Kemelut Di Negara Siluman

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Kemelut Di Negara Siluman Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Kemelut Di Negara Siluman

Karya : Mario Gembala
SATU
UDARA hari itu cukup cerah. Langit biru tak berawan. Matahari bersinar cukup terik membakar jagat. Di atas tempat ketinggian tampak duduk di bawah pohon seorang dara jelita berpakaian singsat, yaitu pakaian orang persilatan. Rambutnya dibiarkan terurai.

Sementara sepasang matanya memandang jauh ke bawah lereng bukit dimana terlihat satu pemandangan indah. Sawah-sawah menghijau bertebaran laksana hamparan permadani yang menyejukkan mata memandang. Di kejauhan terlihat petani mengolah sawah, memperbaiki saluran, mencangkul kebun, dan sebagainya.

Terdengar dara jelita itu menghela nafas. Lengannya bergerak memotes ujung rumput. Lalu menggigit-gigitnya dengan mata berkejap-kejap. Dara jelita itu tak Iain dari Roro Centil, yang telah injakkan kakinya kesatu wilayah dalam pengembaraannya.

Dalam ketenangan semacam itu terkadang Roro teringat akan pengalamannya selama berpetualang. Banyak terjadi bermacam peristiwa yang terkadang nyaris merenggut nyawanya. Dan dalam ketenangan semacam ini amat terasa sekali betapa tenteramnya jiwa jika di setiap wilayah di atas jagat ini penuh kedamaian...

Akan tetapi keadaan memang susah diterka, yang disangka daerah tenteram ternyata masih ada saja kericuhan. Dara perkasa Pantai Selatan ini tiba-tiba jadi tersentak kaget, ketika sepasang matanya melihat asap mengepul tebal di kejauhan. Samar-samar terdengar suara teriakan dan jeritan orang meminta tolong. Sadarlah dia kalau diseberang sana telah terjadi sesuatu.

Sementara itu dilihatnya para petani yang tenang bekerja di tengah sawah mulai terlihat panik, dan berlarian menuju ke arah asap yang kelihatan semakin menebal menjulang ke udara bergumpalan.

"Heh, agaknya telah terjadi kebakaran di desa seberang sana! Aku harus segera melihatnya...!" desis Roro Centil, yang sekejap sudah melompat bangun berdiri. Dan... di lain kejap tubuhnya segera berkelebat melesat bagaikan anak panah menuju ke arah kejadian.

Apakah sebenarnya yang tengah terjadi? Sebuah rumah besar di tengah desa di lereng perbukitan itu memang dalam keadaan terbakar hebat di siang hari yang lengang itu.

Belasan manusia berlarian dalam keadaan panik dan berteriak-teriak kalang kabut. Ternyata di samping teriak dan jeritan wanita dan anak-anak yang ketakutan dan panik, ada pula teriakan-teriakan lain dan kegaduhan yang memang berasal dari kejadian itu.

"Rampoook...! Rampoook...!"

"Kejar... mereka yang telah membakar rumah...!"

"Mana rampok...? Mana...? Oo, rumahku...! Aiiir...! Aiiir! Cepat siram!"

Beberapa teriakan terdengar gaduh. Ada yang berlari ke dalam rumah untuk mengemasi barangbarangnya, ada yang menjerit-jerit sambil berteriak rampok. Dalam keadaan demikian sudah tak dikenali lagi mana rampok, mana penduduk. Dan sekonyong-konyong api telah menjalar ke beberapa rumah penduduk.

Kini kebakaran di desa itu telah menyebar secara cepat. Adalah satu hal yang tak mungkin kalau api dapat berpindah ke lain wuwungan, karena siang itu tak ada angin berhembus. Apa lagi jarak antara satu rumah penduduk ke lain rumah cukup berjauhan. Sebentar saja keadaan di desa itu semakin panik.

Manusia bersimpang siur dengan segala kesibukannya untuk memadamkan api atau mengemasi barang-barang, hingga bahkan terlupa pada anak dan istri. Jerit tangis dan ratapan pun terdengar disana-sini.

Sementara itu... Cepat sekali bergeraknya sosok-sosok tubuh yang berseliweran diantara kegaduhan manusia ketika bergerak mengemasi barangbarang menyambar apa yang bisa dibawa. Dan dalam kepanikan itu serombongan manusia telah angkat kaki dari desa itu dengan menggondol beberapa buntalan. Bahkan beberapa wanita berada dalam pondongan mereka.

Pada saat itulah Roro Centil munculkan diri. Terperanjat Roro melihat kejadian ini. Segera Roro bertindak cepat. Tubuhnya berlompatan ke beberapa arah. Suara lengkingan panjang yang merdu terdengar dimana-mana. Ternyata Roro Centil telah lepaskan hantaman telapak tangannya untuk memadamkan api. Setiap kali lengannya bergerak yang dibarengi dengan melompatnya tubuh dara perkasa itu, segera keluar uap berhawa dingin yang segera memadamkan api.

Dengan perdengarkan suara lengkingan-lengkingan panjang setiap kali Roro bergerak melambung atau melompat ke atas wuwungan, lengannya bergerak tiada henti. Hingga beberapa saat antaranya api yang mengamuk di beberapa rumah dapat terpadamkan.

Tentu saja kejadian itu tak luput dari penglihatan mata penduduk. Mereka memandang Roro dengan mata terbelalak. Manusia ataukah seorang Dewi yang telah menolong mereka? Suatu hal yang mustahil dilakukan manusia menurut pendapat mereka.

Akan tetapi mereka melihat sendiri dengan mata kepala ketika dara cantik itu berlompatan ke setiap wuwungan dan mengitari setiap rumah untuk memadamkan api. Sayang... selanjutnya mereka tak mengetahui lagi kemana lenyapnya si penolong.

Kekalutan memang segera mereda, akan tetapi tetap saja kegaduhan terdengar dimana-mana. Karena beberapa orang laki-laki dengan menghunus senjata telah berlarian mengejar ke arah barat, dimana menghilangnya belasan sosok tubuh yang menjadi biang keladi kericuhan.

"Kejar mereka...!" perampok-perampok itu semakin nekat. Mereka makin berani melakukan kejahatan disiang hari!" Teriak geram seorang laki-laki bertelanjang dada seraya bergerak melompat mendahului beberapa orang lainnya. Ternyata laki-laki itu baru pulang dari sawah. Paculnya masih tergenggam ditangan. Sementara itu teriakan seorang wanita tua terdengar menghiba.

"Anakku...! Oh, anakku diculik! Anakku diculik perampok! toloong...!"

"Sawitri kemana...? Sawitriiii...!" teriak pula seorang laki-laki.

Seorang anak kecil berwajah cemong dengan keringat deras mengalir berlari-lari menghampiri. "Celaka... kakak Sungkimah dibawa perampok! Dibawa kesana...!" teriak si bocah laki-laki ini dengan wajah pucat pias.

"Ha!? Dimana... dimana?" teriak seorang laki-laki yang membelitkan kain sarungnya di leher.

"Disana, dibawa ke bawah bukit!" Tak ayal si bocah laki-laki ini segera ditanyai. "Apa saja yang kau lihat...?"

"Mereka kurang lebih ada lima belas orang! beberapa orang membawa buntalan dan menggotong peti, yang lainnya memanggul orang perempuan!"

"Berapa orang perempuan yang kau lihat?" tanya seorang laki-laki berkumis yang tubuhnya masih belepotan lumpur.

"Ti... tiga! Ya... aku cuma lihat tiga...! Salah satunya jelas sekali kakakku...! Kakakku... Sungkimah! Oh. huuu... huuu... huuu... tolonglah dia! huuu... hhuuu..." Selesai bercerita bocah ini menggerung menangis sambil berteriak-teriak agar cepat menolong kakak perempuannya yang dilarikan perampok.

Seorang wanita tua berlari-lari menghampiri, ketika mendengar salah seorang anak gadisnya diculik perampok, wanita ini menjerit parau karena terkejutnya, lalu jatuh pingsan tak sadarkan diri. Kembali gaduhlah keadaan di dalam desa itu.

Saat itu sesosok tubuh berkelebat keluar dari desa itu. Ternyata dialah Roro Centil. Sejak tadi dia mendengarkan penjelasan si bocah laki-laki itu dari sisi sebuah pondok yang jendelanya telah jebol berantakan.

Roro memang sudah menduga kalau kejadian itu didalangi oleh oknum perampok yang melakukan kejahatan disiang hari, di saat kaum laki-laki kebanyakan bekerja di sawah atau mencangkul kebun. Dalam beberapa kali melompat, terkejut Roro Centil melihat beberapa sosok tubuh terkapar mandi darah dalam keadaan tak bernyawa. Dapat diduga mereka adalah para pengejar yang telah jadi korban kekejian perampok itu.

Roro kertak gigi menahan geram. Tiba-tiba terdengar suara lengkingan merdunya yang panjang, dan tubuhnya berkelebat melesat ke arah depan lalu lenyap terhalang pepohonan. "Bedebah...! cepat sekali para perampok itu menghilang!"

Desis Roro karena tak menampak adanya bayangan orang dihadapannya. Beberapa tempat di sekitar situ segera diperiksanya, akan tetapi tetap tak dijumpai kawanan perampok itu. Cuma beberapa mayat yang tergeletak.

"Setan alas! Perampokan ini pasti didalangi seorang yang berilmu tinggi...!" gumam Roro, setelah memeriksa setiap mayat yang dijumpai mempunyai luka sama. Yaitu lima buah lubang di atas batok kepala. Dan satu luka yang menembus dada, yang dipastikan bukanlah akibat serangan senjata tajam.

"Serangan keji! Mengapa digunakan untuk membunuh penduduk yang jelas tak berkepandaian apa-apa?" tercenung Roro Centil. Siapakah tokoh keji itu? sentak Roro dalam hati. Tapi tak lama dia sudah berkelebat untuk mencari jejak lenyapnya para perampok itu.

Sementara beberapa penduduk yang memergoki mayat-mayat para pengejar segera berkerumun dengan suara gaduh dan wajah-wajah pucat. Si laki-laki bertelanjang dada yang berkumis tipis tadi ternyata telah tewas. Paculnya tergeletak di sisinya. Dua orang pemuda bergolok juga mati dengan keadaan mengerikan. Tergetar tubuh beberapa lelaki penduduk setelah melihat keadaan yang mengenaskan itu.

* * * * * * *

DUA

Kapal itu sudah meluncur mengikuti arus. Berdiri digeladak paling depan adalah sesosok tubuh kekar berkepala gundul bagian tengahnya, sedangkan rambut tipis yang hampir bisa dihitung dengan jari tergerai sebatas bahu.

Laki-laki ini bertampang kaku, berkulit muka kasar. Dan sebuah benjolan di pipinya ditumbuhi beberapa helai rambut. Sepasang matanya mirip mata serigala. Tajam menatap dan bersinar, menampakkan kekejaman. Dialah yang bergelar si Cakar Naga Setan. Sudah beberapa bulan ini dia munculkan diri di sekitar sungai Mahakam. Nama aslinya adalah Kembayan.

Menjelang senja setelah melewati muara, perahu sudah merapat ke sebuah tempat yang berair agak dangkal pada sebuah kelokan tersembunyi. Anak-anak buahnya dari kawanan perampok itu segera berlompatan membawa barang-barang rampokan termasuk juga tiga orang tawanan wanita.

"Cepat sedikit...! Kumpulkan semua barang-barang ke gudang!" berkata si Cakar Naga Setan. Dan dia sendiri melompat mendahului ketiga anak buahnya yang memondong ketiga wanita. "Bawa ketiganya ke kamar tahanan sementara. Ingat! Tak kuizinkan kalian mengganggunya seperti kejadian yang lalu...!" ujarnya tegas.

"Baik, ketua...!" hampir berbareng ketiga anak buah itu menyahut. Di hadapan mereka segera terlihat sebaris pagar bambu yang rapat, yang tingginya dua kali setinggi tubuh manusia. Pada pintu gerbang itu terdapat tiga orang penjaga, yang segera membukakan pintu lebar-lebar.

"Selamat datang Ketua...! Wah, agaknya hasil kali ini cukup memuaskan!" berkata salah seorang seraya menjura.

"Aha...! Mari aku yang bawa masuk!" berkata laki-laki pendek kekar yang segera mendekati sang kawan, untuk ganti memondong tawanan wanita itu.

"Klampot!" memanggil sang Ketua melihat si pendek kekar ini. "Kau tak ikut bekerja! Padahal aku suruh kau turut serta! Hm, tak apalah...! Tapi bagianmu adalah yang terakhir!"

Laki-laki bernama Klampot ini cuma perlihatkan senyum pahit dan garuk-garuk kepalanya. "Yah, tak apalah... terakhir pun lumayan juga... hehehe..." tertawa menyeringai laki-laki ini, lalu mengambil alih memondong tawanan wanita itu.

Sementara sang ketua terus melangkah ke dalam. Ternyata di dalam pagar bambu yang rapat itu terdapat sebuah bangunan rumah dari kayu yang cukup besar. Mempunyai dua wuwungan rumah. Dapat dipastikan sebuah rumah agak kecil itulah tempat beristirahatnya sang ketua mereka si Cakar Naga Setan, karena laki-laki jangkung bermata serigala itu memang menuju kesana.

Ketiga tawanan wanita segera dibawa masuk kesatu ruangan yang berada di bagian belakang. Dua buah kerangkeng berpagar jarang yang di belit dengan tali-tali kuat sudah siap dibukakan pintunya untuk menerima penghuni baru. Setelah menjebloskan ketiga tawanan, pintu terali segera ditutup kembali dan dikunci dengan kuat dengan sebatang kayu besar yang disilangkan mengganjal pintu.

Tampak si pendek kekar itu jelalatkan matanya menjalari wajah dan potongan tubuh ketiga tawanan wanita. Sepanjang matanya membinar dan lidahnya mengeluarkan air liur.

Akan tetapi seorang penjaga berkata. "Maaf, pintu ruangan mau ditutup, silahkan keluar...!"

"Hahaha hehehe... baik! baik! huuu!" wajahnya menyeringai, tapi segera cemberut, seraya garuk-garuk kepala mendongkol. Namun dia memang tak berhak mengganggu lebih dulu Kecuali mau kena damprat sang Ketua mereka. Masih untung kalau cuma didamprat. kalau kena hajar tentu akan lebih susah lagi.

Brak...! Pintu ruangan tempat tawanan segera ditutup. Ketiga wanita itu tergolek dalam keadaan pingsan. Ternyata mereka telah dibius dengan sapu tangan yang ditekapkan ke hidung masing-masing. Selang tak lama salah seorang telah siuman dari pingsannya.

Mengetahui dirinya berada dalam kerangkeng bersama kedua gadis lainnya, wanita ini mulai menangis. Tahulah dia bahwa kini dirinya telah dijadikan tawanan para perampok. Dan tak di ketahuinya lagi dimana kini adanya. Akhirnya sang gadis ini terisak-isak menangis, setelah berusaha membangunkan kedua gadis yang dikenalnya satu kampung itu tak juga sadarkan diri.

Malam semakin melarut. Suasana di dalam pagar mulai diterangi lampu-lampu gantung. Dua orang laki-laki tampak memasuki ruangan tempat tawanan. Dan memasang lampu disamping kerangkeng kayu bertali kuat itu. Kiranya dua gadis itu sudah sadarkan diri. Mereka saling berangkulan dengan menangis terisak.

"Lepaskan aku...! Lepaskan aku dari tempat ini, perampok laknat!" teriak salah seorang gadis yang bernama Sungkimah, dengan menatap tajam pada dua orang yang mendekati kerangkeng.

"Hahaha... sudahlah! Hentikan tangismu! Kau akan dipelihara disini baik-baik! Aku mana punya kekuasaan membebaskan kalian..." berkata si penjaga.

Saat itu terdengar suara. "Tinggalkan ruangan ini, anak-anak!"

Segera keduanya menoleh. ternyata sang Ketua mereka telah masuk ke ruangan itu melalui pintu tengah yang rupanya khusus tempat masuk si Cakar Naga Setan.

"Ba... baik Ketua...!" sahut salah seorang diantara mereka. Lalu bergegas kedua penjaga itu ke luar.

Laki-laki ini menatap pada ketiga gadis itu dengan senyum kaku. Sepasang mata mulai liar menjalari sekujur tubuh gadis bernama Sungkimah yang ternyata adalah gadis paling cantik diantara kedua gadis kawannya.

"Hehehe... kau akan mendapat giliran pertama malam ini melayaniku!" berkata Kembayan alias Si Cakar Naga Setan.

"Nah, silahkan kau keluar...!" ujar laki-laki kepala perampok itu. Sepasang lengannya telah bergerak membuka pintu kerangkeng.

Akan tetapi justru gadis itu berlari ke sudut ruangan dengan wajah pucat pias. "Iblis...! Aku tak sudi! Bebaskan aku bebaskan kami! Rupanya kaulah si kepala perampok yang jahat itu! Kalian memang manusia-manusia biadab! Tidak... aku tak sudi! lebih baik mati dari pada melayani nafsu bejatmu!" berteriak marah gadis itu.

Rupanya diantara ketiga gadis, gadis bernama Sungkimah itulah yang paling berani buka suara. Sementara yang dua lagi gemetar ketakutan tanpa bisa keluarkan suara kecuali menangis terisakisak ketakutan.

"Hahaha... hebat! keberanianmu memang boleh dibanggakan! justru aku menyenangi gadis yang berani sepertimu! Baiklah! terpaksa aku yang akan menyeret mu sendiri!"" berkata si Cakar Naga Setan dengan tertawa menyeringai. Dan...

Brakk...! dia telah masuk ke dalam kerangkeng, lalu menutupkan kembali pintunya. Sekali tubuhnya bergerak melompat, dia sudah tiba di hadapan gadis itu. Lengannya meluncur menyambar pinggang si gadis.

Akan tetapi di luar dugaan gadis itu mampu mengelakkan diri. Tak heran, karena si Cakar Naga Setan menganggap gadis itu tak berkepandaian apa-apa hingga dia lakukan sambaran dengan gerakan biasa saja. Tak disangka kalau sambarannya luput. Hal itu membuat wajahnya berubah beringas.

"Heh! kau akan tahu kelak siapa aku! Tak seorangpun perempuan yang mampu lolos dari tanganku... hehe..." tertawa sinis laki-laki ceriwis ini. Tiba-tiba...

Krep! Bret! Brettt...!

Sekali sambar pinggang gadis itu kena di terkam. Dan detik selanjutnya pakaian si gadis telah dicabik-cabik dengan menggeram gusar. Terperangah kedua gadis itu seketika melihat sekejap saja pakaian si gadis kawannya itu hampir tanggal seluruhnya robek berserpihan. Sedangkan si gadis itu sendiri ternganga dengan wajah pucat pias.

Merontalah si gadis itu dengan berteriak-teriak histeris. Akan tetapi mana mampu dia melepaskan pelukan si Cakar Naga Setan yang sudah kalap? Lengan si Cakar Naga cengkeram rambut gadis itu dengan membentak.

"Berteriaklah setinggi langit! Atau kau akan kehilangan rambutmu yang bagus ini berikut kulit kepalamu.!"

Menghadapi perlakuan yang kejam ini terpaksa si gadis menahan rasa sakitnya dengan menggigit bibirnya hingga berdarah. Dan dengan tertawa menyeringai si Cakar Naga Setan mengelus dada si gadis serta mempermainkannya.

"Hahaha... bagus! kukira kalau sejak tadi kau menurut apa kataku, tentu tak kau alami hal seperti ini!" berkata demikian Kembayan lepaskan cengkeraman lengannya pada rambut si gadis. Dan sepasang matanya membelalak dengan berbinar-binar menjalari sekujur tubuh Sungkimah dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Gadis ini berdiri menyandar disudut kerangkeng dengan pejamkan sepasang matanya. Isaknya dicobanya ditahan sekuat hati. Sementara air matanya meleleh membasahi sepasang pipinya. Kembayan tampaknya tak perdulikan semuanya itu.

Bahkan dengan tertawa menyeringai segera sepasang lengannya bergerak menelusuri setiap lekuk tubuh gadis itu dengan napas mendengus-dengus berdesahan. Menggigil kedua tubuh gadis itu melihat adegan panas yang terjadi di depan mata.

"Setan keparat...! manusia iblis tengik! perbuatanmu sungguh amat menjijikkan...!!!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras diiringi suara gaduh.

Brakkk...! Pintu ruangan itu jebol berantakan. Dan... Krakk...! Pintu kerangkeng kayu itupun menjeblak terbuka hancur berkepingan. Sekejap kemudian di situ telah tegak berdiri seorang dara jelita berpakaian persilatan, yang tak lain dari Roro Centil adanya.

Kalau saja pada saat itu ada hantu yang muncul tidaklah membuat si Cakar Naga Setan terkejut. Akan tetapi munculnya Roro Centil ternyata membuat nyalinya seperti terbang seketika. Lengannya lepaskan pelukannya pada pinggang si gadis, dan melompat ke sudut dengan wajah pucat.

"Heh, kiranya kau manusianya yang menjadi biang keladi kepala rampok? bagus! bagus...! Kau memang manusia penipu tak punya malu, kepala perampok tengik!" Selesai membentak, tubuh Roro berkelebat cepat, tahu-tahu...

Bluk..! Krakkk...!

Sukar dilihat kecepatan Roro bergerak. Karena sekejap saja tubuh si Cakar Naga Setan terlempar terkena hantaman lengan Roro, yang langsung membuat kerangkeng kayu itu patah-patah terkena benturan tubuhnya dengan menimbulkan suara gaduh. Serangan Roro Centil memang dapat dipapaki oleh laki-laki kepala rampok ini, akan tetapi tak urang toh tubuhnya terlempar juga karena tenaga dalam Roro berada di atas kekuatan tenaga dalamnya.

TIGA

AKAN TETAPI tak urung Roro Centil terhuyung juga ke belakang dua tindak. Lengannya terasa kesemutan. Tahulah dia kalau orang ini telah mengalami kemajuan pesat. Ternyata Roro memang pernah bertemu dan bertarung dengan laki-laki bernama Kembayan ini. Bahkan telah pula mengampuni jiwanya.

Sungguh sama sekali Roro tak menyangka kalau bisa bertemu untuk yang kedua kalinya. Dan ternyata orang yang telah pernah menyembah-nyembah mencium ujung kakinya ini masih juga melakukan kejahatan. Kejadian enam bulan yang lalu adalah, ketika Roro berada di Pulau Laut. (wilayah Kalimantan Selatan).

Menurutkan suara gaib dari gurunya ketika Roro berada di ujung bagian timur Pulau Jawa, Roro dititahkan menuju ke arah utara. Roro harus mencari satu benda mustika diseberang Laut di satu pulau yaitu di wilayah utara dari Pulau Jawa. Suara gaib itu lenyap tanpa terdengar lagi ketika Roro tiba di Pulau Laut. Roro sendiri tak mengetahui benda mustika apakah yang dibisikkan suara gaib gurunya itu. Akan tetapi tekad bulat Roro telah tertanam kuat untuk mendapatkan benda mustika itu.

Demikianlah di Pulau Laut Roro Centil terpaksa harus menahan dulu langkahnya untuk bersemedhi mencari ilham atau petunjuk nalurinya. Sebulan sudah Roro berdiam disana dengan ditemani si Tutul yang selalu setia mengikutinya dan membawa kemana saja menuruti keinginan hatinya. Agaknya Roro memang sudah berjodoh untuk memiliki siluman harimau Tutul sebagai tunggangannya itu, hingga memudahkan Roro dalam petualangannya.

Selama itu Roro tak lupa untuk memperdalam ilmu-ilmunya. Bahkan di luar sadar Roro telah memadukan beberapa jurus ilmu warisan dari gurunya si Manusia Banci dengan ilmu ciptaannya sendiri. Sayang jurus aneh itu dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Karena Roro melakukannya dalam keadaan samadhi, dan dalam keadaan separuh tidur. Kejadiannya adalah demikian...

Hari ketiga puluh di saat Roro lakukan semadi dalam sebuah lorong yang dibuatnya sendiri dengan tumpukan batu-batu karang. Tanpa diketahui Roro di ujung pulau telah mendarat sebuah perahu pada malam yang diterangi cahaya bulan sabit.

Dua sosok tubuh melompat turun. Ternyata dua orang laki-laki. Seorang bertubuh pendek kekar dan seorang lagi agak jangkung berkulit hitam. Ternyata dialah si Cakar Naga Setan dan seorang anak buahnya. Kedua orang itu berbisik-bisik pelahan. Suaranya hanya bisa terdengar oleh mereka berdua.

"Sssst, dimana kau melihat wanita cantik itu berada?" tanya Kembayan. Klampot tertawa menyeringai.

"Hehehe... sabarlah! Masakan aku berdusta Ketua? Asalkan ada perjanjian dulu untuk yang ini adalah bagianku terlebih dulu, karena aku yang memberi tahu...!"

Mendelik sepasang mata si Cakar Naga Setan. "Kunyuk!" desisnya. "Kau seorang anak buah berani bikin usul dengan segala perjanjian tai kucing! Benar-benar kau tak menghargai ku...!"

Klampot kerutkan tubuhnya. Ngeri juga dia kalau sang Ketua jadi marah. Akan tetapi laki-laki pendek kekar ini memang pandai mengambil hati ketuanya. Segera dia berkata lagi. "Bukan begitu, Ketua...! Selama aku mengikut padamu, ku nilai kau adalah seorang ketua yang baik, yang menghargai jerih payah anak buahnya. Bukankah cita-cita Ketua adalah menjadi seorang raja yang punya banyak kekuasaan.

"Betapa banyak para Raja-raja yang jatuh dari singgasana karena tak menghargai bawahannya, hingga si bawahan justru membenci sikap Raja semacam itu! Hingga tak jarang terjadi pemberontakan-pemberontakan yang mengancam kedudukan Raja dan kekuasaannya. Akhirnya... berakhir dengan kejatuhan kekuasaan sang Raja! Nah, aku sebagai bawahanmu cuma memberi contoh saja. Kalau untuk masalah ini selanjutnya adalah terserah Ketua..." Ujar Klampot berbisik.

Merah padam wajah si Cakar Naga Setan. Giginya gemeletuk menahan geram. Akan tetapi dia cuma bisa manggut-manggut. Kemendongkolan pada anak buahnya mendadak luntur. "Hm, benar juga pendapatmu, Klampot! Baiklah, untuk hal ini aku mengalah...!" ujar Kembayan. Agaknya termakan juga dia oleh kata-kata Klampot yang dinilainya benar.

Klampot tersenyum penuh kemenangan. Hatinya membatin. "Hehehe... jarang ada Ketua yang semacam ini...!"

Tak lama mereka dengan berindap-indap segera merayap mendekati ke tengah pulau. Benar saja setelah melewati bukit-bukit kecil, segera terlihat susunan batu-batu karang di ujung agak sebelah dalam pulau, tempat yang dihuni Roro Centil. Tampaknya Roro memang tak mengetahui kedatangan mereka, karena sudah beberapa malam berturut-turut dia kurang tidur.

Dalam duduk bersemadhi itu ternyata Roro setengah tertidur. Tapi nalurinya memang teramat peka. Bahkan dalam keadaan mimpi, Roro tengah berusaha memadukan jurus-jurus baru ciptaannya dengan jurus-jurus yang diwariskan gurunya si Manusia Banci.

Sementara itu dua sosok tubuh memperhatikan Roro dengan pandangan aneh, karena melihat sikap orang yang bersemadhi itu gerak-gerakkan sepasang lengannya dengan mata terpejam. Si Cakar Naga Setan waspada khawatir kedatangannya telah diketahui, tapi nyatanya tidak. Sepasang lengan itu kembali terhenti. Dan laki-laki itu memberi isyarat untuk menyergap.

Akan tetapi apa yang terjadi kemudian...? Tahu-tahu Roro mengigau. Sepasang lengannya bergerak memutar, lalu menyodok ke depan dengan gerakan seperti orang menggeliat, seraya sepasang lengannya menggebrak ke atas batu yang diduduki. Hebat akibatnya. Ternyata kedua orang itu tahu-tahu rasakan tubuhnya seperti disentakkan satu gelombang tenaga tak terlihat. Dan terpental ke atas tanpa dapat dicegah lagi...

Terdengar suara teriakan tertahan si Cakar Naga Setan dan anak buahnya. Akan tetapi yang membuat aneh, adalah kedua tubuh itu tak turun lagi ke bawah. Tetap tergantung di udara bagai di sangga dua batang galah yang tak kelihatan. Membeliak kedua pasang mata laki-laki ceriwis pengganggu wanita itu. Sukar untuk dipercaya, ilmu apakah yang digunakan Roro...?

Sementara keduanya berusaha gerakkan kaki dan tangan. Tapi serasa tenaganya hilang musnah. Bahkan untuk bernafas pun sulit rasanya. Mengeluh si Cakar Naga Setan. Keringat dingin pun bercucuran di sekujur tubuh. Dan megap-megap nafasnya bagai orang yang kelelap di dalam air. Sementara Roro Centil justru tak mengetahui sama sekali. Dara Pantai Selatan ini tampak tersenyum, lalu tertawa seperti mengigau. Dan... memanglah dia tengah mengigau.

"Hihihi... jurus ini kunamakan jurus Kosongkan Perut Menahan Lapar, guru..! Hebat bukan?"

Ternyata Roro mengigau. Dan dalam mimpinya dia berbicara dengan gurunya si Manusia Banci. Tentu saja membuat si Cakar Naga Setan terperangah, dan takutnya bukan main. Wanita cantik yang masih begini muda sudah punya ilmu setinggi langit, apa lagi gurunya...? pikirnya.

Sementara dilihatnya Klampot anak buahnya itu sudah benar-benar kehabisan napas, dan terkulai tak sadarkan diri. Beberapa saat lagi maut akan segera menjemputnya. Kembayan alias si Cakar Naga Setan ini masih mampu bertahan, akan tetapi belum lagi sepenanak nasi wajahnya sudah berubah pucat bagai mayat. Tak ada lagi udara yang akan dihirupnya.

Memang membuat dia heran setengah mati, karena tak adanya udara sama sekali disekelilingnya. Angin semilir yang berhembus dari arah laut seolah terbendung tak bisa lewat di tempat itu. Berteriaklah si Cakar Naga Setan demi menolong jiwanya.

"No... nona pendekar perkasa...! Ampunilah aku...! Ampunilah jiwaku...! Tut... tut...tur... turunkanlah aaakk... akkuu... hhhhh..."

Roro Centil tiba-tiba terbangun dari tidurnya, seraya mengucak-ucak kedua matanya. Telinganya seperti mendengar orang mengeluh, dan meratap memohon ampun. "Mimpikah aku?" pikir Roro. Akan tetapi pada saat itu...

Bluk! Bluk...!

Dua sosok tubuh jatuh di kiri-kanannya bagaikan suara jatuhnya dua buah nangka masak. Roro terkejut dan melompat kaget, seraya berteriak. "Aaaaiiii...!?"

Sekejap kakinya telah melompat dan hinggap di atas batu karang. Dilihatnya dua sosok tubuh manusia bagaikan terjatuh dari langit saja nampaknya. Tergolek di dalam lorong batu buatannya. Masih untung bagian dasarnya adalah pasir, kalau batu karang yang keras itu, niscaya kalau tidak patah tulang, tentu patah leher kedua manusia itu.

Kalau Klampot si anak buah laki-laki botak di tengah, berambut tipis itu jatuh dalam keadaan masih tak sadarkan diri, adalah si Cakar Naga Setan mengaduh kesakitan. Akan tetapi dia dapat kembali bernapas...

Dengan heran Roro Centil melompat kembali ke hadapan kedua orang itu, seraya bentaknya. "Manusia-manusia edan dari mana kalian berani mengganggu semadhiku?"

Pucat pias wajah si Cakar Naga Setan. Akan tetapi tak ayal dia segera menyembah dengan tubuh bergetaran dan suara yang tersendat menggeletar bagai orang terkena demam panas. "Aa... am... ampunilah nyawa hamba nona Pe... Pendekar..."

Ucapnya dengan jantung berdetak keras. Entah apa kelanjutannya, apakah nyawanya masih bisa dipertahankan menghadapi gadis muda berilmu tinggi yang galak ini? "Hamba tak berani lagi mengganggu wanita! Hamba bersumpah, nona Pendekar, sungguh mataku buta tak mengetahui dalamnya lautan, tingginya langit!"

Tentu saja kata-kata itu membuat Roro tertegun. Tahulah dia kalau kedua manusia itu memang bermaksud jahat padanya selagi dia ketiduran dalam semadhi. "Aneh, orang ini! Tak ku apa-apakan tahu-tahu minta ampun. Lalu cara bagaimana dia bisa berjatuhan kemari? Padahal aku tak mengetahui kedatangannya..."

Berkata Roro dalam hati. Akan tetapi setelah berpikir sejenak, segera dia tersenyum. "He? ku lihat, dan ku rasakan menurut naluri ku di sekitar sini tak ada orang lain. Berarti apakah dia telah kena serangan jurus aneh dalam mimpi ku?" Roro tak dapat berpikir banyak. "Orang sudah minta ampun, mengapa harus tanya ini-itu?" pikirnya. "Kesempatan ini jarang ada dan satu kejadian aneh telah menolongku! Bagus! aku harus berpura-pura seolah memang telah mempecundangi manusia ini!"

Berpikir demikian, segera Roro umbar suara tertawa mengikik. "Hihi... hihi... kau telah berani mengganggu orang semadhi, tentu ada hukuman yang berat! apa lagi kalian berniat jahat!" Ujar Roro dengan suara dingin.

Menggeletar sekujur tubuh si Cakar Naga Setan. Seraya ucapnya terbata-bata. "Ampunilah... selembarnya... nyawa hamba ini, nona Pendekar..." Melihat tubuh orang menggigil gemetaran dan nafasnya pun masih megap-megap tampaknya Roro merasa kasihan juga.

"Urusan mengampuni sih gampang! Sebutkan dulu siapa kau? Dan siapa pula monyet pendek yang pingsan itu! Lalu ceritakan apa tujuan kalian ke tempat ini!" bentak Roro.

"Namaku Kembayan...!" menerangkan si Cakar Naga Setan dengan lesu. Nyalinya sudah lenyap terhembus angin. Karena sekujur tubuhnya boleh dikatakan seperti tak bertenaga lagi.

"Dia ini adalah sahabatku... bernama Klampot. Kami tak sengaja sampai kemari. Tadinya kami berniat memancing ikan di malam hari. Tapi kami lupa membawa kail. Ketika mendarat telah melihat nona disini...! Kami mengakui bersalah, nona Pendekar! Janganlah hukum kami... kasihan anak istri kami menunggu dirumah. Siapa yang memberi makan kalau hamba mati...?" Tutur Kembayan. Tentu saja separuh kata-katanya adalah dusta.

Akan tetapi tampaknya Roro tak mau panjang lebar menanyakan segala macam. "Baiklah! Ku ampuni nyawamu! Segeralah angkat kaki dari sini sebelum aku merobah keputusan!" bentak Roro.

"Te... terima kasih! terima kasih... nona Pendekar...!" ucap Kembayan seraya menyembah-nyembah hormat. Hatinya bersorak girang. Akan tetapi tiba-tiba dia berkata. "Nona Pendekar telah mengampuni nyawaku, apakah guru nona bisa biarkan aku pergi dengan selamat?" tanyanya.

Lagi-lagi Roro dibuat memikir. Untunglah Roro teringat akan suara mengigaunya, dan terpikir tentang mimpi anehnya dalam semadhi. Segera dia menyahut lantang. "Guruku sudah pergi sejak tadi. Silahkan kau merat dan bawa kawanmu ini...!"

"Baik, baik...! Terima kasih, nona Pendekar." Ucap si Cakar Naga Setan. Lalu terhuyung-huyung mendekati Klampot.

Ternyata Klampot pun sudah tersadar dari pingsannya. Dan sejak tadi mendengarkan pembicaraan dengan hati kebat-kebit. Ketika tubuhnya digoyang-goyang, dia pura-pura baru saja membuka matanya Lalu buru-buru menyembah pada Roro dengan gemetar.

Roro tak pedulikan kedua orang itu, segera kembali duduk bersila untuk teruskan semadhi. Sementara benaknya bekerja, kejadian apakah tadi hingga kedua orang ini bisa digagalkan niat jahatnya? Tak menunggu perintah sampai tiga kali, segera kedua manusia itu tertatih-tatih mendekati perahu yang ditambatkan di sebelah ujung pulau. Dan selanjutnya tinggalkan pulau itu dengan hati lega. Demikianlah kisah yang dialami Roro. Tentu saja dia mengenali wajah si laki-laki bernama Kembayan itu.

Ternyata Roro telah mencari jejak para perampok dengan penasaran. Dan berhasil mengetahui sebuah perahu besar di tempat persembunyian, yang baru saja ditambatkan. Dengan melompati pagar bambu, Roro segera tiba di dalam markas para perampok di malam hari itu...

EMPAT

KEMUNCULAN RORO CENTIL itu tentu saja membuat si Cakar Naga Setan terkejut setengah mati. Tiga bulan sudah sejak kejadian itu, tak pernah lagi dia mendengar dimana kabarnya wanita muda yang aneh dan berilmu tinggi itu berada. Hingga diam-diam si Cakar Naga Setan segera membentuk lagi anggota komplotan perampoknya. Dan selama dua bulan itulah si Cakar Naga Setan mulai beraksi dengan segala kejahatannya.

"Bangunlah, Kembayan! kukira kedokmu kini sudah terbuka! Kali ini tak mungkin kau bisa berdusta untuk yang kedua kalinya!" bentak Roro dengan suara dingin mencekam.

Mengeluh si Cakar Naga Setan. "Celaka! hari ini habislah aku!" berkata dia dalam hati.

Tiba-tiba tubuhnya bergerak melompat menyambar si gadis bernama Sungkimah itu. Dibawanya tubuh gadis itu bergulingan. Terpekik gadis itu. Sementara itu api obor telah membakar ruangan. Roro terkejut juga karena tak menyangka kalau si Cakar Naga Setan akan berbuat licik demikian, menjadikan si gadis tawanannya sebagai sandera.

Melihat api berkobar dan kedua gadis tawanan itu berteriak ketakutan, Roro segera kibaskan lengannya memadamkan api. Namun saat itu si Cakar Naga Setan telah melesat masuk ke dalam ruangan melalui pintu khusus. Brak! sekejap pintu itu sudah tertutup kembali. Lengan Roro bergerak menghantam dinding rumah papan itu hingga jebol berantakan.

"Jangan lari pengecut busuk!" teriak Roro. Namun bayangan si Cakar Naga Setan sudah tak kelihatan lagi. Betapa geramnya Roro Centil. Terdengar suara lengkingan nyaring wanita pantai selatan itu. Tiba-tiba tubuhnya melesat mendobrak genting wuwungan.

Krakkk...!

Sesaat Roro sudah berdiri di atas wuwungan rumah. Benar saja! Kembayan berada di atas, dan baru saja sembulkan kepalanya dari sebuah lubang menganga di atas wuwungan. Sepasang mata Roro ternyata telah melihat dengan jeli sekali, walau sinar bulan tak cukup menerangi dengan jelas. Kakinya bergerak mencongkel pecahan genting. Dan...

Tsss...!

Roro telah menendangnya dengan ujung terompah. Pecahan genting itu memecah menjadi beberapa bagian, dan meluruk ke arah kepala si Cakar Naga Setan. Terbelalak mata laki-laki itu. Trak! tak! tak! Untung dia cepat menyeplos kembali ke dalam lubang, tertambat sedikit saja pecahan genting itu akan menembus batok kepalanya. Namun Roro sudah mengetahui dimana si Cakar Naga Setan bersembunyi. Segera Roro berteriak.

"Hei! lutung gundul! Aku tak perdulikan gadis itu mampus atau tidak! Kalau kau tak keluar akan kuhancurkan rumah ini berikut semua yang ada di dalamnya! kecuali kau mau kuajak berdamai! Segera kau turunlah! Seraya berkata, Roro Centil melompat ke bawah. Dan hinggap ditanah dengan gerakan ringan. Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh tanah, telah membersit belasan senjata rahasia meluruk ke arahnya.

"Keparat! keroco-keroco sialan! Kalian mencari mati!" bentak Roro.

Gadis pantai selatan ini putarkan tubuhnya. Rambutnya yang terurai bergerak mengibas. Tak menunggu lama lagi empat sosok tubuh terjungkal roboh, termakan senjata-senjata rahasia yang dilontarkan mereka sendiri. yang telah berbalik meminta korban majikannya.

Lima orang perampok anak buah si Cakar Naga Setan tampak ke sisi dinding rumah. Roro perdengarkan dengusan di hidung. Tubuhnya tiba-tiba melesat lenyap. Dan sukar diikuti oleh mata, karena tak lama kemudian kelima sosok tubuh itu terlempar ke udara dengan jeritan-jeritan kematian. Dan tubuh-tubuh itu jatuh bergedebukan ke tanah untuk melepaskan nyawa.

Seketika keringat dingin si Cakar Naga Setan mencucur deras membanjir di sekujur tubuh tiada henti, di tempat persembunyiannya. Laksana berhadapan dengan Malaikat Maut saja layaknya. Bergetar sekujur tubuh laki-laki itu dengan mata membeliak menyaksikan anak buah nya bagaikan daun-daun kering diterbangkan angin bergelimpangan tewas.

"Tungguuu...!" teriaknya seraya melompat keluar.

"Bagus!" berkata Roro seraya sudah palingkan wajahnya menatap si Cakar Naga Setan. Bibir wanita ini menampakkan senyum yang mengerikan dalam tatapan matanya.

"Kau mau kuajak berdamai?" tanya Roro dengan bertolak pinggang.

"Yy... ya...! aku bersedia menyerahkan semua harta yang ku rampok! Dan kita... kita berdamai." ujar si Cakar Naga Setan.

"Bagus!" segera kumpulkan barang-barang! perintahkan sisa-sisa anak buahmu mengumpulkannya di halaman. Dan kau tak kuperkenankan melangkah sedikitpun dari tempatmu!" berkata Roro dengan suara berpengaruh.

"Ba... baik! tapi dengan syarat! Aku dan sisa anak buahku kau perkenankan meninggalkan tempat ini!"

"He...? Nanti dulu! Aku tak butuh segala macam syarat! Kau telah membunuh beberapa orang desa dengan keji! Mereka tak bersalah! Kalian telah pula membakar rumah dan merampok harta. Selain itu pula kau telah mempermainkan kaum ku! Entah berapa banyak perempuan yang telah kau perlakukan dengan seenak perutmu! Rupanya tak ada jalan lain selain kau serahkan dirimu! Aku akan membawamu kepada yang berhak menentukan hukuman apa yang terbaik buat kalian terutama kau, Cakar Naga Setan! Atau kau mau tunjukkan kehebatan Cakar Naga kentutmu itu di hadapan ku?"

Merah padam seketika wajah laki-laki ini. Menghadapi Roro ternyata tidaklah mudah. Apalagi dia pernah mengibuli si nona Pendekar ini. Untuk melepaskan diri kedua kalinya cukup sulit rasanya. Hal mana membuat dia jadi nekat. Tiba-tiba dengan menggerung keras laki-laki kepala perampok ini menerjang lenyaplah sudah rasa takutnya. Lupalah dia akan kejadian yang telah membuat dia mengapung di udara pada beberapa bulan yang lalu. Sepasang cakarnya menyambar bagaikan puluhan cakar maut yang bersiutan mengancam jiwa sang gadis Pendekar ini.

Akan tetapi Roro Centil cukup dengan pakai jurus Bidadari Mabuk Kepayang, loloslah dia dan beberapa serangan berbahaya. Hal mana membuat si Cakar Naga Setan semakin menjadi-jadi kemarahannya. Tiba-tiba dia merobah gerakan silatnya. Tubuhnya berkelebatan bagai bayangan.

Inilah jurus Seribu Bayangan! jurus yang menjadi andalannya Sementara dalam berkelebatan itu sesekali cakarnya menyambar batok kepala lawan. Terkejut juga Roro Centil menghadapi jurus ini. Karena dia harus konsentrasikan indranya untuk mengetahui mana tubuh lawan yang asli. Dua puluh jurus berlalu. Ternyata Roro masih dapat mengimbangi dengan kegesitannya, bahkan sengaja mengulur waktu agar si Cakar Naga Setan kehabisan napas, karena kecapaian.

Dan pada saat yang tepat, Roro lakukan serangan telak menotok tiga jalan darah lawan. Robohlah si Cakar Naga Setan dengan memekik tertahan. Melihat ketuanya dapat dipecundangi, segera sisa-sisa kawanan perampok itu munculkan diri untuk menyerah.

Wajah-wajah mereka tampak pucat dalam cahaya bulan yang telah bersitkan cahaya terangnya. Masing-masing berjongkok dengan memegangi kepala dengan suara menghiba minta diampunkan jiwanya.

"Semua yang berada di dalam segera keluar! Kalau berani melarikan diri, jangan salahkan aku kalau aku bertindak kejam!" teriak Roro dengan suara lantang.

Akan tetapi memang tak ada sisa lagi dari delapan perampok anak buah si Cakar Naga Setan. Kecuali seorang yang membandel melarikan diri ke dalam gelap. Dialah Klampot! laki-laki kekar ini memilih melarikan diri menuju keluar pagar melalui belakang rumah, dengan memondong seorang gadis tawanan. Yaitu Sungkimah.

Akan tetapi pendengaran Roro kali ini sudah digunakan dengan tajam, mendengar dari jarak jauh Dan Roro segera mengetahui jejak langkahnya. Tiba-tiba tubuh si Pendekar Wanita ini berkelebat. Kedelapan perampok terbelalak ternganga. Dan beberapa kejap kemudian telah terdengar jeritan parau laki-laki bernama Klampot itu.

Kepala mereka semua menengadah ke atas. Ternyata sesosok tubuh terlempar melambung ke udara dengan keluarkan teriakan parau. Dan jatuh berdebuk tak jauh dari hadapan mereka. Bergidik ngeri kedelapan perampok ini melihat Klampot tak berkutik lagi dalam keadaan tulang-tulang remuk.

Terdengar suara tertawa mengikik Roro Centil yang membangunkan bulu roma. Dan... tahu-tahu bersyiur segelombang angin menerpa tubuh kedelapan anak buah si Cakar Naga Setan. Terdengar suarasuara keluhannya diiringi bergedebukan jatuh kedelapan orang itu. Roro muncul kembali dengan memanggul tubuh si gadis bernama Sungkimah itu dipundaknya.

"Hihihi... hari sudah malam, kalian beristirahatlah disini dulu. Besok kalian harus bekerja mengantar barang rampokan itu ke desa korban kalian, dan mengembalikan ketiga gadis tawanan yang kalian culik!" ujar Roro. Kedelapan orang itu cuma manggutmanggut dan menyahut dengan suara mengeluh.

"Baik...! Ba... baik...!" Akan tetapi disamping mengeluh, hati mereka bergirang karena Roro tak membunuhnya. Segelombang angin yang menerpa cuma membuat urat-urat tubuh mereka menjadi kaku tanpa bisa dapat digerakkan lagi. Tahulah mereka kalau si wanita Pendekar telah lancarkan jurus menotok jarak jauh yang amat hebat.

Setelah perdengarkan tertawa dingin dan ancamannya yang membuat tubuh kedelapan orang itu bergidik, segera beranjak melangkah menuju rumah tinggal para perampok itu. Ketika melewati tubuh si Cakar Naga Setan Roro mendenguskan suara di hidung. Tiga totokannya telah melumpuhkan "Naga" ini untuk tak dapat berkutik lagi.

Akan tetapi terperanjat Roro ketika melihat dara mengalir dari mulut Kembayan. Diantara darah yang bersimbah itu tampak sepotong lidah yang telah putus. Biji mata laki-laki ini membeliak tak berkedip lagi, yang nampak hanya putihnya saja. Ketika Roro memperlihatkan dengan jelas ternyata si Cakar Naga Setan ini telah tewas. Dia bunuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri...!

"Manusia bodoh! Rupanya kau mengambil jalan "terbaik" menurut pendapatmu...!" Tubuh Roro berkelebat untuk segera memasuki rumah besar itu.

Dan pada keesokan harinya perahu besar milik perampok itu sudah mengarungi sungai Mahakam untuk mengembalikan harta rampokan, serta mengembalikan ketiga gadis tawanan itu. Tentu saja perjalanan itu di bawah pengawalan Roro Centil. Dara Perkasa ini berdiri di depan geladak, berpegang pada tali tiang layar dengan gagahnya. Sementara kedelapan orang bekas anak buah si Cakar Naga Setan itu membantu mendayung dan memegang kemudi.

Sebenarnya hati kedelapan orang itu agak kebat-kebit karena khawatir akan balasan dari penduduk untuk memberi hukuman pada mereka. Akan tetapi Roro telah menjamin keselamatannya. Dan memang sebenarnya mereka tak mempunyai kesalahan yang terlalu berat.

Perahu besar itu terus meluncur ke arah suara. Sungai Mahakam yang bersih jernih itu tiba-tiba bergolak menyibak... Dan puluhan ekor buaya putih bermunculan dipermukaan air. Tentu saja membuat kedelapan orang pendayung perahu terperangah kaget.

"Celaka..! kita tak dapat teruskan perjalanan! Entah ada kesalahan apa pada kami, hingga tak seperti biasanya "mereka" mengganggu...!" Berkata salah seorang pada Roro dengan wajah pucat. Roro Centil kerutkan keningnya memandang ke depan, dimana puluhan ekor buaya putih itu seperti sengaja menghadang.

"Gulungkan layar! kita menepi!" perintah Roro.

Perintah segera dilaksanakan. Sementara ketiga wanita tawanan yang akan dipulangkan itu juga memandang dengan wajah pucat. Akan tetapi tiba-tiba perahu besar itu bergerak memutar, seperti terbawa pusaran air dari bawah permukaan. Lalu perahu itupun oleng ke kiri dan ke kanan. Tentu saja teriakan-teriakan ketakutan terdengar dari mulut ketiga gadis. Begitu kerasnya oleng perahu hingga seorang dari kedelapan pendayung itu terjungkal masuk sungai.

"Tolooong...! haep..." teriaknya, seraya berusaha berenang ke perahu. Akan tetapi sekejap tubuhnya telah lenyap.

Terperanjat Roro. Baru sekali ini mengalami kejadian aneh semacam itu. Putaran perahu itu semakin cepat, dan semakin oleng badan perahu. Dua orang anak buah si Cakar Naga Setan kembali perdengarkan teriakannya, Tubuh mereka terjungkal ke sungai. Lalu lenyap ditelan ombak. Apakah yang diperbuat Roro? Saat itu juga dia sudah sambar tubuh dua orang gadis untuk melompat ke darat. Baru saja Roro jejakkan kakinya ke tanah.

Terdengar suara jeritan saling susul, ketika sekejap perahu besar itu telah terbalik. Lalu tenggelam bagaikan disedot masuk ke dalam air yang bergulunggulung. Teriakan-teriakan manusia yang masih berada di dalam perahu besar itu sekejap saja lenyap, bersama lenyapnya perahu besar itu.

Terbelalak sepasang mata Roro memandangnya. Diam-diam bergidik juga tengkuk Roro. "Kasihan, aku tak dapat menyelamatkan gadis yang satu lagi!" berkata Roro dalam hati.

Anehnya puluhan buaya putih yang tadi terlihat bermunculan di atas permukaan air sungai telah lenyap. Air sungai kembali mengalir tenang, meninggalkan gelembung-gelembung air di bekas tenggelamnya perahu.

"Kejadian aneh ini harus diselidiki...! Akan tetapi aku harus mengantar kedua gadis ini dulu ke desanya...!" pikir Roro dalam benaknya. Lalu tatap kedua gadis itu, yang diantaranya terdapat Sungkimah. Tampak wajah-wajah pucat mereka. Sesaat Roro menatap ke atas tebing dengan tengadahkan kepala. Tiba-tiba lengannya bergerak meraih kedua pinggang si dua gadis itu. Dan...

Sstt... tap....! Roro Centil telah membawanya melesat ke atas tebing dan hinggapkan kaki dipuncak batu dengan ringan. Kedua gadis itu menahan napas dan menutup matanya dengan perasaan ngeri. Selanjutnya mereka cuma merasakan tubuhnya meluncur cepat sekali. Ketika kedua gadis itu membuka matanya, ternyata telah berada di tengah desanya.

Tentu saja kemunculan kedua gadis itu bersama seorang wanita muda yang tengah menjadi topik pembicaraan di setiap sudut desa itu membuat penduduk jadi terkejut. Akan tetapi juga bergirang, karena melihat kembalinya kedua gadis itu bersama si wanita Pendekar. Seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih 10 tahun segera mengenali kakaknya. Dan... berlarilah dia memburu ke arahnya.

"Kakak...! kakaaak...!" teriaknya penuh haru.

Gadis yang dipanggilnya itu ternyata mengenali adiknya. Dan diapun berlari untuk memburu sang adik. Selanjutnya keduanya telah berpelukan dengan menangis terharu. Sementara gadis yang satunya segera mendekati pada Roro, seraya berkata.

"Kakak Pendekar...! Terima kasih atas bantuan dan pertolongan kakak...! Entah dengan apa kami membalas budi anda...!" ucapnya dengan air mata berlinang.

"Roro manggut-manggut dengan tersenyum. "Sudahlah...! Pergilah kau temui sanak famili mu! Dan ceritakan, bahwa aku tak dapat menyelamatkan seorang dari kawanmu yang terculik, karena kejadian aneh di muara sungai itu...!" Selesai berkata, tubuh Roro berkelebat dan lenyap dari pandangan mata penduduk.

Sungkimah lepaskan pelukannya pada sang adik. Akan tetapi ketika menoleh ke arah Roro, kecewa dan tertegunlah dia, karena tak nampak si Pendekar Wanita yang telah menolongnya itu.

"Dia telah pergi, Sungkimah...!" ucap gadis itu.

"Ah, betapa cepatnya...! betapa hebatnya...! Sayang aku belum sempat ucapkan terima kasih untuk yang kedua kalinya...!" ucap Sungkimah dengan hati masygul.

Sementara itu seorang wanita tua telah berlari-lari ke arahnya. "Anakku... aaa...aanakku...! kau... kau selamat...? Oh, Tuhan... syukurlah! syukurlah..." berkata si wanita tua seraya kemudian memeluk sang gadis anaknya itu dengan hati girang dan terharu.

Tak dikisahkan betapa gembiranya dua orang gadis itu. Gadis yang satu lagi pun telah berpelukan dengan ayah dan ibunya. Dan seluruh penduduk segera berdatangan untuk menanyakan perihal pertolongan si Pendekar Wanita aneh dan sakti itu. Sementara Kepala Desa cuma bisa tersenyum haru, mengetahui anak gadisnya tak dapat diselamatkan.

Tapi dia mengetahui kejadian itu adalah karena musibah lain. Karena dari penuturan kedua gadis, si Kepala Perampok itu telah tewas. Tapi penuturan kedua gadis tentang kejadian di muara sungai Mahakam telah membuat mereka terperangah dengan mata terbelalak.

Sementara diam-diam seorang laki-laki tua berdesis pelahan dengan wajah berubah pucat. "Celaka...! pasti perbuatan lasykar Ratu Siluman Buaya Putih, si Peri Lubuk Siluman itu...!"

Tak lama laki-laki berjubah kumal itu beringsut keluar dari kerumunan penduduk. Lalu lenyap dibalik tikungan jalan desa. Dialah seorang dukun tua yang mengetahui rahasia kejadian aneh di muara Sungai Mahakam.

* * * * * * *

LIMA

Roro melangkah memasuki sebuah kota yang agak ramai di kawasan daerah itu. Sementara benaknya masih saja tak dapat melupakan kejadian aneh di muara sungai Mahakam. Beberapa orang laki-laki dan wanita tampak berkerumun disudut kota itu, tepat disamping sebuah restoran kecil yang banyak pengunjungnya.

"Obat kuat...! Obat kuat...! Ya... siapa lagi yang mau, murah! Nyaman dan tahan lama...! Pasti puas!" teriak seorang pedagang obat sisi jalan yang menggembar-gemborkan obat dagangannya.

Si pedagang obat itu seorang laki-laki tegap berkumis sebesar jari. Tanpa mengenakan baju. Bercelana pangsi warna hitam. Berambut panjang sebatas bahu dengan ikat kepala hitam. Sehelai kain dibentangkan di tanah. Dimana di atasnya terlihat obat-obat yang didagangkannya, berbentuk butiran-butiran pel berwarna kehitaman. Sepintas memang mirip kotoran kambing.

"Satu butir untuk setiap kali mau tidur." berkata tukang obat yang usianya sekitar 35 tahun itu. Seorang pembeli manggut-manggut seraya menerima bungkusan obat yang dibelinya.

"Ya...! Siapa lagi? Cuma tinggal satu, dua tiga... empat... lima! Ya, tinggal lima orang lagi! Cepatlah! Hari ini adalah hari terakhir kami buka disini! Kemanjuran obat kami telah diuji, dan sudah banyak yang memuji!" Ucapnya dengan nada keras, merayu pembelinya.

Roro yang kepingin tahu segera beranjak menghampiri. Beberapa orang penonton segera menyingkir ke tepi dengan cengar-cengir.

"Aha...! seorang gadis asing dari mana...? Eh, mau beli obat kuat dia barangkali...?" terdengar suara berbisik-bisik.

"Ssst....! coba perhatikan. Alangkah cantiknya gadis ini? Baru sekarang ini aku melihat seorang gadis secantik dan semanis ini..." ujar kawannya.

Saat itu seorang laki-laki dari arah sisi penonton, beranjak menghampiri Roro seraya pura-pura kakinya tersandung. "Hai! Jangan mendorong...!" teriaknya seolah-olah kaget. Akan tetapi lengannya bergerak merangkul pinggang Roro. Cepat sekali kejadian itu.

Roro Centil bertindak gesit, menyambar tubuh seorang wanita tua bertubuh gembrot di hadapannya. Lalu asongkan pada si laki-laki yang pura-pura terjatuh itu.

"Aiiiyaaa...!? Maaf, maaf nona..." Laki-laki itu tertawa menyeringai. Sepasang lengannya memeluk erat pinggang orang, yang dikiranya pinggang si dara cantik pendatang asing itu. Akan tetapi terkejut dia mengetahui siapa yang telah dipeluknya. Ternyata tubuh wanita gembrot, tua dan sudah ubanan. Seketika merahlah wajahnya karena malu. "Oh, maaf, maaf, mak! Aku tak sengaja...!" ucapnya gelagapan. Selanjutnya dia segera ngeloyor pergi dengan tersipu.

Sementara diam-diam laki-laki ini terheran karena tak melihat Roro berada di situ lagi. "Heran, kemana gadis asing itu? Cepat sekali lenyapnya!" berkata dia menggumam.

Beberapa orang lainnya yang tadi melihat Roro pun terheran karena cepat sekali lenyapnya Roro dari pandangan mata mereka. Sementara tukang obat masih menjajakan dagangannya tak mengetahui kejadian barusan.

Kemanakah Roro Centil? Ternyata dia telah berada di dalam ruangan restoran duduk dibangku disudut ruangan. Seorang pelayan segera menghampiri dengan terheran, karena tak melihat gadis ini masuknya.

"No... nona pesan makanan apa... ?" tanyanya memperhatikan wajah si tetamu.

"Apapun boleh! Asalkan makan enak pasti ku ganyang...!" sahut Roro seperti acuh tak acuh. Lidahnya terjulur sedikit, basahi kedua bibirnya. Sementara lirikan matanya memperhatikan seorang laki-laki yang duduk di sebelah kanannya. Laki-laki ini berbaju serba putih. Tadi ketika dia berkelebat masuk ke dalam, hanya dialah yang mengetahui kedatangannya.

Yang membuat Roro agak aneh adalah sepasang mata laki-laki itu membersitkan sinar tajam bagaikan menusuk jantung. "Siapakah dia?" tanya Roro dalam hati. Roro merasa tak bermusuhan pada laki-laki itu, akan tetapi sinar matanya seperti mengandung maksud tidak baik terhadapnya. Itu menurut dugaan Roro. Ketika selesai bersantap, si tetamu laki-laki berbaju serba putih itu beranjak keluar setelah membayar makanan.

Cepat-cepat Roro memanggil pelayan. Setelah membayar, tanpa menunggu pengembalian uangnya, Roro bergegas keluar untuk menguntitnya. Cepat sekali berjalannya laki-laki berbaju putih itu. Kali ini Roro tak boleh ayal memasang indranya, agar tak kehilangan jejak. Ternyata yang ditujunya adalah ke arah muara sungai Mahakam.

Tiba-tiba di sisi sungai tubuh laki-laki ini melenyap sirna. Tentu saja Roro Centil jadi terkejut, sepasang matanya menatap heran. Roro menduga laki-laki itu menggunakan ilmu Halimunan, akan tetapi memandang dengan mata batin ternyata tubuh si laki-laki itu berubah menjadi seekor buaya putih. Terperangah Roro Centil. Tahulah dia kalau laki-laki itu sebangsa siluman.

Buaya putih itu segera merayap masuk ke dalam sungai menyelam dan sesaat kemudian Roro baru tersadar dari terperangahnya. Roro Centil termangu-mangu memandang tempat kosong. Sementara itu kembali terbayang kejadian aneh yang telah menenggelamkan perahu dan memakan korban sembilan nyawa dari perahu perampok yang ditumpanginya.

Roro mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan di bawah air. Akan tetapi Roro memang perlu bersemadhi dulu mencari petunjuk, apakah adanya kejadian ini berhubungan dengan benda mustika yang dalam usaha pencariannya....? Hal itulah yang membuat Roro terpaksa harus menahan sabar untuk menanti saat terbaik mengungkap misteri di dasar sungai Mahakam.

Sesaat tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu berkelebat pergi dari tempat itu. Sementara diam-diam dia mengingat-ingat wajah laki-laki penjelmaan si siluman Buaya Putih. Baru saja kakinya jejakkan di tanah berbatu di atas tebing, satu suara terdengar menyapa.

"Kakak Pendekar...!" Roro tahan gerakan lengannya yang tadi sudah disiapkan untuk menghantam bila terjadi kemungkinan. Ternyata Roro telah waspada dan mengetahui adanya sesosok tubuh dibalik batu besar di atas tebing itu.

Disamping terkejut, juga heran si Pendekar Wanita ini karena ternyata sosok tubuh itu adalah seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih 10 tahun. Barulah dia ingat kalau bocah itu adik Sungkimah, si gadis yang beberapa hari yang lewat telah ditolongnya. Sekejap Roro sudah melompat ke hadapannya, dan bertanya dengan heran.

"Eh, adik kecil yang gagah! sedang mengapa kau di tempat ini?"

"Kakak Pendekar, sebelum menjawab pertanyaanmu, aku mewakilkan kedua orang tuaku mengucapkan terima kasih pada kakak Pendekar atas pertolongan kakak tempo hari!" berkata si bocah laki-laki dengan membungkukkan tubuhnya. Sementara sepasang matanya lalu menatap kagum pada Roro. Akan tetapi sepasang mata itu tampak berkaca-kaca. Dan... selanjutnya dengan seka air matanya, si bocah laki-laki itu kuatkan hati untuk bercerita.

Ternyata si bocah laki-laki ceritakan tentang keadaan di desanya sepeninggal Roro. Pada malam itu juga terjadi penyerbuan buaya-buaya putih ke dalam desa. Buaya-buaya siluman itu ternyata menggondol kembali kedua gadis desa itu, dan lenyap dalam kepungan penduduk.

Kejadian menyedihkan serta musibah yang berturut-turut menimpa desa Tembalu membuat penduduk gelisah, resah. Lenyap bencana perampok, kini muncul bencana siluman. Diam-diam si bocah laki-laki ini pergi dari rumahnya tanpa setahu kedua orang tuanya, dengan tujuan mencari Roro Centil. Ternyata berhasil menjumpai Roro di tempat itu...

Terenyuh hati Roro mendengar penuturan itu. Jerih payahnya menolong dua gadis desa itu cuma siasia. Dipandanginya wajah si bocah laki-laki dengan penuh perasaan iba.

"Aku pasti akan membalaskan dendammu itu, adik gagah!" ujar Roro seraya mengusap kepala anak itu. Bocah ini menatap Roro dengan mata basah.

Tiba-tiba dia memeluk kaki Roro dengan terisak. "Oh, terima kasih...! Terima kasih kakak Pendekar...!"

"Haiiiih...! Sudahlah, siapakah namamu adik gagah?" tanya Roro.

Cepat-cepat anak itu usap air matanya lagi dan menjawab dengan tersenyum. "Namaku Sugala!"

"Namamu bagus! Nah, kini kau akan kuantar pulang. Tentu kedua orang tuamu akan lebih susah karena kehilangan mu!" berkata Roro.

"Aku tinggal dengan seorang tua laki-laki. Dia seorang dukun sakti yang mengetahui tentang siluman-siluman buaya itu!" ujar Sugala.

"He? Begitukah" tanya Roro dengan heran, akan tetapi diam-diam hatinya bergirang.

Bocah laki-laki itu mengangguk. "Kedua orang tuakupun telah mengetahui aku ada bersamanya " ucapnya dengan tenang. "Bagus! kalau begitu ajaklah aku ke tempat orang tua itu!" ujar Roro dengan leletkan lidah basahi bibirnya. Sepasang matanya berkejap-kejap, sementara hatinya berkata. "Mujurlah kalau demikian, karena aku segera bisa tahu mengenai siluman-siluman buaya putih itu!"

"Marilah, kakak Pendekar. " ujar Sugala seraya berlari-lari dengan girang menuju ke arah belakang bukit di atas tebing itu.

Roro beranjak mengikuti dengan tersenyum melihat si bocah laki-laki itu mendaki lereng bukit dengan merangkak. Keinginannya untuk tiba lebih cepat di tempat si laki-laki tua yang dikatakan Dukun Sakti itu oleh si bocah, membuat Roro bergerak melompat dan menyambar tubuh bocah itu. Dan sekali tubuhnya melesat, sekejap sudah tiba di atas bukit. Tentu saja membuat anak itu tertawa girang.

"Di bawah bukit sana itulah tempat kakek dukun itu tinggal!" ujar Sugala.

"Bagus! mari kita kesana: "Berkata Roro seraya kembali melesat menuruni bukit. Bocah laki-laki ini sepanjang perjalanan tertawa-tawa girang, bahkan berkali-kali memuji kehebatan ilmu "terbang" Roro yang pergunakan kecepatan larinya untuk cepat tiba di tempat yang dituju.

ENAM

KAKEK TUA berjubah putih itu duduk di atas bangku reyot. Pada bibirnya terselip rokok kawung. Sepasang matanya merem-melek menikmati asap rokok yang sesekali dihisapnya. Di hadapannya duduk Roro Centil pada bangku yang agak baikan. Sementara si bocah laki-laki memasuki dapur, lalu kembali lagi dengan membawa baki berisi dua buah cawan berisi air putih.

Lalu dengan membungkuk-bungkuk hormat Sugala meletakkan cawan-cawan berisi suguhan minuman itu di atas meja. Kemudian kembali ke dapur menyimpan baki, dan duduk di depan pintu dapur mendengarkan pembicaraan sang dukun tua dengan tetamunya.

"Aku memang pernah mendengar dikala aku muda dahulu, yaitu adanya satu kisah menarik mengenai penghuni-penghuni lubuk sungai Mahakam." Terdengar si kakek membuka pembicaraan mengenai pertanyaan Roro Centil.

"Kisah itu bermula pada sepasang suami istri yang baru menikah, dan mendiami sebuah pondok ditepi muara sungai Mahakam. Suaminya bernama Kenca. Seorang laki-laki muda dan gagah yang amat menyayangi istrinya. Suatu ketika di saat sang istri mencuci piring-piring kotor diperigi, salah satu sendok makan telah terjatuh masuk ke sungai.

"Sang suami yang ketika itu tengah mandi mengetahui sendok makan yang dicuci sang istri tercebur segera menyelam ke bawah permukaan air untuk mengambilnya. Sementara sang istri yang masih muda belia itu meneruskan mencuci. Apakah yang terjadi dengan laki-laki bernama Kenca itu? Ternyata satu pusaran air di bawah perigi membuat tubuhnya terbawa masuk ke dalam sebuah lubuk di bawah permukaan air.

"Makin lama semakin dalam tubuh Kenca terbawa pusaran air, hingga tak kuasa lagi dia untuk bernapas. Sepasang matanya membelalak memandang, dan dibuka lebar-lebar untuk melihat keadaan sekelilingnya. Lengannya berusaha menggapai untuk berontak dari pusaran air yang telah menyedot tubuhnya.

"Akan tetapi sia-sia... Kenca tak mampu untuk menyelamatkan diri. Dia pingsan tak sadarkan diri. Ketika siuman di dapati dirinya berada dalam sebuah kamar, serta ruangan yang amat indah..." Sampai disini si kakek dukun tua itu berhenti bercerita untuk menghisap dalam-dalam rokok kawungnya.

Roro tak sabaran untuk bertanya. "Bagaimana kelanjutannya, pak tua...?"

Si bocah laki-laki bernama Sugala itupun tampaknya tak sabar menanti, dan usap-usap kedua matanya. Si kakek dukun itu tersenyum, lalu lanjutkan ceritanya.

"Ruangan kamar yang indah itu adalah ruangan kamar sebuah Istana di dasar lubuk, yaitu istana Ratu Siluman Buaya Putih!"

"Ah...!?" Roro tersentak, seraya ucapnya. "Teruskan pak tua, lalu bagaimana selanjutnya?"

"Kenca terkejut melihat seorang wanita cantik berada dihadapannya. Dan setelah wanita itu memperkenalkan diri bahwa dia adalah Ratu Siluman didasar lubuk, hampir-hampir dia tak percaya. Tapi melihat kenyataan bahwa dirinya berapa di dalam air, tapi dia merasa tak kesulitan bernafas, bahkan seperti bernafas di udara biasa saja, yakinlah Kenca akan kenyataan yang di hadapinya.

"Sang Ratu Siluman itu meminta Kenca untuk tinggal menetap di istananya. Kenca tak dapat menolak, bahkan kemudian Kenca memperistri sang Ratu Siluman dan tinggal didasar lubuk hingga bertahun-tahun. Dari perkawinan mereka, Kenca memperoleh seorang anak laki-laki. Suatu ketika, sang Ratu berpesan pada Kenca agar menjaga istana, karena dia akan pergi dalam waktu lama. Namun sang Ratu memberi peringatan pada suaminya agar tak membuka sebuah pintu yang menjadi pantangan baginya.

"Kenca menanyakan pantangannya, namun sang Ratu tak memberitahukan. Demikianlah, akhirnya Kenca berjanji akan menuruti pesan sang Ratu istrinya itu. Saat itu anak Kenca sudah berusia lima tahun. Kenca memang telah melupakan istrinya. Telah melupakan dunia manusia, karena hidup di Istana Kerajaan Siluman dengan kemewahan yang tiada tara. Segala keperluannya dilayani oleh para dayang istana. Dan berpuluh-puluh pengawal siap menerima perintah menjalankan tugas.

"Keadaan dikerajaan Ratu Siluman itu mirip dengan Kerajaan manusia saja layaknya, Hingga membuat Kenca betah berdiam disana, dan melupakan bahwa dia masih mempunyai seorang istri yang setia menunggu kedatangannya. Beberapa hari ditinggal istrinya, timbullah keinginan Kenca dalam benaknya. Yaitu ingin mengetahui rahasia apa gerangan di dalam ruangan yang pintunya terlarang dibuka itu.

"Saat anak laki-lakinya dibawa bermain oleh pengasuh Istana, Kenca memberanikan diri membuka pintu terlarang yang menjadi pantangan itu. Pintu pun terbuka. Dan, tiba-tiba saja Pusaran air bergolak keras dari dalam ruangan itu. Kenca terperangah. Pandangan matanya sekonyong-konyong menjadi gelap. Dia tak dapat melihat apa-apa lagi. Gelap pekat! Yang dirasakan adalah tubuhnya mengapung ke atas permukaan air.

"Nafasnya megap-megap, karena sukar sekali kini Kenca untuk bisa bernafas. Akhirnya tubuh Kenca tersembul juga kepermukaan air. Dalam keadaan terengah-engah itu, Kenca membuka matanya. Alangkah terkejutnya Kenca ketika melihat istrinya masih belum selesai mencuci piring di atas perigi. Terperangah mata Kenca memandangnya. Ternyata dia telah berada di alam manusia lagi.

"Sungguh tak masuk akal apa yang dialami Kenca, karena bertahun-tahun dia tinggal didasar lubuk dikerajaan Siluman bahkan telah mempunyai seorang anak dari perkawinanya dengan sang Ratu Siluman, tapi kenyataannya sang istri belum lagi selesai mencuci piring-piring kotor. Bahkan begitu Kenca muncul di atas permukaan air.

"Langsung sang istri menanyakan sendok makan yang diselaminya! Tersipu Kenca, dan berdusta mengatakan bahwa tak diketemukan benda itu di bawah air. Akhirnya setelah selesai mencuci dan mandi, Kenca bergegas pulang bersama istrinya..."

Tampak si dukun tua itu berhenti lagi bercerita, terbatuk-batuk sejenak, lalu ulurkan lengan meraih cawan meneguk air putih di dalamnya. Roro menghela napas. Tegang juga cerita itu, namun kakek dukun itu memang belum tuntas ceritanya. Sang dukun tua sulut rokok kawungnya yang mati. Setelah menghisapnya beberapa kali lalu teruskan bercerita...

"Kenca tak berani menceritakan kisah yang dialaminya pada sang istri. Namun pada malamnya, pondok Kenca didatangi berpuluh-puluh ekor buaya putih, yang mengelilingi pondok. Demikianlah setiap malam hal itu terjadi. Mereka tak lain lasykar dari sang Ratu Siluman didasar lubuk sungai Mahakam. Yaitu sang Ratu Siluman Buaya Putih.

"Kenca dicekam ketakutan bersama istrinya setiap malam. Akhirnya Kenca memutuskan pindah. Ya, Kenca pindah pada siang hari tanpa membawa satu bendapun dari pondoknya kecuali pakaian yang dipakainya. Dan sejak itu Kenca dan istrinya baru merasa aman dari ketakutan. Namun pada suatu malam Kenca bermimpi. Sang Ratu Siluman Buaya Putih mengancamnya akan membunuhnya kalau tak kembali ke dalam lubuk, menyerahkan diri pada sang Ratu.

"Dalam mimpinya itu Kenca menerima sebuah benda, yaitu sebuah Benda Mustika yang dapat dipergunakan untuk bernafas di dalam air. Benda mustika itu ternyata benar-benar terwujud dan didapati dalam genggaman tangan Kenca ketika terbangun dari tidur..." Sampai disini si kakek dukun berhenti sejenak untuk menghisap rokok kawungnya. Lalu melemparkan puntung itu jauh-jauh keluar jendela.

"Benda Mustika macam apakah itu, pak tua...?" bertanya Roro Centil dengan jantung berdetak keras. Sementara hatinya membatin. "Jangan-jangan itulah benda Mustika yang diperintahkan guru untuk memilikinya dari bisikan gaib yang kuterima...!"

Kakek dukun itu lanjutkan lagi ceritanya. "Benda itu adalah sebutir mutiara, yang di haruskan pada Kenca untuk menelannya!"

"Kemudian...? Apakah Kenca menelan benda itu, dan kembali ke kerajaan Ratu Siluman Buaya Putih itu...?" tanya Roro tak sabar.

Sang dukun tua itu menggeleng. "Tidak! Kenca tak mau melakukannya. Dia lebih mencintai istrinya ketimbang harus menjadi warga siluman di dasar lubuk. Akan tetapi akibat pembangkangan itu, istrinya disambar buaya putih yang muncul di saat sang istri mencuci pakaian ditepi sungai. Kematian istrinya membuat Kenca menderita sakit lahir batin.

"Akan tetapi untuk melabrak Kerajaan Ratu Siluman Buaya Putih sama dengan mengantarkan dirinya untuk tak kembali lagi ke alam Manusia. Bertahun-tahun Kenca menderita, hingga tubuhnya menjadi tua renta. Rambutnya memutih, dan tubuhnya menjadi bungkuk, walau sebenarnya dia belum begitu tua...!" Sampai disini si kakek dukun itu berhenti sejenak lagi untuk menghela nafas.

"Sungguh kasihan orang bernama Kenca itu, dapatkah pak tua menceritakan selengkapnya kemanakah kini orang yang bernama Kenca itu?" tanya Roro.

Yang ditanya tersenyum. Dari kerut-kerut wajahnya nampakkan kedukaan yang amat mendalam. Jelas kisah itu bukanlah cuma dongeng semata, akan tetapi memang benar-benar telah terjadi. "Orang yang bernama Kenca itu adalah aku sendiri...!" tiba-tiba menyahut kakek berjubah putih itu seraya bangkit berdiri.

Terhenyak Roro Centil seketika seolah tak percaya pada pendengarannya. "Jadi... jadi orang yang kau kisahkan itu adalah dirimu sendiri?"

"Benar...! Hehehe... memang aku si Kenca itu. Aku mendapat firasat akan adanya seorang pendekar yang dapat menebuskan kematian istri ku! Ternyata kaulah orangnya. Syukurlah, dengan kemunculanmu didaerah ini kukira akan ada manfaatnya bagi kesejahteraan penduduk di wilayah ini. Lasykar Ratu Siluman Buaya Putih itu telah mulai unjukkan keganasannya lagi! Kukira ada seseorang yang telah mendalangi, hingga bergentayangannya buaya-buaya siluman itu mencari mangsa. Dalam beberapa hari ini, aku telah mendengar banyak peristiwa. Tidak saja di desa Tembalu akan tetapi di hilir sungai Mahakam telah pula terjadi kegemparan menyebarnya siluman-siluman buaya putih meminta korban...!" tutur sang dukun bernama Kenca itu.

Kalau saja Roro tak dapat menahan girangnya tentu sudah melompat-lompat atau menari-nari didepan si kakek dukun, karena saat itu juga si dukun tua Kenca telah mengeluarkan sebutir mutiara yang membersitkan cahaya terang. Dan berada itu diberikan pada Roro seraya ucapnya.

"Inilah mutiara itu! Sesuai dengan pirasat yang kudapatkan dalam semadhiku, kaulah orangnya yang berhak menerima benda mustika ini!"

Tertegun Roro Centil menatap mutiara itu dan mata si kakek dukun berganti-ganti. "Ah, beginikah jalannya aku harus mendapatkan benda Mustika yang kucari dengan mengarungi lautan menurut pada bisikan gaib guruku itu...?" bisik hati Roro. Seraya lengannya menerima benda itu dari tangan si kakek dukun alias Kenca. Roro sadar, dengan benda di tangannya itu, tugas berat menantinya. Karena dia harus segera menyatroni sarang siluman Buaya Putih. Serta merta segera ditelannya benda mustika itu...

TUJUH

RORO CENTIL tercenung berdiri di atas bukit. Dikejauhan terlihat sungai Mahakam yang berbelok-belok bagaikan seekor ular yang menjulur di bawah tebing. Tiba-tiba lengannya bergerak menghantam ke belakang, disertai teriakan terkejutnya yang diiringi melompatnya tubuh Roro setinggi lima tombak. Suara bersyiurnya ratusan benda telah membuat indra pendengarannya yang peka, serta nalurinya yang tajam menyadarinya akan adanya bahaya mengancam.

Wukkk...! Prassss...!

Benar saja ratusan jarum-jarum halus telah meluruk ke belakang tubuhnya, mengancam jiwa sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini dengan maut! Namun gerakan lengan Roro telah membuat ratusan jarum-jarum itu buyar bertebaran, balik lagi ke arah asalnya. Tiga sosok tubuh berlompatan disertai teriakan...

"Aiiyyaaa...!" dan salah satu memekik, karena beberapa batang jarum maut itu mengenai kakinya. Bergulingan tubuh laki-laki berpakaian serba hijau itu. Dua orang lainnya yang juga berpakaian sama, segera melompat mendekati. Srek! Dia telah cabut keluar goloknya yang tersoren dipunggung.

Sementara laki-laki yang terkena serangan balik itu mengerang memegangi sebelah kakinya. "Lepaskan kakimu, Jambal...!" berteriak laki-laki itu.

Orang yang terluka itu menyadari akan keselamatan jiwanya. Segera rebahkan tubuhnya terlentang. Dan... Crasss...! Terdengar suara teriakan parau kesakitan. Ternyata laki-laki itu telah membacok putus sebelah kaki kanannya yang terkena jarum. Lalu cepat sekali lengan laki-laki itu menotok jalan darah dilutut kawannya. Saat itu sudah terdengar bentakan keras Roro Centil.

"Setan alas...! kunyuk hitam dari mana kalian membokong orang mengincar nyawaku?" Dan Roro sudah berdiri tegak di atas batu cadas.

Sepasang matanya menatap pada ketiga orang dihadapannya. Melihat salah seorang dari mereka justru berakibat fatal terkena jarumnya sendiri. Roro tersenyum jumawa,. Walau diam-diam bergidik ngeri. Bagaimana kalau dia kurang waspada? Tentu terpaksa dia membuntungi lengannya sendiri, untuk menolong nyawa, bila kaki atau lengannya terkena serangan jarum.

"Hihihi... kalian cari penyakit, kini kalian rasakan akibatnya! Segeralah sebutkan siapa kalian. Sebelum nona besarmu mengirim nyawa kalian ke Akhirat.!" bentak Roro.

Ketiga laki-laki berbaju serba hitam itu ternyata mengenakan topeng tengkorak hingga tak dikenali wajahnya. Akan tetapi sebagai jawabannya adalah serangan dahsyat sepasang golok besar salah seorang dari laki-laki bertopeng tengkorak itu. Tabasan-tabasan maut yang menimbulkan hawa dingin menerpa ke arah Roro.

Sepasang golok besar laki-laki itu menerjang ke arahnya bagaikan bayangan-bayangan atau kilatan berkredepan saling susul. Terkejut Roro Centil, karena lawannya mempunyai jurus serangan yang teramat cepat. Ayal sedikit saja akan putuslah pinggang atau leher si Pendekar Wanita itu.

Wut! Wuttt! Wuttt! Trangng....!

Terpaksa Roro keluarkan senjata rantai genitnya menangkis serangan. Tangkisan senjata Roro tampaknya membuat si Topeng Tengkorak terkejut juga. Otomatis serangannya menjadi ngawur. Roro perdengarkan suara tertawa dingin. Kini Rorolah yang ganti menerjang dan mendesak lawan.

Saat keadaan sang lawan mulai terdesak, tiba-tiba kawan si laki-laki bertopeng itu bantu menerjang dengan senjata ruyungnya. Senjata ruyung besi ini mempunyai gerakan lebih cepat bergerak mengurung Roro, hingga terpaksa Roro berikan balasan saat kelonggaran pada lawannya si laki-laki bersenjata sepasang golok.

Ternyata gabungan kedua orang lawan itu membuat mereka tampaknya semakin sulit dijatuhkan Roro. Jurus-jurus kedua lawan itu amat aneh, dan mereka bertarung dengan mengandalkan gerak tipu yang membingungkan. Roro kertak gigi menahan geram, tiba-tiba Roro merobah gerakan silatnya. Kali ini terpaksa Roro pergunakan jurus Pusaran Angin Puyuh warisan si paderi bulat Dewa Angin Puyuh.

Dalam berkelebatan menghindari serangan, Roro Centil putarkan tubuhnya bagaikan kincir. Empat serangan senjata sepasang golok dan sepasang ruyung itu jadi ngawur, karena terkena hempasan segelombang angin yang ditimbulkan dari putaran tubuh Roro.

Dan gerakan-gerakan memutar itu ternyata menggoyahkan posisi ketat kedua manusia bertopeng itu. Bahkan kini keduanya tak dapat melihat jelas tubuh lawan, kecuali membersitnya pusaran angin di setiap arah yang menjadi sasaran mereka. Tiba-tiba...

Trang! Trangng...!

Terperangah keduanya ketika tahu-tahu senjata Roro telah menghantam terlepas masing-masing sepasang senjata mereka.

"Meratlah kalian ke Akhirat!" Detik itu di saat mereka terperangah terdengar bentakan Roro melengking tajam menusuk jantung.

Detik itu sebuah lengan menjulur panjang menyambar ke pinggang Roro. Tentu saja membuat Roro Centil terkejut, karena dia tengah lancarkan serangan maut pada kedua lawannya. Terpaksa Roro batalkan serangannya untuk mengelakkan sambaran lengan aneh yang terjulur menyambar pinggang itu. Akan tetapi tak urung...

Brettt...! Bajunya kena juga terjambret dan robek hampir sebagian menyibakkan kulit punggung Roro. Cepat sekali Roro jatuhkan diri berguling, karena melihat sambaran berikutnya dari juluran lengan aneh yang sebuah lagi.

Prasss...! Batu cadas di atas tebing itu hancur kena cengkeraman lengan aneh itu setengah jengkal dari tubuh Roro. Tersengal napas Roro Centil karena dia tak diberi kesempatan sama sekali. Baru saja dia melompat berdiri kembali menyambar lengan aneh, dari dua jurusan yang bergerak melingkar.

Brettt...! Lagi-lagi baju Roro robek kena jambretan. "Gila! Setan alas! Aku mau ditelanjangi...?" memaki Roro. Sadarlah dia bahwa si penyerangnya itu bukan lawan sembarangan. Lengan-lengan aneh itu tak ketahuan dari mana munculnya, dan dia tak diberi kesempatan untuk melihat tampang si penyerang.

"Hahahaha... haha... ingin kulihat kehebatan si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang telah kesohor di seantero jagat ini!" tiba-tiba terdengar suara dan kata-kata tanpa Roro sempat tahu dimana "manusia"nya.

Pakaian Roro sudah sobek disana-sini. Dapat dibayangkan kehebatan si penyerangnya karena pada saat itu ketinggian ilmu Roro sudah hampir tak dapat diukur, namun masih bisa dipermainkan lawan begitu rupa. Hal mana membuat Roro seperti kehilangan akal, karena merasa ilmu yang dimiliki tak berguna. Timbullah seketika penyakit anehnya.

Tiba-tiba Roro Centil melompat sejauh delapan tombak. Dan disanalah dia mengumbar tawanya. Rasa mendongkolnya karena tak mampu melihat si penyerang membuat dia pergunakan tertawa sejadi-jadinya. Di luar sadar suara tertawa Roro yang bagaikan menggelitik liang telinga dan menggetarkan jantung itu amat berpengaruh pada lawan. Karena memanglah Roro Centil pergunakan tenaga dalamnya melalui suara tertawa.

Hebat akibatnya! Daun-daun pohon disekeliling tempat itu bergetaran, dan rontok bertaburan. Bumi seperti tergetar. Dan tiga orang bertopeng tengkorak tiba-tiba perdengarkan jeritan keras. Tubuh mereka terjungkal ke tanah. Tak sempat lagi mereka menutup lubang telinga, yang segera telah mengalirkan darah.

Makin lama semakin keras tertawa Roro. Dan... sukar untuk dibendung lagi, karena Roro Centil telah pergunakan satu ilmu tertawa yang paling mengerikan. Itulah ilmu tertawa dari si daun lontar warisan gurunya si Manusia Banci. Akibatnya ketiga laki-laki bertopeng itu bergulingan, dengan meraung-raung mengerikan.

Sekejap kemudian ketiga tubuh itu sudah tidak berkutik lagi. Mati dengan mengalirkan darah dari mata, telinga, hidung dan mulutnya. Satu kejadian yang amat mengerikan. Karena cuma dengan tertawa, Roro Centil telah membuat binasa ketiga manusia bertopeng tengkorak.

Saat itu sesosok tubuh terhuyung keluar dari balik batu tebing yang menonjol. Dialah seorang laki-laki jangkung kurus berwajah mengerikan, karena mempunyai dua buah taring pada sisi belahan bibirnya. Rambut putihnya beriapan bagaikan rambut singa. Akan tetapi yang membuat heran kedua matanya buta.

"Berhenti...!" teriak laki-laki kurus bertaring itu dengan membentak keras. Batu-batu kerikil berloncatan terkena getaran suara yang mengandung tenaga dalam hebat itu.

Hebat, pengaruh bentakan itu! Seketika Roro Centil hentikan suara tertawanya yang mengundang maut. Tampak dihadapannya "manusia" yang memang sedang ditunggunya agar menampakkan diri. Melihat keadaan "manusia" itu lebih mirip siluman, Roro Centil terhenyak. Diam-diam hatinya bergidik seram melihat tampang orang.

"Siapakah kau? manusia ataukah setan?" bentak Roro.

"Grrrr...! Terserah kau mau menganggap apa padaku! Heh! Aku di juluki si Jerangkong Mata Buta! Kau telah membunuh si Cakar Naga Setan. Kuakui kehebatanmu! Juga telah menewaskan ketiga orang anak buahku. Akan tetapi jangan harap kau dapat meloloskan diri dari tanganku!" membentak laki-laki bertaring itu dengan suara keras menggeledek.

Lagi-lagi tanah tergetar, dan batu-batu kerikil berloncatan. Suara bentakan itu juga membuat tergetarnya tubuh Roro menahan kekuatan suara yang seperti menindih dadanya. Jelas kakek mata buta ini bertenaga dalam tinggi. Terbukti dia tak roboh oleh suara tertawa Roro yang mengundang maut. "Apamukah si Cakar Naga Setan itu?" tanya Roro penasaran.

"Grrr...! Dia salah seorang muridku! Ketahuilah, kemunculanmu sudah kuramal sebelumnya. Bahwa akan datang ke wilayah kekuasaanku ini seorang tokoh Rimba Hijau dari tanah Jawa! Berita kehebatan sepak terjang mu telah kudengar sejak jauh-jauh hari. Akan tetapi... hahaha... rupanya disinilah tempat kuburmu, bocah perempuan!"

Tersentak Roro Centil. Kalau jauh-jauh hari kemunculannya sudah diramal maka pantas saja kalau dia diancam maut tanpa sebab. Memikir demikian Roro segera bersiap menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Tugas untuk menumpas kejahatan Ratu Siluman Buaya Putih belum lagi dilaksanakan, ternyata telah muncul lagi lain bahaya. Agaknya kali ini Roro harus banyak mengalami perbagai ujian dalam tugas kependekarannya.

Wukkk...! Wukkk!

Sukar sekali diduganya karena begitu habis kata-katanya, si Jerangkong Mata Buta telah gerakkan sepasang lengannya menghantam dan mencengkeram ke arah batok kepala Roro. Gilanya sepasang lengan si kakek muka seram itu dapat mulur panjang.

Brass! Krakkk...!

Dua terjangan maut itu dapat dihindari Roro, dengan bergerak melompat menghindari serangan. Akibatnya tanah dan batu menyemburat hancur. Dan sebatang pohon besar kena dicengkeram hancur luluh.

"Edan!" maki Roro di tengah udara. Belum lagi kakinya menjejak tanah kembali terdengar bersyiurnya angin keras. Ternyata sepasang lengan itu sudah meluncur lagi untuk menyambar kakinya. Terpaksa Roro gunakan sebelah lengannya menghantam.

Akan tetapi kali ini Roro harus mengakui keunggulan tenaga dalam lawan. Karena bagaikan menghantam karang, Roro rasakan lengannya kesemutan. Tapi tubuhnya dapat melejit melalui pukulan itu sejauh enam tombak. dan hinggapkan kaki di atas batu di tempat ketinggian.

DELAPAN

ANEH, TAMPAKNYA walaupun mata si kakek muka seram itu buta, tapi mengetahui dimana berkelebatnya tubuh Roro. Seakan-akan lengannya mempunyai mata saja, segera meluncur ke arah Roro. Namun Roro Centil memang telah siap. Rantai Genitnya telah dibelitkan di pinggang. Sepasang lengannya terentang, memapaki serangan.

Blarrr...! Terdengar suara keras menggeledek. Itulah jurus Taufan Melanda Karang yang amat dahsyat. Terdengar pekikan paras si Jerangkong Mata Buta Sepasang lengannya hancur beserpihan. Manusianya sendiri terlempar beberapa tombak terkena hawa pukulan jurus dahsyat itu. Baru saja tubuh si Jerangkong Mata Buta berhenti terpental, Roro telah melesat memburunya Dan...

Wuukkk...!

Kembali sepasang lengannya lancarkan serangan dahsyat. Angin pukulan Roro menimbulkan gelombang angin dahsyat yang membuat tubuh si Jerangkong Mata Buta terlempar ke bawah tebing dengan perdengarkan bunyi berkrotakan. Dan... Byurrrr...! Air sungai menyemburat ke udara, menelan tubuh manusia bertaring itu untuk tak timbul lagi. Akan tetapi air di tempat bekas terjatuhnya tubuh si Jerangkong Mata Buta tampak diwarnai genangan darah berwarna merah....

Roro Centil berdiri di atas batu tebing menatap ke bawah. Terdengar suara helaan nafasnya. Angin barat dari arah perbukitan membersit menyibak rambutnya. Gadis Pendekar ini berdiri lama, tercenung menatap jauh ke dasar sungai Sementara angin nakal menyibakkan serpihan pakaiannya yang robek disana-sini yang sudah hampir tak berbentuk pakaian lagi. Akan tetapi ketika Roro melangkah untuk beranjak dan situ tubuhnya terhuyung limbung.

Tampak terlihat keletihan yang amat luar biasa pada Roro, karena akibat pengeluaran tenaga dalam yang menguras habis tenaganya. Setelah mengeluarkan suara tertawa yang mempergunakan penyaluran tenaga dalam mencapai hampir tiga perempat tenaga dalam, lalu menerjang si Jerangkong Mata Buta dengan jurus dahsyat Taufan Melanda Karang, lalu menghantam lawannya dengan pukulan tenaga dalam terakhir tentu saja membuat si Pendekar Wanita Pantai Selatan kehabisan tenaga.

Dan jatuhlah dia mendeprok di tanah berbatu. Pandangan matanya mendadak mulai nanar dan berkunang-kunang. Bumi terasa berputar, dan pandangan matanyapun menjadi gelap. Akhirnya Roro terkulai menggabruk tak sadarkan diri.

Entah dari mana munculnya laki-laki misterius yang pernah berjumpa dengan Roro direstoran, tahu-tahu sudah berada di hadapan Roro Centil yang tergolek tak sadarkan diri. Cepat sekali gerakan laki-laki itu, sekejap sudah menyambar tubuh Roro dan memondongnya. Lalu bergegas menuruni lereng tebing.

Beberapa saat antaranya telah tiba di tepi muara sungai. Seperti kejadian kemarin, sosok tubuh laki-laki berbaju serba putih itu melenyap. Dan berubah menjadi seekor buaya putih, dengan tubuh Roro berada pada moncongnya. Pelahan makhluk melata itu merayap sisi air. Lalu menyelam, menenggelamkan tubuh Roro yang segera lenyap di bawah permukaan!

Ketika Roro sadarkan diri betapa terkejutnya, karena dia berada di dalam sebuah relung goa, dimana disekelilingnya berjajar berpuluh-puluh buaya putih. Ada yang tengah ngangakan mulutnya lebar-lebar, ada pula yang beringsut-ingsut berdesakan dengan kawannya. Roro sendiri terkapar di atas sebuah batu dalam keadaan tanpa busana. Terperanjat Roro Centil, dan kagetnya bukan alang kepalang.

"Kemanakah lenyapnya pakaiannya yang telah cabik-cabik itu? Dan kemana pula senjata Rantai Genitnya...?"

Roro benar-benar tak habis pikir. Segera dia teringat akan peristiwa yang terjadi pada dirinya, yang diingatnya adalah dia berada di atas tebing setelah menghantam si Jerangkong Mata Satu dengan pukulannya hingga manusia muka seram bertaring itu terlempar, dan tercebur ke dalam sungai. Akan tetapi mengapa kini berada di satu tempat seram yang dikelilingi buaya-buaya putih? Roro tak dapat berpikir terlalu jauh. Dirasakannya kepalanya masih berdenyutan, dan terasa lemah sekali tenaganya untuk bergerak.

"Apakah ini tempat sarang Siluman Buaya Putih...?" berkata Roro dalam hati dan tersentak kaget. "Ataukah ini cuma mimpi...?" gumamnya lagi, seraya mengucak-ucak matanya. Dalam keadaan kebingungan itu, terdengar suara tertawa bernada dingin yang membangunkan bulu roma.

"Hehehe hehehe... jangan terkejut, nona cantik! Kau berada di dalam "Istana"ku! Satu kehormatan buat seorang anak manusia yang bisa menjadi tetamu terhormat ku! Heheheh... hehehehe!"

Roro belalakkan matanya menatap ke arah relung goa dihadapannya. Ternganga mulut Roro Centil melihat sesosok tubuh tersembul keluar dari dalam relung goa bagian dalam. Tentu saja! Karena yang muncul adalah sesosok tubuh berkepala buaya, akan tetapi bertubuh manusia. Sepasang mata manusia buaya itu menjalari sekujur tubuh Roro dengan liar, bagaikan tengah menimbang-nimbang akan diapakankah calon korbannya ini...?

Baru sekali ini Roro rasakan ketegangan luar biasa pada syarafnya. Dan tubuhnya bergetaran seiring dengan degup jantungnya yang semakin cepat. Untuk menghadapi manusia-manusia biasa mungkin Roro masih bisa pergunakan akal sehatnya. Akan tetapi menghadapi makhluk-makhluk siluman begini, serasa otaknya menjadi buntu. Tak tahu lagi apa yang akan diperbuatnya, karena saat itu tubuhnya terasa teramat letih tak bertenaga sama sekali.

"A... apa yang kau mau menawan ku...?" berkata Roro dengan tergagap.

"Heheheheh hahahaha... tentu ada maksudnya, nona cantik! Karena aku akan memperistri mu!" Sahut si manusia buaya.

Tentu saja jawaban itu membuat Roro terbelalak. "Gila! Apa-apaan...?" sentak Roro terperanjat. "Bedebah! Siapa sudi bersuamikan manusia siluman macam kau?" bentak Roro gusar. "Aku tidak mau...!" teriak Roro seraya beringsut undur menggeser tubuhnya. "Aku mau...!" berkata si manusia buaya seraya beranjak menghampiri.

"Siluman keparat! Jangan coba-coba kau dekati aku, rasakan pukulanku!" bentak Roro seraya gerakkan lengannya menghantam ke depan. Akan tetapi dia mengeluh lalu roboh terlentang. Tak kuasa Roro menahan tubuhnya.

"Heheheh... kau tak bisa menolak keinginan ku!" berkata si makhluk siluman buaya seraya melompat ke hadapan Roro. Dan... sekaligus lengannya bergerak memeluk tubuh Roro dengan gulirkan tubuhnya menindih si Pendekar Wanita Pantai Selatan.

Tersentak Roro Centil dengan keringat dingin mengucur deras membasahi sekujur tubuh. Sementara itu moncong si manusia buaya menyosor ke leher Roro dengan mendengus-denguskan hidungnya. Tampaknya Roro memang sudah tak berdaya. Dan saat itu Roro benar-benar sudah pasrah akan nasib yang bakal menimpanya. Akan tetapi detik itu...

GRRRR...! Terdengar suara menggeram dahsyat. Dan tahu-tahu seekor harimau tutul telah menjelma di belakang punggung si manusia buaya. Detik berikutnya sepasang kakinya telah mencengkeram punggung si manusia buaya.

Brettt....! Siluman manusia buaya memekik kesakitan ketika kuku-kuku runcing si Tutul merobek kulit punggungnya, ketika dengan terkejut dia berusaha menghindari terkaman harimau yang luar biasa besarnya itu. Selanjutnya terjadilah pergumulan seru, antara si manusia buaya lawan harimau tutul di relung goa itu.

Sementara puluhan ekor buaya bergerak mengurung, dan membantu sang pemimpinnya. Gigit menggigit, cakar mencakar dan hempas menghempas menimbulkan suara gaduh sekali. Saat terjadi pertarungan secercah sinar aneh yang mirip sehelai selendang sutera telah menjulur ke arah tubuh Roro dan membelitnya. Kemudian...

Plasss...! Tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu telah dibetot keluar dari dalam relung goa. Sukar untuk diikuti oleh mata, karena detik itu juga tubuh Roro Centil telah dibawa melesat oleh sesosok bayangan yang meluncur cepat dengan memanggul tubuh dara itu.

Roro rasakan angin membersit menerpa wajahnya. Terasa tubuhnya bagaikan melayang cepat entah kemana. Tapi kelanjutannya entah dari mana datangnya hawa mengantuk. Dan Roro sudah tak ingat apa-apa lagi.

* * * * * * *

Terkejut Roro Centil ketika melihat seorang wanita tua duduk bersimpuh di hadapannya, seraya berucap... "Maaf, Ratu...! Hamba terpaksa membawa paduka Ratu kemari, untuk memberi petunjuk."

"Siapakah kau, orang tua...?" Tanya Roro dengan heran, seraya menatap wajah orang serasa Roro pernah mengenalnya, tapi entah dimana. Aneh, ketika Roro bangkit untuk duduk ternyata hal itu mudah sekali dilakukan. "Ah, apakah tenagaku telah pulih...?" desis Roro dalam hati.

"Syukurlah paduka Ratu telah kembali sehat!" ucap si nenek. Lalu lanjutkan ucapannya." Hamba adalah pengasuh si Tutul! Apakah paduka Ratu lupa...?"

Tentu saja Roro jadi melengak. Setelah sekian lama diingat-ingat barulah Roro mengenali wanita tua itu, yang pernah dijumpai di pulau Andalas. (baca: Serial Roro Centil, judul: Siluman Kera Putih.) Betapa girangnya Roro dengan pertemuan itu. Cepat-cepat Roro menjura hormat pada wanita tua itu, yang membahasakan dirinya dengan sebutan Ratu.

Roro sendiri memang tak tahu sebabnya. Cuma karena kebetulan Roro mempunyai Cincin berbatu Merah Delima yang dapat menundukkan si Harimau Tutul Siluman itulah yang membuat si wanita tua menghormatinya, dan menganggap Roro sebagai Ratu si pemilik Harimau Tutul yang selama ini diasuhnya.

Ternyata nenek misterius itu telah menolong Roro dengan mengembalikan tenaga dalamnya serta kesempurnaan kondisi tubuhnya seperti sediakala, yaitu dengan cara memijit-mijit beberapa jalan darah, di saat Roro tertidur pulas akibat aji sirep yang dipergunakannya.

SEMBILAN

AH, PADUKA RATU...! Tak layak hamba menerima penghormatan anda! Buru-buru lengan si nenek terjulur mengangkat bahu Roro.

Terasa hawa hangat mengalir ke sekujur tubuh Roro ketika pundaknya tersentuh lengan wanita tua itu. Tahulah Roro kalau si nenek itu seorang manusia sakti yang berilmu tinggi. "Ah, mengapa aku tak mengangkat guru padanya?"

Segera terpikir dibenak Roro. Bukankah dengan berguru padanya setidak-tidaknya dia dapat memperoleh tambahan ilmu? Untuk berpetualang di Rimba Persilatan tidaklah cukup cuma berbekal ilmu dengan apa yang sudah dimilikinya karena di atas langit masih ada langit. Dan bukan sedikit kaum golongan hitam yang berilmu tinggi. Akan sukarlah bagi Roro untuk mewujudkan cita-citanya menumpas kejahatan dan menegakkan keadilan di jagat raya ini. Berpikir demikian, tiba-tiba Roro bersujud dan memeluk wanita misterius itu, seraya berucap.

"Nenek! Angkatlah aku sebagai muridmu...! Walau kau menyebutku dan menganggapku sebagai Ratu mu, tapi aku merasa bukanlah seorang Ratu. Perkenankanlah aku menjadi muridmu...!"

"Ah, ah... ah... !? Apa-apaan paduka Ratu? Jangan berbuat begini!" Tersentak si wanita tua misterius. Seraya mengangkat tubuh Roro berdiri membarengi tubuhnya yang bergerak melompat untuk berdiri.

Tentu saja Roro tercengang. Karena dalam membungkuk, bersujud serta memeluk kaki si nenek tua itu Roro telah pergunakan ilmu memberatkan tubuh, dan gerakan lengannya memeluk kedua kaki si wanita tua itu telah mempergunakan ajian Sari Rapet, yang membuat lengannya menempel kuat di kaki sang nenek. Jangankan seekor kuda, tenaga sepuluh ekor kudapun bila di "kerjai" Roro dengan ilmu memberatkan tubuh dan ajian Sari Rapet, sudah dapat dipastikan tak akan mampu bergerak dari tempatnya. Akan tetapi si nenek itu dengan mudah dapat melepaskan cekalan kuat sepasang lengan Roro, bahkan mampu mengangkatnya untuk berdiri.

"Luar biasa!" sentak Roro dalam hati. Sepasang mata Roro menatap nenek itu penuh kekaguman. Tak salah dugaannya yakinlah dia kalau si wanita tua misterius itu seorang nenek yang sakti mandraguna.

"Nenek! Mengapakah kau menolak keinginan ku?" tanya Roro penasaran.

Perempuan tua ini tak menjawab. Kakinya melangkah ke belakang dua tindak, lalu putar tubuh untuk selanjutnya beranjak melangkah menuju keluar pondok reyot dipuncak bukit itu. Terdengar suara helaan nafasnya. Sepasang matanya menatap ke bawah lereng. Dan terdengar suaranya lirih.

"Bukan hamba menolak, paduka Ratu! Akan tetapi belum tiba saatnya...! Hamba kira dengan ilmu yang paduka Ratu miliki sudah cukup sempurna. Bahkan paduka Ratu dapat menciptakan jurus-jurus ilmu silat yang pasti tak kalah hebatnya dengan ciptaan para golongan tua kaum Rimba Hijau!"

"Untuk menciptakan jurus-jurus itu memang aku pernah, tapi entah mengapa aku cepat lupa. Seperti yang pernah ku coba, tapi cuma dalam mimpi...!" tukas Roro dengan leletkan lidah membasahi bibirnya yang kering.

"Cuma dalam mimpi...?" ucap si nenek sambil tersenyum, dan balikkan tubuh menatap Roro.

Roro mengangguk. "Nama jurusnya aku ingat, akan tetapi aku lupa bagaimana cara mempergunakannya!" lanjut Roro.

Tertawa terkekeh si nenek memperlihatkan tiga buah giginya yang hitam. "Ya, ya... apakah nama jurus ciptaanmu itu?"

Roro segera mengingat-ingat, selang sesaat baru menjawab. "Kalau tak salah jurus itu kunamakan... Mengosongkan Perut Menahan Lapar!"

Kalau saja si nenek misterius itu tak pandai menyembunyikan wajah terkejutnya, tentu Roro akan melihat mimik wajah si wanita tua itu berubah. Karena di hati si nenek telah membatin. "Luar biasa... junjungan ku ini telah mampu mempergunakan jurus hebat itu dalam usia begini muda! Kalau memang jurus yang dinamakan demikian itu adalah jurus langka itu, kiranya akan sulitlah dijatuhkan lawan yang bagaimanapun tinggi ilmunya! Sayang dia cuma menciptakannya dalam mimpi...!" hatinya membatin demikian akan tetapi bibirnya bergerak berbicara.

"Nama jurus yang hebat... heheheh... kelakpun paduka Ratu dapat mengingatnya!"

Roro cuma terdiam, tundukkan wajah tenggelam dalam termangunya. Terkejut Roro barulah dia menyadari kalau tubuhnya telah mengenakan pakaian yang utuh. Bahkan senjata Rantai Genit sudah sejak tadi terbelit dipinggangnya. Melihat perubahan wajah Roro si nenek tersenyum.

"Hehehe... hamba telah mengganti pakaian paduka Ratu dengan yang baru! Dan senjata kesayangan paduka Ratu itu tentu saja tak lupa hamba ikatkan di tempat semula!"

Membelalak sepasang mata Roro Centil, barulah dia teringat akan si Tutul yang sewaktu menolong dirinya, tengah bertarung dengan si manusia buaya. Bahkan puluhan ekor buaya putih turut pula mengerubutinya. Keheranan Roro Centil segera terjawab, ketika si wanita misterius itu menceritakan kejadian di relung goa di sarang makhluk siluman buaya putih. Ternyata setelah mengamankan Roro, si nenek telah kembali ke dalam relung goa membantu pertarungan si Tutul dengan manusia siluman buaya.

Kehebatan sepak terjang si pengasuh harimau tutul itu telah membuat porak poranda puluhan buaya putih. Mereka menghambur melarikan diri, termasuk si manusia buaya yang pandai menyelamatkan diri. Selanjutnya segera si wanita tua itu memeriksa isi ruangan relung goa dan menemukan pakaian dalam Roro serta senjata Rantai Genitnya...

Beberapa hari berdiam di atas puncak bukit itu, Roro banyak menerima penjelasan mengenai si Ratu Siluman Buaya Putih dari wanita tua itu sebelum bermohon diri. Dan semua itu menjadi bekal untuk Roro menyatroni ke sarang ratu siluman itu. Kita tinggalkan dulu Roro Centil yang sudah bersiap-siap untuk berangkat ke sarang Ratu Siluman Buaya Putih.

* * * * * * *

Marilah kita menjenguk ke pondok tempat tinggal si dukun tua bernama Kenca. Sesosok tubuh tampak menyatroni pondoknya. Dialah si laki-laki berbaju serba putih. Pancaran matanya tampak berapi-api mengandung dendam menatap ke arah pondok. Sekali berkelebat tubuhnya sudah melesat tiba di depan rumah gubuk sederhana itu.

Brakkk...! Tiba-tiba kakinya menghantam daun pintu yang tertutup itu yang segera menjeblak terbuka dengan papan hancur beserpihan. Ditunggunya sesaat, akan tetapi tak ada orang yang muncul dari dalam. Sekejap dia telah melompat masuk ke dalam ruangan.

"Dukun keparat! Keluarlah kau...! Aku akan membunuh mu!" Terdengar suara bentakannya. Akan tetapi tetap tak ada sahutan. Tentu saja membuat laki-laki ini jadi gusar. Kakinya bergerak. Dan, hancurlah pintu kamar itu. Akan tetapi setelah memeriksa di setiap sudut, bahkan ke kolong tempat tidur tak dijumpai ada siapa-siapa. Tahulah dia kalau si penghuni pondok itu tak ada di rumah. Kecuali pondok yang kosong melompong, dan sebuah tempat pedupaan.

"Keparat! Manusianya sudah kabur rupanya..." memaki laki-laki itu dengan suara berdesis. Dan karena gusarnya dihancurkannya pondok itu. Tak lama dia sudah berkelebat pergi. Ternyata menuju ke muara sungai. Disana laki-laki itu kembali merobah dirinya mewujud seekor buaya putih, yang kemudian menggelosor menyelam ke bawah permukaan air. Kiranya sesosok tubuh sejak tadi telah melihat kejadian itu, dan menguntit si laki-laki hingga menjelma menjadi buaya putih yang menyelam ke dalam sungai di muara itu.

Dialah Roro Centil adanya. Gadis ini leletkan lidah sambil tersenyum. Hatinya membatin. "Bagus! Sukurlah Kenca tak berada dipondoknya. Aku mengkhawatirkan keselamatan si bocah laki-laki itu. Kuduga pasti si kakek dukun tengah mengantarkannya kembali ke rumah orang tuanya...! Hm, aku dapat segera mengikuti kemana gerangan perginya si manusia siluman buaya itu!"

Pelahan Roro mendekati ke tepi air. Lalu turunkan kakinya. Dan menyelamlah Roro Centil untuk mengikuti jejak si manusia siluman buaya. Aneh! Roro rasakan leluasa bernapas. Sepasang matanya segera dibuka terpentang mencari kemana gerangan bergeraknya buaya siluman itu. Terlihat buaya penjelmaan si laki-laki berbaju putih itu bergerak meluncur menuju ke dasar sungai. Cepat Roro memburunya.

Ternyata buaya itu memasuki relung-relung batu berlumut di dasar sungai. Berliku-liku meniti batu-batu dan memasuki celah demi celah. Hingga kemudian sang Buaya Putih memasuki satu lorong panjang di dasar sungai. "Apakah ini yang namanya lubuk Hantu itu?" pikir Roro.

Ketika buaya yang dibuntutinya itu memasuki satu celah di ujung lorong, segera lenyaplah makhluk itu. Roro cepat berenang menyusulnya. Akan tetapi saat itu dari sebuah lorong bagian lain tersembul sesosok makhluk menyeramkan. Berambut panjang beriapan. Sepasang matanya memancarkan sinar berwarna merah menyala bagaikan bara api. Makhluk ini lengan dan kakinya mirip manusia. Akan tetapi kulit punggungnya bersisik dan berduri mirip buaya, serta mempunyai ekor pendek. Wajahnya mirip setengah manusia setengah buaya dan bermoncong tak terlalu panjang. Melihat adanya seorang manusia memasuki ruangan "Istana"nya, makhluk ini membentak gusar.

"Krrraah...! Siapakah kau manusia, berani memasuki tempat bersemayam ku!"

Terkejut Roro Centil, seraya balikkan tubuhnya. Terperangah Roro melihat makhluk aneh yang mengerikan itu. Tak terasa kakinya melangkah mundur dua tindak. "Ssssi... siapakah kau...? Apakah kau si Ratu Siluman Buaya Putih...?"

"Hm, tidak salah! Katakan siapa dirimu, dan maksud apa menyatroni tempatku...?" bentaknya lagi seraya melompat ke hadapan Roro. Gerakannya ringan sekali seolah tak berada di dasar air.

"Hihihi... bagus! Aku bernama Roro Centil! Kedatanganku adalah memang mau membekuk mu, Ratu...!" berkata Roro dengan senyum jumawa.

"Edan! Besar sekali nyalimu? Hah, tapi memang pantas karena kau bisa menyambah dasar air. Namun kesombonganmu akan mengubur diri mu sendiri di dasar lubuk ini, manusia...!" ujarnya ketus. Akan tetapi diam-diam si Ratu Siluman Buaya Putih terkejut juga melihat sesuatu bersinar dari bagian pusar tubuh Roro. "Hm, untuk bertarung dengan manusia sombong macam kau, aku takkan gentar walau belum kuketahui persoalan apakah kau mau meringkusku? Tapi kau memiliki Mutiara Gaib Dasar Lubuk, dari mana kau dapatkan benda itu?"

Terkejut juga Roro mengetahui si Ratu Buaya itu tahu kalau dia membekal mutiara mukjizat dalam perutnya. "Hihihi... kau kenal seorang manusia laki-laki bernama Kenca? Dialah yang telah memberikan benda ini padaku!" sahut Roro santai.

"Hm, sudah kuduga! Dimanakah adanya Kenca kini... ?" sekonyong-konyong suara sang Ratu Siluman Buaya Putih jadi agak lunak.

Roro yang sudah paham kalau Kenca adalah bekas "suami" makhluk ini, segera menjawab. "Dia masih hidup dan sehat segar bugar! Akan tetapi istrinya dialam manusia telah tewas akibat ketelengasan mu. Dan kau telah pula membuat menderita hidupnya! Kau adalah makhluk siluman yang berbeda alam dengan manusia, mengapa kau menyusahkan manusia? Dia kau bersuamikan dengan paksa. Ketahuilah! Walaupun bagaimana manusia tetaplah manusia, tak dapat dia kau paksa menjadi makhluk siluman macam kau! Disamping kau merebut kemerdekaan seorang manusia kau juga banyak membuat keonaran menculik dua orang gadis yang dilakukan oleh lasykar mu. Sudah tentu adalah atas perintahmu sebagai Ratunya!"

SEPULUH

Seraya berkata, diam-diam Roro Centil berkata dalam hati. "Heran! Menurut cerita Kenca, sang Ratu Siluman Buaya Putih seorang wanita yang amat cantik, akan tetapi nyatanya adalah makhluk yang menyeramkan begini?"

Saat itu terdengar suara sahutan menggeledek begitu selesai Roro bicara. "Dusta! Aku tak pernah melakukan kekejian semacam itu, apa lagi memerintahkan lasykarku! Tidak sama sekali. Bahkan aku memberikan mustika mutiara itu agar dia kembali bersamaku karena kami sudah terlanjur punya keturunan!"

"Aneh...!? Kalau bukan suruhanmu, habis siapa yang dapat ku salahkan? Bahkan aku sendiri hampir mengalami nasib naas karena tertawan di saat aku tak sadarkan diri, oleh lasykar mu. Beruntung nasibku baik ada yang menolongku!" ujar Roro terheran.

Saat itu tiba-tiba tersembul seekor buaya putih dari ujung lorong. "Ibu...! Manusia ini telah berani memasuki wilayah kita mengapa tak dibunuh segera?" Berkata demikian si buaya putih telah merobah ujudnya menjadi seorang laki-laki baju putih yang tadi dibuntuti Roro.

Sang Ratu palingkan kepalanya menatap pada laki-laki itu. Sementara Roro diam-diam terkejut, hatinya membatin. "Hm, sudah kuduga, dia ini pasti anak Kenca! Akan tetapi aneh...? Mengapa dia mengobrak-abrik pondok dukun tua itu bahkan mencari Kenca untuk membunuhnya?" Pikir Roro Centil.

"Anakku, manusia ini datang karena salah paham. Ibu telah ada yang memfitnah dan di tuduh melakukan kejahatan pada penduduk! Persoalan bisa diselesaikan secara damai, mengapa harus main bunuh saja?" Memang aneh sang Ratu Siluman Buaya Putih ini. Kalau tadi memang marah luar biasa tempatnya disambah orang, akan tetapi kini berbaik mau mengajak berdamai.

"Maafkan kelancangan anakku, sobat manusia...! Sesungguhnya hal ini membuat aku penasaran untuk membongkar kasus kejahatan yang terselubung dalam selimut di Kerajaan ku! Marilah kupersilahkan anda untuk berbincang-bincang di Istana...!" Ujar sang Ratu dengan suara lembut.

Melihat suara serta sikap sang Ratu yang tak bermusuhan, apalagi mengajak Roro untuk singgah ke "Istana" tentu saja Roro tak menolak. Karena memang Roro penasaran sekali yang bagaimanakah "Istana" sang Ratu Siluman Buaya Putih itu seperti yang didongengkan Kenca? Lantas saja Roro mengangguk, seraya berkata.

"Hm, kalau itu keinginanmu aku tak dapat menolak!"

"Terima kasih, turutlah kataku. Pejamkan mata anda...!" ujar sang Ratu.

Sejenak Roro ragu-ragu, mengapa harus pakai pejamkan mata segala? Pikirnya. Akan tetapi Roro segera menyahut. "Baiklah...!" Dan segera dia turuti perintah itu. Keberanian Roro dalam mengambil keputusan adalah termasuk ugal-ugalan. Akan tetapi didorong rasa ingin tahu, Roro tak mengkhawatirkan adanya tipu daya dari pihak siluman yang belum diketahui wataknya.

Ternyata memang tak ada kejadian apa-apa selain sebentar kemudian terdengar suara sang Ratu. "Nah, sekarang bukalah mata anda!"

Roro belalakkan matanya lebar-lebar. Dan... bagaikan di alam mimpi saja layaknya karena semuanya telah berubah. Dia berada dalam sebuah mahligai indah yang keindahannya melebihi istana Kerajaan di alam manusia. Dinding ruangan terbuat dari batu pualam putih, dengan lantai licin berkilat berwarna-warni. Beberapa pintu dijaga oleh pengawal istana yang kesemuanya mirip manusia. Juga perabotan lain termasuk kursi-kursi dan meja Kerajaan yang anggun.

Duduk di sebuah kursi singgasana seorang wanita yang cantik luar biasa mengenakan pakaian Kerajaan. Di hadapannya pada anak tangga ada dupa setanggi yang mengepulkan asap harum. Tercengang Roro Centil melihat keajaiban itu. Dan hatinya tercekat. Kakinya beranjak melangkah mendekat ke arah wanita cantik luar biasa itu.

"Andakah... sang Ratu itu...?" tanya Roro terperangah.

"Benar, silahkan duduk, nona Pendekar...! Ada suara gaib yang membisik di telingaku ternyata adalah si Pendekar Wanita Roro Centil, betulkah demikian...?"

"Aiiii...! Ratu telah mengetahui? Ssi... siapa yang telah membisikinya?" Tanya Roro seraya melompat ke kursi Kerajaan di hadapan Ratu Siluman Buaya Putih, dan duduk menyandar di bangku yang empuk itu dengan tumpangkan sebelah kaki.

"Hm, dia sahabatku, juga orang yang kau kenal baik, bernama Muri Asih!"

"He? siapa dia? Aku baru kenal namanya. Siapakah yang Ratu maksudkan...?" tanya Roro terheran.

"Wah, masakan anda tak mengenal nama bekas pengasuh si Tutul macan peliharaan anda...?" Ujar sang Ratu dengan tersenyum manis memperlihatkan dua lekukan di pipinya.

Disamping kagum melihat kecantikan sang Ratu, Roro juga terperangah mendengar penjelasan itu. Dan dia pun manggut-manggut mengerti, dan berpikir. "Ah, pantaslah kalau si Ratu Siluman ini tak memusuhi ku? Baru ku tahu kalau nenek pengasuh si Tutul bernama Muri Asih!" Entah bangsa manusia ataukah bangsa siluman si nenek itu, Roro enggan menanyakannya.

Demikianlah, sikap bersahabat sang Ratu Siluman Buaya Putih ternyata memang ada dasarnya. Roro ternyata menjadi seorang tetamu terhormat di Kerajaan Siluman di dasar lubuk muara sungai Mahakam, yang dihuni makhluk-makhluk siluman. Kelihatannya terlalu musykil. Tapi alam siluman atau alam halus memang penuh dengan kemisteriusan. Terkadang di luar jangkauan pemikiran manusia. Kalau Dunia Rimba Persilatan sudah banyak keanehannya, apalagi dunia Rimba Siluman...?

* * * * * * *

"Bodoh...! Carilah akal untuk membunuhnya? Manusia itu bisa membahayakan kita! Ketahuilah! Sifat manusia tak bisa dipercaya! Dia pandai berpura-pura, berakal licik tak bisa dipercaya. Ibumu itu seorang Ratu yang tolol! Bila kita biarkan dia menjadi tamu agung di Istana Kerajaan Siluman kelak bukan saja membahayakan ibumu sendiri, juga bisa membahayakan kita."

Bentakan dan kata-kata bernada keras itu terdengar di satu relung goa yang keadaannya telah porak-poranda. Itulah kata-kata yang keluar dari mulut si manusia kepala buaya. Di hadapannya duduk menundukkan wajah si laki-laki baju putih.

"Apakah aku harus menentang ibuku sendiri....?" berkata laki-laki muda itu dengan suara parau. Tampaknya dia dalam kebimbangan.

"Hm, kau memang siluman yang bodoh! Aku sudah suruh kau membunuh dukun tua bernama Kenca itu, yang susah payah aku menyelidiki tempatnya! Akan tetapi pekerjaanmu sia-sia...! Manusia bernama Kenca itu adalah pembunuh ayahmu, akan tetapi justru ibumu mencintainya! Hal ini tak perlu kau tanyakan pada ibumu, karena kau tahu sifat ibumu. Sekali kau bertanya, maka kau akan dibunuhnya! Jadi maksudku bukan kau harus menentang ibumu, tapi demi ketenteraman bangsa siluman maka wanita yang kuketahui bernama Roro Centil itu harus di lenyapkan segera. Carilah jalan terbaik untuk membunuhnya secara diam-diam. Sementara aku akan mencari Kenca! Aku takkan turun tangan untuk membunuh manusia itu. Karena kau pasti akan penasaran sekali kalau tak membunuh dengan tanganmu sendiri musuh besarmu itu...!"

Tercenung pemuda baju putih ini. Tampak wajahnya menegang, dan dadanya berombak-ombak. Beberapa tetes air mata jatuh meluncur membasahi baju dan meleleh dipipinya. Sepasang lengannya bergerak, dan kedua tangannya terkepal. Terdengarlah suaranya tergetar menahan gejolak perasaan yang menggebu di dada menahan dendam.

"Aku... aku segera akan bunuh manusia perempuan itu, paman! Dan... terima kasih atas bantuanmu...!"

"Bagus! Akan tetapi sebaiknya kau tunda dulu niatmu itu, aku akan mencari manusia bernama Kenca itu! Anak buahku telah berhasil menyelidiki dimana adanya dia!" berkata si manusia berkepala buaya, setelah berpikir sejenak.

"Terserah bagaimana baiknya paman...!" sahut laki-laki baju putih itu. "Nah, selama aku pergi segera kau susun rencanamu!"

Selesai berkata si manusia kepala buaya melesat keluar dari relung goa dan melenyapkan diri. Lakilaki baju putih itu cuma duduk termangu dengan pikiran kosong...

Di atas tebing, manusia kepala buaya itu merobah ujudnya menjadi seorang kakek berkaki pincang. Berpakaian penuh tambalan dengan topi tudung butut. Lalu dengan melompat dan berlari-lari cepat segera menuju ke arah timur...

Ternyata Kenca memang berada di desa Tembalu. Setelah mengantarkan si bocah laki-laki bernama Sugala itu ternyata tak kembali kepondoknya. Ada berita bahwa pondoknya telah porak-poranda. Laki-laki tua ini mendapat firasat tidak baik. Itulah sebabnya dia menyembunyikan diri di desa Tembalu.

Akan tetapi makhluk-makhluk siluman buaya putih telah menyebar mencari jejaknya. Dan diketahui dimana adanya dia. Anak buah si laki-laki kepala buaya ternyata tak mengambil tindakan sesuai perintah. Kecuali memberi laporan dimana adanya dukun tua bernama Kenca itu.

Siang itu tiba-tiba udara mendadak berubah gelap. Angin keras membersit dari arah barat. Kenca duduk bersila dalam sebuah kamar, di sebuah pondok yang disediakan orang tua Sugala untuk tempatnya menginap sementara. Sepasang matanya yang tadi terpejam kini terbuka. Udara yang mendadak menjadi gelap seperti mau turun hujan itu memang mencurigakan hatinya.

Karena sebagai seorang yang "berisi" segera mengetahui adanya tanda-tanda bakal datang marabahaya. Segera bibirnya tampak berkomat-kamit membaca mantera. Sisa pedupaan yang masih mengepul asap itu ditambahnya lagi dengan kemenyan. Sementara tampak wajah laki-laki tua ini kelihatan resah.

Trak...! Tiba-tiba tempat pedupaan dari tanah liat itu pecah. Tersentak Kenca. Wajahnya berubah pucat. Dan pada saat itu juga pintu diketuk dari luar. "Siapa...?" teriak Kenca dengan suara tertahan. Terdengar suara batuk-batuk seperti suara orang tua yang penyakitan. "Siapakah bapak...?" Tanya Kenca, setelah membuka pintu.

"Ooooh, aku tersesat jalan, nak...! Udara gelap, angin kencang. Berilah aku tempat bermalam. Agaknya hari mau hujan...!" Ujar si kakek kurus kering berkaki pincang itu.

"Aaah, tentu dengan segala senang hati!" sahut Kenca berbasa-basi. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan kakek pincang itu. Timbul kecurigaannya karena dia melihat sepasang kaki si kakek pincang itu tak menginjak tanah. Bahkan tongkatnyapun menggantung di udara.

Namun terlambat. Sekali lengan si kakek menjulur, Kenca telah kena ditotok roboh. Selanjutnya cepat sekali gerakan si kakek pincang. Sekejap sudah memanggul tubuh Kenca pada pundaknya. Dan... kejap berikutnya kakek pincang itu sudah melesat pergi dan lenyap dalam kegelapan cuaca.

SEBELAS

"Inilah manusianya yang telah membunuh ayahmu, Loman...!" teriak si kakek pincang di mulut relung goa. Cepat sekali siluman buaya ini telah berada di sarangnya lagi. Pada pundaknya tertelungkup tubuh Kenca dalam keadaan tak berkutik. Akan tetapi tak ada sahutan. Membuat sang "kakek" jadi terheran.

"Loman...! Lomaan...!" teriaknya memanggil. Akan tetapi tetap tak ada sahutan. Dengan kesal dibantingkannya tubuh Kenca ke batu berlumut di bawah kakinya. Mengeluh Kenca menahan sakit. Dan si kakek pincang ini melompat ke dalam.

"Lomaan! Dimanakah kau...?" teriak lagi si kakek pincang. Beberapa ruangan di dalam relung goa itu diperiksanya. Akan tetapi memang tak ada penghuni siapa-siapa di dalamnya. Dengan memaki panjang pendek segera beranjak keluar lagi.

"Kemana pula anak-anak buahku...?" desisnya tersentak. Akan tetapi ketika baru dia tiba di mulut relung goa lagi, satu bentakan keras terdengar.

"Siluman edan! ayoh, bertarung lagi denganku!"

Terkejut kakek ini melihat siapa yang muncul. Ternyata tak lain dari gadis cantik bangsa manusia yang pernah jadi tawanannya, yang berhasil meloloskan diri karena kemunculan siluman Harimau Tutul dan seorang nenek sakti yang kemudian mengobrak-abrik sarangnya. Dialah Roro Centil!

"Hihihi... tak usah kau menyaru menjadi kakek-kakek pincang segala! Mana kepala buayamu, siluman tengik...?" Teriak Roro yang dapat melihat ujud aslinya dengan mata batin.

Mendelik sepasang mata si kakek pincang. Gusarnya bukan kepalang karena ketahuan modalnya, disamping terkejut karena kemunculan wanita pendekar ini di sarangnya. Bahkan bukan main terkejutnya dia mengetahui Kenca sudah berdiri bebas, dan terlepas dari pengaruh totokannya. "Kurang ajar! Kau berani melepaskan dia?" bentak si kakek pincang.

"Mengapa tidak berani?" sahut Roro dengan bertolak pinggang.

"Kau... kau akan tahu akibatnya! Hayo keluarkan harimau tutul piaraan mu itu, apakah kau kira aku takut? Hahahah... kali ini kau takkan dapat lolos dari tanganku! Seperti janji ku, kau harus ku peristri untuk menjadi penghuni sarangku menemani diriku yang kesepian...!"

Mengakak tertawa si kakek pincang serta berkata jumawa seperti tak memandang sebelah mata. Tiba-tiba lengannya bergerak menghantam Roro dengan pukulannya, disertai melompatnya tubuh si kakek pincang. Serangan itu ternyata di barengi dengan tiga serangkaian tendangan beruntun yang cepat sekali.

Membuat Roro agak terkejut, karena tak menyangka bakal diserang mendadak begitu rupa. Namun Roro Centil segera gunakan jurus melompat yang indah. Tubuhnya menekuk ke belakang hingga kepalanya hampir menyentuh tanah. Sementara pukulan pertamanya dipapaki dengan sebelah tangan.

Wukkk...! Angin pukulan Roro membersit keras. Akan tetapi si kakek cepat putarkan tongkatnya. Hebat akibatnya, tubuh Roro terlempar dua tombak. Akan tetapi dengan bersalto Roro kembali jejakkan kakinya ke tanah.

"Bagus! Jaga yang ini!" teriak si kakek pincang.

Derr! Derrr...!

Dua kilatan sinar berkredep menyambar kaki Roro sebelum menginjak tanah. "Ah...?!" teriak Roro dengan suara tertahan. Terpaksa dia gerakkan tubuhnya melompat-lompat menghindari kilatan yang menyambar ke arah kakinya. Akhirnya Roro melompat agak jauh dan jejakkan kaki dengan aman.

Sementara sepasang lengannya telah siap melancarkan serangan balasan. Akan tetapi terkejut Roro ketika melihat si kakek pincang itu tak tampak lagi batang hidungnya. Dan lebih-lebih lagi terkejutnya melihat Kenca tak ada di tempat berdirinya.

"Setan alas! Aku terkecoh! Pasti kakek Kenca telah dilarikannya!" Sentak Roro dalam hati. Mata Roro jelalatan mencari jejak si kakek pincang dengan berkelebat memasuki lorong goa sarang si manusia kepala buaya itu. Beberapa ruangan diperiksanya, namun tak dijumpai di mana gerangan lenyapnya sang lawan.

"Sialan...!" maki Roro dengan mendongkol. Di ubak-ubaknya seisi goa itu yang ternyata pada bagian ujungnya adalah jalan buntu. Sejenak termenung Roro. "Apakah dia mempunyai jalan rahasia?" pikir Roro. Dia lupa kalau yang dihadapinya adalah makhluk siluman. Tentu saja mudah bagi si kakek pincang untuk membawanya "terbang" keluar goa dengan cepat.

Goa di lereng tebing yang tempatnya tersembunyi itu memang banyak terdapat batu-batu yang bertonjolan. Ternyata si kakek pincang memang telah melompat kesana setelah menyambar tubuh Kenca, lalu lenyap di belakang batu. Karena tak dijumpai kemana lenyapnya si kakek pincang itu, Roro Centil segera melesat keluar goa. Lalu melompat ke atas batu tebing di relung bagian atas goa. Sampai disana kembali diarahkan pandangannya mencari kalau-kalau terlihat tubuh lawan yang dikejarnya.

"Gila! cepat benar larinya siluman itu!" gumam si wanita Pendekar ini. Teringat bahwa si Tutul bisa diperintahkan menyusul segera di panggilnya makhluk sahabatnya itu. "Tutul! kejarlah kemana dia perginya! Bantu aku mencarinya!" desis Roro dengan mata masih mengawasi sekitar tebing.

"Grrrr...!" terdengar suara menggeram. Dan sesosok bayangan hitam melesat ke arah belakang tebing. Roro berkelebat menyusul.

Sementara itu di lain tempat satu teriakan kaget terdengar santer.... "Loman...!?"

Dan sesosok tubuh berkelebat menyusul ke arah sisi tebing. Dialah si Ratu Siluman Buaya Putih. Apakah yang dilihatnya...? Ternyata pemuda bernama Loman itu dalam keadaan terduduk disudut batu dengan keadaan menyeringai kesakitan. Sebuah belati terhunjam dilambungnya.

"Loman, anakku...! Mengapa kau lakukan ini...?" tersentak Ratu dengan jeritannya. Tampak wajah Ratu Siluman itu pucat pias menatap sang anak. Diguncang-guncangkannya bahu anak muda itu dengan air mata mengalir bercucuran.

"Ibu... ku pilih jalan ini adalah demi kebaikan ibu " berkata lirih pemuda itu dengan menahan sakit. Sementara darah merembes keluar dari lukanya.

"Apa maksudmu anakku?" tanya Ratu dengan sedih.

"Aku... aku tak dapat menceritakannya, ibu... tapi semua ini demi ketenteraman "kalian" berdua! Aku... aku cuma jadi perintang antara dendam dan cinta, dan membuat suasana Kerajaan siluman penuh kemelut...! Se... selamat tinggal ibu..." selesai berkata demikian tubuh Loman terkulai dan nyawanya pun melayang. Menangis terguguk sang Ratu Siluman itu mendekap tubuh sang anak dalam pelukannya.

Pada saat itulah terdengar suara berkakakan. "Hahaha... hahaha... mengapa kau tangisi kematiannya, Ratu...? Heh, sayang... sayang... dia tak sempat melihat ayahnya! Juga "musuh besar"nya! Padahal kalau manusia bernama Kenca ini mampus ditangannya akan membuat hatiku senang!"

Sang Ratu menoleh ke arah suara itu, dan tampak si kakek pincang berdiri memandang kepadanya. Sementara di atas pundak tertelungkup sesosok tubuh. Bruk...! Dilemparkannya tubuh yang di panggulnya itu ke tanah, seraya berkata,

"Heh, inilah suami tercinta mu, Ratu...! Katakanlah, dengan cara bagaimana aku harus membunuhnya!" Selesai berkata tiba-tiba tubuh si kakek pincang melenyap, dan berubah menjadi seorang laki-laki gagah berwajah tampan. Berpakaian mirip seorang Raja.

Tentu saja membuat Ratu Siluman itu melengak dan tercengang. "Kau... kau... Bahadur ... ssu... suamiku?" ucap sang Ratu dengan suara tergetar.

"Hahaha... benar! Matamu ternyata masih awas! Patutkah kau tangisi kematian seorang anak haram hasil perzinahan mu dengan bangsa manusia...?"

Tertunduk sang Ratu Siluman. Hatinya terasa bagai disayat-sayat. Cinta dan dendam mengaduk menjadi satu dalam dadanya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri setelah baringkan tubuh Loman di tanah. Kini sepasang matanya menatap tajam pada laki-laki gagah di hadapannya, alias suaminya sendiri.

"Patut! Mengapa tidak? Lebih seratus tahun kau tak pernah muncul. Dan selama itu aku setia menanti tanpa tahu beritamu. Apakah aku salah kalau menikah dengan bangsa manusia?" teriak sang Ratu lantang.

Siluman laki-laki gagah itu tercenung tundukkan wajah menatap tanah. Tampaknya sulit sekali dia menjawab alasan istrinya.

"Kalau aku menangisi kematian satu makhluk yang masih menjadi darah daging ku sendiri adalah wajar! Bangsa kami bangsa siluman juga punya hati dan perasaan untuk menghargai pengorbanannya, walaupun hal ini memang tak dapat dibenarkan. Karena membunuh diri itu adalah suatu dosa besar! Tapi nilai dari pengorbanan itu bagi kita betapa amat berharganya! Dia korbankan jiwanya demi ketenteraman kita! Demi kerukunan kita kembali...! Karena adanya dia telah menimbulkan dendam di hatimu! Kau fitnah aku dengan segala macam perbuatan gilamu mengganggu penduduk manusia. Menculik, membunuh, bahkan memperkosa! Apakah hal itu dapat dibenarkan...?" Sang Ratu nyerocos bicara dengan bernapsu sekali. Sementara air matanya mengalir turun membasahi pipinya yang ranum. Wajahnya yang cantik jelita itu menimbulkan rasa iba bagi yang melihatnya.

Bahadur tak bisa buka mulut. Terpaku tak bergeming mendengarkan khotbah sang istri. Sementara Kenca telah bangkit duduk dengan mengeluh, menyeringai menahan sakit akibat dua kali terbanting ke tanah. Sepasang matanya terbelalak menatap sang Ratu dan laki-laki gagah yang tundukkan wajahnya tanpa bisa bicara apa-apa. Ketika melihat pada sosok tubuh seorang pemuda yang telah tak bernapas dengan belati terhujam dilambungnya, dia terpaku memandang. Nalurinya mengatakan bahwa anak muda itu adalah darah dagingnya.

"Bahadur! Walau bagaimana pun aku masih menerima kau di hatiku, sekarang kau harus memasrahkan keputusan pada Kenca! Dialah yang berhak memutuskannya! Bahkan dia juga berhak membalas dendam atas perbuatanmu!" ujar sang Ratu, seraya menoleh pada Kenca.

"Kematian adalah sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Aku memang sudah sejak lama kau perintahkan untuk kembali ke Kerajaan Siluman, olehmu Ratu! Tapi aku memang tak berniat meneruskan rumah tangga ini. Kita pada dasarnya adalah makhluk Tuhan juga, namun kita berbeda alam. Itulah sebabnya aku sudah sejak dulu-dulu tetap menolak untuk kembali, walaupun kau Ratu telah memberikan mutiara mustika untuk aku pulang. Tapi aku merasa Negaramu bukanlah tempat pulang yang tepat. Aku memilih kebebasan hidup di alam manusia layaknya. Silahkan kalian berkumpul lagi...! Agaknya pengalaman ini biarlah menjadi kenang-kenangan selama hidupku...!" berkata Kenca dengan suara lirih.

Terasa trenyuh hati sang Ratu mendengar pernyataan itu. Bahadur tercenung mendengar kata-kata Kenca. Betapa kini dia menyadari bahwa tidak semua manusia bersipat buruk. Ternyata banyak yang mempunyai kebesaran jiwa seperti Kenca. Tanpa disadari mereka Roro Centil telah sejak tadi berada di tempat itu bersama sang Harimau Tutulnya.

"Aiiii! Kalau begitu urusan sudah beres...! Eh, kakek pincangnya sudah ganti ujud lagi jadi laki-laki ganteng! Wah, wah, bisa-bisa aku kepincut nih Ratu...!" berkata Roro dengan kedipkan mata.

DUA BELAS

Ratu Siluman Buaya Putih tersenyum diantara derai air matanya, menatap Roro dengan menggumam. "Ah, gadis bengal! Pandai sekali kau menggoda!"

Sementara Bahadur beranjak mendekati Kenca. Menggamit pundak orang untuk diangkat berdiri. Ditatapnya wajah laki-laki tua itu dengan kagum dan terharu. Kenca tundukkan wajahnya menatap tanah.

"Aku bersalah dan berdosa besar telah membuat kericuhan pada penduduk. Sudilah kau wakilkan aku meminta maaf pada mereka, bangsa mu, bangsa Manusia...! Dan kukagumi keluhuran budimu, Kenca...!" Ucap Bahadur dengan suara rendah.

Kenca mengangguk. "Aku berjanji akan menyampaikan pesan itu, sobat! Semoga kalian dapat kembali rukun seperti sedia kala...!"

Pelahan Bahadur lepaskan pelukannya, lalu beranjak menghampiri Ratu. Kedua pasang mata itu saling tatap. "Istriku...! Maafkanlah kesalahanku, karena selama itu aku tak memberi kabar padamu, juga maafkanlah karena aku telah memfitnah mu...!"

"Yah, sudahlah! Lupakanlah yang sudah berlalu! Mari kita kebumikan jenazah Loman!" ujar Ratu lalu berpaling pada Kenca. "Kenca...! Relakanlah aku mengebumikan jenazah Loman di Kerajaan kami, untuk menjadikan kenang-kenangan pada kami... Loman adalah pahlawan bagi hati kami. Pengorbanannya telah memupus dendam dan menghidupkan Cinta didada kami..!"

Kenca mengangguk-angguk seraya berkata lirih. "Silahkan, aku tak keberatan. Dan... aku segera akan mohon diri pada kalian berdua, setelah urusan menjadi beres begini!" Kemudian Kenca memondong jenazah Loman untuk diserahkan pada Ratu.

Cepat-cepat Bahadur menerimanya. Untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya Kenca menatap wajah darah dagingnya itu. Hatinya terharu. Tapi kemudian segera putar tubuh, seraya berkata. "Selamat tinggal dan selamat jalan Ratu, dan juga padamu sobat Bahadur."

"Selamat jalan, saudara Kenca...!" ucap Ratu hampir berbareng dengan Bahadur.

Selanjutnya Kenca segera beranjak melangkah, namun segera menoleh pada Roro. "Nona, Pendekar...! Apakah kau bersedia mengantarku pulang? Aku tak tahu jalan. Tujuanku adalah ke desa Tembalu...!"

"Eh, ya...! Tentu aku bersedia, tapi tunggu dulu!" berkata Roro. Tubuhnya berkelebat melompat kehadapan Bahadur.

"Kau tak bisa pergi begitu saja! Kau kemanakan ketiga gadis yang kau culik itu?" berkata Roro dengan suara tegas. "Apakah kau telah membunuhnya setelah kau perkosa? Dan apakah orang-orang yang kesemuanya kau culik itu sudah pada mati...?" bentak Roro dengan beruntun.

Tersenyum suami sang Ratu Siluman Buaya Putih, akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, sesosok tubuh berkelebat hinggapkan kaki dengan ringan di tempat itu seraya menyahuti.

"Ketiga wanita desa itu telah aku pulangkan kembali ke tempat tinggalnya, dan tawanan laki-laki lainnya telah kubebaskan, paduka Ratu...!"

Melengak Roro melihat siapa yang datang dan bicara, yang ternyata tak lain dari si wanita tua pengasuh si Tutul alias nenek Muri Asih. Roro terlongong menatap nenek tua yang selalu menyebutnya "paduka Ratu" itu.

Sementara Bahadur sendiri juga melengak terkejut. Namun segera menjura, dengan wajah berubah agak pucat. "Dialah sahabatku yang bernama Muri Asih, Bahadur...!" berbisik sang Ratu pada suaminya.

"Ah, terima kasih atas usaha anda itu, sobat Muri Asih. Sebenarnya aku tiada berniat mengganggunya, kecuali cuma menawan...! Aku... aku sengaja melakukan penculikan itu karena... karena..."

"Karena rasa dendam dan cinta mu pada istrimu, bukan...? Dan kaupun begitu juga Ratu Siluman! Kaupun mengawini Kenca karena rasa dendam pada Bahadur yang tak pernah kembali pulang. Namun ternyata kau memang masih mencintai...!" Memotong si nenek Muri Asih dengan tertawa terkekeh.

"Benar, sobatku...! apa yang kau katakan itu tiada salah...!" menyahut sang Ratu dengan tersipu.

Ternyata nenek Muri Asih ini pulalah yang telah membisiki Loman dengan suara gaibnya, ketika dia berada seorang diri di dalam relung goa. Diceritakan siapa sebenarnya ayah Loman, dan siapa sebenarnya sang "paman" yang telah memperalatnya untuk melakukan kejahatan.

Semua itu berdasarkan karena sang "paman" alias Bahadur memang berniat membunuh Kenca melalui tangan Loman, karena kecemburuannya pada sang Ratu yang sebenarnya masih istri Bahadur. Ternyata kemelut di Kerajaan Siluman Buaya Putih itu berakhir dengan pengorbanan Loman yang dilakukan demi terjalinnya kerukunan diantara kedua suami istri itu...

* * * * * * *

Roro Centil manggut-manggut mendengar penuturan nenek Muri Asih, dalam perjalanan menuju keluar dari wilayah sungai Mahakam. Kenca sudah berpisah tadi diperjalanan untuk kembali meneruskan sisa hidupnya.

"Jadi yang telah membisiki suara gaib itu sebenarnya adalah kau nenek Muri Asih...?" tanya Roro terheran.

"Benar! Tadinya aku tak mau turut campur dalam urusan itu, akan tetapi aku menganggap kalau bekerja haruslah sampai tuntas. Setelah memberitahukan pada Ratu Siluman Buaya Putih dimana adanya manusia yang jadi biang kerok membawa kerusuhan dan kemelut di Kerajaan Siluman itu, aku langsung menyelidiki dimana ditawannya orang-orang yang telah diculik si Bahadur itu, yang disekap di relung goa lain. Setelah kubebaskan beberapa laki-laki, lalu aku mengantar ketiga gadis tawanan si Bahadur kembali ke desanya..." Demikian tutur Muri Asih, hingga kemudian dia muncul lagi di saat Roro lakukan pertanyaan pada Bahadur.

Matahari sudah semakin condong ke arah barat. Kedua nenek dan gadis itu sudah tiba di tepi laut. Tiba-tiba nenek Muri Asih hentikan langkahnya, menggamit. "Roro..." ucapnya. Muri Asih tidak lagi memanggil dengan sebutan paduka Ratu atas permintaan Roro Centil. "Roro... agaknya aku tak dapat menemanimu terus, kukira hanya sampai disini saja aku mengantarmu. Apakah kau akan terus kembali ke Pulau Jawa?"

Sejenak Roro tercenung. Rasanya berat berpisah dengan orang sakti yang telah banyak membantunya itu. "Entahlah, tapi mungkin juga aku akan kembali ke Pulau Jawa, karena aku pernah mendengar sang Ratu Siluman Buaya Putih berfirasat akan terjadinya banyak musibah pada bangsa manusia, juga tanda-tanda buruk pada Kerajaannya. Firasat sang Ratu itu mengatakan adanya seorang tokoh golongan manusia yang sesat yang bakal menggegerkan satu wilayah di Pulau Jawa. Bahkan menurut berita gaib yang diterima, saat ini ada bersemayam seorang tokoh di satu daerah di Pulau Jawa yang bergelar si Ririwa Bodas. Manusia itu adalah penganut ilmu siluman, akan tetapi dari jenis siluman jahat atau siluman golongan hitam. Aku khawatir manusia itu akan banyak membuat kerusuhan disana..." ujar Roro dengan memandang jauh ke tengah laut.

"Yah, itulah tugasmu sebagai seorang Pendekar! Aku tak dapat menemanimu, namun aku percaya kau pasti akan dapat mengatasinya!" tukas Muri Asih. Lalu lanjutnya. "Nah, baiklah kukira kini waktunya kita berpisah!"

"Tunggu...! Eh, nenek Muri...! Kapankah waktunya kau mengangkat ku menjadi muridmu?" tanya Roro.

"Heheheh... sabarlah! Dengan ilmu yang sekarang kau miliki dan kecerdasanmu kukira masih bisa menandingi pentolan-pentolan golongan hitam!" Selesai berkata, wanita kosen itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata Roro.

"Nenek Muriiii...! Apakah kau mengetahui perihal guruku si Manusia Aneh dari Pantai Selatan...!" Tiba-tiba Roro kembali berteriak. Namun tak ada sahutan. Kecuali suara membersitnya angin laut dan suara deburan ombak kecil-kecil yang menghempas di pantai karang. Roro membanting kakinya ke atas pasir.

"Huuuh...!" Untung cuma melesak sebatas betis karena tak pergunakan tenaga dalam. Wajahnya tampak cemberut. "Dasar nenek pelit!" desisnya pelahan seraya mencabut kembali kakinya yang amblas. Lubang bekas kaki itu segera terisi dengan air yang merembes masuk dari bawah pasir.

Roro Centil yang sampai saat itu tak pernah tahu tentang gurunya si Manusia Banci yang entah masih hidup entah sudah mati itu, cuma memendam kekecewaan di hatinya. Sang guru memang sering muncul, akan tetapi cuma suara gaibnya saja yang terdengar. Akhirnya setelah termenung lama di tepi pantai, Roro segera memanggil sahabatnya si harimau Tutul yang segera muncul perdengarkan suara menggeramnya.

Tak lama satu bayangan kilat bagaikan hembusan angin meluncur pesat meninggalkan pantai Pulau Kalimantan untuk terus membalik menuju ke arah Pulau Jawa, di mana segala macam peristiwa dan kemelut telah menantinya. Dan sebagai seorang Pendekar yang memang sudah menjadi tugasnya menegakkan keadilan di jagat raya ini, Roro tak pernah berhenti berpetualang.

Episode selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.