuhnya lemah lunglai. Dan dia tak mampu berbuat apa apa ketika dengan tersenyum menyeringai sang ayah mulai melolosi pakaiannya. Lalu melepaskan pula pakaiannya sendiri. Akan tetapi tiba-tiba Jayeng Sari yang telah katupkan sepasang matanya dengan simbahan air mata itu, membuka lagi matanya.
"Ayah! kalau kau mau lakukan, lakukanlah...! Akan tetapi ketahuilah, perbuatanmu adalah terkutuk! Dan aku tak mau menanggung dosanya...!" ucap gadis ini dengan tandas. Dia telah berusaha menahan segala perasaannya, menghadapi kenekatan sang ayah yang telah kerasukan setan itu.
"Ba...baik! baik! aku yang akan menanggung dosanya!" menyahut laki-laki tua. Dan... selesai berkata, dia telah menindih tubuh anak gadisnya. Dan terjadilah apa yang sebenarnya tak boleh terjadi! Manusia yang beriman lemah apapun bisa saja dilakukan, kalau setan telah merasuki hati dan jiwanya.
Malam semakin kelam! Desah angin diluar gedung bagaikan ribuan iblis yang tertawa. Hitamnya malam ternyata lebih hitam lagi ruangan kamar tempat terjadinya perbuatan terkutuk itu.
DUA
SESOSOK TUBUH tegak berdiri didepan pintu kamar yang tak tertutup itu. Dilengannya tercekal sebuah tombak. Dan sebuah buntalan besar berada pula dicekalan tangan kirinya. Buntalan besar itu diletakkan didepan pintu. Dan sosok tubuh itu berkelebat lenyap...
Perbuatan terkutuk itupun berlanjut terus tanpa ada hambatan. Suara desah napas yang membaur dengan rintihan kecil seperti sirna ditelan lengangnya malam. Manakala Ki Rangga Wulung perdengarkan lenguhannya. Dan hempaskan tubuhnya kesisi pembaringan dengan napas tersengal.
Selang sesaat, Ki Rangga Wulung bangkit untuk duduk. Lengannya mencengkeram rambutnya yang awut-awutan. Sementara si gadis bernama Jayeng Sari menelungkup, menekap kepalanya dengan bantal. Tenggelam dengan sedu sedan yang hampir tak terdengar. Tiba-tiba sepasang mata Ki Rangga Wulung membelalak lebar. Karena terpandang buntalan besar didepan pintu kamar. Dengan heran, disambarnya kain selimut untuk penutup tubuh dan dia beranjak menghampiri.
"Siapa yang meletakkan disini...?" berkata dia dalam hati. "Aneh...?" desisnya pelahan. Rasa penasaran membuat dia ulurkan kepala untuk melihat keluar kamar, tapi tak ada bayangan sosok tubuhpun. Pintu depan masih tertutup rapat. Akhirnya diseretnya buntalan itu ke dekat pembaringan. Dan, dia segera buka ikatannya untuk melihat apa isi buntalan itu.
Seketika membelalak sepasang mata laki-laki tua itu. Karena yang berada dalam buntalan tak lain dari bermacam senjata dan beberapa kotak perhiasan. "Ah, apakah tak salah mataku? Ini...ini benda-benda Pusaka Kerajaan!"
Mendadak tubuh Ki Tumenggung bergetaran. Sementara lengannya membinar, ketika membuka isi kotak berukir itu benar seperti dugaannya adalah berisi perhiasan dari berbagai macam, dari emas. Juga terdapat kepingan-kepingan uang emas. Tiba-tiba meledaklah tertawanya, gelak-gelak. Dan dia sudah membangunkan anak gadisnya. Mengguncang-guncang punggungnya.
"Hahahaha... hahaha... Sari! Sari! Lihatlah, kita...kita kaya raya! Lihat perhiasan-perhiasan ini! Kita akan kaya! Hahaha... hahaha..."
Diguncang-guncangkan demikian, dan suara kata-kata aneh yang didengarnya, membuat Jayeng Sari terhenti dari sedu sedannya. Dan sepasang mata Jayeng Sari jadi membelalak ketika melihat sang ayah tengah memperlihatkan uang emas dan bermacam perhiasan dihadapannya.
"Kau lihatlah, Sari...! kita akan kaya...! Kita telah kejatuhan rejeki yang jatuh dari langit!" ujar sang ayah.
Semakin membelalak lebar mata Jayeng Sari ketika ayahnya mengangkat buntalan besar, dari bawah pembaringan. Meletakkannya diatas tempat tidur, lalu menghamburkan isinya. "Hah!? dari mana kau dapatkan benda-benda dalam buntalan ini?" berkata Jayeng Sari dengan wajah pucat.
"Hehehe... tak perlu tanya-tanya! Segera kemasilah pakaianmu! Lalu siapkan kuda. Kita pergi dari sini!" berkata Ki Rangga Wulung.
"Ayah! apakah ini bukan benda-benda pusaka Kerajaan Mataram yang kudengar lenyap dicuri oleh bekas Senapati bernama Wira Pati itu....?"
Akan tetapi sebelum Ki Rangga menjawab sebuah bayangan berkelebat memasuki kamar. Dan satu suara menyahuti, dibelakang Ki Rangga Wulung. "Benar! Ini memang harta benda milik Kerajaan Mataram. Dan, akulah pencurinya....!"
Tentu membuat Ki Rangga Wulung terkejut, dan cepat balikkan tubuhnya. Tapi... Jrosss! Terhenyak laki-laki bekas Tumenggung ini. Sepasang matanya membeliak. Karena tahu-tahu sebatang Tombak telah terhunjam menembus lambungnya. Hal kejadian itu demikian cepat. Hingga Jayeng Sari cuma bisa terperangarah dengan mata membeliak dan mulut terperangah.
"Kakk...k...kau...Wi....ra....pp...Patt..i...ii...?" Terdengar suara Ki Rangga Wulung terputus-putus.
"Hahaha....benar! Nah, berangkatlah kau ke Akhirat, Rangga Wulung! Kukira kau bisa diajak kerja sama. Anak gadismu ku kepingini, kau tolak. Tak tahunya kau "makan" sendiri! Dasar tua bangka rakus!" berkata laki-laki itu seraya menyentakkan tombaknya.
Dan terdengar jeritan parau Ki Rangga Wulung. Tubuhnya terlempar membentur tembok. Lalu menggabruk dilantai. Darah memuncrat. Memercik diruangan kamar itu. Diiringi pekik histeris Jayeng Sari, laki-laki bekas Tumenggung itu menggeliat. Lalu terkulai dengan melepaskan nyawanya. Darah menggelogok dari luka lebar yang menoreh isi perutnya. Bercampur isi perut yang berhamburan.
"Ayaah...!? ayah....!" memekik Jayeng Sari dengan wajah pucat. Akan tetapi dia cuma berdiri mematung memandang pada ayahnya dan laki-laki itu berganti-ganti. "Kau....kau...mengapa membunuh dia? Mengapa...?" teriak wanita muda ini dengan mata membelalak. Sementara lengannya menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Hahaha...! Dia sudah pantas masuk kubur! Dan, kau....? hm, rupanya dari pada menerima lamaranku setahun yang lalu rupanya lebih senang disunting ayahmu sendiri yang sudah tidak waras ini! Hahaha...dunia memang sudah edan!" tertawa Wira Pati dengan menghamburkan kata-kata tajam.
"Wira Pati apakah kau anggap dirimu juga bukan manusia bejat? Kau sama saja dengan ayahku! Dan aku amat yakin kalau perbuatan ayah adalah akibat terpengaruh oleh kelakuan burukmu. Karena ayah bersahabat denganmu!"
"Hm, jangan membawa-bawa aku! Perbuatan ayahmu tak ada sangkut-pautnya dengan diriku!" berkata dingin Wira Pati. Tiba-tiba pancaran matanya membinar menjalari liku-liku tubuh Jayeng Sari. Wira Pati beranjak menghampiri. Jayeng Sari beringsut mundur. Wajahnya tampak berubah pias. Dari tatapan mata laki-laki berusia hampir setengah abad itu, dia telah tahu akan apa yang bakal dilakukan manusia ini.
"Hm, setelah kau ternoda begini apakah kau masih juga menolak keinginanku?" berkata Wira Pati dengan wajah sinis, dan tertawa menyeringai. Kakinya terus melangkah mendekati Jayeng Sari yang telah merapatkan tubuh di sudut dinding, tak berkutik.
"Pilih antara dua! Apakah kau mau cepat-cepat menyusul ayahmu ke alam Baka ataukah mau melayaniku secara baik-baik...?" ancam Wira Pati. Ujung tombaknya yang masih berlumuran darah itu terangkat untuk diarahkan ke dada wanita muda itu.
Tergetar tubuh Jayeng Sari. Sepasang matanya membeliak menatap ujung mata tombak. "Aku...aku akan melayanimu, Raden.... tapi, tidak ditempat ini. Aku... aku ngeri melihat jenazah ayah..." menyahut Jayeng Sari dengan napas tersengal.
"Hmm...." Wira Pati palingkan wajahnya untuk menatap pada mayat Ki Rangga Wulung. Lalu palingkan lagi pada Jayeng Sari. "Baik! kau kemasilah benda-benda ini! Malam ini juga kau harus turut denganku. Hahaha. setelah selesai urusan kita tentunya!" berkata dia. "Nah! cepat kerjakan!" bentaknya dengan halus. Lalu menggeser tubuh untuk memberi jalan pada Jayeng Sari.
"Ba..ba..baik Raden!" menyahut Jayeng Sari. Lalu segera turuti perintah Wira Pati. Sementara hati wanita ini tak menentu. Sedih, gusar menjadi satu menindih dadanya. Selesai wanita muda itu membungkus lagi benda-benda itu dalam buntalan, Wira Pati perintahkan Jayeng Sari keluar ruangan, Dan....Bruk! pintu kamar itu segera ditutup rapat Wira Pati.
"Ke arah sana!" berkata Wira Pati dengan menunjuk dengan tombaknya! Jayeng Sari mengangguk. Lalu dengan tubuh terhuyung melangkahkan kakinya menuju ruangan dalam. Dia tahu ke arah tempat itu adalah ke arah kamar ayahnya.
"Ayo! buka pintu kamar itu. Kita bermalam sejenak! Menjelang pagi dinihari sebentar lagi kita harus sudah tinggalkan desa ini!"
"Ya... baik, Raden..!" Menyahut Jayeng Sari. Lalu membuka pintu kamar. Dan melangkah masuk. Diikuti Wira Pati. Keadaan diluar gedung masih sunyi seperti tadi. Semua kejadian tak seorangpun dari penduduk itu yang mengetahui.
Dan, pada malam yang penuh peristiwa itu, Jayeng Sari lagi-lagi harus menerima kenyataan pahit. Menuruti kemauan iblis Wira Pati untuk memberikan kehangatan tubuhnya pada laki-laki buronan Kerajaan Mataram itu.
Wira Pati sang buronan Kerajaan Mataram itu terkapar kelelahan. Dengkurnya terdengar memenuhi ruangan. Laki-laki yang telah melampiaskan keperkasaannya itu tampaknya amat kelelahan setelah banyak perjalanan dia lakukan demi meloloskan diri dari kejaran orang-orang Kerajaan.
Kini dia terlena pulas dengan tidur mendengkur. Sebelah lengannya menempel diatas perut wanita disebelahnya. Tidurkah wanita anak Ki Rangga Wulung itu? Tidak! Jayeng Sari masih belalakkan matanya. Mata yang telah berkaca-kaca karena nasib telah menyeretnya hingga bermacam kejadian, menimpanya. Wajahnya yang cantik itu kini telah dilumuri dengan simbahan air mata dipipinya. Seakan tertegun dia menatap langit-langit kamar, menerangi diri yang bernasib buruk.
Sesaat seperti tersadar dia, ketika mendengar suara dengkur Wira Pati. Dan tercekatlah hatinya untuk bisa meloloskan diri dari cengkeraman laki-laki buronan Kerajaan itu. Pelahan dia bangkit. Setelah mengangkat dengan hati-hati tangan Wira Pati yang memeluknya. Laki-laki itu ternyata benar-benar pulas. Jayeng Sari menggeser tubuhnya untuk turun dari pembaringan. Dia berhasil. Wira Pati tetap tak bergerak dari posisi tidurnya.
Degup-degup jantung wanita itu semakin cepat. Sementara dia tak berayal untuk segera merapihkan pakaiannya. Lalu setelah meneliti keadaan Wira Pati, dengan pelahan dan berjingkat-jingkat segera beranjak mendekati pintu kamar. Membukanya dengan pelahan sekali. Dan dia menarik napas lega, setelah berada diluar kamar. Ditutupnya lagi pintu kamar itu. Keringat dingin tampak membasah disekujur tubuh. Setelah mengatur napas, dan detak jantungnya agak mereda. Barulah Jayeng Sari bergegas keluar dari dalam gedung itu.
Dia harus cepat kalau tak ingin jadi korban ketelengasan laki-laki yang telah mengancam akan membunuhnya itu, bila dia melarikan diri. Namun segalanya memang menggembirakan. Tak ada bahaya apa-apa. Suasana dalam gedung itu masih tetap seperti tadi. Dan suara dengkur laki-laki buronan Kerajaan Itu masih terdengar samar-samar.
Jayeng Sari membuka pintu belakang gedungnya. Dan dari ruangan dapur itu, dia berkelebat lari menembus kepekatan malam. Sesaat tubuhnya sudah lenyap ditelan gelapnya malam yang sial itu. Suara burung hantu terdengar seperti mengantarkan kepergiannya meninggalkan tempat itu.
* * * * * * *
TIGA
Esok harinya... Seorang laki-laki berbaju putih dari kain kasar. Bercelana pangsi warna abu-abu tampak berjalan bergegas menghampiri kerumunan orang. Dipinggangnya tersoren sebilah pedang. Dialah Ginanjar adanya. Sementara dibelakang pemuda itu terlihat beberapa ekor kuda melintasi pula jalan itu. Ternyata rombongan orang-orang Kadipaten. Seorang laki-laki tua yang berada dibagian depan adalah Adipati Kiduling Kuto. Lima penunggang kuda dibelakangnya adalah para pengawalnya.
Ginanjar segera menyingkir untuk memberi jalan, Ketika rombongan itu tiba ditempat kejadian, kerumunan orang itupun segera menyibak bubar. Semua mata tertuju pada para penunggang kuda. Mengetahui kalau yang datang adalah Adipati Kiduling Kuto, mereka menghaturkan sembah.
"Selamat datang kanjeng Adipati..."
"Selamat datang Gusti Adipati..!" beberapa orang membuka suara.
Adipati Kiduling Kuto hentikan kudanya. Matanya menyapu pandangan semua orang yang menunduk dihadapannya. Lalu menatap pada sosok tubuh yang terbujur ditanah itu. Sesosok tubuh wanita yang sudah menjadi mayat. "Apakah kalian mengetahui siapakah mayat perempuan itu?" tanya sang Adipati.
"Ampun Gusti, hamba mengenalnya. Dia puteri Ki Rangga Wulung!" menyahut salah seorang dihadapannya.
"AnebisMengapa bisa berada ditempat ini? Apakah kalian mengetahui siapa yang telah membunuhnya?" tanya lagi Adipati Kiduling Kuto dengan sapukan pandangannya pada beberapa orang.
Sementara Ginanjar telah berada pula dikerumunan orang itu. Matanya menatap pada perempuan yang terbujur kaku itu. Sebuah belati tampak jelas terhunjam didadanya. Salah seorang dari kerumunan orang itu tiba-tiba menyeruak keluar, menghampiri ke hadapan Adipati Kiduling Kuto. Seraya menyembah, laki-laki itu berkata.
"Ampun, Gusti.! Nama hamba Wiryo Jembluk. Hamba tadi malam bertugas meronda. Jelas sekali hamba melihat sebelum menjelang shubuh, sesosok tubuh berlari-lari ke arah tengah desa. Merasa curiga kami yang meronda bertiga segera mengejarnya. Ternyata perempuan itu adalah Nyi Jayeng Sari. Puteri Ki Rangga Wulung. Lalu hamba menanyai..."
"Aku tanyakan siapakah yang telah membunuhnya! apakah kau mengetahui?" membentak Adipati Kiduling Kuto. "Aku tak menanyakan macam-macam!" sambungnya.
Dibentak demikian si laki-laki bernama Wiryo Jembluk ini jadi gelagapan. "Ya...! Yya.. Gusti. hamba...hamba.." belum lagi habis kata-katanya tiba-tiba laki-laki itu menjerit keras dan roboh terjungkal. Ternyata dadanya telah tertembus sebuah belati kecil. Sesaat setelah berkelojotan, Wiryo Jembluk terkapar tak berkutik, karena nyawanya telah melayang. Pucatlah wajah semua orang. Juga wajah Adipati Kiduling Kuto.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat diantara kerumunan orang. Ginanjar tersentak kaget. Dia lihat jelas laki-laki itu yang telah menyambitkan pisau belati itu ke arah Wiryo Jembluk.
"Dia pembunuhnya...! he! jangan lari!!" membentak pemuda ini. Tubuhnya berkelebat. Dan dengan gerakan salto diudara setinggi lima tombak, tubuh Ginanjar melewati kepala-kepala orang. Dilain kejap dia sudah berada dihadapan laki-laki yang mau melarikan diri itu.
Set! Set!
Dua pisau belati meluncur ke arah leher dan dada Ginanjar yang dilontarkan laki-laki Itu. Namun Ginanjar berhasil mengelakkan diri dengan gerakan lincah. Dan...Buk...! Lengannya telah menghantam dada orang. Pukulan itu tak terlalu keras, akan tetapi membuat laki-laki pembunuh itu terdorong mundur hingga jatuh terjengkang.
Ginanjar tak berlaku ayal untuk cepat melompat. Lengannya sudah bergerak untuk mengirimkan totokannya. Dia berpendapat harus meringkus laki-laki itu tanpa harus membunuhnya. Akan tetapi tiba-tiba sebatang anak panah telah mendahuluinya menembus dada laki-laki itu, yang jadi menggeliat sejenak. Setelah mengerang, lalu terguling tak berkutik. Tewas seketika.
"Bagus! Kau amat cekatan anak muda! manusia pembunuh ini memang pantas mampus!" terdengar suara berkata. Ternyata Adipati Kiduling Kuto telah berada dihadapannya bersama seorang pengawalnya yang membawa busur dan anak panah.
Ginanjar cepat-cepat menghaturkan hormat. Diam-diam hatinya membathin. "Hebat! tak dinyana Adipati ini punya gerakan hebat. Juga pengawalnya..." Ginanjar memang telah melihat jelas kedua orang Kadipaten itu melompat dari punggung kuda masing-masing. Si pengawal bersenjata panah itu telah mencabut sebatang anak panah dan melemparkannya untuk membunuh laki-laki itu tanpa menggunakan busur lagi.
"Terima kasih atas pujian anda Adipati...! Akan tetapi sayang, mengapa dia dibunuh?" berkata Ginanjar.
"Apakah maksud anda, sobat? Dan, siapa anda! Melihat dari caramu bicara kau pasti orang Rimba Hijau. Silahkan perkenalkan nama dan julukanmu!" Berkata pengawal Adipati itu dengan suara lantang.
Ginanjar menatap pada Adipati Kiduling Kuto. Laki-laki tua itu mengangguk seraya berkata. "Benar! Coba kau ungkapkan maksud anda, anak muda. Dan akupun ingin mengetahui siapa anda gerangan. Tentunya seorang pendekar dari pihak golongan Putih, yang berada dipihak Kerajaan...!"
"Ah, hamba hanya seorang pendekar picisan yang tak berguna, Adipati! Namaku Ginanjar. Dan julukanku...ngng... aku tak punya julukan!" menyahut Ginanjar dengan suara datar merendah. Dia sudah mau sebutkan dirinya berjulukan si Dewa Linglung. Akan tetapi merasa julukan itu tak sesuai lagi dengan keadaan dirinya yang sudah kembali waras.
Adipati Kiduling Kuto manggut-manggut. "Nah, sekarang jelaskan maksud kata-katamu. Mengapa kau mencegah orangku membunuhnya?"
Ginanjar tersenyum, seraya menyahut. "Maksudku demikian, Adipati. Kalau orang ini tak dibunuh, kita bisa menanyai. Atau memaksanya bicara. Hamba berpendapat kalau dia pulalah yang telah melakukan pembunuhan terhadap anak gadis Ki Rangga Wulung itu. Akan tetapi bukan mustahil kalau dia hanya suruhan orang lain. Nah, kita bisa menanyai siapa gerangan orang yang berada dibelakangnya...!" tutur Ginanjar.
Sejenak tercenung Adipati ini. Sementara sang pengawal menatap berganti-ganti pada atasannya dan Ginanjar dengan wajah kaku. Apakah tindakannya akan disalahkan ataukah dibenarkan oleh sang Adipati. Tampak kemudian Adipati Kiduling Kuto manggutmanggut seraya mengelus jenggotnya. Lalu berkata. "Haih! pendapatmu benar, anak muda! Ya! kau telah bertindak salah, Hambali! akan tetapi kejadian ini sudah terlanjur...!"
"Lalu apakah selanjutnya yang akan kita lakukan Gusti Adipati?" tanya Hambali. Wajahnya tampak berubah merah. Tampaknya laki-laki ini agak mendongkol juga terhadap Ginanjar yang membuat dia dipersalahkan oleh Adipati.
Untung sang Adipati tak memperpanjang urusan. "Hm, pergilah empat orang dari kalian ketempat tinggal Ki Rangga Wulung! Periksa keadaan didalam rumahnya!" perintah Adipati.
"Daulat, kanjeng Gusti Adipati!" menyahut Hambali. Dan selanjutnya memberi isyarat pada keempat kawannya, yang telah berdatangan. Salah seorang kawan pengawal itu membawakan pula kudanya. Lalu, setelah melompat keatas kuda, bergegas empat orang pengawal Kadipaten itu memacu kuda masing-masing untuk meninggalkan tempat itu. Dengan tujuan ke arah tempat kediaman Ki Rangga Wulung. Ginanjar menatap kepergiannya. Sang Adipati mendekati Ginanjar menepuk pundaknya.
"Anak muda, tampaknya kau bisa diajak bekerja sama! Marl ketempat kediamanku...! Urusan ini kita serahkan saja pada keempat pengawalku! Kita kembali ke Kadipaten!"
"Ah, kalau hamba diajak singgah, mana mungkin kutolak? Terima kasih Adipati...!" menyahut Ginanjar.
Sang Adipati melompat kepunggung kuda yang dibawakan oleh seorang dari pengawal yang tak turut serta. Lalu beri isyarat pada pengawal itu untuk berikan kudanya pada Ginanjar. Tak lama dua ekor kuda sudah mencongklang pelahan meninggalkan kerumunan ditempat itu. Pengawal yang seorang diperintahkan menunggu kawan-kawannya ditempat itu, sekalian mengurus jenazah wanita anak gadis Ki Rangga Wulung itu untuk dikuburkan sebagaimana mestinya.
"Bila tak ada kejadian apa-apa dikediaman Ki Rangga Wulung ataupun ada terjadi peristiwa, kau katakan pada keempat pengawal kawanmu untuk segera menghadapku di Kadipaten!" teriak Adipati Kiduling Kuto sesaat ketika dia hentikan kudanya dan membalik ke arah pengawalnya.
"Daulat kanjeng Gusti Adipati. Perintah akan hamba laksanakan!" menyahut pengawal ini. Tak lama dia cuma menatap punggung kedua orang itu hingga lenyap meninggalkan debu mengepul.
"Heh! pemuda bernama Ginanjar itu jangan-jangan bisa menggeser kedudukanku di Kadipaten. Tampaknya Adipati amat berkenan melihatnya!" gumam pengawal ini. Dan dengan bersungut-sungut segera dia perintahkan orang berkerumun itu bubar. Beberapa orang laki-laki diperintahkan menggali lubang untuk mengubur jenazah perempuan itu.
Matahari mulai merayap naik. Tampak kesibukan ditempat itu dari para penduduk yang menjalankan perintah menggali kubur. Sementara si pengawal Kadipaten itu cuma duduk di bawah pohon dengan bertopang dagu. Seolah seribu kemelut membentang dalam benaknya. Sikap Adipati pada Ginanjar itu membuat dia takut tergeser sebagai orang-orang kepercayaan dan andalan sang junjungannya.
* * * * * * *
EMPAT
"Ampun Gusti Adipati! Hamba melaporkan. Keadaan di rumah kediaman Ki Rangga Wulung tak dapat hamba ceritakan. Segeralah gusti Adipati melihatnya sendiri..." melapor salah satu dari keempat pengawal Kadipaten. Dialah Hambali.
"Hm, mengapa demikian?" bertanya Adipati Kiduling Kuto. Keningnya berkerut, dan alisnya naik terjungkat. Ginanjar yang sedang duduk bercakap-cakap dengan Adipati ini juga terheran mendengar laporan itu.
"Ampun Gusti Adipati. Terlalu berat mengatakannya, karena hal ini adalah sesuatu yang diluar dugaan. Dan hanya gusti Adipati sendirilah yang berhak melihatnya. Tiga orang kawan kami masih berada disana...!" berkata lagi pengawal bernama Hambali itu. Setelah termenung sejurus, laki-laki Adipati ini berpaling pada Ginanjar.
"Sobat Ginanjar, mari kita melihatnya. Kukira pasti ada kejadian yang luar biasa...!"
Ginanjar mengangguk. "Hamba tak keberatan, Adipati...!" ujar pemuda ini. Nah, Hambali segeralah kau siapkan kudaku. Juga kuda buat tetamuku sobat Ginanjar ini!"
"Daulat, Gusti, perintah akan hamba laksanakan...!" menyahut Hambali. Lalu setelah meminta diri, segera beranjak keluar dari pendopo. Tak lama diluar sudah tersedia dua ekor kuda.
"Mari sobat Ginanjar...!" ajak Adipati Kiduling Kuto. Dan dia melompat terlebih dulu kepunggung kudanya. Ginanjar mengikuti. Tak lama kedua kuda telah mencongklang cepat keluar halaman gedung Kadipaten. Hambali memandang disebelah dua orang pengawal Kadipaten, hingga kedua kuda itu lenyap ditikungan jalan.
Diatas kuda, Adipati Kiduling Kuto berkata. "Sobat Ginanjar! Anak buahku teramat patuh padaku! Lihatlah! Untuk satu hal yang amat besar, dia tak mau melancangi melapor, kecuali menitahkan aku sendiri melihat kejadian. Tampaknya hal ini bukan hal biasa! Karena dia takut kesalahan bicara...!"
Ginanjar kerutkan aliasnya. "Ada kejadian apakah sebenarnya, dirumah kediaman Ki Rangga Wulung itu?" berkata Ginanjar dalam hati. Akan tetapi dia cuma manggut-manggut tanpa memberikan komentar pada Adipati Kiduling Kuto.
Tak lama mereka sudah berada dihalaman sebuah rumah gedung model lama yang tampak diluar dijaga oleh tiga orang pengawal berkuda. Ketika melihat Adipati muncul bersama Ginanjar, mereka seperti agak terkejut melihat pemuda itu. Tapi segera turun dari kudanya, seraya menyembah hormat.
"Syukurlah Gusti Adipati berkenan datang melihat sendiri keadaan didalam. Hamba takut melancangi kanjeng Gusti...!"
Akan tetapi sambil berkata mata laki-laki yang bicara ini menatap pada Ginanjar dengan sorot mata tajam. Begitu pula kedua kawannya.
"Hm, kalian tak usah curiga padanya. Dia orang sendiri...!" berkata Adipati.
Ginanjar yang tahu diri segera menjura hormat pada ketiganya.
"Mari, sobatku! kita lihat keadaan didalam. Apakah gerangan yang telah terjadi...?"
Ginanjar mengangguk. Sementara ketiga pengawal cuma menunduk, setelah mempersilahkan Adipati Kiduling Kuto untuk menindak masuk. Didepan gedung keduanya hentikan kuda. Setelah menambatkan kudanya, Adipati melangkah lebar memasuki ruangan dalam gedung Ki Rangga Wulung yang bekas Tumenggung itu. Ginanjar mengikutinya dari belakang.
Sementara dua dari pengawal Kadipaten itu mengikutinya dibelakang Ginanjar. Satu persatu ruangan diperiksa. Ketika melihat pintu kamar terbuka dan bau mayat menyerang hidung membuat Adipati ini tampak berubah wajahnya.
"Hm, pasti ada yang tidak beres!" berbisik dia pada Ginanjar. Dan segera terpampang dihadapan mereka, sesosok tubuh yang telah jadi mayat terkapar diruangan kamar. Sosok tubuh dari Ki Rangga Wulung, yang tewas dengan isi perut robek. Ususnya terburai keluar.
"Ah...!?" tersentak Ginanjar.
Adipati inipun kelihatan berubah kaget wajahnya. "Haiiih! inikah kejadian yang tak mau dilaporkan itu?" berkata Adipati. "Lagi-lagi pembunuhan! siapakah bangsat tengik yang telah melenyapkan nyawa bekas Tumenggung Kerajaan ini...?" Menggetar suara Adipati.
"Benar, Gusti Adipati. Akan tetapi bukan ini saja!" menyahut pengawal yang dibelakang Ginanjar.
"Hm, mari kita periksa ruangan lain..!" berkata Adipati Kiduling Kuto. Lalu beranjak melangkah kelain ruangan. Dan ketika membuka sebuah pintu kamar yang memang sudah setengah terbuka pintunya. Segera terpampang lagi sebuah pemandangan menyeramkan. Hal ini bukan saja membuat Ginanjar terkejut, akan tetapi sang Adipati ini juga belalakkan matanya. Mulutnya ternganga dengan berteriak kaget.
"Hah!? dia..dia si Wira Pati...?"
Tentu saja hal itu membuat Ginanjar terpaku tak bergeming, karena melihat seorang laki-laki berusia 40 tahun lebih yang tergantung lehernya oleh seutas tambang pada langit-langit kamar. Sementara di bawahnya tergeletak sebuah buntalan yang setengah terbuka, berisi benda-benda pusaka Kerajaan. Darah membanjir menganak sungai diatas pembaringan! hingga kelantai. Lambung laki-laki itu sobek memburaikan isi perutnya. Sungguh sebuah pemandangan yang amat mengerikan.
"Wira Pati... maksud Adipati, apakah dia si orang buronan Kerajaan Mataram yang tengah dicari-cari itu?" tanya Ginanjar terkejut.
"Tak salah, sobatku....! dia Wira Pati adanya?" menyahut Adipati ini. "Akan tetapi aneh! Siapakah orang yang telah membunuhnya, dan menggantungnya dalam kamar Ki Rangga Wulung ini?"
Wilayah Kota Raja jadi gempar, karena si buronan Kerajaan bernama Wira Pati yang telah merampok harta pusaka Kerajaan, telah berhasil dibawa mayatnya oleh Adipati Kiduling Kuto, Tentu saja orang-orang Kerajaan mengelu-elukan Adipati Kiduling Kuto yang telah berhasil menyelamatkan harta pusaka Kerajaan Mataram. Benda-benda pusaka itu masih utuh dalam buntalan.
Kecuali sebuah tombak. Yaitu Tombak Pusaka Ratu Shima yang lenyap tak ketahuan kemana rimbanya. Untuk itu sang Adipati itu telah menerima penghargaan besar dari baginda Raja Mataram. Selain penghargaan, tentu saja mendapat pula hadiah istimewa dari Baginda Raja Kerajaan Mataram atas jasanya itu.
Rakyat tampaknya amat bersuka cita dengan hasil gemilang yang dilakukan Adipati Kiduling Kuto yang bertindak cepat meringkus dan membunuh mati si buronan yang bekas Senapati itu bersama anak-anak buahnya. Demikianlah. Apa yang memang sudah seharusnya terjadi, juga telah menjadi kenyataan.
Walaupun sebenarnya bukanlah Adipati Kiduling Kuto yang membunuh buronan Kerajaan itu. Tapi karena tak seorangpun dari pihak rakyat maupun para pendekar yang buka suara atau mengetahui kejadian sebenarnya, semua yakin kalau Adipati Kiduling Kuto yang berjasa.
Hal mana membuat Ginanjar yang telah menjadi tetamu di gedung Kadipaten Adipati Kiduling Kuto jadi geleng kepala tak mengerti. Dua hari dia menjadi tetamu di gedung Kadipaten, Ginanjar merasa tugasnya sudah selesai. Karena toh biang kerok yang menjadi buronan Kerajaan telah mati. Walau tak tahu siapa pembunuhnya, namun mau tak mau sang Adipati Kiduling Kuto itulah yang beruntung. Mendapat penghargaan, juga hadiah istimewa dari Raja.
"Hm, Adipati tentu tak melupakan keempat pengawal Kadipaten yang telah berjasa dengan "anugerah" besar itu...!" berdesis Ginanjar dalam duduknya. Sepasang matanya menatap keluar dari kamar tempat dia bermalam sebagai tetamu istimewa Adipati Kiduling Kuto.
"Apakah sebaiknya aku meninggalkan gedung Kadipaten ini? Info yang kudapat dari orang Kadipaten, bahwa penghargaan dan hadiah telah diberikan hari ini oleh baginda Raja! Menurut seorang pengawal yang baru pulang dari Kota Raja, Adipati baru kembali sore nanti." berkata Ginanjar dalam hati. Termenung sesaat pemuda ini seperti menimbang-nimbang keputusannya. Akhirnya dia bangkit dari kursinya, lalu beranjak ke ruangan pendopo.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara merintih dari dalam ruang kamar ditengah gedung. Tersentak pemuda ini. "Aih, siapakah gerangan yang merintih itu?" pikirnya. Tak ayal dia sudah hentikan langkah, dan berbalik ke arah ruang dalam. Itulah ruangan kamar istri Adipati Kiduling Kuto. Suara mengerang dan rintihan itu semakin jelas dari celah daun pintu kamar yang setengah terbuka. Mau tak mau Ginanjar tertegun bingung.
"Tidak! Jangaan! tolooong...! Lepaskaaan!" teriakan itu semakin jelas. Membuat Ginanjar tak sabar. Dan membuka daun pintu kamar dengan cepat. Dan selanjutnya sudah melompat kedalam. Kelambu pada tempat tidur istri Adipati Kiduling Kuto tampak tertutup dan bergoyang-goyang. Orang didalam tak begitu jelas.
"Celaka...!? jangan-jangan ada orang jahat yang masuk mau memperkosanya. Ataukah anak buah Adipati sendiri yang mau berbuat kurang ajar?" seru tak hati Ginanjar. Tak ayal dia sudah berkelebat melompat. Lengannya menyibak kelambu. Akan tetapi tertegun dia, karena istri Adipati itu tengah mengigau dalam tidurnya. Dia telah berteriak-teriak dan merintih dengan mata tertutup. Tentu saja dengan pakaian setengah terbuka.
"Aiiih! siang-siang begini mengigau..." memaki Ginanjar dalam hati. Seraya garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Akan tetapi tersentak dia. karena mendengar langkah-langkah kaki mendekat ke arah kamar. "Celaka! aku bisa dituduh berbuat tidak senonoh...? Aii! aku harus cepat menyingkir!" sentaknya dalam hati. Akan tetapi terlambat.
"Bangsat licik! Apa yang kau lakukan disini bocah keparat...?!" Tahu-tahu telah terdengar suara bentakan. Dan tiga sosok tubuh dari tiga pengawal Kadipaten telah berlompatan masuk.
Pucatlah seketika wajah Ginanjar. Dan pada saat itu juga tahu-tahu telah berkelebat sesosok tubuh dari balik pintu kamar itu. Lengannya bergerak mengirimkan jotosan kepunggung Ginanjar. Mengetahui ada bayangan sekilas dibelakang, dan merasa angin pukulan dibelakanganya, Ginanjar bertindak cepat untuk mengelakkan diri. Dia berhasil. Gerakan mengegos itu telah dibarengi dengan lompatan ke arah pintu.
Tapi dua batang tombak telah meluruk deras mengancam dadanya. Terpaksa Ginanjar gunakan kelincahannya. Lengannya bergerak kedepan dengan jari tangan mengembang. Dan...Krep! Dua batang tombak itu telah kena dicekal. Selanjutnya yang terdengar adalah suara bergedubrakannya tubuh kedua pengawal Kadipaten itu yang meluncur ke arah meja.
Membentur keras hingga meja tergelimpang terbalik patah-patah tertindih dua tubuh pengawal itu. Kiranya Ginanjar telah gunakan kekuatannya untuk membetot tubuh lawan. Selanjutnya dengan gerakan gesit, dia telah berhasil melompat keluar dari dalam kamar istri Adipati Kiduling Kuto itu.
"Cegat dia...! cepat! Jangan biarkan meloloskan diri...!" membentak orang yang tadi bersembunyi dipintu kamar. Sementara itu terdengar pula suara jeritan-jeritan kaget dari istri sang Adipati yang agaknya telah tersadar dari mimpinya. Seketika suasana didalam gedung Adipati itu menjadi hiruk pikuk. Suara bentakan dan teriakan terdengar di setiap sudut ruangan, sampai ke pendopo.
"Kejaar! tangkaaap! Tangkap bangsat itu! dia mau memperkosa Kanjeng Ibu Adipati!"
"Tidak! Dusta..! Aku tak melakukan apa-apa..! aku...aku..." teriak Ginanjar seraya melompat keruangan pendopo. Akan tetapi belasan pengawal Kadipaten telah bermunculan mengurungnya.
"Tetamu macam beginikah yang menjadi tamu istimewa gusti Adipati? Heh! tangkap dia! Cincang sampai mampus!!" terdengar teriakan-teriakan disana sini. "Rupanya kau laki-laki hidung belang ya..? Ayo. kawan-kawan, ringkus setan bau kencur ini...!"
LIMA
Dua orang pengawal menerjang Ginanjar dengan dua bilah golok besar. Satu menyerang ganas untuk membelah batok kepala. Sedang satu lagi menabas pinggang. Pemuda ini jadi gelagapan. Terpaksa dia lakukan gerakan jatuhkan tubuh kelantai. Kakinya menjejak perut pengawal yang satu. Sedangkan sepasang lengannya menangkap bilah golok yang nyaris membelah tubuhnya.
Dengan sekali sentakan, tubuh si penyerang yang goloknya tertangkap itu terlempar membentur dinding kayu... Brak...! Dua teriakan terdengar santar. Dan kedua tubuh pengawal Kadipaten itu terjengkang bergulingan. Cepat Ginanjar gerakkan tubuh melompat berdiri.
"Tunggu! Kalian telah salah menuduh orang! Aku akan berikan penjelasan!" berteriak Ginanjar. Akan tetapi percuma. Suara kentongan telah terdengar dipukul bertalu-talu. Dan diluar gedung puluhan prajurit Kadipaten telah bermunculan mengurungnya.
"Edan! apa-apaan ini...?" tersentak kaget Ginanjar.
"Kau tak dapat loloskan diri kurcaci tengik! Menyerahlah! Kau akan menerima hukuman berat dari Kanjeng Adipati...!" terdengar bentakan. Dan enam orang pengawal segera menerjang dengan melontarkan tambangtambang atau tali laso untuk menjerat dia.
"Celaka...!?" membathin pemuda ini.
Enam tali laso telah meluncur ke arah Ginanjar untuk menjeratnya. Pengawal-pengawal Kadipaten itu ternyata adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Ginanjar cepat cabut pedangnya untuk menabas. Namun bersamaan dengan itu. Beberapa pisau terbang telah pula meluncur deras kearahnya. Dalam keadaan demikian ternyata membuat pemuda ini jadi melengak.
Untunglah pada saat itu selarik cahaya perak telah menghantam buyar semua serangan. Dan selarik sinar pelangi meluncur ke arah Ginanjar. Membelit tubuhnya. Saat berikutnya tubuh pemuda itu tiba-tiba meluncur deras keluar dari ruang pendopo. Tentu saja kejadian itu membuat para pengawal Kadipaten jadi terkejut.
Ternyata bukan mereka saja. Ginanjar pun terkejut bukan main, karena tahu-tahu dia rasakan tubuhnya terbetot keluar pendopo. Detik selanjutnya Ginanjar rasakan tubuhnya mengapung ke udara. Ternganga semua pengawal Kadipaten melihat tubuh Ginanjar melayang keatas setinggi lebih dari sepuluh tombak. Dan lenyap dibalik wuwungan gedung Kedipatian itu.
"Kejar.!" mereka hampir serempak. Dan berloncatanlah tubuh-tubuh para pengawal itu untuk mengejar Ginanjar. Akan tetapi mereka tak dapatkan lagi pemuda itu disana. Ginanjar telah lenyap entah kemana bagaikan diterbangkan angin....
"Roro...? kau...kau...??? Ah, lagi-lagi kau telah menyelamatkanku! Ilmu Sinar perak-pelangi itu dari mana kau dapatkan? Ah, ah... sungguh mengagumkan!" berkata Ginanjar, ketika dapatkan dirinya berada diatas bukit. Dihadapannya berdiri tegak Roro Centil yang tersenyum memandangnya.
"Hihihi... Ginanjar! Ginanjar..! Kau mengapa membuat kerusuhan di kediaman Adipati Kiduling Kuto itu?" ujar Roro dengan suaranya yang merdu. Lalu duduk diatas batu. Pandangannya dialihkan menatap kebawah bukit.
"Hm, aku tak membuat keasusilaan...!" tugas anak muda ini.
"Lalu? mengapa pengawal-pengawal Kadipaten mau meringkusmu?" tanya Roro menyelidik. "Menurut yang kudengar kau mau mengganggu istri Adipati itu!"
Ginanjar jadi garuk-garuk kepala kesal. "Kau percaya?"
"Yah! Setengah percaya setengah tidak!"
"Kalau aku ceritakan kejadian sesungguhnya kau mau mempercayaiku?" tanya lagi Ginanjar.
"Akan kupertimbangkan dulu, apakah ceritamu benar!" sahut Roro.
"Baik! Akan kukatakan sebenarnya. Setelah itu terserah kau, apakah mau mempercayai atau tidak!" berkata pemuda itu. Lalu tanpa ayal lagi Ginanjar segera ceritakan kejadiannya dari awal hingga akhir. Selain itu diceritakan pula kejadian sebelumnya mengenai peristiwa di kediaman Ki Rangga Wulung. Tentang diketemukannya mayat Wira Pati sang buronan Kerajaan Mataram yang telah tewas dalam keadaan tergantung di langit-langit kamar.
"Jadi sebenarnya bukanlah Adipati Kiduling Kuto yang telah membunuh Wira Pati! Melainkan seorang yang misterius, yang telah bertindak tanpa diketahui siapapun," berkata Ginanjar.
Roro jadi kerutkan keningnya. Alisnya bergerak menyatu. Tampaknya dia amat serius memikirkan hal kejadian. "Kejadian itu memang aneh!" berkata Roro, sesaat kemudian setelah lama tercenung.
"Hahaha... memang aneh! Apakah kau percaya Adipati itu ataukah percaya aku?" tertawa hambar Ginanjar seraya menatap Roro dalam-dalam.
"Hm, baik! Aku percaya padamu! Akan tetapi kau harus membantuku. Aku akan berusaha memecahkan persoalan ini. Saat ini kau pasti akan dikejar terus oleh orang-orang Kadipaten. Sebaiknya kau menyingkir jauh-jauh. Aku akan coba menyelinap ke gedung Kadipaten untuk menyelidiki..!" berkata Roro.
"Aku sih setuju saja. Tapi aku akan kemana baiknya menurut pendapatmu?" tanya Ginanjar.
Roro jadi termenung sejurus. "Yak! kalau begitu sebaiknya kau ke Kota Raja. Temui Tumenggung Satryo. Dan ceritakan tentang kejadian sebenarnya mengenai kematian Wira Pati itu. Dua hari kemudian aku akan menyusulmu kesana...!" ujar Roro dengan wajah cerah.
"Hm, baiklah kalau begitu!"
"Bagus! Akan tetapi kau harus waspada! Setiap saat nyawamu akan terancam. Karena pengawal-pengawal Kadipaten takkan membiarkan kau hidup. Kukira, kau kini jadi orang penting. Karena hanya kaulah yang mengetahui kejadian terbunuhnya Wira Pati. Takkan dibiarkannya kau hidup karena amat membahayakan kedudukannya!" ujar Roro dengan serius.
"Kalau begitu aku terpaksa harus menyamar...!" berkata Ginanjar.
"Hihihi, itulah jalan terbaik! Akan tetapi hati-hati. Aku yakin orang-orang Adipati Kiduling Kuto tak akan tinggal diam dan bertebaran mencarimu!"
"Heh! Jangan khawatir! Aku dapat menjaga diriku!" berkata Ginanjar. Roro Centil manggut-manggut, lalu ujarnya kemudian. "Nah, baiklah kalau begitu! Aku segera pergi. Sampai jumpa lagi dua hari kemudian di Kota Raja!"
"Kalau tak ada halangan, tentunya...!" sambung Roro.
"Ya, kalau tak ada halangan!" sahut Ginanjar sambil tersenyum.
Roro Centil bangkit berdiri, lalu beranjak melangkah. Tak lama dia sudah berkelebat lenyap dari atas bukit itu. Ginanjar cuma terpaku memandang. Hatinya membathin. "Haiih, kalau tak ada dia keadaanku bisa lebih gawat. Heh, dia benar-benar seorang Dewi Penolong...!"
* * * * * * *
Adipati Kiduling Kuto telah kembali dari Kota Raja sore itu. Dengan diantar oleh pasukan kehormatan dari Kerajaan Mataram. Tentu saja dengan membawa hadiah istimewa dari Kerajaan Mataram. Hadiah istimewa dari Baginda Raja Mataram adalah Tiga hektar sawah dan tanah, mutlak jadi miliknya. Permintaan hadiah itu adalah atas dasar baginda menawarkan apa yang diingini oleh Adipati Kiduling Kuto.
Ternyata sang Adipati meminta hadiah tanah dan sawah. Permintaan itu dikabulkan Baginda Raja. Hingga sang Adipati kembali ke Kadipaten sore itu dengan membawa surat ditangannya. Surat dari tiga hektar sawah dan tanah yang menjadi hak miliknya secara syah. Selain itu pula Baginda telah memberi pula uang emas sebagai imbalan atas jasanya.
Tumenggung Satryo yang memimpin pasukan kehormatan untuk mengantar sang Adipati itu cuma mengantar sampai perbatasan Kota Raja. Selanjutnya kembali ke markas, di Kota Raja. Adapun Adipati Kiduling Kuto dengan pengawal-pengawal kadipaten meneruskan perjalanan menuju ke Kedipatian.
Derap langkah kaki-kaki kuda terdengar dan terlihat semakin mendekat kewilayah Kadipaten. Dan, tak lama mereka tiba dipintu gerbang gedung Kadipaten. Beberapa pengawal segera datang menyambut. Juga istri sang Adipati yang masih berusia muda itu menyambut sang Adipati dipintu pendopo.
"Selamat datang, kanda Adipati...!"
"Hm, ya... ya...! Apakah tak ada kejadian apa-apa dirumah kita?" bertanya Adipati Kiduling Kuto.
"Marilah kita bicara didalam, kanda!" berkata sang istri dengan agak berubah wajahnya.
Laki-laki Adipati ini mengangguk. Lalu beranjak memasuki ruang pendopo. "Celaka, kanda...! Tetamu kita, laki-laki muda bernama Ginanjar itu berhasil meloloskan diri!" tak sabar sang istri telah buka pembicaraan, sambil melangkah keruangan tengah.
Membelalak sepasang mata Adipati ini. "Bagaimana bisa terjadi? Bukankah telah kuatur rencana agar dia dijadikan tawanan!"
"Kanda dapat tanyakan nanti pada pengawal-pengawal Kadipaten yang telah ditugaskan kanda untuk hal itu nanti!" berkata sang istri. "Akan tetapi sebaiknya kanda beristirahat dulu...!"
Adipati Kiduling Kuto tak menjawab. Dihempaskannya tubuhnya kekursi diruang tengah berbantal empuk itu. Dan dihelanya napasnya panjangpanjang. "Walau bagaimanapun anak muda itu harus dilenyapkan! Karena hanya dia yang mengetahui kejadian itu!" berdesis suara sang Adipati. Sepasang matanya tampak membinar. Dan dia tampak gelisah.
"Hal itu dapat diatur nanti kanda! Minumlah dulu! kau tentu haus!"
Laki-laki ini tak menolak ketika istrinya menyorongkan nampan berisi minuman segar kehadapannya. Diraihnya cangkir perak berisi minuman segar kesukaannya. Dan direguknya hingga ludas.
* * * * * * *
ENAM
Malam itu bulan sabit mengambang dilangit... Seekor kuda pelahan keluar dari belakang gedung Kedipatian. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam telah menyeretnya keluar dengan gerakan hati-hati. Lalu melompat dengan sigap. Dan selanjutnya mencongklang pelahan meninggalkan tempat itu.
Laki-laki itu memakai topeng untuk menutupi wajahnya. Sekejap kemudian telah lenyap ditikungan jalan. Ternyata penunggang kuda itu menuju ke arah utara. Memasuki jalan setapak disisi hutan. Tak lama telah menuruni sebuah bukit kecil. Setelah membelok ke arah timur, lalu berhenti didepan sebuah candi.
Membelok disisi candi, ada sebuah jalan lurus yang menuju kesisi bukit. Dan tepat dibelakang candi itu dia hentikan langkah kudanya. Melompat turun. Menyembunyikan kuda, dan mengikatnya disekitar pohon dibalik semak. Lalu beranjak melangkah kesisi bukit.
Disini terlihat sebuah pondok terpencil ditempat itu. Pondok satu-satunya. Tampak dari kejauhan cahaya lampu tersembul dari jendela yang terbuka. Dia terus melangkah menghampiri.
"Kokok Beluk terbang malam...!" berteriak pelahan, laki-laki bertopeng itu. Suasana tampak hening mencekam. Jarak antara laki-laki itu tinggal beberapa tombak lagi.
"Hehehe... silahkan masuk, sobatku...! Aku telah mengetahui kedatanganmu!" terdengar suara serak dari dalam pondok. Ternyata laki-laki itu mengucapkan kata-kata sandi (rahasia).
"Ah, terima kasih, kakek Panembahan!" berkata laki-laki itu seraya bergegas mendekati pondok.
Tak lama pintu terbuka dengan suara berderit. Aneh! pintu itu seperti terbuka sendiri. Seorang kakek berusia hampir tiga perempat abad tampak duduk dibalai-balai bambu beralaskan tikar. Diatas meja terang bersinar cahaya lampu tempel menerangi wajahnya yang keriput. Sepasang matanya terkatup rapat. Kakek ini mengenakan jubah warna hitam. Berkepala hampir gundul, yang cuma tinggal beberapa lembar lagi rambutnya.
Dihadapannya terdapat sebuah pedupaan. Dan sebuah tombak berwarna hitam tergeletak dihadapannya. Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima. Laki-laki ini melangkah kedalam dan menjura hormat, seraya membuka topeng wajahnya. Ternyata dia tak lain dari Adipati Kiduling Kuto.
"Silahkan duduk sobat Adipati...!" berkata si kakek berjubah hitam itu. Tanpa membuka matanya dan masih tetap duduk seperti tadi.
"Terima kasih...!" sahut laki-laki ini. Sang Adipati segera beranjak untuk duduk disudut sisi balai-balai.
"Tampaknya kau gelisah sekali. Bukankah kau baru terima hadiah dari Baginda Raja? Ada maksud apakah dengan kedatanganmu?" bertanya si kakek itu.
"Aku perlu bantuanmu, kakek Panembahan...!"
"Heheheh... sudah kuduga! Apakah mengenai pemuda bernama Ginanjar yang berhasil meloloskan diri itu...?"
Melengak Adipati Kiduling Kuto. "Kakek Panembahan telah mengetahui?" tanyanya terheran. Akan tetapi juga kagum.
"Hm, mata bathinku lebih awas dari pada kedua mataku ini!" menyahut si kakek. Lalu nampak membuka mata. Ternyata kakek ini mempunyai sepasang mata yang amat kecil alias sipit. Hingga hampir tak terlihat biji matanya.
"Benar sekali apa yang kakek Panembahan katakan itu. Bocah laki-laki itu amat membahayakan. Dia harus dilenyapkan secepatnya. Aku khawatir dia membocorkan hal ini dengan melapor ke Kota Raja!" berkata sang Adipati.
"Hm, benar apa katamu! Apakah kau tak berupaya untuk berbuat sedini mungkin sebelum anak muda itu membocorkan rahasia itu?"
"Sudah, kakek Panembahan! Aku telah sebar anak buahku yang menyamar untuk mengawasinya disekitar wilayah Kota Raja. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiranku adalah, adanya seseorang sakti yang berada dibelakangnya!"
"He? Siapa dia? mata bathinku tak dapat menangkapnya...!?" tersentak Kakek ini.
"Aku sendiri tak mengetahui, kakek Panembahan. Yang kutahu adalah para pengawal Kadipaten anak-anak buahku itu telah menceritakan..." Lalu Adipati Kiduling Kuto segera menuturkan kejadian aneh hingga lolosnya pemuda bernama Ginanjar itu dari sergapan anak buahnya.
"Sinar perak dan pelangi itu amat luar biasa. Dan telah menyelamatkan nyawa pemuda itu. Kalau bukan seorang yang sakti yang telah menolongnya, tak mungkin dia dapat lolos dari ringkusan anak-anak buahku yang telah berpengalaman...!"
"Sinar perak dan pelangi....?" menggumam si kakek mata sipit ini.
"Benar, kakek Panembahan!"
Kakek ini tampak kerutkan keningnya dan tertegun sejenak. "Seperti aku pernah mengenal siapa pemilik ilmu aneh itu! Ya, ya..! Aku ingat. Si pemilik ilmu itu tak lain dari seorang perempuan yang pernah berjulukan si Pendekar Selendang Perak Pelangi! Hm, kalau tak salah bernama Muri Asih!" berkata si kakek dengan suara berdesis. "Mungkinkah perempuan sakti itu!" gumamnya. Agak lama si kakek Panembahan itu tercenung dengan serius. Namun tak lama dia berkata. "Sobat Adipati, coba tolong kau ambilkan aku segelas air putih!"
"Baik, kakek Panembahan..." menyahut sang Adipati, seraya beranjak menuju ruang belakang pondok.
Kakek Panembahan itu tampak komat kamit membaca mantera. Dihadapannya segelas air putih yang diberi asap pedupaan. Diputar-putarkannya pedupaan itu beberapa kali. Sementara matanya terpejam. Tak lama dia letakkan lagi pedupaan itu. Sepasang matanya terbuka. Memandang kedalam gelas berisi air putih itu. Sementara sang Adipati menanti dengan hati berdebar. Tampak wajah kakek itu berubah pucat ketika menatap kedalam air. Namun tak lama wajah berubah membesi. Dia membentak keras.
"Kau akan menjadi gila, bila turut campur urusanku! Siapa kau bocah perempuan...?" Adipati Kiduling Kuto sampai terlonjak kaget.
PRAKK!
Terkejut dia karena tahu-tahu gelas berisi air itu pecah. Airnya tumpah membanjir ditikar. Ternyata bukan Adipati itu saja yang terkejut, akan tetapi kakek inipun terperanjat. Karena satu suara terdengar mendenging ditelinganya.
"Hihihi... kakek tua bangka! Hebat juga ilmu bathinmu! Aku Roro Centil yang akan memberantas pengacau licik macam kau!"
Tergetar tubuh kakek ini. Tiba-tiba lengannya meraih Tombak Pusaka Ratu Shima. Bibirnya membaca mantra. Dan... Plash...! Aneh! Tiba-tiba tombak Pusaka itu lenyap. Kakek ini gerakkan lengannya mengibas. Pintu pondok itu tahu-tahu menjeblak terbuka. Dan tubuh si kakek telah melesat keluar bagaikan terbang. Lalu lenyap dikegelapan malam.
Adapun Adipati Kiduling Kuto jadi terkejut. Dia jadi serba salah. Apakah yang akan dilakukannya? Dia pun memburu keluar dari pondok.
"Sobat Adipati! segeralah kau kembali pulang!" terdengar suara ditelinganya, tanpa diketahui dimana adanya si kakek Panembahan.
"Ah!? Ba... baik, kakek Panembahan!" sahutnya dengan cemas. Dan... tak ayal dia segera berlari-lari menuruni bukit kecil itu. Tak lama telah tiba ditempat dia menambatkan kuda. Dan selanjutnya selang sesaat Adipati Kiduling Kuto telah melarikan kudanya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara itu diatas Candi sesosok tubuh tegak berdiri mematung bagaikan arca. Sosok tubuh seorang wanita yang berambut panjang terurai. Cahaya bulan sabit menerangi wajahnya. Siapa lagi wanita itu, kalau bukan Roro Centil. Ketika langkah kuda melewati sisi Candi, kuda tunggangan Adipati itu meringkik panjang. Mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Hawa aneh yang membangunkan bulu roma telah membuat sang kuda mengetahui akan adanya sesuatu yang menakutkan. Karena dihadapannya tegak berdiri seekor harimau tutul yang luar biasa besarnya. Akan tetapi harimau tutul itu lenyap, ketika terdengar bentakan.
"Roro Centil! Akulah lawanmu, jangan ganggu dia..!" Dan segelombang angin menerpa bergulung-gulung ke arah harimau itu, yang segera lenyapkan diri. Kuda Adipati Kiduling Kuto jadi tenang kembali. Dan bergegas sang Adipati memacu kudanya untuk segera minggat dari tempat itu.
"Hihihi... boleh juga ilmu pukulan angin taufanmu, kakek!" terdengar suara dari atas Candi.
Entah sejak kapan di bawah Candi telah berdiri diatas batu, si kakek Panembahan. kepalanya yang gundul itu berkilat-kilat kena cahaya rembulan. Laki-laki tua ini menatap keatas Candi. "Bocah perempuan! Ada hubungan apakah kau dengan si Pendekar Selendang Perak Pelangi, Muri Asih itu...!" bertanya dia. Suaranya terdengar dingin. Akan tetapi jelas mengandung tekanan tenaga dalam hebat.
"Hihihi... dia boleh juga disebut guruku! Sayang, beliau yang berhati mulia itu telah tak ada didunia ini lagi!" menjawab Roro.
"Dia telah mati...?" tanya kakek tua ini dengan suara terkejut.
"Benar! Ada apakah kau menanyakannya? Aku datang untuk meringkusmu, dan tentu saja untuk mengambil kembali benda Pusaka yang masih ketinggalan dan berada ditanganmu itu!" ujar Roro.
Terkejut kakek ini, karena ternyata Roro dapat mengetahui kalau Tombak Pusaka Ratu Shima yang telah lenyap sirna itu berada ditangannya. Dengan kekuatan manteranya si kakek ini memang telah membuat tombak itu tak nampak oleh mata biasa.
"Heheheh... bocah centil! kau terlalu sombong! Walau kau punya ilmu setinggi langit, apa kau dapat buktikan kata-katamu?" menantang si kakek dengan mendongkol.
"Hm, akan kucoba! Tapi sebelumnya segera kau sebutkan siapa dirimu! Gelarmu! Bukankah kau yang telah membunuh si Wira Pati itu? Juga keluarga bekas Tumenggung Ki Rangga Wulung...?" cerocos Roro Centil, memberondong dengan pertanyaan.
"Hehehe... hehehe... Aku digelari si Laba-laba Hitam. Namaku tak perlu kusebutkan! Memang aku yang telah membunuh si Wira Pati itu. Dia telah tak kuperlukan lagi. Hehehe... ketahuilah, pencurian harta pusaka Kerajaan itu hanya dalihku saja untuk memiliki Tombak Pusaka Ratu Shima, yang kudengar disimpan di Istana Kerajaan Mataram!" ujar si kakek yang bergelar si Laba-laba Hitam itu. "Heh! kalau bekas tumenggung, Ki Rangga Wulung itu, bukan aku yang membunuh. Akan tetapi si Wira Pati itu sendiri. Sedangkan anak gadis Ki Rangga Wulung yang mati itu aku tak mengetahuinya!" sambungnya lagi.
"Hm, begitukah...? Hebat juga rencanamu itu, Laba-laba Hitam! Kematian gadis bekas Tumenggung itu aku telah mengetahui. Dia dibunuh si Adipati Kiduling Kuto yang bekerja sama denganmu! Hebat! Hebat...! Tipu daya licik yang mengagumkan. Dengan cara demikian, bukankah Adipati Kiduling Kuto dapat penghargaan dari Baginda Raja Kerajaan Mataram. Padahal semua ini adalah permainan busuk kalian. Wira Pati kau bunuh, setelah berhasil mencuri benda-benda pusaka Kerajaan Mataram demi keamanan kalian!"
"Hehehe... Roro Centil! Aku telah dengar kehebatanmu! Dan kau telah mengetahui rahasiaku. Maka jalan yang baik buat kau adalah segera. berangkat ke Akhirat!"
TUJUH
"Hihihi... gertakanmu lumayan juga, Laba-laba Hitam. Akan tetapi jangan bertarung disini. Aku khawatir merusak Candi!" berkata Roro dengan suara merdu.
"Persetan dengan Candi!" memaki si kakek Laba-laba Hitam. Lengannya bergerak menghantam ke arah Roro. Menggebu angin pukulan si kakek bagaikan angin prahara.
Terkejut Roro Centil. "Celaka!" mendesis suara Roro. Betapa mendongkolnya dia karena si kakek tak menghiraukan kata-katanya. Candi itu adalah salah satu dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Harus dijaga kelestariannya. Berpikir demikian, tiba-tiba Roro berteriak keras. Sepasang lengannya terangkat. Dan... satu tenaga yang tak kelihatan melebihi kekuatan angin pukulan si laba-laba Hitam telah membersit keluar dari sepasang tangannya.
Wuusss...! Terkejut Ki Panembahan alias si Laba-laba Hitam. Angin pukulannya telah diterpa sambaran angin panas yang dahsyat luar biasa. Bahkan kekuatan anginnya sendiri berbalik menghantam tubuhnya. Datangnya begitu cepat, hingga tak lagi dia sempat berbuat sesuatu. Tak ampun tubuh si Laba-laba Hitam terlempar keudara sejauh lebih dari dua puluh tombak.
Dalam keadaan membumbung keudara itu amatlah beruntung si kakek dapat mengimbangi kekuatan serta mengkonsentrasikan panca indranya. Hingga dengan ringan dia telah daratkan kakinya keatas bukit. Terengah-engah si Laba-laba Hitam. Lalu salurkan hawa murni untuk sebarkan keseluruh tubuh. Hatinya menggumam.
Kakek ini bersyukur karena dia tak terluka dalam. Angin panas itu cuma membuat tubuhnya tertolak mental, karena dia telah lindungi tubuhnya dengan tenaga dalam inti yang membuat tubuhnya jadi sekeras batu.
"Hebat! Luar biasa kekuatan tenaga dalam bocah perempuan itu. Tak percuma dia bernama besar yang menggoncangkan jagat!" Diam-diam hatinya memuji dan terkejut bukan main.
"Nah! disini kita aman untuk bertarung! Sudah siapkah kau kakek sakti...?" satu suara membuat dia terperangah, karena ketika dia membalik, ternyata Roro Centil telah berada dibelakangnya.
"Edan...! Begitu cepat dia menyusulku?" mendesis suara si kakek.
"Bagaimana Laba-laba Hitam? apakah kau mau serahkan Tombak Pusaka Ratu Shima itu dengan suka rela ataukah kau tetap berkeinginan mengangkanginya?" bertanya Roro.
Namun si Laba-laba Hitam tak menjawab. Mulutnya komat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba tubuhnya mendadak lenyap sirna. Tak kelihatan lagi oleh mata biasa.
"Hihihi... mau kabur kealam halus pun kau percuma saja, Laba-laba Hitam. Aku takkan melepaskanmu begitu saja sebelum benda Pusaka itu kau serahkan padaku!" berkata Roro dengan tertawa mengikik. Dan tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itupun sirna pula dari pandangan. Kini kedua tokoh Rimba Persilatan itu telah berada dialam halus.
"Bagus! aku memang mau mengajakmu bertarung dialam yang tak kelihatan oleh mata manusia biasa", ujar si kakek. Nah, bersiaplah untuk menghadapi seranganku!" bentaknya dengan suara dingin mencekam jantung.
"Silahkan! Aku siap melayanimu, kakek Laba-laba Hitam!" menyahut Roro dengan jumawa. Walau diam-diam dia juga harus waspada. Karena dia yakin kalau sang kakek itu punya ilmu tinggi yang belum pernah dilihatnya.
Tampak Laba-laba Hitam telah selesai pula membaca mantera. Lengannya bergerak memutar. Menimbulkan segulung asap hitam yang menerjang ke arah Roro. Asap yang bergulung-gulung itu mendadak berubah menjadi seekor Laba-laba Raksasa. Tersentak Roro Centil. Tahu-tahu dia telah terkurung oleh kaki-kaki hitam berbulu yang menyeramkan. Sementara taring sang Laba-laba Raksasa telah siap menerkamnya.
Wukk! Wukkk...!
Lengan sang pendekar Perkasa ini bergerak menghantam ke arah tubuh makhluk itu. Akan tetapi terkejut Roro. Karena pukulannya hanya menghantam bayangan saja. Makhluk itu tetap tak merobah posisi menerkamnya. Prasssh...! Kepala mahkluk itu menyerang ganas. Batu bukit itu hancur beserpihan, Namun Roro berhasil gulingkan tubuhnya untuk menghindar.
"Heheheh...! Keluarkan seluruh kesaktianmu, nona Pendekar Pantai Selatan!" terdengar suara tertawa mengejek mendesing ditelinga Roro. Makhluk menyeramkan itu telah meluruk lagi untuk merencah tubuh Roro Centil mentah-mentah. Empat pasang kaki makhluk itu berhasil mencengkram tubuh wanita Pendekar ini.
Roro terkejut bukan main. Segala daya upayanya untuk menyerang Laba-laba Raksasa menemui jalan buntu. Hingga dia agak ayal dan berhasil diterkam makhluk mengerikan itu. Belum lagi dia sempat berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya telah kena jerat benang laba-laba, hingga kaki dan tangannya tak berkutik.
Keringat dingin menebar kesekujur tubuh Roro. Segera dia berusaha konsentrasikan syaratnya yang membaur tak keruan. Dengan berguling-guling Roro berusaha menjauh dari makhluk itu, walau tubuhnya tak leluasa bergerak. Sementara sang Laba-laba Raksasa tampaknya cuma bertindak mempermainkan korbannya yang hampir tak berdaya.
Karena sekejap kaki-kaki sang makhluk Raksasa telah kembali menerkamnya. Dan lagi-lagi Roro harus menerima nasib lebih parah. Benang-benang sutera sang laba-laba yang lengket itu kembali membelit dan membungkus tubuhnya.
"Celaka! Aku tak dapat berpikir normal, aku tak tahu apa yang harus kulakukan...!" membathin Roro dalam keluh putus asanya.
Dalam keputus asaan itu Roro menjerit sekuatnya. Sungguh diluar dugaan. Jeritan yang diraungkan itu karena kesal akan ketidak berdayaannya ternyata telah menolong Roro dari bahaya maut. Cengkeraman kaki-kaki si Laba-laba Raksasa mengendur. Bahkan tanpa disadari jeritan yang mirip raungan harimau itu telah memutuskan benang-benang jerat si Laba-laba Raksasa.
Tentu saja hal itu membuat Roro tersentak girang. Tak ayal dia sudah melompat bangkit. Kejap berikutnya Roro segera satukan kekuatan bathinnya untuk menindih kekuatan bathin lawan yang telah mempengaruhi sirkuit otaknya hingga dia tak dapat berpikir normal.
Sementara itu si kakek ternyata masih berdiri tegak dengan Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya. Terheran dia melihat Roro berhasil melepaskan diri dan memutuskan jerat sutra laba-laba ciptaannya. Herannya cuma putus oleh suara jeritan yang mirip raungan harimau. Melihat Roro tegak berdiri menghimpun kekuatan bathin yang telah menindih kekuatan bathinnya, laki-laki tua ini segera berkomat-kamit lagi. Sebelah tangannya menyilang diatas dada. Tiba-tiba dia membentak keras.
"Roboh...!" Lengan yang menyilang diatas dada itu digerakkan menghantam Roro. Itulah pukulan ghaib yang dinamakan Serapah Dewa Maut. Hebat akibatnya!
Tubuh Roro tampak tergetar hebat. Laba-laba Raksasa itu telah lenyap. Namun segelombang angin pukulan telah membuat tulang-tulangnya serasa lumpuh. Hampir saja dia jatuh menekuk lutut. Untunglah dengan kekuatan tenaga bathin yang telah dapat mengungguli tenaga bathin si kakek Panembahan itu, Roro cuma terhuyung saja. Bahkan dengan satu bentakan nyaring, Roro balas menyerang dengan pukulan Sinar Perak.
"Kakek gundul! jaga seranganku!"
Wukkk...! Bluarrr...!
Cahaya perak membersit menyambar tubuh si kakek Laba-laba Hitam. Akan tetapi kakek itu, telah berhasil lemparkan tubuhnya bergulingan. Pukulan dahsyat itu menghantam batu dan pohon hingga hancur beserpihan. Sekejap si kakek itu telah menampakkan diri lagi dialam nyata. Melihat keadaan yang tak menguntungkan dirinya, si Laba-laba Hitam angkat langkah seribu menyelamatkan jiwanya. Tombak Pusaka Ratu Shima masih tercekal ditangannya. Tampaknya dia tak mau melepaskan senjata itu begitu saja pada Roro.
"Kakek gundul jangan lari...!" membentak Roro. Lengannya bergerak lagi. Dan, dari telapak tangan sang dara perkasa ini membersit sinar Pelangi. Bagaikan sebuah selendang saja layaknya. Sinar Pelangi meluncur untuk membelit tubuh kakek tua itu.
Akan tetapi tiba-tiba si kakek Panembahan berbalik. Dan putarkan tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya. Segera membersit segulung angin santar menghantam buyar sinar Pelangi. Terkejut Roro mengetahui cahaya Pelanginya dapat dibuyarkan.
"Dia tak boleh lepas dari tanganku!" membathin Roro dalam hati.
Pada saat itu juga sebuah benda meluncur, ke arah Roro yang disambitkan oleh si Laba-laba Hitam. Benda itu jatuh tepat dihadapannya sejarak dua tombak. Dalam herannya, Roro terkejut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras. Asap hitam membumbung. Untung Roro telah melompat kebelakang sejauh tiga empat tombak. Roro mengkhawatirkan benda itu bahan peledak yang membahayakan. Tapi cuma asap hitam yang membumbung dari ledakan itu. Dan lagi-lagi terpampang dihadapan Roro Centil seekor laba-laba Raksasa.
"Keparat... ilmu sihir sialan! L" memaki Roro. Kali ini dia tak biarkan makhluk itu menerkamnya seperti tadi. Segera dia merapal mantera. Dan lengannya bergerak menghantam dengan pukulan Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis. Makhluk raksasa jejadian itu lenyap sirna tanpa bekas. Akan tetapi Roro terpaku membeliak, karena si kakek Laba-laba Hitam telah lenyap melarikan diri tak ketahuan kemana arahnya.
"Setan alas! Aku terkecoh! Dia berhasil meloloskan diri! huh...!" memaki Roro dengan kesal. Dan membanting kaki dengan wajah cemberut.
"Huuuh! huuuh! Roro! Roro...! mengapa kau masih juga bodoh dikibuli orang...?" berkata Roro memaki dirinya sendiri. Namun tubuhnya segera berkelebatan mencari jejak si kakek itu dengan rasa penasaran.
Akan tetapi percuma saja! si Laba-laba Hitam telah lenyap tak ketahuan kemana rimbanya. Dengan menggerutu panjang pendek Roro Centil melesat pergi dari tempat itu. Suasana malam itupun kembali hening mencekam. Bulan sabit menyelinap dibalik awan hitam. Cuaca menjadi gelap, segelap hati Roro yang kehilangan jejak manusia buruannya.
* * * * * * *
DELAPAN
PAGI ITU disebuah penginapan disudut kota, seorang laki-laki berkumis dan berjenggot lebat keluar dan pintu kamar. Dan bergegas beranjak menghampiri seorang pelayan.
"Mana majikanmu?" bertanya dia dengan menepuk pundak sang pelayan yang tengah asyik mengelap meja.
"Oh, ada didalam, Raden...! Apakah perlu hamba memanggilnya?" menyahut sang pelayan.
Laki-laki jembros itu termenung sejurus. "Sebaiknya tak usah. Aku toh sudah membayar sewa menginap semalam dipenginapan ini. Eh, apakah kau tahu kemana arah Kota Raja?" bertanya laki-laki itu.
"Oooh, anda mau ke Kota Raja?" berkata si pelayan. Suaranya agak keras, hingga membuat beberapa tetamu yang pagi-pagi sudah minum kopi diruang makan itu jadi menoleh.
"He? tak usah bicara keras-keras!" berkata laki-laki itu.
"Oh, maaf, maaf...! Sebenarnya hamba bicara biasa. Tapi ruangan ini memang aneh!" menyahut si pelayan. "Suara pelahan pun terdengar keras! Harap anda maafkan, karena mungkin Raden tak suka...!"
"Sudahlah! apakah kau mengetahui kemana arah yang harus kutempuh?" berkata laki-laki jembros itu.
"Ya, ya... ngng ... anda ikuti jalan didepan ini sampai membelok ke arah timur. Anda akan menjumpai jalan bercabang dua. Nah, arah yang kekanan itulah jalan menuju Kota Raja!" sahut sang pelayan.
"Baik, baik...! Terima kasih...!" ujar laki-laki itu. "Dan, ini untukmu!" berkata laki-laki itu seraya merogoh sakunya. Dan berikan dua keping uang receh pada pelayan itu. Sang pelayan ucapkan terima kasih dengan wajah girang.
Laki-laki jembros itu bergegas keluar dari rumah penginapan itu. Tanpa menoleh lagi. Dan tentu saja mengikuti petunjuk si pelayan tadi menurutkan jalan didepan penginapan, hingga membelok ke arah timur. Tepat dijalan bercabang dua itu dia berhenti. Tampaknya seperti memikir.
"Wah, wah aku lupa. Ke arah kiri ataukah kekanan si pelayan tadi mengatakannya!" menggumam dia sambil memijit-mijit keningnya.
Pada saat itu sebuah bayangan merah berkelebat kehadapannya. Ternyata seorang wanita. "Hihihi... kalau mau ke Kota Raja jalan kesana yang anda harus lalui, sobat Dewa Linglung..! Ah... tampaknya anda bingung ataukah linglung? Tapi pantas bila anda linglung, karena bukankah julukan anda di Dewa Linglung?" Wanita baju merah sambil gerakkan lengannya menunjuk.
Laki-laki ini jadi melengak, dengan membeliakkan matanya. Tentu saja dia mengenai pada wanita baju merah yang tak lain dari si Iblis Ruyung Emas. Dan laki-laki itu memang tak lain dari Ginanjar, yang sedang dalam penyamaran menuju ke Kota Raja. "He? dia telah mengetahui penyamaranku? wah, berabe, nih...!" membathin Ginanjar dalam hati.
"Benar, aku mau ke Kota Raja. Tapi aku bukan si Dewa Linglung. Dari mana anda mengetahui dengan menerka sembarangan?" berkata Ginanjar. Pemuda jembros ini mendelikkan matanya.
Akan tetapi wanita setengah usia itu bahkan mengikik tertawa dan mengerling genit. Seraya ujarnya. "Sudahlah, tak usah pakai pura-pura segala. Bukankah kita pernah bertemu, dan kau pernah menolong diriku. Aku si Ruyung Emas telah mengetahui samaranmu sejak kau injakkan kaki dikota ini!" menyahut wanita itu.
Ginanjar jadi merah wajahnya. "Sialan! tak guna aku melakukan penyamaran lagi!" membathin pemuda ini. Dan lengannya bergerak mengusap jenggot dan kumis hingga rontok mengelupas. Selanjutnya dia tertawa. "Hahahahaha sial dangkalan! Memang nasibku sedang sial! Baiklah aku mengaku. Aku memang si Dewa Linglung. Tapi itu julukanku yang sudah tak kupakai lagi! Aku sudah tidak linglung lagi!" ujar Ginanjar.
"Hihihihi... kau katakan kau sudah tak linglung lagi, mengapa kau masih ragu-ragu menemui jalan bercabang dua untuk menentukan arah ke Kota Raja?"
"Hm, aku memang lupa...!" ujar Ginanjar dengan tersipu. Ginanjar memang pernah berjumpa dengan wanita ini, dan pernah menolongnya memberikan obat gatal untuk kulit pada si Iblis Ruyung Emas, ketika wanita ini di kerjai Surajaya alias si Berandal Edan Mata Satu.
"Kalau kau mau ke Kota Raja, kita bisa jalan bersama. Apakah kau tak keberatan kalau aku menemanimu?" berkata si wanita dengan suara manja. Sikapnya dibuat sedemikian rupa agar Ginanjar terpikat.
"Mau apa kau kesana?"
"Kau sendiri ada perlu apa ke Kota Raja?" balas bertanya si Iblis Ruyung Emas.
"Hm, itu urusanku!" sahut Ginanjar agak mendongkol.
Saat itu tiba-tiba beberapa sosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak kebun tebu dan langsung mengurung mereka. "He? apa-apaan ini? ada apa? siapa kalian! Apakah mau membegal orang?!" bentak si wanita baju merah. Seraya memutar pandangan dengan wajah menampak terkejut.
"He! silahkan kau menyingkir, dan tak usah turut campur urusan kami. Kami hanya mengingini laki-laki ini!" berkata salah seorang. Ternyata kesemua laki-laki itu memakai topeng menutupi wajahnya.
"Huh! enak saja! kami akan melakukan perjalanan bersama ke Kota Raja. Kalau kawanku dikeroyok begini, masakan aku diam berpeluk tangan..?" menyambut si Iblis Ruyung Emas.
Kesemua laki-laki bertopeng yang mengurung Ginanjar itu sebelas orang. Salah seorang segera memberi isyarat. Dan empat orang segera mengurung si wanita itu. Yang lainnya memecah untuk mengurung Ginanjar.
"Habisi mereka!" berkata dengan suara dingin salah seorang. Dan, serentak masing-masing segera menerjang dengan senjata-senjatanya yang telah terhunus.
"Bagus! kalian rupanya inginkan aku bertindak! Jangan menyesal!" membentak si wanita baju merah. Dan... Trang! Trang...! Dia telah cabut senjata Ruyung Emasnya. Benda berkilauan itu menangkis serangan-serangan golok, kapak dan pedang dari keempat penyerangnya.
Adapun Ginanjar tak ayal segera cabut pedangnya yang terbungkus kain dipinggang, Ginanjar membathin dalam hati. "Heh! mereka pasti orang-orangnya Adipati Kiduling Kuto yang menginginkan nyawa!" Pertarungan seru segera terjadi. Kalangan pertarungan menjadi dua rombongan. Sementara dalam pertarungan itu, Ginanjar memikir. "Haiih! kedua pihak si wanita dan orang-orang ini bukan dari golongan baik-baik. Aku harus secepatnya minggat setelah merobohkan beberapa orang, urusanku tak seorangpun boleh mengetahui!"
Memikir demikian Ginanjar segera robah gerakannya untuk bertarung lebih cepat. Tak dinyana ketujuh lawannya amat sukar dirobohkan. Mereka tampak terlatih dan membentuk barisan semacam barisan TIN, yang sukar baginya meloloskan diri.
Sementara pertarungan empat orang melawan si Iblis Ruyung Emas telah menemui klimaxnya. Dua orang menjerit ngeri, dan roboh terjungkal. Ternyata senjata Ruyung Emas si wanita itu telah berhasil menghantam batok kepala kedua penyerangnya. Melihat demikian, dua dari pengeroyoknya segera melompat membantu kedua kawannya yang dicecar oleh serangan-serangan ganas si Iblis Ruyung Emas.
Ginanjar agak bernapas lega. Saat barisan TIN lawan terbuka, dia tak membuang kesempatan. Pedangnya berkelebat kekiri-kanan seraya melompat ketempat kosong dari barisan TIN itu.
"Tutup jalan darah!" membentak salah satu dari orang bertopeng dalam barisan itu yang agaknya menjadi Ketuanya. Tiga orang melompat menghadang seraya menerjang ganas. Dua orang melompat kekiri, dan dua orang lagi melesat kekanan.
Ginanjar kertak gigi dengan geram. Tiba-tiba ingatan Ginanjar mendadak lancar. Seperti diketahui, Ginanjar pernah menjadi murid dari Ketua Rimba Hijau golongan Putih. Satu bentakan menggeledek dari pemuda itu mendadak membuat teriakan-teriakan segera terdengar santar. Bagaikan kilatan-kilatan yang berkredepan terkena cahaya Matahari, pedang Ginanjar berkelebatan ke beberapa arah.
Tubuh laki-laki ini bergulingan ditanah dengan gerakan aneh yang teramat cepat. Menusuk dan menabas. Tak ampun lima orang dari barisan TIN itu terjungkal roboh. Dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Darah menghambur berpuncratan.
"Ha!? bagus, sobat Dewa Linglung!" berteriak girang si Iblis Ruyung Emas. Senjatanya bergerak cepat memutar disertai kelebatan tubuhnya. Dan dua orang lagi terjungkal roboh. Semakin bernafsu si Iblis Ruyung Emas untuk membunuh habis lawan-lawannya. Dan, lagi-lagi seorang terjungkal roboh.
Terperangah para penyerang bertopeng itu, melihat kehebatan si wanita baju merah. Sementara beberapa orang sudah melompat mundur. Barisan TIN jadi kacau balau, karena lima orang kawan mereka roboh berkelojotan meregang nyawa. Tak ayal mereka menghambur melarikan diri.
"Hihihihi... sudah kukatakan, kalian akan tahu rasa kalau mau main-main terhadap kami!" tertawa mengikik si wanita. Lengannya bergerak kebalik pakaiannya. Dan...
Serrrr....! Ratusan jarum berbisa meluruk ke arah si manusia-manusia bertopeng. Dua orang terjungkal berkelojotan. Dan langsung tewas. Tiga orang sisanya terus melarikan diri dengan luka-luka. Beberapa jarum telah mengena dianggota tubuhnya. Mengikik tertawa si Iblis Ruyung Emas. Akan tetapi dia terkejut ketika melihat pada Ginanjar alias si Dewa Linglung itu ternyata sudah tak nampak lagi batang hidungnya.
"He? kemana pemuda linglung itu...?" sentaknya kaget. Namun segera dia berkelebat untuk berlari cepat menyusuri jalan yang menuju ke arah Kota Raja....
Lewat tengah hari, Ginanjar telah tiba didepan pesanggrahan Tumenggung Satryo. Setelah melapor pada penjaga pintu, dia dipersilahkan menunggu. Sementara salah seorang dan pengawal segera masuk ke ruang Pesanggrahan untuk melaporkan maksud kedatangannya pada Tumenggung.
Tak lama Ginanjar dipersilahkan masuk, dengan meninggalkan pedangnya pada penjaga pintu. Puncratan darah mengering pada pakaian Ginanjar agak membuat pengawal itu curiga. "Apakah anda baru saja mengalami pertarungan, sobat...?" tanya sang penjaga.
"Hm, benar sekali dugaanmu, nyaris aku tewas! Aku perlu melaporkan hal ini pada Tumenggung." berkata Ginanjar.
"Mari kuantar!" ujar penjaga itu. Lalu beranjak mengantar Ginanjar menuju ruangan Pesanggrahan. Sementara dari ruangan pendopo Pesanggrahan telah melangkah keluar sang Tumenggung Satryo.
"Selamat datang, sobat Ginanjar...! Benarkah anda yang bernama itu?"
"Tak salah, sobat Tumenggung!" ujar Ginanjar seraya menjura.
Dua orang penjaga tampak dibelakang Tumenggung ini yang segera masing-masing berdiri berjaga dikedua sisi pintu pendopo. Sementara Pengawal tadi segera beranjak kembali kepenjagaan. Sang Tumenggung segera mempersilahkan Ginanjar masuk keruang dalam. Melihat tak ada sikap yang mencurigakan kedua prajurit pengawal itu nampak menarik napas lega.
Demikianlah. Ginanjar segera membentangkan prihal sang Adipati Kiduling Kuto yang telah membawa mayat buronan Kerajaan Mataram bernama Wira Pati itu tanpa membunuhnya. Dan dia menjadi saksi sendiri akan apa yang telah dilihatnya. Tentu saja Ginanjar tak lupa menceritakan tentang Roro Centil, yang mengatakan mencurigai sang Adipati Kiduling Kuto. Hingga dia berniat menyelidiki ke gedung Kedipatian.
Dalam bercakap-cakap itu terdengar suara ribut-ribut diluar. Dua prajurit pengawal tampak berlari keluar untuk melihat. Apakah sebenarnya yang tengah terjadi dipintu pesanggrahan Ketumenggungan Itu? Seorang wanita berbaju merah tampak mengotot masuk ke Pesanggrahan pada dua penjaga pintu.
"Kami harus melaporkan dulu pada Kanjeng Tumenggung! Anda tak bisa sembarangan saja masuk!" membentak salah seorang dari penjaga.
"Hihihi... dimanapun aku berbuat bebas, tak usah pakai laporan segala macam. Aku adalah sahabat laki-laki yang tadi bertamu kemari. Aku tak kan mencari keributan...!"
"Ya, ya...! Tapi kami harus melaporkan dulu. Dan anda harus meninggalkan disini senjata apa saja yang menjadi milik anda!" Agaknya penjaga telah mengetahui dan telah menduga kalau wanita baju merah itu adalah orang kaum Rimba Persilatan.
SEMBILAN
"Suruh dia masuk, pengawal....!" Terdengar suara dari dalam ruang pendopo. Dua orang prajurit yang barusan keluar untuk mengambil tindakan, segera menahan diri mendengar suara sang Tumenggung. Bahkan Tumenggung Satryo dan Ginanjar telah berada didepan ruang pesanggrahan.
"Hihihi... apa kataku! Kalian tak perlu khawatir, bukankah Tumenggung kalian pun telah mengizinkan aku masuk...?" berkata si wanita dengan mencibir.
"Huh! silahkan lewat! Tapi awas. Tapi awas! Jangan coba-coba anda membuat keonaran dimarkas kami!" mengancam sang pengawal.
Wanita baju merah ini melangkah santai tanpa menghiraukan kata-kata pengawal itu. Dua orang prajurit yang baru datang itupun memberi jalan. Akan tetapi tertegun dia ketika tahu-tahu mendengar suara tertawa mengikik dihadapannya.
"Hihihi... Iblis Ruyung Emas! ada perlu apakah kau kemari? Tumenggung dan laki-laki itu sedang ada urusan denganku! Kukira kau bisa berkunjung kemari lain waktu saja...!"
Sekejap wanita ini jadi hentikan tindakannya. Dan sepasang matanya membeliak, karena tahu-tahu dihadapannya telah berdiri sesosok tubuh semampai. Berpinggang ramping. Lekuk liku tubuhnya menandakan bahwa sosok tubuh dihadapannya adalah seorang perawan asli yang amat cantik luar biasa. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Hah!?" kka... kau... nno... nona Pendekar Ro... ro Centil...?" tergagap si Iblis Ruyung Emas dalam tersentaknya karena terkejut.
"Benar! sukurlah kalau sudah tahu!" menyahut Roro.
Sementara Ginanjar jadi berseru kaget juga bergirang. "Roro...! Haiih!? kau sudah berada disini?" teriaknya.
Sedangkan sang Tumenggung Satryo cuma terperangah terkejut, juga bercampur girang dan kagum. Hatinya membathin. "Ah, Pendekar perkasa ini sungguh bagaikan Malaikat saja. Tahu-tahu sudah berada disini. Dari mana masuknya?"
Adapun si Iblis Ruyung Emas jadi serba salah. Dia pernah melihat Roro Centil, ketika dalam pertarungan melawan si Berandal Edan Mata Satu alias Surajaya beberapa hari yang lalu. Hatinya agak jerih dengan sang Pendekar Wanita ini. Apa lagi kedatangannya adalah hanya untuk mengejar dan mendekati Ginanjar. Akhirnya dengan masygul dia "ngeloyor" lagi, keluar dari gedung Ketumenggungan itu.
"Lho? mengapa balik lagi?" bertanya salah seorang pengawal penjaga pintu, seraya memberi jalan.
Wanita baju merah ini cuma mendelikkan matanya dengan mendongkol. Akan tetapi dia tak lakukan tindakan apa-apa. Selain bergegas meninggalkan tempat itu. Entah kalau tak ada Roro Centil, mungkin si penjaga itu sudah kena tamparannya.
"Aku telah menawan tiga orang prajurit Kadipaten, sobat Satryo. Mereka adalah saksi-saksi nyata yang mengetahui perbuatan jahat Adipati Kiduling Kuto. Adipati itu memang bekerja sama dengan seseorang dari tokoh kaum Rimba Hijau golongan Hitam yang berjulukan si Laba-laba Hitam!" berkata Roro.
Dia telah tuturkan hasil penyelidikannya ke gedung Kadipaten dan banyak mengetahui rahasia kejahatan Adipati Kiduling Kuto, yang dengan kelicikannya berhasil mengelabui orang-orang Kerajaan termasuk Raja. Bagi Roro amatlah mudah untuk menyelidik keadaan dikediaman Adipati itu karena Roro mempergunakan ajian halimunan, hingga tak nampak oleh mata biasa.
Terangguk-angguk Tumenggung Satryo mendengar penuturan Roro. Satryo adalah sudah bersahabat dengan Roro Centil sejak laki-laki ini menjabat sebagai seorang Senapati di Kerajaan Matsyapati yang telah punah.
"Jadi otak dari pencurian harta benda Kerajaan Mataram itu tak lain dari si Laba-laba Hitam!" tegaskan Roro Centil pada Satryo. "Wira Pati yang bekas Senapati yang dipecat itu telah dikendalikan kakek tua sakti dari golongan Hitam itu! Tujuannya adalah untuk mengangkangi Tombak Pusaka Ratu Shima, yang kini berada ditangannya!"
"Wah! kalau begitu tugas kita kaum Pendekar masih panjang dan cukup berat! Kita harus menyelamatkan benda Pusaka itu yang telah menjadi milik Kerajaan Mataram..!" berkata Ginanjar.
"Ya, ya..! Akan tetapi hal ini juga menjadi tugas kami sebagai abdi Kerajaan untuk merampas kembali benda pusaka itu!" ujar Satryo.
"Benar! semua ini menjadi tugas kita, sebagai rakyat yang berlindung di bawah panji kebesaran Kerajaan Mataram. Tanpa merebut kembali benda pusaka itu akan merusak "citra" keagungan Kerajaan Mataram. Juga dikhawatirkan si Laba-laba Hitam menyalah gunakan benda Pusaka itu untuk kepentingan pribadinya!" ujar Roro dengan serius.
Akhirnya perundingan itupun berakhir dengan singkat. Tumenggung Satryo segera akan mengadukan hal itu pada Maha Patih Cakra Bhuana, yang akan meneruskan pada Raja. Sedangkan Roro dan Ginanjar segera meminta diri pada Tumenggung muda itu untuk meninggalkan Kota Raja.
Tampaknya kemelut di Kerajaan Mataram agak mereda, dengan ditangkapnya Adipati Kiduling Kuto. Dan diberi hukuman sesuai dengan kejahatannya. Walaupun sebenarnya masih dalam ketidak puasan, karena salah satu dari benda Pusaka Kerajaan Mataram belum diketemukan. Yaitu Tombak Pusaka Ratu Shima, yang menjadi benda sejarah buat Kerajaan Mataram.
Seperti dikatakan Roro Centil bukan karena benda pusaka itu saja yang menjadi masalahnya. Namun tanpa diketemukannya kembali benda Pusaka itu akanlah merusak "citra" dan keagungan Kerajaan Mataram. Seolah tak becus menjaga pusaka-pusaka Istana.
Untuk itulah, dengan diam-diam orang-orang Kerajaan dan kaum pendekar pembela keadilan telah sama-sama melacak kemana lenyapnya benda Pusaka itu. Terutama sekali adalah manusianya yang kini menguasai Tombak Pusaka Ratu Shima itu. Yaitu si Labalaba Hitam. Karena dikhawatirkan si manusia dari kaum Rimba Hijau golongan hitam itu akan mempergunakan untuk kepentingan pribadinya.
Hari itu adalah pertengahan tahun sejak ditangkapnya Adipati Kiduling Kuto. Cuaca dalam beberapa bulan yang telah terlewat itu agak membaik. Petani menggarap sawah seperti biasa. Kerbau melenguh membajak sawah yang diolah petani. Suara seruling mengalun merdu disisi-sisi bukit yang menghijau. Tampaknya suasana di wilayah Kerajaan Mataram seolah damai tenteram.
Marilah kita melihat keatas puncak sebuah gunung bernama Argasomala. Seorang kakek berkulit putih, berjenggot panjang terurai dengan kumis bagaikan misai yang putih bagaikan perak. Tampak duduk disebuah pondok sederhana. Pondok satu-satunya yang terpencil dipuncak Argasomala. Kakek inilah yang bergelar Ki Kutut Praja Setha. Seorang tokoh golongan Putih dari kaum Rimba Hijau yang berilmu tinggi.
Peristiwa menggemparkan ketika munculnya sebuah Kerajaan Setan yang bernama Kerajaan Pugar Alam ditengah Telaga Berkabut, telah menewaskan banyak tokoh-tokoh Rimba Hijau golongan Putih. Dalam upaya menghancurkan Istana Kerajaan Pugar Alam ditengah Telaga yang misterius hampir setahun yang silam, dan telah membuat kakek sakti ini kehilangan muridnya.
Ya! murid yang amat dikasihinya yang bernama Wibisana. Alias si Penunggang Kuda Setan. Kini orang tua sakti ini tampaknya sudah enggan berkecimpung di Rimba Hijau. Dia cuma duduk untuk bersemadhi di pondok sederhananya. Menantikan usia tuanya yang semakin lanjut. Tak dinyana dalam ketenteraman itu, ternyata masih ada manusia jahat yang datang menyatroni kepuncak Argasomala yang tenang dan damai itu.
Sesosok bayangan hitam berkelebatan menaiki puncak gunung yang sunyi itu. Sekejap kemudian, sosok tubuh itu telah tiba diatas. Dialah si kakek jubah hitam yang berjulukan si Laba-laba Hitam. Ditangannya tampak tercekal sebuah tombak yang juga berwarna hitam legam. Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima. Sepasang mata kakek berusia tiga perempat abad ini jelalatan memandang tempat sekitar itu yang sunyi mencekam.
Saat mana angin berhembus keras menerpa jubahnya. Kakek ini kerutkan keningnya. Tiba-tiba terdengar suara pelahan bersuara dengan nada parau dari dalam pondok sederhana itu.
"Siapakah yang datang mengusik ketenanganku? harap segera perkenalkan diri..." Tampak sang kakek seperti terkejut. Akan tetapi kembali wajahnya berubah dingin membesi.
"Hehehe... aku si tua Ganda Rukmo datang berkunjung kepondokmu, Pendekar tua bangka keparat! Lebih dari lima belas tahun, aku tak pernah berjumpa denganmu! Tak kulihat ada Pesanggrahanmu?" menyahut kakek ini dengan suara menggembor serak, lantang.
"Heh, tua bangka Edan! kau masih hidup rupanya? Hahaha. pesanggrahanku telah hancur musnah dibakar tiga orang muridku yang murtad! Aku membangunnya kembali dengan mendirikan pondok buruk ini! Ada apakah kau mencariku? Apakah sudah setua ini kau masih juga mau mengejar keduniawian?" menyahut suara dari dalam. Dan tahu-tahu Ki Kutut Praja Setha yang mengenakan jubah putih bertambalan telah muncul didepan pintu pondok.
"Heheheheh... dugaanmu tak salah, tua bangka keparat! aku ingin menjagoi sekolong langit ini. Kau lihatlah tombak Pusaka ditanganku ini! Dengan senjata andalanku ini mustahil kalau kau mampu bertahan dari sembilan jurus seranganku! Hehehe... hehehe..." mengekeh tertawa si Laba-laba Hitam dengan jumawa. Tampaknya dia amat berambisi sekali dengan cita-citanya yang boleh dibilang gila itu.
Ki Kutut Praja Setha tampak kerutkan keningnya. Alisnya bergerak menyatu. Dan agak tersentak kaget melihat senjata tombak hitam itu. "Ah!? kalau tak salah itulah Tombak Pusaka Ratu Shima. Tombak sakti yang pernah menggemparkan Rimba Persilatan. Terakhir bukankah benda pusaka itu telah dikuasai si Dewa Tengkorak, yang menurut berita telah lama tewas...! Benda pusaka itu menurut berita beberapa tahun yang silam telah menjadi milik Kerajaan Mataram. Dan dijadikan benda pusaka..." membathin Ki Kutut Praja Setha.
"Kau kenal Tombak Pusaka ini, tua bangka keparat!" berkata sinis Si Laba-laba Hitam.
"Ya! aku mengenal. Bukankah itu Tombak Pusaka Ratu Shima?"
"Heheheh benar! Matamu masih jeli juga!"
"Lumayan, sobat tua bangka gila! Kalau benda pusaka itu bisa berada ditanganmu. tentu mudah sekali aku menerkanya. Pasti kau telah mencurinya dari ruangan benda-benda Pusaka di Istana Kerajaan Mataram!"
"Hehehe.... tidak salah! Mengenai urusan itu aku tak perlu bentangkan padamu! kedatanganku adalah untuk meminjam Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam yang kudengar pernah dimilikimu, juga tentunya masih berada ditanganmu! berkata si Laba-laba Hitam.
"Ganda Rukmo...! Tidak sadarkah bahwa kau sudah tua bangka dan sudah dekat Uang kubur? mengapa masih mengurusi segala macam ilmu? Haiih! aku telah memusnahkan kitab pusaka itu! Aku tidak lagi memiliki apa-apa. Kecuali aku sedang mendekatkan diri pada Yang Maha Esa..!" menyahut Ki Kutut Praja Setha.
"Omong kosong! Siapa percaya ucapanmu! Heh! jauh-jauh aku datang kemari, aku tak mau datang dengan percuma! Apakah kau bicara benar?" membentak dingin si Laba-laba Hitam yang ternyata bernama Ganda Rukmo itu.
"Hm, untuk apa aku berdusta? Sudahlah, Ganda Rukmo, kukira sebaiknya kau mulai menyadari akan apa yang menjadi ambisimu itu! Kesaktian takkan ada batasnya. Karena diatas langit masih ada langit. Juga perlu kau selami apakah hasilmu selama ini? Apakah cuma melulu mengumbar napsu yang tak ada batasnya? Tiada kehidupan yang kekal dialam Fana ini. Kembalikanlah benda pusaka itu kepada Kerajaan Mataram. Dan kukira dengan kau kembali kewilayahmu di Perairan Tenggara, disana cukup membuat kau tenteram menghabiskan sisasisa usia tuamu!"
Akan tetapi kata-kata Ki Kutut Praja Setha telah membuat si Laba-laba Hitam ini jadi merah mukanya bagai kepiting direbus. Bahkan dia amat merasa terhina dengan nasihat baik bekal sahabat yang sejak muda memang selalu sering bertengkar itu.
"Kutut Praja Setha! aku bukannya bocah kecil yang kau nasihati sedemikian rupa. Kau benar-benar amat menghinaku! Susah payah aku dapatkan Tombak Pusaka ini, mengapa harus kukembalikan lagi ke Istana Kerajaan Mataram? Sudahlah tak perlu kau berkhotbah macammacam didepanku! Sekali lagi kukatakan, yang kuperlukan adalah Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam ditanganmu. Aku mau meminjamnya barang setahun, atau setengah tahunpun cukuplah! Dimana kau simpan benda itu."
Merahlah wajah Ki Kutut Praja Sheta. Akan tetapi kakek jangkung ini masih bisa menahan diri. "Ganda Rukmo! seperti kukatakan tadi, Kitab Pusaka itu telah kumusnahkan. Sudah kubakar menjadi abu sejak hampir setahun yang lalu! Apakah kau masih tak mempercayai?"
"Hm, lima belas tahun kita tak berjumpa, siapa tahu kau kini pandai ngibul. Karena buktinya kau menasihatiku macam-macam...! Kalau aku memeriksa kedalam pondokmu apakah kau mengizinkan?" berkata Ganda Rukmo.
"Aku tak pernah dihina sedemikian rupa oleh seorang manusiapun, kecuali seorang tua bangka gila semacammu! Aku sudah tak mencampuri urusan dunia Rimba Hijau lagi, Ganda Rukmo. Pergilah! jangan mengganggu ketenteramanku...!"
SEPULUH
"Hehehe... kecuali kau mampu menahan sembilan jurus serangan tombakku, barulah aku menyingkir dari sini. Akan tetapi bila kau tak sanggup, jangan kau sesalkan kalau Tombak Pusaka Ratu Shima ini menghirup darahmu! Kecuali kau berikan Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam...!" berkata dingin Ganda Rikmo yang tampaknya benar-benar tak mempercayai kata-kata Ki Kutut Praja Sheta.
"Astaga...! kau benar-benar manusia yang keterlaluan, Ganda Rukmo!" Memaki gusar Ki Kutut Praja Sheta. Agaknya kakek ini sudah tak kuat menahan kesabarannya lagi. Sementara hatinya memikir. "Heh!? jelas kalau si Ganda Rukmo ini sukar diinsyafkan dari jalan sesat! Aku telah gagal untuk menyingkirkan diri dari kemelut Rimba Hijau. Biarlah! kukira inilah jalan terakhir buat aku turut membantu menegakkan ketentraman manusia. Karena sudah dapat dipastikan si Ganda Rukmo ini akan jadi momok yang bakal meyebar kericuhan! Apa lagi dengan adanya Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya ...! Kalau aku berhasil menumpasnya saat ini, aku termasuk sudah menyelamatkan manusia dari ancaman kematian. Juga punya jasa yang kusumbangakan pada Kerajaan Mataram. Karena aku yakin dia pasti menjadi buronan Kerajaan Mataram, dengan mencuri benda Pusaka Kerajaan itu...!"
Berpikir demikian Ki Kutut Praja Sheta, diam-diam kumpulkan kekuatannya lahir bathin untuk siap menghadapi segala kemungkinan. Jelas pertarungan takkan dapat terhindar lagi. Dan Ki Kutut Praja Sheta telah siap untuk menyambungkan nyawa. Nyawa tuanya, yang masih cukup berharga. Melihat pendekar tua itu telah siap dengan kuda-kudanya, Ganda Rukmo tertawa sinis. Dia yang sejak tadi telah siap diri untuk bertarung, tak ayal segera mulai membuka serangan.
"Hehehe... kau jaga serangan pembukaanku! Hati-hati dengan mata tombak Pusaka ini. Ujungnya telah kurendam dengan racun!" Memperingati Ganda Rukmo.
Wut! Wutt! Wuttt...!
Serangkaian serangan hebat telah dilancarkan. Senjata Tombak Pusaka itu syiurkan hawa dingin yang menembus tulang. Meluncur ketiga jalan darah kematian Ki Kutut Praja Setha. Serangan beruntun ini cukup membuat si kakek yang pernah berjulukan si Pendekar Pedang kayu ini agak terkesiap. karena hawa racun yang bersyiur terasa menyesakkan pernapasannya.
Namun sebagai jago kelas tinggi yang pernah menggemparkan Rimba Persilatan, Ki Kutut Praja Sheta dapat mematahkan serangan-serangan ganas itu. Jurus-jurus mengelakkan diri yang dipergunakan serta hawa murni yang telah dihimpun disekujur kulit tubuh, mampu menahan rembesan hawa racun dari Tombak Pusaka Ratu Shima.
Bahkan kakek kosen ini balas lakukan serangan menghantam dengan tasbih hijaunya. Sejak mengasingkan diri dari kemelut Rimba hijau kakek ini memang tak pernah ketinggalan dengan untaian tasbih ditangannya.
Si laba-laba Hitam ini agak tersentak kaget, karena ternyata tasbih dari batu giok itu mampu mengusir hawa racun dari mata tombaknya. Bahkan kakek tua renta itu masih punya kelincahan untuk menghindari serangan-serangannya.
"Hehehe... ternyata kau masih punya senjata andalan, tua bangka keparat! Kemana Pedang Kayumu? Mengapa tak kau pergunakan?" berkata sinis Ganda Rukmo. Dengan satu sontekan mata pedangnya, serangan tasbih hijau telah ditarik kembali oleh Ki Kutut Praja Sheta.
Kini Tombak Ratu Shima mulai dimainkan dengan jurus-jurus berikutnya. Hawa racun semakin menggebu menyambar ke arah Ki Kutut Praja Setha karena dibarengi dengan tiupan ke arah kakek itu. Sementara serangan-serangan mendadak dari tombak semakin gencar mengarah leher dan setiap kulit tubuh lawan.
Melihat serangan Ganda Rukmo semakin hebat, terpaksa kakek puncak Argasomala ini segera robah gerakannya. Dan mainkan jurus-jurus dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam. Kini dari tubuh kakek ini keluar uap putih. Serangan tasbihnya menindih serangan lawan. Akan tetapi kelemahan si kakek jangkung ini adalah dia tak mau mengadakan benturan tasbih hijaunya dengan mata tombak lawan. Dia masih sangsi apakah tasbihnya mampu menghadapi Tombak Pusaka Ratu Shima itu.
Hal mana adalah amat menguntungkan si Laba-laba Hitam. Kini jurus keempat mulai dilancarkan. kekuatan tenaga dalam yang disalurkan semakin diperhebat membuat sambaran tombak semakin menggiriskan hati. Hawa racun seperti menempel dikulit tubuh kakek ini.
Sayang, Ganda Rukmo tak mengetahui kalau Ki Kutut Praja Sheta banyak punya jurus lain yang luar biasa. Tubuhnya mendadak melesat keudara. Lengannya menghantam batok kepala lawan, ketika sekonyong-konyong menukik lagi. BHLARR! Tanah menyemburat keudara. Debu mengepul. Ranting dan semak terbongkar.
Hantaman pukulan mematikan itu nyaris membuat batok kepala Ganda Rukmo hancur remuk, kalau dia tak cepat jatuhkan tubuh bergulingan. Sementara tangannya meraih benda yang selalu terselip dibalik jubahnya. Dan dibantingkan benda itu kedepan Ki Kutut Praja Sheta yang telah kembali meluncur untuk lakukan hantaman keduanya.
Busss...!
Asap hitam mengepul. Dan tubuhnya lenyap terbungkus. Kakek puncak Argasomala kertak gigi dengan gusar. Dia tahu kalau Ganda Rukmo telah mulai main licik. Benar saja! tahu ditempat itu telah muncul seekor Laba-laba Raksasa. Terperangah Ki Kutut Praja Sheta. Karena dia tak menyangka kalau Ganda Rukmo telah memiliki ilmu sihir hitam sedemikian rupa.
Namun cuma sekejap dia terkejut. Segera melompat mundur. Akan tetapi saat itu Ganda Rukmo telah berada dibelakangnya. Dalam keadaan tubuh tak terlihat. karena dia mempergunakan ajian Halimun. Tombak Pusaka Ratu Shima telah dilancarkan dengan kecepatan kilat. Dan... Bless!
Tersentak kaget kakek tua ini. Matanya membeliak karena terkejut. Sadarlah dia kalau telah kena bokongan lawan. Namun terlambat sudah! kakek ini balikkan tubuh. Sementara tombak itu telah kembali disentakkan si pemiliknya. Darah menyemburat. Memancur dari luka di punggung yang telah menembus sampai ke dada.
"Iblis pengecut! kau ... kau..."
Wajah kakek ini tampak membesi. Betapa geram dia terhadap Ganda Rukmo sukar dibayangkan. Lengannya mengepal mencengkeram tasbih hijau ditangannya hingga berderak hancur. Dan, dengan kekuatan terakhir dia gerakkan tangannnya melontarkan hancuran tasbih itu dengan kecepatan kilat.
Terdengar jeritan parau si Laba-laba Hitam dihadapannya, yang seketika menampakkan dirinya lagi. Apakah yang terjadi? Ternyata kakek tua berjubah hitam itu tengah terhuyung menutupi kedua matanya, yang mengalirkan darah.
Meraung-raung Ganda Rukmo dengan berloncatan tak tentu arahnya. Sementara si makhluk ciptaan berbentuk Laba-laba Raksasa itu sekejap telah lenyap lagi karena tiada lagi pengaruh dari si kakek itu. Sedangkan Ki Kutut Praja Sheta tak dapat mempertahankan diri lagi. Seketika tubuhnya ambruk ke bumi.
Setelah beberapa kali menggeliat. Kakek perkasa itupun lepaskan nyawanya dengan kulit tubuh berubah hitam. Darah yang juga berwarna hitam menggelogok dari lukanya. Ternyata dia telah terkena racun yang teramat hebat, disamping luka parah yang tak memungkinkan baginya untuk bisa hidup.
Sementara itu Ganda Rukmo masih meraung-raung menekap wajahnya. Ternyata sepasang matanya telah buta, tak dapat dipergunakan lagi. Tertatih-tatih dia merayap kesana kemari. Tangannya menggapai mencari tombak Pusaka Rati Shima yang terlepas dari tangannya. Keadaannya sungguh amat mengharukan.
Sayang! dia tak tahu lagi dimana adanya benda itu. Bahkan kakinya melangkah mendekati pondok dipuncak Argasomala itu. Pondok Ki Kutut Praja Sheta yang memang tak jauh dari tempatnya bertarung.
Saat itu sesosok tubuhnya bertopeng hitam berkelebat ketempat itu. Gerakannya amat ringan. Cepat sekali lengannya menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima yang tergeletak ditanah. Detik selanjutnya sudah melesat lagi dari atas puncak gunung itu. Dan lenyap dalam sekejap. Dua sosok tubuh terlihat pula bermunculan ditempat itu. Akan tetapi cuma sekejap. Karena segera salah seorang berteriak.
"Cepat kejar! Kita keduluan orang...!"
Dan dua sosok tubuh itu berkelebatan menuruni puncak Argasomala, mengejar sosok tubuh yang telah lebih dulu menyambar benda pusaka itu. Tersentak si Laba-laba Hitam ini. Dengan menggerung keras lengannya menghantam kedepan seraya membentak.
"Manusia-manusia keparat! kalian telah mencuri Tombak Pusakaku...?"
Blarrr...! Puncak bukit itu bagaikan dilanda lautan prahara yang seketika membuat balang-batang pohon berderak patah. Semak menyibak, dan menghambur beserpihan. Akan tetapi sosok-sosok tubuh tadi telah lenyap dari puncak gunung itu.
"Manusia-manusia keparat! Kembalikan Tombak Pusakaku...!" menggembor keras si kakek ini. Tiba-tiba tubuhnya melesat kedepan. Lengannya bergerak menghantam kesana-kemari. Keadaan disekitar tempat itu jadi rusak binasa diamuk kakek yang kalap ini. Bahkan pondok Ki Kutut Praja Sheta pun rusak binasa.
Keadaan Ganda Rukmo tak lebih bagaikan manusia setan yang mengerikan. Dengan wajah penuh mengalirkan darah. Mulut meyeringai mengamuk menghantam apa saja disekelilingnya. Rasa jengkel membuat dia mengumbar kemarahan sejadi-jadinya.
Akhirnya dia keprak kepalanya sendiri dengan kedua lengannya. Menjerit parau kakek yang telah kehilangan akal warasnya ini. Suara berderak keras terdengar. Kakek itu roboh ketanah dengan batok kepala hancur. Dan tewas seketika. Sesaat puncak Argasomala dicekam kesunyian. Sungguh satu pemandangan yang menyedihkan, karena sekejap saja puncak yang bersih, aman, tenang dan damai itu kini bagaikan baru saja dilanda badai taufan yang mengamuk.
Dua mayat terkapar ditempat itu. Manusia-manusia dijagat ini memang aneh! Dunia Rimba Hijau juga aneh! Angin utara bertiup sepoi membauri puncak Argasomala dengan bau anyirnya darah. Ternyata pula Tombak Pusaka Ratu Shima telah menjadi penyebab penghantar nyawa dua manusia dipuncak gunung yang sunyi itu. Sementara Matahari agak meredup, ketika awan hitam melintas. Puncak Argasomala semakin lengang...! Teramat lengang.
* * * * * * *
SEBELAS
SESOSOK TUBUH berkelebat tiba dipuncak gunung yang sunyi itu. Ternyata seorang gadis muda yang berwajah rupawan. Dipunggungnya tampak terselip sebuah seruling. Dialah si Seruling Gading adanya. Gadis yang mengenakan baju warna ungu ini tampak tatapkan matanya memandang kesekitar tempat itu. Dan terbenturlah pada sosok tubuh yang telah terkapar jadi mayat itu.
Wajahnya menampakkan terkejut. Lalu melompat ringan menghampiri mayat Ki Kutut Praja Setha. Kemudian melompat lagi untuk melihat mayat satunya lagi. Sepasang matanya semakin membelalak. Mulutnya ternganga. Dan...
"Guru...!?" Terdengar suaranya tersendat dikerongkongan. Seketika dia telah duduk bersimpuh dihadapan jenasah kakek tua itu.
"Guru...! Ah, tak dinyana kau akan tewas! Kalian pasti bertarung hebat. Kau pernah menyelamatkan nyawaku, Guru...! Aku belum dapat membalas budimu, kau telah berangkat terlebih dulu..." Terdengar suara gadis itu menggumam lirih. Dan setitik air bening tersembul disudut matanya. Lama dia tercenung menundukkan kepala. Tapi tak lama kemudian tampak dara ini bangkit berdiri. Mengusap air matanya.
"Sudahlah, adik manis..! mengapa harus menangisi orang yang sudah tiada? Pandanganlah kedepan! Tatapkan matamu kehari esok yang lebih baik! Dunia ini cuma sandiwara! Agaknya takdir sudah mengharuskan gurumu itu mati membunuh diri!" satu suara halus tibatiba terdengar dibelakangnya, Gadis ini menoleh. Dan tertegun dia karena telah melihat siapa adanya yang berdiri menatapnya."
"Kakak Pendekar Roro Centil...!?" Ah, sejak kapan kau kemari?"
"Hihihihi ... sejak terjadi pertarungan kedua jago tua ini. Akan tetapi aku terlambat datang. Ki Kutut Praja Sheta telah terkena hunjaman tombak pusaka Ratu Shima ditangan gurumu. Dan belakangan aku melihat dia mengamuk hebat karena kedua matanya terluka terkena sambitan tasbih Ki Kutut Praja Sheta. Seseorang lelah menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima yang menggeletak ditanah, lalu melarikan diri. Saat aku mau mengejar, dua sosok tubuh muncul lagi, dan mengejar orang yang melarikan benda pusaka itu. Aku segera memburunya. sayang, pencuri itu tak ketahuan kemana rimbahnya. Ketika aku sedang melacak jejaknya, kudengar suara gaduh dipuncak gunung ini, Kudapati gurumu tengah mengamuk. Dan akhirnya dia membunuh diri dengan menghantam kepalanya dengan kedua tangannya..!" tutur Roro.
"Dia adalah orang yang telah menyelamatkan nyawaku, kakak Pendekar Roro...!" ujar Seruling Gading dengan masygul.
"Yah, kau memang berhutang budi padanya. Akan tetapi gurumu ini adalah orang buronan Kerajaan Mataram!"
Tentu saja penjelasan Roro itu membuat di gadis tersentak kaget, "Sudahlah! Nanti aku ceritakan hal-ikhwalnya. Kita baru berjumpa lagi sejak kejadian di Cipatujah, adik yang baik! Banyak hal yang akan kutanyakan padamu. Juga tentunya aku akan ceritakan mengenai suaminya Sambu Ruci. ..!" Ujar Roro yang segera bicara sebelum Seruling Gading banyak ajukan pertanyaan. "Marilah kita semayamkan kedua jenazah ini ...!" sambung Roro dengan cepat.
"Oh baik, baik...! Girang sekali aku berjumpa dengan anda kakak Pendekar Roro..." sahut Seru ling Gading dengan amat hormat. Dia memang amat menyegani pada Roro. Apalagi mengingat akan nasib Sambu Ruci, ingin sekali dia mendengar beritanya.
Seperti pernah dikisahkan pada judul Duel dan Kemelut di Cipatujah, Seruling Gading telah menikah dengan Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok atau si Pendekar Selat Karimata. Akan tetapi adanya kemelut di Cipatujah membuat pernikahan mereka yang telah sempat diresmikan itu jadi berantakan karena ulah dari ayah angkatnya sendiri.
Demikianlah, mereka segera menggali lubang untuk penguburan kedua jenazah. Selang tak lama kedua jenazah mulai ditimbun. Dan menjelang gelincir matahari pekerjaan itupun selesai sudah. Roro mengajak Seruling Gading untuk segera meninggalkan tempat itu. Ditepi sungai mereka berhenti. Setelah mandi, kedua dara itu tampak duduk saling berhadapan di bawah sebatang pohon.
Sambil mengeringkan rambut, Roro mulai bercerita mengenai kejadian di Kota Raja. Mengisahkan semua kejadian di Kota Raja. Mengisahkan semua kejadian dari awal hingga akhir. Sementara Seruling Gading mendengarkan dengan serius. Kini giliran Seruling Gadinglah yang harus bercerita pada Roro.
Begitulah. Dara itu segera cerita kejadian, sejak dia loloskan diri dari sekapan ayah angkatnya di Pesanggrahan Cipatujah, yang ternyata dikuntit oleh dua orang murid sang ayah angkat. Terjadilah pertarungan, karena Seruling Gading mau diperkosa oleh kedua manusia brutal itu. Dalam pertarungan itu seseorang yang tak diketahuinya diam-diam telah membantunya bertarung. Hingga kedua murid ayah angkatnya tewas.
Sayang dia tak mengetahui siapa yang telah menolongnya. Namun Seruling Gading telah putus asa. Dalam keadaan tubuh lemah lunglai dia menerjunkan diri dari atas tebing curam, dimana dibawahnya terbentang jurang yang dalam. Dia tak tahu apa-apa lagi.
Tapi ketika tersadar dia telah dapatkan dirinya disebuah ruangan goa yang bersih. Dan seorang kakek telah menungguinya. Kakek itulah yang Ganda Rukmo alias si Laba-laba Hitam yang telah menyelamatkan jiwanya. Dan Seruling Gading telah mengangkat guru padanya.
Roro manggut-manggut mendengarkan dengan penuh perhatian. Lalu menghela napas. Ujarnya; "Sungguh prihatin aku mendengar kisahmu, adikku...! Akan tetapi ayah angkatmu telah mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya!"
Matahari semakin menggelincir pertanda sebentar lagi akan menjelang senja. Menampak demikian, dan setelah agak lama bercakap-cakap, Seruling Gading berkata.
"Kakak Pendekar Roro Centil. Sebenarnya aku masih rindu dengan pertemuan kita. Akan tetapi dengan sangat terpaksa aku mohon diri. Aku akan berusaha membantu anda untuk mendapatkan lagi Tombak Pusaka itu dan menyerahkan ke Istana Kerajaan Mataram...!"
"Aiihh, sukurlah kalau kau mau membantu. Akan tetapi mengapa tampaknya kau terburu-buru? Bukankah kau masih rindu? Dan... apakah tak ada hasratmu untuk mencari Sambu Ruci? Kasihan dia! Dia amat bersusah hati memikirkan nasibmu!" berkata Roro.
Seruling gading tundukkan wajahnya. Tampak tersirat perasaan sedih yang sukar dilukiskan. Dan dara ini tengah berusaha menahan perasaannya. "Kelak pasti aku akan mencarinya...! menyahut Seruling gading dengan suara lirih. Akan tetapi hatinya membathin. "Tidak! tak ada muka lagi aku untuk bertemu dengannya. Apalagi mencarinya! aku merasa malu...! Aku sudah tak perlu diharapkan lagi. Karena aku telah ternoda...!"
"Hm, sukurlah kalau begitu, Kelak bila berjumpa aku akan memberi khabar padanya kalau kau dalam keadaan sehat-sehat saja. Dimanakah kau bertempat tinggal?" tanya Roro, seraya turut bangkit berdiri mengikuti Seruling Gading.
"Ah, sayang sekali, kakak Pendekar Roro. Aku tak punya tempat tinggal, Goa tempat bernaungku selama ini mungkin segera akan kutinggalkan. Seperti juga kakak tentunya, aku akan mengembara, Menurutkan kemana langkah kakiku ini..." sahut Seruling Gading dengan sendu.
"Baiklah! kalau begitu. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungimu dalam perjalanan, dan dimana saja! Selamat jalan, adikku...!" ujar Roro Centil. Seraya kemudian ulurkan lengannya untuk menjabat tangan Seruling Gading. Dara ini menyambutnya. Bahkan segera memeluk sang Pendekar wanita ini dengan linangan air mata.
"Selamat tinggal kakak Pendekar Roro ...! Kalau masih ada usia semoga kita bisa jumpa lagi...!"
"Tentu tentu, adikku hihihi... dan semoga kalian bisa cepat bertemu...!" ujar Roro sambil tertawa kecil. Seruling Gading tersenyum tawar dan manggut-manggut.
"Ya, do'akanlah, kak ...!" sahut dara ini. Bibirnya tersenyum tetapi hatinya menangis.
Tak lama Seruling Gading segera mohon diri. Lalu beranjak meninggalkan Roro yang masih tercenung memandangnya. Sikap dan rona diwajah dara itu tak dapat mengelabui hati Roro. Dia tahu Seruling Gading menyembunyikan kesedihan hatinya diantara senyumnya. Setelah beberapa kali berkelebat, tubuh Seruling segera lenyap dibalik tikungan jalan disisi sungai itu,
"Aiih, pengantin baru yang malang..." mengguman Roro dengan hati trenyuh, lalu diapun berkelebat dari situ. Akan tetapi baru beberapa saat berlari, Roro kembali merandek hentikan langkahnya. Lalu berkelebat kebalik semak. Dua orang laki-laki berpakaian serba singsat berjalan cepat menyusuri jalan setapak disisi hutan itu.
"Kulihat jelas dia seorang perempuan berbaju merah! Akan tetapi heran? Mengapa cepat sekali dia berlari menghilangkan...?" berkata salah seorang.
"Heh! Dunia Rimba Hijau ini penuh dengan orang-orang sakti, Guntar! Kini tombak Pusaka Ratu Shima telah berganti majikan!" menyahut kawannya.
Tersentak Roro, karena segera teringat dia akan kejadian dipuncak Argasomala. Dua orang itu adalah si pengejar sosok tubuh baju merah yang berkelebat duluan menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima. Tanpa mengetahui Roro Centil yang bersembunyi, mereka terus lewat sambil bercakap-cakap tiada henti. Dan menyesali mengapa kurang cepat mereka menyambar benda pusaka yang tergeletak itu.
Roro Centil tertegun sejenak. "Siapakah kedua orang itu? Apakah dia golongan Pendekar ataukah kaum golongan hitam yang mencari kesempatan untuk mengangkangi Tombak Pusaka?" berkata Roro dalam hati.
Akan tetapi Roro tak bertindak apa-apa. Segera dia bangkit berdiri. Dan teruskan berlari cepat. Hari telah menjelang senja. Roro perlukan tempat bermalam. Tentu saja besok dia harus bekerja keras meneruskan lacakannya mencari si baju merah yang melarikan tombak Pusaka itu. Dalam berlari-lari cepat itu diam-diam hatinya menyentak kaget ketika teringat akan pembicaraan kedua laki-laki tadi.
"Eh, kalau sipenyambar benda pusaka itu seorang perempuan, aku memang melihat. Tapi... hm, ya! Ya... jelas kuingat kini. Sosok tubuh itu tak beda dengan perawakan si Iblis Ruyung Emas! Kalau benar dia, tak sukar mencarinya..." pikir Roro. Dan tersenyum dalam larinya. Sekejap dia sudah melesat cepat sekali. Dan sebentar saja tubuhnya lenyap dikeremangan senja yang semakin temaram.
DUA BELAS
Sementara disaat kepergian Roro Centil sesosok tubuh muncul dari ujung jalan. Tepat pada ujung jalan yang bakal dilalui kedua laki-laki pencari Tombak Pusaka Ratu Shima. Sosok tubuh ini sungguh sukar untuk dibayangkan, karena ternyata sesosok tubuh wanita yang tak mengenakan selembar pakaianpun pada tubuhnya. Tentu saja kedua laki-laki itu jadi melengak melihat tahu-tahu dihadapannya muncul sesosok tubuh wanita dalam keadaan membugil.
"Hah..? Sssi... siapakah kka...kau...?" tergagap seorang dari dua laki-laki itu. Keduanya menatap dengan mata membelakak. Belum lagi mereka tersadar, kedua laki-laki itu rasakan angin berkesyiur menerpa tubuhnya. Terenduslah bau harum semerbak.
Seketika kedua laki-laki ini jadi terpana. Dan belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, keduanya perdengarkan keluhan. Karena yang mereka rasakan adalah mata mereka berkunang-kunang. Pandangannya memutar. Serta kepala terasa pening. Terakhir, kedua laki-laki itu jatuh menggeloso tak ingat apaapa lagi.
"Hihihi... hihi.. ternyata kalian adalah para pendekar picisan. Akan tetapi kalian adalah laki-laki bertubuh kekar yang menggairahkan! Malam ini kalian harus menemani aku tidur. Kalian sungguh bernasib mujur, laki-laki gagah...!" berbisik wanita bugil itu.
Sepasang matanya membinar memandang kedua tubuh yang menggeletak pingsan dihadapannya. Dilain kejap dan sungguh diluar dugaan, kalau wanita bertubuh semampai itu mampu mengangkat kedua tubuh laki-laki itu sekaligus pada kedua pundaknya. Dan detik selanjutnya dia telah membawanya berkelebat dari tempat itu.
Dalam keremangan cahaya rembulan itu, terjadilah satu pemandangan yang menjijikkan. Karena kedua lakilaki itu bagaikan dua buah robot manusia yang telah dikendalikan otaknya. Tampak menggeluti tubuh perempuan bugil itu silih berganti dengan napsu birahi yang menggelora. Suara dengus napas dan rintihan nikmat dari manusia-manusia yang dimabuk asmara gila itu terdengar dalam desah-desahnya angin malam. Malam semakin melarut...
Dua tubuh laki-laki itu dalam keadaan membugil terkapar menggeletak diatas rerumputan dilereng bukit. Keduanya telah mendengkur pulas tak ingat apa-apa lagi. Bahkan mungkin tengah bermimpi melayang ke angkasa. Dari balik semak perempuan itu muncul lagi, dan baru saja mengenakan pakaiannya Ya! siapa lagi perempuan itu kalau bukan si iblis Ruyung Emas! Tak lama si wanita cantik ini telah melompat keluar mendekati kedua lakilaki yang terkapar itu. Ditangannya tercekal sebatang tombak. Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima.
"Hihihi... malam ini terlampias sudah hasratku. Aku benar-benar amat puas!" mendesis suara wanita ini. Bibirnya nampak menyunggingkan senyuman. Lalu setelah memandang kebawah bukit, kakinya beranjak untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia merandek. Kembali dia menoleh pada kedua laki-laki yang masih mendengkur pulas itu.
Lengannya bergerak kebalik baju merahnya. Dan... Serrr! belasan jarum meluruk deras ke arah kedua lakilaki bugil itu. Tampak kedua laki-laki itu tersentak kaget seperti digigit kala. Tapi sekejap setelah menggeliat, keduanya kembali terkulai. Kali ini untuk terus tidur selamanya. Karena nyawanya seketika langsung melayang...
Kemudian dengan mengikik tertawa si Iblis Ruyung Emas segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Malam itu Ginanjar tak dapat memicingkan matanya di ruangan Pendopo Kedipatian yang telah kosong, bekas tempat kediaman Adipati Kiduling Kuto yang telah dipenjarakan. Sampai saat ini ternyata belum terisi lagi. Belum ada pengganti Adipati Kiduling Kuto. Hingga sampai saat ini jabatan Adipati di wilayah itu masih kosong. Karena tetap tak dapat memicingkan matanya, akhirnya Ginanjar bangkit untuk duduk, disisi pembaringan.
Sementara pikirannya menerawang jauh. Sampai saat ini Ginanjar agak aneh dengan sikap Roro Centil. Sejak lebih dari tiga bulan yang lalu dia tinggal menetap di Kedipatian itu. Ginanjar layaknya bagaikan putera mahkota saja, karena segala Keperluannya dicukupi oleh para pembantu di Kadipatian itu. Pengawal-pengawal Kadipaten masih tetap berjaga seperti biasa.
Dia masih ingat pesan Roro Centil agar tak meninggalkan Kedipatian sebelum ada perintah dari Raja Mataram yang akan disampaikan oleh Tumenggung Satryo. Walaupun Ginanjar dapat berbuat bebas untuk keluar masuk dari pintu gerbang Kedipatian, akan tetapi lama-lama dirasakan bosan juga. Entah apa maksudnya dia disuruh menunggu gedung Kedipatian itu, sementara Roro Centil jarang menampakkan diri.
Tiba-tiba Ginanjar teringat akan pertemuan dua hari yang lalu ketika dia tengah keluar dari Gedung Kedipatian. Dia berjumpa dengan seorang wanita baju merah yang tak lain dari si Iblis Ruyung Emas. Mengingat demikian, pemuda ini menggumam.
"Haiih perempuan itu selalu saja menguntitku... tampaknya dia selalu mengejar-ngejar aku...! Wah, gawat kalau dia jatuh cinta padaku! aku sudah berjanji takkan main perempuan lagi. Roro yang kugandrungi setengah mati ternyata sulit diduga isi hatinya. Entah, apakah dia diam-diam mengujiku, ataukah memang tak ada secuilpun perasaannya terhadap...?"
Termangu-mangu pemuda ini sambil meremas rambutnya. Akhirnya dia beranjak mendekati jendela. Dibukanya jendela kamar tidurnya untuk melihat keluar. Keadaan diluar sunyi mencekam. Dua orang penjaga masih tetap berjaga menjalankan tugasnya didepan pintu gerbang Kedipatian. Terlihat berdiri mematung. Tiba-tiba dia mengendus bau harum semerbak.
"Aiii, wangi benar. Pasti bau wangi bunga disamping gedung yang terbawa angin..." berkata Ginanjar dalam hati. Akan tetapi sekonyong-konyong dia rasakan kepalanya pening. Pandangan matanya memutar. "Ah, aku harus cepat tidur! Selama ini aku kurang tidur setiap malam..." berdesis Ginanjar seraya memijit keningnya. Dihempaskannya tubuhnya kepembaringan. Agak lama dia berbaring, tiba-tiba tersentak pemuda ini karena merasa ada sesuatu yang kurang beres.
"Heh! jangan-jangan bau harum itu baru obat bius. Celaka aku kalau ada yang sengaja mau mengerjaiku...! Dan jangan-jangan kedua penjaga itu telah ditotok orang..!" sentaknya dalam hati.
Cepat-cepat dia kerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk salurkan hawa murni kesekujur tubuh. Dicobanya melawan kekuatan hawa mengantuk yang luar biasa itu. Dia yakin kalau itu bukan mengantuk sewajarnya. Saat mana tiba-tiba pintu kamar yang tak terkunci itu berderit terbuka. Dan sesosok tubuh memasuki pintu kamarnya. Sosok tubuh wanita.
"Roro...? Kaukah itu...?" tanya Ginanjar tersentak. Matanya menatap wajah orang. Karena pandangannya tengah berputar akibat hawa aneh yang membuat mata mengantuk itu, hingga dia perlu membeliakkan matanya lebar-lebar.
"Hihihi... aku yang datang Dewa Linglung.." menyahut wanita itu.
Tentu saja membuat Ginanjar terlonjak kaget. Segera dia bangkit untuk duduk. "Kau... kkau.. si Ruyung Emas...?" tergagap Ginanjar seraya mengucak-ucak matanya.
"Hihihi... benar, aku si Ruyung Emas, kekasihku..." ucapnya. Suaranya tergetar seperti mengandung hawa cinta berahi yang menggebu. Tiba-tiba lengan wanita itu mengibas. Dan bersyiurlah bau harum yang lebih semerbak.
Tersentak Ginanjar. Cuping hidungnya kembang kempis terendus bau wangi itu. Akan tetapi kali ini tergetar hatinya, karena sekejap hawa birahi telah menimbulkan rangsangan hebat. Membuat tubuh Ginanjar jadi bergetar dan dada bergemuruh, Apa lagi wanita dihadapannya mulai membuka pakaiannya.
Sementara sepasang matanya tak berkedip menatap Ginanjar. Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera. Wanita ini tengah salurkan kekuatan ilmu hitamnya untuk menundukkan hati si pemuda. Berkali-kali Ginanjar meneguk air liurnya. Hawa rangsangan yang hebat telah mempengaruhi sirkuit otaknya untuk menuruti kata-kata wanita itu.
"Dewa Linglung...! Ayolah, kekasihku...! Aku amat mendambakanmu! aku mencintaimu setengah mati. Aku kedinginan malam ini...! Peluklah aku. Dekaplah diriku, kekasihku yang tampan..." berkata si Iblis Ruyung Emas dengan mengeluarkan bisikan ketelinga Ginanjar. Tubuhnya telah beranjak semakin mendekat.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sesuatu yang terhempas pecah diruangan depan pendopo. Tersentak wanita ini. Dan seketika mencabut lagi kekuatan ilmu hitamnya yang telah dipergunakan mempengaruhi Ginanjar. "Tombakku...?" desis wanita ini seperti tersentak." Agaknya dia teringat pada Tombak Pusaka Ratu Shima yang disandarkan di dinding diluar pintu kamar.
Sementara itu sesosok tubuh ramping baru saja berkelebat melompat dari atas tembok. Karena kurang hati-hati kakinya menyentuh pot bunga yang tergantung hingga jatuh pecah kelantai. Namun tanpa memperdulikan dengan cepat dia berkelebat kedepan pintu kamar. Sepasang matanya tertuju pada Tombak Pusaka Ratu Shima yang tersandar didinding. Sayang dia terlambat. Karena dengan cepat si Iblis Ruyung Emas telah melompat keluar untuk menyambar terlebih dulu tombak pusaka itu.
"Heh?" tersentak sosok tubuh itu. Namun dengan gerakan cepat dia lancarkan serangan menghantam wanita telanjang bulat itu. Mulutnya membentak nyaring.
"Lepaskan benda itu!" Dan... Wukk..! benda yang panjangnya hampir tiga jengkal itu bergerak menghantam ke arah kepala si Iblis Ruyung Emas mengeluarkan suara mendesing. Itulah sebuah senjata seruling. Bahkan dia hantamkan pula telapak tangannya untuk menjotos dada wanita itu.
Namun dengan terkejut si wanita bugil itu dapat hindarkan serangan. Dengan gerakan sebat dia menangkis Pletak! Bhuk! Menjerit si Iblis Ruyung Emas karena terasa tulang lengannya berderak patah. Dibarengi rasa sakit pada dadanya yang terlambat dia mengelakkannya. Seketika tubuhnya terjengkang menggabruk kedalam kamar. Tombak Pusaka itu cepat disambut sosok tubuh itu. Dan segera tercekal ditangan.
"Berhasil!" terdengar suara sosok tubuh itu berdesis. Dan tak ayal dia sudah berkelebat melompat untuk keluar dari ruangan itu.
"Bangsat licik! kembalikan tombakku.!" melengking suara si Iblis Ruyung Emas. Tubuhnya telah melompat cepat untuk mengejar... Akan tetapi sosok tubuh itu balikkan tubuhnya. Dan. Serr! tiga pisau terbang telah meluruk deras ke arah si Iblis Ruyung Emas.
"Bedebah!" memaki wanita itu. Segera dia melompat untuk menghindarkan diri dengan miringkan tubuh, dan lakukan salto keudara. Serangan itu lolos. Akan tetapi dia tak dapat menghindari serangan berikutnya. Karena baru dia jejakkan kaki kelantai, kembali membersit dua pisau terbang mengarah kedadanya. Menjerit wanita ini seketika. Dan tubuhnya menggabruk jatuh setelah terhuyung beberapa langkah kebelakang.
Sementara dengan cepat sosok tubuh ramping itu berkelebat melompat keatas tombak. Akan tetapi menjerit dia. Dan tubuh itu kembali terjatuh kebawah tembok pagar gedung. Apakah yang terjadi? Tampak dua sosok tubuh berkelebat melompat ketembok. Salah seorang berkata.
"Kena...!" Dia seorang laki-laki yang memegang busur dan anak panah dalam bumbung dibelakang punggungnya Sosok tubuh satu lagi adalah seorang wanita yang berambut panjang terurai. Dia melompat lebih dulu untuk memburu sang korban yang terjatuh. Ternyata dia Roro Centil.
"Hah!?...kau... kau Seruling Gading?" tersentak Roro ketika mengenali siapa yang telah terkena panah itu. Laki-laki berpanah itu cepat melompat kesisi Roro.
"Siapa maksudmu, nona Roro...? Apakah dia bukan si Iblis Ruyung Emas?" Tersentak laki-laki ini. Dan berdiri memandang pada sosok tubuh yang barusan dipanahnya.
"Kau telah salah membunuh orang, sobat Satryo...! dia... dia sahabatku. Ya! Dia Seruling Gading!" sahut Roro mengeluh. Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara bentakan dibelakang mereka.
"Bangsat licik! Kembalikan tombak Pusaka itu...!"
Tersentak mereka ketika menoleh, sesosok tubuh wanita yang membugil telah berada dihadapannya. Dialah si Iblis Ruyung Emas yang jadi tujuan sasaran anak panah lakilaki itu, yang tak lain dari Tumenggung Satryo. Ternyata si Iblis Ruyung Emas masih mampu untuk bangkit dan mengejar si pencuri Tombak Pusaka itu.
Kini dengan keadaan tubuh yang amat memalukan dia berdiri terhuyung dihadapan kedua orang itu. Wajahnya tampak mengerikan. Tampak dua buah belati terhunjam didadanya yang mengucurkan darah. Ketika memandang Roro, wajah wanita itu jadi semakin pucat.
"Aah... kkau... kau..." tak sempat lagi dia meneruskan kata-katanya. Karena tubuhnya segera terhuyung jatuh menggabruk ketanah. Setelah menggeliat, tubuh wanita itupun terkulai karena nyawanya telah lepas dari raganya.
Roro dan Satryo jadi saling pandang. Akan tetapi Roro cepat balikkan tubuhnya ketika mendengar keluhan dibelakangnya. Seruling Gading tampak berusaha bangkit dengan mengerang. Didadanya tertancap anak panah yang telah dl lepaskan Tumenggung Satryo. Cepat Roro memburunya. Memeluknya dan menyangga tubuhnya dipakuan.
"Seruling Gading...? Aiih, kami tak menduga akan kedatanganmu kemari. Maafkan kami adikku...!" berkata Roro dengan terharu. Air matanya telah menyembul dari sudut kelopak matanya.
"Aku yang telah memanahmu, adik...! karena kukira kau si wanita Iblis Ruyung Emas itu..." berkata Satryo seraya berjongkok menekuk lutut dihadapan Seruling Gading yang terlentang dipangkuan Roro. Dara cantik ini tersenyum, terdengar suaranya yang lemah.
"Tak apa...! Tak usah kalian sesali semua ini. Bukankah kata kakak Pendekar Roro setiap manusia tak dapat menghindari takdir? Agaknya inipun sudah menjadi takdir buatku untuk pulang kealam Baka..." Roro mengangguk-angguk. Air matanya semakin deras mengalir.
"Kakak Roro... maukah kau menyampaikan pesanku pada... pada ssua..miku?" berkata Seruling Gading dengan suara kian melemah.
"Tentu! tentu adikku...!" sahut Roro dengan isak tersendat.
"Terima kasih, kakak Pendekar...! Aku amat bahagia, karena aku telah turut ambil bagian membantu kalian untuk merebut kembali benda Pusaka Kerajaan Mataram itu. Aku berhasil membunuh si Iblis Ruyung Emas. Dia... dia adalah perempuan jahat berhati kotor...! Aku.. aku telah mengenalnya..!" berkata Seruling Gading. "Dan... aku telah berhasil pula mengambil kembali Tombak Pusaka itu! walau aku harus korbankan... nyawa..!" Roro manggut-manggut. Satryo tak bergeming. Sementara Ginanjar berdiri terpaku pada jarak tiga tombak menyaksikan semua itu dengan terlongong.
"Apakah pesanmu itu, adikku...?" bertanya Roro, "Kakak pasti akan menyampaikan pada Sambu Ruci suamimu..." bertanya Roro dengan mengguncang-guncang tubuh Seruling Gading, karena wanita ini sudah mengatupkan matanya. Dan sepasang mata yang kian sayu itu kembali membuka pelahan. Bibirnya menampakkan senyum.
"Katakan padanya... bahwa aku amat mencintainya..." ujarnya lirih. Dan kepala itupun terkulai. Pengantin baru yang tak sempat mereguk nikmatnya cinta itu telah hembuskan napasnya yang terakhir dipangkuan Roro.
Tertunduk wajah Roro dalam-dalam. Air matanya menitik membasahi wajah Seruling Gading. Bibir Roro terdengar bersuara lirih. "Aku pasti akan sampaikan pesanmu itu, adikku..!" teramat lirih suara itu bercampur isak tertahan. "Dia telah tiada..." ujar Roro seraya menengadah memandang Satryo. Roro kembali menunduk untuk mencium pipinya. Lalu gerakkan lengannya mengatupkan mata sang jenazah. Seraya berkata lirih. "Tuhan! semoga Engkau ampunkan dosanya dan menerima amal kebaikannya...!"
Suasana dicekam keheningan. Cuma suara jengkerik yang bersahutan. Saat itu Ginanjar lambat-lambat menghampiri. Keduanya menoleh. Ginanjar bagaikan orang bisu menatap pada Roro. Pada Satryo, juga pada layon (jenazah) Seruling Gading. Terakhir pada mayat si Iblis Ruyung Emas. Akan tetapi cepat-cepat dia palingkan wajahnya karena tubuh bugil itu membuat darahnya kembali berdesir.
Tersipu-sipu Ginanjar bertanya. "Ada apakah yang terjadi sebenarnya...?" ucapnya agak kaku.
Roro jadi tersenyum. "Pergilah, katakan pada pembaca! Sampai disini saja kisah dalam judul Geger Tombak Pusaka Ratu Shima...!" ucap Roro sambil tersenyum. Lalu saling pandang dengan Tumenggung Satryo. Keduanya sama-sama tersenyum.
"Haiiih! kalau sudah begini apakah aku yang linglung ataukah pendekar kita ini yang linglung...?" berkata Ginanjar sambil garuk-garuk kepala.
Sementara rembulan dilangit semakin meninggi jua. Lapat-lapat dikejauhan terdengar suara kokok ayam memanjang. Pertanda hari hampir menjelang shubuh. Tumenggung Satryo raih tombak Pusaka Ratu Shima yang tergeletak ditanah. Terdengar suaranya menghela napas. Dan setitik air bening tersembul dari sudut pelupuk matanya.
Selanjutnya,