Manusia Serigala Hantu

Cerita Silat Indonesia Serial Roro Centil episode Manusia Serigala Hantu Karya Mario Gembala
Sonny Ogawa

Roro Centil - Manusia Srigala Hantu

Karya : Mario Gembala
SATU
DATUK LIMAU PURUT hunjamkan berkali-kali keris berlekuk tujuh itu ke lambungnya. Orang-orang menjerit ngeri Akan tetapi segera berseru kagum, karena bukan kulit lambungnya yang robek tertembus keris melainkan keris itu sendiri yang bengkokbengkok dibuatnya.

"Hebat! Hebat...!" serentak terdengar pujian disana-sini. Dan selanjutnya segera terdengar tepukan tangan riuh rendah disertai teriakan-teriakan gegap gempita.

"Hidup Datuk Limau Purut!"

"Hidup Datuk Limau Purut...!"

Sementara orang berteriak memuji seorang laki-laki bertubuh kekar berusia kira-kira 30 tahun lebih beranjak keluar dari jejalan penonton memasuki ruang arena adu kesaktian itu. Seketika teriakan-teriakan itu terhenti. Semua mata menatap pada laki-laki ini yang melangkah lebar menghampiri si manusia kebal itu.

"Nama ku Sawor...!" katanya memperkenalkan diri, seraya menatapkan pandangannya ke sekeliling penonton, tanpa memandang pada laki-laki bergelar Datuk Limau Purut.

"Aku yang rendah ini ingin menunjukkan sedikit kepandaianku, apakah diantara kalian ada yang mempunyai sebuah golok tajam...?" ucapnya dengan suara lantang.

Hening sejenak tanpa ada yang menyahut. Sementara beberapa orang penonton yang mengelilingi arena itu mulai kasak-kusuk, membicarakan siapa adanya orang yang berani maju ke tengah gelanggang tanpa memandang sebelah mata pada Datuk Limau Purut itu.

"Ini golokku pakailah...!" tiba-tiba terdengar satu suara dari jejalan penonton. Seorang laki-laki bertubuh jangkung melemparkan sebuah golok besar yang berkilat ke arah laki-laki bernama Sawor itu. Ringan sekali lengan Sawor bergerak menangkapnya. Sekejap golok besar itu sudah tercekal di tangannya.

"Eh, ilmu kesaktian apakah yang akan kau tunjukkan...?" berkata Datuk Limau Purut dengan suara setengah membentak. Wajahnya tampak merah padam. Hatinya tersinggung benar melihat tingkah laku laki-laki yang seperti tak menganggap adanya dia di situ.

Sawor tak menyahut, melirikpun tidak pada Datuk Limau Purut yang beranjak melangkah dua tindak ke hadapannya. Bahkan dia putar tubuh lalu menghadap pada penonton yang mengelilingi, "Kalian saksikanlah kebodohan ku, apakah dalam hal ini aku dapat dikatakan berada di bawah kehebatannya...?" teriaknya lantang dengan mengacungkan golok besar itu tinggi-tinggi di atas kepala. Sementara lengan kirinya mencengkeram rambut. Dan tiba-tiba pada detik itu juga...

Des...! Apakah yang telah dilakukannya? Ternyata cepat sekali goloknya berkelebat menabas batang lehernya sendiri hingga putus. Darah menyemburat. Penonton terpekik ngeri. Dan Datuk Limau Purut terbelalak menatap.

"Hahaha... Datuk Limau Purut yang gagah, mampukah kau melakukan hal seperti ini...?"

Terperangah sang Datuk dengan wajah pucat bagai kertas. Kakinya melangkah mundur dua tindak ketika lengan Sawor yang tanpa kepala itu bergerak menunjukkan kepalanya dalam cengkeraman sebelah lengan laki-laki itu ke arahnya. Kepala itu masih bisa bicara, dan tertawa menyeringai... Tentu saja membuat Datuk Limau Purut kaget setengah mati, seperti tak percaya pada penglihatannya.

Penonton yang mengelilingi arena bagaikan tersirap darahnya, masing-masing terpaku menatap Sawor dengan mata membelalak tak berkedip. Manusia apakah Sawor ini, yang dapat melakukan ilmu kesaktian semacam itu? pikir benak masing-masing.

Selang sesaat dengan tertawa berkakakan, Sawor lekatkan lagi kepalanya pada lehernya. Lalu lengannya bergerak mengusap... Aneh! Sekejap kemudian kepala Sawor telah kembali melekat pada lehernya tanpa bekas luka sedikit pun. Bahkan bekas-bekas darah itu langsung lenyap!

Seperti terkena sihir semua penonton terpaku memandang pertunjukan aneh itu. "Nah! Apakah sedikit kebodohanku itu dapat mengungguli kehebatan si Datuk Limau Purut ini...?" teriak Sawor dengan suara lantang.

Akan tetapi tak sepotong-pun suara terdengar menyahut, apa lagi bersorak-sorai. Seorangpun dari para penonton tak ada yang mengenal siapa laki-laki itu dan dari mana asalnya. Pertunjukan yang diperlihatkan laki-laki bernama Sawor itu bukan saja membuat penonton jadi ngeri melihat Sawor, akan tetapi juga terperangah berdiri menatap dengan bulu tengkuk meremang.

"Hm, baiklah...! Kalian ternyata tidak adil dalam melakukan penilaian! Kini akan kubuktikan, apakah si Datuk Limau Purut mampu menahan tajamnya golok ini pada lehernya? Ingin kulihat kekebalan kulit tubuhnya!" Teriak Sawor dengan suara lantang yang terdengar dingin mencekam. Tiba-tiba secepat kilat tubuh Sawor membalik, dan...

Desss...! Terdengar teriakan kaget penonton yang hampir serempak karena terkejut. Datuk Limau Purut tak sempat lagi untuk berteriak, karena sebuah kilatan golok telah menyambar ke arahnya.

Apa yang terjadi? Ternyata kepala Datuk Limau Purut seketika terlepas dari lehernya yang putus sapat terkena tajamnya golok di tangan Sawor. Dan tubuh laki-laki berilmu kebal itu jatuh menggabruk ke tanah dengan darah memuncrat mengerikan. Sejenak semua mata jadi terpana memandang kejadian itu.

"Hahahaha... ternyata orang yang kalian banggakan itu tak mampu menahan ketajaman golok biasa ini!" berkata Sawor dengan suara dingin. Seketika suasana penonton jadi gempar. Sebagian sudah bubar ketakutan. Sebagian lagi berdiri terkesima.

"Manusia iblis! Kau telah merusak acara pertandingan!" tiba-tiba terdengar bentakan keras, dan sesosok tubuh berjubah putih berkelebat melompat ke tengah gelanggang.

Sawor palingkan wajahnya menatap siapa yang datang. Ternyata seorang laki-laki tua berwajah bersih tanpa kumis dan jenggot. Kepalanya terbungkus oleh ikat kepala mirip sorban berwarna kuning. Pada lengannya tergerai untaian tasbih.

"Heh, aku tak tahu urusan dengan segala macam pertandingan. Kalau aku berhasil membunuhnya adalah karena aku toh cuma menguji kekebalan tubuh si Datuk Limau Purut itu. Apakah dalam hal ini aku dapat disalahkan?" Berkata Sawor dengan mata menatap tajam si laki-laki tua dihadapannya.

"Kau orang luar, tak berhak mencampuri urusan orang-orang Partai Gagak Sakti! Tahukah kau bahwa pertandingan ini adalah dalam rangka pemilihan wakil Ketua Partai itu?" bentak si kakek jubah putih.

"Hahaha... mana aku tahu? Aku cuma kebetulan saja lewat di tempat ini. Siapa suruh pertandingan itu diadakan diluar, dan mengapa tak pasang papan pengumuman bahwa orang luar di larang ikut campur?"

"Huh, itu urusan kami. Wilayah ini masih berada dalam wilayah Partai Gagak Sakti, kau orang luar telah memasuki wilayah kami berarti kau punya kesalahan besar karena mengacau didaerah kekuasaan Partai Gagak Sakti!"

Tercenung Sawor, seketika wajahnya berubah merah. "Hm, macam apakah hebatnya Ketua Partai Gagak Sakti? Begitu sombongnya wilayahnya tak boleh diinjak orang...!" berkata Sawor dengan nada dingin.

"Boleh aku tahu berhadapan dengan siapakah aku...?" tanya Sawor.

"Anda berhadapan dengan Ketua Partai Gagak Sakti, bernama Marga dewa! Gelarnya di dunia persilatan adalah si Naga Terbang!" tiba-tiba satu suara menyahuti dibarengi dengan munculnya empat sosok tubuh berkelebat memasuki arena itu. Melihat kemunculan empat orang ini sepasang mata si kakek jubah putih mendelik kaget.

"Empat iblis Pulau menjangan! Angin apa yang meniupmu sampai kemari...?" bentak si kakek bernama Marga Dewa. Tampak perubahan pada wajah laki-laki tua ini secara mendadak ternyata diam-diam dia amat terkejut juga khawatir dengan kemunculan keempat orang dihadapannya itu.

Keempat Iblis Pulau Menjangan perlihatkan tertawa menyeringai. Salah seorang berkata sambil bertolak pinggang serta memilin-milin kumisnya yang tebal sebelah. Dia bernama Katakili. Wajahnya amat mudah diingat orang karena sebelah bibir bagian atasnya terbelah dua alias sumbing. Usianya sekitar 40 tahun.

"Heheheh... bau tubuhmu yang berdiam di pulau tersembunyi ini semakin santar tercium oleh kami! Kami datang untuk mengambil bocah perempuan yang berada di tanganmu sejak kau rebut dari tangan kami delapan belas tahun yang lalu!"

"Benar...! Tentunya dia sudah berubah menjadi seorang gadis yang cantik! Heheheh...!" Ujar pula kawannya dari keempat Iblis Pulau Menjangan. Dari keempat orang itu si laki-laki sumbing inilah yang paling tinggi ilmunya, dan menjadi saudara seperguruan mereka yang paling tua.

Keempat Iblis Pulau Menjangan rata-rata memakai baju rompi dari kulit serigala. Celana pangsi yang dikenakannya berbeda-beda. Ada yang hitam, ada yang berwarna merah. Ada juga yang bertambah bermacam warna yang sudah tak dikenali lagi warna dasarnya.

Si kakek bergelar Naga Terbang ini membentak gusar. "Empat manusia edan! Jangan harap kau dapat mengambil kembali anak itu! Hm, lagi pula dia tak berada di tempat ini...!"

Mendengar kata-kata itu si Empat Iblis Pulau Menjangan saling pandang menatap pada kawannya. Tiba-tiba tertawa bergelak dan cengar-cengir di hadapan si kakek.

"Hahaha... hehehe... kambing Tua tak berjanggut ini rupanya pintar menyembunyikan muridnya." berkata Tunggir Abang. Dan segera menimpali adiknya, yang bernama Tunggir Ireng.

"Ternyata Ketua Partai Gagak Sakti pintar ngibul! Heh! Sebaiknya kau serahkan bocah perempuan itu! Kau sembunyikan di liang semut pun tak ada gunanya...!"

Sementara itu Sawor sejak tadi cuma mendengarkan kata-kata mereka. Tampak wajah Marga Dewa berubah menegang, merah padam. Diam-diam hatinya tersentak kaget, karena kemunculan keempat orang ini telah mengetahui adanya Ken Ayu di tempat kediamannya.

"Tidak! Walau apa pun yang terjadi anak itu tak boleh jatuh ke tangan keempat manusia edan ini...!" berkata Marga Dewa dalam hati.

"Ah, maaf sobat yang gagah. Biarkanlah kami mengurusi Ketua Partai Gagak Sakti ini lebih dulu...!" tiba-tiba Katakili membungkuk memberi hormat pada Sawor.

"Hm, silahkan! Aku tak mau turut campur dengan urusan kalian!" menyahut Sawor seraya lemparkan golok di tangannya ke tanah. Dan tubuhnya berkelebat melompat keluar dari arena yang sudah kacau itu. Akan tetapi beberapa orang telah melompat menghadang.

"Manusia Iblis, kau telah mengakibatkan kematian seorang anggota Partai Gagak Sakti, jangan, harap kau dapat meninggalkan tempat ini dengan masih bernyawa," terdengar bentakan nyaring memekakkan telinga.

Belasan orang dari Partai Gagak Sakti yang rata-rata berpakaian putih hitam telah mengurung Sawor. Ternyata yang berusaha membentak adalah seorang wanita tua berkulit hitam keriput. Di lengannya tercekal tongkat berkepala burung.

DUA

MELIHAT KEMUNCULAN wanita tua itu tampak Marga Dewa bernapas lega. Bibirnya tampak bergerakgerak mengirimkan suara jarak jauh. "Bagus! Berhati-hatilah dengan ilmu sihirnya, Gagak Sakti! Jangan sampai kau tertipu!"

Si wanita tua yang digelari Gagak Sakti ini palingkan kepala memandang pada Marga Dewa, lalu menganggukangguk sambil tersenyum.

"Heh! Kau bicara apakah pada nenek hitam jelek itu, kunyuk tua bangka!" membentak Tunggir Ireng. Kalau dipikir memang lucu juga laki-laki anggota dari keempat Iblis Pulau Menjangan ini karena dia mengatakan orang nenek hitam jelek tanpa memikir dirinya sendiri juga berkulit hitam. Bahkan sebelah matanya picak, serta dua buah codet besar melintang dibagian tengah wajahnya.

"Hm, apa yang kukatakan adalah bukan urusanmu! Kalian telah berani menginjak wilayah kami dengan tujuan buruk! Kukira kalian sudah insyaf dan menjadi orang baik-baik, tak tahunya semakin membuat kalian berkepala besar! Kini jangan harap kau bisa keluar dari wilayah ini dengan selamat!" menggertak si Naga Terbang.

"Hahaha... dari dahulu memang watakmu tak berubah, kakang...! Sombong mu setengah mati! Selama ini kau punya ilmu kepandaian apakah? Coba tunjukkan pada kami!" berkata menghina RUPACI. Lakilaki brewok ini sejak tadi tak ikut bicara. Mendelik sepasang mata Marga Dewa alias si Naga Terbang.

"Jangan panggil aku lagi dengan sebutan itu, manusia murtad! Kau telah keluar dari keluarga ku, dan bukan sanak familiku lagi! Pengkhianatan mu pada guru telah membuat kemurkaan besar beliau. Tahukah kau apa pesan guru sebelum wafat? Beliau membebaskan tugas padaku untuk melenyapkan manusia tak tahu membalas budi semacam kau!"

"Persetan...!" membentak Rupaci dengan makian. "Aku punya hak untuk menempuh cara hidupku sendiri! Ada hak apa berani melarangku keluar dari rumah perguruan?"

"Dengan berguru pada musuh besar beliau, juga musuh kaum Pendekar? Huh! Betapa nistanya manusia semacam kau yang telah mengangkat sumpah dan janji setia mengabdi pada perguruan, tapi nyatanya kau ingkari! Dan kini nyatanya kau telah menjadi manusia sesat tak berguna!" berkata sinis Marga Dewa.

Mendengar kata-kata demikian merah padam seketika wajah Rupaci, dengan membentak gusar telah melompat menerjang bekas saudara seperguruannya itu. "Kau memang manusia yang amat menyebalkan hatiku, kau mampuslah siang-siang! Hari ini kau tutup khotbahmu dengan nyawamu...!"

Wukkk...! Sambaran lengan Rupaci mengarah leher, mencengkeram ganas dengan kelima jari tangannya yang berkuku runcing mengandung racun.

Marga Dewa telah maklumi hal itu, segera dengan gesit mengegos mengelakkan serangan. Tak dikira kalau sebelah lengan Rupaci telah mencabut senjatanya yang berupa sebuah clurit yang terselip dipunggungnya.

Wut! Wut! Wut!

Tiga kali kilatan clurit menyambar ke arah leher perut dan kaki. Marga Dewa lentikkan tubuhnya bersalto di udara menghindari serangan. Hebat gerakan si Naga Terbang. Ternyata ilmu ringan tubuhnya telah hampir mencapai kesempurnaan. Beberapa kali hantam an lengan Rupaci dan serangan cluritnya tak berhasil menggores kulitnya. Bahkan jubahnya yang berkibaran itupun luput dari serangan.

Serangan gencar yang tak memberi kesempatan pada si Naga Terbang untuk menjejakkan kakinya ke tanah ternyata tak mempengaruhi gerakan silatnya. Bahkan Marga Dewa masih sempat mengirim serangan balasan. Apakah yang menjadi dasarnya? Ternyata sesuai dengan julukannya si Naga Terbang, Marga Dewa selalu meminjam angin pukulan lawan untuk tetap mengambang di udara. Sesekali lengannya menghantam tempat kosong untuk membuat tubuhnya melambung.

Enam jurus sudah berlalu, dengan pertarungan seru. Tiba-tiba Marga Dewa membentak keras dari udara. Tasbihnya meluncur menyambar dahsyat di saat Rupaci baru saja "nyelonong" dibawahnya sehabis melakukan serangan. Serangan itu dibarengi hantaman telak yang tetap mengena pada punggung lawan. Saat Rupaci terhuyung, tubuh Marga Dewa meletik lagi dengan indahnya, dan...

Wukkk...! Menyambarlah tasbih dilengannya mengarah batok kepala Rupaci. Akan tetapi pada detik maut itu bersiur angin keras menyambar lengan Marga Dewa, diiringi bentakan. "Tahan serangan...!"

Mendelik si Naga Terbang. Seutas rantai meluncur cepat menggubat lengan. Terpaksa dia batalkan serangan, untuk menarik pulang senjatanya.

Wukk...! sebelah lengannya bergerak menghantam rantai. Akan tetapi ternyata justru rantai telah menggubat cepat ke pergelangan tangannya.

"Hahahah... Naga Terbang! Kau terbanglah menukik kemari!" Ternyata yang telah menyerangnya adalah Tunggir Ireng. Salah seorang dari Empat Iblis Pulau Menjangan ini memang memiliki senjata yang aneh, yaitu sebuah ruyung dengan tiga utas rantai yang mempunyai tiga buah bandulan kepala tengkorak kecil dari emas.

Dengan senjata aneh ini Tunggir Ireng banyak menjatuhkan lawannya. Karena setiap bandulan dari Emas itu dapat meluncur memecah ke beberapa arah menyerang lawan. Kali ini tubuh si Naga. Terbang telah dibetot keras ke arahnya. Terkesiap si Ketua Partai Gagak Sakti ini. Akan tetapi percuma dia menjadi Ketua Partai kalau tak dapat melepaskan did dan biarkan tubuhnya terseret ke arah lawan.

Secepat kilat tasbihnya telah digigitnya. Dan lengannya yang sudah terbebas itu bergerak menghantam dahsyat ke arah Tunggir Ireng. Itulah salah satu jurus dari pukulannya yang dinamakan pukulan Naga Api. Serangkum hawa panas menerjang Tunggir Ireng. Angin pukulan itu membuat tubuhnya kembali meletik melalui tenaga pukulan disertai membetot rantai...

Terkejut Tunggir Ireng. Tentu saja dia telah maklum akan kehebatan pukulan itu. Terpaksa dia lompat menghindar. Akan tetapi tenaga tarikan pada rantainya mendadak lenyap, dan bahkan seketika senjata Rantai Tengkorak Emas itu terlepas dari tangannya.

Selanjutnya dengan ringan sepasang kaki Marga Dewa hinggap di tanah. Dilengannya tercekal senjata lawan. Dengan geram Marga Dewa membanting senjata rantai itu hingga melesak ke dalam tanah.

"Hebat! Ternyata ilmu kepandaianmu telah maju pesat, Marga Dewa! Heheheh... akan tetapi jangan kau bergirang dulu! Lihat senjata!" membentak Katakili si laki-laki bibir sumbing.

Serr! Serr! Serrr...!

Tiga buah roda bergerigi meluncur ke arahnya. Naga Terbang kembali melompat untuk menghindari serangan. Hebat senjata tiga roda bergerigi itu, yang dapat balik memutar mengejar lawan. Dua serangan yang lolos dengan cepat dapat ditangkap lagi oleh pemiliknya. Demikianlah saling susul roda-roda bergerigi itu menghujani lawan, tanpa memberi kesempatan Marga Dewa untuk gerakkan senjatanya. Diam-diam si Naga Terbang terkejut juga melihat kehebatan senjata lawan.

Sementara itu dilain bagian, pertarungan Sawor dengan si wanita tua bergelar si Gagak Sakti yang gelarnya adalah nama dari Partai berlangsung dengan tegang. Belasan orang-orang dari murid Partai Gagak Sakti telah mengurung Sawor dengan barisan TIN yang tersusun rapi, dengan dikepalai si wanita tua bertongkat kepala burung.

Empat orang menerjang Sawor dengan senjata telanjang. Ini adalah jurus serangan pancingan belaka. Tapi Sawor segera bergerak untuk menyambut. Lengannya bergerak ke kiri-kanan menghantam lawan. Sawor memang tak tahu-menahu dengan segala macam teori barisan TIN. Dia menghantam bila ada lawan yang maju menerjang.

Namun ternyata gerakan menyerang itu berubah. Empat orang cuma lewat melintas dengan lompatan-lompatan salto yang gesit. Selanjutnya empat orang lagi tiba-tiba menyelinap dikirikanan dan belakang.

Ternyata barisan TIN kembali berubah susunannya. Hal mana yang mengatur adalah si wanita tua berkulit hitam keriput yang memberi abaaba. Aba-aba itu tentu saja memakai kata-kata sandi yang cuma dimengerti anak buahnya.

Wut! Wut! Wutt..!

Tahu-tahu empat buah kilatan muncul dikiri-kanan dan belakang secara mendadak menabas ke arah Sawor. Suara bersiurnya senjata tajam itu hampir tak bersuara, karena senjata-senjata mereka tipis sekali. Sementara sejak tadi Sawor masih berlaku menganggap remeh barisan TIN itu. Bahkan matanya cuma mengawasi pada si wanita tua yang bersuara merdu.

Terkesiap dia ketika tahu-tahu suara bersiurnya senjata ke arah tubuhnya. Namun dengan membentak keras Sawor gulingkan tubuhnya ke tanah. Dengan bertumpu pada belakang leher dan punggung. Secepat kilat sepasang kakinya menghantam disertai dengan berputarnya tubuh Sawor bagaikan gasing.

Des! Des! Des! Desss...!

Terdengar teriakan ngeri dari keempat penyerangnya. Tubuh-tubuh keempat barisan TIN di belakang Sawor terlempar bertebaran. Dan jatuh berdebukan ke tanah diempat penjuru. Menggeliat sejenak masing-masing dari keempat orang itu, lalu tewas seketika. Darah kental menggelogok keluar dari mulut mereka mengiringi kematiannya. Terkejut si wanita tua. Namun sekejap kemudian dia telah melompat dan mengepalai sendiri barisan TIN itu pada barisan paling depan.

Wanita tua ini berteriak gusar seraya memberi aba-aba. Anak buahnya mengurung rapat. Sementara tongkatnya sendiri digerakkan berputar seraya memberi aba-aba menyerang. Sebelas orang dengan empat dikiri, empat di kanan dan tiga dari belakang segera bergerak. Posisi serangan satu kelompok dengan lainnya berbeda-beda, yang sudah diatur untuk menyerang lawan menurut gerakan atau sikap lawan yang diserangnya.

Sementara lebih dari dua puluh orang anak buah lainnya yang bermunculan segera memasuki barisan TIN, mengisi tempat-tempat kosong. Suara-suara bentakan segera terdengar saling susul.

Sawor berkelebat ke samping kiri menghindari empat serangan pedang. Akan tetapi dengan tak terduga justru dari kiri empat buah tombak siap menembus punggungnya. Terpaksa dia gerakkan kedua lengan menangkis. Empat orang ini bukanlah empat orang kepandaian biasa. Serangan-serangan tombak mereka amat luar biasa cepatnya, dan dalam keadaan terlatih untuk tak mengenai kawan sendiri. Saling susul keempat tombak itu mengarah lawan.

"Edan...! Kalian semua kepingin kubikin ludas kembali ke Akherat!" membentak Sawor dengan mata merah karena gusarnya. Seolah dia merasa dipermainkan dalam serangan "kucing-kucingan" itu.

Kedua lengannya tiba-tiba bergerak membuat gerakan-gerakan mengaburkan pandangan mata lawan. Hingga yang terlihat adalah lebih dari 1000 lengan berkelebat meluncur ke setiap arah, dibarengi dengan berkelebatan tubuhnya menggempur barisan TIN.

Beberapa kejap kemudian terdengarlah jeritan saling susul dibarengi bertumbangannya tubuh para anggota barisan TIN. Lima belas orang sekejap telah menggeletak roboh tak bernyawa. Masing-masing pada lehernya terdapat warna biru kehitaman. Itulah serangan dari jurus hebat Sawor, yang pergunakan jurus 1000 Kobra Mematuk Mangsa.

Terperanjat si wanita tua pemimpin barisan. Disangka lawan bakal menyerang ke depan tak tahu menyerang kebagian "ekor" barisan TIN. Tentu saja membuat dia melengak, namun terlambat... Belasan anak buahnya sudah roboh bergelimpangan. Segera dia berteriak dengan suara lantang.

"Mundu...!" Kata-kata tanpa pakai sandi ini diteriakkan dengan panik. Sekejap saja belasan anak buah sisanya segera berlompatan buyar kedelapan penjuru arah untuk selamatkan diri.

"Hebat! dalam waktu sekejapan saja kau telah dapat membuyarkan barisan TIN ku yang tangguh. Heh, siapa gelarmu, orang muda...?"

Sekali lompat Sawor sudah berada di hadapan wanita tua bergelar si Gagak Sakti ini. "Namaku Sawor, seperti yang telah kuperkenalkan tadi. Aku tak mempunyai gelar apa-apa. Jangan tanya asal-usulku, karena aku sendiri tak tahu asal-usul diriku!" lanjutkan Sawor.

Sementara sepasang matanya selalu menatap tajam pandangan mata si nenek keriput itu seperti mau melihat ke dalam biji mata si Gagak Sakti. Adu tatap pandangan itu ternyata membuat mata si Gagak Sakti mengedip. Akan tetapi cepat dia melompat mundur, dengan terkesiap.

TIGA

TERNYATA DARI TATAPAN mata itu memancar cahaya yang menggetarkan jantung. Sementara hatinya tersentak kaget karena Sawor telah menyerangnya melalui batin dengan kekuatan matanya yang mengandung hipnotis.

"Aha, nenek tua keriput, aku akan segera menguliti tubuhmu! Ingin kulihat apakah kau sudah setua itu...?"

Sementara itu dilain pertarungan, si Dewa Terbang tampaknya agak kerepotan menghadapi serangan roda-roda bergerigi Katakili yang tak hentinya mencecar tubuhnya, mengancam jiwa sang Ketua Partai Gagak Sakti.

Diam-diam hatinya mengeluh, bahkan mengkhawatirkan nasib si Gagak Sakti yang telah diketahuinya barisan TIN yang dipimpinnya telah buyar berantakan. Semangatnya mendadak pulih ketika teringat akan keselamatan si Gagak Sakti. Dengan berteriak keras, tiba-tiba tubuhnya berkelebatan cepat, Tasbih di tangannya diputarkan membuat suara mendesing yang menimbulkan kilatan warna ungu.

Dan satu hantaman keras dari telapak tangannya, membuat dua buah roda bergerigi itu kena terhantam jatuh. Selanjutnya cepat bagaikan kilat tubuh si Naga Terbang meluncur pesat menghantamkan tasbihnya pada kepala lawan. Katakili terkesiap. Terjangan mendadak itu begitu cepat disaat dia terpana melihat dua senjatanya dihantam lenyap melesak ke tanah hampir separuhnya. Namun disaat itu terdengar bentakan keras, Dan...

Desss...! Terdengar teriakan parau Marga Dewa. Tubuhnya terlempar tiga tombak ketika segelombang angin menghantam dadanya. Sementara Katakili telah jatuhkan tubuhnya bergulingan. Ternyata disaat Katakili terancam maut, tiga dari Empat Iblis Pulau Menjangan telah melompat berbareng, dan hantamkan telapak lengan mereka menjadikan satu pukulan dahsyat yang diluar dugaan Marga Dewa.

"Guruuu...!" terdengar suara teriakan mengandung isak ketika tubuh si Ketua Partai Gagak Sakti jatuh berdebuk ke tanah. Keadaannya mengerikan karena tulang dadanya hancur luluh dan tampak satu lubang besar menganga pada dada laki-laki berjubah putih itu yang mengalirkan darah kehitaman. Gabungan dari tiga tenaga pukulan itu telah menjebolkan isi dada Marga Dewa yang membuat laki-laki itu tewas seketika.

Suara teriakan itu tak lain dari suara si Gagak Sakti alias si wanita tua bertongkat kepala burung. Dia dalam keadaan berdiri terkesima, melihat tubuh si Ketua Partai Gagak Sakti jatuh terkapar tak berkutik lagi. Ketika pada detik itu tubuh Sawor berkelebat ke arahnya, dan...

Plash...! Cepat sekali lengan Sawor bergerak ke arah wajah si wanita tua, dan menjambret sesuatu yang segera mengelupas seketika. Apa yang terlihat? Ternyata si wanita tua itu mempunyai satu wajah yang cantik jelita. "Kulit muka" yang telah kena dikuliti Sawor tercekal di tangan laki-laki itu.

"Aha...! Sudah kuduga kau bukanlah seorang nenek-nenek keriput berkulit hitam...!" berkata Sawor dengan tertawa menyeringai.

Merah padam serta terkejut wanita ini. Tahulah dia bahwa keadaan sudah berubah gawat dengan bermunculannya orang-orang itu. Dengan menggertak gigi, segera dia melintangkan tongkatnya di depan dada. Sepasang matanya membersitkan cahaya suram, namun penuh hawa membunuh. Tiba-tiba dengan membentak keras dia putar tubuh tanpa mengacuhkan Sawor, melesat ke arah Empat Iblis Pulau Menjangan.

"Iblis-iblis keparat! Aku akan adu jiwa denganmu...!" Tongkat kepala burung itu berkelebatan memutar dan menukik menyambar ke arah si Empat Iblis Pulau Menjangan.

Terdengar suara seruan-seruan tertahan. Mereka sempat dibuat terkejut dan terkesima menghadapi serbuan mendadak itu. Nyaris tubuhtubuh mereka akan terluka atau tertembus tongkat yang menyambar ke tenggorokan, dada, leher bahkan kaki. Begitu hebatnya serangan mendadak itu hingga...

Bret! Cras...! Pundak Katakili kena tabasan tongkat yang membuat dia menyeringai seraya gulingkan tubuh menghindari tabasan berikutnya. Punggung Rupaci kena goresan memanjang yang membuat baju rompi kulit srigalanya terbelah dua. Bahkan membuat luka memanjang dari belakang leher sampai pinggang. Berteriak kaget Rupaci seraya melompat bersalto beberapa kali.

Dalam menyerbu keempat Iblis Pulau Menjangan itu si "nenek" bertongkat kepala burung ternyata menggempur dengan membabi buta karena gusar dan pedih hatinya melihat kematian si Naga Terbang yang dikeroyok oleh keempat lawannya. Akan tetapi jurus-jurus selanjutnya semakin melemah.

Karena emosi yang meluap. Tongkatnya terlempar ke udara ketika satu kelebatan lengan Sawor menghantam pangkal lengannya. Dan saat berikutnya wanita "tua" yang ternyata berwajah jelita itu mengeluh ketika lengan Sawor hinggap ditengkuk menotoknya.

Sebelum tubuhnya ambruk menyentuh tanah, laki-laki yang tak diketahui asal usulnya itu telah menangkapnya dengan sebat. Dan jatuh dalam pondongannya.

Melengak keempat Iblis Pulau Menjangan, karena begitu mengetahui wanita tua bertongkat kepala burung tak lain dari seorang gadis cantik yang telah terbuka topeng kulit mukanya. Lebih melengak lagi ketika Sawor dengan tersenyum jumawa segera beranjak melangkah lebar dengan memondong tubuh wanita itu, seraya ucapnya.

"Nenek cantik ini adalah bagianku...!" Sesaat keempat Iblis Pulau Menjangan saling pandang dengan kawannya.

"Eh! tunggu dulu, sobat...! Tak salah orang yang kau pondong itu adalah orang yang kami cari! Dialah bocah perempuan yang pada tiga belas tahun yang lalu telah direbut si Naga Terbang dari tangan kami!"

"Ya... tak salah dialah Ken Ayu...!" tukas Rupaci.

"Hm,  begitukah...? Aha! Akan tetapi akulah yang telah membuka topeng wajahnya! Kalau kalian ingin memiliki silahkan kau rebut dari tanganku!" menyahut Sawor dengan senyum sinis.

Tampaknya keempat Iblis Pulau Menjangan tak berani mengambil tindakan. Mereka telah melihat sendiri kehebatan Sawor yang dapat memecah barisan TIN dan telah pula mempertunjukkan kesaktiannya memenggal batang lehernya sendiri. Ternyata ada rasa jerih untuk mengambil resiko bertarung dengan orang ini.

"Sebaiknya kita mengalah! Orang ini bisa dijadikan kawan..." berbisik Rupaci pada Katakili.

Katakili tercenung sejenak. Hatinya memikir. "Benar juga! Sembarangan menempurnya akan merubah apa yang telah menjadi rencana. Salah-salah akan membawa korban dari pihakku. Belum tentu berakhir dengan kemenangan dengan mengambil resiko menempurnya! Mau tak mau toh Partai Gagak Sakti telah dapat terkuasai...! Kalau manusia bernama Sawor ini mau bekerja sama, akan banyak keuntungan yang bakal diperoleh...!"

Sesaat Katakili manggut-manggut dan tersenyum pada Sawor. "Anda agaknya mengingininya, sobat Sawor...! Hahahah ... dia memang cantik! Kami Empat Iblis Pulau Menjangan takkan menghalangi kalau anda menghendaki. Akan tetapi mengapa harus terburu-buru...? Sebaiknya "kita" merebut kekuasaan Partai Gagak Sakti ini dulu, dan menguasai gedung markasnya. Mengenai bocah perempuan itu kapan waktu bisa kau cicipi!"

Tercenung sejenak Sawor, lalu tertawa lebar berkakakan, seraya ucapnya. "Tawaran yang bagus! Tadinya aku tak mau turut campur urusan kalian. Setelah selesai persoalanku segera aku angkat kaki dari tempat ini. Kalau kalian mempunyai rencana baik mengapa aku tolak?"

"Hehehe.... bagus, bagus! Ternyata anda orang yang bisa diajak bersahabat! Percayalah! Kami Empat Iblis Pulau Menjangan akan menjamin segala keinginan anda kalau anda bisa bekerja sama dengan kami...!" berkata Katakili.

"Bekerja sama apakah maksudmu...?" tanya Sawor ingin tahu.

"Nantilah! Segera anda bakal mengetahui. Sebaiknya marilah kita bersihkan dulu kecoa-kecoa di Pulau Nusa Kambangan ini...! Setelah Partai Gagak Sakti berada pada kekuasaan kita, semuanya pasti akan beres dan berjalan lancar...!" sahut Katakili dengan tertawa, lalu palingkan kepalanya pada ketiga kawan yang segera manggut-manggut.

"Kami akan menerimamu dengan senang hati sebagai sahabat, sobat Sawor...!" berkata Tunggir Ireng dengan tersenyum, lalu perkenalkan dirinya pada Sawor dengan menjura. Demikian pula yang lainnya segera masing-masing memperkenalkan diri.

Tak dapat tidak Partai Gagak Sakti segera terkuasai oleh si Empat Iblis Pulau Menjangan, yang dengan mudah membantai sisa-sisa dari anak buah si Naga Terbang. Selebihnya tertawan atau menyerah dengan tak berkutik lagi. Gedung besar yang berada di tengah pulau, kini telah diduduki oleh lima orang pendatang itu. Berpindahlah dengan sekejap saja kekuasaan di pulau itu.

Tentu saja rakyat atau penduduk pulau Nusa Kambangan mau tak mau harus menerima kenyataan pahit itu. Kalau dahulunya mereka hidup dengan tenteram dengan mendapat perlindungan dari Partai Gagak Sakti, kini harus penuh kekhawatiran dengan berkuasanya keempat Iblis Pulau Menjangan.

Gelak terhahak suara tertawa Sawor ketika "menguliti" sekujur tubuh si Gagak Sakti dikamarnya. Kulit palsu yang berkerut-kerut itu kini sudah mengelupas semua. Seperti seekor ular yang baru berganti kulit. Ken Ayu tergolek dipembaringan. Kulit tubuhnya yang putih mulus itu membuat sepasang mata Sawor membinar.

"Hahaha... layanilah aku, nona manis. Kalau kau menolak tahu sendiri akibatnya!" mengakak tertawa Sawor bagaikan tawa iblis. Membuat jantung Ken Ayu seperti mau meledak rasanya.

Betapa muaknya dia akan perbuatan Sawor yang telah menelanjangi tubuhnya. Sebersit sinar mata sang gadis itu memancarkan pancaran dendam yang luar biasa. Dia memang tak dapat menolak lagi... kecuali berikan apa yang paling berharga dari miliknya untuk dilalap manusia dihadapannya.

Keluh dan desah segera terdengar membaur dengan dengus napas menggebu. Seolah adanya satu kepasrahan yang tulus ikhlas, namun dibalik itu hati sang gadis bernama Ken Ayu itu menjerit, merintih dalam gelimangnya kenikmatan yang direngkuh Sawor...

* * * * * * * *

EMPAT

Waktu berjalan dengan cepat. Beberapa ribu kali sudah matahari bolak-balik muncul dan terbenam. Tak terasa tiga tahun pun terlewat sudah. Pagi itu seorang penunggang kuda melintas disisi hutan. Menilai dari pakaiannya tampaknya seorang hamba Kerajaan. Memang benarlah. Laki-laki itu adalah Tumenggung Dipayana yang dalam perjalanan ke pesisir laut kidul untuk menjumpai seorang sahabatnya berkenaan dengan satu tugas yang di pikulnya.

Tumenggung Dipayana adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh kekar dan berwajah penuh dengan brewok. Tugas apakah yang dipikul di atas pundaknya? Mari kita ikuti langkahnya. Ketika melintas di satu kelokan jalan, tiba-tiba kudanya melonjak mengangkat kaki depannya. Dan meringkik keras. Tentu saja membuat Tumenggung Dipayana terkejut.

"Ada apakah gerangan?" sentak. hatinya. Segera dikendalikannya sang kuda tunggangannya agar kembali tenang. Sementara sepasang mata sang Tumenggung jelalatan mengitari tempat sekitarnya. Terasa ada hawa aneh yang mencekam perasaan. Akan tetapi tak ada tanda-tanda mencurigakan.

"Ayo, Putih...! Jalanlah! Tak ada apa-apa mengapa kau ketakutan?" berkata Tumenggung Dipayana pada kudanya. Sementara diam-diam jantungnya berdetak keras. Tak seperti biasanya kudanya bersikap demikian. Tiba-tiba entah dari mana munculnya puluhan srigala telah bermunculan disekeliling sang Tumenggung, yang membuat dia jadi terkesiap kaget. Kuda putih tunggangannya kembali perdengarkan ringkikkannya dan melonjak-lonjak ketakutan.

"Serigala-serigala dari manakah ini...?" desisnya terkejut. Dan terpaksa dia melompat dari punggung kudanya, karena si Putih sukar dijinakkan. Selanjutnya tanpa ayal lagi segera sang kuda itu kabur tunggang langgang dengan ketakutan menerobos semak belukar. Terpana Tumenggung Dipayana tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Kuda pengecut...!" makinya kesal. Walaupun hatinya agak kecut menghadapi hadangan serigala-serigala aneh yang mengepungnya, namun Tumenggung ini segera mencabut senjatanya sebuah clurit bergagang emas dari punggungnya. Sementara kelima jari lengannya merenggang siap menghadapi segala kemungkinan.

Belasan ekor serigala itu menatap Tumenggung Dipayana tak berkedip. Sinar matanya memantulkan cahaya merah. Untuk menghadapi serigala-serigala biasa bagi sang Tumenggung adalah hal yang tidak aneh, akan tetapi serigala-serigala ini berbeda dengan serigala biasa. Menatap liar dengan lidah terjulur, dengan sinar mata memancarkan cahaya merah membuat keringat dingin seketika mengembun ditengkuknya.

"Majulah kalian serigala-serigala busuk!" membentak sang Tumenggung. Walau ada rasa jerih dihatinya namun dia mendongkol juga karena gara-gara kemunculan serigala-serigala inilah, dia harus kehilangan kudanya.

Ternyata binatang-binatang itu tak bergerak sedikitpun kecuali menatap dengan pandangan tajam. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik membangunkan bulu roma. Dan sebuah bayangan berkelebat ke hadapannya. Membelalak sepasang mata sang Tumenggung melihat sesosok tubuh bugil tanpa sehelai benangpun melekat pada tubuhnya, berdiri tegak dihadapannya, dengan rambut beriapan. Ternyata seorang wanita yang berwajah cantik, namun membuat dia jadi bergidik ngeri, karena sepasang matanya memancarkan hawa pembunuhan.

"Hihihi... hendak kemanakah kau Tumenggung...?" Berkata si wanita lebih mirip siluman dari pada manusia. Tanpa terasa sang Tumenggung menyurut mundur dua tindak.

"Sssi... si... siapakah kau...?" bentak sang Tumenggung dengan suara tergagap. Selintas seperti dia pernah melihat wajah wanita itu yang wajahnya seperti pernah dilihatnya.

"Hihihi... hihihi... kau sudah mengenaliku?" balik bertanya si wanita dengan tertawa menyeringai membuat semakin berdiri bulu kuduk Tumenggung Dipayana.

"Siapa kau!? hm, katakanlah! Sudah sekian banyak perempuan yang aku pernah lihat wajahnya, namun aku memang tak ingat siapa kau...?" bentak lagi laki-laki itu dengan suara agak tergetar. Dan detak jantungnya semakin cepat berdegupan didadanya.

"Pantas, kalau kau tak mengenalku lagi! Akulah Ken Ayu...!" gadis malang yang gurunya telah kau bunuh dengan mengeroyok bersama ketiga kawanmu! Masih ingatkah kau akan Partai Gagak Sakti yang telah kau ambil alih dan kalian kuasai bersama tiga orang kawanmu dan laki-laki bernama Sawor itu? Hihihi... kau adalah salah seorang dari empat Iblis Pulau Menjangan yang telah memperkosaku, menyakitiku dengan semena-mena. Kini masanya aku datang untuk membalas dendam!"

Kagetnya tak alang kepalang Tumenggung ini mendengar kata-kata itu. Lagi-lagi kakinya menyurut mundur dua langkah. "Ken Ayu...? Ah, anda salah menduga orang. Namaku Dipayana...! Aku tak tahu-menahu dengan partai Gagak Sakti. Namamu pun aku baru mendengarnya...!" sahut sang Tumenggung dengan wajah pucat, namun masih berusaha tersenyum.

"Hihihi... seribu kali kau berganti nama dan jabatan, aku takkan melupakanmu, Rupaci bersiaplah untuk menemui kematian! Tapi sebelum aku mengantarkan nyawamu ke Neraka, katakan kemana tujuanmu!"

Melengak Tumenggung Dipayana, tapi segera membentak gusar. "Aku... aku bukan Rupaci dan kau tak perlu tahu kemana tujuanku! Menyingkirlah kau perempuan edan...!"

Dibentak demikian si wanita bugil itu tertawa mengikik panjang hingga tubuhnya sampai berguncang. Tiba-tiba membentak keras. "Segera terimalah kematianmu...!" Membentak demikian sebelah lengannya terangkat ke atas memberi tanda pada belasan serigala untuk menyerang. Dan dengan suara menggeram makhluk-makhluk serigala itu berlompatan menyerang sang Tumenggung Dipayana.

Namun laki-laki itu sudah siap menghadapinya. Dengan membentak keras segera tubuhnya berlompatan menghindar. Clurit di tangannya menabas kesana kemari menimbulkan suara bersiutan.

Wut! Wut! Wut!

Akan tetapi terperangah Tumenggung Dipayana, karena bagaikan menabas angin saja senjatanya lewat tanpa dapat menyentuh satupun dari belasan serigala itu. Keringat dingin seketika mengucur deras dari sekujur tubuh. Beberapa saat lamanya bertarung menghindari serangan serigala itu serta menabas dan menghunjamkan celuritnya membuat sang Tumenggung mulai kehabisan tenaga. Semua serangannya cuma sia-sia belaka. Tiba-tiba satu teriakan santar segera membuat belasan serigala itu mundur mengurung. Terengah-engah napas sang Tumenggung dengan wajah pucat pias.

"Hihihi... hihihi... Tumenggung Dipayana, nama samaranmu itu sudah sejak lama kucium baunya. Jangan kira dengan jabatanmu itu kau bisa sembunyikan diri dengan aman? Heh, apakah kau masih tak mau mengakui namamu Rupaci?"

Semakin menggeletar seketika tubuh laki-laki itu. Sementara hatinya mengeluh. "Celaka...! Lenyapnya Ken Ayu dari Nusa Kambangan tiga tahun yang lalu ternyata membawa akibat buruk. Sungguh tak kusangka kalau dia akan muncul dengan keadaan mirip siluman begini? Apakah aku bisa selamatkan jiwaku...?"

Tiba-tiba sang Tumenggung jatuhkan dirinya berlutut seraya menyembah-nyembah dan berkata dengan suara menggeletar. "Ampunilah selembar jiwaku, Ken Ayu...! Aku mengakui kesalahan dan semua dosaku. Aku sudah insyaf dan jadi orang baik-baik, apakah kau akan mencabut juga nyawaku...? Sedangkan yang berdosa bukan aku sendiri. Dan orang pertama yang memperkosamu adalah Sawor!"

"Hihihi... sama saja! Satu persatu akan kulenyapkan nyawanya dan kucari dimana adanya mereka. Walau sampai ke ujung langitpun aku akan tetap mencarinya untuk membalaskan dendamku...!" ujar si wanita itu.

"Kalau kau mau membunuhku, kau takkan mengetahui asal-usul dirimu dan siapa ayah ibu mu karena cuma akulah yang mengetahuinya!" berkata Tumenggung Dipayana yang secara tak langsung sudah mengakui kalau dirinya adalah Rupaci.

"Hm, begitukah...?" bertanya Ken Ayu. "Baik! Aku takkan membunuhmu! Sebutkanlah siapa kedua orang tuaku sebenarnya, dan dimana adanya!" lanjut Ken Ayu dengan suara dingin.

Melihat siasatnya berhasil, Rupaci alias Tumenggung Dipayana bernapas lega. Akan tetapi memandang serigala-serigala yang mengelilinginya hatinya menciut lagi. "Apakah serigala-serigala itu dapat kau suruh pergi...?" ucapnya menggetar.

"Heh, kau takut...?"

"Aku... aku seram melihatnya!" sahut Rupaci.

"Lebih seram mana kau melihatku atau melihat serigala-serigala itu!" tiba-tiba Ken Ayu bertanya.

"Sse... semuanya serba seram...!" menyahut Tumenggung itu dengan menunduk.

"Hihihi... aneh!" ucap Ken Ayu. "Dulu kau begitu gairah ketika menelanjangiku. Mengapa kini kau berbalik seram melihatku...?" mengikik tertawa Ken Ayu. Membuat bulu tengkuk Rupaci merinding. Selesai mengikik tertawa Ken Ayu mengangkat sebelah lengannya ke atas. Dan... lenyaplah belasan serigala ciptaan itu. Terperangah Rupaci memandangnya.

"Nah, kini kau ceritakan siapa sebenarnya ayah ibuku dan dimana mereka berada...! Untuk penjelasanmu itu aku menjamin nyawamu...! Akan tetapi untuk kebaikan hatiku mengampuni nyawa busukmu, kau harus tunjukkan dimana Tiga Iblis Pulau Menjangan yang lainnya. Dan apakah kau mengetahui dimana adanya Sawor?" Ucapnya dengan suara dingin mencekam. Akan tetapi dari sinar matanya yang membersitkan dendam, mana mungkin dia mengampuni jiwanya?

"Aku pasti akan memberitahukan padamu, Ken Ayu...! Demi... demi keselamatan jiwaku!" berkata sang Tumenggung seraya bangkit berdiri, lalu menyelipkan lagi senjatanya dibalik punggung. Wajahnya menampakkan wajah cerah.

"Dan..." lanjutkan bicara Ken Ayu. "Kau katakan juga tugas apakah yang kau pikul itu hingga kau menempuh perjalanan selama dua hari?"

Diam-diam terkejut Tumenggung Dipayana karena ternyata Ken Ayu telah menguntitnya sejak keberangkatannya dari Kadipaten untuk menuju ke pesisir laut kidul menjalankan tugas dari Adipati. Tercenung sejenak Rupaci. Diotaknya ternyata diam-diam menyusun rencana.

"Kau keberatan...?" satu pertanyaan membuat dia melonjak kaget.

"Ah, tidak! tidak...! Apapun yang kau tanyakan kalau aku mengetahui pasti kujawab! Aku tengah memikirkan kudaku, dengan apa aku menjalankan tugas kalau tak ada kuda? Perjalanan yang kutempuh masih jauh!"

"Kemana tujuanmu?" tanya Ken Ayu.

"Ke pesisir laut kidul, menemui seseorang, atas perintah Adipati!" Menyahut Rupaci alias Tumenggung Dipayana.

Tercenung sejenak wanita ini lalu mengikik tertawa sambil garuk-garuk rambut dikepalanya. Keadaan Ken Ayu memang boleh dibilang seperti seorang wanita yang kurang waras. Karena dengan tubuh telanjang bulat dan rambut beriapan membuat orang akan terpana memandang. Karena tubuh Ken Ayu tidaklah sebersih dulu ketika berada di Nusa Kambangan. Tapi tubuh yang kotor berdaki yang melenyapkan hawa merangsang. Melainkan rasa jijik melihat keadaannya.

"Hihihi... sebentar aku akan cari kudamu, kau tunggulah!" ujarnya pendek. Selesai berkata tiba-tiba tubuh Ken Ayu berkelebat dari situ dan lenyap dari pandangan Rupaci.

LIMA

"Eh...! Kesempatan ini tak boleh ku sia-siakan...!" berdesis suara sang Tumenggung Dipayana. Dan detik itu juga tanpa ayal lagi segera dia putar tubuh untuk segera menyelinap kabur dari tempat itu...

Kira-kira dua kali penanak nasi setelah berkelebatan menyelinap keluar masuk hutan. Barulah sang Tumenggung ini merasa bebas dari rasa takutnya. Rasa seram pada Ken Ayu yang telah berubah jadi perempuan berilmu tinggi serta keadaan yang menjijikkan itu membuat dia ingin segera menghindar. Apa lagi dia harus memberitahukan dimana adanya sobat-sobatnya dari Empat Iblis Pulau Menjangan.

Tak mungkin dia harus mengkhianati kawan-kawannya yang telah sekian lama bersatu. Sejak tiga tahun belakangan ini memang mereka berpencar dan hidup sendiri-sendiri. Yaitu sejak komplotan empat manusia itu melarikan diri dari Pulau Nusa Kambangan. Ternyata beberapa kejadian telah menimpa Partai Gagak Sakti yang dikuasai mereka bersama Sawor.

Kisahnya adalah demikian. Selama beberapa pekan Ken Ayu si gadis murid Marga Dewa si Naga Terbang itu terpaksa harus melayani nafsu bejat mereka berlima secara bergantian. Namun suatu ketika mereka tak mendapatkan lagi Ken Ayu dikamarnya. Ken Ayu lenyap tak berbekas bagaikan ditelan bumi. Seluruh pelosok pulau Nusa Kambangan diperiksa untuk mencari dimana adanya gadis itu.

Namun tak ada tanda-tanda disembunyikan penduduk. Hal tersebut akhirnya dilupakan oleh si Empat Iblis Pulau Menjangan. Mereka merencanakan kerja sama dengan Sawor untuk menyebarkan kekuasaan Partai Gagak Sakti yang kemudian diganti menjadi Partai Lima Naga Setan.

Tentu saja Partai Lima Naga Setan segera melebarkan sayapnya, dengan menyebar aksi kejahatan. Merampok kapal-kapal yang lewat, membunuh, memperkosa dan berbagai macam kejahatan lainnya. Dengan bersatunya mereka ternyata membuat satu kekuatan yang amat ditakuti golongan lain. Bahkan beberapa partai persilatan berhasil ditaklukkan dan dikuasai. Selama itu tentu saja si Empat Iblis Pulau Menjangan berhasil mengumpulkan kekayaan dari hasil kerja sama mereka.

Empat Iblis Pulau Menjangan ternyata berlaku cerdik, untuk segera menyisihkan harta-harta rampasan itu dari mata Sawor. Mereka beranggapan Sawor tak dapat diajak bekerja sama untuk selamanya. Suatu saat mereka harus menyingkirkan manusia itu. Empat Iblis Nusa Kambangan ternyata banyak menyebar mata-mata diluaran, sehingga ketika terjadi serangan ke markas Partai Lima Naga Setan oleh para Pendekar, mereka sudah berpencar menyelamatkan diri sejak dini.

Sawor terpaksa bertarung seorang diri, menghadapi serbuan pasta pendekar dan orang-orang Kerajaan yang bersatu padu dengan penduduk Pulau Nusa Kambangan yang tertindas. Namun Sawor pun akhirnya berhasil melarikan diri begitu mengetahui si Empat Iblis Pulau Menjangan telah merat siang-siang.

Empat Iblis Pulau Menjangan selanjutnya membagi harta rampasan hasil kerja sama mereka dengan Sawor, lalu mereka berpencar untuk masing-masing menempuh cara hidupnya sendiri-sendiri. Akan tetapi selama itu mereka tetap mengadakan hubungan atau pertemuan yang di rahasiakan.

Rupaci entah bagaimana dapat menduduki jabatan sebagai Tumenggung, karena dapat mengambil hati Adipati Wiralaga. Bahkan menjadi orang pentingnya Adipati. Tujuannya ke pesisir Laut Kidul adalah untuk mengantarkan surat pada seseorang yang berdiam disana. Orang yang dimaksud adalah seorang sahabat Adipati Wiralaga. Namun ditengah perjalanan telah dihadang oleh Ken Ayu, yang muncul serta telah menguntitnya sejak kepergiannya dari Kadipaten.

Kemunculan Ken Ayu yang dalam keadaan "luar biasa" itu membuat Rupaci terpojok untuk menerima syarat yang diajukan Ken Ayu demi nyawanya yang diancam oleh "gadis" luar biasa itu. Namun dengan tanpa diduga dia dapat meloloskan diri ketika Ken Ayu mencari kuda putih Rupaci yang kabur entah kemana.

Kini dihadapan Rupaci tampak sebuah bangunan gedung yang cukup besar. Letaknya tersembunyi, diapit antara dua buah bukit. Bergegas berlari, segera dia sudah tiba dipintu gedung berpagar tembok tebal itu. Empat orang penjaga pintu segera menyambut kedatangannya dengan tombak melintang di depan pintu.

"Siapakah anda? ada keperluan apa ke tempat ini...?" tanya penjaga pintu yang bertubuh tegap menghampiri. Berbeda dengan orang-orang Partai Gagak Sakti pada tiga tahun yang lalu, karena pakaian penjaga pintu ini adalah rata-rata berwarna hijau. Memanglah gedung itu adalah markas besar perguruan Naga Hijau. Ketua perguruan itu bernama Sumo Bledeg.

"Aku Tumenggung Dipayana...! Katakan pada ketuamu, aku akan datang menghadap" berkata Rupaci dengan suara ramah.

Sejenak keempat pengawal pintu itu menatap pada Rupaci, lalu salah seorang segera berkata. "Hamba segera akan melapor, sudilah anda menunggu sebentar!"

Sang Tumenggung ini mengangguk, sementara si penjaga itu segera bergegas masuk. "Apakah ketuamu ada di rumah...?" bertanya Rupaci, pada seorang pengawal.

Laki-laki yang masih berusia cukup muda itu mengangguk. "Kelihatannya sih, beliau tak kemana-mana! Hamba baru menggantikan kawan berjaga. Menurut yang kudengar belum lama beliau kedatangan tetamu...!" menyahut si penjaga.

"Siapa...?" tanya Tumenggung agak terkejut. "Hamba kurang mengetahui...!"

"Laki-laki atau perempuan...?" tanya lagi Rupaci.

"Laki-laki..." sahut sang penjaga.

Tumenggung Dipayana manggut-manggut, dia tak menanyakan apa-apa lagi dan diam-diam dia menarik napas lega karena tadinya dia amat mengkhawatirkan sekali kalau-kalau Ken Ayu menyusul lebih dulu dan telah mengetahui kedatangannya. Tak berapa lama sang penjaga tadi telah kembali lagi, seraya berkata.

"Ketua mempersilahkan anda masuk...! Mari hamba antar!"

"Oh, terima kasih...!" ucap Rupaci, lalu beranjak melangkah memasuki pintu yang telah segera dibuka kembali.

Dua orang penjaga segera mengawalnya dari belakang, untuk menunjukkan ruangan mana yang harus dituju. Gedung itu mempunyai tiga buah wuwungan. Pada wuwungan yang bentuknya memanjang menghadap ke pintu masuk akan tetapi dibagian sebelah dalam. Kesanalah yang dituju. Rupaci pernah berkunjung kemari sekali sejak setahun yang lalu, hingga dia sudah mengetahui arah yang ditunjukkan kedua pengawal.

Sampai ditangga undakan, segera kedua penjaga pintu tadi kembali ke tempatnya. Sementara Rupaci segera beranjak melangkah untuk masuk ke ruangan utama, tempat menerima tamu.

"Selamat datang Tumenggung...! Hai, angin apakah yang telah meniup mu untuk mengunjungi tempatku...?" satu suara segera terdengar dari dalam, yang kemudian diiringi oleh suara tertawa terbahak-bahak.

Ketika Rupaci tiba dipintu ruangan segera terlihat dua orang yang duduk berhadapan pada dua buah kursi. Empat kursi lagi masih kosong. Pada meja berbentuk bulat telur itu terlihat tiga buah gelas berisi arak dalam keadaan penuh. Dua kendi arak tampak berada di atas meja dan beberapa piring makanan kecil. Kedua laki-laki itu segera berdiri menjura menyambut kedatangannya. Yang seorang Rupaci dapat mengenalnya, yaitu si Naga Hijau Sumo bledeg.

Akan tetapi yang satu lagi membuat dia terkejut, karena segera mengenali siapa adanya laki-laki itu, yang tak lain dari Katakili saudara tertua dari Empat Iblis Pulau Menjangan. Memakai pakaian mirip seorang bangsawan, memang sukar dikenali kalau bukan Rupaci yang telah hapal melihatnya.

"Hahaha... kalian ini seperti sudah berjanji saja mengunjungi tempatku sobat-sobat Empat Iblis Pulau Menjangan...! Cuma dua lagi yang belum kelihatan, apakah mereka juga akan segera tiba...?" Berkata Sumo Bledeg dengan tertawa berderai. Lalu persilahkan sang Tumenggung mengambil tempat duduk.

Terkejut juga girang Rupaci mengetahui tetamu Sumo Bledeg adalah saudara seperguruan tertuanya. "Kakang Katakili, sejak kapan kau sudah tiba disini...?" tanya Rupaci, seraya menjabat tangan laki-laki bangsawan itu, lalu menjabat pula tangan Sumo Bledeg.

"Hahaha... duduklah! Tuan rumah sudah sediakan arak untukmu! Tampaknya kau baru melakukan perjalanan jauh, tentu haus sekali!" berkata Katakili.

"Ah, terima kasih, terima kasih...!" menyahut Rupaci seraya duduk dan lengannya menyambar gelas arak yang telah penuh terisi itu, lalu menenggaknya sampai kering. Selanjutnya mereka bercakap-cakap dengan riang sekali.

Sumo Bledeg alias si Naga Hijau adalah salah seorang kawan seprofesi yang hidup dalam kancah kejahatan. Namun Sumo Bledeg pandai membedaki perbuatan jahatnya dengan bekerja secara sembunyi-sembunyi. Digedung markasnya dia boleh dapat dikatakan dapat hidup aman, karena si Naga Hijau dikenal dikalangan Rimba Hijau sebagai "orang baik-baik".

"Ada berita penting yang harus kusampaikan pada kalian, sobat-sobatku! Kukira saatnya kita harus bertindak hati-hati...!" berkata sang Tumenggung Dipayana dengan serius.

"Berita apakah itu, Rupaci...?" tanya Katakili terheran. Begitu juga Sumo Bledeg terkejut, melihat sikap Rupaci yang seperti amat khawatir. Jelas terlihat dari perubahan rona wajahnya.

Segera Rupaci ceritakan kejadiannya pada mereka tentang munculnya Ken Ayu yang mencari Empat Iblis Pulau Menjangan dan Sawor untuk membalas dendam. Terpaku kedua sahabat itu mendengar kesaktian Ken Ayu tiba-tiba muncul sejak lenyapnya tiga tahun yang lalu dari Nusa Kambangan. Mendengar adanya berita itu ternyata telah merubah keramahan si tuan rumah Sumo Bledeg mendadak jadi berubah. Dia segera bangkit dari duduknya seraya berkata.

"Maaf, kedua sobat Iblis Pulau Menjangan. Bukannya aku mengusir kalian, tapi karena demi menjaga nama baikku, karena aku khawatir terbawa-bawa dalam urusan kalian, kuharap anda berdua segera tinggalkan cepat-cepat tempatku ini...!"

Kedua dari Empat Iblis Pulau Menjangan ini jadi saling pandang menatap, juga memandang pada si Naga Hijau. Terlihat sang Naga Hijau ini mengalami perubahan pada wajahnya yang mendadak jadi pucat pias.

"Hahaha... tampaknya kau ketakutan sekali, sobat Sumo Bledeg! Kalau perempuan itu menyatroni ke tempatmu, kami berduapun sanggup meringkusnya, tanpa menyusahkan kau!" berkata sinis Katakili dengan nada jumawa.

Seketika merahlah wajah Sumo Bledeg. Orang ini memang berwatak seperti ramah, namun mempunyai adat jelek. Bila dianggap remeh oleh orang tentu akan segera naik pitam. Tiba-tiba lengannya bergerak menggebrak tepi meja, seraya membentak gusar. "Sungguh nasib sial! 10 tahun menetap dimarkas besarku ini baru sekali ini aku dihina orang dikandang sendiri! Sungguh memalukan!"

Plak...! Terdengar suara beradunya telapak tangan dengan meja kayu jati tebal itu. Apa yang terjadi? Tiga buah gelas arak yang telah terisi penuh lagi itu beserta dua kendi arak serta beberapa piring makanan kecil yang hampir kosong, telah melayang ke atas hampir menyentuh langit-langit ruangan. Ketika meluncur turun lagi, membelalak kedua pasang mata sang Tumenggung Dipayana alias Rupaci dan Katakili, karena segera terdengar bunyi Trek...!

ENAM

ANEH...! Tak ada satupun dari benda-benda di atas meja itu yang terbalik atau tumpah isinya, apalagi pecah. Tapi selang sesaat segera terdengar suara bergedubrakan. Meja kayu jati itu ambruk berantakan dan hancur berkeping-keping bersama dengan hancurnya benda-benda di atas meja itu.

"Ah...!? Hebat! Hebat...!" Hampir berbareng si dua Iblis dari Empat Iblis Pulau Menjangan berteriak kagum. Akan tetapi diam-diam hati Rupaci mencelos, karena secara tak langsung pihaknya telah menimbulkan kemedongkolan hati si Naga Hijau. Cepat-cepat Rupaci memberi hormat pada Sumo Bledeg seraya berkata.

"Ah, sobat Naga Hijau, sudilah kau memaafkan kata-kata kakak seperguruanku. Kami tidak bermaksud meremehkan anda..."

"Kentut busuk!" membentak Sumo Bledeg yang sudah naik pitam. "Apakah dengan berkata begitu bukannya telah menghinaku...? Heh! Selama lebih dari lima belas tahun aku malang melintang di dunia Rimba Hijau, belum pernah aku melipat ekor untuk melarikan diri seperti akal bulus yang dilakukan kalian pada orangmu sendiri yang bernama Sawor!" menyombong Sumo Bledeg tanpa kepalang tanggung, bahkan telah pula mengguar kebusukan Empat Iblis Pulau Menjangan secara terang-terangan.

Hal mana membuat Katakili jadi merah padam mukanya. Sedangkan Rupaci diam-diam mengeluh dalam hati. "Wah, wah... Celaka! Agaknya sesama golongan bakal terjadi bentrokan!"

Benar saja! Tiba-tiba Katakili perdengarkan suara dingin yang menembus tulang. "Naga Hijau! Kau kira sikapmu selama ini banyak baiknya dari pada busuknya pada kami...? Hahaha... kaupun tak lebih dari pengecut busuk yang berbuat licik yang pergunakan cara lempar batu sembunyi tangan dengan "bekerja" secara sembunyi-sembunyi! Perampokan tiga bulan yang lalu pada seorang bangsawan di Kota Raja telah kau gunakan nama baik kami! Apakah itu bukan tipu daya licik, menohok kawan seiring...? Hm, ketahuilah, sebenarnya aku kemari memang mau menagih separuh dari hasil yang kau dapatkan, sebagai imbalan atas kau cemarkan nama Empat Iblis Pulau Menjangan yang sudah lenyap tak di ingat orang...!"

Pucatlah wajah Sumo Bledeg. Apa yang di katakan Katakili itu memang sebenarnya. Sungguh tak disangka kalau Katakili telah mengetahui samarannya. Akan tetapi sebagai orang yang sudah lihay dalam tipu daya serta pandai berputar lidah, Sumo Bledeg tak mengakuinya. "Kentut busuk!" makinya dengan wajah berang. "Aku tak merasa melakukan hal itu. Mungkin lain golongan yang telah melakukan aksi perampokan di Kota Raja itu!" membentak si Naga Hijau.

"Apakah kau mau mungkir bila kutunjukkan benda ini...?" berkata Katakili seraya keluarkan sebuah senjata rahasia berbentuk bulan sabit sebesar jari dari saku bajunya.

Terkejut Sumo Bledeg melihat .senjata rahasia miliknya itu. "Aku menemukannya menancap ditembok gedung bangsawan tua yang kau bunuh itu!" lanjut ucapan Katakili.

Sumo Bledeg tak dapat menyangkal lagi, karena memang benarlah dia pernah mempergunakan senjata rahasianya ketika menghadapi anak si bangsawan tua ketika melakukan perlawanan pada malam hari disaat dia menyatroni gedung si bangsawan.

Namun akhirnya dia dapat menewaskan anak si Bangsawan tua itu dengan pukulan geledeknya. Wajah si Naga Hijau tampak sebentar pucat sebentar merah. Dan tiba-tiba saja Sumo Bledeg telah menerjang dengan pukulannya, disertai bentakan keras.

"Baik! Aku mengakui itu perbuatanku. Kini kau telah datang ke sarang Naga Hijau, ada baiknya kau mampus terlebih dulu sebelum datang "penyakit" padaku!"

Wuk! Wuk...!

Dua kali hantaman, beruntun si Naga Hijau terpaksa harus dikelit Katakili dengan berlompatan menghindar. Dan satu lagi serangan si Naga Hijau terpaksa di papaki berdua dengan Rupaci. DHESS! terdengar suara benturan keras. Akibatnya tubuh si Naga Hijau terhuyung tiga langkah. Sedangkan Rupaci dan Katakili menindak ke belakang dua langkah.

Melihat dari beradunya dua tenaga dalam gabungan itu dengan tenaga dalam Sumo Bledeg, dapat diketahui tingkatan tenaga dalam Sumo Bledeg masih setingkat di atas mereka, bila diukur perseorangan. Namun dengan adanya gabungan tenaga dalam kedua dari Empat Iblis Pulau Menjangan itu, tentu saja membuat si Naga Hijau nyaris terluka dalam.

Menggeram gusar Sumo Bledeg. Segera dia kerahkan segenap kepandaiannya untuk merobohkan lawan. Senjata-senjata rahasianya mulai disebar meluruk ke arah kedua bekas sahabat itu mengancam maut. Trang! Trang...! Terpaksa dengan sebat Rupaci tangkis serangan itu dengan senjata cluritnya. Dan Katakili menangkis dengan senjata roda bergeriginya.

Sementara itu keadaan diluar gedung jadi gempar. Puluhan anak buah si Naga Hijau berlompatan ke arah ruangan sang Ketua mereka. Namun mereka cuma bisa melihat dari luar, karena khawatir terkena sambaran roda-roda bergerigi Katakili yang berdesingan, menabas apa saja yang menghalangi.

Selang beberapa jurus tampaknya mereka merasa kurang leluasa untuk bertarung dalam ruangan sempit. Naga Hijau melompat terlebih dulu, disusul Katakili dan Rupaci. Hal mana memang keinginan Katakili karena senjatanya dapat bebas bergerak tanpa hambatan. Akan tetapi terkejut Katakili ketika merasakan tenaganya semakin melemah. Pandangannya mendadak menjadi memudar. Terasa kepalanya berdenyutan.

Apa yang dirasakan Katakili ternyata demikian juga pada Rupaci dan Sumo Bledeg. Katakili sudah tak mengetahui lagi kemana melayangnya senjatanya. Sementara Sumo Bledeg bukannya menyerang bahkan terhuyung memegangi kepalanya. Demikian pula Rupaci, dia meringis memegangi perutnya. Cluritnya sudah terlepas jatuh ke tanah.

Sementara itu anak buah si Naga Hijau jadi terpaku memandang orang yang bertarung dalam keadaan demikian itu. Ketika pada saat itu sekonyong-konyong terdengar suara tertawa wanita mengikik membangunkan bulu roma. Dan... sesosok tubuh tahu-tahu telah berada di tempat itu.

"Hihihi... hihihi... kalian akan segera mampus, penjahat-penjahat terkutuk, karena aku telah mencampuri arak yang kalian minum dengan racun!"

"Hah!? Ka... ka... kau... Ken Ayu...?,!" Terperangah Rupaci melihat siapa yang muncul dihadapannya, yang dalam keadaan persis seperti yang dijumpainya disisi hutan tadi pagi. Sosok tubuh seorang wanita muda yang rambutnya beriapan dengan keadaan membugil itu membuat para anak buah si Naga Hijau terbelalak keheranan.

Sementara Katakili terkejutnya bukan alang kepalang, mendengar kata-kata wanita itu, juga melihat kemunculan wanita yang pernah diperkosanya. "Ja... jadi gejala ini adalah akibat keracunan? Celaka...!?" desisnya tertahan. Sumo Bledeg berteriak dengan mata mendelik. "Keparat! Kaukah si Ken Ayu itu? Kau... kau bisa menaruh racun pada arak sejak kapankah?"

Tertawa mengikik wanita yang sudah tak mengenai rasa malu lagi, seakan-akan memang sengaja mempertontonkan tubuhnya. "Hihih... dengan ilmuku aku bisa berbuat apa saja. Karena aku mempunyai ilmu Halimunan! Sejak tadi kalau aku mau membunuh kalian semua teramat mudah, tapi kurasa lebih baik kubuat kalian mati perlahan-lahan agar kau dapat rasakan penderitaannya! Kalian adalah pelaku-pelaku kejahatan yang kerjanya cuma menyusahkan orang, maka layaklah kalau kalian mampus...! Hihihi... tuan Tumenggung! Kau kira aku tak mengetahui kau merat! Sejak kau menyelinap pergi, aku sudah menguntitmu sampai tempat ini...!" Ujarnya seraya menatap tajam dengan wajah sinis pada Tumenggung Dipayana alias Rupaci.

"Kau... kau akan menyesal membunuhku!" memaki Rupaci dengan wajah pucat pias, dan rona wajahnya mulai membiru. "Kau... kau takkan mengetahui ssi... siapa ayah i... Ibu.. mu...!"

Selesai berkata demikian, tubuh Rupaci tampak limbung dan jatuh berdebuk ke tanah. Lalu berkelejotan bagai ayam disembelih. Dari mulutnya keluar busa. Tak lama kemudian manusia itu pun lepaskan nyawanya. Terperanjat Katakili dan Sumo Bledeg. Si Ketua perguruan Naga Hijau ini menggembor keras, seraya menerjang Ken Ayu. Ternyata dengan tenaga terakhirnya Sumo Bledeg telah menyerang dengan pukulan Geledeknya.

Whuukkk...! Angin pukulannya membersit keras menerpa Ken Ayu. Dan... Blarrr!

Terdengar suara dentuman keras bagaikan petir menyambar. Akan tetapi bukannya Ken Ayu yang terkena melainkan tubuh Katakili yang tahu-tahu terhuyung memapaki diluar kesadarannya. Terdengarlah jeritan parau laki-laki itu. Seketika tubuhnya hangus terbakar. Setelah menggeliat beberapa kali, Katakili pun tewas seketika dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar.

Sementara Sumo Bledeg sendiri dengan keadaan semakin terhuyung belalakkan matanya menatap Ken Ayu yang mengikik tertawa. Ringan sekali gerakan wanita itu ketika melesat mengelakkan diri dari hantaman pukulan si Naga Hijau seraya mendorong tubuh Katakili untuk menerima pukulan itu. Tentu saja Katakili tak mampu untuk mengelakkan diri. Keadaan telah berlangsung dengan cepat, hingga dia harus menerima nasib menjadi korban pukulan si Naga Hijau itu.

"Ka... kau... kau..." belum lagi Sumo Bledeg meneruskan kata-katanya tubuhnya sudah ambruk ke tanah untuk segera berkelojotan. Selang sesaat Sumo Bledeg pun tewas dengan keadaan tubuh berubah membiru...

Gemparlah seketika keadaan didalam pagar tembok markas Naga Hijau. Para anak buah Sumo Bledeg berlarian kalang kabut dengan ketakutan melihat munculnya seorang gadis yang dalam keadaan membugil dan perdengarkan suara tertawa mengikik yang membangunkan bulu roma.

"Kalian juga manusia-manusia jahat yang harus mampus...! Hihihi... hihihi..." Membentak si wanita mengerikan ini. Tiba-tiba lengannya terangkat. Dan... muncullah berpuluh-puluh ekor serigala yang segera mengepung puluhan anak buah si Naga Hijau.

Sekonyong-konyong tubuh Ken Ayu lenyap sirna dari tempat berdirinya. Akan tetapi segera menjelma menjadi seekor serigala betina yang luar biasa besarnya. Menggeram serigala ini, serta perdengarkan suaranya melolong panjang. Selanjutnya ketika tubuh serigala itu berkelebat dari tempatnya, terdengarlah jeritan kematian disana-sini.

Apakah yang terjadi...? Ternyata anak buah si Naga Hijau habis diterkamnya. Tak satupun dibiarkan meloloskan diri. Mayat-mayat pun berkaparan disana-sini dengan keadaan tubuh yang sudah tidak utuh lagi. Terlalu mengerikan kejadian itu.

Ketika senja menjelang, dan matahari agak condong ke arah barat, gedung Markas si Naga Hijau telah menjadi sunyi mencekam. Beberapa ekor burung pemakan bangkai mulai berseliweran di udara, membaui amisnya darah. Burung-burung itupun mulai menukik turun. Dan selanjutnya adalah pemandangan yang mengenaskan, ketika serpihan-serpihan daging mayat telah menjadi rebutan mereka dengan suara mengiyak tiada henti, seolah hari itu mereka tengah mengadakan pesta meriah....

* * * * * * * *

TUJUH

KEMATIAN SI NAGA HIJAU dan seluruh anak buahnya dimarkasnya, sebentar saja telah menyebar dikalangan kaum Rimba Hijau. Bahkan dua orang yang kedatangan tewas dengan tubuh keracunan, dapat dikenali siapa adanya. Tentu saja menjadi buah bibir dimana-mana. Empat Iblis Pulau Menjangan itu memang dalam pelacakan para kaum Pendekar penjunjung kebenaran dan pembela keadilan.

Ternyata yang paling teramat geram dan mendongkol bukan main adalah Adipati Wiralaga. Karena dia tak menyangka sama sekali kalau justru sang Tumenggung Dipayana yang ditugaskan ke pesisir pantai laut kidul tak lain salah seorang dari Empat Iblis itu. Belakangan didengarnya berita bahwa pembantai sadis yang mengobrak abrik markas Naga Hijau adalah seorang wanita yang bisa beralih rupa menjadi seekor serigala.

Bahkan dapat menciptakan serigala--serigala misterius yang bisa membunuh manusia dengan sekejapan saja. Agak ngeri hati sang Adipati ini, karena dia khawatir terbawa-bawa sial. Bisa saja kesialan itu akan menimpa dirinya karena Tumenggung Dipayana itu adalah orang bawahannya yang bermukim di gedung Kadipaten.

Adipati Wiralaga berjalan mondar-mandir di ruang pendopo gedung Kadipaten dengan menggendong tangan. Benaknya berpikir keras. Tampak wajah sang Adipati ini sebentar pucat sebentar merah menegang.

"Dengan tewasnya Tumenggung Dipayana yang ketahuan adalah salah seorang dari Empat Iblis Nusa Kambangan juga dua orang dari kelima orang yang telah membentuk Partai Lima Naga Setan berarti kedudukanku dalam bahaya...!" berdesis Adipati Wiralaga. "Sebaiknya aku harus berangkat secepatnya ke pesisir laut kidul! Rencana pendaratan kapal asing dari Hindia harus dibatalkan...!" desisnya lagi.

Memikir demikian segera Adipati Wiralaga bergegas masuk ke ruangan dalam. Lalu menemui istrinya yang tengah duduk menyulam diberanda tengah.

"Suridewi...! Aku akan melakukan perjalanan jauh untuk satu tugas penting dari Kerajaan. Kuharap kau baik-baik menjaga diri dirumah!" berkata Adipati Wiralaga.

Wanita itu letakkan kain sulamannya seraya menatap pada Adipati Wiralaga dengan kening berkerut. "Kapan kakang akan berangkat? Akan memakan waktu lamakah tugas itu?" bertanya sang istri.

Adipati Wiralaga memang tak mempunyai keturunan selama berumah tangga yang hampir lebih dari 10 tahun, hingga suasana digedung Kadipaten itu tampak amat sunyi. "Tentu saja, istriku...! Setidak-tidaknya memakan waktu satu bulan!" sahutnya. "Aku akan segera berangkat besok pagi! Nah, kau persiapkanlah perbekalan untuk perjalananku besok...!"

Tercenung sejenak sang istri, seraya menghela napas dan terdengar suara gumam wanita itu lirih. "Lagi-lagi tugas! Lagi-lagi tugas...!" gerutunya. "Tugas apakah dari baginda Raja itu kakang...? kudengar kau sudah mengutus Tumenggung Dipayana untuk tugas mengantarkan surat mu ke pantai pesisir laut kidul. Apakah tak sebaiknya kau menunggu kedatangannya...?" tiba-tiba istrinya bertanya.

Dari kata-kata itu seperti seolah sang istri telah mengetahui kalau suaminya akan berangkat ke pesisir laut kidul, akan tetapi tak mengetahui kalau adanya peristiwa di markas Naga Hijau yang menyebabkan kematian sang Tumenggung.

Adipati Wiralaga kerutkan keningnya, alisnya bergerak naik seraya berkata. "Ah, kau perempuan tahu apa? Sudahlah, tenangkan hatimu. Percayalah! aku bukan mau bersenang-senang diluaran. Semua tugas yang kujalankan adalah atas titah Raja! Hilangkanlah kecemburuanmu! hahaha... jangan terlalu khawatirkan suamimu ini akan cari perempuan lagi!" tertawa sang Adipati, karena menduga istrinya mencurigai maksud kepergiannya.

"Bukan soal cemburu, kakang...! Cuma aku heran, kau sudah mengirim orang akan tetapi tak menunggu pulangnya orang yang kau tugaskan, bahkan kau sendiri akan berangkat pergi. Bukankah aneh...?" berkata istrinya, seraya beranjak masuk ke kamar.

Adipati Wiralaga tak menyahuti tapi tenggelam dalam alam pikiran dibenaknya. Berita kemunculan Manusia Serigala Hantu, seorang wanita yang berilmu tinggi yang telah membantai habis penghuni Markas si Naga Hijau berikut dua orang dari 4 Iblis Pulau Menjangan itu bukan tak dipikirkannya. Tapi sudah sejak mendengar berita itu, Adipati Wiralaga sering gelisah.

Surat yang gagal disampaikan Tumenggung Dipayana menjadi pula beban pikirannya. Apalagi diketahui dan telah menyebar ke setiap pelosok bahwa Tumenggung Dipayana itu dikenali sebagai salah seorang dari Empat Iblis Pulau Menjangan yang pernah gagal ditumpas golongan pemerintah Kerajaan dan para kaum Pendekar di Pulau Nusa Kambangan....

Dikhawatirkan surat itu jatuh ke tangan pihak orang-orang Kerajaan. Surat itu bisa mengakibatkan kejatuhan kedudukannya sebagai Adipati, dan mengungkap rencana persekutuannya dengan lasykar asing. Dia bisa dituduh mutlak sebagai pemberontak yang mau menggulingkan Kerajaan dengan meminta bantuan pasukan asing dari Hindia yang telah direncanakan pendaratannya. Dan... memang demikian pulalah kenyataannya...

Matahari membersitkan sinar teriknya pada siang itu seperti mau membakar jagat. Seorang penunggang kuda menjalankan kudanya dengan cepat menerobos jalan-jalan setapak dilereng bukit. Dialah Adipati Wiralaga yang tengah "meluncur" menuju keperbatasan. Yaitu pesisir pantai laut kidul. Perjalanan itu memang bukanlah perjalanan pendek, karena memakan waktu tak lebih dari lima hari, karena sukarnya perjalanan yang harus ditempuh. Juga harus menginap diperjalanan bila waktu menjelang malam.

Saat itu di atas bukit berdiri sesosok tubuh dikejauhan. Melihat adanya seekor kuda berlari dengan amat cepat di bawah lereng, sosok tubuh itu berkelebat turun dan menyusul. Ternyata diam-diam sosok tubuh itu membuntuti si penunggang kuda. Perjalanan kini mulai memasuki satu padang rumput tebal yang terbentang di depan mata berlatar belakang perbukitan yang berhutan lebat.

Ketika memasuki mulut hutan setelah melewati sebuah candi, tiba-tiba kuda tunggangan Adipati Wiralaga perdengarkan ringkikkannya, dan terjungkal jatuh. Tentu saja Adipati Wiralaga cepat melompat dari punggung kudanya agar tak terluka tubuhnya. Sebagai seorang yang punya "isi" Adipati Wiralaga dapat jejakkan kakinya dengan ringan di tanah. Namun dia amat terkejut dengan kejadian mendadak itu. Sementara sang kuda berkelojotan dengan meringkik kesakitan. Sesaat antaranya kuda itupun diam tak bergeming lagi.

"Mati...!?" berdesis suara sang Adipati ketika memeriksanya. Didapati diperut kuda dan leher tertancap tiga buah pisau kecil berbentuk keris. Seketika pucatlah wajahnya. Diam-diam tengkuknya bergidik, karena seandainya si penyerang mau membunuhnya tentu akan sudah terjadi karena dia sama sekali tak mendengar suara berdesirnya senjata rahasia itu! Adipati Wiralaga berdiri dengan wajah menegang. Panca indranya dipasang untuk meneliti keadaan tempat sekitarnya.

"Siapakah yang telah menyerang kudaku? Keluarlah! Seorang kesatria tidak akan menyembunyikan diri...!" berkata Wiralaga setengah membentak. Suasana disekitar mulut hutan itu tampak hening. Sementara si penguntit berjongkok di tempat persembunyiannya.

Tampaknya sang penguntit itupun terkejut dengan kejadian orang yang dikuntitnya. Pelahan sang penguntit itu menyibakkan dedaunan yang menghalangi pandangannya untuk melihat keadaan orang lebih jelas. Ternyata sang penguntit itu seorang dara rupawan, bermata jeli dan berbibir mungil bak delima merekah. Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Wanita kita Roro Centil, alias sang Pendekar Wanita Pantai Selatan!

Entah asap apa gerangan yang terendus hidung Roro. Baunya menusuk hidung dan menggelitik ke dalam tenggorokan. "Gila! ini asap orang membakar cabe...!" berkata Roro dalam hati. Tanpa disadari Roro terbatuk-batuk karena tenggorokannya gatal. Tak cukup dengan itu saja, Roro telah berbangkis beberapa kali. "Ha... hatsyiiiiih! hatssyiiiih... !" Setan Alas!" memaki Roro dengan berdesis.

Wukk! Prass...!

Segelombang angin telah menerpa ke arah tempat persembunyiannya memapas habis semak belukar dimana dia sembunyikan diri. Ternyata Adipati Wiralagalah yang telah menyerangnya, disertai bentakan keras. "Manusia pengecut! keluarlah dari situ!"

Tertegun sang Adipati karena tak menampak bayangan tubuh orang yang diserangnya barusan. "Jelas aku mendengar suara orang batuk dan berbangkis! Mustahil dia bisa lenyap dengan begitu saja...?" berkata Adipati Wiralaga dalam hati. Sepasang lengan laki-laki ini tersilang didada, siap menghadapi segala kemungkinan. Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dibelakangnya yang diiringi kata-kata.

"Hihihi... tidak hujan tidak angin mengapa kau menyerangku...?"

Terkejut sang Adipati. Cepat Adipati ini balikkan tubuhnya. Lengannya siap menyerang orang yang tertawa dibelakangnya. Akan tetapi dia jadi tertegun, karena seorang gadis cantik berpakaian warna hijau berdiri di hadapannya dengan bersidakep memeluk tangan.

"Anda bukan si penyerang kudaku? Heh! siapakah gerangan anda, nona?" bertanya Adipati Wiralaga. Diam-diam hati Adipati ini agak lega karena bukanlah si Manusia Serigala Betina itu yang muncul. Namun kalau wanita muda ini yang mengakui perbuatannya, berarti ada orang lain yang telah membuat kudanya mati kena serangan senjata rahasia.

"Hihihi... namaku Roro Centil...!" menyahut Roro dengan leletkan lidah dan tersenyum manis. Sepasang matanya mengerling pada kuda Adipati itu yang terlentang tak bergeming. "Kudamu telah diserang orang, akan tetapi bukan aku penyerangnya! Mengapa orang itu tak menyerangmu! Justru kudamu yang jadi sasaran!" lanjut Roro dengan gerakkan alisnya. Sementara diam-diam Roro pasang telinganya untuk mendengar adanya tanda-tanda yang mencurigakan disekelilingnya.

Adipati Wiralaga memperhatikan Roro dari bawah sampai ke atas beberapa kali. "Hm, aku tak mendengar adanya tanda-tandanya orang lain disekeliling tempat ini. Kalau bukan kau yang membunuh mati kudaku, habis siapa lagi...?" berkata Adipati Wiralaga.

"Huh! kalau kau tak mempercayai kata-kataku apakah kau lebih percaya pada setan?" ujar Roro dengan melototkan matanya. "Tampaknya kau kurang teliti melihat ke sekelilingmu! Apakah kau tak membaui baunya cabe yang dibakar? Bau itulah yang membuat aku berbangkis dan terbatuk-batuk. Jelas yang menyerang kudamu adalah setan Cebe...!" berkata Roro dengan nada keras. Roro memang tengah memancing agar si penyerang penunggang kuda itu munculkan diri.

Akan tetapi yang ditunggu ternyata tidak muncul menampakkan diri, membuat Roro jadi heran "Setan alas...!" maki Roro dalam hati. Pendekar Wanita ini putarkan pandangannya ke beberapa arah. Tiba-tiba melengak Roro Centil ketika menatap ke arah Candi yang kira-kira berada sejauh dua puluh lima tombak, batu paling atas dari susunan Candi itu bergerak... Dan meluncur ke arah mereka berdiri. Cepat sekali batu persegi empat sebesar kasur itu datangnya.

"Awas...!" teriak Roro memperingati Adipati Wiralaga.

Bluk...! batu besar itu menggelinding menerabas semak. Roro Centil telah melesat lenyap dari tempat itu. Sedangkan Adipati Wiralaga terkejut, seraya melompat menghindar. Ketika melihat ke arah Roro ternyata manusianya telah tak kelihatan lagi batang hidungnya.

DELAPAN

"SIAPA KAU...?" membentak Roro Centil ketika melihat sesosok tubuh menyelinap ke balik candi. Lengan Roro sudah terangkat untuk menghantam batu Candi, akan tetapi segera diurungkan. "Hm, manusia ini enak saja merusak batu Candi tanpa menghargai jerih payah orang yang membuatnya. Mengapa aku harus ikut-ikutan merusak?" pikir Roro.

Memikir demikian Roro berkelebat melompat cepat ke arah sisi sebelah kanan. Dari celah batu Candi ini dia bisa melihat sosok tubuh orang itu. Akan tetapi cuma sekejap, karena orang itu sudah melesat lagi ke arah sebelah bawah. Roro jadi mendongkol. "Sialan! rupanya kau mengajakku main kucing-kucingan di tempat ini?" memaki Roro Centil.

Diapun melesat pula ke bawah untuk mengejar orang. Dibalik batu yang memanjang ke atas satu setengah depa berukiran raksasa bertangan delapan itu Roro Centil memasang panca indranya untuk dapat mengetahui setiap gerakan orang yang dikejarnya. Namun sampai sekian lama tak ada tanda-tanda orang bergerak. Roro kerenyitkan keningnya terheran.

"Apakah dia sudah kabur keluar?" Benak Roro bekerja untuk mengambil keputusan keluar dari tempat terlindungnya. Akan tetapi sekonyong-konyong kembali dia terbatuk-batuk ketika membaui asap orang membakar cabe. "Setan alasss...!" tersentak Roro Centil. Jelaslah kini orang yang meniupkan asap menyebarkan bau pedas ketika tengah mengintai penunggang kuda yang dikuntitnya adalah orang ini.

Segera Roro gerakkan lengannya menutup hidung. Tapi sebelah lengannya bergerak memutar beberapa kali. Hebat gerakan ini, karena segera menimbulkan angin memutar ke setiap sela-sela Candi tanpa sedikitpun merobohkan batu-batu. Sesaat udara kembali bersih, bebas dari polusi. Terdengar suara tertawa mengekeh menggelitik anak telinga. Tersentak Roro Centil segera dia sudah mengetahui dari mana asalnya arah suara tertawa. Sekali berkelebat dia sudah melompat kebangunan candi sebelah depan,

"Heheheheh... heheh... hebat! hebat! Pendekar Wanita Roro Centil memang bukan nama kosong seperti yang pernah kudengar. Agaknya asap tembakau ku terlalu banyak ku bubuhi cabe...! Heheheh... maaf, maaf, asap rokok ku telah mengganggu anda...!"

Melengak Roro Centil ketika melihat seorang kakek berjubah kelabu duduk di atas stupa dengan menghisap cangklongnya. Melihat perawakannya kakek itu bertubuh agak pendek rambutnya awutawutan tak terurus tanpa ikat kepala. Kumis dan jenggotnya pendek, akan tetapi tebal memenuhi dagu dan bawah hidungnya, yang berwarna kelabu. Kulit mukanya hitam legam dan penuh keriput.

"Hm... siapakah kau kakek?" bertanya Roro. Diam-diam Roro Centil perhatikan perawakan dan wajah orang.

Kakek jubah abu-abu itu kembali tertawa mengekeh seraya ketuk-ketuk pipa cangklongnya membuang tembakau. Setelah meniup ke berapa kali pada pipa cangklongnya membersihkan abu yang melekat disana lalu menyelipkannya ke saku jubahnya sebelah dalam. Kemudian mendongak menatap Roro.

"Namaku aku malas menyebutkannya, baiknya kuberitahukan saja gelarku...! heheheh... orang Rimba Hijau menggelariku si Lutung Pancasona.!"

"Hm... kaukah orangnya yang telah menyerang kuda tadi?"

"Benar...! Sengaja kubunuh kudanya karena perintah yang kuterima adalah demikian!"

"Siapa yang memerintahkanmu!" dan siapa pula laki-laki berkuda itu?" tanya Roro dengan tercenung heran.

"Dia adalah Adipati Wilaraga. Yang memerintahkan aku melakukan itu istrinya sendiri!" sahut si kakek Lutung Pancasona.

"Aneh...!" urusan apakah kedua suami istri itu saling bertolak belakang?"

"Entahlah! aku sendiri tak mengetahui! Aku cuma ditugaskan untuk mencegatnya diperjalanan, dan membunuh kudanya!"

"Untuk pekerjaan itu tentunya kau mendapat upah lumayan...!"

"Heheheh... benar! Bukan saja upah uang akan tetapi juga upah meniduri istri Adipati itu yang cantiknya lumayan juga...! heheheh..."

"Gila...!" Memaki Roro dengan mata melotot. "Perempuan macam apakah istri Adipati itu...?" berkata Roro dengan bibir cemberut. "Ku lihat si Adipati itu bila dibandingkan dengan tampangmu, masih lebih gagah suaminya! Mengapa dia bisa kepincut padamu?" sambung Roro.

"Heheheh... dunia ini memang aneh! Dan keanehan itu bisa terjadi dimana saja. Juga di tempat ini...!" berkata si kakek dengan garuk-garuk kepalanya. Rambut coklatnya yang awut-awutan itu semakin kusut.

"Apa maksud ucapanmu?" bentak Roro yang sudah mengetahui gelagat.

"Heheheh... heheh... maksudku bukankah tidak mustahil kalau kau pun bisa-bisa kena kepincut olehku! hahaha hehee..." Mengakak tertawa si kakek hingga tubuhnya berguncangan. Akan tetapi diam-diam Lutung Pancasona telah kerahkan kekuatan ilmu batinnya untuk menyerang Roro.

Tak sadar Roro Centil kalau diapun jadi ikut-ikutan tertawa mengikik. Sementara sepasang mata kakek itu semakin binal menjalari setiap lekuk-lekuk tubuh Roro dan mengagumi wajahnya. Melihat kekuatan ilmu batinnya mempengaruhi syaraf si gadis pendekar itu membawa hasil, tiba-tiba dia hentikan tertawanya secara mendadak.

Dan... sekonyong-konyong tubuhnya melentik bagaikan ikan dari atas batu stupa yang diduduki. Lengannya terjulur ke arah Roro yang masih terpingkal-pingkal dengan tubuh terhuyung memegangi perutnya. Tampaknya Roro seperti geli sekali tanpa tahu apa yang ditertawakan.

Akan tetapi mencelos hati Lutung Pancasona karena serangan mendadak untuk menotok Roro Centil tak mengenai sasaran. "Aneh...!?" pikir si Lutung Pancasona. "Dalam keadaan kena pengaruh kekuatan batinku dia masih bisa menghindari serangan..."

Tak ayal segera Lutung Pancasona kembali julurkan lengannya ke beberapa arah dibagian tubuh Roro, bahkan dibarengi pula dengan pukulan tangannya. Lagi-lagi dia melengak, karena dengan masih mengikik tertawa Roro bergerak terhuyung ke belakang dan ke depan, bahkan menekuk tubuh sampai rambutnya terjulai ke tanah tak ubahnya bagaikan orang mabok arak dan serangan itu lolos tak menemui sasaran.

Tiba-tiba... Buk...! Mengaduh si Lutung Pancasona karena tahu-tahu kaki Roro telah melayang santar menghantam punggungnya. Tak ampun tubuh si kakek muka hitam brewok itu tersungkur mencium tanah. Ketika bangkit lagi terperangah "kakek" ganjen ini karena segera meraba wajahnya yang rusak. Di samping merasa sakit pada punggung, dia juga terkejut karena jenggot dan kumisnya yang lebat telah berlepasan separuhnya. Sementara Roro Centil telah hentikan tertawanya. Dia berdiri menatap pada si Lutung Pancasona yang kulit wajahnya telah terkoyak mengelupas.

"Setan alas...! Kiranya kau pakai kulit muka palsu...!?" bentak Roro dengan mata melotot. Lengannya terangkat untuk menghantam manusia dihadapannya. Namun Lutung Pancasona bergerak lebih cepat untuk selamatkan diri.

Wukkk!... Blarrr..!

Saking marahnya Roro menghantam dengan pukulan tenaga dalamnya. Tanah menyemburat di bawah candi. Namun Lutung Pancasona telah melesat kabur... Cepat sekali berkelebatnya tubuh Lutung Pancasona yang belum diketahui jelas wajahnya. Kulit mukanya cuma tersibak sedikit, dan Roro menampak satu kulit yang putih serta masih segar.

Kulit muda yang berarti orangnya pun masih berusia muda. Dengan geram Roro mengejar ke arah "kakek" itu berkelebat. Namun cepat sekali Lutung Pancasona berloncatan, lalu lenyap tak ketahuan kemana arah larinya. Dengan kesal Roro banting-bantingkan kakinya ke tanah, lalu berkelebat pergi dari tempat itu.

* * * * * * * *

SEMBILAN

ADIPATI WIRALAGA menyibak semak belukar, menuruni lereng bukit menyeberangi pula anak sungai. Dengan keadaan terpaksa dia mencari jalan ke arah desa terdekat. Hari sudah senja, dan dia memerlukan tempat menginap dalam perjalanannya.

"Heh!? Aku baru ingat...! Jalan ini menuju ke desa Gombong dihilir sungai ini. Hm, bagus! Aku bisa benar-benar menikmati istirahatku. Mengapa aku sampai melupakan seseorang di desa itu?" berdesis Adipati Wiralaga.

Ketika hari hampir gelap dia sudah memasuki mulut desa. Adipati Wiralaga masih ingat benar akan jalan-jalan di desa Gombong itu yang tidak banyak menampakkan perubahan.

"Apakah bapak mengetahui dimana rumah Nyi Denok Warsih?" bertanya sang Adipati pada seorang tua yang berkeredong sarung ketika berpapasan dijalan. Sejenak orang tua itu memandang pada Adipati Wiralaga, tampaknya agak terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Siapakah ki sanak...?" bahkan dia balik bertanya. Adipati Wiralaga tersenyum seraya menjawab. "Aku Suhara...! Dulu pada belasan tahun yang lalu pernah mempunyai seorang kekasih di desa ini, bernama Nyi Denok Warsih! aku tak mengingatnya lagi karena kesibukanku di Kota Raja. Bahkan... bahkan aku hampir melupakannya."

Terkejut laki-laki tua itu dengan membeliakkan sepasang matanya memandang pada Adipati Wiralaga yang memperkenalkan diri dengan nama kecilnya. Sebelum menjadi abdi Kerajaan memang Adipati Wiralaga bernama Suhara.

"Ah, sungguh tak kusangka... ki sanak ternyata Suhara. Ya, aku ingat betul akan wajahmu. Marilah singgah kerumahku, ki sanak. Kita bisa bicara panjang lebar...!" berkata laki-laki tua itu.

Wiralaga alias Suhara mengangguk. Dan segera mengikuti langkah laki-laki tua itu. Dalam perjalanan yang memakan waktu tak lama segera tampak sebuah pondok sederhana. Tersentak Wiralaga. Dia ingat betul akan pondok itu, yang halamannya ada tiga batang pohon kelapa berjajar. Dulu tiga batang pohon kelapa itu masih kecil. Bentuk rumahnya pun tak jauh berbeda dengan keadaan waktu dulu.

"Apakah ini... ini rumah Nyi Denok Warsih?" berkata Suhara alias Wiralaga dalam hati.

"Silahkan masuk, nak...!" Ujar laki-laki tua itu seraya dia sendiri mendahului melangkah masuk ke dalam. Seorang wanita keluar dari dalam.

"Ada tamu rupanya...! Siapakah, paman...?" tanyanya pada laki-laki tua itu.

"Warsih...!? Benarkah kau... Nyi Denok Warsih?" Tiba-tiba Wiralaga berseru tatkala melihat wanita setengah usia yang baru saja muncul menatapnya. Wiralaga masih ingat betul akan raut wajah kekasihnya. Sisa-sisa kecantikan gadis desa ini dulu masih membekas walau dia tampak tua.

Dan... ternyata wanita itupun mengenali Wiralaga, walau usia laki-laki itu sudah sekitar empat puluh lima tahun lebih. Namun kegagahan masih membayang pada wajah dan ketegapan tubuhnya. Adipati Wiralaga memang selalu mencukur kumis dan jenggotnya, hingga selalu tampak rapi. Cuma Wiralaga tak memakai pakaian keadipatiannya saja dalam perjalanan ke pesisir laut kidul yang akhirnya singgah di desa Gombong ini.

"Be... benar! Aku Warsih...!" sahutnya. "Apakah yang muncul dihadapanku ini Su... Suhara...?" Agak ragu wanita itu menatap laki-laki didepannya.

"Tak salah, Asih...!" Membenarkan laki-laki tua itu yang membahasakan Nyi Denok Warsih dengan sebutan itu. "Dialah Suhara...! Orang yang selalu kau tunggu kedatangannya setiap saat..." ucap laki-laki tua itu, lalu menatap pada Wiralaga. "Nak Suhara, Warsih selalu setia menantikan kedatanganmu. Aku pernah mendustainya mengatakan bahwa kekasih yang dinantinya itu telah mati! Akan tetapi dia tak percaya. Dia merasa yakin bahwa suatu saat kau akan datang. Ternyata keyakinan hatinya itu menjadi kenyataan...!"

Adipati Wiralaga duduk dibalai-balai kayu beralaskan tikar pandan. Disampingnya duduk Nyi Denok Warsih dengan menunduk. Pada pipinya mengalir air mata... Entah air mata bahagia, entah air mata berduka. Laki-laki Kadipaten ini menggamit dagu perempuan itu. Sebelah lengannya bergerak perlahan untuk mengusap air mata yang meluncur turun seperti tiada habisnya dari kelopak mata perempuan itu. Namun setelah beberapa saat kesedihan didada wanita itupun mereda.

"Dua puluh tahun lebih aku menantikan kedatanganmu, kakang Suhara! Dan... benih yang kau tanam dalam rahimku telah menjadi buah. Si kecil yang lahir tanpa ditunggui sang ayah itu dapat sedikit menghibur hatiku. Dia kuberi nama Ken Ayu...!" berhenti sejenak wanita itu untuk mengusap air matanya yang sekonyong-konyong kembali membersit keluar dari kelopak matanya.

Tergetar hati Adipati Wiralaga. Akan tetapi dia tak berani memotong pembicaraan Nyi Denok Warsih. Walau bibirnya sempat membisik. "Ah, nama yang indah..." Dada Wiralaga terasa berdegupan kencang. "Te... teruskanlah Warsih...!" ucapnya dengan suara agak parau tergagap.

"Baik kakang Suhara... " menyahut Nyi Denok Warsih menegarkan hati. Lalu lanjutkan penuturannya. "Kurawat baik-baik bocah perempuan mungil yang belum mengenai dosa itu. Kubisikkan ditelinganya bahwa dia masih mempunyai seorang ayah...! Akan tetapi... musibah telah menimpa... empat orang penjahat yang menamakan dirinya Empat Iblis Pulau Menjangan telah memasuki desa...! Dan... terjadilah aib yang menimpa diriku..." sampai disini Nyi Denok Warsih kembali berhenti untuk menghapus air matanya yang kembali meluncur turun membasahi pipinya.

Tersentak hati Wiralaga. "Empat Iblis Pulau Menjangan?" desisnya dengan mata membelalak. "Dan... mereka mem... memperkosamu?" tandas Wiralaga dengan cepat.

Nyi Denok Warsih tundukkan wajahnya dalam-dalam seraya mengangguk. "Keparat...!" memaki Wiralaga dengan mata tiba-tiba menjadi membinar. "Dua dari Empat Iblis itu telah mampus...! Yang dua lagi adalah bagianku untuk membunuhnya!" berdesis Wiralaga dengan geram. "Lalu... bagaimana anak kita? Kemana Ken Ayu? Apa pula yang terjadi dengan kedua orang tuamu? kulihat beliau tak berada dirumah ini..." tanya Wiralaga seraya pegang kedua pundak Nyi Denok Warsih.

"Ayah telah tewas ketika menghalangi perbuatan biadab keempat manusia itu. Ken Ayu... diculik mereka. Dan... ibuku meninggal sebulan kemudian karena tak kuat menerima kenyataan yang dihadapi dalam musibah besar itu. Selanjutnya aku hidup sendiri...! Untunglah masih ada paman dan bibiku yang sesekali datang menyambangiku...!" Demikian tutur Nyi Denok Warsih. Ternyata laki-laki yang mengantar Wiralaga adalah paman perempuan itu.

Mendengar penuturan Nyi Denok Warsih. Seketika terhenyak laki-laki ini. Betapa ribuan perasaan berkecamuk dihatinya. Kedua lengannya terkepal erat dan diremasnya sampai berbunyi berkrotokan. Selang sesaat Nyi Denok Warsih menengadahkan lagi wajahnya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Wiralaga. Agaknya wanita itu sudah dapat menekan perasaannya.

"Kakang Suhara...! Tentunya kau sudah mendapat kebahagiaan di Kota Raja. Dua belas tahun lebih menurut hitunganku sejak aku kehilangan Ken Ayu, aku menantimu. Menantimu untuk meminta tanggung jawabmu! Akan tetapi aku sudah tak mengharapkanmu lagi. Kita sudah tua... dan aku sudah ternoda! Aku cuma ingin meminta tanggung jawabmu mencari dimana adanya Ken Ayu...!" berkata Nyi Denok Warsih dengan nada tawar.

Wiralaga tak menyahuti, akan tetapi dia manggut-manggut dengan menundukkan wajah. Tak terasa sebutir air bening tersembul keluar dari sudut kelopak matanya. Untuk pertama kalinya dia jatuhkan air mata, sejak dia bergelimang hidup di Kota Raja dan terakhir menjabat sebagai Adipati yang mempunyai wilayah kekuasaan cukup luas. Selama ini dia terlalu mementingkan urusannya sendiri. Bahkan ada berniat menggulingkan Kerajaan.

Diam-diam Adipati Wiralaga memang telah mengadakan hubungan dengan sekutunya di pesisir laut kidul yang siap mendrop pasukan laskar asing dari Hindia yang diminta bantuannya. Namun kemunculan wanita misterius serta adanya Tumenggung Dipayana yang menjadi orang Kadipaten telah tersebar luas disetiap tempat bahwa Tumenggung itu adalah salah seorang dari Empat Iblis Pulau Menjangan yang menjadi buronan Kerajaan dan tengah dilacak para pendekar.

Kekalutan fikirannya karena khawatir dirinya sudah mendapat sorotan dari pihak Kerajaan, membuat dia berniat berangkat ke pesisir laut kidul untuk menggagalkan rencana itu pada sekutunya. Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, surat yang dikirim melalui Tumenggung Dipayana itu masih menjadi beban pikirannya. Itulah surat balasan pada sekutunya di pesisir laut kidul yang membicarakan mengenai pendaratan kapal asing dari Hindia.

Adipati Wiralaga amat mengkhawatirkan surat itu jatuh ke tangan orang Kerajaan yang bila diketahui akan membuat celaka besar pada diri dan kedudukannya. Kepergiannya ke pesisir laut kidul ada dua maksud. Pertama Wiralaga bermaksud membatalkan rencana pendaratan kapal-kapal Lasykar asing dari Hindia itu, dan kedua adalah menghindar dari Kadipaten selama beberapa waktu untuk melihat situasi.

Bila keadaan aman dia dapat kembali, tapi bila keadaan gawat dan terbongkar rencananya oleh pihak Kerajaan, terpaksa dia melarikan diri dari wilayah Kerajaan yang belum dapat dipastikan kemana tujuannya. Kejadian ditengah perjalanan dengan terbunuhnya kuda tunggangannya telah membuat hatinya semakin kebat-kebit kalau dirinya selama itu telah dibuntuti orang.

Demikianlah... malam itu Adipati tak dapat memicingkan mata dengan berbagi pikiran berkecamuk dibenaknya. Dari balik tirai pintu kamar, dilihatnya Nyi Denok Warsih masih duduk melamun diberanda depan. Ada sedikit gejolak didadanya untuk "mendekati" sang kekasih yang lebih dari dua puluh tahun tak disambanginya. Ya, kekasih dalam arti kata-kata, tetapi sebenarnya mereka tak lebih dari "Suami istri", walau mereka belum pernah menikah.

Entah mengapa hari itu Adipati Wiralaga baru merasakan dirinya berdosa. Selama itu dia tak pernah mengingat Nyi Denok Warsih. Melulu kesibukan dalam tugas di Kota Raja yang di gelutinya. Bahkan dia benar-benar melupakan wanita desa yang setia itu, yang telah dijanjikan akan dikawininya. Tapi nyatanya dia malah menikah dengan anak gadis seorang bangsawan.

Ternyata rumah tangganya tidaklah membuat dia bahagia, karena selama puluhan tahun tak dikaruniai seorang anakpun untuk pelengkap kebahagiaannya. Belakangan timbul pikiran-pikiran kotor dengan berkenalannya dia dengan seseorang yang tinggal di pesisir laut kidul, yang membuat dia jadi terlibat dalam urusan pemberontakan menggulingkan Kerajaan.

Wiralaga tercenung dalam kekalutan pikirannya. Kini dia melihat Nyi Denok Warsih dengan hati terenyuh... Gadis desa yang dulu cantik itu kini telah mulai keriput dan tua. "Ah, betapa berdosanya aku..." bisik hati laki-laki itu.

Sementara itu Nyi Denok Warsih yang sedang termangu-mangu diberanda depan jadi terkejut ketika mendengar suara berderit, dan pintu terbuka secara mendadak. Terasa bersyiurnya angin halus yang membuat kulit tubuhnya terasa dinginnya udara malam. "Ah, aku lupa mengunci pintu..." pikir wanita ini. Akan tetapi diam-diam hatinya tersentak. "Aneh...? tak seperti biasanya pintu itu terbuka sendiri...!" pikirnya.

Dia tahu betul pintu tua itu selalu menutup kalau tak diganjal. Akan tetapi kini terbuka lebar-lebar, tanpa ada orang yang membukanya. Kekuatan angin sehalus itu tak mungkin sampai dapat menguakkan daun pintu selebar itu.

SEPULUH

"IBUU..." panggilan bernada pedih itu membuat Nyi Denok Warsih mengangkat wajahnya.

Terperangah seketika wanita tua ini melihat sesosok tubuh wanita berambut beriapan, dengan tubuh telanjang bulat berdiri dihadapannya. Tentu saja membuat perempuan tua ini tak bisa keluarkan suara, kecuali ternganga dengan mata membeliak dan tubuh bergetaran.

"Ibuuu... apakah kau masih mengakui aku sebagai anakmu...?" terdengar suara wanita itu berkata. Akulah KEN AYU, ibu... akulah anak yang hilang diculik si Empat Iblis Pulau Menjangan..."

"Hah... ?" tersentak kaget Nyi Denok Warsih. Seperti tak percaya dia pada pendengarannya. Barulah perempuan ini dapat keluarkan suara, dan menjerit histeris.

"Oh... tti... tidak...! Tidak...! tak mungkin...! Kau... kau pasti makhluk halus! Jangan ganggu kemari! Pergilah yang jauh, rumahmu disana, di seberang lautan...!" teriak Nyi Denok Warsih dengan wajah pucat pias.

Saat itu pula Wiralaga telah melompat keluar dari dalam kamar. Akan tetapi segera menindak mundur dua tindak. Sepasang matanya membelalak melihat seorang wanita berambut beriapan yang telanjang bulat berdiri didepan Nyi Denok Warsih.

"Ssi... siapa kka... kau...?" sentak Wiralaga. Jantungnya mendadak berdegupan kencang. Walaupun dia tak percaya adanya hantu, tapi melihat kemunculan wanita berambut beriapan dalam samarnya cahaya lampu gantung diruangan itu membuat dia ragu-ragu untuk tak percaya hantu.

"Hihihi... aku bukan hantu! jangan takut, ibu...! Tiba-tiba wanita bugil itu kembali bicara, seraya menatap pada Wiralaga. "Ayah...! hihihi... oh, inikah ayahku, ibu...? Ah, ternyata ayah seorang lelaki yang gagah dan belum terlalu tua!" ucapnya dengan sebentarsebentar mengikik tertawa. Sementara itu Nyi Denok Warsih berkata dalam hati. "Ya, Tuhan... apakah gerangan yang terjadi? Betulkah dia ini anakku...?"

Dipandanginya sekujur tubuh wanita itu dari kepala sampai ke kaki. Tersentaklah dia melihat sepasang kaki wanita bugil itu menempel dilantai papan ruangan. Kini yakinlah dia kalau makhluk dihadapannya itu adalah manusia.

"Hihihi... percayalah, ayah... ibu...! Aku anakmu Ken Ayu! Aku sudah berhasil membalaskan dendam ibu, juga dendamku...! Dua dari Empat Iblis Pulau Menjangan itu telah kuracuni hingga mampus! Hihihihi... hihihihi... kini tinggal tiga orang lagi musuh besarku! Juga musuh besarmu, ibu...! Kelak aku akan bawa dua buah batok kepala lagi untuk kau lihat wajah orang yang telah menganiayamu, ibu! Dan... satu lagi adalah yang bernama Sawor! Manusia itu akan kupersembahkan kepalanya ke Istana kerajaan! Dan... kau ayah!" ucapnya seraya menatap pada Wiralaga. "Sungguh tak kusangka kalau kau adalah seorang Adipati!"

Selesai berkata demikian, tiba-tiba tubuh Ken Ayu lenyap sirna dari pandangan mereka. Disertai membersitnya angin keras, daun pintu itupun menutup dengan suara menggabruk keras. Sejenak keduanya saling berpandangan, dengan terperangah dan mata membelalak, seolah tak percaya dengan kejadian barusan.

"Jadi... jadi... Manusia Serigala Hantu itu adalah... anakku... K... Ken Ayu...?" berdesis suara Adipati Wiralaga. Saat itu, Nyi Denok Warsih tiba-tiba jatuhkan tubuhnya berlutut dihadapannya, seraya berkata dengan gemetar bercampur isak.

"Kakang Suhara... oh tak kusangka anak kita masih hidup! Dan... kau benarkah kau seorang Adipati? Maafkan aku yang tak mengetahui sama sekali..."

"Haih...! Sudahlah Warsih, Adipati atau bukan, sama saja..." ucap Wiralaga. "Betapa kita harus bersyukur anak kita ternyata masih hidup. Aku yakin! Yakin sekali dia bukan hantu, atau arwah yang penasaran...!" berkata Wiralaga seraya mengangkat bangun berdiri Nyi Denok Warsih.

"Akupun yakin, kakang Adipati... akan tetapi, mengapa dia bisa lenyap seperti hantu...? Dan... dan, dia tak mengenakan pakaian sama sekali..."

Adipati Wiralaga tak menjawab pertanyaan Nyi Denok Warsih. Akan tetapi dia cuma tercenung, lalu beranjak membuka daun jendela untuk menatap keluar. Sesaat terdengar suara helaan napas laki-laki itu. Lalu menutupkan lagi daun jendela dan menguncinya.

Nyi Denok Warsih masih menatapnya dengan tatapan tegang, namun segera menundukkan wajah ketika lengan Wiralaga mencekal pundaknya. "Sudahlah, Warsih...! jangan terlalu memikirkan yang tidak-tidak. Bermacam ilmu banyak terdapat didunia ini. Jangankan untuk melenyapkan diri seperti hantu, merobah wujud manusia menjadi seekor serigala pun bisa saja terjadi!" ucapnya lirih. Dan agar Nyi Denok Warsih tak banyak bertanya lagi, cepat-cepat Wiralaga berkata. "Hari sudah larut malam, Warsih! marilah kita pergi tidur..." ajak Wiralaga seraya menuntunnya memasuki kamar.

Perempuan itu tak dapat menolak, karena terasa bulu romanya bangun berdiri mendengar penuturan Wiralaga. Dia memang takut kalau tidur sendirian dikamarnya. Dan... malam itu Nyi Denok tak dapat menolak untuk memenuhi keinginan sang Adipati. Terasa diapun amat membutuhkan belaian tangan laki-laki yang sudah dua puluh tahun lebih tak pernah menyentuhnya, juga menikahinya...

Sudah dua hari Roro Centil berada di wilayah Kota Raja. Selama itu dia sudah banyak "nguping" mengenai berita-berita yang tersebar baik dari mulut penduduk dari rakyat jelata, maupun dari kalangan orang-orang Kerajaan. Dengan "menyamar" sebagai laki-laki, Roro keluar masuk tempat-tempat ramai di wilayah sudut Kota Raja.

Seperti pada suasana pasar yang dikunjunginya, tampak Roro yang berpakaian baju warna putih dan celana pangsi warna hitam terbuat dari bahan kasar. Rambutnya ditutupi dengan belitan ikat kepala yang ditutupi pula oleh topi tudung atau capil mirip seorang pemuda petani.

Diantara simpang siurnya orang dipasar, Roro melihat seseorang berjalan cepat yang tampak mencurigakan. Orang itu mengenakan topi tudung lebar menutupi wajahnya. Mengenakan jubah warna abu-abu. Dipunggungnya terdapat sebuah buntalan kain warna hitam yang bertambal. Sepintas Roro melihat laki-laki itu adalah mirip seorang pengemis tua yang berjanggut putih.

Melihat caranya berjalan, tampak seperti tergesa-gesa, dan menyelinap cepat diantara simpang siurnya manusia di pasar ramai itu. Tentu saja Roro tak mau melewatkan kejanggalan semacam itu. Roro pun segera diam-diam menguntit pengemis itu.

Setelah melewati beberapa lorong, segera tiba disudut kota. Roro cepat menyelinap kebalik reruntuhan tembok ketika laki-laki itu menoleh. Melihat suasana "aman" segera si pengemis enjot tubuh untuk segera berlari cepat. Akan tetapi sebutir batu telah melayang menyambar buntalan dipunggungnya. Terdengar suara. Cring...! Dan berhamburanlah kepingankepingan uang logam dari dalam buntalan.

Pengemis itu tampak terkejut, seraya hentikan larinya. Tapi mendadak isi buntalannya berhamburan keluar semua isinya. Tersentak si pengemis tua itu. Sementara diam-diam Roro Centil tersenyum. Dialah yang barusan menyambitnya dengan dua butir batu kerikil. Melihat buntalan yang dicurigai dan kelihatan berat itu Roro ingin tahu apa isinya. Tahulah Roro Centil kalau setidak-tidaknya si pengemis itu bukan orang baik-baik. Sekejap dia sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

"Ah, kasihan...! Agaknya bapak kurang teliti membungkus uang sebanyak itu pada kain buntalan yang sudah rapuh. Mari kubantu mengumpulkannya...!" berkata Roro seraya mendekati laki-laki pengemis itu yang tengah terkejut melihat isi buntalannya berhamburan dan kain buntalannya sobek besar.

Wukkk...! Tiba-tiba lengan pengemis itu bergerak menghantam ke arah kepala Roro Centil yang baru saja membungkuk, disertai bentakan. "Orang usil! Mampuslah kau...!"

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Criinggg...! Dibarengi suara menjeritnya laki-laki pengemis itu. Selanjutnya si pengemis itu berteriak-teriak kesakitan dengan suara tersumbat dan mata membelalak. Apakah yang terjadi?

Ternyata sekali gerakkan lengannya, Roro telah menebarkan belasan keping uang logam perak itu yang tepat mengenai beberapa jalan darah penting ditubuh laki-laki pengemis itu, bahkan beberapa keping uang itu telah menyumbat pula mulut si pengemis. Sementara lengan si pengemis itu telah berubah kaku karena uratnya tertotok.

"Hihihihi... hihi... bapak benar-benar keterlaluan sekali, mengapa sampai uang logam yang kau makan?" berkata Roro dengan tertawa mengikik. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan-bentakan keras disertai berlompatannya beberapa sosok tubuh.

"Pencuri licik! Masih semuda itu kau sudah belajar merampok, bahkan mencelakai orang pula!"

"Jangan biarkan dia meloloskan diri! Cincang sampai lumat!"

Terkejut Roro Centil ketika tahu-tahu angin bersyiuran dibelakang punggungnya. Ternyata dua buah golok besar telah menyambar untuk menabas punggung dan leher Roro. Cepat sekali Roro Centil menghindar ke samping. Kakinya segera memain, menjegal kaki orang. Terdengar suara memekik keras kedua orang itu disertai jatuhnya kedua tubuh itu yang "ngusruk" ke atas tumpukan uang logam yang berhamburan di tanah.

Criiiiing...! Bahkan salah seorang telah membentur tubuh si pengemis tua itu, hingga tak ampun tiga tubuh jatuh bergedebukan di tanah. Dan uang logampun berhamburan tertindih. Dengan mengaduh kesakitan keduanya berusaha bangkit. Tampak hidung dua penyerang Roro itu berlumuran darah. Bahkan salah seorang telah tanggal giginya sebuah. Roro memandang dengan melototkan mata. Tapi segera tertawa geli dan berkata sinis.

"Hihihi... kau rasakan upahnya menuduh orang!"

"Kunyuk keparat!" memaki laki-laki kekar yang telah melompat bangkit berdiri. "Pencuri busuk! Kau berani mempermainkan kami... petugas Kerajaan?" Teriak pula kawannya yang telah pula bangkit berdiri dan membentak garang.

Roro Centil jadi melengak karena baru dia menyadari kalau kedua orang yang menyerangnya barusan adalah dua orang perwira Kerajaan. "Ah, maaf, maaf! Aku sama sekali tak tahu kalian dua orang petugas, akan tetapi kalian salah sangka kalau menuduhku pencurinya!"

"Siapa percaya omongan maling? Jelas aku lihat sendiri kau yang merampok diujung pasar tadi. Kami melakukan pengejaran dengan memotong jalan. Akan tetapi ternyata kau terjatuh karena berlari tak melihat jalan. Pengemis tua ini sedang lewat di tempat ini, mengapa kau mengerjainya, dan kau mau jatuhkan kesalahan pada seorang pengemis tua renta ini...?" berkata keras salah seorang dari perwira Kerajaan itu.

Roro Centil jadi garuk-garuk pantat yang tidak gatal. Seraya leletkan lidah dia berkata. "Kau ini petugas yang mau menangkap maling atau pengarang cerita? Justru aku..." belum habis Roro berkata sudah disambar lagi dengan cepat.

"Cukup! Aku ampuni kesalahanmu untuk kali ini! Karena memandang kau masih berusia muda! Tapi lain kali... Huh! Hayo cepat kau angkat kaki dari sini...! Sebentar lagi satu regu pasukan keamanan Kerajaan akan tiba disini, dan kau segera akan ditangkap...!" hardik pengawal itu dengan mata mendelik.

Mendengar demikian si "pemuda" itu tampak pucat wajahnya. Setelah celingukan kesana-kemari segera tancap kaki untuk kabur pontang-panting hingga sebentar saja sudah tak kelihatan lagi. Kedua pengawal itu saling pandang dengan tersenyum, dan seketika meledaklah tawanya terbahak-bahak.

"Hahahahah... hahaha... bisa saja kau mengakali orang, Bro...!" berkata kawannya pada laki-laki yang barusan membentak pemuda tadi. Dia bernama Subro. "Cuma saja aku yang sial! Gigiku copot sebuah...!" ujarnya lagi.

"Alaaah! Cuma sebuah tak mengapa, hayo cepat kau kumpulkan uang ini! Mumpung tak ada yang melihat! Hahahaha ... kita akan kaya!"

Tak ayal kedua pengawal itu segera bekerja cepat membenahi uang yang tercecer di tanah. "Akan kita bungkus dengan apa uang sebanyak ini?" berkata Subro setelah semua kepingan uang emas dan perak itu terkumpul.

"Hm..." mata pengawal yang satunya lagi segera jelalatan mencari kain pembungkus. Memandang pada kain sarung seragamnya adalah tak mungkin. Tibatiba terpandang pada kain sarung si pengemis yang masih terjengkang dalam keadaan tertotok. "Hehehe... kain sarung si kambing tua yang sial ini bisa dipergunakan! ujarnya seraya beranjak mendekati. Dan....

Weekkk! Brettt...! Sekejap saja Masdun sudah membesetnya. Mendelik mata si pengemis tua itu. Seandainya mulutnya tak tersumpal kepingan uang perak, tentu dia sudah memaki. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa karena sekujur tubuhnya terasa kaku tak dapat digerakkan.

"Cepat bungkus!" perintah Masdun pada Subro sang kawan seraya melemparkan kain sarung itu. Sementara matanya sudah menatap pada si pengemis.

"Hahahaha... masih ada sisa uang disini, Bro...!" ujarnya, dengan tertawa menyeringai. "He, kambing tolol! Cepat kau buka mulutmu. Jatuhkan uang itu!" bentaknya pada si pengemis. Namun yang dibentak cuma melotot geram. Cuma suara ditenggorokan saja yang terdengar.

"Oh, ya aku lupa, agaknya kau telah kena totok rupanya...? Baiklah! Dengan cara ini sisa uang dalam mulutmu bisa keluar!" ujarnya seraya lengannya menjambak rambut si pengemis, dan satu lagi melayang menghantam belakang leher orang.

Buk! "Heek...!" Dan... Criiiiing! Berpentalanlah seketika beberapa keping uang perak dari dalam mulut pengemis tua.

"Hahaha bagus! Kini tidurlah kau sampai matahari terbenam!" ujarnya seraya menghempaskan kembali tubuh si pengemis tua itu yang segera terdengar keluhnya. "Auuuuh...!" Karena pukulan pada belakang leher dan hempasan keras barusan telah mengenai batu tepat pada belakang kepala, tak ampun seketika si pengemis tua itu tak sadarkan diri.

Masdun tertawa menyeringai sambil tepuktepukkan kedua tangannya membersihkan debu. Namun segera cepat-cepat beranjak ke arah Subro untuk bantu membenahi kepingan uang yang berceceran barusan. Tak berapa lama seluruh kepingan uang sudah masuk dalam buntalan. Masdun mempererat tali ikatannya.

"Apakah sebaiknya tak dibunuh saja si kambing tua tolol ini? Dia bisa menyusahkan kita!" berkata Subro.

Tertegun sejenak Masdun untuk berfikir. Akan tetapi segera menjawab dengan wajah berubah menegang. "Bagus! Usul yang baik sekali! Biarlah aku yang menghabisinya!" berkata Masdun seraya memungut golok besarnya dan beranjak mendekati si pengemis tua.

"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras. Dan... tahu-tahu Masdun menjerit ngeri ketika satu hantaman keras membuat kepalanya pecah, otaknya berhamburan. Dan... Bruk! Laki-laki pengawal itu roboh tewas seketika. Terperangah Subro ketika melihat dua sosok tubuh berjubah hitam muncul dihadapannya. Salah seorang adalah yang barusan menghantam kawannya dengan senjata rantai berbandulan Kepala tengkorak emas.

Belum sempat dia berbuat sesuatu, Subro sudah perdengarkan jeritannya ketika satu angin pukulan dari lengan salah satu dari kedua orang berjubah hitam itu menghantam tubuhnya. Seketika tubuhnya terlempar puluhan tombak. Ketika jatuh ke tanah, cuma mampu menggeliat sejenak, lalu tewas seketika. Karena pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu telah meremukkan sekujur isi dalam bagian tubuhnya.

"Hm, si bodoh orang kita ini rupanya sudah kena totok orang! Dia pingsan. Apakah dihabisi saja sekalian! Kukira dia sudah tak berguna!" berkata salah satu dari si jubah hitam yang berwajah buruk, mempunyai dua buah codet besar yang melintang di wajahnya. Sebelah matanya picak.

"Kalau menurut pandanganmu baik, siapa yang larang...?" menyahut kawannya yang mempunyai wajah hampir mirip namun tak seburuk wajahnya. Laki-laki ini tertawa mengekeh seraya beranjak mendekati. Sekali lengannya terangkat, terdengarlah suara Prakkk...! Remuklah seketika batok kepala si pengemis tua itu.

"Hm, hayo cepat kita pergi dari sini...!" berkata si muka codet, seraya lengannya menyambar buntalan. Dan kedua manusia sadis berjubah hitam itupun berkelebatan lenyap...

SEBELAS

RORO CENTIL BERKELEBAT menguntit kedua manusia berjubah hitam itu. Dari tempat sembunyinya dia telah menyaksikan kejadian tadi. "Siapakah dua manusia keji itu?" desis Roro seraya berkelebatan dengan hati=hati agar tak menimbulkan suara. "Ingin ku tahu dimana sarangnya...! Jelas dari kata-katanya si pengemis tua itu adalah Konconya dua manusia ini...!"

Selang kira-kira semakanan nasi kedua orang itu hentikan larinya. Mereka telah tiba disatu sisi hutan dilereng bukit. Lalu berjalan cepat ke satu samping batu besar. Ternyata disana ada sebuah mulut goa yang tersembunyi. Akan tetapi belum lagi kedua orang itu masuk, sudah terdengar suara tertawa mengikik membuat mereka jadi terperangah.

"Hihihi... hihihi... Tunggir Ireng! Tunggir Abang...! Masanya kau membayar hutang sudah tiba! Hihihi... hihihi..."

Membelalak kedua pasang mata laki-laki berjubah itu memandang ke mulut goa tempat sembunyinya selama ini. "Siapa didalam...!" bentak si muka codet. Dialah yang bernama Tungkir Ireng.

Tak ada jawaban. Tapi selang sesaat bersyiur angin bergulung-gulung dari dalam goa yang menyebar ke sekeliling kedua manusia jubah hitam itu. Tentu saja membuat kedua orang ini melengak. Kembali terdengar suara tertawa mengikik yang terdengar dekat sekali. Dan... tahu-tahu di hadapan mereka menjelma sesosok tubuh wanita berambut berapian.

Dan yang membuat mata mereka membelalak lebar adalah wanita itu dalam keadaan membugil tanpa sehelai benangpun melekat pada kulit tubuhnya. Seketika tersentaklah masing-masing dari mulut mereka suara tertahan karena terkejutnya.

"Hihihi... Lihat sekelilingmu!" membentak wanita itu.

Dan... terperanjatlah kedua manusia berjubah itu melihat puluhan serigala telah mengurung mereka dari segenap penjuru disekelilingnya. "Manusia Serigala Hantu...!" serentak hampir berbareng mereka berteriak kaget.

Lemaslah sekujur persendian kedua laki-laki berjubah itu. Karena sudah didengarnya kalau si Manusia Serigala Hantu itu memang tengah mencarinya untuk membalas dendam. Dua orang diantara Empat Iblis Pulau Menjangan telah tewas di tangannya juga si ketua Markas Partai Naga Hijau berikut anak buahnya.

"Hihihihi... Iblis-iblis Pulau Menjangan, silahkan kau membela diri sebelum aku Ken Ayu memotes kedua batok kepalamu untuk ku persembahkan pada ibuku...!"

"Kau... kau Ken Ayu, anak si Denok Warsih...?" sentak Tunggir Ireng terkesiap. "Hihihi baru tiga tahun yang lalu aku lolos dari sekalian kalian di Pulau Nusa Kambangan masakan kau sudah lupa? Nah, bayarlah hutangmu berikut bunganya...!"

Sekejap saja tubuh si Manusia Serigala Hantu lenyap sirna dari pandangan mereka. Tersentak Tunggir Ireng dan Tunggir Abang, dua dari Empat Iblis Pulau Menjangan itu. Serentak mereka mencabut senjata masing-masing. Lalu kerahkan ilmu batin setelah saling memberi tanda untuk melihat dimana adanya wanita itu.

Namun sebelum mereka sempat melakukan puluhan serigala itu telah menerjangnya bagaikan bayang-bayang hantu. Seolah terdengar suara geram "makhluk-makhluk" itu yang menerkam untuk merencah tubuh mereka.

Wukk! Wukk! Wukk!

Tunggir Ireng dan Tunggir Abang putarkan senjata rantai masing-masing untuk menerjang serigala-serigala itu. Akan tetapi melegak mereka karena bagaikan menabas angin saja, tak satupun yang dari makhluk itu yang terkena hantaman kedua senjata bandulan tengkorak emas si iblis Pulau Menjangan itu.

Bertubi-tubi serangan dilakukan tetap saja mereka menabas angin belaka. Bahkan serigala-serigala itu semakin banyak jumlahnya ketika kembali membersit angin kencang yang bersyiur disekeliling mereka. Diantara geram para "serigala" itu terdengar pula suara mengikik tanpa terlihat manusianya. Semakin gentarlah hati kedua manusia ini.

Sementara itu sepasang mata sejak tadi terus mengikuti kejadian di tempat itu dengan mata tak berkedip. Dialah si pemuda berbaju putih hitam sederhana, alias Roro Centil.

"Gila...!" sentak Roro terkejut. Ilmu apakah ini...? Ah, agaknya dia inilah si Manusia Serigala Hantu. Betapa mengerikan dan hebat ilmunya!"

Sementara pertarungan berjalan terus, dan kedua Iblis Pulau Menjangan semakin terdesak. Disamping nyalinya sudah copot, juga bingung menghadapi lawan aneh yang sekian banyaknya tanpa mampu memporak porandakan laskar "serigala" itu.

Akhirnya mereka saling memberi tanda. Tiba-tiba keduanya pergunakan ilmu lompatannya untuk melambung setinggi delapan tombak. Tepat di udara kedua lengan mereka saling lakukan hantaman pada empat telapak tangan. Dhes...! benturan tenaga dalam itu telah membuat kedua tubuh mereka terlontar sejauh lebih dari sepuluh tombak. Dengan "akal" itu mereka berusaha melarikan diri dengan berpencar.

Akan tetapi segulung angin menggebu telah membumbung ke udara, tepat disaat kedua Iblis Pulau Menjangan lakukan hantaman tenaga dalam dengan kedua telapak tangan. Wuukkks...! Terperangah seketika keduanya. Apakah yang terjadi...? Kedua tubuh Tunggir Ireng dan Tunggir Abang dalam keadaan tergantung di udara dengan keempat lengannya menempel satu sama lain.

"Celaka...!? Kita tak dapat menggerakkan tubuh...?!" teriak Tunggir Ireng dengan wajah pucat. Keheranan yang amat luar biasa itu membuat mereka keluarkan keringat dingin disekujur tubuh.

Sementara itu dibalik sebongkah batu Roro Centil alias "pemuda" tersenyum simpul melihat kedua Iblis Pulau Menjangan terapung-apung di udara. Ternyata Roro Centil telah mencoba jurus baru hasil ciptaannya di Pulau Air. Itulah jurus yang dinamakan jurus Kosongkan Perut Menahan Lapar. Ilmu serangan tenaga dalam yang dapat mengosongkan udara disekitar angin pukulan. Hingga mirip keadaan diluar angkasa. Sekitar angin pukulan Roro Centil kosong tanpa udara. Dalam keadaan demikian mana manusia mampu bertahan untuk tidak bernapas dalam waktu terlalu lama?

"Grrrr...! Terdengar geraman seekor serigala besar yang tahu-tahu telah menjelma tepat di bawah kedua Tunggir Ireng dan Tunggir Abang. Dengan perdengarkan suara melolong panjang, serigala besar itu meluncur ke udara untuk menerkam. Namun tubuhnya tersangkut ditengah jalan dalam udara kosong buatan Roro.

Untunglah saat itu Roro telah tarik lagi kekuatan dahsyat dari jurus pengosongan udara itu. Akibatnya kedua tubuh yang terapung di atas itu meluruk jatuh kembali ke bawah. Samar-samar serigala besar yang berada di bawah itu berubah ujud kembali jadi sosok tubuh bugil alias Ken Ayu. Dan... cepat sekali kedua lengannya menabas ke arah dua tubuh yang baru saja meluncur turun...

Dess! Desss!

Terdengar suara jeritan parau sesaat, dan sebelum kedua Tunggir Ireng dan Tunggir Abang menyentuh tanah, kepalanya telah terlepas, terpisah dari tubuhnya dengan darah segar berhamburan... Bruk! Bruk! kedua tubuh tanpa kepala itu jatuh bergedebukan ke tanah. Cepat sekali gerakan Ken Ayu menyambar dua buah kepala.

Sekejap kemudian wanita bugil itu telah melesat kembali ke atas batu di mulut goa. Berdiri disana dengan kedua lengan mencekal rambut kepala dua manusia Iblis Pulau Menjangan. Tampaknya si Manusia Serigala Hantu mengetahui adanya orang yang sembunyi dibalik sebongkah batu. Bahkan mengetahui kalau kejadian mengapungnya kedua musuh besarnya tadi di udara adalah akibat hantaman angin pukulan orang yang sembunyi dibalik bongkah batu besar itu.

"Orang baik siapakah yang ikut campur membantuku... hihihi keluarlah ingin kulihat manusianya..." berkata dia dengan suara dingin.

Terhenyak Roro Centil. Tadinya dia tak mau menampakkan diri, namun terpaksa dia harus keluar ujudkan wajah. "Aiiii...! Aku tak bermaksud menolongmu, sobat! Aku sendiri tengah mengejar dua manusia itu. Mana mungkin kubiarkan mereka melarikan diri?" berkata Roro seraya melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Diam-diam Roro tertegun memandang keadaan tubuh wanita yang membugil dihadapannya yang amat risih bila di pandang. Hatinya membatin. "Kasihan...! Ilmu apakah yang dianutnya hingga dia tak mengenal rasa malu lagi...?"

Sejenak Roro tercenung menatap. Sekali pandang saja Roro telah bisa menilai orang dihadapannya adalah seorang wanita yang amat cantik parasnya. Namun dengan keadaan rambut kusut tak terurus dan tubuh dekil berdaki demikian seperti menghilang keayuannya.

"Hm, begitukah...?" tukas si wanita itu dengan lebih tajam menatap Roro.

"Bolehkah aku tahu permusuhan apakah kau dengan kedua orang ini...?" tanya Roro seraya melirik pada dua tubuh tanpa kepala didekatnya.

Sejenak tercenung wanita itu mendengar pertanyaan Roro. Lalu terdengar suara helaan nafasnya. "Kisahnya amat panjang, orang baik...! Aku tak bisa menuturkannya padamu saat ini karena aku memang belum kenal kau siapa! Tapi... seumur hidupku baru aku melihat seorang laki-laki setampanmu! Hihihihi...!"

"Hihihi...! Siapa bilang aku laki-laki? Aku juga perempuan seperti kau, sobat!" berkata Roro seraya meloloskan topi tudungnya, lalu lepaskan ikat kepala pembungkus rambut, dan usap goresan hitam kecil di bawah hidungnya. Sekejap lenyaplah si pemuda tampan itu. Yang nampak jelas adalah seorang dara cantik jelita dengan rambut terurai panjang sampai ke pinggang.

Si Manusia Srigala Hantu ini jadi melengak heran. Akan tetapi segera mengikik tertawa. "Ah!? Sungguh tak kusangka kalau kau seorang gadis yang cantik!" ujarnya dengan memandang kagum.

"Kau juga cantik, sobat...!" ujar Roro dengan menatap dan tersenyum. "Apa lagi kalau kau bersihkan tubuhmu, lalu memakai pakaian yang pantas. Ah, siapapun pasti akan menyangkamu seorang dewi kahyangan..."

Akan tetapi kata-kata Roro justru membuat wajah si Manusia Serigala Hantu jadi berubah kaku. Tampak bibirnya bergerak bergetaran seperti tak senang dengan sanjungan kata-kata Roro barusan. "Huh! Aku muak dengan kata-kata rayuan macam begitu! Kecantikanku cuma menjadikan aku menderita! Dan... kecantikan cuma menjadikan munculnya bermacam bencana...!" ucapnya dengan suara pedih.

Dan Roro melihat jelas mata wanita itu tampak berkaca-kaca. Bahkan sebutir air mata telah meluncur turun membasahi pipinya yang kotor. Terhenyak seketika Roro Centil. Namun dengan suara datar segera Roro berkata.

"Kau memang dilahirkan dengan keadaan cantik, mengapa harus menyalahkan takdir? Kehidupan manusia memang banyak macam ragam jalan hidupnya. Akan tetapi kita tak boleh menyalahkan apa yang telah diberikan Tuhan pada kita!" khotbah Roro dengan tersenyum.

Tercenung seketika si Manusia Serigala Hantu. Dan tak sadar dia telah tundukkan wajahnya. Kata-kata Tuhan seperti telah menyadarkan ingatannya. Dulu ketika dia masih tinggal dengan tenteram bersama gurunya di pulau Nusa Kambangan, sang guru sering memberi wejangan untuk mengenal Tuhan padanya.

Sejak kecil dia menganggap Marga Dewa si Ketua Partai Gagak Sakti itu adalah kakeknya sendiri. Belakangan setelah dewasa barulah dia menanyakan siapa kedua orang tuanya. Marga Dewa akhirnya berterus-terang padanya, bahwa dia sama sekali tak mengetahui siapa kedua orang tuanya. Yang diketahuinya ialah... dia direbut dari tangan si Empat Iblis Pulau Menjangan. Ketika itu Ken Ayu masih berusia sekitar lima tahun.

Marga Dewa tak dapat menewaskan keempat manusia jahat itu, kecuali cuma melukainya saja. Ternyata diketahui adik seperguruan Marga Dewa yang bernama Rupaci telah tergabung dalam komplotan Empat Iblis Pulau Menjangan. Demi keselamatan dirinya, sang guru telah membawanya sejauh mungkin dan di tempat yang tersembunyi, yaitu di Pulau Nusa Kambangan. Di Sana dia membentuk Partai Gagak Sakti.

Hidup tenteram di tempat terpencil dikelilingi laut itu ternyata tak bisa selamanya dinikmati, karena tiga belas tahun kemudian Empat Iblis Pulau Menjangan berhasil mengetahui tempat tinggal sang guru, hingga kemudian terjadi musibah, dengan tewasnya sang guru, dan terjatuhnya dia ke tangan Empat Iblis Pulau Menjangan.

Bersama-sama seorang laki-laki tak diketahui asal usulnya bernama Sawor, Ken Ayu jadi bulan-bulanan kelima manusia hidung belang itu, yang kemudian menggabungkan diri dengan julukan Lima Iblis Naga Setan. Betapa berat penderitaan Ken Ayu yang harus melayani nafsu bejat kelima manusia itu. Hingga menimbulkan dendam yang amat luar biasa di hatinya. Tiga pekan lebih selama disekap oleh manusia-manusia bernafsu bejat itu, tak kurang dari belasan kali dia pingsan tak sadarkan diri.

Akan tetapi terkejut Ken Ayu ketika disaat terakhir kali dia siuman dari pingsannya didapati dirinya sudah tak berada lagi di ruangan kamar Markas dimana dia disekap. Akan tetapi berada di sebuah goa yang seram tanpa penghuni, tak diketahui siapa yang telah membawanya ke tempat itu. Tak diketahuinya pula berapa lama dia di tempat itu.

Selama itu Ken Ayu sudah tak ingat lagi apa yang telah terjadi pada dirinya. Yang di ketahuinya adalah dia sering mendengar bisikan-bisikan gaib untuk mempelajari ilmu-ilmu aneh didalam goa itu, yang dalam mempelajarinya dalam keadaan telanjang bulat. Entah setan entah manusia, hingga setelah memakan waktu panjang yang seperti tiada habisnya, suara gaib itu telah mengusirnya keluar dari dalam goa.

Demikianlah hingga Ken Ayu "bergentayangan" mencari musuh-musuh besarnya, dan mencari tahu dimana adanya kedua orang tuanya... Kembali mengiang berkali-kali kata-kata Roro, yang telah membuat ingatannya kembali pulih ke alam sadar sedikit demi sedikit. Bahkan Roro Centil telah menambahkannya lagi.

"Ilmu boleh dimiliki setinggi langit, tapi mengapa harus mengorbankan harga diri sebagai manusia? Binatang mempunyai bulu untuk pelindung aurat!"

Tiba-tiba si Manusia Serigala Hantu menengadahkan wajahnya, menatap pada Roro dalam-dalam, seraya ujarnya tergagap. "Aku... aku... tak dapat melanggar janji pada guruku yang telah mengajari ilmu-ilmu yang kumiliki saat ini...! Bila ku langgar aku akan kehilangan semua ilmu-ilmuku!"

"Hm, itu terserah keinginanmu! Berapa banyakkah musuh besarmu? Aku Roro Centil bersedia membantumu menumpas sekalian musuh-musuhmu, asalkan memang kenyataannya manusia yang harus dibinasakan adalah manusia-manusia bejat!" berkata Roro Centil dengan suara mengandung belas kasih.

Dari air mata yang mengalir keluar serta dari kata-kata marahnya wanita itu terhadap Roro ketika Roro memuji kecantikannya, si Pendekar Wanita Pantai Selatan sudah maklum kalau wanita itu mengalami goncangan jiwa akibat perbuatan manusia-manusia durjana. Itulah sebabnya Roro merasa simpati padanya, bahkan bersedia membantu si Manusia Serigala Hantu.

Tampak wajah wanita itu membersitkan wajah cerah menatap Roro. Betapa diapun amat mendambakan hidup yang normal seperti layaknya manusia biasa. Ilmu-ilmu yang dimiliki serasa memberatkannya. Walaupun secara tak langsung si pemberi ilmu telah menyelamatkan dirinya dari tangan lima manusia terkutuk yang telah membuatnya menderita lahir batin.

"Ah, betapa mulianya hatimu, kakak...! Bolehkah aku memanggilmu "kakak"? Aku tak mempunyai seorang saudara pun. Kalau kau mau menganggapku saudaramu, betapa girangnya hatiku. Serasa aku benar-benar menjadi manusia lagi! Dan... dan aku... aku bersedia membuang ilmu-ilmuku!" Ucap wanita itu dengan suara tergetar menahan perasaan girangnya yang meluap.

"Aiii...! Syukurlah! Bagus...! Aku tak keberatan mengangkat saudara denganmu, siapakah namamu adik...?" tanya Roro seraya beranjak mendekati.

"Aku cuma tahu guruku memanggilku Ken Ayu...!" sahutnya dengan sepasang mata berkaca-kaca.

Roro manggut-manggut dengan tersenyum. "Namaku sendiri adalah Roro Centil!" Ujar Roro memperkenalkan diri. "Mari kita tinggalkan tempat ini! Aku akan mencarikan pakaian yang pantas! Tapi sebaiknya kau mandi dulu yang bersih! Disebelah sana ada sungai berair jernih...! Ayolah!" ajak Roro seraya menyambar buntalan yang tergeletak di tanah tak jauh didekatnya. Lalu beranjak mendekati Ken Ayu seraya menggamit lengannya.

Ken Ayu tak dapat menolaknya lagi untuk menuruti ajakan itu. Akan tetapi tiba-tiba dia merandek menahan langkahnya. "Ah, akan tetapi aku harus mengantarkan kedua buah kepala ini dulu pada ibuku! Aku telah berjanji untuk membawa dua batok kepala musuh besarku ini padanya, karena selain musuh besarku kedua manusia Iblis Pulau Menjangan ini juga musuh besar ibuku!" berkata Ken Ayu.

"Hm, begitukah...? Haiih! Sudahlah! Kelak aku akan menemanimu mengantarkannya! Bawalah kedua buah kepala itu. Mari kita ke sungai. Sementara kau mandi yang bersih, aku akan mengantarkan buntalan uang ini dulu kepada pemiliknya sekalian mencarikan pakaian yang baik untukmu...!" ujar Roro dengan tersenyum.

Ternyata usul Roro tak dapat Ken Ayu menolaknya. Tak berapa lama tampak dua sosok tubuh wanita itu berkelebatan menuju ke arah sungai.

* * * * * * * *

DUA BELAS

BENARLAH SEPERTI YANG ditakutkan Adipati Wiralaga. Surat yang dikhawatirkan jatuh ke tangan orang Kerajaan justru telah berada di tangan Mahapatih Raksa Mandala. Segera saja Pembesar Kerajaan itu mengutus Senapati Pamuji untuk menjalankan tugas membekukan pemberontakan sebelum terlambat. Sementara itu gedung Kadipaten segera disita oleh Kerajaan, dan dalam pengawasan serta penjagaan ketat. Adipati Wiralaga dicari untuk di tangkap.

Sementara Senapati Pamuji dengan dua ratus lasykar Kerajaan berangkat ke pesisir laut kidul untuk menangkap sekutu Wiralaga dan menggagalkan pendropan kapal-kapal asing yang bakal menyerbu wilayah kekuasaan Kerajaan. Tentu saja telah menghubungi pula beberapa tokoh Pendekar dari kalangan menyambut tugas itu dengan semangat baja.

Ketika itu didesa Gombong... Dua orang dara jelita memasuki wilayah desa itu dengan wajah berseri. Berpakaian rapi warna putih dan hijau. Tampaknya kedua dara itu amat akrab sekali, bahkan berjalan dengan bergandengan tangan memasuki mulut desa. Mereka tak lain dari Ken Ayu dan Roro Centil.

Roro memang tengah mengantar Ken Ayu sang saudara angkat itu untuk mengunjungi ibunya di desa Gombong. Untuk mengantarkan dua buah kepala si Iblis Pulau Menjangan, seperti janjinya pada sang ibu. Tampak sebuah buntalan dicekal pada sebelah lengan Ken Ayu. Akan tetapi terkejut mereka ketika mendengar kegaduhan didalam desa. Beberapa orang berlarian, dan berteriak-teriak ketakutan. Apakah gerangan yang terjadi...?

Kiranya ditengah desa tengah terjadi pertarungan hebat antara dua orang laki-laki. Yang ternyata adalah Adipati Wiralaga dengan seorang laki-laki tua bermuka hitam keriput. Sementara seorang wanita yang tidak terlalu tua tengah meringis kesakitan dalam keadaan dicengkeram rambutnya oleh seorang wanita pula yang berpakaian sutera warna kembang-kembang yang pada sekujur tubuhnya penuh dengan perhiasan.

Perempuan yang menyeringai kesakitan itu tak lain dari Nyi Denok Warsih. Sedangkan yang mencengkeramnya adalah istri Adipati Wiralaga. Entah bagaimana istri Adipati itu bisa sampai ke desa Gombong? Baiklah kita ikuti kisahnya. Ternyata sebelum orang-orang Kerajaan mengepung gedung Kadipaten, sang istri Adipati telah angkat kaki terlebih dulu. Bersama siapa lagi keberangkatannya, kalau tak bersama si Lutung Pancasona!?

Tentu saja telah membenahi terlebih dulu barang-barang berharga milik Adipati itu yang dibawa kabur melarikan diri. Karena ternyata telah tercium pula adanya seorang laki-laki yang berada di gedung Kadipaten dan di curigai sebagai orang buronan Kerajaan.

Justru suatu kejadian kebetulan yang sangat tak diduga, ternyata keduanya bahkan mengungsi untuk menyembunyikan diri di desa Gombong. Tentu saja kemunculan istri Adipati itu menjadi perhatian yang menyolok dimata penduduk desa itu. Dan... dengan kebetulan sekali Adipati Wiralaga melihat kemunculan istrinya didesa itu. Tak ayal dia sudah melompat keluar dari dalam rumah Nyi Denok Warsih.

"Istriku, mau apa kau menyusulku kemari? Dan... siapakah laki-laki yang bersamamu?" bertanya Adipati Wiralaga.

Karena memang sudah tak menyukai lagi suaminya, apalagi telah diketahui oleh orang-orang Kerajaan akan pengkhianatan suaminya yang berniat memberontak dan tengah dicari oleh orang-orang Kerajaan untuk ditangkap, membersitlah kemarahannya.

"He!? Siapa kau? Aku tak mengenalmu...! Lancang sekali kau memanggil istri pada istri orang...!" bentaknya dengan marah.

Terhenyak Wiralaga. "Suridewi! Kau sudah tak mengenaliku lagi? Sandiwara apakah yang kau perbuat! Apakah gerangan yang terjadi?" teriak Wiralaga.

Keributan diluar itu membuat Nyi Denok Warsih keluar dari kamarnya dengan wajah pucat dan rambut tak tersisir rapi. Namun sekilas saja sang istri Adipati Wiralaga telah melihatnya, karena suaminya keluar dari dalam pondok itu. Hatinya jadi semakin panas.

Tiba-tiba dia berkata pada laki-laki berkulit muka hitam disampingnya. "Suamiku", hajarlah manusia kurang ajar ini! Mengapa kau diamkan saja dia berkata lancang! Hm, kalau perlu aku tak melarang kau membunuhnya!"

"Keparat! Kau sungguh-sungguh keterlaluan, Suridewi! Kuhancurkan mulutmu! Apakah manusia itu gendakmu?" Menggembor marah Adipati Wiralaga. Lengan Wiralaga bergerak untuk mencengkeram wanita itu, akan tetapi laki-laki tua berkulit muka hitam itu telah gerakkan tangannya menangkis seraya melompat menghadang.

"Hahaha hehehe... sabar, sobat! Kau tak layak lagi berbuat demikian! Bukankah kau sudah mendengar sendiri dia menyebut suami padaku, siapa bilang aku gendaknya?" berkata demikian, sebelah lengan laki-laki tua bermuka hitam keriput itu segera memeluk pinggang Suridewi yang bahkan senderkan kepalanya ke dada si lelaki tua.

Merah padam seketika wajah Wiralaga. Giginya bergemeretukan menahan geram. Sementara sepasang mata Suridewi selalu mengarah pada perempuan diberanda rumah yang memandang ke arahnya dengan wajah pucat pasi.

"Siapakah kau manusia durjana? Kau berani berbuat demikian pada seorang Adipati?" membentak Wiralaga. Akan tetapi justru bentakan itu membuat si laki-laki tua itu tertawa berkakakan.

"Hahaha... hahaha... kau dengar istriku! Dia menyebut dirinya Adipati? Hahaha... kau tak lebih dari seorang pemberontak, Wiralaga! Gedung Kadipaten telah disita Kerajaan, dan kau tengah dicari orang-orang Kerajaan untuk ditangkap!"

Mendengar kata-kata itu seketika pucat pias wajah Wiralaga. Akan tetapi dengan menggembor keras dia telah mencabut kerisnya yang terselip di belakang punggung, seraya melompat menerjang dengan dibarengi bentakan. "Baik! Aku memang bukan Adipati lagi! Tapi sebelum aku ditangkap kalian berdua harus mampus terlebih dulu di tanganku...!"

Angin keras menderu tatkala keris di tangan Wiralaga berkelebat menusuk ke arah dada laki-laki tua itu. Sedangkan sebelah lengan Wiralaga membarengi dengan pukulan dahsyat. Namun dengan gerakan sebat sekali laki-laki tua itu melompat menghindar dengan menyambar tubuh Suridewi dalam pelukannya. Dan hinggapkan kaki dengan ringan tak jauh disamping rumah. Wiralaga menghambur untuk mengejar.

Sementara laki-laki tua itu lepaskan Suridewi seraya berkata. "Hm, kau tontonlah aku, Suridewi! Bagaimana aku menghabiskan nyawa pemberontak ini!" berkata si laki-laki tua itu. Seraya diapun melompat untuk menerjang.

Segera saja terjadilah pertarungan hebat antara kedua laki-laki itu. Ternyata Wiralaga pun bukan seorang yang berilmu rendah. Serangan pukulannya cukup ganas, ditambah serangan kerisnya yang menimbulkan angin menggebu bersiutan menabas dan menghunjam mengancam nyawa.

Dalam keadaan mereka tengah bertarung, ternyata Suridewi telah melompat masuk ke dalam beranda rumah Nyi Denok Warsih, seraya membentak. "He! Rupanya kau ada main dengan pemberontak itu, ya? Apamukah dia?"

Mundur selangkah Nyi Denok Warsih dengan wajah pucat pias. Akan tetapi dia tak mampu untuk bicara apa-apa. Karena pertanyaannya tak mendapat sahutan, bahkan nampak wanita itu justru mundur ketakutan, Suridewi telah gerakkan lengan menjambak rambutnya, serta menyeretnya keluar rumah.

Memekik perempuan Itu kesakitan. Akan tetapi Suridewi tak memperdulikan. Dia memang ada mempunyai sedikit kepandaian. Berbeda dengan perempuan desa itu yang tak punya kepandaian apa-apa sama sekali.

Melihat Nyi Denok Warsih tengah disiksa di tampari oleh istrinya, Wiralaga berteriak keras, dengan kemarahan memuncak. "Suridewi! Berani kau menganiayanya, kuhancur remukkan tubuhmu! Lepaskan dia! Dia tak bersalah apa-apa..."

Suridewi tertawa sinis. "Hihihi... kini baru ku tahu kalau kau istrinya...! Mengakulah kau, perempuan kampungan...!" lengannya bergerak menampar.

Dan kembali Nyi Denok Warsih menjerit kesakitan. Wajahnya sudah bengap dan matang biru karena dihajar Suridewi yang melampiaskan kemendongkolan hatinya pada perempuan itu. Padahal dia sendiripun berbuat khianat pada suaminya. Pada saat itulah terdengar bentakan keras. Tubuh Wiralaga telah melesat tinggi melewati kepala lawannya, menerjang ke arah Suridewi.

"Perempuan laknat! Kubunuh kau...!"

Terperangah Suridewi karena tahu-tahu ujung keris Wiralaga telah berada di depan matanya. Akan tetapi bersamaan dengan ujung keris Wiralaga menghunjam leher Suridewi, laki-laki itu menjerit keras dan roboh terguling...

Dua jeritan terdengar saling susul, dan dua tubuh berkelojotan meregang nyawa. Ternyata disaat itu juga si Lutung Pancasona telah lepaskan senjata rahasianya. Tiga larik sinar berkredepan meluruk ke arah punggung dan belakang leher Wiralaga, dan menancap tepat pada sasarannya.

Baru saja kedua manusia malang itu lepaskan nyawanya, terdengar suara jeritan keras yang di-susul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh ke tempat itu. "Ayaaaah...!"

Teriakan santar itu tak lain dari suara Ken Ayu, yang telah menghambur ke arah tubuh Wiralaga. Terperangah Nyi Denok Warsih melihat seorang gadis cantik menangis dengan memeluki laki-laki Adipati itu dengan menyebutnya "ayah". Hatinya tersentak seketika. Baru saja dia dalam keadaan terkejut luar biasa dengan kejadian barusan, kini muncul lagi seorang gadis yang memeluki mayat Suhara.

"Ibu...! Ini aku anakmu, ibu...! Aku Ken Ayu...! Aku telah bawakan dua buah kepala si Iblis Pulau Menjangan! Aku harus balaskan kematian ayah...!" berkata Ken Ayu dengan mata berkaca-kaca menengadah memandang pada Nyi Denok Warsih seraya membuka buntalan kepala dihadapan wanita itu. Lalu alihkan tatapannya pada laki-laki yang masih tegak berdiri tak jauh dihadapannya. Nyi Denok Warsih memandang isi buntalan dengan mata membelalak.

Sementara itu Roro Centil melengak melihat kejadian. Memandang pada laki-laki berkulit muka hitam berkerut yang barusan lepaskan senjata rahasianya, tahulah Roro kalau orang itu adalah si Lutung Pancasona. Tiba-tiba sekali lompat Lutung Pancasona sudah melesat untuk kabur dari tempat itu. Ternyata dia telah mengetahui kedatangan Roro Centil yang pernah gagal di pecundanginya untuk jahatnya memperkosa dara Pendekar Pantai Selatan itu. Akan tetapi Roro Centil telah melesat terlebih dulu untuk menghadang.

"Tahan! Kau tak dapat lolos lagi, setan cabe!" membentak Roro.

Wukkk...! Lutung Pancasona hantamkan pukulannya. Dan... set! set! set! Tiga senjata rahasia berbentuk keris kecil meluncur ke arah tiga tempat berbahaya di tubuh Roro.

Syiuttt!... Prash!

Roro Centil kibaskan rambutnya menghantam mental senjata-senjata rahasia Lutung Pancasona. Sebelah lengannya memapaki hantaman pukulan lawan.

Blarrr...! Terdengar suara beradunya dua pukulan tenaga dalam. Terdengar teriakan tertahan Lutung Pancasona. Tubuhnya terlempar enam tombak dan jatuh bergulingan. Sedangkan Roro Centil terpental sejauh tiga-empat tombak. Setetes darah tampak tersembul disudut bibir Roro, yang rasakan dadanya nyeri. Tak disangka kalau tenaga dalam lawan demikian besar. Namun Roro Centil cepat melompat berdiri dengan tubuh terhuyung.

Sementara dilihatnya Lutung Pancasona baru saja mau beranjak bangun, setelah keluarkan darah yang menggelogok dari mulutnya. Roro tak lewatkan kesempatan baik ini. Dia memang amat penasaran sekali untuk mengetahui wajah dibalik topeng kulit muka si Lutung Pancasona. Brett! Terpelanting laki-laki itu dengan kembali berteriak kesakitan.

Kulit mukanya seketika mengelupas yang menyobek pula kulit kepalanya hingga mengeluarkan darah. Segera terpampanglah wajahnya. Benar seperti dugaan Roro, wajah dibalik topeng kulit muka itu adalah wajah laki-laki yang masih muda, namun usianya lebih dari sekitar 30 tahun lebih.

"Hah!? Kau... kau Sawor!" satu teriakan kaget terdengar santar. Itulah suara Ken Ayu, yang sedari tadi memperhatikan jalannya pertarungan. "Kakak Roro Centil! Biarlah aku yang membunuhnya!" teriak Ken Ayu yang sekejap sudah melompat ke hadapan laki-laki itu. Akan tetapi diluar dugaan lengan Sawor alias si Lutung Pancasona telah bergerak cepat ke balik bajunya, dan...

Set! set! set! set...!

Menghamburlah belasan senjata rahasia dari keris-keris kecil beracun yang amat ampuh itu. Kejadian mendadak itu diluar dugaan Roro yang tak sempat bertindak. Hingga tak ampun segera terdengarlah jeritan ngeri yang saling susul, bersamaan dengan ambruknya dua sosok tubuh wanita. Ternyata hamburan senjata rahasia itu mengenai pula pada Nyi Denok Warsih.

"Manusia iblis...!" membentak Roro Centil. Kedua lengannya bergerak ke depan yang telah dibarengi tenaga dalam penuh. Itulah jurus pukulan Roro Centil yang terdahsyat, yaitu jurus Taufan Melanda Karang.

Tak Ampun lagi tanpa sempat menjerit lagi tubuh Sawor terlempar berpuluh-puluh tombak. Bahkan angin pukulan itu telah pula merobohkan belasan batang pohon yang ambruk dengan suara gaduh bagaikan dilanda angin taufan dahsyat. Tubuh Sawor bergulung-gulung menjadi satu dengan batang-batang pohon disisi hutan itu. Lenyap tak ketahuan lagi kemana jasadnya.

Sesaat kegaduhan itupun sirna. Roro Centil tegak berdiri bagaikan arca, menatap ke depan. Setitik air mata tampak tersembul disudut mata dara Perkasa Pantai Selatan itu. Suara gaduh itu membuat kegemparan penduduk desa Gombong yang terletak di sisi bukit. Mereka berhamburan keluar, dan melarikan diri dengan berteriak-teriak ketakutan.

Sementara tanpa seorangpun penduduk yang sempat melihat, Roro Centil telah berkelebat menyambar tubuh Ken Ayu dan melesat lenyap dari tempat itu, dengan diiringi satu lengkingan suara yang mengandung isak. Seperti suara iblis yang menangis yang membuat bulu tengkuk meremang...

Episode selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.