Roro Centil - Langkah-Langkah Manusia Beracun
Karya : Mario GembalaSATU
“Roro Centil...! Jangan harap kau dapat meloloskan diri dari tangan kami!" Terdengar bentakan keras yang diiringi dengan berlompatannya sosok tubuh dari balik candi.
"Aiii...!? Apakah gerangan kesalahanku? Tak hujan tak angin tahu-tahu kalian datang dan muncul mau membunuhku...! Hm, siapakah kalian?" Roro Centil memperhatikan satu persatu pada empat orang di hadapannya.
Ternyata mereka adalah tiga orang wanita yang masih tampak muda-muda. Berpakaian singsat. Rata-rata mengenakan baju berwarna ungu. Dan masing-masing lengan persyaratan mencekal senjata gaetan yang sangat runcing. Wajah-wajahnya hanya menampilkan balas dendam dan permusuhan yang amat da lam terhadap Roro. Entah dendam apakah gerangan, karena Roro sendiri memang merasa tidak mempunyai kesalahan terhadapnya.
"Heh! kiranya pendekar wanita yang punya nama besar seperti kamu mempunyai akhlak rendah!" Membentak salah satu yang tampak paling cantik di antara keempatnya. "Kami adalah murid dari perguruan Taring Naga Putih! Nah, setiap bulan lalu anda muncul di perguruan kami. Kami dari Perguruan Naga Putih sangat mengagumi anda dan telah mendengar sepak terjang serta kehebatan anda dalam hal membela kebenaran, akan tetapi.... perbuatan anda menculik serta membunuh kakak seperguruan kami benar-benar keterlaluan! Bukankah kamilah yang bertanya, apakah tingkah laku semacam itu adalah perbuatan seorang pendekar...?"
Terkejut Roro Centil bukan kepalang. Alisnya menuat naik. Sepasang matanya membelalak karena dia merasa tak pernah melakukan hal itu. Mendengar adanya perguruan Taring Naga Putih pun baru orang mendengarnya. Akan tetapi Roro tidak sempat untuk berbicara, karena sudah terdengar bentakan salah seorang yang tampak mirip laki-laki.
“Kakak Parmi...! Biarlah aku yang mewakilkan mu mengirim nyawanya ke Neraka! Pendekar Wanita berakhlak bejat ini sudah selayaknya mampus!"
Srek! Gadis ini sudah mencabut lagi senjata gaetannya dari belakang punggung, dan maju dua kali ke hadapan Roro. Melihat demikian salah seorang kawannya tak mau tinggal diam.
"Eh, jangan serakah kakak Sri Kendil! tangan ku sudah gatal untuk menghajarnya! perempuan bejat macam ini tak perlu dibunuh secara cepat, akan tetapi kematian secara pelahan yang lebih baik! hm, maksudku dibunuh pelan-pelan...!" Melangkah pula dua tindak gadis berambut kepang, yang bertampang galak ini.
“Aiii...! sabar dulu adik-adik manis...! Aku merasa tak melakukan hal demikian. Jangan-jangan kalian salah terka...!" Berkata Roro sambil tersenyum. Akan tetapi hatinya diam-diam mengeluh. "Celaka! Ini pasti ulah perbuatan si Giri Mayang keparat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang telah menyebarkan kericuhan dengan menyamar sebagai diriku!"
“Bedebah...! seumur hidup baru kujumpai seorang pendekar bermuka dua! jelas-jelas aku lihat dengan mata kepala sendiri, kau menculik kakak seperguruanku kenapa kini kau mungkir?" Teriak Parmi seraya maju melompat.
"Ah... ah...! sepertinya kau sangat menyayangi kakak seperguruanmu itu! Kulihat di matamu ada semacam sinar yang berbeda dengan sinar mata kedua adikmu. Kakak seperguruan kalian itu pasti seorang laki-laki yang gagah dan berwajah tampan. Dan... kau sudah jatuh cinta setengah mati bukan?" Berkata Roro dengan tersenyum sambil menunjuk ke arah Parmi.
Gadis ini memang lain dari dua gadis itu, karena Roro dapat melihat ada satu titik air bening di sudut mata Parmi. Semakin berkaca-kacalah mata gadis ini. Akan tetapi dia telah membentak gusar. "Perempuan bejat! Aku akan adu jiwa denganmu...!"
Dan senjata gaetannya telah dicabut lagi keluar lagi dari belakang punggung. Selanjutnya dengan mempergunakan sepasang senjata gaetan itu, dia sudah menerjang Roro Centil dengan beringas. Sementara isaknya tersendat dikerongkongan.
Wuttt! Wuttt! Wuttt...!
Hebat serangan si dara yang paling cantik diantara kedua gadis baju ungu itu. Sepasang senjata gaetan itu menerjang bertubi-tubi ke arah bagian-bagian tubuh Roro. Bahkan yang lebih mengerikan adalah Parmi selalu mengarah kepada bagian leher dan sepa sang matanya.
"Aiih...! Berbahaya sekali...!" Teriak Roro seraya berkelebatan menghindar. Ternyata cuma dengan tiga kali bergerak ke kiri dan ke kanan serta doyongkan tubuh kebelakang Roro telah dapat meloloskan diri dari serangan maut segebrakan itu.
Mengetahui serangan berbahayanya dihindari dengan tersenyum-senyum jumawa membuat Parmi semakin bernafsu untuk men jatuhkan lawannya. Dan dengan menggertak nyaring kembali dia lancarkan serangan beruntun yang lebih berbahaya lagi.
Kali ini sepasang gaetannya berubah bagaikan belasan cahaya berkilau yang membersit mengurung tubuh Roro, diiringi suara mendesing yang mengeluarkan hawa dingin. Ayal sedikit saja leher atau perut bisa kecantol gaetan maut itu. Akan tetapi Roro Centil masih melayani serangan itu dengan tersenyum manis. Bahkan mengajari lawannya menyerang.
"Yaaak, tebas ke bawah mengarah kaki! Terjang menyilang sambil menendangi serang ke kiri-kanan dengan serangan bolak-balik! Bagus...!" Teriak Roro seraya lengannya bergerak menangkap kedua lengan ga dis itu.
Tap...! Sekejap saja lengan Parmi telah kena tertangkap oleh cekalan kuat Roro Centil. Melihat demikian kedua saudara seperguruan gadis itu lakukan serangan berbareng, seraya membentak.
"Lepas...!" Cahaya-cahaya menyilaukan dari ke dua pasang gaetan si dua gadis baju ungu nyaris membobol perut Roro. Terpaksa Roro lepaskan cekalannya dengan mengenjot tubuh melesat ke udara setinggi lima tombak. Ringan sekali sepasang kakinya hinggap di atas candi. Terperangah kedua gadis itu seraya menengadah ke atas.
"Hai...! Kau kira semudah itu mau melarikan diri?" kejaaar...!" Teriak Sri Kendil.
"Hihihi... siapa yang mau melarikan diri?" berkata Roro. Tiba-tiba si Pendekar Wanita Pantai Selatan meluncur turun ke arah mereka.
Tentu saja hal demikian tak disia-siakan ketiga murid dari Perguruan Lidah Naga Putih itu. Serentak menyambutnya dengan terjangan maut. Akan tetapi yang terdengar adalah justru teriakan ketiga dara baju ungu itu berbareng dengan terpentalnya senjata-senjata mereka. Aneh sekali, karena seketika itu tubuh ketiga gadis sudah dalam keadaan tertotok kaku dalam posisi menyerang. Apakah gerangan yang terjadi? Ternyata Roro Centil baru saja memperagakan ilmu dari jurus Bayangan Kembar.
Ilmu ini cuma bisa dimiliki oleh orang yang tingkat ilmunya sudah amat tinggi. Karena mengandalkan kecepatan yang melebihi cepatnya kejapan mata. Hingga ketiga gadis itu menyangka tubuh Roro Centil berada di hadapan mereka dan akan berhasil kena di robohkan. Tak dinyana dengan gerakan yang sukar diikuti oleh mata, justru Roro Centil sudah melesat ke arah sisi dan lakukan serangan pada ketiga lawannya yang menerjang bayangannya. Hingga sekejapan saja ketika senjata dapat dibuat terlepas dari masing-masing pemiliknya, bahkan sekaligus melancarkan totokan.
Terbelalak tiga pasang mata dara-dara murid dari Perguruan Lidah Naga. Masing-masing hatinya sudah mengucap. "Matilah aku...!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa mengekeh dibarengi dengan kata-kata. "Hebat...! hebat...! jurus ilmu Bayangan Kembar itu sukar untuk dikuasai, tapi ternyata telah menguasainya, sobat Roro Centil!"
Tentu saja Roro Centil segera palingkan wajahnya, dan menatap pada sosok tubuh yang barusan saja berkelebat ke hadapannya. Itulah sosok tubuh seorang wanita tua berjubah putih berwajah masih cantik walau telah penuh keriput. Di lengannya tercekal sebuah tongkat putih tipis, bengkok dan berujung runcing. Rambutnya tergelung rapi dengan tusuk konde perak. Tak berapa lama, sudah disusul dengan berkelebatnya sesosok tubuh lagi, dibarengi kata-kata.
"Haiiih! Hampir saja terjadi lagi salah paham! Selamat jumpa nona Pendekar Roro Centil...!" Ternyata orang kedua yang barusan muncul adalah Ki Gembul Sona, yaitu si kakek yang berjulukan si Belut Putih.
Seketika wajah Roro Centil berubah cerah. "Ah... selamat datang pula pada kalian orang tua gagah, sungguh kebetulan sekali bisa muncul disini...!" Tukas Roro seraya menjura. "Bolehkah aku bertanya apakah bibi yang bertongkat adalah guru dari ketiga gadis ini?" Tanya Roro.
Hm......benar! Kuharap anda dapat memaafkan kekeliruan mereka karena telah menyangka anda si pembuat kericuhan! Mereka memang masih hijau dan belum banyak pengalaman di luar. Kematian murid laki-laki kami telah membuat mereka menjadi nekat untuk mencari anda demi membalas dendam!" ujar si wanita tua seraya balas menjura.
"Aku si perempuan tua renta ini adalah yang di juluki kaum Rimba Hijau si Pendekar Tongkat Taring Naga!" sambungnya memperkenalkan diri.
Roro Centil tersenyum manggut-manggut. Tiba-tiba Roro Centil segera balikkan tubuhnya. Sepasang lengannya bergerak. Dan... segelombang angin telah membersit keluar dari sepasang lengannya. Tersentak ketiga gadis itu karena sekejap mereka sudah terbebas dari pengaruh totokan. Tentu saja mereka cepat-cepat memungut kembali senjata masing-masing yang bergeletakan di tanah. Selanjutnya segera melompat ke hadapan sang guru mereka.
"Murid-muridku hayo lekas kalian minta maaf pada nona Pendekar Roro Centil!"
Ketiga murid ini tampak ragu-ragu, bahkan salah seorang sudah berkata, "Akan tetapi, guru... bukankah dia... dia..." ucapnya tergagap.
"Seseorang telah menyaru mirip nona Pendekar Roro Centil ini! Kalian telah salah menduga orang. Hayo cepat minta maaf...!" Bentak si Pendekar Tongkat Taring Naga dengan plototkan matanya. Tentu saja membuat ketiga gadis baju ungu itu terperangah dengan mata membelalak. Dan serta-merta segera menjura di hadapan Roro.
"Maafkan kekeliruan kami, sobat Pendekar Roro Centil! Kami tak mengetahui tentang hal itu!" ucap Parmi yang mewakilkan bicara.
"Akan tetapi bolehkan anda menjelaskan siapa sebenarnya yang melakukan tipu muslihat keji memfitnah anda itu?" Tiba-tiba Parmi langsung ajukan pertanyaan.
"Benar! kami ingin mengetahui dan harus mengetahui..." Berkata Sri Kendil yang menatap Roro dengan pandangan tajam. Dari tatapannya itu jelas dia masih kurang percaya dengan penuturan gurunya.
"Hihihi... silahkan kalian tanyakan pada guru mu, atau pada kakek rambut coklat itu. Beliau-beliau pasti akan menjawabnya!" Sahut Roro dengan tersenyum seraya leletkan lidah membasahi bibirnya.
"Nah maaf... aku tak bisa berlama-lama disini...!" Ujar Roro. Selanjutnya dengan sekali genjot tubuh sang Pendekar wanita ini sudah melayang ke atas candi yang paling tinggi. Dan saat berikutnya sudah lenyap melompat ke belakang candi.
Desa Cilutung yang mengalir pula disana kali Cilutung tampak pada slang hari itu amat lengang. Udara panas membuat seorang laki-laki berusia antara 20 tahun itu melepaskan lelah duduk di bawah pohon. Dia seorang laki-laki gagah yang berwajah cukup tampan. Memakai baju rompi warna hitam, dengan dada telanjang. Rambutnya tak terurus. Pada pergelangan lengan dan kaki pemuda ini membelit empat buah gelang besi berwarna hitam.
Dialah ADHINATA, murid Ki Panunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu. Laki-laki yang pernah menjadi murid si Raja Racun ini tampak seperti kebingungan untuk menentukan langkahnya. Sementara perutnya sudah berbunyi berkeriutan minta di isi.
"Ah, aku harus cari makanan...! perutku lapar. Kukira did alam desa ini pasti ada warung nasi. Atau... aku bisa minta pada salah seorang penduduk. Tak ku punyai sekepingpun uang perak...!" gumamnya perlahan. Sesaat dia sudah bangkit berdiri. Dan melangkah memasuki desa. Jalannya tak terlalu cepat karena dalam melangkah itu benaknya terus bekerja.
"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat! Aku harus hati-hati untuk tidak menyentuh siapa saja! haiih...! Sungguh aku tak menyangka kalau akan begini jadinya! semua ini gara-gara aku kepincut dengan benda pusaka si Raja Racun yang ternyata adalah hasil ciptaannya!" desisnya lirih.
Kedai nasi mang Sakri didesa itu terkenal dengan kelezatan masakannya. Warung nasi itu adalah sa tu-satunya yang paling besar di desa itu. Bahkan begi tu terkenalnya masakan maupun pelayanannya, mang Sakri pernah di undang ke rumah Adipati Bayu Ningrat untuk memasak di gedungnya. Ya...! sejak itu semakin terkenal saja kedai nasi mang Sakri. Hingga warungnya diperlebar, dan berdagang siang malam. Karena banyak para pelanggan yang memesan dari pelbagai tempat, juga yang sengaja datang untuk makan di situ.
Seperti juga hari itu. Tampak lima penunggang kuda telah singgah di warungnya. Kelima ekor kuda segera di tambatkan di tempat yang telah tersedia, bahkan diberi rumput pula untuk menyenangkan hati para pelanggan. Beberapa pelayan laki-laki maupun perempuan tampak sibuk mencarikan meja dan tempat duduk, karena mereka tahu kelima penunggang kuda itu adalah tamu-tamu istimewa yang sering memesan makanan.
Kesemuanya adalah dari Kota Raja. Mang Sakri sudah tidak lagi memasak di dapur, cukup memerintahkan saja pada para pelayan. Berkat didikan mang Sakri pelayan-pelayan tamu maupun juru masak mengolah makanan telah pandai untuk menyesuaikan selera orang.
Beberapa saat setelah kelima orang penung gang kuda itu mendapat tempat duduk dan memesan makanan. Adhinata dengan langkah terhuyung memasuki kedai. Seorang pelayan laki-laki segera menyambut di pintu. Pemuda ini menatap mata pelayan. Tentu saja si pelayan ini kerutkan keningnya, karena baru sekali ini ada tetamu yang memasuki kedai dengan baju kumal dan rambut awut-awutan. Bahkan sepasang mata laki-laki yang ditatapnya itu terlihat merah seperti habis mabuk.
"Boleh aku bertanya, apakah aku bisa bicara dengan yang punya kedai ini?" Tanya Adhinata.
Melengak si pelayan, dan ajukan pula pertanyaan dengan menatap tajam orang di hadapannya. "Apakah maksudmu menanyakan majikanku?" Tanyanya.
"Ah, kau panggil sajalah majikanmu, aku mau bicara hanya dengannya!" Sahut Adhinata.
"He...!? lagakmu macam tuan besar saja! matamu merah, jangan-jangan kau baru saja mabuk! kedai kami sedang kedatangan orang-orang terhormat. Sebaiknya kau katakan maksudmu! atau nanti saja setelah para tamu kami sudah pulang...!" kau lihat! majikanku sedang sibuk menghormati tamu...!" Ucap si pelayan dengan tandas.
Tercenung sejenak Adhinata, segera dia menoleh pada laki-laki tua bertubuh gemuk yang tengah bercakap-cakap dengan lima orang tamu yang berpakaian mewah. "Hm, aku tak pernah minum-minuman keras! mataku merah karena aku kurang tidur! Baiklah, nanti aku bicara sendiri pada majikanmu! Sediakanlah makanan, perutku lapar...!" Ujar Adhinata seraya melangkah masuk.
"Eh tunggu dulu! bajumu kotor tubuhmu dekil dari kumal. Dengan keadaanmu seperti itu pasti tetamu kami akan menyingkir pergi! Lagi pula apakah kau punya uang untuk membayar makanan...! cegah pelayan yang dengan sigap telah menghalangi di pintu.
Tentu saja hal demikian membuat Adhinata jadi gusar. Tadinya dia mau berterus terang untuk meminta sepiring nasi pada majikan si pelayan itu. Akar tetapi karena sang pelayan melarangnya dengan memberikan alasan. Adhinata jadi batalkan niatnya untuk berterus terang. Benaknya berfikir saat tadi ialah makan dulu mengisi perut, urusan bayar adalah belakangan.
Kini melihat si pelayan itu dengan bertolak pinggang melarangnya masuk, membuat pemuda ini jadi mendongkol. Dan hilanglah kesabarannya, bahkan lupa kalau dia harus berhati-hati untuk bertindak. Sekali lengannya bergerak dicengkeramnya baju si pelayan seraya membentak.
"Pelayan kurang ajar! Kau berani melarang aku makan disini? Aku kan tetamu? Segala alasan kau ke luarkan, kau kira aku tak mampu membayar?"
Akan tetapi apakah yang terjadi? Tiba-tiba si pelayan menjerit parau. Tubuhnya berkelojotan bagai ayam di sembelih. Terkejut Adhinata. Ketika dia lepaskan cekalannya, tubuh si pelayan itu jatuh mengambruk lalu diam tak berkutik lagi. Gemparlah seketika keadaan di dalam kedai nasi itu. Beberapa orang sudah segera melompat untuk melihat kejadian di pintu kedai. Begitu juga ke lima tetamu berkuda, yang sudah bergegas melompat dari kursi masing-masing. Berpasang-pasang mata menatap terbelalak pada mayat si pelayan yang tubuhnya mulai mencair kehitaman!
"Hih...! dia telah kena pukulan beracun!" berkata salah seorang dari kelima penunggang kuda.
"Dia lari kesana...! si pembunuh itu!" teriak seorang pelayan yang melihat berkelebatnya tubuh Adhinata. Tak usah menunggu terlalu lama, serentak kelima tamu dari Kota Raja itu telah berkelebatan me lompat untuk mengejar.
Ternyata Adhinata yang tahu gelagat tidak baik segera angkat kaki dari muka kedai. Dengan gerakan cepat dia menyelinap masuk pada sebuah pintu rumah yang kebetulan terbuka. Akan tetapi terdengar jeritan dari dalam. Sesosok tubuh tertumbuk tubuhnya dan terlempar membentur dinding. Ternyata seorang wanita penghuni rumah itu telah jadi korban kedua. Berkelojotan tubuh wanita itu meregang nyawa, dan sesaat kemudian pun tewas dengan tubuh berubah kehitaman. Tentu saja hal itu membuat Adhinata terperangah. Dia memang tak sengaja membenturnya.
"Celaka...! aku harus segera kabur dari tempat ini!" Desisnya. Dan... Brak...! dia sudah menerobos keluar menerjang daun pintu bagian belakang. Akan tetapi telah terdengar bentakan keras.
"Manusia keji! kau telah terkepung!" Dan beberapa sosok tubuh sudah mengurungnya. Ketika Adhinata menatap pada mereka, tahulah dia kalau yang mengejarnya adalah tetamu kedai nasi yang rata-rata berpakaian mewah tadi.
"Pembunuh biadab! apakah kesalahan pelayan itu, hingga kau membunuhnya dengan kejam?" Bentak salah seorang dari mereka.
"Aku... aku tak sengaja..." Teriak Adhinata dengan panik.
"Manusia keji macam begini mengapa tak cepat dibunuh mampus? Hayo kita ringkus dia!" Teriak salah seorang yang sudah tak sabar.
Dan sekejap sudah menghunus golok panjangnya. Tentu saja yang lainnya pun berbuat sama. Masing-masing mencabut keluar senjatanya. Salah seorang menerjang mendahului. Pedang berkilauan dilengannya ditabaskan ke arah leher Adhinata. Terkejut laki-laki ini. Lengannya bergerak menangkis.
Trang...! Luar biasa! pedang si penyerang itu terpental patah dua. Dan bersamaan dengan itu terdengar jeritan ngeri salah seorang kepala pengawal dari Kota Raja itu. Tubuhnya seketika menghitam dan jatuh berkelojotan. Cuma beberapa kejap saja lang sung tewas dengan keadaan tubuh berubah mengerikan. Tentu saja keempat kawannya jadi tersentak dan melompat mundur.
"Pergi...! pergilah! Atau biarkan aku pergi dari sini! aku... aku tak sengaja...!" teriak Adhinata dengan wajah pucat. Sungguh di luar dugaannya kalau tangkisannya barusan membawa efek demikian hebat. Dan tak ayal Adhinata segera melesat untuk melarikan diri.
Akan tetapi keempat kepala Pengawal Kerajaan itu mana mau membiarkan orang yang telah menyebab kan kematian kawannya itu melarikan diri? Serentak telah mengejar dengan membentak keras.
"Keparat...! kejar...! dia telah membunuh kawan kita!" Dan berkelebatlah sosok-sosok tubuh keempat kepala Pengawal, mengejar Adhinata. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sesosok tubuh menghadang si empat Kepala Pengawal.
"Tahan...! jangan kejar...!" Tentu saja teriakan nyaring itu menghentikan langkah mereka. Dan ketika menatap ke arah si penghadang, ternyata seorang wanita muda yang cantik rupawan. Siapa lagi kalau bu kan Roro Centil, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"He!? siapakah nona? mengapa menghalangi kami mengejar manusia keji itu?" Tanya salah seorang dari Kepala Pengawal.
"Dia si Manusia Beracun! pengejaran kalian amat berbahaya! apakah kalian sudah tak sayang nyawa...?" Berkata Roro dengan menatap tajam pada mereka satu persatu.
"Manusia Beracun...??" Teriak mereka dengan kaget hampir berbareng. Dan menatap Roro dengan membeliakkan mata.
"Benar! Aku memang tengah menguntitnya, ternyata dia telah mulai membawa korban!" Tukas Ro ro dengan wajah serius.
"Nah, maaf, aku harus meneruskan menguntitnya Aku menghawatirkan akan banyak terjadi kejadian yang mengundang maut!" Ucap Roro. Dan selesai berkata demikian tubuh si Pendekar Wanita itu sudah berkelebat lenyap dari hadapan mereka. Melesat cepat untuk mengejar Adhinata, hingga tak sempat lagi keempat Pengawal itu untuk menanyakan siapa dirinya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara di belakang mereka.
"Kalian beruntung dapat peringatan dari Pendekar Wanita itu! Seharusnya kalian ucapkan terima kasih...!" Kata-kata itu jelas ditunjukkan pada keempat Kepala Pengawal ini. Tentu saja serentak mereka putar tubuh untuk melihat siapa yang bicara.
"Ah, Gusti Senapati Kerta Bumi...!" Teriak mereka hampir berbareng. Dan tak ayal segera menjura hormat pada sang atasan ini.
"Sudahlah! kalian bukan sedang dalam tugas! Ucap sang Senapati. "Bawalah mayat kawanmu pulang, dan tugas baru telah menanti kalian...!" Selesai berkata Senapati Kerta Bumi melangkah pergi dari situ. Keempat Kepala Pengawal mengangguk seraya bergegas menghampiri mayat kawannya. Akan tetapi terperangah mereka, karena tubuh sang kawan telah be rubah mencair dan menimbulkan bau busuk.
"Gusti Senapati...!" Teriak salah seorang seraya mengejar laki-laki berusia 35 tahun itu.
"Ada apakah?" Tanyanya dengan palingkan wajah pada si Kepala Pengawal.
"Mengerikan sekali, gusti Senapati! mayat kawan kami..." Segera si Kepala Pengawal ini beritahukan apa yang dilihatnya.
Tampak wajah Senapati Kerta Bumi berubah. "Mari...! aku segera melihatnya!" Ujarnya seraya mendahului melompat.
Kepala Pengawal ini segera menyusul di belakangnya. Terperangah Senapati Kerta Bumi menyaksikan keadaan mayat. Karena tubuh si Kepala Pengawal yang malang itu telah menjadi cairan hitam. Kulitnya meleleh menampakkan tulang belulangnya dari sebagian tubuhnya. Sementara hawa busuk menyebar dari mayat itu.
"Edan! luar biasa sekali racun itu...! Benar benar amat mengerikan...! Entah racun apakah yang telah mengendap di tubuh laki-laki itu?" Gumam sang Senapati dengan mengelus jenggotnya yang tipis. Bahkan dia telah menatap pula pada potongan pedang si Kepala Pengawal yang telah tewas. Ternyata potongan pedang itupun telah berubah menghitam.
"Racun yang amat ganas itu adalah warisan si Raja Racun! Manusia itu telah menciptakan empat buah gelang beracun yang diwariskan pada pemuda itu! Dunia ini akan dilanda musibah besar! Karena si Raja Racun telah berhasil mencapai cita-citanya menciptakan seorang manusia yang tubuhnya mengandung racun luar biasa, walaupun dia sendiri harus tewas!"
Satu suara lembut terdengar dari seberang jalan. Tampak seorang kakek duduk di atas sebuah batu besar dengan lengan mengelus jenggotnya yang panjang menjuntai memutih.
"Kakek tua...! siapakah... anda?" Tanya Senapati Kerta Bumi yang segera telah melihat siapa orangnya yang bicara. Ringan sekali gerakan orang tua berjubah putih itu, sekejap sudah hing gapkan kakinya ke tanah di hadapan Senapati Kerta Bumi.
"Aku si kakek tua yang sial ini bernama Panunjang Jagat, Gusti Senapati. Terimalah hormatku...!" Ucap kakek itu seraya menjura pada Senapati Kerta Bumi.
Buru-buru Senapati ini balas menjura. Dari ge rakannya hamba Kerajaan ini telah mengetahui kalau si kakek Panunjang Jagat adalah seorang tokoh Rimba Hijau yang berilmu tinggi. "Aneh, anda menyebut diri anda sial. Apakah hubungannya dengan masalah ini? dan anda tampaknya mengetahui benar dengan perihal manusia beracun itu!" Bertanya Senapati Kerta Bumi.
"Bagaimana tak kukatakan diriku sial? si manusia beracun itu adalah muridku sendiri yang telah ku gembleng untuk menjadi seorang pendekar kaum golongan putih. Eh, tahu-tahu mengangkat si Raja Racun itu menjadi gurunya pula. Dan... jadilah dia manusia yang menakutkan...! Entah bagaimana nasibnya, kalau dia dipengaruhi kaum golongan hitam? Tak ada lain jalan selain membunuhnya siang-siang...!" Ujar sang kakek Puncak Tangkuban Perahu dengan wajah sedih. Tampak dari sepasang mata tua kakek itu mengalir air bening yang meluncur turun membasahi pipinya yang keriput.
Terangguk-angguk kepala Senapati Kerta Bumi yang diiringi dengan helaan napas. "Benar-benar di luar dugaanku, ternyata anda guru dari Manusia Beracun itu. Masalah ini memang amat besar dan rumit, tapi kukira kita memang harus bertindak cepat sebelum kasip. Benar seperti yang dikhawatirkan anda, kalau muridmu itu telah dipengaruhi kaum golongan sesat, akan membahayakan bukan saja terhadap rakyat akan tetapi juga membahayakan Kerajaan. Bahkan bisa membahayakan umat manusia!" Ujar sang Senapati dengan menatap wajah Ki Panunjang Jagat.
"Ya! memang lebih cepat kulenyapkan nyawa murid murtad itu adalah lebih bagus!" Tukas Ki Panunjang Jagat.
Akan tetapi Senapati Kerta Bumi cepat menyambar bicara. "Tidak...! bukan dengan membunuhnya, kita harus cari jalan untuk melenyapkan racun yang mengendap ditubuhnya! Akan tetapi apakah watak dari si Raja Racun itu belum mengendap pada jiwa muridmu, sobat Ki Panunjang Jagat?"
"Mudah-mudahan tidak, karena waktu yang di pergunakan si Raja Racun untuk memproses si Adhinata muridku itu menjadi manusia beracun cuma berkisar antara dua bulan!" Sahut Ki Panunjang Jagat se raya menghapus air matanya. "Sebenarnya waktu itu aku menitahkan pada Adhinata untuk meneruskan berguru pada adik seperguruanku Gembul Sona. Dan kuperintahkan dia turun gunung dari puncak Tangkuban Perahu. Akan tetapi dua bulan kemudian ketika aku menyambangi adikku di pesanggrahannya, ternyata muridku tak kujumpai ada di sana. Belakangan baru ku ketahui dia berguru pada si Raja Racun, tokoh hitam dari Rimba Hijau. Aku bisa menduganya karena kujumpai mayat si Raja Racun dalam keadaan seperti mayat Pengawal Kerajaan ini!" Tutur Ki Panunjang Jagat lebih lanjut, seraya menatap pada mayat yang telah membusuk itu.
"Baiklah sobat Panunjang Jagat! aku akan berusaha sebisa mungkin untuk membantumu...!"
"Terima kasih atas bantuan anda sebelumnya gusti Senapati...! "
Senopati Kerta Bumi anggukkan kepalanya dengan tersenyum, seraya ujarnya. "Jangan khawatir, orang Kerajaan tidak akan memusuhi muridmu, sepanjang dia masih dalam keadaan belum diperalat orang lain...!"
Ki Panunjang Jagat manggut-manggut. Lalu segera menjura untuk mohon diri. Akan tetapi tiba-tiba dia balikkan tubuhnya seraya menatap pada mayat. "Mayat itu sebaiknya dibakar saja, jangan coba coba menyentuhnya! amat berbahaya...!"
"Setan alas...! Aku kehilangan jejak!" Memaki Roro Centil. Tubuh sang dara ayu ini berkelebatan ke beberapa arah, dan kepalanya dipalingkan ke kiri dan ke kanan. Akan tetapi sosok tubuh si manusia beracun sudah lenyap tak kelihatan bayangannya lagi. Tiba-tiba Roro melihat sosok bayangan yang menyelinap ke balik tebing. Tentu saja hal itu tak dis ia-siakan. Segera dia berkelebat kesana. Akan tetapi tiba-tiba...
Rettt! Rett! Rettt...!
Terperan gah Roro Centil, beberapa utas tali telah menjeratnya. Dan tak ampun lagi kaki dan lengannya serta pinggangnya kena terjerat. "Alii...!? aku terjebak dalam perangkap!" Desis Roro dengan terkejut. Cepat sekali bekerjanya tali-temali itu, karena sekejap Roro Centil telah tergantung pada beberapa utas tali dengan kaki terpentang, kepala di bawah dan kaki di atas. Tali-tali yang menggantung tubuh Roro menjulur dari beberapa arah. Yaitu dari atas tebing batu dan beberapa batang pohon tinggi.
"Hihihihi... begitu mudahnya menjebak seorang wanita Pendekar yang perkasa...! " Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik tanpa terlihat orangnya.
Roro segera mengenali suara itu. "Keparat si Giri Mayang rupanya!" Desis Roro tersentak. Dan... saat itu pula telah berkelebatan tujuh sosok makhluk kerdil mengu rung di bawah Roro. Tentu saja Roro mengenal makhluk-makhluk ini, karena pernah diserang oleh mereka. Benaknya segera memikir.
"Setan alas...! kalau begitu mahluk-mahluk kerdil ini baladnya si Giri Mayang...!" Diam-diam Roro kerahkan tenaga dalamnya untuk dapat segera melepaskan diri dari jeratan tali. Akan tetapi pada saat itu serangkum angin telah menerpa tubuhnya. Terdengar si Pendekar Wanita ini, karena segera merasai tubuhnya tak dapat digerakkan lagi. Hebat, serangan aneh itu. Roro Centil tak mampu berkutik lagi, karena seketika jalan darahnya telah ter sumbat. Dan dengan demikian dia tak mampu lagi un tuk berbuat apa-apa.
"Hehehe... hehehee... selamat berjumpa nona Pendekar Roro Centil!" Terdengar suara tertawa mengekeh serak yang diiringi kata-kata. Dan sesosok tu buh berkelebat muncul. Sekali gerakan lengannya memutar, tali temali yang menjerat tubuh Roro terpa pas putus terkena sambaran angin aneh. Tanpa bisa dicegah lagi, tubuh Roro meluncur jatuh. Dan mahkluk-mahkluk kerdil itu segera menangkapnya. "Bagus! inilah saatnya kemenangan berada dipihak kita!"
Terdengar suara nyaring dan diiringi den gan berkelebat muncul sesosok tubuh wanita dengan ram but terurai. Siapa lagi kalau bukan Giri Mayang. Entah bagaimana si wanita yang amat mendendam pada Roro Centil itu bisa berada di tempat itu, dan apa pula hubungannya dengan nenek renta bertangan kosong yang berilmu tinggi itu?
"Hihihi... guru! berikanlah padaku manusia yang telah menghinaku itu!" berkata Giri Mayang dengan menatap pada si nenek tangan kosong. Entah sejak kapan tahu-tahu wanita ini telah pula mengangkat guru pada si nenek tua renta berkalung mutiara indah itu.
Si nenek berikan isyarat pada ketujuh makhluk kerdil untuk melepaskan tubuh Roro dari pegangan tangan-tangan mereka. Serentak berlompatanlah makhluk-mahkluk kerdil itu dengan patuh.
"Heheheheh mau kau apakan kah dia?" Tanyanya.
"Guru...! terima kasih atas bantuanmu sekali lagi! kali ini biarkanlah aku yang akan menentukan hidup matinya perempuan bernama Roro Centil ini!" Berkata Giri Mayang dengan menatap pada gurunya lalu alihkan tatapannya pada Roro yang terkapar di tanah dengan keadaan tak berdaya.
Sejurus antaranya si nenek bertangan kosong yang ternyata bermata jul ing itu termenung, tapi kemudian ujarnya... "Heeheheh... heheh... baiklah! akan tetapi ku beri waktu kau untuk segera membunuhnya tidak le bih dari dua hari. Selewat dua hari aku tak mau mendengar adanya nama Roro Centil di atas jagat ini!"
"Baik, baik...! jangan khawatir! manusia pembunuh muridmu si Kupu-kupu Emas ini aku jamin kau akan segera melihat bangkainya dalam keadaan tidak utuh!" Berkata Giri Mayang dengan tersenyum menyeringai.
Sementara itu Roro Centil jadi terkejut karena segera mengetahui kalau si nenek bermata juling itu adalah guru si Kupu-kupu Emas yang telah tewas di tangannya, sewaktu berada di Pulau Andalas.
Selesai berkata, Giri Mayang segera sambar tubuh Roro. Dan sekejap saja sudah dibawa berkelebat meninggalkan tempat itu. "Dua hari lagi silahkan kau datang melihat ke tempat tinggalnya, guru..." teriak Giri Mayang yang masih sempat berpesan pada guru barunya.
Nenek mata juling tak menjawab, akan tetapi segera berkelebat pergi diikuti ketujuh mahkluk cebol piaraannya.
"Iblis perempuan! tahan langkahmu!" Terdengar bentakan nyaring. Giri Mayang yang baru saja tiba di balik bukit jadi terkejut dan hentikan langkahnya, karena beberapa sosok tubuh berkelebatan menghadang. Ternyata ketiga murid si nenek Pendekar Taring Naga, yaitu si tiga gadis berbaju ungu. Giri Mayang tatapkan matanya pada ketiga dara dihada panya. Tiba-tiba dia tertawa mengikik, dan berkata dengan nada dingin.
"Hihihi... kiranya tiga saudara seperguruan dari Perempuan Taring Naga! He? Mau apa kalian menghadangku? Hm, rupanya kalian mau mencari mati...!"
"Bedebah! perempuan laknat! kau telah menculik dan membunuh kakak laki-laki saudara sepergu ruan ku! kau telah memfitnah pula nama Pendekar Roro Centil! kau harus mempertanggung jawabkan perbuatan mu!" Bentak Sri Kendil dengan berang. Dan sepasang senjata gaetannya telah tercekal di kedua lengannya.
"Hihihi nona Pendekar pujaan kalian itu kau lihat sendiri sudah tak berkutik dalam tanganku! apakah kalian mau jual lagak untuk mencari mati? Sebaiknya lekas kalian merangkak pergi dari sini!" Ben tak Giri Mayang. Sejak tadi mereka memang telah berprasangka dan tengah menduga-duga pada wanita yang berada di atas pundak Giri Mayang. Kini semakin jelaslah kalau wanita itu benar Roro Centil adanya. Tentu saja membuat mereka cukup terkejut, juga khawatir.
"Hah? Le... lepaskan dia!" Bentak Sri Kendil dengan mata mendelik.
Akan tetapi Girl Mayang tertawa mengikik, seraya berkata lantang. "Silahkan kalian rebut nona Pendekar pujaan kalian ini dari tangan ku!"
"Bedebah! kau turunkan dulu dia dari pun dakmu! dan hadapi kami!" teriak Parmi, si dara paling cantik diantara mereka.
"Hm, baik! kalian kira aku sebangsa manusia pengecut yang mau menjadikan si Roro Centil ini un tuk perisai...? Kalian rasakan nanti sepak terjangkut berkata Girl Mayang dengan senyum sinis. Giri Mayang jatuhkan tubuh Roro menggabruk ke tanah. Dan ber kata lagi dengan suara dingin. Silahkan kalian maju berbareng! kalian mau membalas dendam kematian kakak seperguruanmu, bukan? Hihihi... dia memang laki-laki gagah. Sayang aku terpaksa membunuhnya, karena itulah kebiasaan ku kalau aku sudah bosan!" Selesai bicara, kembali Giri Mayang perdengarkan suara tertawa mengikik. Sementara diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam inti api pada kedua lengannya.
"Iblis perempuan sundal! aku akan adu jiwa denganmu!" membentak Parmi dengan geram, dan sepasang mata berkaca-kaca. Seraya kemudian menerjang wanita ini dengan kemarahan meluap-luap. Sepa sang senjata gaetannya menyambar bagai kilat mengarah leher. Akan tetapi dengan tersenyum Giri Mayang merunduk cepat. Sebelah lengannya Lantas bergerak menghantam ke perut lawan.
Wukkk...! Angin panas membersit menyambar perut Parmi Untunglah gadis ini cepat pula berkelit dengan jatuhkan diri bergulingan. Giri Mayang tak memberi ke sempatan untuk gadis itu bangkit. Segera melesat untuk kembali hantamkan telapak tangannya bertubi-tubi. Akan tetapi saat itu telah terdengar bentakan, berbareng dengan menerjangnya Sri Kendil dan gadis rambut kepang. Dua pasang gaetan itu berkilatan menyambar tubuhnya dari perbagai tempat.
"Bagus...!" teriak Giri Mayang. Gesit sekali wanita itu berloncatan menghindar dari serangan ganas. Tiba-tiba Giri Mayang mulai merubah gerakan silatnya. Sekejap saja tampak ketiga lawannya mulai menyerang dengan serabutan, karena Giri Mayang mempergunakan jurus-jurus yang mengacaukan serangan lawan. Ternyata sambil mempergunakan jurusnya, bibir Girl Mayang tampak komat-kamit membaca mantera-mantera. Itulah ilmu hitam yang dipergunakan untuk menyerang syaraf lawan. Hingga dalam pandangan ketiga gadis itu, mereka seperti menghada pi mahkluk menyeramkan. Pada satu kesempatan Giri Mayang hantamkan lengannya kedua arah.
Wukkk! Wuukkk...!
Tak ampun lagi terdengar jeritan menyayat hati. Sri Kendil dan si gadis rambut kepang yang bernama Nirawuni terlempar dengan tubuh menghitam hangus. Bukan saja Parmi salah satu dari ketiga gadis itu saja yang terperanjat, akan tetapi Roro Centil yang dalam keadaan tak berdaya itupun terkesiap kaget.
"Iblis telengas Giri Mayang! kelak kau rasakan kalau bisa terbebas dari totokan si nenek mata juling itu!" maki Roro Centil dalam hati. Ternyata lidah dari Pantai Selatan inipun dibuatnya menjadi kelu dan tak dapat mengeluarkan suara. Kecuali sepasang matanya saja yang mendelik gusar.
"Hihihi... segeralah kaupun berangkat menyusul kedua saudara seperguruanmu itu!" Berkata Giri Mayang seraya hantamkan lengannya mengarah ke tubuh Parmi yang sedang terlongong dengan mata membelalak. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sinar kilat berhawa dingin yang meluluhkan pukulan inti api Giri Mayang, disertai bentakan keras.
"Wanita terlengas, kejam nian kau...! " Bhuurrr...! pukulan inti api Giri Mayang membalik ke udara, dan menyambar dahan pohon besar.
Hebat dan mengerikan sekali, pohon itu terbakar hangus. Daun-daunnya rontok kering, berjatuhan meluruk ke bawah. Tersentak Parmi bukan buatan. Dalam keadaan terperangah tadi, nyaris saja nyawanya melayang kalau tak datang sosok tubuh yang menangkis serangan berbahaya itu. Ternyata disitu telah tegak berdiri seorang pemuda tampan berpakaian serba putih. Di lengannya tercekal sebuah pedang yang berkilauan seperti perak. Dialah Sambu Ruci, si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang Nan Elok.
Kalau Roro Centil diam-diam merasa girang dengan kemunculan pemuda sahabatnya ini, adalah Giri Mayang memandang dengan terkejut. Bibirnya sudah bergetar untuk membentak. Akan tetapi, aneh...! tampaknya Giri Mayang sulit untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Seumur hidup barulah dia melihat seorang laki-laki yang tampannya sedemikian rupa. Tiba-tiba, cepat sekali Girl Mayang balikkan tubuh, dan menyambar tubuh Roro yang tergeletak ditanah. Selanjutnya dengan gerakan sebat segera angkat kaki dari tempat itu.
"Haiii? pengecut busuk! mengapa kau melarikan diri...?" Teriak Sambu Ruci. Sepasang matanya segera dapat melihat siapa adanya sosok tubuh yang di panggul dipundak wanita itu. "Hah? dia... Roro Centil...!" Sentak Sambu Ruci dengan berdesis. Akan tetapi baru dia mau berkelebat menyusul, sebuah benda telah dilemparkan ke arahnya.
Bruss...! Benda itu meledak menimbulkan asap hitam yang menyebar menghalangi pandangan. Ketika Sambu Runci menerobos asap, tubuh Giri Mayang sudah tak kelihatan lagi.
"Kurang ajar, akal licik untuk melarikan diri!" Memaki Sambu Ruci dengan hati masygul. Saat itu Parmi telah lemparkan sepasang senjatanya, dan memburu ke arah kedua tubuh saudara seperguruaannya yang terkapar dengan keadaan mengerikan. Tubuh Sri Kendil dan Nirawuni yang dalam keadaan menghitam hangus itu ditatapnya dengan air mata mengenang.
Tak kuat melihat kengerian yang terpampang di matanya, gadis ini menangis terisak dengan menekap wajahnya dengan kedua belah tangan. Menghadapi kenyataan yang amat luar biasa itu, pandangan mata Parmi menjadi gelap dan berkunang-kunang. Kepalanya terasa berdenyutan. Dan bumi yang dipijak terasa berputar. Akhirnya si gadis itu roboh pingsan tak sadarkan diri. Sementara itu Sambu Ruci telah berkelebat menghampiri. Tentu saja hal itu membuat Sambu Ruci jadi kebingungan.
"Ah, dia pingsan pula...! bagaimana ini... ?" Tersentak Sambu Ruci. Sambu Runci memang serba salah, karena dia baru mau berniat menyusul Roro yang dilarikan Giri Mayang akan tetapi melihat keadaan gadis itu tak sampai hati dia meninggalkannya. Terlebih melihat kematian kedua gadis kawannya yang hangus mengerikan.
"Kasihan...! aku harus menolong gadis ini, dan menguburkan mayat kedua gadis malang ini...! " Berkata Sambu Ruci seorang diri. Demikianlah... dengan segera si Pendekar Selat Karimata menggali tanah, lalu menguburkan jenazah kedua gadis malang itu dengan hati ikut terharu. Bahkan tak terasa air matanya menitik turun dari kelopak mata.
Matahari mulai menggelincir ke arah barat. Dan selesailah pekerjaan Sambu Ruci. Dua gunduk tanah yang ditimbun juga dengan batu dan pasir telah berada ditempat itu. Pada tanah datar di sisi bukit. Angin pegunungan berhembus menyejukkan tubuh. Laki-laki ini menyeka peluhnya yang meluncur turun ke dahi. Kini tatapan matanya dialihkan ke bawah pohon dimana dia merebahkan tubuh Parmi yang masih tak sadarkan diri.
Mendengar langkah-langkah kaki menghampiri agaknya gadis ini mulai sadar dari pingsannya. Dan sekejap dia sudah melompat bangun. Dilihatnya sesosok tubuh laki-laki yang tadi telah menyelamatkan jiwanya berada di hadapannya. Berdiri dengan meman dang kagum pada gadis itu. Memang tak dapat di sangkal kalau Parmi adalah seorang dara yang cantik Berambut ikal. Dengan ikat kepala bercorak kembang kembang warna merah. Tatapan matanya sayu, akan tetapi sedikit membelalak karena segera terlihat dua gundukan tanah yang sudah dapat diduga adalah kuburan kedua saudara seperguruannya.
"Anda.... anda yang telah mengebumikan jenazah kedua saudara seperguruanku...?" bertanya Parmi dengan memandang tajam, akan tetapi diam-diam ha tinya berdebar keras. Pemuda itu seorang laki-laki yang amat tampan. "Siapakah gerangan dia ini..?" berkata Parmi dalam hati. Sementara itu dengan tersenyum Sambu Ruci segera menjawab.
"Benar...! kulihat kau telah jatuh pingsan tak sadarkan diri. Aku lalu menolongmu memindahkan ke tempat yang teduh disini, kemudian segera ku gali tanah untuk mengubur jenazah...!"
Terlihat senyum trenyuh di bibir sang gadis. Sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Dan sepasang bibir mungil itupun tampak tergetar mengucapkan kata-kata... "Te... terima kasih atas pertolongan anda, tu... tuan Pendekar!" Ucapnya dengan suara lirih. Dan... setetes air bening kembali mengalir turun ke pipinya yang putih ranum.
"Andapun telah pula menyelamatkan nyawaku. Betapa besar budi anda, entah dengan apa aku harus membalasnya. Lanjut Parmi dengan tundukkan wajah, dan cepat-cepat lengannya menghapus air matanya.
"Ah, sudahlah...! pertolongan itu adalah sudah menjadi dasar dari setiap golongan pendekar. Siapakah namamu, adik...?"
"Namaku amat jelek. Apakah kau sudi mendengarnya?" Balas bertanya sang gadis dengan senyum di paksakan.
"Ah, Jelek atau bagus cuma sebuah nama. Tapi yang jelas orangnya kan cantik...?" goda Sambu Ruci dengan tersenyum. Sengaja dia bergurau untuk melupakan kesedihan sang gadis itu.
"Ah, anda terlalu memuji! Aku sedang dalam kesedihan begini, kalau anda mau tahu namaku tentu tak keberatan pula kalau anda menyebutkan nama anda, bukan?" Berkata sang gadis dengan tersipu.
"Haha... mengapa tidak? namaku Sambu Ruci!" sahut Sambu Ruci pendek tanpa memperkenalkan ju lukannya. Akhirnya sang gadis baju ungu itupun se butkan pula namanya.
"Aku... aku Parmi, atau kepanjangannya Parmi Sudira..."
"Aha...! nama yang begitu bagus mengapa kau katakan jelek?" kelakar Sambu Ruci dengan tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
"Bagus dan cantik secantik orangnya! sam bungnya dengan menatap tajam pada wajah sang gadis yang semakin merona merah saja wajahnya.
"Sudira itu tentu nama ayahmu, ataukah nama suamimu.. ?" tiba tiba Sambu Ruci ajukan pertanyaan.
"Suami...? ah, mana aku punya suami... itu nama ayahku!" sahut Parmi.
"Ya, ya... aku percaya! baiknya kau ceritakan riwayatmu, apakah sebabnya bisa bentrok dengan wanita bernama Giri Mayang itu?" Tanya Sambu Ruci yang segera alihkan pembicaraan.
Terdengar suara helaan napas si gadis. Wajahnya kembali menampakkan kesedihan. Akan tetapi segera dia sudah memulai berikan penuturan. Demikianlah, secara kebetulan Parmi akhirnya dapat berkenalan dengan Sambu Ruci si Pendekar Selat Karimata. Dan Parmi pun tuntas pula menceritakan siapa dirinya serta persoalan apa hingga dapat bentrok dengan Giri Mayang, yang nyaris saja dia menyangka Roro Centil biang pelaku dari kejahatan itu.
Tercenung sejenak Sambu Ruci. Segera terlintas lagi nasib Roro yang sedang dalam keadaan tak berdaya di tangan Giri Mayang. Walaupun bagaimana hati pemuda ini yang sudah kepincut oleh Roro, tak bisa berpeluk tangan membiarkan Giri Mayang menawan si Dara Pantai Selatan itu.
"Dimanakah tempat tinggalmu, nona Parmi... aku akan mengantarkanmu pulang. Selesai itu aku harus mencari jejak si wanita Iblis itu. Dia telah berhasil menawan sahabatku Roro Centil. Amat berbahaya dan mengkhawatirkan sekali. Wanita iblis itu amat telengas dan mempunyai ilmu tinggi...!"
"Kami bertiga sudah bertekad mencari jejak si wanita iblis pembunuh saudara laki-laki kakak seperguruaku. Ternyata telah berhasil menjumpai. Akan tetapi kedua saudara seperguruanku kembali tewas di tangan iblis wanita telengas itu. Tak ada lain jalan, aku akan turut mencari jejak nona Pendekar Roro Centil. Ajaklah aku kemana kau pergi, sobat Sambu Ruci...!" Berkata Parmi dengan wajah bersemangat.
Tercenung Sambu Ruci. Walau dalam hati tak menyetujui gadis itu turut serta dalam melacak jejak Giri Mayang, akan tetapi Sambu Ruci memang tak dapat menolak keputusan si gadis. Juga dikhawatirkan hal itu akan menyinggung perasaan sang gadis yang amat bersemangat dan berani itu. Akhirnya Sambu Ruci pun mengangguk.
Kemanakah gerangan lenyapnya Adhinata, si manusia beracun? Ternyata dia berada dalam sebuah lubang sumur yang amat dalam. Kalau Adhinata tak memiliki kepandaian tinggi, serta akal cerdik yang di pergunakan, niscaya tulang-tulang tubuhnya telah patah-patah karena jatuh dari tempat ketinggian terjerumus masuk ke dalam sumur itu. Itulah pula sebabnya Roro Centil kehilangan jejak.
Di dalam sumur itu Adhinata termangu-mangu. Untuk merayap naik amat sulit, karena dinding sumur penuh lumut yang amat licin. Sedangkan untuk melompat keluar juga tak mungkin, karena dalamnya sumur lebih dari lima puluh kaki. Kecuali dia punya sayap untuk terbang barulah dia bisa keluar dari sumur itu. Berpikir demikian, Adhinata jadi termangu mangu dengan mulut memaki panjang pendek.
"Sial! siaaal...! mengapa nasib buruk selalu menimpa ku? Kini nasibku tak lebih buruk dari nasib si Raja Racun! cepat atau lambat akhirnya toh aku akan mati kelaparan di dasar sumur celaka ini...!"
Malam pun semakin merayap, Adhinata masih termangu-mangu di dasar sumur tanpa bisa berpikir apa-apa selain menunggu datangnya maut. Dan lagi lagi hawa lapar menggerogoti perutnya. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru kegirangan. Matanya menatap pada lumut yang menempel tebal didinding sumur.
"Ha...? aku... masih bisa hidup! Mengapa aku jadi tolol? lumut ini bisa menjadi bahan makananku! hahaha..." Tergelak-gelak Adhinata. Dan serta merta lengannya sudah mencongkel lumut itu. Lalu langsung memakannya dengan lahap. Tak perduli lagi bagaimana rasanya, baginya yang panting adalah dia bisa bertahan hidup sambil menunggu kemukjizatan yang dapat menolong dirinya keluar dari sumur itu.
Adhinata memang sudah ditakdirkan mengalami hal yang aneh-aneh. Perjumpaanya dengan si Raja Racun telah membawa akibat tubuhnya mengandung racun yang amat hebat. Empat buah gelang besi berwarna hitam yang terpasang di empat anggota tubuhnya adalah empat buah gelang yang sudah direndam dengan racun puluhan tahun dengan bermacam racun jahat.
Semasa hidupnya si Raja Racun telah berambisi menciptakan seorang manusia yang amat luar biasa yang bakal diperalat untuk menguasai Dunia Persilatan. Hingga dengan segala daya dia berhasil menciptakan gelang-gelang besi itu. Apakah yang telah menyebabkan kematian si Raja Racun itu? Marilah kita ungkapkan peristiwanya.
Betapa girangnya si Raja Racun tokoh hitam itu yang telah menemukan Adhinata, yang dianggap cocok untuk dijadikan bahan percobaan keempat gelang be sinya. Si Raja Racun memang telah mendusta Adhinata dengan mengatakan bahwa dia memiliki dua pasang benda pusaka, yang kalau Adhinata mengingini pasti dia akan memberikannya.
Adhinata yang baru turun gunung dan belum banyak pengalaman segera kepincut untuk memiliki dua pasang gelang pusaka itu. Karena menurut Langir Setho bakal menjadikannya seorang yang luar biasa di dunia persilatan. Demikianlah, Adhinata di bawah ke tempat tinggal tokoh hitam itu.
Selanjutnya dengan menuruti setiap perintah dan petunjuk si Raja Racun, yang telah di angkat guru oleh Adhinata, pemuda murid Ki Panunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu itu di proses dengan waktu singkat hingga tubuhnya mengandung racun yang amat luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi justru si Raja Racun sendiri tewas tanpa sengaja karena kecerobohan yang di luar dugaannya.
Keempat buah gelang besi itu telah terpasang di pergelangan keempat anggota tubuh Adhinata. Dia memerintahkan pemuda itu menyalurkan tenaga dalam untuk menyebarkan pengaruh racun dari keempat gelang besi ke sekujur tubuhnya. Sebelumnya Adhinata memang telah meminum beberapa macam ramuan untuk memperkuat tubuh, yang harus dimakannya selama waktu satu bulan.
Hal itu pernah dicobanya pada beberapa pemuda yang di jadikan calon memproses ide gilanya itu, akan tetapi dari tiga orang pemuda yang dicobanya itu telah tewas. Hingga si Raja Racun segera merobah beberapa macam ramuan, dengan menambahi ramuan lain. Hal itu memang berhasil baik seperti yang telah dicobakan pada Adhinata. Akan tetapi Adhinata ternyata tak mampu mengembalikan racun yang menyebar ditubuhnya ke tempat asalnya yaitu keempat buah gelang besi itu.
Adhinata memang tidak mati, akan tetapi dia tak sadarkan diri hingga beberapa hari. Tentu saja hal itu amat mengkhawatirkan si Manusia Racun. Berbagai cara dilakukan untuk menyadarkan Adhinata. Kekhawatiran akan kegagalannya semakin memuncak karena setelah lewat dua pekan, Adhinata tetap belum sadar dari pingsannya. Untunglah ramuan-ramuan yang dijejalkan di mulut Adhinata dapat memperkuat tubuhnya untuk masih tetap bisa bertahan hidup.
Sepekan pun berlalu lagi, dan Adhinata tetap terkapar tanpa daya. Semakin gelisahlah hati Langir Setho. Tinggal satu proses lagi yang harus diterapkan pada tubuh pemuda itu. Akan tetapi keadaan Adhinata semakin memburuk. Nafasnya tinggal satu satu. Akhirnya si Raja Racun ini jadi nekat. Proses yang satu lagi harus dilaksanakan, yaitu merendam tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun.
Tanpa harus menunggu lama lagi, si Raja Racun segera cemplungkan tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun yang telah disiapkan. Ketika pemuda yang jadi bahan percobaannya satupun belum ada yang sampai pada proses terakhir ini, karena telah keburu tewas di awal percobaan. Cuma Adhinatalah yang bisa mencapai proses akhir ini. Akan tetapi itupun masih dalam teka-teki.
Tiga hari tiga malam si Raja Racun merendam tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun itu. Selama itu Langir Setho kerahkan tenaga dalamnya untuk membantu menguatkan tubuh Adhinata dengan saluran tenaga dalamnya ke tubuh pemuda itu. Ternyata hebat akibatnya. Racun yang menyebar di tubuh Adhinata telah bercampur lagi dengan racun. Napas pemuda itu sudah semakin gawat. Detik detik maut hampir menjelang.
Semakin resah hati si Raja Racun. Kekhawatiran akan kegagalan percobaannya semakin memuncak. Karena bila gagal kali ini bukan saja dia harus memulai segalanya dari nol, akan tetapi hal ini juga telah menguras habis tenaga dalamnya, dan telah merugikan tidak sedikit dari usahanya yang sia-sia itu. Dan... pada detik-detik yang mendebarkan itu ternyata Langir Sheto hampir melonjak karena girangnya. Tampak napas Adhinata kembali normal secara berangsur-angsur.
"Bagus muridku...! kau... kau berhasil! berhasil...! hahaha... hehe..." Tertawa gelak-gelak si Raja Racun karena girangnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit keras. Cekalan lengannya pada bahu pemuda itu yang selama tiga hari tiga malam tak pernah lepas untuk menyalurkan tenaga dalam yang mengalirkan hawa hangat ketubuh Adhinata, mendadak sontak di lepaskan. Terhuyung-huyung tubuh si Raja racun mundur ke belakang.
Wajahnya pucat bagai mayat dan membiru. Akan tetapi tak berlangsung lama, karena segera tubuh Langir Sheto jatuh menggabruk untuk selanjutnya berkelojotan bagai ayam disembelih. Dan kejap berikutnya tubuh si Raja racun sudah tak berkutik lagi dengan keluarnya suara mengorok bagai kerbau dipotong.
Beberapa saat antaranya tubuh si Raja Racun itupun mencair dengan mengeluarkan bau busuk yang amat mengganggu hidung. Tewasnya si Raja Racun yang berhasil dengan percobaannya. Akan tetapi meminta korban jiwanya sendiri. Demikian kisah yang di alami Adhinata, hingga dia menjadi si Manusia Beracun. Betapa amat mengerikan kini keadaan tubuhnya membuat Adhinata sendiri menjadi serba salah.
Karena dengan demikian justru menyulitkan dirinya sendiri. Masalahnya adalah si Raja Racun telah tewas. Sedangkan dia tak dapat mengendalikan racun yang mengendap dalam tubuhnya karena tak mengetahui caranya. Seandainya dia dapat berfikir secara normal mungkin hal itu bisa dilakukan.
Akan tetapi efek sampingan dari proses yang terjadi pada tubuhnya juga telah merusak jaringan syaraf. Hingga Adhinata tak lebih dari seorang pemuda tolol. Terkadang dia berambisi untuk merajai Dunia persilatan, tapi terkadang begitu ketakutan akan keadaan dirinya. Dan berusaha menjauhi manusia, karena dia khawatir untuk menyentuhnya.
GIRI MAYANG tertawa sinis menatap Roro Centil, yang telah dikuliti seluruh pakaiannya. Bahkan telah menambah beberapa totokan untuk memperkuat agar si musuh besarnya tak dapat lepas lagi dari tan gannya. Giri Mayang ambil seutas tambang, lalu mengikat tubuh kedua pergelangan tangan Roro Centil. Selanjutnya telah mengereknya ke atas pada dua buah tiang yang menyangga sebuah balok panjang.
Rumah itu adalah sebuah rumah tempat seorang pandai besi. Si pandai besinya sendiri telah dibunuhnya. Mayatnya telah di lemparkannya ke sungai di belakang rumah itu. Tentu saja disana banyak bermacam alat-alat kerja si pandai besi. Dari tungku tempat bara api, sampai palu, pahat kikir dan perbagai alat lainnya.
Dan... tungku api itu memang sudah menyala sejak tadi. Tubuh Roro Centil terayun-ayun pada seutas tambang. Kakinya cuma berada satu jengkal di atas tanah. Entah kejahatan apa yang akan dilakukan wanita telengas ini. Dengan bertolak pinggang Giri Mayang menatap tubuh Roro dengan tersenyum sinis.
"Hm, bentuk tubuhmu memang patut dikagumi Roro Centil! Memang membuat aku jadi mengiri! Hihi hi... akan tetapi tak lama lagi aku akan membuat kulit tubuhmu yang putih itu menjadi seperti kulit macan loreng...!" Berkata Giri Mayang seraya perdengarkan suara tertawa mengikik dan terpingkal-pingkal geli.
"Heh, mengapa tak kau bunuh mampus saja aku sekalian?" bentak Roro. Ternyata totokan pada urat suaranya telah dibuka oleh Giri Mayang. Maksudnya memang dia ingin mendengar suara Roro yang menjerit-jerit ketika menjalani siksaan darinya.
"Hihih... hihi... aku memang mau membunuh mu Pendekar Perkasa! Akan tetapi secara pelahan-lahan. Biar kau rasakan enaknya menjalani kematian dengan caraku ini...!" sahut Giri Mayang dengan tersenyum dingin. Selesai berkata Giri Mayang beranjak menghampiri tungku. Bara api menyala di dalamnya Dan tampak beberapa batang besi telah terbakar merah membara. Giri Mayang meraih sebatang besi yang sudah membara ujungnya itu. Lalu beranjak mendekati Roro Centil.
"Ck, ck, ck.... sayang, tubuh mulus mu itu akan menjadi buruk, Roro Centil. Bersiap-siaplah untuk menahan rasa sakit...!" Berkata Giri Mayang den gan suara dingin.
Membeliak sepasang mata Roro Centil. Baru sekali inilah dia kena dikerjai orang. Bahkan justru berhadapan dengan wanita sadis yang membencinya setengah mati. Tak dapat dibayangkan Roro bakal menjalani siksaan yang tidak ringan.
Sepasang mata Giri Mayang menjalari sekujur tubuh Roro. Dan... besi panjang bergagang kayu yang ujungnya merah membara itu sudah bergerak mendekati tubuh Roro. Beberapa detik lagi Giri Mayang akan mendengar suara jerit kesakitan dari tubuh Roro Centil. Akan tetapi tiba-tiba....
"Tunggu...!" Terdengar suara teriakan yang menahannya. Besi panas itu sudah tinggal beberapa inci lagi dari kulit tubuh Roro. Terpaksa Giri Mayang hentikan gerakannya, untuk segera berpaling ke arah suara barusan. Tampak sesosok tubuh berkelebat masuk ke dalam ruangan.
"Welaaaah, sabar dulu sobat Kelabang Kuning! welaah, welaaah, sayangnya kalau kulit yang putih mulus itu kau bikin cacad...!" Berkata sosok tubuh itu yang ternyata adalah seorang laki-laki yang sikapnya amat genit. Laki-laki ini berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh jangkung, dan berbaju gombrong hingga mirip orang kedodoran. Wajahnya tampak lucu, tanpa kumis dan jenggot. Sebelah telinganya memakai anting-anting besar.
Melihat kemunculan laki-laki aneh ini tampak Giri Mayang disamping terkejut, juga mendongkol sekali. Laki-laki yang sikapnya genit ini adalah adik tiri ayahnya yang sudah tewas. Bernama Porak Supih. Porak Supih inilah yang memperkenalkan dirinya dengan si nenek mata juling, yang cuma memberi waktu dua hari padanya untuk segera membunuh Roro.
Bahkan Girl Mayang telah pula mengangkat si nenek mata juling itu sebagai gurunya. Giri Mayang memang belum menerima tambahan ilmu, akan tetapi nenek yang mempunyai "piaraan" tujuh makhluk kerdil (siluman) itu telah beberapa kali membantunya. Walaupun si nenek mata juling itu sendiri belum resmi mengangkat Giri Mayang menjadi muridnya. Hubungan apakah si nenek mata juling dengan Porak Supih? Tak lain dan tak bukan wanita tua renta mata juling itu adalah ibunya sendiri.
"Mau apa kau muncul disini, paman Porak Supih. Sekali ini kuminta kau tak mencampuri urusanku! Segera keluarlah...! Aku tak mau kau mengganggu acara ku!" Berkata Giri Mayang dengan suara tegas dan hati mangkel.
Akan tetapi Porak Supih malah cengar cengir dan garuk kepala yang tidak gatal. pasang matanya menjalari sekujur tubuh Roro dengan membinar binal. Seraya ujarnya. "Welaaah...! Kelabang Kuning! sombong kali kau ini, bah...! Berilah aku kesempatan untuk mesra dulu dengannya, alangkah menyesalnya kalau kesempatan yang langka ini tersia-sia! Kudengar wanita yang kau tawan ini adalah seorang Pendekar Wanita kenamaan. Ooh... alangkah sayangnya... Welaah, welaah! aku tidak mau pergi!"
Berkata Porak Supih yang telah semakin kurang ajar menatap Roro yang dalam keadaan tanpa penutup aurat tubuh. Perbuatan Giri Mayang memang sudah sangat keterlaluan. Dan diam diam apa yang telah diperlakukan Giri Mayang ini telah dicatat direlung hati Roro. Di ukir dibenak tanpa bisa dihapus lagi.
Mendengar jawaban kata-kata Porak Supih, Giri Mayang semakin mendongkol. Akan tetapi mengingat laki-laki ini masih ada hubungan famili dengan ayahnya, Giri Mayang jadi serba salah kalau harus lakukan kekerasan untuk mengusirnya. Apa lagi Porak Supih sudah banyak menanam jasa padanya. Dan.. kali ini Giri Mayang memohon dengan halus.
"Paman Porak Supih...! si Roro Centil ini adalah musuh besar yang telah membunuh ayahku. Biarlah aku memberinya siksaan pedih. Aku akan membuatnya mati secara perlahan-lahan. Bahkan dia juga musuh nenek Nori...!" Ujar Giri Mayang dengan suara datar. Nenek Nori yang dimaksud adalah si nenek mata juling.
Akan tetapi membersit perasaan mengiri dan cemburu, ketika melihat sepasang mata Porak Supih sejak tadi tak berkejap-kejap merayapi kemulusan tubuh Roro ke setiap lekuk liku dengan pandangan mata membinar. Bahkan kata-kata Giri Mayang seperti tak didengarnya.
"Heh... heh... walau bagaimana tak kuperkenankan kau menyiksanya! Aku sudah benar-benar jatuh hati padanya... dan... aku... aku sudah tak kuat untuk menahan lagi!" Berkata Porak Supih seraya beranjak melangkah mendekati tubuh Roro yang meng gantung tak mau bergerak. Akan tetapi tiba-tiba...
"Tunggu...! Tak kuperkenankan pula kau menyentuhnya, kecuali..." Bentak Giri Mayang. Besi panas yang merah membara itu telah meluncur, menahan langkah tindakan kaki Porak Supih. Dan... besi panas itu cuma tinggal berjarak setengah jengkal dari leher Porak Supih. Terpaksa laki-laki ini hentikan langkahnya. Kedipan mata wanita itu membuat Porak Supih mengerti. Segera saja dia tertawa bergelak dan berkata.
"Beres...! untuk jasamu ini aku pasti akan membalas dengan yang lebih baik...!"
"Nah, beri aku lewat...! Kelak kalau sudah hilang penasaran ku, baru ku persilahkan kalau kau mau menyiksanya atau mencabut nyawanya...!" Lanjutnya dengan gerakan lengan menepiskan besi panas.
Aneh! serangkum hawa dingin telah menyambar besi panas membara itu, dan... Ceesss...! Terdengar bunyi seperti bara disiram air. Ujung besi panas yang merah membara itu seketika kembali menghitam keputih-putihan, serta menimbulkan asap tipis akibat pa damnya ujung besi membara itu. Dan... sekali lompat dia sudah berada di hadapan Roro. Sepasang lengannya bergerak untuk mendekap tubuh Roro Centil, dengan nafsu yang sudah menggelagak tak terbendung lagi...
Desss...! Braakkk...!
Terdengar suara jeritan parau disertai terlemparnya tubuh Porak Supih yang membentur dinding ruangan rumah, menimbulkan bergedubrakan. Dua tiang penyangga tempat menggantung tubuh Roro tahu-tahu telah patah berubah menjadi beberapa po tong. Dan tambang yang mengikat Roro telah putus. Bahkan Roro Centil sendiri sudah tak ada disana. Apakah yang terjadi?
Wukkk...! Tahu-tahu serangkum angin telah menyambar tubuh Giri Mayang yang terpukau dengan mata membelalak. Wanita itu terdengar teriakan tertahan, seraya jatuhkan diri bergulingan.
Prasss...! Tanah di tengah ruangan itu menyemburat berlubang. Tubuh Giri Mayang berguling guling menghindari serangan dahsyat yang tak diketahui siapa penyerangnya. Sambaran-sambaran angin dahsyat yang bisa membuat tubuhnya hancur luluh itu mengejar tubuhnya tiada henti.
Braakkkk...! Dengan satu teriakan keras, Giri Mayang berhasil menerobos keluar ruangan dengan melompat ke atas menjebol atap genting. Beberapa kejap kemudian wanita itu sudah jejakkan kaki di luar rumah. Terengah-engah nafas Giri Mayang. Wajahnya pucat bagai kertas. Jantungnya berdebaran. Akan tetapi baru saja dia bernafas lega, lagi-lagi angin keras menyambar dahsyat...
Blaarrr...! Batu-batu beterbangan hancur. Dan untuk yang kesekian kalinya wanita ini berhasil menyelamatkan diri dari maut dengan melompat tinggi mencelat pergi dari tanah yang dipijaknya. Jantungnya terasa copot, ketika dia jejakkan lagi kakinya di tanah, sebuah bayangan tubuh telah berkelebat dan sekejap telah berdiri di hadapannya.
"Hah...!???... Kka... kau... glek...! Giri Mayang menelan ludah. Terasa kelu tenggorokannya untuk berteriak kaget. Ternyata bagaikan area telanjang yang mengerikan sesosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil.
Yang membuat jantung Giri Mayang menyentak keras adalah di lengan dara ini telah tercekal sebuah kepala manusia yang dijambak rambutnya. Potongan kepala manusia itu tak lain dari kepala Porak Supih. Dara menetes turun memercik di atas batu yang di injaknya. Dan seluruh Rambut Roro Centil berdiri menegang ke atas bagaikan duri-duri landak.
Sepasang matanya memancarkan hawa pembunuhan yang membuat nyali Giri Mayang seketika seperti meleleh. Keringat dingin men gembun dan menetes dari sekujur tubuhnya. Seolah olah dia tidak melihat manusia lagi, akan tetapi seperti melihat malaikat maut yang berdiri di hadapannya.
"Alih.... am... ampuni... nya.. nyawaku.. nona... nona Pendekar!" Berkata Giri Mayang dengar suara gemetar.
Akan tetapi sebelah lengan Roro Centil malah terangkat ke arahnya. Tersentak Jantung wanita ini. Sebelum sesuatu yang mengerikan terjadi, Giri Mayang telah genjot tubuhnya untuk kabur. Cepat sekali Giri Mayang angkat langkah seribu menyelamatkan jiwanya. Nyalinya sudah hilang lenyap untuk menghadapi Roro Centil yang sudah berubah mengerikan. Ternyata Roro Centil batalkan menghantam wanita itu dengan pukulan dahsyatnya. Lengan bergerak menjumput sebutir batu. Sekali remas hancurlah batu itu jadi beberapa kerikil kecil. Dan...
Wuurrr...! Segenggam kerikil itu sudah meluncur deras mengejar tubuh Giri Mayang yang berlompatan melarikan diri. Terdengar suara menjerit wanita itu. Tubuhnya menggelinding jatuh. Akan tetapi segera bangkit lagi dengan tubuh luka-luka. Beberapa butir kerikil telah membenam di anggota tubuhnya. Dan Giri Mayang terus berlari jatuh bangun. Hingga beberapa saat kemudian sudah lenyap dibalik batu tebing.....
Ternyata Roro Centil tidak mengejar. Melainkan berkelebat kembali menuju ke rumah pandai besi, tempat tinggal sementara Giri Mayang alias si Kelabang Kuning itu. Whuusss...! Dia telah lemparkan kepala Porak Supih ke arah sungai di belakang si pandai besi. Lalu berkelebat masuk kembali ke dalam rumah.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi, hingga Roro dapat terlepas dari belenggu dan pengaruh totokan pada tubuhnya? Kiranya diam-diam Roro Centil telah berhasil melepaskan diri dari pengaruh totokan. Hawa murni yang dikumpulkan di pusar berhasil menyebar untuk membuka totokan. Roro Centil memang mempunyai tenaga dalam tinggi yang sudah jarang tandingannya.
Pengaruh totokan si nenek mata juling sebenarnya telah sirna karena Roro terus menerus kerahkan tenaga dalam untuk mengalirkan hawa murni ke sekujur tubuhnya. Akan tetapi Roro Centil memang belum mampu bertindak, karena untuk mengembalikan kenormalan aliran darah memakan waktu beberapa saat lagi.
Tak dinyana Giri Mayang telah menambahnya dengan totokan lagi, memperkuat totokan si nenek mata juling. Bahkan lalu membuka pakaiannya. Selanjutnya telah mengikat kedua lengannya. Lalu menggantung tubuhnya pada dua tiang penyangga balok. Pada saat besi panas membara itu sudah siap menggores kulit tubuh, sebenarnya Roro sudah terlepas dari pengaruh totokan Giri Mayang yang berhasil tembus oleh hawa murni dari dalam tubuh Roro. Demikianlah, hingga kemudian muncul Porak Supih...
Ketika Porak Supih rentangkan tangannya untuk memeluk tubuh Roro, si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini langsung hantamkan kakinya hingga tubuh Porak Supih terlempar dengan tulang-tulang bagian dalam tubuhnya remuk. Lalu memutuskan tali dan menghantam kedua penyangga itu hingga patah menjadi beberapa potong. Selanjutnya menerjang Giri Mayang, yang ternyata masih mampu menyelamatkan diri.
Ketika Giri Mayang menjebol atap wuwungan, Porak Supih ternyata masih bisa lakukan serangan bokongan dengan hamburan ratusan jarum beracun! Untunglah Roro Centil punya naluri yang teramat peka. Sambaran halus dari serangkuman senjata rahasia itu berhasil dipunahkan dengan kibasan rambutnya.
Selanjutnya dengan geram, Roro Centil balik kan tubuh. Dan apakah yang di lakukannya? Ternyata sekali lengannya bergerak, Roro telah puntirkan kepala orang dengan menjambak rambutnya. Sekali sentakkan, putuslah kepala itu dari tubuhnya. Selanjutnya melesat mengejar Giri Mayang. Dan kembali menghantam wanita itu dengan pukulan-pukulan maut. Namun berakhir dengan mengalahnya Roro Centil, karena Roro memegang janji. Hingga loloslah Giri Mayang dari maut....
Ketika Matahari merayap naik hampir tepat di atas kepala, Roro Centil sudah tinggalkan lereng bukit yang telah membawa peristiwa maut. Terdengar suara helaan napas si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Pelbagai peristiwa telah banyak dialami. Akan tetapi pengalaman barusan telah membuka matanya betapa banyaknya manusia licik di kolong jagat ini. Juga manusia-manusia berakhlak bejat yang mengumbar nafsu seenaknya.
Porak Supih ternyata sudah dikenali Roro Centil, ketika dalam salah satu pengembaraanya mendengar akan kebrutalan laki-laki aneh beranting anting sebelah itu. Entah berapa banyak suami dari wanita-wanita yang diingini telah dibunuh. Dan memperkosa mereka. Bahkan tidak jarang wanita yang sudah hamil akibat perbuatannya itu dibunuhnya pula.
Roro pernah mengejar Porak Supih untuk menangkapnya dan menyerahkannya pada seorang Tumenggung di salah satu wilayah Kerajaan kecil dipesisir laut Pulau Jawa di wilayah selat Sunda. Akan tetapi Porak Supih berhasil meloloskan diri. Hingga ketika me jumpai Porak Supih muncul di hadapannya, Roro tak memberinya kesempatan untuk hidup lagi. Dengan perdengarkan suara tertawa tawar, Roro Centil berkelebat menuju ke arah barat...
Tiga hari tiga malam telah dilewati Adhinata yang mendekam di dasar sumur. Selama itu tak ada lain pekerjaan Adhinata selain menghitung-hitung jari jari tangan dan kakinya. Atau mencabuti bulu-bulu yang tumbuh di badannya. Kalau sudah bosan dengan "pekerjaan" itu tak ada lagi keisengan lain selain makan lumut. Dan kalau perutnya sudah kenyang terisi, hawa mengantuk pun datang. Tidurlah dia dengan menggeros.
Demikianlah nasib Adhinata selama terku rung di dasar sumur. Tak terasa haripun kembali men jadi gelap lagi. Datangnya malam ternyata begitu cepat, karena bila hawa dingin menyelimuti sekitar lubang Adhinata cuma bisa menggigil kedinginan. Untunglah ingatannya mulai agak pulih, dan dia dapat segera salurkan hawa hangat dari tenaga dalamnya untuk mengusir hawa dingin yang menyungsum tulang.
Adhinata memang sudah tak perduli lagi akan nasibnya. Bahkan sudah tak ingat lagi berapa hari sudah dia bersemayam di dasar sumur itu. Pada hari ke sembilan pemuda ini kerutkan keningnya, karena mendengar suara jeritan kaget dari atas lubang. Dan bersamaan itu batu-batu kecil berjatuhan meluruk atas kepala. Alangkah terkejutnya Adhinata ketika menengadah ke atas, melihat sesosok tubuh melayang ke bawah.
"Haaii...! ada orang terperosok ke lubang sialan ini...!" Sentaknya kaget. Tak ayal dia sudah bangkit berdiri. Dan.... tentu saja lengannya dengan cepat segera terentang untuk selanjutnya sudah menangkap tubuh orang yang jatuh terperosok itu.
Krepp...! Sekejap kemudian sosok tubuh itu sudah berada dalam rengkuhan sepasang tangannya yang kuat. Orang itu perdengarkan suara keluhan lirih. Segera saja Adhinata sudah dapat menduga kalau sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Karena terasa ada dua buah benda lunak yang menempel ke dada.
"Bagus...! kebetulan, kini aku punya seorang teman...!" Berdesis mulut Adhinata dengan sepasang matanya membeliak lebar memperhatikan wajah orang. Akan tetapi tiba-tiba wajah Adhinata berubah pucat. "Celaka...! aku tak boleh menyentuhnya!" desisnya kaget.
Dan serta-merta Adhinata melepaskan pondongannya. Tubuh wanita itu jatuh berdebam ke tanah lembab. Dan Adhinata melompat ke sisi lubang. Jantungnya berdetak keras. Sepasang matanya memperhatikan tubuh wanita itu dengan cemas. Segera terbayang akan apa yang bakal terjadi. Tak lama lagi di tempat itu akan ada sesosok mayat yang daging tubuhnya mencair, menimbulkan bau busuk. Ooh, alangkah tidak menyenangkan...!
Akan tetapi ditunggu sekian lama tak ada terjadi apa-apa dengan wanita itu. Bahkan si wanita itu sendiri sudah membuka sepasang matanya. Dan menggeliat untuk bangkit berduduk. Sepasang matanya menatap pada Adhinata dengan tatapan heran. Bibirnya tampak tergetar berucap.
"Ah... siapakah.. anda...?"
"Heh? kau tak apa-apa...? Aneh...! Tubuhku mengandung racun! Aku... aku telah menyentuh mu...! Sukurlah kau tak apa-apa...! Namaku Adhinata!" Tukas Adhinata dengan wajah gerang melihat wanita itu tak terkena racun. Hal itu amat mengherankan Adhinata. Hingga terlongong Adhinata menatap wanita itu yang tak lain dari Giri Mayang adanya.
Entah apa yang terjadi hingga wanita telegas itu bisa jatuh terperosok ke dalam lubang. Giri Mayang sendiri pun terlongong keheranan, karena tak menyangka dirinya masih hidup. Dia memang dalam keadaan tanpa daksa. Beberapa luka ditubuhnya akibat serangan Roro Centil dengan batu kerikil, telah mematikan beberapa urat jalan darah di tubuhnya.
Dia memang berhasil meloloskan diri dari maut karena Roro tak mengejar. Bahkan tak memperdulikan lagi pada Wanita itu. Padahal Giri Mayang masih belum beberapa jauh, karena tak dapat berlari cepat. Bergelindingan tubuh Giri Mayang dengan luka-luka pada tubuhnya. Namun dia masih bisa bangkit untuk berlari dan berlari... Kembali kakinya tersaruk, dan dia jatuh terguling. Kali ini dia tak dapat bangkit lagi. Seluruh urat darahnya terasa ngilu. Dan mengeluhlah dia panjang pendek.
Untunglah Roro Centil tak menampakkan diri. Namun begitu takutnya Giri Mayang, hingga dia sembunyi dibalik sebongkah batu. Demikianlah. Berhari hari dia harus menahan lapar karena tubuhnya tak dapat digerakkan sama sekali. Luka-luka kecil pada sekujur tubuhnya mulai membengkak. Merintih dia menahan sakit.
Akhirnya dengan kuatkan diri dia me rangkak untuk mencari makanan yang bisa dimakan. Sekitar tempat itu amat gersang. Cuma batu-batu melulu yang terlihat. Susah payah dia mendaki lereng lereng berbatu terjal itu dengan setengah menangis. Siang hari yang panas terik itu dia telah hampir tiba di ujung bukit batu. Beberapa tombak lagi sudah terlihat hutan dengan pepohonan yang menghijau. Dia mengharapkan akan menjumpai sebuah desa. Atau seorang penduduk desa yang lewat. Dan akan selamat lah dia dari penderitaan.
Akan tetapi sungguh tragis. Di saat dia sudah berjuang setengah mati, justru berakibat fatal. Akar pohon beringin yang di raihnya telah terlepas karena kakinya tergelincir. Dan... menggelindinglah tubuhnya ke bawah tebing. Sungguh sukar disangka kalau ternyata Giri Mayang telah terjerumus masuk ke sumur dimana Adhinata berada di dasarnya. Itulah peristiwa yang telah dialami wanita itu.....
"Ah... terima kasih atas pertolonganmu...!" Berkata Giri Mayang dengan wajah menampilkan kegirangan luar biasa mendapati dirinya masih dapat se lamat dari maut untuk yang kesekian kalinya.
"Tampaknya kau terluka, kulihat banyak bekas darah sekujur tubuhmu...!" Berkata Adhinata dengan menjalari sekujur tubuh wanita itu dengan pandangan matanya.
"Benar...!" sahut Giri Mayang. "Akan tetapi luka-luka ini bukan bekas aku jatuh menggelinding, melainkan aku diserang musuh besarku!" sambungnya lirih. Adhinata kerutkan lagi alisnya.
"Siapa musuh besarmu...?" Tanya Adhinata.
Pertanyaan itu membuat wajah Giri Mayang jadi berubah seketika. Sepasang matanya memancarkan cahaya dendam yang berapi-api. Bibirnya tergetar mengucap kan kata-kata... "Dialah yang bernama Roro Centil. Wanita iblis itu telah menyiksaku setengah mati. Heh! kelak aku akan membalasnya perlakuan kejinya!"
Sementara Adhinata diam-diam mulai memperhatikan wajah wanita itu yang menurut pandangannya cukup cantik. Dan hatinya ternyata telah tertarik padanya.
"Musuh besarmu itu kalau aku bisa keluar dari dalam sumur celaka ini pasti aku lumatkan tubuhnya! siapakah namamu, nona...?" Bertanya Adhinata. "Namaku Giri Mayang. Dan kau... mengapa bisa berada didalam sumur ini?" Tanya pula Giri Mayang setelah menjawab pertanyaan Adhinata. Hahaha. nasibku sama seperti nasibmu. Aku pun Jatuh terperosok ke dalam sumur celaka ini karena dikejar orang!" jawab Adhinata.
"Dikejar orang? Apakah kesalahanmu?"
"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat. Apapun benda bernyawa yang ku sentuh pasti mengalami keracunan hebat, dan... mati! Itulah sebabnya aku terperosok ke dalam lubang celaka ini, karena menghindari buruan dari manusia-manusia yang ingin membunuhku! Dan yang mengejarku waktu itu adalah si perempuan bernama Roro Centil, yang khabarnya adalah seorang Pendekar Wanita yang berilmu tinggi!" Tutur Adhinata.
Tercenung Giri Mayang dengan menatap heran. Mengapa nasib mereka bisa hampir bersamaan? Pikir Giri Mayang. Mendengar penuturan bahwa tubuh pemuda itu mengandung racun yang amat hebat, justru membuat dia bertanya.
"Kau katakan tubuhmu mengandung racun, mengapa kau telah menyentuh ku aku tak mengalami keracunan apa-apa?"
"Itulah anehnya...! Aku sendiri juga heran. Padahal aku sudah menduga kau pasti tewas! Bahkan si Ririwa Bodas musuh guruku si Raja Racun telah tewas karena beradu pukulan dengan denganku!" Berkata Adhinata. Sekonyong-konyong ingat akan hal itu. Padahal Adhinata sebelumnya ingat sama sekali.
"Ha...? Jadi kaukah yang telah membuat kematian Ririwa Bodas?" Tanya Giri Mayang dengan tersen tak kaget.
"Hahaha... Benar! Bahkan si Raja Racun sendiri yang telah ku angkat sebagai guru baruku juga tewas karena terkena racun tubuhku...!"
Melengak Giri Mayang. Tahulah kini dia kalau sebenarnya Adhinata Adalah orang yang pernah disebut gurunya, yaitu si Ririwa Bodas untuk bertarung mengadu kesaktian dengannya. Dan sang guru sendiri juga akan mengadakan pertarungan mengadu kesaktian dengan si Raja Racun itu. Tak dinyana Giri Mayang tak mengetahui lagi nasib sang guru. Karena belum waktunya tiba saat perjanjian pertarungan mengadu kesaktian, Giri Mayang telah kena dipecundangi Roro Centil.
Giri Mayang memang segera kembali untuk menjumpai gurunya. Namun goa tempat tinggal sang guru telah runtuh teruruk, entah akibat gempa entah dihancurkan orang. Tak diketahuinya lagi kemana lenyapnya sang guru. Namun akhirnya dijumpainya juga mayat si Ririwa Bodas yang segera dikenali olehnya. Akan tetapi sudah dalam keadaan hampir tinggal tulang belulang. Cuma dari ruas tulang dan sepasang tulang kaki yang amat besar itulah menguatkan dugaannya kalau kerangka dengan daging membusuk itu adalah kerangka mayat si Ririwa Bodas.
Seperti sudah menjadi kebiasaannya Giri Mayang selalu berhasil mencari pengganti guru. Si Ririwa Bodas itu entah gurunya yang ke berapa. Akan te tapi kesemuanya itu dibunuh mati olehnya setelah mendapatkan ilmu, tentu sang guru tewas dibunuh orang. Karena hampir rata-rata guru yang menjadi pilihannya adalah tokoh-tokoh golongan hitam. Sukar diduga kalau ternyata kedua orang murid dari dua tokoh golongan hitam itu bisa bertemu. Dan kejadian ini terjadi kelak akan membuat gemparnya dunia persilatan. Dan gegernya wilayah Kota Raja.
Beberapa bulan kemudian....
"Suamiku Adhinata...! kita akan jadi sepasang manusia yang ditakuti dan berkuasa di Rimba Hijau! Bagaimana kalau kita merebut sebuah Kerajaan kecil dipantai pesisir Pulau Jawa. Setelah puas kita bersenang-senang, segera kita rebut kerajaan lainnya satu persatu. Wilayah kerajaan kita akan menjadi semakin besar dan luas! Hihihi dengan kehebatan racun yang berada di tubuhmu, dengan mudah kita akan menumpas siapa saja yang tak kita ingini, termasuk si Roro Centil itu! Bahkan masih banyak lagi kaum pendekar golongan putih musuh-musuh kita yang harus kita tumpas sampai tuntas! Dan... selama itu aku akan tetap setia di sampingmu...!" Berkata Giri Mayang.
Wanita ini duduk di atas punggung kuda yang tetap, kekar berkulit coklat kehitaman. Pakaiannya dari kain sutera yang mahal dengan bermacam perhiasan tergerai di leher, lengan dan kaki. Tiga buah tusuk konde emas terselip digelung rambutnya. Tak ubahnya Giri Mayang bagaikan istri seorang bangsawan kaya raya. Atau bisa pula mirip seorang permaisuri sebuah Kerajaan.
Sementara Adhinata berpakaian warna abu-abu dengan ikat pinggang emas. Sebuah keris terselip di belakang punggungnya. Ikat kepalanya bersulamkan benang emas yang gemerlapan. Pada Ikat pinggangnya tergantung sebuah buntalan kecil yang sudah dapat diduga berisi uang emas dan perhiasan.
ADHINATA berjalan pelahan menuntun kuda yang dinaiki Giri Mayang. Tak ubahnya bagaikan seorang anak bangsawan yang menuntun kuda seorang putri Raja. Sedangkan di belakangnya adalah sebuah rumah gedung milik seorang pembesar kerajaan yang sudah dalam keadaan porak poranda. Puluhan mayat bergelimpangan dengan keadaan mengerikan. Karena hampir setiap mayat tak ada yang bertubuh utuh. Masing-masing sudah mirip tengkorak, dengan daging membusuk yang menimbulkan bau tak sedap.
"Apapun yang kau ingini pasti akan aku kabulkan, isteriku...! Apakah kau tak berhasrat menempati gedung Pembesar Kerajaan ini...?"
"Heh! aku sudah bosan berdiam di wilayah ini. Bukankah kita ini Pengantin baru? Aku ingin berbulan madu di tempat yang tenang. Kejadian ini pasti akan menggemparkan wilayah Kota Raja. Dengan demikian apakah kita bisa mendapat ketenangan?" Tukas Giri Mayang.
"Hahaha... kau benar istriku! Marilah kita cepat tinggalkan tempat ini. Kulihat cuaca sudah hampir gelap!" Berkata Adhinata. Lalu melompat ke atas punggung kuda di belakang Giri Mayang. Sebelum keprak kudanya, pemuda ini peluk dulu tubuh "istri"nya dengan mesra. Bahkan menciumnya dengan gairah.
"Hihihi... sudahlah, suamiku...! Mari kita berangkat!" Berkata Giri Mayang dengan suara lirih Adhinata mengangguk. Dan... sesaat kemudian seekor kuda dengan dua orang penunggangnya telah mencongklang lari dengan pesat meninggalkan tempat itu.
Sementara dilangit cuaca mulai semakin gelap. Awan hitam menyebar ke arah barat dengan hembusan angin cukup kencang. Kuda dengan dua penunggang itu semakin menjauh. Dan akhirnya lenyap dibalik tikungan jalan menuju kesatu rumput sisi hutan.
Tiga orang prajurit tampak berlari-lari memasuki pintu gerbang Istana. Empat orang Kepala Pengawal segera menyongsongnya. Mereka baru saja mau berangkat menjalankan tugas, dengan beberapa belas prajurit yang telah disiapkan.
"Hai...! Apa yang telah terjadi? Cepat katakan!"
Salah seorang prajurit segera bicara dengan tanggap keterangan tergagap. "Celaka...! Gedung gusti telah kemasukan sepasang perampok! Mereka telah membunuhi prajurit. Entah bagaimana nasib gusti Patih sendiri hamba tak mengetahui...!" Ujarnya, lalu lanjutkan laporannya. "Pembunuhan itu seram sekali! pu... puluhan prajurit dan rakyat sekitar yang turut menempur kedua perampok itu telah mati keracunan...!"
Ketiganya adalah prajurit-prajurit dari gedung kepatihan yang masih tinggal hidup dan sempat meloloskan diri dari maut. Terbelalak empat pasang mata ke empat kepala pengawal itu. Segera hampir berbareng mereka berkata tertahan.
"Manusia Beracun...!" sentak mereka kaget. Celaka...! manusia itu telah muncul lagi! kita terlambat mengetahui!" Berkata salah seorang dengan wajah pucat.
"Cepat beri laporan pada gusti Senapati...!" perintah seorang kepala pengawal pada anak buahnya. Segera salah seorang prajurit berlari memasuki ruang pendopo. Akan tetapi justru Senapati Kerta Bum! telah muncul di pintu pendopo Istana.
"Manusia Beracun itu telah muncul, gusti Senapati...!" lapor prajurit itu. Lalu laporkan apa yang di dengar tadi. Laporan singkat itu membuat wajah Senapati Kerta Bumi berubah pucat.
"Bagaimana nasib Ki patih!?" tanya Senapati Kerta Bumi.
"Entahlah, menurut yang kami dengar belum diketahui nasibnya...!" sahut prajurit itu. Ke empat kepala pengawal segera datang menyusul untuk menghadap.
"Benarkah laporan yang kudengar bahwa si Manusia Beracun membantai prajurit di Kepatihan?" Tanya Senapati Kerta Bumi.
"Benar sekali gusti Senapati, cuma tiga orang prajurit itu yang berhasil meloloskan diri. Si manusia beracun itu bersama seorang wanita. Mereka merampok dan membunuhi para pengawal...!" tutur salah seorang kepala pengawal.
Senapati Kerta Bumi segera perintahkan ketiga prajurit kepatihan itu untuk menghadap dan melapor sekalian pada Baginda Raja. Dari keterangan ketiga prajurit itu segera diketahui siapa adanya wanita pendamping si manusia beracun. Yaitu Giri Mayang. Karena mereka telah mengenali wanita itu, yang pernah membuat heboh dengan ular-ular si luman ciptaan gurunya membunuh habis keluarga Adhipati Banjaran.
Tercenung Senapati Kerta Bumi. Ada perasaan ngeri juga di hatinya. Akan tetapi dia segera perintahkan empat kepala pengawal yang baru diangkat belum lama itu untuk segera membagi tugas menyelidiki, menguntit kemana kepergiannya si Manusia Beracun.
Empat kepala Pengawal segera membagi tugas pada kelompok prajuritnya. Lalu bergegas menuju ke wilayah gedung Kepatihan yang terletak di sebelah timur Kota Raja. Pengejaran untuk menyelidiki kemana perginya si Manusia Beracun ternyata mengalami kegagalan. Karena si manusia beracun sudah lenyap meninggalkan wilayah itu. Tak seorangpun menemukan jejaknya.
Kejadian mengerikan itu telah membuat Senapati Kerajaan Sunda Kelapa itu merobah keputusan untuk menumpas si Manusia Beracun, yang sudah jelas diperalat oleh Giri Mayang, si wanita yang masih menjadi buronan Kerajaan. Ratusan laskar telah disebar ke segenap penjuru wilayah Kerajaan Sunda Kelapa. Demikianlah kekalutan yang melanda di wilayah kerajaan itu. Ternyata ki Patih Lengser Sheta telah tewas berikut seluruh keluarganya, yang didapati para prajurit penyelidik di dalam kamarnya...
Kejadian ini hampir mirip dengan kematian Adhipati Banjaran yang tewas oleh ular-ular siluman. Bedanya kini si Manusia Beracun itulah yang membuat mayat-mayat bergelimpangan, dan membunuh habis keluarga Patih Kerajaan Sunda Kalapa. Hujan turun yang turun rintik-rintik membuat suasana di halaman gedung Kepatihan tampak semakin seram juga mengharukan.
Tak seorang pun dari para petugas Kerajaan yang berani menyentuh mayat yang berkaparan itu. Dan akhirnya mereka menyingkir dari gedung Kepati han karena datangnya malam yang gelap gulita mem buat mereka ngeri untuk berjaga di sekitar gedung itu.
DUA HARI KEMUDIAN. Menjelang pagi, di sebuah jalan desa... Matahari baru saja merayap naik ke ujung bukit ketika seekor kuda dengan dua penunggangnya sepasang sejoli yang mirip orang-orang bangsawan itu melintasi jalan desa.
"Kita akan terus kemana, istriku...?" Bertanya Adhinata. Sepasang lengannya memeluk pinggang Giri Mayang. Duduk berdua di punggung kuda dengan sepanjang jalan bermesraan begitu saja tentu saja mengundang perhatian orang. Bahkan tiga anak kecil yang tengah bermain segera hentikan permainannya untuk menatap pada mereka.
"Kita sudah berada di wilayah tenggara. Desa ini tampaknya tenang dan damai. Bagaimana kalau kita berbulan madu di desa ini saja...?"
"Aha, boleh juga! Tapi kita harus bersikap baik pada mereka."
"Bagus! saat ini kita memang kita membutuhkan ketentraman. Usulmu baik sekali. Hi hi hi... siapa tahu kau jadi kepala desa di sini!" Ucap Giri Mayang dengan suara berbisik. Sementara sepasang matanya menatap pada ketiga bocah yang tengah menatap mereka. Giri Mayang gerakkan lengannya menggapai. "Hei, anak-anak manis kemarilah!" panggilnya. Takut takut salah seorang anak menghampiri. "Bagus! siapa namamu...?" tanya Giri Mayang.
"Namaku...ng... Masiro..." sahut bocah itu den gan lugu.
"Kau tahu apakah nama desa ini...?"
"Desa Tembiling...!" Sahut anak itu.
"Aha...! bagus! Coba tunjukkan yang manakah rumah kepala desa..?" Tanya pula Giri Mayang.
"Kepala desa belum lama meninggal, itulah rumahnya!" Sahut anak itu seraya menunjuk pada sebuah rumah panggung yang cukup besar berhalaman bersih.
Tentu saja membuat Giri Mayang jadi melengak. "Kebetulan sekali...!" Desisnya perlahan pada Adhinata. Adhinata mengangguk-angguk dengan terse nyum lebar. Girang sekali Giri Mayang, segera lengannya merogoh saku bajunya. Dan..
"Hihihi... terimalah ini, persenan untukmu!" ujarnya seraya berikan sekeping uang perak. Akan tetapi anak ini tampaknya takut untuk menerima.
"Hai, terimalah...!" Ujar Giri Mayang lagi. Barulah bocah itu mau menerimanya. Lalu Giri Mayang gapaikan lengannya pada dua bocah lainya yang masih berdiri terlongong.
Bergegas kedua anak kecil itu mendatangi. Dan Giri Mayang pun berikan pula pada ke dua bocah itu masing-masing sekeping uang perak. Tentu saja ketiga bocah itu girang nya bukan main, hingga tak sempat mengucapkan terima kasih segera menghambur lari dengan teriakan girang.
Tersenyum Giri Mayang dan Adhinata dengan berpandangan. Tak lama Giri Mayang sudah menjalankan kudanya untuk mendatangi rumah Kepala Desa itu. Setelah bercakap-cakap dengan seorang wanita yang ternyata adalah janda Kepala Desa Tembilang, tampak kedua sejoli itu beranjak masuk ke rumah panggung. Tentu saja mereka mendapat penyambutan luar biasa sebagai "tetamu terhormat" istri mendiang Kepala Desa Tembilang itu. Tak memakan waktu lama penduduk bermunculan mengerumuni ketiga bocah tadi.
"Baik sekali nona Cantik itu, kami diberinya masing-masing sekeping uang...!" Berkata Masiro den gan bangga, dan menujukkan kepingan uang perak di telapak tangannya.
Tentu saja membuat mereka terke jut, karena sekeping uang perak itu nilainya bukan sedikit. "Ah, bangsawan dari manakah yang singgah ke desa kita? berkata salah seorang.
"Entahlah tapi desa kita tampaknya bakal mengalami keberuntungan dengan kedatangan suami istri bangsawan itu. Mereka seorang yang dermawan...!" Ujar seorang kakek yang memegangi lengan salah seorang bocah tadi. Ternyata bocah itu cucunya.
Dengan menunjukkan sikap kedermawanannya, Giri Mayang berhasil menaruh simpati penduduk. Bahkan rumah kepala desa itu telah dibelinya. Di bayarnya dengan harga mahal untuk ditempati sejoli itu. Tentu saja istri mendiang si Kepala Desa itu tak dapat menolak, bahkan merasa suka-cita.
Karena dia memang amat memerlukan biaya untuk menghidupi anak dan keluarganya. Dengan uang itu dia bisa membangun rumah lagi sisanya bisa dibelikan kebun. Demikianlah, Giri Mayang dan Adhinata menempati rumah bekas Kepala Desa itu yang telah dibelinya. Beberapa pembantu ditempatkan pada rumah itu untuk melayani keperluannya.
Rasa simpati penduduk akhirnya telah menimbulkan kesepakatan para tetua desa Tembilang untuk mengangkat Adhinata sebagai Kepala Desa pengganti Kepala Desa lama yang telah meninggal. Mereka beranggapan apa salahnya jabatan itu diberikan pada bangsawan muda itu, karena toh mereka telah menetap di desa mereka.
Tanpa banyak liku-liku Adhinata ditetapkan sebagai pengganti Kepala Desa Tembilang. Tentu saja Adhinata tak menolak, dan dengan basa-basi yang menarik hati seolah terpaksa menerima pengangkatan itu secara terpaksa, Adhinata berujar,
"Sebenarnya tak ada niatku untuk menjabat Kepala Desa disini, tapi karena kalian berkehendak agar desa ini ada pemimpinnya, terpaksa aku tak dapat menolak keinginan kalian...!" Ucap Adhinata, yang segera diiringi dengan tepukan riuh.
Dan tetua-tetua desa memberikan ucapan selamat dengan menyalami sang Kepala Desa baru me reka. Begitu juga Giri Mayang yang mendapat jabatan tangan dari semua penduduk desa Tembilang sebagai istri dari Kepala Desa muda itu.
Kegembiraan rakyat desa Tembilang ternyata di iringi bermacam upacara adat yang disaksikan sang Kepala Desa baru itu bersama istrinya. Menjelang senja upacara itu usailah sudah. Para penduduk tampak puas dapat menyuguhkan upacara pengangkatan Kepala Desa mereka dengan amat meriah.
Selesai dengan semua itu, Giri Mayang meraih tangan Adhinata untuk segera dituntun masuk ke dalam kamar yang telah di atur rapi oleh pembantu rumah. Lega sekali perasaan Giri Mayang, karena begitu pintu kamar ditutup rapat segera dia sudah memeluk Adhinata erat-erat.
"Selamat...! selamat, tuan ku Kepala Desa...!" ucap Giri Mayang dengan gembira. "Ahaai... akhirnya kita bisa tinggal di desa ini dengan tentram dan bulan madu kita akan terasa bahagia sekali..."
"Benar istriku...! Kini kau telah jadi istri seorang Kepala Desa Tembilang! hahaha...!" Berkata Adhinata seraya pondong tubuh Giri Mayang ke tempat tidur.
Ketika sang malam merayap, lengan Giri Mayang pun merayap pula menyingkirkan sesuatu yang menghalangi tubuh Adhinata. Sementara dia sendiri sudah tanggalkan pula pakaian mahalnya untuk berganti dengan selimut. Ketika "selimut" hangat itu meneduhi tubuhnya, wanita "bangsawan" itu pun perdengarkan keluhan nikmat.
Terasa sekali bahagianya jadi istri seorang Kepala Desa. Terasa sekali bahagianya berbulan madu di desa Tembilang yang tentram itu. Terkadang terpikir juga dibenak Giri Mayang, alangkah bahagianya jadi orang baik-baik. Dihormati orang, dihargai sesama manusia. Sayang semua itu cuma selintas karena nafsu telah lebih unggul dari jiwanya. Jiwanya yang tadinya murni telah dirusak, setelah dikotori dan dirasuki nafsu-nafsu sesat. Hingga kotorlah dan rusaklah jiwa murninya...!
Dan ketika desah-desah napas Adhinata menghembusi telinganya, Giri Mayang telah lupakan pikiran baik dibenaknya. Direngkuhnya laki-laki hebat itu dengan nafsu yang menggelora. Sementara Adhinata yang masih "hijau" itu mendesah puas dengan tenaga mulai mengendur.
Tak lama dia sudah terlena dengan tak memikirkan apa-apa lagi. Bahkan tak lama lagi sudah terdengar suara dengkurnya membaur dengan suara jengkerik malam di sisi rumah panggung. Berlainan dengan Giri Mayang. Dia masih belum bisa pejamkan mata. Khayalnya jauh melambung setinggi langit. Puaskah dia dengan "bersuamikan" Adhinata si Manusia Beracun itu menurut ukuran nafsunya?
Tidak! Giri Mayang cuma mau memperalat si Manusia Beracun demi cita-citanya. Dan untuk jadi seorang "istri" setia yang "menikah" tanpa saksi dan penghulu di dasar sumur berbau pengap itu, nanti dulu...! Giri Mayang bukan type wanita macam begitu. Istri teladan. NO! Kalau istri serong... YES! Baginya 100 jejaka tulen yang disuguhkan kepadanya masih belum cukup untuk waktu singkat sekalipun. Demikianlah watak dan pribadi Giri Mayang, si wanita pendendam yang punya 1001 akal licik di benaknya.
Diam-diam Giri Mayang memaparkan aji panyirep untuk tak membuat bangun Adhinata sampai pagi. Bermacam-macam ilmu memang ada dipunyainya. Akan tetapi semua itu dipelajarinya tidak sampai tuntas, karena sering berganti guru. Dan ilmu Aji Panyirep yang dapat membuat orang tidur pulas itu untuk pertama kalinya dicobakan pada Adhinata.
Tak lama dia sudah bangkit dari tempat tidur. Bergegas mengenakan pakaiannya. Dan... di malam yang larut itu, sesosok tubuh melompat dari jendela rumah Kepala Desa baru itu dengan tak menimbulkan suara. Selanjutnya setelah menutupkan kembali daun jendela, sosok tubuh itu berkelebat, dan lenyap di kegelapan malam. Apakah yang dilakukan Giri Mayang? Ternyata mencari sesuatu yang baru untuk pelengkap hasratnya. Tentu saja dia harus mencari penyalur hasratnya itu di luar desa Tembilang.
Senyapnya malam itu tidaklah mengganggu langkahnya. Tak berapa lama kakinya sudah menginjak sebuah desa di wilayah barat dari desa Tembilang. Gerakannya memang telah kembali gesit, sejak Giri Mayang sembuh dari luka-lukanya. Peristiwa di dasar sumur yang secara kebetulan bertemu dengan Adhina ta telah membuat Giri Mayang bagaikan "bersayap" lagi.
Sungguh sangat sukar diduga kalau secara tak sengaja Adhinata telah memakan lumut aneh di dasar sumur yang memulihkan kenormalan tubuhnya. Racun yang mengendap di tubuhnya secara berangsur telah berpadu dengan lumut aneh berkhasiat yang dimakannya, justru hal itu membuat lenyapnya pengaruh racun ditubuhnya.
Hingga Giri Mayang tak terkena pengaruh racun luar biasa ketika menyentuh tubuhnya. Satu keanehan lagi adalah lumut di dasar sumur itu menyembuhkan pula luka-luka Giri Mayang dan membuat normal kembali jalan darahnya yang tersumbat akibat serangan Roro Centil oleh batu kerikil.
Demikianlah, keduanya akhirnya bersatu hati untuk mencari jalan keluar dari dasar sumur itu. Bahkan untuk memperkuat kesepakatan mereka yang senasib dan sehidup semati, akhirnya mereka menyatakan diri mereka sebagai suami istri. Tentu saja di dasar sumur itu Adhinata untuk pertama kalinya mengecap nikmatnya menjadi pengantin baru. Apalagi sang "istri" adalah seorang yang sudah berpengalaman. Hingga membuat Adhinata semakin mencintai wanita itu.
Demikianlah. Dengan menggali lubang di dinding sumur untuk injakan kaki, mereka bersatu padu dan saling membantu untuk merayap naik ke atas. Jerih payah yang mereka lakukan beberapa hari itu ak hirnya membuat mereka berhasil keluar dari dasar sumur itu. Dan tiba di atas dengan selamat. Tentu saja membuat kedua sejoli girangnya tak dapat diutarakan.
Girl Mayang ternyata berotak cerdik, walau jiwanya sesat. Mengetahui keanehan yang terjadi pada tubuh Adhinata yang telah lenyap pengaruh racun di tubuhnya setelah makan lumut ajaib itu membuat dia berpikir keras. Giri Mayang tak merasa yakin kalau racun di tubuh Adhinata bisa lenyap selamanya, karena pada pergelangan lengan dan kaki Adhinata masih terbelit gelang-gelang racun ciptaan si Raja Racun.
Oleh sebab itu dia segera usulkan agar Adhinata mengetes gelang besi itu, apakah masih mengandung racun atau tidak. Pendapatnya racun di tubuh Adhinata tak bisa lenyap dengan begitu saja dengan cuma memakan lumut. Dan bila khasiat lumut ajaib itu sudah sirna ke kuatannya, tidak mustahil kalau tubuh Adhinata kembali dialiri racun maut itu.
Dan akan sangat berbahaya bagi keselamatan jiwanya sendiri, karena mau tak mau dia adalah orang yang paling dekat dengan Adhinata. Siapa sangka kalau dalam keadaan "bergaul" tahu tahu racun itu menjalar lagi. Dan dia bisa jadi korban. Demikian pikir Giri Mayang.
Usul Giri Mayang disetujui Adhinata karena dia sendiripun memerlukan mengetahui. Agaknya kata kata si Raja Racun kembali teringat oleh Adhinata Yaitu kesempurnaan dalam memiliki dan menguasai gelang-gelang racun itu adalah dengan membuka jalan darah tertentu pada pergelangan tangan dan kaki dengan melalui pengerahan tenaga dalam.
Hal itupun segera dilakukan. Di tempat yang landai di sisi danau kecil berair jernih itu adalah tempat yang cukup baik untuk mencoba. Karena jauh dari perkampungan dan dirasakan cukup aman bagi mereka. Karena walau bagaimana hati Giri Mayang masih kebat-kebit khawatir berjumpa dengan Roro Centil. Begitu juga dengan Adhinata. Disamping khawatir berjumpa dengan gurunya yang mengancam akan membunuhnya, juga khawatir orang-orang Kerajaan akan mengejarnya. Sedangkan dia dalam keadaan tak siap untuk bertarung.
Pemuda itu duduk bersila di atas batu, dengan sepasang lengan terentang menyilang di depan dada. Sebelumnya pakaian atas Adhinata telah dibuka. Segera Adhinata salurkan tenaga dalamnya bolak-balik ke sekujur tubuhnya. Hal yang dilakukan berulang-ulang itu ternyata membuat keringatnya deras mengucur disekujur tubuh. Dan, Adhinata mulai membuka jalan darah tertentu pada empat jalan darah di pergelangan kaki tangan.
Apa yang terjadi kemudian...? Sepasang mata Giri Mayang membelalak lebar tak berkedip, karena seketika tubuh Adhinata sebentar berubah merah dan sebentar berubah hijau. Keadaan itu berlangsung cukup lama, yaitu selama Adhinata belum berhenti membolak-balik salurkan tenaga dalam ke sekujur tubuh dan menyimpannya kembali pada keempat pergelangan tangan dan kaki.
Dan pada saat tubuhnya berubah hijau itu Adhinata hentikan latihannya. Sepasang matanya membuka menatap pada Giri Mayang. Melihat wajah Giri Mayang berubah pucat tentu saja membuat Adhinata jadi terkejut dan terheran. Sekejap dia sudah melompat ke arah wanita itu. Akan tetapi justru Giri Mayang melompat dengan menjauhi.
"Jangan dekat...! Berbahaya...!" teriak Giri Mayang.
"Hai..? kenapakah kau?" tanya Adhinata tak mengerti.
"Tubuhmu telah dialiri lagi racun luar biasa itu...!" teriak Giri Mayang dengan tubuh bergidik ngeri melihat tubuh Adhinata yang berubah hijau menye ramkan itu.
"Ah...!" tersentak kaget Adhinata. Justru dia sendiri tak mengetahui keadaan dirinya. Barulah dia sadar setelah melihat tubuhnya demikian hijaunya. "Jadi.... jadi racun itu memang benar masih mengendap di tubuhku?" Berkata Adhinata dengan kerutkan keningnya naikkan sepasang alisnya yang tebal.
"Benar! Bukankah dugaanku tepat sekali...? Hihi hi... tapi aku telah tahu rahasianya. Segeralah kau salurkan lagi racun yang telah menyebar itu ke pergelangan tanganmu. Tepatnya ke tempat gelang-gelang besi itu!" perintah Giri Mayang.
Tak usah sampai dua kali menyuruh, Adhinata telah menuruti perintah itu.
"Nah, tubuhmu telah berubah merah. Berarti tubuhmu sudah tak mengandung racun! Akan tetapi kini gelang-gelang besi itu bisa berbahaya bila tersentuh orang, karena kini racun luar biasa itu telah mengumpul di keempat gelang besi itu! Nah, kini carilah akal bagaimana agar gelang besi itu tak membahayakan orang...!" Ujar Giri Mayang.
Termenung sejenak Adhinata, tiba-tiba berseru kegirangan. "He...!? aku sudah tahu caranya!"
Sekonyong-konyong Adhinata melompat kembali ke atas batu. Akan tetapi tidak duduk bersila seperti tadi, melainkan gerakan tubuhnya tegak lurus dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kepalanya bertumpu di atas batu. Barulah sepasang lengannya disilangkan ke depan dada. Ternyata dia melakukan pernapasan terbalik dengan pergunakan tenaga dalamnya menembus jalan darah tersumbat di beberapa bagian tubuh yang masih tersumbat.
Ternyata penyumbatan jalan darah itu adalah dilakukan oleh si Raja Racun. Justru sebelum proses terakhir dilakukan pada Adhinata, si Raja Racun keburu tewas. Hal ini memang pernah di bicarakan pada Adhinata mengenal cara-cara menguasai ke empat pasang benda "mustika" gelang besi itu.
Pengerahan tenaga dalam dengan cara demikian untuk membuka jalan darah yang tersumbat itu ternyata memakan waktu hampir setengah hari. Giri Mayang menunggu dengan sabar. Dan dalam pada itu secara berangsur kulit tubuh Adhinata mulai mendekati kenormalan. Hingga selang tak lama setelah lewat waktu setengah hari pulihlah tubuh Adhinata, dan kembali normal seperti biasa lagi.
"Cukup...!" teriak Giri Mayang dengan wajah girang. "Kau sudah berhasil Adhinata...! Ah, menakjubkan sekali suamiku...!"
Adhinata melompat kembali untuk berdiri. Akan tetapi terjungkal dengan punggung terlebih dulu menyentuh tanah. Mengeluh pemuda itu. Ternyata akibat terlalu lama jungkir-balik membuat urat uratnya kaku. Akan tetapi sesaat antaranya dia sudah bangkit berdiri lagi.
"Hm, benarkah aku telah berhasil menjinakkan ke empat gelang besi beracun ini?" tanya Adhinata.
"Tidak meragukan lagi! Akan tetapi untuk menghilangkan was-was sebaiknya dicoba dulu!" tukas Giri Mayang.
"Tunggulah sebentar...!" Berkata wanita itu seraya berkelebat ke arah hutan. Tak berapa lama telah kembali lagi dengan menjinjing telinga seekor kelinci ditangannya. Giri Mayang lemparkan kelinci itu, yang segera disambut Adhinata.
Demikianlah, setelah dites, ternyata ke empat gelang itu memang sudah jinak, karena kelinci itu tak terkena pengaruh racun. Ternyata kemudian Adhinata memang bisa menguasai keempat gelang besi itu, yang dapat dipergunakan untuk menjadikan tubuhnya kembali beracun, serta berubah biasa lagi sekehendak hati.
Sukses besar itu amat menggirangkan hati ke dua sejoli. Segera Giri Mayang panggang daging kelinci itu untuk makan bersama... Demikianlah awal kisah munculnya kembali si Manusia Beracun yang didampingi pasangannya yaitu Giri Mayang.
Malam itu juga Giri Mayang telah mendapatkan seorang korban untuk pelampiasan nafsu bejatnya. Seorang laki-laki kekar telah berada di atas pundaknya dalam keadaan tidur menggores dan tertotok. Pada pagi hari desa Limus yang malamnya disinggahi Giri Mayang segera terjadi kegaduhan, karena seorang lelaki ditemukan dalam keadaan telanjang bulat sudah tak bernyawa lagi dengan tulang leher remuk.
Kejadian itu ternyata telah mengundang perhatian banyak orang, hingga sampai siang hari penduduk masih membicarakan kejadian aneh itu. Bahkan ternyata dua orang remaja berlainan jenis yang dapat di katakan sepasang sejoli telah melihat kejadian itu. Mereka tak lain dari Sambu Ruci dan seorang gadis cantik yang menemaninya, yaitu Parmi.
Seperti telah diceritakan Parmi dan Sambu Runci mencari jejak Giri Mayang yang telah menawan Roro Centil. Ternyata dalam waktu sekian lama masih belum menemukan jejak Giri Mayang. Hingga secara tak sadar sepasang sejoli ini jadi semakin akrab. Bahkan pula dihati keduanya telah bersemi cinta yang tersembunyi.
Walaupun demikian, Sambu Runci belumlah bisa bertenang hati karena selalu mengkhawatirkan nasib Roro Centil. Dan secara kebetulan dia singgah di desa tempat kejadian itu. Wajah Parmi tampak menegang. Kejadian itu telah menguatkan dugaannya kalau Giri Mayang pasti tak berada jauh dari desa Limus, karena sudah dipastikan laki-laki yang tewas itu adalah korban pelampiasan nafsu bejat wanita iblis itu.
"Sssst...! Kakak Sambu, mari kita ke sudut sana aku akan bicarakan sesuatu padamu...!" Ujar Parmi seraya tarik lengan pemuda itu. Ternyata Parmi sudah tak canggung-canggung lagi pada Sambu Ruci.
Pemuda itu mengangguk seraya menyeruak dari kerumunan orang. Disudut jalan desa itu segera Parmi tuturkan pendapatnya. "Aku juga berpendapat demikian, Parmi...! Sebaiknya kita mulai menyelidiki dimana adanya wanita itu....!" tukas Sambu Runci. Parmi mengangguk, lalu segera menyusun rencana penyelidikan di sekitar desa.
Pelacakan mencari jejak Giri Mayang di desa itu ternyata hasilnya nihil. Hingga mereka segera berpisah untuk kembali bertemu. Sambu Ruci memutar ke arah barat, dan Parmi ke arah timur dengan patokan mereka akan bertemu di bawah lereng satu bukit yang bernama bukit Ayam. Demikianlah. Mereka pun mulai bergerak sesuai dengan diaturnya rencana itu.
Akan tetapi sungguh sukar sekali diterka kalau ternyata Giri Mayang sejak tadi justru menguntit mereka. Dan pembicaraan itu sudah tertangkap telinga Giri Mayang sembunyi di atas pohon. Sambu Ruci ternyata beranjak langkahkan kaki terlebih dulu. Parmi menatap sejenak punggung pemuda itu, lalu diapun balikan tubuh untuk berkelebat dari situ. Akan tetapi kira-kira dua-tiga tombak hentikan langkahnya untuk lagi-lagi berpaling. Terasa perpisahan sementara itu memberatkan langkahnya.
Hati gadis ini memang sudah bersemikan cinta begitu bersahabat dengan pemuda tampan itu yang pernah menyelamatkan jiwanya dari serangan maut Giri Mayang. Akan tetapi justru Sambu Ruci pun menolehkan. Keduanya jadi sama sama tersenyum ketika bertatapan muka. Namun Sambu Ruci segera berkelebat cepat setelah lambaikan tangan pada dara cantik itu seraya berkata.
"Sampai ketemu, adik Parmi...!"
Parmi cepat menyahut... "Sampai jumpa nanti senja, kakak Sambu...!" Dan gadis itupun lambaikan tangannya, lalu berkelebat cepat un tuk tidak menoleh lagi. Diam-diam wajah gadis itu di jalari rona merah. Terasa sesuatu yang indah meresap di hati sanubarinya. Itulah perasaan cinta...!
Akan tetapi baru beberapa tombak Parmi berlompatan cepat dari tempat itu tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik. Dan... tahu-tahu di hadapannya telah muncul sesosok tubuh yang melesat turun dari cabang pohon.
"Hihihi..... hihihi.... selamat jumpa lagi nona cantik yang tak lama lagi bakal mampus...!"
Membeliak sepasang mata Parmi, bagaikan mimpi melihat orang yang sedang dicarinya justru muncul di depan mata. Tak terasa kakinya mundur dua langkah. "Bagus! akhirnya kau muncul juga perempuan Iblis!"
Bentak Parmi dengan wajah menegang. Walau hatinya terasa tergetar tapi dia berusaha menutupinya dengan bentakan. Dan sekejap sepasang senjatanya telah dicabut keluar dari belakang punggung. Itulah sepasang gaetan yang tajam runcing berkilatan.
"Heh! sayang sekali kalian tak bisa menemukan cinta laki-laki itu, Parmi...! Pemuda tampan itu agaknya memang tak berjodoh denganmu. Karena sebentar lagi kau akan mampus! Dan... hihihi... dia adalah calon kekasihku yang paling istimewa!" Berkata Giri Mayang dengan tertawa menyeringai.
Rasanya hati Parmi bagaikan ditikam belati saja mendengar ucapan Giri Mayang. Kembali membayang wajah kakak laki laki saudara seperguruannya yang juga telah direbut wanita itu yang berakhir dengan kematian. Dan kini lagi-lagi si wanita itu siap merebut kembali pemuda yang baru dikenalnya dan sudah bersemi cinta dihatinya. Hal tersebut membuat Parmi rasanya mau membunuh diri saja saat itu.
Akan tetapi kelemahan jiwanya saat itu segera di tindihnya. Perbuatan tercela dan pengecut itu tak layak dipunyai seorang pendekar! Kini orang yang di carinya telah muncul untuk membunuhnya. Mana Parmi mau berikan nyawanya begitu saja? Justru dia harus membalaskan dendam kematian tiga orang saudara seperguruannya yang tewas oleh wanita itu. Me mikir demikian dia segera lakukan serangan mener jang Giri Mayang dengan luapan dendam berapi-api.
"Iblis keji! aku akan adu jiwa denganmu!" bentak. Parmi Sepasang senjata gaetannya menerjang laksana gelombang berpuluh-puluh yang menerjang ganas si wanita terlengas itu.
Akan tetapi dengan mengumbar tertawa Giri Mayang melayani serangan itu. Tubuhnya berkelebatan dan melompat dengan gesit. Bahkan luncurkan kata-kata ejekan pada Parmi. Terasa panas wajah gadis ini membuat dia menerjang dengan berteriak-teriak histeris. Betapapun Parmi bukanlah tandingan Giri Mayang, yang kalau mau sudah sejak tadi robohkan si gadis dengan pukulan apinya. Tapi agaknya Giri Mayang punya rencana lain.
"Hihihi... sebelum kubunuh kau mampus ada baiknya kau menyaksikan bagaimana aku "bercinta" dengan laki-laki tampan bernama Sambu Ruci itu!" Ejek Giri Mayang dengan melompat ke atas dahan pohon menghindari sambaran ganas sepasang gaetan Parmi.
"Bedebah keparat...! Perempuan bejat! ku keluarkan isi perutmu!" bentak Parmi dengan bentakan nyaring seperti menjerit. Dan kali ini Parmi merobah gerakan silatnya.
Aneh! Beberapa serangan dengan jurus ini tampaknya membuat Giri Mayang melengak dan sejengkal rambutnya telah kena tertabas putus sepasang gaetan dan buyar berterbangan. Kiranya secara tak sadar Parmi telah menggunakan jurus-jurus dari Pedang Aksara yang dipunyai Sambi Ruci. Kiranya dalam waktu beberapa hari atau selama hampir dua pekan itu Parmi telah diajari beberapa jurus ilmu Pedang Aksara oleh Sambu Ruci.
Melihat serangan jurus barunya membawa hasil mengagumkan membuat Parmi semakin bersemangat untuk menjatuhkan lawan. Bahkan kini dia berlaku hati-hati. Giri Mayang memang mulai balas menyerang dengan beberapa pukulan dan tendangan kakinya. Untunglah Parmi yang telah berlaku hati-hati mampu mengimbangi serangan ciptaan gurunya karena Parmi memang cuma mempunyai paling banyak lima jurus dari ilmu pemberian Sambu Ruci.
Ternyata hal itu cukup merepotkan Giri Mayang yang mulai terdesak. Karena serangannya tak dapat lagi dibaca kemana arahnya. Hal mana membuat wanita itu jadi berang. Tiba-tiba tubuhnya melompat men jauh sejauh enam tujuh tombak. Dan mulailah dia gunakan mantera dari ilmu hitamnya!
Tersentak Parmi ketika melihat perubahan tubuh Giri Mayang yang menjadi seekor ular berkepala tujuh, yang besarnya hampir sebesar tubuh manusia. Masing-masing kepala ular itu menyeburkan api dari mulutnya.
"Ilmu sihir...!" teriak Parmi seraya melompat menjauh. Sambaran-sambaran api ternyata telah menerjang tubuhnya. Bergulingan Parmi menghindari sambaran api itu dengan jantung berdetak keras. Harapannya untuk merobohkan wanita itu seketika punah.
Tiga kilatan api sekaligus meluncur untuk menambus tubuh Parmi yang sudah mengurungnya untuk tak dapat lolos lagi dari "pembalasan" Giri Mayang. ilmu siluman tertinggi yang telah dipelajarinya dari si Ririwa Bodas itu untuk pertama kalinya dipergunakan. Ternyata memang ilmu hitam itu bisa dipergunakan manakala dirinya sedang marah luar biasa.
Terperangah gadis cantik ini, dua serangan lidah api dari mulut ular berhasil dihindarkan. Akan tetapi serangan selanjutnya yang juga beruntun dengan cepat telah menembus tubuh Parmi bersama dengan terbakarnya dahan-dahan pohon. Lenyaplah sudah tubuh Parmi terbungkus kobaran api diiringi jeritan terakhirnya.
Mengetahui korbannya sudah musnah, ular besar berkepala tujuh itu kembali lenyap. Dan menjelma lagi menjadi Giri Mayang yang tertawa cekikikan dengan bertolak pinggang.
Whuukkk....! lengannya bergerak memadamkan api seketika lenyap. Akan tetapi terkejut Giri Mayang karena tak menjumpai tubuh Parmi terkapar disitu. Api-api ciptaan itu sebenarnya tak membakar dahan pohon atau menambus tubuh Parmi, karena semua itu cuma ciptaan saja. Akan tetapi serangan lidah api itu telah melumpuhkan tubuh gadis murid si nenek Pendekar Taring Naga.
Tentu saja Giri Mayang tak mengetahui kalau pada saat lidah api menyambar tubuh Parmi, sebuah bayangan putih telah berkelebat menyelamatkan gadis itu. Ternyata berdiri tempat ketinggian tampak seorang kakek memondong tubuh Parmi di kedua belah tangannya. Dialah si kakek penghuni puncak Tangkuban Perahu. Yaitu Ki Panunjang Jagat.
Tampaknya hal itu membuat Giri Mayang tak berniat menyelidiki, karena dia sudah berkelebat pergi dari tempat itu. Walau dihatinya membatin. "Aneh, kemana lenyapnya sosok tubuh si Parmi itu? Hm, jangan-jangan sudah banyak bermunculan para tokoh sakti kaum putih. Aku perlu segera bergabung dengan Adhinata...!"
Dengan gerakan cepat Giri Mayang segera berkelebat menuju ke arah desa Tembilang. Sementara itu sosok tubuh Ki Panunjang Jagat pun melesat lenyap. Suasana tempat itu kembali hening pada siang hari yang terik itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak mulut desa Tembilang, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Wanita iblis...! kau kemanakan sahabatku Roro Centil, katakan apa yang telah terjadi dengannya...?" Dan sesosok tubuh berkelebat menghadang di hadapannya.
Melengak Giri Mayang. Akan tetapi bibirnya segera tampilkan secercah senyuman dan lirikan mata genit. "Ahaah...! Kiranya anda yang tampan! Hihi hih...!. Sobat Sambu Ruci mengapa kau mengkhawatirkan sekali nasib dia?" Tanya Giri Mayang.
"Setan, apa perdulinya dengan semua itu? Dia sahabatku, dan kau telah berhasil merobohkannya, tak nantinya kalau kau tak berbuat licik! Hm, Jangan kira kau dapat berbuat seenaknya dengan segala macam perbuatanmu!" Bentak Sambu Ruci dengan hati mengkal. Terpaksa dia menahan amarahnya karena harus mengetahui dulu nasib Roro yang amat dikha watirkannya.
"Hai, rupanya kau mau mempacari dua orang perempuan...? Apakah kau tak sayangkan kematian murid si nenek Pendekar Taring Naga?" Berkata Giri Mayang tanpa memperdulikan pertanyaan orang.
"Ha...? Kau telah membunuhnya...?"
Tertawa dingin Giri Mayang, seraya Jawabnya "Benar! Kupikir dia "saingan" ku karena aku... aku... hihihi... akupun jatuh cinta padamu, Sambu Ruci!" Tanpa malu-malu Giri Mayang keluarkan isi hatinya. Walaupun sebenarnya cinta yang dimilikinya adalah cuma cinta imitasi belaka. Karena cuma kehangatan laki-laki yang belum pernah dicicipinya saja yang membuat wanita ini menggandrungi orang.
"Perempuan edan...!" Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu.
Terperangah Giri Mayang. Sekelebatan saja dia sudah mengetahui suara siapa yang berkumandang barusan.
"Nona Roro Centil...!" Teriak Sambu Ruci dengan wajah girang. Sesosok tubuh telah berkelebat muncul dan berdiri di hadapan mereka yang tak lain memang si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Giri Mayang apakah kau sudah siap untuk menghadapiku...?" Tantang Roro dengan wajah dingin membeku. Sepasang matanya menatap wanita itu dengan sorot mata seolah mau menembus jantung lawan.
"Heh...! Aku memang sudah siap untuk membalas penganiayaanmu padaku. Tentu saja dengan tebusan nyawamu, Roro Centil!" Ucap Giri Mayang dengan angkuh menutupi getaran hatinya. Walau bagaimana Giri Mayang memang masih merasa ngeri akan sepak terjang Roro. Walaupun sebenarnya dia memiliki, bermacam ilmu, juga bermacam kelicikan.
"Akan tetapi tidak sekarang bila kau menginginkan pertarungan secara jujur. Dan ingat...! kau bukan seorang Pendekar Siluman, bukan?"
"Hm, kau kira aku sebangsa manusia setan sepertimu yang tak menepati janji, untuk membunuhmu siang-siang telah ku siapkan cara terbaik mengirim nyawamu ke neraka!" Berkata Roro dengan bertolak pinggang. Ternyata Roro mampu menahan kesabaran hatinya.
"Baik...! Ini adalah saat terakhir aku menahan sabar! Kini katakanlah dimana kau mau adakan pertarungan itu. Dan kapan waktunya...!" sambung Roro dengan suara tandas.
"Sayang... Aku belum bisa memberi keputusan sekarang. Kau tunggulah bulan depan. Aku akan beri kan kabar untukmu dan menyebar berita tantangan melalui orang-orang Rimba Persilatan!" Jawab Giri Mayang.
"Hai, sobat Roro Centil, manusia licik macam begini kalau dibiarkan hidup lebih lama akan menyebar kejahatan seenaknya!" tukas Sambu Ruci.
Akan tetapi Giri Mayang cuma mendengus, lalu berkata pada Roro. "Nah, kini berilah aku jalan! Kuharap kau mau menunggu kesabaran mu untuk menghadapiku, Roro Centil! Tanpa kau cari, justru aku yang akan mencarimu!" Seraya berkata Giri Mayang gerakkan kakinya untuk melangkah.
Akan tetapi Sambu Ruci telah perdengarkan bentakannya, seraya cabut pedangnya untuk segera digerakkan menghadang di depan dada wanita itu. "Tunggu...! Kini kau jawab dulu pertanyaanku, apakah yang kau lakukan terhadap Parmi? Apakah benar kau telah membunuhnya...?" kata-kata Sambu Ruci terdengar agak tergetar. Ternyata kini keselamatan gadis itulah yang dikhawatirkan.
"Hm, baik! Kali ini aku tak berdusta, dia mungkin masih hidup. Gadis itu telah kena serangan pukulanku. Akan tetapi tak ku jumpai sosok tubuhnya. Pasti ada orang yang telah menolongnya!" berkata Giri Mayang. Seraya menatap pada Roro menduga-duga apakah wanita Pendekar ini yang telah membawa kabur sosok tubuh Parmi...?
Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Giri Mayang perlihatkan wajah girang, ketika melihat siapa yang datang. Sekali kakinya mengenjot tubuh. Dia sudah melesat ke udara seraya berteriak.
"Suamiku...! Bagus, kau menyusulku! Urusan sudah selesai...!" Dan tepat sekali ketika kuda itu hentikan berlari, tubuh Giri Mayang sudah meluncur turun. Detik selanjutnya wanita itu sudah hinggap di atas punggung kuda di sebelah depan tubuh seorang pemuda gagah yang tak lain dari Adhinata, yang mengendarai kuda.
"Manusia Beracun...!" tersentak Roro. Sementara Sambu Ruci cuma bisa terpaku menatap si laki-laki penunggang kuda.
"Hihihi... tidak salah, Roro Centil, sampai jumpa lagi pada pertarungan nanti!" Dan sambungnya lagi. "Agar kau ketahui, si Manusia Beracun ini adalah suamiku...!" Selesai berkata demikian Giri Mayang putar kudanya lalu memacu cepat meninggalkan tempat itu...
Saat Giri Mayang dan manusia beracun berlalu, sesosok tubuh berkelebat muncul. Ternyata Ki Panunjang Jagat. Di kedua lengannya masih memondong tubuh Parmi yang terkulai. Tentu saja terkejut dan girangnya bukan kepalang Sambu Ruci.
"Kakek, Andakah yang telah menolongnya...?" tanya Sambu Ruci seraya menjura.
Sementara Roro Centil kerutkan keningnya menatap Ki Panunjang Jagat dan gadis yang dipondongnya. "Apakah yang terjadi dengannya?" tanya Roro.
"Dia sudah tewas...!" berkata Ki Panunjang Jagat dengan suara datar.
Tersentak seketika Sambu Ruci. Serta-merta melompat ke hadapan kakek itu. "Parmi...!" teriak Sambu Ruci tersendat. Ki Panunjang Jagat letakkan tubuh yang dipondongnya di atas rumput. Dan Sambu Ruci duduk menekuk lutut menatap padanya dengan air mata berlinang.
"Wanita iblis itu telah pergunakan ilmu sihir hitam untuk merobohkan gadis ini. Seandainya hidup pun dia akan jadi orang tak berguna tanpa daksa, entah murid siapakah gadis ini, apakah sobat Sambu Ruci mengenalnya?" tanya Ki Panunjang Jagat.
Sambu Ruci anggukkan kepala. Seraya ucapnya dengan nada sedih. "Dia murid si nenek Pendekar Taring Naga. Ketika saudara seperguruannya telah tewas oleh si wanita itu...!"
"Hm, agaknya kita telah mengalami satu kekalahan total, kakek Panunjang Jagat! Muridmu si Manusia Beracun kini telah bergabung dengan Giri Mayang. Akan sulitlah kiranya untuk merobah wataknya. Bahkan kini Senapati Kerta Bumi telah merobah keputusan untuk menumpasnya. Peristiwa beberapa hari ini yang lalu telah menggemparkan Kota Raja. Si Manusia Beracun telah menumpas prajurit-prajurit pengawal di Kepatihan. Dan membunuh Ki Patih Lengser Sheta berikut seluruh keluarganya...!"
Penjelasan Roro itu tentu saja membuat sepasang mata Ki Panunjang Jagat membeliak. Giginya yang masih utuh itu berkerut menahan geram. "Pasti si perempuan bejat itu yang telah mempengaruhi jiwanya! Kalau demikian tak ada jalan lain, selain kita harus menumpas kedua manusia itu...!"
"Benar, kakek Panunjang Jagat! Akan tetapi satu kesulitan yang tidak ringan untuk menumpas si manusia beracun! Tapi walau pun begitu aku si Roro Centil merasa orangnyalah yang paling tepat untuk membunuh mereka!" Ujar Roro dengan bersemangat.
"Apakah kau akan melupakan perjanjian untuk bertarung dengan wanita itu, sobat Roro Centil...? tanya Ki Panunjang Jagat.
"Hihihi... hihi... segala macam urusan dengan manusia licik pengecut begitu apakah akan aku pedulikan? Persetan dengan sebutan Pendekar Siluman! Aku toh merasa tak mempunyai ilmu Siluman. Macan Tutul Siluman yang selalu mengikut padaku itu ternyata tak mau pergi meninggalkanku, apakah yang harus kuperbuat?" ujar Roro.
Seraya dengan pergunakan kata-kata batinnya Roro Centil perintahkan sang Macan Tutul untuk segera tampakkan diri. Dan...."Gerrrr...! Sekejap saja disamping Roro telah muncul sesosok tubuh harimau tutul yang hampir sebesar kerbau. Luar biasa besarnya harimau tutul itu hingga membuat Sambu Ruci menindak mundur. Ki Panunjang Jagat sendiri juga melangkah mundur dan tampak terkejut.
"Hihihi... Tutul! Mereka adalah kawan-kawan kita!" ujar Roro seraya mengelus-elus leher sang macan, yang segera tempelkan tubuhnya untuk menggelendot manja ke tubuh Roro. Roro peluk leher sang macan dengan terharu. Tak lama Roro segera berkata.
"Nah, baiknya sekarang sobat Sambu Ruci, kau semayamkanlah dulu Jenazah gadis itu...! Ah, sayang dia telah tewas. Seandainya masih hidup kukira dia amat cocok untuk jadi pasanganmu, Sambu Ruci...!"
Sambu Ruci cuma bisa tersenyum pahit. Hatinya tak keruan rasa hingga dalam keadaan kaku demikian dia cuma bisa menelan ludah tanpa mampu bicara apa-apa. Kecuali menatap Roro dan mengalihkannya pada jenazah Parmi yang terbaring seperti tengah tidur lelap.
"Baiklah! Kukira saatnya sudah tiba untuk menumpas manusia yang bakal membawa kericuhan di jagat raya Ini...!"
Setelah menjura pada Ki Panunjang Jagat dan menatap sejenak pada Sambu Ruci serta berikan seulas senyuman manis padanya, Roro Centil gerakkan tubuh melompat ke punggung si Tutul. Dan selanjutnya, sang macan sudah melesat cepat ke arah barat bagaikan lewatnya hembusan angin. Sekejap saja sudah tak nampak bayangannya lagi...
Tertegun kedua laki-laki itu. Terdengar seruan kagum Ki Panunjang Jagat. Sementara Sambu Ruci cuma bisa menatap ke arah barat. Seolah hatinya ikut terbawa oleh kepergian Roro. Tak lama kedengaran Ki Panunjang Jagat menghela nafas, lalu berpaling menatap Sambu Ruci.
"Marilah ku bantu kau membuat lubang untuk mengubur jenazah!" ujar kakek puncak Tangkuban Perahu itu. Sambu Ruci segera tersadar dari tercenungnya. Segera mengangguk dan cepat cepat beranjak untuk mencari tanah baik yang akan digali.
Sementara itu..... Satu jeritan panjang terdengar parau diarah belakang bukit. Apakah yang terjadi? Ternyata sesosok tubuh berkelojotan meregang nyawa, namun sekejap sudah terkulai tewas. Tubuhnya berubah membiru. Dan sesaat antaranya membengkak, lalu mencair dengan menimbulkan bau busuk menyengat hidung.
"Hihihi... bagus, nenek peot ini memang sudah terlalu tua untuk jadi seorang Pendekar. Dia lebih bagus jadi Pendekar di Akhirat...!"
Terdengar satu suara Wanita yang ternyata tak lain dari Giri Mayang. Wanita itu duduk ongkang-ongkang kaki di atas kuda, sementara Adhinata tegak berdiri di atas batu. Kiranya dalam perjalanan meninggalkan tempat itu si Manusia Beracun dan Giri Mayang telah dicegat si nenek Pendekar Taring Naga.
Nenek Pendekar Taring Naga itu tentu saja tak lain adalah mencegat Giri Mayang yang telah menipu serta membawa kabur murid laki-lakinya. Yang kemudian didapati telah tewas. Kemurkaannya membuat dia perintahkan ketiga murid wanitanya mencari jejak wanita itu. Hingga nyaris menyangka perbuatan Roro Centil, seperti diceriterakan di bagian depan.
Untunglah si nenek Pendekar wanita itu berjumpa dengan si Belut Putih yaitu Gembul Sona yang telah mengetahui bahwa adanya seorang wanita penyamar Roro Centil yang melakukan kejahatan mem fitnah Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Hingga bentrokan dapat dihindari. Belakangan si nenek ini mendengar berita kematian kedua murid wanitanya oleh wanita itu.
Tentu saja di Rimba Persilatan cepat tersiar berita pertarungan yang membawa kematian dua orang murid wanitanya, dan mengetahui selamatnya seorang murid wanitanya bernama Parmi karena diselamatkan seorang pemuda bergelar si Pendekar Selat Karimata alias Sambu Ruci.
Dengan dendam berkobar, si nenek pendekar itu mencari jejak Giri Mayang. Hingga akhirnya berhasil menjumpai setelah mendengar berita adanya seorang Kepala Desa di desa Tembilang yang baru diadakan pengangkatan oleh penduduk desa itu. Wanita bangsawan istri si bangsawan muda itu amat dicurigainya.
Dan benarlah, apa yang menjadi dugaannya. Pertarungan seru segera terjadi, akan tetapi Giri Mayang tidak turun tangan. Adhinata-lah yang diperintahkan melayani wanita Pendekar Tua itu oleh Giri Mayang, yang kemudian berakhir dengan kematian si nenek Pendekar Taring Naga dengan kematian yang mengerikan.
Kiranya saat itu Ki Gembul Sona telah melihat kejadian itu. Dia memang berniat membantu wanita Pendekar itu untuk mencari Giri Mayang. Melihat kematian si nenek Pendekar Taring Naga oleh si Manusia Beracun, membuat keringat dingin ki Gembul Sona bercucuran ditempat persembunyiannya. Kejadian itu memang di luar dugaan, karena di saat dia mau muncul mencegah sahabat tuanya itu telah keburu tewas terkena pukulan Adhinata yang mengandung racun luar biasa.
"Hihihi... keluarlah dari tempat persembunyian mu, orang tua...!" Teriak Giri Mayang mengumbar tawa yang sejak tadi pentang mata dan pasang telinga dengan duduk santai di atas kuda.
Mengetahui dirinya sudah diketahui kedatangannya, terpaksa Gembul Sona munculkan diri. Berkelebatlah dia keluar dari tempat sembunyinya. Dan berdiri tegak dengan gagah menatapkan pandangan pada kedua sejoli itu berganti ganti.
"Bagus, ternyata anda seorang Pendekar Tua yang gagah dan bernyali macan. Sayang kaupun akan segera tewas menyusul sahabatmu itu, Gembul Sona!" Berkata Giri Mayang dengan suara dingin. Dan ujarnya pada Adhinata.
"Hihihi... suamiku, satu lagi keledai tua ini kau kirimkan nyawanya ke Alam Baka, tampaknya dia sudah tak sabaran lagi untuk mampusss...!"
Membeliak mata Gembul Sona karena gusarnya. Dendamnya pada wanita itu tak alang kepalang, karena wanita itulah yang telah membakar Pesanggrahan dan menewaskan beberapa orang anak buahnya. Belakangan diketahuinya pula kalau si Ririwa Bodas adalah gurunya, yang telah membantai habis anak buah dan para muridnya menggunakan ilmu hitam. Bahkan dia sendiri nyaris tewas.
Dan wanita itu pula yang telah menyebar maut dengan ular-ular siluman ciptaan si Ririwa Bodas. Menumpas wanita telengas berhati iblis ini adalah tugas kewajiban kaum Pendekar. Dan.... memikir demikian Ki Gembul Sona sudah menghunus kerisnya seraya membentak dengan suara menggeledek.
"Giri Mayang...! Turunlah kau, mari bertarung nyawa denganku, mengapa kau memperalat murid kakak seperguruanku ini untuk melawanku? Sungguh tak tahu malu!"
Akan tetapi Giri Mayang cuma tertawa terpingkal-pingkal seraya menjawab. "Hihiihi.... dia ini suamiku, masakan tak layak kalau seorang suami membela dan mewakilkan istrinya membunuh keledai tua macam kau?"
"Setan...!" maki Gembul Sona. Dadanya tampak berombak-ombak karena menahan geram. Sementara Adhinata berdiri mematung menatap paman gurunya itu, agak ragu hatinya untuk menempur Ki Gembul Sona.
"Adhinata, ingatlah! Apakah gurumu Ki Panunjang Jagat tak kau hargai jerih payahnya mendidikmu untuk menjadi seorang Pendekar penegak kebenaran, mengapa kau terbius oleh bujukan wanita iblis itu untuk melakukan perbuatan tercela...?" berkata Gembul Sona. Sebisa mungkin kakek ini mencoba menyadar kan si Manusia Beracun.
"Kau memang perlu dikasihani, Adhinata, kau telah jadi korban ambisi si Raja Racun yang mau merajai dunia! Ingatlah, kejahatan tak akan abadi di atas jagat raya ini! Kembalilah ke jalan benar! Aku akan membantumu melenyapkan racun jahat yang mengeram di tubuhmu...!" lanjut Gembul Sona yang cepat mengambil kesempatan di saat Giri Mayang belum mengambil kesempatan di saat Giri Mayang belum pentang suara.
"Tutup bacotmu, keledai tua!" Tiba-tiba membentak Giri Mayang seraya lancarkan pukulannya dari jarak jauh. Angin panas membersit menerpa tubuh Gembul Sona.
Namun dengan ajian Belut Putih pukulan itu kalis, dan lewat tanpa menyentuh kulitnya. Menggeram marah Giri Mayang. Tubuhnya sekejap sudah melompat dari punggung kuda. Dan menerjang kakek tua itu dengan hantaman bertubi-tubi. Sementara itu puluhan ekor kuda telah mendekat dengan perdengarkan derapnya. Dan ratusan langkah laki-laki manusia mulai mengepung sekitar tempat itu.
Ternyata lasykar Kerajaan Sunda Kelapa yang di pimpin Senapati Kerta Bumi telah mulai bergerak untuk kedua buronan Kerajaan yang telah membuat keresahan hati sang Baginda Raja. Dan menghawatirkan merebut kekuasaan. Sekejapan saja ratusan regu pemanah telah disiapkan ke segenap penjuru. Tentu saja semua itu tak luput dari mata Adhinata.
Timbulah seketika kebimbangan di hati pemuda Manusia Beracun itu. Saat mana pertarungan hebat tengah berlangsung di hadapanya. Giri Mayang ternyata tak tahan emosi untuk membunuh kakek tua bernama Gembul Sona itu dengan tangannya sendiri. Ternyata setelah bertarung beberapa jurus, Giri Mayang merasa kesulitan kalau tak mempergunakan ilmu sihir hitamnya. Segera dia merobah dirinya menjadi berujud seekor ular besar berkepala tujuh. Terperangah Ki Gembul Sona. Namun berbarengan dengan saat itu Ki Panunjang Jagat dan Sambu Ruci telah berkelebat muncul.
"Mari kita hadapi wanita iblis ini bersama sama...!" Teriak Sambu Ruci.
Sementara Ki Panunjang Jagat justru menatap pada Adhinata. Dan kedua pasang mata guru dan murid itupun saling bertatapan. Diam-diam Ki Gembul segera membisiki di telinga kakak seperguruannya ini.
"Hm, aku sudah mengambil keputusan untuk menumpasnya, amat berbahaya! Kau lihatlah sendiri muridku ini telah menjadi musuh Kerajaan! apakah kau tak mengetahui kalau Adhinata telah membantai habis para prajurit di Kepatihan. Dan telah membunuh pula Ki Patih Kerajaan Sunda Kalapa! Rasanya sulit aku melindungi!" Tukas Ki Panunjang Jagat.
Terkejut Gembul Sona ketika menatap berkeliling ternyata telah berdiri berjajar ratusan prajurit pemanah yang telah slap melepaskan anak-anak panahnya. Pada saat itu tujuh kilatan lidah api dari mulut ular penjelmaan Giri Mayang telah meluncur untuk menambus tubuh mereka. Terperangah ketiga pendekar ini, segera berlompatan menghindarkan diri. Dan sekejap saja terjadilah pertarungan tiga orang pendekar itu menempur makhluk ular aneh berkepala tujuh yang menyeramkan. Suara-suara mendesis dan kilatan-kilatan lidah api menyumbrat disana-sini.
Dan ketiga pendekar ini pun bertarung dengan gigih untuk membunuh mahkluk ular itu. Tampaknya keadaan ular itu mulai terdesak, karena kilatan kilatan cahaya pedang Sambu Ruci dan keris pusaka Ki Gembul Sona dapat melumpuhkan sambaran lidah api. Bahkan pedang Sambu Ruci berhasil menabas putus leher salah satu ular. Makhluk itu perdengarkan desisannya. Menggelinjang dengan menerjang semakin hebat. Akan tetapi...
Cras...! kembali satu kepala ular terbatas oleh keris Gembul Sona. Terdengar jeritan suara wanita. Dan sekonyong konyong tubuh sang ular itu lenyap jadi gumpalan asap. Apakah yang terlihat? Giri Mayang berdiri dengan tubuh sempoyongan. Tampak kedua buah lengannya terbabat putus...! Darah berhamburan memercik ke tanah. Wajah wanita ini perlihatkan seringai yang menyeramkan. Pasukan pemanah yang melihat kejadian itu mulai maju lagi setindak. Saat itu tiba-tiba terdengar suara berkata dengan nada parau.
"Tunggu...! Kalian tak dapat membunuhnya begitu saja! Dan..... berkelebat sebuah bayangan menyambar tubuh wanita itu. Sekejap saja karena dengan gerakan cepat sekali sosok tubuh yang menyambar tubuh Giri Mayang telah berkelebat lenyap keluar dari kepungan ratusan prajurit pemanah tanpa terlihat siapa yang menyambarnya.
Terperangah semua mata. Bahkan betapa amat masygulnya hati Senapati Kerta Bumi. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat pula muncul sesosok tubuh. Dialah Roro Centil, yang duduk di atas punggung harimau Tutul yang besarnya hampir sebesar kerbau. Segera semua mata memandang ke arahnya.
"Tenang sobat-sobat! Biarlah aku yang mengejarnya! Hm, urusan si wanita itu adalah urusanku...!" Selesai berkata, Roro Centil berikan isyarat menepuk punggung si Harimau Tutul yang perdengarkan geramnya. Dan melesatlah tubuh si harimau Tutul itu bagaikan lewatnya angin mengejar Giri Mayang yang dilarikan seseorang.
Sementara itu semua mata kini tertuju pada si Manusia Beracun. Urusan Giri Mayang masih belum tuntas, akan tetapi mereka cukup mengandalkan ke mampuan Roro Centil untuk menumpasnya. Kini urusan si Manusia Beracunlah yang harus dituntaskan.
"Adhinata! Apakah kau masih menganggapku sebagai gurumu?" tiba-tiba Ki Panunjang Jagat ajukan pertanyaan pada bekas muridnya.
Tampak wajah Ad hinata menegang, sebentar pucat sebentar merah. Sukar sekali dia menjawab pertanyaan gurunya. Sementara suasana menjadi hening. Dari ratusan manusia di sekitar tempat itu seolah tak terdengar sedikitpun suara. Selain semua mata menatap pada si Manusia Beracun, dan menunggu jawaban kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu.
"Aku... aku telah jadi seorang murid yang murtad, guru...!" Akhirnya menjawab si Manusia Beracun.
"Semua itu dapat aku ampuni, asalkan kau kembali sadar! Apakah kau tetap akan menuruti ambisi mu merajai kolong jagat ini dengan kekuatan racun dahsyat di tubuhmu...?" Tanya Ki Panunjang Jagat.
"Tadinya aku berniat, guru...!"
"Lalu apakah kini kau sudah merobah niat itu?" bertanya lagi Ki Panunjang Jagat.
"Ya... aku... aku telah merobah niat itu!" sahut Adhinata dengan menunduk.
Ki Panunjang Jagat dan Gembul Sona sailing berpandangan. Dan lambat-lambat Senapati Kerta Bumi menghampiri, lalu bisikan kata-kata di telinga kakek puncak Tangkuban Perahu. Kini terlihat Ki Panunjang Jagat manggut-manggut. Wajahnya tak menampilkan perobahan sedikitpun. Lalu ujarnya pada Adhinata.
"Baiklah, muridku...! Sukurlah kalau kau telah kembali pada kesadaranmu ...! Kini gusti Adipati Kerta Bumi dari kerajaan Sunda Kalapa akan bicara padamu...!"
Selesai berkata Ki Panunjang Jagat berpaling pada Senapati itu seraya berkata. "Silahkan bicara padanya, Gusti Senapati...!"
Senapati ini mengganguk. Dan Ki Panunjang jagat segera menjura padanya, lalu kedipkan mata pada Gembul Sona dan Sambu Ruci. Dan mendahului berkelebat keluar dari lingkaran kepungan prajurit. Hal mana segera diikuti Gembul Sona dan Sambu Ruci, yang segera melompat keluar menyusul Ki Panunjang Jagat. Setiba di luar...
"Aneh, apakah yang akan dibicarakan Senapati Kerta Bumi itu? Mengapa kita tak diberi izin mendengarnya...?" Tanya Gembul Sona pada kakak seperguruannya.
Sambu Ruci sendiri tak mengerti. Dia hanya menatap pada kedua tokoh tua Rimba Persilatan itu si lih berganti. Tiba-tiba terdengar suara aba-aba yang sangat nyaring dari suara Senapati Kerta Bumi. Ketika mereka menoleh ke belakang, segera terdengar suara bising dari terlepasnya ratusan anak panah yang seperti tiada habisnya. Dan selang sesaat terdengar teriakan sorak sorai dari para prajurit lasykar Kerajaan Sunda Kelapa menggegap gempita.
Apakah yang terjadi? Kiranya ratusan anak panah segera meluruk ke tubuh Adhinata si Manusia Beracun itu, begitu Senapati Kerta Bumi memberi aba-aba, dan secepat kilat melompat keluar dari lingkaran pasukan pemanah yang telah mengurung si Manusia Beracun. Tak ampun lagi tubuh si Manusia Beracun roboh ke tanah dengan terpanggang berpuluh-puluh anak panah. Dan tewas tanpa berkelojotan lagi.
Ternyata bisikan Senapati itu adalah menyatakan bahwa tak ada jalan lain bagi murid si kakek puncak Tangkuban Perahu itu selain kematian. Karena secara tidak langsung Adhinata telah menjadi musuh Kerajaan. Dan titah Baginda Raja Kerajaan Sunda Kalapa tak dapat lagi dibantah, yaitu menumpas si Manusia Beracun karena membahayakan bagi Kerajaan juga umat manusia!
Kalau Sambu Ruci dan Gembul Sona menoleh ke belakang, adalah Ki Panunjang Jagat tetap melangkah tanpa menoleh sedikitpun. Bahkan berjalan dengan menundukkan wajahnya. Ternyata dari celah ke dua kelopak mata kakek tua itu telah membersit turun dua titik air mata. Air mata haru, tapi juga penuh kerelaan.
"Apakah yang terjadi, kakang Panunjang Jagat...?" tanya Gembul Sona, seraya mengejar kakak seperguruannya dan terkejut melihat wajah sedih serta air mata kakek itu mengalir turun membasahi pipi. Sementara Sambu Ruci pun segera balikan tubuhnya menyusul kedua kakek itu.
Terdengar Ki Panunjang Jagat menghela napas, seraya ujarnya. "Tak ada lain jalan selain kematian yang harus di jatuhkan pada Adhinata! Karena dia telah menjadi musuh Kerajaan yang membahayakan...! Itu sudah menjadi perintah Baginda Raja Kerajaan Sunda Kalapa!"
Terhenyak Ki Gembul Sona dan Sambu Runci, yang seketika jadi tercenung tanpa bisa bicara apa apa.
"Tapi aku bahagia, karena Adhinata telah sadar sesaat sebelum kematian menjemputnya...!" sambung Ki Panunjang Jagat.
"Benar! walaupun demikian tragis kematiannya, akan tetapi dia masih bisa digolongkan sebagai pahlawan. Walaupun cuma sebagai pahlawan tanpa jasa...! Yah, kini tuntaslah sudah urusan kita! Sementara kita bisa bernapas lega. Tinggal menunggu kabar saja nanti apakah Roro Centil dapat menumpas wanita iblis itu?" Tukas Ki Gembul Sona.
Dan Ki Panunjang Jagat cuma manggut-manggut seraya menghela nafas. Demikian juga Sambu Ruci. Sorot Matahari senja itu mulai memudar. Di ufuk barat sana terlihat cahaya merah dari belakang perbukitan. Ketika itu ketiga orang pendekar pembela kebenaran yang masing-masing berbeda usia segera berpisah.
Gembul Sona pergi ke arah barat. Sedangkan Ki Panunjang Jagat menuju ke utara. Dan Sambu Ruci ke arah selatan. Perjuangan kaum pendekar dalam menumpas segala macam bentuk kejahatan agaknya memang tak pernah tuntas. Karena 1001 macam kejahatan selalu bermunculan di atas jagat raya ini. Demikian pula dengan Roro Centil sang Pendekar wanita pantai Selatan.
Sebulan kemudian memang ada berita kematian beberapa tokoh golongan hitam, akan tetapi bukanlah manusia yang diburu Roro, karena Giri Mayang seolah lenyap bagai ditelan bumi. Adapun baiknya menurut Pengarang diberitahukan saja pada pembaca, bahwa sosok tubuh yang menyambar tubuh Giri Mayang dan menyelamatkan jiwanya tak lain dari si nenek mata juling yang punya anak buah tujuh mahluk kerdil.
Kelak Giri Mayang memang masih muncul untuk menyebar kejahatan dengan ilmu barunya yang lebih hebat. Dan adalah tugas kaum Pendekar termasuk Roro Centil si Pendekar wanita Pantai Selatan untuk menumpasnya. Dengan demikian berakhir kisah Langkah-langkah Manusia Beracun....
"Aiii...!? Apakah gerangan kesalahanku? Tak hujan tak angin tahu-tahu kalian datang dan muncul mau membunuhku...! Hm, siapakah kalian?" Roro Centil memperhatikan satu persatu pada empat orang di hadapannya.
Ternyata mereka adalah tiga orang wanita yang masih tampak muda-muda. Berpakaian singsat. Rata-rata mengenakan baju berwarna ungu. Dan masing-masing lengan persyaratan mencekal senjata gaetan yang sangat runcing. Wajah-wajahnya hanya menampilkan balas dendam dan permusuhan yang amat da lam terhadap Roro. Entah dendam apakah gerangan, karena Roro sendiri memang merasa tidak mempunyai kesalahan terhadapnya.
"Heh! kiranya pendekar wanita yang punya nama besar seperti kamu mempunyai akhlak rendah!" Membentak salah satu yang tampak paling cantik di antara keempatnya. "Kami adalah murid dari perguruan Taring Naga Putih! Nah, setiap bulan lalu anda muncul di perguruan kami. Kami dari Perguruan Naga Putih sangat mengagumi anda dan telah mendengar sepak terjang serta kehebatan anda dalam hal membela kebenaran, akan tetapi.... perbuatan anda menculik serta membunuh kakak seperguruan kami benar-benar keterlaluan! Bukankah kamilah yang bertanya, apakah tingkah laku semacam itu adalah perbuatan seorang pendekar...?"
Terkejut Roro Centil bukan kepalang. Alisnya menuat naik. Sepasang matanya membelalak karena dia merasa tak pernah melakukan hal itu. Mendengar adanya perguruan Taring Naga Putih pun baru orang mendengarnya. Akan tetapi Roro tidak sempat untuk berbicara, karena sudah terdengar bentakan salah seorang yang tampak mirip laki-laki.
“Kakak Parmi...! Biarlah aku yang mewakilkan mu mengirim nyawanya ke Neraka! Pendekar Wanita berakhlak bejat ini sudah selayaknya mampus!"
Srek! Gadis ini sudah mencabut lagi senjata gaetannya dari belakang punggung, dan maju dua kali ke hadapan Roro. Melihat demikian salah seorang kawannya tak mau tinggal diam.
"Eh, jangan serakah kakak Sri Kendil! tangan ku sudah gatal untuk menghajarnya! perempuan bejat macam ini tak perlu dibunuh secara cepat, akan tetapi kematian secara pelahan yang lebih baik! hm, maksudku dibunuh pelan-pelan...!" Melangkah pula dua tindak gadis berambut kepang, yang bertampang galak ini.
“Aiii...! sabar dulu adik-adik manis...! Aku merasa tak melakukan hal demikian. Jangan-jangan kalian salah terka...!" Berkata Roro sambil tersenyum. Akan tetapi hatinya diam-diam mengeluh. "Celaka! Ini pasti ulah perbuatan si Giri Mayang keparat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang telah menyebarkan kericuhan dengan menyamar sebagai diriku!"
“Bedebah...! seumur hidup baru kujumpai seorang pendekar bermuka dua! jelas-jelas aku lihat dengan mata kepala sendiri, kau menculik kakak seperguruanku kenapa kini kau mungkir?" Teriak Parmi seraya maju melompat.
"Ah... ah...! sepertinya kau sangat menyayangi kakak seperguruanmu itu! Kulihat di matamu ada semacam sinar yang berbeda dengan sinar mata kedua adikmu. Kakak seperguruan kalian itu pasti seorang laki-laki yang gagah dan berwajah tampan. Dan... kau sudah jatuh cinta setengah mati bukan?" Berkata Roro dengan tersenyum sambil menunjuk ke arah Parmi.
Gadis ini memang lain dari dua gadis itu, karena Roro dapat melihat ada satu titik air bening di sudut mata Parmi. Semakin berkaca-kacalah mata gadis ini. Akan tetapi dia telah membentak gusar. "Perempuan bejat! Aku akan adu jiwa denganmu...!"
Dan senjata gaetannya telah dicabut lagi keluar lagi dari belakang punggung. Selanjutnya dengan mempergunakan sepasang senjata gaetan itu, dia sudah menerjang Roro Centil dengan beringas. Sementara isaknya tersendat dikerongkongan.
Wuttt! Wuttt! Wuttt...!
Hebat serangan si dara yang paling cantik diantara kedua gadis baju ungu itu. Sepasang senjata gaetan itu menerjang bertubi-tubi ke arah bagian-bagian tubuh Roro. Bahkan yang lebih mengerikan adalah Parmi selalu mengarah kepada bagian leher dan sepa sang matanya.
"Aiih...! Berbahaya sekali...!" Teriak Roro seraya berkelebatan menghindar. Ternyata cuma dengan tiga kali bergerak ke kiri dan ke kanan serta doyongkan tubuh kebelakang Roro telah dapat meloloskan diri dari serangan maut segebrakan itu.
Mengetahui serangan berbahayanya dihindari dengan tersenyum-senyum jumawa membuat Parmi semakin bernafsu untuk men jatuhkan lawannya. Dan dengan menggertak nyaring kembali dia lancarkan serangan beruntun yang lebih berbahaya lagi.
Kali ini sepasang gaetannya berubah bagaikan belasan cahaya berkilau yang membersit mengurung tubuh Roro, diiringi suara mendesing yang mengeluarkan hawa dingin. Ayal sedikit saja leher atau perut bisa kecantol gaetan maut itu. Akan tetapi Roro Centil masih melayani serangan itu dengan tersenyum manis. Bahkan mengajari lawannya menyerang.
"Yaaak, tebas ke bawah mengarah kaki! Terjang menyilang sambil menendangi serang ke kiri-kanan dengan serangan bolak-balik! Bagus...!" Teriak Roro seraya lengannya bergerak menangkap kedua lengan ga dis itu.
Tap...! Sekejap saja lengan Parmi telah kena tertangkap oleh cekalan kuat Roro Centil. Melihat demikian kedua saudara seperguruan gadis itu lakukan serangan berbareng, seraya membentak.
"Lepas...!" Cahaya-cahaya menyilaukan dari ke dua pasang gaetan si dua gadis baju ungu nyaris membobol perut Roro. Terpaksa Roro lepaskan cekalannya dengan mengenjot tubuh melesat ke udara setinggi lima tombak. Ringan sekali sepasang kakinya hinggap di atas candi. Terperangah kedua gadis itu seraya menengadah ke atas.
"Hai...! Kau kira semudah itu mau melarikan diri?" kejaaar...!" Teriak Sri Kendil.
"Hihihi... siapa yang mau melarikan diri?" berkata Roro. Tiba-tiba si Pendekar Wanita Pantai Selatan meluncur turun ke arah mereka.
Tentu saja hal demikian tak disia-siakan ketiga murid dari Perguruan Lidah Naga Putih itu. Serentak menyambutnya dengan terjangan maut. Akan tetapi yang terdengar adalah justru teriakan ketiga dara baju ungu itu berbareng dengan terpentalnya senjata-senjata mereka. Aneh sekali, karena seketika itu tubuh ketiga gadis sudah dalam keadaan tertotok kaku dalam posisi menyerang. Apakah gerangan yang terjadi? Ternyata Roro Centil baru saja memperagakan ilmu dari jurus Bayangan Kembar.
Ilmu ini cuma bisa dimiliki oleh orang yang tingkat ilmunya sudah amat tinggi. Karena mengandalkan kecepatan yang melebihi cepatnya kejapan mata. Hingga ketiga gadis itu menyangka tubuh Roro Centil berada di hadapan mereka dan akan berhasil kena di robohkan. Tak dinyana dengan gerakan yang sukar diikuti oleh mata, justru Roro Centil sudah melesat ke arah sisi dan lakukan serangan pada ketiga lawannya yang menerjang bayangannya. Hingga sekejapan saja ketika senjata dapat dibuat terlepas dari masing-masing pemiliknya, bahkan sekaligus melancarkan totokan.
Terbelalak tiga pasang mata dara-dara murid dari Perguruan Lidah Naga. Masing-masing hatinya sudah mengucap. "Matilah aku...!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa mengekeh dibarengi dengan kata-kata. "Hebat...! hebat...! jurus ilmu Bayangan Kembar itu sukar untuk dikuasai, tapi ternyata telah menguasainya, sobat Roro Centil!"
Tentu saja Roro Centil segera palingkan wajahnya, dan menatap pada sosok tubuh yang barusan saja berkelebat ke hadapannya. Itulah sosok tubuh seorang wanita tua berjubah putih berwajah masih cantik walau telah penuh keriput. Di lengannya tercekal sebuah tongkat putih tipis, bengkok dan berujung runcing. Rambutnya tergelung rapi dengan tusuk konde perak. Tak berapa lama, sudah disusul dengan berkelebatnya sesosok tubuh lagi, dibarengi kata-kata.
"Haiiih! Hampir saja terjadi lagi salah paham! Selamat jumpa nona Pendekar Roro Centil...!" Ternyata orang kedua yang barusan muncul adalah Ki Gembul Sona, yaitu si kakek yang berjulukan si Belut Putih.
Seketika wajah Roro Centil berubah cerah. "Ah... selamat datang pula pada kalian orang tua gagah, sungguh kebetulan sekali bisa muncul disini...!" Tukas Roro seraya menjura. "Bolehkah aku bertanya apakah bibi yang bertongkat adalah guru dari ketiga gadis ini?" Tanya Roro.
Hm......benar! Kuharap anda dapat memaafkan kekeliruan mereka karena telah menyangka anda si pembuat kericuhan! Mereka memang masih hijau dan belum banyak pengalaman di luar. Kematian murid laki-laki kami telah membuat mereka menjadi nekat untuk mencari anda demi membalas dendam!" ujar si wanita tua seraya balas menjura.
"Aku si perempuan tua renta ini adalah yang di juluki kaum Rimba Hijau si Pendekar Tongkat Taring Naga!" sambungnya memperkenalkan diri.
Roro Centil tersenyum manggut-manggut. Tiba-tiba Roro Centil segera balikkan tubuhnya. Sepasang lengannya bergerak. Dan... segelombang angin telah membersit keluar dari sepasang lengannya. Tersentak ketiga gadis itu karena sekejap mereka sudah terbebas dari pengaruh totokan. Tentu saja mereka cepat-cepat memungut kembali senjata masing-masing yang bergeletakan di tanah. Selanjutnya segera melompat ke hadapan sang guru mereka.
"Murid-muridku hayo lekas kalian minta maaf pada nona Pendekar Roro Centil!"
Ketiga murid ini tampak ragu-ragu, bahkan salah seorang sudah berkata, "Akan tetapi, guru... bukankah dia... dia..." ucapnya tergagap.
"Seseorang telah menyaru mirip nona Pendekar Roro Centil ini! Kalian telah salah menduga orang. Hayo cepat minta maaf...!" Bentak si Pendekar Tongkat Taring Naga dengan plototkan matanya. Tentu saja membuat ketiga gadis baju ungu itu terperangah dengan mata membelalak. Dan serta-merta segera menjura di hadapan Roro.
"Maafkan kekeliruan kami, sobat Pendekar Roro Centil! Kami tak mengetahui tentang hal itu!" ucap Parmi yang mewakilkan bicara.
"Akan tetapi bolehkan anda menjelaskan siapa sebenarnya yang melakukan tipu muslihat keji memfitnah anda itu?" Tiba-tiba Parmi langsung ajukan pertanyaan.
"Benar! kami ingin mengetahui dan harus mengetahui..." Berkata Sri Kendil yang menatap Roro dengan pandangan tajam. Dari tatapannya itu jelas dia masih kurang percaya dengan penuturan gurunya.
"Hihihi... silahkan kalian tanyakan pada guru mu, atau pada kakek rambut coklat itu. Beliau-beliau pasti akan menjawabnya!" Sahut Roro dengan tersenyum seraya leletkan lidah membasahi bibirnya.
"Nah maaf... aku tak bisa berlama-lama disini...!" Ujar Roro. Selanjutnya dengan sekali genjot tubuh sang Pendekar wanita ini sudah melayang ke atas candi yang paling tinggi. Dan saat berikutnya sudah lenyap melompat ke belakang candi.
* * * * * * *
DUA
Desa Cilutung yang mengalir pula disana kali Cilutung tampak pada slang hari itu amat lengang. Udara panas membuat seorang laki-laki berusia antara 20 tahun itu melepaskan lelah duduk di bawah pohon. Dia seorang laki-laki gagah yang berwajah cukup tampan. Memakai baju rompi warna hitam, dengan dada telanjang. Rambutnya tak terurus. Pada pergelangan lengan dan kaki pemuda ini membelit empat buah gelang besi berwarna hitam.
Dialah ADHINATA, murid Ki Panunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu. Laki-laki yang pernah menjadi murid si Raja Racun ini tampak seperti kebingungan untuk menentukan langkahnya. Sementara perutnya sudah berbunyi berkeriutan minta di isi.
"Ah, aku harus cari makanan...! perutku lapar. Kukira did alam desa ini pasti ada warung nasi. Atau... aku bisa minta pada salah seorang penduduk. Tak ku punyai sekepingpun uang perak...!" gumamnya perlahan. Sesaat dia sudah bangkit berdiri. Dan melangkah memasuki desa. Jalannya tak terlalu cepat karena dalam melangkah itu benaknya terus bekerja.
"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat! Aku harus hati-hati untuk tidak menyentuh siapa saja! haiih...! Sungguh aku tak menyangka kalau akan begini jadinya! semua ini gara-gara aku kepincut dengan benda pusaka si Raja Racun yang ternyata adalah hasil ciptaannya!" desisnya lirih.
Kedai nasi mang Sakri didesa itu terkenal dengan kelezatan masakannya. Warung nasi itu adalah sa tu-satunya yang paling besar di desa itu. Bahkan begi tu terkenalnya masakan maupun pelayanannya, mang Sakri pernah di undang ke rumah Adipati Bayu Ningrat untuk memasak di gedungnya. Ya...! sejak itu semakin terkenal saja kedai nasi mang Sakri. Hingga warungnya diperlebar, dan berdagang siang malam. Karena banyak para pelanggan yang memesan dari pelbagai tempat, juga yang sengaja datang untuk makan di situ.
Seperti juga hari itu. Tampak lima penunggang kuda telah singgah di warungnya. Kelima ekor kuda segera di tambatkan di tempat yang telah tersedia, bahkan diberi rumput pula untuk menyenangkan hati para pelanggan. Beberapa pelayan laki-laki maupun perempuan tampak sibuk mencarikan meja dan tempat duduk, karena mereka tahu kelima penunggang kuda itu adalah tamu-tamu istimewa yang sering memesan makanan.
Kesemuanya adalah dari Kota Raja. Mang Sakri sudah tidak lagi memasak di dapur, cukup memerintahkan saja pada para pelayan. Berkat didikan mang Sakri pelayan-pelayan tamu maupun juru masak mengolah makanan telah pandai untuk menyesuaikan selera orang.
Beberapa saat setelah kelima orang penung gang kuda itu mendapat tempat duduk dan memesan makanan. Adhinata dengan langkah terhuyung memasuki kedai. Seorang pelayan laki-laki segera menyambut di pintu. Pemuda ini menatap mata pelayan. Tentu saja si pelayan ini kerutkan keningnya, karena baru sekali ini ada tetamu yang memasuki kedai dengan baju kumal dan rambut awut-awutan. Bahkan sepasang mata laki-laki yang ditatapnya itu terlihat merah seperti habis mabuk.
"Boleh aku bertanya, apakah aku bisa bicara dengan yang punya kedai ini?" Tanya Adhinata.
Melengak si pelayan, dan ajukan pula pertanyaan dengan menatap tajam orang di hadapannya. "Apakah maksudmu menanyakan majikanku?" Tanyanya.
"Ah, kau panggil sajalah majikanmu, aku mau bicara hanya dengannya!" Sahut Adhinata.
"He...!? lagakmu macam tuan besar saja! matamu merah, jangan-jangan kau baru saja mabuk! kedai kami sedang kedatangan orang-orang terhormat. Sebaiknya kau katakan maksudmu! atau nanti saja setelah para tamu kami sudah pulang...!" kau lihat! majikanku sedang sibuk menghormati tamu...!" Ucap si pelayan dengan tandas.
Tercenung sejenak Adhinata, segera dia menoleh pada laki-laki tua bertubuh gemuk yang tengah bercakap-cakap dengan lima orang tamu yang berpakaian mewah. "Hm, aku tak pernah minum-minuman keras! mataku merah karena aku kurang tidur! Baiklah, nanti aku bicara sendiri pada majikanmu! Sediakanlah makanan, perutku lapar...!" Ujar Adhinata seraya melangkah masuk.
"Eh tunggu dulu! bajumu kotor tubuhmu dekil dari kumal. Dengan keadaanmu seperti itu pasti tetamu kami akan menyingkir pergi! Lagi pula apakah kau punya uang untuk membayar makanan...! cegah pelayan yang dengan sigap telah menghalangi di pintu.
Tentu saja hal demikian membuat Adhinata jadi gusar. Tadinya dia mau berterus terang untuk meminta sepiring nasi pada majikan si pelayan itu. Akar tetapi karena sang pelayan melarangnya dengan memberikan alasan. Adhinata jadi batalkan niatnya untuk berterus terang. Benaknya berfikir saat tadi ialah makan dulu mengisi perut, urusan bayar adalah belakangan.
Kini melihat si pelayan itu dengan bertolak pinggang melarangnya masuk, membuat pemuda ini jadi mendongkol. Dan hilanglah kesabarannya, bahkan lupa kalau dia harus berhati-hati untuk bertindak. Sekali lengannya bergerak dicengkeramnya baju si pelayan seraya membentak.
"Pelayan kurang ajar! Kau berani melarang aku makan disini? Aku kan tetamu? Segala alasan kau ke luarkan, kau kira aku tak mampu membayar?"
Akan tetapi apakah yang terjadi? Tiba-tiba si pelayan menjerit parau. Tubuhnya berkelojotan bagai ayam di sembelih. Terkejut Adhinata. Ketika dia lepaskan cekalannya, tubuh si pelayan itu jatuh mengambruk lalu diam tak berkutik lagi. Gemparlah seketika keadaan di dalam kedai nasi itu. Beberapa orang sudah segera melompat untuk melihat kejadian di pintu kedai. Begitu juga ke lima tetamu berkuda, yang sudah bergegas melompat dari kursi masing-masing. Berpasang-pasang mata menatap terbelalak pada mayat si pelayan yang tubuhnya mulai mencair kehitaman!
"Hih...! dia telah kena pukulan beracun!" berkata salah seorang dari kelima penunggang kuda.
"Dia lari kesana...! si pembunuh itu!" teriak seorang pelayan yang melihat berkelebatnya tubuh Adhinata. Tak usah menunggu terlalu lama, serentak kelima tamu dari Kota Raja itu telah berkelebatan me lompat untuk mengejar.
Ternyata Adhinata yang tahu gelagat tidak baik segera angkat kaki dari muka kedai. Dengan gerakan cepat dia menyelinap masuk pada sebuah pintu rumah yang kebetulan terbuka. Akan tetapi terdengar jeritan dari dalam. Sesosok tubuh tertumbuk tubuhnya dan terlempar membentur dinding. Ternyata seorang wanita penghuni rumah itu telah jadi korban kedua. Berkelojotan tubuh wanita itu meregang nyawa, dan sesaat kemudian pun tewas dengan tubuh berubah kehitaman. Tentu saja hal itu membuat Adhinata terperangah. Dia memang tak sengaja membenturnya.
"Celaka...! aku harus segera kabur dari tempat ini!" Desisnya. Dan... Brak...! dia sudah menerobos keluar menerjang daun pintu bagian belakang. Akan tetapi telah terdengar bentakan keras.
"Manusia keji! kau telah terkepung!" Dan beberapa sosok tubuh sudah mengurungnya. Ketika Adhinata menatap pada mereka, tahulah dia kalau yang mengejarnya adalah tetamu kedai nasi yang rata-rata berpakaian mewah tadi.
"Pembunuh biadab! apakah kesalahan pelayan itu, hingga kau membunuhnya dengan kejam?" Bentak salah seorang dari mereka.
"Aku... aku tak sengaja..." Teriak Adhinata dengan panik.
"Manusia keji macam begini mengapa tak cepat dibunuh mampus? Hayo kita ringkus dia!" Teriak salah seorang yang sudah tak sabar.
Dan sekejap sudah menghunus golok panjangnya. Tentu saja yang lainnya pun berbuat sama. Masing-masing mencabut keluar senjatanya. Salah seorang menerjang mendahului. Pedang berkilauan dilengannya ditabaskan ke arah leher Adhinata. Terkejut laki-laki ini. Lengannya bergerak menangkis.
Trang...! Luar biasa! pedang si penyerang itu terpental patah dua. Dan bersamaan dengan itu terdengar jeritan ngeri salah seorang kepala pengawal dari Kota Raja itu. Tubuhnya seketika menghitam dan jatuh berkelojotan. Cuma beberapa kejap saja lang sung tewas dengan keadaan tubuh berubah mengerikan. Tentu saja keempat kawannya jadi tersentak dan melompat mundur.
"Pergi...! pergilah! Atau biarkan aku pergi dari sini! aku... aku tak sengaja...!" teriak Adhinata dengan wajah pucat. Sungguh di luar dugaannya kalau tangkisannya barusan membawa efek demikian hebat. Dan tak ayal Adhinata segera melesat untuk melarikan diri.
Akan tetapi keempat kepala Pengawal Kerajaan itu mana mau membiarkan orang yang telah menyebab kan kematian kawannya itu melarikan diri? Serentak telah mengejar dengan membentak keras.
"Keparat...! kejar...! dia telah membunuh kawan kita!" Dan berkelebatlah sosok-sosok tubuh keempat kepala Pengawal, mengejar Adhinata. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sesosok tubuh menghadang si empat Kepala Pengawal.
"Tahan...! jangan kejar...!" Tentu saja teriakan nyaring itu menghentikan langkah mereka. Dan ketika menatap ke arah si penghadang, ternyata seorang wanita muda yang cantik rupawan. Siapa lagi kalau bu kan Roro Centil, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"He!? siapakah nona? mengapa menghalangi kami mengejar manusia keji itu?" Tanya salah seorang dari Kepala Pengawal.
"Dia si Manusia Beracun! pengejaran kalian amat berbahaya! apakah kalian sudah tak sayang nyawa...?" Berkata Roro dengan menatap tajam pada mereka satu persatu.
"Manusia Beracun...??" Teriak mereka dengan kaget hampir berbareng. Dan menatap Roro dengan membeliakkan mata.
"Benar! Aku memang tengah menguntitnya, ternyata dia telah mulai membawa korban!" Tukas Ro ro dengan wajah serius.
"Nah, maaf, aku harus meneruskan menguntitnya Aku menghawatirkan akan banyak terjadi kejadian yang mengundang maut!" Ucap Roro. Dan selesai berkata demikian tubuh si Pendekar Wanita itu sudah berkelebat lenyap dari hadapan mereka. Melesat cepat untuk mengejar Adhinata, hingga tak sempat lagi keempat Pengawal itu untuk menanyakan siapa dirinya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara di belakang mereka.
"Kalian beruntung dapat peringatan dari Pendekar Wanita itu! Seharusnya kalian ucapkan terima kasih...!" Kata-kata itu jelas ditunjukkan pada keempat Kepala Pengawal ini. Tentu saja serentak mereka putar tubuh untuk melihat siapa yang bicara.
"Ah, Gusti Senapati Kerta Bumi...!" Teriak mereka hampir berbareng. Dan tak ayal segera menjura hormat pada sang atasan ini.
"Sudahlah! kalian bukan sedang dalam tugas! Ucap sang Senapati. "Bawalah mayat kawanmu pulang, dan tugas baru telah menanti kalian...!" Selesai berkata Senapati Kerta Bumi melangkah pergi dari situ. Keempat Kepala Pengawal mengangguk seraya bergegas menghampiri mayat kawannya. Akan tetapi terperangah mereka, karena tubuh sang kawan telah be rubah mencair dan menimbulkan bau busuk.
"Gusti Senapati...!" Teriak salah seorang seraya mengejar laki-laki berusia 35 tahun itu.
"Ada apakah?" Tanyanya dengan palingkan wajah pada si Kepala Pengawal.
"Mengerikan sekali, gusti Senapati! mayat kawan kami..." Segera si Kepala Pengawal ini beritahukan apa yang dilihatnya.
Tampak wajah Senapati Kerta Bumi berubah. "Mari...! aku segera melihatnya!" Ujarnya seraya mendahului melompat.
Kepala Pengawal ini segera menyusul di belakangnya. Terperangah Senapati Kerta Bumi menyaksikan keadaan mayat. Karena tubuh si Kepala Pengawal yang malang itu telah menjadi cairan hitam. Kulitnya meleleh menampakkan tulang belulangnya dari sebagian tubuhnya. Sementara hawa busuk menyebar dari mayat itu.
"Edan! luar biasa sekali racun itu...! Benar benar amat mengerikan...! Entah racun apakah yang telah mengendap di tubuh laki-laki itu?" Gumam sang Senapati dengan mengelus jenggotnya yang tipis. Bahkan dia telah menatap pula pada potongan pedang si Kepala Pengawal yang telah tewas. Ternyata potongan pedang itupun telah berubah menghitam.
"Racun yang amat ganas itu adalah warisan si Raja Racun! Manusia itu telah menciptakan empat buah gelang beracun yang diwariskan pada pemuda itu! Dunia ini akan dilanda musibah besar! Karena si Raja Racun telah berhasil mencapai cita-citanya menciptakan seorang manusia yang tubuhnya mengandung racun luar biasa, walaupun dia sendiri harus tewas!"
Satu suara lembut terdengar dari seberang jalan. Tampak seorang kakek duduk di atas sebuah batu besar dengan lengan mengelus jenggotnya yang panjang menjuntai memutih.
"Kakek tua...! siapakah... anda?" Tanya Senapati Kerta Bumi yang segera telah melihat siapa orangnya yang bicara. Ringan sekali gerakan orang tua berjubah putih itu, sekejap sudah hing gapkan kakinya ke tanah di hadapan Senapati Kerta Bumi.
"Aku si kakek tua yang sial ini bernama Panunjang Jagat, Gusti Senapati. Terimalah hormatku...!" Ucap kakek itu seraya menjura pada Senapati Kerta Bumi.
Buru-buru Senapati ini balas menjura. Dari ge rakannya hamba Kerajaan ini telah mengetahui kalau si kakek Panunjang Jagat adalah seorang tokoh Rimba Hijau yang berilmu tinggi. "Aneh, anda menyebut diri anda sial. Apakah hubungannya dengan masalah ini? dan anda tampaknya mengetahui benar dengan perihal manusia beracun itu!" Bertanya Senapati Kerta Bumi.
"Bagaimana tak kukatakan diriku sial? si manusia beracun itu adalah muridku sendiri yang telah ku gembleng untuk menjadi seorang pendekar kaum golongan putih. Eh, tahu-tahu mengangkat si Raja Racun itu menjadi gurunya pula. Dan... jadilah dia manusia yang menakutkan...! Entah bagaimana nasibnya, kalau dia dipengaruhi kaum golongan hitam? Tak ada lain jalan selain membunuhnya siang-siang...!" Ujar sang kakek Puncak Tangkuban Perahu dengan wajah sedih. Tampak dari sepasang mata tua kakek itu mengalir air bening yang meluncur turun membasahi pipinya yang keriput.
Terangguk-angguk kepala Senapati Kerta Bumi yang diiringi dengan helaan napas. "Benar-benar di luar dugaanku, ternyata anda guru dari Manusia Beracun itu. Masalah ini memang amat besar dan rumit, tapi kukira kita memang harus bertindak cepat sebelum kasip. Benar seperti yang dikhawatirkan anda, kalau muridmu itu telah dipengaruhi kaum golongan sesat, akan membahayakan bukan saja terhadap rakyat akan tetapi juga membahayakan Kerajaan. Bahkan bisa membahayakan umat manusia!" Ujar sang Senapati dengan menatap wajah Ki Panunjang Jagat.
"Ya! memang lebih cepat kulenyapkan nyawa murid murtad itu adalah lebih bagus!" Tukas Ki Panunjang Jagat.
Akan tetapi Senapati Kerta Bumi cepat menyambar bicara. "Tidak...! bukan dengan membunuhnya, kita harus cari jalan untuk melenyapkan racun yang mengendap ditubuhnya! Akan tetapi apakah watak dari si Raja Racun itu belum mengendap pada jiwa muridmu, sobat Ki Panunjang Jagat?"
"Mudah-mudahan tidak, karena waktu yang di pergunakan si Raja Racun untuk memproses si Adhinata muridku itu menjadi manusia beracun cuma berkisar antara dua bulan!" Sahut Ki Panunjang Jagat se raya menghapus air matanya. "Sebenarnya waktu itu aku menitahkan pada Adhinata untuk meneruskan berguru pada adik seperguruanku Gembul Sona. Dan kuperintahkan dia turun gunung dari puncak Tangkuban Perahu. Akan tetapi dua bulan kemudian ketika aku menyambangi adikku di pesanggrahannya, ternyata muridku tak kujumpai ada di sana. Belakangan baru ku ketahui dia berguru pada si Raja Racun, tokoh hitam dari Rimba Hijau. Aku bisa menduganya karena kujumpai mayat si Raja Racun dalam keadaan seperti mayat Pengawal Kerajaan ini!" Tutur Ki Panunjang Jagat lebih lanjut, seraya menatap pada mayat yang telah membusuk itu.
"Baiklah sobat Panunjang Jagat! aku akan berusaha sebisa mungkin untuk membantumu...!"
"Terima kasih atas bantuan anda sebelumnya gusti Senapati...! "
Senopati Kerta Bumi anggukkan kepalanya dengan tersenyum, seraya ujarnya. "Jangan khawatir, orang Kerajaan tidak akan memusuhi muridmu, sepanjang dia masih dalam keadaan belum diperalat orang lain...!"
Ki Panunjang Jagat manggut-manggut. Lalu segera menjura untuk mohon diri. Akan tetapi tiba-tiba dia balikkan tubuhnya seraya menatap pada mayat. "Mayat itu sebaiknya dibakar saja, jangan coba coba menyentuhnya! amat berbahaya...!"
* * * * * * *
TIGA
"Setan alas...! Aku kehilangan jejak!" Memaki Roro Centil. Tubuh sang dara ayu ini berkelebatan ke beberapa arah, dan kepalanya dipalingkan ke kiri dan ke kanan. Akan tetapi sosok tubuh si manusia beracun sudah lenyap tak kelihatan bayangannya lagi. Tiba-tiba Roro melihat sosok bayangan yang menyelinap ke balik tebing. Tentu saja hal itu tak dis ia-siakan. Segera dia berkelebat kesana. Akan tetapi tiba-tiba...
Rettt! Rett! Rettt...!
Terperan gah Roro Centil, beberapa utas tali telah menjeratnya. Dan tak ampun lagi kaki dan lengannya serta pinggangnya kena terjerat. "Alii...!? aku terjebak dalam perangkap!" Desis Roro dengan terkejut. Cepat sekali bekerjanya tali-temali itu, karena sekejap Roro Centil telah tergantung pada beberapa utas tali dengan kaki terpentang, kepala di bawah dan kaki di atas. Tali-tali yang menggantung tubuh Roro menjulur dari beberapa arah. Yaitu dari atas tebing batu dan beberapa batang pohon tinggi.
"Hihihihi... begitu mudahnya menjebak seorang wanita Pendekar yang perkasa...! " Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik tanpa terlihat orangnya.
Roro segera mengenali suara itu. "Keparat si Giri Mayang rupanya!" Desis Roro tersentak. Dan... saat itu pula telah berkelebatan tujuh sosok makhluk kerdil mengu rung di bawah Roro. Tentu saja Roro mengenal makhluk-makhluk ini, karena pernah diserang oleh mereka. Benaknya segera memikir.
"Setan alas...! kalau begitu mahluk-mahluk kerdil ini baladnya si Giri Mayang...!" Diam-diam Roro kerahkan tenaga dalamnya untuk dapat segera melepaskan diri dari jeratan tali. Akan tetapi pada saat itu serangkum angin telah menerpa tubuhnya. Terdengar si Pendekar Wanita ini, karena segera merasai tubuhnya tak dapat digerakkan lagi. Hebat, serangan aneh itu. Roro Centil tak mampu berkutik lagi, karena seketika jalan darahnya telah ter sumbat. Dan dengan demikian dia tak mampu lagi un tuk berbuat apa-apa.
"Hehehe... hehehee... selamat berjumpa nona Pendekar Roro Centil!" Terdengar suara tertawa mengekeh serak yang diiringi kata-kata. Dan sesosok tu buh berkelebat muncul. Sekali gerakan lengannya memutar, tali temali yang menjerat tubuh Roro terpa pas putus terkena sambaran angin aneh. Tanpa bisa dicegah lagi, tubuh Roro meluncur jatuh. Dan mahkluk-mahkluk kerdil itu segera menangkapnya. "Bagus! inilah saatnya kemenangan berada dipihak kita!"
Terdengar suara nyaring dan diiringi den gan berkelebat muncul sesosok tubuh wanita dengan ram but terurai. Siapa lagi kalau bukan Giri Mayang. Entah bagaimana si wanita yang amat mendendam pada Roro Centil itu bisa berada di tempat itu, dan apa pula hubungannya dengan nenek renta bertangan kosong yang berilmu tinggi itu?
"Hihihi... guru! berikanlah padaku manusia yang telah menghinaku itu!" berkata Giri Mayang dengan menatap pada si nenek tangan kosong. Entah sejak kapan tahu-tahu wanita ini telah pula mengangkat guru pada si nenek tua renta berkalung mutiara indah itu.
Si nenek berikan isyarat pada ketujuh makhluk kerdil untuk melepaskan tubuh Roro dari pegangan tangan-tangan mereka. Serentak berlompatanlah makhluk-mahkluk kerdil itu dengan patuh.
"Heheheheh mau kau apakan kah dia?" Tanyanya.
"Guru...! terima kasih atas bantuanmu sekali lagi! kali ini biarkanlah aku yang akan menentukan hidup matinya perempuan bernama Roro Centil ini!" Berkata Giri Mayang dengan menatap pada gurunya lalu alihkan tatapannya pada Roro yang terkapar di tanah dengan keadaan tak berdaya.
Sejurus antaranya si nenek bertangan kosong yang ternyata bermata jul ing itu termenung, tapi kemudian ujarnya... "Heeheheh... heheh... baiklah! akan tetapi ku beri waktu kau untuk segera membunuhnya tidak le bih dari dua hari. Selewat dua hari aku tak mau mendengar adanya nama Roro Centil di atas jagat ini!"
"Baik, baik...! jangan khawatir! manusia pembunuh muridmu si Kupu-kupu Emas ini aku jamin kau akan segera melihat bangkainya dalam keadaan tidak utuh!" Berkata Giri Mayang dengan tersenyum menyeringai.
Sementara itu Roro Centil jadi terkejut karena segera mengetahui kalau si nenek bermata juling itu adalah guru si Kupu-kupu Emas yang telah tewas di tangannya, sewaktu berada di Pulau Andalas.
Selesai berkata, Giri Mayang segera sambar tubuh Roro. Dan sekejap saja sudah dibawa berkelebat meninggalkan tempat itu. "Dua hari lagi silahkan kau datang melihat ke tempat tinggalnya, guru..." teriak Giri Mayang yang masih sempat berpesan pada guru barunya.
Nenek mata juling tak menjawab, akan tetapi segera berkelebat pergi diikuti ketujuh mahkluk cebol piaraannya.
* * * * * * *
"Iblis perempuan! tahan langkahmu!" Terdengar bentakan nyaring. Giri Mayang yang baru saja tiba di balik bukit jadi terkejut dan hentikan langkahnya, karena beberapa sosok tubuh berkelebatan menghadang. Ternyata ketiga murid si nenek Pendekar Taring Naga, yaitu si tiga gadis berbaju ungu. Giri Mayang tatapkan matanya pada ketiga dara dihada panya. Tiba-tiba dia tertawa mengikik, dan berkata dengan nada dingin.
"Hihihi... kiranya tiga saudara seperguruan dari Perempuan Taring Naga! He? Mau apa kalian menghadangku? Hm, rupanya kalian mau mencari mati...!"
"Bedebah! perempuan laknat! kau telah menculik dan membunuh kakak laki-laki saudara sepergu ruan ku! kau telah memfitnah pula nama Pendekar Roro Centil! kau harus mempertanggung jawabkan perbuatan mu!" Bentak Sri Kendil dengan berang. Dan sepasang senjata gaetannya telah tercekal di kedua lengannya.
"Hihihi nona Pendekar pujaan kalian itu kau lihat sendiri sudah tak berkutik dalam tanganku! apakah kalian mau jual lagak untuk mencari mati? Sebaiknya lekas kalian merangkak pergi dari sini!" Ben tak Giri Mayang. Sejak tadi mereka memang telah berprasangka dan tengah menduga-duga pada wanita yang berada di atas pundak Giri Mayang. Kini semakin jelaslah kalau wanita itu benar Roro Centil adanya. Tentu saja membuat mereka cukup terkejut, juga khawatir.
"Hah? Le... lepaskan dia!" Bentak Sri Kendil dengan mata mendelik.
Akan tetapi Girl Mayang tertawa mengikik, seraya berkata lantang. "Silahkan kalian rebut nona Pendekar pujaan kalian ini dari tangan ku!"
"Bedebah! kau turunkan dulu dia dari pun dakmu! dan hadapi kami!" teriak Parmi, si dara paling cantik diantara mereka.
"Hm, baik! kalian kira aku sebangsa manusia pengecut yang mau menjadikan si Roro Centil ini un tuk perisai...? Kalian rasakan nanti sepak terjangkut berkata Girl Mayang dengan senyum sinis. Giri Mayang jatuhkan tubuh Roro menggabruk ke tanah. Dan ber kata lagi dengan suara dingin. Silahkan kalian maju berbareng! kalian mau membalas dendam kematian kakak seperguruanmu, bukan? Hihihi... dia memang laki-laki gagah. Sayang aku terpaksa membunuhnya, karena itulah kebiasaan ku kalau aku sudah bosan!" Selesai bicara, kembali Giri Mayang perdengarkan suara tertawa mengikik. Sementara diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam inti api pada kedua lengannya.
"Iblis perempuan sundal! aku akan adu jiwa denganmu!" membentak Parmi dengan geram, dan sepasang mata berkaca-kaca. Seraya kemudian menerjang wanita ini dengan kemarahan meluap-luap. Sepa sang senjata gaetannya menyambar bagai kilat mengarah leher. Akan tetapi dengan tersenyum Giri Mayang merunduk cepat. Sebelah lengannya Lantas bergerak menghantam ke perut lawan.
Wukkk...! Angin panas membersit menyambar perut Parmi Untunglah gadis ini cepat pula berkelit dengan jatuhkan diri bergulingan. Giri Mayang tak memberi ke sempatan untuk gadis itu bangkit. Segera melesat untuk kembali hantamkan telapak tangannya bertubi-tubi. Akan tetapi saat itu telah terdengar bentakan, berbareng dengan menerjangnya Sri Kendil dan gadis rambut kepang. Dua pasang gaetan itu berkilatan menyambar tubuhnya dari perbagai tempat.
"Bagus...!" teriak Giri Mayang. Gesit sekali wanita itu berloncatan menghindar dari serangan ganas. Tiba-tiba Giri Mayang mulai merubah gerakan silatnya. Sekejap saja tampak ketiga lawannya mulai menyerang dengan serabutan, karena Giri Mayang mempergunakan jurus-jurus yang mengacaukan serangan lawan. Ternyata sambil mempergunakan jurusnya, bibir Girl Mayang tampak komat-kamit membaca mantera-mantera. Itulah ilmu hitam yang dipergunakan untuk menyerang syaraf lawan. Hingga dalam pandangan ketiga gadis itu, mereka seperti menghada pi mahkluk menyeramkan. Pada satu kesempatan Giri Mayang hantamkan lengannya kedua arah.
Wukkk! Wuukkk...!
Tak ampun lagi terdengar jeritan menyayat hati. Sri Kendil dan si gadis rambut kepang yang bernama Nirawuni terlempar dengan tubuh menghitam hangus. Bukan saja Parmi salah satu dari ketiga gadis itu saja yang terperanjat, akan tetapi Roro Centil yang dalam keadaan tak berdaya itupun terkesiap kaget.
"Iblis telengas Giri Mayang! kelak kau rasakan kalau bisa terbebas dari totokan si nenek mata juling itu!" maki Roro Centil dalam hati. Ternyata lidah dari Pantai Selatan inipun dibuatnya menjadi kelu dan tak dapat mengeluarkan suara. Kecuali sepasang matanya saja yang mendelik gusar.
EMPAT
"Hihihi... segeralah kaupun berangkat menyusul kedua saudara seperguruanmu itu!" Berkata Giri Mayang seraya hantamkan lengannya mengarah ke tubuh Parmi yang sedang terlongong dengan mata membelalak. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sinar kilat berhawa dingin yang meluluhkan pukulan inti api Giri Mayang, disertai bentakan keras.
"Wanita terlengas, kejam nian kau...! " Bhuurrr...! pukulan inti api Giri Mayang membalik ke udara, dan menyambar dahan pohon besar.
Hebat dan mengerikan sekali, pohon itu terbakar hangus. Daun-daunnya rontok kering, berjatuhan meluruk ke bawah. Tersentak Parmi bukan buatan. Dalam keadaan terperangah tadi, nyaris saja nyawanya melayang kalau tak datang sosok tubuh yang menangkis serangan berbahaya itu. Ternyata disitu telah tegak berdiri seorang pemuda tampan berpakaian serba putih. Di lengannya tercekal sebuah pedang yang berkilauan seperti perak. Dialah Sambu Ruci, si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang Nan Elok.
Kalau Roro Centil diam-diam merasa girang dengan kemunculan pemuda sahabatnya ini, adalah Giri Mayang memandang dengan terkejut. Bibirnya sudah bergetar untuk membentak. Akan tetapi, aneh...! tampaknya Giri Mayang sulit untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Seumur hidup barulah dia melihat seorang laki-laki yang tampannya sedemikian rupa. Tiba-tiba, cepat sekali Girl Mayang balikkan tubuh, dan menyambar tubuh Roro yang tergeletak ditanah. Selanjutnya dengan gerakan sebat segera angkat kaki dari tempat itu.
"Haiii? pengecut busuk! mengapa kau melarikan diri...?" Teriak Sambu Ruci. Sepasang matanya segera dapat melihat siapa adanya sosok tubuh yang di panggul dipundak wanita itu. "Hah? dia... Roro Centil...!" Sentak Sambu Ruci dengan berdesis. Akan tetapi baru dia mau berkelebat menyusul, sebuah benda telah dilemparkan ke arahnya.
Bruss...! Benda itu meledak menimbulkan asap hitam yang menyebar menghalangi pandangan. Ketika Sambu Runci menerobos asap, tubuh Giri Mayang sudah tak kelihatan lagi.
"Kurang ajar, akal licik untuk melarikan diri!" Memaki Sambu Ruci dengan hati masygul. Saat itu Parmi telah lemparkan sepasang senjatanya, dan memburu ke arah kedua tubuh saudara seperguruaannya yang terkapar dengan keadaan mengerikan. Tubuh Sri Kendil dan Nirawuni yang dalam keadaan menghitam hangus itu ditatapnya dengan air mata mengenang.
Tak kuat melihat kengerian yang terpampang di matanya, gadis ini menangis terisak dengan menekap wajahnya dengan kedua belah tangan. Menghadapi kenyataan yang amat luar biasa itu, pandangan mata Parmi menjadi gelap dan berkunang-kunang. Kepalanya terasa berdenyutan. Dan bumi yang dipijak terasa berputar. Akhirnya si gadis itu roboh pingsan tak sadarkan diri. Sementara itu Sambu Ruci telah berkelebat menghampiri. Tentu saja hal itu membuat Sambu Ruci jadi kebingungan.
"Ah, dia pingsan pula...! bagaimana ini... ?" Tersentak Sambu Ruci. Sambu Runci memang serba salah, karena dia baru mau berniat menyusul Roro yang dilarikan Giri Mayang akan tetapi melihat keadaan gadis itu tak sampai hati dia meninggalkannya. Terlebih melihat kematian kedua gadis kawannya yang hangus mengerikan.
"Kasihan...! aku harus menolong gadis ini, dan menguburkan mayat kedua gadis malang ini...! " Berkata Sambu Ruci seorang diri. Demikianlah... dengan segera si Pendekar Selat Karimata menggali tanah, lalu menguburkan jenazah kedua gadis malang itu dengan hati ikut terharu. Bahkan tak terasa air matanya menitik turun dari kelopak mata.
Matahari mulai menggelincir ke arah barat. Dan selesailah pekerjaan Sambu Ruci. Dua gunduk tanah yang ditimbun juga dengan batu dan pasir telah berada ditempat itu. Pada tanah datar di sisi bukit. Angin pegunungan berhembus menyejukkan tubuh. Laki-laki ini menyeka peluhnya yang meluncur turun ke dahi. Kini tatapan matanya dialihkan ke bawah pohon dimana dia merebahkan tubuh Parmi yang masih tak sadarkan diri.
Mendengar langkah-langkah kaki menghampiri agaknya gadis ini mulai sadar dari pingsannya. Dan sekejap dia sudah melompat bangun. Dilihatnya sesosok tubuh laki-laki yang tadi telah menyelamatkan jiwanya berada di hadapannya. Berdiri dengan meman dang kagum pada gadis itu. Memang tak dapat di sangkal kalau Parmi adalah seorang dara yang cantik Berambut ikal. Dengan ikat kepala bercorak kembang kembang warna merah. Tatapan matanya sayu, akan tetapi sedikit membelalak karena segera terlihat dua gundukan tanah yang sudah dapat diduga adalah kuburan kedua saudara seperguruannya.
"Anda.... anda yang telah mengebumikan jenazah kedua saudara seperguruanku...?" bertanya Parmi dengan memandang tajam, akan tetapi diam-diam ha tinya berdebar keras. Pemuda itu seorang laki-laki yang amat tampan. "Siapakah gerangan dia ini..?" berkata Parmi dalam hati. Sementara itu dengan tersenyum Sambu Ruci segera menjawab.
"Benar...! kulihat kau telah jatuh pingsan tak sadarkan diri. Aku lalu menolongmu memindahkan ke tempat yang teduh disini, kemudian segera ku gali tanah untuk mengubur jenazah...!"
Terlihat senyum trenyuh di bibir sang gadis. Sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Dan sepasang bibir mungil itupun tampak tergetar mengucapkan kata-kata... "Te... terima kasih atas pertolongan anda, tu... tuan Pendekar!" Ucapnya dengan suara lirih. Dan... setetes air bening kembali mengalir turun ke pipinya yang putih ranum.
"Andapun telah pula menyelamatkan nyawaku. Betapa besar budi anda, entah dengan apa aku harus membalasnya. Lanjut Parmi dengan tundukkan wajah, dan cepat-cepat lengannya menghapus air matanya.
"Ah, sudahlah...! pertolongan itu adalah sudah menjadi dasar dari setiap golongan pendekar. Siapakah namamu, adik...?"
"Namaku amat jelek. Apakah kau sudi mendengarnya?" Balas bertanya sang gadis dengan senyum di paksakan.
"Ah, Jelek atau bagus cuma sebuah nama. Tapi yang jelas orangnya kan cantik...?" goda Sambu Ruci dengan tersenyum. Sengaja dia bergurau untuk melupakan kesedihan sang gadis itu.
"Ah, anda terlalu memuji! Aku sedang dalam kesedihan begini, kalau anda mau tahu namaku tentu tak keberatan pula kalau anda menyebutkan nama anda, bukan?" Berkata sang gadis dengan tersipu.
"Haha... mengapa tidak? namaku Sambu Ruci!" sahut Sambu Ruci pendek tanpa memperkenalkan ju lukannya. Akhirnya sang gadis baju ungu itupun se butkan pula namanya.
"Aku... aku Parmi, atau kepanjangannya Parmi Sudira..."
"Aha...! nama yang begitu bagus mengapa kau katakan jelek?" kelakar Sambu Ruci dengan tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
"Bagus dan cantik secantik orangnya! sam bungnya dengan menatap tajam pada wajah sang gadis yang semakin merona merah saja wajahnya.
"Sudira itu tentu nama ayahmu, ataukah nama suamimu.. ?" tiba tiba Sambu Ruci ajukan pertanyaan.
"Suami...? ah, mana aku punya suami... itu nama ayahku!" sahut Parmi.
"Ya, ya... aku percaya! baiknya kau ceritakan riwayatmu, apakah sebabnya bisa bentrok dengan wanita bernama Giri Mayang itu?" Tanya Sambu Ruci yang segera alihkan pembicaraan.
Terdengar suara helaan napas si gadis. Wajahnya kembali menampakkan kesedihan. Akan tetapi segera dia sudah memulai berikan penuturan. Demikianlah, secara kebetulan Parmi akhirnya dapat berkenalan dengan Sambu Ruci si Pendekar Selat Karimata. Dan Parmi pun tuntas pula menceritakan siapa dirinya serta persoalan apa hingga dapat bentrok dengan Giri Mayang, yang nyaris saja dia menyangka Roro Centil biang pelaku dari kejahatan itu.
Tercenung sejenak Sambu Ruci. Segera terlintas lagi nasib Roro yang sedang dalam keadaan tak berdaya di tangan Giri Mayang. Walaupun bagaimana hati pemuda ini yang sudah kepincut oleh Roro, tak bisa berpeluk tangan membiarkan Giri Mayang menawan si Dara Pantai Selatan itu.
"Dimanakah tempat tinggalmu, nona Parmi... aku akan mengantarkanmu pulang. Selesai itu aku harus mencari jejak si wanita Iblis itu. Dia telah berhasil menawan sahabatku Roro Centil. Amat berbahaya dan mengkhawatirkan sekali. Wanita iblis itu amat telengas dan mempunyai ilmu tinggi...!"
"Kami bertiga sudah bertekad mencari jejak si wanita iblis pembunuh saudara laki-laki kakak seperguruaku. Ternyata telah berhasil menjumpai. Akan tetapi kedua saudara seperguruanku kembali tewas di tangan iblis wanita telengas itu. Tak ada lain jalan, aku akan turut mencari jejak nona Pendekar Roro Centil. Ajaklah aku kemana kau pergi, sobat Sambu Ruci...!" Berkata Parmi dengan wajah bersemangat.
Tercenung Sambu Ruci. Walau dalam hati tak menyetujui gadis itu turut serta dalam melacak jejak Giri Mayang, akan tetapi Sambu Ruci memang tak dapat menolak keputusan si gadis. Juga dikhawatirkan hal itu akan menyinggung perasaan sang gadis yang amat bersemangat dan berani itu. Akhirnya Sambu Ruci pun mengangguk.
* * * * * * *
LIMA
Kemanakah gerangan lenyapnya Adhinata, si manusia beracun? Ternyata dia berada dalam sebuah lubang sumur yang amat dalam. Kalau Adhinata tak memiliki kepandaian tinggi, serta akal cerdik yang di pergunakan, niscaya tulang-tulang tubuhnya telah patah-patah karena jatuh dari tempat ketinggian terjerumus masuk ke dalam sumur itu. Itulah pula sebabnya Roro Centil kehilangan jejak.
Di dalam sumur itu Adhinata termangu-mangu. Untuk merayap naik amat sulit, karena dinding sumur penuh lumut yang amat licin. Sedangkan untuk melompat keluar juga tak mungkin, karena dalamnya sumur lebih dari lima puluh kaki. Kecuali dia punya sayap untuk terbang barulah dia bisa keluar dari sumur itu. Berpikir demikian, Adhinata jadi termangu mangu dengan mulut memaki panjang pendek.
"Sial! siaaal...! mengapa nasib buruk selalu menimpa ku? Kini nasibku tak lebih buruk dari nasib si Raja Racun! cepat atau lambat akhirnya toh aku akan mati kelaparan di dasar sumur celaka ini...!"
Malam pun semakin merayap, Adhinata masih termangu-mangu di dasar sumur tanpa bisa berpikir apa-apa selain menunggu datangnya maut. Dan lagi lagi hawa lapar menggerogoti perutnya. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru kegirangan. Matanya menatap pada lumut yang menempel tebal didinding sumur.
"Ha...? aku... masih bisa hidup! Mengapa aku jadi tolol? lumut ini bisa menjadi bahan makananku! hahaha..." Tergelak-gelak Adhinata. Dan serta merta lengannya sudah mencongkel lumut itu. Lalu langsung memakannya dengan lahap. Tak perduli lagi bagaimana rasanya, baginya yang panting adalah dia bisa bertahan hidup sambil menunggu kemukjizatan yang dapat menolong dirinya keluar dari sumur itu.
Adhinata memang sudah ditakdirkan mengalami hal yang aneh-aneh. Perjumpaanya dengan si Raja Racun telah membawa akibat tubuhnya mengandung racun yang amat hebat. Empat buah gelang besi berwarna hitam yang terpasang di empat anggota tubuhnya adalah empat buah gelang yang sudah direndam dengan racun puluhan tahun dengan bermacam racun jahat.
Semasa hidupnya si Raja Racun telah berambisi menciptakan seorang manusia yang amat luar biasa yang bakal diperalat untuk menguasai Dunia Persilatan. Hingga dengan segala daya dia berhasil menciptakan gelang-gelang besi itu. Apakah yang telah menyebabkan kematian si Raja Racun itu? Marilah kita ungkapkan peristiwanya.
Betapa girangnya si Raja Racun tokoh hitam itu yang telah menemukan Adhinata, yang dianggap cocok untuk dijadikan bahan percobaan keempat gelang be sinya. Si Raja Racun memang telah mendusta Adhinata dengan mengatakan bahwa dia memiliki dua pasang benda pusaka, yang kalau Adhinata mengingini pasti dia akan memberikannya.
Adhinata yang baru turun gunung dan belum banyak pengalaman segera kepincut untuk memiliki dua pasang gelang pusaka itu. Karena menurut Langir Setho bakal menjadikannya seorang yang luar biasa di dunia persilatan. Demikianlah, Adhinata di bawah ke tempat tinggal tokoh hitam itu.
Selanjutnya dengan menuruti setiap perintah dan petunjuk si Raja Racun, yang telah di angkat guru oleh Adhinata, pemuda murid Ki Panunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu itu di proses dengan waktu singkat hingga tubuhnya mengandung racun yang amat luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi justru si Raja Racun sendiri tewas tanpa sengaja karena kecerobohan yang di luar dugaannya.
Keempat buah gelang besi itu telah terpasang di pergelangan keempat anggota tubuh Adhinata. Dia memerintahkan pemuda itu menyalurkan tenaga dalam untuk menyebarkan pengaruh racun dari keempat gelang besi ke sekujur tubuhnya. Sebelumnya Adhinata memang telah meminum beberapa macam ramuan untuk memperkuat tubuh, yang harus dimakannya selama waktu satu bulan.
Hal itu pernah dicobanya pada beberapa pemuda yang di jadikan calon memproses ide gilanya itu, akan tetapi dari tiga orang pemuda yang dicobanya itu telah tewas. Hingga si Raja Racun segera merobah beberapa macam ramuan, dengan menambahi ramuan lain. Hal itu memang berhasil baik seperti yang telah dicobakan pada Adhinata. Akan tetapi Adhinata ternyata tak mampu mengembalikan racun yang menyebar ditubuhnya ke tempat asalnya yaitu keempat buah gelang besi itu.
Adhinata memang tidak mati, akan tetapi dia tak sadarkan diri hingga beberapa hari. Tentu saja hal itu amat mengkhawatirkan si Manusia Racun. Berbagai cara dilakukan untuk menyadarkan Adhinata. Kekhawatiran akan kegagalannya semakin memuncak karena setelah lewat dua pekan, Adhinata tetap belum sadar dari pingsannya. Untunglah ramuan-ramuan yang dijejalkan di mulut Adhinata dapat memperkuat tubuhnya untuk masih tetap bisa bertahan hidup.
Sepekan pun berlalu lagi, dan Adhinata tetap terkapar tanpa daya. Semakin gelisahlah hati Langir Setho. Tinggal satu proses lagi yang harus diterapkan pada tubuh pemuda itu. Akan tetapi keadaan Adhinata semakin memburuk. Nafasnya tinggal satu satu. Akhirnya si Raja Racun ini jadi nekat. Proses yang satu lagi harus dilaksanakan, yaitu merendam tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun.
Tanpa harus menunggu lama lagi, si Raja Racun segera cemplungkan tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun yang telah disiapkan. Ketika pemuda yang jadi bahan percobaannya satupun belum ada yang sampai pada proses terakhir ini, karena telah keburu tewas di awal percobaan. Cuma Adhinatalah yang bisa mencapai proses akhir ini. Akan tetapi itupun masih dalam teka-teki.
Tiga hari tiga malam si Raja Racun merendam tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun itu. Selama itu Langir Setho kerahkan tenaga dalamnya untuk membantu menguatkan tubuh Adhinata dengan saluran tenaga dalamnya ke tubuh pemuda itu. Ternyata hebat akibatnya. Racun yang menyebar di tubuh Adhinata telah bercampur lagi dengan racun. Napas pemuda itu sudah semakin gawat. Detik detik maut hampir menjelang.
Semakin resah hati si Raja Racun. Kekhawatiran akan kegagalan percobaannya semakin memuncak. Karena bila gagal kali ini bukan saja dia harus memulai segalanya dari nol, akan tetapi hal ini juga telah menguras habis tenaga dalamnya, dan telah merugikan tidak sedikit dari usahanya yang sia-sia itu. Dan... pada detik-detik yang mendebarkan itu ternyata Langir Sheto hampir melonjak karena girangnya. Tampak napas Adhinata kembali normal secara berangsur-angsur.
"Bagus muridku...! kau... kau berhasil! berhasil...! hahaha... hehe..." Tertawa gelak-gelak si Raja Racun karena girangnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit keras. Cekalan lengannya pada bahu pemuda itu yang selama tiga hari tiga malam tak pernah lepas untuk menyalurkan tenaga dalam yang mengalirkan hawa hangat ketubuh Adhinata, mendadak sontak di lepaskan. Terhuyung-huyung tubuh si Raja racun mundur ke belakang.
Wajahnya pucat bagai mayat dan membiru. Akan tetapi tak berlangsung lama, karena segera tubuh Langir Sheto jatuh menggabruk untuk selanjutnya berkelojotan bagai ayam disembelih. Dan kejap berikutnya tubuh si Raja racun sudah tak berkutik lagi dengan keluarnya suara mengorok bagai kerbau dipotong.
Beberapa saat antaranya tubuh si Raja Racun itupun mencair dengan mengeluarkan bau busuk yang amat mengganggu hidung. Tewasnya si Raja Racun yang berhasil dengan percobaannya. Akan tetapi meminta korban jiwanya sendiri. Demikian kisah yang di alami Adhinata, hingga dia menjadi si Manusia Beracun. Betapa amat mengerikan kini keadaan tubuhnya membuat Adhinata sendiri menjadi serba salah.
Karena dengan demikian justru menyulitkan dirinya sendiri. Masalahnya adalah si Raja Racun telah tewas. Sedangkan dia tak dapat mengendalikan racun yang mengendap dalam tubuhnya karena tak mengetahui caranya. Seandainya dia dapat berfikir secara normal mungkin hal itu bisa dilakukan.
Akan tetapi efek sampingan dari proses yang terjadi pada tubuhnya juga telah merusak jaringan syaraf. Hingga Adhinata tak lebih dari seorang pemuda tolol. Terkadang dia berambisi untuk merajai Dunia persilatan, tapi terkadang begitu ketakutan akan keadaan dirinya. Dan berusaha menjauhi manusia, karena dia khawatir untuk menyentuhnya.
* * * * * * *
ENAM
GIRI MAYANG tertawa sinis menatap Roro Centil, yang telah dikuliti seluruh pakaiannya. Bahkan telah menambah beberapa totokan untuk memperkuat agar si musuh besarnya tak dapat lepas lagi dari tan gannya. Giri Mayang ambil seutas tambang, lalu mengikat tubuh kedua pergelangan tangan Roro Centil. Selanjutnya telah mengereknya ke atas pada dua buah tiang yang menyangga sebuah balok panjang.
Rumah itu adalah sebuah rumah tempat seorang pandai besi. Si pandai besinya sendiri telah dibunuhnya. Mayatnya telah di lemparkannya ke sungai di belakang rumah itu. Tentu saja disana banyak bermacam alat-alat kerja si pandai besi. Dari tungku tempat bara api, sampai palu, pahat kikir dan perbagai alat lainnya.
Dan... tungku api itu memang sudah menyala sejak tadi. Tubuh Roro Centil terayun-ayun pada seutas tambang. Kakinya cuma berada satu jengkal di atas tanah. Entah kejahatan apa yang akan dilakukan wanita telengas ini. Dengan bertolak pinggang Giri Mayang menatap tubuh Roro dengan tersenyum sinis.
"Hm, bentuk tubuhmu memang patut dikagumi Roro Centil! Memang membuat aku jadi mengiri! Hihi hi... akan tetapi tak lama lagi aku akan membuat kulit tubuhmu yang putih itu menjadi seperti kulit macan loreng...!" Berkata Giri Mayang seraya perdengarkan suara tertawa mengikik dan terpingkal-pingkal geli.
"Heh, mengapa tak kau bunuh mampus saja aku sekalian?" bentak Roro. Ternyata totokan pada urat suaranya telah dibuka oleh Giri Mayang. Maksudnya memang dia ingin mendengar suara Roro yang menjerit-jerit ketika menjalani siksaan darinya.
"Hihih... hihi... aku memang mau membunuh mu Pendekar Perkasa! Akan tetapi secara pelahan-lahan. Biar kau rasakan enaknya menjalani kematian dengan caraku ini...!" sahut Giri Mayang dengan tersenyum dingin. Selesai berkata Giri Mayang beranjak menghampiri tungku. Bara api menyala di dalamnya Dan tampak beberapa batang besi telah terbakar merah membara. Giri Mayang meraih sebatang besi yang sudah membara ujungnya itu. Lalu beranjak mendekati Roro Centil.
"Ck, ck, ck.... sayang, tubuh mulus mu itu akan menjadi buruk, Roro Centil. Bersiap-siaplah untuk menahan rasa sakit...!" Berkata Giri Mayang den gan suara dingin.
Membeliak sepasang mata Roro Centil. Baru sekali inilah dia kena dikerjai orang. Bahkan justru berhadapan dengan wanita sadis yang membencinya setengah mati. Tak dapat dibayangkan Roro bakal menjalani siksaan yang tidak ringan.
Sepasang mata Giri Mayang menjalari sekujur tubuh Roro. Dan... besi panjang bergagang kayu yang ujungnya merah membara itu sudah bergerak mendekati tubuh Roro. Beberapa detik lagi Giri Mayang akan mendengar suara jerit kesakitan dari tubuh Roro Centil. Akan tetapi tiba-tiba....
"Tunggu...!" Terdengar suara teriakan yang menahannya. Besi panas itu sudah tinggal beberapa inci lagi dari kulit tubuh Roro. Terpaksa Giri Mayang hentikan gerakannya, untuk segera berpaling ke arah suara barusan. Tampak sesosok tubuh berkelebat masuk ke dalam ruangan.
"Welaaaah, sabar dulu sobat Kelabang Kuning! welaah, welaaah, sayangnya kalau kulit yang putih mulus itu kau bikin cacad...!" Berkata sosok tubuh itu yang ternyata adalah seorang laki-laki yang sikapnya amat genit. Laki-laki ini berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh jangkung, dan berbaju gombrong hingga mirip orang kedodoran. Wajahnya tampak lucu, tanpa kumis dan jenggot. Sebelah telinganya memakai anting-anting besar.
Melihat kemunculan laki-laki aneh ini tampak Giri Mayang disamping terkejut, juga mendongkol sekali. Laki-laki yang sikapnya genit ini adalah adik tiri ayahnya yang sudah tewas. Bernama Porak Supih. Porak Supih inilah yang memperkenalkan dirinya dengan si nenek mata juling, yang cuma memberi waktu dua hari padanya untuk segera membunuh Roro.
Bahkan Girl Mayang telah pula mengangkat si nenek mata juling itu sebagai gurunya. Giri Mayang memang belum menerima tambahan ilmu, akan tetapi nenek yang mempunyai "piaraan" tujuh makhluk kerdil (siluman) itu telah beberapa kali membantunya. Walaupun si nenek mata juling itu sendiri belum resmi mengangkat Giri Mayang menjadi muridnya. Hubungan apakah si nenek mata juling dengan Porak Supih? Tak lain dan tak bukan wanita tua renta mata juling itu adalah ibunya sendiri.
"Mau apa kau muncul disini, paman Porak Supih. Sekali ini kuminta kau tak mencampuri urusanku! Segera keluarlah...! Aku tak mau kau mengganggu acara ku!" Berkata Giri Mayang dengan suara tegas dan hati mangkel.
Akan tetapi Porak Supih malah cengar cengir dan garuk kepala yang tidak gatal. pasang matanya menjalari sekujur tubuh Roro dengan membinar binal. Seraya ujarnya. "Welaaah...! Kelabang Kuning! sombong kali kau ini, bah...! Berilah aku kesempatan untuk mesra dulu dengannya, alangkah menyesalnya kalau kesempatan yang langka ini tersia-sia! Kudengar wanita yang kau tawan ini adalah seorang Pendekar Wanita kenamaan. Ooh... alangkah sayangnya... Welaah, welaah! aku tidak mau pergi!"
Berkata Porak Supih yang telah semakin kurang ajar menatap Roro yang dalam keadaan tanpa penutup aurat tubuh. Perbuatan Giri Mayang memang sudah sangat keterlaluan. Dan diam diam apa yang telah diperlakukan Giri Mayang ini telah dicatat direlung hati Roro. Di ukir dibenak tanpa bisa dihapus lagi.
Mendengar jawaban kata-kata Porak Supih, Giri Mayang semakin mendongkol. Akan tetapi mengingat laki-laki ini masih ada hubungan famili dengan ayahnya, Giri Mayang jadi serba salah kalau harus lakukan kekerasan untuk mengusirnya. Apa lagi Porak Supih sudah banyak menanam jasa padanya. Dan.. kali ini Giri Mayang memohon dengan halus.
"Paman Porak Supih...! si Roro Centil ini adalah musuh besar yang telah membunuh ayahku. Biarlah aku memberinya siksaan pedih. Aku akan membuatnya mati secara perlahan-lahan. Bahkan dia juga musuh nenek Nori...!" Ujar Giri Mayang dengan suara datar. Nenek Nori yang dimaksud adalah si nenek mata juling.
Akan tetapi membersit perasaan mengiri dan cemburu, ketika melihat sepasang mata Porak Supih sejak tadi tak berkejap-kejap merayapi kemulusan tubuh Roro ke setiap lekuk liku dengan pandangan mata membinar. Bahkan kata-kata Giri Mayang seperti tak didengarnya.
"Heh... heh... walau bagaimana tak kuperkenankan kau menyiksanya! Aku sudah benar-benar jatuh hati padanya... dan... aku... aku sudah tak kuat untuk menahan lagi!" Berkata Porak Supih seraya beranjak melangkah mendekati tubuh Roro yang meng gantung tak mau bergerak. Akan tetapi tiba-tiba...
"Tunggu...! Tak kuperkenankan pula kau menyentuhnya, kecuali..." Bentak Giri Mayang. Besi panas yang merah membara itu telah meluncur, menahan langkah tindakan kaki Porak Supih. Dan... besi panas itu cuma tinggal berjarak setengah jengkal dari leher Porak Supih. Terpaksa laki-laki ini hentikan langkahnya. Kedipan mata wanita itu membuat Porak Supih mengerti. Segera saja dia tertawa bergelak dan berkata.
"Beres...! untuk jasamu ini aku pasti akan membalas dengan yang lebih baik...!"
"Nah, beri aku lewat...! Kelak kalau sudah hilang penasaran ku, baru ku persilahkan kalau kau mau menyiksanya atau mencabut nyawanya...!" Lanjutnya dengan gerakan lengan menepiskan besi panas.
Aneh! serangkum hawa dingin telah menyambar besi panas membara itu, dan... Ceesss...! Terdengar bunyi seperti bara disiram air. Ujung besi panas yang merah membara itu seketika kembali menghitam keputih-putihan, serta menimbulkan asap tipis akibat pa damnya ujung besi membara itu. Dan... sekali lompat dia sudah berada di hadapan Roro. Sepasang lengannya bergerak untuk mendekap tubuh Roro Centil, dengan nafsu yang sudah menggelagak tak terbendung lagi...
Desss...! Braakkk...!
Terdengar suara jeritan parau disertai terlemparnya tubuh Porak Supih yang membentur dinding ruangan rumah, menimbulkan bergedubrakan. Dua tiang penyangga tempat menggantung tubuh Roro tahu-tahu telah patah berubah menjadi beberapa po tong. Dan tambang yang mengikat Roro telah putus. Bahkan Roro Centil sendiri sudah tak ada disana. Apakah yang terjadi?
Wukkk...! Tahu-tahu serangkum angin telah menyambar tubuh Giri Mayang yang terpukau dengan mata membelalak. Wanita itu terdengar teriakan tertahan, seraya jatuhkan diri bergulingan.
Prasss...! Tanah di tengah ruangan itu menyemburat berlubang. Tubuh Giri Mayang berguling guling menghindari serangan dahsyat yang tak diketahui siapa penyerangnya. Sambaran-sambaran angin dahsyat yang bisa membuat tubuhnya hancur luluh itu mengejar tubuhnya tiada henti.
Braakkkk...! Dengan satu teriakan keras, Giri Mayang berhasil menerobos keluar ruangan dengan melompat ke atas menjebol atap genting. Beberapa kejap kemudian wanita itu sudah jejakkan kaki di luar rumah. Terengah-engah nafas Giri Mayang. Wajahnya pucat bagai kertas. Jantungnya berdebaran. Akan tetapi baru saja dia bernafas lega, lagi-lagi angin keras menyambar dahsyat...
Blaarrr...! Batu-batu beterbangan hancur. Dan untuk yang kesekian kalinya wanita ini berhasil menyelamatkan diri dari maut dengan melompat tinggi mencelat pergi dari tanah yang dipijaknya. Jantungnya terasa copot, ketika dia jejakkan lagi kakinya di tanah, sebuah bayangan tubuh telah berkelebat dan sekejap telah berdiri di hadapannya.
"Hah...!???... Kka... kau... glek...! Giri Mayang menelan ludah. Terasa kelu tenggorokannya untuk berteriak kaget. Ternyata bagaikan area telanjang yang mengerikan sesosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil.
Yang membuat jantung Giri Mayang menyentak keras adalah di lengan dara ini telah tercekal sebuah kepala manusia yang dijambak rambutnya. Potongan kepala manusia itu tak lain dari kepala Porak Supih. Dara menetes turun memercik di atas batu yang di injaknya. Dan seluruh Rambut Roro Centil berdiri menegang ke atas bagaikan duri-duri landak.
Sepasang matanya memancarkan hawa pembunuhan yang membuat nyali Giri Mayang seketika seperti meleleh. Keringat dingin men gembun dan menetes dari sekujur tubuhnya. Seolah olah dia tidak melihat manusia lagi, akan tetapi seperti melihat malaikat maut yang berdiri di hadapannya.
"Alih.... am... ampuni... nya.. nyawaku.. nona... nona Pendekar!" Berkata Giri Mayang dengar suara gemetar.
Akan tetapi sebelah lengan Roro Centil malah terangkat ke arahnya. Tersentak Jantung wanita ini. Sebelum sesuatu yang mengerikan terjadi, Giri Mayang telah genjot tubuhnya untuk kabur. Cepat sekali Giri Mayang angkat langkah seribu menyelamatkan jiwanya. Nyalinya sudah hilang lenyap untuk menghadapi Roro Centil yang sudah berubah mengerikan. Ternyata Roro Centil batalkan menghantam wanita itu dengan pukulan dahsyatnya. Lengan bergerak menjumput sebutir batu. Sekali remas hancurlah batu itu jadi beberapa kerikil kecil. Dan...
Wuurrr...! Segenggam kerikil itu sudah meluncur deras mengejar tubuh Giri Mayang yang berlompatan melarikan diri. Terdengar suara menjerit wanita itu. Tubuhnya menggelinding jatuh. Akan tetapi segera bangkit lagi dengan tubuh luka-luka. Beberapa butir kerikil telah membenam di anggota tubuhnya. Dan Giri Mayang terus berlari jatuh bangun. Hingga beberapa saat kemudian sudah lenyap dibalik batu tebing.....
Ternyata Roro Centil tidak mengejar. Melainkan berkelebat kembali menuju ke rumah pandai besi, tempat tinggal sementara Giri Mayang alias si Kelabang Kuning itu. Whuusss...! Dia telah lemparkan kepala Porak Supih ke arah sungai di belakang si pandai besi. Lalu berkelebat masuk kembali ke dalam rumah.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi, hingga Roro dapat terlepas dari belenggu dan pengaruh totokan pada tubuhnya? Kiranya diam-diam Roro Centil telah berhasil melepaskan diri dari pengaruh totokan. Hawa murni yang dikumpulkan di pusar berhasil menyebar untuk membuka totokan. Roro Centil memang mempunyai tenaga dalam tinggi yang sudah jarang tandingannya.
Pengaruh totokan si nenek mata juling sebenarnya telah sirna karena Roro terus menerus kerahkan tenaga dalam untuk mengalirkan hawa murni ke sekujur tubuhnya. Akan tetapi Roro Centil memang belum mampu bertindak, karena untuk mengembalikan kenormalan aliran darah memakan waktu beberapa saat lagi.
Tak dinyana Giri Mayang telah menambahnya dengan totokan lagi, memperkuat totokan si nenek mata juling. Bahkan lalu membuka pakaiannya. Selanjutnya telah mengikat kedua lengannya. Lalu menggantung tubuhnya pada dua tiang penyangga balok. Pada saat besi panas membara itu sudah siap menggores kulit tubuh, sebenarnya Roro sudah terlepas dari pengaruh totokan Giri Mayang yang berhasil tembus oleh hawa murni dari dalam tubuh Roro. Demikianlah, hingga kemudian muncul Porak Supih...
Ketika Porak Supih rentangkan tangannya untuk memeluk tubuh Roro, si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini langsung hantamkan kakinya hingga tubuh Porak Supih terlempar dengan tulang-tulang bagian dalam tubuhnya remuk. Lalu memutuskan tali dan menghantam kedua penyangga itu hingga patah menjadi beberapa potong. Selanjutnya menerjang Giri Mayang, yang ternyata masih mampu menyelamatkan diri.
Ketika Giri Mayang menjebol atap wuwungan, Porak Supih ternyata masih bisa lakukan serangan bokongan dengan hamburan ratusan jarum beracun! Untunglah Roro Centil punya naluri yang teramat peka. Sambaran halus dari serangkuman senjata rahasia itu berhasil dipunahkan dengan kibasan rambutnya.
Selanjutnya dengan geram, Roro Centil balik kan tubuh. Dan apakah yang di lakukannya? Ternyata sekali lengannya bergerak, Roro telah puntirkan kepala orang dengan menjambak rambutnya. Sekali sentakkan, putuslah kepala itu dari tubuhnya. Selanjutnya melesat mengejar Giri Mayang. Dan kembali menghantam wanita itu dengan pukulan-pukulan maut. Namun berakhir dengan mengalahnya Roro Centil, karena Roro memegang janji. Hingga loloslah Giri Mayang dari maut....
Ketika Matahari merayap naik hampir tepat di atas kepala, Roro Centil sudah tinggalkan lereng bukit yang telah membawa peristiwa maut. Terdengar suara helaan napas si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Pelbagai peristiwa telah banyak dialami. Akan tetapi pengalaman barusan telah membuka matanya betapa banyaknya manusia licik di kolong jagat ini. Juga manusia-manusia berakhlak bejat yang mengumbar nafsu seenaknya.
Porak Supih ternyata sudah dikenali Roro Centil, ketika dalam salah satu pengembaraanya mendengar akan kebrutalan laki-laki aneh beranting anting sebelah itu. Entah berapa banyak suami dari wanita-wanita yang diingini telah dibunuh. Dan memperkosa mereka. Bahkan tidak jarang wanita yang sudah hamil akibat perbuatannya itu dibunuhnya pula.
Roro pernah mengejar Porak Supih untuk menangkapnya dan menyerahkannya pada seorang Tumenggung di salah satu wilayah Kerajaan kecil dipesisir laut Pulau Jawa di wilayah selat Sunda. Akan tetapi Porak Supih berhasil meloloskan diri. Hingga ketika me jumpai Porak Supih muncul di hadapannya, Roro tak memberinya kesempatan untuk hidup lagi. Dengan perdengarkan suara tertawa tawar, Roro Centil berkelebat menuju ke arah barat...
DELAPAN
Tiga hari tiga malam telah dilewati Adhinata yang mendekam di dasar sumur. Selama itu tak ada lain pekerjaan Adhinata selain menghitung-hitung jari jari tangan dan kakinya. Atau mencabuti bulu-bulu yang tumbuh di badannya. Kalau sudah bosan dengan "pekerjaan" itu tak ada lagi keisengan lain selain makan lumut. Dan kalau perutnya sudah kenyang terisi, hawa mengantuk pun datang. Tidurlah dia dengan menggeros.
Demikianlah nasib Adhinata selama terku rung di dasar sumur. Tak terasa haripun kembali men jadi gelap lagi. Datangnya malam ternyata begitu cepat, karena bila hawa dingin menyelimuti sekitar lubang Adhinata cuma bisa menggigil kedinginan. Untunglah ingatannya mulai agak pulih, dan dia dapat segera salurkan hawa hangat dari tenaga dalamnya untuk mengusir hawa dingin yang menyungsum tulang.
Adhinata memang sudah tak perduli lagi akan nasibnya. Bahkan sudah tak ingat lagi berapa hari sudah dia bersemayam di dasar sumur itu. Pada hari ke sembilan pemuda ini kerutkan keningnya, karena mendengar suara jeritan kaget dari atas lubang. Dan bersamaan itu batu-batu kecil berjatuhan meluruk atas kepala. Alangkah terkejutnya Adhinata ketika menengadah ke atas, melihat sesosok tubuh melayang ke bawah.
"Haaii...! ada orang terperosok ke lubang sialan ini...!" Sentaknya kaget. Tak ayal dia sudah bangkit berdiri. Dan.... tentu saja lengannya dengan cepat segera terentang untuk selanjutnya sudah menangkap tubuh orang yang jatuh terperosok itu.
Krepp...! Sekejap kemudian sosok tubuh itu sudah berada dalam rengkuhan sepasang tangannya yang kuat. Orang itu perdengarkan suara keluhan lirih. Segera saja Adhinata sudah dapat menduga kalau sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Karena terasa ada dua buah benda lunak yang menempel ke dada.
"Bagus...! kebetulan, kini aku punya seorang teman...!" Berdesis mulut Adhinata dengan sepasang matanya membeliak lebar memperhatikan wajah orang. Akan tetapi tiba-tiba wajah Adhinata berubah pucat. "Celaka...! aku tak boleh menyentuhnya!" desisnya kaget.
Dan serta-merta Adhinata melepaskan pondongannya. Tubuh wanita itu jatuh berdebam ke tanah lembab. Dan Adhinata melompat ke sisi lubang. Jantungnya berdetak keras. Sepasang matanya memperhatikan tubuh wanita itu dengan cemas. Segera terbayang akan apa yang bakal terjadi. Tak lama lagi di tempat itu akan ada sesosok mayat yang daging tubuhnya mencair, menimbulkan bau busuk. Ooh, alangkah tidak menyenangkan...!
Akan tetapi ditunggu sekian lama tak ada terjadi apa-apa dengan wanita itu. Bahkan si wanita itu sendiri sudah membuka sepasang matanya. Dan menggeliat untuk bangkit berduduk. Sepasang matanya menatap pada Adhinata dengan tatapan heran. Bibirnya tampak tergetar berucap.
"Ah... siapakah.. anda...?"
"Heh? kau tak apa-apa...? Aneh...! Tubuhku mengandung racun! Aku... aku telah menyentuh mu...! Sukurlah kau tak apa-apa...! Namaku Adhinata!" Tukas Adhinata dengan wajah gerang melihat wanita itu tak terkena racun. Hal itu amat mengherankan Adhinata. Hingga terlongong Adhinata menatap wanita itu yang tak lain dari Giri Mayang adanya.
Entah apa yang terjadi hingga wanita telegas itu bisa jatuh terperosok ke dalam lubang. Giri Mayang sendiri pun terlongong keheranan, karena tak menyangka dirinya masih hidup. Dia memang dalam keadaan tanpa daksa. Beberapa luka ditubuhnya akibat serangan Roro Centil dengan batu kerikil, telah mematikan beberapa urat jalan darah di tubuhnya.
Dia memang berhasil meloloskan diri dari maut karena Roro tak mengejar. Bahkan tak memperdulikan lagi pada Wanita itu. Padahal Giri Mayang masih belum beberapa jauh, karena tak dapat berlari cepat. Bergelindingan tubuh Giri Mayang dengan luka-luka pada tubuhnya. Namun dia masih bisa bangkit untuk berlari dan berlari... Kembali kakinya tersaruk, dan dia jatuh terguling. Kali ini dia tak dapat bangkit lagi. Seluruh urat darahnya terasa ngilu. Dan mengeluhlah dia panjang pendek.
Untunglah Roro Centil tak menampakkan diri. Namun begitu takutnya Giri Mayang, hingga dia sembunyi dibalik sebongkah batu. Demikianlah. Berhari hari dia harus menahan lapar karena tubuhnya tak dapat digerakkan sama sekali. Luka-luka kecil pada sekujur tubuhnya mulai membengkak. Merintih dia menahan sakit.
Akhirnya dengan kuatkan diri dia me rangkak untuk mencari makanan yang bisa dimakan. Sekitar tempat itu amat gersang. Cuma batu-batu melulu yang terlihat. Susah payah dia mendaki lereng lereng berbatu terjal itu dengan setengah menangis. Siang hari yang panas terik itu dia telah hampir tiba di ujung bukit batu. Beberapa tombak lagi sudah terlihat hutan dengan pepohonan yang menghijau. Dia mengharapkan akan menjumpai sebuah desa. Atau seorang penduduk desa yang lewat. Dan akan selamat lah dia dari penderitaan.
Akan tetapi sungguh tragis. Di saat dia sudah berjuang setengah mati, justru berakibat fatal. Akar pohon beringin yang di raihnya telah terlepas karena kakinya tergelincir. Dan... menggelindinglah tubuhnya ke bawah tebing. Sungguh sukar disangka kalau ternyata Giri Mayang telah terjerumus masuk ke sumur dimana Adhinata berada di dasarnya. Itulah peristiwa yang telah dialami wanita itu.....
"Ah... terima kasih atas pertolonganmu...!" Berkata Giri Mayang dengan wajah menampilkan kegirangan luar biasa mendapati dirinya masih dapat se lamat dari maut untuk yang kesekian kalinya.
"Tampaknya kau terluka, kulihat banyak bekas darah sekujur tubuhmu...!" Berkata Adhinata dengan menjalari sekujur tubuh wanita itu dengan pandangan matanya.
"Benar...!" sahut Giri Mayang. "Akan tetapi luka-luka ini bukan bekas aku jatuh menggelinding, melainkan aku diserang musuh besarku!" sambungnya lirih. Adhinata kerutkan lagi alisnya.
"Siapa musuh besarmu...?" Tanya Adhinata.
Pertanyaan itu membuat wajah Giri Mayang jadi berubah seketika. Sepasang matanya memancarkan cahaya dendam yang berapi-api. Bibirnya tergetar mengucap kan kata-kata... "Dialah yang bernama Roro Centil. Wanita iblis itu telah menyiksaku setengah mati. Heh! kelak aku akan membalasnya perlakuan kejinya!"
Sementara Adhinata diam-diam mulai memperhatikan wajah wanita itu yang menurut pandangannya cukup cantik. Dan hatinya ternyata telah tertarik padanya.
"Musuh besarmu itu kalau aku bisa keluar dari dalam sumur celaka ini pasti aku lumatkan tubuhnya! siapakah namamu, nona...?" Bertanya Adhinata. "Namaku Giri Mayang. Dan kau... mengapa bisa berada didalam sumur ini?" Tanya pula Giri Mayang setelah menjawab pertanyaan Adhinata. Hahaha. nasibku sama seperti nasibmu. Aku pun Jatuh terperosok ke dalam sumur celaka ini karena dikejar orang!" jawab Adhinata.
"Dikejar orang? Apakah kesalahanmu?"
"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat. Apapun benda bernyawa yang ku sentuh pasti mengalami keracunan hebat, dan... mati! Itulah sebabnya aku terperosok ke dalam lubang celaka ini, karena menghindari buruan dari manusia-manusia yang ingin membunuhku! Dan yang mengejarku waktu itu adalah si perempuan bernama Roro Centil, yang khabarnya adalah seorang Pendekar Wanita yang berilmu tinggi!" Tutur Adhinata.
Tercenung Giri Mayang dengan menatap heran. Mengapa nasib mereka bisa hampir bersamaan? Pikir Giri Mayang. Mendengar penuturan bahwa tubuh pemuda itu mengandung racun yang amat hebat, justru membuat dia bertanya.
"Kau katakan tubuhmu mengandung racun, mengapa kau telah menyentuh ku aku tak mengalami keracunan apa-apa?"
"Itulah anehnya...! Aku sendiri juga heran. Padahal aku sudah menduga kau pasti tewas! Bahkan si Ririwa Bodas musuh guruku si Raja Racun telah tewas karena beradu pukulan dengan denganku!" Berkata Adhinata. Sekonyong-konyong ingat akan hal itu. Padahal Adhinata sebelumnya ingat sama sekali.
"Ha...? Jadi kaukah yang telah membuat kematian Ririwa Bodas?" Tanya Giri Mayang dengan tersen tak kaget.
"Hahaha... Benar! Bahkan si Raja Racun sendiri yang telah ku angkat sebagai guru baruku juga tewas karena terkena racun tubuhku...!"
Melengak Giri Mayang. Tahulah kini dia kalau sebenarnya Adhinata Adalah orang yang pernah disebut gurunya, yaitu si Ririwa Bodas untuk bertarung mengadu kesaktian dengannya. Dan sang guru sendiri juga akan mengadakan pertarungan mengadu kesaktian dengan si Raja Racun itu. Tak dinyana Giri Mayang tak mengetahui lagi nasib sang guru. Karena belum waktunya tiba saat perjanjian pertarungan mengadu kesaktian, Giri Mayang telah kena dipecundangi Roro Centil.
Giri Mayang memang segera kembali untuk menjumpai gurunya. Namun goa tempat tinggal sang guru telah runtuh teruruk, entah akibat gempa entah dihancurkan orang. Tak diketahuinya lagi kemana lenyapnya sang guru. Namun akhirnya dijumpainya juga mayat si Ririwa Bodas yang segera dikenali olehnya. Akan tetapi sudah dalam keadaan hampir tinggal tulang belulang. Cuma dari ruas tulang dan sepasang tulang kaki yang amat besar itulah menguatkan dugaannya kalau kerangka dengan daging membusuk itu adalah kerangka mayat si Ririwa Bodas.
Seperti sudah menjadi kebiasaannya Giri Mayang selalu berhasil mencari pengganti guru. Si Ririwa Bodas itu entah gurunya yang ke berapa. Akan te tapi kesemuanya itu dibunuh mati olehnya setelah mendapatkan ilmu, tentu sang guru tewas dibunuh orang. Karena hampir rata-rata guru yang menjadi pilihannya adalah tokoh-tokoh golongan hitam. Sukar diduga kalau ternyata kedua orang murid dari dua tokoh golongan hitam itu bisa bertemu. Dan kejadian ini terjadi kelak akan membuat gemparnya dunia persilatan. Dan gegernya wilayah Kota Raja.
Beberapa bulan kemudian....
"Suamiku Adhinata...! kita akan jadi sepasang manusia yang ditakuti dan berkuasa di Rimba Hijau! Bagaimana kalau kita merebut sebuah Kerajaan kecil dipantai pesisir Pulau Jawa. Setelah puas kita bersenang-senang, segera kita rebut kerajaan lainnya satu persatu. Wilayah kerajaan kita akan menjadi semakin besar dan luas! Hihihi dengan kehebatan racun yang berada di tubuhmu, dengan mudah kita akan menumpas siapa saja yang tak kita ingini, termasuk si Roro Centil itu! Bahkan masih banyak lagi kaum pendekar golongan putih musuh-musuh kita yang harus kita tumpas sampai tuntas! Dan... selama itu aku akan tetap setia di sampingmu...!" Berkata Giri Mayang.
Wanita ini duduk di atas punggung kuda yang tetap, kekar berkulit coklat kehitaman. Pakaiannya dari kain sutera yang mahal dengan bermacam perhiasan tergerai di leher, lengan dan kaki. Tiga buah tusuk konde emas terselip digelung rambutnya. Tak ubahnya Giri Mayang bagaikan istri seorang bangsawan kaya raya. Atau bisa pula mirip seorang permaisuri sebuah Kerajaan.
Sementara Adhinata berpakaian warna abu-abu dengan ikat pinggang emas. Sebuah keris terselip di belakang punggungnya. Ikat kepalanya bersulamkan benang emas yang gemerlapan. Pada Ikat pinggangnya tergantung sebuah buntalan kecil yang sudah dapat diduga berisi uang emas dan perhiasan.
SEMBILAN
ADHINATA berjalan pelahan menuntun kuda yang dinaiki Giri Mayang. Tak ubahnya bagaikan seorang anak bangsawan yang menuntun kuda seorang putri Raja. Sedangkan di belakangnya adalah sebuah rumah gedung milik seorang pembesar kerajaan yang sudah dalam keadaan porak poranda. Puluhan mayat bergelimpangan dengan keadaan mengerikan. Karena hampir setiap mayat tak ada yang bertubuh utuh. Masing-masing sudah mirip tengkorak, dengan daging membusuk yang menimbulkan bau tak sedap.
"Apapun yang kau ingini pasti akan aku kabulkan, isteriku...! Apakah kau tak berhasrat menempati gedung Pembesar Kerajaan ini...?"
"Heh! aku sudah bosan berdiam di wilayah ini. Bukankah kita ini Pengantin baru? Aku ingin berbulan madu di tempat yang tenang. Kejadian ini pasti akan menggemparkan wilayah Kota Raja. Dengan demikian apakah kita bisa mendapat ketenangan?" Tukas Giri Mayang.
"Hahaha... kau benar istriku! Marilah kita cepat tinggalkan tempat ini. Kulihat cuaca sudah hampir gelap!" Berkata Adhinata. Lalu melompat ke atas punggung kuda di belakang Giri Mayang. Sebelum keprak kudanya, pemuda ini peluk dulu tubuh "istri"nya dengan mesra. Bahkan menciumnya dengan gairah.
"Hihihi... sudahlah, suamiku...! Mari kita berangkat!" Berkata Giri Mayang dengan suara lirih Adhinata mengangguk. Dan... sesaat kemudian seekor kuda dengan dua orang penunggangnya telah mencongklang lari dengan pesat meninggalkan tempat itu.
Sementara dilangit cuaca mulai semakin gelap. Awan hitam menyebar ke arah barat dengan hembusan angin cukup kencang. Kuda dengan dua penunggang itu semakin menjauh. Dan akhirnya lenyap dibalik tikungan jalan menuju kesatu rumput sisi hutan.
* * * * * * *
Tiga orang prajurit tampak berlari-lari memasuki pintu gerbang Istana. Empat orang Kepala Pengawal segera menyongsongnya. Mereka baru saja mau berangkat menjalankan tugas, dengan beberapa belas prajurit yang telah disiapkan.
"Hai...! Apa yang telah terjadi? Cepat katakan!"
Salah seorang prajurit segera bicara dengan tanggap keterangan tergagap. "Celaka...! Gedung gusti telah kemasukan sepasang perampok! Mereka telah membunuhi prajurit. Entah bagaimana nasib gusti Patih sendiri hamba tak mengetahui...!" Ujarnya, lalu lanjutkan laporannya. "Pembunuhan itu seram sekali! pu... puluhan prajurit dan rakyat sekitar yang turut menempur kedua perampok itu telah mati keracunan...!"
Ketiganya adalah prajurit-prajurit dari gedung kepatihan yang masih tinggal hidup dan sempat meloloskan diri dari maut. Terbelalak empat pasang mata ke empat kepala pengawal itu. Segera hampir berbareng mereka berkata tertahan.
"Manusia Beracun...!" sentak mereka kaget. Celaka...! manusia itu telah muncul lagi! kita terlambat mengetahui!" Berkata salah seorang dengan wajah pucat.
"Cepat beri laporan pada gusti Senapati...!" perintah seorang kepala pengawal pada anak buahnya. Segera salah seorang prajurit berlari memasuki ruang pendopo. Akan tetapi justru Senapati Kerta Bum! telah muncul di pintu pendopo Istana.
"Manusia Beracun itu telah muncul, gusti Senapati...!" lapor prajurit itu. Lalu laporkan apa yang di dengar tadi. Laporan singkat itu membuat wajah Senapati Kerta Bumi berubah pucat.
"Bagaimana nasib Ki patih!?" tanya Senapati Kerta Bumi.
"Entahlah, menurut yang kami dengar belum diketahui nasibnya...!" sahut prajurit itu. Ke empat kepala pengawal segera datang menyusul untuk menghadap.
"Benarkah laporan yang kudengar bahwa si Manusia Beracun membantai prajurit di Kepatihan?" Tanya Senapati Kerta Bumi.
"Benar sekali gusti Senapati, cuma tiga orang prajurit itu yang berhasil meloloskan diri. Si manusia beracun itu bersama seorang wanita. Mereka merampok dan membunuhi para pengawal...!" tutur salah seorang kepala pengawal.
Senapati Kerta Bumi segera perintahkan ketiga prajurit kepatihan itu untuk menghadap dan melapor sekalian pada Baginda Raja. Dari keterangan ketiga prajurit itu segera diketahui siapa adanya wanita pendamping si manusia beracun. Yaitu Giri Mayang. Karena mereka telah mengenali wanita itu, yang pernah membuat heboh dengan ular-ular si luman ciptaan gurunya membunuh habis keluarga Adhipati Banjaran.
Tercenung Senapati Kerta Bumi. Ada perasaan ngeri juga di hatinya. Akan tetapi dia segera perintahkan empat kepala pengawal yang baru diangkat belum lama itu untuk segera membagi tugas menyelidiki, menguntit kemana kepergiannya si Manusia Beracun.
Empat kepala Pengawal segera membagi tugas pada kelompok prajuritnya. Lalu bergegas menuju ke wilayah gedung Kepatihan yang terletak di sebelah timur Kota Raja. Pengejaran untuk menyelidiki kemana perginya si Manusia Beracun ternyata mengalami kegagalan. Karena si manusia beracun sudah lenyap meninggalkan wilayah itu. Tak seorangpun menemukan jejaknya.
Kejadian mengerikan itu telah membuat Senapati Kerajaan Sunda Kelapa itu merobah keputusan untuk menumpas si Manusia Beracun, yang sudah jelas diperalat oleh Giri Mayang, si wanita yang masih menjadi buronan Kerajaan. Ratusan laskar telah disebar ke segenap penjuru wilayah Kerajaan Sunda Kelapa. Demikianlah kekalutan yang melanda di wilayah kerajaan itu. Ternyata ki Patih Lengser Sheta telah tewas berikut seluruh keluarganya, yang didapati para prajurit penyelidik di dalam kamarnya...
Kejadian ini hampir mirip dengan kematian Adhipati Banjaran yang tewas oleh ular-ular siluman. Bedanya kini si Manusia Beracun itulah yang membuat mayat-mayat bergelimpangan, dan membunuh habis keluarga Patih Kerajaan Sunda Kalapa. Hujan turun yang turun rintik-rintik membuat suasana di halaman gedung Kepatihan tampak semakin seram juga mengharukan.
Tak seorang pun dari para petugas Kerajaan yang berani menyentuh mayat yang berkaparan itu. Dan akhirnya mereka menyingkir dari gedung Kepati han karena datangnya malam yang gelap gulita mem buat mereka ngeri untuk berjaga di sekitar gedung itu.
* * * * * * *
DUA HARI KEMUDIAN. Menjelang pagi, di sebuah jalan desa... Matahari baru saja merayap naik ke ujung bukit ketika seekor kuda dengan dua penunggangnya sepasang sejoli yang mirip orang-orang bangsawan itu melintasi jalan desa.
"Kita akan terus kemana, istriku...?" Bertanya Adhinata. Sepasang lengannya memeluk pinggang Giri Mayang. Duduk berdua di punggung kuda dengan sepanjang jalan bermesraan begitu saja tentu saja mengundang perhatian orang. Bahkan tiga anak kecil yang tengah bermain segera hentikan permainannya untuk menatap pada mereka.
"Kita sudah berada di wilayah tenggara. Desa ini tampaknya tenang dan damai. Bagaimana kalau kita berbulan madu di desa ini saja...?"
"Aha, boleh juga! Tapi kita harus bersikap baik pada mereka."
"Bagus! saat ini kita memang kita membutuhkan ketentraman. Usulmu baik sekali. Hi hi hi... siapa tahu kau jadi kepala desa di sini!" Ucap Giri Mayang dengan suara berbisik. Sementara sepasang matanya menatap pada ketiga bocah yang tengah menatap mereka. Giri Mayang gerakkan lengannya menggapai. "Hei, anak-anak manis kemarilah!" panggilnya. Takut takut salah seorang anak menghampiri. "Bagus! siapa namamu...?" tanya Giri Mayang.
"Namaku...ng... Masiro..." sahut bocah itu den gan lugu.
"Kau tahu apakah nama desa ini...?"
"Desa Tembiling...!" Sahut anak itu.
"Aha...! bagus! Coba tunjukkan yang manakah rumah kepala desa..?" Tanya pula Giri Mayang.
"Kepala desa belum lama meninggal, itulah rumahnya!" Sahut anak itu seraya menunjuk pada sebuah rumah panggung yang cukup besar berhalaman bersih.
Tentu saja membuat Giri Mayang jadi melengak. "Kebetulan sekali...!" Desisnya perlahan pada Adhinata. Adhinata mengangguk-angguk dengan terse nyum lebar. Girang sekali Giri Mayang, segera lengannya merogoh saku bajunya. Dan..
"Hihihi... terimalah ini, persenan untukmu!" ujarnya seraya berikan sekeping uang perak. Akan tetapi anak ini tampaknya takut untuk menerima.
"Hai, terimalah...!" Ujar Giri Mayang lagi. Barulah bocah itu mau menerimanya. Lalu Giri Mayang gapaikan lengannya pada dua bocah lainya yang masih berdiri terlongong.
Bergegas kedua anak kecil itu mendatangi. Dan Giri Mayang pun berikan pula pada ke dua bocah itu masing-masing sekeping uang perak. Tentu saja ketiga bocah itu girang nya bukan main, hingga tak sempat mengucapkan terima kasih segera menghambur lari dengan teriakan girang.
Tersenyum Giri Mayang dan Adhinata dengan berpandangan. Tak lama Giri Mayang sudah menjalankan kudanya untuk mendatangi rumah Kepala Desa itu. Setelah bercakap-cakap dengan seorang wanita yang ternyata adalah janda Kepala Desa Tembilang, tampak kedua sejoli itu beranjak masuk ke rumah panggung. Tentu saja mereka mendapat penyambutan luar biasa sebagai "tetamu terhormat" istri mendiang Kepala Desa Tembilang itu. Tak memakan waktu lama penduduk bermunculan mengerumuni ketiga bocah tadi.
"Baik sekali nona Cantik itu, kami diberinya masing-masing sekeping uang...!" Berkata Masiro den gan bangga, dan menujukkan kepingan uang perak di telapak tangannya.
Tentu saja membuat mereka terke jut, karena sekeping uang perak itu nilainya bukan sedikit. "Ah, bangsawan dari manakah yang singgah ke desa kita? berkata salah seorang.
"Entahlah tapi desa kita tampaknya bakal mengalami keberuntungan dengan kedatangan suami istri bangsawan itu. Mereka seorang yang dermawan...!" Ujar seorang kakek yang memegangi lengan salah seorang bocah tadi. Ternyata bocah itu cucunya.
SEPULUH
Dengan menunjukkan sikap kedermawanannya, Giri Mayang berhasil menaruh simpati penduduk. Bahkan rumah kepala desa itu telah dibelinya. Di bayarnya dengan harga mahal untuk ditempati sejoli itu. Tentu saja istri mendiang si Kepala Desa itu tak dapat menolak, bahkan merasa suka-cita.
Karena dia memang amat memerlukan biaya untuk menghidupi anak dan keluarganya. Dengan uang itu dia bisa membangun rumah lagi sisanya bisa dibelikan kebun. Demikianlah, Giri Mayang dan Adhinata menempati rumah bekas Kepala Desa itu yang telah dibelinya. Beberapa pembantu ditempatkan pada rumah itu untuk melayani keperluannya.
Rasa simpati penduduk akhirnya telah menimbulkan kesepakatan para tetua desa Tembilang untuk mengangkat Adhinata sebagai Kepala Desa pengganti Kepala Desa lama yang telah meninggal. Mereka beranggapan apa salahnya jabatan itu diberikan pada bangsawan muda itu, karena toh mereka telah menetap di desa mereka.
Tanpa banyak liku-liku Adhinata ditetapkan sebagai pengganti Kepala Desa Tembilang. Tentu saja Adhinata tak menolak, dan dengan basa-basi yang menarik hati seolah terpaksa menerima pengangkatan itu secara terpaksa, Adhinata berujar,
"Sebenarnya tak ada niatku untuk menjabat Kepala Desa disini, tapi karena kalian berkehendak agar desa ini ada pemimpinnya, terpaksa aku tak dapat menolak keinginan kalian...!" Ucap Adhinata, yang segera diiringi dengan tepukan riuh.
Dan tetua-tetua desa memberikan ucapan selamat dengan menyalami sang Kepala Desa baru me reka. Begitu juga Giri Mayang yang mendapat jabatan tangan dari semua penduduk desa Tembilang sebagai istri dari Kepala Desa muda itu.
Kegembiraan rakyat desa Tembilang ternyata di iringi bermacam upacara adat yang disaksikan sang Kepala Desa baru itu bersama istrinya. Menjelang senja upacara itu usailah sudah. Para penduduk tampak puas dapat menyuguhkan upacara pengangkatan Kepala Desa mereka dengan amat meriah.
Selesai dengan semua itu, Giri Mayang meraih tangan Adhinata untuk segera dituntun masuk ke dalam kamar yang telah di atur rapi oleh pembantu rumah. Lega sekali perasaan Giri Mayang, karena begitu pintu kamar ditutup rapat segera dia sudah memeluk Adhinata erat-erat.
"Selamat...! selamat, tuan ku Kepala Desa...!" ucap Giri Mayang dengan gembira. "Ahaai... akhirnya kita bisa tinggal di desa ini dengan tentram dan bulan madu kita akan terasa bahagia sekali..."
"Benar istriku...! Kini kau telah jadi istri seorang Kepala Desa Tembilang! hahaha...!" Berkata Adhinata seraya pondong tubuh Giri Mayang ke tempat tidur.
Ketika sang malam merayap, lengan Giri Mayang pun merayap pula menyingkirkan sesuatu yang menghalangi tubuh Adhinata. Sementara dia sendiri sudah tanggalkan pula pakaian mahalnya untuk berganti dengan selimut. Ketika "selimut" hangat itu meneduhi tubuhnya, wanita "bangsawan" itu pun perdengarkan keluhan nikmat.
Terasa sekali bahagianya jadi istri seorang Kepala Desa. Terasa sekali bahagianya berbulan madu di desa Tembilang yang tentram itu. Terkadang terpikir juga dibenak Giri Mayang, alangkah bahagianya jadi orang baik-baik. Dihormati orang, dihargai sesama manusia. Sayang semua itu cuma selintas karena nafsu telah lebih unggul dari jiwanya. Jiwanya yang tadinya murni telah dirusak, setelah dikotori dan dirasuki nafsu-nafsu sesat. Hingga kotorlah dan rusaklah jiwa murninya...!
Dan ketika desah-desah napas Adhinata menghembusi telinganya, Giri Mayang telah lupakan pikiran baik dibenaknya. Direngkuhnya laki-laki hebat itu dengan nafsu yang menggelora. Sementara Adhinata yang masih "hijau" itu mendesah puas dengan tenaga mulai mengendur.
Tak lama dia sudah terlena dengan tak memikirkan apa-apa lagi. Bahkan tak lama lagi sudah terdengar suara dengkurnya membaur dengan suara jengkerik malam di sisi rumah panggung. Berlainan dengan Giri Mayang. Dia masih belum bisa pejamkan mata. Khayalnya jauh melambung setinggi langit. Puaskah dia dengan "bersuamikan" Adhinata si Manusia Beracun itu menurut ukuran nafsunya?
Tidak! Giri Mayang cuma mau memperalat si Manusia Beracun demi cita-citanya. Dan untuk jadi seorang "istri" setia yang "menikah" tanpa saksi dan penghulu di dasar sumur berbau pengap itu, nanti dulu...! Giri Mayang bukan type wanita macam begitu. Istri teladan. NO! Kalau istri serong... YES! Baginya 100 jejaka tulen yang disuguhkan kepadanya masih belum cukup untuk waktu singkat sekalipun. Demikianlah watak dan pribadi Giri Mayang, si wanita pendendam yang punya 1001 akal licik di benaknya.
Diam-diam Giri Mayang memaparkan aji panyirep untuk tak membuat bangun Adhinata sampai pagi. Bermacam-macam ilmu memang ada dipunyainya. Akan tetapi semua itu dipelajarinya tidak sampai tuntas, karena sering berganti guru. Dan ilmu Aji Panyirep yang dapat membuat orang tidur pulas itu untuk pertama kalinya dicobakan pada Adhinata.
Tak lama dia sudah bangkit dari tempat tidur. Bergegas mengenakan pakaiannya. Dan... di malam yang larut itu, sesosok tubuh melompat dari jendela rumah Kepala Desa baru itu dengan tak menimbulkan suara. Selanjutnya setelah menutupkan kembali daun jendela, sosok tubuh itu berkelebat, dan lenyap di kegelapan malam. Apakah yang dilakukan Giri Mayang? Ternyata mencari sesuatu yang baru untuk pelengkap hasratnya. Tentu saja dia harus mencari penyalur hasratnya itu di luar desa Tembilang.
Senyapnya malam itu tidaklah mengganggu langkahnya. Tak berapa lama kakinya sudah menginjak sebuah desa di wilayah barat dari desa Tembilang. Gerakannya memang telah kembali gesit, sejak Giri Mayang sembuh dari luka-lukanya. Peristiwa di dasar sumur yang secara kebetulan bertemu dengan Adhina ta telah membuat Giri Mayang bagaikan "bersayap" lagi.
Sungguh sangat sukar diduga kalau secara tak sengaja Adhinata telah memakan lumut aneh di dasar sumur yang memulihkan kenormalan tubuhnya. Racun yang mengendap di tubuhnya secara berangsur telah berpadu dengan lumut aneh berkhasiat yang dimakannya, justru hal itu membuat lenyapnya pengaruh racun ditubuhnya.
Hingga Giri Mayang tak terkena pengaruh racun luar biasa ketika menyentuh tubuhnya. Satu keanehan lagi adalah lumut di dasar sumur itu menyembuhkan pula luka-luka Giri Mayang dan membuat normal kembali jalan darahnya yang tersumbat akibat serangan Roro Centil oleh batu kerikil.
Demikianlah, keduanya akhirnya bersatu hati untuk mencari jalan keluar dari dasar sumur itu. Bahkan untuk memperkuat kesepakatan mereka yang senasib dan sehidup semati, akhirnya mereka menyatakan diri mereka sebagai suami istri. Tentu saja di dasar sumur itu Adhinata untuk pertama kalinya mengecap nikmatnya menjadi pengantin baru. Apalagi sang "istri" adalah seorang yang sudah berpengalaman. Hingga membuat Adhinata semakin mencintai wanita itu.
Demikianlah. Dengan menggali lubang di dinding sumur untuk injakan kaki, mereka bersatu padu dan saling membantu untuk merayap naik ke atas. Jerih payah yang mereka lakukan beberapa hari itu ak hirnya membuat mereka berhasil keluar dari dasar sumur itu. Dan tiba di atas dengan selamat. Tentu saja membuat kedua sejoli girangnya tak dapat diutarakan.
Girl Mayang ternyata berotak cerdik, walau jiwanya sesat. Mengetahui keanehan yang terjadi pada tubuh Adhinata yang telah lenyap pengaruh racun di tubuhnya setelah makan lumut ajaib itu membuat dia berpikir keras. Giri Mayang tak merasa yakin kalau racun di tubuh Adhinata bisa lenyap selamanya, karena pada pergelangan lengan dan kaki Adhinata masih terbelit gelang-gelang racun ciptaan si Raja Racun.
Oleh sebab itu dia segera usulkan agar Adhinata mengetes gelang besi itu, apakah masih mengandung racun atau tidak. Pendapatnya racun di tubuh Adhinata tak bisa lenyap dengan begitu saja dengan cuma memakan lumut. Dan bila khasiat lumut ajaib itu sudah sirna ke kuatannya, tidak mustahil kalau tubuh Adhinata kembali dialiri racun maut itu.
Dan akan sangat berbahaya bagi keselamatan jiwanya sendiri, karena mau tak mau dia adalah orang yang paling dekat dengan Adhinata. Siapa sangka kalau dalam keadaan "bergaul" tahu tahu racun itu menjalar lagi. Dan dia bisa jadi korban. Demikian pikir Giri Mayang.
Usul Giri Mayang disetujui Adhinata karena dia sendiripun memerlukan mengetahui. Agaknya kata kata si Raja Racun kembali teringat oleh Adhinata Yaitu kesempurnaan dalam memiliki dan menguasai gelang-gelang racun itu adalah dengan membuka jalan darah tertentu pada pergelangan tangan dan kaki dengan melalui pengerahan tenaga dalam.
Hal itupun segera dilakukan. Di tempat yang landai di sisi danau kecil berair jernih itu adalah tempat yang cukup baik untuk mencoba. Karena jauh dari perkampungan dan dirasakan cukup aman bagi mereka. Karena walau bagaimana hati Giri Mayang masih kebat-kebit khawatir berjumpa dengan Roro Centil. Begitu juga dengan Adhinata. Disamping khawatir berjumpa dengan gurunya yang mengancam akan membunuhnya, juga khawatir orang-orang Kerajaan akan mengejarnya. Sedangkan dia dalam keadaan tak siap untuk bertarung.
Pemuda itu duduk bersila di atas batu, dengan sepasang lengan terentang menyilang di depan dada. Sebelumnya pakaian atas Adhinata telah dibuka. Segera Adhinata salurkan tenaga dalamnya bolak-balik ke sekujur tubuhnya. Hal yang dilakukan berulang-ulang itu ternyata membuat keringatnya deras mengucur disekujur tubuh. Dan, Adhinata mulai membuka jalan darah tertentu pada empat jalan darah di pergelangan kaki tangan.
Apa yang terjadi kemudian...? Sepasang mata Giri Mayang membelalak lebar tak berkedip, karena seketika tubuh Adhinata sebentar berubah merah dan sebentar berubah hijau. Keadaan itu berlangsung cukup lama, yaitu selama Adhinata belum berhenti membolak-balik salurkan tenaga dalam ke sekujur tubuh dan menyimpannya kembali pada keempat pergelangan tangan dan kaki.
Dan pada saat tubuhnya berubah hijau itu Adhinata hentikan latihannya. Sepasang matanya membuka menatap pada Giri Mayang. Melihat wajah Giri Mayang berubah pucat tentu saja membuat Adhinata jadi terkejut dan terheran. Sekejap dia sudah melompat ke arah wanita itu. Akan tetapi justru Giri Mayang melompat dengan menjauhi.
"Jangan dekat...! Berbahaya...!" teriak Giri Mayang.
"Hai..? kenapakah kau?" tanya Adhinata tak mengerti.
"Tubuhmu telah dialiri lagi racun luar biasa itu...!" teriak Giri Mayang dengan tubuh bergidik ngeri melihat tubuh Adhinata yang berubah hijau menye ramkan itu.
"Ah...!" tersentak kaget Adhinata. Justru dia sendiri tak mengetahui keadaan dirinya. Barulah dia sadar setelah melihat tubuhnya demikian hijaunya. "Jadi.... jadi racun itu memang benar masih mengendap di tubuhku?" Berkata Adhinata dengan kerutkan keningnya naikkan sepasang alisnya yang tebal.
"Benar! Bukankah dugaanku tepat sekali...? Hihi hi... tapi aku telah tahu rahasianya. Segeralah kau salurkan lagi racun yang telah menyebar itu ke pergelangan tanganmu. Tepatnya ke tempat gelang-gelang besi itu!" perintah Giri Mayang.
Tak usah sampai dua kali menyuruh, Adhinata telah menuruti perintah itu.
"Nah, tubuhmu telah berubah merah. Berarti tubuhmu sudah tak mengandung racun! Akan tetapi kini gelang-gelang besi itu bisa berbahaya bila tersentuh orang, karena kini racun luar biasa itu telah mengumpul di keempat gelang besi itu! Nah, kini carilah akal bagaimana agar gelang besi itu tak membahayakan orang...!" Ujar Giri Mayang.
Termenung sejenak Adhinata, tiba-tiba berseru kegirangan. "He...!? aku sudah tahu caranya!"
Sekonyong-konyong Adhinata melompat kembali ke atas batu. Akan tetapi tidak duduk bersila seperti tadi, melainkan gerakan tubuhnya tegak lurus dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kepalanya bertumpu di atas batu. Barulah sepasang lengannya disilangkan ke depan dada. Ternyata dia melakukan pernapasan terbalik dengan pergunakan tenaga dalamnya menembus jalan darah tersumbat di beberapa bagian tubuh yang masih tersumbat.
Ternyata penyumbatan jalan darah itu adalah dilakukan oleh si Raja Racun. Justru sebelum proses terakhir dilakukan pada Adhinata, si Raja Racun keburu tewas. Hal ini memang pernah di bicarakan pada Adhinata mengenal cara-cara menguasai ke empat pasang benda "mustika" gelang besi itu.
Pengerahan tenaga dalam dengan cara demikian untuk membuka jalan darah yang tersumbat itu ternyata memakan waktu hampir setengah hari. Giri Mayang menunggu dengan sabar. Dan dalam pada itu secara berangsur kulit tubuh Adhinata mulai mendekati kenormalan. Hingga selang tak lama setelah lewat waktu setengah hari pulihlah tubuh Adhinata, dan kembali normal seperti biasa lagi.
"Cukup...!" teriak Giri Mayang dengan wajah girang. "Kau sudah berhasil Adhinata...! Ah, menakjubkan sekali suamiku...!"
Adhinata melompat kembali untuk berdiri. Akan tetapi terjungkal dengan punggung terlebih dulu menyentuh tanah. Mengeluh pemuda itu. Ternyata akibat terlalu lama jungkir-balik membuat urat uratnya kaku. Akan tetapi sesaat antaranya dia sudah bangkit berdiri lagi.
"Hm, benarkah aku telah berhasil menjinakkan ke empat gelang besi beracun ini?" tanya Adhinata.
"Tidak meragukan lagi! Akan tetapi untuk menghilangkan was-was sebaiknya dicoba dulu!" tukas Giri Mayang.
"Tunggulah sebentar...!" Berkata wanita itu seraya berkelebat ke arah hutan. Tak berapa lama telah kembali lagi dengan menjinjing telinga seekor kelinci ditangannya. Giri Mayang lemparkan kelinci itu, yang segera disambut Adhinata.
Demikianlah, setelah dites, ternyata ke empat gelang itu memang sudah jinak, karena kelinci itu tak terkena pengaruh racun. Ternyata kemudian Adhinata memang bisa menguasai keempat gelang besi itu, yang dapat dipergunakan untuk menjadikan tubuhnya kembali beracun, serta berubah biasa lagi sekehendak hati.
Sukses besar itu amat menggirangkan hati ke dua sejoli. Segera Giri Mayang panggang daging kelinci itu untuk makan bersama... Demikianlah awal kisah munculnya kembali si Manusia Beracun yang didampingi pasangannya yaitu Giri Mayang.
SEBELAS
Malam itu juga Giri Mayang telah mendapatkan seorang korban untuk pelampiasan nafsu bejatnya. Seorang laki-laki kekar telah berada di atas pundaknya dalam keadaan tidur menggores dan tertotok. Pada pagi hari desa Limus yang malamnya disinggahi Giri Mayang segera terjadi kegaduhan, karena seorang lelaki ditemukan dalam keadaan telanjang bulat sudah tak bernyawa lagi dengan tulang leher remuk.
Kejadian itu ternyata telah mengundang perhatian banyak orang, hingga sampai siang hari penduduk masih membicarakan kejadian aneh itu. Bahkan ternyata dua orang remaja berlainan jenis yang dapat di katakan sepasang sejoli telah melihat kejadian itu. Mereka tak lain dari Sambu Ruci dan seorang gadis cantik yang menemaninya, yaitu Parmi.
Seperti telah diceritakan Parmi dan Sambu Runci mencari jejak Giri Mayang yang telah menawan Roro Centil. Ternyata dalam waktu sekian lama masih belum menemukan jejak Giri Mayang. Hingga secara tak sadar sepasang sejoli ini jadi semakin akrab. Bahkan pula dihati keduanya telah bersemi cinta yang tersembunyi.
Walaupun demikian, Sambu Runci belumlah bisa bertenang hati karena selalu mengkhawatirkan nasib Roro Centil. Dan secara kebetulan dia singgah di desa tempat kejadian itu. Wajah Parmi tampak menegang. Kejadian itu telah menguatkan dugaannya kalau Giri Mayang pasti tak berada jauh dari desa Limus, karena sudah dipastikan laki-laki yang tewas itu adalah korban pelampiasan nafsu bejat wanita iblis itu.
"Sssst...! Kakak Sambu, mari kita ke sudut sana aku akan bicarakan sesuatu padamu...!" Ujar Parmi seraya tarik lengan pemuda itu. Ternyata Parmi sudah tak canggung-canggung lagi pada Sambu Ruci.
Pemuda itu mengangguk seraya menyeruak dari kerumunan orang. Disudut jalan desa itu segera Parmi tuturkan pendapatnya. "Aku juga berpendapat demikian, Parmi...! Sebaiknya kita mulai menyelidiki dimana adanya wanita itu....!" tukas Sambu Runci. Parmi mengangguk, lalu segera menyusun rencana penyelidikan di sekitar desa.
* * * * * * *
Pelacakan mencari jejak Giri Mayang di desa itu ternyata hasilnya nihil. Hingga mereka segera berpisah untuk kembali bertemu. Sambu Ruci memutar ke arah barat, dan Parmi ke arah timur dengan patokan mereka akan bertemu di bawah lereng satu bukit yang bernama bukit Ayam. Demikianlah. Mereka pun mulai bergerak sesuai dengan diaturnya rencana itu.
Akan tetapi sungguh sukar sekali diterka kalau ternyata Giri Mayang sejak tadi justru menguntit mereka. Dan pembicaraan itu sudah tertangkap telinga Giri Mayang sembunyi di atas pohon. Sambu Ruci ternyata beranjak langkahkan kaki terlebih dulu. Parmi menatap sejenak punggung pemuda itu, lalu diapun balikan tubuh untuk berkelebat dari situ. Akan tetapi kira-kira dua-tiga tombak hentikan langkahnya untuk lagi-lagi berpaling. Terasa perpisahan sementara itu memberatkan langkahnya.
Hati gadis ini memang sudah bersemikan cinta begitu bersahabat dengan pemuda tampan itu yang pernah menyelamatkan jiwanya dari serangan maut Giri Mayang. Akan tetapi justru Sambu Ruci pun menolehkan. Keduanya jadi sama sama tersenyum ketika bertatapan muka. Namun Sambu Ruci segera berkelebat cepat setelah lambaikan tangan pada dara cantik itu seraya berkata.
"Sampai ketemu, adik Parmi...!"
Parmi cepat menyahut... "Sampai jumpa nanti senja, kakak Sambu...!" Dan gadis itupun lambaikan tangannya, lalu berkelebat cepat un tuk tidak menoleh lagi. Diam-diam wajah gadis itu di jalari rona merah. Terasa sesuatu yang indah meresap di hati sanubarinya. Itulah perasaan cinta...!
Akan tetapi baru beberapa tombak Parmi berlompatan cepat dari tempat itu tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik. Dan... tahu-tahu di hadapannya telah muncul sesosok tubuh yang melesat turun dari cabang pohon.
"Hihihi..... hihihi.... selamat jumpa lagi nona cantik yang tak lama lagi bakal mampus...!"
Membeliak sepasang mata Parmi, bagaikan mimpi melihat orang yang sedang dicarinya justru muncul di depan mata. Tak terasa kakinya mundur dua langkah. "Bagus! akhirnya kau muncul juga perempuan Iblis!"
Bentak Parmi dengan wajah menegang. Walau hatinya terasa tergetar tapi dia berusaha menutupinya dengan bentakan. Dan sekejap sepasang senjatanya telah dicabut keluar dari belakang punggung. Itulah sepasang gaetan yang tajam runcing berkilatan.
"Heh! sayang sekali kalian tak bisa menemukan cinta laki-laki itu, Parmi...! Pemuda tampan itu agaknya memang tak berjodoh denganmu. Karena sebentar lagi kau akan mampus! Dan... hihihi... dia adalah calon kekasihku yang paling istimewa!" Berkata Giri Mayang dengan tertawa menyeringai.
Rasanya hati Parmi bagaikan ditikam belati saja mendengar ucapan Giri Mayang. Kembali membayang wajah kakak laki laki saudara seperguruannya yang juga telah direbut wanita itu yang berakhir dengan kematian. Dan kini lagi-lagi si wanita itu siap merebut kembali pemuda yang baru dikenalnya dan sudah bersemi cinta dihatinya. Hal tersebut membuat Parmi rasanya mau membunuh diri saja saat itu.
Akan tetapi kelemahan jiwanya saat itu segera di tindihnya. Perbuatan tercela dan pengecut itu tak layak dipunyai seorang pendekar! Kini orang yang di carinya telah muncul untuk membunuhnya. Mana Parmi mau berikan nyawanya begitu saja? Justru dia harus membalaskan dendam kematian tiga orang saudara seperguruannya yang tewas oleh wanita itu. Me mikir demikian dia segera lakukan serangan mener jang Giri Mayang dengan luapan dendam berapi-api.
"Iblis keji! aku akan adu jiwa denganmu!" bentak. Parmi Sepasang senjata gaetannya menerjang laksana gelombang berpuluh-puluh yang menerjang ganas si wanita terlengas itu.
Akan tetapi dengan mengumbar tertawa Giri Mayang melayani serangan itu. Tubuhnya berkelebatan dan melompat dengan gesit. Bahkan luncurkan kata-kata ejekan pada Parmi. Terasa panas wajah gadis ini membuat dia menerjang dengan berteriak-teriak histeris. Betapapun Parmi bukanlah tandingan Giri Mayang, yang kalau mau sudah sejak tadi robohkan si gadis dengan pukulan apinya. Tapi agaknya Giri Mayang punya rencana lain.
"Hihihi... sebelum kubunuh kau mampus ada baiknya kau menyaksikan bagaimana aku "bercinta" dengan laki-laki tampan bernama Sambu Ruci itu!" Ejek Giri Mayang dengan melompat ke atas dahan pohon menghindari sambaran ganas sepasang gaetan Parmi.
"Bedebah keparat...! Perempuan bejat! ku keluarkan isi perutmu!" bentak Parmi dengan bentakan nyaring seperti menjerit. Dan kali ini Parmi merobah gerakan silatnya.
Aneh! Beberapa serangan dengan jurus ini tampaknya membuat Giri Mayang melengak dan sejengkal rambutnya telah kena tertabas putus sepasang gaetan dan buyar berterbangan. Kiranya secara tak sadar Parmi telah menggunakan jurus-jurus dari Pedang Aksara yang dipunyai Sambi Ruci. Kiranya dalam waktu beberapa hari atau selama hampir dua pekan itu Parmi telah diajari beberapa jurus ilmu Pedang Aksara oleh Sambu Ruci.
Melihat serangan jurus barunya membawa hasil mengagumkan membuat Parmi semakin bersemangat untuk menjatuhkan lawan. Bahkan kini dia berlaku hati-hati. Giri Mayang memang mulai balas menyerang dengan beberapa pukulan dan tendangan kakinya. Untunglah Parmi yang telah berlaku hati-hati mampu mengimbangi serangan ciptaan gurunya karena Parmi memang cuma mempunyai paling banyak lima jurus dari ilmu pemberian Sambu Ruci.
Ternyata hal itu cukup merepotkan Giri Mayang yang mulai terdesak. Karena serangannya tak dapat lagi dibaca kemana arahnya. Hal mana membuat wanita itu jadi berang. Tiba-tiba tubuhnya melompat men jauh sejauh enam tujuh tombak. Dan mulailah dia gunakan mantera dari ilmu hitamnya!
Tersentak Parmi ketika melihat perubahan tubuh Giri Mayang yang menjadi seekor ular berkepala tujuh, yang besarnya hampir sebesar tubuh manusia. Masing-masing kepala ular itu menyeburkan api dari mulutnya.
"Ilmu sihir...!" teriak Parmi seraya melompat menjauh. Sambaran-sambaran api ternyata telah menerjang tubuhnya. Bergulingan Parmi menghindari sambaran api itu dengan jantung berdetak keras. Harapannya untuk merobohkan wanita itu seketika punah.
Tiga kilatan api sekaligus meluncur untuk menambus tubuh Parmi yang sudah mengurungnya untuk tak dapat lolos lagi dari "pembalasan" Giri Mayang. ilmu siluman tertinggi yang telah dipelajarinya dari si Ririwa Bodas itu untuk pertama kalinya dipergunakan. Ternyata memang ilmu hitam itu bisa dipergunakan manakala dirinya sedang marah luar biasa.
Terperangah gadis cantik ini, dua serangan lidah api dari mulut ular berhasil dihindarkan. Akan tetapi serangan selanjutnya yang juga beruntun dengan cepat telah menembus tubuh Parmi bersama dengan terbakarnya dahan-dahan pohon. Lenyaplah sudah tubuh Parmi terbungkus kobaran api diiringi jeritan terakhirnya.
Mengetahui korbannya sudah musnah, ular besar berkepala tujuh itu kembali lenyap. Dan menjelma lagi menjadi Giri Mayang yang tertawa cekikikan dengan bertolak pinggang.
Whuukkk....! lengannya bergerak memadamkan api seketika lenyap. Akan tetapi terkejut Giri Mayang karena tak menjumpai tubuh Parmi terkapar disitu. Api-api ciptaan itu sebenarnya tak membakar dahan pohon atau menambus tubuh Parmi, karena semua itu cuma ciptaan saja. Akan tetapi serangan lidah api itu telah melumpuhkan tubuh gadis murid si nenek Pendekar Taring Naga.
Tentu saja Giri Mayang tak mengetahui kalau pada saat lidah api menyambar tubuh Parmi, sebuah bayangan putih telah berkelebat menyelamatkan gadis itu. Ternyata berdiri tempat ketinggian tampak seorang kakek memondong tubuh Parmi di kedua belah tangannya. Dialah si kakek penghuni puncak Tangkuban Perahu. Yaitu Ki Panunjang Jagat.
Tampaknya hal itu membuat Giri Mayang tak berniat menyelidiki, karena dia sudah berkelebat pergi dari tempat itu. Walau dihatinya membatin. "Aneh, kemana lenyapnya sosok tubuh si Parmi itu? Hm, jangan-jangan sudah banyak bermunculan para tokoh sakti kaum putih. Aku perlu segera bergabung dengan Adhinata...!"
Dengan gerakan cepat Giri Mayang segera berkelebat menuju ke arah desa Tembilang. Sementara itu sosok tubuh Ki Panunjang Jagat pun melesat lenyap. Suasana tempat itu kembali hening pada siang hari yang terik itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak mulut desa Tembilang, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Wanita iblis...! kau kemanakan sahabatku Roro Centil, katakan apa yang telah terjadi dengannya...?" Dan sesosok tubuh berkelebat menghadang di hadapannya.
Melengak Giri Mayang. Akan tetapi bibirnya segera tampilkan secercah senyuman dan lirikan mata genit. "Ahaah...! Kiranya anda yang tampan! Hihi hih...!. Sobat Sambu Ruci mengapa kau mengkhawatirkan sekali nasib dia?" Tanya Giri Mayang.
"Setan, apa perdulinya dengan semua itu? Dia sahabatku, dan kau telah berhasil merobohkannya, tak nantinya kalau kau tak berbuat licik! Hm, Jangan kira kau dapat berbuat seenaknya dengan segala macam perbuatanmu!" Bentak Sambu Ruci dengan hati mengkal. Terpaksa dia menahan amarahnya karena harus mengetahui dulu nasib Roro yang amat dikha watirkannya.
"Hai, rupanya kau mau mempacari dua orang perempuan...? Apakah kau tak sayangkan kematian murid si nenek Pendekar Taring Naga?" Berkata Giri Mayang tanpa memperdulikan pertanyaan orang.
"Ha...? Kau telah membunuhnya...?"
Tertawa dingin Giri Mayang, seraya Jawabnya "Benar! Kupikir dia "saingan" ku karena aku... aku... hihihi... akupun jatuh cinta padamu, Sambu Ruci!" Tanpa malu-malu Giri Mayang keluarkan isi hatinya. Walaupun sebenarnya cinta yang dimilikinya adalah cuma cinta imitasi belaka. Karena cuma kehangatan laki-laki yang belum pernah dicicipinya saja yang membuat wanita ini menggandrungi orang.
"Perempuan edan...!" Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu.
Terperangah Giri Mayang. Sekelebatan saja dia sudah mengetahui suara siapa yang berkumandang barusan.
"Nona Roro Centil...!" Teriak Sambu Ruci dengan wajah girang. Sesosok tubuh telah berkelebat muncul dan berdiri di hadapan mereka yang tak lain memang si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Giri Mayang apakah kau sudah siap untuk menghadapiku...?" Tantang Roro dengan wajah dingin membeku. Sepasang matanya menatap wanita itu dengan sorot mata seolah mau menembus jantung lawan.
"Heh...! Aku memang sudah siap untuk membalas penganiayaanmu padaku. Tentu saja dengan tebusan nyawamu, Roro Centil!" Ucap Giri Mayang dengan angkuh menutupi getaran hatinya. Walau bagaimana Giri Mayang memang masih merasa ngeri akan sepak terjang Roro. Walaupun sebenarnya dia memiliki, bermacam ilmu, juga bermacam kelicikan.
"Akan tetapi tidak sekarang bila kau menginginkan pertarungan secara jujur. Dan ingat...! kau bukan seorang Pendekar Siluman, bukan?"
"Hm, kau kira aku sebangsa manusia setan sepertimu yang tak menepati janji, untuk membunuhmu siang-siang telah ku siapkan cara terbaik mengirim nyawamu ke neraka!" Berkata Roro dengan bertolak pinggang. Ternyata Roro mampu menahan kesabaran hatinya.
DUA BELAS
"Baik...! Ini adalah saat terakhir aku menahan sabar! Kini katakanlah dimana kau mau adakan pertarungan itu. Dan kapan waktunya...!" sambung Roro dengan suara tandas.
"Sayang... Aku belum bisa memberi keputusan sekarang. Kau tunggulah bulan depan. Aku akan beri kan kabar untukmu dan menyebar berita tantangan melalui orang-orang Rimba Persilatan!" Jawab Giri Mayang.
"Hai, sobat Roro Centil, manusia licik macam begini kalau dibiarkan hidup lebih lama akan menyebar kejahatan seenaknya!" tukas Sambu Ruci.
Akan tetapi Giri Mayang cuma mendengus, lalu berkata pada Roro. "Nah, kini berilah aku jalan! Kuharap kau mau menunggu kesabaran mu untuk menghadapiku, Roro Centil! Tanpa kau cari, justru aku yang akan mencarimu!" Seraya berkata Giri Mayang gerakkan kakinya untuk melangkah.
Akan tetapi Sambu Ruci telah perdengarkan bentakannya, seraya cabut pedangnya untuk segera digerakkan menghadang di depan dada wanita itu. "Tunggu...! Kini kau jawab dulu pertanyaanku, apakah yang kau lakukan terhadap Parmi? Apakah benar kau telah membunuhnya...?" kata-kata Sambu Ruci terdengar agak tergetar. Ternyata kini keselamatan gadis itulah yang dikhawatirkan.
"Hm, baik! Kali ini aku tak berdusta, dia mungkin masih hidup. Gadis itu telah kena serangan pukulanku. Akan tetapi tak ku jumpai sosok tubuhnya. Pasti ada orang yang telah menolongnya!" berkata Giri Mayang. Seraya menatap pada Roro menduga-duga apakah wanita Pendekar ini yang telah membawa kabur sosok tubuh Parmi...?
Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Giri Mayang perlihatkan wajah girang, ketika melihat siapa yang datang. Sekali kakinya mengenjot tubuh. Dia sudah melesat ke udara seraya berteriak.
"Suamiku...! Bagus, kau menyusulku! Urusan sudah selesai...!" Dan tepat sekali ketika kuda itu hentikan berlari, tubuh Giri Mayang sudah meluncur turun. Detik selanjutnya wanita itu sudah hinggap di atas punggung kuda di sebelah depan tubuh seorang pemuda gagah yang tak lain dari Adhinata, yang mengendarai kuda.
"Manusia Beracun...!" tersentak Roro. Sementara Sambu Ruci cuma bisa terpaku menatap si laki-laki penunggang kuda.
"Hihihi... tidak salah, Roro Centil, sampai jumpa lagi pada pertarungan nanti!" Dan sambungnya lagi. "Agar kau ketahui, si Manusia Beracun ini adalah suamiku...!" Selesai berkata demikian Giri Mayang putar kudanya lalu memacu cepat meninggalkan tempat itu...
Saat Giri Mayang dan manusia beracun berlalu, sesosok tubuh berkelebat muncul. Ternyata Ki Panunjang Jagat. Di kedua lengannya masih memondong tubuh Parmi yang terkulai. Tentu saja terkejut dan girangnya bukan kepalang Sambu Ruci.
"Kakek, Andakah yang telah menolongnya...?" tanya Sambu Ruci seraya menjura.
Sementara Roro Centil kerutkan keningnya menatap Ki Panunjang Jagat dan gadis yang dipondongnya. "Apakah yang terjadi dengannya?" tanya Roro.
"Dia sudah tewas...!" berkata Ki Panunjang Jagat dengan suara datar.
Tersentak seketika Sambu Ruci. Serta-merta melompat ke hadapan kakek itu. "Parmi...!" teriak Sambu Ruci tersendat. Ki Panunjang Jagat letakkan tubuh yang dipondongnya di atas rumput. Dan Sambu Ruci duduk menekuk lutut menatap padanya dengan air mata berlinang.
"Wanita iblis itu telah pergunakan ilmu sihir hitam untuk merobohkan gadis ini. Seandainya hidup pun dia akan jadi orang tak berguna tanpa daksa, entah murid siapakah gadis ini, apakah sobat Sambu Ruci mengenalnya?" tanya Ki Panunjang Jagat.
Sambu Ruci anggukkan kepala. Seraya ucapnya dengan nada sedih. "Dia murid si nenek Pendekar Taring Naga. Ketika saudara seperguruannya telah tewas oleh si wanita itu...!"
"Hm, agaknya kita telah mengalami satu kekalahan total, kakek Panunjang Jagat! Muridmu si Manusia Beracun kini telah bergabung dengan Giri Mayang. Akan sulitlah kiranya untuk merobah wataknya. Bahkan kini Senapati Kerta Bumi telah merobah keputusan untuk menumpasnya. Peristiwa beberapa hari ini yang lalu telah menggemparkan Kota Raja. Si Manusia Beracun telah menumpas prajurit-prajurit pengawal di Kepatihan. Dan membunuh Ki Patih Lengser Sheta berikut seluruh keluarganya...!"
Penjelasan Roro itu tentu saja membuat sepasang mata Ki Panunjang Jagat membeliak. Giginya yang masih utuh itu berkerut menahan geram. "Pasti si perempuan bejat itu yang telah mempengaruhi jiwanya! Kalau demikian tak ada jalan lain, selain kita harus menumpas kedua manusia itu...!"
"Benar, kakek Panunjang Jagat! Akan tetapi satu kesulitan yang tidak ringan untuk menumpas si manusia beracun! Tapi walau pun begitu aku si Roro Centil merasa orangnyalah yang paling tepat untuk membunuh mereka!" Ujar Roro dengan bersemangat.
"Apakah kau akan melupakan perjanjian untuk bertarung dengan wanita itu, sobat Roro Centil...? tanya Ki Panunjang Jagat.
"Hihihi... hihi... segala macam urusan dengan manusia licik pengecut begitu apakah akan aku pedulikan? Persetan dengan sebutan Pendekar Siluman! Aku toh merasa tak mempunyai ilmu Siluman. Macan Tutul Siluman yang selalu mengikut padaku itu ternyata tak mau pergi meninggalkanku, apakah yang harus kuperbuat?" ujar Roro.
Seraya dengan pergunakan kata-kata batinnya Roro Centil perintahkan sang Macan Tutul untuk segera tampakkan diri. Dan...."Gerrrr...! Sekejap saja disamping Roro telah muncul sesosok tubuh harimau tutul yang hampir sebesar kerbau. Luar biasa besarnya harimau tutul itu hingga membuat Sambu Ruci menindak mundur. Ki Panunjang Jagat sendiri juga melangkah mundur dan tampak terkejut.
"Hihihi... Tutul! Mereka adalah kawan-kawan kita!" ujar Roro seraya mengelus-elus leher sang macan, yang segera tempelkan tubuhnya untuk menggelendot manja ke tubuh Roro. Roro peluk leher sang macan dengan terharu. Tak lama Roro segera berkata.
"Nah, baiknya sekarang sobat Sambu Ruci, kau semayamkanlah dulu Jenazah gadis itu...! Ah, sayang dia telah tewas. Seandainya masih hidup kukira dia amat cocok untuk jadi pasanganmu, Sambu Ruci...!"
Sambu Ruci cuma bisa tersenyum pahit. Hatinya tak keruan rasa hingga dalam keadaan kaku demikian dia cuma bisa menelan ludah tanpa mampu bicara apa-apa. Kecuali menatap Roro dan mengalihkannya pada jenazah Parmi yang terbaring seperti tengah tidur lelap.
"Baiklah! Kukira saatnya sudah tiba untuk menumpas manusia yang bakal membawa kericuhan di jagat raya Ini...!"
Setelah menjura pada Ki Panunjang Jagat dan menatap sejenak pada Sambu Ruci serta berikan seulas senyuman manis padanya, Roro Centil gerakkan tubuh melompat ke punggung si Tutul. Dan selanjutnya, sang macan sudah melesat cepat ke arah barat bagaikan lewatnya hembusan angin. Sekejap saja sudah tak nampak bayangannya lagi...
Tertegun kedua laki-laki itu. Terdengar seruan kagum Ki Panunjang Jagat. Sementara Sambu Ruci cuma bisa menatap ke arah barat. Seolah hatinya ikut terbawa oleh kepergian Roro. Tak lama kedengaran Ki Panunjang Jagat menghela nafas, lalu berpaling menatap Sambu Ruci.
"Marilah ku bantu kau membuat lubang untuk mengubur jenazah!" ujar kakek puncak Tangkuban Perahu itu. Sambu Ruci segera tersadar dari tercenungnya. Segera mengangguk dan cepat cepat beranjak untuk mencari tanah baik yang akan digali.
* * * * * * *
Sementara itu..... Satu jeritan panjang terdengar parau diarah belakang bukit. Apakah yang terjadi? Ternyata sesosok tubuh berkelojotan meregang nyawa, namun sekejap sudah terkulai tewas. Tubuhnya berubah membiru. Dan sesaat antaranya membengkak, lalu mencair dengan menimbulkan bau busuk menyengat hidung.
"Hihihi... bagus, nenek peot ini memang sudah terlalu tua untuk jadi seorang Pendekar. Dia lebih bagus jadi Pendekar di Akhirat...!"
Terdengar satu suara Wanita yang ternyata tak lain dari Giri Mayang. Wanita itu duduk ongkang-ongkang kaki di atas kuda, sementara Adhinata tegak berdiri di atas batu. Kiranya dalam perjalanan meninggalkan tempat itu si Manusia Beracun dan Giri Mayang telah dicegat si nenek Pendekar Taring Naga.
Nenek Pendekar Taring Naga itu tentu saja tak lain adalah mencegat Giri Mayang yang telah menipu serta membawa kabur murid laki-lakinya. Yang kemudian didapati telah tewas. Kemurkaannya membuat dia perintahkan ketiga murid wanitanya mencari jejak wanita itu. Hingga nyaris menyangka perbuatan Roro Centil, seperti diceriterakan di bagian depan.
Untunglah si nenek Pendekar wanita itu berjumpa dengan si Belut Putih yaitu Gembul Sona yang telah mengetahui bahwa adanya seorang wanita penyamar Roro Centil yang melakukan kejahatan mem fitnah Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Hingga bentrokan dapat dihindari. Belakangan si nenek ini mendengar berita kematian kedua murid wanitanya oleh wanita itu.
Tentu saja di Rimba Persilatan cepat tersiar berita pertarungan yang membawa kematian dua orang murid wanitanya, dan mengetahui selamatnya seorang murid wanitanya bernama Parmi karena diselamatkan seorang pemuda bergelar si Pendekar Selat Karimata alias Sambu Ruci.
Dengan dendam berkobar, si nenek pendekar itu mencari jejak Giri Mayang. Hingga akhirnya berhasil menjumpai setelah mendengar berita adanya seorang Kepala Desa di desa Tembilang yang baru diadakan pengangkatan oleh penduduk desa itu. Wanita bangsawan istri si bangsawan muda itu amat dicurigainya.
Dan benarlah, apa yang menjadi dugaannya. Pertarungan seru segera terjadi, akan tetapi Giri Mayang tidak turun tangan. Adhinata-lah yang diperintahkan melayani wanita Pendekar Tua itu oleh Giri Mayang, yang kemudian berakhir dengan kematian si nenek Pendekar Taring Naga dengan kematian yang mengerikan.
Kiranya saat itu Ki Gembul Sona telah melihat kejadian itu. Dia memang berniat membantu wanita Pendekar itu untuk mencari Giri Mayang. Melihat kematian si nenek Pendekar Taring Naga oleh si Manusia Beracun, membuat keringat dingin ki Gembul Sona bercucuran ditempat persembunyiannya. Kejadian itu memang di luar dugaan, karena di saat dia mau muncul mencegah sahabat tuanya itu telah keburu tewas terkena pukulan Adhinata yang mengandung racun luar biasa.
"Hihihi... keluarlah dari tempat persembunyian mu, orang tua...!" Teriak Giri Mayang mengumbar tawa yang sejak tadi pentang mata dan pasang telinga dengan duduk santai di atas kuda.
Mengetahui dirinya sudah diketahui kedatangannya, terpaksa Gembul Sona munculkan diri. Berkelebatlah dia keluar dari tempat sembunyinya. Dan berdiri tegak dengan gagah menatapkan pandangan pada kedua sejoli itu berganti ganti.
"Bagus, ternyata anda seorang Pendekar Tua yang gagah dan bernyali macan. Sayang kaupun akan segera tewas menyusul sahabatmu itu, Gembul Sona!" Berkata Giri Mayang dengan suara dingin. Dan ujarnya pada Adhinata.
"Hihihi... suamiku, satu lagi keledai tua ini kau kirimkan nyawanya ke Alam Baka, tampaknya dia sudah tak sabaran lagi untuk mampusss...!"
Membeliak mata Gembul Sona karena gusarnya. Dendamnya pada wanita itu tak alang kepalang, karena wanita itulah yang telah membakar Pesanggrahan dan menewaskan beberapa orang anak buahnya. Belakangan diketahuinya pula kalau si Ririwa Bodas adalah gurunya, yang telah membantai habis anak buah dan para muridnya menggunakan ilmu hitam. Bahkan dia sendiri nyaris tewas.
Dan wanita itu pula yang telah menyebar maut dengan ular-ular siluman ciptaan si Ririwa Bodas. Menumpas wanita telengas berhati iblis ini adalah tugas kewajiban kaum Pendekar. Dan.... memikir demikian Ki Gembul Sona sudah menghunus kerisnya seraya membentak dengan suara menggeledek.
"Giri Mayang...! Turunlah kau, mari bertarung nyawa denganku, mengapa kau memperalat murid kakak seperguruanku ini untuk melawanku? Sungguh tak tahu malu!"
Akan tetapi Giri Mayang cuma tertawa terpingkal-pingkal seraya menjawab. "Hihiihi.... dia ini suamiku, masakan tak layak kalau seorang suami membela dan mewakilkan istrinya membunuh keledai tua macam kau?"
"Setan...!" maki Gembul Sona. Dadanya tampak berombak-ombak karena menahan geram. Sementara Adhinata berdiri mematung menatap paman gurunya itu, agak ragu hatinya untuk menempur Ki Gembul Sona.
"Adhinata, ingatlah! Apakah gurumu Ki Panunjang Jagat tak kau hargai jerih payahnya mendidikmu untuk menjadi seorang Pendekar penegak kebenaran, mengapa kau terbius oleh bujukan wanita iblis itu untuk melakukan perbuatan tercela...?" berkata Gembul Sona. Sebisa mungkin kakek ini mencoba menyadar kan si Manusia Beracun.
"Kau memang perlu dikasihani, Adhinata, kau telah jadi korban ambisi si Raja Racun yang mau merajai dunia! Ingatlah, kejahatan tak akan abadi di atas jagat raya ini! Kembalilah ke jalan benar! Aku akan membantumu melenyapkan racun jahat yang mengeram di tubuhmu...!" lanjut Gembul Sona yang cepat mengambil kesempatan di saat Giri Mayang belum mengambil kesempatan di saat Giri Mayang belum pentang suara.
"Tutup bacotmu, keledai tua!" Tiba-tiba membentak Giri Mayang seraya lancarkan pukulannya dari jarak jauh. Angin panas membersit menerpa tubuh Gembul Sona.
Namun dengan ajian Belut Putih pukulan itu kalis, dan lewat tanpa menyentuh kulitnya. Menggeram marah Giri Mayang. Tubuhnya sekejap sudah melompat dari punggung kuda. Dan menerjang kakek tua itu dengan hantaman bertubi-tubi. Sementara itu puluhan ekor kuda telah mendekat dengan perdengarkan derapnya. Dan ratusan langkah laki-laki manusia mulai mengepung sekitar tempat itu.
Ternyata lasykar Kerajaan Sunda Kelapa yang di pimpin Senapati Kerta Bumi telah mulai bergerak untuk kedua buronan Kerajaan yang telah membuat keresahan hati sang Baginda Raja. Dan menghawatirkan merebut kekuasaan. Sekejapan saja ratusan regu pemanah telah disiapkan ke segenap penjuru. Tentu saja semua itu tak luput dari mata Adhinata.
Timbulah seketika kebimbangan di hati pemuda Manusia Beracun itu. Saat mana pertarungan hebat tengah berlangsung di hadapanya. Giri Mayang ternyata tak tahan emosi untuk membunuh kakek tua bernama Gembul Sona itu dengan tangannya sendiri. Ternyata setelah bertarung beberapa jurus, Giri Mayang merasa kesulitan kalau tak mempergunakan ilmu sihir hitamnya. Segera dia merobah dirinya menjadi berujud seekor ular besar berkepala tujuh. Terperangah Ki Gembul Sona. Namun berbarengan dengan saat itu Ki Panunjang Jagat dan Sambu Ruci telah berkelebat muncul.
"Mari kita hadapi wanita iblis ini bersama sama...!" Teriak Sambu Ruci.
Sementara Ki Panunjang Jagat justru menatap pada Adhinata. Dan kedua pasang mata guru dan murid itupun saling bertatapan. Diam-diam Ki Gembul segera membisiki di telinga kakak seperguruannya ini.
"Hm, aku sudah mengambil keputusan untuk menumpasnya, amat berbahaya! Kau lihatlah sendiri muridku ini telah menjadi musuh Kerajaan! apakah kau tak mengetahui kalau Adhinata telah membantai habis para prajurit di Kepatihan. Dan telah membunuh pula Ki Patih Kerajaan Sunda Kalapa! Rasanya sulit aku melindungi!" Tukas Ki Panunjang Jagat.
Terkejut Gembul Sona ketika menatap berkeliling ternyata telah berdiri berjajar ratusan prajurit pemanah yang telah slap melepaskan anak-anak panahnya. Pada saat itu tujuh kilatan lidah api dari mulut ular penjelmaan Giri Mayang telah meluncur untuk menambus tubuh mereka. Terperangah ketiga pendekar ini, segera berlompatan menghindarkan diri. Dan sekejap saja terjadilah pertarungan tiga orang pendekar itu menempur makhluk ular aneh berkepala tujuh yang menyeramkan. Suara-suara mendesis dan kilatan-kilatan lidah api menyumbrat disana-sini.
Dan ketiga pendekar ini pun bertarung dengan gigih untuk membunuh mahkluk ular itu. Tampaknya keadaan ular itu mulai terdesak, karena kilatan kilatan cahaya pedang Sambu Ruci dan keris pusaka Ki Gembul Sona dapat melumpuhkan sambaran lidah api. Bahkan pedang Sambu Ruci berhasil menabas putus leher salah satu ular. Makhluk itu perdengarkan desisannya. Menggelinjang dengan menerjang semakin hebat. Akan tetapi...
Cras...! kembali satu kepala ular terbatas oleh keris Gembul Sona. Terdengar jeritan suara wanita. Dan sekonyong konyong tubuh sang ular itu lenyap jadi gumpalan asap. Apakah yang terlihat? Giri Mayang berdiri dengan tubuh sempoyongan. Tampak kedua buah lengannya terbabat putus...! Darah berhamburan memercik ke tanah. Wajah wanita ini perlihatkan seringai yang menyeramkan. Pasukan pemanah yang melihat kejadian itu mulai maju lagi setindak. Saat itu tiba-tiba terdengar suara berkata dengan nada parau.
"Tunggu...! Kalian tak dapat membunuhnya begitu saja! Dan..... berkelebat sebuah bayangan menyambar tubuh wanita itu. Sekejap saja karena dengan gerakan cepat sekali sosok tubuh yang menyambar tubuh Giri Mayang telah berkelebat lenyap keluar dari kepungan ratusan prajurit pemanah tanpa terlihat siapa yang menyambarnya.
Terperangah semua mata. Bahkan betapa amat masygulnya hati Senapati Kerta Bumi. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat pula muncul sesosok tubuh. Dialah Roro Centil, yang duduk di atas punggung harimau Tutul yang besarnya hampir sebesar kerbau. Segera semua mata memandang ke arahnya.
"Tenang sobat-sobat! Biarlah aku yang mengejarnya! Hm, urusan si wanita itu adalah urusanku...!" Selesai berkata, Roro Centil berikan isyarat menepuk punggung si Harimau Tutul yang perdengarkan geramnya. Dan melesatlah tubuh si harimau Tutul itu bagaikan lewatnya angin mengejar Giri Mayang yang dilarikan seseorang.
Sementara itu semua mata kini tertuju pada si Manusia Beracun. Urusan Giri Mayang masih belum tuntas, akan tetapi mereka cukup mengandalkan ke mampuan Roro Centil untuk menumpasnya. Kini urusan si Manusia Beracunlah yang harus dituntaskan.
"Adhinata! Apakah kau masih menganggapku sebagai gurumu?" tiba-tiba Ki Panunjang Jagat ajukan pertanyaan pada bekas muridnya.
Tampak wajah Ad hinata menegang, sebentar pucat sebentar merah. Sukar sekali dia menjawab pertanyaan gurunya. Sementara suasana menjadi hening. Dari ratusan manusia di sekitar tempat itu seolah tak terdengar sedikitpun suara. Selain semua mata menatap pada si Manusia Beracun, dan menunggu jawaban kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu.
"Aku... aku telah jadi seorang murid yang murtad, guru...!" Akhirnya menjawab si Manusia Beracun.
"Semua itu dapat aku ampuni, asalkan kau kembali sadar! Apakah kau tetap akan menuruti ambisi mu merajai kolong jagat ini dengan kekuatan racun dahsyat di tubuhmu...?" Tanya Ki Panunjang Jagat.
"Tadinya aku berniat, guru...!"
"Lalu apakah kini kau sudah merobah niat itu?" bertanya lagi Ki Panunjang Jagat.
"Ya... aku... aku telah merobah niat itu!" sahut Adhinata dengan menunduk.
Ki Panunjang Jagat dan Gembul Sona sailing berpandangan. Dan lambat-lambat Senapati Kerta Bumi menghampiri, lalu bisikan kata-kata di telinga kakek puncak Tangkuban Perahu. Kini terlihat Ki Panunjang Jagat manggut-manggut. Wajahnya tak menampilkan perobahan sedikitpun. Lalu ujarnya pada Adhinata.
"Baiklah, muridku...! Sukurlah kalau kau telah kembali pada kesadaranmu ...! Kini gusti Adipati Kerta Bumi dari kerajaan Sunda Kalapa akan bicara padamu...!"
Selesai berkata Ki Panunjang Jagat berpaling pada Senapati itu seraya berkata. "Silahkan bicara padanya, Gusti Senapati...!"
Senapati ini mengganguk. Dan Ki Panunjang jagat segera menjura padanya, lalu kedipkan mata pada Gembul Sona dan Sambu Ruci. Dan mendahului berkelebat keluar dari lingkaran kepungan prajurit. Hal mana segera diikuti Gembul Sona dan Sambu Ruci, yang segera melompat keluar menyusul Ki Panunjang Jagat. Setiba di luar...
"Aneh, apakah yang akan dibicarakan Senapati Kerta Bumi itu? Mengapa kita tak diberi izin mendengarnya...?" Tanya Gembul Sona pada kakak seperguruannya.
Sambu Ruci sendiri tak mengerti. Dia hanya menatap pada kedua tokoh tua Rimba Persilatan itu si lih berganti. Tiba-tiba terdengar suara aba-aba yang sangat nyaring dari suara Senapati Kerta Bumi. Ketika mereka menoleh ke belakang, segera terdengar suara bising dari terlepasnya ratusan anak panah yang seperti tiada habisnya. Dan selang sesaat terdengar teriakan sorak sorai dari para prajurit lasykar Kerajaan Sunda Kelapa menggegap gempita.
Apakah yang terjadi? Kiranya ratusan anak panah segera meluruk ke tubuh Adhinata si Manusia Beracun itu, begitu Senapati Kerta Bumi memberi aba-aba, dan secepat kilat melompat keluar dari lingkaran pasukan pemanah yang telah mengurung si Manusia Beracun. Tak ampun lagi tubuh si Manusia Beracun roboh ke tanah dengan terpanggang berpuluh-puluh anak panah. Dan tewas tanpa berkelojotan lagi.
Ternyata bisikan Senapati itu adalah menyatakan bahwa tak ada jalan lain bagi murid si kakek puncak Tangkuban Perahu itu selain kematian. Karena secara tidak langsung Adhinata telah menjadi musuh Kerajaan. Dan titah Baginda Raja Kerajaan Sunda Kalapa tak dapat lagi dibantah, yaitu menumpas si Manusia Beracun karena membahayakan bagi Kerajaan juga umat manusia!
Kalau Sambu Ruci dan Gembul Sona menoleh ke belakang, adalah Ki Panunjang Jagat tetap melangkah tanpa menoleh sedikitpun. Bahkan berjalan dengan menundukkan wajahnya. Ternyata dari celah ke dua kelopak mata kakek tua itu telah membersit turun dua titik air mata. Air mata haru, tapi juga penuh kerelaan.
"Apakah yang terjadi, kakang Panunjang Jagat...?" tanya Gembul Sona, seraya mengejar kakak seperguruannya dan terkejut melihat wajah sedih serta air mata kakek itu mengalir turun membasahi pipi. Sementara Sambu Ruci pun segera balikan tubuhnya menyusul kedua kakek itu.
Terdengar Ki Panunjang Jagat menghela napas, seraya ujarnya. "Tak ada lain jalan selain kematian yang harus di jatuhkan pada Adhinata! Karena dia telah menjadi musuh Kerajaan yang membahayakan...! Itu sudah menjadi perintah Baginda Raja Kerajaan Sunda Kalapa!"
Terhenyak Ki Gembul Sona dan Sambu Runci, yang seketika jadi tercenung tanpa bisa bicara apa apa.
"Tapi aku bahagia, karena Adhinata telah sadar sesaat sebelum kematian menjemputnya...!" sambung Ki Panunjang Jagat.
"Benar! walaupun demikian tragis kematiannya, akan tetapi dia masih bisa digolongkan sebagai pahlawan. Walaupun cuma sebagai pahlawan tanpa jasa...! Yah, kini tuntaslah sudah urusan kita! Sementara kita bisa bernapas lega. Tinggal menunggu kabar saja nanti apakah Roro Centil dapat menumpas wanita iblis itu?" Tukas Ki Gembul Sona.
Dan Ki Panunjang Jagat cuma manggut-manggut seraya menghela nafas. Demikian juga Sambu Ruci. Sorot Matahari senja itu mulai memudar. Di ufuk barat sana terlihat cahaya merah dari belakang perbukitan. Ketika itu ketiga orang pendekar pembela kebenaran yang masing-masing berbeda usia segera berpisah.
Gembul Sona pergi ke arah barat. Sedangkan Ki Panunjang Jagat menuju ke utara. Dan Sambu Ruci ke arah selatan. Perjuangan kaum pendekar dalam menumpas segala macam bentuk kejahatan agaknya memang tak pernah tuntas. Karena 1001 macam kejahatan selalu bermunculan di atas jagat raya ini. Demikian pula dengan Roro Centil sang Pendekar wanita pantai Selatan.
Sebulan kemudian memang ada berita kematian beberapa tokoh golongan hitam, akan tetapi bukanlah manusia yang diburu Roro, karena Giri Mayang seolah lenyap bagai ditelan bumi. Adapun baiknya menurut Pengarang diberitahukan saja pada pembaca, bahwa sosok tubuh yang menyambar tubuh Giri Mayang dan menyelamatkan jiwanya tak lain dari si nenek mata juling yang punya anak buah tujuh mahluk kerdil.
Kelak Giri Mayang memang masih muncul untuk menyebar kejahatan dengan ilmu barunya yang lebih hebat. Dan adalah tugas kaum Pendekar termasuk Roro Centil si Pendekar wanita Pantai Selatan untuk menumpasnya. Dengan demikian berakhir kisah Langkah-langkah Manusia Beracun....
Selanjutnya,