Roro Centil - Manusia Beracun
Karya : Mario GembalaSATU
Puncak Tangkuban Perahu agak samar tertutup mega putih. Mentari baru saja lepas dari peraduannya untuk jalankan tugas luhur dari Yang Maha Kuasa memberikan sinarnya pada alam semesta.
Sesosok tubuh tampak menuruni lereng dengan gerakan cepat. Bila dilihat sepintas bagi mata orang biasa tentu akan menyangka bayangan hantu putih, yang berkelebatan diantara pepohonan menuruni lereng-lereng terjal itu dengan cepat sekali, Akan tetapi bagi mata orang yang telah terlatih, segera dapat melihat siapa adanya bayangan itu.
Ternyata adalah seorang laki-laki yang berpakaian serba putih. Menyandang pedang yang tersembul dipundaknya. Ketika telah melalui hampir sepertiga dari ketinggian puncak Gunung itu, tampak dia hentikan larinya dengan berdiri di atas batu besar, Pandangan matanya menyapu alam sekitarnya. Dia seorang laki-laki yang masih muda berusia kira-kira delapan belas tahun.
Berwajah tampan. Beralis tebal agak menjungkit ke atas. Rambutnya panjang sebatas bahu dengan ikat kepala warna putih. Sikap penampilannya memang gagah. Sepintas orang yang melihat akan memuji kagum akan kegagahannya, Walaupun cuma berpakaian sederhana dan terbuat dari bahan kasar.
"Hm, menurut petunjuk guru, aku harus melakukan perjalanan ke arah selatan untuk bisa menjumpai seorang yang bernama Gembul Sona! Dengan menunjukkan tato di lenganku ini, aku bisa diterima menjadi murid orang tua gagah yang masih terhitung paman guruku. Dan kelak bila aku telah menuntut ilmu dan menguasai ajian "Belut Putih", ha ha ha. Adhinata bukan lagi seorang pemuda yang gampang dibodohi!" Terdengar dia berkata sendiri.
Tak lama pemuda itu sudah berkelebat lagi menuruni lereng dengan gerakan cepat. Tidaklah mudah untuk menuruni lereng gunung Tangkuban Perahu yang masih berkabut serta penuh bahaya di depan mata. Binatang buas seperti harimau atau ular berbisa serta lereng terjal bisa membawa kematian setiap saat. Akan tetapi Adhinata adalah penghuni dari tempat yang penuh bahaya itu. Lebih dari lima tahun dia berdiam di puncak Tangkuban Perahu untuk berguru pada seorang tua gagah bernama Ki Panunjang jagat.
Kakek kosen itu telah menurunkan bermacam ilmu kedigjayaan padanya. Dan pada hari itu adalah masanya dia turun gunung, karena telah menamatkan pelajarannya. Namun sang guru menugaskan Adhinata untuk memperdalam ilmunya pada sang adik seperguruannya yang bernama Gembul Sona di wilayah selatan.
Rakyat wilayah desa Padukuhan yang terletak tak jauh dari Gunung BUKIT TUNGGUL baru saja mengalami sebuah musibah, yaitu munculnya ratusan, bahkan ribuan ular-ular berbisa besar dan kecil dari perbagai jenis yang menyebar ke rumah-rumah penduduk. Tentu saja keadaan menjadi kacau. Jerit ketakutan terdengar disana-sini.
Kemunculan ular-ular berbisa Itu pada tengah malam. Menjelang pagi segera diketahui banyak korban berjatuhan. Belasan penduduk terdiri dari laki-laki, wanita dan anak-anak kedapatan mati dengan tubuh keracunan. Dan anehnya pada dinihari ular-ular itu lenyap.
Ratap tangis terdengar dari beberapa rumah yang keluarganya menjadi korban. Tentu saja penduduk jadi resah ketakutan. Beberapa keluarga sudah melakukan pengungsian ke beberapa desa lain, karena khawatir ular-ular itu kembali lagi. Menjelang malam tiba diadakan penjagaan ketat. Tampak wajah-wajah dari setiap peronda dalam keadaan tegang.
Pada lengan masing-masing memegang senjata. Apa saja yang bakal dipergunakan. Ada yang membawa golok, pedang, arit atau tombak serta bermacam senjata yang dapat dipergunakan untuk membunuh ular-ular. Mereka berkumpul menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang laki-laki yang berani. Obor-obor dipasang di setiap halaman rumah. Juga mereka masing-masing mencekal sebuah obor. Desa Padukuhan jadi tampak terang-benderang seperti tengah mengadakan pesta.
Menjelang tengah malam tiba-tiba terdengar suara desis dari segala penjuru. Benar saja, ular-ular itu kembali bermunculan. Akan tetapi para pemuda desa dan kaum laki-laki tua segera pergunakan obor dan senjata-senjatanya untuk membunuh, merencah ular-ular itu.
Kegaduhan kembali menyibak di sekitar desa Padukuhan. Suara teriakan, jeritan dan suara tombak atau kayu serta alat pemukul lainnya yang dipergunakan membunuh ular-ular Itu terdengar di sana-sini. Obor-obor pun dipergunakan untuk mengusir makhluk melata yang tak ketahuan dari mana datangnya itu.
Akan tetapi mereka pun akhirnya kewalahan. Ratusan ular itu bermunculan silih berganti seperti tiada habisnya. Bahkan mulai menyerang mereka yang mencoba mengusir dan membunuhnya. Beberapa peronda sudah perdengarkan jeritannya, karena puluhan ular yang menerobos semakin banyak dan berhasil mematuk mereka. Akhirnya keadaan kembali kacau balau. Bahkan api dari obor yang terlempar telah membuat salah sebuah rumah segera terbakar.
Jeritan wanita dan anak-anak menambah kegaduhan dimana-mana. Ternyata ratusan ular itu telah menerobos masuk ke dalam rumah. Mematuk atau membelit setiap sesuatu yang bergerak. Korbanpun kembali berjatuhan. Sementara kebakaran tak dapat diatasi. Tiga buah pondok terbakar musnah jadi abu dan puing.
Menjelang pagi hari ribuan ular itu kembali lenyap. Dan tampaklah sebuah pemandangan tragis. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Kali ini korban bukan saja oleh ular berbisa melainkan juga oleh api, yang membakar tak kurang dari lima belas manusia besar dan kecil. Sementara puluhan penduduk bergelimpangan tak bernyawa dengan bekas-bekas patukan di sekujur tubuhnya.
Suara derap kaki-kaki kuda telah mendatangi desa Padukuhan di pagi yang masih agak temaram itu. Ternyata Tumenggung TIRTALAGA yang datang bersama sebelas pengawalnya. Mereka adalah para pengawal utama yang mempunyai kepandaian tinggi.
"Ah...?" Sang Tumenggung keluarkan suara tersentak, memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu dengan mata membeliak.
"Ular-ular keparat dari manakah yang mengganggu ketentraman penduduk desa ini?" Terdengar suara desisnya bercampur haru.
Beberapa orang desa yang masih bisa menyelamatkan nyawanya tergesagesa menyambut kedatangan Tumenggung ini, dengan duduk bersimpuh dan wajah-wajah trenyuh. "Aku sungguh tak menduga kalau kejadian akan berulang...!" Berkata Tumenggung Tirtalaga dengan suara haru. Dan Seperti menyesal akan tindakan yang diambilnya, hingga ketika laporan datang dia tak cepat menanggapi. Ya...! Cuma karena seorang perempuan. Agak lama Tumenggung ini tercenung.
Namun segera sadar dan perintahkan sebelas pengawalnya untuk membantu mengangkati jenazah dari para korban ular-ular berbisa. Segera kesebelas pengawal itu melompat turun dari kudanya untuk bergegas menjalankan tugas itu. Sedangkan Tumenggung itu sendiri segera memeriksa keadaan sekitar desa. Kening laki-laki berusia 40 tahun ini berkerut, karena anehnya dia tak melihat sepotong pun bangkai ular.
Menurut laporan yang baru saja diterimanya, malam tadi semua laki-laki berjaga-jaga dan membentuk beberapa kelompok di setiap tempat dengan siapsiaga untuk menjaga kalau-kalau ular-ular itu datang lagi. Jelas dari bekas-bekas kejadian pertarungan melawan makhluk itu terlihat disana-sini, yang keadaannya porak-poranda.
Terduduk sang Tumenggung diakar pohon. Sepasang matanya menatap jauh ke depan. Jauh sekali ke masa yang telah silam. Dan terbayanglah pada kelopak matanya seorang tokoh hitam yang menamakan dirinya si RAJA RACUN. Manusia itu memang selalu membawa ular-ular kemanapun dia pergi. Akan tetapi itu ular sungguhan, tidak seperti yang terjadi pada saat ini. Jelas ular yang datang ribuan banyaknya dan menyerang desa adalah ularular siluman.
Demikian memikir dibenak Tumenggung Tirtalaga. Ular-ular siluman itu bisa datang sedemikian banyaknya pasti suruhan orang!" Desis suara sang Tumenggung yang terdengar perlahan. Entah siapakah manusianya yang telah melakukan perbuatan keji ini? Dan apakah kesalahan penduduk desa padukuhan ini...? Gumamnya dalam hati.
Pada saat itu seorang pengawal telah menghampirinya. Ternyata memberi laporan pada atasannya itu. "Gusti Tumenggung seorang pemuda mengaku bernama ADHINATA telah kami tahan. Karena dia membawa seekor ular..! Hamba mempunyai prasangka, jangan-jangan dialah si pawang ular yang telah mendalangi kejadian di desa ini!" Tutur sang pengawal dalam laporannya.
Tampak Tumenggung Tirtalaga kerutkan keningnya. "Seorang pemuda bernama ADHINATA...?" Gumamnya perlahan.
"Ya! Hamba kira ada baiknya gusti memeriksa anak muda itu. Siapa tahu kalau gurunya adalah seorang tokoh keji yang justru melakukan kejahatan ini...!" Sambung sang pengawal.
"Hm, benar juga...! ya, siapa tahu! mungkin juga aku dapat mengorek beberapa keterangan dari mulutnya!" Berkata Tumenggung dengan bangkit berdiri. Lalu beranjak menghampiri kudanya untuk segera melompat ke atas kelana. Tak lama sang Tumenggung sudah berada di atas punggung tunggangannya.
Ternyata Adhinata telah dikurung oleh pengawal-pengawal utama sang Tumenggung, karena dia membawa seekor ular yang telah ditangkapnya diperjalanan ketika menuruni lereng Gunung Tangkuban Perahu. Tentu saja Adhinata jadi mendongkol karena dihadang oleh sepuluh pengawal Kerajaan itu, disamping merasa heran karena dia merasa tak mempunyai kesalahan apa-apa.
"Tunggulah sampai Gusti Tumenggung datang, Beliau yang akan memeriksa mu dan mengizinkan kau lewat bila ternyata kau tak mempunyai kesalahan!" Berkata salah seorang dari pengawal itu. Tak lama terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Dan muncul sang Tumenggung bersama pengawal yang memberi laporan tadi.
"Heh!?" Andakah tumenggung Tirtalaga itu...?" Tanya Adhinata tanpa menjura. Sepasang lengannya masih mempermainkan seekor ular hijau yang panjangnya hampir satu kaki.
"Benar!" menyahut Tirtalaga dengan anggukkan kepala, dan melompat turun dari kudanya.
"Boleh aku tahu siapa namamu, dan siapa gurumu, anak muda...?" Tanyanya walaupun dia sudah tahu nama pemuda itu.
Dengan wajah sinis Adhinata menatap tajam pada laki-laki abdi Kerajaan di hadapannya. Semua itu dilakukan karena rasa mendongkolnya pada orang yang telah menahan langkahnya. "Namaku Adhinata... Guruku bernama Ki Panunjang Jagat yang bersemayam di puncak Gunung Tangkuban Perahu!" Sahut Adhinata dengan suara ketus.
"Oh...? Kiranya anda murid kakek gagah itu? Maafkanlah kami, sobat Adhinata! Kami terpaksa menahanmu, karena setidak-tidaknya para pengawalku mencurigai anda, sebabnya adalah binatang yang kau pegang itu." Berkata sang Tumenggung dengan suara rendah dan senyum menghias bibir.
"Maksud anda ular yang aku tangkap diperjalanan tadi ini...?" Tanya Adhinata dengan terperangah.
Tumenggung mengangguk dengan menarik napas panjang. "Di desa ini seperti kau lihat banyak mayat berserakan. Mereka adalah para korban gigitan ular berbisa." Tukas Tirtalaga. Segera diceritakannya kejadian itu secara singkat pada Adhinata yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sementara kesebelas pengawal jadi tersipu. Setelah menjura pada Adhinata, segera teruskan pekerjaannya membantu mengurus para korban.
"Hendak kemanakah sebenarnya tujuanmu, adik Adhinata?" Tanya Tumenggung.
"Aku dalam perjalanan ke selatan untuk menjumpai paman guruku yang bernama Gembul Sona!" Jawab Adhinata, seraya meloloskan belitan tubuh ular hijau itu dari tubuhnya. Jari-jarinya menjepit kuat leher ular itu, sehingga makhluk itu tak bisa berkutik.
Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan berkelebat, dan.... Plash! Ular di tangan Adhinata lenyap. Dan tahu-tahu di situ telah berdiri sesosok tubuh laki-laki berambut beriapan. Dengan pakaian kumal penuh tambalan. Bau tak sedap segera terendus hidung.
Ternyata seorang laki-laki tua berwajah menyeramkan. Sepasang matanya menonjol keluar. Gigi besar-besar menyembul dari bibirnya yang tebal. Mempunyai rahang yang lebar. Dengan kumis dan jenggot tidak terurus. Dia membawa kantong kulit yang tergantung di pinggang.
Pada pergelangan lengan dan kaki serta di lehernya tampak membelit ular-ular belang. Itulah ular berbisa yang biasanya amat mematikan. Sedang pada lengannya tampak ular hijau yang baru saja sambarnya dari tangan Adhinata. Melihat tampang orang ini, Tumenggung Tirtalaga kerutkan keningnya.
Sementara laki-laki itu sudah tertawa menyeringai seraya mengelus-elus kepala ular hijau itu. "Heheheheheh.... ular bagus! Ular bagus...! Dari mana kau dapatkan ular ini bocah?" Ujarnya seraya menatap pada Adhinata.
Sementara Adhinata sendiri terkejut karena tadi merasa serangkum angin menyambar pergelangan tangannya. Terpaksa dia lepaskan ularnya kalau tak ingin lengannya tertotok. Benar saja, ternyata gerakan cepat yang dilakukan orang itu memang menotok pergelangan tangan Adhinata, disertai menyambarnya lengan orang itu untuk merampas ular yang dicekalnya.
Saat itu Tumenggung Tirtalaga telah berseru dengan tersentak. "Raja Racun...! kaukah adanya...?"
Laki-laki tua kumal itu palingkan wajahnya pada sang Tumenggung seraya ucapnya dengan menyeringai. “Heheheheh... benar! Aku si Raja Racun! Sudah lebih dari empat tahun kita tak pernah berjumpa Tumenggung!"
"Heh! benar... akan tetapi kau masih punya persoalan yang belum diselesaikan terhadap Adipati KAMBANGAN. Dan tugas untuk menangkapmu masih berlaku!" Berkata Tumenggung Tirtalaga seraya berikan isyarat pada para pengawal anak buahnya untuk mengurung si Raja Racun ini.
Enam orang pengawal yang melihat isyarat itu segera hunus senjatanya untuk mengepung si Raja Racun dari enam penjuru. Melihat gelagat demikian tampaknya si Raja Racun tak menampakkan reaksi apa-apa. Bahkan dengan lengan masih mengelus kepala ular hijau itu, kembali dia ajukan pertanyaan pada Adhinata.
"Eh, bocah... kau belum jawab pertanyaanku, dari mana kau dapatkan ular yang bagus ini?" Adhinata gerakkan alisnya menyatu, dengan menatap heran.
"Aku menemukan di lereng gunung Tangkuban Perahu!" Jawabnya.
"Kesalahan apakah kau pada Adipati Kambangan, hingga kau harus di tangkap! Bolehkah aku mengetahui?" Tanya Adhinata. Sementara pandangannya dialihkan menatap pada Tumenggung Tirtalaga.
"Hm, si Raja Racun ini pada empat tahun yang lewat pernah merampok di gedung Kadipaten, dan menewaskan lebih dari selusin pengawal. Selain itu juga menodai istri Kanjeng Adipati! Hal itu sudah bukan hal biasa lagi. Akan tetapi menyangkut nama baik Kanjeng Adipati dan kami sebagai orang-orang bawahannya! Aku telah ditugaskan untuk mencarinya! Hidup atau mati! Sayang dia melenyapkan diri tak ketahuan kemana rimbanya!"
Tentu saja penjelasan itu membuat Adhinata melengak. Sementara sang Tumenggung telah mencabut kerisnya. Dan membentak keras. "Raja Racun...! kau serakanlah dirimu untuk kami belenggu. Dan terserah Adipati. Beliaulah yang akan menentukan hukuman buatmu...!"
"Heheheh... kejadian itu sudah terlalu lama. Dan selama ini aku tak pernah melakukan perbuatan apa-apa selain mengeram diri di sarangku. Kukira sebaiknya lupakan saja hal itu! Toh kau selamanya tidak akan naik pangkat menjadi Adipati! heheheh..., heheh...!" Berkata Si raja Racun yang nama aslinya adalah Langir Sheto.
"Kau telah salah beranggapan, Raja Racun! Walau seumur hidup aku tak naik pangkat, namun bagiku tugas adalah tetap tugas yang harus dipatuhi! Dan setiap kejahatan harus mendapat ganjaran hukuman!" Ujar Tumenggung itu.
"Bagus! kau memang seorang abdi Kerajaan teladan, Tumenggung Tirtalaga! kau suruhlah pengawalpengawalmu ini untuk meringkusku! Apakah punya kemampuan hebat setelah sekian lama kau latih menjadi pengawal utama!"
Tentu saja hinaan itu membuat kesebelas pengawal yang sudah berkumpul menyebar mengurung si Raja Racun itu jadi panas hatinya. Dan tanpa menunggu perintah tiga orang telah menyerbu dengan berbareng, diiringi bentakan keras menggeledek.
"Gembel bau...! bacotmu itu baiknya diremukkan...!"
"Modar saja sekalian...!" Teriak seorang lagi hampir berbareng. Dan tiga buah senjata terdiri dari sebilah golok panjang dan dua buah tombak meluncur deras untuk merencah dan memanggang tubuhnya.
Akan tetapi dengan mendengus si Raja Racun gerakkan tubuhnya melesat. Entah bagaimana tahu-tahu sepasang kakinya telah menginjak dua mata tombak si kedua pengawal. Serangan pengawal bergolok panjang itupun lolos disela kakinya yang terpentang. Dan tahu-tahu di luar dugaan ular hijau yang dipegangnya itu telah meluncur ke leher si pengawal bergolok panjang yang seketika jadi terperanjat. Namun dia tak sempat untuk mengelak lagi.
Terdengar jeritan menyayat hati karena segera sang ular telah memagut. Ekornya masih tercekal di lengan si Raja Racun. Pengawal itu lepaskan golok panjangnya, dan roboh terjungkal untuk selanjutnya berkelojotan. Sementara kedua pengawal telah tarik kedua tombaknya. Mereka jadi terheran, karena tubuh si Raja Racun itu seperti seringan kapas menempel di kedua ujung tombak. Namun justru mereka menariknya, tubuh si Raja Racun bergerak cepat memutar. Sepasang kakinya telah bergerak cepat sekali menghantam kedua pengawal itu.
Prak...! Prak...!
Kedua pengawal itu perdengarkan teriakan sekejap, dan ketika kedua tubuh mereka menggabruk ke tanah. Nyawanya pun lepas seketika. Ternyata kedua batok kepalanya telah pecah dengan otak berhamburan. Terperangah para pengawal lainnya dengan mata membeliak kaget. Sementara si pengawal bergolok panjang Itu ternyata sudah tewas dengan sekujur kulit tubuhnya berubah menghitam.
Betapa gusarnya para pengawal lainnya. Serentak sudah berlompatan mengurung si Raja Racun. Kali ini mereka telah mengambil pelajaran dengan kejadian tiga pengawal yang bertindak ceroboh itu, untuk bertindak hati-hati. Dua orang maju membuka serangan. Seorang mempergunakan sepasang kapak. Seorang lagi bersenjatakan sepasang tombak pendek bermata tiga. Dengan membentak keras kedua pengawal itu putarkan senjata untuk selanjutnya menerjang dengan jurus pancingan.
Si Raja Racun sambarkan ularnya ke arah leher salah seorang sementara sebelah lengannya menghibas. Melesatlah seekor ular belang kecil yang menempel dipergelangan tangannya. Akan tetapi dengan sebat sepasang kapak dan sepasang tombak mereka segera menghantam saling susul.
Wutt! Wutt! Whukk! Whukkk...!
Di luar dugaan si Raja Racun menarik kembali serangannya. Kecuali ular belang kecil. Namun gerakan selanjutnya teramat cepat, tahu-tahu ular hijau itu telah berubah arah menahan serangan dan justru melesat untuk menyambar ke bawah lengan hingga sekejap telah menggubat di lengan si pemegang kapak. Terkejut pengawal itu. Seketika sudah perdengarkan pekikannya, karena sang ular telah memagutnya dengan ganas. Sepasang kapaknya secara tak sadar terlepas jatuh. Sementara ular belang itu sudah lolos dari serangan.
Teriakan berikutnya adalah si pemegang tombak pendek. Karena saat si Raja Racun menarik kembali ular hijau, keadaan tubuhnya dalam posisi menyerang. Sebab sekali lengan si Raja Racun menghibas. Menyambarlah seekor lagi ular belang dari pergelangan lengan kirinya. Tahu-tahu sudah memagut leher pengawal itu. Dan tubuh itu sekejapan sudah terjungkal roboh dengan berkelojotan meregang nyawa. Di lain kejap nyawanya pun melayang.
"Jaga kerisku...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Sinar berwarna kuning membersit cepat sekali mengarah leher si Raja Racun. Itulah sambaran keris pusaka Sang Tumenggung.
Sejenak laki-laki kumal berwajah buruk itu terpukau. Nyaris lehernya kena terserempet kalau dia tak jatuhkan diri bergulingan. Akan tetapi keris bersinar kuning itu seperti mengejar nyawanya. Kembali meluncur bersiulan menerjang tubuhnya. Beberapa serangan beruntun dari sang Tumenggung itu dapat dihindarkan dengan pergunakan lompatan-lompatan mirip kodok.
Ketika dengan cepat tiba-tiba si Raja Racun menekan sebelah telapak tangannya ke tanah. Tubuhnya bergerak memutar dan pergunakan kakinya menghantam lawan. Gesit sekali sang Tumenggung melompat menghindar. Justru si Raja Racun luncurkan ular mautnya. Krep...! Ular hijau itu sudah menggubat leher sang Tumenggung. Terperangah laki-laki abdi kerajaan ini. Namun segera kerisnya bergerak menabas. Cras...! Putuslah leher ular hijau itu.
Tiga batang tombak yang dilemparkan tiga pengawal itu nyaris memanggang tubuhnya kalau tak sempat si Raja Racun menghindar dengan melompat gesit. Di detik itu lengannya sudah bergerak mengibas. Tiga ekor ular belang meluncur cepat sekali. Dan terdengarlah jeritan parau para pengawal Itu. Ternyata pada leher masing-masing telah menggubat dan memagut ular-ular belang kecil itu untuk merenggut nyawa. Kembali roboh tiga pengawal yang tewas seketika dengan tubuh berubah menghitam.
"Aku akan adu jiwa denganmu, iblis Raja Racun!" Bentak sang Tumenggung yang segera pergunakan kerisnya menerjang ganas. Segelombang angin membersit mengeluarkan hawa dingin. Tampak tubuh Tumenggung Tirtalaga berkelebat bagaikan bayangan menerjang si Raja Racun dari perbagai penjuru.
Sekitar tempat itu tiba-tiba dipenuhi hawa dingin. Tiga orang lagi sisa pengawal sang Tumenggung yang masih hidup itu segera melompat mundur dan pasang mata untuk memperhatikan jalannya pertarungan. Sambil berjaga ketat untuk memberi bantuan bila pemimpin mereka terdesak, disamping agak jeri pada ular-ular belang yang ganas itu.
Sementara Adhinata cuma berdiri terpaku tanpa mengambil tindakan untuk membantu salah satu pihak. Nyatanya dia lebih senang menonton pertarungan adu jiwa itu dengan tersenyum-senyum. Kadang-kadang memuji sang Tumenggung yang mempunyai gerakan lincah dengan keris di tangannya menyambar-nyambar mengancam jiwa lawan. Namun sekejap sudah memuji si Raja Racun yang dapat melompat-lompat mirip seekor kodok untuk menghindari serangan ganas sang Tumenggung, dan melakukan serangan balasan dengan ular-ularnya.
Sebelas jurus telah berlalu. Tampaknya si Raja Racun sudah bosan untuk bertindak setengah-setengah menguji kelincahan lawan. Tiba-tiba tubuhnya berkelabatan lebih cepat, hingga yang menampak cuma bayangan tubuhnya saja menerjang sang Tumenggung dengan serangan-serangan ular mautnya. Tumenggung Tirtalaga pun bukan orang yang berkepandaian rendah.
Disamping berilmu tinggi, juga banyak pengalaman di Rimba Hijau. Bahkan dia sudah mengenal akan setiap gerakan si Raja Racun itu. Apalagi dengan kemunculan manusia ini, justru dia semakin bersemangat untuk menjatuhkan atau membunuh lawan. Karena disinilah letaknya kesempatan menyelesaikan tugasnya yang selama empat tahun dipikulkan dipundaknya.
Titah sang Adipati Kambangan harus segera tuntas. Itulah tekad yang telah bulat dihatinya. Keris pusakanya segera digerakkan cepat untuk membentengi tubuhnya, dari serangan-serangan ganas lawan. Sementara lengan kirinya lakukan hantamanhantaman dahsyat!
Cras! Crass...!
Dua ekor ular belang terbabat putus, ketika sang Tumenggung dengan perhitungan mantap berhasil gunakan gerak tipu memindahkan perhatian lawan pada serangan lengan kirinya. Pukulan lengan kiri Tumenggung ini justru lebih berbahaya dari kerisnya, karena telah diisi dengan ajian-ajian yang luar biasa. Terkadang angin pukulannya membersitkan hawa panas. Terkadang menerjang dengan luncurkan hawa dingin yang dapat membekukan darah lawan.
Merahlah wajah si Raja Racun, karena dia telah menganggap enteng lawannya. Diam-diam dengan berkelebatan menghindar dari serangan ganas sang Tumenggung, lengannya telah merogoh ke kantong kulitnya. Segenggam serbuk racun ganas segera meluruk bagai hujan ke arah Tumenggung itu. Tampaknya sukarlah sang Tumenggung itu menghindarkan diri, karena serbuk racun itu amat halus yang menyebar dengan cepat di luar dugaan lakilaki abdi kerajaan itu.
Terperangah sang Tumenggung seketika. Justru serangan mendadak itu dilakukan di saat dia lengah, karena terpancing oleh tipu daya lawan, yang hentikan serangan untuk biarkan dirinya menyerang. Hingga sang Tumenggung tak lagi membentengi tubuhnya. Dan di saat yang baik, si Raja Racun gunakan kesempatan itu untuk menyerang dengan menaburkan serbuk racun.
"Celaka...!" Sentak sang Tumenggung. Saat itu tubuhnya dalam keadaan doyong ke depan setelah gagal menyerang lambung lawan dengan keris pusakanya. Justru tubuh si Raja Racun menyelinap ke bawah dengan lompatan kodoknya, dan serangan bubuk halus dari racun ganas itu meluruk dengan cepat sukar untuk dihindarkan lagi.
Prass....! Terdengar teriakan parau Tumenggung Tirtalaga. Dan terjungkal roboh dengan seketika, untuk seterusnya berkelonjotan meregang nyawa. Sekejap kemudian tubuh laki-laki gagah perkasa itu sudah mengejang kaku dengan perut membusuk mengeluarkan cairan berwarna hitam.
Terperangah ketiga pengawal dengan mata membeliak melihat kejadian yang berlangsung cepat itu. Tak sempat lagi mereka bertindak. Karena pertarungan itu berada ditingkatan mereka. Dan serangan mendadak itu terlalu cepat untuk diikuti penglihatan mereka.
Serentak ketiga pengawal itu melarikan diri lintang pukang. Ternyata si Raja Racun tak mengejarnya, melainkan tertawa terbahak-bahak, membuat tiga pengawal itu ketakutan setengah mati, dan lari jatuh bangun. Sementara Adhinata masih berdiri terkesima melihat semua kejadian itu.
"Serangan ganas...! Racun yang hebat dan mengerikan...!" Gumamnya dengan suara berdesis. Sepasang matanya sudah dialihkan lagi menatap pada mayat sang Tumenggung Tirtalaga, setelah melihat ketiga pengawal itu lenyap dikerimbunan pepohonan.
"Hahahahah... benar! inilah racun ular yang amat langka, yang kutemukan di sebuah pulau terpencil. Ular hijau yang kau temukan itupun mempunyai bisa yang hebat!" Berkata si Raja Racun. Sepasang matanya sudah bergerak mencari-cari kepala ular yang terbabat putus keris Tumenggung Tirtalaga tadi, diantara mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sesaat sudah ditemukan dan dengan sekali tubuhnya membungkuk, potongan kepala ular itu sudah berada dalam cekalan tangannya. Sementara orang-orang desa Padukuhan yang melihat pertarungan maut itu sejak tadi sudah menyingkirkan diri.
"Hm, siapakah namamu, bocah? Tampaknya kau tak ambil perduli pada pertarungan barusan. Tidakkah kau berhasrat menolong si Tumenggung ini?" Tiba-tiba si Raja Racun ajukan pertanyaan pada Adhinata.
"Heh, apa urusannya denganku? Aku tak mampu mencampuri urusan yang bukan urusanku!" Ujar Adhinata dengan wajah angkuh. "Namaku Adhinata."
Melengak si Raja Racun Langir Sheto ini. Akan tetapi segera perdengarkan suara tertawa terbahak, seraya ujarnya. "Hahahah... hahahah... bagus! bagus! baru sekali ini aku menjumpai orang yang berpendirian semacammu!"
"Kemanakah tujuanmu anak muda...? Tampaknya kau baru saja turun gunung. Siapakah namamu, dan siapa pula gurumu?" Tanya si Raja Racun dengan sepasang mata agak disipitkan memperhatikan wajah dan perawatan tubuh Adhinata. Seperti tengah menaksir atau menimbang-nimbang tulang belulang pemuda di hadapannya yang tampak bertulang besarbesar berbungkus kulit dan daging serta otot yang kekar.
"Namaku Adhinata. Benarlah seperti dugaanmu, Raja Racun....! Aku baru saja turun gunung. Guruku bernama Ki Panunjang Jagat. Dan tujuanku adalah menuju ke wilayah selatan untuk menemui paman guruku...!" Sahut Adhinata.
Kakek bermuka seram itu krenyitkan alisnya. "Siapakah nama paman gurumu itu...?" Tanya lagi si Raja Racun.
"Beliau bernama Gembul Sona!" Sahut Adhinata tanpa menyebutkan nama julukannya. Akan tetapi Langir Setho sudah tertawa menyeringai, seraya berkata.
"Hehehe... apakah tujuanmu mau memperdalam Ilmu pada si Belut Putih itu?"
Tentu saja membuat Adhinata melengak heran. "Hm, ya...! Guruku menitahkan demikian!" Sahut Adhinata pendek. Sementara Adhinata melengak heran karena si kakek muka seram itu telah mengetahui julukan yang dirahasiakan itu, juga maksudnya menemui sang paman guru.
"Bukan aku menghina, anak muda... tapi kalau cuma memiliki ajian "Belut Putih" si Gembul Sona itu tidaklah berarti apa-apa. Aku juga tak melarangmu kalau kau mau menuntut ilmu "Belut Putih" itu. Cuma sayang.... kau bertulang baik, juga telah memiliki dasar tenaga dalam yang kuat. Aku kenal baik dengan gurumu Ki Panunjang Jagat itu. Tentunya kau telah mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaannya. Sebenarnya aku sudah enggan berkecimpung di Rimba Persilatan. Akan tetapi peristiwa lama itu dan ketololan si Tumenggung ini telah membuat aku mengotori lagi tanganku yang sudah ku cuci bersih!" Berkata si Raja Racun bernama Langir Setho itu dengan perdengarkan suara helaan napas.
Tentu saja sedikit kata-kata si Raja Racun itu telah membuat goyahnya niat Adhinata, yang memang bertujuan menuntut Ilmu Ajian Belut Putih yang tersohor kehebatannya itu pada paman gurunya. "Apakah ada ilmu lain yang lebih hebat dari Ajian Belut Putih?" Tanya Adhinata. Sengaja dia lakukan pertanyaan untuk mengorek keterangan dari si Raja Racun itu yang tampaknya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan.
"Hahahahah... haha... ilmu apapun tanpa adanya benda mustika di dunia ini takkan berarti apa-apa, anak muda... Justru aku sedang bingung. Aku sudah niat cuci tangan dari Dunia Rimba Hijau, sedangkan aku mempunyai dua pasang benda mustika. Akan kuwariskan pada siapakah benda mustika itu? Karena amat disayangkan kalau benda itu tak berguna. Padahal dengan memiliki kedua pasang benda mustika itu, siapapun akan dapat merajai Dunia Persilatan tanpa ada yang mengalahkan!" Berkata si Raja Racun yang memperlihatkan wajah kecewa.
Seraya berkata kakinya sudah beranjak untuk melangkah pergi. Tentu saja membuat Adhinata tersentak. Sebagai orang yang masih berusia muda dan belum mengenal akan seluk-beluk dunia Rimba Hijau akan mudah saja percaya pada setiap kata-kata manis. Apalagi ambisinya masih menggebu. Mendengarkan adanya dua pasang benda mustika berada di tangan si Raja Racun itu, sudah lantas menarik perhatiannya.
"Eh, kakek Raja Racun... tunggu...!" Tubuhnya sudah berkelebat untuk menyusul. "Benda mustika macam apakah yang kau miliki...?" Bertanya Adhinata.
Si Raja Racun palingkan wajahnya menatap Adhinata. "Ah, sudahlah... sebaiknya kau pergi menemui si Gembul Sona, bukankah kau mau mempelajari ilmu Belut Putih?" Tukas Langir Setho. Sekejap dia sudah balikan tubuhnya, dan melesat pergi dengan pergunakan ilmu lari cepat tanpa menoleh lagi.
Melengak Adhinata. Hatinya sudah tertarik mendengar adanya sepasang benda mustika yang dapat membuat si pemiliknya akan dapat merajai Dunia Persilatan, tanpa ada yang mampu mengalahkan. Mana mungkin Adhinata membiarkan si kakek Raja Racun itu pergi begitu saja? Tubuhnya tiba-tiba telah berkelebat menyusul. Dan dengan diamdiam terus membuntuti. Ternyata si Raja Racun ini telah berhasil menggunakan akalnya untuk memancing Adhinata menguntitnya. Tentu saja dia bersikap seolah-olah tak mengetahui kalau dirinya dibuntuti.
"Heheheh... kali ini percobaan ku tak boleh gagal!" Terdengar desis suara Langir Sheto menggumam. Sementara si Raja Racun itu semakin mempercepat larinya meninggalkan wilayah itu menuju ke arah barat...
Adipati Kambangan tertunduk pedih menatap mayat-mayat yang bergelimpangan dihadapannya. Bukan saja terkejut mendengar tewasnya Tumenggung Tirtalaga dan sembilan pengawal utama, akan tetapi juga terkejut mendengar munculnya si Raja Racun yang sudah lebih dari empat tahun tak ada beritanya. Juga satu masalah lain, yaitu berita yang sudah menjadi kenyataan di depan mata. Yaitu puluhan penduduk desa Pandukuhan yang tewas, akibat kejadian dua malam berturut-turut dengan bermunculannya ularular siluman yang ribuan banyaknya.
Tercenung sang Adipati hingga sekian lama. Sementara para prajurit pengawalnya tengah bekerja mengangkut mayat-mayat ke atas kereta kuda. Juga sebagian dari para pengawal telah turut membantu penguburan jenazah para penduduk dengan diiringi ratap tangis anak kerabat yang masih hidup. Suasana desa padukuhan diliputi mendung kesedihan. Matahari pun seperti enggan menampakkan sinarnya, karena segumpal awan hitam menghalangi...
Menjelang siang hari selesailah penguburan para jenazah, dan beberapa kereta kuda tampak beriringiringan meninggalkan desa sunyi itu. Bahkan telah mengikut pula belasan penduduk untuk hijrah ke tempat yang aman. Adipati duduk di atas kudanya dengan kepala tertunduk layu. Wajahnya dilanda kemurungan, juga kegelisahan. Akan tetapi dadanya tampak bergelombang, karena disana tersimpan kemurkaan yang mendalam luar biasa.
Dan satu tekad yang bulat adalah menumpas dalang dari pembunuhan keji para penduduk desa itu. Dugaan kuat memang berada pada si Raja Racun bernama Langir Sheto, manusia yang memang tengah diancam untuk dicincangnya oleh tangannya sendiri. Akan tetapi Adipati takkan menduga kalau ular-ular siluman itu adalah ciptaan dari seorang tokoh hitam yang tengah sengaja mencari penyebab untuk memancing kemunculan kaum golongan putih, yang pasti akan menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu.
Ketika iring-iringan kereta kuda pembawa mayat para pengawal Kerajaan itu berlalu, sesosok tubuh berdiri di atas puncak bukit memperhatikan. Dialah seorang wanita berusia sekitar dua puluh tahun lebih. Berpakaian sutera kuning. Rambutnya ikal bergelombang terurai ke dada dengan ikat kepala warna kuning emas. Sinar matanya memancar tajam menatap iring-iringan di bawah bukit.
Ketika angin keras membersit dari bawah bukit, rambut yang tergerai itupun menyibak, menyembuhkan segumpal daging yang berputik kecoklatan. Ternyatalah wanita ini seorang yang berwatak genit. Terbukti dengan pakaian yang dikenakannya. Selain berpakaian sutera tipis yang mempertontonkan lekuk-liku tubuhnya, juga baju bagian atasnya dibiarkan membuka sebagian. hingga satu dari sepasang buah dadanya menyembul keluar.
Dan pada pinggangnya yang ramping itu terbelit dua utas rental yang mempunyai bandulan mirip dengan buah dada. Itulah senjata si Rantai Genit. Aneh sekali nampaknya, karena wanita ini bukanlah Roro Centil. Akan tetapi dari sikap yang genit dan senjata Rantai Genit yang ada padanya itu akan membuat orang pasti menduga wanita itu si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Siapakah adanya wanita yang menyaru mirip Roro Centil ini? Marilah kita ikuti kemana langkahnya.
"Hihihi.... kelak ular-ular siluman itu akan menyerang ke gedung mu, Adipati Kambangan...!" Terdengar suaranya berdesis, dan sepasang bibirnya menampakkan senyuman. Tak lama dia sudah berkelebat lenyap, memasuki hutan lebat di atas bukit itu.
Bongkah batu besar yang menempel di dinding tebing batu di dasar lembah itu tiba-tiba samar-samar lenyap, berubah menjadi asap kabut. Dan tampaklah sebuah mulut goa yang lebar. Dari dalam goa itu tersembul sesosok tubuh berambut putih beriapan. Ternyata Seorang kakek tua bertubuh kate berkaki besar. Rambutnya terjuntai sampai ke tanah. Memakai jubah warna putih. Dan yang paling mengherankan adalah, kakek pendek ini mempunyai ekor yang menjulur panjang mirip ular.
Telinga dan mulutnya lebar, dengan wajah penuh keriput. Alisnya tebal agak mencuat ke atas, berwarna putih. Hidungnya melengkung dan bermata sipit serta raut muka yang lebar. Pada lengannya tercekal sebuah tongkat berkepala tengkorak yang melebihi tubuhnya. Bila tingginya diukur dengan manusia normal, mungkin hanya separuh saja.
Entah manusia ataukah siluman, manusia aneh ini. Tapi yang jelas kakinya menginjak tanah. Tampak dia perlihatkan senyum menyeringai, hingga menampak giginya yang runcing dan berwarna hitam. Sementara itu kira-kira dua puluh tombak dari tebing batu di dasar lembah itu.
"Heheheheh.... sudah kuduga kau pasti lebih tertarik pada benda mustikaku, anak muda!" Tampak sesosok tubuh berpakaian kumal yang tak lain dari si Raja Racun, yang menantikan kedatangan Adhinata yang menguntit dibelakangnya.
Tersipu malu pemuda dari puncak Tangkuban Perahu itu, yang segera melesat ke hadapan si Raja Racun alias Langir Sheto. "Aku hanya akan mewariskan benda mustika itu pada orang yang mau menjadi murid ku!" Berkata Langir Sheto dengan suara dingin.
"Aku aku bersedia menjadi muridmu, kakek Raja Racun!" Ujar Adhinata tanpa pikir panjang lagi, dan sudah jatuhkan diri berlutut seraya menyebut guru berturut-turut tiga kali dan mencium kaki si Raja Racun.
"Hahahahah sudah! sudah! aku menerimamu sebagai murid terakhir ku! Ternyata kau memang berpandangan luas, anak muda! Dengan memilih untuk mempelajari ilmu "Belut Putih" si Gembul Sona itu tak akan berarti banyak untuk menjagoi Dunia Persilatan. Kau lihatlah nanti. Di hadapan kita tinggal seorang manusia setengah siluman yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya! Aku tengah mengadu ilmu dengannya. Ternyata manusia itu telah mulai unjuk gigi mencari kejutan dengan membunuh habis manusia sekampung dengan ular-ular silumannya!" Tutur si Raja Racun dengan tatapan mata seperti mau menembus hutan di hadapannya.
Terperangah Adhinata, Dan dia sudah lantas ajukan pertanyaan. "Siapakah tokoh yang berilmu tinggi itu, guru...?"
"Dialah yang bergelar si RIRIWA BODAS! Manusia itu menuntut ilmu Siluman, hingga dari pantatnya tumbuh ekor yang panjang mirip ular! Kabarnya dia mempunyai seorang murid perempuan...." Berkata si Raja Racun.
Akan tetapi baru saja dia selesai bicara, tibatiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang membuat dedaunan bergetaran. Suara itu datangnya dari arah hutan di hadapannya. Adhinata krenyitan alisnya seraya berpaling. Tampak tersembul sesosok tubuh kate berambut putih beriapan dengan sepasang kakinya yang besar.
Jalannya meluncur tanpa kakinya menginjak tanah. Ternyata ekornya yang telah dipergunakan untuk berjalan cepat, meliuk-liuk bagaikan ular. Sepintas seolah tubuh kakek kate itu seperti diangkat oleh seekor ular yang menyangga tubuhnya. Sesaat kemudian kakek kate berekor mirip ular itu sudah tiba di hadapan mereka.
"Kehkehkeh... keh.. kiranya si Raja Racun! Pantas... bau tubuhmu membuat nafas ku sesak di dalam goa!" Berkata si kakek kate dengan membeliakkan matanya yang sipit itu untuk dibuka lebih lebar, menatap si Raja Racun dan Adhinata.
"Hm, rupanya kau sudah punya murid...!"
"Tak salah, sobat Ririwa Bodas! aku baru saja menemukan seorang murid yang cocok untuk mewariskan ilmuku!" Sahut si Raja Racun.
"Hm, waktu kita saling mempertunjukkan ilmu sudah diambang mata. Tiga kali Purnama lagi...! kau sudah terlambat untuk memungut murid, Raja Racun!" Berkata si kakek kate dengan suara serak bagai tempayan rengat.
Akan tetapi si Raja Racun mendengus, dan tukasnya dengan suara terdengar tajam. "Jangan sesumbar dulu, sobat Ririwa Bodas! Dalam waktu singkat aku akan buktikan, bahwa murid ku akan mampu menaklukkan muridmu! Bahkan akan menaklukkan tokoh-tokoh Rimba Hijau termasuk kau! Hahahah... hahah...!" Tertawa Langir Sheto mendadak terhenti, karena si kakek kate berekor mirip ular itu sudah membentak.
"Tutup bacotmu yang rusak itu. Raja Racun! Kalau tak ingat perjanjian dan ingin tahu bukti kenyataan yang kau sumbarkan dari mulut bau mu itu, siang-siang aku sudah antarkan nyawa kalian ke Akhirat! Pergilah, sebelum aku batalkan janji! Ketahuilah, aku sudah siap sejak hari kemarin! Dan peristiwa yang mungkin sudah kau dengar itu adalah untuk memancing keluarnya tokoh-tokoh golongan Rimba Hijau untuk keluar dari sarangnya. Kemudian, satu persatu akan kulenyapkan! Terkecuali yang mau tunduk di bawah kekuasaanku dan muridku...!" Selesai habis kata-katanya, tiba-tiba ekor ular si kakek kate itu terkelebat menghantam ke arah sebatang pohon besar di sebelah sisinya.
Braakkk...!
Batang pohon itu hancur berkepingan. Dan dengan suara bergemuruh, pohon besar itu tumbang membuat batang-batang pohon lain patah berderak tertimpah. Dan jatuh menyentuh tanah dengan suara berdebum keras. Terbelalak sepasang mata Adhinata melihat kehebatan ekor ular si kakek kate. Akan tetapi si Raja Racun sudah menarik lengannya untuk dibawa melesat cepat meninggalkan tempat itu, seraya berteriak.
"Baik...! kau tunggulah tiga purnama mendatang, Ririwa Bodas! Cuma satu yang aku takutkan, adalah kau dan muridmu itu sudah mampus terlebih dulu oleh ulah mu yang terlalu dini itu, sebelum tiba masanya pertemuan yang kita janjikan!" Berkata demikian, Raja Racun dan Adhinata telah berkelebat sejauh lebih dari sepuluh tombak dari hadapan si kakek kate Ririwa Bodas.
"Bacot rusakmu itu kelak aku yang akan merobeknya, Langir Sheto!" Berbareng dengan bentakannya sebelah lengan si kakek kate bergerak menghantam ke depan. Dan segelombang angin panas bergulunggulung menerjang kedua orang itu.
Bummm...! Terdengar suara ledakan di bawah kaki si Raja Racun dan Adhinata. Kalau saja Langir Sheto tak menarik lengan pemuda itu untuk dibawa melompat tinggi sejauh tujuh-delapan tombak, niscaya kedua tubuh mereka akan terbakar hangus. Karena sekejap sudah terlihat sebuah lubang besar yang menyemburatkan tanah panas bercampur api.
"Edan...!" Memaki si Raja Racun. Sepasang kakinya sudah menjejak tanah lima tombak dari lubang besar itu, disusul dengan tubuh Adhinata.
Setelah sejenak menatap ke arah lubang, keduanyapun berkelebat pergi tinggalkan wilayah si Ririwa Bodas.
Dua bulan sudah sejenak terjadinya bermacam peristiwa. Di sekitar wilayah kadipaten SUKA WENING, yang masih terhitung wilayah kekuasaan Adipati Kambangan, kita menengok ke sebuah rumah tinggal yang berukuran luas. Beratap genting yang mempunyai dua wuwungan. Rumah besar itu boleh dibilang sebuah Pesanggrahan. Memang benar! Itulah Pesanggrahan tempat berdiamnya seorang tua kosen yang bernama GEMBUL SONA.
Suasana pesanggrahan tampak sepi. Para murid si kakek bertubuh jangkung berambut kecoklatan itu tengah mengadakan latihan di puncak bukit Untuk latihan yang diadakan setiap sepekan sekali itu diserahkan pada dua orang murid utama yang bernama BARASUKMA dan SURA WULUNG. Akan tetapi turut pula seorang murid wanitanya yang amat paling di sayang, yaitu PANDAN SARI.
Tampak Ki Gembul Sona mondar-mandir di ruang kosong, yang biasa dia melatih para muridnya di tempat itu. Sebentar-sebentar terdengar suara helaan nafasnya. Terkadang menggendong tangan ke belakang, terkadang sebelah lengannya mengelus jenggotnya yang cuma sejemput itu. Tampaknya seperti gelisah memikirkan sesuatu.
"Adipati Kambangan terbunuh...! Dan seluruh laskar Kadipaten tewas. Bahkan anak isteri sang Adipati itupun tewas semua...! Kejadian yang amat aneh, dan hampir tak masuk di akal. Tewasnya keluarga Adipati Kambangan dan para lasykar Kadipaten adalah oleh serbuan ribuan ekor ular! Anehnya ular-ular itu adalah ular siluman!" Terdengar suaranya menggumam lirih. Dan lengannya semakin keras mencengkeram jenggotnya. Wajahnya menampakkan keresahan yang luar biasa.
"Hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pasti ini perbuatan manusia sesat dari golongan hitam! Aku harus berembuk dengan para Pendekar golongan putih untuk menumpasnya demi ketentraman rakyat...!" Desahnya dengan kecemasan kian memuncak. Akan tetapi tiba-tiba hatinya tersentak, karena benaknya menduga sesuatu. Sebagai seorang tokoh kawakan Rimba Persilatan yang banyak pengalaman, Gembul Sona berpandangan luas.
"Hm, jangan-jangan hal ini sengaja digunakan untuk memancing keluar kaum golongan putih! Kalau demikian berarti manusia sesat yang mempunyai ilmu siluman itu telah siap dengan segala macam tipu daya kejinya...!" Demikian pikirnya dalam benak.
Dalam keadaan gelisah itu, tiba-tiba di luar terdengar suara orang mengucapkan salam. Diiringi munculnya sesosok tubuh bertubuh jangkung, berwajah putih bersih. Mengenakan jubah warna abu-abu. Rambutnya digelung kecil di atas kepala. Kumis dan jenggotnya sudah sama memutih seperti rambutnya. Cepat-cepat Gembul Sona menyambut setelah membalas salam. Disamping terkejut, juga bergirang hati, kakek rambut coklat Gembul Sona ini, karena yang datang adalah kakak seperguruannya dari puncak Gunung Tangkuban Perahu.
"Ah, ah.... selamat datang kakang Panunjang Jagat. Oh, girang sekali aku melihat kedatanganmu!" Berkata Ki Gembul Sona. Akan tetapi dia terheran karena tak melihat sang kakak seperguruannya membawa serta muridnya. "Eh, kakang...! Bukankah kau telah mengangkat seorang murid laki-laki, mengapa tak kau bawa serta?" Tanya Ki Gembul Sona. Ditanya demikian, justru Ki Panunjang Jagat jadi tercengang.
"Aneh...! Apakah bocah itu tak datang kemari? Dua bulan yang lalu dia telah turun gunung dan kuperintahkan kemari menemuimu, rayi .... Bukankah aku telah berjanji bila telah tamat pelajarannya aku akan mengirimnya kemari untuk mempelajari ilmu "Belut Putih" darimu!" Tutur Ki Panunjang Jagat dengan hati menyentak kaget.
"Akan tetapi tak ada seorangpun bocah laki-laki yang datang kemari, kakang! Apakah memang belum sampai kemari?" Tukas Gembul Sona.
"Rasanya tak mungkin, kalau dia tersesat. Aku telah berikan petunjuk jelas padanya mengenai tempat kediamanmu ini. Dan dia mempunyai tatto di lengannya, sebagai tanda bahwa dia muridku agar kau mudah mengenali!" Ujar Ki Panunjang Jagat, dengan geleng-gelengkan kepala. Tampak benar kemasgulan hatinya.
Ki Gembul Sona pun tercenung seketika. Memang mengenai murid kakak seperguruannya itu telah diperbincangkan sejak lima tahun yang lalu. "Marilah kita bicara di dalam, kakang... Kukira muridmu itu mendapat halangan di jalan, hingga tertahan langkahnya untuk tiba di sini!"
Ki Panunjang Jagat tak menjawab. Segera bergerak mengikuti sang adik seperguruan memasuki ruangan Pesanggrahan. Kedua tokoh Rimba Hijau itu tampak berbicara dengan serius setelah membicarakan murid Ki Panunjang Jagat, yang tak diketahui kemana rimbanya. Kedua kakek kosen itu membicarakan masalah munculnya sebuah peristiwa yang menggetarkan.. Ternyata Ki Panunjang Jagat pun telah mendengar akan kabar itu. Bahkan dia lebih mengetahui dari Ki Gembul Sona.
Ki Panunjang Jagat segera tuturkan tentang adanya seorang Adipati baru, pengganti Adipati Kambangan yang tewas. "Adipati baru itu bernama Raden ANTABOGA. Tampaknya seorang keturunan Bangsawan, dan berilmu tinggi. Sepekan sejak kudengar dia mengangkat diri menjadi Adipati, rakyat mulai hilang kegelisahannya. Karena dia telah memerintahkan pada semua penduduk di wilayah Kadipaten untuk memasangi tumbal pada tiap-tiap pintu rumah, hingga ular-ular siluman itu tak berani datang lagi!" Tutur Panunjang Jagat.
"Ah, sukurlah kalau demikian...!" Ujar Ki Gembul Sona. Moga-moga saja tak terjadi lagi kejadian yang mengerikan itu.! Akan tetapi kita kaum putih dari golongan Rimba Hijau harus tetap waspada! Karena aku menduga ada udang dibalik batu dengan kejadian itu...!" Sambungnya lagi.
Ki Panunjang Jagat manggut-manggut mengerti. Akan tetapi pada saat itu tiga orang murid Ki Gembul Sona tampak berlarian memasuki Pesanggrahan. Kakek tua berambut coklat ini sudah melompat keluar dari ruangan diikuti oleh Ki Panunjang Jagat. Sebentar saja ketiga murid itu sudah tiba di hadapan gurunya.
"Ada kejadian apakah kalian datang berlarian Bukankah latihan baru akan selesai setelah tengah hari..?" Tanya Ki Gembul Sona.
"Celaka, Guru...! seekor ular besar mengamuk di atas bukit! Tampaknya korban akan bertambah. Beberapa kawan telah tewas terkena amukannya! Ketiga kakak seperguruan kami tampaknya sukar untuk membunuh mahluk itu!" Salah seorang murid tuturkan kejadian itu dengan napas terengah-engah. Terkesiap Ki Gembul Sona. Sepasang matanya membeliak, dan dari mulutnya keluar makian.
"Bedebah! lagi-lagi ular...!" Sesaat dia sudah berpaling menatap Ki Panunjang Jagat. "Aku harus kesana, kakang...!"
"Marilah kita melihatnya! barangkali perlu ku bantu untuk menumpasnya! Entah apa lagi yang muncul ini? Apakah Juga ular siluman...?"
Ki Gembul Sona tak menjawab. Tubuhnya sudah berkelebat keluar dari halaman Pesanggrahan. Ki Panunjang Jagat berkelebat menyusul. Akan tetapi di pintu halaman, Ki Gembul Sona hentikan langkahnya, seraya berteriak yang ditujukan pada ketiga orang muridnya.
"Kalian tak ku perkenankan meninggalkan Pesanggrahan...!"
"Baik, guru...!" Teriak mereka hampir berbareng menyahuti. Sedangkan pandangannya masih menatap pada Ki Panunjang Jagat, karena baru melihat adanya seorang kakek di Pesanggrahan itu bersama gurunya. Sementara kedua orang tua itu sudah berkelebatan meninggalkan halaman Pesanggrahan. Sebentar kemudian kedua tubuh itu telah lenyap di kejauhan.
"Siapakah, kakek berambut putih itu...?" Tanya salah seorang murid Ki Gembul Sona.
"Entahlah! tadi kedengarannya guru memanggilnya kakang...I Apakah bukannya Ki Panunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu?"
"He...! Benar katamu! Dialah Uwak guru kita...!" Tukas kawannya. Akhirnya mereka semua menghela napas lega, karena dengan kedatangan guru dan uwak guru mereka, bahaya bisa tersingkirkan.
BUKIT DATAR adalah tempat murid-murid Ki Gembul Sona mengadakan latihan setiap sepekan sekali. Akan tetapi satu kejadian aneh telah membuat terjadinya musibah itu. Seekor ular besar yang. panjang dan besar tubuhnya hampir sebesar batang kelapa, telah muncul dari bawah bukit. Tentu saja membuat para murid Ki Gembul Sona menjadi lari lintang pukang ketakutan.
Di luar dugaan ular raksasa itu telah menyerang dengan ganas. Terjadilah pertarungan seru antara seekor ular dengan puluhan manusia. Dan sang ular mengamuk dengan hebat hingga membawa korban beberapa murid Ki Gembul Sona tewas dan terluka parah.
Melihat demikian Barasukma dan Sura Wulung mencabut senjatanya untuk membunuh sang ular. Akan tetapi bukanlah suatu pekerjaan gampang, karena disamping sukar mendekati makhluk itu, juga senjata mereka seperti tak mempunyai arti apa-apa untuk menembus kulit tubuh ular.
Sementara Pandan Sari seorang gadis murid Ki Gembul Sona yang paling disayang sang kakek, juga terjun dalam kancah pertarungan melawan ular raksasa itu. Sura Wulung yang bersenjatakan sepasang kapak bermata dua itu tampaknya bernafsu sekali membunuh ular raksasa itu.
Dengan dibantu oleh Barasukma yang mempergunakan pedang, menerjang dari arah depan. Sementara Pandan Sari dengan sepasang Trisulanya menerjang dari belakang. Akan tetapi makhluk itu bergerak gesit menyambarkan ekornya. Kepalanya membalik untuk meluncur ke arah Pandan Sari.
"Awaas...! menghindar!" Teriak Barasukma memperingati adik seperguruannya. Akan tetapi dia sendiri sudah terlempar terkena kibasan ekor ular raksasa itu, dan nyaris jatuh ke jurang.
Sementara Pandan Sari dengan geram melompat mundur. Trisulanya juga tak berfungsi. Cuma menggores sedikit kulit ular yang tak berarti. Karena ular itu kebal senjata. Barasukma tampaknya jadi nekat. Tubuhnya sudah berkelebat melompat menebas leher ular. Pedangnya dipergunakan dengan cepat menabas beberapa kali.
Trak! Trak! Trakk...!
Terperangah pemuda itu karena pedangnya mental balik ketika beberapa kali menambas untuk memutuskan leher ular. Kulit dan sisik ular itu kerasnya luar biasa. Sementara kejadian itu berlangsung, sesosok tubuh kate berambut putih yang beriapan sampai ke tanah memperhatikan jalannya pertarungan dari tempat persembunyiannya.
Kira-kira delapan tombak dad tempat pertarungan, dengan berdiri di atas batu di tempat ketinggian Wajahnya perlihatkan senyum menyeringai. Dialah si RIRIWA BODAS, alias si kakek kate berekor ular. Saat itu sudah terdengar sebuah bentakan keras, yang diiringi dengan berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Munduuurrr...!" Ternyata yang muncul adalah Ki Gembul Sona dan Ki Panunjang Jagat.
Pandan Sari berteriak girang, dan sudah melompat untuk menghampiri gurunya. "Guru...! Celaka...! kami tak mampu berbuat apa-apa! Ular raksasa itu tak mempan senjata tajam!"
"Oh, siapakah kakek...?" Tanya Pandan Sari seraya menatap pada Ki Panunjang Jagat.
"Aku uwak gurumu...!" Menyahut kakek penghuni puncak Tangkuban Perahu itu. Dan seraya menyahut tubuhnya sudah berkelebat ke arah ular raksasa.
Ki Gembul Sona segera berkelebat menyusul. Terjadilah pertarungan hebat. Sang ular raksasa melihat kemunculan kedua orang kakek ini segera langsung menerjang dengan moncongnya. Sementara ekornya bergulunggulung untuk menghempaskan dua tubuh di hadapannya. Debu mengepul, dan dua tubuh kakek itu sudah melesat untuk menghindar seraya hantamkan pukulan lengannya.
"Bukk...! Bukkk...!
Sang ular terlempar bergulingan. Akan tetapi kembali menjulur untuk menyerang mereka. Kakek Gembul Sona melesat ke arah sisi untuk menarik perhatian. Benar saja ular raksasa itu menyerangnya. Saat itu Ki Panunjang Jagat sudah melesat setinggi enam tombak. Lengannya kembali menghantam. Kali ini telak pada balok kepalanya.
Sebelum serangan sang ular mengenai tubuh Ki Gembul Sona, sang ular sudah menggeliat berbareng dengan suara berderak tulang kepala yang remuk. Prakkk...! Terdengar suara bentakan keras. Dan segelombang angin panas menerjang Ki Panunjang Jagat.
Wuukkk...! Bummm...!
Nyaris tubuh kakek puncak Tangkuban Perahu itu hancur lebur tubuhnya kalau tak segera melompat sejauh delapan tombak. Akan tetapi terperangah kakek itu, ternyata tubuhnya justru melayang ke dasar jurang....
Dua orang murid Ki Gembul Sona, yaitu Barasukma dan Sura Wulung segera melompat ke sisi bukit. Namun bayangan tubuh kakek itu sudah lenyap tak terlihat lagi terhalang kabut tipis di mulut jurang terjal itu. Sementara kejadian di atas bukit itu adalah telah muncul seorang kakek tua berekor ular, berambut putih beriapan yang menjulai sampai ke tanah. Ular raksasa itu tergeletak mati.
Akan tetapi terjadilah keanehan. Tubuh sang ular sekonyong-konyong lenyap, berubah jadi sebuah tongkat yang segera di sambar oleh kakek kate berekor ular itu. Kepala tengkorak di ujung tongkat si kakek kate itu dalam keadaan remuk.
"Kehkehkeh... keh keh... ternyata cuma melawan tongkatku saja, kalian sudah dibuat kacau balau! Keh...kehkeh... keh keh..." Tertawa mengkekeh si kakek berekor ular itu.
"Manusia apakah ini...?" Tersentak kaget Ki Gembul Sona. Tubuhnya sudah berkelebat ke hadapan kakek kate berekor ular itu. Ki Gembul Sona sudah tak tahu lagi nasib kakak seperguruannya, yang meluncur ke dalam jurang karena menghindarkan diri dari serangan kakek kate yang ganas ini.
Terkesiap Ki Gembul Sona tadi, ketika melihat sesosok bayangan putih berkelebat ke tempat pertarungan. Ketika tubuh ular raksasa itu roboh mati dengan kepala remuk, si kakek kate ini telah membentak keras dan kirimkan pukulan lengannya ke arah Ki Panunjang Jagat. Dia sudah mau berteriak untuk memperingati, tapi ternyata sang kakak seperguruan telah waspada. Sayang, lompatannya justru mempercepat jalan kematiannya. Dan entah bagaimana nasib Ki Panunjang Jagat, tiada diketahuinya lagi.....
Terperangah Ki Gembul Sona melihat ular raksasa itu ternyata hanyalah ular ciptaan si kakek kate. Di samping geram mendongkolnya, Gembul Sona terperanjat melihat kakek kate di hadapannya itu berlainan dengan umumnya manusia. Karena mempunyai ekor yang panjang mirip ular. Disamping memiliki tubuh kate, juga sepasang kakinya besar dan bertelapak lebar, bagai telapak kaki gajah.
"Hm, siapakah kau kakek kate...? Seumur hidup ku baru kali ini aku menjumpai manusia aneh seperti kau! Apa maksudmu membuat keonaran!" Bentak Ki Gembul Sona dengan wajah penuh amarah.
"Keh keh keh... aku memang mau mencari keonaran! Tak perlu kau herankan kemunculanku, karena aku memang mau menumpas semua golongan Putih dari Kaum Rimba Hijau! Catatlah gelarku dibenak mu sebelum kau mampus menyusul kakek tua renta itu di dasar jurang! Keh keh keh... gelarku adalah si RIRIWA BODAS...!"
Selesai si kakek kate itu berucap, tiba-tiba ekornya bergerak menyambar dahsyat ke arah Ki Gembul Sona. Tentu saja membuat kakek rambut coklat itu terkejut, akan tetapi segera melompat untuk menghindar, seraya kirimkan serangan pukulannya.
Wukk...! Kakek kate ini mendengus. Secepat kilat lengannya sudah dipakai untuk memapaki serangan itu.
Desss...! Tubuh kakek kate itu terdorong mundur tiga tindak, akan tetapi Ki Gembul Sona terlempar dua tombak. Ternyata tenaga dalam kakek kate ini berada dua tingkat di atas Ki Gembul Sona. Saat itu tiga orang murid Ki Gembul Sona sudah mengurung si Ririwa Bodas. Barasukma dan Sura Wulung dengan berbareng telah maju menerjang. Sementara Pandan Sari terperanjat melihat terlemparnya tubuh sang guru.
"Kakek iblis berbuntut ular, jaga senjataku...!" Bentaknya. Dan gadis inipun sudah melompat untuk menerjang dengan senjata Trisulanya.
Hebat si kakek kate ini, tubuhnya mendadak roboh ke depan. Tak ubahnya bagaikan seekor kadal raksasa sebesar manusia. Tiga terjangan murid-murid Ki Gembul Sona itu dihadapinya dengan gunakan ekornya menghantam ketiga tubuh penyerangnya. Sementara lengannya dengan sebat pergunakan tongkatnya untuk mengirim tusukan-tusukan maut ke arah dada lawan. Ternyata yang di incarnya adalah Barasukma dan Sura Wulung.
Trak! Trak! Crasss...!
Terdengar satu jeritan parau. Tampak tubuh Barasukma terlempar dengan sebelah lengan putus bercucuran darah, sedangkan pedangnya terlempar entah kemana. Adapun Sura Wulung telah gunakan kesempatan balk untuk membalas ekor ular si kakek kate. Akan tetapi terkejut pemuda itu, karena senjatanya juga tak mampu melukai kulit ekor si Ririwa Bodas.
Tahu-tahu ujung tongkat si kakek kate itu telah menembus dadanya. Menjerit pemuda murid Ki Gembul Sona itu, dan Jatuh berdebuk untuk menggeliat menahan sakit. Namun sekejap kemudian dia segera tewas. Terbelalak mata Ki Gembul Sona menyaksikan cuma dalam segebrakan saja, si kakek berekor itu telah menewaskan seorang muridnya, dan melukai lengan murid satunya lagi.
Dengan membentak keras menggeledek, tubuh kakek jangkung rambut coklat itu melesat di atas kepala si kakek kate. Sepasang lengannya terulur dengan kesepuluh jari-jari terentang. Siap untuk mencengkeram batok kepala lawan.
Brett...! Jubah si kakek kate itulah yang kena dicengkeram, karena orangnya sudah menggelinding pergi, dan melompat gesit. Sekejap sudah berada di belakang Ki Gembul Sona. Sekali lengannya bergerak, meluncurlah segelombang angin panas menerjang punggung kakek rambut coklat itu. Terperangah Ki Gembul Sona. Namun segera dia pergunakan ilmu ajian Belut Putih untuk melindungi tubuhnya.
Kita beralih dulu pada Pesanggrahan Ki Gembul Sona. Saat itu tiga orang murid berada di pintu penjagaan. Tak seperti biasanya, dalam situasi yang aman itu, telah muncul seorang wanita yang berkelebat memasuki halaman. Gerakannya cepat sekali, hingga murid yang menjaga di pintu utama tak melihatnya.
Wanita berpakaian serba kuning itu melompati tembok sebelah barat. Bahkan kelebatan tubuhnya tak membuat penjaga di pintu barat ini melihatnya. Dengan gerakan ringan si wanita itu sudah jejakan kaki ke ruangan dalam.
"Hihi... Pesanggrahan kosong ini adalah bagianku! Tampak wanita ini bentangkan lengannya. Tubuhnya terlihat bergetar. Hebat! sepasang lengannya sekejap saja telah menjadi merah bagaikan bara api.
Wuss! Wuss...!
Dua kali lengannya bergerak, api segera berkobar di dalam ruangan. Tubuhnya lalu berkelebatan ke setiap ruangan. Dan lengannya selalu bergerak untuk keluarkan api membakar di setiap tempat. Hingga sekejap kemudian api telah berkobar membakar pesanggrahan di segala penjuru. Tentu saja hal itu membuat beberapa murid penjaga Pesanggrahan tersentak kaget. Segera sudah berteriak-teriak dan lari dengan panik.
"Celaka...! Ah, tolooong...! toloong...! kebakaraaan! kebakaraan!" Teriakan-teriakan para penjaga pesanggrahan itu tibatiba terhenti, ketika sesosok tubuh melompat dari dalam ruangan, seraya perdengarkan suara tertawa mengikik.
"Hihihi... hihihi... akulah yang membakar pesanggrahan mu! Percuma! Guru dan kawan-kawan mu berada di atas bukit, tengah menempur ular raksasa! Mana mendengar teriakan kalian...?"
"Kurang ajar...! kau... kau masuk dari mana, wanita iblis?" Bentak seorang murid yang sudah menghadang wanita itu di hadapannya.
"Habisi saja nyawanya perempuan gila ini! apa maksudmu membakar tempat tinggal kami...?" Teriak kawannya dengan suara menggeledek. Serentak enam orang penjaga telah mengurungnya. Akan tetapi wanita itu perdengarkan suara dengusan di hidung.
"Huh! kalian laporkan pada gurumu, kejadian ini! Dan menyingkirlah kalau tak mau mampus!" Bentak si wanita itu dengan suara dingin.
"Keparat...! Sebutkan siapa kau! kau tak mungkin lolos dari tangan kami!" Membentak murid Ki Gembul Sona. Dia adalah kepala penjaga di Pesanggrahan itu, bernama Tanggor.
"Hm, buka telinga baik-baik! Akulah yang bergelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan RORO CENTIL...!"
Terperanjat seketika enam orang murid Ki Gembul Sona, Akan tetapi pada saat itu sepasang lengan si wanita itu telah membentang. Dan terpekiklah empat orang penjaga Pesanggrahan. Tubuhnya terhuyung jatuh, dan berkelojotan berteriak-teriak. Ternyata pakaiannya sobek-sobek dan hangus. Tak lama mereka sudah terkapar pingsan. Kedua kawannya terperangah seketika. Dan dengan wajah pucat salah seorang menerjang bringas.
"Kau telah merusak binasakan tempat tinggal kami, dan kau bunuh pula empat kawanku! Aku akan adu jiwa denganmu, iblis perempuan!" Pedang dan serangkanya sudah dilepas untuk sekaligus menerjang wanita itu dengan tabasan-tabasan maut. Ternyata laki-laki bernama Tanggor ini bernyali hebat. Dia tak takut mati. Pedangnya berkelebatan bagaikan bayangan.
Akan tetapi dengan melompat-lompat wanita menghindar, ini mampu membuat serangan berantai yang menggebu-gebu itu lolos. Kalau dia mau, sekali hantamkan lengannya laki-laki bernama Tanggor itu akan tewas dengan tubuh hangus. Akan tetapi wanita ini berseru kagum.
"Aiiih, kau seorang lelaki yang brangasan, dan gagah! Kau tak takut mati...?" Berkata si wanita itu, seraya melompat mundur.
"Si Tanggor tak peduli kalau harus mampus sekalipun, dari pada aku lihat tampang manusia iblis perempuan macam kau!" Teriak laki-laki bertubuh kekar itu. Pedangnya mengaum untuk membelah kepala si wanita yang mengaku bernama RORO CENTIL itu.
Akan tetapi wanita itu tak mengelak. Lengannya cepat menjulur ke atas. Tapi Hebat! Cuma dengan gerakan ringan, kedua jari lengannya telah menjepit mata pedang Tanggor.
"Hah...?" Tersentak laki-laki ini. Dengan sekuat tenaga dia mencoba menarik pedangnya dari jepitan jari si wanita, namun tak membawa hasil. Keparrat...! Memaki Tanggor dalam hati, dan sebelah lengannya yang memegang sarung pedang digunakan menyodok dada wanita itu yang sebagian buah dadanya menyembul.
Kalau saja wanita itu muncul dengan muka manis dan tak membawa malapetaka, niscaya Tanggor akan terkesima, atau terangsang birahi melihat cara berpakaian wanita di hadapannya. Akan tetapi justru kebencian, dan dendam kesumatlah yang mendekam di hatinya, untuk membunuh wanita yang telah mengacau di Pesanggrahan itu.
Sodokan sarung pedang itu ternyata tak mempunyai arti sama sekali. Karena dengan gerak cepat sebelah lengan si wanita mengibas, yang dibarengi kelebatan tubuhnya. Sekejap kemudian, terdengar suara keluhan. Tubuh laki-laki itu terkulai roboh terkena totokan lengan si wanita. Dan sarung pedangnya telah terlempar entah kemana.
Belum lagi tubuh kaku Tanggor menyentuh tanah, si wanita itu telah menyambarnya. Selanjutnya sekejap sudah berada di atas pundaknya, dengan jarijari lengannya masih menjepit pedang laki-laki murid Ki Gembul Sona.
"Hihihi... hatiku agak kepincut denganmu, pemuda berangasan!" Terdengar suara desis wanita itu. Dan tubuhnya sudah berkelebat melompat ke atas tembok. Seorang kawan Tanggor cuma terperangah melihatnya, ketika tahu-tahu pedang di lengan si wanita itu meluncur ke arahnya. Kalau tak meleset sebutir kerikil menghantam pedang yang menyambar cepat saat Itu, mungkin lehernya sudah terpanggang pedang. Akan tetapi justru saat laki-laki itu terkesima, pedang Tanggor sudah tinggal dua inci lagi dari kulit lehernya.
Terdengar suara berdenting. Sambaran pedang maut itu terhenti dan mental balik ke lain arah, yang langsung menancap di tiang pesanggrahan. Tersentak si penjaga Pesanggrahan yang tersisa ini. Tampak sesosok tubuh berkelebat mengejar wanita tadi yang sudah melompati tembok untuk lenyap terhalang penglihatannya.
"Berhenti...!" Bayangan itu berkelebat cepat sekali mengejar si wanita yang mengaku sebagai Roro Centil. Akan tetapi begitu sepasang kakinya menempel ditembok pagar Pesanggrahan, tiba-tiba... Derrr...! Tembok itu seketika runtuh dengan keadaan hangus. Sedangkan si pengejar telah melompat setinggi dua tembok menghindari serangan ganas wanita itu.
"Keparat...! Terdengar suara orang itu memaki, karena ketika kakinya menjejak tanah, bayangan tubuh si wanita yang mengaku bernama Roro Centil itu sudah berkelebat lenyap tak ketahuan kemana arah larinya. Dengan wajah masgul dia melompat kembali ke dalam Pesanggrahan. Sementara api telah berkobar semakin besar melalap habis wuwungan rumah Pesanggrahan itu tanpa dapat dicegah lagi.
Sejenak sosok tubuh itu menatap pada api yang membumbung ke langit, membuat udara sekitar menjadi panas. Lalu alihkan untuk menatap pada pemuda di hadapannya, yang masih berdiri terpaku memperhatikan.
"Terima kasih atas pertolongan anda, sobat Pendekar...!" Berkata murid Ki Gembul Sona.
"Hm, sudahlah...! kemana kawan-kawanmu yang lain? Tampaknya sukar untuk menyelamatkan rumah Pesanggrahan ini, juga menyelamatkan barang-barang di dalamnya! Api sudah menyebar ke seluruh ruangan." Ujar laki-laki itu.
Ternyata seorang pemuda yang berwajah tampan, hampir mirip wanita. Sebatang pedang tampak tersembul di bahu kanannya. Belum lagi murid Ki Gembul Sona menyahut, sudah terdengar suara riuh di belakangnya. Dan bermunculan kawankawannya, yang serentak berteriak-teriak panik. Juga muncul Ki Gembul Sona dengan memondong seorang muridnya yang terluka pada sebelah pundaknya.
"Celaka...! celaka...! Ludaslah semuanya...! Oh, dosa apakah gerangan yang kulakukan? Siapa manusianya yang telah membakar Pesanggrahan ku ini?" Terdengar suara Ki Gembul Sona, yang sudah berdiri terpaku tanpa dapat berbuat apa-apa. Sementara api kian melahap habis Pesanggrahan itu, hingga beberapa kejap kemudian sudah tinggal puing-puing belaka.
Sisa-sisa murid Ki Gembul Sona Cuma tertunduk dengan wajah sedih. Keadaan seketika sunyi senyap bagaikan tak ada orang di tempat itu. Cuma yang terdengar suara helaan nafas dan suara berderaknya kayu-kayu yang sudah memulai di makan api, yang berjatuhan saling tumpuk. Langit seperti diwarnai oleh warna hitam yang membumbung ke atas dari sekitar pesanggrahan yang sudah tak berbentuk lagi.....
Sosok tubuh si manusia kate itu berkelebat cepat dari Bukit Datar. Gerakan larinya aneh sekali, karena ekornya dijadikan penunjang tubuhnya, yang selalu menjulur terlebih dulu untuk mengangkat tubuhnya. Hingga seperti dilontarkan, tubuh si kakek kale Ririwa Bodas itu melesat cepat menyeberangi tebingtebing terjal. Ternyata kakek kate itu memondong sesosok tubuh wanita pada sebelah pundaknya.
Sementara di belakang si kakek kate itu sesosok bayangan tubuh mengejarnya diiringi bentakan-bentakan keras. "Berhenti kau kakek siluman...! Heh, jangan harap kau dapat loloskan diri dart tanganku...!"
Terdengar suara bentakannya yang bersuara nyaring. Kejar-kejaran itu terus berlanjut, hingga sudah melewati beberapa anak sungai. Siapakah gerangan sosok tubuh dalam pondongan si Ririwa Bodas itu? Dan siapa pula yang mengejarnya? Marilah kita ikuti pertarungan yang tadi tengah berlangsung di Bukit datar. Ketika itu si Ririwa Bodas tengah lancarkan pukulan apinya yang dahsyat ke arah punggung Ki Gembul Sona.
Terperangah laki-laki tua berambut coklat itu. Akan tetapi segera dia pergunakan ilmu ajian "Belut Putih" untuk menghadapi terjangan pukulan si kakek kate, karena tak mungkin lagi baginya untuk melompat atau menghindar. Angin panas itu telah tinggal sejengkal lagi di belakang punggungnya.
Plassh...! Terkejut si Ririwa Bodas, karena angin panas yang dahsyat dari pukulannya itu telah lewat bagaikan kalis, tanpa melukai atau membakar hangus tubuh Ki Gembul Sona. Cuma pakaiannya saja yang terbakar hancur dan berhamburan. Sedangkan punggung Ki Gembul Sona tetap utuh tanpa hangus.
Akan tetapi tubuh itu terhuyung ke depan beberapa langkah. Sekejap Ki Gembul Sona sudah cabut kerisnya, dan balikkan tubuh dengan cepat. Dan melesatlah tubuhnya untuk menukik menghujamkan kerisnya ke ubun-ubun kepala si kakek kate...
Trang! Terdengar suara benturan keras. Ternyata si kakek kate telah menyampok mental keris Ki Gembul Sona. Kakek ini perdengarkan teriakan tertahan. Tubuhnya lakukan salto beberapa kali ke udara. Dan sekejap sudah jejakkan kaki di atas batu. Nyaris keris di tangannya terlempar lepas dari genggamannya. Kakek itu rasakan lengannya kesemutan.
Akan tetapi pada saat itu si kakek kate telah lemparkan tongkatnya ke arah Ki Gembul Sona. Bibir si Ririwa Bodas ini tampak bergerak-gerak membaca mantra. Seraya berbareng dengan lemparan tongkat itu, dia membentak keras. "Kau hadapilah ular ku...!"
"Hossss...!" Tiba-tiba tongkat si kakek kate telah berubah menjadi seekor ular yang ngangakan mulutnya menyambar ke arah batok kepala Ki Gembul Sona.
Terperangah kakek ini. Namun dengan menggertak gigi secepat kilat tabaskan kerisnya ke kepala ular raksasa "ciptaan" itu. Akan tetapi benarlah seperti kata muridnya. Ular ciptaan itu mempunyai kekebalan kulit yang luar biasa kerasnya, (tentu saja, karena ciptaan itu adalah tongkat ular baja si kakek kate yang diciptakan menjadi ular dengan menggunakan ilmu hitam, atau ilmu siluman).
Tampaknya kejadian pertarungan seperti tadi segera berlangsung lagi. Ki Gembul Sona keluarkan teriakan-teriakan gusar yang merangsak ular ciptaan itu. Akan tetapi setiap kali kerisnya menyentuh kulit ular, segera terpental balik.
Sementara Ki Gembul Sona tengah sibuk menghadapi ular ciptaan si Ririwa Bodas ini berkelebat mendekati ke arah Pandan Sari. "Kehkehkeh... gadis cantik! kau ikutilah aku...!" Desisnya dengan suara serak. Dan sekonyong-konyong ekor si kakek kate itu telah menggulung tubuhnya, dan membelit pinggangnya dengan erat.
Terperangah beberapa murid Ki Gembul Sona. Sementara si gadis itu sudah terpekik kaget. Sepasang Trisulanya segera digunakan menghujani kulit ekor si Ririwa Bodas. Akan tetapi mengeluh gadis ini, karena tahu-tahu lengan si kakek kate itu telah berkelebat menotoknya. Sekejap tubuhnya sudah terkulai tak berkutik. Sekali lengan si kakek itu menyambar, maka berpindahlah tubuh Pandan Sari ke atas pundaknya.
Tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat lagi ke tempat pertarungan seraya kirimkan serangan hebat pada Ki Gembul Sona, untuk membantu "ular"nya menyudahi pertarungan. Saat itu Ki Gembul Sona dalam keadaan lengah. Kemarahan menghadapi ular raksasa itu yang Kembali muncul dan "hidup" lagi, membuat dia tak waspada akan kejadian disekelilingnya. Bahkan tak menyadari kalau murid terkasihnya telah berada dipundak musuhnya.
Wuukkkk...! Hantaman yang menyemburkan hawa panas itu menerjang mengarah batok kepala Ki Gembul Sona. Agaknya si Kakek ini tak mampu berkelit lagi. Dan saat itu dia tak sempat pergunakan ajian "Belut Putih"
Blasss...! Terdengar teriakan tertahan Ki Gembul Sona, seolah terasa kepalanya seperti sudah hangus sekejapan. Akan tetapi teriakan tertahan itu berbareng dengan teriakan si kakek kate, yang sebelumnya didahului oleh satu bentakan nyaring. Sesosok bayangan berkelebat menyelamatkan nyawanya memapaki serangan ganas si Ririwa Bodas. Tubuh si kakek kate terdorong ke udara tiga tombak. Nyaris saja tubuh gadis dalam pondongannya itu terlepas.
Akan tetapi dengan gesit tubuhnya berjumpalitan. Ekornya menjulur untuk menyangga tubuhnya dari kejatuhan. Sekejap dia sudah dapat jejakkan kaki ke tanah dengan baik. Menyeringai wajah si kakek kate ini karena rasakan telapak tangannya perih dan ngilu akibat terlepasnya persendian tangannya.
Heran bercampur terkejut si kakek kate menatap pada sosok tubuh semampai yang sudah muncul di situ. Siapa lagi kalau bukan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil. Ternyata Pendekar Wanita ini datang tepat pada waktunya dan secara tak sengaja telah menyelamatkan nyawa Ki Gembul!
"Hm, kakek siluman buntut kadal, tongkat ular ciptaanmu itu hebat sekali...! Berkata Roro. Dan sekejap tubuhnya sudah berkelebat ke arah sang ular yang masih menempur Ki Gembul Sona. Senjata Rantai Genitnya tahu-tahu sudah mendesing ke arah kepala "ular" raksasa itu.
Praakkk...! Terdengar suara berderak keras. Tubuh ular segera menggeliat, kemudian roboh menggabruk. Ketika tubuh sang ular berubah ujud menjadi tongkat yang lagi-lagi hancur bagian ujungnya, Roro Centil sudah berkelebat untuk menyambarnya.
"Tongkat sialan mu ini lebih baik dipendam ke dalam bumi!" Berkata Roro Centil, seraya menghujamkan tongkat baja si kakek kate, hingga amblas ke dalam tanah tak kelihatan lagi ujungnya.
Terperangah Ki Gembul Sona. Kemunculan seorang gadis yang telah menyelamatkan nyawanya dan sekaligus memusnahkan "ular" ciptaan si Ririwa Bodas itu membuat hatinya tersentak kaget dan girang. Pandangan matanya sudah membentur pada senjata Rantai Genit-nya Roro Centil. Melihat sepasang benda yang berbandulan mirip sepasang buah dada itu, segera Ki Gembul Sona mengetahui siapa gadis cantik di hadapannya.
"Ah, ah...! Anda pasti Pendekar Wanita RORO CENTIL! apakah dugaanku yang tua renta ini tidak salah...?" Ucapnya dengan menatap pada Roro.
"Hihihih...! tepat sekali dugaanmu, kakek jangkung...! Biarlah aku mewakilkan mu menghajar si kakek siluman buntut kadal itu!" Sahut Roro, yang sudah balikkan tubuh menatap pada si Ririwa Bodas.
Sementara si kakek kate cukup terkejut melihat tindakan Roro yang memusnahkan ular ciptaannya dan sekaligus melenyapkan tongkatnya hingga amblas ke dalam tanah. Hatinya membatin. 'Hebat...! Macam inikah cantiknya si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil, yang menjadi musuh muridku? Memang sungguh-sungguh cantik, dan juga berilmu tinggi...! Sayang kalau dia harus tewas, bangkainya saja aku masih tak menolak untuk ku cicipi...!"
Otak kotor si kakek kaki gajah ini sudah bekerja sampai sejauh itu, karena hatinya diam-diam mengagumi akan kecantikan serta kemontokan tubuh sang dara perkasa Pantai Selatan itu.
Sebenarnya walaupun belum pernah bertemu muka, si kakek kate itu sudah dapat menerka siapa adanya wanita kosen yang cantik jelita dihadapannya itu, karena juga dengan melihat sepasang senjata Rantai Genit di tangan gadis Pendekar itu. Akan tetapi di luar dugaan, justru Roro Centil telah mengenali siapa laki-laki kate di hadapannya. Karena pada peristiwa belakangan ini, Roro Centil telah terjerumus ke sarang Siluman Buaya Putih.
Dari sang Ratu Siluman Buaya Putih itu Roro mengetahui kalau di wilayah sekitar Jawa Barat ada berdiam seorang tokoh Rimba Hijau yang amat kejam dan telengas. Dialah yang bernama Ririwa Bodas, yang memiliki ilmu-ilmu siluman jahat hingga kakek kate itu mempunyai ekor yang tumbuh dipantatnya.
"Eh, kakek muka kriput buntut kadal...! turunkan gadis itu dari pundakmu...!" Bentak Roro dengan suara nyaring dan terdengar gemas. Akan tetapi si kakek kate itu cuma tertawa menyeringai, kendati hatinya agak jeri melihat kehebatan si Pendekar Wanita yang masih berusia muda dan cantik itu.
"Kehkehkeh...! selamat jumpa nona Pendekar Roro Centil! Aku si Ririwa Bodas salah seorang pengagum mu. Memang sudah lama aku menantikan kemunculan anda! Sayang hari ini aku tak dapat melayani mu, kelak muridkulah yang akan menghadapi anda nona Pendekar Perkasa...! Dan... kehkehkeh...! Mengenai gadis ini, terpaksa aku tak dapat melepaskannya...!" Berkata si Ririwa Bodas.
Selesai buka mulut, si kakek kate itu sudah gerakkan ekornya untuk mengait dahan pohon. Dan... wuss...! Tubuhnya sudah melayang cepat untuk melesat pergi. Dengan beberapa kali lompatan saja sudah berada sejauh dua puluh tombak.
Akan tetapi Roro Centil sudah gerakkan tubuhnya melesat untuk mengejar, diiringi bentakan nyaring. "Kakek keriput buntut kadal...! jangan harap kau dapat loloskan diri dari tanganku...!( Siapakah muridmu yang mendendam padaku itu?" Teriak Roro Centil.
"Dia akan kau ketahui kalau kau sudah berhadapan...!" Sahut si kakek kate tanpa menoleh, dan semakin cepat berkelebatan untuk melarikan si gadis dalam pondongannya...
Ki Gembul Sona sudah kelebatkan tubuh untuk turut mengejar, akan tetapi Roro Centil segera berkata. "Kakek jangkung, biar aku yang menyelamatkan muridmu itu...!" Dan melesatlah tubuh Roro Centil untuk memburu si Ririwa Bodas.
Sementara Ki Gembul Sona cuma bisa menatap saja dengan hati kebat-kebit. Akan tetapi dia merasa yakin kalau sang Pendekar Wanita Pantai Selatan akan dapat menyelamatkan murid terkasihnya itu . Tiba-tiba dilihatnya asap mengepul di kejauhan. Langit pada sebelah utara tampak menghitam. Hati si kakek rambut coklat ini jadi tersentak kaget. Hatinya memikir.
"Ah, jangan-jangan telah terjadi kebakaran di Pesanggrahan ku!" Memang si kakek jangkung yang bergelar si Belut Putih ini mengetahui betul letak tempat pesanggrahannya. Dugaannya ternyata tak keliru, karena setelah ramai-ramai mereka kembali bersama para muridnya yang terluka, cuma bisa menyaksikan rumah Pesanggrahannya sudah tinggal puing-puing belaka.
Demikianlah. Sementara Ki Gembul Sona tengah dilanda kekalutan dengan bermacam musibah yang menimpa, Roro Centil Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu tengah mengejar si kakek kate Ririwa Bodas yang sudah amat jauh meninggalkan wilayah selatan itu. Akan tetapi ketika telah memasuki wilayah tempat kediaman si kakek kate itu, Roro Centil telah kehilangan jejak.
"Setan alas...! gadis murid si kakek jangkung itu harus kuselamatkan...!I" Deals Roro dengan wajah menampakkan kemendongkolan, karena sejauh itu Roro tak dapat melakukan tindakan apa-apa. Khawatir kalau melukai si gadis yang berada dalam pondongan si Ririwa Bodas.
Di hadapannya adalah bukit batu. Tak terlihat sebuah celah kecilpun untuk si kakek kate menyelinap masuk, apalagi dengan membawa korbannya dalam pondongan. Akan tetapi Roro Centil tak kekurangan akal. Segera bibirnya telah berdesis.
"Tutul Sahabatku....!" kau kejarlah siluman tua itu, dan rebut kembali gadis yang diculiknya...!"
Sebagai sahutannya adalah suara menggeram, yang kemudian terasa angin membersit lewat di sampingnya. Itulah pertanda sang harimau Tutul sudah menjalankan perintah. Kalau saja Roro Centil pergunakan mata batinnya tentu akan melihat sebuah lubang menganga di hadapannya.
itulah goa tempat sarang si Ririwa Bodas, yang telah menutupnya dengan kekuatan gaib yang amat hebat, hingga tak menampak ada lubang disana kecuali batu-batu yang rapat dinding bukit. Badan si makhluk siluman sahabat Roro itu sudah melesat masuk dengan cepat, bagaikan angin yang berhembus lewat...
Sementara Roro Centil bahkan melompat ke atas tebing bukit itu untuk mengamati kemana gerangan lenyapnya si kakek kate Ririwa Bodas.
GUBUK KECIL di puncak pohon itu tampaknya seperti tak berpenghuni. Karena tak terlihat seperti biasanya seorang kakek berkaki satu duduk di "rumah burung" itu untuk menikmati asap tembakaunya dengan cangklong terbuat dari tulang ayam. Kakek berkaki buntung itu seorang yang tuna wicara alias gagu.
Pekerjaannya sehari-hari tak lain dari berburu. Bila mendapatkan hasil buruannya tentu segera memanggangnya dan menyantapnya di rumah burung yang berada di puncak pohon. Untuk memanjat ke atas telah disediakan sebuah tangga tali yang menjuntai sampai ke tanah. Itulah rumah mungil tempat beristirahatnya si kakek gagu berkaki satu.
Akan tetapi sukar diterka kalau ternyata di dalam pondok kecil itu telah diisi oleh dua orang anak manusia berlainan jenis yang tengah melakukan perbuatan terkutuk. Laki-laki itu ternyata tak berdaya, ketika tubuhnya yang tertotok kaku, di bawa berkelebat ke puncak pohon. Dan sekejapan saja sudah direbahkan di dalam pondok yang cuma beralaskan tikar pandan kumal.
Ternyata adalah si wanita yang telah membakar Pesanggrahan Ki Gembul Sona. Dialah si Roro Centil gadungan. Menatap tubuh laki-laki yang bertubuh kekar itu "Roro Centil" sudah tak sabar untuk segera menyalurkan keinginannya. Lengannya sudah bergerak menyingkirkan apa yang menghalangi tubuh laki-laki bernama Tanggor itu.
Breett...! Wek! Wekk...!
Bret! Brebett...! Brett!
Sekejap saja tubuh si laki-laki itu sudah membugil. Kini gantilah wanita itu yang melepaskan pakaiannya. Tentu saja sepasang mata Tanggor jadi membeliak. Kebencian dan birahi mengaduk menjadi satu. Akan tetapi dengan menggertak gigi Tanggor menahan rangsangan hebat itu, dengan memejamkan matanya.
"Laki-laki bodoh!" memaki Roro Centil gadungan. lengannya sudah bergerak untuk memencet urat nadi di leher laki-laki itu, seraya berdesis dengan geram.
"Apakah kau lebih senang mati, dari pada menikmati tubuhku....?" Hm, jawablah..."
Tentu saja si laki-laki itu sudah belalakkan matanya lagi dengan megap-megap dan menyeringai kesakitan.
"Hm, jarang aku mau digauli laki-laki sembarangan! Dan kau mendapat kesempatan istimewa, mengapa kau menolak?" Berkata si wanita itu seraya lepaskan cengkeramannya.
"Baik...! baik...! lepaskanlah totokanku...! Aku akan menuruti kemauanmu, perempuan bejat!" Berkata laki-laki murid Ki Gembul Sona itu.
"Hihihi... makilah aku sepuasmu, laki-laki gagah! Asal kau turuti kehendakku, aku tak penasaran lagi! Sahut si Roro Centil gadungan, yang segera gerakkan lengannya membebaskan tubuh laki-laki itu dari pengaruh totokannya.
"Hm, dengarlah! Tanggor! walau kau cuma kepala pengawal penjaga Pesanggrahan si tua bangka Gembul Sona itu, aku senang padamu! Kalau kau mau, aku akan mengangkatmu menjadi Kepala Pengawal di Kadipaten...! Bersediakah kau?"
Sejenak termenung si Tanggor itu. Sementara wanita itu sudah rebahkan tubuhnya ke dadanya yang bidang dan berbulu lebat. Terasa dua gumpal benda lunak menindih dadanya. Dan jantungnya segera berdetak cepat.
"Aku amat menyenangi mu, sayang...! maukah kau menjadi Kepala pengawal Kadipaten? Kau akan memperoleh sebuah kuda yang bagus, dan pakaian keperwiraan. Ketahuilah! aku adalah istri dari Adipati ANTABOGA yang sekarang memegang kekuasaan! Mengenai hubungan kita, aku dapat mengaturnya. Kau akan kuberi sebuah rumah tinggal yang aman, untuk aku sewaktu-waktu datang...!"
"Akan tetapi bukankah kau... kau seorang Pendekar Penjunjung Kebenaran? Kalau kau benar seorang Pendekar pembela yang lemah, mengapa kau menjadi seorang penjahat? Kau lakukan perbuatan kejam membunuh kawan-kawanku, dan membakar Pesanggrahan! Apakah itu perbuatan seorang Pendekar?" Berkata Tanggor dengan mendidih perasaannya yang menggebu. Hawa rangsangan semakin lama semakin sukar untuk ditolak, karena seketika wanita itu sudah mendidih tubuhnya.
"Hihihi... aku lakukan itu karena suruhan orang, kakang Tanggor!" Berkata Roro Centil gadungan seraya membelai wajah dan leher laki-laki itu.
"Si... siapa yang telah menyuruhmu...?" Tanya Tanggor dengan napas sesak. Dirasakan sekujur tubuhnya seperti lemah lunglai. Tak kuasa dia menahan gejolak rangsangan yang sudah menggelegak memenuhi dadanya...
"Guruku ...!" Ujar si wanita dengan menggeliat di dada laki-laki itu. Terasa nafasnya semakin memburu, dan bibirnya mulai keluarkan desahan-desahan kecil. Terlalu sukar bagi Tanggor untuk lakukan bermacam pertanyaan, karena sepasang matanya sudah menjadi nanar.
Dan sesuatu yang terlalu indah menurut naluri kelaki-lakiannya telah membuat dia seperti terperosok kesatu lembah yang teramat dalam tak berujung. Selanjutnya dari "rumah burung" itu sudah terdengar suara-suara berdesahan dan rintih-rintih kecil yang membaur dengan irama margasatwa di sekitar hutan...
Sesosok tubuh melompat-lompat dengan gerakan lincah. Walaupun cuma berkaki tunggal, si kakek gagu itu dapat melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah tongkat kayu bercabang penyangga tubuhnya. Dari kejauhan dia sudah melihat ke arah "rumah burung" tempat dia berhuni. Ternyata si kakek gagu kaki tunggal ini mempunyai naluri yang peka. Dia sudah mengetahui adanya orang lain yang menghuni tempat tinggalnya itu.
Tampak alisnya bergerak turun, sepasang matanya menatap beberapa lama. Heh? siapa pula orangnya yang berani mengotori rumah tempat tinggalku? Berkata dia dalam hati. Tibatiba tubuhnya sudah berlompatan untuk segera tiba di bawah pohon. Diraihnya tangga tali untuk digerakgerakan, seraya berteriak.
"Wuuuuh! wuuuh...! wuuuu ...!" Suara teriakannya kedengaran aneh, tapi maksudnya adalah mengusir orang yang berada di atas, di dalam "rumah burung"nya itu agar segera turun. Tentu saja si kakek gagu tak mengetahui kalau di dalam rumah burung itu dua anak manusia berlainan jenis tengah memadu asmara. Kembali dia menyentak-nyentakkan tangga tali itu dengan berteriak-teriak seperti tadi.
Tiba-tiba amat terkejut si kakek gagu ketika tahu-tahu dari atas terdengar suara jeritan parau, diiringi terlemparnya sesosok tubuh menggabruk ke bawah. Dan sebuah bayangan kuning melompat turun dengan gerakan ringan. Akan tetapi segera berkelebat pergi tanpa menghiraukan si kakek gagu kaki buntung itu menuju arah utara.
Si kakek gagu itu jadi terheran dan memandang sekilas. Akan tetapi segera melompat untuk menghampiri orang yang jatuh dari "rumah burung" di atas pohon. Seketika wajah kakek gagu itu jadi pucat dan terperangah memandang sesosok tubuh laki-laki yang sudah tewas dengan tubuh telanjang bulat. Pada saat itu telah berkelebat pula ke arahnya sesosok tubuh berpakaian sutera warna hitam, berambut beriapan.
"Apakah yang telah terjadi kek...?" Bertanya pendatang ini yang tak lain dari Roro Centil adanya. Sementara Roro sudah segera palingkan wajahnya setelah sekilas melihat mayat yang tergeletak itu, yang mulutnya tampak mengalirkan darah. Kini menatap pada si kakek gagu setelah lakukan pertanyaan. Tentu saja si kakek gagu itu tak bisa bicara, kecuali cuma berkata.
"Wuuuh! wuuuh...! wuuh...!"
Seraya menunjuk ke arah utara dimana si wanita tadi berkelebat. Tahulah Roro Centil kalau orang tua kaki satu itu tak bisa bicara. Cepat sekali tubuh Roro Centil sudah bergerak mengejar ke arah yang ditunjuk kakek gagu itu. Beberapa saat, Roro sudah dapat melihat adanya sebuah bayangan kuning berkelebatan dengan sebat menerobos hutan belukar.
Kali Ini Roro tak lakukan bentakan, kecuali dengan diam-diam mengikuti kemana sosok tubuh itu berkelebat. Diam-diam hatinya membatin. "Eh, siapakah wanita itu? Dia seperti membawa bandulan senjata Rantai Genit seperti senjataku!"
Akan tetapi baru saja dia mau lakukan lompatan untuk menghadang, tiba-tiba terdengar bentakan keras di belakangnya. Dan beberapa sosok tubuh sudah mengurung Roro. Terkejut Centil ketika mengenali mereka adalah tujuh mahluk kerdil yang sudah tidak mirip manusia lagi. Karena dari kepala-kepala ketujuh makhluk kerdil itu ada sepasang tanduk.
Masing-masing bermata bulat menonjol, dengan mulut menyeringai menampakkan taring-taring yang runcing tajam. Tubuhnya hitam berbulu dengan kaki yang tak menyentuh tanah. Tersentak Roro Centil, yang sudah dapat menduga mereka adalah siluman-siluman kerdil yang jahat.
Seperti ada yang mengomandokan, ketujuh makhluk kerdil itu sudah menerjang Roro Centil. Akan tetapi Roro sudah waspada sejak tadi. Segera gerakkan lengannya menghantamkan ke kiri dan kanan. Sayang, yang dihadapi Roro bukanlah manusia biasa, melainkan mahluk siluman, hingga hantaman-hantaman itu tak berarti. Sekejap tubuh-tubuh mahluk kerdil itu sudah berpencar. Pukulannya seperti menembus bayangan belaka.
Ketika tahu-tahu tubuh Roro sudah kena disergap ketujuh mahluk siluman kerdil itu. Menghadapi demikian tampak Roro Centil agak panik. Namun segera hentakkan kakinya untuk melompat setinggi sepuluh tombak. Ketujuh mahluk kerdil itu terbawa ke atas. Ternyata Roro Centil gunakan jurus "Pusaran Angin Puyuh" warisan si kakek bulat si Dewa Angin Puyuh sahabat baiknya yang berbaik hati menurunkan beberapa jurus ilmunya.
Hebat akibatnya, karena serentak ketujuh mahluk kerdil itu berpental terlepas dari tubuhnya. Dengan beberapa kali lakukan salto di udara, tubuh Roro sudah kembali jejakan kaki ke tanah. Sebat sekali, Roro Centil sudah gerakkan tubuhnya untuk teruskan mengejar si wanita baju kuning tadi, tanpa menghiraukan tujuh mahluk kerdil yang entah berpentalan kemana...
Sementara seekor harimau tutul berkelebat menyusulnya, yang melompat bagaikan terbang. Pada moncongnya menggigit baju di punggung seorang gadis yang digondolnya. Dialah si Tutul sahabat Roro yang telah berhasil menyelamatkan gadis bernama Pandan Sari itu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?
Kiranya di dalam goa yang pintunya telah ditutup dengan ilmu gaib hingga tak kelihatan lubangnya, si kakek kate baringkan tubuh Pandan Sari di atas batu beralas tikar. Kakek kate ini tersenyum menyeringai menatap gadis yang telah tertotok itu. Sementara sebuah bayangan hitam menunggu disudut ruang goa, mencari kesempatan untuk menggondol si gadis yang tertawan itu.
Akan tetapi si kakek kate itu justru tak segera pergi, bahkan mulai beraksi dengan merayapi sekujur tubuh sang gadis, dan mulai menyibakkan pakaian sang korban untuk segera membukanya. Melihat demikian, sang harimau Tutul yang masih membentuk asap hitam itu sudah tak sabar untuk segera bergerak. Melompatlah dia menerjang kakek kate.
Terkejut si Ririwa Bodas ini karena tahu-tahu sebuah bayangan hitam meluncur menerjang ke arahnya. Secara reflek dia sudah bergerak untuk melompat. Segera matanya sudah menatapi pada seekor harimau tutul sebesar kerbau yang berada di atas batu. Cepat si harimau tutul siluman itu balikkan tubuh sang gadis, dan menggigit baju dipunggungnya. Lalu bergerak melompat keluar dari ruangan goa.
Karena dalam keadaan terkesima, ketika si harimau tutul sudah melesat keluar goa, barulah dia tersadar kalau korbannya sudah digondol si harimau tutul. "Kurang ajar...!" memaki si kakek kate, tubuhnya segera berkelebat mengejar. Dan terjadilah kejar-kejaran hingga sampai jauh keluar dari wilayah si Ririwa Bodas. Akan tetapi pada saat itu sudah berkelebat sesosok tubuh menghadang. Terkejutlah si kakek kate ini, segera sudah jatuhkan diri berlutut, dan bibirnya terdengar kata-kata tergetar.
"Datuk guru...! Aku menghaturkan sembah bakti."
"Hm, bangunlah...!" Ujar sosok tubuh dihadapannya, yang ternyata adalah seorang pertapa tua bertubuh jangkung. Kumis, dan jenggotnya panjang menjuntai hampir sedepa. Disamping bertubuh jangkung, tubuh kakek pertapa ini boleh juga disebut tinggi besar. Hingga berhadapan dengan si kakek itu seperti seorang raksasa saja layaknya.
Kakek tinggi besar ini berjubah hitam, juga berkulit hitam. Dialah seorang tokoh yang sudah lama menyembunyikan diri di Pulau Andalas. Bersama Ratan Sugar. Entah bagaimana si datuk ini bisa berada di Pulau Jawa. Ternyata kedatangannya memang mencari si kakek kate itu.
"Ada hal apakah kiranya Datuk guru menyusul kemari?" Tanya si kakek kate dengan heran.
"Kau terlalu gegabah membuat keonaran, Abi Ghamus...! Hal itu akan membahayakan dirimu! Sebaiknya kau pulang, dan tinggalkan petualanganmu serta niat gilamu untuk menguasai Dunia Persilatan!" Ujar kakek yang bertubuh hebat itu.
Sejenak termenung si Ririwa Bodas yang ternyata bernama Abi Ghamus itu. "Akan tetapi Datuk guru..." Tukas si kakek kate dengan terkejut.
"Kau tak akan mampu menghadapi para tokoh kaum Rimba hijau, muridku! Dan hal itu akan sia-sia belaka! Kau perlu menambah lagi ilmu-ilmu yang kau tuntut dan meninggalkan wilayah ini dengan secepatnya! Juga saran ku adalah sebaiknya kau menghamba saja pada Kerajaan Sriwijaya! Kukira tenagamu bisa bermanfaat bagi keamanan disana...!" Potong Ratan Sugar dengan cepat.
"Tidak bisa sekarang Datuk guru...! Aku punya perjanjian dengan si Raja Racun untuk bertanding ilmu. Kira-kira tinggal menunggu sampai Purnama mendatang...!" menyahut si kakek kate Ririwa Bodas.
"Ah, lupakanlah...!" Tandas Ratan Sugar dengan suara agak ditekan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan bumi. Dan muncullah sesosok tubuh dengan gerakan ringan ke hadapan mereka. "Hahahaha... haha Ririwa Bodas! Tak usah menunggu sampai purnama bulan depan. Hari ini ku kira cukup baik untuk aku wakilkan guruku si Raja Racun membuat kau hidup kekal di alam Baka..."
Terkejut si kakek kate melihat yang muncul adalah pemuda murid si Raja Racun yang bernama ADHINATA itu. Akan tetapi keadaannya kini lain. Pemuda itu mengenakan baju rompi warna hitam dengan lengan atas terbuka. Juga dadanya tersibak. Pada sepasang lengannya mengenakan sebuah gelang besi berwarna hitam legam. Juga pada sepasang kaki pemuda itu melingkar sepasang gelang besi serupa.
Ratan Sugar si kakek tinggi besar asal India ini cuma krenyitkan kening menatapnya. Diam-diam hatinya tersentak memandang tubuh pemuda itu mengeluarkan sinar kebiruan. Akan tetapi tak sempat berfikir jauh karena si kakek kate muridnya itu sudah membentak parau.
"Bagus...! Akan tetapi kemanakah gurumu? mengapa tak munculkan diri?" Tanya Ririwa Bodas.
"Hahaha... haha... si Raja Racun itu sudah duluan! Segeralah kau menemuinya di kuburan...!" Berkata Adhinata dengan suara jumawa.
Mendengar kata-kata demikian, mana si kakek kate mau percaya begitu saja. Hatinya membatin. "Hm, si Raja Racun itu terlalu menganggap enteng padaku! Dia cuma munculkan muridnya untuk menghadapiku... ?"
Akan tetapi Ririwa Bodas sudah membentak hebat. Ekornya tiba-tiba menjulur untuk menghantam kaki si murid Raja Racun yang cuma memakan waktu dua kali bulan purnama itu. Serangan itu adalah untuk memancing tubuh Adhinata melompat ke atas. Sementara dengan diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam yang hebat pada sepasang tangan. Sekali hantam akan mampuslah si anak sombong itu! Pikirnya.
Di luar dugaan, ketika ekor si kakek kate menyambar kakinya, pemuda itu justru secepat kilat telah menangkapnya dengan sebat. Apa yang terjadi? Terdengar suara kakek kate meraung panjang. Tubuhnya sudah melompat untuk jatuhkan diri bergulingan. Dan pada saat itu Adhinata dengan tawa bergelak segera enjot tubuh untuk hantamkan lengannya.
Terperangah kakek kate. Walaupun dia dalam keadaan kesakitan yang amat sangat yang diketahuinya akibat apa, namun segera papaki serangan pemuda itu dengan pukulan yang tadi sudah disiapkan. Sementara segelombang angin yang mengeluarkan asap warna biru sudah menerjang dahsyat. Hawa dingin menyusup ke tulang sumsum. Ketika kakek kate memapaki serangan itu dengan hantaman lengannya, segera terdengar suara parau si kakek kate dan teriakan tertahan pemuda itu.
Desss...!
Kakek kate terlempar bergulingan dengan berkelojotan. Sedangkan si pemuda itu terpental hingga membentur dahan pohon, tepat pada belakang kepalanya. Sungguh satu kejadian yang amat aneh juga mengerikan. Karena kalau Adhinata jatuh pingsan tak sadarkan diri, adalah si kakek kate berekor ular itu meraung-raung parau dengan berkelojotan bagai ayam disembelih. Tak lama tubuhnya menegang untuk menggeliat. Dan kejap selanjutnya, segera terkulai layu tak berkutik lagi.
Keadaannya amat mengerikan karena seketika tubuh si kakek itu berubah menjadi warna kebiruan. Dan pelahan-lahan menjadi cair. Untuk selanjutnya jadi bangkai yang menimbulkan bau yang menusuk hidung. Sementara ekornya telah lenyap. Terkesiap si kakek tinggi besar, bagaikan tak percaya menatap tubuh ke dua orang yang terkapar itu silih berganti.
"Manusia Beracun....!" Pekiknya dengan kaget. Barulah dia menyadari sinar kebiruan yang timbul dari tubuh anak muda itu adalah sinar racun yang dahsyat, yang seumur hidupnya belum pernah dijumpai. Tertegun seketika si kakek hitam bertubuh tinggi besar itu.
"Haiiih! sudah kukatakan tak usah menghiraukan segala macam adu kesaktian! Ternyata nasibmu buruk Abi Ghamus! Harus menemui kematian dengan begitu rupa...!" Seraya berucap, tubuh Ratan Sugar tokoh asal India yang sejak lama menyembunyikan diri di Pulau Andalas itu segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu, dengan hati penuh kemasygulan.
Sepeninggal si kakek tinggi besar berkulit hitam yang kumis dan jenggotnya panjangnya hampir sedepa itu, sesosok tubuh berkelebat muncul. Sukar dipercaya, karena yang muncul itu adalah si kakek muka putih Ki Panunjang Jagat. Dia berdiri tercenung memandang tubuh Adhinata yang tergeletak tak sadarkan diri akibat benturan kepalanya dengan batang pohon. Apakah yang sebenarnya terjadi dengan Ki Panunjang Jagat?
Ternyata ketika itu tubuhnya jatuh meluncur ke dalam jurang yang dalam, keadaan cuaca yang berkabut di kedalaman jurang terjal itu membuat dia tak mampu melihat apa-apa. Akan tetapi dengan belalakkan mata lebar-tebar Ki Panunjang Jagat sempat juga melihat dasar jurang. Hatinya melunjak girang.
Sebagai seorang kakek kosen yang sudah banyak mengenal bahaya, tentulah tidak mandah saja untuk menghadapi maut yang sudah di depan mata. Sesungguhnya kematian itu memang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dia cuma manusia... Kalau ditakdirkan untuk mati, ya mati...!
Melihat dasar jurang itu harapannya untuk hidup timbul lagi. Siapa yang mau tubuhnya hancur remuk di atas batu cadas dari tempat yang amat tinggi itu? Segera sepasang lengannya bergerak menghantam batu cadas di dasar jurang. Hal itu amat menguntungkannya, karena segera tubuhnya tertahan luncurannya. Dan selanjutnya dengan bersalto mempergunakan hantaman yang menimbulkan reaksi menahan tubuh itu, Ki Panunjang Jagat dapat mendarat dengan ringan di dasar lembah dengan selamat.
Kakek ini jatuhkan lututnya ke tanah dengan menarik napas lega. Sementara benaknya berpikir pada kejadian tadi. Entah siapa telah menyerangnya hingga dia salah lompat, hingga terperosok ke dalam jurang. Dasar jurang itu sunyi lenggang. Kabut tipis seperti menyebar yang membuat pandangannya agak mengabur. Segera Ki Panunjang Jagat meneliti keadaan sekitarnya.
Tiba-tiba tatapan matanya terbentur pada sesosok tubuh yang melangkah terhuyung-huyung, dengan tertawa sendirian. Tersentak hati si kakek penghuni puncak Tangkuban Perahu itu. Sejenak Ki Panunjang Jagat terpaku menatap sosok tubuh itu, karena seperti mengenali siapa adanya laki-laki yang berperawakan demikian.
"Ah? apakah dia bukannya Adhinata? Apakah diapun terjerumus ke dalam jurang ini, hingga selama lebih dari dua bulan sejak kepergiannya belum juga sampai ke Pesanggrahan Ki Gembul Sona?" Desis Ki Panunjang Jagat.
Niatnya mencari jalan untuk merayap naik ke atas lagi jadi diurungkan. Dengan hati berdebar diam-diam Ki Panunjang Jagat bergeser dari tempatnya untuk memperhatikan lebih dekat. Betapa terkejutnya si kakek muka putih melihat sesosok mayat tergeletak dengan keadaan pakaian yang hancur dan kulit tubuh membiru. Lagi-lagi hatinya tersentak.
"Si Raja Racun...!" desisnya dengan suara perlahan. Apakah gerangan yang terjadi? Berkata dalam hati si kakek Tangkuban Perahu ini. Namun cepat-cepat menyelinap ke balik batu ketika dilihatnya Adhinata balikkan tubuh.
"Hahaha... selamat tinggal guru! Dua bulan lebih kau lakukan percobaan dengan bermacam cara, akhirnya begitu berhasil, tak dinyana kau bahkan mampus terlebih dulu...!"
Berkata Adhinata, yang membuat Ki Panunjang Jagat yang sembunyi di belakang batu untuk ketiga kalinya jadi tersentak kaget. "Hah!? Dia berguru pada si Raja Racun? Percobaan apakah yang dilakukan manusia golongan hitam ini hingga menewaskannya...!"
Sementara Adhinata sudah tambahkan kata-kata lagi. "Maaf, guru...! Aku malas mengubur jenazahmu, hahaha... biarlah aku wakilkan kau untuk menghadapi si Ririwa Bodas!" Selesai ucapkan kata-kata, Adhinata segera balikkan tubuh dan melangkah pergi.
Ki Panunjang Jagat tak berlaku ayal, segera unjukkan diri di hadapan muridnya. Sekejap sudah melompat keluar. "Adhinata...! tunggu dulu!" Teriak kakek ini.
Pemuda itu menoleh dan sepasang mata lebar-lebar melihat orang di hadapannya. "Guru...!?" Tersentak kaget Adhinata, yang segera tekuk kedua lututnya untuk bersimpuh. Seraya ucapnya. "Maaf, guru...! Aku belum sampai ke Pesanggrahan paman guru Gembul Sona dan aku batalkan niat untuk teruskan pelajaran berguru padanya!"
"Bagus! begitulah seorang murid yang berbakti? Kau telah batalkan niat, karena kau lalu berguru pada tokoh sesat si Raja Racun!"
"Aku cuma tertarik dengan dua pasang benda mustika, guru...! Tak dinyana kalau kejadiannya bakal begin...!"
"Apa maksud ucapanmu? kejadian apakah? dan benda mustika macam apa yang telah menggiurkan hatimu?" bertanya Ki Panunjang Jagat.
Akan tetapi tiba-tiba Adhinata berkelebat melompat menjauh, seraya berteriak. "Maaf, guru...! Aku tak dapat menceritakan, aku tak dapat menceritakannya padamu! Amat menyesal aku telah menjadi murid yang tak berbakti padamu! segalanya sudah terlanjur!"
"Terlanjur bagaimana?" bentak Ki Panunjang Jagat seraya berkelebat mengejar.
Adhinata segera berkelebat pula melompat dengan cepat, tampaknya seperti ketakutan melihat gurunya. Terjadilah kejar-kejaran antara guru dan murid.
"Bocah keparat! lima tahun aku mendidikmu untuk kau menjadi seorang pendekar berhati putih, tak nyana kau menempuh jalan sesat! Jangan harap kau mimpi untuk lolos dari tanganku...! kau harus bertobat, dan meminta maaf padaku! Kau tak ku perkenalkan memiliki ilmu si Raja Racun!" teriaknya lagi.
"Sudah terlambat, guru...!" Balas berteriak Adhinata, lalu percepat gerakannya untuk segera merat dari hadapan gurunya. Ternyata Adhinata setelah mendapat gemblengan si kakek puncak Tangkuban Perahu itu justru memiliki gerakan lincah dan gesit melebihi gurunya, hingga beberapa saat kemudian Ki Panunjang Jagat telah kehilangan jejak.
Demikianlah.... peristiwa belakangan hingga munculnya kakek puncak Tangkuban Perahu itu di saat terjadinya pertarungan muridnya dengan Ririwa Bodas. Yang justru adalah musuh yang telah membuatnya jatuh ke dalam jurang.
"Manusia Beracun...!?" Sentak pula Ki Panunjang Jagat, seperti kata-kata yang dilontarkan Ratan Sugar yang sudah berkelebat pergi. Terpengaruh bagaikan tak percaya pada penglihatannya, Ki Panunjang Jagat menatap tubuh muridnya mengeluarkan sinar kebiruan, yang berhawa dingin mencekam dan menggidikkan.
"Aku tak boleh menyentuhnya...! Berbahaya! berbahaya...!" desis sang kakek ini. Segera hatinya sudah membatin. "Pantas dia berusaha menjauhi ku, ternyata tubuhnya mengandung racun yang amat luar biasa!" Tak terasa kakinya sudah mundur melangkah dua tindak.
Pada saat itulah berkelebat pula sesosok tubuh, yang tak lain dari Roro Centil. Di atas pundaknya tersangkut tubuh seorang gadis. Ternyata Roro Centil pun sudah sejak tadi berada di tempat itu. Ketika baru saja harimau tutul mengantarkan Pandan Sari yang dibawa dengan menggigit baju gadis itu, Roro Centil mendengar suara parau. Roro memang baru saja terlepas dari serbuan mahluk-mahluk kerdil Siluman itu.
Segera Roro Centil mencari dimana adanya arah suara teriakan itu. Dan melihat si kakek kate tengah berkelojotan meregang nyawa. Tak lama kemudian tewas dengan tubuh berubah mencair, mengerikan sekali. Sementara di bawah pohon tergeletak sesosok tubuh tak bergerak entah pingsan entah mati, Roro tak mengetahuinya.
Kakek puncak Tangkuban Perahu itu terkejut melihat Roro Centil yang memondong tubuh seorang wanita. Ketika Roro turunkan bebannya untuk direbahkan di tanah, segera Ki Panunjang Jagat mengenali siapa adanya gadis itu.
"Siapakah anda, nona...? Gadis itu aku mengenalnya! Dia murid adik seperguruanku Gembul Sona!" Bertanya dia setelah menjura pada Roro. Dilakukannya pertanyaan itu karena memang dia tak mengetahui kejadian di atas bukit karena tubuhnya sudah melayang ke dasar jurang.
Tersenyum Roro Centil. Roro memang telah datang terlambat untuk menolak pukulan si kakek kate, yang justru kemunculannya adalah di saat si kakek kate itu tengah melancarkan serangan ganas pada kakek Jangkung muka putih yang sudah di lihatnya berhasil meremukkan kepala ular dengan hantaman pukulannya. Segera Roro menyahuti. "Namaku Roro...! Lengkapnya Roro Centil!" Sahutnya.
"Ah, sukurlah kau orang tua bisa selamat dari kematian! Kalau demikian aku tak perlu repot-repot mengantarkan gadis murid adik seperguruanmu si kakek Jangkung rambut coklat itu!" Ujar Roro, yang segera ceritakan kejadiannya secara singkat. Adapun Ki Panunjang Jagat sejak tadi mengingat-ingat nama yang baru disebutkan itu. Memandang pada senjata Rantai Genit di pinggang Roro, barulah dia sadar dan tersentak kaget.
"Sungguh tak dinyana aku masih bisa mengenal dan bertemu muka dengan Pendekar Wanita Pantai Selatan yang namanya sudah tersohor. Ternyata masih muda belia dan cantik!" Berkata Ki Panunjang Jagat.
"Terima kasih atas bantuan anda, nona Pendekar Roro Centil!" Sambungnya. Manusia aneh berekor ini aku baru melihatnya. Sungguh tak kusangka kalau dialah yang lakukan pukulan dahsyat hingga aku salah lompat dan masuk jurang!"
Akan tetapi Roro tak menyahuti, karena wanita Pendekar ini perdengarkan suara. "Aiiih...!?" Tubuhnya melangkah dua tindak, dengan menatap ke belakang tubuh Ki Panunjang Jagat.
Terkejut si kakek ini. Ketika palingkan tubuh, sekilas sudah melihat punggung Adhinata yang berkelebat cepat, untuk selanjutnya lenyap dikerimbunan hutan. Roro tak sempat berfikir lagi untuk mengejar, karena dia memang menyangka lawan si kakek kate itu sudah tewas. Tak disangka kalau tiba-tiba tubuh yang terkapar itu melompat berdiri, dan kabur dengan cepat sekali.
"Haiiih...! Kelak bocah itu akan membuat kegemparan di Dunia Persilatan!" Berkata si kakek puncak Tangkuban Perahu dengan wajah menampak tegang dan hati yang masygul.
"Siapakah dia kakek..?" Tanya Roro.
"Dia muridku...!"
"Muridmu? Mengapa sikapnya demikian terhadap seorang guru? Apakah dia mempunyai kesalahan terhadap kau orang tua...?" Tanya Roro lagi.
Ki Panunjang Jagat anggukkan kepala. Seraya kemudian menceritakan secara singkat kejadian yang menimpa muridnya. Roro Centil mendengarkan penuturan itu dengan penuh perhatian. Sementara gadis bernama Pandan Sari ternyata telah sadar dari pingsannya. Gadis itu terkejut mengetahui di hadapannya ada dua orang yang tengah berbincang-bincang. Yang seorang sudah dikenalnya. Akan tetapi seorang lagi adalah baru pertama kali dilihatnya.
Roro Centil segera beranjak menghampiri. "Eh, adik manis...! kau ikutlah pada kakek ini. Dia kakak seperguruan gurumu Ki Gembul Sona!" Ujar Roro seraya kemudian berpaling pada Ki Panunjang Jagat. Seraya berucap. "Terima kasih atas penjelasan mu, kakek Tangkuban Perahu.... Aku harus segera pergi lagi. Masih banyak urusan yang belum ku selesaikan!"
Akan tetapi baru saja habis kata-kata Roro. Sudah terdengar suara... "Tunggu, nona Roro Centil...!"
Dan dua sosok tubuh sudah berkelebat dihadapannya. Melengak Roro melihat siapa salah seorang dari keduanya. Ternyata yang seorang adalah Ki Gembul Sona, sedangkan seorang lagi adalah seorang pemuda tampan berkulit putih yang menyandang pedang dipundak. Agak lupa-lupa ingat Roro melihat wajah pemuda itu. Akan tetapi segera terluncur kata-katanya.
"Apakah kalau tak salah kau si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang Nan Elok...?" Tanya Roro Centil. Pemuda itu tersenyum, lalu tertawa gembira.
"Hahaha... benar! benar sekali, nona... Roro! Kau masih ingat padaku? Ah, sukurlah...! Rasanya bahagia sekali aku bisa berjumpa lagi dengan anda, nona Pendekar Roro Centil...!"
"Hm, begitukah... ?" Jawab Roro dengan berikan seulas senyum di bibir.
Membuat jantung si pemuda itu seperti berdentang-dentang berdebaran, karena sukar dikipakan senyum yang menghias di bibir sang dara jelita itu. Ternyata "CINTA" telah sejak lama bersemayam di hati si Bujang Nan Elok sejak perjumpaan mereka di Pulau Andalas. Dan dia sudah maju dua tindak untuk menjabat tangan sang "dara pujaan hati" dengan jantung bergemuruh.
Sementara Ki Gembol Sona tampak gembira sekali memeluk kakak seperguruannya yang disangkanya sudah tewas, ternyata masih segar bugar. Sedangkan Pandan Sari segera menjura di hadapan kedua orang tua itu. "Sukurlah kau selamat, muridku...! Mengapa kau tak ucapkan terima kasih pada Nona Pendekar Roro Centil yang telah menolongmu?" Ucap Ki Gembul Sona.
Pandan Sari memang sejak tadi mau buka suara, namun keburu muncul gurunya bersama seorang laki-laki tampan berkulit putih. Melihat tatapan mata si Bujang Nan Elok itu seperti melekat tak mau lepas menatap sang Pendekar Wanita itu, Pandan Sari jadi tersipu dan agak jengah kalau terus memperhatikan. Hingga dia tak sempat buka mulut. Selanjutnya dengan terburu-buru segera melompat menghampiri gurunya dan sang uwak guru, untuk menjura.
Sukar diceritakan kegembiraan, juga rasa haru pada pertemuan itu. Roro Centil terpaksa batalkan niatnya untuk menguntit si wanita yang menyaru sebagai dirinya. Dalam pembicaraan selanjutnya dilakukan sambil beranjak meninggalkan tempat itu. Terdengar suara si kakek Puncak Tangkuban Perahu.
"Walaupun si Ririwa Bodas itu sudah tewas, akan tetapi masih ada hai lain yang menjadi masalah kita. Yaitu Adhinata murid tunggalku itu, yang telah menjadi seorang Manusia Beracun...!"
Ki Gembul Sona manggut-manggut seraya ucapnya. "Ya, disamping muridmu itu kukira masalah memang belum tuntas, karena wanita yang mengaku bernama Roro Centil itu telah membuat keonaran dimana-mana! Di samping telah membakar seluruh Pesanggrahan ku, juga telah mulai mempengaruhi Adipati Antaboga yang baru!"
"Benar kakek sahabat...! Aku mendengar berita dari seorang pengawal Kadipaten, justru si wanita itu telah menjadi istrinya Adipati Antaboga." tukas si Bujang Nan Elok yang nama sebenarnya adalah SAMBU RUCI. Dia berjalan berdua dengan Roro Centil.
"Hihih...! Biarlah untuk urusan wanita itu, serahkan saja padaku! Dia memang sengaja membuat keonaran untuk memancing kebencian kaum Rimba Hijau padaku! Wanita itu memang menaruh dendam padaku! entah persoalan apa...!"
"Aku belum bisa menduganya siapa wanita itu kalau belum bertemu muka...!" Ujar Roro. Lalu ceritakan tentang kata-kata si Kakek kate berekor ular, yang pernah mengatakan bahwa muridnya menaruh dendam yang amat hebat terhadapnya.
"Jelas perbuatannya adalah untuk mengundangku datang mencarinya. Aku memang tengah mengutitnya, setelah wanita itu lakukan perbuatan bejat dengan seseorang. Dan telah membunuh pula laki-laki korbannya...!" Tutur Roro.
"Kalau dia ternyata adalah isterinya Adipati Antaboga, kebetulan sekali! Akan lebih mudah bagiku untuk melabraknya...!" Ujar Roro lebih bersemangat.
"Aku setuju, nona Roro...! Aku bersedia membantu!"
Roro cuma tersenyum menoleh pada Sambu Ruci, akan tetapi segera mengangguk...
Adipati Antaboga yang digembar-gemborkan mempunyai ilmu tinggi dan aji penangkal ilmu-ilmu hitam itu ternyata adalah "boneka"nya si wanita yang menyamar menjadi Roro Centil gadungan. Tak seorangpun mengetahui kalau tumbal yang digunakan untuk penangkal yang disebarkan pada penduduk adalah cuma "permainan" si wanita itu. Karena dia sendirilah yang membuat malapetaka dan dia sendiri pula yang membuat tumbalnya. Ketika malam telah melingkupi mayapada.
"Adipatiku...! agaknya kita tak dapat bertahan lama di tempat ini! Musibah besar telah menimpa ku!" Berkata Roro Centil gadungan dengan bertolak pinggang.
"Musibah apakah itu, dewiku...?" Tanya Adipati Antaboga. Dia seorang laki-laki yang diculik dari kota Raja. Bertampang gagah. Berusia sekitar 35 tahun. Bertanya demikian, sang Adipati ini beranjak mendekati seraya menggamit dagu si wanita. Dan selanjutnya sudah raih pinggang orang untuk segera di pondong ke pembaringan bertilam sutera.
Tak seperti biasanya si wanita ini berdiam diri tanpa gerakkan lengannya untuk merangkul leher sang "suami". Tampaknya si Adipati ini tak terkejut mendengar sang "istri" mendapat musibah yang belum diketahui mendapat musibah apa. "Apakah yang telah terjadi, dewiku?" Kembali dia lakukan pertanyaan seraya rebahkan tubuh "istri"nya ke pembaringan.
"Guruku Ririwa Bodas telah tewas oleh si Raja Racun. Roro Centil si Pendekar wanita Pantai Selatan itu sudah muncul, sedangkan aku belum punya persiapan untuk menghadapi. Rusaknya rencanaku adalah gara-gara tewasnya guruku...! Kita harus secepatnya pindah dari sini...!" Barulah si Adipati itu belalakkan matanya.
"Pindah...? Akan tetapi aku telah diangkat resmi oleh pihak Kerajaan untuk menduduki jabatan Adipati, memerintah di beberapa wilayah di sekitar Kadipaten. Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan jabatanku?" Tukas Adipati Antaboga.
"Jadi kau lebih sayang jabatanmu dari pada aku?" Tanya sang "istri" dengan wajah kecut.
"Bukan begitu Dewiku...! Akan tetapi sebaliknya kita gunakan cara lain agar mendapat bantuan dari pihak Kerajaan...!"
"Maksudmu...?" Tanya si wanita dengan menatap tajam sang Adipati.
"Kau harus dekati orang-orang Kerajaan, terutama Senapati Kerta Bumi. Tujuannya adalah agar mengirimkan bantuan lasykar untuk menangkap musuh besarmu itu!" Tutur sang Adipati dengan wajah serius.
"Senapati Kerta Bumi belum tentu bisa diperbudak oleh kita! Aku merasa kalau hal perbuatanku ini justru telah bocor oleh orang yang paling dekat denganku!"
"Siapakah orang yang kau maksudkan Dewiku...?" Tanya sang Adipati dengan wajah berubah agak pucat. Sementara jantungnya berdebaran semakin cepat.
"Hm, kaulah orangnya!" Berkata sang istri dengan suara dingin. "Kau kira aku belum mencium perbuatan mu yang diam-diam melaporkan pada Pihak Kerajaan dengan mengutus seorang Pengawal Kadipaten untuk melaporkan tindakanku, dan sekaligus membongkar rahasiaku...!" Lanjut ucapannya.
Terperangah seketika sang Adipati. Sementara diam-diam lengannya sudah meraba ke bawah tilam. Disana telah disembunyikan sebuah keris untuk menamatkan wanita yang telah menjadikannya sebuah "boneka" hidup. Akan tetapi mulut sang Adipati ini bicara lemah lembut dengan membujuk. Bahkan merangsangnya dengan ciuman bertubi-tubi.
"Janganlah berprasangka demikian, Dewiku...! Aku akan tetap menjadi pengabdianmu yang setia. Kau telah mengangkat derajatku dengan menjadi Adipati di Kadipaten Ini, masakan aku akan berkhianat? Justru tujuanku adalah demi kelanggengan hidup kita!"
Sang istri cuma berdiam diri tanpa menjawab. Dan biarkan lengan "suami"nya menyelusuri lekuk-liku tubuhnya. Tapi lama-kelamaan sikap sang "istri" mulai lain. "Hihih... sebenarnya aku hanya menggertak mu saja, Adipati ku...! Soalnya aku khawatir kau kepincut pada si Roro Centil betulan? Aku... aku cemburu! Dan rasanya ingin cepat-cepat melenyapkan wanita keparat itu secepatnya! Aku takut dia merebut mu dari tanganku...!" Berkata si wanita.
Suaranya tiba-tiba jadi lirih dan manja. Seraya mendekap tubuh sang Adipati erat-erat. Sang Adipati pun tertegun seketika karena melihat perubahan sikap "istri"nya. Akan tetapi dia segera berikan keinginan sang "istri" yang sekonyongkonyong mempunyai hasrat menggebu.
"Ah, Adipati ku...! Aku amat mencintaimu...! kau gagah dan amat perkasa! Rencanamu itu bagus sekali...!" ucapnya dengan berdesah kenikmatan. Kepala sang Adipati ini telah membenam diantara celah dadanya.
Sementara itu keadaan di luar gedung Kadipaten.... Cahaya bulan masih menerangi sekitar tempat itu walau cuma remang-remang. Adalah aneh kalau penjaga Kadipaten telah bermunculan, dan bergerak menyusup untuk mengurung kamar sang Adipati dengan gerakan hati-hati dan senjata terhunus.
Mereka sembunyi di sisi tembok pintu kamar, dan menyelinap ke berapa tempat gelap lainnya. Sementara telinga mereka memasang pendengaran ke arah kamar peraduan Adipati. Keadaan remang menjadi tegang, karena dari dalam kamar sang Adipati terdengar suara rintih dan tertawa kecil serta desahdesah napas menggebu. Tiga pengawal yang rapatkan telinganya ke tembok wajahnya tampak tegang, sementara lengannya mencekal senjata dengan gemetar.
Mereka semua mengetahui kalau si wanita itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan punya ilmu hitam yang mengerikan. Kesabaran memang dibutuhkan saat itu, disamping harus menahan napas agar tak bersitkan udara terlalu keras dari hidung. Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam kamar.
"Mampuslah kau wanita Iblis...!" Diiringi suara keluhan dan suara bergedubrakan di atas pembaringan seperti tengah terjadi pergelutan hebat. Tak lama keadaan kembali senyap. Hal mana menimbulkan tanda tanya para pengawal Kadipaten yang telah mengepung di luar kamar. Kepala Pengawal bernama Wage segera memberi isyarat untuk menerjang ke dalam. Dan...
Braakkkk...! Pintu telah diterjang hingga jebol berantakan. Mereka segera berlompatan dengan senjata-senjata terhunus. Segera saja terlihat pemandangan di dalam ruangan kamar. Di atas pembaringan tubuh sang Adipati terkapar dengan tubuh telanjang bulat. Pada lehernya tertancap kerisnya sendiri yang berlumuran darah, berpuncratan ke atas bantal dan tilam.
Sementara sesosok tubuh tanpa busana menatap ke arah mereka dengan putarkan pandangan ke arah para penyergap-penyergap itu. Rambutnya beriapan, dan tampak wajahnya tampilkan kegusaran hebat. Saat itu juga dia sudah membentak keras. "Bagus! kalian semua cari mati!"
Akan tetapi tiga pengawal segera menerjang dengan senjata-senjata telanjangnya untuk menebas tubuh wanita itu. Cepat sekali terjadinya, ketika lengan si wanita itu mengibas dan melompat gesit menghindari terjangan maut. Segera terdengar suara jeritan ketiga pengawal. Tubuhtubuh mereka berpentalan, karena segelombang angin panas menghantam mereka. Dan... blug! blug! blug! Ketiganya roboh dengan tubuh berbau sangit alias gosong.
Terkesiap beberapa pengawal lainnya. Namun Wage sudah maju melompat menerjang dengan putarkan senjata sepasang goloknya. Wage memang mempunyai kepandaian tinggi, dan sudah terkenal amukan sepasang goloknya ini hingga mendapat julukan si Sepasang Golok Naga Kembar.
Wheerrr...! Wukk! Wukk...! Wuukkk...!
Hebat terjangan sepasang golok ini. Karena sekejap sudah mengurung tubuh telanjang si wanita itu, yang sudah tak sempat lagi menutupi auratnya. Sementara beberapa pengawal siap dengan tombaktombak terhunus untuk menjaga jangan sampai wanita itu melarikan diri. Akan tetapi bukanlah hai yang mudah untuk menangkap atau membunuhnya.
"Kau tak dapat lolos dari sepasang golokku, wanita iblis!" Membentak si Kepala Pengawal, yang kembali menerjang dengan hebat. Dua bayangan golok laki-laki bernama Wage ini bagaikan sepasang Naga yang mengamuk. Menerjang, menabas, menusuk dan melingkar-lingkar melancarkan serangan-serangan dahsyat yang berbahaya.
Akan tetapi suatu kesempatan, si Wanita berhasil menyambar pakaiannya. Lengannya kirimkan serangan menahan terjangan itu dengan mendadak, dan sepasang kakinya menjejak untuk melompat ke sisi tembok. Disana tergantung sepasang senjata Rantai Genit tiruan. Sekali lengannya bergerak, sepasang senjata itu sudah disambarnya.
Wukk Wukk! Wukk...!
Tahu-tahu dia sudah menerjang dengan lemparan sepasang Rantai Genit tiruan itu. Tentu saja membuat Wage jadi, terkejut, karena tahu-tahu bandulan rantai telah membelit tubuhnya. Sedangkan yang sebuah lagi terbabat putus kena sambaran goloknya. Saat Wage terperangah itu, si wanita telah gerakkan lengannya menghantam Wage dengan pukulan Inti Apinya yang hebat.
Bhuusss...!
Terdengar suara teriakan parau si Kepala Pengawal. Tubuhnya seketika tertambus api yang membakar tubuhnya. Seketika jatuh menggabruk dengan berkelojotan. Dan... tewaslah Wage dengan keadaan tubuh matang hangus. Tak lama sosok tubuh wanita itu Sudah berkelebat keluar, dengan melompat dari jendela kamar.
Sungguh di luar dugaan. Saat itu juga membersit puluhan anak panah ke arahnya. Tersentak wanita ini. Beruntung tadi dia menyambar pakaiannya yang belum sempat untuk dikenakan. Segera dengan teriakan keras, lengannya gunakan pakaian itu untuk menghalau panah yang meluruk deras ke arahnya.
Prass...! Prass...! Prasss...!
Berpentalan puluhan anak panah beberapa arah. Namun tak urung tiga batang panah berhasil menancap dipundak dan betis serta pahanya. Menjerit wanita ini. Dan Jatuh menggabruk. Saat itu kembali puluhan anak panah menerjangnya. Akan tetapi sebuah bayangan kilat telah menyelamatkan nyawanya. Keadaan itu sudah tak mungkin di elakkan lagi oleh wanita itu karena dia dalam keadaan terluka.
Trangg...! Trangg...!
Muncullah di hadapan si wanita itu seorang wanita juga yang tak lain dari Roro Centil adanya. Ternyata Roro pergunakan senjata Rantai Genitnya untuk menghalau serangan. Tentu saja hal demikian membuat terkejut pemimpin dari pasukan laskar kerajaan yang dipimpin oleh Senapati Kerta Bumi sendiri.
"Tahan...!" Teriak Roro seraya mengangkat sebelah lengannya.
"Pendekar Roro Centil...!" Teriak Senapati Kerta Bumi hampir berbareng dengan teriakan prajurit Lasykarnya.
SENAPATI KERTA BUMI melompat ke hadapan wanita Pendekar Pantai Selatan dengan perlihatkan wajah cerah. "Ah, sungguh tak dinyana anda muncul di saat seperti ini! Aku Senapati Kerta Bumi menghaturkan hormat pada anda, nona Pendekar Roro Centil...!"
Sementara itu puluhan pengawal Lasykar Kerajaan sudah mengurung wanita itu dengan anak panah siap dilepas. Keadaan sudah tak memungkinkan wanita itu untuk berkutik. Roro Centil tersenyum. Tanpa perintah Senapati takkan ada yang berani membunuh wanita itu.
Roro balas menjura ketika Senapati Kerta Bumi barusan bungkukkan tubuh menjura padanya. "Ah, ah...! Apa-apaan ini? Kau sudah mengenalku, sobat Senapati?" Tanya Roro dengan wajah menampakkan senyum.
"Akulah yang memberitahu...!" Menyahuti seseorang dengan diiringi sosok tubuh berkelebat melompat ke hadapan mereka. Ternyata Sambu Ruci, alias si Bujang Nan Elok.
"Apakah penyerangan ini atas usulmu juga...!?" Tanya Roro lagi.
"Ah, sama sekali tidak! Sejak sebulan yang lalu aku banyak mendengar tersiarnya berita seorang Pendekar Wanita yang bernama Roro Centil banyak melakukan perbuatan tercela di wilayah ini. Sungguh mati aku tak percaya! Karena aku sudah mengenal watak nona Roro tak mungkin demikian!"
"Benar...! Nyaris saja akupun beranggapan demikian, nona Pendekar Roro Centil...!! Kalau saja sobat Sambu Ruci ini tak menuturkan adanya musuh dalam selimut yang telah menghancur leburkan keluarga Adipati Kambangan, yang tewas berikut puluhan prajurit pengawal Kadipaten!" Tukas Senapati Kerta Bumi.
Akhirnya Roro pun maklum dan manggut-manggut mengerti. Hampir saja menuduh Sambu Ruci menggagalkan niatnya untuk melabrak wanita yang menyamar sebagai dirinya itu. Walaupun Roro menyatakan tak keberatan dibantu oleh Sambu Ruci untuk melabrak wanita itu, tapi ternyata Roro telah berangkat pada malam itu seorang diri untuk menemui si wanita yang menyaru dirinya di gedung Kadipaten.
Ternyata sudah keduluan oleh lasykar Senapati Kerta Bumi yang nyaris membunuh wanita itu. Hal demikian akan membuat kecewa Roro Centil. Karena dia memang ingin mengetahui siapa adanya wanita itu dan dendam permusuhan apakah yang telah dikatakan si kakek buntut ular Ririwa Bodas terhadap dirinya.
Pada saat itu. "Hihihi... Roro Centil! Akhirnya kau datang juga! Mengapa tak kau biarkan aku mampus terpanggang anak panah? Apakah kau tak menyesal menolong jiwaku?"
Semua segera menoleh pada wanita itu, yang dalam keadaan menyeringai kesakitan karena paha, bahu dan betisnya tertancap tiga batang anak panah, ternyata masih mampu umbar suara. Roro sudah balikkan tubuh dan menatap pada wanita itu.
"Heh! justru aku inginkan kau hidup! Kau harus berurusan denganku, karena kau telah cemarkan nama baikku di wilayah ini...!" Bentak Roro. "Kini sebutkanlah siapa dirimu dan ada permusuhan apakah denganku hingga kau mendendam padaku!?" Bentak Roro dengan bertolak pinggang. Wanita itu perdengarkan dengusan di hidung, dan meludah ke tanah.
"Cuih...! Masih ingatkah kau setahun yang lalu pada seorang laki-laki tua bernama TUN PAMERA? Kau telah pergunakan binatang siluman harimau tutul untuk membunuhnya!" Ucapnya dengan wajah membersitkan kemarahan dan dendam yang luar biasa.
Tercenung sejenak Roro Centil, seraya menggumam. "Tun Parera...?" Sejenak Roro mengingat-ingat dengan krenyitkan keningnya. "Apakah maksudmu si Paderi palsu yang menjabat Ketua Dua di Kuil Istana Hijau dengan nama Paderi Sapta Dasa Griwa itu...?"
"Heh...! Palsu atau tidak bukan urusanmu! Ketahuilah, aku adalah anak perempuannya. Namaku GIRI MAYANG! Di wilayah Pulau Andalas itu aku digelari si Kelabang Kuning...! Tekadku tak pernah surut untuk membalas dendam pati walaupun aku harus mati di tangan mu atau di tangan para lasykar Senapati itu! Silahkan kau turun tangan Pendekar Wanita yang hebat! Walau aku mungkin saat ini mati, namun dendam ku akan sampai ke liang akhirat...! Heh! Akan tetapi apalah artinya keharuman namamu kalau membunuh lawan dengan menggunakan binatang siluman? Kukira lebih baik gelarmu saja dengan gelar si Pendekar Wanita Siluman Roro Centil! Hihihi... hihii..... hihi....."
Terpingkal-pingkal tertawa si wanita yang ternyata bernama Giri Mayang alias si Kelabang Kuning itu, hingga sampai mengeluarkan air mata. Pedihnya hati, sakitnya perasaan yang bercampur rasa iri hati dan dendam yang belum juga terbalaskan, membuat Giri Mayang mengumbar tertawanya sejadi-jadinya.
Roro Centil terdiam sesaat. Suara tertawa wanita itu sungguh amat menyakitkan anak telinga. Bukan karena berisi tenaga dalam yang tinggi, akan tetapi berisi sindiran pedas yang telah menyentuh hati sanubarinya. Dan hati itu terluka sudah. Ucapan wanita itu memang benar setelah ditimbang-timbang.
Akan tetapi hatinya kembali membantah. Toh, dia tidak menuntut ilmu siluman, karena si harimau Tutul datang padanya seperti sudah menjadi kodrat, hingga si binatang makhluk siluman itu telah mengakuinya sebagai pengganti Ratunya! (baca kisah: Siluman Kera Putih). Makin lama suara tertawa wanita itu semakin santar, seperti membuat tergetarnya jantung Roro. Seakan-akan hatinya diiris sembilu! Tiba-tiba Roro membentak keras menggeledek.
"Diaammm...!"
Tentu saja semua yang berada di situ terlonjak kaget. Nyaris saja anak-anak panah itu terlepas dari masing-masing busurnya, karena para pengawal dari pasukan panah itupun terlonjak kaget. Kali ini Roro Centil yang perdengarkan suara tertawa melengking tinggi. Keadaan jadi gempar. Karena seketika itu juga Roro Centil telah melesat tinggi, sejauh dua puluh tombak. Semua yang berada di bawah mendongak ke atas untuk melihat apa yang dilakukan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.
Ternyata tubuh Roro Centil kembali meluncur ke bawah. Dan sepasang kakinya hinggap dengan ringan di atas tanah. Gerakan mendadak itu adalah pelampiasan kemarahannya. Akan tetapi Roro Centil telah mengambil keputusan di atas tadi. Apakah membunuh mampus si wanita bernama Giri Mayang itu atau tidak!
Ternyata keputusan telah diambil untuk tidak dilakukan. Kalau Roro waktu itu mengambil keputusan membunuhnya tanpa perduli akan segala macam harga diri dan lain-lain, tentu detik itu Giri Mayang sudah tewas dengan batok kepala pecah. Karena Roro Centil di waktu menukik bisa lancarkan pukulan dengan sekejap. Semua mata tertuju pada Roro, yang tampak bersitkan wajah seram. Karena rambutnya yang beriapan itu sebagian menutupi wajahnya.
"Nona Pendekar Roro! karena wanita ini sudah menyangkut urusan Kerajaan, dan banyak sudah menewaskan orang-orang penting dari Kerajaan Sunda Kalapa, ku harap anda berikan dirinya untuk kami jadikan tawanan Kerajaan. Mengenai hukuman padanya terserah Baginda Raja..." Berkata Senapati Kerta Bumi.
Akan tetapi Roro Centil perdengarkan tertawanya, seraya ujarnya dengan nada ketus. "Maaf, sobat Senapati...! Bukan aku mementingkan diriku sendiri, akan tetapi biarlah dia ku bebaskan. Dan tak seorangpun yang kuperkenankan membunuhnya!"
Seraya berkata, Roro Centil segera beri isyarat pada si harimau Tutul untuk menampakkan diri. Gemparlah seketika semua lasykar sang Senapati. Karena segera muncul di situ seekor harimau tutul yang amat besar. Menampakkan taringnya yang runcing. Senapati inipun terkejut, tak terasa kakinya sudah mundur dua langkah. Harimau tutul perdengarkan suaranya menggeram dahsyat, kemudian mendekati Roro dan menjilat-jilat lengannya.
"Tutul...! Sahabatku! Kau pergilah! Dan jangan ikuti lagi diriku! Bukan aku membenci mu, tapi aku akan mencoba menggunakan sepasang lenganku ini untuk membunuh siapa saja yang membuat keonaran dimuka bumi ini! Untuk membuktikan bahwa Roro Centil bukan seorang Pendekar Siluman...!" Berkata Roro dengan suara tegas.
Mendengar ucapan Roro demikian, sang harimau Tutul perdengarkan suara mengaum panjang, membuat tanah bergetaran. Tak lama tubuh harimau jejadian itupun meluncur pergi bagaikan hembusan angin. Dan lenyap dari pandangan mata...
Terperangah semua orang, dan rata-rata menarik napas karena baru pertama kali melihat seekor Harimau Tutul sebesar dan sehebat itu. Akan tetapi hati mereka juga bergidik seram, karena sang Harimau itu bukan harimau biasa melainkan mahluk siluman.
"Nah, bangkitlah kau, Giri Mayang! Pergilah kemana kau suka. Dendam dalam dadamu itu boleh kau lampiaskan kapan waktu saja! Aku selalu siap untuk menghadapimu...!" Ujar Roro dengan suara lantang.
Selesai berkata Roro Centil segera menatap pada Senapati Kerta Bumi. "Kuharap kau perintahkan anak buahmu untuk menyingkir, sobat Senapati!"
Tatapan Roro seperti melunturkan kekerasan hati Senapati ini, hingga dengan segera serta merta lalu perintahkan anak buahnya untuk membebaskan si wanita dari kepungan. Terhuyung Giri Mayang bangkit berdiri. Sebelah lengannya dipergunakan untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan pakaian yang belum sempat dikenakan itu.
"Bagus! kelak aku pasti akan mencarimu Roro Centil! Bila telah sembuh lukaku!" Berkata si wanita bernama Giri Mayang itu dengan suara parau.
"Pergilah...! Tapi jangan coba-coba kau mengganggu rakyat atau wilayah Kerajaan Sunda Kelapa ini! Aku tak akan mengampunimu untuk kedua kali!"
Giri Mayang tak menjawab. Dengan terpincang-pincang segera berlalu dari tempat itu. Dan lenyap di keremangan malam.
"Akupun harus pergi, sobat Senapati. Kuharap kau tak perlu khawatir, Bila terjadi apa-apa, aku masih berada di wilayah sini!" Roro dengan menjura pada Senapati Kerta Bumi.
"Terima kasih atas bantuanmu, nona Pendekar Roro Centil!" Sambu Ruci yang sedari tadi terpaku di tempatnya melihat Roro menjura, diapun ikut-ikutan menjura, dan mohon diri pada Senapati itu.
"Nona Roro...! Tunggulah aku...!" Teriaknya ketika Roro segera berkelebat melompat pergi.
"Hihihi... kau seperti anak kecil saja. Apakah mau minta digendong?" Ujar Roro seraya berpaling, dan hentikan langkahnya.
"Digendong pun aku mau...!" tukas Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok. Tubuhnya segera berkelebat cepat untuk menyusul Roro.
Tak lama kedua tubuh itu sudah berkelebatan pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Senapati Kerta Bumi dan para anak buahnya memandangi mereka hingga sampai lenyap di keremangan sinar bulan...
Sesosok tubuh tampak menuruni lereng dengan gerakan cepat. Bila dilihat sepintas bagi mata orang biasa tentu akan menyangka bayangan hantu putih, yang berkelebatan diantara pepohonan menuruni lereng-lereng terjal itu dengan cepat sekali, Akan tetapi bagi mata orang yang telah terlatih, segera dapat melihat siapa adanya bayangan itu.
Ternyata adalah seorang laki-laki yang berpakaian serba putih. Menyandang pedang yang tersembul dipundaknya. Ketika telah melalui hampir sepertiga dari ketinggian puncak Gunung itu, tampak dia hentikan larinya dengan berdiri di atas batu besar, Pandangan matanya menyapu alam sekitarnya. Dia seorang laki-laki yang masih muda berusia kira-kira delapan belas tahun.
Berwajah tampan. Beralis tebal agak menjungkit ke atas. Rambutnya panjang sebatas bahu dengan ikat kepala warna putih. Sikap penampilannya memang gagah. Sepintas orang yang melihat akan memuji kagum akan kegagahannya, Walaupun cuma berpakaian sederhana dan terbuat dari bahan kasar.
"Hm, menurut petunjuk guru, aku harus melakukan perjalanan ke arah selatan untuk bisa menjumpai seorang yang bernama Gembul Sona! Dengan menunjukkan tato di lenganku ini, aku bisa diterima menjadi murid orang tua gagah yang masih terhitung paman guruku. Dan kelak bila aku telah menuntut ilmu dan menguasai ajian "Belut Putih", ha ha ha. Adhinata bukan lagi seorang pemuda yang gampang dibodohi!" Terdengar dia berkata sendiri.
Tak lama pemuda itu sudah berkelebat lagi menuruni lereng dengan gerakan cepat. Tidaklah mudah untuk menuruni lereng gunung Tangkuban Perahu yang masih berkabut serta penuh bahaya di depan mata. Binatang buas seperti harimau atau ular berbisa serta lereng terjal bisa membawa kematian setiap saat. Akan tetapi Adhinata adalah penghuni dari tempat yang penuh bahaya itu. Lebih dari lima tahun dia berdiam di puncak Tangkuban Perahu untuk berguru pada seorang tua gagah bernama Ki Panunjang jagat.
Kakek kosen itu telah menurunkan bermacam ilmu kedigjayaan padanya. Dan pada hari itu adalah masanya dia turun gunung, karena telah menamatkan pelajarannya. Namun sang guru menugaskan Adhinata untuk memperdalam ilmunya pada sang adik seperguruannya yang bernama Gembul Sona di wilayah selatan.
* * * * * * *
Rakyat wilayah desa Padukuhan yang terletak tak jauh dari Gunung BUKIT TUNGGUL baru saja mengalami sebuah musibah, yaitu munculnya ratusan, bahkan ribuan ular-ular berbisa besar dan kecil dari perbagai jenis yang menyebar ke rumah-rumah penduduk. Tentu saja keadaan menjadi kacau. Jerit ketakutan terdengar disana-sini.
Kemunculan ular-ular berbisa Itu pada tengah malam. Menjelang pagi segera diketahui banyak korban berjatuhan. Belasan penduduk terdiri dari laki-laki, wanita dan anak-anak kedapatan mati dengan tubuh keracunan. Dan anehnya pada dinihari ular-ular itu lenyap.
Ratap tangis terdengar dari beberapa rumah yang keluarganya menjadi korban. Tentu saja penduduk jadi resah ketakutan. Beberapa keluarga sudah melakukan pengungsian ke beberapa desa lain, karena khawatir ular-ular itu kembali lagi. Menjelang malam tiba diadakan penjagaan ketat. Tampak wajah-wajah dari setiap peronda dalam keadaan tegang.
Pada lengan masing-masing memegang senjata. Apa saja yang bakal dipergunakan. Ada yang membawa golok, pedang, arit atau tombak serta bermacam senjata yang dapat dipergunakan untuk membunuh ular-ular. Mereka berkumpul menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang laki-laki yang berani. Obor-obor dipasang di setiap halaman rumah. Juga mereka masing-masing mencekal sebuah obor. Desa Padukuhan jadi tampak terang-benderang seperti tengah mengadakan pesta.
Menjelang tengah malam tiba-tiba terdengar suara desis dari segala penjuru. Benar saja, ular-ular itu kembali bermunculan. Akan tetapi para pemuda desa dan kaum laki-laki tua segera pergunakan obor dan senjata-senjatanya untuk membunuh, merencah ular-ular itu.
Kegaduhan kembali menyibak di sekitar desa Padukuhan. Suara teriakan, jeritan dan suara tombak atau kayu serta alat pemukul lainnya yang dipergunakan membunuh ular-ular Itu terdengar di sana-sini. Obor-obor pun dipergunakan untuk mengusir makhluk melata yang tak ketahuan dari mana datangnya itu.
Akan tetapi mereka pun akhirnya kewalahan. Ratusan ular itu bermunculan silih berganti seperti tiada habisnya. Bahkan mulai menyerang mereka yang mencoba mengusir dan membunuhnya. Beberapa peronda sudah perdengarkan jeritannya, karena puluhan ular yang menerobos semakin banyak dan berhasil mematuk mereka. Akhirnya keadaan kembali kacau balau. Bahkan api dari obor yang terlempar telah membuat salah sebuah rumah segera terbakar.
Jeritan wanita dan anak-anak menambah kegaduhan dimana-mana. Ternyata ratusan ular itu telah menerobos masuk ke dalam rumah. Mematuk atau membelit setiap sesuatu yang bergerak. Korbanpun kembali berjatuhan. Sementara kebakaran tak dapat diatasi. Tiga buah pondok terbakar musnah jadi abu dan puing.
Menjelang pagi hari ribuan ular itu kembali lenyap. Dan tampaklah sebuah pemandangan tragis. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Kali ini korban bukan saja oleh ular berbisa melainkan juga oleh api, yang membakar tak kurang dari lima belas manusia besar dan kecil. Sementara puluhan penduduk bergelimpangan tak bernyawa dengan bekas-bekas patukan di sekujur tubuhnya.
Suara derap kaki-kaki kuda telah mendatangi desa Padukuhan di pagi yang masih agak temaram itu. Ternyata Tumenggung TIRTALAGA yang datang bersama sebelas pengawalnya. Mereka adalah para pengawal utama yang mempunyai kepandaian tinggi.
"Ah...?" Sang Tumenggung keluarkan suara tersentak, memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu dengan mata membeliak.
"Ular-ular keparat dari manakah yang mengganggu ketentraman penduduk desa ini?" Terdengar suara desisnya bercampur haru.
Beberapa orang desa yang masih bisa menyelamatkan nyawanya tergesagesa menyambut kedatangan Tumenggung ini, dengan duduk bersimpuh dan wajah-wajah trenyuh. "Aku sungguh tak menduga kalau kejadian akan berulang...!" Berkata Tumenggung Tirtalaga dengan suara haru. Dan Seperti menyesal akan tindakan yang diambilnya, hingga ketika laporan datang dia tak cepat menanggapi. Ya...! Cuma karena seorang perempuan. Agak lama Tumenggung ini tercenung.
Namun segera sadar dan perintahkan sebelas pengawalnya untuk membantu mengangkati jenazah dari para korban ular-ular berbisa. Segera kesebelas pengawal itu melompat turun dari kudanya untuk bergegas menjalankan tugas itu. Sedangkan Tumenggung itu sendiri segera memeriksa keadaan sekitar desa. Kening laki-laki berusia 40 tahun ini berkerut, karena anehnya dia tak melihat sepotong pun bangkai ular.
Menurut laporan yang baru saja diterimanya, malam tadi semua laki-laki berjaga-jaga dan membentuk beberapa kelompok di setiap tempat dengan siapsiaga untuk menjaga kalau-kalau ular-ular itu datang lagi. Jelas dari bekas-bekas kejadian pertarungan melawan makhluk itu terlihat disana-sini, yang keadaannya porak-poranda.
Terduduk sang Tumenggung diakar pohon. Sepasang matanya menatap jauh ke depan. Jauh sekali ke masa yang telah silam. Dan terbayanglah pada kelopak matanya seorang tokoh hitam yang menamakan dirinya si RAJA RACUN. Manusia itu memang selalu membawa ular-ular kemanapun dia pergi. Akan tetapi itu ular sungguhan, tidak seperti yang terjadi pada saat ini. Jelas ular yang datang ribuan banyaknya dan menyerang desa adalah ularular siluman.
Demikian memikir dibenak Tumenggung Tirtalaga. Ular-ular siluman itu bisa datang sedemikian banyaknya pasti suruhan orang!" Desis suara sang Tumenggung yang terdengar perlahan. Entah siapakah manusianya yang telah melakukan perbuatan keji ini? Dan apakah kesalahan penduduk desa padukuhan ini...? Gumamnya dalam hati.
Pada saat itu seorang pengawal telah menghampirinya. Ternyata memberi laporan pada atasannya itu. "Gusti Tumenggung seorang pemuda mengaku bernama ADHINATA telah kami tahan. Karena dia membawa seekor ular..! Hamba mempunyai prasangka, jangan-jangan dialah si pawang ular yang telah mendalangi kejadian di desa ini!" Tutur sang pengawal dalam laporannya.
Tampak Tumenggung Tirtalaga kerutkan keningnya. "Seorang pemuda bernama ADHINATA...?" Gumamnya perlahan.
"Ya! Hamba kira ada baiknya gusti memeriksa anak muda itu. Siapa tahu kalau gurunya adalah seorang tokoh keji yang justru melakukan kejahatan ini...!" Sambung sang pengawal.
"Hm, benar juga...! ya, siapa tahu! mungkin juga aku dapat mengorek beberapa keterangan dari mulutnya!" Berkata Tumenggung dengan bangkit berdiri. Lalu beranjak menghampiri kudanya untuk segera melompat ke atas kelana. Tak lama sang Tumenggung sudah berada di atas punggung tunggangannya.
Ternyata Adhinata telah dikurung oleh pengawal-pengawal utama sang Tumenggung, karena dia membawa seekor ular yang telah ditangkapnya diperjalanan ketika menuruni lereng Gunung Tangkuban Perahu. Tentu saja Adhinata jadi mendongkol karena dihadang oleh sepuluh pengawal Kerajaan itu, disamping merasa heran karena dia merasa tak mempunyai kesalahan apa-apa.
"Tunggulah sampai Gusti Tumenggung datang, Beliau yang akan memeriksa mu dan mengizinkan kau lewat bila ternyata kau tak mempunyai kesalahan!" Berkata salah seorang dari pengawal itu. Tak lama terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Dan muncul sang Tumenggung bersama pengawal yang memberi laporan tadi.
"Heh!?" Andakah tumenggung Tirtalaga itu...?" Tanya Adhinata tanpa menjura. Sepasang lengannya masih mempermainkan seekor ular hijau yang panjangnya hampir satu kaki.
"Benar!" menyahut Tirtalaga dengan anggukkan kepala, dan melompat turun dari kudanya.
"Boleh aku tahu siapa namamu, dan siapa gurumu, anak muda...?" Tanyanya walaupun dia sudah tahu nama pemuda itu.
Dengan wajah sinis Adhinata menatap tajam pada laki-laki abdi Kerajaan di hadapannya. Semua itu dilakukan karena rasa mendongkolnya pada orang yang telah menahan langkahnya. "Namaku Adhinata... Guruku bernama Ki Panunjang Jagat yang bersemayam di puncak Gunung Tangkuban Perahu!" Sahut Adhinata dengan suara ketus.
"Oh...? Kiranya anda murid kakek gagah itu? Maafkanlah kami, sobat Adhinata! Kami terpaksa menahanmu, karena setidak-tidaknya para pengawalku mencurigai anda, sebabnya adalah binatang yang kau pegang itu." Berkata sang Tumenggung dengan suara rendah dan senyum menghias bibir.
"Maksud anda ular yang aku tangkap diperjalanan tadi ini...?" Tanya Adhinata dengan terperangah.
Tumenggung mengangguk dengan menarik napas panjang. "Di desa ini seperti kau lihat banyak mayat berserakan. Mereka adalah para korban gigitan ular berbisa." Tukas Tirtalaga. Segera diceritakannya kejadian itu secara singkat pada Adhinata yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sementara kesebelas pengawal jadi tersipu. Setelah menjura pada Adhinata, segera teruskan pekerjaannya membantu mengurus para korban.
"Hendak kemanakah sebenarnya tujuanmu, adik Adhinata?" Tanya Tumenggung.
"Aku dalam perjalanan ke selatan untuk menjumpai paman guruku yang bernama Gembul Sona!" Jawab Adhinata, seraya meloloskan belitan tubuh ular hijau itu dari tubuhnya. Jari-jarinya menjepit kuat leher ular itu, sehingga makhluk itu tak bisa berkutik.
Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan berkelebat, dan.... Plash! Ular di tangan Adhinata lenyap. Dan tahu-tahu di situ telah berdiri sesosok tubuh laki-laki berambut beriapan. Dengan pakaian kumal penuh tambalan. Bau tak sedap segera terendus hidung.
Ternyata seorang laki-laki tua berwajah menyeramkan. Sepasang matanya menonjol keluar. Gigi besar-besar menyembul dari bibirnya yang tebal. Mempunyai rahang yang lebar. Dengan kumis dan jenggot tidak terurus. Dia membawa kantong kulit yang tergantung di pinggang.
Pada pergelangan lengan dan kaki serta di lehernya tampak membelit ular-ular belang. Itulah ular berbisa yang biasanya amat mematikan. Sedang pada lengannya tampak ular hijau yang baru saja sambarnya dari tangan Adhinata. Melihat tampang orang ini, Tumenggung Tirtalaga kerutkan keningnya.
Sementara laki-laki itu sudah tertawa menyeringai seraya mengelus-elus kepala ular hijau itu. "Heheheheheh.... ular bagus! Ular bagus...! Dari mana kau dapatkan ular ini bocah?" Ujarnya seraya menatap pada Adhinata.
Sementara Adhinata sendiri terkejut karena tadi merasa serangkum angin menyambar pergelangan tangannya. Terpaksa dia lepaskan ularnya kalau tak ingin lengannya tertotok. Benar saja, ternyata gerakan cepat yang dilakukan orang itu memang menotok pergelangan tangan Adhinata, disertai menyambarnya lengan orang itu untuk merampas ular yang dicekalnya.
Saat itu Tumenggung Tirtalaga telah berseru dengan tersentak. "Raja Racun...! kaukah adanya...?"
Laki-laki tua kumal itu palingkan wajahnya pada sang Tumenggung seraya ucapnya dengan menyeringai. “Heheheheh... benar! Aku si Raja Racun! Sudah lebih dari empat tahun kita tak pernah berjumpa Tumenggung!"
"Heh! benar... akan tetapi kau masih punya persoalan yang belum diselesaikan terhadap Adipati KAMBANGAN. Dan tugas untuk menangkapmu masih berlaku!" Berkata Tumenggung Tirtalaga seraya berikan isyarat pada para pengawal anak buahnya untuk mengurung si Raja Racun ini.
Enam orang pengawal yang melihat isyarat itu segera hunus senjatanya untuk mengepung si Raja Racun dari enam penjuru. Melihat gelagat demikian tampaknya si Raja Racun tak menampakkan reaksi apa-apa. Bahkan dengan lengan masih mengelus kepala ular hijau itu, kembali dia ajukan pertanyaan pada Adhinata.
"Eh, bocah... kau belum jawab pertanyaanku, dari mana kau dapatkan ular yang bagus ini?" Adhinata gerakkan alisnya menyatu, dengan menatap heran.
"Aku menemukan di lereng gunung Tangkuban Perahu!" Jawabnya.
"Kesalahan apakah kau pada Adipati Kambangan, hingga kau harus di tangkap! Bolehkah aku mengetahui?" Tanya Adhinata. Sementara pandangannya dialihkan menatap pada Tumenggung Tirtalaga.
"Hm, si Raja Racun ini pada empat tahun yang lewat pernah merampok di gedung Kadipaten, dan menewaskan lebih dari selusin pengawal. Selain itu juga menodai istri Kanjeng Adipati! Hal itu sudah bukan hal biasa lagi. Akan tetapi menyangkut nama baik Kanjeng Adipati dan kami sebagai orang-orang bawahannya! Aku telah ditugaskan untuk mencarinya! Hidup atau mati! Sayang dia melenyapkan diri tak ketahuan kemana rimbanya!"
Tentu saja penjelasan itu membuat Adhinata melengak. Sementara sang Tumenggung telah mencabut kerisnya. Dan membentak keras. "Raja Racun...! kau serakanlah dirimu untuk kami belenggu. Dan terserah Adipati. Beliaulah yang akan menentukan hukuman buatmu...!"
"Heheheh... kejadian itu sudah terlalu lama. Dan selama ini aku tak pernah melakukan perbuatan apa-apa selain mengeram diri di sarangku. Kukira sebaiknya lupakan saja hal itu! Toh kau selamanya tidak akan naik pangkat menjadi Adipati! heheheh..., heheh...!" Berkata Si raja Racun yang nama aslinya adalah Langir Sheto.
"Kau telah salah beranggapan, Raja Racun! Walau seumur hidup aku tak naik pangkat, namun bagiku tugas adalah tetap tugas yang harus dipatuhi! Dan setiap kejahatan harus mendapat ganjaran hukuman!" Ujar Tumenggung itu.
"Bagus! kau memang seorang abdi Kerajaan teladan, Tumenggung Tirtalaga! kau suruhlah pengawalpengawalmu ini untuk meringkusku! Apakah punya kemampuan hebat setelah sekian lama kau latih menjadi pengawal utama!"
Tentu saja hinaan itu membuat kesebelas pengawal yang sudah berkumpul menyebar mengurung si Raja Racun itu jadi panas hatinya. Dan tanpa menunggu perintah tiga orang telah menyerbu dengan berbareng, diiringi bentakan keras menggeledek.
"Gembel bau...! bacotmu itu baiknya diremukkan...!"
"Modar saja sekalian...!" Teriak seorang lagi hampir berbareng. Dan tiga buah senjata terdiri dari sebilah golok panjang dan dua buah tombak meluncur deras untuk merencah dan memanggang tubuhnya.
Akan tetapi dengan mendengus si Raja Racun gerakkan tubuhnya melesat. Entah bagaimana tahu-tahu sepasang kakinya telah menginjak dua mata tombak si kedua pengawal. Serangan pengawal bergolok panjang itupun lolos disela kakinya yang terpentang. Dan tahu-tahu di luar dugaan ular hijau yang dipegangnya itu telah meluncur ke leher si pengawal bergolok panjang yang seketika jadi terperanjat. Namun dia tak sempat untuk mengelak lagi.
Terdengar jeritan menyayat hati karena segera sang ular telah memagut. Ekornya masih tercekal di lengan si Raja Racun. Pengawal itu lepaskan golok panjangnya, dan roboh terjungkal untuk selanjutnya berkelojotan. Sementara kedua pengawal telah tarik kedua tombaknya. Mereka jadi terheran, karena tubuh si Raja Racun itu seperti seringan kapas menempel di kedua ujung tombak. Namun justru mereka menariknya, tubuh si Raja Racun bergerak cepat memutar. Sepasang kakinya telah bergerak cepat sekali menghantam kedua pengawal itu.
Prak...! Prak...!
Kedua pengawal itu perdengarkan teriakan sekejap, dan ketika kedua tubuh mereka menggabruk ke tanah. Nyawanya pun lepas seketika. Ternyata kedua batok kepalanya telah pecah dengan otak berhamburan. Terperangah para pengawal lainnya dengan mata membeliak kaget. Sementara si pengawal bergolok panjang Itu ternyata sudah tewas dengan sekujur kulit tubuhnya berubah menghitam.
Betapa gusarnya para pengawal lainnya. Serentak sudah berlompatan mengurung si Raja Racun. Kali ini mereka telah mengambil pelajaran dengan kejadian tiga pengawal yang bertindak ceroboh itu, untuk bertindak hati-hati. Dua orang maju membuka serangan. Seorang mempergunakan sepasang kapak. Seorang lagi bersenjatakan sepasang tombak pendek bermata tiga. Dengan membentak keras kedua pengawal itu putarkan senjata untuk selanjutnya menerjang dengan jurus pancingan.
Si Raja Racun sambarkan ularnya ke arah leher salah seorang sementara sebelah lengannya menghibas. Melesatlah seekor ular belang kecil yang menempel dipergelangan tangannya. Akan tetapi dengan sebat sepasang kapak dan sepasang tombak mereka segera menghantam saling susul.
Wutt! Wutt! Whukk! Whukkk...!
Di luar dugaan si Raja Racun menarik kembali serangannya. Kecuali ular belang kecil. Namun gerakan selanjutnya teramat cepat, tahu-tahu ular hijau itu telah berubah arah menahan serangan dan justru melesat untuk menyambar ke bawah lengan hingga sekejap telah menggubat di lengan si pemegang kapak. Terkejut pengawal itu. Seketika sudah perdengarkan pekikannya, karena sang ular telah memagutnya dengan ganas. Sepasang kapaknya secara tak sadar terlepas jatuh. Sementara ular belang itu sudah lolos dari serangan.
Teriakan berikutnya adalah si pemegang tombak pendek. Karena saat si Raja Racun menarik kembali ular hijau, keadaan tubuhnya dalam posisi menyerang. Sebab sekali lengan si Raja Racun menghibas. Menyambarlah seekor lagi ular belang dari pergelangan lengan kirinya. Tahu-tahu sudah memagut leher pengawal itu. Dan tubuh itu sekejapan sudah terjungkal roboh dengan berkelojotan meregang nyawa. Di lain kejap nyawanya pun melayang.
"Jaga kerisku...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Sinar berwarna kuning membersit cepat sekali mengarah leher si Raja Racun. Itulah sambaran keris pusaka Sang Tumenggung.
Sejenak laki-laki kumal berwajah buruk itu terpukau. Nyaris lehernya kena terserempet kalau dia tak jatuhkan diri bergulingan. Akan tetapi keris bersinar kuning itu seperti mengejar nyawanya. Kembali meluncur bersiulan menerjang tubuhnya. Beberapa serangan beruntun dari sang Tumenggung itu dapat dihindarkan dengan pergunakan lompatan-lompatan mirip kodok.
Ketika dengan cepat tiba-tiba si Raja Racun menekan sebelah telapak tangannya ke tanah. Tubuhnya bergerak memutar dan pergunakan kakinya menghantam lawan. Gesit sekali sang Tumenggung melompat menghindar. Justru si Raja Racun luncurkan ular mautnya. Krep...! Ular hijau itu sudah menggubat leher sang Tumenggung. Terperangah laki-laki abdi kerajaan ini. Namun segera kerisnya bergerak menabas. Cras...! Putuslah leher ular hijau itu.
Tiga batang tombak yang dilemparkan tiga pengawal itu nyaris memanggang tubuhnya kalau tak sempat si Raja Racun menghindar dengan melompat gesit. Di detik itu lengannya sudah bergerak mengibas. Tiga ekor ular belang meluncur cepat sekali. Dan terdengarlah jeritan parau para pengawal Itu. Ternyata pada leher masing-masing telah menggubat dan memagut ular-ular belang kecil itu untuk merenggut nyawa. Kembali roboh tiga pengawal yang tewas seketika dengan tubuh berubah menghitam.
"Aku akan adu jiwa denganmu, iblis Raja Racun!" Bentak sang Tumenggung yang segera pergunakan kerisnya menerjang ganas. Segelombang angin membersit mengeluarkan hawa dingin. Tampak tubuh Tumenggung Tirtalaga berkelebat bagaikan bayangan menerjang si Raja Racun dari perbagai penjuru.
Sekitar tempat itu tiba-tiba dipenuhi hawa dingin. Tiga orang lagi sisa pengawal sang Tumenggung yang masih hidup itu segera melompat mundur dan pasang mata untuk memperhatikan jalannya pertarungan. Sambil berjaga ketat untuk memberi bantuan bila pemimpin mereka terdesak, disamping agak jeri pada ular-ular belang yang ganas itu.
Sementara Adhinata cuma berdiri terpaku tanpa mengambil tindakan untuk membantu salah satu pihak. Nyatanya dia lebih senang menonton pertarungan adu jiwa itu dengan tersenyum-senyum. Kadang-kadang memuji sang Tumenggung yang mempunyai gerakan lincah dengan keris di tangannya menyambar-nyambar mengancam jiwa lawan. Namun sekejap sudah memuji si Raja Racun yang dapat melompat-lompat mirip seekor kodok untuk menghindari serangan ganas sang Tumenggung, dan melakukan serangan balasan dengan ular-ularnya.
Sebelas jurus telah berlalu. Tampaknya si Raja Racun sudah bosan untuk bertindak setengah-setengah menguji kelincahan lawan. Tiba-tiba tubuhnya berkelabatan lebih cepat, hingga yang menampak cuma bayangan tubuhnya saja menerjang sang Tumenggung dengan serangan-serangan ular mautnya. Tumenggung Tirtalaga pun bukan orang yang berkepandaian rendah.
Disamping berilmu tinggi, juga banyak pengalaman di Rimba Hijau. Bahkan dia sudah mengenal akan setiap gerakan si Raja Racun itu. Apalagi dengan kemunculan manusia ini, justru dia semakin bersemangat untuk menjatuhkan atau membunuh lawan. Karena disinilah letaknya kesempatan menyelesaikan tugasnya yang selama empat tahun dipikulkan dipundaknya.
Titah sang Adipati Kambangan harus segera tuntas. Itulah tekad yang telah bulat dihatinya. Keris pusakanya segera digerakkan cepat untuk membentengi tubuhnya, dari serangan-serangan ganas lawan. Sementara lengan kirinya lakukan hantamanhantaman dahsyat!
Cras! Crass...!
Dua ekor ular belang terbabat putus, ketika sang Tumenggung dengan perhitungan mantap berhasil gunakan gerak tipu memindahkan perhatian lawan pada serangan lengan kirinya. Pukulan lengan kiri Tumenggung ini justru lebih berbahaya dari kerisnya, karena telah diisi dengan ajian-ajian yang luar biasa. Terkadang angin pukulannya membersitkan hawa panas. Terkadang menerjang dengan luncurkan hawa dingin yang dapat membekukan darah lawan.
Merahlah wajah si Raja Racun, karena dia telah menganggap enteng lawannya. Diam-diam dengan berkelebatan menghindar dari serangan ganas sang Tumenggung, lengannya telah merogoh ke kantong kulitnya. Segenggam serbuk racun ganas segera meluruk bagai hujan ke arah Tumenggung itu. Tampaknya sukarlah sang Tumenggung itu menghindarkan diri, karena serbuk racun itu amat halus yang menyebar dengan cepat di luar dugaan lakilaki abdi kerajaan itu.
Terperangah sang Tumenggung seketika. Justru serangan mendadak itu dilakukan di saat dia lengah, karena terpancing oleh tipu daya lawan, yang hentikan serangan untuk biarkan dirinya menyerang. Hingga sang Tumenggung tak lagi membentengi tubuhnya. Dan di saat yang baik, si Raja Racun gunakan kesempatan itu untuk menyerang dengan menaburkan serbuk racun.
"Celaka...!" Sentak sang Tumenggung. Saat itu tubuhnya dalam keadaan doyong ke depan setelah gagal menyerang lambung lawan dengan keris pusakanya. Justru tubuh si Raja Racun menyelinap ke bawah dengan lompatan kodoknya, dan serangan bubuk halus dari racun ganas itu meluruk dengan cepat sukar untuk dihindarkan lagi.
Prass....! Terdengar teriakan parau Tumenggung Tirtalaga. Dan terjungkal roboh dengan seketika, untuk seterusnya berkelonjotan meregang nyawa. Sekejap kemudian tubuh laki-laki gagah perkasa itu sudah mengejang kaku dengan perut membusuk mengeluarkan cairan berwarna hitam.
Terperangah ketiga pengawal dengan mata membeliak melihat kejadian yang berlangsung cepat itu. Tak sempat lagi mereka bertindak. Karena pertarungan itu berada ditingkatan mereka. Dan serangan mendadak itu terlalu cepat untuk diikuti penglihatan mereka.
Serentak ketiga pengawal itu melarikan diri lintang pukang. Ternyata si Raja Racun tak mengejarnya, melainkan tertawa terbahak-bahak, membuat tiga pengawal itu ketakutan setengah mati, dan lari jatuh bangun. Sementara Adhinata masih berdiri terkesima melihat semua kejadian itu.
"Serangan ganas...! Racun yang hebat dan mengerikan...!" Gumamnya dengan suara berdesis. Sepasang matanya sudah dialihkan lagi menatap pada mayat sang Tumenggung Tirtalaga, setelah melihat ketiga pengawal itu lenyap dikerimbunan pepohonan.
"Hahahahah... benar! inilah racun ular yang amat langka, yang kutemukan di sebuah pulau terpencil. Ular hijau yang kau temukan itupun mempunyai bisa yang hebat!" Berkata si Raja Racun. Sepasang matanya sudah bergerak mencari-cari kepala ular yang terbabat putus keris Tumenggung Tirtalaga tadi, diantara mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sesaat sudah ditemukan dan dengan sekali tubuhnya membungkuk, potongan kepala ular itu sudah berada dalam cekalan tangannya. Sementara orang-orang desa Padukuhan yang melihat pertarungan maut itu sejak tadi sudah menyingkirkan diri.
"Hm, siapakah namamu, bocah? Tampaknya kau tak ambil perduli pada pertarungan barusan. Tidakkah kau berhasrat menolong si Tumenggung ini?" Tiba-tiba si Raja Racun ajukan pertanyaan pada Adhinata.
"Heh, apa urusannya denganku? Aku tak mampu mencampuri urusan yang bukan urusanku!" Ujar Adhinata dengan wajah angkuh. "Namaku Adhinata."
Melengak si Raja Racun Langir Sheto ini. Akan tetapi segera perdengarkan suara tertawa terbahak, seraya ujarnya. "Hahahah... hahahah... bagus! bagus! baru sekali ini aku menjumpai orang yang berpendirian semacammu!"
"Kemanakah tujuanmu anak muda...? Tampaknya kau baru saja turun gunung. Siapakah namamu, dan siapa pula gurumu?" Tanya si Raja Racun dengan sepasang mata agak disipitkan memperhatikan wajah dan perawatan tubuh Adhinata. Seperti tengah menaksir atau menimbang-nimbang tulang belulang pemuda di hadapannya yang tampak bertulang besarbesar berbungkus kulit dan daging serta otot yang kekar.
"Namaku Adhinata. Benarlah seperti dugaanmu, Raja Racun....! Aku baru saja turun gunung. Guruku bernama Ki Panunjang Jagat. Dan tujuanku adalah menuju ke wilayah selatan untuk menemui paman guruku...!" Sahut Adhinata.
Kakek bermuka seram itu krenyitkan alisnya. "Siapakah nama paman gurumu itu...?" Tanya lagi si Raja Racun.
"Beliau bernama Gembul Sona!" Sahut Adhinata tanpa menyebutkan nama julukannya. Akan tetapi Langir Setho sudah tertawa menyeringai, seraya berkata.
"Hehehe... apakah tujuanmu mau memperdalam Ilmu pada si Belut Putih itu?"
Tentu saja membuat Adhinata melengak heran. "Hm, ya...! Guruku menitahkan demikian!" Sahut Adhinata pendek. Sementara Adhinata melengak heran karena si kakek muka seram itu telah mengetahui julukan yang dirahasiakan itu, juga maksudnya menemui sang paman guru.
"Bukan aku menghina, anak muda... tapi kalau cuma memiliki ajian "Belut Putih" si Gembul Sona itu tidaklah berarti apa-apa. Aku juga tak melarangmu kalau kau mau menuntut ilmu "Belut Putih" itu. Cuma sayang.... kau bertulang baik, juga telah memiliki dasar tenaga dalam yang kuat. Aku kenal baik dengan gurumu Ki Panunjang Jagat itu. Tentunya kau telah mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaannya. Sebenarnya aku sudah enggan berkecimpung di Rimba Persilatan. Akan tetapi peristiwa lama itu dan ketololan si Tumenggung ini telah membuat aku mengotori lagi tanganku yang sudah ku cuci bersih!" Berkata si Raja Racun bernama Langir Setho itu dengan perdengarkan suara helaan napas.
Tentu saja sedikit kata-kata si Raja Racun itu telah membuat goyahnya niat Adhinata, yang memang bertujuan menuntut Ilmu Ajian Belut Putih yang tersohor kehebatannya itu pada paman gurunya. "Apakah ada ilmu lain yang lebih hebat dari Ajian Belut Putih?" Tanya Adhinata. Sengaja dia lakukan pertanyaan untuk mengorek keterangan dari si Raja Racun itu yang tampaknya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan.
"Hahahahah... haha... ilmu apapun tanpa adanya benda mustika di dunia ini takkan berarti apa-apa, anak muda... Justru aku sedang bingung. Aku sudah niat cuci tangan dari Dunia Rimba Hijau, sedangkan aku mempunyai dua pasang benda mustika. Akan kuwariskan pada siapakah benda mustika itu? Karena amat disayangkan kalau benda itu tak berguna. Padahal dengan memiliki kedua pasang benda mustika itu, siapapun akan dapat merajai Dunia Persilatan tanpa ada yang mengalahkan!" Berkata si Raja Racun yang memperlihatkan wajah kecewa.
Seraya berkata kakinya sudah beranjak untuk melangkah pergi. Tentu saja membuat Adhinata tersentak. Sebagai orang yang masih berusia muda dan belum mengenal akan seluk-beluk dunia Rimba Hijau akan mudah saja percaya pada setiap kata-kata manis. Apalagi ambisinya masih menggebu. Mendengarkan adanya dua pasang benda mustika berada di tangan si Raja Racun itu, sudah lantas menarik perhatiannya.
"Eh, kakek Raja Racun... tunggu...!" Tubuhnya sudah berkelebat untuk menyusul. "Benda mustika macam apakah yang kau miliki...?" Bertanya Adhinata.
Si Raja Racun palingkan wajahnya menatap Adhinata. "Ah, sudahlah... sebaiknya kau pergi menemui si Gembul Sona, bukankah kau mau mempelajari ilmu Belut Putih?" Tukas Langir Setho. Sekejap dia sudah balikan tubuhnya, dan melesat pergi dengan pergunakan ilmu lari cepat tanpa menoleh lagi.
Melengak Adhinata. Hatinya sudah tertarik mendengar adanya sepasang benda mustika yang dapat membuat si pemiliknya akan dapat merajai Dunia Persilatan, tanpa ada yang mampu mengalahkan. Mana mungkin Adhinata membiarkan si kakek Raja Racun itu pergi begitu saja? Tubuhnya tiba-tiba telah berkelebat menyusul. Dan dengan diamdiam terus membuntuti. Ternyata si Raja Racun ini telah berhasil menggunakan akalnya untuk memancing Adhinata menguntitnya. Tentu saja dia bersikap seolah-olah tak mengetahui kalau dirinya dibuntuti.
"Heheheh... kali ini percobaan ku tak boleh gagal!" Terdengar desis suara Langir Sheto menggumam. Sementara si Raja Racun itu semakin mempercepat larinya meninggalkan wilayah itu menuju ke arah barat...
* * * * * * *
TIGA
Adipati Kambangan tertunduk pedih menatap mayat-mayat yang bergelimpangan dihadapannya. Bukan saja terkejut mendengar tewasnya Tumenggung Tirtalaga dan sembilan pengawal utama, akan tetapi juga terkejut mendengar munculnya si Raja Racun yang sudah lebih dari empat tahun tak ada beritanya. Juga satu masalah lain, yaitu berita yang sudah menjadi kenyataan di depan mata. Yaitu puluhan penduduk desa Pandukuhan yang tewas, akibat kejadian dua malam berturut-turut dengan bermunculannya ularular siluman yang ribuan banyaknya.
Tercenung sang Adipati hingga sekian lama. Sementara para prajurit pengawalnya tengah bekerja mengangkut mayat-mayat ke atas kereta kuda. Juga sebagian dari para pengawal telah turut membantu penguburan jenazah para penduduk dengan diiringi ratap tangis anak kerabat yang masih hidup. Suasana desa padukuhan diliputi mendung kesedihan. Matahari pun seperti enggan menampakkan sinarnya, karena segumpal awan hitam menghalangi...
Menjelang siang hari selesailah penguburan para jenazah, dan beberapa kereta kuda tampak beriringiringan meninggalkan desa sunyi itu. Bahkan telah mengikut pula belasan penduduk untuk hijrah ke tempat yang aman. Adipati duduk di atas kudanya dengan kepala tertunduk layu. Wajahnya dilanda kemurungan, juga kegelisahan. Akan tetapi dadanya tampak bergelombang, karena disana tersimpan kemurkaan yang mendalam luar biasa.
Dan satu tekad yang bulat adalah menumpas dalang dari pembunuhan keji para penduduk desa itu. Dugaan kuat memang berada pada si Raja Racun bernama Langir Sheto, manusia yang memang tengah diancam untuk dicincangnya oleh tangannya sendiri. Akan tetapi Adipati takkan menduga kalau ular-ular siluman itu adalah ciptaan dari seorang tokoh hitam yang tengah sengaja mencari penyebab untuk memancing kemunculan kaum golongan putih, yang pasti akan menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu.
Ketika iring-iringan kereta kuda pembawa mayat para pengawal Kerajaan itu berlalu, sesosok tubuh berdiri di atas puncak bukit memperhatikan. Dialah seorang wanita berusia sekitar dua puluh tahun lebih. Berpakaian sutera kuning. Rambutnya ikal bergelombang terurai ke dada dengan ikat kepala warna kuning emas. Sinar matanya memancar tajam menatap iring-iringan di bawah bukit.
Ketika angin keras membersit dari bawah bukit, rambut yang tergerai itupun menyibak, menyembuhkan segumpal daging yang berputik kecoklatan. Ternyatalah wanita ini seorang yang berwatak genit. Terbukti dengan pakaian yang dikenakannya. Selain berpakaian sutera tipis yang mempertontonkan lekuk-liku tubuhnya, juga baju bagian atasnya dibiarkan membuka sebagian. hingga satu dari sepasang buah dadanya menyembul keluar.
Dan pada pinggangnya yang ramping itu terbelit dua utas rental yang mempunyai bandulan mirip dengan buah dada. Itulah senjata si Rantai Genit. Aneh sekali nampaknya, karena wanita ini bukanlah Roro Centil. Akan tetapi dari sikap yang genit dan senjata Rantai Genit yang ada padanya itu akan membuat orang pasti menduga wanita itu si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Siapakah adanya wanita yang menyaru mirip Roro Centil ini? Marilah kita ikuti kemana langkahnya.
"Hihihi.... kelak ular-ular siluman itu akan menyerang ke gedung mu, Adipati Kambangan...!" Terdengar suaranya berdesis, dan sepasang bibirnya menampakkan senyuman. Tak lama dia sudah berkelebat lenyap, memasuki hutan lebat di atas bukit itu.
* * * * * * *
Bongkah batu besar yang menempel di dinding tebing batu di dasar lembah itu tiba-tiba samar-samar lenyap, berubah menjadi asap kabut. Dan tampaklah sebuah mulut goa yang lebar. Dari dalam goa itu tersembul sesosok tubuh berambut putih beriapan. Ternyata Seorang kakek tua bertubuh kate berkaki besar. Rambutnya terjuntai sampai ke tanah. Memakai jubah warna putih. Dan yang paling mengherankan adalah, kakek pendek ini mempunyai ekor yang menjulur panjang mirip ular.
Telinga dan mulutnya lebar, dengan wajah penuh keriput. Alisnya tebal agak mencuat ke atas, berwarna putih. Hidungnya melengkung dan bermata sipit serta raut muka yang lebar. Pada lengannya tercekal sebuah tongkat berkepala tengkorak yang melebihi tubuhnya. Bila tingginya diukur dengan manusia normal, mungkin hanya separuh saja.
Entah manusia ataukah siluman, manusia aneh ini. Tapi yang jelas kakinya menginjak tanah. Tampak dia perlihatkan senyum menyeringai, hingga menampak giginya yang runcing dan berwarna hitam. Sementara itu kira-kira dua puluh tombak dari tebing batu di dasar lembah itu.
"Heheheheh.... sudah kuduga kau pasti lebih tertarik pada benda mustikaku, anak muda!" Tampak sesosok tubuh berpakaian kumal yang tak lain dari si Raja Racun, yang menantikan kedatangan Adhinata yang menguntit dibelakangnya.
Tersipu malu pemuda dari puncak Tangkuban Perahu itu, yang segera melesat ke hadapan si Raja Racun alias Langir Sheto. "Aku hanya akan mewariskan benda mustika itu pada orang yang mau menjadi murid ku!" Berkata Langir Sheto dengan suara dingin.
"Aku aku bersedia menjadi muridmu, kakek Raja Racun!" Ujar Adhinata tanpa pikir panjang lagi, dan sudah jatuhkan diri berlutut seraya menyebut guru berturut-turut tiga kali dan mencium kaki si Raja Racun.
"Hahahahah sudah! sudah! aku menerimamu sebagai murid terakhir ku! Ternyata kau memang berpandangan luas, anak muda! Dengan memilih untuk mempelajari ilmu "Belut Putih" si Gembul Sona itu tak akan berarti banyak untuk menjagoi Dunia Persilatan. Kau lihatlah nanti. Di hadapan kita tinggal seorang manusia setengah siluman yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya! Aku tengah mengadu ilmu dengannya. Ternyata manusia itu telah mulai unjuk gigi mencari kejutan dengan membunuh habis manusia sekampung dengan ular-ular silumannya!" Tutur si Raja Racun dengan tatapan mata seperti mau menembus hutan di hadapannya.
Terperangah Adhinata, Dan dia sudah lantas ajukan pertanyaan. "Siapakah tokoh yang berilmu tinggi itu, guru...?"
"Dialah yang bergelar si RIRIWA BODAS! Manusia itu menuntut ilmu Siluman, hingga dari pantatnya tumbuh ekor yang panjang mirip ular! Kabarnya dia mempunyai seorang murid perempuan...." Berkata si Raja Racun.
Akan tetapi baru saja dia selesai bicara, tibatiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang membuat dedaunan bergetaran. Suara itu datangnya dari arah hutan di hadapannya. Adhinata krenyitan alisnya seraya berpaling. Tampak tersembul sesosok tubuh kate berambut putih beriapan dengan sepasang kakinya yang besar.
Jalannya meluncur tanpa kakinya menginjak tanah. Ternyata ekornya yang telah dipergunakan untuk berjalan cepat, meliuk-liuk bagaikan ular. Sepintas seolah tubuh kakek kate itu seperti diangkat oleh seekor ular yang menyangga tubuhnya. Sesaat kemudian kakek kate berekor mirip ular itu sudah tiba di hadapan mereka.
"Kehkehkeh... keh.. kiranya si Raja Racun! Pantas... bau tubuhmu membuat nafas ku sesak di dalam goa!" Berkata si kakek kate dengan membeliakkan matanya yang sipit itu untuk dibuka lebih lebar, menatap si Raja Racun dan Adhinata.
"Hm, rupanya kau sudah punya murid...!"
"Tak salah, sobat Ririwa Bodas! aku baru saja menemukan seorang murid yang cocok untuk mewariskan ilmuku!" Sahut si Raja Racun.
"Hm, waktu kita saling mempertunjukkan ilmu sudah diambang mata. Tiga kali Purnama lagi...! kau sudah terlambat untuk memungut murid, Raja Racun!" Berkata si kakek kate dengan suara serak bagai tempayan rengat.
Akan tetapi si Raja Racun mendengus, dan tukasnya dengan suara terdengar tajam. "Jangan sesumbar dulu, sobat Ririwa Bodas! Dalam waktu singkat aku akan buktikan, bahwa murid ku akan mampu menaklukkan muridmu! Bahkan akan menaklukkan tokoh-tokoh Rimba Hijau termasuk kau! Hahahah... hahah...!" Tertawa Langir Sheto mendadak terhenti, karena si kakek kate berekor mirip ular itu sudah membentak.
"Tutup bacotmu yang rusak itu. Raja Racun! Kalau tak ingat perjanjian dan ingin tahu bukti kenyataan yang kau sumbarkan dari mulut bau mu itu, siang-siang aku sudah antarkan nyawa kalian ke Akhirat! Pergilah, sebelum aku batalkan janji! Ketahuilah, aku sudah siap sejak hari kemarin! Dan peristiwa yang mungkin sudah kau dengar itu adalah untuk memancing keluarnya tokoh-tokoh golongan Rimba Hijau untuk keluar dari sarangnya. Kemudian, satu persatu akan kulenyapkan! Terkecuali yang mau tunduk di bawah kekuasaanku dan muridku...!" Selesai habis kata-katanya, tiba-tiba ekor ular si kakek kate itu terkelebat menghantam ke arah sebatang pohon besar di sebelah sisinya.
Braakkk...!
Batang pohon itu hancur berkepingan. Dan dengan suara bergemuruh, pohon besar itu tumbang membuat batang-batang pohon lain patah berderak tertimpah. Dan jatuh menyentuh tanah dengan suara berdebum keras. Terbelalak sepasang mata Adhinata melihat kehebatan ekor ular si kakek kate. Akan tetapi si Raja Racun sudah menarik lengannya untuk dibawa melesat cepat meninggalkan tempat itu, seraya berteriak.
"Baik...! kau tunggulah tiga purnama mendatang, Ririwa Bodas! Cuma satu yang aku takutkan, adalah kau dan muridmu itu sudah mampus terlebih dulu oleh ulah mu yang terlalu dini itu, sebelum tiba masanya pertemuan yang kita janjikan!" Berkata demikian, Raja Racun dan Adhinata telah berkelebat sejauh lebih dari sepuluh tombak dari hadapan si kakek kate Ririwa Bodas.
"Bacot rusakmu itu kelak aku yang akan merobeknya, Langir Sheto!" Berbareng dengan bentakannya sebelah lengan si kakek kate bergerak menghantam ke depan. Dan segelombang angin panas bergulunggulung menerjang kedua orang itu.
Bummm...! Terdengar suara ledakan di bawah kaki si Raja Racun dan Adhinata. Kalau saja Langir Sheto tak menarik lengan pemuda itu untuk dibawa melompat tinggi sejauh tujuh-delapan tombak, niscaya kedua tubuh mereka akan terbakar hangus. Karena sekejap sudah terlihat sebuah lubang besar yang menyemburatkan tanah panas bercampur api.
"Edan...!" Memaki si Raja Racun. Sepasang kakinya sudah menjejak tanah lima tombak dari lubang besar itu, disusul dengan tubuh Adhinata.
Setelah sejenak menatap ke arah lubang, keduanyapun berkelebat pergi tinggalkan wilayah si Ririwa Bodas.
* * * * * * *
Dua bulan sudah sejenak terjadinya bermacam peristiwa. Di sekitar wilayah kadipaten SUKA WENING, yang masih terhitung wilayah kekuasaan Adipati Kambangan, kita menengok ke sebuah rumah tinggal yang berukuran luas. Beratap genting yang mempunyai dua wuwungan. Rumah besar itu boleh dibilang sebuah Pesanggrahan. Memang benar! Itulah Pesanggrahan tempat berdiamnya seorang tua kosen yang bernama GEMBUL SONA.
Suasana pesanggrahan tampak sepi. Para murid si kakek bertubuh jangkung berambut kecoklatan itu tengah mengadakan latihan di puncak bukit Untuk latihan yang diadakan setiap sepekan sekali itu diserahkan pada dua orang murid utama yang bernama BARASUKMA dan SURA WULUNG. Akan tetapi turut pula seorang murid wanitanya yang amat paling di sayang, yaitu PANDAN SARI.
Tampak Ki Gembul Sona mondar-mandir di ruang kosong, yang biasa dia melatih para muridnya di tempat itu. Sebentar-sebentar terdengar suara helaan nafasnya. Terkadang menggendong tangan ke belakang, terkadang sebelah lengannya mengelus jenggotnya yang cuma sejemput itu. Tampaknya seperti gelisah memikirkan sesuatu.
"Adipati Kambangan terbunuh...! Dan seluruh laskar Kadipaten tewas. Bahkan anak isteri sang Adipati itupun tewas semua...! Kejadian yang amat aneh, dan hampir tak masuk di akal. Tewasnya keluarga Adipati Kambangan dan para lasykar Kadipaten adalah oleh serbuan ribuan ekor ular! Anehnya ular-ular itu adalah ular siluman!" Terdengar suaranya menggumam lirih. Dan lengannya semakin keras mencengkeram jenggotnya. Wajahnya menampakkan keresahan yang luar biasa.
"Hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pasti ini perbuatan manusia sesat dari golongan hitam! Aku harus berembuk dengan para Pendekar golongan putih untuk menumpasnya demi ketentraman rakyat...!" Desahnya dengan kecemasan kian memuncak. Akan tetapi tiba-tiba hatinya tersentak, karena benaknya menduga sesuatu. Sebagai seorang tokoh kawakan Rimba Persilatan yang banyak pengalaman, Gembul Sona berpandangan luas.
"Hm, jangan-jangan hal ini sengaja digunakan untuk memancing keluar kaum golongan putih! Kalau demikian berarti manusia sesat yang mempunyai ilmu siluman itu telah siap dengan segala macam tipu daya kejinya...!" Demikian pikirnya dalam benak.
Dalam keadaan gelisah itu, tiba-tiba di luar terdengar suara orang mengucapkan salam. Diiringi munculnya sesosok tubuh bertubuh jangkung, berwajah putih bersih. Mengenakan jubah warna abu-abu. Rambutnya digelung kecil di atas kepala. Kumis dan jenggotnya sudah sama memutih seperti rambutnya. Cepat-cepat Gembul Sona menyambut setelah membalas salam. Disamping terkejut, juga bergirang hati, kakek rambut coklat Gembul Sona ini, karena yang datang adalah kakak seperguruannya dari puncak Gunung Tangkuban Perahu.
"Ah, ah.... selamat datang kakang Panunjang Jagat. Oh, girang sekali aku melihat kedatanganmu!" Berkata Ki Gembul Sona. Akan tetapi dia terheran karena tak melihat sang kakak seperguruannya membawa serta muridnya. "Eh, kakang...! Bukankah kau telah mengangkat seorang murid laki-laki, mengapa tak kau bawa serta?" Tanya Ki Gembul Sona. Ditanya demikian, justru Ki Panunjang Jagat jadi tercengang.
"Aneh...! Apakah bocah itu tak datang kemari? Dua bulan yang lalu dia telah turun gunung dan kuperintahkan kemari menemuimu, rayi .... Bukankah aku telah berjanji bila telah tamat pelajarannya aku akan mengirimnya kemari untuk mempelajari ilmu "Belut Putih" darimu!" Tutur Ki Panunjang Jagat dengan hati menyentak kaget.
"Akan tetapi tak ada seorangpun bocah laki-laki yang datang kemari, kakang! Apakah memang belum sampai kemari?" Tukas Gembul Sona.
"Rasanya tak mungkin, kalau dia tersesat. Aku telah berikan petunjuk jelas padanya mengenai tempat kediamanmu ini. Dan dia mempunyai tatto di lengannya, sebagai tanda bahwa dia muridku agar kau mudah mengenali!" Ujar Ki Panunjang Jagat, dengan geleng-gelengkan kepala. Tampak benar kemasgulan hatinya.
Ki Gembul Sona pun tercenung seketika. Memang mengenai murid kakak seperguruannya itu telah diperbincangkan sejak lima tahun yang lalu. "Marilah kita bicara di dalam, kakang... Kukira muridmu itu mendapat halangan di jalan, hingga tertahan langkahnya untuk tiba di sini!"
Ki Panunjang Jagat tak menjawab. Segera bergerak mengikuti sang adik seperguruan memasuki ruangan Pesanggrahan. Kedua tokoh Rimba Hijau itu tampak berbicara dengan serius setelah membicarakan murid Ki Panunjang Jagat, yang tak diketahui kemana rimbanya. Kedua kakek kosen itu membicarakan masalah munculnya sebuah peristiwa yang menggetarkan.. Ternyata Ki Panunjang Jagat pun telah mendengar akan kabar itu. Bahkan dia lebih mengetahui dari Ki Gembul Sona.
Ki Panunjang Jagat segera tuturkan tentang adanya seorang Adipati baru, pengganti Adipati Kambangan yang tewas. "Adipati baru itu bernama Raden ANTABOGA. Tampaknya seorang keturunan Bangsawan, dan berilmu tinggi. Sepekan sejak kudengar dia mengangkat diri menjadi Adipati, rakyat mulai hilang kegelisahannya. Karena dia telah memerintahkan pada semua penduduk di wilayah Kadipaten untuk memasangi tumbal pada tiap-tiap pintu rumah, hingga ular-ular siluman itu tak berani datang lagi!" Tutur Panunjang Jagat.
"Ah, sukurlah kalau demikian...!" Ujar Ki Gembul Sona. Moga-moga saja tak terjadi lagi kejadian yang mengerikan itu.! Akan tetapi kita kaum putih dari golongan Rimba Hijau harus tetap waspada! Karena aku menduga ada udang dibalik batu dengan kejadian itu...!" Sambungnya lagi.
Ki Panunjang Jagat manggut-manggut mengerti. Akan tetapi pada saat itu tiga orang murid Ki Gembul Sona tampak berlarian memasuki Pesanggrahan. Kakek tua berambut coklat ini sudah melompat keluar dari ruangan diikuti oleh Ki Panunjang Jagat. Sebentar saja ketiga murid itu sudah tiba di hadapan gurunya.
"Ada kejadian apakah kalian datang berlarian Bukankah latihan baru akan selesai setelah tengah hari..?" Tanya Ki Gembul Sona.
"Celaka, Guru...! seekor ular besar mengamuk di atas bukit! Tampaknya korban akan bertambah. Beberapa kawan telah tewas terkena amukannya! Ketiga kakak seperguruan kami tampaknya sukar untuk membunuh mahluk itu!" Salah seorang murid tuturkan kejadian itu dengan napas terengah-engah. Terkesiap Ki Gembul Sona. Sepasang matanya membeliak, dan dari mulutnya keluar makian.
"Bedebah! lagi-lagi ular...!" Sesaat dia sudah berpaling menatap Ki Panunjang Jagat. "Aku harus kesana, kakang...!"
"Marilah kita melihatnya! barangkali perlu ku bantu untuk menumpasnya! Entah apa lagi yang muncul ini? Apakah Juga ular siluman...?"
Ki Gembul Sona tak menjawab. Tubuhnya sudah berkelebat keluar dari halaman Pesanggrahan. Ki Panunjang Jagat berkelebat menyusul. Akan tetapi di pintu halaman, Ki Gembul Sona hentikan langkahnya, seraya berteriak yang ditujukan pada ketiga orang muridnya.
"Kalian tak ku perkenankan meninggalkan Pesanggrahan...!"
"Baik, guru...!" Teriak mereka hampir berbareng menyahuti. Sedangkan pandangannya masih menatap pada Ki Panunjang Jagat, karena baru melihat adanya seorang kakek di Pesanggrahan itu bersama gurunya. Sementara kedua orang tua itu sudah berkelebatan meninggalkan halaman Pesanggrahan. Sebentar kemudian kedua tubuh itu telah lenyap di kejauhan.
"Siapakah, kakek berambut putih itu...?" Tanya salah seorang murid Ki Gembul Sona.
"Entahlah! tadi kedengarannya guru memanggilnya kakang...I Apakah bukannya Ki Panunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu?"
"He...! Benar katamu! Dialah Uwak guru kita...!" Tukas kawannya. Akhirnya mereka semua menghela napas lega, karena dengan kedatangan guru dan uwak guru mereka, bahaya bisa tersingkirkan.
* * * * * * *
BUKIT DATAR adalah tempat murid-murid Ki Gembul Sona mengadakan latihan setiap sepekan sekali. Akan tetapi satu kejadian aneh telah membuat terjadinya musibah itu. Seekor ular besar yang. panjang dan besar tubuhnya hampir sebesar batang kelapa, telah muncul dari bawah bukit. Tentu saja membuat para murid Ki Gembul Sona menjadi lari lintang pukang ketakutan.
Di luar dugaan ular raksasa itu telah menyerang dengan ganas. Terjadilah pertarungan seru antara seekor ular dengan puluhan manusia. Dan sang ular mengamuk dengan hebat hingga membawa korban beberapa murid Ki Gembul Sona tewas dan terluka parah.
Melihat demikian Barasukma dan Sura Wulung mencabut senjatanya untuk membunuh sang ular. Akan tetapi bukanlah suatu pekerjaan gampang, karena disamping sukar mendekati makhluk itu, juga senjata mereka seperti tak mempunyai arti apa-apa untuk menembus kulit tubuh ular.
Sementara Pandan Sari seorang gadis murid Ki Gembul Sona yang paling disayang sang kakek, juga terjun dalam kancah pertarungan melawan ular raksasa itu. Sura Wulung yang bersenjatakan sepasang kapak bermata dua itu tampaknya bernafsu sekali membunuh ular raksasa itu.
Dengan dibantu oleh Barasukma yang mempergunakan pedang, menerjang dari arah depan. Sementara Pandan Sari dengan sepasang Trisulanya menerjang dari belakang. Akan tetapi makhluk itu bergerak gesit menyambarkan ekornya. Kepalanya membalik untuk meluncur ke arah Pandan Sari.
"Awaas...! menghindar!" Teriak Barasukma memperingati adik seperguruannya. Akan tetapi dia sendiri sudah terlempar terkena kibasan ekor ular raksasa itu, dan nyaris jatuh ke jurang.
Sementara Pandan Sari dengan geram melompat mundur. Trisulanya juga tak berfungsi. Cuma menggores sedikit kulit ular yang tak berarti. Karena ular itu kebal senjata. Barasukma tampaknya jadi nekat. Tubuhnya sudah berkelebat melompat menebas leher ular. Pedangnya dipergunakan dengan cepat menabas beberapa kali.
Trak! Trak! Trakk...!
Terperangah pemuda itu karena pedangnya mental balik ketika beberapa kali menambas untuk memutuskan leher ular. Kulit dan sisik ular itu kerasnya luar biasa. Sementara kejadian itu berlangsung, sesosok tubuh kate berambut putih yang beriapan sampai ke tanah memperhatikan jalannya pertarungan dari tempat persembunyiannya.
Kira-kira delapan tombak dad tempat pertarungan, dengan berdiri di atas batu di tempat ketinggian Wajahnya perlihatkan senyum menyeringai. Dialah si RIRIWA BODAS, alias si kakek kate berekor ular. Saat itu sudah terdengar sebuah bentakan keras, yang diiringi dengan berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Munduuurrr...!" Ternyata yang muncul adalah Ki Gembul Sona dan Ki Panunjang Jagat.
Pandan Sari berteriak girang, dan sudah melompat untuk menghampiri gurunya. "Guru...! Celaka...! kami tak mampu berbuat apa-apa! Ular raksasa itu tak mempan senjata tajam!"
"Oh, siapakah kakek...?" Tanya Pandan Sari seraya menatap pada Ki Panunjang Jagat.
"Aku uwak gurumu...!" Menyahut kakek penghuni puncak Tangkuban Perahu itu. Dan seraya menyahut tubuhnya sudah berkelebat ke arah ular raksasa.
Ki Gembul Sona segera berkelebat menyusul. Terjadilah pertarungan hebat. Sang ular raksasa melihat kemunculan kedua orang kakek ini segera langsung menerjang dengan moncongnya. Sementara ekornya bergulunggulung untuk menghempaskan dua tubuh di hadapannya. Debu mengepul, dan dua tubuh kakek itu sudah melesat untuk menghindar seraya hantamkan pukulan lengannya.
"Bukk...! Bukkk...!
Sang ular terlempar bergulingan. Akan tetapi kembali menjulur untuk menyerang mereka. Kakek Gembul Sona melesat ke arah sisi untuk menarik perhatian. Benar saja ular raksasa itu menyerangnya. Saat itu Ki Panunjang Jagat sudah melesat setinggi enam tombak. Lengannya kembali menghantam. Kali ini telak pada balok kepalanya.
Sebelum serangan sang ular mengenai tubuh Ki Gembul Sona, sang ular sudah menggeliat berbareng dengan suara berderak tulang kepala yang remuk. Prakkk...! Terdengar suara bentakan keras. Dan segelombang angin panas menerjang Ki Panunjang Jagat.
Wuukkk...! Bummm...!
Nyaris tubuh kakek puncak Tangkuban Perahu itu hancur lebur tubuhnya kalau tak segera melompat sejauh delapan tombak. Akan tetapi terperangah kakek itu, ternyata tubuhnya justru melayang ke dasar jurang....
Dua orang murid Ki Gembul Sona, yaitu Barasukma dan Sura Wulung segera melompat ke sisi bukit. Namun bayangan tubuh kakek itu sudah lenyap tak terlihat lagi terhalang kabut tipis di mulut jurang terjal itu. Sementara kejadian di atas bukit itu adalah telah muncul seorang kakek tua berekor ular, berambut putih beriapan yang menjulai sampai ke tanah. Ular raksasa itu tergeletak mati.
Akan tetapi terjadilah keanehan. Tubuh sang ular sekonyong-konyong lenyap, berubah jadi sebuah tongkat yang segera di sambar oleh kakek kate berekor ular itu. Kepala tengkorak di ujung tongkat si kakek kate itu dalam keadaan remuk.
"Kehkehkeh... keh keh... ternyata cuma melawan tongkatku saja, kalian sudah dibuat kacau balau! Keh...kehkeh... keh keh..." Tertawa mengkekeh si kakek berekor ular itu.
"Manusia apakah ini...?" Tersentak kaget Ki Gembul Sona. Tubuhnya sudah berkelebat ke hadapan kakek kate berekor ular itu. Ki Gembul Sona sudah tak tahu lagi nasib kakak seperguruannya, yang meluncur ke dalam jurang karena menghindarkan diri dari serangan kakek kate yang ganas ini.
Terkesiap Ki Gembul Sona tadi, ketika melihat sesosok bayangan putih berkelebat ke tempat pertarungan. Ketika tubuh ular raksasa itu roboh mati dengan kepala remuk, si kakek kate ini telah membentak keras dan kirimkan pukulan lengannya ke arah Ki Panunjang Jagat. Dia sudah mau berteriak untuk memperingati, tapi ternyata sang kakak seperguruan telah waspada. Sayang, lompatannya justru mempercepat jalan kematiannya. Dan entah bagaimana nasib Ki Panunjang Jagat, tiada diketahuinya lagi.....
Terperangah Ki Gembul Sona melihat ular raksasa itu ternyata hanyalah ular ciptaan si kakek kate. Di samping geram mendongkolnya, Gembul Sona terperanjat melihat kakek kate di hadapannya itu berlainan dengan umumnya manusia. Karena mempunyai ekor yang panjang mirip ular. Disamping memiliki tubuh kate, juga sepasang kakinya besar dan bertelapak lebar, bagai telapak kaki gajah.
"Hm, siapakah kau kakek kate...? Seumur hidup ku baru kali ini aku menjumpai manusia aneh seperti kau! Apa maksudmu membuat keonaran!" Bentak Ki Gembul Sona dengan wajah penuh amarah.
"Keh keh keh... aku memang mau mencari keonaran! Tak perlu kau herankan kemunculanku, karena aku memang mau menumpas semua golongan Putih dari Kaum Rimba Hijau! Catatlah gelarku dibenak mu sebelum kau mampus menyusul kakek tua renta itu di dasar jurang! Keh keh keh... gelarku adalah si RIRIWA BODAS...!"
Selesai si kakek kate itu berucap, tiba-tiba ekornya bergerak menyambar dahsyat ke arah Ki Gembul Sona. Tentu saja membuat kakek rambut coklat itu terkejut, akan tetapi segera melompat untuk menghindar, seraya kirimkan serangan pukulannya.
Wukk...! Kakek kate ini mendengus. Secepat kilat lengannya sudah dipakai untuk memapaki serangan itu.
Desss...! Tubuh kakek kate itu terdorong mundur tiga tindak, akan tetapi Ki Gembul Sona terlempar dua tombak. Ternyata tenaga dalam kakek kate ini berada dua tingkat di atas Ki Gembul Sona. Saat itu tiga orang murid Ki Gembul Sona sudah mengurung si Ririwa Bodas. Barasukma dan Sura Wulung dengan berbareng telah maju menerjang. Sementara Pandan Sari terperanjat melihat terlemparnya tubuh sang guru.
"Kakek iblis berbuntut ular, jaga senjataku...!" Bentaknya. Dan gadis inipun sudah melompat untuk menerjang dengan senjata Trisulanya.
Hebat si kakek kate ini, tubuhnya mendadak roboh ke depan. Tak ubahnya bagaikan seekor kadal raksasa sebesar manusia. Tiga terjangan murid-murid Ki Gembul Sona itu dihadapinya dengan gunakan ekornya menghantam ketiga tubuh penyerangnya. Sementara lengannya dengan sebat pergunakan tongkatnya untuk mengirim tusukan-tusukan maut ke arah dada lawan. Ternyata yang di incarnya adalah Barasukma dan Sura Wulung.
Trak! Trak! Crasss...!
Terdengar satu jeritan parau. Tampak tubuh Barasukma terlempar dengan sebelah lengan putus bercucuran darah, sedangkan pedangnya terlempar entah kemana. Adapun Sura Wulung telah gunakan kesempatan balk untuk membalas ekor ular si kakek kate. Akan tetapi terkejut pemuda itu, karena senjatanya juga tak mampu melukai kulit ekor si Ririwa Bodas.
Tahu-tahu ujung tongkat si kakek kate itu telah menembus dadanya. Menjerit pemuda murid Ki Gembul Sona itu, dan Jatuh berdebuk untuk menggeliat menahan sakit. Namun sekejap kemudian dia segera tewas. Terbelalak mata Ki Gembul Sona menyaksikan cuma dalam segebrakan saja, si kakek berekor itu telah menewaskan seorang muridnya, dan melukai lengan murid satunya lagi.
Dengan membentak keras menggeledek, tubuh kakek jangkung rambut coklat itu melesat di atas kepala si kakek kate. Sepasang lengannya terulur dengan kesepuluh jari-jari terentang. Siap untuk mencengkeram batok kepala lawan.
Brett...! Jubah si kakek kate itulah yang kena dicengkeram, karena orangnya sudah menggelinding pergi, dan melompat gesit. Sekejap sudah berada di belakang Ki Gembul Sona. Sekali lengannya bergerak, meluncurlah segelombang angin panas menerjang punggung kakek rambut coklat itu. Terperangah Ki Gembul Sona. Namun segera dia pergunakan ilmu ajian Belut Putih untuk melindungi tubuhnya.
Kita beralih dulu pada Pesanggrahan Ki Gembul Sona. Saat itu tiga orang murid berada di pintu penjagaan. Tak seperti biasanya, dalam situasi yang aman itu, telah muncul seorang wanita yang berkelebat memasuki halaman. Gerakannya cepat sekali, hingga murid yang menjaga di pintu utama tak melihatnya.
Wanita berpakaian serba kuning itu melompati tembok sebelah barat. Bahkan kelebatan tubuhnya tak membuat penjaga di pintu barat ini melihatnya. Dengan gerakan ringan si wanita itu sudah jejakan kaki ke ruangan dalam.
"Hihi... Pesanggrahan kosong ini adalah bagianku! Tampak wanita ini bentangkan lengannya. Tubuhnya terlihat bergetar. Hebat! sepasang lengannya sekejap saja telah menjadi merah bagaikan bara api.
Wuss! Wuss...!
Dua kali lengannya bergerak, api segera berkobar di dalam ruangan. Tubuhnya lalu berkelebatan ke setiap ruangan. Dan lengannya selalu bergerak untuk keluarkan api membakar di setiap tempat. Hingga sekejap kemudian api telah berkobar membakar pesanggrahan di segala penjuru. Tentu saja hal itu membuat beberapa murid penjaga Pesanggrahan tersentak kaget. Segera sudah berteriak-teriak dan lari dengan panik.
"Celaka...! Ah, tolooong...! toloong...! kebakaraaan! kebakaraan!" Teriakan-teriakan para penjaga pesanggrahan itu tibatiba terhenti, ketika sesosok tubuh melompat dari dalam ruangan, seraya perdengarkan suara tertawa mengikik.
"Hihihi... hihihi... akulah yang membakar pesanggrahan mu! Percuma! Guru dan kawan-kawan mu berada di atas bukit, tengah menempur ular raksasa! Mana mendengar teriakan kalian...?"
"Kurang ajar...! kau... kau masuk dari mana, wanita iblis?" Bentak seorang murid yang sudah menghadang wanita itu di hadapannya.
"Habisi saja nyawanya perempuan gila ini! apa maksudmu membakar tempat tinggal kami...?" Teriak kawannya dengan suara menggeledek. Serentak enam orang penjaga telah mengurungnya. Akan tetapi wanita itu perdengarkan suara dengusan di hidung.
"Huh! kalian laporkan pada gurumu, kejadian ini! Dan menyingkirlah kalau tak mau mampus!" Bentak si wanita itu dengan suara dingin.
"Keparat...! Sebutkan siapa kau! kau tak mungkin lolos dari tangan kami!" Membentak murid Ki Gembul Sona. Dia adalah kepala penjaga di Pesanggrahan itu, bernama Tanggor.
"Hm, buka telinga baik-baik! Akulah yang bergelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan RORO CENTIL...!"
Terperanjat seketika enam orang murid Ki Gembul Sona, Akan tetapi pada saat itu sepasang lengan si wanita itu telah membentang. Dan terpekiklah empat orang penjaga Pesanggrahan. Tubuhnya terhuyung jatuh, dan berkelojotan berteriak-teriak. Ternyata pakaiannya sobek-sobek dan hangus. Tak lama mereka sudah terkapar pingsan. Kedua kawannya terperangah seketika. Dan dengan wajah pucat salah seorang menerjang bringas.
"Kau telah merusak binasakan tempat tinggal kami, dan kau bunuh pula empat kawanku! Aku akan adu jiwa denganmu, iblis perempuan!" Pedang dan serangkanya sudah dilepas untuk sekaligus menerjang wanita itu dengan tabasan-tabasan maut. Ternyata laki-laki bernama Tanggor ini bernyali hebat. Dia tak takut mati. Pedangnya berkelebatan bagaikan bayangan.
Akan tetapi dengan melompat-lompat wanita menghindar, ini mampu membuat serangan berantai yang menggebu-gebu itu lolos. Kalau dia mau, sekali hantamkan lengannya laki-laki bernama Tanggor itu akan tewas dengan tubuh hangus. Akan tetapi wanita ini berseru kagum.
"Aiiih, kau seorang lelaki yang brangasan, dan gagah! Kau tak takut mati...?" Berkata si wanita itu, seraya melompat mundur.
"Si Tanggor tak peduli kalau harus mampus sekalipun, dari pada aku lihat tampang manusia iblis perempuan macam kau!" Teriak laki-laki bertubuh kekar itu. Pedangnya mengaum untuk membelah kepala si wanita yang mengaku bernama RORO CENTIL itu.
Akan tetapi wanita itu tak mengelak. Lengannya cepat menjulur ke atas. Tapi Hebat! Cuma dengan gerakan ringan, kedua jari lengannya telah menjepit mata pedang Tanggor.
"Hah...?" Tersentak laki-laki ini. Dengan sekuat tenaga dia mencoba menarik pedangnya dari jepitan jari si wanita, namun tak membawa hasil. Keparrat...! Memaki Tanggor dalam hati, dan sebelah lengannya yang memegang sarung pedang digunakan menyodok dada wanita itu yang sebagian buah dadanya menyembul.
Kalau saja wanita itu muncul dengan muka manis dan tak membawa malapetaka, niscaya Tanggor akan terkesima, atau terangsang birahi melihat cara berpakaian wanita di hadapannya. Akan tetapi justru kebencian, dan dendam kesumatlah yang mendekam di hatinya, untuk membunuh wanita yang telah mengacau di Pesanggrahan itu.
Sodokan sarung pedang itu ternyata tak mempunyai arti sama sekali. Karena dengan gerak cepat sebelah lengan si wanita mengibas, yang dibarengi kelebatan tubuhnya. Sekejap kemudian, terdengar suara keluhan. Tubuh laki-laki itu terkulai roboh terkena totokan lengan si wanita. Dan sarung pedangnya telah terlempar entah kemana.
Belum lagi tubuh kaku Tanggor menyentuh tanah, si wanita itu telah menyambarnya. Selanjutnya sekejap sudah berada di atas pundaknya, dengan jarijari lengannya masih menjepit pedang laki-laki murid Ki Gembul Sona.
"Hihihi... hatiku agak kepincut denganmu, pemuda berangasan!" Terdengar suara desis wanita itu. Dan tubuhnya sudah berkelebat melompat ke atas tembok. Seorang kawan Tanggor cuma terperangah melihatnya, ketika tahu-tahu pedang di lengan si wanita itu meluncur ke arahnya. Kalau tak meleset sebutir kerikil menghantam pedang yang menyambar cepat saat Itu, mungkin lehernya sudah terpanggang pedang. Akan tetapi justru saat laki-laki itu terkesima, pedang Tanggor sudah tinggal dua inci lagi dari kulit lehernya.
Terdengar suara berdenting. Sambaran pedang maut itu terhenti dan mental balik ke lain arah, yang langsung menancap di tiang pesanggrahan. Tersentak si penjaga Pesanggrahan yang tersisa ini. Tampak sesosok tubuh berkelebat mengejar wanita tadi yang sudah melompati tembok untuk lenyap terhalang penglihatannya.
"Berhenti...!" Bayangan itu berkelebat cepat sekali mengejar si wanita yang mengaku sebagai Roro Centil. Akan tetapi begitu sepasang kakinya menempel ditembok pagar Pesanggrahan, tiba-tiba... Derrr...! Tembok itu seketika runtuh dengan keadaan hangus. Sedangkan si pengejar telah melompat setinggi dua tembok menghindari serangan ganas wanita itu.
EMPAT
"Keparat...! Terdengar suara orang itu memaki, karena ketika kakinya menjejak tanah, bayangan tubuh si wanita yang mengaku bernama Roro Centil itu sudah berkelebat lenyap tak ketahuan kemana arah larinya. Dengan wajah masgul dia melompat kembali ke dalam Pesanggrahan. Sementara api telah berkobar semakin besar melalap habis wuwungan rumah Pesanggrahan itu tanpa dapat dicegah lagi.
Sejenak sosok tubuh itu menatap pada api yang membumbung ke langit, membuat udara sekitar menjadi panas. Lalu alihkan untuk menatap pada pemuda di hadapannya, yang masih berdiri terpaku memperhatikan.
"Terima kasih atas pertolongan anda, sobat Pendekar...!" Berkata murid Ki Gembul Sona.
"Hm, sudahlah...! kemana kawan-kawanmu yang lain? Tampaknya sukar untuk menyelamatkan rumah Pesanggrahan ini, juga menyelamatkan barang-barang di dalamnya! Api sudah menyebar ke seluruh ruangan." Ujar laki-laki itu.
Ternyata seorang pemuda yang berwajah tampan, hampir mirip wanita. Sebatang pedang tampak tersembul di bahu kanannya. Belum lagi murid Ki Gembul Sona menyahut, sudah terdengar suara riuh di belakangnya. Dan bermunculan kawankawannya, yang serentak berteriak-teriak panik. Juga muncul Ki Gembul Sona dengan memondong seorang muridnya yang terluka pada sebelah pundaknya.
"Celaka...! celaka...! Ludaslah semuanya...! Oh, dosa apakah gerangan yang kulakukan? Siapa manusianya yang telah membakar Pesanggrahan ku ini?" Terdengar suara Ki Gembul Sona, yang sudah berdiri terpaku tanpa dapat berbuat apa-apa. Sementara api kian melahap habis Pesanggrahan itu, hingga beberapa kejap kemudian sudah tinggal puing-puing belaka.
Sisa-sisa murid Ki Gembul Sona Cuma tertunduk dengan wajah sedih. Keadaan seketika sunyi senyap bagaikan tak ada orang di tempat itu. Cuma yang terdengar suara helaan nafas dan suara berderaknya kayu-kayu yang sudah memulai di makan api, yang berjatuhan saling tumpuk. Langit seperti diwarnai oleh warna hitam yang membumbung ke atas dari sekitar pesanggrahan yang sudah tak berbentuk lagi.....
* * * * * * *
Sosok tubuh si manusia kate itu berkelebat cepat dari Bukit Datar. Gerakan larinya aneh sekali, karena ekornya dijadikan penunjang tubuhnya, yang selalu menjulur terlebih dulu untuk mengangkat tubuhnya. Hingga seperti dilontarkan, tubuh si kakek kale Ririwa Bodas itu melesat cepat menyeberangi tebingtebing terjal. Ternyata kakek kate itu memondong sesosok tubuh wanita pada sebelah pundaknya.
Sementara di belakang si kakek kate itu sesosok bayangan tubuh mengejarnya diiringi bentakan-bentakan keras. "Berhenti kau kakek siluman...! Heh, jangan harap kau dapat loloskan diri dart tanganku...!"
Terdengar suara bentakannya yang bersuara nyaring. Kejar-kejaran itu terus berlanjut, hingga sudah melewati beberapa anak sungai. Siapakah gerangan sosok tubuh dalam pondongan si Ririwa Bodas itu? Dan siapa pula yang mengejarnya? Marilah kita ikuti pertarungan yang tadi tengah berlangsung di Bukit datar. Ketika itu si Ririwa Bodas tengah lancarkan pukulan apinya yang dahsyat ke arah punggung Ki Gembul Sona.
Terperangah laki-laki tua berambut coklat itu. Akan tetapi segera dia pergunakan ilmu ajian "Belut Putih" untuk menghadapi terjangan pukulan si kakek kate, karena tak mungkin lagi baginya untuk melompat atau menghindar. Angin panas itu telah tinggal sejengkal lagi di belakang punggungnya.
Plassh...! Terkejut si Ririwa Bodas, karena angin panas yang dahsyat dari pukulannya itu telah lewat bagaikan kalis, tanpa melukai atau membakar hangus tubuh Ki Gembul Sona. Cuma pakaiannya saja yang terbakar hancur dan berhamburan. Sedangkan punggung Ki Gembul Sona tetap utuh tanpa hangus.
Akan tetapi tubuh itu terhuyung ke depan beberapa langkah. Sekejap Ki Gembul Sona sudah cabut kerisnya, dan balikkan tubuh dengan cepat. Dan melesatlah tubuhnya untuk menukik menghujamkan kerisnya ke ubun-ubun kepala si kakek kate...
Trang! Terdengar suara benturan keras. Ternyata si kakek kate telah menyampok mental keris Ki Gembul Sona. Kakek ini perdengarkan teriakan tertahan. Tubuhnya lakukan salto beberapa kali ke udara. Dan sekejap sudah jejakkan kaki di atas batu. Nyaris keris di tangannya terlempar lepas dari genggamannya. Kakek itu rasakan lengannya kesemutan.
Akan tetapi pada saat itu si kakek kate telah lemparkan tongkatnya ke arah Ki Gembul Sona. Bibir si Ririwa Bodas ini tampak bergerak-gerak membaca mantra. Seraya berbareng dengan lemparan tongkat itu, dia membentak keras. "Kau hadapilah ular ku...!"
"Hossss...!" Tiba-tiba tongkat si kakek kate telah berubah menjadi seekor ular yang ngangakan mulutnya menyambar ke arah batok kepala Ki Gembul Sona.
Terperangah kakek ini. Namun dengan menggertak gigi secepat kilat tabaskan kerisnya ke kepala ular raksasa "ciptaan" itu. Akan tetapi benarlah seperti kata muridnya. Ular ciptaan itu mempunyai kekebalan kulit yang luar biasa kerasnya, (tentu saja, karena ciptaan itu adalah tongkat ular baja si kakek kate yang diciptakan menjadi ular dengan menggunakan ilmu hitam, atau ilmu siluman).
Tampaknya kejadian pertarungan seperti tadi segera berlangsung lagi. Ki Gembul Sona keluarkan teriakan-teriakan gusar yang merangsak ular ciptaan itu. Akan tetapi setiap kali kerisnya menyentuh kulit ular, segera terpental balik.
Sementara Ki Gembul Sona tengah sibuk menghadapi ular ciptaan si Ririwa Bodas ini berkelebat mendekati ke arah Pandan Sari. "Kehkehkeh... gadis cantik! kau ikutilah aku...!" Desisnya dengan suara serak. Dan sekonyong-konyong ekor si kakek kate itu telah menggulung tubuhnya, dan membelit pinggangnya dengan erat.
Terperangah beberapa murid Ki Gembul Sona. Sementara si gadis itu sudah terpekik kaget. Sepasang Trisulanya segera digunakan menghujani kulit ekor si Ririwa Bodas. Akan tetapi mengeluh gadis ini, karena tahu-tahu lengan si kakek kate itu telah berkelebat menotoknya. Sekejap tubuhnya sudah terkulai tak berkutik. Sekali lengan si kakek itu menyambar, maka berpindahlah tubuh Pandan Sari ke atas pundaknya.
Tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat lagi ke tempat pertarungan seraya kirimkan serangan hebat pada Ki Gembul Sona, untuk membantu "ular"nya menyudahi pertarungan. Saat itu Ki Gembul Sona dalam keadaan lengah. Kemarahan menghadapi ular raksasa itu yang Kembali muncul dan "hidup" lagi, membuat dia tak waspada akan kejadian disekelilingnya. Bahkan tak menyadari kalau murid terkasihnya telah berada dipundak musuhnya.
Wuukkkk...! Hantaman yang menyemburkan hawa panas itu menerjang mengarah batok kepala Ki Gembul Sona. Agaknya si Kakek ini tak mampu berkelit lagi. Dan saat itu dia tak sempat pergunakan ajian "Belut Putih"
Blasss...! Terdengar teriakan tertahan Ki Gembul Sona, seolah terasa kepalanya seperti sudah hangus sekejapan. Akan tetapi teriakan tertahan itu berbareng dengan teriakan si kakek kate, yang sebelumnya didahului oleh satu bentakan nyaring. Sesosok bayangan berkelebat menyelamatkan nyawanya memapaki serangan ganas si Ririwa Bodas. Tubuh si kakek kate terdorong ke udara tiga tombak. Nyaris saja tubuh gadis dalam pondongannya itu terlepas.
Akan tetapi dengan gesit tubuhnya berjumpalitan. Ekornya menjulur untuk menyangga tubuhnya dari kejatuhan. Sekejap dia sudah dapat jejakkan kaki ke tanah dengan baik. Menyeringai wajah si kakek kate ini karena rasakan telapak tangannya perih dan ngilu akibat terlepasnya persendian tangannya.
Heran bercampur terkejut si kakek kate menatap pada sosok tubuh semampai yang sudah muncul di situ. Siapa lagi kalau bukan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil. Ternyata Pendekar Wanita ini datang tepat pada waktunya dan secara tak sengaja telah menyelamatkan nyawa Ki Gembul!
"Hm, kakek siluman buntut kadal, tongkat ular ciptaanmu itu hebat sekali...! Berkata Roro. Dan sekejap tubuhnya sudah berkelebat ke arah sang ular yang masih menempur Ki Gembul Sona. Senjata Rantai Genitnya tahu-tahu sudah mendesing ke arah kepala "ular" raksasa itu.
Praakkk...! Terdengar suara berderak keras. Tubuh ular segera menggeliat, kemudian roboh menggabruk. Ketika tubuh sang ular berubah ujud menjadi tongkat yang lagi-lagi hancur bagian ujungnya, Roro Centil sudah berkelebat untuk menyambarnya.
"Tongkat sialan mu ini lebih baik dipendam ke dalam bumi!" Berkata Roro Centil, seraya menghujamkan tongkat baja si kakek kate, hingga amblas ke dalam tanah tak kelihatan lagi ujungnya.
Terperangah Ki Gembul Sona. Kemunculan seorang gadis yang telah menyelamatkan nyawanya dan sekaligus memusnahkan "ular" ciptaan si Ririwa Bodas itu membuat hatinya tersentak kaget dan girang. Pandangan matanya sudah membentur pada senjata Rantai Genit-nya Roro Centil. Melihat sepasang benda yang berbandulan mirip sepasang buah dada itu, segera Ki Gembul Sona mengetahui siapa gadis cantik di hadapannya.
"Ah, ah...! Anda pasti Pendekar Wanita RORO CENTIL! apakah dugaanku yang tua renta ini tidak salah...?" Ucapnya dengan menatap pada Roro.
"Hihihih...! tepat sekali dugaanmu, kakek jangkung...! Biarlah aku mewakilkan mu menghajar si kakek siluman buntut kadal itu!" Sahut Roro, yang sudah balikkan tubuh menatap pada si Ririwa Bodas.
Sementara si kakek kate cukup terkejut melihat tindakan Roro yang memusnahkan ular ciptaannya dan sekaligus melenyapkan tongkatnya hingga amblas ke dalam tanah. Hatinya membatin. 'Hebat...! Macam inikah cantiknya si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil, yang menjadi musuh muridku? Memang sungguh-sungguh cantik, dan juga berilmu tinggi...! Sayang kalau dia harus tewas, bangkainya saja aku masih tak menolak untuk ku cicipi...!"
Otak kotor si kakek kaki gajah ini sudah bekerja sampai sejauh itu, karena hatinya diam-diam mengagumi akan kecantikan serta kemontokan tubuh sang dara perkasa Pantai Selatan itu.
Sebenarnya walaupun belum pernah bertemu muka, si kakek kate itu sudah dapat menerka siapa adanya wanita kosen yang cantik jelita dihadapannya itu, karena juga dengan melihat sepasang senjata Rantai Genit di tangan gadis Pendekar itu. Akan tetapi di luar dugaan, justru Roro Centil telah mengenali siapa laki-laki kate di hadapannya. Karena pada peristiwa belakangan ini, Roro Centil telah terjerumus ke sarang Siluman Buaya Putih.
Dari sang Ratu Siluman Buaya Putih itu Roro mengetahui kalau di wilayah sekitar Jawa Barat ada berdiam seorang tokoh Rimba Hijau yang amat kejam dan telengas. Dialah yang bernama Ririwa Bodas, yang memiliki ilmu-ilmu siluman jahat hingga kakek kate itu mempunyai ekor yang tumbuh dipantatnya.
"Eh, kakek muka kriput buntut kadal...! turunkan gadis itu dari pundakmu...!" Bentak Roro dengan suara nyaring dan terdengar gemas. Akan tetapi si kakek kate itu cuma tertawa menyeringai, kendati hatinya agak jeri melihat kehebatan si Pendekar Wanita yang masih berusia muda dan cantik itu.
"Kehkehkeh...! selamat jumpa nona Pendekar Roro Centil! Aku si Ririwa Bodas salah seorang pengagum mu. Memang sudah lama aku menantikan kemunculan anda! Sayang hari ini aku tak dapat melayani mu, kelak muridkulah yang akan menghadapi anda nona Pendekar Perkasa...! Dan... kehkehkeh...! Mengenai gadis ini, terpaksa aku tak dapat melepaskannya...!" Berkata si Ririwa Bodas.
Selesai buka mulut, si kakek kate itu sudah gerakkan ekornya untuk mengait dahan pohon. Dan... wuss...! Tubuhnya sudah melayang cepat untuk melesat pergi. Dengan beberapa kali lompatan saja sudah berada sejauh dua puluh tombak.
Akan tetapi Roro Centil sudah gerakkan tubuhnya melesat untuk mengejar, diiringi bentakan nyaring. "Kakek keriput buntut kadal...! jangan harap kau dapat loloskan diri dari tanganku...!( Siapakah muridmu yang mendendam padaku itu?" Teriak Roro Centil.
"Dia akan kau ketahui kalau kau sudah berhadapan...!" Sahut si kakek kate tanpa menoleh, dan semakin cepat berkelebatan untuk melarikan si gadis dalam pondongannya...
Ki Gembul Sona sudah kelebatkan tubuh untuk turut mengejar, akan tetapi Roro Centil segera berkata. "Kakek jangkung, biar aku yang menyelamatkan muridmu itu...!" Dan melesatlah tubuh Roro Centil untuk memburu si Ririwa Bodas.
Sementara Ki Gembul Sona cuma bisa menatap saja dengan hati kebat-kebit. Akan tetapi dia merasa yakin kalau sang Pendekar Wanita Pantai Selatan akan dapat menyelamatkan murid terkasihnya itu . Tiba-tiba dilihatnya asap mengepul di kejauhan. Langit pada sebelah utara tampak menghitam. Hati si kakek rambut coklat ini jadi tersentak kaget. Hatinya memikir.
"Ah, jangan-jangan telah terjadi kebakaran di Pesanggrahan ku!" Memang si kakek jangkung yang bergelar si Belut Putih ini mengetahui betul letak tempat pesanggrahannya. Dugaannya ternyata tak keliru, karena setelah ramai-ramai mereka kembali bersama para muridnya yang terluka, cuma bisa menyaksikan rumah Pesanggrahannya sudah tinggal puing-puing belaka.
Demikianlah. Sementara Ki Gembul Sona tengah dilanda kekalutan dengan bermacam musibah yang menimpa, Roro Centil Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu tengah mengejar si kakek kate Ririwa Bodas yang sudah amat jauh meninggalkan wilayah selatan itu. Akan tetapi ketika telah memasuki wilayah tempat kediaman si kakek kate itu, Roro Centil telah kehilangan jejak.
"Setan alas...! gadis murid si kakek jangkung itu harus kuselamatkan...!I" Deals Roro dengan wajah menampakkan kemendongkolan, karena sejauh itu Roro tak dapat melakukan tindakan apa-apa. Khawatir kalau melukai si gadis yang berada dalam pondongan si Ririwa Bodas.
Di hadapannya adalah bukit batu. Tak terlihat sebuah celah kecilpun untuk si kakek kate menyelinap masuk, apalagi dengan membawa korbannya dalam pondongan. Akan tetapi Roro Centil tak kekurangan akal. Segera bibirnya telah berdesis.
"Tutul Sahabatku....!" kau kejarlah siluman tua itu, dan rebut kembali gadis yang diculiknya...!"
Sebagai sahutannya adalah suara menggeram, yang kemudian terasa angin membersit lewat di sampingnya. Itulah pertanda sang harimau Tutul sudah menjalankan perintah. Kalau saja Roro Centil pergunakan mata batinnya tentu akan melihat sebuah lubang menganga di hadapannya.
itulah goa tempat sarang si Ririwa Bodas, yang telah menutupnya dengan kekuatan gaib yang amat hebat, hingga tak menampak ada lubang disana kecuali batu-batu yang rapat dinding bukit. Badan si makhluk siluman sahabat Roro itu sudah melesat masuk dengan cepat, bagaikan angin yang berhembus lewat...
Sementara Roro Centil bahkan melompat ke atas tebing bukit itu untuk mengamati kemana gerangan lenyapnya si kakek kate Ririwa Bodas.
* * * * * * *
GUBUK KECIL di puncak pohon itu tampaknya seperti tak berpenghuni. Karena tak terlihat seperti biasanya seorang kakek berkaki satu duduk di "rumah burung" itu untuk menikmati asap tembakaunya dengan cangklong terbuat dari tulang ayam. Kakek berkaki buntung itu seorang yang tuna wicara alias gagu.
Pekerjaannya sehari-hari tak lain dari berburu. Bila mendapatkan hasil buruannya tentu segera memanggangnya dan menyantapnya di rumah burung yang berada di puncak pohon. Untuk memanjat ke atas telah disediakan sebuah tangga tali yang menjuntai sampai ke tanah. Itulah rumah mungil tempat beristirahatnya si kakek gagu berkaki satu.
Akan tetapi sukar diterka kalau ternyata di dalam pondok kecil itu telah diisi oleh dua orang anak manusia berlainan jenis yang tengah melakukan perbuatan terkutuk. Laki-laki itu ternyata tak berdaya, ketika tubuhnya yang tertotok kaku, di bawa berkelebat ke puncak pohon. Dan sekejapan saja sudah direbahkan di dalam pondok yang cuma beralaskan tikar pandan kumal.
Ternyata adalah si wanita yang telah membakar Pesanggrahan Ki Gembul Sona. Dialah si Roro Centil gadungan. Menatap tubuh laki-laki yang bertubuh kekar itu "Roro Centil" sudah tak sabar untuk segera menyalurkan keinginannya. Lengannya sudah bergerak menyingkirkan apa yang menghalangi tubuh laki-laki bernama Tanggor itu.
Breett...! Wek! Wekk...!
Bret! Brebett...! Brett!
Sekejap saja tubuh si laki-laki itu sudah membugil. Kini gantilah wanita itu yang melepaskan pakaiannya. Tentu saja sepasang mata Tanggor jadi membeliak. Kebencian dan birahi mengaduk menjadi satu. Akan tetapi dengan menggertak gigi Tanggor menahan rangsangan hebat itu, dengan memejamkan matanya.
"Laki-laki bodoh!" memaki Roro Centil gadungan. lengannya sudah bergerak untuk memencet urat nadi di leher laki-laki itu, seraya berdesis dengan geram.
"Apakah kau lebih senang mati, dari pada menikmati tubuhku....?" Hm, jawablah..."
Tentu saja si laki-laki itu sudah belalakkan matanya lagi dengan megap-megap dan menyeringai kesakitan.
"Hm, jarang aku mau digauli laki-laki sembarangan! Dan kau mendapat kesempatan istimewa, mengapa kau menolak?" Berkata si wanita itu seraya lepaskan cengkeramannya.
"Baik...! baik...! lepaskanlah totokanku...! Aku akan menuruti kemauanmu, perempuan bejat!" Berkata laki-laki murid Ki Gembul Sona itu.
"Hihihi... makilah aku sepuasmu, laki-laki gagah! Asal kau turuti kehendakku, aku tak penasaran lagi! Sahut si Roro Centil gadungan, yang segera gerakkan lengannya membebaskan tubuh laki-laki itu dari pengaruh totokannya.
"Hm, dengarlah! Tanggor! walau kau cuma kepala pengawal penjaga Pesanggrahan si tua bangka Gembul Sona itu, aku senang padamu! Kalau kau mau, aku akan mengangkatmu menjadi Kepala Pengawal di Kadipaten...! Bersediakah kau?"
Sejenak termenung si Tanggor itu. Sementara wanita itu sudah rebahkan tubuhnya ke dadanya yang bidang dan berbulu lebat. Terasa dua gumpal benda lunak menindih dadanya. Dan jantungnya segera berdetak cepat.
"Aku amat menyenangi mu, sayang...! maukah kau menjadi Kepala pengawal Kadipaten? Kau akan memperoleh sebuah kuda yang bagus, dan pakaian keperwiraan. Ketahuilah! aku adalah istri dari Adipati ANTABOGA yang sekarang memegang kekuasaan! Mengenai hubungan kita, aku dapat mengaturnya. Kau akan kuberi sebuah rumah tinggal yang aman, untuk aku sewaktu-waktu datang...!"
"Akan tetapi bukankah kau... kau seorang Pendekar Penjunjung Kebenaran? Kalau kau benar seorang Pendekar pembela yang lemah, mengapa kau menjadi seorang penjahat? Kau lakukan perbuatan kejam membunuh kawan-kawanku, dan membakar Pesanggrahan! Apakah itu perbuatan seorang Pendekar?" Berkata Tanggor dengan mendidih perasaannya yang menggebu. Hawa rangsangan semakin lama semakin sukar untuk ditolak, karena seketika wanita itu sudah mendidih tubuhnya.
"Hihihi... aku lakukan itu karena suruhan orang, kakang Tanggor!" Berkata Roro Centil gadungan seraya membelai wajah dan leher laki-laki itu.
"Si... siapa yang telah menyuruhmu...?" Tanya Tanggor dengan napas sesak. Dirasakan sekujur tubuhnya seperti lemah lunglai. Tak kuasa dia menahan gejolak rangsangan yang sudah menggelegak memenuhi dadanya...
"Guruku ...!" Ujar si wanita dengan menggeliat di dada laki-laki itu. Terasa nafasnya semakin memburu, dan bibirnya mulai keluarkan desahan-desahan kecil. Terlalu sukar bagi Tanggor untuk lakukan bermacam pertanyaan, karena sepasang matanya sudah menjadi nanar.
Dan sesuatu yang terlalu indah menurut naluri kelaki-lakiannya telah membuat dia seperti terperosok kesatu lembah yang teramat dalam tak berujung. Selanjutnya dari "rumah burung" itu sudah terdengar suara-suara berdesahan dan rintih-rintih kecil yang membaur dengan irama margasatwa di sekitar hutan...
* * * * * * *
Sesosok tubuh melompat-lompat dengan gerakan lincah. Walaupun cuma berkaki tunggal, si kakek gagu itu dapat melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah tongkat kayu bercabang penyangga tubuhnya. Dari kejauhan dia sudah melihat ke arah "rumah burung" tempat dia berhuni. Ternyata si kakek gagu kaki tunggal ini mempunyai naluri yang peka. Dia sudah mengetahui adanya orang lain yang menghuni tempat tinggalnya itu.
Tampak alisnya bergerak turun, sepasang matanya menatap beberapa lama. Heh? siapa pula orangnya yang berani mengotori rumah tempat tinggalku? Berkata dia dalam hati. Tibatiba tubuhnya sudah berlompatan untuk segera tiba di bawah pohon. Diraihnya tangga tali untuk digerakgerakan, seraya berteriak.
"Wuuuuh! wuuuh...! wuuuu ...!" Suara teriakannya kedengaran aneh, tapi maksudnya adalah mengusir orang yang berada di atas, di dalam "rumah burung"nya itu agar segera turun. Tentu saja si kakek gagu tak mengetahui kalau di dalam rumah burung itu dua anak manusia berlainan jenis tengah memadu asmara. Kembali dia menyentak-nyentakkan tangga tali itu dengan berteriak-teriak seperti tadi.
Tiba-tiba amat terkejut si kakek gagu ketika tahu-tahu dari atas terdengar suara jeritan parau, diiringi terlemparnya sesosok tubuh menggabruk ke bawah. Dan sebuah bayangan kuning melompat turun dengan gerakan ringan. Akan tetapi segera berkelebat pergi tanpa menghiraukan si kakek gagu kaki buntung itu menuju arah utara.
Si kakek gagu itu jadi terheran dan memandang sekilas. Akan tetapi segera melompat untuk menghampiri orang yang jatuh dari "rumah burung" di atas pohon. Seketika wajah kakek gagu itu jadi pucat dan terperangah memandang sesosok tubuh laki-laki yang sudah tewas dengan tubuh telanjang bulat. Pada saat itu telah berkelebat pula ke arahnya sesosok tubuh berpakaian sutera warna hitam, berambut beriapan.
"Apakah yang telah terjadi kek...?" Bertanya pendatang ini yang tak lain dari Roro Centil adanya. Sementara Roro sudah segera palingkan wajahnya setelah sekilas melihat mayat yang tergeletak itu, yang mulutnya tampak mengalirkan darah. Kini menatap pada si kakek gagu setelah lakukan pertanyaan. Tentu saja si kakek gagu itu tak bisa bicara, kecuali cuma berkata.
"Wuuuh! wuuuh...! wuuh...!"
Seraya menunjuk ke arah utara dimana si wanita tadi berkelebat. Tahulah Roro Centil kalau orang tua kaki satu itu tak bisa bicara. Cepat sekali tubuh Roro Centil sudah bergerak mengejar ke arah yang ditunjuk kakek gagu itu. Beberapa saat, Roro sudah dapat melihat adanya sebuah bayangan kuning berkelebatan dengan sebat menerobos hutan belukar.
Kali Ini Roro tak lakukan bentakan, kecuali dengan diam-diam mengikuti kemana sosok tubuh itu berkelebat. Diam-diam hatinya membatin. "Eh, siapakah wanita itu? Dia seperti membawa bandulan senjata Rantai Genit seperti senjataku!"
Akan tetapi baru saja dia mau lakukan lompatan untuk menghadang, tiba-tiba terdengar bentakan keras di belakangnya. Dan beberapa sosok tubuh sudah mengurung Roro. Terkejut Centil ketika mengenali mereka adalah tujuh mahluk kerdil yang sudah tidak mirip manusia lagi. Karena dari kepala-kepala ketujuh makhluk kerdil itu ada sepasang tanduk.
Masing-masing bermata bulat menonjol, dengan mulut menyeringai menampakkan taring-taring yang runcing tajam. Tubuhnya hitam berbulu dengan kaki yang tak menyentuh tanah. Tersentak Roro Centil, yang sudah dapat menduga mereka adalah siluman-siluman kerdil yang jahat.
Seperti ada yang mengomandokan, ketujuh makhluk kerdil itu sudah menerjang Roro Centil. Akan tetapi Roro sudah waspada sejak tadi. Segera gerakkan lengannya menghantamkan ke kiri dan kanan. Sayang, yang dihadapi Roro bukanlah manusia biasa, melainkan mahluk siluman, hingga hantaman-hantaman itu tak berarti. Sekejap tubuh-tubuh mahluk kerdil itu sudah berpencar. Pukulannya seperti menembus bayangan belaka.
Ketika tahu-tahu tubuh Roro sudah kena disergap ketujuh mahluk siluman kerdil itu. Menghadapi demikian tampak Roro Centil agak panik. Namun segera hentakkan kakinya untuk melompat setinggi sepuluh tombak. Ketujuh mahluk kerdil itu terbawa ke atas. Ternyata Roro Centil gunakan jurus "Pusaran Angin Puyuh" warisan si kakek bulat si Dewa Angin Puyuh sahabat baiknya yang berbaik hati menurunkan beberapa jurus ilmunya.
Hebat akibatnya, karena serentak ketujuh mahluk kerdil itu berpental terlepas dari tubuhnya. Dengan beberapa kali lakukan salto di udara, tubuh Roro sudah kembali jejakan kaki ke tanah. Sebat sekali, Roro Centil sudah gerakkan tubuhnya untuk teruskan mengejar si wanita baju kuning tadi, tanpa menghiraukan tujuh mahluk kerdil yang entah berpentalan kemana...
LIMA
Sementara seekor harimau tutul berkelebat menyusulnya, yang melompat bagaikan terbang. Pada moncongnya menggigit baju di punggung seorang gadis yang digondolnya. Dialah si Tutul sahabat Roro yang telah berhasil menyelamatkan gadis bernama Pandan Sari itu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?
Kiranya di dalam goa yang pintunya telah ditutup dengan ilmu gaib hingga tak kelihatan lubangnya, si kakek kate baringkan tubuh Pandan Sari di atas batu beralas tikar. Kakek kate ini tersenyum menyeringai menatap gadis yang telah tertotok itu. Sementara sebuah bayangan hitam menunggu disudut ruang goa, mencari kesempatan untuk menggondol si gadis yang tertawan itu.
Akan tetapi si kakek kate itu justru tak segera pergi, bahkan mulai beraksi dengan merayapi sekujur tubuh sang gadis, dan mulai menyibakkan pakaian sang korban untuk segera membukanya. Melihat demikian, sang harimau Tutul yang masih membentuk asap hitam itu sudah tak sabar untuk segera bergerak. Melompatlah dia menerjang kakek kate.
Terkejut si Ririwa Bodas ini karena tahu-tahu sebuah bayangan hitam meluncur menerjang ke arahnya. Secara reflek dia sudah bergerak untuk melompat. Segera matanya sudah menatapi pada seekor harimau tutul sebesar kerbau yang berada di atas batu. Cepat si harimau tutul siluman itu balikkan tubuh sang gadis, dan menggigit baju dipunggungnya. Lalu bergerak melompat keluar dari ruangan goa.
Karena dalam keadaan terkesima, ketika si harimau tutul sudah melesat keluar goa, barulah dia tersadar kalau korbannya sudah digondol si harimau tutul. "Kurang ajar...!" memaki si kakek kate, tubuhnya segera berkelebat mengejar. Dan terjadilah kejar-kejaran hingga sampai jauh keluar dari wilayah si Ririwa Bodas. Akan tetapi pada saat itu sudah berkelebat sesosok tubuh menghadang. Terkejutlah si kakek kate ini, segera sudah jatuhkan diri berlutut, dan bibirnya terdengar kata-kata tergetar.
"Datuk guru...! Aku menghaturkan sembah bakti."
"Hm, bangunlah...!" Ujar sosok tubuh dihadapannya, yang ternyata adalah seorang pertapa tua bertubuh jangkung. Kumis, dan jenggotnya panjang menjuntai hampir sedepa. Disamping bertubuh jangkung, tubuh kakek pertapa ini boleh juga disebut tinggi besar. Hingga berhadapan dengan si kakek itu seperti seorang raksasa saja layaknya.
Kakek tinggi besar ini berjubah hitam, juga berkulit hitam. Dialah seorang tokoh yang sudah lama menyembunyikan diri di Pulau Andalas. Bersama Ratan Sugar. Entah bagaimana si datuk ini bisa berada di Pulau Jawa. Ternyata kedatangannya memang mencari si kakek kate itu.
"Ada hal apakah kiranya Datuk guru menyusul kemari?" Tanya si kakek kate dengan heran.
"Kau terlalu gegabah membuat keonaran, Abi Ghamus...! Hal itu akan membahayakan dirimu! Sebaiknya kau pulang, dan tinggalkan petualanganmu serta niat gilamu untuk menguasai Dunia Persilatan!" Ujar kakek yang bertubuh hebat itu.
Sejenak termenung si Ririwa Bodas yang ternyata bernama Abi Ghamus itu. "Akan tetapi Datuk guru..." Tukas si kakek kate dengan terkejut.
"Kau tak akan mampu menghadapi para tokoh kaum Rimba hijau, muridku! Dan hal itu akan sia-sia belaka! Kau perlu menambah lagi ilmu-ilmu yang kau tuntut dan meninggalkan wilayah ini dengan secepatnya! Juga saran ku adalah sebaiknya kau menghamba saja pada Kerajaan Sriwijaya! Kukira tenagamu bisa bermanfaat bagi keamanan disana...!" Potong Ratan Sugar dengan cepat.
"Tidak bisa sekarang Datuk guru...! Aku punya perjanjian dengan si Raja Racun untuk bertanding ilmu. Kira-kira tinggal menunggu sampai Purnama mendatang...!" menyahut si kakek kate Ririwa Bodas.
"Ah, lupakanlah...!" Tandas Ratan Sugar dengan suara agak ditekan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan bumi. Dan muncullah sesosok tubuh dengan gerakan ringan ke hadapan mereka. "Hahahaha... haha Ririwa Bodas! Tak usah menunggu sampai purnama bulan depan. Hari ini ku kira cukup baik untuk aku wakilkan guruku si Raja Racun membuat kau hidup kekal di alam Baka..."
Terkejut si kakek kate melihat yang muncul adalah pemuda murid si Raja Racun yang bernama ADHINATA itu. Akan tetapi keadaannya kini lain. Pemuda itu mengenakan baju rompi warna hitam dengan lengan atas terbuka. Juga dadanya tersibak. Pada sepasang lengannya mengenakan sebuah gelang besi berwarna hitam legam. Juga pada sepasang kaki pemuda itu melingkar sepasang gelang besi serupa.
Ratan Sugar si kakek tinggi besar asal India ini cuma krenyitkan kening menatapnya. Diam-diam hatinya tersentak memandang tubuh pemuda itu mengeluarkan sinar kebiruan. Akan tetapi tak sempat berfikir jauh karena si kakek kate muridnya itu sudah membentak parau.
"Bagus...! Akan tetapi kemanakah gurumu? mengapa tak munculkan diri?" Tanya Ririwa Bodas.
"Hahaha... haha... si Raja Racun itu sudah duluan! Segeralah kau menemuinya di kuburan...!" Berkata Adhinata dengan suara jumawa.
Mendengar kata-kata demikian, mana si kakek kate mau percaya begitu saja. Hatinya membatin. "Hm, si Raja Racun itu terlalu menganggap enteng padaku! Dia cuma munculkan muridnya untuk menghadapiku... ?"
Akan tetapi Ririwa Bodas sudah membentak hebat. Ekornya tiba-tiba menjulur untuk menghantam kaki si murid Raja Racun yang cuma memakan waktu dua kali bulan purnama itu. Serangan itu adalah untuk memancing tubuh Adhinata melompat ke atas. Sementara dengan diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam yang hebat pada sepasang tangan. Sekali hantam akan mampuslah si anak sombong itu! Pikirnya.
Di luar dugaan, ketika ekor si kakek kate menyambar kakinya, pemuda itu justru secepat kilat telah menangkapnya dengan sebat. Apa yang terjadi? Terdengar suara kakek kate meraung panjang. Tubuhnya sudah melompat untuk jatuhkan diri bergulingan. Dan pada saat itu Adhinata dengan tawa bergelak segera enjot tubuh untuk hantamkan lengannya.
Terperangah kakek kate. Walaupun dia dalam keadaan kesakitan yang amat sangat yang diketahuinya akibat apa, namun segera papaki serangan pemuda itu dengan pukulan yang tadi sudah disiapkan. Sementara segelombang angin yang mengeluarkan asap warna biru sudah menerjang dahsyat. Hawa dingin menyusup ke tulang sumsum. Ketika kakek kate memapaki serangan itu dengan hantaman lengannya, segera terdengar suara parau si kakek kate dan teriakan tertahan pemuda itu.
Desss...!
Kakek kate terlempar bergulingan dengan berkelojotan. Sedangkan si pemuda itu terpental hingga membentur dahan pohon, tepat pada belakang kepalanya. Sungguh satu kejadian yang amat aneh juga mengerikan. Karena kalau Adhinata jatuh pingsan tak sadarkan diri, adalah si kakek kate berekor ular itu meraung-raung parau dengan berkelojotan bagai ayam disembelih. Tak lama tubuhnya menegang untuk menggeliat. Dan kejap selanjutnya, segera terkulai layu tak berkutik lagi.
Keadaannya amat mengerikan karena seketika tubuh si kakek itu berubah menjadi warna kebiruan. Dan pelahan-lahan menjadi cair. Untuk selanjutnya jadi bangkai yang menimbulkan bau yang menusuk hidung. Sementara ekornya telah lenyap. Terkesiap si kakek tinggi besar, bagaikan tak percaya menatap tubuh ke dua orang yang terkapar itu silih berganti.
"Manusia Beracun....!" Pekiknya dengan kaget. Barulah dia menyadari sinar kebiruan yang timbul dari tubuh anak muda itu adalah sinar racun yang dahsyat, yang seumur hidupnya belum pernah dijumpai. Tertegun seketika si kakek hitam bertubuh tinggi besar itu.
"Haiiih! sudah kukatakan tak usah menghiraukan segala macam adu kesaktian! Ternyata nasibmu buruk Abi Ghamus! Harus menemui kematian dengan begitu rupa...!" Seraya berucap, tubuh Ratan Sugar tokoh asal India yang sejak lama menyembunyikan diri di Pulau Andalas itu segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu, dengan hati penuh kemasygulan.
Sepeninggal si kakek tinggi besar berkulit hitam yang kumis dan jenggotnya panjangnya hampir sedepa itu, sesosok tubuh berkelebat muncul. Sukar dipercaya, karena yang muncul itu adalah si kakek muka putih Ki Panunjang Jagat. Dia berdiri tercenung memandang tubuh Adhinata yang tergeletak tak sadarkan diri akibat benturan kepalanya dengan batang pohon. Apakah yang sebenarnya terjadi dengan Ki Panunjang Jagat?
Ternyata ketika itu tubuhnya jatuh meluncur ke dalam jurang yang dalam, keadaan cuaca yang berkabut di kedalaman jurang terjal itu membuat dia tak mampu melihat apa-apa. Akan tetapi dengan belalakkan mata lebar-tebar Ki Panunjang Jagat sempat juga melihat dasar jurang. Hatinya melunjak girang.
Sebagai seorang kakek kosen yang sudah banyak mengenal bahaya, tentulah tidak mandah saja untuk menghadapi maut yang sudah di depan mata. Sesungguhnya kematian itu memang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dia cuma manusia... Kalau ditakdirkan untuk mati, ya mati...!
Melihat dasar jurang itu harapannya untuk hidup timbul lagi. Siapa yang mau tubuhnya hancur remuk di atas batu cadas dari tempat yang amat tinggi itu? Segera sepasang lengannya bergerak menghantam batu cadas di dasar jurang. Hal itu amat menguntungkannya, karena segera tubuhnya tertahan luncurannya. Dan selanjutnya dengan bersalto mempergunakan hantaman yang menimbulkan reaksi menahan tubuh itu, Ki Panunjang Jagat dapat mendarat dengan ringan di dasar lembah dengan selamat.
Kakek ini jatuhkan lututnya ke tanah dengan menarik napas lega. Sementara benaknya berpikir pada kejadian tadi. Entah siapa telah menyerangnya hingga dia salah lompat, hingga terperosok ke dalam jurang. Dasar jurang itu sunyi lenggang. Kabut tipis seperti menyebar yang membuat pandangannya agak mengabur. Segera Ki Panunjang Jagat meneliti keadaan sekitarnya.
Tiba-tiba tatapan matanya terbentur pada sesosok tubuh yang melangkah terhuyung-huyung, dengan tertawa sendirian. Tersentak hati si kakek penghuni puncak Tangkuban Perahu itu. Sejenak Ki Panunjang Jagat terpaku menatap sosok tubuh itu, karena seperti mengenali siapa adanya laki-laki yang berperawakan demikian.
"Ah? apakah dia bukannya Adhinata? Apakah diapun terjerumus ke dalam jurang ini, hingga selama lebih dari dua bulan sejak kepergiannya belum juga sampai ke Pesanggrahan Ki Gembul Sona?" Desis Ki Panunjang Jagat.
Niatnya mencari jalan untuk merayap naik ke atas lagi jadi diurungkan. Dengan hati berdebar diam-diam Ki Panunjang Jagat bergeser dari tempatnya untuk memperhatikan lebih dekat. Betapa terkejutnya si kakek muka putih melihat sesosok mayat tergeletak dengan keadaan pakaian yang hancur dan kulit tubuh membiru. Lagi-lagi hatinya tersentak.
"Si Raja Racun...!" desisnya dengan suara perlahan. Apakah gerangan yang terjadi? Berkata dalam hati si kakek Tangkuban Perahu ini. Namun cepat-cepat menyelinap ke balik batu ketika dilihatnya Adhinata balikkan tubuh.
"Hahaha... selamat tinggal guru! Dua bulan lebih kau lakukan percobaan dengan bermacam cara, akhirnya begitu berhasil, tak dinyana kau bahkan mampus terlebih dulu...!"
Berkata Adhinata, yang membuat Ki Panunjang Jagat yang sembunyi di belakang batu untuk ketiga kalinya jadi tersentak kaget. "Hah!? Dia berguru pada si Raja Racun? Percobaan apakah yang dilakukan manusia golongan hitam ini hingga menewaskannya...!"
Sementara Adhinata sudah tambahkan kata-kata lagi. "Maaf, guru...! Aku malas mengubur jenazahmu, hahaha... biarlah aku wakilkan kau untuk menghadapi si Ririwa Bodas!" Selesai ucapkan kata-kata, Adhinata segera balikkan tubuh dan melangkah pergi.
Ki Panunjang Jagat tak berlaku ayal, segera unjukkan diri di hadapan muridnya. Sekejap sudah melompat keluar. "Adhinata...! tunggu dulu!" Teriak kakek ini.
Pemuda itu menoleh dan sepasang mata lebar-lebar melihat orang di hadapannya. "Guru...!?" Tersentak kaget Adhinata, yang segera tekuk kedua lututnya untuk bersimpuh. Seraya ucapnya. "Maaf, guru...! Aku belum sampai ke Pesanggrahan paman guru Gembul Sona dan aku batalkan niat untuk teruskan pelajaran berguru padanya!"
"Bagus! begitulah seorang murid yang berbakti? Kau telah batalkan niat, karena kau lalu berguru pada tokoh sesat si Raja Racun!"
"Aku cuma tertarik dengan dua pasang benda mustika, guru...! Tak dinyana kalau kejadiannya bakal begin...!"
"Apa maksud ucapanmu? kejadian apakah? dan benda mustika macam apa yang telah menggiurkan hatimu?" bertanya Ki Panunjang Jagat.
Akan tetapi tiba-tiba Adhinata berkelebat melompat menjauh, seraya berteriak. "Maaf, guru...! Aku tak dapat menceritakan, aku tak dapat menceritakannya padamu! Amat menyesal aku telah menjadi murid yang tak berbakti padamu! segalanya sudah terlanjur!"
"Terlanjur bagaimana?" bentak Ki Panunjang Jagat seraya berkelebat mengejar.
Adhinata segera berkelebat pula melompat dengan cepat, tampaknya seperti ketakutan melihat gurunya. Terjadilah kejar-kejaran antara guru dan murid.
"Bocah keparat! lima tahun aku mendidikmu untuk kau menjadi seorang pendekar berhati putih, tak nyana kau menempuh jalan sesat! Jangan harap kau mimpi untuk lolos dari tanganku...! kau harus bertobat, dan meminta maaf padaku! Kau tak ku perkenalkan memiliki ilmu si Raja Racun!" teriaknya lagi.
"Sudah terlambat, guru...!" Balas berteriak Adhinata, lalu percepat gerakannya untuk segera merat dari hadapan gurunya. Ternyata Adhinata setelah mendapat gemblengan si kakek puncak Tangkuban Perahu itu justru memiliki gerakan lincah dan gesit melebihi gurunya, hingga beberapa saat kemudian Ki Panunjang Jagat telah kehilangan jejak.
Demikianlah.... peristiwa belakangan hingga munculnya kakek puncak Tangkuban Perahu itu di saat terjadinya pertarungan muridnya dengan Ririwa Bodas. Yang justru adalah musuh yang telah membuatnya jatuh ke dalam jurang.
* * * * * * *
"Manusia Beracun...!?" Sentak pula Ki Panunjang Jagat, seperti kata-kata yang dilontarkan Ratan Sugar yang sudah berkelebat pergi. Terpengaruh bagaikan tak percaya pada penglihatannya, Ki Panunjang Jagat menatap tubuh muridnya mengeluarkan sinar kebiruan, yang berhawa dingin mencekam dan menggidikkan.
"Aku tak boleh menyentuhnya...! Berbahaya! berbahaya...!" desis sang kakek ini. Segera hatinya sudah membatin. "Pantas dia berusaha menjauhi ku, ternyata tubuhnya mengandung racun yang amat luar biasa!" Tak terasa kakinya sudah mundur melangkah dua tindak.
Pada saat itulah berkelebat pula sesosok tubuh, yang tak lain dari Roro Centil. Di atas pundaknya tersangkut tubuh seorang gadis. Ternyata Roro Centil pun sudah sejak tadi berada di tempat itu. Ketika baru saja harimau tutul mengantarkan Pandan Sari yang dibawa dengan menggigit baju gadis itu, Roro Centil mendengar suara parau. Roro memang baru saja terlepas dari serbuan mahluk-mahluk kerdil Siluman itu.
Segera Roro Centil mencari dimana adanya arah suara teriakan itu. Dan melihat si kakek kate tengah berkelojotan meregang nyawa. Tak lama kemudian tewas dengan tubuh berubah mencair, mengerikan sekali. Sementara di bawah pohon tergeletak sesosok tubuh tak bergerak entah pingsan entah mati, Roro tak mengetahuinya.
Kakek puncak Tangkuban Perahu itu terkejut melihat Roro Centil yang memondong tubuh seorang wanita. Ketika Roro turunkan bebannya untuk direbahkan di tanah, segera Ki Panunjang Jagat mengenali siapa adanya gadis itu.
"Siapakah anda, nona...? Gadis itu aku mengenalnya! Dia murid adik seperguruanku Gembul Sona!" Bertanya dia setelah menjura pada Roro. Dilakukannya pertanyaan itu karena memang dia tak mengetahui kejadian di atas bukit karena tubuhnya sudah melayang ke dasar jurang.
Tersenyum Roro Centil. Roro memang telah datang terlambat untuk menolak pukulan si kakek kate, yang justru kemunculannya adalah di saat si kakek kate itu tengah melancarkan serangan ganas pada kakek Jangkung muka putih yang sudah di lihatnya berhasil meremukkan kepala ular dengan hantaman pukulannya. Segera Roro menyahuti. "Namaku Roro...! Lengkapnya Roro Centil!" Sahutnya.
"Ah, sukurlah kau orang tua bisa selamat dari kematian! Kalau demikian aku tak perlu repot-repot mengantarkan gadis murid adik seperguruanmu si kakek Jangkung rambut coklat itu!" Ujar Roro, yang segera ceritakan kejadiannya secara singkat. Adapun Ki Panunjang Jagat sejak tadi mengingat-ingat nama yang baru disebutkan itu. Memandang pada senjata Rantai Genit di pinggang Roro, barulah dia sadar dan tersentak kaget.
"Sungguh tak dinyana aku masih bisa mengenal dan bertemu muka dengan Pendekar Wanita Pantai Selatan yang namanya sudah tersohor. Ternyata masih muda belia dan cantik!" Berkata Ki Panunjang Jagat.
"Terima kasih atas bantuan anda, nona Pendekar Roro Centil!" Sambungnya. Manusia aneh berekor ini aku baru melihatnya. Sungguh tak kusangka kalau dialah yang lakukan pukulan dahsyat hingga aku salah lompat dan masuk jurang!"
Akan tetapi Roro tak menyahuti, karena wanita Pendekar ini perdengarkan suara. "Aiiih...!?" Tubuhnya melangkah dua tindak, dengan menatap ke belakang tubuh Ki Panunjang Jagat.
Terkejut si kakek ini. Ketika palingkan tubuh, sekilas sudah melihat punggung Adhinata yang berkelebat cepat, untuk selanjutnya lenyap dikerimbunan hutan. Roro tak sempat berfikir lagi untuk mengejar, karena dia memang menyangka lawan si kakek kate itu sudah tewas. Tak disangka kalau tiba-tiba tubuh yang terkapar itu melompat berdiri, dan kabur dengan cepat sekali.
"Haiiih...! Kelak bocah itu akan membuat kegemparan di Dunia Persilatan!" Berkata si kakek puncak Tangkuban Perahu dengan wajah menampak tegang dan hati yang masygul.
"Siapakah dia kakek..?" Tanya Roro.
"Dia muridku...!"
"Muridmu? Mengapa sikapnya demikian terhadap seorang guru? Apakah dia mempunyai kesalahan terhadap kau orang tua...?" Tanya Roro lagi.
Ki Panunjang Jagat anggukkan kepala. Seraya kemudian menceritakan secara singkat kejadian yang menimpa muridnya. Roro Centil mendengarkan penuturan itu dengan penuh perhatian. Sementara gadis bernama Pandan Sari ternyata telah sadar dari pingsannya. Gadis itu terkejut mengetahui di hadapannya ada dua orang yang tengah berbincang-bincang. Yang seorang sudah dikenalnya. Akan tetapi seorang lagi adalah baru pertama kali dilihatnya.
Roro Centil segera beranjak menghampiri. "Eh, adik manis...! kau ikutlah pada kakek ini. Dia kakak seperguruan gurumu Ki Gembul Sona!" Ujar Roro seraya kemudian berpaling pada Ki Panunjang Jagat. Seraya berucap. "Terima kasih atas penjelasan mu, kakek Tangkuban Perahu.... Aku harus segera pergi lagi. Masih banyak urusan yang belum ku selesaikan!"
Akan tetapi baru saja habis kata-kata Roro. Sudah terdengar suara... "Tunggu, nona Roro Centil...!"
Dan dua sosok tubuh sudah berkelebat dihadapannya. Melengak Roro melihat siapa salah seorang dari keduanya. Ternyata yang seorang adalah Ki Gembul Sona, sedangkan seorang lagi adalah seorang pemuda tampan berkulit putih yang menyandang pedang dipundak. Agak lupa-lupa ingat Roro melihat wajah pemuda itu. Akan tetapi segera terluncur kata-katanya.
"Apakah kalau tak salah kau si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang Nan Elok...?" Tanya Roro Centil. Pemuda itu tersenyum, lalu tertawa gembira.
"Hahaha... benar! benar sekali, nona... Roro! Kau masih ingat padaku? Ah, sukurlah...! Rasanya bahagia sekali aku bisa berjumpa lagi dengan anda, nona Pendekar Roro Centil...!"
"Hm, begitukah... ?" Jawab Roro dengan berikan seulas senyum di bibir.
Membuat jantung si pemuda itu seperti berdentang-dentang berdebaran, karena sukar dikipakan senyum yang menghias di bibir sang dara jelita itu. Ternyata "CINTA" telah sejak lama bersemayam di hati si Bujang Nan Elok sejak perjumpaan mereka di Pulau Andalas. Dan dia sudah maju dua tindak untuk menjabat tangan sang "dara pujaan hati" dengan jantung bergemuruh.
Sementara Ki Gembol Sona tampak gembira sekali memeluk kakak seperguruannya yang disangkanya sudah tewas, ternyata masih segar bugar. Sedangkan Pandan Sari segera menjura di hadapan kedua orang tua itu. "Sukurlah kau selamat, muridku...! Mengapa kau tak ucapkan terima kasih pada Nona Pendekar Roro Centil yang telah menolongmu?" Ucap Ki Gembul Sona.
Pandan Sari memang sejak tadi mau buka suara, namun keburu muncul gurunya bersama seorang laki-laki tampan berkulit putih. Melihat tatapan mata si Bujang Nan Elok itu seperti melekat tak mau lepas menatap sang Pendekar Wanita itu, Pandan Sari jadi tersipu dan agak jengah kalau terus memperhatikan. Hingga dia tak sempat buka mulut. Selanjutnya dengan terburu-buru segera melompat menghampiri gurunya dan sang uwak guru, untuk menjura.
Sukar diceritakan kegembiraan, juga rasa haru pada pertemuan itu. Roro Centil terpaksa batalkan niatnya untuk menguntit si wanita yang menyaru sebagai dirinya. Dalam pembicaraan selanjutnya dilakukan sambil beranjak meninggalkan tempat itu. Terdengar suara si kakek Puncak Tangkuban Perahu.
"Walaupun si Ririwa Bodas itu sudah tewas, akan tetapi masih ada hai lain yang menjadi masalah kita. Yaitu Adhinata murid tunggalku itu, yang telah menjadi seorang Manusia Beracun...!"
Ki Gembul Sona manggut-manggut seraya ucapnya. "Ya, disamping muridmu itu kukira masalah memang belum tuntas, karena wanita yang mengaku bernama Roro Centil itu telah membuat keonaran dimana-mana! Di samping telah membakar seluruh Pesanggrahan ku, juga telah mulai mempengaruhi Adipati Antaboga yang baru!"
"Benar kakek sahabat...! Aku mendengar berita dari seorang pengawal Kadipaten, justru si wanita itu telah menjadi istrinya Adipati Antaboga." tukas si Bujang Nan Elok yang nama sebenarnya adalah SAMBU RUCI. Dia berjalan berdua dengan Roro Centil.
"Hihih...! Biarlah untuk urusan wanita itu, serahkan saja padaku! Dia memang sengaja membuat keonaran untuk memancing kebencian kaum Rimba Hijau padaku! Wanita itu memang menaruh dendam padaku! entah persoalan apa...!"
"Aku belum bisa menduganya siapa wanita itu kalau belum bertemu muka...!" Ujar Roro. Lalu ceritakan tentang kata-kata si Kakek kate berekor ular, yang pernah mengatakan bahwa muridnya menaruh dendam yang amat hebat terhadapnya.
"Jelas perbuatannya adalah untuk mengundangku datang mencarinya. Aku memang tengah mengutitnya, setelah wanita itu lakukan perbuatan bejat dengan seseorang. Dan telah membunuh pula laki-laki korbannya...!" Tutur Roro.
"Kalau dia ternyata adalah isterinya Adipati Antaboga, kebetulan sekali! Akan lebih mudah bagiku untuk melabraknya...!" Ujar Roro lebih bersemangat.
"Aku setuju, nona Roro...! Aku bersedia membantu!"
Roro cuma tersenyum menoleh pada Sambu Ruci, akan tetapi segera mengangguk...
* * * * * * *
Adipati Antaboga yang digembar-gemborkan mempunyai ilmu tinggi dan aji penangkal ilmu-ilmu hitam itu ternyata adalah "boneka"nya si wanita yang menyamar menjadi Roro Centil gadungan. Tak seorangpun mengetahui kalau tumbal yang digunakan untuk penangkal yang disebarkan pada penduduk adalah cuma "permainan" si wanita itu. Karena dia sendirilah yang membuat malapetaka dan dia sendiri pula yang membuat tumbalnya. Ketika malam telah melingkupi mayapada.
"Adipatiku...! agaknya kita tak dapat bertahan lama di tempat ini! Musibah besar telah menimpa ku!" Berkata Roro Centil gadungan dengan bertolak pinggang.
"Musibah apakah itu, dewiku...?" Tanya Adipati Antaboga. Dia seorang laki-laki yang diculik dari kota Raja. Bertampang gagah. Berusia sekitar 35 tahun. Bertanya demikian, sang Adipati ini beranjak mendekati seraya menggamit dagu si wanita. Dan selanjutnya sudah raih pinggang orang untuk segera di pondong ke pembaringan bertilam sutera.
Tak seperti biasanya si wanita ini berdiam diri tanpa gerakkan lengannya untuk merangkul leher sang "suami". Tampaknya si Adipati ini tak terkejut mendengar sang "istri" mendapat musibah yang belum diketahui mendapat musibah apa. "Apakah yang telah terjadi, dewiku?" Kembali dia lakukan pertanyaan seraya rebahkan tubuh "istri"nya ke pembaringan.
"Guruku Ririwa Bodas telah tewas oleh si Raja Racun. Roro Centil si Pendekar wanita Pantai Selatan itu sudah muncul, sedangkan aku belum punya persiapan untuk menghadapi. Rusaknya rencanaku adalah gara-gara tewasnya guruku...! Kita harus secepatnya pindah dari sini...!" Barulah si Adipati itu belalakkan matanya.
"Pindah...? Akan tetapi aku telah diangkat resmi oleh pihak Kerajaan untuk menduduki jabatan Adipati, memerintah di beberapa wilayah di sekitar Kadipaten. Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan jabatanku?" Tukas Adipati Antaboga.
"Jadi kau lebih sayang jabatanmu dari pada aku?" Tanya sang "istri" dengan wajah kecut.
"Bukan begitu Dewiku...! Akan tetapi sebaliknya kita gunakan cara lain agar mendapat bantuan dari pihak Kerajaan...!"
"Maksudmu...?" Tanya si wanita dengan menatap tajam sang Adipati.
"Kau harus dekati orang-orang Kerajaan, terutama Senapati Kerta Bumi. Tujuannya adalah agar mengirimkan bantuan lasykar untuk menangkap musuh besarmu itu!" Tutur sang Adipati dengan wajah serius.
"Senapati Kerta Bumi belum tentu bisa diperbudak oleh kita! Aku merasa kalau hal perbuatanku ini justru telah bocor oleh orang yang paling dekat denganku!"
"Siapakah orang yang kau maksudkan Dewiku...?" Tanya sang Adipati dengan wajah berubah agak pucat. Sementara jantungnya berdebaran semakin cepat.
"Hm, kaulah orangnya!" Berkata sang istri dengan suara dingin. "Kau kira aku belum mencium perbuatan mu yang diam-diam melaporkan pada Pihak Kerajaan dengan mengutus seorang Pengawal Kadipaten untuk melaporkan tindakanku, dan sekaligus membongkar rahasiaku...!" Lanjut ucapannya.
Terperangah seketika sang Adipati. Sementara diam-diam lengannya sudah meraba ke bawah tilam. Disana telah disembunyikan sebuah keris untuk menamatkan wanita yang telah menjadikannya sebuah "boneka" hidup. Akan tetapi mulut sang Adipati ini bicara lemah lembut dengan membujuk. Bahkan merangsangnya dengan ciuman bertubi-tubi.
"Janganlah berprasangka demikian, Dewiku...! Aku akan tetap menjadi pengabdianmu yang setia. Kau telah mengangkat derajatku dengan menjadi Adipati di Kadipaten Ini, masakan aku akan berkhianat? Justru tujuanku adalah demi kelanggengan hidup kita!"
Sang istri cuma berdiam diri tanpa menjawab. Dan biarkan lengan "suami"nya menyelusuri lekuk-liku tubuhnya. Tapi lama-kelamaan sikap sang "istri" mulai lain. "Hihih... sebenarnya aku hanya menggertak mu saja, Adipati ku...! Soalnya aku khawatir kau kepincut pada si Roro Centil betulan? Aku... aku cemburu! Dan rasanya ingin cepat-cepat melenyapkan wanita keparat itu secepatnya! Aku takut dia merebut mu dari tanganku...!" Berkata si wanita.
Suaranya tiba-tiba jadi lirih dan manja. Seraya mendekap tubuh sang Adipati erat-erat. Sang Adipati pun tertegun seketika karena melihat perubahan sikap "istri"nya. Akan tetapi dia segera berikan keinginan sang "istri" yang sekonyongkonyong mempunyai hasrat menggebu.
"Ah, Adipati ku...! Aku amat mencintaimu...! kau gagah dan amat perkasa! Rencanamu itu bagus sekali...!" ucapnya dengan berdesah kenikmatan. Kepala sang Adipati ini telah membenam diantara celah dadanya.
Sementara itu keadaan di luar gedung Kadipaten.... Cahaya bulan masih menerangi sekitar tempat itu walau cuma remang-remang. Adalah aneh kalau penjaga Kadipaten telah bermunculan, dan bergerak menyusup untuk mengurung kamar sang Adipati dengan gerakan hati-hati dan senjata terhunus.
Mereka sembunyi di sisi tembok pintu kamar, dan menyelinap ke berapa tempat gelap lainnya. Sementara telinga mereka memasang pendengaran ke arah kamar peraduan Adipati. Keadaan remang menjadi tegang, karena dari dalam kamar sang Adipati terdengar suara rintih dan tertawa kecil serta desahdesah napas menggebu. Tiga pengawal yang rapatkan telinganya ke tembok wajahnya tampak tegang, sementara lengannya mencekal senjata dengan gemetar.
Mereka semua mengetahui kalau si wanita itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan punya ilmu hitam yang mengerikan. Kesabaran memang dibutuhkan saat itu, disamping harus menahan napas agar tak bersitkan udara terlalu keras dari hidung. Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam kamar.
"Mampuslah kau wanita Iblis...!" Diiringi suara keluhan dan suara bergedubrakan di atas pembaringan seperti tengah terjadi pergelutan hebat. Tak lama keadaan kembali senyap. Hal mana menimbulkan tanda tanya para pengawal Kadipaten yang telah mengepung di luar kamar. Kepala Pengawal bernama Wage segera memberi isyarat untuk menerjang ke dalam. Dan...
Braakkkk...! Pintu telah diterjang hingga jebol berantakan. Mereka segera berlompatan dengan senjata-senjata terhunus. Segera saja terlihat pemandangan di dalam ruangan kamar. Di atas pembaringan tubuh sang Adipati terkapar dengan tubuh telanjang bulat. Pada lehernya tertancap kerisnya sendiri yang berlumuran darah, berpuncratan ke atas bantal dan tilam.
Sementara sesosok tubuh tanpa busana menatap ke arah mereka dengan putarkan pandangan ke arah para penyergap-penyergap itu. Rambutnya beriapan, dan tampak wajahnya tampilkan kegusaran hebat. Saat itu juga dia sudah membentak keras. "Bagus! kalian semua cari mati!"
Akan tetapi tiga pengawal segera menerjang dengan senjata-senjata telanjangnya untuk menebas tubuh wanita itu. Cepat sekali terjadinya, ketika lengan si wanita itu mengibas dan melompat gesit menghindari terjangan maut. Segera terdengar suara jeritan ketiga pengawal. Tubuhtubuh mereka berpentalan, karena segelombang angin panas menghantam mereka. Dan... blug! blug! blug! Ketiganya roboh dengan tubuh berbau sangit alias gosong.
Terkesiap beberapa pengawal lainnya. Namun Wage sudah maju melompat menerjang dengan putarkan senjata sepasang goloknya. Wage memang mempunyai kepandaian tinggi, dan sudah terkenal amukan sepasang goloknya ini hingga mendapat julukan si Sepasang Golok Naga Kembar.
Wheerrr...! Wukk! Wukk...! Wuukkk...!
Hebat terjangan sepasang golok ini. Karena sekejap sudah mengurung tubuh telanjang si wanita itu, yang sudah tak sempat lagi menutupi auratnya. Sementara beberapa pengawal siap dengan tombaktombak terhunus untuk menjaga jangan sampai wanita itu melarikan diri. Akan tetapi bukanlah hai yang mudah untuk menangkap atau membunuhnya.
"Kau tak dapat lolos dari sepasang golokku, wanita iblis!" Membentak si Kepala Pengawal, yang kembali menerjang dengan hebat. Dua bayangan golok laki-laki bernama Wage ini bagaikan sepasang Naga yang mengamuk. Menerjang, menabas, menusuk dan melingkar-lingkar melancarkan serangan-serangan dahsyat yang berbahaya.
Akan tetapi suatu kesempatan, si Wanita berhasil menyambar pakaiannya. Lengannya kirimkan serangan menahan terjangan itu dengan mendadak, dan sepasang kakinya menjejak untuk melompat ke sisi tembok. Disana tergantung sepasang senjata Rantai Genit tiruan. Sekali lengannya bergerak, sepasang senjata itu sudah disambarnya.
Wukk Wukk! Wukk...!
Tahu-tahu dia sudah menerjang dengan lemparan sepasang Rantai Genit tiruan itu. Tentu saja membuat Wage jadi, terkejut, karena tahu-tahu bandulan rantai telah membelit tubuhnya. Sedangkan yang sebuah lagi terbabat putus kena sambaran goloknya. Saat Wage terperangah itu, si wanita telah gerakkan lengannya menghantam Wage dengan pukulan Inti Apinya yang hebat.
Bhuusss...!
Terdengar suara teriakan parau si Kepala Pengawal. Tubuhnya seketika tertambus api yang membakar tubuhnya. Seketika jatuh menggabruk dengan berkelojotan. Dan... tewaslah Wage dengan keadaan tubuh matang hangus. Tak lama sosok tubuh wanita itu Sudah berkelebat keluar, dengan melompat dari jendela kamar.
Sungguh di luar dugaan. Saat itu juga membersit puluhan anak panah ke arahnya. Tersentak wanita ini. Beruntung tadi dia menyambar pakaiannya yang belum sempat untuk dikenakan. Segera dengan teriakan keras, lengannya gunakan pakaian itu untuk menghalau panah yang meluruk deras ke arahnya.
Prass...! Prass...! Prasss...!
Berpentalan puluhan anak panah beberapa arah. Namun tak urung tiga batang panah berhasil menancap dipundak dan betis serta pahanya. Menjerit wanita ini. Dan Jatuh menggabruk. Saat itu kembali puluhan anak panah menerjangnya. Akan tetapi sebuah bayangan kilat telah menyelamatkan nyawanya. Keadaan itu sudah tak mungkin di elakkan lagi oleh wanita itu karena dia dalam keadaan terluka.
Trangg...! Trangg...!
Muncullah di hadapan si wanita itu seorang wanita juga yang tak lain dari Roro Centil adanya. Ternyata Roro pergunakan senjata Rantai Genitnya untuk menghalau serangan. Tentu saja hal demikian membuat terkejut pemimpin dari pasukan laskar kerajaan yang dipimpin oleh Senapati Kerta Bumi sendiri.
"Tahan...!" Teriak Roro seraya mengangkat sebelah lengannya.
"Pendekar Roro Centil...!" Teriak Senapati Kerta Bumi hampir berbareng dengan teriakan prajurit Lasykarnya.
ENAM
SENAPATI KERTA BUMI melompat ke hadapan wanita Pendekar Pantai Selatan dengan perlihatkan wajah cerah. "Ah, sungguh tak dinyana anda muncul di saat seperti ini! Aku Senapati Kerta Bumi menghaturkan hormat pada anda, nona Pendekar Roro Centil...!"
Sementara itu puluhan pengawal Lasykar Kerajaan sudah mengurung wanita itu dengan anak panah siap dilepas. Keadaan sudah tak memungkinkan wanita itu untuk berkutik. Roro Centil tersenyum. Tanpa perintah Senapati takkan ada yang berani membunuh wanita itu.
Roro balas menjura ketika Senapati Kerta Bumi barusan bungkukkan tubuh menjura padanya. "Ah, ah...! Apa-apaan ini? Kau sudah mengenalku, sobat Senapati?" Tanya Roro dengan wajah menampakkan senyum.
"Akulah yang memberitahu...!" Menyahuti seseorang dengan diiringi sosok tubuh berkelebat melompat ke hadapan mereka. Ternyata Sambu Ruci, alias si Bujang Nan Elok.
"Apakah penyerangan ini atas usulmu juga...!?" Tanya Roro lagi.
"Ah, sama sekali tidak! Sejak sebulan yang lalu aku banyak mendengar tersiarnya berita seorang Pendekar Wanita yang bernama Roro Centil banyak melakukan perbuatan tercela di wilayah ini. Sungguh mati aku tak percaya! Karena aku sudah mengenal watak nona Roro tak mungkin demikian!"
"Benar...! Nyaris saja akupun beranggapan demikian, nona Pendekar Roro Centil...!! Kalau saja sobat Sambu Ruci ini tak menuturkan adanya musuh dalam selimut yang telah menghancur leburkan keluarga Adipati Kambangan, yang tewas berikut puluhan prajurit pengawal Kadipaten!" Tukas Senapati Kerta Bumi.
Akhirnya Roro pun maklum dan manggut-manggut mengerti. Hampir saja menuduh Sambu Ruci menggagalkan niatnya untuk melabrak wanita yang menyamar sebagai dirinya itu. Walaupun Roro menyatakan tak keberatan dibantu oleh Sambu Ruci untuk melabrak wanita itu, tapi ternyata Roro telah berangkat pada malam itu seorang diri untuk menemui si wanita yang menyaru dirinya di gedung Kadipaten.
Ternyata sudah keduluan oleh lasykar Senapati Kerta Bumi yang nyaris membunuh wanita itu. Hal demikian akan membuat kecewa Roro Centil. Karena dia memang ingin mengetahui siapa adanya wanita itu dan dendam permusuhan apakah yang telah dikatakan si kakek buntut ular Ririwa Bodas terhadap dirinya.
Pada saat itu. "Hihihi... Roro Centil! Akhirnya kau datang juga! Mengapa tak kau biarkan aku mampus terpanggang anak panah? Apakah kau tak menyesal menolong jiwaku?"
Semua segera menoleh pada wanita itu, yang dalam keadaan menyeringai kesakitan karena paha, bahu dan betisnya tertancap tiga batang anak panah, ternyata masih mampu umbar suara. Roro sudah balikkan tubuh dan menatap pada wanita itu.
"Heh! justru aku inginkan kau hidup! Kau harus berurusan denganku, karena kau telah cemarkan nama baikku di wilayah ini...!" Bentak Roro. "Kini sebutkanlah siapa dirimu dan ada permusuhan apakah denganku hingga kau mendendam padaku!?" Bentak Roro dengan bertolak pinggang. Wanita itu perdengarkan dengusan di hidung, dan meludah ke tanah.
"Cuih...! Masih ingatkah kau setahun yang lalu pada seorang laki-laki tua bernama TUN PAMERA? Kau telah pergunakan binatang siluman harimau tutul untuk membunuhnya!" Ucapnya dengan wajah membersitkan kemarahan dan dendam yang luar biasa.
Tercenung sejenak Roro Centil, seraya menggumam. "Tun Parera...?" Sejenak Roro mengingat-ingat dengan krenyitkan keningnya. "Apakah maksudmu si Paderi palsu yang menjabat Ketua Dua di Kuil Istana Hijau dengan nama Paderi Sapta Dasa Griwa itu...?"
"Heh...! Palsu atau tidak bukan urusanmu! Ketahuilah, aku adalah anak perempuannya. Namaku GIRI MAYANG! Di wilayah Pulau Andalas itu aku digelari si Kelabang Kuning...! Tekadku tak pernah surut untuk membalas dendam pati walaupun aku harus mati di tangan mu atau di tangan para lasykar Senapati itu! Silahkan kau turun tangan Pendekar Wanita yang hebat! Walau aku mungkin saat ini mati, namun dendam ku akan sampai ke liang akhirat...! Heh! Akan tetapi apalah artinya keharuman namamu kalau membunuh lawan dengan menggunakan binatang siluman? Kukira lebih baik gelarmu saja dengan gelar si Pendekar Wanita Siluman Roro Centil! Hihihi... hihii..... hihi....."
Terpingkal-pingkal tertawa si wanita yang ternyata bernama Giri Mayang alias si Kelabang Kuning itu, hingga sampai mengeluarkan air mata. Pedihnya hati, sakitnya perasaan yang bercampur rasa iri hati dan dendam yang belum juga terbalaskan, membuat Giri Mayang mengumbar tertawanya sejadi-jadinya.
Roro Centil terdiam sesaat. Suara tertawa wanita itu sungguh amat menyakitkan anak telinga. Bukan karena berisi tenaga dalam yang tinggi, akan tetapi berisi sindiran pedas yang telah menyentuh hati sanubarinya. Dan hati itu terluka sudah. Ucapan wanita itu memang benar setelah ditimbang-timbang.
Akan tetapi hatinya kembali membantah. Toh, dia tidak menuntut ilmu siluman, karena si harimau Tutul datang padanya seperti sudah menjadi kodrat, hingga si binatang makhluk siluman itu telah mengakuinya sebagai pengganti Ratunya! (baca kisah: Siluman Kera Putih). Makin lama suara tertawa wanita itu semakin santar, seperti membuat tergetarnya jantung Roro. Seakan-akan hatinya diiris sembilu! Tiba-tiba Roro membentak keras menggeledek.
"Diaammm...!"
Tentu saja semua yang berada di situ terlonjak kaget. Nyaris saja anak-anak panah itu terlepas dari masing-masing busurnya, karena para pengawal dari pasukan panah itupun terlonjak kaget. Kali ini Roro Centil yang perdengarkan suara tertawa melengking tinggi. Keadaan jadi gempar. Karena seketika itu juga Roro Centil telah melesat tinggi, sejauh dua puluh tombak. Semua yang berada di bawah mendongak ke atas untuk melihat apa yang dilakukan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.
Ternyata tubuh Roro Centil kembali meluncur ke bawah. Dan sepasang kakinya hinggap dengan ringan di atas tanah. Gerakan mendadak itu adalah pelampiasan kemarahannya. Akan tetapi Roro Centil telah mengambil keputusan di atas tadi. Apakah membunuh mampus si wanita bernama Giri Mayang itu atau tidak!
Ternyata keputusan telah diambil untuk tidak dilakukan. Kalau Roro waktu itu mengambil keputusan membunuhnya tanpa perduli akan segala macam harga diri dan lain-lain, tentu detik itu Giri Mayang sudah tewas dengan batok kepala pecah. Karena Roro Centil di waktu menukik bisa lancarkan pukulan dengan sekejap. Semua mata tertuju pada Roro, yang tampak bersitkan wajah seram. Karena rambutnya yang beriapan itu sebagian menutupi wajahnya.
"Nona Pendekar Roro! karena wanita ini sudah menyangkut urusan Kerajaan, dan banyak sudah menewaskan orang-orang penting dari Kerajaan Sunda Kalapa, ku harap anda berikan dirinya untuk kami jadikan tawanan Kerajaan. Mengenai hukuman padanya terserah Baginda Raja..." Berkata Senapati Kerta Bumi.
Akan tetapi Roro Centil perdengarkan tertawanya, seraya ujarnya dengan nada ketus. "Maaf, sobat Senapati...! Bukan aku mementingkan diriku sendiri, akan tetapi biarlah dia ku bebaskan. Dan tak seorangpun yang kuperkenankan membunuhnya!"
Seraya berkata, Roro Centil segera beri isyarat pada si harimau Tutul untuk menampakkan diri. Gemparlah seketika semua lasykar sang Senapati. Karena segera muncul di situ seekor harimau tutul yang amat besar. Menampakkan taringnya yang runcing. Senapati inipun terkejut, tak terasa kakinya sudah mundur dua langkah. Harimau tutul perdengarkan suaranya menggeram dahsyat, kemudian mendekati Roro dan menjilat-jilat lengannya.
"Tutul...! Sahabatku! Kau pergilah! Dan jangan ikuti lagi diriku! Bukan aku membenci mu, tapi aku akan mencoba menggunakan sepasang lenganku ini untuk membunuh siapa saja yang membuat keonaran dimuka bumi ini! Untuk membuktikan bahwa Roro Centil bukan seorang Pendekar Siluman...!" Berkata Roro dengan suara tegas.
Mendengar ucapan Roro demikian, sang harimau Tutul perdengarkan suara mengaum panjang, membuat tanah bergetaran. Tak lama tubuh harimau jejadian itupun meluncur pergi bagaikan hembusan angin. Dan lenyap dari pandangan mata...
Terperangah semua orang, dan rata-rata menarik napas karena baru pertama kali melihat seekor Harimau Tutul sebesar dan sehebat itu. Akan tetapi hati mereka juga bergidik seram, karena sang Harimau itu bukan harimau biasa melainkan mahluk siluman.
"Nah, bangkitlah kau, Giri Mayang! Pergilah kemana kau suka. Dendam dalam dadamu itu boleh kau lampiaskan kapan waktu saja! Aku selalu siap untuk menghadapimu...!" Ujar Roro dengan suara lantang.
Selesai berkata Roro Centil segera menatap pada Senapati Kerta Bumi. "Kuharap kau perintahkan anak buahmu untuk menyingkir, sobat Senapati!"
Tatapan Roro seperti melunturkan kekerasan hati Senapati ini, hingga dengan segera serta merta lalu perintahkan anak buahnya untuk membebaskan si wanita dari kepungan. Terhuyung Giri Mayang bangkit berdiri. Sebelah lengannya dipergunakan untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan pakaian yang belum sempat dikenakan itu.
"Bagus! kelak aku pasti akan mencarimu Roro Centil! Bila telah sembuh lukaku!" Berkata si wanita bernama Giri Mayang itu dengan suara parau.
"Pergilah...! Tapi jangan coba-coba kau mengganggu rakyat atau wilayah Kerajaan Sunda Kelapa ini! Aku tak akan mengampunimu untuk kedua kali!"
Giri Mayang tak menjawab. Dengan terpincang-pincang segera berlalu dari tempat itu. Dan lenyap di keremangan malam.
"Akupun harus pergi, sobat Senapati. Kuharap kau tak perlu khawatir, Bila terjadi apa-apa, aku masih berada di wilayah sini!" Roro dengan menjura pada Senapati Kerta Bumi.
"Terima kasih atas bantuanmu, nona Pendekar Roro Centil!" Sambu Ruci yang sedari tadi terpaku di tempatnya melihat Roro menjura, diapun ikut-ikutan menjura, dan mohon diri pada Senapati itu.
"Nona Roro...! Tunggulah aku...!" Teriaknya ketika Roro segera berkelebat melompat pergi.
"Hihihi... kau seperti anak kecil saja. Apakah mau minta digendong?" Ujar Roro seraya berpaling, dan hentikan langkahnya.
"Digendong pun aku mau...!" tukas Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok. Tubuhnya segera berkelebat cepat untuk menyusul Roro.
Tak lama kedua tubuh itu sudah berkelebatan pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Senapati Kerta Bumi dan para anak buahnya memandangi mereka hingga sampai lenyap di keremangan sinar bulan...
Episode selanjutnya,